1
Satu sosok berkelebat dalam kegelapan
malam melewati bukit gundul di sebelah selatan
gunung Mahameru. Sampai di satu pedataran
yang dikelilingi oleh sebuah lembah sosok ini hen-
tikan langkah. Dalam gelapnya malam kepala di-
julurkan sedangkan kedua mata dipentang lebar
mencoba mengenali keadaan tempat dia berada.
"Gelap begini aku bisa kesasar ke mana-
mana. Jelas aku bukan sedang menuju ke Kuil
Setan, tapi memasuki lembah." Sosok itu mengge-
rutu sendiri. Dia lalu mengambil sebuah benda
berwarna putih sebesar telur dari balik kantong
celananya. "Batu Bulan... he... he... he. Batu ke-
sayanganku. Banyak nyawa terenggut karena
hendak merebut benda ini dari tanganku. Dasar
berjodoh denganku, benda ini sampai sekarang
tetap berada di tanganku." Sosok itu kemudian
acungkan tangannya ke atas kepala. Tenaga da-
lam dikerahkan ke arah batu di tangan. Hawa
panas mengalir deras ke arah batu, serta merta
batu memancarkan cahaya putih kekuningan
yang sangat terang menyilaukan mata. Begitu ca-
haya yang memancar dari batu menerangi, maka
terlihatlah wajah orang batu itu. Dia adalah seo-
rang laki-laki bertelanjang dada bercelana putih
komprang. Tubuhnya berkulit hitam legam, di-
tumbuhi bulu halus lebat. Perut buncit, pusar
bodong. Sedangkan kepala sosok berumur tiga
puluhan ini botak sulah, hidung mancung, dagu
lonjong dan mulut lancip. Yang anehnya, di seke-
liling pinggang orang ini tergantung bermacam-
macam makanan, juga beberapa jenis tengkorak
kepala binatang. Sedangkan dari lubang hidung-
nya selalu mengeluarkan asap biru pada setiap
tarikan nafasnya.
"Aku sudah sampai di lembah. Kuil Setan
pasti tak jauh dari sini. Sekarang dengan suluh
Batu Bulan aku tidak mungkin kesasar lagi." ka-
tanya. Dia tersenyum lalu mengambil makanan
dari dalam kantong yang tergantung di pinggang.
Krauuk!
"Ha... ha... ha, enak. Semua makanan yang
kutemukan rasanya pasti enak!" katanya sambil
tertawa-tawa.
Kraaauk!
Kembali terdengar suara berkerotakan se-
perti binatang buas memakan tulang. Sambil ter-
senyum sendiri orang yang ujudnya mirip monyet
besar ini lalu berlari menuruni lembah. Begitu so-
sok ini menginjakkan kaki di dasar lembah berba-
tu dan dipenuhi timbunan tulang belulang manu-
sia mendadak terdengar suara ledakan beruntun.
Sosok hitam ini menjerit panik dan terus berlari
puntang-panting menyeberangi lembah.
Di satu tempat dalam kegelapan di bawah
pohon besar, satu sosok lain yang mendekam di
tempat itu sejak tadi tersentak kaget begitu men-
dengar suara ledakan. Matanya yang terbuka le-
bar langsung memandang ke arah mana suara ledakan terdengar.
"Sial sekali bocah itu, mungkin makanan
melulu yang diurusnya sehingga tidak dapat ber-
sikap hati-hati. Dia rupanya tidak sadar sekarang
ini tengah berada di mana?!" rutuk orang di ba-
wah pohon dengan perasaan geram. Dia kembali
memandang ke jurusan lembah, sementara pera-
saannya mulai diliputi kegelisahan. Satu titik ca-
haya kuning kemudian terlihat di kejauhan. Ca-
haya itu terus bergerak ke arahnya. Sekali lagi
sosok di bawah pohon tercengang, mata melotot,
mulut memaki. "Bocah keparat! Otaknya benar-
benar tidak berguna. Di tempat berbahaya seperti
ini beraninya dia mempergunakan suluh segala.
Bocah goblok, dia rupanya ingin mampus lebih
cepat!"
Perasaan cemas meliputi diri sosok yang
mendekam itu. Dia lalu julurkan kepala, mata
menyapu sekitar kawasan di mana saat itu di-
rinya berada. Kuil Setan, satu tempat yang sela-
ma ini diselimuti kabut tebal dan menyimpan
berbagai macam keanehan terlihat di kejauhan
sana. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan atau
bahaya yang konon muncul secara tidak terduga.
Merasa aman sosok yang mendekam di bawah
pohon kembali menoleh, memandang ke arah se-
belah kirinya di mana cahaya kuning berkilau bu-
lat seperti bola semakin bertambah dekat.
Kraauuuk!
Suara orang seperti memakan sesuatu
yang sangat keras terdengar.
"Keparat! Benar dugaanku, bocah setan itu
selalu disibukkan dengan makanannya!" rutuk
sosok hitam yang masih mendekam di tempatnya.
Begitu orangnya muncul, maka satu tam-
paran keras menghantam wajah orang yang
membawa suluh Batu Bulan. Orang itu terjajar,
sosok yang mendekam bangkit berdiri. Ternyata
dia adalah seorang kakek berumur sekitar sembi-
lan puluh tahun berbadan tinggi semampai seper-
ti galah. Wajah kakek itu dipenuhi keriput, mata
belok berhidung seperti burung kakak tua. Selain
pakaiannya yang berwarna hitam seperti daster,
bagian atas kepala tertutup kerudung berwarna
hitam. Beberapa saat lamanya kakek setinggi ga-
lah ini pandangi pemuda yang memegang Batu
Bulan. Setelah itu mulutnya yang tertutup kumis
lebat menghitam terbuka, satu bentakan mengu-
mandang memecahkan kesunyian.
"Kau hendak membunuh diri, Memedi San-
tap Segala?" hardik kakek itu berang.
"Datuk Labalang, aku tak tahu apa mak-
sudmu." kata pemuda bermuka seperti monyet
bingung.
Satu tamparan keras mendarat di kepala
pemuda yang bernama Memedi Santap Segala la-
gi. Dia yang perawakannya seperti monyet besar
tergontai-gontai. Batu Bulan yang berada di tan-
gan kanannya nyaris terlepas.
"Datuk Labalang?!" seru Memedi Santap
Segala sambil mengusap-usap kepalanya yang
terkena tamparan. "Sekali lagi kau menamparku,
mungkin kepalaku ini bisa meledak!" keluh si
pemuda meringis menahan sakit. Dia memandan-
gi Datuk setinggi galah, rasa takut ada, rasa kesal
juga ada. Selama ini sejak pembantu sang Datuk,
rasanya kakek tua ini sangat jarang sekali mema-
rahinya. Entah mengapa malam ini si Datuk
gampang sekali naik darah. "Tak mungkin dia
marah tak berkejuntrungan jika persoalan yang
dihadapinya kali ini tidak penting benar." batin
Memedi Santap Segala yang dikenal dengan julu-
kan Mahluk Tangan Rembulan menghibur diri.
"Kau masih belum mengetahui kesalahan-
mu, Memedi sialan?" suara Datuk Labalang kem-
bali memecahkan kesunyian.
"Aku... aku belum mengerti Datuk. Mung-
kin kau marah karena aku datang terlambat,
mungkin juga karena aku lebih banyak makan.
Maafkan Datuk. Malam ini udara terasa dingin
sekali, dalam dingin perutku mudah lapar." beru-
cap Memedi Santap Segala dengan perasaan ta-
kut.
"Mahluk tukang makan keparat! Perduli se-
tan dengan dinginnya malam. Tarik tenaga da-
lammu dari Batu Bulan sialan itu. Aku tak ingin
ada cahaya, aku tak ingin ada mahluk apapun
yang melihat kehadiran kita di sini. Mengerti?!"
geram sang Datuk.
"Maaf Datuk aku baru mengerti. Aku baru
ingat kita sudah berada begitu dekat di sarang se-
tan." sahut pemuda itu dengan suara perlahan
sekali. Memedi Santap Segata hentikan pengerahan tenaga dalam ke Batu Bulan. Dengan begitu
batu aneh yang memancarkan cahaya putih kemi-
lau kekuningan ini berubah redup dan kemudian
padam. Batu dimasukkan ke dalam saku celana.
Sesosok berdaster hitam berkerudung hi-
tam kembali duduk di tempatnya. Dia menarik
nafas, masih agak jengkel melihat ketololan pem-
bantunya. Lama dia terdiam, sementara sepasang
matanya yang belok memandang lurus ke arah
satu bukit di mana di bagian puncak bukit yang
diselimuti kabut terdapat sebuah kuil angker
yang dikenal dengan nama Kuil Setan.
"Datuk, sejak berangkat dari tanah sebe-
rang kau mengatakan hendak menyambangi Kuil
Setan. Mengapa sekarang kita malah duduk di si-
ni? Kita berada di bawah pohon, bukan di dalam
sebuah gedung atau bangunan tempat ibadah
yang banyak bertebaran di daerah kita. Datuk...
di sini banyak nyamuk, aku mulai mengantuk.
Kalau diizinkan apakah boleh aku tidur barang
sekejap?" tanya Memedi Santap Segala. Pemuda
berkulit hitam legam yang sekujur tubuhnya di-
tumbuhi bulu halus berperut besar berpuser bo-
dong menelan ludah ketika melihat sang Datuk
memandangnya dengan mata mendelik. Meskipun
saat itu dalam keadaan gelap gulita, tapi dalam
gelapnya malam mata sang Datuk memancarkan
cahaya merah, sehingga di saat kakek renta ini
delikkan matanya. Sepasang mata yang belok itu
bagai hendak melompat keluar.
"Sekali lagi kau bicara yang tidak berguna
lidahmu pasti kubetot lepas!" maki Datuk Laba-
lang sengit.
Si pemuda berubah ciut nyalinya. Dia lalu
terdiam dan ikut memandang ke arah di mana
sang Datuk tengah memusatkan perhatiannya.
Kesunyian mencekam, di langit terlihat
bintang-bintang bertaburan memancarkan kerlip
cahaya bagaikan mutiara bertaburan di atas per-
madani biru. Sang Datuk menarik nafas pendek,
kini kepalanya yang tertutup kerudung hitam
memandang ke langit sebelah timur. Di sana ca-
haya kuning keemasan mulai terlihat, perlahan
bulan sabit lima hari munculkan diri. Sang Datuk
memperlihatkan satu seringai aneh. Melihat maji-
kannya menyeringai, Memedi Santap Segala ikut
pula memandang ke atas. Tiba-tiba pemuda itu
berjingkrak, wajahnya memperlihatkan rasa gem-
bira yang tiada tara.
"Bulan yang ku rindu... bulan pelita ku su-
dah menampakkan diri. Malam ini aku bersuka
ria, aku akan menari sambil menyanyi. Hi... hi...
hi." berkata begitu sekonyong-konyong Memedi
Santap Segala alias Mahluk Tangan Rembulan
hendak bangkit. Tapi dengan cepat satu tangan
yang kokoh, besar dan panjang mencekal bela-
kang lehernya. Begitu kena dicekal tubuh si pe-
muda dibanting, hingga membuat Memedi Santap
Segala jatuh terhenyak.
"Datuk...! Aku...." Si pemuda tidak jadi me-
neruskan ucapannya begitu melihat Datuk Laba-
lang menekankan jari telunjuknya ke bagian leher.
"Di sini bukan tanah seberang. Kita berada
di tempat asing, suatu daerah yang konon paling
rawan dengan segala macam bahaya. Jika kau ti-
dak mau diam atau coba membantah perintahku.
Kuberi kau satu kebebasan, pergi menjauh dariku
dan jangan pernah mencariku lagi. Jika kau ma-
sih mau ikut denganku dan mau menjadi pem-
bantu yang setia sampai aku mati. Sekarang su-
dah waktunya bagi kita untuk mempersiapkan di-
ri memasuki Kuil Setan!" tegas si Datuk.
Memedi Santap Segala mendadak merasa-
kan tenggorokannya menjadi kering, nafas ter-
sendat seperti tercekik.
"Datuk, jika kau mengusirku tak tahu aku
pergi ke mana. Dulu aku pernah berjanji menjadi
pembantumu yang paling setia sampai aku mati!"
sahut pemuda itu.
"Kalau begitu ikut perintahku. Jangan bi-
cara apapun jika tidak kutanya!" kata si kakek.
Memedi Santap Segala anggukkan kepala. Kemu-
dian diam dengan kepala tertunduk.
2
Di sampingnya kakek setinggi galah terus
memandang ke depan di mana sebuah bukit yang
diselimuti kabut berdiri tegak di tengah kesu-
nyian mencekam. Sementara bulan sabit di atas
sana nampak semakin bertambah jelas, pada saat
itu pula terdengar suara lolong serigala. Suara lo-
long yang datang sayup-sayup di kejauhan sea-
kan mengingatkan seseorang akan datangnya
sang maut.
"Kuil Setan, siapapun yang menghuni di
dalamnya aku tidak perduli. Begitu jauh aku
mengarungi lautan bukan untuk satu kesia-
siaan. Senjata pamungkas Bintang Penebar Ben-
cana sejak puluhan tahun yang silam merupakan
senjata yang menjadi idaman bagi setiap tokoh di
rimba persilatan untuk memilikinya. Aku seorang
Datuk, penguasa di daerah timur tanah seberang.
Sudah kudengar kehebatan Mandau dari tanah
hijau, sudah kudengar pula kehebatan rencong
dari tanah Aceh, tapi senjata yang satu ini konon
memiliki seribu satu kesaktian, mampu mengha-
bisi sepuluh tokoh sakti sekaligus juga mengan-
dung racun hebat mematikan!" batin Datuk Laba-
lang.
Di langit bulan sudah berada di tengah titik
edarnya. Si kakek menyeringai, dia menoleh ke
samping di mana Memedi Santap Segala sambil
tundukkan kepala tampak sibuk menyantap ma-
kanan.
"Pembantu kurang ajar, perut saja yang
kau urusi!" dengus Datuk Labalang.
"Datuk, di hadapanmu apa saja yang kula-
kukan jadi salah. Saat aku sangat gugup sekali
Datuk. Dalam keadaan seperti itu aku tidak tahu
hendak berbuat apa selain makan." kata pemuda
itu.
"Sekarang sudah waktunya bergerak lebih
mendekat ke kuil itu Mahluk Tangan Rembulan!"
kata Datuk setinggi galah sambil bangkit berdiri.
"Sekarang Datuk?" Mata Memedi Santap
Segala membulat besar, wajahnya jelas menun-
jukkan rasa kejut.
"Ya, sekaranglah waktunya." tegas Datuk
Labalang.
"Tidak memakai suluh Datuk? Aku suka
ketakutan bila berjalan dalam kegelapan!"
"Keparat, jangan lakukan apapun tanpa
perintah dariku!" Kakek setinggi galah mengge-
ram. Orang tua ini kemudian melangkah lebar
melewati pucuk semak belukar yang menghampar
di depannya. Tidak jauh di belakang, Memedi
Santap Segala terus mengikuti.
Tak lama kemudian setelah sampai di sebe-
lah utara kaki bukit si kakek hentikan langkah-
nya. Di sini tercium olehnya bau harum yang
sangat menyengat.
"Datuk aku mencium bau sesuatu!" gu-
mam pemuda yang berada di belakang si kakek.
"Diaam!" hardik Datuk Labalang.
"Sialan Datuk ini apapun yang kulakukan
dilarang!" maki Memedi Santap Segala lama-
kelamaan jadi jengkel dan bosan. Dia pun akhir-
nya memilih berdiam diri, bibir dikatupkan se-
dangkan kedua tangan dilipat ke depan dada.
Bersikap seperti seorang raja dia berdiri tegak,
sementara sepasang matanya mengawasi ke ba-
gian puncak bukit yang diselimuti kabut tebal.
Tak berapa lama mereka berada di situ,
mendadak saja terdengar suara bergemuruh he-
bat di sekitar bukit. Suara bergemuruh disertai
dengan memancarnya satu cahaya merah di pun-
cak bukit.
"Mereka rupanya sudah mulai terjaga. Se-
bentar lagi tempat ini sudah menjadi sebuah tem-
pat yang tidak aman lagi!" Datuk Labalang meng-
gumam sendiri. Di belakangnya Memedi Santap
Segala diam tak menanggapi. Sementara itu suara
bergemuruh di puncak bukit di mana Kuil Setan
berada terus berlangsung. Cahaya merah yang
semula hanya terlihat samar kini tampak semakin
bertambah terang. Satu teriakan keras disertai
seperti terbukanya pintu batu terdengar, seiring
dengan itu pula kabut yang menyelimuti puncak
bukit mendadak hilang raib, tersedot ke satu arah
di sebelah selatan puncak bukit itu.
Datuk Labalang terus memperhatikan se-
tiap kejadian yang berlangsung sampai kemudian
di balik kabut tebal yang lenyap terlihat satu pe-
mandangan menakjubkan. Di puncak bukit itu
kini terlihat satu bangunan yang tidak sebegitu
besar yang sepenuhnya terbuat dari batu yang di-
beri pewarna merah darah. Bangunan berupa kuil
inilah yang kiranya sejak tadi memancarkan ca-
haya kemerahan.
"Kuil Setan! Sungguh indah menakjubkan!"
desis Datuk Labalang. Sepasang matanya yang
belok berbinar gembira. Dia kemudian menoleh
ke arah pembantunya. "Sekarang sudah wak
tunya bagi kita untuk mendaki ke puncak sana.
Kau ikuti aku!" kata sang Datuk.
Memedi Santap Segala hanya anggukkan
kepala, sedangkan matanya terus memandang ke
puncak bukit di mana bangunan batu yang ber-
nama Kuil Setan berada. Ketika pemuda yang
memiliki daya fikir rendah sedang memperhatikan
kuil itulah dia melihat dari bagian pintu depan
kuil melesat keluar tiga sosok berpakaian biru,
kuning dan merah. Tiga sosok besar dengan ujud
mengerikan itu kemudian raib begitu saja. Wa-
laupun Memedi Santap Segala sempat dibuat ka-
get dan jadi ketakutan setengah mati tapi dia sa-
ma sekali tidak mengatakan apa yang dilihatnya
ini pada Datuk Labalang.
Selagi keduanya mulai mendaki lereng bu-
kit, saat itu si kakek setinggi galah berkata. "Aku
mendengar degup jantungmu berubah menjadi
cepat, darahmu berdesir, kau seperti menahan
kencing. Apa yang kau lihat?"
"Aku tak melihat apapun Datuk." sahut
pemuda itu berbohong. Sementara itu Memedi
Santap Segala kali ini melihat ada satu bayangan
serba merah di bahunya memanggul satu sosok
berpakaian putih tampak pula memasuki Kuil Se-
tan itu.
"Aku tak melihat apa-apa Datuk!" kata pe-
muda itu. Lagi-lagi dia membohongi Datuk Laba-
lang.
Tak lama kemudian kakek berdaster hitam
ini dan pembantunya telah sampai di puncak bukit di sebelah kiri samping kuil merah. "Tujuan
hampir tercapai?!" gumam Datuk Labalang. Dia
lalu melangkah mendekati Kuil, sementara Me-
medi Santap Segala masih tertegak di tempatnya
berdiri. Ketika jarak antara sang Datuk dengan
kuil hanya tinggal satu tombak lagi. Maka pada
saat itu pula dari empat lubang yang terdapat di
dinding kuil melesat empat leret cahaya merah
berhawa dingin luar biasa. Keempat cahaya itu
langsung menyambar ke arah si kakek setinggi
galah.
Jika si pemuda pembantunya cepat jatuh-
kan diri, menelungkup hingga sama rata dengan
tanah, sebaliknya sambil memaki sang Datuk
angkat kedua tangannya.
Empat larik sinar merah dingin yang seha-
rusnya menghantam empat bagian tubuhnya kini
seolah tersedot oleh satu kekuatan yang tak terli-
hat di bagian telapak tangan kanan kirinya.
Deep! Blleep!
Empat sinar merah amblas tersedot ke da-
lam telapak tangan, lenyap meninggalkan kepulan
asap. Belum sempat sang Datuk menarik nafas
pada saat itu pula dari belasan lubang yang ter-
dapat di sepanjang dinding kuil melesat belasan
mata tombak merah membara. Seluruh mata
tombak yang keluar tak terduga itu menyerbu ke
arah si kakek setinggi galah. Orang tua ini kelua-
rkan suara menggereng marah. "Mahluk-mahluk
keparat penghuni Kuil Setan. Pertunjukan apa-
pun yang kalian perlihatkan padaku, aku Datuk
Labalang, tidak mungkin mundur barang setapak
pun!" rutuk si kakek. Laksana kilat dia memutar
tubuh dan kebutkan daster hitamnya. Angin me-
nyambar dahsyat dari jubah yang dikebutkan. Be-
lasan mata tombak berapi dibuat runtuh bermen-
talan ke berbagai penjuru arah, jatuh di tanah
berbatu disertai suara berkerontangan.
"Datuk memang hebat!" Memedi Santap
Segala berseru memuji sambil memasukkan se-
suatu ke dalam mulutnya.
Kraauk!
"Keparat jahanam tukang makan, jangan
tiduran di situ. Cepat ikuti aku selagi pintu kuil
masih terbuka!" teriak Datuk Labalang dengan
suara keras melengking.
Laksana kilat si pemuda berkulit hitam
berpusar bodong bangkit berdiri. Dia kemudian
mengikuti majikannya yang sudah melangkah le-
bar mendekati pintu kuil. Jika Datuk itu melang-
kah dalam beberapa tindakan, jangkauan yang
lebar membuat sang Datuk cepat sampai ke tem-
pat yang dia tuju. Sebaliknya Memedi Santap Se-
gala terpaksa berlari untuk mengimbangi langkah
kakek itu.
Begitu sampai di depan pintu rendah, Da-
tuk Labalang rundukkan kepala dan hendak me-
langkah masuk. Tapi pada waktu yang bersamaan
dari dalam kuil yang memancarkan cahaya merah
berkilauan menderu segulung angin panas luar
biasa menerpa sang Datuk dan pembantunya.
"Hembusan Angin Neraka, cepat menying
kir?!" teriak si kakek. Sambil melompat mundur
dia hantamkan kedua tangannya ke arah pintu.
Benturan keras antara angin panas dengan puku-
lan kakek tinggi ini terjadi.
Buuum!
Ledakan keras menggelegar mengguncang
puncak bukit. Datuk Labalang terhuyung, tubuh-
nya sempat tergontai. Sambil mengibaskan salah
satu tangannya yang terasa sakit Datuk Labalang
mengusap dadanya dengan satu kali sapuan. Ra-
sa menyesak di dalam dada lenyap seketika ber-
ganti dengan hawa dingin menyejukkan. Sepa-
sang mata belok si kakek tinggi memandang me-
lotot ke arah pintu. Tidak ada sesuatu pun yang
bergerak dari dalam sana setelah serangan hawa
panas tadi menerpanya. Dia mendadak teringat
sesuatu, dengan cepat Datuk Labalang menoleh
ke belakangnya.
"Pembantuku Mahluk Tangan Rembulan di
mana kau?" tanya orang tua lanjut usia ini agak
cemas.
"Eekh... aku... aku di sini Datuk. Di bawah
kakimu. Leherku kurasa mau putus, kaki kirimu
berat sekali." sahut Memedi Santap Segala.
Si kakek setinggi galah terkejut besar sam-
bil cepat angkat kaki kirinya dari leher si pemuda
berpusar bodong. Pemuda itu segera duduk sam-
bil mengusap-usap lehernya yang serasa putus.
Melihat keadaan pembantunya, jika semula
sang Datuk sempat dibuat kesal dengan ulah si
pemuda, kini Datuk Labalang terpaksa menahan
senyum.
"Cepat berdiri. Nampaknya kita harus
mencari jalan lain untuk masuk ke kuil ini." kata
si kakek.
"Di belakang tidak ada pintu, Datuk.
Mungkin juga tak ada jalan rahasia. Jauh sebe-
lum Datuk datang saya sudah menyelidik. Di be-
lakang sana banyak tulang dan tengkorak manu-
sia. Dan saya juga yakin Datuk di sana banyak
jebakan. Menurutku kita masuk dari depan saja.
Kebiasaan para tetamu masuk selalu dari pintu
depan, begitulah katamu dulu. Bukankah begitu
Datuk?" ujar Memedi Santap Segala seolah men-
gingatkan.
"Tidak... tidak begitu Mahluk Tangan Rem-
bulan. Kita bukan tamu, kita tamu yang tidak di-
undang." sergah Datuk Labalang.
"Kalau begitu kita maling, Datuk?" tanya si
pemuda tolol berbadan mirip manusia dan mirip
monyet besar.
"Sesuatu yang tidak jauh dari yang kau se-
butkan!" kata kakek itu sambil kembali meman-
dang ke arah pintu. Dalam hati setelah berpikir
keras dia berkata. "Entah gerangan apa yang ber-
sembunyi di balik pintu itu, tapi hantaman hawa
panas tadi walaupun dapat ku tangkis terasa
sangat panas sekali. Jika Memedi Santap Segala
yang kusuruh masuk tadi, pasti tubuhnya jadi le-
leh terkena sambaran hawa panas yang melesat
dari balik pintu batu." batin si kakek.
Sekejap dia benahi kerudungnya yang me
nutupi sebagian kening. Setelah itu sang Datuk
memberi isyarat pada Memedi Santap Segala un-
tuk mengikutinya. Tak mengerti maksud maji-
kannya, pemuda itu hanya mengikuti Datuk La-
balang yang melangkah menuju ke belakang Kuil
Setan. Pada saat itu jika Datuk Labalang mengin-
jak permukaan batu pipih yang bertonjolan di
atas tanah secara teratur. Sebaliknya Memedi
Santap Segala berjalan seenaknya sendiri. Pada
satu kesempatan kakinya tergelincir dan terpero-
sok ke dalam legukan lubang kecil. Begitu ka-
kinya terperosok, maka tanah dan batu yang dipi-
jaknya selebar dua tombak dengan panjang tiga
tombak amblas ke bawah dengan disertai suara
bergemuruh hebat.
"Datuk, saya... aakh...!" Si pemuda menjerit
keras. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam pe-
rut bukit. Datuk Labalang yang sempat dibuat
kaget namun sempat selamatkan diri mencoba
menggapai tubuh Memedi Santap Segala dengan
sepasang tangannya yang panjang. Sangat dis-
ayangkan tindakan penyelamatan yang dilaku-
kannya kalah cepat dengan daya luncur tubuh si
pemuda yang seakan tersedot ke bawah.
"Mahluk Tangan Rembulan, kau...!" seru si
kakek tinggi. Sebenarnya dia hendak ikut mener-
junkan diri ke dalam lubang mengingat rasa
sayangnya pada pembantu bodoh yang sangat se-
tia itu. Tapi niatnya terpaksa diurungkan begitu
dia mendengar suara aneh yang berasal dari ba-
wah sana. Ternyata tanah yang amblas ke bawah
kini bergerak naik ke permukaan menutup bagian
dalam lubang, hingga lubang yang menganga tadi
kini menjadi rata kembali.
"Benar seperti katanya. Tempat ini men-
gandung banyak jebakan!" batin Datuk Labalang
yang mulai gelisah memikirkan keselamatan Me-
medi Santap Segala.
"Bocah muda itu harus kuselamatkan, tapi
senjata juga harus kudapatkan. Aku tak mungkin
kembali ke tanah Andalas dengan berhampa tan-
gan!" pikir si kakek tinggi.
Menyadari banyaknya bahaya yang muncul
secara tak terduga, kakek jangkung setinggi galah
segera tingkatkan kewaspadaannya. Dia sadar tak
mungkin masuk dari bagian depan kuil, walau-
pun saat itu pintunya masih tetap terbuka. Sete-
lah diam, berpikir sejenak si kakek akhirnya me-
neruskan niatnya semula untuk memasuki kuil
dari bagian belakang.
"Pintu rahasia... jalan rahasia. Aku punya
dugaan kuat pintu rahasia itu pasti ada. Tersem-
bunyi di satu tempat, sudah pasti." pikir si orang
tua. Dia baru saja hendak melanjutkan langkah-
nya ketika mendadak terdengar suara tawa
menggeledek tak jauh di sampingnya. Dalam ke-
jutnya dia cepat menoleh. Sepasang mata mende-
lik tak percaya. Yang membuat dia tidak habis
mengerti bagaimana satu sosok berpakaian serba
merah itu tiba-tiba hadir di depannya. Padahal
sebelum itu dia tidak mendengar tanda-tanda ke-
datangannya.
"Hik... hik... hik. Selamat datang di Kuil Se-
tan, manusia setinggi galah. Kau adalah korban
pertama yang berani menyabung nyawa dengan
menginjakkan kaki di tempat ini!" kata sosok ber-
pakaian serba merah bertangan empat yang me-
miliki empat leher dan empat kepala pula. Dua
kepala sosok angker mengerikan itu menghadap
ke depan dan dua kepala lagi menghadap ke be-
lakang. Dan masing-masing dari keempat kepala
itu dapat diputar setengah lingkaran.
Sejenak lamanya Datuk Labalang yang di
daerah asalnya memiliki gelar Datuk Penguasa
Tujuh Telaga pandangi mahluk aneh di depannya.
Wajah empat kepala dari mahluk itu nam-
pak memerah seperti darah, beralis tebal, masing-
masing dari matanya yang satu berwarna seperti
darah, sedangkan hidung sama rata dengan bibir,
gigi-giginya runcing tajam mencuat seperti taring.
Di setiap kepalanya yang cuma sebesar kepalan
tangan tumbuh rambut panjang berwarna merah
pula. "Mahluk jahanam terkutuk. Bagaimana
mahluk penjaga Kuil ini bisa luput dari perha-
tianku. Mestinya dia berada di dalam sana. Mah-
luk ini konon sangat ganas sekali. Aku tak meli-
hat dua kembarannya yang lain. Apakah sudah
munculkan diri, keluar dari pintu kuil, atau ma-
sih mendekam di dalam sana." batin sang Datuk
dalam hati.
"Kau sudah siap menjalani penyiksaan,
orang asing dari seberang?!" suara sosok merah
berkepala empat berleher panjang bergaung di
udara. Setiap satu mulut berucap, maka ketiga
mulut lainnya juga ikut berucap, hingga menim-
bulkan suara tak berkeputusan.
"Siapa dirimu?" tanya Datuk Labalang. Di-
am-diam dia mempersiapkan satu pukulan sakti
yang siap dilepaskan kapan saja kakek ini mau.
"Ha... ha... ha. Hik... hik... hik." terdengar
empat suara serentak. Empat kepala berleher
panjang sebesar kepalan tangan bergoyang keras.
Berbeda dengan tubuhnya yang besar, tubuh
mahluk merah itu diam tak bergeming. "Aku ada-
lah Maut Merah! Mahluk penjaga Kuil Setan. Te-
lah dititahkan padaku oleh Yang Agung untuk
membunuh siapa saja yang hadir di sini. Terke-
cuali orang-orang yang memang diinginkan keda-
tangannya!" kata mahluk merah tegas. Karena se-
tiap bicara diikuti oleh mulut-mulutnya yang lain,
maka Datuk Labalang merasakan suasana yang
sangat berisik luar biasa.
"Aku Datuk Labalang, datang ke sini bukan
dengan maksud mengusik ketenangan penguasa
Kuil Setan." jelas si kakek.
Mata tunggal beralis tebal mengedip. "Apa
keinginanmu?" tanyanya kemudian.
"Aku inginkan senjata ampuh Bintang Pe-
nebar Petaka!" jawab Datuk Labalang.
"Permintaanmu tak dapat kupertimbang-
kan, hanya Yang Agung saja yang paling pantas
memberikan jawaban. Sekarang aku akan mem-
bawamu menghadap Yang Agung," sahut Maut
Merah. Selesai berkata sosok berkepala empat
yang sekujur tubuhnya berwarna merah gerakkan
keempat tangannya ke arah si kakek.
Angin menyambar deras menerpa ke arah
si Datuk. Empat larik sinar berupa benang meli-
bat tubuh orang tua itu.
Jika semula dia mempunyai prasangka
baik atas ucapan Maut Merah, kini setelah meli-
hat empat lembar benang meluncur melibat tu-
buhnya berubah pikiran Datuk Labalang. Maut
Merah pasti hendak membuat dirinya celaka. Pi-
kir si kakek. Untuk itu dia melompat menghindar
selamatkan diri dari libatan benang sambil meng-
hantam benang itu dengan satu pukulan sakti.
Wuuus!
Empat benang dipukul mental, ujungnya
meliuk berbalik hendak menghantam pemiliknya
sendiri. Maut Merah terkejut besar, sambil me-
lompat menghindari patukan ujung benang
mautnya. Maut Merah membentak. "Katanya kau
datang ingin meminta pusaka. Begitu aku ber-
maksud membawamu untuk menghadap Yang
Agung kau malah memukulku!"
"Ha... ha... ha. Kau hendak meringkusku
dengan benang celaka itu, bagaimana aku bisa
berdiam diri?" kata si kakek disertai senyum
mengejek.
"Hanya dengan cara itu kau baru bisa me-
lewati Pintu Neraka di depan sana." tegas Maut
Merah sambil menunjuk ke arah pintu yang ter-
buka dengan salah satu tangannya. Selagi Datuk
Labalang menoleh memandang ke arah yang di
maksud. Maka kesempatan itu dipergunakan oleh
Maut Merah. Empat tangan kembali digerakkan.
Lima benang merah menderu melibat tubuh si
kakek. Orang tua ini tidak sempat lagi menghin-
dar, karena hanya dalam waktu tidak sampai sa-
tu detik tubuhnya mulai dari bagian leher, tangan
dan kepala sudah terikat benang,
"Jahanam terkutuk apa yang kau lakukan
padaku!" teriak Datuk Labalang sambil meronta
mencoba memutuskan benang. Maut Merah ter-
tawa terbahak-bahak. Tanpa bicara apapun tan-
gannya disentakkan, empat benang yang berada
di ujung jemari tangan Maut Merah ikut tersen-
tak. Tubuh Datuk Labalang ikut terbetot, me-
layang ke arah Maut Merah. Empat tangan dige-
rakkan ke depan menyambuti. Pada kesempatan
lain tubuh kakek berbadan tinggi ini sudah bera-
da dalam panggulan Maut Merah. Sosok mahluk
aneh itu lalu berkelebat masuk ke dalam pintu
berwarna merah.
Begitu Maut Merah lenyap di balik pintu,
maka pintu batu di bagian depan mengeluarkan
suara bergemuruh dan terus bergeser menutup.
Kemudian suasana berubah sunyi, di langit bulan
sabit sudah tak terlihat. Kabut kembali menyeli-
muti kuil, hingga keberadaan Kuil Setan tak terli-
hat lagi dalam pandangan mata.
3
Di dalam salah satu ruangan yang terdapat
di dalam Kuil Setan, seorang laki-laki berumur
sekitar empat puluh tahun berpakaian serba pu-
tih di atas sebuah pembaringan terbuat dari batu
merah. Selesai membaringkan gadis itu laki-laki
yang kedua belah tangannya berwarna hitam
sampai sebatas pangkal lengan segera mengambil
gelang besi yang biasa dipergunakan untuk mem-
belenggu tangan dan kaki. Gadis yang dalam kea-
daan tertotok itu hanya dapat memperhatikan
semua apa yang dilakukan terhadapnya tanpa
mampu berbuat apapun,
"Tangan Sial! Aku tahu seseorang telah
membuatmu kehilangan kewarasan. Tapi ingat-
lah, renungkan baik-baik, kau seorang manusia
yang mempunyai perasaan. Pergunakan pera-
saanmu untuk mengalahkan satu kekuatan yang
berada dalam dirimu!" Gadis berpakaian putih ti-
ba-tiba berkata. Dia memperhatikan laki-laki itu.
Nampak jelas kening si baju merah yang dikenal
dengan julukan Si Tangan Sial mengerut dalam.
Sesaat wajahnya nampak menegang. Apa yang
diucapkan oleh si gadis mengiang di telinganya.
Otak dan kesadarannya dipacu untuk mengingat
segala sesuatunya. Di saat ingatan SI Tangan Sial
hampir muncul kembali. Pada saat itu pula dia
menjerit keras. Satu sengatan mendera punggung
kanan kiri juga di bagian belakang leher laki-laki
ini.
"Apa yang terjadi padanya? Kekuatan apa
sebenarnya yang telah mempengaruhi jalan piki-
ran paman Tangan Sial?" pikir si gadis yang bu-
kan lain adalah Ambini.
"Aku tak bisa mengingat apapun. Aku tak
bisa mengingat masa lalu. Yang ada dalam piki-
ranku hanya berupa perintah seseorang." kata Si
Tangan Sial kemudian sambil gelengkan kepala.
Bibir laki-laki itu meringis menahan sengatan
hawa dingin luar biasa di bagian punggung dan
leher.
"Tangan Sial, aku Ambini. Sahabatmu juga
sahabat Gento Guyon!" teriak si gadis. Dia sadar
dalam keadaan seperti itu bahaya sewaktu-waktu
bisa datang dari arah yang tidak pernah disangka.
Apalagi mengingat kini dirinya terkurung di dalam
ruangan yang segalanya serba merah. Ruangan
asing yang selalu dipenuhi kepulan asap. Satu
tempat aneh yang dia tidak pernah mengenal se-
belumnya.
"Maafkan aku, perintah telah kuterima
jauh sebelum aku membawamu ke Kuil Setan ini.
Aku harus membunuh Gento Guyon, aku harus
mendapatkan senjata itu. Kau kujadikan jaminan,
jika Gento tidak muncul di tempat ini kau harus
kubunuh!" kata Si Tangan Sial.
"Tangan Sial, kau telah diperalat oleh orang
lain. Kau bukan orang jahat, seharusnya kau in-
gat akan hal itu!" Sekali lagi Ambini mengingatkan.
Nampaknya apa yang dilakukan Ambini
hanya sia-sia, karena Si Tangan Sial sudah tidak
perduli lagi. Gelang rantai yang dipergunakan un-
tuk memasung sudah dibuka oleh laki-laki itu.
Kemudian gelang itu dipasang masing-masing di
bagian tangan dan kaki.
Krak! Kraak!
Empat gelang besi belenggu kini sudah ter-
pasang di tangan dan kedua kaki Ambini. Setelah
itu Si Tangan Sial melepaskan totokan di pung-
gung si gadis. Begitu dirinya terbebas dari totokan
Ambini segera berusaha membebaskan diri dari
gelang belenggu yang bagian ujungnya terbenam
di dalam dipan batu merah. Terdengar suara ge-
merincing berisik, tapi sampai tubuh Ambini ba-
sah kuyup bersimbah keringat gelang besi yang
membelenggu kedua tangan dan kaki tidak dapat
diputuskan.
Megap-megap Ambini mencoba menarik
nafas. Sepasang matanya yang bening indah me-
natap ke langit-langit ruangan sempit itu. Ruan-
gan serba merah yang menebarkan bau aneh me-
nusuk penciuman. "Tidak ada jalan selamat,"
Ambini membatin dalam hati. Dia melirik ke arah
Si Tangan Sial. Dia jadi kaget karena Si Tangan
Sial ternyata sudah tidak berada lagi di situ. Si
gadis kemudian gelengkan kepalanya ke kiri. Di
sana ternyata masih ada sebuah ranjang batu
seukuran orang tidur. Sama seperti ranjang batu
yang dijadikan tempat memasung Ambini. Ran-
jang yang satu ini juga dilengkapi dengan empat
rantai yang ujungnya dipasangi gelang belenggu.
"Siapa lagi korban berikutnya!" membatin
gadis ini dalam hati. Dalam keadaan sedemikian
rupa dan membayangkan nasib apa yang bakal
terjadi pada dirinya si gadis merasakan mendadak
sekujur tubuhnya telah berubah menjadi gundu-
kan es. Tapi bagaimanapun bentuk kematian
yang nantinya datang kepadanya, Ambini tak
mau bersikap pasrah menerima nasib begitu saja.
Dia harus melakukan sesuatu. Sekarang yang
paling baik adalah mengerahkan segenap daya
pikiran untuk mencari jalan keluar. Sementara
dalam keadaan berbaring seperti itu dia juga
punya kesempatan untuk memulihkan tenaga da-
lamnya yang sempat melemah begitu Si Tangan
Sial membawanya melewati pintu Kuil Setan tadi.
***
Di satu tempat, di sebelah selatan jauh di
luar kawasan Kuil Setan, di tepi sebuah rimba be-
lantara terdapat satu pohon besar yang mulai dari
daun, batang, dan akarnya berwarna hijau. Pohon
ini menjulang tinggi menggapai angkasa berdaun
lebar berbuah lebat seperti semangka namun
buah itu mengandung racun hijau yang memati-
kan. Sedangkan di bawah pohon itu sendiri ter-
dapat sebuah telaga kecil selebar sumur. Air tela-
ga berwarna hijau. Hampir setiap saat air telaga
selalu bergoyang tak mau diam.
Bila diperhatikan lebih dekat. Ternyata di
dalam telaga itu mendekam satu sosok serba hi-
jau. Bukan hanya kulitnya saja yang hijau, tapi
mulai dari rambut, mata, muka dan juga giginya
berwarna hijau. Sosok ini dalam keadaan duduk
dengan punggung disandarkan pada dinding tela-
ga. Air telaga tergenang sampai sebatas dadanya.
Sambil berendam sesekali matanya yang hijau
memandang ke atas pohon, ketika sepasang ma-
tanya dikedipkan maka buah pohon hijau melun-
cur jatuh ke arahnya. Salah satu tangan yang
terbenam dalam air berkelebat. Buah bulat sebe-
sar kelapa jatuh menempel di ujung jarinya.
"Di antara sekian banyak makananku tak
satupun yang sempat masak. Tak ada yang ma-
sak, yang mudapun sudah dapat ku nikmati!"
gumam orang tua berbadan serba hijau yang tu-
buhnya selalu basah seperti kodok. Sambil me-
nyeringai dan tersenyum-senyum sendiri buah di
ujung jarinya diambil lalu dihantamkan ke bagian
kepala.
Proook!
Sungguh menakjubkan buah hijau yang
kerasnya melebihi batu kali itu hancur terbelah
menjadi empat bagian. Dari bagian dalam buah
mengucur cairan hijau. Sosok serba hijau mem-
buka mulut lebar. Cairan buah yang mengucur
seluruhnya masuk ke dalam mulut membasahi
tenggorokan. Lidah mahluk serba hijau ini terju-
lur menjilati bibir, setelah itu pecahan kulit buah
hijau dilemparkannya ke arah kawanan kodok di
tepi telaga. Begitu kodok-kodok tersentuh terkena
percikan air buah, tubuh binatang langsung han-
gus, mengepulkan asap tebal disertai terciumnya
bau daging terbakar.
Tanpa menghiraukan binatang yang berka-
paran terkena buah beracun yang dilemparkan-
nya, dia kembali bangkit berdiri. Ternyata air te-
laga yang berwarna hijau itu dalamnya hanya se-
batas lutut. Orang tua ini kemudian gerakkan
kakinya. Di lain kejap dia telah berdiri di tepi te-
laga. Belum lagi sempat sosok serba hijau berge-
rak meninggalkan telaga, pada saat bersamaan
mendadak terdengar suara bentakan menggeledek
disertai dengan berkelebatnya satu sosok serba
merah ke arahnya.
"Iblis Racun Hijau. Aku datang menagih
janji!" teriak satu suara. Ketika sosok serba hijau
ini memandang ke depannya. Di depan sana da-
lam jarak dua tombak berdiri tegak seorang pe-
muda berwajah tampan. Rambutnya yang pan-
jang menjulai diikat kain berwarna merah. Di ba-
gian depan ikat kepala itu terlihat satu gambar
seperti lintasan kilat dan bumi terbelah. Selain
ikat kepala, pakaian pemuda berhidung mancung
berdagu runcing ini juga berwarna merah. Di ba-
gian punggung pakaian terdapat sulaman gambar
berbentuk bumi; sedangkan di tengah gambar
bumi yang terbelah terdapat sebuah garis berke-
lok-kelok seperti kilat yang menyambar di tengah
hujan.
Memperhatikan kehadiran pemuda ini se-
jenak sosok hijau bergelar Iblis Racun Hijau ini
hanya mendengus. Dia palingkan muka dan alih-
kan perhatiannya ke arah lain. Tak lama kemu-
dian mulutnya yang hijau berucap. "Lira Watu
Sasangka... kau datang padaku hanya untuk
urusan itukah? Atau mungkin kau punya kepen-
tingan dan tujuan lain?"
"Ha... ha... ha! Guruku Begawan Panji
Kwalat pernah mengatakan padaku, jika kelak
aku telah selesai mempelajari segala ilmu yang
dia wariskan padaku, aku boleh menemuimu un-
tuk mendapatkan beberapa petunjuk penting
yang konon ada hubungannya dengan pusaka
Bintang Penebar Petaka. Dua puluh tahun silam
dari waktu yang dijanjikan sampai sudah. Sesuai
pesan guru, kini aku datang menagih janji!" kata
Lira Watu Sasangka dengan sikap angkuh dan
sambil bertolak pinggang.
4
Iblis Racun Hijau tersenyum mendengar
ucapan si pemuda. Perlahan pandangan matanya
dialihkan ke arah si pemuda. Beberapa jenak la-
manya orang tua itu dan si pemuda saling ber-
pandangan. Meskipun pemuda itu sempat menja-
di kaget melihat tatapan mata si kakek yang ber-
warna hijau itu, namun jauh di lubuk hatinya ti-
dak ada rasa takut barang sedikitpun.
"Katamu kau datang menagih janji. Kapan-
kah aku pernah berjanji pada gurumu? Dua puluh tahun yang lalu ketika kau masih merupakan
bayi batu yang membawa sengsara bahkan kema-
tian bagi ibumu sendiri. Aku hanya mengatakan,
kelak mungkin terbuka jalan bagimu untuk men-
cari senjata Bintang Penebar Bencana!" ujar si
kakek tenang.
"Kau mengatakan! Apakah itu bukan jan-
ji?!" tanya si pemuda disertai senyum dingin.
"Gurumu mungkin salah mendengar. Perlu
kau ketahui, senjata itu tidak ada padaku. Dia
bersembunyi di satu tempat rahasia di dalam Kuil
Setan!" menerangkan Iblis Racun Hijau. Dalam
hati dia berkata. "Meskipun kau memiliki ilmu
tinggi, kau tidak bakal selamat bila pergi ke sa-
na."
"Kuil Setan. Tempat itu penuh maraba-
haya. Konon banyak terdapat jebakan pula. Sia-
papun yang mencoba memasuki daerah itu tidak
pernah selamat. Aku yakin kau mengetahui seluk
beluk daerah itu. Mungkin pula kau bersedia
mengantarku ke sana!" kata Lira Watu Sasangka.
Permintaan yang bersifat memaksa pemu-
da itu tentu sangat mengejutkan bagi si orang
tua. Tapi siapa takutkan pemuda itu. Jika pada
gurunya Begawan Panji Kwalat saja dia tidak per-
nah merasa takut, apalagi pada Iblis Racun Hi-
jau?
Dengan perasaan jengkel Iblis Racun Hijau
berucap. "Jika kau mau pergi ke Kuil Setan, den-
gan bekal ilmu hebat yang kau miliki mengapa
harus mengajak aku yang sudah tua ini. Kau pergilah sendiri. Tunggu bulan sabit muncul, karena
pada saat itu pintu Kuil Setan akan terbuka. Kau
bisa menemui seseorang...!"
"Seseorang siapa?" tanya si pemuda.
"Seseorang siapa saja yang mau menun-
jukkan di mana senjata Bintang Penebar Bencana
tersimpan." kata Iblis Racun Hijau.
"Orang tua, sejauh apakah persahabatan
antara dirimu dengan guruku?" tanya Lira Watu
Sasangka yang oleh gurunya diberi julukan Panji
Anom Penggetar Jagad.
Orang tua itu tidak langsung menjawab,
dia memandang pemuda di depannya dengan so-
rot mata tajam menusuk. "Pemuda ini mungkin
kelak hanya akan membuat kekacauan di dunia
persilatan. Jika tak ada orang yang dapat meng-
hentikannya, bukan mustahil pada waktu menda-
tang dia menjadi raja diraja segala kejahatan!" ba-
tin si orang tua yang sekujur tubuhnya mengan-
dung racun maha ganas mematikan. Setelah ber-
pikir Iblis Racun Hijau kemudian berkata: "Persa-
habatanku dengan Begawan Panji Kwalat boleh
dibilang sudah cukup lama. Tapi satu hal yang
patut kiranya kau ketahui, persahabatan kami ti-
dak ubahnya seperti air dengan minyak. Gurumu
memiliki ilmu sangat tinggi, bahkan setiap uca-
pannya mempunyai keampuhan aneh. Tapi ba-
gaimanapun diriku mempunyai jalan hidup yang
berbeda dengan gurumu. Biarpun orang menge-
nalku sebagai iblis!" kata orang tua berbadan hijau tegas.
"Begitu?" Lira Watu Sasangka tersenyum
sinis. "Jika memang demikian keadaan yang se-
benarnya, berarti kita tidak pernah sejalan." kata
si pemuda.
Sekarang sebaiknya katakan padaku siapa
yang harus kutemui di Kuil Setan?"
Kakek yang mulai ujung rambutnya sam-
pai ke bagian kaki berwarna hijau gelengkan ke-
pala. Dia semakin sebal melihat tingkah si pemu-
da, sebagaimana rasa sebalnya terhadap Begawan
Panji Kwalat yang hidup dalam kesesatan.
"Kau dengar, Lira Watu Sasangka. Di Kuil
Setan orang yang harus kau temui ada dua, satu
perempuan dan satunya lagi laki-laki. Setelah me-
lewati kedua orang ini kau harus minta izin dulu
pada sesepuh yang tinggal di sana. Jika perun-
tunganmu baik, mungkin orang tua itu berkenan
memberikan senjata itu padamu. Tapi andai na-
sibmu jelek mungkin tubuhmu akan dijadikan
kayu bakar untuk membuat senjata pusaka yang
baru. Aku sendiri tak tahu sesepuh yang kumak-
sudkan itu berada di dalam ruangan yang mana.
Kau bisa mencarinya sendiri." kata Iblis Racun
Hijau.
Penjelasan si orang tua ini bagi Lira Watu
Sasangka jelas bukan merupakan jawaban seba-
gaimana yang dia inginkan. Bahkan dia cende-
rung menilai Iblis Racun Hijau bermaksud hen-
dak mengelabuinya. Sehingga pemuda inipun ter-
tawa terbahak-bahak.
"Tua bangka berkulit hijau, guruku menga
takan agar aku memanggilmu paman, kuanggap
itu adalah sebutan penghormatan. Tapi aku tak
mau memanggil begitu karena kau tidak layak
kupanggil paman. Kurasa kau lebih pantas ku-
panggil monyet hijau. Ha... ha... ha!" kata Lira
Watu Sasangka disertai tawa tergelak-gelak.
Mendengar ucapan pemuda itu wajah hijau
si kakek bertambah hijau. Dia lalu melangkah
maju. "Apa maksud ucapanmu itu pemuda ku-
rang ajar?" teriak iblis Racun Hijau marah.
"Maksudku, melihat ujudmu kau tak pan-
tas disebut manusia. Kau lebih bagus disebut
monyet bermuka hijau."
"Kau sengaja mencari masalah, pemuda
keparat yang terlahir dalam bentuk batu?" hardik
Iblis Racun Hijau.
"Setelah mendengar keteranganmu tentang
guruku, apakah kau mengira aku percaya dengan
segala ucapanmu? Malah aku punya dugaan kau
sengaja hendak menjerumuskan aku!"
"Pemuda keparat, mulutmu busuk sekali!"
maki si kakek.
"Ha... ha... ha. Jika benar kau mau apa,
orang tua?" tantang Lira Watu Sasangka.
"Murid Begawan Panji Kwalat ini jika tak
kuberi pelajaran, sikapnya bisa lebih kurang ajar
dari gurunya!" pikir Iblis Racun Hijau. Dengan
suara keras dia berkata. "Pemuda congkak, jika
gurumu manusia segala bisa jangan kau kira aku
takut padanya. Aku sudah berikan keterangan
yang kau minta. Kini kau malah berbalik menuduhku yang bukan-bukan! Majulah, tunjukkan
segala kehebatan yang diwariskan oleh gurumu!"
"Ha... ha... ha. Kau meminta aku akan
memberi," sahut Lira Watu Sasangka sambil ter-
tawa lebar, Dia kemudian membungkukkan ba-
dan. Semula Iblis Racun Hijau menyangka pemu-
da itu hendak menjura hormat, tapi apa yang ke-
mudian terjadi sungguh sangat mengejutkan. Da-
ri bagian ubun-ubun si pemuda mengepul asap
tipis yang bergulung-gulung menjulang ke langit.
Bersamaan dengan itu pula, Lira Watu Sasangka
alias Panji Anom Penggetar Jagad hentakkan kaki
kirinya. Bersamaan dengan hentakan kakinya,
mulut si pemuda berucap. "Melayanglah kau ke
langit, berputar seperti titiran!"
"Ilmu Sabda Alam? Hemm...!" gumam Iblis
Racun Hijau. Saat itu dia merasakan sekujur tu-
buhnya mendadak berubah ringan, kakinya ber-
goyang hendak melambung ke atas. Sedangkan
tangan dan kepala mendadak bergetar keras dan
mulai terasa oleng. "Dewa Braga... apa yang tidak
terjadi tidak akan pernah terjadi. Ilmu rongsokan
seperti itu tidak layak kau tunjukkan padaku,
heaah!" Iblis Racun Hijau hentakkan kaki kanan-
nya. Di depannya sana Lira Watu Sasangka terke-
jut besar, tubuhnya terhuyung seakan ada satu
kekuatan hebat yang mendorong tubuhnya den-
gan kerasnya. Bagaimana mungkin ilmunya yang
sangat hebat dan mampu menjatuhkan orang se-
suai dengan kehendak ucapannya ini di depan si
kakek seakan kehilangan fungsinya sama sekali.
Tak percaya dengan kenyataan yang diha-
dapinya si pemuda kembali merapal mantra-
mantra yang didapat dari gurunya. Setelah itu dia
berteriak. "Jatuh...!"
Sebagaimana yang biasanya terjadi, teria-
kan itu tentu membuat lawan terjatuh. Tapi kini
dilihatnya Iblis Racun Hijau hanya termiring-
miring. Sedangkan mulut si kakek berucap.
"Eeh... minum tuak aku tidak pernah, bagaimana
tubuhku kini seperti orang mabuk. Ha... ha... ha!
Kuras semua mantra aji yang kau miliki, bocah.
Aku telah membentengi diriku dengan ajian Dewa
Braga. Ha... ha... ha. Sampai berbusa mulutmu,
sampai dower bibirmu ucapanmu itu hanya kesia-
siaan belaka!"
Bangsat terkutuk!" teriak Lira Watu Sa-
sangka kalap dan juga merasa malu karena pene-
rapan ajian yang dimilikinya ternyata tidak mem-
punyai pengaruh sama sekali bagi kakek berba-
dan hijau ini. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda
berpakaian serba merah ini lalu melesat ke depan
sambil melepaskan salah satu pukulan mautnya.
Begitu si pemuda hantamkan tangannya ke arah
si kakek, sinar merah biru membersit, melesat de-
ras ke arah lawan disertai menderunya hawa pa-
nas luar biasa.
"Tiga Petaka Bumi!" teriak si kakek menye-
but nama pukulan yang dilepaskan si pemuda.
Dia menyambuti sambil melanjutkan ucapannya.
"Belasan tahun yang lalu pukulan itu memang
sempat membuat geger rimba persilatan. Tapi
siapa yang takut?" desis Iblis Racun Hijau disertai
senyum mengejek. Dia lalu gerakkan tangannya
disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Seketi-
ka itu juga dari telapak tangan si kakek mencuat
sinar putih berhawa dingin luar biasa. Tak dapat
dihindari dua pukulan saling bertemu di udara.
Buuum!
Terjadi ledakan berdentum, Lira Watu Sa-
sangka menjerit keras sedangkan tubuhnya sem-
pat terdorong dua langkah. Si kakek di depannya
sana nampak terhuyung, namun masih sempat
tersenyum meskipun mukanya yang hijau sempat
berubah menjadi hijau muda.
5
Kini orang tua itu berdiri tegak di hadapan
Lira Watu Sasangka. Mulutnya menyeringai se-
dangkan matanya yang hijau memandang nyalang
sambil berpikir apa kiranya yang hendak dilaku-
kan oleh orang itu selanjutnya. Tapi sebelum si
pemuda melakukan tindakan apapun, Iblis Racun
Hijau berucap: "Dua kali kau menyerangku, seka-
rang giliranku melakukan serangan...!" kata si
kakek. "Aku ingin menjajal apakah tubuhmu yang
kabarnya sangat atos seperti batu sebagaimana
saat kau terlahir ke dunia ini tidak mempan den-
gan racunku atau malah sebaliknya!" Selesai ber-
kata si kakek serba hijau ini segera menarik nafas
dalam-dalam. Setelah itu mulutnya meniup, dari
mulut yang sengaja dihembuskan dengan keras
menyembur cairan hijau pekat berbau harum se-
merbak. Begitu melesat di udara cairan itu lang-
sung menebar menyerang lawannya. Pemuda itu
sadar betapa racun ganas yang disemburkan si
kakek tidak ada duanya. Sehingga begitu menda-
pat serangan dia langsung melompat ke udara.
Selagi tubuhnya mengapung di udara dia han-
tamkan tangan kiri kanan melepas pukulan Ku-
tukan Mendera Bumi. Angin dahsyat menyambar
membuat semburan cairan racun berbalik meng-
hantam si kakek sendiri.
"Ha... ha... ha! Tidak kusangka aku harus
mandi air ludahku sendiri!" kata si kakek. Karena
si kakek memang tidak berusaha mengelak, maka
tak ayal seluruh cairan racun membasahi tubuh-
nya. Setelah tubuhnya terkena racunnya sendiri,
dengan gerakan laksana kilat si kakek menghan-
tam ke depan menangkis pukulan yang dile-
paskan lawan.
Desss!
Dua pasang tangan saling membentur den-
gan sangat keras sekali. Lira Watu Sasangka me-
raung keras. Selagi di udara tubuhnya nampak
limbung namun masih sempat jatuh dengan ke-
dua kaki tertekuk. Wajah pemuda ini berubah,
tangannya yang membentur telapak tangan lawan
laksana dicucuki ribuan batang jarum, menim-
bulkan rasa sakit yang sangat laur biasa. Pemuda
ini bangkit berdiri.
"Jahanam hijau itu ternyata tidak dapat
dianggap enteng. Dia mengetahui kelemahan dari
ajianku. Jika kuteruskan, mungkin aku bisa ce-
laka. Kalau aku membunuhnya, guru pasti marah
besar. Untuk sementara sebaiknya ku tunda dulu
urusanku dengannya. Biar umurnya panjang se-
dikit tidak mengapa, nanti jika senjata itu telah
kutemukan, di lain hari dan kesempatan aku pas-
ti membunuhnya!" batin si pemuda. Sejenak dia
pandang ke depan. Iblis Racun Hijau ternyata
saat itu sudah berdiri tegak. Orang tua ini se-
sungguhnya sempat mengalami guncangan hebat
di bagian dalam saat bentrok tangan dengan pe-
muda itu. Dia bahkan merasakan tangannya se-
perti menghantam batu karang yang sangat keras
sekali. Sungguh pun begitu kini dia siap mengha-
jar lagi Lira Watu Sasangka dengan pukulan dah-
syat dan juga dengan semburan racun dari mu-
lutnya.
"Murid Begawan Panji Kwalat, apakah kau
ingin melanjutkan perkelahian ini sampai salah
seorang di antara kita ada yang menemui ajal?"
sindir Iblis Racun Hijau.
Lira Watu Sasangka tersenyum sinis. "Ma-
sih banyak waktu bagi kita untuk menentukan
siapa yang paling hebat di antara kita, monyet hi-
jau. Saat ini aku belum kalah, mungkin juga kau
merasa begitu bagiku tak jadi soal. Tapi suatu
saat kau akan tahu, aku Panji Anom Penggetar
Jagad pantas menjadi raja diraja dunia persilatan!
Ha... ha... ha!" Selesai bicara sambil tertawa pe-
muda congkak itu balikkan tubuh lalu berkelebat
pergi tinggalkan si kakek yang termangu seorang
diri.
"Kalau tidak mengingat kau murid saha-
batku, aku pasti akan menghabisimu. Tapi aku
yakin kelak kau akan kesandung batunya. Kau
tidak sadar di atas langit masih ada langit yang
lain!" ujar si kakek sambil pandangi ke arah le-
nyapnya Lira Watu Sasangka.
Hanya beberapa saat saja seperginya murid
Begawan Panji Kwalat Iblis Racun Hijau menden-
gar suara tawa di kejauhan. Menilik suara itu
nampaknya orang yang tertawa bukan satu
orang, tapi dua. Satu suaranya serak dan besar
dan yang satunya lagi melengking nyaring.
"Manusia edan mana lagi yang datang ke
mari? Padahal tubuhku sudah terasa panas dan
aku ingin kembali berendam di dalam telaga keti-
duranku!" gerutu si kakek sambil memandang ke
satu jurusan. Di jurusan mana suara tawa ter-
dengar si kakek tidak melihat ada siapapun.
"Orangnya belum terlihat tapi suaranya
terdengar. Siapapun mereka pasti memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi." si kakek membatin da-
lam hati.
Kini semakin dekat suara orang yang ter-
tawa, maka suara itu makin keras terdengar
sampai si kakek jadi pengang sendiri. Dia tekap
telinganya, sementara matanya yang hijau dengan
bola hitam di bagian tengah memandang mende-
lik ke arah depan sana di mana dua sosok tubuh
berkelebat mendekat ke arahnya.
Tak lama kemudian dua sosok yang datang
disertai suara tawa itu telah berdiri tegak di de-
pan Iblis Racun Hijau. Ternyata dia bukan lain
adalah seorang kakek berwajah bulat berkening
lebar, berbadan besar luar biasa berpakaian hi-
tam sedangkan baju tidak terkancing. Sedangkan
di samping kakek yang murah senyum dan gam-
pang tertawa ini berdiri tegak seorang pemuda
tampan berwajah polos bertelanjang dada. Bebe-
rapa jenak lamanya ketiga orang ini saling pan-
dang satu dengan yang lainnya.
Si kakek serba hijau membatin. "Berbadan
tinggi besar dengan berat lebih dari dua ratus ka-
ti. Orang ini mengingatkan aku pada salah seo-
rang tokoh kocak dari gunung Merbabu. Kalau
tak salah, namanya Gentong Ketawa. Apakah
orang tua yang berdiri di hadapanku ini orang-
nya? Lalu siapa pemuda yang ikut serta dengan-
nya ini?"
Sebaliknya si kakek gendut besar yang
berdiri sambil berkipas-kipas dengan jari tangan-
nya itu juga berpikir. "Mahluk hijau seperti daun.
Tubuhnya mengandung racun jahat mematikan,
tapi dia sendiri bukan orang jahat. Mungkin di-
alah orangnya yang bergelar Iblis Racun Hijau?"
"Gendut, siapa kakek aneh ini? Sekujur
tubuhnya sampai ke rambut berwarna hijau.
Mungkinkah dia masih anak turun sapi yang su-
ka memakan rumput?" tanya si pemuda yang bu-
kan lain adalah Gento Guyon sambil menahan
senyum.
"Mungkin dia masih merupakan bapak
moyangnya sapi. Tapi ketika masih dalam kan-
dungan ibunya selalu bermimpi ingin jadi manu-
sia, sehingga terlahirlah manusia aneh sebagai-
mana yang kau lihat." berkata seperti itu si kakek
yang bukan lain adalah guru pemuda itu sudah
tak dapat lagi menahan tawanya. Murid dan guru
akhirnya sama-sama tertawa.
"Manusia sinting salah kaprah apa yang
kalian tertawakan?" bentak Iblis Racun Hijau me-
rasa tersinggung melihat tingkah murid dan guru
ini. Gentong Ketawa buru-buru mendekap mulut,
walau mulut sudah ditutup namun perutnya ma-
sih tetap bergoyang-goyang pertanda tawanya be-
lum lenyap sama sekali. Lain halnya dengan Gen-
to, begitu melihat mata kakek bermata hijau ini
mendelik dia langsung katupkan bibirnya.
"Gawat ndut, orang tua itu nampaknya ti-
dak terima kita tertawa-tawa di depannya. Ndut...
lihatlah, bukan hanya tubuh kakek ini saja yang
hijau, bahkan mata sampai ke giginya juga ber-
warna hijau!" berbisik si pemuda yang sering
memanggil gurunya dengan sebutan gendut itu.
"Sudah kuduga, dia memang mahluk lang-
ka. Yang sering kulihat gigi orang berwarna kun-
ing, tapi yang ini memang lain." sahut si kakek.
Dia membuka mulut hendak tertawa lagi, tapi
Gento cepat menekap mulut gurunya dengan tan-
gan kirinya.
"Eeh, apa-apaan kau murid edan? Orang
hendadut sambil menepiskan tangan Gento.
"Hemm, rupanya kau dan tua bangka gen-
dut itu adalah murid dan guru?" kata Iblis Racun
Hijau sinis.
"Kau benar sekali orang tua hijau?" sahut
Gento.
"Pantas, keduanya sama-sama edan."
Gentong Ketawa bukannya tersinggung,
sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak. Sambil
tertawa si kakek menunjuk ke arah si kakek ser-
ba hijau. "Kau orang yang tubuhnya seperti koto-
ran kerbau, kalau tak salah aku melihat bukan-
kah kau manusianya yang bergelar Iblis Racun
Hijau?" tanya si kakek gendut. Pertanyaan ini
membuat si kakek serba hijau melengak.
"Bertemu denganmu rasanya baru kali ini,
bagaimana kau bisa mengenali diriku?" tanya si
kakek terheran-heran.
"Aku ini manusia kabur kanginan, delapan
penjuru angin menjadi tempat pengembaraanku.
Aku mendengar kabar apa saja, termasuk juga di-
rimu. Ha... ha... ha!" kata kakek Gentong Ketawa.
"Terima kasih kalau kau mengenali si bu-
ruk rupa ini. Dan kalau tidak salah pula pengli-
hatanku bukankah engkau orangnya yang keso-
hor dan sering dipanggil orang Gentong Ketawa?"
tanya si kakek hijau sambil pandangi orang tua
gendut di depannya. Si kakek tertawa mengekeh.
"Sebuah nama yang jelek kurasa. Mungkin
karena mereka melihat badanku yang begitu be-
sar mirip gentong, sedangkan aku kebiasaan sejak dari kecil suka tertawa bila melihat hal yang
aneh dan lucu. Jadi enak saja mereka menamai-
ku Gentong Ketawa. Ha... ha... ha!"
"Eeh, apakah kau punya nama lain?" tanya
Iblis Racun Hijau.
Si kakek gelengkan kepala, sedangkan wa-
jahnya berubah murung. Dia kemudian berucap.
"Namaku sendiri aku sudah lupa, mau bertanya
pada ibuku siapa namaku yang sebenarnya aku
tak tahu apakah Ibuku sudah mati atau masih
hidup. Huk... huk... huk!" si kakek tiba-tiba me-
nangis sesunggukan.
Muridnya jadi ikut prihatin. Dengan muka
serius dia mengusap kening si kakek yang lebar
sambil berkata. "Yang sudah berlalu biarlah ber-
lalu. Aku yakin cepat atau lambat kau juga mati
sendiri menyusul ibumu, guru!" kata Gento
menghibur.
6
Gentong Ketawa menepis tangan muridnya.
Mulut kakek itu komat-kamit menggerendeng
seakan tak senang mendengar ucapan Gento. Si
pemuda hanya menyengir sambil kedipkan ma-
tanya.
Iblis Racun Hijau tersenyum melihat ting-
kah antara murid dan guru itu. Kemudian dia
bertanya, "Siapa nama muridmu ini?"
"Namaku Gento Guyon kakek hijau. Julu
kanmu sendiri mengapa seram begitu? Apakah
tubuhmu benar-benar mengandung racun ga-
nas?" tanya si pemuda pula.
"Begitu kenyataan yang sebenarnya. Tu-
buhku sangat beracun sekali, jangankan cairan di
tubuhku, kulitku sendiri mengandung racun me-
matikan. Tapi walaupun aku dijuluki iblis, tapi
aku bukan manusia jahat!" kata si kakek serba
hijau. Gento sempat tercengang mendengar uca-
pan Iblis Racun Hijau. Dia merasa betapa berba-
hayanya berdekatan dengan orang tua ini.
"Kek, sebaiknya kita cepat pergi dari sini,"
ujar Gento dengan suara perlahan.
"Mengapa harus pergi, justru kita menemui
orang tua ini karena kita punya satu keperluan
yang sangat penting menyangkut keselamatan
Ambini." sahut si kakek gendut.
Iblis Racun Hijau yang sempat mendengar
pembicaraan antara Gento dan gurunya segera
ajukan pertanyaan. "Sebenarnya kalian berdua
hendak ke mana?" tanya si kakek.
Gentong Ketawa dan muridnya saling ber-
pandangan. Gento melangkah maju mewakili gu-
runya. "Kami sebenarnya hendak pergi ke Kuil Se-
tan."
"Kuil Setan?" desis Iblis Racun Hijau men-
gulang ucapan Gento. "Buat apa kalian pergi ke
tempat laknat itu? Ingin mencari senjata Bintang
Penebar Bencana, atau punya maksud lain?"
"Kami ingin mencari seorang gadis yang di-
culik oleh seseorang. Gadis itu bernama Ambini,
hanya kami tidak tahu siapa yang menculik dan
membawa gadis sahabat kami itu ke sana!" men-
jelaskan si kakek gendut. Dia kemudian menceri-
takan segala sesuatu secara panjang lebar. Untuk
lebih jelasnya (baca episode Topeng Ke Dua).
Mendengar penjelasan murid dan guru ini Iblis
Racun Hijau menggerendeng.
"Tidak mudah untuk dapat memasuki kuil
itu. Tempat itu dijaga ketat oleh tiga mahluk aneh
yang bernama Maut Biru, Maut Kuning dan Maut
Merah. Masing-masing dari ketiga mahluk yang
kusebutkan ini mempunyai kelebihan. Baik men-
genai ilmu atau kesaktiannya. Selain itu di sana
juga terdapat banyak jebakan dan perangkap-
perangkap maut." menerangkan Iblis Racun Hijau
dengan perasaan khawatir.
"Ha... ha... ha. Berarti kami punya hara-
pan, bukankah begitu guru?!" ujar Gento sambil
mengedipkan matanya ke arah si kakek gendut.
"Bertemu dengannya bukan suatu perjala-
nan yang sia-sia. Ha... ha... ha!" sahut si kakek
pula disertai tawa tergelak-gelak,
Iblis Racun Hijau kerutkan keningnya.
"Apa maksud kalian?" tanya si kakek tidak men-
gerti.
"Sobat, kau telah menceritakan keadaan
serta suasana di Kuil Setan. Walaupun apa yang
kau tuturkan kepada kami hanya merupakan ba-
gian terkecil, tapi kami merasa yakin kau tahu
banyak hal tentang kuil itu?" ujar Gento. Lagi-lagi
si pemuda sungggingkan seringai.
Iblis Racun Hijau tercengang, tak mengira
dia terjebak oleh ucapannya sendiri. Mendadak
wajah orang tua itu berubah muram, dia meman-
dang ke langit.
"Gusti... gusti... agaknya segala sesuatu
yang telah menjadi takdir Mu tak seorang manu-
siapun yang kuasa merubahnya." ujar si kakek
hijau dengan mata berkaca-kaca.
"Eh, lihat kakek itu. Apakah tampang kita
begini menyedihkan hingga membuat kakek itu
menangis." bisik si pemuda.
Si kakek gendut tersenyum. "Tampangku
selalu menyenangkan, kurasa wajahmu yang
membuat Iblis Racun Hijau jadi prihatin. Hi... hi...
hi."
"Gendut, kau kelewat percaya diri." dengus
si pemuda. Dia kemudian terdiam ketika dilihat-
nya Iblis Racun Hijau memandang kepadanya
dengan penuh rasa iba.
"Sahabat gendut dan kau anak muda. Te-
rus terang aku memang mengetahui daerah itu.
Kuil Setan bukan merupakan tempat asing bagi-
ku, karena antara aku dengan seorang penghu-
ninya masih ada hubungan kerabat. Tapi kalian
harus tahu. Walaupun aku mengenali tempat itu,
aku juga tidak dapat keluar masuk sesuai dengan
keinginanku. Di sana banyak tata cara serta atu-
ran yang selalu berubah-ubah, di samping itu
Kuil Setan mengandung banyak tipuan." jelas Ib-
lis Racun Hijau. Dia kemudian melanjutkan. "Jika
memang benar sahabat kalian itu dibawa ke Kuil
Setan, seandainya dia dijadikan jaminan oleh
penculiknya. Mungkin saat ini sudah tidak keto-
longan lagi!"
"Apa?" seru Gento dan gurunya hampir se-
rentak. Kedua orang ini sama-sama tak dapat
menutupi rasa kagetnya. Dengan perasaan cemas
Gento berkata tegas. "Jika sampai terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan pada Ambini, penculiknya
akan mendapat hukuman yang sangat setimpal
dariku. Sedangkan Kuil Setan akan kubuat sama
rata dengan tanah!"
"Para setan di kuil itu akan kuusir dan ku-
suruh kembali ke neraka!" timpal si kakek gendut
pula dengan mata mendelik dan geraham berge-
meletukan.
"Jangan bertindak gegabah perturutkan
hawa nafsu. Segala sesuatunya kurasa masih bi-
sa diatur asal kalian berdua tidak bertindak me-
nuruti kemarahan dan hawa nafsu sendiri." tegas
Iblis Racun Hijau.
Mulut Gento berubah cemberut. "Siapa
yang tidak marah, sahabatku hendak digantung
orang masakan aku hanya tinggal diam sambil
uncang-uncang kaki?" gerutu si pemuda.
Gentong Ketawa yang lebih dapat mengua-
sai diri dan merasa percaya Iblis Racun Hijau ber-
sedia membantunya berkata. "Hubungan antara
muridku dengan gadis cantik itu bukan hanya
sekedar sahabat, tapi di antara mereka mung-
kin... ini mungkin, sudah terjalin benang kasih
yang sulit diputuskan. Sobatku hijau, kalau kau
melihat matanya kau segera tahu, mata muridku
itu jadi merah karena tidak tidur beberapa hari
ini memikirkan gadis itu." kata si kakek gendut,
dalam hati dia tertawa sendiri.
Ucapan yang sesungguhnya hanya bercan-
da ini ditanggapi dengan serius oleh Iblis Racun
Hijau. Dengan nada prihatin dia berkata. "Aku
ikut sedih mendengarnya. Aku percaya cinta mu-
ridmu pada gadis itu adalah sebuah cinta sejati.
Cinta sejati terkadang membuat orang rela mela-
kukan apa saja, termasuk juga tidak tidur selama
bermalam-malam. Anak muda, aku sampaikan
rasa takjubku padamu. Aku berjanji untuk mem-
bantu kalian dalam membebaskan gadis itu. Tapi
untuk kalian ketahui, kurasa apa yang hendak ki-
ta lakukan tidak akan menjadi mudah. Malah aku
khawatir usaha kita akan mengalami banyak rin-
tangan yang besar lagi sulit!"
Gento yang semula bersemangat, karena
merasa ucapan gurunya yang ngaco telah menge-
na pada sasaran yang diinginkan kini tubuhnya
terasa lemas kembali.
Kakek Gentong Ketawa sadar betul apa
yang ada dalam pikiran muridnya sehingga dia
bertanya pada si kakek serba hijau. "Sobatku,
manusia sejuta keindahan. Apakah maksud dari
ucapanmu itu?"
"Terus terang saat ini kurasa telah ber-
kumpul orang-orang yang menginginkan senjata
Bintang Penebar Petaka di Kuil Setan. Boleh jadi
tokoh dari semua golongan mengincar senjata itu.
Satu di antaranya adalah Lira Watu Sasangka,
bergelar Panji Anom Penggetar Jagad alias Bega-
wan Muda. Orang yang kusebutkan ini usianya
hampir sama dengan muridmu, aku kenal den-
gannya karena dia masih merupakan murid sa-
habat jauhku Begawan Panji Kwalat...."
"Begawan Panji Kwalat?" seru kakek Gen-
tong Ketawa. "Manusia jahat itu mempunyai seo-
rang murid?" tanya si gendut dengan mata men-
delik. Iblis Racun Hijau mengangguk.
"Kiamat... kiamat. Aku yakin muridnya
pasti tidak lebih baik dari gurunya." kata si ka-
kek.
"Malah jauh lebih buruk dari yang kau
sangkakan sahabatku. Tadi sebelum kalian mun-
cul dia bahkan sudah datang ke mari dan memin-
taku untuk mengantarkannya ke Kuil Setan. Tapi
dengan tegas kutolak." ujar si kakek hijau. Secara
singkat si kakek kemudian menjelaskan apa yang
telah terjadi kepada si kakek gendut.
Sebaliknya Gento Guyon memang tidak ta-
hu siapa Begawan Panji Kwalat tidak memperli-
hatkan reaksi apapun, tetap tenang tapi juga geli-
sah.
"Jika benar katamu murid Begawan Panji
Kwalat gentayangan di Kuil Setan, kurasa pengu-
asa kuil itu perhatiannya akan terpecah belah. Ki-
ta punya kesempatan untuk menemukan Ambini
secepatnya!" kata Gentong Ketawa.
"Jadi engkau mau membantu kami, kakek
hijau?" tanya Gento.
"Mengingat kisah asmaramu, aku tentu sa-
ja mau membantu. Aku senang jika kalian dapat
berkumpul kembali. Syukur kalian berjodoh, jika
kalian menikah tentu selain dapat makanan enak
aku juga dapat pahala besar. Ha... ha... ha!" kata
iblis Racun Hijau sambil tertawa.
Melihat si kakek tertawa untuk pertama
kalinya, Gento sempat surut satu langkah. Den-
gan mulut ternganga heran dalam hati dia berka-
ta.
"Ternyata bukan tubuh kakek ini saja yang
hijau, lidah dan giginya juga hijau. Tapi dia juga
manusia tolol, mau saja dikibuli guruku!"
"Iblis Racun Hijau, jika sudah mencapai
kata sepakat, bukankah sebaiknya kita sekarang
berangkat!" suara si kakek gendut memecah ke-
heningan.
"Tidak, kalian yang berangkat duluan. Aku
bisa menyusul nanti setelah berendam dulu di te-
laga hijau!" jawab si kakek.
"Hah... mengapa begitu?" tanya Gento Ka-
get.
"Untuk diriku sendiri, segala peraturannya
aku yang membuat, bukan kau dan gurumu."
Gento dan gurunya tak mungkin memaksa
Iblis Racun Hijau untuk ikut serta dengan mere-
ka. Apalagi saat itu si kakek sudah memutar
langkah, lalu berjalan ke arah telaga. Tak lama
Iblis Racun Hijau sudah berendam di dalam tela-
ga kecil yang dangkal.
"Orang tua itu seperti kerbau saja. Berku
bang di dalam telaga seolah tubuhnya selalu ke-
gerahan." gerutu si pemuda sambil tinggalkan
tempat itu.
7
Di dalam salah satu ruangan yang terdapat
di dalam Kuil Setan, Si Tangan Sial duduk mene-
kuri lantai di depannya di atas dua buah kursi
berwarna merah dengan sandaran tinggi. Pada
masing-masing kursi yang saling berdampingan
duduk seorang laki-laki berwajah buruk mengeri-
kan. Berpakaian hijau. Bagian kening orang ini
seperti terkelupas, di atas kening yang terkelupas
terdapat satu lubang menghitam sebesar jari ke-
lingking. Di dalam lubang mengerikan inilah ter-
dapat seekor ular berwarna merah, kepala ular
selalu keluar masuk hingga membuat merinding
siapapun yang melihatnya. Selain itu kulit pipi
pemuda itu juga nampak mengelupas meninggal-
kan bercak-bercak merah seperti sisik ular.
Jauh bertolak belakang dengan gadis yang
duduk di kursi sebelah. Gadis ini memiliki wajah
cantik jelita seperti bidadari. Kulitnya putih, ram-
but terurai panjang. Dia memakai pakaian serba
hijau yang sangat tipis, sehingga keindahan dada
dan pinggulnya terlihat jelas mengundang perha-
tian laki-laki manapun yang melihatnya.
Jauh bertolak belakang dengan pemuda di
sampingnya, tubuh gadis secantik bidadari ini
menebarkan bau harum semerbak laksana bunga
yang mekar di pagi hari.
Beberapa saat lamanya pemuda dan gadis
ini memandang ke arah Si Tangan Sial. Lalu pe-
muda berwajah buruk yang di keningnya terdapat
sebuah lubang hitam menganga menarik nafas
pendek. "Paman Tangan Sial," katanya kemudian.
"Aku Maut Tanpa Suara dan saudaraku seguru
Dwi Kemala Hijau memang sudah menganggap
dirimu bukan lagi seperti orang lain, aku sudah
menganggapmu sebagai kerabat dekat. Sehingga
kau punya kebebasan keluar masuk di kuil ini.
Selama itu kau tidak pernah mengutarakan kein-
ginan apapun pada kami. Lalu bagaimana secara
tiba-tiba saja kau datang ke sini, membawa seo-
rang gadis kemudian ingin meminta senjata Bin-
tang Penebar Petaka. Buat apa senjata itu bagi-
mu?"
"Aku membutuhkannya untuk satu keper-
luan besar." sahut Si Tangan Sial agak gugup.
"Paman Tangan Sial, kurasa untuk mela-
kukan semua hajat, kau cukup menggunakan
kedua tanganmu. Mengapa senjata itu yang kau
minta? Padahal dengan kedua tangan saktimu itu
kau bisa melakukan apa saja." kata Dwi Kemala
Hijau ikut menimpali.
"Tidak. Kedua tanganku ini menjadi tidak
berguna di hadapan orang itu." sergah Si Tangan
Sial.
"Siapakah orang yang kau maksudkan?"
tanya si gadis secantik bidadari ingin tahu.
"Dewa Penyanggah Langit!" jawab orang tua
itu berbohong.
Bukan hanya Dwi Kemala Hijau saja yang
terkejut, tapi Maut Tanpa Suara jadi terkesiap
kaget.
"Bagaimana kau bisa punya silang sengke-
ta dengan manusia dari Puncak Halilintar itu,
paman?"
"Panjang ceritanya dan aku tak mau men-
gatakannya pada kalian berdua. Karena ini me-
nyangkut urusan yang sangat pribadi." ujar Si
Tangan Sial, lagi-lagi apa yang diucapkan si orang
tua adalah merupakan kedustaan belaka.
"Kebiasaan di Kuil Setan, setiap persoalan
yang menyangkut urusan pribadi seseorang tidak
boleh orang lain ikut mencampurinya. Sungguh-
pun aku pribadi sangat ingin mengetahui geran-
gan apa yang menjadi persoalanmu sehingga kau
sampai berurusan dengan manusia yang satu ini.
Tapi walaupun kami berdua adalah sahabatmu,
kami tidak berani menyerahkan senjata itu pa-
damu begitu saja. Masih ada yang lebih berhak
menentukan dalam persoalanmu itu. Dia adalah
Yang Agung, dia penentu segalanya di sini." tegas
Maut Tanpa Suara.
Meskipun Si Tangan Sial kecewa menden-
gar penjelasan pemuda berwajah buruk itu, da-
lam persoalan ini tentu saja dia tak dapat me-
maksa. Sehingga dia hanya dapat mengangguk-
kan kepala.
"Sekarang, coba katakan pada kami, men
gapa kau membawa gadis itu ke sini, paman Tan-
gan Sial?" tanya Dwi Kemala Hijau.
Untuk beberapa saat lamanya Si Tangan
Sial menjadi bingung, Begawan Panji Kwalat me-
merintahkan padanya untuk membunuh Gento
Guyon. Apa alasan Begawan sesat itu memberi
perintah demikian dia sendiri tidak tahu. Karena
Ambini masih merupakan sahabat pemuda yang
harus dibunuhnya, untuk memudahkan segala
perintah yang dibebankan kepadanya dia lalu
menculik Ambini. Setelah berpikir sejenak Si Tan-
gan Sial kemudian berucap. "Gadis itu masih
punya hubungan darah dengan Dewa Penyanggah
Langit. Aku membawanya untuk kujadikan jami-
nan, karena saat ini ada dua orang yang menge-
jarku. Mereka juga masih kerabat Ambini, na-
manya Gentong Ketawa dan Gento Guyon. Dua
orang ini sangat berbahaya, sengaja diutus oleh
Dewa Penyanggah Langit untuk menangkapku hi-
dup atau mati!" jelas Si Tangan Sial dengan wajah
membayangkan rasa takut luar biasa.
"Mereka tidak mungkin datang ke mari.
Terkecuali jika mereka ingin mencari kematian-
nya sendiri. Ha... ha... ha!" kata Maut Tanpa Sua-
ra disertai tawa tergelak-gelak.
"Jangan menganggap remeh mereka. Ke-
dua orang itu bisa melakukan apa saja!" ujar Si
Tangan Sial sengaja memperlihatkan kesan bah-
wa Gentong Ketawa dan Gento Guyon yang diakui
sebagai orang yang menginginkan dirinya tidak
memandang sebelah mata pada mereka.
Maut Tanpa Suara mendengus geram. Tan-
gan kirinya yang menyambar sebuah cangkir dari
tanah liat. Cangkir itu lalu diremasnya hingga
hancur menjadi debu. "Apakah tubuh mereka
seatos besi?" tanya Maut Tanpa Suara.
"Aku tak tahu." sahut Si Tangan Sial.
Sebaliknya gadis secantik bidadari yang
masih merupakan saudara seperguruan Maut
Tanpa Suara tidak mudah terpancing, diam-diam
dia mulai berpikir menyiasati. Dalam pandangan-
nya dia melihat satu keanehan dalam diri Si Tan-
gan Sial. Beberapa kali orang tua itu datang ke
Kuil Setan pada waktu sebelumnya. Si Tangan Si-
al yang dulu sering dia lihat adalah sosok orang
tua yang selalu bicara tenang, tapi selalu menye-
sali nasib juga kemalangan dirinya. Tapi kali ini
dia melihat orang tua itu setiap bicara selalu gu-
gup dan tundukkan kepala.
"Ada yang tidak beres! Ada sesuatu yang
terjadi dengannya. Terkadang kulihat dia seperti
kesakitan." batin Dwi Kemala Hijau.
"Paman Tangan Sial, besok kita harus
mengeluarkan gadis itu dari sini. Kita bisa mele-
takkannya di satu tempat, tubuhnya akan ku ikat
di tiang pancang biar terlihat oleh orang-orang
yang mengejarmu. Jika orang itu datang baru kita
meringkusnya!" kata Maut Tanpa Suara tegas.
"Aku sangat gembira sekali mendengarnya.
Di saat diriku sedang berada dalam ancaman ba-
haya besar, seorang sahabat bersedia membantu-
ku." kata si orang tua dengan mata berbinar gembira. "Tapi bagaimana dengan senjata itu?" tanya
Si Tangan Sial kemudian.
"Mengenai senjata, bukan persoalan yang
gampang untuk menyerahkannya padamu begitu
saja. Semuanya tergantung kemurahan hati Yang
Agung. Jika dia tidak berkenan memberikannya
padamu, nantinya kau jangan kecewa. Lagi pula
kami tidak tahu senjata itu disimpan di mana!"
Dwi Kemala Hijau akhirnya berkata dengan pe-
nuh ketegasan.
"Apa yang dikatakan oleh saudara sepergu-
ruanku itu memang benar adanya paman. Mung-
kin segalanya akan menjadi mudah bila kau mau
bergabung dengan kami dan bersedia tinggal di
dalam Kuil Setan ini selamanya." kata Maut Tan-
pa Suara pula.
"Maksudmu aku berada di sini sampai tua
dan mati, kemudian setelah menjadi roh gen-
tayangan aku menjadi pengikut Yang Agung?"
tanya Si Tangan Sial penuh rasa kaget. Walaupun
saat itu dirinya dikuasai oleh satu kekuatan yang
mampu membuat dirinya menjadi patuh dengan
segala perintah Begawan Panji Kwalat, tapi jauh
di lubuk hati dia tahu apa arti dari semua ucapan
Maut Tanpa Suara. Dengan menerima tinggal ser-
ta bergabung dengan kerabat Kuil Setan, berarti
dirinya kelak sepanjang hidup harus mengabdi-
kan diri pada Yang Agung. Satu mahluk jahat
berkekuatan besar yang belum pernah memperli-
hatkan diri di depan para pengikutnya.
"Apa yang kau katakan itu tidak keliru pa
man." jawab Maut Suara beberapa saat kemu-
dian.
"Aku tidak mau. Aku lebih suka hidup di
alam bebas!" tegas Si Tangan Sial.
"Jika keberatan untuk sementara me-
nyingkirlah dari ruangan ini. Jika nasibmu baik,
mungkin apa yang kau inginkan segera kau da-
patkan. Jika takdirmu buruk permintaanmu itu
hanya mempercepat kematianmu sendiri!" ujar
Dwi Kemala Hijau.
"Aku tahu, segala akibatnya akan ku tang-
gungkan!" Selesai berkata begitu Si Tangan Sial
bangkit berdiri. Tak lama kemudian sosoknya te-
lah menghilang dari pandangan mata.
Maut Tanpa Suara begitu Si Tangan Sial
meninggalkan ruangan di mana mereka berada
langsung menoleh kepada Dwi Kemala Hijau.
"Bagaimana pendapatmu tentang sahabat
kita yang satu itu?" tanya si pemuda berwajah
buruk mengerikan.
"Selama ini dia adalah orang berhati jujur
dan polos. Tapi kali ini aku tidak melihat kejuju-
ran itu. Ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi
pada dirinya." gumam Dwi Kemala Hijau.
"Mungkin... mungkin apa yang kau
ucapkan itu ada benarnya, Aku akan membicara-
kan semua ini pada Yang Agung." ujar Maut Tan-
pa Suara. Dwi Kemala Hijau diam. Sama sekali
dia tidak memberi tanggapan atas ucapan sauda-
ra seperguruannya itu.
8
Di sebelah timur puncak bukit tak jauh da-
ri Kuil Setan yang saat itu tidak terlihat karena
tertutup kabut tebal Gento Guyon dan gurunya
mendekam di balik rumpun semak belukar. Si
pemuda kemudian memandang ke arah gurunya
begitu selesai memperhatikan gumpalan kabut
yang bergulung-gulung menyelimuti kuil di pun-
cak bukit.
"Aku belum pernah melihat pemandangan
yang seperti ini." berkata pemuda itu penuh rasa
takjub juga heran. "Kabut yang menyelimuti kuil
itu tidak ubahnya seperti mendung yang bergu-
lung ditiup angin kencang. Begitu tebal sampai
keberadaan kuil itu sendiri tidak terlihat. Bagai-
mana kita bisa memasuki kuil itu? Jika kita ma-
suk ke dalam lingkaran kabut aku khawatir akan
banyak bahaya yang muncul secara tidak terdu-
ga." ujar pemuda itu seakan ditujukan pada di-
rinya sendiri.
Si kakek gendut tidak segera menjawab,
sepasang matanya terus mengawasi bukit yang
diselimuti kabut. Saat itu panasnya terik mataha-
ri sudah tidak dihiraukannya lagi. Sampai akhir-
nya si kakek gelengkan kepala.
"Tempat itu memang aneh. Aku bahkan
merasakan adanya pengaruh kekuatan gaib ber-
cokol di tempat ini. Ku ingatkan padamu jangan
sampai lengah. Salah kita melangkah, mungkin
nyawamu tidak ketolongan!" ujar si kakek. Dia la-
lu mengusap wajahnya yang keringatan. Matanya
yang kecil sipit berkedap-kedip. Si kakek terus
memutar otak mencari jalan. Saat itu suasana di
sekitarnya memang sangat sunyi sekali, terkesan
tidak ada kehidupan di tempat itu. Sejauh mata
memandang yang terlihat hanya tulang belulang
memutih berserakan, sebagai saksi atas kehadi-
ran mereka di tempat paling celaka itu.
"Guru, sebaiknya kita berpisah di sini, aku
akan menyelidik ke sebelah timur kuil. Aku meli-
hat tadi ada satu bayangan biru berkelebat me-
ninggalkan kuil. Siapa tahu peruntunganku baik,
aku dapatkan seorang gadis cantik di sebelah sa-
na." ujar si pemuda disertai senyum.
"Bocah goblok, bagaimana jika sampai ter-
jadi sesuatu denganmu. Aku pasti tidak tahu,"
jawab si kakek gendut.
"Tidak perlu khawatir. Aku ke sana tidak
lama hanya ingin memastikan barangkali ada ja-
lan masuk dari tempat itu. Jika bayangan biru
tadi bisa muncul dari arah kuil. Berarti memang
ada jalan di tempat itu. Jika ternyata dugaanku
meleset aku segera kembali menemuimu," jelas
Gento.
"Cepatlah, tapi jangan terlalu lama!" kata
kakek Gentong Ketawa. Gento anggukkan kepala.
Setelah itu tanpa membuang waktu lagi dia lang-
sung berkelebat pergi ke sebelah timur kuil di
mana bayangan biru tadi sempat terlihat olehnya.
Sementara itu di balik satu pohon kering
satu sosok berpakaian biru berdiri di sana. Empat
kepala sosok aneh yang mengenakan pakaian bi-
ru sama menoleh, empat mata yang terletak di
bagian kening dari empat kepala itu terus mem-
perhatikan ke arah si pemuda. Empat pasang bi-
bir sama tersenyum. Lalu dia berucap. "Sebelum
pemuda ini ku ringkus, kurasa ada baiknya jika
aku mempermainkannya" katanya. Empat tangan,
dua menghadap ke depan dan dua menghadap ke
belakang sama bergerak ke atas. Empat kepala
sebesar kepalan tangan orang dewasa diusap,
Wuees!
Hanya dalam waktu sekedipan mata ke
empat kepala aneh bermata tunggal lenyap. Mah-
luk berkepala empat berbadan seperti manusia
lenyap menjadi kepulan asap. Di lain saat di balik
pohon itu berdiri tegak seorang gadis cantik ber-
wajah cantik rupawan, menggantikan sosok
menggidikkan berkepala empat tadi. Gadis ini ter-
senyum, lalu keluar dari tempat persembuyian-
nya.
"Kau mencariku?" kata gadis itu ditujukan
pada Gento yang saat itu memang tengah sibuk
mencari sosok bayangan yang dilihatnya tadi.
Pemuda itu tentu saja kaget bukan main, dalam
kagetnya dia cepat menoleh ke belakang. Rasa
kaget pemuda ini semakin menjadi-jadi begitu
melihat satu sosok berambut panjang berwajah
cantik jelita berdiri tegak di belakangnya. Gento
memutar badan sehingga kini dia dan gadis itu
saling berhadapan.
"Jika aku berjalan sendiri peruntunganku
selalu baik. Gadis cantik ini bagaimana tahu-tahu
muncul di sini? Apakah dia salah satu penghuni
Kuil Setan?" membatin Gento dalam hati.
"Pemuda tampan apa yang kau pikirkan?
Melihat pada matamu kurasa kau sedang mencari
seseorang." ujar si gadis sambil kedipkan mata
sementara lidah sengaja dijulurkan membasahi
bibirnya yang merah menawan.
Gento terkesiap, tidak menyangka orang
dapat membaca jalan pikirannya. Di luar semua
itu Gento memang harus mengakui gadis ini me-
miliki kecantikan luar biasa. Mungkin lebih can-
tik dari Ambini. Hanya kelebihan Ambini dia me-
miliki sepasang mata yang indah.
"Kau diam, berarti apa yang kukatakan be-
nar adanya." kata si gadis berpakaian biru tipis
itu lagi.
"Ee... aku... aku memang sedang mencari
seseorang." sahut Gento ragu-ragu. Sekejap dia
melirik ke arah si gadis. Hatinya sempat berdebar
aneh ketika pandangan mereka secara tak senga-
ja saling berbenturan.
"Seseorang yang kau cari itu laki-laki atau
seorang gadis?" tanya si gadis lagi. Melihat ke-
tampanan si pemuda kali ini dia memandang pe-
nuh kemesraan.
"Kecantikannya sungguh memikat. Tapi
aku tidak boleh terpedaya dengan kemolekan tu-
buh dan kecantikan wajah. Bisa jadi di balik pe-
nampilan yang terlihat menggoda, sesungguhnya
dia adalah pembunuh keji." pikir si pemuda.
"Kau diam, mungkin kau takut aku ini ga-
dis jahat."
"Hen, bagaimana dia bisa mengatakan apa
yang sedang ku pikirkan?" Lagi-lagi Gento dibuat
tak habis mengerti.
Kemudian dengan sikap acuh gadis itu pa-
lingkan wajahnya ke arah lain. Dia lalu berkata.
"Aku memang gadis yang malang, orang seburuk
diriku mana ada yang mau percaya. Hu... hu...hu.
Ibu, kalaulah aku tahu begini sengsaranya hidup
di dunia ini, lebih baik aku menyusulmu!" kata si
gadis sambil menangis terisak-isak.
Melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu,
Gento pun akhirnya jadi tidak sampai hati untuk
membiarkannya begitu saja. Dia kemudian me-
langkah menghampiri. Memperhatikan gadis yang
sedang menangis itu, entah mengapa Gento men-
dadak saja jadi merasa iba. Tanpa sadar dia
membelai rambut hitam panjang si gadis. Sikap-
nya tidak ubahnya seorang kakak yang melin-
dungi adiknya.
"Maafkan aku, sama sekali aku tak ber-
maksud membuatmu bersedih. Lagipula aku be-
lum bicara apa-apa." ujar Gento pelan membujuk.
"Mulutmu bicara begitu, tapi hatimu berka-
ta lain!" kata si gadis, sambil berusaha menghen-
tikan tangisnya. Dia kemudian memeluk pemuda
itu. Gento jadi terperangah dan merasa serba sa-
lah. Apalagi mengingat dada si gadis menempel
ketat di dadanya. Dia pejamkan matanya, menco
ba mengosongkan pikiran agar tidak terpengaruh
oleh tindakan sepontan yang dilakukan gadis itu.
"Aduh biung, aku jadi serba salah. Jika
aku menjauhkan diriku pasti dia menduga aku
benci kepadanya. Tapi jika kubiarkan dia meme-
luk ku begitu rupa, bagaimana jika ketahuan gu-
ruku. Nanti dikiranya aku suka berbuat mesum."
Gento Guyon kemudian menepuk bahu si gadis,
menarik kedua tangan gadis itu menjauh dari di-
rinya sambil berkata. "Tabahkan hatimu, sadar-
lah...!" Kata-kata perlahan yang diucapkan oleh si
pemuda menyadarkan gadis itu. Dia pun jauhkan
wajahnya, kedua tangan ditarik lepas sedang mu-
kanya berubah merah padam.
"Oh, maafkan aku. Sama sekali aku tidak
bermaksud membuatmu malu. Apa yang terjadi
semua karena aku merasa bingung tak tahu ha-
rus mengadu ke mana?" kata gadis itu.
"Siapa namamu?" tanya Gento begitu terin-
gat akan tujuannya.
"Namaku Puspita." jawab si gadis. "Kakang
sendiri siapa?"
"Namaku Gento Guyon." sahut si pemuda.
"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini."
Mendapat pertanyaan itu wajah si gadis
kembali berubah murung. "Entahlah sejak orang
tuaku meninggal, aku jadi tidak punya tujuan.
Aku pergi ke mana saja mengikuti langkah."
Mendengar jawaban si gadis mendadak
Gento merasakan ada sesuatu yang sangat ganjil.
Dia kemudian berpikir. "Sosok yang kulihat pertama tadi adalah sosok berpakaian serba biru.
Gadis ini juga memakai pakaian biru. Jangan-
jangan dia adalah...!" Murid kakek Gentong Keta-
wa ini tidak sempat lagi melanjutkan ucapannya
karena di depan sana si gadis cantik yang menga-
ku bernama Puspita itu mendadak mengeluh se-
perti kesakitan sambil memegangi dadanya. "Akh,
penyakitku...!" rintih Puspita. "Apa yang terjadi
dengan dirimu?" seru si pemuda. Tanpa merasa
curiga lagi dia melompat ke depan sambil me-
nyambar bahu Puspita yang sudah terhuyung
nyaris terjengkang. Beruntung Gento cepat ber-
tindak. Kalau tidak tentu kepala si gadis cantik
itu menghantam batu yang terdapat di belakang-
nya.
"Dadaku... akh... dadaku seperti mau me-
ledak...!" rintih si gadis. Karena yang dikeluhkan
di bagian dada, tentu saja Gento jadi bingung
sendiri. Mustahil dia menyentuh atau memeriksa
di bagian itu.
"Lakukanlah sesuatu, jangan diam begi-
tu?!" kata Puspita dengan nafas tersengal semen-
tara tangan kirinya yang bersimbah keringat
nampak sibuk meremas-remas dadanya sendiri.
Tidak sampai di situ saja kedua bahu si gadis ju-
ga bergetar keras kepala menyentak-nyentak tak
mau diam. Gento yang berusaha mendukung ba-
dan Puspita dengan kedua tangannya jadi kerepo-
tan.
9
Dia mencoba membaringkan Puspita di
atas tanah. Tanpa pernah terduga pada saat itu
pula tangan kanan gadis itu menyambar ke ba-
gian bahu juga dada Gento. Gento yang merasa-
kan adanya sambaran angin dingin menghantam
dua bagian tubuhnya langsung melompat men-
jauh sambil lepaskan pegangannya pada bagian
punggung belakang si gadis. Sinar biru membersit
dari telapak tangan gadis itu. Luput mengenai sa-
saran yang diharapkan sinar maut menghantam
gundukan batu besar di ujung puncak bukit. Ter-
jadi ledakan keras menggelegar begitu sinar biru
menghantam hancur batu tersebut. Kepulan debu
dan pecahan batu bermentalan di udara. Setiap
kepingan yang terpental mengepulkan asap tebal
dikobari api berwarna biru.
Gento Guyon jelas tak kuasa menutupi ra-
sa kagetnya. Dia sama sekali tidak menyangka
gadis cantik yang terlihat lemah itu ternyata
hampir saja membuatnya celaka. Kini pemuda itu
yang sempat tercengang melihat kedahsyatan se-
rangan yang dilakukan si gadis langsung berpal-
ing memandang ke arah Puspita. Di depannya sa-
na gadis itu tertawa tergelak-gelak sambil don-
gakkan kepalanya.
"Sungguh kau manusia paling tolol yang
pernah kutemui. Begitu mudahnya kau tertipu
hanya dengan melihat kecantikan tubuh seorang
wanita. Hik,.. hik... hik!" kata Puspita sambil ter-
tawa tergelak-gelak.
"Huh, dari semula aku sudah curiga. Tapi
entah mengapa melihat kau menangis tiba-tiba
aku menjadi iba. Setan kuntilanak siapa engkau
yang sebenarnya? Suaramu jelek dan sepertinya
selain dirimu masih ada orang lain yang ikutan
tertawa!" dengus Gento disertai senyum mengejek.
"Hik... hik... hik. Sebentar lagi kau akan
melihat sesuatu yang tidak pernah kau bayang-
kan. Aku adalah pengawal Kuil Setan, aku Maut
Biru!" berkata begitu gadis cantik itu mengusap
wajahnya sebanyak tiga kali usapan.
Wuess!
Mendadak sontak dari sekujur tubuh si
gadis mengepulkan asap tebal kebiru-biruan. Be-
berapa saat lamanya asap tebal menyelimuti diri
tubuh Puspita. Ketika asap yang menyelimuti ga-
dis ini lenyap, maka kini di depan murid kakek
Gentong Ketawa tampak satu sosok besar ber-
warna biru, dengan empat tangan dua di bagian
depan dua di belakang. Selain itu kepala sosok bi-
ru tersebut memiliki empat kepala, empat leher
yang terjulur panjang. Masing-masing kepala se-
besar kepalan tangan ini memiliki satu buah mata
di tengah kening, hidung mancung dengan gigi-
gigi yang sangat panjang lagi runcing.
Walau Gento sempat terkesiap melihat pe-
rubahan aneh yang terjadi pada gadis itu. Tapi
kini dia berlaku tenang. Sambil tertawa dia berka-
ta. "Mahluk salah kaprah, tidak kusangka di balik
kecantikan yang kau tunjukkan ternyata kau
adalah mahluk paling jelek terkutuk yang pernah
kulihat. Beruntung kau tadi tidak sempat menci-
umku, kalau tidak malah hari ini aku menderita
satu kerugian yang sangat besar. Ha... ha,., ha!"
"Manusia tolol, selagi dirimu bebas bisa sa-
ja kau bicara apa saja. Sekejap lagi kau akan me-
rasakan satu siksaan yang tak pernah terbayang-
kan olehmu di sepanjang Lorong Kematian."
"Mahluk terkutuk, kini aku tahu kau pasti
budak dari penghuni Kuil Laknat itu?" teriak si
pemuda.
Empat mulut dari empat kepala sama ke-
luarkan suara mendengus. Empat tangan seren-
tak berkelebat menyambar ke arah gento. Angin
keras menderu menerjang ke arah Gento. Pemuda
ini tak tinggal diam, dia menghantam ke depan
menyambuti serangan empat tangan yang datang
susul-menyusul disertai sambaran kuku-kukunya
yang hijau panjang mengerikan. Hawa dingin me-
nyengat yang melesat dari dua puluh kuku jari
tangan ke bagian tubuh pemuda ini membuatnya
terpaksa menarik kedua tangannya kembali. Dia
lalu jatuhkan diri, sambil bertumpu pada kedua
tangan begitu terjatuh kakinya melesat menghan-
tam perut mahluk aneh Maut Biru.
Buuk!
Tendangan yang keras tepat mendarat di
bagian perut Maut Biru. Tapi tendangan itu
hanya membuat mahluk berkepala empat berleh-
er panjang hanya terhuyung. Gento sendiri meringis kesakitan, terguling-guling dia pegangi ka-
kinya yang dipergunakan untuk menendang.
"Trondolo, bagaimana tubuh mahluk sialan
ini bisa keras melebihi batu?" desis si pemuda
tercengang. Tanpa menghiraukan kakinya yang
terasa sakit bukan main, Gento Guyon begitu
bangkit sambil terhuyung-huyung segera mele-
paskan salah satu pukulan yang sangat diandal-
kannya. Laksana kilat tangan kiri kanan dihan-
tamkannya ke arah Maut Biru. Sinar putih laksa-
na kilauan perak bergulung-gulung menghantam
ke arah Maut Biru. Empat mulut membuka kelu-
arkan suara menggerung. Dua tangan berkelebat
ke depan menyambuti.
Bumm! Buuum!
Benturan yang sangat keras menimbulkan
ledakan berdentum mengguncang puncak bukit.
Di depan sana Maut Biru nampak terhuyung. Da-
danya yang berwarna biru mengepulkan asap,
bagian dada hangus gosong. Tapi begitu tangan
Maut Biru yang menghadap ke bagian belakang
mengusap dada itu, luka hangus lenyap tidak
meninggalkan bekas. Melihat ini Gento yang sem-
pat jatuh berlutut akibat bentrokan pukulan den-
gan lawan nampak belalakkan mata sedangkan
mulut ternganga lebar. Seakan tidak percaya den-
gan penglihatan sendiri dia mengusap matanya
sampai dua kali.
Di depannya sana Maut Biru menggeram,
empat kepala digelengkan. Sambil keluarkan sua-
ra teriakan melengking tinggi laksana merobek
langit, Maut Biru melesat ke arah Gento. Empat
tangan berkelebat menyambar ke arah si pemuda
dengan jemari terpentang. Kuku-kuku yang ber-
warna kebiruan dan berkeluk itu siap mencabik-
cabik. Di saat itu Gento langsung menggulingkan
diri ke samping, sementara tangannya meraih
Penggada Bumi yang terselip di sebelah kiri ping-
gangnya. Senjata maut yang sangat kecil dan cu-
ma sepanjang dua jengkal langsung dipukulkan
ke tanah hingga mengeluarkan suara ledakan
berdentum. Begitu senjata menyentuh tanah ma-
ka, gada berwarna kuning kemilau itu langsung
berubah panjang dan semakin membesar.
Tanpa menunggu kuku-kuku lawan men-
cabik tubuhnya gada itu diayunkan kemudian ba-
ru digerakkan ke depan ke arah empat tangan
Maut Biru. Terdengar suara bergemuruh hebat,
hawa panas menghampar seakan tempat itu kini
telah berubah menjadi lautan api. Maut Biru ke-
luarkan suara raungan keras, meskipun tubuh-
nya laksana terpanggang akibat pengaruh senjata
lawannya. Tapi dia teruskan serangannya. Sebe-
lum kedua puluh kuku beracun mencapai sasa-
ran, dua tangannya yang berada begitu dekat
dengan Gento terhantam senjata pemuda itu.
Tung! Tang! Tung!
Terdengar suara berkerontangan. Gento
menjerit keras, gada yang dipergunakan untuk
memukul lawan nyaris terpental lepas dari tan-
gannya. Kejut di hati pemuda ini bukan kepalang,
betapa tidak? Senjata di tangannya seakan menghantam potongan besi baja, walaupun sempat
tersurut mundur, namun Maut Biru tidak menga-
lami cidera sedikitpun. Malah mahluk mengerikan
itu sunggingkan seringai aneh. Dua kakinya me-
langkah mendekati Gento.
"Kampret betul. Kuhajar dengan pukulan
dia tidak cidera, kuhantam dengan senjata dia ti-
dak mati. Mahluk terkutuk ini ternyata memiliki
kekebalan yang sangat luar biasa. Apa dayaku ki-
ni!" batin Gento dalam hati. Dia kemudian simpan
senjata ke tempat semula. Begitu melihat empat
kepala mahluk mengerikan ini dia punya dugaan
mungkin kelemahan Maut Biru terletak di bagian
kepala. Sehingga dia pun kemudian melompat
tinggi, begitu tubuhnya meluncur dalam posisi
berdiri, dua kaki langsung ditendangkan ke depan
tepat di bagian kepala Maut Biru. Tepat seperti
dugaannya, begitu melihat kaki lawan melesat ke
bagian kepala disertai sambaran angin deras
Maut Biru melompat ke samping sambil lindungi
empat kepalanya.
"Rupanya hanya tangan dan tubuhmu saja
yang atos, sedangkan kepalamu empuk. Akan
kuhancurkan empat kepalamu!" teriak si pemuda
sambil terus memutar arah tubuhnya ke arah di
mana lawan berada. Selagi dua tangan sibuk me-
lindungi ke empat kepala itu, maka dua tangan
yang lainnya secara tak terduga menyambuti ten-
dangan kaki lawan. Sepuluh jari dijentikkan. Se-
puluh larik sinar biru menderu bergulung melibat
kaki Gra mendapat serangan ini tentu saja Gento tak
dapat berbuat banyak. Satu-satunya yang dapat
dilakukan pemuda ini adalah menggunakan tena-
ga luncuran kakinya sendiri dengan mengayun-
kan kaki yang tadinya menendang berbalik ke
atas. Sangat disayangkan secepat apapun gera-
kan penyelamatan itu dilakukannya, sepuluh la-
rik sinar biru yang sebenarnya merupakan lem-
pengan tipis bergerigi menyerupai plat baja telah
menggulung tubuhnya mulai ujung kaki hingga
ke bagian bahunya.
Tak ayal pemuda ini pun jatuh bergedebu-
kan. Pemuda ini meraung hebat, bukan karena li-
litan lempengan tipis bergerigi itu, melainkan aki-
bat hawa dingin yang menjalar dari lempengan
seperti spiral yang mengikat tubuh Gento me-
nyengat tubuhnya. Pemuda ini tentu tidak mau
mati konyol dengan tubuh membeku, diam-diam
dia kerahkan tenaga luar dalam untuk memu-
tuskan pilinan yang membelit tubuhnya. Tapi la-
gi-lagi dia0 dibuat tercengang karena lempengan
tali yang mengikat tubuhnya ternyata tidak dapat
diputuskan.
"Hik... hik... hik! Sekarang kau bisa ber-
buat apa? Kau akan kuseret dan kujebloskan ke
dalam ruangan khusus sebelum Yang Agung
menjatuhkan hukuman atasmu!" kata Maut Biru
sambil tersenyum mengejek.
"Maut Biru... sebelum kau membawaku ke
Kuil Setan, aku punya satu pertanyaan untuk-
mu!" kata Gento.
"Sebenarnya aku tidak pernah menjawab
pertanyaan siapapun. Apalagi seorang tawanan
sepertimu." kata Maut Biru. "Tapi untukmu tidak
mengapa, apa yang hendak kau tanyakan lekas
katakan?!" ujar Maut Biru tidak sabar.
"Pertanyaanku mudah saja. Di dalam Kuil
Setan apakah kau pernah melihat seorang gadis
berpakaian putih, namanya Ambini, cantik mem-
pesona." ujar Gento menerangkan ciri-ciri gadis
itu.
"Hik... hik... hik. Begitu banyak gadis mati
penasaran di Kuil Setan. Di antaranya ada yang
dijadikan korban persembahan di malam Sabtu
Kliwon. Korban akan terus diberikan untuk Yang
Agung, mungkin gadis yang kau sebutkan akan
dijadikan korban berikutnya!" kata Maut Biru.
"Jahanam terkutuk. Aku tidak bertanya
padamu tentang segala macam persembahan,
yang kau harus jawab apakah sahabatku Ambini
ada di dalam sana?" teriak Gento sambil meronta-
ronta,
"Mengenai temanmu itu, hik... hik... hik.
Aku melihatnya berada di salah satu ruangan pe-
nyiksaan. Kulihat dia dibawa oleh seorang laki-
laki berpakaian merah bertangan hitam legam."
menerangkan Maut Biru.
Terkejutlah pemuda ini mendengarnya, se-
kujur tubuh Gento mendadak berubah menegang,
dadanya bergemuruh. Wajah pemuda itu merah
padam menahan marah, sedangkan rahangnya
bergemeletukan. "Berpakaian merah bertangan
hitam! Hemm... siapa lagi orang dengan ciri-ciri
seperti yang disebutkan oleh mahluk terkutuk ini
kalau bukan Si Tangan Sial!" geram si pemuda.
Dia mencoba berpikir, mereka-reka apa kiranya
gerangan yang terjadi pada sahabatnya Si Tangan
Sial sehingga dia begitu tega menculik dan mela-
rikan Ambini ke tempat laknat ini. "Dalam kea-
daan waras pikiran tak mungkin paman Tangan
Sial melakukan tindakan sekeji itu. Melalui pesan
yang ditinggalkan dia bahkan mengatakan men-
ginginkan diriku. Keparat mana lagi ini yang
punya ulah?" gerutu si pemuda.
"Aku telah menjawab pertanyaanmu, seka-
rang kau harus ikut denganku!" kata Maut Biru.
Selesai berkata tanpa memberi kesempatan pada
Gento untuk bicara dia langsung menyambar tu-
buh si pemuda. Gento kemudian merasakan tu-
buhnya laksana dibawa terbang melewati gumpa-
lan kabut yang menyelimuti Kuil Setan.
10
Datuk Labalang dibaringkan di atas se-
buah meja batu panjang berwarna hitam. Tubuh-
nya selain dalam keadaan terikat benang merah
juga dalam keadaan tertotok. Sehingga sedikit
pun Datuk yang memiliki badan tinggi luar biasa
tak dapat digerakkan sama sekali.
Kini dalam keadaan tidak berdaya kakek
setinggi galah hanya dapat memandang dengan
mata mendelik ke arah sosok merah berleher dan
berkepala empat yang terus mengawasinya. "Mah-
luk jahanam terkutuk. Cepat lepaskan aku!" seru
Datuk Labalang dengan suara keras menggeledek.
Mahluk yang memiliki tubuh serba merah dan di-
kenal dengan julukan Maut Merah hanya sung-
gingkan seringai mengejek.
"Aku Maut Merah hanya patuh pada perin-
tah Yang Agung. Perintahmu tidak berlaku bagi
diriku!" sahut sosok berkepala empat bermata
tunggal pada masing-masing wajahnya.
Melihat sikap dan jawaban Maut Merah ke-
geraman si kakek tinggi semakin menjadi-jadi.
Tubuh si kakek kemudian menggeliat mencoba
melepaskan totokan yang bersarang di bagian
punggung dan juga kakinya. Usaha yang dilaku-
kannya ini tidak mendatangkan hasil, malah em-
pat benang merah yang melibat tubuhnya akibat
adanya pergerakan membuat si kakek merasa
semakin sulit bergerak.
"Mahluk terkutuk ini menggunakan benang
apa? Semakin aku menggerakkan tubuhku be-
nang semakin menyusut. Libatan benang ini bisa
memotong daging dan tulangku." Membatin Da-
tuk Labalang. Dia terdiam sejenak, mencoba ber-
pikir mencari jalan keluar. "Mungkin segalanya
baru bisa ku atasi jika aku dapat membebaskan
totokan laknat di punggungku. Sambil tetap
memperhatikan gerak-gerik mahluk merah yang
berdiri tak jauh di sampingnya, diam-diam si ka-
kek tinggi kerahkan tenaga dalamnya. Hawa panas mengalir deras dari bagian pusarnya. Di sini-
lah pusat pengendalian tenaga dalam bersumber.
Tak lama kemudian tenaga dalam yang mulai
mengalir deras ke sekujur tubuhnya langsung di-
arahkan ke bagian punggung serta kaki yang dito-
tok lawannya.
Bess! Bees!
Terdengar suara letupan dua kali berturut-
turut, totokan berhasil dipunahkan di luar sepen-
getahuan mahluk merah. Datuk Labalang, salah
satu pentolan tokoh sakti dari tanah Andalas me-
rasa lega. Begitu merasa tubuhnya bebas berge-
rak dan aliran darah di sekujur tubuhnya menja-
di normal kembali, maka Datuk Labalang segera
menghimpun tenaga saktinya untuk memutuskan
empat benang merah yang melibat dan mengikat
ketat tubuhnya. Si kakek menarik nafas. menghi-
tung sampai pada bilangan ketiga. Otaknya ber-
pikir begitu benang dapat diputuskannya, maka
kaki kirinya yang berada dekat dengan Maut Me-
rah segera dihantamkan. Satu hantaman dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi masakan tidak
mampu membuat tubuh Maut Merah hancur. Pal-
ing tidak membuat mahluk menjijikkan itu terlu-
ka parah. Apalagi di bagian kakinya yang dialiri
tenaga dalam itu sengaja dipersiapkan satu ten-
dangan maut yang mengandung racun ganas
mematikan.
Datuk Labalang yang memiliki gelaran Da-
tuk Penguasa Tujuh Telaga menahan nafas, dia
menghitung sampai pada bilangan ketiga. Setelah
itu seluruh kesaktian dan kemampuan dikerah-
kan, dipusatkan pada empat titik di mana empat
benang merah melibat tangan kaki juga perutnya.
Des! Des! Des! Dees!
Empat sentakan keras menghantam ke
empat benang dari bagian dalam. Asap tebal
mengepul dari empat bagian benang yang dihan-
tam kekuatan tenaga dalam. Semua ini luput dari
perhatian Maut Merah karena perhatian mahluk
berkepala empat itu sedang tertuju ke salah satu
pintu merah yang terdapat di seberang ruangan.
Akan tetapi kenyataan yang dihadapi Da-
tuk Labalang sungguh membuatnya terkejut be-
sar.
Hantaman tanpa gerak tapi mengandalkan
tenaga sakti sama sekali tidak menghasilkan apa-
apa. Ke empat benang merah itu jangankan pu-
tus, bergeserpun tidak.
"Keparat terkutuk! Belum pernah aku me-
lihat benang sekecil ini mengandung kesaktian
hebat. Padahal aku telah mengerahkan seluruh
tenaga sakti yang kumiliki. Dengan tenaga sebe-
sar itu, aku sanggup membongkar gunung. Tapi
benang celaka ini sungguh tak bisa dianggap
mainan." rutuk Datuk Labalang. Kakek berusia
sembilan puluh tahun ini tidak sadar, bahwa aki-
bat libatan benang merah yang mengandung
mantra-mantra gaib itu, dia tidak dapat menggu-
nakan seluruh kesaktian yang dimilikinya. Empat
benang yang melibat tubuhnya melumpuhkan se-
dikitnya setengah dari seluruh kekuatan yang
ada.
"Celaka... ini merupakan kecelakaan besar
bagi seorang Datuk sepertiku. Jika seteruku di
tanah Andalas tahu aku kena dikerjai oleh mah-
luk pengawal keparat itu, aku bisa mendapat ma-
lu besar. Mereka pasti akan mentertawai Datuk
Penguasa Tujuh Telaga! Sial betul rupanya hidup
ini." gerutu si kakek. Dengan mata nyalang Datuk
Labalang melirik ke arah Maut Merah. Dilihatnya
mahluk merah itu keluarkan suara racauan aneh.
Entah apa maksudnya ke empat mulut itu komat-
kamit seperti orang gila, si kakek tinggi tidak per-
duli. Di saat dirinya mengalami jalan buntu se-
perti itu, mendadak dia ingat seseorang.
Seorang pemuda yang di pinggangnya di-
penuhi kantong tempat makanan, berbadan hi-
tam legam dipenuhi bulu, bermuka seperti mo-
nyet besar, berperut buncit, berpusar bodong.
Sang Datuk gelengkan kepala keras. "Mengapa
mahluk keparat tukang makan itu yang muncul
dalam pikiranku. Pembantu tolol seperti dia
mampus sekalipun tidak ku pikirkan!" rutuk sang
Datuk. Tapi setelah ingat dengan segala pengab-
dian yang diberikan oleh Memedi Santap Segala
alias Mahluk Tangan Rembulan, kemarahan sang
Datuk agak mereda. Kini dia berkata lain. "Kasi-
han juga dia. Dia terperosok dalam jebakan cela-
ka itu semua semata-mata karena demi memban-
tu diriku. Dia begitu jujur, polos dan bersikap apa
adanya. Aku juga sering bersikap kasar padanya.
Akh... Memedi Santap Segala, maafkan diri si tua
bangka ini. Mungkin aku telah banyak melaku-
kan kesalahan padamu, sehingga nasibku jadi
seperti ini." kata si kakek setengah meratap. Se-
pasang matanya yang merah membara bila bera-
da dalam kegelapan kini berubah kuyu. Walau-
pun begitu hatinya tetap tegar. Apalagi dia punya
prinsip, selalu terbuka kesempatan dalam kea-
daan sesempit apapun.
"Kesempatan...! Kesempatan itu memang
sangat kutunggu!" kata sang Datuk.
Segala apa yang dipikirkan kakek setinggi
galah mendadak lenyap begitu terdengar satu su-
ara mengguntur di dalam ruangan itu.
"Maut Merah! Aku berkenan menjumpai
mu, bila aku telah unjukkan diri maka katakan
segala apa yang ingin kau sampaikan!"
"Yang Agung! Yang Agung sudah datang!"
kata empat mulut dari mahluk aneh itu secara
serentak. Datuk Labalang segera menoleh dan
memandang ke arah suara menggeledek tadi Dia
masih belum melihat apa-apa. Tapi pintu merah
di seberang ruangan sana mengeluarkan suara
bergemeletakan seperti benda berat yang bergeser
dan melindas tulang-belulang. Kenyataannya pin-
tu merah memang bergeser membuka, Semakin
lama semakin bertambah lebar. Sehingga di balik
pintu yang terbuka itu terlihatlah satu cahaya
merah menyilaukan memancar dari balik pintu.
Selain cahaya merah itu terlihat pula asap tebal
bergulung-gulung keluar memenuhi bagian depan
pintu batu tersebut.
Di samping Datuk Labalang, mahluk aneh
yang berdiri tegak di situ langsung jatuhkan diri
berlutut menghadap ke arah pintu yang terbuka.
Karena dia membungkukkan badan, maka dua
wajahnya yang lain yang menghadap ke belakang
kini nampak menghadap ke arah si kakek. Orang
tua ini menggeram begitu melihat dua mata dari
dua kepala yang nampak berkedip-kedip. Dengan
cepat dia meludahi wajah Maut Merah.
"Jahanam keparat! Kau meludahi dua wa-
jahku yang lain. Kelak kematianmu akan kubuat
sesulit mungkin!" geram Maut Merah. Dalam kea-
daan menyembah memberi hormat dia melompat
menjauh dari meja batu di mana Datuk Labalang
tergeletak di situ. Rupanya dia takut si kakek se-
tinggi galah meludahinya lagi. Datuk Labalang
tertawa tergelak-gelak, sementara tatap matanya
tetap tertuju ke arah pintu di seberang ruangan
yang terbuka.
"Maut Merah," kembali satu suara berku-
mandang. "Aku mencium bau mahluk lain, tidak
satu tapi ada beberapa orang,"
"Benar Yang Agung. Sekarang aku me-
nunggu keputusanmu!" sahut mahluk merah ber-
kepala empat. Dia kemudian angkat dua kepa-
lanya yang menghadap ke depan. Sementara itu
dari dalam pintu yang terbuka muncul satu sosok
samar di antara siraman cahaya serta kepulan
asap tebal. Semakin lama sosok itu semakin
mendekati mulut pintu. Sampai di depan pintu
dia berdiri tegak. Datuk Labalang kini dapat melihat satu sosok berjubah merah mirip mantel yang
bagian atasnya menutupi kepala sosok itu. Jubah
sosok itu panjang menjela sehingga bagian ka-
kinya tidak kelihatan tertutup jubah. Dua lengan
jubahnya terkembang, bagaikan burung rajawali
yang merentangkan sayapnya. Lengan jubah itu
sangat lebar dan longgar sekali. Sungguh pun be-
gitu Datuk Labalang dapat melihat bagian tan-
gannya. Kedua tangan tidak dapat dikatakan tan-
gan. Karena tangan itu sama sekali tidak terbalut
kulit maupun daging. Tangan itu hanya berupa
tulang memutih dengan tulang-tulang jari seperti
hendak bertanggalan. Bagian badan sosok itu
sama sekali tidak terlihat karena tertutup lapisan
pakaian dalam yang juga berwarna merah. Se-
dangkan wajah yang ditutupi topi jubah hanya
berupa tengkorak putih dengan dua buah rongga
mata yang menganga lebar dengan bagian hidung
gerumpung tak berdaging. Selain itu bagian gi-
ginya juga terlihat jelas, karena baik pelipis mau-
pun bagian bibirnya tidak ada sama sekali.
"Sosok berjubah merah itu, tidak salahkan
penglihatanku? Tubuhnya hanya terdiri dari tu-
lang-belulang, tanpa kulit tanpa daging. Tapi ba-
gaimana dia bisa berjalan dan bisa bicara?" mem-
batin sang Datuk dalam hati. "Semuanya sung-
guh sulit untuk dapat kupercaya. Terlalu banyak
kejadian aneh di Kuil Setan ini?"
Untuk beberapa saat lamanya si kakek
tinggi tak berani bergerak apalagi keluarkan sua-
ra. Tengkuknya laksana es, sedangkan tubuh
orang tua itu berubah dingin. Perasaan tegang
dan cemas menjalari hati sang Datuk. Seumur
hidup baru kali ini dia merasakan takut yang de-
mikian hebat. Kini dia hanya memandang, me-
nunggu apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Di seberang ruangan sana, sosok berjubah
merah ternyata hentikan langkahnya setelah
sampai di ambang pintu. Dua rongga matanya
yang lebar menghitam memandang tak berkesip
ke arah Datuk Labalang. Seperti rongga yang ko-
song melompong itu memiliki mata saja sosok itu
berkata. "Apa yang dikehendaki oleh manusia
tinggi ini, Maut Merah sehingga dia begitu berani
mempertaruhkan nyawanya dengan datang ke si-
ni?"
"Yang Agung. Dia punya satu keinginan
yaitu meminta pusaka Bintang Penebar Petaka!"
sahut Maut Merah tanpa berani menatap pada
sosok tengkorak berjubah yang berdiri di ambang
pintu yang diselimuti asap tebal di seberang
ruangan sana.
"Ha... ha... ha! Jika itu keinginannya, sen-
jata laknat itu boleh kau serahkan padanya!" kata
Yang Agung. Mendengar ucapan sosok berjubah
merah perasaan Datuk Labalang menjadi lega,
"Tapi Yang Agung...!" Maut Merah nampak
berusaha membantah. Suaranya mendadak le-
nyap karena yang Agung cepat memotong.
"Aku belum selesai bicara, Maut Merah.
Kau dengar Bintang Penebar Petaka boleh kau se-
rahkan padanya, tapi nanti setelah nyawanya kau
kirim ke neraka. Tua bangka itu tubuhnya sangat
panjang sekali. Jika dijadikan kayu bakar untuk
membuat sebuah senjata tentu sangat baik sekali!
Ha... ha... ha." kata Yang Agung.
Di tempatnya tergeletak di mana sang Da-
tuk merasa dirinya tidak berdaya merutuk. "Mah-
luk jahanam celaka. Sekarang kau boleh bicara
sesuka hatimu. Tapi begitu aku dapat kesempa-
tan melepaskan diri, Kuil Setan ini akan ku rata-
kan dengan tanah dan tubuhmu yang terdiri dari
rongsokan tulang akan ku lebur jadi debu!"
"Lalu apa yang akan Yang Agung lakukan?"
tanya Maut Merah yang sama sekali tidak pernah
menoleh ke arah Datuk Labalang.
"Hak... hak... hak! Tahun ini aku akan
membuat satu pesta yang lain dari yang sudah-
sudah. Aku ingin membuat satu acara persemba-
han buat diriku sendiri di tempat terbuka di de-
pan kuil. Kau perintahkan pada penjaga lainnya
untuk membuat api unggun besar. Bawa semua
orang tangkapan ke depan kuil. Terkecuali gadis
cantik berbaju putih yang dibawa sahabat murid-
ku. Hukuman baginya belum ku putuskan. Pada
malam sabtu Kliwon ini aku ingin membasuh pu-
saka Bintang Penebar Petaka dengan darah para
tetamu yang tidak diundang! Tunggu apalagi
Maut Merah. Seret dia keluar!" perintah Yang
Agung.
"Perintah yang mulia dilaksanakan!" jawab
mahluk merah berkepala empat. Dengan dua tan-
gannya yang menghadap ke bagian punggung
Maut Merah menyeret Datuk Labalang keluar dari
dalam ruangan.
"Mahluk jahanam. Aku diperlakukannya
seperti binatang. Kapan aku dapat meloloskan di-
ri akan kupesiangi tubuhnya!" rutuk Datuk Laba-
lang sengit. Tubuh si orang tua yang panjang dan
besar terus diseret melewati lorong panjang dan
gelap. Sementara mahluk merah yang menyeret-
nya terus keluarkan suara racauan yang tidak je-
las.
Belum lagi sosok merah itu beranjak dari
depan pintu, di dalam ruangan itu muncul seo-
rang pemuda berwajah buruk berpakaian merah
serta seorang gadis berpakaian tipis berwajah
cantik laksana bidadari. Kedua orang ini begitu
memasuki ruangan langsung membungkukkan
badan, rangkapkan dua tangan lalu menjura
hormat. Setelah itu baru keduanya duduk berlu-
tut.
"Dalam hidupnya manusia punya tiga kali
kesempatan untuk meraih apa yang diinginkan-
nya. Kalian berdua adalah calon penguasa. Pen-
guasa besar di dunia kegelapan. Aku tidak me-
manggil kalian untuk menghadap. Mengapa ka-
lian datang ke ruangan ini?" tanya Yang Agung.
Si wajah buruk Maut Tanpa Suara dan si
cantik Dwi Kemala Hijau saling berpandangan
untuk beberapa jenak lamanya. Maut Tanpa Sua-
ra beringsut lebih ke depan. Sekali lagi dia laku-
kan sikap seperti orang menyembah seorang raja.
11
Sekejap kemudian Maut Tanpa Suara su-
dah mengangkat wajahnya kembali. Mulut pemu-
da buruk rupa ini berucap. "Yang Agung, junjun-
gan dari segala kehormatan. Terus terang kami
datang menghadap karena memang merasa
punya satu kepentingan yang harus dibicarakan.
Kepentingan itu menyangkut urusan sahabat ka-
mi Si Tangan Sial." ujar si pemuda berpakaian
serba merah yang di bagian keningnya terdapat
satu buah lubang menganga hitam dan di dalam
lubang di kening mendekam satu kepala mahluk
berupa ular berwarna hitam.
Sosok berjubah merah menjela yang ujud-
nya hanya terdiri dari tulang-belulang mengerikan
dongakkan kepala, begitu kepala memandang ke
langit-langit terdengar suara tulang bergemereta-
kan.
"Apa yang diinginkan oleh sahabatmu itu
anak manusia calon penguasa? Apakah dia ingin
kawin dengan mahluk alam roh, ataukah dia
menghendaki arwah seorang gadis yang mati pe-
nasaran?" tanya sosok berjubah merah Yang
Agung.
"Bukan itu yang dia maui, Yang Agung."
kata Dwi Kemala Hijau ikut menimpali. "Sahabat
kami itu menghendaki senjata Bintang Penebar
Petaka! Hanya engkau yang punya kuasa di tem-
pat ini, aku sama sekali tidak bisa memutuskan!"
"Hak... hak... hak!" Sosok mengerikan itu
tertawa tergelak-gelak, rongga matanya yang bo-
long melompong memperhatikan dua muridnya
silih berganti.
"Si Tangan Sial!" berkata Yang Agung. "Sa-
tu nama yang sepanjang hidupnya dirundung
kemalangan. Aku tahu dia masih sahabat kalian.
Tapi terus terang senjata yang dimintanya tak da-
pat kuberikan." kata sosok merah bertopi mantel
merah sambil gelengkan kepala.
Mendengar jawaban guru mereka, sekali-
gus sesepuh yang paling dihormati di Kuil Setan
tentu saja Maut Tanpa Suara jadi terkejut. Dia
yang sangat memperhatikan permintaan Si Tan-
gan Sial tentu menjadi heran mengapa Yang
Agung tak dapat meluluskan permintaannya. Se-
baliknya Dwi Kemala Hijau hanya bersikap te-
nang saja.
"Yang Agung, engkau adalah guruku. Jun-
jungan dari para setan gentayangan, panutan dari
para roh sesat. Mengapa tidak dapat meluluskan
permintaan sahabatku itu?" tanya Maut Tanpa
Suara seakan merasa tidak puas dengan jawaban
gurunya.
"Apakah yang dimintanya?" tanya Yang
Agung lagi.
"Seperti yang sudah kukatakan, dia me-
minta senjata Bintang Penebar Petaka!" sahut
Maut Tanpa Suara.
Sosok berjubah merah yang masih tetap
berdiri di depan pintu yang terus-menerus diselimuti asap tebal bergulung-gulung terdiam seje-
nak. Dari mulutnya yang cuma berupa gigi-gigi
memutih terdengar suara bergumam. Suara itu
terus terdengar sampai kemudian terhenti sendiri.
Setelah itu Yang Agung kembali ajukan perta-
nyaan. "Sahabatmu itu kulihat begitu dekat den-
gan dirimu. Aku ingin tahu senjata itu diperguna-
kan oleh siapa dan untuk tujuan apa?"
Mendapat pertanyaan seperti itu Maut
Tanpa Suara menjawab seperti apa yang dikata-
kan oleh Si Tangan Sial. "Senjata itu akan diper-
gunakan oleh Si Tangan Sial untuk membunuh
musuhnya yang bernama Dewa Penyanggah Lan-
git." ujar pemuda buruk rupa ini.
"Mengapa dia hendak membunuh mahluk
yang satu itu?" Yang Agung kembali ajukan per-
tanyaan.
"Aku tidak tahu. Tapi menurutnya dia
punya persoalan pribadi dengan orang itu. Mung-
kin sahabatku Si Tangan Sial tak sanggup meng-
hadapi manusia sakti itu hingga dia minta bantu-
anku!"
"Ha... ha... ha! Aku Yang Agung, aku ada-
lah penguasa. Muridku Maut Tanpa Suara, aku
punya firasat sahabatmu itu kali ini telah berani
menipu. Semua alasan yang dikatakannya tidak
benar. Senjata itu bukan untuk dipergunakannya
untuk menghadapi Dewa Penyanggah Langit. Dia
tak punya silang sengketa dengan tokoh dari ti-
mur itu. Ya... aku kini melihat, Si Tangan Sial sa-
habatmu itu sebenarnya sedang berada di bawah
tekanan seseorang. Seseorang yang menghendaki
senjata pembawa petaka. Si Tangan Sial menjum-
pai mu itu adalah manusia yang sedang sakit.
Kau harus menangkapnya, kau harus temukan
penyakitnya. Jika penyakit yang mendekam di
tubuhnya tak dapat kau temukan, sebaiknya ba-
wa dia ke altar persembahan!" tegas Yang Agung.
Mendengar ucapan sosok berjubah merah,
bukan hanya Maut Tanpa Suara saja yang men-
jadi kaget, tapi Dwi Kemala Hijau juga terkesiap.
Dia tahu apa arti ucapan gurunya. Setiap orang
yang dibawa ke altar, berarti kematian orang itu
telah ditentukan. Karena itu si gadis berucap.
"Guru titah mu di atas segala. Tapi tidakkah guru
punya pertimbangan lain. Jika sahabat kami se-
dang sakit apakah tidak sebaiknya kita sembuh-
kan saja!" ujar si gadis.
Yang Agung mendengus. "Segala sesuatu
yang ada hubungannya dengan kalian jangan di-
kaitkan dengan diriku. Di Kuil Setan yang berlaku
adalah peraturanku!" tegas sosok berjubah me-
rah.
"Baiklah, lalu bagaimana dengan pemuda
yang diringkus oleh Maut Biru. Menurut penga-
kuan Si Tangan Sial dia adalah salah seorang
musuhnya yang harus dibunuh!" tanya Maut
Tanpa Suara.
"Ha... ha... ha. Ketika bicara sahabatmu itu
sedang sakit, keadaannya antara sadar dan tiada.
Padahal yang sesungguhnya mereka adalah ber-
sahabat. Hanya temanmu itu telah terpengaruh
oleh satu kekuatan, kekuatan yang mendekam
dalam dirinya sehingga dia tidak dapat memper-
gunakan kewarasan otaknya untuk berpikir. Pe-
muda itu sebaiknya kau pendam di dalam ruan-
gan penyiksaan. Kumpulkan dia bersama gadis
itu. Jika Tangan Sial telah kau tangkap, bawa la-
ki-laki itu ke luar kuil ikat di satu tiang, setelah
itu baru acara persembahan terhadap diriku di-
mulai."
"Pemuda itu bagaimana guru?" tanya Dwi
Kemala Hijau.
"Pemuda itu datang mencari sahabatnya
yang dilarikan Si Tangan Sial. Sama seperti yang
lainnya, mereka juga harus dikorbankan. Mereka
harus dibunuh. Jika kelak mereka mati, satukan
jasad mereka dalam satu kubur. Kesetiaan mere-
ka satu sama lain sebagai seorang sahabat patut
menjadi contoh bagi kalian semua yang berada di
dalam kuil ini."
Maut Tanpa Suara terdiam sejenak. Sete-
lah itu dia lalu kembali berkata. "Guru Yang
Agung, jika saja aku boleh meminta?" ujar si pe-
muda.
"Katakan apa permintaanmu? Cepatlah,
waktuku tidak lama aku ingin beristirahat di
tempat keabadian." sergah Yang Agung.
"Begini, aku ingin sahabatku Si Tangan Si-
al dibebaskan dari kematian?" ujar Maut Tanpa
Suara sangat berhati-hati sekali.
"Ha... ha... ha. Anak-anak manusia yang
tolol. Kau tidak tahu apa yang aku ketahui. Sahabatmu itu bisa saja terlepas dari apa yang telah
menjadi keputusanku, asalkan kau mau meng-
gantikannya!" tegas Yang Agung.
Terkejutlah Maut Tanpa Suara mendengar
semua ini. Dia akhirnya diam membisu. Sementa-
ra Dwi Kemala Hijau sendiri diam-diam di hatinya
timbul keinginan untuk melihat pemuda yang
oleh gurunya disebut-sebut sebagai sahabat seo-
rang gadis bernama Ambini.
"Murid-muridku, apa yang kalian tanyakan
telah pun kalian ketahui jawabannya. Pesanku,
bersihkan bagian dalam maupun di bagian luar
Kuil Setan dari orang-orang yang menginginkan
senjata Bintang Penebar Petaka. Jika mereka se-
mua telah kalian tangkap, kumpulkan di depan
pintu kuil. Nantinya mereka semua harus dibu-
nuh!" tegas Yang Agung.
"Perintah Yang Agung akan kami jalankan!"
jawab Dwi Kemala Hijau dan Maut Tanpa Suara
serentak.
Sosok tengkorak yang memakai jubah me-
rah ini tertawa tergelak-gelak. Dia kemudian ba-
likkan badan. Setelah itu sosok Yang Agung me-
langkah menjauhi pintu. Sosok berjubah merah
ini kemudian lenyap di balik gemerlap sinar me-
rah bertaburan juga gumpalan asap tebal. Pintu
batu serba merah perlahan bergeser menutup
disertai dengan getaran dahsyat menggemuruh.
Maut Tanpa Suara beberapa saat lamanya tengge-
lam dalam kebisuan. Dwi Kemala Hijau menarik
nafas pendek, dia lalu bangkit berdiri.
"Engkau hendak berada di sini selamanya,
saudaraku?" satu pertanyaan meluncur keluar
dari bibir mungil si gadis.
Perlahan pemuda berwajah buruk itu ang-
kat kepala, sepasang matanya memandang ke
arah si gadis. Penampilan serta pakaian tipis yang
dikenakan gadis cantik itu sejenak lamanya sem-
pat mempengaruhi jalan pikiran dan juga pera-
saannya hingga membuat tubuh pemuda itu ber-
getar dilanda luapan gairah.
"Saudara seperguruan apakah kau tidak
mengerti?!" Kali ini suara si gadis cukup keras
hingga membuat Maut Tanpa Suara tersentak ka-
get.
"Aku... aku... mestinya sahabat Tangan Sial
tak perlu mati. Aku tak ingin melihat kematian-
nya. Saat ini aku ingin menyendiri di tempat ini!"
kata pemuda itu. Dwi Kemala Hijau gelengkan
kepala.
"Tidak! Kau tidak boleh berada di sini. Kau
harus mencari dan menangkapi orang-orang yang
berkeliaran di tempat kita ini! Sekarang juga kau
harus pergi. Sementara aku sendiri nanti akan
membuat persiapan untuk pesta acara persemba-
han yang nantinya akan dihadiri oleh para mah-
luk gentayangan untuk menghormati Yang
Agung!" ujar si gadis tegas.
"Baiklah, atur segalanya. Jika jalan piki-
ranku tak pernah berubah aku pasti ikut mem-
bantu!" jawab Maut Tanpa Suara. Dia kemudian
memandang ke arah si gadis. Tapi ternyata gadis
itu sudah lenyap dari hadapannya. Maut Tanpa
Suara akhirnya hanya menarik nafas pendek
sambil tinggalkan ruangan itu.
12
Diam menunggu di balik gerumbulan se-
mak belukar si kakek gendut Gentong Ketawa jadi
gelisah sendiri. Untuk yang kesekian kalinya dia
memandang ke arah kuil yang terletak di tengah
pedataran puncak bukit. Kuil Setan tetap tak ke-
lihatan, tertutup dalam saputan kabut tebal yang
terus bergulung-gulung tak mau diam bagaikan
pusaran air.
"Bocah keblinger tadi mengapa tak kun-
jung muncul. Apa yang dilakukannya di sebelah
timur kuil itu? Mungkin benar dia melibat bayan-
gan biru keluar dari kegelapan kabut yang menye-
limuti kuil. Lalu dia menemukan sesuatu, boleh
jadi dia bertemu dengan seseorang. Tapi siapa
yang dijumpainya, gadis cantik atau setan gen-
tayangan penunggu kuil itu?!" Si kakek gendut
membatin dalam hati. Dia kemudian memandang
ke arah timur puncak bukit, bayangan muridnya
ternyata masih belum terlihat sama sekali. Si ka-
kek gelengkan kepala. "Bocah edan, entah apa
yang dilakukannya di sana. Mungkin dia bertemu
dengan seorang gadis cantik. Aku tahu pemuda
seusia dia pasti suka iseng, apalagi bila bertemu
dengan gadis jelita. Jikapun benar aku tidak ambil perduli. Yang aku khawatirkan bagaimana jika
terjadi sesuatu dengannya? Di tempat seperti ini
apapun bisa saja terjadi secepat orang membalik-
kan telapak tangan." kata si gendut seorang diri.
Beberapa saat menunggu, si kakek jadi tidak sa-
bar. Dia kemudian bangkit berdiri.
"Iblis Racun Hijau juga manusia sialan.
Janjinya hendak menyusul ke sini. Tidak tahu
sampai sekarang dia tidak muncul juga! Dia in-
gkar janji, awas jika nanti dia muncul di sini akan
kubuat tubuhnya yang hijau menjadi hitam!"
Dengan bersungut-sungut si kakek tinggalkan
tempat persembunyiannya. Orang tua ini lalu
berkelebat ke arah sebelah selatan Kuil Setan.
Tak berapa lama kemudian dia di satu tempat di
mana dia melihat satu pemandangan yang sempat
membuatnya jadi terkejut.
"Sepertinya telah terjadi pertempuran sen-
git di sini. Aneh mengapa aku sampai tidak men-
dengar, padahal jarak tempat ini dengan tem-
patku bersembunyi tadi tidak begitu jauh." batin
si kakek. Merasa yakin muridnya telah terlibat sa-
tu perkelahian sengit di tempat itu. Lama Gentong
Ketawa berdiri tegak, sedangkan matanya me-
mandang berkeliling, liar mencari-cari. Sosok
sang murid tidak juga terlihat hingga menimbul-
kan satu kekhawatiran yang sangat luar biasa.
Bagaimana pun si kakek merasa sangat sayang
pada Gento, walaupun rasa sayang itu terkadang
tidak pernah diperlihatkan secara terang-
terangan. Sejak Gento masih kecil, mereka sudah
akrab karena antara murid dan guru ini banyak
memiliki persamaan dalam hal prilaku. Cemas
dengan kemungkinan buruk yang terjadi dengan
Gento Guyon maka si kakek gendut mulai berte-
riak memanggil-manggil muridnya.
"Gege... di manakah kau? Gege, kau den-
garkah suaraku ini?" seru si kakek sambil mem-
perhatikan setiap penjuru sudut. Gema suara te-
riakan si kakek lenyap begitu saja, suara angin
menderu tiada henti bagaikan suara siulan mah-
luk-mahluk gentayangan penghuni bukit. Sejenak
si gendut terdiam, sepasang matanya terus men-
gawasi. Karena dia tak kunjung mendapat jawa-
ban, si gendut Gentong Ketawa dengan perasaan
jengkel kembali berteriak. "Gege, bocah edan. Ku-
harap kau tidak mempermainkan tua bangka ini.
Aku sudah sangat lelah menunggu. Kalau kau
mendengar suaraku, sebaiknya cepat kau ke ma-
ri!"
Kembali suara teriakan lenyap tidak berbe-
kas. Kini dia mulai merasa yakin ada sesuatu
yang tidak beres telah terjadi pada diri sang mu-
rid. Membayangkan segala kemungkinan yang
dapat membahayakan keselamatan muridnya, ki-
ni si kakek gendut nampaknya harus masuk ke
dalam kuil menembus kepekatan kabut yang me-
nyelimuti kuil itu. Tapi si kakek mendadak men-
jadi bimbang. Dia berpikir bagaimana andai di ba-
lik kabut itu ada jebakan atau bahaya lain yang
sudah menunggu. Jika dia sampai terjebak, bu-
kan saja dia tidak dapat menyelamatkan Gento,
tapi bisa jadi dirinya juga bisa ikut celaka.
"Setan. begini sulitkah keadaannya?" geru-
tu si kakek seorang diri. Dia lalu bicara lagi. "Ke-
raguan tidak akan pernah menyelesaikan satu
masalah. Jikapun nantinya aku harus menya-
bung nyawa di Kuil Setan bagiku tidak menjadi
masalah, asalkan Gento dapat kutolong. Paling ti-
dak aku bisa melihat bocah konyol keblinger itu
sebelum aku menutup mata, lagi pula aku sudah
tua ini. Buat apa aku takutkan segala kematian?!
Ha... ha... ha." Si kakek gendut berkata dan ter-
tawa sendiri.
Selagi orang tua ini terkikik-kikik sambil
memegangi perut gendutnya yang bergoyang-
goyang, pada detik itu pula dari balik kabut yang
menyelimuti Kuil Setan terdengar suara teriakan
seseorang.
"Monyet gendut tidak berguna, apa yang
kau cari di situ? Mencari muridmu si monyet
gondrong yang tolol itu? Ha... ha... ha. Kini dia ti-
dak ubahnya seperti seorang pesakitan yang
hanya tinggal menunggu diadili." Suara teriakan
lenyap. Di balik kabut terdengar suara deru angin
keras. Kabut yang menyelimuti Kuil Setan tersi-
bak, sehingga sebagian bangunan kuil terlihat je-
las. Bersamaan dengan tersibaknya kabut itu dua
sosok bayangan tampak berkelebatan keluar, ber-
gerak cepat ke arah si kakek gendut kemudian je-
jakkan kakinya sejarak satu tombak di depan
orang tua itu. Sementara itu kabut yang sempat
terbuka tadi kini menutup kembali.
Beralih dari segala keanehan yang terjadi
pada kabut tadi, kini si kakek Gentong Ketawa
melihat di depannya telah berdiri seorang laki-laki
berpakaian merah bertangan hitam macam arang,
sedangkan di sebelah laki-laki itu berdiri satu so-
sok bertelanjang dada dengan sekujur tubuh ber-
warna kuning. Yang aneh juga mengerikan pada
sosok ini, baik tangan maupun kakinya ditumbu-
hi sisik kasar, selain itu dia juga mempunyai em-
pat leher panjang, pada masing-masing leher ter-
dapat satu kepala sebesar kepalan tangan orang
dewasa. Empat kepala itu hanya memiliki satu
buah mata, terletak di tengah-tengah kening. Ba-
gian hidung nyaris rata dan hanya memiliki satu
lubang. Sedangkan mulutnya sangat kecil sekali,
dengan gigi-gigi yang runcing tajam seperti taring.
Sungguhpun si kakek gendut sempat ter-
kejut melihat kemunculan mahluk serba kuning
ini. Tapi karena kedatangan mahluk aneh ini ber-
sama seseorang yang cukup dikenalnya. Sedikit
banyaknya rasa takut yang mendera dirinya sedi-
kit berkurang.
Kini perhatian si kakek gendut tertuju ke
arah laki-laki berpakaian serba merah. Lama dia
pandangi orang tua itu, melihat mata serta wajah
orang ini timbul satu tanda tanya besar di hati si
kakek gendut. "Tangan Sial yang kulihat hari ini
mengapa sangat lain dari yang sudah-sudah. Mu-
kanya pucat seperti orang kurang makan, mata
cekung kelelahan. Tapi mata itu menerawang ko-
song! Aku menduga mungkin telah terjadi sesuatu yang sangat hebat pada dirinya." kata si gen-
dut dalam hati.
"Tangan Sial? Bagaimana kau tiba-tiba bisa
muncul di sini? Kau rupanya telah berkomplot
dengan sekumpulan setan penghuni kuil?" tanya
si kakek gendut sambil menatap si baju merah
Tangan Sial dan sosok serba kuning berkepala
empat silih berganti.
"Ha... ha... ha, seperti yang sudah kukata-
kan kau monyet gendut tidak berguna. Kau ber-
putar di sekitar sini mencari muridmu, padahal
saat ini si Gento Guyon mungkin tubuhnya telah
menjadi sate dicabik-cabik oleh penguasa Kuil Se-
tan! Ha-ha... ha!" kata Si Tangan Sial.
Melihat sikap serta tutur kata Si Tangan
Sial yang sudah tidak lagi menggunakan tata
krama dan aturan, si kakek gendut sadar kalau
telah terjadi sesuatu yang tidak beres pada saha-
batnya itu. Bukannya tersinggung, Gentong Ke-
tawa malah tertawa tergelak-gelak.
"Tangan Sial, kalau kuperturutkan kata
hatiku, ingin rasanya kurobek kau punya mulut.
Jika ku turuti amarah, ingin pula kupecahkan
batok kepalamu. Tapi... ha... ha.., ha... kita ada-
lah sahabat. Seorang sahabat harus tetap sabar
mendengar kata-kata kasar yang diucapkan oleh
sahabatnya. Apalagi si sahabat saat ini sedang
menderita sakit ingatan." kata Gentong Ketawa.
Mulutnya memang tetap tertawa, namun saat itu
otaknya bekerja keras. "Dia mengatakan Gege su-
dah terperangkap di dalam Kuil Setan. Tapi aku
harus tahu tentang Ambini, barangkali Si Tangan
Sial yang benar-benar manusia sialan ini menge-
tahui keberadaan gadis itu. Si gendut usap wa-
jahnya, sambil tersenyum dia lalu ajukan perta-
nyaan. "Tangan Sial, mengenai muridku kurasa
sekarang sudah menjadi dendeng. Kulihat kau
mengenai kuil ini. Jika kau mengetahui seluk-
beluk Kuil Setan kurasa kau punya hubungan
tertentu dengan pemiliknya. Hem... ada satu hal
yang ingin kutanyakan padamu, apakah kau tahu
di mana Ambini?" tanya si kakek gendut.
Si Tangan Sial sempat berubah parasnya
begitu mendengar pertanyaan Gentong Ketawa,
dia sempat melirik ke arah sosok serba kuning
berkepala empat yang dikenal dengan nama Maut
Kuning. Mahluk mengerikan bertangan empat
dengan ujud yang tidak sempurna ini mengelua-
rkan suara gerengan dari empat mulutnya, kare-
na gerengan itu terdengar serentak maka sua-
ranya laksana merobek langit menggetarkan pun-
cak bukit.
Jika orang lain mungkin langsung lari ter-
birit-birit melihat dan mendengar erangan mahluk
itu, sebaliknya Gentong Ketawa malah tertawa
terbahak-bahak.
Beberapa saat setelah dia hentikan ta-
wanya si gendut berkata. "Tangan Sial, kau tidak
tuli, kau juga tidak gagu. Jawab pertanyaanku
atau kau ingin mahluk salah kaprah ini yang
memberikan jawaban atas semua yang kutanya-
kan?" ujar si kakek, walaupun dia masih bisa ter
tawa, namun yang sebenarnya dia sudah tidak
dapat menahan kejengkelannya.
Di depan sana Si Tangan Sial menyeringai.
Dia melangkah maju. Setelah itu bibirnya mem-
buka berucap. "Melihat pada tampangmu aku lu-
pa-lupa ingat. Tapi setelah mendengar perta-
nyaanmu, baiknya sebelum kau juga menjadi
tumbal dan mendapat perlakuan keji dari mahluk
sahabatku ini ada baiknya kujawab pertanyaan-
mu itu." kata Si Tangan Sial telah berada dalam
pengaruh kekuatan Jarum Penggendam Roh milik
Begawan Panji Kwalat. Tak lama kemudian dia
melanjutkan. "Gadis cantik yang bernama Ambini
itu saat ini sedang berada di dalam ruangan pe-
nyiksaan. Jika nasibnya baik, dia dan muridmu
akan dikorbankan pada tujuh malam mendatang
tepat bulan sabit sembilan hari. Yang Agung akan
memimpin upacara itu. Aku menjadi saksi atas
kematian seorang anak manusia celaka yang ber-
nama Gento Guyon. Jika kau ingin menjadi saksi
atas kematian muridmu itu akan lebih baik. Na-
mun jika kau menolak." Si Tangan Sial melirik ke
arah Maut Kuning. "Sahabatku Maut Kuning
akan meringkusmu. Murid dan guru akan dijadi-
kan korban persembahan untuk memuji kebesa-
ran Yang Agung. Sungguh tragis tapi juga meru-
pakan tontonan yang menarik! Ha... ha... ha...."
Gentong Ketawa menyeringai mendengar
ucapan Si Tangan Sial yang sudah dianggapnya di
luar kesadaran, tapi di bawah pengaruh jahat
orang lain. Walaupun saat ini amarahnya sudah
sampai di ubun-ubun namun dengan sikap te-
nang dia berkata. "Kematian yang direncanakan
oleh penguasa Kuil Setan memang sungguh me-
nyedihkan bagi kami antara murid dan guru. Jika
itu sudah menjadi suratan nasib, agaknya kami
antara murid dan guru perlu memuaskan diri
dengan tertawa. Ha... ha... ha." Untuk beberapa
saat lamanya tawa si kakek gendut memenuhi
seantero penjuru puncak bukit. Mendadak tawa si
kakek gendut lenyap, dia kemudian menuding ke
arah mulut Si Tangan Sial. Saat itu jarak di anta-
ra keduanya terpaut lebih kurang dua tombak.
Tapi Si Tangan Sial menjadi kaget ketika dia me-
rasakan jemari tangan Gentong Ketawa seolah
menyodok gigi depannya hingga membuat orang
tua ini jadi terhuyung ke belakang. Belum lagi hi-
lang rasa kaget di hati Si Tangan Sial, kakek gen-
dut di depannya kembali berucap. "Tangan Sial,
sahabatku salah kaprah. Menurutku Ambini tak
pernah mengenal tempat ini. Kalau dia sampai
kesasar ke tempat ini tentu bukan karena otak-
nya ikutan jadi tidak waras sebagaimana dirimu.
Aku yang sudah pikun ini jadi ingin tahu, apakah
kau yang telah membawanya ke tempat ini?"
tanya si kakek gendut.
Si Tangan Sial tertawa tergelak-gelak men-
dengar pertanyaan Gentong Ketawa. Dia lalu
menjawab. "Memang aku yang membawanya ke
mari. Aku pula yang bermaksud membunuh mu-
ridmu Gento Guyon."
"Bagus. Jika otakmu benar hal itu kukira
tidak pernah terjadi. Kurasa yang membuatmu
hendak melakukan tindakan sekeji itu pasti atas
perintah seseorang. Sebelum aku terlanjur jadi
arwah gentayangan dapatkah kau katakan siapa
adanya orang itu?" pancing Gentong Ketawa.
"Nantinya kau pasti akan tahu setelah
rohmu pindah ke akherat!" sahut Si Tangan Sial.
"Pembicaraan di antara kalian kuanggap
cukup." Satu suara dengan nada tidak senang be-
rucap. Ketika si gendut menoleh ternyata yang
baru saja bicara adalah Maut Kuning. Kepala
mahluk mengerikan itu keempatnya menoleh dan
memandang ke arah Si Tangan Sial. Kepada orang
tua berpakaian serba merah ini dia berkata. "Aku
hendak meringkus orang gendut ini apakah kau
punya usul lain wahai tetamu Kuil Setan?" tanya
Maut Kuning.
"Untuk menangkap gendut gila ini kurasa
aku sendiri sanggup melakukannya. Terkecuali
bila aku tak sanggup menghadapinya dalam se-
puluh jurus, tugas selanjutnya kuserahkan pa-
damu, sobat Maut Kuning." jawab Si Tangan Sial.
Pada kesempatan itu mendadak Si Tangan
Sial merasakan bagian leher dan bahunya kanan
kiri mendadak diserang rasa sakit yang sangat
hebat. Dari bagian yang ditanami jarum maut
Penggendam Roh terasa dingin bukan kepalang.
Seiring dengan rasa sakit yang mendera tubuh-
nya. Lapat-lapat seakan datang dari sebuah tem-
pat yang sangat jauh beribu mil dari mendengar
suara orang mengisiki. "Tangan Sial, tugasmu
menjadi semakin ringan. Kau hanya tinggal men-
curi senjata Bintang Penebar Petaka. Saat ini mu-
ridku Lira Watu Sasangka bergelar Panji Anom
Penggetar Jagad sudah berada di sekitarmu. Jika
kau bertemu dengannya kau pasti dapat menge-
nali, orangnya masih muda dan memakai pakaian
serba merah." Suara kisikan lenyap. Si kakek
gendut Gentong Ketawa yang sempat terheran-
heran tiba-tiba berteriak.
"Tangan Sial, baru saja kau mendapat pe-
tunjuk dari junjunganmu bukan? Kau kini men-
jadi seorang budak. Kasihan sekali nasib dirimu.
Andai saja aku tahu dan dapat mencari tahu di
mana letak benda laknat itu ditanam di bagian
tubuhmu, aku pasti bisa membuat otakmu jadi
terang, aku bisa membuatmu dapat mengingat.
Tapi aku tak mungkin dapat melakukan semua
itu. Muridku kini tak kuketahui bagaimana na-
sibnya, begitu juga sobat kami Ambini. Daripada
membuang waktu, sebaiknya kau dan mahluk
berbadan kuning tadi itu maju bersama-sama!"
teriak Gentong Ketawa.
"Tangan Sial, dia sudah berkata begitu
mengapa kita tak maju sama-sama sekalian!"
Empat mulut Maut Kuning berteriak. Jika satu
mulut saja yang bicara sudah menimbulkan sua-
ra hingar bingar hingga membuat sakit telinga
yang mendengarnya. Apalagi kini ke empat mulut
terbuka serentak. Puncak bukit gersang itu ter-
guncang keras laksana mau meledak. Gentong
Ketawa dan Tangan Sial sendiri terpaksa menu
tup indera pendengaran melalui pengerahan te-
naga dalam.
"Maut Kuning, sudah kukatakan aku yang
akan menangkap gendut keparat ini. Jika kau ti-
dak patuh pada perintahku aku terpaksa mela-
porkanmu pada Yang Agung!"' teriak Si Tangan
Sial marah, karena Maut Kuning masih tetap
membuat pengang kedua telinganya. Mendapat
ancaman begitu rupa mahluk berkepala empat
jadi surut ke belakang dua langkah. Wajahnya
yang tegar langsung berubah mengerut dan men-
jadi kisut. Mata tunggalnya berkedap-kedip, per-
tanda dia benar-benar dilanda ketakutan.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan.
Jangan kau laporkan aku pada Yang Agung!" rin-
tih Maut Kuning dengan suara memelas.
"Bagus kalau kau tahu gelagat!" dengus
Tangan Sial. Dia kemudian membalikkan tubuh
hingga kini berhadapan dengan si kakek gendut
Gentong Ketawa. Dengan sikap angkuh Si Tangan
Sial berucap. "Kuberi kesempatan padamu untuk
menyerangku. Jika kau tak sanggup membuatku
cidera apalagi tewas. Jiwamu hanya tinggal me-
nunggu keputusan Yang Agung!"
Gentong Ketawa cibirkan mulutnya, lalu
tertawa hehahehe. Orang tua ini kemudian alir-
kan tenaga dalam ke bagian tangan. Kedua tan-
gan digerakkan ke atas seperti orang yang sedang
melakukan gerak badan
13
Si Tangan Sial yang biasanya sangat pe-
nyabar, namun karena kali ini jiwa dan pikiran-
nya berada dalam pengaruh dan dibawah perin-
tah Begawan Panji Kwalat melihat tingkah konyol
yang diperlihatkan si kakek gendut kini nampak
tak dapat membendung kemarahannya. Dengan
cepat sekali sambil berteriak keras laki-laki ber-
pakaian serba merah ini langsung melompat ke
depan. Tangan kanannya mencoba lancarkan se-
rangan berupa cekikan ke bagian leher, sedang-
kan tangan kiri lakukan serangkaian totokan di
beberapa bagian tubuh si kakek gendut. Sung-
guhpun tubuh orang tua ini memiliki bobot lebih
dari dua ratus kati namun mendapat serangan
gencar seperti itu dia melakukan gerakan meng-
hindar yang sangat cepat luar biasa. Dengan me-
narik kepala ke belakang cekikan Si Tangan Sial
luput, sebaliknya dengan gerakan kilat tangannya
menepis tangan lawan yang bermaksud menotok-
nya.
Plak! Plak!
Benturan keras terjadi, si kakek menyerin-
gai kesakitan. Tubuh besarnya sempat terhuyung,
sedangkan tangan yang sempat beradu dengan
tangan lawan nampak memar merah. "Tak pernah
kusangka, tangan si kampret merah ini benar se-
keras besi." gerutu si gendut sambil menggigit bi-
bir bawahnya
Di depan sana Si Tangan Sial sunggingkan
seringai mengejek. "Bagian tubuhku yang mana
hendak kau pilih gendut?"
"Tanganmu boleh sekeras baja. Tapi apa-
kah kepala dan perabotanmu ikutan jadi seatos
batu? Ha... ha... ha." sahut si gendut Gentong Ke-
tawa. Sambil tertawa terbahak-bahak, si orang
tua tekuk kedua sikunya. Jari dari kedua tan-
gannya saling dirapatkan hingga membentuk pa-
ruh burung. Setelah itu tubuh besar luar biasa ini
menghuyung ke depan, langkah kakinya tak bera-
turan seperti orang mabuk hendak jatuh. Begitu
tubuh oleng tak berketentuan dan terus bergerak
ke depan. Maka masing-masing tangan yang je-
marinya merapat satu sama lain meluncur demi-
kian sebatnya mencari sasaran di bagian mata,
kepala, perut dan juga di bagian selangkangan
lawan.
Setiap serangan yang dilancarkan si kakek
gendut selalu menimbulkan deru angin berkesi-
uran. Mendapat serangan gencar luar biasa di
mana arah serangan yang terkesan sembarangan
itu tidak dapat ditebak sama sekali tentu saja
membuat Si Tangan Sial jadi tercengang juga
menjadi repot kalau tidak boleh dikata panik.
Akan tetapi Si Tangan Sial dengan cepat melaku-
kan tindakan dengan memutar kedua tangan sak-
tinya membentuk perisai diri.
"Tangan Sial, manusia keparat penuh ke-
sialan. Dengan jurus Concorang Mabuk ini aku
inginkan biji matamu. Jika kedua biji matamu
dapat kuambil, nantinya baru kupertimbangkan
untuk membetot putus biji-bijian yang lain. Ha...
ha... ha...!" teriak si kakek gendut dengan suara
keras menggeledek. Bersamaan dengan itu pula si
kakek gendut lipat gandakan tenaga dalamnya
yang kemudian langsung disalurkannya ke bagian
tangan. Kini dengan gerakan sempoyongan si
gendut semakin memperhebat serangannya.
Melihat serangan yang semakin membadai.
Si Tangan Sial dengan mengandalkan kecepatan
gerak berulangkali menangkis mencoba mema-
tahkan serangan lawannya. Tak dapat dihindari
lagi perkelahian sengit pun berlangsung seru, ce-
pat dan sangat menegangkan. Debu dan pasir be-
terbangan menutupi pemandangan, sedangkan
gemuruh angin bersiutan, berputar, menampar
atau saling berbenturan. Ledakan-ledakan keras
menggema di udara diselingi dengan bentakan
dari masing-masing lawannya.
Dua sosok tubuh kini hanya berupa
bayangan merah dan bayangan hitam yang berke-
lebatan di udara sambil melepaskan tendangan
maupun pukulan silih berganti. Puluhan jurus
tanpa terasa sudah terlewati. Si Tangan Sial
nampaknya mulai terdesak. Beberapa kali kedua
matanya nyaris menjadi sasaran jemari tangan si
kakek. Si Tangan Sial lama-kelamaan menjadi ke-
repotan. Apalagi di samping serangan tangan, se-
sekali kaki si gendut lancarkan tendangan berun-
tun yang mengarah di bagian perut maupun kaki
dan selangkangan laki-laki itu. Sampai pada satu
kesempatan kaki si kakek gendut meluncur deras
membabat dari arah samping ke arah pinggang Si
Tangan Sial. Angin bersiut, dari sambaran angin
yang amat dingin itu saja Si Tangan Sial dapat
mengetahui betapa berbahayanya serangan itu.
Laksana kilat dia menepis dengan tangannya, tapi
secara aneh serangan itu kemudian berbelok
menghantam bagian di bawah perut Si Tangan
Sial.
Jross!
"Arkh...! Keparat jahanam!", maki orang
tua itu sambil mendekap bagian bawah perutnya
yang terkena tendangan. Si Tangan Sial menjerit-
jerit, mukanya pucat bersimbah keringat. Tubuh-
nya memelintir tak mau diam. Dia menggerung
sambil bergulingan.
"Ha... ha... ha! Ternyata tidak semua ba-
gian tubuhmu keras seperti batu. Ada yang lem-
bek, dan ini bagian yang paling empuk untuk ku-
jadikan sasaran." kata si kakek. Sekarang tanpa
membuang waktu lagi si gendut Gentong Ketawa
langsung melompat ke depan sambil lancarkan
satu totokan di tubuh lawannya. Pada saat itu
terdengar satu suara mengguntur. "Itu salahnya
jika punya biji. Tidak seperti diriku yang polos."
celetuk Maut Kuning.
Dalam keadaan melakukan serangan begi-
tu rupa, Gentong Ketawa terpaksa menelan rasa
gelinya mendengar celetukan Maut Kuning, sosok
angker itu ternyata masih dapat bergurau juga.
Wuuut!
Satu totokan yang dilancarkan Gentong Ke-
tawa hanya mengenai bahu Si Tangan Sial. Aki-
batnya begitu si orang tua bangkit, tubuhnya
yang kaku sebagian membuat langkah dan tu-
buhnya jadi termiring-miring. Sebaliknya satu
hantaman yang keras mendarat di dada si kakek
gendut. Orang tua ini terpelanting jatuh berde-
bum. Tanpa menghiraukan sakit yang dideritanya
si kakek tertawa-tawa. "Pukulanmu membuat da-
daku serasa amblas berantakan. Tapi kau lihat
dirimu. Jalan termiring-miring seperti orang ter-
kena sakit ayan. Ha... ha... ha."
"Aku tidak ingin membuang waktu percu-
ma. Segala sesuatunya harus diselesaikan secara
cepat. Tangan Sial, maafkan aku karena aku ha-
rus ikut campur tangan!" seru Maut Kuning. Dari
arah belakang serangkum hawa panas menderu.
Si kakek gendut yang baru saja bangkit berdiri
sempat terkesiap begitu merasakan sambaran an-
gin panas mendera punggungnya. Dia cepat ber-
balik, lalu menghantam kedua tangan lawan yang
terjulur mencabik bagian punggung si kakek. Ti-
dak kepalang tanggung orang tua ini bertindak.
Sekali tangan bergerak dia melepaskan pu-
kulan Iblis Tertawa Dewa Menangis dan juga pu-
kulan Selaksa Duka. Dua pukulan ganas, satu
memancarkan cahaya putih laksana perak diser-
tai hawa panas luar biasa. Sedangkan dari tangan
kiri si kakek menderu sinar merah berhawa din-
gin bukan main.
Si Tangan Sial sempat tercekat. Dia yang
kini hanya dapat menggunakan tangan kiri ter-
paksa tarik balik serangannya dan melompat
mundur. Sebaliknya Maut Kuning sambil kelua-
rkan suara gerungan aneh melengking tinggi me-
neruskan sambaran kuku-kukunya yang runcing
ke arah wajah lawannya.
Benturan keras menggelegar di udara, Gen-
tong Ketawa bantingkan diri ke belakang sela-
matkan wajahnya dari cakaran Maut Kuning. Se-
baliknya Maut Kepala Empat jatuh terpelanting.
Sosoknya yang serba kuning nampak tercabik di
beberapa bagian. Dua wajah di bagian depan me-
lesak hangus, sedangkan dua kepala yang meng-
hadap ke belakang nampak gepeng. Dalam kea-
daan tubuh berubah tak karuan rupa seperti dis-
ayat-sayat senjata tajam, tertatih-tatih Maut Kun-
ing bangkit berdiri. Melihat keadaan Maut Kuning
Gentong Ketawa tak mampu menahan tawanya.
Maut Kuning menggerung, dia mengusap seluruh
badan yang terluka sampai pada bagian kepa-
lanya. Seketika itu juga satu perubahan sulit di-
percaya terjadi. Tubuh yang dipenuhi goresan lu-
ka, wajah yang melesak ke dalam serta dua kepa-
la yang gepeng mendadak pulih sebagaimana se-
mula.
Melihat kejadian aneh ini tawa si kakek
gendut lenyap seketika. Matanya mendelik besar,
mulut ternganga dan wajah mendadak berubah
pucat.
"Sungguh tak dapat kupercaya, tidak ma-
suk akal. Mahluk keparat ini sesungguhnya iblis
jejadian atau arwah gentayangan!" desis si kakek
kecut. Belum juga rasa kaget si kakek lenyap dari
arah samping menderu hawa dingin menghantam
bahunya. Masih dalam keadaan diliputi rasa tidak
percaya. Si kakek cepat balikkan badan. "Pembo-
kong tengik sialan!" damprat si kakek begitu me-
lihat Si Tangan Sial telah hantamkan tangan ka-
nan kiri ke bagian bahu dan punggungnya. Kare-
na serangan itu berlangsung sangat cepat dan
menggunakan kesempatan di saat si kakek gen-
dut lengan. Tak ayal lagi Gentong Ketawa hanya
dapat menepis pukulan yang mengarah di bagian
bahu, sedangkan totokan di bagian punggung tak
sempat dielakkannya
Tak ayal lagi si gendut begitu kena totokan
langsung tergelimpang. Si Tangan Sial tertawa
terkekeh-kekeh. "Sudah menjadi takdirmu harus
mati jadi roh gentayangan." kata Si Tangan Sial.
Dia kemudian menoleh ke arah Maut Kuning yang
kini ujudnya telah kembali utuh seperti sedia ka-
la. Kepada sosok berkepala empat ini dia berkata.
"Maut Kuning kau seret dia, satukan bersama ca-
lon korban yang lain. Sampai tiba waktunya bagi
mereka menghadap malaikat maut!" perintah si
orang tua.
Maut Kuning mendengus. "Jika pertu-
rutkan kata hati, ingin rasanya kupesiangi tubuh
gendut ini sekarang juga. Tapi aku hanyalah seo-
rang pengawal. Aku tak mungkin menentang
Yang Agung!" desis Maut Kuning nampak berusa-
ha mengendalikan amarahnya.
Si Tangan Sial menimpali. "Segala keputu-
san ada di tangan Yang Agung. Sedangkan aku
tak mungkin menyeret gendut sialan ini karena
sebagian tubuhku tertotok dan jadi miring begini
rupa." ujar Si Tangan Sial yang sejak tadi berusa-
ha membebaskan totokan si gendut namun tak
pernah berhasil.
Di depan sana Maut Kuning tanpa bicara
apa-apa lagi langsung melangkah mendekati Gen-
tong Ketawa. Orang tua ini tidak tinggal diam. Dia
mencoba melepaskan pukulan ke arah mahluk
kuning. Tapi dia jadi terkesiap karena dalam kea-
daan seperti itu tangannya terasa berat tak dapat
digerakkan sama sekali.
Maut Kuning berhenti di depan Gentong
Ketawa yang dalam keadaan rebah menelentang.
Keempat tangannya muka belakang digerakkan.
Keempat tangan itu kemudian menyambar kaki
dan tangan si kakek gendut. Akan tetapi belum
lagi tangan Maut Kuning sempat mencekal kaki
serta tangan Maut Kuning, satu teriakan keras
mengguntur di udara disertai dengan berkelebat-
nya bayangan yang berkelebat laksana kilat me-
nembus udara.
"Berani menyentuhnya satu kematian ku-
janjikan untuknya!" teriak suara itu. Bersamaan
dengan melesatnya sosok serba putih itu pula
terdengar suara angin menggemuruh bagaikan
bendungan yang jebol. Lima larik sinar, merah,
kuning, biru, hitam dan putih laksana mata pe-
dang menyambar ke arah Maut Kuning. Baru ter
labrak sambaran anginnya saja sudah membuat
Maut Kuning menjerit. Lima sinar maut meng-
hantam lima bagian tubuh sosok serba kuning
itu.
"Akkkh...!"
Jeritan Maut Kuning laksana merobek lan-
git. Lima bagian tubuhnya terbabat putus terkena
hantaman sinar warna-warni itu. Dua kepala di
depan menggelinding, dua kepala yang mengha-
dap belakang nyaris putus. Tangan depan terpo-
tong menjadi dua, perut juga terbabat putus, be-
gitu halnya dengan kedua kakinya. Melihat gela-
gat yang tidak baik Si Tangan Sial langsung men-
ciut nyalinya. Dia cepat selamatkan diri berlari ke
arah kegelapan kabut yang menyelimuti Kuil Se-
tan. Sementara itu sosok serba putih langsung
menyambar tubuh Gentong Ketawa. Selagi kakek
gendut dibawa pergi dengan kecepatan laksana
terbang oleh sosok kerdil, pendek katai ini. Si ka-
kek gendut Gentong Ketawa sempat mengenali
siapa yang telah menyelamatkannya. Dia pun
berseru. "Dewa Kincir Samudera?!"
Suara si gendut seakan tercekik, karena
sosok pendek bukan main yang membawanya
langsung menotok tenggorokan kakek ini.
"Jangan bicara, gendut keblinger! Kau se-
dang menghadapi persoalan besar. Otakmu harus
dibuat waras dulu." dengus sosok berpakaian
serba putih itu. Melihat pada besarnya tubuh
Gentong Ketawa, sesungguhnya sosok kerdil pen-
dek kurus ceking itu mustahil dapat membawa sigendut apalagi dengan kecepatan begitu rupa.
Tapi bagi sosok kerdil ini nampaknya seperti tidak
memiliki bobot sama sekali bagi orang yang telah
menyelamatkannya. Malah dalam waktu sekejap
Dewa Kincir Samudera lenyap dari tempat itu.
Kembali ke puncak bukit di sebelah timur
Kuil Setan, sosok Maut Kuning yang tercerai-berai
potongan bagian tubuhnya begitu menyentuh ta-
nah nampak bergerak-gerak. Dari setiap potongan
tubuh mengepulkan asap tipis berbau busuk. Se-
telah itu terdengar suara letupan lima kali bertu-
rut-turut.
Des! Des! Des!
Seiring dengan letupan itu, maka setiap po-
tongan tubuh, baik tangan, kaki maupun kepala
berlesat di udara, melayang dan kembali ke tem-
pat asalnya masing-masing. Satu keanehan lagi
terjadi, potongan tubuh akibat hantaman sinar
maut kini kembali menyatu. Sosok Maut Kuning
bangkit berdiri. Masing-masing mata yang terda-
pat di bagian kening memandang liar ke seluruh
penjuru arah.
"Jahanam itu berhasil lolos dari tanganku.
Siapa dia, mengapa tubuhku yang atos ini dapat
dibuatnya tercerai-berai!" dengus Maut Kuning
geram. Dia lalu kitarkan pandang. Si Tangan Sial
sudah tidak berada lagi di tempatnya. "Kurang
ajar, bangsanya manusia memang selalu bersikap
pengecut!" rutuk Maut Kuning. Dengan perasaan
penasaran mahluk berkepala empat itu kemudian
kembali menembus kabut. Angin menderu-deru,
suasana di sekitar Kuil Setan kembali berubah
sunyi mencekam.
-TAMAT-
NANTIKAN EPISODE MENDATANG!!!
TANGAN REMBULAN
0 comments:
Posting Komentar