Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
MATAHARI belum sempurna mengusir ge-
lap ketika pemuda remaja berpakaian biru-biru
itu berdiri tegak dengan mementangkan kedua
tangannya. Udara dingin bercampur embun tak
mampu mengusik keteguhan sikap si pemuda.
Perlahan kedua tangannya digerak-gerakkan di
depan dada.
Sementara sepuluh jari tangannya mem-
bentuk cakar elang, kaki kanannya digeser seten-
gah tindak ke depan. Lalu..., dari mulutnya ter-
dengar suara menggereng seperti harimau lapar.
Disusul pekik nyaring laksana seekor beruang
yang siap menerkam mangsa. Suara pekik si pe-
muda begitu keras, membuat daun rontok bergu-
guran!
Namun sampai beberapa lama, pemuda
bertubuh tinggi tegap itu tak berbuat apa-apa.
Hanya kedua tangannya yang terus bergerak ber-
putaran di depan dada. Agaknya, dia tengah
menghimpun ataupun melatih kekuatan tenaga
dalamnya.
Seiring waktu yang terus berlalu, sorot ma-
ta si pemuda berubah tajam sekali. Kemudian,
dari mulutnya keluar suara melengking tinggi.
Dan....
Mendadak, dari ujung jari-jari tangan pe-
muda berambut panjang tergerai itu melesat se-
puluh larik sinar merah berkilauan. Melesat luar
biasa cepat, dan langsung bergerak melilit batang
pohon besar yang berada dua puluh tombak dari
hadapan si pemuda!
Sratt! Sratt!
Werrr...!
"Hendak kulihat sampai di mana keheba-
tan 'Tenaga Beruang Merah' yang baru kupelajari
dari kitab warisan Kakek Salya Tirta Raharja
ini..." gumam si pemuda seraya menarik napas
dalam-dalam.
Dan... begitu dia menggerakkan kedua tan-
gannya, batang pohon besar yang terbelit sepuluh
larik sinar merah menjadi bergoyang keras. Ba-
tang-batang pohon kecil yang tumbuh di sekitar-
nya terlihat turut bergoyang. Permukaan tanah
terasa bergetar bagai terjadi gempa. Lalu...
Bummm...!
Luar biasa! Suara hiruk-pikuk memecah
kesunyian pagi yang baru datang. Batang pohon
bergaris tengah satu depa itu tumbang tanpa am-
pun!
"Hmmm.... Cukup hebat juga. Kini aku be-
nar-benar telah menguasai bagaimana cara men-
gumpulkan tenaga dalam yang bersifat mengi-
sap...," desis si pemuda sambil melepas aliran te-
naga dalamnya. Kontan garis-garis sinar merah
yang keluar dari jemari tangannya lenyap.
Berkali-kali pemuda yang ikat pinggangnya
terbuat dari kain panjang berwarna merih itu
menghela napas lega. Cukup puas rasa hatinya
melihat kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang
baru dipelajarinya di dalam sebuah gua bawah
tanah.
Tanpa sebab mendadak si pemuda tampak
cengar-cengir. Sinar keluguan membersit dari
raut wajahnya yang tampan. Gerak-geriknya bah-
kan berubah mirip orang berotak amat bebal
Menilik sikap si pemuda yang tengah mela-
kukan kebiasaan buruknya itu, siapa lagi dia ka-
lau bukan si Pendekar Bodoh; Seno Prasetyo!
Ya! Bersama seorang kakek bergelar Hati
Selembut Dewa, Seno pergi ke Padang Selaksa
Batu untuk membantu menumpas Iblis Pemburu
Dosa yang telah melakukan serangkaian pembu-
nuhan kejam. Sayangnya, sebelum Seno dapat
memberikan bantuan kepada Hati Selembut De-
wa, dia keburu terperangkap masuk ke jebakan
berupa lubang sulfur yang amat dalam.
Namun tak pernah disangka oleh Iblis
Pemburu Dosa sendiri, sumur buatan alam yang
kemudian dijadikan lubang jebakan itu justru
membawa keberuntungan bagi Seno. Si pemuda
bukan saja berhasil menyelamatkan diri, tapi dia
pun mendapat sebuah kitab tua peninggalan
Salya Tirta Raharja, seorang ketua Perkumpulan
Beruang Merah yang pernah berjaya puluhan ta-
hun silam.
Dengan mempelajari isi kitab itu, Seno da-
pat mengetahui adanya api permusuhan turun-
temurun antara keluarga Buana Seta dengan Sa-
ka Wanengpati. Buana Seta adalah kakek Salya
Tirta Raharja. Sementara, Saka Wanengpati ada
lah kakek buyut si Iblis Pemburu Dosa; Wanara
Kadang.
Dari isi kitab peninggalan Salya Tirta Ra-
harja itu pula, Seno juga mengetahui kelemahan
ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu
Tenaga Menjebol Perut' yang menjadi ilmu anda-
lan Iblis Pemburu Dosa. Lain itu, Seno pun ber-
hasil menguasai sebuah ilmu penghimpun tenaga
dalam bernama 'Tenaga Beruang Merah', yang ba-
ru saja dicoba kehebatannya tadi. (Agar lebih jelas
dalam mengikuti jalan cerita ini, sllakan baca
serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Rahasia
Sumur Tua").
"Aku belum sepenuhnya mencoba keheba-
tan 'Tenaga Beruang Merah' Aku harus menco-
banya lagi" kata hati Seno seraya menjulurkan
kedua pergelangan tangannya.
Murid Dewa Dungu itu ingin mengetahui
puncak kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang
telah dikuasainya dengan baik. Sesaat si pemuda
menarik napas panjang. Kedua bola matanya ber-
sinar bening tajam, menatap batang pohon yang
tadi telah terlempar sejauh lima puluh tombak.
Disertai satu bentakan keras, Seno melu-
ruskan sepuluh jari tangannya. Dan... seketika
itu juga, melesatlah sepuluh larik sinar merah
berkilauan wujud dari 'Tenaga Beruang Merah'!
"Hiaahh...!"
Srat...!
Batang pohon yang menjadi sasaran tam-
pak bergetar kencang ketika terbelit sepuluh larik
sinar yang melesat dari jemari tangan Seno. Ma-
nakala Seno menekuk jari-jari tangannya, batang
pohon yang telah terbelit suatu tenaga amat kuat
itu tertarik dan melayang ke hadapan si pemuda.
Ringan sekali saat jatuh di permukaan ta-
nah. Batang pohon itu laksana telah berubah
menjadi segumpal kapas ringan yang begitu mu-
dah dipindah-pindahkan. Namun ketika Seno me-
lepas 'Tenaga Beruang Merah'-nya terdengar le-
dakan keras. Batang pohon yang tergeletak di ha-
dapan si pemuda mendadak hancur berkeping-
keping menjadi serpihan halus!
Girang bukan main rasa hati Pendekar Bo-
doh melihat kehebatan 'Tenaga Beruang Merah'.
Kini dia jadi semakin yakin bila Iblis Pemburu
Dosa akan dapat dibinasakannya tanpa harus
bersentuhan kulit ataupun mengadu kekuatan
tenaga dalam.
Dengan mata berbinar-binar, pemuda lugu
itu menatap sosok mentari yang telah sempurna
menampakkan diri di ufuk timur. Tiba saatnya
dia harus meninggalkan tempat. Sebelum Iblis
Pemburu Dosa meminta korban lebih banyak, dia
harus cepat bertindak. Dia harus mendatangi to-
koh jahat itu di Padang Selaksa Batu. Namun be-
lum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba....
"Hmmm.... Aku mendengar hembusan na-
pas orang. Orang itu berada sekitar tiga puluh
tombak di belakangku. Hmmm.... Dia pasti ten-
gah mengintai gerak-gerikku. Untuk membukti-
kan dia bermaksud buruk atau tidak, aku harus
berbuat sesuatu...."
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas
Seno menghimpun kembali 'Tenaga Beruang Me-
rah'. Dan ketika dia membalikkan badan, jemari
tangan kanannya yang terjulur mengeluarkan li-
ma larik sinar merah. Diiringi suara desis halus,
kelima larik sinar itu melesat cepat, menuju tu-
buh orang yang disangka Seno tengah mengintai!
Sssh...!
"Astaga...!"
Seno melonjak kaget karena desakan rasa
heran. 'Tenaga Beruang Merah'-nya terasa me-
nyentuh benda lembut kenyal. Anehnya, benda
yang disangkanya sosok tubuh manusia itu tidak
memberi perlawanan sama sekali. Tidak pula
mengeluarkan suara sedikit pun.
Namun begitu, Seno tak mau melepas lima
larik sinar merah yang telah membelit sasaran.
Dan untuk memastikan sasaran itu manusia atau
bukan, si pemuda mengangkat pergelangan tan-
gannya seraya membetot!
Wesss...!
"Ihhh...!"
Barulah terdengar suara jeritan, bahkan
terdengar cukup nyaring. Sesosok tubuh langsing
yang terbetot oleh 'Tenaga Beruang Merah' tiba-
tiba melesat dari balik dedaunan, terbang me-
layang seperti hendak menerkam Seno!
Tak dapat lagi digambarkan betapa terke-
jutnya pemuda lugu itu. Apalagi, matanya yang
tajam dapat melihat bila sosok tubuh yang melesat ke arahnya ternyata seorang wanita. Lebih te-
pat lagi, seorang gadis berusia delapan belas ta-
hun!
Risih dan malu bukan main Seno jadinya.
Sesaat raut wajahnya langsung memucat. Namun
demikian, kewaspadaannya tak hilang sepenuh-
nya. Merasa ada bahaya, cepat dia tarik lagi ali-
ran 'Tenaga Beruang Merah'-nya seraya meloncat
jauh ke kiri.
Sementara, gadis bertubuh langsing yang
sebenarnya hendak memukul dada Seno tampak
melentingkan tubuhnya. Dengan bersalto dua kali
di udara, tiba-tiba tubuh si gadis melesat lebih
cepat dan hendak menjatuhkan tendangan ber-
bahaya ke kepala Seno!
Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau mem-
biarkan batok kepalanya pecah terkena tendan-
gan si gadis yang disertai aliran tenaga dalam
tingkat tinggi. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia
gunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin' un-
tuk mengimbangi kecepatan gerak gadis bertubuh
langsing.
Dan ternyata, ilmu peringan tubuh yang
didapat Seno dari salah satu bagian Kitab Sang-
galangit itu dapat menunjukkan kehebatannya.
Tendangan gadis bertubuh langsing cuma menge-
nai tempat kosong. Hanya saja, angin sambaran-
nya sempat membuat rambut Seno berkibaran
dan mata si pemuda pun terasa pedih.
Seno menarik napas lega karena gadis ber-
pakaian putih biru itu tak melanjutkan serangan
nya. Si gadis cuma berdiri dengan tatapan penuh
selidik.
Karena gadis itu terus berdiri tak berpin-
dah tempat, dapatlah dilihat dengan jelas bila
ternyata dia berparas amat cantik. Bola matanya
berbinar bening bagai permukaan telaga yang
amat dalam. Hidungnya mancung dengan seben-
tuk bibir merah alami. Sanggup mempesonakan
siapa saja yang memandang. Namun, orang yang
hendak berbuat tak baik pastilah akan berpikir
dua kali bila melihat sebatang pedang besar yang
tersandang di punggung si gadis.
Pendekar Bodoh berdiri terpaku dalam ke-
terpanaan. Melihat sosok gadis berpakaian putih
biru yang berdiri tiga tombak di hadapannya, dia
teringat pada Putri Hati Lurus yang dijumpainya
belum lama ini. Wajah dan bentuk tubuh gadis
berpakaian putih-biru memang amat mirip den-
gan cucu Dewi Cinta Kasih itu.
Teringat pada Putri Hati Lurus yang ketus
dan galak, ingatan Seno tiba-tiba melayang pada
sosok Dewi Pedang Kuning yang hampir tiap ma-
lam muncul dalam mimpinya. Di manakah gadis
buah hatinya itu? Apakah dia masih berkelana
bersama Dewi Pedang Halilintar gurunya?
"Hei! Siapa kau?" tegur gadis bertubuh
langsing, menyadarkan Pendekar Bodoh dari la-
munannya.
"Eh! Aku?" kesiap si pemuda, wajah tam-
pannya langsung berubah kebodoh-bodohan.
"Tentu saja aku bertanya kepadamu, Tolol!
Katakan siapa dirimu! Kenapa kau bisa mengua-
sai ilmu yang begitu heh?!"
"Ilmu apa?"
"Ilmu yang baru kau tunjukkan tadi, Geb-
lek! Ilmu yang bisa menarik tubuh orang dari ja-
rak jauh! Kok seperti ilmu hitam saja.... Jangan-
jangan kau orang jahat...."
Di ujung kalimatnya, mendadak gadis yang
rambutnya dibiarkan tergerai ke punggung itu
hendak menghunus bilah pedangnya. Seno jadi
kaget. Dia tak merasa hendak berbuat jahat. Ke-
napa si gadis bisa bersikap begitu galak? Maka
sebelum gadis tinggi semampai itu berbuat sesua-
tu dengan bilah pedangnya, cepat dia membung-
kukkan badan sambil berkata....
"Nona.... Nona maafkan aku.... Aku salah
menyangka orang. Kukira penjahat yang tengah
mengintaiku.... Aku kelepasan tangan. Sudilah
Nona memaafkan...."
Pendekar Bodoh mengucap rentetan kali-
mat panjang, terdengar seperti rengekan anak ke-
cil. Sikap pemuda remaja yang amat lugu dan tak
dibuat-buat itu justru membuat gadis bertubuh
langsing mengurungkan niatnya yang ingin
menghunus bilah pedang. Bahkan mendadak, si
gadis tertawa mengikik seperti melihat sebuah
adegan yang amat lucu.
"Eh! Kau tertawa, Nona?" Pendekar Bodoh
bertanya heran. "Nona sudi memaafkan aku? Aku
memang kelepasan tangan. Aku tidak bermaksud
buruk kepada Nona. Namun, aku memang salah.
Aku telah membuat Nona terkejut...."
"Hik hik hik...," tawa mengikik gadis bertu-
buh langsing. "Apa kau kira kata-katamu itu be-
tul? Apa kau kira aku telah terkejut karena
ulahmu tadi?!" sentaknya. "Sengaja aku mem-
biarkan tubuhku tertangkap! Aku ingin tahu
sampai di mana ketinggian ilmu setanmu itu! Ja-
di, kau jangan merasa telah mampu mengalahkan
aku!"
Seno mengangguk-angguk.
Tapi, dalam hati murid Dewa Dungu itu
mendongkol juga. Gadis bertubuh langsing diang-
gapnya terlalu ketus dan tinggi hati. Kalau saja
tadi dikeluarkannya seluruh kekuatan 'Tenaga
Beruang Merah', pastilah tubuh gadis itu hancur
berantakan terkena lima larik sinar merah yang
bisa menjerat dan menjepit puluhan kali lipat ke-
kuatan jepitan gajah.
"Hei! Kenapa kau diam saja?!" tegur gadis
bertubuh langsing. "Kau belum menjawab perta-
nyaanku! Siapa kau? Dan, ilmu apa yang baru
kau tunjukkan tadi?"
Pendekar Bodoh cengar-cengir sejenak. Se-
telah menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia
berkata. Tak ada yang istimewa tentang diriku.
Aku bernama Seno Prasetyo. Namun jangan he-
ran kalau suatu saat nanti Nona mendengar aku
dipanggil orang Pendekar Bodoh...."
"Pendekar Bodoh?"
"Ya. Aneh bukan? Tapi begitulah orang
memberi julukan kepadaku. Aku pun tak bisa
menolaknya...."
"Sudah! Sudah!" sela si gadis. "Aku tak
kenal siapa kau. Tak ada pula yang menarik ten-
tang dirimu! Namun, kau harus mengatakan den-
gan jujur, ilmu apa yang baru kau gunakan un-
tuk menarik tubuhku tadi!"
"Ah!" desah Seno, menahan rasa hatinya
yang tiba-tiba jadi amat jengkel. "Kau bertanya
seperti pada pesakitan. Aku orang bebas merdeka
yang tak terikat atau diperbudak oleh siapa
pun...."
"Huh! Siapa bilang?! Apakah otakmu begitu
tolol sehingga kau tidak tahu bila dirimu berada
di Tanah Dipertuan Ratu? Siapa pun atau apa
pun yang masuk ke tempat ini menjadi milik Bi-
dadari Satu Hati. Hewan ataupun manusia yang
berada di tempat ini jadi tak bebas lagi. Mereka
harus menuruti segala keinginan Bidadari Satu
Hati. Termasuk kau, Pendekar Bodoh! Oleh kare-
nanya, kau tak punya kebebasan lagi sebelum Bi-
dadari Satu Hati membebaskanmu. Kau harus
tunduk dan patuh pada aturan yang telah dibuat
oleh Bidadari Satu Hati. Karena itulah kau harus
menjawab pertanyaanku dengan jujur, agar nanti
kau tak dijatuhi hukuman mati!"
Seno hendak tertawa mendengar keteran-
gan gadis bertubuh langsing. Namun karena tak
mau menyinggung perasaan orang, cepat dita-
hannya keinginan tertawa itu.
"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pen-
dekar Bodoh yang tak mampu menahan rasa he
rannya. "Siapa itu Bidadari Satu Hati? Kenapa dia
membuat aturan sepihak seperti ini?"
"Dia ibuku," jawab gadis bertubuh langs-
ing, singkat namun amat ketus.
"Ibumu? Lalu, kau sendiri siapa?"
"Aku?"
"Ya."
Mendadak, gadis bertubuh langsing tersipu
malu. Pipinya langsung merona merah. Seno tak
bisa menebak ada apa di balik sikap gadis berpa-
kaian putih-biru itu. Namun, dia bisa memasti-
kan bila si gadis amatlah kurang pergaulan, atau
paling tidak, jarang sekali bertemu dengan seo-
rang pria. Sehingga, dia jadi begitu canggung ke-
tika ada pria yang menanyakan siapa dirinya.
Tanpa sadar, Pendekar Bodoh menghu-
bung-hubungkan keberadaan gadis berpakaian
putih-biru itu dengan Putri Hati Lurus. Mereka
sama-sama cantik namun mau saja tinggal di
tempat yang amat jarang dijamah manusia. Apa-
kah di antara keduanya memang ada hubungan?
Apakah keduanya dihubungkan oleh panji-panji
Perkumpulan Beruang Merah yang begitu banyak
menyimpan rahasia?
"Hei! Hei!" bentak si gadis tiba-tiba, mem-
buat Pendekar Bodoh menggerigap kaget. "Kau di-
tanya malah balik bertanya. Hayo! Katakan Ilmu
apa yang baru kau tunjukkan tadi!"
"Hmmm.... Yah! Kalau kujawab, sudilah
kau menyebutkan namamu, Nona...," sahut Seno,
tak sadar berkata nakal. Namun, si gadis tak me
rasa. Wajahnya malah berubah tak seketus tadi.
"Boleh. Tapi, kau jangan menipu! Aku
khawatir Ibuku akan membunuhmu...," desis ga-
dis yang tiba-tiba sikapnya berubah penuh kek-
hawatiran itu, pelan sekali.
Tersenyum senang Pendekar Bodoh. Lalu
katanya, "Aku tadi menarik tubuhmu dengan
'Tenaga Beruang Merah'...."
Tapi tiba-tiba....
"Benar dugaanku! Orang yang dapat men-
guasai 'Tenaga Beruang Merah' kalau tidak sang
ketua, pastilah orang jahat yang layak dienyah-
kan dari muka bumi!"
Tersurut mundur Pendekar Bodoh men-
dengar suara keras menyiratkan ancaman itu.
Apalagi setelah muncul sesosok bayangan hitam
di hadapannya!
"Si... siapa kau?" kejut Pendekar Bodoh.
DUA
SOSOK orang yang baru datang itu berdiri
garang di atas tonjolan batu. Tubuhnya padat be-
risi, terbungkus pakaian ketat serba hitam. Sorot
matanya tajam berkilat, membuat hati Pendekar
Bodoh jadi berdebar-debar.
Dia seorang wanita berusia tiga puluh ta-
hun. Berkulit putih bersih dan berparas cantik
menawan. Garis-garis wajahnya amat mirip den-
gan gadis bertubuh langsing yang berdiri tak jauh
dari hadapan Pendekar Bodoh. Karena kemiripan
itulah Pendekar Bodoh bisa memastikan bila si
wanita berpakaian serba hitam adalah Bidadari
Satu Hati, yang tak lain ibu si gadis.
Hanya sayangnya, di balik kecantikan wa-
nita yang memang Bidadari Satu Hati itu, tatapan
matanya menyiratkan rasa tak suka terhadap
Pendekar Bodoh. Oleh sebab apa? Hal itulah yang
membuat hati si pemuda jadi bertanya-tanya.
Hal itu pula yang memaksa Pendekar Bo-
doh untuk bersikap waspada. Bukankah kemun-
culan Bidadari Satu Hati tadi dibarengi kata-kata
ancaman? Bahkan, ancaman berdarah!
Seno tak berani memandang remeh. Ketika
sosok bayangan Bidadari Satu Hati berkelebat da-
tang, si pemuda dapat melihat daun yang bergu-
guran akibat terhempas tiupan angin yang ditim-
bulkan oleh kelebatan tubuh wanita itu. Malah,
Seno sempat tersurut mundur selangkah, karena
kelebatan tubuh wanita yang menyelipkan seba-
tang pedang di punggung itu juga menimbulkan
tenaga dorong yang cukup kuat.
"Kusuma Suci!" seru Bidadari Satu Hati
kepada putrinya, si gadis bertubuh langsing. "Da-
ri mana datangnya pemuda liar itu? Apa dia tidak
tahu kalau tempat ini terlarang dimasuki orang
luar?"
Dengan perasaan takut-takut, gadis berpa-
kaian putih-biru yang dipanggil Kusuma Suci ber-
jalan mendekati Bidadari Satu Hati. Namun, ke-
pala si gadis terus tertunduk. Tak satu patah kata
pun yang dapat diucapkannya.
"Kenapa kau diam saja, Kusuma?!" bentak
Bidadari Satu Hati dengan air muka merah-
padam. "Tak mungkin dia pemimpin kita. Patut-
lah dicurigai bagaimana dan dari mana dia bisa
menguasai 'Tenaga Beruang Merah'. Kenapa dia
tak langsung kau bunuh saja?"
Terperanjat Pendekar Bodoh mendengar
kata-kata ketus wanita yang rambutnya digelung
ke atas itu. Si wanita mengucap kata 'bunuh' be-
gitu ringan tanpa beban apa-apa. Sepertinya, dia
memang telah terbiasa membunuh sesama ma-
nusia. Atau paling tidak, dia telah terbiasa me-
nyuruh atau memerintah putrinya untuk mem-
bunuh siapa saja yang berani masuk ke Tanah
Dipertuan Ratu, yang dianggap sebagai tanah mi-
liknya.
"Dia mengaku bernama Seno Prasetyo dan
bergelar Pendekar Bodoh...," ujar Kusuma Suci
kemudian, masih takut-takut. "Tapi tampaknya...,
dia bukan orang jahat, Bu. Untuk apa aku mem-
bunuhnya"
Mendengus gusar Bidadari Satu Hati. Dita-
tapnya tajam-tajam sosok Kusuma Suci yang ber-
diri menundukkan kepala.
Sifat galak dan ketus Kusuma Suci yang
tadi ditunjukkan pada Seno kini tak berbekas
sama sekali. Kedatangan Bidadari Satu Hati sea-
kan telah mengubah sifatnya menjadi seorang ga-
dis yang amat penakut.
"Sudah berkali-kali kubilang, hati yang le
mah bisa membuat malapetaka!" sembur Bidadari
Satu Hati yang tampaknya amat keras kepala dan
sering memaksakan kehendak. "Hati-hatilah ter-
hadap orang yang kelihatan baik. Di dunia ini ba-
nyak serigala berbulu domba. Kalau tak ingin di-
cabik-cabik binatang buas itu, jangan cuma
menggunakan pandangan mata untuk menilai
orang!"
Pendekar Bodoh hanya diam cengar-cengir.
Pemuda remaja bertubuh tinggi tegap itu
berusaha menekan perasaannya yang tersing-
gung. Kata-kata Bidadari Satu Hati memang se-
makin pedas didengar telinga. Dia berkata seakan
telah dapat membuktikan bila Pendekar Bodoh
benar-benar orang jahat yang patut dienyahkan.
Dan..., melonjak kagetlah Seno manakala
Bidadari Satu Hati melompat mendekatinya. Na-
mun, bukan karena gerak lompatan wanita ber-
pakaian ketat serba hitam itu yang membuat Se-
no mendelikkan mata. Sambil melompat, ternyata
Bidadari Satu Hati menyorongkan telapak tangan
kanannya yang telah teraliri tenaga dalam. Hing-
ga, satu gelombang angin pukulan ganas meluruk
deras ke arah Seno!
"Hih...!"
WUSSS...!
Sementara Seno masih bingung memikir-
kan tindakan apa yang harus diperbuatnya, alam
bawah sadar si pemuda bekerja lebih cepat. Tan-
pa disadari oleh Seno sendiri, kekuatan tenaga
dalamnya mengalir ke seluruh tubuhnya. Hingga,
tubuh si pemuda jadi dibentengi oleh ilmu kebal-
nya yang bernama, 'Perisai Dewa Badai'. Dan tan-
pa disadari pula, kedua telapak tangannya te-
rangkat untuk melindungi dada. Sampai kemu-
dian....
Blarrr...!
Sebuah ledakan cukup keras menggelegar
di angkasa. Debu mengepul tebal. Bongkahan ba-
tu bercampur kerikil! beterbangan, dan tentu saja
menutupi pandangan beberapa lama.
Bidadari Satu Hati terkejut bukan alang-
kepalang. Lebih dari separo umurnya dia guna-
kan untuk melatih kekuatan tenaga dalam. Dan
karena tekunnya berlatih, tenaga dalamnya tentu
telah meningkat sedemikian tinggi. Tapi waktu ge-
lombang angin pukulannya membentur telapak
tangan Pendekar Bodoh tadi, kenapa tak beraki-
bat buruk pada si pemuda? Tubuh Bidadari Satu
Hati sendiri malah terpental sejauh lima tombak!
Namun sesungguhnya, pukulan jarak jauh
Bidadari Satu Hati tadi bukan tidak berpengaruh
apa-apa terhadap Seno. Si pemuda sempat mera-
sakan isi dadanya bergetar, membuat jalan na-
fasnya buntu dan terasa amat sesak. Dan karena
pandangannya turut mengabur, tanpa sadar ka-
kinya tersurut mundur tiga langkah.
Sementara, Kusuma Suci yang menyaksi-
kan peristiwa mendebarkan itu memekik khawa-
tir. Namun, tak jelas kepada siapa kekhawatiran-
nya itu ditujukan.
Kepada Bidadari Satu Hati ibunya atau ke
pada Pendekar Bodoh? Kalau kekhawatirannya
ditujukan kepada sang ibu, kenapa tatapan gadis
itu terus tertuju ke sosok Pendekar Bodoh?
"Kurang ajar! Berani masuk ke Tanah Di-
pertuan Ratu kiranya kau sengaja hendak pamer
kekuatan!" geram Bidadari Satu Hati. "Tapi keta-
huilah, selama aku berdiam di tempat ini, tak ada
satu pun manusia yang mampu menahan puku-
lanku. Kalau memang kau punya kekuatan hebat,
cobalah kau tunjukkan sekali lagi!"
Memucat wajah Kusuma Suci seketika.
Bidadari Satu Hati tampak melompat lagi
dan melancarkan pukulan jarak jauh untuk ke-
dua kalinya. Kusuma Suci hendak berteriak men-
cegah. Namun, mulutnya terasa terkunci rapat.
Untuk apa dia membela Pendekar Bodoh? Bu-
kankah dia belum mengenal pemuda itu? Siapa
tahu si pemuda memang orang jahat? Pendekar
Bodoh bisa menguasai 'Tenaga Beruang Merah'.
Sementara, Pendekar Bodoh nyata-nyata
bukan ketua perkumpulan itu. Kalau begitu, si
pemuda mendapatkan ilmunya itu dari mencuri!
Tapi..., benarkah demikian?
Kenapa Kusuma Suci amat tak menyukai
tindakan ibunya yang menyerang Pendekar Bo-
doh? Mungkinkah ada satu alasan lain yang be-
rada di luar jangkauan akal pikirannya? Alasan
apakah itu? Kusuma Suci pun tak tahu rasa ha-
tinya sendiri. Dia cuma dapat berdiri terpaku ke-
tika satu gelombang angin pukulan yang lebih
ganas meluruk deras ke arah Pendekar Bodoh.
Kali ini Pendekar Bodoh dapat membaca
keadaan. Dengan kesadaran penuh, dia kelua-
rkan ilmu 'Perisai Dewa Badai'. Sambil memasang
kuda-kuda, dia jajarkan kedua telapak tangannya
di depan dada.
Rupanya, murid Dewa Dungu itu tidak
bermaksud membalas serangan Bidadari Satu
Hati dengan serangan pula. Si pemuda hanya
bermaksud menadahi pukulan jarak jauh yang
tertuju tepat ke dadanya, walau sebenarnya hal
itu amatlah berbahaya.
Gebrakan pertama yang sempat melontar-
kan tubuh Bidadari Satu Hati tadi, belum dapat
dijadikan ukuran bila tenaga dalam wanita itu ka-
lah tinggi.
Namun tampaknya, Pendekar Bodoh me-
mang tidak sebodoh yang dikira orang. Meskipun
perbuatannya terlihat asal-asalan, ternyata ketika
bentrokan dua kekuatan tenaga dalam terjadi la-
gi, tubuh Bidadari Satu Hati tampak terpental
kembali. Bahkan, kali ini mencelat lebih jauh dan
hampir saja membuat wanita itu jatuh terbanting
kalau saja dia tidak mempunyai ilmu peringan
tubuh yang cukup hebat.
Keadaan Pendekar Bodoh sama seperti ta-
di. Gelombang angin pukulan Bidadari Satu Hati
hanya membuat tubuhnya tersurut mundur tiga
langkah tanpa menderita luka dalam sedikit pun!
"Jahanam!" dengus Bidadari Satu Hati
sambil menahan rasa sesak di dadanya. "Wajah-
mu tampak begitu tolol. Tapi ternyata, kau mempunyai kepandaian hebat. Namun..., siapa pun
yang masuk ke Tanah Dipertuan Ratu tanpa izin
hanya akan menerima satu akibat. Mati! Jika be-
runtung, kau bisa pergi dari tempat ini dengan
selamat. Tapi, kau harus melangkahi mayatku
dulu!"
"Tunggu!" seru Seno ketika melihat Bidada-
ri Satu Hati hendak menerjangnya. "Aku tak sen-
gaja masuk ke tempat ini. Kenapa aku mesti di-
hukum mati? Kalaupun tempat ini milikmu, apa-
kah kau punya sifat yang begitu kejamnya se-
hingga kali hendak membunuh orang tanpa
mempertimbangkan kesalahan orang itu lebih du-
lu?"
Seno berucap dengan raut wajah kebodoh-
bodohan seperti wajah seorang bayi yang tak ber-
dosa. Rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya
terdengar datar tanpa tekanan. Sepertinya, dia
mengatakan kalimat yang telah dihafalkan sebe-
lumnya.
Namun, sifat lugu yang ditunjukkan pe-
muda remaja itu malah membuat Bidadari Satu
Hati menggereng marah. Dengan sinar mata ber-
kilat, dia berkata....
"Soal kelancanganmu masuk ke Tanah Di-
pertuan Ratu ini mungkin aku masih bisa me-
maafkan. Tapi soal ilmu menghimpun tenaga da-
lam bernama 'Tenaga Beruang Merah' yang baru
beberapa saat kau tunjukkan tadi, mana mung-
kin aku mau membiarkanmu keluar dalam kea-
daan hidup? Kau pasti kaki tangan Iblis Pemburu
Dosa yang telah berhasil mencuri ilmu kesaktian
sang ketua! Oleh karena itu, bersiap-siaplah un-
tuk mengadu nyawa denganku!"
"Eh! Eh!" kesiap Seno. "Mana bisa begitu?
Aku bukan kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa...."
"Cukup! Kau tak berhak berkata-kata lagi!"
sergap Bidadari Satu Hati. "Siapkan saja ilmu ke-
saktianmu yang terhebat, agar tak menyesal kau
nantinya jika harus melepas nyawa di tempat ini!
Namun sebelum bertempur, harap kau tahu,
orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Satu
Hati karena hati dan jiwaku memang hanya un-
tuk kebesaran panji-panji Perkumpulan Beruang
Merah. Apa pun yang kulakukan, hanyalah untuk
kebesaran perkumpulan. Karena aku mencuri-
gaimu sebagai kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa
yang nyata-nyata musuh besar perkumpulan,
maka wajiblah aku membunuhmu!"
Usai berkata, wanita berkulit putih bersih
itu menghunus pedang besar yang terselip di
punggungnya. Keluarnya bilah pedang dari sa-
rungnya membersitkan suara berdesing yang me-
nyakitkan gendang telinga.
Wajah Kusuma Suci tambah memucat. Si
gadis tahu benar tabiat Ibunya. Kalau Bidadari
Satu Hati telah menghunus pedangnya, pantang
disarungkan lagi sebelum dibasahi cairan darah
segar!
Sementara, Pendekar Bodoh pun tak punya
pilihan lain kecuali harus melayani tantangan Bi-
dadari Satu Hati. Sebenarnya, dia hendak memberi penjelasan perihal 'Tenaga Beruang Merah'-
nya yang didapat dari kitab warisan Salya Tirta
Raharja. Namun melihat Bidadari Satu Hati yang
begitu keras kepala dan cenderung memaksakan
kehendak, lidah si pemuda jadi kelu. Hanya be-
naknya yang terus dibanjiri berbagai tanda tanya.
Menilik dari kata-kata Bidadari Satu Hati
tadi, jelas menunjukkan bila wanita itu merupa-
kan anggota Perkumpulan Beruang Merah. Lalu,
adakah hubungan antara Bidadari Satu Hati den-
gan Dewi Cinta Kasih dan Putri Hati Lurus yang
pernah dijumpai Seno belum lama ini? Kalau
memang mereka punya hubungan, benarkah Per-
kumpulan Beruang Merah benar-benar ada? Dan,
bagaimana dengan wasiat Salya Tirta Raharja
yang mengangkat Seno sebagai ketua perkumpu-
lan itu?
Seno nyengir kuda.
Melihat kelebatan sinar pedang yang diba-
rengi suara gemuruh keras, tanpa pikir panjang
lagi pemuda lugu itu meloloskan Tongkat Dewa
Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Namun,
dapatkah dia bertahan dari gempuran Bidadari
Satu Hati tanpa melukai wanita itu?
TIGA
KITA berhenti dulu! Ada orang usil mengi-
kuti kita!" seru seorang nenek berpakaian putih
penuh tambalan, seraya menghentikan kelebatan
tubuhnya.
Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang
berkelebat di belakang bayangan nenek berkulit
putih itu langsung menghentikan kelebatan tu-
buhnya pula. Kening si gadis kontan berkerut ra-
pat. Kalau benar apa yang dikatakan si nenek,
kenapa telinganya tak menangkap suara-suara
yang mencurigakan?
"Aku tak mendengar apa-apa, Nek,..," cetus
gadis bertubuh tinggi semampai yang mengena-
kan pakaian putih berkembang-kembang.
Paras gadis itu cantik sekali. Rambutnya
yang hitam panjang diikat dengan ikatan berupa
penjepit emas, sebagian dibiarkan tergerai ke ba-
hu. Kecantikan si gadis semakin terpancar karena
dia memiliki bola mata yang bening dan bersinar
bak bintang kejora.
Menilik garis-garis wajahnya, dapat dipas-
tikan bila dia tak lain si Putri Hati Lurus; Sekar
Telasih. Dan, nenek berusia delapan puluh tahun
yang berada di dekatnya adalah si Dewi Cinta Ka-
sih; Kembang Andini.
"Diamlah! Aku juga tak mendengar apa-
apa. Tapi, perasaanku mengatakan bila ada orang
yang mengikuti langkah kita! Aku mencium aro-
ma harum kayu cendana yang terasa aneh...,"
ujar si nenek, menyalip ucapan cucunya. "Aku
sangat yakin, orang yang menguntit kita itu
mempunyai ilmu peringan tubuh hebat sekali.
Waspadalah! Kalau tidak bermaksud buruk untuk
apa dia berbuat sembunyi-sembunyi seperti ini?"
Nenek yang wajahnya menyiratkan sejuta
duka itu diam terpaku dalam kewaspadaan pe-
nuh. Tatapan matanya berubah tajam menusuk,
menyisiri setiap jengkal tempat di antara jajaran
pohon yang dikelilingi semak-belukar. Dilihatnya
pula bongkah-bongkah batu besar yang bisa dija-
dikan tempat untuk persembunyian. Namun,
hanya kekecewaan yang didapat. Tak seorang pun
manusia yang tampak kecuali dirinya sendiri ber-
sama Sekar Telasih.
Selagi Kembang Andini menggerutu pan-
jang-pendek menumpahkan kekesalan hatinya,
Sekar Telasih berjalan mondar-mandir. Si gadis
berusaha mencari lebih cermat. Namun, seperti
yang didapat Kembang Andini, hanya kekecewaan
pula yang diperolehnya.
Mendadak, hati Sekar Telasih berdebar
kencang. Indera penciumannya menangkap aro-
ma harum kayu cendana seperti yang dikatakan
Kembang Andini tadi. Mungkinkah aroma harum
itu menebar dari wangi-wangian yang dipakai si
penguntit?
Dengan sedikit memalingkan muka ke kiri,
Sekar Telasih menajamkan indera pendengaran-
nya, karena indera penglihatannya tak dapat di-
andalkan lagi. Namun ketika melihat puncak Gu-
nung Lawu yang tersaput mega, debar-debar hati
gadis cantik itu menghilang perlahan. Malah, dia
berdiri terpaku sampai beberapa lama untuk me-
nikmati pemandangan indah yang menyejukkan
matanya.
Selama tinggal bersama Kembang Andini di
dalam sebuah hutan lebat, nyaris tak pernah Se-
kar Telasih melihat wujud gunung. Yang dilihat-
nya sehari-hari hanyalah jajaran pohon dan se-
mak-belukar. Oleh karenanya, tak bosan si gadis
menatap puncak Gunung Lawu yang berada di
sebelah timur tempatnya berdiri.
Akan tetapi, gadis bertubuh tinggi semam-
pai itu segera dikejutkan oleh suara teriakan ne-
neknya. Tanpa sadar, dia cekal erat-erat senjata
berupa alat musik kecapi di tangannya.
"Kalau melihat bahaya, kura-kura senan-
tiasa menyembunyikan kepalanya. Kalau kau tak
mau dikatakan bernyali kura-kura, kenapa mesti
menyembunyikan diri? Apakah kau melihat ba-
haya yang begitu menakutkanmu, Orang Usil?"
Di ujung kalimat Dewi Cinta Kasih itu,
mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
Dewi Cinta Kasih dan Putri Hati Lurus langsung
mengarahkan pandangan ke asal suara. Dan ter-
peranjatlah mereka...
Di atas sebatang pohon tinggi menjulang
terlihatlah seorang kakek berpakaian kumal kela-
bu yang tengah duduk bersila. Rambutnya putih
panjang, digelung ke atas dan dilingkari sebuah
gelang perak. Raut wajahnya mencerminkan sifat
welas asih dan kehalusan budi. Hanya saja, tata-
pan matanya tampak kosong seperti orang bero-
tak bebal.
Hebatnya, kakek bertubuh kurus-kering
itu duduk di atas rangkaian daun yang paling
ujung! Tangkai daun yang diduduki si kakek ti-
dak melengkung ataupun patah. Padahal, meski
kurus-kering, tubuh si kakek pastilah tidak se-
ringan kapas!
"He he he...," tawa kekeh kakek yang tam-
pak sudah sangat uzur itu. "Jangan keburu naik
pitam, kau nenek yang di bawah sana. Mataku
sudah amat lamur. Terpaksa aku berlaku seperti
ini karena aku ingin membuktikan dugaanku.
Aku baru keluar dari tempat pengasinganku.
Apakah kau salah seorang sahabatku yang ber-
nama Kembang Andini alias Dewi Cinta Kasih?"
Di ujung kalimatnya, kakek berpakaian
kumal membiarkan tubuhnya menggelosoh jatuh.
Namun, gerak turunnya ringan sekali, dan men-
darat di tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun meski meluncur dari ketinggian sepuluh
tombak lebih!
Kembang Andini mengerutkan kening.
Nenek berkulit putih itu memutar daya in-
gatnya. Sepertinya, dia juga mengenali kakek ber-
pakaian kumal yang telah berdiri dua tombak dari
hadapannya. Tapi siapa?
Melihat si kakek yang berdiri sambil meng-
garuk-garuk kepala, mendadak Kembang Andini
tersenyum simpul. Ya! Dia memang pernah men-
genal kakek bertubuh kurus-kering itu. Tapi sia-
pa? Kembali Andini jadi lupa-lupa ingat.
Namun ketika Kembang Andini mencium
lagi aroma harum kayu cendana yang menebar
dari baju kumal si kakek, mendadak dia melonjak
girang seraya berseru, "Kau...! Kau...! Bukankah
kau Dewa Dungu...?"
"He he he...," kakek berpakaian kumal yang
memang Dewa Dungu tertawa terkekeh lagi. Kali
ini tangan kanannya bergerak menggaplok-gaplok
kepalanya sendiri. "Tepat apa yang kau katakan.
Aku memang Dewa Dungu. Namun, jangan biar-
kan aku termakan rasa penasaran. Cepatlah kau
katakan, benarkah kau Kembang Andini yang
bergelar Dewi Cinta Kasih?"
"Heran aku...," desis Kembang Andini. "Ka-
lau benar kau Dewa Dungu, kenapa kau bisa ber-
diri tegak seperti itu? Bukankah kedua kakimu
telah dibuat lumpuh murid murtadmu si Setan
Selaksa Wajah; Mahisa Lodra?"
Dewa Dungu menggaplok kepalanya lebih
keras sampai tubuhnya oleng ke kiri. Seperti
orang menggerutu, dia berkata, "Kejadian itu su-
dah lama sekali. Selagi manusia masih punya
nyawa, wajiblah berusaha. Untung juga Yang Ku-
asa memberi berkah. Aku dapat menyatukan lagi
kekuatan tubuhku, hingga penyembuhan kakiku
yang lumpuh. Tapi..., hei! hei! Kau jangan terus
bertanya! Katakan dulu, benarkah kau Kembang
Andini?"
"Kau kok ngotot betul, Kakak Buruk Rupa!
Kalau benar nenekku adalah Kembang Andini
yang bergelar Dewi Cinta Kasih, kau mau apa?!"
sentak Putri Hati Lurus yang tiba-tiba merasa
jengkel melihat ulah Dewa Dungu yang mirip
orang tak waras.
Andai gadis berpakaian putih berkembang-
kembang itu tahu siapa Dewa Dungu sebenarnya,
pastilah dia tak akan mengucapkan kata-kata ka-
sar. Jauh hari sebelum Putri Hati Lurus lahir,
Dewa Dungu sudah malang-melintang di rimba
persilatan yang sulit dicari tandingannya. Orang-
orang menjulukinya Dewa Dungu hanya karena si
kakek punya sifat pelupa dan tatapan matanya
pun senantiasa kosong seperti orang berotak beb-
al. Kenyataannya, tentu saja Dewa Dungu tidak-
lah berotak dungu.
Ketika menemukan Kitab Sanggalangit
yang terdiri lima bagian, Dewa Dungu menga-
singkan diri di salah satu lembah Gunung Lawu
bersama muridnya yang bernama Mahisa Lodra.
Sayang, Dewa Dungu kurang jeli dalam memilih
murid. Mahisa Lodra ternyata punya sifat licik
dan jahat. Setelah mencuri dua bagian Kitab
Sanggalangit, Mahisa Lodra tega membuat lum-
puh sepasang kaki gurunya dengan mengguna-
kan ilmu totokan. Ketika itu Dewa Dungu sedang
melakukan semadi dan tak pernah menyangka bi-
la muridnya akan bertindak murtad, sehingga
dengan mudah dia dijatuhi totokan yang mem-
buat jalan darahnya 'salah api'.
Selama tiga puluh tahun hidup di lembah
Gunung Lawu yang sepi dalam keadaan lumpuh,
Dewa Dungu menemukan tubuh seorang bocah
berumur dua belas tahun yang baru jatuh dari
bibir jurang. Bocah lelaki yang tak lain Seno Pra-
setyo itu lalu diangkat sebagai murid. Setelah di
gembleng selama lima tahun, si bocah tumbuh
menjadi seorang pemuda berkepandaian tinggi.
Dan ketika diperintah untuk terjun ke rimba per-
silatan, murid Dewa Dungu itu akhirnya menda-
pat julukan Pendekar Bodoh. Dan dalam pengem-
baraannya, Pendekar Bodoh berhasil melaksana-
kan amanat gurunya untuk menghukum mati si
murid murtad Mahisa Lodra. (Agar lebih jelas, ba-
ca serial Pendekar Bodoh episode: "Tongkat Dewa
Badai" sampai "Pusaka Pedang Naga", terdiri dari
delapan episode).
Sementara, sepeninggal Seno Prasetyo,
Dewa Dungu terus melatih menghimpun kembali
inti kekuatan tubuhnya yang dibuat kacau oleh
totokan Mahisa Lodra. Berkat kemauan keras
yang tak mengenal lelah, akhirnya sepasang kaki
Dewa Dungu yang lumpuh dapat bekerja normal
kembali. Dan kini, dia keluar dari lembah Gu-
nung Lawu tempat tinggalnya hanya dengan satu
tujuan, yaitu mencari kabar berita perihal murid-
nya si Pendekar Bodoh; Seno Prasetyo.
Namun belum seberapa jauh melakukan
perjalanan, Dewa Dungu melihat kelebatan tubuh
Kembang Andini bersama cucunya. Meski Kem-
bang Andini berkelebat cepat sekali, Dewa Dungu
masih dapat melihat jelas bagaimana raut wajah
si nenek. Sehingga, Dewa Dungu terus menguntit
untuk membuktikan kebenaran penglihatannya
sendiri.
"He he he...," si kakek malah tertawa terke-
keh-kekeh mendengar kata-kata kasar Sekar Telasih. "Walau mataku sudah kabur, aku masih bi-
sa melihat bila kau memiliki tulang bagus. Kau
amat berbakat mendalami ilmu silat. Terima ka-
sih. Terima kasih. Bolehlah kau punya sifat ketus
karena kau memang punya kepandaian yang cu-
kup bisa diandalkan. Terima kasih. Terima kasih.
Kau telah mengatakan bila nenek itu memang
Kembang Andini. Hmmm.... Terima kasih sekali....
Jadi, pandangan mataku masih dapat diper-
caya...."
Sambil tertawa terkekeh, kakek yang ba-
junya senantiasa menebarkan aroma harum kayu
cendana itu melangkah mendekati Dewi Cinta Ka-
sih. Sinar matanya tampak berbinar-binar. Per-
jumpaannya dengan Dewi Cinta Kasih memang
amat menggembirakan hati si kakek.
"Maaf, aku harus segera pergi...," ujar
Kembang Andini tiba-tiba, seakan tak suka meli-
hat kehadiran Dewa Dungu.
"Eh! Eh! Kau kenapa, Andini?" kesiap Dewa
Dungu, tatapan matanya berubah kosong lagi.
"Lebih dari empat puluh tahun lalu, bukankah ki-
ta saling bersahabat? Apakah usia tua mem-
buatmu lupa pada persahabatan kita? Atau
mungkin..., kau telah berubah sifat...?"
"Nenekku bukan orang yang mudah melu-
pakan tali persahabatan!" sahut Sekar Telasih,
ketus. "Aku dan nenekku punya satu urusan
panting. Mana sempat bertatap muka lama-lama
danganmu, Kakek Jelek!"
"Hus!" sergah Kembang Andini, menegur.
Nenek berpakaian putih penuh tambalan
itu merasa tak enak hati mendengar ucapan cu-
cunya. Sikap dan tindak-tanduk Dewa Dungu
memang tampak amat menyebalkan, tapi tidak
pada tempatnya bila Sekar Telasih berkata kasar
kepada si kakek. Namun, Kembang Andini pun
jadi maklum. Sekar Telasih memang jarang sekali
bersikap ramah terhadap orang yang belum dike-
nalnya.
"He he he...," tawa kakek Dewa Dungu un-
tuk kesekian kalinya. "Kau menyebut Kembang
Andini 'nenek', apa kau cucunya? Ya! Ya! Kau
memang pantas jadi cucunya. Garis-garis wajah-
mu sama. Sifatmu pun sama. Sewaktu muda, ne-
nekmu itu juga galak sepertimu! He he he...."
"Ah! Maafkan aku, Turangga...," sahut
Kembang Andini, menyebut nama kecil Dewa
Dungu. "Aku memang punya urusan penting. Aku
tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Hanya sa-
ja, kau mesti tahu. Aku senang melihat kau da-
lam keadaan segar-bugar seperti itu. Tapi, kita
harus berpisah lagi. Kalau umur sama panjang,
dapatlah nanti kita membuat pertemuan lagi...!"
Di ujung kalimatnya, nenek itu menggamit
lengan Sekar Telasih untuk diajak pergi. Namun
sebelum mereka berkelebat lenyap, Dewa Dungu
berteriak mencegah.
"Tunggu...!"
Seruan itu keras menggelegar karena tanpa
sadar Dewa Dungu mengaliri getaran suaranya
dengan tenaga dalam. Namun, Dewi Cinta Kasih
tetap meneruskan niatnya untuk berlalu dari ha-
dapan si kakek. Tubuh ramping Sekar Telasih se-
dikit diangkatnya, mengajak si gadis agar cepat-
cepat berlari dengan menggunakan ilmu lari ce-
pat.
"Hei! Hei! Tunggu...!"
Dewa Dungu berteriak lagi. Kali ini seruan
si kakek dibarengi kelebatan tubuhnya, mengha-
dang langkah Kembang Andini dan Sekar Telasih.
Begitu kaki Dewa Dungu mendarat di tanah,
aroma harum kayu cendana semakin tercium di
mana-mana.
"Kita sama-sama sudah bau tanah. Sebe-
lum tubuh kita sama-sama jadi santapan rayap
dan cacing, kenapa mesti menambah dosa dengan
menambah-nambah perkara dunia?" ujar Dewi
Cinta Kasih, menahan jengkel.
Dewa Dungu menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal. Mendadak, bola matanya membe-
sar. Lalu....
Plok! Plok!
Dua kali kakek berbaju kumal namun se-
nantiasa menebarkan aroma harum kayu cenda-
na itu menggaplok kepalanya sendiri. Seperti
orang kebingungan, dia berkata, "Uh! Aku bukan
hendak menambah dosa ataupun membuat per-
kara denganmu, Andini. Aku hanya ingin ber-
tanya sesuatu kepadamu. Tapi... "
Plok! Plok!
Menggelikan sekali kelakuan kakek bertu-
buh kurus-kering itu. Kepalanya digaplok lagi dua
kali. Karena cukup banyak mengeluarkan tenaga,
tubuh si kakek sampai oleng dan terhuyung-
huyung. Dan begitu dapat berdiri tegak lagi, dia
cuma cengar-cengir tanpa jelas apa maknanya.
Sekar Telasih yang tak suka melihat tam-
pang Dewa Dungu mendadak tertawa cekikikan.
Ulah si kakek mirip badut yang tengah memper-
tunjukkan sebuah lelucon. Namun, Kembang An-
dini yang sudah tahu sifat dan tabiat Dewa Dun-
gu cuma tersenyum simpul.
"Agaknya, penyakit lamamu makin parah,
Turangga...," ujar si nenek. "Bila lupa pada sesua-
tu, dari dulu kau selalu menggaplok-gaplok kepa-
lamu sendiri. Apakah gerangan sebenarnya yang
hendak kau sampaikan kepadaku?"
Suara Kembang Andini terdengar lebih
lembut. Melihat ulah Dewa Dungu tadi, menda-
dak timbul rasa kasihan di hatinya. Si nenek da-
pat menduga bila Dewa Dungu memang punya
sesuatu yang akan disampaikan kepadanya. Tapi
karena Dewa Dungu amat pelupa, si kakek sam-
pai menggaplok-gaplok kepalanya sendiri.
"Uh! Ya! Ya! Kau benar!" seru Dewa Dungu
kemudian. "Tapi..., aku bukan hendak menyam-
paikan sesuatu. Aku hendak bertanya. Eh! Eh!
Aku lupa apa yang akan kutanyakan...."
Tersenyum lagi Kembang Andini. Lalu ka-
tanya, "Untuk mengingat-ingat kau tentu butuh
waktu. Sementara, aku juga mengejar waktu. Ti-
dakkah kau bisa menanyakan hal itu di lain wak-
tu saja?"
"Ah! Tidak! Tidak!" tolak Dewa Dungu. "Aku
harus menanyakannya sekarang. Biar kakiku
punya arah untuk berjalan. Tapi.... Oh! Oh! Ya!
Aku ingat sekarang...."
Mendadak, kakek yang tampak seperti
orang tak waras itu melonjak-lonjak kegirangan.
Mulutnya bersenandung. Tapi, suara yang ter-
dengar malah mirip dengungan sekelompok lebah.
"Turangga!" sentak Kembang Andini, jadi
ketus lagi. "Kalau sudah ingat, kenapa tidak sege-
ra kau tanyakan? Jangan buat aku naik pitam
karena ulah konyolmu itu!"
"Sebal!" tambah Sekar Telasih. "Biar kuha-
jar saja kakek edan itu, Nek!"
"He he he...," Dewa Dungu tertawa terke-
keh-kekeh. "Kau mau menghajarku, Anak Manis?
Boleh! Boleh! Tapi lain waktu saja. Aku hendak
bertanya kepada nenekmu itu. Aku juga dikejar
waktu! He he he...."
Setelah cengar-cengir sejenak, tiba-tiba wa-
jah kakek itu jadi amat pucat. Bola matanya
membesar lagi.
"Uh! Aku lupa lagi! Aku lupa lagi!" serunya
sambil menggaplok-gaplok kepalanya berutang
kali.
Kontan Kembang Andini yang sudah men-
coba bersabar malah jadi jengkel bukan main.
Langsung dijejaknya tanah untuk segera berkele-
bat pergi bersama Sekar Telasih. Tapi....
"Tunggu! Aku sudah ingat!" seru Dewa
Dungu, memaksa Kembang Andini dan Sekar Telasih mengurungkan niatnya untuk meninggalkan
tempat.
"Apa? Cepat katakan!" bentak Sekar Tela-
sih, galak sekali
"Ya! Ya! Tapi, aku bukan hendak bertanya
kepadamu Anak Manis. Aku mau bertanya pada
nenekmu itu...," sahut Dewa Dungu.
"Jangan mengulur waktu lagi, Turangga!
Bertanyalah!" sergap Sekar Telasih, keras mem-
bentak.
Sambil menggaruk kepalanya yang tak gat-
al, Dewa Dungu menatap wajah Kembang Andini
lekat-lekat. Lalu berkata, "Aku mencari seorang
pemuda. Aku mencari muridku. Dia bernama Se-
no Prasetyo. Wajahnya tampan sekali. Namun, dia
juga amat lugu. Pernahkah kau melihat pemuda
itu? Di mana dia?"
Terperanjat Kembang Andini mendengar
ucapan si kakek. Begitu kagetnya dia, sampai-
sampai mulutnya ternganga lebar beberapa lama.
"Eh! Kau kenapa? Aku cuma bertanya. Ke-
napa air mukamu berubah seperti orang kesuru-
pan?"
"Be... benarkah kau guru pemuda bergelar
Pendekar Bodoh itu?"
"Ooo...," mulut Dewa Dungu melongo. "Dia
sudah punya gelar. Pendekar Bodoh? Pendekar
Bodoh? Hii...! Lucu sekali! He he he.... Eh! Jadi,
kau tahu di mana muridku itu, Andini. Tapi...,
kenapa kau begitu terkejut? Ada apa sebenarnya?"
"Urusanku justru berkenaan dengan pe-
muda itu!"
Dewi Cinta Kasih berkata dengan raut wa-
jah masih menggambarkan keterkejutan. Wajah si
nenek memang kelihatan tegang sekali. Dewa
Dungu jadi salah tafsir.
"Apa?!" lonjak kaget si kakek. "Kau tampak
tak suka pada muridku, Andini. Apa dia telah
menodai cucumu itu?"
Belum sempat Kembang Andini memberi
penjelasan, Dewa Dungu telah menggaplok-gaplok
kepalanya lagi. Kali ini dia berbuat itu sambil
menggerutu panjang pendek...
EMPAT
KUSUMA Suci berdiri termangu tanpa tahu
apa yang harus diperbuatnya. Selama tinggal di
Tanah Dipertuan Ratu, dia sudah sering melihat
Bidadari Satu Hati membunuh orang. Biasanya,
dia malah membantu sang Ibu untuk membunuh
orang-orang yang berani masuk ke Tanah Diper-
tuan Ratu. Atau paling tidak, menghajar orang-
orang itu untuk membuat mereka jera dan tak
berniat masuk kembali ke Tanah Dipertuan Ratu.
Tapi sekarang? Melihat kedatangan Pende-
kar Bodoh, kenapa dia tak tega sama sekali jika
harus melihat pemuda itu menemui ajal di tangan
Ibunya atau di tangannya sendiri? Pada mulanya
Kusuma Suci memang bisa bersikap keras danmenyerang. Tapi setelah melihat wajah si pemuda
yang begitu lugu, hatinya benar-benar jadi tak te-
ga melakukan kekerasan, apalagi membunuh.
Namun..., benarkah dia tak tega menyakiti
Pendekar Bodoh hanya karena melihat keluguan
pemuda itu? Apakah bukan karena dia telah ter-
goda oleh daya tarik yang terpancar dari dalam
diri si pemuda?
Kusuma Suci sendiri tak dapat menjawab
pertanyaan yang berkecamuk di benaknya itu.
Sampai beberapa lama, dia cuma berkeluh-kesah.
Hatinya jadi gelisah tak menentu. Apa yang harus
diperbuatnya? Membantu ibunya untuk membu-
nuh Pendekar Bodoh? Atau, menghentikan per-
tempuran mereka sebelum terlambat? Tapi... ti-
dakkah hal itu akan membuat murka ibunya?
Sementara itu, pertempuran antara Pende-
kar Bodoh dengan Bidadari Satu Hati berlang-
sung seru sekali. Di sekitar ajang pertempuran,
belasan batang pohon tumbang terkena babatan
senjata ataupun tertimpa pukulan yang nyasar.
Pecahan batu bercampur gumpalan tanah masih
terus berhamburan seiring kelebatan tubuh ke-
dua tokoh yang terpaut usia cukup jauh itu.
Lebih dari tiga puluh jurus mereka telah
bertempur. Bidadari Satu Hati memiliki ilmu pe-
ringan tubuh amat hebat, sehingga dapat men-
gimbangi kecepatan gerak Pendekar Bodoh yang
mempergunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin'. Sehingga, dapatlah dikatakan bila Ilmu
peringan tubuh mereka seimbang.
Begitu hebatnya ilmu peringan tubuh me-
reka, ketika bergerak menyerang ataupun meng-
hindar, tubuh kedua anak manusia Itu laksana
dapat berubah menjadi dua gumpal asap yang te-
rus berkelebatan ke sana-sini. Kusuma Suci yang
menyaksikan dari jarak dua puluh tombak sam-
pai merasa pusing karena terus berusaha mem-
pertajam pandangannya yang mengabur.
Namun, lama-lama Pendekar Bodoh yang
sebenarnya menang tenaga jadi amat kerepotan.
Karena, si pemuda menyerang tanpa bermaksud
membuat cedera lawan. Pendekar Bodoh bersedia
meladeni gempuran Bidadari Satu Hati hanya ka-
rena tak mau mati konyol.
Di lain pihak, Bidadari Satu Hati menye-
rang dengan segenap nafsu membunuh. Rang-
kaian jurus pedang wanita berpakaian ketat serba
hitam itu benar-benar hebat luar biasa. Apalagi,
bilah pedang di tangan si wanita merupakan pe-
dang mustika. Setiap pedang itu menusuk atau-
pun menebas, selalu timbul tiupan angin menggi-
dikkan yang sudah cukup mampu untuk membe-
lah dan menghancurkan bongkah batu besar. Ka-
lau tiupan anginnya saja mempunyai daya peng-
hancur sehebat itu, apalagi ketajaman pedang-
nya!
Untunglah, senjata Pendekar Bodoh juga
bukan senjata sembarangan. Senjata si pemuda
yang berupa tongkat putih juga sebuah senjata
mustika. Walau panjangnya cuma dua jengkal,
kehebatannya pun bukan alang-kepalang. Jika
dikibaskan, pastilah muncul tiupan angin ken-
cang bergemuruh laksana badai. Tiupan angin
kencang itulah yang selalu meredam serangan Bi-
dadari Satu Hati yang merangsek ganas dengan
bilah pedangnya yang berwarna hijau berkilat.
"Hentikan! Hentikan!" teriak Seno tiba-tiba
sambil meloncat jauh. "Kau begitu bernafsu
membunuhku. Kesalahanku apa?"
"Kau punya 'Tenaga Beruang Merah'. Itulah
kesalahanmu!" sahut Bidadari Satu Hati.
Wanita yang tampaknya amat teguh me-
megang pendirian itu berdiri menatap sosok Seno
dari jarak sekitar lima tombak. Dia tidak langsung
merangsek lagi karena menggunakan kesempatan
untuk mengatur jalan pernafasannya. Pertempu-
ran tadi memang amat menguras tenaga.
Sementara, napas Pendekar Bodoh pun
tampak terengah-engah. Dalam keadaan hanya
berdiri diam, cairan keringat malah keluar bak
diperas. Hingga, basahlah baju biru yang dikena-
kan si pemuda..., dan menebarkan aroma harum
kayu cendana.
"Aneh sekali!" ujar Bidadari Satu Hati. "Aku
mencium aroma harum kayu cendana. Oh! Kepa-
laku jadi pusing sekali. Kenapa...? Kenapa aku
jadi...?"
Terbelalak heran Seno.
Walau berdiri terpaut jarak cukup jauh,
murid Dewa Dungu itu dapat melihat perubahan
air muka Bidadari Satu Hati.
Wajah Bidadari Satu Hati tampak meme
rah. Kedua bola matanya melotot, tak berkedip
menatap sosok Pendekar Bodoh. Dia tahu benar
bila aroma harum kayu cendana yang menebar
dari kain baju Pendekar Bodoh telah merangsang
nafsu gairahnya!
Melihat Bidadari Satu Hati yang terus
menggeleng-gelengkan kepala sambil melangkah
mundur, Seno bertambah heran. Sejak memakai
baju pemberian Dewa Dungu, dia tak tahu sama
sekali bila aroma harum yang menebar dari kain
bajunya itu bisa membangkitkan nafsu gairah
wanita. Si pembuat baju itu sendiri, Dewa Dungu,
juga tak pernah punya pikiran demikian
Menurut jalan pikiran Dewa Dungu, baju
buatannya yang memakan waktu puluhan tahun
itu tak berbeda jauh dengan baju kumal yang se-
lalu dipakainya. Baju Dewa Dungu walau sudah
amat tua tapi selalu menebarkan aroma harum
kayu cendana. Sementara, baju Seno akan mene-
barkan aroma yang sama apabila terkena aliran
keringat terlebih dulu. Akan tetapi, sifat aroma itu
amat jauh berbeda!
Selama tinggal di lembah Gunung Lawu,
Dewa Dungu amat merindukan kehadiran seo-
rang bocah yang dapat diangkatnya sebagai mu-
rid. Sebagai pelampiasan rasa rindu itu, Dewa
Dungu merajut benang yang kemudian dijadikan
sepotong pakaian berwarna biru-biru. Karena in-
gin menjadikan pakaian buatannya sebagai ba-
rang istimewa, direndamnya pakaian biru-biru itu
dalam suatu ramuan obat-obatan selama lebih
dari dua puluh tahun.
Hingga kemudian, pakaian buatan si kakek
benar-benar menjadi barang istimewa: Seno Pra-
setyo yang berjodoh menjadi murid Dewa Dungu
akhirnya dapat memiliki pakaian itu. Namun, Se-
no dan Dewa Dungu sama sekali tak menduga bi-
la ramuan obat-obatan yang digunakan untuk
merendam telah memberikan aroma kayu cenda-
na yang dapat membangkitkan nafsu gairah
kaum hawa.
"Jahanam! Licik sekali kau!" geram Bidada-
ri Satu Hati menyangka Pendekar Bodoh mene-
barkan obat perangsang. "Kau tampak begitu bo-
doh, tapi ternyata kau lebih berbahaya daripada
yang kuduga"
"Eh! Eh! Kenapa?" sahut Pendekar Bodoh
yang belum menyadari keadaan. "Aku! tak mau
bertempur denganmu. Soal 'Tenaga Benang Me-
rah', lain kali saja ku jelaskan. Biarkan aku pergi
dari sini...."
"Silakan pergi, tapi tinggalkan nyawamu
dulu!" sergap Bidadari Satu Hati seraya meloncat
menerjang.
Terpaksa Pendekar Bodoh harus meladeni
meski dia tak mau membuat cedera. Pertarungan
seru segera berlangsung kembali. Namun, kali ini
pertempuran jadi tak seimbang.
Bidadari Satu Hati harus menahan napas
kalau tak ingin dirinya semakin dipengaruhi naf-
su gairah yang bisa mengganggu akal pikiran. Ka-
rena itulah dia jadi tak leluasa. Kehebatan tusukan ataupun babatan pedangnya banyak berku-
rang. Den karena tak mungkin terus-menerus
menahan napas, akhirnya semakin banyak aroma
harum kayu cendana yang terhirup. Akibatnya
sudah dapat diduga. Serangan Bidadari Satu Hati
semakin lama semakin kendor. Sementara, tena-
ga Pendekar Bodoh justru semakin bertambah
besar. Setiap terjadi benturan senjata, pedang Bi-
dadari Satu Hati selalu terpental dan hampir ter-
lepas dari cekalan.
Pendekar Bodoh menduga bila hal itu ter-
jadi karena tenaga Bidadari Satu Hati telah terku-
ras. Namun sesungguhnya, 'Tenaga Beruang Me-
rah' yang ada dalam diri Pendekar Bodoh dapat
bekerja dengan sendirinya dan membuat kekua-
tan si pemuda jadi berlipat-lipat.
Ilmu penghimpun tenaga dalam ciptaan
Salya Tirta Raharja semasa masih menjabat seba-
gai ketua Perkumpulan Beruang Merah itu me-
mang punya kehebatan tersendiri. Jika bertem-
pur, orang yang menguasai 'Tenaga Beruang Me-
rah' akan terus mendapat tambahan kekuatan.
Dan, hal itulah yang belum disadari oleh Pende-
kar Bodoh.
Namun, dapatkah murid Dewa Dungu itu
menghentikan gempuran Bidadari Satu Hati tan-
pa melukai atau membuatnya cedera? Sementara,
Bidadari Satu Hati malah semakin bernafsu un-
tuk segera menjatuhkan tangan maut!
***
"Bukan! Bukan karena itu!" seru Kembang
Andini, menahan rasa geli yang tiba-tiba mengge-
litik hatinya.
"Apa?" sahut Dewa Dungu seraya meng-
hentikan perbuatannya yang menggaplok-gaplok
kepalanya sendiri. Air mukanya langsung beru-
bah cerah lagi.
"Seno tak pernah berbuat Jahat kepada
cucuku. Apalagi, menodainya. Hi hi hi...! Kau ini
lucu sekali, Turangga. Dari mana kau punya piki-
ran buruk kepada muridmu sendiri seperti itu...?"
"Oh! Syukurlah! Syukurlah! Sakit hatiku
pada Mahisa Lodra membuatku jadi amat mudah
berpikiran yang bukan-bukan pada Seno.... Kalau
benar apa yang kau katakan itu, lalu kau sebe-
narnya punya urusan apa dengan Seno?"
"Dia berjodoh untuk mewarisi kedudukan
ketua Perkumpulan Beruang Merah," Sekar Tela-
sih yang menjawab.
"Apa?" sahut Dewa Dungu. Kali ini diba-
rengi lonjakan kaget. "Kau jangan mengada-ada,
Anak Manis. Eh! Eh! Benarkah kau cucunya
Kembang Andini? Setahuku Kembang Andini per-
nah bersumpah bahwa dia tak akan menikah se-
lama-lamanya. Kenapa bisa begini?" sambil ge-
leng-geleng kepala, ditatapnya wajah Dewi Cinta
Kasih. "Apa kau telah melanggar sumpahmu sen-
diri, Andini. Apa ada seorang.... He he he...?"
"Enak saja kau ngomong!" dengus Kem-
bang Andini. "Aku tak pernah melanggar sum-
pahku sendiri. Ketika kau menghilang dari dunia
persilatan, aku bertemu dengan seorang gadis ci-
lik yang kemudian kurawat sampai besar. Dari
dialah Sekar Telasih lahir."
"Ooo... begitu...! melongo Dewa Dungu.
"Jadi, dia putri anak angkatmu. Jadi, dia berna-
ma Sekar Telasih. Tapi..., hei! Apa yang kau kata-
kan tadi, Anak Manis? Kau katakana Seno berjo-
doh mewarisi kedudukan ketua Perkumpulan Be-
ruang Merah? Ah! Yang, benar saja!"
Kembang Andini yang sebenarnya merasa
diburu waktu, terpaksa menjelaskan pertemuan-
nya dengan Pendekar Bodoh. Termasuk usahanya
selama lebih dari empat puluh tahun menunggu
kemunculan Salya Tirta Raharja yang mengasing-
kan diri di gua bawah tanah.
"Jadi... jadi..., selama ini kau menung-
gunya?" ujar Dewa Dungu, mengungkapkan rasa
kagum.
Si kakek sudah tahu hubungan antara
Kembang Andini dengan Salya Tirta Raharja yang
menjalin tali asmara. Namun, bukan hanya kare-
na itu kalau Kembang Andini bersedia menunggu
kemunculan Salya Tirta Raharja sampai sekian
lama. Penantian Kembang Andini juga merupakan
wujud kesetiaannya pada Perkumpulan Beruang
Merah.
"Wah! Wah! Kau memang pantas dijuluki
Dewi Cinta Kasih! Rupanya, kau memang punya
kesetiaan yang begitu besar," lanjut Dewa Dungu.
Kembang Andini tersenyum tipis.
"Lalu, bagaimana kau bisa yakin bila mu
ridku berjodoh menjadi ketua Perkumpulan Be-
ruang Merah?"
Mendengar pertanyaan Dewa Dungu itu,
Kembang Andini mengeluarkan kalung 'Permata
Dewa Matahari' yang tersimpan di lipatan ba-
junya. Namun, Dewa Dungu malah menggeleng-
geleng, setengah tak percaya.
"Kalung 'Permata Dewa Matahari' adalah
lambang kekuasaan di Perkumpulan Beruang Me-
rah. Tapi, kenapa kalung itu malah berada di tan-
ganmu?"
"Ah! Semua itu karena kesalahanku," sa-
hut Sekar Telasih dengan suara bergetar. "Pada
mulanya aku tak percaya bila Seno adalah pewa-
ris kedudukan ketua. Aku menyerangnya. Dan...,
dia pergi begitu saja dengan meninggalkan kalung
'Permata Dewa Matahari'...."
"Sudahlah...," sergap Kembang Andini yang
tak mau melihat cucunya larut dalam rasa sesal.
"Seperti yang telah kita rencanakan, kita akan
pergi ke Tanah Dipertuan Ratu. Ibu dan adikmu
harus segera diberi tahu. Mereka pun tak boleh
terlalu lama menunggu. Bersama mereka, kita
akan menyebar kabar kepada anggota perkumpu-
lan lainnya bahwa telah muncul sang ketua ba-
ru."
"Jadi, kau akan pergi ke Tanah Dipertuan
Ratu?" tanya Dewa Dungu, memastikan penden-
garannya.
"Ya. Kenapa?" jawab Kembang Andini, se-
kaligus bertanya.
"Dapatkah kau katakan dulu ke mana kira-
kira Seno pergi?"
Menggeleng Kembang Andini.
"Tak tahu?" buru Dewa Dungu.
"Tidak."
Dewa Dungu jadi terlongong bengong. Air
mukanya berubah amat keruh. "Akan kucari sen-
diri. Akan kucari sendiri...," desisnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek bertu-
buh kurus-kering itu menjejak tanah, lalu berke-
lebat meninggalkan tempat.
Sampai beberapa lama, aroma harum kayu
cendana yang menebar dari kain baju si kakek
masih tercium. Kembang Andini dan cucunya sal-
ing pandang. Dan, mereka segera pergi mening-
galkan tempat itu pula....
Namun di sepanjang perjalanan, Kembang
Andini tak pernah bisa melupakan pertemuannya
dengan Dewa Dungu di siang hari itu, walau ba-
rang sekejap. Apakah kemunculan kembali Dewa
Dungu akan membuat gempar rimba persilatan?
Yang jelas, dapatlah dipastikan bila kemunculan
si kakek merupakan malapetaka bagi golongan hi-
tam!
LIMA
BUDAK hina! Melihat kelicikanmu ini,
agaknya aku harus mengadu jiwa danganmu!"
Usai berteriak lantang, Bidadari Satu Hati memutar pedangnya cepat sekali. Karena putaran pe-
dang mustika itu disertai aliran tenaga dalam
tingkat tinggi, timbullah gelombang angin puku-
lan dahsyat.
Bergegas Pendekar Bodoh memutar pula
Tongkat Dewa Badainya. Gelombang angin puku-
lan yang tak kalah dahsyat muncul memapaki.
Bentrokan tak dapat dihindari lagi. Ketika muncul
ledakan keras laksana letusan gunung, tubuh Bi-
dadari Satu Hati dan Pendekar Bodoh sama-sama
terpental.
Mudah saja bagi Pendekar Bodoh untuk
mengatasi lontaran tubuhnya. Dengan bersalto
beberapa kali di udara, si pemuda dapat menda-
rat sigap di tanah. 'Tenaga Beruang Merah' dan
ilmu 'Perisai Dewa Badai' yang melindungi tu-
buhnya menjadikannya tak menderita luka da-
lam. Hanya pandangannya yang mengabur. Tapi,
kekaburan itu pun segera lenyap.
Sebaliknya, walau Bidadari Satu Hati dapat
pula mendarat sigap di tanah, wajahnya yang se-
mula memerah berubah pucat-pasi. Cairan darah
segar mengalir perlahan dari sudut bibirnya.
Meski tidak seberapa parah, tapi jelas bila dia
menderita luka dalam.
Waktu terjadi bentrokan angin pukulan ta-
di, aroma harum kayu cendana yang menebar da-
ri kain baju Seno lenyap beberapa saat. Namun
karena sebelumnya sudah terlalu banyak meng-
hisap, nafsu gairah tetap mengganggu jalan piki-
ran Bidadari Satu Hati. Tapi, keinginannya untuk
membunuh Seno sudah meluap sedemikian kuat.
Sehingga gairah dalam diri Bidadari Satu Hati ter-
tekan oleh nafsu membunuh itu.
Kusuma Suci yang mengetahui ibunya ter-
luka dalam bergegas meloncat mendekati. Na-
mun....
Wesss...!
"Uh...!"
Kibasan telapak tangan Bidadari Satu Hati
yang menimbulkan serangkum angin pukulan,
menahan lesatan tubuh Kusuma Suci. Dan,
membuatnya terpental kembali ke tempat semula.
"Pergilah! Pemuda itu menebar obat pe-
rangsang!" seru sang ibu yang benar-benar men-
gira Pendekar Bodoh berbuat licik. "Pergilah ke
nenekmu! Beri tahu kehadiran pemuda licik itu di
tempat ini!"
Kusuma Suci yang belum sampai mengisap
aroma harum kayu cendana karena dia berdiri
terpaut cukup jauh dari Seno, tampak diam ter-
paku. Rasa khawatir jelas terbayang di sorot ma-
tanya. Melihat pertempuran seru yang berlang-
sung tadi, dia menduga bila akhir dari pertempu-
ran itu adalah maut. Kalau tidak nyawa Pendekar
Bodoh, tentu saja nyawa ibunya yang akan me-
layang.
Mengingat sang ibu yang telah melahirkan
dan membesarkannya, Kusuma Suci jadi amat
mengkhawatirkan keadaan ibunya. Namun..., dia
pun tak bisa menipu dirinya sendiri. Dia juga
mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Bodoh!
"Tunggu apa lagi?! Cepatlah pergi ke tem-
pat nenekmu!" seru Bidadari Satu Hati yang meli-
hat putrinya terus berdiri terpaku.
"Kalau aku pergi, bagaimana dengan
ibu...?" sahut si gadis, menyiratkan kekhawatiran
sekaligus keraguan.
"Jangan pedulikan aku! Kalaupun aku
mesti mati, aku akan bangga sekali. Aku mati
demi perkumpulan! Oleh karenanya, lekaslah
pergi!"
"Tapi, Bu...."
"Hei! Apa kau mau melawan kata-kata
ibumu?!"
Mendengar bentakan itu, Kusuma Suci ter-
surut mundur. Sinar mata Bidadari Satu Hati
yang berapi-api memaksanya untuk segera me-
ninggalkan tempat. Dan... dia pun segera menje-
jak tanah untuk kemudian berkelebat lenyap.
Namun, bukan untuk pergi jauh!
Setelah berlari cepat sejauh seratus tom-
bak, dia segera kembali untuk menyaksikan per-
tempuran antara ibunya dengan Pendekar Bodoh.
Agar tidak diketahui sang Ibu, dia bersembunyi di
balik semak-belukar. Ketika bersembunyi itulah,
kekhawatiran di hati Kusuma Suci semakin ber-
kuasa dan membuat hatinya berdebar-debar bu-
kan main.
Sebagai orang yang sudah cukup lama ber-
latih ilmu silat, Kusuma Suci dapat menduga bila
kemenangan akhir tentu berada di tangan Pende-
kar Bodoh. Namun, dia tahu benar adat keras
ibunya saat itu. Kalau dia nekat membantu,
ibunya malah akan marah bukan main. Bidadari
Satu Hati tak sudi dibantu putrinya bila bantuan
itu justru akan membuat celaka putrinya sendiri.
Sementara, Bidadari Satu Hati pun benar-benar
telah salah mengerti. Pendekar Bodoh benar-
benar dianggapnya sebagai orang jahat yang telah
mencuri ilmu Salya Tirta Raharja.
Si pemuda dianggap pula telah menelan
obat perangsang. Hingga, tak ada lagi yang akan
diperbuat Bidadari Satu Hati kecuali membunuh
Pendekar Bodoh!
Memikirkan keselamatan sang ibu, diam-
diam Kusuma Suci menghunuskan pedangnya.
Ketajaman pedang itu bukan untuk digunakan
menggempur Pendekar Bodoh bila sewaktu-waktu
sang Ibu kalah, melainkan untuk berjaga-jaga
dan mencegah Pendekar Bodoh menjatuhkan tan-
gan maut.
Rasa bingung dan ragu di hati gadis itu
memang sulit sekali digambarkan. Dia tak mau
melihat ibunya mati. Di lain pihak, dia pun tak
mau melihat Pendekar Bodoh celaka. Apakah
pandangan pertama dengan si pemuda telah
mencuri hatinya? Kusuma Suci tak tahu. Dia be-
lum pernah mengalami hal seperti itu sebelum-
nya.
Sementara itu, pertempuran antara Pende-
kar Bodoh dengan Bidadari Satu Hati memang te-
lah berlangsung kembali. Tapi tampaknya, per-
tempuran itu tak akan berlangsung lama. Jelas
sekali bila Pendekar Bodoh berada di atas angin.
Berkali-kali kibasan Tongkat Dewa Badainya
membuat tubuh Bidadari Satu Hati terpental dan
jatuh bergulingan di tanah.
"Kalau aku mau, sebenarnya aku dapat
membunuhmu...," ujar Pendekar Bodoh, menatap
lugu sosok Bidadari Satu Hati yang berdiri ter-
huyung-huyung. "Sebelum aku pergi, ada baiknya
bila aku memberi sedikit penjelasan...."
"Cukup!" sela Bidadari Satu Hati. "Tidak
ada yang perlu dijelaskan. Kau hanya akan men-
gumbar kata-kata bualan. Sebaiknya kita lan-
jutkan saja pertempuran ini sampai di antara kita
ada yang tergeletak menjadi mayat!"
Geleng-geleng kepala Pendekar Bodoh. Ka-
sihan sekali hatinya melihat keadaan Bidadari Sa-
tu Hati. Pendekar Bodoh dapat melihat darah se-
gar yang kembali mengalir dari sudut bibir wanita
itu
Sebenarnya, luka dalam Bidadari Satu Hati
tadi tidaklah parah. Tapi karena dia terus men-
gempos tenaga, sebagian tenaga dalamnya malah
memukul isi dadanya sendiri. Dan tentu saja, lu-
ka dalamnya semakin lama semakin parah.
Namun, Bidadari Satu Hati jadi nekat. Se-
belum gangguan nafsu gairah benar-benar men-
guasai jalan pikirannya, cepat dia menerjang.
Sementara pedangnya berkelebat untuk memba-
bat leher, kaki kirinya mempersiapkan tendangan
guna memberikan serangan susulan apabila ba-
batan pedangnya tak mengenai sasaran.
Akan tetapi... ketika bilah pedang Bidadari
Satu Hati berkelebat setengah bagian, Pendekar
Bodoh bergerak amat gesit. Tongkat Dewa Badai
digunakan untuk menangkis dengan disertai se-
bagian besar aliran tenaga dalamnya. Dan ketika
pedang Bidadari Satu Hati terpental lepas dari ce-
kalan, Pendekar Bodoh berjumpalitan di udara.
Saat tubuhnya meluncur turun, dua totokan siap
menghentikan perlawanan Bidadari Satu Hati!
Sementara, Bidadari Satu Hati begitu diku-
asai oleh keterkejutan saat pedangnya dibuat le-
pas dari cekalan oleh senjata Pendekar Bodoh.
Dan keterkejutan itu membuat dia tak bisa berge-
rak gesit. Akibatnya....
Tuk! Tuk!
"Uh...!"
Keluh pendek keluar dari mulut Bidadari
Satu Hati membarengi tubuhnya yang jatuh ter-
jengkang seperti gedebong pisang ditebang. Toto-
kan Pendekar Bodoh tepat bersarang di pinggang
kiri dan punggung. Membuat tubuh Bidadari Satu
Hati terasa amat lemas tanpa tenaga!
"Maaf atas perbuatanku ini...," ujar Pende-
kar Bodoh. "Lain waktu bila ada jodoh untuk ber-
temu lagi, kuharap kau telah menyadari kekeli-
ruanmu...."
Di ujung kalimatnya, murid Dewa Dungu
itu berkelebat meninggalkan tempat. Karena
menggunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Din-
gin', sosok si pemuda lenyap begitu saja dari pan-
dangan seperti siluman yang dapat menghilang.
Melihat Ibunya jatuh dan tak bergerak-
gerak lagi, tanpa pikir panjang Kusuma Suci me-
loncat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Ibuuu...!" teriak khawatir gadis bertubuh
langsing itu. Terkejut bukan main Bidadari Satu
Hati.
"Kenapa...? Kenapa kau kembali...?" sa-
hutnya, bernada marah. Namun, dia tak dapat
berbuat apa-apa karena masih dalam pengaruh
totokan. Kusuma Suci tercengang. Ternyata,
ibunya hanya kena totok. Namun meski begitu,
dia tetap saja mengkhawatirkan keselamatan
sang Ibu. Dia pun melangkah mendekati....
Namun, aroma harum kayu cendana yang
ditinggalkan Pendekar Bodoh menghentikan lang-
kah Kusuma Suci. Berkerut kening si gadis. Sete-
lah itu, mendadak pikirannya jadi linglung. Se-
hingga, dia hanya dapat berdiri terpaku beberapa
lama.
Pada saat itulah, tiba-tiba muncul sesosok
bayangan tinggi besar. Dalam keadaan terbaring,
Bidadari Satu Hati sempat melihat bahaya yang
mengancam keselamatan putrinya.
"Awaasss...!" teriak wanita berumur tiga
puluh tahun itu, sekuat tenaga.
Mendengar peringatan sang Ibu itu, cepat
Kusuma Suci menyadari keadaan. Tapi terlam-
bat.... Beberapa totokan telah mendarat di tu-
buhnya..., dan membuatnya lemas terkulai. Na-
mun sebelum jatuh ke tanah, si pembokong cepat
menyambar tubuh langsing gadis itu.
"Ha ha ha.....! Sebelum aku membunuhmu,
akan kuhancurkan dulu rasa hatimu, Bidadari
Satu Hati. Putrimu akan kukembalikan dalam
keadaan tanpa kehormatan! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak-gelak, si pembo-
kong berkelebat pergi sambil membopong tubuh
Kusuma Suci. Kejadian itu cepat sekali, sehingga
agak sulit bagi Bidadari Satu Hati untuk menge-
nali wajah orang yang telah menculik putrinya.
Namun, mata Bidadari Satu Hati yang ta-
jam sempat melihat keadaan tubuh si penculik
yang ditumbuhi bulu lebat. Sehingga, tercetuslah
satu pikiran bila si penculik adalah Iblis Pemburu
Dosa!
"Jahanam!" geram Bidadari Satu Hati yang
sebenarnya menyimpan dendam permusuhan
terhadap Iblis Pemburu Dosa.
Tapi, apa yang bisa diperbuatnya dalam
keadaan lumpuh tertotok seperti itu?
ENAM
PERLAHAN matahari tergelincir ke barat.
Namun, waktu terasa berlalu cepat. Gelap malam
akan segera rebah memeluk bumi. Di kala re-
mang-remang suasana senja menciptakan kehe-
ningan, terlihatlah dua sosok bayangan yang ber-
kelebat cepat sekali.
Bagai bulu burung yang terbang tertiup
angin, amat ringan kedua bayangan itu melesat
melewati bongkah-bongkah batu besar ataupun
akar pepohonan yang menonjol tinggi dari per-
mukaan tanah. Namun ketika hampir memasuki
sebuah dataran bersemak-belukar yang berada di
tepi Tanah Dipertuan Ratu, sosok bayangan yang
di depan menghentikan kelebatan tubuhnya. So-
sok bayangan yang di belakang turut berhenti.
Walau keremangan senja mulai mengha-
langi pandangan, dapatlah dilihat bila mereka
dua orang wanita yang terpaut umur cukup jauh.
Yang satu seorang nenek berumur delapan puluh
tahun, mengenakan pakaian putih penuh tamba-
lan. Dan, yang satu lagi adalah seorang gadis be-
rumur dua puluh tahun. Si gadis berparas cantik
sekali, mengenakan pakaian putih berkembang-
kembang.
Menilik garis-garis wajah mereka, siapa lagi
kalau bukan si Dewi Cinta Kasih; Kembang Andi-
ni dan cucunya si Putri Hati Lurus Sekar Telasih.
"Kenapa kita berhenti, Nek?" tanya Sekar
Telasih, menyatakan rasa heran. "Bukankah kita
harus cepat-cepat memberi tahu Ibu dan Kusuma
Suci?"
"Malam akan segera tiba. Aku khawatir ke-
datangan kita akan mengejutkan mereka…," un-
gkap Kembang Andini sambil mengarahkan pan-
dangan ke barat. Wajah sang mentari sudah tak
tampak lagi. Hanya semburat cahayanya yang
samar-samar terlihat.
Setelah menarik napas panjang, nenek
yang rambutnya dibiarkan tergerai itu menyambung kalimatnya. "Ah! Kau benar. Kedatangan ki-
ta yang mendadak memang akan membuat mere-
ka terkejut. Tapi, kita harus cepat-cepat memberi
tahu. Mereka akan gembira sekali. Aku yakin!"
Mengangguk Sekar Telasih.
Walau sikap gadis itu biasa-biasa saja,
namun di dalam hatinya ada sesuatu yang ber-
gemuruh dan melonjak-lonjak. Dia tak sabar un-
tuk segera menjumpai ibu dan adiknya yang telah
cukup lama berpisah. Rasa rindu membuatnya
tak sanggup untuk menunggu berlama-lama.
Maka tanpa pikir panjang lagi, Sekar Tela-
sih segera berkelebat mendahului Kembang Andi-
ni. Dan, si nenek pun bergegas menyusul.
Jadilah mereka berlomba untuk dapat ber-
lari lebih cepat dengan mengerahkan seluruh ke-
mampuan ilmu peringan tubuh. Agaknya, Kem-
bang Andini pun menyimpan kerinduan terhadap
putri angkatnya beserta cucunya yang satu lagi.
Semakin ke dalam, semak-belukar yang
menghadang semakin berkurang. Maka, semakin
cepatlah mereka berkelebat. Memasuki Tanah Di-
pertuan Ratu, nyaris tak ditemukan lagi semak-
belukar lebat. Hanya jajaran pohon yang terlihat.
"Ibu...! Ibu...!" teriak Sekar Telasih yang tak
dapat menahan rasa hatinya. Karena tak ada sa-
hutan, dia berteriak lebih keras. "Ibu...! Ibu...! Ke-
suma...!"
Tetap tak ada sahutan.
Dalam keremangan malam, Sekar Telasih
menatap nanar sebuah gubuk bambu yang berdiri
di tengah-tengah Tanah Dipertuan Ratu. Di gu-
buk bambu itulah Ibu dan adiknya tinggal. Sekar
Telasih telah berteriak keras, kenapa tak ada sa-
hutan dari mereka?
Mendadak, hati Sekar Telasih jadi tak
enak. Mungkinkah telah terjadi apa-apa pada diri
ibu dan adiknya?
Rasa tak enak itu menjalar pula ke hati
Kembang Andini. Dengan jantung berdegup lebih
cepat, si nenek melangkah seraya mengetuk daun
pintu. Tiga kali. Empat kali. Sampai tujuh kali, te-
tap tak ada sahutan!
Terdorong rasa tak sabar, Sekar Telasih
membuka. Daun pintu terkuak diiringi suara derit
batang bambu yang bergesekan. Namun..., tak
ada siapa-siapa di dalam. Di serambi, di dapur...,
tetap tak ada siapa-siapa.
Kosong!
"Perasaanku tak enak, Nek...," cetus Sekar
Telasih. "Apakah mereka sedang pergi ke suatu
tempat?"
Kembang Andini tak menyahuti.
Nenek yang tampak amat uzur itu melang-
kah keluar. Dengan benak terus digeluti tanda
tanya, Sekar Telasih mengekor ke mana pun si
nenek pergi. Dan akhirnya setelah mereka menyi-
siri Tanah Dipertuan Ratu, terkejutlah mereka
manakala melihat sesosok tubuh tergolek lemah
di tanah dalam keadaan pingsan.
Sosok tubuh yang ditemukan Kembang
Andini dan Sekar Telasih itu seorang wanita berumur tiga puluh tahun. Mengenakan pakaian ke-
tat serba hitam.
Dia Bidadari Satu Hati!
"Ibuuu...!" pekik parau Sekar Telasih se-
raya meloncat dan memeluk tubuh Bidadari Satu
Hati.
Kembang Andini yang telah memeriksa
keadaan Bidadari Satu Hati tampak menarik na-
pas panjang. Si nenek masih bisa menunjukkan
sikap tenang walau hatinya berdebar-debar bu-
kan main.
"Tenanglah...," ujar si nenek. "Dia cuma
terkena totokan dan menderita luka dalam yang
tak seberapa parah..."
Tanpa berkata apa-apa lagi, nenek yang
raut wajahnya selalu muram-durja itu melepas
pengaruh totokan di tubuh Bidadari Satu Hati.
Dan tak lama kemudian, Bidadari Satu Hati pun
tersadar dari pingsannya.
"Jahanam kau, Iblis Pemburu Dosa!" geram
wanita itu tiba-tiba. "Lepaskan Kusuma! Le-
paskan...!"
"Tenanglah! Tenanglah...!" sambut Kem-
bang Andini sambi! memegangi lengan Bidadari
Satu Hati yang hendak meloncat bangkit.
Mendengar suara serak si nenek yang pe-
nuh getaran, Bidadari Satu Hati dapat menyadari
keadaan. Ditatapnya lekat wajah si nenek dengan
sejuta tanda tanya dan pengharapan.
"Ibu Kembang Andini...."
"Ya. Ini aku, Puspa Kencana...," sergap si
nenek, menyebut nama kecil Bidadari Satu Hati.
"Aku datang bersama Sekar Telasih. Lihat itu...."
"Kau... kau tidak apa-apa, Bu...?" sahut
Sekar Telasih, masih menyiratkan kekhawatiran.
"Oh, Sekar... Adikmu...."
"Kenapa dengan Kusuma?" Kembang Andi-
ni yang bertanya. Lewat cahaya rembulan si ne-
nek melihat rasa khawatir yang berlebihan di ma-
ta Puspa Kencana.
"Tolonglah dia, Bu! Dia diculik Iblis Pembu-
ru Dosa!"
Mendengar keterangan itu, melonjak kaget
Kembang Andini. Begitu pula Sekar Telasih yang
tak lain kakak Kusuma Suci.
"Ah! Bagaimana ceritanya? Bagaimana dia
bisa datang ke tempat ini? Diakah yang mem-
buatmu terluka dalam?" Kembang Andini mence-
car pertanyaan.
Puspa Kencana alias Bidadari Satu Hati be-
ringsut duduk. Diambilnya napas panjang bebe-
rapa kali untuk mengusir rasa sesak di dadanya.
Teringat pedang mustikanya yang terlepas dari
cekalan saat bertempur dengan Pendekar Bodoh
beberapa waktu lalu, wanita berpakaian serba hi-
tam itu meloncat berdiri.
"Kau hendak ke mana?" tanya Kembang
Andini, khawatir sambil memegangi lengan Puspa
Kencana.
Bidadari Satu Hati tak menjawab.
Dia terus mengedarkan pandangan. Ketika
melihat sebilah pedang berwarna hijau yang tergeletak di dekat bongkahan batu, dia segera me-
loncat untuk memungutnya.
"Binatang itu harus kubunuh!" geram Pus-
pa Kencana dengan segudang dendam kemara-
han.
"Jangan gegabah!" tukas Kembang Andini.
"Kau menderita luka dalam."
"Aku tahu, Bu. Tapi, aku bisa merasakan
keadaan tubuhku sendiri. Luka dalamku tidak
seberapa parah. Aku masih mampu bertempur
seribu jurus!"
"Kita pergi ke Gurun Selaksa Batu seka-
rang juga?" cetus Sekar Telasih. Gurun Selaksa
Batu adalah tempat kediaman Iblis Pemburu Do-
sa.
"Tentu saja! Kusuma Suci harus segera
diselamatkan," Jawab Puspa Kencana, tegas.
"Namun, kita harus berhati-hati. Binatang kepa-
rat itu mempunyai seorang anak buah berilmu
tinggi. Dia seorang pemuda remaja, tapi ilmu ke-
saktiannya hebat luar biasa. Bahkan, dia mem-
punyai 'Tenaga Beruang Merah'. Dialah yang telah
membuatku lumpuh dengan ilmu totoknya."
Kaget bukan main Dewi Cinta Kasih.
Bayangan buruk segera berkelebat di benaknya.
Kalau anak buah Iblis Pemburu Dosa mempunyai
'Tenaga Beruang Merah', itu berarti Perkumpulan
Beruang Merah berada diambang kehancuran.
Kalau anak buahnya saja sudah sedemikian he-
bat, apalagi Iblis Pemburu Dosa sendiri. Sementa-
ra, setahu Dewi Cinta Kasih, 'Tenaga Beruang Merah' adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang
belum ada tandingannya di dunia ini. Ilmu itu
hanya dapat dikuasai Salya Tirta Raharja. Tapi
kenapa ada orang lain yang bisa menguasainya?
Terlebih lagi, dikuasai oleh musuh! Bagaimana
bisa begitu?
"Dapatkah kau katakan siapa pemuda yang
mempunyai 'Tenaga Beruang Merah' itu?" tanya
Kembang Andini akhirnya.
"Aku sendiri tak tahu. Tapi sebelum ber-
tempur, Kusuma Suci mengatakan bila dia ber-
nama Seno Prasetyo dan bergelar Pendekar Bo-
doh...."
Sekali lagi Kembang Andini dihantam ke-
terkejutan. Kali ini si nenek sampai mendelikkan
mata. Detak jantungnya pun terasa telah berhen-
ti.
Sementara nenek berkulit putih itu masih
terpukau dalam keterkejutan, Sekar Telasih me-
nyatakan ketidakpercayaannya. Tegas sekali Se-
kar Telasih berkata....
"Tak mungkin! Hal itu tak mungkin Bu...!
Kedatanganku bersama Nenek Andini justru un-
tuk memberitahukan bahwa Seno Prasetyo mem-
punyai jodoh untuk menjadi ketua Perkumpulan
Beruang Merah."
"Ah! Mana bisa begitu?" tukas Bidadari Sa-
tu Hati. "Pemuda itu memiliki 'Tenaga Beruang
Merah', sementara aku yakin dia tak membawa
kalung 'Permata Dewa Matahari', bagaimana aku
percaya kalau dia punya jodoh untuk menjadi ketua perkumpulan? Dia bisa memiliki 'Tenaga Be-
ruang Merah' tentu karena perbuatan liciknya.
Entah bagaimana caranya, tapi aku yakin kalau
dia telah mencuri ilmu itu!"
"Anakku...," sebut Kembang Andini, seperti
mendesah. "Kau percaya pada keyakinan yang
pernah kutanamkan pada dirimu dulu, bukan?
Orang yang tak berjodoh menjadi ketua perkum-
pulan tak akan bisa menemukan atau menda-
patkan kalung 'Permata Dewa Matahari'. Kau ma-
sih percaya pada keyakinan itu, Anakku?"
"Ya. Aku percaya, Bu," jawab Puspa Ken-
cana. "Tapi, aku pun yakin bila Seno Prasetyo tak
akan dapat menunjukkan kalung 'Permata Dewa
Matahari' karena dia memang tak memilikinya."
"Kau keliru. Pada mulanya aku pun tak
percaya. Tapi, Seno Prasetyo dari dalam sumur
tempat Tuan Salya Tirta Raharja memperdalam
ilmu kesaktiannya. Kemunculan pemuda itu den-
gan membawa ini...."
Di ujung kalimatnya, Kembang Andini
mengeluarkan kalung 'Permata Dewa Matahari'
yang tersimpan di lipatan bajunya. Karena di
tempat gelap, bandul kalung itu langsung me-
mancarkan sinar kebiruan.
"Astaga!" kesiap Puspa Kencana. Sejenak
wanita ini jadi lupa pada Kusuma Suci yang dicu-
lik Iblis Pemburu Dosa. "Bagaimana kalung itu
bisa berada di tanganmu, Bu?"
"Seno Prasetyo yang membawanya. Namun,
dia tinggalkan karena ada kesalahpahaman dengan Sekar Telasih...," ujar Kembang Andini, yang
kemudian menceritakan perihal pertemuannya
dengan Pendekar Bodoh dengan singkat
"Aku percaya kau tak pernah berbohong,
Bu," sahut Bidadari Satu Hati di akhir cerita ibu
angkatnya. "Tapi, kita harus tetap membuktikan
kebenarannya. Untuk mengetahui siapa ketua ba-
ru sudah muncul atau belum, kita lihat bunga wi-
jaya kusuma yang selama ini kutunggu...."
Tanpa menanti persetujuan Kembang An-
dini dan Sekar Telasih, bergegas Bidadari Satu
Hati menyarungkan pedangnya seraya berkelebat
ke utara. Kembang Andini dan Sekar Telasih yang
dapat membaca jalan pikiran wanita itu segera
menyusul.
***
"Ya, Tuhan...," sebut Bidadari Satu Hati.
Wanita berparas cantik itu berdiri terpaku.
Kedua bola matanya terbelalak menatap salur-
salur bunga wijaya kusuma. Pohon bunga yang
batang dan daunnya sama-sama berwarna hijau
itu tumbuh di sela-sela batu, dekat mulut sebuah
gua.
"Pohon ini berbunga! Pohon ini berbunga!"
seru Bidadari Satu Hati lagi, setengah tak per-
caya.
Kembang Andini dan Sekar Telasih pun
tampak diam terpukau. Dengan melihat pohon
wijaya kusuma yang mulai tumbuh kuncup
kuncup bunga, mereka jadi semakin yakin bila
ketua baru Perkumpulan Beruang Merah telah
muncul.
Sebenarnya, dua tahun yang lalu, Puspa
Kencana dan Kusuma Suci tinggal bersama Kem-
bang Andini dan Sekar Telasih di dekat sumur
tua tempat Salya Tirta Raharja memperdalam il-
mu kesaktian, terpaut ratusan tombak jauhnya
dari Tanah Dipertuan Ratu. Mereka berempat
sama-sama menunggu kemunculan Salya Tirta
Raharja yang memperdalam ilmu kesaktian guna
menumpas anak keturunan Saka Wanengpati.
Namun kemudian, Kembang Andini men-
dapat bisikan gaib yang mengatakan bila di Tanah
Dipertuan Ratu terdapat pohon bunga wijaya ku-
suma aneh. Pohon itu tak mau berbunga jika
Salya Tirta Raharja belum muncul atau ada orang
lain yang punya jodoh menggantikan Salya Tirta
Raharja untuk menggantikan kedudukannya se-
bagai Ketua Perkumpulan Beruang Merah.
Karena yakin akan kebenaran bisikan gaib
itu, Kembang Andini membagi tugas. Dia dan Se-
kar Telasih tetap menunggu kemunculan Salya
Tirta Raharja di dekat sumur tua. Sementara,
Puspa Kencana dan Kusuma Suci ditugasi me-
nunggu pohon wijaya kusuma di Tanah Dipertuan
Ratu.
Dan setelah dua tahun berlalu, pohon wi-
jaya kusuma itu benar-benar tumbuh kuncup-
kuncup bunga. Oleh karenanya, mau tidak mau
Puspa Kencana harus percaya bila Seno Prasetyo
memang punya jodoh untuk menggantikan kedu-
dukan Salya Tirta Raharja sebagai ketua Perkum-
pulan Beruang Merah. Namun, kenapa kemuncu-
lan pemuda itu di Tanah Dipertuan Ralu begitu
banyak mengundang tanda tanya? Setelah si pe-
muda pergi, kenapa muncul Iblis Pemburu Dosa
yang kemudian menculik Kusuma Suci?
Karena teringat putrinya itulah, wajah
Puspa Kencana langsung memucat. "Soal Seno
Prasetyo bisa kita bicarakan lain waktu. Kusuma
Suci membutuhkan pertolongan kita!" ujarnya se-
raya berkelebat pergi. Jelas bila dia hendak me-
nuju ke Gurun Selaksa Batu, tempat kediaman
Iblis Pemburu Dosa.
TUJUH
DENGAN sejuta pikiran yang tak menge-
nakkan hati, Kusuma Suci menatap nyalang so-
sok manusia yang berdiri di hadapannya. Dalam
keadaan terbaring telentang, putri kedua Puspa
Kencana itu berusaha membebaskan diri dari
pengaruh totokan. Namun, hawa murni yang di-
guna-kan untuk menormalkan kembali peredaran
darah-nya selalu berbalik, sehingga dia tetap tak
dapat membebaskan diri dari pengaruh totokan
yang membuat tubuhnya terasa amat lemas tan-
pa tenaga.
Yang dapat dilakukan gadis cantik itu
hanya berteriak panik. Tapi, sampai kering kerongkongannya, teriakannya tak akan membua-
hkan apa-apa. Desau angin yang berhembus ken-
cang di Gurun Selaksa Batu mampu menelan te-
riakan si gadis.
Wajar sekali bila Kusuma Suci tampak be-
gitu ketakutan. Sosok manusia yang telah melari-
kannya ke Gurun Selaksa Batu mempunyai wajah
dan bentuk tubuh amat buruk. Dia seorang lelaki
berambut putih riap-riapan. Tubuhnya tinggi-
besar tapi bungkuk. Hanya mengenakan selembar
cawat merah, sehingga bulu-bulu berwarna hi-
tam-kekuningan yang tumbuh lebat di sekujur
tubuhnya terlihat jelas.
Lebih buruk lagi, sosok manusia berbulu
mirip kera itu berhidung amat pesek, nyaris
hanya berupa dua lubang. Sementara, kedua bola
matanya senantiasa melotot besar seperti hendak
keluar dari rongganya. Mulutnya pun amat lebar
dan bergigi kecil-kecil seperti gigi ikan. Gusi, li-
dah, dan rongga mulutnya berwarna merah da-
rah.
Wajah yang cukup menggidikkan itu masih
ditambah lagi dengan adanya tanduk yang tum-
buh di antara riap-riap rambut. Ujung tanduk le-
laki berumur sekitar lima puluh tahun itu me-
lengkung ke depan dan tampak runcing berkilat.
Dia Wanara Kadang atau Iblis Pemburu
Dosa!
Tersiram cahaya rembulan temaram, ketu-
runan Saka Wanengpati itu tampak menyeringai
dingin. Ditatapnya lekat-lekat wajah dan tubuh
Kusuma Suci yang elok menawan, laksana seekor
buaya lapar yang hendak menelan mangsanya
bulat-bulat.
"Jahanam! Lepaskan aku!" geram Kusuma
Suci, mengumpulkan keberanian.
Wanara Kadang tak menyahuti. Matanya
semakin tajam menatap wajah cantik Kusuma
Suci. Dia biarkan rambutnya yang semakin riap-
riapan tertiup angin. Dan manakala Kusuma Suci
balas menatap tajam, mendadak dia tertawa ber-
gelak-gelak.
"Ha ha ha...! Kau cantik sekali! Kau amat
mirip dengan ibumu. Hmmm.... Tanpa kuberi ta-
hu, kau pasti sudah tahu apa yang kulakukan
kepadamu, bukan?"
"Jahanam...!" geram Kusuma Suci lagi, mu-
lai timbul keberaniannya. "Keparat kau, Iblis
Pemburu Dosa! Aku tahu kau keturunan Saka
Wanengpati. Kalau hendak membuat perhitungan
dengan anggota Perkumpulan Beruang Merah,
kenapa kau berbuat licik seperti ini? Lepaskan
aku! Ku tantang kau untuk mengadu jiwa!"
"Ha ha ha...!" sergap Iblis Pemburu Dosa
dengan suara tawanya yang serak parau. "Ru-
panya, kau punya nyali juga, Anak Manis. Bebe-
rapa kata yang kau ucapkan benar. Aku memang
bermaksud membuat perhitungan dengan selu-
ruh anggota Perkumpulan Beruang Merah yang
masih tersisa. Karena, tak ada lagi yang dapat ku-
lakukan untuk membasmi anak keturunan Bua-
na Seta. Salya Tirta Raharja pun kukira sudah
menjadi santapan rayap dan cacing tanah! Ha ha
ha...! Namun, untuk membunuh orang-orang tolol
itu adalah persoalan mudah. Aku ingin mencabik-
cabik rasa hati mereka terlebih dulu! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, tangan kiri Wana-
ra Kadang mengibas. Gerakannya pelan, namun
tiupan angin yang ditimbulkan sudah cukup
mampu untuk menyingkap kain bawah Kusuma
Suci yang berwarna biru.
Sementara Kusuma Suci memekik kaget
karena bagian tubuhnya yang terlarang dilihat
orang, Wanara Kadang tertawa bergelak lebih ke-
ras. Bola matanya pun melotot makin besar, tak
berkedip menatap kulit mulus Kusuma Suci. Be-
gitu tawanya terhenti, napas Wanara Kadang
langsung terdengar memburu. Aliran darahnya ti-
ba-tiba berdesir tak karuan....
Kusuma Suci yang sudah tahu adanya api
permusuhan antara anak keturunan Saka Wa-
nengpati dengan anak keturunan Buana Seta,
bergidik ngeri bukan main. Mati bukanlah hal
yang menakutkan baginya. Tapi, kalau mati den-
gan keadaan ternoda? Bagi Kusuma Suci, hal se-
perti itu jauh lebih menakutkan dari siksa neraka
sekalipun!
Dia pun tak bisa membayangkan betapa
hancur perasaan ibunya setelah mengetahui ak-
hir dari nasibnya. Begitu pula dengan perasaan
neneknya yang juga sangat menyayanginya. Pera-
saan adiknya pula. Dan, anggota Perkumpulan
Beruang Merah lainnya pasti akan merasakan hal
yang sama. Perasaan mereka akan teriris pedih-
perih!
Membayangkan apa yang akan segera ter-
jadi pada dirinya, hati Kusuma Suci jadi dikuasai
ketakutan lagi. Sementara, Wanara Kadang yang
tengah menikmati kehalusan kulit si gadis dengan
tatapan matanya jadi kecewa. Angin yang tiba-
tiba bertiup kencang mengembalikan kain bawah
Kusuma Suci. Bagian bawah tubuh si gadis tertu-
tup lagi.
"Haram jadah!" maki Wanara Kadang, me-
numpahkan rasa kesal.
Tapi tiba-tiba..., lelaki berbulu lebat men-
geluarkan suara menggerendeng yang tak jelas
apa maksudnya. Terbelalak mata Kusuma Suci
seketika. Bukan karena mendengar suara aneh
yang keluar dari mulut Wanara Kadang, melain-
kan karena melihat gumpalan api yang menyem-
bur dari ujung tanduk lelaki berbulu lebat itu!
Wuusss...!
Menjerit dan memekik Kusuma Suci tere-
jam rasa takut dan ngeri. Gumpalan api yang
menyembur dari ujung tanduk Wanara Kadang
membakar kain bawahnya.
Dan..., api panas berwarna merah menyala
itu cepat sekali merambat ke atas. Tentu saja Ku-
suma Suci semakin menjerit keras karena merasa
kepanasan.
Namun sebelum panasnya api turut mem-
bakar tubuh si gadis, cepat Wanara Kadang men-
gibaskan telapak tangannya.
Hawa dingin menebar. Api yang membakar
pakaian Kusuma Suci langsung padam. Tinggal-
lah tubuh si gadis yang hampir telanjang. Hebat-
nya, kulit tubuh Kusuma Suci yang sempat terji-
lat api tak sedikit pun terdapat luka ataupun me-
lepuh. Tubuh si gadis tetap halus mulus tanpa
noda!
Dan karena semburan api tadi membuat
Kusuma Suci hampir telanjang, tak dapat lagi ib-
lis Pemburu Dosa menahan gejolak hasratnya.
Dengan napas berdebur kencang, dia langsung
bergerak menerkam. Dan..., rasa takut dan ngeri
di hati Kusuma Suci membuatnya jatuh pingsan.
Tapi....
Slaps...! Slaps...!
Dari atas bongkahan batu besar tiba-tiba
melesat seberkas sinar kebiruan. Sinar itu mele-
sat cepat sekali. Begitu menerpa tanah langsung
membuat tabir yang melindungi tubuh Kusuma
Suci!
Wanara Kadang yang tak menduga akan
datangnya tabir berupa sinar biru itu, tak sempat
menghentikan luncuran tubuhnya lagi. Diiringi
suara berdentum cukup keras, tubuh Wanara
Kadang terpental balik lalu jatuh terbanting ke
tanah berbatu-batu!
"Jahanam!" geram lelaki bertampang amat
buruk itu. "Kalau hendak membuat perkara den-
gan Iblis Pemburu Dosa, bukan sekarang wak-
tunya. Biarkan aku mewujudkan keinginanku dulu, Bangsat!"
Wanara Kadang sudah tahu kalau ada
orang yang hendak menghalangi niatnya. Tapi,
hasratnya yang sudah bergolak naik membuatnya
lupa diri. Dia tak peduli pada kehadiran seseo-
rang yang telah berdiri sekitar sepuluh tombak
dari hadapannya.
Dengan mengerahkan segenap tenaga da-
lamnya, Wanara Kadang berusaha menjebol tabir
biru yang melindungi tubuh Kusuma Suci. Sesaat
tampak Wanara Kadang menyorongkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Tapi saat menyentuh
tabir biru yang berupa sinar itu, ia memekik pa-
rau. Telapak tangannya terasa menyentuh bara
api yang amat panas. Sehingga, terpaksa Wanara
Kadang meloncat mundur karena rasa panas itu
terus menjalar ke sekujur tubuhnya.
"Jahanam...!" geram Wanara Kadang, lebih
keras.
Merasa dipermainkan orang, mendidih naik
darah lelaki berumur lima puluh tahun itu. Begi-
tu cepatnya dia dikuasai hawa amarah, hingga
dia jadi lupa pada Kusuma Suci yang masih terge-
letak pingsan tak jauh dari hadapannya. Dengan
mengeluarkan suara menggereng laksana hari-
mau hendak menerkam mangsa, dia meloncat
mendekati seorang lelaki yang berdiri terbungkuk
di atas bongkahan batu besar.
Lelaki itulah yang telah menyelamatkan
kehormatan Kusuma Suci. Saat tubuh Iblis Pem-
buru Dosa telah mendarat di tanah, tabir biru
yang melindungi tubuh Kusuma Suci langsung
lenyap. Orang yang membuat tabir sinar itu sen-
gaja melenyapkannya karena Iblis Pemburu Dosa
tak lagi berbahaya bagi si gadis.
"Berani menginjakkan kaki di Gurun Se-
laksa Batu ini saja sudah merupakan kesalahan
besar. Apalagi, kau telah sengaja menggangguku!"
ujar Wanara Kadang. "Punya nyawa rangkap pun
jangan harap kau dapat meloloskan diri dari tan-
gan mautku!"
Orang yang berdiri di atas bongkahan batu
cuma tersenyum tipis. Setelah menggaruk kepa-
lanya yang tak gatal, terdengarlah suara tawa ter-
kekeh-kekeh dari mulutnya.
Tersiram cahaya rembulan, dapatlah dike-
nali bila dia seorang kakek tua-renta bertubuh
kurus-kering. Rambutnya putih panjang, digelung
ke atas dan dilingkari sebuah gelang perak. Raut
wajahnya mencerminkan sifat welas-asih. Tapi,
tatapan matanya tampak kosong seperti orang be-
rotak bebal.
Anehnya, pakaian kakek yang tampak su-
dah amat uzur itu senantiasa menebarkan aroma
harum kayu cendana, walau telah kusut kumal
karena termakan umur. Menilik ciri-ciri itu, siapa
lagi dia kalau bukan Turangga Seta yang lebih di-
kenal dengan julukan Dewa Dungu!
"He he he...," tawa kekeh si kakek. "Aku tak
mengenalmu. Kau pun pasti belum mengenalku.
Jadi, kita sama-sama tak mengenal. He he he....
Malam-malam begini aku berada di tempat ini ka-
rena kebetulan saja. Jelasnya, aku tersesat. Aku
sedang mencari muridku. Apakah kau tahu? Eh!
Eh! Geblek benar aku ini! Kau belum mengenal-
ku, kau pasti tak mengenal pula muridku. Tapi...,
kulupakan dulu soal muridku itu. Aku ingin tahu,
kenapa kau bisa punya wajah dan bentuk tubuh
begitu buruk? Tapi, kenapa kelakuanmu lebih
buruk lagi?"
Kalimat Dewa Dungu nyerocos panjang se-
perti orang gila yang sedang ngomel. Namun,
ujung kalimat si kakek jelas bermakna sindiran.
Iblis Pemburu Dosa yang tak dapat menahan ha-
wa amarah mengeluarkan suara menggerendeng
keras. Lalu....
Wuusss...!
Ujung tanduk lelaki berbulu lebat itu me-
nyemburkan gumpalan api merah menyala-nyala.
Namun, Dewa Dungu malah tertawa terkekeh-
kekeh. Hebatnya, udara yang keluar dari mulut si
kakek mampu memadamkan gumpalan api yang
hendak membakar tubuhnya!
"Jahanam...!" umpat Wanara Kadang, se-
perti hendak menghalau rasa sesak di dadanya
akibat desakan hawa amarah. "Datang ke Gurun
Selaksa Batu ini agaknya kau berbekal kepan-
daian hebat. Namun, tak ada yang perlu kau pa-
merkan lagi! Sekarang juga nyawamu akan kuan-
tar ke neraka!"
Usai berkata, Iblis Pemburu Dosa memu-
tar-mutar kedua tangannya di depan dada. Jelas
sekali bila dia hendak mengeluarkan ilmu 'Lima
Pukulan Pencair Tulang'.
Mengingat kehebatan ilmu pukulan itu,
dapatkah Dewa Dungu menghindari lubang
maut?
Sementara, ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tu-
lang' yang dimiliki Iblis Pemburu Dosa selain he-
bat luar biasa, juga teramat kejam. Walau tenaga
dalam lawan lebih unggul sampai tiga tingkat,
jangan harap dapat bertahan dari gempuran ilmu
pukulan sesat itu!
DELAPAN
DEWA Dungu tampak tersenyum-senyum,
lalu menyambung senyumnya itu dengan tawa
panjang terkekeh-kekeh. Si kakek belum dapat
mengukur seberapa tinggi ilmu kesaktian Iblis
Pemburu Dosa. Oleh karenanya, dia tidak berani
gegabah. Kalau dia selalu menampakkan senyum
dan tawa, itu karena sifatnya yang selalu riang
gembira.
Semakin panas hati Wanara Kadang meli-
hat Dewa Dungu bersikap tenang, padahal dia
bermaksud mengeluarkan salah satu ilmu kesak-
tiannya yang terhebat. Maka, semakin kuat do-
rongan nafsu Wanara Kadang untuk segera me-
nyudahi riwayat kakek bertubuh kurus kering itu.
Tapi, alangkah kecewanya Iblis Pemburu
Dosa. Walau dia berkali-kali berusaha menya-
rangkan pukulan, tak satu pun serangannya yang
mengenai sasaran. Kelebatan tubuh Dewa Dungu
terlalu cepat untuk dapat dikejar kepalan tangan
Iblis Pemburu Dosa. Ilmu peringan tubuh Dewa
Dungu yang bernama 'Lesatan Angin Meniup Din-
gin' memang unggul dua tingkat. Sehingga, Iblis
Pemburu Dosa laksana mengejar-ngejar asap ke-
labu yang tak pernah bisa disentuhnya.
"Jahanam!" geram Wanara Kadang untuk
kesekian kalinya. "Menilik tingkah-lakumu, agak-
nya kau sengaja hendak mempermainkan aku.
Hmm.... Boleh-boleh saja kau turuti kata hatimu
itu. Tapi..., bagaimana kalau aku menantangmu
mengadu tenaga?"
Dewa Dungu menyambut tantangan lelaki
berbulu lebat itu dengan suara tawa. "He he he....
Mengadu tenaga? Apa kau tak takut mati? He he
he.... Tapi..., kalau aku yang mati? Hiii...! Aku
memang sudah amat tua, tapi aku belum mau
mati...."
"Jangan banyak cakap!" sergap Iblis Pem-
buru Dosa, keras membentak. "Kalau takut, sege-
ra enyah dari hadapanku! Kalau berani, segera
kau kerahkan seluruh tenaga dalammu!"
Dewa Dungu yang pada dasarnya berjiwa
jantan, pantang menolak tantangan. Apalagi, tan-
tangan itu berasal dari seseorang yang nyata-
nyata punya perilaku jahat. Maka, walau si kakek
masih menyambuti ucapan Wanara Kadang den-
gan suara tawanya yang cempreng, segera dia
mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan
kanan.
Wanara Kadang yang melihat pergelangan
tangan Dewa Dungu bergetar langsung bersorak
girang dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi, cepat
dia keluarkan ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol Pe-
rut'. Sesaat bola mata Wanara Kadang tampak
berbinar. Dia sudah yakin benar akan kedahsya-
tan ilmu kesaktiannya. Walau tenaga dalam la-
wan unggul sampai tiga tingkat, sang lawan itu
tetap akan mati dengan perut jebol!
"Sudan siapkah kau, Orang Edan?!" ujar
Iblis Pemburu Dosa. Suaranya terdengar mengge-
ram walau hatinya girang bukan main. Kemenan-
gan seakan telah berada di pelupuk matanya.
"He he he.... Mestinya yang menanyakan
itu aku. Aku sudah siap sedari tadi. He he he...,"
sahut Dewa Dungu diiringi suara tawanya yang
berderai panjang.
Mendengus gusar Wanara Kadang. Diam-
bilnya ancang-ancang untuk segera meloncat ke
depan. Tapi sebelum adu tenaga itu benar-benar
terjadi, mendadak....
"Tunggu...!"
Terdengar sebuah teriakan keras mengge-
legar. Begitu kerasnya, sampai-sampai suara te-
riakan itu membahana panjang di seantero Gurun
Selaksa Batu.
Di lain kejap, berkelebat sesosok bayangan.
Saat berhenti, dapatlah dilihat bila dia seorang
pemuda remaja berpakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain merah. Parasnya tampan, namun
menyiratkan sinar keluguan dan kejujuran.
"Seno Prasetyo...!" seru girang Dewa Dungu
seraya melonjak-lonjak seperti anak kecil yang
baru mendapat mainan kesukaannya.
"Kakek Turangga Seta...!" balas si pemuda
yang memang Seno Prasetyo adanya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap itulah yang
telah menggagalkan niat Dewa Dungu untuk
mengadu tenaga dengan Iblis Pemburu Dosa.
"Aku tak menyangka bila Kakek berada di
tempat ini...," lanjut Seno seraya berlutut di de-
pan Dewa Dungu. "Kakek dapat berdiri tegak,
bahkan berniat pula mengadu tenaga, agaknya
kedua kaki Kakek sudah sembuh...."
"He he he...," tertawa Dewa Dungu dengan
bola mata terus berbinar-binar. "Bangunlah. Ban-
gunlah.... Kau murid yang baik. Kau punya pera-
datan bagus. Tapi, nanti saja kita lanjutkan bica-
ra. Aku masih punya sedikit urusan dengan orang
jahat itu...."
Bergegas Pendekar Bodoh bangkit. Setelah
membungkuk hormat kepada gurunya, dia tatap
lekat-lekat Sosok Iblis Pemburu Dosa. Walau be-
lum pernah melihat langsung, Pendekar Bodoh
yakin bila orang yang ditatapnya itu memang Iblis
Pemburu Dosa. Kembang Andini pernah menceri-
takan bagaimana ciri-ciri keturunan Saka Wa-
nengpati itu.
Sementara, Iblis Pemburu Dosa yang meli-
hat kehadiran Seno jadi terkejut bukan main.
Tempo hari, bukankah pemuda itu telah terjeblos
ke lubang jebakan yang amat dalam? Bagaimana
dia bisa selamat?
Wanara Kadang tak mampu menjawab per-
tanyaan yang berkecamuk di benaknya, Namun,
dia tak mau peduli. Wanara Kadang yakin, saat
ini dengan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang'
dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut' tak akan
ada orang yang sanggup mengalahkannya. Ter-
masuk Pendekar Bodoh dan kakek berbaju kumal
yang disebut si pemuda sebagai Turangga Seta
itu!
"Hmmm.... Tampaknya, kalian guru dan
murid. Kebetulan sekali kalau begitu. Ku tantang
kalian untuk mengadu tenaga bersama-sama...,"
ujar Iblis Pemburu Dosa, jumawa.
"Boleh! Boleh!" sambut Pendekar Bodoh
tanpa pikir panjang, ucapannya terdengar amat
lugu.
"Eh! Eh!" ucap Dewa Dungu sambil mene-
puk bahu muridnya itu. "Aku sudah menyanggupi
tantangannya. Tak perlu kau turut campur. Urus
saja gadis itu!"
Terperanjat kaget Seno saat mengarahkan
pandangan ke tempat yang ditunjukkan Dewa
Dungu. Tersipu malu si pemuda melihat sosok
tubuh nyaris telanjang milik Kusuma Suci yang
tergeletak sekitar dua puluh tombak dari tempat-
nya berdiri. Jantung Seno langsung berdegup
kencang. Berbagai dugaan buruk segera mem-
bayang di benaknya.
"Bukankah itu putri Bidadari Satu Hati
yang baru kujumpai sore tadi?" desis Seno. "Ke-
napa dia berada di tempat ini?"
"Orang buruk rupa itu hampir meno-
dainya...," beri tahu Dewa Dungu. "Kita berbagi
tugas saja. Aku mengurus penjahat jelek ini. Kau
mengurus gadis itu. Ambil sesuatu untuk menu-
tupi tubuhnya. Jangan sampai dia masuk angin.
He he he...."
"Ah! Tidak! Tidak!" tolak Pendekar Bodoh,
tegas. "Kakek saja yang mengurus gadis itu. Se-
lain malu, sebenarnya yang punya urusan dengan
Iblis Pemburu Dosa adalah aku. Lagi pula, Kakek
belum tahu kalau orang jahat itu punya ilmu se-
sat yang amat menggiriskan. Kalau sampai ber-
sentuhan kulit, setiap lawannya akan mati den-
gan perut jebol atau tulang-belulangnya mencair.
Harap Kakek mau mengerti...."
"Ya! Ya! Aku bisa mengerti. Kau cegah aku
mengadu tenaga, mungkin karena kekhawatiran-
mu itu. Tapi,.., kau sendiri apa punya ilmu untuk
menundukkan orang jahat itu?"
"Jangan khawatir...," sahut Seno, yakin se-
kali. "Kakek urus saja gadis itu. Aku akan...."
"Jahanam...!" bentak Iblis Pemburu Dosa
tiba-tiba. "Ku tantang kalian berdua, kenapa ma-
lah berunding yang tak ada ujung-pangkalnya?
Mati saja kalian berdua!"
Di ujung kalimatnya, Wanara Kadang me-
nerjang ganas. Tangan dan kakinya bergerak ber-
samaan untuk menghajar tubuh Pendekar Bodoh
dan Dewa Dungu!
"Aku yang akan melayaninya! Kakek harus
mau mengurus gadis itu!" seru Pendekar Bodoh.
Cepat pemuda lugu itu mengambil tinda-
kan. Dewa Dungu yang sedang terlongong-
bengong didorongnya ke arah Kusuma Suci. Se-
mentara, dia sendiri langsung berkelit untuk
menghindari tendangan Wanara Kadang.
Pendekar Bodoh segera terlibat pertempu-
ran seru melawan Iblis Pemburu Dosa. Dewa
Dungu tampak menggerutu panjang-pendek. Do-
rongan Pendekar Bodoh tadi hampir membuatnya
jatuh telungkup. Untung dia langsung meloncat
jauh sambil mencari keseimbangan tubuhnya. Se-
lain pukulan Wanara Kadang dapat dihindari, dia
pun dapat mendarat sigap di tanah.
Namun ketika melihat sosok tubuh Kusu-
ma Suci, si kakek malah berdiri termangu sampai
beberapa lama. Berulang kali dia menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
"Uh! Uh!" keluh kakek tua renta itu, entah
apa yang dikeluhkannya.
Plok! Plok!
Dua kali kakek berbaju kumal itu meng-
gaplok kepalanya sendiri. "Aku sudah terlalu tua
untuk melihat pemandangan seperti itu! Uh! Uh!
Andai kesempatan ini kudapatkan lima puluh ta-
hun yang lalu, tentu aku akan senang sekali. Ta-
pi.... Uh! Uh...!"
Sambil terus menggerutu, Dewa Dungu
melangkah. Gerutuan si kakek semakin keras
terdengar ketika langkah kakinya semakin dekat
dengan tubuh Kusuma Suci yang masih tergolek
pingsan. Walau melihat dengan mata disipitkan,
dia tahu kalau keadaan Kusuma Suci tidaklah
mengkhawatirkan. Si gadis cuma pingsan tanpa
menderita luka apa pun.
Sesaat kemudian, Dewa Dungu tampak si-
buk merogoh-rogoh saku bajunya. Sibuk sekali
dia, sampai-sampai wajahnya terlihat amat te-
gang. Padahal....
"Uh! Mana kain kumalku?! Mana?! Mana?!"
ucap si kakek, ganti merogoh-rogoh saku cela-
nanya.
Kakek itu semakin tampak sibuk. Cela-
nanya yang gedombrongan ternyata banyak ter-
dapat saku maupun lipatan-lipatan tersembunyi.
Namun setelah apa yang dicarinya dapat ditemu-
kan, tersenyum senanglah dia.
Ditimangnya sebentar lipatan kain merah
jambu yang tampak sudah amat kusut. Lebarnya
cuma seperempat telapak tangan. Namun ketika
lipatannya dibuka, ternyata kain itu cukup lebar
untuk dapat menyelimuti tubuh Kusuma Suci
yang nyaris telanjang.
Di lain kejap, terlihatlah Dewa Dungu du-
duk mendeprok di dekat bongkahan batu besar,
sekitar sepuluh tombak jaraknya dari tempat Ku-
suma Suci terbaring pingsan. Si kakek tengah
asyik menyaksikan pertempuran antara Pendekar
Bodoh melawan Iblis Pemburu Dosa. Sesekali dia
tertawa bergelak-gelak melihat Iblis Pemburu Do-
sa yang harus berloncatan ke sana-sini karena
mengejar bayangan Pendekar Bodoh, yang sedari
tadi belum memberikan serangan balasan. Si pemuda terus berkelebatan dengan ilmu 'Lesatan
Angin Meniup Dingin'-nya, menunggu kesempa-
tan untuk menerapkan ilmu ataupun jurus yang
didapatkannya dari kitab peninggalan Salya Tirta
Raharja.
Belum begitu lama Dewa Dungu menyaksi-
kan pertempuran yang menyenangkan hatinya
itu, mendadak indera pendengarannya yang tajam
mendengar suara kelebatan orang berlari cepat.
Ketika menoleh ke belakang, samar-samar Dewa
Dungu melihat tiga sosok bayangan yang berkele-
bat ke arahnya, atau tepatnya menuju ke tempat
Iblis Pemburu Dosa yang sedang mencecar Pen-
dekar Bodoh dengan serangan mematikan.
"Hei! Hei!" teriak Dewa Dungu ketika tiga
sosok bayangan yang dilihatnya telah mendekat.
Tiga sosok bayangan semuanya wanita.
Mereka tak lain Kembang Andini, Puspa Kencana,
dan Sekar Telasih. Sementara, begitu melihat so-
sok Dewa Dungu, Kembang Andini langsung
mendekati kakek tua renta itu.
"Aku tahu yang tengah bertempur itu Iblis
Pemburu Dosa dan Pendekar Bodoh. Apakah kau
datang bersama muridmu itu?" ujar si nenek.
"Ah! Tidak! Semua terjadi hanya kebetulan.
Tapi, kedatanganmu ini tentu tidak kebetulan ka-
rena ada orang yang benar-benar membutuhkan
pertolonganmu," sahut Dewa Dungu.
"Pertolongan? Siapa yang membutuhkan
pertolonganku?"
"Lihat itu!"
Kembang Andini, Puspa Kencana, dan Se-
kar Telasih menoleh bersamaan, mengarahkan
pandangan ke tempat yang ditunjukkan Dewa
Dungu. Walau samar-samar, mereka bertiga ma-
sih dapat mengenali sosok Kusuma Suci yang
tengah tergolek pingsan.
"Gadis itu tak apa-apa! Dia hanya butuh
pakaian!" seru Dewa Dungu. "Setelah kau tolong
dia, bergegaslah kemari. Kita saksikan pertempu-
ran yang begitu mengasyikkan itu! Lekaslah, An-
dini! Aku ingin kau menjadi saksi kehebatan mu-
ridku!"
SEMBILAN
LIMA belas jurus berlalu cepat. Belum juga
Seno melihat kesempatan untuk menerapkan il-
mu ataupun jurus yang pernah dipelajarinya dari
kitab peninggalan Salya Tirta Raharja. Karena de-
sakan rasa jengkel, tanpa pikir panjang Seno
mengeluarkan salah satu ilmu pukulan 'Dewa
Badai Rontokkan Langit', yakni 'Pukulan Inti Din-
gin'. Begitu dialiri tenaga dalam, pergelangan tan-
gan kanan si pemuda langsung berubah warna
menjadi kuning keemasan.
Terperanjat Iblis Pemburu Dosa. Menda-
dak, hawa dingin malam dirasakannya semakin
dingin dan membekukan tulang. Terhantam ke-
terkejutan yang menyesakkan dada, tanpa sadar
Iblis Pemburu Dosa meloncat jauh ke belakang.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Pen-
dekar Bodoh. Saat tubuh Iblis Pemburu Dosa ma-
sih melayang di udara, cepat si pemuda menyo-
rongkan telapak tangan kanannya ke depan!
"Hiaahh...!"
Wuussh...!
Tanpa dapat dibendung lagi, lapisan salju
kuning keemasan keluar bergumpal-gumpal dari
telapak tangan Pendekar Bodoh. Dan..., tepat
menerpa tubuh Iblis Pemburu Dosa!
Diiringi jerit melengking panjang, tubuh
Wanara Kadang terlontar jauh, lalu jatuh terbant-
ing di atas tanah berbatu-batu. Sesaat kemudian,
dapatlah dilihat bila tubuh lelaki berbulu lebat itu
telah terbungkus lapisan salju kuning keemasan
wujud dari 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar Bodoh
Hingga lima tarikan napas, tak ada lagi
tanda-tanda kehidupan pada diri Wanara Kadang.
Seno sempat menatap heran. Kenapa begitu mu-
dah membunuh keturunan Saka Wanengpati itu?
Mengingat riwayat Salya Tirta Raharja yang
mengasingkan diri di gua bawah tanah untuk
memperdalam ilmu kesaktian, Seno tak yakin bila
Iblis Pemburu Dosa telah mati. Segala jerih-payah
Salya Tirta Raharja bukankah untuk menumpas
keturunan Saka Wanengpati yang nyata-nyata ja-
hat? Kalau Iblis Pemburu Dosa begitu mudah di-
bunuh, sungguh tak sebanding dengan jerih
payah Salya Tirta Raharja yang sampai harus
mengorbankan nyawanya.
Terdorong rasa tidak percayanya, Seno me
langkah mendekati tubuh Wanara Kadang yang
masih terbungkus lapisan salju. Namun belum
genap sepuluh tindak, dia terhenyak. Lapisan sal-
ju yang membungkus tubuh Wanara Kadang tiba-
tiba ambyar dan berpentalan ke udara. Lalu....
Terdengar suara tawa bergelak-gelak seir-
ing melentingnya tubuh Wanara Kadang. Ternya-
ta, lelaki bertampang amat buruk itu memang be-
lum mati. Ketika mendarat di tanah, dapatlah di-
lihat bila dia dalam keadaan segar-bugar tanpa
kurang suatu apa. 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar
Bodoh benar-benar tak membuatnya cedera sedi-
kit pun!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Wanara Kadang.
"Bocah gemblung! Ilmu pukulanmu tidaklah se-
hebat keberanianmu. Mana dapat kau membu-
nuhku? Andai kau dapat menghitung bulu-bulu
tubuhku, kau pasti akan tahu bila tak ada sehelai
pun yang rontok. Ilmu pukulanmu benar-benar
payah! Ha ha ha...!"
Nyengir kuda Seno.
Tak dapat dia menutupi kekagumannya.
Selama ini, belum ada orang yang mampu mena-
han "Pukulan Inti Dingin'-nya apalagi jika orang
itu sampai terkena dengan telak. Namun, karena
Seno sudah tahu cerita kejahatan Iblis Pemburu
Dosa, rasa kagumnya segera lenyap tanpa tersisa.
Maka sebelum iblis Pemburu Dosa mengawali se-
rangan lagi, bergegas dia persiapkan bagian ilmu
pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit' lainnya,
yaitu "Pukulan inti Panas".
Wanara Kadang boleh tak mempan
'Pukulan Inti Dingin'. Tapi kalau tubuhnya diter-
pa hawa panas yang mempunyai daya penghan-
cur dahsyat, masih mampukah dia bertahan? Se-
no tidak begitu yakin. Namun, apa salahnya ka-
lau dicoba?
"Apa katamu tadi? Bulu-bulu tubuhmu tak
ada yang rontok?" ujar Pendekar Bodoh, seperti
mengajak bercanda. "Ah! Mana aku percaya?
Mendekatlah kemari. Akan kucoba untuk menghi-
tung...."
Mendengus gusar Wanara Kadang.
Dia bukanlah anak kecil yang mudah dibo-
dohi. Pergelangan tangan kiri Seno telah berubah
warna menjadi putih berkilat. Dia tahu bila si
pemuda telah mempersiapkan ilmu pukulan lain-
nya. Mana mau dia mendekatinya begitu saja?
Apalagi, udara malam yang dingin mendadak be-
rubah panas menyengat. Udara panas itu mene-
bar dari pergelangan tangan Seno.
"Hmmm.... Kalau begitu maumu, baik-
lah...," sambut Iblis Pemburu Dosa seraya me-
langkah mendekati Seno. Namun, baru mendapat
tiga tindak, tiba-tiba dia memekik parau. Sepuluh
jari tangannya yang terkepal siap menjatuhkan
'Lima Pukulan Pencair Tulang'.
Melihat tubuh Wanara Kadang yang mele-
sat cepat ke arahnya, ringan saja Seno menjejak
tanah. Dengan berjumpalitan tiga kali di udara,
tahu-tahu tubuh si pemuda telah berada di bela-
kang Wanara Kadang.
"Aku di sini, Tampang Jelek!" seru Seno.
Kecewa bukan main Iblis Pemburu Dosa
ketika sosok Pendekar Bodoh lenyap dari pandan-
gannya. Dan saat mendengar ejekan si pemuda,
bergegas dia membalikkan badan. Namun....
"Terimalah ini...!"
Wuusss...!
Hentakan telapak tangan kiri Seno menim-
bulkan lidah-lidah api putih yang menyebar ga-
nas. Seluruh tempat di Gurun Selaksa Batu nya-
ris berubah terang-benderang.
Begitu terangnya lidah-lidah api putih yang
keluar dari telapak tangan Seno, pandangan Iblis
Pemburu Dosa terasa telah menjadi buta. Belum
sempat ia menyadari keadaan, mendadak tubuh-
nya terlontar! Jerit panjang keluar dari mulut le-
laki bertampang buruk itu karena terejam hawa
panas luar biasa!
Tubuh Wanara Kadang tak sampai terlon-
tar jauh. Bongkahan batu besar telah menahan.
Hebatnya, batu sebesar kerbau itu retak, lalu pe-
cah menjadi beberapa bagian. Sementara, Wanara
Kadang terus menjerit-jerit dan berkelojotan di
tanah.
Namun, peristiwa yang cukup menggidik-
kan itu tak berlangsung lama. Mendadak, lidah-
lidah api yang menyelubungi tubuh Wanara Ka-
dang padam. Dan..., lelaki itu bangkit tanpa men-
derita luka apa-apa. Bahkan, bulu-bulu tubuhnya
pun tetap seperti semula, tak terbakar ataupun
rontok!
"Astaga...!" kesiap Seno.
Terbelalak lebar mata pemuda remaja itu.
Mulutnya pun sampai terbuka beberapa lama.
"Manusia atau silumankah dia?" katanya dalam
hati.
"Hmmm.... Dua kali kau menyarangkan
pukulan jarak jauh. Kini akulah yang akan me-
mukulmu!" seru Iblis Pemburu Dosa.
Usai berkata, Wanara Kadang cepat mener-
jang Pendekar Bodoh yang masih berdiri terpu-
kau. Namun ketika mendengar suara angin ber-
kesiur, Pendekar Bodoh menyadari keadaan. Ber-
gegas dibuangnya tubuh ke kanan untuk meng-
hindari pukulan beruntun Wanara Kadang.
Didahului suara menggerendeng, menda-
dak ujung tanduk Wanara Kadang menyembur-
kan gumpalan api merah menyala-nyala. Pende-
kar Bodoh yang sudah berada dalam kewaspa-
daan penuh, bergegas mengibaskan telapak tan-
gannya untuk menciptakan tiupan angin ken-
cang. Sengaja dia tidak menggunakan Tongkat
Dewa Badai-nya. Ilmu ataupun jurus yang terda-
pat dalam kitab peninggalan Salya Tirta Raharja
tak terdapat gerakan yang memakai senjata, se-
muanya berdasarkan gerakan tangan kosong.
Kibasan telapak tangan Pendekar Bodoh
yang disertai sebagian besar tenaga dalamnya
terbukti dapat menimbulkan tiupan angin ken-
cang bergemuruh, tak kalah hebat dibanding
dengan kibasan Tongkat Dewa Badai. Hebatnya,
tiupan angin kencang itu bukan saja mampu menahan semburan api yang berasal dari ujung tan-
duk Wanara Kadang, tetapi juga mampu memba-
likkan arah semburannya!
Namun..., Iblis Pemburu Dosa malah ter-
senyum senang melihat gumpalan api yang me-
nyerbu balik ke arahnya sendiri. Gumpalan api
merah menyala-nyala yang menyembur ganas itu
menutupi pandangan Iblis Pemburu Dosa mau-
pun Pendekar Bodoh. Akan tetapi, Iblis Pemburu
Dosa yang mempunyai ilmu kebal hebat tampak
meloncat sebat, menembus gumpalan api yang
masih melayang di udara!
Wesss...!
"Saat kematianmu telah tiba!" seru Wanara
Kadang, yakin sekali.
Terkejut bukan main Seno.
Mata murid Dewa Dungu itu terbelalak me-
lihat sosok tubuh Iblis Pemburu Dosa yang berke-
lebat cepat. Namun, dalam keterkejutan itu Seno
malah melihat gerakan atau jurus puncak dari
ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' yang tengah
diterapkan Iblis Pemburu Dosa.
Cepat pikiran Pendekar Bodoh bekerja.
Daya ingatnya melayang ke pelajaran yang terda-
pat dalam kitab peninggalan Salya Tirta Raharja.
Dan ketika kelebatan tubuh Iblis Pemburu Dosa
sudah begitu dekat untuk menyarangkan 'Lima
Pukulan Pencair Tulang', Pendekar Bodoh menga-
lirkan 'Tenaga Beruang Merah' ke kedua tangan-
nya.
"Hiaaahh...!"
Wut! Wut! Wuutt...!
Tiga pukulan Wanara Kadang berhasil di-
kelitkan dengan baik. Namun... pada pukulan ke-
tiga dan keempat, tiba-tiba kedua tangan Seno
bergerak cepat sekali. Menangkap pergelangan
tangan Wanara Kadang seraya menelikung sekuat
tenaga!
Krak! Krakk!
"Wuaahh...!"
Terdengar suara keretak tulang patah. Tu-
buh Wanara Kadang jatuh terbanting di tanah di-
iringi jerit kesakitan yang menyayat hati. Kedua
pergelangan tangannya tampak bengkok tidak
pada tempatnya. Karena, tulang kedua lengan itu
memang telah patah!
"Luar biasa! Luar biasa!" desis Seno, berdiri
terpukau menatap Wanara Kadang yang terus
mengeluh kesakitan. "Sepertinya, aku tak menya-
dari apa yang telah kulakukan. 'Tenaga Beruang
Merah' luar biasa. Aku tak merasakan apa-apa
ketika bersentuhan kulit dengan Iblis Pemburu
Dosa...."
Senang rasa hati Seno melihat kedua len-
gan Wanara Kadang yang telah patah. Dalam
keadaan seperti itu, mudah bagi Seno untuk me-
namatkan riwayatnya. Namun..., benarkah begi-
tu?
Ternyata tidak! Mendadak, Wanara Kadang
bangkit lagi. Kedua lengannya yang patah diluda-
hinya bergantian. Di lain kejap, kedua lengan ke-
turunan Saka Wanengpati itu dapat bekerja normal kembali seperti sediakala!
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh yang
melihat Iblis Pemburu Dosa menggerak-gerakkan
ke dua tangannya dengan bebas.
SEPULUH
KALI ini akal pikiran Iblis Pemburu Dosa
benar-benar dikuasai amarah dan segudang naf-
su membunuh. Cairan darahnya yang menggele-
gak naik membuat bola matanya berubah merah
berkilat. Tajam sekali menatap sosok Pendekar
Bodoh yang tengah berdiri terlongong-bengong.
Pijakan kaki lelaki bongkok itu berdebam
keras ketika melangkah mendekati Pendekar Bo-
doh. Permukaan tanah bergetar. Bersama debu
yang mengepul tebal, bongkah-bongkah batu ber-
geser tempat.
"Jika aku tak dapat membunuhmu, terku-
tuklah aku sebagai keturunan Saka Wanengpati.
Jahanam kau, Bocah Edan!" geram Wanara Ka-
dang.
"Kalau aku tak dapat membunuhmu, di
alam baka sana pastilah Kakek Salya Tirta Rahar-
ja mengutukku...," sahut Pendekar Bodoh meni-
rukan nada ucapan Wanara Kadang, namun ter-
dengar amat lugu.
"Heh?! Ada hubungan apa kau dengan ke-
parat itu?"
"Tak seberapa jauh dari tempatku berdiri
ini, bukankah aku pernah terjeblos ke lubang je-
bakan? Aku yakin kaulah yang menjebakku. Na-
mun..., tahukah kau bila di dalam lubang itu aku
justru mendapat keberuntungan?"
"Keberuntungan apa, heh?!"
"Aku menemukan tempat Kakek Salya Tirta
Raharja memperdalam ilmu kesaktian. Kau pasti
tahu benar riwayat keturunan Buana Seta itu.
Sayang, dia kutemui sudah dalam keadaan me-
ninggal dunia. Tapi, dia meninggalkan sebuah ki-
tab yang amat berharga. Kitab itu membeberkan
kelemahan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang'
dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut', juga berisi
tentang cara-cara meredam kedahsyatan dua il-
mu kebanggaanmu itu...."
"Omong kosong!" sergap Iblis Pemburu Do-
sa, "Kalau kau memang sudah tahu kelemahan
dua ilmu kebanggaanku, kenapa kau tak juga da-
pat membunuhku?"
Nyengir kuda Seno.
Sampai beberapa lama, pemuda lugu itu
tak tahu apa yang harus dikatakannya untuk
menyahuti ucapan Iblis Pemburu Dosa. Kenapa
dia belum juga bisa membunuh lelaki berbulu
itu? Apakah petunjuk dalam kitab peninggalan
Salya Tirta Raharja keliru? Atau, dia sendiri yang
kurang sempurna dalam menguasainya?
"Uh! Bukankah aku belum mencoba
'Tenaga Pembetot Jiwa' yang menjadi puncak ke-
hebatan 'Tenaga Beruang Merah'...?" pikir Seno.
"Kenapa kau diam saja?!" sentak Wanara
Kadang. "Apa kau telah menjadi gentar, heh?! Apa
kau hendak berubah niat untuk pergi dari tempat
ini? Hmmm.... Kalau tadi-tadi, bolehlah kau ku-
biarkan lolos, tapi sekarang? Jangan harap kau
dapat pergi dari Gurun Selaksa Batu dalam kea-
daan bernyawa!"
Akan tetapi... sebelum keturunan Saka
Wanengpati itu memulai serangannya, mendadak
Seno menghadapkan telapak tangannya ke depan.
Lalu..., dari sepuluh jari tangan si pemuda mele-
sat garis-garis sinar merah!
Srratt...! Weerrr...!
"Hek...!"
Sepuluh larik sinar itu langsung membelit
tubuh Iblis Pemburu Dosa yang terlambat meng-
hindar. Akibatnya, Iblis Pemburu Dosa tak dapat
lagi menggerakkan tubuhnya. Telapak kakinya
melekat erat di permukaan tanah. Sementara, ke-
dua tangan dan kakinya yang terbelit juga tak
dapat digerakkan, walau dia telah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk memutuskan ga-
ris-garis sinar yang melesat dari jemari tangan
Seno.
"Jahanam!" geram Wanara Kadang, keras
menggelegar. "Jangan main-main seperti ini! Ku
tantang kau bertempur secara jantan!"
"Lho! Bukankah kita telah bertempur seca-
ra jantan? Apa kau tak merasa?" sahut Pendekar
Bodoh.
Mendadak, murid Dewa Dungu itu mengge-
rakkan kedua tangannya. Gerakan si pemuda seperti tak mengandung tenaga, tapi akibatnya
sungguh di luar dugaan. Tubuh Wanara Kadang
langsung terpental jauh!
Dan sebelum tubuh lelaki berbulu lebat itu
jatuh ke tanah, garis-garis sinar merah yang se-
mula lenyap, tiba-tiba melesat lagi dari jemari
tangan Pendekar Bodoh.
"Hih...!"
Srattt...! Weerrr...!
Memekik parau Wanara Kadang. Kali ini
garis-garis sinar wujud dari 'Tenaga Beruang Me-
rah' itu membelit tubuhnya lebih erat. Dalam
keadaan melayang di udara, tubuh Wanara ka-
dang terseret, lalu jatuh berdebam tiga tombak
dari hadapan Pendekar Bodoh!
Namun... mendelik mata Pendekar Bodoh.
Si pemuda terhantam keterkejutan yang menye-
sakkan dada. Ketika jatuh ke tanah, seharusnya
tubuh Wanara Kadang hancur-lebur menjadi de-
bu. Tapi, kenapa tubuh lelaki berbulu lebat itu
tak mengalami luka apa-apa?
"Tenaga Beruang Merah'-nya belum sem-
purna...," desis Kembang Andini yang menyaksi-
kan pertempuran dari jarak cukup jauh.
"O, begitu?" sahut Dewa Dungu yang bera-
da di dekat si nenek.
Tanpa pikir panjang, bergegas kakek ber-
baju kumal itu bangkit seraya berkelebat cepat. Si
kakek mendarat tepat di belakang Pendekar Bo-
doh.
"Atur hawa murnimu, kubantu kau mele
nyapkan binatang menjijikkan itu!" seru Dewa
Dungu seraya menempelkan kedua telapak tan-
gannya ke punggung Seno.
Sejenak si pemuda nyengir kuda.
Namun mengingat tugas dari mendiang
Salya Tirta Raharja yang tengah diembannya, ce-
pat pemuda itu mengatur hawa murni untuk me-
nerima saluran tenaga dalam dari Dewa Dungu.
Saat merasakan hawa hangat mengalir dari pung-
gungnya yang ditempeli telapak tangan Dewa
Dungu, dia keluarkan lagi 'Tenaga Beruang Me-
rah'. Tampak kemudian....
Iblis Pemburu Dosa masih merangkak
bangkit ketika sepuluh jari tangan Pendekar Bo-
doh mengeluarkan garis-garis merah. Tentu saja
lelaki berperangai jahat itu tak dapat menghindar
ketika tubuhnya menjadi sasaran. Karena, seten-
gah bagian tenaganya telah musnah, membuat
dia tak bisa bergerak gesit lagi.
Sesaat kemudian, tubuh Wanara Kadang
tampak terpental jauh. Ketika 'Tenaga Beruang
Merah' kembali menyeretnya, dia pun cuma dapat
memekik panjang merasakan ajal yang telah de-
kat. Lalu....
Wesss...!
Bummm...!
Keras sekali tubuh Iblis Pemburu Dosa ter-
banting ke tanah. Permukaan tanah sempat ter-
guncang,
Dan..., tubuh keturunan Saka Wanengpati
itu tak tampak lagi karena telah hancur-lebur
menjadi debu yang mengepul di angkasa!
***
Malu-malu matahari menampakkan diri.
Perlahan namun pasti, semburat sinarnya mulai
menerangi bumi. Hari yang baru berganti, disam-
but lesatan aneka burung yang terbang riang di
angkasa luas.
Dipimpin Kembang Andini, Puspa Kencana,
beserta Sekar Telasih, dan Kusuma Suci menja-
tuhkan diri di hadapan Pendekar Bodoh. Hikmat
sekali mereka bersujud dan menghaturkan sem-
bah.
"Hei! Hei! Apa-apaan ini?!" tegur Seno sam-
bil menggeleng-gelengkan kepala.
"He he he...," tertawa terkekeh Dewa Dun-
gu. "Aku sudah mendengar cerita tentang dirimu
dari Kembang Andini. Kau berjodoh untuk men-
jadi Ketua Perkumpulan Beruang Merah. Hal itu
merupakan anugerah Tuhan yang tiada taranya.
Jangan bersikap tolol seperti itu, ah!"
"Uh! Uh!" keluh Seno. "Aku tak mau dis-
embah-sembah orang. Kalaupun aku memang
punya jodoh untuk menjadi Ketua Perkumpulan
Beruang Merah, bersikaplah biasa saja. Lagi pula,
aku belum benar-benar menjadi ketua. Bukankah
saat ini Perkumpulan Beruang Merah masih be-
rupa nama saja?"
Di ujung kalimat itu, Seno menekuk tubuh
seraya menepuk bahu Kembang Andini.
Nenek berkulit putih itu bangkit perlahan.
Puspa Kencana dan Sekar Telasih mengikuti.
Demikian juga dengan Kusuma Suci yang telah
memakai baju luar kakaknya.
"Anggota Perkumpulan Beruang Merah
yang tampak memang baru kami berempat...,"
ujar Kembang Andini kemudian. "Tapi, Tuan jan-
gan khawatir...."
"Sudah berkali-kali kubilang, jangan pang-
gil aku 'tuan'. Risih hatiku mendengar sebutan
itu," sela Pendekar Bodoh.
"Ya. Ya, Seno...," sambut Kembang Andini,
tampak sungkan sekali. Nenek ini memang sangat
setia kepada Perkumpulan Beruang Merah. Se-
hingga, tak enak rasa hatinya jika harus me-
manggil pemimpinnya dengan sebutan sembaran-
gan. Si nenek pun selalu menanamkan pengertian
kepada Puspa Kencana, Sekar Telasih, dan Ku-
suma Suci, bahwa mereka semua harus setia dan
rela mati demi kebesaran panji-panji perkumpu-
lan.
"Kau jangan khawatir, Seno...," lanjut
Kembang Andini. "Anggota Perkumpulan Beruang
Merah yang tampak memang baru kami berem-
pat. Namun, seperti yang kukatakan tempo hari,
satu candra lagi aku pasti akan dapat mengum-
pulkan anggota lainnya. Mereka semua akan setia
kepadamu, Seno...."
Lain benar dengan nenek berpakaian putih
penuh tambalan itu yang terus berkata-kata,
Puspa Kencana dan kedua putrinya cuma diam
membisu. Mereka bertiga telah menyadari kesala-
han yang mereka perbuat beberapa waktu lalu.
Bahkan, Puspa Kencana yang pernah punya niat
membunuh Pendekar Bodoh malah berdiri ter-
bungkuk dengan kepala menunduk dalam.
"Aku bangga sekali! Aku senang sekali!" se-
ru Dewa Dungu tiba-tiba.
Seperti orang gila, mendadak kakek berpa-
kaian kumal itu melonjak-lonjak dengan bola ma-
ta berbinar. Mulutnya pun tak henti berseru.
"Aku bangga sekali! Aku senang sekali! Mu-
ridku telah jadi orang besar! Gembira sekali rasa
hatiku! Selain berjiwa ksatria, muridku juga ber-
jiwa besar. Dia tak sombong! Dia tetap seperti du-
lu...!"
Entah apa lagi yang akan diucapkan kakek
tua renta itu. Yang jelas, Pendekar Bodoh jadi
amat canggung dan malu dibuatnya. Si pemuda
cuma nyengir kuda beberapa lama.
Selagi Dewa Dungu masih melonjak kegi-
rangan, Kembang Andini mengeluarkan kalung
'Permata Dewa Matahari' dari balik lipatan ba-
junya. Bergetar tangannya ketika menyerahkan
kepada Pendekar Bodoh.
"Kalung mustika ini adalah lambang keku-
asaan di Perkumpulan Beruang Merah. Kau ha-
rus membawanya, Seno...," ujar Kembang Andini.
"Ah! Kau bawa dulu saja, Nek...," tolak Se-
no. "Kau pasti memerlukan kalung itu. Bukankah
kau hendak mengumpulkan anggota lainnya?"
Kedua tangan Kembang Andini yang me
megang kalung 'Permata Dewa Matahari' bergerak
turun kembali. Si nenek merasakan kebenaran
ucapan Seno. Jika kalung 'Permata Dewa Mataha-
ri' berada di tangannya, akan semakin mudah un-
tuk meyakinkan anggota Perkumpulan Beruang
Merah lainnya bahwa sang ketua baru pengganti
Salya Tirta Raharja telah muncul, dan mereka wa-
jib bersatu lagi untuk kembali mengharumkan
nama perkumpulan.
"Urusan perkumpulan sebaiknya kau tan-
gani dulu, Nek," ujar Seno kemudian. "Bukan aku
hendak melempar tanggung jawab. Aku masih
punya urusan lain..."
"Baiklah," sambut Kembang Andini. "Kute-
rima tugas ini dengan senang hati."
Seno mengangguk-angguk.
Lalu, pemuda remaja itu menatap lekat wa-
jah Dewa Dungu yang telah berdiri diam di de-
katnya. "Kita pergi, Kek...," ajaknya.
"Ke mana?" tanya Dewa Dungu.
"Aku juga belum tahu. Kita ikuti saja lang-
kah kaki kita," Pendekar Bodoh menjawab asal
saja.
"O, begitu.... Baiklah. Ayo!" Dewa Dungu
segera meraih pundak muridnya. Seperti dua sa-
habat yang akan pergi bertualang.
Dan..., melangkahlah Seno bersama gu-
runya. Kembang Andini beserta Puspa Kencana
dan kedua putrinya segera pula meninggalkan
Gurun Selaksa Batu....
SELESAI