..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENGEMBAN DOSA TURUNAN

matjenuh khairil

 

PENGEMBAN DOSA TURUNAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Pengemban Dosa Turunan 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Matahari sudah hampir tenggelam di kaki langit se-
belah Barat. Cahaya kemerahan tampak menyala ba-
gaikan kobaran api membakar cakrawala. Senja mulai 
datang menyapa bumi.
Dalam suasana yang mulai remang-remang itu, 
tampak dua sosok tubuh bergerak menuju Pantai Ti-
mur Laut Bandan. Gerakan keduanya yang sangat rin-
gan dan cepat hanya menimbulkan bayangan yang tak 
jelas. Meskipun demikian, jelas terlihat kalau kedua 
sosok bayangan itu adalah lelaki dan perempuan. Hal 
ini dapat dikenali dari perawakan mereka.
Sosok pertama bertubuh tinggi kurus dan ter-
bungkus jubah panjang berwarna coklat. Bila dilihat 
secara jelas, tampaklah raut wajahnya yang keras dan 
memancarkan perbawa yang kuat. Dalam usianya 
yang kira-kira sekitar enam puluh tahun, lelaki itu ter-
lihat sangat angker dan matang. Bahkan, raut wajah 
angker itu masih ditambah lagi dengan kumis dan 
jenggot yang tertata rapi, meski sebagian tampak telah 
memutih. Jelas, sosok pertama ini adalah orang yang 
selalu menjaga kesehatan dan kebersihan dirinya.
Berbeda dengan penampilan sosok pertama, sosok 
kedua yang berlari di sebelah kiri sosok tinggi kurus 
itu memiliki bentuk tubuh yang langsing dan padat.
Secara selintas, orang akan menduga bahwa sosok ke-
dua itu pastilah seorang gadis remaja. Tapi, dugaan ini 
sama sekali tidak betul. Sebab, sosok ramping padat 
itu adalah seorang wanita yang telah cukup berumur. 
Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Meskipun 
demikian, baik wajah maupun tubuhnya tampak ma-
sih demikian segar, tak ubahnya seorang gadis remaja.

Kedua sosok yang tengah bergerak menuju Pantai 
Timur Laut Bandan itu jangan dikira hanya merupa-
kan pasangan suami-istri yang hendak pesiar. Bagi 
kaum rimba persilatan, sepasang pria-wanita yang 
memang merupakan pasangan suami-istri itu tidaklah 
asing lagi. Selain sangat terkenal dan memiliki kepan-
daian yang sangat tinggi, keduanya juga merupakan 
pemimpin tokoh-tokoh persilatan di daerah Timur. 
Bahkan, mereka memiliki julukan yang cukup mengge-
tarkan, yaitu Sepasang Ular Perak. Demikian-lah julu-
kan yang didapat dari tokoh-tokoh persilatan, baik dari 
golongan hitam maupun golongan putih. Dan, julukan 
itu pun telah tersebar di empat penjuru angin.
Tidak berapa lama kemudian, kedua sosok pende-
kar itu pun tibalah di suatu tempat berpasir putih. Me-
reka tampak menghentikan langkah dan berdiri tegak 
menatap ombak lautan. Bagaikan hendak menembus 
keremangan senja, bola-bola mata kedua tokoh itu te-
rus melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan 
sorot tajam. Jelas, ada sesuatu yang membuat sepa-
sang pendekar itu melakukannya.
“Yakinkah kau bahwa iblis keji itu akan memenuhi 
janjinya, Kakang...?”
Sosok wanita cantik yang mengenakan pakaian 
berwarna hijau muda itu terdengar bertanya dengan 
suara agak keras. Karena, jika tidak, deburan ombak 
yang saling bersahutan dan menimbulkan gemuruh 
bisa menelan ucapannya.
Sosok tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan 
tidak segera menjawab pertanyaan istrinya. Sepasang 
matanya masih tetap mengawasi air laut sambil mena-
rik napas perlahan. Beberapa saat kemudian, baru le-
laki itu menoleh dan berkata.
“Hhhh..., sebenarnya aku pun tidak begitu yakin

akan janji seorang tokoh sesat seperti Elang Laut Utara 
itu, Nyai. Tapi, entah mengapa, saat ini aku masih per-
caya terhadap ucapannya. Sepertinya aku benar-benar 
yakin kalau iblis itu akan muncul untuk menepati jan-
jinya. Sebab, dialah yang mengajukan tantangan ini, 
bukan kita....”
Demikian jawaban yang keluar dari mulut Ular Pe-
rak Jantan. Kini semakin jelaslah, apa sebenarnya 
maksud Sepasang Ular Perak mendatangi Pantai Timur 
Laut Bandan.
“Sebenarnya, lima belas tahun yang lalu, kita dapat 
saja melenyapkan iblis itu untuk selamanya, Kakang. 
Sayang, iblis itu memiliki lidah yang tajam dan pandai 
memutar kata-kata, sehingga kita berdua dapat diti-
punya mentah-mentah. Kalau tidak, rasanya hari ini 
tidak perlu kita bersusah payah mendatangi tempat 
itu...,” kata Ular Perak Betina dengan nada sedikit me-
nyesali masa lalunya, yang tampaknya berhubungan 
dengan kedatangan mereka pada senja ini.
“Sudahlah. Tidak baik menyesali sesuatu yang telah 
lewat. Sebaiknya kita tunggu saja kedatangan iblis itu 
dengan hati tenang. Lima belas tahun bukanlah waktu 
yang singkat. Siapa tahu Elang Laut Utara telah mem-
persiapkan dirinya jauh-jauh hari. Dan, bukan tidak 
mungkin kalau justru kita berdualah yang akan dika-
lahkannya hari ini. Untuk itu, sebaiknya kau berhati-
hati, Nyai. Jangan pandang remeh sebelum mengeta-
hui kepandaiannya yang sekarang....”
Ular Perak Jantan terdengar menasehati istrinya 
dengan ucapan yang sengaja ditekan, agar istrinya ti-
dak meremehkan orang yang mereka tunggu. Sayang, 
ucapan Ular Perak Jantan dianggap sebagai tanda ta-
kut. Sehingga, wanita cantik yang wajahnya tampak 
jauh lebih muda dari usianya itu terlihat mencebikkan


bibir. Jelas sekali kalau Ular Perak Betina tidak men-
gindahkan nasihat suaminya. Hal ini tampaknya me-
mang wajar. Karena, seperti terdengar dari pembica-
raan mereka tentang pertemuan dengan ‘iblis’ pada li-
ma belas tahun yang lalu itu, kelihatannya orang yang 
kini sedang mereka tunggu tidaklah terlalu memba-
hayakan. Bahkan, tampaknya orang itu pernah kalah 
atau dipecundangi oleh keduanya. Alasan inilah yang 
mungkin membuat Ular Perak Betina tidak begitu 
mempedulikan kemungkinan-kemungkinan yang dija-
barkan suaminya.
Ular Perak Betina, yang semula terlihat hendak 
mengungkapkan rasa penasaran hatinya, menunda 
ucapannya. Sebab, pada saat itu, terlihat suaminya 
menunjuk ke satu titik yang terombang-ambing diper-
mainkan ombak lautan.
“Apa itu, Kakang...?” tanya Ular Perak Betina sambil 
mengerutkan kening dan mencoba mempertajam pan-
dangan matanya. Sayang, karena ombak laut terka-
dang seperti menelan untuk kemudian memuntahkan 
kembali benda itu, dia mengalami kesulitan untuk me-
lihatnya secara jelas.
Namun, berbeda dengan istrinya, lelaki tinggi kurus 
yang memang memiliki tingkatan ilmu lebih tinggi itu 
segera dapat mengenali benda di tengah laut itu. Tentu 
saja setelah ia mengerahkan kekuatan tenaga saktinya 
melalui pandangan mata. Ular Perak Jantan pun mulai 
dapat menebak, benda apa sebenarnya yang tengah 
dipermainkan ombak itu.
“Tampaknya benda itu merupakan sosok seorang 
manusia, Nyai. Dan, kalau pandangan mataku tidak 
salah, sosok manusia itu adalah orang yang kita tung-
gu-tunggu. Kau terkejut, bukan...?” tanya Ular Perak 
Jantan, mengakhiri keterangannya dengan sebuah

pertanyaan yang agak bernada sinis.
Ular Perak Betina memang cukup terkejut men-
dengar keterangan suaminya tentang benda yang ten-
gah dipermainkan ombak itu. Bahkan, sinar matanya 
memancarkan rasa tidak percaya atas ucapan sua-
minya.
“Maksudmu..., benda itu sebenarnya adalah Elang 
Laut Utara, musuh yang sedang kita nanti-nanti...?” 
tanya Ular Perak Betina, meminta ketegasan suami-
nya.
“Hhhh..., tampaknya memang begitulah, Nyai. Bah-
kan, yang lebih membuatku terkejut, Elang Laut Utara 
tampaknya sama sekali tidak menggunakan perahu 
untuk mencapai daratan ini dari pulau tempat tinggal-
nya. Sepertinya ia hanya menggunakan dua potong 
bambu yang mungkin diikatkan pada kedua telapak 
kakinya. Kalau saja hal ini benar, iblis itu pastilah te-
lah menggembleng dirinya selama lima belas tahun te-
rakhir ini. Dan, mungkin ia telah memiliki kemajuan 
yang mengejutkan...,” desis Ular Perak Jantan.
Lelaki tua itu tampak termangu sambil tetap men-
gawasi sosok yang semakin jelas, karena semakin de-
kat ke arah mereka. Terdengar Ular Perak Jantan me-
narik napas berat yang menunjukkan kekhawatiran-
nya.
“Huh! Biarpun kepala iblis itu bertambah menjadi 
sepuluh dan lengannya menjadi dua puluh pasang, 
aku tidak akan pernah gentar menghadapinya. Kalau 
Kakang takut, biar aku saja yang akan menghajar ma-
nusia keparat itu! Kali ini ia tidak akan kuberi ampun, 
agar lain hari tidak lagi membuat susah...!” kata Ular 
Perak Betina dengan suara lantang, meski agak terke-
san sedikit sombong.
Kemudian, wanita tua itu melangkah maju bebera

pa tindak, semakin mendekati gelombang air laut yang 
berlarian ke pantai.
“Sabar, istriku. Tidak usah terburu nafsu. Kita 
tunggu saja kedatangannya dengan hati tenang. Usa-
hakan agar kita jangan sampai terpengaruh oleh 
omongan ataupun tingkahnya yang mungkin saja sen-
gaja ditunjukkan untuk membuat kita lengah. Karena, 
hal itu akan merugikan diri kita sendiri....”
Ular Perak Jantan kembali mengingatkan istrinya 
yang keras kepala. Dicegahnya langkah wanita cantik
itu dengan memegang bahunya perlahan. Sehingga, 
mau tidak mau, Ular Perak Betina pun menahan lang-
kahnya. Terdengar tarikan napas barat yang berkepan-
jangan dari wanita cantik itu. Jelas sekali kalau ia ter-
paksa menuruti kehendak suaminya. Dan, untuk itu, 
ia harus menekan rasa penasaran di dalam dadanya 
yang masih saja menggelora.
“Huak hak hak.... Selamat bertemu lagi, Sepasang 
Ular Perak! Terutama kau, Ular Betina! Kelihatannya 
semakin lama wajah dan tubuhmu semakin menarik 
saja. Apakah kau sengaja memeliharanya agar aku bi-
sa melihatnya pada pertemuan ini...?”
Terdengar suara terbahak parau yang kemudian 
disambung lontaran kata-kata tak sopan dari sosok le-
laki berusia sekitar lima puluh tahun. Saat itu tubuh-
nya tampak masih mengapung dan tengah me-luncur 
satu setengah tombak lagi dari daratan berpasir.
Ular Perak Jantan segera mengajak istrinya untuk 
bergerak mundur beberapa langkah. Hal itu dilaku-
kannya ketika deburan ombak tampak semakin jauh 
menjilati bibir pantai, yang terjadi seiring dengan se-
makin dekatnya sosok lelaki gemuk yang tengah me-
luncur di lautan itu.
“Huppp...!”
Tepat ketika hampir tiba di tepi pantai, tiba-tiba sa-
ja sosok lelaki gemuk itu mengeluarkan sebuah benta-
kan nyaring. Kemudian, tubuhnya melambung setinggi 
tiga batang tombak dari atas pasir. Setelah berputaran 
sebanyak lima sampai enam kali, barulah sosok lelaki 
yang memang adalah Elang Laut Utara itu melayang 
turun dengan dua bilah bambu di tangan kanannya. 
Sepasang bambu itu telah dilepaskan dari ikatannya 
sewaktu tubuh Elang Laut Utara tengah melambung di 
udara. Jelas sudah bahwa apa yang diduga Ular Perak 
Jantan tidaklah berlebihan. Elang Laut Utara ternyata 
memang mendatangi daratan dengan menggunakan 
dua bilah bambu sebagai pijakan sepasang kakinya. 
Tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat 
tinggi. Dan, terbukti Elang Laut Utara memang memi-
likinya.
“Kurang ajar...! Mulutmu ternyata masih saja tetap 
kotor, Setan Hitam! Sepertinya kau sengaja memamer-
kan ilmu. meringankan tubuhmu agar kami gentar, 
begitu...?”
Tanpa mempedulikan lagi cegahan suaminya, Ular 
Perak Betina segera saja menudingkan telunjuknya ke 
wajah lelaki gemuk berkulit hitam itu. Dan, kata-
katanya langsung meluncur sebagai tanda kekesalan 
hatinya yang semenjak tadi hanya dipendam. Tapi, 
Elang Laut Utara hanya tertawa-tawa sambil men-
gangkat-angkat kedua alisnya dengan sepasang mata 
berbinar. Tampaknya ia merasa senang menyaksikan 
wanita cantik itu marah-marah. Tentu saja tingkah le-
laki gemuk itu semakin membuat hati Ular Perak Beti-
na kian terbakar.
“Keparat...! Kau rupanya sudah tidak sabar untuk 
merasakan kerasnya kepalanku...!” kata Ular Perak Betina, sambil langsung melontarkan sebuah pukulan lu-
rus menuju dada Elang Laut Utara.
Whuuukkk...!
Hembusan angin keras yang menandakan bahwa 
pukulan Ular Perak Betina bukanlah main-main ter-
dengar mendesis mengiringi datangnya pukulan itu.
“Heh heh heh...!”
Elang Laut Utara memperdengarkan tawanya yang 
serak saat bersiap menerima pukulan lawan. Dilihat 
dari sikapnya yang terlihat masa bodoh itu, jelas bah-
wa ia memandang remeh serangan lawan yang sebe-
narnya mampu untuk meremukkan batok kepala 
orang biasa. Tapi, sikap itu bisa saja hanya merupakan 
suatu pancingan agar lawan terpengaruh dan menjadi 
kacau pikirannya.
“Nyai, tahan...!”
Ular Perak Jantan berseru keras untuk mencoba 
mencegah serangan istrinya. Sayang, teriakannya se-
dikit terlambat. Karena, saat itu kepalan Ular Perak 
Betina sudah tinggal satu jengkal lagi jaraknya dari 
tubuh lawan. Dan....
Bukkk!
“Akkk...!?”
Aneh, meskipun pukulan Ular Perak Betina tepat 
menghantam dada lawannya secara telak, ternyata ju-
stru wanita cantik itulah yang memekik kesakitan 
sambil memegangi tangannya yang terlihat agak beng-
kak. Bahkan, tubuh keduanya terlihat sama-sama ter-
getar mundur sejauh satu batang tombak. Tentu saja 
kenyataan itu membuat Ular Perak Jantan ternganga 
setengah tak percaya.
“Gila...!? Ilmu apa yang dipelajari Elang Laut Utara 
selama lima belas tahun belakangan ini...! Mustahil 
kemajuannya sampai sedemikian pesat. Mungkinkah
ada seorang manusia sakti yang sudi membimbing-
nya...? Atau... ia menemukan suatu ilmu langka secara 
kebetulan?”
Ular Perak Jantan tak henti-hentinya bertanya da-
lam hati. Kenyataan yang baru dilihatnya itu telah me-
nimbulkan berbagai macam dugaan di kepalanya. 
Sayangnya, tak satu pun dugaan yang dapat men-
jelaskan kejadian yang baru disaksikannya tadi.
“Hei, mengapa kau hanya manggut-manggut seperti 
burung pelatuk. Ular Perak Jantan...? Apa kau tidak 
ingin mencoba melawanku seperti yang dilakukan is-
trimu barusan? Atau kau takut...?” ejek Elang Laut 
Utara, yang jelas sengaja memamerkan kekuatannya 
untuk mengacaukan pikiran lawan.
“Hm..., kau ingin agar aku mencoba kekebalan tu-
buhmu? Aku justru khawatir, kau akan terluka. Se-
baiknya segera kita mulai saja urusan lama di antara 
kita. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, aku ti-
dak lagi peduli. Yang jelas, apabila kau kembali dapat 
kami pecundangi, jangan harap kau bisa menikmati 
hangatnya matahari esok....”
Ular Perak Jantan berkata dengan wajah yang tam-
pak kembali tenang. Bahkan, sorot matanya kini telah 
menunjukkan perbawa seperti biasanya. Jelas sekali, 
lelaki tua itu telah berhasil meredam rasa terkejutnya.
Ular Perak Betina melangkah ke samping suaminya. 
Tangan kirinya terlihat masih sibuk memijat-mijat ke-
palan kanannya yang bengkak akibat membentur tu-
buh Elang Laut Utara. Dan, gambaran rasa pena-saran 
masih terpeta jelas di wajah cantik itu.
“Kakang.... Aku yakin, kekebalan tubuh iblis licik 
itu disebabkan oleh sebuah benda, dan bukan semata-
mata oleh kekuatan tenaga saktinya. Harap engkau 
sedikit berhati-hati, agar tidak mengalami kejadian seperti aku barusan...,” bisik Ular Perak Betina, yang ru-
panya dapat langsung merasakan, apa sebenarnya 
yang terjadi dengan serangannya tadi.
Meskipun tidak tahu secara pasti, benda apa yang 
telah terbentur oleh kepalannya, ternyata Ular Perak 
Betina bisa mengira-ngira adanya benda itu dan lang-
sung memperingati suaminya. Sehingga, bila akan me-
nyerang, Ular Perak Jantan sudah mempunyai gamba-
ran tentang benda penolak yang dimiliki Elang Laut 
Utara, yang mungkin juga bisa melukai lelaki berjubah 
coklat itu apabila kurang berhati-hati.
“Hm..., aku pun sudah bisa menduganya. Seperti-
nya, ada sesuatu yang membuat ia berani menerima 
pukulanmu tanpa takut terluka. Akan ku coba untuk 
mengetahuinya...,” desis Ular Perak Jantan dengan su-
ara lirih.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu 
melangkah beberapa tindak ke dekat tubuh lawannya.
“Heh he he.... Ular Perak Jantan. Setelah sekian be-
las tahun tidak berjumpa, apakah pertemuan ini tidak 
kita gunakan beberapa jenak untuk bersenang-
senang? tentang persoalan yang lampau, sebaiknya ki-
ta tunda saja dulu. Mengapa harus terburu-buru...?”
Elang Laut Utara menyambut Ular Perak Jantan 
dengan tawa sesumbar. Tampaknya lelaki gemuk itu 
merasa sangat yakin bahwa Sepasang Ular Perak be-
lum mengetahui rahasia kekebalan tubuhnya. Sehing-
ga, ia masih saja tertawa-tawa meremehkan lawannya.
“Oh, kalau memang itu kemauanmu, bersiaplah. 
Mungkin pukulanku agak sedikit keras dari yang ba-
rusan kau terima....”
Sadar bahwa kesempatan emas untuk menyingkap 
rahasia kekebalan tubuh lawannya telah terbuka le-
bar, Ular Perak Jantan pun segera memanfaatkan-nya.

“Silakan.... Tapi, hati-hatilah agar kau tidak sampai 
terjatuh karenanya...,” ejek Elang Laut Utara sambil 
bertolak pinggang, seolah-olah menyuruh lawannya 
memilih bagian yang terlunak dari tubuh gemuknya 
itu.
“Hm....”
Ular Perak Jantan bergumam dengan tatapan mata 
tajam sebelum melontarkan pukulannya. Jelas sekali 
kalau lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu tengah men-
duga, apa yang akan dilakukan Elang Laut Utara apa-
bila ia melontarkan serangannya.
“Haaattt...!”
Setelah mengambil keputusan yang dianggapnya 
tepat, Ular Perak Jantan pun segera berseru nyaring. 
Berbarengan dengan teriakan itu, tubuhnya yang ting-
gi kurus melesat ke depan dengan kuda-kuda rendah. 
Sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa Ular Pe-
rak Jantan langsung menggunakan jurus andalannya 
dalam melancarkan serangan pertama. Tentu saja ge-
rakan yang gesit dan sulit diketahui perubahannya itu 
membuat Elang Laut Utara terlihat mengerutkan ke-
ningnya karena khawatir.
“Tunggu...!”
Tiba-tiba saja, sebelum serangan Ular Perak Jantan 
datang, Elang Laut Utara berseru mencegah sambil 
melangkah mundur menjauhi tempat berdirinya semu-
la. Jelas sekali kalau lelaki berkulit hitam itu tidak be-
rani menganggap remeh serangan ‘Jurus Ular’ yang di-
lancarkan lawannya.
***
DUA

“Hmh...! Mengapa kau menghindar, Elang Laut Uta-
ra? Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk 
menyerangmu? Mengapa kini kau mencegah-nya? 
Apakah kau berubah pikiran karena takut tubuhmu 
akan terluka...?” kata Ular Perak Jantan.
Lelaki tua bertubuh kurus itu tampaknya sengaja 
memancing-mancing kemarahan lawannya dengan ka-
ta-kata ejekan, yang rupanya sangat mengena. Elang 
Laut Utara terlihat menggeram jengkel menahan ke-
dongkolan hatinya.
“Setan! Kau pikir, aku takut dengan jurus ular je-
lekmu itu? Ayo, tunjukkanlah kehebatannya di depan-
ku...!”
Elang Laut Utara berteriak-teriak dengan hati jeng-
kel. Kesombongannya bangkit seketika begitu menden-
gar ejekan yang menyakitkan dari Ular Perak Jantan. 
Ia pun terpaksa menantang-nantang jurus andalan la-
wannya yang tadi siap terlontar ke arah tubuhnya.
“Kau tidak akan mengelak...?” desak Ular Perak 
Jantan.
Pertanyaan yang bernada menantang itu tentu saja 
sangat sukar dijawab oleh Elang Laut Utara, yang su-
dah terikat janjinya tadi. Wajahnya pun tampak sema-
kin gelap.
“Hmmmh....Mengelak atau tidak, itu terserah kepa-
daku! Kalau kau mau menyerang, seranglah! Tidak 
perlu banyak bacot lagi...!”
Akhirnya Elang Laut Utara yang tentu saja tidak 
mau celaka, terpaksa tidak mempedulikan lagi janji-
nya. Jelas bahwa tokoh sesat Pantai Timur itu tidak 
ingin nyawanya melayang hanya karena mempertahankan sebuah janji.
“Ha ha ha...! Rupanya kau benar-benar tidak berani 
menahan pukulanku dengan kekebalan tubuhmu. Du-
gaanku ternyata tidak meleset. Kau hanya besar mulut 
dan tidak mempunyai pendirian tetap, Elang Laut Uta-
ra...,” ujar Ular Perak Jantan sambil tertawa berkaka-
kan memegangi perutnya.
Tentu saja suara tawa dan tingkah lelaki tinggi ku-
rus itu membuat wajah Elang Laut Utara semakin ber-
tambah merah.
“Keparat...! Kubunuh kau...!”
Elang Laut Utara, yang sudah tidak sanggup lagi 
membendung amarahnya, langsung membentak keras 
sambil melesat dengan serangkaian serangan maut-
nya.
Beeettt! Beeet! Beeet!
Sesuai dengan julukan yang diberikan untuknya, le-
laki gemuk berkulit hitam itu menerjang dengan mem-
pergunakan cakar-cakar yang membentuk cengkera-
man elang. Jari tengah, telunjuk, dan ibu jarinya yang 
membentuk segitiga langsung menyambar-nyambar 
dengan kecepatan kilat. Datangnya sambaran cakar 
elang itu selalu dibarengi dengan suara bercuitan. Hal 
ini menandakan bahwa kekuatan yang tersembunyi di 
dalamnya sangatlah hebat.
Ular Perak Jantan sendiri sempat mengerutkan ken-
ing ketika menyaksikan kecepatan dan angin samba-
ran cakar lawannya. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, langsung saja lelaki tinggi kurus itu bergerak 
menghindar. Dan, dilancarkannya serangan balasan 
dengan tidak kalah sengitnya.
“Yeeeattt...!”
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan 
itu bergerak dengan kuda-kuda rendah. Sesekali tangannya tampak membentuk paruh ular. Dan, tubuh-
nya terlihat melesat dengan kecepatan mengejutkan. 
Gerakannya yang luwes dengan pagutan-pagutan tak 
terduga sempat pula membuat Elang Laut Utara ke-
bingungan beberapa saat lamanya.
“Yiaaattt...!”
Belum lagi Elang Laut Utara sempat menguasai 
keadaannya, terdengar lengking nyaring yang disusul 
dengan terjunnya Ular Perak Betina ke kancah perta-
rungan. Tentu saja kehadiran wanita cantik ini mem-
buat tokoh sesat berkulit hitam itu terdesak semakin 
hebat
“Setan belang...!”
Sambil melontarkan makian kalang-kabut, Elang 
Laut Utara berusaha keras keluar dari kepungan sepa-
sang suami istri pendekar itu. Namun, usahanya bah-
kan mengakibatkan sebuah pagutan jari tangan Ular 
Perak Jantan telak menghantam bagian iganya.
Tuggg!
“Aaakkk...?!”
Keanehan pun kembali terjadi. Ular Perak Jantan, 
yang berhasil menyarangkan pukulannya, justru me-
ngeluarkan pekik tertahan. Untungnya, meskipun pu-
kulan jari-jari tangannya mengenai tubuh lawan seca-
ra telak, Ular Perak Jantan masih sempat mengurangi 
tekanan tenaga dalamnya, bahkan masih sempat pula 
memiringkan jari-jari tangannya. Sehingga, akibat 
yang dirasakannya pun tidak terlalu parah.
Sambil menarik napas panjang dan meluruskan 
tangan kanannya ke atas, Ular Perak Jantan menatap 
tajam ke arah tubuh lawannya. Ia masih tampak terke-
jut ketika ujung jari tangannya terasa bagai mematuk 
sebuah benda lunak yang dapat membalikkan tenaga 
pukulannya. Untunglah ia tadi sempat menyadarinya

dan segera menarik kembali tenaganya.
“Hm.„, Elang Laut Utara pasti menggunakan sema-
cam baju pusaka di balik pakaian luarnya. Entah dari 
mana iblis ini bisa mendapatkan pusaka yang sangat 
ampuh itu...,” desis Ular Perak Jantan, yang sempat 
melihat kilauan cahaya perak dari balik sobekan pa-
kaian lawan yang terkena patukan ujung jarinya.
Pada saat itu, Elang Laut Utara sudah bertarung 
menghadapi serbuan Ular Perak Betina. Wanita cantik 
yang sebelah tangannya tidak lagi dapat digunakan se-
cara utuh itu ternyata masih juga sanggup melepaskan 
serangkaian serangan maut yang bisa membuat nyawa 
lawannya melayang. Elang Laut Utara pun merasa 
agak kerepotan. Apalagi, serangan-serangan lawannya 
tertuju ke arah seputar leher dan kedua matanya. Ten-
tu saja serangan-serangan berbahaya itu tidak bisa di-
diamkannya.
“Haaahhh!”
Elang Laut Utara membentak keras sambil men-
gangkat tubuhnya. Akibatnya, totokan jari tangan la-
wan yang semula mengincar matanya kini meluncur ke 
arah dadanya. Tentu saja serangan itu tidak di-
pedulikan Elang Laut Utara. Sebab, bagian dadanya te-
lah terlindung oleh pakaian pusakanya, Baju Mustika.
Tuuuggg!
Ular Perak Betina, yang tidak sempat lagi menarik 
kembali serangannya, berteriak kesakitan saat tenaga-
nya membalik. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Elang Laut Utara, yang langsung saja 
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke dada 
lawan. Akibatnya....
Breeehsss...!
“Aaarghhh...!”
Bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan

angin, tubuh Ular Perak Betina terhempas akibat do-
rongan sepasang telapak tangan yang berkekuatan he-
bat itu. Darah segar pun langsung menyembur mengi-
ringi jerit melengking yang keluar dari mulut wanita 
cantik itu.
“Nyai...!”
Ular Perak Jantan terkejut bukan main menyaksi-
kan kenyataan dihadapannya. Cepat bagaikan kilat, 
tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke 
arah lawannya. Kemarahan dan rasa sedih melihat is-
trinya yang terlempar itu membuat Ular Perak Jantan 
tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. Terjangan 
yang dilakukannya kali ini benar-benar merupakan se-
rangan yang mematikan.
Elang Laut Utara, yang melihat datangnya serangan 
lawan, segera menarik kedua tangannya ke sisi ping-
gang. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tokoh sesat 
bertubuh pendek itu bergerak menyambut terjangan 
lawan dengan dorongan sepasang telapak tangannya. 
Tampaknya ia ingin mengulangi keberhasilannya se-
perti yang dilakukan terhadap Ular Perak Betina tadi.
“Yeaaattt...!”
“Haaattt...!”
Diiringi teriakan yang berkepanjangan tubuh kedua 
tokoh sakti itu sama-sama melambung ke udara. Dan, 
pada saat yang bersamaan, keduanya saling mendo-
rongkan telapak tangan masing-masing ke depan.
Whuuusss...!
Whuuukkk...!
Sambaran angin keras mengiringi datangnya puku-
lan jarak jauh yang sama-sama dilontarkan oleh kedua 
tokoh sakti itu. Akibatnya....
Blaaarrr...!
Benturan keras terdengar bagaikan hendak mengguncangkan bumi. Bukit karang yang berdiri dalam ja-
rak sepuluh batang tombak dari kancah pertarungan 
pun tampak bergetar. Dan, disusul dengan bergugu-
rannya bebatuan kecil akibat ledakan dari benturan 
tenaga kedua orang sakti itu.
“Aaahhh...!”
Tubuh Ular Perak Jantan dan Elang Laut Utara sa-
ma-sama terlempar deras ke belakang. Pada saat tu-
buh keduanya tengah melayang di udara, Elang Laut 
Utara yang rupanya memiliki tenaga sedikit lebih kuat 
dibanding lawannya segera melepaskan jarum-jarum 
halus yang tampaknya memang telah dipersiapkan se-
belumnya. Akibatnya, jarum-jarum halus yang jelas 
mengandung racun itu langsung melesat ke arah tu-
buh Ular Perak Jantan, yang tidak kuasa lagi meng-
hindarinya.
Crabbb! Crabbb!
“Aaakhhh...!”
Terdengar pekik kesakitan ketika jarum-jarum ha-
lus amblas ke dalam tubuh Ular Perak Jantan. Begitu 
tubuhnya terbanting di atas tanah, darah segar pun 
langsung termuntah dari mulutnya. Belum lagi rasa 
sesak akibat benturan tenaga dengan lawannya mere-
da, tiba-tiba Ular Perak Jantan merasakan sakit yang 
tidak wajar. Tubuhnya langsung meregang.
“Auuuhhh.... Auuuhhh...!?”
Ular Perak Jantan terus saja berteriak-teriak sambil 
menggaruk-garuk beberapa bagian tubuhnya. Sambil 
terus mendesis-desis, lelaki tinggi kurus itu sibuk 
menggaruki semua bagian tubuhnya. Bahkan, sampai 
kulit tubuhnya menjadi lecet dan mengalirkan darah, 
Ular Perak Jantan tetap tidak peduli, la tetap mengga-
ruk sambil mendesis-desis. Jelas, semua itu akibat be-
kerjanya racun dari jarum-jarum halus yang dilepaskan Elang Laut Utara.
“Heh heh heh.... Kau rasakanlah akibat racun 
‘Ubur-Ubur Laut’ku, Ular Perak Jantan....”
Elang Laut Utara terdengar mengeluarkan pula ta-
wa terkekeh serak. Namun, setelah itu, darah segar 
termuntah pula dari mulutnya. Dari caranya tertawa 
dan langkahnya yang tertatih-tatih, tampak jelas bah-
wa tokoh sesat itu pun mengalami luka dalam yang 
sangat parah. Sambil memperdengarkan tawa serak-
nya yang sesekali diselingi suara batuk, Elang Laut 
Utara meninggalkan tubuh kedua lawannya yang su-
dah tidak berdaya lagi.
Ular Perak Betina terbujur kaku dengan wajah pu-
cat. Dan, cairan merah terlihat masih terus mengalir 
melalui sudut bibirnya. Jelas bahwa pukulan tenaga 
dalam Elang Laut Utara telah menghancurkan bagian 
dalam tubuh wanita cantik itu dan menewaskannya 
dengan seketika.
Keadaan Ular Perak Jantan pun tampak sangat me-
nyedihkan. Pakaian yang dikenakan lelaki tinggi kurus 
itu sudah dibasahi darah segar. Bahkan, jubah pan-
jangnya kini terlihat compang-camping, karena kedua 
tangannya tidak pernah berhenti menggaruki sekujur 
tubuhnya. Dengan meninggalkan rupa tubuh yang 
mengerikan, Ular Perak Jantan pun tidak lama kemu-
dian tewas setelah mengalami siksaan rasa gatal yang 
tak tertahankan itu.
Ombak Laut Bandan kembali berdebur menuju
pantai. Untungnya, letak mayat Sepasang Ular Perak 
cukup jauh dari tepian pantai. Sehingga, air laut tidak 
dapat menjangkaunya. Kalau tidak, tubuh kedua 
orang itu pasti akan terseret dan mungkin pula akan 
lenyap ditelan dalamnya Laut Bandan.
***
Kokok ayam hutan terdengar bersahutan menyam-
but datangnya fajar. Perlahan kemudian, kegelapan 
pun mulai terusir oleh sinar kemerahan yang kian me-
nerangi tanah. Sang matahari telah memulai tugasnya.
Pagi itu, daerah Pantai Timur Laut Bandan yang bi-
asanya selalu sepi tampak didatangi serombongan 
orang. Gerak mereka rata-rata terlihat gesit dan sangat 
ringan. Tampak jelas bahwa rombongan itu tidaklah 
terdiri dari orang-orang kebanyakan. Singkatnya, me-
reka adalah orang-orang dari kalangan rimba persila-
tan.
“Kakang, lihat itu...!”
Sosok yang berada di sebelah kiri seorang lelaki ter-
depan berseru sambil menunjuk ke satu arah ketika 
baru saja menginjakkan kakinya di Pantai Timur. Sete-
lah berkata demikian, tubuh lelaki berperawakan se-
dang itu langsung bergerak mendahului rekan-
rekannya yang lain.
“Adi Wilang, tunggu...!”
Lelaki terdepan yang tampaknya merupakan pe-
mimpin rombongan itu berseru mencegah perbuatan 
kawannya yang dipanggil dengan nama Wilang. 
Sayang, seruannya sedikit terlambat la pun hanya 
menghela napas ketika melihat sosok Wilang telah ber-
gerak ke arah dua onggok benda yang juga telah dili-
hatnya.
Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima ta-
hun yang menjadi pemimpin rombongan itu segera me-
lesat menyusul Wilang. Sebentar saja tubuhnya telah 
menjajari rekannya. Hal ini menandakan bahwa ke-
pandaian yang dimilikinya masih berada di atas ke-
pandaian Wilang. Padahal, kalau dilihat dari gerakan-
nya, Wilang saja sudah bisa dibilang cukup hebat. 
Tentu saja dapat dibayangkan, sampai di mana kehebatan lelaki gagah pemimpin rombongan persilatan itu.
“Biadab...!”
Begitu tiba di dekat dua onggok tubuh yang ternya-
ta adalah dua sosok mayat itu, lelaki gagah itu terden-
gar menggeram sambil mengepalkan tinjunya kuat-
kuat. Jelas sekali kalau ia sangat marah melihat kea-
daan mayat-mayat di depannya.
“Bangsat keji...!”
Wilang pun tidak kalah marahnya melihat keadaan 
kedua sosok mayat itu. Bahkan, sepasang matanya 
sempat terpejam manakala melihat sosok mayat lelaki 
tinggi kurus yang keadaannya benar-benar menyedih-
kan. Sehingga, seorang lelaki gagah dan terlatih baik 
seperti Wilang pun harus bergerak mundur dan mem-
buang muka. Jelas bahwa lelaki bertubuh sedang ini 
tidak sampai hati menyaksikan keadaan mayat berpe-
rawakan tinggi kurus itu.
“Tenanglah, Adi Wilang. Lebih baik kita urus mayat 
ketua kita ini sebaik-baiknya,” hibur lelaki gagah pe-
mimpin rombongan itu sambil menepuk-nepuk pelan 
bahu Wilang.
“Di mana mayat manusia keparat itu, Kakang...? 
Mengapa kita tidak melihatnya di sekitar pantai ini? 
Apakah mayatnya telah diseret binatang buas? Sebab, 
kalau sampai bisa membunuh kedua pemimpin kita, 
mustahil jika ia sendiri bisa selamat,” ujar Wilang se-
raya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan sepasang 
mata mencari-cari.
Wilang kemudian bergerak meninggalkan pemimpin 
rombongannya dan langsung mengelilingi sekitar pan-
tai dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sedang-
kan lelaki gagah itu hanya bisa menggeleng-gelengkan 
kepala tanpa berusaha untuk mencegah kepergiannya.
Delapan orang lelaki gagah lainnya yang tiba belakangan di dekat kedua sosok mayat itu membelalak 
sesaat bagaikan belum bisa percaya dengan apa yang 
dilihatnya. Tampak sekali kalau pemandangan yang 
terpampang di depan mata mereka masih belum bisa 
dipercayai sepenuhnya.
“Mungkinkah ketua kita tewas di tangan Elang 
Laut Utara...? Rasanya..., aku belum bisa memper-
cayainya. Pasti iblis licik itu mengundang tokoh lain 
untuk membantunya. Kalau tidak, mana mungkin ia 
dapat menewaskan kedua ketua kita...,” kata seorang 
lelaki tinggi kurus yang berjenggot seperti kambing 
dengan nada penasaran. Sepasang matanya yang men-
jorok ke dalam tampak mengawasi sekeliling dengan 
sorot tajam.
“Elang Laut Utara sama sekali tidak membawa ka-
wan seorang pun, Adi Langga. Dari jejak kaki yang ter-
tinggal di atas pasir putih ini, aku kira jumlah yang 
bertarung tidak lebih dari tiga orang. Mereka pasti 
Elang Laut Utara dan Sepasang Ular Perak, ketua kita. 
Sepertinya pertarungan berlangsung jujur. Karena itu, 
sulit bagi kita untuk menyalahkan Elang Laut Utara 
dalam hal ini. Tapi, tentu saja kita harus melenyapkan 
tokoh sesat itu, karena keberadaannya sangat berba-
haya bagi orang banyak. Untuk itu, kita harus men-
carinya tapi bukan berdasarkan dendam atas kematian 
ketua kita...,” kata lelaki gagah itu, mengingatkan re-
kan-rekannya yang lain. Hal ini diutarakannya karena 
ia melihat sorot dendam terpancar jelas pada raut wa-
jah rekan-rekannya.
“Kakang Lunggara. Mana bisa iblis keji itu dibilang 
jujur dalam melakukan pertarungan dengan ketua ki-
ta? Jelas-jelas ia menggunakan racun keji untuk me-
newaskan Ular Perak Jantan. Jadi, menurutku, iblis li-
cik itu memang tidak jujur. Dia harus dilenyapkan

dengan ataupun tanpa alasan yang tepat!” bantah lela-
ki berjenggot kambing yang bernama Langga itu den-
gan suara tandas. Langga kelihatan sangat menaruh
dendam terhadap Elang Laut Utara yang menyebabkan 
tewasnya Sepasang Ular Perak. Dan, tampaknya tekad 
lelaki tinggi kurus itu sudah tidak bisa ditawar lagi.
“Menurutku, apa yang dikatakan Langga sama se-
kali tidak salah. Sebab, tewasnya ketua kita sudah 
pasti akan mengundang berbagai tanggapan dari kala-
ngan sesat. Dan, bukan mustahil kalau mereka akan 
semakin berani melakukan tindakan sesat Untuk itu, 
tentunya kita harus bekerja lebih keras. Apalagi, saat 
ini kita sama sekali belum tahu, bagaimana keadaan 
Elang Laut Utara. Syukur-syukur kalau ia pun tewas. 
Tapi, kalau tidak, bagaimana...?”
Seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala sepa-
ruh botak ikut angkat bicara. Sikap dan ucapan-nya 
jelas-jelas mendukung tekad Langga. Sehingga, lebih 
dari separuh tokoh-tokoh yang berada di tempat itu 
sama-sama menganggukkan kepala. Tentu saja hal ini 
membuat Lunggara, si pemimpin rombongan, hanya 
bisa mengusap dada.
Lunggara, yang sedianya ingin membantah ucapan 
lelaki gemuk yang separuh kepalanya botak itu, me-
nunda niatnya ketika melihat Wilang bergerak datang 
dengan wajah gelap. Jelas sudah kalau lelaki ber-
perawakan sedang itu tidak berhasil mendapatkan apa 
yang dicarinya.
“Kita harus mendatangi Pulau Elang untuk me-
mastikan keadaan Elang Laut Utara. Kita harus tahu, 
tokoh sesat itu masih hidup atau sudah mati. Kalau 
memang masih hidup, ia harus merasakan kematian 
yang paling mengerikan dan tidak pernah terbayang-
kan sebelumnya...!”
Begitu tiba di tempat rekan-rekannya berkumpul, 
Wilang langsung mengutarakan dendam di hatinya. 
Tentu saja ucapan itu disambut dengan teriakan-
teriakan setuju.
“Tapi, bagaimana kalau iblis keji itu juga telah te-
was...?” celetuk salah seorang di antara mereka.
Para tokoh lainnya langsung berpandangan satu 
sama lain. Sebab, apabila Elang Laut Utara memang 
telah tewas, sulit sekali bagi mereka untuk menen-
tukan tindakan.
“Hm..., kalau memang iblis keji itu telah tewas, ten-
tu keturunannyalah yang akan menanggung dosa per-
buatannya selama ini...!” tandas Langga.
Kata-kata yang diucapkan dengan suara berat dan 
bergetar itu sempat membuat para tokoh lainnya ber-
gidik ngeri. Sebab, suara lelaki kurus itu demikian 
kuat menimbulkan pengaruh.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi...? Ayo, kita segera 
berangkat...”
Kesunyian yang sekejap tadi langsung pecah oleh 
suara Wilang yang terdengar penuh semangat. Tanpa 
banyak cakap lagi, para tokoh persilatan itu pun ber-
gegas meninggalkan Pantai Timur Laut Bandan me-
nuju perkampungan nelayan untuk mencari perahu. 
Sebab, tempat kediaman Elang Laut Utara hanya da-
pat dicapai melalui jalan laut.
***

TIGA

Tanah pekuburan di ujung Desa Gemparan tampak 
sunyi. Panasnya sinar matahari yang memancar terik 
membuat suasana di sekitar tempat itu semakin len-
gang. Tak satu manusia pun terlihat di jalan lebar 
yang membelah pemakaman itu.
Namun, dalam suasana siang yang terik dan kesu-
nyian yang mencekam itu, tampak sesosok tubuh 
ramping terpekur di sisi sebuah tanah kuburan yang 
masih merah. Jelas sekali kalau makam yang tengah 
dihadapinya itu masih baru. Paling tidak, baru bebera-
pa jam makam itu ditimbun. 
“Ibu....”
Bibir mungil yang basah kemerahan itu terdengar 
menggerimit perlahan. Wajahnya yang tertunduk ter-
angguk lemah. Sedangkan jemari tangannya menabur-
kan kembang di atas tanah makam. Sesaat kemudian, 
sosok yang jelas adalah seorang gadis muda itu men-
gangkat tubuhnya dan berdiri tegak.
“Doakanlah agar aku dapat bertemu dengan Ayah, 
Bu. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah mem-
beritahukanmu perihal kedatangan Ayah, yang men-
didikku dengan pelajaran ilmu silat setiap kali datang. 
Semua kulakukan karena janjiku kepada Ayah untuk 
tidak memberitahukan kedatangannya kepada siapa 
pun, termasuk juga kepada Ibu. Semoga Ibu mau me-
maafkan kesalahanku selama ini. Aku pamit untuk 
mencari Ayah. Mudah-mudahan Ayah masih tetap 
tinggal di tempat yang Ibu tunjukkan kepadaku....”
Usai berkata demikian, gadis yang tampak baru be-
rusia tujuh belas tahun lebih itu membalikkan tubuh-
nya, lalu berjalan lambat-lambat menyusuri tanah pekuburan. Gadis muda berwajah manis yang bernama 
Surni itu kemudian mengangguk sekilas ke-pada pen-
jaga makam yang berdiri di ujung pekuburan, lalu te-
rus melangkah meninggalkan tempat itu.
“Hm..., menurut keterangan Ibu, aku harus berjalan 
ke arah Selatan. Apabila sudah menemukan Laut Ban-
dan, aku tinggal mencari pantai sebelah Timurnya. Da-
ri sanalah baru aku bisa mencapai tempat tinggal Ayah 
secara lebih mudah. Kalaupun sulit untuk men-cari 
tempat tinggalnya, aku harus bertanya tentang seo-
rang tokoh yang berjuluk Elang Laut Utara. Begitu pe-
san Ayah pada kedatangannya yang terakhir kali. Se-
dangkan Ibu sendiri hampir tidak pernah mem-
beritahukan apa-apa perihal Ayah kepadaku....”
Setelah berpikir demikian, Surni menggunakan ilmu 
lari cepatnya. Hal itu dilakukannya ketika ia sudah ti-
dak berpapasan lagi dengan seorang pun penduduk 
Desa Gemparan. Sebab, para penduduk selama ini 
hanya mengenalnya sebagai gadis desa yang ramah. 
Tak seorang pun tahu bahwa gadis cantik yang keliha-
tan lembut itu sebenarnya menyimpan ilmu kepan-
daian yang tidak sembarangan.
Surni terus bergerak menyusuri jalan lebar yang 
menuju ke arah Selatan. Tanpa terasa, beberapa jam 
telah dilaluinya. Gadis itu menghentikan langkahnya 
sejenak. Perjalanan yang sebenarnya bisa memakan 
waktu seharian ini ternyata dapat ditempuhnya dua 
kali lebih cepat. Bahkan, tanpa merasa lelah sedikit 
pun, Surni langsung melanjutkan perjalanannya. Se-
bab, pikirnya, ia baru akan beristirahat apabila hari te-
lah menjadi gelap. Selama hari masih terang, gadis 
muda berparas manis itu tidak akan lama-lama meng-
hentikan perjalanannya. Bayang kerinduan terhadap 
ayahnya dan keingintahuannya tentang pendapat

orang tua itu mengenai kematian ibunya semakin 
membuat Surni ingin segera menjumpai ayahnya, yang 
selama ini secara diam-diam menjenguk dan meng-
ajarkannya ilmu-ilmu silat tingkat tinggi. Sekaranglah 
Surni baru merasakan, betapa pentingnya mempelajari 
ilmu silat Kalau saja ayahnya dulu tidak bersungguh-
sungguh mendidiknya, belum tentu ia akan memiliki 
kepandaian setinggi sekarang. Dan, baru kini dirasa-
kan Surni hal itu.
Pengalaman kedua yang membuat gadis itu merasa-
kan betapa pentingnya memiliki ilmu silat adalah keti-
ka ia tengah melewati sebuah hutan. Di tengah perja-
lanan, pada tengah hari itu, Surni dikejutkan oleh se-
buah bentakan keras yang terdengar parau.
“Berhenti...!”
Karena telah terbiasa dengan gerak-gerak alat yang 
dipelajarinya, kedua kaki Surni langsung bergerak 
mundur dalam kuda-kuda siap tempur. Sepasang ma-
tanya yang bulat dan jernih berputar mengawasi seki-
tar. Rupanya, setelah melakukan perjalanan se-lama 
dua malam, gadis itu menjadi agak terbiasa hidup di 
alam bebas. Kecerdikan otaknya membuat apa yang 
didengar dan dilihatnya dapat dipelajarinya dengan 
baik. Sehingga, secara tak sadar, nalurinya telah be-
kerja dengan sempurna.
“Heh heh heh...! Hari ini benar-benar merupakan 
hari keberuntungan bagiku. Siapa sangka pada tengah 
hari seperti ini ada seekor kelinci yang tersasar...!”
Suara serak dan berat itu disusul oleh munculnya 
sesosok tubuh jangkung terbungkus pakaian berwarna 
gading. Sepasang matanya yang lebar tampak berputar 
mengawasi sekujur tubuh Surni. Lagaknya persis se-
perti pedagang yang hendak menawar barang daga-
ngan.

Surni sendiri, yang belum sadar akan kedahsyatan 
ilmu-ilmu yang diturunkan ayahnya, bergerak ke ka-
nan dalam sikap yang tetap siap tempur. Padahal, ka-
lau saja ia tahu siapa sebenarnya orang tua yang telah 
mendidiknya berlatih ilmu silat, gadis manis itu belum 
tentu akan setegang ini. Sebab, Elang Laut Utara me-
rupakan seorang tokoh sesat yang kepandaian-nya se-
jajar dengan datuk-datuk golongan hitam. Tapi, karena 
Elang Laut Utara lebih sering berada di tempat kedia-
mannya di luar daratan, namanya jarang ter-dengar di 
kalangan rimba persilatan. Hanya orang-orang golon-
gan ataslah yang memperhitungkan nama tokoh ge-
muk berkulit hitam itu. Sedangkan bagi tokoh-tokoh 
biasa, nama Elang Laut Utara tidak begitu dikenal.
“Siapa kau, Kisanak? Apa maksud ucapanmu 
itu...?”
Dengan sikap yang tetap tidak meninggalkan ke-
waspadaannya, Surni mencoba menegur lelaki Jang-
kung bermata besar itu. Sedangkan lelaki bertampang 
kasar itu terlihat menertawakan sikap Surni. Sebab, 
dengan memasang kuda-kuda siap tempur seperti itu, 
Surni kelihatan bagai orang yang baru mempelajari 
beberapa gerak ilmu silat. Hal inilah yang membuat le-
laki bermata besar itu tertawa bergelak-gelak.
Meski tawa yang jelas-jelas mengandung nada eje-
kan itu membuat wajahnya memerah, Surni tetap be-
rusaha untuk menekan rasa marahnya dan terus ber-
sikap tenang, penuh kewaspadaan. Ingatan tentang 
nasihat ayahnya, yang seringkali mengatakan perihal 
kelicikan dan kebusukan hati manusia, membuatnya 
semakin hati-hati menghadapi laki-laki yang tampak 
seperti seorang perampok tunggal ini.
“Heh heh heh.... Seharusnya akulah yang mengaju-
kan pertanyaan kepadamu, karena daerah ini merupa

kan daerah kekuasaanku. Tapi, karena kau sangat 
menarik hatiku, maka biarlah aku berbaik hati dengan 
menjawab pertanyaanmu itu. Aku dikenal sebagai Ma-
can Hutan Jengger. Sedangkan maksudku sudah jelas 
hendak berkawan denganmu, Gadis Cantik. Mari sing-
gah di tempat kediamanku. Kau pasti akan merasa se-
nang...,” ujar lelaki jangkung itu dengan nada suara 
yang terdengar demikian angkuh, seolah-olah kepan-
daian dirinya jauh berada di atas.
“Hm..., maaf. Aku tidak mempunyai banyak waktu 
untuk singgah di tempatmu, Kisanak. Biarkanlah aku 
lewat. Lain kali bila ada kesempatan, mungkin tawa-
ranmu bisa kupertimbangkan....”
Setelah berkata demikian, Surni melangkah menyisi 
hendak melewati lelaki jangkung yang berjuluk Macan 
Hutan Jengger itu.
“Haiiittt...! Hendak ke mana kau, Nlsanak? Tidak 
semudah itu kau boleh pergi dari sini!”
Macan Hutan Jengger rupanya tidak bersedia mem-
berikan jalan lewat bagi Surni. Lelaki jangkung itu se-
gera melesat menghadang jalan begitu Surni ber-gerak 
hendak meninggalkan tempat itu. Sehingga, gadis ma-
nis itu kembali melesat ke belakang dengan sikap se-
perti semula, siap tempur.
“Hm..., jelas sudah sekarang, apa sebenarnya mak-
sudmu menghadang jalanku! Kalau begitu, terpaksa 
aku harus menggunakan kekerasan!”
Usai berkata demikian, Surni yang sudah habis ke-
sabarannya segera bergerak maju dengan langkah-
langkah ringan, tapi jelas menunjukkan kematangan-
nya berlatih. Macan Hutan Jengger pun sempat terte-
gun dibuatnya.
“Heh heh heh.... Rupanya kau memiliki kepandaian 
yang lumayan. Pantas kau berani melawan kepada

ku...,” ujar Macan Hutan Jengger seraya melangkah ke 
kanan guna mengimbangi gerak langkah Surni yang 
bergerak ke kiri. Sikap yang diambil lelaki jangkung ini 
jelas menandakan kesombongan hatinya. Kalau tidak, 
tentu ia akan bergerak ke kiri dan bukan ke kanan 
yang malah menyambut gerak maju lawan.
“Haaaiiittt...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Surni yang sudah tidak 
bisa menahan sabar itu langsung saja melontarkan 
pukulan satu dua yang mendatangkan angin berciu-
tan.
Bweeettt! Bweeettt!
Macan Hutan Jengger sempat terkejut merasakan 
kuatnya angin pukulan gadis muda itu. Namun, begitu 
melihat betapa Surni masih ragu-ragu dalam me-
lancarkan serangan-serangannya, sadarlah lelaki jang-
kung itu kalau gadis remaja yang dihadapinya sama 
sekali belum berpengalaman menghadapi pertarungan. 
Dan, tentu saja hal ini merupakan suatu keuntungan 
baginya.
Dengan gerak langkah yang cukup gesit, Macan Hu-
tan Jengger menggeser tubuhnya menghindari seran-
gan satu dua yang dilontarkan Surni. Kemudian, dico-
banya melontarkan serangan balasan dengan gerak ti-
pu yang tak terduga. Sehingga, untuk beberapa jurus 
lamanya, Surni kelihatan sibuk menghindari serangan-
serangan yang dilancarkan Macan Hutan Jengger. Pa-
dahal, serangan-serangan yang dilancarkan lelaki 
jangkung itu tidak terlalu berbahaya. Bahkan, terka-
dang serangan itu hanya merupakan gertakan kosong. 
Tapi, karena memang belum berpengalaman, Surni 
sama sekali tidak mengetahuinya.
“Heaaahhh!”
Sambil membentak keras, suatu ketika Surni nekat

bermaksud menyambut sebuah kepalan lawan dengan 
dorongan telapak tangan kanannya. Dan belum lagi 
dorongan telapak tangan kanannya tiba, ia langsung 
menyusulinya dengan sambaran tangan kiri. Tentu sa-
ja semua itu dilakukan Surni hanya karena rasa jeng-
kelnya.
Macan Hutan Jengger yang belum mengetahui ke-
hebatan gadis remaja itu tentu saja malah mengeluar-
kan dengusan mengejek. Tanpa ragu-ragu lagi, ke-
palannya terus saja meluncur ke dada lawan. Jelas 
bahwa perampok tunggal ini merasa yakin bahwa gadis 
itu pasti akan segera dapat dilumpuhkannya.
Plakkk!
“Aaahhh?!”
Bukan main terperanjatnya hati Macan Hutan Jeng-
ger saat pukulannya bertumbukan dengan telapak 
tangan kanan gadis cantik itu. Ia semula mengira, 
Surni akan terjengkang akibat pertemuan tenaga itu. 
Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Pekik tertahan ju-
stru keluar dari mulut Macan Hutan Jengger, seiring 
terpentalnya tubuh perampok tunggal itu sejauh dua 
batang tombak lebih. Tentu saja kenyataan ini hampir 
tidak dipercayainya sendiri.
Lain halnya dengan Surni. Gadis cantik putri tokoh 
sesat itu menjadi bertambah percaya akan kepandaian 
yang dimilikinya. Dengan pengerahan tenaga dalam 
sepenuhnya, tubuh gadis cantik itu pun terbang me-
lanjutkan hantaman telapak tangan kiri sebagai susu-
lan dari tangkisannya.
Whuuuttt...!
“Aaahhh...?!”
Datangnya sambaran angin berciutan itu tent saja 
membuat Macan Hutan Jengger terbelalak pucat Apa-
lagi, saat tangan kiri Surni datang, ia baru saja berusaha untuk memperbaiki kedudukannya yang tadi ter-
gempur telapak tangan kanan lawannya. Akibat-nya....
Desss...!
“Huggghhh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, hantaman telapak tangan 
yang mengandung kekuatan hebat itu pun telak bersa-
rang di tubuh Macan Hutan Jengger. Darah segar 
langsung menyembur seiring tertolaknya tubuh jang-
kung itu ke belakang.
Bruuuggg...!
Dengan menimbulkan suara berdebuk keras, tubuh 
Macan Hutan Jengger terbanting di atas tanah berum-
put kering. Lelaki jangkung itu menggeliat dengan se-
kujur tubuh terasa remuk.
“Huaaakhhh...!”
Darah segar kembali termuntah ketika lelaki jang-
kung itu mencoba bergerak bangkit Sesaat setelah tu-
buhnya menggeliat dengan rintihan tak jelas, akhir-
nya Macan Hutan Jengger diam tak bergerak-gerak la-
gi. Perampok tunggal yang selama ini malang melin-
tang menguasai sekitar wilayah Hutan Jengger harus 
menerima kematian di tangan seorang gadis remaja 
yang belum tahu apa-apa perihal dunia persilatan.
Dengan wajah setengah curiga, takut terpancing ke-
licikan lawan, Surni melangkah hati-hati mendekati 
tubuh Macan Hutan Jengger. Gadis remaja yang belum 
tahu bahwa lawannya telah tewas itu terus meman-
dang sosok lawannya dengan tatapan tajam. Sepasang 
tangannya siap melontarkan pukulan dengan sekuat 
tenaga.
Kening Surni mulai berkerut ketika dalam jarak dua 
langkah lagi, tubuh lawannya masih tetap terlihat ti-
dak bergerak. Terdengar tarikan napas penuh ke-
legaan saat gadis itu mengamati napas lawannya yang
sudah tidak ada lagi.
“Matikah dia...?” desah Surni yang belum menge-
tahui kehebatan ilmu warisan ayahnya.
Perlahan gadis remaja itu membungkuk dan meme-
riksa tubuh lawannya secara lebih teliti. Beberapa saat 
kemudian, barulah Surni bangkit dengan wajah berse-
ri.
“Ayah.... Rupanya ilmu yang kau turunkan untukku 
memang sangat berguna dan hebat. Hari ini, diriku se-
lamat dari kejahatan seseorang dengan mengguna-kan 
ilmu-ilmu yang kau ajarkan. Aaah..., mulai seka-rang, 
aku tidak akan pernah takut lagi terhadap apa pun!” 
ujar Surni sambil menengadahkan kepalanya menatap 
langit yang tampak cerah.
Beberapa saat kemudian, gadis remaja itu kembali 
melanjutkan perjalanannya. Kali ini sikapnya lebih te-
nang dan penuh rasa percaya diri. Semua ini disebab-
kan oleh pengalaman yang sangat berharga yang dida-
patnya hari itu.
***
Siang itu, matahari di atas Pantai Timur Laut Ban-
dan memancar garang. Sinarnya yang kuning keema-
san terasa panas bagaikan hendak membakar permu-
kaan bumi. Ditambah lagi, desiran angin laut ikut 
membawa hawa panas. Sehingga, siapa pun yang be-
rada di tempat itu, sama saja seperti memanggang di-
rinya dengan sengaja.
Tapi, suasana yang demikian panas itu, bagi bebe-
rapa sosok tubuh yang tengah bergerak mendekati 
Pantai Timur ternyata sama sekali tidak terasa. Sepu-
luh sosok tubuh tampak bergerak menuju ke arah laut

dengan membawa dua buah perahu yang biasa digu-
nakan nelayan untuk mencari ikan.
“Heaaahhh...!”
Begitu air laut mulai terasa menyapu kaki mereka, 
kesepuluh orang lelaki gagah itu sama-sama mem-
bentak sambil melemparkan perahu yang dibawanya 
ke tengah laut. Bersamaan dengan meluncurnya kedua 
perahu itu, kembali terdengar bentakan susul-menyu-
sul yang dibarengi berlompatannya kesepuluh sosok 
tubuh itu mengikuti perahu yang baru dilemparkan 
tadi.
Hebat! Cara unik yang dipergunakan kesepuluh 
orang gagah itu untuk menaiki perahu memang benar-
benar mengagumkan. Begitu kedua perahu terjatuh di 
atas air laut, secara hampir bersamaan kesepuluh so-
sok tubuh itu pun sama-sama menjejakkan kakinya di 
lantai perahu. Mereka terbagi dalam dua kelompok 
dengan masing-masing lima orang dalam tiap perahu. 
Sesaat kemudian, perahu-perahu itu terlihat mulai 
bergerak mengarungi lautan luas.
“Berapa lama kira-kira kita bisa mencapai Pulau 
Elang Hitam, Kakang?” ujar seorang lelaki bertubuh 
gemuk, yang berambut botak pada bagian tengah ke-
palanya. Meskipun demikian, wajahnya tampak gagah 
dan memancarkan wibawa yang cukup kuat. Sambil 
bertanya demikian, kepalanya menoleh ke arah seo-
rang lelaki tinggi gagah yang tampaknya merupa-kan 
pemimpinnya.
Lelaki tinggi gagah yang bernama Lunggara itu tidak 
segera menjawab pertanyaan rekannya. Sejenak ia me-
lepaskan pandangannya ke tengah laut dengan tarikan 
napas panjang.
“Hm..., mungkin menjelang sore nanti, kita bisa tiba 
di Pulau Elang Hitam. Tapi, kita harus berhati-hati.

Siapa tahu Elang Laut Utara sudah menduga kedatan-
gan kita. Dan, jika benar, manusia sesat itu pasti telah 
mempersiapkan sebuah penyambutan untuk kita....”
Ucapan Lunggara terdengar timbul tenggelam ka-
rena terhantam oleh kerasnya tiupan angin laut. 
Meskipun demikian, karena menggunakan tenaga da-
lamnya, suara lelaki gagah itu dapat tertangkap jelas 
oleh rekan-rekannya, termasuk juga deh kelima orang 
yang berada dalam perahu di sebelah kiri perahu yang 
ditumpangi Lunggara.
“Kalau benar demikian, berarti kita harus mencari 
tempat mendarat yang tersembunyi. Dengan cara itu, 
baru kita bisa menghindari jebakan-jebakan yang 
mungkin saja telah dipersiapkan Elang Laut Utara...!” 
usul seorang lelaki bertubuh sedang berusia sekitar
empat puluh tahun kepada Lunggara.
“Tidak, Adi Wilang,” sahut Lunggara dari perahu se-
belah, karena keduanya memang tidak berada dalam 
satu perahu. “Sebab, kalau memang tokoh sesat itu te-
lah mempersiapkan penyambutan untuk kita, ia pasti 
telah menjaga tempat-tempat yang menurutnya cukup 
tersembunyi untuk dijadikan sebagai tempat pendara-
tan di atas pulau. Menurutku, sebaiknya kita datang 
secara terang-terangan. Kurasa hal itu lebih baik. Se-
bab, Elang Laut Utara pasti tidak menduga kalau kita 
berani datang secara terbuka....”
“Hm..., rasanya itu pun tidak jelek. Tapi, ada baik-
nya kita mendarat secara terpisah. Dengan begitu, 
mungkin saja Elang Laut Utara dapat kita kecoh. Ba-
gaimana menurutmu, Kakang...?” usul Wilang, yang 
tampaknya masih berkeras mempertahankan penda-
patnya.
“Boleh saja. Tapi ingat, jangan bertindak sendiri-
sendiri! Kita harus tetap waspada, meskipun suasana

yang akan kita temui nanti terlihat tenang dan 
aman....”
Ki Lunggara menyetujui usul Wilang sambil me-
nyampaikan pesan-pesan yang diucapkannya dengan 
tegas dan sejelas-jelasnya. Hal itu dilakukannya agar 
apa yang disampaikan dapat diingat oleh Wilang dan 
keempat kawannya yang berada di atas perahu terpi-
sah.
Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Masing-
masing dari mereka tidak lagi berkata-kata. Pandangan 
mata kesepuluh orang itu kini tertuju lurus ke sebuah 
gundukan daratan berwarna kehitaman, yang berben-
tuk seperti seekor elang raksasa tengah mengembang-
kan sayapnya. Itulah Pulau Elang Hitam.
***
EMPAT


“Hm..., bersiap-siaplah....”
Ki Lunggara mengeluarkan kata-kata peringatan 
saat melihat Pulau Elang Hitam sudah terpampang be-
berapa belas tombak di depannya. Wilang, yang men-
dengar peringatan pemimpinnya, segera berpencar 
bersalto diikuti kawan seperahunya. Mereka memisah-
kan diri dari kelompok Ki Lunggara.
“Kita berpisah, Kakang...,” ujar Wilang sebelum 
memisahkan diri dan bergerak ke kanan. Rupanya le-
laki bertubuh sedang yang gerak-geriknya gesit itu te-
tap hendak melaksanakan niatnya untuk mendatangi 
pulau secara sembunyi-sembunyi.
Ki Lunggara hanya menganggukkan kepalanya me-
nyahuti ucapan Wilang. Kemudian ia terus bergerak

maju mempercepat laju perahunya. Jelas maksudnya 
hendak mengalihkan perhatian penghuni pulau jika 
memang telah menanti kedatangannya.
Tidak lama kemudian, kelompok Ki Lunggara pun 
telah mencapai daratan Pulau Elang Hitam. Ketega-
ngan kelima orang lelaki gagah itu berubah menjadi 
rasa keheranan yang besar. Karena, apa yang mereka 
duga ternyata meleset.
“Aneh..., mengapa sunyi sekali keadaan pulau ini? 
Apakah Elang Laut Utara tidak mempunyai pengikut? 
Atau jangan-jangan semua ini merupakan jebakan un-
tuk kita...?” desah seorang lelaki jangkung berjenggot 
dengan sepasang mata yang berputar liar meng-awasi 
sekitar tempat pendaratannya.
“Hm..., yang penting tetap siaga. Sebab, mungkin 
ini merupakan jebakan agar kita lengah...,” gumam Ki 
Lunggara lirih, menyahuti ucapan salah seorang re-
kannya.
Lelaki gagah itu sendiri sudah melangkah dengan 
diapit dua orang rekannya. Sedangkan dua rekannya 
yang lain menyeret perahu dan menyembunyikannya 
di tempat yang aman. Sebab, jika perahu itu sampai 
lenyap, ada kemungkinan mereka akan tinggal terus di 
atas pulau itu.
“Jangan berkelompok. Usahakan di antara kita sal-
ing mengatur jarak....”
Ki Lunggara kembali mengingatkan rekan-rekannya 
ketika mereka mulai menyusuri pulau. Ucapan itu 
membuat yang lain segera sadar akan kedudukan me-
reka. Sebab, dalam keadaan berkelompok, mereka 
akan lebih mudah diserang secara gelap. Tanpa di-
peringatkan dua kali, keempat orang tokoh persilatan 
itu segera mengatur jarak masing-masing.
Ki Lunggara, yang berjalan di tengah, kian berkerut

keningnya. Sebab, meski sudah jauh ke dalam pulau, 
mereka belum juga menemukan tanda-tanda yang 
mencurigakan. Bahkan, sampai kelompok Ki Lunggara 
bertemu dengan kelompok Wilang, tetap saja tidak ada 
tanda-tanda bahaya yang menyambut kehadiran me-
reka.
“Hm..., mungkinkah Elang Laut Utara tidak menge-
tahui kedatangan kita...? Atau ia memang sengaja me-
nunggu di tempat kediamannya...?” Wilang yang mera-
sa penasaran bergumam lirih sambil melepaskan pan-
dangannya ke sebuah bangunan yang berada bebe-
rapa belas tombak di depan mereka.
“Rasanya tidak mungkin, Adi. Tapi, ada baiknya ka-
lau kita periksa bangunan itu...,” ujar Ki Lunggara, 
yang segera melangkah mendekati bangunan tempat 
tinggal Elang Laut Utara. Dan, serentak rekan-rekan-
nya bergerak menyebar tanpa diperintah.
Wilang dan empat orang rekannya bergerak dari 
gerbang depan. Suasana bangunan itu terlihat sunyi. 
Sehingga, lelaki bertubuh sedang ini mengira bahwa 
bangunan itu memang telah ditinggalkan penghuni-
nya. Tapi, baru saja kelimanya bergerak mendekati 
pintu utama, tiba-tiba dari sebelah dalam melangkah 
keluar dua orang berpakaian serba hitam. Tanpa dapat 
dicegah lagi, kedua belah pihak pun berpapasan satu 
sama lain.
“Hei, siapa kalian...!”
Salah seorang dari lelaki berseragam hitam itu 
membentak sambil mencabut senjata dari pinggang-
nya. Tentu saja tidak ada jalan lain bagi Wilang dan 
kawan-kawannya kecuali menghadapi kedua orang le-
laki itu.
“Hm..., kami ingin berjumpa dengan majikanmu 
yang berjuluk Elang Laut Utara. Cepat kau beri

tahukan majikanmu kedatangan kami...!”
Dengan nada suara tegas, Wilang langsung me-
nyampaikan maksud kedatangannya. Sebab, memang 
tidak ada jalan lain baginya kecuali menjawab perta-
nyaan penghuni Pulau Elang Hitam itu.
“Keparat! Manusia-manusia lancang dari mana ka-
lian? Berani benar kalian berkata seenaknya di pulau 
ini! Untuk kesalahan-kesalahan itu, kalian harus me-
nerima hukuman yang setimpal!”
Setelah berkata demikian, kedua orang lelaki ber-
seragam hitam itu melompat dengan senjata terhunus.
“Tunggu...!”
Meskipun hatinya merasa terbakar, Wilang masih 
mencoba untuk menghindari pertarungan. Semua itu 
bukan dikarenakan ia masih bersabar. Tapi, justru Wi-
lang ingin mengetahui kesalahan apa yang dituduh-
kan kepadanya dan rekan-rekannya.
“Hm..., apa lagi yang kalian inginkan...?”
Salah seorang yang bertubuh tinggi besar dengan 
wajah terhias brewok bertanya kasar. Jelas sekali, le-
laki itu sengaja mengandalkan keseraman wajahnya 
untuk membuat ciut nyali lawan. Sayang, hal itu tidak 
berlaku bagi Wilang dan kawan-kawannya. Terbukti 
mereka tetap tenang menghadapi pertanyaan bernada 
kasar itu.
“Hm..., tidak banyak yang ingin kuketahui. Per-
tama, kesalahan apa yang telah kami perbuat, sehing-
ga harus dihukum? Kedua, kalian harus mengatakan, 
apakah majikan kalian ada di pulau ini? Atau telah lari 
terbirit-birit karena kedatangan kami? Nah, kurasa 
pertanyaanku cukup dan pantas, bukan?” ujar Wilang 
dengan nada seenaknya. Sepertinya ia sama sekali ti-
dak terpengaruh oleh lawan yang sengaja memancing 
emosinya.

“Bangsat! Sudah memasuki pulau tanpa izin dan 
berani minta menghadap majikan pulau dengan uca-
pan seenaknya, ternyata kalian juga berani menghina 
majikan kami! Rasanya hanya kematian yang pantas 
untuk orang-orang seperti kalian! Nah, terimalah...!”
Usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu lang-
sung melompat dan menerjang dengan ayunan golok 
besarnya ke arah Wilang yang memang berada paling 
depan.
Whyuukkk...!
“Aiiih, luput...”
Dengan gerak sembarangan, Wilang menggeser tu-
buhnya. Dihindarinya serangan golok besar lawan. 
Bahkan, mulutnya masih sempat melontarkan ucapan 
mengejek. Tentu saja hati lawan semakin bertambah 
panas.
“Mampus kau...!”
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki tinggi 
besar berwajah brewok itu kembali melontarkan seran-
gannya dengan tidak kepalang tanggung. Sekali lompat 
saja, lelaki itu langsung melancarkan serangkaian ba-
cokan dan tusukan yang mematikan. Dari suara de-
singan senjata itu, dapat ditebak kalau tenaga yang di-
pergunakannya sangat berbahaya bagi keselamatan 
nyawa lawan.
Tapi, Wilang sama sekali tidak menjadi gugup. Den-
gan sikap yang tetap sengaja mempermainkan lawan-
nya, lelaki bertubuh sedang itu bergerak kian kemari 
dengan mempergunakan kegesitannya untuk menge-
coh lawan. Sehingga, lelaki brewok itu semakin bernaf-
su untuk segera mencincang tubuh lawannya yang 
ternyata sangat gesit itu.
Sementara itu lelaki berseragam hitam yang seorang 
lagi tiba-tiba mengeluarkan suitan panjang yang melengking tinggi. Jelas bahwa suitan itu merupakan 
isyarat bagi kawan-kawannya yang masih berada di 
dalam bangunan. Sedangkan lelaki itu sendiri lang-
sung melompat. Diterjangnya tokoh persilatan yang 
terdekat dengannya.
“Heeeaaattt...!”
Bwettt..!
Golok besar lelaki tinggi kurus itu langsung ber-
desing mengancam batang leher seorang tokoh ber-
tubuh gemuk, yang bagian tengah kepalanya botak.
“Hm....”
Sambil bergumam pelan, lelaki gemuk itu langsung 
merendahkan tubuhnya. Dan, dilontarkannya sera-
ngan balasan berupa tendangan kilat yang lurus men-
gancam perut lawannya.
Zzzebbb!
“Aiiihhh...?!”
Lelaki berseragam hitam, yang sama sekali tidak 
menyangka kalau lawan dapat melakukan serangan 
balasan secepat itu, tentu saja terperanjat. Untunglah 
ia sempat menyadarinya. Tubuhnya langsung ditarik 
ke belakang. Sehingga, tendangan kaki kanan lawan 
tidak sampai mencapai tubuhnya. Kemudian, dengan 
merendahkan badannya lelaki berseragam hitam itu 
langsung menyabetkan senjatanya secara mendatar. 
Sasarannya adalah kaki kiri lawan.
“Hm....”
Untuk kedua kalinya, lelaki gagah berkepala sepa-
ruh botak itu bergumam perlahan. Tubuhnya melesat 
ke udara dengan sebuah lompatan panjang. Berbaren-
gan dengan gerakan itu, sepasang tangannya melaku-
kan tamparan susul-menyusul.
Plakkk! Plakkk!
“Auuughhh...!”

Tamparan yang demikian cepat dan mengejutkan 
itu tak sempat lagi dihindari lawannya. Langsung saja 
tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu terguling ter-
kena tamparan keras yang telak menghantam kepala-
nya.
“Heattt..!”
Lelaki gagah bertubuh gemuk itu kembali berseru 
nyaring sebelum lawannya dapat berdiri tegak. Sebuah 
tendangan kilat kembali dilontarkan ke dada lawan-
nya. Dan...
Buggg!
“Huaaakhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berseragam hitam 
itu langsung terjungkal disertai semburan darah segar 
dari mulutnya. Dengan suara keras, tubuh lelaki ber-
seragam hitam itu ambruk ke tanah. Setelah meregang 
sesaat dengan rintihan parau, sosok itu pun diam un-
tuk selamanya, mati.
“Hiaaattt...!”
Lelaki gemuk berkepala separuh botak itu menoleh-
kan kepalanya saat mendengar teriakan nyaring yang 
panjang dan memekakkan telinga.
Namun, gerakan sosok tubuh yang berteriak nyar-
ing tadi ternyata datang lebih cepat ketimbang gerakan 
kepala lelaki gemuk itu. Sehingga, tanpa sempat di-
hindarkan lagi, sebuah tendangan telak membuat lela-
ki gemuk itu terpelanting sejauh satu setengah batang 
tombak. 
“Gila...!?”
Sambil memaki kalang kabut, lelaki gemuk itu sege-
ra melompat bangkit dengan sigapnya. Sepasang ma-
tanya hampir tidak percaya ketika melihat sesosok tu-
buh ramping berparas cantik menatap tajam kepa-
danya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia

hanya bisa berdiri bengong dengan bibir komat-kamit 
tanpa sepatah pun ucapan keluar dari mulurnya.
“Hm..., kau harus menerima hukuman yang be-
rat...!”
Terdengar desis bernada dingin yang keluar dari se-
la-sela bibir tipis berbentuk indah itu. Dan, begitu 
ucapannya selesai, tiba-tiba sebilah pedang berkilat te-
lah tergenggam di tangannya.
“Hiaaahhh...!”
Dengan dibarengi bentakan nyaring, sosok ramping 
berparas cantik itu langsung melesat disertai kibasan 
pedangnya.
Bweeettt!
“Aaahhh...!”
Lelaki gemuk itu baru tersadar saat ia merasakan 
adanya sambaran hawa maut yang mengancam leher-
nya. Cepat-cepat ia melempar tubuhnya berguli-ngan 
untuk menghindari sambaran pedang yang cepat bagai 
kilat itu.
Namun, sosok ramping berparas cantik itu tidak 
menghentikan serangannya sampai di situ saja. Den-
gan gerakan yang lincah dan mengagumkan, ia kemba-
li mengibaskan senjatanya dengan serangkaian seran-
gan maut. Hingga....
Breeet! Breeettt! 
“Arkkkhhh...!”
Karena serangan gadis remaja berparas cantik itu 
demikian gencar dan sangat cepat, akhirnya lelaki ge-
muk itu harus merelakan tubuhnya dijadikan sasaran 
sambaran senjata tajam gadis itu.
“Hm.... Hanya dengan kepandaian secetek itu kau 
hendak jual lagak di depanku....”
Terdengar suara dingin yang mendirikan bulu roma. 
Benar-benar menyeramkan suara yang dikeluarkan bibir mungil dan indah itu. Senyum dinginnya tersirat 
saat menyaksikan tubuh korbannya menggelepar ber-
gelimang darah segar.
***
“Haaattt...!”
Dua belas orang berseragam hitam, yang datang 
beberapa saat setelah kemunculan gadis cantik itu, se-
gera menghambur ke arah delapan orang tokoh per-
silatan. Sehingga, mereka yang semenjak tadi tertegun 
melihat kekejaman dara cantik itu segera mencabut 
senjata dan melakukan perlawanan. Sebentar saja, 
pertempuran kacau pun berlangsung seru.
Sementara itu, Wilang yang meladeni lelaki tinggi 
besar berbrewok ternyata mendapat kenyataan yang 
hampir tidak dipercayainya. Ia, yang semula mengang-
gap rendah lelaki brewok itu, kini harus bekerja keras 
untuk menundukkan lawannya. Sebab, kepandaian 
lawannya itu ternyata cukup tangguh.
“Heaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali 
melontarkan serangan dengan gerakan-gerakan yang 
aneh dan mengejutkan. Gerakannya yang terkadang 
membuka dan menutup itu sempat membuat Wilang 
sibuk. Padahal, lelaki bertubuh sedang itu bukan 
orang sembarangan dalam kalangan persilatan. Bah-
kan, di wilayah Timur, Wilang merupakan seorang to-
koh yang pantas untuk diperhitungkan. Sebagai tokoh 
keempat di wilayahnya, tentu saja kepandaian yang 
dimilikinya pun tidak bisa dianggap remeh. Jadi, wajar 
saja kalau Wilang merasa penasaran bukan main keti-
ka dalam tiga puluh jurus ia belum juga dapat menundukkan lawannya. Padahal, menurut dugaannya, lelaki 
tinggi besar itu paling-paling hanya merupakan penja-
ga atau pembantu rendahan yang melayani segala ke-
perluan Dang Laut Utara.
Sayang, Wilang terlalu menganggap remeh lawan-
nya. Sehingga, ia tidak tampak mengeluarkan ilmu-
ilmu andalannya dalam pertarungan itu. Kesadaran-
nya baru bangkit setelah lebih dari tiga puluh jurus, 
lawan masih tidak dapat ditundukkannya. Ketika me-
nyadari kenyataan itu, barulah Wilang mengeluarkan 
ilmu-ilmu simpanannya untuk menggempur lawan.
“Haaattt...!”
Diiringi pekikan nyaring, Wilang merangsek maju 
dengan pukulan yang berubah-ubah bentuk. Sehingga, 
dalam lima jurus saja, lelaki tinggi besar berpakaian 
serba hitam itu terdesak dan hanya bisa bergerak 
mundur. Jangankan untuk melontarkan serangan ba-
lasan. Untuk menghindari serangan lawan saja, ia be-
nar-benar hampir tidak sanggup.
Whuuukkk...!
Tiba-tiba datang hantaman telapak tangan Wilang 
yang mengincar lambung lawannya. Tentu saja lawan 
yang kedudukannya memang sudah tidak tetap itu 
terhuyung limbung beberapa langkah ke belakang. Ke-
sempatan itu tidak disia-siakan Wilang untuk melon-
tarkan pukulan mautnya.
“Jeaaahhh...!”
Berbarengan dengan bentakan keras, Wilang melon-
tarkan sebuah pukulan lurus ke pelipis lawan.
Whuuuttt..!
Plaaaggg...!
“Aaahhh...!?”
Wilang, yang merasa yakin akan dapat mem-
bereskan lawannya, merasa kaget bukan kepalang. Sebab, pada saat pukulannya hampir menewaskan la-
wan, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan ram-ping 
yang langsung menyambut pukulannya. Akibat-nya, 
Wilanglah yang terpekik kesakitan dan terdorong 
mundur hingga sejarak satu setengah tombak. Tentu 
saja kenyataan itu membuat Wilang terbelalak
“Gila...!?” maki Wilang sambil mencoba mengetahui, 
siapa gerangan sosok yang telah membuatnya sangat 
terkejut tadi. Selintas bayangan Elang Laut Utara ter-
bayang di benaknya. Karena, hanya tokoh sesat itulah 
menurutnya yang dapat membuatnya gagal melan-
jutkan serangan.
Tapi, apa yang disaksikan Wilang benar-benar 
membuatnya hampir tidak percaya. Sesosok tubuh 
ramping berparas cantik yang pantas menjadi anaknya 
tampak berdiri angkuh dengan seulas senyum dingin 
menghias wajahnya. Kening Wilang semakin berkerut 
ketika melihat si lelaki tinggi besar brewok mengang-
guk hormat kepada gadis remaja itu.
“Terima kasih, Nona Muda...,” ucap lelaki brewok 
itu. Dan, ketika gadis remaja itu memberikan isyarat 
dengan kepalanya, cepat-cepat lelaki tinggi besar itu 
membaurkan dirinya ke dalam pertempuran yang ten-
gah berlangsung di dekatnya.
“Kau..., siapakah Nisanak...? Mengapa kau mem-
bela orang-orang sesat itu...?” tegur Wilang sambil me-
langkah maju untuk meneliti lebih dekat sosok ramp-
ing berwajah cantik itu.
“Hm..., seharusnya akulah yang bertanya kepada-
mu, Kisanak. Ada keperluan apa kau mendatangi tem-
pat ini? Akulah yang kini menjadi pemilik Pulau Elang 
Hitam. Wajar kalau kau tidak mengetahuinya. Karena, 
aku pun baru kemarin tiba di pulau ini. Ayahku yang 
menjadi pemilik pulau ini belum kembali, maka aku

mewakilinya menjaga tempat ini dari tangan-tangan 
jahil seperti kau dan kawan-kawanmu,” ujar gadis re-
maja berwajah cantik yang tidak lain dari Surni itu. 
Rupanya gadis itu telah lebih dahulu tiba di Pulau 
Elang Hitam, yang menjadi tempat kediaman ayahnya.
Kedatangan Surni ke pulau itu pun sesungguhnya 
tidak diterima dengan mudah oleh para penghuninya. 
Tapi, berkat kepandaian yang dimilikinya, akhirnya 
para penghuni pulau itu percaya bahwa Surni adalah 
putri majikan mereka. Sebab, gadis remaja itu memang 
menguasai semua ilmu tinggi yang juga dimiliki Elang 
Laut Utara. Bahkan, ilmu-ilmu rahasia Elang Laut 
Utara pun dapat dimainkan gadis remaja berwajah 
cantik itu. Semua itulah yang membuat seluruh peng-
huni Pulau Elang Hitam percaya akan keterangan 
Surni. Sehingga, mereka menerima Surni sebagai wakil 
dari Elang Laut Utara selama tokoh sesat itu belum 
kembali.
***
LIMA


Saat itu, selagi Wilang berhadapan dengan ketu-
runan Elang Laut Utara, terdengar suara orang ber-
larian mendatangi tempat ini. Hati Wilang bertambah 
lega ketika tahu kalau yang datang ternyata rom-
bongan Ki Lunggara.
Baru saja Ki Lunggara hendak mengucapkan sesua-
tu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kematian yang 
susul menyusul. Laki-laki gagah itu kontan menoleh 
ke arah asal jeritan-jeritan tadi. Demikian pula Wilang 
dan kelima orang tokoh yang baru tiba itu. Mereka juga menoleh ke arah yang sama.
“Aaahhh...?! Apa yang terjadi terhadap mereka...?” 
desah Ki Lunggara.
Wajah laki-laki gagah itu pucat saat melihat tiga 
orang rekan Wilang menggelepar di atas tanah sambil 
melolong mengerikan. Jelas, mereka tengah mengalami 
suatu penderitaan yang mengerikan!
“Racun Ubur-Ubur Laut...!”
Wilang yang melihat ketiga rekannya tengah meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja dapat menebak pe-
nyebabnya.
“Hm.... Jadi, racun jahat itu pulalah yang telah me-
nyebabkan kematian Ketua Ular Perak Jantan...?” de-
sah Ki Lunggara, teringat akan mayat Ular Perak Jan-
tan yang sekujur kulit dan daging tubuhnya terkelu-
pas.
“Penderitaan mereka harus dihentikan...,”
Tiba-tiba saja, Wilang mendesis sambil melangkah 
menghampiri ketiga rekannya yang tengah mengalami 
penderitaan mengerikan. Lelaki bertubuh sedang itu 
terlihat menggigit bibirnya kuat-kuat, dengan wajah 
berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan.
“Adi Wilang! Apa yang hendak kau lakukan...?” te-
gur Ki Lunggara.
Dia memang curiga melihat sikap Wilang. Maka se-
gera saja dia berdiri menghadang jalan. Sehingga mau 
tidak mau, Wilang harus menghentikan langkah-nya.
“Menyingkirlah, Ki. Apakah kau tega melihat pen-
deritaan rekan-rekan kita...?” tandas Wilang tanpa te-
kanan. Sedangkan sorot matanya lurus ke depan, me-
lewati bahu Ki Lunggara. Jelas, Wilang tidak ingin di-
halangi.
“Tapi....”
Ki Lunggara yang semakin sadar akan apa yang

hendak dilakukan Wilang, suaranya jadi tercekat di ke-
rongkongan. Lelaki gagah itu tidak bisa berkata-kata 
lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan 
untuk melenyapkan penderitaan rekan-rekan mereka, 
kecuali dengan cara segera membunuh ketiga tokoh 
persilatan itu. Tentu saja untuk melaksanakannya, 
bukan suatu pekerjaan mudah bagi perasaan mereka. 
“Arrrkkkhhh...!”
Raung kesakitan penuh kesengsaraan dari ketiga 
orang tokoh itu, kembali merasuki telinga Wilang dan 
Ki Lunggara. Sementara Ki Lunggara sendiri tertunduk 
lesu, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedangkan 
Wilang segera melanjutkan langkahnya dengan pedang 
telanjang.
Dengan wajah tengadah dan sepasang mata dilu-
ruskan ke langit, Wilang berdiri tegak di hadapan keti-
ga orang rekannya. Pedang telanjang di tangannya 
tampak bergetar keras. Jelas, lelaki itu tengah ber-
juang keras mengalahkan perasaannya. Perlahan-
lahan, pedang berkilat itu terangkat. Dan....
Whukkk!
Jrasss! Crasss! Cappp!
“Aaarggghhh...!”
Terdengar lengking kematian yang memilukan sal-
ing susul. Darah segar kontan berhamburan mem-
basahi tanah. Seiring tetesan darah yang jatuh satu 
persatu dari badan pedang di tangan Wilang, ketiga so-
sok tubuh yang tengah sekarat itu pun ambruk hampir 
bebarengan. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam un-
tuk selamanya. Mati.
“Ooohhh...!”
Empat orang rekan Ki Lunggara, termasuk Langga, 
sama-sama memalingkan wajah. Mereka seperti ikut 
larut dalam kepedihan hati Wilang yang terpaksa ha

rus membunuh ketiga rekannya demi menolong dari 
penderitaan.
“Biadab...! Kucincang tubuh kalian semua, manusia 
keji...”
Kemarahan dan kesedihan yang meledak-ledak da-
lam dada Wilang, ditumpahkannya kepada delapan 
orang lelaki berpakaian hitam yang telah menebarkan 
racun-racun keji kepada ketiga rekannya. Empat sosok 
mayat lawan tidak dipedulikannya lagi. Yang terlintas 
dalam pikirannya saat itu hanyalah membunuh lawan 
sebanyak-banyaknya untuk menebus nyawa ketiga re-
kannya.
“Hm....”
Amukan Wilang seketika membuat delapan orang 
sisa pengikut Elang Laut Utara kalang kabut. Dan hal 
ini juga membuat Surni menatapnya dengan kilatan 
mata tajam. Sesaat kemudian, tubuh rampingnya telah 
melesat ke arena pertempuran.
“Hiaaahhh...!”
Begitu tiba, Surni langsung melontarkan serang-
kaian pukulan maut dari jurus ‘Elang Sakti’ warisan 
ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Wilang kelaba-
kan! Apalagi, tenaga yang mengiringi sambaran cakar 
elang gadis remaja itu demikian kuat dan menge-
jutkan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Wilang 
hanya bermain mundur saja.
Ki Lunggara melihat betapa Wilang terdesak hebat 
oleh gempuran seorang gadis remaja, maka tentu saja 
dia menjadi terkejut bukan main. Sadar kalau rekan-
nya tidak segera ditolong bisa celaka. Sehingga, lang-
sung saja Ki Lunggara melesat ke arena pertempuran, 
seraya melontarkan serangan-serangan cepat untuk 
membendung serangan gadis remaja itu.
Plakkk! Plakkk!

“Aaahhh...?!”
Dua kali tamparan Ki Lunggara yang dilontarkan 
lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, bertumbukan 
dengan serangan Surni. Seketika terdengar ledakan 
yang cukup keras! Tapi hal itu justru membuat Ki 
Lunggara memekik kaget, ketika telapak tangannya te-
rasa panas. Bahkan kuda-kudanya pun ikut pula ter-
gempur!
“Gila...?! Siapa sebenarnya gadis muda itu...? Ke-
pandaiannya hebat sekali. Rasanya sangat sulit untuk 
menundukkannya dalam waktu singkat...,” desah Ki 
Lunggara sambil menatap tajam wajah dara remaja 
cantik itu.
Ia benar-benar kagum. Dalam usianya yang masih 
sangat muda, gadis itu telah berhasil menghimpun ke-
kuatan tenaga sakti yang mungkin tidak di bawah te-
naga dalamnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari 
padanya.
Namun, Ki Lunggara tidak dapat berpikir lebih lama 
lagi. Masalahnya, Wilang yang masih terus digempur 
Surni segera berseru mengingatkan rekannya. Dia 
memang sempat mendengar gumaman yang keluar da-
ri mulut Ki Lunggara.
“Jangan heran, Ki. Gadis itu putri Elang Laut Uta-
ra...!” seru Wilang yang saat itu tengah bergerak ke 
kanan mendekati Ki Lunggara. Maksudnya tentu saja 
dapat ditebak. Wilang ingin mengajak Ki Lunggara un-
tuk menggempur Surni.
“Hm.... Pantas, kepandaiannya demikian tinggi. Ki-
ranya ia pewaris Elang Laut Utara. Tidak heran...,” de-
sis Ki Lunggara yang segera saja mencabut pedang-
nya, setelah mengetahui siapa adanya gadis remaja itu. 
“Kalau begitu, gadis itupun harus dilenyapkan. Biar-
lah, dia yang memikul semua dosa yang telah dilakukan Ayahnya....”
Usai berkata demikian, Ki Lunggara segera melesat 
menggempur Surni. Sementara pada saat itu, Wilang 
yang benar-benar sudah kehabisan akal dalam meng-
hadapi gempuran lawan, terpaksa bertindak nekat. 
Sadar kalau untuk dapat mengalahkannya adalah sua-
tu hal yang mustahil, maka Wilang kali ini tidak beru-
saha menghindari serangan Surni. Senjatanya segera 
diputar, membentuk gulungan sinar yang membenten-
gi sekujur tubuhnya. Kemudian, dicobanya untuk ber-
tahan dengan benteng sinar pedang itu.
Sayangnya, Surni tidak kehilangan akal. Pengala-
man yang didapatnya selama perjalanan maupun di 
dalam Pulau Elang Hitam, membuatnya mulai bisa 
menilai keadaan. Maka ketika melihat tindak upaya 
Wilang, gadis remaja itupun segera mencecar dengan 
pukulan-pukulan jarak jauh.
Whuuuk...! Deeebbb! Deeebbb! “Akkkhhh...!”
Karuan saja Wilang yang kekuatan tenaga dalam-
nya memang kalah jauh langsung terjengkang ketika 
pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Surni 
membentur benteng sinar pedangnya. Dan kalau saja 
Ki Lunggara tidak segera menolongnya, mungkin tu-
buhnya akan terbanting di atas tanah.
“Terima kasih, Ki...,” ucap Wilang.
Napas laki-laki bertubuh sedang itu tampak mem-
buru dan wajahnya agak pucat. Bahkan pada sela-sela 
bibirnya tampak ada cairan merah meleleh. Jelas, Wi-
lang menderita luka akibat pukulan-pukulan yang di-
lontarkan Surni tadi.
“Aaakkkhhh...!”
Jerit kematian dari arena pertempuran yang berada 
beberapa tombak di belakang membuat terkejut Wilang 
dan Ki Lunggara. Cepat mereka menoleh, memastikan
jerit kematian tadi. Dan untuk kesekian kalinya, kedua 
orang lelaki gagah itu kembali dilanda rasa geram serta 
penasaran! Dan ternyata, empat orang rekan mereka 
terlihat menggelepar terkena ‘Racun Ubur-Ubur Laut’.
“Bedebah...!”
Hampir berbarengan, Ki Lunggara dan Wilang men-
desis geram. Namun pada saat hendak melompat ke 
arah keempat rekan mereka, gadis remaja ber-
kepandaian tinggi itu sudah bergerak lebih dulu dan 
berdiri menghadang jalan.
“Biarkan mereka dengan kesenangannya sendiri. 
Urusan kita di sini belum selesai...,” ujar Surni dengan 
tatapan mata sedingin es. Sehingga, kedua orang tokoh 
persilatan itu menjadi jengkel.
“Keparat kau, Iblis cilik! Kau benar-benar menuruni 
sifat jahat Ayahmu. Seharusnya kau memang di-
lenyapkan agar tidak membuat keresahan di kemudian 
hari...!”
Sambil berkata demikian, Ki Lunggara memutar pe-
dangnya sekuat tenaga. Melihat dari sikapnya, jelas 
kalau orang tua itu siap bertarung mati-matian!
“Wilang...,” sebelum menerjang Surni, Ki Lunggara 
mendekat dan berbisik kepada rekannya dengan tata-
pan tetap lurus ke wajah Surni, sehingga tidak me-
nimbulkan kecurigaan. “Jika aku sudah mulai berge-
rak menerjang iblis cilik itu, tinggalkanlah pulau cela-
ka ini. Kalau tidak, kawan-kawan kita di daratan sana 
nanti bakal celaka, apabila gadis itu sampai mening-
galkan tempat ini. Jangan bantah ucapanku! Semua 
ini kulakukan demi kita semua...!”
Wilang hanya terpaku pucat mendengar permintaan 
Ki Lunggara. Namun karena disadari ada kebenaran 
pada ucapan lelaki gagah itu, maka Wilang tidak 
membantah. Dan ketika Ki Lunggara melesat ke arah

Surni dengan pekikan keras, Wilang pun ikut melesat 
meninggalkan pulau itu.
“Yiaaahhh...!”
Bweeettt! Swinggg!
Ki Lunggara menerjang dengan serangkaian sam-
baran pedangnya, untuk mengalihkan perhatian Surni 
dari Wilang. Usahanya memang tidak sia-sia. Untuk 
beberapa saat lamanya, Surni mau tidak mau memang 
harus menghadapi sambaran pedang lawan yang se-
perti hendak merencah dirinya.
Surni benar-benar telah jauh berubah dalam bebe-
rapa hari ini. Gadis remaja itu tidak lagi merasa kha-
watir, meskipun kilatan pedang lawan seperti mengu-
rungnya. Keyakinan terhadap ilmu-ilmu warisan orang 
tuanya, membuatnya tidak gugup walau menghadapi 
serangan sehebat apapun.
Begitupun dalam menghadapi gempuran Ki Lung-
gara. Dengan menggunakan geseran-geseran ringan, 
gadis remaja itu selalu saja berhasil menghindari sam-
baran pedang lawan. Bahkan setelah beberapa jurus, 
sudah bisa melontarkan serangan sesekali. Malah, se-
rangannya terus semakin dipergencar. Sehingga, kini 
Ki Lunggara lah yang menjadi kewalahan.
“Heeeaaahhh...!”
Pada suatu kesempatan, Surni tiba-tiba menge-
luarkan bentakan keras! Dan berbarengan dengan itu, 
tangan kanannya terulur melepaskan sebuah pukulan 
maut! Ki Lunggara yang memang sudah tidak bisa 
mempertahankan dirinya lagi, tak sempat lagi meng-
hindari. Dan....
Beggg!
“Huakhhh...!”
Tanpa ampun lagi, kepalan mungil itu telah meng-
hajar dada Ki Lunggara! Tubuh lelaki gagah itu terjengkang ke belakang disertai semburan darah segar 
dari mulutnya! Kemudian, tubuhnya terhuyung lim-
bung hingga satu setengah tombak lebih jauhnya.
Surni sendiri tidak mau bertindak kepalang tang-
gung. Saat itu juga, tubuhnya melesat melepaskan se-
buah tendangan terbang!
“Yeaaa...!”
Deeesss...!
Ki Lunggara menjerit ngeri! Tubuhnya kontan ter-
pental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang 
tak tampak, kemudian terus melaju membentur dind-
ing karang. Tanpa ampun lagi, remuklah tubuh lelaki 
gagah yang malang itu. Ki Lunggara tewas dengan tu-
buh hampir hancur!
“Hm...,” Surni hanya bergumam sambil meng: ulas 
senyum iblis.
Sejenak ia menoleh ke arah pembantu-pembantu 
ayahnya yang telah tidak tampak lagi, karena tengah 
melakukan pengejaran terhadap Wilang. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, Surni bergerak meninggalkan 
tempat itu.
***
Lelaki berperawakan sedang itu dan berusia sekitar 
empat puluh tahun, mendayung perahunya sekuat te-
naga. Sehingga, perahu yang ditumpanginya melaju 
cepat membelah air laut. Siapa lagi lelaki itu kalau bu-
kan Wilang yang melarikan diri ke daratan.
Beberapa belas tombak di belakang Wilang, tampak-
lah dua buah perahu lain yang masing-masing ditum-
pangi empat orang lelaki berseragam hitam. Melihat 
adanya lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin orang-orang itu, jelaslah sudah kalau mereka 
adalah orang-orang Pulau Elang Hitam. Me-reka me-
mang tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang.
Wilang sendiri terus mengayuh perahunya mati-
matian. Untunglah tenaga dalamnya kuat, sehingga ja-
raknya semakin bertambah jauh dari para penge-
jarnya. Sayangnya, Wilang hanya seorang manusia bi-
asa yang mempunyai keterbatasan. Sehingga pada saat 
tenaganya mulai melemah, jarak di antara mereka pun 
bertambah dekat. Apalagi, para pengejarnya berjumlah 
banyak dan mendayung secara berganti-ganti.
Sadar kalau jaraknya semakin bertambah dekat, 
maka Wilang mengempos semangatnya. Kembali pera-
hunya didayung mati-matian. Begitu tiba di daratan, ia 
langsung melompat dan berlari dengan langkah ter-
huyung-huyung.
“Kejar...! Bunuh orang itu...!”
Lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin 
pengejaran itu langsung saja melompat ke air. Meski-
pun perahunya masih beberapa tombak lagi dari pan-
tai, sama sekali tidak dipedulikannya. Sehingga, ka-
wan-kawannya pun ikut berlompatan dan mengejar 
Wilang.
Sambil berteriak-teriak ribut untuk melemaskan 
semangat lawan, lelaki brewok itu memimpin kawan-
kawannya mengejar Wilang. Sehingga dalam waktu 
yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka hanya 
tinggal tiga tombak lagi.
“Heeeaaa...!”
Ketika jaraknya semakin bertambah dekat, lelaki 
brewok itu tiba-tiba berteriak sambil melemparkan pi-
sau-pisau terbang untuk menewaskan buruannya!
Ziiing! Ziiinggg!
Suara berdesing tajam merobek udara, seketika

membuat Wilang sadar kalau dirinya berada dalam an-
caman maut! Maka, meskipun tubuhnya sangat lemah, 
dia berusaha menghindar dengan melompat ke bela-
kang!
Cappp!
“Aaakhhh...!”
Wilang menjerit kesakitan ketika kaki kanannya ter-
tancap sebilah pisau terbang lawan. Gerakannya yang 
jelas telah jauh berkurang, membuatnya tidak sanggup 
lagi menyelamatkan diri dari salah sebuah pisau yang 
dilepaskan lelaki brewok itu. Akibatnya, begitu turun, 
Wilang langsung terjatuh menimbulkan suara berde-
buk keras.
“Hua ha ha...!” lelaki brewok itu tertawa terbahak-
bahak melihat Wilang sudah hampir tidak berdaya. 
Langsung saja Wilang itu jadi terkurung oleh dia dan 
rekan-rekannya.
“Bangsat keji...!”
Meski telah terkepung dan tidak mungkin dapat se-
lamat, Wilang sama sekali tidak gentar. Dengan sorot 
mata tajam berkilat, bibirnya mendesis memaki lawan-
lawannya. Sehingga, lelaki brewok itu jadi sempat be-
rang.
“Setan! Kau memang perlu diberi sedikit pelaja-
ran...!”
Sambil menggeram marah, lelaki brewok itu men-
gayunkan kakinya langsung dihantamnya tubuh Wi-
lang yang terlihat hendak bangkit!
Buuukkk!
“Uuuggghhh...!”
Wilang memekik dengan tubuh sedikit terangkat 
akibat kerasnya tendangan lawan. Darah segar segera 
mengucur dari sudut bibirnya. Juga, terdengar era-
ngan lirih dari mulurnya. Kini Wilang sibuk memijat

kaki dan lambungnya yang sama-sama terasa sakit.
“Hm.... Bangkitlah, orang gagah! Apakah golongan 
pendekar memang terdiri dari orang-orang ce-
ngeng...?”ejek lelaki brewok itu dengan kata-kata tajam 
dan menyakitkan.
Sehingga, meskipun saat itu Wilang merasakan se-
kujur tubuhnya sakit-sakit, ia berusaha bangkit. Ingin 
ditunjukkannya kalau golongan putih bukanlah orang-
orang cengeng dan lemah seperti yang dikatakan lelaki 
brewok itu.
“Bagus...,” puji lelaki brewok itu dengan senyum 
sangat menyakitkan.
Ia bergerak maju dua tindak, kemudian siap meng-
ayunkan pukulan ke wajah Wilang yang berdiri tidak 
tetap, karena kedua kakinya memang dirasakan bagai-
kan tidak memiliki tulang lagi.
“Tahan...! Menyiksa seorang lawan yang sudah ti-
dak berdaya, bukanlah suatu perbuatan terpuji....”
Tiba-tiba saja, saat pukulan lelaki brewok itu siap 
menghajar wajah Wilang, terdengar teguran halus na-
mun mengandung perbawa amat kuat. Maka, baik Wi-
lang maupun lawan-lawannya sama-sama menoleh ke 
arah datangnya suara teguran tadi.
***
ENAM


Wilang dan kedelapan orang lelaki berseragam hi-
tam itu sama-sama menatap heran. Dari arah asal su-
ara, muncullah seorang pemuda tampan yang memi-
liki senyum penuh kesabaran. Sepasang matanya yang 
bulat, tampak memancarkan sinar berkilat. Sehingga,

membuat orang bergetar apabila bertatapan dengan-
nya. Penampilannya terlihat demikian sederhana. Ju-
bahnya berwarna putih, melekat di tubuhnya. Perawa-
kannya pun tidak terlalu kekar, namun terlihat padat 
Bahkan seperti menyembunyikan kekuatan meng-
getarkan. Dan karena penampilannya terkesan ramah 
dan lembut, maka pandangan kesembilan orang lelaki 
itupun terlihat sedikit melecehkan.
Tetapi begitu melihat sosok lain yang berada di se-
belah kanan pemuda tampan itu, maka tatapan men-
gejek mereka berubah seketika! Bahkan sama-sama 
membelalakkan mata!
“Siapa..., kalian...?” tegur lelaki brewok itu begitu 
dapat menguasai keterpanaannya terhadap dara jelita 
berpakaian serba hijau.
“Hm.... Kami berdua adalah perantau yang kebetu-
lan lewat di tempat ini. Dan karena kalian telah men-
ganiaya orang tak berdaya, tentu saja kami tidak bisa 
berdiam diri. Itu sama saja tindakan tak berperi-
kemanusiaan, maka harap sobat sudi melepaskan le-
laki itu...,” jawab pemuda tampan berjubah putih itu, 
ringan dan tenang. Sehingga, si brewok dan kawan-
kawannya saling bertukar pandangan penuh kehera-
nan.
“Hm...,” gumam lelaki brewok sambil menatap wa-
jah sepasang anak muda itu.
Jelas, ia tengah menilai pasangan itu. Apalagi, ke-
tika matanya kembali melahap wajah dara jelita ber-
pakaian hijau. Maka, hatinya pun semakin kuat men-
duga kalau mereka pasti bukan orang sembarangan. 
Sebab bukan mustahil pemuda itu akan aman dengan 
gadis cantik di sampingnya dalam perantauannya. Dan 
tentu telah banyak penjahat yang telah ditaklukkan-
nya, karena berani mengganggu gadis di sampingnya.

Mendadak saja, lelaki brewok itu menotok lumpuh 
tubuh Wilang. Kemudian, diberikannya isyarat terha-
dap ketujuh orang kawannya untuk mengurung pasa-
ngan anak muda itu. Rupanya, nafsu birahi lelaki bre-
wok itu sudah bergejolak melihat gadis jelita di depan-
nya. Pikiran untuk memiliki, membuatnya segera saja 
melumpuhkan Wilang. Kemudian, dia ikut ber-gerak 
mengepung pasangan muda itu. 
“Hm....”
Pemuda tampan berjubah putih itu terlihat hanya 
tersenyum menyaksikan tingkah calon lawan-lawan-
nya. Melihat dari cara mereka memandang yang ter-
tuju ke arahnya, mengertilah pemuda itu kalau mereka 
ingin merebut gadis cantik di sampingnya. Itulah yang 
membuatnya tersenyum.
“Kakang, serahkan mereka padaku...,” ujar gadis 
berpakaian hijau di samping pemuda itu.
“Hm.... Menyingkirlah, Kenanga. Untuk kali ini, biar 
aku yang akan memberi pelajaran...,” jawab pemuda 
tampan berjubah putih itu dengan suara lembut Nada 
suaranya jelas menyembunyikan ketegasan yang tidak 
bisa dibantah. Sehingga, dara jelita yang dipanggil Ke-
nanga itu bergerak menyingkir. Dan sudah pasti, pe-
muda tampan itu adalah Panji, yang berjuluk Pen-
dekar Naga Putih.
“Heeeaaa...!”
Baru saja dara jelita itu bergerak mundur, salah 
seorang dari pengepungnya telah berseru untuk me-
mulai serangan. Tubuhnya meluncur ke depan, den-
gan tusukan pedang yang mengancam tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak be-
rusaha bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya 
hanya meliuk sedikit, ketika ujung pedang lawan da-
tang mengancam. Dan begitu lewat satu jari di sisi tubuhnya, tangan Panji langsung saja mencekal per-
gelangan yang memegang pedang!
Clappp!
“Uuuhhh...!”
Gerakan Panji yang memang demikian cepat, mem-
buat lawan tidak sempat lagi melihat Lelaki berse-
ragam hitam itu tentu saja kaget bukan main, ketika 
tahu-tahu pergelangan tangannya telah tercekal lawan. 
Dan sebelum sempat disadari, tahu-tahu saja tubuh-
nya terasa seperti terbang ke atas sebuah pohon.
Gusraaakkk!
“Tolooong...!”
Lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak minta 
tolong, ketika tubuhnya tersangkut di salah satu ran-
ting pohon.
“Keparat...!”
Lelaki brewok yang bertubuh tinggi besar itu meng-
geram marah melihat kawannya diperlakukan demi-
kian. Dengan teriakan nyaring, tubuhnya lang-sung 
melesat diiringi sambaran pedangnya. Serangan-nya 
diikuti pula oleh keenam kawannya yang lain.
“Yeaaahhh...!”
Beeettt! Beeet! Beeet!
Ketujuh batang pedang lelaki berseragam hitam itu 
menyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih. 
Namun dengan ringannya, tubuh Panji bergerak kian 
kemari di antara sambaran sinar pedang pengeroyok-
nya. Sehingga, tak satu pun senjata lawan yang mam-
pu melukai tubuhnya. Bahkan untuk menyentuh ju-
bahnya pun tidak mampu. Tentu saja, kenyataan itu 
membuat para pengeroyoknya menjadi semakin pena-
saran.
Namun, Pendekar Naga Putih tidak mau berlama-
lama dalam menghadapi mereka. Ketika merasa telah

cukup, mulai dilepaskannya tamparan-tamparan ke 
arah para pengeroyok. Karuan saja, keadaan langsung 
berubah. Bahkan para pengeroyok itu semakin ber-
tambah terkejut!
Tanpa dapat dicegah lagi, satu persatu para penge-
royok mulai berjatuhan. Dan dalam waktu singkat, 
hanya tinggal lelaki brewok itu yang masih bertahan. 
Itupun nampak sudah tidak mungkin bertahan lama. 
Buktinya, kini tamparan yang dilontarkan Panji sangat 
sulit dihindari. Hingga, akhirnya....
Whuuut... Plakkk!
“Aaakkkhhh...!”
Tamparan yang cukup keras dan cepat, telah 
menghantam sisi kepala lelaki brewok itu. Tanpa am-
pun lagi, tubuhnya yang tinggi besar berputar bagai-
kan gangsing. Dan tidak lama kemudian, dia ambruk 
ke tanah. Kepala laki-laki itu kontan terasa pusing, 
dan perut terasa mual.
“Hm.... Pergilah!. Aku tidak punya urusan pribadi 
dengan kalian, dan kuharap jangan mengulangi per-
buatan-perbuatan jahat seperti ini lagi...,” ujar Pen-
dekar Naga Putih dingin dan menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah meng-
hampiri Wilang yang kali ini menatap penuh kekagu-
man.
Namun, si brewok rupanya masih belum menerima 
kekalahannya. Dengan gerak perlahan, lelaki tinggi be-
sar itu bangkit berdiri. Dengan licik, tubuhnya me-
lesat sambil mengayunkan senjatanya ke leher pemuda 
itu, hendak membokong lawannya.
“Kakang awaaas...!”
Kenanga yang sempat melihat perbuatan lelaki bre-
wok itu, hanya bisa memperingatkan kekasihnya. Si-
kapnya hanyalah merupakan kekhawatiran seorang

wanita terhadap keselamatan pemuda yang disayangi-
nya. Meskipun, hal itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi, 
buat Pendekar Naga Putih yang kepandaiannya sudah 
sangat tinggi.
Suara desingan pedang jelas tertangkap oleh telinga 
Pendekar Naga Putih. Jangankan, suara sambaran pe-
dang yang sekeras itu. Bahkan yang sepuluh kali lebih 
halus pun masih dapat tertangkap oleh indra penden-
garannya!
Beeeuuuttt!
Panji menundukkan kepala sambil memasang ku-
da-kuda rendah. Hatinya sempat merasa geram meli-
hat kelicikan lawannya. Maka begitu mata pedang le-
wat, cepat dia berbalik dan langsung menggedor dada 
lawan dengan telapak tangan terbuka!
Blaaaggg...!
“Hukhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu langsung 
saja tersentak deras ke belakang. Darah segar kontan 
menyembur keluar dari mulutnya. Kemudian, tubuh si 
brewok jatuh berdebuk nyaring, dan tak bergerak-
gerak lagi. Tampaknya dia telah tewas akibat hanta-
man telapak tangan Panji tadi.
Melihat pimpinannya tewas hanya sekali pukul, tu-
juh orang berseragam hitam lainnya sama-sama ter-
belalak dengan wajah pucat! Kemudian, berlangsung-
lah peristiwa yang sama sekali tidak diduga Pendekar 
Naga Putih!
“Heaaahhh...!”
Orang pertama yang mengambil senjata dari atas 
tanah, membentak keras. Kemudian, dia menggorok 
lehernya sendiri. Darah segar kontan memancur deras 
dari sayatan mata pedang. Setelah menggelepar sesaat, 
orang itu pun ambruk dengan napas putus!
Kematian orang yang menggorok urat nadi di leher-
nya sendiri, masih disusul enam orang lainnya. Mereka 
seperti telah sepakat membunuh diri, setelah melihat 
kematian pemimpinnya.
Tentu saja kejadian itu membuat Panji terkejut, dan
tidak mampu mencegah. Selain jarak terpisah cukup 
jauh, orang-orang berseragam hitam itu memang telah 
meletakkan mata pedang di kulit lehernya.
“Hm,... Bagus, mereka telah mengambil keputusan 
sendiri...,” terdengar gumaman Kenanga yang mem-
buat Panji tersentak dari lamunan. Terdengar helaan 
napas berat Pendekar Naga Putih ketika melanjutkan 
langkahnya menghampiri Wilang.
***
Panji segera memeriksa luka di kaki kanan Wilang, 
setelah membebaskan totokannya. Kemudian, ditabur-
kannya obat bubuk pada luka yang terkena pisau ter-
bang tadi. Sedangkan untuk luka-luka memar akibat 
siksaan lawan, Panji memberikan sebuah obat pulung 
berwarna putih.
“Terima kasih, Kisanak. Entah apa jadinya kalau 
saja kau tidak keburu datang menolong. Mudah-
mudahan, di satu hari kelak aku bisa melunasi hutang 
budi ini...,” ucap Wilang sambil membungkukkan tu-
buhnya dalam-dalam.
Lelaki itu diam-diam kagum terhadap kemanjuran 
obat yang diberikan Panji. Hanya saja, Wilang sama 
sekali tidak mengucapkannya. Hanya gerak dan wajah-
nya saja yang jelas-jelas mencerminkan kalau keseha-
tannya sudah mulai pulih.
“Tidak perlu merasa berhutang budi, Kisanak. Aku

sendiri hanya kebetulan lewat. Jadi, rasanya tidak per-
lu membalasnya...,” tukas Pendekar Naga Putih mem-
balas hormat sambil tersenyum. Dan justru, sikap itu 
semakin menimbulkan rasa hormat di hati Wilang. Dia 
sampai bingung, harus berkata apa. Hanya pancaran 
wajahnya saja yang mencerminkan rasa hormat-nya.
“Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah 
terjadi...?” tanya Panji.
Semenjak tadi, Pendekar Naga Putih memang me-
rasa penasaran setelah menyaksikan orang-orang ber-
seragam hitam itu melakukan bunuh diri secara bertu-
rut-turut. Maka ingin diketahuinya latar belakang ke-
jadian yang sebenarnya.
Wilang tentu saja tidak berkeberatan untuk men-
ceritakan kejadian yang dialaminya. Namun, sebelum 
lelaki itu sempat bercerita, tiba-tiba terdengar lengki-
ngan panjang yang mengandung kemarahan. Serentak, 
Panji, Wilang, dan Kenanga sama-sama menolehkan 
kepala memandang ke satu arah.
“Kurang ajar...! Siapa yang telah berani mati mem-
bantai murid-murid Ayahku? Hayo, jawab?! Kalau ti-
dak, nyawa kalian bertiga yang akan menjadi ganti-
nya...!” bentak seorang gadis berparas cantik dan ma-
nis. Sepasang matanya yang bulat, menyorot tajam ke 
arah tiga wajah di depannya. Terlihat api kebencian 
terpancar di sepasang matanya.
Kenanga yang merasa tertantang oleh kata-kata ka-
sar gadis remaja itu, langsung saja bergerak bangkit.
Bahkan dengan sorot mata tidak kalah tajam dan me-
nakutkan. Dihadapinya dara remaja itu sambil berka-
cak pinggang.
“Hei, nenek-nenek bawel! Mengapa berteriak-teriak 
tanpa sebab di tempat ini? Apakah kehilangan sirih?” 
tanya Kenanga. Melihat dari ucapannya jelas-jelas Kenanga merasa jengkel terhadap dara yang begitu da-
tang langsung marah-marah.
Lain halnya Wilang. Ternyata, nyalinya langsung 
ciut begitu mengenali dara remaja itu. Perlahan dia be-
ringsut mundur menjauhi gadis yang ternyata putri 
Elang Laut Utara. Dan rupanya, gadis itu telah tiba 
pula di tempat ini. Bagi Wilang yang kenal tentu saja 
tidak aneh melihat gadis itu begitu datang langsung 
marah-marah. Tentu saja, gadis remaja itu pasti me-
nyangka kalau murid-murid ayahnya telah dibunuh 
mereka. Sehingga, Wilang yang sudah merasakan ke-
hebatan gadis remaja itu berniat hendak menghindar. 
Paling tidak, agar tidak sampai terkena amarah gadis 
remaja yang berkepandaian tinggi itu.
Pendekar Naga Putih sendiri langsung sudah bisa 
menduga hubungan antara gadis remaja itu dengan 
orang-orang berseragam hitam yang telah bunuh diri. 
Tentu saja semua itu diketahui dari ucapan-ucapan-
nya yang baru saja dilontarkan tadi. Maka, Pendekar
Naga Putih segera saja bangkit agar tidak terjadi per-
tumpahan darah di antara kedua orang gadis itu.
Sedangkan putri Elang Laut Utara yang bernama 
Surni tentu saja semakin mengkelap marah dimaki-
maki seperti itu. Dengan bergetar, jari telunjuknya di-
tudingkan ke wajah Kenanga.
“Setan! Siapa kau?! Apakah kau yang telah mem-
bela keparat busuk itu dan membantai murid-murid 
Ayahku? Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab 
atas nyawa mereka...!” dengus Surni sambil menoleh 
ke arah Wilang yang makin ciut nyalinya.
Sebenarnya rasa takut yang dialami Wilang, bukan 
karena takut. Justru rasa khawatir akan keselamatan 
kawan-kawannyalah, yang membuatnya jadi takut.
“Nisanak! Bersabarlah sedikit...,” Panji segera saja
menimpali ketika melihat gadis remaja itu sudah siap 
menyerang Kenanga. “Harap kau ketahui, kematian 
orang-orangmu itu sebenarnya karena mereka telah 
bunuh diri. Semua itu dapat dilihat dari senjata-
senjata yang bergeletakan di dekat mayat mereka.”
Surni menoleh ke arah Panji, menatap penuh seli-
dik. Kilatan kekaguman terlihat, meskipun hanya seki-
las memancar di mata gadis remaja itu. Kemudian, 
terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah mayat mu-
rid-murid ayahnya.
“Alasan! Pasti kau ingin membela kekasihmu yang 
cantik jelita ini, bukan? Pantas saja! Apalagi, tam-
paknya kekasihmu itu cukup cantik dan genit,” dengus 
Surni.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Surni merasa panas 
hatinya melihat pemuda tampan berjubah putih itu 
berdiri di pihak lawan. Sehingga tanpa dapat dicegah 
lagi, ucapan-ucapannya keluar begitu saja. Padahal, 
jelas kata-katanya mengungkapkan apa yang terkan-
dung dalam hatinya saat itu. Dan, Kenanga yang lang-
sung dapat menangkap maksudnya jadi tersenyum si-
nis.
“Hm..., tentu saja akulah yang akan dibelanya. Apa 
kau cemburu? Sayang sekali. Carilah laki-laki lain agar 
kelak ada orang yang membelamu....”
Tanpa peduli perasaan Surni, Kenanga langsung sa-
ja memojokkannya dengan ucapan yang tajam dan te-
pat. Akibatnya, wajah Surni memerah karena rahasia 
hatinya dapat diketahui gadis jelita berpakaian hijau 
itu.
“Keparat! Apa kau kira aku naksir dengan kekasih-
mu?! Huh! Mulutmu jahat sekali, dan perlu diberi pela-
jaran!”
Setelah berkata demikian, Surni segera saja melesat menerjang Kenanga!
***
TUJUH


“Hiaaattt..!”
Surni yang merasa terhina oleh ucapan Kenanga, 
langsung saja melancarkan serangkaian pukulan dan 
tendangan yang menimbulkan angin berkesiutan. Nya-
ta sekali sifat kejam gadis remaja itu. Dalam serangan 
pertama saja, pukulan-pukulan dan tendangannya te-
lah terisi oleh hawa maut Sehingga, Pen-dekar Naga 
Putih sendiri sempat mengerutkan kening-nya melihat 
keganasan gadis remaja itu.
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera 
mengimbangi dengan jurus-jurus andalannya. Apalagi, 
sekali mendengar angin pukulan lawan, segera saja 
dapat dinilainya kehebatan tenaga sakti yang dimiliki 
Surni. Jelas, Kenanga tidak mau tanggung-tanggung 
lagi.
“Haiiittt..!”
“Heaaattt..!”
Kedua orang wanita itu saling terjang menggunakan 
jurus-jurus ampuhnya. Tubuh mereka berkelebatan 
menyerupai dua sosok bayangan samar yang saling li-
bat, teriakan dan sambaran angin pukulan menderu 
tajam.
“Hebat... Siapa sebenarnya gadis remaja itu? Kepan-
daiannya sangat tinggi dan ganas. Ilmu-ilmu yang di-
milikinya jelas-jelas dari aliran hitam. Entah, murid 
siapa gadis remaja itu...?” desis Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya merasa kagum melihat gadis remaja itu sanggup menghadapi Kenanga 
dalam dua puluh jurus lebih. Padahal, kepandaian Ke-
nanga sendiri sudah sangat tinggi, dan jarang tandi-
ngannya.
Sedangkan Wilang sudah bergerak semakin men-
jauhi tempat itu. Lelaki yang usianya hampir separuh 
baya ini sepertinya telah bertekad meninggalkan tem-
pat itu untuk mengabarkan kepada kawan-kawannya 
tentang kemunculan seorang gadis remaja keturunan 
Elang Laut Utara. Namun, ketika Wilang membalikkan 
tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu, ia terkejut 
bukan main. Ternyata pada saat berbalik, tubuhnya 
hampir bertabrakan dengan sosok berjubah putih.
“Aaahhh?!”
Wilang langsung melompat mundur, dan bersiap 
menyerang. Tapi ketika mengenali sosok berjubah pu-
tih itu, hatinya kontan merasa takut, heran, dan ngeri. 
Ternyata, sosok berjubah putih itu tak lain dari Pende-
kar Naga Putih.
“Panji...?!” desis Wilang.
Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan apa yang 
dilihatnya. Padahal sebelum berbalik tadi, jelas-jelas 
Panji terlihat masih berdiri membelakanginya sambil 
menyaksikan pertarungan. Untuk memastikannya, Wi-
lang mencoba menoleh ke belakang. Namun, sosok 
pemuda berjubah putih itu memang sudah tidak ada 
lagi di tempatnya semula. Tentu saja kenyataan itu 
membuat Wilang bergidig. Selama hidupnya, belum 
pernah ia menyaksikan atau mendengar kehebatan il-
mu meringankan tubuh yang telah begitu tinggi.
“Mengapa hendak pergi secara diam-diam, Wi-
lang...? Apakah hendak melarikan diri dari kesala-
han...?” tegur Pendekar Naga Putih dengan suara ber-
wibawa. Sehingga, Wilang sempat gugup oleh pertanyaan pemuda itu.
“Sungguh, Panji. Aku sama sekali tidak salah. Kalau 
kau ingin tahu, gadis remaja itu adalah keturunan 
Elang Laut Utara. Beberapa hari yang lalu, ayahnya te-
lah membunuh ketua perguruan kami yang berjuluk 
Sepasang Ular Perak. Begitu kami menemukan mayat-
nya, Elang Laut Utara telah lenyap entah ke mana per-
ginya. Lalu aku dan sembilan orang tokoh lain menda-
tangi pulau tempat tinggal Elang Laut Utara. Tapi, se-
mua kawanku telah dibantai secara keji oleh iblis beti-
na itu bersama pengikutnya. Hanya aku sendiri yang 
selamat. Lalu, aku melarikan diri untuk mengabarkan
kawan-kawan yang lain, agar tidak sampai celaka di 
tangan gadis iblis itu. Hal ini kulakukan, karena selain 
aku, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Elang 
Laut Utara mempunyai seorang pewaris yang tidak ka-
lah kejam...,” jelas Wilang panjang lebar kepada Panji 
dengan terpaksa, karena tidak ingin dituduh yang bu-
kan-bukan.
“Maaf, Wilang. Kalau memang demikian, tentu saja 
aku tidak bisa mencegahmu. Silakan...,” ucap Panji se-
raya memberi jalan kepada lelaki gagah itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wilang segera 
bergegas meninggalkan tempat itu.
“Sekali lagi, terima kasih atas pertolonganmu, Pan-
ji...,” ucap Wilang sebelum tubuhnya lenyap di kejau-
han.
Lelaki gagah bertubuh sedang itu sama sekali tidak 
tahu kalau pemuda tampan yang dihadapinya adalah 
Pendekar Naga Putih. Panji sejak tadi memang belum 
menunjukkan ‘Tenaga Gerhana Bulan’nya. Dan lagi, 
dia dan Kenanga juga tidak memperkenalkan diri ke-
pada Wilang.
***
Sepeninggal Wilang, Panji kembali mengalihkan per-
hatian ke arena pertarungan. Saat itu tampak Kenanga 
sudah mulai mempergencar serangan-serangannya. 
Maka meskipun Surni mencoba bertahan, tetap saja 
dapat didesak gadis jelita itu. Selain lebih berpenga-
laman, kepandaian Kenanga juga masih berada di atas 
lawannya.
“Hiaaattt.!”
Dalam kemarahannya, Surni memekik keras. Tu-
buhnya yang tengah didesak tiba-tiba melambung. 
Kemudian, putri Elang Laut Utara itu menukik cepat 
dengan sepasang tangan membentuk cakar elang. Siap 
merencah tubuh lawannya!
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, menyadari 
kedahsyatan serangan lawan. Cepat-cepat tubuhnya 
bergeser dengan kuda-kuda rendah, kemudian melam-
bung disertai teriakan nyaring mengejutkan. Itulah ju-
rus ‘Bidadari Menabur Bunga’ warisan gurunya. Be-
danya, ilmu pedangnya kali ini dipergunakan de-ngan 
tangan kosong. Meskipun begitu, kehebatannya tidak 
berkurang.
“Yeaaahhh...!”
Dua sosok tubuh yang saling melenting di udara 
tampaknya telah berniat adu nyawa. Ini terlihat dari 
jurus-jurus pamungkas yang sama-sama digunakan. 
Melihat kenyataan itu, Panji tidak tinggal diam. Maka 
tubuhnya cepat melesat dan langsung menerjang tepat 
di tengah keduanya. Dengan mempergunakan ‘Tenaga 
Inti Panas Bumi’, Panji mendorongkan telapak tangan-
nya ke kiri dan ke kanan. Tentu saja, dorongan itu 
hanya sekedar untuk mencegah agar kedua wanita itu 
tidak terluka.
Tentu saja hal itu dapat dilakukannya, karena tena-
ga jelmaan Pedang Naga Langit yang dapat diguna-kan

sesuai keinginan.
Bressshhh...!
“Uuuhhh...?!”
“Aaahhh...!?”
Baik Kenanga maupun Surni sama-sama terkejut 
ketika merasakan sesuatu kekuatan aneh yang amat 
kuat. Bahkan kekuatan itu telah memaksa tenaga me-
reka jadi tersedot, untuk kemudian berbalik. Akibatnya 
mereka jadi terjatuh ke tanah. Untungnya, mereka da-
pat bertindak sigap sehingga jatuh dengan kedua kaki 
terlebih dahulu.
“Kakang...?! Apa-apaan ini...?!” sentak Kenanga 
yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Panji.
“Kenanga, tenanglah. Untuk apa saling membunuh 
tanpa alasan kuat? Rasanya terlalu terburu-buru ka-
lau berniat mengadu nyawa dalam pertarungan ini...,” 
sahut Panji dengan tatapan mohon pengertian dari ke-
kasihnya. Mau tidak mau, Kenanga bungkam tidak 
membantah lagi.
Lain halnya Surni. Perbuatan Panji yang sebenar-
nya malah menyelamatkan dirinya, dianggap sebagai 
suatu penghinaan. Bahkan juga keroyokan. Sehingga, 
sepasang matanya yang penuh kebencian menatap ta-
jam wajah Pendekar Naga Putih.
“Hmh! Walaupun kepandaian kalian kuakui sangat 
hebat, tapi jangan sombong dulu! Jangan sukanya 
main keroyok. Huh! Kalau saja Ayahku masih hidup, 
rasanya kalian tidak akan selamat dari hukuman. 
Hm.... Hari ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat Sebagai 
putri Elang Laut Utara, aku yang bernama Surni tidak 
akan pernah lupa atas penghinaan ini...!”
Usai berkata demikian, Surni segera meninggalkan 
tempat itu tanpa memberi kesempatan kepada Panji 
dan Kenanga untuk membantah kata-katanya.
“Hei..., tunggu...!”
Panji yang masih merasa penasaran, segera men-
jejak tanah. Tubuhnya langsung melambung dan ber-
putar beberapa kali di udara. Kemudian, ke dua kaki-
nya mendarat ringan beberapa langkah di depan Surni.
“Hm.... Rupanya kau masih belum puas, pemuda 
curang?! Baiklah! Kalau memang menghendaki nyawa-
ku, hari ini juga kita mengadu nyawa...!” tandas Surni 
sambil menggeser kuda-kudanya.
Sikap gadis itu jelas tidak main-main. Sehingga, 
Panji yang semula hendak menjelaskan kepada gadis 
itu, terpaksa menyingkir memberi jalan. Tampaknya 
keputusan gadis remaja itu memang tidak bisa di ru-
bah lagi.
“Hh.... Sayang sekali kau terlalu keras kepala, Ni-
sanak. Kalau memang hendak pergi, pergilah. Aku ti-
dak akan menahanmu...,”
Setelah berkata demikian, Panji menyingkir dan 
bergerak menghampiri Kenanga. Tidak dipedulikannya 
lagi ketika Surni melesat dengan memendam sakit ha-
ti.
***
Dara itu berdiri lesu di bibir sungai. Pandang ma-
tanya menerawang jauh, bagai tak bertepi. Dari raut 
wajahnya yang masam, jelas kalau perasaannya ten-
gah semrawut.
“Ayah.... Kalau saja kau masih ada di sampingku, 
rasanya tidak mungkin aku akan mengalami peng-
hinaan seperti kemarin. Mereka pasti akan kau hajar 
habis-habisan, karena berani menghinaku...,” desah 
gadis remaja itu dengan suara bergetar, menyimpan 
kedukaan.

Perlahan kepala yang semula tegak itu tertunduk 
lesu. Kemudian kepala gadis itu kembali tegak, seraya 
membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan 
sungai.
Gadis remaja yang tak lain Surni itu rupanya san-
gat terpukul sekali atas penghinaan Panji. Itulah yang 
membuatnya berduka. Apalagi ketika teringat ayahnya 
yang semenjak kecil telah mendidiknya.
Sehingga menurut anggapannya, kepandaian ayah-
nya paling hebat Dan memang, sejak kecil hanya 
ayahnyalah yang bersamanya. Dan yang diketahuinya, 
ayahnya sangat sakti. Semua itu sering diperlihatkan 
ayahnya untuk memancing semangatnya agar giat ber-
latih.
“Hhh...,” kembali terdengar helaan napas berat, 
yang mengungkapkan betapa hati gadis remaja itu 
tengah gundah.
Dengan langkah agak gontai, Surni melangkah me-
nyusuri sebuah perkebunan karet. Kepala yang ter-
tunduk itu baru terangkat tegak saat terdengar suara 
langkah kaki dari depannya. Dengan penuh kecuri-
gaan, Surni menatap enam orang lelaki gagah yang 
berjalan dari arah yang berlawanan.
“Eh...?!”
Surni yang sejak semula memang merasa curiga 
deh rombongan enam orang lelaki gagah itu, meng-
angkat alisnya dengan raut wajah terkejut Betapa ti-
dak? Salah seorang dari keenam lelaki gagah itu dike-
nalinya betul. Memang, orang yang dilihatnya adalah 
Wilang.
“Lihat..! Itu dia gadis kejam putri Elang Laut Uta-
ra...!” seru lelaki gagah bertubuh sedang yang memang 
Wilang, sambil menunjuk ke arah Surni.
Sedangkan lima orang lelaki gagah kawan Wilang,

langsung berlompatan dengan gerakan ringan dan ge-
sit Dalam beberapa lompatan saja, mereka telah rapat 
mengurung Surni. Melihat bentuk kepungan itu, Surni 
sadar kalau lawan menggunakan jurus gabungan un-
tuk melumpuhkannya.
“Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan lolos, wanita ib-
lis...!”
Wilang tertawa keras seraya melesat dan bergabung 
bersama kelima rekannya. Melihat dari raut wajahnya 
yang penuh keyakinan, rupanya Wilang sudah dapat 
memastikan kalau Surni tidak akan mampu meng-
hadapi kelima orang lelaki gagah temannya.
Surni berdiri tenang, meski hatinya sedikit tegang. 
Sejak menyadari kalau kepandaiannya bukan yang 
paling hebat di kolong jagad, keyakinan gadis remaja 
itu sedikit berkurang. Perasaan itu membuatnya men-
jadi mudah tegang dalam menghadapi perkelahian. 
Padahal kalau saja tahu siapa pasangan pendekar 
yang mengalahkannya kemarin, belum tentu akan me-
rasa berduka seperti itu. Karena memang wajar kalau 
kalah oleh Pendekar Naga Putih atau Kenanga yang 
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Demikian pula dalam menghadapi kelima orang le-
laki gagah yang mulai berputar mengepungnya. Hati 
Surni sedikit tegang, takut mengalami kekalahan lagi. 
Padahal, keyakinan hati sangat berperan dalam se-
buah perkelahian. Makin tinggi keyakinan seseorang, 
akan semakin tenanglah dalam menghadapi dan men-
cari kelemahan lawan.
Dalam ketegangan dan rasa takut akan kekalahan, 
Surni menjadi jengkel. Rasa jengkel itu membuat nafsu 
membunuhnya menjadi semakin berlipat
“Bangsat kau, lelaki pengecut! Rupanya ini maksud-
mu melarikan diri! Mengapa hanya lima orang yang

kau bawa? Apakah kau yakin mereka mampu menun-
dukkanku...?” terdengar suara Surni yang bernada 
mengejek.
Sambil berkata demikian, dara remaja itu menarik 
keluar sebilah pedang yang selama ini jarang diper-
gunakan, dan hanya menghias punggungnya saja.
Sriiinggg...!
Kilatan merah berkeredep ketika Surni menggerak-
kan senjatanya secara bersilangan, sebelum dilintang-
kan di depan dada. Sorot matanya yang tajam, me-
nyiratkan tekad untuk bertarung sampai mati.
Wilang yang memang sangat mendendam atas ke-
matian kawan-kawannya di Pulau Elang Hitam, me-
langkah maju dua tindak sambil menudingkan telun-
juk ke wajah Surni.
“Dengar, gadis keparat! Selain telah mengakibatkan 
kawan-kawanku terbunuh, kau juga pengemban dosa 
dari semua kejahatan yang dilakukan Elang Laut Uta-
ra selama hidupnya! Dan, dosa itu hanya dapat dicuci 
dengan darahmu! Untuk itu, kau harus mati di tangan 
kami...,” dengus Wilang yang jelas-jelas memancarkan 
dendam dan rasa sakit hatinya. Suaranya terdengar 
lantang dan menggetarkan.
Tapi, Surni bukannya takut mendengar ucapan itu. 
Rasa jengkel dan nafsu membunuh yang telah me-
nguasai hatinya, membuatnya semakin merasa benci 
terhadap lelaki bertubuh sedang itu. Maka....
“Yeaaattt..!”
Tanpa banyak ribut lagi, langsung saja Surni me-
luncur dengan tusukan pedang ke tubuh Wilang. Se-
pertinya, hal itu sengaja dilakukan selagi Wilang belum 
siap. Bahkan pedangnya telah tertuju lurus ke jantung 
Wilang.
Namun, kelima orang lelaki gagah yang mengurung

Surni tentu saja tidak tinggal diam. Seiring teriakan 
nyaring yang melengking, dua dari kelima pengepung 
langsung melesat disertai putaran pedangnya yang me-
nimbulkan angin menderu tajam. Keduanya langsung 
memapak serangan Surni
“Haiiittt..!”
Serangan dari dua arah oleh dua orang pengepung 
membuat Surni terpaksa harus menunda serangan-
nya. Memang, meskipun serangannya mungkin bisa 
melukai Wilang, tapi dia sendiri juga tidak akan terle-
pas dari ancaman kedua bilah pedang pengepung-nya. 
Dan, Surni lebih utama memilih keselamatan dirinya.
“Yiaaahhh...!”
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Surni memu-
tar pedangnya merubah serangan. Kali ini pedangnya 
diputar sedemikian rupa mengelilingi tubuhnya. Hing-
ga, terbentuklah sinar merah yang bergulung-gulung 
bagaikan gelombang angin puyuh!
Traaang! Traaang!
Tanpa dapat dicegah lagi, ketiga bilah pedang itu 
saling berbenturan keras disertai percikan bunga api 
yang berpencaran!
Surni seketika merasakan telapak tangannya agak 
bergetar akibat benturan tadi. Maka, tentu saja dia cu-
kup dibuat terkejut. Hal itu menandakan kalau tenaga 
dalam lawan-lawannya hanya berselisih sedikit di ba-
wahnya. Akibatnya, kini hatinya semakin resah. Tam-
bahan lagi, lawannya berjumlah lima orang, di-tambah 
Wilang yang belum ikut terjun mengeroyoknya. Tentu 
saja jumlah dan kekuatan lawan membuat Surni se-
perti tidak mempunyai kesempatan untuk menang.
“Hmhhh! Biar bagaimanapun, aku harus mem-
bunuh mereka sebanyak-banyaknya sebelum tubuhku 
dirajam mereka...,” tekad Surni, yang membuat hatinya menjadi mantap.
“Hiaaattt..!”
Kembali Surni memekik nyaring sambil memutar 
pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Sehingga, gundukan sinar merah semakin melebar 
menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Tapi, lawan Surni kali ini bukan orang sembara-
ngan. Kelima lelaki gagah yang berusia rata-rata seki-
tar empat puluh tahun itu dalam kalangan rimba per-
silatan dikenal sebagai Algojo Dari Timur. Maka sudah 
tentu kepandaian yang mereka miliki tidak bisa dipan-
dang remeh. Bahkan Sepasang Ular Perak sendiri me-
rasa hormat dan cukup segan terhadap kelima lelaki 
gagah yang juga wakil-wakilnya itu. Jelas, kali ini Sur-
ni benar-benar menghadapi kesulitan besar!
Dengan teriakan-teriakan nyaring yang susul me-
nyusul, kelima lelaki gagah itu satu persatu melesat 
disertai putaran senjata untuk menggempur Surni. 
Tentu saja dengan bertarung seperti itu, Algojo Dari 
Timur tidak pernah merasa kelelahan. Apalagi untuk 
kehabisan tenaga. Setiap kali seorang maju menye-
rang, yang lainnya hanya menunggu, untuk kemudian 
menggantikannya. Hal itu membuat Surni jadi ke-
bingungan dan terdesak hebat!
“Bangsat...!”
Kejengkelan yang menggumpal di dalam dada, 
membuat Surni melontarkan makian dengan teriakan 
melengking. Serangan lawan yang berganti-ganti selain 
membuat pusing, juga jengkel. Semua itu membuat ge-
rakannya menjadi tidak teratur dan sering kacau. Se-
hingga, semakin bertambah payahlah keadaannya.
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Secara susul menyusul, kelima lelaki gagah itu

kembali berlompatan dengan putaran pedang men-
deru-deru! Surni yang sudah terdesak dan gerakannya 
semakin kacau, sepertinya tidak mungkin lagi me-
nyelamatkan diri dari kelima bilah pedang yang ber-
keredep menyilaukan mata!
Breeet! Breeet!
“Aaakkkhhh...!”
Surni yang berusaha untuk menghindari sambaran 
kelima bilah senjata lawan, tak urung harus menerima 
dua di antara kelima bilah pedang yang menggores tu-
buhnya. Meskipun luka sambaran kedua bilah pedang 
itu tidak sampai menewaskannya, namun cukup 
membuatnya semakin sulit melakukan perlawanan. 
Sementara itu, darah terus mengalir seiring rasa perih 
yang terasa menggigit tubuhnya.
“Ooohhh...,” keluh Surni, lirih sambil menggigit bi-
birnya kuat-kuat Wajah cantiknya tampak mulai me-
mucat. Memang, darah yang keluar cukup banyak, se-
hingga membuatnya semakin bertambah lemas.
“Hm.... Terimalah hukuman atas dosa-dosa yang te-
lah diperbuat Ayahmu, wanita sesat..!”
Begitu suara salah seorang dari mereka lenyap, ke-
lima orang lelaki gagah kembali berlompatan disertai 
kilatan-kilatan pedang yang susul-menyusul. Akibat-
nya, Surni yang sudah goyah kuda-kudanya, hanya bi-
sa menunggu datangnya maut yang segera menjem-
put
“Hiaaattt...!”
Pekikan yang susul-menyusul itu semakin menga-
caukan jalan pikiran Surni. Seperti tidak tahan akan 
siksaan itu, akhirnya Surni menjatuhkan senjatanya. 
Seketika kedua telinganya ditutup dengan tangannya. 
Terdengar rintihan putus asa dari kerongkongannya.
“Ayaaah...,” dalam keputusasaannya, Surni memanggil nama ayahnya untuk yang terakhir kali. Na-
mun....
Tranggg! Traaang! Traaang!
“Aaakhhh...!”
“Uuughhh...!”
Pada saat ajal Surni sudah hampir tiba, tahu-tahu 
saja sesosok bayangan hitam berkelebat bagai kilat, 
langsung memapak pedang kelima lelaki gagah itu. 
Seiring benturan yang memekakkan telinga dan teria-
kan-teriakan kesakitan, tubuh kelima Algojo Dari Ti-
mur berpentalan hingga sejauh dua tombak lebih! Ten-
tu saja kenyataan itu mengejutkan Wilang yang semula 
tersenyum melihat keadaan Surni.
***
DELAPAN


“Elang Laut Utara...?!”
Wilang berseru dengan wajah berubah tegang ketika 
mengenali sosok bertubuh gemuk dan berkulit hitam. 
Meskipun wajah lelaki itu agak pucat, namun kehadi-
rannya benar-benar menggetarkan!
Wajar saja kalau mereka terkejut, sebab telah per-
caya kalau Elang Laut Utara telah tewas. Tapi pada 
kenyataannya, mereka harus menelan bulat-bulat ke-
nyataan itu. Elang Laut Utara benar-benar masih hi-
dup.
“Benar! Akulah yang datang, manusia-manusia 
pengecut! Kalian yang mengaku sebagai golongan pen-
dekar, ternyata tak lebih dari pengecut-pengecut ren-
dah! Untuk menghadapi seorang gadis remaja saja, ka-
lian ternyata harus main keroyok! Benar-benar tak tahu malu...!” dengus sosok bertubuh gemuk yang me-
mang Elang Laut Utara, dengan suara parau.
“Oh..., Ayah...!”
Surni yang untuk beberapa saat lamanya sempat 
terpaku menatap sosok ayahnya hampir tak percaya. 
Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan 
lelaki gemuk berkulit hitam itu. Betapa tidak? Selama 
ini ayah yang telah dianggap tewas, ternyata masih hi-
dup.
“Hm.... Enak saja kau menuduh kami sebagai pen-
gecut, Elang Laut Utara. Sadarkah kau dengan uca-
panmu itu? Mengapa selama ini kau menghilang dan 
melepaskan tanggungjawabmu?! Apakah kau pikir 
kami akan melupakan kebejatanmu begitu saja? Huh! 
Tidak mungkin! Meskipun kami tidak bisa menemu-
kanmu selama beberapa bulan ini, tapi keturunanmu 
harus menanggung semua dosa atas perbuatanmu. 
Untuk itulah kami harus membunuhnya...,” timpal 
orang tertua dari Algojo Dari Timur.
“Dengar, manusia-manusia sombong! Kalau selama 
ini aku menghilang, itu karena mengalami luka dalam 
yang cukup parah akibat bertempur dengan Sepasang 
Ular Perak. Dan setelah luka-lukaku sembuh kini aku 
kembali muncul untuk membantai kalian satu per-
satu. Terutama orang-orang yang telah menyakiti pu-
triku.... Nah, bersiap-siaplah....”
Setelah berkata demikian, Elang Laut Utara mem-
bawa putrinya ke sebuah pohon, dan menyandar-
kannya. Kemudian, lelaki gemuk itu sendiri kembali 
menghampiri Wilang dan Algojo Dari Timur. Sorot ma-
tanya demikian tajam dan bengis, membayangkan naf-
su membunuh yang menggetarkan!
“Hm....”
Sambil mengeluarkan geraman lirih, Elang Laut
Utara yang telah melepaskan pedang merah milik pu-
trinya, menyilangkan lengan di depan dada. Jari-jari 
tangannya yang telah membentuk cakar elang, tampak 
bergetar karena dialiri tenaga sakti yang maha dah-
syat!
Sadar kalau lawan yang kali ini dihadapi me-
rupakan tokoh puncak golongan sesat, Lima Algojo Da-
ri Timur segera menyebar dengan pedang di tangan. 
Demikian pula halnya Wilang. Lelaki gagah bertubuh 
sedang itu telah mencabut pedang di pinggangnya.
“Haiiittt...!”
Disertai pekik elang luka, tubuh tokoh sesat ber-
kulit hitam itu bergerak maju dengan langkah-langkah 
pendek. Gerakannya yang terlihat cepat dan sukar di-
tangkap mata biasa, sempat membuat lawan-lawan-
nya sesaat kebingungan. Namun, begitu sambaran an-
gin tajam telah tiba semakin dekat, baik Wilang dan 
Lima Algojo Dari Timur sama-sama bergerak meng-
gempur Elang Laut Utara!
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Terdengar pekikan nyaring susul-menyusul. Seiring 
pekikan itu, kelima lelaki gagah yang mengepung 
Elang Laut Utara bergerak berturut-turut disertai pu-
taran senjata. Sedangkan Wilang hanya mengikuti pal-
ing belakang. Rupanya, dia memilih menggabung-kan 
diri dengan Lima Algojo Dari Timur dalam menggempur 
Elang Laut Utara.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran berlangsung 
sengit! Baik Lima Algojo Dari Timur maupun Wilang 
benar-benar penasaran melihat tokoh sesat Pulau 
Elang Hitam itu ternyata sangat gesit dan sukar sekali 
disentuh. Apalagi, sambaran-sambaran cakar elang 
datuk sesat itu sangat berbahaya dan berbau maut

Akibatnya, cukup sulit bagi Wilang dan rekan-rekan-
nya dalam mendesak lawan. Bahkan justru mereka 
sendirilah yang terlihat mulai terdesak, meskipun se-
cara perlahan.
“Heaaahhh...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedua 
puluh lima, tiba-tiba Elang Laut Utara memekik me-
ngejutkan! Lawan yang tidak menyangka bakal men-
dapat serangan suara itu, sempat terlonjak mundur 
beberapa langkah. Dan pada kesempatan itulah, Elang 
Laut mengibaskan tangan kanannya ke arah para pen-
geroyoknya! Seketika, berhamburan jarum-jarum ha-
lus berwarna keperakan dari tangannya.
Weeettt!
“Awaaasss...!”
Wilang benar-benar menyadari ancaman kematian 
dari kibasan tangan tokoh sesat itu. Maka, segera saja 
dia memperingatkan rekan-rekannya. Sementara, ia 
sendiri telah melompat menghindar sejauh-jauhnya, 
sambil memutar pedang untuk melindungi diri dari 
ancaman jarum-jarum halus yang mengerikan.
“Aaakkkhhh...!”
“Aaaa...!”
Namun, dua orang dari Lima Algojo Dari Timur tak 
sempat menangkap arti peringatan Wilang. Akibatnya, 
tanpa dapat dicegah lagi mereka menjerit kesakitan. 
Mereka kemudian ambruk dan menggelepar di atas ta-
nah dengan mulut mendesis-desis dan mengaduh-
aduh. Memang, rasa gatal yang hebat telah mulai me-
nyiksa kedua orang gagah itu.
“Hua ha ha...! Lihatlah kedua kawanmu itu, manu-
sia-manusia sombong! Sebentar lagi, kalian juga akan 
mengalami nasib serupa...!” Elang Laut Utara yang me-
rasa puas melihat hasil kerja jarum-jarum beracunnya,

disertai tawa meremehkan.
“Bedebah kau, manusia iblis...!” desis Wilang.
Wajah Wilang langsung berubah duka. Ia memang 
sudah beberapa kali menyaksikan kawan-kawannya 
tewas akibat kekejaman ‘Racun Ubur-Ubur Laut’, Se-
mua itu membuatnya tidak lagi memikirkan kesela-
matan diri lagi. Dengan serangan bagai gelombang lau-
tan, digempurnya Elang Laut Utara yang tengah terta-
wa berkakakan.
Tiga orang dari Lima Algojo Dari Timur yang ter-
paku beberapa saat menyaksikan dua orang rekannya 
yang bergulingan sambil mendesis-desis dan meng-
garuki sekujur tubuh, segera saja ikut menyerbu. Kali 
ini pertempuran berjalan mati-matian, sehingga sera-
ngan-serangan mereka sangat hebat dan mengerikan!
Tapi bagi tokoh sesat kawakan seperti Elang Laut 
Utara, semua itu sama sekali tidak membuatnya gen-
tar. Dengan jurus-jurus andalan, datuk sesat itu dapat 
mengimbangi dan bahkan sanggup mendesak keempat 
pengeroyoknya lewat jurus ‘Elang’nya yang memang 
sangat hebat.
“Yeaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, ketika memasuki jurus 
yang ketiga puluh, Elang Laut Utara kembali memekik 
mengejutkan! Dan berbarengan dengan itu, disusuli-
nya dengan sebuah sambaran cakar elangnya yang 
mengancam Wilang. Karena, saat itu Wilang memang 
yang terdekat dengannya.
Breeettt! Breeettt!
“Aaakkkhhh...!”
Sambaran cakar elang datuk sesat itu langsung me-
robek bahu dan lambung Wilang tanpa ampun. Darah 
segar segera mengalir dari luka yang cukup dalam dan 
terasa perih. Dan selagi tubuh Wilang terjajar limbung,

Elang Laut Utara kembali melesat hendak menghabisi 
riwayatnya.
“Mampus kau...!” geram Elang Laut Utara seraya 
menjulurkan cakar-cakar elangnya, hendak mencabik-
cabik tubuh lawan.
“Heeeaaa...!”
Tepat pada saat sepasang cakar elang datuk sesat 
itu siap mencabik-cabik tubuh lawan, tiba-tiba saja 
terdengar seruan nyaring seiring berkelebatnya seso-
sok bayangan putih.
Plakkk! Plakkk!
“Uuuhhh...?!”
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung 
memapak serangan Elang Laut Utara. Seketika ter-
dengarlah benturan keras, tak ubahnya ledakan petir 
di angkasa!
Tubuh Elang Laut Utara tampak terdorong balik, 
hingga satu tombak lebih. Karuan saja kenyataan itu 
membuatnya terkejut. Maka begitu mendaratkan ka-
kinya di atas tanah, sepasang matanya langsung me-
nyorot tajam ke arah sosok berjubah putih yang telah 
menyelamatkan nyawa Wilang. Sedangkan sosok itu 
tetap tenang, tanpa mempedulikan sinar kemarahan 
yang terbersit pada sepasang mata Elang Laut Utara.
***
“Keparat! Siapa kau...?!” tegur Elang Laut Utara 
dengan tatapan menyelidik.
Nada ucapan tokoh sesat itu jelas menandakan ke-
raguan hatinya. Memang, datuk sesat itu merasa ragu, 
meski telah terlintas dalam pikirannya tentang sosok 
pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hm..., Elang Laut Utara! Masih belum cukupkah 
korban kekejamanmu selama ini? Apakah kau masih 
tetap ingin menebarkan bencana dengan tanganmu 
yang sudah berlumuran darah itu? Tidakkah ada nia-
tan untuk meninggalkan semua kejahatan dalam ha-
timu?” tegur sosok berjubah putih tanpa memper-
dulikan pertanyaan lawannya. Sepertinya, dia hendak 
membiarkan Elang Laut Utara memastikan dugaannya 
sendiri.
Sementara itu, Wilang yang tampak masih belum 
hilang rasa terkejutnya tampak telah berada di luar 
arena bersama seorang dara jelita berpakaian serba hi-
jau dan tiga orang rekannya. Mereka semua menatap 
ke arah pemuda berjubah putih dan Elang Laut Utara 
yang tengah berhadapan.
Sebagai seorang datuk sesat kawakan yang selama 
ini malang-melintang menebar bencana tanpa ada 
yang berani mencegah, apalagi menasihati, tentu saja 
Elang Laut Utara menjadi terbahak begitu pemuda ber-
jubah putih itu menasehatinya. Sedangkan pemuda 
tampan yang memang Pendekar Naga Putih, hanya 
menatap dengan sorot mata tenang. Panji sama sekali 
tidak tersinggung atau merasa terhina karena diterta-
wakan seperti itu.
“Hua ha ha...! Dengarlah, bocah. Meskipun mung-
kin kau pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih, tapi untuk menasehati Elang Laut Utara, jangan 
terlalu gegabah. Tapi, baiklah. Aku bersedia menuruti 
nasihatmu dengan satu syarat Dan kalau kau me-
nerima syaratku, hari ini juga dunia sesat akan ku-
tinggalkan. Kalau tidak, hm..., aku terpaksa memotes 
batang lehermu...!” ancam Elang Laut Utara, sungguh-
sungguh. Sehingga, Panji mengerutkan keningnya 
dengan tatapan curiga.
“Katakan, apa syaratmu? Kalau memang dapat ku-
lakukan, akan kupenuhi. Tapi kalau tidak, aku siap 
bertarung denganmu demi kebenaran...,” tegas Panji. 
Tatapan matanya mengandung kecurigaan, karena sa-
dar kalau lawannya seorang datuk sesat yang mengha-
lalkan segala cara.
“Hm.... Lihatlah gadis yang tengah terduduk tak 
berdaya di bawah pohon itu. Dia adalah putriku. Na-
manya, Surni. Kalau kau bersedia mengambilnya se-
bagai istri, dunia sesat yang selama ini kugeluti akan 
kutinggalkan. Bagaimana...?” tanya Elang Laut Utara.
Syarat itu tentu saja sangat mengejutkan hati Panji. 
Memang tidak mungkin Pendekar Naga Putih dapat 
memenuhi permintaan gila itu. Lantas, bagaimana 
dengan Kenanga?
“Maaf, Elang Laut Utara, Syaratmu terlalu berat ba-
giku...,” jawab Pendekar Naga Putih dengan suara agak 
perlahan. Panji tidak ingin gadis bernama Surni itu 
sampai mendengarnya, karena tentu perasaannya da-
pat terpukul dan merasa terhina.
“Bangsat! Sudah kuduga kau tidak akan sudi me-
menuhinya. Untuk itu, hanya kematianlah yang pan-
tas bagimu...!”
Usai berkata demikian, Elang Laut Utara langsung 
menerjang Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus 
andalan. Bahkan saking marah dan terhinanya, tokoh 
sesat itu mengumbar ‘Racun Ubur-Ubur Laut’ yang 
akibatnya sangat berbahaya dan mengerikan!
“Jeaaahhh...!”
Whuuut! Whuuuttt!
Panji yang langsung dapat menduga kedahsyatan 
racun yang terkandung dalam jarum-jarum halus itu, 
langsung saja mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan’ untuk melindungi tubuhnya. Sehingga, jarum

jarum itu langsung berjatuhan ketika menyentuh dind-
ing lapisan kabut bersinar putih keperakan yang me-
nyelimuti tubuhnya.
Namun, datuk sesat dari Pulau Elang Hitam itu sa-
ma sekali tidak merasa putus asa. Sambaran cakar 
elangnya langsung bergerak susul menyusul, meng-
incar bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga 
Putih. Sayang, gempuran-gempuran hebat Elang Laut 
Utara selalu saja kandas, karena tubuh lawannya telah 
lenyap sebelum serangannya sempat menyentuh. Se-
mua itu terjadi karena ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki Panji masih lebih tinggi daripada lawannya. 
Akibatnya, kerapkali Elang Laut Utara terdengar 
menggeram gusar karena selalu terkecoh.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam 
puluh tiga, tiba-tiba saja Panji mulai merubah ge-
rakannya. Pendekar Naga Putih terlihat mulai memain-
kan ‘Jurus Naga Sakti’ yang menjadi andalannya.
Elang Laut Utara yang memang telah lama men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, kali 
ini benar-benar dibuat terkagum-kagum. Memang, apa 
yang selama ini didengarnya ternyata masih belum ada 
apa-apanya dibanding yang disaksikannya sekarang.
“Gila...?!” desis Elang Laut Utara.
Saat itu terlihat tubuh Pendekar Naga Putih ber-
gerak luwes, namun jelas mengandung tenaga dalam 
tinggi. Semua itu dapat dirasakan melalui sambaran 
angin dingin yang terasa menusuk tulang sum-sum.
“Yeaaattt...!”
Bweeettt...!
“Aiiihhh...!”
Bukan main terperanjatnya Elang Laut Utara ketika 
tahu-tahu cakar lawan telah mendekati tubuhnya. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya dilempar ke belakang, dan terus berjumpalitan 
menjauhi Pendekar Naga Putih.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan secepat 
mungkin, langsung saja melesat cepat bagai kilat! Ba-
gaikan sebatang tombak, tubuh Pendekar Naga Putih 
meluncur lurus disertai putaran sepasang cakarnya! 
Dan tentu saja Elang Laut Utara sadar akan bahaya 
yang mengancam. 
“Haiiittt...”
Disertai pekikan nyaring, Elang Laut Utara mengi-
baskan tangannya. Seketika itu juga, puluhan batang 
jarum beracun langsung beterbangan ke arah Pen-
dekar Naga Putih. Jelas, maksudnya hendak mencegah 
serangan lawan.
Tapi apa yang terjadi kemudian, benar-benar ham-
pir tidak bisa dipercaya datuk sesat itu. Puluhan ba-
tang jarum beracun yang dilepaskannya malah da-pat 
ditahan angin pukulan lawannya. Bahkan, Pen-dekar 
Naga Putih dapat mengendalikan, dan memutar balik 
jarum-jarum beracun itu yang kini mengancam maji-
kannya. 
“Gila...?!”
Untuk kesekian kalinya, Elang Laut Utara kembali 
terbelalak menyaksikan kesaktian lawan. Ternyata ja-
rum-jarum yang semula dilepaskan secara berpencar, 
kini malah berkumpul dan meluncur ke arah dirinya. 
Dan ketika jaraknya sudah tinggal dua tombak lagi, ti-
ba-tiba saja jarum-jarum itu memecah membentuk ti-
ga kelompok.
“Aaahhh?!”
Elang Laut Utara tidak sanggup lagi mengelakkan 
luncuran jarum beracun miliknya. Rasa terkejut dan 
terkesima oleh keanehan yang disaksikan, membuat-
nya terpaksa harus merasakan jarum-jarum beracun

nya sendiri.
“Aaarrrghhh...!”
Elang Laut Utara memekik tinggi ketika tiga ke-
lompok jarum beracunnya malah menembus tubuhnya 
sendiri. Bahkan kelompok yang terbawah seperti se-
ngaja memecahkan obat penawar yang berada di ping-
gang kirinya. Tentu saja, musnahnya obat penawar itu 
membuat Elang Laut Utara melolong dengan wajah ke-
takutan!
“Ayaaahhh...!” pekik Surni di tengah ketidakber-
dayaannya.
Surni yang melihat tubuh ayahnya ambruk dan 
langsung menggelepar bagaikan ayam di sembelih, be-
rusaha menghambur. Namun karena keadaannya me-
mang masih lemah, akhirnya malah terjatuh sebelum 
sampai ke tempat ayahnya berada.
“Ayaaahhh....”
Surni hanya bisa merintih sambil menggapaikan 
tangannya, melihat ayahnya tengah sekarat. Memang, 
gadis remaja itu sadar akan keganasan ‘Racun Ubur-
Ubur Laut’ yang khusus diciptakan ayahnya untuk 
membunuh lawan. Tapi, siapa sangka kalau akhirnya 
datuk sesat itu sendiri yang harus merasakan akibat 
racun kejinya.
Surni hanya bisa meneteskan air mata saat me-
nyaksikan tubuh ayahnya dilumuri darah, dan tidak 
bergerak-gerak lagi. Elang Laut Utara tewas akibat ra-
cun yang dibuatnya sendiri, tanpa sempat meng-ambil 
obat penawarnya.
Panji bergerak menghampiri Surni. Tanpa berkata 
sepatah kata pun, segera dibawanya tubuh gadis re-
maja itu ke tempat yang lebih baik. Dengan penuh 
perhatian, diobatinya luka-luka Surni yang hanya me-
natap kosong akibat pukulan bathin atas kematian

ayahnya.
“Surni...,” sapa Panji saat gadis remaja itu sudah 
mulai pulih tenaganya. “Kuharap kau tidak mengikuti 
jejak kesesatan ayahmu. Kalau ingin berbakti kepada-
nya, tebarkanlah benih-benih kebaikan di dunia ini. 
Aku yakin, hal itu akan membuat ayahmu mendapat 
ketenangan di alam sana...,” ujar Pendekar Naga Putih.
Namun, nasihat itu sama sekali tidak ditanggap 
Surni. Namun demikian, Panji tahu kalau Surni cukup 
mengerti dan mendengar segala yang disampaikannya 
barusan.
Surni yang memang pada dasarnya berhati lembut 
dan penuh kasih, menyadari sepenuhnya akan kejaha-
tan ayahnya. Dan segala nasihat Pendekar Naga Putih 
yang tadi didengarnya, memang suatu kebenaran mut-
lak.
Panji, Kenanga, Wilang, dan tiga orang Lima Algojo 
Dari Timur, hanya berdiri dengan tatapan iba ketika 
Surni bersimpuh di samping makam ayahnya yang di-
buatkan Pendekar Naga Putih tadi.
“Ayah.... Mudah-mudahan di alam sana kau dapat 
bersatu lagi dengan ibu. Sayang, aku belum sempat 
menyampaikannya, tapi Ayah keburu meninggal. Se-
moga Ayah dan Ibu bahagia, dapat berkumpul lagi. 
Sedangkan aku, akan mencoba meringankan dosa-
dosamu dengan berbuat kebaikan. Selamat tinggal, 
Ayah....”
Selesai mengucapkan kalimat itu, Surni mem-
balikkan tubuhnya. Sebelum pergi, masih disempat-
kannya untuk menoleh ke arah Panji, Kenanga, dan 
yang lain. Kemudian, gadis itu melangkah perlahan 
tanpa salam perpisahan.
“Hm.... Semoga saja dia selalu dilindungi Tuhan...,” 
desah Panji yang diam-diam merasa iba terhadap gadis

remaja yang telah sebatang kara itu.
Silir angin lembut menyapu hati para tokoh persila-
tan itu. Mereka merasa lega, karena Surni ternyata da-
pat mengerti. Bahkan tidak melanjutkan kesesatan Elang Laut Utara.





                               SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar