penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
Di dekat bukit yang meninggi angkuh hendak
meninju langit, dua orang terlihat. Dari perawakan
keduanya, tampak mereka masih berusia muda. Sa-
tu orang mengenakan tudung pandan berbentuk tak
biasa menyerupai daun kuncup. Tubuhnya tak begi-
tu tinggi. Dia berpakaian silat sederhana berwarna
hitam. Di belakang bahunya tersampir toya sepan-
jang lengan dengan ujung dari logam berwarna pe-
rak. Seorang lagi berwajah tampan, kendati sorot
matanya memancarkan ketajaman. Rambutnya pan-
jang. Hitam dan legam serta terawat rapi seperti mi-
lik perawan genit. Badannya yang tegap perkasa di-
bungkus pakaian putih keabuan.
Siang teramat terik saat itu. Panasnya benar-
benar menyulut kulit dan ubun-ubun, hingga seperti
hendak menggarang hangus. Tapi, kedua orang mu-
da itu seperti tak peduli. Mereka terus saja berjalan
ke arah utara.
Sampai akhirnya langkah mereka tiba di de-
kat sebuah pohon besar yang sudah gundul daun-
nya. Di bawah pohon asam sekarat seperti itu, tentu
saja mereka tak berniat untuk sekadar berteduh.
Mereka punya tujuan lain tentunya. Belum begitu
jelas apa tujuan keduanya. Yang pasti, di bawah po-
hon asam sekarat tadi terlihat pula empat orang le-
laki lain.
Wajah keempat lelaki begitu memancing sele-
ra siapa pun untuk memusuhi. Setidak-tidaknya
menimpuki dengan batu! Sudah tak sedap dipan-
dang, menjengkelkan pula. Semuanya mengenakan
jubah pendek merah hati dan bercelana pangsi hi-
tam. Mereka terikat dengan oyot pohon di sekeliling
pohon asam. Mulut mereka tersumpal oleh gagang
trisula yang diikat dengan oyot pohon pula ke bela-
kang kepala.
Bayangkan, gagang trisula! Orang gila mana
yang telah demikian tega menyengsarakan mereka
demikian rupa?
Sebenarnya bukan orang gila. Kedua orang
yang baru datang tadi yang telah melakukannya.
Mereka adalah dua warga persilatan Tanah Jawa.
Orang bertudung dikenal dengan Julukan Hantu
Wajah Batu. Dijuluki begitu karena wajahnya me-
mang laksana batu. Mimiknya tak pernah berubah.
Kendati dalam keadaan marah besar sekalipun. Dan
tetap tak berubah meski kiamat terjadi di depan hi-
dungnya. Karena kelumpuhan saraf di bagian wajah
ini, Hantu Wajah Batu tak ingin memperlihatkan
wajahnya. Ditutupinya dengan tudung.
Sementara pemuda di sebelah Hantu Wajah
Batu dikenal dunia persilatan dengan julukan si Lu-
dah Darah. Julukan itu disesuaikan dengan kebia-
saannya. Dalam keadaan marah, si Ludah Darah
tanpa sadar menggigit lidahnya sendiri. Manakala
dia sudah membuang ludah bercampur darah, per-
tanda akan segera ada nyawa melayang!
Dunia persilatan patut bertanya-tanya jika
kedua tokoh muda itu berjalan bersama. Apalagi be-
riringan seperti itu. Padahal selama ini tak pernah
ada berita atau sekadar kabar burung bahwa mere-
ka akur. Beberapa kesempatan, mereka justru terli-
bat pertarungan tanpa sebab, sekadar untuk mem-
buktikan kedigdayaan masing-masing.
Lantas apa yang sedang terjadi pada mereka
sekarang? Sudah berdamai satu sama lain, atau ke-
duanya salah minum obat?
"Bagaimana, kalian sudah cukup kenyang
mencicipi gagang trisula milik kalian sendiri?" ujar
Hantu Wajah Batu setibanya di depan keempat lela-
ki yang terikat di pohon.
Sahutan keempat orang yang ditanya cuma
gerutuan tak kentara. Nyaris terdengar seperti suara
lenguhan kerbau kekenyangan. Mata mereka melo-
tot-lotot gusar. Mereka ingin mengamuk, tapi tak
sanggup. Dengan tangan terikat dan mulut tersum-
pal, apa yang bisa mereka lakukan? Lagi pula, bebe-
rapa jalan darah mereka pun rupanya tertotok. Itu
yang menyebabkan mereka tak bisa berusaha sedikit
pun untuk melepaskan ikatan.
Si Ludah Darah melirik rekan di sebelahnya.
Tudung milik Hantu Wajah Batu tak bergerak. Di
balik tudung, matanya turut melempar lirikan.
"Rupanya mereka ingin bicara, Joran!" tukas
si Ludah Darah, menyebut nama asli Hantu Wajah
Batu. Bibirnya menyunggingkan ejekan.
Hantu Wajah Batu tak ambil pusing sama se-
kali. Ditebarnya pandangan ke arah mereka satu
persatu.
"Kau tampaknya paling bernafsu untuk bica-
ra," katanya lagi kepada seorang lelaki berbadan pal-
ing bongsor. Tampangnya agak ketololan. Mungkin
memang tolol sebenarnya. Mulutnya banjir dengan
air liur akibat sumpalan gagang trisula yang terlalu
dalam
Hantu Wajah Batu menghampiri lebih dekat.
Ditariknya trisula dari mulut lelaki berbadan bong
sor.
"Sekarang, kau bisa bicara lebih jelas. Je-
laskan pada kami, bagaimana cara kami menemui
Pertapa Cemara Tunggal!" bentaknya, garang.
Jawaban yang didapat tak lebih dari sumpah
serapah sambar geledek dari mulut si lelaki berba-
dan bongsor.
"Peduli setan dengan kalian! Kalaupun kalian
mengikat kami di pinggir kawah gunung berapi, tak
ada dari kami yang akan buka mulut tentang Perta-
pa Cemara Tunggal! Kenapa kalian tak tanya saja
pada kambing congek, kerbau bunting, ayam kam-
pung di seluruh negeri...."
Hantu Wajah Batu jadi mangkel sendiri. Baru
saja mulut si lelaki berbadan bongsor hendak
'mendendangkan' kembali makiannya, tangannya
sudah lebih cepat bergerak, menyarangkan kembali
gagang trisula ke mulut si lelaki bongsor.
Lelaki bongsor masih saja penasaran.
Mulutnya terus saja bergumam tak karuan.
Hantu Wajah Batutambah mangkel. Dengan
sedikit iseng, ditekannya trisula keras-keras di mu-
lut si lelaki bongsor.
Mendeliklah mata lelaki itu. Biji matanya se-
perti hendak mencelat keluar. Cuping hidungnya se-
ketika mekar. Wajahnya memerah matang. Selang
tak demikian lama, dia terbatuk-batuk hebat dengan
gagang trisula masih dalam mulut. Untung saja dia
tak mengeluarkan seluruh persediaan makanan dari
dalam perutnya!
Si Ludah Darah meringis sendiri.
Sedangkan rekannya mulai melirik calon kor-
ban lain.
Sedikit mengangkat kepala, dia menggeram.
"Kau sekarang yang tampaknya mesti bicara!"
bentaknya seraya menarik gagang trisula dari mulut
lain.
Pucat seketika lelaki yang berwajah menge-
naskan bukan main. Di antara yang lain, barangkali
dia yang punya nyali paling kontet.
"Bicara!!!" hardik Hantu Wajah Batu.
Menelan ludah calon korbannya.
Sekali....
Dua kali....
Tiga kali... dan hampir berkali-kali, seakan
hendak menelan jakunnya sendiri.
Bentakan ketiga datang.
Makin pucat wajah lelaki itu. Makin menge-
naskan saja tampangnya.
"Kau ingin aku membuat trisula ini tertelan
ke dalam tenggorokanmu?!" desis Hantu Wajah Ba-
tu, mengancam dengan paras malaikat maut.
"Baik, baik, baik!" gegas lelaki berwajah men-
genaskan.
Hantu Wajah Batu mengangguk-angguk,
puas. Rekan di sebelahnya tersenyum samar.
* * *
Empat minggu sebelum kejadian di bukit itu,
keempat lelaki yang dikenal sebagai kawanan pe-
rampok di sekitar wilayah Pemantingan baru saja
berhasil menjarah harta seorang hartawan. Mereka
melarikan hasil jarahan mereka ke hutan. Tempat
seperti itu biasa dijadikan mereka sebagai tempat
bersembunyi atau menyembunyikan hasil jarahan.
Hutan Pemantingan sendiri bagi orang-orang
sekitar dikenal sebagai daerah yang dianggap kera-
mat. Juga oleh orang di sekitar Keraton Demak yang
letaknya kebetulan tak terlalu jauh.
Menurut cerita rakyat, konon seorang Wali,
Sunan Kalijaga sering menjalankan tirakat ke sana.
Di sana pula, konon jelmaan Nyai Roro Kidul sering
menampakkan wajah kepada beliau.
Tak peduli dengan seluruh cerita-cerita itu,
kawanan perampok ini kerap kali menjadikan Hutan
Pemantingan sebagai markas mereka. Mereka ber-
koar sesuka hati, mabuk sesuka hati, bertingkah se-
suka hati, seolah dunia milik mereka berempat.
Yang lain silakan jadi penonton! Mereka tak men-
gindahkan lagi tempat yang mungkin dianggap suci
oleh sebagian orang.
Namun tak selamanya mereka bisa berting-
kah. Yang namanya kualat pun datang. Ketika itu
mereka sedang tertawa-tawa di bawah sebuah pohon
besar seukuran tiga ekor kerbau. Pohon yang tera-
mat tua. Ratusan tahun umurnya. Satu orang du-
duk seenaknya di atas tanah. Yang lainnya berdiri
membentuk lingkaran tak teratur. Di tengah-tengah
mereka sudah menyala api unggun besar. Api menji-
lat-jilat. Cahayanya melayap ke wajah masing-
masing. Di dekat api unggun, tergeletak tiga karung
besar berisi segala jenis harta yang berhasil mereka
dapat.
"Hasil kita hari ini benar-benar gila!" memulai
salah seorang di antara mereka yang sedang melint-
ing-linting kawung. Lelaki kurus berpakaian kedodo-
ran, berkumis baplang. Cukup seram memang. Cu-
ma saja, giginya agak mancung.
Kawannya yang lain, lelaki berikat kepala lu-
rik yang tampangnya tak kalah seram dengan bi-
awak menengadahkan wajah. Ada sinar kepuasan
dan keangkuhan berbaur menjadi satu di wajahnya.
"Itu karena aku berhasil menggertak si Tuan
Tanah keparat itu! Kalau tidak, bagaimana mungkin
dia akan memberitahukan ruang bawah tanah tem-
pat penyimpanan hartanya," tukasnya, menyom-
bong.
"Kau memang cuma bisa menggertak!" sindir
yang lain. Kali ini lelaki bertampang agak tolol be-
rambut kaku turut ambil bicara. Hidungnya mekar
sebentar. Tampaknya dia kurang begitu akur dengan
lelaki tadi.
"Kau sendiri melakukan apa? Cuma menakut-
nakuti istri ke empat belasnya dengan wajah terku-
tukmu itu?" balas lelaki bertampang seram, sewot.
"Harus begitu! Istri mudanya itu adalah salah
satu harta milik si Tuan Tanah yang paling berhar-
ga! Kalau aku bisa mengancam dengan meman-
faatkan perempuan denok itu, pasti si Tuan Tanah
bakal memberi tahu gudang hartanya. Nyatanya
memang begitu jadinya. Dia ketakutan, lalu dengan
mendelik-delik diberitahukannya kita di mana selu-
ruh harta disimpan...."
"Yang tolol rupanya bukan cuma tampangmu!
Otakmu pun bebal. Mana ada orang gila harta seper-
ti Tuan Tanah itu menganggap istri-istrinya sebagai
harta paling berharga. Toh, dia berpikir bisa membe-
li sekian puluh perempuan lain dengan kekayaannya
yang segunung itu!"
Tampang lelaki itu seperti hendak meledak.
Kalap dia.
Lelaki berwajah tolol mendengus.
"Terserah kaulah, Biawak!" gerutunya.
Lelaki yang digerutui bangkit dari duduknya.
Tangannya terkepal. Hendak ditumbuknya mulut si
tampang tolol.
"Sudah cukup!" bentak lelaki lain yang selama
ini cuma menikmati kawungnya. Lelaki ini berbadan
bongsor. Wajahnya tak begitu seram. Cuma saja gi-
gi-giginya berbentuk runcing. Menakutkan kalau dia
sedang tersenyum. Sayang sekali, dia justru paling
susah tersenyum.
"Sekarang, sebaiknya kita bagikan saja hasil
rampokan kita ini segera!" susulnya. Di antara
keempat lelaki itu, tampaknya dia pemimpinnya.
Bukan main bersemangat yang lain menden-
gar usul bagus tersebut. Betapa tidak, mereka su-
dah mendapatkan hasil jarahan yang bukan saja
banyak, namun juga berupa perhiasan-perhiasan
berharga. Emas ada, permata ada, intan ada. Apa
itu bukan hasil besar?
Mereka pun bergegas mendekati ketiga ong-
gokan peti. Sinar mata mereka berbinar-binar, seo-
lah empat ekor anjing lapar menemukan sepotong
tulang.
Belum lagi sempat mereka membagikan hasil
besar tadi, mendadak saja keempatnya mendadak
terdiam. Sama-sama waspada. Ada yang sedang
mengawasi mereka, begitu pikir masing-masing,
Entah perasaan, entah naluri, mereka berba-
rengan menoleh ke satu arah. Ketika itulah mereka
menjadi terkesiap setengah mampus. Di balik se-
mak-semak tak begitu jauh dari mereka, terlintas
sebersit cahaya putih terang. Sekejapan mata keem
pat begal itu disilaukan.
Sekian lama mereka hanya terpana.
Terpentang mata mereka ke satu arah.
Cahaya menyilaukan tadi memang sirna, tapi
mereka tak mau begitu saja membiarkan seperti an-
gin lalu atau sekadar kentut basi.
Ada yang tak beres, nilai masing-masing. Ca-
haya yang mereka saksikan bukan sekadar kekeli-
ruan penglihatan semata. Masa' iya keliru bisa ber-
bareng? Apa mereka sudah gila bersama? Mana bisa
begitu!
Yakin tak salah lihat, mereka mulai berpan-
dangan satu dengan yang lain. Satu dengan yang
lain seolah saling bertanya dengan sinar mata kehe-
ranan. Satu dengan yang lain hendak meyakinkan
diri.
"Kau lihat, bukan?" bisik si Biawak, entah
siapa yang ditanya.
Yang lain serempak menganggukkan kepala.
Sementara saking terpana, si Bongsor yang
punya nyali paling kenyal pun menjadi lupa menghi-
sap kawung, sampai baranya menyulut bibir sendiri.
"Phuah! Sudah jangan dipersoalkan!" putus-
nya kemudian. Buang-buang waktu saja kalau me-
reka hanya memikirkan kejadian sekejapan tadi. Ka-
lau sudah tak tahu, ya biarkan saja. Tak usah dipi-
kirkan. Kalau dipikirkan, bisa-bisa kita cuma jadi
empat patung sampai pagi!
"Tapi tadi itu...."
Yang lain masih penasaran.
"Cukup kataku! Atau kau hendak menelan
golokku?!" sambar si Bongsor galak.
"Tapi kau harus ingat soal cerita masyarakat
tentang...."
"Cukup! Cukup! Aku tak mau dengar tak-
hayul itu!" hardik si Bongsor kembali. Tangannya
meraih gagang golok di pinggang. Tercabut setengah
jalan, lalu dimasukkan kembali dengan geram.
Yang lain ngeri.
Daripada menelan ujung golok, sebaiknya tu-
tup mulut.
Mereka hendak memulai lagi urusan yang ter-
jegal tadi. Belum-belum, keempatnya sudah mera-
sakan perasaan aneh yang mirip dengan yang mere-
ka rasakan sebelumnya. Mereka merasa ada yang
sedang memperhatikan!
Ke tempat yang sama pula, keempatnya me-
noleh berbarengan. Mata mereka kembali terpen-
tang....
DUA
BUKAN, bukan lagi cahaya putih menyilau-
kan yang sekali ini dilihat keempat begal kampun-
gan. Terkejut memang. Terperanjat pun pasti. Seper-
ti pertama, dada mereka pun berdebar-debar. Cuma
sesekali ini bukan karena waswas. Apalagi waspada.
Buat apa pakai waspada segala kalau yang
mereka saksikan kali ini ternyata bisa dibilang reze-
ki nomplok. Anggap saja kejatuhan bulan! Mereka
melihat seorang perempuan yang cantiknya bukan
main.
Perempuan itu berambut panjang hingga
menggapai tanah. Sudah warnanya hitam, mengki-
lat, menebarkan harum lagi! Semacam harum bunga. Wajahnya itu memiliki kecantikan yang hampir-
hampir sulit dilukiskan. Sepasang matanya seperti
meminjam pesona purnama di langit malam. Panca-
rannya bening, teduh, dan melumpuhkan. Hidung-
nya sempurna. Bibirnya apalagi, Tak ada yang tak
mengundang hasrat kelelakian pada bagian wajah-
nya.
Itu baru wajah. Belum lagi tubuhnya. Melirik
keindahannya, keempat begal rasanya mau mene-
teskan liur sebanyak-banyaknya. Baik wajah, atau
tubuhnya benar-benar serba sulit untuk digambar-
kan. Pokoknyu sulit!
Kaki keempat lelaki brengsek tadi jadi lemas
dibuatnya. Selain itu, nafsu kelelakian mereka ma-
lah jadi singit tak tertolong. Mereka bersilap-silap
berbarengan. Soal pembagian harta rampokan bisa
dilupakan untuk sementara. Atau kalau perlu untuk
selama-lamanya!
Lalu mereka saling melirik. Main mata.
"Rezeki nomplok...," desis salah seorang den-
gan jakun tak betah diam barang sejenak.
Binar mata mereka memancar. Tak perlu
mengangguk, apalagi bermusyawarah segala, tam-
paknya mereka sama-sama telah bersepakat untuk
sedikit berpesta dengan rezeki nomplok yang baru
datang ini.
Si Bongsor yang menjadi pimpinan berdehem,
memberi isyarat murahan.
Ketiga rekannya melangkah mendekati si pe-
rempuan. Langkah mereka nyaris berjingkat seperti
sekawanan hewan mengintai mangsa.
Soal cahaya putih menyilaukan sudah ming-
gat dari kepala para begal. Itu karena pemandangan
menakjuban yang mereka saksikan. Itu pula yang
membuat mereka jadi tak curiga macam-macam.
Yang terakhir, itu pula yang bakal menjadi kesala-
han besar!
"Kena kau!"
Seraya berseru, salah seorang mendadak me-
nerkam, seakan sudah tak sabar, seakan takut ke-
habisan jatah dari yang lain. Terkamannya benar-
benar meyakinkan. Setanding dengan terkaman see-
kor harimau.
Si perempuan cantik bergaun serba putih
panjang hingga menutupi kaki tetap tenang. Berge-
mik pun tidak. Sementara senyumnya mengembang,
memanggil, menantang.
Terkaman tak akan luput. Itu pasti! Apalagi
jarak tak terlalu jauh. Bicara tertangkap atau tidak
si perempuan, itu soal lain sama sekali. Dengan
ajaib, terkaman lewat begitu saja. Lelaki bernafsu itu
seperti menerkam bayangan!
Gerusak!
Jatuhlah dia di semak-semak.
Sisa begal lain terhenyak seketika. Mereka ju-
ga melihat dengan mata kepala tubuh kawannya
yang menerkam lolos begitu saja menembus tubuh
denok si perempuan. Gila juga!
Cepat mereka sadar sedang berhadapan den-
gan siapa.
"Pertapa Cemara Tunggal," desis mereka, nya-
ris berbarengan dengan paras sepucat mayat.
Berbarengan dengan bangkitnya si penerkam,
ketiga begal lain tersurut mundur. Si penerkam tak
betah lebih lama di tempat itu. Dia ngacir sekuat te-
naga.
Tak lama, yang lain mengekori. Terbirit-birit.
Dan cerita pun dimulai dari kisah keempat
begal kampungan itu. Mereka pula yang telah dita-
wan oleh Hantu Wajah Batu dan Si Ludah Darah.
* * *
Hutan Pemantingan terletak antara Demak
dan Jepara. Karena di sana pernah hidup seorang
pertapa wanita bergelar Pertapa Wanita Cemara
Tunggal, maka daerah itu pun sering disebut-sebut
oleh masyarakat sekitar dengan nama Pertapaan
Cemara Tunggal.
Beberapa waktu belakangan, tersiar kabar
burung yang cukup santer tentang seorang tokoh
persilatan yang menerima sebuah benda pusaka dari
Pertapa Cemara Tunggal. Tak jelas berasal dari ma-
na kabar burung tersebut, hampir-hampir tak ada
yang tahu. Juga tak ada yang mau tahu. Tak jelas
juga siapa warga persilatan yang beruntung mene-
rima pemberian benda pusaka. Sama tak jelas pula
tentang benda pusaka yang dimaksud.
Namun yang jelas, untuk semua ketidakjela-
san itu, kebanyakan orang persilatan justru me-
nanggapi secara sungguh-sungguh.
Termasuk di antaranya dua tokoh berjuluk
Hantu Wajah Batu dengan Si Ludah Darah. Ketika
suatu kali mereka mencoba mendatangi desa di se-
kitar Pemantingan, mereka bertemu dengan keempat
begal yang tak henti-henti mengoceh bahwa mereka
telah menyaksikan pemunculan Pertapa Cemara
Tunggal. Mulut keempat lelaki itu selalu gatal untuk
membicarakannya, karena amat jarang orang dapat
bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal.
Ketika itulah keempatnya diringkus oleh Han-
tu Wajah Batu dan Si Ludah Darah. Tentu saja den-
gan tujuan untuk mengorek keterangan tentang Per-
tapa Cemara Tunggal. Termasuk tentang benda pu-
saka yang menurut kabar telah diserahkan kepada
seorang tokoh persilatan.
* * *
"Heaaa!"
Teriakan tarung memecah udara. Asalnya dari
tenggorokan seorang tua bangka yang sedang me-
lompat tinggi dengan kaki terpentang lebar seperti
seekor kera bangkotan. Penampilannya serampan-
gan, berpakaian kumal, dan menebar bau yang bisa
membuat kepala pening tujuh keliling. Rambutnya
kaku keemasan. Wajahnya merah matang, seakan
buah yang lama ter-peram. Dia memegang guci be-
sar seukuran pelukan tangan, terbuat dari logam.
Guci yang terlihat berat. Kenyataannya memang be-
gitu. Tapi bagi si tua kumal itu tak menjadi persoa-
lan besar. Dia memegangnya seenteng kendi kecil.
Bukan sekadar hendak bertingkah sinting tua
bangka itu melompat sambil berteriak. Ada seorang,
yang hendak diserangnya. Orang itu berusia muda.
Wajahnya memancarkan keluguan. Berambut pan-
jang tak terurus. Dan mengenakan pakaian sea-
danya dengan rompi putih keabuan terbuat dari ku-
lit hewan. Di pinggangnya terselip tongkat pendek
sejengkalan berujung kepala naga.
Menyaksikan terjangan tua bangka tadi, pe-
muda berwajah polos itu terbengong sesaat.
"Apa-apaan ini, Pak Tua?!" serunya sesaat se-
belum terjangan gila-gilaan lawan benar-benar tiba.
Selanjutnya dia memaksa tubuh untuk berkelit se-
rabutan.
"Jangan tanya kenapa!" tepis si tua bangka
meledak-ledak seperti ada gumpalan-gumpalan mer-
con tersembur dari mulut keriputnya.
"Tapi aku harus tahu alasanmu menyerang-
ku! Tak ada angin tak ada hujan kau menghadang-
ku. Lalu tanpa memberi penjelasan kau langsung
saja menerjang!"
Si tua bangka mencak-mencak di tempat. Se-
sekali dia meneguk tuak dari gucinya. Sekali mene-
guk, mengomelnya berkali-kali. Bikin telinga pekak
masih mending. Omelannya juga kotor dan menjo-
tos-jotos perasaan. Kalau sudah merasa mulutnya
hampir kering, dia menenggak tuak kembali.
"Sekarang, kau bersiap saja menghadapi aku
sampai kau mampus. Aku jelas-jelas tak akan mam-
pus. Aku terlalu sakti buatmu. Jadi, maaf-maaf sa-
ja," koar tua bangka pemabuk yang tak lain Ki Dagul
alias Pengemis Arak (Lihat episode sebelumnya: "Ti-
ga Pendekar Aneh").
Sedangkan lawan muda yang hendak diper-
maknya, siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng, to-
koh muda Tanah Jawa murid Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit?
Mengherankan kalau si tua bangka tokoh ka-
wakan wilayah barat bersikap memusuhi pendekar
muda Tanah Jawa. Tak akan ada asap kalau tak ada
api. Tentu pula ada alasan kuat bagi Ki Dagul me-
musuhi Satria Gendeng. Alasan itu yang hendak di-
ketahui Satria Gendeng, kalau saja tua bangka Pen
gemis Arak tak keburu ngamuk-ngamuk seperti itu.
Tanpa alasan, Satria tak yakin Ki Dagul akan me-
musuhinya. Toh, jelas-jelas mereka berdua berdiri
dalam golongan yang sama.
Pengemis Arak menyiapkan kuda-kuda.
Sia-sia Satria menyabar-nyabarkannya, ken-
dati sampai mulutnya berbusa.
Mata Pengemis Arak menjadi sayu. Tubuhnya
sempoyongan, terkena pengaruh tuak keras yang di-
teguknya. Sebaliknya, tangannya justru memperli-
hatkan pengerahan kekuatan.
Satria Gendeng menarik napas panjang-
panjang, lalu menghempasnya keluar. Mau mangkel
pun percuma. Dia cuma bisa meringis. Selain itu,
tampaknya dia pun harus segera mempersiapkan ju-
rus. Dilihat dari gelagatnya, Pengemis Arak tak
main-main.
Ki Dagul melangkah, mempersempit jarak.
Selonong sana, selonong sini.
Satria Gendeng tenang-tenang saja menanti
serangan, kendati hatinya agak kembang-kempis ju-
ga mengingat siapa lawan yang akan dihadapinya.
"Hik.... Heaaa!"
Didahului sekutan di tenggorokan, Ki Dagul
menyeruduk. Kepalan tangannya melayang. Berisi
tenaga dalam yang sanggup mencukur gundul dua-
tiga batang pohon besar sekali tebas. Kalau kedua
tangannya melayang, berarti ada dua kepalan. Dua
kepalan berarti dua tenaga sekuat itu. Mendarat di
kepala lawan, artinya kepala sasaran langsung ter-
pangkas. Mental jauh dan bisa bikin repot banyak
orang untuk mencarinya.
Kena dada, artinya dada bakal jebol. Serpi
hannya bertebaran ke mana-mana. Lebih bikin repot
banyak orang!
Satria Gendeng tak acuh saja.
Gila dia? Tidak, cuma sedang mengatur sia-
sat.
Angin pukulan datang. Teramat kuat, mem-
buat pakaian, rambut, dan wajahnya bergeletaran.
Mendadak sontak pemuda murid dua tokoh kena-
maan Tanah Jawa itu membuat satu gerakan tera-
mat cepat.
Wukh!
Satria melintir satu putaran. Sebelah tangan-
nya terangkat tinggi, mempertontonkan 'rerimbunan'
di ketiak. Gayanya bak penari wanita India. Jelas dia
bukan sekadar menari. Apalagi sekadar berpura-
pura menjadi penari. Sesungguhnya si pendekar
muda sedang memperlihatkan satu gerakan unik
sekaligus mengundang bahaya maut untuk meng-
hindari hantaman sepasang kepalan lawan.
Pengemis Arak yang sedang dilanda kesewo-
tan memang mengerahkan sasaran pada tubuh Sa-
tria Gendeng yang berdiri menghadapi ke arahnya.
Dengan begitu bidang sasaran lawan cukup besar.
Sementara jika Satria berposisi menyamping, bidang
sasaran lawan akan lebih sempit. Dengan kecepatan
tertentu yang sebanding dengan hantaman tinju la-
wan, serta ketepatan perhitungan, putaran tubuh-
nya mempersempit bidang sasaran tinju Pengemis
Arak
Wes! Wes!
Pukulan dahsyat itu pun lewat di samping-
nya. Dan karena terseret angin pukulan tenaga da-
lam Pengemis Arak yang demikian kuat, tubuh Sa
tria tidak hanya berputar sekali. Malah berkali-kali.
Wrrr!
Ki Dagul berpikir, saat yang tepat baginya un-
tuk melancarkan serangan susulan. Toh, lawan da-
lam keadaan berputar tak karuan. Dia pun mem-
bentuk tendangan lurus ke atas.
Dak!
Heran juga, si pendekar muda ternyata masih
sempat-sempatnya memapaki tendangan lawan!
Bahkan Pengemis Arak sempat dibuat terjajar bebe-
rapa tindak ke belakang.
Sewaktu putaran tubuhnya berhenti, Satria
Gendeng jadi singit sendiri. Turut sempoyongan pula
dia seperti Pengemis Arak.
Ki Dagul menimbang-nimbang sebelum me-
nyerang kembali. Menyerang lagi atau tidak? Pa-
mornya bakal rontok kalau tak meneruskan perta-
rungan. Baru beberapa gebrakan, masa' sudah ha-
rus mundur? Tidak bisa begitu! Malu dia pada nama
besarnya sebagai tokoh kawakan wilayah barat!
Lagi pula, apa hebatnya anak bau kencur ini?
Dirinya tentu lebih banyak makan asam garam,
kendati lawan mudanya murid seorang tokoh bang-
kotan yang malang melintang di dunia persilatan.
"Khouek, cuih! Percuma aku dijuluki Penge-
mis Arak kalau aku tak bisa mengalahkanmu, Bo-
cah Buduk!"
Ki Dagul menggebrak lagi.
"Huaaaith!"
Saat yang sama, Satria Gendeng tak tinggal
diam. Dia pun tak kalah sengit berteriak dengan su-
ara teriakan yang serupa perawan kepergok dedemit
marakayangan.
"Huuuuu huuuu!"
Pendekar muda itu mendorong langkah ke
depan. Kuda-kudanya tetap tak bisa disebut kokoh.
Berdiri saja seperti sudah sulit akibat terlalu singit
berputar sebelumnya. Sekali mengayun kaki, sem-
poyongan sejauh empat kaki. Bagaimana dia mau
bertarung?
Dab!
Satria melepas sampokan enteng. Enteng saja
terlihat. Tapi tidak akibatnya. Sebab saat itu juga
terdengar dentum santer.
Lawan tak ingin kepalanya gompal sebesar
pantat periuk. Cepat dia merunduk seraya men-
gayun guci ke kaki Satria Gendeng.
Satria mengangkat sebelah kaki. Dengan kaki
yang sama, disorongkannya telapak kaki ke wajah si
tua bangka. Benar-benar ke depan moncong peyot
itu! Ki Dagul yang kebagian jatah bau tujuh puluh
tujuh siluman dekil itu sampai terperanjat cepat
menarik kembali tubuhnya ke belakang. Gerakan
edan Satria memang tidak diniatkan untuk menen-
dang. Tapi, tetap membuat si tua bangka menjadi
ngeri.
"Kualat kau!" makinya sewot.
Keedanan pendekar muda yang terkadang
memang ugal-ugalan itu pun belum tuntas. Badan-
nya yang sudah sulit menjaga keseimbangan men-
dadak doyong ke depan. Ketiaknya terbuka lebar.
Lawan yang sebelumnya merunduk menghindari
sampokan, terdongak dengan wajah kecut. Matanya
mendelik menyaksikan 'hutan lindung' siap menda-
rat di permukaan jidatnya.
Ki Dagul cepat menghindar. Sungguh, disebut
bahaya sebenarnya tidak begitu. Apa bahayanya se-
tumpuk bulu hitam seorang pemuda? Tak peduli
bahaya atau tidak, tampaknya Ki Dagul lebih rela
menghindar.
Selanjutnya dia meloncat jauh ke belakang,
membuat jarak.
Dia berdiri sebentar, tak lama tertawa berge-
lak-gelak.
Begitu riuh.
Begitu meriah.
Sebelah tangannya memegangi perut. Seben-
tar-sebentar pindah ke selangkangan. Tertawa boleh,
terkencing-kencing jangan! Sebelumnya dia begitu
sewot pada Satria. Sekarang, dia justru tertawa.
"Itu seperti jurusku, Bocah Buduk! Ha ha ha!
Aku senang kau menghargai jurus-jurusku!" se-
runya meledak-ledak. Siapa yang dia pikir telah
menghargai jurus-jurus mabuknya?
TIGA
SEKARANG, apakah kau mau menjelaskan
padaku kenapa kau begitu sewot padaku, Pak Tua
Pengemis Arak?" Satria Gendeng melempar perta-
nyaan pada Ki Dagul, usai 'huru-hara' yang baru sa-
ja terjadi di antara mereka berdua. Selagi pikiran tua
bangka pemabuk itu masih cukup waras, pikirnya.
"Aku sebenarnya malas berkelahi denganmu!
Kau murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang
cukup aku kagumi. Aku suka gayanya yang tengik,
mengingatkan aku pada diriku sendiri. Kalau dia sedang...."
"Soal itu bisa dibicarakan belakangan, Pak
Tua! Bagaimana dengan alasanmu menyerangku
membabi buta tadi?" penggal Satria.
Pengemis Arak menenggak tuak. Beberapa te-
gukan.
Seraya menyapu ceceran tuak di dagunya
dengan punggung tangan, dia berkata lagi, "Aku ha-
rus menghajarmu karena kau memang harus men-
dapat hukuman yang setimpal, Cah Buduk!"
Satria terhenyak.
"Apa salahku?" kilahnya dengan wajah me-
minta penjelasan.
"Phuih! Jangan berpura-pura! Tiga hari lalu,
kau telah membunuh Kertajingga!"
"Kertajingga? Siapa dia?"
"Dia sahabatku."
"Maksudku, aku sama sekali tak mengenal-
nya!"
"Si Jenggot Perak?"
Satria merengut. "Siapa pula itu?" tanyanya.
"Itu julukan si Kertajingga, Anak Bau!"
"Apa pun julukannya, aku tetap tak menge-
nalnya!"
"Jadi kau mau bilang kau telah membunuh
orang yang sama sekali tak kau kenal, begitu? Dasar
bocah tak punya perasaan! Bagaimana bisa kau me-
lakukan itu?! Keji, kualat, terkutuk, biar kau digo-
dok Gusti Agung di neraka sana!"
"Tunggu dulu! Aku tak mengatakan begitu.
Aku justru hendak mengatakan kalau aku sama se-
kali tak membunuh Ki Kertajingga atau Si Jenggot
Perak yang kau maksud itu! Bagaimana aku mem
bunuhnya sementara namanya pun baru kudengar
dari mulutmu!"
Mata Ki Dagul melotot. Jakunnya turun naik.
Ditudingnya Satria.
"Kau jangan berdalih, ya!" geramnya, seraya
memperlihatkan seringai yang sama sekali tak
membuat seekor keledai tolol menjadi mati ketaku-
tan karenanya.
Satria jadi mangkel juga. Siapa yang mau di-
tuduh begitu rupa? Apalagi Ki Dagul seperti tak
memberinya kesempatan untuk membela diri. Dasar
orang tua! Seringkali maunya menang sendiri!
"Sumpah, aku tak membunuh orang yang kau
sebut sahabatmu itu, Pak Tua. Apa aku harus ber-
sumpah demi segenap nenek moyangku dan nenek
moyangmu!" bantahnya, mulai sengit. "Lagi pula,
apa alasan dan tujuanku membunuhnya sementara
aku sama sekali tak pernah berurusan dengannya?"
"Hah!" sentak Ki Dagul seraya menuding Sa-
tria kembali. Matanya membesar. "Itu dia!"
"Itu dia apa?"
"Tentu saja kau membunuhnya dengan satu
alasan, bukan?"
Satria menampar keningnya. Dia jadi pusing
sendiri menghadapi tuduhan membabi buta Ki Da-
gul.
"Apa alasanku membunuhnya, Pak Tua?"
ucap si pendekar muda kembali dengan nada me-
rendah, seolah memelas.
"Phuih, phuih! Dasar bocah tak punya pera-
saan! Sebelumnya kupikir kau seorang pendekar
muda yang punya otak lempang dan punya hati tak
korengan! Nyatanya kau bejat!"
"Jelaskan saja apa alasanku membunuhnya?!'
"Karena kau tentu menginginkan benda pu-
saka itu! Karena Kertajingga tak memberikannya, la-
lu kau membunuhnya. Kau rebut benda pusaka itu
darinya dengan cara culas!"
Makin membabi buta saja tuduhan Ki Dagul.
Dan makin pusing saja Satria menghada-
pinya.
"Benda pusaka apa yang kau maksud, Pak
Tua?" tanyanya lagi. Harus didapatnya kejelasan
soal ini sampai tuntas. Jika tidak, dia bisa benar-
benar mampus. Bukan karena dibunuh Ki Dagul,
melainkan mati berdiri menahan jengkel!
Bibir Ki Dagul membentuk lekukan mence-
mooh.
"Ya, tentu saja benda pusaka yang telah dibe-
rikan oleh Pertapa Cemara Tunggal kepada Kerta-
jingga!"
* * *
Ceritanya, beberapa hari lalu Ki Dagul tiba-
tiba saja merasa ingin sekali mengunjungi seorang
sahabat lamanya, Kertajingga. Hampir dua puluh
tahun keduanya tak bertemu. Sampai menjelang
masuk liang lahat nanti, Ki Dagul niscaya tak ber-
niat bertemu dengan Kertajingga. Dia itu sejenis
manusia yang paling sulit keluar kandang. Meneng-
gak tuak di dalam gubuknya di atas pohon lebih
disukai dari apa pun. Bahkan jika mendadak mun-
cul seorang bidadari di depan congornya sekalipun.
Hari itu, pagi-pagi sekali, mendadak saja Ki
Dagul terbangun dengan mata terbelalak-belalak.
Napasnya terputus-putus. Lidahnya menjulur.
Tua bangka itu seperti hendak mampus.
Sebentar kemudian, dia terbengong sendiri.
Setelah hampir tiga tahun belakangan tak pernah
mimpi, hari itu tahu-tahu saja dia dapat mimpi bu-
ruk sekali. Mimpi yang dianggapnya terlalu kurang
ajar telah lancang mengganggu tidurnya.
Anehnya, mimpinya itu seperti benar-benar
dialami sendiri! Ada seseorang yang hendak mem-
bunuhnya. Bukan saja 'hendak' membunuhnya, da-
lam mimpi itu, Ki Dagul merasa dirinya telah benar-
benar dibunuh! Orang itu sendiri tidak begitu jelas
dilihatnya. Wajahnya lebih mirip bayangan. Cuma
dia melihat pakaian dan sosok yang pernah disaksi-
kannya. Yang paling menyebalkan dari bagian mim-
pinya itu, dia dicekik oleh pemuda berwajah bayan-
gan. Dan sampai mampus pula!
Saat dibunuh dalam mimpi itulah, Ki Dagul
menyaksikan bayangan Kertajingga di kejauhan.
Sahabatnya itu menggapai-gapaikan tangan, seakan
meminta pertolongan.
Meski otaknya sudah kebanjiran tuak, tua
bangka itu masih bisa sedikit berpikir. Setidaknya
dia masih bisa menafsirkan mimpinya itu. Sahabat
lamanya membutuhkan pertolongan, pikirnya. Ma-
kanya, buru-buru dia keluar kandang dan pergi
mengunjungi Kertajingga
Sampai di tempat tujuan, benar saja! Kerta-
jingga sudah mampus dengan lidah terjulur dan ma-
ta mendelik. Ada seorang yang telah mencekiknya
hingga modar dengan selamat!
"Mimpi itu...," gumam Ki Dagul di sisi mayat
Kertajingga yang mengejang. Si tua bangka ingat pada mimpinya kembali.
"Rasanya aku pernah kenal dengan orang
yang mencekiknya dalam mimpi, kendati wajahnya
tak bisa kukenali...," pikir Ki Dagul lagi.
Cukup lama dia mengingat-ingat. Otaknya
yang memang sudah tumpul terkikis pengaruh tuak
membuat dia harus berkutat keras mengingat-ingat
pemuda yang disaksikannya dalam mimpi. Syukur-
lah, setelah berusaha sehari semalam untuk men-
gingat, akhirnya dia mendapat jawaban juga.
"Eh, Kutu Busuk! Aku ingat sekarang.... Pe-
muda yang kusaksikan dalam mimpi itu kan, mu-
ridnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul!"
Setelah itu, barulah dia terjingkat kaget.
"Kertajingga! Kenapa pemuda gendeng itu bi-
sa-bisanya membunuh sahabatku?!" simpulnya se-
mena-mena. Padahal dia tak pernah menjadi saksi
mata langsung bahwa sahabatnya dibunuh oleh Sa-
tria Gendeng, kecuali dalam mimpi!
Lalu dia ngamuk-ngamuk di tempat.
Guci tuak dibantingnya. Tuak berceceran ke
mana-mana. Sesudah itu dia menyesal sendiri se-
tengah mati. Itu kan, sisa tuaknya yang dijatahkan
untuk seminggu!
Selagi mengutuki dirinya sendiri, mendadak
saja angin berhembus demikian kuat. Debu di seku-
jur pakaian berhamburan. Pakaiannya sendiri
menggelegar-gelepar. Juga rambutnya. Dan astaga,
juga kulit kendor pipinya!
Ada setan lewat? Ki Dagul tak begitu yakin.
Dugaannya, ada biang kerok yang sengaja cari per-
kara! Memang dia sendiri sedang naik darah. Perta-
ma karena sahabatnya terbunuh, kedua karena
tuaknya untuk persediaan seminggu berantakan.
Jadi, kalau ada yang sengaja mau jadi sasaran ke-
marahan, bagus sekali!
"Kunyuk! Mau kubuatkan borok di jidatmu,
ya?!" teriak Ki Dagul, kalap.
Mata Ki Dagul jelalatan kian kemari. Cari sa-
na, cari sini. Jangan mentang-mentang punya sedi-
kit kemampuan lari cepat yang tinggi, mau seenak-
nya di depan congorku, pikirnya.
Di mana-mana tidak ada orang. Kecuali
mayat Kertajingga yang masih mengejang. Cuma se-
karang sudah dalam posisi tengkurap, terseret angin
keras tadi.
Ki Dagul menggeram.
"Menantangku, rupanya...."
Tua bangka itu pun mau sedikit unjuk gigi.
Dia mempersiapkan ajian. Telapak tangan digesek-
gesekkan, lalu ditiupnya keras-keras.
"Fhuah!"
Jangan kira dia hendak bermain sulap. Si
bangkotan tukang mabuk satu ini hendak menge-
rahkan salah satu ajian dahsyatnya. Terbukti sete-
lah itu dia bergerak, memainkan satu kembangan
jurus.
Tak begitu lama, wajahnya terbakar. Matanya
memerah. Tubuhnya bergetar. Rahangnya mengeras.
Setelah menepukkan telapak tangan, teriakannya
terlontar.
"Heaaakh!"
Sebelum dari telapak tangannya terlepas ajian
tenaga dalam yang bisa memporak-porandakan seki-
tarnya seperti diterjang angin puting beliung, men-
dadak ada suara di belakangnya.
"Cukup! Kau tak perlu melakukannya!"
Apa lacur, ajian sudah tinggal dilepaskan.
Kebelet boleh jadi. Sayangnya, orang yang hendak
dipaksa keluar ternyata sudah menampakkan ba-
tang hidungnya. Buat apa lagi ajian dilepas? Tapi
kalau tidak dilepas, kepalanya bisa 'ngebul'!
Ketimbang menyiksa diri, mending cari kor-
ban, timbang Ki Dagul. Tubuhnya cepat berbalik. "
"Huph!"
Wush!
Tepat ke arah datangnya suara barusan, Ki
Dagul pun melepaskan ajiannya.
Tanah sepanjang aliran tenaga dahsyat dari
telapak tangan tua bangka pemabuk itu terbongkar,
seakan ada makhluk halus menyeret dirinya di atas
tanah. Butirannya mencelat jauh. Itu berlangsung
sejauh kira-kira dua puluh tombak. Diakhiri dengan
satu dentuman santer di ujung aliran tenaga tadi. Ki
Dagul merengut.
Di tempat dia melepaskan ajian, tak ada lagi
orang berdiri.
"Bukankah sudah kukatakan kau tak perlu
melakukannya, Orang Tua!"
Terlempar teriakan di udara.
Ki Dagul tersentak. Kepalanya menengadah.
Disaksikannya sesosok tubuh sedang meluncur tu-
run dari udara. Rupanya, orang itu baru saja meng-
hindari serangan Ki Dagul dengan cara melompat
tinggi-tinggi!
Begitu tiba di tanah, barulah sosoknya bisa
terlihat dengan utuh. Seorang lelaki berusia terbi-
lang muda. Sekitar tiga puluhan tahun. Bertubuh
kekar. Rambutnya panjang diikat ke belakang. Wa
jahnya terbilang cukup menarik. Memiliki kumis ti-
pis serta cambang memanjang. Pakaiannya necis.
Berwarna merah dari bahan yang juga mahal. Di ba-
lik belahan pakaiannya di dada, tersembul ujung ki-
pas lipat.
"Bicara padaku, ada perlu apa kau ke tempat
ini?!" seru Pengemis Arak.
"Berkaitan dengan kematian Si Jenggot Perak
itu," sahut pemuda berpakaian merah seraya menge-
luarkan Kipas lipat. Dengan gaya yang tergolong
luwes untuk seorang lelaki, dia membuka kipasnya.
Di depan wajahnya, digerak-gerakkannya benda itu.
Cuping hidung Ki Dagul terungkit. Mulai pa-
nas lagi dia kalau sudah menyangkut sahabatnya
yang sudah jadi bangkai.
"Kau turut campur dalam kematiannya? Ayo,
mengaku!"
Pemuda berpakaian merah tersenyum di balik
kipas yang menutupi setengah wajahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua.... Aku justru hen-
dak memberitahukanmu tentang masalah itu."
"Tak perlu! Aku sudah tahu!" tebas Ki Dagul.
Dasar bangkotan sok tahu!
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah menanggapi
sikap keras Ki Dagul dengan senyum.
"Baik," katanya kemudian. "Kalau ternyata
kau sudah tahu, sebaiknya aku segera pergi dari si-
ni," tandasnya seraya membalikkan badan.
"Eit, tunggu dulu!" cegah Pengemis Arak,
Lelaki berpakaian merah tak segera memba-
likkan badan kembali. Dia hanya berdiri di tempat.
"Ada apa lagi, Orang Tua? Bukankah kau berkata
kau tak memerlukan pemberitahuanku?" ucapnya,
tenang.
"Sial, aku bukan berkata tak membutuhkan
pemberitahuanmu, Kutu Busuk! Aku cuma bilang
kalau aku tahu soal pembunuhan sahabatku ini!"
"Apa yang kau tahu?"
Ki Dagul terdiam. Rasanya, dia sedang dis-
udutkan oleh pertanyaan lelaki berpakaian merah.
Dia tidak senang diperlakukan seperti itu. Maunya
dia langsung tarik urat leher, memaki orang itu se-
sukanya dia. Tapi kok, dia kepingin tahu juga apa
yang diketahui oleh lelaki berpakaian merah.
Ki Dagul garuk-garuk kepala. Pakai cengenge-
san segala.
"Bagaimana kalau kau tak menanyakan soal
itu?" tawarnya. Nada suaranya terdengar lebih ber-
damai.
Tetap dengan posisi membelakangi, lelaki
berpakaian merah bertanya, "Lalu apa maumu?"
"Mauku? He he he.... Ya, jelas aku ingin tahu
apa yang kau ketahui sebenarnya! Kenapa kau jadi
tolol sekali, hah!"
Dibarengi deheman kemenangan, lelaki ber-
pakaian merah membalikkan badan kembali.
"Ayo bilang sekarang! Kau tunggu apa lagi?!"
desak Pengemis Arak, ngotot.
Sebentar lelaki berpakaian merah hanya
mengebut-ngebutkan kipas di depan wajah. Sikap-
nya itu benar-benar menyebalkan Ki Dagul.
"Aku ragu, apakah kau akan mempercayai
ucapanku nanti," katanya akhirnya.
Cuping hidung Ki Dagul kembang-kempis.
"Sudah sejak tadi aku menunggu ucapanmu.
Sekarang kau malah bertanya apakah aku akan per
caya atau tidak? Sialan! Kenapa kau tak mengata-
kan saja apa yang kau ketahui?!"
"Baik, baik.... Asal kau tahu, orang yang
membunuh Si Jenggot Perak adalah Satria Gen-
deng!"
Demi mendengar ucapan lelaki berpakaian
merah terakhir, Ki Dagul memperlihatkan wajah be-
rangnya. Berkali-kali dia menggeram dalam.
"Jadi mimpiku itu benar," desisnya.
"Kau ingin tahu pula kenapa pendekar muda
yang selama ini dikenal sebagai satria golongan lu-
rus itu tega membunuh sahabatmu?" susul lelaki
berpakaian merah.
"Apa?! Ayo katakan, katakan!"
"Karena Satria Gendeng tergoda untuk memi-
liki benda pusaka pemberian Pertapa Cemara Tung-
gal yang telah diberikan kepada Si Jenggot Perak.
Selama ini, desas-desus yang terdengar cuma me-
nyebutkan bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah
memberikan satu benda pusaka pada seseorang,
bukan? Orang itu adalah Si Jenggot Perak, saha-
batmu. Tak ada seorang pun yang mengetahui hal
itu, kecuali Satria Gendeng. Karena itu pula, dia be-
rani merebutnya dari tangan Si Jenggot Perak. Den-
gan begitu, orang hanya tahu bahwa Si Jenggot Pe-
rak telah terbunuh. Sedangkan dirinya seolah-olah
adalah orang yang telah menerima benda pusaka
itu. Kau mengerti, Orang Tua?"
"Tidak!"
EMPAT
HUTAN Pemantingan. Tempat pepohonan
raksasa tumbuh liar membentuk pagar alam nan
perkasa. Tempat satwa membangun istana. Tempat
sejuta mambang bercengkerama. Juga tempat hali-
mun mengendap turun.
Siang itu, dua sosok tubuh memasuki hutan
belantara tersebut. Rapatnya pepohonan raksasa
yang menjulang dengan daunnya yang rimbun,
membuat matahari tengah hari tak punya daya un-
tuk menghujamkan sinarnya hingga ke tanah. Ta-
nah sendiri ditimbuni dedaunan tebal. Berjalan di
atasnya seolah berjalan di atas kasur jerami.
"Apakah kita sudah tiba di tempat yang dika-
takan empat cecunguk itu, Balaputra?" tanya salah
seorang penjelajah hutan. Saat itu keduanya sudah
tiba di tengah-tengah Hutan Pemantingan. Mereka
adalah Hantu Wajah Batu dan si Ludah Darah. Sete-
lah mereka berhasil mendapatkan keterangan dari
empat begal yang mereka lawan beberapa waktu la-
lu, keduanya pun segera menuju Hutan Pemantin-
gan. Tujuan mereka hendak bertemu dengan Perta-
pa Cemara Tunggal di tempat yang sama ketika
keempat begal menyaksikan penampakan pertapa
wanita melegenda itu.
Orang yang dipanggil Balaputra, yang tak lain
si Ludah Darah, mengedarkan pandangan.
"Kalau menilik keadaan tempat ini, aku yakin
di sinilah mereka menyaksikan penampakan Pertapa
Cemara Tunggal itu, Joran," sahut Ludah Darah.
"Ya, aku pun merasa kita telah tiba di tempat
yang kita tuju," timpal Hantu Wajah Batu.
"Jadi, bagaimana lagi?"
"Sebaiknya kita menanti malam tiba. Bukan-
kah empat cecunguk itu menyaksikan Pertapa Ce-
mara Tunggal pada malam hari?"
Mendadak Balaputra mengangkat tangan,
memberi isyarat pada Hantu Wajah Batu untuk me-
nutup mulut. Matanya terhunus tajam ke satu su-
dut.
"Kau lihat itu...," bisik Ludah Darah dengan
tubuh nyaris tak bergemik.
Pada arah di mana Ludah Darah melepas
pandangan, terlihat sesosok tubuh lain. Tepatnya
berada di sebuah pohon besar. Karena tertutupi oleh
semak belukar lebat, kedua lelaki itu tak begitu
memperhatikan saat pertama tiba.
Dari tempat mereka berdua sendiri, yang jelas
terlihat cuma kepala dan separo badan orang itu.
Karena posisinya membelakangi, yang terlihat pun
cuma rambutnya yang panjang hitam tergerai serta
sebagian punggung.
"Apakah mungkin itu adalah Pertapa Cemara
Tunggal?" bisik Hantu Wajah Batu.
Pada saat yang sama, Ludah Darah pun ber-
pikiran serupa. Cuma saja, dia tak begitu yakin.
Kendati begitu, tak urung dirinya dilanda ketegan-
gan. Penyebabnya tentu saja ada. Menurut cerita ra-
kyat, Pertapa Cemara Tunggal adalah seorang perta-
pa wanita yang kesaktiannya sudah sulit terukur.
Usianya demikian tua, namun penampilannya tetap
muda dan mempesona. Sebagian orang percaya
bahwa pertapa wanita itu sudah menjelma menjadi
manusia gaib.
Pikir punya pikir, mereka berdua hanya akan
terus diam menatapi kalau tak segera mengambil
tindakan. Mereka harus mencari tahu apakah sosok
yang terlihat adalah Pertapa Cemara Tunggal atau
bukan.
Jarak tempat mereka dengan sosok itu tak
begitu jauh, karenanya mereka tak perlu beranjak
lebih dekat. Dengan dada yang mulai berdentam-
dentam, serta berharap-harap akan menyaksikan
seorang wanita cantik, Ludah Darah mencoba ber-
dehem.
"Ehem!"
Tak ada tanggapan. Sosok itu tetap tak berge-
rak dari posisi duduknya.
Ludah Darah memandang Hantu Wajah Batu.
Begitu pun sebaliknya. Keduanya saling berpandan-
gan seperti dua orang tolol pesakitan. Sebagai dua
orang tokoh persilatan yang cukup punya nama,
mereka seperti kehilangan nyali.
"Coba kau berdehem sekali lagi, Balaputra,"
usul Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menatap Hantu Wajah Batu.
Ada yang tak beres dengan si Joran, pikirnya. Bu-
kankah perkara berdehem dapat dilakukannya sen-
diri? Kenapa harus menyuruh aku, gerutunya mem-
batin.
"Ehem!"
Akhirnya Ludah Darah berdehem juga.
Untuk deheman kedua, mereka mendapatkan
hasil. Tubuh sosok yang mereka lihat bergemik.
Dada kedua lelaki itu makin seradak-seruduk
di dalam. Mereka rasanya sudah yakin sekali akan
menyaksikan satu wajah mempesona yang bisa jadi
akan merontokkan jantung!
Yakin sekali!
Ketika orang yang duduk dalam posisi berse-
madi itu menolehkan wajah, keduanya malah jadi
merasa baru saja membodohi diri sendiri. Mereka
kecele! Jangankan cantik mempesona, orang itu ma-
lah berkumis dan berjambang! Mana ada wanita se-
perti itu di jagat ini?
"Siapa kau sebenarnya?" tegur Ludah Darah
bersama ringisan di bibir.
Dari posisi bersemadi, tubuh orang yang dite-
gur mencelat ringan, hanya dengan memanfaatkan
sentakan otot perut dan punggung. Bukan unjuk
kebolehan yang sembarangan.... Setelah melakukan
putaran seperti batang tombak berpusing di udara,
orang itu hinggap hanya lima langkah dari Hantu
Wajah Batu dan Ludah Darah.
Orang itu ternyata lelaki berpakaian merah
yang menemui Ki Dagul. Seperti kebiasaan sebe-
lumnya, dikeluarkannya kipas lipat dari balik pa-
kaian. Di depan wajah, dikebut-kebutkannya kipas
itu.
* * *
"Begitu ceritanya," tutup Ki Dagul, mengakhiri
ceritanya pada Satria Gendeng yang mendengarkan
dengan mulut ternganga-nganga.
"Jadi itu sebabnya kau menyerangku begitu
rupa, Pak Tua Pengemis Arak? Gila benar!" tanggap
Satria, merutuk-rutuk.
"Aku memang gila. itu sebabnya aku dijuluki
Pengemis Arak!" sambar Ki Dagul, nyasar ke mana
mana.
"Kau sendiri mempercayai kalau aku telah
membunuh Jenggot Perak hanya untuk merebut pu-
saka yang tak pernah kulihat seumur hidup itu?"
"Tentu saja. Aku melihat sendiri kau telah
melakukannya!"
Satria mendelik. Ini lebih gila lagi. Dia tak
pernah bertemu dengan Jenggot Perak, tak pernah
tahu tentang benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal
yang diributkan orang-orang persilatan, lantas ba-
gaimana mungkin si bangkotan yang otaknya cuma
berisi tuak itu berkata telah menyaksikan dirinya
membunuh Kertajingga?
"Kau jangan mengada-ada, Pak Tua!" sergah
pendekar muda itu, setengah menghardik.
"Ei, kau sudah membunuh sahabatku. Jan-
gan menambah dosa lagi dengan menghardikku se-
perti itu!"
"Bukan maksudku begitu. Cuma aku tak ha-
bis mengerti kau bisa menuduhku begitu."
"Aku gila, dan orang gila boleh melakukan
semaunya!"
"Begini saja. Kau benar-benar melihatku
membunuh Kertajingga?" tandas Satria. Mulas pe-
rutnya kalau terus melayani kegilaan Ki Dagul.
Ki Dagul meringis sambil menepuk keningnya
sendiri.
"O, iya. Tadi aku lupa menceritakan soal
mimpiku, ya?" ucapnya, seperti tanpa dosa.
Satria baru mulai mengerti sekarang.
"Jadi, kau hanya melihatku membunuh Ker-
tajingga dalam mimpi?!" perangahnya.
"Bukan! Bukan begitu, Tolol!" Ki Dagul malah
ngotot. Lalu ocehnya lagi. "Aku justru bermimpi kau
mencekikku hingga mampus, mengerti? Lantas, aku
melihat Kertajingga di kejauhan menggapai-
gapaikan tangan. Jadi kusimpulkan saja bahwa kau
telah membunuh sahabatku itu. Mudah, bukan? He
he he...."
Ngaco! Dalam hati, Satria menyumpah-
nyumpah.
Tanpa mempedulikan kekeh panjang Ki Dagul
serta kesibukannya menenggak tuak, murid dua to-
koh kenamaan Tanah Jawa itu mencoba mereka-
reka apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan me-
libatkan dirinya ke dalam masalah itu. Menilai cerita
Ki Dagul yang belum lama didengarnya, Satria ber-
kesimpulan ada satu pihak yang mencoba memfit-
nah dirinya.
Langkah awal yang paling tepat buatnya
mungkin mencari tahu dahulu dari lelaki berpakaian
merah yang bertemu dengan Pengemis Arak di tem-
pat terbunuhnya Jenggot Perak. Ada kecurigaan
bahwa orang itulah yang dengan sengaja menuduh
Satria. Namun, itu sekadar prasangka saja. Satria
tak bisa langsung menjatuhkan tuduhan tanpa buk-
ti yang jelas. Memangnya seperti tua bangka berotak
singit yang masih saja terkekeh-kekeh di depannya!
Selagi Ki Dagul menenggak tuak dari guci be-
sarnya, Satria Gendeng segera menyingkir.
Begitu Ki Dagul menurunkan guci tuaknya,
pendekar muda itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di tempatnya berdiri, Ki Dagul mengamuk-
amuk sendiri dengan sumpah serapah yang tak ter-
putus!
"Dosamu sudah bertambah lagi, Bocah Bu
duk! Kalau kau kutemukan lagi nanti, akan kukuliti
kepalamu!"
* * *
Kembali ke wilayah Hutan Pemantingan. Keti-
ka itu lelaki berpakaian merah mengayun langkah
lebih dekat ke arah Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah. Sungguh, sulit sekali dibedakan cara me-
langkahnya dengan seorang perawan muda. Luwes.
Kemayu. Sepertinya, ada yang tidak beres pula den-
gan isi otak lelaki itu.
Menyaksikan pinggul lelaki berpakaian merah
melenggak-lenggok, Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah jadi saling pandang. Mereka semula memang
mengira orang yang mereka lihat adalah perempuan.
Perkiraan mereka keliru. Yang sama sekali tidak
disangka-sangka, mereka akan berjumpa dengan le-
laki berkumis berwajah tampan tapi celakanya ma-
lah bertingkah seperti perempuan!
Dua tindak dari tempat berdiri keduanya, le-
laki berpakaian merah menghentikan ayunan kaki.
"Apa keperluan kalian di sini?" tanyanya.
Lain dengan Ludah Darah yang agak
'merinding' terhadap sikap dan tingkah lelaki berpa-
kaian merah, Hantu Wajah Batu justru langsung
naik darah.
"Kau sendiri sedang melakukan apa?!" sam-
barnya, bermusuhan.
"Aku?" ulang lelaki berpakaian merah seraya
menaikkan sebelah alls. "Aku hanya sedang berse-
madi. Kau tahu, tempat ini merupakan tempat yang
bagus. Begitu yang kudengar."
"Peduli setan!" rutuk Hantu Wajah Batu men-
desis.
"Jadi," lanjut lelaki berpakaian merah. "Jika
kalian sudi, sebaiknya kalian segera pergi dari tem-
pat ini. Aku sama sekali tak ingin diusik."
Kunyuk, maki Hantu Wajah Batu dalam hati.
Pikirnya dia penguasa Hutan Pemantingan apa?
Kemarahan lelaki bertudung ini pun menggelegak.
"Kenapa tidak kau saja yang menyingkir dari
tempat ini?!" bentaknya.
Lelaki berpakaian merah tersenyum. Matanya
melirik Hantu Wajah Batu lekat-lekat.
"Tampaknya, kawanmu ini tidak pernah di-
ajarkan sopan santun oleh ibunya…." cemoohnya,
pedas.
"Jangan sebut-sebut Ibuku!"
Makin sewot Hantu Wajah Batu.
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah tersenyum.
Ludah Darah yang berkepala lebih dingin
menggeleng-gelengkan kepala. Dia mundur beberapa
tindak. Dia tahu pasti apa yang bakal terjadi kalau
Hantu Wajah Batu sudah mulai memaki.
Rupanya pula, lelaki berpakaian merah pun
melihat gelagat tersebut. Dia tak tampak gentar. Ma-
lah dia memancing lebih jauh kekalapan Hantu Wa-
jah Batu. Dibalikkannya badan dengan gerak-gerik
yang serba gemulai. Kakinya mulai melangkah men-
jauh seakan menganggap Hantu Wajah Batu cuma
setumpuk kotoran kerbau.
Benar-benar mengajak perang dia!
"Berhenti kau, atau kuhantam dari belakang!"
ancam Hantu Wajah Batu. "Tak ada yang berani
mengejekku lalu dapat pergi seenaknya!"
Lelaki berpakaian merah tak ambil pusing.
Ludah Darah meringis kecil. Jadi juga, pikir-
nya.
LIMA
LUDAH Darah tak mau mempersulit urusan.
Tak ada gunanya bertarung dengan orang yang tak
dikenal sama sekali. Tanpa ada urusan atau alasan
yang jelas pula. Kalau kawan seperjalanannya terli-
bat perkelahian dengan lelaki berpakaian merah, ce-
pat atau lambat dia pun akan terseret. Ludah Darah
sama sekali tak menginginkan hal itu.
Ketika Hantu Wajah Batu sudah menggelegak
hingga ke kepala, Ludah Darah segera mencegah
agar lelaki berwajah kaku dan tegang itu tak men-
gumbar kemarahannya.
Tangan Hantu Wajah Batu cepat dicekal oleh
Ludah Darah ketika baru saja hendak mengirim tin-
ju geledek ke bokong lelaki berpakaian merah.
"Biar kuhajar dia, Balaputra!" geram Hantu
Wajah Batu.
Ludah Darah menggelengkan kepala.
"Jangan bodoh! Kau hanya akan membuang-
buang tenaga!" katanya memperingati. "Apa tak se-
baiknya kita bertanya padanya tentang Pertapa Ce-
mara Tunggal. Barangkali saja dia tahu," lanjutnya.
"Terserahlah!" rutuk Hantu Wajah Batu se-
raya menyentak cekalan tangan Ludah Darah.
Seandainya mereka berdua tidak punya kepentingan
dan tujuan yang sama, sudah dihantamnya pula
Ludah Darah!
"Kenapa dicegah?"
Seakan mengejek, lelaki berpakaian merah
berujar santai sambil tetap melangkahkan kaki den-
gan lenggoknya yang membuat Hantu Wajah Batu
semakin sebal.
"Aku hendak menanyakan tentang Pertapa
Cemara Tunggal padamu. Apakah kau mengetahui
sesuatu tentang beliau?" tanya Ludah Darah, tak
mau bertele-tele.
Lelaki berpakaian merah terdiam sebentar.
Mendadak saja tubuhnya melenting ringan ke udara.
Dia hinggap di tempat semula dalam posisi berse-
madi pula.
"Percuma kalian menanyakan hal itu," ka-
tanya kemudian.
"Kenapa begitu?" kejar Ludah Darah.
"Karena yang kalian dengar selama ini ten-
tang Pertapa Cemara Tunggal tak lebih dari dongeng
belaka. Aku sendiri tak pernah mempercayainya."
"Ah, pembual! Kau sendiri di sini hendak
apa?! Bukankah kau pun berniat bertemu dengan
Pertapa Cemara Tunggal?" sodok Hantu Wajah Batu.
"Sudah aku bilang, aku di sini dengan tujuan
untuk bersemadi," balas lelaki berpakaian merah.
"Bersemadi untuk bisa bertemu dengan Per-
tapa Cemara Tunggal!" sambar Hantu Wajah Batu.
"Keliru! Lagi pula, apa urusanmu?"
Mulai menggelegak lagi darah Hantu Wajah
Batu mendengar ucapan-ucapan lelaki berpakaian
merah. Dia melangkah maju beberapa tindak den-
gan wajah siap menantang untuk satu pertarungan
sampai mati.
Ludah Darah sekali lagi harus mengejarnya
dan cepat menghadang. Saat itulah mata Ludah Da-
rah tertumbuk pada sesuatu yang menarik di bawah
lelaki berpakaian merah. Sebelumnya dia tak me-
nyaksikan karena pandangannya terhalang oleh ge-
rombolan semak. Lelaki berpakaian merah ternyata
duduk bersila di atas sebongkah kepala manusia!
Saat itu, tidak bisa tidak Ludah Darah jadi
sempat berpikir dia sedang berurusan dengan orang
sinting.
Bisa juga dengan seorang penganut ilmu se-
sat. Yang kedua tak diinginkannya. Jika lelaki ber-
pakaian merah memang bersemadi untuk menuntut
satu ilmu sesat di tempat itu, dia tak akan menying-
kir sampai tujuannya tercapai. Sedangkan Ludah
Darah dan Hantu Wajah Batu sendiri punya kepen-
tingan lain terhadap tempat tersebut. Cepat atau
lambat, pertarungan untuk memperebutkan tempat
tampaknya akan meletus juga.
Ludah Darah melirik rekannya.
"Kenapa kau jadi menatapku seperti itu? Tadi
kau telah mencegahku menghajar lelaki sial itu. Se-
karang jangan salahkan aku!" tukas Hantu Wajah
Batu, menggerutu.
"Tampaknya kita terpaksa harus mengusirnya
juga, Joran," tanggap Ludah Darah.
Hantu Wajah Batu mengepalkan tangan. Ja-
rinya meremas-remas liat.
."Biar aku yang urus!"tandasnya. Memang se-
jak tadi dia menunggu untuk melakukan hal itu.
"Hei, bersiaplah kau untuk kuusir seperti ti-
kus buduk!" seru Hantu Wajah Batu.
"Kau kuperbolehkan mencobanya sejak tadi,
bukan?" sahut lelaki berpakaian merah, sama sekali
tak terdengar gentar. Tak terlihat dia hendak bersiap
menyambut serangan calon lawan. Dia tetap duduk
membelakangi.
Teriakan keras menggelegar dari kerongkon-
gan Hantu Wajah Batu, mengawal lompatan ting-
ginya. Kaki kanannya terbentang lurus, menuju leh-
er belakang lelaki berpakaian merah
Satu tendangan menggeledek berkekuatan
amukan lima ekor banteng jantan siap mematahkan
batang leher lawan.
Lelaki berpakaian merah sendiri seperti tak
menganggapnya sebagai satu ancaman. Kendati ter-
jangan lawan sudah setengah jalan, dia masih saja
belum bergerak dari tempatnya. Ketika sisi telapak
kaki Hantu Wajah Batu tinggal dua jari lagi menda-
rat, barulah dia melakukan gerakan. Itu pun kecil
saja. Hanya terbatas menyorongkan badan ke samp-
ing. Anehnya, gerakan seperti itu tidak membuat po-
sisi silanya menjadi kehilangan keseimbangan, ken-
dati dia duduk di atas sebuah kepala.
Lolos serangan pembuka membuat Hantu
Wajah Batu makin kalap saja. Kini dia berdiri ber-
hadapan dengan lawan yang masih tak beranjak dari
tempatnya.
"Jangan cepat merasa menang, Sobat!" den-
gus Hantu Wajah Batu, menyaksikan senyum men-
gejek di bibir lawan.
Lalu diterjangnya kembali lelaki berpakaian
merah. Tubuhnya mencelat lurus dengan tangan te-
racung keras ke muka. Serangan Hantu Wajah Batu
kali ini tidak dihadapi lawan dengan cara menghin-
dar. Lelaki berpakaian merah menggerakkan kedua
tangannya.
Dak!
Benturan terjadi. Tubuh Hantu Wajah Batu
seketika terpantul kembali ke belakang. Terpental
dia hampir sejauh sepuluh tombak. Sementara lelaki
berpakaian merah tidak begitu. Dia masih tetap di
tempatnya. Sewaktu terjadi benturan antara tenaga
dalam, badannya hanya sempat tersentak!
Ludah Darah yang sejak awalnya hanya men-
jadi penonton dibuat terkesiap juga dengan kenya-
taan itu. Rupanya orang ini tidak bisa dianggap
main-main, nilainya. Menilik kejadian tadi, setidak-
nya Ludah Darah bisa sedikit mengukur kedig-
dayaan lawan. Kemampuan tenaga dalam lawan
tampaknya lebih kuat dua kali lipat dari milik Hantu
Wajah Batu. Jika demikian, tak ada harapan besar
bagi lelaki bertudung berwajah membatu itu untuk
memenangkan pertarungan.
Kembali ke kancah pertarungan. Hantu Wa-
jah Batu terpana sesaat setelah mampu menem-
patkan kuda-kudanya kembali di atas tanah. Tak
pernah disangkanya lawan akan memiliki tenaga da-
lam jauh lebih kuat di atasnya. Dia mulai menyada-
ri, dirinya mungkin tak bisa unggul. Hanya karena
sifatnya yang keras kepala, dia tak pedulikan hal itu.
"Kau pikir, aku akan gentar?" desisnya penuh
api kegarangan di sepasang matanya. Di ujung desi-
san, dia pun memainkan kembangan jurusnya kem-
bali. Sesaat kemudian, serangan susulan dilakukan.
Tak kalah berbahaya dari sebelumnya.
"Remuk kau!"
Dan seruntun hantaman serta tendangan
menghujani lelaki berpakaian merah. Bertubi-tubi.
Membabi buta. Seakan tak ada satu celah kosong
pun terlewatkan. Sejauh itu, tak ada satu pun se-
rangan Hantu Wajah Batu menemui sasaran. Sam-
pai suatu saat, tangan lelaki berpakaian merah
membuat satu sodokan amat cepat. Amat sulit me-
nangkap gerakannya, bahkan oleh mata yang amat
jeli sekalipun.
Bes!
"Egh!"
Ketika itu juga tubuh Hantu Wajah Batu ter-
sentak ke belakang. Karena dia berusaha untuk te-
tap bertahan pada kuda-kuda, tubuhnya jadi terse-
ret beberapa depa ke belakang dalam posisi berdiri.
Seretan kakinya membentuk parit kecil yang cukup
dalam.
Mungkin, keberhasilan Hantu Wajah Batu
mempertahankan kuda-kudanya patut menda-
patkan acungan jempol, mengingat betapa hanta-
man lawan demikian kuat. Namun begitu, luka da-
lam harus ditelannya juga. Tak lama setelah seretan
tubuhnya terhenti, dia pun memuntahkan darah se-
gar.
Dengan wajah yang tak berubah, dia menatap
nanar lelaki berpakaian merah. Lawan tetap pada
posisi semula. Sedikit pun tubuhnya tidak beranjak.
"Aku tetap belum kalah, Sobat!" keluhnya,
namun dengan nada yang tak terdengar mengalah.
Setelah mengatur pernapasan dan menotok
beberapa jalan darah di bagian dada, lelaki berpe-
rangai keras itu menyiapkan jurus barunya.
Ludah Darah di luar kancah mulai melihat
gelagat tak baik. Sudah saatnya dia turun tangan
membantu Hantu Wajah Batu. Jika tidak, dia akan
kehilangan rekannya yang dibutuhkan untuk tujuan
mereka mendatangi Hutan Pemantingan.
Berbarengan dengan lompatan Hantu Wajah
Batu dari arah depan, Ludah Darah pun menerkam
dari arah belakang.
"Kalahkan dia, Joran!" serunya, memberi se-
mangat tarung pada rekannya yang sudah kecolon-
gan.
Sebagai warga persilatan, sesungguhnya Lu-
dah Darah merasa tak pantas dengan tindakan ter-
sebut. Satu lawan dua. Belum lagi dia telah membo-
kong dari belakang. Tindakan yang tak satria sama
sekali.
Namun Ludah Darah tahu, dengan tindakan
itu pun mereka belum tentu memiliki kesempatan
besar untuk menang. Selain itu dia tak berniat un-
tuk membunuh lelaki berpakaian merah. Hanya in-
gin menyingkirkannya dari tempat itu. Meski dengan
begitu, terselip juga rasa tak enak hati. Betapa dia
telah merasa membodohi diri sendiri. Untuk membe-
la kepentingan sendiri dia sudah membenarkan se-
gala cara.
Pada saat lelaki berpakaian merah menjadi
sasaran serangan dari dua kutub berbeda, dengan
kekuatan yang bukan main-main pula, mendadak
saja terjadi kejadian tak terduga sama sekali. Baik
oleh Hantu Wajah Batu ataupun Ludah Darah.
Dari silanya, lelaki berpakaian merah seketika
mencelat gesit ke atas. Tak terlihat dia menggerak-
kan badan sama sekali, di bagian mana pun. Seper-
tinya, dia sendiri tak pernah menghendaki tindakan
itu.
Dalam keadaan menerjang, kedua lawannya
sempat pula dibuat terheran. Ada sesuatu yang tak
beres sedang terjadi, pikir mereka. Dan bukan mus-
tahil, mereka menghubung-hubungkan kejadian itu
dengan keberadaan pertapa sakti wanita; Pertapa
Cemara Tunggal yang begitu ingin mereka temui.
Prasangka mereka terbukti keliru sesaat sete-
lah lelaki berpakaian merah mencelat tiga depa da-
lam posisi masih bersila ke udara. Sebab, setelah itu
menyusul sesuatu mencelat pula. Muncul menera-
bas seolah-olah keluar dari dalam tanah!
Wrerrr!
Sewaktu luncuran badan Hantu Wajah Batu
dan Ludah Darah telah mencapai titik sasaran, me-
reka baru menyadari kalau sesuatu yang mencelat
ringan dan gesit itu adalah sesosok manusia. Dis-
adari pula oleh mereka bahwa batok kepala yang se-
lama itu diduduki oleh lelaki berpakaian merah ter-
nyata bukan sekadar kepala tanpa badan, melain-
kan kepala seseorang yang sekujur badannya dita-
nam ke dalam bumi!
Sebaliknya, mereka justru sama sekali tak
menyadari bahwa kemunculan tak terduga orang
aneh itu akan membawa akibat buruk bagi kedua-
nya!
"Huaaah!"
Das!
Ludah Darah yang terlebih dahulu kejatuhan
nasib buruk. Orang yang baru mencelat muncul dari
tanah langsung berhadapan dengan serangannya.
Karena tak menduga kemunculan lawan barunya,
Ludah Darah menjadi lengah. Serangannya yang
semula ditujukan untuk lelaki berpakaian merah
dapat diredam dengan satu tangkisan keras oleh
orang itu. Tak cuma itu, satu kaki lawan bersarang
telak di ulu hatinya.
Sedangkan Hantu Wajah Batu mendapat ha-
jaran untuk kedua kalinya dari lelaki berpakaian
merah setelah sebelumnya serangannya sendiri da-
pat dimentahkan oleh lelaki berpakaian merah.
Pasangan lelaki itu terdorong ke belakang.
Ludah Darah lebih parah. Dia hampir-hampir ter-
lempar sejauh belasan tombak.
Barulah jelas sekarang, bagaimana tenaga le-
laki berpakaian merah begitu kuat. Rupanya dia
mendapat bantuan dari orang yang selama ini didu-
duki kepalanya!
"Siapa kalian berdua sebenarnya?!" tanya Lu-
dah Darah dengan tangan mendekap dada. Henta-
kan yang diterimanya merasa membakar. Tak beda
dengan keadaan Hantu Wajah Batu, lelaki ini pun
mengalami luka dalam tak ringan. Di sudut bibirnya
mengalir darah kehitaman. Hanya saja, luka dalam-
nya lebih ringan. Bisa jadi karena tenaga yang me-
nimpa Hantu Wajah Batu adalah hasil penggabun-
gan tenaga dua orang.
Orang yang baru muncul sudah berdiri tepat
di atas lobang tempat sebelumnya dia dikuburkan.
Sedangkan lelaki berpakaian merah sudah hinggap
kembali di ubun-ubunnya. Masih pula tak mengu-
bah posisi silanya.
Bertolak belakang dengan lelaki berpakaian
merah, orang itu berpenampilan tak karuan. Tu-
buhnya yang tinggi besar seperti tokoh Bima di pe-
wayangan tak dibungkus apa pun kecuali semacam
cawat dari serat pepohonan. Dadanya dipenuhi den-
gan bulu lebat. Perutnya agak membuncit. Rambut-
nya digelung di atas kepala. Wajahnya membiru
dengan bulu kasar di seluruh rahang. Matanya bulat
membersitkan kebuasan seekor hewan pemangsa.
Sebelum menjawab pertanyaan Ludah Darah,
mencelat tawanya yang terputus-putus serak.
"Kalian telah melakukan kesalahan telah
mengganggu tapa geniku!" serunya, terdengar me-
raung.
Mendengar suaranya, Ludah Darah dan Han-
tu Wajah Batu merasakan getaran yang menggem-
pur hingga ke dasar nyali. Mereka seperti dipaksa
untuk takut.
Merasa pertanyaannya tak mendapat jawaban
memuaskan, Ludah Darah kembali bertanya.
"Siapa kalian sebenarnya?"
Mata bulat menggidikkan lelaki tinggi besar
menerkam langsung ke manik mata Ludah Darah.
Pancarnya lagi-lagi menerobos langsung ke dasar
nyali. Sebagai tokoh persilatan yang sudah terbiasa
mengalami kebuasan manusia, Ludah Darah merasa
heran juga bagaimana dia merasakan getaran takut
merayap dalam dirinya.
"Aku Kaladewa! Kuperintahkan kalian untuk
menyingkir dari tempat ini, sebelum aku memu-
tuskan untuk mengirim kalian ke neraka!" seru lela-
ki tinggi besar yang mengaku bernama Kaladewa.
"Dan aku Kasindra, muridnya!" sela lelaki
berpakaian merah.
Mau tak mau, Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah mengernyitkan kening. Bagaimana bisa seo-
rang guru bersedia muridnya menempatkan pantat
tepat di atas kepalanya?
ENAM
DALAM beberapa hari terakhir ini, Satria
Gendeng benar-benar dibuat pusing, kelimpungan
sekaligus pontang-panting. Dibuat berantakan dia
akibat tuduhan terhadap dirinya. Awalnya sejak Ki
Dagul alias Pengemis Arak uring-uringan padanya.
Lalu entah bagaimana caranya, desas-desus menye-
bar seperti penyakit menular. Dalam waktu singkat,
banyak warga persilatan menganggap dirinya seba-
gai pendekar murtad yang membunuh hanya karena
hasrat kotor menguasai benda pusaka dari Pertapa
Cemara Tung-gal.
Yang membuat dia jadi mau senewen bukan
itu saja. Tokoh-tokoh persilatan golongan hitam
yang begitu bernafsu memiliki benda pusaka Pertapa
Cemara Tunggal pun mulai memburunya. Tak enak
benar menjadi seperti hewan buruan. Ke mana-
mana selalu waswas. Di mana-mana dia harus was-
pada.
Musibah sedang betah menemaninya, ru-
panya.
Berhari-hari, pendekar muda itu pun dibuat
pening sendiri. Dia tak habis pikir, benda pusaka
apa sebenarnya yang sedang diributkan dan hendak
diperebutkan darinya! Satu-satunya benda pusaka
yang dimiliki ya cuma Kail Naga Samudera. Dan itu
jelas-jelas bukan pemberian Pertapa Cemara Tung-
gal. Selain itu dia tak memiliki apa-apa lagi. Apa per-
lu dia menganggap celana dalam bututnya sebagai
benda pusaka? Sungguh brengsek, umpatnya mem-
batin.
Manusia bercongor besar mana pula yang te-
lah seenaknya menyebar kabar burung seperti itu?
Kalau bertemu orangnya, ingin rasanya Satria me-
nyodok mulut orang itu dengan galah hingga tembus
ke bawah!
Soal Ki Dagul yang turut menuduhnya, Satria
yakin tua bangka itu pun cuma korban desas-desus.
Jelas ada orang yang hendak memfitnahnya. Hendak
menjadikannya bulan-bulanan warga persilatan.
Dan yang paling jelas, orang itu tampaknya tak se-
nang kalau seorang pendekar muda golongan lurus
seperti dirinya masih bercokol segar bugar di muka
bumi.
Belum sehari lalu, Satria Gendeng baru saja
menghadapi dua orang gila dari golongan sesat yang
memaksanya menyerahkan benda pusaka Pertapa
Cemara Tunggal. Benda pusaka apa? Sampai jidat-
nya minggat ke pantat pun tak ada yang bisa diberi-
kan. Karenanya Satria lebih suka menghindar. Tapi
dua orang sinting yang tergolong sakti itu memaksa.
Jadilah mereka bertarung.
Setelah setengah mampus membela diri, Sa-
tria mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Syukur Tuhan masih sayang sama dirinya, dia ber-
hasil lolos. Cuma, yang namanya dua manusia
slompret itu tak puas. Mereka berusaha mengejar-
nya.
Sampai hari ini, Satria masih saja main kuc-
ing-kucingan. Dengan terpaksa, dia harus melaku-
kan penyamaran yang sama sekali tak mengenak-
kan. Dia harus berpura-pura menjadi seorang pen-
gemis tua. Mengenakan pakaian rombeng, dekil, dan
bau tengik. Ditambah caping lebar yang tak kalah
menyedihkan! Karena berpura-pura sebagai lelaki
jompo, dia pun memungut batang pohon kering yang
selalu dibawa-bawanya jika sedang berjalan ter-
bungkuk-bungkuk. Betapa menyiksanya!
Mau membuat penyamaran lain, terus terang
dia tak tahu menahu. Dia bukan seorang ahli me-
nyamar yang bisa seenaknya mengganti penampilan
dan wajah seperti seekor bunglon.
Sialnya lagi, banyak orang yang benar-benar
tertipu dengan penyamaran sederhana itu. Dengan
penuh rasa kasihan, beberapa orang memberinya
'kepeng' tanpa perlu diminta. Pikir-pikir, enak juga
jadi pengemis gadungan. Tinggal pura-pura menderi-
ta, lantas uang pun datang biarpun cuma recehan.
Yang tidak enaknya, ada juga orang-orang yang
langsung membentaknya dengan muka berang sam-
bil berteriak; pergi kau, aku tak ada uang recehan!
Itu pun tanpa diminta!
Saat itu, Satria Gendeng memasuki satu desa
yang terletak di pinggir Hutan Pemantingan. Hutan
Pemantingan adalah tujuan utama yang harus dis-
elidikinya berkenaan dengan tuduhan yang harus
dia telan bulat-bulat. Menurutnya, tentu bisa dida-
patnya sedikit keterangan di sana tentang desas-
desus yang merebak.
Desa kecil itu tampak lengang ketika Satria
Gendeng tiba. Rumah-rumah gubuk berdiri berjau-
han. Satu dua orang penduduk terlihat melintas di
jalan tanah.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan
berselisih jalan dengannya disapa.
"Maaf, Pak, aku hendak sedikit bertanya pa-
damu."
Sejenak bapak setengah baya itu memperha-
tikan Satria dengan pandangan menyelidik. Di ma-
tanya terpancar bersit keheranan. Jelas dia bertanya
dalam hati karena semula dia menyangka Satria
adalah seorang tua. Namun ketika bertanya, sua-
ranya justru terkesan gagah.
Satria baru menyadarinya ketika bapak se-
tengah baya masih saja menatapinya dari ujung tu-
dung ke ujung kaki. Dengan mengumpat-umpat diri
sendiri dalam hati, bergegas diubahnya suara. Tidak
begitu meyakinkan, tapi lumayan.
Satria pun mendapat jawaban. Jika dia ingin
mengetahui tentang kabar burung yang selama ini
tersebar, dia harus menemui seorang tua di tepi Hu-
tan Pemantingan. Menurut bapak setengah baya itu
pula, si orang tua yang harus ditemui Satria layak-
nya seorang 'kuncen' untuk tempat-tempat tertentu
di Hutan Pemantingan.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan orang
tua itu?" tanya Satria lagi.
Untuk pertanyaan tersebut, Satria tak men-
dapatkan jawaban memuaskan. Ternyata bapak se-
tengah baya yang ditanya sama sekali tak pernah
mengetahui keberadaan orang tua yang diceritakan-
nya. Bahkan dia mendengar semua itu hanya dari
cerita mulut ke mulut masyarakat sekitar.
Satria geleng-geleng kepala. Dari ribut-ribut
soal benda pusaka, lalu Pertapa Cemara Tunggal,
dan sekarang ada lagi orang tua 'kuncen' Hutan Pe-
mantingan yang semuanya serba tak jelas ujung
pangkalnya. Semuanya serba 'kata orang'.
Namun begitu, Satria tetap mengucapkan te-
rima kasih.
Sekarang, dia harus memulai kembali penye-
lidikan yang makin terasa ngawur.
Sebelum dia beranjak, terdengar ringkikan
tinggi seekor kuda jantan. Ganjilnya, ringkikan kuda
itu seperti melayap ke mana-mana, melompat dari
satu tempat ke tempat lain. Seumur hidup, tak per-
nah Satria mendengar ada kuda terbang dan seje-
nisnya. Jadi, kalau bukan kuda terbang yang me-
ringkik-ringkik berpindah-pindah tempat dengan ce-
pat seperti itu, lantas apa? Kuda dedemit? Atau te-
linganya saja yang sudah sakit?
Telinga si pendekar muda Tanah Jawa sama
sekali tidak sakit. Memang ada suara ringkikan ku-
da. Tapi itu bukan berasal dari tenggorokan bina-
tang tunggangan, melainkan keluar dari kerongkon-
gan seorang lelaki tua yang terlihat di kejauhan.
Satria Gendeng mengamati.
Orang tua itu berjalan santai. Namun setiap
kali dia melangkahkan kaki, tubuhnya seperti mele-
sat sepuluh langkah. Dan tahu-tahu saja dia sudah
berdiri hanya tujuh depa dari tempat Satria berdiri.
Dari sela-sela celah tudung pandannya, mata
Satria Gendeng mengamati. Lelaki tua yang umur-
nya mungkin sudah mendekati sembilan puluhan.
Mungkin juga lebih. Keriput di wajah sudah pasti.
Kalau dinilai-nilai, tampangnya seperti seorang
priyayi. Klimis tanpa jenggot. Ada tahi lalat besar
seukuran kotoran kadal di jidatnya. Pakaiannya se-
perti seorang abdi dalam istana, lengkap dengan
blankonnya.
Sapaan pertama untuk Satria Gendeng ada-
lah senyumnya yang mekar sumringah. Sangat ra-
mah, tapi juga lucu. Terutama karena giginya tinggal
sepasang.
"Siang anak muda!" ucapnya kemudian.
Di balik tudung, Satria Gendeng dibuat agak
terperangah. Bagaimana dia dapat mengetahui bah-
wa aku bukan seorang bangkotan seperti dirinya?
Tanyanya membatin. Sungguh tajam pengamatan
orang tua ini. Atau mungkin dia punya pandangan
yang melebihi mata orang biasa? Kalau benar begitu,
tentu dia bukan seorang tua sembarangan, nilai
pendekar muda itu.
"Siang," balas Satria. Tak perlu lagi dia me-
nyamarkan suaranya. Termasuk sikap tubuhnya
yang terbungkuk-bungkuk. Percuma. Kedoknya su-
dah terbongkar hanya dengan sekali tepuk!
"Apa perlumu padaku, Anak Muda?" tanyanya
kembali pada murid dua tokoh kenamaan Tanah
Jawa.
Satria dibuat bingung sendiri. Apa perlunya?
Bukankah mereka baru saja bertemu?
Orang tua berblangkon terkekeh geli. Seperti
ringkikan kuda! "Jangan bingung. Bukankah kau
sedang mencari seseorang yang mengetahui tentang
Pertapa Cemara Tunggal?"
Satria pun menduga-duga.
"Kau orang tua 'kuncen' itu?" tanyanya, anta-
ra yakin dan tidak.
"Ya!" Lalu si tua berblangkon itu pun terkikik
geli. Tetap seperti ringkikan seekor kuda. Jadi me-
mang benar dugaan Satria sebelumnya. Bukan ke-
rongkokan kuda yang membuat suara itu, melain-
kan orang tua yang kini dihadapinya.
"Jadi kau mau bertanya apa?"
Mendapat pertanyaan tadi, Satria terbengong
sendiri. Tanpa susah mencari, tahu-tahu saja dia
sudah bertemu dengan orang yang dibutuhkan. Tapi
giliran hendak bertanya, dia malah bingung hendak
mulai dari mana....
"Baik, kalau begitu kau akan kubantu. Kau
ingin mengetahui kebenaran cerita tentang Pertapa
Cemara Tunggal, bukan?" sela orang tua berblang-
kon.
"Iya iya! Benar!"
"Cerita itu benar. Pertapa Cemara Tunggal
memang ada."
"Lalu?"
"Lalu apa? Apa yang hendak kau tanyakan la-
gi selain itu?"
Satria bingung lagi.
"Mau aku bantu lagi?"
"Boleh boleh...."
Ini jadi menggelikan. Bukankah seharusnya
justru dia yang banyak bertanya. Tapi kenapa malah
sebaliknya? Ah, peduli setan, pikir Satria.
"Kau mau tahu pula apakah Pertapa Cemara
Tunggal pernah mewariskan benda pusaka kepada
seseorang?"
"Ya ya ya. Aku memang mau tahu itu!"
Lelaki tua berblangkon menggeleng.
"Jadi tidak ada benda pusaka itu?"
Lelaki tua berblangkon itu pun menggeleng
lagi.
Satria Gendeng melongo. Jadi bagaimana?
"Benda pusaka itu ada. Yang tak benar, Per-
tapa Cemara Tunggal memberikannya pada orang
persilatan. Beliau tak pernah melakukannya...."
"Jadi, kenapa orang persilatan meributkan
bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah memberikan
benda pusaka pada seorang di dunia persilatan?!"
"Aku tak perlu menjawabnya. Kau bisa men-
cari tahu sendiri untuk masalah itu."
"Lantas, kenapa pula aku yang jadi sasaran?!"
sentak Satria, terbawa kekesalan selama beberapa
hari belakangan.
"Jangan salahkan aku, Anak Muda!"
Satria melepaskan tudungnya. Dia tidak be-
tah. Membuatnya tidak nyaman sekali. Terutama
saat-saat dia diamuk kejengkelan.
Bersungut-sungut, dia melanjutkan perta-
nyaan.
"Apakah kau tahu orang yang menjadi biang
keladi desas-desus ini, Orang Tua?"
"Itu pun kau bisa cari tahu sendiri, Anak Mu-
da. Hei, kau ini masih muda! Tenagamu masih ba-
nyak. Jangan kau cuma bisa mengandalkan orang
tua jompo seperti aku ini!"
"O, ya. Aku punya satu pertanyaan lagi,
Orang Tua. Apakah kau pernah melihat seorang le-
laki muda berpakaian merah di sekitar Hutan Pe-
mantingan?"
"Kalau yang itu, aku bisa menjawabnya. Aku
memang pernah melihatnya."
Satria Gendeng menggeram seram. Dihan-
tamkannya kepalan ke telapak tangan.
"Itu dia orangnya!" rutuknya tertekan.
Karena suntuk, Satria mengedarkan pandan-
gan ke pepohonan di sekitarnya. Siapa tahu juga dia
sedang beruntung dan langsung menyaksikan lelaki
berpakaian merah.
"Sudah cukup, bukan?" tanya orang tua ber
blangkon.
"Ya, rasanya cukup untuk saat ini," jawab Sa-
tria Gendeng seraya mengalihkan pandangannya
kembali ke arah orang yang diajak bicara. Tapi asta-
ga, orang itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda kemba-
li. Ke sana kemari. Melompat-lompat cepat seolah
mengendarai angin.
Selanjutnya, Satria Gendeng dikejutkan oleh
suara lain. Teriakannya terdengar galak dan bernaf-
su. Ya, yang didengarnya teriakan seseorang. Dan
rasanya suara itu pernah didengarnya sebelum ini.
Satria Gendeng menoleh. Dia terlonjak. Be-
nar-benar apes! Saat dia sedang membuka tudung
dan berdiri wajar tanpa perlu menyiksa diri mem-
bungkuk-bungkuk, orang yang memburunya mene-
mukan dirinya. Siapa lagi kalau bukan dua orang
sinting yang tergolong sakti!
"Slompret!" desis Satria sambil cepat-cepat
melepas langkah seribunya.
* * *
Pertarungan antara Ludah Darah, Hantu Wa-
jah Batu dengan sepasang lawan ganjilnya tak berja-
lan seimbang. Guru dan murid yang rada kualat itu
lebih banyak menjadikan Ludah Darah dan Hantu
Wajah Batu sebagai bulan-bulanan.
Pada satu gempuran sengit, pasangan rekan
muda itu dibuat terkapar berbarengan di tanah.
"Sekarang kalian tinggal pilih, hendak kubu-
nuh di tempat, atau kalian menyingkir saja dari
tempat ini!" gelak lelaki tinggi besar seperti Bima.
Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu melen-
guh-lenguh di atas tanah.
"Baik. Kali ini kami mengalah. Namun kami
akan kembali ke tempat ini suatu hari!" keluh Ludah
Darah, mengancam. Baginya, urusan tempat itu be-
lum lagi selesai.
Lalu, dengan tertatih-tatih, dia menyingkir
dari tempat itu bersama Hantu Wajah Batu. Sepe-
ninggalan mereka, lelaki tinggi besar alias Kaladewa
bersama muridnya yang tak juga beranjak dari
ubun-ubunnya tertawa berbarengan.
"Mereka cuma akan menjadi 'anjing' yang
akan menuntun Satria Gendeng pada kita!"
TUJUH
Mau menyingkir ke mana kau, Gendeng?!"
sergah seseorang di tengah jalan ketika Satria Gen-
deng berlari. Orang itu langsung menghadang di de-
pan. Seorang perempuan separo baya bermulut san-
ter. Tidak ada yang menarik pada dirinya. Sebalik-
nya, bisa dibilang serba membuat mulas. Wajahnya
judes dengan mulut yang lebar dan tipis, berbibir se-
tengah mancung, entah bagaimana bentuknya. Ma-
tanya lebih galak dari milik seekor rubah sakit gigi.
Kulitnya gelap, rambutnya malah serba putih. Se-
pertinya dia tua sebelum waktunya. Sementara pa-
kaiannya, serba 'wah'. Dari warna sampai potongan-
nya. Merah menyengat, dan terbuka di mana-mana.
Mau buat pakaian atau sangkar burung?
Dia adalah salah seorang yang sedang mem-
buru Satria Gendeng, seorang tokoh wanita dunia
persilatan terhitung dalam jajaran atas golongan se-
sat. Dia pula yang terakhir mengejar-ngejar Satria
dengan pasangan gilanya.
"Kau bertemu lagi dengan aku, Pemuda Tam-
pan!"
Satria Gendeng merutuk serta mendesiskan
dengan wajah sebal julukan perempuan itu. "Rase
Betina...."
"Itu memang julukanku!" ledek wanita yang
berjuluk Rase Betina seraya memperlihatkan se-
nyum lebar yang sok ramah.
Satria berpikir cepat. Sungguh hanya akan
membuatnya susah untuk berhadapan kembali den-
gan Rase Betina. Cuma buang-buang tenaga saja.
Jalan terbaik baginya segera berbalik badan, semen-
tara jaraknya dengan Rase Betina tak terlalu dekat.
Baru saja hendak membalikkan badan, Satria
sudah dibuat terhenyak kembali. Ternyata hari itu
dia benar-benar dibuat bulan-bulanan oleh keape-
san. Di belakang Sana, sudah berdiri pula satu
orang pengejarnya. Tentu saja pasangan Rase Betina
yang sebelumnya meneriaki dia.
Pasangan Rase Betina adalah seorang lelaki
menjelang tua. Tak ada yang istimewa dari penampi-
lannya, kecuali kepalanya yang lebih besar dari
orang kebanyakan. Dia mengenakan pakaian ber-
warna buram.
Dengan wajah tak mengenal kata damai, lela-
ki berjuluk Kepala Baja dari Utara itu mendengus.
"Sekali ini, kau tak akan bisa lolos, Satria
Gendeng!"
Satria Gendeng meringis tanggung.
Jadi juga dia 'memeras keringat'....
Pasangan golongan sesat yang menghadang-
nya melangkah satu-satu, mempersempit jarak me-
reka terhadap Satria. Satria merasa dirinya seperti
rusa buduk yang hendak diringkus hidup-hidup.
"Serahkan saja benda pusaka itu pada kami,"
ancam Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memiliki apa yang kalian minta. Per-
cuma saja kalian memaksaku, tahu?!"
"Jangan bersikeras! Kau hanya akan mem-
buat dirimu celaka!" hardik Rase Betina. Sementara
itu jarak keduanya makin dekat saja pada buruan-
nya, Satria Gendeng.
Si pendekar Tanah Jawa mengumpat dalam
hati. Mereka pikir, siapa aku sebenarnya? Cuma
anak korengan yang tak bisa apa-apa? Satria pun
mulai jadi mangkel.
"Kalian ini benar-benar dua cecunguk tua to-
lol! Begitu gampangnya kalian dibodoh-bodohi...,"
makinya.
"Jangan berani sekali lagi kau mengatakan itu
pada kami, Gendeng!" Kepala Baja dari Utara meng-
kelap. Keningnya yang lebar berkerut bagai sehelai
gombal. Parasnya jadi sematang pinggiran koreng.
"Cepat beri kami Tanduk Menjangan Terbang
itu!" pekik Rase Betina, membuat Satria hampir-
hampir melonjak kaget.
Apa lagi ini? Dalam hati, Satria bertanya-
tanya. Tanduk Menjangan Terbang? Sebelum-
sebelumnya mereka berdua tak pernah menying-
gung-nyinggung soal benda yang baru seumur hidup
didengar itu....
"Apa lagi ulah kalian ini? Tanduk Menjangan
Terbang apa yang kalian maksud?!" teriak Satria
Gendeng dengan otot leher tertarik dan wajah beran-
takan. Mangkelnya makin tak tertolong.
Rase Betina menyeringai.
"Rupanya murid tua bangka Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul pandai berlakon juga," cemooh-
nya.
Darah Satria rasanya sudah mentok sampai
batok kepala. Menuduh-menuduh saja, jangan sega-
la pakai menghina gurunya. Sesinting-sintingnya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tetap gu-
runya. Tak ada satu orang pun yang diperkenankan
menghina tua bangka itu. Tak juga seekor dedemit!
"Kalian keterlaluan, kalian tahu itu?" geram
Satria. Matanya mulai nanar.
"Ya, kami memang keterlaluan, Gendeng. Dan
kami akan lebih keterlaluan lagi jika kau tak segera
menyerahkan Tanduk Menjangan Terbang pada ka-
mi!" serobot Kepala Baja dari Utara. Kepalanya yang
kebesaran dan klimis mentereng itu bergerak-gerak
seperti ada kesalahan saraf.
"Tanduk Menjangan Terbang apa?!" sewot Sa-
tria.
"Itu benda pusaka yang telah kau rebut dari
si Jenggot Perak, Kunyuk Tampan! Apa kau tak in-
gat?" ucap Rase Betina, makin menyudutkan.
Satria memukul-mukul kepala dengan kedua
tangannya.
"Ini benar-benar gila! Benar-benar gila! Ba-
gaimana kalian begitu yakin kalau benda itu ada
padaku?!"
"Seorang yang menyaksikan kau membunuh
Jenggot Perak telah mengatakan pada kami tentang
semua itu!" lanjut Rase Betina.
Satria menurunkan tangan. Alisnya hampir
bertaut. Apakah Ki Dagul yang telah mengatakan
semua kebohongan ini pada sepasang manusia
slompret yang cuma menyusahkanku? Hatinya ber-
tanya penasaran. Apa mungkin Pengemis Arak ber-
pikiran sejahat itu? Dia mungkin berotak agak tum-
pul. Tapi untuk memfitnah, tampaknya tak mung-
kin.
"Siapa orang yang kau maksud. Rase Betina?"
selidiknya.
"Seorang lelaki muda berpakaian merah! Ah,
untuk apa kujawab pertanyaanmu. Toh, kau sendiri
sudah tahu!"
Dia lagi, dia lagi!
Rahang Satria Gendeng rasanya hendak pe-
cah menahan kegeramannya pada manusia bejat sa-
tu itu. Siapa dia sebenarnya? Apa maunya dariku?
Gerutunya membatin.
"Jangan hanya diam begitu, Gendeng! Cepat
serahkan benda itu!" bentak Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memilikinya!"
"Kau memilikinya!"
"Tidak!"
"Memiliki!"
"Tidaaak!"
"Memilikiii!"
"Kalian berdua memang orang gila yang tolol!"
Sampai sudah Satria pada batas kesabaran-
nya. Dia sekarang tak mau lagi peduli apakah harus
terlibat pertarungan dengan kedua pemburunya.
Kepala Baja dari Utara mendengus.
Satria membalasnya dengan dengusan pula.
Rase Betina meludah.
"Cuih!"
"Kalian mau menyerangku atau cuma mau
memelototiku seperti itu?!" ledak Satria. Jadi gila
sendiri dia....
* * *
Tua bangka tukang mabuk, Ki Dagul, jadi
pusing sendiri mencari-cari Satria Gendeng. Anak
muda itu menghilang seperti kelebatan dedemit ke-
siangan. Hampir-hampir dia tak bisa percaya kalau
dirinya yang sudah 'kekenyangan' makan asam ga-
ram dunia persilatan, ternyata masih bisa dibuat
mati kutu. Sejak melarikan diri darinya, pendekar
muda itu belum pernah lagi diketemukan.
Tak ada satu ekor kunyuk buduk pun di mu-
ka bumi yang tak mengetahui bagaimana saktinya
Ki Dagul. Dari ujung bumi ke ujung yang lain, se-
mua orang juga tahu siapa dirinya. Begitu kalau tua
bangka ini mau menyombongkan diri. Tapi mengha-
dapi pemuda gendeng murid dua tokoh papan atas
Tanah Jawa, Ki Dagul pun mati kutu. Walau si tua
bangka tak akan sudi mengakui.
Sudah dicari-cari ke mana-mana, Ki Dagul
masih juga belum menemukan Satria Gendeng. Jan-
gankan menemukannya, sekadar jejak atau baunya
saja pun tidak.
Ki Dagul pantas jadi kesal.
Karena kelelahan mencari, Ki Dagul memu-
tuskan untuk beristirahat dahulu di bawah sebatang
pohon besar yang cukup rindang. Dilemparnya tu-
buh ke atas rumput. Dalam keadaan setengah telen-
tang, diteguknya tuak dari dalam guci besar.
"Ilmu apa yang diajarkan Dongdongka pada
murid sialnya itu? Bagaimana dia bisa menghilang
secepat kentut...," gerutunya, jengkel.
Selesai beberapa tegukan, dia menguap lebar-
lebar.
Baunya menebar.
Menyusul matanya terkatup-katup.
Dan tua bangka itu pun tertidur.
Entah beberapa lama Ki Dagul terpulas di
bawah pohon, sampai suatu ketika dia tersentak
oleh sesuatu yang menimpa badannya. Sesuatu
yang berat.
"Sambar geledek!" maki Ki Dagul, seraya ter-
henyak sambil melotot. Di atas badannya, sudah ter-
telungkup sesosok tubuh. Beratnya membuat napas
Ki Dagul sesak.
Beberapa saat, mata Ki Dagul terus memelo-
toti sosok tubuh di atas badannya. Terpikir olehnya
bahwa siluman penghuni pohon telah jatuh menim-
panya. Setelah pikiran sehatnya mulai berjalan
kembali, barulah dia sadar kalau sesuatu yang me-
nimpanya ternyata memang manusia.
"Kutu busuk, apa-apaan kau ini?!" maki Ki
Dagul seraya mendorong kuat-kuat tubuh orang
yang baru menimpanya.
"Kalau hendak tidur, kau bisa cari tempat
lain!" gerutunya lagi.
Tubuh orang tadi terguling ke depan, lalu te-
lentang. Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak
bangkit. Hanya dadanya saja yang tampak turun
naik.
"Hei, kenapa kau sebenarnya?!" tukas Ki Da-
gul. Ketika diperhatikan, ternyata orang itu dalam
keadaan terluka cukup parah. Pakaiannya berlumur
darah yang hampir mengering. Di antara napas me-
gap-megapnya, terdengar keluhan berat.
Orang itu adalah Hantu Wajah Batu.
Tak lama kemudian, terdengar pula keluhan
berat lain dari balik pohon.
"Siapa pula itu?!" sambar Ki Dagul seraya
bangkit sempoyongan.
Dengan penasaran, Ki Dagul beranjak ke ba-
lik pohon. Di sana dia menemukan satu orang lain
yang mengalami luka tak kalah parah. Orang itu
tentu saja Ludah Darah. Kekalahan yang harus me-
reka telan di Hutan Pemantingan memaksa mereka
untuk mencari seorang tabib. Tabib itu diperlukan
untuk mengobati luka dalam mereka yang tampak-
nya tak bisa diatasi hanya dengan penyaluran hawa
murni biasa. Setelah berjalan cukup jauh dan me-
nyiksa, mereka belum juga menemukan seorang ta-
bib. Tiba di tempat Ki Dagul, tenaga mereka sudah
terlalu banyak terkuras. Mereka pun ambruk.
Berkacak pinggang, tua bangka pemabuk ber-
tanya kembali dengan suara sambar geledeknya.
"Aku bertanya pada kalian, siapa sebenarnya
kalian ini? Kenapa pula kalian berdua?!"
"Tolong kami, Orang Tua. Kami harus mene-
mui seorang tabib...," keluh Ludah Darah.
"Perlu apa kalian dengan seorang tabib?"
tanya Ki Dagul kembali. Pertanyaan tolol yang begitu
saja lahir dari otak seorang pemabuk berat.
Ludah Darah terbatuk-batuk, menyemburkan
darah kehitaman.
"O, ya. Aku lupa. Tentu saja kalian membu-
tuhkan seorang tabib karena kalian terluka, bukan?"
susul Ki Dagul.
Susah payah, Ludah Darah yang bersandar
lunglai pada batang pohon menganggukkan kepala.
"Lalu apa peduliku?!" koar Ki Dagul dengan
wajah tersorong-sorong ke depan.
Dengan wajah digelayuti kesebalan, manusia
bangkotan itu malah melenggang, hendak pergi dari
tempat itu. "Urusanku saja belum beres, kenapa pu-
la aku begitu tolol hendak menolong kalian," geru-
tunya.
* * *
Jelas-jelas memang bukan 'pucuk dicinta,
ulam pun tiba' buat Ki Dagul. Tak begitu lama sete-
lah kepergiannya, pemuda yang sedang dikejar-kejar
malah tiba di tempat itu. Coba kalau dia mau sedikit
berpikiran baik menolong Ludah Darah dan Hantu
Wajah Batu, tentu dia tak perlu susah-susah lagi
mengendusi jejak Satria Gendeng.
Satria Gendeng sendiri berhasil meloloskan
diri untuk yang kesekian kalinya dari Rase Betina
dan Kepala Baja dari Utara. Kendati untuk itu dia
harus sedikit peras tenaga dengan menantang mere-
ka bertarung. Pada satu kesempatan dalam perta-
rungan, pendekar muda itu pun mengecohkan ke-
dua lawannya.
Sebelumnya, tak ada niat Satria untuk ber-
henti di dekat pohon besar tempat sepasang tokoh
persilatan yang menderita luka dalam. Dia justru
sedang bernafsu untuk segera tiba di Hutan Peman-
tingan. Ketika mendengar suara keluhan dari arah
samping, pendekar muda itu berhenti juga.
Agak curiga dia menoleh. Disaksikannya dua
orang tampak membutuhkan pertolongan. Salah
seorang di antaranya malah sudah nyaris sekarat.
Bergegas Satria mendekat.
"Astaga, apa yang terjadi pada kalian ber-
dua?" tanyanya.
Kalau saja Hantu Wajah Batu tak hampir
mampus saat itu, tentu dia akan langsung menyem-
prot Satria Gendeng dengan makian. Bukan apa-
apa, sebelumnya mereka juga mendapat pertanyaan
yang sama dari tua bangka tak punya perasaan. Bo-
ro-boro ditolong. Mereka malah ditinggalkan. Seka-
rang ada lagi yang bertanya seperti itu. Dan kedua
pecundang itu tak yakin orang yang mereka temui
kali ini bersedia menolong mereka. Jangan-jangan
cuma iseng bertanya.
Pertanyaan Satria tidak mendapat jawaban,
kecuali dengan napas Ludah Darah yang terputus-
putus. Kalau ada yang bisa dilakukannya, cuma me-
lirik Satria dengan pandangan putus asa.
Satria cepat mendekat. Diperiksanya keadaan
Ludah Darah beberapa saat. Tak lama terdengar de-
sisnya.
"Kalian terkena pukulan aneh." Dengan suara
bagai terjepit di tenggorokan, Ludah Darah balik
bertanya.
"Apa maksudmu?"
Satria menggeleng-gelengkan kepala. Wajah-
nya menampakkan kengerian.
"Aku sendiri tak mengerti pukulan jenis apa
yang baru saja memakan tubuh kalian dari dalam.
Namun yang kudapati, darah di tubuhmu secara
lambat mulai mengental dan membeku. Mungkin
pada akhirnya nanti, darah di sekujur tubuhmu
akan mengeras. Dan itu tentu saja akan membu-
nuhmu," papar Satria. Sedikit banyak dia memang
mengetahui seni pengobatan dari salah seorang gu-
runya, Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Terbunuh saja, mungkin tak begitu ditakuti
oleh orang persilatan seperti Ludah Darah. Apalagi
Ludah Darah termasuk seorang berjiwa kekar yang
tak mudah terguncang oleh ancaman maut. Namun
jika dia harus mati dengan darah yang perlahan-
lahan mengental, tentu saja tak pernah diharapkan.
Sebelum mati, dia akan mengalami siksaan teramat
menyakitkan. Siksaan itu pun tak jelas untuk bera-
pa lama. Bisa saja selama setengah hari, satu hari
atau lebih dari itu. Sementara dia sendiri tak sang-
gup melakukan apa-apa. Bahkan dia tak akan bisa
melakukan bunuh diri sekalipun untuk menun-
taskan siksaan.
Membayangkan kematian yang mungkin di-
alami Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, tanpa
sadar sudut bibir Satria Gendeng terungkit ngeri.
"Kalian harus cepat ditolong," katanya lagi.
"Ya, aku memang amat berharap begitu," ba-
las Ludah Darah terbata. Dari mulutnya mengalir
kembali darah yang makin mengental dengan warna
hitam kebiruan.
Satria bertekad menolong mereka. Itu pasti.
Masalahnya sekarang, bagaimana dia harus mem-
bawa sekaligus dua orang ke tabib terdekat? Di sisi
lain, dia sendiri belum lagi tahu di mana harus men-
cari tabib tersebut.
Satria kebingungan.
Dicari-carinya orang lain yang mungkin me
lintas. Tak ada satu batang hidung pun terlihat. Per-
cuma menunggu orang lain. Bisa-bisa kedua lelaki
itu malah mampus lebih dahulu. Lalu bagaimana?
Membawa mereka satu-satu pun terlalu sulit. Bisa
saja salah seorang dari mereka yang dibawa bela-
kangan akan menemui ajal.
Jalan terbaik ya cuma membopong mereka
sekaligus!
Ini pekerjaan agak gila, timbang Satria. Dia
harus mengangkat dua lelaki yang beratnya mung-
kin masing-masing tak kurang dari berat tubuhnya
sendiri. Lalu dia akan membawa keduanya mencari
seorang tabib yang tak jelas di mana akan ditemu-
kan.
Memang pekerjaan agak gila, dan Satria tidak
peduli. Yang dipedulikannya saat itu hanyalah ba-
gaimana cara menolong mereka. Kalau harus mem-
bopong keduanya sekaligus, akan dilakukan!
Karena tak ada jalan lain, Satria pun memu-
tuskan untuk segera menempatkan kedua lelaki
korban pukulan Kaladewa ke bahunya. Baru saja
dia mengangkat tubuh Ludah Darah, didengarnya
langkah-langkah seorang mendatangi tempat terse-
but
Berkembang lagi harapan Satria. Orang yang
baru datang mudah-mudahan mau membantunya
menolong Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu.
Satria tak jadi menarik napas lega ketika yang
disaksikan orang yang baru datang. Sebaliknya, dia
malah menampar kening sendiri dibarengi rutukan
sebal.
"Sebenarnya aku tak punya selera menolong
kalian berdua. Cuma saja aku agak tak tega begitu.
Begini-begini, aku masih punya rasa kemanusiaan,
lho," oceh Ki Dagul, orang yang baru saja muncul.
Untuk kedua kalinya tentunya.
Dan tanpa memperhatikan Satria Gendeng,
langsung saja dipapahnya tubuh Hantu Wajah Batu,
lalu ditempatkan ke bahunya yang sekurus ranting
kering. Kendati kurus dan tak meyakinkan bisa
mengangkat sekadar kantong nasi kering, nyatanya
dia dengan enteng membopong Hantu Wajah Batu.
"Ayo, kau jangan bengong begitu! Kita harus
segera membawa mereka ke tabib, biar mereka tak
mampus dan lebih merepotkan kita karena harus
mengubur keduanya!" sambarnya sambil melangkah
ringan.
Satria bengong sendiri. Kok bisa dengan tiba-
tiba Ki Dagul melupakan persoalan mereka berdua?
Bukankah sebelumnya manusia lapuk itu mengejar-
ngejarnya seperti babi hutan sinting? Lalu sekarang
apa yang keliru?
Sampai Ki Dagul sudah beranjak beberapa
langkah dengan berlari-lari kecil, Satria masih saja
terpaku.
"Cepuaaat kau! Kenapa masih saja terdiam di
sana!" bentak Pengemis Arak sambil menoleh ke be-
lakang kembali.
Dan dengan tiba-tiba saja wajahnya berubah.
Matanya mendelik besar-besar. Hidungnya seperti
hendak melompat ke atas saking terperanjat me-
nyaksikan wajah Satria Gendeng.
"Kutu buduk, rupanya kau!" perangahnya
dengan urat leher tertarik. Rupanya, dia baru me-
nyadari siapa orang yang membopong Ludah Darah.
Memangnya, ke mana saja pikirannya sejak tadi?
Satria sendiri meringis. Urusan bakal tambah
runyam. Dia cukup kenal orang tua macam apa Ki
Dagul. Keras kepalanya tak kepalang tanggung. Ka-
lau maunya begitu, ya harus begitu. Repotnya, kalau
dia mulai mengungkit-ungkit kembali soal kematian
Jenggot Perak. Padahal, saat itu mereka harus cepat
membawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu ke
tabib.
Namun apes pun kenyataannya menimpa
Hantu Wajah Batu terlebih dahulu. Tanpa tedeng al-
ing-aling, Ki Dagul lantas saja melempar lelaki seka-
rat itu, seolah-olah hanya sekarung singkong!
"Sekarang kau tak akan kubiarkan lolos lagi,
Kutu Buduk!" geram Ki Dagul sambil melangkah ga-
rang ke arah Satria Gendeng.
Wajah perangnya terpasang.
"Tungguuu!" teriak Satria, nyaris kelimpun-
gan saat bangkotan itu mulai punya gelagat hendak
menerkamnya.
"Tunggu apa? Apa kau pikir aku harus me-
nunggu sampai kau mengizinkan aku meremukkan
batok kepalamu?!"
"Bukan begitu, Orang Tua! Kita harus mem-
bawa dua orang ini ke tabib. Mereka dalam keadaan
genting!"
"Ah, kau cuma cari alasan!"
"Sungguh!"
"Diam kau!"
Ki Dagul mulai bersiap lagi. Wajahnya dipa-
sang garang-garang.
"Begini saja! Kau membantuku membawa me-
reka berdua ke seorang tabib. Setelah itu, aku ber-
sedia diapakan saja olehmu!" cegah Satria kembali.
Ki Dagul mencibir.
"Kau cuma mau mengibuli aku, bukan?"
"Apa aku harus bersumpah demi nenek
moyangku dan nenek moyangmu?"
"Sudah kubilang sejak awal, jangan bawa-
bawa nenek moyangku!"
"Kalau begitu, kau harus percaya aku! Lihat-
lah keadaan mereka. Mereka benar-benar membu-
tuhkan seorang tabib ahli."
Ludah Darah di bahu Satria terbatuk-batuk.
Dari mulutnya termuntah kembali darah kental hi-
tam kebiruan. Sebagian pakaian Satria Gendeng
ternodai.
Kebetulan Ki Dagul menyaksikan. Tua Bang-
ka itu menjadi ngeri juga. Bibirnya meringis, mem-
perlihatkan sepasang gigi pusakanya.
"Sekarang kau percaya?" tanya Satria.
"Aku percaya mereka memang terluka dalam
parah. Tapi apa peduliku? Mereka mau modar, sila-
kan saja! Apa mereka adikku? Bukan! Saudaraku,
kerabatku? Bukan! Mereka juga bukan hewan peli-
haraan sama sekali. Jadi, apa peduliku?!" sewot Ki
Dagul, mendelik-delik, mencak-mencak pula.
"Tapi... tapi...," Satria kehabisan kata-kata.
Sehimpun kalimat sambar geledek yang termuntah
dari conger manusia bangkotan itu seperti menyum-
pal mulutnya.
"Sekarang kau bersiaplah!" Satria Gendeng
blingsatan.
"Tunggu! Tunggu dulu! Apa tak sebaiknya kau
memeriksa keadaan mereka dulu? Bisa jadi mereka
terkena pukulan dari salah seorang musuh lama-
mu!" cerocos Satria, sekenanya. Pokoknya yang ter
lintas di benaknya, itu yang diucapkan. Yang pent-
ing, tua bangka yang sedang 'angot' itu bisa dicegah.
Entah dapat keajaiban dari mana, Ki Dagul
mendadak jadi jinak. Kening berkeriputnya terlipat.
"Kau benar juga...," gumamnya, tangannya
tak jadi memainkan kembangan jurus.
Satria menarik napas lega.
Fhuih....
Ki Dagul mendekati Hantu Wajah Batu. Dari-
pada Ludah Darah, keadaan lelaki itu jauh lebih
mengkhawatirkan. Tepat seperti kata Satria sebe-
lumnya, darah dalam tubuh Hantu Wajah Batu
tampaknya terus mengental, hingga alirannya mulai
tidak beres.
Di dekat Hantu Wajah Batu, Ki Dagul ber-
jongkok.
Tangannya memeriksa dada Hantu Wajah Ba-
tu beberapa saat. Ada gumaman keluar dari mulut-
nya. Selang sekian saat kemudian, tua bangka itu
terhenyak.
"Gila, gila!"
"Apa yang gila! Siapa yang gila?" sergah Sa-
tria, turut terperanjat.
"Aku kenal dengan pukulan ini!" susul Ki Da-
gul. Dia pun bangkit dengan wajah mengeras. Tam-
pak jelas dia baru saja mengetahui sesuatu yang
mengusik benaknya dan membuatnya menjadi gu-
sar.
"Jelaskan padaku, Orang Tua?" serbu Satria,
terbawa kegusaran Ki Dagul.
Bukannya cepat menjawab, Ki Dagul malah
melepaskan pandangan jauh ke depan. Pancar ma-
tanya begitu pekat, terisi oleh ingatan masa lalu
yang cukup membekas dalam benaknya.
Satria bisa merasakan itu.
DELAPAN
WAKTU itu senja baru saja turun memeluk
bumi. Matahari menguning di kejauhan sebelah ba-
rat. Dari arah berlawanan dengan tenggelam-nya
mentari, seorang lelaki tinggi besar melangkah pasti
ke arah timur.
Lelaki itu adalah Kaladewa. Sebenarnya, dia
bukanlah tokoh persilatan yang memiliki julukan
kesohor. Hanya beberapa kalangan saja yang men-
genalnya dengan sebutan Pertapa Karang Wesi. Se-
suai julukannya, Kaladewa adalah seorang pertapa
yang selama bertahun-tahun mendiami sebuah bu-
kit karang bernama Karang Wesi di sekitar Pantai
Utara.
Suatu kali, dengan tiba-tiba Kaladewa me-
ninggalkan tempat pertapaannya tersebut. Bertapa
selama bertahun-tahun di sebuah lubang karang
yang selalu diterjang ombak jika pasang, dan dige-
nangi air laut jika surut, membuat tubuhnya ditum-
buhi ganggang dan karang. Hampir sekujur kulitnya
menjadi buruk. Hanya bagian kepala saja yang lu-
put. Keadaannya yang terlihat mengerikan itu tidak
dipedulikan sama sekali oleh Kaladewa. Dia pergi ju-
ga meninggalkan Karang Wesi.
Letak Karang Wesi yang menjorok ke tengah
samudera, membuat Kaladewa harus menyeberan-
ginya jika hendak ke daratan. Keadaan itu tidak me-
nyulitkan baginya. Tak percuma telah bertapa selama bertahun-tahun, Kaladewa pun melompat-
lompat dengan kaki telanjang di atas permukaan
laut, seolah meniti ombak!
Tujuannya ke daratan adalah untuk mencari
tiga tempat yang dianggap keramat sesuai wangsit
yang diterimanya pada puncak tapa. Menurut wang-
sit yang didapatnya pula, dengan bertapa di ketiga
tempat itu selama waktu yang ditentukan, maka sa-
tu ilmu kanuragan akan sempurna menjadi darah
dagingnya. Ilmu kanuragan itu selama ini tak per-
nah dimiliki oleh siapa pun, pada masa apa pun di
dunia persilatan.
Tempat pertama yang harus dituju oleh Kala-
dewa adalah sebuah daerah yang memiliki celah teb-
ing. Di mana masing-masing tebing harus setinggi
lima puluh depa dan arah tebingnya tepat pada lin-
tasan matahari, memanjang dari timur ke barat.
Di sana dia harus bertapa sekitar sepuluh
purnama pada sebuah gua di sisi kanan tebing.
Untuk tujuan pertama, Kaladewa harus
menghadapi masalah yang tidak enteng. Dia harus
menghadapi si pemilik gua, seorang perempuan tua
sakti golongan sesat pemakan sumsum. Julukan
nenek sakti itu Peri Taring Emas.
Peri Taring Emas sendiri adalah perempuan
tua teramat bengis. Wajahnya sulit dibedakan den-
gan seekor macan hitam. Yang lebih mengerikan la-
gi, pada mulutnya tumbuh sepasang taring seuku-
ran jari manusia berwarna emas.
Pertarungan amat hebat terjadi antara mere-
ka. Pertarungan habis-habisan yang memakan wak-
tu sehari semalam tanpa henti. Kaladewa yang telah
dibekali oleh kesaktian tinggi hasil tapanya selama
ini berhasil mengalahkan Peri Taring Emas. Nenek
sesat sakti itu menyingkir dari tempatnya entah ke-
mana.
Sejak saat itu, Kaladewa pun memulai tapa
pertama untuk mendapatkan ilmu baru. Sepuluh
purnama terlampaui. Sekeluarnya dari gua, Kalade-
wa semakin bertambah mandra guna. Selanjutnya
dia harus pergi ke tempat kedua. Tempat itu berada
di kawasan pesisir selatan. Kaladewa harus mencari
sebuah sumur teramat tua berusia ratusan tahun.
Bentuk sumur tua tersebut amat aneh, karena me-
miliki tiga cabang lubang yang menjorok ke arah ti-
mur dan barat, ditambah satu lubang di antara ke-
duanya. Sumur itu disebut orang Sumur Maut Ber-
bisa. Di dalam sumur itu, seorang tokoh gila yang
tak kalah sakti dengan Peri Taring Emas tinggal.
Penghuninya adalah seorang teramat tua
yang telah menempati sumur selama seratus lima
puluh tahun. Tak ada yang mengetahui nama sebe-
narnya. Hanya kalangan persilatan menjulukinya,
Siluman Ular, karena seluruh tubuhnya bersisik dan
berlendir.
Tepat di tengah-tengah lubang sumur, Silu-
man Ular selalu tidur dalam posisi berdiri. Sementa-
ra pada dua lubang lain yang menjorok ke arah ti-
mur dan barat, terdapat ratusan ular berbisa dari
segala jenis.
Selain harus bertapa selama sepuluh purna-
ma kedua di tempat itu, Kaladewa pun harus me-
makan seluruh ular berbisa di dalam sumur selama
menjalani tapa.
Seperti juga Peri Taring Emas, Kaladewa ber-
hasil mengusir Siluman Ular dari Sumut Maut ber
bisa. Mulai saat itu pula, dia menjalani masa sepu-
luh purnama kedua.
Setelah menyelesaikan tapa kedua, kesaktian
Kaladewa makin hebat saja. Belum lagi jika dia telah
mendapatkan kesaktian barunya.
Tinggal tersisa masa tapa sepuluh purnama
terakhir untuk Kaladewa. Tapi itu harus dijalaninya
di Hutan Pemantingan. Di sana, dia sama sekali tak
mendapat halangan siapa pun.
* * *
Pengemis Arak selesai menceritakan perihal
Kaladewa yang diketahuinya pada Satria Gendeng.
"Kau pernah berurusan langsung dengannya,
Pak Tua?" tanya Satria.
Pengemis Arak mendelik tiba-tiba.
"Kau bercanda?! Aku justru telah mendengar
cerita tentang Kaladewa itu ketika umurku masih
sekelingking, aku masih bocah waktu itu, masih in-
gusan sama sekali!"
Satria pun tak bisa tidak menjadi terperan-
gah. Kalau Pengemis Arak yang sudah bulukan itu
saja telah mendengar Kaladewa ketika masih bocah,
berapa umur Kaladewa sendiri?
"Kau tahu," tambah Ki Dagul. "Pada masa itu,
nama Kaladewa menjadi momok amat menakutkan.
Bahkan mungkin, gurumu sendiri, si Dongdongka
telah mendengar nama mengerikan Kaladewa sewak-
tu dia masih muda!"
Satria makin terperangah-perangah. Dalam
dirinya, mencuat pertanyaan yang agak meragukan,
mungkinkah dia mampu menghadapi Kaladewa jika
suatu saat nanti dia terpaksa berurusan? Sementa-
ra, tanpa pernah diketahui dan disadari, Kaladewa
sendiri tengah menanti kedatangannya di Hutan
Pemantingan....
Satria mendadak tersadar oleh keluhan Lu-
dah Darah dan Hantu Wajah Batu. Sungguh, cerita
Ki Dagul tentang Kaladewa telah membuat dia me-
lupakan kedua orang itu. Padahal waktu untuk me-
reka sangat sempit.
"Lalu bagaimana dengan mereka, Orang Tua?"
susulnya pada Ki Dagul.
Pengemis Arak menggeleng perlahan. Wajah-
nya kehilangan harapan sama sekali.
"Lupakan mereka," katanya lamban.
"Apa?!" sentak Satria, tak percaya.
Ki Dagul menatap mata Satria tepat ke ma-
nik-maniknya. Lalu katanya dengan nada yang de-
mikian pekat.
"Kalau kau menyangka bisa menolong mere-
ka, kau keliru sama sekali, Cah Buduk. Dua orang
sial ini tak bisa lagi ditolong. Mereka terkena puku-
lan Kaladewa yang paling mematikan. Selama ini,
tak ada yang bisa mengobatinya. Bahkan tidak juga
tabib sakti sejenis gurumu, Tabib Sakti Pulau De-
demit!"
"Jadi, kita hanya akan melihat mereka mati
secara perlahan...," gumam Satria, tak sadar.
"Tidak," tandas Pengemis Arak.
Satria mengangkat pandangannya ke arah
Pengemis Arak. Dia belum menangkap sama sekali
maksud perkataan terakhir tadi. Sebelum otaknya
sendiri mencoba mencari tahu, segesit gerakan si-
luman tua, Pengemis Arak merebut Kail Naga Sa
mudera dari ikat pinggang Satria Gendeng.
Srat!
"Pak Tua, apa-apaan kau ini?!"
Teriakan tak mengerti Satria Gendeng hanya
disambut oleh bunyi menggelegar memangkas udara
ketika tangan Ki Dagul menyabetkan Kail Naga Sa-
mudera ke arah Ludah Darah.
Cletar!
Dalam sekejapan mata, leher Ludah Darah
terpenggal seketika. Kepalanya terpisah!
Satria Gendeng melotot! Mulutnya ternganga.
"Kau sudah gila, Orang Tua?!" serunya nyaris
memekik.
Pengemis Arak seperti tak peduli. Dia seolah
tahu apa yang sedang dilakukannya, kendati di ma-
ta pendekar muda di dekatnya tindakan itu benar-
benar sinting dan tak bisa diterima akal sehat.
Cletar!
Lecutan kedua terdengar. Kail Naga Samude-
ra membelah udara kembali. Sasarannya kali ini
adalah leher Hantu Wajah Batu. Satria Gendeng be-
rusaha mencegah, namun dia terlambat. Jika saja
tak sempat terperangah, tentunya dia bisa lebih ce-
pat dari gerakan tangan Ki Dagul.
Dan kepala Hantu Wajah Batu pun mengge-
linding....
Tak lama setelah itu, Satria menjadi berang
bukan main pada Pengemis Arak. Matanya mera-
dang. Rahangnya mengejang.
Di kepalanya, hanya menggelegak pikiran un-
tuk menghajar Pengemis Arak.
"Tak perlu kau lakukan itu, Cah Buduk!" ma-
ki Ki Dagul, mencegah Satria. "Berpikirlah sedikit!
Kalau kau menjadi mereka, tentu kau pun akan ber-
terima kasih dengan tindakanku. Mereka akan lebih
sudi mati seperti itu, ketimbang mati perlahan-lahan
dengan cara amat menyiksa!"
Panas di diri Satria perlahan surut. Alasan
yang dikemukakan Pengemis Arak jelas bisa diteri-
ma. Satria pun baru menyadari hal itu kemudian
* * *
Seperti telah diceritakan Ki Dagul pada Satria
Gendeng, Kaladewa atau Pertapa Karang Wesi ada-
lah seorang sesepuh kalangan sesat dunia persila-
tan. Namanya belakangan ini tak banyak terdengar.
Itu sebabnya dia tak begitu dikenal oleh pendekar
maupun orang persilatan sebaya Satria Gendeng.
Beberapa kalangan tua, seperti Ki Dagul atau Dong-
dongka sudah cukup mengenal nama Kaladewa. Le-
bih dari itu, julukannya bahkan pernah menjadi
momok menggetarkan nyali dalam diri masing-
masing.
Jika sesepuh sesat yang lama menghilang ba-
gai terperam bumi itu muncul kembali, tentu dari
kalangan tua pula yang banyak dikejutkan. Terhi-
tung Pengemis Arak sendiri.
Bagi Ki Dagul, menjadi tanda tanya besar ala-
san Pertapa Karang Wesi menciptakan bibit kegem-
paran dengan muncul kembali dan menelan tumbal
nyawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu. Apakah
ada niat untuk menambah kesaktian kembali? Atau
dia ingin menaklukkan dunia persilatan di bawah te-
lapak kakinya dengan seluruh kesaktian yang telah
didapatnya selama ini?
Di dunia ini, kenapa begitu banyak manusia
yang tak pernah puas mengumbar nafsu liarnya?
Dugaan kuat tentang munculnya kembali Per-
tapa Karang Wesi telah menguras seluruh perhatian
Pengemis Arak. Tua bangka itu jadi tak terlalu pedu-
li dengan persoalan lain. Bahkan dia nyaris tidak la-
gi memusingkan urusannya dengan Satria. Dari sa-
na, bisa terlihat bagaimana sungguh-sungguhnya Ki
Dagul menanggapi persoalan terakhir. Pada kenya-
taannya, dia memang sejenis orang yang paling sulit
untuk peduli pada urusan orang lain. Kalaupun dia
mengamuki Satria Gendeng karena menyangka telah
membunuh seorang sahabatnya, itu adalah peristi-
wa langka yang terjadi pada dirinya. Lalu, jika per-
soalan kematian seorang sahabatnya menjadi terlu-
pakan karena kemunculan kembali Pertapa Karang
Wesi, tentu Ki Dagul menganggapnya sebagai satu
perkara genting.
Selesai menguburkan jenazah Ludah Darah
dan Hantu Wajah Batu, Satria dan Ki Dagul terpaku
diam di bawah naungan sebatang pohon rindang.
"Kenapa kita jadi terdiam seperti ini, Orang
Tua?" usik Satria. "Bukankah waktu akan terus
menggilas selama kita berdiam diri? Itu artinya kita
sengaja membodohi diri...."
"Tutup bacotmu! Tahu apa kau dengan uru-
san ini?" semprot Pengemis Arak.
"Lantas bagaimana dengan persoalan kita?"
"Persoalan kita yang mana?"
Satria menghembuskan napas. Bodohnya dia,
makinya pada diri sendiri. Bukankah sebelumnya
dia setengah modar terbirit-birit menghindari manu-
sia buluk peminum satu ini. Sekarang entah kenapa
malah dia mengungkit-ungkitnya.
"Bukankah kau sebelumnya mengejar-
ngejarku karena mengira aku telah membunuh
Jenggot Perak?"
"Aku menuduhmu seperti itu?" tanya Ki Dagul
lagi, pilon. Lalu cepat dia teringat kembali. "O, ya!
Kalau begitu, bagaimana dengan urusan kita, hah?"
"Itulah yang aku hendak tanyakan."
"Ayo, bertanyalah!"
"Apakah kau tak merasa curiga bahwa lelaki
berbaju merah yang bertemu denganmu di tempat
Jenggot Perak, lalu pembunuhan Jenggot Perak
sendiri, serta kematian dua orang yang baru kita
kubur satu sama lain saling berhubungan?"
"Hop hop... pertanyaanmu terlalu panjang un-
tuk otak manusia buluk macam aku!"
"Maksudku, apa mungkin semua itu berhu-
bungan satu dengan yang lain?"
"Menurutmu sendiri?"
Ki Dagul malah balik bertanya.
"Itulah yang ingin kugali, Orang Tua...."
"'Itulah yang membuat aku kesal! Kau ber-
tanya seolah tahu dengan pasti, padahal aku sendiri
tidak tahu menahu!"
"Aku bukannya tahu dengan pasti, Orang
Tua. Aku hanya menduga."
"Kenapa kau bisa menduga begitu?"
"Sebelumnya aku sempat bertanya sedikit ba-
nyak pada lelaki naas di salah satu kuburan itu,"
lanjut Satria sambil melirik makam Ludah Darah.
"Apa katanya?"
Satria mengingat-ingat.
"Apa katanya?!" desak Ki Dagul, tak sabar.
"Tak begitu jelas. Tapi aku mendengar dia
menyebut-nyebut tentang lelaki berpakaian merah di
tengah Hutan Pemantingan...."
"Apa dikatakan juga lelaki kunyuk berpakaian
itu membawa kipas lipat?"
"Kira-kira begitu...."
"Jangan kira-kira!"
"Iya, dia mengatakan begitu!"
"Apa lelaki itu bergaya seperti perawan? Apa
rambutnya panjang? Apa pakaiannya begitu necis?
Apa...."
"Hoi hoi! Bagaimana seorang yang sekarat bi-
sa menjelaskan sejelas itu?!"
"Kalau begitu, memang benar dia orangnya!"
tebas Ki Dagul, peduli setan dengan ucapan Satria
terakhir. "Lantas apa lagi keterangan yang kau da-
pat? Apa Kaladewa disinggung-singgung?" serbu Ki
Dagul kembali.
Satria berjalan mondar-mandir. Mata kelabu
sayu milik Ki Dagul mengikuti. Kepalanya pun turut
menggeleng ke sana kemari.
"Cepat! Ayo cepat!" sewot orang tua berotak
soak itu.
"Ya, aku ingat. Lelaki malang itu pun menga-
takan tentang seorang tinggi besar. Seperti Bima ka-
lau tak salah, kendati itu diucapkannya dengan
amat samar...."
"Itu dia!"
Satria tersentak oleh teriakan mendadak Ki
Dagul. Belum lagi tangannya menuding ke depan
batang hidung Satria Gendeng seperti berniat menjo-
tosnya.
"Maksudmu, itukah orang yang kau maksud?
Kaladewa?"
"Iya! Pertapa Karang Wesi! Cilaka tiga be-
las...."
SEMBILAN
MALAM akhirnya mengendap perlahan. Sege-
nap margasatwa menyambutnya. Gelap menebar da-
ri arah timur. Sedangkan matahari terlelap di sebe-
rang sana. Di antara derik jangkrik yang mulai mela-
tai malam, di antara desah angin basah dan bisik
dedaunan, sesosok bayangan melintas di tengah-
tengah Hutan Pemantingan.
Ditingkahi suara lolongan anjing hutan, sosok
bayangan tadi terus bergerak menuju satu arah, le-
bih masuk ke pusat hutan keramat itu.
Bulan tanggung di atas sana menyiramkan
sinarnya di pucuk-pucuk pepohonan. Lebatnya Hu-
tan Pemantingan tak memberi banyak kesempatan
bagi sinar rembulan untuk menyelinap ke bawah.
Namun keadaan itu tidak membuat sosok tadi men-
galami kesulitan berarti. Dia menembus Hutan Pe-
mantingan seolah dengan mata terpejam.
Cara bergeraknya pun teramat lincah dan ge-
sit seakan memperdayai malam, mempecundangi
kegelapan
Dilihat dari bentuk bayangannya, orang itu
tidak memiliki tubuh yang besar dan tegap. Malah
bisa disebut agak kekurusan. Mengenakan pakaian
yang rapat di bagian atas, dan melebar di bagian
bawah. Kepalanya mengenakan penutup.
Suatu saat, sosok bayangan itu berhenti sejenak. Saat lain, tubuhnya melenting ringan ke atas
dahan pohon setinggi belasan tombak. Di atas sana,
dia seperti memperhatikan sesuatu ke bawah, tepat-
nya sedang mengawasi keadaan sekitar. Tampak je-
las dia tengah mencari-cari.
Ketika sesuatu atau seseorang yang dicarinya
ditemukan, dia pun menukik turun, lalu melan-
jutkan pencarian ke arah yang dituju sebelumnya.
Sampai akhirnya dia tiba di pusat hutan yang
ditujunya. Dia menghentikan langkah kembali. Un-
tuk beberapa saat, sosok tadi hanya berdiri seakan
mengendusi jejak-jejak pada udara yang dihirupnya.
Kepalanya mengangguk lamat kemudian.
Sepasang tangannya mengepal liat-liat.
Gemeretak tulang menyelinap.
Di antara sehimpun bebunyian malam, dia
menggeram.
Kental nada mengancam.
"Saatnya akan tiba di mana kau akan melu-
nasi hutangmu padaku...."
Dan ketika dia melangkah mendekati bagian
kegelapan yang disirami sinar rembulan, wajah
orang itu pun tampak. Dia adalah lelaki tua yang
beberapa waktu lalu bertemu dengan Satria Gen-
deng. Lelaki tua yang mengaku sebagai kuncen pe-
nunggu hutan keramat.
Masih di bawah cahaya remang, wajahnya
mengeras. Tubuh membatu. Ditatapnya rerimbunan
pekat di atas. Matanya berbinar-binar memancarkan
api dendam. Di pekatnya pemandangan di atas, dia
seperti menemukan gambaran wajah seseorang yang
demikian dibencinya.
Penggambaran paras pada wajahnya sungguh
bertolak belakang dengan beberapa waktu lalu ma-
nakala Satria Gendeng menemuinya. Tampaknya,
pendekar muda Tanah Jawa telah terlalu tergesa-
gesa mempercayai mentah-mentah segala ucapan-
nya.
* * *
Kembali pada Satria Gendeng dan Ki Dagul.
Pasangan berbeda usia itu kali ini terlihat se-
dang berjalan beriringan menuju Hutan Pemantin-
gan. Setelah adu mulut dan tarik urat, keduanya
akhirnya sepakat untuk mencari tahu lebih dahulu
ke Hutan Pemantingan. Urusan mereka sendiri bisa
dibereskan belakangan. Itu pun setelah berhasil
membujuk Ki Dagul dengan susah payah.
Menurut Satria, hal terpenting bagi mereka
saat itu adalah mencari tahu ada apa sebenarnya di
balik semua kejadian dan kegemparan belakangan
yang terjadi di dunia persilatan. Mereka harus men-
getahui dengan jelas apa hubungan antara kematian
Jenggot Perak, lelaki berpakaian merah, dan ribut-
ribut mengenai benda pusaka Pertapa Cemara
Tunggal yang tak kunjung mereda. Untuk itu, mere-
ka harus mendatangi Hutan Pemantingan dan me-
nemukan keterangan di sana. Satria berharap, Kala-
dewa bisa menjadi kunci pemecahannya. Kendati
begitu, dia sama sekali tak berharap, berurusan
dengan manusia sesat yang mungkin sudah menjadi
manusia setengah siluman itu. Bukannya dia penge-
cut. Hanya saja, dia merasa tak ada gunanya sama
sekali berurusan dengan seseorang tanpa alasan je-
las. Apalagi jika itu menyangkut nyawa.
Belum lagi mereka tiba di tepi Hutan Peman-
tingan, dua kelebat bayangan melesat dari arah
samping. Di depan Satria Gendeng dan Pengemis
Arak, tahu-tahu saja telah berdiri dua orang tua
bangka berpenampilan memuakkan.
"Kita bertemu lagi, Cah Ganteng," seru salah
seorang di antaranya.
Mereka adalah dua tokoh sesat sakti yang
masih saja ngotot mengejar-ngejar Satria Gendeng,
Rase Betina, dan Kepala Baja dari Utara.
"O, jangan lagi...," keluh Satria.
Lain lagi Pengemis Arak. Menyaksikan wajah
kedua penghadangnya, manusia butut itu jadi cem-
berut.
"Mau apa kedua tikus ini menghadang kita?!"
gerutunya.
"Kau kenal mereka, Orang tua?" tanya Satria.
Ki Dagul mencibir, sampai bibir bawahnya
tergantung-gantung.
"Sudah lama aku mengenal mereka. Dan asal
kau tahu saja, kedua tikus ini adalah orang-orang
yang paling bikin aku mulas dengan tingkah mere-
ka...."
"Apa kabar, Pengemis Arak?" sapa Rase Beti-
na berbasa-basi di ujung ucapan Ki Dagul.
"Selama ini aku baik-baik saja. Namun ketika
melihat kalian, mendadak saja aku menjadi tak se-
hat," ketus Ki Dagul.
Rase Betina tertawa.
"Tawamu pun membuat aku mual. Rase Beti-
na," sambar Ki Dagul kembali.
"Sudah cukup basa-basi ini!" jegal Kepala Ba-
ja dari Utara. Lelaki tua berwatak panas itu rupanya
tak begitu suka dengan acara buang-buang waktu
antara Rase Betina dan Pengemis Arak.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak cepat me-
nyingkir saja dari hadapanku. Kalian tahu bukan,
jika aku -si Pengemis Arak mulai naik darah- maka
kalian akan merasakan bagaimana tak enaknya bila
kepala pindah ke dengkul...."
"Kau terlalu besar mulut, Pengemis Arak!"
sambar Kepala Baja dari Utara, berang. "Serahkan
pemuda itu pada kami, cepat!" sambungnya.
Ki Dagul melirik Satria Gendeng.
"Apa urusanmu dengan dua tikus ini, Gen-
deng?!" tanyanya.
"Mereka memaksaku menyerahkan benda pu-
saka milik Pertapa Cemara Tunggal."
"Kalau begitu serahkan saja! Suruh mereka
menelannya!"
Satria merengut.
"Bagaimana aku bisa menyerahkannya kalau
benda itu saja tidak pernah ada padaku?"
"Tidak ada?"
"Astaga, apa kau lupa kejadian yang menimpa
sahabatmu, Jenggot Perak?"
"Jenggot Perak? Bukankah dia sudah mati?"
Astaga....
Satria mengurut dada. Otak manusia buluk
satu ini rupanya sedang jalan-jalan ke pantat.
"Maksudku, bukankah aku dituduh telah me-
rebut benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal dan
membunuh Jenggot Perak."
"Ya, dan urusan kita belum selesai. Kau ma-
sih punya hutang nyawa padaku karena membunuh
Jenggot Perak!"
"Tunggu dulu! Kau telah kuberi tahu sebe-
lumnya bahwa semua itu cuma fitnah. Aku tak per-
nah membunuh Jenggot Perak dan aku pun tak
pernah memiliki benda pusaka Pertapa Cemara
Tunggal!"
"O, jadi maksudmu kau mau mengatakan
bahwa benda pusaka itu sebenarnya tak pernah ada
padamu? Ah, kenapa kau jadi berbelit-belit begitu.
Kau pikir otakku sudah begitu kopong?"
"Hei, kenapa kalian tidak tutup mulut saja
dan segera menyerahkan benda pusaka itu!" penggal
Kepala Baja dari Utara, tak sabaran.
Dan lagi-lagi Pengemis Arak melirik Satria
sambil menukas.
"Sudah, serahkan saja apa yang mereka min-
ta. Biar urusan memuakkan dengan mereka segera
selesai!"
Satria menarik napas. Dia jadi pegal hati sen-
diri dengan ketumpulan otak Ki Dagul. Percuma saja
dia berbicara panjang lebar padanya untuk menje-
laskan duduk perkara sebenarnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkannya?" susul
Ki Dagul, tak memberi kesempatan pada Satria
Gendeng untuk sedikit bernapas lega.
"Itu artinya kita akan menghadapi mereka,
bukan? Bagus kalau begitu. Aku juga sebenarnya
ingin sekali memindahkan kepala mereka ke deng-
kul sejak dulu. Bagaimana menurutmu?"
Satria mengangkat bahu.
Pengemis Arak berjingkat girang.
"Kita hajar mereka!"
Dengan badan membungkuk seperti seorang
jawara hendak menumpas habis begal kampung,
Pengemis Arak maju beberapa langkah ke depan.
Wajahnya menantang dua penghadang di depan.
"Tunggu!"
Seruan membahana terdengar dari satu arah.
Dari arah yang sama, seseorang melesat di udara
dan hinggap tak jauh dari tempat Satria Gendeng.
Satria mengenali orang itu.
"Ki Kuncen...."
Tanpa mempedulikan Pengemis Arak yang
mencak-mencak karena kaget, lelaki pendatang yang
tak lain orang tua yang mengaku sebagai kuncen
penunggu Hutan Pemantingan Keramat langsung
berseru pada Satria Gendeng.
"Cepatlah kau pergi ke tengah Hutan Peman-
tingan di dekat pohon jati raksasa paling besar! Biar
mereka aku hadapi!"
Sesaat Satria hanya bisa terdiam. Dia tak ha-
bis mengerti dengan maksud Ki Kuncen. Namun apa
salahnya menerima uluran tangan seseorang, pikir-
nya. Bukankah dia sebenarnya memang tak bersele-
ra berurusan dengan Rase Betina dan Kepala Baja
dari Utara?
Satria pun menyingkir.
"Hei, aku ikut!"
Di belakangnya, Pengemis Arak mengekori
sambil berteriak-teriak tak karuan. Hilang entah ke
mana nafsunya untuk memindahkan kepala dua
penghadang mereka ke dengkul.
Sepeninggalan Satria dan Ki Dagul. Ki Kuncen
berdiri mengamati gerak-gerik dua orang di depan-
nya. Dia tak ingin Rase Betina dan Kepala Baja dari
Utara berniat mengejar. Tentu saja tindakannya
membuat berang pasangan tua bangka itu.
"Kau sudah mencari penyakit telah mengha-
dang kami seperti ini," ancam Kepala Baja dari Uta-
ra. Marah besar dia. Itu terlihat jelas dari pancar bo-
la matanya. Sudah berhari-hari lamanya dia dan
Rase Betina mengejar-ngejar Satria Gendeng. Bebe-
rapa kali mereka sempat memergoki, namun lepas
kembali. Kini ketika kesempatan itu mereka miliki
lagi, malah ada seorang yang telah lancang turut
campur.
Bagi Rase Betina atau Kepala Baja dari Utara
sendiri, lelaki tua berblangkon dan berpakaian Jawa
itu sama sekali tak mereka kenal. Sepanjang hidup
mereka yang panjang dan sudah bergelimang darah
di dunia persilatan, tak pernah sekalipun keduanya
berurusan dengan orang itu. Itu sebabnya, mereka
menganggap remeh Ki Kuncen dan menganggapnya
hanya tengah mencari mampus. Menurut mereka,
siapa yang tak kenal dengan julukan besar Rase Be-
tina atau Kepala Baja Dari Utara? Bahkan Pengemis
Arak saja pun patut memperhitungkan kedigdayaan
mereka berdua. Begitu pikir keduanya, menyom-
bong.
Begitu pulakah kenyataan sebenarnya?
"Menyingkir dari jalan kami!" hardik Rase Be-
tina dengan suara nyaring melengking. Bersamaan
dengan itu, tangannya dikebutkan cepat, memper-
dengarkan deru santer yang terdengar keras hingga
di tempat Ki Kuncen sendiri.
Wrrr!
Serangkum angin pukulan teramat kuat pun
memburu ke arah Ki Kuncen. Kekuatannya menye-
babkan debu dan pasir berpusing membentuk pusa-
ran besar memanjang ke arah sasaran. Ranting
ranting pohon pun terpatah dan ikut dalam pusin-
gan pusarannya.
Ki Kuncen hanya tersenyum samar. Tak ber-
gemik dia dengan tangan bersedekap di dada.
Dan ketika angin pukulan berkekuatan put-
ing beliung itu benar-benar menimpa sekujur tu-
buhnya, Ki Kuncen pun masih tetap diam. Sikapnya
itu benar-benar hendak memperlihatkan tantangan
terhadap kesaktian Rase Betina yang sudah demi-
kian kesohor di dunia persilatan.
Saat itu, tak tampak Ki Kuncen menjadi surut
kendati hanya setengah telapak kaki. Padahal keku-
atan angin pukulan Rase Betina dapat merobohkan
sebatang pohon beringin raksasa dalam sekejap ma-
ta! Lebih memukau lagi, seluruh pakaian Ki Kuncen
pun tidak bergemik sedikit jua. Kain batik yang me-
nyelimuti bagian pinggang hingga ke batas lutut sa-
ma sekali tak memperlihatkan geletaran. Sementara
sebelumnya, hembusan angin malam saja sudah
cukup untuk membuatnya melambai.
Sebentuk unjuk kekuatan tingkat tinggi!
Seolah di sekujur badan Ki Kuncen ada ben-
teng teramat kokoh kasat mata.
Kenyataan itu memaksa pemilik angin puku-
lan membelalak. Belum pernah ada seorang pun
yang sanggup menghadapi angin pukulan puting be-
liungnya dengan cara begitu rupa.
Kepala Baja Dari Utara pun tak luput dari ke-
terkejutan. Pikiran angkuhnya buyar seketika. Tak
bisa lagi dianggapnya si pengacau sebagai keong si-
put yang mencari mampus karena telah mencampu-
ri urusan mereka. Tidak lagi. Sekarang, justru me-
reka harus berpikir beberapa kali untuk bisa memenangkan pertarungan dengannya.
"Kalian memainkan permainan anak-anak
padaku," ejek Ki Kuncen dengan senyum tak padam.
"Keparat! Dia akan menjadi penghalang besar
untuk kita. Kita bisa kehilangan pemuda itu...," de-
sis Rase Betina.
"Tapi aku belum mampus. Tak akan kuber-
diam diri hanya karena pukulan jarak jauhku di-
mentahkan," kata Rase Betina lagi, berkeras hati.
"Kau terima ini!"
Berkawal pekikan lantang. Rase Betina mene-
pukkan telapak tangan kuat-kuat dl atas kepala.
Suara yang dihasilkan mengguntur, meruntuhkan
dedaunan. Dari sela-sela telapak tangannya me-
nyemburat pijaran api kebiruan.
Rase Betina tengah menyiapkan pukulan
'Halilintar biru'. Satu ajian sesat yang berbau maut.
Di dunia persilatan hampir segenap kalangan men-
getahuinya. Dan hanya pada kala-kala tertentu saja
Rase Betina akan mengerahkannya. Mengeluarkan
ajian andalan berarti wanita tua sakti ini memang
tak ingin main-main lagi dengan lawan.
Untuk satu ancaman ini, lagi-lagi Ki Kuncen
hanya menanggapi dengan senyum samar.
"'Halilintar Biru'...," gumamnya menilai. Den-
gan amat mudah dia menduga. Jika kalangan persi-
latan lain justru akan mengejang tegang mengetahui
dirinya akan menghadapi ajian itu, Ki Kuncen malah
memperlihatkan wajah meremehkan.
"Pertimbangkan dulu jika hendak melepaskan
ajianmu itu padaku!" serunya pada Rase Betina.
"Peduli setan!"
Di ujung jawaban. Rase Betina benar-benar
melepaskan 'Halilintar Biru'-nya. Kedua tangannya
menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka
lebar-lebar. Dari telapak tangannya yang sudah se-
jak awal membersitkan cahaya kebiruan, melesat
seberkas cahaya biru berbentuk gerigi memanjang.
Laksana kilat menyambar.
'Halilintar Biru' terumbar.
Menanduk liar.
Dalam hitungan kedipan mata saja, ujung ca-
haya biru menyilaukan dari telapak tangan Rase Be-
tina sudah memangsa sepasang dada Ki Kuncen.
Zasss!
Lalu terpecah letusan teramat menggemuruh.
Pada kejap yang sama, tubuh Ki Kuncen terhempas
cepat laksana sebatang kayu kering sejauh puluhan
tombak ke belakang. Sekujur badannya dari kepala
hingga ujung kaki menjadi berbinar kebiruan. Em-
pat batang pohon seukuran pelukan tangan ber-
tumbangan dan terbakar terhajar hempasan tubuh
Ki Kuncen yang terus menyala-nyala.
Riuh menjangkit.
Menggebah nyali penghuni rimba.
Menyaksikan keadaan korbannya, Rase Beti-
na tertawa terkikik-kikik tiada putus. Dia merasa
kemenangan telah ada dalam genggaman. Dia telah
demikian yakin lawannya akan menjadi sebongkah
daging gosong ketika hempasan tubuhnya terhenti.
Sayang itu keliru sama sekali.
Sebab, sejak awal hempasan tubuh Ki Kun-
cen, telah terjadi satu keanehan yang luput oleh
pengamatan Rase Betina. Lelaki tua berblangkon itu
memang terhempas, tapi tubuhnya tetap pada posisi
semula! Lelaki berpakaian Jawa itu memang terkepung cahaya biru, tapi tak ada secuil pun bagian
tubuhnya yang terbakar seperti nasib empat batang
pohon yang terhantam hempasan dirinya!
Rase Betina dan pasangannya baru menyada-
ri kemudian setelah hempasan Ki Kuncen terhenti.
Lelaki tua itu kini berdiri di atas kedua kakinya tan-
pa kurang apa-apa.... Hanya saja, dari sekujur per-
mukaan kulitnya mengepul asap keputihan tipis.
"Kau tidak bisa berharap banyak dengan
ajianmu itu," kata Ki Kuncen tenang.
Rase Betina tercengang-cengang. Begitu pun
Kepala Baja Dari Utara. Jelaslah sudah bagi mereka
berdua kini, lawan tidak bisa mereka tandingi. Bah-
kan meski nanti menggabungkan kesaktian bersa-
ma-sama.
Tiba-tiba, terbersit ketakutan dalam diri mas-
ing-masing. Pikiran pecundang pun menjangkit di
benak mereka. Mereka harus menyingkir! Lari me-
nyelamatkan diri.
Sebelum keduanya sempat melaksanakan
niat itu, mendadak saja senyum samar di bibir Ki
Kuncen berubah kesan. Terkandung kekejian yang
semula tak pernah nyata.
"Bersiaplah untuk mampus...," desisnya den-
gan sinar mata berapi.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara saling
pandang. Mereka sama-sama menyadari sekaligus
merasakan bahaya maut siap mendatangi mereka.
Pikiran sebelumnya untuk menyingkir dari hadapan
lawan tak begitu bisa diharapkan ketika lawan sen-
diri bersiap untuk melepas serangan balasan.
Hanya ada satu pilihan untuk mereka.
"Aku bukan seorang pengecut," desis Kepala
Baja dari Utara seraya membuka jurusnya. Dikata-
kan kalimat itu sekadar untuk membakar kebera-
nian yang nyaris mengkerut.
"Kita gabung kekuatan. Rase Betina!" serunya
pada pasangannya.
Rase Betina pun menanggapi seruan pasan-
gannya dengan turut membuka jurus baru. Sekali
ini, dia harus memompa seluruh kesaktian pa-
mungkasnya.
Kepala Baja dari Utara melakukan hal yang
sama.
"Heaaa!"
"Hiph!"
Dua teriakan santer dari dua kerongkongan
berbeda menyatu ditingkahi dengus angin gerakan
keduanya. Setiap gerakan, selalu dibayangai suara
menggidikkan.
Di lain pihak, Ki Kuncen pun membuka ju-
rusnya. Satu kakinya terangkat perlahan, tertekuk
lalu tertahan di depan dada. Sepasang tangannya
terjulur ke depan. Jemarinya membentuk patuk
ular. Manakala kedua tangannya beringsut dalam
gerak berirama, terlintaslah desis seperti keluar dari
moncong seribu ekor ular.
Menyaksikan gerak lawan, Kepala Baja dari
Utara menghentikan kembangan jurusnya. Ada yang
melintas di kepalanya begitu saja. Sesuatu diingat-
nya. Dan itu adalah ingatan yang sebenarnya telah
lama terpendam.
"Astaga, kau lihat gerakannya Rase Betina!"
bisiknya dengan wajah tak luput dari keterpanaan.
"Ya, mengingatkan aku pada seorang tokoh
yang menakutkan ketika kita masih ingusan, bukan?" balas Rase Betina. Tanpa disadari, dia pun tu-
rut menghentikan gerak kembangan jurusnya.
"Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan Per-
tapa Siluman Ular?!"
"Bagaimana mungkin dia masih hidup? Se-
mestinya dia sudah berusia terlalu tua untuk pe-
nampilannya sekarang...," timpal Rase Betina.
Bisik-bisik pasangan itu entah bagaimana ter-
tangkap telinga Ki Kuncen, kendati jarak antara me-
reka terbilang jauh. Dan lagi, tersamarkan pula oleh
suara mendesis tinggi dari setiap gerakan tangan-
nya.
"Kalian terkejut?" tukas KI Kuncen. Lalu
sambungnya, "Ya, akulah Siluman Ular dari Sumur
Maut Berbisa!"
"Omong kosong! Sepanjang pengetahuanku,
Siluman Ular tidak seperti dirimu!" sambar Rase Be-
tina, antara keterkejutan mendengar pengakuan Ki
Kuncen dengan ketidakpercayaan.
Mata Ki Kuncen saat itu terlihat seperti merah
menyala.
Meninju nyali kedua lawan.
"Peduli setan apakah kalian percaya atau ti-
dak, yang jelas hari ini kalian akan mengalami nasib
buruk...."
Belum lagi selesai perkataannya, tubuh Ki
Kuncen yang kini mengaku sebagai Siluman Ular,
tokoh pertapa sakti golongan hitam, secepat keleba-
tan malaikat maut meluruk ke arah Rase Betina dan
Kepala Baja dari Utara.
Kedua tangannya mematuk ke depan. Mence-
car. Bagai ada ribuan siluman ular di sepasang tan-
gannya yang membentuk ribuan bayangan. Di sela
sela bayangan, mengepul asap kehijauan tipis. Men-
gembang seperti gelombang.
Sekejapan mata. Rase Betina dan Kepala Baja
dari Utara harus siap menyambut datangnya seran-
gan. Sebagai dua tokoh kawakan, mereka biasa
menghadapi serangan secepat apa pun. Ibaratnya,
bayangan pun dapat mereka elakkan. Namun belum
pernah mereka menyaksikan bagaimana cepatnya
lawan mereka kali ini. Tubuhnya seolah-olah telah
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lalu ti-
ba-tiba saja sudah di depan mata.
Kendati sudah berusaha menghindar, tetap
saja kecepatan patokan tangan lawan sanggup men-
gejar.
Deb!
Tangan lelaki tua itu bahkan sanggup tetap
mengancam meski Rase Betina dan Kepala Baja dari
Utara merenggangkan jarak untuk memecahkan
perhatian lawan.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara ma-
kin terkesiap. Keduanya lebih terkesiap lagi mana-
kala jarak antara keduanya sudah merenggang cu-
kup jauh, tubuh lawan perlahan-lahan terbagi dua
dalam bayangan setiap geraknya. Sampai akhirnya
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara benar-benar
menghadapi dua lawan!
Ketika itulah mereka mulai menyadari kesa-
lahan. Keliru jika mereka menganggap pengakuan
lawan sebelumnya cuma omong kosong. Sebab dari
kabar burung yang pernah mereka dengar, salah sa-
tu kesaktian Siluman Ular adalah kemampuannya
menciptakan wujud kembar!
"Dia benar-benar Siluman Ular, Nyai!" teriak
Kepala Baja dari Utara di antara kepungan patukan
tangan lawan yang berusaha dimentahkan dengan
susah payah.
"Lari! Kita tak akan sanggup menghadapinya!"
seru Rase Betina seraya mengempos tubuh jauh-
jauh ke belakang. Pada jarak yang cukup jauh, dia
pun berbalik dan mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Kepala Baja dari Utara menyusul kemudian.
SEPULUH
PADA pertengahan malam, Satria Gendeng
dan Pengemis Arak sampai juga di tengah Hutan
Pemantingan. Sampai saat itu, belum juga mereka
menemukan pohon jati raksasa seperti dikatakan le-
laki tua penunggu hutan keramat itu. Mereka harus
mencarinya lebih dahulu. Mencari dalam kegelapan
pekat yang hampir menyeluruh seperti mereka alami
bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi ketika awan
mulai berarak mengerumuni rembulan.
"Sial, di mana pohon jati raksasa itu," gerutu
Ki Dagul. Sudah kegelapan begitu pekat, matanya
pun sudah terlalu rabun. Bagaimana dia tak jadi
mangkel.
"Aku pun sedang mencarinya, Orang Tua...
sedang mencarinya," ucap Satria dari atas batang
sebuah pohon tua yang menjulang di dekat Penge-
mis Arak. Dengan melepaskan pandangan, matanya
mencari-cari ke segenap penjuru.
"Bagaimana, sudah kau temukan?" tanya Ki
Dagul.
"Belum. Sabarlah!"
"Ah, kalau aku semuda kau, tentu aku sudah
menemukannya sejak tadi. Dasar kau saja...."
"Itu dia!" seru Satria kemudian.
Pengemis Arak mendongak.
"Bagus! Seberapa jauh lagi dari tempat ini?!"
susulnya
"Kira-kira tiga ratus langkah!"
"Tak begitu jauh. Kalau begitu cepatlah kau
turun! Aku sudah tak betah di tempat ini."
Satria melompat turun, tepat di sisi Pengemis
Arak. Tanpa dikomandoi lagi, keduanya segera me-
langkah kea rah pohon jati raksasa tadi.
"Apa kau melihat ada keanehan di sana?"
tanya Ki Dagul.
Satria menggelengkan kepala.
"Entahlah. Keadaan terlalu gelap," jawabnya.
Keduanya terus melangkah. Sampai berjarak
lima puluh langkah lagi dari pohon jati raksasa, ti-
ba-tiba Satria menghentikan ayunan kakinya. Ma-
tanya mengawasi tajam. Wajahnya terlihat memba-
tu.
"Ada apa lagi? Kenapa kau berhenti sebelum
kita tiba di sana?" Ki Dagul pun jadi sewot.
"Apa kau tak mendengar sesuatu, Orang
Tua?" bisik Satria, teramat halus. Seakan dia tak in-
gin ada satu pasang telinga pun mendengar uca-
pannya.
Pengemis Arak terdiam sambil memasang
pendengaran tajam-tajam.
"Suara apa lagi? Aku tak mendengar apa-apa.
Yang kudengar cuma jangkrik melulu," gerutu orang
tua pemabuk itu dengan wajah sebal.
Satria sendiri tetap yakin dia telah mendengar
sesuatu. Jelasnya bukan suara jangkrik seperti kata
Ki Dagul. Bukan pula suara desah angin malam.
Suara yang didengarnya sama sekali bukan dari su-
ara-suara wajar dalam hutan.
Telinganya menangkap bunyi halus menyeru-
pai desisan. Bukan dari seekor ular. Ini lebih halus
dan melintas cepat di belakang mereka berdua sea-
kan ada sesuatu berkelebat.
"Ah, barangkali cuma telingamu saja yang
mulai tak beres!" sangkal Ki Dagul. Bibirnya menci-
bir. Dilanjutkan dengan menenggak tuak.
"Sudah cepat kita jalan lagi. Aku penasaran
sekali sebenarnya ada apa di dekat pohon jati raksa-
sa itu. Apa di sana ada hajatan dedemit atau apa.
Pokoknya cepat!" oceh Ki Dagul lagi setelah didahu-
lui sendawa berkepanjangan.
"Ssst!" sergah Satria. Orang tua keropos ini
memang brengsek, makinya dalam hati. Padahal dia
sendiri masih berusaha mewaspadai keadaan yang
dianggapnya cukup mencurigakan.
Kecurigaan itu terbukti pula akhirnya hanya
berjarak tiga empat tarikan napas kemudian. Seben-
tuk suara lain mencelat seketika dari arah pohon jati
raksasa. Mengguntur. Sekuat salakan belasan petir
yang menyatu!
Ki Dagul dibuat hampir melompat karenanya.
"Kunyuk, suara apa itu?!" semprotnya cepat
dengan mata membelalak-belalak.
Satria Gendeng sendiri bukannya tak terpe-
ranjat. Namun dia memang lebih siap menghadapi
setiap kemungkinan dibanding Ki Dagul. Dia hanya
mempersiapkan kesiagaan dan kewaspadaan. Dile-
pasnya pandangan menghunus ke arah sumber suara.
Kala berikutnya, bukan lagi suara yang mun-
cul melainkan seberkas cahaya bercampur asap, de-
bu, dan pasir memenuhi udara. Berkas cahaya itu
melebar, berwarna kuning menyilaukan. Terangnya
bahkan mencapai pertengahan batang jati raksasa.
Dua kali dengan kali itu Ki Dagul dibuat
hampir melompat kaget.
"Apa lagi itu?!" semburnya.
Kejutan berikutnya berupa tawa hingar-
bingar yang melantakkan suasana malam. Asalnya
dari sumber yang sama dengan gemuruh serta ca-
haya tadi.
"Ha ha ha ha!"
Samar-samar dari layapan asap tersembul
bayangan aneh. Bayangan seorang tinggi besar den-
gan seorang lain bersila di atas kepalanya. Mereka
tak lain Kaladewa dan Kasindra, lelaki berpakaian
merah.
"Kalian datang tepat pada waktunya!" gelegar
suara Kaladewa menyambut kedatangan Satria
Gendeng dan Pengemis Arak yang masih terbengong
-bengong.
Bagi Pengemis Arak, pemandangan yang dis-
aksikannya mungkin tak terlalu mengejutkan. Dia
termasuk tokoh tua yang sudah kenyang makan
asam garam. Tapi kalau dia sekarang bertemu juga
dengan Kaladewa, seorang datuk sesat yang sudah
menjadi momok menakutkan ketika dirinya sendiri
masih ingusan, itu tentu lain soal. Selama hidupnya
yang sudah buluk dan bau tanah, Ki Dagul tak per-
nah sekali pun menyaksikan langsung Kaladewa,
manusia yang sudah dianggap sebagian besar seba
gai setengah siluman. Sampai matanya mendelik se-
karang menyaksikan wujud Kaladewa yang cuma
diketahuinya dari cerita, Ki Dagul tetap masih tak
bisa percaya dia telah bertemu langsung dengan
manusia mandraguna itu.
"Di antara mereka, siapa yang bernama Kala-
dewa itu, Orang Tua?" bisik Satria Gendeng. Na-
danya tergetar. Tak bisa dipungkirinya kemunculan
manusia setengah siluman itu telah membuat nya-
linya sedikit menggelepar.
Pertanyaan Satria Gendeng sama sekali tak
mendapat jawaban. Sebaliknya, Pengemis Arak si-
buk terbengong. Terpana dia dengan wajah seorang
tersedak tulang sebesar pergelangan tangan.
"Orang Tua!" bentak Satria.
"Hah?! Hah?! Hah?!"
"Yang mana di antara mereka yang kau kenal
sebagai Kaladewa?"
"Aku tak mengenal Kaladewa. Aku hanya
mendengar ceritanya!"
"Terserah kau. Yang aku ingin tahu, di antara
mereka, siapa menurutmu yang kau yakini Kalade-
wa?"
"Bukan lelaki berpakaian merah itu... Lelaki
berpakaian merah?! Hei, bukankah dia yang telah
menemuiku waktu itu?"
"Diakah orangnya?"
"Kau tuli? Aku sudah bilang begitu, bukan?"
"Jadi, orang tinggi besar itulah Kaladewa?"
ucap Satria, setengah menduga, setengah bertanya.
Di seberang sana, dua lelaki bersikap ganjil
mulai mempersempit jarak dengan Satria dan Ki Da-
gul. Kaladewa melangkah beberapa tindak ke muka.
"Kalian datang tepat pada waktunya...," sam-
butnya layaknya gemuruh gempa.
Kasindra menyentak tubuh. Berjumpalitan
dia di udara, lalu menjejakkan kaki di samping Ka-
ladewa. Dengan senyumnya yang kegenit-genitan
menyebalkan, dia berkata, "Kita bertemu lagi, Orang
Tua!"
Ki Dagul cuma meringis.
Kasindra melangkah tiga tindak ke depan.
"Perlu kuperkenalkan kepada kalian. Inilah
guruku, Kaladewa.... Inilah hari terakhir guruku
menjalani tapa terakhirnya di Hutan Pemantingan.
Selama puluhan purnama, tugasku hanyalah me-
nunggunya dan menjaga agar tak seorang pun men-
gusik tapanya. Namun, beberapa hari lalu, aku sen-
gaja merencanakan agar beberapa orang datang ke
tempat ini. Termasuk kau, Orang Tua. Serta yang
terpenting pendekar muda kita, Satria Gendeng...."
Satria mengerutkan kening.
"Jadi maksudmu, kau telah mengatur semua
ini. Kau sengaja memancing kami agar tiba di tem-
pat ini?" ucapnya.
"Benar!" Kasindra tertawa. "Kuangkat don-
geng rakyat tentang Pertapa Cemara Tunggal yang
memberikan benda pusaka pada seseorang di dunia
persilatan..."
"Isapan jempol belaka. Begitu kau hendak ka-
takan tentang benda pusaka itu?"
"Ya. Cuma isapan jempol belaka. Aku pula
yang telah membunuh Jenggot Perak. Aku yang me-
nyebarkan berita bohong itu. Aku yang menyebar-
kan fitnah bahwa kau telah membunuh Jenggot Pe-
rak dan membawa lari benda pusaka dari Pertapa
Cemara Tunggal...."
Satria menggeleng-gelengkan kepala dengan
wajah geram.
"Apa tujuanmu dengan semua ini?"
"Tujuanku?" Kasindra menoleh pada gurunya.
Dengan senyum puas tak lekang dari bibirnya, dia
berkata lagi.
"Guruku ini membutuhkan satu syarat untuk
menyempurnakan tapa akhirnya guna mendapatkan
ajian yang tak pernah dimiliki siapa pun...."
Satria menunggu kelanjutan ucapan Kasin-
dra. "Syarat itu adalah dirimu, Satria Gendeng! Gu-
ruku membutuhkan darahmu. Darah yang telah ter-
campur satu cairan langka dasar terdalam Laut Se-
latan. Bukankah kau yang hanya memiliki darah
itu?"
Darah? Satria bergidik. Sejak awal dia sudah
berharap akan berurusan dengan manusia setengah
siluman Kaladewa. Sekarang, dia tak lagi bisa
menghindari. Kaladewa sendiri punya alasan yang
kuat untuk membunuhnya!
"Kau bisa menyerahkan darahmu dengan su-
ka rela jika kau pikir percuma untuk menghadapi
guruku," kelakar Kasindra sama sekali tak terdengar
lucu.
Kaladewa menyambutnya dengan tawa terba-
hak.
"Untuk orang sesat seperti kalian, aku tak
pernah bisa berdamai!" tandas Satria mendesis pa-
dat kegusaran.
"Kalau begitu, kau harus menghadapiku,
Anak Muda!" hardik Kaladewa, sangar.
Ki Dagul menelan ludah.
Satria Gendeng memperlihatkan wajah men-
geras.
"Bersiaplah!" gelegar suara Kaladewa lagi se-
raya melangkah ke depan. "Kau akan kulumat ha-
bis, Anak Muda!"
"Tak semudah itu!"
Sahutan terdengar. Tapi bukan keluar dari
tenggorokan Satria Gendeng atau Pengemis Arak.
Melainkan datang dari seseorang yang sudah turut
pula hadir di tempat itu.
Ki Kuncen, alias Siluman Ular telah berdiri di
belakang Ki Dagul. Ki Dagul yang masih terhitung
tokoh kawakan pun masih sempat dibuat terperan-
jat oleh kedatangannya yang tak terduga sama seka-
li.
"Aku Siluman Ular akan bersedia dengan se-
nang hati bertarung untuk anak muda ini...," lanjut
Ki Kuncen.
Kaladewa menatap Siluman Ular dengan tata-
pan tak percaya. Terakhir kali dia bertemu Siluman
Ular masih berpenampilan menjijikkan. Seluruh tu-
buhnya dipenuhi sisik dan lendir. Lalu kenapa seka-
rang berubah sama sekali?
"Kau heran dengan keadaanku sekarang, Ka-
ladewa? " ujar Siluman Ular, menangkap tanda
tanya pada sinar mata Kaladewa. "Sejak kau mengu-
sir dan mempecundangiku dari Sumur Maut Berbi-
sa, aku pergi tanpa tujuan. Lalu aku tiba ditepi Hu-
tan Pemantingan. Di sana aku tinggal. Selama aku
tinggal, aku pun mencoba menyempurnakan tapaku
hari demi hari. Kau tahu kenapa aku bertapa? Aku
berusaha untuk menyembuhkan kutukan yang me-
nimpa diriku hingga membuat aku menjadi berlendir
dan bersisik. Di Sumur Maut Berbisa kau telah
menggagalkan tapaku hingga aku harus mengulan-
ginya dari awal. Kini, setelah aku mengulang tapaku
di tepi Hutan Pemantingan, aku berhasil menge-
nyahkan kutukan itu. Tapi, aku masih punya satu
urusan denganmu! Kau harus membayar perbua-
tanmu waktu itu padaku. Itu sebabnya aku tak ce-
pat-cepat minggat dari tepi Hutan Pemantingan
hingga banyak penduduk menyebutku kuncen hu-
tan keramat ini...." Siluman Ular mengakhiri ceri-
tanya.
"Bedebah!" maki Kaladewa, merasa urusan-
nya mendapat halangan lain yang terbilang berat.
"Kau gusar Kaladewa? Ya, aku memang sen-
gaja menanti kesempatan ini. Aku tahu, aku tak
akan mampu menghadapimu sendiri. Namun jika
aku bersekutu dengan pendekar muda ini untuk
menghadapimu, kau jangan berharap banyak untuk
bisa unggul. Setidaknya, kau harus mengadu jiwa!"
ledek Siluman Ular.
Mendengar segala ucapan Siluman Ular, ter-
bangkitlah kemurkaan Kaladewa.
Dia mendengus, layaknya seekor naga.
"Kalau begitu, kalian berdua akan segera
mampus!" tandasnya dengan nada menukik.
Kemurkaannya itu membangkitkan pula ke-
saktian yang selama ini telah mendarah daging da-
lam dirinya. Bangkit laksana gelegak angkara, me-
madati sekujur tubuhnya. Dan entah bagaimana,
tubuhnya perlahan-lahan terapung setinggi satu
tombak dari tanah!
Tak cuma itu, seluruh permukaan kulitnya
mendadak berpendar merah bara. Udara sekitarnya
terbakar hingga membentuk jilatan-jilatan berwarna
api!
Dari sedekapnya, mendadak sontak tangan-
nya terbuka ke depan. Dua jari telunjuknya tertud-
ing ke arah Satria dan Siluman Ular. Seketika itu
pula membersit cahaya memanjang berwarna-warni.
Mirip juluran pelangi sebesar jari. Namun lebih ba-
nyak warna.
"Hati-hati, Anak Muda!" seru Siluman Ular
memperingati. Dia hendak berucap lebih jauh, na-
mun cahaya milik Kaladewa telah lebih dahulu
menghujam dadanya.
Seperti hendak menangkap cahaya tadi, tela-
pak tangan disatukan Siluman Ular di depan dada,
tempat menjepit cahaya lawan.
Saat yang sama, Satria Gendeng pun menga-
lami hal serupa. Pendekar muda itu meraung liar
merasakan siksaan teramat sangat yang serasa hen-
dak menghanguskan isi dadanya.
Dengan tubuh bergetar, Siluman Ular menco-
ba mengarahkan pendekar muda itu.
"Lawan dengan pengerahan tenaga murnimu.
Atur peredaran darahmu hingga mengalir ke dada
lebih kuat!"
Satria Gendeng kendati merasakan sakit luar
biasa, masih sempat menangkap ucapan Siluman
Ular. Dia pun cepat bersedekap. Dikerahkannya se-
luruh hawa murni dan mengatur peredaran darah.
Perlahan, dalam getaran yang kian memun-
cak tubuh Satria Gendeng dan Siluman Ular pun
mengepulkan asap. Perlahan-lahan pula, cahaya
warna-warni milik Kaladewa terdesak mundur.
Pada puncaknya, Satria dan Siluman Ular
sama-sama melepaskan raungan menggempakan.
"Heaaa!"
Dentuman maha hebat tercipta. Bersamaan
dengan itu, juluran cahaya milik Kaladewa mem-
buyar terserpih-serpih.
"Bangsat!" raung Kaladewa.
Bermandi keringat, Siluman Ular tersenyum
sinis.
Kaladewa tak puas hingga di situ. Dia meng-
gerakkan tubuh seperti seekor naga mengibaskan
ekor. Kedua tangannya menyapu membentuk gera-
kan sayap.
Tak ada dua kejapan mata, dari badan Kala-
dewa yang masih tetap mengapung dengan penda-
ran merah menyala, keluar bayangan hitam teramat
besar. Wujudnya menyeramkan, namun sulit diten-
tukan. Membesar dan membesar. Teramat cepat,
wujud hitam itu menerkam. Hanya saja, cuma Satria
Gendeng yang menjadi sasaran.
Siluman Ular terkesiap. Sebagai golongan hi-
tam, mungkin dia tak begitu peduli pada keselama-
tan seorang pendekar golongan lurus seperti Satria
Gendeng. Namun sebagai seteru Kaladewa, dia tak
akan sudi membiarkan Kaladewa mencapai tujuan-
nya. Bayangan hitam itu adalah wujud yang belum
sempurna dari kesaktian baru Kaladewa. Jika arah-
nya menuju Satria Gendeng, itu berarti Kaladewa
hendak berusaha langsung menghisap darah si pen-
dekar muda!
"Hindari bayangan hitam itu, Anak Muda!" se-
ru Siluman Ular.
Satria Gendeng meski terpana, sempat pula
dengan gerakan teramat refleks mengerahkan perin
gan tubuhnya. Dia berjumpalitan berkali-kali ke be-
lakang.
Bayangan hitam mengejarnya lebih cepat.
Menghindar lebih jauh, sudah terlambat.
Satria pun seperti tertelan bayangan hitam
milik Kaladewa. Kejap itu pula, badannya menge-
jang. Wajahnya mengeras dengan garis-garis teramat
miris. Bola matanya membalik ke atas.
"Bhuaaa!"
Siluman Ular tak bisa mendiamkan kejadian
itu. Dia melepas hantaman jarak jauh berupa bola-
bola tenaga sakti berwujud gasing asap. Namun ke-
tika menghantam tubuh Kaladewa, bola-bola asap
berpusing itu terpantul balik dan menghantam pe-
miliknya sendiri.
Ki Dagul makin terpaku di tempatnya. Mulut-
nya menganga makin lebar. Masih untung kalau tak
ada yang menetes.
Sementara itu, Satria Gendeng mulai mengge-
liat-geliat. Dia merasakan tubuhnya seperti hendak
dipreteli oleh sebentuk kekuatan tak terbendung.
Tulang-belulangnya berdenyut-denyut dan seakan
hendak meledak segera.
Ketika otot lehernya mengejang dan mengge-
lembung melepas teriakan mengenaskan yang men-
jangkau sudut-sudut Hutan Pemantingan, tubuhnya
sudah tersuruk di atas lutut. Darah mulai merembes
dari seluruh pori-pori kulitnya. Anehnya, setiap tete-
san darah tidak terjatuh ke tanah, melainkan mele-
sat lurus di dalam bayangan hitam yang terhubung
ke badan Kaladewa!
Setelah terpental berkali-kali karena benturan
tenaga saktinya sendiri, Siluman Ular menjadi nekat
menyaksikan detik-detik menegangkan itu. Apalagi
ketika dia menyaksikan tetes-tetes darah Satria
Gendeng mulai terserap di permukaan kulit Kalade-
wa.
Tak berpikir dua tiga kali, Siluman Ular me-
lompat dalam raungan mengguruh. Diterjangnya Ka-
ladewa sepenuh kekuatan. Belum sempat mencapai
tubuh manusia setengah siluman itu, Siluman Ular
sudah terpental lebih sengit ke belakang.
Keadaan Satria Gendeng makin genting.
Darah hampir membasahi seluruh permu-
kaan kulitnya. Dan benteng pertahanannya pun
makin menipis. Pada puncak seluruh siksaan meng-
gila itu, sebentuk keajaiban terjadi. Dari satu sudut
Hutan Pemantingan yang demikian gelap, tahu-tahu
mencelat satu cahaya putih teramat kecil. Tak ada
yang memperhatikan kejadian itu, bahkan Kaladewa
sendiri.
Cahaya putih kecil seperti kunang-kunang itu
melesat masuk ke dalam mulut Satria Gendeng yang
tengah terbuka melepas raungan. Melalui tenggoro-
kannya, cahaya tadi terus melayap masuk ke dalam
tubuhnya. Detik berikutnya, bukan lagi darah yang
keluar dari seluruh pori-pori kulit pendekar muda
Tanah Jawa itu, melainkan sudah berganti dengan
bayangan putih samar.
Membersit cepat dan memangkas begitu saja
bayangan hitam milik Kaladewa. Dengan kecepatan
tak terperikan, bayangan putih samar dari dalam
tubuh Satria berbalik menerkam tubuh Kaladewa.
Seketika tubuh mengapung Kaladewa terpental pe-
sat ke belakang. Sebelum sempat menghantam po-
hon jati raksasa, tubuhnya mendadak pupus seolah
ada pintu gaib menelannya.
Alam mendadak sunyi.
Antara sadar dan tidak, Satria merasakan ada
seseorang keluar dari dalam dirinya. Seorang wanita
cantik yang sulit terperikan pesonanya....
SELESAI