..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR BODOH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR BODOH. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Desember 2024

KOLEKSI CERITA SILAT PENDEKAR BODOH



assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu

selamat datang di blog matjenuhkhairil.. semoga kalian yang hadir di blog ini selalu sehat dan banyak duit nya

oke langsung saja ke judul pos di atas

👇👇👇👇

TONGKA DEWA BADAI

KEMELUT DI TELAGA DEWA

SETAN SELAKSA WAJAH

RATU PERUT BUMI

KSATRIA SERIBU SYAIR

MUSLIHAT SANG DURJANA

PENGEJARAN KE MASA SILAM

PUSAKA PEDANG NAGA

SENGKETA AHLI SIHIR

RAJA ALAM SIHIR

RAHASIA SUMUR TUA

MUNCULNYA SANG PEWARIS

Demikian Serial Cerita Silat Pendekar Bodoh

wassalam mualaikum warahmatullahi wabarokatu

Share:

Minggu, 08 Desember 2024

PENDEKAR BODOH EPISODE MUNCULNYA SANG PEWARIS

 

PENDEKAR BODOH EPISODE MUNCULNYA SANG PEWARIS

Hak cipta dan copy right

pada penerbit di bawah lindungan

undang-undang


Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU



MATAHARI belum sempurna mengusir ge-

lap ketika pemuda remaja berpakaian biru-biru 

itu berdiri tegak dengan mementangkan kedua 

tangannya. Udara dingin bercampur embun tak 

mampu mengusik keteguhan sikap si pemuda. 

Perlahan kedua tangannya digerak-gerakkan di 

depan dada.

Sementara sepuluh jari tangannya mem-

bentuk cakar elang, kaki kanannya digeser seten-

gah tindak ke depan. Lalu..., dari mulutnya ter-

dengar suara menggereng seperti harimau lapar. 

Disusul pekik nyaring laksana seekor beruang 

yang siap menerkam mangsa. Suara pekik si pe-

muda begitu keras, membuat daun rontok bergu-

guran!

Namun sampai beberapa lama, pemuda 

bertubuh tinggi tegap itu tak berbuat apa-apa. 

Hanya kedua tangannya yang terus bergerak ber-

putaran di depan dada. Agaknya, dia tengah 

menghimpun ataupun melatih kekuatan tenaga 

dalamnya.

Seiring waktu yang terus berlalu, sorot ma-

ta si pemuda berubah tajam sekali. Kemudian, 

dari mulutnya keluar suara melengking tinggi. 

Dan....

Mendadak, dari ujung jari-jari tangan pe-

muda berambut panjang tergerai itu melesat se-

puluh larik sinar merah berkilauan. Melesat luar


biasa cepat, dan langsung bergerak melilit batang 

pohon besar yang berada dua puluh tombak dari 

hadapan si pemuda! 

Sratt! Sratt!

Werrr...!

"Hendak kulihat sampai di mana keheba-

tan 'Tenaga Beruang Merah' yang baru kupelajari 

dari kitab warisan Kakek Salya Tirta Raharja 

ini..." gumam si pemuda seraya menarik napas 

dalam-dalam.

Dan... begitu dia menggerakkan kedua tan-

gannya, batang pohon besar yang terbelit sepuluh 

larik sinar merah menjadi bergoyang keras. Ba-

tang-batang pohon kecil yang tumbuh di sekitar-

nya terlihat turut bergoyang. Permukaan tanah 

terasa bergetar bagai terjadi gempa. Lalu...

Bummm...!

Luar biasa! Suara hiruk-pikuk memecah 

kesunyian pagi yang baru datang. Batang pohon 

bergaris tengah satu depa itu tumbang tanpa am-

pun!

"Hmmm.... Cukup hebat juga. Kini aku be-

nar-benar telah menguasai bagaimana cara men-

gumpulkan tenaga dalam yang bersifat mengi-

sap...," desis si pemuda sambil melepas aliran te-

naga dalamnya. Kontan garis-garis sinar merah 

yang keluar dari jemari tangannya lenyap.

Berkali-kali pemuda yang ikat pinggangnya 

terbuat dari kain panjang berwarna merih itu 

menghela napas lega. Cukup puas rasa hatinya 

melihat kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang


baru dipelajarinya di dalam sebuah gua bawah 

tanah. 

Tanpa sebab mendadak si pemuda tampak 

cengar-cengir. Sinar keluguan membersit dari 

raut wajahnya yang tampan. Gerak-geriknya bah-

kan berubah mirip orang berotak amat bebal

Menilik sikap si pemuda yang tengah mela-

kukan kebiasaan buruknya itu, siapa lagi dia ka-

lau bukan si Pendekar Bodoh; Seno Prasetyo!

Ya! Bersama seorang kakek bergelar Hati 

Selembut Dewa, Seno pergi ke Padang Selaksa 

Batu untuk membantu menumpas Iblis Pemburu 

Dosa yang telah melakukan serangkaian pembu-

nuhan kejam. Sayangnya, sebelum Seno dapat 

memberikan bantuan kepada Hati Selembut De-

wa, dia keburu terperangkap masuk ke jebakan 

berupa lubang sulfur yang amat dalam.

Namun tak pernah disangka oleh Iblis 

Pemburu Dosa sendiri, sumur buatan alam yang 

kemudian dijadikan lubang jebakan itu justru 

membawa keberuntungan bagi Seno. Si pemuda 

bukan saja berhasil menyelamatkan diri, tapi dia 

pun mendapat sebuah kitab tua peninggalan 

Salya Tirta Raharja, seorang ketua Perkumpulan 

Beruang Merah yang pernah berjaya puluhan ta-

hun silam.

Dengan mempelajari isi kitab itu, Seno da-

pat mengetahui adanya api permusuhan turun-

temurun antara keluarga Buana Seta dengan Sa-

ka Wanengpati. Buana Seta adalah kakek Salya 

Tirta Raharja. Sementara, Saka Wanengpati ada


lah kakek buyut si Iblis Pemburu Dosa; Wanara 

Kadang.

Dari isi kitab peninggalan Salya Tirta Ra-

harja itu pula, Seno juga mengetahui kelemahan 

ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu 

Tenaga Menjebol Perut' yang menjadi ilmu anda-

lan Iblis Pemburu Dosa. Lain itu, Seno pun ber-

hasil menguasai sebuah ilmu penghimpun tenaga 

dalam bernama 'Tenaga Beruang Merah', yang ba-

ru saja dicoba kehebatannya tadi. (Agar lebih jelas 

dalam mengikuti jalan cerita ini, sllakan baca 

serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Rahasia 

Sumur Tua").

"Aku belum sepenuhnya mencoba keheba-

tan 'Tenaga Beruang Merah' Aku harus menco-

banya lagi" kata hati Seno seraya menjulurkan 

kedua pergelangan tangannya.

Murid Dewa Dungu itu ingin mengetahui 

puncak kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang 

telah dikuasainya dengan baik. Sesaat si pemuda 

menarik napas panjang. Kedua bola matanya ber-

sinar bening tajam, menatap batang pohon yang 

tadi telah terlempar sejauh lima puluh tombak.

Disertai satu bentakan keras, Seno melu-

ruskan sepuluh jari tangannya. Dan... seketika 

itu juga, melesatlah sepuluh larik sinar merah 

berkilauan wujud dari 'Tenaga Beruang Merah'!

"Hiaahh...!" 

Srat...!

Batang pohon yang menjadi sasaran tam-

pak bergetar kencang ketika terbelit sepuluh larik


sinar yang melesat dari jemari tangan Seno. Ma-

nakala Seno menekuk jari-jari tangannya, batang 

pohon yang telah terbelit suatu tenaga amat kuat 

itu tertarik dan melayang ke hadapan si pemuda.

Ringan sekali saat jatuh di permukaan ta-

nah. Batang pohon itu laksana telah berubah 

menjadi segumpal kapas ringan yang begitu mu-

dah dipindah-pindahkan. Namun ketika Seno me-

lepas 'Tenaga Beruang Merah'-nya terdengar le-

dakan keras. Batang pohon yang tergeletak di ha-

dapan si pemuda mendadak hancur berkeping-

keping menjadi serpihan halus!

Girang bukan main rasa hati Pendekar Bo-

doh melihat kehebatan 'Tenaga Beruang Merah'. 

Kini dia jadi semakin yakin bila Iblis Pemburu 

Dosa akan dapat dibinasakannya tanpa harus 

bersentuhan kulit ataupun mengadu kekuatan 

tenaga dalam.

Dengan mata berbinar-binar, pemuda lugu 

itu menatap sosok mentari yang telah sempurna 

menampakkan diri di ufuk timur. Tiba saatnya 

dia harus meninggalkan tempat. Sebelum Iblis 

Pemburu Dosa meminta korban lebih banyak, dia 

harus cepat bertindak. Dia harus mendatangi to-

koh jahat itu di Padang Selaksa Batu. Namun be-

lum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba....

"Hmmm.... Aku mendengar hembusan na-

pas orang. Orang itu berada sekitar tiga puluh 

tombak di belakangku. Hmmm.... Dia pasti ten-

gah mengintai gerak-gerikku. Untuk membukti-

kan dia bermaksud buruk atau tidak, aku harus


berbuat sesuatu...."

Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas 

Seno menghimpun kembali 'Tenaga Beruang Me-

rah'. Dan ketika dia membalikkan badan, jemari 

tangan kanannya yang terjulur mengeluarkan li-

ma larik sinar merah. Diiringi suara desis halus, 

kelima larik sinar itu melesat cepat, menuju tu-

buh orang yang disangka Seno tengah mengintai!

Sssh...!

"Astaga...!"

Seno melonjak kaget karena desakan rasa 

heran. 'Tenaga Beruang Merah'-nya terasa me-

nyentuh benda lembut kenyal. Anehnya, benda 

yang disangkanya sosok tubuh manusia itu tidak 

memberi perlawanan sama sekali. Tidak pula 

mengeluarkan suara sedikit pun.

Namun begitu, Seno tak mau melepas lima 

larik sinar merah yang telah membelit sasaran. 

Dan untuk memastikan sasaran itu manusia atau 

bukan, si pemuda mengangkat pergelangan tan-

gannya seraya membetot!

Wesss...!

"Ihhh...!"

Barulah terdengar suara jeritan, bahkan 

terdengar cukup nyaring. Sesosok tubuh langsing 

yang terbetot oleh 'Tenaga Beruang Merah' tiba-

tiba melesat dari balik dedaunan, terbang me-

layang seperti hendak menerkam Seno!

Tak dapat lagi digambarkan betapa terke-

jutnya pemuda lugu itu. Apalagi, matanya yang 

tajam dapat melihat bila sosok tubuh yang melesat ke arahnya ternyata seorang wanita. Lebih te-

pat lagi, seorang gadis berusia delapan belas ta-

hun!

Risih dan malu bukan main Seno jadinya. 

Sesaat raut wajahnya langsung memucat. Namun 

demikian, kewaspadaannya tak hilang sepenuh-

nya. Merasa ada bahaya, cepat dia tarik lagi ali-

ran 'Tenaga Beruang Merah'-nya seraya meloncat 

jauh ke kiri.

Sementara, gadis bertubuh langsing yang 

sebenarnya hendak memukul dada Seno tampak 

melentingkan tubuhnya. Dengan bersalto dua kali 

di udara, tiba-tiba tubuh si gadis melesat lebih 

cepat dan hendak menjatuhkan tendangan ber-

bahaya ke kepala Seno!

Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau mem-

biarkan batok kepalanya pecah terkena tendan-

gan si gadis yang disertai aliran tenaga dalam 

tingkat tinggi. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia 

gunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin' un-

tuk mengimbangi kecepatan gerak gadis bertubuh 

langsing.

Dan ternyata, ilmu peringan tubuh yang 

didapat Seno dari salah satu bagian Kitab Sang-

galangit itu dapat menunjukkan kehebatannya. 

Tendangan gadis bertubuh langsing cuma menge-

nai tempat kosong. Hanya saja, angin sambaran-

nya sempat membuat rambut Seno berkibaran 

dan mata si pemuda pun terasa pedih.

Seno menarik napas lega karena gadis ber-

pakaian putih biru itu tak melanjutkan serangan


nya. Si gadis cuma berdiri dengan tatapan penuh 

selidik.

Karena gadis itu terus berdiri tak berpin-

dah tempat, dapatlah dilihat dengan jelas bila 

ternyata dia berparas amat cantik. Bola matanya 

berbinar bening bagai permukaan telaga yang 

amat dalam. Hidungnya mancung dengan seben-

tuk bibir merah alami. Sanggup mempesonakan 

siapa saja yang memandang. Namun, orang yang 

hendak berbuat tak baik pastilah akan berpikir 

dua kali bila melihat sebatang pedang besar yang 

tersandang di punggung si gadis.

Pendekar Bodoh berdiri terpaku dalam ke-

terpanaan. Melihat sosok gadis berpakaian putih 

biru yang berdiri tiga tombak di hadapannya, dia 

teringat pada Putri Hati Lurus yang dijumpainya 

belum lama ini. Wajah dan bentuk tubuh gadis 

berpakaian putih-biru memang amat mirip den-

gan cucu Dewi Cinta Kasih itu.

Teringat pada Putri Hati Lurus yang ketus 

dan galak, ingatan Seno tiba-tiba melayang pada 

sosok Dewi Pedang Kuning yang hampir tiap ma-

lam muncul dalam mimpinya. Di manakah gadis 

buah hatinya itu? Apakah dia masih berkelana 

bersama Dewi Pedang Halilintar gurunya? 

"Hei! Siapa kau?" tegur gadis bertubuh 

langsing, menyadarkan Pendekar Bodoh dari la-

munannya.

"Eh! Aku?" kesiap si pemuda, wajah tam-

pannya langsung berubah kebodoh-bodohan.

"Tentu saja aku bertanya kepadamu, Tolol!


Katakan siapa dirimu! Kenapa kau bisa mengua-

sai ilmu yang begitu heh?!"

"Ilmu apa?" 

"Ilmu yang baru kau tunjukkan tadi, Geb-

lek! Ilmu yang bisa menarik tubuh orang dari ja-

rak jauh! Kok seperti ilmu hitam saja.... Jangan-

jangan kau orang jahat...."

Di ujung kalimatnya, mendadak gadis yang 

rambutnya dibiarkan tergerai ke punggung itu 

hendak menghunus bilah pedangnya. Seno jadi 

kaget. Dia tak merasa hendak berbuat jahat. Ke-

napa si gadis bisa bersikap begitu galak? Maka 

sebelum gadis tinggi semampai itu berbuat sesua-

tu dengan bilah pedangnya, cepat dia membung-

kukkan badan sambil berkata....

"Nona.... Nona maafkan aku.... Aku salah 

menyangka orang. Kukira penjahat yang tengah 

mengintaiku.... Aku kelepasan tangan. Sudilah 

Nona memaafkan...."

Pendekar Bodoh mengucap rentetan kali-

mat panjang, terdengar seperti rengekan anak ke-

cil. Sikap pemuda remaja yang amat lugu dan tak 

dibuat-buat itu justru membuat gadis bertubuh 

langsing mengurungkan niatnya yang ingin 

menghunus bilah pedang. Bahkan mendadak, si 

gadis tertawa mengikik seperti melihat sebuah 

adegan yang amat lucu.

"Eh! Kau tertawa, Nona?" Pendekar Bodoh 

bertanya heran. "Nona sudi memaafkan aku? Aku 

memang kelepasan tangan. Aku tidak bermaksud 

buruk kepada Nona. Namun, aku memang salah.


Aku telah membuat Nona terkejut...."

"Hik hik hik...," tawa mengikik gadis bertu-

buh langsing. "Apa kau kira kata-katamu itu be-

tul? Apa kau kira aku telah terkejut karena 

ulahmu tadi?!" sentaknya. "Sengaja aku mem-

biarkan tubuhku tertangkap! Aku ingin tahu 

sampai di mana ketinggian ilmu setanmu itu! Ja-

di, kau jangan merasa telah mampu mengalahkan 

aku!"

Seno mengangguk-angguk.

Tapi, dalam hati murid Dewa Dungu itu 

mendongkol juga. Gadis bertubuh langsing diang-

gapnya terlalu ketus dan tinggi hati. Kalau saja

tadi dikeluarkannya seluruh kekuatan 'Tenaga 

Beruang Merah', pastilah tubuh gadis itu hancur 

berantakan terkena lima larik sinar merah yang 

bisa menjerat dan menjepit puluhan kali lipat ke-

kuatan jepitan gajah.

"Hei! Kenapa kau diam saja?!" tegur gadis 

bertubuh langsing. "Kau belum menjawab perta-

nyaanku! Siapa kau? Dan, ilmu apa yang baru 

kau tunjukkan tadi?"

Pendekar Bodoh cengar-cengir sejenak. Se-

telah menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia 

berkata. Tak ada yang istimewa tentang diriku. 

Aku bernama Seno Prasetyo. Namun jangan he-

ran kalau suatu saat nanti Nona mendengar aku 

dipanggil orang Pendekar Bodoh...." 

"Pendekar Bodoh?"

"Ya. Aneh bukan? Tapi begitulah orang 

memberi julukan kepadaku. Aku pun tak bisa


menolaknya...."

"Sudah! Sudah!" sela si gadis. "Aku tak 

kenal siapa kau. Tak ada pula yang menarik ten-

tang dirimu! Namun, kau harus mengatakan den-

gan jujur, ilmu apa yang baru kau gunakan un-

tuk menarik tubuhku tadi!"

"Ah!" desah Seno, menahan rasa hatinya 

yang tiba-tiba jadi amat jengkel. "Kau bertanya 

seperti pada pesakitan. Aku orang bebas merdeka 

yang tak terikat atau diperbudak oleh siapa 

pun...."

"Huh! Siapa bilang?! Apakah otakmu begitu 

tolol sehingga kau tidak tahu bila dirimu berada 

di Tanah Dipertuan Ratu? Siapa pun atau apa 

pun yang masuk ke tempat ini menjadi milik Bi-

dadari Satu Hati. Hewan ataupun manusia yang 

berada di tempat ini jadi tak bebas lagi. Mereka 

harus menuruti segala keinginan Bidadari Satu 

Hati. Termasuk kau, Pendekar Bodoh! Oleh kare-

nanya, kau tak punya kebebasan lagi sebelum Bi-

dadari Satu Hati membebaskanmu. Kau harus 

tunduk dan patuh pada aturan yang telah dibuat 

oleh Bidadari Satu Hati. Karena itulah kau harus 

menjawab pertanyaanku dengan jujur, agar nanti 

kau tak dijatuhi hukuman mati!" 

Seno hendak tertawa mendengar keteran-

gan gadis bertubuh langsing. Namun karena tak 

mau menyinggung perasaan orang, cepat dita-

hannya keinginan tertawa itu.

"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pen-

dekar Bodoh yang tak mampu menahan rasa he


rannya. "Siapa itu Bidadari Satu Hati? Kenapa dia 

membuat aturan sepihak seperti ini?" 

"Dia ibuku," jawab gadis bertubuh langs-

ing, singkat namun amat ketus. 

"Ibumu? Lalu, kau sendiri siapa?"

"Aku?"

"Ya."

Mendadak, gadis bertubuh langsing tersipu 

malu. Pipinya langsung merona merah. Seno tak 

bisa menebak ada apa di balik sikap gadis berpa-

kaian putih-biru itu. Namun, dia bisa memasti-

kan bila si gadis amatlah kurang pergaulan, atau 

paling tidak, jarang sekali bertemu dengan seo-

rang pria. Sehingga, dia jadi begitu canggung ke-

tika ada pria yang menanyakan siapa dirinya.

Tanpa sadar, Pendekar Bodoh menghu-

bung-hubungkan keberadaan gadis berpakaian 

putih-biru itu dengan Putri Hati Lurus. Mereka 

sama-sama cantik namun mau saja tinggal di 

tempat yang amat jarang dijamah manusia. Apa-

kah di antara keduanya memang ada hubungan? 

Apakah keduanya dihubungkan oleh panji-panji 

Perkumpulan Beruang Merah yang begitu banyak 

menyimpan rahasia?

"Hei! Hei!" bentak si gadis tiba-tiba, mem-

buat Pendekar Bodoh menggerigap kaget. "Kau di-

tanya malah balik bertanya. Hayo! Katakan Ilmu

apa yang baru kau tunjukkan tadi!"

"Hmmm.... Yah! Kalau kujawab, sudilah 

kau menyebutkan namamu, Nona...," sahut Seno, 

tak sadar berkata nakal. Namun, si gadis tak me


rasa. Wajahnya malah berubah tak seketus tadi.

"Boleh. Tapi, kau jangan menipu! Aku 

khawatir Ibuku akan membunuhmu...," desis ga-

dis yang tiba-tiba sikapnya berubah penuh kek-

hawatiran itu, pelan sekali.

Tersenyum senang Pendekar Bodoh. Lalu 

katanya, "Aku tadi menarik tubuhmu dengan 

'Tenaga Beruang Merah'...."

Tapi tiba-tiba.... 

"Benar dugaanku! Orang yang dapat men-

guasai 'Tenaga Beruang Merah' kalau tidak sang 

ketua, pastilah orang jahat yang layak dienyah-

kan dari muka bumi!"

Tersurut mundur Pendekar Bodoh men-

dengar suara keras menyiratkan ancaman itu. 

Apalagi setelah muncul sesosok bayangan hitam 

di hadapannya!

"Si... siapa kau?" kejut Pendekar Bodoh.



DUA



SOSOK orang yang baru datang itu berdiri 

garang di atas tonjolan batu. Tubuhnya padat be-

risi, terbungkus pakaian ketat serba hitam. Sorot 

matanya tajam berkilat, membuat hati Pendekar 

Bodoh jadi berdebar-debar.

Dia seorang wanita berusia tiga puluh ta-

hun. Berkulit putih bersih dan berparas cantik 

menawan. Garis-garis wajahnya amat mirip den-

gan gadis bertubuh langsing yang berdiri tak jauh


dari hadapan Pendekar Bodoh. Karena kemiripan 

itulah Pendekar Bodoh bisa memastikan bila si 

wanita berpakaian serba hitam adalah Bidadari 

Satu Hati, yang tak lain ibu si gadis.

Hanya sayangnya, di balik kecantikan wa-

nita yang memang Bidadari Satu Hati itu, tatapan 

matanya menyiratkan rasa tak suka terhadap 

Pendekar Bodoh. Oleh sebab apa? Hal itulah yang 

membuat hati si pemuda jadi bertanya-tanya.

Hal itu pula yang memaksa Pendekar Bo-

doh untuk bersikap waspada. Bukankah kemun-

culan Bidadari Satu Hati tadi dibarengi kata-kata 

ancaman? Bahkan, ancaman berdarah! 

Seno tak berani memandang remeh. Ketika 

sosok bayangan Bidadari Satu Hati berkelebat da-

tang, si pemuda dapat melihat daun yang bergu-

guran akibat terhempas tiupan angin yang ditim-

bulkan oleh kelebatan tubuh wanita itu. Malah, 

Seno sempat tersurut mundur selangkah, karena 

kelebatan tubuh wanita yang menyelipkan seba-

tang pedang di punggung itu juga menimbulkan 

tenaga dorong yang cukup kuat.

"Kusuma Suci!" seru Bidadari Satu Hati 

kepada putrinya, si gadis bertubuh langsing. "Da-

ri mana datangnya pemuda liar itu? Apa dia tidak 

tahu kalau tempat ini terlarang dimasuki orang 

luar?"

Dengan perasaan takut-takut, gadis berpa-

kaian putih-biru yang dipanggil Kusuma Suci ber-

jalan mendekati Bidadari Satu Hati. Namun, ke-

pala si gadis terus tertunduk. Tak satu patah kata


pun yang dapat diucapkannya.

"Kenapa kau diam saja, Kusuma?!" bentak 

Bidadari Satu Hati dengan air muka merah-

padam. "Tak mungkin dia pemimpin kita. Patut-

lah dicurigai bagaimana dan dari mana dia bisa 

menguasai 'Tenaga Beruang Merah'. Kenapa dia 

tak langsung kau bunuh saja?" 

Terperanjat Pendekar Bodoh mendengar 

kata-kata ketus wanita yang rambutnya digelung 

ke atas itu. Si wanita mengucap kata 'bunuh' be-

gitu ringan tanpa beban apa-apa. Sepertinya, dia 

memang telah terbiasa membunuh sesama ma-

nusia. Atau paling tidak, dia telah terbiasa me-

nyuruh atau memerintah putrinya untuk mem-

bunuh siapa saja yang berani masuk ke Tanah 

Dipertuan Ratu, yang dianggap sebagai tanah mi-

liknya.

"Dia mengaku bernama Seno Prasetyo dan 

bergelar Pendekar Bodoh...," ujar Kusuma Suci 

kemudian, masih takut-takut. "Tapi tampaknya..., 

dia bukan orang jahat, Bu. Untuk apa aku mem-

bunuhnya"

Mendengus gusar Bidadari Satu Hati. Dita-

tapnya tajam-tajam sosok Kusuma Suci yang ber-

diri menundukkan kepala.

Sifat galak dan ketus Kusuma Suci yang 

tadi ditunjukkan pada Seno kini tak berbekas 

sama sekali. Kedatangan Bidadari Satu Hati sea-

kan telah mengubah sifatnya menjadi seorang ga-

dis yang amat penakut.

"Sudah berkali-kali kubilang, hati yang le


mah bisa membuat malapetaka!" sembur Bidadari 

Satu Hati yang tampaknya amat keras kepala dan 

sering memaksakan kehendak. "Hati-hatilah ter-

hadap orang yang kelihatan baik. Di dunia ini ba-

nyak serigala berbulu domba. Kalau tak ingin di-

cabik-cabik binatang buas itu, jangan cuma 

menggunakan pandangan mata untuk menilai 

orang!"

Pendekar Bodoh hanya diam cengar-cengir.

Pemuda remaja bertubuh tinggi tegap itu 

berusaha menekan perasaannya yang tersing-

gung. Kata-kata Bidadari Satu Hati memang se-

makin pedas didengar telinga. Dia berkata seakan 

telah dapat membuktikan bila Pendekar Bodoh 

benar-benar orang jahat yang patut dienyahkan.

Dan..., melonjak kagetlah Seno manakala 

Bidadari Satu Hati melompat mendekatinya. Na-

mun, bukan karena gerak lompatan wanita ber-

pakaian ketat serba hitam itu yang membuat Se-

no mendelikkan mata. Sambil melompat, ternyata 

Bidadari Satu Hati menyorongkan telapak tangan 

kanannya yang telah teraliri tenaga dalam. Hing-

ga, satu gelombang angin pukulan ganas meluruk 

deras ke arah Seno!

"Hih...!"

WUSSS...!

Sementara Seno masih bingung memikir-

kan tindakan apa yang harus diperbuatnya, alam 

bawah sadar si pemuda bekerja lebih cepat. Tan-

pa disadari oleh Seno sendiri, kekuatan tenaga 

dalamnya mengalir ke seluruh tubuhnya. Hingga,


tubuh si pemuda jadi dibentengi oleh ilmu kebal-

nya yang bernama, 'Perisai Dewa Badai'. Dan tan-

pa disadari pula, kedua telapak tangannya te-

rangkat untuk melindungi dada. Sampai kemu-

dian....

Blarrr...!

Sebuah ledakan cukup keras menggelegar 

di angkasa. Debu mengepul tebal. Bongkahan ba-

tu bercampur kerikil! beterbangan, dan tentu saja 

menutupi pandangan beberapa lama.

Bidadari Satu Hati terkejut bukan alang-

kepalang. Lebih dari separo umurnya dia guna-

kan untuk melatih kekuatan tenaga dalam. Dan 

karena tekunnya berlatih, tenaga dalamnya tentu 

telah meningkat sedemikian tinggi. Tapi waktu ge-

lombang angin pukulannya membentur telapak 

tangan Pendekar Bodoh tadi, kenapa tak beraki-

bat buruk pada si pemuda? Tubuh Bidadari Satu 

Hati sendiri malah terpental sejauh lima tombak! 

Namun sesungguhnya, pukulan jarak jauh 

Bidadari Satu Hati tadi bukan tidak berpengaruh 

apa-apa terhadap Seno. Si pemuda sempat mera-

sakan isi dadanya bergetar, membuat jalan na-

fasnya buntu dan terasa amat sesak. Dan karena 

pandangannya turut mengabur, tanpa sadar ka-

kinya tersurut mundur tiga langkah. 

Sementara, Kusuma Suci yang menyaksi-

kan peristiwa mendebarkan itu memekik khawa-

tir. Namun, tak jelas kepada siapa kekhawatiran-

nya itu ditujukan.

Kepada Bidadari Satu Hati ibunya atau ke


pada Pendekar Bodoh? Kalau kekhawatirannya 

ditujukan kepada sang ibu, kenapa tatapan gadis 

itu terus tertuju ke sosok Pendekar Bodoh?

"Kurang ajar! Berani masuk ke Tanah Di-

pertuan Ratu kiranya kau sengaja hendak pamer 

kekuatan!" geram Bidadari Satu Hati. "Tapi keta-

huilah, selama aku berdiam di tempat ini, tak ada 

satu pun manusia yang mampu menahan puku-

lanku. Kalau memang kau punya kekuatan hebat, 

cobalah kau tunjukkan sekali lagi!"

Memucat wajah Kusuma Suci seketika.

Bidadari Satu Hati tampak melompat lagi 

dan melancarkan pukulan jarak jauh untuk ke-

dua kalinya. Kusuma Suci hendak berteriak men-

cegah. Namun, mulutnya terasa terkunci rapat. 

Untuk apa dia membela Pendekar Bodoh? Bu-

kankah dia belum mengenal pemuda itu? Siapa 

tahu si pemuda memang orang jahat? Pendekar 

Bodoh bisa menguasai 'Tenaga Beruang Merah'. 

Sementara, Pendekar Bodoh nyata-nyata 

bukan ketua perkumpulan itu. Kalau begitu, si 

pemuda mendapatkan ilmunya itu dari mencuri! 

Tapi..., benarkah demikian?

Kenapa Kusuma Suci amat tak menyukai 

tindakan ibunya yang menyerang Pendekar Bo-

doh? Mungkinkah ada satu alasan lain yang be-

rada di luar jangkauan akal pikirannya? Alasan 

apakah itu? Kusuma Suci pun tak tahu rasa ha-

tinya sendiri. Dia cuma dapat berdiri terpaku ke-

tika satu gelombang angin pukulan yang lebih 

ganas meluruk deras ke arah Pendekar Bodoh.


Kali ini Pendekar Bodoh dapat membaca 

keadaan. Dengan kesadaran penuh, dia kelua-

rkan ilmu 'Perisai Dewa Badai'. Sambil memasang 

kuda-kuda, dia jajarkan kedua telapak tangannya 

di depan dada.

Rupanya, murid Dewa Dungu itu tidak 

bermaksud membalas serangan Bidadari Satu 

Hati dengan serangan pula. Si pemuda hanya 

bermaksud menadahi pukulan jarak jauh yang 

tertuju tepat ke dadanya, walau sebenarnya hal 

itu amatlah berbahaya.

Gebrakan pertama yang sempat melontar-

kan tubuh Bidadari Satu Hati tadi, belum dapat 

dijadikan ukuran bila tenaga dalam wanita itu ka-

lah tinggi.

Namun tampaknya, Pendekar Bodoh me-

mang tidak sebodoh yang dikira orang. Meskipun 

perbuatannya terlihat asal-asalan, ternyata ketika 

bentrokan dua kekuatan tenaga dalam terjadi la-

gi, tubuh Bidadari Satu Hati tampak terpental 

kembali. Bahkan, kali ini mencelat lebih jauh dan 

hampir saja membuat wanita itu jatuh terbanting 

kalau saja dia tidak mempunyai ilmu peringan 

tubuh yang cukup hebat.

Keadaan Pendekar Bodoh sama seperti ta-

di. Gelombang angin pukulan Bidadari Satu Hati 

hanya membuat tubuhnya tersurut mundur tiga 

langkah tanpa menderita luka dalam sedikit pun! 

"Jahanam!" dengus Bidadari Satu Hati 

sambil menahan rasa sesak di dadanya. "Wajah-

mu tampak begitu tolol. Tapi ternyata, kau mempunyai kepandaian hebat. Namun..., siapa pun 

yang masuk ke Tanah Dipertuan Ratu tanpa izin 

hanya akan menerima satu akibat. Mati! Jika be-

runtung, kau bisa pergi dari tempat ini dengan 

selamat. Tapi, kau harus melangkahi mayatku 

dulu!"

"Tunggu!" seru Seno ketika melihat Bidada-

ri Satu Hati hendak menerjangnya. "Aku tak sen-

gaja masuk ke tempat ini. Kenapa aku mesti di-

hukum mati? Kalaupun tempat ini milikmu, apa-

kah kau punya sifat yang begitu kejamnya se-

hingga kali hendak membunuh orang tanpa 

mempertimbangkan kesalahan orang itu lebih du-

lu?"

Seno berucap dengan raut wajah kebodoh-

bodohan seperti wajah seorang bayi yang tak ber-

dosa. Rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya 

terdengar datar tanpa tekanan. Sepertinya, dia 

mengatakan kalimat yang telah dihafalkan sebe-

lumnya.

Namun, sifat lugu yang ditunjukkan pe-

muda remaja itu malah membuat Bidadari Satu 

Hati menggereng marah. Dengan sinar mata ber-

kilat, dia berkata....

"Soal kelancanganmu masuk ke Tanah Di-

pertuan Ratu ini mungkin aku masih bisa me-

maafkan. Tapi soal ilmu menghimpun tenaga da-

lam bernama 'Tenaga Beruang Merah' yang baru 

beberapa saat kau tunjukkan tadi, mana mung-

kin aku mau membiarkanmu keluar dalam kea-

daan hidup? Kau pasti kaki tangan Iblis Pemburu


Dosa yang telah berhasil mencuri ilmu kesaktian 

sang ketua! Oleh karena itu, bersiap-siaplah un-

tuk mengadu nyawa denganku!"

"Eh! Eh!" kesiap Seno. "Mana bisa begitu? 

Aku bukan kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa...."

"Cukup! Kau tak berhak berkata-kata lagi!" 

sergap Bidadari Satu Hati. "Siapkan saja ilmu ke-

saktianmu yang terhebat, agar tak menyesal kau 

nantinya jika harus melepas nyawa di tempat ini! 

Namun sebelum bertempur, harap kau tahu, 

orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Satu 

Hati karena hati dan jiwaku memang hanya un-

tuk kebesaran panji-panji Perkumpulan Beruang 

Merah. Apa pun yang kulakukan, hanyalah untuk 

kebesaran perkumpulan. Karena aku mencuri-

gaimu sebagai kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa 

yang nyata-nyata musuh besar perkumpulan, 

maka wajiblah aku membunuhmu!"

Usai berkata, wanita berkulit putih bersih 

itu menghunus pedang besar yang terselip di 

punggungnya. Keluarnya bilah pedang dari sa-

rungnya membersitkan suara berdesing yang me-

nyakitkan gendang telinga. 

Wajah Kusuma Suci tambah memucat. Si 

gadis tahu benar tabiat Ibunya. Kalau Bidadari 

Satu Hati telah menghunus pedangnya, pantang 

disarungkan lagi sebelum dibasahi cairan darah 

segar!

Sementara, Pendekar Bodoh pun tak punya 

pilihan lain kecuali harus melayani tantangan Bi-

dadari Satu Hati. Sebenarnya, dia hendak memberi penjelasan perihal 'Tenaga Beruang Merah'-

nya yang didapat dari kitab warisan Salya Tirta 

Raharja. Namun melihat Bidadari Satu Hati yang 

begitu keras kepala dan cenderung memaksakan 

kehendak, lidah si pemuda jadi kelu. Hanya be-

naknya yang terus dibanjiri berbagai tanda tanya.

Menilik dari kata-kata Bidadari Satu Hati 

tadi, jelas menunjukkan bila wanita itu merupa-

kan anggota Perkumpulan Beruang Merah. Lalu, 

adakah hubungan antara Bidadari Satu Hati den-

gan Dewi Cinta Kasih dan Putri Hati Lurus yang 

pernah dijumpai Seno belum lama ini? Kalau 

memang mereka punya hubungan, benarkah Per-

kumpulan Beruang Merah benar-benar ada? Dan, 

bagaimana dengan wasiat Salya Tirta Raharja 

yang mengangkat Seno sebagai ketua perkumpu-

lan itu? 

Seno nyengir kuda.

Melihat kelebatan sinar pedang yang diba-

rengi suara gemuruh keras, tanpa pikir panjang 

lagi pemuda lugu itu meloloskan Tongkat Dewa 

Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Namun, 

dapatkah dia bertahan dari gempuran Bidadari 

Satu Hati tanpa melukai wanita itu?



TIGA



KITA berhenti dulu! Ada orang usil mengi-

kuti kita!" seru seorang nenek berpakaian putih 

penuh tambalan, seraya menghentikan kelebatan


tubuhnya.

Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang 

berkelebat di belakang bayangan nenek berkulit 

putih itu langsung menghentikan kelebatan tu-

buhnya pula. Kening si gadis kontan berkerut ra-

pat. Kalau benar apa yang dikatakan si nenek, 

kenapa telinganya tak menangkap suara-suara 

yang mencurigakan?

"Aku tak mendengar apa-apa, Nek,..," cetus 

gadis bertubuh tinggi semampai yang mengena-

kan pakaian putih berkembang-kembang.

Paras gadis itu cantik sekali. Rambutnya 

yang hitam panjang diikat dengan ikatan berupa 

penjepit emas, sebagian dibiarkan tergerai ke ba-

hu. Kecantikan si gadis semakin terpancar karena 

dia memiliki bola mata yang bening dan bersinar 

bak bintang kejora.

Menilik garis-garis wajahnya, dapat dipas-

tikan bila dia tak lain si Putri Hati Lurus; Sekar 

Telasih. Dan, nenek berusia delapan puluh tahun 

yang berada di dekatnya adalah si Dewi Cinta Ka-

sih; Kembang Andini. 

"Diamlah! Aku juga tak mendengar apa-

apa. Tapi, perasaanku mengatakan bila ada orang 

yang mengikuti langkah kita! Aku mencium aro-

ma harum kayu cendana yang terasa aneh...," 

ujar si nenek, menyalip ucapan cucunya. "Aku 

sangat yakin, orang yang menguntit kita itu 

mempunyai ilmu peringan tubuh hebat sekali. 

Waspadalah! Kalau tidak bermaksud buruk untuk 

apa dia berbuat sembunyi-sembunyi seperti ini?"


Nenek yang wajahnya menyiratkan sejuta 

duka itu diam terpaku dalam kewaspadaan pe-

nuh. Tatapan matanya berubah tajam menusuk, 

menyisiri setiap jengkal tempat di antara jajaran 

pohon yang dikelilingi semak-belukar. Dilihatnya 

pula bongkah-bongkah batu besar yang bisa dija-

dikan tempat untuk persembunyian. Namun, 

hanya kekecewaan yang didapat. Tak seorang pun 

manusia yang tampak kecuali dirinya sendiri ber-

sama Sekar Telasih.

Selagi Kembang Andini menggerutu pan-

jang-pendek menumpahkan kekesalan hatinya, 

Sekar Telasih berjalan mondar-mandir. Si gadis 

berusaha mencari lebih cermat. Namun, seperti 

yang didapat Kembang Andini, hanya kekecewaan 

pula yang diperolehnya. 

Mendadak, hati Sekar Telasih berdebar 

kencang. Indera penciumannya menangkap aro-

ma harum kayu cendana seperti yang dikatakan 

Kembang Andini tadi. Mungkinkah aroma harum 

itu menebar dari wangi-wangian yang dipakai si 

penguntit?

Dengan sedikit memalingkan muka ke kiri, 

Sekar Telasih menajamkan indera pendengaran-

nya, karena indera penglihatannya tak dapat di-

andalkan lagi. Namun ketika melihat puncak Gu-

nung Lawu yang tersaput mega, debar-debar hati 

gadis cantik itu menghilang perlahan. Malah, dia 

berdiri terpaku sampai beberapa lama untuk me-

nikmati pemandangan indah yang menyejukkan 

matanya.


Selama tinggal bersama Kembang Andini di 

dalam sebuah hutan lebat, nyaris tak pernah Se-

kar Telasih melihat wujud gunung. Yang dilihat-

nya sehari-hari hanyalah jajaran pohon dan se-

mak-belukar. Oleh karenanya, tak bosan si gadis 

menatap puncak Gunung Lawu yang berada di 

sebelah timur tempatnya berdiri.

Akan tetapi, gadis bertubuh tinggi semam-

pai itu segera dikejutkan oleh suara teriakan ne-

neknya. Tanpa sadar, dia cekal erat-erat senjata 

berupa alat musik kecapi di tangannya.

"Kalau melihat bahaya, kura-kura senan-

tiasa menyembunyikan kepalanya. Kalau kau tak 

mau dikatakan bernyali kura-kura, kenapa mesti 

menyembunyikan diri? Apakah kau melihat ba-

haya yang begitu menakutkanmu, Orang Usil?"

Di ujung kalimat Dewi Cinta Kasih itu, 

mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh. 

Dewi Cinta Kasih dan Putri Hati Lurus langsung 

mengarahkan pandangan ke asal suara. Dan ter-

peranjatlah mereka... 

Di atas sebatang pohon tinggi menjulang 

terlihatlah seorang kakek berpakaian kumal kela-

bu yang tengah duduk bersila. Rambutnya putih 

panjang, digelung ke atas dan dilingkari sebuah 

gelang perak. Raut wajahnya mencerminkan sifat 

welas asih dan kehalusan budi. Hanya saja, tata-

pan matanya tampak kosong seperti orang bero-

tak bebal.

Hebatnya, kakek bertubuh kurus-kering 

itu duduk di atas rangkaian daun yang paling


ujung! Tangkai daun yang diduduki si kakek ti-

dak melengkung ataupun patah. Padahal, meski 

kurus-kering, tubuh si kakek pastilah tidak se-

ringan kapas!

"He he he...," tawa kekeh kakek yang tam-

pak sudah sangat uzur itu. "Jangan keburu naik 

pitam, kau nenek yang di bawah sana. Mataku 

sudah amat lamur. Terpaksa aku berlaku seperti 

ini karena aku ingin membuktikan dugaanku. 

Aku baru keluar dari tempat pengasinganku. 

Apakah kau salah seorang sahabatku yang ber-

nama Kembang Andini alias Dewi Cinta Kasih?"

Di ujung kalimatnya, kakek berpakaian 

kumal membiarkan tubuhnya menggelosoh jatuh. 

Namun, gerak turunnya ringan sekali, dan men-

darat di tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit 

pun meski meluncur dari ketinggian sepuluh 

tombak lebih!

Kembang Andini mengerutkan kening.

Nenek berkulit putih itu memutar daya in-

gatnya. Sepertinya, dia juga mengenali kakek ber-

pakaian kumal yang telah berdiri dua tombak dari 

hadapannya. Tapi siapa?

Melihat si kakek yang berdiri sambil meng-

garuk-garuk kepala, mendadak Kembang Andini 

tersenyum simpul. Ya! Dia memang pernah men-

genal kakek bertubuh kurus-kering itu. Tapi sia-

pa? Kembali Andini jadi lupa-lupa ingat.

Namun ketika Kembang Andini mencium 

lagi aroma harum kayu cendana yang menebar 

dari baju kumal si kakek, mendadak dia melonjak


girang seraya berseru, "Kau...! Kau...! Bukankah 

kau Dewa Dungu...?" 

"He he he...," kakek berpakaian kumal yang 

memang Dewa Dungu tertawa terkekeh lagi. Kali 

ini tangan kanannya bergerak menggaplok-gaplok 

kepalanya sendiri. "Tepat apa yang kau katakan. 

Aku memang Dewa Dungu. Namun, jangan biar-

kan aku termakan rasa penasaran. Cepatlah kau 

katakan, benarkah kau Kembang Andini yang 

bergelar Dewi Cinta Kasih?" 

"Heran aku...," desis Kembang Andini. "Ka-

lau benar kau Dewa Dungu, kenapa kau bisa ber-

diri tegak seperti itu? Bukankah kedua kakimu 

telah dibuat lumpuh murid murtadmu si Setan 

Selaksa Wajah; Mahisa Lodra?" 

Dewa Dungu menggaplok kepalanya lebih 

keras sampai tubuhnya oleng ke kiri. Seperti 

orang menggerutu, dia berkata, "Kejadian itu su-

dah lama sekali. Selagi manusia masih punya 

nyawa, wajiblah berusaha. Untung juga Yang Ku-

asa memberi berkah. Aku dapat menyatukan lagi 

kekuatan tubuhku, hingga penyembuhan kakiku 

yang lumpuh. Tapi..., hei! hei! Kau jangan terus 

bertanya! Katakan dulu, benarkah kau Kembang 

Andini?"

"Kau kok ngotot betul, Kakak Buruk Rupa! 

Kalau benar nenekku adalah Kembang Andini 

yang bergelar Dewi Cinta Kasih, kau mau apa?!" 

sentak Putri Hati Lurus yang tiba-tiba merasa 

jengkel melihat ulah Dewa Dungu yang mirip 

orang tak waras.


Andai gadis berpakaian putih berkembang-

kembang itu tahu siapa Dewa Dungu sebenarnya, 

pastilah dia tak akan mengucapkan kata-kata ka-

sar. Jauh hari sebelum Putri Hati Lurus lahir, 

Dewa Dungu sudah malang-melintang di rimba 

persilatan yang sulit dicari tandingannya. Orang-

orang menjulukinya Dewa Dungu hanya karena si 

kakek punya sifat pelupa dan tatapan matanya 

pun senantiasa kosong seperti orang berotak beb-

al. Kenyataannya, tentu saja Dewa Dungu tidak-

lah berotak dungu.

Ketika menemukan Kitab Sanggalangit 

yang terdiri lima bagian, Dewa Dungu menga-

singkan diri di salah satu lembah Gunung Lawu 

bersama muridnya yang bernama Mahisa Lodra. 

Sayang, Dewa Dungu kurang jeli dalam memilih 

murid. Mahisa Lodra ternyata punya sifat licik 

dan jahat. Setelah mencuri dua bagian Kitab 

Sanggalangit, Mahisa Lodra tega membuat lum-

puh sepasang kaki gurunya dengan mengguna-

kan ilmu totokan. Ketika itu Dewa Dungu sedang 

melakukan semadi dan tak pernah menyangka bi-

la muridnya akan bertindak murtad, sehingga 

dengan mudah dia dijatuhi totokan yang mem-

buat jalan darahnya 'salah api'.

Selama tiga puluh tahun hidup di lembah 

Gunung Lawu yang sepi dalam keadaan lumpuh, 

Dewa Dungu menemukan tubuh seorang bocah 

berumur dua belas tahun yang baru jatuh dari 

bibir jurang. Bocah lelaki yang tak lain Seno Pra-

setyo itu lalu diangkat sebagai murid. Setelah di


gembleng selama lima tahun, si bocah tumbuh 

menjadi seorang pemuda berkepandaian tinggi. 

Dan ketika diperintah untuk terjun ke rimba per-

silatan, murid Dewa Dungu itu akhirnya menda-

pat julukan Pendekar Bodoh. Dan dalam pengem-

baraannya, Pendekar Bodoh berhasil melaksana-

kan amanat gurunya untuk menghukum mati si 

murid murtad Mahisa Lodra. (Agar lebih jelas, ba-

ca serial Pendekar Bodoh episode: "Tongkat Dewa 

Badai" sampai "Pusaka Pedang Naga", terdiri dari 

delapan episode).

Sementara, sepeninggal Seno Prasetyo, 

Dewa Dungu terus melatih menghimpun kembali 

inti kekuatan tubuhnya yang dibuat kacau oleh 

totokan Mahisa Lodra. Berkat kemauan keras 

yang tak mengenal lelah, akhirnya sepasang kaki 

Dewa Dungu yang lumpuh dapat bekerja normal 

kembali. Dan kini, dia keluar dari lembah Gu-

nung Lawu tempat tinggalnya hanya dengan satu 

tujuan, yaitu mencari kabar berita perihal murid-

nya si Pendekar Bodoh; Seno Prasetyo.

Namun belum seberapa jauh melakukan 

perjalanan, Dewa Dungu melihat kelebatan tubuh 

Kembang Andini bersama cucunya. Meski Kem-

bang Andini berkelebat cepat sekali, Dewa Dungu 

masih dapat melihat jelas bagaimana raut wajah 

si nenek. Sehingga, Dewa Dungu terus menguntit 

untuk membuktikan kebenaran penglihatannya 

sendiri.

"He he he...," si kakek malah tertawa terke-

keh-kekeh mendengar kata-kata kasar Sekar Telasih. "Walau mataku sudah kabur, aku masih bi-

sa melihat bila kau memiliki tulang bagus. Kau 

amat berbakat mendalami ilmu silat. Terima ka-

sih. Terima kasih. Bolehlah kau punya sifat ketus 

karena kau memang punya kepandaian yang cu-

kup bisa diandalkan. Terima kasih. Terima kasih. 

Kau telah mengatakan bila nenek itu memang 

Kembang Andini. Hmmm.... Terima kasih sekali.... 

Jadi, pandangan mataku masih dapat diper-

caya...." 

Sambil tertawa terkekeh, kakek yang ba-

junya senantiasa menebarkan aroma harum kayu 

cendana itu melangkah mendekati Dewi Cinta Ka-

sih. Sinar matanya tampak berbinar-binar. Per-

jumpaannya dengan Dewi Cinta Kasih memang 

amat menggembirakan hati si kakek.

"Maaf, aku harus segera pergi...," ujar 

Kembang Andini tiba-tiba, seakan tak suka meli-

hat kehadiran Dewa Dungu.

"Eh! Eh! Kau kenapa, Andini?" kesiap Dewa 

Dungu, tatapan matanya berubah kosong lagi. 

"Lebih dari empat puluh tahun lalu, bukankah ki-

ta saling bersahabat? Apakah usia tua mem-

buatmu lupa pada persahabatan kita? Atau 

mungkin..., kau telah berubah sifat...?"

"Nenekku bukan orang yang mudah melu-

pakan tali persahabatan!" sahut Sekar Telasih, 

ketus. "Aku dan nenekku punya satu urusan 

panting. Mana sempat bertatap muka lama-lama 

danganmu, Kakek Jelek!"

"Hus!" sergah Kembang Andini, menegur.


Nenek berpakaian putih penuh tambalan 

itu merasa tak enak hati mendengar ucapan cu-

cunya. Sikap dan tindak-tanduk Dewa Dungu 

memang tampak amat menyebalkan, tapi tidak 

pada tempatnya bila Sekar Telasih berkata kasar 

kepada si kakek. Namun, Kembang Andini pun 

jadi maklum. Sekar Telasih memang jarang sekali 

bersikap ramah terhadap orang yang belum dike-

nalnya.

"He he he...," tawa kakek Dewa Dungu un-

tuk kesekian kalinya. "Kau menyebut Kembang 

Andini 'nenek', apa kau cucunya? Ya! Ya! Kau 

memang pantas jadi cucunya. Garis-garis wajah-

mu sama. Sifatmu pun sama. Sewaktu muda, ne-

nekmu itu juga galak sepertimu! He he he...." 

"Ah! Maafkan aku, Turangga...," sahut 

Kembang Andini, menyebut nama kecil Dewa 

Dungu. "Aku memang punya urusan penting. Aku 

tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Hanya sa-

ja, kau mesti tahu. Aku senang melihat kau da-

lam keadaan segar-bugar seperti itu. Tapi, kita 

harus berpisah lagi. Kalau umur sama panjang, 

dapatlah nanti kita membuat pertemuan lagi...!" 

Di ujung kalimatnya, nenek itu menggamit 

lengan Sekar Telasih untuk diajak pergi. Namun 

sebelum mereka berkelebat lenyap, Dewa Dungu 

berteriak mencegah. 

"Tunggu...!" 

Seruan itu keras menggelegar karena tanpa 

sadar Dewa Dungu mengaliri getaran suaranya 

dengan tenaga dalam. Namun, Dewi Cinta Kasih


tetap meneruskan niatnya untuk berlalu dari ha-

dapan si kakek. Tubuh ramping Sekar Telasih se-

dikit diangkatnya, mengajak si gadis agar cepat-

cepat berlari dengan menggunakan ilmu lari ce-

pat.

"Hei! Hei! Tunggu...!"

Dewa Dungu berteriak lagi. Kali ini seruan 

si kakek dibarengi kelebatan tubuhnya, mengha-

dang langkah Kembang Andini dan Sekar Telasih. 

Begitu kaki Dewa Dungu mendarat di tanah, 

aroma harum kayu cendana semakin tercium di 

mana-mana.

"Kita sama-sama sudah bau tanah. Sebe-

lum tubuh kita sama-sama jadi santapan rayap 

dan cacing, kenapa mesti menambah dosa dengan 

menambah-nambah perkara dunia?" ujar Dewi 

Cinta Kasih, menahan jengkel.

Dewa Dungu menggaruk-garuk kepalanya 

yang tak gatal. Mendadak, bola matanya membe-

sar. Lalu....

Plok! Plok!

Dua kali kakek berbaju kumal namun se-

nantiasa menebarkan aroma harum kayu cenda-

na itu menggaplok kepalanya sendiri. Seperti 

orang kebingungan, dia berkata, "Uh! Aku bukan 

hendak menambah dosa ataupun membuat per-

kara denganmu, Andini. Aku hanya ingin ber-

tanya sesuatu kepadamu. Tapi... "

Plok! Plok!

Menggelikan sekali kelakuan kakek bertu-

buh kurus-kering itu. Kepalanya digaplok lagi dua


kali. Karena cukup banyak mengeluarkan tenaga, 

tubuh si kakek sampai oleng dan terhuyung-

huyung. Dan begitu dapat berdiri tegak lagi, dia 

cuma cengar-cengir tanpa jelas apa maknanya.

Sekar Telasih yang tak suka melihat tam-

pang Dewa Dungu mendadak tertawa cekikikan. 

Ulah si kakek mirip badut yang tengah memper-

tunjukkan sebuah lelucon. Namun, Kembang An-

dini yang sudah tahu sifat dan tabiat Dewa Dun-

gu cuma tersenyum simpul.

"Agaknya, penyakit lamamu makin parah, 

Turangga...," ujar si nenek. "Bila lupa pada sesua-

tu, dari dulu kau selalu menggaplok-gaplok kepa-

lamu sendiri. Apakah gerangan sebenarnya yang 

hendak kau sampaikan kepadaku?"

Suara Kembang Andini terdengar lebih 

lembut. Melihat ulah Dewa Dungu tadi, menda-

dak timbul rasa kasihan di hatinya. Si nenek da-

pat menduga bila Dewa Dungu memang punya 

sesuatu yang akan disampaikan kepadanya. Tapi 

karena Dewa Dungu amat pelupa, si kakek sam-

pai menggaplok-gaplok kepalanya sendiri. 

"Uh! Ya! Ya! Kau benar!" seru Dewa Dungu 

kemudian. "Tapi..., aku bukan hendak menyam-

paikan sesuatu. Aku hendak bertanya. Eh! Eh! 

Aku lupa apa yang akan kutanyakan...."

Tersenyum lagi Kembang Andini. Lalu ka-

tanya, "Untuk mengingat-ingat kau tentu butuh 

waktu. Sementara, aku juga mengejar waktu. Ti-

dakkah kau bisa menanyakan hal itu di lain wak-

tu saja?"


"Ah! Tidak! Tidak!" tolak Dewa Dungu. "Aku 

harus menanyakannya sekarang. Biar kakiku 

punya arah untuk berjalan. Tapi.... Oh! Oh! Ya! 

Aku ingat sekarang...."

Mendadak, kakek yang tampak seperti 

orang tak waras itu melonjak-lonjak kegirangan. 

Mulutnya bersenandung. Tapi, suara yang ter-

dengar malah mirip dengungan sekelompok lebah.

"Turangga!" sentak Kembang Andini, jadi 

ketus lagi. "Kalau sudah ingat, kenapa tidak sege-

ra kau tanyakan? Jangan buat aku naik pitam 

karena ulah konyolmu itu!"

"Sebal!" tambah Sekar Telasih. "Biar kuha-

jar saja kakek edan itu, Nek!"

"He he he...," Dewa Dungu tertawa terke-

keh-kekeh. "Kau mau menghajarku, Anak Manis? 

Boleh! Boleh! Tapi lain waktu saja. Aku hendak 

bertanya kepada nenekmu itu. Aku juga dikejar 

waktu! He he he...."

Setelah cengar-cengir sejenak, tiba-tiba wa-

jah kakek itu jadi amat pucat. Bola matanya 

membesar lagi.

"Uh! Aku lupa lagi! Aku lupa lagi!" serunya 

sambil menggaplok-gaplok kepalanya berutang 

kali.

Kontan Kembang Andini yang sudah men-

coba bersabar malah jadi jengkel bukan main. 

Langsung dijejaknya tanah untuk segera berkele-

bat pergi bersama Sekar Telasih. Tapi....

"Tunggu! Aku sudah ingat!" seru Dewa 

Dungu, memaksa Kembang Andini dan Sekar Telasih mengurungkan niatnya untuk meninggalkan 

tempat.

"Apa? Cepat katakan!" bentak Sekar Tela-

sih, galak sekali

"Ya! Ya! Tapi, aku bukan hendak bertanya 

kepadamu Anak Manis. Aku mau bertanya pada 

nenekmu itu...," sahut Dewa Dungu. 

"Jangan mengulur waktu lagi, Turangga! 

Bertanyalah!" sergap Sekar Telasih, keras mem-

bentak.

Sambil menggaruk kepalanya yang tak gat-

al, Dewa Dungu menatap wajah Kembang Andini 

lekat-lekat. Lalu berkata, "Aku mencari seorang 

pemuda. Aku mencari muridku. Dia bernama Se-

no Prasetyo. Wajahnya tampan sekali. Namun, dia 

juga amat lugu. Pernahkah kau melihat pemuda 

itu? Di mana dia?"

Terperanjat Kembang Andini mendengar 

ucapan si kakek. Begitu kagetnya dia, sampai-

sampai mulutnya ternganga lebar beberapa lama. 

"Eh! Kau kenapa? Aku cuma bertanya. Ke-

napa air mukamu berubah seperti orang kesuru-

pan?"

"Be... benarkah kau guru pemuda bergelar 

Pendekar Bodoh itu?"

"Ooo...," mulut Dewa Dungu melongo. "Dia 

sudah punya gelar. Pendekar Bodoh? Pendekar 

Bodoh? Hii...! Lucu sekali! He he he.... Eh! Jadi, 

kau tahu di mana muridku itu, Andini. Tapi..., 

kenapa kau begitu terkejut? Ada apa sebenarnya?"


"Urusanku justru berkenaan dengan pe-

muda itu!"

Dewi Cinta Kasih berkata dengan raut wa-

jah masih menggambarkan keterkejutan. Wajah si 

nenek memang kelihatan tegang sekali. Dewa 

Dungu jadi salah tafsir.

"Apa?!" lonjak kaget si kakek. "Kau tampak 

tak suka pada muridku, Andini. Apa dia telah 

menodai cucumu itu?"

Belum sempat Kembang Andini memberi 

penjelasan, Dewa Dungu telah menggaplok-gaplok 

kepalanya lagi. Kali ini dia berbuat itu sambil 

menggerutu panjang pendek...



EMPAT



KUSUMA Suci berdiri termangu tanpa tahu 

apa yang harus diperbuatnya. Selama tinggal di 

Tanah Dipertuan Ratu, dia sudah sering melihat 

Bidadari Satu Hati membunuh orang. Biasanya, 

dia malah membantu sang Ibu untuk membunuh 

orang-orang yang berani masuk ke Tanah Diper-

tuan Ratu. Atau paling tidak, menghajar orang-

orang itu untuk membuat mereka jera dan tak 

berniat masuk kembali ke Tanah Dipertuan Ratu.

Tapi sekarang? Melihat kedatangan Pende-

kar Bodoh, kenapa dia tak tega sama sekali jika 

harus melihat pemuda itu menemui ajal di tangan 

Ibunya atau di tangannya sendiri? Pada mulanya 

Kusuma Suci memang bisa bersikap keras danmenyerang. Tapi setelah melihat wajah si pemuda 

yang begitu lugu, hatinya benar-benar jadi tak te-

ga melakukan kekerasan, apalagi membunuh.

Namun..., benarkah dia tak tega menyakiti 

Pendekar Bodoh hanya karena melihat keluguan 

pemuda itu? Apakah bukan karena dia telah ter-

goda oleh daya tarik yang terpancar dari dalam 

diri si pemuda?

Kusuma Suci sendiri tak dapat menjawab 

pertanyaan yang berkecamuk di benaknya itu.

Sampai beberapa lama, dia cuma berkeluh-kesah. 

Hatinya jadi gelisah tak menentu. Apa yang harus 

diperbuatnya? Membantu ibunya untuk membu-

nuh Pendekar Bodoh? Atau, menghentikan per-

tempuran mereka sebelum terlambat? Tapi... ti-

dakkah hal itu akan membuat murka ibunya?

Sementara itu, pertempuran antara Pende-

kar Bodoh dengan Bidadari Satu Hati berlang-

sung seru sekali. Di sekitar ajang pertempuran, 

belasan batang pohon tumbang terkena babatan 

senjata ataupun tertimpa pukulan yang nyasar. 

Pecahan batu bercampur gumpalan tanah masih 

terus berhamburan seiring kelebatan tubuh ke-

dua tokoh yang terpaut usia cukup jauh itu. 

Lebih dari tiga puluh jurus mereka telah 

bertempur. Bidadari Satu Hati memiliki ilmu pe-

ringan tubuh amat hebat, sehingga dapat men-

gimbangi kecepatan gerak Pendekar Bodoh yang 

mempergunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup 

Dingin'. Sehingga, dapatlah dikatakan bila Ilmu

peringan tubuh mereka seimbang.


Begitu hebatnya ilmu peringan tubuh me-

reka, ketika bergerak menyerang ataupun meng-

hindar, tubuh kedua anak manusia Itu laksana 

dapat berubah menjadi dua gumpal asap yang te-

rus berkelebatan ke sana-sini. Kusuma Suci yang 

menyaksikan dari jarak dua puluh tombak sam-

pai merasa pusing karena terus berusaha mem-

pertajam pandangannya yang mengabur.

Namun, lama-lama Pendekar Bodoh yang 

sebenarnya menang tenaga jadi amat kerepotan. 

Karena, si pemuda menyerang tanpa bermaksud 

membuat cedera lawan. Pendekar Bodoh bersedia 

meladeni gempuran Bidadari Satu Hati hanya ka-

rena tak mau mati konyol.

Di lain pihak, Bidadari Satu Hati menye-

rang dengan segenap nafsu membunuh. Rang-

kaian jurus pedang wanita berpakaian ketat serba 

hitam itu benar-benar hebat luar biasa. Apalagi, 

bilah pedang di tangan si wanita merupakan pe-

dang mustika. Setiap pedang itu menusuk atau-

pun menebas, selalu timbul tiupan angin menggi-

dikkan yang sudah cukup mampu untuk membe-

lah dan menghancurkan bongkah batu besar. Ka-

lau tiupan anginnya saja mempunyai daya peng-

hancur sehebat itu, apalagi ketajaman pedang-

nya!

Untunglah, senjata Pendekar Bodoh juga 

bukan senjata sembarangan. Senjata si pemuda 

yang berupa tongkat putih juga sebuah senjata 

mustika. Walau panjangnya cuma dua jengkal, 

kehebatannya pun bukan alang-kepalang. Jika


dikibaskan, pastilah muncul tiupan angin ken-

cang bergemuruh laksana badai. Tiupan angin 

kencang itulah yang selalu meredam serangan Bi-

dadari Satu Hati yang merangsek ganas dengan 

bilah pedangnya yang berwarna hijau berkilat.

"Hentikan! Hentikan!" teriak Seno tiba-tiba 

sambil meloncat jauh. "Kau begitu bernafsu 

membunuhku. Kesalahanku apa?"

"Kau punya 'Tenaga Beruang Merah'. Itulah 

kesalahanmu!" sahut Bidadari Satu Hati.

Wanita yang tampaknya amat teguh me-

megang pendirian itu berdiri menatap sosok Seno 

dari jarak sekitar lima tombak. Dia tidak langsung 

merangsek lagi karena menggunakan kesempatan 

untuk mengatur jalan pernafasannya. Pertempu-

ran tadi memang amat menguras tenaga.

Sementara, napas Pendekar Bodoh pun 

tampak terengah-engah. Dalam keadaan hanya 

berdiri diam, cairan keringat malah keluar bak 

diperas. Hingga, basahlah baju biru yang dikena-

kan si pemuda..., dan menebarkan aroma harum 

kayu cendana.

"Aneh sekali!" ujar Bidadari Satu Hati. "Aku 

mencium aroma harum kayu cendana. Oh! Kepa-

laku jadi pusing sekali. Kenapa...? Kenapa aku 

jadi...?" 

Terbelalak heran Seno.

Walau berdiri terpaut jarak cukup jauh, 

murid Dewa Dungu itu dapat melihat perubahan 

air muka Bidadari Satu Hati.

Wajah Bidadari Satu Hati tampak meme


rah. Kedua bola matanya melotot, tak berkedip 

menatap sosok Pendekar Bodoh. Dia tahu benar 

bila aroma harum kayu cendana yang menebar 

dari kain baju Pendekar Bodoh telah merangsang 

nafsu gairahnya!

Melihat Bidadari Satu Hati yang terus 

menggeleng-gelengkan kepala sambil melangkah 

mundur, Seno bertambah heran. Sejak memakai 

baju pemberian Dewa Dungu, dia tak tahu sama 

sekali bila aroma harum yang menebar dari kain 

bajunya itu bisa membangkitkan nafsu gairah 

wanita. Si pembuat baju itu sendiri, Dewa Dungu, 

juga tak pernah punya pikiran demikian 

Menurut jalan pikiran Dewa Dungu, baju 

buatannya yang memakan waktu puluhan tahun 

itu tak berbeda jauh dengan baju kumal yang se-

lalu dipakainya. Baju Dewa Dungu walau sudah 

amat tua tapi selalu menebarkan aroma harum 

kayu cendana. Sementara, baju Seno akan mene-

barkan aroma yang sama apabila terkena aliran 

keringat terlebih dulu. Akan tetapi, sifat aroma itu 

amat jauh berbeda! 

Selama tinggal di lembah Gunung Lawu, 

Dewa Dungu amat merindukan kehadiran seo-

rang bocah yang dapat diangkatnya sebagai mu-

rid. Sebagai pelampiasan rasa rindu itu, Dewa 

Dungu merajut benang yang kemudian dijadikan 

sepotong pakaian berwarna biru-biru. Karena in-

gin menjadikan pakaian buatannya sebagai ba-

rang istimewa, direndamnya pakaian biru-biru itu 

dalam suatu ramuan obat-obatan selama lebih


dari dua puluh tahun.

Hingga kemudian, pakaian buatan si kakek 

benar-benar menjadi barang istimewa: Seno Pra-

setyo yang berjodoh menjadi murid Dewa Dungu 

akhirnya dapat memiliki pakaian itu. Namun, Se-

no dan Dewa Dungu sama sekali tak menduga bi-

la ramuan obat-obatan yang digunakan untuk 

merendam telah memberikan aroma kayu cenda-

na yang dapat membangkitkan nafsu gairah 

kaum hawa. 

"Jahanam! Licik sekali kau!" geram Bidada-

ri Satu Hati menyangka Pendekar Bodoh mene-

barkan obat perangsang. "Kau tampak begitu bo-

doh, tapi ternyata kau lebih berbahaya daripada 

yang kuduga"

"Eh! Eh! Kenapa?" sahut Pendekar Bodoh 

yang belum menyadari keadaan. "Aku! tak mau 

bertempur denganmu. Soal 'Tenaga Benang Me-

rah', lain kali saja ku jelaskan. Biarkan aku pergi 

dari sini...."

"Silakan pergi, tapi tinggalkan nyawamu 

dulu!" sergap Bidadari Satu Hati seraya meloncat 

menerjang.

Terpaksa Pendekar Bodoh harus meladeni 

meski dia tak mau membuat cedera. Pertarungan 

seru segera berlangsung kembali. Namun, kali ini 

pertempuran jadi tak seimbang.

Bidadari Satu Hati harus menahan napas 

kalau tak ingin dirinya semakin dipengaruhi naf-

su gairah yang bisa mengganggu akal pikiran. Ka-

rena itulah dia jadi tak leluasa. Kehebatan tusukan ataupun babatan pedangnya banyak berku-

rang. Den karena tak mungkin terus-menerus 

menahan napas, akhirnya semakin banyak aroma 

harum kayu cendana yang terhirup. Akibatnya 

sudah dapat diduga. Serangan Bidadari Satu Hati 

semakin lama semakin kendor. Sementara, tena-

ga Pendekar Bodoh justru semakin bertambah 

besar. Setiap terjadi benturan senjata, pedang Bi-

dadari Satu Hati selalu terpental dan hampir ter-

lepas dari cekalan.

Pendekar Bodoh menduga bila hal itu ter-

jadi karena tenaga Bidadari Satu Hati telah terku-

ras. Namun sesungguhnya, 'Tenaga Beruang Me-

rah' yang ada dalam diri Pendekar Bodoh dapat 

bekerja dengan sendirinya dan membuat kekua-

tan si pemuda jadi berlipat-lipat. 

Ilmu penghimpun tenaga dalam ciptaan 

Salya Tirta Raharja semasa masih menjabat seba-

gai ketua Perkumpulan Beruang Merah itu me-

mang punya kehebatan tersendiri. Jika bertem-

pur, orang yang menguasai 'Tenaga Beruang Me-

rah' akan terus mendapat tambahan kekuatan. 

Dan, hal itulah yang belum disadari oleh Pende-

kar Bodoh.

Namun, dapatkah murid Dewa Dungu itu 

menghentikan gempuran Bidadari Satu Hati tan-

pa melukai atau membuatnya cedera? Sementara, 

Bidadari Satu Hati malah semakin bernafsu un-

tuk segera menjatuhkan tangan maut!

***


"Bukan! Bukan karena itu!" seru Kembang 

Andini, menahan rasa geli yang tiba-tiba mengge-

litik hatinya.

"Apa?" sahut Dewa Dungu seraya meng-

hentikan perbuatannya yang menggaplok-gaplok 

kepalanya sendiri. Air mukanya langsung beru-

bah cerah lagi.

"Seno tak pernah berbuat Jahat kepada 

cucuku. Apalagi, menodainya. Hi hi hi...! Kau ini 

lucu sekali, Turangga. Dari mana kau punya piki-

ran buruk kepada muridmu sendiri seperti itu...?"

"Oh! Syukurlah! Syukurlah! Sakit hatiku 

pada Mahisa Lodra membuatku jadi amat mudah 

berpikiran yang bukan-bukan pada Seno.... Kalau 

benar apa yang kau katakan itu, lalu kau sebe-

narnya punya urusan apa dengan Seno?" 

"Dia berjodoh untuk mewarisi kedudukan 

ketua Perkumpulan Beruang Merah," Sekar Tela-

sih yang menjawab.

"Apa?" sahut Dewa Dungu. Kali ini diba-

rengi lonjakan kaget. "Kau jangan mengada-ada, 

Anak Manis. Eh! Eh! Benarkah kau cucunya 

Kembang Andini? Setahuku Kembang Andini per-

nah bersumpah bahwa dia tak akan menikah se-

lama-lamanya. Kenapa bisa begini?" sambil ge-

leng-geleng kepala, ditatapnya wajah Dewi Cinta 

Kasih. "Apa kau telah melanggar sumpahmu sen-

diri, Andini. Apa ada seorang.... He he he...?"

"Enak saja kau ngomong!" dengus Kem-

bang Andini. "Aku tak pernah melanggar sum-

pahku sendiri. Ketika kau menghilang dari dunia


persilatan, aku bertemu dengan seorang gadis ci-

lik yang kemudian kurawat sampai besar. Dari 

dialah Sekar Telasih lahir." 

"Ooo... begitu...! melongo Dewa Dungu. 

"Jadi, dia putri anak angkatmu. Jadi, dia berna-

ma Sekar Telasih. Tapi..., hei! Apa yang kau kata-

kan tadi, Anak Manis? Kau katakana Seno berjo-

doh mewarisi kedudukan ketua Perkumpulan Be-

ruang Merah? Ah! Yang, benar saja!" 

Kembang Andini yang sebenarnya merasa 

diburu waktu, terpaksa menjelaskan pertemuan-

nya dengan Pendekar Bodoh. Termasuk usahanya 

selama lebih dari empat puluh tahun menunggu 

kemunculan Salya Tirta Raharja yang mengasing-

kan diri di gua bawah tanah.

"Jadi... jadi..., selama ini kau menung-

gunya?" ujar Dewa Dungu, mengungkapkan rasa 

kagum. 

Si kakek sudah tahu hubungan antara 

Kembang Andini dengan Salya Tirta Raharja yang 

menjalin tali asmara. Namun, bukan hanya kare-

na itu kalau Kembang Andini bersedia menunggu 

kemunculan Salya Tirta Raharja sampai sekian 

lama. Penantian Kembang Andini juga merupakan 

wujud kesetiaannya pada Perkumpulan Beruang 

Merah.

"Wah! Wah! Kau memang pantas dijuluki

Dewi Cinta Kasih! Rupanya, kau memang punya 

kesetiaan yang begitu besar," lanjut Dewa Dungu.

Kembang Andini tersenyum tipis.

"Lalu, bagaimana kau bisa yakin bila mu


ridku berjodoh menjadi ketua Perkumpulan Be-

ruang Merah?"

Mendengar pertanyaan Dewa Dungu itu, 

Kembang Andini mengeluarkan kalung 'Permata 

Dewa Matahari' yang tersimpan di lipatan ba-

junya. Namun, Dewa Dungu malah menggeleng-

geleng, setengah tak percaya. 

"Kalung 'Permata Dewa Matahari' adalah 

lambang kekuasaan di Perkumpulan Beruang Me-

rah. Tapi, kenapa kalung itu malah berada di tan-

ganmu?"

"Ah! Semua itu karena kesalahanku," sa-

hut Sekar Telasih dengan suara bergetar. "Pada 

mulanya aku tak percaya bila Seno adalah pewa-

ris kedudukan ketua. Aku menyerangnya. Dan..., 

dia pergi begitu saja dengan meninggalkan kalung 

'Permata Dewa Matahari'...." 

"Sudahlah...," sergap Kembang Andini yang 

tak mau melihat cucunya larut dalam rasa sesal. 

"Seperti yang telah kita rencanakan, kita akan 

pergi ke Tanah Dipertuan Ratu. Ibu dan adikmu 

harus segera diberi tahu. Mereka pun tak boleh 

terlalu lama menunggu. Bersama mereka, kita 

akan menyebar kabar kepada anggota perkumpu-

lan lainnya bahwa telah muncul sang ketua ba-

ru."

"Jadi, kau akan pergi ke Tanah Dipertuan 

Ratu?" tanya Dewa Dungu, memastikan penden-

garannya.

"Ya. Kenapa?" jawab Kembang Andini, se-

kaligus bertanya.


"Dapatkah kau katakan dulu ke mana kira-

kira Seno pergi?"

Menggeleng Kembang Andini. 

"Tak tahu?" buru Dewa Dungu.

"Tidak."

Dewa Dungu jadi terlongong bengong. Air 

mukanya berubah amat keruh. "Akan kucari sen-

diri. Akan kucari sendiri...," desisnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek bertu-

buh kurus-kering itu menjejak tanah, lalu berke-

lebat meninggalkan tempat. 

Sampai beberapa lama, aroma harum kayu 

cendana yang menebar dari kain baju si kakek 

masih tercium. Kembang Andini dan cucunya sal-

ing pandang. Dan, mereka segera pergi mening-

galkan tempat itu pula.... 

Namun di sepanjang perjalanan, Kembang 

Andini tak pernah bisa melupakan pertemuannya 

dengan Dewa Dungu di siang hari itu, walau ba-

rang sekejap. Apakah kemunculan kembali Dewa 

Dungu akan membuat gempar rimba persilatan? 

Yang jelas, dapatlah dipastikan bila kemunculan 

si kakek merupakan malapetaka bagi golongan hi-

tam!



LIMA



BUDAK hina! Melihat kelicikanmu ini, 

agaknya aku harus mengadu jiwa danganmu!" 

Usai berteriak lantang, Bidadari Satu Hati memutar pedangnya cepat sekali. Karena putaran pe-

dang mustika itu disertai aliran tenaga dalam 

tingkat tinggi, timbullah gelombang angin puku-

lan dahsyat.

Bergegas Pendekar Bodoh memutar pula 

Tongkat Dewa Badainya. Gelombang angin puku-

lan yang tak kalah dahsyat muncul memapaki. 

Bentrokan tak dapat dihindari lagi. Ketika muncul 

ledakan keras laksana letusan gunung, tubuh Bi-

dadari Satu Hati dan Pendekar Bodoh sama-sama 

terpental.

Mudah saja bagi Pendekar Bodoh untuk 

mengatasi lontaran tubuhnya. Dengan bersalto 

beberapa kali di udara, si pemuda dapat menda-

rat sigap di tanah. 'Tenaga Beruang Merah' dan 

ilmu 'Perisai Dewa Badai' yang melindungi tu-

buhnya menjadikannya tak menderita luka da-

lam. Hanya pandangannya yang mengabur. Tapi, 

kekaburan itu pun segera lenyap.

Sebaliknya, walau Bidadari Satu Hati dapat 

pula mendarat sigap di tanah, wajahnya yang se-

mula memerah berubah pucat-pasi. Cairan darah 

segar mengalir perlahan dari sudut bibirnya. 

Meski tidak seberapa parah, tapi jelas bila dia 

menderita luka dalam.

Waktu terjadi bentrokan angin pukulan ta-

di, aroma harum kayu cendana yang menebar da-

ri kain baju Seno lenyap beberapa saat. Namun 

karena sebelumnya sudah terlalu banyak meng-

hisap, nafsu gairah tetap mengganggu jalan piki-

ran Bidadari Satu Hati. Tapi, keinginannya untuk


membunuh Seno sudah meluap sedemikian kuat. 

Sehingga gairah dalam diri Bidadari Satu Hati ter-

tekan oleh nafsu membunuh itu.

Kusuma Suci yang mengetahui ibunya ter-

luka dalam bergegas meloncat mendekati. Na-

mun....

Wesss...! 

"Uh...!"

Kibasan telapak tangan Bidadari Satu Hati 

yang menimbulkan serangkum angin pukulan, 

menahan lesatan tubuh Kusuma Suci. Dan, 

membuatnya terpental kembali ke tempat semula.

"Pergilah! Pemuda itu menebar obat pe-

rangsang!" seru sang ibu yang benar-benar men-

gira Pendekar Bodoh berbuat licik. "Pergilah ke 

nenekmu! Beri tahu kehadiran pemuda licik itu di 

tempat ini!"

Kusuma Suci yang belum sampai mengisap 

aroma harum kayu cendana karena dia berdiri 

terpaut cukup jauh dari Seno, tampak diam ter-

paku. Rasa khawatir jelas terbayang di sorot ma-

tanya. Melihat pertempuran seru yang berlang-

sung tadi, dia menduga bila akhir dari pertempu-

ran itu adalah maut. Kalau tidak nyawa Pendekar 

Bodoh, tentu saja nyawa ibunya yang akan me-

layang.

Mengingat sang ibu yang telah melahirkan 

dan membesarkannya, Kusuma Suci jadi amat 

mengkhawatirkan keadaan ibunya. Namun..., dia 

pun tak bisa menipu dirinya sendiri. Dia juga 

mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Bodoh!


"Tunggu apa lagi?! Cepatlah pergi ke tem-

pat nenekmu!" seru Bidadari Satu Hati yang meli-

hat putrinya terus berdiri terpaku.

"Kalau aku pergi, bagaimana dengan 

ibu...?" sahut si gadis, menyiratkan kekhawatiran 

sekaligus keraguan.

"Jangan pedulikan aku! Kalaupun aku 

mesti mati, aku akan bangga sekali. Aku mati 

demi perkumpulan! Oleh karenanya, lekaslah 

pergi!"

"Tapi, Bu...."

"Hei! Apa kau mau melawan kata-kata 

ibumu?!"

Mendengar bentakan itu, Kusuma Suci ter-

surut mundur. Sinar mata Bidadari Satu Hati 

yang berapi-api memaksanya untuk segera me-

ninggalkan tempat. Dan... dia pun segera menje-

jak tanah untuk kemudian berkelebat lenyap.

Namun, bukan untuk pergi jauh!

Setelah berlari cepat sejauh seratus tom-

bak, dia segera kembali untuk menyaksikan per-

tempuran antara ibunya dengan Pendekar Bodoh. 

Agar tidak diketahui sang Ibu, dia bersembunyi di 

balik semak-belukar. Ketika bersembunyi itulah, 

kekhawatiran di hati Kusuma Suci semakin ber-

kuasa dan membuat hatinya berdebar-debar bu-

kan main.

Sebagai orang yang sudah cukup lama ber-

latih ilmu silat, Kusuma Suci dapat menduga bila 

kemenangan akhir tentu berada di tangan Pende-

kar Bodoh. Namun, dia tahu benar adat keras

ibunya saat itu. Kalau dia nekat membantu, 

ibunya malah akan marah bukan main. Bidadari 

Satu Hati tak sudi dibantu putrinya bila bantuan 

itu justru akan membuat celaka putrinya sendiri. 

Sementara, Bidadari Satu Hati pun benar-benar 

telah salah mengerti. Pendekar Bodoh benar-

benar dianggapnya sebagai orang jahat yang telah 

mencuri ilmu Salya Tirta Raharja.

Si pemuda dianggap pula telah menelan 

obat perangsang. Hingga, tak ada lagi yang akan 

diperbuat Bidadari Satu Hati kecuali membunuh 

Pendekar Bodoh!

Memikirkan keselamatan sang ibu, diam-

diam Kusuma Suci menghunuskan pedangnya. 

Ketajaman pedang itu bukan untuk digunakan 

menggempur Pendekar Bodoh bila sewaktu-waktu 

sang Ibu kalah, melainkan untuk berjaga-jaga 

dan mencegah Pendekar Bodoh menjatuhkan tan-

gan maut.

Rasa bingung dan ragu di hati gadis itu 

memang sulit sekali digambarkan. Dia tak mau 

melihat ibunya mati. Di lain pihak, dia pun tak 

mau melihat Pendekar Bodoh celaka. Apakah 

pandangan pertama dengan si pemuda telah 

mencuri hatinya? Kusuma Suci tak tahu. Dia be-

lum pernah mengalami hal seperti itu sebelum-

nya.

Sementara itu, pertempuran antara Pende-

kar Bodoh dengan Bidadari Satu Hati memang te-

lah berlangsung kembali. Tapi tampaknya, per-

tempuran itu tak akan berlangsung lama. Jelas


sekali bila Pendekar Bodoh berada di atas angin. 

Berkali-kali kibasan Tongkat Dewa Badainya 

membuat tubuh Bidadari Satu Hati terpental dan

jatuh bergulingan di tanah.

"Kalau aku mau, sebenarnya aku dapat 

membunuhmu...," ujar Pendekar Bodoh, menatap 

lugu sosok Bidadari Satu Hati yang berdiri ter-

huyung-huyung. "Sebelum aku pergi, ada baiknya 

bila aku memberi sedikit penjelasan...."

"Cukup!" sela Bidadari Satu Hati. "Tidak 

ada yang perlu dijelaskan. Kau hanya akan men-

gumbar kata-kata bualan. Sebaiknya kita lan-

jutkan saja pertempuran ini sampai di antara kita 

ada yang tergeletak menjadi mayat!"

Geleng-geleng kepala Pendekar Bodoh. Ka-

sihan sekali hatinya melihat keadaan Bidadari Sa-

tu Hati. Pendekar Bodoh dapat melihat darah se-

gar yang kembali mengalir dari sudut bibir wanita 

itu

Sebenarnya, luka dalam Bidadari Satu Hati 

tadi tidaklah parah. Tapi karena dia terus men-

gempos tenaga, sebagian tenaga dalamnya malah 

memukul isi dadanya sendiri. Dan tentu saja, lu-

ka dalamnya semakin lama semakin parah.

Namun, Bidadari Satu Hati jadi nekat. Se-

belum gangguan nafsu gairah benar-benar men-

guasai jalan pikirannya, cepat dia menerjang. 

Sementara pedangnya berkelebat untuk memba-

bat leher, kaki kirinya mempersiapkan tendangan 

guna memberikan serangan susulan apabila ba-

batan pedangnya tak mengenai sasaran.


Akan tetapi... ketika bilah pedang Bidadari 

Satu Hati berkelebat setengah bagian, Pendekar 

Bodoh bergerak amat gesit. Tongkat Dewa Badai 

digunakan untuk menangkis dengan disertai se-

bagian besar aliran tenaga dalamnya. Dan ketika 

pedang Bidadari Satu Hati terpental lepas dari ce-

kalan, Pendekar Bodoh berjumpalitan di udara. 

Saat tubuhnya meluncur turun, dua totokan siap 

menghentikan perlawanan Bidadari Satu Hati!

Sementara, Bidadari Satu Hati begitu diku-

asai oleh keterkejutan saat pedangnya dibuat le-

pas dari cekalan oleh senjata Pendekar Bodoh. 

Dan keterkejutan itu membuat dia tak bisa berge-

rak gesit. Akibatnya....

Tuk! Tuk!

"Uh...!"

Keluh pendek keluar dari mulut Bidadari 

Satu Hati membarengi tubuhnya yang jatuh ter-

jengkang seperti gedebong pisang ditebang. Toto-

kan Pendekar Bodoh tepat bersarang di pinggang 

kiri dan punggung. Membuat tubuh Bidadari Satu 

Hati terasa amat lemas tanpa tenaga!

"Maaf atas perbuatanku ini...," ujar Pende-

kar Bodoh. "Lain waktu bila ada jodoh untuk ber-

temu lagi, kuharap kau telah menyadari kekeli-

ruanmu...."

Di ujung kalimatnya, murid Dewa Dungu 

itu berkelebat meninggalkan tempat. Karena 

menggunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Din-

gin', sosok si pemuda lenyap begitu saja dari pan-

dangan seperti siluman yang dapat menghilang.


Melihat Ibunya jatuh dan tak bergerak-

gerak lagi, tanpa pikir panjang Kusuma Suci me-

loncat keluar dari tempat persembunyiannya.

"Ibuuu...!" teriak khawatir gadis bertubuh 

langsing itu. Terkejut bukan main Bidadari Satu 

Hati. 

"Kenapa...? Kenapa kau kembali...?" sa-

hutnya, bernada marah. Namun, dia tak dapat 

berbuat apa-apa karena masih dalam pengaruh 

totokan. Kusuma Suci tercengang. Ternyata, 

ibunya hanya kena totok. Namun meski begitu, 

dia tetap saja mengkhawatirkan keselamatan 

sang Ibu. Dia pun melangkah mendekati....

Namun, aroma harum kayu cendana yang 

ditinggalkan Pendekar Bodoh menghentikan lang-

kah Kusuma Suci. Berkerut kening si gadis. Sete-

lah itu, mendadak pikirannya jadi linglung. Se-

hingga, dia hanya dapat berdiri terpaku beberapa 

lama.

Pada saat itulah, tiba-tiba muncul sesosok 

bayangan tinggi besar. Dalam keadaan terbaring, 

Bidadari Satu Hati sempat melihat bahaya yang 

mengancam keselamatan putrinya.

"Awaasss...!" teriak wanita berumur tiga 

puluh tahun itu, sekuat tenaga.

Mendengar peringatan sang Ibu itu, cepat 

Kusuma Suci menyadari keadaan. Tapi terlam-

bat.... Beberapa totokan telah mendarat di tu-

buhnya..., dan membuatnya lemas terkulai. Na-

mun sebelum jatuh ke tanah, si pembokong cepat 

menyambar tubuh langsing gadis itu.


"Ha ha ha.....! Sebelum aku membunuhmu, 

akan kuhancurkan dulu rasa hatimu, Bidadari 

Satu Hati. Putrimu akan kukembalikan dalam 

keadaan tanpa kehormatan! Ha ha ha...!"

Sambil tertawa bergelak-gelak, si pembo-

kong berkelebat pergi sambil membopong tubuh 

Kusuma Suci. Kejadian itu cepat sekali, sehingga 

agak sulit bagi Bidadari Satu Hati untuk menge-

nali wajah orang yang telah menculik putrinya.

Namun, mata Bidadari Satu Hati yang ta-

jam sempat melihat keadaan tubuh si penculik 

yang ditumbuhi bulu lebat. Sehingga, tercetuslah 

satu pikiran bila si penculik adalah Iblis Pemburu 

Dosa!

"Jahanam!" geram Bidadari Satu Hati yang 

sebenarnya menyimpan dendam permusuhan 

terhadap Iblis Pemburu Dosa.

Tapi, apa yang bisa diperbuatnya dalam 

keadaan lumpuh tertotok seperti itu?



ENAM



PERLAHAN matahari tergelincir ke barat. 

Namun, waktu terasa berlalu cepat. Gelap malam 

akan segera rebah memeluk bumi. Di kala re-

mang-remang suasana senja menciptakan kehe-

ningan, terlihatlah dua sosok bayangan yang ber-

kelebat cepat sekali.

Bagai bulu burung yang terbang tertiup 

angin, amat ringan kedua bayangan itu melesat

melewati bongkah-bongkah batu besar ataupun 

akar pepohonan yang menonjol tinggi dari per-

mukaan tanah. Namun ketika hampir memasuki 

sebuah dataran bersemak-belukar yang berada di 

tepi Tanah Dipertuan Ratu, sosok bayangan yang 

di depan menghentikan kelebatan tubuhnya. So-

sok bayangan yang di belakang turut berhenti.

Walau keremangan senja mulai mengha-

langi pandangan, dapatlah dilihat bila mereka 

dua orang wanita yang terpaut umur cukup jauh. 

Yang satu seorang nenek berumur delapan puluh 

tahun, mengenakan pakaian putih penuh tamba-

lan. Dan, yang satu lagi adalah seorang gadis be-

rumur dua puluh tahun. Si gadis berparas cantik 

sekali, mengenakan pakaian putih berkembang-

kembang.

Menilik garis-garis wajah mereka, siapa lagi 

kalau bukan si Dewi Cinta Kasih; Kembang Andi-

ni dan cucunya si Putri Hati Lurus Sekar Telasih.

"Kenapa kita berhenti, Nek?" tanya Sekar 

Telasih, menyatakan rasa heran. "Bukankah kita 

harus cepat-cepat memberi tahu Ibu dan Kusuma 

Suci?"

"Malam akan segera tiba. Aku khawatir ke-

datangan kita akan mengejutkan mereka…," un-

gkap Kembang Andini sambil mengarahkan pan-

dangan ke barat. Wajah sang mentari sudah tak 

tampak lagi. Hanya semburat cahayanya yang 

samar-samar terlihat.

Setelah menarik napas panjang, nenek 

yang rambutnya dibiarkan tergerai itu menyambung kalimatnya. "Ah! Kau benar. Kedatangan ki-

ta yang mendadak memang akan membuat mere-

ka terkejut. Tapi, kita harus cepat-cepat memberi 

tahu. Mereka akan gembira sekali. Aku yakin!"

Mengangguk Sekar Telasih.

Walau sikap gadis itu biasa-biasa saja, 

namun di dalam hatinya ada sesuatu yang ber-

gemuruh dan melonjak-lonjak. Dia tak sabar un-

tuk segera menjumpai ibu dan adiknya yang telah 

cukup lama berpisah. Rasa rindu membuatnya 

tak sanggup untuk menunggu berlama-lama.

Maka tanpa pikir panjang lagi, Sekar Tela-

sih segera berkelebat mendahului Kembang Andi-

ni. Dan, si nenek pun bergegas menyusul.

Jadilah mereka berlomba untuk dapat ber-

lari lebih cepat dengan mengerahkan seluruh ke-

mampuan ilmu peringan tubuh. Agaknya, Kem-

bang Andini pun menyimpan kerinduan terhadap 

putri angkatnya beserta cucunya yang satu lagi.

Semakin ke dalam, semak-belukar yang 

menghadang semakin berkurang. Maka, semakin 

cepatlah mereka berkelebat. Memasuki Tanah Di-

pertuan Ratu, nyaris tak ditemukan lagi semak-

belukar lebat. Hanya jajaran pohon yang terlihat.

"Ibu...! Ibu...!" teriak Sekar Telasih yang tak 

dapat menahan rasa hatinya. Karena tak ada sa-

hutan, dia berteriak lebih keras. "Ibu...! Ibu...! Ke-

suma...!" 

Tetap tak ada sahutan.

Dalam keremangan malam, Sekar Telasih 

menatap nanar sebuah gubuk bambu yang berdiri

di tengah-tengah Tanah Dipertuan Ratu. Di gu-

buk bambu itulah Ibu dan adiknya tinggal. Sekar 

Telasih telah berteriak keras, kenapa tak ada sa-

hutan dari mereka?

Mendadak, hati Sekar Telasih jadi tak 

enak. Mungkinkah telah terjadi apa-apa pada diri 

ibu dan adiknya?

Rasa tak enak itu menjalar pula ke hati 

Kembang Andini. Dengan jantung berdegup lebih 

cepat, si nenek melangkah seraya mengetuk daun 

pintu. Tiga kali. Empat kali. Sampai tujuh kali, te-

tap tak ada sahutan!

Terdorong rasa tak sabar, Sekar Telasih 

membuka. Daun pintu terkuak diiringi suara derit

batang bambu yang bergesekan. Namun..., tak 

ada siapa-siapa di dalam. Di serambi, di dapur..., 

tetap tak ada siapa-siapa. 

Kosong!

"Perasaanku tak enak, Nek...," cetus Sekar 

Telasih. "Apakah mereka sedang pergi ke suatu 

tempat?" 

Kembang Andini tak menyahuti.

Nenek yang tampak amat uzur itu melang-

kah keluar. Dengan benak terus digeluti tanda 

tanya, Sekar Telasih mengekor ke mana pun si 

nenek pergi. Dan akhirnya setelah mereka menyi-

siri Tanah Dipertuan Ratu, terkejutlah mereka 

manakala melihat sesosok tubuh tergolek lemah 

di tanah dalam keadaan pingsan.

Sosok tubuh yang ditemukan Kembang 

Andini dan Sekar Telasih itu seorang wanita berumur tiga puluh tahun. Mengenakan pakaian ke-

tat serba hitam.

Dia Bidadari Satu Hati!

"Ibuuu...!" pekik parau Sekar Telasih se-

raya meloncat dan memeluk tubuh Bidadari Satu 

Hati.

Kembang Andini yang telah memeriksa 

keadaan Bidadari Satu Hati tampak menarik na-

pas panjang. Si nenek masih bisa menunjukkan 

sikap tenang walau hatinya berdebar-debar bu-

kan main.

"Tenanglah...," ujar si nenek. "Dia cuma 

terkena totokan dan menderita luka dalam yang 

tak seberapa parah..."

Tanpa berkata apa-apa lagi, nenek yang 

raut wajahnya selalu muram-durja itu melepas 

pengaruh totokan di tubuh Bidadari Satu Hati. 

Dan tak lama kemudian, Bidadari Satu Hati pun 

tersadar dari pingsannya.

"Jahanam kau, Iblis Pemburu Dosa!" geram 

wanita itu tiba-tiba. "Lepaskan Kusuma! Le-

paskan...!"

"Tenanglah! Tenanglah...!" sambut Kem-

bang Andini sambi! memegangi lengan Bidadari 

Satu Hati yang hendak meloncat bangkit.

Mendengar suara serak si nenek yang pe-

nuh getaran, Bidadari Satu Hati dapat menyadari 

keadaan. Ditatapnya lekat wajah si nenek dengan 

sejuta tanda tanya dan pengharapan.

"Ibu Kembang Andini...."

"Ya. Ini aku, Puspa Kencana...," sergap si


nenek, menyebut nama kecil Bidadari Satu Hati. 

"Aku datang bersama Sekar Telasih. Lihat itu...."

"Kau... kau tidak apa-apa, Bu...?" sahut 

Sekar Telasih, masih menyiratkan kekhawatiran.

"Oh, Sekar... Adikmu...."

"Kenapa dengan Kusuma?" Kembang Andi-

ni yang bertanya. Lewat cahaya rembulan si ne-

nek melihat rasa khawatir yang berlebihan di ma-

ta Puspa Kencana.

"Tolonglah dia, Bu! Dia diculik Iblis Pembu-

ru Dosa!"

Mendengar keterangan itu, melonjak kaget 

Kembang Andini. Begitu pula Sekar Telasih yang 

tak lain kakak Kusuma Suci. 

"Ah! Bagaimana ceritanya? Bagaimana dia 

bisa datang ke tempat ini? Diakah yang mem-

buatmu terluka dalam?" Kembang Andini mence-

car pertanyaan.

Puspa Kencana alias Bidadari Satu Hati be-

ringsut duduk. Diambilnya napas panjang bebe-

rapa kali untuk mengusir rasa sesak di dadanya. 

Teringat pedang mustikanya yang terlepas dari 

cekalan saat bertempur dengan Pendekar Bodoh 

beberapa waktu lalu, wanita berpakaian serba hi-

tam itu meloncat berdiri.

"Kau hendak ke mana?" tanya Kembang 

Andini, khawatir sambil memegangi lengan Puspa

Kencana.

Bidadari Satu Hati tak menjawab.

Dia terus mengedarkan pandangan. Ketika 

melihat sebilah pedang berwarna hijau yang tergeletak di dekat bongkahan batu, dia segera me-

loncat untuk memungutnya.

"Binatang itu harus kubunuh!" geram Pus-

pa Kencana dengan segudang dendam kemara-

han.

"Jangan gegabah!" tukas Kembang Andini. 

"Kau menderita luka dalam."

"Aku tahu, Bu. Tapi, aku bisa merasakan 

keadaan tubuhku sendiri. Luka dalamku tidak 

seberapa parah. Aku masih mampu bertempur 

seribu jurus!"

"Kita pergi ke Gurun Selaksa Batu seka-

rang juga?" cetus Sekar Telasih. Gurun Selaksa 

Batu adalah tempat kediaman Iblis Pemburu Do-

sa.

"Tentu saja! Kusuma Suci harus segera 

diselamatkan," Jawab Puspa Kencana, tegas. 

"Namun, kita harus berhati-hati. Binatang kepa-

rat itu mempunyai seorang anak buah berilmu 

tinggi. Dia seorang pemuda remaja, tapi ilmu ke-

saktiannya hebat luar biasa. Bahkan, dia mem-

punyai 'Tenaga Beruang Merah'. Dialah yang telah 

membuatku lumpuh dengan ilmu totoknya."

Kaget bukan main Dewi Cinta Kasih. 

Bayangan buruk segera berkelebat di benaknya. 

Kalau anak buah Iblis Pemburu Dosa mempunyai 

'Tenaga Beruang Merah', itu berarti Perkumpulan 

Beruang Merah berada diambang kehancuran. 

Kalau anak buahnya saja sudah sedemikian he-

bat, apalagi Iblis Pemburu Dosa sendiri. Sementa-

ra, setahu Dewi Cinta Kasih, 'Tenaga Beruang Merah' adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang 

belum ada tandingannya di dunia ini. Ilmu itu 

hanya dapat dikuasai Salya Tirta Raharja. Tapi 

kenapa ada orang lain yang bisa menguasainya? 

Terlebih lagi, dikuasai oleh musuh! Bagaimana 

bisa begitu?

"Dapatkah kau katakan siapa pemuda yang 

mempunyai 'Tenaga Beruang Merah' itu?" tanya 

Kembang Andini akhirnya.

"Aku sendiri tak tahu. Tapi sebelum ber-

tempur, Kusuma Suci mengatakan bila dia ber-

nama Seno Prasetyo dan bergelar Pendekar Bo-

doh...."

Sekali lagi Kembang Andini dihantam ke-

terkejutan. Kali ini si nenek sampai mendelikkan 

mata. Detak jantungnya pun terasa telah berhen-

ti.

Sementara nenek berkulit putih itu masih 

terpukau dalam keterkejutan, Sekar Telasih me-

nyatakan ketidakpercayaannya. Tegas sekali Se-

kar Telasih berkata....

"Tak mungkin! Hal itu tak mungkin Bu...! 

Kedatanganku bersama Nenek Andini justru un-

tuk memberitahukan bahwa Seno Prasetyo mem-

punyai jodoh untuk menjadi ketua Perkumpulan 

Beruang Merah."

"Ah! Mana bisa begitu?" tukas Bidadari Sa-

tu Hati. "Pemuda itu memiliki 'Tenaga Beruang 

Merah', sementara aku yakin dia tak membawa 

kalung 'Permata Dewa Matahari', bagaimana aku 

percaya kalau dia punya jodoh untuk menjadi ketua perkumpulan? Dia bisa memiliki 'Tenaga Be-

ruang Merah' tentu karena perbuatan liciknya. 

Entah bagaimana caranya, tapi aku yakin kalau 

dia telah mencuri ilmu itu!"

"Anakku...," sebut Kembang Andini, seperti 

mendesah. "Kau percaya pada keyakinan yang 

pernah kutanamkan pada dirimu dulu, bukan?

Orang yang tak berjodoh menjadi ketua perkum-

pulan tak akan bisa menemukan atau menda-

patkan kalung 'Permata Dewa Matahari'. Kau ma-

sih percaya pada keyakinan itu, Anakku?"

"Ya. Aku percaya, Bu," jawab Puspa Ken-

cana. "Tapi, aku pun yakin bila Seno Prasetyo tak 

akan dapat menunjukkan kalung 'Permata Dewa 

Matahari' karena dia memang tak memilikinya."

"Kau keliru. Pada mulanya aku pun tak 

percaya. Tapi, Seno Prasetyo dari dalam sumur 

tempat Tuan Salya Tirta Raharja memperdalam 

ilmu kesaktiannya. Kemunculan pemuda itu den-

gan membawa ini...."

Di ujung kalimatnya, Kembang Andini 

mengeluarkan kalung 'Permata Dewa Matahari' 

yang tersimpan di lipatan bajunya. Karena di 

tempat gelap, bandul kalung itu langsung me-

mancarkan sinar kebiruan.

"Astaga!" kesiap Puspa Kencana. Sejenak 

wanita ini jadi lupa pada Kusuma Suci yang dicu-

lik Iblis Pemburu Dosa. "Bagaimana kalung itu 

bisa berada di tanganmu, Bu?"

"Seno Prasetyo yang membawanya. Namun, 

dia tinggalkan karena ada kesalahpahaman dengan Sekar Telasih...," ujar Kembang Andini, yang 

kemudian menceritakan perihal pertemuannya 

dengan Pendekar Bodoh dengan singkat

"Aku percaya kau tak pernah berbohong, 

Bu," sahut Bidadari Satu Hati di akhir cerita ibu 

angkatnya. "Tapi, kita harus tetap membuktikan 

kebenarannya. Untuk mengetahui siapa ketua ba-

ru sudah muncul atau belum, kita lihat bunga wi-

jaya kusuma yang selama ini kutunggu...."

Tanpa menanti persetujuan Kembang An-

dini dan Sekar Telasih, bergegas Bidadari Satu 

Hati menyarungkan pedangnya seraya berkelebat 

ke utara. Kembang Andini dan Sekar Telasih yang 

dapat membaca jalan pikiran wanita itu segera 

menyusul.

***

"Ya, Tuhan...," sebut Bidadari Satu Hati.

Wanita berparas cantik itu berdiri terpaku. 

Kedua bola matanya terbelalak menatap salur-

salur bunga wijaya kusuma. Pohon bunga yang 

batang dan daunnya sama-sama berwarna hijau 

itu tumbuh di sela-sela batu, dekat mulut sebuah 

gua.

"Pohon ini berbunga! Pohon ini berbunga!" 

seru Bidadari Satu Hati lagi, setengah tak per-

caya.

Kembang Andini dan Sekar Telasih pun 

tampak diam terpukau. Dengan melihat pohon 

wijaya kusuma yang mulai tumbuh kuncup


kuncup bunga, mereka jadi semakin yakin bila 

ketua baru Perkumpulan Beruang Merah telah 

muncul.

Sebenarnya, dua tahun yang lalu, Puspa 

Kencana dan Kusuma Suci tinggal bersama Kem-

bang Andini dan Sekar Telasih di dekat sumur 

tua tempat Salya Tirta Raharja memperdalam il-

mu kesaktian, terpaut ratusan tombak jauhnya 

dari Tanah Dipertuan Ratu. Mereka berempat 

sama-sama menunggu kemunculan Salya Tirta 

Raharja yang memperdalam ilmu kesaktian guna 

menumpas anak keturunan Saka Wanengpati.

Namun kemudian, Kembang Andini men-

dapat bisikan gaib yang mengatakan bila di Tanah 

Dipertuan Ratu terdapat pohon bunga wijaya ku-

suma aneh. Pohon itu tak mau berbunga jika 

Salya Tirta Raharja belum muncul atau ada orang 

lain yang punya jodoh menggantikan Salya Tirta 

Raharja untuk menggantikan kedudukannya se-

bagai Ketua Perkumpulan Beruang Merah.

Karena yakin akan kebenaran bisikan gaib 

itu, Kembang Andini membagi tugas. Dia dan Se-

kar Telasih tetap menunggu kemunculan Salya 

Tirta Raharja di dekat sumur tua. Sementara, 

Puspa Kencana dan Kusuma Suci ditugasi me-

nunggu pohon wijaya kusuma di Tanah Dipertuan 

Ratu.

Dan setelah dua tahun berlalu, pohon wi-

jaya kusuma itu benar-benar tumbuh kuncup-

kuncup bunga. Oleh karenanya, mau tidak mau 

Puspa Kencana harus percaya bila Seno Prasetyo


memang punya jodoh untuk menggantikan kedu-

dukan Salya Tirta Raharja sebagai ketua Perkum-

pulan Beruang Merah. Namun, kenapa kemuncu-

lan pemuda itu di Tanah Dipertuan Ralu begitu 

banyak mengundang tanda tanya? Setelah si pe-

muda pergi, kenapa muncul Iblis Pemburu Dosa 

yang kemudian menculik Kusuma Suci?

Karena teringat putrinya itulah, wajah 

Puspa Kencana langsung memucat. "Soal Seno 

Prasetyo bisa kita bicarakan lain waktu. Kusuma 

Suci membutuhkan pertolongan kita!" ujarnya se-

raya berkelebat pergi. Jelas bila dia hendak me-

nuju ke Gurun Selaksa Batu, tempat kediaman 

Iblis Pemburu Dosa.



TUJUH



DENGAN sejuta pikiran yang tak menge-

nakkan hati, Kusuma Suci menatap nyalang so-

sok manusia yang berdiri di hadapannya. Dalam 

keadaan terbaring telentang, putri kedua Puspa 

Kencana itu berusaha membebaskan diri dari 

pengaruh totokan. Namun, hawa murni yang di-

guna-kan untuk menormalkan kembali peredaran 

darah-nya selalu berbalik, sehingga dia tetap tak 

dapat membebaskan diri dari pengaruh totokan 

yang membuat tubuhnya terasa amat lemas tan-

pa tenaga.

Yang dapat dilakukan gadis cantik itu 

hanya berteriak panik. Tapi, sampai kering kerongkongannya, teriakannya tak akan membua-

hkan apa-apa. Desau angin yang berhembus ken-

cang di Gurun Selaksa Batu mampu menelan te-

riakan si gadis.

Wajar sekali bila Kusuma Suci tampak be-

gitu ketakutan. Sosok manusia yang telah melari-

kannya ke Gurun Selaksa Batu mempunyai wajah 

dan bentuk tubuh amat buruk. Dia seorang lelaki 

berambut putih riap-riapan. Tubuhnya tinggi-

besar tapi bungkuk. Hanya mengenakan selembar 

cawat merah, sehingga bulu-bulu berwarna hi-

tam-kekuningan yang tumbuh lebat di sekujur 

tubuhnya terlihat jelas.

Lebih buruk lagi, sosok manusia berbulu 

mirip kera itu berhidung amat pesek, nyaris 

hanya berupa dua lubang. Sementara, kedua bola 

matanya senantiasa melotot besar seperti hendak 

keluar dari rongganya. Mulutnya pun amat lebar 

dan bergigi kecil-kecil seperti gigi ikan. Gusi, li-

dah, dan rongga mulutnya berwarna merah da-

rah.

Wajah yang cukup menggidikkan itu masih 

ditambah lagi dengan adanya tanduk yang tum-

buh di antara riap-riap rambut. Ujung tanduk le-

laki berumur sekitar lima puluh tahun itu me-

lengkung ke depan dan tampak runcing berkilat.

Dia Wanara Kadang atau Iblis Pemburu 

Dosa!

Tersiram cahaya rembulan temaram, ketu-

runan Saka Wanengpati itu tampak menyeringai 

dingin. Ditatapnya lekat-lekat wajah dan tubuh


Kusuma Suci yang elok menawan, laksana seekor 

buaya lapar yang hendak menelan mangsanya 

bulat-bulat.

"Jahanam! Lepaskan aku!" geram Kusuma

Suci, mengumpulkan keberanian.

Wanara Kadang tak menyahuti. Matanya 

semakin tajam menatap wajah cantik Kusuma 

Suci. Dia biarkan rambutnya yang semakin riap-

riapan tertiup angin. Dan manakala Kusuma Suci 

balas menatap tajam, mendadak dia tertawa ber-

gelak-gelak.

"Ha ha ha...! Kau cantik sekali! Kau amat 

mirip dengan ibumu. Hmmm.... Tanpa kuberi ta-

hu, kau pasti sudah tahu apa yang kulakukan 

kepadamu, bukan?"

"Jahanam...!" geram Kusuma Suci lagi, mu-

lai timbul keberaniannya. "Keparat kau, Iblis 

Pemburu Dosa! Aku tahu kau keturunan Saka 

Wanengpati. Kalau hendak membuat perhitungan 

dengan anggota Perkumpulan Beruang Merah, 

kenapa kau berbuat licik seperti ini? Lepaskan 

aku! Ku tantang kau untuk mengadu jiwa!"

"Ha ha ha...!" sergap Iblis Pemburu Dosa 

dengan suara tawanya yang serak parau. "Ru-

panya, kau punya nyali juga, Anak Manis. Bebe-

rapa kata yang kau ucapkan benar. Aku memang 

bermaksud membuat perhitungan dengan selu-

ruh anggota Perkumpulan Beruang Merah yang 

masih tersisa. Karena, tak ada lagi yang dapat ku-

lakukan untuk membasmi anak keturunan Bua-

na Seta. Salya Tirta Raharja pun kukira sudah


menjadi santapan rayap dan cacing tanah! Ha ha 

ha...! Namun, untuk membunuh orang-orang tolol 

itu adalah persoalan mudah. Aku ingin mencabik-

cabik rasa hati mereka terlebih dulu! Ha ha ha...!"

Sambil tertawa bergelak, tangan kiri Wana-

ra Kadang mengibas. Gerakannya pelan, namun 

tiupan angin yang ditimbulkan sudah cukup 

mampu untuk menyingkap kain bawah Kusuma 

Suci yang berwarna biru.

Sementara Kusuma Suci memekik kaget 

karena bagian tubuhnya yang terlarang dilihat 

orang, Wanara Kadang tertawa bergelak lebih ke-

ras. Bola matanya pun melotot makin besar, tak 

berkedip menatap kulit mulus Kusuma Suci. Be-

gitu tawanya terhenti, napas Wanara Kadang 

langsung terdengar memburu. Aliran darahnya ti-

ba-tiba berdesir tak karuan.... 

Kusuma Suci yang sudah tahu adanya api 

permusuhan antara anak keturunan Saka Wa-

nengpati dengan anak keturunan Buana Seta, 

bergidik ngeri bukan main. Mati bukanlah hal 

yang menakutkan baginya. Tapi, kalau mati den-

gan keadaan ternoda? Bagi Kusuma Suci, hal se-

perti itu jauh lebih menakutkan dari siksa neraka 

sekalipun!

Dia pun tak bisa membayangkan betapa 

hancur perasaan ibunya setelah mengetahui ak-

hir dari nasibnya. Begitu pula dengan perasaan 

neneknya yang juga sangat menyayanginya. Pera-

saan adiknya pula. Dan, anggota Perkumpulan 

Beruang Merah lainnya pasti akan merasakan hal


yang sama. Perasaan mereka akan teriris pedih-

perih!

Membayangkan apa yang akan segera ter-

jadi pada dirinya, hati Kusuma Suci jadi dikuasai 

ketakutan lagi. Sementara, Wanara Kadang yang 

tengah menikmati kehalusan kulit si gadis dengan 

tatapan matanya jadi kecewa. Angin yang tiba-

tiba bertiup kencang mengembalikan kain bawah 

Kusuma Suci. Bagian bawah tubuh si gadis tertu-

tup lagi.

"Haram jadah!" maki Wanara Kadang, me-

numpahkan rasa kesal. 

Tapi tiba-tiba..., lelaki berbulu lebat men-

geluarkan suara menggerendeng yang tak jelas 

apa maksudnya. Terbelalak mata Kusuma Suci 

seketika. Bukan karena mendengar suara aneh 

yang keluar dari mulut Wanara Kadang, melain-

kan karena melihat gumpalan api yang menyem-

bur dari ujung tanduk lelaki berbulu lebat itu!

Wuusss...! 

Menjerit dan memekik Kusuma Suci tere-

jam rasa takut dan ngeri. Gumpalan api yang 

menyembur dari ujung tanduk Wanara Kadang 

membakar kain bawahnya. 

Dan..., api panas berwarna merah menyala 

itu cepat sekali merambat ke atas. Tentu saja Ku-

suma Suci semakin menjerit keras karena merasa 

kepanasan.

Namun sebelum panasnya api turut mem-

bakar tubuh si gadis, cepat Wanara Kadang men-

gibaskan telapak tangannya.


Hawa dingin menebar. Api yang membakar 

pakaian Kusuma Suci langsung padam. Tinggal-

lah tubuh si gadis yang hampir telanjang. Hebat-

nya, kulit tubuh Kusuma Suci yang sempat terji-

lat api tak sedikit pun terdapat luka ataupun me-

lepuh. Tubuh si gadis tetap halus mulus tanpa 

noda!

Dan karena semburan api tadi membuat 

Kusuma Suci hampir telanjang, tak dapat lagi ib-

lis Pemburu Dosa menahan gejolak hasratnya. 

Dengan napas berdebur kencang, dia langsung 

bergerak menerkam. Dan..., rasa takut dan ngeri 

di hati Kusuma Suci membuatnya jatuh pingsan. 

Tapi....

Slaps...! Slaps...!

Dari atas bongkahan batu besar tiba-tiba 

melesat seberkas sinar kebiruan. Sinar itu mele-

sat cepat sekali. Begitu menerpa tanah langsung 

membuat tabir yang melindungi tubuh Kusuma 

Suci!

Wanara Kadang yang tak menduga akan 

datangnya tabir berupa sinar biru itu, tak sempat 

menghentikan luncuran tubuhnya lagi. Diiringi 

suara berdentum cukup keras, tubuh Wanara 

Kadang terpental balik lalu jatuh terbanting ke 

tanah berbatu-batu!

"Jahanam!" geram lelaki bertampang amat 

buruk itu. "Kalau hendak membuat perkara den-

gan Iblis Pemburu Dosa, bukan sekarang wak-

tunya. Biarkan aku mewujudkan keinginanku dulu, Bangsat!"


Wanara Kadang sudah tahu kalau ada 

orang yang hendak menghalangi niatnya. Tapi, 

hasratnya yang sudah bergolak naik membuatnya 

lupa diri. Dia tak peduli pada kehadiran seseo-

rang yang telah berdiri sekitar sepuluh tombak 

dari hadapannya.

Dengan mengerahkan segenap tenaga da-

lamnya, Wanara Kadang berusaha menjebol tabir 

biru yang melindungi tubuh Kusuma Suci. Sesaat 

tampak Wanara Kadang menyorongkan kedua te-

lapak tangannya ke depan. Tapi saat menyentuh 

tabir biru yang berupa sinar itu, ia memekik pa-

rau. Telapak tangannya terasa menyentuh bara 

api yang amat panas. Sehingga, terpaksa Wanara 

Kadang meloncat mundur karena rasa panas itu 

terus menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Jahanam...!" geram Wanara Kadang, lebih 

keras.

Merasa dipermainkan orang, mendidih naik 

darah lelaki berumur lima puluh tahun itu. Begi-

tu cepatnya dia dikuasai hawa amarah, hingga 

dia jadi lupa pada Kusuma Suci yang masih terge-

letak pingsan tak jauh dari hadapannya. Dengan 

mengeluarkan suara menggereng laksana hari-

mau hendak menerkam mangsa, dia meloncat 

mendekati seorang lelaki yang berdiri terbungkuk 

di atas bongkahan batu besar.

Lelaki itulah yang telah menyelamatkan 

kehormatan Kusuma Suci. Saat tubuh Iblis Pem-

buru Dosa telah mendarat di tanah, tabir biru 

yang melindungi tubuh Kusuma Suci langsung


lenyap. Orang yang membuat tabir sinar itu sen-

gaja melenyapkannya karena Iblis Pemburu Dosa 

tak lagi berbahaya bagi si gadis.

"Berani menginjakkan kaki di Gurun Se-

laksa Batu ini saja sudah merupakan kesalahan 

besar. Apalagi, kau telah sengaja menggangguku!" 

ujar Wanara Kadang. "Punya nyawa rangkap pun 

jangan harap kau dapat meloloskan diri dari tan-

gan mautku!"

Orang yang berdiri di atas bongkahan batu 

cuma tersenyum tipis. Setelah menggaruk kepa-

lanya yang tak gatal, terdengarlah suara tawa ter-

kekeh-kekeh dari mulutnya.

Tersiram cahaya rembulan, dapatlah dike-

nali bila dia seorang kakek tua-renta bertubuh 

kurus-kering. Rambutnya putih panjang, digelung 

ke atas dan dilingkari sebuah gelang perak. Raut 

wajahnya mencerminkan sifat welas-asih. Tapi, 

tatapan matanya tampak kosong seperti orang be-

rotak bebal.

Anehnya, pakaian kakek yang tampak su-

dah amat uzur itu senantiasa menebarkan aroma 

harum kayu cendana, walau telah kusut kumal 

karena termakan umur. Menilik ciri-ciri itu, siapa 

lagi dia kalau bukan Turangga Seta yang lebih di-

kenal dengan julukan Dewa Dungu!

"He he he...," tawa kekeh si kakek. "Aku tak 

mengenalmu. Kau pun pasti belum mengenalku. 

Jadi, kita sama-sama tak mengenal. He he he.... 

Malam-malam begini aku berada di tempat ini ka-

rena kebetulan saja. Jelasnya, aku tersesat. Aku


sedang mencari muridku. Apakah kau tahu? Eh! 

Eh! Geblek benar aku ini! Kau belum mengenal-

ku, kau pasti tak mengenal pula muridku. Tapi..., 

kulupakan dulu soal muridku itu. Aku ingin tahu, 

kenapa kau bisa punya wajah dan bentuk tubuh 

begitu buruk? Tapi, kenapa kelakuanmu lebih 

buruk lagi?"

Kalimat Dewa Dungu nyerocos panjang se-

perti orang gila yang sedang ngomel. Namun, 

ujung kalimat si kakek jelas bermakna sindiran. 

Iblis Pemburu Dosa yang tak dapat menahan ha-

wa amarah mengeluarkan suara menggerendeng 

keras. Lalu....

Wuusss...!

Ujung tanduk lelaki berbulu lebat itu me-

nyemburkan gumpalan api merah menyala-nyala. 

Namun, Dewa Dungu malah tertawa terkekeh-

kekeh. Hebatnya, udara yang keluar dari mulut si 

kakek mampu memadamkan gumpalan api yang 

hendak membakar tubuhnya!

"Jahanam...!" umpat Wanara Kadang, se-

perti hendak menghalau rasa sesak di dadanya 

akibat desakan hawa amarah. "Datang ke Gurun 

Selaksa Batu ini agaknya kau berbekal kepan-

daian hebat. Namun, tak ada yang perlu kau pa-

merkan lagi! Sekarang juga nyawamu akan kuan-

tar ke neraka!"

Usai berkata, Iblis Pemburu Dosa memu-

tar-mutar kedua tangannya di depan dada. Jelas 

sekali bila dia hendak mengeluarkan ilmu 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang'.


Mengingat kehebatan ilmu pukulan itu, 

dapatkah Dewa Dungu menghindari lubang 

maut? 

Sementara, ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tu-

lang' yang dimiliki Iblis Pemburu Dosa selain he-

bat luar biasa, juga teramat kejam. Walau tenaga 

dalam lawan lebih unggul sampai tiga tingkat, 

jangan harap dapat bertahan dari gempuran ilmu 

pukulan sesat itu!



DELAPAN



DEWA Dungu tampak tersenyum-senyum, 

lalu menyambung senyumnya itu dengan tawa 

panjang terkekeh-kekeh. Si kakek belum dapat 

mengukur seberapa tinggi ilmu kesaktian Iblis 

Pemburu Dosa. Oleh karenanya, dia tidak berani 

gegabah. Kalau dia selalu menampakkan senyum 

dan tawa, itu karena sifatnya yang selalu riang 

gembira.

Semakin panas hati Wanara Kadang meli-

hat Dewa Dungu bersikap tenang, padahal dia 

bermaksud mengeluarkan salah satu ilmu kesak-

tiannya yang terhebat. Maka, semakin kuat do-

rongan nafsu Wanara Kadang untuk segera me-

nyudahi riwayat kakek bertubuh kurus kering itu.

Tapi, alangkah kecewanya Iblis Pemburu 

Dosa. Walau dia berkali-kali berusaha menya-

rangkan pukulan, tak satu pun serangannya yang 

mengenai sasaran. Kelebatan tubuh Dewa Dungu

terlalu cepat untuk dapat dikejar kepalan tangan 

Iblis Pemburu Dosa. Ilmu peringan tubuh Dewa 

Dungu yang bernama 'Lesatan Angin Meniup Din-

gin' memang unggul dua tingkat. Sehingga, Iblis 

Pemburu Dosa laksana mengejar-ngejar asap ke-

labu yang tak pernah bisa disentuhnya.

"Jahanam!" geram Wanara Kadang untuk 

kesekian kalinya. "Menilik tingkah-lakumu, agak-

nya kau sengaja hendak mempermainkan aku. 

Hmm.... Boleh-boleh saja kau turuti kata hatimu 

itu. Tapi..., bagaimana kalau aku menantangmu 

mengadu tenaga?"

Dewa Dungu menyambut tantangan lelaki 

berbulu lebat itu dengan suara tawa. "He he he.... 

Mengadu tenaga? Apa kau tak takut mati? He he 

he.... Tapi..., kalau aku yang mati? Hiii...! Aku 

memang sudah amat tua, tapi aku belum mau 

mati...."

"Jangan banyak cakap!" sergap Iblis Pem-

buru Dosa, keras membentak. "Kalau takut, sege-

ra enyah dari hadapanku! Kalau berani, segera 

kau kerahkan seluruh tenaga dalammu!"

Dewa Dungu yang pada dasarnya berjiwa 

jantan, pantang menolak tantangan. Apalagi, tan-

tangan itu berasal dari seseorang yang nyata-

nyata punya perilaku jahat. Maka, walau si kakek 

masih menyambuti ucapan Wanara Kadang den-

gan suara tawanya yang cempreng, segera dia 

mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan 

kanan.

Wanara Kadang yang melihat pergelangan


tangan Dewa Dungu bergetar langsung bersorak 

girang dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi, cepat 

dia keluarkan ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol Pe-

rut'. Sesaat bola mata Wanara Kadang tampak 

berbinar. Dia sudah yakin benar akan kedahsya-

tan ilmu kesaktiannya. Walau tenaga dalam la-

wan unggul sampai tiga tingkat, sang lawan itu 

tetap akan mati dengan perut jebol!

"Sudan siapkah kau, Orang Edan?!" ujar 

Iblis Pemburu Dosa. Suaranya terdengar mengge-

ram walau hatinya girang bukan main. Kemenan-

gan seakan telah berada di pelupuk matanya.

"He he he.... Mestinya yang menanyakan 

itu aku. Aku sudah siap sedari tadi. He he he...," 

sahut Dewa Dungu diiringi suara tawanya yang 

berderai panjang.

Mendengus gusar Wanara Kadang. Diam-

bilnya ancang-ancang untuk segera meloncat ke 

depan. Tapi sebelum adu tenaga itu benar-benar 

terjadi, mendadak....

"Tunggu...!"

Terdengar sebuah teriakan keras mengge-

legar. Begitu kerasnya, sampai-sampai suara te-

riakan itu membahana panjang di seantero Gurun 

Selaksa Batu.

Di lain kejap, berkelebat sesosok bayangan. 

Saat berhenti, dapatlah dilihat bila dia seorang 

pemuda remaja berpakaian biru-biru dengan ikat 

pinggang kain merah. Parasnya tampan, namun 

menyiratkan sinar keluguan dan kejujuran.

"Seno Prasetyo...!" seru girang Dewa Dungu


seraya melonjak-lonjak seperti anak kecil yang 

baru mendapat mainan kesukaannya.

"Kakek Turangga Seta...!" balas si pemuda 

yang memang Seno Prasetyo adanya.

Pemuda bertubuh tinggi tegap itulah yang 

telah menggagalkan niat Dewa Dungu untuk 

mengadu tenaga dengan Iblis Pemburu Dosa.

"Aku tak menyangka bila Kakek berada di 

tempat ini...," lanjut Seno seraya berlutut di de-

pan Dewa Dungu. "Kakek dapat berdiri tegak, 

bahkan berniat pula mengadu tenaga, agaknya 

kedua kaki Kakek sudah sembuh...."

"He he he...," tertawa Dewa Dungu dengan 

bola mata terus berbinar-binar. "Bangunlah. Ban-

gunlah.... Kau murid yang baik. Kau punya pera-

datan bagus. Tapi, nanti saja kita lanjutkan bica-

ra. Aku masih punya sedikit urusan dengan orang 

jahat itu...."

Bergegas Pendekar Bodoh bangkit. Setelah 

membungkuk hormat kepada gurunya, dia tatap 

lekat-lekat Sosok Iblis Pemburu Dosa. Walau be-

lum pernah melihat langsung, Pendekar Bodoh 

yakin bila orang yang ditatapnya itu memang Iblis 

Pemburu Dosa. Kembang Andini pernah menceri-

takan bagaimana ciri-ciri keturunan Saka Wa-

nengpati itu.

Sementara, Iblis Pemburu Dosa yang meli-

hat kehadiran Seno jadi terkejut bukan main. 

Tempo hari, bukankah pemuda itu telah terjeblos 

ke lubang jebakan yang amat dalam? Bagaimana 

dia bisa selamat?

Wanara Kadang tak mampu menjawab per-

tanyaan yang berkecamuk di benaknya, Namun, 

dia tak mau peduli. Wanara Kadang yakin, saat 

ini dengan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' 

dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut' tak akan 

ada orang yang sanggup mengalahkannya. Ter-

masuk Pendekar Bodoh dan kakek berbaju kumal 

yang disebut si pemuda sebagai Turangga Seta 

itu!

"Hmmm.... Tampaknya, kalian guru dan 

murid. Kebetulan sekali kalau begitu. Ku tantang

kalian untuk mengadu tenaga bersama-sama...," 

ujar Iblis Pemburu Dosa, jumawa. 

"Boleh! Boleh!" sambut Pendekar Bodoh 

tanpa pikir panjang, ucapannya terdengar amat 

lugu.

"Eh! Eh!" ucap Dewa Dungu sambil mene-

puk bahu muridnya itu. "Aku sudah menyanggupi 

tantangannya. Tak perlu kau turut campur. Urus 

saja gadis itu!" 

Terperanjat kaget Seno saat mengarahkan 

pandangan ke tempat yang ditunjukkan Dewa 

Dungu. Tersipu malu si pemuda melihat sosok 

tubuh nyaris telanjang milik Kusuma Suci yang 

tergeletak sekitar dua puluh tombak dari tempat-

nya berdiri. Jantung Seno langsung berdegup 

kencang. Berbagai dugaan buruk segera mem-

bayang di benaknya.

"Bukankah itu putri Bidadari Satu Hati 

yang baru kujumpai sore tadi?" desis Seno. "Ke-

napa dia berada di tempat ini?"


"Orang buruk rupa itu hampir meno-

dainya...," beri tahu Dewa Dungu. "Kita berbagi 

tugas saja. Aku mengurus penjahat jelek ini. Kau 

mengurus gadis itu. Ambil sesuatu untuk menu-

tupi tubuhnya. Jangan sampai dia masuk angin. 

He he he...."

"Ah! Tidak! Tidak!" tolak Pendekar Bodoh, 

tegas. "Kakek saja yang mengurus gadis itu. Se-

lain malu, sebenarnya yang punya urusan dengan 

Iblis Pemburu Dosa adalah aku. Lagi pula, Kakek 

belum tahu kalau orang jahat itu punya ilmu se-

sat yang amat menggiriskan. Kalau sampai ber-

sentuhan kulit, setiap lawannya akan mati den-

gan perut jebol atau tulang-belulangnya mencair. 

Harap Kakek mau mengerti...."

"Ya! Ya! Aku bisa mengerti. Kau cegah aku 

mengadu tenaga, mungkin karena kekhawatiran-

mu itu. Tapi,.., kau sendiri apa punya ilmu untuk 

menundukkan orang jahat itu?"

"Jangan khawatir...," sahut Seno, yakin se-

kali. "Kakek urus saja gadis itu. Aku akan...."

"Jahanam...!" bentak Iblis Pemburu Dosa 

tiba-tiba. "Ku tantang kalian berdua, kenapa ma-

lah berunding yang tak ada ujung-pangkalnya? 

Mati saja kalian berdua!"

Di ujung kalimatnya, Wanara Kadang me-

nerjang ganas. Tangan dan kakinya bergerak ber-

samaan untuk menghajar tubuh Pendekar Bodoh 

dan Dewa Dungu!

"Aku yang akan melayaninya! Kakek harus 

mau mengurus gadis itu!" seru Pendekar Bodoh.


Cepat pemuda lugu itu mengambil tinda-

kan. Dewa Dungu yang sedang terlongong-

bengong didorongnya ke arah Kusuma Suci. Se-

mentara, dia sendiri langsung berkelit untuk 

menghindari tendangan Wanara Kadang.

Pendekar Bodoh segera terlibat pertempu-

ran seru melawan Iblis Pemburu Dosa. Dewa 

Dungu tampak menggerutu panjang-pendek. Do-

rongan Pendekar Bodoh tadi hampir membuatnya 

jatuh telungkup. Untung dia langsung meloncat 

jauh sambil mencari keseimbangan tubuhnya. Se-

lain pukulan Wanara Kadang dapat dihindari, dia 

pun dapat mendarat sigap di tanah.

Namun ketika melihat sosok tubuh Kusu-

ma Suci, si kakek malah berdiri termangu sampai 

beberapa lama. Berulang kali dia menggaruk-

garuk kepalanya yang tak gatal.

"Uh! Uh!" keluh kakek tua renta itu, entah 

apa yang dikeluhkannya. 

Plok! Plok!

Dua kali kakek berbaju kumal itu meng-

gaplok kepalanya sendiri. "Aku sudah terlalu tua 

untuk melihat pemandangan seperti itu! Uh! Uh! 

Andai kesempatan ini kudapatkan lima puluh ta-

hun yang lalu, tentu aku akan senang sekali. Ta-

pi.... Uh! Uh...!"

Sambil terus menggerutu, Dewa Dungu 

melangkah. Gerutuan si kakek semakin keras 

terdengar ketika langkah kakinya semakin dekat 

dengan tubuh Kusuma Suci yang masih tergolek 

pingsan. Walau melihat dengan mata disipitkan,


dia tahu kalau keadaan Kusuma Suci tidaklah 

mengkhawatirkan. Si gadis cuma pingsan tanpa 

menderita luka apa pun.

Sesaat kemudian, Dewa Dungu tampak si-

buk merogoh-rogoh saku bajunya. Sibuk sekali 

dia, sampai-sampai wajahnya terlihat amat te-

gang. Padahal....

"Uh! Mana kain kumalku?! Mana?! Mana?!" 

ucap si kakek, ganti merogoh-rogoh saku cela-

nanya.

Kakek itu semakin tampak sibuk. Cela-

nanya yang gedombrongan ternyata banyak ter-

dapat saku maupun lipatan-lipatan tersembunyi. 

Namun setelah apa yang dicarinya dapat ditemu-

kan, tersenyum senanglah dia.

Ditimangnya sebentar lipatan kain merah 

jambu yang tampak sudah amat kusut. Lebarnya 

cuma seperempat telapak tangan. Namun ketika 

lipatannya dibuka, ternyata kain itu cukup lebar 

untuk dapat menyelimuti tubuh Kusuma Suci 

yang nyaris telanjang.

Di lain kejap, terlihatlah Dewa Dungu du-

duk mendeprok di dekat bongkahan batu besar, 

sekitar sepuluh tombak jaraknya dari tempat Ku-

suma Suci terbaring pingsan. Si kakek tengah 

asyik menyaksikan pertempuran antara Pendekar

Bodoh melawan Iblis Pemburu Dosa. Sesekali dia 

tertawa bergelak-gelak melihat Iblis Pemburu Do-

sa yang harus berloncatan ke sana-sini karena 

mengejar bayangan Pendekar Bodoh, yang sedari 

tadi belum memberikan serangan balasan. Si pemuda terus berkelebatan dengan ilmu 'Lesatan 

Angin Meniup Dingin'-nya, menunggu kesempa-

tan untuk menerapkan ilmu ataupun jurus yang 

didapatkannya dari kitab peninggalan Salya Tirta 

Raharja.

Belum begitu lama Dewa Dungu menyaksi-

kan pertempuran yang menyenangkan hatinya 

itu, mendadak indera pendengarannya yang tajam 

mendengar suara kelebatan orang berlari cepat. 

Ketika menoleh ke belakang, samar-samar Dewa 

Dungu melihat tiga sosok bayangan yang berkele-

bat ke arahnya, atau tepatnya menuju ke tempat 

Iblis Pemburu Dosa yang sedang mencecar Pen-

dekar Bodoh dengan serangan mematikan.

"Hei! Hei!" teriak Dewa Dungu ketika tiga 

sosok bayangan yang dilihatnya telah mendekat.

Tiga sosok bayangan semuanya wanita. 

Mereka tak lain Kembang Andini, Puspa Kencana, 

dan Sekar Telasih. Sementara, begitu melihat so-

sok Dewa Dungu, Kembang Andini langsung 

mendekati kakek tua renta itu.

"Aku tahu yang tengah bertempur itu Iblis 

Pemburu Dosa dan Pendekar Bodoh. Apakah kau 

datang bersama muridmu itu?" ujar si nenek.

"Ah! Tidak! Semua terjadi hanya kebetulan. 

Tapi, kedatanganmu ini tentu tidak kebetulan ka-

rena ada orang yang benar-benar membutuhkan 

pertolonganmu," sahut Dewa Dungu.

"Pertolongan? Siapa yang membutuhkan 

pertolonganku?"

"Lihat itu!"


Kembang Andini, Puspa Kencana, dan Se-

kar Telasih menoleh bersamaan, mengarahkan 

pandangan ke tempat yang ditunjukkan Dewa 

Dungu. Walau samar-samar, mereka bertiga ma-

sih dapat mengenali sosok Kusuma Suci yang 

tengah tergolek pingsan.

"Gadis itu tak apa-apa! Dia hanya butuh 

pakaian!" seru Dewa Dungu. "Setelah kau tolong 

dia, bergegaslah kemari. Kita saksikan pertempu-

ran yang begitu mengasyikkan itu! Lekaslah, An-

dini! Aku ingin kau menjadi saksi kehebatan mu-

ridku!"



SEMBILAN



LIMA belas jurus berlalu cepat. Belum juga 

Seno melihat kesempatan untuk menerapkan il-

mu ataupun jurus yang pernah dipelajarinya dari 

kitab peninggalan Salya Tirta Raharja. Karena de-

sakan rasa jengkel, tanpa pikir panjang Seno 

mengeluarkan salah satu ilmu pukulan 'Dewa 

Badai Rontokkan Langit', yakni 'Pukulan Inti Din-

gin'. Begitu dialiri tenaga dalam, pergelangan tan-

gan kanan si pemuda langsung berubah warna 

menjadi kuning keemasan.

Terperanjat Iblis Pemburu Dosa. Menda-

dak, hawa dingin malam dirasakannya semakin 

dingin dan membekukan tulang. Terhantam ke-

terkejutan yang menyesakkan dada, tanpa sadar 

Iblis Pemburu Dosa meloncat jauh ke belakang.


Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Pen-

dekar Bodoh. Saat tubuh Iblis Pemburu Dosa ma-

sih melayang di udara, cepat si pemuda menyo-

rongkan telapak tangan kanannya ke depan! 

"Hiaahh...!" 

Wuussh...!

Tanpa dapat dibendung lagi, lapisan salju 

kuning keemasan keluar bergumpal-gumpal dari 

telapak tangan Pendekar Bodoh. Dan..., tepat 

menerpa tubuh Iblis Pemburu Dosa!

Diiringi jerit melengking panjang, tubuh 

Wanara Kadang terlontar jauh, lalu jatuh terbant-

ing di atas tanah berbatu-batu. Sesaat kemudian, 

dapatlah dilihat bila tubuh lelaki berbulu lebat itu 

telah terbungkus lapisan salju kuning keemasan 

wujud dari 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar Bodoh

Hingga lima tarikan napas, tak ada lagi 

tanda-tanda kehidupan pada diri Wanara Kadang. 

Seno sempat menatap heran. Kenapa begitu mu-

dah membunuh keturunan Saka Wanengpati itu?

Mengingat riwayat Salya Tirta Raharja yang 

mengasingkan diri di gua bawah tanah untuk 

memperdalam ilmu kesaktian, Seno tak yakin bila 

Iblis Pemburu Dosa telah mati. Segala jerih-payah 

Salya Tirta Raharja bukankah untuk menumpas 

keturunan Saka Wanengpati yang nyata-nyata ja-

hat? Kalau Iblis Pemburu Dosa begitu mudah di-

bunuh, sungguh tak sebanding dengan jerih 

payah Salya Tirta Raharja yang sampai harus 

mengorbankan nyawanya.

Terdorong rasa tidak percayanya, Seno me


langkah mendekati tubuh Wanara Kadang yang 

masih terbungkus lapisan salju. Namun belum 

genap sepuluh tindak, dia terhenyak. Lapisan sal-

ju yang membungkus tubuh Wanara Kadang tiba-

tiba ambyar dan berpentalan ke udara. Lalu....

Terdengar suara tawa bergelak-gelak seir-

ing melentingnya tubuh Wanara Kadang. Ternya-

ta, lelaki bertampang amat buruk itu memang be-

lum mati. Ketika mendarat di tanah, dapatlah di-

lihat bila dia dalam keadaan segar-bugar tanpa 

kurang suatu apa. 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar 

Bodoh benar-benar tak membuatnya cedera sedi-

kit pun!

"Ha ha ha...!" tawa gelak Wanara Kadang. 

"Bocah gemblung! Ilmu pukulanmu tidaklah se-

hebat keberanianmu. Mana dapat kau membu-

nuhku? Andai kau dapat menghitung bulu-bulu 

tubuhku, kau pasti akan tahu bila tak ada sehelai 

pun yang rontok. Ilmu pukulanmu benar-benar 

payah! Ha ha ha...!"

Nyengir kuda Seno.

Tak dapat dia menutupi kekagumannya. 

Selama ini, belum ada orang yang mampu mena-

han "Pukulan Inti Dingin'-nya apalagi jika orang 

itu sampai terkena dengan telak. Namun, karena 

Seno sudah tahu cerita kejahatan Iblis Pemburu 

Dosa, rasa kagumnya segera lenyap tanpa tersisa. 

Maka sebelum iblis Pemburu Dosa mengawali se-

rangan lagi, bergegas dia persiapkan bagian ilmu 

pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit' lainnya, 

yaitu "Pukulan inti Panas".


Wanara Kadang boleh tak mempan 

'Pukulan Inti Dingin'. Tapi kalau tubuhnya diter-

pa hawa panas yang mempunyai daya penghan-

cur dahsyat, masih mampukah dia bertahan? Se-

no tidak begitu yakin. Namun, apa salahnya ka-

lau dicoba?

"Apa katamu tadi? Bulu-bulu tubuhmu tak 

ada yang rontok?" ujar Pendekar Bodoh, seperti 

mengajak bercanda. "Ah! Mana aku percaya? 

Mendekatlah kemari. Akan kucoba untuk menghi-

tung...."

Mendengus gusar Wanara Kadang.

Dia bukanlah anak kecil yang mudah dibo-

dohi. Pergelangan tangan kiri Seno telah berubah 

warna menjadi putih berkilat. Dia tahu bila si 

pemuda telah mempersiapkan ilmu pukulan lain-

nya. Mana mau dia mendekatinya begitu saja? 

Apalagi, udara malam yang dingin mendadak be-

rubah panas menyengat. Udara panas itu mene-

bar dari pergelangan tangan Seno.

"Hmmm.... Kalau begitu maumu, baik-

lah...," sambut Iblis Pemburu Dosa seraya me-

langkah mendekati Seno. Namun, baru mendapat 

tiga tindak, tiba-tiba dia memekik parau. Sepuluh 

jari tangannya yang terkepal siap menjatuhkan 

'Lima Pukulan Pencair Tulang'.

Melihat tubuh Wanara Kadang yang mele-

sat cepat ke arahnya, ringan saja Seno menjejak 

tanah. Dengan berjumpalitan tiga kali di udara, 

tahu-tahu tubuh si pemuda telah berada di bela-

kang Wanara Kadang.


"Aku di sini, Tampang Jelek!" seru Seno.

Kecewa bukan main Iblis Pemburu Dosa 

ketika sosok Pendekar Bodoh lenyap dari pandan-

gannya. Dan saat mendengar ejekan si pemuda, 

bergegas dia membalikkan badan. Namun.... 

"Terimalah ini...!" 

Wuusss...!

Hentakan telapak tangan kiri Seno menim-

bulkan lidah-lidah api putih yang menyebar ga-

nas. Seluruh tempat di Gurun Selaksa Batu nya-

ris berubah terang-benderang.

Begitu terangnya lidah-lidah api putih yang 

keluar dari telapak tangan Seno, pandangan Iblis 

Pemburu Dosa terasa telah menjadi buta. Belum 

sempat ia menyadari keadaan, mendadak tubuh-

nya terlontar! Jerit panjang keluar dari mulut le-

laki bertampang buruk itu karena terejam hawa 

panas luar biasa!

Tubuh Wanara Kadang tak sampai terlon-

tar jauh. Bongkahan batu besar telah menahan. 

Hebatnya, batu sebesar kerbau itu retak, lalu pe-

cah menjadi beberapa bagian. Sementara, Wanara 

Kadang terus menjerit-jerit dan berkelojotan di 

tanah.

Namun, peristiwa yang cukup menggidik-

kan itu tak berlangsung lama. Mendadak, lidah-

lidah api yang menyelubungi tubuh Wanara Ka-

dang padam. Dan..., lelaki itu bangkit tanpa men-

derita luka apa-apa. Bahkan, bulu-bulu tubuhnya 

pun tetap seperti semula, tak terbakar ataupun 

rontok!


"Astaga...!" kesiap Seno.

Terbelalak lebar mata pemuda remaja itu.

Mulutnya pun sampai terbuka beberapa lama. 

"Manusia atau silumankah dia?" katanya dalam 

hati.

"Hmmm.... Dua kali kau menyarangkan 

pukulan jarak jauh. Kini akulah yang akan me-

mukulmu!" seru Iblis Pemburu Dosa.

Usai berkata, Wanara Kadang cepat mener-

jang Pendekar Bodoh yang masih berdiri terpu-

kau. Namun ketika mendengar suara angin ber-

kesiur, Pendekar Bodoh menyadari keadaan. Ber-

gegas dibuangnya tubuh ke kanan untuk meng-

hindari pukulan beruntun Wanara Kadang.

Didahului suara menggerendeng, menda-

dak ujung tanduk Wanara Kadang menyembur-

kan gumpalan api merah menyala-nyala. Pende-

kar Bodoh yang sudah berada dalam kewaspa-

daan penuh, bergegas mengibaskan telapak tan-

gannya untuk menciptakan tiupan angin ken-

cang. Sengaja dia tidak menggunakan Tongkat 

Dewa Badai-nya. Ilmu ataupun jurus yang terda-

pat dalam kitab peninggalan Salya Tirta Raharja 

tak terdapat gerakan yang memakai senjata, se-

muanya berdasarkan gerakan tangan kosong.

Kibasan telapak tangan Pendekar Bodoh 

yang disertai sebagian besar tenaga dalamnya 

terbukti dapat menimbulkan tiupan angin ken-

cang bergemuruh, tak kalah hebat dibanding 

dengan kibasan Tongkat Dewa Badai. Hebatnya, 

tiupan angin kencang itu bukan saja mampu menahan semburan api yang berasal dari ujung tan-

duk Wanara Kadang, tetapi juga mampu memba-

likkan arah semburannya!

Namun..., Iblis Pemburu Dosa malah ter-

senyum senang melihat gumpalan api yang me-

nyerbu balik ke arahnya sendiri. Gumpalan api 

merah menyala-nyala yang menyembur ganas itu 

menutupi pandangan Iblis Pemburu Dosa mau-

pun Pendekar Bodoh. Akan tetapi, Iblis Pemburu 

Dosa yang mempunyai ilmu kebal hebat tampak 

meloncat sebat, menembus gumpalan api yang 

masih melayang di udara!

Wesss...!

"Saat kematianmu telah tiba!" seru Wanara 

Kadang, yakin sekali.

Terkejut bukan main Seno.

Mata murid Dewa Dungu itu terbelalak me-

lihat sosok tubuh Iblis Pemburu Dosa yang berke-

lebat cepat. Namun, dalam keterkejutan itu Seno 

malah melihat gerakan atau jurus puncak dari 

ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' yang tengah 

diterapkan Iblis Pemburu Dosa.

Cepat pikiran Pendekar Bodoh bekerja. 

Daya ingatnya melayang ke pelajaran yang terda-

pat dalam kitab peninggalan Salya Tirta Raharja. 

Dan ketika kelebatan tubuh Iblis Pemburu Dosa 

sudah begitu dekat untuk menyarangkan 'Lima 

Pukulan Pencair Tulang', Pendekar Bodoh menga-

lirkan 'Tenaga Beruang Merah' ke kedua tangan-

nya.

"Hiaaahh...!"


Wut! Wut! Wuutt...! 

Tiga pukulan Wanara Kadang berhasil di-

kelitkan dengan baik. Namun... pada pukulan ke-

tiga dan keempat, tiba-tiba kedua tangan Seno 

bergerak cepat sekali. Menangkap pergelangan

tangan Wanara Kadang seraya menelikung sekuat 

tenaga!

Krak! Krakk! 

"Wuaahh...!" 

Terdengar suara keretak tulang patah. Tu-

buh Wanara Kadang jatuh terbanting di tanah di-

iringi jerit kesakitan yang menyayat hati. Kedua 

pergelangan tangannya tampak bengkok tidak 

pada tempatnya. Karena, tulang kedua lengan itu 

memang telah patah!

"Luar biasa! Luar biasa!" desis Seno, berdiri 

terpukau menatap Wanara Kadang yang terus 

mengeluh kesakitan. "Sepertinya, aku tak menya-

dari apa yang telah kulakukan. 'Tenaga Beruang 

Merah' luar biasa. Aku tak merasakan apa-apa 

ketika bersentuhan kulit dengan Iblis Pemburu 

Dosa...."

Senang rasa hati Seno melihat kedua len-

gan Wanara Kadang yang telah patah. Dalam 

keadaan seperti itu, mudah bagi Seno untuk me-

namatkan riwayatnya. Namun..., benarkah begi-

tu?

Ternyata tidak! Mendadak, Wanara Kadang 

bangkit lagi. Kedua lengannya yang patah diluda-

hinya bergantian. Di lain kejap, kedua lengan ke-

turunan Saka Wanengpati itu dapat bekerja normal kembali seperti sediakala!

"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh yang 

melihat Iblis Pemburu Dosa menggerak-gerakkan 

ke dua tangannya dengan bebas.



SEPULUH



KALI ini akal pikiran Iblis Pemburu Dosa 

benar-benar dikuasai amarah dan segudang naf-

su membunuh. Cairan darahnya yang menggele-

gak naik membuat bola matanya berubah merah 

berkilat. Tajam sekali menatap sosok Pendekar 

Bodoh yang tengah berdiri terlongong-bengong.

Pijakan kaki lelaki bongkok itu berdebam 

keras ketika melangkah mendekati Pendekar Bo-

doh. Permukaan tanah bergetar. Bersama debu 

yang mengepul tebal, bongkah-bongkah batu ber-

geser tempat.

"Jika aku tak dapat membunuhmu, terku-

tuklah aku sebagai keturunan Saka Wanengpati. 

Jahanam kau, Bocah Edan!" geram Wanara Ka-

dang.

"Kalau aku tak dapat membunuhmu, di 

alam baka sana pastilah Kakek Salya Tirta Rahar-

ja mengutukku...," sahut Pendekar Bodoh meni-

rukan nada ucapan Wanara Kadang, namun ter-

dengar amat lugu.

"Heh?! Ada hubungan apa kau dengan ke-

parat itu?"

"Tak seberapa jauh dari tempatku berdiri

ini, bukankah aku pernah terjeblos ke lubang je-

bakan? Aku yakin kaulah yang menjebakku. Na-

mun..., tahukah kau bila di dalam lubang itu aku 

justru mendapat keberuntungan?"

"Keberuntungan apa, heh?!" 

"Aku menemukan tempat Kakek Salya Tirta 

Raharja memperdalam ilmu kesaktian. Kau pasti 

tahu benar riwayat keturunan Buana Seta itu. 

Sayang, dia kutemui sudah dalam keadaan me-

ninggal dunia. Tapi, dia meninggalkan sebuah ki-

tab yang amat berharga. Kitab itu membeberkan 

kelemahan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' 

dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut', juga berisi 

tentang cara-cara meredam kedahsyatan dua il-

mu kebanggaanmu itu...."

"Omong kosong!" sergap Iblis Pemburu Do-

sa, "Kalau kau memang sudah tahu kelemahan 

dua ilmu kebanggaanku, kenapa kau tak juga da-

pat membunuhku?"

Nyengir kuda Seno.

Sampai beberapa lama, pemuda lugu itu

tak tahu apa yang harus dikatakannya untuk 

menyahuti ucapan Iblis Pemburu Dosa. Kenapa 

dia belum juga bisa membunuh lelaki berbulu 

itu? Apakah petunjuk dalam kitab peninggalan 

Salya Tirta Raharja keliru? Atau, dia sendiri yang 

kurang sempurna dalam menguasainya?

"Uh! Bukankah aku belum mencoba 

'Tenaga Pembetot Jiwa' yang menjadi puncak ke-

hebatan 'Tenaga Beruang Merah'...?" pikir Seno.

"Kenapa kau diam saja?!" sentak Wanara

Kadang. "Apa kau telah menjadi gentar, heh?! Apa 

kau hendak berubah niat untuk pergi dari tempat 

ini? Hmmm.... Kalau tadi-tadi, bolehlah kau ku-

biarkan lolos, tapi sekarang? Jangan harap kau 

dapat pergi dari Gurun Selaksa Batu dalam kea-

daan bernyawa!"

Akan tetapi... sebelum keturunan Saka 

Wanengpati itu memulai serangannya, mendadak 

Seno menghadapkan telapak tangannya ke depan. 

Lalu..., dari sepuluh jari tangan si pemuda mele-

sat garis-garis sinar merah!

Srratt...! Weerrr...!

"Hek...!"

Sepuluh larik sinar itu langsung membelit 

tubuh Iblis Pemburu Dosa yang terlambat meng-

hindar. Akibatnya, Iblis Pemburu Dosa tak dapat 

lagi menggerakkan tubuhnya. Telapak kakinya 

melekat erat di permukaan tanah. Sementara, ke-

dua tangan dan kakinya yang terbelit juga tak 

dapat digerakkan, walau dia telah mengerahkan 

seluruh tenaga dalamnya untuk memutuskan ga-

ris-garis sinar yang melesat dari jemari tangan 

Seno.

"Jahanam!" geram Wanara Kadang, keras 

menggelegar. "Jangan main-main seperti ini! Ku

tantang kau bertempur secara jantan!"

"Lho! Bukankah kita telah bertempur seca-

ra jantan? Apa kau tak merasa?" sahut Pendekar 

Bodoh.

Mendadak, murid Dewa Dungu itu mengge-

rakkan kedua tangannya. Gerakan si pemuda seperti tak mengandung tenaga, tapi akibatnya 

sungguh di luar dugaan. Tubuh Wanara Kadang 

langsung terpental jauh!

Dan sebelum tubuh lelaki berbulu lebat itu 

jatuh ke tanah, garis-garis sinar merah yang se-

mula lenyap, tiba-tiba melesat lagi dari jemari 

tangan Pendekar Bodoh.

"Hih...!"

Srattt...! Weerrr...!

Memekik parau Wanara Kadang. Kali ini 

garis-garis sinar wujud dari 'Tenaga Beruang Me-

rah' itu membelit tubuhnya lebih erat. Dalam 

keadaan melayang di udara, tubuh Wanara ka-

dang terseret, lalu jatuh berdebam tiga tombak 

dari hadapan Pendekar Bodoh!

Namun... mendelik mata Pendekar Bodoh. 

Si pemuda terhantam keterkejutan yang menye-

sakkan dada. Ketika jatuh ke tanah, seharusnya 

tubuh Wanara Kadang hancur-lebur menjadi de-

bu. Tapi, kenapa tubuh lelaki berbulu lebat itu 

tak mengalami luka apa-apa?

"Tenaga Beruang Merah'-nya belum sem-

purna...," desis Kembang Andini yang menyaksi-

kan pertempuran dari jarak cukup jauh.

"O, begitu?" sahut Dewa Dungu yang bera-

da di dekat si nenek.

Tanpa pikir panjang, bergegas kakek ber-

baju kumal itu bangkit seraya berkelebat cepat. Si 

kakek mendarat tepat di belakang Pendekar Bo-

doh.

"Atur hawa murnimu, kubantu kau mele


nyapkan binatang menjijikkan itu!" seru Dewa 

Dungu seraya menempelkan kedua telapak tan-

gannya ke punggung Seno.

Sejenak si pemuda nyengir kuda.

Namun mengingat tugas dari mendiang 

Salya Tirta Raharja yang tengah diembannya, ce-

pat pemuda itu mengatur hawa murni untuk me-

nerima saluran tenaga dalam dari Dewa Dungu. 

Saat merasakan hawa hangat mengalir dari pung-

gungnya yang ditempeli telapak tangan Dewa

Dungu, dia keluarkan lagi 'Tenaga Beruang Me-

rah'. Tampak kemudian....

Iblis Pemburu Dosa masih merangkak 

bangkit ketika sepuluh jari tangan Pendekar Bo-

doh mengeluarkan garis-garis merah. Tentu saja 

lelaki berperangai jahat itu tak dapat menghindar 

ketika tubuhnya menjadi sasaran. Karena, seten-

gah bagian tenaganya telah musnah, membuat 

dia tak bisa bergerak gesit lagi.

Sesaat kemudian, tubuh Wanara Kadang 

tampak terpental jauh. Ketika 'Tenaga Beruang 

Merah' kembali menyeretnya, dia pun cuma dapat 

memekik panjang merasakan ajal yang telah de-

kat. Lalu....

Wesss...!

Bummm...!

Keras sekali tubuh Iblis Pemburu Dosa ter-

banting ke tanah. Permukaan tanah sempat ter-

guncang, 

Dan..., tubuh keturunan Saka Wanengpati 

itu tak tampak lagi karena telah hancur-lebur


menjadi debu yang mengepul di angkasa!

***

Malu-malu matahari menampakkan diri. 

Perlahan namun pasti, semburat sinarnya mulai 

menerangi bumi. Hari yang baru berganti, disam-

but lesatan aneka burung yang terbang riang di 

angkasa luas.

Dipimpin Kembang Andini, Puspa Kencana, 

beserta Sekar Telasih, dan Kusuma Suci menja-

tuhkan diri di hadapan Pendekar Bodoh. Hikmat 

sekali mereka bersujud dan menghaturkan sem-

bah.

"Hei! Hei! Apa-apaan ini?!" tegur Seno sam-

bil menggeleng-gelengkan kepala.

"He he he...," tertawa terkekeh Dewa Dun-

gu. "Aku sudah mendengar cerita tentang dirimu 

dari Kembang Andini. Kau berjodoh untuk men-

jadi Ketua Perkumpulan Beruang Merah. Hal itu 

merupakan anugerah Tuhan yang tiada taranya. 

Jangan bersikap tolol seperti itu, ah!"

"Uh! Uh!" keluh Seno. "Aku tak mau dis-

embah-sembah orang. Kalaupun aku memang 

punya jodoh untuk menjadi Ketua Perkumpulan 

Beruang Merah, bersikaplah biasa saja. Lagi pula, 

aku belum benar-benar menjadi ketua. Bukankah 

saat ini Perkumpulan Beruang Merah masih be-

rupa nama saja?"

Di ujung kalimat itu, Seno menekuk tubuh 

seraya menepuk bahu Kembang Andini.


Nenek berkulit putih itu bangkit perlahan. 

Puspa Kencana dan Sekar Telasih mengikuti. 

Demikian juga dengan Kusuma Suci yang telah 

memakai baju luar kakaknya.

"Anggota Perkumpulan Beruang Merah 

yang tampak memang baru kami berempat...," 

ujar Kembang Andini kemudian. "Tapi, Tuan jan-

gan khawatir...."

"Sudah berkali-kali kubilang, jangan pang-

gil aku 'tuan'. Risih hatiku mendengar sebutan 

itu," sela Pendekar Bodoh.

"Ya. Ya, Seno...," sambut Kembang Andini, 

tampak sungkan sekali. Nenek ini memang sangat 

setia kepada Perkumpulan Beruang Merah. Se-

hingga, tak enak rasa hatinya jika harus me-

manggil pemimpinnya dengan sebutan sembaran-

gan. Si nenek pun selalu menanamkan pengertian 

kepada Puspa Kencana, Sekar Telasih, dan Ku-

suma Suci, bahwa mereka semua harus setia dan 

rela mati demi kebesaran panji-panji perkumpu-

lan.

"Kau jangan khawatir, Seno...," lanjut 

Kembang Andini. "Anggota Perkumpulan Beruang 

Merah yang tampak memang baru kami berem-

pat. Namun, seperti yang kukatakan tempo hari, 

satu candra lagi aku pasti akan dapat mengum-

pulkan anggota lainnya. Mereka semua akan setia 

kepadamu, Seno...."

Lain benar dengan nenek berpakaian putih 

penuh tambalan itu yang terus berkata-kata, 

Puspa Kencana dan kedua putrinya cuma diam


membisu. Mereka bertiga telah menyadari kesala-

han yang mereka perbuat beberapa waktu lalu. 

Bahkan, Puspa Kencana yang pernah punya niat 

membunuh Pendekar Bodoh malah berdiri ter-

bungkuk dengan kepala menunduk dalam.

"Aku bangga sekali! Aku senang sekali!" se-

ru Dewa Dungu tiba-tiba.

Seperti orang gila, mendadak kakek berpa-

kaian kumal itu melonjak-lonjak dengan bola ma-

ta berbinar. Mulutnya pun tak henti berseru.

"Aku bangga sekali! Aku senang sekali! Mu-

ridku telah jadi orang besar! Gembira sekali rasa 

hatiku! Selain berjiwa ksatria, muridku juga ber-

jiwa besar. Dia tak sombong! Dia tetap seperti du-

lu...!"

Entah apa lagi yang akan diucapkan kakek 

tua renta itu. Yang jelas, Pendekar Bodoh jadi 

amat canggung dan malu dibuatnya. Si pemuda 

cuma nyengir kuda beberapa lama.

Selagi Dewa Dungu masih melonjak kegi-

rangan, Kembang Andini mengeluarkan kalung 

'Permata Dewa Matahari' dari balik lipatan ba-

junya. Bergetar tangannya ketika menyerahkan 

kepada Pendekar Bodoh.

"Kalung mustika ini adalah lambang keku-

asaan di Perkumpulan Beruang Merah. Kau ha-

rus membawanya, Seno...," ujar Kembang Andini.

"Ah! Kau bawa dulu saja, Nek...," tolak Se-

no. "Kau pasti memerlukan kalung itu. Bukankah 

kau hendak mengumpulkan anggota lainnya?"

Kedua tangan Kembang Andini yang me


megang kalung 'Permata Dewa Matahari' bergerak 

turun kembali. Si nenek merasakan kebenaran 

ucapan Seno. Jika kalung 'Permata Dewa Mataha-

ri' berada di tangannya, akan semakin mudah un-

tuk meyakinkan anggota Perkumpulan Beruang 

Merah lainnya bahwa sang ketua baru pengganti 

Salya Tirta Raharja telah muncul, dan mereka wa-

jib bersatu lagi untuk kembali mengharumkan 

nama perkumpulan.

"Urusan perkumpulan sebaiknya kau tan-

gani dulu, Nek," ujar Seno kemudian. "Bukan aku 

hendak melempar tanggung jawab. Aku masih 

punya urusan lain..."

"Baiklah," sambut Kembang Andini. "Kute-

rima tugas ini dengan senang hati."

Seno mengangguk-angguk.

Lalu, pemuda remaja itu menatap lekat wa-

jah Dewa Dungu yang telah berdiri diam di de-

katnya. "Kita pergi, Kek...," ajaknya.

"Ke mana?" tanya Dewa Dungu.

"Aku juga belum tahu. Kita ikuti saja lang-

kah kaki kita," Pendekar Bodoh menjawab asal 

saja.

"O, begitu.... Baiklah. Ayo!" Dewa Dungu 

segera meraih pundak muridnya. Seperti dua sa-

habat yang akan pergi bertualang.

Dan..., melangkahlah Seno bersama gu-

runya. Kembang Andini beserta Puspa Kencana 

dan kedua putrinya segera pula meninggalkan 

Gurun Selaksa Batu....


                          SELESAI











Share: