BUDAK NAFSU TERKUTUK
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Budak Nafsu Terkutuk
128 hal.; 12x18 cm
SATU
"Haiiit... Heaaah...!"
Suara bentakan keras menggetarkan terdengar
dari dalam sebuah bangunan besar yang sekeliling-
nya dipagari kayu bulat setinggi satu setengah tom-
bak. Sosok tubuh bertelanjang dada, tampak tengah
bergerak ke kiri dan kanan dengan kuda-kuda yang
kokoh bagaikan batu karang. Geseran-geseran
tubuhnya disertai dengan lontaran pukulan tangan
yang menerbitkan angin menderu. Rupanya dari
sosok yang tengah berlatih silat inilah suara-suara
bentakan keras tadi terdengar.
Sosok bertelanjang dada ini memang telah cukup
lama berlatih ilmu tangan kosong. Dan ia meng-
akhirinya dengan sebuah bentakan yang disusul
lompatan ke belakang, sejauh hampir dua tombak.
Entah kapan tangannya bergerak, tahu-tahu di
tangan kanannya telah tergenggam sebatang golok.
Kemudian ia mulai berlatih kembali. Kali ini dengan
menggunakan goloknya yang setiap kali bergerak,
mendatangkan suara angin berkesiutan.
"Hyaaat..!"
Beberapa jurus kemudian, sosok bertelanjang
dada ini kembali mengeluarkan bentakan yang me-
lengking tinggi. Disusul dengan lentingan tubuhnya
sambil melakukan babatan yang cepat bukan main!
Baru kemudian meluncur turun dengan ringannya.
Sedang golok di tangannya tampak telah tersimpan
di pinggangnya. Caranya menyimpan senjata, yang
cepat dan nyaris tak terlihat, menandakan kalau so-
sok bertubuh kekar ini seorang yang cukup ahli
dalam ilmu golok.
Tepat pada saat sosok bertelanjang dada ini
mengakhiri permainannya, terdengar suara tepukan
tangan yang membuatnya menoleh. Terlihat sesosok
perempuan berwajah manis tengah tersenyum
kepadanya. Perempuan inilah yang bertepuk tangan
seraya melontarkan kata-kata pujian.
"Permainan golokmu sudah pesat sekali kema-
juannya, Kakang Sujiwa. Aku benar-benar kagum
melihatnya. Tampaknya ketekunanmu selama ini
tidak sia-sia...," ujar perempuan muda itu seraya
mengayunkan langkah menghampiri lelaki berdada
bidang yang dipanggil Sujiwa.
"Ah.... Kunrini, hasil yang sekarang kucapai ini
masih jauh dari sempurna. Belum sepertiga dari ke-
pandaian Guru..."
Sujiwa, pemuda bermata tajam dengan raut
wajah mencerminkan kejantanan ini berkata meren-
dah. Dia pun mengayunkan langkah menyambut
kedatangan gadis bernama Kuntini.
Kuntini hanya tersenyum, tidak menimpali
ucapan Sujiwa. Tanpa berbicara sepatah kata pun,
ia segera mengeluarkan sehelai sapu tangan yang
terbuat dari kain kasar berwarna putih. Kemudian
disusutnya peluh yang membasahi wajah Sujiwa
sambil menatap penuh kemesraan. Pemuda itu ter-
senyum bahagia. Ditangkapnya kedua pergelangan
tangan Kuntini. Ditariknya perlahan, hingga tubuh
gadis itu jatuh ke dalam pelukannya.
"Jangan, Kakang, nanti dilihat orang...!" cegah
Kuntini ketika Sujiwa hendak mengecup bibirnya.
Gadis ini merundukkan kepala, hingga bau harum
Limburnya tercium oleh Sujiwa. Membuat getaran
dalam dada pemuda itu semakin menyentak.
"Tidak ada orang lain di tempat ini, Kuntini...,"
bisik Sujiwa setelah memperhatikan sekeliling
taman belakang bangunan tempat ia biasa melatih
ilmu-ilmunya. Dikecupnya rambut kepala Kuntini
dengan segenap perasaan kasihnya.
"Ahhh...," Kuntini mendesah dengan dada ber-
debar. Namun ia tidak berusaha mengelak ketika
Sujiwa mengecup pipinya yang menjadi kemerahan.
"Sudah, Kakang...."
Sujiwa menunda keinginannya untuk mengecup
bibir ranum Kuntini ketika gadis itu memalingkan
wajahnya menghindar. Sujiwa malah tersenyum ke-
tika Kunrini mendorong tubuhnya, hingga pelukan-
nya terlepas.
"Keringat Kakang berbau kecut..," goda Kuntini
sambil memijit hidungnya. Kemudian bergerak mun-
dur seolah tubuh Sujiwa memang berbau kecut.
'Tapi kau suka, kan? Buktinya kau tak menolak
kupeluk...," balas Sujiwa mencoba mengejar dan
menangkap tubuh Kuntini. Gadis itu terus berlari
dan menghilang di balik daun pintu. Hanya tawa
manjanya yang masih terdengar menggelitik telinga
Sujiwa.
"Awas kau nanti...," desis Sujiwa tersenyum
dengan sinar mata berkilat, ketika wajah Kuntini
kembali menyembul dari balik pintu untuk kemu-
dian lenyap. Sujiwa hanya tertawa gemas melihat
kemanjaan kekasihnya.
***
Selesai membersihkan tubuh di air pancuran,
Sujiwa bergegas menghadap Ki Dawung, guru yang
selama belasan tahun telah mendidiknya. Sujiwa
merupakan murid terkasih, yang telah mewarisi le-
bih dari sepertiga kepandaian gurunya. Namun se-
mua itu sama sekali tidak membuatnya besar kepa-
la. Terhadap saudara-saudara seperguruan ia tetap
berlaku sopan dan hormat. Sehingga sangat disukai
baik oleh saudara-saudara seperguruan maupun
para sesepuh perguruan. Bahkan ketika menjalin
cinta dengan Kuntini, putri tunggal gurunya, dia
malah mendapat restu.
Sujiwa merasa dirinya benar-benar beruntung.
Karena selain berwajah cantik dan manis, Kuntini
pun memiliki ilmu kepandaian yang tidak berselisih
jauh dengannya. Dirinya juga sadar bahwa gadis
seperti putri Ki Dawung tentu menjadi idaman se-
tiap pemuda. Siapa sangka kalau justru dirinyalah
yang beruntung dapat memikat hati Kuntini.
Agak heran juga hati Sujiwa ketika melihat mu-
rid-murid perguruan telah berbaris rapi di depan
bangunan utama. Dia sendiri tinggal di salah satu
bangunan kecil yang banyak mengelilingi bangunan
utama perguruan, tempat tinggal Ki Dawung dan
keluarganya. Melihat semua itu, hati Sujiwa berde-
bar. Tidak biasanya diadakan persiapan yang demi-
kian rapi, seolah gurunya tengah menantikan keda-
tangan tamu terhormat.
"Guru...," Sujiwa menghormat seraya merang-
kapkan telapak tangannya di depan wajah yang ter-
tunduk. Kemudian ia langsung mengambil tempat di
antara para sesepuh perguruan, setelah mendapat
perkenan dari Ki Dawung.
"Saudara-saudara-ku sekalian...." Ki Dawung,
Ketua Perguruan Tapak Jalak, membuka pertemuan
dengan suara beratnya. Sepasang matanya yang
tajam laksana mata elang, beredar memperhatikan
wajah-wajah yang menghadiri pertemuan ini.
"Sebuah peristiwa besar yang sekaligus meru-
pakan kehormatan bagi perguruan ini, akan segera
kita alami Salah seorang murid telah melaporkan,
bahwa desa tempat perguruan kita berada telah
disinggahi oleh Gusti Pangeran. Sebenarnya beliau
sedang dalam perjalanan pulang sehabis berburu.
Ketika melewati desa ini, tiba-tiba beliau memutus-
kan untuk singgah melepaskan lelah...."
Sampai di sini Ki Dawung menghentikan ucap-
annya. Senyumnya mengembang ketika melihat
wajah-wajah yang hadir dalam pertemuan itu me-
nunjukkan tanda tanya besar. Karena apa yang di-
ceritakan Ki Dawung memang belum terlihat adanya
hubungan dengan Perguruan Tapak Jalak.
Setelah kembali mengedarkan pandangannya
kepada semua yang hadir, Ki Dawung kembali me-
lanjutkan ucapannya.
"Sepanjang yang aku ketahui, Gusti Pangeran So-
kapanca sangatlah gemar akan ilmu silat. Hal inilah
yang membuat aku memerintahkan agar kalian
semua bersiap. Sebab, bukan tidak mungkin kalau
beliau akan datang mengunjungi perguruan kita"
Mendengar kelanjutan ucapan Ki Dawung, baru-
lah semua yang hadir mengerti duduk perkaranya.
Mereka sama menganggukkan kepala dari saling
berbisik satu sama lain. Sehingga untuk beberapa
saat suasana di dalam ruangan dipenuhi gaung
yang mirip suara sekumpulan lebah. Suasana baru
kembali tenang setelah Ki Dawung memberikan
isyarat dengan tepukan tangan perlahan dan ber-
irama.
Ki Dawung yang semula hendak memberikan
beberapa pesan ataupun petunjuk, segera menun-
danya. Karena saat itu seorang murid melaporkan
bahwa orang yang tengah dibicarakan sudah hampir
tiba dengan diiringi selusin prajurit. Langsung saja
Ketua Perguruan Tapak Jalak itu memerintahkan
agar pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Dia sendiri
segera melangkah ke luar ruangan diikuti yang
lainnya.
Saat itu, seorang lelaki berusia muda berpakaian
pemburu, duduk di atas punggung kuda yang me-
langkah perlahan memasuki pintu gerbang. Sikap-
nya sangat anggun dan berwibawa. Kepalanya
diangkat tegak dengan tatapan lurus ke depan. Na-
mun tarikan bibirnya tampak mencerminkan watak
yang angkuh dan memandang rendah orang lain.
Dan ia tetap berada di atas punggung kudanya,
kendati telah tiba di hadapan Ki Dawung.
Ki Dawung sendiri tidak berani berlama-lama
menatap pandang mata pemuda tampan berpakaian
pemburu di hadapannya. Karena dia dapat menduga
bahwa pemuda itu pastilah Pangeran Sokapanca.
Lelaki tua itu segera menjatuhkan diri dengan se-
belah kaki menekuk. Sikap ini diikuti seluruh murid
maupun para sesepuh Perguruan Tapak Jalak yang
berada di belakang Ki Dawung.
"Hamba Ki Dawung, menghaturkan sembah
kepada Gusti Pangeran, dan mengucapkan selamat
datang di tempat yang buruk ini. Karena kedatang-
an Paduka terlalu mendadak, kami tidak sempat
mempersiapkan sambutan yang semestinya. Harap
Paduka sudi memaafkan kami...," ucap Ki Dawung
tetap dengan kepala tertunduk
"Hm..., aku maklum. Bangkitlah, Ki Dawung!"
ujar Pangeran Sokapanca yang kemudian turun dari
punggung kudanya. Perbuatannya ini segera diikuti
oleh dua belas orang pengawal yang mengenakan
seragam keprajuritan.
"Silakan Gusti Pangeran...!" ujar Ki Dawung se-
raya bergeser memberi jalan kepada Pangeran Soka-
panca untuk memasuki bangunan utama.
Namun Pangeran Sokapanca sudah tidak mem-
perhatikan atau mendengarkan ucapan Ki Dawung.
Sepasang matanya telah melekat erat pada seraut
wajah cantik manis, yang berdiri tak jauh belakang
Ki Dawung. Tatapan tajam dan mengandung hasrat
dari mata Pangeran Sokapanca membuat si pemilik
wajah cantik manis menundukkan kepala.
"Menurut kabar yang sampai ke telingaku, per-
guruan ini banyak menghasilkan orang pandai. Nah,
maksud kunjunganku ke sini untuk menyaksikan
dan membuktikannya. Tentu saja kalau kau tidak
keberatan, Ki Dawung...," ujar Pangeran Sokapanca
sambil melangkah di samping Ki Dawung. Nada
suaranya terdengar sinis dan terkesan memandang
rendah.
"Kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, Gusti. Lagi
pula, mana mungkin kami dapat disejajarkan de-
ngan kepandaian jago-jago istana?" sahut Ki Da-
wung merendah. Karena dia memang tidak pernah
menggembar-gemborkan kepandaian atau perguru-
annya. Namun bukan berarti bahwa hatinya tidak
merasa tersinggung mendengar ucapan sinis itu. Ka-
lau saja yang mengucapkannya bukan seorang pa-
ngeran, sudah pasti dia tidak bisa terima begitu
saja.
"Meskipun memang benar begitu, tapi aku tetap
ingin menyaksikan ilmu silat perguruanmu, Ki Da-
wung. Kuminta kau tak keberatan untuk memper-
lihatkannya," ujar Pangeran Sokapanca yang meng-
hentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ki
Dawung.
Permintaan seorang pangeran sama artinya
dengan sebuah perintah yang tidak bisa ditolak. Ki
Dawung tahu itu. Maka segera diantarkannya Pa-
ngeran Sokapanca menuju halaman samping ba-
ngunan, yang merupakan arena berlatih silat. Ki Da-
wung segera memerintahkan murid-muridnya untuk
menyiapkan kursi bagi Pangeran Sokapanca.
Karena segala sesuatunya memang selalu sudah
dipersiapkan, maka perintah Ki Dawung segera ter-
sedia hanya dalam beberapa menit. Pangeran Soka-
panca duduk di samping Ki Dawung. Sedang dua
orang perwira yang selalu berada di dekat sang
Pangeran, duduk tepat di belakang junjungannya.
Arena laga sendiri berada di sebelah bawah mereka.
Ki Dawung memanggil dua orang sesepuh per-
guruan. Mereka adalah Barnaba dan Sanggaling.
Keduanya berusia sekitar lima puluh tahun. Namun
wajah mereka terlihat sehat dan segar. Mereka lang-
sung saling berhadapan setelah memberi hormat
kepada Pangeran Sokapanca dan Ki Dawung.
Barnaba dan Sanggaling telah bergerak mundur
mempersiapkan kuda-kuda untuk berlaga. Kemu-
dian sama bergerak ke arah yang berlawanan.
"Sambutlah seranganku. Adi Sanggaling.
Hyyaatt!"
Barnaba membuka serangan lebih dulu. Tubuh-
nya melesat ke depan dengan gerakan ringan. Dan
langsung mengirimkan cengkeraman lurus meng-
arah ke kepala dengan tangan kanannya. Sedang
tangan kiri bergerak dari bawah ke atas, mengan-
cam lambung lawan. Lelaki berpakaian putih itu
mengirimkan dua serangan sekaligus dalam gebra-
kan pertama.
Melihat dua buah serangan hebat itu, Sanggaling
segera menggeser langkah ke belakang. Dia tahu
bahwa dua serangan itu sangat sulit untuk di-
bendung. Selain gerakannya sangat cepat, juga me-
ngandung gerak tipu yang perubahannya tak ter-
duga. Karena tidak ingin mendapat celaka pada ge-
rakan pertama, lelaki, berpakaian kuning itu me-
mutuskan untuk menghindar.
Barnaba yang maklum akan kecerdikan adik
seperguruannya, segera merubah serangan. Kali ini
dia melakukan lompatan panjang dengan kedua ta-
ngan terulur mengancam bahu Sanggaling. Jari-jari
tangannya yang terisi tenaga dalam tampak berge-
tar. Serangan ini jauh lebih berbahaya, karena jari
jari Barnaba sangat kuat dan sanggup meremukkan
batu karang! Apalagi hanya tubuh manusia.
Sanggaling tidak membiarkan kedua bahunya
begitu saja dicengkeram. Anehnya kali ini ia tidak
bergerak mundur. Hanya menggeser kaki bela-
kangnya ke depan. Seolah ia nekat hendak menye-
rahkan tubuhnya untuk dicengkeram lawan. Sam-
pai-sampai Barnaba sendiri sempat dibuat kaget
oleh perbuatan adik seperguruannya yang dianggap
menantang maut. Namun ia tidak bisa menarik
kembali serangannya, karena jarak sudah terlam-
pau dekat.
Whuuuttt...!
Sepasang cengkraman Bamaba lewat di sebelah
atas tubuh Sanggaling Karena saat cengkeraman
maut itu nyaris mengenai sasaran, mendadak Sang-
galing memdoyongkan tubuh ke belakang, sekaligus
mengirimkan sebuah tendangan lurus ke perut
Sanggaling.
"Aaah...?!"
Barnaba memekik tertahan ketika melihat se-
rangan balasan Sanggaling. Untuk menghindarinya
jelas sudah tertambat Jalan satu-satunya harus me-
nyalurkan tenaga dalam ke sasaran tendangan itu.
Sehingga, kalaupun tidak bisa mengelak, tubuhnya
telah terlindungi tenaga dalam. Itu memungkinkan
dirinya tidak mengalami luka dalam.
Buk...!
Saat tendangan itu menyentuh perutnya, Bar-
naba masih berusaha mengurangi luka yang bakal
dialami dengan jalan mengikuti tenaga tendangan
lawan. Sehingga, begitu terkena tendangan, tubuh-
nya langsung terlempar deras. Dan itu memang di-
sengaja oleh Barnaba, yang berusaha menjaga ke-
seimbangan tubuhnya. Akhirnya dia dapat mendarat dengan selamat tanpa mengalami cidera, ken-
dati wajahnya tetap kelihatan pucat
Wajah Ki Dawung berseri demi melihat kecer-
dikan Barnaba. Hatinya merasa bangga karena ke-
dua orang murid utamanya dapat menyuguhkan
pertarungan dengan baik dan penuh kesungguhan
hati. Lelaki tua itu tersenyum tipis penuh kepuasan.
Tidak demikian halnya dengan Pangeran Soka-
panca. Terlihat ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ini dilakukan bukan karena merasa kagum dengan
jalannya pertarungan yang seru dan menenangkan,
melainkan karena merasa tidak puas. Dia mengang-
gap pertunjukan itu tidak mendatangkan keuntu-
ngan baginya.
"Sudahi pertempuran kedua orang jagomu itu, Ki
Dawung! Mereka terlalu lambat dan kelihatan masih
enggan untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan
masing-masing. Jalannya pertarungan kelihatan
tidak menarik!" ujar Pangeran Sokapanca yang tentu
saja membuat wajah Ki Dawung berubah agak
kelam.
Ki Dawung menekan rasa jengkelnya. Ucapan
Pangeran Sokapanca jelas merupakan penghinaan
baginya. Dia tahu betul kalau kedua orang murid
andalannya bertarung dengan sungguh-sungguh,
dan telah menggunakan ilmu andalan masing-ma-
sing. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Kemu-
dian mengeluarkan perintah agar Barnaba dan
Sanggaling menghentikan pertarungan.
Meskipun merasa heran, Bamaba dan Sanggaling
tidak membantah perintah sang Guru. Keduanya
bergegas keluar dari arena tanpa berkata apa-apa.
"Ki Dawung...."
Panggilan Pangeran Sokapanca membuat Ki Da-
wung menunda maksudnya menampilkan Sujiwa.
Dia menoleh dengan sikap yang tetap penuh hormat
"Apakah murid perempuan itu berada di bawah
tingkat kedua orang tadi...?" tanya Pangeran Soka-
panca menyembunyikan rasa tertariknya kepada
gadis muda yang sejak semula telah menarik perha-
tiannya.
"Maaf, Gusti! Gadis itu adalah putri tunggal
hamba...," sahut Ki Dawung dengan suara rendah.
Dia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya meli-
hat betapa Pangeran Sokapanca menaruh perhatian
terhadap putri tunggalnya. Meskipun pangeran itu
berusaha menyembunyikan perasaannya, tapi seba-
gai orang yang berpengalaman, Ki Dawung menge-
tahui.
"Ahhh...!" dengan pandainya Pangeran Sokapanca
berpura-pura kaget. Padahal sejak semula ia sudah
merasa curiga dan menduga bahwa-gadis yang
menarik perhatiannya itu pastilah mempunyai hu-
bungan erat dengan Ki Dawung. Karena dari sekian
banyaknya murid Perguruan Tapak Jalak, cuma
satu yang wanita. Dan jawaban Ki Dawung mem-
buat Pangeran Sokapanca manggut-manggut.
"Hm..., jika demikian... eh, apakah putrimu su-
dah menikah, Ki Dawung?"
"Belum, Gusti Pangeran...," sahut Ki Dawung mu-
lai dapat meraba apa yang bakal dikatakan pange-
ran itu selanjutnya.
"Hm... sudahi saja pertunjukan ini, Ki Dawung.
Dan langsung saja kusampaikan bahwa aku merasa
tertarik dengan putri tunggalmu itu. Terlebih ia me-
lupakan keturunan seorang pendekar. Hm... kalau
kau tidak berkeberatan, aku ingin mengambilnya
sebagai selir. Bagaimana? Aku ingin dengar jawab-
annu?" ujar Pangeran Sokapanca yang nada suara-
nya berubah agak ramah. Tentu saja karena mem-
punyai maksud terhadap putri Ketua Perguruan
Tapak Jalak
"Hm... sangat menyesal, Gusti. Kuntini sudah
hamba jodohkan dengan murid hamba sendiri...,"
karena permintaan Pangeran Sokapanca terlalu
tiba-tiba, dan Ki Dawung tidak ingin putri tunggal-
nya dijadikan selir, alasan itu terpaksa dikemuka-
kan. tentu saja dengan harapan agar Pangeran
Sokapanca membatalkan niatnya
"Ha ha ha...! Itu tidak jadi masalah, Ki Dawung.
Ingat aku adalah seorang pangeran. Apabila lamar-
anku kau terima, perguruan ini akan kuperbesar
hingga menjadi terkenal di kalangan persilatan. Dan
kau pun akan kaya mendadak, Ki Dawung!" tukas
Pangeran Sokapanca yang ternyata tidak peduli
meskipun gadis yang diincarnya telah dijodohkan
dengan orang lain.
'Tapi...," Ki Dawung masih berusaha menolak
secara halus.
"Tidak ada kata tetapi, Ki Dawung! Kau lihat,
lamaran ini kuajukan dengan disaksikan kedua
orang pengawal pribadiku! Tentunya kau tak ingin
dianggap sebagai pemberontak, bukan? Nah, kuberi
kau waktu dua hari! Jika tidak..., kau akan me-
nyesal seumur hidup!"
Setelah berkata demikian, Pangeran Sokapanca
bangkit dari duduknya. "Mari, kita pergi..!" ujarnya
kepada dua orang perwira yang ada di belakangnya.
Tanpa menoleh lagi, Pangeran Sokapa langsung
meninggalkan bangunan Perguruan Tapak Jalak!
Diiringi dua belas orang pengawal yang merupakan
prajurit-prajurit pilihan itu.
Tinggallah Ki Dawung yang masih duduk ter-
mangu di kursinya. Wajah lelaki tua yang kelihatan
masih segar dan sehat ini mendadak layu dan mu-
rung. Karena mendadak dirinya dihadapkan pada
pilihan yang sulit Jika menolak, ia akan dianggap
pemberontak! Sedang untuk menerima jelas tidak
mungkin. Dirinya telanjur sudah merestui hubu-
ngan Kuntini dengan Sujiwa, murid utama termuda
dan terlihai di antara murid-murid lainnya. Ki
Dawung tak mungkin menghancurkan hati putrinya
dan juga murid tersayangnya.
"Celaka...!" desis Ki Dawung seraya melemparkan
pandangan ke hamparan langit biru. Keningnya
tampak berkerut dalam, menandakan betapa hati
lelaki tua itu tengah dilanda keresahan dan kecema-
san yang hebat.
Murid-murid Perguruan Tapak Jalak sendiri men-
jadi keheranan ketika Pangeran Sokapanca tiba-tiba
meninggalkan tempat itu bersama rombongannya.
Namun mereka tentu saja tidak berani untuk ber-
tanya, kecuali saling berbisik satu sama lain,
menyatakan keheranannya.
Rasa heran juga merasuki hati Sujiwa, Kuntini,
Banaba, dan Sanggaling. Mereka saling bertukar
pandang satu sama lain, yang pada akhirnya sama
mengangkat bahu tanda tak mengerti. Terlebih
ketika melihat betapa sepeninggal Pangeran Soka-
panca bersama rombongannya wajah Ki Dawung
tampak murung dan menyiratkan kecemasan.
Ketika melihat Ki Dawung bergerak bangkit dan
melangkah menuju ruang utama, keempatnya sa-
ling memberi isyarat untuk mengikuti.
"Ayah...!" Kuntini mendahului yang lainnya meng-
hampiri Ki Dawung yang berdiri di muka jendela,
dan tengah memandang keluar.
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling langsung ber-
lutut di dekat sang Ketua. Mereka tidak berani un-
tuk langsung bertanya, hanya menunggu penjelasan
dari Ki Dawung.
Ki Dawung yang tahu kalau putri dan murid-
murid utamanya menyusul ke dalam, bergerak meninggalkan jendela. Kemudian menghempaskan
tubuhnya di kursi yang terdapat di tengah ruangan
utama itu. Setelah menarik napas berat beberapa
saat, Ki Dawung pun menjelaskan apa yang menjadi
beban pikirannya.
Bukan main terkejutnya hati Kuntini maupun
ketiga orang murid utama Ki Dawung. Terlebih Su-
jiwa yang mempunyai kaitan langsung dengan per-
soalan ini. Wajah pemuda itu sebentar merah se-
bentar pucat. la tidak tahu perasaan apa yang te-
ngah berkecamuk di dalam hatinya. Hingga, untuk
beberapa saat lamanya ruangan ini menjadi hening.
"Guru...," akhirnya suara parau Sujiwa meme-
cahkan keheningan. Kelihatan sekali betapa Sujiwa
berusaha keras menekan rasa sedih, marah, serta
benci yang berkecamuk di dalam hatinya. Wajahnya
berkerut-kerut seperti orang tengah menahan rasa
sakit yang luar biasa. Ki Dawung, Barnaba, dan
Sanggaling tampak merasa kasihan. Mereka tahu
kalau berita itu merupakan sebuah pukulan batin
yang sangat berat bagi Sujiwa.
"Guru..., sudah terlalu besar budi baik yang kau
limpahkan kepadaku. Belasan tahu aku dididik
hingga menjadi seperti sekarang ini. Dan rasanya ini
adalah saat yang tepat bagiku untuk membalas
segala kebaikan yang selama ini kau berikan kepa-
daku. Aku... aku bersedia memutuskan hubungan-
ku dengan Kuntini demi keselamatan Guru seke-
luarga serta perguruan ini. Yang selama ini aku da-
patkan pun sudah terlalu besar. Dan aku tidak be-
rani mengharapkan lebih...."
Setelah berkata demikian, Sujiwa menundukkan
wajahnya yang menjadi pucat. Sebab, meskipun ia
benar-benar rela melepaskan Kuntini, namun pera-
saannya tidak bisa dibohongi. Sujiwa terlalu men-
cintai gadis itu. Membayangkan betapa sang Kekasih akan dijadikan selir Pangeran Sokapanca yang
menurut penglihatannya sangat sombong itu, hati-
nya bagaikan disayat-sayat. Namun ditekannya
segala perasaan itu. Menurutnya yang dilakukan se-
karang, sama sekali belum dapat menebus budi baik
sang Guru, yang telah merawat dan mendidiknya
selama belasan tahun.
Namun ucapan Sujiwa yang setulus hati itu ba-
gaikan sebuah mata tombak yang menghujam jan-
tung Kuntini. Sehingga, gadis yang biasanya selalu
riang ini, menjadi pucat seketika. Kalau Ki Dawung,
Bamaba, dan Sanggaling memuji tindakan Sujiwa
yang mereka anggap merupakan sebuah pengorba-
nan tidak kecil, Kuntini justru menganggap bahwa
ucapan kekasihnya merupakan sebuah penghinaan!
Dan Kuntini menjadi sangat marah terhadap Sujiwa.
"Sujiwa!" bentak Kuntini yang saking marahnya
tidak lagi menyebut Sujiwa dengan panggilan “ka-
kang". Dan ia sudah melangkah maju sembari
menudingkan jarinya ke wajah Sujiwa. "Kau kira
aku ini apa! Seenaknya saja kau hendak menyerah-
kan aku kepada pangeran sombong yang mata ke-
lanjang itu! Aku bukan barang yang bisa kau lem-
par-lemparkan. Enak saja kau bersikap seperti itu.
Aku manusia yang mempunyai perasaan sama se-
pertimu! Kalau kau memang sudah tidak suka kepa-
daku, katakan saja terus terang! Tidak perlu meng-
gunakan dalih dengan menyatakan kerelaanmu me-
lepasku untuk pangeran bejad itu! Kau benar-benar
tak punya harga diri...!"
Menggigil tubuh Sujiwa mendapat kecaman dari
orang yang sangat disayanginya itu. Wajahnya se-
makin pucat. Butiran peluh mulai membasahi ke-
ningnya. Kerutan pada wajahnya semakin nyata,
betapa pedih hatinya mendapat tuduhan yang sama
sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
Kepalanya semakin menunduk dalam-dalam. Ken-
dati ia mendengar betapa Kuntini berian mening-
galkan ruangan itu disertai isak tangisnya. Hati Su-
jiwa seperti diremas-remas merasakan kesedihan
yang dialami kekasihnya Hu.
"Biarkan!" cegah Ki Dawung ketika melihat
Sujiwa hendak mengejar Kuntini. "Ia hanya salah
paham. Biar aku yang menjelaskannya. Aku tetap
akan menolak keinginan Pangeran Sokapanca, apa
pun yang bakal terjadi! Selain itu, perguruan ini
akan kububarkan. Aku tidak ingin murid-muridku
terlibat dalam persoalan ini, yang bisa menda-
tangkan celaka bagi mereka. Biar aku sendiri yang
akan menghadapi Pangeran Sokapanca! Ini sudah
menjadi keputusanku, dan tidak bisa dirubah!"
Setelah berkata demikian, Ki Dawung bergerak
meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh. Tinggal-
lah Sujiwa, Bamaba, dan Sanggaling yang masih
duduk terpaku bagai patung. Sungguh mereka tidak
menyangka kalau kedatangan tamu agung barusan
akan membawa malapetaka dan kehancuran bagi
perguruan mereka.
"Si keparat...!" umpat Bamaba mengepal tinjunya
erat-erat dengan sorot mata berapi. Hatinya benar-
benar marah kepada Pangeran Sokapanca yang
menjadi penyebab malapetaka itu.
"Daripada menunggu datangnya kehancuran,
lebih baik aku mengadu nyawa dengan pangeran
bangsat itu...!" geram Sanggaling yang bergerak
bangkit dan siap untuk melaksanakan ucapannya.
"Tidak! Akulah yang bertanggung jawab atas
semua ini! Biar aku saja yang datang menemui pa-
ngeran mata keranjang itu!" cegah Sujiwa yang me-
rasa paling bersalah dalam hal itu. Karena menurut-
nya gara-gara ia menjalin cinta dengan Kuntini,
keruwetan ini timbul. Kalau tidak, mungkin akan lain ceritanya. Demikian pikiran yang terlintas da-
lam benak Sujiwa Dia sudah bangkit ingin segera
menemui Pangeran Sokapanca, yang belum me-
ninggalkan desa tempat Perguruan Tapak Jalak ber-
ada.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar, yang
membuat ketiga orang itu terlonjak saking ter-
kejutnya. Muncullah Ki Dawung dengan sinar mata
berkilat penuh kemarahan!
"Guru...!" ketiganya segera menjatuhkan diri ber-
lurut, ketika melihat Ki Dawung. Tak seorang pun
yang berani mengangkat wajah melihat sinar
kemarahan di mata orang tua itu.
"Jika kalian bertiga atau salah satu dari kalian
hendak bertindak menurutkan kata hati sendiri, si-
lakan langkahi dulu mayatku!" ujar Ki Dawung
dengan suara menggeleng, kemudian ketiga murid-
nya menjadi terkejut dan pucat seketika!
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, Dan Sanggaling sama-sama
mengeluarkan suara lirih. Mereka tentu saja tidak
berani untuk melanjutkan niat mereka semula, ka-
rena Ki Dawung kelihatan tidak main-main. Padahal
apa yang dilakukan Ki Dawung demi keselamatan
murid-muridnya. Dia tidak Ingin ketiga orang murid
utamanya itu menjadi korban persoalan pribadinya.
Setelah beberapa saat berdiri menantang, tak
satu pun dari ketiga murid utamanya yang bangkit,
Ki Dawung mendengus. Kemudian bergerak me-
ninggalkan tempat itu.
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling tetap belum
bergerak kendati ketiganya tahu bahwa guru mereka
sudah tidak lagi berada di ruangan itu. Mereka
masih belum mengerti mengapa guru mereka sam-
pai bersikap demikian? Padahal mereka semua siap
mempertaruhkan nyawa demi guru dan perguruan-
nya yang mereka cintai. Namun keputusan sudah
dibuat. Dan mereka tidak bisa mengubahnya lagi,
kecuali kalau ingin berhadapan sebagai musuh de-
ngan guru yang selama ini mendidik mereka.
Setelah lama tertunduk ketiganya pun bangkit.
Setelah mereka saling bertukar pandang. Kemudian
beranjak meninggalkan ruangan itu, hendak me-
nyampaikan kepada semua murid Perguruan Tapak
Jalak atas keputusan Ki dawung untuk mambu-
barkan perguruan.
* * *
DUA
Waktu yang ditetapkan Pangeran Sokapanca tiba.
Ki Dawung sudah duduk menunggu dengan sikap
yang tenang. Orang tua ini sudah mengambil ke-
putusan bulat untuk mengorbankan dirinya demi
putrì tunggalnya yang tercinta.
Saat itu hari masih pagi Sinar matahari belum
merata di permukaan tanah. Siliran angin pun ma-
sih terasa sejuk. Suasana masih terasa hening, sam-
pai akhirnya sayup-sayup terdengar suara derap
kaki kuda menuju ke Perguruan Tapak Jalak. Dan
suara itu sudah sampai ke telinga Ki Dawung, yang
memang sudah menunggu sejak tadi.
Suasana perguruan sepi. Tak seorang murid pun
yang terlihat. Pintu gerbang perguruan sengaja
dibuka lebar-lebar. Kini Ki Dawung berdiri tegak
menghadap ke pintu. Lelaki tua yang masih kekar
ini sudah mengenakan pakaian ringkas, la memang
tudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi
Ketika suara derap kaki kuda terdengar semakin
bergemuruh, Ki Dawung mengayun langkahnya
menuju pintu gerbang Tiba di ambang pintu, dia
memutar tubuhnya seraya mengedarkan pandangan
menatapi seluruh bagian bangunan perguruan. Ki
Dawung sadar bahwa mungkin malapetaka bagi
dirinya tak bisa dihindarkan lagi. Semua sudah di-
pikirkannya masak-masak. Namun dia tidak ingin
rumah perguruannya ikut hancur bersama dirinya.
Maka diputuskan untuk menunggu rombongan Pa-
ngeran Sokapanca di luar bangunan.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan Pa-
ngeran Sokapanca pun tiba. Pangeran yang masih
muda dan tampan itu terlihat mengerutkan keningM
melihat Ki Dawung telah menunggunya di luar ba-
ngunan seorang diri. Tidak terlihat seorang murid
pun yang mendampinginya. Pangeran Sokapanca
bertanya-tanya dalam hari. Lalu karena merasa ti-
dak sabar, ia langsung melompat turun dari pung-
gung kuda, begitu tiba di depan Ki Dawung.
"Hm..., tampaknya sikapmu menunjukkan per-
tanda tidak baiknya jawaban yang bakal kuterima.
Betulkan dugaanku, Ki Dawung?" tegur Pangeran
Sokapanca sambil menatap penuh selidik wajah Ki
Dawung, yang tampak agak pucat itu.
"Maaf, Gusti Pangeran! Memang demikianlah
keputusan yang sudah hamba pikirkan masak-ma-
sak," jawab Ki Dawung tegas tanpa menghindarkan
pandang matanya dari wajah Pangeran Sokapanca,
yang terlihat berubah kelam demi mendengar ja-
wabannya.
"Mengapa, Ki Dawung? Katakanlah, apa yang kau
inginkan sebagai mas kawin atas pinanganku
terhadap putrimu? Aku akan menyediakannya!" ujar
Pangeran Sokapanca yang merasa tidak mengerti,
mengapa ada orang menolak kesenangan yang
ditawarkannya. Padahal tidak sedikit orang tua yang
akan merelakan anak gadisnya untuk diambil selir
oleh Pangeran Sokapanca Namun hal itu ternyata
tidak berlaku bagi Ki Dawung!
"Hamba tidak mengharapkan apa-apa, Gusti Pa-
ngeran. Kecuali melihat putri tunggal hamba hidup
bahagia dengan pemuda pilihannya. Harap Gusti
Pangeran mengerti dan menerima hal ini dengan
lapang dada."
"Keparat! Jadi kau benar-benar menolak pina-
nganku, Ki Dawung? Dan itu berarti bahwa kau
sudah siap mati sebagai pemberontak! Itukah yang
kau inginkan?" bentak Pangeran Sokapanca yang
menjadi marah bukan main! Bagaimana mungkin
ada orang yang menolak pinangan seorang pangeran
seperti dirinya? Hampir dia tidak percaya dengan
jawaban yang didengarnya dari Ki Dawung.
Ki Dawung merasa tidak perlu menjawab. Orang
tua ini hanya menatap Pangeran Sokapanca dengan
penuh ketenangan. Namun tentu saja seluruh ke-
kuatan tenaga yang dimiliki telah menyebar ke selu-
ruh tubuh. Siap menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Kurang ajar! Tangkap manusia tak tahu di
untung ini!"
Sikap diam Ki Dawung, semakin membakar
kemarahan di dada Pangeran Sokapanca. Langsung
saja ia perintahkan sepuluh orang pengawalnya
untuk menangkap Ki Dawung.
Serta merta sepuluh orang prajurit pilihan yang
rata-rata bertubuh kekar itu, bergerak mengepung
Ki Dawung. Namun sebelum mereka sempat men-
dekati orang tua itu, mendadak terdengar suara
teriakan-teriakan gegap gempita. Bersamaan dengan
itu tampak berloncatan belasan sosok tubuh dari
rimbunan pepohonan di depan bangunan Perguruan
Tapak Jalak.
Mereka ternyata murid-murid Ki Dawung yang
dipimpin oleh Barnaba dan Sanggaling. Rupanya
meskipun telah mendapat pesan dari Ki Dawung,
murid-murid Perguruan Tapak Jalak tetap berkeras
untuk mempertaruhkan nyawa guna membela per-
guruan. Mereka memang pergi meninggalkan rumah
perguruan, ketika dibubarkan oleh Ki Dawung, dan
diperintahkan agar pulang ke kampung halaman
masing-masing. Namun kepergian mereka ternyata
bukan untuk meninggalkan perguruan yang tengah
terancam petaka. Rasa cinta dan bakti terhadap
gurunya, membuat para murid diam-diam bersembunyi untuk kemudian muncul kembali di saat sang
Guru tengah menghadapi Pangeran Sokapanca dan
pasukannya. Dengan cara begitu Ki Dawung tidak
mungkin lagi mencegah keinginan mereka. Dan itu
sudah direncanakan oleh Barnaba dan Sanggaling.
"Pangeran keparat! Tidak tahu malu! Jangan kira
kau dapat menyentuh rumah perguruan serta Guru
kami, sebelum melangkahi mayat kami!" yang me-
ngeluarkan makian ini adalah Barnaba. Dia sudah
menerjang Pangeran Sokapanca dengan sebilah
golok besar.
"Hmh!"
Pangeran Sokapanca mendengus penuh ejekan
melihat datangnya sambaran mata golok Barnaba.
Rupanya dia memang bukan cuma bisa sombong
dengan mengandalkan prajurit-prajuritnya. Samba-
ran golok Barnaba dielakkan hanya dengan menarik
mundur kala depannya. Kemudian terus melompat
dan bersalto dengan tendangan kilat mengancam
tengkuk lawan. Barnaba sempat terkejut, karena
sama sekali tidak menyangka kalau Pangeran Soka-
panca dapat bergerak secepat itu.
Wuutt!
Tendangan berbahaya itu lewat di atas kepala
Banaba yang sempat membungkuk sambil mene-
kuk kedua lututnya. Namun Pangeran Sokapanca
ternyata sudah dapat membaca gerak lawannya.
Begitu tendangan pertama lewat, lututnya langsung
menekuk. Kemudian kembali menyambar saat Bar-
naba kembali tegak. Sehingga, tendangan susulan
ini menghantam telak dada Barnaba.
Buk!
"Hukhhh...!"
Barnaba terbatuk dan tubuhnya terjengkang ke
tanah. Untuk sesaat Barnaba merasa dadanya sesak
dan sulit bernapas. Sungguh dirinya tak menyangka
kalau pangeran berwajah tampan itu memiliki ke-
mampuan tinggi. Lelehan darah mengalir dari sela-
sela bibirnya.
"Hmh! Dengan kepandaian seperti itu kau mau
jual lagak di hadapanku? Itu sama artinya dengan
cari mati, tahu!" ejek Pangeran Sokapanca yang
sudah menyiapkan serangan mautnya untuk meng-
akhiri hidup Barnaba.
Barnaba terbelalak ketika melihat jari-jari tangan
Pangeran Sokapanca berubah merah seperti besi
yang membara. Cepat dia menggulingkan tubuhnya
sebelum serangan maut sampai
"Larilah sebisamu, Kunyuk! Tapi jangan harap
dapat lolos dari kematian!" ujar Pangeran Soka-
panca seraya melompat mengejar dan langsung me-
nusukkan jari-jari tangannya yang mengeluarkan
hawa panas membakar!
Barnaba berusaha mati-matian untuk menye-
lamatkan diri dari jemari tangan yang mengerikan
itu. Untunglah pada saat yang sangat gawat itu,
Sanggaling datang membantu. Sehingga, untuk se-
saat Barnaba dapat bernapas lega. Kemudian me-
lompat bangkit dan membantu Sanggaling yang ke-
walahan menghadapi serangan Pangeran Sokapan-
ca, yang ternyata memiliki kepandaian tinggi dan
menggiriskan itu.
Sementara itu, murid-murid Ki Dawung yang
berjumlah sekitar tiga puluh orang, tengah bertem-
pur sengit melawan sepuluh orang prajurit yang di-
tambah dua orang perwira. Ki Dawung yang tidak
bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah para
muridnya, terpaksa terjun ke arena. Karena ia me-
lihat dua orang perwira yang menjadi orang keper-
cayaan Pangeran Sokapanca, ternyata memiliki ke-
pandaian yang hebat. Sehingga, meskipun murid-
muridnya berjumlah lebih banyak, dapat diimbangi
dengan adanya dua orang perwira. Sebentar saja,
sudah empat orang murid Ki Dawung menggelepar
tewas di ujung pedang kedua orang perwira itu.
"Hyaaat...!"
Ki Dawung berteriak nyaring sebagai isyarat pe-
nyerangannya. Tubuhnya melayang bagaikan see-
kor burung elang menyambar mangsa. Dan dengan
cepat dilontarkan pukulan jarak jauh, ketika
melihat dua orang muridnya tengah terancam ujung
pedang kedua orang perwira itu.
Tras! Tras!
"Heh...?!"
Dua orang perwira itu mengeluh tertahan ketika
sambaran pedang mereka terpental balik. Dan le-
ngan mereka dirasakan bergetar hingga sebatas si-
ku. Namun keduanya hanya terdorong mundur tiga
langkah. Dan sudah siap untuk menghadapi penye-
rangnya, yang tak lain dari Ki Dawung.
"Mampuslah kau, Pemberontak Hina...!" teriak
perwira yang satu sambil menerjang maju dengan
sambaran pedangnya yang cepat dan membawa
angin menderu. Sasaran serangan pedangnya selalu
terarah mulai dari pinggang ke atas.
"Hyaaat...!"
Perwira kedua tidak mau ketinggalkan. Pedang di
tangannya berputar bagai baling-baling. Kemudian
meluncur ke arah Ki Dawung, mengancam bagian
kaki. Melihat gaya penyerangan kedua lawannya,
tahulah Ki Dawung bahwa kedua perwira itu biasa
bekerja sama dalam menghadapi lawan. Dan harus
diakui bahwa ilmu pedang kedua lawannya memang
hebat. Membuat dirinya sempat terdesak dalam
jurus-jurus awal.
"Hiahhh...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus kedua
puluh, Ki Dawung mengeluarkan bentakan nyaring
yang menggetarkan jantung. Disusul dengan lompa-
tan panjang ke belakang, menghindari tebasan dua
bilah pedang lawan yang mengancam lutut dan dada
kirinya. Serangan lawan luput. Dan begitu kedua
kakinya menginjak tanah, Ki Dawung langsung
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan
dengan menggunakan jurus 'Tapak Dewa Gugurkan
Bukit'.
Whuuusss...!
Lontaran pukulan jarak jauh yang menderu tajam
membuat kedua orang lawannya terperangah.
Namun mereka masih sempat menyelamatkan diri
dengan melempar tubuh berpencar. Dan terus mem-
buat gerakan berputar yang kemudian disusul de-
ngan kelebatan pedang dengan gerakan cepat sekali.
Kehebatan dan kecepatan gerak kedua orang per-
wira ini sempat membuat Ki Dawung kagum. Cepat
ditundukkan tubuhnya saat sambaran ke arah le-
hernya datang dari sebelah kiri. Sedangkan babatan
dari kanan yang hendak memapas lututnya, dihin-
darkan dengan mengangkat sebelah kakinya. Gera-
kan ini langsung disusul dengan tamparan dan ten-
dangan. Tapi, sungguh tak diduganya bahwa kedua
pedang itu kembali berputar dengan kecepatan
tinggi Hingga....
"Heaaa...!"
Buk!
Cras! Srat!
Bersamaan dengan tamparan dan tendangan Ki
Dawung yang mengenai sasaran, pedang kedua jaga
istana itu pun sempat menyerempet bahu dan paha-
nya. Membuat ketiganya terpekik, dan sama ter-
huyung beberapa langkah.
Ki Dawung meringis sambil terpincang-pincang.
Dari bahu kirinya yang tergores ujung pedang, tam-
pak mengalir darah segar. Demikian juga dari pahanya yang terkena tusukan pedang lawan. Kendati
tidak terlalu parah, namun membuat gerakannya
terganggu, dan kecepatannya berkurang.
Yang dialami kedua orang lawannya pun tidak
berbeda jauh dengan Ki Dawung. Tendangan serta
hantaman telapak tangannya, membuat mereka ter-
huyung-huyung beberapa langkah dengan wajah
tampak pucat. Dan bibir keduanya terlihat adanya
cairan merah yang merembes turun. Membuktikan
bahwa kedudukan mereka seimbang.
Luka-luka yang diderita dan membuat kecepatan-
nya berkurang itu, membuat Ki Dawung berpikir
lain. Apalagi ketika dilihatnya betapa Barnaba dan
Sanggaling tengah berusaha mati-matian memper-
tahankan diri dari gempuran Pangeran Sokapanca,
hanya keadaan murid-muridnya yang kelihatan da-
pat menguasai pertarungan. Karena jumlah mereka
memang tiga kali lipat dari jumlah prajurit Pangeran
Sokapanca.
Sadar bahwa kedudukan di pihaknya sangat ti-
dak menguntungkan. Apalagi jika Barnaba dan
Sanggaling roboh di tangan Pangeran Sokapanca
yang ternyata sangat tangguh itu. Akhirnya Ki Da-
wung mengambil keputusan untuk mengajak murid-
muridnya menyudahi pertempuran dan pergi me-
nyelamatkan diri.
Ki Dawung melesat meninggalkan kedua orang
perwira yang menjadi lawan-lawannya. Ia melayang
ke arah pertempuran kedua orang murid utamanya
yang tidak akan dapat bertahan lebih dari sepuluh
jurus.
"Bamaba, Sanggaling! Bawa saudara-saudaramu
meninggalkan tempat ini. Aku akan menyusul ka-
lian...!" seru Ki Dawung kepada kedua orang murid
utamanya yang sudah mandi keringat dan terlihat
sangat lelah itu. Sambil berseru demikian, Ki
Dawung melepaskan pukulan 'Tapak Dewa Gu-
gurkan Bukit' dengan mengerahkan tenaganya yang
masih tersisa.
Pangeran Sokapanca yang sudah hampir mero-
bohkan kedua orang lawannya, cepat menunda se-
rangan. Kemudian melemparkan tubuh ke samping
ketika telinganya menangkap serangkum gelombang
angin kuat yang menderu tajam.
Ki Dawung tidak memberi kesempatan kepada
Pangeran Sokapanca untuk membangun serangan
balasan. Dirinya terus mencecar dengan pukulan
andalan itu. Sehingga, Pangeran Sokapanca terpak-
sa harus melompat ke sana kemari menghidarkan
diri. Dan merelakan kedua orang lawannya yang
nyaris tewas, percj meninggalkan tempat itu.
Namun usaha Ki Dawung tampaknya sia-sia.
Karena kedua orang perwira bergerak mencegah
kepergian Bamaba dan Sanggaling. Sehingga, me-
reka hanya saling bertukar lawan. Ki Dawung
menghadang, sedangkan Bamaba dan Sanggaling
bertempur menghadapi dua orang pengawal pribadi
pangeran. Ki Dawung diam-diam mengeluh. Ia sama
sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya. Tapi,
nasib murid-muridnyalah yang dicemaskan. Dan
kecemasan itu mulai terbukti ketika ia mendengar
jerit kematian Barnaba.
Barnaba yang memang sudah habis-habisan se-
waktu mempertahankan diri menghadapi gempuran
Pangeran Sokapanca, terpaksa harus menerima
kematian di tangan salah seorang perwira. Tubuh-
nya menggelepar mandi darah, yang mengalir deras
di tenggorokannya. Sebentar kemudian, Barnaba
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kematian Bamaba membuat Ki Dawung lengah.
Sehingga, sebuah tendangan keras lawannya telah
menghajar perutnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
kakek tua itu terbanting ke tanah. Belum lagi ia
sempat bangkit tegak, Pangeran Sokapanca sudah
menyerbu dengan tusukan jari-jari tangannya yang
berwarna merah membara dan menerbitkan hawa
panas menyengat!
Crasss!
"Uhhh...!"
Untunglah dalam saat-saat terakhir Ki Dawung
masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga,
yang terkena sasaran tanah berumput yang lang-
sung terbakar hangus, ketika jari-jari tangan meme-
lari bara itu terbenam hingga sebatas pergelangan.
ki Dawung sampai menggeleng-gelengkan kepala
membayangkan seandainya jari-jari tangan itu me-
nembus tubuhnya.
"Hm... kali ini kau tak akan lolos dari kematian,
Kl Dawung...!" ujar Pangeran Sokapanca yang lang-
sung melesat diiringi tusukan jari-jari tangannya.
Mati-matian Ki Dawung menghindari incaran
tangan maut itu. la terus bergulingan di atas tanah
untuk menyelamatkan nyawanya. Namun ke mana
pun ia menghindar, jari-jari tangan membara itu se-
lalu mengikutinya. Tak ubahnya bayangan dirinya
sendiri. Akhirnya Ki Dawung hanya bisa memejam-
kan mata saat jari-jari tangan itu kembali meluncur
datang. Napasnya yang sudah hampir putus, mem-
buatnya tak sempat lagi untuk menghindar, Ki
Dawung pun pasrah menunggu ajal.
Syuttt!
Disertai suara berkesiutan, jari-jari tangan se-
merah bara itu meluncur. Dan....
Tasss!
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran So-
kapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap
terhujam ke tubuh Ki Dawung, mendadak sebuah
benda hitam meluncur dan langsung menghantam
tepat pergelangan tangannya. Lengannya terasa
nyeri dan kuda-kudanya tergempur mundur.
Tasss!
"Aaakh...!"
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran So-
kapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap
terhujam ke tubuh Ki Dawung, mendadak sebuah
benda hitam meluncur dan langsung menghantam
tepat pergelangan tangan. Lengannya terpental dan
kuda-kudanya tergempur mundur. Terkejut bukan
main hari Pangeran Sokapanca merasakan tangan-
nya lumpuh untuk beberapa saat. Sedangkan di
depan Ki Dawung tahu-tahu telah berdiri dengan
gagahnya seorang pemuda tampan berjubah putih,
tahulah Pangeran Sokapanca bahwa pemuda itulah
yang telah menggagalkan serangannya dengan me-
lemparkan sebuah batu kerikil.
Kegagalan serangan dan kemunculan pemuda
tampan berjubah putih itu sebetulnya tidak terlalu
mengejutkan Pangeran Sokapanca, kalau saja ia
tidak mendengar jeritan dua orang pengawal priba-
dinya. Jeritan itu membuatnya menoleh. Kaget bu-
kan main hatinya ketika melihat dua orang penga-
wal pribadinya yang merupakan jagoan istana itu,
dibuat jatuh bangun hanya oleh seorang gadis muda
berpakaian serba hijau. Melihat kemunculan orang
sakti yang masih muda itu, tahulah Pangeran Soka-
panca kalau kedudukannya tidak menguntungkan.
"Hm..., untuk kali ini biarlah aku mengampuni
nyawa kalian! Tapi, ingatlah baik-baik! Bahwa mulai
hari ini kalian telah menjadi buronan pemerintah!"
ujar Pangeran Sokapanca setelah memerintahkan
pasukannya untuk mundur.
Dari ucapan itu jelas menunjukkan betapa dalam
kedudukan lemah, dan kehilangan empat orang pra-
jurit, Pangeran Sokapanca tetap tidak mau menga-
lah. Dia memilih kata-kata 'mengampuni nyawa ka-
lian'. Padahal kalau pertempuran dilanjutkan, jelas
pihaknyalah yang kalah.
Pemuda tampan berjubah putih yang menye-
lamatkan Ki Dawung dari kematian, berdiri menatap
kepergian Pangeran Sokapanca dan pasukannya.
Kemudian membalikkan tubuh dan membantu Ki
Dawung bangkit.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda..,"
ucap Ki Dawung yang tidak menolak ketika tubuh-
nya dipapah pemuda itu.
"Luka-lukamu harus segera mendapat perawatan,
Ki," ujar pemuda tampan berjubah putih itu, saat
melihat wajah Ki Dawung yang pucat. Ki Dawung
hanya mengangguk tanpa kata.
Gadis muda berparas jelita dan berpakaian serba
hijau yang juga ikut berjasa mengusir pasukan Pa-
ngeran Sokapanca, menggabungkan diri dengan Ki
Dawung dan pemuda itu. Mereka bergerak mema-
suki bangunan perguruan, diikuti murid-murid Ki
Dawung.
***
"Hhh... aku tak menyangka kalau akhirnya akan
terjadi juga apa yang kucemaskan...," desah Ki
Dawung sambil melangkah menuju sebuah kursi.
Dihempaskan tubuhnya di atas kursi disertai helaan
napas panjang, "Sebenarnya aku sudah menyuruh
semua muridku pergi agar tidak sampai terlibat da-
lam urusan ini. Tapi..., rasa kesetiaan dan bakti
yang tinggi, membuat mereka merencanakan untuk
membantu tanpa aku ketahui," lanjutnya dengan
suara perlahan, seperti tengah berbicara kepada
dirinya sendiri.
"Persoalan apa yang membuat perguruan ini sam-
pai bentrok dengan orang-orang berseragam prajurit
itu, Ki?"
Pemuda tampan berjubah putih yang menye-
lamatkan Ki Dawung dari kematian, bertanya hati-
hati. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Panji atau
Pendekar Naga Putih. Ia duduk di kursi yang berada
di sebelah kanan Ki Dawung. Sedang di sebelah
kirinya, tampak seorang gadis jelita berpakaian baju
hijau, yang sudah pasti Kenanga adanya. Mereka
berdua telah memperkenalkan diri kepada Ki Da-
wung. Sedang nama Ketua Perguruan Tapak Jalak
mereka ketahui dari Sanggaling, salah seorang
kepercayaan Ki Dawung.
"Mereka memang prajurit istana. Tepatnya pega-
wai-pegawai Pangeran Sokapanca. Si keparat itu
lebih pantas disebut iblis daripada seorang pange-
ran yang terhormat!" jawaban itu sekaligus merupa-
kan tumpahan rasa kekesalan dan benci yang kini
ada dalam hati Ki Dawung. Sepasang matanya tam-
pak berkilat penuh dendam saat menyebut nama
Pangeran Sokapanca. Dengan perlahan namun jelas
Ki Dawung menceritakan duduk persoalannya.
"Benar-benar tidak tahu diri pangeran itu!" Kena-
nga mengumpat penuh penasaran, setelah mende-
ngar penjelasan Ki Dawung, "Mengandalkan kekua-
saan untuk memperoleh segala kehendaknya, jelas
menunjukkan bahwa pangeran yang bernama Soka-
panca itu bukanlah orang baik-baik! Dan tidak
mustahil kalau perbuatan ini bukan yang pertama
kalinya! Benar-benar membuat hati penasaran!"
Bukan cuma Kenanga yang merasa tidak senang
terhadap Pangeran Sokapanca. Panji pun merasa-
kan hal serupa. Bedanya ia tidak langsung meng-
utarakan rasa ketidaksenangannya itu. Malah tam-
pak termenung, seperti memikirkan sesuatu.
"Jika demikian, perguruan ini tengah menghadapi
persoalan yang sangat gawat! Dan bukan tak mung-
kin Pangeran Sokapanca mengadukannya ke istana.
Bahkan menuduh perguruan ini sebagai sarang
pemberontak. Ini benar-benar berbahaya!" ujar Panji
membuka suara. Rupanya ia termenung karena
memikirkan buntut dari kejadian hari ini.
"Ya, hal itu sudah ada dalam pikiranku. Tepat-
nya, mulai hari ini orang-orang Perguruan Tapak
Jalak telah menjadi buronan pemerintah," tegas Ki
Dawung dengan nada penuh rasa penasaran.
Tidak pernah terbersit dalam pikiran Ki Dawung
bahwa suatu saat dirinya akan menjadi orang buronan! Jangankan berpikir ke arah itu, sedang
dalam tidur pun ia tidak pernah memimpikannya.
"Jika demikian, kita harus secepatnya menying-
kir dari tempat ini. Aku khawatir kalau Pangeran
Sokapanca akan datang lagi dengan membawa
pasukan yang lebih besar jumlahnya."
"Kau benar, Panji Bangunan perguruan ini me-
mang harus dikosongkan secepatnya Haiiih... sung-
guh tak kusangka kalau jerih payahku selama ber-
tahun-tahun akan hancur dalam waktu singkat...,"
sesal Ki Dawung dengan pandangan menerawang
jauh. Pikirannya terbayang kehidupan selanjutnya.
Kehidupan seorang buronan pemerintah kerajaan.
"Nasib memang sulit untuk diramalkan, Ki Da-
wung. Hari ini kita mendapat musibah, tapi siapa
tahu hari esok kita mendapat anugerah. Semua itu
rahasia Tuhan yang tidak pernah bisa diduga oleh
siapa pun," ujar Panji mengingatkan Ki Dawung.
Ki Dawung menganggukkan kepalanya. Ditatap-
nya wajah pemuda penolongnya itu lekat-lekat.
"Kau baik sekali, Panji," ujar Ki Dawung terharu
atas perhatian penolongnya yang begitu besar.
Panji tersenyum tulus. Kemudian mengingatkan
Ki Dawung untuk berkemas.
Ki Dawung menganggukkan kepala. Segera saja
ia perintahkan sebagian muridnya untuk mengubur
mayat-mayat itu. Sedang sebagian lagi diperintah-
kan untuk mengemasi barang-barang sebagai bekal
perjalanan mereka.
Setelah segalanya siap, rombongan Ki Dawung
bergerak meninggalkan tempat dengan menggu-
nakan empat pedati dan tiga ekor kuda.
Panji berdiri di depan pintu gerbang perguruan
memandang kepergian rombongan Ki Dawung. Ia
tidak ikut bersama rombongan, karena hendak me-
nyelidiki Pangeran Sokapanca, yang menjadi biang keladi dari semua itu. Untuk keselamatan rombong-
an dipercayakan kepada Kenanga. Karena Ki Da-
wung belum pulih kesehatannya. Sehingga, mereka
berdua berpisah untuk melakukan tugas masing-
masing.
***
TIGA
"Hei, minggir... minggir...!" Penunggang kuda
yang dari raut wajahnya terlihat sedang mengalami
ketakutan itu, berteriak memperingatkan orang
yang berada di depannya. Dan ia sama sekali tidak
berusaha mengurangi ke cepatan lari binatang tung-
gangannya. Namun orang yang berada di tengah
jalan terus saja mengayun langkah seakan tidak
mendengar suara bentakan itu. Tentu saja sikap
yang dianggap menantang itu membangkitkan
kemarahan si penunggang kuda.
"Keparat tua, mampuslah...!" penunggang kuda
yang masih muda itu membentak seraya meng-
gebah lari kudanya. Pemuda itu seperti menemukan
tempat untuk menumpahkan kegusaran hatinya.
Tidak peduli meskipun orang itu bakal tewas atau
setidaknya terluka parah terlanggar binatang tung-
gangannya.
Tapi, apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di
luar dugaan. Sebelum orang di depan itu terlanggar,
kuda itu meringkik keras dan terlempar ke tepi jalan
beserta penunggangnya. Sedangkan sosok itu terus
saja mengayunkan langkahnya. Seolah tidak pernah
terjadi sesuatu.
Penunggang kuda yang ternyata Pangeran So-
kapanca itu tentu saja merasa terkejut bukan main.
Untunglah ia dapat bertindak cepat dengan melem-
par tubuhnya ke udara, saat binatang tunggangan-
nya terbanting. Kalau saja dirinya tidak memiliki ke-
lalaian, niscaya tulang-tulang tubuhnya patah ter-
timpa badan kuda.
"Bangsat! Berani kau menjual lagak di hadapan
Pangeran Sokapanca...!" bentak pangeran muda itu
yang kemarahannya telah memuncak ke ubun-
ubun. Tubuhnya segera melesat ke depan dengan
kedua tangan terkepal, siap untuk melumat tubuh
orang itu.
Mendadak, Pangeran Sokapanca yang baru saja
menjejakkan kakinya ke tanah merasakan adanya
gelombang angin kuat yang menerpa tubuhnya.
Seketika tubuh pangeran muda itu terhuyung
mundur. Sedangkan orang yang sedang berjalan
sudah membalikkan tubuh dengan kecepatan luar
biasa. Ternyata seorang perempuan tua renta ber-
wajah buruk. Sorot matanya yang tajam mencorong
menyeramkan. Bagai mata pedang, seolah meng-
hujam ke mata sang Pangeran.
"Tidak salahkah pendengaranku? Benarkah kau
pangeran yang bernama Sokapanca?" nenek buruk
rupa itu bertanya dengan suaranya yang mirip
bunyi kaleng rombeng. Parau, keras, dan tak sedap
didengar.
Pangeran Sokapanca menelengkan kepala seolah
ingin menghindari suara yang menyakitkan telinga-
nya itu.
Sementara itu, para pengawal Pangeran Soka-
panca sudah berlompatan turun dari punggung ku-
da masing-masing. Tadi mereka sempat cemas ke-
tika melihat kuda junjungannya terbanting tanpa
sebab. Kecemasan itu lenyap begitu menyaksikan
tubuh Pangeran Sokapanca melenting ke udara dan
dapat meluncur turun dengan selamat. Kini mereka
berlarian mendatangi junjungannya yang tengah
berhadapan dengan seorang nenek.
Pangeran Sokapanca sempat merasa kaget me-
lihat wajah buruk manusia di hadapannya. Terlebih
ketika beradu pandang dengan sepasang mata yang
seperti menyimpan kemarahan terhadapnya. Dada
sang Pangeran berdebar. Ada rasa nyeri terbersit di
hatinya melihat tatapan yang demikian menusuk
dari mata nenek buruk rupa itu.
"Siapakah kau, Nenek Buruk? Mengapa sengaja
menghalangi jalanku?" tanya Pangeran Sokapanca
tetap tidak meninggalkan keangkuhannya. Ia ber-
usaha menutupi rasa ngerinya dengan keyakinan
bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang nenek
berwajah buruk, tak ubahnya gelandangan.
Nenek buruk rupa itu tampak gusar. Kilatan pada
sepasang matanya semakin tajam. Terdengar suara
bentakannya yang menyakitkan telinga.
"Jawab pertanyaanku dulu, Kunyuk!"
Sambil membentak demikian, nenek buruk itu
mengayun tongkat berwarna putih di tangannya.
Terdengar suara menderu saat sambaran tongkat
itu meluncur ke arah kepala Pangeran Sokapanca.
Whuuuttt...!
"Aiiih...?!"
Meskipun dapat menghindari hantaman tongkat
itu, tak urung tubuh Pangeran Sokapanca ter-
huyung beberapa langkah. Padahal ia cuma terkena
terpaan angin pukulannya. Tentu saja hati pangeran
muda ini tersentak kaget! Kenyataannya itu mem-
buatnya sadar bahwa perempuan tua yang tengah di
hadapinya ternyata bukan orang sembarangan.
"Bagus, rupanya kau memiliki kepandaian...,"
ujar nenek buruk itu dengan mulut yang tak henti-
hentinya mengunyah. Dari warna bibirnya yang
merah dan basah, dapat diketahui kalau mulut ne-
nek itu sibuk mengunyah sirih. "Kutanya sekali lagi,
henarkah kau Pangeran Sokapanca?" lanjutnya
masih meminta kepastian.
Melihat sikap nenek buruk itu penuh ancaman,
dua orang perwira yang merupakan jagoan istana,
melangkah maju menghampirinya
"Nenek, junjungan kami memang bernama Pa-
ngeran Sokapanca. Nah, sekarang menyingkirlah
dan biarkan kami lewat!" ujar salah seorang perwira
dengan suara sedikit hormat. Karena ia sudah me-
nyaksikan betapa hebatnya hantaman tongkat yang
barusan dilakukan nenek buruk itu.
"Hih hih hih...! Aku tak menghalangi jalan kalian.
Kalau mau pergi, pergilah, aku tidak akan meng-
ganggu...!" ujar nenek buruk itu memperdengarkan
suara tawa yang mendirikan bulu roma.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Nek...,” tukas
perwira itu merasa lega. Karena diam-diam hatinya
merasa bergidik terhadap nenek buruk itu. Terlebih
mendengar suara tawanya yang mirip kuntilanak.
Kalau saja bertemu di malam hari, sudah pasti
membuatnya lari tunggang langgang.
"Mari, Gusti Pangeran...!" perwira kedua segera
menyerahkan kuda tunggangannya kepada Pa-
ngeran Sokapanca. Karena kuda sang Pangeran
patah tulang kakinya.
"Tunggu...!"
Saat kedua orang perwira itu mengapit junjung-
annya dan hendak melanjutkan perjalanan, terde-
ngar nenek buruk itu berseru mencegah.
"Ada apa lagi, Nek?" tanya perwira berkumis
lebat. Jago istana ini mengerutkan kening dengar
hati curiga.
"Dengar, Perwira Berotak Udang! Aku memper-
bolehkan kalian meninggalkan tempat ini. Tapi tidak
dengan pangeran itu! Aku punya urusan dengan--
nya!" bentak nenek buruk itu sembari mengangkat
tongkatnya yang berupa tulang kaki manusia.
Tongkat itu ditudingkan ke wajah Pangeran Soka-
panca.
"Nenek keparat! Rupanya kau ingin cepat-cepat
masuk lubang kubur!"
Pangeran Sokapanca yang selamanya dihormati
orang itu, tentu saja tersinggung wajahnya dituding-
tuding dengan tongkat. Rahangnya mengembung
dengan wajah merah padam. Tinjunya terkepal erat,
siap menghajar nenek buruk itu.
Dua orang perwira yang tugasnya menjaga ke-
selamatan Pangeran Sokapanca, terlihat gusar. Me-
reka bergerak maju mendahului junjungannya. Dan
menghadapi nenek buruk itu dengan wajah garang.
"Tua bangka, kau jangan main-main dengan
kami! Kalau tadi kami mengalah, itu karena kasihan
melihat dirimu yang sudah tua dan bau tanah! Pa-
dahal sikap dan ucapanmu sudah cukup untuk
mengikatkan tali gantungan di lehermu! Sebaiknya
tinggalkan tempat ini sebelum kami hilang kesa-
baran!" ujar perwira berkumis lebat dengan sikap
tegas.
Ucapan perwira berkumis lebat itu mendapat
jawaban yang mengejutkan. Karena begitu ucapan-
nya selesai, telinganya menangkap suara angin
menderu menuju kepalanya. Dan tahu-tahu ujung
tongkat putih nenek buruk itu sudah tinggal satu
jengkal lagi di depan wajahnya. Cepat ia menarik
mundur tubuhnya untuk menghindar. Namun
ujung lombak itu seperti bertambah panjang dan
terus mengejarnya. Sehingga....
Bletakkk!
"Aaakh...?!"
Perwira berkumis lebat itu memekik kesakitan.
Tongkat nenek buruk itu tahu-tahu telah menghajar
kepalanya. Kendati tidak terlalu keras, namun di
kepalanya yang terpukul tumbuh telur ayam. Dan
rasanya sakit bukan main.
"Nenek gila, rupanya kau sengaja cari perkara...!"
Perwira kedua membentak marah. Tangannya,
langsung mencabut pedang setelah memerintahkan
para prajurit untuk mengepung nenek buruk rupa
itu. Kemudian menerjang maju dengan kelebatan
pedangnya yang berkesiutan.
Nenek buruk rupa itu hanya memperdengarkan
kekehnya yang seperti kaleng rombeng. Dan sekali
tongkat di tangannya bergerak, terdengar jerit ke-
matian yang disusul terpentalnya dua orang prajurit
dengan kepala remuk! Tongkat itu terus meluncur
memakan satu korban lagi. Tentu saja keganasan
nenek buruk rupa itu membuat lawan-lawannya ter-
kejut, termasuk Pangeran Sokapanca.
"Gila! Tidak kusangka kalau nenek yang wajah-
nya seperti setan itu ternyata memiliki kepandaian
yang menggiriskan! Entah apa yang membuat ia
kelihatan begitu membenciku...?" gumam Pangeran
Sokapanca yang diam-diam merasa gentar terhadap
nenek buruk rupa itu. Namun rasa penasaran da-
lam hatinya jauh lebih besar. Dan ia merasa kalau
lawannya kali ini merupakan ujian yang sangat baik
bagi keampuhan ilmu 'Tapak Neraka' yang dimiliki-
nya. Maka...
"Hyaaattt...!"
Dengan menggunakan ilmu andalannya, Pa-
ngeran Sokapanca meluncur ke tengah arena. Ge-
lombang angin panas terdengar menderu menyertai
lontaran pukulannya.
Nenek buruk rupa itu sempat kaget ketika me-
rasakan adanya sambaran angin panas yang sangat
kuat. Namun ia sama sekali tidak berusaha meng-
hindari serangan Pangeran Sokapanca. Malah meng-
ayunkan tongkat menyambut datangnya serangan.
Plak!
Benturan keras telapak tangan dengan tongkat
itu menimbulkan suara memekakkan telinga. Tubuh
nenek berpakaian hitam itu terjajar mundur dua
langkah. Sedangkan Pangeran Sokapanca lebih pa-
rah. Tubuhnya terlempar balik dan jatuh berguling-
an di tanah berdebu.
Pangeran Sokapanca berusaha bangkit, meski
dadanya dirasakan sakit seperti tertusuk ratusan
jarum halus. Benturan tadi telah mengakibatkan
luka di sebelah dalam tubuhnya. Pemuda itu sama
sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam nenek
buruk rupa itu juga berhawa panas, dan jauh lebih
kuat dari tenaganya. Kenyataan pahit ini membuat
hati Pangeran Sokapanca semakin bertambah ngeri.
Maka, tanpa mempedulikan para pengawalnya yang
masih bertempur dengan nenek buruk rupa itu.
Pangeran Sokapanca segera melompat ke punggung
kuda yang berada di dekatnya dan terus meng-
gebah.
"Kurang ajar, mau lari ke mana kau, Pangeran
Sundal!" bentak nenek berwajah buruk itu yang
kaget melihat Pangeran Sokapanca melarikan diri.
Tongkat di tangannya diputar bagaikan kitiran,
membuat para pengeroyoknya terpelanting dan
berpentalan. Ketika dua orang perwira mencoba
untuk mencegahnya, langsung saja tongkatnya ber-
bicara.
Prak! Krakh!
Dua kali tongkat nenek berwajah buruk itu
berkelebat, kedua orang perwira pun roboh dengan
kepala pecah! Dapat dibayangkan, betapa hebatnya
kepandaian nenek buruk rupa ini. Padahal kedua
orang perwira merupakan jagoan-jagoan istana.
Tanpa mempedulikan korban-korban yang ber-
gelimpangan nenek buruk rupa ini melesat mengejar
Pangeran Sokapanca. Gerakannya pun cepat bukan
main. Sebentar saja bayangannya sudah lenyap di
kejauhan.
***
EMPAT
Pangeran Sokapanca terus melarikan diri seperti
setan. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang,
khawatir kalau-kalau nenek buruk rupa itu yang
membuat hatinya ketakutan melakukan pengejaran.
Meskipun belum tahu apa kesalahannya, pangeran
sadar kalau nenek itu menginginkan kematiannya.
"Hih hih hih...! Mau lari ke mana kau, Pangeran
Sundal? Sampai ke ujung dunia pun aku akan tetap
mengejarmu...!"
Deg!
Bukan main kagetnya hati Pangeran Sokapanca
ketika mendengar suara yang ditakutinya itu. Ham-
pir saja tubuhnya terpelanting dari punggung kuda.
Meskipun suara itu belum kelihatan wujudnya,
namun Pangeran Sokapanca merasa bulu tengkuk-
nya mengkirik. Rasa takutnya kian hebat. Saking
kalapnya, ia mencambuk binatang tunggangannya
berkali-kali dengan sekuat tenaga. Maksudnya tentu
saja menginginkan agar kudanya berlari lebih cepat
Tapi, yang terjadi justru di luar dugaan.
"Hieeehhh...!"
Karena cambukan Pangeran Sokapanca tanpa
sadar telah menggunakan tenaga dalam, kuda ber-
bulu coklat itu meringkik kesakitan. Dan terguling
ke tanah, tak sanggup menahan lecutan cambuk
yang terlalu kuat.
Pangeran Sokapanca terpekik kaget dengan tu-
buh terlempar ke depan dengan kudanya. Karena
kejadian itu begitu tiba-tiba datangnya, dan dia sen-
diri sedang dalam keadaan ketakutan, membuatnya
gugup dan tak sempat menyelamatkan diri. Tubuh-
nya terbanting keras ke tanah.
Untung saja tubuh Pangeran Sokapanca telah
terlatih dengan baik. Bantingan keras itu tidak
membuatnya menderita luka berat, kecuali rasa
sakit dan lecet-lecet di kulit. Sedang pada bagian
bahu dan lengan, pakaiannya tempak terkoyak. Dan
ada noda darah dari lecet-lecet yang dideritanya.
Pangeran Sokapanca meringis sambil berusaha
bangkit berdiri, la mengutuk dan menyumpah-
nyumpah.
"Nenek setan, Bangsat keparat! Tua bangka bau
tanah! Kelak kau harus membayar mahal akibat
perbuatanmu ini!" maki Pangeran Sokapanca penuh
dendam kesumat.
"Hih hih hih...! Rasakan olehmu, Pangeran
Sialan! Itu baru permulaan. Aku akan terus mem-
permainkanmu sampai puas! Setelah itu, jantung-
mu akan kucabut untuk santapan anjing buduk!
Rohmu sendiri akan dipanggang di api neraka! Hih
hih hih...!"
"Iblisss...!" desis Pangeran Sokapanca antara
marah dan ngeri. Kepalanya berputar dengan mata
jelalatan mencari-cari nenek buruk rupa itu. Namun
sia-sia! Padahal suara itu dirasakannya sangat
dekat di telinganya.
Nenek buruk rupa itu sengaja menyiksa perasaan
Pangeran Sokapanca, seperti apa yang barusan
diucapkannya.
Pangeran Sokapanca terus mencari-cari. Ketika
sosok nenek buruk rupa itu tidak juga dapat dite
mukan, ia menjadi jengkel. Saking ngeri dan ta-
kutnya, Pangeran Sokapanca menjadi nekat!
"Nenek biang setan jelek, tunjukkan rupa bu-
rukmu yang bau tanah itu! Ayo, hadapi aku terang-
terangan! Akan kuhajar kau sampai terberak
mencret!" teriak Pangeran Sokapanca menantang
dengan suara menggelegar, la tidak peduli kendati
untuk itu bagian dalam dadanya terasa sakti seperti
ditusuki ujung-ujung jarum. Luka dalamnya
kembali kambuh. Karena untuk berteriak la harus
mengerahkan tenaga dalamnya.
Pangeran Sokapanca menunggu beberapa saat
Sepasang matanya berputar liar memperhatikan ke
sekeliling. Harinya tegang bukan main menanti-kan
kemunculan nenek buruk rupa itu. Tiba-tiba....
"Hih hih hih...!"
Karena hatinya telah dilanda ketegangan, suara
tawa mengikik yang begitu tiba-tiba dan terdengar
dekat di belakang tubuhnya, membuat Pangeran
Sokapanca terlonjak kaget. Wajah pangeran muda
itu menjadi pucat, untuk kemudian berubah merah.
Ketika ia berbalik, sosok nenek buruk itu tidak di-
temuinya. Kecuali sambaran angin yang sempat
membuat pakaiannya berkibar. Tahulah ia kalau
nenek itu telah lenyap mendahului kecepatan mata-
nya.
"Pengecut kau, Nenek Gila! Rupanya kau takut
menghadapku! Hua ha ha...!"
Pangeran Sokapanca semakin gusar dan marah
bercampur kecut. Permainan nenek buruk itu mem-
buat jiwanya agak terguncang. Ia berteriak-teriak
menncaci maki persis orang hilang ingatan. Tubuh-
nya mencak-mencak sambil memperdengarkan tawa
bergelak.
"Hei!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja ne-
nek buruk rupa itu muncul di hadapan Pangeran
Sokapanca. Bentakannya yang keras menggelegar
membuat pangeran muda itu terjengkang ke bela-
kang! Wajah Pangeran Sokapanca seketika berubah
pucat pasi dengan sekujur tubuh bergemetar. Kalau
saja pangeran ini tidak memiliki kepandaian, Pasti-
lah ia akan tewas dengan dada pecah!
"Apa katamu, Pangeran Sundal? Aku takut ke-
padamu? Hih hih hih...! Jangankan dirimu yang tak
becus apa-apa. Biar gurumu, si Tapak Neraka seka-
lipun, akan kupuntir batang lehernya jika perlu!
Nah, sekarang bangkitlah! Bukankah kau menan-
tangku?" ujar nenek buruk rupa itu, berdiri tegak di
depan Pangeran Sokapanca dengan sikap garang
dan pandangan mata tajam menusuk
Pangeran Sokapanca pun berani menentang pan-
dangan nenek buruk rupa itu. Sehingga matanya
dirasakan perih dan panas. Kendari demikian,
tubuhnya segera melompat bangkit, siap meng-
hadapi nenek buruk rupa itu mati-matian!
"Hih hih hih...! Bagus... bagus...! Tak kusangka
nyalimu benar-benar besar, Pangeran Sialan! Apa-
kah kau sudah siap?" ujar nenek buruk rupa itu
yang terus mengunyah sirihnya.
"Aku siap!" sahut Pangeran Sokapanca yang telah
memasang kuda-kuda. Baru saja ucapan keluar,
tubuh nenek buruk rupa itu sudah menyerang
disertai suara angin menderu.
Bweeettt!
"Heh...?!"
Pangeran Sokapanca terpekik ketika tahu-tahu
ujung tongkat nenek itu sudah tinggal satu jengkal
dari batok kepalanya. Dengan cepat ia menekuk
kedua lutut merendahkan tubuhnya. Terus dilanjut-
kan dengan gerakan berputar disertai kibasan ta-
ngan kirinya mengancam lambung lawan. Tapi...
Plak!
"Aaakh...!"
Dengan kecepatan yang sukar dilihat, nenek
buruk rupa itu mengayunkan lengan kirinya mema-
paki kibasan tangan lawan. Akibatnya, Pangeran
Sokapanca menjerit kesakitan. Lengannya bagaikan
berbenturan dengan batang besi panas, mem-
buatnya terlempar ke samping.
“Tamat riwayatmu...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi, nenek buruk
rupa itu melompat disertai ayunan tongkatnya dari
atas ke bawah. Siap meremukkan batok kepala.
Pangeran Sokapanca yang masih tengah mera-
sakan nyeri pada bagian dalam dada dan sakit di
lengannya yang melepuh, tidak berdaya lagi untuk
mengelak. Dia hanya bisa memandang dengan mata
terbeliak saat tongkat tulang kaki manusia itu
meluncur turun disertai suara menderu.
Namun tongkat itu mendadak terhenti saat ham-
pir mengenai batok kepala Pangeran Sokapanca.
Dan nenek buruk rupa itu tertawa mengikik.
Ternyata la hanya bermaksud menakut-nakuti
pangeran yang dibencinya itu.
Pangeran Sokapanca hampir tidak percaya ketika
melihat lawan tidak meneruskan hantaman tongkat-
nya. Ia menelan air liur yang terasa kering. Wajah-
nya pucat dan dibanjiri peluh. Kematian ternyata
belum sampai waktunya. Kendati merasa heran dan
agak sedikit lega, pangeran ini belum herani ber-
gerak, padahal si nenek buruk rupa itu lelah
menarik pulang tongkatnya.
"Aku tak akan membunuhmu sedemikian enak,
Pangeran Sialan! Kau harus merasakan penderitaan
yang panjang dan menyakitkan sampai akhirnya
kematian datang menjemputmu. Dan sebagai per-
mulaan, kakimu akan kubuat cacad!" nenek ber-
wajah menyeramkan itu menghentikan ucapannya
dan mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna
hitam pekat. "Pisau ini mengandung racun jahat
yang tak ada obatnya. Luka goresannya akan mem-
busuk sampai akhirnya hancur sedikit demi sedikit."
Selesai berkata demikian, pisau di tangannya
terulur ke kaki kanan Pangeran Sokapanca. Nenek
ini sengaja melambatkan gerakannya sambil terkekeh menatap wajah sang Pangeran yang tampak
pucat dan basah oleh keringat.
"Apa... apa sebenarnya yang membuatmu ingin
membunuhku?" dengan susah payah karena ke-
rongkongannya terasa kering, akhirnya keluar juga
pertanyaan itu dari mulut Pangeran Sokapanca.
Nenek berwajah keriput dan menyeramkan itu
tertawa mengikik Puas harinya melihat berapa wa-
jah orang yang sangat dibencinya menggambarkan
perasaan ngeri yang sangat hebat! Memang itu yang
diharapkannya.
Mendadak suara tawa si Nenek terhenti. Wajah
yang semula penuh rasa puas, tampak berkerut.
Kepalanya ditelengkan seperti hendak memperta-
jam pendengarannya.
Saat Pangeran Sokapanca keheranan melihat
perubahan sikap yang mendadak dari nenek ber-
wajah buruk, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa
menggelegar laksana guntur. Disusul kemudian de-
ngan gelombang angin keras menerbangkan deda-
unan kering.
"Aku mendengar kau menyebut-nyebut tentang
pangeran, benarkah itu, Nenek Muka Setan...?"
Suara besar dan berat itu terdengar seiring
dengan tiupan gelombang angin keras. Disusul ke-
mudian dengan berkelebatnya sesosok bayangan
dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Dan
tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri sesosok tu-
buh tanpa baju.
"Gada Penghancur Tulang...?!" desis nenek buruk
yang ternyata berjuluk Nenek Muka Setan menge-
rutkan kening.
Pangeran Sokapanca memandang sosok berte-
lanjang dada itu dengan penuh selidik. Sekarang
hatinya benar-benar ciut. Karena kedua julukan itu
pernah didengarnya. Bukan cuma julukannya saja.
Bahkan sepak terjang mereka yang ganas dan tak
kenal ampun, telah sampai pula ke telinganya. Baru
menghadapi Nenek Muka Setan saja ia sudah di-
permainkan habis-habisan. Dan sekarang masih di-
tambah dengan kedatangan Gada Penghancur Tu-
lang, yang membuatnya mengeluh putus asa. Kare-
na Gada Penghancur Tulang sepertinya juga tengah
memburu dirinya. Padahal baru kali ini ia berjumpa
dengan kedua tokoh golongan hitam itu. Sialnya lagi
dia tak tahu apa kesalahannya terhadap kedua
tokoh itu.
Sejak tiba di tempat itu Gada Penghancur Tulang
terus menatap wajah Pangeran Sokapanca dengan
penuh selidik. Tampaknya ia ingin memastikan apa-
kah wajah pemuda itu pantas sebagai seorang
pangeran.
"Hm.... Gada Pengancur Tulang! Di antara kita
tak pernah ada perselisihan. Nah, sekarang kuminta
kau tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urus-
anku!"
Nenek Muka Setan yang semenjak kemunculan
tokoh bertubuh kekar tanpa baju itu memang sudah
memasang wajah angker, kini berkata dengan sorot
mata mengancam. Rasa tak senangnya semakin
menjadi-jadi ketika menyaksikan sikap Gada Peng-
hancur Tulang, yang sejak datang terus saja mena-
tapi wajah Pangeran Sokapanca.
Gada Penghancur Tulang sama sekali tidak
menggubris pertanyaan Nenek Muka Setan.
"Hei, Anak Muda. Benarkah kau seorang pa-
ngeran...?" tanya Gada Penghancur Tulang yang
tampak penasaran.
Pangeran Sokapanca yang merasa kematiannya
sudah di ambang pintu, balas menatap wajah Gada
Penghancur Tulang, la sudah benar-benar putus asa
dan hanya bisa pasrah dengan apa yang bakal
menimpa dirinya.
"Orang tua, kalau kedatanganmu juga dengan
maksud untuk membunuhku, lakukanlah! Karena
aku memang seorang pangeran. Namaku Sokapan-
ca!" ujar Pangeran Sokapanca lantang. Dirinya su-
dah tidak takut lagi menghadapi kematian, karena
sadar bahwa tidak mungkin dapat melawan kedua
orang tokoh sesat itu.
"Hua ha ha...! Jadi benar kau seorang pangeran?
Kalau begitu, aku benar-benar beruntung hari ini,"
ujar Gada Penghancur Tulang yang tampak sangat
gembira sekali ketika mendengar jawaban Pangeran
Sokapanca.
Sikap Gada Penghancur Tulang tentu saja meng-
herankan hati Pangeran Sokapanca.
"Nah, Gusti Pangeran. Kulihat kau tengah meng-
alami kesulitan besar. Katakanlah apa yang bisa
kulakukan untukmu?" Gada Penghancur Tulang
melanjutkan kata-katanya yang membuat Pangeran
Sokapanca semakin bertambah keheranannya.
"Apa maksudmu, Orang Tua...?" karena belum
mengerti ke mana arah pembicaraan Gada Peng-
hancur Tulang, Pangeran Sokapanca bertanya ingin
tahu.
Namun, sebelum Pangeran Sokapanca menerima
jawaban dari Gada Penghancur Tulang, terdengar
suara Nenek Muka Setan membentak marah.
"Keparat kau, Gada Panghancur Tulang! Rupanya
kau hendak menggunakan kesempatan ini untuk
mencari jasa! Dasar penjilat busuk!" sambil
melontarkan kata-kata makian, Nenek Muka Setan
mengayunkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi.
Whuuuttt...!
Tongkat tulang kering kaki manusia itu melun-
cur pesat mengancam batok kepala Gada Penghancur Tulang dari samping. Tampaknya Nenek Muka
Setan hendak meremukkan kepala botak itu deng-
an sekali pukul. Karena dari sambaran angin pu-
kulannya, jelas menandakan kalau Nenek Muka Se-
tan telah mengerahkan tenaga dalam yang kuat.
Gada Penghancur Tulang tidak begitu mudah
dirobohkan. Hanya dengan menarik tubuhnya ke
belakang, hantaman tongkat itu pun luput. Bahkan
sempat pula melepaskan tendangan lurus ke perut
nenek Muka Setan.
Nenek Muka Setan tidak berusaha mengelak, se-
pintas saja ia tahu kalau tendangan itu merupakan
serangan tipuan. Dan penglihatannya ternyata be-
nar. Karena Gada Penghancur Tulang telah menarik
tendangannya, mengganti dengan hantaman senjata
yang selalu tergenggam di tangan kanannya. Senjata
itu berupa sebuah gada yang terbuat dari besi putih
dan dilapisi emas pada bagian luarnya.
Wwettt..!
Gada yang besar dan berat itu menyambar ba-
tang leher Nenek Muka Setan. Dan dapat dipastikan
kalau lawannya akan remuk apabila sampai terke-
na. Namun tentu saja Nenek Muka Setan tidak sudi
membiarkan lehernya hancur oleh senjata lawan.
Dengan gerakan yang cepat diputar tongkatnya un-
tuk memapaki gada lawan.
Jlang...!
Benturan keras yang memekakkan telinga pun
tak terhindarkan lagi. Membuat tanah tempat mere-
ka berpijak bergetar, karena hebatnya pertemuan
kedua senjata yang sama-sama digerakkan oleh
tenaga raksasa itu.
Pangeran Sokapanca-lah yang menderita akibat
benturan keras itu Tubuhnya tampak tergetar
dengan mata terpejam. Kedua tangannya menekan
telinga kuat-kuat, karena suara benturan itu mem-
buat kepalanya sakit!
Nenek Muka Setan dan Gada Penghancur Tulang
sama-sama melompat mundur beberapa langkah.
Keduanya saling tatap dengan sorot mata tajam.
Bedanya, sorot mata Nenek Muka Setan me-
nunjukkan kemarahan dan ancaman maut. Sedang-
kan Gada Penghancur Tulang mengandung ejekan
dan keangkuhan.
"Apa sebenarnya maumu, Gada Penghancur
Tulang?" tanya Nenek Muka Setan yang kelihatan
sangat penasaran terhadap perbuatan rekan sego-
longannya itu.
"Heh heh heh...! Tidak sulit untuk menerkanya,
Nenek Muka Setan! Aku ingin menghabisi sisa
umurku sebagai orang terhormat. Dan Pangeran
Sokapanca-lah yang bisa memberikannya," sahut
Gada Penghancur Tulang dengan suara lantang.
Kemudian menoleh ke arah Pangeran Sokapanca
yang berdiri tak jauh di sampingnya. "Aku akan
menyelamatkanmu dari nenek jelek ini, Pangeran.
Dan sebagai imbalannya, aku minta diberikan ke-
dudukan yang terhormat Bagaimana? Apakah kau
mau berjanji. Pangeran?"
Berdebar dada Pangeran Sokapanca demi men-
dengar perkataan Gada Penghancur Tulang itu.
Karena ia sama sekali tidak menduganya. Semula
dirinya merasa sudah tidak punya harapan lagi
untuk hidup. Dan sekarang kakek gundul yang
sepertinya sangat miskin karena tidak mengenakan
baju itu, menawarkan jasa ingin membantunya.
Tentu saja Pangeran Sokapanca gembira bukan
main!
"Jangan khawatir, Gada Penghancur Tulang. Jika
kau dapat menyelamatkan aku dari Nenek Muka
Setan, dan mengawalku sampai ke istana, aku
berjanji akan memberikan jabatan terhormat atas
Jasamu," ujar Pangeran Sokapanca yang kini sudah
bisa tersenyum. Karena ia sudah menyaksikan sen-
diri kesaktian Gada Penghancur Tulang, yang tam-
paknya berada di atas tingkat kepandaian nenek
buruk rupa itu.
Seraut wajah Gada Penghancur Tulang berseri-
seri mendengar janji Pangeran Sokapanca. Kembali
ia berpaling ke arah Nenek Muka Setan yang
kelihatan sangat geram melihat tingkah kakek gun-
dul itu.
"Keparat..!" makinya sambil menerjang maju
dengan sambaran tongkatnya yang mengaung bagai
ratusan lebah marah!
Kali ini Gada Penghancur Tulang sudah siap
untuk menghadapi gempuran lawan. Janji Pangeran
Sokapanca membuat hatinya mantap untuk
merobohkan Nenek Muka Setan di hadapan pange-
ran muda itu. Maka, ketika serangan lawan tiba, ia
langsung menyambut dengan menggunakan jurus-
jurus andalannya.
"Hyaaattt...!"
Gada berlapis emas yang berat itu menderu-deru
ketika bergerak menyambut serangan Nenek Muka
Setan Sebentar saja kedua tokoh tua itu sudah
terlibat dalam sebuah pertarungan mati-matian!
Pangeran Sokapanca menjauhi arena. Perta-
rungan maut itu membuat hatinya tegang! Karena
kedua orang tokoh sakti itu sama-sama menge-
luarkan ilmu-ilmu andalannya untuk saling mero-
bohkan. Sadar bahwa angin pukulan mereka sangat
berbahaya, maka ia pun bergerak menyingkir. Dan
menyaksikannya dari tempat yang cukup jauh.
Pertarungan berlangsung semakin sengit. Empat
puluh jurus telah lewat. Sejauh itu belum kelihatan
tanda-tanda siapa yang bakal menang. Keduanya
sama-sama cepat dan tangguh. Hanya sinar senjata
mereka yang membedakan mana Nenek Muka Setan
dan mana Gada Penghancur Tulang.
Nenek Muka Setan mencoba untuk membongkar
pertahanan lawan yang sangat kuat itu. Tongkatnya
diputar sedemikian rupa membentuk gulungan
sinar putih yang bergerak turun naik bagaikan
seekor naga yang tengah bermain-main di angkasa.
Serangan-serangannya demikian gencar, seolah tak
ingin memberikan kesempatan kepada lawan untuk
membangun serangan balasan. Tampak Gada Peng-
hancur Tulang mulai terdesak mundur, terkurung
ujung-ujung tongkat lawan yang mengarah jalan-
jalan darah penting di tubuhnya. Kendati demikian,
pertahanannya tetap tidak bisa ditembus lawan.
Dan setiap kali tongkat Nenek Muka Setan datang
mengancam, selalu dapat dipukul balik, membuat
nenek buruk itu semakin penasaran.
Sebenarnya Gada Penghancur Tulang sama sekali
tidak terdesak seperti yang tampak. Kakek Gundul
ini berlaku cerdik. Sadar bahwa tingkat kepandaian
mereka tidak berselisih banyak, maka Ia pun meng-
gunakan siasat dengan membuat dirinya seolah ter-
desak. Dengan demikian, lawan akan semakin ber-
nafsu dan mempergencar serangan-serangannya.
Rasa penasaran karena setiap gempurannya selalu
nyaris mengenai sasaran, akan membuat Nenek
Muka Setan melupakan pertahanan dirinya. Saat
lengah itulah yang ditunggu Gada Penghancur Tu-
lang. Dan apa yang dinantikannya itu pun datang.
"Heaaa...!"
Diiringi sebuah bentakan keras yang mengejut-
kan, Gada Penghancur Tulang melakukan lompatan
ke samping, saat tongkat lawan menusuk lurus ke
arah dada kirinya. Sambi! melompat, diayunkan
senjatanya dengan sepenuh tenaga!
Whuuukkk!
Gada yang besar dan mengkilat itu meluncur
deras mengancam lambung kiri Nenek Muka Setan,
yang menjadi kaget bukan main! Senjata yang su-
dah terlalu dekat tidak mungkin dapat dielakkan-
nya. Terpaksa ia menerima hantaman itu, setelah
menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi
lambungnya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kendati lambungnya sudah terlindungi tenaga
dalam, tetap saja Nenek Muka Setan menjerit saat
gada lawan menghajarnya. Tubuhnya terpental
deras dan memuntahkan darah segar. Kendati de-
mikian, ia masih dapat menguasai keseimbangan
tubuhnya. Hingga tidak sampai terbanting jatuh
hanya terhuyung-huyung dua tombak jauhnya.
Melihat lawan belum roboh, Gada Penghancur
Tulang menggeleng kagum. Cepat tubuhnya melesat
dengan hantaman gada untuk untuk menamatkan
nenek buruk itu.
"Kali ini kau tak akan dapat selamat lagi, Nenek
Muka Setan!" bentaknya di antara deru senjatanya.
Nenek Muka Setan tentu saja maklum akan
bahaya yang datang mengancamnya itu. Maka,
ketika jarak mereka tinggal setengah tombak, ibu ja-
rinya menekan bendul yang terdapat di dekat ga-
gang tongkatnya. Dan...
Srat! Srat!
Unjung tongkat itu terbuka dan memuntahkan
puluhan bahkan, ratusan jarum halus. Tentu saja
Gada Penghancur Tulang kaget bukan main. Untuk
menarik kembali serangannya jelas tidak mungkin.
Satu-satunya jalan, hanya dengan melepaskan pu-
kulan jarak jauh dengan tangan kirinya.
Sebagian jarum-jarum halus itu terpental dan
runtuh ke tanah akibat angin pukulan yang dilepas-
kan Gada Penghancur Tulang. Tapi, sebagian lain-
nya tak dapat dibendung.
"Aaakh...!"
Gada penghancur tulang memekik ketika belasan
jarum yang tak dapat dibendungnya mengenai bebe-
rapa bagian tubuhnya. Meskipun demikian tubuh-
nya terus meluncur ke depan. Namun hantaman
gadanya hanya mengenai tanah, karena Nenek
Muka Setan sudah melempar tubuhnya bergulingan.
Serangan Gada Penghancur Tulang gagal. Hal itu
juga karena sebagian tenaganya telah dipindahkan
untuk memukul runtuh jarum-jarum halus yang
dilepaskan secara licik oleh Nenek Muka Setan.
Nenek berwajah buruk dan berambut kumal Itu
sendiri langsung melompat dan melarikan diri,
setelah berhasil menyelamatkan dirinya dari keima-
nan, la tidak berhasrat lagi untuk melanjutkan per-
kelahian. Selain telah menderita luka dalam yang
cukup parah, Nenek Muka Setan pun tahu kalau
jarum-jarum beracunnya tidak bisa berbuat banyak
terhadap lawan. Sebab, Gada Penghancur Tulang
memang memiliki kekebalan terhadap racun.
"Bedebah, Licik! Jika kelak kita bertemu lagi,
jangan harap kau dapat lolos seperti sekarang...!"
seru Gada Penghancur Tulang sambil mencabuti
jarum yang menancap di tubuhnya. Sosoknya ter-
lihat menyeramkan, karena hampir di sekujur tu-
buhnya dipenuhi titik-titik darah. Meskipun tidak
mengalami cidera, Gada Penghancur Tulang merasa
penasaran dan menaruh dendam terhadap Nenek
Muka Setan.
Pangeran Sokapanca bertepuk tangan me-
nyambut kemenangan Gada Penghancur Tulang.
Pangeran muda itu mengayun langkah menghampiri. Semula hatinya sempat merasa cemas melihat
kakek gundul itu terkena senjata rahasia lawan,
yang ia duga mengandung racun ganas. Namun
ketika melihat betapa dengan enaknya Gada Peng-
hancur Tulang mencabuti jarum-jarum yang me-
nancap di tubuh, ia mengerti. Lelaki tua bertubuh
kekar itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun
racun dalam jarum-jarum halus yang berwarna ke-
hitaman itu.
"Kau benar-benar tidak mengecewakan hatiku,
Gada Penghancur Tulang. Aku merasa sangat ter-
tarik dengan kekebalanmu terhadap racun," ujar
Pangeran Sokapanca memuji kehebatan kakek
gundul itu.
"Terima kasih, Pangeran! Jika Pangeran ber-
hasrat, hamba tidak keberatan untuk mengajarkan
caranya," tukas Gada Penghancur Tulang dengan
wajah berseri. Kemudian dibungkukkan tubuhnya
sebagai tanda hormat kepada pangeran muda itu
"Benarkah kau sungguh-sungguh hendak meng-
ajarkan ilmu yang hebat itu kepadaku?" tanya
Pangeran Sokapanca yang tentu saja sangat ingin
memiliki tubuh yang kebal terhadap racun.
"Tentu, Pangeran. Akan hamba ajarkan caranya
setelah Pangeran menepati janji," jawab Gada Peng-
hancur Tulang mengingatkan Pangeran Sokapanca
tentang janji untuk memberikan jabatan terhormat
kepadanya.
"Sudah pasti aku akan menepatinya. Gada Peng-
hancur Tulang," sahut Pangeran Sokapanca me-
nyembunyikan senyum liciknya.
Gada Penghancur Tulang terlihat mengangguk-
angguk puaa Senyumnya mengembang, memba-
yangkan impian hari tuanya yang akan segera ter-
wujud.
"Mari, kita berangkat ke kotaraja...!" ujar Pa-
ngeran Sokapanca bernada sedikit memerintah.
"Baik, Pangeran..," sahut Gada Penghancur
tulang yang segera mengayun langkahnya di sam-
ping Pangeran Sokapanca. Saat itu matahari sudah
bergeser ke barat.
LIMA
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari
satu malam, saat menjelang senja, Pangeran Soka-
panca dan Gada Penghancur Tulang tiba di gerbang
kotaraja. Keduanya menunggang kuda, diperoleh
dari desa yang mereka lalui.
Prajurit penjaga gerbang sempat kaget melihat
Pangeran Sokapanca kembali tanpa pasukan pe-
ngawal. Terlebih melihat adanya seorang kakek
gundul tanpa mengenakan baju, hingga memper-
lihatkan bulu-bulu lebat di sekitar dada dan perut.
Namun mereka tidak berani bertanya. Para prajurit
membungkukkan tubuh dalam-dalam saat sang Pa-
ngeran melewati gerbang bersama kakek gundul
bertampang bengis itu.
Becjtu masuk ke kotaraja, Pangeran Sokapanca
langsung menuju istana kerajaaa Kemudian melapor
kepada penjaga istana bahwa ia hendak menghadap
ayahnya.
"Sampaikan kepada Ayahanda Prabu bahwa aku
membawa berita yang sangat penting dan men-
desak!" ujar Pangeran Sokapanca ketika melihat
pengawal yang bertugas agak ragu.
Bukan karena penjaga itu tidak menaruh hormat
terhadap putra junjungannya. Untuk dapat meng-
hadap raja memang tidak bisa dilakukan sem-
barang waktu terlebih begitu mendadak, meski se-
orang pangeran sekalipun. Namun, ketika Pangeran
Sokapanca mengatakan sangat penting dan mende-
sak, kepala jaga istana meminta agar pangeran itu
menunggu.
Tidak berapa lama kemudian, kepala jaga itu
kembali muncul dan langsung mempersilakan Pa-
ngeran Sokapanca masuk dan menunggu.
"Mohon beribu ampun kalau kedatangan hamba
telah mengejutkan Ayahanda Prabu...."
Pangeran Sokapanca langsung menghaturkan
sembah begitu sang Prabu datang menemuinya.
Gada Penghancur Tulang pun mengikuti perbuatan
Pangeran Sokapanca tanpa berani membuka suara.
Hari kakek sakti yang biasanya kejam dan tak kenal
takut ini, sempat tergetar melihat wajah yang agung
dan penuh perbawa itu.
Sang Prabu hanya mengangguk tipis disertai
gumam tak jelas. Kemudian duduk di atas singgasa-
nanya. Dua orang jagoan istana yang merupakan
pengawal-pengawal pribadi dan bertanggung jawab
penuh atas keselamatan raja, berdiri di kiri dan
kanan kursi. Meski hanya sebentar, kedua jagoan
ini sempat mengerutkan kening melihat kakek gun-
dul yang datang bersama putra mahkota itu.
Setelah mendapat perkenan dari sang Prabu,
Pangeran Sokapanca segera menceritakan peristiwa
yang dialaminya. Tentu saja ia tidak menceritakan
tentang putri tunggal Ki Dawung, yang menjadi
penyebab semua itu. Juga tidak menyinggung ten-
tang Nenek Muka Setan yang membuat sisa pasu-
kan pengawalnya tewas Yang dilaporkan Pangeran
Sokapanca adalan tentang penyerangan sekelompok
pemberontak di bawah pimpinan Ki Dawung, Ketua
Perguruan Tapak Jalak. Dan memohon agar sang
Prabu memperkenalkan la membawa sejumlah pa-
sukan pilihan untuk menghancurkan para pembe-
rontak itu.
"Menurut hamba mereka sangat berbahaya se-
kali, Ayahanda Prabu. Tampaknya Ki Dawung telah
mengundang tokoh-tokoh persilatan. Karena saat
pertempuran pecah, tiba-tiba muncul sepasang pen-
dekar muda yang memiliki kepandaian hebat. Un-
tung sewaktu hamba nyaris tertangkap, kakek ini
datang menolong dan menyelamatkan aku dari ke-
ganasan para pemberontak itu...," ujar Pangeran
Sokapanca yang dalam akhir ceritanya baru me-
nyinggung tentang Gada Penghancur Tulang yang
sejak tadi hanya diam mendengarkan.
Merasa dirinya diberi kesempatan, Gada Peng-
hancur Tulang menghaturkan sembah dan berkata
merendah.
"Ampun, Gusti Prabu yang mulia! Apa yang
hamba lakukan sama sekali tidak patut untuk di-
banggakan. Karena sudah menjadi kewajiban ham-
ba sebagai kawula negeri untuk menunjukkan bak-
ti...," ujar Gada Penghancur Tulang, yang dalam hal
bermain sandiwara tidak kalah bagusnya dengan
Pangeran Sokapanca, membuat pangeran muda itu
tersenyum tipis.
Sang Prabu cuma bergumam pelan. Sepasang
matanya menyipit memperhatikan sosok kakek
gundul yang tanpa mengenakan baju dan membawa
sebuah gada berlapis emas. Sebenarnya dandanan
Gada Penghancur Tulang sudah merupakan kesala-
han bagi seseorang yang menghadap raja di istana.
Namun karena tahu kalau kakek gundul itu
merupakan tokoh persilatan yang kebanyakan ber-
tingkah laku aneh, sang Prabu memakluminya. Be-
liau mengangguk-angguk beberapa kali sambil
mengelus jenggotnya yang sudah berwarna dua.
"Ada hal yang ingin kusampaikan khusus kepa-
damu, Sokapanca. Untuk itu biarlah penolongmu Ini
menunggu di luar sebentar...," ujar sang Prabu yang
mengalihkan pandang kepada putranya.
Gada Penghancur Tulang tahu diri. Bergegas ia
menghaturkan sembah dan bergerak meninggalkan
ruangan itu. Kakek gundul ini menepiskan perasaan
tidak enak yang tiba-tiba menyelinap ke dalam
hatinya. Untuk menenangkan perasaan yang tak
diketahui sebabnya itu, Gada Penghancur Tulang
beijalan-jalan di taman depan istana.
Sepeninggal Gada Penghancur Tulang, sang
Prabu segera memerintahkan salah seorang penga-
wal pribadinya untuk berbicara. Karena ia memang
sebenarnya tidak mempunyai kepentingan khusus
dengan putranya. Keinginan itu disampaikannya
setelah mendapat bisikan dari salah seorang penga-
wal pribadinya, dengan menggunakan ilmu 'Mengi-
rim Suara dari Jauh' Sehingga tak seorang pun yang
mengetahui kecuali sang Prabu dan jago istana itu
sendiri.
Jago istana yang merupakan seorang lelaki gagah
berusia lima puluh tahunan itu segera menjelaskan
kepada Pangeran Sokapanca. Tokoh istana ini tahu
betul siapa adanya kakek gundul berjuluk Gada
Penghancur Tulang itu. Dia mengingatkan bahwa
kakek gundul itu adalah seorang tokoh dunia hitam
yang berkepandaian tinggi, berhati kejam, serta
sangat licik.
"Manusia seperti Gada Penghancur Tulang jelas
tidak akan sudi menolong secara cuma-cuma. Ia
pasti meminta imbalan atas jasanya itu. Apakah
dugaanku keliru, Pangeran?" tanya tokoh istana
bernada curiga.
"Benar, Paman. Hanya karena ia memiliki ke-
pandaian tinggi dan aku memerlukan pengawal
untuk tiba di istana, maka aku berjanji untuk mem-
berikan apa yang diinginkan. Dan ia menginginkan
jabatan atas jasanya itu," jelas Pangeran Sokapanca
yang pada dasarnya memang tidak menyukai Gada
Penghancur Tulang. Ia sudah cukup banyak men-
dengar tentang sifat tokoh-tokoh golongan hitam
yang rata-rata Dcik dan sulit ditebak.
"Jabatan apa yang diminta kakek gundul itu
kepadamu, Sokapanca?" sang Prabu yang ikut men
dengarkan, bertanya dengan kening berkerut.
Kerutan itu tanda ketidaksenangan hatinya atas si-
kap putranya yang begitu mudah untuk mengucap-
kan janji.
"Ia tidak menjelaskannya, Ayahanda Prabu.
Mohon ampun, hamba telah begitu lancang berjanji
untuk memenuhi permintaannya," jawab Pangeran
Sokapanca agak cemas melihat kerutan pada wajah
ayahnya.
"Hm..., kalau begitu, beri saja hadiah yang kira-
kira cukup pantas atas jasanya yang telah meno-
longmu!" titah sang Prabu, yang merupakan sebuah
keputusan mutlak. Tidak bisa dibantah lagi.
Dua orang tokoh istana dan juga Pangeran So-
kapanca langsung menyetujui. Sang Prabu segera
memerintahkan pengawal agar meminta sekantung
uang emas dari pejabat keuangan istana. Setelah
uang tersedia, beliau memerintahkan putranya un-
tuk menyerahkan hadiah itu kepada Gada Peng-
hancur Tulang, dengan ditemani kedua pengawal
istana.
***
Gada Penghancur Tulang bergegas menghampiri
Pangeran Sokapanca yang dilihatnya keluar dari
istana. Ditekannya kegelisahan yang kembali mun-
cul ketika melihat adanya dua orang tokoh istana
yang menemani sang Pangeran. Gada Penghancur
Tulang berusaha menyembunyikan perasaannya
dengan bersikap tenang. Namun, tiba-tiba dikerah-
kan tenaga dalamnya, siap menghadapi hal-hal yang
tidak diinginkan.
"Bagaimana, Pangeran? Apakah Gusti Prabu
sudah memilihkan jabatan untukku?" Gada Penghancur Tulang langsung menanyakan apa yang su-
dah mereka sepakati.
"Maaf, Gada Penghancur Tulang," ujar Pangeran
Sokapanca yang siap menghindar apabila kakek
gundul itu marah dan menyerangnya. "Ayahanda
Prabu tidak mengabulkan permohonanku. Beliau
memerintahkan agar aku memberikan hadiah
sekantung uang emas ini sebagai imbalan atas
pertolonganmu kepadaku."
'Tapi..., bukankah kau sudah berjanji kepadaku,
Pangeran?" rona wajah Gada Penghancur Tulang
berubah. Sepasang matanya tampak berkilat me-
nunjukkan kemarahan. Dirinya merasa telah ditipu
mentah-mentah oleh Pangeran Sokapanca.
"Terima saja hadiah yang diberikan junjungan
kami, Gada Penghancur Tulang!"
Tokoh istana berwajah kelimis berkata menim-
pali. Sikap dan sorot matanya jelas menandakan
bahwa ia telah siap menghadapi apa yang bakal di-
lakukan kakek gundul itu. "Hadiah ini sudah me-
rupakan yang terbaik untuk orang sepertimu. Kare-
na seharusnya kau malah kami jebloskan ke dalam
tahanan. Kami tahu siapa kau adanya. Dan bagai-
mana sepak terjangmu di luaran."
Gada Penghancur Tulang menghela napas dalam-
dalam dan melepaskannya dengan berat. Seolah
ingin melepaskan kekecewaan hatinya. Ia sadar
bahwa dirinya berada di dalam sarang harimau.
Ketika akal liciknya muncul, kakek gundul itu
tersenyum tipis.
"Kalau memang kau menganggap hadiah itu su-
dah lebih dari cukup, aku terima. Anggap saja
pertolonganku kepada junjunganmu ini sebagai
baktiku kepada negeri...!" ujar Gada Penghancur
Tulang tersenyum kecut seraya memindahkan sen-
jatanya ke tangan kiri. Diterimanya kantung uang
dengan tangan kanan. Kelihatannya kakek gundul
ini sudah pasrah dan tidak mau bertindak macam-
macam.
Pangeran Sokapanca sudah menarik napas lega
ketika Gada Penghancur Tulang menerima kantung
uang yang diberikan oleh salah seorang pengawal
istana. Gada Penghancur Tulang membuka ikatan
kantung uang untuk melihat isinya. Kepalanya
menggeleng-geleng sambil mengeluarkan telapak
tangannya setelah meraup kepingan uang emas di
dalam kantung. Kemudian....
"Makan olehmu uang emas ini. Pangeran Lak-
nat...!"
Secara tiba-tiba, Gada Penghancur Tulang me-
ngeluarkan bentakan keras yang mengejutkan. Ber-
samaan dengan itu berdesingan kepingan uang
emas yang meluncur dengan kecepatan tinggi meng-
ancam sekujur tubuh Pangeran Sokapanca! Jelas
kakek gundul ini ingin menghabisi nyawa orang
yang telah menipunya mentah-mentah.
Perbuatan Gada Penghancur Tulang yang sama
sekali tidak terduga, membuat kedua orang tokoh
istana kaget bukan main. Namun, karena mereka
sudah memperhitungkan kejadian seperti itu, maka
keduanya segera melesat berbarengan. Yang seorang
mencabut pedang dan berusaha menyelamatkan
Pangeran Sokapanca. Sedangkan satunya lagi men-
celat ke arah Gada Penghancur Tulang dengan
disertai lontaran pukulan mautnya.
Serangan tokoh istana itu dapat diatasi dengan
mudah oleh lawannya. Bahkan langsung mengirim-
kan serangan balasan dengan ayunan gadanya yang
menderu-deru. Demikian gencar serangan balasan
yang dilontarkan Gada Penghancur Tulang, mem-
buat lawannya terdesak dan terus berlompatan
mundur.
Sementara itu, tokoh istana yang berusaha me-
nyelamatkan Pangeran Sokapanca telah memutar
pedangnya membentuk gulungan sinar putih laksa-
na sebuah perisai raksasa.
Trang! Tring! Trak!
Terdengar suara gemerincing nyaring ketika
belasan kepingan uang emas itu membentur ling-
karan sinar pedang. Beberapa di antaranya runtuh
terbelah dua. Namun sebagian kecil luput dan terus
meluncur deras ke arah Pangeran Sokapanca!
Pangeran Sokapanca sendiri bukanlah orang
lemah. Dia berusaha menyelamatkan diri dari ke-
pingan-kepingan uang emas itu. Namun tak urung
empat di antaranya berhasil melukai kaki, tangan,
dan satu menyerempet bahunya, membuat pa-
ngeran muda itu terjajar mundur dengan pakaian
ternoda darah.
"Keparat...!" maki Pangeran Sokapanca yang
berusaha bangkit berdiri. Kemudian berteriak me-
merintah untuk menangkap kakek gundul yang te-
ngah bertarung sengit dengan salah satu jagoan is-
tana.
Sebentar saja belasan orang prajurit telah ber-
larian dan mengepung pertarungan. Mereka mem-
buat lingkaran dengan senjata di tangan. Sehingga,
hampir mustahil kalau Gada Penghancur Tulang
akan dapat pergi dengan selamat meninggalkan
tempat itu.
Gada Penghancur Tulang bukan tidak menyadari
keadaannya. Ia pun maklum bahwa dirinya akan
menemui kematian di tempat itu. Kenyatan itu
membuat ia semakin bertambah nekat. Serang-
annya semakin ganas dan bagaikan tak pernah pu-
tus. Tokoh istana yang menghadapinya tampak ke-
walahan, dan tak mampu mengimbangi amukan
Gada Penghancur Tulang.
"Hyaaattt..!"
Melihat rekannya terdesak dan sulit membebas-
kan diri dari kurungan gada lawan, jago istana yang
satunya lagi segera melesat memasuki arena. Pe-
dang di tangannya mengaung tajam, menandakan
betapa kuat tenaga yang terkandung di dalam se-
rangan itu.
Siiing...!
Suara berdesing yang menusuk telinga membuat
Gada Penghancur Tulang sadar bahwa ada serangan
yang datang dari belakangnya. Dan apa yang dilaku-
kan kakek gundul ini benar-benar membuat kedua
orang lawannya berdecak kagum bukan main. Ka-
rena tanpa menghentikan gerakannya, rubuh lelaki
tua itu berputar melingkar. Gada di tangannya ber-
gerak dengan kecepatan tinggi memapaki datangnya
ancaman pedang.
Brreeettt...!
Gada Penghancur Tulang kaget ketika hantaman
senjatanya mengenai tempat kosong. Pedang yang
semula menusuk, ternyata telah meliuk berputar
dengan cepatnya. Terus berkelebat membeset dada-
nya
Brettt!
"Aaakh...!"
Sambaran pedang yang mendatar itu langsung
membuat garis panjang melintang di dada Gada
Penghancur Tulang. Darah segar mengalir, menim-
bulkan rasa pedih. Tubuh bertelanjang dada itu ter-
getar mundur. Dan lawan di belakangnya sudah
menyambut dengan gedoran telapak tangan yang
mendatangkan sambaran angin kuat!
Blaggg!
"Hukh!"
Hantaman telapak tangan pada punggung ketika
tubuhnya terjajar mundur, membuat kekuatan
pukulan menjadi berlipat ganda. Hingga tubuh Gada
Penghancur Tulang terpental deras disertai mun-
tahan darah segar. Belum lagi tubuhnya sempat
jatuh ke tanah, lawan yang di depan menyambul
dengan sambaran pedangnya. Terdengar suara se-
perti orang tercekik, ketika mata pedang itu mem-
beset tenggorokannya.
Darah segar menyembur dari luka menganga di
leher Gada Penghancur Tulang. Napasnya pun
putus seketika sebelum tubuhnya terbanting ke ta-
nah. Sungguh mengenaskan kematian yang harus
diterima Gada Penghancur Tulang, la yang dalam
kehidupannya selalu menggunakan kelicikan, kini,
tewas termakan kelicikan Pangeran Sokapanca.
Pangeran Sokapanca sendiri harus menerima
hadiah atas perbuatannya terhadap kakek gundul
itu. Kendati tidak sampai tewas, namun luka-luka
yang dideritanya membuat Pangeran Sokapanca
harus beristirahat beberapa hari. Setelah merasa ke-
sehatannya pulih, ia segera menghadap ayahnya
dan minta restu untuk membawa pasukan guna
memberantas Ki Dawung dan murid-muridnya yang
dilaporkan sebagai pemberontak. Maka berangkat-
lah Pangeran Sokapanca dengan membawa dua
lusin prajurit pilihan, dua orang perwira menengah,
dan seorang senapati muda. Selain itu, terdapat dua
orang tokoh istana menyertai rombongan.
* * *
ENAM
Panji melakukan perjalanan dengan setengah
berlari. Tujuannya adalah kotaraja, untuk menye-
lidiki Pangeran Sokapanca. Sekaligus mencari tahu
apakah pangeran muda itu masih mendendam dan
akan membawa bala bantuan untuk membalas ke-
kalahannya. Karena tengah memikirkan apa yang
pertama-tama akan dilakukannya setelah sampai di
kotaraja, ia tidak begitu memperhatikan ketika me-
lewati jalan yang membelok. Selain itu, jalanan ber-
belok di depannya terhalang dataran yang lebih
tinggi. Kesadarannya baru bangkit ketika saat mem-
belok, dari arah depan meluncur sosok tubuh lain
yang langkah larinya seperti orang mabok. Tentu
saja Panji sempat dibuat kaget!
"Hei...?!"
Panji melempar tubuhnya ke tepi jalan hingga
membentur dinding tanah keras. Karena sosok tu-
buh yang berlari cepat dan sempoyongan itu, nyaris
menabraknya. Untung ia cepat bergerak menghin-
dar. Jika tidak, tubuh keduanya pasti akan saling
bertumbukan.
Seruan terkejut Panji rupanya membuat sosok
tubuh yang berlari seperti orang mabok itu tidak
senang. Larinya dihentikan dengan mendadak.
Masih dengan gerak tubuh sempoyongan, sosok itu
berbalik menghampiri Panji, yang masih berdiri
memperhatikan orang yang nyaris membentur tu-
buhnya itu.
"Bocah kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu
hingga berani membentakku seperti itu? Apa kau
sudah bosan hidup, hah?" begitu tiba di dekat Panji,
langsung saja sosok yang berlari seperti orang
mabok itu melontarkan makian.
Pendekar Naga Putih tertegun keheranan. Dita-
tapnya sosok tubuh kurus, bongkok dan berwajah
sangat buruk itu. Sosok itu ternyata seorang perem-
puan berusia lanjut yang tengah menderita luka.
Hal itu diketahui Panji dari adanya lelehan darah di
sudut bibir nenek itu.
"Bocah setan! Rupanya kau bukan cuma kurang
ajar, tapi juga budek! Hmh... sebaiknya kukirim saja
kau ke neraka daripada hidup tidak mempunyai
guna!"
Sikap diam Panji yang karena kaget dan heran
melihat sosok nenek itu, membuat dirinya dikira tu-
li. Kemarahan si Nenek semakin menjadi-jadi. Sam-
bil memaki-maki, dipukulkan tongkatnya yang be-
rupa tulang kering kaki manusia ke kepala Panji.
"Hei, Nek, tahan...!"
Karena kaget dan tak menyangka, kalau nenek
buruk itu sedemikian galak, Panji berseru mence-
gah. Ketika melihat hantaman tongkat itu tidak ber-
henti, Panji pun bergerak mundur menghindar. Se-
hingga pukulan tongkat si Nenek Buruk mengenai
angin kosong!
"Bagus, rupanya kau memiliki sedikit kepan-
daian! Pantas saja berani membentak-bentak orang!
Sekarang coba kau jaga serangan ini...!" ujar nenek
buruk itu seraya menarik sudut kiri bibirnya mem-
bentuk senyum sinis. Kemudian kembali menerjang
maju dengan tongkatnya.
"Nek, tunggu, jangan salah paham! Aku sama
sekali tidak membentak, hanya berseru karena
kaget, hampir tertumbuk tubuhmu. Justru sebenar-
nya kaulah yang salah, berlari seperti orang mabok!"
Panji berteriak-teriak menjelaskan, sambil ber-
lompatan menghindari serangan tongkat nenek bu-
ruk yang tak lain Nenek Muka Setan. Pendekar
muda itu masih bersikap mengalah, karena ketika
melihat pukulan tongkat si Nenek tidaklah terlalu
kuat.
Dari apa yang dilihatnya pertama kali tadi, Panji
tahu kalau nenek buruk itu cuma sekadar hendak
memberi pelajaran kepadanya, yang dianggapnya
sebagai anak kurang ajar. Namun, serangan selan-
jutnya ternyata dirasakan sangat ganas dan bisa
mematikan. Kendati merasa kaget dan penasaran,
Pendekar Naga Putih masih berusaha mengingatkan
bahwa kejadian di antara mereka cuma karena
salah paham.
"Anak setan! Sudah berani membentak, berpura-
pura budek, sekarang malah menuduhku pemabok!
Benar-benar kau tidak boleh diberi hati!"
Nenek Muka Setan kembali salah mengerti
maksud ucapan Pendekar Naga Putih. Kembali ia
memaki dan memperhebat serangannya, membuat
Panji kerepotan menyelamatkan diri dari incaran
tongkat nenek itu.
Sikap Nenek Muka Setan memang tidak meng-
herankan. Selain ia bukan orang baik-baik, saat itu
hatinya sedang marah dan jengkel. Luka dalam dan
sikap menghina yang diterimanya dari Gada Peng-
hancur Tulang, sekarang seperti menemukan tem-
pat untuk menumpahkannya. Karena setelah mela-
rikan diri dari Gada Penghancur Tulang, baru Panji
yang ditemuinya. Maka Panji-Iah yang sial menjadi
tumpahan segala rasa marah dan jenkel Nenek
Muka Setan.
Namun kesabaran Pendekar Naga Putih tentu ada
batasnya. Ketika seruan-seruannya tidak mendapat
tanggapan yang baik, bahkan nenek itu semakin
ganas mencecarnya, Panji tidak lagi cuma sekadar
mengelak. Saat tongkat berupa tulang kering kaki
manusia itu kembali meluncur, telapak tangan
kirinya bergerak menepis dengan pengerahan tenaga
yang sudah diperkirakannya.
Plak!
Tepisan tangan Panji yang hanya menggunakan
sebagian tenaga dalamnya, ternyata berakibat
cukup hebat! Bukan cuma ujung tongkat yang ter-
pental menyeleweng. Bahkan tubuh Nenek Muka
Setan tampak terjajar limbung dengan wajah me-
nyeringai menahan sakit. Sementara tangan kirinya
sibuk menekan dada. Dan....
"Huakhhh...!"
Sebelum roboh tak sadarkan diri, Nenek Muka
Setan memuntahkan darah kental berwarna kehi-
taman. Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget bukan
main! Cepat ia berlari menghampiri.
Panji berjongkok hendak memeriksa ketika
melihat Nenek Muka Setan tak sadarkan diri. Sekali
lihat saja ia tahu kalau lawannya mengalami luka
dalam yang parah. Dan tangkisannya yang meng-
gunakan sebagian tenaga dalam tadi, semakin me-
nambah parah luka nenek buruk itu. Mengertilah
Panji kalau nenek itu memaksakan diri sewaktu me-
nyerangnya. Padahal pengerahan tenaga selagi ter-
luka dalam, bisa mengakibatkan kematian. Tidak
aneh kalau Nenek Muka Setan langsung muntah
darah dan jatuh pingsan, kendati tangkisan Panji
tidak terlalu kuat.
Walaupun menduga bahwa nenek buruk rupa itu
bukan orang baik-baik, Panji tetap hendak me-
nolongnya. Dipondongnya tubuh kurus yang tak
sadarkan diri itu. Kemudian melangkah untuk men-
cari tempat yang cukup baik guna mengobati luka
yang diderita Nenek Muka Setan.
Agak lama Pendekar Naga Putih berjalan, sampai
akhirnya ia melihat daerah persawahan. Sepasang
matanya memandang berkeliling. Ketika menemukan sebuah dangau, dia segera menghampiri.
Diletakkannya tubuh Nenek Muka Setan.
Setelah menotok dan memijat di beberapa tem-
pat, Nenek Muka Setan mulai siuman. Langsung
saja Panji membuka mulut nenek itu secara paksa
dan menjejalkan sebutir pil berwarna putih salju.
Obat luka dalam yang dapat mempercepat pulihnya
tenaga. Hal itu terpaksa dilakukan, khawatir kalau
Nenek Muka Setan akan marah lagi dan menyerang,
apabila telah sadar sepenuhnya. Panji memaksa pil
masuk ke dalam tubuh nenek itu dengan memijat
hidung si Nenek Nenek Muka Setan gelagapan, dan
pil itu pun tertelan masuk
"Maaf, Nek Aku terpaksa melakukannya...!" ujar
Panji ketika melihat sepasang mata yang sinarnya
mulai pudar karena usia tua membuka perlahan.
Ada kilatan terkejut dalam bola mata Nenek Muka
Setan, melihat pemuda tampan berjubah putih yang
diserangnya tadi, tengah duduk di sampingnya.
Semula Nenek Muka Setan sudah akan melon-
tarkan makian kepada Panji. Namun wajah yang
menggambarkan kemarahan itu berubah kaget! Di
dalam tubuhnya dirasakan ada hawa hangat yang
menyebar, membuat Nenek Muka Setan meme-
jamkan matanya keenakan. Sebagai orang yang
memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas,
tahulah ia bahwa luka dalamnya telah disembuhkan
orang. Untuk memastikan, segera ia mengerahkan
tenaga dalamnya. Girang bukan main hati Nenek
Muka Setan ketika tidak lagi merasakan ada rasa
nyeri yang menusuk-nusuk bagian dalam dadanya.
Luka dalamnya benar-benar telah sembuh, kendati
tenaganya belum pulih.
"Mengapa kau menolongku, Anak Muda...?" tanya
Nenek Muka Setan dengan suara serak dan lemah.
Wajahnya membayangkan keheranan besar. Sebab,
ia tidak percaya kalau ada orang yang mau ber-
susah payah menolong orang yang tidak dikenal.
"Mengapa aku menolongmu...?" tukas Panji
mengulang pertanyaan Nenek Muka Setan dengan
bibir tersenyum. "Pertanyaanmu aneh, Nek," lan-
jutnya, merasa tidak perlu memberikan jawaban.
Karena ia memang sudah biasa melakukannya, ter-
hadap siapa pun yang membutuhkan.
"Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" desak
Nenek Muka Setan dengan nada agak tinggi. Jelas ia
menginginkan jawaban dari mulut Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum semakin lebar.
Kepalanya menggeleng perlahan melihat betapa
nenek itu masih tetap galak, meskipun dalam ke-
adaan tubuh masih lemah.
"Aku menolongmu karena kau terluka dan perlu
segera mendapat pengobatan. Nah, apakah kau
puas dengan jawabanku, Nek?"
"Bodoh! Kau tahu bukan itu jawaban yang ku-
inginkan! Hayo jawab, mengapa kau menolongku?"
Nenek Muka Setan kembali mengajukan per-
tanyaannya dengan mata melotot.
"Ya, karena kau membutuhkan pertolongan. Dan
aku kebetulan memiliki sedikit pengetahuan tentang
ilmu pengobatan. Tidak ada salahnya aku mencoba
untuk menolongmu kendati kita belum saling kenal,
dan mungkin kau menganggapku sebagai musuh."
Jawaban agak panjang itu tampaknya yang
diinginkan Nenek Muda Setan. Wajahnya kembali
dijalari keheranan besar. Dan ia menatap wajah
Panji lekat-lekat
"Anak muda, kau tahu siapa sebenarnya aku?
Aku adalah seorang dedengkot golongan hitam yang
kejam dan ganas. Aku dijuluki sebagai Nenek Muka
Setan! Entah sudah berapa ratus nyawa yang ku-
kirim ke neraka. Dan setelan kesehatanku pulih,
aku kembali akan membunuh orang. Nah, bukan-
kah itu berarti bahwa kau ikut terkena dosanya?
Karena kalau kau tidak mengobati aku, pasti se-
karang aku sudah tidak bernyawa lagi. Dengan
membuat aku sehat kembali, sama saja dengan
memberikan kesempatan kepadaku untuk mengu-
lang segala kejahatanku. Bahkan mungkin aku se-
makin bertambah ganas. Dan kau akan menyesal
karena telah menolongku. Karena kau pun akan
kubunuh!" ujar Nenek Muka Setan yang sempat
membuat Panji kaget, karena nama tokoh ini sudah
pernah didengarnya.
"Tidak, aku sama sekali tidak menyesal dengan
apa yang telah kulakukan. Tidak peduli orang itu
baik atau jahat. Jika aku mampu, aku akan beru-
saha memberikan pertolongan Memberikan perto-
longan kepada sesama umat manusia adalah
kewajiban.”
Nenek Muka Setan terdiam setelah mendengar
jawaban Panji. Ditariknya napas dalam-dalam. Se-
pasang matanya yang mulai pudar karena usia tua
itu, tampak membasah. Kemudian terdengar suara
paraunya yang mengandung keharuan atas apa
yang diucapkan dan dilakukan Pendekar Naga Pu-
tih.
"Dari semenjak aku lahir hingga menjadi nenek-
nenek seperti sekarang, baru kali ini aku bertemu
dengan orang berhati mulia dan berpandangan luas
sepertimu, Anak Muda. Dan, aku berjanji tidak akan
membuat kau kecewa telah menolongku. Karena
mulai saat ini aku akan meninggalkan perbuatan-
perbuatan jahatku. Hhh..., aku ingin tahu siapa
nama orang yang telah membuat mata batinku
terbuka."
"Namaku Panji, Nek Aku ikut senang mendengar
tekad yang telah kau ambil," sahut Panji memper-
kenalkan namanya.
"Julukanmu, Panji. Melihat tingkat kepandaian-
mu, Kau...?" tiba-tiba saja Nenek Muka Setan meng-
hentikan ucapannya yang belum selesai. Karena
ketika tanpa sadar memperhatikan Panji dia teringat
dalam pertarungan tadi pemuda itu dapat meng-
imbanginya. Nenek Muka Setan dapat menduga
siapa sesungguhnya pemuda tampan yang ada di
hadapannya itu.
"Kaukah yang dijuluki Pendekar Naga Putih?"
tanya Nenek Muka Setan hendak memastikan
dugaannya.
"Kira-kira begitulah, Nek," jawab Panji dengan
suara perlahan.
Tiba-tiba saja meledaklah tawa Nenek Muka
Setan. Terus berkepanjangan sampai air matanya
keluar.
"Hih hih hih...! Siapa sangka kalau orang yang
telah membuka mata batinku adalah seorang pen-
dekar besar yang namanya menggetarkan jagad!"
ujar Nenek Muka Setan yang tampaknya semakin
bertambah gembira setelah tahu bahwa yang me-
nolong dan membuatnya sadar dari kesesatan ter-
nyata Pendekar Naga Putih.
Setelah puas tertawa sebagai pelampiasan ke-
gembiraannya, Nenek Muka Setan bangkit dan du-
duk berhadapan dengan Panji. Ditatapnya wajah
Panji lekat-lekat dengan sorot kekaguman yang
tidak disembunyikan, membuat yang ditatap men-
jadi agak risih.
"Hhh...! Sungguh sayang, muridku satu-satunya
telah tewas. Kalau tidak, aku akan menjodohkannya
denganmu, Panji. Dan aku sudah bersumpah untuk
mencari dan membunuh orang yang telah menewaskannya...!" ujar Nenek Muka Setan dengan
suara bergetar, sedih teringat akan kematian murid
tunggalnya. "Celakanya usahaku yang hampir
berhasil itu digagalkan orang. Bahkan aku sendiri
nyaris tewas di tangannya...."
"Jadi kau terluka dalam oleh orang yang mem-
bunuh muridmu?" tanya Panji menegaskan, kendati
ia mendengar ucapan nenek itu dengan jelas.
"Bukan. Yang melukaiku adalah Gada Peng-
hancur Tulang. Manusia licik itu muncul dan mena-
warkan bantuan dengan mengharapkan imbalan
mendapat jabatan di kotaraja," jawab Nenek Muka
Setan yang merasa geram mengingat kekalahannya
yang menyakitkan hu.
"Berarti orang yang membunuh muridmu adalah
seorang pembesar di kotaraja?" Panji bertanya lagi
karena mulai merasa tertarik dengan cerita Nenek
Muka Setan.
"Bukan cuma pembesar, tapi seorang pangeran
yang bernama Sokapanca!" jawab Nenek Muka
Setan yang kelihatan geram ketika menyebut nama
pembunuh muridnya.
"Pangeran Sokapanca...?!" ulang Panji dengan
kening berkerut Ia menyembunyikan kekagetannya
dan ingin mendengar kelanjutan cerita nenek itu.
"Benar! Mungkin kau pun pernah mendengar
nama pangeran keparat itu. Karena ia pun kadang
suka berpetualang untuk menambah pengalaman-
nya dalam ilmu silat. Sayangnya ia memiliki sifat
yang sangat buruk. Pihak kerajaan sepertinya me-
nutup mata terhadap sikap putra mahkota yang su-
ka mengumbar nafsu bejatnya. Tak peduli meskipun
perempuan yang disukainya sudah bersuami!" jelas
Nenek Muka Setan bernada geram. Nenek ini sama
sekali tidak sadar betapa diam-diam Panji tertawa
geli dalam hatinya. Sebab, nenek itu sendiri merupakan seorang gembong kaum sesat. Namun ia
seperti tidak sadar akan dirinya sendiri. Dan
mengutuk perbuatan orang lain yang sama jahatnya
dengan dirinya.
"Muridku adalah seorang gadis yang sangat can-
tik dan menawan. Pendeknya siapa pun akan tergiur
melihatnya. Apalagi masih ditambah dengan kepan-
daiannya yang tinggi."
Tanpa diminta, Nenek Muka Setan mulai ber-
cerita tentang murid perempuannya.
"Suatu hari, muridku kembali dari pengem-
baraannya yang memang kuberi waktu dua tahun
guna meluaskan pengalamannya. Sayang, kami ti-
dak sempat bertemu. Karena aku mendapat un-
dangan dari salah seorang sahabat yang hendak
meresmikan tempat perguruannya. Kepergianku
memang lama, kurang lebih lima hari. Cukup jauh
memang tempat kediaman sahabatku itu. Dan
kedatangannya kuduga tepat pada hari aku berang-
kat memenuhi undangan Kau tahu apa yang ku-
dapati sepulang dari tempat sahabatku, Panji?"
"Muridmu dibunuh setelah diperkosa..," jawab
Panji yang tentu saja sudah dapat menebak. Karena
Nenek Muka Setan telah menjelaskan siapa pem-
bunuh yang dicarinya.
"Itulah yang menyambut kepulanganku. Dan ke-
adaannya benar-benar mengenaskan! Tubuh murid
satu-satunya yang telah kuanggap sebagai anakku
sendiri itu, kudapati terbujur kaku di atas pem-
baringan dan tanpa selembar benang pun yang
melekat di tubuhnya! Pada beberapa bagian tubuh-
nya terdapat luka bekas cakaran dan gigitan. Pada
wajahnya terdapat luka memar bekas tamparan da
pukulan. Selain itu, aku menemukan adanya bau
sejenis racun yang kuketahui kemudian sebagai
pembangkit birahi!" sampai di sini Nenek Muka Setan tak sanggup menahan linangan air mata. Ke-
mudian terdengar isaknya yang berusaha ditahan,
tapi akhirnya meledak menjadi tangis memilukan.
Panji menarik napas dalam-dalam. Kedua mata-
nya menjadi nanar melihat betapa Nenek Muka
Setan menangis sampai sedemikian pilunya. Panji
mengerti betapa hancur hati perempuan tua itu. la
tidak berusaha, menghentikan tangis Nenek Muka
Setan, karena ia tahu hal itu dapat membuat dada
Nenek Muka Setan menjadi lega.
"Betapa malangnya nasib muridku itu...," Nenek
Muka Setan kembali melanjutkan ceritanya dengan
suara parau, "Setidaknya ia dipermainkan selama
tiga hari oleh jahanam laknat Pangeran Sokapanca
Selama itu muridku terus dijejali racun perangsang!
Setelah merasa puas mempermainkan, manusia
jahanam itu menikam jantung muridku dengan
pedang milikku yang telah kuhadiahkan kepada
muridku itu. Untungnya jahanam itu tidak sadar
betapa pada saat menikamkan pedang, muridku
sempat mencengkeram pakaiannya hingga koyak.
Dari pakaian serta kancing yang terbawa pada so-
bekan itu, aku tahu kalau yang melakukan per-
buatan terkutuk itu seorang pembesar tinggi kera-
jaan. Setelah kuselidiki, kancing itu hanya dimiliki
keluarga raja. Dan dari nama yang ditulis muridku
di atas pembaringan dengan menggunakan darah-
nya, aku bisa menebak bahwa pelaku dari perbua-
tan terkutuk itu Pangeran Sokapanca. Meskipun
yang ditulis muridku hanya nama depannya.
Penjagaan di istana sangat ketat dan banyak orang-
orang pandai yang mengabdikan diri di sana. Aku
tak ingin mati konyol dengan menurutkan nafsu
marah. Kutunggu dengan sabar kesempatan yang
aku yakin bakal datang itu. Sayang kesempatan itu
pun tidak membawa hasil karena salahku sendiri.
Aku ingin agar pangeran laknat itu mati dengan
perlahan-lahan. Siapa sangka kalau Gada Penghan-
cur Tulang yang dalam masa tuanya ingin men-
dapatkan kedudukan terhormat, tiba-tiba muncul
dan mengalahkan aku," Nenek Muka Setan meng-
akhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Ke-
mudian melemparkan pandangannya, jauh menera-
wang ke angkasa raya.
"Lalu, apa rencanamu sekarang, Nek?" tanya
Panji memecah keheningan yang berlangsung cukup
lama di antara mereka.
"Aku akan bersabar untuk menunggu kesem-
patan berikut Mudah-mudahan saja masih ada...!"
jawab Nenek Muka Setan dengan helaan napas pan-
jang. Tampaknya ia tidak begitu yakin kalau kesem-
patan masih ada. Nenek Muka Setan sadar kalau
Pangeran Sokapanca tentu tidak berani mening-
galkan istana tanpa pengawalan kuat.
"Mungkin kesempatan itu akan datang, Nek...,"
ujar Panji yang tentu saja bukan sekadar meng-
hibur. Sebab, jika Pangeran Sokapanca menaruh
dendam terhadap Ki Dawung dan murid-muridnya,
ada kemungkinan akan meninggalkan istana untuk
membatas sakit hati dan kekalahannya.
"Apa alasanmu berkata demikian, Panji? Apakah
kau hanya sekadar ingin menghiburku?" tanya
Nenek Muka Setan menatap tajam wajah Panji.
Merasa tidak perlu lagi menyembunyikan apa
yang hendak dikerjakannya, Panji pun menceritakan
tentang perbuatan Pangeran Sokapanca terhadap
Perguruan Tapak Jalak. Semua dipaparkan dengan
jelas, berikut dugaan-dugaannya tentang sikap yang
kemungkinan dilakukan Pangeran Sokapanca.
Nenek Muka Setan berseri wajahnya setelah men-
dengar cerita Panji. Karena harapan yang semula
dirasakan sangat kecil, terbuka lebar.
"Lalu, apa rencanamu, Panji?"
"Aku berniat hendak menyelidiki ke kotaraja
untuk mencari berita," jawab Panji berterus terang.
"Hhh..., pemuda tampan dan menarik sepertimu
tentu malu melakukan perjalanan bersama seorang
perempuan peot yang berwajah menakutkan seperti
aku...," desah Nenek Muka Setan sambil mer buang
pandangannya menatapi sawah-sawah yang meng-
hampar.
"Ha ha ha...! Kau sengaja hendak memojokkan-
ku! Perkataanmu jelas sangat sulit untuk kujawab,"
tukas Panji tertawa, lepas. Karena ia mengerti ke
mana maksud tujuan ucapan Nenek Muka Setan
itu. "Jangan khawatir, Nek! Aku tak takut walaupun
gadis-gadis cantik tak sudi menoleh kepadaku.
Karena aku sudah mempunyai seorang bidadari
yang bagiku tidak ada bandingannya di dunia ini,"
lanjutnya, membuat Nenek Muka Setan mengikik.
"Kalau begitu, tak ada halangan bagiku untuk
menyertaimu ke kotaraja...!" seru Nenek Muka Setan
gembira.
"Tentu saja tidak..," sahut Panji cepat Kemudian
bergerak meninggalkan dangau.
Mendengar ucapan Panji, Nenek Muka Setan
langsung saja melompat keluar dari dangau. Kendati
kesehatannya belum sepenuhnya pulih, nenek ini
sudah merasa sanggup menempuh perjalanan ke
kotaraja. Adanya Panji yang ternyata Pendekar Naga
Putih, membuatnya yakin dendam akan terbalas-
kan. Walaupun Panji tidak berkata sesuatu, namun
Nenek Muka Setan percaya kalau Panji akan mem-
bantunya. Nenek Muka Setan merasa langkahnya
ringan saat mengikuti Panji ke kotaraja.
* * *
TUJUH
Sepasang muda-mudi melangkah agak cepat
menerobos semak-semak belukar hutan. Mereka
adalah Sujiwa dan Kuntini, yang pergi meninggalkan
Perguruan Tapak Jalak atas perintah Ki Dawung.
Semula keduanya tidak setuju, terutama Sujiwa.
Semenjak kecil ia telah menerima budi Ki Dawung,
gurunya. Dan kini, saat menghadapi ancaman ba-
haya, Ki Dawung justru menyuruhnya untuk pergi
menyelamatkan diri bersama Kuntini. Baik Sujiwa
maupun Kuntini tidak bisa membantah. Karena
keputusan Ki Dawung tidak bisa dirubah lagi.
Pemuda itu hanya bisa berjanji untuk menjaga Kun-
tini, putri tunggal gurunya dengan taruhan nyawa.
"Kuntini, kelihatannya kau sangat lelah, se-
baiknya kita beristirahat dulu...," ujar Sujiwa kepa-
da kekasihnya. Dia merasa terharu melihat betapa
wajah Kuntini yang biasanya berseri-seri, kini tam-
pak pucat Bahkan gadis itu telah kehilangan sifat
periangnya. Selama di perjalanan tak terdengar sua-
ranya. Hal ini membuat Sujiwa merasa berdosa dan
paling bersalah.
Kuntini tidak menjawab dengan kata-kata, hanya
mengangguk lemah. Kemudian duduk menyandar-
kan tubuhnya di batang pohon beralaskan dedau-
nan kering, Kuntini memang merasa lelah. Lelah
lahir batin. Sudah hampir tujuh hari ia menempuh
perjalanan bersama kekasihnya, guna menghindar-
kan diri dari pengejaran Pangeran Sokapanca. Dan
selama ini mereka jarang sekali istirahat. Terlebih
pada hari-hari pertama sejak meninggalkan rumah
perguruannya. Jangankan pagi atau siang hari,
malam pun mereka tetap melanjutkan perjalanan.
Hal itu mereka lakukan karena pesan ayahnya Kun-
tini, untuk pergi secepat dan sejauh-jauhnya dari
jangkauan Pangeran Sokapanca.
"Kuntini...," Sujiwa memanggil nama kekasihnya
dengan suara bergetar, "Aku menyesal sekali telah
membuatmu menderita seperti ini. Seharusnya hal
ini tak perlu kita lakukan. Karena aku sudah...."
"Sudalah, Kakang. Jangan bicarakan hal itu la-
gi..," Kuntini langsung memotong ucapan kekasih-
nya. "Aku lebih suka begini daripada harus menjadi
istri Pangeran Sokapanca yang sama sekali tidak
kucintai...."
"Tapi aku tak tega melihat kau selalu murung
dan jarang berbicara. Aku... merasa berdosa, Kunti-
ni!" tukas Sujiwa menatap wajah kekasihnya dengan
penuh iba.
"Kakang, sampai saat ini aku masih tetap men-
cintaimu. Maaf kalau sikapku selama ini telah mem-
buat kau salah mengerti. Benar aku merasa lelah
lahir batin. Tapi itu bukan berarti aku menyalah-
kanmu. Aku... aku selalu memikirkan Ayah. Demi-
kian besar pengorbanan beliau hanya karena ingin
agar anaknya berbahagia. Itu yang membuatku
selalu termenung dan hampir tidak pernah ber-
bicara, Kakang. Harap kau mengerti. Aku masih
memerlukan waktu untuk melenyapkan semua
pikiran dan perasaan ini..,," jelas Kuntini yang tentu
saja tidak menyangka kalau kekasihnya merasa
tersiksa oleh sikapnya.
Sujiwa tersenyum penuh kasih. Dipegangnya
wajah gadis itu dengan kedua tangan. Penjelasan
Kuntini telah membuat dadanya terasa lapang.
Kendati masih ada perasaan bersalah terselip di ha-
tinya, tapi tidak lagi terasa berat.
"Aku mendengar suara gemericik air. Mungki ada
sungai tidak jauh dari tempat ini. Rasanya aku ingin
membersihkan dan menyegarkan tubuh," ujar
Kuntini tiba-tiba. Kemudian bergerak bangkit. Dite-
lengkan kepalanya seperti hendak memastikan dari
arah mana suara gemericik itu berasal.
"Kau tunggu saja di dini, Kakang! Sumber suara
gemericik itu datang dari arah selatan."
Sebelum Sujiwa sempat mengatakan apa-apa,
tubuh Kuntini sudah melesat ke selatan, la tidak
berusaha mencegah. Karena sumber air itu memang
tidak jauh. Telinganya juga mendengar dengan jelas.
Dan menurut perhitungannya paling jauh sekitar
sepuluh tombak lebih. Maka ia memutuskan untuk
menunggu Kuntini di tempat itu.
Setengah berlari, Kuntini bergerak menuju
sumber air dengan maksud untuk membersihkan
tubuhnya. Suara gemericik itu ternyata berasal dari
sebatang aliran sungai berair jernih. Kuntini turun,
karena aliran sungai itu berada di dataran yang
lebih rendah. Namun, ketika baru saja tiba di tepian
sungai tiba-tiba terdengar suara orang berteriak!
"Hei...!"
Kaget dan tak menyangka kalau di sekitar tempat
itu ada orang lain, Kuntini tersentak menoleh. Dan,
apa yang disaksikannya membuat paras Kuntini
menjadi merah bagai terbakar.
"Ihhh...!"
Kuntini berseru tertahan dan langsung mema-
lingkan wajah. Karena sewaktu menoleh, ia melihat
ada seorang kakek cebol tengah berdiri di atas se-
bongkah batu, kurang lebih dua tombak dari tem-
patnya berdiri. Tentu saja Kuntini menjadi jengah.
Karena kakek itu berdiri tanpa selembar pakaian
pun yang melekat di tubuhnya. Kakek itu telanjang
bulat!
"Bocah edan! Sudah tahu aku telanjang, eh, ma-
lah sengaja menoleh. Dasar perempuan genit! Awas,
kubalas kau!" kakek bertubuh cebol itu memaki.
Bergegas ia menyambar pakaian dan mengenakan-
nya terburu-buru.
Namun Kuntini sudah tidak mendengarkan ma-
kian kakek itu. Keinginannya untuk mandi lenyap
seketika. Ia langsung melompat naik meninggalkan
tempat itu. Tapi...
"Heh heh heh...! Mau lari ke mana kau, Perem-
puan Genit!"
Kuntini terpekik kaget, karena tahu-tahu kakek
cebol yang tadi sudah berdiri menghadang di hada-
pannya. Kakek itu menyeringai memperlihatkan
beberapa buah giginya yang tanggal.
"Maaf, Kek! Aku tak tahu kalau kau ada di tem-
pat ini," ujar Kuntini yang menghentikan langkah-
nya. Kemudian meminta agar kekek itu membiar-
kannya pergi.
"Enak saja! Kau sudah melihat seluruh tubuhku
tanpa pakaian! Untuk itu kau tidak boleh pergi se-
belum aku membalas perbuatanmu itu!" bentak ka-
kek cebol ini berkacak pinggang, kemudian kembali
menyeringai.
Mendengar kakek itu tidak mempedulikan per-
mintaan maafnya, malah hendak membalas, Kun-
tini menjadi marah. Ditentangnya pandang mata
kakek itu tanpa rasa takut sedikit pun.
"Jadi apa yang kau inginkan dariku sebagai
penebus kesalahan yang tidak kusengaja tadi?"
tantang Kuntini saking jengkelnya.
"Hm... mudah saja. Karena kau sudah melihatku
dalam keadaan telanjang, maka aku pun harus
melihatmu berdiri di depanku tanpa pakaian. De-
ngan begitu baru aku merasa puas. Hayo, sekarang
buka pakaianmu!"
"Permintaan gila! Otakmu pasti sudah tidak
waras! Aku tak sudi!" maki Kuntini yang tentu saja
menjadi marah bukan main. Wajahnya semakin
merah saking marahnya. Tentu saja ia tidak sudi
menuruti permintaan gila itu.
"Eh, jadi kau tidak mau? Kalau begitu, aku akan
memaksamu!" bentak kakek cebol yang berkeras
hendak membalas apa yang dilakukan Kuntini.
Maka, sewaktu Kuntini melompat pergi tidak mau
melakukan apa yang dimintanya, kakek cebol itu
pun mengejar mencegah Kuntini pergi. Bahkan
sudah mengulur kedua tangannya hendak melepas
pakaian gadis itu secara paksa.
"Kurang ajar, mau apa kau, Kakek Sinting!"
bentak Kuntini kaget melihat kecepatan gerak kakek
cebol itu. Cepat ia mengibaskan tangannya men-
cegah perbuatan kakek yang memaksa hendak
menelanjanginya.
Bukan main kagetnya hati Kuntini ketika melihat
kecepatan gerak kakek itu. Kibasan tangannya
mengenai angin kosong. Karena tangan kakek itu
tahu-tahu meliuk dan menjambret pakaiannya di
bagian leher. Daa...
Breeettt!
"Aaauuuwww...!"
Kuntini memekik dengan wajah semakin merah.
Kali ini bukan cuma karena marah, tapi juga malu
dan terhina. Karena tangan kakek itu telah mem-
buat bagian dada kirinya terbuka. Cepat Kuntini
melipat tangan kirinya, menyembunyikan dada kiri
yang terbuka.
"Kakek sinting, tidak tahu malu! Kubunuh
kau...!" sambil membentak marah, Kuntini menca-
but pedang di pinggangnya. Kemudian langsung di-
sabetkan ke tubuh kakek cebol itu.
Bweeettt!
Sambaran pedang Kuntini hanya membeset
angin. Kakek cebol itu sudah berkelit untuk kemudian kembali hendak merobek sisa pakaiannya.
Gerakannya yang demikian cepat laksana sambaran
kilat, membuat Kuntini tak bisa lagi mengelak.
Tangan kakek itu kembali menjambret sisa pakaian-
nya.
"Heh heh heh...! Tubuhmu ternyata lebih halus
daripada badan kerbau! Wah, tentu akan jauh lebih
menarik kalau sudah kelihatan seluruhnya...," ka-
kek cebol ftu terkekeh sambil menjilat-jilat bibirnya
hingga menimbulkan suara berkecipak. Kakinya
melangkah menghampiri Kuntini, yang kali ini su-
dah tidak berdaya lagi Karena kedua tangannya
digunakan untuk menutupi dada yang sudah tidak
tertutup pakaian lagi. Ia lari hendak bersembunyi ke
balik pepohonan.
"Kakang Sujiwa, tolooong...!" saking ngeri dan
paniknya, Kuntini berteriak minta tolong kepada
kekasihnya.
Belum lagi gema teriakan Kuntini lenyap, sesosok
tubuh berkelebat dan langsung menghadang kakek
cebol yang tengah menghampiri Kuntini.
“Tahan...!" bentak pemuda yang tak lain Sujiwa.
Pemuda ini langsung meninggalkan tempatnya
ketika telinganya menangkap suara orang ber-
tengkar. Terkejut bukan main Sujiwa ketika melihat
kekasihnya berlari dengan tubuh bagian atas ter-
buka dan tengah dikejar seorang kakek cebol. Tanpa
berpikir dua kali, langsung saja ia melompat meng-
hadang.
"Minggir kau, Bocah! Aku tak punya urusan
denganmu," melihat seorang pemuda menghadang-
nya, kakek cebol itu langsung mengibaskan tangan-
nya.
Terkejut bukan main Sujiwa ketika tahu-tahu
telapak tangan kakek cebol sudah berada dekat
dadanya. Sadar kalau yang dihadapinya bukan kakek sembarangan, cepat ia sabetkan tangan kanan
menangkis dorongan telapak tangan kakek cebol itu.
Namun untuk kedua kalinya Sujiwa dibuat kaget
Dengan sebuah liukan aneh, tangan kakek itu ber-
putar menghindari tangkisan Sujiwa. Tenis melun-
cur cepat dengan sebuah tamparan ke punggung
pemuda itu.
Buk!
"Hugh!"
Sujiwa terjerunuk dan nyaris terjatuh dengan
wajah lebih dulu. Namun pemuda itu dapat me-
nguasai keseimbangan tubuhnya dengan gerak ber-
putar melingkar. Kendati agak terhuyung beberapa
langkah, Sujiwa selamat dan tidak sampai terban-
ting,
"Keparat...!"
Sujiwa mendesis ketika melihat kakek cebol itu
terus menghampiri Kuntini. Cepat ia melesat untuk
mencegahnya.
"Hyaaattt...!"
Dengan disertai lengkingan keras, Sujiwa mele-
paskan pukulannya ke tubuh belakang lawan. Te-
tapi dengan mudah kakek cebol itu menghindarinya.
Sehingga pukulan Sujiwa tidak mengenai sasaran.
Sujiwa sudah memperhitungkan kemungkinan
itu. Maka ketika serangan pertamanya luput, ia
langsung menyusuli dengan serangkaian pukulan
dan tendangan. Sujiwa mengerahkan seluruh keku-
atan tenaga dalamnya, membuat pukulan dan ten-
dangannya mendatangkan angin berkesiutan. Na-
mun, untuk kesekian kalinya ia dibuat kaget juga
kagum melihat kemampuan lawan mengatasi se-
rangannya yang bertubi-tubi. Kakek cebol melom-
pat-lompat tidak beraturan, mirip cacing kepanasan.
Anehnya gerakannya membuat serangan-serangan
Sujiwa selalu menemui kegagalan. Bahkan ketika
kakek itu mulai membalas dengan tetap melompat-
lompat, Sujiwa-lah yang kelabakan. Sehingga....
Plak! Buk!
"Aaakh...!"
Dua buah tamparan keras membuat tubuh Su-
jiwa terpelanting tanpa ampun. Meskipun tidak
sampai membuatnya tewas, tulang-tulang tubuhnya
dirasakan seperti remuk. Jalan napasnya pun terasa
tersumbat, membuat Sujiwa terengah dengan wajah
pucat
Sujiwa sudah putus asa dan merasa tak berdaya
untuk membela kekasihnya. Mendadak, saja ia
mendapatkan sebuah pikiran untuk mencegah ka-
kek cebol itu mencelakai Kuntini.
"Tunggu, jangan ganggu gadis itu! Ia calon istri
seorang pangeran yang bernama Sokapanca...!"
merasa tidak ada jalan lain untuk dapat menye-
lamatkan Kuntini, Sujiwa terpaksa menggunakan
kata-kata itu.
Sujiwa sedikit lega ketika melihat langkah kakek
cebol itu terhenti, la tahu ucapannya mendapat
tanggapan. Dan bertambah yakin ketika kakek cebol
itu berbalik menatapnya lekat-lekat
"Calon istri seorang pangeran kau bilang?! Kalau
begitu ia bakal menjadi mantu raja?" tanya kakek
cebol tampak belum percaya betul.
"Benar. Dan kalau kau berani mengganggunya,
berarti kau siap untuk menjadi buronan kerajaan!"
tandas Sujiwa meneruskan sandiwaranya menakut-
nakuti kakek itu.
"Tapi... mengapa ia bisa berada di tempat ini?
Dan kau ada hubungan apa dengan gadis itu?"
"Aku seorang abdi istana berpangkat perwira
menengah yang ditugaskan untuk menjemput calon
istri junjunganku. Tapi di tengah perjalanan kami
dihadang perampok. Pengawal-pengawalku tewas.
Lalu kami melarikan diri tanpa mempedulikan arah,
hingga sampai ke hutan ini," jawab Sujiwa, semakin
mempertajam siasatnya, karena kakek cebol itu
sangat tertarik hingga lupa akan niatnya semula.
Mendengar penjelasan Sujiwa yang panjang lebar,
kakek cebol manggut-manggut seperti burung kun-
tul. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir
keras.
"Hm..., kalau begitu...," ujar kakek cebol itu
sambil tetap berpikir, "Aku akan mengawal kalian
sampai ke kotaraja. Tentunya Pangeran Sokapanca
akan gembira sekali, dan memberi hadiah besar ke-
padaku...."
"Celaka...!" desis Sujiwa dalam hati. Wajahnya
berubah, karena merasa siasatnya malah berbalik
dan bisa mencelakakan dirinya serta Kuntini. Sujiwa
memutar otak mencari jawabannya.
"Hei, mengapa kau diam saja? Kau takut ya,
kalau hadiahmu akan berkurang?" bentak si Kakek
tak sabar melihat Sujiwa bungkam.
"Bukan begitu, Kek. Tapi..."
"Aaah, sudahlah! Ini kesempatan bagus buatku.
Siapa tahu Pangeran Sokapanca berkenan meng-
angkatku untuk menjadi pengawal pribadinya. Ayo,
kita berangkat!" ujar kakek cebol itu memotong
ucapan Sujiwa.
"Tidak, biar aku sendiri yang akan mengan-
tarkannya!" karena tidak melihat jalan lain, akhir-
nya Sujiwa nekat, la melompat bangkit dan men-
cabut pedangnya.
Si Kakek Cebol tidak peduli, disambarnya bun-
talan pakaian Sujiwa yang tergeletak di tanah.
Kemudian melesat ke arah Kuntini, dan melempar-
kan buntalan pakaian itu.
"Cepat kenakan pakaian, Calon Pengantin! Aku
akan mengantarmu ke kotaraja!" seru kakek cebol,
kemudian berbalik menghadapi Sujiwa yang ber-
usaha mengejarnya.
"Kau tak berhak melakukan hal itu, Kakek Sin-
ting!" bentak Sujiwa yang sudah memutar pedang-
nya sekuat tenaga. Kemudian menerjang dengan
ganasnya.
"Bocah serakah!" geram kakek cebol yang segera
menghindar, dan balas melakukan sebuah tam-
paran dengan gerak cepat. ]
Whuttt...!
Sujiwa berhasil mengelak kendati tubuhnya agak
terhuyung karena kedudukannya memang tidak
bagus. Kemudian melesat ke depan dengan sam-
baran pedangnya yang bertubi-tubi. Namun semua
itu dapat dihindarkan lawan. Bahkan setelah lewat
lima jurus kemudian, Sujiwa tak mampu lagi me-
nyelamatkan diri. Sebuah tamparan keras membuat
tubuhnya terpelanting!
Tanpa mempedulikan lawannya, kakek cebol itu
berbalik dan menghampiri tempat Kuntini berada.
Gadis itu sendiri baru saja selesai berpakaian, dan
melangkah keluar dengan wajah pucat. Kuntini
cemas bukan main melihat kekasihnya terbanting
keras, dan tidak mampu untuk bangkit
"Kakek jahat, kau harus merima balasannya...!"
Kuntini yang tak dapat menahan kemarahan
melihat kekasihnya terluka, segera menerjang kakek
cebol itu dengan jurus-jurus tangan kosong.
"Wah, kau pun sama bandel dengan bocah laki-
laki itu...," ujar kakek cebol yang langsung menyam-
but serangan Kuntini. Dengan kedua telapak ta-
ngannya, dia menepiskan setiap pukulan dan tenda-
ngan Kuntini. Sehingga gadis itu terdesak. Karena
setiap kali pukulan ataupun tendangannya kena
tangkis lawan, tubuhnya terhuyung mundur dengan
wajah menyeringai menahan sakit. Dalam waktu
kurang dari sepuluh jurus, tubuh Kuntini terkena
sebuah totokan yang membuatnya lumpuh. Tubuh
Kuntini tidak sampai roboh ke tanah, karena lang-
sung disambar lawannya dan dibawa pergi menuju
kotaraja.
Sujiwa sudah bergerak bangkit dan sempat
melihat ketika Kuntini dibawa pergi kakek cebol itu.
Namun dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Tulang
iganya patah akibat tamparan keras tadi. Meskipun
begitu. Sujiwa bertekad untuk menyusul ke kota-
raja. Dia rela mengorbankan nyawa demi menolong
kekasihnya. Terlebih gurunya telah mempercayakan
keselamatan Kuntini kepadanya. Maka, dengan
tertatih-tatih, Sujiwa meninggalkan hutan itu untuk
menyusul ke kotaraja.
* * *
Perjalanan Panji dan Nenek Muka Setan ternyata
tidak selancar yang mereka perhitungkan. Prajurit-
prajurit kerajaan telah menyebar ke berbagai desa.
Keduanya terpaksa menjauhi jalan-jalan umum
ataupun pedesaan, karena di beberapa desa yang
hendak mereka lalui, terdapat prajurit kerajaan
berjaga-jaga. Mereka menahan serta menanyai se-
tiap pendatang, yang bukan warga desa setempat
Hal ini dikarenakan laporan palsu Pangeran Soka-
panca, yang menuduh Ki Dawung bersama murid-
muridnya sebagai pemberontak. Akibatnya di desa
diadakan pembersihan. Orang-orang yang dicurigai
langsung ditangkap, dan baru dilepaskan setelah
terbukti benar-benar tidak bersalah.
"Tidak kusangka kalau keadaan bisa berkembang
sedemikian gawat! Dalam suasana seperti ini, sudah
pasti sangat sulit untuk bisa masuk kotaraja," ujar
Panji yang saat itu tengah berjalan menelusuri
sebuah hutan karet yang luas.
"Lalu, apakah kau akan membatalkan niatmu?"
tanya. Nenek Muka Setan menimpali sambil tetap
melangkah di sampingnya.
"Menurutmu sendiri bagaimana, Nek? Tujuan
kita ke kotaraja adalah untuk menyelidiki Pangeran
Sokapanca. Sedangkan saat ini ia tidak berada di
istana karena sedang mencari Ki Dawung dan mu-
rid-muridnya," tanya Panji yang mulai ragu. Ia me-
mang ingin tahu apakah kekejaman serta kebiadab-
an pangeran itu tidak diketahui pihak istana. Hal
inilah yang membuat Panji ragu. Sebab tujuan uta-
manya memang Pangeran Sokapanca.
"Menurutku, sebaiknya pangeran laknat itu yang
kita urus lebih dulu. Aku khawatir ia dan pasukan-
nya dapat menemukan orang-orang Perguruan
Tapak Jalak. Mereka pasti akan dibantai habis jika
sampai ditemukan," Nenek Muka Setan mengutara-
kan pendapatnya.
"Yah, aku pun mencemaskan nasib mereka, ujar
Panji yang akhirnya mengikuti pendapat Nen Muka
Setan. Segera saja keduanya memutar untuk me-
nunda kepergian ke kotaraja.
Kali ini keduanya melakukan perjalanan dengan
menggunakan ilmu lari cepat, karena khawatir
keduluan pihak kerajaan.
"Nek, apakah kau mendengar ada suara-suara
orang bertempur?" tanya Panji seraya memperlam-
bat larinya. Saat itu mereka tengah melintasi
sebuah hutan kecil.
"Aku tak mendengar apa-apa, Panji. Tapi aku
percaya dengan ketajaman telingamu. Sebaiknya
kau cari sumber suara pertempuran itu!" sahut Ne-
nek Muka Setan dengan suara agak keras.
Tanpa membuang waktu lagi, Panji seg mencari
sumber suara yang didengarnya, la me mutar arah
larinya dan bergerak menuju ke sebel timur hutan
kecil itu. Nenek Muka Setan tetap mengikuti di
sampingnya.
Suara-suara orang bertempur yang semakin jelas
terdengar oleh Panji dan mulai tertangkap telinga
Nenek Muka Setan, membuat keduanya menambah
kecepatan. Sampai akhirnya mereka menemukan
adanya dua orang yang sedang bertarung sengit.
"Kenanga...?!" desis Panji agak heran ketika me-
lihat salah satu dari kedua orang yang tengah ber-
tarung itu. Langsung saja ia melesat dengan kece-
patan penuh. Karena Kenanga kelihatannya tengah
terdesak.
"Hentikan pertempuran...!" seru Panji langsung
melayang ke tengah arena. Sambil meluncur turun
ia mengibaskan tangannya untuk menghentikan
gempuran orang yang menjadi lawan kekasihnya.
Bressshhh...!
Kibasan tangan Panji yang mengandung hawa
dingin menggigit itu, membentuk sebuah gelombang
tenaga sakti yang kuat. Tubuh Panji kembali melen-
ting ke udara. Baru kemudian meluncur turun di
dekat Kenanga yang juga melompat mundur.
Sedangkan orang yang menjadi lawan Kenanga
terjajar mundur. Di wajahnya jelas terbayang rasa
kaget. Karena benturan itu sempat membuat tubuh-
nya menggigil untuk sesaat.
"Kakang!" seru Kenanga menarik napas lega,
"Kakek itu sangat mencurigakan Tubuh perempuan
muda yang dipondongnya kurasa ada dalam penga-
ruh totokan. Dan ketika aku tanya baik-baik ia
malah marah-marah. Lalu mengancam agar aku tak
mencampuri urusannya sambil mendorongkan tela-
pak tangannya yang merupakan pukulan jarak jauh.
Aku semakin curiga dan meminta untuk menye-
rahkan gadis itu kepadaku. Tap» ia malah menye-
rangku. Hingga kami bertarung," lanjutnya men-
jelaskan tanpa diminta.
"Heh..., dia Setan Cebol Sinting, yang merupakan
salah satu gembong golongan sesat!" Nenek Muka
Setan menerangkan sebelum Panji membuka suara.
"Haa..., kiranya kau, Nenek Muka Setan!" geram
Setan Cebol Sinting, yang memang bertubuh cebol
dan berusia lanjut. Perempuan dalam pondongan-
nya adalah Kuntini, yang hendak dibawanya ke
kotaraja. Seperti halnya Panji dan Nenek Muka
Setan, kakek cebol itu pun rupanya menjauhi jalan-
jalan umum. Karena ia tidak ingin membuat ke-
ributan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang ter-
dapat hampir di setiap desa. Sedangkan ia sendiri
hendak menemui seorang pangeran. Untuk itu ia
harus menghindari bentrokan dengan pihak kera-
jaan.
"Rupanya kesintinganmu makin bertambah saja,
Setan Cebol Sinting. Bahkan masih juga sanggup
menggauli gadis muda seperti yang tengah kau
pondong itu. Apakah ia sudah kau gauli? Lalu hen-
dak kau bawa ke mana sekarang?" ejek Nenek Muka
Setan yang tentu saja membuat wajah kakek cebol
memerah.
"Jangan sembarangan bicara kau, nenek peot
jelek muka setan! Gadis yang kubawa ini bukan
gadis sembarangan. la akan membawa keberun-
tungan buatku. Karena ia calon istri Pangeran So-
kapanca! Kau tentu kaget mendengarnya, bukan?"
tukas Setan Cebol Sinting sraya memperdengarkan
tawanya.
Bukan cuma Nenek Muka Setan yang menjadi
kaget. Panji dan Kenanga pun terperanjat mende-
ngar ucapan kakek cebol itu. Pasangan pendekar
muda ini saling berpandangan beberapa saat. Mere-
ka sama-sama teringat cerita Ki Dawung, yang
mempunyai putri tunggal dan telah diungsikan ka-
rena lamaran Pangeran Sokapanca. Namun karena
keduanya belum mengenal rupa putri tunggal Ki
Dawung, mereka tidak bisa memastikan.
Panji maju mendekat untuk bertanya. Namun
niatnya sudah didahului Nenek Muka Setan yang
menerjang Setan Cebol Sinting dengan tongkatnya.
Si Kakek Cebol menyambut serangan lawan dengan
tidak kalah ganasnya. Hingga, sebentar saja kedua-
nya telah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit!
DELAPAN
"Hyaaattt..!"
Nenek Muka Setan terus merangsek maju.
Tongkatnya menyambar-nyambar ganas. Namun
semua serangan itu dapat ditepiskan dengan mudah
oleh Setan Cebol Sinting. Kendati hanya menggu-
nakan sebelah tangan, kakek cebol itu ternyata tak
merasa kerepotan. Bahkan sempat membuat lawan
kewalahan dengan serangan balasan yang cepat dan
mengandung kekuatan hebat.
]"Rasakan akibat keusilanmu...!"
Saat pertempuran memasuki jurus kelima belas,
Setan Cebol Sinting membentak sambil melepaskan
sebuah pukulan maut Nenek Muka Setan yang
memang agak kewalahan, kaget bukan main! Cepat
ia melempar tubuhnya ke belakang untuk meng-
hindari pukulan maut lawan. Kemudian berputaran
beberapa kali sebelum meluncur turun.
Sebelum Setan Cebol Sinting dan Nenek Muka
Setan melanjutkan pertarungan, Panji segera me-
lesat ke arena. Kemudian berseru agar keduanya
menunda pertempuran.
"Tahan...!"
Seruan yang mengandung getaran kuat itu, mem-
buat Setan Cebol Sinting mengurungkan serangan
susulannya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat
"Siapa kau, Bocah Ingusan...? Menyingkirlah, dan
jangan campuri urusanku!" tegur Setan Cebol
Sinting dengan sikap mengancam.
Ancaman itu sama sekali tak membuat Panji
gentar. Dia tersenyum dan melangkah maju empat
tindak, membuat jarak di antara mereka semakin
dekat Tapi, sewaktu Setan Cebol Sinting bertempur
dengan Nenek Muka Setan, ia sudah memikirkan
cara terbaik untuk menghadapinya. Ia sudah mene-
mukan jalan yang tidak akan membahayakan gadis
dalam pondongan Setan Cebol Sinting. Sebab, un-
tuk menggunakan kekerasan, ia khawatir kakek itu
akan menggunakan tawanannya sebagai tameng.
Maka, Panji pun mulai dengan siasatnya.
"Setan Cebol Sinting, aku sama sekali tak ber-
maksud mencampuri urusanmu Tapi aku merasa
tertarik setelah mengetahui siapa kau adanya.
Kesaktianmu sudah lama kudengar. Tapi, kurasa
kau tak akan mampu melawanku. Nah, apa jawab-
anmu kalau aku sekarang menantangmu untuk ber-
tarung?" ujar Panji sengaja menyunggingkan se-
nyum penuh ejekan.
Mendengar tantangan pemuda tampan berjubah
putih itu, Setan Cebol Sinting tampak keheranan.
Sepasang matanya berputar liar, seolah hendak
mencari jawaban maksud tersembunyi dari tan-
tangan itu. Bahkan ia sempat melirik ke arah Ke-
nanga dan Nenek Muka Setan. Kemudian kembali
menatap Panji.
"Kau boleh menjawab tantanganku, Kek? Apa kau
takut kalah olehku di hadapan mereka?" desak Panji
dengan nada menghina sambil menujuk Kenanga
dan Nenek Muka Setan.
"Hih hih hih...! Ketahuilah, Panji. Pada dasarnya
Setan Cebol Sinting adalah seorang kakek pengecut!
Jelas ia tak akan berani menerima tantanganmu!"
Nenek Muka Setan rupanya mulai paham mak-
sud ucapan-ucapan Panji, maka ia pun ikut mema-
nasi Setan Cebol Sinting dengan kata-kata hinaan.
"Keparat! Aku tahu kalian bertiga hendak menge-
royokku! Heh heh heh...., jangan kalian kira aku
bodoh! Tidak bisa...!" tukas Setan Cebol Sinting
menggoyang-goyangkan telapak tangannya dengan
bibir dimonyongkan.
"Hm..., aku bukan pengecut, Kek. Aku tak akan
melawanmu dengan mengandalkan keroyokan! Nah,
apa jawabanmu? Kalau kau takut, serahkan saja ga-
dis itu, dan pergi dari sini!" ujar Panji menyanggah
dugaan kakek itu.
"Ahaaa... aku tahu sekarang! Kalian bertiga pasti
telah mengatur rencana licik. Mereka berdua pasti
akan mengambil gadis ini selagi aku bertempur
denganmu, bukan?" Setan Cebol Sinting kembali
mengajukan dugaannya.
"Kami tak serendah itu, Kek. Aku menantangmu
bertarung tanpa campur tangan mereka. Atau kalau
kau khawatir, biarlah kita bertarung untuk mempe-
rebutkan gadis tawananmu itu. Kalau aku kalah
kau boleh bunuh aku dan tinggalkan tempat ini.
Sebaiknya kalau aku yang menang, kau harus pergi
dan menyerahkan gadis itu kepadaku. Bagaimana,
apakah kau berani bertarung melawanku untuk
memperebutkan gadis itu?"
"Kau dan kawan-kawanmu tak akan berbuat
curang...?" Setan Cebol Sinting masih ragu-ragu dan
minta ketegasan Panji.
"Aku tak akan menjilat ludahku sendiri!" tegas
Panji merasa gembira melihat usahanya menunjuk-
kan hasil.
Nenek Muka Setan dan Kenanga juga mengu-
capkan janjinya ketika Setan Cebol Sinting menoleh
ke arah mereka berdua.
"Baik! Kuterima tantanganmu, Bocah...."
Setan Cebol Sinting segera melangkah ke arah
sebatang pohon besar. Kemudian meletakkan tubuh
Kuntini di atas rerumputan Lalu kembali menemui
Panji.
Panji segera menggeser langkah ke kanan. Setan
Cebol Sinting juga bergerak dengan arah ber-
lawanan. Kemudian....
"Hyaaat..!"
Dibarengi sebuah lengkingan panjang memekak-
kan telinga, Setan Cebol Sinting melompat maju
disertai serangan-serangan mautnya. Tangan ka-
nannya meluncur dengan gerakan mencengkeram
ke arah renggorokan lawan. Sedang tangan kirinya
menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung.
Suara angin berkesiutan mengiringi datangnya ke-
dua serangan maut itu.
Panji maklum akan kedahsyatan serangan itu.
Dia cepat menggeser tubuhnya dua langkah ke sam-
ping. Satu tendangan lurus dilepaskan mengarah ke
lambung lawan yang kini berada di depannya.
Namun Setan Cebol Sinting tak tampak gugup.
Tusukan jari-jari tangannya yang gagal, meliuk
cepat memapas tendangan Panji. Plak!
Benturan keras itu membuat tubuh Setan Cebol
Sinting terdorong mundur beberapa langkah. Panji
sendiri sempat tergetar mundur. Setelah saling tatap
sejenak, mengagumi kehebatan masing-masing,
keduanya kembali melanjutkan pertarungan
Pertarungan kali ini jauh lebih hebat dari semula.
Keduanya telah menggunakan ilmu andalan masing-
masing. Demikian cepat gerakan tubuh mereka
hingga terlihat hanya merupakan dua sosok baya-
ngan yang saling desak satu sama lain.
Buk! Plak!
Berturut-turut kedua pasang lengan itu saling
bertemu. Kali ini tubuh Setan Cebol Sinting terlem-
par sampai satu setengah tombak. Sedangkan Panji
hanya merasakan tubuhnya bergetar akibat ben-
turan itu. Hal ini bukan karena tenaga dalam Panji
lebih tinggi dari lawannya, tapi posisinya memang
lebih menguntungkan. Sedang soal kekuatan, Panji
harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang ber-
imbang.
"Haiiit..!"
Sadar akan kehebatan lawan, Panji segera
menggunakan jurus pamungkas dari rangkaian ilmu
'Silat Naga Sakti'nya. Tubuhnya melesat dengan
kecepatan tinggi. Sepasang tangannya menyambar
disertai hawa dingin luar biasa, yang membuat
arena pertarungan bagai dilanda badai salju.
"Gila, tak kusangka kalau bocah ini ternyata
memiliki kepandaian yang hebat! Rasanya aku tahu
siapa dia sebenarnya! Pantas ia berani menantang-
ku bertarung...!"
Setan Cebol Sinting mendesis geram. Ia kerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya guna melawan
hawa dingin yang mempengaruhi gerakannya itu.
Kakek cebol ini berusaha keras menyelamatkan diri
dari serangan lawan, dan sesekali membalas dengan
sangat bernafsu.
Dua puluh jurus telah berlalu. Setan Cebol Sin-
ting tampak kewalahan dan mulai terdesak. Rasa
geram dan penasaran, membuat kakek cebol ber-
buat nekat! Saat Panji kembali menyerang dengan
dorongan kedua tangannya, langsung saja disambut
dengan pengerahan seluruh tenaganya.
"Heaaa...!"
Setan Cebol Sinting membentak laksana ledakan
petir, sambil menghentakkan kedua tangan dengan
telapak terbuka.
Glarrr!
"Aaakh...!"
Setan Cebol Sinting terpekik. Tubuhnya terlem-
par deras, kemudian terbanting jatuh ke tanah.
Kakek ini terduduk dengan napas terengah-engah.
Wajahnya pucat bagai mayat. Dari mulut dan hidungnya tampak darah mengalir perlahan. Setan
Cebol Sinting menderita luka dalam yang parah
akibat benturan dahsyat itu.
Sedangkan tubuh Panji yang juga terpental balik,
langsung berputar tiga kali di udara, kemudian
meluncur turun dengan selamat Meski agak terhu-
yung, Panji tidak menderita luka. Hanya bagian da-
lam dadanya dirasakan masih berdebar keras. Ha-
rus diakuinya kalau Setan Cebol Sinting benar-be-
nar merupakan seorang lawan yang sangat tangguh!
Panji melangkah menghampiri Setan Cebol Sin-
ting yang masih saja terduduk di tanah.
"Telanlah pil ini, mudah-mudahan dapat mem-
bantumu mengurangi rasa sakit..!" ujar Panji me-
nyerahkan sebutir pil berwarna putih salju.
Setan Cebol Sinting terlihat ragu. Ditatapnya
wajah Panji dengan perasaan heran. Baru kemudian
menerimanya, ketika melihat Panji mengangguk.
Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja pil itu
ditelannya.
"Gadis tawananmu itu sekarang menjadi milik-
ku," ujar Panji tersenyum. Kemudian membebaskan
gadis itu dari pengaruh tatokan.
Kuntini menatap Panji, Kenanga, serta Nenek
Muka Setan. Ia merasa bersyukur dirinya terbebas
dari Setan Cebol Sinting, yang hendak membawanya
ke kotaraja. Ketika Panji bertanya, Kuntini mem-
bantah dan mengatakan bahwa dia bukanlah calon
istri Pangeran Sokapanca. Kemudian menjelaskan
tentang penolakannya terhadap lamaran pangeran
itu.
"Jadi kau putri tunggal Ki Dawung?" tanya Panji
memotong cerita Kuntini saat gadis itu menyinggung
tentang penolakannya atas lamaran Pangeran Soka-
panca.
"Benar..., apakah kau kenal dengan ayahku?"
tanya Kuntini penuh harap. Wajahnya berseri ketika
melihat Panji tersenyum mengangguk.
"Kenanga, di mana Ki Dawung dan murid-mu-
ridnya sekarang berada? Sebaiknya kita bawa Kun-
tini menemui orangtuanya," ujar Panji kepada Ke-
nanga.
"Mereka membangun sebuah tempat tinggal seka-
rang di dalam Hutan Lawa, sebelah selatan Desa
Kalicadas. Ayolah, kuantarkan!" jawab Kenanga
menerangkan.
"Anak muda!" panggil Setan Cebol Sinting yang
bangkit dari duduknya ketika melihat Panji dan
yang lainnya hendak pergi. "Katakan siapa kau
sebenarnya agar aku tak penasaran dengan keka-
lahan ini?"
"Orang yang mengalahkanmu bernama Panji dan
berjuluk Pendekar Naga Putih." Nenek Muka Setan
menukas, sebelum Panji sempat menjawab, "Nah,
apakah kau sudah puas sekarang?" lanjutnya
terkekeh puas melihat wajah kakek cebol itu mem-
bayangkan rasa kaget.
"Sudah kuduga...," desis Setan Cebol Sinting
menatapi kepergian empat orang itu. Kemudian
baru melesat pergi ke arah berlawanan, setelah ba-
yangan Panji dan yang lainnya lenyap dari pan-
dangan mata.
* * *
"Sebutkan namamu, dan berita penting apa yang
kau bawa sampai berani lancang minta bertemu
denganku?"
Bentakan itu berasal dari Pangeran Sokapanca. Ia
menatap wajah pucat lelaki berusia sekitar tiga
puluh tahu lebih yang berdiri di hadapannya.
Lelaki yang mengaku bernama Jalinta ini segera
menjelaskan maksud kedatangannya, la salah seo-
rang murid Perguruan Tapak Jalak. Memberanikan
diri datang menghadap Pangeran Sokapanca dan
menerangkan tempat persembunyian Ki Dawung
beserta murid-murid lainnya.
"Hm... mengapa kau mengkhianati guru dan
saudara-suadramu? Dan imbalan apa yang kau ha-
rapkan atas jasamu ini?" tanya Pangeran Sokapan-
ca yang tidak mau percaya begitu saja. Khawatir ka-
lau laporan orang itu merupakan siasat untuk men-
jebak ia dan pasukannya.
"Hamba sakit hati karena cinta hamba ditolak
Kuntini. Kecuali itu, Ki Dawung telah pilih kasih de-
ngan lebih banyak menurunkan ilmunya kepada
Sujiwa. Dua alasan inilah yang membuat hamba
mencari kesempatan untuk membalas semua itu.
Menurut hamba, sekaranglah waktu yang paling
baik," jawab Jalinta sejujurnya, karena kesempatan
seperti itu telah lama ditunggunya.
"Baik! Sekarang antarkan kami ke Hutan Lawa!
Kalau ternyata bohong, kau akan kusiksa sampai
mampus!" tukas Pangeran Sokapanca sambil men-
dorong tubuh Jalinta. Kemudian memerintahkan
pasukannya agar bersiap.
Dengan berbagai macam perasaan yang meng-
aduk-aduk hatinya, Jalinta terpaksa ikut bersama
rombongan menuju ke Hutan Lawa. Wajahnya su-
dah tak beda dengan mayat. Dadanya terus berde-
bar-debar membayangkan wajah gurunya yang akan
marah besaar kepadanya. Tapi, dirinya tak bisa
berbuat lain. Kecuali kalau memang ingin disiksa
sampai mati.
Kurang lebih setengah hari perjalanan dari Desa
Kalicadas, tempat Pangeran Sokapanca menginap,
saat matahari hampir tegak lurus, tibalah mereka di
Hutan Lawa.
"Hei, mengapa berhenti? Ayo, tunjukkan dimana
guru dan saudara-saudaramu berada?"
Pangeran Sokapanca membentak marah ketika
dilihatnya Jalinta ragu dan menghentikan kudanya.
"Tapi, Pangeran..."
"Jalan kataku...!" Pangeran Sokapanca memben-
tak dan mengayunkan tangannya menampar.
Plak!
Jalinta hanya bisa mengeluh dan menyumpah-
nyumpah dalam hati. la segera mengikuti perintah
itu. Dan terus bergerak menuju sebelah timur
hutan.
"Hm..., kepung rapat sekitar tempat itu...!" perin-
tah Pangeran Sokapanca setelah tiba di dalam hu-
tan, dan melihat belasan bangunan berdiri di tengah
Hutan Lawa.
Namun sebelum perintah itu sempat dijalankan,
dari lingkungan bangunan itu melesat keluar murid-
murid Perguruan Tapak Jalak, dipimpin Ki Dawung
dan Sanggaling. Mereka tampak sudah siap berta-
rung sampai tetes darah terakhir!
"Murid murtad! Mengapa kau lakukan semua ini,
Jalinta?" Sanggaling yang melihat Jalinta di antara
rombongan Pangeran Sokapanca, langsung saja
menduga bahwa semua itu akibat pengkhianatan
Jalinta.
"Hah hah hah...! Muridmu ini memang cerdik
sekali, Ki Dawung! la benci kepada kau serta murid-
muridmu yang lain. Dan menawarkan jasa dengan
menunjukkan tempat persembunyian ini. la meng-
harapkan agar sakit hatinya kami balaskan. Bukan-
kah begitu, Jalinta?" ujar Pangeran Sokapanca
tertawa gembira. "Nah, sekarang kau balaslah sakit
hatimu, Jalinta!" lanjutnya sambil menendang Ja
linta hingga tersungkur dari atas punggung kuda.
Tubuhnya terguling-guling mendekati guru dan
saudara-saudaranya.
"Bangsat, kau tak pantas lagi untuk hidup...!"
Sanggaling yang tak dapat menahan kemarahannya,
langsung mengibaskan pedangnya.
Whuuuttt! Crasss!
"Aaakh...!"
Darah segar muncrat seiring lolong kematian
Jalinta. Ki Dawung hanya menghela napas karena
terlambat mencegah. Dia hanya bisa menyesali tin-
dakan Jalinta, yang justru malah membuat nyawa-
nya putus.
"Hua ha ha...! Sekarang giliran kau dan murid-
muridmu untuk mati menyusulnya, Ki Dawung!
Serbuuu...!" pekik Pangeran Sokapanca memberi
perintah.
Senapati muda yang memimpin dua lusin prajurit
itu, langsung melompat maju sambil memberi perin-
tah. Demikian juga dengan dua orang perwira mene-
ngah yang sudah bergerak maju dengan pedang di
tangan. Anehnya, dua orang jagoan istana yang
menyertai rombongan ini tidak kelihatan batang
hidungnya?
Ki Dawung yang sadar bahwa pertempuran tidak
mungkin dapat dicegah lagi, langsung saja memberi
perintah kepada murid-muridnya untuk menyambut
serbuan lawan. Kedua belah pihak sama-sama ber-
lari maju dengan senjata telanjang. Namun sebelum
kedua belah pihak saling bertemu, tiba-riba....
"Berhenti..!"
Suara bentakan keras menggelegar membuat
mereka yang siap bertempur saling terpelanting dan
jatuh bergulingan. Bahkan beberapa di antaranya
langsung menggeletak pingsan, karena dahsyatnya
tenaga yang terkandung dalam bentakan itu. Se-
hingga, keadaan pun seketika menjadi kacau.
Ki Dawung, Sanggaling, dan mereka yang ber-
kepandaian tinggi dari pihak Pangeran Sokapanca,
sama-sama mengerahkan tenaga untuk menutup
pendengaran dan menenangkan isi dada yang ter-
guncang. Sebelum mereka sempat menguasai kea-
daan itu, beberapa sosok tubuh melayang dengan
kecepatan tinggi, dan meluncur turun di tengah-
tengah kedua belah pihak yang hendak bertarung.
Pangeran Sokapanca tampak kaget. Kemudian
berubah geram, ketika melihat kedua jago istana
yang semula menyertainya. Sama sekali tidak me-
nunduk. Mereka menentang pandang mata junju-
ngannya dengan sorot mata menusuk. Terlihat gam-
baran pertentangan di wajah ketiganya.
"Hm..., rupanya kalian hendak ikut memberon-
tak!" desis Pangeran Sokapanca dengan sorot mata
mengancam.
"Tidak perlu berdalih lagi, Pangeran!" salah satu
dari kedua jagoan itu menyahuti dengan tegas.
"Semua telah berakhir. Kau tahu sendiri mengapa
kami meninggalkan pasukan. Sekarang bukan kau
yang mengadili kami, tapi kamilah yang harus
mengadilimu, Pangeran!"
"Bedebah! Senapati, bunuh mereka berdua yang
telah berkhianat!" perintah Pangeran Sokapanca
kepada panglima muda yang terlihat bingung itu.
"Tahan pedangmu, Panglima!" kembali tokoh ista-
na berkumis lebat, berseru mencegah. "Sokapanca
bukanlah seorang pangeran yang harus dihormati!
Ketahuilah oleh kalian semua! Pangeran Sokapanca
sebenarnya lebih buas daripada harimau lapar! la
selalu memperturutkan nafsu birahinya, yang se-
nang memperkosa dan menyiksa korbannya. Tidak
sedikit wanita dibunuhnya setelah merasa puas! Kami berdua sudah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, sewaktu rombongan singgah di Desa Gaga-
ran! Pangeran yang kalian hormati ini memperkosa,
menyiksa dengan gigitan, cakaran serta pukulan,
dan kemudian membunuh dua orang gadis di desa
itu! Ia dengan kepandaiannya yang tinggi telah men-
culik kedua orang gadis malang itu. Lalu membung-
kam mulut Kepala Desa Gagaran, agar tidak menye-
barluaskan kematian kedua orang gadis itu. Bahkan
Pangeran Sokapanca mengatakan bahwa ia akan
mencari pelakunya!"
"Kami berdua memang sengaja meminta per-
kenan Gusti Prabu untuk menyertai rombongan,"
tokoh istana satunya meneruskan keterangan re-
kannya "Kami tak percaya bahwa Ki Dawung dan
murid-muridnya hendak memberontak. Karena se-
belum mengabdi ke istana, kami sahabat baik Ki
Dawung! Dan kau senapati, tentunya masih ingat
dengan peristiwa mengerikan yang menimpa empat
orang selir Gusti Prabu, bukan? Dan kau juga masih
ingat bahwa kematian empat orang selir yang ma-
lang itu dirahasiakan, kecuali terhadap para pejabat
tinggi kerajaan! Tentu saja kami menjadi curiga!
Dan langsung bisa menduga kalau ada suatu ra-
hasia besar di balik kejadian itu. Lalu kami meng-
hubungi tokoh-tokoh istana yang sepaham dan di-
am-diam menyelidiki semua pembesar tinggi, ter-
masuk keluarga Gusti Prabu. Dugaan kami jatuh
pada Pangeran Sokapanca. Karena dalam kese-
hariannya ia kelihatan sangat dingin terhadap pe-
rempuan," jago istana ini menghentikan ceritanya
dan menarik napas dalam-dalam. Karena ia terlalu
bersemangat dalam berbicara.
"Bohong, semua itu fitnah busuk!" Pangeran
Sokapanca membantah keras. Wajahnya tampak
dibanjiri peluh, yang tak henti-hentinya mengalir.
"Hei, Pangeran Binatang!" tiba-tiba Nenek Muka
Setan melangkah maju dengan wajah berang. "Coba
kau kenali sobekan pakaian dan kancing baju ini!
Ingatkah kau terhadap perempuan muda yang can-
tik dan kebetulan tinggal seorang diri di atas Puncak
Bulat Merak? Perempuan cantik yang kau perkosa
dan kau siksa secara biadab itu adalah murid tung-
galku! Nah, dengan adanya bukti benda ini apakah
kau masih hendak menyangkal?!"
Gemetar seluruh tubuh Pangeran Sokapanca
ketika melihat benda di tangan Nenek Muka Setan.
Wajahnya kian pucat dengan dada sesak, sulit un-
tuk bernapas. Ketakutan yang melanda dirinya se-
makin hebat! Karena seluruh rombongan pasukan-
nya tampak sama-sama menatap benci dan jijik ke
arahnya. Perubahan yang tak disangka itu membuat
jiwanya terguncang. Deraan rasa malu yang hebat
membuat ia mengambil keputusan nekat. Dengan
wajah pucat bagai tak dialiri darah, Pangeran Soka-
panca memukulkan tangannya ke kepala.
Prak!
Terdengar suara berderak disertai keluhannya.
Tubuh Pangeran Sokapanca terguling dari punggung
kuda. la tewas dengan kepala retak. Pangeran ini
rupanya lebih suka bunuh diri daripada mati di
tangan orang lain.
Kejadian itu begitu cepat. Tak seorang pun yang
menyangka kalau Pangeran Sokapanca akan meng-
akhiri hidupnya sendiri. Sehingga, untuk beberapa
saat lamanya suasana berubah hening, diliputi
ketegangan.
"Kami akan membawa mayatnya ke istna, dan
menjelaskannya kepada Gusti Prabu," ujar tokoh
istana berkumis lebat memecah keheningan. Kemu-
dian mengangkat dan meletakkan mayat Pangeran
Sokapanca di atas punggung kuda.
"Kemungkinan besar Gusti Prabu tak akan ma-
rah. Menurut penglihatanku, beliau sudah menge-
tahui penyakit kejiwaan yang diderita putranya,"
tokoh istana menambahkan.
"Kami bersedia menjadi saksi!" Senapati muda
dan dua orang perwira menengah ikut mendukung
keputusan dua pengawal istana itu. Bersama pasu-
kannya, mereka meninggalkan tempat itu, setelah
menyampaikan permohonan maaf kepada Ki Da-
wung dan murid-murid Perguruan Tapak Jalak.
"Sebenarnya Pangeran Sokapanca patut dikasi-
hani," desah Ki Dawung menghela napas panjang,
"Anehnya, mengapa ia mengajukan lamaran, me-
minta Kuntini untuk menjadi selirnya? Mengapa ia
tidak menculik dan menyiksanya seperti yang di-
lakukannya terhadap wanita lain?" sambungnya de-
ngan kening berkerut.
"Tampaknya terhadap putrimu yang cantik ini ia
benar-benar jatuh hati, Ki Dawung," yang menya-
huti adalah Kenanga. Sebagai seorang wanita,
sedikit banyak ia dapat menerkanya. Tadi Pangeran
Sokapanca pun selalu melirik ke arah Kuntini de-
ngan pandangan mesra, sebelum aibnya dibeberkan
tokoh-tokoh istana.
"Tapi penyakit kejiwaannya tidak akan bisa
hilang. Meski andaikata Kunrini telah menjadi selir-
nya, tetap ada kemungkinan ia akan melakukannya
terhadap Kuntini," Nenek Muka Setan menimpali,
membuat semua yang berada di tempat itu bergidik
teringat penyakit yang diderita Pangeran Sokapanca.
"Kakang Sujiwa...!" tiba-tiba Kuntini berseru
cemas ketika teringat kekasihnya. "Kita harus men-
carinya, Ayah!" pintanya kepada Ki Dawung.
"Mari, kita mencarinya, Kuntini! Kau tunjukkan
tempat terakhir kali bersamamu...!" Kenanga lang
sung menawarkan diri untuk mencari Sujiwa. Tentu
saja juga bersama Panji.
Dengan membawa Kuntini sebagai penunjuk
jalan, ketiganya melesat meninggalkan tempat itu.
"Hei, aku ikut...!" Nenek Muka Setan berteriak.
Kemudian berlari mengejar.
Ternyata untuk mencari Sujiwa mereka tidak
perlu bersusah payah. Mereka menemukan pemuda
itu tengah berlari tersaruk-saruk sambil memegangi
bagian dadanya yang masih nyeri. Rupanya Sujiwa
tetap berkeras hati untuk mencari kekasihnya yang
dibawa pergi Setan Cebol Sinting.
"Kakang...!"
Melihat kekasihnya yang tengah melangkah ter-
saruk-saruk itu, Kuntini langsung menghambur.
Sujiwa terkejut dan mengangkat wajahnya. Disam-
butnya tubuh Kuntini, lalu dipeluknya erat-erat.
Terdengar suara isak Kuntini, yang merasa bahagia
melihat kekasihnya selamat, kendati mengalami luka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar