..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 17 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE NERAKA BUMI

Matjenuh khairil

 

NERAKA BUMI 
Oleh T Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dan penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode 076 : 
Neraka Bumi 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Di bawah siraman terik sinar matahari tampak 
serombongan orang berkuda bergerak memasuki per-
batasan Desa Kendal. Melihat pakaian mereka, agaknya 
rombongan itu adalah prajurit-prajurit kerajaan. 
Penunggang kuda terdepan seorang lelaki bertubuh 
gemuk. Wajahnya yang bulat terhias kumis tipis. Sorot 
matanya demikian angkuh dan memandang rendah orang 
lain. Dan, bibirnya membentuk senyum sinis penuh 
ejekan. Penampilannya menunjukkan perangai buruk 
lelaki gemuk yang menyandang jabatan perwira itu. 
Dua penunggang kuda di kiri-kanan lelaki gemuk me-
miliki penampilan yang tidak jauh berbeda. Kendati sosok 
keduanya, yang juga menjabat sebagai perwira, ber-
perawakan tegap, namun sorot mata mereka terlihat 
begitu garang. Bahkan kalau diamati lebih teliti, sorot 
mata itu menyembunyikan kekejaman serta kelicikan. 
Jelas, kedua perwira itu pun mempunyai sifat yang buruk. 
Di belakang ketiga perwira itu, tampak dua belas orang 
prajurit berkuda. Sebagaimana sifat ketiga pimpinannya, 
wajah mereka pun tidak menampilkan kesan baik. Sikap 
duduk mereka terlihat demikian angkuh. Seolah mereka 
bukan rombongan prajurit. Tapi, pembesar-pembesar 
kerajaan yang seharusnya dipandang tinggi serta di-
hormati. Pemandangan itu terlihat sangat aneh. Mereka 
tidak menunjukkan sikap terpuji sebagaimana abdi-abdi 
kerajaan pelindung rakyat. Penampilan prajurit-prajurit

itu justru membuat orang merasa takut dan tidak suka. 
Diiringi pandangan heran dan takut dari para 
penduduk, rombongan itu terus bergerak menyusuri jalan 
utama desa. Karena mereka prajurit-prajurit kerajaan, 
para penduduk bergerak menepi saat rombongan lewat. 
Penduduk desa semua membungkukkan tubuh dengan 
sikap hormat. Orang-orang desa memang memandang 
tinggi abdi-abdi kerajaan. Selain mereka terdiri dari 
orang-orang pilihan, juga memang sudah sepatutnya untuk 
dihormati. 
Rombongan itu sendiri terus bergerak tanpa membalas 
sikap hormat penduduk Desa Kendal. Jangankan balas 
mengangguk, melirik pun tidak. Mereka malah semakin 
menunjukkan sikap angkuh, agar penduduk lebih takut 
dan semakin menaruh hormat. 
Sikap para prajurit kerajaan itu tentu saja memancing 
berbagai pendapat di kalangan penduduk. Seorang 
pemuda yang rupanya berdarah panas merasa tersinggung 
dengan sikap para prajurit. Pemuda itu mengutarakan 
kekesalannya. 
“Tidak kusangka prajurit-prajurit kerajaan mempunyai 
sikap demikian angkuh! Melihat penampilannya, aku lebih 
condong mengatakan mereka tak ubahnya serombongan 
perampok kasar!” demikian yang dikatakan pemuda 
berwajah kehitaman itu seraya mencibirkan bibir. 
Penduduk di sebelah pemuda itu menjadi cemas. Sadar 
kalau ucapan kawannya bisa mendatangkan celaka, cepat 
ia menyodok tubuh pemuda itu dengan sikutnya. Ia 
bermaksud mengingatkan kawannya supaya menjaga sikap 
di hadapan rombongan prajurit yang sedang lewat itu.

“Ukhhh!” 
Pemuda berwajah kehitaman, karena terlalu sering 
terpanggang terik matahari, mengeluh pendek. Pukulan 
sikut kawannya agak terlalu keras mengenai lambungnya. 
Dan, keluhan pendek itu sempat tertangkap salah seorang 
prajurit yang berada di barisan terakhir. 
Dengan sorot mata garang, prajurit berbibir tebal itu 
menoleh dan menatap kedua pemuda itu beberapa saat. 
Kelihatan sekali ia tidak senang, meski yang didengarnya 
sama sekali tidak mengganggu. 
Pemuda bertubuh kurus, agaknya tahu diri. Ia segera 
membungkuk hormat dan menundukkan kepala dalam-
dalam. Karena sorot mata prajurit berbibir tebal 
menyiratkan ancaman. 
Tapi, tidak demikian dengan pemuda berwajah 
kehitaman yang berperawakan tegap dan tinggi. Ketika 
melihat sorot mata yang demikian angkuh dan menghina, 
ia sedikit pun tidak mengangguk. Apalagi menundukkan 
kepala. Ditentangnya pandang mata prajurit berbibir tebal 
dengan sangat berani. Sehingga, kawan di sebelahnya 
menjadi pucat. Dan hanya bisa berharap agar pemuda itu 
tidak mendapat marah prajurit berbibir tebal. 
Tapi, harapan petani muda bertubuh kurus itu tidak 
terkabul. Prajurit berbibir tebal sudah merasa tersinggung 
dan marah. 
“Petani Keparat! Kau berani menentangku, hah!” 
bentak prajurit berbibir tebal. Kawan-kawannya serempak 
menoleh. Ingin tahu apa yang terjadi dengan rekannya. 
Petani muda bertubuh kekar itu tidak menjawab. Sinar 
matanya terlihat semakin tajam. Kelihatannya, ia tidak


merasa gentar dengan prajurit berbibir tebal. Karuan saja 
prajurit itu naik pitam! 
“Kurang ajar! Rupanya kau merasa lebih kuat dariku, 
hah!” kembali prajurit berbibir tebal itu membentak. Kali 
ini disusul dengan ayunan sebatang pecut yang dicabutnya 
dari pelana kuda. Dan... 
Ctarrr...! 
Ujung pecut meledak menimbulkan suara nyaring 
memekakkan telinga. Dan dengan telak mencambuk 
tubuh petani muda berwajah kehitaman, hingga baju 
bagian bahunya robek. 
Namun kendati cambukan itu cukup menyakitkan, 
petani muda itu tidak mengeluh. Tubuhnya yang ter-
huyung kembali tegak. Dan sinar matanya masih juga 
menyorot tajam tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit 
pun! 
“Hei, ada apa...?!” 
Ledakan cambuk itu rupanya mengundang perhatian 
tiga orang perwira di barisan depan. Perwira bertubuh 
gemuk yang menjadi pimpinan rombongan langsung 
bertanya. Nada suaranya terdengar menyiratkan ketidak-
senangan. Karena perjalanannya merasa terganggu. 
“Ada seorang penduduk yang kurang ajar, Kakang 
Lagawe...!” salah seorang prajurit memberi tahu. 
“Hm.... Apa yang diperbuatnya...?” tanya perwira 
gemuk itu lagi dengan nada tetap tinggi. 
“Kelihatannya ia tidak menyukai kehadiran kita di desa 
ini!” terdengar sahutan dari salah seorang prajuritnya. 
“Kalau memang demikian, beri petani dungu dan 
sombong itu sedikit pelajaran. Agar lain kali lebih

mengerti bagaimana harus bersikap terhadap tentara 
kerajaan!” lanjut perwira gemuk itu. Ia menghentikan 
langkah binatang tunggangannya dan ikut menatap petani 
muda bertubuh tinggi kokoh itu. 
“Baik, Kakang Lagawe...!” yang menyahuti adalah 
prajurit berbibir tebal. 
Wajah prajurit itu kelihatan semakin cerah setelah 
mendapat dukungan pimpinannya. Tindakannya pun 
semakin menjadi-jadi. Pecutnya meledak berkali-kali 
merobek pakaian dan menimbulkan bilur-bilur merah di 
tubuh petani muda, yang jatuh bangun tersengat ujung 
pecut. Sampai akhirnya.... 
Tappp! 
Secara kebetulan, petani muda itu berhasil menangkap 
ujung pecut ketika untuk kesekian kali menyambar 
tubuhnya. Kemudian, pecut itu dilibatkan ke lengannya. 
Dan.... 
“Heahhh!” 
Sambil membentak keras, petani muda yang tidak 
mengenal takut itu menyentakkan ujung pecut. Kendati 
luka-luka di tubuhnya cukup banyak dan menyakitkan, 
tapi tenaga petani muda itu masih sangat kuat. Terbukti, 
sentakannya membuat prajurit berbibir tebal tertarik dan 
jatuh dari atas punggung kuda. 
“Heiii...!” 
Karena tidak menyangka tenaga petani muda itu sangat 
kuat, prajurit berbibir tebal menjerit kaget saat tubuhnya 
meluncur ke tanah dengan kepala lebih dulu. Dan.... 
Jrooottt! 
“Ughhh...!”

Wajah prajurit berbibir tebal menghantam sebuah batu 
sebesar kepalan orang dewasa. Akibatnya, wajah yang 
jelek itu mengalirkan darah. Bibirnya yang tebal semakin 
bertambah besar. 
“Kuhrangh... ahjarrrh...!” seraya mengerang kesakitan, 
prajurit berbibir tebal memaki murka. Sepasang matanya 
mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya. 
Perbuatan petani muda itu benar-benar membangkitkan 
kemaranannya. 
“Jangan bunuh! Beri saja dia pelajaran seperlunya! Kita 
membutuhkan tenaganya...!” perwira gemuk pimpinan 
rombongan berseru mencegah. Karena ia melihat anggota 
rombongannya yang terjatuh itu sudah meraba gagang 
pedang. Siap untuk menggunakan senjatanya. 
“Tapi, Kakang. Petani itu telah melukai kawan kita!” 
salah seorang prajurit yang juga merasa geram, heran 
dengan ucapan pimpinannya. Ia berusaha membela 
temannya itu. 
“Meskipun begitu, ia sangat kita perlukan. Ingat, 
harganya pasti cukup mahal. Ia memiliki tenaga yang 
kuat,” bantah perwira gemuk itu menekankan. Sehingga 
semua prajurit terdiam. Tak satu pun yang berani 
membantah lagi. 
Karena tidak diperbolehkan menggunakan senjata, 
terpaksalah prajurit berbibir tebal mempergunakan tangan 
dan kakinya untuk menghajar petani muda itu. 
“Mamphusss, khauuu...!” bentak prajurit berbibir tebal 
tidak jelas. Karena bibirnya yang tebal membengkak dan 
berdarah. Kendati demikian, luka itu tidak menghambat 
tenaga dan gerakannya. Bahkan, ia melompat maju dengan

ganasnya. Seolah petani muda itu musuh bebuyutan yang 
sangat dibencinya. 
Petani muda itu boleh jadi memiliki tenaga alam yang 
kuat. Tapi, sayangnya ia tidak bisa menandingi kecepatan 
gerak lawan. Sehingga, satu dua pukulan mulai mengenai 
wajah dan tubuhnya. 
Bukkk, desss...! 
“Uuuhhh...!” 
Kalau sengatan ujung cambuk tidak membuatnya 
mengeluh, kini pukulan dan tendangan yang menerpa 
wajah dan tubuhnya membuat petani muda itu mulai 
mengeluh. Tubuh kekarnya jatuh bangun dihajar prajurit 
berbibir tebal yang memiliki ilmu silat cukup baik. 
Terlebih ia prajurit kerajaan yang tentunya telah cukup 
terlatih dengan baik. Maka, habislah petani muda itu 
menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangannya, yang 
dilancarkan dengan sekuat tenaga. 
Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu tidak 
berani ikut campur. Mereka menyeret langkah menjauhi 
tempat itu. Tak seorang pun ingin terlibat dan menerima 
siksaan prajurit-prajurit sombong dan kejam itu. 
“Mamphusss...!” 
Desss...! 
Lagi-lagi tubuh petani muda itu terpental deras. 
Tubuhnya terbanting ke tanah. Kendati tidak berusaha 
menangkis pukulan dan tendangan lawan, petani muda itu 
bukan seseorang yang sulit dirobohkan. 
Dan meskipun sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit, 
petani itu rupanya masih belum mau menyerah. Wajahnya 
yang biru sembab dan mengucurkan darah tidak mem

buatnya takut. Dengan susah payah ia merangkak bangkit 
dengan sinar mata penuh kebencian! 
“Hih!” 
Lagi prajurit berbibir tebal melayangkan tendangannya 
saat lawan tengah berusaha bangkit berdiri. Tanpa ampun 
lagi, tubuh petani muda itu kembali terhempas ke tanah. 
Ia mengerang dan bergulungan menahan rasa sakit di 
perutnya yang terkena tendangan keras itu. 
Kali ini prajurit berbibir tebal tidak sampai menunggu 
lawannya bangkit. Dengan langkah lebar dihampirinya 
petani itu. kemudian, diangkat naik dengan mencekal 
leher bajunya. Dan... 
Jrooottt! 
Kepalannya melayang deras menghajar wajah yang 
sudah membengkak itu. Sehingga pecah dan mengucurkan 
darah segar. Hal itu dilakukan berkali-kali sampai akhirnya 
tubuh petani yang malang itu terkulai pingsan. Kemudian, 
tubuh itu didorongnya dengan keras hingga terbanting 
dengan keras ke tanah. 
“Biarkan tubuh petani kurang ajar ini tetap tergeletak 
di tengah jalan sampai kami kembali! Siapa yang berani 
menyentuhnya atau menolongnya, aku tidak akan segan-
segan memberi hukuman. Pedangku ini yang akan 
memutuskan hukuman bagi si pembangkang!” ucapan itu 
keluar dari mulut perwira gemuk yang menjadi pimpinan 
rombongan tersebut. Usai berkata demikian, ia 
memerintahkan prajuritnya untuk melanjutkan perjalanan 
mereka kembali. 
Setelah rombongan prajurit bergerak cukup jauh, 
barulah para penduduk berani mendekat. Meskipun

demikian, mereka tidak berani maju lebih dari satu 
tombak dari tubuh petani muda yang tak sadarkan diri itu. 
Mereka hanya bisa memandang dengan hati iba. 
Peringatan perwira gemuk tadi tampaknya masih 
terngiang di telinga mereka. 
*** 
Tiba di halaman sebuah rumah besar perwira gemuk 
itu menghentikan rombongannya. Kemudian melompat 
turun dari atas punggung kuda. Dua perwira lain 
mengikuti perbuatannya. Demikian pula kedua belas 
prajurit yang menjadi anggota rombongan kecil itu. 
“Selamat datang di desa kami yang kecil ini, Tuan-tuan 
yang gagah,” seorang lelaki tua yang menjadi Kepala Desa 
Kendal menyambut dengan wajah cerah dan sikap hormat. 
Kendati demikian, terlihat sirat kecemasan pada sorot 
matanya. Tapi, perasaan itu berusaha ditutupinya dengan 
menunjukkan sikap ramah dan hormat terhadap tamu-
tamunya itu. 
Dua orang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan 
empat puluh tahun yang mengapit kepala desa itu 
membungkuk hormat. Kelihatan sekali kalau sikap itu 
dilakukannya dengan sangat terpaksa. Sepertinya kedua 
sesepuh Desa Kendal itu merasa tidak suka dengan 
kehadiran prajurit-prajurit kerajaan itu. Namun, mereka 
berusaha bersikap wajar dengan memendam perasaan 
tidak sukanya dalam-dalam. Karena mereka sadar dengan 
siapa saat ini berhadapan. 
“Hm.... Kaukah yang menjadi Kepala Desa Kendal ini,

Orang Tua?” tanpa menyambut sikap hormat lelaki tua 
itu, Legawa melontarkan pertanyaan dengan sikap angkuh 
seraya menegakkan kepala. Seolah ia ingin menunjukkan 
bahwa dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat daripada 
kepala desa itu. 
“Benar, Tuan. Aku Ki Sugali, yang mendapat 
kepercayaan penduduk untuk memimpin desa ini,” jawab 
Ki Sugali cepat sambil membungkukkan tubuh. “Sedang-
kan kedua orang ini adalah pembantu-pembantuku. 
Mereka bertugas memberikan pelayanan kepada warga 
desa,” lanjutnya memperkenalkan kedua sesepuh desa 
yang berdiri di kanan-kirinya. 
“Hm.... Mengapa kalian tidak segera memperkenalkan 
diri...?” tegur Legawa menunjukkan rasa tak sukanya 
kepada kedua pembantu Ki Sugali. 
“Hamba bernama Ki Luganta,” sahut lelaki gagah 
berusia lima puluh tahun, menyembunyikan kejengkelan-
nya mendengar nada suara yang demikian menyebalkan 
itu. 
“Hamba, Sujanta...,” sahut lelaki tegap berusia empat 
puluh tahun yang berdiri di sebelah kiri Ki Sugali. Seperti 
halnya Ki Luganta, Sujanta pun tampak menyimpan rapat-
rapat kedongkolan hatinya. Sehingga, suara maupun 
sikapnya terlihat wajar dan tidak mencurigakan. 
Tapi, meskipun ketiga sesepuh desa itu mem-
perlihatkan sikap hormat yang wajar, Legawa tidak bisa 
dikibuli. Perwira gemuk yang bertubuh agak pendek itu 
memang memiliki mata yang tajam. Ia dapat membaca 
sikap yang disembunyikan ketiga sesepuh Desa Kendal. 
Namun, hal itu tidak diutarakannya. Legawa mengambil

sikap diam dan tidak peduli. Padahal, tentu saja dalam 
hatinya timbul ancaman. 
“Nah, Ki Sugali. Aku tidak ingin berpanjang kata lagi. 
Kami membawa amanat dari kerajaan,” ujar Legawa. Lalu, 
membuka sebuah gulungan surat yang diterima dari 
rekannya. 
Ki Sugali yang tahu surat itu datang dari penguasa 
negeri langsung menjatuhkan diri berlutut di depan 
Legawa. Perbuatan itu diikuti oleh Ki Luganta dan 
Sujanta. 
Ditujukan kepala seluruh rakyat Kerajaan Tampak Serang. 
Sehubungan akan dibangunnya sebuah istana untuk tempat 
peristirahatan Prabu Pungga Dewa, maka dengan ini diminta 
kesediaan rakyat untuk menyumbangkan tenaga. Bagi siapa 
yang berani membantah akan mendapat hukuman berat. Dan 
bagi yang berani menentang akan dihukum mati di tempat! 
Tertanda 
Prabu Pungga Dewa 
Legawa kembali menggulung surat itu setelah mem-
bacakannya dengan terang dan jelas. Kemudian, diserah-
kan kepada salah seorang dari kedua perwira di kiri-
kanannya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ki Sugali serta 
kedua sesepuh Desa Kendal yang sudah bergerak bangkit. 
“Nah, sekarang aku ingin agar selekasnya kau 
mengumpulkan penduduk di balai desa...,” ujar Legawa 
dengan tegas bernada perintah kepada kepala desa itu. 
“Maaf, Tuan Perwira. Kalau diperkenankan aku

mempunyai sedikit pertanyaan...?” Ki Luganta yang 
menjadi tangan kanan Kepala Desa Kendal berkata sambil 
membungkuk hormat. 
“Hm.... Sejauh tidak menentang sabda Gusti Prabu 
Pungga Dewa tentu boleh-boleh saja, Ki Luganta...,” 
sahut Legawa dengan angkuh dan sinis. 
“Kami memang sudah mendengar selentingan kabar 
itu, Tuan Perwira. Yang hendak kami tanyakan, 
bagaimana bagi mereka yang sudah berkeluarga atau yang 
orangtuanya sudah tak sanggup mencari nafkah. 
Sedangkan ia hanya mempunyai seorang putra? Harap 
Tuan Perwira tidak keberatan dengan pertanyaan 
kami...,” ujar Ki Luganta mengutarakan ganjalan hatinya. 
“Hm.... Untuk hal itu tentu saja Gusti Prabu Pungga 
Dewa mempunyai suatu kebijaksanaan, Ki Luganta. Kau 
tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan tunjangan 
sekadarnya kepada orang-orang tersebut,” jawab Legawa 
dengan tersenyum sinis. Sepertinya ia tidak merasa aneh 
dengan pertanyaan itu. 
“Terima kasih atas kebijaksanaan Gusti Prabu. Dengan 
begitu legalah hati kami, Tuan Perwira,” lanjut Ki Luganta 
dengan wajah berseri. Meski tetap tidak melenyapkan 
bayangan kecemasan yang tersirat di wajahnya. 
“Kalau begitu, kami tunggu di balai desa...,” 
Legawa kemudian melompat ke atas punggung kuda 
dan bergerak bersama rombongannya menuju balai desa. 
***

DUA

Tidak terlalu sulit bagi Ki Sugali untuk melaksanakan 
permintaan perwira gemuk itu. Dengan mengerahkan 
seluruh keamanan desa, sebentar saja para penduduk telah 
memadati balai desa. Termasuk para petani yang tengah 
bekerja di sawah dan di ladang. 
“Saudara-saudara sekalian!” Legawa membuka suara 
setelah seluruh warga Desa Kendal berkumpul. “Saat ini 
negara membutuhkan sumbangan tenaga dari rakyatnya. 
Untuk itu, kepada laki-laki di Desa Kendal yang merasa 
dirinya kuat segera saja mendaftarkan diri! Bagi mereka 
yang telah berkeluarga atau harus meninggalkan orang-
tuanya yang sudah tidak mampu bekerja akan men-
dapatkan tunjangan dari kerajaan. Nah, bagi yang merasa 
masih kuat bekerja keras, silakan maju satu persatu...!” 
Ucapan perwira gemuk itu mendapat tanggapan yang 
tidak begitu menyenangkan. Para penduduk kelihatan 
enggan dan tidak berminat untuk mendaftarkan diri. 
Melihat sikap enggan penduduk, wajah Legawa berubah 
kelam. 
Ki Sugali yang menyadari kegusaran Legawa segera 
tampil di depan. Lelaki tua itu maklum akan sikap warga 
desanya. Ia sudah mendengar tentang kejadian yang 
menimpa salah seorang warganya. Meskipun sebenarnya 
merasa marah akan tindakan para prajurit itu, Ki Sugali 
tetap tampil untuk membujuk warganya. Karena bila 
mereka membantah, pastilah penduduk Desa Kendal akan

dituduh sebagai sarang pemberontak. Hal itu tidak 
diinginkan Ki Sugali. 
“Saudara-saudaraku sekalian, warga Desa Kendal yang 
tercinta. Apa yang disampaikan Tuan Perwira Legawa 
merupakan panggilan negeri! Aku telah mendengar 
sendiri bunyi surat perintah dari Prabu Pungga Dewa. 
Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian seorang 
anak negeri yang baik, sekaranglah saatnya untuk berbakti. 
Jangan membuat malu nama Desa Kendal! Tunjukkan 
bahwa kalian pun sanggup berbakti kepada negeri ini!” Ki 
Sugali demikian bersemangat menyampaikan ucapannya. 
Dan tampaknya ia mampu membangkitkan semangat 
mereka. 
Begitu ucapan Ki Sugali selesai, satu persatu laki-laki 
warga Desa Kendal bergerak maju untuk mendaftarkan 
diri. Tapi Legawa tidak merasa puas. Warga yang men-
daftar hanya lima belas orang. Dan kebanyakan dari 
mereka sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Seketika 
itu juga amarahnya meledak. 
Ctarrr! Ctarrr...! 
Suara ledakan pecut yang digerakkan dengan tenaga 
dalam kuat membuat semua penduduk terkejut. Wajah 
mereka mendadak berubah pucat. Banyak di antaranya 
yang menutup kedua telinga. Suara lecutan pecut itu 
terasa menyakitltan dan membuat telinga mereka ber-
dengung. 
“Ini benar-benar penghinaan bagi pihak kerajaan! 
Kalian semua telah memaksaku untuk bertindak keras. 
Kalau cuma laki-laki jompo yang mendaftarkan diri, kami 
semua akan mendapat hukuman dari Prabu Pungga Dewa.

Sekarang kuberi peringatan terakhir. Segera daftarkan 
diri, atau terpaksa aku bertindak keras dan memaksa 
kalian ikut bersama kami!” keras dan lantang ucapan 
Legawa, membuat terkejut dan kesal puluhan warga desa 
itu. Tapi, Legawa cukup pintar dengan membawa-bawa 
nama Gusti Prabu Pungga Dewa. Sehingga, jika mereka 
melawan akan dituduh sebagai pemberontak. Dan 
hukuman berat akan mereka terima. 
Ki Sugali sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki tua 
yang masih gagah itu hanya berdiri dengan wajah agak 
pucat. Ia tidak menentang ucapan Legawa. Tapi, juga 
tidak berusaha membujuk warga desanya untuk ikut 
mendaftar. Dan sikap kepala desa itu membuat Legawa 
tak bisa lagi mengekang kemarahannya. 
Dengan langkah lebar Legawa menghampiri 
kerumunan penduduk. Tanpa banyak tanya, lelaki gemuk 
itu mencengkeram leher baju seorang pemuda tanggung 
yang berusia sekitar lima belas tahun. Dengan sekali 
sentak tubuh pemuda itu terlempar keluar dari 
kerumunan. Dan jatuh terjerembab di tanah. 
“Bangun kau pemalas!” salah seorang dari dua perwira 
yang berdiri tak jauh dari tempat jatuhnya pemuda 
tanggung itu segera menarik bangkit dengan kasar. 
Kemudian dilemparkannya ke arah barisan penduduk yang 
telah mendaftarkan diri. 
“Tuan Perwira, harap jangan bertindak kasar!” Ki 
Sugali bergegas menyambut tubuh pemuda tanggung itu. 
Tapi sebelum kedua lengannya sempat menangkap tubuh 
pemuda itu, sebuah tendangan keras membuatnya 
terhempas sejauh setengah tombak!

“Kau hendak berontak kepada kerajaan, Ki Sugali...!” 
bentak perwira bertubuh tegap seraya memasang wajah 
garang. Sepasang alisnya yang tebal nyaring terpaut. 
Ditatapnya tajam-tajam Ki Sugali yang sudah bangkit 
berdiri. 
“Aku tidak bermaksud memberontak, Tuan Perwira! 
Tapi pemuda itu masih terlalu kecil untuk bekerja berat. 
Harap Tuan Perwira sedikit bijaksana!” Ki Sugali berkata 
dengan wajah berkerut menahan perasaan. Ia merasa tidak 
berdaya untuk membela warga desanya. Karena yang 
dihadapinya prajurit-prajurit kerajaan. Kalau ia berani 
melawan, niscaya Desa Kendal akan disapu bersih oleh 
tentara kerajaan. 
“Hm.... Semua ini karena kebandelan wargamu, Ki 
Sugali! Mereka sendiri yang meminta kami bertindak 
keras. Jadi, jangan menyalahkan kami!” tukas perwira 
tegap itu keras dengan sikap mengancam. 
Sementara itu, Ki Luganta dan Sujanta yang 
merupakan orang-orang kepercayaan Ki Sugali bergerak 
maju melihat kepala desanya diperlakukan dengan kasar. 
Mereka siap melindungi lelaki tua itu. Keduanya berdiri 
menghadang perwira tegap itu lengan sorot mata tajam. 
“Keparat! Kalian rupanya ingin melawan, hah!” bentak 
perwira tegap beralis tebal. Jari-jari tangannya meraba 
gagang pedang yang terselip di pinggangnya. 
“Tunggu...!” 
Ki Sugali yang tidak menginginkan desanya tertimpa 
musibah bergegas mencegah. Lelaki tua itu melesat 
menghadapi perwira tegap beralis tebal, terlambat sedikit 
saja, kemungkinan besar darah akan mengalir di bumi

Desa Kendal yang telah dipimpinnya selama belasan 
tahun. 
“Hm...,” perwira tegap itu menggeram gusar. Jemari 
tangannya yang sudah siap meloloskan pedang bergeser 
menjauh dari senjata maut itu. Sehingga, Ki Sugali 
menarik napas lega. 
“Tuan Perwira, berikanlah waktu kepada kami untuk 
membujuk mereka agar mau ikut membangun istana 
peristirahatan itu. Tapi, kuharap Tuan Perwira tidak 
membawa pemuda-pemuda tanggung. Mereka masih 
terlalu muda untuk melakukan pekerjaan itu,” Ki Sugali 
masih berusaha membela warga desanya. 
“Ki Sugali!” tukas perwira tegap dengan nada tinggi, 
“Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang 
akan mereka lakukan sangat berat? Padahal, mereka hanya 
membangun sebuah istana peristirahatan? Apakah itu kau 
anggap pekerjaan berat?” lanjutnya tidak senang. 
“Benar, mereka hanya bekerja untuk membangun 
sebuah istana peristirahatan. Tapi, bukankah sebelum itu 
mereka harus merobohkan bukit padas? Dan tempat 
mereka bekerja adalah daerah yang panas? Harap Tuan 
Perwira dapat mempertimbangkannya baik-baik...,” Ki 
Sugali akhirnya mengutarakan berita yang tersebar luas di 
luaran. Karena sudah belasan desa yang didatangi pasukan 
kerajaan, dan membawa laki-laki untuk ikut bekerja di 
tempat yang disebutkan Ki Sugali. 
Semula Ki Sugali tidak ingin membeberkan berita itu. 
Tapi ketika pasukan kerajaan memaksa pemuda-pemuda 
tanggung, ia menjadi keberatan dan mencoba meminta 
kebijaksanaan.

“Hm.... Dari mana kau mendapatkan berita tidak 
benar itu, Ki Sugali?” tanya perwira tegap. Tampak jelas 
betapa perwira itu menyembunyikan kekagetannya. 
Rupanya, ia sedikit pun tidak menduga Ki Sugali akan ber-
kata demikian. 
“Guranta! Tidak usah banyak cakap lagi. Lakukan saja 
semuanya seperti biasa. Jika diberi hati mereka akan 
semakin kurang ajar..!” bentakan keras itu berasal dari 
mulut Legawa yatig masih saja menyeret penduduk, yang 
menurutnya cukup memenuhi syarat. 
Mendengar ucapan itu, perwira tegap beralis tebal 
tidak membantah. Tanpa mempedulikan Ki Sugali dan 
sesepuh Desa Kendal, ia kembali menerima dan melem-
parkan pemuda-pemuda dan laki-laki yang dilemparkan 
Legawa kepadanya. 
Melihat tindakan kasar dan bisa dikatakan kejam itu, Ki 
Sugali merasa sedih sekali. Apalagi, ketika melihat semua 
lelaki muda desa itu dipaksa mengikuti kemauan Legawa 
dan pasukannya. Menggigil tubuh Kepala Desa Kendal. 
Bahkan, hampir seluruh aparat keamanan desa juga 
dipaksa ikut. Lepaslah pertahanan lelaki tua yang sangat 
mencintai warga desanya itu. Kepercayaan yang diberikan 
penduduk kepadanya memang tidak berlebihan. Ki Sugali 
adalah seorang kepala desa yang bijaksana dan tidak ada 
duanya. Ia bersedia mempertaruhkan nyawa demi 
keselamatan warganya. Gambaran seorang pemimpin 
sejati tercermin pada diri lelaki tua itu. 
Semula Ki Sugali memang tidak mau bertindak 
menentang, yang akan membuat dirinya dituduh sebagai 
pemberontak. Kepala desa yang sangat mencintai tanah

kelahiran serta penduduknya itu khawatir Desa Kendal 
akan dihancurkan kerajaan. Dan kekhawatiran itu bukan 
cuma sekadar dugaan belaka. 
Sudah ada beberapa desa yang diratakan dengan tanah. 
Mereka adalah orang-orang yang menentang keputusan 
Prabu Pungga Dewa, penguasa Kerajaan Tampak Serang. 
Tapi melihat warga desanya dipaksa dengan kekerasan, 
pikiran Ki Sugali pun berubah. Karena pemaksaan dengan 
kekerasan sama artinya dengan menghancurkan masa 
depan Desa Kendal. Semua itu membuat Ki Sugali tidak 
lagi mempedulikan hukuman yang menantinya. 
“Hentikan! Kalian bukan lagi abdi kerajaan yang 
membela kepentingan dan keamanan rakyat. Lebih tepat 
bila dikatakan kalian adalah perampok-perampok kejam. 
Tindakan kalian menunjukkan ke arah itu!” bentak Ki 
Sugali menggelegar. 
Lelaki tua itu berteriak dengan mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya. Jerit kesakitan dan suara cambukan 
membuat Ki Sugali tidak lagi memikirkan keselamatan 
dirinya. Terlebih, ketika menyaksikan tubuh warganya 
yang berkelojotan di tanah karena cambukan pecut ketiga 
perwira kejam itu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi. 
Bentakan Ki Sugali seketika menghentikan penyiksaan 
itu. Legawa dan anggota rombongannya berpaling dengan 
pandangan mengancam. Bahkan, dua belas orang 
prajuritnya sudah menghunus senjata. Siap digunakan 
demi tugas yang mereka emban. 
“Hm.... Kau hendak memberontak, Ki Sugali...?” 
tegur Legawa. 
“Jangan mengancam aku dengan kata-kata itu, Perwira


Biadab! Tindakan kalian sudah melewati batas-batas 
perikemanusiaan. Aku tidak peduli dengan segala macam 
sebutan itu. Pemberontak atau anjing sekalipun!” tukas Ki 
Sugali yang sudah mencabut pedang. Sikap lelaki tua itu 
tampak garang, seperti induk harimau yang tengah 
melindungi induknya. 
“Kurang ajar! Kau akan dihukum gantung, Ki Sugali!” 
bentak Legawa tidak kalah garang. Pecut di tangannya 
terlihat bergetar. 
“Tidak peduli!” bentak Ki Sugali. Sepasang matanya 
mencorong tajam. Pedangnya melintang di depan dada. 
Siap menyabung nyawa demi jabatan yang dipercayakan 
kepadanya. 
“Keparat! Bunuh orang tua gila itu...!” Legawa segera 
memerintahkan pasukannya untuk menyerang Ki Sugali. 
“Yeaaa...!” 
“Haaattt...!” 
Dua belas orang prajurit Legawa meluruk dengan 
senjata di tangan. Tapi, Ki Sugali dan dua orang 
kepercayaannya telah siap menyambut mereka. Bahkan, 
belasan orang keamanan desa ikut meloloskan senjata. 
Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi keadilan. 
Sebentar saja perang kecil pun berlangsung. Suara 
dentang senjata dan teriakan mewarnai pertempuran. 
Semua terjadi begitu cepat dan tanpa direncanakan. 
Legawa bersama dua orang perwira lainnya ikut turun 
ke arena. Dengan menggunakan pecutnya, perwira gemuk 
itu mengamuk hebat merobohkan siapa saja yang berada di 
dekatnya. Para keamanan desa yang kebetulan meng-
hadapi perwira gemuk itu menjadi kalang kabut. Dalam

beberapa jurus enam orang tersungkur roboh tak sadarkan 
diri. Itu memang disengaja oleh Legawa. Karena ia masih 
memerlukan tenaga mereka. 
Guranta dan perwira lainnya juga tidak tinggal diam. 
Mereka menggunakan senjata untuk menghadapi amukan 
warga Desa Kendal. Tampak, penduduk desa tidak rela 
kepala desanya menghadapi pasukan kerajaan dan 
mengalami kematian. Rasa cinta mereka membuat Ki 
Sugali terharu. Hingga serangannya kian bertambah ganas. 
Para prajurit kerajaan yang menghadapi orang tua itu 
sempat dibuat kalang kabut. Mereka terpaksa bergerak 
mundur. Karena kepandaian Ki Sugali memang tidak bisa 
diremehkan. Juga Ki Luganta dan Sujanta yang bahu-
membahu bersama kepala desanya. 
“Haaattt...!” 
Melihat anggota pasukannya dibuat kocar-kacir, 
Legawa menjadi berang. Perwira gemuk itu melayang 
diiringi teriakan yang membahana. Kemudian, meluncur 
turun di dekat ketiga sesepuh Desa Kendal. Dan langsung 
melancarkan serangan. 
Bwettt, bwettt, bwettt...! 
Kali ini Legawa membuang pecutnya. Ia menghadapi 
ketiga pemuka desa itu dengan pedang di tangan. Sekali 
menyerang Legawa melepaskan serangkaian sambaran dan 
tusukan. Tentu saja Ki Sugali dan dua orang pembantunya 
tidak ingin mendapat celaka. Ketiganya berlompatan 
mundur menyiapkan jurus-jurus barunya. 
Tapi, Legawa tidak mau memberi kesempatan. 
Sebelum mereka bersiap, tubuh lelaki gemuk itu udah 
melayang dengan kecepatan yang mengagumkan. Memang

tidak percuma Legawa dikirim untuk melaksanakan tugas 
yang berbahaya. Ia telah disiapkan dengan matang untuk 
menghadapi berbagai rintangan. Dan Legawa mem-
buktikan kalau dirinya memang patut mengemban tugas 
berat itu. 
“Haaattt...!” 
Whuuuttt...! 
Sambaran mata pedang Legawa mengaung keras 
mengancam Ki Luganta. Tapi orang tua itu dapat 
mengatasinya dengan serangkaian tangkisan. Sehingga, 
benturan keras pun tidak dapat dihindarkan. 
Trangngng! Trangngng! 
Legawa ternyata sangat licik. Tenaga tangkisan lawan 
digunakan untuk menyusuli serangannya. Sengaja ia 
mengendurkan tenaganya saat senjata lawan membentur 
pedangnya. Kemudian memutarnya dengan secepat kilat. 
Dan terus meluncur deras mengancam tenggorokan Ki 
Luganta. Hingga.... 
Brettt! 
“Hekkkh!” 
Ki Luganta tidak sempat lagi menyelamatkan diri. 
Sambaran mata pedang lawan merobek tenggorokannya. 
Diiringi menyemburnya darah segar dari luka menganga di 
lehernya Ki Luganta, tubuh sesepuh Desa Kendal itu 
tersungkur tewas seketika itu juga. 
“Yiaaattt...!” 
Legawa tidak berhenti sampai di situ. Saat Sujanta 
terpaku melihat kematian rekannya, pedang di tangan 
perwira gemuk itu kembali melesat mencari sasaran. 
Whuttt, brettt...!

“Aaakh…!” 
Sujanta berusaha menghindar. Namun gerakannya 
kalah cepat. Mata pedang Legawa keburu datang merobek 
dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari luka 
yang cukup dalam itu. Dan sebelum Sujanta sempat 
menyadarinya, kembali pedang Legawa berkelebat dua 
kali! 
Tanpa ampun lagi, tubuh Sujanta tersungkur roboh. 
Darah membasahi di sekujur tubuhnya. Lelaki gagah itu 
tewas dengan tiga luka memanjang di bagian dadanya. 
“Keparat! Kubunuh kauuu...!” 
Ki Sugali kalap bukan main melihat kematian 
pembantu-pembantu setianya. Dengan kemarahan yang 
menggelegak lelaki tua itu menerjang maju. Pedang di 
tangannya berputaran menimbulkan suara mengaung 
keras. 
Bwettt, bwettt, bwettt! 
Serangan Ki Sugali menemui tempat kosong. Legawa 
ternyata pandai membaca serangan lawan. Perwira gemuk 
itu telah bergeser mundur sebelum mata pedang Ki Sugali 
melukainya. Kemudian, membalas dengan tusukan ujung 
pedang yang bergetar mengaburkan pandangan lawan. 
“Yaaattt...!” 
Pekikan keras Legawa yang disertai suara berkesiutan 
angin pedang membuat Ki Sugali sedikit gugup. Kendati 
demikian, lelaki tua itu masih sempat menghindari. 
Bahkan, dapat menyabetkan pedangnya ke pangkal lengan 
lawan. 
Brettt! 
“Aaakhhh...!?”

Legawa memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar 
mundur beberapa langkah. Saat itu Ki Sugali menyusuli 
serangannya dengan tusukan maut yang mematikan. 
Tapi.... 
Blesss! 
“Aaakh...!” 
Ki Sugali meraung keras. Tubuhnya tertembus ujung 
pedang hingga ke perut. Rupanya, pada saat yang gawat 
itu Guranta dengan licik membokong Kepala Desa 
Kendal. Sehingga Ki Sugali yang sangat bernafsu 
merobohkan Legawa tidak sempat menyadarinya. 
“Mampusss...!” desis Guranta seraya mencabut pedang 
yang menyate tubuh lelaki tua itu. 
Darah segar membanjir membasahi bumi Desa Kendal. 
Tubuh lelaki tua yang gagah itu ambruk dengan nyawa 
melayang meninggalkan raga. 
Kematian ketiga sesepuh Desa Kendal membuat 
perlawanan penduduk kocar-kacir. Dalam waktu singkat 
mereka dapat didesak. Beberapa di antaranya berusaha 
mencari selamat. Tapi, Legawa dan pasukannya tidak 
tinggal diam. Mereka segera mencegah dengan sambaran 
pedang. Sehingga, orang-orang malang itu roboh dengan 
tubuh luka. Kecuali yang muda-muda dan kuat, semua 
lelaki penduduk Desa Kendal dibantai habis. Tidak peduli 
lelaki itu sudah berusia tua sekalipun! 
Tidak berapa lama setelah kematian Ki Sugali dan dua 
orang kepercayaannya perlawanan penduduk pun 
berakhir. Mereka menyerah dan melemparkan senjatanya. 
Kemudian, berlutut di hadapan Legawa. 
“Bagus. Kalian ternyata masih berpikiran waras. Kalau
sejak semula kalian bersikap seperti ini, tentu warga desa 
ini tidak akan binasa,” Legawa tampak puas dengan 
keberhasilan tugasnya. Meski, pangkal lengannya terluka 
oleh sayatan pedang Ki Sugali. 
Legawa kemudian memerintahkan pasukannya untuk 
mengumpulkan orang-orang yang diperlukan. Tanpa 
kasihan para prajurit itu mengguyur mereka yang masih 
tak sadarkan diri. Sehingga, orang-orang desa yang 
memang sengaja dibuat pingsan tersadar. 
Karena saat itu matahari sudah bergeser jauh ke barat, 
Legawa memerintahkan pasukannya untuk bermalam di 
desa itu dan mengumpulkan tawanan yang berjumlah tiga 
puluh orang di balai desa dengan dijaga anggota 
pasukannya. Walau kehilangan dua orang prajuritnya, 
Legawa tidak kecewa. Ia cukup banyak mendapat tawanan 
untuk dipekerjakan membangun istana peristirahatan 
Prabu Pungga Dewa. 
***

TIGA

Perbuatan Legawa dan pasukannya semakin menjadi-jadi. 
Setelah mengurung semua lelaki yang akan dibawanya, ia 
tidak melewatkan kesempatan selagi bermalam. Gadis-
gadis desa dan janda-janda yang baru kehilangan suami 
dipaksa untuk menemaninya. Seolah Legawa hendak 
merayakan kemenangannya tadi siang. 
Apalah daya wanita-wanita desa yang lemah itu me-
lawan kekuatan dan keganasan pasukan Legawa. Mereka 
hanya bisa menangis mengutuki nasibnya yang buruk. Tapi 
semua itu tidak berani mereka tunjukkan di hadapan 
Legawa dan pasukannya. Karena mereka tidak segan-segan 
bertindak kasar kepada wanita-wanita. Dengan kejamnya 
mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit itu secara ber-
giliran. Kelihatannya, pasukan Kerajaan Tampak Serang 
benar-benar telah berubah menjadi iblis keji! 
“Hua ha ha...!” 
Dalam salah satu ruangan balai desa yang telah 
dilengkapi pembaringan Legawa tertawa-tawa penuh 
kepuasan. Lelaki gemuk itu terbaring bertelanjang dada 
dengan ditemani dua orang gadis yang tentu saja berparas 
cantik. Dengan ganas Legawa memuaskan nafsu iblisnya. 
Sementara gadis-gadis malang itu hanya bisa menuruti 
kehendaknya. Sebab, bila mereka berani membantah 
Legawa tidak segan-segan memberikannya kepada anggota 
pasukannya untuk digilir. Dapat dibayangkan betapa 
malangnya nasib wanita-wanita Desa Kendal, yang tidak

pernah membayangkan akan menerima nasib seburuk itu. 
Pesta pora Legawa dan pasukannya berlangsung sampai 
jauh malam. Dan baru usai ketika mereka mabuk karena 
terlalu banyak minum arak dan, kelelahan. Tubuh mereka 
bergeletakan di sembarang tempat. Meskipun begitu, tak 
seorang pun yang mengganggu ketenangan tidur mereka. 
Selain kaum lelakinya telah dikurung dalam sebuah 
ruangan tertutup, wanitanya pun mereka buat mabuk 
dengan menjejalkan arak secara paksa. Sehingga, malam 
itu benar-benar sunyi dan sepi. 
Saat sinar matahari menerobos masuk menggantikan 
tugas sang Rembulan, Legawa menggeliat dari tidurnya. 
Kemudian bergerak bangkit dan membangunkan pasukan-
nya dengan kasar. Mereka segera diperintahkan untuk 
bersiap meninggalkan Desa Kendal. 
Tidak berapa lama kemudian terlihatlah serombongan 
orang berkuda keluar dari Desa Kendal. Di belakang 
pasukan berkuda tampak dua puluh lima orang lelaki. 
Tangan mereka terikat tali-tali kuat sebesar ibu jari, yang 
dikaitkan satu sama lain dan dihubungkan ke tubuh kuda-
kuda para prajurit. 
Sinar matahari naik semakin tinggi saat rombongan 
Legawa telah cukup jauh meninggalkan Desa Kendal. 
Mereka sedikit pun tidak mempedulikan orang-orang di 
belakangnya, yang melangkah terseret-seret mengikuti 
gerak kaki kuda. Karena betapa pun pelan langkah kaki 
kuda itu tetap saja masih terlalu cepat bagi mereka. 
Perjalanan yang jauh dengan medan berat dan sorotan 
sinar matahari garang membuat orang-orang Desa Kendal 
tersiksa. Terlihat beberapa dari mereka sudah mulai payah

dan hampir tidak sanggup melangkah lagi, Kerongkongan 
mereka terasa kering, kendati wajah dan tubuhnya basah 
oleh peluh yang tak hentinya mengalir. 
“Aiiir...!” salah seorang warga Desa Kendal yang sudah 
tidak sanggup menahan dahaga berteriak parau. Lidah 
lelaki itu menjilati bibirnya yang kering dan mulai pecah-
pecah. 
Tapi, rintihan itu tidak dipedulikan prajurit-prajurit 
kerajaan. Bahkan mereka malah menambah kecepatan lari 
kudanya. Sehingga, mereka yang sudah tidak sanggup 
melangkah terjerembab jatuh dan terseret-seret di tanah. 
Tampaknya mereka memang hendak menyiksa tawanan-
tawanan itu. 
“Biadab! Kalian benar-benar tidak berperi-
kemanusiaan!” salah seorang dari tawanan tidak dapat lagi 
mengendalikan diri. Sumpah-serapahnya segera meluncur. 
“Salahmu sendiri, Orang-orang Tolol! Kalau saja tidak 
memberontak, tentu tidak akan begini nasib kalian. Sebab, 
biasanya kami membawa para pekerja dengan meng-
gunakan pedati. Tapi karena kalian telah berani 
memberontak, kami tidak segan-segan lagi untuk berlaku 
kejam!” prajurit berbibir tebal yang menaruh dendam 
kepada warga Desa Kendal menyahuti dengan sorot mata 
puas. Kemudian kembali berpaling ke depan dan tidak 
peduli lagi. 
“Kalian benar-benar, Iblis...!” lelaki bertubuh gagah 
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kembali 
memaki. Karena memang cuma itu yang bisa dilakukannya.

“Hm.... Mulutmu lancang sekali...!” geram prajurit 
berbibir tebal. Dicabutnya pecut dari punggung kuda. 
Dan ujung pecut itu langsung berbicara. 
Cletarrr, ctarrr...! 
Setelah meledak-ledak beberapa kali di udara, ujung 
pecut meluncur turun mengancam tubuh lelaki gagah 
yang barusan melontarkan makian. Tapi.... 
Taaappp! 
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok 
bayangan putih mengulurkan tangan menangkap ujung 
pecut. Hingga, ujung pecut yang meluncur deras itu 
langsung dijepit dengan dua jari. Gagallah cambukan 
prajurit berbibir tebal. 
“Tindakan kalian sudah melebihi batas, Tuan Prajurit 
yang gagah!” ujar sosok berjubah putih, yang ternyata 
seorang pemuda berwajah tampan. Dan pemuda itulah 
yang telah berhasil menangkap luncuran ujung pecut dari 
prajurit berbibir tebal tadi. 
“Kurang ajar! Siapa kau? Rupanya kau pun ingin 
memberontak terhadap Kerajaan Tampak Serang!” geram 
prajurit berbibir tebal. 
Prajurit itu rupanya belum menyadari bahwa pemuda 
tampan berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan. 
Ia mampu menangkap ujung cambuk hanya dengan 
menggunakan dua buah jari. Jelas, pemuda itu tidak bisa 
disamakan dengan tawanan-tawanan itu. 
“Hm.... Mudah sekali kau menuduh orang dengan 
sebutan pemberontak, Tuan Prajurit yang gagah...,” tukas 
pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu sengaja 
memanggil dengan sebutan 'Tuan Prajurit yang gagah'.

Sebutan yang tidak cocok itu memang sengaja diucapkan-
nya agar prajurit itu malu. 
Perdebatan di barisan belakang rupanya menarik 
perhatian anggota pasukan lainnya. Bahkan, Legawa yang 
berada di barisan depan menyempatkan diri menoleh ke 
belakang. Keningnya berkerut melihat salah seorang 
anggota pasukannya bersitegang dengan seorang pemuda 
tampan berjubah putih. Merasa perjalanannya terganggu, 
Legawa segera mengeluarkan perintahnya. 
“Siksa dan tangkap pemberontak itu!” pekik Legawa. 
Perwira gemuk itu tampaknya ingin memanfaatkan tenaga 
pemuda tampan berjubah putih. Itu sebabnya, ia tidak 
memerintahkan anggota pasukannya untuk membunuh 
pemuda itu. 
Tapi, sebelum perintah itu dilaksanakan pemuda 
tampan berjubah putih telah lebih dulu bertindak. Ujung 
pecut yang terjepit di antara kedua jarinya langsung 
disentakkan. 
“Aaakh...!?” 
Prajurit berbibir tebal yang masih memegang gagang 
cambuk memekik ngeri. Tubuhnya tersentak dari atas 
punggung kuda. Dan meluncur turun dengan deras. 
Tanah berbatu di bawahnya telah siap menanti tubuh 
prajurit naas itu. 
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh prajurit itu terbanting 
ke tanah. Untungnya ia sempat melindungi wajah dengan 
menekuk kedua siku lengannya. Sehingga, tidak sampai 
membentur bebatuan kecil yang bertebaran di jalan. 
Pemuda tampan berjubah putih itu sendiri sudah tidak 
mempedulikan lawannya lagi. Ia sibuk memutuskan tali

pengikat penduduk Desa Kendal yang dihubungkan ke 
tubuh kuda. Hanya dengan sekali sentak, tali-tali yang 
kuat itu langsung putus. 
Tampaknya, kemunculannya memang untuk menye-
lamatkan penduduk Desa Kendal. 
“Keparat! Bunuh pemuda setan itu...!” Legawa ber-
teriak kalap. Lelaki gemuk itu kelihatan sangat terkejut 
melihat pemuda itu dapat dengan mudah memutuskan 
tambang pengikat. Sadarlah Legawa kalau yang dihadapi-
nya seorang tokoh persilatan. 
“Kalian kembalilah ke desa. Aku yang akan menghadapi 
pasukan berhati iblis ini...,” ujar pemuda tampan berjubah 
putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih. 
“Tapi..., kami tidak ingin Kisanak celaka karena ingin 
menolong kami...!” lelaki gagah yang tadi memaki berkata 
penuh kekhawatiran. Ucapan itu jelas menggambarkan 
keluhuran hatinya. Karena ia mengkhawatirkan nasib 
pemuda tampan berjubah putih itu. 
“Tidak perlu cemas, Kisanak. Aku bisa menjaga diri. 
Pergilah dan tenangkan pikiranmu...,” tukas pemuda itu 
seraya tersenyum cerah. Ucapan lelaki gagah itu membuat 
hatinya terharu. Meski hanya seorang petani, ternyata ia 
tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri. 
“Tapi...,” lelaki gagah itu mencoba membantah. 
“Pergilah, Kisanak yang gagah...,” ujar Pendekar Naga 
Putih. Kemudian didorongnya tubuh petani gagah itu. 
Karena saat itu sembilan orang prajurit kerajaan sudah 
berlompatan dengan senjata di tangan. 
Tanpak banyak cakap, Pendekar Naga Putih segera 
bertindak. Sembilan orang prajurit yang bergerak maju

tersentak kaget! Mereka mendapati sosok pemuda 
berjubah putih itu lenyap! Dan, senjata mereka yang 
semula tergenggam erat tahu-tahu sudah berpindah 
tangan. Tampak tangan kanan pemuda itu menggenggam 
senjata. 
“Gila...?!” salah seorang prajurit berseru dengan wajah 
pucat. Ia tidak percaya dengan kejadian yang dialaminya. 
“Senjata bukanlah barang mainan. Terlalu berbahaya 
jika menggunakannya secara sembarangan. Sebaiknya 
senjata-senjata ini dipergunakan dengan baik. Tapi, bukan 
membunuhi orang-orang tidak berdosa...,” ujar Pendekar 
Naga Putih yang kini telah berdiri tegak di hadapan 
sembilan orang prajurit Legawa. Wajahnya tetap tenang 
tanpa menyorotkan ancaman. Bahkan, senyumnya tak 
lepas dari bibir. 
Legawa sampai terjingkat di atas punggung kuda. 
Kejadian itu seperti mimpi. Kendati ia tahu dunia 
persilatan banyak dihuni tokoh-tokoh berkepandaian 
tinggi, tetap saja ia meragukan penglihatan. Tokoh itu 
demikian muda. Kalau saja yang melakukannya seorang 
kakek tentu ia masih bisa percaya. Tapi seorang pemuda! 
Benar-benar Legawa dibuat heran. Sehingga, untuk 
beberapa saat belum bisa mengeluarkan suara sepatah 
pun. Kenyataan yang terpampang di depan matanya 
membuat Legawa tidak habis pikir. 
“Hei, mengapa berdiri saja seperti patung? Ayo, bunuh 
pemuda pemberontak itu...!” Legawa berteriak memberi 
perintah setelah tersadar dari kekagetannya. Cepat 
tubuhnya meluncur turun diikuti dua perwira 
pembantunya.
Teguran Legawa membuat para prajurit itu sadar dari 
keadaannya yang memalukan. Serentak mereka bergerak 
maju mengandalkan kaki dan tangannya. Karena senjata 
mereka telah direbut pemuda tampan itu. 
“Hm....” 
Panji bergumam perlahan. Kamudian, tangannya 
digerakkan ke kiri-kanan saat serangan lawan tiba. 
Meskipun gerakan tangan pemuda itu kelihatan sederhana, 
tapi mengejutkan Legawa dan dua perwira lainnya. Tubuh 
sembilan orang prajuritnya terlempar ke kiri-kanan 
seperti dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak 
tampak. Sedikit pun tidak mereka sadari kalau Pendekar 
Naga Putih telah melemparkan mereka dengan sambaran 
angin pukulannya. Mereka jatuh tanpa sempat mem-
perbaiki kuda-kudanya. 
Kaget bukan main hati Legawa serta dua perwira 
lainnya menyaksikan kejadian itu. Bagaimana para 
prajuritnya dapat dibuat tunggang-langgang hanya dengan 
gerakan sederhana? Legawa segera meloloskan pedang. 
Lalu, memberi isyarat kepada dua perwira 
pendampingnya untuk mengeroyok pemuda itu. 
Dengan senjata di tangan, Legawa bergerak meng-
hampiri Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya menatap 
penuh selidik seolah hendak mengenali siapa pemuda itu. 
Namun, tetap saja ia tidak bisa mengenalinya. 
“Kisanak,” ujar Legawa. Langkahnya berhenti satu 
tombak di hadapan sosok pemuda tampan itu. 
“Perbuatanmu ini bisa mengakibatkan dirimu terlihat 
dalam kesulitan besar. Kau bisa dituduh memberontak 
karena berani menghalangi tugas resmi dari Gusti Prabu

Pungga Dewa. Karena itu, kuberi peringatan kepadamu! 
Berlututlah dan meminta ampunan. Mungkin aku bisa 
mempertimbangkan tindakanmu.” 
Mendengar ucapan perwira gemuk itu, Pendekar Naga 
Putih malah tersenyum. Meski demikian, kilatan pada 
sepasang matanya tampak menyembunyikan kegusaran. 
Untuk beberapa saat pemuda itu hanya menatap ketiga 
perwira di depannya. Kemudian, berkata dengan suara 
halus dan tenang. 
“Tuan-tuan Perwira yang gagah,” ujar pemuda itu 
perlahan namun jelas terdengar, “Mungkin benar kalian 
mendapat tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. 
Tapi, beginikah cara petugas pemerintah memperlakukan 
rakyat? Haruskah mereka diikat seperti binatang dan 
diseret sepanjang jala tanpa diberi setetes air penghilang 
dahaga mereka. Tidakkah tindakan itu terlalu berlebihan? 
Atau memang begitu bunyi surat perintah Gusti Prabu 
Pungga Dewa?” dengan beraninya pemuda itu bertanya 
penuh penasaran. Kelihatan sekali Panji tidak merasa 
gentar. 
“Seharusnya memang tidak. Tapi karena mereka berani 
memberontak dan mengakibatkan dua prajurit kami 
tewas, terpaksa kami menyiksa mereka agar menjadi 
contoh bagi penduduk desa lainnya,” bantah Legawa. 
Perwira gemuk itu tampak mulai merasa geram karena 
Panji berani menyalahkan tindakannya. 
“Hm... Pasti ada alasan kuat mengapa mereka 
melakukan perlawanan. Mana mungkin penduduk desa 
yang biasanya sangat ramah dan taat sampai mau 
menentang kalau tidak ditekan dan disakiti” tukas Panji,

membuat wajah Legawa dan dua perwira lainnya merah 
terbakar. 
“Kau semakin kurang ajar saja, Kisanak! Kalau kami 
berbuat kasar itu karena mereka berani membangkang. 
Semua ucapanmu membuktikan bahwa kau menyetujui 
tindakan mereka. Dengan demikian kau berarti hendak 
memberontak terhadap kerajaan!” merasa kalah bicara, 
Legawa tidak memperpanjang perdebatan itu. Tubuhnya 
bergerak maju beberapa langkah. Dan pedang di 
tangannya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan 
deruan ingin keras. 
Dua orang perwira lainnya pun melakukan hal yang 
sama. Mereka bergerak dari kiri dan kanan. Tampaknya 
mereka hendak mengeroyok pemuda tampan itu. 
“Hm..., begitu lebih baik...,” ujar Panji. Sedikit pun ia 
tidak merasa gentar menghadapi ketiga perwira yang jelas-
jelas hendak mencelakainya. 
“Haaattt...!” 
Legawa membuka serangan dengan sebuah teriakan 
parau. Pedang di tangannya berkelebat mendatar. Rupa-
nya, perwira gemuk itu menyadari bahwa lawannya cukup 
memiliki kemampuan. Dalam jurus pertama ia langsung 
mengerahkan seluruh tenaganya. 
Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak tanpa merasa 
cemas. Ia menunggu sampai mata pedang tiba. Saat itu, 
dua perwira dari kiri-kanannya juga melancarkan tusukan 
dan sambaran pedang. Melihat jurus-jurus serangan itu, 
Pendekar Naga Putih tahu mereka hendak membunuhnya.

Bweeet, bweeet! 
Syuuuttt...! 
Tiga batang mata pedang mengancam disertai desingan 
tajam menusuk telinga. Pendekar Naga Putih hanya perlu 
menarik mundur kaki depannya selangkah. Dengan 
memiringkan badan, serangan pedang Legawa lewat satu 
jengkal di depan tubuhnya. Sedangkan dua serangan dari 
kiri-kanannya disambut dengan mengembangkan kedua 
lengan. Kemudian, lengan itu berputar dan menggedor 
dada dua perwira itu. 
Desss, desss! 
“Hukhhh!” 
“Uggghhh!” 
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua perwira itu terhempas 
deras ke belakang. Cairan merah meleleh keluar dari 
sudut bibir. Agaknya, bagian dalam tubuh kedua perwira 
itu terguncang oleh hantaman telapak tangan Pendekar 
Naga Putih. Mereka menggigil untuk beberapa saat. 
Karena tenaga pukulan Pendekar Naga Putih mengandung 
hawa sedingin es. 
Dalam waktu yang hampir bersamaan Legawa mem-
peroleh tendangan lurus kaki kanan Pendeka Naga Putih. 
Dengan telak tendangan itu bersaran di perutnya. Karuan 
saja lelaki gemuk itu terbungkuk menahan mual. 
Wajahnya seketika menjadi gelap. Dan sepasang matanya 
membelalak bagai hendak terlompat keluar. 
“Hiaaahhh!” 
Disertai bentakan keras Pendekar Naga Putih 
mengibaskan tamparannya ke wajah Legawa. Lelaki 
gemuk itu tidak sempat lagi menghindari. Hingga....

Prattt! 
Tanpa dapat dicegah Legawa terpelanting dan jatuh 
berdebuk. Perwira gemuk itu tidak bisa segera bangkit. 
Karena kepalanya masih terasa berat. Dan kedua telinga 
nya berdenging. 
***

EMPAT

“Bangsat...!” Legawa melompat bangkit dan melontarkan 
makian seraya menggoyang-goyangkan kepala. Kemudian, 
senjatanya mengibas ke kiri-kanan menerbitkan desingan 
tajam. Legawa siap melanjutkan pertarungan. 
Gumantara dan temannya pun telah bangkit. Keduanya 
kembali membuka jurus dengan putaran pedang. Mereka 
melompat maju dari samping dan belakang. 
“Yeaaattt...!” 
Dibarengi teriakan keras, Legawa menyabetkan 
pedangnya dengan gerak menyilang. Kilatan sinar putih 
berkilau seiring datangnya senjata maut itu. 
Dari dua jurusan lain, dua pengeroyok Pendekar Naga 
Putih juga telah maju menerjang. Pedang di tangan 
mereka siap merenggut nyawa Pendekar Naga Putih. 
Rupanya, pukulan-pukulan Pendekar Naga Putih yang 
singgah di tubuh mereka membuat keduanya mendendam. 
Itu terlihat dari semakin ganasnya serangan mereka. 
Bwettt! Bwettt! Bweet! 
Sambaran ketiga batang pedang itu sedikit pun tidak 
menyulitkan Pendekar Naga Putih. Dengan mengandalkan 
kegesitannya, tubuhnya berkelebatan di antara pedang 
lawan. Dan semua serangan itu kandas tanpa hasil. 
“Haaaiiittt..!” 
Sambil berseru keras Pendekar Naga Putih membalas 
serangan lawan. Telapak tangannya berkelebatan mener-
bitkan desiran angin dingin menusuk tulang. Kecepatan

gerak pemuda itu membuat lawan-lawannya gugup. 
Terutama samparan hawa dingin, yang menghambat gerak 
mereka. Hawa dingin itu sanggup membekukan otot-otot 
tubuh mereka. Sehingga gerakan mereka jadi tak 
beraturan. 
Kali ini Panji memang tidak ingin memberi 
kesempatan kepada lawan untuk membangun serangan. 
Tamparan dan pukulannya datang bagai air bah. Tentu saja 
ketiga perwira itu semakin terdesak. Sampai akhirnya 
mereka tak sanggup lagi melindungi tubuhnya. Dan.... 
Bukkk! 
“Aaakh...!” 
Legawa mendapat bagian pertama. Perwira gemuk itu 
terjengkang ke belakang. Sebuah pukulan telah menyodok 
iganya. Tanpa ampun lagi tubuh perwira gemuk itu 
terbanting ke tanah. Dan ia tidak sanggup bangkit lagi. 
Kesadarannya telah lenyap. Legawa pingsan akibat 
pukulan lawan. 
Dua orang perwira lainnya pun tidak dapat bertahan 
lebih lama. Tamparan dan tendangan Panji melemparkan 
tubuh keduanya sejauh dua tombak. Keduanya langsung 
menggeletak pingsan. Melihat lelehan darah dari sela-sela 
bibir mereka, kedua perwira itu tampaknya mengalami 
luka dalam. Seperti halnya Legawa. 
Menyaksikan ketiga pimpinannya tak berdaya 
menghadapi pemuda itu, para perwira menjadi pucat. 
Mereka bergerak mundur dengan wajah dibasahi keringat 
dingin. Jelas, mereka merasa gentar menghadapi Panji. 
“Hm..., sebaiknya bawa pergi pimpinan kalian itu. Dan 
kuingatkan agar kalian tidak lagi melakukan pemaksaan

terhadap rakyat yang tak berdosa. Kalau tenaga mereka 
kalian perlukan, mintalah dengan baik-baik. Aku yakin 
kalau demi kemajuan bangsa dan Kerajaan Tampak Serang 
rakyat akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran-
nya. Camkan itu baik-baik!” ujar Panji pada sepuluh orang 
perwira Kerajaan Tampak Serang yang hanya mengangguk 
dengan hati berdebar penuh rasa takut. 
Setelah mengingatkan para perwira itu, Pendekar Naga 
Putih bergerak menghampiri penduduk Desa Kendal. 
Mereka ternyata belum juga mau pergi meninggalkan 
tempat itu. “Mengapa kalian masih berada di sini?” tegur 
Panji. 
“Kami belum mengucapkan terima kasih kepada Tuan 
Pendekar. Selain itu, kami khawatir mereka akan datang 
lagi untuk menghukum dan menyeret kami secara 
paksa...,” petani bertubuh gagah yang kelihatan paling 
berani dan pandai berbicara segera menyahuti. 
Mendengar ucapan itu, Panji tercenung sejenak. 
Dipandanginya wajah-wajah yang membayangkan 
kecemasan itu untuk beberapa saat. Dan, terhenti pada 
seraut wajah gagah yang barusan mengutarakan 
kekhawatirannya. 
“Aku mengerti perasaan kalian. Tapi percayalah. Aku 
tidak akan tinggal diam. Kejadian ini membuatku ingin 
mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di 
Kerajaan Tampak Serang. Aku akan menuntaskan masalah 
ini secepatnya. Untuk itu, kuharap kalian tidak perlu 
merasa cemas,” ujar Panji yang tentu saja bukan cuma 
sekadar menghibur. Tapi, ia benar-benar hendak 
menyelidiki kejadian itu.
Janji pemuda tampan berjubah putih itu tampaknya 
melegakan hati penduduk Desa Kendal. Mereka 
memandang wajah Panji dengan pandangan terima kasih. 
“Nah, sekarang sebaiknya kalian pulang. Biar porsoalan 
ini aku yang menyelesaikannya...,” lanjut Panji dengan 
nada tidak ingin dibantah, meski tetap sopan dan lembut. 
“Tapi..., kami belum mengenal siapa Kisanak yang 
gagah?” tanya petani gagah mewakili pertanyaan yang 
tersimpan dalam hati kawan-kawannya 
“Panggil saja aku Panji...,” sahut Panji tersenyum 
ramah. Kemudian, menganggukkan kepala mengiringi 
langkah orang-orang Desa Kendal yang bergerak 
meninggalkan tempat itu. 
Panji baru bergerak pergi setelah rombongan 
penduduk Desa Kendal lenyap di kejauhan. Demikian pula 
rombongan pasukan Kerajaan Tampa Serang. Tempat itu 
pun kembali sepi tanpa seorang pun terlihat. 
*** 
“Ini tidak bisa didiamkan. Kita harus meminta keadilan 
di kotaraja. Apa yang dilakukan pihak kerajaan jelas tidak 
adil, dan menyengsarakan rakyat yang memang 
kehidupannya sudah susah!” 
Ucapan penuh rasa penasaran dan tak puas itu keluar 
dari mulut seorang lelaki tegap. Saat itu tengah duduk di 
sebuah kedai bersama dua orang kawannya. 
“Benar!” lelaki kedua yang sepasang matanya bersinar 
tajam dengan wajah terhias kumis lebat menimpali. “Kalau 
cuma karena sebuah istana untuk tempat peristirahatan

Gusti Prabu Pungga Dewa, mengapa keringat rakyat harus 
diperas demikian kejam? Kalau pun pihak kerajaan 
memang memerlukan tenaga rakyat, semestinya mereka 
memberi imbalan yang pantas. Karena rakyat mem-
butuhkan makan serta pakaian. Ini jelas harus kita 
tentang!” lanjutnya tak puas. 
Sedang orang ketiga yang lebih tua dari kedua 
temannya hanya diam mendengarkan. Meski demikian, 
lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir keras. Ia 
memang bukan tidak mendengarkan ucapan kedua 
kawannya. Tapi, tengah berusaha mencari jalan keluar 
yang baik. 
“Bagaimana, Kakang Wiguna? Kalihatannya kau tidak 
begitu mendengarkan pembicaraan kami?” tegur lelaki 
tegap yang pertama kali berbicara. Ia merasa heran 
melihat tidak adanya tanggapan dari lelaki itu. 
Ki Wiguna tidak segera memberikan jawaban. Ia 
menarik napas sebentar. Kemudian ditatapnya wajah 
kedua kawannya dengan tenang. Dan kembali menarik 
napas. Kali ini cukup panjang dan agak berat 
“Adi Ranggala, Adi Gowanta,” ujar Ki Wiguna 
perlahan dan tenang, tanpa terburu-buru, “Semua yang 
kalian bicarakan tadi tentu saja aku dengar dengan jelas. 
Masalahnya, kita tidak bisa langsung bertindak dan 
melaporkan hal ini. Seperti kita semua tahu, para prajurit 
kerajaan memiliki surat resmi dari Gusti Prabu Pungga 
Dewa. Itu berarti pihak kerajaan memang benar-benar 
mengutus tentaranya untuk mencari tenaga guna mem-
bangun istana peristirahatan itu. Hanya cara kerja mereka 
yang tidak bisa kita terima. Jika kita mendatangi kotaraja

dan mengadukan hal ini, kemungkinan besar kitalah yang 
dituduh menyebar fitnah. Sebab, bukan tidak mungkin 
semua ini merupakan kerja orang-orang yang duduk di 
pemerintahan. Aku khawatir mereka malah akan men-
jebloskan kita ke dalam penjara. Atau mungkin lebih 
buruk dari itu.” 
Mendengar ucapan Ki Wiguna, Ranggala dan Gowanta 
saling bertukar pandang dengan kening berkerut. 
Tampaknya mereka tidak berpikir ke arah itu. Keduanya 
kaget mendengar perkataan Ki Wiguna. 
“Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk 
menghadapi hal ini, Kakang?” Ranggala, lelaki tegap itu 
membuka suara dengan agak putus asa. Apa yang baru saja 
dipaparkan Ki Wiguna memang cukup masuk akal. 
“Itulah yang membuatku termenung, Adi Ranggala. 
Sayangnya sampai saat ini aku belum juga menemukan 
jalan keluar yang baik,” sahut Ki Wiguna dengan wajah 
menyesal. 
Ranggala dan Gowanta menarik napas panjang. 
Jawaban Ki Wiguna membuat mereka tidak bisa berkata 
apa-apa lagi. Untuk beberapa saat, mereka termenung 
mengikuti arus pikiran masing masing. 
“Begini saja, Kakang,” tiba-tiba Gowanta memecahkan 
keheningan di antara mereka. Rupanya, ia mendapatkan 
sebuah pemikiran yang cukup baik. 
“Bagaimana...?” tanya Ki Wiguna sungguh-sungguh. 
“Katakanlah, Adi Gowanta. Siapa tahu jalan pikiranmu 
cukup baik bagi kita,” Ranggala kelihatan tak sabar ketika 
melihat Gowanta agak ragu untuk menyampaikannya. 
“Menurutku sebaiknya kita berpura-pura ikut bekerja

membangun istana peristirahatan itu. Saat para prajurit 
mencari pekerja ke desa; kita ikut mendaftar. Dengan 
begitu kita bisa melihat bagaimana nasib para penduduk 
yang bekerja di sana. Kalau memang benar para prajurit 
itu bertindak kejam, tinggal kita terobos dan membebas-
kan rakyat yang bernasib buruk itu. Bagaimana? Apakah 
kalian setuju?” tanya Gowanta setelah menjelaskan 
usulnya. 
“Usul itu memang cukup bagus. Sayangnya 
mengandung resiko yang cukup besar,” tukas Ranggala 
kurang setuju dengan usul Gowanta. 
“Benar. Selain itu, aku telah banyak mendengar 
tentang tokoh-tokoh persilatan yang melakukan tindakan 
itu. Tapi, mereka tidak pernah dapat keluar dari tempat 
itu. Karena di sana terdapat jagoan-jagoan kerajaan yang 
berkepandaian tinggi. Jelas usul Adi Gowanta tidak 
mungkin dapat kita lakukan. Itu sama saja dengan 
memasuki sarang harimau!” jelas Ki Wiguna juga kurang 
setuju. Ia memang lebih banyak tahu ketimbang Ranggal 
dan Gowanta. 
“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang. Rasanya 
aku tidak tega membiarkan hal ini berlarut-larut. Apalagi 
menurut selentingan kabar yang terdengar sudah cukup 
banyak korban berjatuhan di tempat itu. Rakyat bekerja 
dalam tekanan yang berat, tak ubahnya kerja paksa! Selain 
tidak diberi imbalan, makan dan tidur mereka pun tidak 
teratur. Bukankah ini sudah melewati batas?” Gowanta 
kembali mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap 
kerajaan. 
Ki Wiguna dan Ranggala tidak menyahuti.

Pembicaraan terputus karena mereka mendengar suara 
langkah kaki mendatangi meja mereka. Ada sedikit 
ketegangan tergambar di wajah mereka. Jelas, ketiga 
tokoh persilatan itu sangat berhati-hati. Mereka takut ada 
mata-mata yang mendengarkan pembicaraan itu, kendati 
ucapan mereka dilakukan dengan hati-hati. 
“Maaf, kalau kehadiranku mengganggu pembicaraan 
Kisanak bertiga,” ucapan itu terdengar begitu sopan, 
menunjukkan kehalusan budi pemiliknya. Hingga, ketiga 
lelaki gagah itu menolehkan kepala dan menatap pemilik 
suara. 
“Aku sempat mendengarkan pembicaraan sanak 
bertiga. Dan rasanya aku tertarik untuk ikut bergabung. 
Tentu saja kalau Kisanak tidak keberatan menerimaku,” 
kembali orang itu menyambung ucapannya. 
Ki Wiguna dan dua orang kawannya belum juga 
menyahut. Mereka meneliti orang yang berbicara itu. Ia 
adalah seorang pemuda tampan dengan air muka segar 
penuh senyum. Tubuhnya yang sedang namun kelihatan 
berisi terbungkus jubah putih sebatas lutut. Keseluruhan 
penampilan pemuda itu simpatik dan menimbulkan rasa 
suka bagi yang memandangnya. Tapi yang lebih menarik 
ketiga lelaki gagah itu adalah tatapan mata-pemuda 
tampan berjubah putih. Sinar matanya terlihat demikian 
tajam dan penuh perbawa. Sebagai orang-orang persilatan, 
ketiganya tahu dan sekaligus terkejut. Sinar mata seperti 
itu hanya dimiliki tokoh-tokoh sakti, yang tenaga 
dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Mereka menjadi 
heran dan tertegun beberapa saat. 
“Kalian keberatan jika aku ikut bergabung...?”

Pertanyaan yang diucapkan dengan perlahan itu 
ternyata mengejutkan Ki Wiguna dan kawan-kawannya. 
Serentak wajah ketiganya menjadi kemerahan. Sadar akan 
sikapnya yang kurang bijaksana dan seperti orang bodoh. 
“Aaa.... Tidak... tidak.... Kami sama sekali tidak 
keberatan...,” cepat-cepat Ki Wiguna menukas seraya 
memperbaiki sikapnya yang kurang pantas. 
“Benar, Kisanak. Kami sama sekali tidak keberatan. 
Silakan...,” Ranggala ikut menimpali kendati terlihat agak 
salah tingkah. 
“Terima kasih...,” ujar pemuda tampan itu tersenyum 
dan menarik kursi yang masih kosong. Kemudian duduk 
dengan tenang sambil merayapi wajah ketiga lelaki gagah 
itu. 
Karena masih belum mengetahui dengan jelas maksud 
pemuda tampan itu bergabung dengan mereka, Ki 
Wiguna dan kawan-kawannya berdiam diri. Mereka tidak 
ada yang berbicara. Itu berlangsung beberapa saat. 
“Maaf,” pemuda tampan itu akhirnya memulai 
percakapan. “Ada baiknya kalau aku memperkenalkan 
diri. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa saling 
terbuka. Namaku Panji. Seorang perantau miskin yang 
tidak mempunyai tempat tinggal tetap.” 
“Panji...!?” 
Ki Wiguna kelihatan agak terkejut mendengar nama 
itu. Keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan 
sesuatu. Ditatapnya pemuda yang duduk di depannya 
dengan penuh selidik dan dada berdebar. Sehingga, 
Ranggala dan Gowanta menjadi heran melihat sikap 
kawannya.

“Benar. Aku bernama Panji...,” jelas pemuda tampan 
berjubah putih menegaskan. 
“Kisanak,” akhirnya Ki Wiguna mengeluarkankan suara 
setelah membisu beberapa saat. “Katakanlah dengan jujur. 
Apakah kau berjuluk Pendekar Naga Putih?” tanya Ki 
Wiguna, debaran dalam dadanya terasa semakin keras. 
Rupanya, lelaki tua itu pernah mendengar nama Panji. 
Meski lupa-lupa ingat tentang tempat dan waktunya. 
“Begitulah orang-orang memberikan julukan kepada-
ku,” sahut Panji membenarkan dugaan Ki Wiguna. Ia 
merasa tak perlu menyembunyikan julukannya. Semua itu 
tentu saja berdasarkan beberapa pertimbangan. 
“Pendekar Naga Putih...?!” 
Ranggala dan Gowanta berdesis dengan wajah berubah 
tegang! Kedua lelaki gagah itu sedikit pun tidak menduga 
kalau pemuda tampan di depannya pendekar besar yang 
namanya telah menggetarkan jagat. 
“Benar! Kau pastilah Pendekar Naga Putih...!” seru 
Ranggala dengan suara ditekan sekecil mungkin. 
Tampaknya, ia tidak ingin pengunjung kedai mendengar 
disebutnya nama pendekar besar itu. 
Ki Wiguna tersenyum lebar tak sanggup menahan 
luapan kegembiraan. Lelaki gagah itu tertawa sebagai 
ungkapan rasa senangnya dapat berjumpa dengan tokoh 
muda yang sepak terjangnya telah merepotkan golongan 
sesat. Sama sekali tidak disangkanya hari ini dapat 
berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang tersohor 
itu. 
“Maaf kalau sambutan kami tadi sangat tidak layak, 
Pendekar Naga Putih. Kami benar-benar tidak menduga

akan kehadiranmu di kedai ini...,” ucap Ki Wiguna yang 
segera bangkit dan menyalami Panji dengan penuh 
kehangatan. 
“Tidak mengapa, Kisanak. Aku maklum...,” tukas 
Panji tersenyum menyambut uluran tangan Ki Wiguna. 
Ranggala dan Gowanta pun bergegas bangkit dan 
menyalami Pendekar Naga Putih. Kelihatan sekali 
kegembiraan terpancar dari wajah-wajah mereka. 
Agaknya, Ki Wiguna dan kawan-kawannya benar-benar 
merasa senang dapat berjumpa dengan pendekar muda 
itu. 
Panji menerima uluran tangan Ranggala dan Gowanta 
dengan tidak kalah hangat. Sikapnya tetap ramah dan 
sopan, tidak terkesan membanggakan julukannya. 
Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya semakin 
menaruh rasa kagum dan hormat. 
“Tentunya kau sudah mendengar semua pembicaraan 
kami, Panji? Nah, mungkin kau mempunyai rencana yang 
bisa dijadikan jalan keluar untuk masalah itu,” ujar Ki 
Wiguna kemudian setelah saling memperkenalkan diri. 
“Rasanya aku cukup tertarik dengan usul yang diajukan 
Gowanta. Karena aku sendiri memang hendak melaku-
kannya...,” sahut Panji segera mengutarakan pendapatnya. 
“Hm... Sebenarnya, terus terang aku kurang begitu 
setuju. Tapi, dengan adanya kau, Panji, aku tidak lagi 
merasa khawatir. Aku ikut mendukung usul yang diajukan 
Adi Gowanta,” tandas Ki Wiguna, merubah pikirannya 
setelah adanya Pendekar Naga Putih di tengah-tengah 
mereka. Rarena Ki Wiguna telah cukup banyak men-
dengar kehebatan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba persilatan. 
“Ya. Aku pun setuju!” timpal Ranggala tidak mau 
ketinggalan. Seperti halnya Ki Wiguna, Ranggala pun 
berubah pikiran setelah adanya Pendekar Naga Putih 
bersama mereka. 
“Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Tapi, 
tentunya aku membutuhkan bantuan kalian bertiga. Aku 
baru saja tiba di daerah ini, dan belum tahu banyak 
tentang tempat-tempat di sini. Untuk itu aku minta 
petunjuk dari kalian. Kuharap kalian jangan sungkan-
sungkan memberikan petunjuk kepadaku...,” ujar Panji 
merendah. Tapi, ucapan itu dikeluarkan dengan sungguh-
sungguh. Sehingga, Ki Wiguna dan teman-temannya 
merasa tersanjung. 
“Kita akan saling bantu, Pendekar Naga Putih...,” tukas 
Ki Wiguna tersenyum lebar dengan wajah cerah. “Mari 
kita minum untuk merayakan pertemuan ini...!” lanjutnya 
seraya mengangkat gelas bambu dan meminumnya tanpa 
ragu. 
Pendekar Naga Putih, Ranggala, dan Gowanta 
mengikuti tindakannya. Pertemuan itu terasa semakin-
menggembirakan. Apalagi, ketika Ki Wiguna memanggil 
pelayan dan memesan hidangan. Pesta kecil itu jadi 
semakin hangat. Mereka bertambah akrab satu sama lain. 
***

LIMA

“Hayo, bekerja yang giat! Jangan bermalas-malasan...!” 
Lelaki berperawakan tinggi besar dengan cambang 
bauk lebat berteriak-teriak lantang. Sikapnya terlihat 
garang dan bengis. Ia berdiri dengan kaki terpentang 
mengawasi pekerja-pekerja yang tengah sibuk memecah 
batu padas, menggerogoti sebuah bukit. Kedua tangannya 
bertolak pinggang. Sebuah cambuk tergenggam di tangan 
kanan. Lelaki tinggi besar itu bagai seorang algojo yang 
siap menjatuhkan hukuman. 
Sementara itu, tubuh-tubuh kotor bertelanjang baju di 
bawahnya tampak bercucuran peluh. Tubuh mereka kurus 
dan tidak terawat baik, dengan garis-garis bawah meng-
gambarkan penderitaan yang tak berkesudahan. Jelas 
sekali mereka bekerja dengan sangat terpaksa. Karena 
takut mendapat hukuman dari lelaki tinggi besar yang 
selalu setia mengawasi mereka. 
Saat itu matahari memancar garang, menambah 
beratnya pekerjaan yang harus dilakukan. Terik sinar 
matahari bagai hendak membakar tubuh-tubuh hitam dan 
kotor itu. Alam sedikit pun tidak menunjukkan sikap 
bersahabat kepada pekerja-pekerja. 
Lelaki tinggi kekar yang mengawasi mereka tiba-tiba 
menoleh. Ia mendengar suara langkah kaki banyak orang 
menghampiri tempat itu. Keningnya tampak berkerut 
melihat serombongan orang berpakaian lengkap bergerak 
menghampiri dikawal delapan orang prajurit bersenjata.

“Hm.... Ada orang-orang baru rupanya...?” tegur 
lelaki tinggi kekar dengan suara parau dan berat. Ia ber-
gerak menyambut dengan senyum di bibir. Kelihatannya 
ia sangat gembira. Datangnya orang-orang baru, berarti 
tenaga-tenaga baru dan kuat. 
“Ini kami membawa lima belas orang pekerja yang akan 
diperbantukan untuk memecah batu padas, Jonggala...!” 
ujar salah satu dari delapan prajurit yang berada di barisan 
depan. 
“Bagus! Aku memang sudah bosan melihat pekerja-
pekerja dungu yang malas itu...,” sahut lelaki tinggi kekar 
bernama Jonggala sambil melemparkan pandang ke arah 
pekerja-pekerjanya. Keningnya berkerut tak senang. 
Ketika melihat seorang pekerja tampak berhenti dan 
memperhatikan rombongan yang baru datang. 
“Kurang ajar! Hei, apa yang kau lihat, Pemalas...!” 
Jonggala kelihatan marah sekali. Dengan wajah bengis, 
lelaki kekar itu melangkah menghampiri. Kemudian.. 
Ctarrr! Ctarrr...! 
“Aaakhhh...!” 
Lelaki berusia empat puluh tahun yang sebenarnya 
tidak melakukan kesalahan itu menjerit kesakitan. 
Tubuhnya terpelanting jatuh. Terus menggelinding ke 
bawah dan terbanting di tanah keras. 
“Oooh...!” 
Lelaki yang sebenarnya tegap itu menggeliat kesakitan. 
Pada punggungnya terdapat garis merah bekas lecutan 
cambuk. Ia berusaha bergerak bangkit dengan wajahnya 
berkerut-kerut menahan sakit.

“Manusia pemalas...!” lagi-lagi Jonggala memaki 
marah. Cambuk di tangannya kembali meluncur. Tidak 
ada rasa iba sedikit pun di hatinya. Padahal, lelaki itu 
tengah susah-payah hendak bangkit. 
Terdengar jeritan kesakitan ketika ujung cambuk 
Jonggala menyengat tubuh kurus itu. Sehingga, untuk 
kedua kalinya pekerja itu menggeliat dan terjerembab 
jatuh. Kali ini ia tidak mampu segera bangkit. Dari 
mulutnya yang mengalirkan darah segar terdengar erang 
kesakitan. 
Peristiwa itu sedikit pun tidak membuat pekerja yang 
lainnya berhenti. Mereka berpura-pura tidak melihat 
penderitaan kawannya, dan terus bekerja. Karena sekali 
saja mereka lengah, bukan mustahil ujung cambuk itu 
akan singgah di tubuh mereka. Hal itu sudah sering kali 
terjadi. 
Sementara itu, sepasang mata milik seorang lelaki 
tegap yang berada di antara rombongan menyorot tajam 
penuh kebencian. Kelihatannya ia sudah tidak sabar lagi 
menyaksikan kekejaman yang berlangsung di depan 
matanya. Tapi, saat kakinya hendak melangkah sebuah 
jari-jari tangan kokoh mencegahnya. 
“Sabar, Ranggala. Biarlah untuk kali ini kita hanya 
menyaksikan. Kita belum tahu jelas keadaan tempat ini,” 
bisik pemuda tampan bertubuh sedang yang mengenakan 
jubah putih. Ia tidak lain Panji. 
Ranggala terpaksa menarik napas panjang. Kemudian 
berpaling menatap dua orang kawannya, Ki Wiguna dan 
Gowanta. Rupanya, keempat tokoh itu telah berhasil 
menyelusup dalam rombongan pekerja yang didapat dari

desa-desa. Kini mereka telah berada di sebuah tempat 
yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak. 
Tempat itu luas sekali. 
Panji menghela napas lega melihat Ranggala mau 
menuruti anjurannya. Ia sendiri sebenarnya tidak tahan 
melihat tindakan Jonggala. Tapi karena belum tahu 
bagaimana keadaan di tempat itu, Panji tidak segera 
bertindak. Ia menahan perasaan marahnya sekuat tenaga. 
Semula Panji agak khawatir untuk memasuki tempat 
itu. Ia pernah menghajar rombongan prajurit kerajaan saat 
membawa penduduk Desa Kendal. Pemuda itu akan 
bertemu dengan prajurit yang pernah dipecundanginya. 
Tapi, ternyata dugaannya meleset. 
Legawa dan pasukannya tidak berada di tempat itu. 
Rupanya, masing-masing pasukan mempunyai tugas yang 
berbeda. Dan, pasukan yang dipimpin Legawa hanya 
bertugas untuk mencari pekerja-pekerja. Kemudian 
mengirimkannya ke tempat yang telah disediakan. Dan 
pergi lagi untuk mencari tenaga kerja lainnya. Yang 
mengantar para pekerja ke tempat itu adalah pasukan yang 
berada di tempat penampungan terakhir. Mereka 
diantarkan ke tempat yang bernama Cadas Hantu. Di 
tempat itulah para pekerja diperas tenaganya siang dan 
malam. Hampir tidak pernah beristirahat. Karena waktu 
untuk beristirahat hanya sempit sekali. 
Saat itu, Jonggala telah puas menyiksa pekerjanya. Ia 
pergi meninggalkannya dan kembali menghampiri 
rombongan pekerja yang baru tiba. 
“Kalian boleh pergi...,” ujar Jonggala pada delapan 
orang prajurit yang mengantarkan rombongan Panji. “Dan

kalian tanggalkan pakaian. Kerjalah yang baik dan jangan 
sampai cambukku berbicara!” perintahnya kepada 
rombongan yang baru tiba. 
Tanpa banyak membantah, anggota rombongan yang di 
antaranya Panji melepaskan pakaiannya. Tak seorang pun 
yang membawa senjata. Karena di pintu gerbang pertama 
senjata mereka telah dilucuti. Itu pun kalau ada. Kalau 
tidak, mereka hanya diperiksa sebelum diantarkan ke 
tempat mereka bekerja. 
Ranggala, Ki Wiguna, dan Gowanta memang telah 
mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka telah membuang 
senjatanya sebelum menyelusup ke dalam rombongan. 
Mereka pun menyadari tempat itu sulit ditembus. 
Penjaganya demikian ketat. Semua itu mereka lihat 
sepanjang jalan menuju tempat mereka akan bekerja. 
Mereka pun menjadi maklum mengapa tokoh-tokoh 
persilatan yang menyelusup masuk tidak dapat keluar 
dengan nyawa masih melekat di badan. Untuk melarikan 
diri dari tempat itu memang pekerjaan yang hampir 
mustahil! 
Setelah melolos pakaiannya, Panji dan anggota 
rombongan langsung diberi tugas. Mulailah mereka 
bekerja dengan alat yang telah disediakan. Melihat 
pekerjaan yang harus dilakukannya, Panji maklum 
mengapa pekerjaan itu terasa sangat berat. Bukit yang 
harus mereka ratakan merupakan batu cadas yang sangat 
keras, tak ubahnya benda logam. Untuk memecahkan 
memang bukan pekerjaan yang ringan. Pantaslah kalau 
banyak orang tak sanggup bertahan lama. Panji baru 
mengerti mengapa mereka tidak pernah berhenti dalam

usaha mencari tenaga-tenaga baru. Untuk meratakan bukit 
itu diperlukan banyak tenaga serta waktu yang lama. 
“Hm... Gusti Prabu Pungga Dewa benar-benar 
keterlaluan! Menurutku, agak mustahil kalau beliau 
hendak membangun istana peristirahatan di daerah Cadas 
Hantu ini. Benar pemandangan di tempat ini memang 
sangat indah. Tapi, untuk meratakan bukit ini akan 
memerlukan waktu tahunan. Celaka, kalau begini. Bisa 
habis rakyat Tampak Serang...,” gumam Panji yang mulai 
mengayunkan alat pemecah batu dengan menggunakan 
tenaga dalam. 
Crakkk! “ 
Hasil pekerjaan Panji tentu saja tidak bisa disamakan 
dengan pekerja-pekerja lainnya. Hanya dengan menambah 
sedikit tenaganya, batu padas yang hitam seperti besi itu 
dapat dipecah dengan dua kali hantam. Sehingga, 
pekerjaannya lebih cepat dari pekerja-pekerja lainnya. 
Demikian pula dengan Ki Wiguna, Ranggala, 
Gowanta. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan, sehingga 
dapat melakukan pekerjaan itu dengan lebih baik dari 
pekerja-pekerja lainnya. Jonggala agak terkejut menyaksi-
kan hasil pekerjaan keempat pekerja baru itu. 
“Hm.... Tampaknya mereka memiliki tenaga yang 
besar. Bukan tidak mungkin keempat orang itu kaum 
rimba persilatan yang kebetulan tertangkap oleh 
pasukan...,” gumam Jonggala yang kelihatan tidak 
menaruh curiga. 
Sebelumnya memang telah ada tokoh-tokoh persilatan 
yang dibawa oleh pasukan untuk dipekerjakan. Beberapa 
orang yang mencoba hendak memberontak telah dibunuh

tanpa ampun. Sehingga, Jonggala tidak merasa khawatir 
meski keempat pekerja baru itu diduganya sebagai orang-
orang persilatan. Penjagaan di tempat itu sangat ketat. 
Tidak mungkin mereka berani memberontak, kecuali 
memang sengaja hendak mencari mati. 
*** 
Malam telah menyelimuti persada. Kegelapan yang 
hanya diterangi sinar bulan sabit tidak mengganggu 
kegiatan di Cadas Hantu. Obor-obor yang banyak 
dipasang untuk penerangan membantu para pekerja agar 
dapat meneruskan pekerjaannya. Sehingga, bagi para 
pekerja tidak ada bedanya antara siang dan malam. 
Mereka tetap bekerja sampai jauh malam. 
Udara di Cadas Hantu itu ternyata sangat dingin bila 
malam hari. Kalau pada siang hari pancaran sinar matahari 
sangat panas menyengat kulit, malam harinya mereka 
menggigil kedinginan. Pergantian udara yang sangat jauh 
berbeda itu membuat para pekerja tidak sanggup 
bertahan. Terlebih mereka bekerja dengan perut kosong. 
Para pekerja itu hanya mendapat makan satu kali, pada 
waktu fajar terbit. Dan kalau tidak datang tepat pada 
waktunya, terpaksalah mereka berpuasa sepanjang hari. 
Sebab, terlambat sedikit saja, mereka tidak mendapat 
makanan. Sampai demikian keras dan kejamnya peraturan 
di tempat itu. 
“Sudah tiga hari kita berada di neraka ini, Panji. 
Rasanya aku sudah tidak tahan tinggal lebih lama lagi. Aku 
pun merasa kasihan dengan rakyat yang terlihat demikian

sengsara. Kita harus segera bertindak, Panji...,” Ranggala 
mengutarakan perasaannya saat mereka beristirahat, 
setelah bekerja sampai jauh malam. Mereka baru berhenti 
pada waktu tengah malam. 
“Jangan tergesa-gesa dulu, Ranggala. Selama dua 
malam ini aku telah menyelidiki seluruh tempat ini. Aku 
menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan!” tukas 
Panji menyabarkan Ranggala. Karena Panji masih belum 
menemukan cara untuk mengeluarkan pekerja-pekerja 
itu. 
“Apa yang kau temukan, Panji?” tanya Ki Wiguna 
menatap wajah tampan itu lekat-lekat. 
“Tempat ini ternyata dijaga oleh sekitar tiga ratusan 
orang prajurit. Belum ditambah dengan jagoan-jagoan 
istana, termasuk Jonggala di dalamnya. Kalau hanya kita 
berempat yang lolos tentu tidak terlalu sulit. Tapi 
bagaimana dengan pekerja-pekerja itu? Aku khawatir jika 
kita gagal nasib mereka akan semakin buruk. Karena 
Jonggala tidak segan-segan melakukan siksaan...,” ujar 
Panji membuat ketiga lelaki gagah itu terperanjat. Di 
sekitar daerah itu mereka tidak melihat tempat yang dapat 
menampung sekian banyak prajurit. 
“Kau yakin...?” tanya Gowanta belum bisa percaya 
dengan keterangan Panji. 
“Tentu saja, Gowanta. Aku telah melihat dengan mata 
kepalaku sendiri. Prajurit-prajurit itu sengaja ditempatkan 
tersembunyi dan tak terlihat oleh kita. Tapi, sewaktu-
waktu mereka dapat muncul dan menggasak habis bagi 
siapa saja yang mencoba lari dari tempat celaka ini...,” 
jawab Panji bersungguh-sungguh, membuat dada ketiga

orang gagah ihi berdebar tegang. 
“Hm.... Kalau harus menghadapi tiga ratus orang 
prajurit dan masih ditambah dengan jagoan-jagoan istana, 
jelas sulit sekali bagi kita untuk membebaskan rakyat. 
Mendengar keteranganmu, aku jadi sangsi dengan 
keberhasilan rencana kita...,” Ranggala terdengar meng-
hembuskan napas berat. Wajahnya menyembunyikan 
kecemasan. Apa yang mereka rencanakan ternyata sulit 
untuk dilaksanakan. 
“Itu sebabnya kita harus bersabar, Ranggala. Aku 
tengah memikirkan jalan keluar untuk dapat pergi dan 
membebaskan pekerja-pekerja itu, yang jumlahnya 
mencapai ratusan orang,” tukas Panji tetap tenang. 
Kendati jiwanya tak lepas dari incaran maut. 
“Kau punya rencana, Panji...?” Ki Wiguna yang juga 
mulai ragu mengajukan pertanyaan. Ia melihat sikap 
pemuda itu tetap tenang tanpa kecemasan sedikit pun. 
“Beri aku waktu satu malam lagi untuk berpikir, Ki 
Wiguna. Kalau belum juga menemukan jalan keluarnya 
aku akan mendatangi Gusti Prabu Pungga Dewa. Kalau 
perlu mengancamnya agar membatalkan rencana mem-
buat istana peristirahatan di tempat ini, yang jelas agak 
mustahil. Kalaupun berhasil harus banyak nyawa rakyat 
dikorbankan sebagai tumbalnya. Kau tahu sendiri, bukan? 
Bagaimana kuatnya batu cadas yang mesti kita pecahkan 
itu?” Panji mengutarakan rencananya. 
“Baiklah. Kami tunggu keputusanmu...,” ujar Ki 
Wiguna yang tentu saja tahu bagaimana beratnya 
pekerjaan yang harus mereka lakukan. 
Ranggala dan Gowanta hanya menganggukkan kepala.

Kemudian percakapan terhenti. Keempat orang itu 
mencoba beristirahat, meski fajar tak lama lagi akan 
terbit. Pertanda mereka harus kembali menjalani siksaan 
yang disebut sebagai pekerjaan itu. 
***

ENAM

“Bangun kau pemalas...!” Jonggala, lelaki bertubuh tinggi 
kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk memasuki 
barak pekerja dengan cambuk di tangan. Sesekali 
terdengar ledakan ketika cambuk itu diayunkan ke udara. 
Percikan bunga api berpendar menandakan kekuatan 
tenaga pemiliknya. 
Ctarrr! Ctarrr! 
Ledakan cambuk yang menulikan telinga terdengar 
mengejutkan. Para penghuni barak yang tengah terbuai 
mimpi tersentak dari tidurnya. Mereka bergerak bangkit 
dan berlarian keluar. Jelas terlihat betapa mereka sangat 
takut kepada Jonggala, yang memang tidak segan-segan 
bertindak kejam pada siapa saja yang berani mem-
bangkang. 
“Hei, kau! Ayo bangun...!” 
Sepasang alis Jonggala yang tebal nyaris bertemu di 
tengah kening. Sorot matanya yang bengis tertuju ke 
sosok tubuh yang masih saja terbaring. Jonggala segera 
menghampiri dan menendang pembaringan. 
Brakkk! 
Terdengar suara keras disusul robohnya pembaringan 
kayu. Tubuh di atasnya pun terbanting jatuh. Terdengar 
suara rintih dari mulut lelaki kurus yang meringkuk di 
tanah. 
Jonggala kelihatan tidak ambil pusing. Kendati ia tahu 
orang itu tengah menderita sakit, tetap saja ia meng

inginkan agar lelaki itu bekerja seperti biasa. Jonggala 
melangkah lebar dan mengulurkan tangannya siap 
mengangkat bangkit sosok kurus yang tengah menggigil 
itu. 
Pada saat jari-jari kokoh Jonggala siap mencengkeram 
leher baju lelaki itu mendadak berkelebat sesosok 
bayangan. Dan tahu-tahu pergelangan Jonggala tercekal 
ketat. 
“Kisanak, harap jangan terlalu kejam...,” terdengar 
suara halus menegur perbuatan Jonggala. 
Jonggala tentu saja menjadi gusar ketika pergelangan 
tangannya dicekal demikian kuat. Tapi, lelaki tinggi kekar 
itu terlihat kaget. Karena meski telah mengerahkan 
tenaga, cekalan itu tidak mampu dilepaskan. Kenyataan 
itu membuat Jonggala memaksa diri melihat siapa yang 
berani berbuat demikian kepadanya. 
“Kisanak. Orang ini jelas sedang sakit. Menurut 
penglihatanku ia tidak akan mampu bekerja. Kuharap kau 
sedikit mengerti dan membiarkannya beristirahat untuk 
satu dua hari...,” ucap sosok yang mencekal pergelangan 
Jonggala. 
Jengkel bukan main hati Jonggala. Selama ini belum 
pernah ada seorang pun yang berani mengucapkan kata-
kata demikian kepadanya. Jangankan menasihatinya, 
menentang pandang matanya saja belum pernah ada yang 
berani. Tentu saja teguran yang baru pertama kali itu 
membuatnya berang. 
Tapi, sosok pemuda tampan berjubah putih itu 
kelihatan tetap tenang. Sepasang matanya yang tajam 
berpengaruh menentang pandang mata Jonggala. Siapa

lagi pemuda tampan itu kalau bukan Panji. Rupanya, 
secara kebetulan Jonggala bertugas membangunkan para 
pekerja di mana Panji ditempatkan. Perbuatan Jonggala 
yang melewati batas membuat Panji terpaksa bertindak. 
“Hm... Kau rupanya...!” geram Jonggala yang rupanya 
sempat memperhatikan saat pemuda itu datang bersama 
rombongan. “Orang ini cuma berpura-pura sakit, ia jelas 
tidak ingin bekerja!” 
“Tidak, Kisanak. Coba kau lihat baik-baik benar-benar 
sakit dan membutuhkan perawatan...” sanggah Panji 
bersikeras tanpa melepaskan pandang matanya. Diam-
diam Panji mengerahkan kekuatan tenaga batin untuk 
melumpuhkan Jonggala. 
Kekuatan pandang mata Panji mulai mempelihatkan 
hasil. Jonggala tampak mengerjap beberapa kali. 
Kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia tidak 
sanggup melawan perbawa yang timbul dari sepasang 
mata pemuda itu. 
Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta yang semula 
tegang melihat kejadian itu menghela napas lega. Mereka 
maklum apa yang dilakukan Panji sangatlah berbahaya. 
Tapi, mereka juga tidak menyalahkan. Tindakan Jonggala 
memang sangat keterlaluan. Sehingga, ketiga tokoh itu 
telah bersiap-siap kalau kejadian itu akan berbuntut 
panjang. Tapi, ternyata tidak. 
“Hm...,” Jonggala hanya bergumam tak jelas. 
Kelihatannya ia agak gentar juga. Terbukti ia kemudian 
melangkah keluar setelah menoleh sekilas ke arah pekerja 
yang masih merintih dengan tubuh menggigil. 
Gowanta dan Ranggala buru-buru mengangkat pekerja

itu ke pembaringan lainnya. Sedangkan Ki Wiguna 
menghampiri Panji yang masih tegak di tempatnya. 
“Untung tidak sampai berkepanjangan. Kalau tidak, 
kita pasti akan celaka…,” ujar Ki Wiguna seraya menepuk 
bahu Pendekar Naga Putih, yang juga sempat dilanda 
ketegangan. Karena perbuatannya bisa membahayakan 
jiwa ratusan pekerja yang berada di tempat penampungan 
itu. 
“Kelihatannya algojo itu agak gentar kepadamu, 
Panji...,” Gowanta ikut bergabung dan memuji Panji. 
Tampaknya, ia cukup puas dengan apa yang baru saja 
dilakukan pemuda tampan itu. 
“Tapi sekarang kita harus lebih waspada. Aku khawatir 
Jonggala menaruh dendam dan mulai mencurigai kita...,” 
ujar Panji mengingatkan. Kemudian melangkah lebar 
meninggalkan barak, diikuti tiga tokoh persilatan itu. 
Mereka menuju tempat biasa bekerja. 
*** 
Saat itu matahari belum lagi muncul. Namun di sekitar 
Bukit Cadas Hantu telah terjadi kesibukan. Suara benda 
runcing yang dipergunakan untuk mengikis cadas 
terdengar saling bersahutan. Mereka bekerja di bawah 
sinar obor. 
Di bagian lain terlihat kesibukan puluhan pekerja yang 
mengangkut batu-batu untuk dikumpulkan di satu tempat. 
Tubuh mereka terbungkuk-bungkuk membawa beban 
berat di kepalanya. Mereka melangkah tersaruk-saruk. 
Meskipun perut mereka telah terisi, namun apa yang

mereka makan terlalu sedikit. Hingga wajar saja bila 
tenaga mereka semakin surut dan cepat lelah. Selain 
kurang makan, mereka pun kurang beristirahat di waktu 
malam. 
“Aaahhh...!” 
Seorang pekerja yang tengah memikul keranjang 
dengan sebuah kayu pemikul tiba-tiba terjerembab jatuh. 
Sehingga, batu yang dipikulnya berserakan di tanah. 
Kesalahan yang hanya sedikit itu telah membuat seorang 
pengawas melangkah lebar mendatanginya dengan wajah 
bengis. Kemudian... 
“Bodoh kau...!” 
Seiring dengan suara bentakannya, melayanglah ujung 
cambuk di tangan pengawas bertubuh tinggi tegap itu. 
Sengatan ujung cambuk membuat tubuh di bawahnya 
mengeliat kesakitan. Bilur merah bekas cambukan yang 
panas terlihat mengalirkan darah. 
“Ampun..., Tuan...,” lelaki tiga puluh tahunan itu 
merintih meminta belas kasihan. Sepasang matanya 
tampak basah. 
Rasa sakit akibat cambukan itu agaknya demikian 
menyiksa. Tubuh yang nyaris tinggal kulit pembungkus 
tulang itu tentu sangat tersiksa. Tapi, lelaki tegap itu 
sedikit pun tidak mempedulikan rintihan korbannya. 
Cambuknya kembali meledak berkali-kali. Sehingga, 
pekerja yang malang itu menjerit-jerit bergulingan di 
tanah berbatu. 
Belum lagi selesai persoalan yang satu, persoalan lain 
datang menyusul. Lagi seorang pekerja jatuh terjerembab 
ke tanah. Kawan-kawannya yang melihat berusaha

menolong. Tapi.... 
“Hei...!” 
Malang.... 
Sebelum para pekerja itu sempat mengangkat bangkit, 
pengawas tinggi tegap itu telah melihatnya. Dan, segera 
melompat disertai lecutan cambuknya yang merobek 
udara. 
“Keparat..!” 
Ctarrr! Ctarrr...! 
Tentu saja mustahil pekerja-pekerja bertubuh kurus itu 
mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, tubuh mereka 
terlempar ke kiri-kanan. Tubuh yang terhias garis merah 
memanjang, bekas lecutan cambuk itu, mengalirkan darah 
segar. Tapi, pengawas tinggi tegap itu belum puas. 
Cambuknya kembali meledak-ledak di udara. 
“Haaattt..!” 
Saat ujung cambuk meliuk-liuk siap menyengat 
korbannya, tiba-tiba terdengar pekikan keras. Disusul 
melayangnya sesosok tubuh yang langsung mengulurkan 
tangan memapaki ujung cambuk. 
Prattt! 
“Heiii...!” 
Pengawas bertubuh tinggi tegap terlihat kaget. Ujung 
cambuk itu berbalik dan mengancam dirinya. Cepat lelaki 
itu menambah tenaganya dan memutar cambuknya 
sedemikian rupa di atas kepala. Sehingga, ujung cambuk 
tidak sampai mengenai dirinya. 
“Kurang ajar! Rupanya kalian mulai berani mem-
bangkang, hah!” bentak pengawas tinggi tegap dengan 
sepasang mata memancarkan kemarahan.

“Hm....” 
Lelaki tegap yang memapaki serangan cambuk itu 
bergumam tak kalah gusarnya. Ia adalah Gowanta. 
Rupanya, kekajaman pengawas itu telah membuatnya 
khilaf dan tidak lagi mempedulikan bahaya yang bakal 
dihadapinya. 
“Perbuatan kalian sudah melewati batas. Aku sudah 
tidak bisa menahan sabar lebih lama lagi...!” geram 
Gowanta dengan mata menyorot tajam. Seolah ingin 
menelan pengawas itu bulat-bulat. 
Perbuatan Gowanta yang melawan petugas menarik 
perhatian pekerja lainnya. Apalagi ketika Panji, Ki 
Wiguna dan Ranggala telah berada di belakang Gowanta. 
Pengawas itu melangkah mundur. Ia melihat gelagat tak 
baik yang merugikan dirinya. 
Tanpa banyak cakap, pengawas tinggi tegap segera 
bersuit nyaring. Agaknya, ia hendak memberi tanda 
kepada kawan-kawannya. Sebentar kemudian terdengar 
langkah berderap mendatangi tempat itu. Beberapa sosok 
tubuh sudah berlompatan dengan gerakan yang ringan dan 
mantap. Salah satu di antaranya adalah Jonggala, pengawas 
bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang 
bauk. 
“Kita sudah terlanjur basah...!” bisik Panji kepada 
kawan-kawannya. 
Panji bergegas memberi perintah pada para pekerja 
agar berkumpul di belakang. Sementara Ki Wiguna, 
Ranggala, dan Gowanta berada di kiri-kanan Panji. 
Mereka berempat siap mempertaruhkan nyawa demi 
keselamatan orang banyak.

“Keparat...!” Jonggala yang melihat biang keladi semua 
itu adalah pemuda yang pernah menentangnya menjadi 
geram bukan main. Perintahnya pun segera ber-
kumandang. 
“Tangkap pemuda pemberontak itu. Dan masukkan 
semua pekerja ke dalam baraknya masing-masing...!” 
Suara perintah Jonggala yang dikerahkan dengan 
kekuatan tenaga dalam langsung dipatuhi puluhan prajurit 
bersenjata yang berada di belakangnya. Serentak mereka 
meluruk ke arah Panji dan kawan-kawannya. 
“Heaaattt..!” 
“Yeaaa...!” 
Kilatan benda-benda tajam berkelebat mengancam 
Panji dan ketiga kawannya. Tapi mereka sedikit pun tidak 
merasa gentar. Bukannya mundur, mereka malah 
bergerak maju menyambut hujan serangan. 
“Haaaiiit...!” 
Sekali mengibaskan tangan Pendekar Naga Putih 
memukul roboh enam prajurit terdepan. Mereka ter-
lempar dan jatuh menggeletak pingsan. 
Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta juga tidak mau 
ketinggalan. Masing-masing merobohkan seorang lawan 
dan langsung merebut senjatanya. Kemudian mengibaskan 
senjata itu dengan mengerahkan tenaga dalam. 
Breeet, breettt...! 
“Aaa..!” 
Jerit kematian berkumandang susul-menyusul. 
sebentar saja senjata di tangan ketiga tokoh itu membuat 
enam orang prajurit tersungkur mandi darah! Karuan saja 
amukan keempat pendekar itu mengejutkan Jonggala dan

pasukannya. Sedarlah mereka bahwa keempat pekerja itu 
tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap masuk. 
“Kalian akan mendapat hukuman berat!” geram 
Jonggala segera memberi isyarat kepada delapan orang 
pengawas untuk mengeroyok para pengacau. 
“Haaattt...!” 
Dengan teriakan parau Jonggala meluncur datang. Kali 
ini ia tidak hanya menggunakan cambuk, tapi juga 
menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya. 
Kelihatannya Jonggala tidak puas hanya dengan satu 
senjata saja. 
Belum lagi serangan Jonggala tiba, delapan pengawas 
lainnya telah menyusul dengan pedang di tangan. Mereka 
bergerak menyebar membentuk setengah lingkaran untuk 
menjepit Panji dan kawan-kawannya. 
“Kalian bertiga cegah musuh yang datang dari 
belakang. Biar serangan dari depan aku yang meng-
hadapi...!” Panji berseru kepada Ki Wiguna dan kawan-
kawannya. 
Ki Wiguna terlihat agak ragu sejenak. Namun ketika 
teringat siapa pemuda tampan berjubah putih itu, ia segera 
mengajak Ranggala dan Gowanta untuk mengikuti saran 
Panji. Ketiganya langsung bergerak ke belakang. 
Apa yang diperkirakan Panji memang benar-benar 
terjadi. Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowan menggeram 
gusar. Dari pihak pekerja telah jadi korban belasan orang. 
Penyerang dari belakang yang terdiri dari perwira-perwira 
kerajaan bersama seratus lebih prajurit, tentu tidak 
mungkin mampu ditahan oleh pekerja yang terdiri dari 
penduduk desa. Untung di antara sekian banyak pekerja

terdapat tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap dan 
menyamar. Mereka inilah yang berusaha membendung 
serangan. Sehingga, korban tidak terlalu banyak yang 
jatuh. 
“Yeaaattt...!” 
Ki Wiguna yang melihat kejadian itu segera melayang 
dengan kecepatan tinggi. Pedang rampasannya berputaran 
cepat bagai baling-baling. Lelaki itu mengamuk dengan 
hebatnya. 
Tindakan Ki Wiguna segera diikuti Ranggala dan 
Gowanta. Kedua orang itu langsung menerjunkan diri ke 
dalam kancah pertempuran. Pedang mereka berkelebatan 
disertai suara mengaung tajam, membuat para prajurit 
terkejut! Amukan mereka tak ubahnya banteng luka. 
Brettt! Brettt! 
“Aaa...!” 
Jeritan ngeri terdengar silih berganti. Tubuh beberapa 
orang prajurit yang terkena amukan pedang Ranggala dan 
Gowanta terguling roboh mandi darah. Hingga, pasukan 
kerajaan terpaksa bergerak mundur untuk beberapa saat 
“Maju...!” 
Salah seorang perwira berteriak memerintah. 
Pedangnya teracung menuding Ki Wiguna dan para tokoh 
persilatan lainnya. Sebentar kemudian, pertempuran pun 
kembali pecah! 
*** 
“Haaattt…!” 
Pendekar Naga Putih yang menghadapi Jonggala

bersama delapan orang pengawas, yang merupakan 
jagoan-jagoan kerajaan, tidak mau bertindak kepalang 
tanggung. Sadar bahwa keselamatan pekerja berada di 
tangannya, maka begitu serangan lawan datang Pendekar 
Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya. Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' Panji menerjang maju. 
“Aaahhh…?!” 
Jonggala dan kawan-kawannya terkejut bukan main. 
Pancaran kabut bersinar putih keperakan dan serbuan 
hawa dingin menggigit menyebar dari pukulan-pukulan 
Panji, membuat mereka sadar siapa pemuda tampan itu 
sebenarnya. Dan, kenyataan itu benar-benar mengejutkan 
mereka. 
“Pendekar Naga Putih...?!” 
Jonggala dan kawan-kawannya berseru hampir ber-
samaan. Mereka benar-benar tidak menyangka Pendekar 
Naga Putih telah menyelundup ke dalam tempat yang 
tenaga ketat itu. Tentu saja kenyataan itu membuat 
mereka harus bersungguh-sungguh dalam menyiapkan 
serangan. Sedapat mungkin mereka hendak meringkus 
pendekar muda itu. 
Tapi, Panji yang sangat mengkhawatirkan nasib para 
pekerja sudah membagi-bagikan pukulan dan tendangan. 
Kecepatan geraknya yang sukar diikuti mata membuat 
Jonggala dan jagoan-jagoan Kerajaan Tampak Serang 
kelabakan! Terutama tekanan hawa dingin yang 
menyelimuti sekitar arena. Sehingga, mereka harus 
memecahkan pikiran. Membangun dan membalas 
serangan, sekaligus mengerahkan tenaga dalam untuk 
menahan serbuan hawa dingin. Jelas, hal itu sangat

merepotkan dan tidak mudah! 
Panji mempergunakan kesempatan dengan sebaik-
baiknya. Melihat lawan-lawannya kesulitan mengatasi 
serbuan hawa dingin serangannya, maka tidak terlalu sulit 
bagi Panji untuk memilih sasaran. Dan.... 
Bukkk! Desss! 
“Aaarghhh...!” 
Dua orang pengeroyoknya terpelanting muntah darah. 
Sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga 
dahsyat telah menewaskan mereka dengan kulit kebiruan. 
Terpaksa Pendekar Naga Putih menewaskan lawan-
lawannya. Kalau tidak, sulit baginya untuk menyelamat-
kan nyawa pekerja yang berada di belakangnya. 
“Yeaaattt..!” 
Lagi Pendekar Naga Putih melepaskan pukulan dahsyat 
dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya. 
Tentu saja kehebatannya sulit diukur. 
Blaaarrr...! 
Ledakan keras menggema saat lontaran pukulan 
Pendekar Naga Putih menghantam batu cadas sebesar 
kerbau. Batu itu hancur berkeping-keping. Untunglah 
Jonggala dan kawan-kawannya cepat menghindar. Jika 
tidak, pastilah tubuh mereka yang menjadi sasarannya. 
Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai 
di situ. Begitu pukulan pertamanya gagal, ia segera 
menyusuli dengan pukulan-pukulan berikutnya. Maksud-
nya jelas hendak mendesak jagoan-jagoan kerajaan. 
“Yeeeaaattt...!” 
“Aaa...!” 
Empat orang jagoan yang terlambat menghindari

menjerit ngeri. Tubuh mereka terpental deras sejauh dua 
tombak leoih. Mereka langsung tewas seketika dengan 
tubuh bagian dalam hancur. Bahkan tulang-tulang mereka 
berpatahan atau lepas dari sambungan. Sehingga, saat 
keempat sosok mayat itu jatuh ke tanah tak ubahnya 
sehelai kain basah. 
Saat tempat di sekitarnya masih diselimuti debu tebal, 
Panji melayang ke belakang. Gerakannya demikian cepat 
laksana sambaran kilat. Orang-orang hanya melihat 
sesosok bayangan samar melayang di atas kepalanya. 
“Ki Wiguna! Kita harus membawa mereka keluar. 
Mereka bisa terbantai habis di tempat ini...!” begitu kedua 
kakinya menginjak tanah, Panji langsung berkata kepada 
Ki Wiguna yang saat itu tengah mengamuk dengan 
pedangnya. 
“Arah mana yang harus kita ambil, Panji...?” tanya Ki 
Wiguna masih sempat menyahuti, sambil tetap 
melepaskan sambaran pedangnya. 
“Tunggulah, aku akan menjebol pagar di bagian 
selatan...!” sahut Panji. Pukulan mautnya meluncur ke 
arah serombongan pasukan yang banyak memadati tempat 
itu. 
Whusss...! Duaaarrr...! 
Hebat sekali akibat lontaran pukulan jarak jauh Panji. 
Puluhan prajurit melayang bagai diterpa angin topan. 
Teriakan-teriakan ngeri terdengar mengiringi terpental-
nya puluhan sosok tubuh prajurit-prajurit yang jatuh 
dalam keadaan tewas. 
Panji tak mempedulikan bagaimana nasib korban 
pukulannya. Setelah melepaskan pukulan, tubuhnya

langsung melayang menuju arah selatan. Hanya dengan 
beberapa kali loncatan, ia telah tiba di depan pagar kayu 
bulat yang membentengi sekeliling tempat itu. 
Kemudian.... 
“Heaaahhh...!” 
Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji melepaskan 
pukulan kanannya dengan kekuatan penuh. 
Blarrr...! 
Pagar kayu bulat setinggi dua tombak itu pecah 
berhamburan. Seketika itu juga, terciptalah sebuah pintu 
keluar selebar dua tombak lebih. 
Setelah menjebol dinding kayu, Panji kembali melesat 
ke arah pertempuran. Kemudian melayang turun di 
tengah kancah pertarungan. 
“Aku akan cegah mereka, Ki Wiguna! Kau bawalah 
para pekerja keluar dari tempat ini...!” seru Panji di 
tengah deruan senjata dan jerit kematian. 
“Bagaimana kalau mereka mengejar...?” Ki Wiguna 
masih memperhitungkan kemungkinan itu. 
“Jangan khawatir, semuanya telah kuperhitungkan...!” 
sahut Panji seraya membagi-bagikan pukulan dan 
tendangan, yang tentu saja mendapatkan korban yang 
tidak sedikit. Sehingga, banyak perwira dan prajurit 
kerajaan menghindari pemuda itu. 
Dengan jalan yang dibuka Panji, Ki Wiguna dan 
rombongan pekerja bergerak menuju dinding yang telah 
dijebol. Ranggala, Gowanta, dan tokoh-tokoh persilatan 
lainnya ikut membantu usaha pelarian itu dengan 
menghalau siapa saja yang menghalangi mereka. Sampai 
akhirnya, para pekerja keluar dengan berdesakan.

****

TUJUH

Seperti apa yang diperhitungkan Panji, untuk melarikan 
diri dari tempat itu memang bukanlah suatu pekerjaan 
mudah. Terbukti kini Panji harus menghadapi ratusan 
prajurit di bawah pimpinan belasan orang perwira dengan 
ditambah jagoan-jagoan istana. Untuk itu Panji harus 
menguras tenaganya. Dan terpaksa bertindak kejam. Jika 
tidak, dirinyalah yang akan menjadi korban kekejaman 
lawan. 
Kali ini Panji harus mempertaruhkan nyawanya. 
Ratusan lawan harus dihadapinya seorang diri. Sedangkan 
tokoh-tokoh lain bertugas membawa para pekerja 
meninggalkan tempat yang bagai neraka itu. 
Dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak sulit 
bagi Panji untuk menghindari sambaran pedang maupun 
tombak yang mengancam tubuhnya. Bahkan, masih bisa 
membalas dengan pukulan dan tendangan mematikan. Itu 
yang membuatnya dapat bertahan. Karena lawan-
lawannya agak gentar untuk menyerang dalam jarak 
dekat. Setiap lawan maju mendekat selalu terpental balik 
dalam keadaan tak bernyawa. Kendati demikian, Panji 
harus tetap waspada. Lengah sedikit saja bisa meng-
akibatkan dirinya celaka. 
“Jangan takut. Maju...!” 
Jonggala yang kelihatannya lebih berperan dan 
mempunyai pengaruh besar selalu memberi semangat. Di 
bawah perintahnya, para prajurit itu tidak ada yang berani

membantah. Mereka kembali maju menggempur 
Pendekar Naga Putih dengan senjata di tangan. 
“Serbuuu...!” 
Seiring dengan teriakan menggegap, ratusan prajurit 
kembali meluruk ke arah Pendekar Naga Putih. Meski 
sebenarnya mereka merasa gentar, namun perintah 
Jonggala tidak berani mereka bantah. 
Panji berdiri tegak menunggu lawan tiba dekat. 
Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan 
jantung. Serbuan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya 
membuat penampilan pemuda itu sungguh menggiriskan. 
Terlebih pada tubuhnya telah banyak dinodai darah lawan. 
Sehingga, sosok Pendekar Naga Putih terlihat seperti iblis 
peminum darah! 
“Siapa yang masih ingin hidup segera tinggalkan tempat 
ini! Jika tidak, terpaksa aku akan mengirim kalian ke 
neraka...!” seru Pendekar Naga Putih memperingatkan 
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Suaranya 
menggema dan terdengar sampai belasan tombak jauhnya. 
“Jangan takut! Lama kelamaan tenaganya pasti habis!” 
Jonggala yang tidak ingin pasukannya menjadi gentar 
kembali berteriak memberi semangat 
Para prajurit yang semula merandek pun bergerak 
maju seraya berteriak-teriak. Jelas, mereka lebih takut 
kepada Jonggala ketimbang terhadap Panji yang telah siap 
menanti kedatangan mereka dengan pukulan-pukulan 
mautnya. 
“Haaattt...!” 
Melihat para prajurit itu tidak mempedulikan 
peringatannya, Panji berteriak keras memekakkan telinga.

Telapak tangannya didorong bergantian melontarkan 
pukulan jarak jauh. 
Whuuusss.... 
Duaaarrr...! 
Ledakan keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-
tubuh prajurit Kerajaan Tampak Serang beterbangan bagai 
dilanda angin topan. Dan terbanting jatuh dalam keadaan 
tak bernyawa. 
Jonggala dan beberapa orang jagoan yang masih 
selamat menjadi geram melihat sepak-terjang Pendekar 
Naga Putih yang menggiriskan. Mereka sadar kalau 
didiamkan terus para prajurit bisa terbantai habis oleh 
pemuda tampan itu. Maka, mereka pun berlompatan maju 
menerjang Pendekar Naga Putih. 
“Haaattt..!” 
“Yeaaattt..!” 
Dibarengi teriakan-teriakan melengking, tubuh jagoan-
jagoan kerajaan melayang melewati kepala para prajurit. 
Dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan 
serangan-serangan maut. 
Bweeettt! Whuuuttt...! 
Panji yang sebelumnya memang telah siap siaga, segera 
menggeser tubuhnya menghindari serangan lawan. 
Kemudian membalas dengan pukulan-pukulan mautnya. 
Namun, kali ini Jonggala dan kawan-kawannya bertindak 
lebih hati-hati. Mereka tidak berani sembarangan 
menyambut atau menangkis serangan pemuda itu. Dan, 
mereka bertempur dengan menggunakan siasat licik. 
Menyerang kemudian berlompatan mundur saat Pendekar 
Naga Putih melepaskan serangan balasan. Agaknya,

mereka hendak menguras tenaga Pendekar Naga Putih dan 
baru akan melumpuhkan bila tenaga pendekar muda itu 
semakin lemah. 
“Kurang ajar...!” Pendekar Naga Putih memaki dalam 
hati melihat tindakan licik lawan-lawannya. Tahu akan 
siasat lawan, Panji mengurangi lontaran serangan 
balasannya. Dan baru membalas jika benar-benar memiliki 
peluang yang sangat baik. 
Saat Pendekar Naga Putih tengah berusaha melumpuh-
kan jagoan-jagoan kerajaan yang mengeroyoknya, tiba-
tiba.... 
“Aaa...!” 
Jerit kematian terdengar dari arah belakang Panji. 
Disusul dengan suara beradunya senjata tajam. Kenyataan 
itu membuat Panji menjadi cemas. Suara itu datang dari 
tempat Ki Wiguna dan para pekerja melarikan diri. 
“Celaka...!” seru Panji terkejut. Apa yang didengar itu 
jelas merupakan pertanda tidak baik. Panji langsung dapat 
menduga Ki Wiguna dan kawan-kawannya mendapat 
hambatan untuk meninggalkan tempat celaka itu. 
Tanpa pikir panjang lagi, Panji segera menggabungkan 
dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Seketika itu juga 
tubuhnya memancarkan dua sinar yang memiliki sifat 
berlawanan. Panji telah menggunakan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' pada bagian sebelah kiri tubuhnya, dan 
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pada bagian kanan. Itu 
berarti Pendekar Naga Putih telah merasa benar-benar 
sangat memerlukan. Kalau tidak, Panji tidak akan 
menggunakan dua kekuatan mukjizat itu secara 
bersamaan. Dan kali ini ia melakukannya.

“Yeaaattt...!” 
Blaaang...! 
Dua sinar merah dan putih memancar membawa hawa 
panas dan dingin secara bersamaan. Terjadilah ledakan 
mengguntur saat pukulan Pendekar Naga Putih 
menghantam kerumunan prajurit, kendati sebenarnya 
pukulan itu ditujukan untuk Jonggala dan kawan-
kawannya. Sehingga, bangkai-bangkai pun semakin banyak 
berserakan. Darah membanjiri bumi. Tampaknya, Bukit 
Cadas Hantu benar-benar menjadi sebuah neraka. Tempat 
pembantaian dan penyiksaan manusia. 
“Gila...?!” 
Jonggala yang merasakan betapa dahsyatnya pukulan 
yang dilepaskan Panji menjadi pucat wajahnya. Untunglah 
ia sempat menghindar, meski merasakan juga hawa dingin 
dan panas menyengat kulitnya. Jonggala ngeri mem-
bayangkan pukulan itu melanggar tubuhnya. Ia percaya 
tubuhnya akan hancur berkeping-keping bila terkena 
pukulan maut itu. 
Panji sendiri tidak mempedulikan akibat pukulan 
dahsyatnya. Karena begitu melepas pukulan, tubuhnya 
melayang menerobos pagar kayu bulat yang telah 
dirobohkannya. Hatinya berdebar tegang menyaksikan Ki 
Wiguna beserta para tokoh persilatan dan para pekerja 
menghadapi serbuan pasukan berkuda yang berjumlah 
tidak kurang dari seratus orang. Pasukan itu dilengkapi 
dengan senjata. Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-
kawannya mengalami kesulitan untuk menerobosnya. 
Panji meluncur turun di luar pagar yang telah jebol. 
Kemudian, membalikkan tubuh dan berdiri tegak menatap

Jonggala dan pasukannya yang berlarian mengejar keluar. 
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar Naga Putih 
memusatkan tenaga gabungannya. Dan... 
“Heaaattt...!” 
Dibarengi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih 
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke tanah 
tempat pagar-pagar kayu yang jebol itu berdiri. 
Whusss...! 
Serangkum angin pukulan berhawa panas dan dingin 
berhembus kuat. Hingga... 
Blaaang! 
Debu mengepul tinggi membawa bongkahan tanah 
besar dan kecil beterbangan ke udara. Tanah di sekitar 
tempat itu bergetar kuat seperti diguncang gempa. 
Kejadian itu membuat Jonggala dan pasukannya berlarian 
mundur. Dan ketika kepulan debu semakin tipis, di depan 
Jonggala dan pasukannya telah tercipta sebuah lubang 
besar yang sangat dalam dan lebar. Sehingga, mereka tidak 
mungkin dapat menyeberanginya. 
Yakin kalau Jonggala dan pasukannya tidak mungkin 
dapat mengejar melalui tempat itu, Panji memutar 
tubuhnya dan melayang ke arah pertempuran yang masih 
berlangsung. Kemudian terjun ke tengah-tengah 
pertempuran dan membagi-bagikan pukulan serta 
tendangan. Sehingga, tidak sedikit tubuh-tubuh prajurit 
kerajaan yang terpental ke udara kemudian jatuh dengan 
nyawa putus! 
“Lari! Biar aku yang menghadang mereka...!” seru 
Panji kepada Ki Wiguna yang berada tak jauh dari 
tempatnya bertempur. Sambil berteriak, Panji

meningkatkan kecepatan dan kekuatan serangannya. 
Hingga dirinya menjadi pusat perhatian lawan. 
“Yeaaattt...!” 
Dengan pekikan mengguntur Pendekar Naga Putih 
melayang ke udara. Dari atas kedua tangannya melepaskan 
pukulan susul-menyusul. Lalu, berjungkir balik beberapa 
kali dan meluncur turun di tengah-tengah pasukan lawan. 
Sebelum kakinya menginjak tanah, pukulan-pukulannya 
datang menderu membuat lawan kalang-kabut! 
Kesempatan itu tentu saja dipergunakan sebaik-baiknya 
oleh Ki Wiguna. Ia berteriak mengerahkan kekuatan 
tenaga dalamnya agar para tokoh persilatan dan pekerja 
mengikuti perintahnya. Beberapa belas prajurit yang 
mencoba menghalangi langsung dirobohkan dengan 
sambaran pedang. 
Melihat Ki Wiguna dan yang lainnya mulai bergerak 
meninggalkan medan pertempuran, Panji segera 
membantu dengan menewaskan lawan yang coba 
menghalangi. Dan berusaha agar pasukan Kerajaan 
Tampak Serang lebih tertarik kepadanya. 
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah 
mencapai titik kesempumaan, Panji bergerak cepat. 
Sehingga, pasukan kerajaan seperti tengah berhadapan 
dengan banyak orang. Padahal, lawannya cuma Panji 
seorang. Yang berusaha menggiring prajurit-prajurit itu 
agar berkumpul dalam satu arah. 
Tentu saja Panji harus berkelebat ke sana kemari 
sambil membagi-bagikan pukulan dan tendangan. 
Sehingga, lawan-lawannya terdesak mundur dan tidak lagi 
menyebar seperti semula.

Setelah pasukan prajurit di bawah pimpinan belasan 
perwira itu terpisah dari Ki Wiguna dan kawan-
kawannya, Pendekar Naga Putih melenting ke udara. 
Dan, meluncur turun dalam jarak tiga tombak di depan 
tentara Kerajaan Tampak Serang. 
“Hmmm...!” 
Panji berdiri tegak menyatukan pikiran. Dua kekuatan 
mukjizat dalam tubuhnya segera digabungkan. 
Kemudian.... 
“Heaaattt...!” 
Diiringi teriakan membahana, Panji melepaskan 
pukulan gabungan dua tenaga sakti yang berkekuatan luar 
biasa. Hawa dingin dan panas menyebar saat sinar putih 
dan merah meluncur menghantam tanah. 
Blarrr...! 
Sebuah lubang besar yang dalam kembali tercipta 
menghalangi pasukan Kerajaan Tampak Serang. Beberapa 
puluh prajurit di barisan terdepan terpental dan jatuh ke 
dalam lubang. Tentu saja perbuatan pendekar muda itu 
sangat mengejutkan lawan-lawannya. Kegentaran mulai 
merambati hati mereka. Sehingga, tak seorang pun yang 
melakukan pengejaran. 
Panji menunggu sampai Ki Wiguna dan yang lainnya 
lari jauh dari tempat itu. Beberapa lubang masih dibuatnya 
dengan melontarkan pukulan-pukulan hasil gabungan dua 
kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Sehingga, pasukan 
lawan benar-benar merasa gentar terhadap pendekar 
muda yang digdaya itu. 
Cukup lama Panji berdiri menunggu di tempat itu. 
Baru kemudian bergerak pergi setelah yakin Ki Wiguna

dan yang lainnya telah pergi jauh dan tidak mungkin dapat 
dikejar lagi. 
*** 
Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi Pendekar Naga 
Putih menyusul rombongan Ki Wiguna. Ia menemukan 
mereka tengah beristirahat di sebuah sungai yang berair 
jernih. Panji segera menghampiri Ki Wiguna dan tokoh-
tokoh persilatan yang tengah melepas lelah. Sementara 
para pekerja yang selamat membersihkan diri sambil 
melepas dahaga sepuas-puasnya. 
“Apa yang selanjutnya harus kita perbuat, Panji? Bukan 
mustahil prajurit kerajaan akan kembali mendatangi desa-
desa untuk membawa pekerja-pekerja baru. Sedangkan 
kita tidak mungkin terus-menerus menghadapi mereka. 
Lambat atau cepat kita pasti akan kalah. Karena pihak 
kerajaan memiliki banyak prajurit terlatih,” Ki Wiguna 
langsung mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. 
Panji tidak segera menjawab. Ditatapnya lima belas 
tokoh persilatan yang berada di sekelilingnya. Terdengar 
helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Dari kerutan 
pada keningnya, terlihat jelas betapa Panji tengah berpikir 
untuk menjawab pertanyaan Ki Wiguna, yang juga 
menjadi pertanyaan bagi dirinya. 
“Apakah di antara kalian ada yang mempunyai usul...?” 
tanya Panji kepada tokoh-tokoh persilatan. 
Ki Wiguna menggeleng. Kemudian merayapi wajah 
tokoh-tokoh lainnya satu persatu. Tapi, semuanya 
menggelengkan kepala. Masalah itu memang sulit untuk

dipecahkan. 
“Jika demikian, terpaksa aku akan mendatangi kotaraja 
untuk menemui Gusti Prabu Pungga Dewa. Hal ini tidak 
bisa didiamkan berlarut-larut. Kita harus mengakhiri 
penderitaan rakyat! Kalau bisa, aku akan mengingatkan 
Gusti Prabu Pungga Dewa. Dan meminta kebijaksanaan-
nya untuk menghentikan perbuatan gila ini!” ujar Panji 
kemudian. 
“Gila! Itu sama saja dengan bunuh diri, Panji. Untuk 
menemui Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah pekerjaan 
yang mudah. Terlebih di sana banyak jagoan-jagoan istana 
yang berkepandaian tinggi. Kau bisa ditangkap dan 
dihukum mati!” Ki Wiguna yang terkejut mendengar 
ucapan Panji langsung menukas. Jelas ia tidak setuju 
dengan tindakan yang sangat berbahaya itu. Apalagi, 
sekarang mereka merupakan buronan pemerintah. 
Memasuki kotaraja sama saja dengan bunuh diri. 
“Tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan. Biarlah aku 
mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang banyak. 
Kuharap kalian ikut berdoa agar usahaku berhasil demi 
kebaikan dan ketenteraman rakyat banyak,” ujar Panji 
bersikeras dengan usulnya. Karena memang tidak ada 
jalan lain kecuali menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa. 
Mendengar keputusan Panji yang kelihatannya tidak 
bisa dirubah lagi, Ki Wiguna dan para tokoh persilatan 
tidak ada yang angkat bicara. Mereka terdiam. Terharu 
akan pengorbanan pemuda tampan itu, yang rela mem-
pertaruhkan nyawanya meski harus memasuki sarang 
macan. 
“Sebaiknya kalian mencari tempat persembunyian yang

baik. Penduduk tidak bisa kembali ke desanya masing-
masing sebelum persoalan ini selesai. Kelak aku akan 
datang untuk memberi kabar. Jika dalam tujuh hari aku 
belum menemui kalian, itu berarti usahaku menemui jalan 
buntu. Kemungkinan aku tewas atau tertawan pihak 
kerajaan,” ujar Panji memberikan saran. 
“Baiklah, Panji. Kami akan menuruti saranmu. Kau 
sendiri ajaklah beberapa orang untuk menemanimu. Aku 
akan membawa penduduk ke Hutan Panawangan. Di sana 
kami akan menunggu kedatanganmu,” ucap Ki Wiguna 
yang akhirnya terpaksa menyetujui usul Panji. Walau 
demikian, ia menawarkan agar Panji membawa beberapa 
orang tokoh. 
“Maaf, kawan-kawan. Bukannya aku meremehkan 
kepandaian kalian. Tapi, menurut hematku akan lebih baik 
jika aku datang sendiri. Selain tidak akan menarik 
perhatian, juga bisa mudah menyelinap ke dalam istana. 
Harap kalian tidak berkecil hati dan memaklumi 
ucapanku,” Panji menukas dan tidak bisa menerima usul 
Ki Wiguna. 
Apa yang dikatakan Panji memang bukan mengada-
ada. Ki Wiguna maupun tokoh-tokoh persilatan lainnya 
maklum bahwa perkataan itu memang benar adanya. 
Mereka tidak merasa tersinggung, apalagi diremehkan. 
“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, kami tidak bisa 
berkata apa-apa. Kami harap kau berhati-hati. Bukan tidak 
mungkin prajurit-prajurit dan pembesar kotaraja telah 
mendengar peristiwa ini, dan tengah membicarakan 
dirimu. Begitu kau masuk ke dalam kotaraja, mungkin 
mereka akan menyergapmu,” akhirnya Ki Wiguna

mengalah dan hanya berpesan kepada Panji. 
“Terima kasih. Percayalah, aku tidak akan bertindak 
gegabah. Nah, aku pergi dulu...,” usai berkata demikian, 
Panji segera melesat menuju arah barat Karena pusat 
pemerintahan Kerajaan Tampak Serang terletak di sebelah 
barat tempat itu. 
Ki Wiguna dan tokoh persilatan lainnya hanya bisa 
memandang kepergian Pendekar Naga Putih dengan wajah 
penuh harapan. Tentu saja mereka berharap usaha Panji 
berhasil. Dengan demikian, rakyat akan kembali hidup 
tenang. 
***

DELAPAN

“Mudah-mudahan Kenanga tidak kecewa karena aku 
terlalu lama menyusulnya. Dia pasti mengerti dengan 
keadaan ini. Hambatan ini bukan semata-mata karena aku 
sengaja tidak ingin segera menemuinya. Ia pasti maklum. 
Apa yang kulakukan ini adalah tugasku sebagai penegak 
keadilan...,” gumam Panji seraya berlari dengan 
menggunakan ilmu lari cepatnya. Sebab, ia harus segera 
tiba di Kotaraja Tampak Serang. 
Sebagaimana diketahui, saat ini Panji tengah dalam 
perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Di sana Kenanga 
berharap agar Panji segera menyusulnya. Tapi, perjalanan 
Panji kembali terhambat. Ia menemukan sebuah persoalan 
yang tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Sebagai 
seorang pendekar, ia berkewajiban untuk menegakkan 
keadilan dan memberantas segala bentuk kejahatan. Dan ia 
harus mengenyampingkan persoalan pribadi demi 
kepentingan orang banyak. (Untuk mengetahui mengenai 
perpisahan Panji dengan Kenanga dapat dibaca dalam 
episode: “Rase Perak”). 
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, 
akhirnya Panji tiba di Kotaraja Tampak Serang. 
Saat itu matahari tengah memancarkan sinarnya yang 
hangat ke bumi. Udara tidak begitu panas. Apalagi, tiupan 
angin masih terasa segarmembelai wajah. Panji melangkah 
lebar memasuki gerbang kotaraja. 
Pemuda itu menekan ketegangan hatinya saat hendak

melewati pintu gerbang yang terjaga ketat. Dengan tenang 
dilangkahkan kakinya perlahan melewati gerbang bersama 
beberapa orang pedagang. Hatinya baru merasa lega 
ketika para penjaga pintu gerbang tidak menahannya. 
Hingga, Panji berpendapat kabar tentang kekacauan di 
Bukit Cadas Hantu kemungkinan besar belum sampai ke 
kotaraja. Itu berarti ia masih bisa bergerak leluasa tanpa 
khawatir dicurigai. 
Karena saat itu hari masih pagi, Panji memutuskan 
untuk langsung menuju istana. Ia berharap dapat bertemu 
Prabu Pungga Dewa yang menjadi penguasa tertinggi di 
Kerajaan Tampak Serang. 
“Berhenti...!” 
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, 
segera menyilangkan tombaknya menghadang pintu 
masuk. Padahal, saat itu Panji masih berada sekitar dua 
tombak dari pintu gerbang. Hal itu menandakan bahwa 
penjaga-penjaga pintu gerbang istana sangat sigap dan 
cekatan. 
Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu 
tombak. Kemudian, mengangguk sopan kepada dua 
penjaga yang menghadangnya. Panji tidak peduli walau 
penjaga-penjaga itu sedikit pun tidak membalas 
anggukannya. 
“Hamba hendak menghadap Gusti Prabu Pungga 
Dewa. Ada sesuatu kepentingan yang sangat mendesak 
dan harus segera dilaporkan. Harap Tuan-tuan me-
laporkan tentang kedatangan hamba...” ujar Panji dengan 
penuh sopan dan bibir tersenyum. Tentu saja ia berharap 
mendapat izin untuk menghadap Prabu Pungga Dewa.

“Hm... Kau benar-benar lancang, Kisanak!” tukas salah 
satu dari kedua penjaga itu sinis. “Untuk menghadap Gusti 
Prabu Pungga Dewa bukanlah suatu hal yang mudah dan 
bisa dilakukan sembarang waktu. Kalau kau mempunyai 
kepentingan, harus melaporkannya terlebih dulu kepada 
kepala jaga. Nanti kepala jaga yang memutuskan apakah 
kau bisa menghadap atau tidak. Andaikata bisa pun masih 
harus ditentukan waktunya. Juga belum tentu Gusti Prabu 
yang langsung menangani. Semua ada peraturannya, 
Kisanak.” 
Mendengar penjelasan penjaga, Panji menjadi bingung. 
Ia memang sedikit mengerti tentang peraturan yang 
berlaku di istana. Meski ia tidak suka dengan segala 
peraturan yang bertele-tele, tetap saja semua itu harus 
diturutinya. Dan ia pun menghargai peraturan itu. 
“Kalau begitu, hadapkanlah aku pada kepala jaga kalian. 
Mudah-mudahan beliau bisa mengerti betapa pentingnya 
urusanku ini,” ujar Panji masih dengan sopan. 
Meskipun sinis, penjaga itu mau juga menghadapkan 
Panji kepada pimpinannya. Dan Panji segera mengutara-
kan maksud kedatangannya kepada seorang perwira 
pendek gemuk yang wajahnya berminyak. Kendati 
perwira itu terlihat angkuh, Panji tidak ambil peduli. 
Dengan jujur ia menerangkan maksud kedatangannya. 
“Jadi persoalan itu yang membawamu kemari?” tanya 
perwira gendut setelah mendengar penjelasan Panji. 
Sambil berkata demikian, sepasang matanya meneliti 
sosok Panji dengan seksama. Ada kilatan aneh pada 
sepasang mata perwira itu. Bahkan, ia terlihat 
menyembunyikan senyum licik. Dan Panji tahu semua itu.
“Sebelum menemui Gusti Prabu, kau terlebih dahulu 
harus bertemu dengan Senapati Godamarta. Mari ikut 
aku...,” ujar perwira gendut. Lalu, bangkit berdiri dan 
melangkah menuju sebuah bangunan megah tempat 
kediaman Senapati Godamarta. 
Tanpa membantah Panji mengikuti langkah kepala 
jaga. Kewaspadaannya tentu saja tidak dilupakan. Sebab, 
sikap dan cara memandang perwira gendut itu me-
nimbulkan kesan tidak enak di hatinya. 
Di sebuah ruangan yang cukup luas Panji diperintahkan 
untuk menunggu. Sedangkan kepala jaga itu bergegas 
meninggalkannya. Ia harus segera kembali ke pos. 
Tinggallah Panji seorang diri di dalam ruangan itu. 
Tidak berapa lama setelah perwira gendut itu lenyap, 
tiba-tiba dari empat pintu di kiri-kanan ruangan 
bermunculan delapan orang bersenjata. Sinar mata 
mereka menunjukkan gelagat tidak baik. Cepat Panji 
bergerak bangkit. 
“Tangkap pemuda itu! Kalau perlu bunuh...!” 
terdengar suara parau yang mengejutkan. 
Dari balik daun pintu depan Panji, agak ke kiri, 
muncul seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk. 
Lelaki itulah yang bernama Godamarta dan menjabat 
sebagai senapati di Kerajaan Tampak Serang. Anehnya, ia 
terlihat sangat membenci dan memusuhi Panji. 
Melihat keadaan di sekelilingnya, sadarlah Panji kalau 
ia telah masuk perangkap. Tapi Panji tidak menjadi 
gentar. Ia hanya merasa penasaran dengan tindakan tidak 
adil Senapati Godamarta. 
“Tuan Senapati. Kedatangan hamba adalah membawa

maksud baik. Hamba datang dengan membawa suara 
rakyat yang menderita. Harap Tuan Senapati suka 
menghadapkan hamba kepada Gusti Prabu Pungga Dewa,” 
ujar Panji hendak memastikan kalau-kalau Senapati 
Godamarta telah salah menafsirkan maksud kedatangan-
nya. 
“Karena itulah kau harus dilenyapkan, Pendekar Naga 
Putih! Aku sudah tahu begitu melihatmu. Di tempat ini 
kau jangan menganggap dirimu paling hebat sejagat. Kau 
telah membuat susah dengan ulahmu itu. Sekarang, 
terimalah ganjarannya...!” tukas Senapati Godamarta 
kembali mengulang perintahnya. 
Delapan orang bersenjata di kiri kanan Panji bergerak 
maju. Mereka sepertinya cukup mengenal siapa yang 
harus dihadapi. Terbukti, sikap mereka demikian hati-hati 
dan tidak berani memandang rendah. 
Kendati belum mengerti mengapa Senapati Godamarta 
memusuhinya, Panji tidak mau pasrah diperlakukan 
seperti itu. Melihat delapan orang jagoan andalan Senapati 
Godamarta sudah bergerak maju, Panji menggeser 
langkahnya ke tengah ruangan. Ia memang tidak perlu 
banyak bicara lagi. Sikap dan ucapan Senapati Godamarta 
telah menjelaskan segalanya. 
“Haaattt...!” 
Empat jagoan di sebelah kanan Panji bergerak 
menerjang dengan senjata di tangan. Serangan mereka 
yang kuat dan mematikan menyadarkan Panji bahwa 
nyawanya hendak diambil. Tentu saja Panji tidak sudi! 
“Haiiittt...!” 
Begitu serangan lawan tiba, Panji melenting ke udara.

Dari atas ia melepaskan pukulan-pukulan cepat dan kuat 
ke arah empat orang lawannya. Namun, mereka ternyata 
cukup gesit dan sanggup menghindar dari serangan Panji 
yang agak tak terduga. Dan sebelum Panji melanjutkan 
serangannya, empat orang di sebelah kirinya datang 
mengeroyok. Sehingga, Panji terpaksa menunda 
serangannya. Dan dengan mengandalkan kegesitannya 
menghindari sambaran pedang lawan yang berkesiutan di 
sekitar tubuhnya. 
“Hahhh...?!” 
Beeeddd! 
Gagal dengan serangan pedang, salah seorang 
pengeroyok melepaskan pukulan lurus ke dada Panji. 
Namun dengan gerakan yang sukar diikuti mata, Panji 
dapat mengelak. Bahkan langsung mengirim serangkaian 
serangan balasan. 
Whuuukkk...! 
Cakar naga Panji meluncur siap menghantam tubuh 
penyerangnya. Pengeroyok lainnya tidak tinggal diam. 
Mereka serentak menerjang melindungi kawannya. 
Plakkk! Plakkk! 
Panji merasakan lengannya agak tergetar saat bertemu 
dengan lengan dua orang lawan. Meski kedua lawannya 
sempat tergetar mundur. Namun, Panji segera maklum 
mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Apalagi 
Senapati Godamarta telah mengetahui siapa dirinya. 
Tentunya delapan orang itu telah diperhitungkan 
kepandaiannya. Dan mereka memang tangguh. Panji baru 
tahu setelah lengannya bergetar saat berbenturan tadi. 
“Mampusss...!”

Whuuuettt..! 
Dua batang pedang datang menjepit Panji dari kiri-
kanan. Desing tajam yang menusuk telinga membuat Panji 
menekuk kedua lututnya dengan kuda-kuda silang. 
Kemudian, menggeser kaki kanannya dari dalam keluar. 
Tubuhnya meliuk menghindari dua mata pedang yang siap 
menghunjam sasaran. Pedang-pedang itu hanya sejengkal 
lewat di atas punggungnya. Dan Panji mengangkat kedua 
tangannya. Lalu, diputar begitu lengan lawan terlibat. 
“Haaahhh!” 
Dibarengi sebuah bentakan keras Panji menghajar 
kedua lawannya dengan gedoran punggung tangan. Saat 
melakukan gerakan itu ia masih mengunci tangan mereka 
di ketiak. Dan ... 
Bukkk, bukkk! 
Kuat bukan main pukulan yang dikerahkan Panji. 
Tubuh mereka terlempar ke belakang sejauh dua tombak. 
Bahkan, sampai membentur dinding ruangan. Dan, jatuh 
menggeloso di lantai. Wajah mereka pucat dengan kulit 
agak kebiruan. Untuk sesaat mereka menggigil. Kemudian 
roboh tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah 
kental. 
“Keparat...!” Senapati Godamarta geram bukan main 
melihat jagoan andalannya dapat dirobohkan. Ia sudah siap 
untuk terjun ke gelanggang pertempuran. 
“Haaaiiittt...!” 
Panji melenting ke udara seiring teriakannya. Empat 
batang pedang yang datang mengancam mengenai angin 
kosong di bawahnya. Dari atas Pendekar Naga Putih 
mengirimkan serangkaian pukulan yang amat kuat dan

menerbitkan hawa dingin menusuk tulang. 
“Aaakkkh...!” 
Dua orang lawan terpekik kaget. Tubuh mereka 
terjungkal ke lantai. Dan menggeletak tewas dengan batok 
kepala retak terkena cengkeraman cakar naga Pendekar 
Naga Putih. 
Dua lainnya berhasil menangkis. Meski untuk itu 
mereka harus jatuh bergulingan. Karena tenaga mereka 
kalah kuat. Selain harus mengusir hawa dingin yang 
merasuk ke dalam tubuh. Sehingga, untuk beberapa saat 
mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan. 
Tapi, pada saat yang bersamaan, Senapati Godamarta 
bertindak curang. Tubuhnya melayang dengan sebuah 
tendangan mengarah ke tubuh Pendekar Naga Putih. 
Sedangkan saat itu Panji tengah melepaskan pukulannya 
dari udara. Sehingga.... 
Deeesss...! 
“Hukkkh...!” 
Tendangan keras itu tidak sanggup dielakkan Pendekar 
Naga Putih. Tubuh pemuda itu terlempar sampai 
menjebol dinding ruangan, dan terus bergulingan di 
ruangan lain. 
Sadar bahwa dirinya berada dalam sarang harimau, 
Pendekar Naga Putih bergegas melenting bangkit dengan 
dadanya terasa nyeri. Pemuda itu menjebol dinding 
ruangan dengan pukulannya. Terus melesat pergi 
meninggalkan tempat itu. 
“Kepung! Tangkap! Jangan biarkan penjahat itu 
lolos...!” Senapati Godamarta berteriak-teriak me-
merintahkan para prajuritnya.

Panji sendiri sempat kaget melihat bagian luar 
bangunan. Ia telah dikurung oleh prajurit-prajurit 
kerajaan. Tapi, ia tidak ambil peduli. Dengan mengerah-
kan tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari 
hujan anak panah, Panji menerobos barisan prajurit. 
Syuuuttt, suuuttt...! 
Trakkk! Trakk! Trakkk! 
Belasan anak panah berpatahan runtuh ke tanah. 
Pendekar Naga Putih terus melesat sambil tetap 
mengibaskan kedua tangannya untuk merobohkan enam 
prajurit di depannya. Kemudian, melesat pergi tanpa 
mempedulikan teriakan Senapati Godamarta yang sangat 
berang. 
“Keparat!” Senapati Godamarta hanya bisa membanting 
kaki. Pendekar Naga Putih berhasil lolos dari jebakannya. 
*** 
Saat itu kegelapan telah menyelimuti persada. Suara 
binatang malam saling bersahutan menyemaraki suasana. 
Langit yang hanya diterangi sinar bulan sabit, tampak 
kelam. Gemintang pun tidak begitu banyak bergantungan 
menemani malam. 
Di sebuah bangunan tua yang terletak di luar kotaraja 
Panji tengah duduk bersemadi. Luka dalam akibat 
tendangan Senapati Godamarta sudah hilang, dan dadanya 
tidak lagi terasa nyeri. Kesehatannya telah pulih seperti 
sediakala. 
Beberapa saat kemudian, Panji menyelesaikan 
semadinya. Pemuda itu bergerak bangkit dan menatap

langit kelam sesaat. Terus melesat dengan kecepatan 
tinggi menuju kotaraja. Sebentar kemudian, bayangannya 
telah lenyap ditelan kegelapan malam. 
Dengan kepandaian yang dimiliki Panji memasuki 
kotaraja dengah sembunyi-sembunyi. Ia berniat menemui 
Gusti Prabu Pungga Dewa di dalam istananya. Hatinya 
masih belum puas kalau belum berhadapan langsung 
dengan penguasa negeri itu. Ia ingin mendapat kepastian 
bagaimana sikap Prabu Pungga Dewa dalam masalah itu. 
Karena selain penguasa tertinggi Kerajaan Tampak Serang, 
tidak ada lagi yang dipercayainya. Pengalaman itu 
diperolehnya tadi pagi ketika menemui Senapati 
Godamarta. Panji tidak ingin tertipu untuk kedua kali. 
Bagai hantu keluar mencari mangsa, Panji berkelebat 
menyusup ke dalam bangunan induk. Dari pengalaman-
pengalamannya berpetualang Panji cukup tahu di mana ia 
bisa menemui penguasa negeri. Tentu saja ia tidak 
bertindak ceroboh untuk memasuki istana yang terjaga 
ketat itu. 
Tidak sulit bagi Panji menyelinap masuk ke dalam 
istana, tanpa sepengetahuan para penjaga. Setelah 
melewati beberapa buah kamar, Panji dapat memastikan 
di mana tempat peraduan Prabu Pungga Dewa. Hanya 
dengan tekanan telapak tangan, pintu kamar itu terbuka 
tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Bergegas Panji 
menyelinap masuk ke dalam kamar. 
Dengan hati-hati disingkapnya penutup pembaringan 
yang berbau harum semerbak. Perlahan Panji menyentuh 
sesosok tubuh yang memiliki raut wajah menyinarkan 
keagungan. Tubuh itu tersentak dan membuka mata.

Prabu Pungga Dewa kaget melihat seorang pemuda 
tanpan berjubah putih berada di dalam kamarnya. Tapi 
ketika ia hendak membentak marah, jemari tangan Panji 
bergerak cepat melakukan totokan. Sehingga, Prabu 
Pungga Dewa seketika tidak bisa berbicara. 
“Maafkan kelancangan hamba, Gusti Prabu...,” ujar 
Panji segera berlutut menyembah lelaki berwajah agung 
itu. Sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud 
jahat. Panji menengadahkan wajah untuk melihat 
tanggapan Prabu Pungga Dewa. 
“Hamba hanya ingin menyampaikan suatu berita yang 
menyangkut kepentingan rakyat banyak. Hamba sudah 
mencoba untuk menghadap secara baik-baik, namun 
malah terancam bahaya. Terpaksa hamba melakukan 
kelancangan ini...,” ujar Panji lagi. Dilihatnya sinar 
kemarahan pada sepasang mata itu lenyap. Panji lalu 
bergegas membebaskan pengaruh totokannya. 
“Apa sebenarnya yang kau inginkan, Pemuda gagah?” 
tanya Prabu Pungga Dewa setelah menarik napas beberapa 
kali. Ditatapnya wajah tampan di depannya dengan sinar 
mata penuh keheranan. 
Tanpa banyak cakap Panji menceritakan keperluannya. 
Juga tentang perlakuan Senapati Godamarta yang telah 
menjebak dan hampir mencelakakan dirinya. Semua itu 
diucapkan Panji dengan periahan dan jelas, membuat 
kening Prabu Pungga Dewa berkerut. Kelihatan sekali 
penguasa negeri itu tak percaya dengan keterangan Panji. 
Tapi, melihat sikap dan tindakan Panji yang nekat 
menemuinya, Prabu Pungga Dewa mulai percaya.

“Hm...,” Prabu Pungga Dewa mengangguk-anggukkan 
kepala setelah mendengar uraian Panji. Terlihat kilatan 
marah pada sepasang matanya. Tapi, jelas bukan ditujukan 
kepada Panji. 
“Kau siapa, Pemuda gagah? Mengapa berani mem-
pertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak?” 
tanya Prabu Pungga Dewa dengan lembut, mencerminkan 
sifat bijaksana dan penuh kasih. 
“Hamba bernama Panji, Gusti Prabu. Hamba sedikit 
pun tidak mengharapkan apa-apa dalam melakukan 
kebajikan. Menurut hamba, semua ini memang sudah 
menjadi kewajiban bagi setiap manusia yang menginginkan 
keadilan dan ketenteraman,” sahut Panji dengan heran. 
Sikap Prabu Pungga Dewa sama sekali tidak menunjukkan 
ketamakan maupun kebengisan. Bahkan, terkesan 
bijaksana dan penuh keadilan. Sikap itu membuat Panji 
tidak habis mengerti. 
“Kau pastilah termasuk kaum persilatan. Apakah kau 
mempunyai julukan?” tanya Prabu Pungga Dewa yang 
kelihatan semakin tertarik dengan pemuda tampan yang 
sopan dan manis budi bahasanya itu. 
“Benar, hamba adalah orang persilatan yang kasar dan 
kurang memiliki kesopanan, Gusti Prabu. Orang-orang 
menjuluki hamba Pendekar Naga Putih....” 
“Aaahhh...?! Jadi kaulah rupanya yang dijuluki 
Pendekar Naga Putih. Sungguh gembira aku dapat 
berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih. Namamu 
demikian harum dipuja banyak orang,” Prabu Pungga 
Dewa rupanya pernah mendengar julukan Panji. Dan itu 
membuat Panji merasa lega, berarti ia akan lebih

dipercaya lagi. 
“Terima kasih Gusti Prabu...,” ucap Panji tetap 
merendah. Kendati Prabu Pungga Dewa jelas-jelas telah 
memujinya. 
“Mengenai istana peristirahatan, sebenarnya sudah 
lama kubatalkan. Karena setelah kutinjau, tempat itu 
terdiri dari batu-batu padas yang keras dan sulit 
dihancurkan. Kalau sekarang ada orang yang 
mengumpulkan pekerja dan hendak mengikis bukit itu 
dengan alasan untuk membangun istana peristirahatan, 
jelas tidak benar. Rupanya, desas-desus yang kudengar di 
kalangan pembesar istana ada benarnya,” ujar Prabu 
Pungga Dewa mengejutkan Panji. Ternyata niat untuk 
membangun istana peristirahatan di Bukit Cadas Hantu 
telah dibatalkan. 
“Tapi orang-orang yang mempekerjakan penduduk 
secara paksa adalah orang-orang kerajaan, Gusti Prabu. 
Bahkan, kabarnya mereka memiliki surat resmi bercap 
kerajaan?” Panji kembali menegasi penjelasannya. Karena 
Prabu Pungga Dewa membantah apa yang diceritakannya 
tadi. 
“Kurang ajar! Mereka jelas telah mencemarkan nama 
baik Kerajaan Tampak Serang. Untuk perbuatan itu 
mereka harus mendapat hukuman berat!”“ 
Prabu Pungga Dewa kelihatan marah besar mendengar 
perkataan Panji. 
“Apakah mereka pihak luar yang sengaja mencemarkan 
nama Kerajaan Tampak Serang, Gusti?” tanya Panji belum 
bisa menebak apa sebenarnya yang terjadi di dalam 
Kerajaan Tampak Serang.

“Seperti yang kukatakan tadi, ada selentingan kabar 
tentang pejabat yang hendak memberontak. Kemungkinan 
besar di Bukit Cadas Hantu hendak didirikan benteng bagi 
kelompok pemberontak itu. Karena, istana peristirahatan 
yang pernah hendak kubuat sudah kubatalkan. Sekarang 
aku yakin siapa yang menjadi biang keladi semua ini!” 
tegas Prabu Pungga Dewa menyimpan kemurkaan. 
“Maksud Tuanku Gusti yang berkhianat adalah 
Senapati Godamarta...?” terka Panji. Karena Senapati 
itulah yang telah menjebak dan menghalanginya berjumpa 
dengan Gusti Prabu Pungga Dewa. 
“Tepat! Memang Senapati Godamartalah yang menjadi 
biang keladi semua ini. Aku akan segera memerintahkan 
prajurit-prajuritku untuk meringkusnya. Untuk ke Bukit 
Cadas Hantu sendiri akan kukirim pasukan guna 
meringkus para pemberontak itu. Mereka harus ditumpas 
habis sampai ke akar-akarnya!” tegas Prabu Pungga Dewa. 
“Jika demikian, berarti persoalan ini telah selesai. 
Karena untuk menumpas para pemberontak itu tentunya 
Gusti Prabu tidak memerlukan tenaga hamba. Sebab, di 
istana ini banyak terdapat orang pandai yang sanggup 
melakukannya...,” ujar Panji dengan perasaan lega. Tidak 
disangkanya kalau persoalan itu demikian sederhana. Ia 
tidak periu bersusah-payah lagi. 
“Kurang lebih begitulah, Panji. Dan untuk penderitaan 
serta kerugian rakyat akan segera kukirimkan pengganti-
nya. Kupercayakan kepadamu untuk menyerahkan 
pengganti kerugian kepada mereka. Juga sampaikan 
permintaan maafku...,” ujar Prabu Pungga Dewa, 
membuat Panji semakin kagum dan tunduk kepada raja

yang ternyata adil dan bijaksana itu. 
Malam itu juga Prabu Pungga Dewa memanggil 
Senapati Godamarta. Dan memerintahkan dua orang 
senapati lainnya untuk membawa seribu prajurit-prajurit 
pilihan guna menumpas para pemberontak di Bukit Cadas 
Hantu. Panji sendiri tetap berada di samping Prabu 
Pungga Dewa. Itu atas permintaan Prabu Pungga Dewa. 
Dengan tujuan agar Pendekar Naga Putih merasa puas. 
Senapati Godamarta serta pengikut-pengikutnya 
dijebloskan ke dalam tahanan dan menanti hukuman 
gantung. Pagi harinya, Panji yang terpaksa tidak 
beristirahat semalaman suntuk ditugaskan Prabu Pungga 
Dewa untuk membawa pengganti kerugian bagi rakyat. 
Gusti Prabu mengirimkan makanan serta ribuan keping 
uang. Sekaligus permintaan maaf dari Gusti Prabu 
Kerajaan Tampak Serang. 
“Setelah tugasmu selesai, kalau kau tidak mempunyai 
kepentingan lain singgahlah ke istanaku, Pendekar Naga 
Putih. Tentu saja ini merupakan undangan resmi. Kapan 
saja kau sempat, pintu istanaku selalu terbuka untuk-
mu...,” pesan Prabu Pungga Dewa sesaat sebelum kereta 
kuda yang dibawa Panji bergerak meninggalkan halaman 
istana. 
“Terima kasih, Gusti. Hamba akan ingat hal itu...,” 
sahut Panji penuh hormat. Kemudian menghela empat 
ekor kuda yang menarik kereta. Dan bergerak 
meninggalkan kotaraja. Diiringi pandang mata Prabu 
Pungga Dewa yang terkesan dan kagum terhadap 
pendekar muda itu.

*** 
Kedatangan Panji di Hutan Panawangan disambut 
dengan suka-cita. Apalagi, kabar yang dibawa pendekar 
muda itu benar-benar melegakan hati. Terutama para 
penduduk yang mendapatkan makanan serta kepingan 
uang dari Prabu Pungga Dewa. Langsung saja mereka 
yang semula mengutuk, berbalik memuji tak habis-
habisnya. 
Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan lainnya 
menyalami Panji dengan wajah berseri. Mereka benar-
benar kagum atas tindakan Panji yang demikian berani 
mempertaruhkan nyawa. Mereka merasa mendapat 
contoh yang baik dari sosok pendekar muda itu. Tindakan 
Pendekar Naga Putih telah menanamkan semangat serta 
jiwa kependekaran yang semakin tebal dalam hati mereka. 
“Sahabat-sahabat sekalian. Maaf, kalau aku tidak bisa 
menemani kalian lebih lama. Ada sesuatu keperluan yang 
agak mendesak. Karena itu, aku mohon pamit...,” ucap 
Panji kepada tokoh-tokoh persilatan yang mengelilinginya. 
Ki Wiguna dan kawan-kawannya tentu saja maklum 
akan banyaknya tugas-tugas Panji. Mereka tidak berusaha 
mencegah kepergian pemuda itu. Dan melepaskannya 
dengan tatapan mata penuh kebanggaan dan juga haru. 
Bangga bahwa dalam golongan mereka telah muncul 
seorang tokoh muda .yang dapat diandalkan, baik dalam 
kepandaian maupun budi pekertinya. Dan terharu atas 
perbuatan pemuda itu yang berani mempertaruhkan 
nyawa demi kepentingan orang banyak.

Panji sendiri telah melesat pergi dengan menggunakan 
ilmu lari cepatnya. Tujuannya tentu saja hendak menyusul 
Kenanga ke Kadipaten Tumapel, di sana kekasihnya sudah cukup lama menunggu. 




                             SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar