PENGEMBAN DOSA TURUNAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Pengemban Dosa Turunan
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Matahari sudah hampir tenggelam di kaki langit se-
belah Barat. Cahaya kemerahan tampak menyala ba-
gaikan kobaran api membakar cakrawala. Senja mulai
datang menyapa bumi.
Dalam suasana yang mulai remang-remang itu,
tampak dua sosok tubuh bergerak menuju Pantai Ti-
mur Laut Bandan. Gerakan keduanya yang sangat rin-
gan dan cepat hanya menimbulkan bayangan yang tak
jelas. Meskipun demikian, jelas terlihat kalau kedua
sosok bayangan itu adalah lelaki dan perempuan. Hal
ini dapat dikenali dari perawakan mereka.
Sosok pertama bertubuh tinggi kurus dan ter-
bungkus jubah panjang berwarna coklat. Bila dilihat
secara jelas, tampaklah raut wajahnya yang keras dan
memancarkan perbawa yang kuat. Dalam usianya
yang kira-kira sekitar enam puluh tahun, lelaki itu ter-
lihat sangat angker dan matang. Bahkan, raut wajah
angker itu masih ditambah lagi dengan kumis dan
jenggot yang tertata rapi, meski sebagian tampak telah
memutih. Jelas, sosok pertama ini adalah orang yang
selalu menjaga kesehatan dan kebersihan dirinya.
Berbeda dengan penampilan sosok pertama, sosok
kedua yang berlari di sebelah kiri sosok tinggi kurus
itu memiliki bentuk tubuh yang langsing dan padat.
Secara selintas, orang akan menduga bahwa sosok ke-
dua itu pastilah seorang gadis remaja. Tapi, dugaan ini
sama sekali tidak betul. Sebab, sosok ramping padat
itu adalah seorang wanita yang telah cukup berumur.
Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Meskipun
demikian, baik wajah maupun tubuhnya tampak ma-
sih demikian segar, tak ubahnya seorang gadis remaja.
Kedua sosok yang tengah bergerak menuju Pantai
Timur Laut Bandan itu jangan dikira hanya merupa-
kan pasangan suami-istri yang hendak pesiar. Bagi
kaum rimba persilatan, sepasang pria-wanita yang
memang merupakan pasangan suami-istri itu tidaklah
asing lagi. Selain sangat terkenal dan memiliki kepan-
daian yang sangat tinggi, keduanya juga merupakan
pemimpin tokoh-tokoh persilatan di daerah Timur.
Bahkan, mereka memiliki julukan yang cukup mengge-
tarkan, yaitu Sepasang Ular Perak. Demikian-lah julu-
kan yang didapat dari tokoh-tokoh persilatan, baik dari
golongan hitam maupun golongan putih. Dan, julukan
itu pun telah tersebar di empat penjuru angin.
Tidak berapa lama kemudian, kedua sosok pende-
kar itu pun tibalah di suatu tempat berpasir putih. Me-
reka tampak menghentikan langkah dan berdiri tegak
menatap ombak lautan. Bagaikan hendak menembus
keremangan senja, bola-bola mata kedua tokoh itu te-
rus melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan
sorot tajam. Jelas, ada sesuatu yang membuat sepa-
sang pendekar itu melakukannya.
“Yakinkah kau bahwa iblis keji itu akan memenuhi
janjinya, Kakang...?”
Sosok wanita cantik yang mengenakan pakaian
berwarna hijau muda itu terdengar bertanya dengan
suara agak keras. Karena, jika tidak, deburan ombak
yang saling bersahutan dan menimbulkan gemuruh
bisa menelan ucapannya.
Sosok tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan
tidak segera menjawab pertanyaan istrinya. Sepasang
matanya masih tetap mengawasi air laut sambil mena-
rik napas perlahan. Beberapa saat kemudian, baru le-
laki itu menoleh dan berkata.
“Hhhh..., sebenarnya aku pun tidak begitu yakin
akan janji seorang tokoh sesat seperti Elang Laut Utara
itu, Nyai. Tapi, entah mengapa, saat ini aku masih per-
caya terhadap ucapannya. Sepertinya aku benar-benar
yakin kalau iblis itu akan muncul untuk menepati jan-
jinya. Sebab, dialah yang mengajukan tantangan ini,
bukan kita....”
Demikian jawaban yang keluar dari mulut Ular Pe-
rak Jantan. Kini semakin jelaslah, apa sebenarnya
maksud Sepasang Ular Perak mendatangi Pantai Timur
Laut Bandan.
“Sebenarnya, lima belas tahun yang lalu, kita dapat
saja melenyapkan iblis itu untuk selamanya, Kakang.
Sayang, iblis itu memiliki lidah yang tajam dan pandai
memutar kata-kata, sehingga kita berdua dapat diti-
punya mentah-mentah. Kalau tidak, rasanya hari ini
tidak perlu kita bersusah payah mendatangi tempat
itu...,” kata Ular Perak Betina dengan nada sedikit me-
nyesali masa lalunya, yang tampaknya berhubungan
dengan kedatangan mereka pada senja ini.
“Sudahlah. Tidak baik menyesali sesuatu yang telah
lewat. Sebaiknya kita tunggu saja kedatangan iblis itu
dengan hati tenang. Lima belas tahun bukanlah waktu
yang singkat. Siapa tahu Elang Laut Utara telah mem-
persiapkan dirinya jauh-jauh hari. Dan, bukan tidak
mungkin kalau justru kita berdualah yang akan dika-
lahkannya hari ini. Untuk itu, sebaiknya kau berhati-
hati, Nyai. Jangan pandang remeh sebelum mengeta-
hui kepandaiannya yang sekarang....”
Ular Perak Jantan terdengar menasehati istrinya
dengan ucapan yang sengaja ditekan, agar istrinya ti-
dak meremehkan orang yang mereka tunggu. Sayang,
ucapan Ular Perak Jantan dianggap sebagai tanda ta-
kut. Sehingga, wanita cantik yang wajahnya tampak
jauh lebih muda dari usianya itu terlihat mencebikkan
bibir. Jelas sekali kalau Ular Perak Betina tidak men-
gindahkan nasihat suaminya. Hal ini tampaknya me-
mang wajar. Karena, seperti terdengar dari pembica-
raan mereka tentang pertemuan dengan ‘iblis’ pada li-
ma belas tahun yang lalu itu, kelihatannya orang yang
kini sedang mereka tunggu tidaklah terlalu memba-
hayakan. Bahkan, tampaknya orang itu pernah kalah
atau dipecundangi oleh keduanya. Alasan inilah yang
mungkin membuat Ular Perak Betina tidak begitu
mempedulikan kemungkinan-kemungkinan yang dija-
barkan suaminya.
Ular Perak Betina, yang semula terlihat hendak
mengungkapkan rasa penasaran hatinya, menunda
ucapannya. Sebab, pada saat itu, terlihat suaminya
menunjuk ke satu titik yang terombang-ambing diper-
mainkan ombak lautan.
“Apa itu, Kakang...?” tanya Ular Perak Betina sambil
mengerutkan kening dan mencoba mempertajam pan-
dangan matanya. Sayang, karena ombak laut terka-
dang seperti menelan untuk kemudian memuntahkan
kembali benda itu, dia mengalami kesulitan untuk me-
lihatnya secara jelas.
Namun, berbeda dengan istrinya, lelaki tinggi kurus
yang memang memiliki tingkatan ilmu lebih tinggi itu
segera dapat mengenali benda di tengah laut itu. Tentu
saja setelah ia mengerahkan kekuatan tenaga saktinya
melalui pandangan mata. Ular Perak Jantan pun mulai
dapat menebak, benda apa sebenarnya yang tengah
dipermainkan ombak itu.
“Tampaknya benda itu merupakan sosok seorang
manusia, Nyai. Dan, kalau pandangan mataku tidak
salah, sosok manusia itu adalah orang yang kita tung-
gu-tunggu. Kau terkejut, bukan...?” tanya Ular Perak
Jantan, mengakhiri keterangannya dengan sebuah
pertanyaan yang agak bernada sinis.
Ular Perak Betina memang cukup terkejut men-
dengar keterangan suaminya tentang benda yang ten-
gah dipermainkan ombak itu. Bahkan, sinar matanya
memancarkan rasa tidak percaya atas ucapan sua-
minya.
“Maksudmu..., benda itu sebenarnya adalah Elang
Laut Utara, musuh yang sedang kita nanti-nanti...?”
tanya Ular Perak Betina, meminta ketegasan suami-
nya.
“Hhhh..., tampaknya memang begitulah, Nyai. Bah-
kan, yang lebih membuatku terkejut, Elang Laut Utara
tampaknya sama sekali tidak menggunakan perahu
untuk mencapai daratan ini dari pulau tempat tinggal-
nya. Sepertinya ia hanya menggunakan dua potong
bambu yang mungkin diikatkan pada kedua telapak
kakinya. Kalau saja hal ini benar, iblis itu pastilah te-
lah menggembleng dirinya selama lima belas tahun te-
rakhir ini. Dan, mungkin ia telah memiliki kemajuan
yang mengejutkan...,” desis Ular Perak Jantan.
Lelaki tua itu tampak termangu sambil tetap men-
gawasi sosok yang semakin jelas, karena semakin de-
kat ke arah mereka. Terdengar Ular Perak Jantan me-
narik napas berat yang menunjukkan kekhawatiran-
nya.
“Huh! Biarpun kepala iblis itu bertambah menjadi
sepuluh dan lengannya menjadi dua puluh pasang,
aku tidak akan pernah gentar menghadapinya. Kalau
Kakang takut, biar aku saja yang akan menghajar ma-
nusia keparat itu! Kali ini ia tidak akan kuberi ampun,
agar lain hari tidak lagi membuat susah...!” kata Ular
Perak Betina dengan suara lantang, meski agak terke-
san sedikit sombong.
Kemudian, wanita tua itu melangkah maju bebera
pa tindak, semakin mendekati gelombang air laut yang
berlarian ke pantai.
“Sabar, istriku. Tidak usah terburu nafsu. Kita
tunggu saja kedatangannya dengan hati tenang. Usa-
hakan agar kita jangan sampai terpengaruh oleh
omongan ataupun tingkahnya yang mungkin saja sen-
gaja ditunjukkan untuk membuat kita lengah. Karena,
hal itu akan merugikan diri kita sendiri....”
Ular Perak Jantan kembali mengingatkan istrinya
yang keras kepala. Dicegahnya langkah wanita cantik
itu dengan memegang bahunya perlahan. Sehingga,
mau tidak mau, Ular Perak Betina pun menahan lang-
kahnya. Terdengar tarikan napas barat yang berkepan-
jangan dari wanita cantik itu. Jelas sekali kalau ia ter-
paksa menuruti kehendak suaminya. Dan, untuk itu,
ia harus menekan rasa penasaran di dalam dadanya
yang masih saja menggelora.
“Huak hak hak.... Selamat bertemu lagi, Sepasang
Ular Perak! Terutama kau, Ular Betina! Kelihatannya
semakin lama wajah dan tubuhmu semakin menarik
saja. Apakah kau sengaja memeliharanya agar aku bi-
sa melihatnya pada pertemuan ini...?”
Terdengar suara terbahak parau yang kemudian
disambung lontaran kata-kata tak sopan dari sosok le-
laki berusia sekitar lima puluh tahun. Saat itu tubuh-
nya tampak masih mengapung dan tengah me-luncur
satu setengah tombak lagi dari daratan berpasir.
Ular Perak Jantan segera mengajak istrinya untuk
bergerak mundur beberapa langkah. Hal itu dilaku-
kannya ketika deburan ombak tampak semakin jauh
menjilati bibir pantai, yang terjadi seiring dengan se-
makin dekatnya sosok lelaki gemuk yang tengah me-
luncur di lautan itu.
“Huppp...!”
Tepat ketika hampir tiba di tepi pantai, tiba-tiba sa-
ja sosok lelaki gemuk itu mengeluarkan sebuah benta-
kan nyaring. Kemudian, tubuhnya melambung setinggi
tiga batang tombak dari atas pasir. Setelah berputaran
sebanyak lima sampai enam kali, barulah sosok lelaki
yang memang adalah Elang Laut Utara itu melayang
turun dengan dua bilah bambu di tangan kanannya.
Sepasang bambu itu telah dilepaskan dari ikatannya
sewaktu tubuh Elang Laut Utara tengah melambung di
udara. Jelas sudah bahwa apa yang diduga Ular Perak
Jantan tidaklah berlebihan. Elang Laut Utara ternyata
memang mendatangi daratan dengan menggunakan
dua bilah bambu sebagai pijakan sepasang kakinya.
Tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi. Dan, terbukti Elang Laut Utara memang memi-
likinya.
“Kurang ajar...! Mulutmu ternyata masih saja tetap
kotor, Setan Hitam! Sepertinya kau sengaja memamer-
kan ilmu. meringankan tubuhmu agar kami gentar,
begitu...?”
Tanpa mempedulikan lagi cegahan suaminya, Ular
Perak Betina segera saja menudingkan telunjuknya ke
wajah lelaki gemuk berkulit hitam itu. Dan, kata-
katanya langsung meluncur sebagai tanda kekesalan
hatinya yang semenjak tadi hanya dipendam. Tapi,
Elang Laut Utara hanya tertawa-tawa sambil men-
gangkat-angkat kedua alisnya dengan sepasang mata
berbinar. Tampaknya ia merasa senang menyaksikan
wanita cantik itu marah-marah. Tentu saja tingkah le-
laki gemuk itu semakin membuat hati Ular Perak Beti-
na kian terbakar.
“Keparat...! Kau rupanya sudah tidak sabar untuk
merasakan kerasnya kepalanku...!” kata Ular Perak Betina, sambil langsung melontarkan sebuah pukulan lu-
rus menuju dada Elang Laut Utara.
Whuuukkk...!
Hembusan angin keras yang menandakan bahwa
pukulan Ular Perak Betina bukanlah main-main ter-
dengar mendesis mengiringi datangnya pukulan itu.
“Heh heh heh...!”
Elang Laut Utara memperdengarkan tawanya yang
serak saat bersiap menerima pukulan lawan. Dilihat
dari sikapnya yang terlihat masa bodoh itu, jelas bah-
wa ia memandang remeh serangan lawan yang sebe-
narnya mampu untuk meremukkan batok kepala
orang biasa. Tapi, sikap itu bisa saja hanya merupakan
suatu pancingan agar lawan terpengaruh dan menjadi
kacau pikirannya.
“Nyai, tahan...!”
Ular Perak Jantan berseru keras untuk mencoba
mencegah serangan istrinya. Sayang, teriakannya se-
dikit terlambat. Karena, saat itu kepalan Ular Perak
Betina sudah tinggal satu jengkal lagi jaraknya dari
tubuh lawan. Dan....
Bukkk!
“Akkk...!?”
Aneh, meskipun pukulan Ular Perak Betina tepat
menghantam dada lawannya secara telak, ternyata ju-
stru wanita cantik itulah yang memekik kesakitan
sambil memegangi tangannya yang terlihat agak beng-
kak. Bahkan, tubuh keduanya terlihat sama-sama ter-
getar mundur sejauh satu batang tombak. Tentu saja
kenyataan itu membuat Ular Perak Jantan ternganga
setengah tak percaya.
“Gila...!? Ilmu apa yang dipelajari Elang Laut Utara
selama lima belas tahun belakangan ini...! Mustahil
kemajuannya sampai sedemikian pesat. Mungkinkah
ada seorang manusia sakti yang sudi membimbing-
nya...? Atau... ia menemukan suatu ilmu langka secara
kebetulan?”
Ular Perak Jantan tak henti-hentinya bertanya da-
lam hati. Kenyataan yang baru dilihatnya itu telah me-
nimbulkan berbagai macam dugaan di kepalanya.
Sayangnya, tak satu pun dugaan yang dapat men-
jelaskan kejadian yang baru disaksikannya tadi.
“Hei, mengapa kau hanya manggut-manggut seperti
burung pelatuk. Ular Perak Jantan...? Apa kau tidak
ingin mencoba melawanku seperti yang dilakukan is-
trimu barusan? Atau kau takut...?” ejek Elang Laut
Utara, yang jelas sengaja memamerkan kekuatannya
untuk mengacaukan pikiran lawan.
“Hm..., kau ingin agar aku mencoba kekebalan tu-
buhmu? Aku justru khawatir, kau akan terluka. Se-
baiknya segera kita mulai saja urusan lama di antara
kita. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, aku ti-
dak lagi peduli. Yang jelas, apabila kau kembali dapat
kami pecundangi, jangan harap kau bisa menikmati
hangatnya matahari esok....”
Ular Perak Jantan berkata dengan wajah yang tam-
pak kembali tenang. Bahkan, sorot matanya kini telah
menunjukkan perbawa seperti biasanya. Jelas sekali,
lelaki tua itu telah berhasil meredam rasa terkejutnya.
Ular Perak Betina melangkah ke samping suaminya.
Tangan kirinya terlihat masih sibuk memijat-mijat ke-
palan kanannya yang bengkak akibat membentur tu-
buh Elang Laut Utara. Dan, gambaran rasa pena-saran
masih terpeta jelas di wajah cantik itu.
“Kakang.... Aku yakin, kekebalan tubuh iblis licik
itu disebabkan oleh sebuah benda, dan bukan semata-
mata oleh kekuatan tenaga saktinya. Harap engkau
sedikit berhati-hati, agar tidak mengalami kejadian seperti aku barusan...,” bisik Ular Perak Betina, yang ru-
panya dapat langsung merasakan, apa sebenarnya
yang terjadi dengan serangannya tadi.
Meskipun tidak tahu secara pasti, benda apa yang
telah terbentur oleh kepalannya, ternyata Ular Perak
Betina bisa mengira-ngira adanya benda itu dan lang-
sung memperingati suaminya. Sehingga, bila akan me-
nyerang, Ular Perak Jantan sudah mempunyai gamba-
ran tentang benda penolak yang dimiliki Elang Laut
Utara, yang mungkin juga bisa melukai lelaki berjubah
coklat itu apabila kurang berhati-hati.
“Hm..., aku pun sudah bisa menduganya. Seperti-
nya, ada sesuatu yang membuat ia berani menerima
pukulanmu tanpa takut terluka. Akan ku coba untuk
mengetahuinya...,” desis Ular Perak Jantan dengan su-
ara lirih.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu
melangkah beberapa tindak ke dekat tubuh lawannya.
“Heh he he.... Ular Perak Jantan. Setelah sekian be-
las tahun tidak berjumpa, apakah pertemuan ini tidak
kita gunakan beberapa jenak untuk bersenang-
senang? tentang persoalan yang lampau, sebaiknya ki-
ta tunda saja dulu. Mengapa harus terburu-buru...?”
Elang Laut Utara menyambut Ular Perak Jantan
dengan tawa sesumbar. Tampaknya lelaki gemuk itu
merasa sangat yakin bahwa Sepasang Ular Perak be-
lum mengetahui rahasia kekebalan tubuhnya. Sehing-
ga, ia masih saja tertawa-tawa meremehkan lawannya.
“Oh, kalau memang itu kemauanmu, bersiaplah.
Mungkin pukulanku agak sedikit keras dari yang ba-
rusan kau terima....”
Sadar bahwa kesempatan emas untuk menyingkap
rahasia kekebalan tubuh lawannya telah terbuka le-
bar, Ular Perak Jantan pun segera memanfaatkan-nya.
“Silakan.... Tapi, hati-hatilah agar kau tidak sampai
terjatuh karenanya...,” ejek Elang Laut Utara sambil
bertolak pinggang, seolah-olah menyuruh lawannya
memilih bagian yang terlunak dari tubuh gemuknya
itu.
“Hm....”
Ular Perak Jantan bergumam dengan tatapan mata
tajam sebelum melontarkan pukulannya. Jelas sekali
kalau lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu tengah men-
duga, apa yang akan dilakukan Elang Laut Utara apa-
bila ia melontarkan serangannya.
“Haaattt...!”
Setelah mengambil keputusan yang dianggapnya
tepat, Ular Perak Jantan pun segera berseru nyaring.
Berbarengan dengan teriakan itu, tubuhnya yang ting-
gi kurus melesat ke depan dengan kuda-kuda rendah.
Sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa Ular Pe-
rak Jantan langsung menggunakan jurus andalannya
dalam melancarkan serangan pertama. Tentu saja ge-
rakan yang gesit dan sulit diketahui perubahannya itu
membuat Elang Laut Utara terlihat mengerutkan ke-
ningnya karena khawatir.
“Tunggu...!”
Tiba-tiba saja, sebelum serangan Ular Perak Jantan
datang, Elang Laut Utara berseru mencegah sambil
melangkah mundur menjauhi tempat berdirinya semu-
la. Jelas sekali kalau lelaki berkulit hitam itu tidak be-
rani menganggap remeh serangan ‘Jurus Ular’ yang di-
lancarkan lawannya.
***
DUA
“Hmh...! Mengapa kau menghindar, Elang Laut Uta-
ra? Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk
menyerangmu? Mengapa kini kau mencegah-nya?
Apakah kau berubah pikiran karena takut tubuhmu
akan terluka...?” kata Ular Perak Jantan.
Lelaki tua bertubuh kurus itu tampaknya sengaja
memancing-mancing kemarahan lawannya dengan ka-
ta-kata ejekan, yang rupanya sangat mengena. Elang
Laut Utara terlihat menggeram jengkel menahan ke-
dongkolan hatinya.
“Setan! Kau pikir, aku takut dengan jurus ular je-
lekmu itu? Ayo, tunjukkanlah kehebatannya di depan-
ku...!”
Elang Laut Utara berteriak-teriak dengan hati jeng-
kel. Kesombongannya bangkit seketika begitu menden-
gar ejekan yang menyakitkan dari Ular Perak Jantan.
Ia pun terpaksa menantang-nantang jurus andalan la-
wannya yang tadi siap terlontar ke arah tubuhnya.
“Kau tidak akan mengelak...?” desak Ular Perak
Jantan.
Pertanyaan yang bernada menantang itu tentu saja
sangat sukar dijawab oleh Elang Laut Utara, yang su-
dah terikat janjinya tadi. Wajahnya pun tampak sema-
kin gelap.
“Hmmmh....Mengelak atau tidak, itu terserah kepa-
daku! Kalau kau mau menyerang, seranglah! Tidak
perlu banyak bacot lagi...!”
Akhirnya Elang Laut Utara yang tentu saja tidak
mau celaka, terpaksa tidak mempedulikan lagi janji-
nya. Jelas bahwa tokoh sesat Pantai Timur itu tidak
ingin nyawanya melayang hanya karena mempertahankan sebuah janji.
“Ha ha ha...! Rupanya kau benar-benar tidak berani
menahan pukulanku dengan kekebalan tubuhmu. Du-
gaanku ternyata tidak meleset. Kau hanya besar mulut
dan tidak mempunyai pendirian tetap, Elang Laut Uta-
ra...,” ujar Ular Perak Jantan sambil tertawa berkaka-
kan memegangi perutnya.
Tentu saja suara tawa dan tingkah lelaki tinggi ku-
rus itu membuat wajah Elang Laut Utara semakin ber-
tambah merah.
“Keparat...! Kubunuh kau...!”
Elang Laut Utara, yang sudah tidak sanggup lagi
membendung amarahnya, langsung membentak keras
sambil melesat dengan serangkaian serangan maut-
nya.
Beeettt! Beeet! Beeet!
Sesuai dengan julukan yang diberikan untuknya, le-
laki gemuk berkulit hitam itu menerjang dengan mem-
pergunakan cakar-cakar yang membentuk cengkera-
man elang. Jari tengah, telunjuk, dan ibu jarinya yang
membentuk segitiga langsung menyambar-nyambar
dengan kecepatan kilat. Datangnya sambaran cakar
elang itu selalu dibarengi dengan suara bercuitan. Hal
ini menandakan bahwa kekuatan yang tersembunyi di
dalamnya sangatlah hebat.
Ular Perak Jantan sendiri sempat mengerutkan ken-
ing ketika menyaksikan kecepatan dan angin samba-
ran cakar lawannya. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, langsung saja lelaki tinggi kurus itu bergerak
menghindar. Dan, dilancarkannya serangan balasan
dengan tidak kalah sengitnya.
“Yeeeattt...!”
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan
itu bergerak dengan kuda-kuda rendah. Sesekali tangannya tampak membentuk paruh ular. Dan, tubuh-
nya terlihat melesat dengan kecepatan mengejutkan.
Gerakannya yang luwes dengan pagutan-pagutan tak
terduga sempat pula membuat Elang Laut Utara ke-
bingungan beberapa saat lamanya.
“Yiaaattt...!”
Belum lagi Elang Laut Utara sempat menguasai
keadaannya, terdengar lengking nyaring yang disusul
dengan terjunnya Ular Perak Betina ke kancah perta-
rungan. Tentu saja kehadiran wanita cantik ini mem-
buat tokoh sesat berkulit hitam itu terdesak semakin
hebat
“Setan belang...!”
Sambil melontarkan makian kalang-kabut, Elang
Laut Utara berusaha keras keluar dari kepungan sepa-
sang suami istri pendekar itu. Namun, usahanya bah-
kan mengakibatkan sebuah pagutan jari tangan Ular
Perak Jantan telak menghantam bagian iganya.
Tuggg!
“Aaakkk...?!”
Keanehan pun kembali terjadi. Ular Perak Jantan,
yang berhasil menyarangkan pukulannya, justru me-
ngeluarkan pekik tertahan. Untungnya, meskipun pu-
kulan jari-jari tangannya mengenai tubuh lawan seca-
ra telak, Ular Perak Jantan masih sempat mengurangi
tekanan tenaga dalamnya, bahkan masih sempat pula
memiringkan jari-jari tangannya. Sehingga, akibat
yang dirasakannya pun tidak terlalu parah.
Sambil menarik napas panjang dan meluruskan
tangan kanannya ke atas, Ular Perak Jantan menatap
tajam ke arah tubuh lawannya. Ia masih tampak terke-
jut ketika ujung jari tangannya terasa bagai mematuk
sebuah benda lunak yang dapat membalikkan tenaga
pukulannya. Untunglah ia tadi sempat menyadarinya
dan segera menarik kembali tenaganya.
“Hm.„, Elang Laut Utara pasti menggunakan sema-
cam baju pusaka di balik pakaian luarnya. Entah dari
mana iblis ini bisa mendapatkan pusaka yang sangat
ampuh itu...,” desis Ular Perak Jantan, yang sempat
melihat kilauan cahaya perak dari balik sobekan pa-
kaian lawan yang terkena patukan ujung jarinya.
Pada saat itu, Elang Laut Utara sudah bertarung
menghadapi serbuan Ular Perak Betina. Wanita cantik
yang sebelah tangannya tidak lagi dapat digunakan se-
cara utuh itu ternyata masih juga sanggup melepaskan
serangkaian serangan maut yang bisa membuat nyawa
lawannya melayang. Elang Laut Utara pun merasa
agak kerepotan. Apalagi, serangan-serangan lawannya
tertuju ke arah seputar leher dan kedua matanya. Ten-
tu saja serangan-serangan berbahaya itu tidak bisa di-
diamkannya.
“Haaahhh!”
Elang Laut Utara membentak keras sambil men-
gangkat tubuhnya. Akibatnya, totokan jari tangan la-
wan yang semula mengincar matanya kini meluncur ke
arah dadanya. Tentu saja serangan itu tidak di-
pedulikan Elang Laut Utara. Sebab, bagian dadanya te-
lah terlindung oleh pakaian pusakanya, Baju Mustika.
Tuuuggg!
Ular Perak Betina, yang tidak sempat lagi menarik
kembali serangannya, berteriak kesakitan saat tenaga-
nya membalik. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Elang Laut Utara, yang langsung saja
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke dada
lawan. Akibatnya....
Breeehsss...!
“Aaarghhh...!”
Bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan
angin, tubuh Ular Perak Betina terhempas akibat do-
rongan sepasang telapak tangan yang berkekuatan he-
bat itu. Darah segar pun langsung menyembur mengi-
ringi jerit melengking yang keluar dari mulut wanita
cantik itu.
“Nyai...!”
Ular Perak Jantan terkejut bukan main menyaksi-
kan kenyataan dihadapannya. Cepat bagaikan kilat,
tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke
arah lawannya. Kemarahan dan rasa sedih melihat is-
trinya yang terlempar itu membuat Ular Perak Jantan
tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. Terjangan
yang dilakukannya kali ini benar-benar merupakan se-
rangan yang mematikan.
Elang Laut Utara, yang melihat datangnya serangan
lawan, segera menarik kedua tangannya ke sisi ping-
gang. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tokoh sesat
bertubuh pendek itu bergerak menyambut terjangan
lawan dengan dorongan sepasang telapak tangannya.
Tampaknya ia ingin mengulangi keberhasilannya se-
perti yang dilakukan terhadap Ular Perak Betina tadi.
“Yeaaattt...!”
“Haaattt...!”
Diiringi teriakan yang berkepanjangan tubuh kedua
tokoh sakti itu sama-sama melambung ke udara. Dan,
pada saat yang bersamaan, keduanya saling mendo-
rongkan telapak tangan masing-masing ke depan.
Whuuusss...!
Whuuukkk...!
Sambaran angin keras mengiringi datangnya puku-
lan jarak jauh yang sama-sama dilontarkan oleh kedua
tokoh sakti itu. Akibatnya....
Blaaarrr...!
Benturan keras terdengar bagaikan hendak mengguncangkan bumi. Bukit karang yang berdiri dalam ja-
rak sepuluh batang tombak dari kancah pertarungan
pun tampak bergetar. Dan, disusul dengan bergugu-
rannya bebatuan kecil akibat ledakan dari benturan
tenaga kedua orang sakti itu.
“Aaahhh...!”
Tubuh Ular Perak Jantan dan Elang Laut Utara sa-
ma-sama terlempar deras ke belakang. Pada saat tu-
buh keduanya tengah melayang di udara, Elang Laut
Utara yang rupanya memiliki tenaga sedikit lebih kuat
dibanding lawannya segera melepaskan jarum-jarum
halus yang tampaknya memang telah dipersiapkan se-
belumnya. Akibatnya, jarum-jarum halus yang jelas
mengandung racun itu langsung melesat ke arah tu-
buh Ular Perak Jantan, yang tidak kuasa lagi meng-
hindarinya.
Crabbb! Crabbb!
“Aaakhhh...!”
Terdengar pekik kesakitan ketika jarum-jarum ha-
lus amblas ke dalam tubuh Ular Perak Jantan. Begitu
tubuhnya terbanting di atas tanah, darah segar pun
langsung termuntah dari mulutnya. Belum lagi rasa
sesak akibat benturan tenaga dengan lawannya mere-
da, tiba-tiba Ular Perak Jantan merasakan sakit yang
tidak wajar. Tubuhnya langsung meregang.
“Auuuhhh.... Auuuhhh...!?”
Ular Perak Jantan terus saja berteriak-teriak sambil
menggaruk-garuk beberapa bagian tubuhnya. Sambil
terus mendesis-desis, lelaki tinggi kurus itu sibuk
menggaruki semua bagian tubuhnya. Bahkan, sampai
kulit tubuhnya menjadi lecet dan mengalirkan darah,
Ular Perak Jantan tetap tidak peduli, la tetap mengga-
ruk sambil mendesis-desis. Jelas, semua itu akibat be-
kerjanya racun dari jarum-jarum halus yang dilepaskan Elang Laut Utara.
“Heh heh heh.... Kau rasakanlah akibat racun
‘Ubur-Ubur Laut’ku, Ular Perak Jantan....”
Elang Laut Utara terdengar mengeluarkan pula ta-
wa terkekeh serak. Namun, setelah itu, darah segar
termuntah pula dari mulutnya. Dari caranya tertawa
dan langkahnya yang tertatih-tatih, tampak jelas bah-
wa tokoh sesat itu pun mengalami luka dalam yang
sangat parah. Sambil memperdengarkan tawa serak-
nya yang sesekali diselingi suara batuk, Elang Laut
Utara meninggalkan tubuh kedua lawannya yang su-
dah tidak berdaya lagi.
Ular Perak Betina terbujur kaku dengan wajah pu-
cat. Dan, cairan merah terlihat masih terus mengalir
melalui sudut bibirnya. Jelas bahwa pukulan tenaga
dalam Elang Laut Utara telah menghancurkan bagian
dalam tubuh wanita cantik itu dan menewaskannya
dengan seketika.
Keadaan Ular Perak Jantan pun tampak sangat me-
nyedihkan. Pakaian yang dikenakan lelaki tinggi kurus
itu sudah dibasahi darah segar. Bahkan, jubah pan-
jangnya kini terlihat compang-camping, karena kedua
tangannya tidak pernah berhenti menggaruki sekujur
tubuhnya. Dengan meninggalkan rupa tubuh yang
mengerikan, Ular Perak Jantan pun tidak lama kemu-
dian tewas setelah mengalami siksaan rasa gatal yang
tak tertahankan itu.
Ombak Laut Bandan kembali berdebur menuju
pantai. Untungnya, letak mayat Sepasang Ular Perak
cukup jauh dari tepian pantai. Sehingga, air laut tidak
dapat menjangkaunya. Kalau tidak, tubuh kedua
orang itu pasti akan terseret dan mungkin pula akan
lenyap ditelan dalamnya Laut Bandan.
***
Kokok ayam hutan terdengar bersahutan menyam-
but datangnya fajar. Perlahan kemudian, kegelapan
pun mulai terusir oleh sinar kemerahan yang kian me-
nerangi tanah. Sang matahari telah memulai tugasnya.
Pagi itu, daerah Pantai Timur Laut Bandan yang bi-
asanya selalu sepi tampak didatangi serombongan
orang. Gerak mereka rata-rata terlihat gesit dan sangat
ringan. Tampak jelas bahwa rombongan itu tidaklah
terdiri dari orang-orang kebanyakan. Singkatnya, me-
reka adalah orang-orang dari kalangan rimba persila-
tan.
“Kakang, lihat itu...!”
Sosok yang berada di sebelah kiri seorang lelaki ter-
depan berseru sambil menunjuk ke satu arah ketika
baru saja menginjakkan kakinya di Pantai Timur. Sete-
lah berkata demikian, tubuh lelaki berperawakan se-
dang itu langsung bergerak mendahului rekan-
rekannya yang lain.
“Adi Wilang, tunggu...!”
Lelaki terdepan yang tampaknya merupakan pe-
mimpin rombongan itu berseru mencegah perbuatan
kawannya yang dipanggil dengan nama Wilang.
Sayang, seruannya sedikit terlambat la pun hanya
menghela napas ketika melihat sosok Wilang telah ber-
gerak ke arah dua onggok benda yang juga telah dili-
hatnya.
Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima ta-
hun yang menjadi pemimpin rombongan itu segera me-
lesat menyusul Wilang. Sebentar saja tubuhnya telah
menjajari rekannya. Hal ini menandakan bahwa ke-
pandaian yang dimilikinya masih berada di atas ke-
pandaian Wilang. Padahal, kalau dilihat dari gerakan-
nya, Wilang saja sudah bisa dibilang cukup hebat.
Tentu saja dapat dibayangkan, sampai di mana kehebatan lelaki gagah pemimpin rombongan persilatan itu.
“Biadab...!”
Begitu tiba di dekat dua onggok tubuh yang ternya-
ta adalah dua sosok mayat itu, lelaki gagah itu terden-
gar menggeram sambil mengepalkan tinjunya kuat-
kuat. Jelas sekali kalau ia sangat marah melihat kea-
daan mayat-mayat di depannya.
“Bangsat keji...!”
Wilang pun tidak kalah marahnya melihat keadaan
kedua sosok mayat itu. Bahkan, sepasang matanya
sempat terpejam manakala melihat sosok mayat lelaki
tinggi kurus yang keadaannya benar-benar menyedih-
kan. Sehingga, seorang lelaki gagah dan terlatih baik
seperti Wilang pun harus bergerak mundur dan mem-
buang muka. Jelas bahwa lelaki bertubuh sedang ini
tidak sampai hati menyaksikan keadaan mayat berpe-
rawakan tinggi kurus itu.
“Tenanglah, Adi Wilang. Lebih baik kita urus mayat
ketua kita ini sebaik-baiknya,” hibur lelaki gagah pe-
mimpin rombongan itu sambil menepuk-nepuk pelan
bahu Wilang.
“Di mana mayat manusia keparat itu, Kakang...?
Mengapa kita tidak melihatnya di sekitar pantai ini?
Apakah mayatnya telah diseret binatang buas? Sebab,
kalau sampai bisa membunuh kedua pemimpin kita,
mustahil jika ia sendiri bisa selamat,” ujar Wilang se-
raya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan sepasang
mata mencari-cari.
Wilang kemudian bergerak meninggalkan pemimpin
rombongannya dan langsung mengelilingi sekitar pan-
tai dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sedang-
kan lelaki gagah itu hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala tanpa berusaha untuk mencegah kepergiannya.
Delapan orang lelaki gagah lainnya yang tiba belakangan di dekat kedua sosok mayat itu membelalak
sesaat bagaikan belum bisa percaya dengan apa yang
dilihatnya. Tampak sekali kalau pemandangan yang
terpampang di depan mata mereka masih belum bisa
dipercayai sepenuhnya.
“Mungkinkah ketua kita tewas di tangan Elang
Laut Utara...? Rasanya..., aku belum bisa memper-
cayainya. Pasti iblis licik itu mengundang tokoh lain
untuk membantunya. Kalau tidak, mana mungkin ia
dapat menewaskan kedua ketua kita...,” kata seorang
lelaki tinggi kurus yang berjenggot seperti kambing
dengan nada penasaran. Sepasang matanya yang men-
jorok ke dalam tampak mengawasi sekeliling dengan
sorot tajam.
“Elang Laut Utara sama sekali tidak membawa ka-
wan seorang pun, Adi Langga. Dari jejak kaki yang ter-
tinggal di atas pasir putih ini, aku kira jumlah yang
bertarung tidak lebih dari tiga orang. Mereka pasti
Elang Laut Utara dan Sepasang Ular Perak, ketua kita.
Sepertinya pertarungan berlangsung jujur. Karena itu,
sulit bagi kita untuk menyalahkan Elang Laut Utara
dalam hal ini. Tapi, tentu saja kita harus melenyapkan
tokoh sesat itu, karena keberadaannya sangat berba-
haya bagi orang banyak. Untuk itu, kita harus men-
carinya tapi bukan berdasarkan dendam atas kematian
ketua kita...,” kata lelaki gagah itu, mengingatkan re-
kan-rekannya yang lain. Hal ini diutarakannya karena
ia melihat sorot dendam terpancar jelas pada raut wa-
jah rekan-rekannya.
“Kakang Lunggara. Mana bisa iblis keji itu dibilang
jujur dalam melakukan pertarungan dengan ketua ki-
ta? Jelas-jelas ia menggunakan racun keji untuk me-
newaskan Ular Perak Jantan. Jadi, menurutku, iblis li-
cik itu memang tidak jujur. Dia harus dilenyapkan
dengan ataupun tanpa alasan yang tepat!” bantah lela-
ki berjenggot kambing yang bernama Langga itu den-
gan suara tandas. Langga kelihatan sangat menaruh
dendam terhadap Elang Laut Utara yang menyebabkan
tewasnya Sepasang Ular Perak. Dan, tampaknya tekad
lelaki tinggi kurus itu sudah tidak bisa ditawar lagi.
“Menurutku, apa yang dikatakan Langga sama se-
kali tidak salah. Sebab, tewasnya ketua kita sudah
pasti akan mengundang berbagai tanggapan dari kala-
ngan sesat. Dan, bukan mustahil kalau mereka akan
semakin berani melakukan tindakan sesat Untuk itu,
tentunya kita harus bekerja lebih keras. Apalagi, saat
ini kita sama sekali belum tahu, bagaimana keadaan
Elang Laut Utara. Syukur-syukur kalau ia pun tewas.
Tapi, kalau tidak, bagaimana...?”
Seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala sepa-
ruh botak ikut angkat bicara. Sikap dan ucapan-nya
jelas-jelas mendukung tekad Langga. Sehingga, lebih
dari separuh tokoh-tokoh yang berada di tempat itu
sama-sama menganggukkan kepala. Tentu saja hal ini
membuat Lunggara, si pemimpin rombongan, hanya
bisa mengusap dada.
Lunggara, yang sedianya ingin membantah ucapan
lelaki gemuk yang separuh kepalanya botak itu, me-
nunda niatnya ketika melihat Wilang bergerak datang
dengan wajah gelap. Jelas sudah kalau lelaki ber-
perawakan sedang itu tidak berhasil mendapatkan apa
yang dicarinya.
“Kita harus mendatangi Pulau Elang untuk me-
mastikan keadaan Elang Laut Utara. Kita harus tahu,
tokoh sesat itu masih hidup atau sudah mati. Kalau
memang masih hidup, ia harus merasakan kematian
yang paling mengerikan dan tidak pernah terbayang-
kan sebelumnya...!”
Begitu tiba di tempat rekan-rekannya berkumpul,
Wilang langsung mengutarakan dendam di hatinya.
Tentu saja ucapan itu disambut dengan teriakan-
teriakan setuju.
“Tapi, bagaimana kalau iblis keji itu juga telah te-
was...?” celetuk salah seorang di antara mereka.
Para tokoh lainnya langsung berpandangan satu
sama lain. Sebab, apabila Elang Laut Utara memang
telah tewas, sulit sekali bagi mereka untuk menen-
tukan tindakan.
“Hm..., kalau memang iblis keji itu telah tewas, ten-
tu keturunannyalah yang akan menanggung dosa per-
buatannya selama ini...!” tandas Langga.
Kata-kata yang diucapkan dengan suara berat dan
bergetar itu sempat membuat para tokoh lainnya ber-
gidik ngeri. Sebab, suara lelaki kurus itu demikian
kuat menimbulkan pengaruh.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi...? Ayo, kita segera
berangkat...”
Kesunyian yang sekejap tadi langsung pecah oleh
suara Wilang yang terdengar penuh semangat. Tanpa
banyak cakap lagi, para tokoh persilatan itu pun ber-
gegas meninggalkan Pantai Timur Laut Bandan me-
nuju perkampungan nelayan untuk mencari perahu.
Sebab, tempat kediaman Elang Laut Utara hanya da-
pat dicapai melalui jalan laut.
***
TIGA
Tanah pekuburan di ujung Desa Gemparan tampak
sunyi. Panasnya sinar matahari yang memancar terik
membuat suasana di sekitar tempat itu semakin len-
gang. Tak satu manusia pun terlihat di jalan lebar
yang membelah pemakaman itu.
Namun, dalam suasana siang yang terik dan kesu-
nyian yang mencekam itu, tampak sesosok tubuh
ramping terpekur di sisi sebuah tanah kuburan yang
masih merah. Jelas sekali kalau makam yang tengah
dihadapinya itu masih baru. Paling tidak, baru bebera-
pa jam makam itu ditimbun.
“Ibu....”
Bibir mungil yang basah kemerahan itu terdengar
menggerimit perlahan. Wajahnya yang tertunduk ter-
angguk lemah. Sedangkan jemari tangannya menabur-
kan kembang di atas tanah makam. Sesaat kemudian,
sosok yang jelas adalah seorang gadis muda itu men-
gangkat tubuhnya dan berdiri tegak.
“Doakanlah agar aku dapat bertemu dengan Ayah,
Bu. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah mem-
beritahukanmu perihal kedatangan Ayah, yang men-
didikku dengan pelajaran ilmu silat setiap kali datang.
Semua kulakukan karena janjiku kepada Ayah untuk
tidak memberitahukan kedatangannya kepada siapa
pun, termasuk juga kepada Ibu. Semoga Ibu mau me-
maafkan kesalahanku selama ini. Aku pamit untuk
mencari Ayah. Mudah-mudahan Ayah masih tetap
tinggal di tempat yang Ibu tunjukkan kepadaku....”
Usai berkata demikian, gadis yang tampak baru be-
rusia tujuh belas tahun lebih itu membalikkan tubuh-
nya, lalu berjalan lambat-lambat menyusuri tanah pekuburan. Gadis muda berwajah manis yang bernama
Surni itu kemudian mengangguk sekilas ke-pada pen-
jaga makam yang berdiri di ujung pekuburan, lalu te-
rus melangkah meninggalkan tempat itu.
“Hm..., menurut keterangan Ibu, aku harus berjalan
ke arah Selatan. Apabila sudah menemukan Laut Ban-
dan, aku tinggal mencari pantai sebelah Timurnya. Da-
ri sanalah baru aku bisa mencapai tempat tinggal Ayah
secara lebih mudah. Kalaupun sulit untuk men-cari
tempat tinggalnya, aku harus bertanya tentang seo-
rang tokoh yang berjuluk Elang Laut Utara. Begitu pe-
san Ayah pada kedatangannya yang terakhir kali. Se-
dangkan Ibu sendiri hampir tidak pernah mem-
beritahukan apa-apa perihal Ayah kepadaku....”
Setelah berpikir demikian, Surni menggunakan ilmu
lari cepatnya. Hal itu dilakukannya ketika ia sudah ti-
dak berpapasan lagi dengan seorang pun penduduk
Desa Gemparan. Sebab, para penduduk selama ini
hanya mengenalnya sebagai gadis desa yang ramah.
Tak seorang pun tahu bahwa gadis cantik yang keliha-
tan lembut itu sebenarnya menyimpan ilmu kepan-
daian yang tidak sembarangan.
Surni terus bergerak menyusuri jalan lebar yang
menuju ke arah Selatan. Tanpa terasa, beberapa jam
telah dilaluinya. Gadis itu menghentikan langkahnya
sejenak. Perjalanan yang sebenarnya bisa memakan
waktu seharian ini ternyata dapat ditempuhnya dua
kali lebih cepat. Bahkan, tanpa merasa lelah sedikit
pun, Surni langsung melanjutkan perjalanannya. Se-
bab, pikirnya, ia baru akan beristirahat apabila hari te-
lah menjadi gelap. Selama hari masih terang, gadis
muda berparas manis itu tidak akan lama-lama meng-
hentikan perjalanannya. Bayang kerinduan terhadap
ayahnya dan keingintahuannya tentang pendapat
orang tua itu mengenai kematian ibunya semakin
membuat Surni ingin segera menjumpai ayahnya, yang
selama ini secara diam-diam menjenguk dan meng-
ajarkannya ilmu-ilmu silat tingkat tinggi. Sekaranglah
Surni baru merasakan, betapa pentingnya mempelajari
ilmu silat Kalau saja ayahnya dulu tidak bersungguh-
sungguh mendidiknya, belum tentu ia akan memiliki
kepandaian setinggi sekarang. Dan, baru kini dirasa-
kan Surni hal itu.
Pengalaman kedua yang membuat gadis itu merasa-
kan betapa pentingnya memiliki ilmu silat adalah keti-
ka ia tengah melewati sebuah hutan. Di tengah perja-
lanan, pada tengah hari itu, Surni dikejutkan oleh se-
buah bentakan keras yang terdengar parau.
“Berhenti...!”
Karena telah terbiasa dengan gerak-gerak alat yang
dipelajarinya, kedua kaki Surni langsung bergerak
mundur dalam kuda-kuda siap tempur. Sepasang ma-
tanya yang bulat dan jernih berputar mengawasi seki-
tar. Rupanya, setelah melakukan perjalanan se-lama
dua malam, gadis itu menjadi agak terbiasa hidup di
alam bebas. Kecerdikan otaknya membuat apa yang
didengar dan dilihatnya dapat dipelajarinya dengan
baik. Sehingga, secara tak sadar, nalurinya telah be-
kerja dengan sempurna.
“Heh heh heh...! Hari ini benar-benar merupakan
hari keberuntungan bagiku. Siapa sangka pada tengah
hari seperti ini ada seekor kelinci yang tersasar...!”
Suara serak dan berat itu disusul oleh munculnya
sesosok tubuh jangkung terbungkus pakaian berwarna
gading. Sepasang matanya yang lebar tampak berputar
mengawasi sekujur tubuh Surni. Lagaknya persis se-
perti pedagang yang hendak menawar barang daga-
ngan.
Surni sendiri, yang belum sadar akan kedahsyatan
ilmu-ilmu yang diturunkan ayahnya, bergerak ke ka-
nan dalam sikap yang tetap siap tempur. Padahal, ka-
lau saja ia tahu siapa sebenarnya orang tua yang telah
mendidiknya berlatih ilmu silat, gadis manis itu belum
tentu akan setegang ini. Sebab, Elang Laut Utara me-
rupakan seorang tokoh sesat yang kepandaian-nya se-
jajar dengan datuk-datuk golongan hitam. Tapi, karena
Elang Laut Utara lebih sering berada di tempat kedia-
mannya di luar daratan, namanya jarang ter-dengar di
kalangan rimba persilatan. Hanya orang-orang golon-
gan ataslah yang memperhitungkan nama tokoh ge-
muk berkulit hitam itu. Sedangkan bagi tokoh-tokoh
biasa, nama Elang Laut Utara tidak begitu dikenal.
“Siapa kau, Kisanak? Apa maksud ucapanmu
itu...?”
Dengan sikap yang tetap tidak meninggalkan ke-
waspadaannya, Surni mencoba menegur lelaki Jang-
kung bermata besar itu. Sedangkan lelaki bertampang
kasar itu terlihat menertawakan sikap Surni. Sebab,
dengan memasang kuda-kuda siap tempur seperti itu,
Surni kelihatan bagai orang yang baru mempelajari
beberapa gerak ilmu silat. Hal inilah yang membuat le-
laki bermata besar itu tertawa bergelak-gelak.
Meski tawa yang jelas-jelas mengandung nada eje-
kan itu membuat wajahnya memerah, Surni tetap be-
rusaha untuk menekan rasa marahnya dan terus ber-
sikap tenang, penuh kewaspadaan. Ingatan tentang
nasihat ayahnya, yang seringkali mengatakan perihal
kelicikan dan kebusukan hati manusia, membuatnya
semakin hati-hati menghadapi laki-laki yang tampak
seperti seorang perampok tunggal ini.
“Heh heh heh.... Seharusnya akulah yang mengaju-
kan pertanyaan kepadamu, karena daerah ini merupa
kan daerah kekuasaanku. Tapi, karena kau sangat
menarik hatiku, maka biarlah aku berbaik hati dengan
menjawab pertanyaanmu itu. Aku dikenal sebagai Ma-
can Hutan Jengger. Sedangkan maksudku sudah jelas
hendak berkawan denganmu, Gadis Cantik. Mari sing-
gah di tempat kediamanku. Kau pasti akan merasa se-
nang...,” ujar lelaki jangkung itu dengan nada suara
yang terdengar demikian angkuh, seolah-olah kepan-
daian dirinya jauh berada di atas.
“Hm..., maaf. Aku tidak mempunyai banyak waktu
untuk singgah di tempatmu, Kisanak. Biarkanlah aku
lewat. Lain kali bila ada kesempatan, mungkin tawa-
ranmu bisa kupertimbangkan....”
Setelah berkata demikian, Surni melangkah menyisi
hendak melewati lelaki jangkung yang berjuluk Macan
Hutan Jengger itu.
“Haiiittt...! Hendak ke mana kau, Nlsanak? Tidak
semudah itu kau boleh pergi dari sini!”
Macan Hutan Jengger rupanya tidak bersedia mem-
berikan jalan lewat bagi Surni. Lelaki jangkung itu se-
gera melesat menghadang jalan begitu Surni ber-gerak
hendak meninggalkan tempat itu. Sehingga, gadis ma-
nis itu kembali melesat ke belakang dengan sikap se-
perti semula, siap tempur.
“Hm..., jelas sudah sekarang, apa sebenarnya mak-
sudmu menghadang jalanku! Kalau begitu, terpaksa
aku harus menggunakan kekerasan!”
Usai berkata demikian, Surni yang sudah habis ke-
sabarannya segera bergerak maju dengan langkah-
langkah ringan, tapi jelas menunjukkan kematangan-
nya berlatih. Macan Hutan Jengger pun sempat terte-
gun dibuatnya.
“Heh heh heh.... Rupanya kau memiliki kepandaian
yang lumayan. Pantas kau berani melawan kepada
ku...,” ujar Macan Hutan Jengger seraya melangkah ke
kanan guna mengimbangi gerak langkah Surni yang
bergerak ke kiri. Sikap yang diambil lelaki jangkung ini
jelas menandakan kesombongan hatinya. Kalau tidak,
tentu ia akan bergerak ke kiri dan bukan ke kanan
yang malah menyambut gerak maju lawan.
“Haaaiiittt...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Surni yang sudah tidak
bisa menahan sabar itu langsung saja melontarkan
pukulan satu dua yang mendatangkan angin berciu-
tan.
Bweeettt! Bweeettt!
Macan Hutan Jengger sempat terkejut merasakan
kuatnya angin pukulan gadis muda itu. Namun, begitu
melihat betapa Surni masih ragu-ragu dalam me-
lancarkan serangan-serangannya, sadarlah lelaki jang-
kung itu kalau gadis remaja yang dihadapinya sama
sekali belum berpengalaman menghadapi pertarungan.
Dan, tentu saja hal ini merupakan suatu keuntungan
baginya.
Dengan gerak langkah yang cukup gesit, Macan Hu-
tan Jengger menggeser tubuhnya menghindari seran-
gan satu dua yang dilontarkan Surni. Kemudian, dico-
banya melontarkan serangan balasan dengan gerak ti-
pu yang tak terduga. Sehingga, untuk beberapa jurus
lamanya, Surni kelihatan sibuk menghindari serangan-
serangan yang dilancarkan Macan Hutan Jengger. Pa-
dahal, serangan-serangan yang dilancarkan lelaki
jangkung itu tidak terlalu berbahaya. Bahkan, terka-
dang serangan itu hanya merupakan gertakan kosong.
Tapi, karena memang belum berpengalaman, Surni
sama sekali tidak mengetahuinya.
“Heaaahhh!”
Sambil membentak keras, suatu ketika Surni nekat
bermaksud menyambut sebuah kepalan lawan dengan
dorongan telapak tangan kanannya. Dan belum lagi
dorongan telapak tangan kanannya tiba, ia langsung
menyusulinya dengan sambaran tangan kiri. Tentu sa-
ja semua itu dilakukan Surni hanya karena rasa jeng-
kelnya.
Macan Hutan Jengger yang belum mengetahui ke-
hebatan gadis remaja itu tentu saja malah mengeluar-
kan dengusan mengejek. Tanpa ragu-ragu lagi, ke-
palannya terus saja meluncur ke dada lawan. Jelas
bahwa perampok tunggal ini merasa yakin bahwa gadis
itu pasti akan segera dapat dilumpuhkannya.
Plakkk!
“Aaahhh?!”
Bukan main terperanjatnya hati Macan Hutan Jeng-
ger saat pukulannya bertumbukan dengan telapak
tangan kanan gadis cantik itu. Ia semula mengira,
Surni akan terjengkang akibat pertemuan tenaga itu.
Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Pekik tertahan ju-
stru keluar dari mulut Macan Hutan Jengger, seiring
terpentalnya tubuh perampok tunggal itu sejauh dua
batang tombak lebih. Tentu saja kenyataan ini hampir
tidak dipercayainya sendiri.
Lain halnya dengan Surni. Gadis cantik putri tokoh
sesat itu menjadi bertambah percaya akan kepandaian
yang dimilikinya. Dengan pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya, tubuh gadis cantik itu pun terbang me-
lanjutkan hantaman telapak tangan kiri sebagai susu-
lan dari tangkisannya.
Whuuuttt...!
“Aaahhh...?!”
Datangnya sambaran angin berciutan itu tent saja
membuat Macan Hutan Jengger terbelalak pucat Apa-
lagi, saat tangan kiri Surni datang, ia baru saja berusaha untuk memperbaiki kedudukannya yang tadi ter-
gempur telapak tangan kanan lawannya. Akibat-nya....
Desss...!
“Huggghhh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, hantaman telapak tangan
yang mengandung kekuatan hebat itu pun telak bersa-
rang di tubuh Macan Hutan Jengger. Darah segar
langsung menyembur seiring tertolaknya tubuh jang-
kung itu ke belakang.
Bruuuggg...!
Dengan menimbulkan suara berdebuk keras, tubuh
Macan Hutan Jengger terbanting di atas tanah berum-
put kering. Lelaki jangkung itu menggeliat dengan se-
kujur tubuh terasa remuk.
“Huaaakhhh...!”
Darah segar kembali termuntah ketika lelaki jang-
kung itu mencoba bergerak bangkit Sesaat setelah tu-
buhnya menggeliat dengan rintihan tak jelas, akhir-
nya Macan Hutan Jengger diam tak bergerak-gerak la-
gi. Perampok tunggal yang selama ini malang melin-
tang menguasai sekitar wilayah Hutan Jengger harus
menerima kematian di tangan seorang gadis remaja
yang belum tahu apa-apa perihal dunia persilatan.
Dengan wajah setengah curiga, takut terpancing ke-
licikan lawan, Surni melangkah hati-hati mendekati
tubuh Macan Hutan Jengger. Gadis remaja yang belum
tahu bahwa lawannya telah tewas itu terus meman-
dang sosok lawannya dengan tatapan tajam. Sepasang
tangannya siap melontarkan pukulan dengan sekuat
tenaga.
Kening Surni mulai berkerut ketika dalam jarak dua
langkah lagi, tubuh lawannya masih tetap terlihat ti-
dak bergerak. Terdengar tarikan napas penuh ke-
legaan saat gadis itu mengamati napas lawannya yang
sudah tidak ada lagi.
“Matikah dia...?” desah Surni yang belum menge-
tahui kehebatan ilmu warisan ayahnya.
Perlahan gadis remaja itu membungkuk dan meme-
riksa tubuh lawannya secara lebih teliti. Beberapa saat
kemudian, barulah Surni bangkit dengan wajah berse-
ri.
“Ayah.... Rupanya ilmu yang kau turunkan untukku
memang sangat berguna dan hebat. Hari ini, diriku se-
lamat dari kejahatan seseorang dengan mengguna-kan
ilmu-ilmu yang kau ajarkan. Aaah..., mulai seka-rang,
aku tidak akan pernah takut lagi terhadap apa pun!”
ujar Surni sambil menengadahkan kepalanya menatap
langit yang tampak cerah.
Beberapa saat kemudian, gadis remaja itu kembali
melanjutkan perjalanannya. Kali ini sikapnya lebih te-
nang dan penuh rasa percaya diri. Semua ini disebab-
kan oleh pengalaman yang sangat berharga yang dida-
patnya hari itu.
***
Siang itu, matahari di atas Pantai Timur Laut Ban-
dan memancar garang. Sinarnya yang kuning keema-
san terasa panas bagaikan hendak membakar permu-
kaan bumi. Ditambah lagi, desiran angin laut ikut
membawa hawa panas. Sehingga, siapa pun yang be-
rada di tempat itu, sama saja seperti memanggang di-
rinya dengan sengaja.
Tapi, suasana yang demikian panas itu, bagi bebe-
rapa sosok tubuh yang tengah bergerak mendekati
Pantai Timur ternyata sama sekali tidak terasa. Sepu-
luh sosok tubuh tampak bergerak menuju ke arah laut
dengan membawa dua buah perahu yang biasa digu-
nakan nelayan untuk mencari ikan.
“Heaaahhh...!”
Begitu air laut mulai terasa menyapu kaki mereka,
kesepuluh orang lelaki gagah itu sama-sama mem-
bentak sambil melemparkan perahu yang dibawanya
ke tengah laut. Bersamaan dengan meluncurnya kedua
perahu itu, kembali terdengar bentakan susul-menyu-
sul yang dibarengi berlompatannya kesepuluh sosok
tubuh itu mengikuti perahu yang baru dilemparkan
tadi.
Hebat! Cara unik yang dipergunakan kesepuluh
orang gagah itu untuk menaiki perahu memang benar-
benar mengagumkan. Begitu kedua perahu terjatuh di
atas air laut, secara hampir bersamaan kesepuluh so-
sok tubuh itu pun sama-sama menjejakkan kakinya di
lantai perahu. Mereka terbagi dalam dua kelompok
dengan masing-masing lima orang dalam tiap perahu.
Sesaat kemudian, perahu-perahu itu terlihat mulai
bergerak mengarungi lautan luas.
“Berapa lama kira-kira kita bisa mencapai Pulau
Elang Hitam, Kakang?” ujar seorang lelaki bertubuh
gemuk, yang berambut botak pada bagian tengah ke-
palanya. Meskipun demikian, wajahnya tampak gagah
dan memancarkan wibawa yang cukup kuat. Sambil
bertanya demikian, kepalanya menoleh ke arah seo-
rang lelaki tinggi gagah yang tampaknya merupa-kan
pemimpinnya.
Lelaki tinggi gagah yang bernama Lunggara itu tidak
segera menjawab pertanyaan rekannya. Sejenak ia me-
lepaskan pandangannya ke tengah laut dengan tarikan
napas panjang.
“Hm..., mungkin menjelang sore nanti, kita bisa tiba
di Pulau Elang Hitam. Tapi, kita harus berhati-hati.
Siapa tahu Elang Laut Utara sudah menduga kedatan-
gan kita. Dan, jika benar, manusia sesat itu pasti telah
mempersiapkan sebuah penyambutan untuk kita....”
Ucapan Lunggara terdengar timbul tenggelam ka-
rena terhantam oleh kerasnya tiupan angin laut.
Meskipun demikian, karena menggunakan tenaga da-
lamnya, suara lelaki gagah itu dapat tertangkap jelas
oleh rekan-rekannya, termasuk juga deh kelima orang
yang berada dalam perahu di sebelah kiri perahu yang
ditumpangi Lunggara.
“Kalau benar demikian, berarti kita harus mencari
tempat mendarat yang tersembunyi. Dengan cara itu,
baru kita bisa menghindari jebakan-jebakan yang
mungkin saja telah dipersiapkan Elang Laut Utara...!”
usul seorang lelaki bertubuh sedang berusia sekitar
empat puluh tahun kepada Lunggara.
“Tidak, Adi Wilang,” sahut Lunggara dari perahu se-
belah, karena keduanya memang tidak berada dalam
satu perahu. “Sebab, kalau memang tokoh sesat itu te-
lah mempersiapkan penyambutan untuk kita, ia pasti
telah menjaga tempat-tempat yang menurutnya cukup
tersembunyi untuk dijadikan sebagai tempat pendara-
tan di atas pulau. Menurutku, sebaiknya kita datang
secara terang-terangan. Kurasa hal itu lebih baik. Se-
bab, Elang Laut Utara pasti tidak menduga kalau kita
berani datang secara terbuka....”
“Hm..., rasanya itu pun tidak jelek. Tapi, ada baik-
nya kita mendarat secara terpisah. Dengan begitu,
mungkin saja Elang Laut Utara dapat kita kecoh. Ba-
gaimana menurutmu, Kakang...?” usul Wilang, yang
tampaknya masih berkeras mempertahankan penda-
patnya.
“Boleh saja. Tapi ingat, jangan bertindak sendiri-
sendiri! Kita harus tetap waspada, meskipun suasana
yang akan kita temui nanti terlihat tenang dan
aman....”
Ki Lunggara menyetujui usul Wilang sambil me-
nyampaikan pesan-pesan yang diucapkannya dengan
tegas dan sejelas-jelasnya. Hal itu dilakukannya agar
apa yang disampaikan dapat diingat oleh Wilang dan
keempat kawannya yang berada di atas perahu terpi-
sah.
Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Masing-
masing dari mereka tidak lagi berkata-kata. Pandangan
mata kesepuluh orang itu kini tertuju lurus ke sebuah
gundukan daratan berwarna kehitaman, yang berben-
tuk seperti seekor elang raksasa tengah mengembang-
kan sayapnya. Itulah Pulau Elang Hitam.
***
EMPAT
“Hm..., bersiap-siaplah....”
Ki Lunggara mengeluarkan kata-kata peringatan
saat melihat Pulau Elang Hitam sudah terpampang be-
berapa belas tombak di depannya. Wilang, yang men-
dengar peringatan pemimpinnya, segera berpencar
bersalto diikuti kawan seperahunya. Mereka memisah-
kan diri dari kelompok Ki Lunggara.
“Kita berpisah, Kakang...,” ujar Wilang sebelum
memisahkan diri dan bergerak ke kanan. Rupanya le-
laki bertubuh sedang yang gerak-geriknya gesit itu te-
tap hendak melaksanakan niatnya untuk mendatangi
pulau secara sembunyi-sembunyi.
Ki Lunggara hanya menganggukkan kepalanya me-
nyahuti ucapan Wilang. Kemudian ia terus bergerak
maju mempercepat laju perahunya. Jelas maksudnya
hendak mengalihkan perhatian penghuni pulau jika
memang telah menanti kedatangannya.
Tidak lama kemudian, kelompok Ki Lunggara pun
telah mencapai daratan Pulau Elang Hitam. Ketega-
ngan kelima orang lelaki gagah itu berubah menjadi
rasa keheranan yang besar. Karena, apa yang mereka
duga ternyata meleset.
“Aneh..., mengapa sunyi sekali keadaan pulau ini?
Apakah Elang Laut Utara tidak mempunyai pengikut?
Atau jangan-jangan semua ini merupakan jebakan un-
tuk kita...?” desah seorang lelaki jangkung berjenggot
dengan sepasang mata yang berputar liar meng-awasi
sekitar tempat pendaratannya.
“Hm..., yang penting tetap siaga. Sebab, mungkin
ini merupakan jebakan agar kita lengah...,” gumam Ki
Lunggara lirih, menyahuti ucapan salah seorang re-
kannya.
Lelaki gagah itu sendiri sudah melangkah dengan
diapit dua orang rekannya. Sedangkan dua rekannya
yang lain menyeret perahu dan menyembunyikannya
di tempat yang aman. Sebab, jika perahu itu sampai
lenyap, ada kemungkinan mereka akan tinggal terus di
atas pulau itu.
“Jangan berkelompok. Usahakan di antara kita sal-
ing mengatur jarak....”
Ki Lunggara kembali mengingatkan rekan-rekannya
ketika mereka mulai menyusuri pulau. Ucapan itu
membuat yang lain segera sadar akan kedudukan me-
reka. Sebab, dalam keadaan berkelompok, mereka
akan lebih mudah diserang secara gelap. Tanpa di-
peringatkan dua kali, keempat orang tokoh persilatan
itu segera mengatur jarak masing-masing.
Ki Lunggara, yang berjalan di tengah, kian berkerut
keningnya. Sebab, meski sudah jauh ke dalam pulau,
mereka belum juga menemukan tanda-tanda yang
mencurigakan. Bahkan, sampai kelompok Ki Lunggara
bertemu dengan kelompok Wilang, tetap saja tidak ada
tanda-tanda bahaya yang menyambut kehadiran me-
reka.
“Hm..., mungkinkah Elang Laut Utara tidak menge-
tahui kedatangan kita...? Atau ia memang sengaja me-
nunggu di tempat kediamannya...?” Wilang yang mera-
sa penasaran bergumam lirih sambil melepaskan pan-
dangannya ke sebuah bangunan yang berada bebe-
rapa belas tombak di depan mereka.
“Rasanya tidak mungkin, Adi. Tapi, ada baiknya ka-
lau kita periksa bangunan itu...,” ujar Ki Lunggara,
yang segera melangkah mendekati bangunan tempat
tinggal Elang Laut Utara. Dan, serentak rekan-rekan-
nya bergerak menyebar tanpa diperintah.
Wilang dan empat orang rekannya bergerak dari
gerbang depan. Suasana bangunan itu terlihat sunyi.
Sehingga, lelaki bertubuh sedang ini mengira bahwa
bangunan itu memang telah ditinggalkan penghuni-
nya. Tapi, baru saja kelimanya bergerak mendekati
pintu utama, tiba-tiba dari sebelah dalam melangkah
keluar dua orang berpakaian serba hitam. Tanpa dapat
dicegah lagi, kedua belah pihak pun berpapasan satu
sama lain.
“Hei, siapa kalian...!”
Salah seorang dari lelaki berseragam hitam itu
membentak sambil mencabut senjata dari pinggang-
nya. Tentu saja tidak ada jalan lain bagi Wilang dan
kawan-kawannya kecuali menghadapi kedua orang le-
laki itu.
“Hm..., kami ingin berjumpa dengan majikanmu
yang berjuluk Elang Laut Utara. Cepat kau beri
tahukan majikanmu kedatangan kami...!”
Dengan nada suara tegas, Wilang langsung me-
nyampaikan maksud kedatangannya. Sebab, memang
tidak ada jalan lain baginya kecuali menjawab perta-
nyaan penghuni Pulau Elang Hitam itu.
“Keparat! Manusia-manusia lancang dari mana ka-
lian? Berani benar kalian berkata seenaknya di pulau
ini! Untuk kesalahan-kesalahan itu, kalian harus me-
nerima hukuman yang setimpal!”
Setelah berkata demikian, kedua orang lelaki ber-
seragam hitam itu melompat dengan senjata terhunus.
“Tunggu...!”
Meskipun hatinya merasa terbakar, Wilang masih
mencoba untuk menghindari pertarungan. Semua itu
bukan dikarenakan ia masih bersabar. Tapi, justru Wi-
lang ingin mengetahui kesalahan apa yang dituduh-
kan kepadanya dan rekan-rekannya.
“Hm..., apa lagi yang kalian inginkan...?”
Salah seorang yang bertubuh tinggi besar dengan
wajah terhias brewok bertanya kasar. Jelas sekali, le-
laki itu sengaja mengandalkan keseraman wajahnya
untuk membuat ciut nyali lawan. Sayang, hal itu tidak
berlaku bagi Wilang dan kawan-kawannya. Terbukti
mereka tetap tenang menghadapi pertanyaan bernada
kasar itu.
“Hm..., tidak banyak yang ingin kuketahui. Per-
tama, kesalahan apa yang telah kami perbuat, sehing-
ga harus dihukum? Kedua, kalian harus mengatakan,
apakah majikan kalian ada di pulau ini? Atau telah lari
terbirit-birit karena kedatangan kami? Nah, kurasa
pertanyaanku cukup dan pantas, bukan?” ujar Wilang
dengan nada seenaknya. Sepertinya ia sama sekali ti-
dak terpengaruh oleh lawan yang sengaja memancing
emosinya.
“Bangsat! Sudah memasuki pulau tanpa izin dan
berani minta menghadap majikan pulau dengan uca-
pan seenaknya, ternyata kalian juga berani menghina
majikan kami! Rasanya hanya kematian yang pantas
untuk orang-orang seperti kalian! Nah, terimalah...!”
Usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu lang-
sung melompat dan menerjang dengan ayunan golok
besarnya ke arah Wilang yang memang berada paling
depan.
Whyuukkk...!
“Aiiih, luput...”
Dengan gerak sembarangan, Wilang menggeser tu-
buhnya. Dihindarinya serangan golok besar lawan.
Bahkan, mulutnya masih sempat melontarkan ucapan
mengejek. Tentu saja hati lawan semakin bertambah
panas.
“Mampus kau...!”
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki tinggi
besar berwajah brewok itu kembali melontarkan seran-
gannya dengan tidak kepalang tanggung. Sekali lompat
saja, lelaki itu langsung melancarkan serangkaian ba-
cokan dan tusukan yang mematikan. Dari suara de-
singan senjata itu, dapat ditebak kalau tenaga yang di-
pergunakannya sangat berbahaya bagi keselamatan
nyawa lawan.
Tapi, Wilang sama sekali tidak menjadi gugup. Den-
gan sikap yang tetap sengaja mempermainkan lawan-
nya, lelaki bertubuh sedang itu bergerak kian kemari
dengan mempergunakan kegesitannya untuk menge-
coh lawan. Sehingga, lelaki brewok itu semakin bernaf-
su untuk segera mencincang tubuh lawannya yang
ternyata sangat gesit itu.
Sementara itu lelaki berseragam hitam yang seorang
lagi tiba-tiba mengeluarkan suitan panjang yang melengking tinggi. Jelas bahwa suitan itu merupakan
isyarat bagi kawan-kawannya yang masih berada di
dalam bangunan. Sedangkan lelaki itu sendiri lang-
sung melompat. Diterjangnya tokoh persilatan yang
terdekat dengannya.
“Heeeaaattt...!”
Bwettt..!
Golok besar lelaki tinggi kurus itu langsung ber-
desing mengancam batang leher seorang tokoh ber-
tubuh gemuk, yang bagian tengah kepalanya botak.
“Hm....”
Sambil bergumam pelan, lelaki gemuk itu langsung
merendahkan tubuhnya. Dan, dilontarkannya sera-
ngan balasan berupa tendangan kilat yang lurus men-
gancam perut lawannya.
Zzzebbb!
“Aiiihhh...?!”
Lelaki berseragam hitam, yang sama sekali tidak
menyangka kalau lawan dapat melakukan serangan
balasan secepat itu, tentu saja terperanjat. Untunglah
ia sempat menyadarinya. Tubuhnya langsung ditarik
ke belakang. Sehingga, tendangan kaki kanan lawan
tidak sampai mencapai tubuhnya. Kemudian, dengan
merendahkan badannya lelaki berseragam hitam itu
langsung menyabetkan senjatanya secara mendatar.
Sasarannya adalah kaki kiri lawan.
“Hm....”
Untuk kedua kalinya, lelaki gagah berkepala sepa-
ruh botak itu bergumam perlahan. Tubuhnya melesat
ke udara dengan sebuah lompatan panjang. Berbaren-
gan dengan gerakan itu, sepasang tangannya melaku-
kan tamparan susul-menyusul.
Plakkk! Plakkk!
“Auuughhh...!”
Tamparan yang demikian cepat dan mengejutkan
itu tak sempat lagi dihindari lawannya. Langsung saja
tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu terguling ter-
kena tamparan keras yang telak menghantam kepala-
nya.
“Heattt..!”
Lelaki gagah bertubuh gemuk itu kembali berseru
nyaring sebelum lawannya dapat berdiri tegak. Sebuah
tendangan kilat kembali dilontarkan ke dada lawan-
nya. Dan...
Buggg!
“Huaaakhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berseragam hitam
itu langsung terjungkal disertai semburan darah segar
dari mulutnya. Dengan suara keras, tubuh lelaki ber-
seragam hitam itu ambruk ke tanah. Setelah meregang
sesaat dengan rintihan parau, sosok itu pun diam un-
tuk selamanya, mati.
“Hiaaattt...!”
Lelaki gemuk berkepala separuh botak itu menoleh-
kan kepalanya saat mendengar teriakan nyaring yang
panjang dan memekakkan telinga.
Namun, gerakan sosok tubuh yang berteriak nyar-
ing tadi ternyata datang lebih cepat ketimbang gerakan
kepala lelaki gemuk itu. Sehingga, tanpa sempat di-
hindarkan lagi, sebuah tendangan telak membuat lela-
ki gemuk itu terpelanting sejauh satu setengah batang
tombak.
“Gila...!?”
Sambil memaki kalang kabut, lelaki gemuk itu sege-
ra melompat bangkit dengan sigapnya. Sepasang ma-
tanya hampir tidak percaya ketika melihat sesosok tu-
buh ramping berparas cantik menatap tajam kepa-
danya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia
hanya bisa berdiri bengong dengan bibir komat-kamit
tanpa sepatah pun ucapan keluar dari mulurnya.
“Hm..., kau harus menerima hukuman yang be-
rat...!”
Terdengar desis bernada dingin yang keluar dari se-
la-sela bibir tipis berbentuk indah itu. Dan, begitu
ucapannya selesai, tiba-tiba sebilah pedang berkilat te-
lah tergenggam di tangannya.
“Hiaaahhh...!”
Dengan dibarengi bentakan nyaring, sosok ramping
berparas cantik itu langsung melesat disertai kibasan
pedangnya.
Bweeettt!
“Aaahhh...!”
Lelaki gemuk itu baru tersadar saat ia merasakan
adanya sambaran hawa maut yang mengancam leher-
nya. Cepat-cepat ia melempar tubuhnya berguli-ngan
untuk menghindari sambaran pedang yang cepat bagai
kilat itu.
Namun, sosok ramping berparas cantik itu tidak
menghentikan serangannya sampai di situ saja. Den-
gan gerakan yang lincah dan mengagumkan, ia kemba-
li mengibaskan senjatanya dengan serangkaian seran-
gan maut. Hingga....
Breeet! Breeettt!
“Arkkkhhh...!”
Karena serangan gadis remaja berparas cantik itu
demikian gencar dan sangat cepat, akhirnya lelaki ge-
muk itu harus merelakan tubuhnya dijadikan sasaran
sambaran senjata tajam gadis itu.
“Hm.... Hanya dengan kepandaian secetek itu kau
hendak jual lagak di depanku....”
Terdengar suara dingin yang mendirikan bulu roma.
Benar-benar menyeramkan suara yang dikeluarkan bibir mungil dan indah itu. Senyum dinginnya tersirat
saat menyaksikan tubuh korbannya menggelepar ber-
gelimang darah segar.
***
“Haaattt...!”
Dua belas orang berseragam hitam, yang datang
beberapa saat setelah kemunculan gadis cantik itu, se-
gera menghambur ke arah delapan orang tokoh per-
silatan. Sehingga, mereka yang semenjak tadi tertegun
melihat kekejaman dara cantik itu segera mencabut
senjata dan melakukan perlawanan. Sebentar saja,
pertempuran kacau pun berlangsung seru.
Sementara itu, Wilang yang meladeni lelaki tinggi
besar berbrewok ternyata mendapat kenyataan yang
hampir tidak dipercayainya. Ia, yang semula mengang-
gap rendah lelaki brewok itu, kini harus bekerja keras
untuk menundukkan lawannya. Sebab, kepandaian
lawannya itu ternyata cukup tangguh.
“Heaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali
melontarkan serangan dengan gerakan-gerakan yang
aneh dan mengejutkan. Gerakannya yang terkadang
membuka dan menutup itu sempat membuat Wilang
sibuk. Padahal, lelaki bertubuh sedang itu bukan
orang sembarangan dalam kalangan persilatan. Bah-
kan, di wilayah Timur, Wilang merupakan seorang to-
koh yang pantas untuk diperhitungkan. Sebagai tokoh
keempat di wilayahnya, tentu saja kepandaian yang
dimilikinya pun tidak bisa dianggap remeh. Jadi, wajar
saja kalau Wilang merasa penasaran bukan main keti-
ka dalam tiga puluh jurus ia belum juga dapat menundukkan lawannya. Padahal, menurut dugaannya, lelaki
tinggi besar itu paling-paling hanya merupakan penja-
ga atau pembantu rendahan yang melayani segala ke-
perluan Dang Laut Utara.
Sayang, Wilang terlalu menganggap remeh lawan-
nya. Sehingga, ia tidak tampak mengeluarkan ilmu-
ilmu andalannya dalam pertarungan itu. Kesadaran-
nya baru bangkit setelah lebih dari tiga puluh jurus,
lawan masih tidak dapat ditundukkannya. Ketika me-
nyadari kenyataan itu, barulah Wilang mengeluarkan
ilmu-ilmu simpanannya untuk menggempur lawan.
“Haaattt...!”
Diiringi pekikan nyaring, Wilang merangsek maju
dengan pukulan yang berubah-ubah bentuk. Sehingga,
dalam lima jurus saja, lelaki tinggi besar berpakaian
serba hitam itu terdesak dan hanya bisa bergerak
mundur. Jangankan untuk melontarkan serangan ba-
lasan. Untuk menghindari serangan lawan saja, ia be-
nar-benar hampir tidak sanggup.
Whuuukkk...!
Tiba-tiba datang hantaman telapak tangan Wilang
yang mengincar lambung lawannya. Tentu saja lawan
yang kedudukannya memang sudah tidak tetap itu
terhuyung limbung beberapa langkah ke belakang. Ke-
sempatan itu tidak disia-siakan Wilang untuk melon-
tarkan pukulan mautnya.
“Jeaaahhh...!”
Berbarengan dengan bentakan keras, Wilang melon-
tarkan sebuah pukulan lurus ke pelipis lawan.
Whuuuttt..!
Plaaaggg...!
“Aaahhh...!?”
Wilang, yang merasa yakin akan dapat mem-
bereskan lawannya, merasa kaget bukan kepalang. Sebab, pada saat pukulannya hampir menewaskan la-
wan, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan ram-ping
yang langsung menyambut pukulannya. Akibat-nya,
Wilanglah yang terpekik kesakitan dan terdorong
mundur hingga sejarak satu setengah tombak. Tentu
saja kenyataan itu membuat Wilang terbelalak
“Gila...!?” maki Wilang sambil mencoba mengetahui,
siapa gerangan sosok yang telah membuatnya sangat
terkejut tadi. Selintas bayangan Elang Laut Utara ter-
bayang di benaknya. Karena, hanya tokoh sesat itulah
menurutnya yang dapat membuatnya gagal melan-
jutkan serangan.
Tapi, apa yang disaksikan Wilang benar-benar
membuatnya hampir tidak percaya. Sesosok tubuh
ramping berparas cantik yang pantas menjadi anaknya
tampak berdiri angkuh dengan seulas senyum dingin
menghias wajahnya. Kening Wilang semakin berkerut
ketika melihat si lelaki tinggi besar brewok mengang-
guk hormat kepada gadis remaja itu.
“Terima kasih, Nona Muda...,” ucap lelaki brewok
itu. Dan, ketika gadis remaja itu memberikan isyarat
dengan kepalanya, cepat-cepat lelaki tinggi besar itu
membaurkan dirinya ke dalam pertempuran yang ten-
gah berlangsung di dekatnya.
“Kau..., siapakah Nisanak...? Mengapa kau mem-
bela orang-orang sesat itu...?” tegur Wilang sambil me-
langkah maju untuk meneliti lebih dekat sosok ramp-
ing berwajah cantik itu.
“Hm..., seharusnya akulah yang bertanya kepada-
mu, Kisanak. Ada keperluan apa kau mendatangi tem-
pat ini? Akulah yang kini menjadi pemilik Pulau Elang
Hitam. Wajar kalau kau tidak mengetahuinya. Karena,
aku pun baru kemarin tiba di pulau ini. Ayahku yang
menjadi pemilik pulau ini belum kembali, maka aku
mewakilinya menjaga tempat ini dari tangan-tangan
jahil seperti kau dan kawan-kawanmu,” ujar gadis re-
maja berwajah cantik yang tidak lain dari Surni itu.
Rupanya gadis itu telah lebih dahulu tiba di Pulau
Elang Hitam, yang menjadi tempat kediaman ayahnya.
Kedatangan Surni ke pulau itu pun sesungguhnya
tidak diterima dengan mudah oleh para penghuninya.
Tapi, berkat kepandaian yang dimilikinya, akhirnya
para penghuni pulau itu percaya bahwa Surni adalah
putri majikan mereka. Sebab, gadis remaja itu memang
menguasai semua ilmu tinggi yang juga dimiliki Elang
Laut Utara. Bahkan, ilmu-ilmu rahasia Elang Laut
Utara pun dapat dimainkan gadis remaja berwajah
cantik itu. Semua itulah yang membuat seluruh peng-
huni Pulau Elang Hitam percaya akan keterangan
Surni. Sehingga, mereka menerima Surni sebagai wakil
dari Elang Laut Utara selama tokoh sesat itu belum
kembali.
***
LIMA
Saat itu, selagi Wilang berhadapan dengan ketu-
runan Elang Laut Utara, terdengar suara orang ber-
larian mendatangi tempat ini. Hati Wilang bertambah
lega ketika tahu kalau yang datang ternyata rom-
bongan Ki Lunggara.
Baru saja Ki Lunggara hendak mengucapkan sesua-
tu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kematian yang
susul menyusul. Laki-laki gagah itu kontan menoleh
ke arah asal jeritan-jeritan tadi. Demikian pula Wilang
dan kelima orang tokoh yang baru tiba itu. Mereka juga menoleh ke arah yang sama.
“Aaahhh...?! Apa yang terjadi terhadap mereka...?”
desah Ki Lunggara.
Wajah laki-laki gagah itu pucat saat melihat tiga
orang rekan Wilang menggelepar di atas tanah sambil
melolong mengerikan. Jelas, mereka tengah mengalami
suatu penderitaan yang mengerikan!
“Racun Ubur-Ubur Laut...!”
Wilang yang melihat ketiga rekannya tengah meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja dapat menebak pe-
nyebabnya.
“Hm.... Jadi, racun jahat itu pulalah yang telah me-
nyebabkan kematian Ketua Ular Perak Jantan...?” de-
sah Ki Lunggara, teringat akan mayat Ular Perak Jan-
tan yang sekujur kulit dan daging tubuhnya terkelu-
pas.
“Penderitaan mereka harus dihentikan...,”
Tiba-tiba saja, Wilang mendesis sambil melangkah
menghampiri ketiga rekannya yang tengah mengalami
penderitaan mengerikan. Lelaki bertubuh sedang itu
terlihat menggigit bibirnya kuat-kuat, dengan wajah
berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan.
“Adi Wilang! Apa yang hendak kau lakukan...?” te-
gur Ki Lunggara.
Dia memang curiga melihat sikap Wilang. Maka se-
gera saja dia berdiri menghadang jalan. Sehingga mau
tidak mau, Wilang harus menghentikan langkah-nya.
“Menyingkirlah, Ki. Apakah kau tega melihat pen-
deritaan rekan-rekan kita...?” tandas Wilang tanpa te-
kanan. Sedangkan sorot matanya lurus ke depan, me-
lewati bahu Ki Lunggara. Jelas, Wilang tidak ingin di-
halangi.
“Tapi....”
Ki Lunggara yang semakin sadar akan apa yang
hendak dilakukan Wilang, suaranya jadi tercekat di ke-
rongkongan. Lelaki gagah itu tidak bisa berkata-kata
lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan
untuk melenyapkan penderitaan rekan-rekan mereka,
kecuali dengan cara segera membunuh ketiga tokoh
persilatan itu. Tentu saja untuk melaksanakannya,
bukan suatu pekerjaan mudah bagi perasaan mereka.
“Arrrkkkhhh...!”
Raung kesakitan penuh kesengsaraan dari ketiga
orang tokoh itu, kembali merasuki telinga Wilang dan
Ki Lunggara. Sementara Ki Lunggara sendiri tertunduk
lesu, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedangkan
Wilang segera melanjutkan langkahnya dengan pedang
telanjang.
Dengan wajah tengadah dan sepasang mata dilu-
ruskan ke langit, Wilang berdiri tegak di hadapan keti-
ga orang rekannya. Pedang telanjang di tangannya
tampak bergetar keras. Jelas, lelaki itu tengah ber-
juang keras mengalahkan perasaannya. Perlahan-
lahan, pedang berkilat itu terangkat. Dan....
Whukkk!
Jrasss! Crasss! Cappp!
“Aaarggghhh...!”
Terdengar lengking kematian yang memilukan sal-
ing susul. Darah segar kontan berhamburan mem-
basahi tanah. Seiring tetesan darah yang jatuh satu
persatu dari badan pedang di tangan Wilang, ketiga so-
sok tubuh yang tengah sekarat itu pun ambruk hampir
bebarengan. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam un-
tuk selamanya. Mati.
“Ooohhh...!”
Empat orang rekan Ki Lunggara, termasuk Langga,
sama-sama memalingkan wajah. Mereka seperti ikut
larut dalam kepedihan hati Wilang yang terpaksa ha
rus membunuh ketiga rekannya demi menolong dari
penderitaan.
“Biadab...! Kucincang tubuh kalian semua, manusia
keji...”
Kemarahan dan kesedihan yang meledak-ledak da-
lam dada Wilang, ditumpahkannya kepada delapan
orang lelaki berpakaian hitam yang telah menebarkan
racun-racun keji kepada ketiga rekannya. Empat sosok
mayat lawan tidak dipedulikannya lagi. Yang terlintas
dalam pikirannya saat itu hanyalah membunuh lawan
sebanyak-banyaknya untuk menebus nyawa ketiga re-
kannya.
“Hm....”
Amukan Wilang seketika membuat delapan orang
sisa pengikut Elang Laut Utara kalang kabut. Dan hal
ini juga membuat Surni menatapnya dengan kilatan
mata tajam. Sesaat kemudian, tubuh rampingnya telah
melesat ke arena pertempuran.
“Hiaaahhh...!”
Begitu tiba, Surni langsung melontarkan serang-
kaian pukulan maut dari jurus ‘Elang Sakti’ warisan
ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Wilang kelaba-
kan! Apalagi, tenaga yang mengiringi sambaran cakar
elang gadis remaja itu demikian kuat dan menge-
jutkan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Wilang
hanya bermain mundur saja.
Ki Lunggara melihat betapa Wilang terdesak hebat
oleh gempuran seorang gadis remaja, maka tentu saja
dia menjadi terkejut bukan main. Sadar kalau rekan-
nya tidak segera ditolong bisa celaka. Sehingga, lang-
sung saja Ki Lunggara melesat ke arena pertempuran,
seraya melontarkan serangan-serangan cepat untuk
membendung serangan gadis remaja itu.
Plakkk! Plakkk!
“Aaahhh...?!”
Dua kali tamparan Ki Lunggara yang dilontarkan
lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, bertumbukan
dengan serangan Surni. Seketika terdengar ledakan
yang cukup keras! Tapi hal itu justru membuat Ki
Lunggara memekik kaget, ketika telapak tangannya te-
rasa panas. Bahkan kuda-kudanya pun ikut pula ter-
gempur!
“Gila...?! Siapa sebenarnya gadis muda itu...? Ke-
pandaiannya hebat sekali. Rasanya sangat sulit untuk
menundukkannya dalam waktu singkat...,” desah Ki
Lunggara sambil menatap tajam wajah dara remaja
cantik itu.
Ia benar-benar kagum. Dalam usianya yang masih
sangat muda, gadis itu telah berhasil menghimpun ke-
kuatan tenaga sakti yang mungkin tidak di bawah te-
naga dalamnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari
padanya.
Namun, Ki Lunggara tidak dapat berpikir lebih lama
lagi. Masalahnya, Wilang yang masih terus digempur
Surni segera berseru mengingatkan rekannya. Dia
memang sempat mendengar gumaman yang keluar da-
ri mulut Ki Lunggara.
“Jangan heran, Ki. Gadis itu putri Elang Laut Uta-
ra...!” seru Wilang yang saat itu tengah bergerak ke
kanan mendekati Ki Lunggara. Maksudnya tentu saja
dapat ditebak. Wilang ingin mengajak Ki Lunggara un-
tuk menggempur Surni.
“Hm.... Pantas, kepandaiannya demikian tinggi. Ki-
ranya ia pewaris Elang Laut Utara. Tidak heran...,” de-
sis Ki Lunggara yang segera saja mencabut pedang-
nya, setelah mengetahui siapa adanya gadis remaja itu.
“Kalau begitu, gadis itupun harus dilenyapkan. Biar-
lah, dia yang memikul semua dosa yang telah dilakukan Ayahnya....”
Usai berkata demikian, Ki Lunggara segera melesat
menggempur Surni. Sementara pada saat itu, Wilang
yang benar-benar sudah kehabisan akal dalam meng-
hadapi gempuran lawan, terpaksa bertindak nekat.
Sadar kalau untuk dapat mengalahkannya adalah sua-
tu hal yang mustahil, maka Wilang kali ini tidak beru-
saha menghindari serangan Surni. Senjatanya segera
diputar, membentuk gulungan sinar yang membenten-
gi sekujur tubuhnya. Kemudian, dicobanya untuk ber-
tahan dengan benteng sinar pedang itu.
Sayangnya, Surni tidak kehilangan akal. Pengala-
man yang didapatnya selama perjalanan maupun di
dalam Pulau Elang Hitam, membuatnya mulai bisa
menilai keadaan. Maka ketika melihat tindak upaya
Wilang, gadis remaja itupun segera mencecar dengan
pukulan-pukulan jarak jauh.
Whuuuk...! Deeebbb! Deeebbb! “Akkkhhh...!”
Karuan saja Wilang yang kekuatan tenaga dalam-
nya memang kalah jauh langsung terjengkang ketika
pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Surni
membentur benteng sinar pedangnya. Dan kalau saja
Ki Lunggara tidak segera menolongnya, mungkin tu-
buhnya akan terbanting di atas tanah.
“Terima kasih, Ki...,” ucap Wilang.
Napas laki-laki bertubuh sedang itu tampak mem-
buru dan wajahnya agak pucat. Bahkan pada sela-sela
bibirnya tampak ada cairan merah meleleh. Jelas, Wi-
lang menderita luka akibat pukulan-pukulan yang di-
lontarkan Surni tadi.
“Aaakkkhhh...!”
Jerit kematian dari arena pertempuran yang berada
beberapa tombak di belakang membuat terkejut Wilang
dan Ki Lunggara. Cepat mereka menoleh, memastikan
jerit kematian tadi. Dan untuk kesekian kalinya, kedua
orang lelaki gagah itu kembali dilanda rasa geram serta
penasaran! Dan ternyata, empat orang rekan mereka
terlihat menggelepar terkena ‘Racun Ubur-Ubur Laut’.
“Bedebah...!”
Hampir berbarengan, Ki Lunggara dan Wilang men-
desis geram. Namun pada saat hendak melompat ke
arah keempat rekan mereka, gadis remaja ber-
kepandaian tinggi itu sudah bergerak lebih dulu dan
berdiri menghadang jalan.
“Biarkan mereka dengan kesenangannya sendiri.
Urusan kita di sini belum selesai...,” ujar Surni dengan
tatapan mata sedingin es. Sehingga, kedua orang tokoh
persilatan itu menjadi jengkel.
“Keparat kau, Iblis cilik! Kau benar-benar menuruni
sifat jahat Ayahmu. Seharusnya kau memang di-
lenyapkan agar tidak membuat keresahan di kemudian
hari...!”
Sambil berkata demikian, Ki Lunggara memutar pe-
dangnya sekuat tenaga. Melihat dari sikapnya, jelas
kalau orang tua itu siap bertarung mati-matian!
“Wilang...,” sebelum menerjang Surni, Ki Lunggara
mendekat dan berbisik kepada rekannya dengan tata-
pan tetap lurus ke wajah Surni, sehingga tidak me-
nimbulkan kecurigaan. “Jika aku sudah mulai berge-
rak menerjang iblis cilik itu, tinggalkanlah pulau cela-
ka ini. Kalau tidak, kawan-kawan kita di daratan sana
nanti bakal celaka, apabila gadis itu sampai mening-
galkan tempat ini. Jangan bantah ucapanku! Semua
ini kulakukan demi kita semua...!”
Wilang hanya terpaku pucat mendengar permintaan
Ki Lunggara. Namun karena disadari ada kebenaran
pada ucapan lelaki gagah itu, maka Wilang tidak
membantah. Dan ketika Ki Lunggara melesat ke arah
Surni dengan pekikan keras, Wilang pun ikut melesat
meninggalkan pulau itu.
“Yiaaahhh...!”
Bweeettt! Swinggg!
Ki Lunggara menerjang dengan serangkaian sam-
baran pedangnya, untuk mengalihkan perhatian Surni
dari Wilang. Usahanya memang tidak sia-sia. Untuk
beberapa saat lamanya, Surni mau tidak mau memang
harus menghadapi sambaran pedang lawan yang se-
perti hendak merencah dirinya.
Surni benar-benar telah jauh berubah dalam bebe-
rapa hari ini. Gadis remaja itu tidak lagi merasa kha-
watir, meskipun kilatan pedang lawan seperti mengu-
rungnya. Keyakinan terhadap ilmu-ilmu warisan orang
tuanya, membuatnya tidak gugup walau menghadapi
serangan sehebat apapun.
Begitupun dalam menghadapi gempuran Ki Lung-
gara. Dengan menggunakan geseran-geseran ringan,
gadis remaja itu selalu saja berhasil menghindari sam-
baran pedang lawan. Bahkan setelah beberapa jurus,
sudah bisa melontarkan serangan sesekali. Malah, se-
rangannya terus semakin dipergencar. Sehingga, kini
Ki Lunggara lah yang menjadi kewalahan.
“Heeeaaahhh...!”
Pada suatu kesempatan, Surni tiba-tiba menge-
luarkan bentakan keras! Dan berbarengan dengan itu,
tangan kanannya terulur melepaskan sebuah pukulan
maut! Ki Lunggara yang memang sudah tidak bisa
mempertahankan dirinya lagi, tak sempat lagi meng-
hindari. Dan....
Beggg!
“Huakhhh...!”
Tanpa ampun lagi, kepalan mungil itu telah meng-
hajar dada Ki Lunggara! Tubuh lelaki gagah itu terjengkang ke belakang disertai semburan darah segar
dari mulutnya! Kemudian, tubuhnya terhuyung lim-
bung hingga satu setengah tombak lebih jauhnya.
Surni sendiri tidak mau bertindak kepalang tang-
gung. Saat itu juga, tubuhnya melesat melepaskan se-
buah tendangan terbang!
“Yeaaa...!”
Deeesss...!
Ki Lunggara menjerit ngeri! Tubuhnya kontan ter-
pental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang
tak tampak, kemudian terus melaju membentur dind-
ing karang. Tanpa ampun lagi, remuklah tubuh lelaki
gagah yang malang itu. Ki Lunggara tewas dengan tu-
buh hampir hancur!
“Hm...,” Surni hanya bergumam sambil meng: ulas
senyum iblis.
Sejenak ia menoleh ke arah pembantu-pembantu
ayahnya yang telah tidak tampak lagi, karena tengah
melakukan pengejaran terhadap Wilang. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, Surni bergerak meninggalkan
tempat itu.
***
Lelaki berperawakan sedang itu dan berusia sekitar
empat puluh tahun, mendayung perahunya sekuat te-
naga. Sehingga, perahu yang ditumpanginya melaju
cepat membelah air laut. Siapa lagi lelaki itu kalau bu-
kan Wilang yang melarikan diri ke daratan.
Beberapa belas tombak di belakang Wilang, tampak-
lah dua buah perahu lain yang masing-masing ditum-
pangi empat orang lelaki berseragam hitam. Melihat
adanya lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin orang-orang itu, jelaslah sudah kalau mereka
adalah orang-orang Pulau Elang Hitam. Me-reka me-
mang tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang.
Wilang sendiri terus mengayuh perahunya mati-
matian. Untunglah tenaga dalamnya kuat, sehingga ja-
raknya semakin bertambah jauh dari para penge-
jarnya. Sayangnya, Wilang hanya seorang manusia bi-
asa yang mempunyai keterbatasan. Sehingga pada saat
tenaganya mulai melemah, jarak di antara mereka pun
bertambah dekat. Apalagi, para pengejarnya berjumlah
banyak dan mendayung secara berganti-ganti.
Sadar kalau jaraknya semakin bertambah dekat,
maka Wilang mengempos semangatnya. Kembali pera-
hunya didayung mati-matian. Begitu tiba di daratan, ia
langsung melompat dan berlari dengan langkah ter-
huyung-huyung.
“Kejar...! Bunuh orang itu...!”
Lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin
pengejaran itu langsung saja melompat ke air. Meski-
pun perahunya masih beberapa tombak lagi dari pan-
tai, sama sekali tidak dipedulikannya. Sehingga, ka-
wan-kawannya pun ikut berlompatan dan mengejar
Wilang.
Sambil berteriak-teriak ribut untuk melemaskan
semangat lawan, lelaki brewok itu memimpin kawan-
kawannya mengejar Wilang. Sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka hanya
tinggal tiga tombak lagi.
“Heeeaaa...!”
Ketika jaraknya semakin bertambah dekat, lelaki
brewok itu tiba-tiba berteriak sambil melemparkan pi-
sau-pisau terbang untuk menewaskan buruannya!
Ziiing! Ziiinggg!
Suara berdesing tajam merobek udara, seketika
membuat Wilang sadar kalau dirinya berada dalam an-
caman maut! Maka, meskipun tubuhnya sangat lemah,
dia berusaha menghindar dengan melompat ke bela-
kang!
Cappp!
“Aaakhhh...!”
Wilang menjerit kesakitan ketika kaki kanannya ter-
tancap sebilah pisau terbang lawan. Gerakannya yang
jelas telah jauh berkurang, membuatnya tidak sanggup
lagi menyelamatkan diri dari salah sebuah pisau yang
dilepaskan lelaki brewok itu. Akibatnya, begitu turun,
Wilang langsung terjatuh menimbulkan suara berde-
buk keras.
“Hua ha ha...!” lelaki brewok itu tertawa terbahak-
bahak melihat Wilang sudah hampir tidak berdaya.
Langsung saja Wilang itu jadi terkurung oleh dia dan
rekan-rekannya.
“Bangsat keji...!”
Meski telah terkepung dan tidak mungkin dapat se-
lamat, Wilang sama sekali tidak gentar. Dengan sorot
mata tajam berkilat, bibirnya mendesis memaki lawan-
lawannya. Sehingga, lelaki brewok itu jadi sempat be-
rang.
“Setan! Kau memang perlu diberi sedikit pelaja-
ran...!”
Sambil menggeram marah, lelaki brewok itu men-
gayunkan kakinya langsung dihantamnya tubuh Wi-
lang yang terlihat hendak bangkit!
Buuukkk!
“Uuuggghhh...!”
Wilang memekik dengan tubuh sedikit terangkat
akibat kerasnya tendangan lawan. Darah segar segera
mengucur dari sudut bibirnya. Juga, terdengar era-
ngan lirih dari mulurnya. Kini Wilang sibuk memijat
kaki dan lambungnya yang sama-sama terasa sakit.
“Hm.... Bangkitlah, orang gagah! Apakah golongan
pendekar memang terdiri dari orang-orang ce-
ngeng...?”ejek lelaki brewok itu dengan kata-kata tajam
dan menyakitkan.
Sehingga, meskipun saat itu Wilang merasakan se-
kujur tubuhnya sakit-sakit, ia berusaha bangkit. Ingin
ditunjukkannya kalau golongan putih bukanlah orang-
orang cengeng dan lemah seperti yang dikatakan lelaki
brewok itu.
“Bagus...,” puji lelaki brewok itu dengan senyum
sangat menyakitkan.
Ia bergerak maju dua tindak, kemudian siap meng-
ayunkan pukulan ke wajah Wilang yang berdiri tidak
tetap, karena kedua kakinya memang dirasakan bagai-
kan tidak memiliki tulang lagi.
“Tahan...! Menyiksa seorang lawan yang sudah ti-
dak berdaya, bukanlah suatu perbuatan terpuji....”
Tiba-tiba saja, saat pukulan lelaki brewok itu siap
menghajar wajah Wilang, terdengar teguran halus na-
mun mengandung perbawa amat kuat. Maka, baik Wi-
lang maupun lawan-lawannya sama-sama menoleh ke
arah datangnya suara teguran tadi.
***
ENAM
Wilang dan kedelapan orang lelaki berseragam hi-
tam itu sama-sama menatap heran. Dari arah asal su-
ara, muncullah seorang pemuda tampan yang memi-
liki senyum penuh kesabaran. Sepasang matanya yang
bulat, tampak memancarkan sinar berkilat. Sehingga,
membuat orang bergetar apabila bertatapan dengan-
nya. Penampilannya terlihat demikian sederhana. Ju-
bahnya berwarna putih, melekat di tubuhnya. Perawa-
kannya pun tidak terlalu kekar, namun terlihat padat
Bahkan seperti menyembunyikan kekuatan meng-
getarkan. Dan karena penampilannya terkesan ramah
dan lembut, maka pandangan kesembilan orang lelaki
itupun terlihat sedikit melecehkan.
Tetapi begitu melihat sosok lain yang berada di se-
belah kanan pemuda tampan itu, maka tatapan men-
gejek mereka berubah seketika! Bahkan sama-sama
membelalakkan mata!
“Siapa..., kalian...?” tegur lelaki brewok itu begitu
dapat menguasai keterpanaannya terhadap dara jelita
berpakaian serba hijau.
“Hm.... Kami berdua adalah perantau yang kebetu-
lan lewat di tempat ini. Dan karena kalian telah men-
ganiaya orang tak berdaya, tentu saja kami tidak bisa
berdiam diri. Itu sama saja tindakan tak berperi-
kemanusiaan, maka harap sobat sudi melepaskan le-
laki itu...,” jawab pemuda tampan berjubah putih itu,
ringan dan tenang. Sehingga, si brewok dan kawan-
kawannya saling bertukar pandangan penuh kehera-
nan.
“Hm...,” gumam lelaki brewok sambil menatap wa-
jah sepasang anak muda itu.
Jelas, ia tengah menilai pasangan itu. Apalagi, ke-
tika matanya kembali melahap wajah dara jelita ber-
pakaian hijau. Maka, hatinya pun semakin kuat men-
duga kalau mereka pasti bukan orang sembarangan.
Sebab bukan mustahil pemuda itu akan aman dengan
gadis cantik di sampingnya dalam perantauannya. Dan
tentu telah banyak penjahat yang telah ditaklukkan-
nya, karena berani mengganggu gadis di sampingnya.
Mendadak saja, lelaki brewok itu menotok lumpuh
tubuh Wilang. Kemudian, diberikannya isyarat terha-
dap ketujuh orang kawannya untuk mengurung pasa-
ngan anak muda itu. Rupanya, nafsu birahi lelaki bre-
wok itu sudah bergejolak melihat gadis jelita di depan-
nya. Pikiran untuk memiliki, membuatnya segera saja
melumpuhkan Wilang. Kemudian, dia ikut ber-gerak
mengepung pasangan muda itu.
“Hm....”
Pemuda tampan berjubah putih itu terlihat hanya
tersenyum menyaksikan tingkah calon lawan-lawan-
nya. Melihat dari cara mereka memandang yang ter-
tuju ke arahnya, mengertilah pemuda itu kalau mereka
ingin merebut gadis cantik di sampingnya. Itulah yang
membuatnya tersenyum.
“Kakang, serahkan mereka padaku...,” ujar gadis
berpakaian hijau di samping pemuda itu.
“Hm.... Menyingkirlah, Kenanga. Untuk kali ini, biar
aku yang akan memberi pelajaran...,” jawab pemuda
tampan berjubah putih itu dengan suara lembut Nada
suaranya jelas menyembunyikan ketegasan yang tidak
bisa dibantah. Sehingga, dara jelita yang dipanggil Ke-
nanga itu bergerak menyingkir. Dan sudah pasti, pe-
muda tampan itu adalah Panji, yang berjuluk Pen-
dekar Naga Putih.
“Heeeaaa...!”
Baru saja dara jelita itu bergerak mundur, salah
seorang dari pengepungnya telah berseru untuk me-
mulai serangan. Tubuhnya meluncur ke depan, den-
gan tusukan pedang yang mengancam tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak be-
rusaha bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya
hanya meliuk sedikit, ketika ujung pedang lawan da-
tang mengancam. Dan begitu lewat satu jari di sisi tubuhnya, tangan Panji langsung saja mencekal per-
gelangan yang memegang pedang!
Clappp!
“Uuuhhh...!”
Gerakan Panji yang memang demikian cepat, mem-
buat lawan tidak sempat lagi melihat Lelaki berse-
ragam hitam itu tentu saja kaget bukan main, ketika
tahu-tahu pergelangan tangannya telah tercekal lawan.
Dan sebelum sempat disadari, tahu-tahu saja tubuh-
nya terasa seperti terbang ke atas sebuah pohon.
Gusraaakkk!
“Tolooong...!”
Lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak minta
tolong, ketika tubuhnya tersangkut di salah satu ran-
ting pohon.
“Keparat...!”
Lelaki brewok yang bertubuh tinggi besar itu meng-
geram marah melihat kawannya diperlakukan demi-
kian. Dengan teriakan nyaring, tubuhnya lang-sung
melesat diiringi sambaran pedangnya. Serangan-nya
diikuti pula oleh keenam kawannya yang lain.
“Yeaaahhh...!”
Beeettt! Beeet! Beeet!
Ketujuh batang pedang lelaki berseragam hitam itu
menyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun dengan ringannya, tubuh Panji bergerak kian
kemari di antara sambaran sinar pedang pengeroyok-
nya. Sehingga, tak satu pun senjata lawan yang mam-
pu melukai tubuhnya. Bahkan untuk menyentuh ju-
bahnya pun tidak mampu. Tentu saja, kenyataan itu
membuat para pengeroyoknya menjadi semakin pena-
saran.
Namun, Pendekar Naga Putih tidak mau berlama-
lama dalam menghadapi mereka. Ketika merasa telah
cukup, mulai dilepaskannya tamparan-tamparan ke
arah para pengeroyok. Karuan saja, keadaan langsung
berubah. Bahkan para pengeroyok itu semakin ber-
tambah terkejut!
Tanpa dapat dicegah lagi, satu persatu para penge-
royok mulai berjatuhan. Dan dalam waktu singkat,
hanya tinggal lelaki brewok itu yang masih bertahan.
Itupun nampak sudah tidak mungkin bertahan lama.
Buktinya, kini tamparan yang dilontarkan Panji sangat
sulit dihindari. Hingga, akhirnya....
Whuuut... Plakkk!
“Aaakkkhhh...!”
Tamparan yang cukup keras dan cepat, telah
menghantam sisi kepala lelaki brewok itu. Tanpa am-
pun lagi, tubuhnya yang tinggi besar berputar bagai-
kan gangsing. Dan tidak lama kemudian, dia ambruk
ke tanah. Kepala laki-laki itu kontan terasa pusing,
dan perut terasa mual.
“Hm.... Pergilah!. Aku tidak punya urusan pribadi
dengan kalian, dan kuharap jangan mengulangi per-
buatan-perbuatan jahat seperti ini lagi...,” ujar Pen-
dekar Naga Putih dingin dan menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah meng-
hampiri Wilang yang kali ini menatap penuh kekagu-
man.
Namun, si brewok rupanya masih belum menerima
kekalahannya. Dengan gerak perlahan, lelaki tinggi be-
sar itu bangkit berdiri. Dengan licik, tubuhnya me-
lesat sambil mengayunkan senjatanya ke leher pemuda
itu, hendak membokong lawannya.
“Kakang awaaas...!”
Kenanga yang sempat melihat perbuatan lelaki bre-
wok itu, hanya bisa memperingatkan kekasihnya. Si-
kapnya hanyalah merupakan kekhawatiran seorang
wanita terhadap keselamatan pemuda yang disayangi-
nya. Meskipun, hal itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi,
buat Pendekar Naga Putih yang kepandaiannya sudah
sangat tinggi.
Suara desingan pedang jelas tertangkap oleh telinga
Pendekar Naga Putih. Jangankan, suara sambaran pe-
dang yang sekeras itu. Bahkan yang sepuluh kali lebih
halus pun masih dapat tertangkap oleh indra penden-
garannya!
Beeeuuuttt!
Panji menundukkan kepala sambil memasang ku-
da-kuda rendah. Hatinya sempat merasa geram meli-
hat kelicikan lawannya. Maka begitu mata pedang le-
wat, cepat dia berbalik dan langsung menggedor dada
lawan dengan telapak tangan terbuka!
Blaaaggg...!
“Hukhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu langsung
saja tersentak deras ke belakang. Darah segar kontan
menyembur keluar dari mulutnya. Kemudian, tubuh si
brewok jatuh berdebuk nyaring, dan tak bergerak-
gerak lagi. Tampaknya dia telah tewas akibat hanta-
man telapak tangan Panji tadi.
Melihat pimpinannya tewas hanya sekali pukul, tu-
juh orang berseragam hitam lainnya sama-sama ter-
belalak dengan wajah pucat! Kemudian, berlangsung-
lah peristiwa yang sama sekali tidak diduga Pendekar
Naga Putih!
“Heaaahhh...!”
Orang pertama yang mengambil senjata dari atas
tanah, membentak keras. Kemudian, dia menggorok
lehernya sendiri. Darah segar kontan memancur deras
dari sayatan mata pedang. Setelah menggelepar sesaat,
orang itu pun ambruk dengan napas putus!
Kematian orang yang menggorok urat nadi di leher-
nya sendiri, masih disusul enam orang lainnya. Mereka
seperti telah sepakat membunuh diri, setelah melihat
kematian pemimpinnya.
Tentu saja kejadian itu membuat Panji terkejut, dan
tidak mampu mencegah. Selain jarak terpisah cukup
jauh, orang-orang berseragam hitam itu memang telah
meletakkan mata pedang di kulit lehernya.
“Hm,... Bagus, mereka telah mengambil keputusan
sendiri...,” terdengar gumaman Kenanga yang mem-
buat Panji tersentak dari lamunan. Terdengar helaan
napas berat Pendekar Naga Putih ketika melanjutkan
langkahnya menghampiri Wilang.
***
Panji segera memeriksa luka di kaki kanan Wilang,
setelah membebaskan totokannya. Kemudian, ditabur-
kannya obat bubuk pada luka yang terkena pisau ter-
bang tadi. Sedangkan untuk luka-luka memar akibat
siksaan lawan, Panji memberikan sebuah obat pulung
berwarna putih.
“Terima kasih, Kisanak. Entah apa jadinya kalau
saja kau tidak keburu datang menolong. Mudah-
mudahan, di satu hari kelak aku bisa melunasi hutang
budi ini...,” ucap Wilang sambil membungkukkan tu-
buhnya dalam-dalam.
Lelaki itu diam-diam kagum terhadap kemanjuran
obat yang diberikan Panji. Hanya saja, Wilang sama
sekali tidak mengucapkannya. Hanya gerak dan wajah-
nya saja yang jelas-jelas mencerminkan kalau keseha-
tannya sudah mulai pulih.
“Tidak perlu merasa berhutang budi, Kisanak. Aku
sendiri hanya kebetulan lewat. Jadi, rasanya tidak per-
lu membalasnya...,” tukas Pendekar Naga Putih mem-
balas hormat sambil tersenyum. Dan justru, sikap itu
semakin menimbulkan rasa hormat di hati Wilang. Dia
sampai bingung, harus berkata apa. Hanya pancaran
wajahnya saja yang mencerminkan rasa hormat-nya.
“Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah
terjadi...?” tanya Panji.
Semenjak tadi, Pendekar Naga Putih memang me-
rasa penasaran setelah menyaksikan orang-orang ber-
seragam hitam itu melakukan bunuh diri secara bertu-
rut-turut. Maka ingin diketahuinya latar belakang ke-
jadian yang sebenarnya.
Wilang tentu saja tidak berkeberatan untuk men-
ceritakan kejadian yang dialaminya. Namun, sebelum
lelaki itu sempat bercerita, tiba-tiba terdengar lengki-
ngan panjang yang mengandung kemarahan. Serentak,
Panji, Wilang, dan Kenanga sama-sama menolehkan
kepala memandang ke satu arah.
“Kurang ajar...! Siapa yang telah berani mati mem-
bantai murid-murid Ayahku? Hayo, jawab?! Kalau ti-
dak, nyawa kalian bertiga yang akan menjadi ganti-
nya...!” bentak seorang gadis berparas cantik dan ma-
nis. Sepasang matanya yang bulat, menyorot tajam ke
arah tiga wajah di depannya. Terlihat api kebencian
terpancar di sepasang matanya.
Kenanga yang merasa tertantang oleh kata-kata ka-
sar gadis remaja itu, langsung saja bergerak bangkit.
Bahkan dengan sorot mata tidak kalah tajam dan me-
nakutkan. Dihadapinya dara remaja itu sambil berka-
cak pinggang.
“Hei, nenek-nenek bawel! Mengapa berteriak-teriak
tanpa sebab di tempat ini? Apakah kehilangan sirih?”
tanya Kenanga. Melihat dari ucapannya jelas-jelas Kenanga merasa jengkel terhadap dara yang begitu da-
tang langsung marah-marah.
Lain halnya Wilang. Ternyata, nyalinya langsung
ciut begitu mengenali dara remaja itu. Perlahan dia be-
ringsut mundur menjauhi gadis yang ternyata putri
Elang Laut Utara. Dan rupanya, gadis itu telah tiba
pula di tempat ini. Bagi Wilang yang kenal tentu saja
tidak aneh melihat gadis itu begitu datang langsung
marah-marah. Tentu saja, gadis remaja itu pasti me-
nyangka kalau murid-murid ayahnya telah dibunuh
mereka. Sehingga, Wilang yang sudah merasakan ke-
hebatan gadis remaja itu berniat hendak menghindar.
Paling tidak, agar tidak sampai terkena amarah gadis
remaja yang berkepandaian tinggi itu.
Pendekar Naga Putih sendiri langsung sudah bisa
menduga hubungan antara gadis remaja itu dengan
orang-orang berseragam hitam yang telah bunuh diri.
Tentu saja semua itu diketahui dari ucapan-ucapan-
nya yang baru saja dilontarkan tadi. Maka, Pendekar
Naga Putih segera saja bangkit agar tidak terjadi per-
tumpahan darah di antara kedua orang gadis itu.
Sedangkan putri Elang Laut Utara yang bernama
Surni tentu saja semakin mengkelap marah dimaki-
maki seperti itu. Dengan bergetar, jari telunjuknya di-
tudingkan ke wajah Kenanga.
“Setan! Siapa kau?! Apakah kau yang telah mem-
bela keparat busuk itu dan membantai murid-murid
Ayahku? Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab
atas nyawa mereka...!” dengus Surni sambil menoleh
ke arah Wilang yang makin ciut nyalinya.
Sebenarnya rasa takut yang dialami Wilang, bukan
karena takut. Justru rasa khawatir akan keselamatan
kawan-kawannyalah, yang membuatnya jadi takut.
“Nisanak! Bersabarlah sedikit...,” Panji segera saja
menimpali ketika melihat gadis remaja itu sudah siap
menyerang Kenanga. “Harap kau ketahui, kematian
orang-orangmu itu sebenarnya karena mereka telah
bunuh diri. Semua itu dapat dilihat dari senjata-
senjata yang bergeletakan di dekat mayat mereka.”
Surni menoleh ke arah Panji, menatap penuh seli-
dik. Kilatan kekaguman terlihat, meskipun hanya seki-
las memancar di mata gadis remaja itu. Kemudian,
terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah mayat mu-
rid-murid ayahnya.
“Alasan! Pasti kau ingin membela kekasihmu yang
cantik jelita ini, bukan? Pantas saja! Apalagi, tam-
paknya kekasihmu itu cukup cantik dan genit,” dengus
Surni.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Surni merasa panas
hatinya melihat pemuda tampan berjubah putih itu
berdiri di pihak lawan. Sehingga tanpa dapat dicegah
lagi, ucapan-ucapannya keluar begitu saja. Padahal,
jelas kata-katanya mengungkapkan apa yang terkan-
dung dalam hatinya saat itu. Dan, Kenanga yang lang-
sung dapat menangkap maksudnya jadi tersenyum si-
nis.
“Hm..., tentu saja akulah yang akan dibelanya. Apa
kau cemburu? Sayang sekali. Carilah laki-laki lain agar
kelak ada orang yang membelamu....”
Tanpa peduli perasaan Surni, Kenanga langsung sa-
ja memojokkannya dengan ucapan yang tajam dan te-
pat. Akibatnya, wajah Surni memerah karena rahasia
hatinya dapat diketahui gadis jelita berpakaian hijau
itu.
“Keparat! Apa kau kira aku naksir dengan kekasih-
mu?! Huh! Mulutmu jahat sekali, dan perlu diberi pela-
jaran!”
Setelah berkata demikian, Surni segera saja melesat menerjang Kenanga!
***
TUJUH
“Hiaaattt..!”
Surni yang merasa terhina oleh ucapan Kenanga,
langsung saja melancarkan serangkaian pukulan dan
tendangan yang menimbulkan angin berkesiutan. Nya-
ta sekali sifat kejam gadis remaja itu. Dalam serangan
pertama saja, pukulan-pukulan dan tendangannya te-
lah terisi oleh hawa maut Sehingga, Pen-dekar Naga
Putih sendiri sempat mengerutkan kening-nya melihat
keganasan gadis remaja itu.
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera
mengimbangi dengan jurus-jurus andalannya. Apalagi,
sekali mendengar angin pukulan lawan, segera saja
dapat dinilainya kehebatan tenaga sakti yang dimiliki
Surni. Jelas, Kenanga tidak mau tanggung-tanggung
lagi.
“Haiiittt..!”
“Heaaattt..!”
Kedua orang wanita itu saling terjang menggunakan
jurus-jurus ampuhnya. Tubuh mereka berkelebatan
menyerupai dua sosok bayangan samar yang saling li-
bat, teriakan dan sambaran angin pukulan menderu
tajam.
“Hebat... Siapa sebenarnya gadis remaja itu? Kepan-
daiannya sangat tinggi dan ganas. Ilmu-ilmu yang di-
milikinya jelas-jelas dari aliran hitam. Entah, murid
siapa gadis remaja itu...?” desis Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya merasa kagum melihat gadis remaja itu sanggup menghadapi Kenanga
dalam dua puluh jurus lebih. Padahal, kepandaian Ke-
nanga sendiri sudah sangat tinggi, dan jarang tandi-
ngannya.
Sedangkan Wilang sudah bergerak semakin men-
jauhi tempat itu. Lelaki yang usianya hampir separuh
baya ini sepertinya telah bertekad meninggalkan tem-
pat itu untuk mengabarkan kepada kawan-kawannya
tentang kemunculan seorang gadis remaja keturunan
Elang Laut Utara. Namun, ketika Wilang membalikkan
tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu, ia terkejut
bukan main. Ternyata pada saat berbalik, tubuhnya
hampir bertabrakan dengan sosok berjubah putih.
“Aaahhh?!”
Wilang langsung melompat mundur, dan bersiap
menyerang. Tapi ketika mengenali sosok berjubah pu-
tih itu, hatinya kontan merasa takut, heran, dan ngeri.
Ternyata, sosok berjubah putih itu tak lain dari Pende-
kar Naga Putih.
“Panji...?!” desis Wilang.
Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Padahal sebelum berbalik tadi, jelas-jelas
Panji terlihat masih berdiri membelakanginya sambil
menyaksikan pertarungan. Untuk memastikannya, Wi-
lang mencoba menoleh ke belakang. Namun, sosok
pemuda berjubah putih itu memang sudah tidak ada
lagi di tempatnya semula. Tentu saja kenyataan itu
membuat Wilang bergidig. Selama hidupnya, belum
pernah ia menyaksikan atau mendengar kehebatan il-
mu meringankan tubuh yang telah begitu tinggi.
“Mengapa hendak pergi secara diam-diam, Wi-
lang...? Apakah hendak melarikan diri dari kesala-
han...?” tegur Pendekar Naga Putih dengan suara ber-
wibawa. Sehingga, Wilang sempat gugup oleh pertanyaan pemuda itu.
“Sungguh, Panji. Aku sama sekali tidak salah. Kalau
kau ingin tahu, gadis remaja itu adalah keturunan
Elang Laut Utara. Beberapa hari yang lalu, ayahnya te-
lah membunuh ketua perguruan kami yang berjuluk
Sepasang Ular Perak. Begitu kami menemukan mayat-
nya, Elang Laut Utara telah lenyap entah ke mana per-
ginya. Lalu aku dan sembilan orang tokoh lain menda-
tangi pulau tempat tinggal Elang Laut Utara. Tapi, se-
mua kawanku telah dibantai secara keji oleh iblis beti-
na itu bersama pengikutnya. Hanya aku sendiri yang
selamat. Lalu, aku melarikan diri untuk mengabarkan
kawan-kawan yang lain, agar tidak sampai celaka di
tangan gadis iblis itu. Hal ini kulakukan, karena selain
aku, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Elang
Laut Utara mempunyai seorang pewaris yang tidak ka-
lah kejam...,” jelas Wilang panjang lebar kepada Panji
dengan terpaksa, karena tidak ingin dituduh yang bu-
kan-bukan.
“Maaf, Wilang. Kalau memang demikian, tentu saja
aku tidak bisa mencegahmu. Silakan...,” ucap Panji se-
raya memberi jalan kepada lelaki gagah itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wilang segera
bergegas meninggalkan tempat itu.
“Sekali lagi, terima kasih atas pertolonganmu, Pan-
ji...,” ucap Wilang sebelum tubuhnya lenyap di kejau-
han.
Lelaki gagah bertubuh sedang itu sama sekali tidak
tahu kalau pemuda tampan yang dihadapinya adalah
Pendekar Naga Putih. Panji sejak tadi memang belum
menunjukkan ‘Tenaga Gerhana Bulan’nya. Dan lagi,
dia dan Kenanga juga tidak memperkenalkan diri ke-
pada Wilang.
***
Sepeninggal Wilang, Panji kembali mengalihkan per-
hatian ke arena pertarungan. Saat itu tampak Kenanga
sudah mulai mempergencar serangan-serangannya.
Maka meskipun Surni mencoba bertahan, tetap saja
dapat didesak gadis jelita itu. Selain lebih berpenga-
laman, kepandaian Kenanga juga masih berada di atas
lawannya.
“Hiaaattt.!”
Dalam kemarahannya, Surni memekik keras. Tu-
buhnya yang tengah didesak tiba-tiba melambung.
Kemudian, putri Elang Laut Utara itu menukik cepat
dengan sepasang tangan membentuk cakar elang. Siap
merencah tubuh lawannya!
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, menyadari
kedahsyatan serangan lawan. Cepat-cepat tubuhnya
bergeser dengan kuda-kuda rendah, kemudian melam-
bung disertai teriakan nyaring mengejutkan. Itulah ju-
rus ‘Bidadari Menabur Bunga’ warisan gurunya. Be-
danya, ilmu pedangnya kali ini dipergunakan de-ngan
tangan kosong. Meskipun begitu, kehebatannya tidak
berkurang.
“Yeaaahhh...!”
Dua sosok tubuh yang saling melenting di udara
tampaknya telah berniat adu nyawa. Ini terlihat dari
jurus-jurus pamungkas yang sama-sama digunakan.
Melihat kenyataan itu, Panji tidak tinggal diam. Maka
tubuhnya cepat melesat dan langsung menerjang tepat
di tengah keduanya. Dengan mempergunakan ‘Tenaga
Inti Panas Bumi’, Panji mendorongkan telapak tangan-
nya ke kiri dan ke kanan. Tentu saja, dorongan itu
hanya sekedar untuk mencegah agar kedua wanita itu
tidak terluka.
Tentu saja hal itu dapat dilakukannya, karena tena-
ga jelmaan Pedang Naga Langit yang dapat diguna-kan
sesuai keinginan.
Bressshhh...!
“Uuuhhh...?!”
“Aaahhh...!?”
Baik Kenanga maupun Surni sama-sama terkejut
ketika merasakan sesuatu kekuatan aneh yang amat
kuat. Bahkan kekuatan itu telah memaksa tenaga me-
reka jadi tersedot, untuk kemudian berbalik. Akibatnya
mereka jadi terjatuh ke tanah. Untungnya, mereka da-
pat bertindak sigap sehingga jatuh dengan kedua kaki
terlebih dahulu.
“Kakang...?! Apa-apaan ini...?!” sentak Kenanga
yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Panji.
“Kenanga, tenanglah. Untuk apa saling membunuh
tanpa alasan kuat? Rasanya terlalu terburu-buru ka-
lau berniat mengadu nyawa dalam pertarungan ini...,”
sahut Panji dengan tatapan mohon pengertian dari ke-
kasihnya. Mau tidak mau, Kenanga bungkam tidak
membantah lagi.
Lain halnya Surni. Perbuatan Panji yang sebenar-
nya malah menyelamatkan dirinya, dianggap sebagai
suatu penghinaan. Bahkan juga keroyokan. Sehingga,
sepasang matanya yang penuh kebencian menatap ta-
jam wajah Pendekar Naga Putih.
“Hmh! Walaupun kepandaian kalian kuakui sangat
hebat, tapi jangan sombong dulu! Jangan sukanya
main keroyok. Huh! Kalau saja Ayahku masih hidup,
rasanya kalian tidak akan selamat dari hukuman.
Hm.... Hari ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat Sebagai
putri Elang Laut Utara, aku yang bernama Surni tidak
akan pernah lupa atas penghinaan ini...!”
Usai berkata demikian, Surni segera meninggalkan
tempat itu tanpa memberi kesempatan kepada Panji
dan Kenanga untuk membantah kata-katanya.
“Hei..., tunggu...!”
Panji yang masih merasa penasaran, segera men-
jejak tanah. Tubuhnya langsung melambung dan ber-
putar beberapa kali di udara. Kemudian, ke dua kaki-
nya mendarat ringan beberapa langkah di depan Surni.
“Hm.... Rupanya kau masih belum puas, pemuda
curang?! Baiklah! Kalau memang menghendaki nyawa-
ku, hari ini juga kita mengadu nyawa...!” tandas Surni
sambil menggeser kuda-kudanya.
Sikap gadis itu jelas tidak main-main. Sehingga,
Panji yang semula hendak menjelaskan kepada gadis
itu, terpaksa menyingkir memberi jalan. Tampaknya
keputusan gadis remaja itu memang tidak bisa di ru-
bah lagi.
“Hh.... Sayang sekali kau terlalu keras kepala, Ni-
sanak. Kalau memang hendak pergi, pergilah. Aku ti-
dak akan menahanmu...,”
Setelah berkata demikian, Panji menyingkir dan
bergerak menghampiri Kenanga. Tidak dipedulikannya
lagi ketika Surni melesat dengan memendam sakit ha-
ti.
***
Dara itu berdiri lesu di bibir sungai. Pandang ma-
tanya menerawang jauh, bagai tak bertepi. Dari raut
wajahnya yang masam, jelas kalau perasaannya ten-
gah semrawut.
“Ayah.... Kalau saja kau masih ada di sampingku,
rasanya tidak mungkin aku akan mengalami peng-
hinaan seperti kemarin. Mereka pasti akan kau hajar
habis-habisan, karena berani menghinaku...,” desah
gadis remaja itu dengan suara bergetar, menyimpan
kedukaan.
Perlahan kepala yang semula tegak itu tertunduk
lesu. Kemudian kepala gadis itu kembali tegak, seraya
membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan
sungai.
Gadis remaja yang tak lain Surni itu rupanya san-
gat terpukul sekali atas penghinaan Panji. Itulah yang
membuatnya berduka. Apalagi ketika teringat ayahnya
yang semenjak kecil telah mendidiknya.
Sehingga menurut anggapannya, kepandaian ayah-
nya paling hebat Dan memang, sejak kecil hanya
ayahnyalah yang bersamanya. Dan yang diketahuinya,
ayahnya sangat sakti. Semua itu sering diperlihatkan
ayahnya untuk memancing semangatnya agar giat ber-
latih.
“Hhh...,” kembali terdengar helaan napas berat,
yang mengungkapkan betapa hati gadis remaja itu
tengah gundah.
Dengan langkah agak gontai, Surni melangkah me-
nyusuri sebuah perkebunan karet. Kepala yang ter-
tunduk itu baru terangkat tegak saat terdengar suara
langkah kaki dari depannya. Dengan penuh kecuri-
gaan, Surni menatap enam orang lelaki gagah yang
berjalan dari arah yang berlawanan.
“Eh...?!”
Surni yang sejak semula memang merasa curiga
deh rombongan enam orang lelaki gagah itu, meng-
angkat alisnya dengan raut wajah terkejut Betapa ti-
dak? Salah seorang dari keenam lelaki gagah itu dike-
nalinya betul. Memang, orang yang dilihatnya adalah
Wilang.
“Lihat..! Itu dia gadis kejam putri Elang Laut Uta-
ra...!” seru lelaki gagah bertubuh sedang yang memang
Wilang, sambil menunjuk ke arah Surni.
Sedangkan lima orang lelaki gagah kawan Wilang,
langsung berlompatan dengan gerakan ringan dan ge-
sit Dalam beberapa lompatan saja, mereka telah rapat
mengurung Surni. Melihat bentuk kepungan itu, Surni
sadar kalau lawan menggunakan jurus gabungan un-
tuk melumpuhkannya.
“Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan lolos, wanita ib-
lis...!”
Wilang tertawa keras seraya melesat dan bergabung
bersama kelima rekannya. Melihat dari raut wajahnya
yang penuh keyakinan, rupanya Wilang sudah dapat
memastikan kalau Surni tidak akan mampu meng-
hadapi kelima orang lelaki gagah temannya.
Surni berdiri tenang, meski hatinya sedikit tegang.
Sejak menyadari kalau kepandaiannya bukan yang
paling hebat di kolong jagad, keyakinan gadis remaja
itu sedikit berkurang. Perasaan itu membuatnya men-
jadi mudah tegang dalam menghadapi perkelahian.
Padahal kalau saja tahu siapa pasangan pendekar
yang mengalahkannya kemarin, belum tentu akan me-
rasa berduka seperti itu. Karena memang wajar kalau
kalah oleh Pendekar Naga Putih atau Kenanga yang
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Demikian pula dalam menghadapi kelima orang le-
laki gagah yang mulai berputar mengepungnya. Hati
Surni sedikit tegang, takut mengalami kekalahan lagi.
Padahal, keyakinan hati sangat berperan dalam se-
buah perkelahian. Makin tinggi keyakinan seseorang,
akan semakin tenanglah dalam menghadapi dan men-
cari kelemahan lawan.
Dalam ketegangan dan rasa takut akan kekalahan,
Surni menjadi jengkel. Rasa jengkel itu membuat nafsu
membunuhnya menjadi semakin berlipat
“Bangsat kau, lelaki pengecut! Rupanya ini maksud-
mu melarikan diri! Mengapa hanya lima orang yang
kau bawa? Apakah kau yakin mereka mampu menun-
dukkanku...?” terdengar suara Surni yang bernada
mengejek.
Sambil berkata demikian, dara remaja itu menarik
keluar sebilah pedang yang selama ini jarang diper-
gunakan, dan hanya menghias punggungnya saja.
Sriiinggg...!
Kilatan merah berkeredep ketika Surni menggerak-
kan senjatanya secara bersilangan, sebelum dilintang-
kan di depan dada. Sorot matanya yang tajam, me-
nyiratkan tekad untuk bertarung sampai mati.
Wilang yang memang sangat mendendam atas ke-
matian kawan-kawannya di Pulau Elang Hitam, me-
langkah maju dua tindak sambil menudingkan telun-
juk ke wajah Surni.
“Dengar, gadis keparat! Selain telah mengakibatkan
kawan-kawanku terbunuh, kau juga pengemban dosa
dari semua kejahatan yang dilakukan Elang Laut Uta-
ra selama hidupnya! Dan, dosa itu hanya dapat dicuci
dengan darahmu! Untuk itu, kau harus mati di tangan
kami...,” dengus Wilang yang jelas-jelas memancarkan
dendam dan rasa sakit hatinya. Suaranya terdengar
lantang dan menggetarkan.
Tapi, Surni bukannya takut mendengar ucapan itu.
Rasa jengkel dan nafsu membunuh yang telah me-
nguasai hatinya, membuatnya semakin merasa benci
terhadap lelaki bertubuh sedang itu. Maka....
“Yeaaattt..!”
Tanpa banyak ribut lagi, langsung saja Surni me-
luncur dengan tusukan pedang ke tubuh Wilang. Se-
pertinya, hal itu sengaja dilakukan selagi Wilang belum
siap. Bahkan pedangnya telah tertuju lurus ke jantung
Wilang.
Namun, kelima orang lelaki gagah yang mengurung
Surni tentu saja tidak tinggal diam. Seiring teriakan
nyaring yang melengking, dua dari kelima pengepung
langsung melesat disertai putaran pedangnya yang me-
nimbulkan angin menderu tajam. Keduanya langsung
memapak serangan Surni
“Haiiittt..!”
Serangan dari dua arah oleh dua orang pengepung
membuat Surni terpaksa harus menunda serangan-
nya. Memang, meskipun serangannya mungkin bisa
melukai Wilang, tapi dia sendiri juga tidak akan terle-
pas dari ancaman kedua bilah pedang pengepung-nya.
Dan, Surni lebih utama memilih keselamatan dirinya.
“Yiaaahhh...!”
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Surni memu-
tar pedangnya merubah serangan. Kali ini pedangnya
diputar sedemikian rupa mengelilingi tubuhnya. Hing-
ga, terbentuklah sinar merah yang bergulung-gulung
bagaikan gelombang angin puyuh!
Traaang! Traaang!
Tanpa dapat dicegah lagi, ketiga bilah pedang itu
saling berbenturan keras disertai percikan bunga api
yang berpencaran!
Surni seketika merasakan telapak tangannya agak
bergetar akibat benturan tadi. Maka, tentu saja dia cu-
kup dibuat terkejut. Hal itu menandakan kalau tenaga
dalam lawan-lawannya hanya berselisih sedikit di ba-
wahnya. Akibatnya, kini hatinya semakin resah. Tam-
bahan lagi, lawannya berjumlah lima orang, di-tambah
Wilang yang belum ikut terjun mengeroyoknya. Tentu
saja jumlah dan kekuatan lawan membuat Surni se-
perti tidak mempunyai kesempatan untuk menang.
“Hmhhh! Biar bagaimanapun, aku harus mem-
bunuh mereka sebanyak-banyaknya sebelum tubuhku
dirajam mereka...,” tekad Surni, yang membuat hatinya menjadi mantap.
“Hiaaattt..!”
Kembali Surni memekik nyaring sambil memutar
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, gundukan sinar merah semakin melebar
menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Tapi, lawan Surni kali ini bukan orang sembara-
ngan. Kelima lelaki gagah yang berusia rata-rata seki-
tar empat puluh tahun itu dalam kalangan rimba per-
silatan dikenal sebagai Algojo Dari Timur. Maka sudah
tentu kepandaian yang mereka miliki tidak bisa dipan-
dang remeh. Bahkan Sepasang Ular Perak sendiri me-
rasa hormat dan cukup segan terhadap kelima lelaki
gagah yang juga wakil-wakilnya itu. Jelas, kali ini Sur-
ni benar-benar menghadapi kesulitan besar!
Dengan teriakan-teriakan nyaring yang susul me-
nyusul, kelima lelaki gagah itu satu persatu melesat
disertai putaran senjata untuk menggempur Surni.
Tentu saja dengan bertarung seperti itu, Algojo Dari
Timur tidak pernah merasa kelelahan. Apalagi untuk
kehabisan tenaga. Setiap kali seorang maju menye-
rang, yang lainnya hanya menunggu, untuk kemudian
menggantikannya. Hal itu membuat Surni jadi ke-
bingungan dan terdesak hebat!
“Bangsat...!”
Kejengkelan yang menggumpal di dalam dada,
membuat Surni melontarkan makian dengan teriakan
melengking. Serangan lawan yang berganti-ganti selain
membuat pusing, juga jengkel. Semua itu membuat ge-
rakannya menjadi tidak teratur dan sering kacau. Se-
hingga, semakin bertambah payahlah keadaannya.
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Secara susul menyusul, kelima lelaki gagah itu
kembali berlompatan dengan putaran pedang men-
deru-deru! Surni yang sudah terdesak dan gerakannya
semakin kacau, sepertinya tidak mungkin lagi me-
nyelamatkan diri dari kelima bilah pedang yang ber-
keredep menyilaukan mata!
Breeet! Breeet!
“Aaakkkhhh...!”
Surni yang berusaha untuk menghindari sambaran
kelima bilah senjata lawan, tak urung harus menerima
dua di antara kelima bilah pedang yang menggores tu-
buhnya. Meskipun luka sambaran kedua bilah pedang
itu tidak sampai menewaskannya, namun cukup
membuatnya semakin sulit melakukan perlawanan.
Sementara itu, darah terus mengalir seiring rasa perih
yang terasa menggigit tubuhnya.
“Ooohhh...,” keluh Surni, lirih sambil menggigit bi-
birnya kuat-kuat Wajah cantiknya tampak mulai me-
mucat. Memang, darah yang keluar cukup banyak, se-
hingga membuatnya semakin bertambah lemas.
“Hm.... Terimalah hukuman atas dosa-dosa yang te-
lah diperbuat Ayahmu, wanita sesat..!”
Begitu suara salah seorang dari mereka lenyap, ke-
lima orang lelaki gagah kembali berlompatan disertai
kilatan-kilatan pedang yang susul-menyusul. Akibat-
nya, Surni yang sudah goyah kuda-kudanya, hanya bi-
sa menunggu datangnya maut yang segera menjem-
put
“Hiaaattt...!”
Pekikan yang susul-menyusul itu semakin menga-
caukan jalan pikiran Surni. Seperti tidak tahan akan
siksaan itu, akhirnya Surni menjatuhkan senjatanya.
Seketika kedua telinganya ditutup dengan tangannya.
Terdengar rintihan putus asa dari kerongkongannya.
“Ayaaah...,” dalam keputusasaannya, Surni memanggil nama ayahnya untuk yang terakhir kali. Na-
mun....
Tranggg! Traaang! Traaang!
“Aaakhhh...!”
“Uuughhh...!”
Pada saat ajal Surni sudah hampir tiba, tahu-tahu
saja sesosok bayangan hitam berkelebat bagai kilat,
langsung memapak pedang kelima lelaki gagah itu.
Seiring benturan yang memekakkan telinga dan teria-
kan-teriakan kesakitan, tubuh kelima Algojo Dari Ti-
mur berpentalan hingga sejauh dua tombak lebih! Ten-
tu saja kenyataan itu mengejutkan Wilang yang semula
tersenyum melihat keadaan Surni.
***
DELAPAN
“Elang Laut Utara...?!”
Wilang berseru dengan wajah berubah tegang ketika
mengenali sosok bertubuh gemuk dan berkulit hitam.
Meskipun wajah lelaki itu agak pucat, namun kehadi-
rannya benar-benar menggetarkan!
Wajar saja kalau mereka terkejut, sebab telah per-
caya kalau Elang Laut Utara telah tewas. Tapi pada
kenyataannya, mereka harus menelan bulat-bulat ke-
nyataan itu. Elang Laut Utara benar-benar masih hi-
dup.
“Benar! Akulah yang datang, manusia-manusia
pengecut! Kalian yang mengaku sebagai golongan pen-
dekar, ternyata tak lebih dari pengecut-pengecut ren-
dah! Untuk menghadapi seorang gadis remaja saja, ka-
lian ternyata harus main keroyok! Benar-benar tak tahu malu...!” dengus sosok bertubuh gemuk yang me-
mang Elang Laut Utara, dengan suara parau.
“Oh..., Ayah...!”
Surni yang untuk beberapa saat lamanya sempat
terpaku menatap sosok ayahnya hampir tak percaya.
Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan
lelaki gemuk berkulit hitam itu. Betapa tidak? Selama
ini ayah yang telah dianggap tewas, ternyata masih hi-
dup.
“Hm.... Enak saja kau menuduh kami sebagai pen-
gecut, Elang Laut Utara. Sadarkah kau dengan uca-
panmu itu? Mengapa selama ini kau menghilang dan
melepaskan tanggungjawabmu?! Apakah kau pikir
kami akan melupakan kebejatanmu begitu saja? Huh!
Tidak mungkin! Meskipun kami tidak bisa menemu-
kanmu selama beberapa bulan ini, tapi keturunanmu
harus menanggung semua dosa atas perbuatanmu.
Untuk itulah kami harus membunuhnya...,” timpal
orang tertua dari Algojo Dari Timur.
“Dengar, manusia-manusia sombong! Kalau selama
ini aku menghilang, itu karena mengalami luka dalam
yang cukup parah akibat bertempur dengan Sepasang
Ular Perak. Dan setelah luka-lukaku sembuh kini aku
kembali muncul untuk membantai kalian satu per-
satu. Terutama orang-orang yang telah menyakiti pu-
triku.... Nah, bersiap-siaplah....”
Setelah berkata demikian, Elang Laut Utara mem-
bawa putrinya ke sebuah pohon, dan menyandar-
kannya. Kemudian, lelaki gemuk itu sendiri kembali
menghampiri Wilang dan Algojo Dari Timur. Sorot ma-
tanya demikian tajam dan bengis, membayangkan naf-
su membunuh yang menggetarkan!
“Hm....”
Sambil mengeluarkan geraman lirih, Elang Laut
Utara yang telah melepaskan pedang merah milik pu-
trinya, menyilangkan lengan di depan dada. Jari-jari
tangannya yang telah membentuk cakar elang, tampak
bergetar karena dialiri tenaga sakti yang maha dah-
syat!
Sadar kalau lawan yang kali ini dihadapi me-
rupakan tokoh puncak golongan sesat, Lima Algojo Da-
ri Timur segera menyebar dengan pedang di tangan.
Demikian pula halnya Wilang. Lelaki gagah bertubuh
sedang itu telah mencabut pedang di pinggangnya.
“Haiiittt...!”
Disertai pekik elang luka, tubuh tokoh sesat ber-
kulit hitam itu bergerak maju dengan langkah-langkah
pendek. Gerakannya yang terlihat cepat dan sukar di-
tangkap mata biasa, sempat membuat lawan-lawan-
nya sesaat kebingungan. Namun, begitu sambaran an-
gin tajam telah tiba semakin dekat, baik Wilang dan
Lima Algojo Dari Timur sama-sama bergerak meng-
gempur Elang Laut Utara!
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Terdengar pekikan nyaring susul-menyusul. Seiring
pekikan itu, kelima lelaki gagah yang mengepung
Elang Laut Utara bergerak berturut-turut disertai pu-
taran senjata. Sedangkan Wilang hanya mengikuti pal-
ing belakang. Rupanya, dia memilih menggabung-kan
diri dengan Lima Algojo Dari Timur dalam menggempur
Elang Laut Utara.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran berlangsung
sengit! Baik Lima Algojo Dari Timur maupun Wilang
benar-benar penasaran melihat tokoh sesat Pulau
Elang Hitam itu ternyata sangat gesit dan sukar sekali
disentuh. Apalagi, sambaran-sambaran cakar elang
datuk sesat itu sangat berbahaya dan berbau maut
Akibatnya, cukup sulit bagi Wilang dan rekan-rekan-
nya dalam mendesak lawan. Bahkan justru mereka
sendirilah yang terlihat mulai terdesak, meskipun se-
cara perlahan.
“Heaaahhh...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedua
puluh lima, tiba-tiba Elang Laut Utara memekik me-
ngejutkan! Lawan yang tidak menyangka bakal men-
dapat serangan suara itu, sempat terlonjak mundur
beberapa langkah. Dan pada kesempatan itulah, Elang
Laut mengibaskan tangan kanannya ke arah para pen-
geroyoknya! Seketika, berhamburan jarum-jarum ha-
lus berwarna keperakan dari tangannya.
Weeettt!
“Awaaasss...!”
Wilang benar-benar menyadari ancaman kematian
dari kibasan tangan tokoh sesat itu. Maka, segera saja
dia memperingatkan rekan-rekannya. Sementara, ia
sendiri telah melompat menghindar sejauh-jauhnya,
sambil memutar pedang untuk melindungi diri dari
ancaman jarum-jarum halus yang mengerikan.
“Aaakkkhhh...!”
“Aaaa...!”
Namun, dua orang dari Lima Algojo Dari Timur tak
sempat menangkap arti peringatan Wilang. Akibatnya,
tanpa dapat dicegah lagi mereka menjerit kesakitan.
Mereka kemudian ambruk dan menggelepar di atas ta-
nah dengan mulut mendesis-desis dan mengaduh-
aduh. Memang, rasa gatal yang hebat telah mulai me-
nyiksa kedua orang gagah itu.
“Hua ha ha...! Lihatlah kedua kawanmu itu, manu-
sia-manusia sombong! Sebentar lagi, kalian juga akan
mengalami nasib serupa...!” Elang Laut Utara yang me-
rasa puas melihat hasil kerja jarum-jarum beracunnya,
disertai tawa meremehkan.
“Bedebah kau, manusia iblis...!” desis Wilang.
Wajah Wilang langsung berubah duka. Ia memang
sudah beberapa kali menyaksikan kawan-kawannya
tewas akibat kekejaman ‘Racun Ubur-Ubur Laut’, Se-
mua itu membuatnya tidak lagi memikirkan kesela-
matan diri lagi. Dengan serangan bagai gelombang lau-
tan, digempurnya Elang Laut Utara yang tengah terta-
wa berkakakan.
Tiga orang dari Lima Algojo Dari Timur yang ter-
paku beberapa saat menyaksikan dua orang rekannya
yang bergulingan sambil mendesis-desis dan meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja ikut menyerbu. Kali
ini pertempuran berjalan mati-matian, sehingga sera-
ngan-serangan mereka sangat hebat dan mengerikan!
Tapi bagi tokoh sesat kawakan seperti Elang Laut
Utara, semua itu sama sekali tidak membuatnya gen-
tar. Dengan jurus-jurus andalan, datuk sesat itu dapat
mengimbangi dan bahkan sanggup mendesak keempat
pengeroyoknya lewat jurus ‘Elang’nya yang memang
sangat hebat.
“Yeaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, ketika memasuki jurus
yang ketiga puluh, Elang Laut Utara kembali memekik
mengejutkan! Dan berbarengan dengan itu, disusuli-
nya dengan sebuah sambaran cakar elangnya yang
mengancam Wilang. Karena, saat itu Wilang memang
yang terdekat dengannya.
Breeettt! Breeettt!
“Aaakkkhhh...!”
Sambaran cakar elang datuk sesat itu langsung me-
robek bahu dan lambung Wilang tanpa ampun. Darah
segar segera mengalir dari luka yang cukup dalam dan
terasa perih. Dan selagi tubuh Wilang terjajar limbung,
Elang Laut Utara kembali melesat hendak menghabisi
riwayatnya.
“Mampus kau...!” geram Elang Laut Utara seraya
menjulurkan cakar-cakar elangnya, hendak mencabik-
cabik tubuh lawan.
“Heeeaaa...!”
Tepat pada saat sepasang cakar elang datuk sesat
itu siap mencabik-cabik tubuh lawan, tiba-tiba saja
terdengar seruan nyaring seiring berkelebatnya seso-
sok bayangan putih.
Plakkk! Plakkk!
“Uuuhhh...?!”
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung
memapak serangan Elang Laut Utara. Seketika ter-
dengarlah benturan keras, tak ubahnya ledakan petir
di angkasa!
Tubuh Elang Laut Utara tampak terdorong balik,
hingga satu tombak lebih. Karuan saja kenyataan itu
membuatnya terkejut. Maka begitu mendaratkan ka-
kinya di atas tanah, sepasang matanya langsung me-
nyorot tajam ke arah sosok berjubah putih yang telah
menyelamatkan nyawa Wilang. Sedangkan sosok itu
tetap tenang, tanpa mempedulikan sinar kemarahan
yang terbersit pada sepasang mata Elang Laut Utara.
***
“Keparat! Siapa kau...?!” tegur Elang Laut Utara
dengan tatapan menyelidik.
Nada ucapan tokoh sesat itu jelas menandakan ke-
raguan hatinya. Memang, datuk sesat itu merasa ragu,
meski telah terlintas dalam pikirannya tentang sosok
pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm..., Elang Laut Utara! Masih belum cukupkah
korban kekejamanmu selama ini? Apakah kau masih
tetap ingin menebarkan bencana dengan tanganmu
yang sudah berlumuran darah itu? Tidakkah ada nia-
tan untuk meninggalkan semua kejahatan dalam ha-
timu?” tegur sosok berjubah putih tanpa memper-
dulikan pertanyaan lawannya. Sepertinya, dia hendak
membiarkan Elang Laut Utara memastikan dugaannya
sendiri.
Sementara itu, Wilang yang tampak masih belum
hilang rasa terkejutnya tampak telah berada di luar
arena bersama seorang dara jelita berpakaian serba hi-
jau dan tiga orang rekannya. Mereka semua menatap
ke arah pemuda berjubah putih dan Elang Laut Utara
yang tengah berhadapan.
Sebagai seorang datuk sesat kawakan yang selama
ini malang-melintang menebar bencana tanpa ada
yang berani mencegah, apalagi menasihati, tentu saja
Elang Laut Utara menjadi terbahak begitu pemuda ber-
jubah putih itu menasehatinya. Sedangkan pemuda
tampan yang memang Pendekar Naga Putih, hanya
menatap dengan sorot mata tenang. Panji sama sekali
tidak tersinggung atau merasa terhina karena diterta-
wakan seperti itu.
“Hua ha ha...! Dengarlah, bocah. Meskipun mung-
kin kau pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, tapi untuk menasehati Elang Laut Utara, jangan
terlalu gegabah. Tapi, baiklah. Aku bersedia menuruti
nasihatmu dengan satu syarat Dan kalau kau me-
nerima syaratku, hari ini juga dunia sesat akan ku-
tinggalkan. Kalau tidak, hm..., aku terpaksa memotes
batang lehermu...!” ancam Elang Laut Utara, sungguh-
sungguh. Sehingga, Panji mengerutkan keningnya
dengan tatapan curiga.
“Katakan, apa syaratmu? Kalau memang dapat ku-
lakukan, akan kupenuhi. Tapi kalau tidak, aku siap
bertarung denganmu demi kebenaran...,” tegas Panji.
Tatapan matanya mengandung kecurigaan, karena sa-
dar kalau lawannya seorang datuk sesat yang mengha-
lalkan segala cara.
“Hm.... Lihatlah gadis yang tengah terduduk tak
berdaya di bawah pohon itu. Dia adalah putriku. Na-
manya, Surni. Kalau kau bersedia mengambilnya se-
bagai istri, dunia sesat yang selama ini kugeluti akan
kutinggalkan. Bagaimana...?” tanya Elang Laut Utara.
Syarat itu tentu saja sangat mengejutkan hati Panji.
Memang tidak mungkin Pendekar Naga Putih dapat
memenuhi permintaan gila itu. Lantas, bagaimana
dengan Kenanga?
“Maaf, Elang Laut Utara, Syaratmu terlalu berat ba-
giku...,” jawab Pendekar Naga Putih dengan suara agak
perlahan. Panji tidak ingin gadis bernama Surni itu
sampai mendengarnya, karena tentu perasaannya da-
pat terpukul dan merasa terhina.
“Bangsat! Sudah kuduga kau tidak akan sudi me-
menuhinya. Untuk itu, hanya kematianlah yang pan-
tas bagimu...!”
Usai berkata demikian, Elang Laut Utara langsung
menerjang Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus
andalan. Bahkan saking marah dan terhinanya, tokoh
sesat itu mengumbar ‘Racun Ubur-Ubur Laut’ yang
akibatnya sangat berbahaya dan mengerikan!
“Jeaaahhh...!”
Whuuut! Whuuuttt!
Panji yang langsung dapat menduga kedahsyatan
racun yang terkandung dalam jarum-jarum halus itu,
langsung saja mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana
Bulan’ untuk melindungi tubuhnya. Sehingga, jarum
jarum itu langsung berjatuhan ketika menyentuh dind-
ing lapisan kabut bersinar putih keperakan yang me-
nyelimuti tubuhnya.
Namun, datuk sesat dari Pulau Elang Hitam itu sa-
ma sekali tidak merasa putus asa. Sambaran cakar
elangnya langsung bergerak susul menyusul, meng-
incar bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga
Putih. Sayang, gempuran-gempuran hebat Elang Laut
Utara selalu saja kandas, karena tubuh lawannya telah
lenyap sebelum serangannya sempat menyentuh. Se-
mua itu terjadi karena ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Panji masih lebih tinggi daripada lawannya.
Akibatnya, kerapkali Elang Laut Utara terdengar
menggeram gusar karena selalu terkecoh.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam
puluh tiga, tiba-tiba saja Panji mulai merubah ge-
rakannya. Pendekar Naga Putih terlihat mulai memain-
kan ‘Jurus Naga Sakti’ yang menjadi andalannya.
Elang Laut Utara yang memang telah lama men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, kali
ini benar-benar dibuat terkagum-kagum. Memang, apa
yang selama ini didengarnya ternyata masih belum ada
apa-apanya dibanding yang disaksikannya sekarang.
“Gila...?!” desis Elang Laut Utara.
Saat itu terlihat tubuh Pendekar Naga Putih ber-
gerak luwes, namun jelas mengandung tenaga dalam
tinggi. Semua itu dapat dirasakan melalui sambaran
angin dingin yang terasa menusuk tulang sum-sum.
“Yeaaattt...!”
Bweeettt...!
“Aiiihhh...!”
Bukan main terperanjatnya Elang Laut Utara ketika
tahu-tahu cakar lawan telah mendekati tubuhnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya dilempar ke belakang, dan terus berjumpalitan
menjauhi Pendekar Naga Putih.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan secepat
mungkin, langsung saja melesat cepat bagai kilat! Ba-
gaikan sebatang tombak, tubuh Pendekar Naga Putih
meluncur lurus disertai putaran sepasang cakarnya!
Dan tentu saja Elang Laut Utara sadar akan bahaya
yang mengancam.
“Haiiittt...”
Disertai pekikan nyaring, Elang Laut Utara mengi-
baskan tangannya. Seketika itu juga, puluhan batang
jarum beracun langsung beterbangan ke arah Pen-
dekar Naga Putih. Jelas, maksudnya hendak mencegah
serangan lawan.
Tapi apa yang terjadi kemudian, benar-benar ham-
pir tidak bisa dipercaya datuk sesat itu. Puluhan ba-
tang jarum beracun yang dilepaskannya malah da-pat
ditahan angin pukulan lawannya. Bahkan, Pen-dekar
Naga Putih dapat mengendalikan, dan memutar balik
jarum-jarum beracun itu yang kini mengancam maji-
kannya.
“Gila...?!”
Untuk kesekian kalinya, Elang Laut Utara kembali
terbelalak menyaksikan kesaktian lawan. Ternyata ja-
rum-jarum yang semula dilepaskan secara berpencar,
kini malah berkumpul dan meluncur ke arah dirinya.
Dan ketika jaraknya sudah tinggal dua tombak lagi, ti-
ba-tiba saja jarum-jarum itu memecah membentuk ti-
ga kelompok.
“Aaahhh?!”
Elang Laut Utara tidak sanggup lagi mengelakkan
luncuran jarum beracun miliknya. Rasa terkejut dan
terkesima oleh keanehan yang disaksikan, membuat-
nya terpaksa harus merasakan jarum-jarum beracun
nya sendiri.
“Aaarrrghhh...!”
Elang Laut Utara memekik tinggi ketika tiga ke-
lompok jarum beracunnya malah menembus tubuhnya
sendiri. Bahkan kelompok yang terbawah seperti se-
ngaja memecahkan obat penawar yang berada di ping-
gang kirinya. Tentu saja, musnahnya obat penawar itu
membuat Elang Laut Utara melolong dengan wajah ke-
takutan!
“Ayaaahhh...!” pekik Surni di tengah ketidakber-
dayaannya.
Surni yang melihat tubuh ayahnya ambruk dan
langsung menggelepar bagaikan ayam di sembelih, be-
rusaha menghambur. Namun karena keadaannya me-
mang masih lemah, akhirnya malah terjatuh sebelum
sampai ke tempat ayahnya berada.
“Ayaaahhh....”
Surni hanya bisa merintih sambil menggapaikan
tangannya, melihat ayahnya tengah sekarat. Memang,
gadis remaja itu sadar akan keganasan ‘Racun Ubur-
Ubur Laut’ yang khusus diciptakan ayahnya untuk
membunuh lawan. Tapi, siapa sangka kalau akhirnya
datuk sesat itu sendiri yang harus merasakan akibat
racun kejinya.
Surni hanya bisa meneteskan air mata saat me-
nyaksikan tubuh ayahnya dilumuri darah, dan tidak
bergerak-gerak lagi. Elang Laut Utara tewas akibat ra-
cun yang dibuatnya sendiri, tanpa sempat meng-ambil
obat penawarnya.
Panji bergerak menghampiri Surni. Tanpa berkata
sepatah kata pun, segera dibawanya tubuh gadis re-
maja itu ke tempat yang lebih baik. Dengan penuh
perhatian, diobatinya luka-luka Surni yang hanya me-
natap kosong akibat pukulan bathin atas kematian
ayahnya.
“Surni...,” sapa Panji saat gadis remaja itu sudah
mulai pulih tenaganya. “Kuharap kau tidak mengikuti
jejak kesesatan ayahmu. Kalau ingin berbakti kepada-
nya, tebarkanlah benih-benih kebaikan di dunia ini.
Aku yakin, hal itu akan membuat ayahmu mendapat
ketenangan di alam sana...,” ujar Pendekar Naga Putih.
Namun, nasihat itu sama sekali tidak ditanggap
Surni. Namun demikian, Panji tahu kalau Surni cukup
mengerti dan mendengar segala yang disampaikannya
barusan.
Surni yang memang pada dasarnya berhati lembut
dan penuh kasih, menyadari sepenuhnya akan kejaha-
tan ayahnya. Dan segala nasihat Pendekar Naga Putih
yang tadi didengarnya, memang suatu kebenaran mut-
lak.
Panji, Kenanga, Wilang, dan tiga orang Lima Algojo
Dari Timur, hanya berdiri dengan tatapan iba ketika
Surni bersimpuh di samping makam ayahnya yang di-
buatkan Pendekar Naga Putih tadi.
“Ayah.... Mudah-mudahan di alam sana kau dapat
bersatu lagi dengan ibu. Sayang, aku belum sempat
menyampaikannya, tapi Ayah keburu meninggal. Se-
moga Ayah dan Ibu bahagia, dapat berkumpul lagi.
Sedangkan aku, akan mencoba meringankan dosa-
dosamu dengan berbuat kebaikan. Selamat tinggal,
Ayah....”
Selesai mengucapkan kalimat itu, Surni mem-
balikkan tubuhnya. Sebelum pergi, masih disempat-
kannya untuk menoleh ke arah Panji, Kenanga, dan
yang lain. Kemudian, gadis itu melangkah perlahan
tanpa salam perpisahan.
“Hm.... Semoga saja dia selalu dilindungi Tuhan...,”
desah Panji yang diam-diam merasa iba terhadap gadis
remaja yang telah sebatang kara itu.
Silir angin lembut menyapu hati para tokoh persila-
tan itu. Mereka merasa lega, karena Surni ternyata da-
pat mengerti. Bahkan tidak melanjutkan kesesatan Elang Laut Utara.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar