PETUALANGAN DI ALAM ROH
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku M tenpa izin tertulis dari
penerbit
T. Hidayat
Dalam episode:
Petualangan di Alam Roh
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Malam baru saja berganti pagi. Cahaya kemerahan matahari
pagi sudah tampak menyemburat di kaki langit sebelah Timur.
Kicau burung saling bersahutan, seiring makin terbukanya mata
sang raja siang. Perlahan sinar kuning keemasan menyirami
tubuh bumi. Tanda kehidupan kembali dimulai.
Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat
menyentuh kulit, tampak sesosok lelaki gagah tengah
melangkah ringan. Kaki-kakinya tampak kokoh, menyibak
ilalang agak tergesa-gesa. Kelihatannya, tengah terburu-buru.
Lelaki gagah berperawakan gemuk itu tampaknya bukan
orang sembarangan. Dalam kalangan persilatan, ia termasuk
salah seorang tokoh tingkat menengah. Namanya, Gala Campa.
Dia adalah murid tertua Ki Raksa Mala. Malah lelaki gagah itu
kini telah mewarisi Perguruan Cakar Besi, karena Ki Raksa Mala
sendiri telah tewas di tangan pembunuh yang masih terselimut
kabut kegelapan (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: Badai Rimba Persilatan). Gala Campa memang habis
dari Hutan Grambang bersama para tokoh lain. Dia kini tengah
bergegas menuju perguruan yang didirikan Ki Raksa Mala.
Setelah berpisah dengan para tokoh lain, termasuk Pendekar
Naga Putih, timbul rasa khawatir di hati lelaki gemuk itu
terhadap perguruan yang telah cukup lama ditinggalkannya. Itu
sebabnya, mengapa sepagi itu ia terlihat demikian tergesa-gesa
melakukan perjalanan.
Tidak berapa lama, tibalah Gala Campa di tepi sebuah sungai
lebar yang memisahkan dua desa. Cepat tangannya diulapkan
ke arah tukang perahu yang saat itu di tengah sungai. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, Gala Campa langsung
melompat ke atasnya, begitu perahu telah dekat dengan
jangkauan lompatannya.
"Tuan tampaknya sangat tergesa-gesa. Apakah hendak
mengunjungi kerabat yang sakit di Desa Kemang?" tanya
tukang perahu berusia setengah baya itu.
Rupanya, dia melihat kegelisahan di wajah Gala Campa.
Meski hanya bermaksud untuk melenyapkan kesunyian di
antara mereka, tapi sepertinya Gala Campa tidak begitu suka
dengan pertanyaan itu.
"Ya! Percepatlah sedikit laju perahumu...," sahut Gala Campa
singkat dan cepat.
Seolah-olah dengan jawaban itu ia ingin menunjukkan
keengganan untuk melanjutkan pembicaraan. Namun
sayangnya, tukang perahu itu seperti tidak peduli dengan
jawaban ketus Gala Campa. Setelah mengangguk-angukkan
kepala sejenak, lelaki tua itu mempercepat laju perahunya.
"Siapa yang hendak Tuan jenguk? Saudara kandung,
ataukah hanya seorang kerabat jauh...?"
"Hhh...."
Gala Campa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Sepasang matanya yang berkilat dengan wajah siap
mendamprat, langsung sirna begitu terbentur seraut wajah tua
yang tampak penuh penderitaan. Hingga, Gala Campa terpaksa
hanya bisa menyabarkan diri.
"Tidak. Aku tidak hendak menjenguk siapa-siapa. Aku hanya
ingin mengunjungi Perguruan Cakar Besi, karena telah cukup
lama kutinggalkan...," kata Gala Campa, mengatakan hal yang
sebenarnya.
Selain tidak biasa berbohong, wajah tukang perahu itu
mendatangkan perasaan iba di hatinya. Hal itulah yang
membuatnya seperti harus berkata jujur.
"Perguruan Cakar Besi...!?" tukang perahu itu seperti agak
terkejut mendengar Gala Campa menyebut nama
perguruannya, "Kemarin sore, ada delapan orang lelaki
berpakaian kembang-kembang penuh tambalan yang juga
memiliki tujuan sama dengan Tuan. Hm..., Ada keramaian apa
sebenarnya di tempat itu...?"
"Apa...?! Delapan orang berpakaian kembang-kembang
penuh tambalan hendak menuju ke Perguruan Cakar Besi...?!"
sentak Gala Campa, sehingga tanpa sadar mencengkeram erat
pangkal lengan tukang perahu.
Karuan saja, lelaki setengah baya yang tidak mengerti ilmu
silat itu menjerit kesakitan.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, mengapa Tuan
kelihatan begitu ketakutan,..? Apakah ucapanku salah...?" ujar
tukang perahu itu sambil memijat-mijat pangkal lengan yang
terasa remuk tulang-tulangnya. Untunglah Gala Campa keburu
sadar. Kalau tidak, bukan tidak mungkin lengan orang tua itu
benar-benar remuk dibuatnya.
"Maaf, Paman. Maaf.... aku jadi benar-benar terkejut
mendengar cerita Paman. Sekarang, katakanlah kepadaku.
Apakah tambal-tambalan yang kau maksud seperti pengemis...?
Benar begitu, Paman...?" tanya Gala Campa, sambil berusaha
menenangkan diri.
"Ya, ya. Kira-kira begitulah, meskipun pakaian mereka
tampak masih bagus. Sepertinya hal itu disengaja, agar orang-
orang mengira mereka sebagai pengemis sungguhan.
Aaahhh..., dasar orang-orang itu saja yang kurang waras. Aku
saja ingin memiliki pakaian yang bagus tidak tambal-tambalan
seperti yang kupakai ini. Eh, orang-orang itu malah sengaja
menambal-nambal pakaiannya. Dasar dunia memang sudah
terbalik...," kata tukang perahu itu, sambil sedikit mengomel.
Tapi, Gala Campa sudah tidak mendengar ucapan tukang
perahu selanjutnya. Begitu mendengar kepastian kalau delapan
orang berpakaian kembang-kembang benar pengemis,
langsung saja dayung di tangan lelaki setengah baya itu
disambarnya. Dan tanpa memperdulikan tukang perahu yang
membelalak dengan wajah pucat karena mengira perahunya
hendak dicuri, lelaki gagah yang merebut dayung perahu itu
segera mendayung dengan menggunakan tenaga dalam.
Hasilnya tentu saja sangat mengejutkan tukang perahu.
Hampir napas lelaki tua itu putus seketika merasakan perahu
yang dinaikinya meluncur demikian cepat.
Bahkan hembusan angin terasa demikian keras menerpa
tubuhnya. Akhirnya, orang tua itu terpaksa memejamkan mata
dengan mulut komat-kamit memanjatkan doa. Sepasang kaki
yang sudah tidak sanggup menahan berat tubuhnya, terpaksa
harus di tekuk. Sehingga, dia berdiri hanya menggunakan
kedua lututnya.
Sedangkan Gala Campa sendiri yang tengah dalam
kecemasan luar biasa, mendayung perahu bagaikan orang
kesetanan. Seluruh tenaganya dikerahkan agar segera tiba di
seberang sungai. Memang dia seperti mendapat firasat buruk
kalau akan terjadi sesuatu di perguruannya.
"Heaaah...!"
Ketika jarak antara perahu dengan tepian sungai tinggal kira-
kira tiga tombak lagi, Gala Campa kembali mengerahkan
tenaganya. Kemudian, dia membentak keras disusul lesatan
tubuhnya yang melayang di atas permukaan air sungai.
Namun Gala Campa telah meninggalkan kepingan uang di
atas perahu.
Jelg!
Begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah, tubuh
Gala Campa kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali
di udara. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengerahkan
ilmu lari cepatnya begitu kakinya mendarat di atas tanah.
Bagaikan dikejar setan, lelaki gagah itu berlari menuju
perguruannya yang terletak di luar perbatasan Desa Kemang.
Rasa khawatir akan nasib murid-murid perguruannya,
membuatnya seperti memiliki tenaga cadangan yang berlipat-
lipat.
***
Gala Campa terus melesat dengan mengambil jalan pintas.
Bagaikan bayangan setan, tubuhnya berkelebat di antara
pepohonan. Hingga, terkadang tubuhnya lenyap di balik
sebatang pohon, kemudian tahu-tahu muncul di balik pohon
lain yang terpisah beberapa tombak. Dari sini saja dapat diukur
tingkat ilmu kepandaiannya, betapa hebatnya ilmu lari cepat
yang dimilikinya.
"Eh...!?"
Meskipun dalam keadaan berlari, namun sepasang mata Gala
Campa ternyata cukup awas. Ternyata kelebatan empat sosok
tubuh di depannya, membuat langkahnya terhenti seketika.
Dengan wajah tegang, tubuhnya cepat menyelinap di balik
sebatang pohon besar.
Tapi, begitu keempat sosok tubuh yang berlari dari arah
berlawanan itu dekat, Gala Campa segera melesat dari tempat
persembunyiannya. Melihat pakaian keempat orang yang serba
coklat tua, segera saja lelaki gagah itu mengenali. Keempat
orang itu ternyata murid perguruannya juga.
"Berhenti...!"
Bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok
bayangan dari balik pohon besar, membuat keempat lelaki yang
tengah berlari tersentak kaget. Wajah mereka nampak pucat
bagaikan tak dialiri darah. Senjata-senjata yang masih
tergenggam erat di tangan, langsung saja disilangkan di depan
dada, siap menghadapi perkelahian mati-matian.
Tapi, wajah-wajah pucat itu segera saja berseri
menampakkan kelegaan hatinya. Memang setelah melihat jelas,
mereka segera dapat mengenali sosok lelaki gagah berpakaian
coklat yang berdiri menghadang jalan.
"Kakang Gala Campa...?!" Seruan itu serentak terucap dari
mulut keempat orang lelaki yang dihadang Gala Campa. Mereka
menghembuskan napas kuat-kuat penuh kelegaan.
"Surangga, apa yang telah terjadi terhadap saudara-saudara
kita yang lain? Dan, kalian hendak pergi ke mana...?" tegur
Gala Campa. Suaranya tegas dan menuntut jawaban sejujurnya
dari lelaki bertubuh kurus yang bernama Surangga.
"Hhh.... Maaf, Kakang. Kalau tindakan kami salah, kami siap
menerima hukuman...," kata Surangga, sambil menjatuhkan
tubuhnya di depan Gala Campa. Demikian pula halnya tiga
orang temannya.
"Aku hanya tanya, dan bukan ingin menghukum kalian!
Jelaskan sikap kalian ini...?!" bentak Gala Campa, jengkel
melihat sikap murid-muridnya. Memang, dia masih merasa
cemas terhadap nasib murid-murid yang lain.
"Semua habis, Kakang. Delapan orang pengemis berpakaian
kembang-kembang, begitu datang langsung mengamuk dan
membunuhi murid-murid perguruan kita. Apalagi, kepandaian
mereka ternyata rata-rata sangat tinggi. Sehingga, banyak
saudara kita yang tewas di tangan mereka. Maka, kami
terpaksa memutuskan melarikan diri dengan jalan berpencar.
Sampai akhirnya, aku dan kawan-kawan berjumpa Kakang di
sini...," tutur Surangga.
Memang, tingkat kepandaian Surangga paling tinggi di
antara ketiga orang rekannya. Makanya, dia merasa paling
bertanggung jawab dalam masalah itu.
"Apakah mereka menggunakan senjata rahasia beracun...?"
tanya Gala Campa ingin memastikan lebih dalam lagi
Gala Campa menduga, pengemis berpakaian kembang-
kembang yang mengacau perguruannya ada hubungannya
dengan orang-orang yang hampir menewaskannya di tempat
pertemuan, di luar Desa Lintang beberapa waktu lalu.
"Benar, Kakang.... Bagaimana Kakang bisa menduga
demikian? Dan, mengapa Kakang tidak bersama guru, serta
Kakang Sentaji...?" tanya Surangga sambil mengedarkan
pandangannya. Seolah-olah, ia mengharapkan dapat berjumpa
orang-orang yang disebutkannya.
"Aku hanya tinggal seorang diri, Adi Surangga. Guru dan
Sentaji tidak akan pernah kembali lagi. Mereka sudah tewas di
tangan orang-orang jahat. Dan ada kemungkinan, pembunuh-
pembunuh itu juga orang-orang yang mengacau di rumah
perguruan kita...," jawab Gala Campa dengan wajah mene-
ngadah dan tatapan mata kosong jauh ke depan. Tampaknya
jelas lelaki gagah itu tidak ingin melanjutkan percakapan
tentang guru dan adik seperguruannya.
"Aaahhh...!?"
Surangga dan ketiga rekannya sama-sama menundukkan
wajah duka disertai desahan napas panjang dan berat. Mereka
juga mengerti kalau Gala Campa tidak ingin percakapan itu
diteruskan lagi. Dan kini Surangga dan tiga orang lainnya tidak
lagi membuka suara.
Cukup lama keheningan itu melingkupi lima orang murid
Perguruan Cakar Besi. Mereka tertunduk lesu dengan jalan
pikiran masing-masing.
"Kakang...,"
Setelah agak lama dicekam keheningan, Surangga
memberanikan diri membuka suara. Meskipun hanya perlahan,
namun cukup merubah suasana.
"Hm...," sahut Gala Campa menggumam malas. Sebenarnya,
laki gagah itu tengah mencari cara terbaik untuk kembali ke
perguruan. Dengan terpaksa, ia menoleh juga ke arah
Surangga.
"Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang. Aku
khawatir, pengemis-pengemis berhati iblis itu masih terus
mencari-cari kami. Sebab salah seorang dari mereka sempat
mengucapkan kata-kata kalau tidak seorang pun murid Cakar
Besi yang dibiarkan hidup," ujar Surangga.
Wajah Gala Campa terlihat agak tegang ketika mendengar
penjelasan Surangga. Memang disadari betul kalau ia dan
keempat orang saudara seperguruannya tidak akan mampu
menghadapi pengemis-pengemis baju kembang itu.
"Lebih baik kita cari tempat persembunyian yang aman untuk
sementara waktu. Saat hari gelap nanti, kita baru mendatangi
perguruan secara diam-diam. Mudah-mudahan saja masih ada
saudara kita yang selamat...," ujar Gala Campa.
Surangga dan yang lain menjawab dengan anggukan kepala
saja.
Tampaknya keempat orang murid itu memiliki pikiran yang
sama dengan kakak seperguruannya.
"Ayolah...!" ajak Gala Campa, segera saja memutar
rubuhnya. Mereka kini telah siap bergerak ke arah Selatan.
Tapi...,
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa nyaring saling
bersambungan. Seketika suasana yang semula sunyi, berubah
bising oleh suara tawa yang jelas berasal dari banyak orang.
"Keparat! Rupanya mereka telah tiba di tempat ini. Tidak ada
waktu lagi untuk menghindari, Kakang. Sebaiknya kita hadapi
saja iblis-iblis itu sampai titik darah penghabisan!" geram
Surangga yang segera saja menghunus senjatanya.
Demikian pula halnya keempat orang lainnya. Mereka
tampaknya siap menghadapi pertarungan mati-matian dengan
lawan-lawannya.
"Keluar kalian, iblis-iblis pengecut! Kami orang-orang Cakar
Besi tidak akan gentar menghadapi kalian...!"
Sambil berkata demikian, Gala Campa mengedarkan
pandangannya ke sekitar tempat itu. Satu persatu, ditelitinya
pohon besar yang banyak tumbuh di tempat itu. Namun, tidak
ditemukannya tanda-tanda kalau lawan berada di sekitar
tempat itu.
Tiba-tiba...
Seeerrr! Seeerrr!
Berbarengan desiran lembut, terlihatlah kilatan-kilatan benda
halus yang berpijaran mengancam kelima orang murid
Perguruan Cakar Besi.
"Jarum-jarum beracun...!" Surangga mendesis ngeri melihat
senjata-senjata rahasia mengincar mereka.
"Awaaasss...!"
Gala Campa yang sadar akan keganasan jarum-jarum
beracun itu, segera saja mengingatkan kawan-kawannya.
Sedangkan dia sendiri telah melompat ke samping sambil
memutar senjata untuk melindungi tubuhnya.
"Yeaaattt..!"
Surangga dan ketiga orang murid lain segera saja berseru
nyaring, seraya memutar pedang. Dengan berlindung di balik
gundukan sinar pedang, mereka bergerak ke samping untuk
menghindari jarum-jarum beracun lawan.
"Bedebah curang...!" maki Gala Campa.
Gala Campa merasa geram bukan main, karena tanpa
menampakkan diri lawan-lawan telah dapat membuat kalang
kabut dengan senjata-senjata rahasia.
"Hua ha ha...!"
Baru saja ucapan Gala Campa selesai, suara tawa yang
susul-menyusul kembali berkumandang. Belum lagi
keterkejutan lenyap, dari sekeliling tempat itu bermunculan
pengemis-pengemis berpakaian kembang-kembang yang
langsung mengurung kelima orang murid Ki Raksa Mala itu.
"Hua ha ha...! Senang rasanya melihat kalian melompat-
lompat seperti monyet kelaparan. Bukankah begitu, kawan-
kawan...?" ejek seorang pengemis bertubuh jangkung yang
pada pipi kirinya terdapat bekas koreng berkata penuh ejekan.
"Betul... Betul.... Aku pun suka menyaksikan pertunjukan itu.
Bagaimana kalau kita buat pertunjukan yang lebih menarik lagi,
Kakang Benggala...?" sahut pengemis lain yang juga bertubuh
kurus. Tawanya kembali terdengar menyakitkan telinga Gala
Campa dan kawan-kawannya.
"Hm...."
Gala Campa sendiri bagai mendidih darahnya mendengar
ejekan pengemis-pengemis berbaju kembang itu. Dengan
wajah merah padam, lelaki gagah itu menudingkan pedangnya
ke wajah para pengemis itu.
"Dasar kalian manusia-manusia pengecut yang bisanya
hanya main sembunyi dalam bertindak! Beberapa waktu yang
lalu, kalian telah mengeroyok aku dan kawan-kawanku dari
Perguruan Ular Emas! Kali ini, kalian muncul dengan pakaian
lain agar tidak bisa dikenali orang. Begitu maksud kalian,
bukan? Dan itu suatu tanda kalau kalian sebenarnya hanya
anjing-anjing penakut!" dengus Gala Campa dengan kemarahan
hampir-hampir membakar tubuhnya.
"He he he...! Ternyata kau bisa marah juga, Kisanak. Lalu,
kalau kami sengaja menyembunyikan diri, kau mau apa?
Apakah hanya ingin memaki-maki seperti barusan itu? Kalau
begitu, lanjutkanlah. Kami suka sekali mendengarnya...," sahut
pengemis tinggi kurus yang dipanggil Benggala.
Kelihatannya, dia tidak merasa marah mendengar makian
tadi, sehingga membuat Gala Campa semakin bertambah
dongkol.
"Setan...! Kubeset bacotmu...!"
Karena tidak bisa menahan kemarahannya lagi, Gala Campa
langsung saja melesat disertai sambaran pedang ke tubuh
lawan!
Bweeettt!
"Haitt...!"
Pengemis tinggi kurus bernama Benggala itu sepertinya
semakin sengaja memancing kemarahan lawan. Ketika mata
pedang Gala Campa hampir mengenai tubuhnya, ia cepat
berputar dengan langkah terhuyung. Padahal, jelas-jelas
serangan Gala Campa bisa dihindari dengan baik. Tentu saja
hal itu semakin mengobarkan api kemarahan di hati Gala
Campa.
"Yeaaattt...!"
Beeettt! Beeettt! Beeettt!
Dalam kemarahannya yang tidak bisa ditakar lagi, Gala
Campa langsung melancarkan serangkaian serangan maut ke
arah Benggala. Sayangnya, serangannya selalu kandas di
tangan lawan. Tampaknya kepandaian pengemis tinggi kurus
itu memang tidak di bawah Gala Campa. Bahkan mungkin
masih lebih tinggi.
"Awaaasss...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-
tiba Benggala membentak keras mengejutkan. Seiring
bentakannya, tongkat hitam di tangannya menyambar
mengancam lambung Gala Campa!
Whuuukkk!
Terkejut bukan main hati Gala Campa merasakan sambaran
angin keras dari hantaman tongkat hitam itu. Hal itu
membuatnya tidak berani memandang enteng lagi. Cepat
langkahnya bergeser dan terus bergerak ke belakang secara
bersilangan. Guna menjaga kemungkinan serangan susulan
lawan, pedangnya dikibaskan membentuk lingkaran yang
melindungi sekujur tubuh.
"Hua ha ha...!"
Benggala rupanya sama sekali tidak mengejar. Dan
sebenarnya, serangan tadi sengaja dilakukan hanya untuk
melihat tanggapan Gala Campa. Pengemis tinggi kurus itu
tertawa puas melihat lawan kelabakan setengah mati.
"Bangsat...!" maki Gala Campa dengan hati jengkel, karena
telah kena dipermainkan lawan.
"Hm...,"
Benggala melemparkan senyum tipis mendengar makian
lawan. Kelihatan sekali kalau ia seperti menganggap enteng
murid utama Ki Raksa Mala. Sedangkan Gala Campa sudah
kembali bersiap melanjutkan pertarungan.
DUA
"Kang Benggala...," sebut salah seorang dari pengemis-
pengemis seraya datang menghampiri Benggala, yang memang
menjadi ketua rombongan. "Sebaiknya segera habisi saja
mereka. Dengan begitu, bukankah tugas kita yang satu ini
selesai. Kalau terlalu lama mengulur waktu, aku khawatir guru
akan marah nanti....''
Benggala yang semula masih ingin mempermainkan Gala
Campa dam lawan-lawannya, menoleh sejenak. Ditatapnya
wajah pengemis muda bertubuh kurus yang mengingatkannya
tadi. Sebentar kemudian, sepasang mata tajamnya berubah
lunak.
"Hm.... Sebenarnya aku masih ingin mempermainkan orang-
orang bodoh dan tolol ini, tapi mengingat tugas-tugas kita
masih banyak, tidak ada salahnya kalau nasihatmu kuturuti, Adi
Wungga...."
Usai berkata demikian, Benggala kali ini mendahului
melangkah ke arah Gala Campa dan kawan-kawannya. Tongkat
hitamnya ditimang-timang, seolah sengaja hendak menakut-
nakuti lawan-lawan.
Sedangkan tujuh orang pengemis lain termasuk yang
bernama Wungga, ikut pula bergerak merapat. Hingga,
keadaan para murid Perguruan Cakar Besi semakin terjepit.
Ruang gerak mereka juga semakin terbatas.
"Hm...,"
Gala Campa menoleh ke arah kawan-kawannya dengan sorot
mata tajam. Sepertinya, lelaki gagah itu ingin menunjukkan
kalau ia sama sekali tidak takut menghadapi keroyokan lawan.
Hal itu sengaja dilakukan untuk membangkitkan semangat
Sunggara dan yang lain.
Pancingan Gala Campa memang tidak sia-sia. Tatapan penuh
semangat Gala Campa memang membangkitakan keberanian
Surangga kembali. Mereka kemudian bergerak mendekati kakak
seperguruannya, dan siap bertarung sampai mati.
"Hua ha ha...! Bagus..., bagus.... Rupanya murid Cakar Baja
memang gagah-gagah dan tidak mengenal takut. Mari..., mari
anak manis. Majulah...," ejek Benggala sehingga benar-benar
membuat telinga menjadi merah.
Untungnya baik Gala Campa maupun kawan-kawannya telah
menyadari kalau tidak boleh terpancing oleh ejekan lawan.
Memang, kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian serta
membuat mereka lengah.
"Hm.... Tertawa dan mengejeklah sepuasmu, gembel-gembel
bau! Sampai berbusa mulut kalian, kami tidak akan
memperdulikannya lagi...," sambut Gala Campa disertai senyum
sinis mengandung kecerdikan. Sehingga, Benggalalah yang kini
menjadi jengkel karenanya.
"Kalau begitu, terimalah kematianmu...!"
Usai berkata demikian, tubuh Benggala melayang sambil
membabatkan tongkat hitamnya dengan kecepatan tinggi.
Sasarannya, kepala Gala Campa.
Whuuukkk...!
Untungnya Gala Campa cepat sadar akan datangnya
serangan maut itu. Dengan menarik kaki kanannya ke
belakang, selamatlah kepalanya dari kehancuran. Kemudian
cepat bagai kilat, senjata di tangannya langsung berkeredep
membeset tubuh lawan!
Beuuuttt!
Menilik kuatnya desingan dari angin pedang, dapat ditebak
kalau Gala Campa telah mengerahkan seluruh kekuatan dalam
serangannya. Tapi, Benggala ternyata tidak berusaha
menghindari. Pengemis tinggi kurus itu cepat menyilangkan
tongkat hitamnya untuk memapak sambaran pedang lawan.
Traaang!
Benturan keras terjadi, sehingga menimbulkan suara yang
memekakkan telinga. Bunga api juga berpijar ketika kedua
senjata yang dialiri tenaga dalam itu saling bertemu di satu titik
tadi.
"Uuuhhh...!"
Gala Campa mengeluh pendek. Benturan keras tadi ternyata
telah membuat kuda-kudanya tergempur. Bahkan selain
langkahnya terjajar mundur, lengan kanannya juga terasa
bergetar kuat, hingga tulang-tulangnya terasa linu. Jelas, itu
menandakan kekuatan Gala Campa masih di bawah lawannya.
"Mampusss...!"
Benggala rupanya benar-benar tidak ingin mengulur waktu
lagi. Terbukti, ujung tongkatnya langsung ditusukkan pada saat
Gala Campa masih belum dapat menguasai keseimbangan.
Melihat serangan susulan lawan, Gala Campa tentu saja
terkejut bukan main. Karena untuk menyelamatkan diri jelas
tidak keburu, lelaki gemuk itu pun nekat menggerakkan bahu
untuk menyambut datangnya ujung tongkat, demi menye-
lamatkan tenggorokannya. Karena yang jelas, dia tidak akan
sanggup menerima totokan ujung tongkat itu. Dan....
Tuuuggg...!
"Aaakhhh...!"
Totokan ujung tongkat itu telak menghantam bahu Gala
Campa yang ternyata telah dilindungi tenaga dalam. Meskipun
demikian, masih juga ia tidak mampu menahan akibatnya.
Tubuhnya kontan terhuyung disertai semburan darah segar dari
mulut. Meskipun darah yang keluar tidak terlalu banyak, tapi
pukulan ujung tongkat tadi telah menimbulkan luka dalam di
tubuhnya.
Belum lagi Gala Campa sempat memperbaiki keadaannya,
sambaran tongkat hitam lawan kembali datang berdesing-
desing!
Deeerrr...!
Debu mengepul disertai pecahan batu yang beterbangan.
Rupanya, hantaman tongkat lawan yang berikut masih sempat
dielakkan Gala Campa. Sehingga, bumi tempatnya berpijak tadi
menjadi sasaran.
"Aaa...!"
Saat tubuh Gala Campa tengah bergulingan, terdengarlah
jerit kematian yang membuat jantung bagaikan terhenti
berdetak untuk beberapa saat. Memang, jeritan itu disusul
terbangnya dua sosok berpakaian coklat.
Pucat selebar wajah murid tertua Perguruan Cakar Besi
begitu melihat kematian saudara-saudara seperguruannya.
Harinya benar-benar sedih dan terpukul. Dia memang tidak
mampu berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari
kematian, karena juga dalam keadaan diserang.
"Bedebah..!" geram Gala Campa sambil terus bergulingan
dengan wajah berduka. Sepasang matanya merah menyala
penuh api dendam dan penasaran.
Maka bagaikan orang yang kehilangan ingatan. Gala Campa
bangkit dan langsung menerjang Benggala dengan serangkaian
serangan maut. Sayangnya, serangannya tidak lagi dengan
jurus-jurus miliknya. Memang, gerakan Gala Campa sudah
ngawur dan tidak beraturan.
"Eit.., eit... Monyet gendut ini ternyata bisa juga bersikap
galak. Benar-benar menakjubkan...."
Sambil berlompatan menghindari sambaran pedang lawan,
mulut Benggala tak henti-hentinya mengejek. Tentu saja semua
itu semakin membuat Gala Campa kalap.
"Makan ini..!"
Lewat beberapa jurus kemudian, tiba-tiba Benggala
membentak keras! Seiring bentakan itu, ujung tongkatnya
meluncur ke arah dada kiri lawan. Dan...
Duuuggg...!
"Huuukkkh...!"
Tanpa ampun lagi. Gala Campa yang tidak sempat mengelak,
langsung terjungkal ke belakang. Darah segar kembali
mengucur dari sudut bibirnya. Meski demikian dia segera
melompat bangkit. Seperti tidak merasakan akibat hantaman
tongkat lawan, kembali diterjangnya lawan dengan putaran
pedangnya.
Belum lagi lima jurus Gala Campa melancarkan serangan,
kembali jerit kematian terdengar susul menyusul.
"Surangga...!"
Teriakan Gala Campa yang seharusnya melengking nyaring,
itu terdengar parau dan tercekat di tenggorokan. Wajah lelaki
gemuk itu berkerut-kerut menahan pukulan pada batinnya.
Hingga ia hanya berdiri bengong tanpa kata, saat melihat tubuh
kedua orang saudaranya kembali ambruk dan tidak bergerak-
gerak lagi untuk selamanya.
"Ooohhh...."
"Makan ini...!"
Seiring bentakan itu, ujung tongkat Benggala meluncur ke
arah dada kiri Gala Campa. Dan....
Duuuggg...!
"Huuukkkh...!" Tanpa
sempat mengelak lagi, Ga-
la Campa terkena sodokan
tongkat itu.
Gala Campa merasakan
seluruh tubuhnya lemas
bagaikan tidak bertulang.
Kematian demi kematian
yang disaksikannya
membuatnya terguncang.
Belum lagi kematian
gurunya terbalaskan, kini
harus menyaksikan
kematian saudara-
saudaranya dengan mata kepala sendiri. Dan yang lebih
mengguncangkan jiwanya, ia sama sekali tidak mampu
mencegah.
Sedangkan Benggala sama sekali tak peduli terhadap
keadaan lawan. Tanpa rasa iba sedikit pun, tongkat hitamnya
meluncur ke punggung Gala Campa!
Buuukkk!
"Huaaakhhh..!"
Darah segar langsung menyembur ketika batang tongkat itu
menghajar telak punggungnya! Tubuh lelaki gemuk itu
terguling-guling menggilas rerumputan kering. Wajah dan
pakaiannya juga telah dipenuhi noda darahnya sendiri.
"Bangun...!" bentak Benggala sambil mengayunkan kaki ke
tubuh Gala Campa yang tengah berusaha merangkak bangkit.
Sementara senjata lelaki gagah itu sendiri sudah terlepas dari
genggaman.
Deeesss...!
Untuk kesekian kalinya, tubuh Gala Campa kembali harus
menerima tendangan keras! Tubuhnya kontan tersentak, untuk
kemudian kembali terbanting ke atas tanah dengan lelehan
darah yang semakin banyak membasahi pakaian. Namun
demikian, Gala Campa tetap berusaha berdiri, walaupun agak
sempoyongan.
"Rasakan...!"
Plaaaggg!
"Ouuughhh...!
Kali ini telapak tangan Benggala yang berbicara. Tamparan
yang dikerahkan lewat tenaga dalam kuat itu telak menghajar
wajah Gala Campa. Akibatnya, tubuh lelaki itu kembali
terlempar disertai lelehan darah segar. Wajahnya tampak
membengkak, bahkan bagian sudut bibir sobek! Tubuhnya
sudah menggeloso, terduduk di tanah berumput.
"Eeekhhh...!"
Gala Campa yang rupanya sudah sulit dikenali, meludahkan
darah kental yang bercumpur beberapa buah giginya yang
tanggal. Jelas tamparan barusan memang begitu keras,
sehingga membuat beberapa buah giginya rontok.
"Jangan dibunuh orang itu, Benggala...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, mengandung
perbawa kuat Benggala yang sedianya hendak melanjutkan
penyiksaan, terpaksa menunda langkahnya.
"Ketua...."
Baik Benggala maupun pengemis berbaju kembang-kembang
lain segera saja berlutut di depan sosok tinggi besar itu.
"Hm...."
Sosok tinggi besar brewokan yang hanya mengenakan rompi
coklat itu mendengus perlahan. Pada sepasang lengannya
tampak beberapa buah gelang menghias pergelangan. Telinga
kirinya terdapat anting-anting bulat yang besarnya separuh
gelang di tangannya. Tampak juga sebuah ikat kepala dari
tengkorak kepala yang berukuran kecil. Satu agak besar di
tengah keningnya, sedangkan yang empat tersusun di kiri
kanannya.
Sosok tinggi besar berpenampilan angker itu memang bukan
tokoh baru dalam kalangan persilatan. Pada dua puluh tahun
yang lalu, sepak terjangnya pernah membuat gempar rimba
persilatan. Namun pada sepuluh tahun belakangan, namanya
lenyap dan tidak pernah terdengar lagi. Sehingga, orang-orang
pun mulai melupakannya, ia adalah Setan Tenaga Gajah.
"Tinggalkan saja dia. Kelihatannya kita tidak perlu lagi
membunuhnya. Tekanan batin dalam dirinya demikian parah.
Tanpa membunuh pun, perlahan-lahan akan mati sengsara...,"
ujar Setan Tenaga Gajah berkata dengan suara penuh
kepuasan.
"Baik, Ketua...," sahut Benggala.
Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah segera saja
angkat kaki dan lenyap, sebelum pengikutnya sempat menoleh.
Hal itu menandakan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya.
"Ayo kita pergi...,"
Setelah ketuanya lenyap, Benggala segera mengajak kawan-
kawannya meninggalkan tempat itu. Sedangkan tubuh Gala
Campa dibiarkannya terbaring pingsan di atas rerumputan
kering.
Hembusan angin silir-silir lembut mengiringi langkah dua
sosok tubuh. Menilik buntalan pakaian di bahu kanan sosok
berjubah putih, jelas mereka adalah pengembara yang tidak
memiliki tempat tinggal tetap.
Sosok bertubuh sedang namun padat itu ternyata masih
muda usianya. Melihat dari raut wajahnya yang bersih, tampan,
dan menampilkan keramahan, paling jauh usianya baru dua
puluh satu tahun. Namun apabila orang melihat sinar matanya,
pasti tidak akan sanggup beradu pandang berlama-lama
dengannya. Sorot matanya demikian tajam, dan memancarkan
perbawa amat kuat. Jelas, pemuda tampan berjubah putih itu
bukan orang sembarangan.
Sedangkan sosok ramping berpakaian serba hijau yang
melangkah di samping kirinya, juga tidak kalah menarik. Raut
wajahnya yang berbentuk bulat telur itu nampak demikian
halus kulitnya. Hidungnya kecil mancung, dengan sepasang
bibir indah yang merah basah. Sepasang alis matanya yang
tebal, tampak melindungi dua bola mata hitam nan cemerlang.
Benar-benar luar biasa pasangan muda itu. Satu tampan dan
gagah, satunya lagi cantik jelita bagaikan bidadari dari
kayangan.
Sepasang anak muda itu terus mengayun langkahnya di
bawah siraman cahaya matahari yang mulai beranjak naik.
Setelah melewati sebuah padang rumput yang cukup luas,
tibalah mereka di tepian sungai. Pandangan mereka
dilayangkan ke sekitar sungai seperti tengah mencari sesuatu.
"Hm..., aneh. Mengapa perahu itu dibiarkan terapung-apung
di tengah sungai...? Apa yang dilakukan tukang perahu itu di
sana...?" gumam gadis berpakaian serba hijau.
Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, gadis itu
memandang ke tengah sungai. Memang, di sana ada perahu
yang biasa digunakan untuk menyeberang, dan di dalamnya
ada orang yang tengah terapung-apung.
Pemuda tampan berjubah putih itu pun segera saja
melayangkan pandangannya ke tengah sungai. Tampak,
sesosok tubuh tengah rebah di lantai perahu.
"Mungkinkah ia tertidur demikian lelap di pagi seperti ini?"
desah pemuda tampan itu ketika melihat si tukang perahu tidak
bergerak-gerak.
Mendengar ucapan tadi, gadis berpakaian hijau itu menoleh
ke arah kawannya. Kemudian, kembali dia memandang ke
tengah sungai.
"Hoooiii.... Tukang perahu..., bangunlah! Tolong antarkan
kami ke seberang...!" teriak dara jelita itu disertai pangerahan
sedikit tenaga dalam.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri tegak menanti
perahu itu datang mendekat. Tapi jangankan bangkit. Malah,
sepertinya si tukang perahu tidak mendengar. Tentu saja hal
itu membuat si gadis jengkel.
"Hm.... Orang malas seperti dia harus diberi pelajaran...,"
desis dara jelita itu mengancam.
Setelah berkata demikian, ditariknya napas dalam-dalam.
Kemudian...,
"Hoooiii.... Tukang perahu pemalas, bangunlah! Atau
perahumu ingin kutenggelamkan!"
Hebat sekali teriakan dara jelita itu kali ini. Hembusan angin
bertiup keras seiring terdengarnya teriakannya. Bahkan
beberapa ekor burung yang sedang terbang dalam jarak yang
cukup jauh, langsung berjatuhan. Memang getaran suara yang
mengandung tenaga dalam tadi telah melemahkan sayap-sayap
binatang kecil itu.
Tapi teriakan yang begitu hebatnya, ternyata masih belum
mampu juga untuk membangunkan tukang perahu. Orang itu
tetap saja rebah miring di atas lantai perahunya tanpa merasa
terganggu sedikitpun.
"Tunggu, Kenanga...," kata pemuda tampan itu, mencegah
ketika kawannya hendak mengulang perbuatannya barusan.
"Tukang perahu itu benar-benar kurang ajar dan
membinggungkan, Kakang. Padahal, suaraku tadi kukira
sanggup membuatnya terlompat bangkit dari tidur yang
bagaimana pulas sekalipun...," kata dara jelita itu tak puas.
"Sabar, Kenanga. Sepertinya ada sesuatu yang tidak wajar
pada tukang perahu itu. Tidak mungkin ia masih bisa terlelap
setelah mendapat tekanan suara yang mengandung tenaga
dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya...," ujar
pemuda tampan itu.
Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya ke
sekelilingnya. Kemudian, dia melangkah dan mengambil
beberapa batang ranting pohon yang cukup besar.
"Untuk apa kayu-kayu itu, Kakang...?! tanya gadis itu, yang
memang Kenanga. Sementara, pemuda tampan berjubah putih
itu tak lain dari Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
Rupanya, Kenanga masih belum mengerti melihat apa yang
diperbuat Pendekar Naga Putih. Sehingga, ia hanya dapat
memandang bingung.
"Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak melihat, apakah
dugaanku benar...," sahut Panji sambil melemparkan sebuah
ranting di tangannya ke tengah sungai. Dan sebelum ranting itu
jatuh ke air, tiba-tiba....
"Haaaiiittt...!"
Pendekar Naga Putih berseru nyaring. Seketika tubuhnya
melambung. Lalu, digunakannya ranting yang jatuh ke air itu
sebagai landasannya. Demikian pula ranting lain di tangannya.
Begitu kakinya menyentuh ranting, tubuhnya kembali
melambung. Kali ini kedua kakinya langsung mendarat di lantai
perahu. Hebatnya, sedikit pun perahu itu sama sekali tidak
bergoyang, pada saat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur
turun di atasnya. Jelas, hal itu menunjukkan kalau ilmu
meringankan tubuhnya telah sangat tinggi.
"Bagaimana, Kakang...? Apa yang terjadi dengan tukang
perahu itu?" tanya Kenanga dari seberang. Dia sepertinya tidak
dapat menahan sabar untuk segera mengetahui apa yang
ditemukan Panji.
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang kini berada di atas
perahu itu sama sekali tidak segera menyahut. Dikayuhnya
perahu itu ke tepian, mendekati Kenanga.
"Aaah?! Siapa yang telah melakukan kekejaman ini terhadap
seorang tukang perahu seperti dia...? Apa kesalahannya...?"
desis Kenanga ketika melihat apa sebenarnya yang telah terjadi
terhadap tukang perahu.
"Hm.... Kalau melihat dari pakaian yang dikenakan, ia
memang tukang perahu. Tapi..., apa yang menyebabkannya?
Hm.... Pasti ada sebab lain yang membuatnya tewas...,"
gumam Panji sambil menatap sosok mayat lelaki setengah baya
berpakaian lusuh, dan ada beberapa tambalan pada pakaiannya
itu.
Lelaki malang itu mati dengan sebuah tusukan senjata tajam
tepat di jantungnya. Hal itu bisa dilihat dari adanya sebuah
lubang yang cukup besar di tubuhnya.
"Bagaimana kalau orang yang membunuhnya sama sekali
tidak mempunyai alasan, Kakang. Bukankah sifat kaum sesat
banyak yang tidak lumrah. Mereka bisa saja membunuh tanpa
alasan jeias! Bahkan ada beberapa di antaranya yang
melakukannya hanya untuk kesenangan. Sekarang, apa yang
akan kita lakukan terhadap tukang perahu itu?" kata dara jelita
berpakaian hijau itu.
"Yah..., sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang tua
malang ini. Baru setelah itu kita gunakan perahunya untuk
menyeberang...," usul Pendekar Naga Putih.
Sementara itu Kenanga hanya menganggukkan kepala tanda
menyetujui. Sepertinya, ia pun enggan berpikir lama-lama
tentang pembunuhan yang jelas-jelas masih sangat gelap.
Usai menguburkan mayat tukang perahu itu sebagaimana
layaknya seorang manusia, Panji dan Kenanga berdiri tegak
menatap gundukan tanah merah itu.
"Orang tua! Siapa pun kau adanya, semoga dapat tenang
kembali ke alam yang kekal sana. Selain itu, kami pun
mengucapkan terima kasih, karena perahumu akan kami
gunakan untuk menyeberang. Selamat tinggal, Orang tua...,"
Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga mengangguk
hormat, lalu bergegas menyeberangi sungai.
Kematian penuh teka-teki dari tukang perahu itu sepertinya
masih juga membayangi sepasang anak muda ini. Terbukti,
mereka masih tetap bungkam selama menyeberangi sungai.
Jelas, pikiran mereka masih melayang kepada kejadian
barusan.
Tidak berapa lama kemudian, perahu itu pun merapat di
sebuah jembatan kayu yang sepertinya sengaja dipasang untuk
merapatnya perahu. Setelah menambatkan perahu. Panji dan
Kenanga bergerak menaiki tangga-tangga tanah. Memang
tanah tepian sungai itu agak tinggi.
"Hm.... Nampaknya di depan sana ada sebuah desa,
Kakang...," kata Kenanga ketika sepasang matanya sempat
menangkap adanya atap-atap rumah penduduk.
"Sepertinya begitu. Dan mungkin juga, sungai ini merupakan
pemisah dengan desa seberang sana yang kemarin kita
lewati...," sahut Panji sambil mengayun langkahnya tanpa
terburu-buru.
Dugaan dara jelita itu memang tidak salah. Tidak jauh dari
sungai memang ada perkampungan penduduk yang bernama
Desa Kemang. Mulut desa itu baru dijumpai, tidak lama setelah
beberapa waktu menyusuri jalan lebar.
"Uhhh..., tidak tahu diri. Siapa pula yang memanggang ayam
di siang hari begini. Membuat orang lapar saja...," omel
Kenanga, tiba-tiba.
Bau harum dan gurih yang menyerang hidung saat ini
memang membuat perut gadis itu berkeruyuk. Karuan saja hal
itu membuatnya merutuk. Sementara, Panji hanya menoleh dan
tersenyum.
"Hm.... Karena kita sama-sama orang-orang kelaparan, tidak
ada salahnya kalau memesan dua ekor ayam panggang,
bukan...?"
Setelah berkata demikian, Panji segera saja memasuki desa
dan langsung mencari kedai makan.
"Kakang, tunggu...!" seru Kenanga, segera berlari menyusul
Pendekar Naga Putih.
***
Tapi, baru saja Pendekar Naga Putih dan Kenanga memasuki
mulut kedai, tampak para penduduk yang kebanyakan wanita
tengah berduyun-duyun menuju balai desa. Tentu saja hal itu
membuat mereka saling bertukar pandang sesaat. Seperti telah
mendapat kata sepakat, bergegas arus penduduk Desa Kemang
itu diikuti.
"Maaf, Paman...," tegur pemuda tampan berjubah putih itu
menyentuh lengan seorang lelaki berusia enam puluh tahun.
"Kalau boleh tahu, ada apakah sebenarnya?"
Orang tua itu bukannya menjawab, tapi malah sebaliknya
menatap sosok pemuda itu dengan kening berkerut. Namun,
Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang meski jelas-jelas
tatapan orang tua itu menyiratkan kecurigaan.
"Kau siapa, Kisanak? Aku baru kali ini melihatmu. Apa
kerjamu di desa ini..?"
Pertanyaan yang tidak menyenangkan meluncur begitu saja
dari mulut orang tua itu. Ternyata bukan hanya tatapannya
saja yang menyiratkan kecurigaan. Bahkan suaranya pun jelas-
jelas mencerminkan ketidaksenangan.
Tampak pemuda tampan itu menghela napas sejenak.
Ditundanya niat untuk meninggalkan orang tua itu begitu saja,
karena mungkin akan lebih menimbulkan rasa curiga. Hanya
saja, dia tidak mengerti apa yang membuat orang tua itu
menaruh kecurigaan kepadanya? Lalu, apa sebenarnya yang
tengah terjadi di desa itu?
"Paman, aku bernama Panji. Ini temanku Kenanga. Kami
berdua memang bukan orang desa ini. Kami hanyalah
pengembara. Apakah ada larangan untuk singgah atau
menginap di desa ini bagi para pengembara...?" tanya Panji
setelah menjawab semua pertanyaan yang barusan diajukan
kepadanya.
Sepertinya, pertanyaan Pendekar Naga Putih membuat lelaki
tua itu merasa sedikit tidak enak hati. Semua itu kelihatan dari
sikapnya yang agak berubah, dan tatapan matanya yang juga
menyiratkan sedikit keramahan.
"Tentu saja tidak, Nak... Panji. Maaf kalau pertanyaanku
barusan kurang menyenangkanmu. Masalahnya, kudengar ada
beberapa orang desa kami telah menemukan empat sosok
mayat dan satu orang lelaki yang menderita luka parah. Lelaki
bertubuh gemuk itu kedapatan masih hidup, dan dalam
keadaan pingsan, itulah sebabnya, mengapa aku langsung
merasa curiga ketika melihatmu...," jelas orang tua itu yang
kembali mengayun langkahnya menuju balai desa.
"Tidak mengapa, Paman. Kecurigaan Paman itu tentu saja
cukup beralasan. Apalagi, kedatanganku sangat bertepatan
dengan adanya kejadiaan itu...," kata Panji.
Pendekar Naga Putih sengaja juga tidak menceritakan
tentang mayat tukang perahu di sungai. Dia khawatir, kalau-
kalau sikap lelaki tua itu akan berubah lagi kalau hal itu
diceritakannya. Hanya saja, diam-diam Panji mencoba
menghubungkannya dengan apa yang ditemukan di sungai.
Setelah mendengar keterangan orang tua itu, Panji dan
Kenanga semakin lebih tertarik untuk mengikuti rombongan
orang-orang desa. Sayangnya, pada saat keduanya tiba di balai
desa, sekeliling tempat itu telah dipenuhi penduduk desa.
Bahkan beberapa di antara mereka ada yang masih dilumuri
lumpur atau pun tanah merah. Kelihatan, mereka memang
habis dari sawah dan ladang, dan merasa tertarik dengan keja-
dian itu.
Menyadari kesukaran untuk ikut melihat apa yang telah
diceritakan orang tua tadi kepadanya, Panji melangkah
mendekati keamanan-keamanan desa yang berbaris
membentuk pagar.
"Kisanak. Tolong sampaikan kepada kepala desamu kalau
aku mungkin mengenali mayat-mayat itu. Tolong beri kami
kesempatan untuk melihatnya...," pinta Panji kepada salah
seorang keamanan Desa Kentang yang secara kebetulan juga
salah seorang pimpinannya.
"Hm.... Kau siapa, Kisanak? Benarkah apa yang kau katakan
barusan? Tahukan kau, siapa orang-orang yang tewas dan
yang terluka parah itu...?" tanya kepala keamanan berperut
gendut dengan sebaris kumis tebal melintang menghias
wajahnya.
Orang itu berbicara sambil mempermainkan kumisnya. Jelas,
hal itu dimaksudkan agar orang yang berbicara kepadanya
merasa takut.
"Aku Panji. Benar tidaknya perkataanku, tergantung
jawabanku setelah melihat mereka. Sekarang, tentu saja aku
belum tahu siapa mereka, karena belum melihatnya sedikit
pun...," sahut Panji tetap tenang tanpa memperlihatkan rasa
tersinggung atau jengkel oleh sikap kepala keamanan desa itu.
"Hm…, Perlu kau tahu, Anak Muda...,"
Bicara lelaki berperut gendut dan berkumis tebal ini terhenti
seketika, ketika sepasang matanya sempat menatap sesuatu
yang mengejutkan di belakang tubuh pemuda berjubah putih
itu. Segera saja kepalanya berusaha untuk melihat secara jelas
lewat bahu Panji.
"Hm...."
Panji yang langsung tahu penyebab kelakuan aneh itu,
sengaja berpura-pura bodoh. Kepalanya ikut bergerak-gerak
mengikuti gerakan kepala lelaki gendut itu. Sehingga,
pandangan keamanan desa itu tetap saja terhalang kepala
Panji.
"Hei, minggir kau...!"
Masih tetap tidak menyadari kesengajaan pemuda tampan
itu, lelaki berperut gendut ini menggeram sambil mengulurkan
tangannya. Maksudnya, untuk menyingkirkan tubuh Panji agar
pandangannya tidak terhalang. Tapi...,
"Ehhh?!"
Keamanan desa itu tersentak kaget ketika tubuhnya hampir
terjerunuk ke depan. Tatapan matanya segera beralih ke wajah
Panji. Memang, tarikan tangannya tadi sama sekali tidak
membuat tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun. Bahkan
tubuhnya sendiri nyaris terjatuh ke depan.
"Kurang ajar! Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak...?"
hardik kepala keamanan desa itu dengan wajah gelap.
Jelas ia merasa marah kepada pemuda itu. Tapi meskipun
dalam keadaan marah, sepasang matanya sempat melirik ke
belakang Pendekar Naga Putih. Sekilas, kembali terlihat apa
yang membuatnya penasaran untuk menegasi.
"Paman ini bagaimana?" tukas Panji dengan wajah berpura-
pura tak tahu. "Bukankah sejak pertama tadi sudah kukatakan.
Apa Paman sudah lupa keinginanku tadi?"
"Apa..., apa yang kau minta kepadaku tadi...?" tanya lelaki
gendut itu yang sepertinya benar-benar lupa kata-kata Panji.
Memang otaknya jelas dipenuhi sesosok bayangan penuh
pesona yang belum juga sempat jelas dilihatnya.
"Aku ingin bertemu kepala desa, dan melihat mayat-mayat
itu. Bagaimana? Apakah Paman mengizinkannya...? tanya Panji
dengan tubuh tetap bergerak-gerak menghalangi pandangan
lelaki gendut yang masih juga mencari-cari sosok di
belakangnya.
"Ya..., ya. Pergilah. Aku memperbolehkanmu melihat mayat-
mayat itu dan menemui kepala desa. Cepatlah pergi...."
Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki gendut itu langsung saja
mengizinkan Panji. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk
dapat melihat sosok yang sejak tadi membuatnya penasaran.
Dan satu-satunya jalan untuk dapat melihat jelas, hanyalah
dengan menyuruh pemuda berjubah putih itu cepat-cepat
pergi.
"Eh...!?"
Untuk kesekian kalinya, lelaki gendut itu kembali
terperangah dengan wajah ketololan. Ternyata sosok yang
dicarinya tidak bisa ditemukannya. Tentu saja ia menjadi
keheranan setengah mati. Padahal, jelas-jelas tadi ia
melihatnya di belakang pemuda berjubah putih itu.
"Mungkinkah yang kulihat tadi sebangsa peri? Kalau memang
manusia..., mengapa bisa menghilang begitu cepat...?" gumam
lelaki gendut itu dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya
meski tidak gatal. Kemudian, tubuhnya berbalik ke arah
pemuda berjubah putih yang barusan diberi jalan untuk lewat.
"Hah...?!"
Hampir copot jantung lelaki gendut itu ketika melihat sosok
ramping terbungkus pakaian serba hijau, tampak tengah
melangkah tenang di samping pemuda berjubah putih yang
diizinkan masuk barusan. Tentu saja ia terkejut bukan main,
karena sosok berpakaian hijau itulah yang sejak tadi
membuatnya penasaran.
"Aneh.... Bagaimana tahu-tahu ia bisa berjalan bersama
pemuda itu? Ataukah semua ini hanya pandanganku saja...?"
desis lelaki berperut gendut itu ragu-ragu.
Rasa penasaran membuatnya menggosok kedua mata
dengan punggung tangan. Namun meski telah beberapa kali
menggosok, sosok ramping berpakaian serba hijau itu tetap
saja terlihat. Baru disadari kalau semua itu bukan permainan
lamunannya belaka. Tapi, memang benar-benar nyata.
"Hei, tunggu...!"
Begitu tersadar, lelaki berperut gendut itu segera saja
berseru mencegah langkah Panji dan Kenanga yang hendak
memasuki pintu balai desa.
"Kita sudah terlanjur. Lebih baik terus saja masuk...," bisik
Panji, seraya segera menarik lengan kekasihnya memasuki
bangunan itu.
"Hei, siapa kalian?! Siapa yang menyuruh kalian masuk ke
ruangan ini?!"
Terdengar teguran ketika Panji dan Kenanga telah melewati
pintu depan. Bahkan teguran itu langsung disusul
berlompatannya beberapa sosok tubuh, dan langsung
mengurung dengan senjata terhunus!
"Tahan...! Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Lagi
pula, kami sudah mendapatkan izin untuk memasuki tempat ini
dari kepala keamanan yang berjaga di luar...," jelas Panji.
Baru saja ucapan Panji selesai, dari belakang melesat sosok
tubuh berperut gendut yang tak lain kepala keamanan desa
yang bermaksud mengejar Kenanga. Karena memang, gadis
jelita itulah yang membuatnya penasaran dan tergila-gila.
Padahal, wajah dara jelita itu, belum terlihat jelas.
"Bohong! Pemuda sialan itu bohong! Dia menerobos masuk
ketika aku lengah berjaga tadi...," sanggah lelaki berperut
gendut itu, begitu tiba.
Rupanya, ia takut disalahkan. Sehingga tanpa ragu-ragu lagi,
dilemparkannya kesalahan itu kepada Panji dan Kenanga.
"Hm.... Betulkah itu, Kisanak...?" tegur Panji dengan
sepasang mata berkilat tajam menggetarkan jantung.
Hati Pendekar Naga Putih benar-benar muak melihat lelaki
berperut gendut yang sepertinya hanya merupakan seorang
penjilat dan penggoda wanita. Bukan tidak mungkin kalau
sudah banyak gadis Desa Kemang yang dijadikan istrinya.
"Eh..., aaa... anuuu...,"
Lelaki berperut gendut itu mendadak gagap melihat sinar
mata Panji serasa membetot-betot sukmanya. Sehingga, ia
tidak tahu lagi apa yang harus diucapkannya. Tentu saja
sikapnya membuat yang lain menjadi keheranan. Termasuk
juga, Kepala Desa Kemang dan pembantu utamanya.
"Kenapa kau, Sungga...? Mengapa tidak menjawab
pertanyaan pemuda itu?" tanya Kepala Desa Kemang yang
bernama Ki Senta Raga disertai kerutan di kening. Dia memang
tak senang melihat sikap bawahannya, sehingga terpaksa
menegurnya.
"Anu, Ki. Aku...,"
"Sudahlah! Lebih baik kembali berjaga di luar sana. Biar
pemuda dan gadis ini aku yang urus...," potong Ki Senta Raga,
tak sabar menunggu jawaban lelaki gendut bernama Sungga.
"Baik..., baik..,"
Tanpa banyak membantah lagi, kepala keamanan bernama
Sungga itu bergegas meninggalkan ruangan untuk kembali
berjaga-jaga di luar.
Sepeninggal Sungga, Ki Senta Raga mengalihkan perhatian
kepada kedua orang muda di depannya. Sekali melihat saja,
lelaki tua bertubuh tegap itu dapat menilai kalau Panji dan
Kenanga bukanlah orang-orang yang pantas dicurigai.
"Hm..., siapakah kalian sebenarnya...? Dan, apa tujuan
kalian memasuki tempat ini...?" tanya Ki Senta Raga.
Meskipun tidak menaruh kecurigaan terhadap sepasang anak
muda itu, tapi jelas sekali kalau kewaspadaannya tetap tidak
ditinggalkan.
"Maaf kalau kedatangan kami teiah membuat terkejut.
Namaku Panji. Dan kawanku Kenanga. Kedatangan kami ke
tempat ini untuk melihat mayat-mayat dan korban lain yang
tengah menderita luka. Karena, mungkin saja kami bisa
mengenali orang-orang itu...," jelas Panji, sehingga membuat Ki
Senta Raga mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau kalian benar mengenalnya, lalu bagaimana? Apakah
kau bisa memastikan pembunuh mereka, Anak Muda?" tanya Ki
Senta Raga tanpa maksud menyindir.
Sepertinya, orang tua itu mulai menduga kalau pemuda
tampan berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Penilaian
Ki Senta Raga, memang berdasarkan sikap tenang dan tutur
kata halus pemuda itu.
"Kami memang tidak bisa memastikannya, Ki. Yang jelas,
kami pun menemukan korban lain yang mungkin ada
hubungannya dengan kejadian di desa ini...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera saja menyinggung sedikit
tentang apa yang diketahui. Sehingga, Ki Senta Raga dan dua
belas orang keamanan desa sama-sama mengerutkan kening
mendengar ucapan pemuda itu.
"Apa maksudmu, Panji...? Mengapa kau menduga
demikian...?" tanya Ki Senta Raga lagi dengan nada menuntut
jawaban segera. Kaki lelaki gagah itu bahkan sudah melangkah
mendekat.
"Ketika menyeberangi sungai yang merupakan pemisah Desa
Kemang dengan desa sebelah, kami menemukan mayat tukang
perahu yang biasa menyeberangkan orang. Karena tidak bisa
mengetahui penyebab serta pembunuhnya, mayatnya kami
kuburkan di seberang sungai. Kemudian, kami menyeberang ke
desa ini dan mendengar adanya kejadian di balai desa...," jelas
Panji secara singkat, namun cukup dimengerti Ki Senta Raga
dan para bawahannya.
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di dalam ruangan itu
mendadak senyap. Masing-masing dari mereka sama terbawa
pikiran sendiri-sendiri.
"Hm..., Panji. Kalau memang ingin mengetahuinya, mari ke
dalam. Aku sudah tahu, siapa mayat-mayat itu. Juga, dengan
lelaki gemuk yang menderita luka parah dan tengah dalam
perawatan kami. Kalau memang kalian benar orang-orang
persilatan, tentu akan mengenal mereka...," ujar Ki Senta Raga
membuyarkan keheningan, seraya mengajak Panji dan Kenanga
ke sebuah ruangan lain.
"Terima kasih, atas kepercayaan kalian...," ucap Panji segera
mengikuti langkah kaki orang tua bertubuh tegap itu.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah
ruangan lain yang cukup luas. Di tengah-tengah ruangan
tampak terdapat empat sosok mayat yang ditutupi tikar
pandan.
"Periksalah...," Ki Senta Raga mempersilakan pemuda
tampan itu untuk memeriksanya.
"Hm...."
Panji melangkah mundur setelah melihat sosok mayat yang
terdekat dengannya.
"Meskipun tidak mengenal namanya, tapi aku tahu kalau
mereka adalah murid-murid Perguruan Cakar Besi yang
dipimpin Ki Raksa Mala. Salah seorang murid utamanya yang
bernama Gala Campa adalah sahabat kami. Aaahhh..., betapa
akan terpukul hatinya jika mengetahui hal ini...," desah Panji
setelah menjelaskan siapa adanya mayat-mayat itu.
Sementara, Ki Senta Raga terangguk-angguk semakin
menaruh kepercayaan kepada pemuda yang senantiasa tenang
dan halus tutur katanya.
"Aku pun telah tahu siapa dan berasal dari mana mereka.
Apalagi, hampir semua penduduk desa ini dan juga desa-desa
lain di sekitar wilayah ini, mengenal perguruan itu dengan baik.
Secara tidak langsung, merekalah pelindung desa-desa di
sekitar wilayah ini dari gangguan orang-orang jahat. Satu hal
yang mungkin akan mengejutkan bagi kalian berdua, orang
yang menderita luka parah dan tengah kami rawat, tak lain dari
Gala Campa, murid tertua Ki Raksa Mala...," jelas Ki Senta Raga
yang membuat Panji dan Kenanga terkesiap mendengarnya.
"Bagaimana keadaannya, Ki? Apakah masih bisa
diselamatkan? Boleh kami melihatnya...?" Kenanga yang sejak
tadi hanya ikut mendengarkan, langsung memberondong Ki
Senta Raga dengan serangkaian pertanyaan. Sehingga, orang
tua itu tersenyum dibuatnya.
"Tentu saja boleh. Sekarang, aku sudah percaya penuh
kepada kalian. Mari...," ajak Ki Senta Raga membawa kedua
pasangan pendekar muda itu ke tempat lainnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera saja
bergerak mengikuti Kepala Desa Kemang. Bermacam
pertanyaan memenuhi benak Pendekar Naga Putih. Karena,
setelah berpisah dengan Gala Campa dan para tokoh lainnya di
dalam Hutan Grambang, sampai saat itu Panji sama sekali
belum bisa menemukan orang yang telah mengadu domba Per-
guruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Usaha adu domba itu
berhasil baik, karena perkumpulan kaum gembel itu telah
kehilangan beberapa orang tokohnya. Sedangkan kedua
perguruan golongan putih itu telah kehilangan guru-guru
mereka, (baca episode: Badai Rimba Persilatan).
"Nah. Saudara Gala Campa tengah terbaring di dalam. Maaf,
hanya sampai sebatas itu saja yang dapat kami lakukan
terhadapnya. Karena, di desa kami tidak ada tabib." ujar Ki
Senta Raga, sehingga membuyarkan lamunan Panji. Segera
saja Pendekar Naga Putih dan Kepala Desa mendorong daun
pintu kamar tempat Gala Campa dirawat.
Dengan langkah perlahan, pasangan pendekar itu bergerak
mendekati pembaringan Gala Campa. Hati Pendekar Naga Putih
langsung merasa iba terhadap murid tertua Ki Raksa Mala yang
wajahnya sukar dikenali, karena bengkak dan luka di sana-sini.
Sebagai seorang yang juga ahli pengobatan, pemuda itu segera
saja mengetahui sampai di mana parahnya keadaan Gala
Campa.
Tanpa berkata sepatah pun, Panji menurunkan buntalan
pakaiannya. Dikeluarkannya jenis obat yang sekiranya
diperlukan untuk mengobati luka-luka Gala Campa. Juga,
dikeluarkannya sejenis minyak gosok, karena pada tubuh
telanjang itu terlihat ada luka memar yang juga agak
membengkak. Panji menduga, kemungkinan tulang-tulang iga
lelaki itu ada yang retak atau patah.
Kenanga cukup teliti memperhatikan ketika kekasihnya
tengah mengobati luka-luka Gala Campa. Karena pemuda itu
melakukannya dengan cekatan dan sangat ahli, maka sebentar
saja pengobatan telah dapat diselesaikan.
"Untuk satu dua hari, kita terpaksa harus tinggal di sini,
Kenanga. Setelah Gala Campa sehat seperti sediakala, barulah
kita bisa mendapat keterangan darinya. Memang agak sulit,
karena selain luka-luka luar, dia juga mengalami guncangan
batin yang cukup parah...," jelas Panji. Rupanya Pendekar Naga
Putih juga dapat mengetahui keadaan Gala Campa secara
keseluruhan.
"Maksudmu.., Gala Campa menjadi gila...!?" seru Kenanga,
perlahan.
"Tidak sampai seperti itu. tapi, tingkahnya mungkin agak
aneh dan ngawur. Yahhh..., kita lihat saja nanti. Mudah-
mudahan saja ia bisa sembuh seperti yang diharapkan." desah
Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian segera melangkah ke luar
kamar, setelah memasukkan kembali semua obat-obatan ke
dalam buntalan pakaiannya.
Ki Senta Raga menyambut kemunculan pasangan pendekar
muda itu dengan senyum. Dan Pendekar Naga Putih kemudian
langsung saja menyampaikan keinginannya kepada orang tua
itu. Memang, Ki Senta Raga-lah yang paling berkuasa di Desa
Kemang.
"Aaah.... Syukurlah, Panji. Sekarang, lega rasanya hatiku.
Kalau begitu, selama kalian tinggal di desa ini, aku akan
menyediakan tempat beristirahat di sebelah rumahku untuk
kalian...," desah Ki Senta Raga.
Kepala Desa Kemang itu tentu saja menjadi gembira ketika
mendengar Panji ternyata juga pandai mengobati dan telah
mengurus luka-luka Gala Campa. Bahkan orang tua itu
menyambut gembira usul pasangan muda itu untuk menginap.
Maka Ki Senta Raga langsung menyediakan tempat beristirahat.
"Waaah...! Kami terlalu merepotkan...," desah Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih agak risih mendapat
tanggapan serta sambutan Ki Senta Raga yang terlihat benar-
benar tulus. Tapi, pemuda itu tidak dapat menolaknya. Maka,
terpaksa menerima segala kebaikan Kepala Desa Kemang serta
para pengikutnya yang juga menaruh hormat kepadanya.
***
"Kami harus pergi sekarang, Ki.... Karena masih banyak
persoalan yang harus diurus. Selain itu. Gala Campa juga
kelihatan sudah mulai pulih. Kami mengucapkan banyak terima
kasih atas kebaikan Ki Senta Raga serta semua warga Desa
Kemang ini...," Panji dan Kenanga berpamitan setelah beberapa
hari menginap di Desa Kemang.
Sedangkan lelaki gemuk yang berada di dekat pemuda itu
tampak hanya terpaku dengan tatapan mata kosong. Ia tak lain
dari Gala Campa, yang telah sembuh dari luka-lukanya.
Sayangnya, guncangan batin yang diterima, membuatnya agak
goyah pikirannya, ia jarang sekali bicara kalau tidak ditanya
lebih dahulu.
"Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah tidak bisa
diundur lagi. Dan kami hanya bisa mendoakan semoga kau
berhasil membekuk orang-orang kejam itu, Panji. Menyesal
sekali baru kemarin aku mengetahui siapa kau sebenarnya.
Tapi meskipun demikian, aku tetap merasa bangga. Kuharap
lain kali kau bersedia singgah jika kebetulan lewat di dekat
Desa Kemang...," ucap Ki Senta Raga.
Memang, baru kemarin ini Ki Senta Raga mengetahui kalau
Panji sebenarnya adalah Pendekar Naga Putih. Kakagumannya
yang selama ini hanya mendengar namanya saja, semakin
bertambah-tambah setelah mengenal pendekar muda itu lebih
dekat. Sehingga, tidak heran kalau orang tua itu kelihatan
sekali merasa berat atas kepergian Pendekar Naga Putih.
Selesai berpamitan, Panji, Kenanga, dan Gala Campa
melangkah menyusuri jalan lebar yang membelah Desa
Kemang menjadi dua bagian. Kemudian, mereka terus ke
sebelah Barat menuju matahari terbenam.
Saat itu, hari masih pagi. Udara yang masuk melalui
pernapasan terasa sejuk dan melegakan dada sehingga
menyegarkan tubuh. Langit nampak cerah dengan warna biru
yang terang. Cahaya matahari pagi terasa demikian hangat,
menyirami ketiga sosok tubuh manusia yang tengah melintasi
daerah bebatuan.
"Gala Campa, dapatkah perjalanan ini dipersingkat? Aku
khawatir, kita keduluan pengemis-pengemis laknat itu. Menurut
dugaanku, mereka pasti juga akan menyerang dan
membinasakan murid-murid Perguruan Ular Emas, seperti
halnya yang terjadi dengan perguruanmu. Untuk itu, kita tidak
boleh terlambat tiba di sana. Sedikit saja terlambat, rasanya
nasib Perguruan Ular Emas pun tidak akan berlanjut lagi...,"
kata Panji. Menilik dari pembicaraannya, dapat diduga, ke mana
tujuan ketiga orang pendekar itu kali ini.
"Pengemis-pengemis laknat... Ya, benar. Kita harus
mempercepat perjalanan. Pembunuh-pembunuh itu tidak bisa
dibiarkan berkeliaran bebas semaunya...," sahut Gala Campa
dengan suara mendesah, seolah-olah bicara kepada diri sendiri
dan bukan menjawab ucapan Panji.
Kemudian tanpa berbicara sepatah pun, laki-laki gemuk itu
langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar
saja, bayangan Gala Campa telah berada beberapa tombak di
depan Panji dan Kenanga.
Bagaikan diberi aba-aba, sepasang pendekar muda itu
segera saja menggenjot tubuhnya mengejar Gala Campa.
Karena kepandaian mereka memang sangat tinggi, dalam
waktu yang tidak terlalu lama saja Gala Campa telah dapat
dibarengi. Secara bersamaan, ketiganya bergerak bagaikan
bayang-bayang hantu yang tengah berkeliaran.
Selama perjalanan itu, Gala Campa hampir tidak pernah
berbicara. Dia lebih banyak termenung dengan sepasang mata
kosong. Untungnya, kedua orang pendekar itu telah
mengetahui penyebabnya.
***
"Gala Campa, masih berapa jauh lagikah letak Perguruan
Ular Emas?" tanya Panji suatu malam ketika melihat Gala
Campa duduk termenung menatapi bintang yang bertaburan di
angkasa raya. Langit memang nampak cerah, meski bulan
muncul hanya sepotong.
"Tidak lama. Besok siang kita sudah bisa tiba di sana. Hm...,
akan kuhajar habis-habisan pengemis-pengemis laknat itu
dengan tanganku sendiri...!"
Terdengar desisan geram keluar dari mulut Gala Campa
setelah menjawab pertanyaan Panji. Begitulah yang selalu
diucapkan Gala Campa, yang selalu diakhiri dengan kata-kata
yang menyiratkan dendam. Selalu begitu, meski ucapan
pertamanya tidak bisa dibilang sebagai jawaban orang gila.
Jelas, dendam itu tetap membayangi ke mana saja Gala Campa
pergi.
"Hm.... Kalau begitu, tidurlah. Biar aku yang jaga malam ini,"
ujar Panji sambil menepuk perlahan bahu lelaki gemuk itu.
Dan tanpa berkata sepatah pun, Gala Campa bangkit terus
merebahkan dirinya di rerumputan yang beralaskan selembar
kain. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang cukup keras.
Panji hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah Gala Campa. Pemuda itu bertekad memulihkan
kesehatan dan pikiran lelaki gagah itu kelak, karena memang
tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Dan untuk
mengembalikannya secara utuh seperti sediakala, Panji harus
melakukannya secara perlahan-lahan.
EMPAT
"Heeeaaattt..!"
"Yiaaattt..!"
Keheningan pagi yang indah tiba-tiba saja dirusak teriakan-
teriakan yang diselingi jerit kematian. Suara denting senjata
yang meningkahi teriakan serta jerit kematian, jelas
menandakan telah terjadi pertempuran berdarah pagi ini.
Dugaan itu memang tidak berlebihan. Di balik sebuah
bangunan perguruan, tampak pertarungan tengah berlangsung
sengit. Sebenarnya, keadaan itu tidak bisa disebut
pertempuran, dan lebih tepat kalau dikatakan sebagai
pembantaian. Memang orang-orang berpakaian kembang-
kembang dan penuh tambalan itu sepertinya sama sekali tidak
mendapat perlawanan berarti. Lawannya yang mengenakan
pakaian kuning cerah, satu persatu bertumbangan dan
bermandikan darah!
"Hua ha ha...! Sebentar lagi, nama Perguruan Ular Emas
akan hilang dari dunia persilatan, seperti halnya Perguruan
Cakar Besi yang telah musnah...,"
Terdengar tawa membahana di sela-sela jeritan dan dentang
senjata. Kemudian, kembali diperintahkannya pengemis-
pengemis berbaju kembang-kembang itu untuk segera
mempercepat pekerjaannya.
Untuk kesekian kalinya, jerit kematian pun kembali bergema
susul-menyusul. Darah segar kembali menyirami bumi yang
sudah lembab, dan basah oleh darah. Tapi, para pengemis
berpakaian kembang itu sepertinya tidak pernah mengenal
puas. Mereka terus saja membantai murid-murid Perguruan
Ular Emas tanpa ampun!
"Heaaattt..!"
Pada saat nyawa murid-murid Perguruan Ular Emas sudah
tidak mungkin dapat terselamatkan lagi, tiba-tiba saja
terdengar teriakan keras susul-menyusul. Berbarengan teriakan
itu, lima sosok bayangan tiba-tiba berkelebat cepat memasuki
arena pertempuran. Begitu tiba, mereka langsung menyabetkan
pedang ke arah para pengemis berpakaian kembang yang ber-
jumlah sekitar belasan orang.
Kehadiran kelima sosok bayangan itu rupanya mampu
merubah suasana. Buktinya sebentar saja, tampak belasan
orang pengemis sama-sama bergerak mundur, melihat
permainan pedang kelima sosok bayangan yang benar-benar
mengagumkan.
Terutama sekali, permainan pedang seorang lelaki setengah
baya yang berkumis tebal. Gerakannya menunjukkan kalau ia
merupakan seorang ahli pedang pilih tanding. Bahkan angin
sambaran pedangnya saja mampu merobek pakaian lawan.
Tentu saja tenaga dalam yang terkandung dalam permainan
pedangnya tidak bisa dipandang remeh. Dan sebagai bukti
kehebatannya, lelaki gagah bertubuh agak kurus itu telah
membenamkan senjata di tubuh salah seorang lawan!
Cappp!
"Aaakhhh...!"
Jeritan kematian langsung saja bergema seiring ujung
pedang yang menancap tepat di jantung lawan. Darah segar
langsung memercik membasahi tanah! Tubuh seorang
pengemis kurus tampak terjerembab tewas dengan tubuh
mandi darah!
"Mundur...!"
Tiba-tiba saja, terdengar perintah menggelegar yang
membuat para pengemis berbaju kembang-kembang serentak
bergerak mundur. Tak seorang pun yang berani membantah
perintah itu. Jelas, lelaki tinggi besar brewokan yang
mengenakan rompi coklat dan dengan sepasang lengan terhias
gelang itu merupakan pemimpin para pengemis. Dia tak lain
dari Setan Tenaga Gajah. Rupanya, kali ini dia sendiri yang
langsung memimpin pengikutnya untuk membantai Perguruan
Ular Emas.
Mundurnya para pengemis berbaju kembang-kembang itu
tentu saja juga membuat kelima sosok bayangan tadi segera
bergerak mundur. Termasuk juga, lelaki setengah baya yang
masih tampak gagah itu.
"Hm..., kau pasti orang yang bernama Ki Damang, bukan?
Ilmu pedangmu ternyata tidak mengecewakan. Sayangnya,
masih banyak sekali kelemahan di dalamnya...," kata Setan
Tenaga Gajah memberi tanggapan tentang permainan pedang
lelaki berkumis tebal yang ternyata Ki Damang itu.
Tapi, orang tua itu sama sekali tidak kelihatan tersinggung
atau marah. Sikapnya malah nampak agak tegang sambil
meneliti sosok tinggi besar berbulu-bulu di depannya.
"Siapa kau, Kisanak?! Dan mengapa demikian kejam
membantai orang-orang tak berdosa...?" tanya Ki Damang
tanpa mempedulikan pendapat Setan Tenaga Gajah.
Setan Tenaga Gajah hanya tertawa gelak mendengar
pertanyaan Ki Damang. Tanpa mempedulikan orang tua itu,
pandangannya diedarkan kepada empat orang lelaki gagah
lainnya. Kelihatan sekali kalau sinar mata lelaki tinggi besar
menakutkan itu sangat memandang remeh.
"Hua ha ha.... Bagus...., bagus. Ternyata kedua orang murid
Ki Jasminta juga telah ada di sini. Demikian juga dengan murid
muridmu, Ki Damang. Nah! Karena kalian sekarang sudah
lengkap, maka sudah waktunya nyawa kalian kucabut satu-
persatu...," ancam Setan Tenaga Gajah.
Tentu saja ancaman ini membuat kelima orang lelaki gagah
menjadi geram bukan main. Karena, lelaki tinggi besar
menakutkan itu jelas-jelas tidak memandang sebelah mata pun
kepada mereka.
"Tunggu dulu...!" seru Ki Damang seraya mengangkat
tangan kirinya. Jelas, lelaki tua yang masih nampak gagah itu
tengah memedam rasa penasaran.
"Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu sebelum kematianmu,
Orang Tua...?" ejek Setan Tenaga Gajah dengan sunggingan
senyum sinis.
Ki Damang menarik napas berulang-ulang untuk
menenteramkan hatinya yang bergemuruh. Sikap Setan Tenaga
Gajah memang benar-benar keterlaluan sekali. Akibatnya,
orang seperti Ki Damang hampir-hampir terpancing amarahnya.
"Kisanak. Tanpa sebab yang berarti, kau tega membunuh
murid-murid Perguruan Ular Emas. Seolah-olah, nyawa mereka
sama sekali tidak ada artinya bagimu. Nah! Kalau memang
bukan seorang pengecut, katakanlah terus terang. Mengapa
kau memusuhi dan ingin melenyapkan kami?" tanya Ki
Damang, seperti mewakili pertanyaan kawan-kawannya yang
lain.
Setan Tenaga Gajah kembali memperdengarkan tawanya
yang berkepanjangan. Setelah berhenti sejenak, lelaki tinggi
besar menakutkan itu segera mengeluarkan suitan panjang
disertai kekuatan tenaga dalam tinggi.
"Kau...?!"
Dua orang lelaki gagah yang datang bersama Ki Damang,
sama-sama melangkah maju dengan wajah pucat! Mereka tak
lain Wira Yudha dan Waluja, dua orang murid utama Ki
Jasminta.
"Hua ha ha..! Ya! Akulah yang memiliki suitan itu. Mengapa
kalian terkejut..?" bernada mengejek sahutan Setan Tenaga
Gajah. Kelihatan sekali kalau lelaki tinggi besar itu berpura-pura
bodoh, padahal memang sengaja hendak mempermainkan
lawan-lawannya.
Sedangkan tubuh Wira Yudha dan Waluja sama-sama
menggigil mendengar suitan itu. Memang, hal itu mengingatkan
mereka pada kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala yang
penuh teka-taki. Dan munculnya suitan, memang sangat
bertepatan dengan kematian kedua tokoh sakti itu. (Untuk lebih
jelas mengenai kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, silakan
baca: Badai Rimba Persilatan).
"Setan Tenaga Gajah...?! Ya. Kau pastilah manusia laknat
yang telah membunuh guru kami dan memfitnah Ki Parewang
sebagai pelakunya! Bangsat keji! Rupanya kau memang
manusia biadab yang tidak mengenal puas! Setelah tidak
berhasil mengadu domba kami, lalu kau datang hendak
membantai murid-murid perguruan kami! Biadab...!"
Karena tidak bisa lagi menahan dendam dan kemarahan di
dalam dadanya. Wira Yudha, murid tertua Perguruan Ular
Emas, langsung saja menerjang maju disertai putaran pedang.
Swiiittt...! Cwiiittt...!
Sambaran angin pedang yang bergulung-gulung itu benar-
benar mengagumkan. Kilatan-kilatan cahaya putih berkeredep
mengincar tubuh Setan Tenaga Gajah yang masih tetap tegak
seperti memandang remeh serangan lawan.
Waluja murid kedua Ki Jasminta yang berjuluk si Pendekar
Ular Emas, rupanya tidak mau ketinggalan. Sesaat setelah
tubuh kakak seperguruannya melesat menerjang pembunuh
gurunya, dia juga berseru keras menyusuli. Bahkan putaran
senjatanya terlihat lebih indah dan menyembunyikan kekuatan
mengagumkan!
"Yeaaattt...!"
Wueeettt! Cwiiittt...!
Dibarengi pekikan nyaring, Wira Yudha membabatkan
senjatanya dua kali berturut-turut. Namun kaki dan tubuh
lawan yang menjadi sasaran, ternyata mampu menghindar.
Padahal, saat itu ujung pedangnya hampir menyentuh sasaran.
Tentu saja ia terkejut, karena cara menghindar lawan sama
sekali tidak tertangkap mata!
Rupanya, Setan Tenaga Gajah tidak hanya menghindar.
Tahu-tahu saja, kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi
telah meluncur ke arah kepala Wira Yudha yang memang
belum terbebas dari keheranannya. Sehingga, nyaris kepalan
itu meremukkan kepalanya.
Untunglah pada saat yang sangat gawat, Waluja telah
datang dengan serangannya yang menderu-deru. Akibatnya
Setan Tenaga Gajah terpaksa harus menarik pulang
kepalannya. Bahkan malah berbalik mengincar pergelangan
tangan Waluja dengan cengkraman mautnya!
Wira Yudha yang tersadar dari keterpakuannya, segera saja
mengibaskan senjata di tangannya. Pedang itu langsung
meluncur dengan kecepatan kilat menuju bagian tengah dada
Setan Tenaga Gajah!
Traaang...!
"Aaahhh...!"
Meskipun berhasil membebaskan Waluja dari ancaman
cengkeraman lawannya, namun tak urung Wira Yudha harus
menerima kenyataan akan kehebatan lawannya. Tubuh lelaki
gagah itu terjajar mundur, dan hampir jatuh terlentang akibat
sentilan jari-jari tangan lawan pada badan pedangnya. Tentu
saja tindakan Setan Tenaga Gajah membuatnya terkejut,
sekaligus juga menyadari kesaktian lawan.
Memang, kalau Setan Tenaga Gajah mau, mudah saja kedua
orang itu dilumpuhkannya. Hanya saja, dia ingin memanas-
manasi lebih dahulu. Begitulah sifatnya. Dia ingin agar lawan
semakin terumbar hawa amarahnya. Dengan demikian, lawan
secara tak langsung telah mendapat serangan batin, sehingga
jiwanya goyah.
"Gila...!" desis Wira Yudha.
Segera laki-laki gagah itu mengulurkan tangan kirinya,
sehingga menggenggam pedang dengan kedua tangan. Sebab,
meskipun telah agak lama, tapi getaran akibat sentilan jari
tangan tokoh menyeramkan itu masih tetap terasa hingga ke
pangkal lengan. Akibatnya untuk beberapa saat, lelaki gagah itu
hanya berdiri terpaku sambil berusaha menenangkan getaran
pada lengannya.
"Baiklah. Batin kalian berdua yang akan kuhancurkan lebih
dahulu..."
Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah melangkah
mendekati Wira Yudha dan Waluja yang saling berdampingan.
Cepat keduanya mengelebatkan pedang di depan dada, siap
menghadapi perkelahian maut!
Sedangkan Ki Damang dan kedua orang muridnya, segera
saja bergerak maju untuk melindungi kedua orang murid
sahabatnya. Mereka kini berhadapan dengan Setan Tenaga
Gajah yang terus melanjutkan langkah, tanpa perduli kalau
akan dikeroyok.
Majunya kelima orang lelaki gagah itu, membuat Benggala
dan Wungga, melangkah maju bersama dua belas orang
pengemis lain. Maka suasana pun semakin memanas.
"Yeaaattt...!"
Setan Tenaga Gajah membuka serangan dengan teriakan
parau yang mengejutkan. Saat itu juga, kedua tangannya
bergerak susul-menyusul membawa serangan-serangan maut!
Kuku-kuku jari tangannya yang panjang dan hitam, meluncur
ke arah Wira Yudha dan Waluja.
Tapi baik Wira Yudha maupun Waluja bukanlah orang-orang
pengecut yang takut mati. Sebagai orang-orang gagah yang
telah terdidik sejak kecil, mereka sama sekali tidak gentar
dalam menghadapi serangan lawan. Maka begitu cengkeraman
lawan datang mendekat, keduanya bergerak memecah. Dengan
kibasan senjatanya, dipapaknya cengkeraman cakar-cakar maut
itu!
Whuuuttt! Whuuuttt..!
Pedang di tangan Wira Yudha dan Waluja menyambar-
nyambar hendak menebas putus lengan yang berbulu itu.
Namun dengan kecepatan dan keluwesan mengagumkan,
lengan Setan Tenaga Gajah meliuk menghindari sambaran
kedua batang pedang lawan. Kemudian, dia kembali meluncur
mengancam tubuh Wira Yudha dan Waluja. Tentu saja kedua
orang lelaki itu menjadi terkejut setengah mati! Cepat-cepat
tubuh mereka dilempar ke belakang untuk menghindari
cengkeraman cakar-cakar maut lawan.
Tapi Setan Tenaga Gajah sepertinya memang tidak ingin
melepaskan kedua orang lawannya. Buktinya, ia terus saja
mengejar Wira Yudha dan Waluja dengan cakar-cakar mautnya.
Sehingga, keduanya mati-matian menyelamatkan diri.
Untunglah, baik Wira Yudha maupun Waluja dapat bekerja
sama dengan baik. Sehingga meskipun pertarungan telah lewat
dari jurus kedua puluh, kedua orang murid Ki Jasminta itu
masih tetap dapat bertahan.
Sebenarnya, hal itu memang disengaja Setan Tenaga Gajah.
Dia memang ingin membuat lawan terpecah jiwanya. Dan
ketika dirasakan telah cukup, maka keputusannya adalah
mencabut nyawa kedua orang lawannya.
Di tempat lain, Ki Damang bersama kedua orang muridnya
telah pula bertempur melawan Benggala dan Wungga. Kedua
orang pengemis berbaju kembang-kembang itu memimpin
enam orang rekannya untuk menggempur lawan. Maka,
pertarungan sengit pun tak terhindari lagi.
Sedangkan murid-murid Perguruan Ular Emas yang hanya
tersisa beberapa belas orang, telah pula bertarung mati-matian
menghadapi gempuran enam orang pengemis yang mengamuk
dengan tongkat hitamnya. Meskipun mereka jelas-jelas bukan
lawan para pengemis, tapi tetap gigih dalam melakukan per-
lawanan. Sepertinya, mereka lebih baik mati di tangan musuh
ketimbang menyerah, atau mati sebagai pengecut. Pikiran
itulah yang membuat para murid Perguruan Ular Emas tetap
gigih mengadakan perlawanan.
Sementara, pertarungan antara Setan Tenaga Gajah yang
melawan Wira Yudha dan Waluja telah lewat dari dua puluh
jurus. Dan rupanya, tokoh sesat itu kini jadi tidak sabar. Maka,
serangan-serangannya pun semakin dipercepat. Akibatnya,
tentu saja membuat Wira Yudha maupun Waluja semakin
kelabakan.
Mati-matian kedua orang lelaki gagah itu menyelamatkan diri
sebisa-bisanya. Meskipun mereka telah mengeluarkan seluruh
kemampuan, tapi terap saja serangan Setan Tenaga Gajah,
bagaikan bayangan yang selalu menyertai ke mana tubuh
mereka berkelebat.
"Yeaaattt...!"
Dua puluh dua jurus telah lewat. Dan, tiba-tiba saja, Setan
Tenaga Gajah mengeluarkan bentakan menggelegar! Seiring
teriakan itu, sepasang tangannya bergerak ke depan dengan
pukulan jarak jauh!
Whuuusss...!
Serangkum angin yang amat kuat berhembus ke arah tubuh
Wira Yudha dan Waluja. Kontan, kedua orang lelaki gagah itu
terkejut setengah mati. Padahal, saat itu mereka tengah
berjumpalitan di udara. Jadi, untuk menghindari diri dari
pukulan jarak jauh itu jelas suatu perbuatan mustahil!
Sadar kalau nyawa sudah tidak mungkin dapat selamat dari
pukulan maut lawan, mereka pun berbuat nekat! Dibarengi
bentakan keras, mereka langsung melemparkan senjata
masing-masing ke arah Setan Tenaga Gajah. Jelas, maksudnya
untuk mengadu nyawa.
Tapi, pada saat yang sangat menentukan bagi keselamatan
nyawa kedua orang murid Ki Jasminta, tiba-tiba terdengar
teriakan nyaring yang semakin lama semakin meninggi. Dan
sebelum orang-orang itu sempat mengetahui apa dan dari
mana suara aneh itu berasal, tahu-tahu sesosok bayangan
putih berkelebat bagai kilat langsung memapak pukulan jarak
jauh Setan Tenaga Gajah! Akibatnya...,
Blaaarrr...!
Hebat luar biasa akibat pertemuan dua gelombang tenaga
dahsyat itu! Sinar putih keperakan berpendar seiring suara
benturan yang memekakkan telinga dan mengguncangkan isi
dada.
"Gila...?!"
Setan Tenaga Gajah sendiri sampai terkejut dan
mengeluarkan suara geram, begitu merasakan tubuhnya
bergetar akibat tangkisan yang dilakukan sosok bayangan putih
tadi.
Sedangkan bayangan putih yang telah menyelamatkan Wira
Yudha dan Waluja, berjumpalitan beberapa kali di udara
sebelum mendaratkan kaki di tanah.
LIMA
"Pendekar Naga Putih...?!"
Wira Yudha dan Waluja serentak berseru terkejut, sekaligus
lega. Munculnya pemuda sakti itu tentu saja membuat harapan
mereka untuk selamat bangkit seketika.
Panji tersenyum, lalu mendatangi kedua lelaki gagah itu.
Langsung disalami Wira Yudha dan Waluja. Pendekar Naga
Putih kelihatan sangat gembira atas pertemuan itu. Bahkan, Ki
Damang beserta kedua orang muridnya telah pula
meninggalkan lawan-lawannya begitu mendengar kedatangan
Pendekar Naga Putih. Orang tua itu segera saja menyalami
Panji dengan wajah berseri.
Tapi, suasana gembira itu tiba-tiba saja dikejutkan teriakan
keras yang mengejutkan!
"Heaaattt..!"
Bersamaan pekikan keras, sesosok tubuh melesat disertai
ancaman pedangnya. Langsung digempurnya para pengemis
berbaju kembang-kembang. Serangan mendadak itu tentu saja
membuat Benggala dan Wungga memerintahkan kawan-
kawannya untuk mundur. Sedangkan kedua orang pimpinan
pengemis itu sudah melesat menyambut serangan sosok
bayangan gemuk yang ternyata Gala Campa.
"Haaaiiittt..!"
Dibarengi teriakan yang tidak kalah kerasnya, Benggala dan
Wungga melesat seraya menyodokkan ujung tongkat ke tubuh
Gala Campa. Dan....
Traaakkk! Duuukkk!
"Aaakhhh...!"
Gala Campa kontan memekik kesakitan! Tongkat di tangan
Wungga memang berhasil ditangkis pedangnya. Tapi, tongkat
di tangan Benggala luput dari pengawasannya. Akibatnya,
langsung menyodok ke lambung kirinya.
Akibatnya, sosok bayangan gemuk itu terlempar balik dan
terbanting jatuh berdebuk keras di atas tanah!
Benggala maupun Wungga rupanya tidak sudi menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. Maka selagi tubuh lawan belum
sempat bangkit mereka segera menyabetkan tongkat dengan
pengerahan tenaga dalam. Sepertinya, tubuh sosok gemuk itu
hendak dihancur lumatkan dengan sekali hajar!
Beuuuttt!
Whuuukkk!
Dua batang tongkat hitam itu terus meluncur deras ke arah
kepala dan dada lawan yang tengah terbaring di tanah!
Sedangkan Gala Campa hanya bisa terpaku tanpa berusaha
menghindari hantaman kedua batang tongkat lawan.
Tapi pada saat yang gawat bagi keselamatan nyawanya tiba-
tiba terdengar pekikan nyaring yang menggetarkan jantung!
Berbarengan dengan itu, tampaklah sesosok bayangan hijau
meluruk ke arah Benggala dan Wungga. Gulungan sinar putih
keperakan yang menyilaukan mata tampak menyertai
lesatannya. Sehingga...,
Traaakkk! Craaasss! Breeetttt..!
"Arrrkhhh...?!"
"Aaa...!"
Hebat sekali gerakan pedang sosok bayangan hijau yang
ternyata Kenanga. Sinar putih keperakan yang berasal dari
pedang di tangannya, langsung berputaran mengibas dengan
kecepatan sangat mengagumkan! Sehingga, bukan saja kedua
batang tongkat itu dapat dihalaunya. Bahkan si pemegang
tongkat pun ikut pula termakan senjata Kenanga.
Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis pengikut Setan
Tenaga Gajah itu tertolak balik ke belakang! Darah segar
kontan menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Meskipun
tidak terlalu dalam dan tidak bisa mengakibatkan kematian,
namun merupakan suatu bukti kalau kepandaian mereka masih
di bawah Kenanga.
"Hmh...!"
Kenanga mendengus ke arah Benggala dan Wungga.
Kemudian, tubuhnya berbalik menatap ke arah Gala Campa.
Gala Campa yang jelas-jelas sangat mendendam terhadap
komplotan pengemis berbaju kembang-kembang, kembali
menyilangkan senjata di depan dada. Lelaki bertubuh gemuk
yang murid Ki Raksa Mala nampaknya telah siap bertarung
kembali.
"Gala Campa, sabarlah.... Jangan terlalu bernafsu.
Percayalah. Hari ini persoalan akan segera selesai. Kau lihat
gembong biang kerok itu sudah menampakkan diri di tempat
ini..," cegah Kenanga memegang lengan lelaki gemuk itu,
berusaha untuk menahan amarah dan dendamnya. Meskipun
pikirannya agak terganggu, rupanya Gala Campa masih bisa
menangkap pembicaraan orang. Maka, begitu mendengar
disebutnya biang kerok, langsung diikutinya pandangan mata
gadis jelita itu.
"Bangsat..! Orang hutan itukah yang telah menghancurkan
dan juga mengadu domba kita...? Kalau begitu, ia harus
menerima akibat perbuatannya...!" desis Gala Campa sambil
menggeram bagaikan singa luka.
Tanpa memperdulikan teriakan Kenanga, lelaki gemuk itu
bergerak maju mendekati sosok Setan Tenaga Gajah yang
hanya tertawa gelak melihat kemarahan Gala Campa.
"Gala Campa, tahan...!" cegah Panji. Jelas Pendekar Naga
Putih tidak ingin Gala Campa mendapatkan celaka lagi. Maka,
langsung dicengkeramnya pergelangan tangan lelaki gemuk itu.
Mau tidak mau, Gala Campa menghentikan langkahnya dan
menoleh ke arah Panji dengan sepasang mata menuntut
jawaban. "Sabarlah. Kita semua berkumpul untuk
menyelesaikan masalah ini. Kau akan rugi apabila bertindak
tanpa perhitungan, Gala Campa...," bujuk Panji dengan suara
tegas dan mengandung perbawa kuat. Hal itu memang
diperlukan untuk melumerkan amarah dan dendam Gala Campa
yang telah bergolak dalam hati dan kepalanya.
"Benar, Gala Campa," timpal Wira Yudha. "Sebaiknya kita
serahkan saja persoalan ini pada Pendekar Naga Putih. Kita
sendiri pun tentu tidak tinggal diam, dan siap mempertaruhkan
nyawa demi membalaskan dendam guru-guru kita...."
Gala Campa menoleh ke arah Wira Yudha. Bagaikan orang
yang baru sadar kalau tengah berada di antara teman-
temannya, lelaki gemuk itu menggoyang-goyangkan kepala
seperti hendak menghilangkan pikiran-pikiran yang menyumbat
batok kepala.
"Kalian pun sudah berada di sini rupanya...?" sapa Gala
Campa yang membuat Wira Yudha serta yang lain tersenyum.
Memang, pertanyaan itu tentu saja merupakan pertanyaan
bodoh.
"Tentu saja. Bukankah tempat ini merupakan pusat
Perguruan Ular Emas. Jadi, tempat ini juga merupakan rumah
kami..," jawab Waluja sambil menepuk-nepuk bahu lelaki
gemuk itu. Sehingga, Gala Campa hanya bisa mengangguk-
anggukkan kepala seperti burung pelatuk.
Perbincangan sesama sahabat itu rupanya membuat Setan
Tenaga Gajah menjadi tersinggung. Tampak lelaki tinggi besar
bercambang bauk dengan lengan-lengan besar dan berbulu itu,
menggeram keras. Tentu saja erangan yang mengandung
kekuatan tenaga dalam tinggi, membuat para tokoh golongan
putih berlompatan mundur. Cepat mereka mengerahkan hawa
murni untuk menenangkan isi dada yang terguncang.
Kecuali Panji, hanya Kenanga seorang yang kelihatan hanya
perlu memejamkan mata sekejap untuk melawan pengaruh
geraman dahsyat barusan. Kemudian, kembali matanya dibuka.
Bahkan kini nampak menyiratkan sinar berkilat tajam. Jelas,
dara jelita itu telah mempersiapkan tenaga saktinya untuk
menghadapi serangan mendadak, seperti geraman barusan.
"Pendekar Naga Putih...!" Apakah kedatanganmu ke tempat
ini hanya untuk berbincang dengan teman-temanmu? Atau
sengaja memancing kemarahanku, agar aku mencopot
kepalamu...?"
Bentakan menggelegar seketika membuat daerah di sekitar
tempat itu bagaikan digoncang gempa kecil.
"Gila...!" umpat Kl Damang takjub.
Hati laki-laki tua itu benar-benar dilanda ketegangan kali ini,
melihat kesaktian tokoh sesat berjuluk Setan Tenaga Gajah
yang luar biasa sekali. Seketika timbul keraguan dalam hatinya
akan kehebatan Pendekar Naga Putih. Apalagi, sosok pemuda
itu terlihat demikian lemah bila dibanding sosok Setan Tenaga
Gajah yang tampak gagah dan menakutkan.
Rupanya bukan hanya Ki Damang saja yang meragukan
kepandaian Panji. Bahkan, Kenanga yang sudah lebih sering
menyaksikan keperkasaan kekasihnya, terlihat agak khawatir.
Diakui, dia sendiri merasakan betapa dahsyatnya kekuatan
tenaga sakti tokoh yang berjuluk Setan Tenaga Gajah itu.
Meskipun perasaannya berusaha ditenangkan. Tetap saja
merasa khawatir dan cemas.
Lain halnya Panji. Pendekar Naga Putih bukannya tidak tahu
akan kesaktian Setan Tenaga Gajah. Dari beberapa kali tokoh
sesat itu menunjukkan kekuatan dahsyatnya, sudah bisa diukur
kalau kepandaiannya sangat tinggi. Tapi, memang sulit
dipastikan apakah tenaga saktinya masih lebih kuat daripada
tenaga lawan. Kenyataan itu membuatnya senantiasa siaga.
Dikhawatirkan, kalau-kalau Setan Tenaga Gajah akan
melakukan kelicikan, dan menyerang secara tiba-tiba.
"Setan Tenaga Gajah...," tegur Panji dengan wajah dan nada
suara tetap tenang. Sama sekali tidak diduga kalau sebenarnya
Panji sendiri merasa tegang berhadapan dengan tokoh yang
menggiriskan itu. "Kau telah melakukan beberapa kejahatan
yang benar-benar sangat keterlaluan. Pertama, kau mengadu
domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kedua, kau membantai
habis seluruh murid Perguruan Cakar Besi. Apa sebenarnya
tujuanmu hingga sampai tega berlaku sekeji itu..?"
Panji menatap tajam wajah Setan Tenaga Gajah yang
brewokan itu.
"Hua ha ha...!"
Bukannya berpikir untuk menjawab pertanyaan Panji,
sebaliknya Setan Tenaga Gajah malah tertawa berkakakan.
Hanya saja, Panji tetap menahan sabar menanti jawaban yang
bakal keluar dari mulut yang tersembunyi di balik brewok itu.
"Pendekar Naga Putih, dan sekalian tokoh perguruan-
perguruan yang pernah kurugikan! Dengarlah! Seharusnya
kalian tidak mendendam kepadaku. Tapi, kepada Ki Parewang-
lah kalian harus meminta pertanggungjawaban. Karena, orang
tua itulah yang yang telah membuatku melakukan kejahatan.
Tapi, rupanya kalian ternyata merasa takut kepadanya, lalu
mencariku untuk meminta pertanggungjawaban itu. Ha ha
ha...! Lucu...!" kata Setan Tenaga Gajah, yang diakhiri dengan
tawa bergema panjang.
"Hm..., Setan Tenaga Gajah! Apapun urusanmu dengan Ki
Parewang, kami tidak ingin ikut campur. Kalian berdualah yang
harus menyelesaikannya. Sekarang, aku minta
pertanggungjawabanmu atas segala kejahatan yang telah
dilakukan selama ini," tegas Panji.
"Heeemmm.... Kalau begitu, apa yang kau inginkan
sekarang? Nyawaku, atau nyawa pengikut-pengikutku? Silakan
kau memilih, dan cabutlah sendiri jika sanggup...," sahut Setan
Tenaga Gajah bersikap menantang. Kali ini jelas-jelas tokoh
sesat itu hendak bertarung melawan Panji yang berjuluk
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Tidak perlu sampai begitu jika kau benar-benar sadar
akan perbuatanmu. Cukup aku membawamu dan mengadili di
depan orang-orang yang telah kau rugikan. Apapun yang
menjadi keputusan mereka, kau tidak berhak
membantahnya...," ujar Panji lagi, tetap mengawasi sosok
tokoh brewok itu dengan tatapan tajam.
Memang Pendekar Naga Putih tidak percaya kalau seorang
tokoh sesat seperti Setan Tenaga Gajah akan sudi
menyerahkan diri untuk diadili. Kalau pun tokoh sesat itu tadi
menawarkan, itu hanya sekedar memancing tanggapan lawaa
Panji sadar sepenuhnya akan hal itu.
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo, tangkaplah aku.
Mengapa masih ragu-ragu...?" sahut Setan Tenaga Gajah tetap
mengejek. Tentu saja Panji tidak ingin begitu saja mengabulkan
permintaan lawan.
"Setan Tenaga Gajah!"
Wira Yudha yang merasa dongkol melihat lagak tokoh sesat
itu, melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya.
"Kau tidak perlu lagi diadili! Sebaiknya, manusia jahat
sepertimu langsung saja dikirim ke neraka jahanam!" bentak
lelaki gagah itu dengan lengan bergetar karena marah.
Meskipun begitu, Wira Yudha tidak berani bertindak. Disadari
kalau kepandaian lawan sangat tinggi, dan jauh berada di
atasnya. Menyerang tokoh itu sama saja mengantarkan nyawa.
"Apa yang dikatakan Wira Yudha memang benar, Panji...,"
timpal Ki Damang. "Manusia sesat seperti Setan Tenaga Gajah
sudah tidak mungkin lagi disadarkan. Sebaiknya, kita
lenyapkannya saja untuk selamanya...."
Panji sendiri mengangguk-angguk ketika yang lainnya sama-
sama menyetujui usul Ki Damang.
"Nah! Kau dengar sendiri, Setan Tenaga Gajah. Mereka telah
memutuskan untuk melenyapkanmu. Untuk itu, bersiap-siaplah.
Karena melawan atau tidak, aku akan menjalankan permintaan
sahabat-sahabatku ini...," tegas Panji seraya melangkah maju
beberapa tindak, siap melepaskan pukulan maut yang mema-
tikan.
Melihat sikap Panji yang jelas tidak main-main lagi, Setan
Tenaga Gajah menggeram gusar. Lelaki tinggi besar
berpenampilan menyeramkan itu bergerak ke kanan, seolah
oleh ingin mengintip celah kelemahan lawan.
Kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Setan Tenaga Gajah
telah saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Mereka saling
menatap tajam bagaikan hendak menjenguk isi kepala masing-
masing. Sedangkan Kenanga, Ki Damang, beserta yang lain
segera saja bergerak menjauh. Sepertinya, mereka sadar kalau
pertarungan yang bakal terjadi pastilah sangat mengerikan dan
berbahaya.
Demikian pula halnya Benggala, Wungga, dan pengemis
berbaju kembang-kembang lainnya. Mereka sepertinya juga
menyadari adanya bahaya. Maka bagai diperintah, para
pengemis berbaju kembang-kembang bergerak menjauh, dan
bersembunyi di balik pepohonan.
Angin bertiup keras menerbangkan daun-daun kering.
Sepertinya, alam pun ikut menjadi saksi dari pertarungan
terdahsyat yang bakal terjadi....
***
"Heaaattt..!"
"Yeaaattt..!"
Dibarengi pekikan dahsyat yang bagaikan hendak
mengguncang jagat, tubuh kedua tokoh maha dahsyat itu
sama-sama melenting ke udara. Kemudian, secara bersamaan
mereka mendarat setelah berjumpalitan beberapa kali di udara.
Bweeettt...!
Begitu mereka saling mendarat dalam jarak yang cukup
dekat, Setan Tenaga Gajah langsung melontarkan pukulan
tangan kanan. Terdengarlah suara angin berdesing dan
bercuitan. Dari sini bisa terlihat kalau tenaga yang terkandung
di dalam kepalan sebesar kepala bayi itu sangat hebat.
Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu akan kedahsyatan
pukulan lawan. Maka dengan gerak cepat, tubuhnya berkelit
sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan kiri yang
membentuk paruh ular. Rupanya, pada jurus-jurus awal ini
Pendekar Naga Putih masih belum ingin mempergunakan ilmu
andalan.
Syuuuttt..!
Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih
mencicit tajam merobek udara! Untunglah sasarannya yang
diarahkan ke pelipis, lawan cepat memutar kepala dengan
gerakan jurus 'Harimau Keluar Goa'. Sehingga, serangan itu
luput dari sasaran.
Gerakan Setan Tenaga Gajah rupanya tidak berhenti sampai
di situ saja. Terbukti, tubuh gemuk itu masih terus meliuk
seperti tubuh seekor ular yang tengah menari-nari. Itu pun
masih dibarengi sebuah tebasan yang menusuk dari bawah ke
atas. Rupanya, tokoh sesat itu hendak menjepit dan
menggunting batang leher lawan dengan sepasang tangannya
yang kekar berbulu.
"Haiiittt..!"
Panji yang sadar akan bahaya maut itu, cepat bertindak
tepat. Dengan teriakan nyaring, cepat-cepat kaki kanannya
bergeser ke belakang dengan tubuh doyong. Pada saat yang
sama, sepasang telapak tangannya mendorong ke depan
memapak serangan lawan. Dan....
Plaaaggghhh...!
Akibatnya, kedua pasang telapak tangan itu kontan saling
berbenturan! Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga pun
menggelegar keras! Bumi di sekitar tempat itu bergetar,
membuat pepohonan berderak ribut!
"Haiiittt..!"
"Yeaaahhh...!"
Dengan gerak cepat, tubuh Pendekar Naga Putih berkelit
sambil melepaskan tusukan jari-jari uang membentuk paruh
ular.
Syuuuttt...!
Lontaran tusukan jari-
jari tangan Pendekar Naga
Putih mencicit tajam
merobek udara
mengancam pelipis Setan
Tenaga Gajah.
Kedua tokoh sakti itu
membentak keras. Seketika
itu juga, tubuh mereka
melambung dan
berjumpalitan ke belakang
hingga lima kali putaran.
Kemudian, sama-sama
menjejakkan kaki di tanah dalam waktu yang hampir
bersamaan.
"Hm.... Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan hanya
bualan kosong belaka. Aku harus lebih berhati-hati untuk
menghadapi serangan-serangan berikut...," gumam Setan
Tenaga Gajah. Rupanya, matanya baru terbuka setelah
merasakan kekuatan serta kehebatan pemuda tampan yang
berjuluk Pendekar Naga Putih.
Demikian pula halnya Panji. Pendekar perkasa yang telah
banyak menghadapi lawan berat itu kini kembali harus
mengerahkan seluruh kesaktian untuk menundukkan Setan
Tenaga Gajah. Disadari, kesaktian tokoh sesat itu benar-benar
luar biasa. Jarang ditemui lawan sehebat dan sedahsyat Setan
Tenaga Gajah!
Kini mereka kembali saling berhadapan dalam jarak tiga
tombak lebih. Masing-masing melangkah perlahan sambil
mengintip celah-celah kelemahan lawan. Keduanya terus
bergerak mendekat sambil memainkan jurusnya yang
menimbulkan angin menderu-deru.
ENAM
"Yeaaattt..!"
"Haaattt...!"
Untuk kesekian kalinya, kedua tokoh maha dahsyat itu
kembali saling gempur. Kali ini ilmu-ilmu silat tingkat tinggi
mulai digunakan. Sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyat
dan mengerikannya pertarungan yang terjadi kali ini.
Pendekar Naga Putih yang sudah menggunakan 'Ilmu Silat
Naga Sakti' berkelebatan bagaikan seekor naga raksasa.
Tubuhnya meliuk-liuk lincah. Lapisan kabut putih keperakan
yang menyelimuti seluruh tubuhnya, dan berpendar hingga
sejauh tiga jengkal dari tubuhnya, benar-benar menampilkan
sosok yang mengagumkan sekaligus menggetarkan! Belum lagi
sambaran cakarnya yang menebarkan hawa dingin luar biasa.
Dalam jarak lima tombak pun, hawa dingin itu masih sanggup
menewaskan seorang tokoh tingkat rendah. Dari sini saja sudah
dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan itu.
Setan Tenaga Gajah pun tidak kalah mengerikan. Tubuh
lelaki tinggi besar berusia sekitar lima puluh lima tahun itu
bergerak gesit dengan kuda-kuda kokoh. Jejakan kakinya yang
sanggup menggetarkan bumi, melangkah berganti-ganti
diselingi suara mencicit tajam dari kepalan-kepalan tangannya
yang sebesar kepala bayi.
Bueeettt! Whuuukkk...!
Sambaran kepalan yang mengerikan itu membuat dedaunan
terpaksa harus rela meninggalkan ranting pohonnya, akibat
sambaran angin pukulan Setan Tenaga Gajah. Bahkan
beberapa batang pohon yang tumbuh dekat dengan tokoh
tinggi besar itu tampak sudah rebah ke tanah. Kibasan
lengannya yang berbulu bagaikan golok besar yang mampu
menumbangkan batang pohon sebesar dua pelukan orang
dewasa. Benar-benar dahsyat kekuatan yang dimiliki lelaki
tinggi besar itu. Dia memang patut dijuluki Setan Tenaga
Gajah!
"Haaaiiittt..!"
Ketika pertarungan yang mengerikan telah berlangsung
selama seratus jurus, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih
memekik nyaring. Saat itu juga, tubuhnya langsung melenting
ke udara menghindari kepalan lawan yang menuju dada kirinya.
Kemudian dengan kecepatan mengagumkan, tubuh pemuda
tampan itu menukik sambil menjulurkan cakar-cakar mautnya
ke ubun-ubun lawan!
Whuuusss...!
Angin dingin menusuk tulang berhembus keras, meniup
rambut kepala Setan Tenaga Gajah. Sepertinya, Panji hendak
meremas hancur batok kapala lawan.
Tapi, Setan Tenaga Gajah tentu saja tidak sudi batok
kepalanya diremas begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Maka
ketika jari-jari tangan berbentuk cakar naga itu siap
meremukkan kepalanya, Setan Tenaga Gajah cepat
merendahkan tubuhnya. Kemudian, kaki kanannya digeser ke
kanan. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya mengibas
sepenuh tenaga!
Bweeettt...!
Sergapan Panji ternyata masih bisa ditarik pulang. Terbukti,
ketika pemuda itu melihat lawan sengaja hendak mengadu
tenaga, cepat kedua lengannya dikembangkan ke kiri dan
kanan. Kemudian, kedua tangan itu kembali disatukan dengan
kecepatan dan kekuatan sangat hebat!
Baaaannnggg...!
"Aaahhh...!"
Bukan main terkejutnya hati Setan Tenaga Gajah merasakan
getaran yang memekakkan telinganya. Kedua telapak tangan
Panji yang ditepukkan menggunakan tenaga dalam, sempat
membuat tubuh tokoh sesat itu terhuyung hingga beberapa
langkah dari tempat semula.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menyia-nyiakan
kesempatan baik itu. Cepat bagai kilat, tubuhnya kembali
menukik dengan kedua tangan didorongkan ke depan.
"Whuuusss...!"
"Aaahhh...!"
Setan Tenaga Gajah memekik kaget! Sama sekali tidak
disangka, kalau lawan akan nekat melanjutkan serangannya.
Karena tidak mempunyai waktu menghindar, maka tokoh sesat
itu bergegas memantek kuda-kudanya. Sepasang tangannya
didorong ke depan, menyambut dorongan sepasang telapak
tangan Pendekar Naga Putih.
Blaaarrr...!
Benar-benar mengerikan akibat benturan dua gelombang
tenaga sakti yang maha dahsyat itu! Debu mengepul tinggi
seiring ledakan seperti letusan gunung berapi! Beberapa batang
pohon berjarak dua tombak dari tempat terjadinya benturan,
berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Arena
pertarungan pun gelap seketika, karena kepulan debu masih
menghalangi pandangan mata.
Sementara itu Pendekar Naga Putih terpental balik dengan
derasnya. Bahkan masih terus meluncur deras, meskipun telah
menumbangkan dua batang pohon besar! Kemudian, tubuhnya
terus amblas ke dalam sebongkah batu sebesar rumah hingga
beberapa jengkal dalamnya. Melihat adanya cairan merah yang
meleleh di sudut bibirnya, bisa ditebak kalau Pendekar Naga
Putih mengalami luka dalam yang sangat parah!
Sedangkan Setan Tenaga Gajah lebih hebat lagi. Tubuh
tokoh sesat yang tinggi besar itu tertolak ke belakang. Tubuh
yang beratnya sama dengan seekor sapi muda itu meluncur
deras tanpa dapat dicegah lagi.
Deeerrr...!
Sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting, langsung
pecah-pecah akibat terlanggar tubuh tokoh raksasa itu.
Akibat benturan dahsyat itu ternyata juga dirasakan oleh
para pengemis berbaju kembang-kembang dan juga murid-
murid Ular Emas tingkat rendahan. Mereka yang belum begitu
kuat tenaga dalamnya, langsung terpental hingga satu tombak
lebih jauhnya. Wajah mereka tampak pucat dan tidak mampu
buru-buru bangkit. Bahkan beberapa di antara mereka ada
yang langsung tewas setelah memuntahkan darah segar!
Benar-benar mengerikan akibat benturan dahsyat tadi.
"Gila...!" desis Ki Damang yang tingkat kepandaiannya di
bawah Kenanga.
Orang tua itu tampak agak pucat wajahnya. Deru napasnya
pun terlihat masih memburu. Jelas, Ki Damang telah
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi bagian dalam
tubuhnya dari pengaruh getaran benturan dahsyat tadi.
Sedangkan yang lain tampak terengah-engah bagaikan
orang yang habis berlari jauh. Keringat dingin pun tampak
membasahi wajah dan sebagian tubuh mereka.
Hanya Kenanga saja yang tampak tidak terlalu menderita
oleh akibat benturan maha dahsyat tadi. Dara jelita berpakaian
serba hijau itu tampak menghela napasnya panjang-panjang
secara perlahan. Meskipun demikian, wajahnya tampak agak
pucat. Rupanya, isi dadanya sempat terguncang oleh suara
menggelegar tadi.
Semua apa yang dirasakan dan dialamai para tokoh
persilatan dari dua golongan itu, rasanya masih belum apa-apa
bila dibandingkan Pendekar Naga Putih dan Setan Tenaga
Gajah. Kedua orang sakti yang berhubungan langsung dengan
benturan mengerikan tadi, lebih parah lagi keadaannya.
"Ketua...!"
Benggala, Wungga dan empat orang pengemis berbaju
kembang-kembang langsung berlarian ke arah tubuh Setan
Tenaga Gajah yang sudah tak bergerak-gerak lagi. Tanpa
banyak cakap lagi, pria pengemis itu langsung membersihkan
serpihan batu dari tubuh ketuanya.
"Ooohhh...," Benggala menghela napas sedih ketika melihat
batok kepala Setan Tenaga Gajah telah retak akibat
menghantam batu sebesar kerbau bunting itu.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Wungga yang berada di
belakang pengemis jangkung kurus itu. Jelas, sudah bisa
diduga, apa yang telah menimpa ketuanya.
"Ketua telah tewas, Wungga...," desah Benggala.
Nada suara laki-laki itu lebih mirip keluhan ketimbang sebuah
jawaban. Kemudian, diusapnya darah yang membasahi kening
serta belakang kepala Setan Tenaga Gajah.
"Mari kita tinggalkan tempat ini...," ajak Benggala.
Diakui semangat laki-laki itu, seperti patah atas kematian
ketuanya. Kemudian, sambil membawa mayat Setan Tenaga
Gajah, para pengemis berbaju kembang-kembang itu bergerak
meninggalkan Perguruan Ular Emas.
***
Akhir dari pertempuran itu rupanya membuat mereka
sibuk dengan urusan masing-masing. Kenanga yang dibantu Ki
Damang serta kawan-kawan lain, saat ini tengah berusaha
mengeluarkan tubuh Pendekar Naga Putih dari dalam batu
besar itu. Tak seorang pun yang memperdulikan kepergian para
pengemis berbaju kembang-kembang yang membawa mayat
Setan Tenaga Gajah. Padahal, sebelumnya mereka saling
bernafsu untuk membunuh.
Gadis berpakaian serba hijau itu tampak menitikkan air mata
melihat keadaan kekasihnya yang sudah tak ubahnya orang
mati. Satu keuntungan yang dimiliki Pendekar Naga Putih,
hanya karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang melindungi
sekujur tubuhnya. Sehingga meskipun berbenturan dengan
beberapa batang pohon hingga akhirnya melesak ke dalam
batu besar, tapi sama sekali tidak menderita luka. Hanya saja,
wajah Panji terlihat pucat. Bahkan detak jantung serta aliran
napasnya seperti terhenti.
"Kakang...."
Kenanga menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda
kekasihnya. Dara jelita itu sudah tidak bisa lagi membedung
kesedihannya. Sama sekali gadis itu tidak peduli meskipun saat
ini ada orang lain yang menyaksikan tingkah lakunya.
"Kami yang salah, Nisanak...," terdengar suara kering dan
mengandung penyesalan yang sangat dalam. Kata-kata itu
terucap dari bibir Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa.
Rupanya ketiga orang lelaki gagah itu merasa bertanggung
jawab atas kematian Panji.
"Yaaahhh.... Tidak seharusnya kami menyerahkan persoalan
perguruan ke tangan orang lain, meskipun orang itu memang
membantu dengan tulus...," sambung Wira Yudha. Nadanya,
terdengar penuh penyesalan.
Sepertinya, mereka merasa tersentuh mendengar isak tangis
Kenanga yang demikian memilukan. Sehingga, mereka merasa
kalau akibat ulah merekalah Kenanga jadi sengsara.
Mendengar kata-kata tadi. Kenanga menoleh ke arah ketiga
orang lelaki gagah itu. Dara jelita yang wajahnya tampak
dibasahi air mata menggelengkan kepala perlahan.
'Tidak. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa-siapa dalam
masalah ini. Jadi..., kuharap kalian jangan merasa bersalah.
Kakang Panji belum mati. Aku yakin, ia akan bangkit lagi
setelah sembuh dari luka-lukanya...," sahut Kenanga.
Gadis itu memang merasa yakin kalau kekasihnya belum
tewas. Telah diperiksanya kalau tubuh pemuda itu masih terasa
hangat. Menurutnya, itu suatu bukti kalau Panji belum mati.
Dan kalau pemuda itu benar sudah tewas, tubuhnya tentu
dingin dan kaku sebagaimana mayat layaknya.
Tapi, ucapan Kenanga tadi tentu saja dianggap sebagai
ucapan dari orang yang terguncang hatinya. Mereka tentu saja
memastikan kalau Panji telah tewas. Selain detak jantung
pemuda itu sudah tidak terdengar lagi, aliran napasnya pun
sudah berhenti. Itu sebabnya, mengapa Ki Damang dan yang
lain menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas,
sebagaimana halnya Setan Tenaga Gajah.
Karena Kenanga tetap bersikeras kalau kekasihnya belum
tewas, akhirnya Ki Damang membujuk agar tubuh pemuda itu
dibawa ke dalam bangunan perguruan.
"Di sana lebih aman dan lebih enak tempatnya...," bujuk Ki
Damang, meminta izin untuk mengangkat tubuh Panji.
Kenanga akhirnya mengangguk, kemudian ikut bersama
yang lain menuju bangunan utama Perguruan Ular Emas.
***
"Kakang...,"
Dara Jelita itu tidak henti-hentinya merintih, memanggil-
manggil pemuda yang tengah rebah di atas pembaringan
bambu. Dara jelita yang tak lain Kenanga itu berkeras melarang
tubuh Panji yang dianggap mati oleh Ki Damang serta yang lain
di makamkan. Dia tetap yakin, kekasihnya masih hidup.
"Kenanga...," panggil Ki Damang dengan suara lebih mirip
desahan, "Saudara Panji mungkin memang tidak mati di
hatimu. Tapi menurut hukum alam, ia telah mati. Detak jantung
maupun aliran napasnya sudah tidak ada lagi. Dalam keyakinan
kita, hal seperti itu disebut mati. Retakanlah kepergiannya, agar
arwahnya dapat tenang dan tidak terhalang isak tangismu...,"
bujuk Ki Damang, agar Kenanga sudi menyerahkan tubuh Panji
untuk segera dimakamkan.
"Tidak, Ki. Kalian salah. Pegang dan rasakanlah. Tubuh
Kakang Panji masih tetap hangat seperti pertama kali kita
temukan. Jika dia telah mati, bukankah tubuhnya sedingin es?
Tapi ini tidak...," bantah Kenanga, tetap bertahan pada
pendiriannya.
Dara jelita itu tetap berkeyakinan kalau kekasihnya masih
hidup. Sehingga, baik Ki Damang maupun yang lain hanya bisa
menghela napas tanpa berani memaksakan keinginannya.
Dengan penuh kesabaran. Kenanga menunggui tubuh
Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak air matanya
yang tertumpah. Sehingga, baju yang dikenakan Panji sampai
basah oleh air mata dara yang sangat dicintainya. Bahkan
meskipun kedua matanya telah bengkak, tangisnya tetap tak
berhenti.
Diam-diam, baik Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala
Campa, serta yang lain merasa iri dengan keberuntungan
Pendekar Naga Putih. Memang, selain jelita parasnya, hati dan
kesetiaan Kenanga juga jarang dimiliki gadis kebanyakan.
"Hhh.... Sayang, ia harus tewas dalam usia yang masih
sedemikian muda. Entah apa jadinya dunia persilatan apabila
golongan hitam sampai mendengar berita ini. Yang pasti,
mereka akan berpesta pora menyambut kematian Pendekar
Naga Putih...," desah Ki Damang, yang mau-tidak mau merasa
menyesal juga atas kepergian pemuda sakti itu.
"Yahhh.... Meskipun ia mati dalam usia sangat muda, tapi
baktinya sudah jauh lebih banyak daripada aku yang dua kali
lebih tua," timpal Wira Yudha dengan kepala menengadah. Saat
itu, mereka tengah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah
meja bulat.
"Hm.... Sebaiknya kita jaga agar kematian Pendekar Naga
Putih tidak sampai tersiar. Bukankah para pengemis berbaju
kembang-kembang itu tidak mengetahui kematiannya...?"
sambung Waluja. Lelaki bertubuh tegap itu memandangi wajah
yang lain seperti tengah meminta tanggapan.
"Bisa jadi mereka juga menduga kalau Pendekar Naga Putih
ikut tewas dalam benturan dahsyat itu. Buktinya, kulihat Setan
Tenaga Gajah telah tewas dengan tengkorak kepala retak.
Hm..., sebaiknya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan naluri
Kenanga tidak meleset, dan juga bukan sekedar orang yang
kehilangan pikiran..," cetus Laung, murid tertua Ki Damang,
disertai desahan penuh harap.
"Kelihatannya, gadis itu memang tidak kehilangan akal
sehatnya. Hm.... Ada baiknya kita ikut berdoa agar Pendekar
Naga Putih tidak mati sungguh-sungguh," ujar Ki Damang juga,
penuh harap.
"Maksud Ki Damang, pemuda itu tengah antara hidup dan
mati...?" tanya Wira Yudha meminta ketegasan. Dan dia baru
terdiam ketika melihat orang tua itu mengangguk pelan.
Sebentar kemudian, suasana hening. Masing-masing terbawa
alam pikiran menerawang jauh entah ke mana.
TUJUH
Pendekar Naga Putih merasakan tubuhnya terlempar, dan
melayang di angkasa. Satu hal yang membuatnya heran,
tubuhnya terasa seperti segumpal kapas yang tengah
diombang-ambingkan angin. Anehnya, Panji sendiri sama sekali
tidak merasakan adanya hembusan angin. Bahkan pada saat
terlempar, jubahnya sama sekali tidak berkibar.
"Ouuughhh...!" keluh Panji lirih ketika merasakan tubuhnya
bagai terjeblos ke dalam sebuah lubang yang asing dan gelap.
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya, untuk dapat
membiasakan melihat di tempat itu.
"Hai.... Di manakah aku...?" desis Panji.
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat keadaan di
sekelilingnya. Suasananya demikian lengang dan hening.
Lapisan-lapisan kabut menghalangi pandang matanya.
Sepertinya, hal itu memang sudah menjadi bagian dari tempat
Panji sekarang berada.
Panji melangkah perlahan sambil tetap mengawasi sekeliling.
Ia tidak tahu, perasaan apa yang saat itu tengah berkecamuk
dalam hatinya. Yang jelas, ia merasa sangat asing dan juga
ngeri. Bahkan lebih ngeri ketimbang menghadapi lawan-lawan
berat yang pernah dirasakan. Hanya saja, semua perasaan itu
kini seperti menjadi satu, hingga sukar sekali dikatakan.
"Aneh...? Mengapa di tempat ini aku tidak melihat matahari?
Lalu, dari mana asalnya cahaya yang remang-remang ini...?
Apakah lapisan-lapisan kabut itu yang memantulkan cahaya...?"
benak Panji terus mencari jawaban dari semua keanehan yang
saat itu disaksikan dan dirasakan.
Dengan kepala dipenuhi berbagai macam tanda tanya,
Pendekar Naga Putih terus melangkah perlahan. Sama sekali
tidak dimengerti, kenapa dirinya sampai bisa berada di tempat
asing yang menyeramkan itu
Hati Pendekar Naga Putih semakin bergetar ketika sepanjang
matanya memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapang
luas, tanpa pohon atau pebukitan. Seolah-olah, dirinya seperti
berada di tengah-tengah padang pasir yang bagaikan tidak
bertepian.
"Gila…! Apakah aku sudah gila...? Di mana sebenarnya aku?
Mengapa tidak nampak tanda-tanda kehidupan di tempat
ini...?" desis Panji dengan wajah gelisah.
Bagaikan orang yang kehilangan akal sehat, tiba-tiba saja
Panji menghentakkan kakinya. Lalu, dia berlari cepat
menembus lapisan-lapisan kabut yang bagaikan tidak pernah
lenyap.
Namun, meskipun telah merasakan cukup jauh berlari, tetap
saja keadaan tempat itu tidak berubah. Bahkan yang membuat
Pendekar Naga Putih semakin ketakutan adalah, tidak dirasakan
adanya hembusan angin sejak tadi. Padahal, ia baru saja berlari
sekuat tenaga.
"Ouuuhhh...!"
Pemuda tampan berjuluk Pendekar Naga Putih yang
biasanya selalu tenang dalam menghadapi segala sesuatu, kini
menjatuhkan lututnya di atas tanah berpasir lembut itu.
Rambutnya diremas-remas kuat-kuat. Suara erangan lirih
sesekali terdengar dari kerongkongannya. Jelas, pemuda itu
merasa ngeri dengan segala apa yang dilihatnya di tempat itu.
Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada cahaya
matahari, hembusan angin, apalagi sosok manusia yang
memang sangat diharapkannya. Semua itu tentu saja bisa
membuat gila seseorang yang bagaimanapun tabah dan kuat
hatinya.
"Hhh.... Ke mana perginya Kenanga dan para tokoh lain?
Mengapa mereka begitu tega meninggalkan aku sendirian di
tempat asing dan aneh seperti ini...?" desah Panji sambil
menghela napas berulang-ulang dan memijat-mijat keningnya.
Seolah-olah dia berharap kalau semua apa yang dialaminya
hanyalah sebuah mimpi buruk. Dan Panji tentu saja ingin agar
mimpi itu segera berakhir.
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba, saat Panji tengah kebingungan, terdengar tawa
panjang menggema, bagaikan datang dari segala penjuru.
Suara yang semestinya menakutkan itu, justru disambut Panji
dengan senyum senang. Dengan adanya tawa itu, merupakan
tanda adanya kehidupan di tempat ini.
"Aaahhh...."
Cepat bagai kilat, pemuda itu bergerak bangkit dan
mengawasi sekitarnya. Pada wajahnya tergambar kegembiraan
yang amat sangat. Tingkahnya saat itu tak ubahnya seorang
pengelana yang tersesat dan kehabisan bekal air di tengah
lautan padang pasir.
Tapi sirat gembira di wajah pemuda itu lenyap seketika, dan
berganti keheranan besar. Di depannya, dalam jarak beberapa
langkah, tahu-tahu saja muncul sesosok tubuh yang raut
wajahnya sudah dikenalnya. Yang membuat Panji terbeliak
mundur, ternyata kemunculan sosok itu begitu mengejutkan!
Seolah-olah dia langsung muncul dari dalam lapisan kabut tipis
yang mewarnai daerah sekiiar tempat itu.
"Raja Iblis Utara...?!" desis Pendekar Naga Putih, seperti
sebuah bisikan kering.
Panji kenal betul sosok tinggi besar bercambang bauk itu.
Memang, Raja Iblis Utara adalah salah seorang tokoh sesat
yang pernah dibunuhnya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja
kemunculan datuk sesat itu membuat kepala Panji semakin
pening memikirkannya.
"Hua ha ha...! Tidak salah! Akulah Raja Iblis Utara, Pendekar
Naga Putih! Kuucapkan selamat datang kepadamu di Alam
Roh...!" ucap sosok tinggi besar bercambung bauk itu
memperdengarkan suara tawanya yang menggema dan
panjang.
"Alam Roh...?! Apa maksudmu, Raja Iblis Utara...? Dan,
bagaimana kau bisa bangkit dari kematianmu...?" tanya Panji
bagai orang linglung. Karena, ia memang masih belum
mengerti dengan keadaan yang kini dialaminya.
"Ha ha ha...! Aku bukan bangkit dari kematian, Pendekar
Naga Putih. Tapi, justru kaulah yang datang ke alam kematian.
Tapi, menurutku kau belum mati sempurna. Dan aku masih
mencium adanya hawa kehidupan dalam tubuhmu," jawab Raja
Iblis Utara kembali menertawakan sikap ketololan lawannya.
Tapi, sepasang mata iblis itu tampak menyiratkan dendam
kesumat yang sangat dalam.
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika
mendengar jawaban yang sama sekali tidak pernah terlintas
dalam benaknya. Kini baru dimengerti, mengapa tempat itu
terasa asing dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan sepera yang biasa ditemuinya.
"Kalau aku memang benar sudah mati, lalu ke mana
jasadku? Mengapa aku tidak melihatnya? Apa pula maksud Raja
Iblis Utara yang mengatakan kalau kematianku belum
sempurna? Juga, apa maksudnya dengan bau kehidupan di
tubuhku? Hhh..., benar-benar sebuah pengalaman yang aneh
sekaligus mengerikan...," desis Pendekar Naga Putih. Dan mau
tidak mau, Panji jadi bergidik ngeri, mengingat keberadaannya
sekarang.
"Sekarang..," kata Raja Iblis Utara lagi sambil melangkah
maju mendekati Panji. "Aku akan menyempurnakan
kematianmu. Sehingga, kau tidak bisa lagi kembali ke alam
nyata. Nah, bersiaplah...,"
Pendekar Naga Putih melangkah surut ke belakang,
mendengar ucapan Raja Iblis Utara yang jelas-jelas
menyiratkan dendam.
"Hm...," gumam Panji lirih.
Kini Pendekar Naga Putih menghadapi serangan datuk sesat
itu. Mengingat kepandaiannya yang sudah meningkat jauh Panji
pun tidak menjadi gentar. Diyakini, dirinya akan bisa
mengalahkan lawannya seperti semasa Raja Iblis Utara masih
hidup di alam nyata.
Raja Iblis Utara tergelak ketika melihat Panji siap melakukan
perlawanan. Menyakitkan sekali tawa yang bernada penuh
ejekan itu.
"Pendekar Naga Putih! Percuma saja mengadakan
perlawanan. Di alamku yang sekarang, tak ada lagi kematian,
dan tidak ada lagi darah. Alam roh itu kekal selama-lamanya.
Tapi, sebaliknya aku bisa menyakitimu. Ingatlah! Kau belum
mati sempurna. Rohmu masih memiliki hubungan erat dengan
jasadmu di dunia. Dan setiap rasa sakit ataupun luka, jelas
akan terasa seperti halnya kau berada di dunia nyata. Hua ha
ha...!" Raja Iblis Utara tergelak di akhir ucapannya.
Jelas sekali kalau datuk sesat itu sangat senang, karena
sebentar lagi akan dapat melenyapkan musuh besar yang tidak
pernah dibayangkan akan berjumpa lagi dengannya di sini.
"Aaahhh...?!" Panji tersentak kaget mendengar ucapan
lawannya itu.
Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau saat ini benar-benar
dalam cengkeraman bahaya. Apa yang dialami dalam
pertarungan itu, akan berakibat pada jasadnya di alam nyata
sana. Tentu saja, pikiran itu membuatnya tegang. Apalagi,
lawannya tidak mungkin bisa dilukai atau dibunuh, karena
hanya roh belaka.
"Hua ha ha...!"
Raja Iblis Utara semakin tergelak saat melihat Pendekar
Naga Putih nampak kebingungan. Dengan langkah ringan,
datuk sesat itu bergerak maju menghampiri. Karena tidak ada
melihat jalan lain, Pendekar Naga Putih segera bersiap
menghadapinya.
"Yeaaahhh...!"
Dengan sebuah seman nyaring, Raja Iblis Utara melompat
dengan kedua lengan terkembang, siap mencekik lehar lawan.
Tentu saja Panji yang tidak ingin jasadnya tersiksa segera
melompat menghindar ke belakang. Sebuah tendangan kilat
dilontarkan, mengiringi lompatan mundurnya.
Bukkk!
Tendangan Pendekar Naga Putih memang sangat tepat.
Entah karena Raja Iblis Utara sengaja tidak mengelak, atau
memang tendangan pemuda itu terlalu cepat datangnya. Tapi
yang jelas, tubuh tinggi besar itu terlempar deras ke belakang.
Meskipun demikian, separah pun tak ada pekik kesakitan yang
terlontar dari mulut Raja Iblis Utara. Bahkan sosok itu kembali
meluncur ke arah Panji. Seolah-olah tendangan yang dilakukan
pemuda itu hanya mengenai segumpal kapas.
"Gila...!" desis Pendekar Naga Putih.
Panji merasakan betapa telapak kakinya barusan bagaikan
menghantam segumpal benda lunak yang membuat kakinya
seperti amblas. Jelas, hal itu merupakan bukti dari apa yang
diucapkan Raja Iblis Utara sebelum bertarung.
"Sudah kukatakan, di alam ini kepandaian yang kau miliki
sama sekali tidak berguna. Lain halnya jika kau telah mati
sempurna. Maka, aku dan musuh-musuhmu yang lain, tidak
akan mengganggu. Tapi karena hawa kehidupan di dalam
rohmu ini, maka aku pun berniat menyempurnakan
kematianmu. Dan setelah itu, kau juga akan menjadi penghuni
tetap alam kematian yang kekal ini. Hua ha ha...!" sebuah tawa
panjang dan bergema kembali menutup ucapan Raja Iblis
Utara.
Semua ucapan tokoh itu tidak lagi sempat dikaji Pendekar
Naga Putih. Memang saat itu juga Raja Iblis Utara
menggempurnya dengan serangan-serangan hebat dan
berbahaya. Rupanya, dalam alam kematian pun tokoh itu masih
tetap memiliki kepandaian dahsyat. Semua itu dapat dirasakan
Pendekar Naga Putih melalui sambaran angin pukulan yang
bersliweran di sekitar tubuhnya.
Deeesss...!
"Aaakhhh...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih terjengkang ke belakang akibat
hantaman telapak tangan lawan yang singgah di dada kirinya.
Pemuda itu kontan meringis menahan rasa sakit pada bagian
dalam tubuhnya. Bahkan napasnya terasa seperti tersumbat
akibat pukulan telak lawan. Meskipun begitu, karena tidak ada
jalan lain, terpaksa Panji kembali menghadapi lawan. Meskipun,
ia tahu hal itu tidak ada gunanya. Dan kini, pertarungan
kembali berlangsung.
***
"Huaaakhhh...!"
Darah mengental berwarna kebiruan, menyembur keluar dari
mulut pemuda tampan yang tengah terbaring di atas dipan
bambu itu. Tubuh yang tersentak bangkit untuk memuntahkan
gumpalan darah itu, kembali rebah dengan wajah semakin
pucat!
"Kakang...!"
Kenanga, yang masih setia menjaga tubuh kekasihnya yang
dianggap belum mati itu menjerit tertahan. Air matanya
kembali mengalir menuruni pipinya yang putih dan halus.
Sepasang mata sembab yang semula sudah tidak bisa
mengeluarkan air mata lagi, kembali menerawang dan
meneteskan butir-butir air bening.
"Ada apa...?"
Sesosok tubuh sedang dari seorang lelaki berusia lima puluh
tahun, tahu-tahu saja melompat ke dalam ruangan diiringi
suara yang menandakan keterkejutan dan juga kecemasan.
Lelaki tua yang tak lain dari Ki Damang itu melangkah ketika
tidak mendengar jawaban Kenanga. Mata tua itu terbeliak,
bagai tidak memepercayai penglihatannya sendiri.
"Dari mana darah kental kebiruan itu, Kenanga...?" tanya Ki
Damang begitu melihat Kenanga tengah membersihkan darah
di atas perut Panji yang terbaring di balai bambu.
Pertanyaan itu terlontar, karena Ki Damang melihat darah itu
masih sangat baru. Selain itu, ia juga mendengar ada suara
orang muntah barusan. Itu sebabnya, ia kontan melompat
masuk.
"Kalau Ki Damang percaya, darah ini baru saja termuntah
dari mulut Kakang Panji. Entah apa yang tengah dirasakannya
saat ini. Dan, apa pula yang menyebabkan darah itu termuntah
dari mulutnya...," sahut Kenanga dengan suara bergetar.
Hati dara jelita itu tentu saja merasa pedih bukan main,
karena tidak tahu apa yang dirasakan kekasihnya saat ini. Yang
jelas, Kenanga hanya ikut merasakan penderitaan yang tengah
dialami Pendekar Naga Putih, apapun bentuknya.
Jawaban Kenanga bukan saja membuat Ki Damang
terbelalak. Bahkan Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta dua
orang murid Ki Damang, sama-sama tertegun mendengar
jawaban yang sepertinya tidak masuk akal. Betapa tidak? Mana
ada sesosok mayat yang sudah cukup lama terbaring, bisa
memuntahkan darah. Tentu saja hal itu sangat mustahil!
Tapi, baik Ki Damang maupun tokoh lain sama-sama terdiam
sambil menundukkan kepala. Suara dara jelita itu jelas-jelas
sangat yakin. Dan sepasang matanya yang masih bening, sama
sekali tidak menunjukkan gejala hilang ingatan.
"Aneh...? bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa sebenarnya
yang terjadi terhadap Pendekar Naga Putih...? Mengapa
tubuhnya yang dianggap tewas dan telah terbaring cukup lama
masih bisa memuntahkan darah dari mulutnya?" gumam Ki
Damang seorang diri sambil melangkah hilir-mudik di dalam
ruangan yang cukup lebar itu.
"Mungkin Pendekar Naga Putih memang belum tewas, Ki.
Akupun mulai meragukan hal itu. Coba saja Ki Damang
bayangkan. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati hampir
seharian, jasadnya tetap hangat. Padahal, seharusnya sebentar
lagi tubuhnya sudah berbau. Tapi kalau melihat raut wajahnya,
Pendekar Naga Putih tak ubahnya seperti orang yang tertidur
lelap...," sambar Wira Yudha yang mendengar ucapan Ki
Damang.
Rupanya lelaki gagah itu tidak tahan juga sewaktu
mendengar Ki Damang berkata-kata seorang diri.
"Hhh ... Kejadian ini memang sangat aneh. Atau mungkin
hangatnya tubuh pemuda itu karena memiliki tenaga dalam
yang sangat tinggi. Apalagi aku pernah mendengar cerita
tentang seorang tokoh sakti yang telah tewas bertahun-tahun,
tapi jasadnya tetap utuh dan tidak berbau busuk. Siapa tahu
saja hal itu terjadi pula dengan Pendekar Naga Putih. Bukankah
ia juga memiliki kesaktian yang sukar dijajagi...?" sanggah Ki
Damang.
Rupanya laki-laki tua itu masih ingin berpikiran wajar dalam
menanggapi. Semuanya tentu saja dimaksudkan untuk tujuan
baik. Ki Damang tidak ingin kalau Kenanga kelak hanya akan
mendapatkan kekecewaan dalam penantiannya. Kalau Panji
tidak bangkit lagi seperti yang diharapkan, bukan tidak mungkin
gadis itu akan terguncang dan terganggu pikirannya. Itu
sebabnya, orang tua itu masih juga membantah keyakinan
Kenanga.
"Tidak..., tidak... Aku yakin Kakang Panji masih hidup. Hanya
saja, aku tidak tahu apa yang saat ini tengah terjadi
dengannya. Ah, andai saja aku bisa berjumpa dengan...," kata-
kata gadis itu terputus ketika tiba-tiba saja ada seorang murid
Perguruan Ular Emas datang tergopoh-gopoh melapor kepada
Wira Yudha.
"Ada apa...?" tanya Wira Yudha, singkat kepada lelaki
bertubuh tegap yang duduk beralaskan kedua lututnya.
"Maaf, Kakang. Di luar ada seorang kakek tua yang katanya
ingin menemui Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa tidak berani
menjawabnya, karena sesuai pesan Kakang, keadaan Pendekar
Naga Putih harus disembunyikan dan jangan sampai tersiar
keluar...," jawab lelaki muda bertubuh tegap itu.
"Bagaimana...,bagaimana ciri-cirinya...?"
Sebelum Wira Yudha sempat memberikan keputusan,
Kenanga yang sejak tadi menatap dengan wajah tegang dan
penuh harap langsung saja melesat dan mencengkeram bahu
murid Perguruan Ular Emas itu.
"Kenanga, sabarlah! Lihatlah, cengkeramanmu membuatnya
kesakitan,"
Wira Yudha bertindak cepat menyadarkan dara jelita itu.
Kalau tidak mungkin lelaki tegap itu tulang pangkal lengannya
bisa patah akibat cengkeraman Kenanga.
"Aaahhh..., maafkan aku...," desah Kenanga, segera sadar
atas kesalahannya. Cepat cekalan tangannya dikendurkan,
kemudian dilepaskannya dari bahu lelaki tegap itu.
Setelah meringis beberapa saat sambil memijat-mijat kedua
bahunya, lelaki tegap itu segera menceritakan tentang ciri-ciri
kakek yang menanyakan tentang kekasihnya.
"Aaahhh.... Ia membawa-bawa sebatang tongkat Dan...,
usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Tidak salah lagi...!"
Bagaikan kemasukan setan, Kenanga berbicara terburu-buru
penuh ketegangan. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia
langsung saja melesat ke luar.
Tentu saja tindakan aneh Kenanga membuat yang lain
terkejut. Untuk beberapa saat lamanya, mereka saling bertukar
pandang, baru kemudian bergerak mengejar. Ada pancaran
rasa kasihan dalam raut wajah tokoh-tokoh itu. Mereka
menduga, Kenanga mulai terguncang pikirannya karena terlalu
memikirkan Panji.
Kenanga sendiri sama sekali tidak peduli. Ia terus saja berlari
ke luar bangunan ulama, hingga ke pintu gerbang depan.
"Eyang...!" teriak Kenanga dengan ledakan kegembiraan saat
melihat sesosok tubuh kurus dan sangat tua tengah duduk di
atas sebuah batu sambil menggenggam tongkat kayu di
tangan. Sepertinya, kakek itu tengah sabar menunggu
keputusan dari dalam.
Mendengar jeritan yang jelas-jelas mengandung berbagai
macam, perasaan, segera saja kakek tinggi kurus itu bangkit
berdiri. Lalu tangannya dikembangkan saat melihat Kenanga
meluncur cepat dengan tangan terkembang. Butir-butir air
mata kembali berjatuhan seiring langkah kaki dara jelita yang
tampak agak goyah.
"Eyang...!"
Begitu terjatuh ke dalam pelukan kakek tinggi kurus yang tak
lain dari Raja Obat, tubuh Kenanga langsung lemas. Gadis itu
jatuh pingsan dalam pelukan Raja Obat yang juga jadi terharu.
Dengan penuh kelembutan, diangkatnya tubuh Kenanga, dan
dibawanya masuk.
"Ahhh…! Kasihan sekali kau, Cucuku. Apa gerangan yang
membuatmu demikian lemah dan menderita...?" desah Raja
Obat sambil melangkah memasuki bangunan Perguruan Ular
Emas.
"Berhenti...! Lepaskan gadis itu, atau kami terpaksa akan
mengambil dengan jalan kekerasan...!"
Langkah laki-laki tua segera terhenti ketika mendengar
bentakan keras yang disusul bermunculannya enam orang lelaki
gagah dengan raut wajah mengancam.
Bentakan itu keluar dari mulut Wira Yudha yang tentu saja
merasa cemas sewaktu tiba di luar. Mereka saat itu memang
melihat Kenanga telah berada di atas bahu seorang kakek
tinggi kurus. Dan tampaknya, Kenanga dalam keadaan tak
sadarkan diri. Tentu saja hal itu mendatangkan kecurigaan di
hati mereka.
"Hhh.... Jangan salah sangka dulu, sahabat-sahabat yang
gagah. Aku adalah guru dari Pendekar Naga Putih, dan
Kenanga. Jadi, kita masih segolongan...."
Raja Obat terpaksa mengakui sebagai guru Panji dan
Kenanga, meskipun hal itu ada benarnya. Semua itu dilakukan
untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja
menimbulkan perkelahian. Sedangkan orang yang menjadi
saksi tengah pingsan di atas bahu kanannya.
"Hm.... Bisa saja kau mengaku demikian. Tapi kalau kau
memang bermaksud baik, coba serahkan gadis itu kepada
kami. Setelah itu, mungkin kami dapat
mempertimbangkannya...," timpal Ki Damang, seraya maju
beberapa tindak. Jelas, mereka masih belum mempercayai
kakek itu.
"Sikap kalian memang sangat baik. Sayang, cucuku ini
sedang tidak sadarkan diri. Selain itu, sepertinya ia tengah
mengalami guncangan dalam jiwanya. Untungnya, ia seorang
wanita kuat. Kalau orang lain, mungkin telah menjadi gila.
Mmm.... Kalau boleh kutahu, ke manakah Pendekar Naga
Putih? Mengapa aku tidak melihatnya? Apakah dia yang
membuat cucuku ini menderita...?" tanya Raja Obat dengan
kening berkerut, ketika tidak melihat Panji di tempat itu.
"Dari mana kau tahu kalau Pendekar Naga Putih ada di
tempat ini...?" tanya Ki Damang lagi.
Sikap laki-laki tua itu tetap waspada. Hal itu karena melihat
Kenanga telah jatuh pingsan di tangan kakek di depannya.
Sedangkan, kepandaiannya sendiri masih berada di bawah
Kenanga. Maka, wajar saja kalau Ki Damang bersikap waspada.
"Hm.... Itu karena kebetulan saja. Ketika aku tengah
menyusuri sebuah jalan di dekat hutan karet, lewat enam orang
pengemis berbaju kembang-kembang yang tengah membawa
sesosok mayat lelaki brewok. Pembicaraan mereka kudengar.
Mereka telah seperti menyebut-nyebut Pendekar Naga Putih
dan Perguruan Ular Emas. Karena sudah cukup lama tidak
berjumpa kedua orang cucuku ini, maka kusampaikan diri untuk
singgah di tempat ini...,"
Setelah berkata demikian, Raja Obat menurunkan tubuh
Kenanga dari atas bahunya. Kemudian, langsung dioleskannya
cairan berbau harum ke hidung dara jelita itu.
Ki Damang serta yang lain hanya bisa memandang dengan
sikap cemas. Mereka tidak sempat mencegah perbuatan kakek
tinggi kurus itu. Tapi sebentar kemudian, wajah mereka tampak
lega, karena Kenanga telah siuman dari pingsannya.
"Eyang...."
Kenanga kembali meledak tangisnya. Dara jelita itu berlutut
di dekat Raja Obat yang tengah duduk bersila. Sementara, Raja
Obat mengelus rambut kepala dara jelita itu penuh kasih
sayang.
"Tumpahkanlah semua kesedihanmu, Cucuku. Biar dadamu
lapang," ujar Raja Obat dengan suara lembut.
Sementara itu Ki Damang serta yang lainnya hanya bisa
bertukar pandang melihat pemandangan di depannya.
DELAPAN
Cukup lama Kenanga menumpahkan kesedihannya dalam
belaian lembut Raja Obat. Gadis itu tidak merasa malu untuk
menangis di hadapan orang tua itu, karena telah dianggap
sebagai kakeknya sendiri.
"Eyang..., Kakang Panji...," desah dara jelita itu di antara
isaknya yang masih terdengar sesekali. Wajah yang basah oleh
air mata itu tengadah, membuat hati Raja Obat tersentuh.
"Mengapa dengan Kakang Panji mu, Cucuku...? Kalau ia
terluka, rasanya kau pun pasti sanggup mengobatinya. Apalagi,
Pedang Naga Langit tidak pernah terpisah dari tangannya. Jadi,
apa sebenarnya yang membuatmu demikian sedih...?" tanya
Raja Obat sambil mengelus rambut dara jelita itu penuh kasih
sayang.
"Kakang Panji jauh lebih parah dari luka biasa, Eyang...,"
lapor Kenanga yang kembali terisak mengingat keadaan Panji.
"Jauh lebih parah dari luka biasa? Apa maksudmu, Cucuku?
Sampai demikian parahkah luka-lukanya, sehingga kau hampir
putus asa...?" desak Raja Obat yang masih menduga-duga,
karena Kenanga belum juga menjelaskan.
Kenanga yang merasa sulit berkata-kata, segera saja bangkit
berdiri. Langsung dibawanya Raja Obat ke tempat Panji
dibaringkan. Sepertinya, dara jelita itu tidak tega mengatakan
kalau kekasihnya telah tewas. Sebaliknya untuk mengatakan
masih hidup pun, tidak berani. Karena, ia sendiri tidak tahu
keadaan kekasihnya yang sebenarnya.
Raja Obat sama sekali tidak membantah. Diturutinya saja
ketika Kenanga menarik lengannya. Kening kakek itu berkerut,
begitu masuk ke ruangan tempat Pendekar Naga Putih
dibaringkan, tampak Panji tengah terbaring dengan wajah
pucat.
Tanpa banyak cakap lagi, Raja Obat langsung saja
memeriksa tubuh Pendekar Naga Putih. Cukup lama dia
memijat serta menotok di beberapa bagian tubuh Panji. Sejauh
itu, sedikit pun belum nampak terlihat adanya perubahan.
Tentu saja Kenanga yang ikut menyaksikannya menjadi
bertambah cemas.
"Hhh...."
Tidak berapa lama kemudian. Raja Obat bangkit dari tepi
pembaringan. Dengan helaan napas beratnya, kakinya
melangkah menuju luar ruangan.
Ki Damang serta para tokoh lain sama-sama melemparkan
pandangan ke pintu, saat tubuh Raja Obat muncul. Mata para
tokoh itu tampak menyiratkan pertanyaan yang sama. Hanya
saja, tak seorang pun yang berani mengutarakannya.
Setelah sesaat lamanya berdiri di ambang pintu, Raja Obat
kembali melangkah masuk, dan duduk di tepi pembaringan
tempat Panji tengah tak berdaya. Sepasang mata tuanya
menatap Kenanga dengan sorot sukar dilukiskan.
"Bagaimana, Eyang? Parahkan luka Kakang Panji...? Apakah
masih ada harapan sembuh...?" Kenanga langsung saja
memberondong Raja Obat dengan pertanyaan yang semenjak
tadi siap meluncur.
"Hm.... Panji tengah dalam keadaan gawat, Kenanga.
Sebagai seorang pendekar, kau harus memiliki ketabahan
melebihi ukuran orang-orang biasa. Dia memang tidak bisa
dibilang mati, juga tidak bisa dikatakan hidup. Semua itu
tergantung dari apa yang dialaminya dalam alam roh...," jawab
Raja Obat, sehingga membuat kening dara jelita itu berkerut.
"Alam Roh...? Apa maksud Eyang...?" tanya Kenanga
meminta penjelasan lebih lanjut.
"Hm.... Ketahuilah, Cucuku. Saat ini, Kakangmu tengah
bertualang di alam yang penuh rahasia. Dia bisa saja mati atau
menemui kembali kehidupannya, setelah berpetualang di alam
itu. Apa yang dialaminya di sana, kita sama sekali tidak tahu.
Berdoalah, semoga Kakang Panji-mu bisa kembali ke alam
nyata dengan selamat. Aku sendiri tidak bisa menjabarkan
tentang alam roh, karena belum pernah pergi ke sana...," jelas
Raja Obat mencoba berkelakar untuk menghilangkan
ketegangan yang jelas-jelas terpancar di wajah, Kenanga.
"Jadi..., Berdoalah, Cucuku...," potong Raja Obat.
Kakek itu kemudian segera menurunkan tubuh Panji dari
atas balai-balai, kemudian membaringkannya di lantai
beralaskan tikar pandan. Lalu, dia duduk bersila di samping
tubuh Panji. Demikian pula halnya Kenanga yang ikut duduk
bersila di samping Raja Obat. Mereka duduk menunggu akhir
dari petualangan Pendekar Naga Pulih di alam roh.
***
Sementara itu, Panji yang saat ini tengah bertarung melawan
Raja Iblis Utara tengah terdesak hebat. Meskipun pukulan serta
tendangan pemuda itu lebih banyak singgah di tubuh lawan,
tapi semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Raja Iblis
Utara. Sedangkan apabila pukulan lawan yang mengenai tubuh-
nya, pasti Panji yang akan terjungkal dan merasakan sakit.
"Ha ha ha...! Kali ini kau benar-benar tidak berdaya,
Pendekar Naga Putih. Sekarang, terimalah kematianmu yang
sebenarnya!" Raja Iblis Utara langsung melesat cepat sambil
melontarkan serangkaian pukulan berbau maut!
Bweeettt! Wueeettt!
"Haiiittt...!"
Dalam keadaan yang hampir-hampir mematahkan semangat
itu, Panji segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan
diri. Memang ia merasa percuma bertarung dengan lawan yang
sama sekali tidak bisa dibunuh.
Dibarengi teriakan nyaring, Pendekar Naga Putih melenting
ke udara menghindari pukulan maut lawan. Begitu kakinya
mendarat setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, langsung
saja tubuhnya melesat meninggalkan Raja Iblis Utara.
Panji mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya agar
bisa menghindar sejauh mungkin dari lawan. Kali ini, hatinya
semakin ditumbuhi rasa waswas. Sebab setelah kemunculan
Raja Iblis Utara, bukan tidak mungkin ada tokoh-tokoh sesat
lain yang pernah tewas di tangannya yang akan bermunculan
mengeroyoknya. Ngeri juga hati Panji ketika membayangkan
hal itu.
Tapi, apa yang diduga memang sama sekali tidak meleset.
Memang benar Raja Iblis Utara tidak berusaha mengejarnya.
Sepertinya, roh datuk sesat itu merasa pasti akan menemukan
ke manapun pemuda itu pergi. Itu sebabnya, mengapa Raja
Iblis Utara hanya tertawa gelak waktu melihat Panji melarikan
diri.
"Aaahhh...!?"
Pendekar Naga Putih kaget bukan kepalang. Belum lagi
merasa bebas dari ancaman Raja Iblis Utara, tiba-tiba saja
tokoh-tokoh sesat lain bermunculan satu persatu. Roh mereka
bagaikan keluar dari balik gumpalan kabut tipis di sekitarnya.
Dan memang seolah-olah gumpalan kabut tipis itu merupakan
pintu keluar bagi mereka.
Dengan wajah tegang, Pendekar Naga Putih bergerak
mundur menjauhi roh tokoh-tokoh sesat itu. Pemuda itu
merasa harapannya sangat tipis untuk dapat lolos, begitu
melihat adanya roh Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian,
Penggembala Mayat, dan masih banyak lagi roh tokoh sesat
yang kini mengepungnya dari delapan penjuru.
"Hua ha ha...! Hari ini adalah hari baik untuk kematianmu,
Pendekar Naga Putih! Siapa sangka kau datang menemui kami
di alam roh. Sepertinya, iblis-iblis penghuni alam ini sengaja
mendatangkanmu untuk kami..,''
Terdengar gaung suara yang diketahui Panji datang dari roh
Malaikat Gerbang Neraka.
Melihat mereka semakin mendekat, Panji memejamkan mata
menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya. Kemudian,
kembali matanya dibuka dan siap bertarung mati matian!
"Haaattt..!"
"Yeaaattt..!"
Dibarengi seruan nyaring, roh para tokoh sesat itu bergerak
menyerbu Pendekar Naga Putih. Keadaan Panji saat itu benar-
benar gawat, dan tak ubahnya makanan yang siap disantap
orang-orang lapar!
Beeettt..!
Wuuueeettt...!
Tamparan yang menimbulkan angin berkesiutan datang
mengancam kepala Pendekar Naga Putih. Seiring dengan itu,
sebuah tendangan yang siap menghantam dadanya datang
tiba-tiba. Tentu saja menghadapi serbuan itu, Panji menjadi
kalang kabut! Dengan merendahkan kuda-kuda sambil
menggeser langkahnya, Panji mencoba lolos dari serangan
yang datangnya bagaikan air bah itu. Kemudian, tubuhnya te-
rus melenting ke udara dan berjumpalitan beberapa kali.
Maksudnya, jelas untuk keluar dari kepungan.
"Heaaattt..!"
Sambil meluncur turun, Panji yang sempat melihat salah
seorang pengeroyok yang tengah melontarkan serangan,
segera saja memutar kakinya. Langsung dilepaskannya
tendangan dengan kedua kakinya. Kemudian, digunakannya
tubuh lawan sebagai batu loncatan untuk menjauh.
Deeesss...!
Meskipun serangannya sama sekali tidak mengakibatkan luka
di tubuh lawan, namun Pendekar Naga Putih dapat meloloskan
diri dari dalam kepungan. Lawan yang terkena tendangan itu
terpental, bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin.
Namun walau bagaimana pun kerasnya usaha Panji untuk
dapat melepaskan diri dari kepungan, tetap saja sia-sia.
Terbukti setelah dapat menendang salah seorang lawan.
Pendekar Naga Putih kembali masuk dalam lingkaran para
pengepung. Sebagai roh tokoh-tokoh sakti, tentu saja mereka
dapat bergerak secepat angin. Sehingga, ke mana pun Panji
bergerak, tetap saja tidak bisa lolos dari kepungan.
Pertempuran yang jelas-jelas tidak seimbang itu terus
berlangsung. Pendekar Naga Putih sebisa mungkin
menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti'-nya. Namun tetap saja dia
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan lawan singgah di tubuh
maupun wajahnya. Meskipun begitu, dia berusaha mati-matian
untuk mempertahankan diri.
"Yaaattt..!"
Buuuggg!
"Aaakhhh...!"
Pendekar Naga Putih kembali memekik kesakitan ketika
untuk yang kesekian kalinya terkena hantaman telapak tangan
lawan pada bagian dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya
langsung terpental diiringi jerit kesakitannya.
"Tibalah saat kematianmu yang sebenarnya. Pendekar Naga
Putih!"
Terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya tiga
sosok tubuh yang masing-masing siap melepaskan pukulan
maut.
Meskipun dalam keadaan bergulingan, Pendekar Naga Putih
seperti masih belum sudi menyerah begitu saja. Nyatanya, ia
masih saja berusaha menyelamatkan diri dari sergapan roh
tokoh-tokoh sesat itu.
Tapi, daya tahan pemuda itu tentu saja sangat terbatas.
Pada suatu ketika, Pendekar Naga Putih tidak sempat lagi
menghindar. Tubuhnya yang rebah telentang, kini siap
menerima hantaman beberapa roh yang mengeroyoknya!
Blaaarrr...!
Serangan Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian,
Penggembala Mayat, tiba secara bersamaan. Terdengarlah
ledakan keras yang bagaikan mengguncangkan alam roh!
Anehnya, Panji sendiri berhasil selamat dari bencana, begitu
tahu-tahu saja ada yang menarik tubuhnya ke belakang.
Padahal, serangan roh-roh itu hampir pasti akan merajam
dirinya. Merasakan pegangan pada kedua bahunya, Panji
segera menoleh ingin memastikan pertolongan itu.
"Eyang...?!"
Tiba-tiba saja Panji merasakan hatinya lapang sekali. Sebab,
orang yang menarik tubuhnya itu tak lain gurunya sendiri, yaitu
Eyang Tirta Yasa si Malaikat Petir. Tentu saja hati Panji menjadi
gembira.
"Cucuku. Kau memang belum saatnya menjadi penghuni
alam roh. Maka, kau harus kembali ke dunia nyata. Di sana,
masih banyak tugas yang harus dijalankan. Eyang tidak tahu,
apa yang membuatmu tersesat hingga ke alam roh. Yang jelas,
selama kau masih bisa kembali, kembalilah. Mereka akan
lenyap dengan sendirinya setelah kau memasuki jasadmu...,"
ujar Eyang Tirta Yasa sambil mengelus kepala muridnya.
Panji bergerak bangkit perlahan. Hatinya sempat merasa
heran sewaktu melihat roh-roh tokoh sesat itu sama sekali tidak
berani mengganggunya. Kelihatannya, mereka merasa gentar
terhadap Malaikat Petir yang memang siap melindungi
muridnya.
"Mengapa mereka tidak berani menyerang kita, Eyang...?"
rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih tak kuasa
menahan keingintahuannya.
"Jelas, mereka tidak berani, Cucuku. Tapi, bukan aku yang
ditakuti. Justru kita berdualah yang membuat mereka tidak
berani menyerang," jelas Eyang Tirta Yasa, tersenyum lembut.
"Mengapa kita berdua yang mereka takuti? Apa sebabnya,
Eyang?" desak Panji lagi, penasaran.
"Mereka adalah roh halus. Demikian pula aku," jawab Eyang
Tirta Yasa, "Tapi, apabila roh halus bergabung dengan jasad,
meskipun hanya berupa bayang-bayang semu seperti halnya
denganmu, maka mereka tidak akan bisa mendekat. Apalagi
menyakiti. Sebab setiap kali mereka menyentuh salah satu dari
kita, itu sama dengan manusia yang memasukkan tangannya
ke kobaran api."
"Lalu, bagaimana caranya aku kembali ke jasadku, Eyang?
Sedangkan aku sama sekali tidak tahu, di mana saat ini jasadku
berada? Apakah sudah dikuburkan atau belum, aku juga sama
sekali tidak tahu...?" tanya Panji lagi, ketika teringat kalau
gurunya menyuruhnya untuk kembali ke alam nyata.
"Hal itu tidak sulit bagi roh-roh tanpa jasad seperti aku
misalnya. Bagi kami, tidak ada pembatas baik ruangan maupun
waktu. Semuanya dapat dicapai dalam waktu yang sangat
singkat. Dan biar di dalan tanah pun, aku dapat melihat apa
yang disembunyikan manusia di alam nyata sana. Kau tentu
saja tidak bisa menemukan jasadmu, karena rohmu masih
berbau kehidupan. Bukan roh yang memang datang dari jasad
mati. Nah, sekarang marilah kira menjumpai jasadmu," ajak
Eyang Tirta Yasa seraya memegang tangan muridnya.
Apa yang kini dirasakan Pendekar Naga Putih sama sekali
tidak berbeda dengan saat pertama terlempar ke alam roh itu.
Tubuhnya mengapung tanpa beban. Hal itu berlangsung hanya
sekejap mata, meskipun bagi Panji merasa agak lama.
"Sekarang bukalah matamu...," perintah Eyang Tirta Yasa.
Tanpa banyak cakap lagi, segera saja Pendekar Naga Putih
membuka kelopak matanya.
"Aaahhh...."
Pendekar Naga Putih terbelalak ketika di hadapannya terlihat
jasadnya yang terbaring di lantai. Dia juga melihat Raja Obat
beserta Kenanga kekasihnya yang matanya telah sembab
karena terlalu banyak menangis.
"Percuma, mereka tidak akan mendengarmu," kata Eyang
Tirta Yasa seperti tahu akan isi hati muridnya. "Sebaiknya,
masuklah kembali ke dalam jasadmu. Setelah kau tersadar
sedikit saja, maka tenaga ciptaan Pedang Naga Langit akan
segera bekerja untuk menyembuhkan luka-lukamu "
Tentu saja Panji terkejut mendengar gurunya mengetahui
tentang Pedang Naga Langit. Padahal, pedang mukjizat itu
didapatkan saat gurunya sudah meninggal.
"Jangan heran. Sudah kukatakan, bagi penghuni alam roh
tidak ada batas ruang dan waktu...," jelas Eyang Tirta Yasa,
sebelum Panji sempat bertanya.
"Laki, bagaimana dengan Eyang? Roh-roh tokoh sesat itu
apakah tidak akan mengeroyok Eyang...?" tanya Panji agak
cemas, mengingat roh para tokoh sesat itu masih
mengikutinya. Dan sepertinya, mereka tengah mencari
kesempatan untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.
"Tidak perlu khawatir, muridku. Di alam roh, tidak pernah
ada perkelahian. Jadi, tenangkanlah hatimu...," sahut Eyang
Tirta Yasa tersenyum lembut.
Kini tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Putih segera
merasuk kembali ke dalam jasadnya. Begitu rohnya kembali
menyatu, tidak ditemukannya lagi guru serta roh para tokoh
sesat yang diketahuinya masih berada di dekatnya. Sesaat
setelah rohnya bersatu dengan jasad, "Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' pun bangkit. Bahkan langsung membakar seluruh luka
dalam yang ada di tubuh Pendekar Naga Putih.
"Aaahhh...?!"
Kenanga tersentak bangkit ketika tahu-tahu saja tubuh
kekasihnya terkurung kobaran api yang panasnya terasa
menyengat kulit.
'Tenanglah, Cucuku. Itu suatu pertanda, kekasihmu mulai
tersadar. Dan kini ia telah kembali dari alam roh. Kobaran api
itu adalah kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit.
Gunanya, tentu saja untuk membakar semua luka dalam yang
dideritanya," jelas Raja Obat sambil menepuk bahu Kenanga.
Seketika, gadis itu menjadi tenang, dan kembali duduk
memandangi sosok Pendekar Naga Putih.
Tidak berapa lama kemudian, kobaran api itu pun padam.
Wajah Pendekar Naga Putih yang semula pucat, terlihat mulai
dijalari warna merah. Jelas, kesehatannya telah pulih seperti
sedia kala.
"Kakang...!"
Begitu mendengar Pendekar Naga Putih mengeluh, Kenanga
langsung memeluk dan menghujani wajah kekasihnya dengan
ciuman kebahagiaan. Sedang Raja Obat hanya tersenyum-
senyum melihat kejadian itu.
"Kenanga...," panggil Panji membalas pelukan dara jelita itu
dengan eratnya. "Aaah...! Maafkan aku. Kenanga. Kau telah
susah karena ulahku."
Panji tampak terharu melihat wajah kekasihnya nampak
demikian letih dan terlihat agak kurus. Jelas, dara jelita itu
selalu memikirkannya.
"Saudara Panji, selamat..."
Satu persatu mulai dari Ki Damang, menyalami Pendekar
Naga Putih dengan wajah penuh rasa syukur. Para tokoh itu
benar-benar gembira melihat Panji telah bangkit dari kematian
semunya.
Suasana suka cita itu mendadak hening seketika. Seorang
murid Perguruan Ular Emas datang membawa gulungan surat
yang menurutnya datang dari Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam.
"Hmmm...," gumam Panji ketika teringat tantangan Ki
Parewang yang hendak bertarung mati-matian dengannya.
Cepat Pendekar Naga Putih membuka gulungan surat itu
Namun, wajahnya segera terhias senyum seusai membaca
habis isi surat Ki Parewang, Ketua Perkumpulan Pengemis Baju
Hitam.
"Ki Parewang telah menangkap dan menghukum pancung
para pengemis berbaju kembang-kembang. Orang tua itu
sempat berpapasan dengan mereka yang tengah membawa
mayat Setan Tenaga Gajah, adik seperguruannya. Berarti,
tugas kita semua telah diselesaikan oleh Ki Parewang. Satu hal
yang menggembirakanku, ia menarik kembali tantangannya.
Bahkan menyatakan takluk, sebab Setan Tenaga Gajah meru-
pakan satu-satunya pewaris yang paling berbakat. Sedangkan
kepandaian Ki Parewang sendiri masih di bawah Setan Tenaga
Gajah...," jelas Panji sewaktu melihat semua mata tertuju ke
arahnya, seperti memohon agar menerangkan isi surat.
Terdengar helaan napas lega di sana-sini. Wira Yudha
sebagai tuan rumah, segera mengajak untuk merayakan
kesembuhan dan kemenangan Pendekar Naga Putih.
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang menyambut
gembira ajakan itu. Bahkan Raja Obat sendiri pun langsung
bangkit dengan wajah gembira.
"Ah, dasar nasibku sedang mujur. Sudah sejak kemarin
perutku belum diisi. Kini, siapa sangka sekarang ada orang
berbaik hati hendak mengundangku makan…," kata Raja Obat,
sehingga para tokoh itu tergelak mendengarnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar