..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label KISAH ROMANTIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KISAH ROMANTIS. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Desember 2024

SITI NURBAYA EPISODE KASIH TAK SAMPAI


SITI NURBAYA EPISODE KASIH TAK SAMPAI

 DAFTAR ISI 

I. Pulang dari sekolah 9 

II. Sutan Mahmud dengan saudaranya yang perempuan 18 

III. Berjalan-jalan ke Gunung Padang 28 

IV. Putri Rubiah dengan saudaranya Sutan Hamzah 56 

V. Samsulbahri berangkat ke Jakarta 65 

VI. Datuk Meringgih 83 

VII. Surat Samsulbahri kepada Nurbaya 95 

VIII. Surat Nurbaya kepada Samsulbahri 111 

IX. Sambulbahri pulang ke Padang 124 

X. Kenang-kenangan kepada Samsulbahri 158 

XI. Nurbaya lari ke Jakarta 173 

XII. Percakapan Nurbaya dengan Alimah 191 

XIII. Samsulbahri membunuh diri 215 

XIV. Sepuluh tahun kemudian 229 

XV. Rusuh perkara belasting di Padang 244 

XVI. Peperangan antara Samsulbahri dan Datuk Meringgih 256


I. PULANG DARI SEKOLAH 

Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda, 

bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka 

sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, seolah-olah mereka 

hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar 

dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih. 

Seorang dari anak muda ini, ialah anak laki-laki, yang umurnya 

kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana 

pendek hitam, yang berkancing di ujungnya. Sepatunya sepatu 

hitam tinggi, yang disambung ke atas dengan kaus sutera hitam 

pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya. 

Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda. 

Di tangan kirinya ada beberapa kitab dengan sebuah peta bumi 

dan dengan tangan kanannya dipegangnya sebuah belebas, yang 

dipukul-pukulkannya ke betisnya. 

Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda 

ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. 

Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa; 

karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan 

matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan 

tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula.


Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak 

gemuk dan tak kurus, tetapi tegap. Pada wajah mukanya yang 

jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus, 

tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksud-

nya. Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak 

seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak 

seorang yang berbangsa tinggi. 

Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang 

umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai 

pakaian anak Belanda juga. Rambutnya yang hitam dan tebal itu, 

dijalinnya dan diikatnya dengan benang sutera, dan diberinya 

pula berpita hitam di ujungnya. Gaunnya (baju nona-nona) 

terbuat dari kain batis, yang berkembang merah jambu. Sepatu 

dan kausnya, coklat wamanya. Dengan tangan kirinya dipegang-

nya sebuah batu tulis dan sebuah kotak yang berisi anak batu, 

pensil, pena, dan lain-lain sebagainya; dan di tangan kanannya 

adalah sebuah payung sutera kuning muda, yang berbunga dan 

berpinggir hijau. 

Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri 

sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan 

sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh 

dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju 

dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari.


Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambahkan 

manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi 

lalat yang hitam. Pandangan matanya tenang dan lembut, sebagai 

janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga 

melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara 

kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua 

baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung, dan 

pada kedua belah cuping telinganya kelihatan subang perak, 

yang bermatakan berlian besar, yang memancarkan cahaya air 

embun. Di lehernya yang jenjang, tergantung pada ranjai emas 

yang halus, sebuah dokoh hati-hati, yang bermatakan permata 

delima. Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang 

diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemah-

lembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya. 

Dadanya bidang, pinggangnya ramping. Lengannya dilingkari 

gelang ular-ular, yang bermatakan beberapa butir berlian yang 

bemyala-nyala sinarnya. Pada jari manis tangan kirinya yang 

halus itu, kelihatan sebentuk cincin mutiara, yang besar matanya. 

Kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai. 

Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini, 

nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau 

orang yang berpangkat tinggi. Barangsiapa memandangnya, tak 

dapat tiada akan merasa tertarik oleh sesuatu tali rahasia, yang


mengikat hati, dan jika mendengar suaranya, terlalailah daripada 

sesuatu pekerjaan. Sekalian orang bersangka, anak ini kelak, jika 

telah sampai umurnya, niscaya akan menjadi sekuntum bunga, 

kembang kota Padang, yang semerbak baunya sampai ke mana-

mana, menjadikan asyik berahi segala kumbang dan rama-rama 

yang ada di sana. 

"Apakah sebabnya Pak Ali hari ini terlambat datang? 

Lupakah ia menjemput kita?" demikianlah tanya anak laki-laki 

tadi kepada temannya yang perempuan, sambil menoleh ke jalan 

yang menuju ke pasar Kampung Jawa. 

"Ya, biasanya sebelum pukul satu ia telah ada di sini. 

Sekarang, cobalah lihat! Jam di kantor telepon itu sudah hampir 

setengah dua," jawab anak perempuan yang di sisinya. 

"Jangan-jangan ia tertidur, karena mengantuk; sebab tadi 

malam ia minta izin kepada ayahku, pergi menonton komidi 

kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya ini akan 

kuadukan kepada ayahku," kata anak laki-laki itu pula, sebagai 

marah rupanya. 

"Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan 

baru sehari dua bekerja pada ayahmu, melainkan telah bertahun-

tahun. Dan di dalam waktu yang sekian lamanya itu, belum ada 

ia berbuat kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita 

sendiri sudah setua itu, masih dimarahi juga? Pada sangkaku,


tentulah ada alangan apa-apa padanya. Jangan jangan ia 

mendapat kecelakaan di tengah jalan. Kasihan orang tua itu! 

Lebih baik kita berjalan kaki saja perlahan-lahan, pulang ke 

rumah; barangkali di tengah jalan kita bertemu dengan dia 

kelak," kata anak perempuan itu pula seraya membuka payung 

suteranya dan berjalan perlahan-lahan ke luar pekarangan rumah 

sekolah. 

"Ya, tetapi aku lebih suka naik bendi daripada berjalan kaki, 

pulang ke rumah, sebab aku amat lelah rasanya dan hari amat 

panas. Lihatlah mukamu, telah merah sebagai jambu air, kena 

panas matahari!" jawab anak laki-laki itu, seakan-akan merengut, 

tetapi diikutinya juga temannya yang perempuan tadi. 

"Benar hari panas, tetapi tak mengapa. Kaulihat sendiri, aku 

ada membawa payung yang boleh kita pakai bersama-sama. 

Merah mukaku ini bukan karena panas semata-mata, melainkan 

memang sejak dari sekolah sudah merah juga." 

"Apa sebabnya? Barangkali engkau dimarahi gurumu," tanya 

Sam, demikianlah nama anak laki-laki itu, sambil memandang 

kepada temannya. 

"Bukan begitu, Sam, hanya ... O, itu Pak Ali datang!" 

Tiada berapa lama kemudian, berhentilah di muka anak muda 

ini sebuah bendi yang ditarik oleh seekor kuda Batak. Rupanya 

kuda ini telah lama dipakai, karena badannya basah dengan


peluh. Di atas bendi ini duduk seorang kusir, yang umurnya kira-

kira 45 tahun, tetapi badannya masih kukuh. Pada air mukanya, 

nyata kelihatan, bahwa ia seorang yang lurus hati dan baik budi, 

walaupun ia tiada remaja lagi. 

"Pak Ali, mengapa terlambat datang menjemput kami? 

Tahukah, bahwa sekarang ini sudah setengah dua? Setengah jam 

lamanya kami harus berdiri di bawah pohon ketapang, sebagai 

anak ayam ditinggalkan induknya," kata Sam seakan-akan 

marah, sambil menghampiri bendi yang telah berhenti itu. 

"Engku muda*), janganlah marah! Bukannya sengaja hamba 

terlambat. Sebagai biasa, setengah satu telah hamba pasang 

bendi ini, untuk menjemput Engku Muda. Tetapi Engku 

Penghulu**) menyuruh hamba pergi sebentar menjemput engku 

Datuk Meringgih, karena ada sesuatu, yang hendak dibicarakan. 

Kebetulan Engku Datuk itu tak ada di tokonya, sehingga 

terpaksa hamba pergi ke Ranah, mencarinya di rumahnya. Itulah 

sebabnya terlambat hamba datang," jawab kusir tua itu dengan 

sabar. 

"Hm ... Marilah Nur, naiklah, supaya lekas kita sampai ke 

rumah, sebab perutku telah berteriak minta makan," kata Sam 

pula. 

*) Panggilan kepada anak orang yang 

berpangkat di Padang 

**) Nama pangkat di Padang, yang hampir 

sama dengan Wedana di tanah Jawa


Kedua anak muda tadi lalu naiklah ke atas bendi Pak Ali dan 

dengan segera berlarilah kuda Batak yang amat tangkas itu, 

menarik tuannya yang muda remaja, pulang ke rumahnya di 

Kampung Jawa Dalam. 

Setelah sejurus lamanya berbendi, berkatalah anak laki-laki 

tadi, "Nur, belum kanceritakan kepadaku, apa sebabnya mukamu 

merah." 

"O, ya, Sam. Tadi aku diberi hitungan oleh Nyonya Van der 

Stier, tentang perjalanan jarum pendek dan jarum panjang, pada 

suatu jam. Dua tiga kali kucari hitungan itu, sampai pusing 

kepalaku rasanya, tak dapat juga. Bagaimanakah jalannya 

hitungan yang sedemikian?" 

"Bagaimanakah soalnya?" tanya si Sam. 

"Demikian," jawab si Nur. "Pukul 12, jarum pendek dan 

jarum panjang berimpit. Pukul berapa kedua jam itu berimpit 

pula, sesudah itu?" 

"Ah, jalan hitungan yang semacam ini, hampir sama dengan 

jalan hitungan yang telah kuterangkan dahulu kepadamu," jawab 

si Sam, "yaitu tentang perjalanan orang yang berjalan kaki dan 

naik kuda. Yang terutama harus kau ketahui pada hitungan yang 

sedemikian ini, ialah jarak dari angka XII ke angka XII, pada 

jam kalau lingkaran itu dibuka dan dijadikan baris yang lurus. 

Berapa?"


Si Nur terdiam, sebagai berpikir. 

"Begini. Cobalah pinjami aku batu tulismu itu!" kata si Sam 

pula, seraya mengambil batu tulis si Nur dan membuat sebuah 

garis yang panjang di atasnya. 

Sejenak kemudian si Nur menjawab, "60 menit." 

"Benar, 60 menit atau 60 meter atau 60 pal, sekaliannya itu 

sekadar nama saja. Panjang yang 60 menit antara dua angka XII 

di jam, boleh kita samakan dengan panjang jalan yang 60 Km, 

antara dua buah negeri, misalnya antara negeri P dan M. 

Sekarang manakah yang lebih cepat, jalan jarum panjangkah 

atau jarum pendek?" tanya Sam pula. 

"Tentu jarum panjang," jawab si Nur. 

"Nah, jarum panjang itu misalkanlah si A, yang menunggang 

kuda dari P ke M, dan jarum pendek si B, yang berjalan kaki dari 

P ke N." kata si Sam. "Sekarang berapakah kecepatan perjalanan 

kedua jarum itu?" 

"Jarum panjang 60 menit sejam dan jarum pendek 5 menit," 

jawab si Nur. 

"Jadi berapa perbedaan perjalanan kedua jarum itu dalam 

sejam?" 

"55 menit," jawab si Nur. 

"Nah, suruhlah kedua mereka itu sama-sama berangkat! Si A 

dari P ke M, dan si B dari P ke N," kata si Sam pula.


"O, ya, benar, benar!" kata si Nur, "sekarang mengertilah 

aku." 

"Ya, kalau tahu rahasia hitungan, mudah benar mencarinya, 

bukan?" 

"Benar. Terima kasih, Sam!" kata anak perempuan tadi 

sambil melihat ke hadapan. "Hai, dengan tiada diketahui, kita 

telah sampai ke rumah." 

Ketika itu berhentilah bendi tadi di muka sebuah rumah kayu, 

bercat putih dan beratap genting, yang dihiasi sebagai rumah 

Belanda. Anak perempuan tadi turun dari kendaraan Pak Ali, 

lalu hendak masuk ke rumah ini. 

"O ya, Nur, tunggu sebentar," kata si Sam. "Hampir lupa aku. 

Tadi, waktu keluar bermain-main, aku telah bermupakat dengan 

si Arifm dan si Bakhtiar, akan pergi esok hari ke gunung Padang, 

bermain-main mencari jambu Keling, sebab hari Ahad sukakah 

engkau mengikut?" 

"Tentu sekali suka, Sam," jawab si Nur dengan girang. 

"Tetapi aku harus minta izin dahulu kepada ayahku. Jika dapat, 

nanti petang kukabarkan kepadamu." 

"Baiklah. Tetapi kalau engkau ikut serta, hendaklah kaubawa 

apa-apa, yang dapat kita makan bersama-sama di sana. 

Perjanjian kami tadi, si Arifin membawa air seterup dan aku 

membawa roti. Kalau boleh, aku hendak meminjam bedil angin


si Hendrik, supaya dapat berburu pula sekali, kalau-kalau ada 

burung di sana." 

"Alangkah senangnya! Kalau diizinkan aku mengikut, nanti 

akan kupikirkanlah apa yang baik kubawa," jawab si Nur. 

"Baiklah. Tabik, Nur!" . 

"Tabik, Sam!" 

Setelah itu bendi yang membawa kedua anak muda ini, 

masuk ke dalam pekarangan rumah si Sam, yang letaknya di 

sebelah rumah yang dimasuki anak perempuan tadi. Ketika anak 

laki-laki ini sampai ke rumahnya, kelihatan olehnya di muka 

rumahnya, ada sebuah kereta berhenti dan ayahnya duduk 

bertutur dengan seorang tamu, di beranda muka. 

Sebelum diteruskan cerita ini, baiklah diterangkan lebih 

dahulu, siapakah kedua anak muda yang telah kita ceritakan tadi, 

karena merekalah kelak yang acap kali akan bertemu dengan 

kita, di dalam hikayat ini. 

Anak laki-laki yang dipanggil Sam oleh temannya tadi, ialah 

Samsulbahri, anak Sutan Mahmud Syah, Penghulu di Padang; 

seorang yang berpangkat dan berbangsa tinggi. Anak ini telah 

duduk di kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang. Oleh sebab 

ia seorang anak yang pandai, gurunya telah memintakan kepada 

Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada 

Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.


Ia bukannya seorang anak yang pandai sahaja, tingkah 

lakunya pun baik; tertib, sopan santun, serta halus budi 

bahasanya. Lagi pula ia lurus hati dan boleh dipercayai. 

Walaupun ia rupanya sebagai seorang anak yang lemah-lem¬but, 

akan tetapi jika perlu, tidaklah ia takut menguji kekuatan dan 

keberani¬annya dengan siapa saja; lebih-lebih untuk membela 

yang lemah. Dalam hal itu, tiadalah ia pandang-memandang 

bangsa ataupun pangkat. Itulah sebabnya ia sangat dimalui 

teman-temannya. Kalau tak ada alangan apa-apa, tiga bulan lagi 

berangkatlah Samsulbahri ke tanah Jawa, untuk menuntut ilmu 

yang lebih tinggi. 

Temannya yang dipanggilnya Nur tadi ialah Sitti Nurbaya, 

anak Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Padang, yang 

mempunyai beberapa toko yang besar-besar, kebun yang lebar-

lebar serta beberapa perahu di laut, untuk pembawa 

perdagangannya melalui lautan. Anak ini pun seorang gadis, 

yang dapat dikatakan tiada bercacat, karena bukan rupanya saja 

yang cantik, tetapi kelakuan dan adatnya, tertib dan sopannya, 

serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan 

parasnya. 

Oleh sebab ia anak seorang yang kaya dan karena ia cerdik. 

dan pandai pula, ia disukai dan disayangi pula oleh teman-

temannya. Hanya ayahnya, bukan seorang yang berasal tinggi,


sebagai Sultan Mahmud Syah, Penghulu yang tinggal di sebelah 

rumahnya. Sungguhpun demikian, Penghulu dan saudagar ini 

bukannya dua orang yang bersahabat karib saja, tetapi adalah 

sebagi orang yang bersaudara kandung. Hampir setiap hari 

saudagar Baginda Sulaiman datang ke rumah Penghulu Sutan 

Mahmud Syah. Kalau tidak, tentulah Penghulu itu datang ke 

rumah saudagar ini. Jika seorang mempunyai makanan, tak dapat 

tiada diberikannya juga sebahagian kepada sahabatnya. Barang 

sesuatu yang akan diperbuatnya, dirundingkannya lebih dahulu 

dengan karibnya. 

Oleh sebab itulah, Samsulbahri dan Nurbaya tiada berasa 

orang lain lagi, melainkan serasa orang yang seibu sebapa 

keduanya. Istimewa pula, karena mereka masing-masing anak 

yang tunggal tiada beradik, tiada berkakak. Dari kecil, sampai 

kepada waktu cerita ini dimulai, kedua remaja itu belumlah 

pernah bercerai barang sehari pun; boleh dikatakan makan 

sepiring, tidur sebantal. 

Bagaimanakah hal kedua anak muda ini kelak, apabila datang 

waktunya, Samsulbahri harus berangkat meninggalkan kampung 

halamannya dan ibu-bapa serta handai tolannya? Nantilah akan 

diceritakan betapa berat perceraian itu. 

Tadi telah dikatakan, tatkala Samsulbahri sampai ke rumah-

nya, ayahnya sedang bercakap-cakap dengan seorang jamu, di


serambi muka. Orang ini masuk bilangan sahabat Penghulu itu 

juga, sebab ia acap kali kelihatan makan minum di sana. 

Menurut air muka dan rambutnya yang telah putih ditumbuhi 

uban, nyatalah ia tiada remaja lagi. Akan tetapi, walaupun ia 

telah tua, badannya masih sempurna, kukuh dan sehat, karena ia 

seorang yang mampu. 

Itulah Datuk Meringgih, saudagar Padang yang termasyhur 

kayanya, sampai ke negeri-negeri lain. Pada masa itu, di antara 

saudagar-saudagar bangsa Melayu di padang, tiada seorang pun 

dapat melawan kekayaan Datuk Meringgih ini. Hampir sekalian 

toko dan rumah yang besar-besar di Pasar Gedang, kepunyaan-

nya. Hampir sekalian tanah di Padang, tertulis di atas namanya. 

Sawahnya beratus piring dan kebunnya beratus bahu. Hampir 

sekalian perahu yang berlabuh di Muara, di dalam tangannya. 

Sekalian rotan dan damar, serta hasil hutan yang lain-lain, yang 

datang dari Painan dan Terusan, masuk ke dalam tempat 

penyimpanannya. Berkapal-kapal kelapa keringnya, yang 

dikirimkannya ke benua Eropah. Bergudang-gudang barang-

barang yang dipesannya dari negeri lain-lain. 

Siapakah yang tiada mengenal namanya? Sampai ke 

Singapura dan Melaka, Datuk Meringgih diketahui orang. Tak 

ada seorang bangsa Eropah atau Cina, Arab atau Keling yang 

kaya dan berpangkat di Padang, yang tiada bersahabat dengan


dia. Ia pun sangat pula merapati mereka, terlebih-lebih yang 

berpangkat tinggi. Adakah maksudnya berbuat demikian? Atau 

sebab memang ia seorang yang baik budi? Kelak akan kita 

ketahui juga hal ini. 

Sungguhpun Datuk Meringgih seorang yang kaya raya, tetapi 

tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon khabarnya, tatkala mudanya, 

ia sangat miskin. Bagaimana ia boleh menjadi kaya sedemikian 

itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri. 

Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaan-

nya itu, ialah ia amat sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah ia 

rasanya berbunuhan. Jika ia hendak mengeluarkan duitnya, 

dibolak-balikkannya dahulu uang itu beberapa kali, sebagai tak 

dapat ia bercerai dengan mata uang ini, seraya berkata dalam 

hatinya, "Aku berikanlah uang ini atau tidak?" Hanya untuk 

suatu perkara saja ia tiada bakhil, yaitu untuk perempuan. Berapa 

kali ia telah kawin dan bercerai, tiadalah dapat dibilang. Hampir 

dalam tiap-tiap kampung, ada anaknya. Tiada boleh ia melihat 

perempuan yang cantik rupanya, tentulah dipinangnya. Walau-

pun ia harus mengeluarkan uang seribu rupiah sekalipun, tiada-

lah diindahkannya, asal sampai maksudnya. Kebanyakan 

perempuan yang jatuh ke dalam tangan Datuk Meringgih ini, 

semata-mata karena uangnya itu juga. Sebab lain daripada itu, 

tak ada yang dapat dipandang padanya. Rupanya buruk, umurnya


telah lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan 

kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan 

kepandaianpuntak ada, selain dari pada kepandaian berdagang. 

Akan tetapi karena kekuasaan uangnya, yang tinggi menjadi 

rendah, yang keras menjadi lunak dan yang jauh men-jadi dekat. 

Bukankah besar kekuasaan uang itu? Tentu, apakah yang 

lebih daripada uang? Dunia ini berputar mengelilingi uang. 

Sekaliannya ujudnya uang. 

"Hai, telah pukul satu!" demikian kata Sutan Mahmud, 

tatkala dilihatnya anaknya pulang dari sekolah. 

"Sudah setengah dua," jawab Datuk Meringgih, setelah 

melihat arlojinya, yang besar, yang berantaikan pita berpintal, 

dari kantung atas bajunya. 

"Jadi Engku Datuk beri pinjam hamba uang yang 3000 

rupiah itu?" tanya Sutan Mahmud. 

"Tentu," jawab Datuk Meringgih dengan pastinya. 

"Tetapi apakah yang akan hamba berikan kepada Engku 

Datuk untuk jadi andalan?" tanya Sutan Mahmud. 

"Tidak apa-apa. Hamba percaya kepada Tuanku Penghulu, 

karena Tuankn bukan baru hamba kenal. Jika orang lain, tentu 

hamba minta jaminan." 

"Bukan begitu," kata Sutan Mahmud pula. "Hamba banyak 

meminta terima kasih kepada Engku Datuk, sebab percaya pada


hamba; tetapi utang harus ada tandanya. Bila besok lusa hamba 

meninggal dunia sebelum utang itu lunas dibayar, bagaimana-

kah? Oleh sebab itu, kelak akan hamba kirimkan kepada Engku 

Datuk, suatu surat perjanjian, bahwa rumah hamba ini dengan 

tanah-tanahnya, telah hamba gadaikan kepada Engku dengan 

harga 3000 rupiah." 

"Mana suka Tuankulah; sekarang hamba minta diri dahulu, 

sebab Tuanku tentulah sudah lapar," jawab Datuk Meringgih. 

"Tidakkah Engku datuk makan di sini? tanya Sutan Mahmud. 

"Tak usah, kemudian marilah," jawab Datuk Meringgih pula, 

sambil berdiri. 

Kedua mereka kelihatan berjabat tangan, lalu Datuk 

Meringgih turun dari atas rumah itu dan naik ke atas keretanya. 

Seketika lagi, hilanglah ia dari mata Sutan Mahmud. 

Waktu itu kelihatan Sutan Mahmud menarik napasnya, 

sebagai terlepas daripada sesuatu bahaya, lalu masuk ke dalam 

rumahnya, sambil berkata, "Kalau tak dapat kupinjam padanya, 

tentulah aku akan terpaksa menjual sawah pusaka. Untung 

benar! Kepada Baginda Sulaiman, tak hendak kupinta tolong. 

Segan aku, kalau-kalau ia tak mau dibayar kembali." 

Tatkala ia sampai ke dalam rurnahnya, kelihatan olehnya 

Samsulbahri baru keluar dari dalam biliknya dan telah memakai 

baju Cina putih dan celana genggang, yang baru dikenakannya;


penukar pakaian sekolahnya. 

Setelah dilihat Samsu ayahnya, lalu dihampirinya orang 

tuanya itu, seraya berkata, "Kalau Ayah izinkan, hamba hendak 

pergi esok hari bermain-main ke gunung Padang." 

"Dengan siapa?" tanya Sutan Mahmud. 

"Dengan si Arifin dan si Bakhtiar dan barangkali juga dengan 

si Nurbaya," jawab Samsu. 

"Dengan si Nurbaya?" tanya Sutan Mahmud pula, sambil 

berpikir. "Baiklah, tetapi hati-hati engkau menjaga dirimu dan si 

Nurbaya! Jangan sampai ada alangan apa-apa dan jangan berlaku 

yang tiada senonoh." 

"Baiklah, Ayah," jawab Samsu. 

Sejurus lagi, duduklah anak dan bapa, makan di meja 

bersama-sama ibu Samsu, yang telah lama duduk menanti.


II. SUTAN MAHMUD DENGAN SAUDARANYA 

YANG PEREMPUAN 

Pada senja hari yang baru diceritakan, kelihatan bendi Sutan 

Mahmud masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di 

kampung Alang Lawas. Di dalam bendi ini duduk Sutan 

Mahmud. 

Memang gagah rupanya Penghulu ini duduk.di atas bendinya, 

bertopangkan tongkat ruyung dengan kedua belah tangannya. 

Destamya yang berbentuk "ciling menurun" itu adalah sebagai 

suatu mahkota di atas kepalanya. Bajunya jas putih, ber-

kancingkan "letter W," dan ujung lengan bajunya itu berpetam 

sebagai baju opsir. Celananya—celana panjang putih, sedang di 

antara baju dan celana kelihatan sarungnya, kain sutera Bugis 

hitam, yang terjuntai hampir sampai ke lututnya. Sepatunya 

sepatu kasut, yang diperbuat dari kulit perlak hitam. 

Rupanya Penghulu ini, tak guna kita rencanakan, karena 

adalah sebagai pinang dibelah dua dengan rupa anaknya 

Samsulbahri. Di antara Penghulu-penghulu yang delapan di kota 

Padang waktu itu, Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang 

orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya 

pun baik; pengasih penyayang kepada anak buahnya, serta adil


dan lurus dalam pekerjaannya. 

Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan 

Mahmud, dan Penghulu ini turun dari atas kendaraannya, lalu 

naik ke atas rumah ini. Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung 

ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana, 

pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat 

hitam. Di dalam pekarangan ini, banyak tumbuh-tumbuhan yang 

sedang berbuah dan bunga-bungaan yang sedang berkembang. 

Jalan masuk ke rumah ini, bentuknya sebagai bulan sebelah, 

dan kedua pintunya, dapat ditutup dengan pagar besi yang bercat 

putih. Pada bentuknya nyata, gedung ini buatan lama; karena 

bangunnya tinggi, tiangnya besar-besar berukir-ukiran, lantainya 

papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi 

dengan rumbia, sehingga tak mudah bocor. Pada dindingnya 

yang dicat putih itu, tergantung beberapa gambar Sultan Turki 

dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di bawah rumah itu, sekeliling-

nya berkisi-kisi papan kecil-kecil, yang bercat hitam. Di serambi 

muka, yang dipagari kisi-kisi kayu berpahat, ada sebuah lampu 

gantung, yang dapat dikerek turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran 

timah, bertutupkan gelas, sedang di bawah lampu itu adalah 

sebuah meja marmar bulat, yang kakinya berukir-ukiran pula, di-

kelilingi oleh empat buah kursi goyang, macam dahulu. Serambi 

ini tengahnya menganjur ke muka sedikit. Di sanalah bertemu


kedua tangga yang terletak di kanan-kiri serambi. 

Rupanya Sutan Mahmud telah biasa masuk rumah ini, karena 

ia terus berjalan ke serambi belakang. Di sana kelihatan olehnya 

seorang anak gadis yang berumur kira-kira 15 tahun, sedang 

duduk menjahit di atas tikar pandan dekat sebuah pelita. 

Tatkala Sutan Mahmud melihat anak perempuan ini, ber-

hentilah ia sejurus, lalu bertanya, "Ke mana ibumu, Rukiah?" 

Mendengar perkataan ini, terperanjatlah anak perempuan itu, 

lalu mengangkat mukanya menoleh, kepada Sutan Mahmud. 

Tatkala dilihatnya Penghulu ini berdiri di belakangnya, segeralah 

diletakkannya jahitannya, lalu berdiri, sambil berkata, "Sedang 

sembahyang, Mamanda." Kemudian ia hendak masuk ke dalam 

sebuah bilik, akan melihat, sudahkah ibunya sembahyang. 

"Sudahlah, biarlah! Aku nanti sebentar," kata Sutan Mahmud, 

lalu duduk di atas sebuah kursi makan, di sisi sebuah meja 

marmar kecil. 

Tatkala itu terdengarlah suara seorang perempuan bertanya 

dari dalam bilik, tempat perawan tadi akan masuk, "Siapakah itu, 

Rukiah?" 

"Mamanda Penghulu," jawab Rukiah. 

"O, tunggulah sebentar! Kukenakan pakaianku dahulu, 

karena aku baru sudah sembahyang." 

Sementara itu bertanyalah Sutan Mahmud kepada Rukiah,


"Apakah yang kaujahit itu, Rukiah?" 

"Baju kerawang, Mamanda," jawab Rukiah, seraya berkemas, 

untuk menyimpan penjahitannya. 

"Coba kulihat!" kata Sutan Mahmud pula. Rukiah, membawa 

jahitannya, talu memperlihatkannya kepada Sutan Mahmud. 

"Bagus benar buatanmu ini," kata Sutan Mahmud. "Untuk 

siapa baju ini?" 

Mendengar pertanyaan sedemikian, terdiamlah Rukiah, lalu 

tunduk kemalu-maluan. "Untuk siapa-siapa saja yang suka," 

jawabnya. 

"Yang suka, tentu banyak. Aku misalnya, ingin sekali 

memakai baju kerawang yang sedemikian," kata Sutan Mahmud, 

akan mempermain-mainkan gadis ini. 

"Kalau Mamanda suka, bolehlah Mamanda ambil. Tetapi rasa 

hamba baju ini kecil bagi Mamanda." 

"Pada sangkaku pun demikian juga, Rukiah. Orang yang 

akan memakai baju ini, tentulah remaja yang sebaya dengan 

engkau, dan yang badannya seramping badanmu; bukannya laki-

laki tua tambun, sebagai aku ini," jawab Sutan Mahmud dengan 

tersenyum. 

Rukiah tunduk kembali kemalu-maluan, serta merah muka-

nya. Tatkala itu keluarlah seorang perempuan yang umurnya 

kira-kira 45 tahun, dari dalam bilik tadi, memakai baju kebaya


panjang, dari cela hitam dan kain Bugis. Rupanya perempuan ini 

hampir seroman dengan Sutan Mahmud: hanya badannya kurus 

sedikit. Pada air mukanya yang agak berlainan dengan wajah 

muka Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik, 

yaitu dengki dan bengis. 

Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud duduk di atas kursi lalu 

ditegurnya, "Engkau, Penghulu! Alangkah besar hatiku melihat 

engkau ada pula di rumah ini; karena telah sekian lama engkau 

tiada datang kemari. Hampir aku bersangka, engkau telah lupa 

kepada kami." 

"Bukan demikian, Kakanda! Maklumlah hal kami pegawai 

Pemerintah! Pekerjaan tiada berkeputusan: rodi, ronda, perkara 

jalan, perkara polisi, perkara ini dan itu, tidak berhenti," jawab 

Sutan Mahmud. 

"Ya, tentu; tetapi ... Rukiah, pergilah masak air panas, untuk 

mamandamu ini! Masih adakah kue-kue dalam lemari?" 

"Ada, Bunda," jawab Rukiah. 

"Ah, tak usah, karena aku baru minum teh di rumah, Rukiah," 

kata Sutan Mahmud pula. 

"Mengapa? Tidakkah sudi lagi engkau makan di sini? Tidak-

kah percaya lagi engkau kepada saudaramu?" tanya perempuan 

itu, seraya rnengangkat mukanya, sebagai hendak marah. 

"Ah, apakah sebabnya Kakanda berkata demikian? Masakan


hamba menaruh syak wasangka pada Kakanda? Kalau tiada 

Kakanda, siapa lagi yang boleh hamba percayai?" jawab Sutan 

Mahmud dengan tenangnya, tetapi, senyumnya mulai hilang dari 

bibirnya. 

"Pergilah Rukiah masak air, tetapi kopinya jangan terlalu 

keras!" kata perempuan itu pula. 

Setelah itu, anak perawan ini lalu pergi ke dapur, mengerja-

kan apa yang telah dikatakan ibunya. 

"Jangan engkau marah, apabila aku berkata demikian kepada-

mu, karena sesungguhnya engkau rupanya makin lama makin 

kurang kepada kami. Dahulu setiap hari engkau datang kemari, 

makan dan minum di sini dan kadang-kadang tidur pula di sini. 

Baran apa yang kaukehendaki, engkau minta atau kauambil 

sendiri. Rumah ini kaupandang sebagai ramahmu sendiri. Akan 

tetapi sekarang ini, jangankan tidur di sini, menjaga kami, datang 

melihat kami kemari sekali sejumat pun tidak. 

Apabila kuberikan apa-apa kepadamu, tak hendak kaumakan, 

sebagai takut dan tak percaya engkau kepada rumah ini dan 

isinqa; padahal di sinilah tumpah darahmu, di sinilah tumpah 

darahku dan di sinilah pula orang tua-tua kita tinggal telah lebih 

dari 80 tahun dan di sini pula ayah-bunda kita berpulang ke 

rahmatullah. Bagaimana boleh sampai hatimu sedemikian itu, 

tiadalah dapat kupikirkan," kata putri Rubiah, seraya menyapu


air matanya, yang berlinang-linang di pipinya. 

Melihat kakandanya menangis, menjadi lemahlah kembali 

hati Sutan Mahmud yang tadi mulai panas, lalu ia menjawab, 

"Janganlah Kakanda berkecil hati, sebab tidaklah ada hamba 

berhati sedemikian itu; hanya maklumlah Kakanda, Tuan 

Kemendur ini baru, perintahnya keras; jadi harus berhati-hati 

memegang pekerjaan, supaya jangan mendapat nama yang 

kurang baik. Kakanda tahu sendiri, sejak dari nenek moyang 

kita, yang semuanya bekerja pada kompeni, belum ada yang 

mendapat nama jahat, melainkan pujianlah yang diperoleh 

selama-lamanya. Alangkah sayangnya dan malunya hamba, bila 

nama yang baik itu, pada hamba menjadi kurang baik!" 

"Ah, tetapi pada sangkaku, walaupun engkau tiada menjadi 

Penghulu sekalipun, engkau akan lupa juga kepada kami dan 

rumah ini," kata putri Rubiah pula. "Semenjak engkau telah 

kawin dan beranak, tiadalah lain yang kaupikirkan anak dan 

istrimu, serta rumah tanggamu saja." 

"Jika tiada begitu, bagaimana pula? Kalau tiada hamba yang 

harus memelihara anak istri hamba, siapa lagi," tanya Sutan 

Mahmud dengan tercengang. 

"Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah 

daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab 

ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada mamanda


nya, saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? 

Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat 

kita?" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau 

adat nenek moyang kita itu?" 

"Benar, tetapi si Marhum tak berapa pendapatannya dan 

banyak pula tanggungannya yang lain; jadi malu hamba, kalau si 

Samsu hamba serahkan ke tangannya," jawab Sutan Mahmud. 

"Ya, tetapi apabila kemenakanmu yang menjadi tanggungan-

mu sendiri tersia-sia, tiada engkau malu," kata putri Rubiah pula. 

"Tersia-sia bagaimana?" tanya Sutan Mahmud. 

"Tidakkah tersia-sia namanya itu? Tidak dilihat-lihat dan 

tidak diindahkan. Entah berbaju entah tidak, entah kelaparan 

entah kesusahan, entah sakit entah mati. Anakmu kaumasukkan 

ke sekolah Belanda, kauturut segala kehendaknya, makan tak 

kurang, pakaian cukup. Jika hendak pergi, bendimu telah ter-

sedia akan membawanya, dan tiada lama lagi akan engkau kirim 

pula ia ke Jakarta, meneruskan pelajarannya. Dari situ barangkali 

ke negeri Belanda pula karena kepandaian di sana, belumlah 

memadai baginya. Kalau ada sekolah untuk menjadi raja, 

tentulah. ke sana pula kauserahkan anakmu itu, sebab ia tak 

boleh menjadi orang sebarang saja, melainkan harus menjadi 

orang yang berpangkat tinggi. Bukankah sekalian itu memakan 

biaya? Untuk anakmu selalu ada uangmu, untuk anakku


selamanya tak ada." 

"Rukiah tidak bersekolah itu bukan salah hamba, melainkan 

salah Kakanda sendiri. Sudah berapa kali hamba minta kepada 

Kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi Kakandalah yang 

tak suka, karena tak baik, kata Kakanda, anak perempuan pandai 

menulis dan membaca; suka menjadi jahat. Sekarang hamba 

yang disalahkan. Lagi pula hamba sekolahkan si Samsu bukan 

karena apa-apa, melainkan sebab pada pikiran hamba, kewajiban 

bapaklah memajukan anaknya," kata Sutan Mahmud sambil 

merengut. 

"Bukan kewajibanmu, melainkan kewajiban mamaknya*)" 

jawab putri Rubiah. "Untung anakku perempuan, tak banyak me-

rugikan engkau. Akan tetapi walaupun ia laki-laki sekalipun, 

belum tentu juga akan kauserahkan ke sekolah, karena orang ber-

sekolah itu orang yang hina dan miskin, yang tak dapat makan, 

kalau tiada berkepandaian. Anakku putri, bangsanya tinggi, tak 

perlu bekerja untuk mencari makan. Biarpun ia bodoh, masih 

banyak orang kaya dan bangsawan yang suka kepada ketinggian 

bangsanya. Anakmu bukan demikian halnya; ia hanya marah 

karena ibunya orang kebanyakan. Kalau tak berkepandaian, tentu 

tak laku..." kata putri Rubiah dengan keras suaranya, lalu ber-

henti sejurus, sebagai tak dapat meneruskan sesalannya. 

*) Saudara ibu yang laki-laki


"Sampai sekarang aku belum mengerti, bagaimana pikiran-

mu, tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau 

pandang? Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau 

bangsa tak ada, Serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang 

suka menjemputnya?" *) 

"Rupanya bagi Kakanda, perempuan itu haruslah berbangsa 

tinggi, baru dapat diperistri. Pikiran hamba tidak begitu; bahwa 

kawin dengan siapa saja, asal perempuan itu hamba sukai dan ia 

suka pula kepada hamba. Tiada hamba pandang bangsa, rupa 

atau kekayaannya," jawab Sutan Mahmud yang mulai naik 

darahnya. 

"Memang adat dan kelakuanmu telah berubah benar. Tiada 

lama lagi tentulah akan kautukar pula agamamu dengan agama 

Nasrani," kata putri Rubiah. 

Sutan Mahmud tiada menjawab melainkan mengangkat 

bahunya, seraya menoleh ke tempat lain. 

"Pekasih**) apakah yang telah diberikan istrimu itu kepada-

mu, tidaklah kuketahui; hingga tidak tertinggalkan olelunu 

perempuan itu; sebagai telah tetikat kaki tanganmu olehnya. 

Sekalian Penghulu di Padang ini beristri dua tiga, sampai empat 

orang. Hanya engkau sendirilah yang dari dahulu, hanya 

*) Memberi uang tatkala kawin 

**) Ilmu supaya dikasihi atau dicintai, biasanya 

memakai obat-obatan (guna-guna di tanah 

Jawa).


perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada bertambah-

tambah. Bukankah harus orang besar itu beristri banyak? 

Bukankah baik orang berbangsa itu beristri berganti-ganti, 

supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristri 

hanya seorang saja? Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada 

berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat 

istrinya, mengapa pula engkau tiada?" 

"Pada pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia 

tidak," jawab Sutan Mahmud dengan merah mukanya. "Kalau 

perempuan tak boleh bersuami dua tiga, tentu tak harus laki-laki 

beristri banyak." 

"Cobalah dengar perkataannya itu! Adakah layak pikiran 

yang sedemikian? Tiap-tiap laki-laki yang berbangsa dan ber-

pangkat tinggi, malu beristri seorang, tetapi engkau malu beristri 

banyak. Bukankah sttdah bertukar benar pikiranmu itu? Sudah 

lupakah engkau, bahwa engkau seorang yang berbangsa dan 

berpangkat tinggi? Malu sangat rasanya aku, bila kuingat 

saudaraku, sebagai seorang yang tak laku kepada perempuan, 

kepada putri dan Sitti-Sitti Padang ini, walaupun bangsa dan 

pangkatnya tinggi," kata putri Rubiah. "Dan bukankah rugi itu? 

Tentu saja tak sampai-menyampai belanjamu, bila gajimu saja 

yang kauharapkan. Cobalah lihat adikmu! Walaupun tiada 

bergaji, tetapi tidak pernah kekurangan uang. Belum tahu ia


kemari dengan tiada memberi aku dan kemanakannya. Wahai, 

kasihan Anakku! Celaka benar untungnya. Sudah tiada 

diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula 

dicarikannya. Anak orang umur 12 atau 13 tahun, setua-tuanya 

umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku, hampir beruban, 

masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya, tentulah tiada 

akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan 

digadaikannya kepalanya. Dan aku ini mengapalah sampai 

begini nasibku? Berbeda benar dengan untung perempuan yang 

lain. Meskipun ada saudaraku yang berpangkat tinggi, tetapi aku 

adalah sebagai anak dagang, yang tiada berkaum keluarga. Tiada 

diindahkan, tiada dilihat-lihat; belanja dan pakaian pun tak 

diberi. Kepada siapakah aku akan meminta lagi, jika tiada 

kepadamu, Mahmud?" kata putri Rubiah, sambil menangis 

bersedih hati. 

Sutan Mahmud yang mulai merah mukanya, karena marah 

mendengar umpatan yang sedemikian, hatinya menjadi reda 

kembali, tatkala melihat saudaranya menangis. 

"Sudahlah Kakanda, jangan menangis lagi! Memang maksud 

hamba datang ini hendak membicarakan hal Rukiah." 

"Apakah gunanya dibicarakan juga lagi? Menambah sedih 

hatiku saja. Kalau engkau tak beruang, masakan ia mau. 

Sudahlah, biarlah anakku menjadi perawan tua. Bukan aku saja


yang akan malu, tetapi terlebih-lebih engkau; karena tentulah 

orang akan berkata, "Seorang Penghulu tiada sanggup mencari-

kan suami kemanakannya!" 

"Berapa uang jemputan yang dimintanya?" tanya Sutan 

Mahmud pula dengan tiada mengindahkan perkataan saudaranya 

itu. 

"Sudah beberapa kali kukatakan 300 rupiah*)," jawab 

perempuan itu. 

"Tak mau ia kurang? 200 atau 250 rupiah misalnya?" tanya 

Sutan Mahmud. 

"Kalau kepada tukang ikan ia akan dikawinkan, tentu tak 

usah menjemput sedikit jua pun. Tetapi engkau tentu maklum, 

anakku tak boleh dan tak suka kukawinkan dengan sebarang 

orang saja. Apakah jadinya dengan keturunan kita kelak?" 

"Baiklah, apa lagi permintaannya?" tanya Sutan Mahmud 

dengan sabar. 

"Arloji mas dengan rantainya, cincin berlian sebentuk, 

pakaian selengkapnya, dengan beberapa helai kain sarung Bugis 

dan kain batik Jawa, bendi dengan kudanya," jawab putri 

Rubiah. 

"Astaga! Dari mana akan hamba peroleh sekaliannya itu?" 

kata sutan Mahmud. 

*) Harga uang dulu tinggi dari uang sekarang


"Bukankah sudah kukatakan; kalau tak cakap engkau 

mengadakan permintaan orang itu, janganlah dibicarakan juga 

perkara ini. Apa gunanya engkau menyedihkan hatiku? Laki-laki 

lain, aku tak suka." 

"Sudahlah, apa boleh buat! Jemputlah dia!" kata Sutan 

Mahmud, sambil mengeluh. "Perkara bendi itu gampang; jika tak 

ada, boleh ambil bendiku." 

"Benar?" tanya putri Rubiah, dan matanya terang kembali 

karena mendengar perkataan ini. 

"Benar," jawab Sutan Mahmud dengan pendek. 

"Di mana engkau dapat uang?" tanya perempuan itu pula. 

"Dari Datuk Meringgih," jawab Sutan Mahmud. "Berapa?" 

"3000 rupiah," jawab Sutan Mahmud. 

"O, kalau sekian, tentu cukup; sebab engkau maklum, 

perkakas Rukiah untuk penyambut' suaminya, tentu harus cukup. 

Ranjangnya tentulah sekurang-kurangnya tiga lapis kelambunya, 

daripada sutera. Dan bantal seraga (bantal tinggi) harus dari 

sutera pula, diberi bertekat benang Makau sekaliannya harus 

diadakan. Belanja alat yang tujuh hari tujuh malam, dengan 

biaya perarakan dan gajah mena*) tidak sedikit." 

Tatkala itu datanglah putri Rukiah membawa suatu hidangan, 

yang berisi semangkuk kopi dengan kue-kue, ke hadapan Sutan 

*) Kendaraan atau usung-usungan untuk 

pengantin, bentuknya semacam ikan laut


Mahmud, lalu diletakkannya di atas meja. Kemudian masuklah 

ia ke dalam biliknya. Rupanya ia mengerti, bahwa orang tuanya 

itu sedang memperbincangkan hal yang tak boleh didengarnya, 

sebab ketika ia sampai ke sana, tiba-tiba kedua mereka berhenti 

sejurus berkata-kata. Tetapi ada juga didengarnya namanya 

disebut. "Barangkali mereka memperbincangkan perkara per-

kawinanku," pikir putri Rukiah dalam hatinya. Tetapi tatkala itu 

juga ia berkata dalam hatinya, sebagai hendak melenyapkan 

pikiran yang demikian, "Ah, tak layak bagi seorang anak 

perawan, memikirkan hal ini." 

"Jadi bilakah maksud Kakanda hendak melangsungkan 

pekerjaan itu?" tanya Sutan Mahmud, tatkala putri Rukiah tak 

ada lagi, sambil mengangkat mangkuk kopinya. 

"Kehendak hatiku selekas-lekasnya," jawab putri Rubiah. 

"Tetapi engkau tentu maklum, pekerjaan ini tak dapat diburu-

burukan. Tiga bulan lagi, barulah dapat pada sangkaku, karena 

tentulah aku harus bersedia-sedia lebih dahulu. Pakaian Rukiah 

belum ada dan pakaian penerimaan Sutan Mansyur, yang bakal 

menjadi suaminya itu pun belum cukup. Perkakas ranjang dan 

bantal-bantal seraga pun belum disediakan, demikian pula kue-

kue. Lagi pula tentulah sekalian kaum keluarga sahabat kenalan 

kita yang dekat dan yang jauh, harus diberi tahu lebih dahulu." 

"Kepada sanak saudara yang jauh jauh, boleh hamba tulis


surat, tetapi kepada yang dekat-dekat biarlah si Hamzah saja 

memberitahukan," kata Sutan Mahmud. 

Belum sampai habis diminum kopi itu oleh Penghulu Sutan 

Mahmud, tiba-tiba kedengaranlah dari jauh katuk-katuk ber-

bunyi, alamat ada orang mengamuk. Sutan Mahmud segera 

mengangkat kepalanya, akan mendengarkan benar-benar bunyi 

itu. Katuk-katuk itu makin lama makin keras dan makin cepat 

bunyinya, dan sejurus kemudian disahutinya oleh katuk-katuk 

rumah jaga yang dekat dari sana. 

"Orang mengamuk!" kata Sutan Mahmud, sambil berdiri 

hendak pergi ke luar. 

"Ya," kata putri Rubiah dengan gemetar suaranya, "tetapi 

janganlah kaupergi ke sana." 

"Mesti," jawab Sutan Mahmud, "barangkali dalam daerah 

hamba." Tatkala itu juga putri Rukiah keluar dan dalam biliknya, 

lalu pergi kepada mamandanya, sarnbil memegang tangan Sutan 

Mahmud, dan berkata dengan gemetar dan pucat mukanya, 

"Jangan Mamanda pergi! Hamba sangat takut, kalau-kalau orang 

itu masuk ke dalam rumah ini." 

"Ah, barangkali di kampung Jawa atau di Olo; bukan di 

kampung ini," sahut Sutan Mahmud akan menghilangkan takut 

kemanakannya. 

"Tetapi janganlah pergi! Sebab di sini tak ada laki-laki. Si


Lasa sakit dan si Hamzah tak ada," kata putri Rubiah pula. 

Sutan Mahmud terdiri sejurus, tak tahu apa yang akan 

diperbuatnya. Pergilah ia menjalankan kewajibannya atau 

tinggalkan menjaga saudaranya dan kemanakannya. 

"Ke mana si Hamzah?" tanyanya, setelah berdiam seketika. 

"Entahlah," jawab saudaranya, "jangan jangan ia yang men-

dapat bahaya." 

Ketika itu kedengaran suara orang cepat-cepat naik tangga 

rumah. Kedua perempuan ini makin bertambah-tambah takut, 

lalu datang menghampiri Sutan Mahmud dan berdiri di 

belakangnya. 

"Siapa itu?" tanya putri Rubiah kepada Sutan Mahmud. 

"Ah, barangkali si Ali akan memberitahukan hal ini," jawab 

Sutan Mahmud. 

"Engkau Ali?" tanyanya. Tiada beroleh jawaban. 

Tiada lama kemudian daripada itu berdiri seorang-orang 

muda di hadapan mereka, yang rupanya hampir serupa dengan 

Sutan Mahmud. Hanya umurnya lebih muda. Anak muda ini 

memakai baju putih berkerawang, kain Palembang, selop hitam, 

topi sutera hitam yang miring letaknya di atas kepalanya. 

Bibirnya merah sebagai baru makan sirih. Di kocek bajunya ter-

gantung rantai arloji naga-naga, yang terbuat daripada mas. Buah 

bajunya pun dari mas pula. Pada jari manisnya kelihatan se


bentuk cincin yang bermata intan. Menurut wajah mukanya, 

kecil badannya, bangsa dan mampu, yang dari kecilnya belum 

pernah merasai kesengsaraan dan kesusahan. Oleh sebab itu 

tiadalah lain yang diketahuinya, melainkan bersuka-suka dan 

bersenang-senangan. Perkara yang akan datang dan hal yang 

telah lalu tiadalah pernah dipikirkannya. 

Apabila ada uangnya 100 rupiah, sehari itu juga dihabiskan-

nya, diboroskannya atau diperjudikannya. Jika tak beruang, di-

jual atau digadaikannya segala barang yang ada padanya. Itulah 

sebabnya maka kehidupannya tak tentu; terkadang-kadang ada ia 

beruang, terkadang-kadang tak ada. Akan tetapi sebab ia seorang 

yang "pandai hidup", sebagai kata peribahasa Melayu, selalulah 

rupanya seperti orang yang tak pernah kekurangan. 

"Ha, untung engkau datang, Hamzah! Kalau tidak, tak tahu 

aku apa yang akan diperbuat waktu ini. Tetapi dari mana 

engkau?" tanya Sutan Mahmud. 

"Dari tanah lapang, hendak kemari. Tatkala sampai ke rumah 

jaga, di ujung jalan ini, kedengaran oleh hamba bunyi katuk-

katuk; sebab itu hamba berlari-lari kemari." 

"Di mana orang mengamuk?" tanya Sutan Mahmud. 

"Entah! Orang jaga pun tak tahu pula," jawab Sutan Hamzah. 

"Baiklah, tinggallah engkau di sini, sebab aku hendak pergi 

memeriksa pengamukan ini."


"Ah jangan, Mahmud! Biarlah mereka berbunuh-bunuhan di 

sana. Apa pedulimu?" kata putri Rubiah. 

"Tak boleh demikian. Seorang Kepala Negeri harus 

mengetahui dan memeriksa hal ini; lebih-lebih kalau 

pengamukan itu terjadi dalam kampung pegangan hamba," jawab 

Sutan Mahmud. 

"Lebih sayangkah kepada pangkatmu daripada kepada 

jiwamu?" tanya putri Rubiah pula. 

"Ah, jangan kuatir! Belum tentu hamba mati." 

"Kalau di dalam pegangan Kakanda terjadi pengamukan itu, 

sedang Kakanda tak ada, tentulah Kakanda dapat nama kurang 

baik," kata Sutan Hamzah mencampuri percakapan ini. 

Oleh sebab tiada tertahan rupanya oleh putri Rubiah maksud 

saudaranya ini, berkatalah ia, "Baiklah, tetapi hati-hati menjaga 

diri! Pangkat dapat dicari, tetapi nyawa tak dapat disambung dan 

bawalah keris pusaka Ayah itu besar tuahnya." 

"Baiklah," jawab Sutan Mahmud, "mana dia?" 

"Tunggu!" kata. utri Rubiah, lalu masuk ke biliknya. 

Sebentar lagi keluarlah putri Rubiah membawa sebilah keris 

tua, yang dibungkus dengan kain putih, lalu diberikannya kepada 

Sutan Mahmud: "Hamzah, tutuplah pintu dan tinggallah engkau 

di sini! Jaga rumah baik-baik!"


Sambil berkata demikian, Sutan Mahmud pun keluarlah, lalu 

turun dan melompat naik bendinya, yang berangkat waktu itu 

juga.


III. BERJALAN-JALAN KE GUNUNG PADANG 

Pada keesokan harinya, pukul lima pagi. Samsulbahri terperanjat 

bangun dari tidurnya, karena mendengar bunyi lonceng jam yang 

ada di rumahnya, lima kali memukul. Dengan segera diangkat-

nya kepalanya lalu menoleh ke celah-celah dinding biliknya, 

akan melihat, sudah adakah cahaya matahari yang masuk ke 

dalam rumahnya atau belum. Rupanya ia takut kesiangan. Akan 

tetapi walaupun ia menoleh ke sana kemari dan mendengar hati-

hati, kalau-kalau ada suara orang, tiadalah lain yang dilihatnya 

daripada sinar lampu biliknya sendiri. Sekaliannya masih sunyi 

senyap; orang yang telah , meninggalkan tempat tidurnya, belum 

ada. Hanya dari jauh kedengaran olehnya kokok ayam jantan 

bersahut-sahutan di segala pihak, sebagai orang bersorak ber-

ganti-ganti, karena berbesar hati menyambut kedatangan fajar. 

Dari sebelah timur, kedengaran bunyi puput kereta api di 

setasiun Padang sekali-sekali, sebagai hendak memberi ingat 

kepada mereka yang hendak menumpang dan berangkat pagi-

pagi. Dari sebelah barat kedengaran ombak yang memecah di 

tepi pantai, sebagai guruh pagi hari, yang menyatakan hari akan 

hujan sehingga kecillah hati Samsu mendengar bunyi ini, takut 

kalau-kalau maksudnya, akan bermain-main ke gunung Padang,


tiada dapat disampaikannya. Dari surau yang dekat di sana, 

kedengaran orang bang, memberi ingat kepada sekalian yang 

hendak berbuat ibadat kepada Allah subhanahu wataala, bahwa 

subuh telah ada. 

Oleh sebab nyata oleh Samsu, bahwa hari baru pukul lima 

pagi, direbahkannyalah kembali badannya ke atas tilamnya; 

bukannya hendak tidur pula, melainkan sekadar berbaring-

baring, menunggu hari siang. Akan tetapi ia gelisah, karena 

pikirannya telah digoda oleh kenang-kenangan akan pergi 

bersuka-sukaan itu. Sebentar-bentar berbaliklah ia ke kanan dan 

ke kiri, sebagai berduri tempat tidurnya. Akhirnya, karena tak 

dapat menahan hati, bangunlah ia dari tempat tidurnya, lalu 

dibukanya pintu biliknya perlahan-lahan, karena kuatir kalau-

kalau ayahnya yang sedang tidur, terbangun pula. 

Tatkala sampailah ia ke luar, kelihatan olehnya cuaca amat 

terang, bukan karena sinar matahari, melainkan karena cahaya 

bulan, yang hampir tenggelam di sebelah barat. Di langit banyak 

bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, seakan-akan 

embun di tengah padang yang luas, mengilat di celah-celah 

rumput. Akan tetapi bintang timur, mulai pudar cahayanya, 

diliputi cahaya fajar yang telah menyingsing di sebelah timur. 

Burung murai mulai berkicau di pokok kayu, lalu terbang ke 

tanah akan menangkap ulat-ulat dan cengkerik yang alpa, belum


masuk bersembunyi ke dalam lubangnya. 

Burung-burung yang lain pun mulai pula meninggalkan 

sarangnya, ke luar mencari mangsanya. Ada yang melompat-

lompat dari cabang ke cabang pohon yang segar rupanya, 

ditimpa embun pagi. Ada pula yang bersiul dan berbunyi, 

sebagai riang menyambut kedatangan cahaya matahari, yang 

memberi kehidupan kepada segala makhluk di atas dunia ini. 

Dan ada pula yang memberi makan anaknya, rezeki yang 

diperolehnya pagi-pagi itu, sehingga ramailah bunyi mencicit-

cicit kedengaran dalam sarangnya. Kemudian ada pula yang 

bertengger di atas cabang, membersihkan bulunya, sebagai 

mandi mencucikan badannya. Kelelawar mengirap ke sana 

kemari dengan deras jalannya, mencari tempat yang gelap, 

sebagai orang yang takut kesiangan di tengah jalan. Ayam betina 

keluar dari kandangnya, sambil memimpin anaknya, berbunyi-

bunyi memanggil dan mengumpulkan yang ketinggalan atau 

yang pergi ke tempat, lain, takut biji matanya akan sesat di jalan 

yang masih gelap. Ayam jantan berlari ke sana kemari memburu 

ayam betina, lalu berdiri sejurus, mengangkat kepalanya dan 

berkokok dengan tangkasnya, seolah-olah seorang hulubalang 

yang sedang mengerahkan laskarnya di medan peperangan. Di 

jalan besar mulai kelihatan orang, seorang dua, berjalan tergesa-

gesa, sebagai ada yang diburunya. Gerobak yang ditarik kerbau


dan lembu atau disorong orang, kedengaran berbunyi gentanya, 

sebagai menyatakan hari telah siang. Sesungguhnya di sebelah 

timur mulailah tampak cahaya matahari, yang memancar ke sana 

kemari menerangi sekalian benda yang ditimpanya. 

Samsu pergi ke bilik kusir tuanya Pak Ali, lalu diketuknya 

pintu bilik ini sambil bcrkata, "Pak Ali, bangunlah! Hari telah 

siang." 

Sejurus kemudian terbukalah pintu bilik ini dan kelihatan Pak 

Ali mengeluarkan kepalanya dari pintu ini, sambil menggosok-

gosok matanya, sebagai hendak menerangkan pemandangannya. 

"Pukul berapa sekarang, Engku Muda?" tanya kusir ini. 

"Hampir pukul enam," jawab Samsu. 

Mendengar jawab ini, keluarlah sais Ali dari biliknya, masuk 

ke kandang kudanya akan membersihkan bendi, pakaian kuda, 

dan kandangnya. Sementara itu pergilah Samsu mandi ke sumur. 

Tatkala ia masuk kembali ke rumahnya, kelihatan olehnya 

ayahnya sudah bangun, duduk di kursi malas, serambi belakang. 

"Lekas benar engkau bangun pagi ini," kata ayahnya. 

"Supaya jangan terlalu kepanasan di jalan, Ayah," jawab 

Samsu. 

"Jadi juga engkau pergi?" tanya ayahnya pula. 

"Jadi, Ayah," sahut Samsu. 

"Nurbaya pergi pula?" tanya Sutan Mahmud..


"Pergi, katanya tadi malam," jawab Samsu. 

"Hati-hati engkau menjaga anak orang, he!" 

"Ya, Ayah," jawab Samsu pula. 

"Baiklah," kata Sutan Mahmud, seraya berdiri, lalu turun ke 

bawah. 

Kira-kira pukul enam lewat seperempat, kelihatanlah 

Samsulbahri dengan Nurbaya dalam bendi, yang dikemudikan 

sais Ali ke luar pekarangan rumahnya, menuju ke Muara. Di 

tengah jalan bertanya Ali kepada Samsu, dengan tiada menoleh 

ke belakang, "Terus ke Muara, Engku Muda?" 

"Tidak, Pak Ali, ke rumah Arifin dahulu, ke jalan Gereja." 

Karena mendengar jawab ini, ditujukan oleh sais Ali bendi-

nya ke jalan Gereja. 

"Nyaris aku kesiangan, Sam," kata Nurbaya dalam bendi itu, 

"karena tadi malam aku hampir tak dapat tidur sebab takut 

mendengar bunyi katuk-katuk." 

"Aku pun ngeri mendengar bunyi tanda bahaya itu, sehingga 

pukul dua malam, tatkala ayahku telah datang, barulah aku dapat 

tidur. Tetapi pukul lima pagi aku telah terbangun pula," jawab 

Samsu. 

"Di mana orang mengamuk itu?" tanya Nurbaya. 

"Aku pun tak tahu," jawab Samsu. "Katuk-katuk kedengaran 

berbunyi pada segenap pihak dan lama pula bunyinya."


Tengah bercakap-cakap demikian, dengan tiada diketahui 

mereka, berhentilah bendi itu di hadapan rumah Kopjaksa Sutan 

Pamuncak, di Kampung Sebelah. Di muka ini telah berdiri dua 

orang anak muda laki-laki, yang umurnya hampir sama dengan 

Samsu. Tatkala dilihat mereka bendi Samsu berhenti, lalu 

dihampirinya seraya berkata, "Hai! Nurbaya mengikut pula?" 

Sebab dilihatnya Nurbaya ada bersama-sama Samsu. "Baiklah! 

Lebih banyak orang, lebih girang." 

"Mengapa Tiar? Tak bolehkah aku mengikut, sebab aku 

perempuan?" kata Nurbaya, sambil tersenyum. 

"Ah, masakan tak boleh, Nona," jawab anak muda, yang 

dipanggil Tiar oleh Nurbaya. "Aku berkata demikian bukan 

karena tak suka bahkan karena suka hatiku, melihat engkau ada 

bersama-sama." 

"Bohong! Karena ia kuatir tak cukup akan mendapat kue-kue 

yang kita bawa," menyela Arifin. 

"Baiklah, kalau benar engkau bersuka hati melihat aku 

mengikut, niscaya engkau kelak takkan takut memanjat pohon 

jambu Keling untuk aku," sahut Nurbaya sambil tersenyum pula 

untuk membujuk Bakhtiar, yang mulai merengut mendengar 

perkataan Arifin. 

"Boleh kaulihat sendiri nanti, mana yang lebih pandai 

memanjat, aku atau kera," jawab Bakhtiar dengan bangganya.


"Kalau untuk makan si Tiar memang lebih pandai memanjat 

dari kera," mengusik pula Arifin. 

Sementara itu kedua anak muda tadi, naiklah ke bendi 

Samsu, yang langsung berangkat ke Muara. 

Kedua anak muda yang baru kita kenali itu, ialah 

Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan Pamuncak dan Muhammad 

Bakhtiar anak guru kepala sekolah Bumiputra kelas II di 

Belakang Tangsi. Keduanya teman sekolah Samsulbahri, yang 

tiga bulan lagi akan pergi bersama-sama dengan dia ke Jakarta, 

meneruskan pelajarannya; Arifin pada Sekolah Dokter Jawa, 

Bakhtiar pada Sekolah Opseter (KWS). 

"Pada sangkaku aku terlambat," kata Arifin, setelah ia duduk 

dekat Samsu. 

"Biarpun engkau terlambat, tentu akan kutunggu juga, sebab 

demikian perjanjian kita," jawab Samsu. 

"Apa sebabnya engkau akan terlambat?" tanya Nurbaya. 

"Sebab aku memang seorang yang suka tidur, apalagi sebab 

tadi malam aku tak dapat lekas-lekas tidur," jawab Arifin. 

"Mengapa? Ada keramaiankah di rumahmu tadi malam?" 

tanya Samsu. 

"Ya, memang ada. Keramaian yang amat besar. Sampai 

pukul dua belas malam masih jaga aku," jawab Arifin, sambil 

menutup mulutnya menahan kuapnya.


"Cobalah lihat, Sam, baik hatinya Arifin ini! Ada keramaian 

di rumahnya, tiada dipanggil-panggilnya kita," kata Nurbaya 

mengumpat. 

"Ah masakan engkau tiada dapat panggilan!" ujar Arifin 

pula. 

"Benar tidak," jawab Nurbaya. 

"Jika demikian, tiada sampailah panggilan itu kepadamu." 

"Mengapa tidak?" mendakwa Bakhtiar. "Sebab panggilan itu 

dijalankan dengan katuk-katuk." 

"Dengan katuk-katuk?" tanya Nurbaya sambil tercengang. 

"Macam baru, memanggil orang dengan tanda bahaya." 

Mendengar olok-olok Arifin ini Samsu tersenyum. Akan 

tetapi Nurbaya belum mengerti sindiran perkataan Arifm itu. 

"Tiadakah kaudengar bunyi katuk-katuk tadi malam?" tanya 

Arifin pula. 

"Betul ada, tetapi pada sangkaku, sebab ada orang 

mengamuk," jawab Nurbaya. 

"Ya, itulah dia! Bukankah tiap-tiap ada orang mengamuk, di 

rumahku ada keramaian besar, sebab orang yang mengamuk, 

orang yang diamuk, opas-opas, saksi-saksi, kepala-kepala dan 

ketua-ketua kampung dan lain-lainnya, begitu pula orang yang 

menonton, sekaliannya datang berkumpul ke rumahku, untuk 

memberi selamat kepada kami?" kata Arifin pula seraya ter


senyum. 

"Ah, itu maksudmu. Kusangka, benar engkau beralat," jawab 

Nurbaya kemalu-maluan sebab ia baru merasa telah dipermain-

kan oleh Arifin. 

"Beralat tidak, tetapi keramaian ada," jawab Arifin sambil 

tertawa. 

"Memang kau tukang olok-olok; patut jadi alan-alan," jawab 

Nurbaya Sambil tertaWa pula. 

"Siapa yang mengamuk tadi malam dan di mana ia 

mengamuk?" tanya Samsu. 

"Siapa yang mengamuk itu tiada kuketahui, tetapi rupanya 

sebagai penjahat, kulihat." 

"Kaulihat orangnya?" tanya Bakhtiar, mencampuri 

percakapan ini. "Tentu, sebab ia dibawa ke rumahku, sebelum 

dimasukkan ke dalam penjara," jawab Arifin. 

"Cobalah kauceritakan kepada kami, bagaimana asalnya dan 

kejadiannya pengamukan itu!" kata Bakhtiar pula. 

"O, oleh sebab engkau sekalian minta supaya kuceritakan hal 

ini, itulah tandanya engkau sekalian ingin hendak mendengar-

nya, bukan? Akan tetapi oleh sebab kita hampir sampai ke 

Muara, kutahan keinginan hatimu itu, sampai nanti, kalau kita 

telah mendaki, penawar lelah mendaki," kata Arifin. 

"Coba lihat, kikirnya Arifin," jawab Bakhtiar yang hendak


membalas dendam pada Arifin. "Sudah tiada dipanggilnya kita, 

tatkala ada keramaian di rumahnya, sekarang ditahannya pula 

keinginan hati hendak mengetahui keramaian itu. Dimahalkan-

nya harga barangnya, sebab diketahuinya banyak yang suka 

membeli." 

"Benar engkau berani? Engkau memang dengan sengaja tiada 

kupanggil, sebab aku tahu, engkau lebih suka pergi ke tempat 

keramaian yang ada kue-kue, daripada ke tempat keramaian yang 

ada darah," jawab Arifin. 

Bakhtiar sebagai merengut mendengar sindiran sahabatnya 

ini. 

"Pada sangkaku lebih baik Arifin menjadi seorang saudagar 

daripada menjadi seorang dokter, karena saudagar memang 

demikian adatnya. Apabila diketahuinya, orang suka kepada 

barang perniagaan, ditahannya barang itu dan dinaikkannya 

harganya," kata Samsu. Akan tetapi tatkala itu juga ia merasa 

menyesal, telah mengeluarkan perkataan itu, takut kalau-kalau 

Nurbaya menjadi gusar kepadanya. Dengan sudut matanya 

dikerlingnya Nurbaya, yang duduk di sisinya, tetapi rupanya 

gadis ini tiada mendengar celaan itu, karena ia sedang asyik 

melihat beberapa perahu kail, yang baru masuk ke muara sungai 

Arau. 

Sesungguhnya keempat anak muda itu telah sampai ke dekat


sebuah rumah jaga di Muara. Di belakang rumah jaga ini 

kelihatan beberapa kuda tambang, sedang dimandikan oleh 

kusirnya di pinggir pantai, tempat sungai Arau bermuara ke laut. 

Dekat tempat mandi kuda ini adalah sebuah pangkalan, yang 

menganjur sampai ke tepi sungai, tempat berlabuh kapal-kapal 

api kecil, yang berlayar ke Terusan. Di sebelah pangkalan ini, 

berlabuh beberapa perahu kail, yang baru datang dari lapt 

membawa ikan-ikan, yang dapat dikailnya pada malam itu. Di 

muka pangkalan ini, adalah sebuah rumah tempat pengail-

pengail menjual ikannya, dan di sebelah baratnya menjulang 

gunung Padang, sebagai kepala seekor ular Naga yang timbul 

dari dalam laut. Yang menjadi leher Naga ini ialah bagian yang 

rendah, tempat orang naik mendaki gunung Padang. Makin ke 

selatan makin bertambah besar gunung ini; itulah badan ular 

Naga yang membelok ke timur, diiringkan oleh sungai Arau, 

yang mengalir di kakinya. 

Di sebelah selatan pangkalan yang diperkatakan tadi, adalah 

kantor bea perahu-perahu yang masuk sungai Arau atau kapal-

kapal yang berlabuh di pulau Pisang, pelabuhan kota Padang 

dahulu yang sekarang telah dipindahkan ke Teluk Bayur. Sejak 

dari kantor bea ini, kelihatan di pinggir sungai Arau, yang 

menceraikan gunung Padang dari kota Padang, beberapa perahu 

besar dan kapal api kecil; berlabuh berleret-leret, sepanjang tepi


su,ngai, yang ditembok dengan batu. Sejajar dengan tembok ini 

adalah jalan kereta api dan jalan besar untuk mengangkut 

barang-barang ke kota Padang. Pada sebelah utara jalan ini, 

berleretlah beberapa gudang, disambung toko-toko, sampai jauh 

ke kampung Cina dan Pasar Gedang. 

Tempat ini memang bagian kota Padang yang amat indah; 

oleh sebab itu kerap kali dikunjungi oleh mereka yang suka 

berjalan jalan pada petang hari, tatkala matahari hampir silam, 

untuk mengambil hawa yang baik; karena tempat ini baik 

letaknya dan banyak memberi pemandangan yang elok-elok. 

Lagi pula tiada terlalu ramai, sehingga mereka yang berjalan 

jalan di sana, tiada terganggu oleh lalu-lintas. Hanya pada waktu 

hari raya, sampai dua tiga hari sesudah puasa, jalan ini hampir 

tiada dapat ditempuh orang yang berjalan kaki, karena berpuluh-

puluh bendi dengan berbuka tenda, berlumba-lumba di sana, 

mengadu deras lari kudanya. Itulah suatu kesukaan yang sangat 

digemari anak muda-muda kota Padang. 

Apabila kembali kita, menurut jalan yang telah diceritakan 

tadi, arah ke utara, sampailah kita ke pantai laut Padang. 

Sepanjang pesisir pantai ini, kira-kira sepal jauhnya, adalah suatu 

taman bunga-bungaan, yang dihiasi oleh beberapa jalan kecil-

kecil. Pada beberapa tempat, di bawah pohon ketapang yang 

rindang, adalah bangku-bangku tempat berhenti mereka yang


lelah karena perjalanannya. Kira-kira, di.tengah taman ini adalah 

sebuah rumah punjung yang bundar dan cantik bangunnya, 

diperbuat di atas suatu gunung-gunungan, sebagai suatu mahligai 

di dalam istana. Tiadalah heran kita, apabila taman ini menjadi 

suatu tempat yang sangat menarik hati bangsa Eropah, yang 

tinggal di kota Padang; karena sesungguhnya amat senang 

perasaan-dan indah pemandangan, apabila pada petang hari 

duduk di sana, melihat matahari terbenam di sebelah barat. 

Misalkanlah oleh pembaca yang belum ke sana, tempat ini 

suatu taman bunga-bungaan yang permai tetapi sunyi senyap. Di 

atas sebuah bangku yang ada dalam mahligai yang letaknya di 

tengah-tengah taman itu, bernaung di bawah pohon kayu yang 

rindang, duduk seorang anak muda yang sedang termenung-

menung ke sebelah barat, kepada suatu kolam yang amat luas, 

yang membentahg di sisi taman itu, sedang ombaknya memecah 

di kaki anak muda tadi, menyiram bunga-bungaan yang di sana. 

Jauh di sebelah barat di tengah-tengah kolam ini, kelihatan 

beberapa buah pulau, yang berleret¬leret letaknya sebagai pagar 

kolam ini. Di balik pulau-pulau itu adalah suatu mestika yang 

bundar, sebagai sebuah bola mas, yang menyala-nyala, me-

mancarkan cahayanya yang kilau-kemilau ke muka air kolam, 

yang seakan-akan suatu kaca besar, membalikkan cahaya yang 

jatuh ke atasnya, ke dalam taman tadi, menyinari segala pohon

pohonan dan bunga-bungaan yang ada di sana. 

Perlahan-lahan, dengan tak kelihatan jalannya turunlah 

mestika itu ke bawah, sebagai ditarik oleh seorang jin, yang tiada 

kelihatan sehingga akhirnya tenggelamlah ia ke dalam kolarn 

yang ujungnya bagaikan bersabung dengan langit, meninggalkan 

gambar-gambar, yang rupanya seakan-akan timbul dari dalam 

air. Ada yang sebagai Naga yang sedang berjuang, ada yang 

sebagai kuda yang sedang berlari, ada pula yang sebagai kapal 

tengah berlayar atau pulau yang merapung di atas air dan lain-

lain sebagaiya. 

Mereka yang menaruh pilu dan sedih, janganlah ke sana, 

pada waktu itu, karena sejauh tepi langit dari tepi kolam itu, 

sejauh itu pulalah kelak pikiran dan kenang-kenangan mereka.*) 

Tetapi bagi mereka yang berkasih-kasihan tempat itu, pada 

waktu terang bulan, adalah sebagai dengan sengaja diperbuatnya. 

Sayang di ujung selatan tanian ini ada rumah penjara dan di 

ujung utaranya ada kantor pengadilan, keduanya tempat yang 

mendatangkan dahsyat dan sedih hati, apabila diingat beberapa 

orang yang telah dipenjarakan karena mendapat hukuman di 

sana, yang barangkali ada juga di antaranya tiada bersalah. 

Sekarang marilah kita kembali mengikuti keempat sahabat 

kita, yang kita tinggalkan di atas bendi tadi, sebab kalau terlalu 

lama kita berhenti di taman ini, pastilah takkan dapat lagi kita 

*) Sayang taman itu sampai sekarang tak dipelihara lagi

susul keempat anak muda itu. 

"Bukan demikian," jawab Arifin, tatkala mendengar per-

kataan Samsu. "Ada beberapa sebabnya, maka aku tak mau men-

ceritakan hal yang sangat penting ini, kepadamu sekalian. 

Pertama supaya kamu dapat belajar menahan hati, karena itulah 

suatu sifat yang baik benar bagi manusia. Orang yang sabar dan 

dapat menahan keinginan hatinya, jarang salah barang per-

buatannya. Ingatlah cerita perempuan dengan kucingnya dan 

cerita ayam yang bertelur emas itu!" 

"Bagaimanakah ceritanya?" tanya Nurbaya. 

"Tidak tahukah engkau cerita itu, Nur? Nanti aku ceritakan," 

jawab Samsu. 

"Kedua..." kata Arifin pula, akan menyambung uraiannya. 

"Hai, kita sudah sampai," kata Bakhtiar, dan seketika itu juga 

bendi mereka berhenti dekat sebuah gudang. 

"Ya," jawab Samsu, "baiklah kita turun." 

Sekaliannya turunlah dari atas bendi, sambil membawa 

bekal-masing-masing, lalu pergi ke pinggir sungai Arau, akan 

mencari sebuah sampan tambangan, yang dapat membawa 

mereka ke seberang. 

"Pukul bqrapa Engku Muda pulang?" tanya Pak Ali. 

"O ya," jawab Samsu, sambil menoleh ke belakang, "datang 

sajalah pukul dua belas."

"Baiklah," jawab Pak Ali, lalu memutar kudanya pulang ke 

rumahnya. 

Tatkala keempat anak muda itu sampai ke pinggir sungai 

Arau, datanglah beberapa sampan mendekat ke sana. 

"Di sampanku inilah! Di sini baik, sampan tak oleng! Di sini 

seduit seorang!" demikianlah kata tukang-tukang sampan. 

"Lebih baik kita tunggu sampan yang datang itu, karena 

sampan itu besar, jadi tak oleng," kata Nurbaya. 

"Benar," jawab Samsu. 

Seketika lagi sampan yang besar itu pun sampailah ke 

pinggir, lalu keempat anak muda tadi naik dan didayungkan ke 

seberang. 

"Kedua," kata Arifin di atas sampan ini tiba-tiba, untuk 

menyambung cerita tadi, ' jika kita sangat ingin kepada barang 

sesuatu dan lekas kita peroleh keinginan hati kita itu, boleh 

mendatangkan penyakit kepada kita. 

Ketiga, kebesaran hati karena segera beroleh keinginan itu, 

tiada lama, sebab lekas jemu akan benda yang diingini itu. 

Misalnya: kita umpamakan, Bakhtiar amat suka kepada kue-kue. 

Tetapi itu hanya perumparnaan saja, Bakhtiar, jangan marah," 

kata Arifin pura-pura bersungguh-sungguh tetapi sebenarnya, 

akan mempermainkan temannya ini; sehingga dalam hatinya ia 

tertawa.

"Walaupun sebenarnya kaukatakan aku suka kue aku tidak 

juga akan marah," kata Bakhtiar, "sebab memang suka kue-kue." 

"Ya, itulah sebabnya kuambil perumpamaan ini, supaya tepat 

kenanya," jawab Arifin. "Kalau misalnya si Bakhtiar dalam 

setahun tiada dipertemukan dengan idamannya kue-kue, tentulah 

keinginannya hendak memakan kue-kue itu tak dapat_dikatakan 

besarnya." 

"Biar kujual kepalaku untuk pembeli kue-kue," jawab 

Bakhtiar. 

"Tetapi kalau engkau tak berkepala lagi, bagaimana pula 

engkau dapat memakan kue-kue itu?" tanya Arifin sambil ter-

tawa, sehingga seisi sampan sekaliannya ikut tertawa pula. 

"Memang tak tepat jawabanku," kata Bakhtiar, sambil ter-

tawa pula bersama-sama. • 

"Setelah setahun tak makan kue, tiba-tiba si Bakhtiar dibawa 

ke toko kue nyonya Jansen, dan dikatakan kepadanya, "Boleh 

kaumakan, apa yang kausukai!" kata Arifin pula. 

"Tentulah perkataan itu tak kusuruh ulang lagi," jawab 

Bakhtiar dan sesungguhnya, air ludahnya bagaikan keluar, 

karena mengingat kue-kue yang enak itu, "dan dengan segera ku-

terkam kue tar, bolu, sepekuk, yang lezat cita rasanya itu." 

"Sedikitkah atau banyakkah kaumakan kue-kue itu?" tanya 

Arifin.

"Sepuas-puas hatiku, sampai tak termakan lagi," jawab 

Bakhtiar. 

"Nah, itulah dia! Oleh sebab terlalu kenyang, boleh jadi kau 

mendapat penyakit atau jemu kepada kue-kue atau tak bernafsu 

makan lagi. Bukankah tak baik itu?" kata Arifin. 

"Ya, benar," jawab Samsu. 

"Jemu katamu? Aku jemu kepada kue kue? Pada sangkaku 

jika habis sekalipun umurku, belum juga habis nafsuku kepada 

kue-kue," jawab Bakhtiar. 

"Aku belum mengerti orang yang tak berumur lagi, masih 

bernafsu kepada kue-kue," kata Arifin. 

"Bakhtiar, Bakhtiar!" sahut Nurbaya, sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya. "Lebih baik engkau jadi tukang kue saja, 

seperti nyonya Jansen, supaya kenyang perutmu." 

"Di dalam. sepekan, tentulah jatuh tokoku itu, sebab habis 

kumakani segala kueku. Tiap-tiap orang yang hendak membeli 

kue-kueku, kuusir, supaya makanari itu jangan habis olehnya," 

kata Bakhtiar. Sekalian yang mendengar tertawa. 

"Keempat," kata Arifin pula, "acap kali merusakkan badan. 

Ingatlah kalau kuda terlalu,panas, jadi terlalu haus, atau orang 

yang telah empat lima hari tiada minum, tiba-tiba diberi minum 

terlalu banyak, boleh mendatangkan ajalnya. 

Yang kelima, yaitu yang terutama sekali, yang hampir lupa


kusebutkan, yakni supaya kelak jangan engkau rasai lelah 

mendaki, karena ingatanmu telah diikat oleh ceritaku yang amat 

menarik." 

"Keenam," menyela Bakhtiar, "sebab kita telah sampai ke 

seberang, haruslah kita bayar sewa sampan orang," seraya ia 

mengeluarkan uang empat sen dari koceknya dan memberikan 

uang itu kepada tukang sampan, lalu melompat ke darat. Ketiga 

temannya pun melompat pula mengikutiny,a. 

"Di kedai itu aku lihat ada tebu, marilah kita beli! Tentu kita 

nanti akan haus di jalan," kata Samsu. 

"Aku ada membawa seterup dua botol," jawab Bakhtiar. 

"Kalau cukup; kalau tak cukup, di mana kita cari air nanti?" 

kata Samsu pula. 

Sesudah membeli tebu, mulailah keempat anak muda ini 

mendaki. 

Gunung Padang yang tingginya kira-kira 322 M, ialah ujung 

sebelah utara gunung-gunung rendah, yang memanjang di 

sebelah selatan kota Padang. Itulah sebabnya, maka pinggir laut 

di situ pada beberapa tempat curam dan jarang didiami orang. 

Asalnya gunung-gunung ini pada Bukit Barisan, yang 

memanjang di tengah-tengah pulau Sumatera dari ujung barat 

laut ke ujung tenggara. Gunung Padang adalah sebagai suatu 

cabang Bukit Barisan itu, yang menganjur ke barat, sampai ke

tepi laut kota Padang. 

Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg 

(gunung kera*), sebab di puncaknya banyak kera yang jinak 

jinak, yang memberi kesukaan kepada mereka yang mendaki 

gunung itu. Apabila dipanggil dan diberi pisang, datanglah kera-

kera itu berpuluh-puluh banyaknya, memperebut-rebutkan 

makanan ini. Kera yang besar-besar, terkadang-kadang berani 

merampas pisang atau makanan lain, dari tangan orang. 

Sungguhpun demikian., tak ada orang yang berani berbuat apa-

apa atas kera-kera ini, sebab pada sangka anak negeri kota 

Padang, kera-kera itu keramat, tak boleh diganggu-ganggu. Jika 

dibunuh, tentulah yang membunuh itu akan mati pula, dan jika 

ditangkap, tentulah yang menangkap itu tak dapat mencari jalan 

pulang. Ada pula yang bersangka, bahwa kera-kera itu asalnya 

dari sekalian orang yang telah mati, yang dikuburkan di gunung 

itu, hidup kembali sebagai kera jadi jadian. 

Memang di gunung itu banyak kuburan, sedang di puncaknya 

adalah sebuah makam, di dalam suatu gua batu, tempat orang 

berkaul dan bernazar. Sekali setahun, tatkala akan masuk puasa 

dan pada waktu hari raya, penuhlah gunung itu dengan laki-laki 

dan perempuan, yang datang mengunjungi kuburan sanak 

saudaranya, yang telah meninggalkan dunia, untuk mendoakan 

*) Sebenarnya yang dinamakan Apenberg itu sebuah daripada 

puncaknya, yang dekat ke tepi laut, tingginya 108 m.

arwahnya. 

Walaupun gunung ini pada hakikatnya tempat sedih dan duka 

cita, akan tetapi sebab pemandangan di atas puncaknya sangat 

indah, dijadikanlah, ia tempat bermain-main. Jalan naik ke atas 

bertangga-tangga, supaya pada musim hujan, mudah juga dapat 

didaki. Di puncaknya didirikan tiang bendera yang tinggi. Pada 

tiap-tiap hari Ahad, berkibarlah bendera pada ujung tiang ini. 

Dekat tiang bendera itu, diperbuat sebuah rumah punjung yang 

bundar, cukup dengan bangku dan mejanya, tempat melepaskan 

lelah. Akan menyejukkan badan yang panas karena mendaki, 

diperbuatlah pula ayun-ayunan, tempat berangin-angin, ganti 

kipas. Sekaliannya ini dijaga dan dibersihkan oleh orang 

hukuman. Oleh sebab hal yang sedemikian, pada tiap-tiap hari 

Ahad, dikunjungilah tempat ini oleh mereka yang hendak 

berjalan jalan mencari kesenangan dan kesehatan tubuhnya, 

seraya membawa makanan-makanan dan minuman-minuman. 

Ketika Nurbaya dengan teman-temannya sampai ke per-

tengahan gunung itu, pada suatu pendakian yang curam, ber-

katalah ia sambil mencari batu besar tempat duduk, "Alangkah 

baiknya; apabila ada kendaraan yang dapat ditunggang ke atas 

ini!" 

"Bagaimana? Belum sampai separuh jalan, telah lelah," kata 

Arifin, seraya membuka buah bajunya, akan melepaskan hawa

panas yang keluar dari badannya. 

"Kalau tulangku sebesar tulangmu, aku tidak akan berkata 

sedemikian," jawab Nurbaya. 

"Ha, pada sangkaku sekarang datang waktunya, aku akan 

menceritakan, betapa asal mulanya keramaian di rumahku tadi 

malam, sebab kulihat kamu sekalian berteriak, karena 

kelelahan," kata Arifm. 

"Ya, ya," jawab Bakhtiar, "mulailah!" 

"Baik, dengarlah dan perhatikan benar-benar!" kata Arifin 

pula, lalu bercerita, "Tatkala berbunyi katuk-katuk, aku sedang 

ada dengan orang tuaku di serambi belakang, hendak makan. 

Sangat terkejut kami, sebab bunyi katuk-katuk itu datang dari 

rumah jaga, yang tiada berapa jauhnya dari rumah kami. Ayahku 

lalu melompat dari kursinya dan berteriak kepada opasnya, 

"Saban, suruh pasang bendi!" kemudiap masuklah ia ke dalam 

biliknya akan menukar pakaiannya. Seketika lagi, keluarlah pula 

ia, lalu berteriak, sambil mengancingkan bajunya, "Sudah, 

Saban?" 

"Sudah, Engku," jawab opas ini. 

Ayahku lalu turun, sambil berkata kepada ibuku, "Masuk ke 

dalam dan tutup pintu!" 

Ibuku yang rupanya sangat terkejut, tak dapat berkata apa-

apa, hanya, "Hati-hati!" tatkala dilihatnya ayahku turun.

"Jangan khawatir!" jawab ayahku, lalu melompat ke atas 

bendinya. 

Maka tinggallah kami dengan si Baki, sebab tukang kuda tak 

ada di rumah. Katuk-katuk itu bunyinya kian lama kian keras, 

sehingga kami makin lama makin bertambah takut. Maka 

disuruhlah oleh ibuku tutup pintu dan jendela, lalu kami masuk 

ke dalam bilik. Karena takut, tiadalah kami ingat akan lapar 

kami. 

"Ya, benar," kata Samsu, "Kami di rumah pun demikian pula; 

hanya bertiga dengan bujang saja. Ayahku sejak pukul lima 

petang tak ada di rumah. Coba kalau ada apa-apa, bagaimana 

dapat melawan? Untunglah ayah Nurbaya datang ke rumahku, 

mengatakan kami tak usah takut, sebab pengamukan itu jauh. 

Dan lagi kalau ada apa-apa ia segera datang." 

"Itulah yang menjadikan khawatir hatiku," kata Arifin pula, 

"sebab memang orang yang memegang pekerjaan sebagai ayah 

kita, lebih banyak musuhnya daripada sahabatnya. Walaupun 

kucoba menghilangkan takutku dengan berkata ini dan itu 

kepada ibuku atau membaca buku, tetapi ngeri itu tiadalah 

hendak meninggalkan pikiranku; istimewa pula sebab kadang-

kadang kedengaran suara ribut di jalan raya. 

Sebentar-sebentar bunyi katuk katuk itu bertambah keras, 

sebagai hendak menyatakan, ada pula seorang lagi yang kena

tikam si pengamuk. Dua jam lamanya kami di dalam ketakutan 

dan kira kira pukul sebelas, barulah mulai kurang bunyi katuk-

katuk itu. Tiada lama sudah itu, hilanglah bunyi ini sekaliannya, 

hingga heboh tadi jadi sunyi senyap. Ketika itu, barulah agak 

hilang takutku, karena kuketahui si pengamuk tentulah sudah 

dapat ditangkap. Tetapi ayahku belum juga pulang. Mataku 

mulai mengantuk dan dengan tiada kuketahui tertidurlah aku di 

atas kursi. Ibuku, pada sangkaku, tiada dapat memejamkan mata-

nya, sebab memikirkan ayahku, takut kalau-kalau ia mendapat 

celaka." 

"Memang pekerjaan polisi sangat berbahaya," jawab Samsu, 

"dan acap kali kita dimusuhi orang pula." 

"Tetapi kalau kita baik dengan anak negeri," kata Bakhtiar, 

"masakan dimusuhinya." 

"Tentu lebih disukainya daripada orang yang jahat kepada 

mereka. Akan tetapi, walaupun demikian, masih saja dibenci. 

Ada juga jalannya, supaya tiada dimusuhi orang, yaitu: yang 

bersalah jangan ditangkap, jangan dihukum dan diturutkan 

segala kemauannya; sebab meskipun bagaimana berat atau 

ringan kesalahan mereka, dihukum tentu mereka tak suka. Dan 

apabila dijalankan juga hukuman, tentulah mereka akan menaruh 

dendam dalam hatinya. Istimewa pula kalau yang dihukum itu 

seorang yang berbangsa tinggi atau kaya, dan yang menghukum,

orang kebanyakan saja." 

"Kalau begitu, kita namanya bukan pegawai, melainkan 

seorang yang tiada menurut sumpah dan janjinya, orang yang 

memperdayakan Pemerintah atau orang yang makan gaji buta 

atau pencuri gaji. Kalau tahu Pemerintah kelakuan kita yang 

demikian, tentulah kita akan dipecat daripada pekerjaan kita," 

sahut Arifin. 

"Lagi pula bagaimana akan dapat menurut kemauan sekalian 

orang? Sedangkan kehendak dua orang yang berlawanan, lagi 

tak dapat diturut. Misalnya seorang yang tak alim, tidak suka 

langgar dibangun dekat rumahnya, sebab terlalu ribut katanya; 

tetapi orang sebelah rumahnya, yang keras memegang agama, 

minta langgar itu diperbuat di sana, supaya mudah pergi berbuat 

ibadat. Betapa dapat menurut kedua kesukaan yang berlawanan 

ini?" 

"Tentu tak dapat," jawab Samsu. "Memang bagi seorang 

pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai 

bertemu buah si mala kamo*). Dimakan, mati bapak, tidak 

dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?" 

"Kalau aku, barangkali tidak kumakan buah itu," kata 

Bakhtiar mencampuri perbincangan ini. 

"Jadi kau rupanya lebih sayang kepada ayahmu, daripada 

kepada ibumu," sahut Nurbaya. 

*) Buah perumpamaan, yang hanya ada dalam peribahasa

"Bukan begitu, Nur," jawab Bakhtiar, "kalau perkara sayang, 

tentu aku lebih sayang kepada ibuku daripada kepada ayahku, 

sebab ibuku suka memberi aku kue-kue, tetapi ayahku suka 

memberi aku tempeleng. Dan pada rasaku, kue-kue lebih enak 

daripada tempeleng. Tetapi kalau ayahku mati, ibuku tak dapat 

mencari kehidupan sebagai ayahku. Betul ia boleh bersuami 

pula, tetapi masakan ayah tiriku akan sayang kepadaku seperti 

ayah kandungku. Jadi bagaimanakah halku kelak? Dapatkah juga 

aku akan meneruskan pelajaranku?" 

"Baik, tetapi kalau ayahmu kawin pula, sesudah ibumu 

meninggal, bagaimana?" tanya Nurbaya. 

"Tidak mengapa, sebab ayahku masih ada, yang dapat 

membantu aku," jawab Bakhtiar. 

"Kalau mak tirimu itu sayang kepadamu; tapi kalau ia benci 

kepadamu, sebagai acap kali terjadi di negeri kita ini, tentulah 

akan diasutnya ayahmu, sampai ayahmu pun benci pula 

kepadamu. Bagaimana? Mak hilang, ayah benci. Akan tetapi, 

kalau makmu masih hidup, walaupun ia tak dapat menolong 

kamu ataupun ia bersuami pula, sayangnya tetap padamu. Ia tak 

dapat diasut-asut. Bukankah sudah dikatakan dalam peribahasa: 

Sayang ayah kepada anaknya sepanjang penggalah, jadi ada 

hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan, 

tak berkeputusan."

"Ya, benar katamu itu, Nur," jawab Bakhtiar dengan kuatir 

rupanya, serasa banar akan terjadi hal itu atas dirinya: "Yang 

sebaik-baiknya janganlah aku bertemu dengan buah jahanam itu 

dan biarlah ibu-bapakku hidup sampai aku ada pekerjaan, yang 

dapat memberi penghidupan kepadaku." 

"Sebenarnya orang yang menjadi pegawai Pemerintah," kata 

Samsu pula, seakan-akan hendak melenyapkan ingatan yang 

kurang enak itu dari dalam hati Bakhtiar, "dalam pekerjaannya 

harus dapat berbuat dirinya seperti suatu mesin, yang sebetul-

betulnya menjalankan dan memperbuat segala apa yang harus 

diperbuatnya. Artinya, tiada pandang-memandang, tiada me-

naruh kasihan, tiada berat sebelah, tiada dapat tergoda oleh uang 

atau pemberian dan lain-lain sebagainya." 

"Tetapi adakah orang yang sedemikian?" tanya Arifin. 

"Dalam seratus, jarang seorang agaknya," jawab Samsu. 

"Sebab hal itu sangat susahnya." 

"Jika begitu apa sebabnya, maka masih banyak saja orang 

yang mau bekerja di kantor polisi? Ada pula yang tiada dapat 

gaji, walaupun ia harus berpakaian yang patut, datang ke tempat 

pekerjaannya. Sesudah beberapa tahun, barulah dapat uang 

bantuan 5 atau 10 rupiah dan beberapa tahun kemudian, barulah 

diangkat jadi juru tulis. Akhirnya, apabila telah tua, barulah 

dapat jadi menteri polisi atau ajung jaksa," tanya Arifin pula.

"Sebabnya ada bermacam-macam. Ada yang bekerja se-

sungguhnya karena hendak mencari kehidupan dengan tiada 

mempunyal maksud lain. Itulah yang baik. Tetapi ada pula yang 

memandang pangkat saja, sebab pada sangkanya, apabila ia telah 

menjadi pegawai, telah tinggilah pangkatnya dengan diharmati 

dan ditakuti orang. Lain daripada itu dapat pula ia berbuat 

sekehendak hatinya kepada anak negerinya. Tetapi sangkaku 

orang yang sedemikian, rnemang orang yang tiada dipandang 

dan dihormati orang. Apabila ia seorang yang memang telah 

dipandang dan dihormati orang, tentulah ia tidak berkehendak 

lagi akan pandangan dan kehormatan, dan tiadalah pula ia akan 

bersusah payah, berhabis uang, untuk mendapat pangkat dan 

kemuliaan itu; istimewa pula, sebab dalam hal ini, bukan 

orangnya melainkan pangkatnya yang dihormati dan dimuliakan. 

Oleh sebab itu acap kali, kita lihat, semasa di dalam berpangkat, 

sangat dihormati dan dimuliakan orang, tetapi bila telah berhenti, 

tiada diindahkan orang lagi. Sebaik-baiknya kehormatan dan 

kemuliaan itu jangan timbul dari kekuasaan, melainkan dari hati 

yang suci, disebabkan oleh kebaikan kita sendiri. 

Ada pula orang yang memang dengan maksud jahat, mencari 

pangkat, sebab diketahuinya, pangkat itu besar kuasanya; dengan 

demikian lekas dan mudah diperolehnya segala maksudnya. 

Akan tetapi pikiran yang semacam ini, hanya ada pada mereka

yang tiada lurus hatinya. Mereka yang mengerti, tentulah akan 

tahu, bahwa kekuasaannya tak lebih daripada kekuasaan anak 

negerinya dan pangkatnya sebenarnya rendah daripada pangkat 

orang yang tiada makan gaji. Karena orang ini bebas, boleh 

berbuat sekehendak hatinya, tak perlu menurut perintah, sebab 

tak menerima upah. Kalau ia bersalah yang menghukum 

bukannya pegawai itu melainkan undang-undang juga. Pegawai 

hanya seorang yang digaji Pemerintah, untuk menjalankan 

sesuatu kekuasaan, yang tak bersalah, tentu tak dapat 

dihukumnya dengan lurus. Untung benar tiada sekalian pegawai 

demikian kelakuannya. Banyak yang semata-mata dengan 

maksud baik menjabat pekerjaan. Dan sesungguhnya, banyak 

kebaikan yang dapat diperbuat mereka, karena kekuasaan tadi." 

"Ah, aku tiada memandang kehormatan, kekuasaan, dan 

pangkat," jawab Bakhtiar tiba-tiba, "asal cukup dapat uang, 

pekerjaan apa pun tiada kuindahkan. Boleh orang memanggil 

kuli kepadaku, asal diberinya gaji yang cukup." 

"Supaya jangan sampai kekurangan kue-kue, bukan? 

Dipanggil hantu kue pun tak mengapa," kata Arifm sambil 

tertawa-tawa mengganggu sahabatnya ini. 

"Apalagi yang kaucari dalam dunia ini, lain daripada 

keenakan dan kesenangan? Engkau belajar sekarang ini dengan 

maksud supaya kemudian mendapat kesusahankah?" jawab

Bakhtiar. 

"Tentu tidak," kata Samsu pula, yang rupanya hendak 

menyabarkan kedua sahabatnya, yang seakan-akan bermusuh-

musuhan itu. "Tetapi di manakah tinggalnya ceritamu tadi, 

Arifin? Cobalah teruskan!" 

"Benar, tetapi yang terlebih baik ialah kita teruskan 

perjalanan kita ini, sebab kalau kita masih berhenti di sini, 

sampai hari kiamat pun belum juga kita akan sampai ke atas. Di 

jalan kelak kusambung cerita itu." 

Keempat anak muda ini mendakilah pula. Setelah sejurus 

lamanya mereka mendaki jalan menanjak, berceritalah pula 

Arifin, "Belum berapa lama aku tidur, terperanjatlah aku bangun, 

karena aku dengar suara orang berkata, "Jangan banyak cakap! 

Nanti kupukul kepalamu, sampai engkau tak dapat bergerak 

lagi!" 

Maka gemetarlah seluruh tubuhku, karena pada sangkaku, 

tentulah suara itu suara si pengamuk yang telah menangkap 

bujangku, supaya mudah melakukan niatnya yang jahat kepada 

kami. Istimewa pula, karena tatkala itu kedengaran suara orang 

naik tangga rumahku, lalu mengetuk pintu, menyuruh bukakan 

pintu. Sebab takutku, tak tahulah aku apa yang hendak 

kuperbuat. Walaupun aku hendak berdiri mencari senjata akan 

membela diriku dan ibuku, melawan orang itu tetapi tak dapat

karena kakiku berat rasanya, sebagai terpaku pada lantai. Ketika 

aku hendak berteriak minta tolong, suaraku tak hendak keluar, 

sebab leherku serasa dicekik orang. Untunglah ibuku berani 

bertanya, "Siapa itu?" 

"Aku," jawab dari luar. 

Walaupun suara itu rupanya sebagai suara ayahku, ibuku 

belum percaya juga, sebab ia bertanya pula, "Aku siapa?" 

"Engku Hop (hoofd), orang kaya," jawab opas ayahku. 

Ketika itu barulah nyata benar kepadaku, bahwa ayahku ada 

di luar. Setelah ibuku berkata, "Bukalah pintu, Arifin," barulah 

aku dapat bangun dari kursiku, lalu pergi membuka pintu; tetapi 

palangnya tiada kulepaskan dari tanganku, supaya dapat 

kupergunakan jadi pemukul, bila yang masuk itu bukan ayahku, 

sebab khawatirku belum hilang. Tetapi rupanya benar ayahku 

yang masuk. Tatkala dilihatnya aku masih jaga, ia bertanya, 

"Hai, belum tidur?" 

"Belum, Ayah," jawabku, "sebab takut, jadi hilang kantuk." 

"Patut engkau jadi hulubalang besar," kata ayahku pula 

dengan tersenyum, serta menyuruh pasang lampu kantornya. 

Sesudah makan, diperiksalah perkara pengamukan tadi. "Di 

sinilah kulihat si pengamuk itu." 

"Bagaimana rupanya?" tanya Nurbaya. 

"Ah, sebagai orang yang biasa saja. Hidungnya satu, matanya

dua," jawab Arifin. 

"Ya, tentu. Tetapi maksudku bukan demikian; serupa 

penjahatkah atau serupa orang baik-baikkah ia, tuakah atau 

masih mudakah, orang sinikah atau orang lain negerikah?" kata 

Nurbaya pula. 

"Pada sangkaku bangsa penjudi tetapi masih muda. 

Tangannya dibelenggu, bajunya koyak-koyak dan berlumur 

darah, mukanya pucat, badannya gemetar dan matanya berputar-

putar, sebagai masih marah," jawab Arifin dengan suara yang 

seram. 

"Hi! Alangkah takutku, kalau melihat orang yang demikian," 

kata Nurbaya, sambil mengecutkan badannya, karena berdiri 

bulu romanya. 

"Memang, aku pun tak berani dekat. Takut kalau-kalau 

datang pula nafsunya hendak mengamuk dan dapat dipatahkan-

nya belenggunya." 

"Ya, tetapi kalau tak ada pisau, bagaimana mengamuk?" 

dakwa Bakhtiar, yang hendak mengejek Arifin. 

"Dengan tangan dan gigi, seperti engkau mengamuk kue-

kue," jawab Arifin dengan tertawa, sebab ia dapat pula 

mengganggu sahabatnya ini. 

"Orang mana ia dan apa mulanya, maka ia sampai berbuat 

demikian?" tanya Nurbaya, sebagai hendak memadamkan per

selisihan Bakhtiar dengan Arifin. 

"Rupanya ia anak kampung Sawahan. Asal perkelahian, 

perkara main judi. Sebab ia banyak kalah, matanya jadi gelap," 

sahut Arifin, dengan tiada mengindahkan sahabatnya, Bakhtiar 

yang mengerut dahinya. 

"Berapa orang yang diamuknya?" tanya Samsu. 

"Dua orang; yang seorang mati, sebab kena dadanya; yang 

seorang lagi luka parah di kepalanya, lalu dibawa ke rumah 

sakit." 

"Kasihan!" kata Nurbaya. 

"Apa sebabnya, maka lama benar baru ia tertangkap?" tanya 

Samsu pula. 

"Sebab mula-mula ia lari menyembunyikan dirinya, dan 

tatkala hendak ditangkap, ia melawan. Tetapi sebab banyak 

orang yang memburunya, jadi dapat juga ia dipersama-

samakan," jawab Arifin. "Sesudah itu diperiksa oleh ayahku, si 

pengamuk terus dibawa ke penjara." 

"Bagaimanakah agaknya keputusan perkara itu?" tanya 

Nurbaya. 

"Pada sangkaku, si pengamuk itu akan dihukum buang, 

sekurang-kurangnya sepuluh tahun," jawab Arifin. 

"Hura!" demikianlah bunyi sorak Bakhtiar tiba-tiba, "kita 

telah sampai."

Sesungguhnya keempat anak muda itu, dengan tiada 

dirasainya, telah hampir sampai ke puncak Gunung Padang, 

karena tiang bendera dan rumah perhentian yang ada di sana, 

telah kelihatan. Tiada lama kemudian daripada itu, Nurbaya 

merebahkan dirinya ke atas sebuah bangku, dalam.rumah 

perhentian ini, sambil berkata, "Akhirnya sampai juga kita 

kemari!"' 

"Asal sabar, yakin dan tawakkal, tentulah sampai maksud 

yang kekal," jawab Bakhtiar dengan perlahan-lahan, sebagai 

seorang yang alim. 

"Tetapi kalau tiada diusahakan diri, bagaimana?" tanya Arifin 

yang masih menentang Bakhtiar. "Bolehkah Tuan Guru sampai 

kemari, jika tiada berjalan lebih dahulu? Dapatkah Tuan Guru 

yang sangat alim ini mengaji Quran, apabila tiada dipelajari lebih 

dahulu? Dan dapatkah menjadi tukang tambur, sebab perut tiada 

diisi lebih dahulu dengan kue-kue, melainkan dengan sabar, 

yakin dan tawakkal saja?" 

"Ah, dengan engkau memang tak dapat bercakap-cakap; 

lebih baik aku pergi ke sana," sahut Bakhtiar dengan sebalnya 

lalu keluar rumah perhentian itu, pergi ke buaian. 

"Ya, pergilah ke sana dan bercakap-cakap dengan kayu-

kayuan itu! Tentu tiada dibatalkannya perkataanmu, sebab ia tak 

pandai menjawab. Dengan demikian, dapatlah engkau berkata

sesuka hatimu, tetapi seorang diri, seperti orang ... hm," sahut 

Arifin, lalu pergi pula ke tempat lain. 

Tatkala itu Samsulbahri masih berdiri, rupanya sedang asyik 

memandang ke sebelah timur, kemudian memutar kepalanya 

perlahan-lahan ke sebelah utara dan akhirnya ke sebelah barat. 

Pikirannya sebagai tak ada dekat teman-temannya, melainkan 

jauh di balik gunung yang tinggi, di seberang lautan yang dalam. 

Bagaikan ada suatu suara yang berbisik di telinganya, demikian: 

"Samsulbahri, pandang dan tilik serta perhatikanlah benar-

benar olehmu tanah lahirmu ini, tempat tumpah darahmu, karena 

tiada berapa lama lagi engkau akan berangkat meninggalkan 

sekaliannya; berangkat jauh ke rantau orang, berjalan bukan 

untuk sehari dua, bahkan berbulan dan bertahun. Siapa tahu, 

barangkali engkau tak dapat kembali pulang, karena nasib tiap-

tiap makhluk yang di atas dunia ini ada di dalam tangan Allah, 

dan nyawanya adalah sebagai tergantung pada sehelai benang 

sutera, yang halus dan rapuh, sehingga terkadang-kadang angin 

yang bertiup sepoi-sepoi pun dapat memutuskan tali per-

gantungan itu." 

Entah pikiran yang sedemikian, entah keelokan pemandangan 

puncak gunung itu yang memberi asyik hati anak muda ini, 

tiadalah dapat dilihat pada air mukanya yang bermuram-muram 

durja, sebagai mengandung suka dengan duka.

Memang pemandangan di atas Gunung Padang sangat elok, 

karena dari sana, nyata kelihatan pertemuan antara daratan 

dengan lautan, sebagai garis: putih yang terbentang dari kaki 

Gunung Padang arah ke utara, melalui jalan yang berbelok-

belok, yang terkadang-kadang jauh menganjur ke laut, sehingga 

terjadilah pada beberapa tempat, di kanan-kiri tanjung-tanjung 

ini, teluk yang permai. 

Pada beberapa tempat, rupanya baris pinggir laut itu sebagai 

bergeiak-gerak, disebabkan oleh ombak, yang memecah di tepi 

pantai yang menimbulkan buih yang putih warnanya. Orang 

yang memukat ikan, kelihatan sebagai semut berkerumun di sana 

sini. Alangkah elok rupanya perhubungan daratan dan lautan itu, 

dua benda yang menjadikan dunia ini, tetapi yang sangat 

berlainan warna, sifat, hal, dan isinya. 

Di sebelah barat dan utara kelihatan lapangan yang sangat 

luas dan datar, yang kebiru-biruan warnanya dan yang pada 

beberapa tempat sebagai dierami oleh pulau-pulau kecil, yang 

berjejer letaknya, dari utara ke selatan, adalah seakan-akan suatu 

telaga yang amat besar, yang berdindingkan langit putih di 

sebelah barat. Pada sangka ahli bumi, pulau-pulau itu dahulu 

kala, berhubungan dengan pulau Sumatera. Karena keruntuhan 

di dasar lautan, tenggelamlah perhubungan itu, meninggalkan 

beberapa pulau.

Di sebelah timur, kelihatan daratan yang hijau warnanya, 

yang penuh ditumbuhi pohon kelapa dan pohon yang lain-lain, 

adalah seakan-akan sebuah kebun yang amat luas layaknya. Pada 

beberapa tempat kelihatan pohon cemara dan pohon ketapang 

yang tinggi-tinggi, sebagai menjulangkan puncaknya dari 

tindihan pohon kelapa yang banyak itu, supaya dapat menangkap 

angin dan cahaya matahari. Di sana-sini tampak atap rumah yang 

merah atau putih warnanya, sebagai mengintip. dari celahcelah 

daun kayu. Hanya pada bagian yang dekat ke kaki Gunung 

Padang itulah yang banyak rumah dan jalan-jalannya yang ber-

baris-baris, sejajar dengan sungai Arau. 

Jauh di sebelah timur, kebun yang besar itu dipagari oleh 

gunung-gunung yang memtujur pulau Sumatera, yaitu sebagian 

daripada Bukit Barisan yang letaknya di tengah-tengah pulau 

Sumatera, memanjang dari barat laut ke tenggara. Di belah timur 

laut dan utara, kelihatan beberapa puncak gunung yang tinggi-

tinggi, sebagai ujung tiang pagar tadi. Di antara puncak-puncak 

ini, di balik awan yang putih, kelihatan puncak Gunung Merapi 

di Padang Panjang, yang terkadang-kadang nyata nampak 

asapnya mengepul ke atas, bila cuaca amat terang. 

Walaupun di sebelah timur, sekalian mahluk yang mendiami 

daratan akan mendapat kehidupan dan kesenangan, di sebelah 

barat tiada lain yang akan diperolehnya daripada bahaya dan

maut. Demikian pula kebalikannya jika dibawa sekalian yang 

mendiami bagian yang di sebelah barat, ke timur, tentulah segera 

akan sampai ajalnya. Di sebelah timur dapatlah manusia berpijak 

tanah, tetapi di sebelah barat akan luluslah ia ke dasar lautan. 

Setelah sejurus lamanya Samsulbahri termenung sedemikian 

itu, tiba-tiba terperanjatlah ia, sebagai terbangun daripada 

tidurnya, karena dirasainya bahunya dipegang orang dari 

belakang dan didengarnya suara Nurbaya berkata, "Apakah yang 

kaulihat, Sam?" 

"Ah, tidak, Nur," jawab Samsu, "penglihatan di sini 

sesungguhnya amat elok: Lihatlah pohon-pohon kelapa itu, 

hampir tak ada hingganya dan di antaranya. Lihatlah pula bukit 

barisan yang jauh menghijau samar-samar di sebelah timur itu! 

Dan lihatlah tepi pantai negeri Pariaman, Tiku, dan Air Bangis, 

yang menggaris terang sampai ke utara." 

"Ya, sesungguhnya amat indah," jawab Nurbaya. "Hanya di 

laut kurang pemandangan. Manakah pulau Pandan, dan manakah 

pulau Angsa Dua?" 

"Itulah, yang jauh itu, pulau Pandan, dan yang sebelah 

kemari, pulau Angsa Dua," kata Samsu pula, sambil menunjuk 

dua buah pulau yang berleret letaknya di sebelah ke muka dan 

sebelah lagi di sebelah belakang. 

"Jadi sesungguhnya sebagai dalam pantun.

Pulau Pandan jauh di tengah, 

di balik pulau Angsa Dua," 

kata Nurbaya pula. 

"Memang benar," jawab Samsu. "Tetapi bagaimanakah 

sambungan pantun itu?" tanya Samsu. 

"Ah, masakan kau tak tahu. Jangan: Kura-kura di dalam 

perahu, pura-pura sebagai tak tahu," sahut Nurbaya. 

"Sebenarnya pantun itu pantun tua, yang demikian bunyinya: 

Pulau Pandan jauh di tengah, 

di balik pulau Angsa Dua, 

Hancur badan di kandung tanah, 

guna baik diingat jua." 

kata Samsu pula. "Tetapi oleh anak-anak muda sekarang 

ditukar menjadi: 

Pulau Pandan jauh di tengah; 

di balik pulau Angsa Dua, 

Hancur badanku di kandung tanah, 

cahaya matamu kuingat jua." 

"Ya, tentu, begitu pun boleh juga; bagaimana kehendak yang 

berpantun saja," jawab Nuibaya.

Sungguhpun ia berkata demikian, tetapi di dalam hatinya 

buah pantun ini menimbulkan suatu pikiran; hanya tiada diper-

lihatkannya itu, dan dibuangnyalah mukanya menoleh ke darat 

serta bertanya, "Gunung yang tinggi itu, gunung apakah 

namanya?" 

"Gunung Merapi, sangkaku," jawab Samsu. 

"Gunung Merapi yang dekat Padang Panjang?" tanya 

Nurbaya. 

"Ya, antara Bukit Tinggi dan Padang Panjang," jawab Samsu. 

"Dan tahukah pula engkau pantun yang berhubungan dengan 

kota Padang Panjang itu?" 

"Tidak," jawab Nurbaya, dengan hati yang agak berdebar. 

 "Begini," kata Samsu. 

"Padang Panjang dilingkar bukit, 

bukit dilingkar kayu jati, 

Kasih sayang bukan sedikit, 

dari mulut sampai ke hati."

Mendengar pantun Samsu ini, berubahlah warna muka 

Nurbaya, menjadi kemerah-merahan, lalu tunduklah ia melihat 

ke tanah, akan menyembunyikan perubahan wajah mukanya ini. 

Apabila waktu itu tiada kedengaran suara Bakhtiar minta tolong, 

niscaya terbukalah rahasia hati Nurbaya, yang menyebabkan air

mukanya jadi berubah. 

Tatkala Samsu mendengar suara sahabatnya minta tolong, 

tiadalah ia berpikir panjang lagi, lalu melompat berlari ke tempat 

suara itu kedengaran, takut kalau-kalau Bakhtiar mendapat 

sesuatu kecelakaan. Apabila sampailah ia ke tempat itu, 

kelihatan olehnya, sahabat ini sedang diserang oleh beberapa 

kera yang besar-besar, yang hendak merampas pisang yang ada 

dalam tangannya. 

Walaupun Samsu dengan segera membantu memukul kera-

kera ini dengan sekerat kayu, tetapi karena banyaknya, tak 

dapatlah dihalaukan sekaliannya, sehingga terpaksa ia me-

ninggalkan pisang-pisangnya dan menuntun Bakhtiar, keluar dari 

kepungan penyamun yang berekor panjang itu, lalu membawa 

sahabatnya ini ke rumah perhentian, tempat ia berdiri tadi. Di 

tengah jalan bertemulah mereka dengan Nurbaya, yang mengikut 

dari belakang hendak membantu pula. Dan sejurus kemudian, 

keluarlah Arifin dari dalam semak-semak, berlari-lari menuju 

mereka dengan menjinjing suatu bungkusan dalam tangannya. 

Tatkala ia sampai kepada mereka, lalu bertanyalah ia dengan ter-

gopoh-gopoh, "Siapa yang berteriak? Ada apa?" 

Setelah diceritakan oleh Samsu hal Bakhtiar diserang oleh 

kera-kera itu, tertawalah ia gelak-gelak seraya menekan perut-

nya, karena tiada tertahan geli hatinya. Walaupun ia sangat lelah

karena berlari-lari, tiada dirasainya juga kelelahannya itu, karena 

tertawa. Akan tetapi Bakhtiar tiada mengindahkan ceinooh 

Arifin ini, istimewa pula karena takutnya belum hilang. 

"Memang telah kusangka, bahwa panglima perang kita ini, 

lebih berani berkelahi dengan makanan, daripada dengan kera. 

Sesungguhnya patut dadanya dihiasi dengan bintang kulit jering, 

karena gagah beraninya tiada bertara," kata Arifin dalam tertawa 

gelak-gelak itu dengan putus-putus suaranya. 

Meskipun Samsu dan Nurbaya belum hilang debar hatinya 

dan mereka sangat belas kasihan melihat hal Bakhtiar, tetapi 

tiadalah dapat ditahannya hatinya hendak tertawa pula, men-

dengar perkataan Arifin ini. Akan menghilangkan geli hatinya 

ini, pura-pura bertanyalah Samsu kepada Bakhtiar, bagaimana 

mulanya sampai diserang kera tadi. Maka diceritakanlah oleh 

Bakhtiar, bahwa dengan sengaja dibawanya pisang sesisir, akan 

diberikannya kepada kera-kera itu. Tiba-tiba,dilihatnya beberapa 

ekor kera yang besar, datang dari segenap pihak mengelilinginya 

dan merampas pisang yang ada dalam tangannya. Bahkan ada 

pula yang memanjat bahu dan kepalanya, walaupun ia memukul 

sekelilingnya. Akhirnya karena terlalu banyak kera itu datang 

dan rupa-rupanya binatang ini makin bertambah-tambah marah, 

sebab ada beberapa ekor di antaranya yang kena pukul, 

berteriaklah ia minta tolong, takut kalau-kalau digigit penyamun

yang telah memperlihatkan giginya dan berbunyi-bunyi itu. 

"Sekalian itu karena lokekmu juga, takut engkau sendiri 

takkan beroleh pisang. Maksudmu tentulah hendak duduk 

seorang diri memakan pisang itu di tengah-tengah kera yang 

banyak itu, sebagai sekor raja kera, yang sedang dihadapi segala 

menteri, hulubalang dan rakyatnya. Sisamulah yang akan 

kauberikan kepada sekalian rakyatmu itu. Siapa mau? Sebab 

apabila telah kaumakan niscaya, tak ada sisanya lagi; barangkali 

kulit-kulitnya pun habis. Tentu saja tak suka rakyatmu mem-

biarkan engkau makan sendiri. Mereka pun ingin pula hendak 

makan bersama-sama, karena perutnya pun lapar. Coba kau 

minta makan bersama-sama mereka dengan perkataan, "Adik-

adikku yang kucintai! Silakan makan bersama-sama abangmu 

yang sangat merindukan engkau," kata Arifin dengan ber-

sungguh-sungguh rupanya. Tetapi tak ada seorang pun yang 

menyahut, sedang Samsu dan Nurbaya pura-pura menoleh ke 

tempat lain, supaya jangan kelihatan tertawa. 

Kerena Bakhtiar berdiam diri, berkatalah pula Arifm, "Ada 

sesuatu yang belum jelas bagiku. Mengapa tiada kaumakan 

pisang itu lekas-lekas sampai habis? Apabila telah habis 

sekaliannya masuk perutmu; apalagi yang akan dirampas kera-

kera itu? Kepada kera kau pura-pura malu, tetapi kepada 

manusia tidak."

"Untung tidak kumakan, pisang-pisang itu," jawab Bakhtiar 

yang masih ketakutan, "kalau kumakan, barangkali perutku 

dikoyak-koyaknya, akan mengeluarkan pisang yang ada 

dalamnya." 

"Bukankah akan menjadi kurang isi perutmu dan barangkali 

sembuh pula engkau daripada penyakitmu suka makan," kata 

Arifin, tatkala dilihatnya Bakhtiar belum juga marah. "Jangan 

engkau kecil hati, Bakhtiar. Apabila aku tadi ada dekatmu, tentu-

lah tiada akan kutolong engkau. Bukan karena tak kasihan 

kepadamu, melainkan karena sayang aku pertunjukan yang indah 

itu akan lekas habis." 

"Memang engkau selamanya begitu, pandai benar memper-

olok-olokkan orang," jawab Bakhtiar. "Tetapi apabila engkau 

sendiri beroleh hal yang sedemikian, barangkali lebih takutmu 

dari padaku. Boleh jadi engkau menangis meraung-raung. 

Sedangkan mendengar suara ayahmu sendiri, telah kaku badan-

mu ketakutan, tadi malam: " 

"Bukan menangis meraung-raung," jawab Arifin dengan 

menyindir, "melainkan menyembah saja, minta ampun kepada 

kera-kera itu. Aku angkat bendera putih, tanda kalah, tunduk dan 

menyerahkan diri; kalau-kalau belas kasihan, ia kepadaku. Biar-

lah turun dari raja sampai kepada tawanan. Tak apa asal jangan 

dikoyak kera."

"Ah, sudahlah! Sekarang marilah kita pergi ke rumah per-

hentian itu, karena aku berasa lapar," kata Samsu, sebagai 

hendak menghabiskan pertengkaran ini, lalu berjalan mengajak 

teman-temannya ke sana. 

Setelah sampailah mereka ke rumah itu, berkatalah Arifm, 

"Sebab aku tadi tiada melihat peperanganmu dengan kera, 

perlihatkanlah sekarang, peperanganmu dengan makanan! Ini 

aku bawa sebungkus jambu Keling. Berapa puluh dapat 

kaualahkan dengan gigimu yang tajam itu?" tanya Arifm, sambil 

membuka bungkusan yang dijinjingnya dan memperlihatkan 

isinya kepada Bakhtiar, sambil tertawa. 

"Jangan dimakan begitu saja! Marilah aku kocok dahulu 

dengan gula, lada, dan garam supaya lebih nyaman rasanya," 

kata Nurbaya. 

"Tetapi lebih dahulu makan roti," kata Samsu, "Kalau tidak, 

sakit perut kelak. Apabila hari telah panas, baharulah makan 

buah-buahan ini dan rasanya pun akan lebih sedap." 

"Perut si Bakhtiar tiada akan sakit, walaupun batu sekalipun 

dimakannya, karena telah biasa mengalahkan segala rupa 

makanan, biar yang beracun sekalipun," kata Arifin pula, yang 

rupanya belum puas mempermainkan temannya ini. Tetapi 

ejekan ini pun tiada dijawab oleh Bakhtiar, karena mulutnya baru 

penuh berisi roti.

Setelah selesai makan, berkatalah Bakhtiar, hendak pergi 

membedil burung, lalu mengambil bedil yang dibawa Samsu 

tadi. Akan tetapi karena Samsu khawatir melepaskannya sendiri, 

disuruhnyalah Arifin pergi bersama-sama. Maka tinggallah 

Samsu dan Nurbaya berdua dalam rumah itu. Nurbaya, sebab 

hendak membuat rujak jambu Keling dan Samsu akan men-

jaganya. 

Setelah dicampur Nurbaya buah itu dengan gula, garam, dan 

lada dalam sebuah mangkuk besar, lalu ditutupnya mangkuk ini 

dan dikocoknya jambu Keling yang ada dalamnya. Setelah 

sejurus lamanya Nurbaya mengguncang jambu itu, rupanya ia 

mulai lelah digantikan oleh Samsu. Demikianlah diperbuat 

mereka berganti-ganti, sehingga buah jambu itu empuk. Maka 

diambillah oleh Nurbaya sebutir, lalu dikecapnya. 

"Sudah, Sam; terlalu empuk pun tak enak. Cobalah engkau 

kecap pula!" kata Nurbaya. 

"Ya benar, telah enak rasanya," jawab Samsu, setelah di-

makannya pula sebuah. "Tetapi baiklah ditunggu dahulu 

Bakhtiar dan Arifin." 

"Tentu," jawab Nurbaya, "kalau tidak, barangkali Bakhtiar 

akan menyangka kita telah makan lebih banyak, apabila tak 

cukup bagiannya," kata Nurbaya dengan tersenyum. 

Setelah keduanya berdiam sejurus, berkatalah Nurbaya tiba

tiba, "O ya, baru kuingat janjimu tadi akan menceritakan 

perempuan dengan kucingnya dan ayam yang bertelur emas itu. 

Bagaimanakah ceritanya?" 

"Benarkah engkau belum mendengar cerita ini?" tanya 

Samsu. 

"Sungguh belum, Sam," sahut Nurbaya. 

"Kedua cerita itu ialah hikayat pendek-pendek, yang 

mengiaskan pepatah: Tiap-tiap suatu yang hendak dikerjakan 

atau dikatakan, haruslah dipikirkan lebih dahulu dengan sehabis-

habis pikir dan ditimbang dengan semasak-masaknya: Berkata 

sepatah, dipikirkan, supaya jangan salah; sebab kesalahan itu 

boleh mendatangkan sesal yang tak habis. Sesal dahulu pen-

dapatan, sesal kemudian tak berguna. 

Cerita yang pertama demikian bunyinya: 

Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih 

menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari, 

tatkala ia hendak pergi, ditinggalkannya anaknya di atas suatu 

tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu. Ketika ia 

kembali ke rumahnya, dilihatnya kucingnya itu duduk di muka 

rumahnya dengan mulutnya berlumuran darah. Maka berdebar-

lah hatinya, lalu ia berlari-lari masuk ke tempat tidur anaknya. Di 

sana dilihatnya anaknya telah mati dan badannya pun penuh 

darah pula. Oleh sebab pada sangka perempuan itu, tentulah

kucing ini yang membunuh anaknya, dengan tiada berpikir 

panjang lagi, diturutkannyalah nafsu marahnya, lalu dipukulnya 

kucingnya ini sampai mati. Akan tetapi tatkala diangkatnya 

mayat anaknya, dilihatnya di bawah anaknya ini ada seekor ular 

yang sangat bisa, telah mati digigit kucingnya tadi. Rupanya ia 

berkelahi dengan ular itu, karena hendak membela anak tuannya. 

Setelah mati ular itu duduklah ia di muka rumah, menunggu 

kedatangan tuannya, seakan-akan hendak memberitahukan mara 

bahaya ini. 

Di situ menyesalnya perempuan tadi dengan sesalan yang 

amat sangat, karena sekarang bukannya anaknya saja yang mati, 

tetapi kucingnya yang amat setia dan dikasihinya hilang pula." 

"Tentu saja kesalahan yang sedemikian sangat menyedihkan 

dan menyusahkan hatinya, dengan sesalan yang tiada ber-

keputusan," kata Nurbaya dengan terpikir dan sedih rupanya. 

"Cerita ayam yang bertelur emas itu, lebih-lebih menjadi 

ibarat bagi mereka yang loba dan tamak," kata Sam. "Demikian 

hikayatnya: 

Seorang peladang mempunyai ayam betina beberapa ekor. 

Pada suatu hari seekor daripada ayamnya itu bertelur emas. 

Bagaimana, besar hati si peladang, tentulah dapat kaumaklumi, 

Nur. Karena lobanya, hendak lekas kaya, disembelihnya ayam 

itu. Pada sangkanya, tentulah dengan sekaligus akan diperoleh

nya sekalian telur emas yang ada dalam perut ayam itu. Akan 

tetapi apa kata? Perut ayam itu isinya sebagai isi perut ayam 

yang biasa juga dan sebutir telur emas pun tak ada dalamnya. 

Jika ditunggunya dengan sabar, mungkin hari kedua ayam itu 

bertelur emas pula. Sekarang ayamnya telah mati dan peng-

harapannya telah putus." 

"Harus begitu hukuman orang yang tamak sedemikian," 

jawab Nurbaya. "Jika tiada dibunuhnya ayamnya, barangkali 

diperoleh setiap hari sebutir telur emas." 

"Barangkali," jawab Samsu. "Tetapi Nur, sejak kita sampai 

kemari, belum kita pergi ke mana-mana. Tiadakah ingin hatimu 

hendak bermain-main dan berayun-ayun di buaian itu?" 

"Tentu," jawab Nurbaya, "asal engkau yang mengayunkan 

aku." 

"Memang, siapa lagi. Arif dan Tiar tak ada di sini. Asal suka 

saja engkau, berapa lama pun aku ayunkan," kata Samsu pula, 

lalu pergi bersama-sama Nurbaya ke tempat sebuah buaian 

kawat besi, yang diikatkan pada dua buah tiang kayu, yang tinggi 

dan kukuh. 

"Tetapi jangan keras-keras kauayunkan aku, Sam!" kata 

Nurbaya, sambil duduk di atas ayunan itu. 

"Bagaimana sukamu saja," jawab Samsu. 

Setelah sejurus lamanya berayun-ayun itu, tiba-tiba berteriak

lah Nurbaya, "Ada kapal api di laut! Kelihatan dari atas ini." 

Dengan segera dihentikan Samsu buaian itu, lalu keduanya 

mencari sesuatu tempat yang tinggi, untuk melihat kapal yang di-

katakan Nurbaya tadi. Sesungguhnya, di laut kelihatan sebuah 

kapal api, yang rupanya baru keluar dari pelabuhan Teluk Bayur, 

berlayar dengan tenangnya menuju ke utara. Asapnya yang telah 

tebal dan hitam mengepul di udara. 

"Ke manakah perginya kapal itu, Sam?" tanya Nurbaya. 

"Tentulah ke Aceh dan Sabang, barangkali singgah juga ia di 

Sibolga," jawab Samsu. 

"Kemudian ke mana terusnya?" tanya Nurbaya pula. 

"Kembali pula kemari, lalu ke Jakarta. Bolak-balik saja 

kerjanya, membawa penumpang dan muatan dari selatan ke 

utara," jawab Samsu. "Barangkali dengan kapal itu kau kelak 

pergi ke Jakarta," kata Nurbaya. Mendengar perkataan ini, ber-

tukarlah wajah muka Samsu, dari riang menjadi muram dan ter-

menunglah ia berapa lamanya, tiada berkata-kata. Nurbaya 

sangat heran melihat hal sahabatnya yang sedemikian itu, lalu 

bertanya, "Mengapa kau tiba-tiba berdiam, Sam? Kurang enak-

kah badanmu?" 

"Bukan, Nur. Hanya sebab engkau tadi menyebut nama 

negeri tempat aku akan pergi, tiga bulan lagi," jawab Samsu. 

"Pada sangkaku hatimu besar, pergi ke Jakarta," kata

Nurbaya. 

"Tentu, Nur, tentu! Karena di sanalah aku akan melihat ibu 

negeri Indonesia ini, kota yang sebesar-besarnya dan sebagus-

bagusnya, dalam Tanah Air kita. Dan di sanalah pula aku akan 

beroleh pelajaran yang akan menjadikan aku seorang yang 

berilmu. Tetapi... berat sungguh hatiku akan meninggalkan kota 

Padang ini, tanah lahirku, tempat tumpah darahku, kampung 

halamanku. Karena di sinilah ada ayah-bundaku, kaum keluarga-

ku, serta handai tolanku; sedang di sana belum kuketahui dengan 

siapa aku akan bersama-sama dan betapa mereka itu. Sampai 

kepada waktu ini aku biasa diperlindungi orang tuaku; tetapi di 

sana, tentulah aku akan hidup seorang diri." 

"Tentu saja, Sam. Memang tak mudah bercerai dengan ibu-

bapa, handai tolan dan teman sejawat. Tetapi pada sangkaku 

kecanggunganmu itu tiada berapa lama. Tiap-tiap permulaan 

biasanya susah. Akan tetapi apabila telah sampai engkau ke 

Jakarta kelak, tentulah akan hilang juga segala kesusahanmu, 

dirintang penglihatan dan pendengaran yang indah-indah. 

Barangkali pula lekas engkau beroleh ibu-bapa, sahabat kenalan 

yang baru, sehingga bertambah-tambah lekaslah pula engkau 

lupa kepada kami," kata Nurbaya sambil tersenyum dan 

memandang kepada Samsu. 

"Jika rindumu itu tiada hendak hilang, baiklah kaulipur

hatimu dengan pikiran yang begini, "Aku ada di Jakarta ini untuk 

sementara, menuntut pelajaran yang akan memberi kepandaian, 

pangkat, dan gaji yang besar kepadaku; oleh sebab itu pikiranku 

tak boleh tergoda oleh yang lain. Apabila telah sampai maksudku 

itu kelak, tentulah aku segera dapat pulang kembali, bertemu 

dengan sekalian yang kucintai." 

Ingatlah pantun: 

Jika ada sumur di ladang, 

tentu boleh menumpang mandi. 

Jika ada umurku panjang, 

tentu boleh bertemu lagi. 

Gunung dan lembah yang tiada dapat bertemu, tetapi 

manusia, asal ada hayat di kandung badan, tentulah akan ber-

jumpa juga. Sedangkan ikan di lautan, asam di daratan, bertemu 

dalam kuali," kata Nurbaya dengan bermain-main, karena pada 

sangkanya, pura-puralah Samsu berbuat sebagai bersusah hati, 

sebab akan pergi ke Jakarta itu. 

"Barangkali sangkamu, aku pura-pura berbuat susah, karena 

akan pergi ke Jakarta itu," kata Samsu pula, "tetapi sesungguh-

nyalah sangat khawatir hatiku meninggalkan...." 

Hingga ini Samsu berhenti, sebagai tak berani menyebut 

nama orang yang dikhawatirkannya itu. 

"Meninggalkan siapa, Sam?" tanya Nurbaya. "Adakah orang

di sini tempat hatimu tersangkut?" 

"Meninggalkan engkau, Nur," jawab Samsu, terus terang. 

"Aku?" tanya Nurbaya pula, seakan-akan heran. 

"Ya," jawab Samsu dengan pendek. 

Nurbaya termenung mendengar pengakuan ini, lalu me-

nundukkan kepalanya ke tanah, sehingga tiadalah dapat dilihat, 

bagaimana warna mukanya pada waktu itu. 

"Jangan engkau salah sangka, Nur! Dengarlah, apa sebabnya 

hatiku khawatir meninggalkan engkau. Telah beberapa hari aku 

digoda oleh suatu pikiran yang tak baik," kata Samsu. 

"Dari mana datangnya pikiran yang sedemikian?" tanya 

Nurbaya pura-pura tersenyum, akan melenyapkan perubahan 

mukanya yang menjadi kaca hatinya. 

"Bagaimana aku takkan khawatir," sahut Samsu. "Pada 

malam Jum'at yang telah lalu, aku bermimpi: rasanya aku men-

daki Gunung Padang ini. 

Tatkala sampai ke atas ini, tibalah aku rasanya di kota Jakarta 

yang ramai dan besar itu. Di tengah-tengah kota ini adalah 

sebuah menara yang tinggi. Seorang tua berkata kepadaku, "Hai 

Samsu, jika engkau hendak mencapai maksudmu, naiklah 

menara ini." 

Tatkala aku hendak menaiki menara ini, tiba-tiba kelihatan-

lah olehku, engkau mengikut dari belakang, seorang diri. Oleh

sebab itu kutunggulah engkau, supaya dapat naik bersama-sama. 

Tiba-tiba datanglah Engku Datuk Meringgih menghelakan 

engkau ke bawah, lalu didukungnya, dibawanya lari. Karena 

panas hatiku, kurebutlah engkau dari tangannya, sehingga ber-

kelahilah aku dengan dia. Oleh sebab ia lebih kuat dari padaku, 

dapatlah aku ditangkapnya dan dilontarkannya ke, bawah 

gunung ini. Engkau pun, sebab membantah, tiada mengikut 

kemauannya dijerumuskannya pula ke bawah. Maka jatuhlah 

kita berdua terguling-guling ke kaki gunung ini, masuk ke dalam 

suatu lubang yang besar, sehingga tak dapat keluar lagi. Ketika 

itu terbangunlah aku dengan sangat terperanjat. Badanku basah 

kena keringat. Semalam-malaman itu tiadalah dapat aku tidur 

lagi dan sejak waktu itu, mimpi ini tiadalah hendak hilang dari 

pikiranku." 

"Wahai! Rupanya inilah sebabnya engkau kulihat terkadang-

kadang termenung seorang diri," kata Nurbaya. "Tetapi jangan-

lah engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena mimpi 

permainan pikiran, tiada selamanya benar; acap kali bohong, tak 

ada takbirnya. Melainkan sejak sekarang marilah kita bersama-

sama menadahkan tangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa 

untuk memohonkan kepada-Nya supaya mudah-mudahan di-

pelihara-Nya juga kita di dalam segala hal," kata Nurbaya pula, 

sebagai pelipur hati Samsu. Akan tetapi, meskipun ia berkata

sedemikian, hatinya tiada senang juga, karena sesungguhnya 

ganjil mimpi Samsu ini pada rasa hatinya. 

Tatkala itu kembalilah Bakhtiar dan Arifin tergopoh-gopoh 

dari perburuannya, sebagai ada sesuatu yang dilarikannya. 

"Apa yang dapat?" tanya Nurbaya. 

"Sst, diam! Jangan ribut!" kata Bakhtiar, sambil me-

nyembunyikan bedilnya." 

"Bakhtiar membedil orang," kata Arifrrt perlahan-lahan. 

"Membedil orang?" tanya Samsu dengan terperanjat. 

"Ya," jawab Arifin, "tetapi nantilah kuceritakan kepadamu. 

Sekarang mari kita pulang lekas-lekas!" 

"Makanan itu bagaimana?" tanya Nurbaya. 

"Kita makan cepat-cepat dan kemudian kita pulang dengan 

segera," jawab Arifin. 

Tatkala mereka berkata-kata itu, Bakhtiar menyembunyikan 

bedilnya dalam rumput-rumput, kemudian datang hendak makan 

bersama-sama. Tetapi walaupun ia sangat lapar, tiadalah dapat 

juga makan dengan sepertinya, karena ketakutan. Mukanya 

pucat, tangannya gemetar. 

Setelah selesai makan lalu Bakhtiar membungkus bedilnya 

dengan kelopak lopak pisang, supaya jangan kelihatan dari luar. 

Kemudian menurunlah mereka bergesa-gesa. 

Tatkala sampai ke pangkal pendakian, berhentilah mereka

sejurus di kedai, untuk melepaskan lelahnya. Tiada lama 

kemudian daripada itu, turunlah dua orang serdadu dari atas 

gunung ini. Seorang dari padanya jalannya seakan-akan pincang 

dan paha kirinya dipegangnya dengan tangannya. 

Tatkala Bakhtiar dan Arifin melihat serdadu ini, ber-

sembunyilah mereka ke dalam kedai tadi. Seketika lagi sampai-

lah kedua serdadu itu ke muka kedai ini, lalu hendak ber-henti 

pula di sana. Yang tiada pincang bertanya, "Masih sakitkah 

kakimu? Marilah kita berhenti dahulu di sini." 

"Ah, tak usah. Baik kita terus pulang, supaya jangan ter-

lambat sampai ke tangsi," jawab yang sakit. . 

"Siapakah yang telah membedilmu pada sangkamu?" 

bertanya pula yang tak sakit. 

"Tentulah anak-anak. Jika dapat ia kuputar batang lehernya," 

jawab yang sakit. 

Kemudian kedua serdadu itu naik sebuah sampan, lalu 

menyeberang sungai Arau. 

Setelah sampai mereka ke seberang, barulah Bakhtiar dan 

Arifin berani ke luar, lalu barkata, "Itulah dia yang kena bedilku 

tadi." 

"Bagaimana mulanya maka ia sampai jadi kena? Cobalah 

kauceritakan!" tanya Nurbaya yang agak pucat mukanya. 

"Aku hendak membedil burung Merbah yang ada dalam

semak-semak dan ia tiada kelihatan olehku, karena ia berdiri di 

balik pohon kayu. Tatkala kubedil burung itu, tiba-tiba 

kedengaran olehku suara orang berteriak, "Aduh! Apa ini? 

Tolong!" Ketika itulah nyata olehku bahwa seorang daripada 

serdadu tadi telah kena bedilku. Dengan segera aku lari 

menyembunyikan diri." 

"Memang ada-ada saja yang terjadi padamu, Bakhtiar! Belum 

hilang takutku, karena engkau diserang kera, sekarang kau 

tembak pula orang. Kalau dapat engkau olehnya tadi, 

bagaimana!" kata Nurbaya seraya menggeleng-gelengkan 

kepalanya. 

"Bukan kusengaja, Nur. Kakinya itu kusangka dahan kayu 

yang hitam, sebab badannya tersembunyi di balik pokok kayu. 

Siapakah yang 'kan dapat menentukannya dari jauh? Tetapi 

apanya yang kena, kaulihat tadi, Nur, tatkala ia melintas di sini?" 

tanya Bakhtiar. 

"Paha belakangnya yang sebelah kiri," jawab Nurbaya. 

"Rupanya berdarah, lagi sakit; sebab selalu dipegangnya pahanya 

itu." 

"Marilah kita pulang, sebab hari telah setengah satu. Pak Ali 

tentu telah ada dan perutku telah lapar," kata Samsu pula. 

Setelah minum air seterup seorang segelas, menyeberanglah 

keempat mereka, lalu pulang ke rumahnya masing-masing.

IV. PUTRI RUBIAH DENGAN SAUDARANYA SUTAN 

HAMZAH 

Pada petang hari Ahad, tatkala Samsu dengan sahabatnya pergi 

berjalan-jalan ke Gunung Padang, kelihatan putri Rubiah duduk 

di serambi belakang rumahnya, di atas sebuah tikar rumput, 

sedang menjahit. Dekat putri itu duduk saudaranya yang bungsu, 

 Sutan Hamzah, sedang menggulung-gulung rokok daun nipah. 

"Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud, 

Hamzah?" tanya putri Rubiah dengan tiada menoleh dari 

penjahitannya. 

"Pada pikiran hamba, kelakuannya sangat berubah, " jawab 

Sutan Hamzah, sambil menoleh kepada saudaranya. 

"Pikiranku pun demikian pula. Makin lama makin jarang ia 

datang kemari kian hari kian kurang diindahkannya aku dan 

Rubiah, serta kaum keluarganya yang lain-lain sebagai takut ia 

datang kemari. Katanya karena banyak kerja, dan ia takut kalau-

kalau pekerjaannya kurang maju. Benarkah itu?" tanya putri 

Rubiah. 

"Ah, bohong! Bukannya ia sendiri yang menjadi Penghulu di 

Padang ini dan berpangkat tinggi. Apakah sebabnya Penghulu di 

lain-lain tiada sebagai dia?" jawab Sutan Hamzah.

"Pikiran yang sedemikian, acap kali timbul pula dalam 

hatiku. Memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benar-

benar, supaya jangan bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya 

karena itu, berubah kelakuan adat dan pikiran. Coba kaupikir! 

Aku dan Rukiah saudaranya dan kemanakannya yang 

perempuan, jadi tanggungannya. Tetapi tiada dijaga, tiada 

dikunjung-kunjunginya dan tiada dilihat-lihatnya, apalagi di-

belanjainya; pendeknya tidak diindahkannya. Hanya anak dan 

istrinya sahaja yang dijaga dipelihara dan dihiraukannya. Kalau 

terjadi apa-apa pada malam atau siang hari atau kami ditimpa 

bahaya—sekali disebut seribu kali dijauhkan Allah hendaknya, 

bagaimana kami? Akan mati seoranglah agaknya," kata Putri 

Rabiah dengan sedih. 

"Anaknya itu kabarnya akan dikirimkannya pula ke Jakarta, 

Sekolah Jawa. Yang bukan tanggungannya ditanggungnya, yang 

tanggungannya sendiri, disia-siakan. Kalau anaknya itu tak ada 

mamaknya yang akan memikul beban ini, sudahlah; tolonglah 

anak itu sebab kasihan Akan tetapi kewajiban, jangan dilupakan; 

bahkan itulah yang patut diingat lebih dahulu." 

"Si Samsu ke Jakarta?" tanya Sutan Hamzah dengan takjub 

"Ya tiga bulan lagi. Dan dari sana, entah ke mana pula, 

barangkali ke negeri Belanda. Hendak dijadikannya apa anaknya 

itu, tiada kuketahui," jawab putri Rubiah.

"Akan dijadikannya jenderal, agaknya," sahut Sutan Hamzah 

dengan tersenyum. 

"Bukankah sekalian itu memakan uang saja? Itulah sebabnya 

agaknya, maka tiap-tiap aku minta duit kepadanya, jarang dapat; 

biasanya tak ada duit, katanya. Ke manakah gajinya yang 

sebanyak itu? Tentulah habis untuk anak dan istrinya saja. Apa-

kah perlunya anak itu dimajukan sejauh itu? Sekolah Belanda ini 

saja telah lebih daripada cukup. Berapa orang yang tiada tahu 

bahasa Belanda, tetapi dapat juga mencapai pangkat yang tinggi. 

Ayah kita, apa kepandaiannya? Menulis pun hampir tak dapat. 

Tetapi mengapakah dapat juga ia menjabat pangkat Tuanku 

Bendahara*). Siapakah di antara Penghulu-Penghulu yang ada di 

Padang ini, yang pandai bahasa Belanda? Tak ada seorang pun. 

Bukankah sekaliannya itu bergantung kepada untung nasib satu-

satunya orang? Jika baik untungnya, tak pandai pun, ten¬tu akan 

mendapat pangkat juga. Tetapi apabila tak baik nasib, walaupun 

melangit kepandaiannya, jatuhnya ke pelimbahan juga." 

"Pada pikiran hamba, anak itu tak baik untungnya. Segala 

usaha Kakanda Mahmud ini, niscaya akan sia-sia belaka. 

Cobalah lihat! Arang habis, besi binasa," jawab Sutan Hamzah, 

sambil mengisap sebatang rokok yang dibuatnya. 

"Mengapa engkau berkata demikian?" tanya putri Rubiah. 

*) Pangkat yang hampir sama dengan patih 

di tanah Jawa

"Ada suatu tanda padanya, ia akan mati berdarah dan akan 

menjadi musuh kita," jawab Sutan Hamzah. 

Putri Rubiah termenung sejurus mendengar perkataan adik-

nya ini. Kemudian ia berkata pula, "Mauku sekolah Belanda ini 

saja, cukuplah. Sudah itu masukkan saja ia ke kantor, jadi juru 

tuliskah atau apa saja. Biarpun tak bergaji, tak mengapalah mula-

mula ini. Kelak, tentulah akan naik juga pangkatnya dan dapat 

juga gaji yang besar, asal ada untungnya. Bukankah sudah ada 

pepatah kita yang mengiaskan hal itu: Malang tak boleh ditolak, 

mujur tak dapat diraih. Sesudah diikhtiarkan, diserahkan! Ini 

tidak; karena hendak memajukan anak sampai berhabis-habisan. 

Harta pusaka pun hampir diganggunya pula." 

"Harta pusaka kita?" jawab Sutan Hamzah dengan meng-

angkat kepalanya. "Hendak hamba lihat, kalau benar ia berani 

menghabiskan harta pusaka kita. Walaupun hamba tak ber-

pangkat, tetapi tak takut melawannya." 

"Itulah yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam, 

hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini. 

Aku takut kalau-kalau benar diperbuatnya sedemikian, menjadi 

berbantah kita, antara saudara dengan saudara. Bukan tak baik 

saja, perbuatan yang sedemikian, tetapi malu aku kepada orang 

lain; sebab tak layak orang yang berbangsa sebagai kita, berbuat 

begitu," kata putri Rubiah pula dengan mengeluh.

"Tetapi kalau tak dapat dihindarkan, apa boleh buat! Jangan-

lah takut, Kanda! Hamba di muka kelak," jawab Sutan Hamzah 

dengan garangnya. "Tentu saja ia selalu tiada beruang dan di-

rundung susah sedemikian itu; sebab bodoh dan gila. Apakah 

sebabnya ditanggung, yang tak perlu ditanggung dan disuruh 

pula menuntut ilmu ke mana-mana. Itulah yang dikatakan orang: 

Tak beban, batu digalas. Siapa yang mau berbuat sedemikian, 

waktu ini? Hanya ia sendiri. Pada sangkanya, akan dipuji orang 

perbuatannya ini. Tidak diketahuinya, bahwa ia dicerca dan 

ditertawakan orang dari belakang. 

Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan 

orang dan tak suka beristri banyak? Bukankah itu sekaliannya 

duit saja! Apabila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua 

ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi? Kalau 

habis duit, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri 

dan beranak banyak? Karena laki-laki bangsawan tak perlu 

memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu 

tanggungan orang lain. Apa gunanya bangsa dan pangkat yang 

tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil? 

Coba lihat hamba! Walaupun tiada mempunyai pekerjaan, 

makan tak kurang, kocek pun tak kosong. Apabila hamba datang 

ke rumah istri hamba, makanan yang lezat citarasanya telah 

tersedia: pakaian yang bersihpun, demikian pula. Jika berjalan,

kocek diisi: rokok dan segala keperluan hamba yang lain, diberi. 

Ingin hamba hendak berbendi pada petang hari, bendi mentua 

hamba telah tersedia; segala kesukaan diadakan, segala kemauan 

tiada dilarang. Apa lagi yang dikehendaki? Bukankah bodoh, 

laki-laki yang tak suka kepada adat istiadat yang sedemikian?" 

"Memang engkaulah saudaraku yang sesungguh-sungguhnya, 

membangkitkan batang terendam, yang tahu adat istiadat dan 

menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu meng-

hargakan ketinggian kebangsawanan kita dan menjalankan 

kewajiban kepada saudara dan kemenakannya," kata putri 

Rubiah, memuji-muji adiknya itu. 

"Apa yang hamba susahkan?" kata Sutan Hamzah pula. 

"Biarpun berpuluh istri hamba, beratus anak hamba, belanja tak 

perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri hamba ada 

orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan 

tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau 

tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan 

hamba kawini perempuan lain, yang mampu; tentu dapat hamba 

uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek 

hamba. Bukan sebagai kakanda Mahmud; jangankan mendapat 

uang, bahkan berugi dan berhabis uang pula ia. Mengapakah tak 

dipergunakan bangsa dan pangkatnya yang tinggi itu? Sedang 

sekarang, anaknya masih seorang dan istrinya seorang pula,

sudah tak dapat ia berkata apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya 

kelak, apabila anak dan istrinya sebanyak anak dan istri hamba? 

Jangan-jangan mati di jalan besar sendiri saja ia. Karena hamba, 

walaupun muda dari padanya, tetapi telah sepuluh orang istri 

hamba dan delapan belas orang anak hamba. Sungguhpurt 

demikian, hamba tiada susah, tiada kekurangan uang, tiada 

meminjam ke sana ke mari. Lebih banyak anak, bukankah lebih 

baik, lebih kembang biak dan lebih banyak pula orang yang 

berbangsa di Padang ini. Dalam Quran pun diizinkan beristri 

sampai empat orang sekali. Apakah sebabnya tak diturutnya itu, 

kalau benar ia orang Islam'? Katanya ia cerdik pandai, sebab 

bersekolah dan berpangkat tinggi; tetapi kepandaiannya itu 

menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah lebih baik bodoh 

sebagai hamba ini, tetapi tak pernah susah dan menyusahkan 

orang. 

Anaknya disuruhnya sekolah ini dan sekolah itu, belajar ini 

dan belajar itu, akhirnya ia akan menjadi apa? Menjadi raja, tak 

dapat. Walaupun berpangkat setinggi apa sekalipun, jika masih 

makan gaji masih di bawah perintah orang; berbuat sekehendak 

hati tak boleh. Segala perintah dari atas, harus diturut. Biar 

malam ataupun siang, biar sakit ataupun senang, lamun 

pekerjaan harus dikerjakan; tak boleh mengatakan tidak. Kalau 

enggan bekerja, tentu akan diperhentikan dari pekerjaan atau

mendapat nama yang kurang baik. Tetapi hamba, bebas sebagai 

burung di udara; tak ada yang melarang dan menyuruh, boleh 

berbuat sekehendak hati: Beraja di hati, bersutan di mata hamba 

sendiri. Hendak pun tidur selama-lamanya atau duduk bercakap-

cakap saja atau bersuka-sukaan sehari-hari, berjalan ke mana-

mana, tak ada yang membantah. Oleh karena itu benarkah orang 

yang berilmu dan berpangkat tinggi itu lebih senang daripada 

orang yang bodoh dan berpangkat rendah? Di sini ada contoh-

nya, tak perlu mengambil misal jauh jauh. Perbandingkanlah 

Kakanda Mahmud dengan hamba. 

Anaknya Samsu itu memang harus disekolahkannya ke 

mana-mana, untuk menuntut ilmu yang tinggi-tinggi, sebab jika 

tak demikian, tentulah anak itu tiada akan menjadi orang kelak. 

Orang yang sebagai dia, harus membanting tulang, jika tak kaya; 

sebab bangsanya kurang. Tetapi pada pikiran hamba, walaupun 

tak menjadi orang anak itu, apa peduli kita? Bukan tanggungan 

kita. Yang akan malu, mamaknya. Oleh sebab itu tak habis pikir 

hamba mengapa tidak mamaknya yang memajukan anak itu? 

Lagi pula kesalahan siapa, Kanda Mahmud sampai beroleh anak 

itu? Siapa yang menyuruh dia kawin dengan perempuan biasa 

itu? Kurangkah putri-putri yang baik di Padang ini? Apa guna-

nya memandang rupa saja, kalau bangsa tak ada? Coba kalau ia 

kawin dengan putri bangsawan, niscaya anaknya takkan turun

bangsanya, tetap sutan. Sekarang anaknya hanya marah." 

"Itulah yang menjadikan heran hatiku; tak dapat kupikirkan 

bagaimana ingatannya sekarang ini. Bukankah telah adat nenek 

moyang kita, yang sebagai itu? Mengapa tiada hendak diturut-

nya? Malu aku rasanya mempunyai saudara sedemikian ini. 

Orang yang tak tahu niscaya akan bersangka saudarakulah yang 

tak laku kepada perempuan; barangkali karena ada cacatnya. 

Tatkala kunyatakan kepadanya sesat pikirannya ini, jawabnya, 

"Binatang yang beristri banyak." Coba kaupikir! Adakah patut 

jawaban yang seperti itu dikeluarkannya di hadapanku?" kata 

putri Rubiah pula. 

"Demikian jawabnya?" tanya Sutan Hamzah dengan merah 

mukanya. 

"Sungguh," jawab putri Rubiah. 

"Jadi binatanglah sekalian laki-laki yang ada di Padang ini! 

Sebab sekaliannya beristri banyak. Hanya ia sendiri yang beristri 

seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah pikirannya 

telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali telah 

termakan perbuatan orang*), sehingga lupalah ia akan dirinya 

dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya menggeleng-

gelengkan kepalanya. 

"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku 

memang telah "berudang di balik batu," kata putri Rubiah pula, 

* Kena ramuan guna-guna (pekasih)

sambil menoleh kepada saudaranya. 

"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci saja 

melihat kita. Sedangkan pekerjaan hamba sehari-hari dicelanya." 

sahut Sutan Hamzah. 

"Pekerjaan apa?" tanya putri Rubiah pula. 

"Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan 

rnenyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan 

saudagar yang kaya-kaya? Yang tak beruang dan tak berbangsa 

itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalau-

kalau mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian?" 

jawab Sutan Hamzah. 

"Tentu," kata putri Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak 

perlu bekerja mencari penghidupan, melainkan bersuka-sukaan 

itulah kerjanya. 

Tetapi sekarang marilah kita bicarakan, apa akal kita tentang 

hal si Mahmud ini. Bagaimanakah baiknya pada pikiranmu, 

supaya ia menjadi biasa kembali? Karena walau bagaimana 

sekalipun, ia saudara kita juga, tak dapat kita tidakkan; sekalian 

orang tahu. Apabila ada terjadi apa-apa atas dirinya, tentu kita 

akan terbawa-bawa juga dan nama kita pun akan bercacatlah. 

Jika kita bencanakan dia, menjadi sebagai: menepuk air di 

dulang pekerjaan kita itu; muka kita sendiri juga yang akan 

basah.

Kalau benar ia telah kena "perbuatan" orang, seharusnya kita-

lah yang akan mengobatinya. Itulah kewajiban orang bersaudara. 

Jangan kita musuhi dia, sebab tentulah akan bertambah-tambah 

penyakitnya, karena dari kanan dan dari kiri, tak dapat 

pertolongan. Kalau timbul sesuatu kecelakaan atas dirinya, tetapi 

hendaknya—malang tersebut, mujur yang datang—, misalnya ia 

meninggal dunia atau sakit, bukan istrinya itu yang akan 

bersusah payah melainkan kita. juga. Sungguhpun demikian, 

oleh si Penghulu tiada diingatnya itu. Sekarang apa akalmu?" 

tanya putri Rubiah. 

"Baiklah kita cari dukun yang pandai untuk mengobatinya." 

"Tahukah engkau seorang dukun yang pandai?" 

"Tahu, rumahnya dekat di sini, Juara Lintau gelarnya." 

"Adakah ia sekarang di rumahnya gerangan? Cobalah suruh 

lihat oleh si Abu! Barangkali ada di rumah. Biarlah kini kita 

suruh datang ia kemari, supaya bangat pekerjaan ini." 

"Abu!" teriak Sutan Hamzah. 

Tatkala datang bujang Abu, berkatalah Sutan Hamzah per-

lahan-lahan kepadanya, sebagai takut ia perkataannya akan ter-

dengar oleh orang lain, "Abu, coba engkau pergi sebentar ke 

rumah Juara Lintau! Kalau ia ada di rumah, mintalah datang 

sebentar kemari, sebab ada keperluan yang hendak dibicarakan 

dengan dia. Akan tetapi, apabila ada orang lain di sana, tunggu

lah sampai orang itu pulang, supaya jangan ada orang yang tahu 

engkau memanggil Juara ini." 

"Baiklah, Engku Muda," jawab si Abu, lalu berangkat. 

"Kalau ia datang, hendaklah lebih dahulu kausuruh tenung-

kan olehnya, benarkah si Penghulu kena ilmu orang atau tidak. 

Kalau benar, suruhlah obati, supaya terlepas ia daripada per-

buatan orang itu. Kemudian hendaklah kausuruh kerjakan pula, 

supaya ia benci kepada istrinya," kata putri Rubiah perlahan-

lahan. 

"Tentu," jawab Sutan Hamzah. "Apa gunanya perempuan 

yang demikian? Baik rupa saja; harta tidak, bangsa pun rendah. 

Kalau untuk hamba, tak terpakai perempuan semacam itu. Tentu 

saja sudah diberinya ilmu, Kakanda Mahmud. Kalau tiada, 

masakan ia takluk kepadanya dan suka menyuruh majukan 

anaknya. Tentulah ia yang mengasut-asut Kakanda Mahmud, 

supaya benci kepada sekalian. Ia takut Kakanda Mahmud beristri 

pula, kalau-kalau ia tiada terpakai lagi. Sungguh keras ilmu 

perempuan jahat itu! Bukan takluk saja laki-laki kepadanya, 

tetapi pikirannya pun sampai bertukar pula," kata Sutan Hamzah 

seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian berkata 

pula ia, "Perkara Rukiah sudahkah dibicarakan dengan dia?" 

"Sudah," jawab putri Rubiah. 

"Apa jawabnya?"

"Baik, katanya." 

"Berapa belanja hendak diadakannya?" 

"Katanya tiga ribu rupiah." 

"Kalau sekian, boleh cukup; asal jangan terlalu berbesar-

besar. Perarakan gajah mina tanggungan hambalah. 

Tetapi di manakah diperolehnya uang itu? Jangan-jangan 

harta pusaka kita pula yang dijual atau digadaikannya." 

"Tidak," jawab putri Rubiah. "Rumahnya dengan tanahnya 

yang di Kampung Jawa Dalam digadaikannya kepada Datuk 

Meringgih." 

"Kalau rumah itu, suka hatinya; karena rumah itu tiada juga 

akan dapat oleh Rukiah, sebab rumah itu khabarnya tertulis di 

atas nama istrinya. Coba! Adakah patut kelakuannya itu? Harta 

pencariannya dituliskannya di atas nama istrinya, supaya jangan 

dapat oleh kemanakannya! Tetapi biarlah, tak mengapa! Kalau ia 

mati, tentu dapat juga dirampas segala hartanya itu. Karena 

sekalian orang tahu, harta itu pencariannya sendiri." 

Tiada lama mereka berkata-kata, kembalilah Abu bersama-

sama orang yang dipanggil tadi, lalu dipersilakan oleh Sutan 

Hamzah masuk ke ruang tengah (tengah rumah). Setelah 

ditutupnya pintu muka dan pintu belakang, lalu duduklah ia 

dekat dukun ini seraya memberi rokok kepadanya. Kemudian 

berkatalah Sutan Hamzah, "Hamba minta datang Kakak Juara

kemari, karena adalah suatu permintaan hamba yang penting 

kepada Kakak. Tetapi sebelumnya hamba keluarkan apa yang 

terasa di hati hamba ini, lebih dahulu hamba minta, supaya 

Kakak Juara jangan membuka rahasia ini kepada siapa pun." 

"Tentu tidak, masakan hamba berani," jawab dukun itu. 

"Hamba takut kepada Tuanku Penghulu." 

"Itulah yang hamba harapkan; terlebih-lebih sebab perkara ini 

memang perkara Tuanku Penghulu sendiri kakak hamba itu," 

kata Sutan Hamzah. 

"Perkara apakah itu?" tanya Juara Lintau. 

"Begini," jawab Sutan Hamzah. "Tiadakah Kakak Juara 

heran Penghulu-Penghulu yang lain? Terutama tak hendak 

menerima segala melihat kelakuan kakak hamba itu? Berbeda 

benar dengan adat jemputan orang atas dirinya dan tak mau ber-

istri lagi rupanya, sedang kemanakan dan saudaranya, daranya, 

kakak hamba ini, tiada pula diindahkannya." 

"Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi buah pikiran 

hamba dan orang lain pun. Sedang Penghulu-Penghulu yang lain, 

empat istrinya, beliau itu; hanya seorang saja. Kurang patut 

rupanya bagi orang besar sebagai Tuanku itu," jawab Juara 

Lintau. 

"Lihatlah, sedangkan Kakak Juara, orang lain lagi, ada 

berpikir demikian, istimewa pula kami yang kemanakannya dan

saudara kandungnya. Hanya sendirilah yang tiada merasa 

kesalahan perbuatannya itu," kata Sutan Hamzah. "Oleh sebab 

itu timbul wasangka di dalam hati kami, kalau saudara hamba itu 

telah kena ilmu orang, sampai bertukar kelakuan dan pikirannya. 

Apabila benar ia kena ilmu, tentulah tak boleh hamba biarkan." 

"Tentu sekali harus ditolong," jawab Juara Lintau. 

"Oleh sebab itu berharaplah hamba, supaya Kakak sudi 

merenungkan hal itu," kata Sutan Hamzah pula. 

"Baiklah," jawab Juara Lintau. "Hamba mohon perasapan 

dan kemenyan serta air bersih secambung dan sirih kuning tujuh 

lembar." 

"Nanti hamba ambilkan," kata putri Rubiah, lalu keluar 

mengambil yang diminta itu. Sejurus kernudian kembalilah ia 

membawa barang-barang ini. 

Setelah Juara Lintau membakar kemenyan, lalu membaca-

baca beberapa mantera. Kemudian diasapinya air secambung tadi 

dengan sirih tiga kali berganti-ganti, lalu dimasukkannya ketujuh 

helai sirih itu ke dalam cambung itu dengan membaca-baca pula. 

Setelah itu dipandangnyalah daun sirih itu sehelai-sehelai dengan 

hati-hati, lalu ia berkata, "Sesungguhnyalah persangka Engku 

Muda tadi. Perubahan kelakuan beliau itu memang karena 

perbuatan orang. Sebab keras ilmu dukun yang mengerjakannya, 

tak dapatlah beliau berbuat sekehendak hati beliau lagi, melain

kan haruslah menurut kemauan orang yang mengerjakan beliau." 

"Apa kataku? Bukankah benar sangkaku?" kata putri Rubiah, 

"Dan siapakah yang berbuat demikian?" 

"Orang yang berbuat itu tak jauh daripada beliau; orang 

dalam rumah itu juga dan dekat amat rupanya kepada beliau," 

jawab Juara Lintau. 

"Perempuan atau laki-laki?" 

"Perempuan," jawab dukuh. 

"Jika demikian, tentulah tak lain daripada istrinya sendiri, 

karena tak ada perempuan lain dalam rumahnya," kata putri 

Rubiah pula. 

"Pikiran hamba pun demikian juga," sahut Sutan Hamzah. 

"Sekarang bagaimana akal, supaya terlepas ia daripada ikatan 

ini?" tanya putri Rubiah. 

"Akal yang lain tak ada, melainkan diobatilah Tuanku dengan 

ilmu dan ramuan," jawab Juara Lintau. 

"Ya, tetapi hendaknya dibencinya pula istrinya itu, supaya ia 

diceraikan. Itulah balasan yang patut bagi perempuan yang 

sedemikian," kata putri Rubiah. 

"Perkara itu serahkanlah kepada hamba; seberapa boleh, 

tentu akan hamba tolong. Hanya suatu permintaan hamba, 

adakah agaknya baju atau kain Tuanku Penghulu di sini yang 

sudah dipakainya?" tanya Juara Lintau.

"Rasa hamba ada. Coba hamba periksa dahulu," jawab putri 

Rubiah, lalu pergi. Tiada berapa lama antaranya, kembalilah ia 

membawa sehelai kain Balanipah, seraya berkata, "Ini dia! Kain 

ini telah beberapa lama ditinggalkannya di sini. Lupa rupanya ia 

mengambil kembali." 

"Bolehkah hamba bawa pulang kain ini? Sebab berguna 

waktu mengerjakannya," tanya Juara Lintau. 

"Boleh, bawalah!" jawab putri Rubiah. 

"Lagi pula hamba perlu mendapat rambut orang kaya istri 

Tuanku Penghulu itu; sehelai pun cukup. Sebab apabila ia tak 

kena kebenci, terus hamba kerjakan dengan si judai, sebab 

rupanya penahan ilmu padanya amat kuat. Bolehkah hamba 

kerjakan dia sampai gila?" tanya Juara Lintau. 

"Itu lebih baik," jawab Sutan Hamzah. "Mati pun tak 

mengapa, karena perempuan semacam itu tak harus dipelihara. 

Setelah ia gila atau mati, saudara hamba tentu mau kawin pula." 

"Perkara rambut itu, nantilah hamba pergi ke rumahnya untuk 

mengambilnya," kata putri Rubiah. Setelah itu putri Rubiah 

mengeluarkan kue-kue dan kopi, untuk dukun ini. Setelah 

makan, diberikan oleh putri Rubiah uang seringgit kepada Juara 

Lintau, karena pertolongan. Kemudian minta dirilah dukun ini, 

lalu pulang ke rumahnya.

V. SAMSULBAHRI BERANGKAT KE JAKARTA 

"Pak Ali, pada sangkaku baik dimulai memasang lampu, karena 

hari hampir gelap," kata Samsu kepada kusirnya, di rumah orang 

tuanya, di Kampung Jawa Dalam di Padang. Tatkala itu Samsu 

telah berpakaian yang baik-baik, sebagai orang hendak pergi ke 

mana-mana. 

"Baiklah, Engku Muda," jawab sais Ali, sambil pergi 

mengambil geretan api. 

"Suruhlah si Amat kemari, supaya dapat membantu Pak Ali," 

kata Samsu pula. 

Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, datanglah pula 

sais Ali bersama-sama Amat, lalu memasang lampu-lampu di 

serambi muka. 

"Sekalian lampu harus dipasang, Pak Ali!" kata Samsu, 

"sampai setengah rumah dan serambi belakang. Dan engkau 

Amat, bawalah pot-pot bunga ini ke bawah dan susunlah meja-

meja dan kursi-kursi ini di sana, sebab di sini tempat menari; tak 

boleh ada apa-apa." 

Kedua bujang ini bekerjalah menurut perintah tuannya yang 

muda itu. Setelah selesai pekerjaan di serambi muka, masuklah 

Samsu ke ruang tengah, lalu menyuruh mengatur meja panjang

dua buah, dengan beberapa kursi makan. Kemudian disuruhnya 

tutup kedua meja itu dengan alas meja lenan putih yang ber-

bunga. 

Sedang mereka asyik bekerja itu, datanglah Nurbaya dari 

rumahnya dengan berpakaian yang indah-indah, membawa dua 

ikat karangan dari bermacam-macam bunga yang baik warnanya, 

lalu bertanya, "Belum selesai, Sam?" 

Tatkala mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke 

belakang dan ketika terpandang olehnya gadis ini, tiadalah 

terkata-kata ia sejurus lamanya. Mukanya yang mula-mula riang, 

tiba-tiba menjadi muram. Jika Nurbaya tiada lekas menegurnya 

pula, barangkali kedatangan Nurbaya ini akan mengeluarkan air 

matanya. 

"Sakitkah engkau, Sam?" tanya Nurbaya pula. 

Barulah Samsu seakan-akan terkejut, ingat akan dirinya 

kembali, lalu menahan perasaan hatinya dan menjawab dengan 

tersenyum, "Manis benar engkau kupandang hari ini, Nur; se-

hingga lupalah aku akan diriku sejurus." 

"Dengan sengaja aku memakai-makai hari ini, sebab esok 

petang tiadalah engkau akan melihat aku lagi," jawab Nurbaya 

sambil tersenyum pula. 

Jawaban ini jangankan dapat melipur hati Samsu bahkan 

rupanya menambah muram durjanya dan sedih hatinya. Dengan

pendek berkata pula ia, "Sesungguhnyalah katamu itu," lalu 

ditundukkannya kepalanya. 

Tatkala dilihat Nurbaya hal Samsu yang sedemikian itu, 

dihampirinyalah sahabatnya ini, lalu dipegangnya bahunya, 

sambil berkata, "Ayuh, Sam! Malam ini kita harus bersuka-

sukaan. Apabila engkau, yang punya rumah, berdukacita, bagai-

manakah kelak jamu yang datang?" kata Nurbaya, sambil mem-

bujuk saudaranya ini. 

"Benar sekali katamu itu, Nun' Tetapi apalah dayaku? Sejak 

kemarin hatiku tak enak saja, walau bagaimana pun juga kulipur. 

Makin dekat aku kepada hari esok, makin bertambah-tambahlah 

duka nestapaku. Sungguhpun demikian, nantilah kukatakan 

kepadamu, bagaimana rasa hatiku sekarang ini," kata Samsu 

pula. 

Ketika itu tiba-tiba masuk Bakhtiar ke tengah rumah, lalu 

membuka topi rumputnya dan membungkuk, sehingga kepalanya 

hampir sampai ke lututnya, seraya berkata, "Tabik Nyonya-

nyonya dan Tuan-tuan sekalian!" 

"Ada berapakah Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan di sini, 

Bakhtiar?" tanya Nurbaya. 

"Ada seratus satu Nyonya-nyonya dan seratus satu pula 

Tuan-tuan," jawab Bakhtiar dengan mengeraskan kata "satu" itu. 

"Ha... ai, siang-siang sudah datang! Amat rajin," kata Samsu.

"Disengaja, Tuan hamba, siang-siang datang kemari, karena 

hendak memeriksa, adalah sekaliannya telah lengkap, untuk 

menyambut kedatangan sekalian jamu Tuan-tuan dan Nyonya-

nyonya, yang dipersilakan datang bermain-main kemari," kata 

Bakhtiar pula dengan menghalus-haluskan bahasanya, sambil 

membungkuk pula. 

"Bohong," teriak Arifin yang telah berdiri di belakang 

Bakhtiar. "Tuan Bakhtiar hendak melihat dahulu, banyakkah 

makanan yang disediakan atau tidak. Kalau tak cukup, ia hendak 

kembali saja, takut takkan kenyang perutnya. Demikian katanya 

di atas bendi tadi." 

"Memang engkau tak dapat memegang rahasia, Arifin. Telah 

kupesan benar-benar, supaya maksudku yang sebenar-benarnya, 

jangan kausampaikan kepada siapa pun juga. Sekarang kepada 

orang yang mula-mula kaulihat saja telah kaubukakan rahasia itu 

dan kelak, tentulah kepada sekalian orang kaukatakan. Malu aku 

rasanya, terlebih-lebih kepada Nyonya Nurbaya, sebagai 

sesungguhnyalah aku datang kemari ini, hanya karena kue-kue 

saja," kata Bakhtiar pura-pura marah dan malu. 

"Tak usah kau menangis, Bakhtiar, karena malu," kata 

Nurbaya. "Rahasiamu itu bukan rahasia lagi bagiku, karena telah 

lama kuketahui. Apabila kau tak percaya, bahwa makanan 

cukup, walaupun untuk sepuluh Bakhtiar sekalipun, marilah

kubawa engkau ke belakang, akan melihat-lihat saja dahulu. 

Tetapi hendaklah engkau berjanji dan bersumpah akan menahan 

nafsumu dan tiada akan menganggu-ganggu makanan itu," kata 

Nurbaya, seraya menghampiri Bakhtiar, akan membawanya 

melihat makan-makanan yang telah tersedia. 

Bakhtiar berpikir sejurus dengan menggaruk-garuk kepala-

nya, seraya berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya terlalu ingin 

aku hendak melihat segala makanan yang akan kurasai kelak, 

tetapi adakah akan dapat kutahan tanganku mengambil makanan 

itu?" 

"Ah, masakan tak dapat kutahan nafsuku," katanya pula 

keras-keras, untuk menjawab perkataan Nurbaya tetapi pada 

mukanya nyata kelihatan, bahwa ia tiada akan dapat menurut 

janjinya. Maka dibukanyalah topinya, diangkatnya tangannya ke 

atas, serta berdiri benar-benar lalu bersumpah, "Di atas nama 

segala kue yang sangat kucintai, terutama kue sepekuk, kue 

koneng, kue tar, bolu, serikaya, sus dan lain-lain, aku bersumpah 

di hadapan tiga saksi, tiada akan mengganggu makanan yang ada 

di belakang, Jika aku tiada menurut janjiku ini, maulah aku, 

perutku dan perut tujuh keturunanku, selama-lamanya diisinya." 

"Baiklah," kata Nurbaya dengan tersenyum. "Sesungguhnya 

sumpahmu itu sangat keras, tetapi tiada mendatangkan 

kecelakaan kepadamu. Salah tak salah, perutmu akan penuh

berisi kue-kue. Tetapi tak mengapa, marilah kubawa!" lalu 

dipegangnya tangan Bakhtiar, hendak dibawanya ke belakang. 

"Jangan percaya!" teriak Arifin, "Telah kelihatan olehku di 

matanya, ia tiada akan menurut sumpahnya. Aku tahu akal lain 

yang lebih sempurna, yaitu kedua belah tangannya harus diikat 

ke belakang." 

"Engkau benar terlalu amat sangat, Arifin!" kata Bakhtiar 

dengan pura-pura merengut. "Masakan aku berani melanggar 

sumpahku yang sekeras itu. Tentu aku takut berdosa kepada 

segala kue-kue lazat cita-rasanya itu." 

"Tidak percaya," kata Arifin pula, lalu datang mengikat 

kedua belah tangan Bakhtiar ke belakang dengan sehelai 

setangan. Setelah selesai, barulah ia dibawa oleh Nurbaya. 

"Pak Ali," kata Nurbaya, tatkala hendak membawa Bakhtiar 

ke belakang, "bunga-bungaan itu masukkan ke dalam jambang 

bunga itu dan taruh di atas meja makan!" 

"Baiklah, Siti," jawab Ali. 

Setelah sampailah Nurbaya dan Bakhtiar ke belakang, diper-

lihatkanlah oleh Nurbaya kepada Bakhtiar segala kue-kue, 

makanan-makanan dan minum-minuman yang lezat-lezat yang 

telah tersedia dan teratur di atas beberapa meja, berbagai-bagai 

warna dan baunya. 

"Sekalian itu aku yang mengatur dan membelinya di toko

Jansen. Cukupkah itu bagimu atau tidak?" tanya Nurbaya. 

Tatkala Bakhtiar melihat segala makanan yang enak-enak itu, 

timbullah keinginan dalam hatinya, yang rasakan tak dapat 

ditahannya lagi, hendak mengecap segala yang lezat-lezat itu. 

Apabila tangannya tiada terikat, paslilah ia lupa akan sumpahnya 

tadi dan tentulah akan diterkamnya kue-kue itu, walaupun 

bagaimana juga keras sumpahnya. Tetapi apa daya? Ia tak dapat 

berbuat apa-apa dengan tangannya karena sungguh teguh ikatan 

Arifin tadi. Maka berjalanlah ia, sebagai hendak melipurkan 

hatinya, dari sebuah meja ke meja yang lain, dengan berkata, 

"Alangkah cantiknya buatan kue ini! Bagaimanakah rasanya? 

Dan ini, sangat sedap baunya," lalu diciumnya kue itu. 

Akan tetapi karena tiada tertahan oleh seleranya, sebelum 

diingatnya kembali sumpahnya tadi, telah masuklah giginya ke 

dalam suatu kue yang besar dan dapatlah digigitnya sekerat, 

sehingga berlubanglah kue itu. Oleh sebab kue itu memakai rum 

gula, hidung dan bibir serta muka Bakhtiar, penuhlah berlumur 

rum gula ini. 

Tatkala Nurbaya melihat hal yang demikian, ditariknya 

Bakhtiar ke belakang dengan berkata "Gilakah engkau, 

Bakhtiar?" Tetapi ia tertawa gelak-gelak, tatkala melihat muka 

Bakhtiar yang penuh berlumuran rum gula, sehingga Samsu dan 

Arifin, yang sedang bersedia-sedia di luar, berlari ke belakang.

Setelah sampai mereka ke sana, diceritakanlah oleh Nurbaya, 

apa sebabnya muka Bakhtiar sebagai topeng itu. Kedua mereka 

itu pun tertawa pula mendekak-dekak, sehingga Arifin 

memegang perutnya, karena tak dapat menahan geli hatinya, 

melihat temannya seperti alan-alan. Hanya Bakhtiarlah yang 

tiada berkata-kata, seakan-akan malu atau menyesal rupanya 

akan perbuatannya yang ceroboh itu. Tetapi kue yang telah ada 

dalam mulutnya, dikunyahnya juga, lalu ditelannya. 

Setelah puaslah mereka mentertawakan Bakhtiar, berkatalah 

Arifin, "Kesalahan ini sangat besar; pertama karena tiada 

menurut sumpah, kedua karena mencuri dengan mulut; 

sedangkan pencuri yang sangat berbahaya sekalipun, hanya baru 

dapat mencuri dengan tangan saja. Oleh sebab kepandaian 

Bakhtiar ini dapat memberi contoh yang tak baik kepada 

penjahat-penjahat lain, haruslah ia dihukum dengan hukuman 

yang berpadanan dengan kesalahannya. Marilah kita bertiga 

menjadi hakimnya! Apa hukuman yang baik diberikan kepada-

nya?" 

"Aku tahu suatu hukuman yang patut," kata Nurbaya. "Ia tak 

boleh mendapat kue-kue lagi kelak, sebab sekarang sudah 

dimakannya bagiannya." 

"Jangan!" jawab Samsu. "Hukuman yang sedemikian terlalu 

berat baginya. Aku khawatir kalau-kalau ia kelak menjadi buas,

apabila melihat temannya sekalian makan enak-enak sedang ia 

sendiri tak boleh." 

"Lagi pula siapakah yang berani menanggung, ia akan 

menjalankan hukumannya itu dengan patuh, kalau tidak diikat 

kaki tangannya," kata Arifin pula. 

"Pada pikiranku lebih baik begini. Tetapi janganlah kau 

ceritakan lebih dahulu, supaya jangan diketahuinya rahasia ini. 

Nanti kaulihat sendiri! Maukah engkau menerima hukumanku?" 

tanya Arifin kepada Bakhtiar. 

"Mau, asal boleh aku ikut makan kue-kue nanti," jawab 

Bakhtiar, pura-pura menangis, tetapi gula yang melekat pada 

bibirnya, dicobanya juga menjilat dengan lidahnya. 

"Baik, sabarlah dahulu!" kata Arifin. 

Tiada berapa lama kemudian daripada itu, kedengaranlah 

beberapa jamu telah datang di serambi muka. Samsu dan 

Nurbaya ke luar menjemput sekalian mereka, yakni murid-murid 

sekolah Belanda, sahabat Samsu dan Nurbaya, laki-laki dan 

perempuan, lalu dipersilakan duduk, bercakap-cakap dan ber-

senda gurau, terlalu ramainya. Meskipun, waktu itu rupanya 

telah ada, lalu mulai bermain melagukan lagu mars. 

Sedang ramai mereka bersuka-sukaan itu, tiba-tiba dibawalah 

Bakhtiar oleh Arifin ke tengah-tengah jamu. Mula-mula 

tercengang sekaliannya, karena mereka tiada tahu, apakah

maksud pertunjukan ini. Akan tetapi setelah diceritakan oleh 

Arifin hal Bakhtiar mencuri kue dengan mulutnya itu, dari 

mulanya sampai ke akhirnya, riuh rendahlah bunyi tertawa, rasa 

tak dapat disabarkan. Sudah itu barulah dilepaskan oleh Arifin 

ikat tangan Bakhtiar. Akan tetapi baru saja bebas tangan 

Bakhtiar dari ikatannya, lalu diambilnya rum gula yang masih 

ada melekat di mukanya, dilemparkannya ke muka Arifin, lalu ia 

lari ke belakang membasuh mukanya. Arifin yang menjadikan 

orang tertawa kembali, pun lari ke belakang, membersihkan 

mukanya pula. 

Sejurus kemudian musik pun bermain pula, melagukan lagu 

wals. Sekalian muda remaja menarilah masing-masing dengan 

pasangannya. Samsu menuntun tangan Nurbaya, lalu menari 

bersama-sama. Demikianlah perbuatan anak-anak muda itu ber-

ganti-ganti berdiri, menari dan duduk berkata-kata, tertawa 

gelak-gelak, bersenda gurau dan bersuka-sukaan. Nurbaya, 

setelah menari dengan Samsu menari pula dengan Arifin dan 

Bakhtiar. Oleh sebab Bakhtiar dan Arifin selalu berbuat olok-

olok, walaupun sedang menari, ramainya tiadalah terkatakan 

lagi. 

Sementara itu segala kue-kue yang lezat rasanya diedarkan-

lah, dibawa kepada sekalian jamu. Demikian pula minum-

minuman kopi, teh, coklat, sirop, dan limonade.

Bakhtiar pura-pura membantu menjadi jongos mengedarkan 

makanan dan minuman tadi, tetapi terlebih dahulu segala kue 

yang dapat disimpannya, dimasukkannya ke kocek baju dan 

celananya, sehingga gembunglah pakaiannya rupanya. Dengan 

tiada diketahui Bakhtiar digantungkanlah oleh Arifm pada 

punggung baju, Bakhtiar, sehelai kertas yang lebar, yang 

ditulisnya di atasnya, "Aku inilah gergasi kue-kue". Maka 

ramailah pula bunyi suara murid-murid itu mentertawakan 

Bakhtiar dengan tiada diketahuinya, apa yang menggelikan hati 

mereka. 

Setelah diketahui Bakhtiar perbuatan musuhnya Arifin itu, 

dicarinyalah akal untuk membalas kelakar ini, lalu pergilah ia ke 

belakang meminta beberapa lada kutu yang amat pedas itu, sebab 

diketahuinya Arifin sangat takut kepada lada. Lada kutu.ini 

dimasukkannya beberapa butir ke dalam sekerat kue lapis, 

ditutupnya baik-baik dan ditaruhnya di atas piring, lalu dibawa-

nya kepada Arifin, sambil berkata dengan hormatnya, akan 

menghilangkan syak wasangka hati sahabatnya ini, "Jika Tuan 

hamba sudi, persilakanlah santap juadah ini!" Sekalian yang 

mendengar basa Bakhtiar ini tersenyum. 

Dengan tiada berpikir lagi, dimakanlah oleh Arifin kue itu. 

Tetapi setelah dua tiga kali dikunyahnya, tiba-tiba berteriaklah ia 

kepedasan. Mulutnya ternganga, sehingga segala kue yang ada di

dalamnya jatuh ke luar. Air ludah dan air matanya meleleh, 

sehingga ia hampir tak dapat berkata-kata meminta air dingin 

untuk menyejukkan mulutnya yang sangat panas rasanya. 

Mula-mula gemparlah sekalian tamu karena tiada tahu apa 

sebabnya Arifin jadi demikian. Akan tetapi setelah diceritakan-

nya, ia termakan lada, kena tipu Bakhtiar, sekaliannya tertawalah 

pula gelak-gelak amat ramainya. 

Setelah hari pukul sembilan, masuklah sekalian anak muda 

itu ke tengah rumah, lalu masing-masing duduk di atas kursi 

makan. Sup dan anggur dijalankan. Seorang daripada sahabat 

Samsu berdiri dengan memegang gelas anggurnya, lalu ber-

pidato. Mula-mula ia memberi selamat kepada Samsu, Arifin, 

dan Bakhtiar di atas nama sekalian yang datang, karena ketiga 

mereka telah tamat pelajarannya dalam sekolah Belanda di 

Padang dan sekarang akan meneruskan pelajarannya di Sekolah 

Dokter Jawa dan Sekolah Opseter di Jakarta. Diharapnya dengan 

sepenuh-penuh pengharapan, mereka di sana akan maju pula 

dalam pelajarannya, supaya dapat menjabat pangkat yang tinggi 

dan beroleh kesenangan kemudian hari. 

Selama mereka bercampur dengan ketiga sahabatnya yang 

akan berangkat itu, belumlah pernah berselisih, melainkan selalu 

beramah-ramahan dan bersahabat sahabat karib. Oleh sebab itu 

ia percaya, tentulah ketiga sahabat ini di Jakarta, akan segera

pula mendapat sahabat dan kenalan baru yang baik, tempat 

berkasih-kasihan dan beramah-ramahan sebagai di Padang. 

Supaya mereka jangan lekas-lekas lupa kepada sahabat 

kenalannya di Padang, diberikannyalah tiga buah potret sekalian 

murid sekolah Pasar Ambacang dengan guru-gurunya, kepada 

ketiga mereka. Akhirnya diucapkannyalah selamat jalan dan 

panjang umur kepada ketiga sahabatnya yang akan berangkat itu 

dan didoakan supaya mereka kembali ke Padang dengan pangkat 

yang diharapkannya itu. Kemudian bersoraklah sekaliannya, 

"Hip, hip, hura!!" tiga kali, disambut oleh musik. 

Samsu membalas ucapan ini. Mula-mula ia minta terima 

kasih kepada sekalian sahabatnya yang hadir, atas kedatangan 

mereka dan tanda mata yang telah diberikan mereka itu. la ber-

janji akan menyimpan potret itu sungguh-sungguh dan akan 

selalu mengingat sekalian sahabat kenalannya yang akan di-

tinggalkannya di Padang, yang banyak menolong dan memberi 

kesukaan hatinya. Diharapnya supaya sekalian sahabatnya itu 

pun akan lekas pula tamat pelajarannya, supaya dapat melanjut-

kan pelajarannya dalam sekolah yang lebih tinggi dan ia berjanji 

akan mengirimkan tanda mata kepada sekalian mereka, apabila 

ia telah sampai ke Jakarta kelak. Akhirnya ia pun mengucapkan 

selamat tinggal, selamat belajar dan umur panjang kepada 

mereka itu, lalu bersorak pula tiga kali.

Sekali itu makanlah sekaliannnya, mula-mula sup, kemudian 

keroket, sudah itu kentang, salada dan kue-kue; akhirnya barulah 

ditutup dengan buah-buahan dan kopi. Tengah makan, tak putus-

putusnya Arifin dan Bakhtiar berolok-olok, sehingga banyak 

yang batuk, karena salah makan. 

Setelah selesai makan, masing-masing berjalan jalan di 

halaman rumah, diterang bulan, karena malam itu bulan terang 

purnama raya. Sesudah itu menari pulalah mereka dan bersuka-

suka hati sampai pukul dua belas malam; barulah pulang masing-

masing ke rumahnya. Yang akan tinggal, memberi selamat jalan 

kepada yang akan pergi, dan yang pergi mengucapkan selamat 

tinggal kepada yang akan tinggal. 

Ketika Nurbaya hendak kembali pula ke rumahnya, 

berkatalah Samsu, 

"Biarlah kuantarkan engkau ke rumahmu, sebab hari telah 

jauh malam. Tak baik perempuan berjalan seorang diri." 

Oleh karena Nurbaya setuju dengan maksud Samsu ini, 

kedua anak muda ini berjalanlah perlahan-lahan menuju rumah 

Nurbaya. Tatkala itu bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-

bintang yang serupa mestika, berkilau-kilauan di langit tinggi, 

sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan berarak 

beriring-iring dari barat lalu ke timur. 

"Alangkah terang bulan ini," kata Samsu tengah berjalan itu,

"menambah rawan dan pilu hatiku, sehingga bertambah-tambah 

berat bagiku meninggalkan Padang ini. Memang sejak dari 

kemarin, tiadalah dapat kulipur hatiku dengan pikiran akan 

melihat negeri yang lebih besar dan menuntut pelajaran yang 

lebih tinggi saja. Makin dekat aku pada waktu akan berangkat, 

makinlah hancur rasa hatiku." 

"Apakah yang engkau susahkan? Sekaliannya telah tersedia; 

engkau tinggal berangkat saja lagi. Sampai ke sana, lalu belajar. 

Apabila telah tamat pelajaranmu kelak, tentulah engkau akan 

berpangkat tinggi dan bergaji besar. Kami sekadar akan inelihat 

dan berbesar hati dari jauh saja. Perceraian dengan ibu-bapa dan 

kami sekalian, tentu saja mula-mula berat bagimu. Akan tetapi, 

pada sangkaku, lekas juga engkau biasa kepada keadaan yang 

baru itu. Dan bila engkau telah biasa, tentulah tiada akan engkau 

rasai lagi keberatan perceraian ini. Ingatlah akan pepatah: Hilang 

bisa karena biasa, hilang geli karena gelitik. Tetapkanlah hatimu! 

Jangan banyak pikiran yang lain-lain." 

"Tentu, tentu," jawab Samsu, "tetapi ada suatu pikiran yang 

menggoda hatiku, yang selalu melintas dalam ingatan dan tak 

dapat kulupakan siang malam." 

"Pikiran apakah itu? Adakah orang atau sesuatu benda yang 

mengikat hatimu, sehingga tak dapat engkau tinggalkan?" tanya 

Nurbaya, sambil memandang muka Samsu.

"Bukan demikian, Nur. Dahulu tatkala kita berjalan jalan ke 

gunung Padang, telah kuceritakan kepadamu mimpiku. Sejak 

waktu itu sampai sekarang ini, pikiran yang menggoda itu 

tiadalah hendak meninggalkan aku. Beberapa malam aku tak 

dapat tidur nyenyak, karena mengenang-ngenangkan mimpi itu. 

Sebagai kelihatan olehku bahaya mengintai dan mengikut kita, 

barang ke mana kita pergi, menanti saat yang baik akat 

menerkam engkau dan aku, bila kita telah bercerai kelak. Itulah 

yang memberatkan hatiku; itulah yang menjadikan aku was-was. 

Apabila aku tiada ingat akan janjiku kepada ayahku untuk pergi, 

tentulah lebih suka aku tinggal menjaga engkau." 

Dengan bercakap-cakap sedemikian sampailah keduanya ke 

dalam pekarangan Nurbaya, lalu duduklah mereka berdekat-

dekatan di atas sebualt bangku, di bawah pohon tanjung yang 

rindang, dalam kebun anak gadis ini. 

"Sebagai telah kukatakan," kata Nurbaya pula, "janganlah 

engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena tiada selamanya 

mimpi ada artinya. Bahaya apakah yang akan menimpa diri kita? 

Sebab kita tiada berbuat dosa atau kesalahan kepada siapa pun. 

Apabila sesungguhnya untung kita ini malang, apa hendak 

dikata? Karena sekaliannya itu telah takdir daripada TuhanYang 

Mahakuasa. Biar bagaimana sekalipun kita tiada suka, jika telah 

nasib sedemikian itu, tak dapat diubah lagi. Siapakah yang dapat

mengubah suratan pada lahulmahfut? 

Oleh sebab itu berhati-hatilah menjaga diri, dan marilah kita 

pohonkan bersama-sama kepada Rabbul-alamin, supaya mudah-

mudahan dipeliharakannya juga kita di dalam segala hal. Jika 

kaugoda hatimu dengan pikiran yang semacam tadi, tentulah 

pelajaranmu tiada akan maju kelak. Alangkah sayangnya! 

Apabila engkau telah menjadi dokter, berapakah besar hati 

ibu-bapamu dan hatiku, melihat anak dan saudaranya telah 

berpangkat tinggi. Jika Susah bagimu kelak meninggalkan 

Padang ini, kaumintalah tetap bekerja di sini supaya dapat ber-

campur gaul selama-lamanya dengan sekalian orang yang kau 

cintai." 

"Engkau tiada tahu rasa hatiku sekarang ini; itulah sebabnya 

agaknya kaupermudah saja hal ini. Pikiran yang ada dalam 

hatiku rupanya tak ada dalam hatimu, sehingga tak dapat kau 

pikirkan halku." 

"Pikiran apa pula itu?" tanya Nurbaya, sambil melihat muka 

Samsu. 

"Nurbaya, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang 

ini, akan pergi ke rantau orang, entah berbalik entah tidak, sebab 

itu pada sangkaku inilah waktunya akan membukakan rahasia 

hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur, bahwa aku ini sangat cinta 

kepadamu. Percintaan itu telah lama kusembunyikan dalam

hatiku; sekarang baru kubukakan, karena pada sangkaku, rahasia 

itu harus kauketahui, sebelum kita bercerai. Siapa tahu, 

barangkali tak dapat aku kembali lagi; tak dapat kita bertemu 

pula. Jika tiada kubukakan rahasiaku ini kepadamu, pastilah ia 

menjadi sebagai duri di dalam daging padaku; terasa-rasa 

sebilang waktu. 

Mula-mula percintaan itu memang percintaan persaudaraan. 

Akan tetapi lama-kelamaan, dengan tiada kuketahui, bertukarlah 

ia menjadi cinta yang sebenar-benarnya cinta. Barangkali tak 

baik aku berbuat demikian, pada pikiranmu, tetapi apa hendak 

kukata? Dari kecil kita bercampur gaul, bukan sehari dua hari, 

makan sepiring, tidur setilam, lebih daripada saudara kandung 

sendiri. Bagaimanakah tiada akan tersangkut hatiku padamu? 

Sejenak pun belum pernah kita bercerai; tiba-tiba sekarang aku 

harus pergi meninggalkan engkau dengan tiada kuketahui, 

bilakah dapat pulang kembali. Bagaimanakah tiada rusak binasa 

hatiku? Bagaimanakah aku dapat meninggalkan engkau? 

Dengarlah olehmu pantun ini: 

Bulan terang bulan purnama, 

nagasari disangka daun. 

Jangan dikata bercerai lama, 

bercerai sehari rasa setahun.

Oleh sebab untung manusia tak dapat ditentukan, itulah 

sebabnya sangat ingin hatiku hendak mengetahui, bagaimanakah 

hatimu kepadaku? Atau hanya aku sendirilah yang rindu 

seorang?" kata Samsu, sambil memegang tangan Nurbaya. 

Mendengar perkataan dan pantun Samsu ini, terdiamlah 

Nurbaya, sambil menundukkan kepalanya, tidak berkata-kata 

sejurus lamanya, sebagai malu rasanya ia akan membukakan 

rahasia hatinya. Samsu menghampiri Nurbaya lalu bertanya 

perlahan-lahan dengan mendekatkan kepalanya kepada kepala 

Nurbaya, "Sudikah engkau kelak menjadi istriku, apabila aku 

telah berpangkat dokter?" 

"Masakan tak sudi," sahut Nurbaya perlahan-lahan, sebagai 

takut mengeluarkan perkataan ini. 

Maka diciumlah oleh Samsu perlahan-lahan punggung 

tangan perawan ini. 

Nurbaya tiada membantah, melainkan dibiarkan perbuatan 

Samsu itu. 

"Memang telah kusangka," kata Samsu dengan lemah-lembut 

suaranya, "engkau tak benci kepadaku dan engkau cinta pula 

kepadaku. 

Dengarlah olehmu pantun ini!

Seragi kain dengan benang, 

biar terlipat jangan tergulung. 

Serasi adik dengan abang, 

sejak di rahim bunda kandung." 

"Sesungguhnya demikian rupanya," jawab Nurbaya, sambil 

membalas pantun Samsu: 

"Dari Medang ke pulau Banda, 

 belajarlalu ke Bintuhan. 

Tiga bulan di kandung Bunda 

jodoh 'lah ada pada Tuan." 

Lalu dijawab oleh Samsu: 

"Anak Cina duduk menyurat, 

menyurat di atas meja batu. 

Dari dunia sampai akhirat, 

tubuh yang dua jadi satu. 

Sekarang maklumlah engkau, bagaimana takkan khawatir 

hatiku meninggalkan engkau. Kalau sesungguhnya engkau men-

dapat sesuatu bahaya di sini, betapakah rasa hatiku? Hancur 

luluh, tak dapat dikatakan. Jika dekat aku padamu, tak kupikir-

kan. Hidup mati tidak kuindahkan, asal bersama dengan engkau

sebagai kata pantun: 

Berlubur negeri berdesa, 

ditaruh pinang dalam puan. 

Biar hancur biar binasa, 

asal bersama dengan Tuan." 

Memang demikian," kata Nurbaya. "Dengarlah pula pantun 

ini: 

Pulau Pinang kersik berderai, 

tempat burung bersangkar dua. 

Jangan bimbang kasih'kan cerai, 

jika untung bertemu jua. 

Jika ada sumur di ladang, 

tentulah boleh menumpang mandi. 

Jika ada umur yang panjang, 

tentulah dapat bertemu lagi. 

Ke rimba ke padang jangan, 

bunga cempaka kembang biru. 

Tercinta terbimbang jangan, 

adat muda menanggung rindu.

Ke rimba orang Kinanti, 

bersuluh api batang pisang. 

Jika tercinta tahankan hati, 

 kirimkan rindu di burung terbang" 

"Benar sekali katamu itu, adikku Nurbaya! Berpantunlah 

engkau, berpantunlah! Semalam ini kita dapat bersendau gurau, 

besok kakanda tak ada lagi," kata Samsu pula, sambil mencium 

punggung tangan kekasihnya yang halus itu, beberapa kali. 

"Mempelam tumbuh di pulau 

patah sedahan dijatuhkan. 

Semalam ini kita bergurau, 

esok Adik kutinggalkan "

Maka menyahutlah Nurbaya; 

"Berlayarlah ke pulau bekal, 

nakhoda makan bertudung saji. 

Sambutlah salam adik yang tinggal, 

selamat Kakanda pulang pergi.

Ribu-ribu di pinggir jalan, 

tanam di ladang kunyit temu. 

Jika rindu pandanglah bulan, 

di situ cinta dapat bertemu."

Setelah keduanya berdiam diri sejurus, berpantun pulalah 

Samsu: 

"Kapal kembali dari Jawaa 

masuk kuala Inderagiri. 

Tinggallah Adik tinggallah nyawa, 

besok kakanda akan pergi." 

Disahuti oleh Nurbaya: 

"Berbunyi gendang di Pauh, 

orang menari di halaman. 

Sungguh Kakanda berjalan jauh, 

hilang di mata di hati jangan." 

"Suatu lagi," kata Nurbaya: 

"Meletus gunung dekat Bantan, 

terbenam pulau dekat Jawa. 

Cinta jangan diubahkan, 

jika putus, sambungkan nyawa." 

Dibalas pula oleh Samsu: 

"Jika hari, hari Jumat, 

haji memakai baju jubah. 

Walaupnn had akan kiamat, 

cinta di hati jangan berubah."

"Suatu lagi," kata Samsu: 

"Jika Perak kerani Keling, 

berlayar tentang Tapak Tuan. 

Putih gagak hitamlah gading, 

 tidak putus cintakan 'Iuan." 

"Neng," berbunyi lonceng di rumah jaga, tanda hari sudah 

pukul satu malam. Ketika itu barulah asyik dan masyuk ini 

sadarkan dirinya: 

"Sam!" kata Nurbaya. "Hari telah pukul satu, kalau-kalau 

kelak aku ditanya oleh orang tuaku. Biarlah kita bercerai dahulu 

sekarang ini, esok kita bertemu pula. Tambahan lagi engkau 

akan berangkat tentulah banyak yang akan kausediakan, untuk 

dibawa, supaya jangan ketinggalan apa-apa. Pergilah tidur lekas-

lekas, supaya jangan terlalu lelah engkau; barangkali esok hari 

harus bangun pagi-pagi." 

"Nur! Bagiku, asal bersama-sama dengan engkau, tiadalah 

aku akan mengantuk dan lelah. Biarpun sampai pagi kita begini 

saja, maulah aku; itulah kehendak hatiku. Tak dapatlah ku-

katakan bagaimana perasaan dalam kalbuku waktu ini; tak dapat 

kuceritakan betapa senang hatiku malam ini, melainkan 

Tuhanlah yang lebih mengetahuinya. Telah lama kucita-citakan 

pertemuan yang sedemikian ini; baru sekarang kuperoleh,

sebagai kata pantun komidi: 

Tinggi-tinggi si matahari, 

akan kerbau terlambat. 

Sekian lama aku mencari, 

baru sekarang aku mendapat. 

Sungguhpun kebesaran dan kesenangan hatiku ini takkan 

seberapa lama, tetapi tak mengapa, karena sekarang kuketahuilah 

sudah, bahwa engkau pun cinta kepadaku. Kini tiadalah syak dan 

wasangka lagi aku akan meninggalkan kota Padang ini, untuk 

menjelang negeri orang, Nurbaya!" kata Samsu pula, sambil 

memeluk Nurbaya. "Malam inilah malam yang sangat penting 

bagiku dan bagi kehidupanku di kemudian hari, karena pada 

malam inilah aku mendapat cinta hatiku dan jodohku yang 

kurindukan siang dan malam. Selagi ada hayatku dikandung 

badan, tiadalah akan lupa aku kepada malam ini, yaitu malam 

yang memberi harapan yang baik bagiku, kepada waktu yang 

akan datang. Itu saksiku, Nur," kata Samsu, seraya menunjuk 

bulan dan bintang yang di atas langit, "tiadalah aku akan men-

cintai perempuan lain, melainkan engkau seorang. Tiada lain 

perempuan yang akan menjadi istriku hanya engkaulah. 

Engkaulah harapanku, engkaulah mestika yang mendatangkan 

kesenangan dan kesentosaan atas diriku. Bila tiada engkau,

haramlah bagiku perempuan lain," lalu diciumnya pula Nurbaya. 

"Aku pun demikian pula, Sam" jawab Nurbaya. "Tuhan 

saksiku, tak ada laki-laki di alam ini yang kucintai lain daripada 

engkau. Engkaulah suamiku dunia akhirat." 

"Sekarang baiklah engkau masuk ke dalam rumahmu, supaya 

jangan diketahui orang rahasia ini," kata Samsu, seraya berjalan 

berpimpin-pimpinan mengantarkan Nurbaya sampai ke tangga 

rumahnya. Tatkala pintu rumah telah dibukakan, yakni setelah 

kedua asyik masyuk itu berjabat salam yang amat akrab, 

masuklah Nurbaya, dan Samsu pun pulanglah kembali ke 

rumahnya. 

*** 

Tiada jauh dari kota Padang, arah ke sebelah selatan, adalah 

sebuah pelabuhan yang dinamakan anak negeri Teluk Bayur. 

Pelabuhan ini masyhur namanya ke negeri yang lain-lain; 

pertama karena selalu disinggahi kapal-kapal besar, yang pulang-

pergi ke benua Eropah, sebab letaknya di jalan antara Tanah 

Jawa, Hindustan, Arab dan benua Eropah. Kedua karena di 

pelabuhan itu dapat mengambil batubara, yang asalnya dari 

Ombilin. Tambahan pula pelabuhan ini memang sangat baik 

bangunnya. Memanjang dari barat ke timur, kemudian memutar 

ke utara, tersembunyilah di balik suatu tanjung dan sebuah pulau

pasir, sehingga terlindung dari gelombang besar-besar, yang 

terlebih-lebih pada musim barat sangat hebatnya. Oleh sebab itu 

lautan dalam teluk ini sangat tenang, tiada mendatangkan susah 

kepada kapal-kapal yang berlabuh di sana. Dan oleh sebab pantai 

di sana curam, karena bergunung-gunung, yang memagari 

pelabuhan ini. di pihak utara, timur dan selatan air lautan di sana 

dalam, sehingga dapat masuk kapal yang besar-besar, yang 

mudah dapat ke tepi, pada beberapa pangkalan yang menganjur 

ke laut. 

Pada sebelah utara dan barat pelabuhan ini, kelihatan di 

belakang pangkalan-pangkalan tadi beberapa gudang tempat 

menyimpan barang-barang yang datang atau yang akan dikirim 

ke mana-mana. Dekat gudang-gudang ini adalah setasiun kereta 

api, yang memperhubungkan pelabuhan Teluk Bayur dengan 

kota Padang. Jalan raya pun ada pula antara kedua tempat itu, 

untuk kendaraan yang lain-lain. Tiada jauh dari setasiun tadi, 

kelihatan gudang batu bara yang amat besar, diperbuat pada 

suatu tempat yang tinggi. Dari gudang ini adalah sebuah 

jembatan kereta api yang tinggi, tempat daripada besi, menganjur 

ke laut. Kapal yang hendak dimuati batu bara, berlabuh di bawah 

jembatan itu; dengan demikian mudahlah dapat dicurahkan batu 

bara yang ada dalam gerobak kereta api itu, langsung ke kapal. 

Kelengkapan inilah yang menambahkan indah dan masyhur

nama pelabuhan ini ke negeri lain-lain, sebagai pelabuhan 

tempat mengambil batu bara. 

Pada keesokan harinya daripada malam Samsu bersuka-

sukaan di rumahnya, karena hendak berpisah dari sahabat 

kenalannya, kelihatan beberapa kapal berlabuh di pelabuhan tadi. 

Ada yang hendak berlayar ke selatan, ada yang hendak ke utara 

dan ada pula yang hendak terus ke Bombai, Kalkuta, Mesir dan 

benua Eropa. Kemudian kelihatan pula kapal Cina dan Jepun, 

yang hendak kembali ke negerinya, melalui pulau Pinang dan 

Singapura. Kapal Inggris dan Jerman pun ada, nyata kelihatan 

pada benderanya, yang berkibar di atas tiang. Sebuah daripada 

kapal-kapal itu, ialah kapal yang hendak ditumpangi Samsu dan 

sahabat-sahabatnya, berlayar ke Jakarta. 

Oleh sebab kapal ini hendak bertolak pukul dua belas siang 

dan daripada waktu itu telah pukul sepuluh, sangatlah ramai 

dekat kapal ini; riuh rendah pendengaran, tiada keruan. Ada yang 

memuat batu bara, ada yang mengeluarkan barang-barang, ada 

yang membongkar muatan dan ada pula yang naik-turun berlari-

lari, sebagai ada sesuatu yang ketinggalan. 

Di atas kapal, kelasi-kelasi sedang asyik mengerjakan 

pekerjaan masing-masing dan mualim-mualim sedang ribut 

memerintah ini dan itu. Beberapa penumpang geladak mencari 

tempat yang baik dan mengatur bawa-bawaannya. Penumpang

kelas dua dan kelas satu, ada yang duduk bercakap-cakap di 

meja makan, ada pula yang berdiri di beranda kapal, melihat 

sekalian ingar bingar itu. Orang yang berdagang buah-buahan 

dan makan-makanan pun tak kurang, berjalan kian kemari, 

sambil menawarkan dan menghargakan jualannya. 

Pangkalan penuh dengan beratus-ratus laki-laki perempuan, 

baik bangsa anak negeri, baik bangsa asing yang akan turut 

berlayar atau mengantarkan sanak saudara, sahabat kenalannya. 

Ada yang duduk berkata-kata, ada yang berdiri berpayung, 

karena kepanasan dan ada pula yang berjalan bolak-balik, 

sebagai jemu menunggu. 

Di sisi gudang bercakap-cakap seorang perempuan tua 

dengan anaknya yang rupanya hendak berlayar, sambil memberi 

nasihat, supaya anaknya berhati-hati di jalan dan di negeri orang. 

Di atas batu duduk seorang laki-laki tua bertutur-tutur dengan 

saudaranya, yang rupanya pun hendak meninggalkan tanah 

airnya, berlayar mencari penghidupan di rantau orang. Yang 

sekedar datang melihat saja pun tiada kurang pula, tertawa gelak-

gelak serta bertanya kepada temannya; bilakah ia akan berlayar 

pula. 

Di dalam orang yang banyak itu tiadalah kelihatan oleh kita 

sahabat kita Samsulbahri, karena ia waktu itu ada di dalam bilik 

kelas dua, sedang berkumpul-kumpul dengan ibu-bapak, sanak

saudara dan sahabat kenalannya. 

"Tak kelupaan apa-apa engkau Sam?" tanya Sutan Mahmud. 

"Tidak, Ayah," sahut Samsu. 

"Petimu di mana?" tanya Sutan Mahmud pula. 

"Ada di sini sekaliannya." 

"Dan uang belanjamu, sudahkah disimpan dalam peti?" 

"Ada pada hamba." 

"Ingat-ingat engkau di negeri orang, Samsu!" kata ibunya. 

"Tahu-tahu membawakan diri: mandi di hilir-hilir, berkata di 

bawah-bawah. Janganlah disamakan saja dengan di sini; 

janganlah disangka masih anak orang berpangkat juga di sana, 

sebab engkau akan berdiri sendiri lagi, jauh daripada kami, 

sekalian. Bila ada apa-apa, lekaslah tulis surat kepada Ayahmu!" 

lalu Sitti Maryam menyapu air matanya, yang berlinang-linang 

di pipinya. 

"Belajar sungguh-sungguh, jangan suka beriang-riang tiada 

pada tempat dan waktunya; jangan bercampur dengan orang 

yang kurang baik, dan jangan pula berbelanja yang tiada keruan, 

supaya cukup uang yang akan dikirimkan kepadamu tiap-tiap 

bulan," kata ayahnya pula. 

Tatkala itu Nurbaya ada berdiri dekat Samsu, bersandar di 

pinggir tempat tidur. Walaupun rupanya ia tiada mengindahkan 

segala percakapan itu, tetapi pikirannya kepada Samsu saja dan

dipandangnya kekasihnya ini dengan tiada putus-putusnya. Pada 

waktu itulah sangat terasa olehnya keberatan perceraian ini. 

Sebelum ia berdiri di pinggir laut, yang akan memisahkannya 

daripada kekasih dan saudaranya ini, pada sangkanya—tentulah 

mudah dapat dilipurnya kesedihan perceraian itu. Akan tetapi 

tatkala dilihatnya kapal yang akan membawa jantung hatinya, 

jauh daripadanya, barulah dirasainya, bahwa perceraian itu tentu 

akan melukai hatinya dengan luka yang parah. Berdebar 

jantungnya, jika diingatnya sejurus lagi cahaya matanya ini akan 

luput dari pemandangannya, bukan untuk sehari dua hari ataupun 

sepekan dua pekan. Entah beberapa tahun lagi, baru dapat pula ia 

melihat wajah Samsu tiadalah dapat ditentukan. Dan apabila 

teringat olehnya mimpi Samsu yang dahsyat itu, bertambah-

tambahlah bimbang dan susah hatinya. Itulah sebabnya selalu 

dipandangnya Samsu dan dipuas-puaskannya hatinya melihat 

teman sekolah yang dicintainya ini. 

Tatkala itu masuklah beberapa orang membawa hadiah buah-

buahan sebagai mangga, jeruk dan nenas, lalu berkata, "Inilah 

yang dapat kami berikan kepada Engku Muda, obat mabuk di 

jalan. Kami pohonkan kepada Allah supaya mudah-mudahan 

Engku Muda selamat pulang pergi." 

"Terima kasih," jawab Samsu, sambil menerima pemberian 

itu. "Hamba pun berharap, Adik dan Kakak yang tinggal,

sekaliannya dipeliharakan Tuhan selama-lamanya." 

Setelah berjabat salam, keluarlah mereka sekalian, sehingga 

akhirnya tinggallah Samsu berdua dengan Nurbaya. Maka di-

pandanglah oleh Samsu muka kekasihnya ini, serta dipegangnya 

kedua belah tangannya, sedang air matanya bercucuran keluar, 

dengan tiada dirasainya. Lama ia berdiri sedemikian itu dengan 

tiada dapat berkata-kata, karena dadanya bagaikan penuh dan 

mulutnya bagai terkunci. Akhirnya keluarlah juga suaranya 

walaupun terhenti-henti. 

"Nurbaya!" katanya. "Ingat-ingat menjaga diri! ... Jika ada 

apa-apa, lekas tulis surat kepadaku ... Meskipun tak dapat aku 

tolong engkau dengan tenaga ataupun dengan uang, barangkali 

dapat juga dengan nasihat. Mungkin dapat pula kuberi ingat 

engkau dan kuberi pelajaran dari jauh. Orang tuaku, janganlah 

kauperbedakan dengan orang tuamu dan datanglah kerap-kerap 

ke sana, melihat-lihati mereka, walaupun aku tak ada lagi. 

Barang apa kesusahanmu, katakanlah pula kepadanya, karena 

mereka itu pun sayang kepadamu, sebagai kepadaku. 

Bila ada sesuatu hal dalam rumah orang tuaku, kabarkanlah 

dengan segera kepadaku, lebih-lebih tentang hal-ihwal ibuku, 

karena rupanya ia sangat berdukacita atas perceraian ini. 

Kemudian kupinta kepadamu, janganlah engkau lupa akan janji 

dan sumpah kita tadi malam, karena sejak waktu itu batinnya

telah kawinlah kita; engkau telah suka menjadi istriku, aku pun 

telah suka pula menjadi suamimu. Hanya menurut syarat dunia-

lah, belum lagi kita berhubung. Tulislah surat kepadaku tiap-tiap 

kapal bertolak dari sini dan ceritakanlah hal-hal di sini kepadaku, 

supaya aku jangan sangat canggung. 

Apabila aku telah sampai kelak ke Jakarta, kukirimkanlah 

kepadamu apa-apa yang dapat kubelikan untuk engkau. Sekarang 

inilah saja yang dapat kuberikan kepadamu sebagai tanda mata. 

Terimalah olehmu dokoh ini! Di dalamnya ada gambarku. Bila 

engkau tercinta akan daku, lihatlah gambar itu; itulah ganti 

diriku." 

Nurbaya menerima tanda mata Samsu itu lalu diciumnya, 

sedang air matanya jatuh bercucuran. "Aku banyak minta terima 

kasih kepadamu, Sam," jawab Nurbaya, "dan aku berjanji akan 

memakai dokoh ini seumur hidupku. Akan jadi tanda mata 

daripadaku, tiadalah lain yang dapat kuberikan kepadamu, hanya 

cincin inilah. Moga-moga sudi engkau memakainya!" lalu 

Nurbaya menanggalkan cincin mutiara yang dipakainya pada jari 

manisnya dan memberikan cincin itu kepada Samsu, seraya ber-

kata, "Engkau pun, jika teringat kepadaku, misalkanlah cincin ini 

diriku dan simpanlah ia baik-baik, karena bagiku itulah tali yang 

mengikat kita dari dunia sampai ke akhirat. Dengan segera akan 

kusuruh perbuat potretku supaya dapat kukirimkan kelak

kepadamu. 

Aku pun mengucapkan selamat jalan.kepadamu. Moga-moga 

dipeliharakan Tuhan engkau dalam perjalananmu ke negeri 

orang, pulang balik, dan sampailah juga maksud yang kautujui, 

supaya, apabila engkau telah ada pula di sini, bukannya Samsu 

saja lagi namamu, melainkan dapatlah kupanggil engkau dokter 

Samsu. 

Ingat-ingatlah menjaga diri di negeri orang, karena sekarang 

engkau akan berdiri sendiri, jauh daripada ibu-bapak dan handai 

tolanmu, sehingga barang sesuatu, engkau sendirilah yang akan 

memutuskannya. Dan janganlah sampai tergoda oleh segala yang 

tak baik, karena Jakarta negeri besar, banyak godaan yang tak 

patut di sana." 

Tatkala itu berbunyilah seruling kapal yang pertama, meng-

ingatkan kepada orang-orang kapal ataupun penumpang, supaya 

bersiap, karena kapal akan berangkat. Maka keluarlah Samsu 

dengan Nurbaya dari dalam kamar kapal, lalu turun ke 

pangkalan. Di sana bersalamlah ia dengan sekalian orang yang 

mengantarkan, serta meminta maaf dan ampun atas segala dosa 

dan kesalahannya, lahir dan batin, yang boleh memberati dunia 

dan akhirat. 

Sekalian mereka menangis mencucurkan air mata, karena 

hampir sekaliannya sayang, kepada Samsu, sebab adat dan

kelakuannya yang baik. Samsu pun tak dapat pula menahan air 

matanya, walaupun digagahinya dirinya. Ayahnya diciumnya 

tangannya, dan ibunya dipeluk dan diciumnya pipinya. 

Akhirnya pergilah ia kepada Nurbaya, lalu dipegangnya 

tangan gadis ini beberapa lamanya, sebagai tak hendak dilepas-

kannya. Dadanya rasakan sesak menahan kesedihan yang timbul 

dalam hatinya karena perceraian ini, sehingga tiadalah dapat ia 

berkata-kata lain daripada, "Selamat tinggal, Nur!... Mudah-

mudahan lekas bertemu kembali," lalu berjalanlah ia cepat-cepat 

naik ke kapal. 

Nurbaya pun tiada pula dapat menjawab apa-apa melainkan, 

"Selamat jalan, Sam! ... selamat sampai ke Jakarta!" 

Setelah naiklah Samsu ke atas kapal, lalu berdirilah ia ber-

topang dagu pada pagar besi yang ada di sisi geladak kapal, 

karena pada waktu itu seruling yang kedua telah berbunyi pula. 

Dan tiadalah lama kemudian daripada itu berbunyilah seruling 

yang ketiga, lalu dilepaskanlah tali-temali dan diangkatlah 

jangkar. 

Tatkala baling-baling kapal telah berputar, bergeraklah kapal 

itu; mula-mula perlahan-lahan, tetapi kemudian bertambah-

tambah cepat, sehingga kapal itu makin lama makin jauhlah dari 

pangkalan. Setangan berkibaran di sisi kapal, tanda yang pergi 

memberi selamat kepada yang tinggal. Dari pangkalan dibalas

oleh yang tinggal dengan mengibarkan setangan pula memberi 

selamat jalan kepada yang pergi. Di antara orang-orang ini ada 

yang masih berteriak, "Jangan lupa!" ada pula yang berkata, 

"Lekas balik!" Dari kapal pun dibalas dengan jawaban, 

"Baiklah!" 

Samsu tiada lepas-lepas memandang Nurbaya sambil 

mengibarkan setangan sutera birunya dan dari daratan tiada pula 

putus-putusnya dibalas alamat itu oleh Nurbaya, dengan 

setangan merah jambunya. 

 Makin lama kapal makin jauh dari cerocok dan jalannya pun 

bertambah cepat. Akhimya tiadalah dapat dibedakan lagi oleh 

Samsu orang-orang yang berdiri di pangkalan, lalu masuklah ia 

ke biliknya, tidur berselimut, karena tiada dapat lagi dipandang-

nya tanah airnya yang akan ditinggalkannya. Dadanya ditekan-

nya ke bantal, sebagai hendak menahan sakit yang menyesak ke 

hulu jantungnya, dan kepalanya pusing, seperti orang mabuk 

cendawan. 

Tatkala Nurbaya tiada dapat lagi membedakan kekasihnya, 

daripada orang lain, di atas kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan 

ke ujung suatu tanjung, akan mengikuti kapal itu dengan mata-

nya. Makin lama makin sunyilah rasanya padanya alam ini. 

Sekalian tempik sorak orang yang bekerja di pelabuhan dan 

segala bunyi perkakas pembongkar, penaikan dan pembawa

barang-barang, yang masih riuh rendah, pada pendengaran 

Nurbaya makin lama makin jauh. Orang yang berpuluh-puluh 

banyaknya, berjalan pulang kembali ke muka hanggar, menjadi 

kecil-kecil pada pemandangannya. Akhirnya terduduklah ia di 

atas batu, lalti bertopang dagu memandang kapal yang membawa 

kekasihnya, yang keluar dari kuala. 

Tatkala berbunyi meriam yang dipasang di kapal, akan 

memberi selamat tinggal kepada pelabuhan Teluk Bayur, 

baharulah nyata oleh Nurbaya, bahwa kapal itu telah membelok 

menuju ke barat. Di sanalah teringat olehnya, bagaimanakah 

halnya kelak, seorang diri di rumahnya. Dengan siapakah ia akan 

bercakap-cakap dan bermain-main lagi, waktu dan pulang 

sekolah? Bila ada sesuatu halnya, kepada siapakah hendak 

dikatakannya? Siapakah tempat ia membukakan rahasia hatinya, 

siapakah tempat ia bertanya dan bermupakat dalam halnya yang 

sulit-sulit, siapakah yang akan menolongnya lagi, bila ia di 

sekolah beroleh hitungan yang sukar? 

Demikian ingatan yang timbul dalam hati Nurbaya, tatkala ia 

duduk termenung seorang diri di atas batu, walaupun matanya 

selalu memandang ke kapal yang hampir lenyap itu. 

Tiada berapa lama kemudian daripada itu, hilanglah kapal ini 

daripada pemandangan Nurbaya, hilang di balik Bukit Sikabau. 

Hanya asapnyalah yang masih tinggal tergantung di udara, di

atas air laut. Tatkala itu hilanglah pula segala penglihatan dan 

pendengaran.Nurbaya, sebagai lulus tempatnya berpijak dan ter-

gantung badannya di awang-awangan. Apabila tak ada ayahnya 

dekat padanya, yang memegang bahunya perlahan-lahan dari 

belakang, pastilah ia jatuh rebah ke tanah, karena tak ingatkan 

dirinya lagi. Untunglah Baginda Sulaiman lekas datang 

menolong anaknya, lalu diangkatnya, dipimpinnya berjalan 

perlahan-lahan pulang kembali.

VI. DATUK MERINGGIH 

Di kampung Ranah, di kota Padang adalah sebuah rumah kayu, 

beratapan seng. Letaknya jauh dari jalan besar, dalam kebun 

yang luas, tersembunyi di bawah pohon-pohon kayu yang 

rindang. Jika ditilik pada alat perkakas rumah ini dan susunan-

nya, nyatalah rumah ini suatu rumah yang tiada dipelihara benar-

benar, karena sekalian yang ada dalamnya telah tua kotor dan 

tempatnya tiada teratur dengan baik. 

Di serambi muka hanya ada sebuah lampu gantung macam 

lama, yang telah berkarat besi-besinya. Apabila tak ada orang 

datang, lampu itu tiada dipasang. Dan oleh sebab yang empunya 

rumah rupanya jarang menerima jamu pada malam hari di sana, 

minyak tanah yang ada dalam lampu itu, terkadang-kadang 

berpekan-pekan belum habis. 

Di bawah lampu ini, ada meja bundar, yang rupanya telah 

sangat tua, dikelilingi oleh empat kursi goyang dari kayu, yang 

warnanya hampir tak kelihatan lagi, karena catnya telah hilang. 

Di ruang tengah, hanya ada sebuah lemari makan, yang umurnya 

kira-kira setengah abad. 

Sebuah meja marmar kecil, yang batunya telah kuning serta 

berlubang-lubang, terletak dekat dinding, diapit oleh dua buah

kursi kayu yang tempat duduknya dari kulit kambing, sedang di 

lantai terhampar tikar rotan yang telah tua. Ruang tengah ini 

pada malam hari diterangi oleh sebuah lampu dinding, yang 

dipasang dari setengah tujuh sampai pukul sepuluh malam. Di 

serambi belakang, hanya ada suatu perhiasan saja, yaitu kursi 

malas kain, yang tak kelihatan lagi coraknya. 

Itulah rumah Datuk Meringgih, saudagar yang termasyhur 

kaya di Padang. Ia bergelar Datuk bukanlah karena ia Penghulu 

adat, melainkan panggilan saja baginya. Walaupun rumahnya ini 

katanya sekadar tempat bendi, kereta dan kuda dengan kusirnya, 

tetapi memang itulah rumahnya yang sesungguh-sungguhnya; 

karena di sanalah ia tetap tinggal, sedang sebuah daripada 

tokonya, yang dikatakannya rumahnya yang sebenar-benarnya, 

dipakainya hanya untuk menyambut kedatangan sahabat kenalan 

saja. Malukah Datuk Meringgih mengaku rumahnya di Ranah itu 

tempat kediamannya yang sejati? Barangkali jawab pertanyaan 

ini akan bertemu juga nanti. Tatkala cerita ini terjadi, Datuk 

Meringgih kelihatan duduk di serambi belakang rumahnya yang 

di Ranah itu, di atas kursi malas tadi. 

Sebelum diceritakan kekayaannya, baiklah digambarkan 

dahulu bentuk dan bangun badannya dan diterangkan pula tabiat 

dan kelakuannya, supaya kenal benar kita akan dia dan tiada lupa 

lagi, apabila ia kelak berulang-ulang bertemu dalam hikayat ini.

Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, 

dadanya cekung, serta kakinya pengkar, kepalanya besar, tetapi 

tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya yang tinggal sedikit 

sekeliling kepalanya itu, telah putih sebagai kapas dibusur. Misai 

dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, ter-

gantung pada dagu dan ujung bibirnya, melengkung ke bawah. 

Umurnya lebih dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam, 

hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam dan kotor, 

yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar, seperti 

telinga gajah, kulit mukanya berkarut marut dan penuh dengan 

bekas penyakit cacar. 

Menurut gambar yang terlukis di atas, nyatalah Datuk 

Meringgih ini bukan seorang yang masih muda remaja dan 

bersikap tampan, melainkan seorang tua renta yang buruk. 

Sekarang marilah kita ceritakan adat dan tabiatnya, kalau-kalau 

berpadanan dengan rupanya. 

Saudagar ini adalah seorang yang bakhil, loba dan tamak, 

tiada pengasih dan penyayang, serta bengis kasar budi 

pekertinya. Asal ia akan beroleh uang, asal akan sampai 

maksudnya, tiadalah diindahkannya barang sesuatu, tiadalah 

ditakutinya barang apa pun dan tiadalah ia pandang-memandang. 

Terbujur lalu, terbelintang patah, katanya. 

Apabila ia hendak mengeluarkan uangnya, walau sesen sekali

pun, dibalik-balik dan ditungkuptelentangkannya duit itu be-

berapa kali; karena sangat sayang ia akan bercerai dengan mata 

uangnya itu. 

Ditimbangnya benar-benar, sungguhkah perlu uang itu 

dibelanjakan atau tidak dan tak adakah jalan lain yang akan 

dapat menyampaikan maksudnya, dengan tiada mengeluarkan 

uang atau dengan mengeluarkan belanja yang sedikit. 

Dicekiknya lehernya, diikatnya perutnya, ditahannya nafsu-

nya, asal jangan keluar uangnya. Jika ia makan nasi, hanya 

dengan sambal lada atau ikan kering saja yang disimpannya 

sampai beberapa hari. Lauk-pauk ini padalah baginya, karena 

sangkanya dapur yang berasap setiap hari, tiada berguna dan 

banyak mengeluarkan biaya. Makanan dimakan, sedapnya 

sehingga leher sudah itu jadi kotoran. 

Rumahnya sebagai kandang kambing dan pakaiannya yang 

seperti pakaian kuli itu, tiada mengapa baginya, asal jangan 

keluar duitnya, untuk sekaliannya itu. "Di luar dibersih-bersih-

kan, sedang di dalam perut sendiri tiada terhingga kotornya," 

demikianlah katanya. 

Ditulikannya telinganya atas segala maki, nista, dan cacat 

orang kepadanya, dibutakannya matanya kepada sekalian 

penglihatan yang menyedapkan pemandangan asal uangnya 

jangan keluar. Tiada lain kesukaan yang diketahuinya, melain

kan memandang peti hartanya, menghitung mata uang dan 

meraba uang kertasnya. 

Diguncangnya peti uangnya, akan mendengar bunyi uang 

yang ada dalamnya dan ditimang-timangnya tabungnya untuk 

mengetahui beratnya. Berjam-jam lamanya ia dapat bermain-

main dengan hartanya itu dan berhari-hari lamanya ia dapat ber-

main-main dengan hartanya itu dan berhari-hari lamanya ia dapat 

menghitung uangnya itu, dan di dalam hal yang sedemikian, 

lupalah ia akan dunia ini dan akan dirinya sendiri. 

Berapi matanya, kembang hidupnya, kuncup telinganya, ter-

nganga mulutnya, gemetar tangannya dan busung badannya, bila 

dilihatnya cahaya uang mas dan uang perak yang berkilat-kilatan 

atau didengarnya bunyi logam ini mendering. Diambilnya mata 

uang itu sebiji-sebiji, lalu diperhatikan dan diamat-amatinya 

capnya gerigi pinggirnya, gambarnya dan tulisannya. Gambar 

pada uang itu rupanya baginya terlebih indah daripada lukisan 

buah tangan pelukis yang masyhur-masyhur. Bunyi uang itu 

terlebih merdu didengarnya daripada lagu yang indah-indah yang 

dimainkan oleh ahli musik. Oleh sebab itu kerap kali dipermain-

mainkannya hartanya itu dan dibawanya tidur bersama-sama 

untuk mendapat mimpi yang menyenangkan hatinya. 

Harapan, ingatan, dan niatnya, siang malam, petang dan pagi, 

tiada lain, melainkan akan menambah harta bendanya yang telah

banyak itu, tiada berkeputusan dan tiada berhingga. Sekalian 

kekayaan dunia ini hendaknya janganlah jatuh pada orang lain, 

melainkan pada dirinya sendiri sebelumnya. Itu pun agaknya 

belum juga puas hatinya. Makmurlah kehidupannya, bila tubuh-

nya tertutup dalam timbungan mata benda itu. Takut ia sakit dan 

mati, karena tiada dapat bercerai dengan harta dania ini. 

Padanya tak ada lagi kesenangan yang lain daripada uang; 

sekaliannya uang, uang dan sekali lagi uang. Ibu-bapa, anak-istri, 

sanak saudara, sahabat kenalanan, handai tolan, dan pelipur 

laranya, tiadalah lain daripada uang. Uang itulah kekasilmya, 

uang itulah Tuhannya. "Hidup dengan uang, mati dengan uang," 

katanya. Tiada ia hendak bercerai barang sekejap pun dengan 

uangnya. Uang baginya bukan alat untuk memperoleh 

kesenangan, tetapi uang itulah kesenangan. 

Untuk memperoleh harta benda itu, tiada ia ngeri akan 

perbuatan yang kejam dan jahat, tiada ia malu akan kelakuan 

yang keji dan hina. Tiada ia pandang-memandang, tilik-menilik, 

segan-menyegani; tiada ibu-bapa, tiada adik tiada kakak, tiada 

sahabat tiada kenalan, tiada tinggi tiada rendah dan tiada hina 

tiada mulia baginya, untuk mencapai keinginannya yang rendah 

ini. Tiada ia menaruh takut, tiada menaruh ngeri, tiada menaruh 

kasihan, tiada menaruh sedih. Yang mulia dihinakannya, yang 

kaya dimiskinkannya, yang berpangkat dijatuhkannya. Hamba

itu diletakkannya di atas singgasana dan anjing itu diangkatnya 

ke puncak Gunung Merapi. Terbujur lalu, terbelintang patah, 

lamun uang harus diperolehnya. 

Demikianlah Datuk Meringgih, saudagar yang termasyhur 

kaya di Padang itu. Ia kaya dan beringin hendak bertambah kaya 

itulah, artinya karena hendak mempunyai harta. Bukan kekayaan 

itu yang dimintanya hanya itulah yang dikehendakinya. 

Hai Datuk Meringgih! Apakah paedahnya kekayaan yang 

sedemikian bagimu dan bagi sesamarnu? Engkau dilahirkan dari 

perut ibumu dengan tiada membawa suatu apa, dan apabila 

engkau kelak meninggalkan dunia yang fana ini, karena maut itu 

tak dapat kauhindarkan, walaupun hartamu sebanyak harta raja 

Karun sekalipun tiadalah lain yang akan engkau bawa ke tempat 

kediamanmu yang baka itu, melainkan selembar kain putih yang 

cukup untuk menutup badanmu jua. 

Semasa engkau masih hidup, berlelah-lelah engkau 

mengumpulkan harta benda dengan tiada jemu jemunya. Berapa 

kesusahan dan kesakitan yang kaurasai, berapa azab dan 

sengsara yang kauderita, berapa umpat dan sumpah yang 

kautanggung, berapa maki dan nista yang kaudengar, akan tetapi, 

bila engkau kelak berpulang ke rahmatullah, akan tinggallah dan 

berbagi-bagilah kembali hartamu itu kepada yang masih hidup. 

Harta dunia dan harta akhirat itulah yang dapat kau bawa pulang

ke negeri yang baka dan menolong engkau dalam perjalananmu 

ke sana dan kehidupanmu yang kekal di sana kelak. 

Semasa hidupmu, engkau rebut harta itu dari tangan orang 

lain, bila engkau telah mati niscaya jatuhlah kembali harta itu ke 

tangan orang lain itu. lnilah yang dikatakan pepatah; adat dunia 

balas-berbalas. Segala sesuatu tiada kekal, melainkan bertukar-

tukar dan berpindah-pindah juga. Bulan berputar mengedari 

matahari, dan matahari berputar pula mengedari alam. Apakah 

yang tetap? Tak ada, melainkan Tuhan Yang Esa juga. 

Kekayaanmu yang dikurniakan Tuhan kepadamu itu tiada 

memberi paedah bagi dirimu sendiri, bagi sesamamu manusia 

dan bagi isi dunia ini; melainkan mendatangkan kesenangan dan 

kedukaan juga kepada mereka sekalian dan kepada dirimu 

sendiri pun. 

Sungguhpun telah adat manusia bersifat loba dan tamak, 

walaupun tiada sama pada tiap-tiap orang, karena jika telah ada 

yang sejari hendak yang sejengkal, bila telah ada yang sejengkal 

hendak sedepa, dan bila ada yang sedepa pun hendak lebih juga 

tiada berkeputusan, selagi hayat di kandung badan, dan 

walaupun sifat yang demikianlah yang membawa manusia itu ke 

padang kemajuan, tetapi hendaklah berhati-hati, sebab jalan yang 

ditempuh bercabang dua; sebuah jalan kebaikan dan sebuah lagi 

jalan kejahatan. Apabila jalan yang baik itu kauturut, berhasillah

pekerjaanmu, karena memberi paedah kepada dirimu sendiri dan 

sesamamu manusia. Akan tetapi apabila jalan yang jahat itu yang 

kautempu,. takkan tiada pekerjaanmu itu akan mendatangkan 

bahaya dan bencana juga kepada sesamamu manusia dan kepada 

dirimu sendiri pun. 

Apabila hartamu itu kaupergunakan untuk pembela dirimu, 

supaya mendapat kehidupan yang senang, makan minum yang 

cukup, rumah tangga dan pakaian yang baik, ataupun akan 

engkau habiskan, untuk memuaskan hawa nafsumu yang baik, 

sudahlah; karena seharusnyalah tiap-tiap manusia itu berikhtiar 

mencari kesenangan dan kemajuan segala hal, asal jangan 

melewati batas kebaikan. 

Sungguhpun demikian, akan lebih berpaedah juga pekerjaan-

mu, bila hartamu itu kaupergunakan untuk berbuat baik kepada 

sesamamu manusia dan berbuat bakti kepada Tuhanmu supaya 

dapat engkau memperbaiki yang rusak, menyelesaikan yang 

kusut, menolong yang kesusahan, melipur yang miskin, jadi 

mengurangi azab sengsara dunia ini. Karena ketahuilah olehmu, 

bahwa dunia ini terlebih banyak mengandung yang susah 

daripada yang senang, yang hina daripada yang mulia, yang, 

kurang daripada yang cukup, yang miskin daripada yang kaya, 

yang daif daripada yang kuat, yang malang daripada yang mujur. 

Apabila tiada daripada engkau dan orang-orang kaya-kaya lain,

yang sebagai engkau, daripada siapakah mereka akan mendapat 

pertolongan? 

Ingatlah! Kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan 

kehinaan, kesusahan dan kesenangan, ya sekaliannya, datangnya 

daripada Tuhan Yang Esa juga. Jika dikehendakinya, dengan 

sekejap mata, bertukarlah kekayaan itu menjadi kemiskinan, 

kemuliaan menjadi kehinaan, kesukaan menjadi kedukaan dan 

tinggilah yang rendah, kayalah yang miskin, mulialah yang hina, 

dan tertawalah yang menangis. 

Oleh sebab itu, janganlah sombong dan angkuh, karena 

beroleh kekayaan, kemuliaan, kesenangan, dan kesukaan 

melainkan insyaflah, bahwa sekalian itu selydar pinjaman, yang 

setiap waktu boleh diambil kembali oleh yang empunya. 

Dan engkau pun yang berasa miskin dan hina, yang selalu 

mendapat bahaya, kesengsaraan, dan kesedihan, janganlah putus 

asa, melainkan sabar dan tawakallah juga kepada Tuhanmu serta 

pohonkan pertolongan dan kurnia-Nya. Sesudah hujan, niscaya 

panas. 

Yang beruntung janganlah menghinakan yang malang, dan 

yang malang janganlah dengki kepada yang beruntung 

melainkan berkasih-kasihanlah selama-lamanya, serta tolong-

menolong dalam segala hal, karena yang ber¬untung perlu 

kepada yang malang, dan yang malang perlu pula kepada yang

mujur. Jika tak ada yang malang, niscaya tak ada pula yang 

inujur, dan jika tak ada yang beruntung, yang malang pun tak 

ada pula. 

Apabila engkau pergunakan hartamu itu hai Datuk 

Meringgih, untuk kebaikan, takkan tiada kebaikan pulalah yang 

akan datang kepadamu, yang terlebih daripada kesukaan dan 

kesenangan, yang engkau peroleh daripada bunyi dan cahaya 

mata bendamu itu: karena suatu perbuatan atau pil.iran pun, 

buruk dan baik, tiada hilang, sebagai hujan jatuh ke pasir, 

melainkan hidup selama-lamanya dan timbul kembali pada 

dirimu atau diri sesamamu. 

Apabila kelak datang waktunya engkau akah meninggalkan 

dunia ini dan engkau menoleh ke belakang, kepada jalan yang 

telah kautempuh, niscaya perasaan yang sejahteralah yang akan 

mengikutmu, karena aku ketahui, bahwa hidupmu tiada kosong, 

sebagai padi hampa, melainkan banyak mendatangkan jasa 

kepada sesamamu manusia. 

Sungguhpun Datuk Meringgih tiada disukai orang, karena 

tabiat dan kelakuannya yang buruk dan loba tamaknya itu, tetapi 

ia ditakuti dan disegani orang juga, sebab hartanya yang tiada 

ternilai banyaknya itu: lebih-lebih oleh mereka yang acap kali 

kesusahan uang. Karena ialah tempat walaupun dengan 

bunganya yang terkadang-kadang sampai separuh dari pinjaman.

Bila telah sampai kepada waktu perjanjian, hutang itu belum 

dibayar oleh yang meminjam, niscaya tiada diberi maaf lagi 

Datuk Meringgih, melainkan didakwanyalah mereka dan 

dirampasnya panjar gadaian itu. 

Di manakah diperoleh Datuk Meringgih harta yang sekian 

banyaknya itu? Inilah suatu rahasia yang selalu menjadi per-

mainan mulut dan buah pikiran isi kota Padang. Acap kali diper-

bincangkan, kerapkali diterka-terka, tetapi tiadalah seorang jua 

pun yang mengetahui hal itu. Demikian pula tiada seorang juga 

yang tahu, siapakah Datuk Meringgih ini sebenarnya dan dari 

mana asalnya. 

Kira-kira dua puluh tahun yang telah lalu, Datuk ini dikenal 

orang di Padang sebagai penjual ikan kering, di pasar di 

Kampung Jawa. Tiba-tiba, pada suatu waktu, dibelinya sebuah 

kota dan sejak waktu itu sangatlah lekas bertambah-tambah 

kekayaannya, sehingga tatkala umurnya telah lebih daripada 

empat puluh tahun, ia telah mempunyai beberapa toko-toko yang 

besar dan gudang-gudang yang penuh berisi barang-barang 

dagangan. Rumah sewaannya berpuluh-puluh, hampir sekalian 

tanah di kota Padang ada dalam tangannya. Kebun kelapanya 

berbahu-bahu dan sawahnya beratus-ratus piring. Di Muara, 

hampir sekalian perahu yang membawa dan mengambil 

dagangan, kepunyaannya. Seisi kota Padang heran melihat

kekayaan yang sebanyak itu dan yang bertambah-tambah secepat 

itu, dengan tiada diketahui orang bagaimanakah Datuk 

Meringgih memperolehnya, karena yang didengar dan dilihat 

orang, hanyalah bakhil dan lobanya saja. 

Oleh sebab itu, berbagai-bagailah cerita yang kedengaran 

tentang asal kekayaan Datuk Meringgih ini. Ada yang berkata ia 

mendapat lotere seratus ribu dan ada pula yang berkata ia men-

dapat harta yang tersembunyi di dalam tanah. Orang yang keras 

beragama menyangka ia telah bertemu dengan Nabi Khaidir 

pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan. Orang yang 

percaya kepada takhyul, mengira bersahabat dengan jin. Dan 

orang yang benci kepada Datuk ini mengatakan ia memasukkan 

candu gelap. Akan tetapi yang sebenarnya, hanyalah Datuk 

Meringgih seorang yang mengetahui. 

Sekarang marilah kita dekati Datuk Meringgih, yang sedang 

duduk di atas kursi malas di serambi belakang rumahnya itu, 

untuk mengetahui apakah kerjanya, duduk seorang diri. 

Tiada lama datuk meringgih duduk sedemikian itu, hari pun 

malamlah dan gelaplah segala yang di darat dan di udara pun 

telah masuk ke dalam kandang atau sarangnya. Hanya 

kelelawarlah yang ke luar terbang ke sana-sini, mencari 

mangsanya. Keluang terbang tinggi beriring-iringan arah selatan, 

mencari buah-buahan yang masak. Burung hantu mulai berbunyi

dalam lubang-lubang kayu musang pun bangunlah daripada 

tidurnya, lalu mengintip ke sana kemari, akan mengetahui, 

tiadakah ada bahaya di luar sarangnya. Ular menjalar di celah-

celah batu mengintip katak dan binatang yang kecil-kecil. 

Si sebelah barat, langit tertutup oleh awan hitam yang 

mengandung hujan, yang mengembang dari laut ke darat. Cuaca 

yang terang, menjadi gelap-gulita, sehingga tiada kelihatan 

barang sesuatu pun. Bintang-bintang di langit lenyap, sebagai 

ditutup tabir hitam. Hari tenang, angin tak ada, tanda topan akan 

datang. Di jalan, raya sunyi senyap, sebagai negeri dialahkan 

garuda. Terkadang-kadang melintas orang seorang-seorang yang 

berjalan cepat-cepat, sebagai takut akan kehujanan. Pada tiap-

tiap rumah tiada kelihatan lampu, sebab jendela-jendela telah 

ditutup. Walaupun gelap sedemikian, tetapi Datuk Meringgih 

tiada menyuruh menerangi serambi belakang rumahnya. Sebab 

bakhilnya pulakah atau sebab yang lain? Segera akan kita 

ketahui. 

Sekonyong-konyong kelihatanlah sekejap mata, kilat yang 

menerangi seluruh alam yang gelap gulita itu dan tatkala itu juga 

kedengaran halilintar berbunyi bagai membelah bumi, disertai 

oleh hujan yang amat lebat, seperti air dicurahkan dari 

langit.Tiada lama kemudian daripada itu bertiuplah angin topan 

yang sangat hebat, menumbangkan beberapa pohon kayu yang

besar-besar. 

Walaupun hari rupanya seakan-akan kiamat, tetapi Datuk 

Meringgih tiadalah masuk ke dalam rumahnya, adalah sebagai 

sekalian kekacauan alam itu tiada diindahkannya, bahkan 

diingininya, karena ia masih duduk termenung di atas kursinya 

memikirkan sesuatu hal yang penting. 

Tiba-tiba kedengaran di tempat yang gelap, suara orang batuk 

tiga kali. Tatkala itu barulah ingat Datuk Meringgih akan 

dirinya, lalu melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada orang 

dekat di sana. Kemudian batuk pula ia dua kali. Seketika itu juga 

kelihatan, seperti suatu bayang-bayang, bergerak di tempat yang 

gelap, kemudian kelihatan seorang-orang yang memakai serba 

hitam, datang menghampiri Datuk Meringgih, lalu masuk 

keduanya ke dalam sebuah bilik, di serambi belakang. Pintu bilik 

ini segera ditutup rapat-rapat oleh Datuk Meringgih. 

Di dalam kamar ini, yang hanya diterangi oleh sebuah pelita 

minyak kelapa, ada sebuah tilam dan sebuah peti. Di lantai ada 

terbentang sehelai tikar pandan dan di atas tikar inilah duduk 

kedua mereka itu. 

Di sana nyata kelihatan, orang yang baru datang itu memakai 

destar hitam yang lembut yang ujungnya dibalikkannya ke 

mukanya sehingga dahinya tertutup. Bajunya baju Cina hitam 

yang besar lengannya, dan celananya seluar Aceh, yang warna

nya hitam pula. Sarung yang disandangnya di bahunya, yaitu 

sarung Bugis hitam. 

"Tiada basah engkau, Pendekar Lima?" tanya Datuk 

Meringgih perlahan-lahan kepada jamunya ini. 

"Tidak, Engku, sebab hamba telah hampir ada di sini, tatkala 

hari akan hujan," jawab Pendekar Lima. 

"Apa kabar pekerjaan kita yang di Hulu Limau Manis?" 

"Tidak baik jadinya." 

"Tidak baik? Apa sebabnya?" tanya Datuk Meringgih sambil 

mengangkat mukanya, menentang Pendekar Lima. Di situ 

kelihatan bengis muka Datuk Meringgih. 

"Murid-murid kita tiada menurut aturan yang telah diberikan 

kepadanya." 

"Siapa yang menjadi guru waktu itu?" 

"Si Patah." 

"Apakah sebabnya, maka tiada engkau sendiri yang mengajar 

di sana? Bukankah telah kuperintahkan kepadamu?" 

"Sebab hamba pada waktu itu harus mengajar di Bukit Putus; 

karena di sana pun ada ilmu baru yang datang dari Tanah Jawa, 

yang sangat besar harganya." 

"Si Patah belum cukup kepandaiannya untuk mengajar 

murid-murid pada sasaran yang besar-besar dan ia kurang sabar. 

Itulah sebabnya, maka salah ajarannya. Sekarang di mana dia?"

"Dalam rumah batu." 

"Rumah batu?" tanya Datuk Meringgih dengan mengangkat 

kepalanya pula. "Rumah batu di mana?" 

"Rumah batu di Lubuk Bagalung, bersama-sama dua orang 

murid." 

"Itulah upah yang patut, bagi orang yang sedemikian. Tetapi 

sudahlah diperiksa perkaranya?" 

"Sudah," jawab pendekar Lima, "dan rupanya ia teguh 

memegang sumpahnya, karena tiada disebut-sebutnya nama 

hamba." 

"Cobalah kauceritakan dari mulanya, apa sebabnya maka 

sampai jadi sedemikian itu?" , 

"Tatkala hamba ketahui, bahwa hamba tak dapat pergi ke 

Hulu Limau Manis," kata Pendekar Lima, "hamba suruhlah 

seorang murid tua ke sana, yaitu si Patah, serta hamba katakan 

kepadanya aturan yang telah Engku Datuk berikan itu. Mula-

mula rupanya ada diturutnya aturan itu, karena sekalian barang-

barang, jatuh ke dalam tangannya. Tetapi pendapatan ini tiada 

disimpannya pada tempat yang telah ditetapkan, melainkan hari 

itu juga dikirimkannya kemari; dimasukkannya ke dalam 

beberapa karung, lalu ditumpangkannya pada tukang pedati, 

yang berangkat malam itu juga ke sini. Rupanya pedati itu lama 

berhenti di Lubuk Bagalung dan di sanalah kedapatan oleh yang

kuning leher*). Oleh sebab tukang pedati itu mengatakan ia 

menerima barang-barang itu dari si Patah, hari itu juga ia 

ditangkap dengan kedua muridnya." 

"Baiklah, tetapi carilah akal, sebelum hukumannya 

dijatuhkan, supaya mereka lepas dari rumah batu itu dan bila 

telah lepas, suruhlah si Patah pergi ke Terusan atau ke Painan, 

untuk sementara bekerja mengambil rotan, supaya jangan 

kelihatan oleh orang. Dan kedua muridnya, suruh ke bukit 

Tambun Tulang, belajar di sana dengan sungguh-sungguh," kata 

Datuk Meringgih. 

"Baiklah, Engku." 

"Tentang perkara ilmu yang kaupelajari di Bukit Putus itu, 

bagaimana pula? Aku tiada tahu hal itu." 

"Sesungguhnya perkara ini belum hamba kabarkan kepada 

Engku, sebab sejak waktu itu belum sempat hamba datang 

kemari." 

"Akan tetapi apakah sebabnya, maka engkau tiada 

bermupakat lebih dahulu dengan daku?" tanya Datuk Meringgih 

pula. 

"Sebab tak sempat. Sebenarnya malam itu hamba akan pergi 

ke Hulu Limau Manis, menolong si Patah, sebagai telah Engku 

katakan. Tetapi tatkala sampai ke Bukit Putus, dapat kabar dari 

*) Opas polisi, pada masa dahulunya opas-opas memakai 

setrip kuning ada leher bajunya dan pada celananya.

seorang murid di sana, ada ilmu baru, datang dari Jawa, dengan 

kapal yang masuk hari itu. Ilmu itu banyak harganya. Karena tak 

sempat balik kemari, memberi tahu Engku, khawatir kalau ilmu 

itu segera dibawa ke tempat lain, hamba tuntut sendiri ilmu itu, 

sebab rupanya tak berapa susah." 

"Dan dapatkah ilmu itu?" 

"Dapat, sekarang ditanam dalam tanah, dekat Tanah Merah." 

"Kira-kira berapa harganya?" 

"Kira-kira enam atau tujuh ratus, semuanya emas dan intan. 

Itulah yang hendak hamba mupakatkan, karena dua orang murid 

yang bersama-sama pergi dengan hamba, minta bagiannya." 

"Nanti kuberi seorang lima puluh." 

"Jika boleh, ia minta seratus seorang." 

"Masakan seratus, karena harga ilmu itu belum tentu sekian 

banyaknya dan gajinya tiap-tiap bulan, tiadakah diingatnya? 

Sudahlah, aku beri tiap-tiap orang tujuh puluh lima dan engkau 

seratus lima puluh, jika benar ilmu enam atau tujuh ratus 

harganya. Janganlah banyak cakap lagi! Bawalah ilmu itu kemari 

dahulu! Jika telah kutaksir, tentu segera engkau mendapat 

bagianmu masing-masing. Dan bawalah pula tukang mas kita 

sekali, supaya lekas dapat dihancurkannya masnya yang 

diperbuatnya barang-barang lain; kemudian berikan kepada 

tukang penjaja mas in'tan kita, suruh jual ke negeri lain."

"Baiklah, Engku," jawab Pendekar Lima dengan riangnya, 

sedang matanya yang sebagai mata burung hantu itu bercaya-

caya, karena mengenangkan upah yang akan diperolehnya. Dari 

uang yang tiga rarus rupiah itu, tentulah sekurang-kurangnya dua 

ratus dapat olehnya, sehingga dapatlah pula ia beberapa hari 

minum candu dan berjudi, sesuka hatinya. 

"Suatu lagi yang hendak hamba kabarkan kepada Engku. 

Tukang cetak kita, malam kemarin mati," kata Pendekar Lima. 

"Mati?" jawab Datuk Meringgih dengan terperanjat. "apa 

sebabnya?" 

"Sakit perut." 

"Siapa gantinya." 

"Itulah yang hendak hamba tanyakan, siapakah yang akan 

menggantikannya?" 

"Temannya si Baso, belumkah dapat bekerja sendiri?" 

"Sudah," jawab Pendekar Lima. "Pada pikiran hamba, dialah 

yang baik pengganti yang mati itu. Tetapi siapakah yang akan 

menjadi ganti si Baso pula?" 

"Carilah seorang yang boleh dipercaya di antara orang-orang 

kita!" 

"Baiklah!" 

"Hanya sekarang, janganlah terlalu banyak mencetak uang 

perak, melainkan uang mas itulah yang harus dilebihkan, sebab

uang perak, lekas dikenal orang." 

"Baiklah! Lagi pula tiadakah baik tempat itu dipindahkan? 

Sebab hamba baru mendapat sebuah gua batu dalam gunung 

yang dekat di sana yang baik rupanya, tersembunyi di pinggir 

laut." 

"Baiklah, nanti kita periksa bersama-sama." 

"Perkara toko Bombai itu, bagaimana?" tanya Pendekar 

Lima, yang rupanya sangat rajin hendak bekerja, karena 

mengenangkan uang dua ratus rupiah tadi. . 

"Perkara itu. nantilah; aku hendak mencari muslihat yang 

baik dahulu. Sekarang ini ada perkara lain, yang hendak 

kukatakan kepadamu." 

"Perkara apa, Engku?" jawab Pendekar lima. 

"Aku sesungguhnya tiada senang melihat perniagaan Baginda 

Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia 

bersaing dengan aku. Oleh sebab itu hendaklah ia dijatuhkan." 

"Akan tetapi bagaimanakah akal kita? Karena barang-barang-

nya bukan sedikit, tak dapat diangkat dalam sehari dua. Dan 

diambil separuhnya pun, tiadalah dirasainya," kata Pendekar 

Lima. 

"Bukan aku suruh engkau mencuri barang-barangnya, karena 

berapakah yang akan terbawa olehmu? Aku bukan bodoh. Aku 

tahu akal yang lebih baik, yaitu gudang-gudang dan toko

tokonya harus dibakar, perahu yang membawa barang-barangnya 

dari Painan harus ditenggelamkan dan orang-orang yang ada di 

sana dibujuk, supaya jangan mau bekerja dengan dia lagi; 

sekalian pohon kelapanya di Ujung Karang, haruslah diobati, 

biar busuk dan tak berbuah," kata Datuk Meringgih dengan suara 

keras, serta memukul¬mukul telapak tangan kirinya dengan 

tangan kanannya, yang dikepalkannya, karena geramnya. 

"Esok hari juga engkau mulai bekerja di Ujung Karang! 

Beritahukan kepada sekalian murid yang ada di sana! Sekalian 

pohon kelapanya hendaklah dibubuh obat, supaya inati. 

Kemudian pergilah engkau ke Terusan dan Painan. Bujuklah 

sekalian orangnya di sana supaya meninggalkan pekerjaannya 

dan masuk kaum kita. Dan bujuklah pula tukang perahunya, 

supaya perahu-perahunya, dengan isi-isinya sekali, dikaramkan 

di laut. Sudah itu pergilah engkau ke Padang Darat dan ke mana-

mana, menghasut sekalian toko yang berlangganan dengan dia, 

supaya jangan membeli apa-apa lagi padanya. 

Dengan demikian dapat kubeli barang-barangnya itu dengan 

harga murah. Biar aku rugi. sedikit, asal Baginda Sulaiman jatuh. 

Setelah selesai pekerjaan itu, barulah engkau mulai membakar 

toko dan gudangnya." 

Pendekar Lima termenung seketika mendengar perintah ini, 

karena belum pernah ia mengerjakan yang sedemikian. Pada

pikirannya bukan sedikit belanja dan susahnya pekerjaan itu. 

Melihat Pendekar Lima berdiam diri, berkata pula Datuk 

Meringgih, "Aku tahu, pekerjaan ini memang tak mudah dan 

harus berhati-hati benar melakukannya supaya jangan sampai 

diketahui orang. Tetapi ia akan memberi keuntungan berpuluh 

ribu kepada kita. Dan pada pikiranku engkau cakap menjalan-

kannya. Oleh sebab itu aku tiada akan memandang berapa biaya 

yang berguna; biar aku rugi beribu sekalipun, asal sampai 

maksudku ini. Aku tiada senang, kalau di Padang ini masih ada 

saudagar yang berani bersaingan dengan daku. Sebelum jatuh ia, 

belumlah puas hatiku. Kau boleh memakai duit seberapa sukamu 

dan boleh pula menyuruh orang-orangku, kalau perlu." 

Mendengar perkataan Datuk Meringgih ini yaitu ia boleh 

memakai duit seberapa sukanya, hilanglah takut dan ngeri 

Pendekar Lima lalu menjawab dengan gembira, "Baiklah, Engku 

Datuk. Jangankan sekian, disuruh membunuh orang senegeri 

pun, hamba mau, asal Engku Datuk yang menyuruh." 

Dengan berkata demikian, pikirannya melayang kepada uang 

beribu-ribu yang akan diterimanya. 

"Tetapi ingat!" kata Datuk Meringgih pula. "Kalau tak 

sampai maksudku ini, tak perlu engkau datang-datang lagi 

kemari." 

Mendengar perkataan ini berdebarlah hati Pendekar Lima,

karena artinya tentulah ia akan dilepaskan oleh Datuk 

Meringgih, apabila maksudnya ini tak sampai. Dan akan 

dapatkah ia mencari tuan yang sebagai Datuk Meringgih ini? 

Betul ia sangat bakhil, tetapi tiada memandang apa pun, bila ada 

sesuatu hajatnya. Oleh sebab itu berjanjilah ia dalam hatinya 

akan menjalankan perintah yang berat ini dengan sesungguh-

sungguh hati, walaupun apa pun juga yang akan terjadi atas 

dirinya. 

Sementara itu masuklah Datuk Meringgih ke dalam 

rumahnya dan seketika lagi keluarlah pula ia lalu berkata, "lni 

uang seratus untuk belanjamu sementara. Bila habis, uang ini, 

boleh kauminta pula kepadaku atau kepada sekalian orangku 

yang memegang uang. Nanti kukirimkan surat kepadanya 

sekalian." 

"Terima kasih, Engku!" jawab Pendekar Lima. "Akan tetapi 

pekerjaan hamba di sini bagaimana?" 

"Serahkan kepada Pendekar Empat dan suruhlah ia kemari, 

supaya kukatakan kepadanya, apa yang harus diperbuatnya." 

Tiada berapa lama kemudian daripada itu kelihatanlah 

Pendekar Lima keluar dari dalam bilik tadi, lalu hilang di dalam 

gelap.

VII. SURAT SAMSULBAHRI KEPADA NURBAYA 

Tiga bulan Samsulbahri telah berangkat ke Jakarta, meninggal-

kan tanah airnya. Tiga bulan lamanya Nurbaya telah bercerai 

dengan kekasihnya, tiada melihat wajahnya dan tiada mendengar 

suaranya dan tiga bulan pula lamanya ia tiada bermain-main 

dengan Samsu dan mengganggu kakaknya ini. Sejak hari per-

ceraiannya, sampai kepada waktu itu, kekasihnya ini tiada hilang 

barang sekejap pun dari ingatannya. Biarpun buah hatinya ini 

telah hilang dari matanya tetapi makin kelihatan ia dalam 

kalbunya, makin nyaring kedengaran bunyi suaranya dan makin 

bertambah nyata segala tingkah lakunya. 

Mula-mula pada sangkanya mudah akan dapat melipur 

pikirannya, apabila kesedihan hatinya telah hilang. Akan tetapi 

setelah sepekan lamanya ia bagaikan demam dan setelah sembuh 

pula ia kembali pada lahirnya, pada batinnya bertambah-tambah 

ia menanggung kesakitan; makin lama makin larat, makin 

dilupakan makin teringat, makin dilipur makin berat, makin 

dijauhkan makin dekat. Ketika itulah baru diketahuinya benar-

benar, betapa besar harga saudaranya dan kekasihnya itu baginya 

karena ketika itulah pula dirasainya benar-benar keberatan 

perceraian itu sebagai kata pantun:

Anak Cina bermain wayang, 

anak Keling bermain api. 

Jika siang terbayang-bayang, 

jika malam menjadi mimpi. 

Terbang melayang kunang-kunang, 

anak balam mati tergugur, 

jatuh ke tanah ke atas kembang, 

kembang kuning bunga cempaka. 

Jika siang tak dapat senang, 

jika malam tak dapat tidur, 

pikiran kusut hati pun bimbang, 

teringat kakanda Samsu juga. 

Jika datang godaan yang sedemikian itu, dicobanyalah 

melipur hatinya dengan pikiran ini: Samsu tiada lama lagi akan 

kembali dan tentulah ia akan dapat berteinu pula dengan dia. 

Tambahan pula kekasihnya itu pergi untuk menuntut ilmu, yang 

kemudian dapat memberi kesenangan dan kemuliaan kepada 

dirinya. Apabila Samsu menjadi dokter, tentulah ia akan beroleh 

kemuliaan dan kesenangan pula. 

"Aduh, alangkah senang hatiku kelak, apabila aku telah 

menjadi istri Samsu, kekasihku itu! Memang patut aku duduk

bersama-sama dengan dia, memang dialah jodohku. Bila ia telah 

lulus dalam ujiannya, menjadilah aku istri dokter. Jika sakit aku 

atau anakku kelak, tak usah memanggil tabib yang lain, karena 

suamiku sendiri pandai mengobati kami. 

Ya, anakku, kataku. Alangkah senangnya, jika beroleh anak 

dari seorang laki-laki yang sebagai suamiku ini! Karena tentulah 

anak itu akan baik pula tingkah lakunya, seperti bapaknya dan 

rupanya tentulah sebagai pinang dibelah dua dengan bapaknya. 

Wahai! Alangkah lncunya kelak Samsu yang kecil itu, suka 

bermain-main, sebagai bapaknya dan apabila ia telah besar, 

tentulah akan menjadi dokter pula. 

Apabila anak itu perempuan, biarlah sebagai rupaku. Jika ia 

telah besar, kuajarlah ia sekalian ilmu yang patut diketahui 

perempuan; kujadikanlah ia seorang perempuan yang berguna 

bagi suaminya kelak, perempuan yang dapat dibawa melarat dan 

dapat membantu suaminya di dalam kesukaan dan kedukaan, 

supaya menantu itu kelak dapat beroleh kesenangan dan 

kesentosaan, sebagai aku akan menyenangkan Samsuku," 

demikianlah kenang-kenangan Nurbaya pada suatu malam Ahad, 

tatkala ia duduk di serambi muka rumahnya, sambil memandang 

kepada bangku di dalam kebunnya, tempat ia biasa bersenda 

gurau dengan kekasihnya itu. 

"Ah, tetapi waktu itu masih lama lagi," katanya pula dalam

hatinya, "masih tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu 

selama itu? Mengapa tidak," jawabnya sendiri pula. "Ingatlah 

kata pantun: 

Lurus jalan ke Payakumbuh, 

bersimpang lalu ke Kinali. 

Jika hati sama sungguh, 

kering lautan dapat dinanti. 

Betul tetapi hatiku sebenarnya khawatir juga, kalau-kalau ia 

kelak tergoda oleh perempuan lain; karena Jakarta negeri besar, 

segala godaan ada di sana. Nyonya yang bagus-bagus, tentu tak 

kurang dan kabarnya perempuan-perempuan Sunda pun, banyak 

pula yang cantik-cantik. Baik aku minta lekas-lekas kawin 

dengan dia, supaya terikat ia padaku." 

Tetapi sejurus lagi bertukar pula pikirannya dan berkatalah ia 

dalam hatinya, "Ah, kurang baik pikiranku ini, sebab ia masih 

dalam sekolah kalau-kalau pelajarannya kelak jadi terganggu. 

Yang dikejar nanti tak dapat, yang dikandung berceceran. Jangan 

terburu nafsu, dengarlah pantun ini! 

Encik Amat mengaji tamat, 

mengaji Quran di waktu fajar. 

Biar lambat asal selamat, 

tidak lari gunung dikejar.

Masakan ia akan mengubah janji, mustahil! Tak baik aku 

berpikir demikian; aku masih terlalu muda. Bila ia kelak telah 

menjadi dokter, umurku telah dua puluh dua tahun, barulah baik 

aku bersuami. 

Sesungguhnya tak baik kawin muda-muda. Lihatlah putri 

Alia, yang dikawinkan oleh orang tuanya, tatkala ia berumur tiga 

belas tahun. Badannya tak dapat besar lagi dan anaknya telah 

lima orang mati-mati saja. Yang keenam, yang hidup, rupanya 

kurang sempurna; badannya lemah, sebagai tiada berdaya. 

Tatkala anak ini telah berumur dua tahun, masih belum pandai 

jua ia berjalan dan berkata-kata pun rupanya susah. Samsu 

kecilku kelak tak boleh sedemikian, harus sehat.dan kukuh 

badannya, supaya boleh menjadi orang yang sempurna. 

Oleh sebab itu tak boleh aku kawin terlalu muda, tak baik 

bagi badanku dan tak baik pula lagi turunanku. Tentu saja, 

masakan biji yang belum sempurna tua, jika ditanam, dapat 

tumbuh menjadi pohon yang besar dan baik, yang menghasilkan 

buah yang banyak dan besar-besar? Tentu tidak. Tetapi, 

kebanyakan ibu-bapa di Padang ini tiada mengingat hal itu. Asal 

untungnya lepas, katanya senanglah hatinya, dengan tidak 

memikirkan anak cucu dan turunannya di kemudian hari. 

Apabila sekalian orang kawin muda, tentulah akhirnya 

bangsanya akan berkurang-kurang orangnya atau undur dalam

kesehatannya, besarnya, kepandaiannya dan sifatnya yang lain-

lain, sehingga bangsanya menjadi suatu bangsa yang daif. Biasa-

nya orang tua-tua kuno tiada memikirkan hal ini atau tiada 

sampai ke sana pikirannya. Pada sangkanya aib, bila anaknya 

yang perempuan, tua baru bersuami, sebagai tak laku. Oleh 

sebab itu dikawinkannya muda-muda, terkadang-kadang waktu 

berumur sebelas tahun. Dan tatkala berumur dua belas tahun, 

beranaklah perempuan muda ini. Orang barat yang tiada suka 

kawin muda-muda, lihatlah badannya, besar, kukuh, dan sehat." 

Tatkala Nurbaya berpikir-pikir sedemikian itu, tiba-tiba di-

dengarnya suara, "Surat pos," sehingga terkejutlah ia. Di tangga 

rumahnya dilihatnya seorang tukang pos berdiri memegang 

sepucuk surat. Segera Nurbaya berdiri mengambil surat itu dan 

tatkala dibacanya alamatnya, nyatalah surat itu untuk ia sendiri, 

datang dari Samsu, kekasihnya, yang sedang diingat-ingatnya 

pada waktu itu. Rupanya surat ini baru datang dengan kapal yang 

baru masuk hari itu. 

Muka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar 

hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang men-

cekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Ber-

tambah-tambah besar hatinya menerima surat ini, karena telah 

dua jumat ia tiada mendapat kabar dari Samsu. Segeralah ia 

masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar,

dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang 

dan banyak berisi syair. Demikian bunyinya: 

Jakarta, 10 Agustus 1896 

Awal bermula berjejak kalam, 

Pukul sebelas suatu malam, 

Bulan bercaya mengedar alam, 

Bintang bersinar laksana nilam. 

Langit jernih cuaca terang, 

Kota bersinar terang benderang, 

Angin bertiup serang-menyerang, 

Ombak memecah di atas karang. 

Awan berarak berganti-ganti, 

Cepat melayang tiada berhenti, 

Menuju selatan tempat yang pasti, 

Sampai ke gunung lalu berhenti. 

Udara tenang hari pun terang, 

Sunyi senyap bukan sebarang, 

Murai berkicau di kayu arang, 

Merayu hati dagang seorang.

Guntur menderu mendayu-dayu, 

Pungguk merindu di atas kayu, 

Hati yang riang menjadi sayu, 

Pikiran melayang ke tanah Melayu. 

Angin bertiup bertalu-talu, 

Kalbu yang rawan bertambah pilu, 

Hati dan jantung berasa ngilu, 

Bagai diiris dengan sembilu. 

Tatkala angin berembus tenang, 

Adik yang jauh terkenang-kenang, 

Air mata jatuh berlinang, 

Lautan Hindia hendak direnang. 

Jika dipikir diingat-ingat, 

Arwah melayang terbang semangat, 

Tubuh gemetar terlalu sangat, 

Kepala yang sejuk berasa angat. 

Betapa tidak jadi begini, 

Ayam berkokok di sana-sini, 

Disangka jiwa permata seni, 

Datang menjelang kakanda ini.

Disangka adik datang melayang, 

Mengobat kakanda mabuk kepayang, 

Hati yang sedih berasa riang, 

Kalbu yang tetap rasa tergoyang. 

Lipur segala susah di hati, 

Melihat adikku emas sekati, 

Datang menjelang abang menanti, 

Dagang merindu bagaikan mati. 

Silakan gusti emas tempawan, 

Sila mengobat dagang yang rawan, 

Penyakit hebat tidak berlawan, 

Sebagai kayu penuh cendawan. 

Silalah adik, silalah gusti, 

Sila mengobat luka di hati, 

Jika lambat adik obati, 

Tentulah abang fana dan mati. 

Tatkala sadar hilang ketawa, 

Dagang seorang di tanah Jawa, 

Rasakan hancur badan dan nyawa, 

Nasib rupanya berbuat kecewa.

Di sana teringat badan seorang, 

Jauh di rantau di tanah seberang, 

Sedih hati bukan sebarang, 

Sebagai manik putus pengarang. 

Tunduk menangis tercita-cita, 

Jatuh mencucur air mata, 

Lemah segala sendi anggota, 

Rindukan adik emas juita. 

Teringat adik emas sekati, 

Kanda mengeluh tidak berhenti, 

Rindu menyesak ke hulu hati, 

Rasa mencabut nyawa yang sakti. 

Terkenang kepada masa dahulu, 

Tiga bulan yang telah lalu, 

Bergurau senda dapat selalu, 

Dengan adikku yang banyak malu. 

Sekarang kakanda seorang diri, 

Jauh kampung halaman negeri, 

Duduk bercinta sehari-hari, 

Kerja lain tidak dipikiri.

Tetapi apa hendak dikata, 

Sudah takdir Tuhan semesta, 

Sebilang waktu duduk bercinta, 

Kepada adikku emas juita. 

Setelah jauh sudahlah malam, 

Kakanda tertidur di atas tilam, 

Bermimpi adik permata nilam, 

Datang melipur gundah di dalam. 

Datangnya itu seorang diri, 

Tidur berbaring di sebelah kiri, 

Kakanda memeluk intan baiduri, 

Dicium pipi kanan dan kiri. 

Tiada berapa lama antara, 

Dilihat badan sebatang kara, 

Abang terbangun dengan segera, 

Hati yang rindu bertambah lara. 

Guling kiranya berbuat olah, 

Lalu mengucap astagfirullah, 

Begitulah takdir kehendak Allah, 

Badan yang sakit bertambah lelah.

Memang apa hendak dibilang, 

Sudahlah nasib untung yang malang, 

Petang dan pagi berhati walang, 

Menanggung rindu beremuk tulang. 

Walaupun sudah nasib begitu, 

Tiada kanda berhati mutu, 

Gerak takdir Tuhan yang satu, 

Duduk bercinta sebilang waktu. 

Jauh malam hampirkan siang, 

Mataku tidak hendak melayang, 

Di ruang mata adik, terbayang, 

Hati dan jantung rasa bergoyang. 

Ayam berkokok bersahut-sahutan, 

Di sebelah barat, timur, selatan, 

Hatiku rindu bukan buatan, 

Kepada adikku permata intan. 

Di situ terkenang ibu dan bapa, 

Adik dan kakak segala rupa, 

Handai dan tolan kaya dan papa, 

Timbul di kalbu tiada lupa.

Begitulah nasib di rantau orang, 

Susah ditanggung badan seorang, 

Sakit bertenggang bukan sebarang, 

Sebagai terpijak duri di karang. 

Setelah siang sudahlah hari, 

Berjalan kakanda kian kemari, 

Tak tahu apa akan dicari, 

Bertemu tidak kehendak diri. 

Diambil kertas ditulis surat, 

Ganti tubuh badan yang larat 

Kesan nasib untung melarat, 

Kepada adikku di Sumatra Barat. 

Dawat dan kalam dipilih jari, 

Dikarang surat di dinihari, 

Ganti kakanda datang sendiri, 

Ke pangkuan adik wajah berseri. 

Wahai adikku indra bangsawan, 

Salam kakanda dagang yang rawan, 

Sepucuk surat jadi haluan, 

Ke atas ribaan emas tempawan.

Mendapatkan adik paduka suri, 

Cantik manis intan baiduri, 

Di padang konon namanya negeri, 

Duduk berdiam di rumah sendiri. 

Jika kakanda peri dan mambang, 

Tentulah segera melayang terbang, 

Menyeberang lautan menyongsong gelombang, 

Mendapatkan adik kekasih abang. 

Menyerahkan diri kepada adinda, 

Tulus dan ikhlas di dalam dada, 

Harapan kakanda jangan tiada, 

Mati di pangkuan bangsawan muda. 

Adikku Nurbaya permata delima, 

Dengan berahi sudahlah lama, 

Hasrat di hati hendak bersama, 

Dengan adikku mahkota lima. 

Hendak bersama rasanya cita, 

Dengan adikku emas juita, 

Jika ditolong sang dewata, 

Di dadalah jadi tajuk mahkota.

Tajuk mahkota jadilah tuan, 

putih kuning sangat cumbuan, 

Menjadikan abang rindu dan rawan, 

Laksana orang mabuk cendawan. 

Karena menurut cinta di hati, 

Asyik berahi punya pekerti, 

Sungguhpun hidup rasakan mati, 

Baru sekarang kanda mengerti. 

Dendam berahi sudahlah pasti, 

Tuhan yang tahu rahasia hati, 

Kakanda bercinta rasakan mati, 

Tidak mengindahkan raksasa sakti. 

Siang dan malam duduk bercinta, 

Kepada adikku emas juita, 

Tiada hilang di hati beta, 

Adik selalu di dalam cipta. 

Jiwaku manis Nurbaya Sitti, 

Putih kuning emas sekati, 

Tempat melipur gundah di hati, 

Ingin berdua sampaikan mati,

Tidaklah belas dewa kencana, 

Memandang kanda dagang yang hina, 

Makan tak kenyang tidur tak lena, 

Bercintakan adik muda teruna. 

Rindukan adik paras yang gombang,*) 

Siang dan malam berhati bimbang, 

Cinta di hati selalu mengembang, 

Laksana perahu diayun gelombang. 

Setiap hari berdukacita, 

Terkenang adinda emas juita, 

Sakit tak dapat lagi dikata, 

Sebagai bisul tidak bermata. 

Tiada dapat kakanda katakan, 

Asyik berahi tak terperikan, 

Adik seorang kakanda idamkan, 

Tiada putus kakanda rindukan. 

Rusaklah hati kanda seorang, 

Rindukan paras intan di karang, 

Dari dahulu sampai sekarang, 

Sebarang kerja rasa terlarang. 

*) Min: Tampan, gagah.

Pekerjaan lain tidak dipikiri, 

Karena rindu sehari-hari. 

Tiada lain keinginan diri, 

Hendak bersama intan baiduri. 

Ayuhai adik Sitti Nurani, 

Teruslah baca suratku ini, 

Ilmu mengarang sudahlah fani, 

Disambung syair surat begini. 

Tatkala Nurbaya membaca syair ini, berlinang-linanglah air 

matanya, karena untungnya pun sedemikian pula. 

"Adikku Nurbaya!" demikianlah bunyi surat itu, ketika 

terus dibaca oleh Nurbaya, "Begitulah penanggunganku. 

Bukan sedikit beratnya perceraian ini rasanya. Bukannya 

engkau saja yang terbayang di mataku, tetapi ibu-bapa, handai 

tolan, dan teman sejawatku, yang kutinggalkan di Padang, 

semuanya tiada hendak luput dari mataku. Dahulu aku 

dimanjakan oleh ibu-bapakku. Sekaliannya telah disediakan, 

telah diselenggarakan. Akan tetapi sekarang haruslah aku 

sendiri mengerjakannya. Pakaianku harus kucuci, kulipat dan 

kusimpan sendiri; bilik dan tempat tidurku harus pula 

dibersihkan sendiri. Sepatuku pun tak ada orang lain, yang 

akan menggosoknya. Kehidupanku tiadalah bebas, karena

tinggal di dalam sekolah. Tidur di dalam sebuah kamar 

panjang; bersama-sama dengan teman-teman yang lain, 

sebagai serdadu dalam tangsi. Hanya akulah yang dapat 

sebuah kamar sendiri sebab tak cukup tempat bersama-sama 

dengan yang lain. 

Pukul sepuluh malam haruslah tidur, tak boleh bercakap-

cakap lagi atau bekerja terus. Pukul enam pagi haruslah 

bangun; setelah makan, sekolah pun mulai, pukul delapan. 

Pelajaran tiada sebagai di sekolah kita di Padang, karena 

sekaliannya diserahkan kepada yang belajar sendiri. Bila 

hendak pandai rajin-rajinlah; jika tidak, tahu sendiri.. Pukul 

satu berhentilah sekolah, akan tetapi terkadang-kadang petang 

hari masuk pula. 

Sesungguhnya aturan ini baik, karena dengan demikian 

dapatlah kami belajar hidup sendiri. Apabila kita telah besar 

kelak, tentulah begitu juga jadinya. Masakan selalu akan ber-

gantung kepada ibu-bapa sahaja? 

Sungguhpun demikian, bagiku yang belum biasa hidup 

sedemikian berat rasanya. Akan tetapi lama-kelamaan lenyap 

juga keberatan itu. Sekarang ini telah mulai biasa aku sedikit 

pada aturan itu dan tiadalah berat benar lagi rasanya sebagai 

bermula. Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap 

sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa 

Belanda "ontgroening"*). 

*) Perpeloncoan.

Adat ini memang ada baiknya, karena maksudnya dengan 

bersuka-sukaan, mengajari murid-murid yang baru masuk, 

supaya tahu adat-istiadat, tertib sopan kepada teman sejawat-

nya atau orang luar pun dan berani atas kebenaran. 

Bila ontgroening itu dipandang sebagai permainan saja, 

tiadalah mengapa; akan tetapi terkadang-kadang kasar dilaku-

kan, sehingga boleh mendatangkan kecelakaan kepada murid-

murid yang dipermainkan itu. Permainan yang kasar ini, pada 

pikiranku, tak baik diteruskan. Misalnya aku dengar pada 

sebuah sekolah menengah, ada permainan yang dinamakan 

"melalui selat Gibraltra." 

Engkau tentu masih ingat dalam ilmu bumi, selat Gibraltar 

itu, ialah suatu selat yang sempit, antara ujung tanah Sepanyol 

dan benua Afrika. 

Demikianlah diperbuat oleh murid-murid kelas tinggi suatu 

selat yang sempit, yang dijadikan oleh kira-kira dua puluh 

murid yang tua-tua, yang berleret dalam dua baris. Sekalian 

rnurid baru, haruslah berjalan seorang-seorang melalui selat ini 

dan tiap-tiap murid kelas tinggi yang berdiri itu meninju dan 

menyepak murid-murid baru ini, sehingga ia tertolak dari 

kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sampai ke luar dari selat 

siksaan itu. Kemudian murid baru itu diangkat bersama-sama, 

lalu dicemplungkan ke dalam suatu kolam. 

Apakah faedahnya permainan yang kasar serupa ini? 

Istimewa pula sebab ia boleh mendatangkan bahaya.

Tambahan lagi, pada sangkaku, dan demikian, murid-murid itu 

jadi ber-musuh-musuhan dan berdendam-dendaman. Misalnya 

seorang anak Sunda yang kurang suka kepada anak Jawa atau 

yang telah mendapat siksaan dari orang anak Jawa, tatkala ia 

mula-mula masuk, menaruh dendam dalam hatinya dan berniat 

hendak melepaskan dendamnya kelak kepada anak Jawa. 

Dengan demikian persahabatan antara kedua suku bangsa ini, 

yang diharapkan akan diperoleh karena percampuran dalam 

sekolah, boleh menjadi kurang dan akhirnya menjadi putus. 

Untunglah permainan yang kasar itu tak ada pada sekolah 

kami dan sekalian aturan ontgroening pada sekolah ini, 

sesungguhnya permainan atau sesuatu yang memberi paedah, 

misalnya murid-murid yang baru itu disuruh bernyanyi, menari 

atau memencak, menurut aturan negeri masing-masing, di 

hadapan murid kelas tinggi. 

Oleh sebab murid-murid yang masuk sekolah ini, sebagai 

telah kukatakan dalam suratku dahulu, datang dari beberapa 

negeri, seperti Padang, Batak, Deli, Palembang, Jakarta, 

Sunda, Jawa; Madura, Ambon, Manado, dan lain-lainnya, 

bermacam-macam lagu yang didengar, dinyanyikan dalam 

berbagai-bagai bahasa dan bermacam-macam pulalah tari dan 

pencak yang dipertunjukkan. Suatu tari yang hebat yaitu tari 

orang Manado, yang dinamakan "cakalele," tak ada ubahnya 

dengan pencak orang yang hendak perang, dengan tempik 

soraknya.

Lain daripada permainan yang, telah kuceritakan itu ada 

pula permainan yang mengadu kekuatan, misalnya berhela-

helaan tali berlumba-lumba, melompat tinggi dan mengadu 

kekuatan badan. Yang terlebih lucu ialah disuruh membeli 

minyak sesen ke kedai, dalam sebuah botol yang besarnya 

hampir sebesar aku. Lucu benar rupanya murid itu berjalan 

pulang balik memikul botol yang sebesar itu untuk tempat 

minyak harga sesen. 

Ada pula yang disuruh memburu ayam liar, yang dilepaskan 

dalam pekarangan sekolah. Ayam ini harus dapat ditangkap 

oleh dua orang murid. Kasihan melihat kedua murid itu 

berlelah payah menangkap ayam ini. Akan tetapi untunglah, 

setelah tertangkap dipotong dan dimasak atau digoreng. 

Ada pula yang disuruh berpakaian yang indah-indah, 

seboleh-bolehnya pakaian hitam yang tebal. Kaumaklum Nur, 

Jakarta sangat panas hawanya, sehingga murid itu kepanasan 

karena pakaiannya itu. Setelah berpakaian indah-indah itu, 

disuruhlah ia berjalan sepanjang jalan raya. Tiap-tiap orang 

yang tertemu, dengan tiada memandang bangsanya, haruslah 

diberinya tabik dengan mengangkat topinya. Sebagai telah 

kuceritakan, kota Jakarta itu sangat ramai; orang yang lalu-

lintas di jalan raya beratus-ratus banyaknya dengan tiada 

berkeputusan. Memberi tabik itu, walaupun tiada seberapa 

berat, tetapi karena banyak orang yang bertemu, dalam 

setengah jam saja pun telah lelah murid itu.

Orang yang diberi tabik, bermacam-macam kelakuannya. 

Yang telah tahu akan permainan ini, tersenyum; tetapi yang 

belum tahu terkadang-kadang marah, karena pada sangkanya 

ia diperolok-olokkan. Ada yang tiada mengindahkan suatu apa, 

ada yang menertawakan murid itu, ada yang bingung tiada 

mengerti itu dan ada pula yang membalas tabik itu dengan 

lebih hormat, sebab pada sangkanya bukan permainan, melain-

kan sesungguh-nyalah ia diberi hormat oleh orang yang tiada 

dikenalnya tetapi sangat memuliakannya. Anak-anak di jalan 

raya menyangka murid itu miring otaknya, sehingga diper-

main-mainkannya dan diganggunya mereka. Berbagai-bagai-

lah ragam orang-orang itu. Mereka itulah yang ditonton oleh 

murid-murid kelas tinggi, yang mengikut dari jauh. 

Yang kurang lucu, yaitu disuruh makan obat kina, yang 

sangat pahit itu atau disuruh mencium sebangsa hawa yang 

sangat busuk atau disuruh makan pisang sesisir di hadapan 

bangkai. Ada seorang murid yang sangat penjijik, disuruh 

makan pisang itu. Jangankan termakan olehnya, bahkah segala 

yang ada dalam perutnyalah keluar semua. Kasihan! 

Sungguh permainan yang baru kuceritakan itu kurang lucu, 

tetapi ada juga mengandung suatu pelajaran. Dokter itu harus 

tahan bau busuk dan rasa yang pahit, serta tak boleh takut dan 

geli melihat mayat; sebab itulah diajar di sana. Akhirnya 

setelah itu disuruh tidur di kamar mati. Akan tetapi terlebih 

dahulu baiklah kuceritakan kepadamu apa bagianku dan

bagian Arifin, daripada permainan yang telah kaudengar tadi, 

karena pada sangkaku tentulah engkau ingin juga hendak 

mengetahui hal itu. Arifin disuruh memencak, berhela-helaan 

tali, membeli minyak dengan botol besar, memburu ayam dan 

makan pisang dekat bangkai. Alangkah suka hati Bakhtiar, 

apabila dilihatnya Arifin, sebagai anjing mengejar ayam ke 

sana kemari! Akan tetapi pada sangkaku, walau perut Bakhtiar 

sekalipun, tiadalah 'kan dapat menghabiskan pisang sekian 

banyaknya itu di tempat yang sedemikian." 

Ketika itu tersenyumlah Nurbaya, sebab teringat kepada 

Bakhtiar. 

"Aku disuruh bernyanyi, menari, makan kina, dan tidur di 

kamar mati. Kamar mati ini, ialah bilik tempat menyimpan 

mayat. Di sana ada rangka tulang orang (tulang-belulang) yang 

gunanya untuk pelajaran, digantungkan pada suatu tiang. Pada 

suatu malam, kira-kira pukul setengah sembilan, disuruhlah 

aku ke sana dengan murid yang penjijik tadi. Anak ini bukan 

penjijik saja, tetapi teramat penakut pula. Aku, meskipun tiada 

tahu apa-yang akan terjadi atas diriku, tiadalah aku tinggal saja 

dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk peringatan 

permainan saja. Kami duduk di atas kursi dekat sebuah meja, 

berhadap-hadapan; aku melihat kepada rangka itu dan temanku 

membelakang ke sana. Pada sangka kami, kami hanya disuruh

tinggal saja dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk 

perintang waktu, kami bercakap-cakap menceritakan hal ihwal 

masing-masing, kusuruh ceritakan olehnya negerinya dan aku 

pun bercerita pula tentang kota Padang. 

Sejak asyik kami bercakap-cakap itu, tiba-tiba kulihat 

rangka tadi mengangkat tangannya, sebagai menggamit aku 

dari jauh, dan matanya sebagai menyala. Walaupun aku tidak 

penakut dan yakin, mustahil tulang-belulang pandai bergerak. 

tetapi tatkala kulihat hal itu, berdebar juga hatiku. Akan tetapi 

heranku itu tiadalah kuperlihatkan kepada temanku, karena aku 

khawatir, kalau-kalau ia menjadi takut; lalu kuperbuat pura-

pura asyik mendengarkan ceritanya, tetapi mataku acap kali 

juga melihat kepada rangka tadi. 

Kedua kalinya diangkatnya tangannya, lebih tinggi daripada 

bermula, lalu digerak-gerakkannya jarinya, sebagai hendak 

memanggil. Melihat hal ini terkejutlah aku, dan karena itu 

temanku itu pun menoleh ke belakang. 

Tatkala dilihatnya tangan rangka itu bergerak-gerak dan 

matanya sebagai berapi, menjeritlah ia sekuat-kuatnya, lalu 

melompat memeluk aku, sehingga, terbaliklah kursi dan meja, 

yang dekatnya itu. Sebab aku dipeluknya tiba-tiba dengan erat 

dan ditariknya ke belakang, terbaliklah pula aku bersama-sama 

dengan dia. Akan tetapi leherku tiadalah terlepas dari pelukan 

temanku itu, sehingga aku hampir tercekik. Dengan susah 

payah, baru dapat kulepaskan tangannya dari leherku.

Setelah terlepas aku dari pelukannya, rebahlah temanku itu 

ke lantai, tiada khabarkan dirinya lagi. Mukanya pucat, 

peluhnya bercucuran dan badannya gemetar. Tatkala kulihat 

halnya yang sedemikian, bingunglah aku, tiada tahu apa yang 

hendak kuperbuat. 

Kemudian larilah aku ke luar, minta tolong. Seketika itu 

juga kelihatan olehku dua orang murid kelas tinggi, entah dari 

mana datangnya, tiada kuketahui, lalu bertanya mengapa aku 

berteriak. Setelah kuceritakan kepadanya, apa yang terjadi, 

kami angkatlah bersama-sama murid yang pingsan tadi ke 

tempat tidurnya, lalu diobati merekalah temanku itu, sampai 

baik pula. Sungguhpun demikian masih belum dapat ia 

berkata-kata; rupanya masih sangat terperanjat dan takut. 

Kemudian dibujuklah kami oleh kedua murid kelas tinggi tadi. 

Dikatakannya, mustahil tulang-belulang orang yang telah mati 

dapat bergerak pula. Sekalian yang kami lihat tadi, tentulah 

penglihatan karena takut saja, lalu dibawalah aku oleh seorang 

dari mereka kepada rangka tadi dan dipegang-peganglah 

tulang-tulang itu. Sesungguhnya tiadalah ia dapat bergerak. 

Pada keesokan harinya, barulah aku dapat tahu, apa 

sebabnya maka rangka itu bergerak. Tangannya diikat dengan 

dawai yang halus, lalu ditarik-tarik dari luar, dan matanya 

yang menyala itu, karena diberi suatu obat yang bercahaya di 

tempat yang gelap. Sungguhpun sekalian itu hanya permainan 

yang gunanya akan menghilangkan takut dan untuk menyata

kan, bahwa segala hantu dan setan itu hanya penglihatan 

mereka yang takut saja, tetapi murid yang ketakutan tadi, tiga 

hari lamanya demam. Demikianlah percobaan di Sekolah 

Dokter Jawa. 

Ah, ya, hampir lupa aku menceritakan hal ihwal Bakhtiar. 

Ia sekarang rupanya kurus sedikit; barangkali sebab terlalu 

berat bekerja menggergaji dan mengetam kayu, inilah kerjanya 

mula-mula sehari-hari. Makan rupanya tak dapat sekehendak 

hatinya. Acap kali aku bertemu dengan dia pada petang hari. 

Baginya dan bagi Arifin pun permulaan ini rupanya susah dan 

berat. Tetapi tak jadi apa, karena segala permulaan itu tentulah 

berat dan susah. Apabila telah biasa kelak, tentulah akan 

hilang juga segala kesusahan dan keberatan itu. Kedua mereka 

acapkali teringat kepadamu dan kepada ibu-bapaknya serta 

handai tolannya di Padang. Mereka berpesan kepadaku supaya 

menyampaikan salamnya kepadamu, bila aku berkirim surat 

jua kepadamu. 

Sehingga inilah dahulu, adikku Nurbaya! Dengan segera 

engkau akan mendapat kabar pula daripadaku. Jika tiada aral 

melintang pada hari Ahad yang akan datang ini, kami akan 

ber-jalan jalan ke Bogor, melihat-lihat kots itu dan melihat 

istana serta Kebun Raya di sana. Jika jadi perjalanan itu 

tentulah akan kuceritakan pula kepadamu sekalian yang telah 

kulihat di sana. 

Tolonglah sampaikan sembah sujudku kepada orang tuamu

dan orang tuaku serta salam tazimku kepada sekalian handai 

tolan, teman sejawat kita, dan sambutlah peluk cium dari 

kekasihmu yang jauh ini. 

SAMSULBAHRI 

Tambahan: Suratmu yang terkirim pada hari Jumat yang telah 

lalu, sudah aku terima dengan segala selamatnya dan sangatlah 

sedih hatiku mendengar, engkau belum dapat melipur 

kesedihan perceraian kita. Oleh sebab itu perbanyaklah sabar 

dan tetapkanlah hatimu, Nur, serta tawakal kepada Tuhan 

Yang Mahakuasa. Mudah-mudahan lekas hilang segala 

kesusahan kita itu dan lekaslah pula disampaikan-Nya segala 

maksud dan hajat kita. Dengan kapal ini ada kukirimkan pada 

seorang kita yang pulang ke Padang, untuk ayahku buah-

buahan sedikit sebagai salak, sauh manila, dan jeruk. Untuk 

engkau telah kupisahkan dalam bungkusan itu. Terimalah 

pemberianku ini dan makanlah dengan sedapnya. Aku sendiri 

yang membeli dan melihatnya, yang lain belum dapat 

kukirimkan kepadamu waktu ini. 

Setelah dibaca oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan 

diletakkannya ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang 

berdebar; kemudian disimpannya dalam lemari pakaiannya, 

bersama-sama dengan surat yang lain, yang telah diterimanya

dari kekasihnya itu. 

Tatkala itu datanglah kusir Ali dari rumah Sutan Mahmud 

membawa sekarung buah-buahan untuk Sitti Nurbaya. Tak 

dapatlah dikatakan girang hatinya menerima kiriman itu, lalu 

dengan segera dibukanya dan dilihatnya isinya. Rupanya masih 

baik sekali buah-buahan itu, tak ada yang busuk, lalu 

dimakannya dan dibagikannya kepada segala isi rumahnya, serta 

dikatakannya buah-buahan itu datang dari kekasihnya. Sayang 

ayahnya pada waktu itu tak ada di rumah, pergi ke Padang 

Panjang menguruskan perniagaannya, karena rupa-rupanya 

segala toko yang biasa mengambil barang-barang dari padanya, 

kurang suka lagi memesan apa-apa ke tokonya. 

Setelah dimakan oleh Nurbaya buah-buahan itu, berbaring-

baringlah ia di atas tempat tidurnya sampai jauh malam, 

mengenangkan halnya. Kemudian dikeluarkannyalah segala 

surat-surat dari Samsulbahri, lalu dibacanya pula sehelai-sehelai. 

Dengan tiada diketahuinya tertidurlah ia. 

Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia 

daripada tidurnya dengan terperanjat, karena didengarnya bunyi 

tabuh pada segala tempat sangat dahsyat, memberi tahu ada 

rumah terbakar. Mendengar bunyi tabuh itu, melompatlah ia dari 

tempat tidurnya, lalu membuka jendela rumahnya akan melihat 

dan manakah api itu. Kelihatan olehnya langit di sebelah

tenggara merah warnanya yang menyatakan di sanalah 

kebakaran itu, tetapi rupanya jauh. Tatkala itu kelihatan 

Penghulu Sutan Mahmud keluar dengan bendinya dari rumah-

nya. Rupanya akan pergi ke tempat kebakaran itu. 

Supaya dapat kita ketahui di mana kebakaran ini, marilah kita 

tinggalkan Sitti Nurbaya di rumahnya dan kita ikuti Penghulu 

Sutan Mahmud. Setelah sampai ia ke pasar Kampung Jawa, ber-

tanyalah Penghulu itu kepada orang jaga yang ada di sana, di 

manakah kebakaran itu. Jawab mereka, di Pasar Gedang, lalu 

Sutan Mahmud menyuruh mencambuk kudanya ke sana. Di 

tengah jalan banyak kelihatan orang yang telah keluar dari 

rumahnya, karena terkejut mendengar bunyi tabuh. Makin dekat 

Sutan Mahmud ke Pasar Gedang, makin banyaklah orang 

tampak di jalan raya. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang 

berlari menuju api itu, ada yang berteriak dan ada pula yang 

menangis, takut kalau-kalau rumahnya atau rumah keluarganya 

yang terbakar. Pompa air pun telah dikeluarkan, ditarik cepat-

cepat menuju kebakaran itu. 

Akhirnya tiada dapat lagi Sutan Mahmud berbendi, sebab 

terlalu banyak orang di jalan raya, sehingga segala kendaraan 

ditahan, tak boleh terus. Sutan Mahmud turun dari atas bendinya, 

lalu berjalan kaki, diiringkan oleh seorang-orang jaga, menuju 

tempat kebakaran itu. Di situ nyatalah oleh Sutan Mahmud,

bahwa yang terbakar itu ialah toko Baginda Sulaiman, ayah 

Nurbaya; yang sebuah telah habis dimakan api, sedang yang 

sebuah lagi tengah, terbakar dan ketiga rupanya tak dapat 

ditolong lagi, istimewa pula karena pompa tak dapat bekerja, 

sebab tak ada air. Barang-barang suatu pun tak dapat di-

keluarkan, karena api sangat cepat makannya dan udara di sana 

sangat panas, sehingga seorang pun tak ada yang berani men-

dekat. Polisi-polisi hanya menjaga dari jauh saja, supaya jangan 

terjadi kecelakaan apa-apa. Bunga api bermain ke udara, 

sehingga menjadi merahlah langit di sana. Terkadang-kadang 

kedengaran bunyi peletusan, disertai oleh bunga api yang mem-

bangkit ke atas. Bunyi kayu meletus adalah sebagai mercun 

dibakar. Di dalam bunga api yang berkabut itu, kelihatanlah 

kelelawar beterbangan ke sana kemari, karena kepanasan. 

Sejam kemudian daripada itu, habislah ketiga toko Baginda 

Sulaiman terbakar dengan isi-isinya. Tinggal abu dan bekas-

bekas rumah saja lagi. 

Usaha yang bertahun-tahun, pencarian yang sekian lama, 

habis dimusnahkan api dalam sejam. Tatkala itu berembuslah 

angin topan, disertai oleh hujan yang sangat lebat sehingga api 

dalam sekejap mata pun padamlah. 

Terlambat! Bila sejam lebih dahulu datang hujan yang sekian 

lebatnya, barangkali dapat juga ketolongan sebuah toko dengan

isinya. Tetapi bukan demikian halnya. Adalah sebagai hendak 

dipeliharakan Tuhan sekalian toko lain yang berdekatan di sana, 

dan hanya toko Baginda Sulaiman sahaja yang harus dimakan 

api. 

Tatkala datang angin dan hujan ini, sekalian orang yang ada 

dekat kebakaran itu, larilah pulang ke rumahnya masing-masing. 

Yang dapat berteduh, berteduhlah dekat-dekat di sana. Hanya 

saudagar-saudagar yang telah mengeluarkan barang-barangnya 

dari tokonya yang ribut memasukkan barang-barangnya kembali. 

Sutan Mahmud pun dengan segera mencari bendinya, lalu 

pulang ke rumahnya dengan perasaan yang sedih dan heran. 

"Ajaib," katanya dalam hatinya ketika pulang itu." Apakah 

sebabnya lekas amat api itu makan, dan apakah sebabnya maka 

bukan toko yang kedua terbakar, sesudahnya toko yang pertama? 

Bolehkah jadi api itu melompat dari toko yang pertama ke toko 

yang ketiga, melalui toko yang di tengah-tengah? Dan apakah 

sebabnya maka kedua toko yang diujung itu hampir serentak 

terbakar, sebagai disengaja dibakar orang, bukan terbakar 

sendiri? Akan tetapi siapa pula yang akan berbuat sedemikian? 

Baginda Sulaiman tak ada musuhnya. 

Lagi pula apakah sebabnya hujan ini datang, tatkala ketiga 

toko itu telah habis terbakar? Mengapakah tidak lebih dahulu? 

Apakah sebabnya dan apakah maksudnya sekalian ini?"

Demikianlah pikiran Sutan Mahmud dalam bendinya, karena tak 

mengerti akan kejadian yang ganjil ini. Tiada berapa lamanya 

kemudian sampailah ia ke rumahnya.

VIII. SURAT NURBAYA KEPADA SAMSULBAHRI 

Matahari silam bintang pun terbit, bintang luput fajar 

menyingsing siang hilang berganti malam, malam lenyap siang 

pun timbul. Hilang hari berganti hari, habis bulan bersambung 

bulan! Musim bergilir takkan bertukar, akan tetapi waktu itu 

tiadalah mengindahkan perubahan dan pertukaran ini, melainkan 

berjalanlah ia terus-menerus dengan tiada berhenti-henti dari hari 

ke hari, dari tahun dan dad abad ke abad. Dari manakah datang-

nya waktu itu dan ke manakah perginya? Adakah awalnya dan 

adakah akhimya? Wallahu alam. 

Di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, dalam masa yang hampir 

setahun, tiada banyak perubahan. Pelajaran murid-murid, makin 

lama makin dilanjutkan, karena tiada berapa lama lagi akan 

puasa dan sekolah tentulah akan ditutup, supaya dapatlah 

beristirahat murid-murid yang telah mengusahakan dirinya, 

belajar bersusah payah dalam setahun itu. 

Samsulbahri dan sahabatnya Arifin rupanya adalah maju 

dalam pelajarannya. Pada tiap-tiap ujian yang telah dilangsung-

kan tahun itu nyatalah, bahwa mereka tiada tertinggal dalam 

pelajarannya daripada teman sejawatnya. Keberatan dan 

kesusahan yang sangat dideritanya pada mula-mula mereka

datang ke Jakarta, hilanglah sudah dan biasalah mereka pada 

kehidupannya yang baru. Hanya ingatan dan rindu hati Samsul-

bahri kepada Nurbayalah yang tiada hendak berkurang-kurang, 

bahkan kian hari kian bertambah rasanya, sehingga terkadang-

kadang hampir tak dapat ditanggungnya denda yang sedemikian 

itu. Terlebih-lebih dalam beberapa hari ini, hatinya sangat rawan 

bercampur sedih, dengan tiada diketahuinya apa sebabnya; 

sebagai adalah sesuatu mara bahaya, yang telah jatuh ke atas diri 

kekasihnya itu. Oleh sebab itu makinlah ia teringat kepada 

Nurbaya dan makinlah bertambah ingin hatinya hendak bertemu 

dengan adiknya ini. 

"Heran," katanya dalam hatinya, tatkala ia duduk termenung 

seorang diri, di atas sebuah batu, dalam pekarangan sekolah, 

"mimpiku yang dahulu itu datang pula menggoda pikiranku. 

Senanglah hatiku, tatkala ingatan kepada mimpi celaka itu mulai 

hilang; akan tetapi apakah sebabnya sekarang ini datang pula 

sekonyong-konyong menggoda hatiku? Ah, mungkin sebab 

pikiranku telah dahulu kembali ke Padang, karena tiada lama lagi 

hari akan puasa dan di sanalah kelak akan dapat bertemu dengan 

kekasihnya itu." 

Sedang ia berpikir-pikir sedemikian, datanglah Arifin mem-

bawa sepucuk surat yang dialamatkan kepada Samsu, lalu 

diberikannya surat ini kepada sahabatnya. Tatkala dilihat Samsu

alamat surat itu dan nyata datangnya dari Nurbaya, masuklah ia 

ke dalam biliknya, akan membaca surat itu seorang diri. Ketika 

akan dibukanya surat ini, berdebarlah hatinya dan ngerilah rasa 

badannya, seolah-olah ada sesuatu kabar yang sedih akan 

didengarnya; istimewa pula karena kelihatan olehnya, pem-

bungkus surat itu, sebagai bekas kena titik air. 

"Kena hujankah surat ini atau kena air laut?" tanya Samsu 

dalam hatinya. 

Tatkala akan dikoyaknya pembungkus surat itu, tiba-tiba 

jatuhlah gambar Nurbaya yang tergantung pada dinding biliknya, 

sehingga hancur kaca dan bingkainya, sedang potret itu sendiri 

rusak pula, karena sqbuah daripada pecahan kaca yang runcing, 

menembus dada kekasihnya ini, tentang jantungnya. Potret itu 

diangkat oleh Samsu, lalu dicabutnya pecahan kaca yang masuk 

ke dalam dada Nurbaya perlahan-lahan, takut akan bertambah 

rusak gambar itu. Akan tetapi bagaimana pun ia berhati-hati, 

kertas potret itu rusak juga tentang dada Nurbaya. 

"Ajaib," pikir Samsu dalain hatinya, sambil termenung. 

"Apakah artinya alamat ini? Apakah kabar yang akan ku-

dengar?" 

Setelah dibersihkannya pecahan kaca-kaca tadi, lalu diambil-

nyalah pula surat yang baru datang itu, dibukanya dengan tangan 

yang gemetar dan hati yang berdebar-debar. Ketika itu kelihatan

lah olehnya surat itu penuh dengan bekas titik air, serta tulisan-

nya pun banyak yang kurang terang, sebagai suatu surat yang 

tertulis oleh orang yang pikirannya sedang kusut. Demikian 

bunyi surat itu: 

Padang, 13 Mare11897. 

Kekasihku Samsulbahri! 

Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini, yang 

telah kutulis dengan air mata yang bercucuran dan hati yang 

sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan 

sembilu dan dibubuh asam, garam; serta pikiran yang kelam 

kabut akan datang membawa kabar yang sangat dukacita 

kepadamu, barangkali juga akan memutuskann pengharapan-

mu, yang kau amalkan siang dan malam dan walaupun 

rasakan putus rangkai jantung hatiku mengenangkan sedih 

dan duka nestapa yang akan menimpa engkau karena 

mendengar kabar yang malang ini, akan tetapi kugagahilah 

juga diriku menulis surat ini, karena takut kalau-kalau engkau 

bersangka, bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling 

daripadamu. 

Barangkali juga kabar ini akan menimbulkan murka dan 

syak wasangka di dalam hatimu, Sam, dan akan meng-

hilangkan kepercayaanmu kepadaku dan karena itu tiadalah 

hendak kauindahkan lagi aku ini dan kaubuang aku, sebagai

membuang sampah ke pelimbahan, sebab pada sangkamu 

sesungguhnyalah aku seorang yang tiada memegang janji dan 

tak boleh dipercayai. 

Oleh sebab itu biarlah aku bersumpah lebih dahulu, 

barangkali engkau percaya kembali kepadaku. Wallah wa 

nabi, tiadalah hatiku berubah dari sediakala kepadamu dan 

tiadalah ada ingatanku, akan menyakiti hatimu dan memutus-

kan pengharapanmu. Tuhan Yang Mahakuasa saksiku, dan 

apabila tiada benar aku di dalam hal ini, biarlah diazab dan 

disiksanya aku dari dunia sampai ke akhirat. Sesungguhnya 

aku beribu kali lebih suka mati berkalang tanah daripada 

hidup bercermin bangkai sebagai ini, dan jika tiada takut dan 

tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku, supaya 

jangan menanggung sengsara lagi. 

Sekarang apa hendak kukatakan? Karena demikianlah 

rupanya nasibku yang telah tertimpa. Walaupun bagaimana 

juga hendak kutolak atau kuhindarkan diriku daripadanya, 

niscaya akan sia-sia belaka pekerjaan itu, karena untung dan 

nasib manusia ditentukan, semenjak di rahim bunda kandung. 

Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak 

dapat ditolak, mujur tak dapat diraih? Bukankah setahun yang 

telah lalu, telah engkau ketahui untungku, karena engkau 

telah mendapat mimpi tentang nasibku itu? Sekarang 

datanglah waktunya rupanya, aku harus menepati nasibku itu, 

tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai sia-sialah segala cita-cita

dan kenang-kenanganku, lenyap segala harapanku, putus tali 

tempat bergantung dan ..." 

Di situ tak dapatlah Samsu membaca surat ini lagi, karena 

kertasnya rupa-rupanya penuh kejatuhan air mata, sehingga 

menjadi kembang dan huruf yang tertulis di atasnya menjadi 

kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsu tulisan 

yang kurang terang itu, lalu dibacanya lanjutannya: 

"Supaya dapat kauketahui bagaimana anal mulanya 

kecelaka-anku ini, kutulislah juga surat ini. Dengan demikian, 

dapatlah kautimbang berapa besar kesalahanku dalam perkara 

ini. 

Sebagai telah kuceritakan kepadamu, toko ayahku telah 

terbakar sekaliannya. Itulah permulaan sengsaraku; dari 

situlah asalnya azabku. Seperti cerita yang kudengar dari 

ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan kemudian 

daripada itu, ada tanda-tanda yang menyatakan pembakaran 

itu perbuatan orang, karena dekat di sana, ada bekas tempat 

minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, Sam, 

sampai sekarang belum juga lagi dapat keterangan, siapa yang 

berbuat kejahatan itu. 

Bertambah-tambah syak hati ayahmu, kebakaran itu per-

buatan khianat, sebab yang mula-mula terbakar, dari ketiga 

toko itu, ialah kedua toko yang di sisi. Keduanya hampir

serentak dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang, 

bagaimana-kah api itu dapat melompat dari toko yang 

pertama ke toko yang ketiga, dengan melampaui toko yang di 

tengah-tengah. Jika dapat pun melompat, tentulah toko yang 

pertama itu terlebih dahulu hams terbakar benar-benar, 

barulah api dapat melompat ke toko yang ketiga. Tetapi 

sebagai kukatakan, kedua toko yang di sisi itulah yang mula-

mula sama-sama terbakar, barulah toko yang di tengah. 

Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan 

sangat cepatnya, tiadalah dapat ketolongan sepotong barang 

pun, karena tatkala diketahui orang api itu, kedua toko itu 

telah hampir habis terbakar. Dan karena panas apinya, 

seorang pun tak ada yang berani mendekati toko-toko itu. 

Itulah juga sebabnya, maka sehelai benang pun tak ada yang 

keluar; sekaliannya habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga 

toko itu belum dimasukkan asuransi, rugilah ayahku pada 

malam itu kira-kira lima puluh ribu rupiah. 

Suatu lagi yang mengherankan ayahmu, yaitu penjaga toko 

itu rupanya tidur nyenyak, sehingga mati kebakaran. Hanya 

penjaga toko yang di tengahlah yang terlepas dari bahaya 

mati. Akan tetapi jika tiada ditolong, tentulah ia mati pula; 

karena tatkala api memakan toko yang di tengah, belum juga 

ia terbangun, sehingga ia dihela oleh serdadu ke luar. Di luar, 

kelihatan sebagai orang mabuk, tiada insaf akan dirinya. 

Sebagai telah kuceritakan kepadamu, ayahku malam itu

tiada ada di rumah, pergi ke Padang Panjang, menguruskan 

perniagaannya pada beberapa toko langganannya di sana, 

yang rupanya hendak mungkir membayar utangnya dan tak 

mau mengambil barang-barang lagi kepada ayahku. Itulah 

yang menjadikan pikiran dalam hatiku. Sesungguhnyakah 

sekalian itu perbuatan orang? Jika benar, apakah maksudnya 

dan siapakah musuh yang tersembunyi ini? 

Setelah pulanglah ayahku pada keesokan harinya, sebab 

dikirimi surat kawat oleh ayahmu, kuceritakan kecelakaan itu 

kepadanya dan kukabarkanlah pula syak hatiku kepada orang 

yang telah kaumimpikan itu. Akan tetapi ayahku tiada hendak 

mendengar perkataanku ini, karena ia sangat percaya rupanya 

kepada orang itu. 

"Bukannya ia yang berbuat jahat," kata ayahku, "melain-

kan nasib kitalah yang sedemikian. Sungguhpun begitu, 

janganlah kaususahkan hal itu!" kata ayahku pula, "karena 

kebun kelapaku masih ada dan barang-barang hutan yang ku-

terima bulan ini, adalah pula lima perahu banyaknya; cukup 

bagiku akan memulai berniaga, sebagai dahulu. Jika dengan 

tolong Allah, akan kembalilah segala yang telah hilang itu." 

Ayahku, karena sabarnya rupanya dengan sepenuh-penuh 

hatinya menyerahkan untungnya kepada Tuhan Yang Maha-

kuasa dan memohonkan kurnia-Nya. Itulah pula yang me-

nimbulkan ajaib hatiku, karena kelak akan nyata kepadamu, 

bahwa Tuhan telah meninggalkan kami dan tiada menolong

kami lagi, walaupun tiada kuketahui, apakah dosa dan 

kesalahan yang telah kami perbuat. Segala kesangsaraan dan 

kecelakaan datangnya bertimpa-timpa, sebagai adalah kutuk 

yang telah jatuh ke atas kepala kami; karena dua hari 

kemudian daripada itu datanglah anak perahu ayahku yang 

biasa membawa dan mengambil barang perniagaan dari 

Terusan dan Painan mengabarkan, kelima perahu ayahku 

telah karam di laut, dilanggar topan yang berembus, tatkala 

malam kebakaran itu. Suatu pun dari muatannya tak ada yang 

ketolongan, sedang sekalian anak perahu, niscaya akan mati 

di laut, jika tiada ditolong oleh perahu lain. 

Bagaimana rasa hati ayahku ketika mendengar kabar itu, 

tak dapatlah kuceritakan di sini, melainkan Allah jugalah 

yang mengetahuinya. Sungguhpun air mukanya tetap, tiada 

berubah, dan rupanya menyerah dan tawakal kepada Tuhan, 

tetapi aku tahu, hatinya di dalam remuk redam sebagai kaca 

jatuh ke batu. Sejak hari itu kami hidup berhemat-hemat. 

Tiada lama kemudian daripada itu, rupanya ayahku 

meminjam duit kepada Datuk Meringgih, banyaknya sepuluh 

ribu, dengan janji itu bagi ayahku, tiadalah kuketahui. 

Barangkali akan pembayar utang atau akan dijalankan pula 

membangunkan perniagaannya yang telah jatuh itu. Tetapi 

rupanya di dalam tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga 

habislah uang itu. Sekalian orangnya di Terusan dan Painan, 

lari meninggalkan ayahku dengan membawa uang yang ada

padanya, dan segala toko langganan ayahku di Padang Darat 

itu pun mungkir pula tiada hendak membayar utangnya. 

Tinggal satu lagi harapan ayahku, yaitu kebun kelapa di 

Ujung Karang, tetapi pengharapan ini pun diputuskan pula, 

karena kami harus jatuh ke lumpur, tak boleh ditolong lagi. 

Iblis yang mendatangkan segala mara bahaya itu rupanya 

belum puas melihat kami telah jadi sedemikian. Bukannya 

harta kami saja yang akan dilenyapkannya, tetapi jiwa kami 

pun akan dicabutnya pula dan bila nasib yang malang ini, 

tiada hendak meninggalkan kami, niscayalah maksud 

jahanam itu tiada lama lagi akan sampai. 

Pohon kelapa yang diharapkan ayahku itu, tiada hendak 

berbuah lagi, sedang buahnya yang ada pun, tua muda jadi 

busuk, gugur ke tanah. Batangnya pun mati semuanya. 

Bagaimanakah boleh jadi kecelakaan datang bertimpa-

timpa sedemikian itu, tak habis kupikir-pikirkan. Pecah 

otakku mengenangkan apakah dosa ayahku maka sampai 

mendapat hukuman serupa itu? Aku tak percaya, ayahku ada 

berbuat sesuatu yang tak baik atau kesalahan yang besar, 

sampai disiksa sedemikian itu. 

Akan tetapi apa hendak dikata? Jika nasib akan jatuh, 

sekaliannya boleh menjadi sebab. Bagiku adalah untung itu 

sebagai kata pepatah: Disangka panas sampai petang, kiranya 

hujan tengah hari. Di situlah nyata kebesaran Tuhan, yang 

boleh menjadi tamsil bagi segala hartawan. Jika dikehendaki

Nya, harta yang sebagaimana banyaknya pun dapat lenyap 

dalam sekejap mata." 

Baharu hingga itu terbaca oleh Samsu surat Nurbaya ini, 

bercucuranlah air matanya, yang sejak tadi ditahan-tahannya. 

"Larilah rupanya bahaya yang kutakutkan itu," pikirnya dalam 

hatinya, "Bagaimanakah akhirnya kekasihku ini?" 

Setelah disapunya air matanya, lalu diteruskannya membaca 

surat itu. 

"Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Meringgih 

meminta uang kembali, katanya sebab perlu dipakainya, 

tetapi ayahku tiada beruang lagi. Walaupun berapa ayahku 

minta janji, tiadalah diperkenan-kannya. 

Waktu itulah baru tahu ayahku, bagaimana hati Datuk. 

Meringgih sebenarnya kepadanya. Waktu itu berulah ia 

berasa, Datuk Meringgih bukan sahabatnya, melainkan 

musuhnya; jadi musuh yang sebesar-besarnya. Sekalian 

sangkaku yang telah kukatakan kepadanya, mulai dipercayai-

nya. 

Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai telah terlanjur ke 

Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk 

Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian malapetaka itu, 

sehingga ayahku sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan 

sengaja dipinjaminya ayahku uang, supaya ia jatuh pula ke

dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk 

Meringgih itu penjahat yang sebesar-besarnya, yang mengail 

dalam belanga, menggunting dalam lipatan. 

Setelah dipinta oleh ayahku dengan susah payah, barulah 

diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan 

perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar 

hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang 

ayahku dan ayahku akan dimasukkannya ke dalam penjara. 

Hanya bila aku diberikan kepadanya, raksasa buas ini, 

bolehlah ayahku membayar utang itu, bila ada uangnya. 

Membaca kekejian ini, merah padamlah warna muka Samsu. 

Matanya sebagai berapi, urat keningnya membengkak dan 

sekujur badannya gemetar. Tangannya dikepalkannya sebagai 

hendak menerkam Datuk Meringgih, yang pada penglihatannya 

barangkali ada di mukanya. 

"Jahanam!" demikianlah perkataan yang keluar dari 

mulutnya, "Anjing tua yang tiada berbudi. Ingat rupa dan 

umurmu hendak meminta Nurbaya. Dengan hantu, patut engkau 

kawin!" 

Setelah disabarkan Samsu hatinya, lalu dibacanya pula surat 

itu, karena sangat ingin ia hendak mengetahui, apakah jadinya 

dengan kekasihnya itu.

"Di dalam sepekan itu," demikianlah sambungan surat 

Nurbaya," pergilah ayahku ke sana kemari mencari uang, 

tetapi tiadalah seorang juga yang percaya lagi kepadanya, 

karena ia telah jatuh sengsara. Sedangkan sahabat karibnya, 

yang acap kali ditolongnya di dalam kesenangannya, telah 

meninggalkannya pula. Rupanya begitulah adat dunia ini, 

patut dikiaskan oleh orang Jakarta dengan sindiran: Ada uang 

abang sayang, tak ada uang abang melayang. Ya! Kawan 

gelak yang banyak, tetapi kawan menangis jarang bersua. 

Rupanya uang itulah yang dipandang, ditakuti, dihormati, dan 

dicintai orang; uang itulah sahabat kerabat, ibu-bapa dan 

sanak saudara. Yang tak beruang akan yatim piatulah, sunyi 

daripada sekaliannya, hidup sebatang kara. 

Jika demikian, alangkah lancungnya dunia ini, alangkah 

jahatnya manusia itu! Tetapi sesungguhnya tak ada orang 

yang tiada memandang uang di dalam dunia ini? Hormat 

karena hormat, takut karena takut, sayang karena sayang, dan 

cinta karena cinta? Walaupun aku percaya, tentulah ada juga 

orang yang tiada memandang uang, orang yang sebenarnya 

orang, di antara penduduk kota Padang ini, tetapi sebab 

kecelakaan yang bertimba-timpa ini, menjadilah syak hatiku 

dan kurang kepercayaanku. 

Sekarang marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu 

panjang surat ini. 

Kebun kelapa yang di Ujung Karang itu, harta ayahku yang

penghabisan, tak lalai dijual, karena kelapanya sekalian telah 

mati." 

Ketika itu hati Samsu makin bertambah-tambah tak enak, 

sehingga ia menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Oleh sebab itu; tatkala akan sampailah janji ayahku itu 

kepada Datuk Meringgih, pada malamnya, datanglah ia 

kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena 

esoknya tentulah akan datang—Datuk ini mendengar 

keputusan kami. 

Aku tiada terkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku, 

hatiku tak dapat kusenangkan. Acap kali menangislah aku 

pada malam hari mengenangkan nasibku yang malang ini. 

Mimpirnu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah 

Datuk Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat 

tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati. 

Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku 

Datuk Meringgih datang menguasai aku. Dengan demikian, 

badanku menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang: 

Jika engkau lihat aku sekarang jni, pastilah tak kenal lagi 

engkau kepadaku. Demikianlah perubahan badanku, karena 

sedih, susah, takut dan makan hati." 

"Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk 

Meringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. "Pertama

umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga 

karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan 

aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu dan hatinya 

kepadamu. Aku pun tiada lain. melainkan itulah yang kucita-

citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat 

engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, karena 

ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau. 

Aku percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini 

sangat bersedih hati melihat halku ini dan terlalu ingin hendak 

menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya berawan hati 

menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan 

mengalangi cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi 

perjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi 

hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan sampai 

menjadi sesalan kemudian han, karena engkau sendirilah yang 

dapat memutuskan perkara ini. Jika sudi engkau menjadi istri 

Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam 

penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita 

ini. Akan tetapi jika tak sudi engkau, niscaya aku dan sekalian 

kita yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya." 

Mendengar perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan 

lagi sedih hatiku, hancur luluh rasa jantungku, lalu menangis-

lah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah baju 

dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah 

kujawab perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan

pecah dan leherku bagai terkunci. 

Tatkala ayahku melihat halku sedernikian itu, air matanya 

tak dapat ditahannya, sehingga keluar berlinang-linang jatuh 

ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil berkata, 

"Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa 

engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah; tak mengapa. Biarlah 

harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara 

sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu. 

Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku; 

mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku terlebih 

suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang 

yang tiada kausukai; dan jika aku tiada ingat akan engkau dan 

tiada takut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku 

dalam dunia ini. Tetapi engkaulah yang menjadi alanganku. 

Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada lagi? Siapakah 

yang akan memeliharamu?" 

Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di 

pipinya. Sesungguhnya harta benda itu tiada berguna bagiku, 

jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela? Tanggunganku 

yang lain tak ada ibumu pun telah lama meninggal dunia. 

Pikiran kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak 

berniaga, mencari keuntungan yang banyak, supaya engkau 

kelak jangan susah dalam Whidupanmu. Tiada lain yang 

kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbul-

alamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak,

bila aku telah berpulang. Sekarang engkau tak suka pada 

orang itu, sudahlah! Kewajibarrku telah kujalankan, supaya 

jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah 

kita nanti segala kehendak Tuhan dengan tawakal dan 

menyerah!" 

Mendengar bujukan ayahku ini, barulah dapat aku 

mengeluarkan suara lalu bertanya, "Tidakkah cukup untuk 

pembayar utang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan 

rumah dan tanah Ayah? Karena hamba lebih suka miskin 

daripada jadi istri Datuk Me ringgih." 

"Tanah tak laku, sebab tak ada orang yang hendak mem-

belinya dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentu-

lah tak lebih dari.enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari yang 

lain dengan bunga uang utang itu? Tetapi sudahlah, jangan 

kaupikirkan lagi perkara ini senangkanlah hatimu, dan kita 

tunggulah apa yang akan datang." 

Semalam-malaman itu tak dapat aku memejamkan mataku 

barang sekejap pun; menangis pun tak dapat pula, sebagai 

kehabisan air mata. Sungguhpun mataku terbuka, tetapi tak 

dapat aku berpikir apa-apa; adalah sebagai otakku telah lelah. 

Oleh sebab itu berbaringlah lalu semalam-malaman itu 

dengan mata yang terbuka dan pikiran yang kacau-balau. 

Halku adalah seperti orang yang tiada khabarkan dirinya, 

antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati. 

Berbagai-bagai penglihatan dengan perasaan yang memberi

takut dan dahsyat hatiku, datang menggoda. Dikatakan ber-

mimpi, mataku terbuka, dikatakan jaga, pikiranku tiada 

hendak menurut kemauanku. Inilah agaknya yang disebut 

orang bermimpi dalam bangun. 

Setelah menyingsinglah fajar di sebelah timur dan ber-

kokoklah ayam berbalas-balasan, barulah sadar aku akan 

diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu keluarlah 

aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi 

menyala. Kemudian aku mandi akan menyegarkan tubuhku. 

Sesudah mandi, barulah agak dapat aku berfikir dengan benar. 

Tatkala ingatlah pula aku akan halku, kecutlah kembali hatiku 

dan berdebar-debarlah jantungku serta gemetar sendi tulang-

ku, karena sebentar lagi akan jatuhlah hukumanku atau 

hukuman ayahku. Bila aku tiada diterkamnya, niscaya ayah-

kulah yang akan disiksanya, binatang buas itu. 

Tiada berapa lama kemudian daripada itu, sesungguhnya 

datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda. 

Setelah naik ke rumahku dengan tiada duduk lagi, ia bertanya 

kepada ayahku, "Bagaimana?" 

"Tak dapat kubayar utang itu," jawab ayahku, "dan anakku 

tak dapat pula kuberikan kepadamu." 

Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia 

dengan marahnya, lalu berkata, "Jika demikian, tanggunglah 

olehmu!" lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai 

Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Seorang

daripada tuan ini berkata, sambil mendekati ayahku, 

"Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan 

membawa tuan ke dalam penjara, atas kemauan Datuk 

Meringgih." 

"Dan hamba terpaksa pula menyita rumah dan sekalian 

harta tuan hamba," kata pegawai yang lain. 

Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada, 

"Lakukan kewajiban tuan-tuan!" 

Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, 

sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mata-

ku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, 

keluarlah aku, lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku! 

Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!" 

Mendengar perkataanku itu, tersenyumlah Datuk Meringgih 

dengan senyum, yang pada penglihatanku, sebagai senyum 

seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan ter-

bayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan 

kepada matanya, sehingga terpaksa aku menutup mataku. 

Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk 

aku, sambil bertanya "Benarkah katamu itu?" Seperti suatu 

perkakas mengangguklah aku, karena mengeluarkan perkata-

an tak dapat lagi. 

"Oleh sebab hendak menolong ayahku, anakku menyerah-

kan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan 

hatimu, yang sebagai hati binatang itu." kata ayahku kepada

Datuk Meringgih." Sekarang barulah kuketahui bahwa 

kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatanmu juga karena 

busuk hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain 

berharta pula seperti engkau. Dengan berbuat pura-pura ber-

sahabat karib dengan aku, kauperdayakan aku, sampai aku 

jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut sebarang 

kehendakmu yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih! 

Tuhan itu tiada buta; lambat-laun tentulah engkau akan 

beroleh juga hukuman atas khianatmu ini," lalu ayahku 

menuntun aku masuk ke dalam rumah. Sejak waktu itulah 

Samsu, aku menjadi istri Datuk Meringgih ...

Di sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya 

penuh dengan bekas air mata. 

Setelah Samsu membaca kecelakaan ini, lalu ia menunduk-

kan kepalanya ke atas mejanya, menangis amat sangat, karena 

sedih akan nasib kekasihnya dan untungnya sendiri pun. Segala 

cita-cita hatinya yang sekian lama diharap-harapkannya, pada 

saat itu hilang lenyap, sebagai batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke 

pasir, tak dapat dicari lagi. Pengharapan yang telah sekian lama 

berurat berdaging dalam jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh 

Datuk Meringgih, dengan putus yang tak dapat disambung lagi. 

"Inilah jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama 

aku hasratkan! Inilah buah permintaan dan doaku yang kupohon

kan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa! Alang-

kah malangnya untung nasibku ini!" demikianlah buah tangis 

Samsulbahri seorang diri di dalam biliknya. 

Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba 

berdirilah ia dengan menggertakkan giginya dan mengepalkan 

tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata yang bernyala-

nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret 

Nurbaya yang ada dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas 

lalu bersumpah, "Demi Allah, demi rasul-Nya! Selagi ada napas 

di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! Tiada puas 

hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini. 

Ya Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku 

ini dan janganlah dicabut nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai 

maksudku ini." 

Setelah bersumpah itu, tunduklah Samsu beberapa saat lama-

nya, sebagai hendak menahan sedih dan amarahnya; kemudian 

terduduklah pula ia ke atas kursinya, tiada berkata-kata barang 

sepatah pun. Tatkala sadarlah ia kembali akan dirinya, lalu di-

teruskannya membaca surat Nurbaya dengan mata yang masih 

merah dan basah. 

"Barangkali tak dapat kaupikirkan. Samsu, bagaimana 

hancur hatiku sekarang ini. Pertama karena telah mungkir 

janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua

karena terpaksa duduk dengan seorang-orang yang sebagai 

Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat kubenci. Tiadalah 

suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya 

sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu, 

asalnya penjual ikan kering, tabiatnya lebih daripada tabiat 

binatang, kelakuannya kasar dan bengis. Lagi pula ialah orang 

yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; ialah 

musuh kami yang sebesar-besarnya dan ialah pula yang akan 

menjadi algojoku, untuk mencabut nyawaku. Kepada orang 

yang sedemikian itu aku harus menyerahkan diriku. Dengan 

dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kaupikir; Aduh! 

Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku 

dalam dunia ini! 

Sungguhpun telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini, 

barangkali belumlah juga engkau percaya kepadaku dan 

masih bersangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat jua, 

untuk memperdayakan engkau. Akan tetapi Allah subhanahu 

wata ala saksiku, Sam, dan Dialah juga yang mengetahui 

bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan diriku. 

Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati, 

bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau 

bagaimana sekalipun aku memang teiah mungkir janji, tiada 

menurut perkataan dan sumpahku yang telah kukeluarkan. 

Dan akulah seorang perempuan yang telah memutuskan peng-

harapan kekasihnya. Sekalian itu tak dapat kutidakkan. Akan

tetapi adakah jalan lain yang dapat kuturut di dalam 

kecelakaan ini? 

Oleh sebab tiada terderita olehku penanggungan yang 

sebagai ini, timbullah ingatan dalam hatiku hendak mem-

bunuh diriku. Itulah hukuman yang berpadanan dengan dosa-

ku. Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada 

hidup bercermin bangkai, sebagai ini. Akan tetapi tatkala aku 

hendak memakan racun, datanglah ingatanku, kalau-kalau 

perbuatan ini salah pula pada hematku. 

Oleh sebab itu kutulislah surat ini, supaya kau ketahui halku 

ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula segala sebab-

sebab yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji. Bila 

telah kaubaca surat ini, dapatlah kautimbang hukuman yang 

akan kaujatuhkan ke atas diriku, dan yang akan kuterima 

dengan rela dan tulus. Bila dari padamu pun aku tiada akan 

mendapat ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak 

ada harapanku lagi. Oleh sebab itu kupinta kepadamu dengan 

sebesar-besar permintaan, kaubalaslah surat ini dengan 

segera. 

Sebagai kaulihat, sebagian daripada mimpimu dahulu itu 

telah terjadi, tinggal jatuh ke dalam jurang itu saja lagi. Bila 

telah sampai ke sana, tentulah ajalku pun akan sampailah 

pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat 

kutolak lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh 

sebab itu, di dalam hal ini, terlebih baik bagiku, lekas-lekas

dihabiskan umurku, supaya jangan menanggung terlalu lama. 

Suatu yang akan melipur hatiku kelak. apabila aku telah 

sampai ke sana, kepada penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh 

ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau. 

Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun 

dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah 

kita akan bersatu selama-lamanya. 

Sehingga inilah dahulu, kekasihku. Kelak, jika masih ada 

hayat di kandung badanku, kusambunglah pula cerita yang 

malang ini, asal masih sudih engkau melihat bekas tanganku 

yang akan melukiskan untungku yang celaka ini. Barangkali 

juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi 

menjadi abangku, barangkali masih suka engkau dan 

sambutlah peluk cium daripada adikmu yang sengsara ini. 

NURBAYA 

Setelah Samsu membaca surat ini, dire bahkannyal ah dirinya 

di tempat tidurnya, lalu menelungkup menangis tersedu-sedu 

semalam-malaman itu.

IX. SAMSULBAHRI PULANG KE PADANG 

Lebih dari setahun lamanya kita tinggalkan gunung Padang, 

sejak Samsulbahri berjalan-jalan ke sana dengan Nurbaya dan 

teman-temannya. Sekarang marilah kita kembali pula ke sana, 

karena pada hari ini sangatlah ramai di gunung itu, penuh sesak 

dengan beratus-ratus orang laki-laki perempuan, kecil besar, tua 

muda. Dekat-dekat pekuburan; di bawah-bawah polion kayu, di 

tempat yang teduh-teduh, duduklah mereka berkumpul-kumpul. 

Ada yang sedang asyik membaca salawat, untuk sekalian ahli 

kubur, ada yang sedang asyik membersihkan kubur orang tua-

nya, ada yang sedang meratap menangis di atas kubur anaknya, 

yang baharu meninggal dunia dan ada pula yang sedang 

menyiramkan air cendana dan menaruh bunga rampai, di atas 

kubur saudaranya, yang amat dicintainya. Akan tetapi ada pula 

yang hanya duduk bercakap-cakap saja dan banyak pula yang 

datang sekedar hendak melihat-lihat atau beramai-ramai saja. Di 

jalan ke gunung itu dan di kakinya, penuh dengan orang, sebagai 

di pasar rupanya. Ada yang datang, ada yang pergi dan ada pula 

yang berhenti melepaskan lelah. 

Di batang Arau kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang 

menyeberangkan mereka pulang balik, sedang di pinggir jalan

raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu 

muatan. Fakir dan miskin serta alim ulama, demikian pula haji-

haji banyak yang datang, untuk mendoa. Ada yang kedengaran 

sedang ratib dan ada pula yang sedang membaca fatihah. 

Apakah sebabnya maka ramai sungguh waktu itu di gunung 

Padang? O, karena hari itulah penghabisan bulan Sya'ban; esok-

nya akan mulai puasa bulan Ramadan. Sebelum masuk ke dalam 

bulan yang baik ini, pergilah seisi kota Padang mengunjungi 

pekuburan sekalian kaum keluarganya, yang telah berpulang ke 

rahmatullah, untuk mendoakan arwahnya dan memohonkan 

selamat, supaya yang telah meninggal dan yang masih hidup 

pun, semuanya dipelihara Tuhan dalam segala hal. 

Oleh sebab tinggal sehari itulah kaum Muslimin boleh makan 

siang hari, dipuas-puaskan merekalah nafsunya dengan segala 

makan-makanan yang lezat cita rasanya. Itulah sebabnya maka 

dinamakan orang Padang hari itu "hari makan-makan". 

Pada petangnya, kelihatan bulan sebagai secarik kertas, me-

mancarkan cahayanya di sebelah barat tiada berapa tingginya 

dari muka airlaut. Oleh sebab itu berbunyilah tabuh pada 

sekalian langgar dan mesjid akan memberitahukan kepada segala 

urnat Islam, bahwa keesokan harinya, puasa akan dimulai. 

Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya, 

masuklah sebuah kapal, yang datang dari Jakarta ke pelabuhan

Teluk Bayur, membawa beberapa murid-murid sekolah Jakarta, 

yang asalnya dari Sumatra Barat. Mereka hendak pulang ke 

rumahnya mengujungi orang tua dan handai tolannya, karena 

dalam bulan puasa sekalian sekolah Bumiputra ditutup. 

Di antara murid-murid itu, adalah juga Samsulbahri dengan 

sahabatnya Arifin dan Bakhtiar. Tatkala merapatlah sudah kapal 

ke pangkalan, naiklah ketiga mereka ke darat, lalu pulang 

tergesa-gesa ke rumah orang tuanya masing-masing, karena 

sangat rindu hendak bertemu dengan ibu-bapaknya. Hanya 

Samsulbahrilah yang sebagai tiada mengindah, karena kekasih-

nya yang ditinggalkannya dahulu tak ada lagi. Yang akan 

menyambutnya hanya ibu bapaknya saja. Istimewa pula, karena 

pulangnya itu niscaya akan membangunkan kembali segala 

ingatan kepada waktu yang telah silam. 

Setelah sampailah Samsu ke rumah orang tuanya, lalu ber-

jabat tanganlah ia dengan ayahnya dan ibunya dipeluknya. 

Kemudian masuklah ia ke dalam biliknya, akan menukar 

pakaiannya. Sebab itu keluarlah pula, bercakap-cakap dengan 

orang tuanya, menceritakan halnya, pelajarannya di Jakarta dan 

pelayarannya dengan kapal pulang balik. Tetapi sungguhpun ia 

berkata-kata itu hati dan pikirannya tiada di sana, melayang 

entah ke mana. Halnya ini diketahui oleh ibunya dan Sitti 

Maryam turut berdukacita, mengenangkan nasib anaknya, yang

sebiji mata ini. Sungguhpun demikian, tiadalah dibayangkan 

Samsu, pada mukanya, perasaan hatinya. 

"Kasihan," kata Samsu dengan suara yang pilu, karena se-

sungguhnya hatinya terlalu sedih, tatkala melihat rumah orang 

tuanya dan rumah Nurbaya dengan sekalian yang menimbulkan 

ingatan kepada waktu yang telah lalu, sehingga hampirlah 

menyesal ia pulang ke Padang, "hamba melihat seorang 

hukuman membuangkan dirinya ke laut sebagai seorang yang 

telah putus asa." 

"Di mana?" tanya ibunya dengan terperanjat, mendengar 

kabar yang dahsyat itu, takut kalau-kalau anaknya berbuat 

demikian pula. 

"Di laut Tanjung Cina, malam kemarin dahulu. Tatkala 

gelombang amat besar, melompatlah ia dari geladak kapal ke 

laut, lalu hilang tiada timbul lagi." 

"Ya Allah, ya rabbi, kasihan!" sahut ibunya dengan ngeri. 

"Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut 

daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan dan malu. Patut-

lah acap kali hamba lihat ia termenung dan terkadang-kadang 

menangis di gisi kapal; makan pun kerap kali tiada suka." 

"Barangkali ia hendak lari," kata Sutan Mahmud. 

"Pada pikiran hamba bukan demikian," sahut Samsu, "karena 

kapal waktu itu jauh di tengah lautan; daratan tak kelihatan.

Masakan dapat ia mencapai pantai. Lagi pula tangannya 

dibelenggu; bagaimanakah ia dapat berenang?" 

"Sedih amat! Bagaimanakah rasa hati anak-bininya, ibu-bapa 

dan sanak saudaranya, bila mendengar kabar itu?" kata Sitti 

Maryam pula. 

"Barangkali ia sebatang kara atau besar kesalahannya," sahut 

Sutan Mahmud. 

"Kesalahan manusia itu, hanya Allah yang mengetahui," 

jawab istrinya. 

"Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu di-

hukum buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke Sawah 

Lunto," kata Samsu pula. 

"Nah, dengarlah itu! Kalau tak bersalah, masakan dihukum 

seberat itu," jawab Sutan Mahmud. 

"Biarpun telah dihukum, belum tentu lagi bersalah, karena 

hukuman itu, walau rupanya adil sekalipun, masih hukuman 

dunia dan hakimnya manusia, yang gawat dan lemah, sebagai 

kita sekalian juga," jawab Sitti Maryam. 

"Baik; tetapi hakim itu bukannya orang bodoh, melainkan 

orang yang ahli dalam undang-undang, orang yang telah ter-

pelajar dan bersekolah tinggi. Lagi pula bukan seorang hakim 

yang menghukum itu, melainkan bersama-sama; bagaimana 

boleh salah juga?" kata Sutan Mahmud pula.

"Walau demikian sekalipun, belum dapat juga lagi kita 

pastikan, orang itu bersalah; karena yang batin itu tak dapat 

diketahui manusia," jawab Sitti Maryam. 

Samsulbahri tiada hendak mencampuri pertengkaran ayah 

dengan ibunya ini, istimewa pula karena pikirannya tak ada di 

sana. 

"Bagaimana pula engkau ini?" kata Sutan Mahmud, 

"masakan hakim menghukum orang dengan tiada semena-mena? 

Tentulah telah cukup keterangannya dengan saksi-saksinya 

sekalian, baru dihukum." 

"Saksi itulah yang acap kali menyesatkan hakim untuk 

mendapat kebenaran. Kakanda jangan gusar, karena perkataan 

adinda ini. Cobalah dengar misal yang akan adinda ceritakan ini! 

Seorang yang kaya atau berpangkat tinggi, hendak membinasa-

kan seorang miskin. Dengan uang atau pangkatnya itu, mudah 

baginya mengadakan beberapa saksi palsu. Bila hakim hanya 

mendengar saksi saja, tentulah si miskin, yang tiada bersalah itu, 

akan dihukum. 

Misal yang kedua. Di tempat yang sunyi, dibunuh oleh 

seorang penjahat seorang yang melintas ke qana, karena hendak 

merampas harta bendanya. Seorang yang baik dan lurus hati, 

yang tiada bersalah suatu apa sampai pula ke sana. Tatkala 

dilihatnya orang terhantar di jalan raya, tentulah akan diperiksa

nya, kalau-kalau masih dapat ditolong. Karena memeriksa itu 

pakaiannya kena darah. Ketika itu datang empat orang yang lain 

ke sana, lalu tampak olehnya si lurus hati itu ada dekat mayat, 

dengan pakaiannya berlumur darah. Tidakkah ia akan didakwa 

berbuat kejahatan itu? Sekalian saksi tentu dapat mengaku di 

hadapan hakim mereka telah melihat dengan matanya sendiri 

bahwa si lurus hatilah yang ada dekat mayat, dengan berlumuran 

darah pakaiannya. Saksi-saksi ini berkata benar, tiada berdusta. 

Tidaklah dapat dikatakan cukup keterangan? Yaitu empat lima 

saksi-saksi yang berkata benar dan pakaian yang berlumuran 

darah? Oleh sebab itu hakim menghukum si lurus hati ini. Akan 

tetapi benarkah ia bersalah dalam pembunuhan itu?" 

Oleh karena mendengar kebenaran perkataan istrinya ini, 

bangunlah Sutan Mahmud dari kursinya, lalu pergi duduk di 

serambi muka, karena kalah bersoal jawab dengan istrinya, tetapi 

malu mengaku kebodohannya. 

Setelah keluar Sutan Mahmud, barulah kelihatan oleh Sitti 

Maryam, anaknya, Samsulbahri, sedang termenung melihat ke 

rumah Nurbaya, lalu ditegurnya dengan pertanyaan, "Samsu, 

apakah yang kaumenungkan?" walaupun telah diketahuinya, apa 

yang dipikirkan anaknya pada waktu itu. 

"Ah, tidak apa-apa, Bu," sahut Samsu, "ingatan hamba belum 

lepas dari kejadian yang telah hamba ceritakan tadi. Rupanya

pengharapan yang putus itu, boleh memberi bahaya, yang amat 

sangat kepada manusia." 

Mendengar jawaban anaknya ini, berdebarlah Sitti Maryam, 

takut kalau-kalau Samsu telah putus asa pengharapan pula. Oleh 

sebab itu, bertanyalah ia kepada Samsu, akan menduga hati 

anaknya ini, "Sudahkah engkau tahu, bahwa Nurbaya telah 

kawin dengan Datuk Meringgih? Ada aku suruh ayahmu 

mengabarkan hal itu kepadamu, tetapi entah dikabarkannya 

entah tidak, tiadalah kuketahui." 

Yang sebenarnya dilarang oleh Sitti Maryam, suaminya 

menulis surat kepada Samsu, tentang hal ini, sebab ia takut 

anaknya ini akan putus asa. 

"Sudah," jawab Samsu dengan pendek, karena tak dapat 

rupanya ia mendengar lagi kabar itu. 

"Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinan ini, 

sebab sesungguhnya tak layak saudaramu itu duduk dengan 

Datuk Meringgih. Tetapi apa hendak dikata? Sekalian itu takdir 

daripada Tuhan semata-mata, tak dapat dibatalkan lagi. Pergilah 

engkau ke rumahnya! Ayahandanya telah beberapa hari sakit. Di 

sana akan kaudengar, bahwa itulah jalan yang sebaik-baiknya 

untuk melepaskan mereka daripada kecelakaannya," kata Sitti 

Maryam, membujuk anaknya. 

"Sakit apakah Mamanda Baginda Sulaiman?" tanya Samsu.

"Sakit demam dan sakit kepala," jawab Sitti Maryam. 

"Baiklah, segera hamba pergi ke sana," kata Samsu, lalu 

masuk ke biliknya akan menukar pakaiannya. Tatkala itu 

datanglah sais Ali membawa sekalian buah-buahan yang dibawa 

Samsu dari Jakarta. 

"Sediakanlah sepiring untuk Engkumu di muka dan sepiring 

lagi untuk Engku Baginda Sulaiman! Barangkali ada nafsunya 

memakan buah-buahan. Telah beberapa hari ia tidak makan," 

kata Sitti Maryam. 

"Baiklah," jawab sais Ali. 

Tiada berapa lama kemudian daripada itu, keluarlah Samsu 

dari rumah orang tuanya, diiringkan oleh Kusir Ali, pergi ke 

rumah Baginda Sulaiman. 

Setelah masuklah mereka ke pekarangan rumah ini, ber-

debarlah hati Samsu memandang bangku tempat ia duduk 

bersama-sama Nurbaya pada malam ia akan berangkat ke 

Jakarta, setahun yang telah lalu. Teringat kembali olehnya 

sekalian kelakuan dan perkataan serta janjinya kepada Nurbaya, 

pada malam itu dan apabila tak malu ia kepada sais Ali, tentu 

keluarlah air matanya, karena sedih. 

"Adakah Nurbaya dalam rumah ini atau tiadakah?" 

Demikianlah pikiran Samsu dalam hatinya. Kalau ada bagaimana 

ia bertemu dengan kekasihnya yang telah meninggalkannya ini?

Setelah masuklah ia ke dalam rumah Nurbaya, tiadalah 

kelihatan olehnya seorang juga, lalu ia berjalan perlahan-lahan, 

masuk ke bilik Baginda Sulaiman. Di sana tampaklah olehnya 

saudagar ini sedang berbaring di atas tempat tidurnya, 

berselimutkan kain panas. Sangat terperanjat Samsu serta sedih 

hatinya melihat perubahan ayah Nurbaya ini. Apabila di tempat 

yang lain ia bertemu dengan Baginda Sulaiman, tentulah tiada 

percaya ia yang berbaring itu memang mamanda angkatnya. 

Rambutnya mulai putih, mukanya pucat, badannya kurus, 

mata dan pipinya serta napasnya sekali-sekali, karena sangat 

letih rupanya. 

"Engkau Nurbaya? Hampirlah kemari!" 

"Hamba bukan Nurbaya," sahut Samsu dengan gemetar 

bibirnya, karena menahan sedih hatinya. "Hamba Samsulbahri, 

baru datang dari Jakarta. Tatkala hamba dengar Mamanda sakit, 

segeralah hamba kemari." 

Setelah mendengar perkataan ini, menoleh si sakit kepada 

Samsu dengan membesarkan matanya, sebagai hendak me-

nerangkan penglihatannya. "Samsulbahri?" tanyanya dengan 

lemah suaranya. 

"Hamba, Mamanda," jawab Samsu. 

"Marilah dekat kemari, Samsu!" kata Baginda Sulaiman pula. 

Samsu hampirlah dengan membawa buah tangannya dari

Jakarta sambil berkata, "Inilah hamba bawa buah-buahan sedikit; 

kalau-kalau Mamanda dapat memakannya." 

"Buah apa itu?" tanya si sakit, "sesungguhnya aku telah 

beberapa hari tak enak makan." 

"Ada buah sauh Manila, ada buah mangga, buah salak dan 

nenas. Buah anggur dan apel pun ada pula hamba beli di kedai. 

Barangkali dapat menimbulkan nafsu Mamanda," sahut Samsu. 

"Cobalah beri aku buah sauh itu sebuah; pilih yang lembut!" 

kata Baginda Sulaiman. 

Dipilihnya oleh Samsu sebuah sauh Manila yang masak 

benar, dibersihkannya dan diberikannya kepada mamandanya 

itu, lalu dimakanlah oleh Baginda Sulaiman perlahan-lahan. 

Rupanya nafsu makannya datang sedikit, entah sebab segar buah 

itu, entah sebab Samsu, yang membawanya, wallahualam; 

karena buah itu dimakannya beberapa butir. 

Sementara Baginda Sulaiman makan itu, Samsu tiada putus-

putusnya memandang mukanya dan sangatlah besar hatinya 

tatkala dilihatnya buah tangannya itu dapat menimbulkan nafsu 

si sakit, yang telah beberapa hari tiada makan. ` 

"Sungguh nyaman buah yang telah engkau bawa ini, Sam; 

segar badanku rasanya memakannya," kata si sakit. "Aku banyak 

minta terima kasih kepadamu, Samsu, apalagi karena rupanya 

hatimu tiada berubah kepadaku, di dalam aku ditimpa

kesengsaraan ini. Tadi aku sangka engkau Nurbaya, karena ialah 

yang kusuruh datang. Akan tetapi bertambah-tambah besar 

hatiku, tatkala kuketahui, engkau pun telah ada di sini. Rupanya 

petmintaanku dikabulkan Tuhan; karena pertemuan ini telah 

beberapa lama aku pohonkan. Sangat ingin hatiku hendak ber-

jumpa dengan engkau, sebab adalah sesuatu yang hendak ku-

minta kepadamu." 

"Permintaan apakah itu Mamanda, katakanlah! Jika ada pada 

hamba, tentulah hamba berikan," jawab Samsu. 

"Pada sangkaku tiadalah berapa lama lagi aku hidup di atas 

dunia ini. Sekalian gerak dan tanda-tanda telah datang kepadaku, 

memberi tahu, bahwa aku segera akan berpulang ke 

rahmatullah." 

"Mamanda, janganlah berpikir sedemikian! Ingatlah 

Nurbaya!" kata Samsu dengan berlinang-linang air matanya. 

"Itulah yang menjadi alangan padaku; itulah yang menggoda 

pikiranku. Bila aku tak ada dalam dunia ini, menjadilah Nurbaya 

seorang anak yatim piatu, yang tidak beribu-bapa dan sunyi pula 

daripada segala sanak saudara kaum keluarga. Bagaimanakah 

halnya kelak, sepeninggalku; sebatangkara di atas dunia ini? 

Siapakah yang akin menolongnya dalam segala kesusahannya, 

dan siapakah yang akan menunjuk mengajarnya dalam 

kesalahannya? Karena maklumlah engkau, umurnya baru

setahun jagung belum tahu hidup sendiri, belum tahu kejahatan 

dunia dan belum merasai azab sengsara yang sebenar-benarnya. 

Ketahuilah olehmu, Samsu, walaupun di dalam dunia ini 

dapat kita memperoleh kesenangan, kesukaan, kekayaan, dan 

kemuliaan, akan tetapi dunia ini adalah mengandung pula segala 

kesusahan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kehinaan yang 

bermacam-macam rupa dan bangunnya, tersembunyi pada segala 

tempat mengintip kurbannya setiap waktu, siap akan menerkam, 

barang yang dekat kepadanya. 

Lain daripada itu, dunia ini penuh pula dengan ranjau 

godaan, kelaliman, tipu daya, hasud khasumat, sombong angkuh 

dan dengki khianat. Apabila tiada berhati-hati dan tak dapat 

menghindarkan diri daripada sekalian kejahatan itu, niscaya 

terperosoklah kita ke dalamnya dan binasalah badan. Pada 

sebilang waktu, dalam segala tempat, dapat kita bertemu dengan 

bahaya ini. Di daratan, di lautan, di udara, di dalam tanah, di 

dalam rumah, di tengah jalan, di dalam hutan, di tengah padang, 

tidaklah luput kita daripada mara bahaya itu. Sementara duduk, 

sementara berjalan, tidur, minum dan makan, berkata-kata, 

melihat, mendengar, mencium dan lain-lain sebagainya, dapat 

bertemu dengan dia. Sesungguhnya, Samsu, tak mudah hidup di 

dunia ini. Itulah jembatan siratalmustakim yang halusnya lebih 

daripada rambut dibelah tujuh.

Tak mudah minitinya. Kebanyakan orang jatuh, masuk ke 

dalam api neraka yang menyala di bawahnya. Hanya mereka 

yang berhati-hati dalam segala pekerjaannya dengan memper-

gunakan pikiran yang sempurna, mereka yang berhati suci dan 

lurus, serta sabar dan tawakal, itulah yang acap kali selamat 

sampai ke seberang. Demikianlah susahnya, jika hendak hidup 

dengan baik di atas dunia ini, apalagi bagi orang sebatangkara. 

Telah kurasa sendiri, Samsu, tatkala aku masih kecil. Itulah 

sebabnya pada kebanyakan orang, dunia neraka jahanam, per-

hubungan seribu-ribu tali kesukaan dan kesaktian, yang tidak 

berkeputusan: patah tumbuh, hilang berganti, dari awal sampai 

akhir. Yang agak mujur sedikit pun, bertukar-tukar pula 

untungnya, sekali ke bawah sekali ke atas; berputar sebagai roda 

yang berpusing. Hanya beberapa orang, saja yang mendapat 

surganya di atas dunia ini. 

Berilah aku beberapa buah anggur lagi! Karena lemah 

rasanya badanku, berkata-kata ini." 

Dengan segera Samsu memberikan buah anggur kepada ayah 

Nurbaya. Setelah buah itu dimakannya beberapa butir, di-

sambungnya perkataannya tadi. "Oleh sebab kuketahui dan 

kurasai sendiri sekaliannya itu, bertambah-tambah khawatirlah 

hatiku meninggalkan Nurbaya. Sedangkan bagi laki-laki, telah 

sekian susahnya, istimewa pula bagi perempuan yang bersifat:

lemah dan yang dipandang oleh bangsa kita rendah derajatnya 

daripada derajat laki-laki; sedang bagi kebanyakan kaum 

Muslimin hampir tiada berharga, hampir sama dengan sahaya. 

Bagaimanakah untungnya kelak? Bingung hatiku memikirkan 

hal itu. Akan tetapi, apa yang hendak kukatakan, karena ajal, 

untung, dan pertemuan itu tak dapat ditentukan. 

Oleh sebab di atas dunia ini tak ada yang lain, melainkan 

engkaulah anakku yang kedua, engkaulah saudara Nurbaya, 

kupintalah kepadamu, dengan sebesar-besar pinta, supaya sudi-

lah kiranya engkau menolong dan membantu saudaramu yang 

piatu ini kelak, di dalam segala halnya. Janganlah kausia-siakan 

dan kaubuang-buang ia dan sudilah engkau menjadi ibu-

bapanya! Janganlah engkau menaruh dendam dan sakit hati 

sebab ia telah menjadi istri Datuk Meringgih! Engkau maklum, 

Samsu, perkawinannya itu tiada dengan sesuka hatinya dan tidak 

dengan sesuka hatiku, melainkan semata-mata karena takdir 

daripada Tuhan Yang Masa Esa juga, tak dapat diubah lagi. 

Walaupun aku dan ia lebih suka mati daripada berbuat 

sedemikian, akan tetapi apalah kuasa kami, akan membantah 

kehendak Tuhan ini! Bukan kesalahan Nurbaya, bukan 

kesalahanku dan bukan kesalahan siapa pun maka terjadi hal ini, 

melainkan semata-mata telah nasib Nurbaya yang sedemikian 

itu."

Ketika itu berhentilah Baginda Sulaiman sejurus berkata-kata 

sebagai hendak menantikan jawaban dari Samsu, tetapi karena 

Samsu berdiam diri, lalu diulangnya pertanyaannya, "Sudikah 

engkau mengabulkan permintaanku itu?" 

"Masakan hamba tak sudi," jawab Samsu. "Perkara itu 

janganlah Mamanda khawatirkan; walau bagaimana sekalipun, 

Nurbaya tinggal adik hamba, dunia dan akhirat; tak boleli hamba 

buang atau hamba hilangkan dari dalam hati hamba. Berjanjilah 

hamba dengan bersaksikan Tuhan dan rasul-Nya, selagi hamba 

hidup, tiadalah akan hamba sia-siakan Nurbaya." 

Maka dipeganglah tangan Samsu oleh Baginda Sulaiman 

dengan kedua belah tangannya, lalu diletakkannya di atas dada-

nya dan dipejamkannya matanya sejurus, sambil berkata dengan 

lapang bunyi suaranya, "Terima kasih!" 

Tatkala itu tiba-tiba masuklah Nurbaya ke dalam bilik itu. 

Sesungguhnya Nurbaya telah lama datang, karena dipanggil 

oleh ayahnya. Akan tetapi ketika didengarnya suara Samsulbahri 

dalam bilik ayahnya, tiadalah tahu apa yang hendak dibuatnya. 

Walaupun hatinya sangat ingin hendak masuk melihat ayahnya, 

tetapi malu dan takut rasanya ia akan bertemu dengan Samsul-

bahri. Dalam hal yang demikian bingunglah ia, lalu berdiri 

seketika, di luar bilik ayahnya, dengan hati yang berdebar-debar. 

Setelah didengarnya janji Samsu kepada ayahnya, barulah

hilang bingungnya, bertukar dengan sukacita yang sangat, karena 

sekarang diketahuinyalah bahwa hati kekasih dan saudaranya ini; 

tiada berubah kepadanya. Itulah sebabnya, maka berani.ia 

masuk, menemui ayahnya dan Samsu. 

Ketika Samsu memandang muka Nurbaya, dengan se-

konyong-konyong terbukalah mulutnya, tiada berkata-kata. Hati-

nya suka bercampur duka. Suka karena bertemu dengan kekasih-

nya ini, duka. karena mengenangkan pengharapannya yang telah 

putus.... Dilihatnya rupa Nurbaya sungguh sangat berubah dari 

dahulu, tatkala ditinggalkannya. Badannya yang tinggi lampai 

dan lemah gcmulai itu menjadi kurus, mukanya yang putih 

kuning sertaa kemerah-merahan, bila kepanasan, menjadi pucat; 

matanya yang jernih itu menjadi pudar, dikelilingi oleh suatu 

lingkaran hitam yang dalam; pipinya seakan-akan cekung, 

rambutnya kusut, sebagaia tiada diindahkannya benar-benar. 

Sekaliannya rnenyatakan kedukaan dan kesakitan hati yang tiada 

terhingga. Sangatlah sedih hati Samsu melihat hal kekasihnya 

sedemikian itu; sehingga tiada dapat ia berkata-kata, untuk 

pengeluarkan perasaan hatinya. 

Tatkala terpandang oleh Nurbaya Samsu, pura-pura 

terperanjatlah ia, lalu, berkata dengann riang rupanya, "Engkau 

ada di sini, Sam! Apa kabar? Bila datang?." lalu didekatinya 

kekasihnya dan dijabatnya tangannya.

"Tadi, dengan kapal yang baru masuk," sahut Samsu, sambil 

menjabat tangan Nurbaya. "Tatkala aku sampai ke rumah, aku 

dengar mamanda sakit; itulah sebabnya segera aku datang 

kemari. Apa kabar dirimu sendiri?" 

"Sebagai engkau lihat," jawab Nurbaya. "Sekaliannya bukan 

menyatakan kesenangan. Akan tetapi nantilah kuceritakan lebih 

panjang tentang hal ini." 

Kemudian didekati Nurbaya ayahnya, lalu berkata, "Ayah, 

apa kabar? Bagaimana perasaan Ayah sekarang? Dan apakah 

aral, maka di suruh datang ananda ini?" 

"Hampir padaku dan duduklah engkau di sini! Ada suatu 

yang penting, yang hendak kuceritakan kepadamu." 

Setelah hampirlah Nurbaya kepada ayahnya, berkata Baginda 

Sulaiman. 

"Anakku Nurbaya! Ketahuilah olehmu, aku ini sesungguhnya 

telah lama sakit, tetapi tiada kuperlihatkan kepadamu, melainkan 

kutahan seboleh-bolehnya, supaya kesakitanku ini jangan pula 

sampai menambahkan kedukaan hatimu. Aku ini telah tua, 

perjalananku dalam dunia ini tiada mendaki lagi, melainkan 

menurunlah, ke tempatku yang kekal, tempat aku akan 

beristirahat selama-lamanya. Dari yang tak ada aku akan 

diadakan, dari kecil menjadi besar, setelah besar menjadi tua dan 

bila telah tua, berbaliklah aku kembali kepada asalku.

Demikianlah perjalanan segala yang bernyawa di atas dunia ini; 

tak ada simpang yang lain dan tak dipat pula diubah. Segala yang 

hidup akan matilah juga pada akhirnya, dan segala yang ada 

akan bertukar-tukar juga romannya. 

Walaupun hal itu biasanya tiada diingat orang atau tiada 

sempat dipikirkan, karena dirintang kesukaan atau kedukaan dan 

karena pikiran yang sedemikian pada kebanyakan orang 

mendatangkan ngeri dan takut, sebab kematian adalah sesuatu 

yang gaib, akan tetapi sekaliannya itu tiadalah akan mengubah 

perjalanan alarn ini. Sesungguhpun ingatan kepada mati men-

datangkan dahsyat di dalam hati, tetapi janganlah dihilangkan 

benar-benar pikiran ini, melainkan harulah diinsyafkan juga, 

bahwa maut itu, pada suatu ketika akan datang juga, supaya 

janganlah kita bersangka, akan hidup selama-lamanya dan dapat 

kekal bercampur gaul dengan sekalian yang ada ini. Dengan 

demikian, bila datang waktunya kelak, kita akan menlnggalkan 

dunia ini pula, bercerai daripada segala yang dikasihi dan 

disayangi, tiadalah kita akan sangat terkejut dan hilang akal; 

karena inilah yang acap kali menyesatkan perjalanan yang pergi 

dan merusakkan badan dan pikiran yang tinggal; sebab menyesal 

dan merindu, serta bersedih bersusah hati dengan amat sangat. 

Aku maklum, bercerai dengan segala yang telah mengikat 

hati, tak mudah; istimewa pula bila perceraian itu perpisahan

yang akhir, bercerai tiada akan bertemu lagi, pada sangka 

setengah orang. Tetapi janganlah lupa, bahwa sekaliannya itu 

memanglah seharusnya demikian. Walaupun suka atau tak suka, 

riang ataupun duka, takut atau berani, menyerah atau mem-

bantah, bila ajal itu telah datang, tak akan dapat dihindarkan lagi, 

melainkan harus diterima dengan menyerah, tulus dan ikhlas. 

Apakah kekuasaan kita, insan yang hina dan daif ini? Tak ada. 

Sungguhpun ada di antara orang yang sombong dan angkuh, 

yang membesarkan dirinya atas kepandaian, kekayaan, bangsa 

atau pangkatnya yang tinggi, akan tetapi berapakah kekuasaan 

mereka, jika dibandingkan dengan kekuasaan alam ini? Adalah 

sebagai setitik air dengan lautan sedunia ini; barangkali tak 

sampai pula sedemikian. 

Tentang kepandaian, aku akui, banyak yang telah diketahui 

orang, agaknya berjuta-juta kali lipat ganda daripada itu. 

Barangkali engkau tiada percaya akan perkataanku ini, oleh 

sebab itu marilah tanyakan kepadamu suatu hal yang mudah 

saja: manakah yang terlebih dahulu ada, ayamkah atau telurkah? 

Tanyakanlah kepada orang pandai-pandai, siapakah dapat 

memberi keterangan itu? 

Tentang kekayaan yang besar dan pangkat yang tinggi itu, 

janganlah aku ceritakan lagi; banyak contoh yang telah kaulihat 

dan kaudengar sendiri. Walau sebagaimana pun kekayaan dan


tinggi pangkat, manusia itu, jika dengan kehendak Tuhan, dalam 

sekejap mata hilanglah ia. Bangsa yang tinggi, tak boleh menjadi 

alasan kesombongan, karena ketinggian itu sebab ditinggikan 

dan kerendahan itu sebab direndahkan orang. Jika tak ada yang 

meninggikan dan mcrendahkan, tentulah sama rata sekaliannya. 

Dan siapakah yang meninggi dan merendahkan itu? Hanya 

manusia jua. Bukankah sekalian manusia itu asalnya dari nabi 

Adam dan Sitti Hawa? Bagaimana boleh bertinggi berendah dan 

berlain-lain, apabila asalnya sama? Bukannya hendak kusama-

kan saja sekalian rnanusia itu, tidak. Ada juga perbedaannya; 

tetapi bukan kebangsawanannya, melainkan derajatnyalah yang 

tiada sama. Sungguhpun demikian derajat itu pun karunia Tuhan 

jua. Apa gunanya menyombongkan dengan pemberian orang? 

Kelebihan yang diperoleh sendiri pun, sebagai ilmu kepandaian, 

tak boleh juga disombongkan, sebab sekalian orang dapat mem-

peroleh ilmu dan kcpandaian, asal ada untung nasibnya akan 

beroleh anugerah itu. 

Ya, Nur! Jika aku tiada letih, tentulah akan kuuraikan 

sekaliannya, karena banyak lagi yang harus kauketahui. Akan 

tetapi, supaya jangan terlalu panjang ceritaku ini, baiklah aku 

kembali kepada maksudku tadi." 

Setelah berhenti beberapa lamanya, berkata pula Baginda 

Sulaiman perlahan-lahan. "Oleh sebab itu, bukankah lebih baik

dalam hal yang telah kuceritakan tadi, jangan terlalu berawan 

hati melainkan diperbanyak juga sabar dan tawakal kepada 

Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyerah dan berdoa, supaya 

yang berjalan dan yang tinggal pun dipelihara juga. Aku 

ceritakan hal itu kepadamu, karena penyakitku ini rupanya kian 

hari kian bertambah. Siapa tahu, kalau-kalau besok lusa harus 

meninggalkan engkau." 

Mendengar perkataan ini, menjeritlah Nurbaya, menangis 

tersedu-sedu, memeluk dan mencium ayahnya, sambil berkata, 

"Ayah, janganlah pergi, tinggallah bersama-sama ananda! Bila 

Ayahanda akan pergi juga, bawalah ananda sekali; jangan 

ditinggalkan seorang diri di atas dunia ini! Siapakah kelak yang 

akan sudi menolong ananda, sebagai Ayahanda? Ke manakah 

tempat bertanya dan siapakah tempat meminta? Jika sakit, 

siapakah yang mengobat dan menjaga? Jika susah, siapakah 

yang akan melipur hati ananda ini? Aduh, menjadilah yatim 

piatu, sebatang kara, ananda di atas dunia ini! Tiada beribu, tiada 

berbapa, dan tiada bersaudara pula. Ya Allah, bagaimanakah hal 

hamba Mu kelak, bila Ayah hamba tak ada lagi?" 

Demikian bunyi tangis Nurbaya di dada ayahnya. 

"Jangan menangis, Nur!" kata Baginda Sulaiman membujuk 

anaknya. "Sekalian itu belum tentu. Harapan dan ucapanku siang 

dan malam, lamalah juga hendaknya kita dapat bercampur gaul.

Kukatakan hal itu kepadamu; supaya engkau ingat dan jangan 

terlalu terperanjat, bila datang waktunya; karena walau 

bagaimana sekalipun, waktu itu niscaya akan datang juga; tidak 

sekarang, tentulah nanti. Akan hidup selama-lainanya, tentu tak 

dapat. Nyawa itu dalam tangan Allah; jika dikehendakinya, bila 

saja, niscaya melayanglah ia dalam sekejap mata. Selagi aku 

dapat betkata-kata, wajib bagiku, untuk memberi ingat engkau, 

supaya jangan menjadi sesalan bagiku kelak. 

Memang sedih hatiku mengenangkan halku. sekarang ini. 

Bila aku berpulang dewasa ini, tak adalah apa-apa yang dapat 

kutinggalkan padamu, lain daripada cinta dan doaku; karena 

sekalian hartaku tak ada lagi. Tetapi janganlah engkau khawatir 

dan putus asa! Serahkanlah untungmu kepada Rabbul-alamin! 

Dialah yang akan memelihara engkau. Dialah yang akan 

menolong dan mengasihani engkau, lebih daripada aku. 

Jangankan manusia, sedangkan ulat dalam lubang batu sekali-

pun, dipeliharakan dan diberinya rezeki. Oleh sebab itu, jangan-

lah hilang akal, melainkan pintalah siang dan malam kepada 

Yang Maha Kuasa, supaya engkau dipeliharakan-Nya juga, di 

dalam segala halmu. Kemudian janganlah pula lupa akan Samsu 

ini! Walaupun ia bukan saudaramu sejati, tetapi ia lebih daripada 

saudara kandungmu. Lagi pula ia telah berjanji kepadaku akan 

setia kepadamu; di dunia dan akhirat."

"Sungguhkah demikian, Sam?" tanya Nurbaya dengan 

segera, seraya memegang kedua belah tangan anak muda ini 

sambil menentang mukanya. "Tak dapat kukatakan, betapa 

besarnya hatiku mendengar perkataan ayahku tadi. Sungguhkah 

tiada berubah hatimu kepadaku?" 

"Sungguh, Nur," jawab Samsu. "Apa sebabnya hatiku akan 

berubah kepadamu? Atas halmu pada waktu ini, tak boleh aku 

berkecil hati, karena sekaliannya itu bukan kesalahanmu, melain-

kan gerak daripada Tuhan juga. Seharusnya, karena engkau telah 

ditimpa bahaya sedemikian itu, bertambah-tambah kasih 

sayangku kepadamu, karena pertolongan dan belaku atas dirimu 

pada waktu engkau dalam kesusahan ini, gkan amat berharga. 

Janganlah engkau syak wasangka kepadaku! Walau bagaimana 

sekalipun, engkau tinggal adikku, tak dapat dan tak boleh 

kubuang-buang. Tali yang telah memperhubungkan aku dengan 

engkau, telah tersimpul mati, tak dapat diungkai lagi. Dagingmu 

telah menjadi dagingku, darahmu telah menjadi darahku; siapa 

dapat menceraikan kita?" 

"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, Samsu! 

Hanya Allah yang mengetahui betapa sanangnya hatiku, men-

dengar perkataanmu dan Dialah juga yang dapat membalas 

kebaikanmu itu." 

Tatkala ia berkata-kita sedemikian itu, tak dapatlah ditahan

oleh Nurbaya air matanya, yang telah berlinang-linang, jatuh 

berderai ke tikar, sebagai manik putus talinya. 

"Apabila aku tak ada lagi," kata Baginda Sulaiman pula, 

"lebih berhati-hatilah engkau menjaga diri, pandai-pandai 

memeliharakan badan; berkata di bawah-bawah*), mandi di 

hilir-hilir, sebagai kata peribahasa. Karena sesungguhnya, bahasa 

itulah yang menunjukkan bangsa, istimewa pula, karena sekalian 

manusia yang baik, lebih suka kepada budi bahasa yang manis, 

perkataan yang lemah-lembut daripada tingkah laku yang kasar, 

perkataan yang tiada senonoh. Dengan kelakuan yang baik, lebih 

banyak kita akan beroleh maksud kita dan lebih banyak pula kita 

mendapat pertolongan, daripada dengan paksaari dan kekerasan. 

Jika hendak mulia, hinakan diri. Sebab kemuliaan dan kehinaan 

itu bukan datang dari kita sendiri, melainkan dari orang lain. 

Apakah salahnya merendahkan diri? Tak hilang pangkat dan 

bangsa; karena hati dan perkataan yang rendah. Tak mati ular 

menyusup akar, kata pepatah kita. Perkataan yang rendah, budi 

bahasa yang manis, tidak menjadi salah, bahkan acap kali mem-

bawa kita ke tempat yang tinggi. Kebalikannya, perkataan yang 

tinggi, sifat yang gaduk, mendatangkan kebencian. Jika pergi ke 

negeri orang, haruslah air orang disauk**) dan ranting orang 

dipatah, artinya jangan membawa aturan sendiri, melainkan adat 

*) Merendah diri 

**) Ditimba

kebiasaan orang dan negeri itulah yang dipakai dan dijalanan, 

supaya disukai orang dan lekas mendapat sahabat kenalan yang 

baik, yang sudi menolong kita dalam segala kesusahan kita. 

Sahabat kesukaan, janganlah diperbanyak, sebab biasanya tiada 

memberi faedah, bahkan acap kali menyedihkan hati. Sahabat 

kedukaan, itulah yang baik dirapati. Sahabat musuh, yaitu orang 

yang mengail dalam belanga dan menggunting dalam lipatan, 

yang pura-pura bersahabat dengan kita, karena hendak men-

celakakan kita, haruslah berhati-hati benar, karena ialah yang 

rupanya terlalu karib kepada kita dengan manis budi bahasanya. 

Oleh sebab itu, janganlah lupa pula akan pepatah kita: Buah 

yang manis itu acap kali berulat. 

Yang tua harus dihormati, yang muda dikasihi, sama besar 

mulia-memuliakan. Walaupun yang tua itu rupanya kurang 

daripada kita, tentang pengetahuan, kekayaan, pangkat, bangsa, 

ataupun yang lain-lain sebagainya, tetapi ia terlebih dahulu 

makan garam daripada kita dan terlebih banyak merasai 

kehidupan yang baik dan jahat. Ingatlah, lama hidup banyak 

dirasai, jauh berjalan banyak dilihat. Oleh sebab itu pada orang 

yang sedemikian, tak dapat tiada adalah juga pengetahuan atau 

penglihatan atau penanggungan yang belum ada pada kita, atau 

belum kita rasai. Itulah sebabnya orang ini harus dihormati. 

Yang muda harus dikasihi; sebab mereka adik kita, yang

kurang kekuatan dan pengetahuannya daripada kita. Tak patut 

kita mempergunakan kelebihan kita, akan menganiaya mereka. 

Demikian pula segala mahluk yang ada, terlebih-lebih yang 

lemah dan lata, haruslah disayangi. Jangan disakiti, karena 

sekalian itu hamba Allah sebagai kita juga. Dengan sesama 

manusia, haruslah berkasih-kasihan, beramah-ramahan dan 

bertolong-tolongan, dalam segala pekerjaan, suka dan duka. 

Terlebih-lebih yang sengsara dan kesusahan itulah, yang ter-

utama harus ditolong. Yang mulia dan kaya pun tak perlu 

dihindarkan, karena yang miskin dapat membantu dengan 

kekuatan dan nasehat dan yang kaya dapat menolong dengan 

uang. Janganlah angkuh dan sombong; istimewa pula karena 

pada kita sekarang ini, tak ada yang dapat disombongkan; uang 

tidak, bangsa pun kurang. Walaupun ada berharta, berbangsa dan 

berpangkat sekalipun, tak perlu disombongkan, karena sebagai 

telah kukatakan, sekalian itu barang pinjaman belaka dan 

hanyalah dalam dunia ini saja ada harganya. Bila yang empunya 

kelak meminta kembali hartanya itu, tak dapat tiada haruslah 

dipulangkan. 

Jangan suka berbuat kejahatan dan kelaliman, melainkan 

kebaikan itulah yang akan kaucintai. Itulah, pepatah: Raja adil 

raja disembah, raja lalim raja disanggah. Sedangkan raja lagi 

diperbuat demikian, apalagi kita. Pikiranmu pun haruslah suci

dan bersih, jangan suka berniat yang salah kepada dirimu atau 

diri orang lain, karena segala perbuatan dan pikiran itu tak 

hilang; ada awal tentu ada pula akhirnya. Segala perbuatan atau 

pikiran yang jahat, tak kan tiada jahat jugalah jadinya kepada 

dirimu sendiri atau diri sesamamu manusia. Kebalikannya, 

segala perbuatan dan niat yang baik itu, tak dapat tiada akan 

mendatangkan kebaikan juga atas dirimu atau diri orang lain. 

Walaupun terkadang-kadang akibat perbuatan dan niatmu itu 

berlainan rupanya daripada maksudmu, janganlah engkau syak; 

sekalian itu takkan salah. Jika tak sekarang, kemudian tentulah 

akan membalas juga kebaikan atau kejahatan itu. Yang baik itu, 

tak dapat menimbulkan yang jahat itu, yang jahat tak dapat pula 

mendatangkan yang baik. 

Bila permintaanmu tiada kabul dan maksudmu tiada sampai, 

dan jika engkau beroleh sesuatu kesusahan atau mara bahaya, 

janganlah lekas putus asa, serta menyesal akan untungmu dan 

murka akan Tuhanntu, karena segala sesuatu itu memanglah 

karunia juga daripada Tuhanmu dan Tuhan itu sesungguhnya 

bersifat adil serta pengasih penyayang kepada hamba-Nya; 

sekali-kali tiadalah la berkehendak membinasakan hamba-Nya, 

dalam waktu yang bagaimana sekalipun. Oleh sebab itu segala 

yang dikurniakan-Nya kepada hamba-Nya, meskipun rupanya 

jahat bagi mereka yang tiada mengerti, tetapi sesungguhnya

hakekatnya baik juga: Jika engkau pikirkan dan perhatikan 

benar-benar akan nyatalah kepadamu, bahwa segala yang jahat 

rupanya yang telah jatuh ke atas dirimu itu, ada juga 

mengandung kebaikan, yaitu pelajaran, yang dapat membawa 

engkau ke padang kemajuan yang sebenar-benarnya. Oleh 

karena kesusahan dan kesengsaraan itulah, maka jadi bertambah-

tambah pengetahuanmu dan ilmumu, tentang rahasia-rahasia 

alam ini, dan kehidupan di atas dunia ini. Kesenangan dan 

kesukaan jarang mendatangkan pelajaran, bahkan acap kali me-

lupakan manusia itu akan dirinya dan Tuhannya; terkadang-

kadang menjadikan mereka itu sombong, angkuh serta tekebur. 

Akan menerangkan, bahwa kecelakaan itu tak lain daripada 

pelajaran, dengarlah misal ini! Seorang kanak-kanak, belum tahu 

akan bahaya api. Bagaimana dapat diterangkan kepadanya, 

supaya mengerti benar ia, akan kebesaran bahaya itu sehingga 

dapat ia menghindarkan dirinya daripada api itu? Susah sangat 

bukan'? Hampir tak dapat, karena bahaya itu tak dapat 

diperlihatkan, atau dimisalkan kepada kanak-kanak yang kecil 

itu dengan sebenar-benarnya, sebelum dirasainya sendiri. Pada 

suatu hari, tatkala ia bermain-main api, dengan takdir Allah, 

terbakarlah tangannya. Pada waktu itu, baharulah dirasainya 

bahaya api itu. Mereka yang tiada tahu atau yang tiada hendak 

berpikir lebih panjang, mengatakan kanak-kanak itu mendapat

hukuman daripada Tuhan, tetapi sesungguhnya mendapat kurnia, 

yaitu suatu pengetahuan dan pelajaran yang tak dapat diperoleh-

nya, jika tiada dirasainya sendiri. Oleh karena kecelakaan itu, 

bertambahlah pengetahuan kanak-kanak tadi dan dapatlah ia 

menghindarkan dirinya daripada bahaya api, yang boleh berlipat 

ganda besarnya daripada yang telah dirasainya itu. Bukankah ini 

kurnia? Demikianlah juga segala kesusahan dan kecelakaan yang 

lain-lain, tak dapat tiada, ada juga baiknya. Bila kaupikirkan 

segala mara bahaya yang menimpa dirimu, niscaya terjatuhlah 

engkau daripada was-was dan penyesalan hati serta beberapa 

penyakit yang asalnya dari itu. 

Pikiran yang masgul, sedih dan susah, tidak mendatangkan 

kebaikan kepada dirimu, semata-mata kejahatan juga; melainkan 

sabar dan tawakal, serta pikiran yang suci itulah juga, yang 

menambah kesehatan badan. Bukankah telah dikatakan: sabar itu 

anak kunci pintu surga. Bukankah sabar itu tanda faham yang 

dalam, iman yang tetap, yaitu sifat-sifat yang mulia. Sabar itulah 

yang acap kali memberi jalan ke surga dunia dan surga akhirat, 

sedang tiada sabar, pemarah, pengumpat, dengki, khianat, loba 

dan tamak dan sifat yang lain-lain, yang sebagai ini, acap kali 

menuntun kita ke dalam neraka. Jika dapat engkau sabarkan 

hatimu daripada segala kesedihan, kesusahan dan amarah, tentu-

lah dapat pula engkau tahan segala nafsumu yang tiada baik.

Sifat yang dengki khianat loba dan tamak itu, harus dilawan 

dengan sekeras-kerasnya, supaya nyahlah sekaliannya dari 

hatimu. 

Kekayaan yang besar, pangkat yang tinggi, bangsa yang 

mulia, tiada selamanya membawa kesenangan; karena 

kebanyakan manusia bersifat tamak, tiada menerima yang telah 

dikurniakan Tuhan kepadanya, melainkan hendak bertambah-

tambah dan berlebih-lebihan juga. Dan jika dapat pun 

dipenuhinya segala kehendak dan maksudnya itu bukan puas 

hatinya, bahkan bertambah-tambah pulalah tamak dan lobanya, 

dan semakin lupalah ia akan dirinya dan Tuhannya, karena asyik 

hendak memuaskan hawa nafsunya yang tak dapat dipenuhi itu. 

Dan jika tak dapat disampaikannya segala maksudnya itu, 

menyesallah ia akan untungnya dan mengumpatlah ia kepada 

Allah. Ke sini ke sana, tiadalah orang yang sedemikian itu akan 

mendapat kesenangan dan kesejahteraan. 

Oleh sebab itu terimalah segala yang telah dikurniakan 

Tuhan itu dengan sabar. Jika hendak menambah yang telah ada 

itu, boleh tetapi hendaklah minta kepada-Nya dan. dengan jalan 

yang baik. Jika tiada dikabulkan permintaan itu sekarang, 

sabarlah dahulu barangkali kemudian dapat juga, karena barang 

sesuatu yang dikehendaki itu, niscaya akan diperoleh juga akhir 

kelaknya, asal dengan yakin dan bersungguh-sungguh hati

meminta. Sebagai telah kukatakan, Tuhan itu bersifat pengasih 

dan penyayang. 

Orang yang pada lahirnya hina, miskin dan daif, terkadang-

kadang hatinya terlebih senang daripada yang kaya, mulia atau 

berpangkat tinggi. Misalnya, seorang anak, yang tinggal ter-

sembunyi di hutan atau di gunung, jauh dari¬pada segala 

keindahan, kesukaan, kekayaan dan kepintaran dunia, acap kali 

terlebih senang daripada orang kota, yang selalu diselimuti oleh 

sekalian kebesaran dan kemuliaan; sebab keperluan untuk 

kehidupan anak hutan itu, tiada seberapa, sehingga keinginan 

hatinya hampir tak ada dan nafsunya pun kurang. Keinginan dan 

nafsu itulah penggoda yang teramat besar 

Setelah berhenti sejurus memakan buah-buahan bawaan 

Samsu disambunglah pula oleh Baginda Sulaiman nasihat 

kepada anaknya itu, "Janganlah engkau bersangka, kemajuan 

dunia itu selamanya mendatangkan manfaat kepada manusia, 

tidak. Misal yang mudah, yaitu ini: Apakah sebabnya maka 

orang tua-tua dahulu kala umurnya lebih panjang dan badannya, 

lebih sehat daripada orang sekarang ini? Padahal kehidupan 

mereka itu tidak sernpurna dan keperluan mereka itu pun tiada 

sebanyak orang sekarang ini? Pakaiannya terkadang-kadang 

hanya sehelai kain kulit kayu, makanannya tiada dimasak dan 

tiada diberi bumbu atau rempah-rempah, rumah tangganya, di

pokok kayu atau dalam gua batu. 

Bukan umur dan kesehatan badannya saja yang lebih 

daripada orang sekarang, tetapi ilmunya pun terlebih dalam pula; 

misalnya ilmu bertanam padi, yang asalnya daripada orang 

Hindu, zaman dahulu kala, sampai kepada waktu ini, belum 

dapat diperbaiki orang. Candi-candi, yang diperbuat orang Hindu 

itu, belum dapat ditiru oleh insinyur-insinyur.yang pandai, 

tentang kekuatannya. Ilmu orang Mesir membungkus mayat 

rajanya, sampai dapat disimpan beribu-ribu tahun lamanya pun, 

tiada diketahui orang sekarang. Sampai dewasa ini masih ada 

juga bekas-bekas orang dahulu itu, walaupun tiada sebagai di 

masa mereka itu mesih hidup. 

Ingatlah pula akan orang-orang gunung, di negeri kita ini 

yang tinggal tersisih, jauh dari kota, di tempat yang sunyi! 

Bukankah badan mereka itu terlebih sehat dan kuat daripada 

orang kota? Hati dan pikirannya terlebih baik dan lebih bersih 

pula? Apakah makanan mereka itu? Nasi dengan asam-asam dan 

sayur-sayuran, yang tiada dimasak dengan sempurna. Sungguh-

pun demikian, badannya sebagai gajah dan kekuatannya bukan 

sedikit. Hujan dan panas tiada diindahkannya, bahkan seakan-

akan menambahkan kesehatan badannya. Pakaiannya hanya 

secarik kain, rumah tangganya dimasuki hujan dan angin, tetapi 

jarang mereka itu sakit.

Akan orang kota yang telah maju itu, berbagai-bagai akal dan 

obat yang dipakainya, supaya jangan sakit. Rumah tangganya 

haruslah baik, menurut ilmu dokter, pakaiannya cukup daripada 

kain yang baik-baik, makanannya haruslah dijaga benar-benar; 

jangan sampai kekurangan dan kotor. Pada sangkaku kehidupan 

yang serupa itulah, yang meracun manusia, menjadikan pendek 

umurnya dan lemah badannya. 

Kebaikan mereka, orang yang dikatakan setengah biadab itu, 

aku sendiri telah acap kali merasainya; suka tolong-menolong, 

beramah-ramahan, berkasih-kasihan, lurus hati, boleh dipercayai, 

setia, hormat, tertib, sopan, santun, adil dan lain-lain; 

sekaliannya, sifat-sifat yang telah dilupakan oleh kebanyakan 

orang kota. Sayang orang yang sedemikian, makin lama makin 

berkurang-kurang, bertukar dengan orang yang dinamakan 

dirinya cerdik pandai dan beradab, tetapi yang sebenarnya, 

makin pandai makin ganas dan makin buas, serta menukar sifat-

sifat nenek moyangnya, yang mulia-mulia itu dengan dengki, 

khianat, loba, tamak, hidup sendiri-sendiri, tiada hendak tolong-

menolong, tiada hendak beramah-ramahan dan berkasih-kasihan; 

sombong, angkuh, kikir, tekebur, tak boleh dipercayai, tiada 

setia, lalim dan sebagainya. Ah, bagaimanakah akhirnya dunia 

ini, apabila kemajuan, yang sangat dicintai kaum sekarang, 

membawa manusia ke jalan yang seperti itu?

Lagi pula, haruslah engkau ketahui, kemajuan itu, ialah suatu 

perkakas, yang boleh ditujukan ke tempat yang baik dan ke 

tempat yang jahat. Bila ke tempat yang baik di kemudian, baik 

pulalah hasilnya tetapi bila ditujukan tempat yang jahat, tentu 

jahatlah jadinya. Orang sekarang, rupa-rupanya hendak 

menunjukkan perahu kemajuannya itu, ke pulau kejahatan, jadi 

bukan akan menyempurnakan manusia, bahkan akan memusnah-

kan segala yang hidup. 

Bedil itu apakah gunanya, jika tak untuk menghabiskannya? 

Meriam itu apakah faedahnya, jika tidak untuk meleburkan 

dunia? Dan apakah sebabnya, maka jadi begini? Tak lain karena 

orang sekarang, yang mengaku dirinya terlebih pandai dan 

beradab daripada orang dahulu, yang dikatakannya biadab itu, 

sesungguhnya bertambah ganas dan buas, sebagai telah 

kukatakan tadi. 

Makin bertambah maju manusia itu, makin bertambah besar 

kebaikan dan kejahatannya. Ilmu dokter, yaitu suatu hasil 

daripada kemajuan.itu, walaupun dapat dipergunakan, untuk 

menyembuhkan penyakit, tetapi dapat pula dipakai akan 

pembunuh yang hidup. Oleh sebab orang yang tiada beriman, 

memang terlebih mudah digoda oleh kejahatan dari dipimpin 

oleh kebaikan, menjadilah kemajuannya suatu bisa, yang 

meracun dunia. Itulah sebabnya orang yang sedemikian, tak baik


diberi senjata kemajuan. Bukankah penjahat yang terpelajar itu, 

terlebih berbahaya daripada penjahat yang bodoh? Bila seorang 

yang bodoh, hendak mencuri, ditunggunya dahulu sampai yang 

empunya tak ada atau sampai ia tidur. Jika mereka masih ada, 

atau masih jaga, tak dapatlah disampaikannya maksudnya. 

Tetapi penjahat yang terpelajar, di dalam hal itu, tentulah akan 

mempergunakan segala ilmunya, yang terkadang-kadang boleh 

sangat memberi bahaya, untuk menyampaikan niatnya. Oleh 

sebab itu, segala ilmu yang jatuh kepada mereka yang tiada 

berhati baik, akan menjadi senjata yang berbisalah, di tangan 

mereka. Sebelum menuntut ilmu, haruslah dibersihkan dahulu 

hati. Alangkah besar faedahnya, bila di sekolah diajarkan juga 

ilmu suci hati!" 

Hingga itu berhentilah Baginda Sulaiman berkata-kata, lalu 

meminta pula buah apel sebuah. Kemudian barulah berkata pula 

ia, "Bila engkau beruntung baik, pakailah kelebihan hartamu itu, 

untuk menolong yang susah dan miskin, kepandaianmu, untuk 

menunjuk mengajari yang belum tahu dan pangkatmu, untuk 

membawa sesamamu manusia ke tempat yang sejahtera. Jika itu 

kau lakukan, tak dapat tiada, selamatlah dan terpeliharalah 

engkau dunia dan akhirat. Dan apabila telah datanglah pula 

waktunya engkau akan meninggalkan dunia ini, niscaya takkan 

adalah lagi sesuatu yang menjadi alangan bagi perjalananmu dan

berpulanglah engkau, dengan perasaan yang tulus, karena 

kauketahui bahwa engkau, semasa hidupmu, tiada berbuat salah. 

Hatimu pun suci dan cinta kepada kebaikan. 

Suatu lagi yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu pepatah 

kita: pikir itu pelita hati. Peribahasa ini sangat benar, baik lahir 

ataupun batin. Barang sesuaiu yang hendak diperbuat atau 

dikatakan, hendaklah dipikir lebih dahulu dengan sehabis-habis 

pikiran. Janganlah terburu dan jangan pula memakai ilmu katak, 

telah melompat sebelum diketahui, apa yang akan terjadi atas 

diri! Itulah sebabnya, acap kali salah lompatnya, yang men-

datangkan celaka kepadanya. Bila telah binasa, datanglah sesal 

yang tiada berkeputusan. Tetapi apa gunanya lagi sesalan itu? 

Perkataan yang telah keluar dari mulut dan sesuatu yang telah 

terjadi, tak dapat ditarik kemliali. Sesal dahulu pendapatan, sesal 

kemudian tak berguna, kata orang kita. Kesusahan yang 

menimpa, karena kesalahan itu, harus ditanggung. Kaki 

terdorong, ini padahannya, mulut terlanjur, emas padahannya*). 

Oleh sebab itu, haruslah perlahan-lahan dan berhati-hati 

bekerja: biar lambat asal selamat, tak lari gunung dikejar. Bila 

telah ditimbang buruk haiknya, laba ruginya dan bila telah 

dibolak-balikkan, dan nyata benar kebaikan pekerjaan itu, 

kerjakanlah! Insya Allah, selamat. Lagi pula jangan suka 

*) Alamatnya

mendengar hasut fitnah dan ajaran yang tiada baik: nasihat yang 

baik itulah yang akan ditaruh dalam hati dan dipakai selama 

hidup. Jika terlalu suka mendengar perkataan orang, menjadi 

kacau balau pikiranmu dan acap kali meu¬datangkan sesalan 

kepada yang salah, teperbuat sebagai cerita peladang dengan 

keledainya." 

"Bagaimana ceritanya itu?" tanya Nurbaya. 

"Samsu tentu tahu cerita ini. Biarlah ia menceritakannya, 

supaya aku dapat berhenti sejurus, melepaskan lelahku, karena 

berkata-kata ini." 

"Bagaimana cerita itu, Samsu?" tanya Nurbaya kepada 

Samsulbahri. 

"Begitu," jawab Samsu. "Keledai bukankah kendaraan 

manusia? Tetapi karena yang empunya, sangat suka mendengar 

perkataan orang, dengan tiada memikirkan perkataan itu lebih 

jauh, menjadilah ia kendaraan keledainya." 

"Ajaib," jawab Nurbaya. 

"Memang, demikianlah jadinya, bila kita terlalu suka 

mendengar perkataan orang. Karena orang itu, tiada semuanya 

baik kepada kita dan walaupun baik maksudnya, terkadang-

kadang boleh jahat juga jadinya kepada kita; sebab hal manusia 

itu tiada sama; yang baik pada seorang, boleh jahat pada yang 

lain. Jika diturut dengan tiada dipikirkan baik-baik lebih dahulu,

terjerumuslah kita ke dalam lubang. 

Cerita keledai itu demikian bunyinya: Seorang peladang 

mempunyai seekor keledai. Pada suatu hari, pergilah ia bersama-

sama anaknya ke pasar, akan membeli-beli. Si peladang ini 

menunggang keledai itu, dan anaknya disuruhnya berjalan di 

sisinya. Tiada berapa lama mereka berjalan, bertemulah seorang 

perempuan. Tatkala dilihat oleh perempuan itu hal yang 

sedemikian, berkatalah ia, "Sesungguhnya orang tua ini tiada 

berpikiran! Anaknya yang kecil, yang belum kuat berjalan, 

dibiarkannya berjalan kaki, sedang ia duduk bersenang-senang di 

atas keledainya." 

Perkataan perempuan itu terdengar oleh si peladang, lalu 

dinaikkannya anaknya ke atas keledainya dan berjalanlah ia di 

sisi binatang ini. 

Kemudian bertemulah pula seorang pendeta. Tatkala dilihat 

oleh pendeta itu akan hal yang sedemikian, menggeleng-geleng-

lah ia, seraya berkata, "Anak ini tiada berbudi. Adakah patut 

orang tuanya disuruhnya berjalan kaki sedang ia duduk keenak-

enakan di atas kendaraan?" 

Perkataan ini termakan pula oleh si peladang, lalu katanya, 

"Baiklah kita berdua menunggang keledai ini." 

Tiada berapa lamanya berkendaraan berdua, bertemulah pula 

seorang pegawai negeri, yang berkata dengan amarahnya, tatkala

melihat si peladang dengan anaknya berdua, menunggang 

keledai itu, "Anak dan bapa ini tiada sekali-kali berpikiran dan 

tak menaruh kasih sayang! Adakah patut binatang yang sekecil 

itu dikendarai oleh dua orang? Apabila kamu tiada turun dari 

keledaimu, niscaya kuadukan kamu kepada hakim, sebab 

mendera binatang. 

Maka turunlah si peladang itu dengan anaknya, lalu berjalan 

kaki sebelah menyebelah keledainya. Sejurus kemudian, ber-

jumpa pula mereka dengan sorang sahabatnya, lalu berkata 

sahabat ini, "Alangkah bodoh,kamu kedua ini! Apakah gunanya 

kamu memelihara keledai, jika tak dapat ditunggang, sampai 

kamu berjalan kaki, dengan susah payah?" 

Setelah mendengar perkataan yang akhir ini, tiadalah terkata-

kata anak dan bapa. 

"Aku sendiri naik keledai ini, salah, engkau sendiri menaiki 

pun salah, berdua kita naik, salah pula dan tiada ditunggangi, tak 

benar juga. Bagaimanakah yang betul?" Demikianlah keluh si 

peladang, sambil membantingkan kopiahnya ke tanah, lalu 

duduk di atas sebuah batu, karena tak berani berjalan lagi. "Jika 

demikian marilah kita pikul keledai ini! Barangkali begitu yang 

baik, karena cara lain tak ada lagi," kata si peladang kepada 

anaknya, seraya mencari sebatang kayu. Kemudian diikatnyalah 

keempat kaki keledainya, dipikulnya berdua, masuk pasar.

Sekalian isi pasar yang melihat perbuatan yang ganjil ini, 

tercengang, lalu berkata, "Seumur hidupku belum pernah aku 

melihat orang menjadi kendaraan keledai; baru sekarang inilah. 

Gilakah si peladang itu?" lalu mereka tertawa gelak-gelak, 

menertawakan si peladang dengan anaknya itu. 

"Ini pun masih salah juga," kata peladang, lalu menjatuhkan 

keledainya ke tanah, karena bingung. 

"Memang bagus benar cerita itu," kata Nurbaya. 

"Sehingga inilah dahulu, Nur! Besok lusa aku akan bercerita 

pula. Sekarang aku sangat letih hendak tidur. Bila engkau 

pulang?" kata Baginda Sulaiman. 

"Hamba telah minta izin kepada Engku Datuk, tinggal dua 

tiga hari," jawab Nurbaya. 

"Jika demikian baiklah." 

Setelah diselimuti oleh Nurbaya ayahnya, tidurlah si sakit mi. 

Kemudian daripada itu, Samsu minta dirilah, hendak pulang ke 

rumahnya. 

"Nanti, aku katakan, bila aku akan menceritakan halku 

kepadamu, Sam," kata Nurbaya, tatkala Samsu hendak keluar 

dari bilik itu. 

"Baiklah," jawab Samsu, lalu pulang ke rumah orang tuanya. 

Pada keesokan malamnya, kelihatan Nurbaya duduk di 

serambi muka rumahnya. Hari waktu itu kira-kira pukul

sembilan, bulan yang sebesar sisir itu, baru terbenam, hingga 

malam hanya diterangi oleh bintang yang gemerlapan cahanya di 

langit biru. Tetapi dalam pekarangan dan serambi muka rumah 

Nurbaya, gelap, karena tak ada lampu dipasang. Hanya sinar 

lentera, pada jalan besarlah, yang masuk mencrangi beberapa 

tempat dalam pekarangan itu. Nurbaya yang duduk di beranda 

muka, rupanya sebagai gelisah di tempat yang gelap itu, karena 

sebentar-sebentar ia Menoleh ke rumah Samsu, sebagai ada 

sesuatu yang ditunggunya dari sana. 

Tidak berapa lamanya ia duduk sedemikian, kelihatanlah 

sebagai bayang-bayang, orang berjalan, keluar dari pekarangan 

rumah Sutan Mahmud, menuju ke rumah Nurbaya. Setelah 

melihat bayang-bayang ini, berdirilah Nurbaya, lalu berjalan 

perlahan-lahan, masuk ke dalam bilik ayahnya; kemudian keluar 

pula dan turun ke pekarangan, menuju bangku, yang ada di 

bawah pohon tanjung, seraya menoleh ke sana kemari, sebagai 

takut, kalau-kalau ada orang yang melihat perbuatannya ini. 

Setelah sampai ke bangku itu, duduklah ia bernanti. Tiada berapa 

lama antaranya, tiba-tiba terdengarlah olehnya suara orang 

berkata perlahan-lahan, "Engkaukah ini, Nur?" 

"Ya, akulah," jawab Nurbaya. 

"Tidakkah ada orang di sini, yang dapat mengintip kita dan 

mendengar percakapan kita?" tanya orang itu pula.

"Pada sangkaku, tak ada," jawab Nurbaya, sambil menoleh 

sekali lagi ke segenap pihak. Tetapi suatu pun tiada yang 

kelihatan atau kedengaran olehnya. "Duduklah di sisiku ini," 

kata Nurbaya pula. 

Orang itu duduklah di sisi Nurbaya, lalu berkata, "Bagai-

mana ayahmu?" 

"Rupanya ada bertambah baik, sebab makan pun mulai suka; 

tetapi masih terlalu lemah dan kata doktet tadi, tak boleh ia 

terlalu bergerak-gerak dan terkejut-kejut. Bila engkau telah 

menjadi dokter, Samsu, alangkah baiknya! Tentulah engkau 

sendiri dapat mengobatinya." 

"Ya, Nur," jawab orang itu, yang sesungguhnya Samsu, 

"tetapi waktu itu masih lama. Masih enam tahun lagi aku harus 

belajar, barulah dapat menjadi dokter. Itu pun belum tentu pula; 

entahlah jadi, entah tidak sebab waktu yang enam tahun itu 

bukan sedikit lamanya, banyak yang, boleh terjadi, dalam waktu 

yang selama itu." 

"Mengapakah tiada menjadi?" tanya Nurbaya. 

"Bagaimana boleh menjadi, jika penggodaan sebagai ini? 

Penanggunganku, dalam setahun ini, hanya Allah yang 

mengetahui. Berapa kali aku berasa kehabisan tenaga, untuk 

melawan segala penggodaan itu; berapa kali aku bersangka; akan 

kalah berperang dengan hawa nafsuku dan akan jatuhlah aku ke

dalam tangan setan iblis. Hanya dengan pertolongan Allah saja, 

dapat kulayari lautan yang beranjau-ranjau ini, men-capai tanah 

tepi. Sedang luka hatiku, karena bercerai dengan engkau belum 

lagi sembuh, telah datang pula kejatuhan ayahmu Belum habis 

aku memikirkan hal ini, datang pula suratmu, membawa kabar 

yang meluluhlantakkan hati jantungku, memutuskan segala 

pengharapanku. 

Walaupun keduanya yang bermula itu masih dapat kulipur, 

tapi kecelakaan yang akhir ini, memutuskan tali tempat aku ber-

gantung, merebahkan tiang tempat aku bersandar dan mematah-

kan dahan tempat aku berpijak. Ketika itulah jatuh hukumanku 

dan hilang pengharapanku, akan penghidupanku di kemudian 

hari. Beberapa hari lamanya aku tak dapat belajar, karena sakit. 

Tak tahu aku, apa sebabnya maka aku dapat juga naik ke kelas 

dua. Pada sangkaku, tentulah aku akan tinggal di kelas satu, 

sebab pelajaran tak keruan." 

"Memang telah kusangka, tentulah engkau takkan senang 

mendengar kabar ini. Tetapi apa boleh buat! Terpaksa aku 

menulis surat itu. Jika tak kukabarkan hal itu kepadamu, takut 

aku, kalau-kalau kaupersalahkan aku. Bagaimanakah halku, bila 

engkau pun berpaling pula dari padaku?" 

"Tentang hatiku, janganlah kau syak wasangka. Bukanlah 

telah kukatakan dahulu kepadamu dan kujanjikan tadi kepada

ayahmu? Bagaimana aku akan berubah kata pula?" 

"Sesungguhnyakah tiada berubah hatimu kepadaku, Sam? 

Sesungguhnyalah hatimu itu masih suci dan bersih kepadaku, 

sebab dahulu, sebelum terjadi perkara ini? Dan sesungguhnyakah 

dapat kauberi ampun dan maaf aku, atas kesalahanku? Ataukah, 

sebab engkau malu kepada ayahku dan karena hendak mem-

besarkan hatiku saja, engkau berjanji sedemikian? Katakanlah 

yang sebenar-benarnya kepadaku, supaya tahulah aku, apa yang 

akan kuperbuat sekarang ini," kata Nurbaya pula, simbil 

memegang tangan Samsu dan memandang mukanya. 

"Nurbaya, mengapakah engkau kurang percaya kepadaku? 

Sudahkah aku berbuat dusta kepadamu? Dan bagaimanakah aku 

boleh berkecil hati, dalam halmu ini? Sebab bukan kehendakmu 

sendiri, melainkan karena teraniaya, engkau terpaksa berbuat 

sedemikian. Janganlah kau syak lagi akan daku; lihatlah ke atas 

langit. Bintang yang beribu-ribu, yang menabur langit itu saksi-

ku, bahwa aku waktu ini berkata benar." 

"Jangan engkau marah kepadaku, Sam, sebab aku sebagai 

tiada percaya lagi kepadamu. Bukan begitu hatiku: hanya sebab 

otakku,yang sejak aku ditimpa timpa mara bahaya ini, telah 

menjadi sakit, selalu pikiranku tiada keruan. Acap kali datang 

niat yang jahat menggoda hatiku, yaitu hendak membunuh diri, 

supaya lekas terlepas daripada siksaan ini. Akan tetapi, jika

datang ingatan kepadamu dan kepada ayahku, undurlah niatku 

itu; takut aku akan duka-cita yang akan menimpa dirimu dan 

ayahku, karena perbuatanku itu." 

"Nur, janganlah ada pikiranmu yang sedemikian! Perbanyak-

lah sabarmu dan tawakallah kepada Allah! Ingatlah akan pen 

ajaran ayahmu! Engkau masih muda, masih lama akan hidup dan 

masih banyak menaruh pengharapan. Janganlah putus asa!" kata 

Samsu, akan membujuk Nurbaya. 

"Sekalian itu memang benar, Sam. Tetapi apa dayaku, tak 

dapat kutanggung rasanya azab yang sedemikian ini. Tak ada 

perkataan, yang dapat menyatakan perasaan hatiku; bagaikan 

putus rangkai jantungku, bagaikan lulus tempat berdiri, ter-

gantung di awang-awang, antara langit dengan bumi, antara 

hidup dengan mati. 

Bagaimana tiada begitu? Cobalah kaupikir! Aku harus duduk 

dengan orang, yang bukannya tiada kusukai saja, tetapi orang 

yang memutuskan pengharapan yang kuamalkan siang dan 

malam, yang menceraikan aku dengan kekasihku, yang meng-

aniaya dan menjatuhkan ayahku, sampai sengsara serupa ini, 

musuh ayahku dan musuhku yang sebesar-besarnya dan akhirnya 

menjadi algojoku. Tambahan pula, orang yang umur, kepandai-

an, kesukaan, tabiat dan kelakuannya, sekali-kali tiada sepadan 

dengan aku. Sekali-kali ia tiada cinta kepadaku; hanya suka,

karena hendak memuaskan nafsunya yang keji itu saja. Bila telah 

puas hatinya, tentulah akan dibuangnya aku, sebagai melempar-

kan sampah ke pelimbahan; barangkali terus dibunuhnya aku, 

jahanam itu! 

Bagaimanakah dapat kusabarkan hatiku, bagaimanakah dapat 

kusenangkan pikiranku, dan bagaimana pula dapat aku hidup 

manis dengan orang yang sedemikian? Makin hari, makin kusut 

pikiranku, makin bertambah dukacita dan sedih hatiku, dan 

makin bertambah-tambah pula benci hatiku melihat rupanya. Tak 

ada yang baik pada pemandanganku, tak ada yang enak pada 

perasaanku. Makan tak sedap, tidur tak nyenyak, bangun pun 

bertambah-tambah bingung. Rumah tangga, makanan dan 

minuman, pakaian dan permainan, pendeknya sekalian yang 

miliknya atau yang berasal dari padanya, bukannya dapat 

melipur hatiku, hanya mendatangkan marah, sedih dan duka. 

Betapa aku hidup, dengan orang yang sedemikian itu? 

Jika hari telah malam, aku ingin, supaya lekas siang dan 

apabila telah siang, kuharap pula, supaya lekas malam. Aku 

minta, biar yang setahun ini menjadi sehari, dan yang sebulan 

menjadi sejam; karena tak tahu, apa yang akan diperbuat dan tak 

dapat melipur hati. Waktu yang sejam, sebagai sebulan rasanya 

dan yang sehari serasa setahun. Sesungguhnya itulah neraka 

dunia, yang sebenar-benarnya.

Maka berhentilah Nurbaya sebentar bertutur, karena hendak 

menyapu air matanya, yang keluar dengan tiada dirasainya. 

Samsu tiadalah dapat berkata-kata, sebab sedih mendengarkan 

nasib adiknya ini. 

"Oleh sebab itu, kupinta kepadamu, Sam," kata Nurbaya 

pula, "bila engkau kelak beranak perempuan, janganlah sekali-

kali kaupaksa kawin dengan laki-laki yang tiada disukainya. 

Karena telah kurasai sendiri sekarang ini, bagaimana sakitnya, 

susahnya dan tak enaknya, duduk dengan suami yang tiada 

disukai. Tak heran aku, bila perempuan, yang bernasib sebagai 

aku ini menjalankan pekerjaan yang tak baik, karena putus asa. 

Aku ini, sudahlah; sebab terpaksa akan menolong ayahku. Tetapi 

perempuan yang tiada semalang aku, janganlah dipaksa, menurut 

kehendak hati ibu-bapa, sanak saudara sahaja, tentang per-

kawinannya, dengan tiada mengindahkan kehendak, kesukaan, 

umur, kepandaian, tabiat dan kelakuan anaknya. Karena tiada 

siapa yang akan menanggung kesusahan kelak, jika tak baik 

jadinya; melainkan yang kawin itu sendiri. Ibu-bapa atau kaum 

keluarga sekedar akan melihat dari jauh. Bukankah sepatutnya 

ditanyakan dahulu pikirannya, tentang perkawinan itu? Bukan-

kah anak perempuan itu mempunyai pikiran, perasaan, peng-

lihatan dan kesukaan juga sebagai perempuan yang lain? 

Sungguhpun ibu-bapa tahu dan kenal akan anaknya, tetapi

yang terlebih mengetahui akan dirinya, tentulah anak itu sendiri 

juga. Banyak ibu-bapa yang bersangka, bahwa ialah yang ter-

lebih mengetahui akan hal anaknya. Oleh sebab itu, pada sangka-

nya haruslah anak itu menurut sekalian kemauan orang tuanya. 

Ibu-bapa yang sedemikian, ialah ibu-bapa yang tiada meng-

hargakan anaknya. Dan apabila ia sendiri tak menghargakan 

anaknya, janganlah ia berharap, menantunya atau orang lain, 

akan mengindahkan anaknya. Dan janganlah pula ia berkecil 

hati, bila laki-laki, memandang perempuan masih jauh di bawah 

telapaknya, karena sesungguhnya belum dapat ia bertanding 

dengan laki-laki, bila belum tahu ia akan harga dirinya sendiri. 

Lagi pula, kalau benar anak dan menantu itu dapat turut-

menurut kelak, sehingga dapat kekal perkawinannya selama-

lamanya! Jika tidak, bercerailah pula; padahal belanja entah 

beberapa ribu telah habis, sampai setengahnya menggadai dan 

menjual harta berhabis-habisan, untuk mengawinkan anak. 

Bukankah sayang uang yang sebanyak itu, dibuang cuma-

cuma? 

Pada pikiranku, kewajiban ibu-bapa dalam hal perkawinan 

anaknya pertama mengingat umur anaknya itu; sebab jika terlalu 

muda dikawinkan, niscaya merusakkan badan anak itu dan 

sekalian keturunannya. Di Indonesia ini, pada sangkaku anak 

perempuan janganlah lebih muda dikawinkan daripada berumur

dua puluh tahun. Jangan seperti aku, baru berumur enam belas 

tahun, telah terpaksa kawin. Makin tua, makin baik." 

"Ya, tetapi pada sangka perempuan di sini, suatu keaiban, 

kalau tak kawin muda-muda, sebagai tak laku," kata Samsu 

dengan tiba-tiba. 

"Persangkaan yang sedemikian, timbulnya daripada kebiasa-

an yang tak baik. Bila nyata kepada kita, sesuatu adat salah, 

mengapakah tak hendak dibuang, tetapi diturut saja, membuta 

tuli? Lihatlah bangsa Barat! Terkadang-kadang, setelah berumur 

tiga puluh tahun, baru kawin; tak ada orang yang menghinakan 

mereka. Dan sesungguhnya, tatkala perempuan itu berumur tiga 

puluh lima atau empat puluh tahun sekalipun, rupanya masih 

muda, badannya masih tetap dan kukuh. Bila beranak umur 

sekian, sempurnalah anak itu; menjadi orang yang sehat badan 

dan pikirannya; tubuhnya besar dan umurnya pun panjang. Akan 

tetapi perempuan di sini, umur tigapuluh tahun, terkadang-

kadang telah bercucu. Itulah sebabnya maka dirinya sendiri dan 

anaknya pun tiada sempurna dan akhirnya tentu bangsanyalah 

yang menjadi kurang baik, sebab sekaliannya keturunan 

perempuan muda, yang belum cukup umurnya. 

Kedua, haruslah orang tua itu bertanya kepada anaknya, 

sudahkah ada niatnya hendak kawin? Kalau belum, janganlah 

dipaksa, supaya jangan menjadi huru-hara kemudian. Ada

perempuan yang belum mau mengikat dirinya dengan tali 

perkawinan; sebab misalnya, masih suka bebas, sebagai anak-

anak, atau sebabnya ada sesuatu maksudnya, yang menjadi 

alangan kepada perkawinannya. 

Ketiga, haruslah ditanyakan, sukakah ia kepada jodohnya itu 

atau tiada. Yang sebaik-baiknya, tentulah anak itu sendiri 

mencari jodohnya. Bukannya aku berkehendak, supaya 

perempuan bangsa kita, dibebaskan seperti perempuan Barat, 

siang malam bercampur gaul dengan laki-laki. Tidak, karena 

adat Barat itu kurang baik bagi bangsa kita. Tetapi kedua mereka 

yang dikawinkan itu, baiklah berkenal-kenalan dahulu; biar yang 

seorang tahu benar akan yang seorang. Jika khawatir akan 

sesuatu bahaya, jagalah anak perempuan itu baik-baik, jangan 

terlalu banyak diberi bercampur dengan tunangannya. 

Cukuplah sekadar belajar kenal saja. Dan jika tak suka atau 

khawatir anak itu akan salah mencari jodohnya sendiri, 

pilihkanlah dahulu yang baik pada pikiran orang tuanya. Akan 

tetapi sesudah itu haruslah ditanyakan juga kepada anak itu, 

sukakah ia kepada pilihan orang tuanya ini. Tetapi sebaik-

baiknya pertemukanlah keduanya, supaya jangan tatkala 

dikawinkan itu saja masing-masing baru dapat melihat rupa 

jodohnya." 

"Kata orang tua-tua, cinta itu akan datang juga kelak bila

telah kawin," kata Samsu dengan tersenyum. 

"Tiada selamanya," jawab Nurbaya. "Bagaimana dapat aku 

mencintai orang, yang sebagai batuk Meringgih ini? Apakah 

yang akan dapat menarik hatiku? Tak ada suatu pun yang 

berpadanan dan bersamaan dengan daku. 

Keempat haruslah umumya berpadanan; tua laki-laki sedikit. 

telah lazim; sama tua baik juga; tua pun yang perempuan sedikit, 

tak mengapa, asal jangan terlalu amat besar perbedaan mereka. 

Laki-laki yang berumur lima puluh tahun dengan perempuan 

yang berumur enam belas atau nenek-nenek yang berumur 

limapuluh tahun dengan laki-laki yang berumur dua puluh tahun, 

tentu saja tak sepadan. Itulah yang menjadi duri dalam daging, 

yang selalu terasa-rasa oleh yang muda. Oleh sebab itu acap kali 

ia tiada setia; berpaling hatinya kepada yang lain yang sebaya 

dengan dia. Yang tua itu pun, terkadang-kadang tak senang pula 

hatinya; malu kepada orang, sebab jodoh yang sangat besar 

perbedaannya itu, tentulah menjadi buah tutur orang segenap 

negeri. 

Lagi pula, orang yang telah tua itu, berlainan pikiran, 

kemauan, kesukaan, kelakuan, tabiat adat dan kepandaiannya 

dengan yang muda. Kemauan yang tua misalnya jangan terlalu 

banyak berjalan, karena kekuatannya tiada seberapa lagi, tetapi 

yang muda, itulah yang dikehendakinya, karena tak betah selalu

di rumah. Kesukaan yang muda misalnya, makanan yang keras-

keras; tetapi si tua tak dapat memakan makanan itu, walaupun 

masih ingin, karena giginya tak ada lagi. Yang tua, biasanya tua 

pula fahamnya, tetapi yang muda, masih suka beriang-riang, 

bermain-main dan bersenda gurau. Tabiat dan adat pun acap kali 

berubah, bila umur telah tua. Aku masih menghargai segala 

keelokan dan kesenangan, tetapi Datuk Meringgih ini, ingatan 

dan pikirannya tiada lain melainkan kepada uang dan 

pemiagaannya. Apa gunanya itu bagiku, bila tiada dapat kupakai 

untuk memenuhi segala keinginan hatiku? Sekalian itu harus 

diingat pula oleh ibu-bapa, yang hendak mengawinkan anaknya, 

karena sangatlah susahnya akan menyamakan sifat dan kelakuan 

yang berbeda-beda itu. 

Kepandaian harus pula sama, supaya dapat berunding dan 

bercakap-cakap dalam segala hal. Jika yang seorang pandai dan 

yang seorang bodoh, terkadang-kadang yang pandai menjadi 

sombong dan yang bodoh bersedih hati. Demikian pula tentang 

kekayaan dan bangsa. Jika si laki-laki berbangsa tinggi dan si 

perempuan orang biasa saja, rendahlah dipandangnya istrinya, 

dan bila si laki-laki kaya, tetapi istrinya seorang yang miskin, 

mudah disia-siakannya perempuannya itu. 

Rupanya janganlah berbeda sebagai malam dengan siang; 

karena itu pun boleh pula mendatangkan hal-hal yang kurang

baik. Akhirnya, harus diingat akan besar dan tinggi badan. 

Adakah tampan pada pernandangan mata bila gajah yang besar 

tinggi, dipersandingkan dengan tikus yang kecil kerdil? Ingatlah, 

kedua mereka itu harus menjadi satu, pasangan yang baik dari 

badan yang dua. 

Sebagai kaulihat, tak mudah dapat mencari jodoh yang sejoli. 

Itulah sebabnya perkawinan itu suatu hal yang penting; tak baik 

dipermudah, sebagai dilakukan oleh bangsa kita. Karena 

kesenangan dan keselamatan orang berlaki-istri dan berumah 

tangga, hanya dapat diperoleh, bila si laki-laki dan si perempuan 

dalam segala hal dapat bersetujuan. Dalam hal yang demikian, 

menjadilah rumah tangganya surga dunia, yang mendatangkan 

kesukaan, kesenangan, cinta kasih sayang, selama-lamanya. Dan 

bila telah beranak, bertambah-tambahlah kesenangan dan 

kesukaan itu. Tetapi jika tiada begitu, menjadilah rumah tangga 

itu neraka jahanain, yang selalu menimbulkan perselisihan, 

perkelahian, benci, amarah, sedih, susah. terkadang-kadang 

bencana dan bahaya yang disudahi dengan perceraian." 

"Terlebih-lebih bagi laki-laki yang harus membanting tulang 

untuk memperoleh kehidupannya," kata Samsu, "sangat berharga 

kesenangan dalam rumah itu, karena bila ia pulang dari 

pekerjaannya dengan lelah payah, dan didapatinya di dalam 

rumahnya penglipur hatinya, niscaya berobatlah lelahnya dan

dengan riang hatilah ia pada keesokan harinya menjalankan 

pekerjaannya yang berat itu. Dengan dernikian, tiadalah akan 

dirasainya keberatan pekerjaannya itu dan tetaplah sehat 

badannya serta panjanglah umurnya. . 

Bila tak ada yang seperti ini sengsaralah kehidupannya. 

Sesudah ia menderita kelelehan dalarn pekerjaannya, tatkala 

sampai ke rumah, kusut dan keruh pula yang dihidangkan oleh 

anak-istrinya. Tiada heran, jika laki-laki yang serupa itu, tiada 

betah di rumahnya; sebagai takut ia kepada tempat kediamannya 

yang tetap itu. Oleh sebab itu larilah ia ke luar, mencari 

penglipur hatinya di mana-mana. lnilah yang acap kali 

menjadikan laki-laki itu jahat dan bengis kelakuannya, suka 

berbuat yang tidak senonoh." 

"Memang tugas perempuan tiada mudah," jawab Nurbaya, 

"harus pandai menarik dan melipur hati suaminya; bukan dengan 

wajah yang cantik saja, tetapi juga dengan kelakuan yang baik, 

peraturan yang sempurna dan kepandaian yang cukup." 

"Laki-laki, begitu pula," kata Samsu, "harus pandai mem-

bimbing anak-istrinya, supaya betah dalam rumahnya dan 

dengan riang dan suka hati, menjalankan kewajibannya. Sekalian 

yang dapat menghiburkan hati, harus diadakan; sebab, apabila 

perempuan tak betah lagi dalam rumahnya, bertambah-

tambahlah celakanya, karena tak ada tempat lain, yang dapat

menyenangkan hatinya..." 

"Sesungguhnya hal ini kurang diperhatikan oleh bangsa kita," 

kata Samsu pula, setelah berhenti sejurus. "Itulah sebabnya agak-

nya, acap kali terjadi perceraian dalam negeri kita, sehingga laki-

laki atau perempuan sampai beberapa kali kawin." 

"Bukan itu saja, tetapi selagi talak dipegang laki-laki saja dan 

laki-laki boleh beristri sampai beberapa orang, susahlah akan 

mengubah hal itu." kata Nurbaya. 

"Memang, itu pun tak adil pula," sahut Samsu. 

"Jika perempuan yang memegang talak, dan aku tiada terikat 

oleh ayahku, niscaya tiada kupanjangkan jodoh ini. Tetapi, apa 

hendak kuperbuat? Aku terikat pada tangan dan kaki... Tiadakah 

kasihan engkau kepadaku, Sam? Tak adakah akal, supaya lepas 

aku dari ikatan ini? Dengarlah olehmu pantun nasibku ini: 

"Di sawah jangan memukat ikan, 

ikan bersarang dalam padi. 

Susah tak dapat dikatakan, 

ditanggung saja dalam hati. 

Gantungan dua tergantung, 

tergantung di atas peti. 

Ditanggung tidak tertanggung, 

sakit memutus rangkai hati.

Buah pinang di dalam puan, 

tumpul kacip asah di batu. 

Tidaklah iba gerangan tuan, 

kepada adik yatim piatu? 

Labuk baik kuala dalam, 

pasir sepanjang muaraqya, 

Buruk baik minta digenggam, 

badanlah banyak sengsaranya. 

Ikatkan mati pisang berjantung, 

hunus keris letakkan dia. 

Niat hati hendak bergantung, 

putus tali apakan daya." 

 "Nur sabarlah dahulu! Bukan aku tak kasihan kepadamu, 

hanya pada waktu ini belum dapat kita berbuat apa-apa, karena 

ikatannya sangat keras. Senangkanlah dahulu hatimu! Kelak 

akan kucari muslihat yang baik. Sekarang hanya bersama-sama 

kita berdoa kepada Allah, supaya lekas engkau terlepas dari 

ikatan ini. Sst, diam! Apakah itu! Sebagai ada bunyi apa-apa di 

luar pagar itu?" kata Samsu tiba-tiba, serta menoleh ke tempat 

bunyi itu. Akan tetapi tiada suatu apa pun yang kelihatan

olehnya. 

"Barangkali katak atau binatang kecil-kecil yang mencari 

makanannya," jawab Nurbaya, lalu menyambung percakapannya 

dengan Samsu. "Siapakah yang menyangka, Sam, tatkala kita 

setahun yang telah lalu, duduk di atas bangku ini, dengan 

pengharapan yang besar, akan jadi sebagai sekarang ini hal kita? 

Apakah jadinya cita-cira kita itu dan adakah akan dapat 

disampaikan pula? Dengarlah pantun ini: 

"Dari Perak ke negeri Rum, 

berlayar lalu ke kuala. 

Jangan diharap untung yang belum, 

sudah tergenggam terlepas pula. 

Orang Pagai mencari lokan, 

kembanglah bunga serikaya. 

Aku sebagai anak ikan, 

kering pasang apakan daya. 

Singapura kersik berderai, 

tempat ketam lari berlari. 

Air mata jatuh berderai, 

sedihkan untung badan sendiri.

Berbunyi kerbau Rangkas Betung, 

berbunyi memanggil kawan. 

Menangis aku menyadar untung, 

untungku jauh dari awan. 

Berlayar dari Teluk Betung, 

Anak Bogor mencari tiram. 

Apa kuharap kepada untung, 

perahu bocor menanti karam. 

Tikar pandan dua berlapis, 

dilipat digulung anak Bangka. 

Sesal di badan tidak habis, 

karena untung yang celaka." 

Disabarkanlah Nurbaya oleh Samsu dengan pantun yang di 

bawah ini: 

"Jangan disesal pada tudung, 

tudung saji teredak Bantan. 

Jangan disesal kepada untung, 

sudah nasib permintaan badan. '

Ke rimba berburu kera, 

dapatlah anak kambing jantan. 

Sudah nasib apakan daya, 

demikian sudah permintaan badan. 

Sudah begitu tarah papan, 

bersudut empat persegi. 

Sudah begitu permintaan badan, 

sudah tersurat pada dahi. 

Dikerat rotan belah tiga, 

Nakoda belayar dekat Jawa. 

Jangan diturut hati yang luka, 

binasa badan dengan nyawa." 

Dijawab oleh Nurbaya: 

"Berkota kampung Padang Besi, 

Tempat orang duduk berjaga. 

Cintamu jangan dihabisi, 

Sehelai rambut tinggalkan juga."

Dibalas pula oleh Samsu: 

"Jika menjahit duduk di pintu 

jarumnya jangan dipatahkan. 

Cintaku suci sudahlah tentu, 

sedikit belum diubahkan. 

Bang dahulu maka kamat, 

takbir baru orang sembahyang. 

Bercerai Allah dengan Muhammad, 

baru bercerai kasih sayang. 

 

Berbunyi meriam Tanah Jawa, 

orang Belanda mati berperang. 

Haram kakanda berhati dua 

cinta kepada Adik seorang." 

Mendengar pantun ini, tiadalah tertahan oleh Nurbaya 

hatinya lagi, lalu dipeluknya Samsu dan diciumnya pipinya. 

Dibalas oleh Samsu cium kekasihnya ini dengan pelukan yang 

hasrat. Di dalam berpeluk dan bercium-ciuman itu, tiba-tiba ter-

dengar di belakang mereka, suara Datuk Meringgih berkata 

demikian, "Itulah sebabnya, maka keras benar hatimu akan

pulang, dan tiada hendak berbalik kepadaku. Bukannya hendak 

menjaga ayahmu, sebagai katamu, hanya akan bersenang-

senangkan diri ddngan kekasihmu. Inilah perbuatan kaum muda, 

kaum yang terpelajar, yang beradat sopan santun, tetapi memper-

dayakan suami, supaya dapat bersenda gurau dengan laki-laki, di 

tempat yang gelap, sedang ayah sendiri, sakit keras. Inilah 

rupanya kelebihan kaum muda daripada kami kaum kuno. Inilah 

yang dipelajari di sekolah tinggi, dengan belanja dan susah 

payah yang tida sedikit. Jika serupa ini, benar juga pikiran kami 

kaum kuno: kemajuan kaum muda itu, bukan akan meninggikan 

derajatnya, bahkan akan membawanya dari tempat yang mulia 

ke tempat yang hina; membusukkan nama yang harum, 

menghilangkan derajat dan kemuliaan perempuan, sedang adat 

dan kepandaian lama, yang berfaedah bagi perempuan disia-

siakan. Tak harus perempuan yang sedemikian dimajukan." 

Ketika itu terperanjatlah Samsu dan Nurbaya, lalu berdirilah 

Samsu di muka Nurbaya akan melindunginya. Oleh sebab benci-

nya Samsu kepada Datuk Meringgih ini, karena teringat akan 

sumpahnya di Jakarta, tiadalah dapat ditahannya hatinya lagi lalu 

menjawab, "Tak perlu engkau berkata begitu! Bercerminlah 

engkau kepada badanmu sendiri! Adakah engkau sendiri berlaku 

sopan santun berhati lurus dan benar, tahu adat istiadat? Jika ada 

iblis yang sejahat jahatnya di atas dunia ini, tentu engkaulah iblis

itu." 

Mendengar maki nista ini, merah padamlah muka Datuk 

Meringgih, lalu diangkatnya tongkatnya dan dipalukannya 

kepada Samsu. Tetapi tatkala itu juga Samsu melompat ke kiri, 

seraya menarik Nurbaya, sehingga palu Datuk Meringgih itu 

jatuh mengenai bangku, tempat mereka duduk tadi dan dengan 

segera Samsu melompat ke hadapan, meninju muka Datuk 

Meringgih dengan kedua belah tangannya berturut-turut, serta 

kakinya pun menendang perut lawannya ini, sehingga jatuhlah 

Datuk Meringgih, terbanting ke tanah, lalu berteriak minta 

tolong, "Pendekar Lima, tolong aku!' 

Seketika itu juga, datanglah seorang-orang yang berpakaian 

serba hitam, dari tempat yang gelap, memburu Samsu dengan 

sebilah keris terhunus di tangannya. Melihat bahaya yang akan 

menimpa Samsu ini, menjeritlah Nurbaya sekuat-kuatnya, minta 

tolong, sehingga bergemparanlah orang sebelah menyebelah, 

terperanjat, berlari-lari ke luar. 

Tatkala dilihat Samsu keris Pendekat Lima ditikamkan 

kepadanya, melompatlah ia ke sisi dengan merendahkan dirinya, 

lalu menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga terpelantinglah 

senjata itu ke udara. Pendekar Lima tak dapat menyerang Samsu 

lagi, karena dilihatnya orang berlari-lari datang ke sana, lalu 

larilah ia menyembunyikan dirinya.

Sekalian orang yang datang yang di antaranya ada ayah 

Samsu bertanya, apakah sebabnya maka berteriak minta tolong? 

Akan tetapi seorang pun tiada menyahut. Oleh sebab itu, 

bertanyalah Sutan Mahmud kepada Datuk Meringgih, apakah 

yang telah terjadi. 

"Tanyakanlah kepada anak Tuanku! Setelah diperdayakan 

hamba bersama-sarna istri hamba, dipukulnya pula hamba," 

jawab Datuk Meringgih. 

Sutan Mahmud maklum, apa maksud pekataan Datuk 

Meringgih ini dan ia sangatlah malu akan kelakuan anaknya. 

Oleh sebab itu berkatalah ia, "Percayalah Engku, perkara ini 

akan hamba periksa benar-benar. Siapa yang bersalah, tentulah 

tiada akan luput dari hukuman, walaupun anak hamba 

sekalipun." Lalu pulanglah ia membawa Samsu ke rumahnya. 

Setelah berangkat Sutan Mahmud, kelihatan Baginda 

Sulaiman keluar dari biliknya, karena ia sangat terperanjat, men-

dengar suara anaknya minta tolong, sehingga ia bangun dari 

tempat tidumya. Walaupun badannya sangat lemah, sehingga ia 

dilarang dokter bergerak-gerak, tetapi karena ia takut anaknya 

akan mendapat kecelakaan, lupalah ia akan dirinya. Tatkala ia 

hendak turun di tangga yang gelap itu, jatuhlah ia terguling-

guling ke bawah. Melihat hal ayahnya ini, berlari-larilah 

Nurbaya dengan beberapa orang, akan menolong Baginda

Sulaiman. Akan tetapi, ketika diangkat, nyatalah orang tua itu, 

telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! 

Maka menjeritlah Nurbaya menangis tersedu-sedu dengan 

mengempas-empaskan dirinya, tak dapat disabarkan lagi, lalu 

jatuh pingsan. Mayat Baginda Sulaiman dan Nurbaya yang 

pingsan, diangkat oranglah ke dalam rumahnya, dibaringkan di 

ruang tengah dan Nurbaya dibawa masuk ke dalam biliknya. 

Setelah dibasahi orang kepala Nurbaya dan diciumkan minyak 

kelonyo ke hidungnya, barulah ia sadarkan dirinya pula, lalu 

meratap amat sedih. 

"Tak perlu engkau menangis," kata Datuk Meringgih, 

"karena salahmu sendiri. Engkaulah yang membunuh ayahmu." 

Mendengar tempelak ini, berdirilah Nurbaya sekonyong-

konyong. Air mukanya yang sedih itu hilang sekaliannya, ber-

tukar dengan marah yang amat sangat. Air matanya kering, 

matanya yang telah merah, karena menangis, bertambah-tambah 

merah, bibir dan sekujur badannya gemetar. Sangatlah dahsyat 

rupanya pada waktu itu, seakan-akan singa yang kelaparan, 

hendak menerkam musuhnya. 

"Apa katamu?" kata Nurbaya. "Aku membunuh ayahku, 

celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada 

tahu, perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku? Engkaulah yang 

menjatuhkan dia, karena dengki khianatmu dan busuk hatimu.

Perbuatanmulah, maka toko ayahku terbakar, perahunya 

tenggelam kelapanya mati, sekalian langganannya tak hendak 

mengambil barang-barang dari padanya lagi, serta mungkir 

membayar utangnya dan segala orangnya lari, merribawa uang 

ayahku. Tatkala ayahku telah jatuh miskin, pura-pura kautolong 

ia dengan meminjamkan uang kepadanya, tetapi maksudmu yang 

sebenarnya, hendak menjerumuskannya ke jurang yang terlebih 

dalam, karena hatimu yang terlebih bengis daripada setan itu, 

belum puas lagi. Aku pun kauseret pula ke dalam kekejian, untuk 

memuaskan kan hawa nafsumu, yang terlebih hina pada hawa 

nafsu hewan. Sekarang ayahku telah mati; barulah senang 

hatimu, bukan? Akan tetapi pada waktu inilah pula, aku terlepas 

dari tanganmu, hai bangsat! Aku dahulu menurut kehendakmu, 

karena hendak membela ayahku, supaya jangan sampai engkau 

penjarakan dia. Sekarang ayahku tak ada lagi, putus pula 

sekalian tali yang mengikatkan aku kepadamu. Janganlah engkau 

harap, aku akan kembali kepadamu. Manusia yang sebagai 

engkau, tiada layak bagiku. Rupamu sebagai hantu pemburu, 

tuamu sama dengan nenekku, tabiatmu terlebih jahat dari tabiat 

binatang yang buas. Apa yang dapat kupandang padamu? 

Uangmu yang engkau peroleh dengan tipu daya, darah keringat 

mereka yang telah engkau aniaya itu? Apa gunanya uang itu 

bagiku? Karena kikirmu, engkau sendiri pun tak dapat memakai

uang itu. Siapa tahu barangkali hartamu itu kau peroleh dengan 

jalan mencuri dan menyamun. Seram badanku, jika kuingat akan 

hal itu. Daripada bersuamikan engkau, terlebih suka aku 

bersuamikan anjing. Nyah engkau dari sini! Tiada sudi aku 

memandang engkau sebelah mata pun, terlebih daripada aku 

melihat najis. Cis! Ceraikan aku sekarang ini juga! Jika tiada, 

bukanlah laki-laki." 

"Jangan engkau lupa, ayahmu berutang kepadaku. Oleh sebab 

itu rumah ini, akulah yang punya dan berkuasa atasnya. Jadi 

bukan engkau yang dapat mengusir aku, tetapi akulah yang harus 

mengusir engkau dari sini. Jika banyak juga mulutmu, tentu 

malam ini juga kukeluarkan engkau dengan ayahmu sekali, dari 

rumah ini," jawab Datuk Meringgih, yang pucat mukanya karena 

menahan marahnya. 

"Apa katamu? Rumah dan sekalian barang ini, bukan harta 

ayahku, melainkan milikku sendiri, karena tertulis di atas 

namaku. Tiada siapa berkuasa atasnya, melainkan aku seorang. 

Kalau benar engkau laki-laki dan berkuasa atas rumah ini, 

cobalah kaukeluarkan aku dari sini!" lalu Nurbaya mengambil 

palang pintu, sambil berkata, "Tandanya aku berkuasa atas 

rumah ini, kuusir engkau seperti anjing dari sini. Bila lama juga 

engkau di sini, takkan tiada makanlah palang pintu ini kepalamu 

yang besar, sulah dan beruban itu," lalu Nurbaya menghampiri

Datuk Meringgih, sambil mengayunkan palang pintu ke kepala-

nya; tetapi lekaslah ia dipegang orang, disabarkan dengan per-

kataan yang lemah-lembut. 

Datuk Meringgih turun dari rumah Nurbaya, seraya berkata, 

"Nanti!" lalu pulang ke rumahnya. 

Sepanjang jalan tiada lain yang dipikirkan, melainkan jalan 

akan membinasakan Nurbaya. 

Tatkala Datuk Meringgih diusir oleh Nurbaya dari rumahnya, 

ketika itu pula Samsu diusir oleh ayahnya dari rumahnya. 

Demikian kata Sutan Mahmud kepada anaknya, "Perbuatanmu 

ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Ke 

manakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku 

akan menghapus arang yang telah kaucorengkan pada mukaku 

ini? Perbuatan yang sedemikian, bukanlah perbuatan orang yang 

berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang 

terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu 

adat dan kelakuan yang baik. Pada sangkaku, engkau bukan 

masuk bangsa yang kedua itu. 

Namaku yang baik selama ini, yang dimuliakan dan 

dihormati orang, bangsaku yang tinggi dan belum bercacat, 

sekarang kau kotorkan dengan noda yang tak dapat dihapus lagi. 

Inikah balas usahaku memajukan engkau, sampai ke mana-mana. 

Inikah buah pelajaran yang engkau peroleh di sekolahmu?

Sayang aku, akan uangku yang sekian banyaknya, yang telah 

kukeluarkan, untuk mendidik dan memandaikan engkau. Inikah 

yang engkau pelajari di Jakarta? Pelajaranmu belum tentu lagi, 

pekerjaan yang sedemikian telah kauperbuat." 

Setelah berhenti sejurus, berkata pula Sutan Mahmud, 

"Kesalahanmu ini tak dapat kuampuni, karena sangat memberi 

aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui 

engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku." 

Samsulbahri tiada menyahut sepatah pun perkataan ayahnya 

ini, melainkan tunduk berdukacita. Hanya ibunyalah yang 

menangis tatkala mendengar anaknya diusir oleh suaminya. 

"Jika engkau pun hendak mengikuti anakmu, pergilah 

bersama-sama! Aku tak hendak melihatnya lagi," kata Sutan 

Mahmud pula kepada istrinya, lalu turun dari rumahnya, pergi ke 

rumah saudaranya di Alang Lawas: 

Setelah berangkat Sutan Mahmud, dibujuklah Samsulbahri 

oleh ibunya dengan beberapa perkataan yang manis-manis, 

supaya jangan dimasukkannya ke dalam hatinya, amarah 

ayahnya itu. Akan tetapi Samsulbahri tiada menyahut pula 

melainkan minta masuk ke biliknya, karena sangat mengantuk, 

hendak tidur katanya. 

Mendengar permintaan anaknya ini hilanglah kuatir Sitti 

Maryam. Pada sangkanya, tiada diindahkan Samsu amarah

ayahnya tadi. Tetapi sebenarnya Samsu semalam-malaman itu 

tiada dapat memejamkan matanya, barang sekejap pun; melain-

kan menangislah ia dengan amat sedih mengenangkan nasibnya 

dan nasib Nurbaya kekasihnya yang malang itu. Tatkala hari 

telah pukul tiga malam, bangunlah ia perlahan-lahan dari tempat 

tidurnya, lalu dimasukkannya sekalian pakaiannya ke dalam 

petinya dan keluarlah ia dari jendela biliknya. Setelah sampai ke 

pintu pekarangan rumah orang tuanya, menolehlah ia ke 

belakang, ke rumah itu dan rumah Nurbaya, lalu berhenti sejurus 

lamanya dan berkata perlahan-lahan, "Selamat tinggal Ibu dan 

kekasihku! Aku hendak berjalan, barang ke mana dibawa nasib-

ku yang malang ini. Jika ada umurku panjang, mungkin akan 

bertemu juga kita dalam dunia ini; jika tidak, bernanti-nantilah 

kita di akhirat. Di sanalah kita dapat bertemu pula, bercampur 

selama-lamanya, tiada bercerai lagi. 

Tatkala ia berkata-kata sedemikian, bercucuranlah air mata-

nya, karena hatinya sangat sedih. Terlebih-lebih, sebab sebagai 

adalah suatu perasaan yang timbul dalam hatinya, yang 

mengatakan, ia tiada akan dapat bertemu lagi dengan kedua 

perempuan yang sangat dicintainya ini. Kemudian berjalanlah ia 

menuju pelabuhanTeluk Bayur. Walaupun hari amat gelap dan 

jalan amat sunyi tetapi tiadalah ia merasa takut, sebab pikirannya 

masih terikat kepada hal yang baru terjadi itu. Kira-kira pukul

lima pagi, sampailah ia ke pelabuhan Teluk Bayur, lalu naik 

kapal yang akan berlayar hari itu ke Jakarta. Karena takut akan 

diketahui orang, yang barangkali mengikutinya dari belakang, 

bersembunyilah ia dalam sebuah kamar kelasi kapal yang di-

kenalnya. 

Pukul tujuh pagi diangkatlah jangkar dan berlayarlah kapal 

itu menuju pelabuhan Tanjung Periuk. 

Ketika diketahui oleh ibunya pada keesokan harinya, bahwa 

anaknya tak ada lagi, ributlah ia menyuruh cari ke sana kemari, 

tetapi tiadalah bertemu, dan seorang pun tiada tahu ke mana 

perginya. Sebab sedih hatinya, berangkatlah ia tiga hari 

kemudian ke Padang Panjang, ke rumah saudaranya. Di sanapun 

rupanya tak dapat dilipurnya hatinya, sehingga badannya makin 

lama makin kurus dan akhirnya jatuhlah ia sakit, karena 

bercintakan anaknya.

X. KENANG-KENANGAN KEPADA SAMSULBAHRI 

Hari kira-kira pukul setengah tujuh, petang berebut dengan senja, 

siang hampir akan hilang, malam hampir akan datang. Matahari 

yang telah menjalankan kewajibannya, yakni memberi cahaya 

dan panas kepada muka bumi yang sebelah timur, telah setengah 

jam lamanya terbenam ke bawah ujung langit, yang sebelah 

barat. Hanya bekas jejaknyalah yang masih kelihatan, 

mengembang dari tempat silamnya, ke atas, sebagai kipas besar, 

yang memancarkan bermacam-macam sinar yang permai warna-

nya. Bintang kejora, mulai bercahaya, sebagai suatu mustika, 

yang bersinar di tempat gelap. Bin-, tang yang lain pun, mulai 

pula gemerlapan cahayanya, sebagai berlian pada peniti, yang 

selalu digoyang oleh pegas. Burung-burung yang melayang di 

udara, sekaliannya telah mencari sarangnya masing-masing, akan 

melepaskan lelahnya, sebab bekerja berat sehari-hari itu mencari 

rezeki, untuk kehidupannya, sehingga perlulah ia beristirahat, 

akan mengumpulkan tenaganya untuk keesokan harinya. Hanya 

burung murailah yang masih kedengaran kicau mengicau di 

puncak kayu, sebagai hendak mengucapkan selamat tidur kepada 

kawan-kawannya. Demikian pula ayam jantan, masih ada di luar 

kandangnya, menoleh ke segenap tempat, seolah-olah hendak

mengetahui, sudahkah masuk sekalian anak dan bininya ke 

dalam kandangnya. Tetapi induk ayam, telah lama ada di tempat-

nya, mengeram akan memanaskan anak-anaknya yang masih 

kecil. Kelelawar telah meninggalkan tempatnya pula, terbang 

kian kemari dengan tiada kedengaran bunyi kelepaknya, mem-

buru kelekatu yang melayang di segala tempat. Di bawah pohon 

kayu, kedengaran kumbang, terbang mencari mangsanya. Kupu-

kupu malam kelihatan mengembangkan sayapnya yang berukir-

ukiran itu, melayang ke atas dan ke bawah, terbang dipikat 

bunga sedap malam. Cengkerik pun mulai pula mengerit, 

seakan-akan orang yang sedang asyik mengaji dan berzikir di 

surau. 

Sekonyong-konyong timbullah di sebelah timur, dari puncak 

gunung yang tinggi, perlahan-lahan dengan tiada berasa 

jalannya, putri malam yang cantik molek itu, sebagai bidadari 

baru turun dari kayangan. Datangnya itu adalah diiringkan oleh 

dayang pengasuhnya, yakni bintang-bintang yang mengelilingi-

nya dan diwakili oleh beberapa pahlawan hulubalangnya, yaitu 

awan dan mega yang memagarinya. Maksudnya menjelma itu, 

ialah akan menunjukkan wajahnya yang gilang-gemilang, 

kepada bumi, yang disinarinya dengan sinar yang lembut dan 

segar. 

Alangkah senang dan sentosanya hati dan perasaan sekalian

mahluk di muka bumi, menyambut kedatangan putri kamariah 

ini, sehingga terlipur rasanya duka nestapa mereka, karena di-

tinggalkan kekasihnya, raja siang itu. Amat indah paras mukanya 

yang bundar jemih itu, sebagai emas bam disepuh, melimpahkan 

cahayanya yang hening dan bening, sampai ke bawah-bawah 

pohon kayu dan ke celah-celah batu. Sekalian hamba Allah, tua 

muda, besar kecil, yang mula-mulanya hendak mencari tilam dan 

kasurnya, akan melepaskan lelahnya, karena peperangan di 

padang penghidupan yang baru dilakukannya, tertariklah 

kembali ke luar, sebab hendak merasai kesenangan dan 

kesedapan yang dikaruniakan oleh putri malam ini. Anak-anak 

yang biasanya telah mendekur di tempat tidur, keluarlah ber-

main-main, berkejar-kejaran dan bernyanyi di malam sunyi dan 

piatu itu. Di muka rumah, banyak orang duduk bercakap-cakap 

dengan anak dan istrinya atau sahabat kenalannya, membicara-

kan hal-ihwal yang telah lalu atau sesuatu yang akan datang. 

Di tepi laut kota Padang, terbayang-bayang di atas beberapa 

bangku sebagai orang duduk berdekatan, bercakap perlahan-

lahan. Siapakah mereka, yang telah sengaja mencari tempat yang 

sunyi-senyap ini, sebagai takut akan diganggu orang? Itulah 

asyik dan masyuknya, yang sedang melepaskan dahaga cinta 

berahinya. Mereka tiada ingat lagi akan dirinya dan tiada meng-

indahkan sekalian yang mengelilinginya; sebagai tak adalah

baginya makhluk di atas dunia ini, lain daripadanya berdua. Dan 

sesungguhnya, mereka itulah orang sesenang-senang dan 

semujur-mujur manusia waktu itu. Disuluhi oleh cahaya yang 

permai, dinyanyikan oleh geloinbang yang menderu-deru 

memecah di tepi pantai, tersembunyi di tempat yang lengang, 

bebas daripada segala keramaian, penglihatan dan pendengaran, 

memang dapatlah mereka merasai kenikmatan asmara sepenuh-

penuhnya. 

Di jalan raya, kelihatan kereta;kereta ditarik oleh kuda yang 

besar-besar, bersiar-siar perlahan-lahan kian kemari. Di pinggir 

jalan yang dilindungi pohon yang rindang-rindang, kelihatan 

beberapa orang bangsa Barat, berjalan berpegang-pegangan 

tangan dengan istrinya, akan mengambil hawa yang sedap. 

Akan tetapi, bila kedua asyik dan masyuk itu berjauh jauhan, 

seorang dengan yang lain, hilanglah segala kesenangan dan 

kesukaan tadi, berganti dengan duka dan sedih, yang meng-

hancurkan hati. Segala yang pada waktu itu menambahkan 

kesukaan dan kesenangan, seperti tempat yang sunyi senyap, 

cahaya bulan yang permai, gelombang yang memecah di pasir 

pantai, angin yang bertiup sepoi-sepoi, sekalian itu akan terbalik 

menambahkan rindu dendam, yang disertai oleh sedih dan pilu 

yang amat sangat. 

Demikian pula bagi dagang yang jauh di rantau orang,

sekalian itu acap kali mendatangkan kesedihan hati serta rindu 

dendam yang tiada terkira-kira; karena teringat akan tanah air, 

rumah tangga, kampung halaman, ibu-bapa, sanak saudara, kaum 

keluarga, handai dan tolan, yang telah lama luput dari mata, 

tetapi tiada kunjung hilang dari hati. Terlebih-lebih jika teringat 

bahwa Allah sajalah yang mengetahui akan untung manusia itu, 

entahkan terjejak kembali tanah tepi, entahkan tersangkut di 

rantau orang, sebagai kata pantun: 

Bergetah tangan kena cempedak, 

digosok dengan bunga karang. 

Entah berbalik entah tidak, 

entah hilang di rantau orang. 

Jarang berbunga tapak leman, 

orang Padang mandi ke pulau. 

Orang berkampung bersalaman, 

dagang membilang teluk rantau. 

Makin lama, makin malam, dan bulan pun mengambang kian 

bertambah-tambah tinggi. Anak-anak yang bermain-main ber-

sorak-sorak tadi, tiadalah kedengaran lagi suaranya, karena telah 

lama berselimut di tempat tidurnya. Orang yang duduk bercakap

cakap di muka rumahnya tiada pula kelihatan lagi; masing-

masing telah masuk ke dalam rumahnya. Di jalan besar, bendi-

bendi telah mulai kurang, dan orang pun hampir tak ada lagi. 

Tiada lama kemudian daripada itu sunyi senyaplah jalan raya 

yang ramai tadi. Hanya sekawan orang jaga, yang memakai 

serba hitam, masih kelihatan berjalan perlahan-lahan dengan 

tiada bercakap-cakap, supaya keadaan mereka jangan diketahui 

penjahat. 

Kota yang ramai tadi menjadi sunyi senyaplah, sebagai 

negeri yang telah ditinggalkan orang. Sekaliannya tidur. Hanya 

di puncak kayu yang tinggi, masih kedengaran sejurus-sejurus 

bunyi burung pungguk, yang sedang merindukan bulan, men-

dayu-dayu antara ada dengan tiada, seakan-akan ratap tangis 

yang sedih, tersedu-sedu dengan putus-putus suaranya. 

Hai Pungguk! Mengapakah engkau merindu sedemikian itu, 

seraya memandang dengan tiada berkeputusan kepada bulan 

yang tinggi itu? Apakah yang menjadikan sedih hatimu, dan 

apakah maksud perbuatanmu itu? 

"Aduh bulan, aduh jiwaku, jantung hatiku, cahaya mataku! 

Bilakah engkau turun ke dunia ini, melihat aku, yang telah 

sekian lama mengandung rindu dendam kepadamu? Bilakah 

engkau jatuh ke bumi, ke atas pangkuanku untuk mengobati luka 

hatiku, yang telah tembus kena panah berahi, yang telah kau

lepaskan daripada busurnya menuju dadaku? Tiadakah belas dan 

kasihan hatimu, melihat aku selalu merayu di puncak kayu ini, 

merindukan engkau dengan tiada mengindahkan jerih dan lelah, 

hujan dan basah? Sampai hati gerangan engkau, melihat halku 

sebagai orang mabuk cendawan. 

Adapun maksudku hendak terbang mendapatkan engkau, 

akan memperhambakan diriku yang hina ini kepadamu kalau-

kalau beroleh kasihan daripadamu, tetapi apatah dayaku? 

Sayapku yang lemah ini, tiada dapat membawa aku terbang lebih 

tinggi, dari pohon ini: 

Putih berkembang bunga kecubung, 

mati tiram di tepi pantai. 

Maksud hendak memeluk gunung, 

apa daya tangan tak sampai. 

Aduh, aduh! Bilakah dapat kusampaikan hasrat hatiku ini? 

Karena apabila telah sianglah hari kelak, bila telah datanglah 

suamimu raja Samsu, memancarkan sinarnya yang tajam ke 

segenap penjuru alam ini, haruslah aku lari bersembunyi ke 

tempat yang gelap, supaya jangan buta mataku ditembus panah 

suamimu." 

Sebagai burung Pungguk ini meratap, menangis, merayu di

puncak kayu, merindukan bulan yang tinggi di atas langit yang 

biru, demikian pulalah duduk seorang perempuan muda, ter-

menung berawan hati, di jendela sebuah rumah di kampung 

Belantung di kota Padang; adalah sebagai seorang yang sedang 

merindukan kekasihnya, yang jauh dari matanya. 

Jika ditilik pada rupanya, adalah perempuan ini seorang janda 

yang masih remaja kira-kira berumur tujuh atau delapan belas 

tahun. Rupanya cantik, badannya lemah semampai dan kulitnya 

kuning langsat. Rambutnya yang hitam lagi ikal itu, jatuh 

berlingkar-lingkaran di keningnya, sebagai rambut gadis bangun 

tidur. Sanggulnya yang besar itu tergantung bagaikan terurai 

pada kuduknya. Matanya yang lembut pemandangannya itu 

merenung dengan tiada berkeputusan, bulan, yang hampir 

diselimuti mega, di atas langit. Pada air mukanya nyata 

kelihatan, ia sangat berdukacita, karena dari matanya yang 

merah, jatuhlah berderai ke tanah, air matanya yang telah 

berlinang-linang di pipinya, sebagai mutiara putus pengarang. 

Tangannya yang putih kuning, dihiasi gelang emas ular-ularan, 

yang nyata kelihatan, tatkala lengan baju sutera jepunnya surut 

ke bawah, tiadalah lelah menopang dagunya, yang sebagai lebah 

bergantung. 

Siapakah perempuan muda itu? Apakah sebabnya maka ia 

berdukacita sedemikian itu dan mengapakah pula maka selalu ia

memandang kepada bulan yang tinggi di atas langit, sebagai di 

sanalah tempat yang menjadikan dukacita hatinya? 

"Aduh kekasihku yang sangat kucintai! Betapakah akhirnya 

aku ini? Karena semenjak aku kautinggalkan, adalah halku ini 

sebagai orang yang tiada bemyawa lagi dan adalah dunia ini 

rasanya telah menjadi sangat sempit, tiada lebih besar daripada 

engkau berdiri seorang diri, tempat aku bergantung: 

Jika begini condongnya padi, 

tentu ke barat jatuh buahnya. 

Jika begini bimbangnya hati, 

tentu melarat badan akhirnya. 

Jika begini naga-naganya, 

kayu hidup dimakan api. 

Jika begini rasa-rasanya, 

badan hidup rasakan mati. 

Lurus jalan ke Payakumbuh, 

kayu jati bertimbal jalan. 

Hati siapa tidakkan rusuh, 

ayah mati kekasih berjalan. 

Anak Judah duduk mengarang,

syair dikarang petang pagi: 

Alangkah susah hidup seorang, 

bagi menentang langit tinggi. 

Jika 'ndak tahu di Tanjung Raja, 

bermalam semalam di kampung Pulai, 

mudik berkayuh ke Merangin, 

Cerana Nanggung di Supayang. 

Jika 'ndak tahu diuntung saya, 

lihat kelopak bunga bulai, 

kalau pecah ditimpa angin, 

entah ke mana terbang melayang. 

Wahai jantung hatiku, cahaya mataku! Betapakah sampai 

hatimu meninggalkan aku ini seorang diri dengan nasibku yang 

malang ini? Jika siang tiadalah lain yang kupikirkan, melainkan 

engkau dan untungku yang celaka ini. Bekerja yang lain tiada 

dapat, karena pikiranku selalu melayang. Walaupun badanku ada 

di sini, tetapi nyawaku tiadalah jauh daripadamu. Wajah muka-

mu senantiasa terbayang-bayang di mataku. Jangankan bekerja, 

sedangkan makan dan minum tiada ingin, karena nasi dimakan 

rasa sekam, air diminum rasa duri.

Tiadalah lain yang kukerjakan sehari-hari, melainkan duduk 

termenung bertopang dagu, memandang dengan tiada ber-

keputusan kepada benda yang tiada kulihat. Ini, lihatlah! Telah 

berapa lamanya aku duduk sedemikian ini, tiadalah kuketahui. 

Selalu kupandang bulan yang jauh di atas langit, karena ialah 

yang dapat memperhubungkan pemandangan kita berdua. Jika 

engkau pun melihat pula kepada bulan itu, niscaya bertemulah 

pemandangan kita di sana. Aduhai! Betapakah baiknya, bila 

bulan itu dapat pula menyambung perkataan dan perasaan kita! 

Apabila hari telah malam, tiadalah dapat kupejamkan mataku 

barang sekejap pun, karena bayang-bayangmu berdiri di muka-

ku. Suaramu terdengar di telingaku, ciunvnu terasa di pipiku. 

Walaupun aku telah tertidur, sebab lelah pikiran dan badanku, 

acap kali aku terbangun kembali, karena bermimpikan engkau. 

Wahai! Sebagai sungguhkah rasanya engkau datang kepadaku, 

akan menghibur hatiku yang kecewa ini dengan perkataan yang 

lemah-lembut, serta memeluk dan menciumku, akan memper-

lihatkan hatimu yang belas kasihan kepadaku. Maka hilanglah 

segala kesusahan dan duka nestapa yang menggoda pikiranku. 

Akan tetapi, ya Allah! Bila tersadar pula aku dan teringat, bahwa 

sekalian itu hanya permainan kalbuku saja dan nyata pula 

olehku, bahwa aku masih ada di dalam tempat tidurku, terbaring 

seorang diri, hanya ditemani oleh guling dan bantalku,

bertarnbah-tarnbahlah sedih hatiku dan hancur luluh rasa 

jantungku. Air mataku bercucuran membasahi bantal dan kasur-

ku dan mataku tiada dapat kututupkan lagi. 

Tatkala berkokoklah ayam bersahut-sahutan di segala tempat, 

barulah terperanjat aku, karena bunyi itu kudengar sebagai 

suaramu, mernanggil aku dari jauh. Bunyi ombak yang menderu-

deru memecah di tepi pantai, sebagai mengingatkan aku, bahwa 

kekasihku jauh di seberang lautan yang dalam, di balik gunung 

yang tinggi. Dadaku rasakan belah, tali jantungku rasakan putus. 

Maka menelungkuplah aku, menekankan dadaku ke bantal, akan 

menahan sakit yang mengiris hatiku, sehingga terkadang-kadang 

pingsanlah aku, tiada khabarkan diri. Waktu yang dua belas jam, 

menjadi dua belas tahun lamanya, karena lama menanti siang. 

Bila menyingsinglah fajar di sebelah timur dan bersuitlah 

burung di dahan kayu, alamat hari akan siang, bangunlah aku 

seorang diri, keluar perlahan-lahan, supaya jangan menyusahkan 

orang. Walaupun had masih gelap dan dingin, aku basuh 

mukaku, karena malu, kalau diketahui orang halku, melihat 

mataku yang bengkak dan merah: Tetapi hawa yang sejuk dan 

embun yang mengabut itu pun tiada juga dapat menyegarkan 

badanku dan menenangkan pikiranku, melainkan bertambah-

tambahlah sedih hatiku, sebab di sana nyata benar olehku buruk 

untungku, sunyi daripada scgala makhluk yang dapat mengobati

penyakitku. 

Sungguhpun pada siang hari banyak pekerjaan yang boleh 

dikerjakan, tetapi luka hatiku tak dapat ditawari dengan 

pekerjaan. Dan bila malamlah pula hari, penyakit yang hebat ini 

datang kembali berlipat ganda kerasnya, menggoda aku. 

Wahai nasib yang malang, bilakah engkau lepaskan aku dari 

kungkunganmu? 

Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata perempuan ini, 

mengalir ke pipinya, yang dihiasi oleh sebuah tahi lalat yang 

hitam. 

"Bagimu, kekasihku, karena engkau ada di negeri besar, 

tentulah kesusahanmu tiada seberapa, sebab banyak yang dapat 

mclipur hatimu. Tetapi aku yang ada di negeri Padang ini, 

terkurung dalam rumah yang kecil, tempat aku menumpangkan 

diriku yang malang ini, tiada beribu-bapa, tiada bersanak 

saudara, atau sahabat kenalan, siapakah 'kan dapat melipur 

hatiku ini? Seorang pun tiada. 

Ya Allah, ya Tuhanku! Apakah sebabnya hamba-Mu disiksa 

sedemikian ini? Apakah kesalahanku, maka tiada boleh men-

dapat ampun dan maaf, supaya terlepas dari azab dunia ini, 

karena tiadalah sanggup rasanya hamba-Mu menanggung 

siksaan ini. Jika tiada lekas aku terlepas dari sengsara ini, 

niscaya luputlah badan dan nyawaku dari negeri yang fana ini.

Akan tetapi, bila sesungguhnya aku tiada akan mendapat ampun 

lagi, sebaik-baiknyalah dengan lekas diceraikan nyawaku dari 

tubuhku, karena tiadalah terderita lagi olehku azab yang 

sedemikian ini: 

Ya Allah, ya Rabbana, 

Tiadakah kasih hamba yang hina? 

Menanggung siksa apalah guna, 

Biarlah hanyut ke mana-mana. 

Tiada sanggup menahan sengsara, 

Sebilang waktu mendapat cedera, 

Dari bencana tidak terpiara, 

Seorang pun tiada berhati mesra. 

Mengapakah untung jadi melarat? 

Bagai dipukul gelombang barat, 

Suatu tak sampai cinta dan hasrat, 

Kekasih ke mana hilang mengirat? 

Apakah dosa salahku ini? 

Maka mendapat siksa begini, 

Badan yang hidup berasa fani, 

Seorang pun tiada mengasihani.

Semenjak ayahku telah berpulang, 

Godaan datang berulang-ulang, 

Sebilang waktu berhati walang, 

Untung yang mujur menjadi malang. 

Ditinggal ibu ditinggal bapa, 

Kekasih berjalan bagaikan lupa, 

Sudahlah malang menjadi papa, 

Penuh segala duka nestapa. 

Mengapa nasib hamba begini? 

Azab siksaan tidak tertahani, 

Jika tak sampai hayatku ini, 

Biarlah badan hancur dan fani. 

Aduhai bunda, aduh ayahda! 

Mengapa pergi tinggalkan ananda? 

Tiada kasihan di dalam dada, 

Melihat yatim berhati gunda. 

Mengapa ditinggalkan anak sendiri? 

Biasa dijaga sehari-hari, 

Sakit sebagai inengandung duri, 

Ke mana obat hendak dicari?"

Maka bercucuranlah pula air mata perempuan ini, jatuh ber-

derai tiada berasa. Tatkala kedengaran kokok ayam bersahut-

sahutan, karena hari telah pukul dua malam, bertambahlah pilu 

dan sedih hatinya, lalu menangkup ke jendela, menangis tersedu-

sedu, karena terkenang akan nasibnya yang malang; sudah yatim 

piatu, mendapat pula beberapa kesengsaraan yang amat sangat. 

Sedang ia menangis sedemikian itu, tiba-tiba dirasainya 

bahunya dipegang orang dari belakang dan didengamya suara 

yang lemah-lembut, demikian bunyinya, "Nur, belum juga 

kautidur? Hari telah jauh malam; lonceng telah berbunyi dua 

kali." 

Tetapi pertanyaan ini tiada dapat disahuti oleh Sitti Nurbaya, 

yang sedang menangis, menyadari untungnya, di runiah saudara 

sepupunya Sitti Alimah, di kampung Belantung. 

"Pada sangkaku engkau telah tidur, karena engkau lekas 

masuk ke bilikmu tadi. Kalau aku tahu engkau masih bangun, 

tetulah aku datang menemani engkau di sini." 

Perkataan ini pun belum dapat disahuti oleh Nurbaya karena 

belum dapat ia mengeluarkan suaranya, sebab hatinya terlarnpau 

arrlat sedih. 

"Tutuplah jendela ini, Nur, supaya engkau kelak jangan 

mendapat penyakit! Rasailah angin yang masuk ini!" Lalu

Alimah memegang tangan Nurbaya perlahan-lahan, seraya 

mengangkatnya dan memimpinnya ke tempat tidurnya. 

Setelah didudukkannya Nurbaya, yang sebagai tiada sadar 

akan dirinya, di tempat tidurnya, pergilah ia menutup jendela 

tempat Nurbaya duduk menangis tadi. Tatkala itu terperanjatlah 

ia amat sangat, karena tampak olehnya di bawah jendela itu, 

seakan-akan ada orang yang memakai serba hitam, bersembunyi. 

Hendak ia menjerit, takut kalau-kalau orang itu memaksa dia 

membukakan jendela itu kembali. Jika demikian, apalah 

dayanya, karena waktu itu laki-laki tak ada dalam rumah. Oleh 

sebab itu dengan gopoh-gopoh dikuncinya jendela uni, lalu 

pergilah ia mendapatkan Nurbaya,.yang sedang duduk ter-

menung, melihat gambar Samsulbahri, yang ada dalam 

medaliunnya. Kemudian duduklah ia di sisi Nurbaya, memegang 

tangan kirinya, sedang tangannya yang lain mengusap-usap 

rambut adiknya ini, sambil berkata perlahan-lahan, "Nur, 

janganlah engkau turutkan benar hatimu yang sedih itu! 

Sabarkanlah sedikit! Tiadakah engkau kasihan akan dirimu? 

Lihatlah, badanmu telah kurus, mukamu telah pucat dan matamu 

telah bengkak, karena menangis bersedih hati sehari-hari. 

Apakah jadinya engkau kelak, jika selalu berawan hati, sebagai 

ini?" 

Sungguhpun Alimah berkata-kata itu, tetapi pikirannya masih

juga kepada orang yang telah dilihatnya di bawah jendela tadi. 

Siapakah orang ini dan apakah maksudnya di sana, tiada dapat 

dipikirkannya. Maka diberanikannya hatinya, supaya jangan 

nyata takutnya oleh Nurbaya. 

"Lim, perkataanmu itu benar sekali," sahut Nurbaya yang 

baru dapat berkata-kata, dengan sedih dan putus-putus suaranya. 

"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, atas kesudian 

hatimu, menolong aku yang tengah berdukacita ini. Di dalam 

halku ini, hanya engkau seoranglah yang masih setia kepadaku; 

suka bersusah payah memimpin aku, supaya aku jangan sesat 

kepada jalan yang salah. Engkaulah yang selaiu masih meng-

hiburkan hatiku dan engkaulah yang masih sudi memberi nasihat 

yang baik kepadaku. Oleh sebab itu, bagiku pada waktu ini, 

engkaulah jua yang menjadi ganti Ibu bapaku." 

Tatkala menyebut kedua perkataan yang akhir ini, berlinang-

linanglah pula air matanya lalu meratap, "Aduhai Ibu-bapaku 

yang kucintai! Sampai hati Ayah-bunda meninggalkan ananda 

seorang diri, dengan nasib yang malang ini'. Apakah sebabnya 

tiada dibawa bersama-sama supaya terlepas ananda daripada 

azab yang tiada terderita ini." 

"Nur, adikku yang manis!" kata Sitti Alimah, yang sangat 

cinta dan sayang kepada Nurbaya. "Itu bukan tanda engkau 

sayang kepada orang tuamu. Engkau tahu, mereka sedang

berjalan, menempuh jalan yang sulit, akan mendapatkan 

Tuhannya. Bila engkau panggil dan engkau tangisi juga, tentulah 

akan tertahan-tahan mereka di dalam perjalanannya. 

Sudahlah, jangan dipanggil-panggil jupyang telah berpulang 

itu! Senangkanlah hatimu dan doakanlah kepada Tuhan, mudah-

mudahaq selamat mereka di dalam kubur!" 

Setelah sejurus, berkata pula Nurbaya, "Lim, kebaikanmu ini 

tiada dapat kubalas, melainkan kupohonkanlah siang dan malam 

kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, moga-moga dilimpahkannya 

rahmat dan rahim, berlipat ganda kepadamu, supaya bolehlah 

engkau mendapat selamat dan kesenangan dunia akhirat." 

"Nur, jangan berkata begitu!" jawab Alimah, "atas pekerjaan-

ku ini, tak perlu kau ininta terima kasih, sebab aku berbuat 

demikian, bukan karena berharap barang sesuatu daripadamu 

sebagai pembalasan, tetapi semata-mata sebab aku sangat kasih 

dan sayang kepadamu. Maklumlah, aku ini sebagai engkau pula, 

tiada bersaudara, melainkan hidup menunggal diri. Oleh sebab 

itu pada perasaanku, engkaulah adikku dunia akhirat, tempat aku 

bergantung, tempat aku melindungkan diri dan menyerahkan 

nasibku, yang jauh daripada baik ini. Tambahan pula, seharus-

nyalah aku membantu engkau dalam segala halmu. Jika tiada 

aku, siapa lagi?" kata Sitti Alimah pula, sambil mengurut-urut 

rambut dan tangan Nurbaya.

"Itulah sebabnya maka segala nasihatmu hendak kuturut, 

kutaruhkan dalam hati, dan itulah pula sebabnya maka aku selalu 

mencari daya upaya, supaya jangan sampai mengecilkan hatimu. 

Akan tetapi, apa dayaku, Lim? 

Walaupun kulipur hatiku, walaupun kucoba menghilangkan 

kenang-kenangan yang menggoda pikiranku tiadalah dapat juga: 

makin dilupakan makin teringat, makin dijauhkan makin dekat, 

makin dienyahkan makin datang. Putus pengharapanku, akan 

dapat menyenangkan hatiku," sahut Nurbaya dengan berlinang-

linang air matanya, sambil memeluk Alimah. 

Oleh Alimah dipeluknya pula adiknya ini dan diciumnya 

pipinya, seraya berkata dengan manis suaranya, "Walaupun 

demikian, janganlah putus asa, melainkan perbanyaklah juga 

sabar dan tawakkal kepada Seru Sekalian Alam, karena Tuhan 

itu pengasih penyayang. Bukankah segala sesu,atu terjadi atas 

kehendaknya? Masakan tiada dipertemukannya engkau dengan 

kekasihmu dan tiada disampaikannya hasrat yang kaucita-citakan 

slang dan malam itu? Masakan selalu hujan dengan tiada 

berganti-ganti panas'? Barangkali pada waktu ini, belurn 

masanya engkau beroleh keinginan hatimu itu; oleh sebab itu 

sabarlah dahulu!" 

"Memang, Lim; pada mulanya demikianlah pikiranku. 

Dengan pengharapan itulah kulipurkan hatiku yang rawan ini.

Tetapi entah apa sebabnya, tiada kuketahui; pengharapan itu 

makin lama makin kurang, sehingga akhirnya putuslah ia. Tiap-

tiap aku berpikir, seperti kaukatakan tadi, sebagai ada pula suatu 

suara yang timbul dalam hatiku, mengatakan, pengharapanku itu 

akan sia-sia belaka, karena dalam dunia ini tiadalah akan 

disampaikan Tuhan cita-citaku itu dan tiadalah pula akan 

dikabulkan-Nya permintaanku itu, meskipun hasrat berurat 

berakar dalun hatiku. 

Aduh, Lim! Jika kauketahui, betapa beratnya bagiku akan 

meninggalkan dunia ini dengan penghaharapan yang sedemikian, 

tentulah tiada heran engkau, melihat haiku sebagai ini. Bukannya 

aku takut mati, bukannya aku sayang akan nyawaku, istimewa 

pula sebab di sana ada ibu-bapaku menanti aku. Tetapi... 

bagaimanakah halnya kekasiliku itu, sepeninggal aku kelak?" 

"Nur, pikiranmu itu salah. Mustahil...! Ah, tak dapat 

kubenarkan! Masakan engkau..." perkataan ini tak dapat diterus-

kan oleh Alimah, karena khawatir, kalau-kalau benar persangka-

an Nurbaya ini. Teristimewa karena nyata kelihatan olehnya 

putus asa yang terbayang di muka adiknya ini. Oleh sebab itu 

dicobanyalah mengenyahkan was-was hatinya ini dengan 

membujuk Nurbaya pula, "Jika engkau bersangka demikian, 

tentulah karena engkau sakit, sehingga pikiranmu tiada tetap. 

Sebaik-baiknyalah kau usahakan dirimu dengan sebesar-besar

usaha, supaya pikiranmu itu menjadi baik kembali. Jika tiada, 

tentulah penyakitmu akan bertambah-tambah keras. Dan 

ingatlah, bahwa badan dan nyawamu pada waktu ini bukan 

milikmu sendiri saja lagi. karena dua orang yang lain, yaitu 

Samsu dan aku, telah menjatuhkan cinta kasih sayangnya 

kepadamu. Bila terjadi apa-apa atas dirimu, niscaya kami berdua 

pun akan berdukacita dan bersedih hati pula. Oleh sebab itu, jika 

benar engkau cinta kepada Samsu dan suyang kepadaku, jagalah 

dirimu baik-baik, supaya jangan sampai mendapat sesuatu hal. 

Bila kausia-siakan dirimu, tandanya eqgkau tiada cinta kepada 

Samsu dan tiada sayang kepadaku." 

"Aku tiada sayang kepadamu dan tiada cinta kepada Samsu?" 

tanya Nurbaya, sambil mengangkat kepalanya. "Hanya Allah 

yang mengetahui hatiku kepadamu berdua. Tetapi sesungguhnya, 

Lim, tiada dapat kuketahui, apakah sebabnya perasaan yang 

memutuskan pengharapan ini, kian lama kian bersarang dalam 

hatiku, mengalahkan harapan yang kauberikan. 

Pada pikiranku, sebaik-baiknya kautunjukkanlah suatu jalan 

kepadaku, supaya aku dapat bertemu kembali dengan dia. 

Apabila aku telah bertemu dengan dia, biarlah terjadi atas diriku, 

apa maunya. Aku hendak melihat mukanya sekali lagi, hendak 

mendengar suaranya sekali lagi. Aku hendak melihat sendiri 

pada air mukanya, bagaimana hatinya kepadaku sekarang ini.

Aku hendak mendengar sendiri dan mulutnya, betapa perasaan-

nya kepadaku, sejak ia diusir ayahnya. Barangkali juga ia tiada 

cinta lagi kepadaku atau ia marah kepadaku dan menyesal akan 

perbuatannya." kata Nurbaya pula. sambil menutup mukanya, 

hendak menahan air matanya yang keluar, lalu menangkup 

kepada Alimah. 

Alimah dengan segera mengangkat kepala Nurbaya perlahan-

lahan, lalu menyapu air matanya dengan sehelai setangan sutera, 

sambil berkata, "Bagaimana perkataanmu, Nur? Dahulu engkau 

sendiri mengatakan, ia sangat cinta kepadamu dan engkau 

hampir setiap Jumat mendapat surat dari padanya, yang 

menyatakan cinta hatinya dan kasih sayangnya kepadamu. 

Betapa pula engkau boleh berpikir seperti ini?" 

"Ah Lim, surat itu dapat dikarang-karang. Yang tak bernar 

pun, dapat dituliskan. Bunyi surat tiada selamanya bunyi 

perkataan, yang timbul dari hati. Kalau benar ia masih cinta 

kepadaku, masakan ditinggalkannya aku, dibiarkannya aku 

dengan nasibku sedemikian ini? Ia berjalan tiada memberi tahu 

kepadaku. Memang laki-laki mulutnya manis, tetapi hatinya 

jarang yang lurus," jawab Nurbaya. 

"Nur, ingat akan dirimu! Jangan diturutkan godaan setan! 

Engkau sakit, sakit keras. Itulah sebabnya pikiranmu tiada tetap. 

Akan Samsu, walaupun engkau lebih tahu hatinya daripada aku

tetapi aku bukan percaya saja, bahkan berani menanggung, 

bahwa ia bukanlah seorang laki-laki yang mengubah janji atau 

berhati lancung, melainkan seorang yang lurus hati, setia, boleh 

dipercayai, pengasih, penyayang dan sabar. Cintanya kepadamu 

bukan bohong, karena sejak kecil ia kasih dan sayang kepadamu. 

Mengapakah sampai berubah hatimu kepadanya? 

Bukannya aku hendak memenangkan dia, sebab ia bukan 

kaum keluargaku, sedang engkau saudaraku yang sangat ku-

cintai. Sungguhpun demikian, persangkaanmu itu tak dapat 

kubenarkan. Apakah salahnya, maka sampai bertukar pikiranmu 

kepadanya, Nur? Alangkah sedih hatinya, bila diketahuinya 

pikiranmu itu!" 

"Ya, Lim," sahut Nurbaya, sambil memegang dan mencium 

tangan saudaranya, sedang air matanya mengalir kembali. 

"Benar pikiranmu itu; memang aku ini sakit dan pikiranku tiada 

keruan. Memang tiada patut aku berpikir sedemikian, karena 

belum ada kesalahan Samsu, yang nyata kepadaku. Ya, memang 

pikiraiiku tiada betul. Maui dan ampun, Lim, akan kesalahan 

adikmu yang celaka ini! 

Kepadamu pun aku banyak minta maaf dan ampun, Sam, atas 

perkataan dan syak wasangkaku tadi," kata Nurbaya pula, sambil 

memandang potret Samsulbahri, yang ada dalam medaliunnya 

itu. Kemudian dicium dan ditaruhnya gambar itu ke atas

dadanya. "Aku dakwa engkau, atas perbuatan, yang tentu tiada 

kaulakukan; aku hukum engkau, dengan tiada berdosa. Tetapi 

janganlah engkau berkecil hati, karena sesungguhnya aku sakit; 

tak tahu, apa yang kuperbuat. Bila penyakitku ini tiada diobat 

dengan penawarnya, tentulah tiada akan sembuh. Oleh sebab itu 

lekaslah beri obat yang mustajab, supaya aku dapat baik 

kembali. Jika tiada lekas kautawari, tentulah aku tiada dapat 

hidup lama lagi di atas dunia ini dan sia-sialah maksudmu, 

hendak membela aku. 

Dan engkau, Lim, ibu-bapaku yang kedua. Tunjukkanlah 

olehmu suatu jalan, supaya bangat aku terlepas dari neraka dunia 

ini!" 

"Nur," jawab Alimah, "jalan akan mengobati luka hatimu itu, 

mudah benar. Bukankah masih banyak kapal di laut yang dapat 

mempertemukan engkau dengan dia?" 

Setelah berpikir sejurus, berkata Nurbaya, "Sungguh benar 

katamu itu; sebab ia tentu tiada akan datang lagi ke Padang ini 

karena negeri ini mungkin telah dihitamkannya." 

"Jika demikian, tentulah engkau yang harus pergi kepada-

nya," jawab Alimah. "Takutkah engkau berlayar sendiri ke 

Jakarta? Orang yang akan mengantarkan engkau ke sana, dapat 

dicari. Pak Ali yang sangat cinta kepada Samsu, kabarnya telah 

berhenti menjadi kusir bapanya, sebab ia bersedih hati, Engku

mudanya itu diusir oleh bapanya. Tentulah ia mau membawa 

engkau ke Jakarta." 

"Bukan aku takut," kata Nurbaya, "walau ke laut api sekali-

pun aku berani, asal dapat bertemu dengan dia. Memang hal ini 

sudah juga kupikirkan, karena hanya dengan jalan inilah aku 

dapat memperoleh maksudku. Tetapi kupikir pula, bila aku telah 

sampai ke sana, apa yang hendak kuperbuat? Karena engkau 

maklum, ia masih murid, belum bergaji. Walaupun ia suka 

menerima aku, dengan apakah kami akan hidup, sebab kami 

baik, di negeri besar!" 

"Tetapi pada pikiranku, kalau benar ia cinta kepadamu, 

tentulah ada juga suatu akal padanya, untuk dapat hidup berdua 

dengan engkau. Masakan seorang laki-laki, yang cukup ke-

pandaiannya sebagai Samsu, tiada dapat mencari muslihat yang 

baik, di negeri besar!" 

"Memang ia dahulu sudah berkirim surat kepadaku, 

menyuruh aku pergi ke Jakarta, sebab ia kasihan akan daku dan 

khawatir, aku membunuh diri. 

Maksudnya hendak meninggalkan sekolahnya dan akan 

mencari pekerjaan, supaya kami dapat hidup berdua. Tetapi 

adakah baik, bila kuturutkan pikirannya ini? Kuasakah aku 

menarik ia dari pelajaran yang boleh mendatangkan pangkat dan 

gaji yang besar kepadanya kelak?

Ah, jika aku kaya, tiadalah kupikirkan lagi; tentu segera 

kubenarkan pikirannya ini dan tiadalah kuberi ia bekerja, supaya 

mendapat kesenangan, terlebih daripada raja. Tetapi apa hendak 

dikata...?" lalu Nurbaya menghapuskan air matanya yang ber-

linang-linang. 

"Biarpun engkau tiada kaya, asal aku mampu, tentulah segala 

maksudmu kusampaikan. Akan tetapi, sebab kita bukannya 

hartawan yang mempunyai gedung di darat, kapal di laut, pada 

pikiranku tiada ada jalan lain, daripada membenarkan pikiran itu. 

Jika untungmu berdua kelak baik, tentulah akan kauperoleh juga 

kesenangan dan kekayaan itu." 

Setelah berpikir sejurus, berkatalah Nurbaya, sambil 

mengeluh, "Ya, memang, tak ada jalan lain. Baiklah kuturut 

pikiranmu dan pikirannya itu. Tetapi dari mana dicari belanja?" 

"Kaugadaikan barang-barangmu yang tiada perlu kaupakai 

dan kaujual barang-barangku setengahnya," sahut Alimah. 

"Memang engkau lebih daripada saudara kandungku," kata 

Nurbaya pula, sambil mencium Alimah pada pipinya. 

"Jadi, benar telah tetap maksudmu hendak berangkat?" tanya 

Alimah. "Dan bila engkau hendak berangkat?" 

"Hari Saptu yang akan datang. Tetapi rahasia ini janganlah 

kaubuka dahulu, Lim, sebelum aku selamat sampai ke tanah 

Jawa, supaya jangan mendapat alangan apa-apa. Bila orang

tuamu tahu maksudku itu, niscaya tiadalah akan diizinkannya 

aku pergi sendiri." 

"Teritu tidak, kecuali kalau Pak Ali, yang membawamu," 

jawab Alimah. "Sekarang sudah senangkah pikiranmu?" 

"Sudah." jawab Nurbaya. 

"Maukah engkau berjanji, tidak akan termenung-menung, 

berawan hati lagi atau menangis tersedu-sedu?" tanya Alullah 

pula. 

Pertanyaan itu tiada dijawab oleh Nurbaya melainkan dipeluk 

dan diciumnya pula Alimah, sambil berkata, "Memang engkau 

seorang bidadari, yang selalu menolong aku dalam segala 

kesusahanku." 

"Nah, sekarang tidurlah dengan senang, sebab hari telah 

pukul setengah empat pagi! Biarlah aku tidur di sini menemani 

engkau. Jika tidak, kelak engkau menangis pula, sebab waktu 

yang beberapa hari itu, terlalu lama bagimu," kata Alimah 

dengan bergurau kepada adiknya ini, lalu merebahkan dirinya ke 

kasur, serta membawa Nurbaya tidur. "Sekarang peluklah aku 

dan misalkan aku Samsu serta mimpikanlah ia!" 

Nurbaya tiada menyahut cumbuan saudaranya ini melainkan 

dengan tersenyum dan mata yang masih basah, diciumnya pula 

Alimah, lalu berbaring. 

Tiada berapa lama sesudah itu, tertidurlah Nurbaya dalam

pelukan Alimah. Maka dipandanglah muka Nurbaya oleh 

Alimah beberapa saat lamanya dan nyata kepadanya, bahwa di 

muka adiknya itu, masih terbayang kedukaan, tetapi yang 

disertai pengharapan. 

Tatkala ia hendak menutupkan matanya, terdengarlah 

olehnya bunyi langkah orang, keluar dari bawah rumahnya. 

Maka berdebarlah hatinya, karena teringat pula akan bayang-

bayang yang dilihatnya, ketika akan menutup jendela bilik itu 

tadi. Tetapi seketika lagi sunyi senyaplah di sana. Sungguhpun 

demikian, diniharilah baru Alimah tertidur, karena takut dan 

heran memikirkan orang yang dilihatnya tadi.


XI. NURBAYA LARI KE JAKARTA 

Walaupun hari hampir pukul tujuh pagi, tetapi di pelabuhan 

Teluk Bayur, belum terang benar. Di tempat-tempat yang ter-

sembunyi, di bawah-bawah pohon kayu, masih gelap. Beberapa 

pekerja yang berjalan kaki menuju ke pelabuhan untuk mencari 

nafkahnya, kelihatan masih berselubung kain sarung, supaya 

jangan ditimpa angin pagi yang sejuk. Dari jauh, dari sebelah 

timur, kedengaran bunyi lotong dan ungka, sebagai orang yang 

bertempik sorak, bersuka raya, menyambut kedatangan cahaya 

matahari, yang mulai menerangi hutan, tempat kediamannya. 

Sesungguhnya, di sebelah timur kelihatan beberapa sinar 

yang merah, memancar dari balik gunung, yang memagar 

pelabuhan Teluk Bayur, sebagai hendak menembus awan yang 

tebal. Di laut, kelihatan embun, seperti asap, tergantung di atas 

air, berarak perlahan-lahan arah ke barat. Dari dalam kabut ini, 

timbullah beberapa perahu kail, yang datang dari laut, berlayar 

perlahan-lahan menuju ke darat, membawa ikan yang dapat 

dikailnya pada malam hari. Angin teduh, laut pun tenang. Di 

sebelah barat masih kelihatan bulan sebelah, tinggi di atas langit, 

sedang cahayanya, kian lama kian pudar, sebagai perak belum 

disepuh.


Sungguhpun hari masih pagi, tetapi di Teluk Bayur ramailah 

sudah oleh orang yang hendak berlayar, meninggalkan kota 

Padang atau mengantarkan mereka, yang hendak merantau ke 

negeri lain; karena pada hari itulah ada sebuah kapal yang 

hendak bertolak ke tanah Jawa, pukul delapan pagi. Pekerja-

pekerja, ribut memuat dan membongkar barang-barang; anak 

kapal ribut bersiap dan bekerja, sedang penumpang, berlari-lari 

turun-naik, sebagai takut ketinggalan. 

Pada sebuah kedai, yang ada di Teluk Bayur, kelihatan 

seorang laki-laki tua, sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu 

mengintip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya. 

Setelah masuklah ia kembali ke dalam kedai itu, lalu berkata 

kepada seorang perempuan muda, yang berdiri di balik lemari, 

"Rupa-rupanya tak ada orang yang tahu akan perjalanan kita ini, 

karena sekarang, belum ada kelihatan seorang pun yang hamba 

kenal." 

"Untunglah," jawab perempuan muda itu, "tetapi baik juga 

dilihat di luar. Siapa tahu, barangkali perjalanan kita ini diintip 

orang juga." 

Laki-laki tua tadi, pergilah ke luar kedai, lalu berjalan ke 

sana kemari, pura-pura melihat ini dan itu, tetapi matanya 

mengintip ke segenap tempat dan memperhatikan sekalian orang 

yang dilihatnya.

Setelah berbunyilah seruling kapal yang pertama, keluarlah 

kedua mereka dari kedai itu, berjalan lekas-lekas menuju kapal, 

lalu naik ke atas geladak, mencari tempat yang tersembunyi dan 

berdiam diri di sana. Dengan tiada diketahui mereka, adalah dua 

orang laki-laki, yang mengintip segala kelakuan mereka dari 

balik sebuah gudang. 

Setelah nyatalah oleh kedua laki-laki ini, bahwa yang lari 

naik ke kapal itu, ialah kurbannya, berkatalah seorang daripada 

mereka kepada temannya, "Sekarang baiklah engkau pulang, 

Pendekar Tiga! Kabarkanlah penglihatanmu ini kepada Engku 

Datuk Meringgih, dan katakanlah kepada beliau, aku akan 

mengikut mereka dengan kapal ini ke Jakarta, untuk menjalan-

kan perintahnya dan akan menuntut beberapa ilmu, yang berguna 

untuk sasaran kita di sini. Lagi pula, aku di sana, akao mencari 

beberapa kenalan dan murid-murid, yang suka masuk per-

kumpulan kita." 

"Baiklah, Kak Pendekar Lima," jawab Pendekar Tiga, "tetapi 

adakah Kakak berbelanja?" 

"Ada, untuk sementara," kata Pendekar Lima pula. "Jika 

kurang, nanti akan kuminta dari Jakarta." 

Kernudian daripada itu, bercerailah kedua mereka ini. 

Pendekar Tiga pulang kembali ke kota Padang dan Pendekar 

Lima berjalan perlahan-lahan ke pangkalan.

Setelah berbunyilah seruling yang kedua dan jambatan 

hampir akan diangkat, barulah ia melompat naik kapal, lalu ber-

sembunyi di bawah geladak. Tiada beberapa lamanya kemudian 

daripada itu, diangkatlah sauh dan berlayarlah kapal ini, 

meninggalkan Teluk Bayur. 

Setelah keluarlah kapal ini dari pelabuhan Teluk Bayur, 

barulah perempuan yang melarikan diri tadi, berani keluar dari 

tempat ia bersembunyi; lalu melihat ke sana kemari, mencari 

tempat yang baik. Akhirnya dapatlah olehnya suatu tempat, 

dekat kamar kapitan. Laki-laki yang bersama dengan dia, lalu 

membentangkan tikarnya dan membuka sebuah kursi malas kain, 

yang dibawanya untuk perempuan itu. 

"Sekarang barulah senang hatiku sedikit, Pak Ali," kata 

perempuan ini, setelah duduk di atas tikar itu. "Tetapi sungguh-

pun demikian, was-wasku belum hilang; sebagai aku ini masih 

diikuti oleh bala. Oleh sebab itu, baiklah Pak Ali coba juga nanti 

berjalan ke mana-mana pura-pura mencari apa-apa dan dilihatlah 

benar-benar, tiadakah diketahui orang perjalanan kita ini dan 

tiadakah diikuti orang kita." 

"Baiklah, orang kaya Nurbaya. Nanti hamba pergi periksa, 

walaupun pada sangka hamba, tak ada orang yang tahu per-

jalanan kita ini dan tak ada orang pula orang yang mengikuti 

kita," jawab Ali.

Setelah duduk sejurus, berkatalah Nurbaya, "Pak Ali, sudah-

kah dikirim surat kawat untuk Samsu, supaya disambutnya kita 

di Tanjung Periuk?" 

"Sudah, Orang Kaya, kemarin. Tetapi walaupun tak ada ia di 

Tanjung Periuk, tak mengapa, karena hamba telah biasa ke 

Jakarta dahulu, tatkala menjadi opas, membawa pesakitan," sahut 

Ali. 

"Betul, tetapi baik juga diketahuinya kedatangan kita ini, 

supaya disediakannya tempat untuk kita," kata Nurbaya pula. 

"Benar," jawab Ali. "Tetapi tiadakah Orang Kaya berasa 

lapar? Barang kali belum makan apa-apa tadi!" 

"Sesungguhnya perutku mulai berbunyi-bunyi, minta nasi," 

kata Nurbaya dengan tersenyum. Hatinya makin lama makin 

riang, karena dapat meninggalkan kota Padang dengan tiada 

diketahui orang dan karena mengingat pertemuan dengan 

kekasihnya Samsulbahri. 

"Tunggulah sebentar, hamba minta telur dan kopi," kata kusir 

Ali, lalu pergi. Tiada berapa lama kemudian, kembali pula ia 

dengan membawa beberapa butir telur dan dua mangkuk kopi. 

Sementara itu, Nurbaya telah mengeluarkan beberapa ketupat 

dan makan-makanan yang lain dari dalam rantangnya, lalu 

makanlah kedua mereka itu. 

Kira-kira sejam setelah itu, datanglah seorang mualim kapal,

meminta surat pelayaran. Tatkala sampai ia ke dekat Nurbaya 

dan terlihat olehnya kecantikan perempuan ini, berbisik-bisiklah 

ia dengan keraninya, dalam bahasa Belanda, "Bagaimana 

pikiranmu tentang perempuan ini, Ludi?" 

"Ini sesungguhnya bunga ros dari Padang," jawab Ludi. 

"Sanggup engkau membujuknya? Selusin bir upahnya," kata 

mualim itu pula. 

"Coba-coba; tetapi rupanya ia orang baik-baik; tentu susah 

didekati. Tambahan pula, ada yang menjaganya," jawab Ludi. 

"Jika tak cukup selusin, nanti aku tambah setengah lusin 

lagi," kata mualim itupula, seraya mengerling kepada Nurbaya, 

"Pipinya yang cekung bila ia berkata-kata dan tahi lalat yang ada 

pada pipinya, menambahkan asyik hati." 

"Nantilah kucoba," jawab Ludi. 

Segala percakapan ini didengar dan dimaklumi oleh Nurbaya 

dan sangatlah benci hatinya melihat kedua mereka. Tetapi 

ditahannya marahnya, supaya ia jangan dianiaya pula oleh 

mereka. 

Setelah sampai Ludi dan Mualim itu kepada Nurbaya, lalu 

bertanya kerani ini, "Hendak ke mana ini?" 

"Ke Jakarta," jawab Nurbaya dengan pendek. 

"Ada teket?" tanya Ludi pula. 

"Ini," jawab Nurbaya, seraya memberikan surat kapalnya.

Setelah dikoyak Ludi surat ini, lalu ia berkata, sambil 

memulangkan cabikan teket itu, "Mengapa tinggal di sini? Di 

bawah, ada tempat yang lebih baik. Kalau suka, nanti kupilih-

kan." 

"Terima kasih! Biarlah kami di sini, karena di sini dekat 

kapitan kalau ada apa-apa, boleh lekas menghadap dia." 

Mendengar jawaban ini terpikirlah Ludi sejurus; tetapi lekas 

ia berkata pula, "Bila kelak ada hujan atau gelombang, tentulah 

basah di sini." 

"Tak mengapa, kami bukan garam, hancur kena air. Jika 

benar ada gelombang besar kelak, kami carilah tempat yang baik 

pada pikiran kami," jawab Nurbaya, sambil melihat ke tempat 

lain. 

Setelah melihat Nurbaya menoleh itu, pergilah kedua 

pegawai kapal ini, memeriksa surat-surat penumpang yang lain. 

"Apa kataku? kata Ludi. "Memang dari jauh telah nyata 

padaku, perempuan yang sedemikian sebagai burung merpati: 

rupanya jinak, tetapi susah ditangkap." 

"Tak peduli, Ludi; jika tak dapat dengan baik, dengan keras. 

Carilah akal! Hilang semangatku melihat matanya dan 

pandangannya yang tenang itu. Jika dapat olehmu nanti kucari 

akal supaya gajimu ditambah." sahut mualim itu. 

"Baiklah, nanti kucoba juga; tetapi kalau tak dapat, jangan

marah," jawab Ludi. 

Sepeninggal kedua pegawai ini pergi, dikatakanlah oleh 

Nurbaya kepada kusir Ali segala percakapan mereka. 

"Jangan takut " kata kusir Ali, "nanti hamba berjaga benar-

benar. Jika berani juga ia mengganggu kita adukan saja kepada 

kapitan kapal." 

Tatkala itu angin teduh, laut pun tenang. Muka air, adalah 

sebagai kaca besar yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. 

Dari ujung langit selatan sampai ke ujung langit utara, tiadalah 

lain yang kelihatan, melainkan dataran yang amat luas, yang biru 

warnanya. Hanyalah pada buritan kapal, air sebagai mendidih 

dikacau roda kapal yang berpusing. Kapal pun berlayar seolah-

olah meluncur di atas dataran yang rata, sebagai ditarik tali ajaib, 

meninggalkan jejaknya yang berbaris-baris putih dan makin 

lama makin besar memecah. Di sebelah utara dan di sebelah 

barat, kelihatan beberapa pulau kecil yang berjejer jejer letaknya. 

Cuaca terang, langit pun jernih pada segenap tempat. Tiada 

berapa jauhnya dari kapal, kelihatan ikan berlompat-lompatan, 

sebagai bermain-main berkejar-kejaran. Ada yang melompat 

sebagai bermain-main jauhnya karena terkejut dilanggar kapal. 

Dari jauh kelihatan ikan lumba-lumba, berenang beriring-

iringan, sebentar timbul, sebentar hilang. Burung camar yang 

putih warna bulunya, beterbangan kian kemari. Ada yang

mengintai ikan-ikan yang lengah, mengapungkan dirinya ke 

muka air laut; ada yang tiada bergerak dari tempatnya sebagai 

tergantung di udara, tetapi tiba-tiba menunjam ke bawah, sampai 

ke atas air dengan deras terbangnya, seolah-olah anak panah 

yang dilepaskan dari busumya. Tatkala terbang pula ia mem-

bumbung, digonggongnyalah seekor ikan dalam paruhnya. Ada 

pula yang melayang menyambar makanannya dengan jarinya. 

Tiada berapa lamanya berlayar itu, luputlah daratan di 

sebelah timur dari mata, hilang di balik ujung langit yang hampir 

tiada berwatas dengan lautan. 

Ke mana mata memandang, tiada lain yang kelihatan lagi 

melainkan air semata-mata, disungkup oleh langit yang 

melengkung. Ketika itu terasa benar oleh Nurbaya kecil dirinya, 

karena sedangkan kapal yang besar itu, seolah-olah sebutir pasir 

di padang sahara rupanya. Kebesaran dan kekuasaan Allah yang 

menjadikan semesta alam ini, makin bertambah-tambah terasa 

olehnya dan kecutlah rasa hatinya bila diingatnya halnya, tak 

dapat lari ke mana-mana, lain daripada di atas kapal itu, jika 

terjadi apa-apa di laut ini; karena lepas dari tempat yang kecil 

ini, mautlah yang menunggunya. Nyata benar olehnya, bahwa 

tempat nyawanya bergantung, tiada seberapa besamya. Di kapal 

itulah saja kehidupan, tetapi di luar itu, kematian. "Adakah akan 

sampai kembali aku ke darat?" pikimya dalam hatinya. "Di darat

itulah yang tiada berbahaya." 

Rupanya ia lupa bahwa orang itu lebih banyak mati di 

daratan daripada di lautan. 

Setelah malamlah hari, terang benderanglah di kapal itu 

disinari cahaya lampu listrik. Angin bertiup dari selatan, 

menyegarkan segala kelasi kapal, yang telah bekerja berbelah 

payah sehari itu. Setelah selesai makan, naiklah beberapa kerani 

dan pegawai kapal, dari kelas dua, ke atas geladak; masing-

masing membawa permainan musiknya. Ada yang menggesek 

biola, ada yang memetik gitar. mendolin, keroncong dan ada 

pula yang meniup seruling, sedang yang baik suaranya, 

menyanyikan lagu keroncong dan setambul, serta berpantun 

berbalas-balasan, sebagai di bawah ini: 

"Dari mana hendak ke mana, 

dari Jepun ke bandar Cina. 

Jangan marah saya bertanya, 

bunga yang kembang siapa punya?" 

"Siapa yang punya," berteriak Ludi, menyahuti temannya 

yang bernyanyi itu. Orang yang kedua menyela pantun itu, 

"Buah cempedak buah nangka, apa obatnya hati yang luka?" 

Kemudian berpantun pula seorang lagi:

"Bajang-bajang tertali sutera, 

tulang dibakar baunya sangit. 

Dilihat gampang dipegang susah, 

sebagai bulan di atas langit." 

"Itukah dia!" teriak Ludi pula. Rupanya ia hanya pandai 

bersorak-sorak saja. "Tarik, Yakub! Jangan malu-malu!" Pantun 

itu dibalas oleh seorang lagi: 

"Dari mana datangnya lintah, 

dari sawah turun ke kali 

Dari mana datangnya cinta, 

dari mata jatuh ke hati." 

 

Pantun ini disela demikian, "Oleleh Kota Raja; jika boleh 

dibawa saja." 

"Ei... ei jangan!" kata Ludi pula, "Jangan merampas orang 

punya!" 

Kemudian berpantun pula orang yang pertama: 

"Laju-laju perahu laju, 

kapal berlayar ke Surabaya. 

Biar lupa kain dan baju, 

jangan lupa kepada saya.

"Siapa itu?" kedengaran seorang bertanya. 

"Adik saya," jawab Ludi. 

Sesungguhnya lagu keroncong dan Setambul ini, bila 

dimainkan dengan bunyi-bunyi yang sedemikian, dalam terang 

bulan, di tempat yang sunyi, sebagai di atas kapal waktu itu, 

sangatlah merdu bunyinya, memberi asyik segala yang men-

dengarnya. Itulah lagu yang selalu menarik hati anak muda-

muda yang suka bermain musik dan tiada jemu mereka 

menyanyikannya. Akan tetapi, sebab yang memainkan lagu ini 

acap kali orang yang kurang baik, di tempat yang sunyi-sunyi, 

pada jauh malam, terkadang-kadang dengan maksud yang 

kurang baik, menjadilah permainan ini, kurang disukai orang 

baik-baik. Oleh sebab itulah sangatlah benci Nurbaya mendengar 

bunyi-bunyian dan pantun mereka, lalu ia berbuat pura-pura 

tidur, seraya menutup muka dan telinganya, supaya jangan ter-

dengar olehnya sekalian nyanyian itu. 

Tatkala jauhlah sudah malam dan sunyilah di atas kapal, 

datanglah Ludi berjalan perlahan-lahan, pura-pura hendak 

memeriksa apa-apa. Setelah sampai ia ke tempat Nurbaya, lalu 

dibangunkannya perempuan ini, sambil berkata, "Marilah ikut 

aku, nanti kuberi tempat yang baik dan jika suka engkau menurut 

kemauanku, kelak kuberi uang berapa sukamu." 

Nurbaya lalu berdiri dan menolakkan Ludi, sambil berkata

dalam bahasa Belanda, "Jika berani engkau mengganggu aku 

sekali lagi, kuadukanlah kelakuanmu yang tiada senonoh ini 

kepada kapitan kapal. Akan menyusahkan penumpanglah kerja-

mu di sini? Atau kausangka aku ini seorang perempuan jahat? 

Buka matamu, lihat terang-terang; jangan samakan saja orang 

baik-baik dengan orang jahat! Nyah engkau dari,sini!" 

Kusir Ali sementara itu telah berdiri, melindungi Nurbaya; 

tetapi Ludi rupanya tiada barani berbuat apa-apa lagi, lebih-lebih 

karena mendengar Nurbaya berkata-kata dalam bahasa Belanda, 

lalu pergi dari situ. 

Walaupun sejak waktu itu Ludi tak kembali lagi, tetapi 

semalam-malaman itu tiadalah berani mereka memicingkan 

matanya, barang sekejap pun, takut kalau-kalau diganggu pula 

oleh kerani itu. 

Malam itu juga masuklah kapal ini ke pelabuhan Bengkulu, 

akan tetapi tiadalah dapat memunggah atau memuat barang-

barang, sebab gelombang amat besar jadi ditunggulah sampai 

keesokan harinya. Walaupun kapal ini berlabuh, tetapi Nurbaya 

berasa badannya kurang enak, karena kapal itu sangat oleng 

dipermainkan gelombang Ketaun. Oleh sebab tiada dapat berdiri, 

tidurlah saja ia di atas bangkunya, sampai kapal itu berlayar pula, 

meneruskan pelayarannya ke Jakarta. Tatkala itu, barulah 

Nurbaya berasa senang sedikit, dapat berdiri dan berjalan jalan.

Hari baik pula dan pelayaran pun adalah selamat. 

Akan tetapi pada malamnya, kira-kira pukul sepuluh, cuaca 

yang terang itu, sekonyong-konyong bertukar menjadi gelap 

gulita. Bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, tiada 

kelihatan lagi, sebab ditutup awan yang tebal, yang mengandung 

hujan. Angin teduh, lautan tenang, dan walaupun waktu itu 

malam hari, tetapi udara rasanya panas. 

Tiba-tiba kelihatan kilat di langit sebelah selatan, disertai 

bunyi halilintar yang amat kerasnya. Tiada berapa lama 

kemudian daripada itu, turunlah hujan yang amat lebat, sebagai 

dicurahkan dari langit, disertai angin topan yang berembus dari 

segenap pihak, berganti-ganti. Gelombang yang besar pun 

datanglah, menggulung setinggi gunung; kadang-kadang ber-

tumbuk sama sendirinya, memecah di tengah lautan. Kapal yang 

besar itu terbanting ke sana kemari dipermainkan gelombang 

sebagai sekerat kayu yang tiada berharga. 

Maka olenglah kapal itu ke kiri ke kanan, serta mengangguk 

ke muka ke belakang. Air taut menyimbah dari segala pihak 

masuk ke geladak, terkadang-kadang menghanyutkan peti-peti 

atau barang-barang yang ringan, menyusahkan sangat kepada 

segala penumpang; yang telah basah kuyup kena air dari atas dan 

dari bawah: Oleh sebab itu, sangatlah ribut mereka, masing-

masing mencari tempat akan melindungkan diri serta barang

barangnya. Bertambah-tambah kesukaran mereka, karena kapal 

sangat oleng, sehingga banyaklah penumpang yang mabuk taut. 

Dalam hal yang sedemikian, tiba-tiba kelihatan seorang laki-

laki, yang berpakaian serba hitam, datang dengan cepat men-

dekati Nurbaya, yang sedang duduk di kursinya, tak dapat ber-

diri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang badan 

Nurbaya, lalu mengaggkat dan membawanya ke sisi kapal, 

hendak melemparkannya ke dalam taut. Tatkala dilihat oleh 

Nurbaya orang itu yaitu Pendekar Lima, yang dikenalnya, 

hendak menikam Samsulbahri dahulu, berteriaklah ia minta 

tolong serta berkuat, hendak melepaskan dirinya dari tangan pen-

jahat ini. 

Kusir Ali, terperanjat, lalu berdiri mengejar Pendekar Lima 

hendak menolong Nurbaya, sehingga berkelahilah mereka itu 

bergumul, hendak empas mengempaskan. Oleh karena itu 

terlepaslah Nurbaya dari tangan penjahat ini. Tetapi malang, 

tatkala Pak Ali hendak mendekati Pendekar Lima pula, kenalah 

ia disepak penjahat itu, lalu jatuh tergelimpang. Orang gempar, 

dan karena takut, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya, 

lalu hilang pada suatu tempat yang gelap, di buritan kapal. 

Tatkala datang kapitan kapal ke tempat perkelahian itu, 

diceritakanlah oleh kusir Ali segala hal yang telah terjadi. 

Kapitan yang berhati santun dan iba kasihan, segera memberi

perintah kepada anak buahnya, menyuruh bawa Nurbaya ke 

kamar sakit, karena pada ketika itu ia, entah sebab sangat ter-

kejut, entah sebab diempaskan oleh Pendekar Lima, jatuh 

pingsan, terhantar di sisi kapal, tiada khabarkan dirinya lagi. Dan 

pada ketika itu juga disuruhnya pula cari si penjahat itu di 

segenap kapal. tetapi tiada ketemu. 

Keesokan harinya, kelihatan seorang anak muda, berjalan 

pulang balik di pelabuhan Tanjung Periuk; rupanya ada yang 

dinantinya di sana. Setelah berlabuhlah kapal yang ditumpangi 

Nurbaya. naiklah anak muda itu ke kapal itu, sdinbil melihat ke 

sana kemari, tetapi rupanya tiada tampak yang dicarinya. Oleh 

sebab itu bertanyalah ia kepada beberapa penumpang, kalau-

kalau ada seorang perempuan muda bernama Nurbaya, 

menumpang bersama-sama. Setelah didengarnya dari mereka, 

sekalian yang terjadi di atas diri Nurbaya, segeralah ia masuk ke 

kamar sakit itu dan sesungguhnya di sana dilihatnya Nurbaya 

terbaring di atas sebuah tempat tidur. Maka tiadalah tertahan 

hatinya lagi, lalu ia berlari mendapatkan Nurbaya dan dipeluk 

serta diciumnya perempuan ini, sambil menangis, "Aduh 

Nurbaya, adikku yang tercinta! Rupanya hampir tiada dapat kita 

bertemu lagi." 

Mendengar perkataan ini, terbangunlah Nurbaya. dan tatkala 

dilihatnya yang memeluknya itu Samsulbahri, menangislah pula

ia tersedu-sedu, seraya memeluk kekasihnya ini. 

"Sungguh celaka benar, untungku ini," katanya. "tiada putus-

putusnya dirundung mara bahaya. Bilakah habisnya azab 

sengsaraku? Jika tiada Pak Ali yang menolong aku, tentulah aku 

sekarang telah berkubur di dalam laut." 

"Sudahlah adikku, jangan menangis lagi! Barangkali 

sekarang inilah datang waktunya, kita akan mendapat 

kesenangan, karena telah jauh daripada segala setan dan iblis. 

Sabarlah, nanti aku ikhtiarkan, supaya kita beroleh kesenangan 

itu. Dapatkah engkau berjalan, supaya boleh kita turun dari kapal 

"Dapat," jawab Nurbaya, "hanya aku masih letih dan pening 

sedikit." 

"Tak mengapa," jawab kusir Ali, yang mengikut Samsu, 

masuk kamar sakit, tetapi belum tampak oleh anak muda ini, 

"nanti hamba dukung!" 

Mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke belakang 

lalu segera menjabat tangan kusir Ali, minta terima kasih atas 

pertolongan dan setianya. 

Tengah mereka berkata, masuklah kapitan kapal dengan 

seorang schout polisi, ke kamar sakit itu, lalu berkata. "lniluh 

dia!" 

Melihat hal Nurbaya sedemikian, terdiamlah schout ini 

sejurus, kemudian diajaknya Samsu ke luar. Setelah sampai ke

luar kamar itu, berkatalah schout ini, "Engkau ini siapa?" 

"Hamba seorang murid Sekolah Dokter Jawa, nama hamba 

Samsulbahri," sahut Samsu. 

"Perempuan ini apamu," tanya polisi ini pula. 

"Walaupun bukan saudara hamba sejati, tetapi lebih baik 

daripada adik kandung hamba, " jawab Samsu pula. 

"Siapa namanya?'' 

"Sitti Nurbaya." 

"Dan orang yang bersama-sama dia?" 

"Ali, kusir ayah hamba, yang berpangkat Penghulu di 

Padang." 

"Datang dari Padangkah kedua mereka itu?" 

"Memang: yang perempuan itu, anak seorang saudagar di 

sana." 

"Jika demikian, benarlah dia ini," kata schout itu pula. 

"Apakah sebabnya maka Tuan bertanya demikian?" tanya 

Samsu. 

"Bacalah telegram ini," jawab schout itu, sambil mengunjuk-

kan sehelai surat kawat. 

Setelah Samsu membaca kabar kawat ini, pucatlah mukanya 

dan gemetarlah bibirnya. Tangannya dikepalkannya dan giginya 

digertakkannya; lalu berkata, "Bilakah puas hati jahanam itu 

menggoda Nurbaya ini?"

Kemudian berkata pula ia kepada schout itu. "Pengaduan ini 

takkan tiada bohong belaka; maksudnya semata-mata hendak 

menganiaya perempuan ini. Sebagai nyata pada akhirnya yang 

hendak dilakukan orang atas dirinya malam tadi. Datuk 

Meringgih ini ialah suaminya, seorang yang sangat kejam. Itulah 

sebabnya Nurbaya sampai lari kemari. Ia hendak dibuangkan ke 

laut, tentulah pekerjaan jahanam itu juga, karena penjahat yang 

membuangkan Nurbaya, ialah orangnya." Kemudian dicetitakan-

lah oleh Samsu hal-ihwal Nurbaya dengan pendek, dari awal 

sampai kepada akhirnya. 

"Aku percaya akan perkataanmu," kata schout, "tetapi aku 

tiada dapat berbuat apa-apa, lain daripada menurut perintah yang 

kuterima ini." 

"Tentu," jawab Samsu. 

Setelah termenung sejurus, berkata pula ia, "Sekarang apakah 

maksud Tuan." 

"Hendak kuperiksa segala barangnya," jawab pegawai polisi. 

"Baiklah, nanti hamba ambil bawa-bawaannya," lalu masuk-

lah Samsu ke kamar Nurbaya dan sebentar lagi keluar pula ia, 

membawa barang-barang adiknya ini. Setelah diperiksa, oleh 

Schout nyatalah tiada kedapatan apa-apa, lain daripada uang 

kira-kira lima puluh rupiah dan pakaian perempuan. Kemudian 

diperiksanya pula peti kusir Ali. Itu pun tiada juga kedapatan

apa-apa, lain daripada beberapa helai pakaian. 

"Uang ini siapa punya?" tanya Schout, 

"Uang Nurbaya," jawab Ali. 

"Kamu tahu, dari mana diperolehnya uang ini?" 

"Tahu, yaitu uang gadaian gelangnya, yang harganya kira-

kira dua ratus rupiah. Hamba sendiri Yang menggadaikannya, 

delapan puluh rupiah tatkala kami akan berangkat kemari. Ini 

suratnya. Yang tiga puluh rupiah kami pakai untuk biaya kapal, 

tinggal lagi lima puluh rupiah itu. 

"Tahu benarkah. engkau, bahwa gelang itu kepunyaannya 

sendiri dan bukan harta suaminya?" 

"Tahu: gelang itu pusaka dari emaknya yang telah meninggal 

dunia; diberikan kepadanya sebelum ia kawin dengan Datuk 

Meringgih." 

"Memang," menyela Samsu, "hamba pun tahu hal itu." 

"Baiklah," kata Schout pula, sambil menuliskan segala 

perkataan mereka. "Tetapi aku harus juga memeriksa perempuan 

ini." 

"Tiada ada alangannya; hanya hamba minta, supaya perkara 

ini jangan dikabarkan dahulu kepadanya, sebab ia masih sakit; 

kalau-kalau bertambah penyakitnya, mendengar kabar yang tak 

baik ini. Dan sesudah itu, tentulah ia harus dibawa ke rumah 

sakit, berobat di sana dahulu," kata Samsu pula.

"Memang," kata dokter kapal, yang ada juga di sana." la 

masih sakit belum boleh dibawa pulang." 

"Apabila tuan suka memberi suatu surat keterangan tentang 

halnya, tentulah dapat ditunggu sembuhnya dahulu," jawab 

Schout. 

"Nanti aku beri surat itu," kata dokter kapal, lalu pergi. 

Samsu dan schout masuk ke dalam kamar Nurbaya, lalu 

Samsu berkata kepadanya, "Ini tuan schout hendak memeriksa 

badanmu, kalau-kalau ada bekas kecelakaan tadi malam; karena 

penganiayaan itu akan diperkarakan." 

Samsu pura-pura berkata demikian, supaya jangan diketahui 

Nurbaya, maksud kedatangan pegawai polisi ini. Setelah 

diperiksa, berkata pula schout, "Marilah, berangkat sekarang! 

Nanti kutunjukkan rumah sakit tempat berobat.' 

"Baiklah," jawab Samsu. 

Setelah siap, berangkatlah mereka sekalian. Nurbaya berjalan 

perlahan-lahan, dipimpin oleh Samsu, menuju setasiun. Di sana 

naiklah mereka ke kereta api yang menuju ke kota Jakarta. 

Dalam kereta api, berkata Samsu kepada Nurbaya, "Engkau di 

Jakarta berobat dahulu ke rumah sakit supaya baik benar. Bila 

telah sembuh nanti, boleh kita musyawaratkan, yang baik 

diperbuat." 

"Bagaimana yang baik padamu sajalah," jawab Nurbaya,

"aku menurut." 

Setelah sampai ke kota Jakarta, dimasukkanlah Nurbaya ke 

rumah sakit; setiap hari dilihati oleh Samsu dan kusir Ali. Tiada 

beberapa lamanya Nurbaya dalam rumah sakit ini sembuhlah ia 

dari penyakitnya, lalu keluar dari rumah sakit tinggal me-

numpang di rumah seorang kepala kampung, kenalan Samsu, 

sementara menanti kapal yang akan membawanya pulang 

kembali ke Padang. 

"Nurbaya!" kata Samsu pada suatu ketika yang baik, kepada 

adiknya ini. "Ada suatu kabar penting yang hendak kuceritakan 

kepadamu, yang sampai kepada waktu ini kurahasiakan; sebab 

aku khawatir penyakitmu, karena mendengarnya, akan menjadi 

bertambah. Tetapi sekarang badanmu telah sehat kembali, moga-

moga dapat kausabarkan hatimu." 

"Kabar apa itu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, sambil 

melihat kepada Samsu. 

"Jangan khawatir," jawab Samsu, tatkala dilihatnya muka 

Nurbaya berubah. Dicobanya tersenyum, hendak menghilangkan 

khawatir kekasihnya ini. "Barangkali engkau masih ingat 

kedatangan schout, ke kapal yang kautumpangi dahulu tatkala 

kapal itu baru berlabuh dan ingat pula bahwa schout itu 

memeriksa peti petimu dan peti Pak Ali. Dan tentulah engkau 

belum lupa pula, engkau dari kapal terus dimasukkan ke rumah

sakit. Barangkali hal yang keniudian ini menimbulkan syak 

wasangka dalam hatimu, bahwa aku kurang mengindahkan 

engkau. 

Walau ada sekalipun pikiranmu yang sedernikian, tak boleh 

aku marah, sebab memang demikianlah rupanya kelakuanku 

pada waktu itu. Seakan-akan kurang mengindahkan engkau. 

Akan tetapi sebenarnyalah hanya Allah yang mengetahui betapa 

besarnya hatiku, tatkala mendapat kabar dan melihat engkau 

datang dan Tuhanlah yang mengetalrui betapa sedihnya hatiku 

melihat kedatanganmu dengan hal yang serupa itu: karena baru 

saja kita bertemu sekarang sudah harus bercerai pula. Ah ..." 

"Apa kataniu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, "sekarang ini 

kita harus bercerai pula? Apa sebabnya?' 

Maka diceritakanlah oleh Samsu, bahwa ada suatu dakwaan 

datang dari Datuk Meringgih, mengatakan Nurbaya dan kusir Ali 

melarikan barang-barang dan uang Datuk itu dan meminta, 

supaya mereka ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang 

selekas-lekasnya. 

"Sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu manusia yang 

sebengis-bengisnya. Sebelum mati aku belumlah puas hatinya," 

kata Nurbaya dengan sangat marahnya. "Percayakah engkau 

akan sekalian dakwaannya itu?" 

"Masakan aku percaya Nur; masakan engkau dapat berbuat

sedemikian," jawab Samsu. Sekalian orang yang mendengar 

cerita ini, tak seorang pun percaya akan dakwa itu. Tetapi apa 

hendak dikata? Kita sekarang berlawan dengan polisi; tiada 

dapat berbuat apa-apa, harus menurut. Jika kita berlawan dengan 

Datuk celaka itu, sebelum melayang nyawaku, tiadalah engkau 

akan kembali ke Padang." 

Nurbaya tidak menjawab, agaknya sebab sesak dadanya, 

sampai didengarnya Samsu bertanya "Bagaimana pikiranmu, 

Nur? Mengapa engkau berdiam diri?" 

"Sebab perkara ini sangat sulit. Kehendak hatiku, seboleh-

bolehnya janganlah aku sampai kembali pula ke Padang. Tak 

dapat kukatakan bagaimana susahnya aku sampai kemari, tak 

dapat kuceritakan bagaunana aku akan dihinakan orang Padang, 

karena aku, sebagai seorang perempuan yang bersuami, telah 

meninggalkan suaminya lari kepada laki-laki lain. Kalau aku 

kembali ke Padang, niscaya akan kulihatlah sekalian mulut yang 

niengejekkan aku dan akan kudengarlah pula segala perkataan 

yang menghinakan aku. Akan tetapi ... ya adakah jalan lain yang 

dapat diturut?' 

Setelah berdiam sejurus berkata pula Samsu perlahan-lahan, 

"Bagaimana pikiranmu, kalau kita lari dari sini supaya terlepas 

dari tangan polisi?" 

"Pada sangkaku akan sia-sia juga pekerjaan kita itu," jawab

Nurbaya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "karena 

akhirnya tentulah kita akan jatuh juga ke dalam tangan polisi. Di 

mana hendak menyembunyikan diri? Seluruh tanah Jawa ada 

polisi. Lagi pula kalau kita berbuat demikian, sebagai benarlah 

aku bersalah. Bukankah aku takut karena salah dan berani karena 

benar? Lari artinya takut, oleh karena itu, tentulah sekalian orang 

akan bersangka, aku ini benar bersalah. Pada pikiranku, tak dapat 

aku menyatakan kebenaranku, kalau tiada melawan dakwa itu. 

Oleh sebab itu biarlah aku kembali dahulu. Tak susah bagiku 

akan menyatakan kebenaranku dan perkara ini niscaya lekas 

putus. Bila telah putus, lekaslah pula aku kembali kemari. 

"Ah ya. Tetapi sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang 

dapat melepaskan engkau dari jahanam itu?" kata Samsu, sambil 

mengepal tangannya, serta memukul meja, sebagai hendak 

melepaskan panas hatinya. "Keinginan hatiku hendaknya 

sekarang, setelah kita bercampur ini, janganlah bercerai pula; 

karena kinilah kita dapat bersama-sama. Bila telah pulang 

engkau ke Padang, harus kita bertemu pula dahulu, baru dapat 

bercampur kembali. Padang Jakarta bukan semalalam, lautan 

besar harus diseberangi, baru sampai. Sedangkan di dalam waktu 

yang sesaat boleh banyak yang terjadi, apalagi dalam perceraian 

yang tak tentu lamanya ini." 

"Perkataanmu itu memang benar, Sam. Tetapi apa daya kita

dalam hal ini, lain daripada menurut kehendak polisi? Bukan 

bagimu saja berat perceraian ini, tetapi terlebih-lebih bagiku, 

yang sebagai burung telah lepas dari penjara dan sekarang harus 

menyerahkan diri pula, masuk ke dalam sangkarnya kembali, 

bertemu dengan algujunya. 

"Ya Allah!' keluh Nurbaya. "Kepada siapakah hamba-Mu 

akan meminta pertulungan lagi, lain daripada-Mu ... ?" 

Samsu tiada dapat mengeluarkan suaranya, karena sedih 

melihat adiknya ini. 

"Sungguhpun hatiku rasakan hancur akan meninggalkan 

engkau pula, tetapi tiadalah akan senang hatiku, bila perkara ini 

belum selesai. Biar dikatakan perempuan yang tiada setia kepada 

suaminya, sebab memang Datuk jahanam itu bukan suamiku, 

melainkan algojoku, yang telah dilindungi surat kawin, tetapi 

aku tiadalah sekali-kali suka dikatakan pencuri, sebab memang 

aku bukan pencuri. Oleh sebab itu kebenaranku dalam hal ini, 

harus dinyatakan. Hanya suatu yang terpikir dalam hatiku, 

tidakkah buleh perkara ini diperiksa di Jakarta ini saja? Jika 

sekiranya boleh bcrapakah baiknya!" 

"Ya, memang itu suatu akal," kata Samsu tiba-tiba, lalu 

berdiri dan memakai topinya. 

Hendak ke mana engkau?" tanya Nurbaya, yang belum 

mengerti maksud Samsu ini.

"Hendak pergi ke kantor Asisten Residen, menanyakan, 

bolehkah perkara ini diperiksa di sini saja," 

"Ya, baik. Cobalah!" kata Nurbaya. "Mudah-mudahan 

disampaikan Allah juga maksudmu itu." 

Seketika itu juga berangkatlah Samsu dan kira-kira pukul 

dua, barulah ia kembali. Tetapi dari jauh telah kelihatan oleh 

Nurbaya pada mukanya, bahwa maksudnya tiada berhasil, 

karena Samsu datang dengan berdukacita. 

"Bagaimana?" tanya Nurbaya dari jauh. pulang." 

"Ah, tak boleh. Engkau harus juga pulang." 

"Memang telah kusangka," kata Nurbaya. "Apa boleh buat!" 

"Ya, memang; malang itu tak dapat ditolak. Sungguhpun 

demikian baik juga engkau berhati-hati. Siapa tahu algojomu itu 

ada lagi akalnya, untuk membinasakan engkau; sebab ia rupanya 

tak takut dan tak ngeri berbuat segala kejahatan. Sementara itu, 

akan kucarilah pekerjaan di sini, supaya ada penghidupan kita, 

bila engkau telah kembali dan hidup bersama-sama dengan aku 

kelak. Jika aku teruskan pelajaranku, tentulah susah kita hidup di 

sini. Bagiku, biar tak menjadi dokter, asal hidup bersama-sama 

dengan engkau." 

"Benar sekali perkataanmu itu, Sam. Itulah jalan yang sebaik-

baiknya diturut, supaya selamat kita. Dan walaupun kusayang-

kan benar, engkau meninggalkan sekolahmu, tetapi harus juga

kubenarkan maksudmu ini. Oleh sebab itu berjanjilah aku 

kepadamu, bila kita telah bersama-sama kelak, akan kubalas 

jasamu itu dengan penjagaan dan bantuan yang sebaik-baiknya-

dalam kehidupanmu." 

"Ah, perkara sekolahku janganlah kaupikirkan. Ingatlah akan 

janjiku kepada ayahmu! Tidak pun demikian, seharusnyalah juga 

aku membela engkau," kata Samsu, "lagi pula, memang aku tak 

dapat meneruskan pelajaranku, karena kurang belanja. Engkau 

tahu sendiri, ayahku tak hendak membantu lagi." 

"Oleh sebab itu, pada pikiranku, bila kita telah bersama-sama 

kelak, akan kusuruh juallah rumah dan tanahku serta sekalian 

barang-barangku yang masih ada di Padang, supaya uang itu 

dapat kita pakai pembeli rumah di sini, atau untuk apa-apa saja 

yang perlu; karena aku tak hendak kembali lagi ke Padang, 

biarlah mati di rantau orang. Di tanah airku sendiri tiada lain 

daripada kesusahan dan kesengsaraaq yang kuperoleh. 

Barangkali di negeri orang dapat aku beroleh kesenangan," kata 

Nurbaya. 

"Ya, benar; sesungguhnyalah itu. Pikiranku pun deniikian 

juga. Padaku, apa lagi yang akan menarik hatiku ke Padang? 

Engkau telah ada di sini dan ibuku akan kusuruh datang kemari, 

tinggal bersama-sama dengan kita," jawab Samsu. 

"Wahai, alangkah senang hatiku, bila ibumu pun telah

bersama-sama pula dengan kita! Tentulah hilang segala sengsara 

yang telah kurasai itu; tentulah tinggal kesenangan dan kesukaan 

lagi; tentulah... Ah, sesungguhnya cita-cita itu sangat elok 

rasanya," kata Nurbaya setelah termenung sejurus, sedang 

keriangan hatinya yang mulai timbul, hilang kembali, bertukar 

dengan sedih, sehingga mendatangkan khawatir pula, dalani 

hatinya, takut kalau-kalau tiada disampaikan Tuhan. 

"Masih ingatkah engkau akan segala cita-cita pada malam, 

tatkala engkau akan berangkat kemari, Sam? Apakah jadinya 

sekarang?" 

"Jangan berpikir sedemikian!" jawab Samsu. "Jangan putus 

asa! Engkau masih muda dan aku pun begitu pula. Siapa tahu, 

tidak sekarang, barangkali kelak kita beroleh kesenangan. 

Masakan hujan saja dari pagi sampai petang. Panas sesudah 

hujan, menimbulkan kesegaran badan dan kesenangan hati." 

"Kuharap demikian jugalah hendaknya! Akan tetapi, karena 

segala kecelakaan dan kedukaan telah datalig bertubi-tubi 

menimpa diriku, tak beranilah aku berharap lagi; istimewa pula 

sebab aku sekarang harus pulang ke Padang. 

Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak meninggalkan 

engkau dan Jakarta ini, karena aku di sini sungguh berasa 

senang; pertama sebab ada dalam tanganmu. kedua sebab jauh 

dari tempat aku beroleh mara bahaya. Dan lagi, sebagai ada yang

melarang aku kembali ke Padang, sebagai di sana telah 

menunggu pula sesuatu kecelakaan yang mengancam diriku." 

"Hilangkanlah pikiran yang seperti itu! Ingatlah akan nasihat 

orang tuamu!" kata Samsu dengan perlahan-lahan, membujuk 

kekasihnya, walaupun hatinya sendiri berasa khawatir pula. 

"Apalagi karena dalatn perkara ini, kita tak boleh mengatakan 

tidak; harus menurut. Sebab itu nienyerahlah engkau dan berhati-

hatilah menjaga diri! Selama-lamanya engkau sebulan di sana; 

sudah itu tentulah kita bertemu pula. 

Aku sesungguhnya ingun benar hendak mengantarkan 

engkau; tetapi waktu ini tiada dapat aku berangkat, karena ada 

sesuatu pekerjaan yang hendak kuminta. Kalau aku pergi dari 

sini, tentulah lepas pekerjaan itu dari tanganku. Keinginan 

hatiku, bila engkau telah kembali pula kemari, aku telah 

mempunyai pekerjaan. 

Lagi pula, engkau kembali ke Padang diantarkan oleh 

seorang opas yang kukenal. Nanti kupesankan kepadanya, 

supaya engkau dijaganya baik-baik. Jika engkau kelak hendak 

kembali kemari dan tak ada teman, kirimlah kabar kepadaku! 

Tentu aku datang menjemput. Dengan demikian, tak lama aku di 

Padang. Bila aku menumpang dengan kapal Jakarta yang ber-

temu di Padang dengan kapal dari Aceh, barangkali hari itu juga 

dapat aku kembali, sehingga tak perlu bermalam di Padang.

Seboleh-bolehnya jangan aku bertemu pula dengan ayahku. 

Bagaimana pikiranmu Nur? Baikkah begitu?" 

"Baiklah, kalau engkau suka demikian," jawab Nurbaya, 

sambil memandang muka Samsu dengan tersenyum. 

"Memang engkau baik hati, segala menurut," kata Samsu 

pula, seraya mencium adiknya ini. 

"Sekarang kenakanlah pakaianmu, supaya dapat kita ber-

jalan-jalan, melihat-lihat kota Jakarta ini, sebab besok kapal 

berangkat ke Padang." 

"Besokkah aku harus berangkat dan bercerai pula denga 

engkau?" tanya Nurbaya. 

"Untuk sementara," jawab Samsu. 

Setelah selesai memakai, berjalanlah kedua mereka, ber-

pegang-pegangan tangan, melihat tamasya kota Jakarta pada 

malam hari. Oleh Samsu dibawalah Nurbaya berjalan ke sana 

kemari, naik bendi dan kereta, sekeliling kota Jakarta. Tidaklah 

dapat dikatakan senang hati Nurbaya melihat keindahan kota ini. 

"Sesungguhnya kota Jakarta ini sangat besar dan sangat 

ramai; penuh dengan toko dan rumah yang besar-besar dan 

bagus-bagus. Harus jadi ibu negeri Indonesia," kata Nurbaya. 

Setelah puas bersiar-siar, masuklah kedua mereka ke dalam 

sebuah rumah makan, karena perutnya berasa lapar. Bila 

kenyanglah sudah makan. lalu dibawa oleh Samsu Nurbaya

melihat komedi kuda, yang kebetulan sedang bermain di sana. 

Kemudian barulah mereka pulang kembali, sambil berjalan 

perlahan-lahan.Semalam itu lupalah Nurbaya akan hal ihwal 

yang telah di-tanggungnya, dan dirasainyalah kesenangan 

seorang perempuan yang bebas, yang berdekatan dengan 

kekasihnya. Malam itulah malam yang ketiga kali. Nurbaya 

merasa untungnya mujur. 

"Tak banyak permintaanku tak banyak keinginan hatiku, 

biarlah tak kaya atau tak berpangkat tinggi, asal mendapat 

kcsenangan sebagai waktu ini," katanya. "Inilah surga dunia, 

yang baru kukenal, Sam. Adakah akan dapat selama-lamanya 

kita seperti ini?" 

"Mengapa tidak? Kalau engkau telah ada pula di sini nanti, 

apakah yang akan menjadi alangan lagi atas diri kita untuk selalu 

bersama-sama?" 

Dengan bercakap-cakap sedemikian, sampailah mereka ke 

rumah tempat Nurbaya menumpang, lalu duduk di serambi muka 

bertutur-turut, sebagai hendak memuas-muaskan hatinya. 

"Sam!" kata Nurbaya tiba-tiba, "aku mendengar suatu pantun 

yang demikian bunyinya: 

"Dari jauh kapalmu datang, 

pasang bendera atas kemudi.

Dari jauh adikmu datang, 

melihat Kakanda yang baik budi." 

"Jawabnya begini," kata Samsu, sambil tersenyum: 

"Selasih di kampung Batak, 

perawan luka tentang kaki. 

Terima kasih banyak-banyak, 

sudi datang melihati." 

"Suatu lagi," kata Nurbaya: 

 

"Sultan Iskandar raja Sikilang, 

raja Barus pegang tongkatnya, 

Tidak disesal badanku hilang, 

sudah harus pada tempatnya." 

"Jawabnya," kata Samsu: 

"Sukar membilang buah kelapa, 

burung pipit terbang sekawan. 

Biar hilang tidak mengapa, 

asal bersama dengan Tuan."

Demikianlah kedua mereka itu bercakap-cakap dan 

berpantun-pantun serta bersenda gurau. 

*** 

Pada keesokan harinya, berlayarlah Nurbaya pulang ke 

Padang, bersama-sama kusir Ali, diantarkan oleh seorang opas 

polisi. Dengan tolong Allah, adalah selamat perjalanan itu tiada 

kurang suatu apa. 

Setelah sampai ke Padang diperiksalah perkara itu, dan 

nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersalah apa-apa, dalam perkara 

ini, hanyalah khianat Datuk Meringgih, yang pura-pura berbuat 

sebagai barang dan uangnya dilarikan Nurbaya, supaya istrinya 

ini dikirimkan kembali ke Padang. 

Katanya mula-mula, tak tahu di mana barang-barang dan 

uang itu disimpan Nurbaya, dan sebab ia lari; disangkanya uang 

dan barang itu dibawanya. Tetapi setelah ditunjukkan Nurbaya 

tempat barang-barang dan uang itu disimpan, nyatalah istrinya 

tiada bersalah apa-apa. 

Walaupun dimaklumi orang, Datuk Meringgih dengan 

sengaja berbuat demikian tetapi tiadalah ia beroleh hukuman 

apa-apa sebab ia seorang saudagar yang amat kaya di Padang. 

Tatkala kapal telah berangkat, termenunglah Samsu sejurus

di pelabuhan Tanjung Periuk, karena sebagai didengarnya suara 

yang timbul dalam hatinya mengatakan: Nurbaya tiada akan 

kembali lagi dan itulah pertemuan mereka yang penghabisan di 

atas dunia ini. Walaupun sangat khawatir dan kabur pikirannya 

tetapi disabarkannya juga hatinya, dan meminta pertolongan 

Tuhan yang pengasih penyayang.


XII. PERCAKAPAN NURBAYA DENGAN ALIMAH 

"Bum, bum!" bunyi tabuh. Seketika lagi kedengaranlah orang 

bang di langgar dan mesjid, karena magrib telah ada, waktu 

orang akan sembahyang. 

Ahmad Maulana dan istrinya, kelihatan berjalan menuju ke 

tikar sembahyang, lalu sujud ke hadirat Tuhan, dua laki-istri. 

Tiada berapa lama kemudian, selesailah mereka daripada berbuat 

bakti kepada Tuhannya, itu: tetapi Ahmad Maulana tiada lekas-

lekas berdiri dari tikar sembahyangnya, melainkan terus 

membaca doa, sampai kepada waktu isya, lalu sembahyang pula. 

Tatkala itu kelihatan Alimah dan Nurbaya menyediakan 

makanan di atas tikar rumput, yang telah dialas dengan kain 

putih, terbentang di tengah rumah. Tiada berapa lamanya 

kemudian daripada itu, duduklah Ahmad Maulana makan, 

dihadapi istrinya; sedang Alimah dan Nurbaya, duduk jauh 

sedikit dari sana, sebagai menunggu, kalau-kalau Ahmad 

Maulana minta apa-apa. 

"Sedih hatiku melihat untung Rapiah tadi. Baru berumur 

delapan belas tahun, telah meninggal dunia. Lebih-lebih sebab ia 

meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Yang tua, 

perempuan, baru berumur tiga tahun dan yang bungsu, laki-laki

berumur tengah dua tahun," kata Ahmad Maulana, sambil 

menyenduk sayur-sayuran ke piringnya. 

"Ya, memang kasihan benar," jawab istrinya. "Siapakah yang 

akan memelihara anak-anak ini?" . 

"Itulah yang menambahkan sedih hatiku," kata Ahmad 

Maulana pula, "sebab tak ada kaumnya yang mampu, yang akan 

mengambil dan memelihara kanak-kanak ini. Yang mati, 

sudahlah; tidak dipikirkan lagi; barangkali ia telah senang, 

karena telah terlepas daripada segala azab dunia; melainkan 

dengan doalah harus dibantu, supaya dilapangkan Allah juga ia 

dalam kuburnya. Tetapi anak-anak yang tinggal ini, bagai-

manakah halnya kelak? Sekecil itu, sudah tak beribu lagi." 

"Ayahnya bukankah masih ada? Masakan tiada diperdulikan-

nya anak-anaknya?" jawab Fatimah, istririya. 

"Ayahnya?" tanya Ahmad Maulana, sambil memandang 

istrinya dengan merengut. "Uh, masakan mau ia menanggung 

beban itu! Bukankah telah menjadi adat di sini, anak pulang 

kepada mamak. Orang bangsawan sebagai Sutan Hamzah pula, 

'kan suka menyelenggarakan anaknya; sedangkan dirinya sendiri 

tak terurus olehnya! Berapa banyak anaknya di kota Padang ini, 

yang tiada diindahkannya. Lebih-lebih sekarang ini, karena ia 

rupanya sedang asyik kepada istri mudanya. 

Walaupun ia sudi memelihara anak-anaknya ini sekalipun

tentulah akan bertambah-tambah juga sengsara anak ini; sebab 

mereka niscaya akan diserahkan kepada ibu tirinya itu. Engkau 

tahu sendiri betapa kelakuan perempuan kepada anak tirinya. 

Dalam seratus, jarang seorang yang baik. Hampir sekaliaiinya 

memandang anak tirinya, sebagai musuhnya; sebab anak madu-

nya. Anak-anak yang tiada bersalah dan tiada tahu apa-apa 

dalam perkara orang tuanya, disiksanya dan dideranya akan 

melepaskan sakit hatinya kepada madunya yang telah tak ada 

lagi dan yang acap kali tiada berdosa, bahkan teraniaya, karena 

suaminya dirampas orang." 

Rupanya kebenaran perkataan ini tiada dapat dibatalkan oleh 

Fatimah; oleh sebab itu berdiamlah ia sejurus kemudian bertanya 

pula ia dengan memutar haluan percakapannya, "Tetapi apakah 

sakitnya Rapiah itu?" 

"Sakitnya yang sebenarnya tiada kuketahui. Kata setengah 

orang demam-demam saja dan kata setengahnya batuk darah. 

Ada pula yang mengatakan sakit dalam badan. Khabarnya, 

semenjak ia berkelahi dengan suaminya, sebab ia marah, Sutan 

Hamzah kawin dengan istrinya yang baru ini, tiadalah ia bangun 

lagi, sampai kepada waktu mautnya, karena ia kena terjang 

suaminya itu. 

Entah mana yang benar, tiada kuketahui. Tetapi kabar ini tak 

guna diceritakan pula kepada siapa pun; kalau kedengaran oleh

polisi, jadi perkara, nanti. Bukannya kita boleh terbawa-bawa 

saja, tetapi kalau sampai Sutan Hamzah terhukum, bermusuh-

musuhanlah kita dengan Penghulu Sutan Mahmud. Dan lagi 

apakah jadinya dengan anaknya yang masih kecil-kecil itu 

kelak? Ibu mati, bapa terbuang." 

"Masakan hamba gila, membukakan rahasia ini," jawab 

Fatimah. 

Tatkala itu kelihatan Nurbaya berdiri, lalu masuk ke dalam 

biliknya, sebagai hendak mengambil apa-apa, tetapi sesungguh-

nya hendak menyembunyikan air matanya, yang keluar, tak 

dapat ditahannya, karena ingat akan nasibnya sendiri, hampir 

sama dengan perempuan yang baru berpulang dan anaknya yang 

ditinggalkannya itu. 

Setelah keringlah air matanya, barulah ia keluar pula dan 

kelihatan olehnya mamandanya sudah selesai makan, lalu 

membasuh tangannya. 

"Alimah, coba ambil rokokku dari dalam bajuku!" kata 

Ahmad Maulana. Alimah segera berdiri mengambil rokok itu 

dan memberikannya kepada ayahnya. 

"Sekarang makanlah kamu sekalian!" kata Ahmad Maulana 

pula, sambil membakar rokoknya. 

Alimah dan Nurbaya mendekatlah ke sana, lalu makan 

bersama-sama dengan Fatimah.

"Sebenarnya pikiranku, sekali-kali tiada setuju dengan adat 

beristri banyak; karena terlebih banyak kejahatannya daripada 

kebaikannya," kata Ahmad Maulana, sambil termenung 

mengembuskan asap rokoknya. "Banyak kecelakaannya yang 

sudah kudengar dan banyak sengsaranya, yang sudah kulihat 

dengan mata kepalaku sendiri." 

"Ya, tetapi sudah adat kita begitu; bagaimana hendak diubah? 

Dalam agama kita pun tiada dilarang laki-laki beristri lebih dari 

seorang. Bila kita beranak laki-laki, alangkah malunya kita, 

walaupun kita bukan orang berbangsa tinggi sekalipun bila anak 

kita itu hanya seorang saja istrinya; sebagai orang yang tak laku 

kepada perempuan," jawab Fatimah. 

"Jadi aku ini tak laku kepada perempuan, sebab istriku hanya 

engkau scorang? Engkau tiadakah malu pula Alimah, sebab 

ayahmu tak laku kepada perempuan lain?" tanya Ahmad 

Maulana kepada anaknya, seraya tersenyum. 

Aliniah tiada menjawab pertanyaan ayahnya ini, melainkan 

tunduk kemalu-maluan. 

"Rupanya Mak Mudamu ini, suka kepada laki-laki yang 

beristri banyak, Nurbaya; sebab itu baiklah kaupinangkan aku 

perempuan barang selusin lagi. Kalau tiada, ia nanti minta surat 

cerai kepadaku, sebab malu, kepada orang, suaminya tak laku 

kepada perempuan," kata Altmad Maulana pula.

Nurbaya pun tiada berani menjawab olok-olok itu hanya 

tersenyum, karena dilihatnya Mak Mudanya merengut. 

"Suatu lagi yang tak baik," kata Ahmad Maulana; sedang 

senyumnya hilang dari birinya, "perkawinan itu dipandang 

sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual 

kepada laki-laki, artinya si laki-laki harus memberi uang kepada 

si perempuan; akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh 

perempuan, sebab perempuan; memberi uang kepada laki-laki. 

Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan 

hanya diperhubungkan oleh . tali uang saja atau karena keinginan 

kepada keturunan yang baik; sekali-sekali tidak dipertalikan oleh 

cinta kasih sayang. 

Itulah sebabnya tali silaturahim antara suarni dan istri mudah 

putus, sehingga lekas bercerai kedua mereka. Bila telah bercerai, 

tentulah si laki-laki beristri pula dan si perempuan bersuami 

kernbali. Jadi laki-laki banyak istrinya dan perempuan banyak 

suaminya. 

Pada bangsa Barat, biasanya suami dan istri tiada diper-

hubungkan oleh tali uang atau harta, melainkan terutama oleh 

tali percintaan dan kasih sayang. Karena itulah maka 

perhubungan mereka lebih erat sebab cinta kasih sayang itu, acap 

kali tiada mengindahkan harta, bangsa atau pangkat, Lagi pula, 

mereka itu terikat oleh perjanjian setia yang seorang kepada

yang lain; tak boleh bercerai, bila tak ada sebab yang penting, 

sehingga bertambah kuatlah perhubungan itu." 

"Ah, mengapa pula kita kan menurut adat kafir itu," jawab 

Fatimah, sambil membasuh tangannya, sebab telah selesai 

makan: 

Alimah dan Nurbaya mulailah mengangkat sisa-sisa 

makanan, lalu menyuruh cuci piring dan mangkuk, bekas tempat 

makan, kepada bujang. 

Sungguhpun Nurbaya bekerja, tetapi telinganya selalu 

dipasangnya, akan mendengar perkataan Bapa Mudanya, karena 

buah pikirannya sesuai benar dengan pendapatnya. 

"Mereka itu kafir, kata kita; tetapi mereka barangkali berkata, 

kitalah yang kafir, sebab tak menurut agama mereka. Mana yang 

benar, wallahualam! Tak dapat kita putuskan; hanya Allah yang 

mengetahui. Sekalian agama datang dari pada-Nya, untuk 

keselamatan manusia. Tentu saja tiap-tiap bangsa akan memuji 

agamanya sendiri, sebagai tiap-tiap orang memuji dirinya sendiri 

pula; tetapi pujian kepada diri sendiri itu, tak boleh menjadi 

sebab, untuk mencela diri orang lain; apalagi kalau pengetahuan 

kita hanya baru sekadar tentang diri kita sendiri saja. Bagaimana 

dapat kita perbandingkan dua buah benda, kalau kita hanya tahu 

satu saja, daripada keduanya? 

Tentang agama itu, yang kita ketahui hanya agama kita

sendiri, itu pun belum sempurna pula. Agama lain sekali-kali 

tiada kita ketahui. Bagaimana dapat kita katakan buruk baiknya? 

Bagaimana dapat kita perbandingkan, mana yang benar, mana 

yang salah, antara kedua agama itu? Cobalah pikir benar-benar! 

Bila aku mempunyai sebuah batu dan engkau mempunyai pula 

sebuah, dapatkah kaukatakan, mana lebih berat di antara kedua 

batu itu, jika tiada kauketahui berat keduanya? Dan bagaimana-

kah dapat kaukatakan, batumu lebih berat daripada batuku, kalau 

kau belum tahu berapa besar dan berapa berat batuku? Sedang-

kan batumu sendiri pun belum kauketahui benar-benar, berat dan 

ringannya." 

"Tetapi bukankah dapat dilihat dengan mata, ditaksir dengan 

pikiran, menurut besarnya?" jawab Fatirnah. 

"Penglihatan dan taksiran tiada selamanya benar. Tirnah yang 

kecil, terkadang-kadang lebih berat daripada kayu yang besar. 

Sungguhpun demikian, harus juga kaulihat dahulu besar kedua 

benda itu, supaya dapat kautaksir beratnya. 

Sekarang apakah pengetahuanmu tentang agama si kafir itu? 

Lain tidak, hanya tentang keburukannya saja; itu pun karena 

mendengar cerita orang dan engkau turutlah menyebutnya 

sebagai seekor burung tiung meniru perkataan yang diajarkan 

kepadanya, dengan tiada tahu sekali-kali apa artinya. 

Tidak baik begitu, sesuatu yang belum kauketahui benar

benar, janganlah kaucela lekas-lekas. Dalam agama kita pun 

dilarang menuduh seseorang kafir atau Islam, karena sekalian 

itu, hanya Tuhanlah yang tahu. Apalagi sebab hati manusia itu 

tiada tetap, bertukar-tukar juga sebilang waktu. Sekarang baik, 

besok barangkali jahat; tak dapat ditetapkan, karena manusia itu 

bersifat lemah. Janganlah menilik yang lahir saja, sebab yang 

batin itulah yang lebih berharga. Dan tahukah engkau akan batin 

orang? 

Walaupun pada lahirnya ia kafir, siapa tahu, pada batinnya 

barangkali ia Islam. Biarpun sekarang ia kafir, boleh jadi nanti 

berpaling hatinya, menjadi Islam. Dan lagi pada pikiranku, 

agama itu tak ada yang jahat, sekaliannya baik, karena 

maksudnya baik belaka dan tujuannya kepada Tuhan Yang Esa." 

Perkataan itu tiada juga dijawab oleh Fatimah, sebab itu 

berkata pulalah Ahmad Maulana, setelah berdiam diri sejurus, 

"Sungguhpun mereka itu bangsa kafir, kata kita, ada juga adat 

dan aturannya yang baik. Aturan, lain, dan agama pun, lain; 

jangan disamakan saja. Adat dan aturan kita benar banyak yang 

baik, tetapi ada juga yang salah. Apakah salahnya, kalau ditiru 

adat bangsa lain yang baik dan dibuang adat kita yang buruk? 

Adat mereka yang jahat itu jangan kita ambil dan adat kita yang 

baik disimpan benar-benar. 

Banyak aturan dan adat bangsa asing yang sudah kita tiru

dengan tiada dipikirkan dalam-dalam buruk baiknya. Baju jas 

dan sepatu, pakaian siapa itu? Bukankah pakaian orang Barat? 

Mengapakah dipakai juga? Orang haji dan Arab pun banyak pula 

yang meniru pakaian Barat itu. Berkursi, bermeja, berlampu 

gantung, bukan adat nenek moyang kita turut juga. Piring dan 

mangkuk, perbuatan siapa? Tetapi dipakai juga? Adat dan aturan 

siapakah yang harus diturut orang Islam? Adat orang Arab? 

Orang Arab makan kurma dan minum susu unta; mengapa tidak 

ditiru pula? Manakah adat dan aturan kita yang asli? 

Ah Fatimah, sekalian itu, hanya dunia saja; bukan akhirat; 

lahir, bukan batin. Pada pikiranku, walaupun apa juga yang 

engkau pakai atau perbuat, asal hakikatmu suci dan hatimu tiada 

bcrubah, tiada jadi apa-apa. Tetapi walaupun kauturut bcnar tiap-

tiap perkataan yang tersebut dalam kitab, kalau hatimu tiada suci 

dan lurus, tak ada gunanya." 

"Ya itu betul; tetapi adat kita, pusaka nenek moyang kita, tak 

boleh disia-siakan atau ditukar-tukar saja. Dan lagi, tak baik kita 

membuang-buangnya; buruk dan baik harus diturut. Itu tandanya 

kita beradat. Kalau hendak menambahnya dengan aturan lain, 

baik, tetapi adat kita, dipakai juga." 

"Memang kurang baik membuang yang lama, karena 

nrendapat yang baru. Tetapi ada di antara adat dan aturan lama 

itu, yang sesungguhnya baik pada zaman dahulu, tetapi kurang

baik atau tak berguna lagi waktu sekarang ini. Adalah halnya 

seperti pakaian tatkala mula-mula dibeli, boleh dan baik dipakai, 

tetapi makin lama ia makin tua dan lapuk; akhirnya koyak-

koyak, tak dapat dipergunakan lagi. Kalau sayang membuang 

pakaian tua ini, karena mengingat jasanya, sudahlah, simpanlah 

ia, untuk jadi peringatan! Tetapi pakaian baru, harus juga dibeli, 

bukan? 

Demikian juga adat itu; bertukar-tukar, menurut zaman. 

Walaupun tiada disengaja menukarnya, ia akan berganti juga; 

sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian beralih, 

kata pepatah. Dan memanglah begitu." 

"Baiklah, sekarang cobalah Kanda terangkan apa kejahatan 

adat kita di Padang ini, tentang beristri lebih daripada seorang?" 

tanya Fatimah pula. 

"Dengarlah," sahut Ahmad Maulana. "Pertama, makir. 

banyak istri makin banyak belanja; scbab tiap-tiap istri itu harus 

dibelanjai dengan secukupnya. Bila kurang belanja, tentu saja 

kurang hati istri-istri itu. Dengan demikian, mudah timbul 

perselisihan; dan bila selalu berbantah saja, dengan tiap-tiap istri 

yang banyak itu, tentulah kehidupan kurang senang." 

"Rupanya Kakanda lupa akan perkataan Kakanda tadi dan 

adat kita yang asli, yaitu laki-laki tak usah memberi belanja 

istrinya atau anaknya, karena anak istrinya itu tanggungan.

mamaknya. Laki-laki dipandang sebagai orang semenda, orang 

menumpang saja; jadi walaupun istri dan anak banyak, tiada 

menyusahkan." 

"Bukan aku lupa," jawab Ahmad Maulana. "Itulah yang lebih 

terasa di hatiku. Laki-laki tak usah memberi belanja dan 

memelihara anak istrinya, bahkan dapat makan dan pakaian pula 

dari perempuan. Dan apabila laki-laki itu berbangsa, tatkala 

kawin, dijemput pula oleh perempuan, dengan uang dan pakaian. 

Jadi apa namanya laki-laki itu? Karena sesungguhnya laki-laki 

itulah yang harus memberi nafkah dan memelihara anak istrinya, 

sebab perempuan lebih lemah dari laki-laki. 

Bila dibandingkan laki-laki dengan perempuan, tentang 

bentuk badannya, kekuatannya, akalnya dan lain-lain, nyatalah 

laki-laki bangsa yang melindungi anak-istri, sanak saudara, harta 

benda, kampung halaman, baik tentang musuh ataupun 

keperluan yang lain-lain, untuk kehidupan. Perempuan tempat 

menyimpan dan mempertaruhkan anak dan harta benda. Tetapi 

menurut adatmu tadi, perempuari menjadi laki-laki dan laki-laki 

menjadi perempuan. Tiada sesuai dengan aturan alam." 

"Boleh jadi." jawab Fatimah, "tetapi bukan perempuan itu 

sendiri yang memberi makan suaminya, melainkan mak-bapa 

dan ahli si perempuan itu." 

"Baik, aku terima jawabmu itu, walaupun memang ada negeri

yang sesungguhnya perempuannya yang mencari penghidupan, 

karena ialah yang bekerja, berniaga dan lain-lain sebagainya, 

sedang suami tidur-tidur, bersuka-suka hati, mengadu ayam, 

mengadu burung atau berjudi. Tetapi apakah namanya laki-laki 

yang sedemikian itu? Bukankah laki-laki ini dapat disamakan 

dengan bapa kuda atau bapa sapi, yang dipelihara baik-baik dan 

diberi makan cukup, semata-mata hanya karena hendak meng-

harap keturunannya saja? 

Kalau laki-laki itu bangsawan atau iupawan, sudahlah; sebab 

ada yang diharapkan dari padanya yaitu rupa yang balk atau 

bangsanya yang tinggi itu, supaya turun kepada anaknya, meski-

pun bangsa itu makin lama makin berkurang harganya dan 

makin kurang dipandang orang. 'Fetapi, kalau laki¬laki itu tiada 

berbangsa tinggi, tiada berupa baik, kepala bersegi, telinga lebar, 

mata juling, hidung penyek, mulut lebar, gigi keluar, punggung 

bungkuk, kaki timpang pula sebelah, apakah yang diharapkan 

dari orang yang sedemikian? Segala cacatnya itukah, supaya 

anak cucunya sama bagusnya dengan dia?" 

"Laki-laki yang serupa itu masakan laku! Yang dibeli, 

tentulah yang bangsawan, rupawan, pintar, berpangkat atau lain-

lainnya," jawab Fatimah. 

"Kalau begitu, tak jadi apalah. Tiap-tiap yang berharga, tentu 

tak dapat dipinta saja, walaupun barang yang berharga ini,

bagiku tak seberapa artinya. Tetapi adat yang kita perbincangkan 

tadi, yaitu laki-laki dipandang sebagai orang yang inenumpang 

saja, kedapatan juga pada orang kebanyakan, jadi bukan pada 

orang yang istimewa saja. 

Lagi pula, daripada sifat-sifat yang kausebut itu, hanyalah 

kebangsawanan dan rupawan saja yang dapat diturunkan kepada 

anak cucu. Tetapi pangkat yang tinggi atau ilmu yang dalam itu 

apa gunanya, kalau tak dapat menolong anak?" 

Maka tiadalah pula dapat Fatimah memberi jawaban. 

"Kedua," kata Ahmad Maulana, setelah berhenti sejurus, 

"makin banyak istri; dan makin banyak anak, makin banyak pula 

belanja..." 

"Tunggu dulu," kata Ahmad Maulana, sebab dilihatnya 

istrinya hendak menjawab, "aku tahu, apa yang hendak kau 

katakan, yaitu anak yang banyak itu tiada menjadi alangan, 

bukan? Sebab sekalian anak itu ada bermamak, yang harus 

memeliharanya. Tetapi karena hal itulah, tak ada pertalian cinta 

kasih sayang antara anak dan bapa, sebagai antara laki dan istri 

tadi itu pula. Dengan demikian, laki-laki itu tiadalah tahu yang 

dinamakan: Cinta kasih sayang kepada anak dan istrinya. Yang 

dikenalnya hanya sayang kepada kemanakannya. Tetapi 

kesayangan kepada kemanakan, tiada dapat disamakan dengan 

cinta kepada anak, darah daging sendiri. Dan anaknya itu takkan

tahu pula cinta kepada bapanya, hanya kepada ibunya saja, 

sedang cinta kepada mamaknya tiada seberapa. Istrinya hanya 

cinta kepada anaknya, sebab darah dagingnya, tetapi suaminya 

orang lain pada perasaannya. Sebab itu jaranglah mereka 

mendapat persatuan suami-istri dan kesenangan berumah tangga, 

yang sangat berharga bagi bangsa Barat. 

Dan lagi, pikirlah! Kesalahan siapa maka anak itu sampai ada 

di dunia? Bukannya ia yang minta dilahirkan, melainkan mak-

bapanya yang menjadikannya. Sekarang sesudah anak itu lahir, 

ia diserahkan kepada orang lain, yang sekali-kali tiada bersalah 

dalam hal ini. Walau mamaknya sekalipun, kesayangannya 

tiadalah akan sama dengan kesayangan ayahnya sendiri... 

Bagaimana rasanya itu? Cobalah kaupikir benar-benar! 

Jangan buta tuli, memandang adat saja. Mana yang dekat kepada 

si bapa, anaknya atau kemanakannya? Anaknya darah daging-

nya, kemanakannya anak saudaranya, walaupun yang sedarah 

dengan dia. 

Ada orang yang bersangka, anak itu sesungguhnya terlebih 

dekat kepada mamaknya daripada bapanya, karena itu terang 

kemanakan mamaknya, sebab kelihatan dilahirkan oleh saudara 

si mamak itu, yang sedarah dengan dia. Tetapi ia belum tentu 

anak si bapa; boleh, jadi juga anak laki-laki lain, yaitu kalau 

ibunya tiada setia kepada suaminya. Jadi si bapa itu sebagai

kurang percaya kepada anak dan istrinya. 

Hal yang ganjil ini pada sangkaku, asalnya dari adat zaman 

dahulu kala, tatkala perempuan boleh bersuami banyak atau 

tatkala perkawinan belum teratur benar sebagai sekarang ini. 

Tetapi adat itu tiada sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini. 

Perkara perkawinan pun telah teratur dengan baik, artinya tiap-

tiap laki-laki tentu istrinya dan perempuan tentu pula suaminya, 

disaksikan oleh orang banyak, waktu mereka kawin. 

Aku tiada hendak mengatakan, bahwa tiap-tiap anak itu, tak 

dapat tiada anak bapaknyalalt; tentu boleh jadi juga anak laki-

laki lain. Tetapi hal yang sedemikian, jarang terjadi sehingga 

sekali-kali tak patut menjadi alasan, anak mengganjilkan diri dari 

apa adat orang sedunia ini, yaitu pusaka turun kepada anak. 

Kaulihat, itulah suatu contoh yang menyatakan, bahwa 

sesuatu adat yang dahulu barangkali baik, tetapi sekarang ini, 

mungkin tiada berharga lagi. Tak baiklah adat yang telah lama 

seperti ini, disimpan saja dalam peti, kalau perlu, akan jadi tanda 

mata daripada'nenek moyang kita dahulu kala?" 

Perkataan itu pun tiada dapat disalahkan oleh Fatimah, sebab 

itu diputarnya tujuan perbincangan ini sedikit dengan berkata, 

"Tetapi bukankah baik banyak anak, supaya bangsa kembang 

biak." 

"O, kalau itu maksudmu, memang benar sekali. Seharusnya

lah tiap-tiap bangsa itu mengembangkan bangsanya, sebagai 

tersebut dalam agama. Tetapi memelihara bangsa itu, kewajiban 

pula. Jangan menjadikan saja pandai, mernelihara tak mau. 

Betapa bangsa itu dapat kembang dengan sempurna, jika tiada 

dipelihara sendiri baik-baik? Bekerja jangan tanggung, Mah! 

Ketiga, walaupun tersebut dalam kitab (agama), laki-laki 

boleh beristri sampai empat orang, tetapi haruslah harta si laki-

laki itu berlebih dahulu daripada untuk memelihara seorang istri 

dengan sempurna dan haruslah pula ia adil dengan seadil-adil-

nya, dalam segala hal, kepada keempat istrinya itu; haruslah 

boleh. Kalau tiada, menjadi dosa; sebab kelakuan yang tak adil 

itu mendatangkan dengki khianat antara istri-istri itu. Tetapi 

kebanyakan laki-laki itu tiada adil kepada sekalian istrinya. 

Biasanya yang baru itulah yang lebih disayanginya, daripada 

yang lama; yang muda lebih digemari daripada yang tua; yang 

bagus, lebih disukai daripada yang buruk. Itu tak boleh; sekalian-

nya harus sama, belanja, pakaian, rumah tangga, cinta kasih 

sayang dan lain-lain sebagainya. 

Adakah laki-laki kita yang dapat berbuat sedemikian? Dalam 

seribu jarang seorang. Kebanyakan, dalam segala hal, dilebih-

kannya yang terlebih dicintai. Mustahil akan dapat sama cinta 

kepada segala istri, sebab telah ditakdirkan Tuhan, manusia itu 

terlebih ingin dan terlebih sayang kepada yang molek daripada

yang buruk. Kelakuan yang serupa itulah yang acap kali 

menimbulkan cemburu dan dengki, antara istri-istri itu, sehingga 

terbitlah perbantahan, antara laki-laid dengan istrinya dan antara 

istri dengan istri. Walaupun kepada istri yang mana laki-laki itu 

pergi, yang diterimanya tiada lain daripada muka masam, per-

kataan yang kurang sedap didengar, penjagaan yang kurang 

sempurna, terkadang-kadang umpat dan maki, sehinb ga 

akhirnya jadi berkelahi. Adakah senang kehidupan yang 

sedemikian? 

Lagi pula, istri-istri yang dipermadukan itu, tiada lurus 

hatinya kepada suaminya, baik dalam perkara apa juga. Ada pula 

istri itu yang menjadi jahat, yang berbuat kelakuan yang tak 

senonoh, karena hendak membalaskan sakit hatinya kepada 

suaminya. Perhubungan yang memang kurang kuat tadi, menjadi 

bertambah-tambah longgarlah, sehingga akhirnya, hanya tinggal 

surat kawin saja lagi, yang memperaihatkan kedua mereka. 

Meskipun aku laki-laki, tetapi pada pikiranku, tiada boleh 

suami berkecil hati, bila istrinya yang dipermadukannya itu tiada 

mengindahkan suaminya, karena suami itu pun tiada pula 

mempedulikan perasaan hati istrinya. Perempuan manakah yang 

dapat menahan hati, meliltat suaminya dengan perempuan lain? 

Adakah laki-laki yang dapat senang hatinya, melihat istrinya 

dengan laki-laki lain? Pada pikiranku tak ada.

Keempat, ada juga perempuan yang rupa-rupanya, tiada 

mengindahkan kelakuan suaminya, yang suka beristri banyak itu, 

sebab perempuan itu sangat sabar. Tetapi acap kali kesabaran 

inilah, tanda kurang sayang kepada suaminya. Karena cemburu 

itu bukankah timbulnya daripada hati yang cinta? 

Apabila istri-istri itu sama cinta kepada suaminya, tentulah 

masing-masing mencari akal supaya ia lebilt disayangi suaminya 

daripada madunya. Kebanyakan akal ini bukan dijalankan 

dengan memperbaiki kelakuan atau rumah tangga atau apa saja 

yang dapat menarik hati suami tadi, melainkan dengan jalan 

berdukun dan pekasih. 

Tiap-tiap istri, mencari dukun yang pandai akan mengobati si 

suami, supaya ia lebih dicintai daripada madunya; terkadang-

kadang sampai berhabis harta benda. Si dukun bukannya 

mempergunakan ilmu saja, melainkan acap kali memakai 

ramuan dan obat-obatan yang harus dimakan si laki-laki. Betul 

maksudnya baik, tetapi sebab ramuan pekasih itu tiada selama-

nya barang yang bersih, lama-kelamaan, karena terlalu banyak 

makan obat itu, dari sana-sini, dari sekalian istrinya rusak juga 

badannya. Bukan seorang dua orang laki-laki yang telah menjadi 

kurban perbuatan dukun seperti itu. Sayang! 

Perempuan yang tiada sabar, terkadang-kadang, karena 

sangat sakit hatinya dipermadukan, bukan pekasih yang diberi

kannya kepada suaminya yang sedemikian, tetapi racun; 

sehingga bertambah-tambalt lekaslah ia berpulang ke negeri 

yang baka. 

Alimah, coba beri aku air teh segelas! Kering mulutku rasa-

nya bercerita ini," kata Ahmad Maulana kepada anaknya. 

Alimah segera keluar dari dalam biliknya, mengambil apa 

yang diminta oleli ayahnya itu. Kemudian kembali pula ia ke 

dalam biliknya, sedang Nurbaya di sana, pura-pura duduk men-

jahit, tetapi sesungguhnya didengarkannya benar-benar segala 

perkataan bapa mudanya ini. 

"Kelima, apabila perempuan tadi hatinya kurang baik." kata 

Ahmad Maulana pula, sesudah minum teh, "bukannya suarninya 

saja yang diberinya ramuan itu, tetapi madunya pun diberinya 

juga; bukan supaya sayang kepadanya, hanya supaya dibenci 

oleh suaminya, ada pula yang membuat, agar madunya itu lekas 

berkalang tanah. Siapa tahu, barangkali Rapiah ini kurban per-

buatan yang sedemikian pula. Kasihan! 

Keenam, banyak perempuan yang telah dipermadukan itu, 

karena takut beroleh kesakitan dan kesedihan pula, tiada hendak 

kawin lagi, bila ia telah diceraikan oleh suaminya. Jika sekalian 

perempuan berbuat demikian bagaimanakah akhirnya? Bagai-

manakah engkau dapat mengentbangkan bangsamu dengan 

perempuan yang tak hendak kawin? Barangkali waktu ini hal ini

belum memberi khawatir, karena kebanyakan perempuan, belum 

dapat mencari kehidupan sendiri akan tetapi kalau mereka telah 

pandai pula sebagai laki-laki, tentulah lebih suka mereka 

mencari penghidupan sendiri daripada selalu makan hati, sebab 

dipermadukan oleh suaminya. Perempuan pun kawin, karena 

hendak mencari kesenangan juga, bukan karena hendak 

mengabdi kepada laki-laki." 

"Itulah sebabnya tak baik arak perempuan disekolahkan," 

kata Fatimah. 

"Supaya tinggal budoh dLn selama-lamanya menjadi budak 

laki-laki, bukan? Boleh diperbuat sekeh ndak hati; sebagai 

kerbau, diberi bertali hidungnya, supaya dapat ditarik. Dan 

disuruh ke mana suka oleh yang mengembalakannya. Jika 

engkau sendiri, sebagai seorang perempuan, suka bangsamu 

diperbuat sedemikian, suka hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi 

perempuan, sekali-kali aku tak mau menerima peraturan ini." 

Tatkala itu terdiamlah pula Fatimah, karena tak dapat men-

jawab perkataan suaminya. , 

"Ketujuh, perempuan yang dipermadukan itu, hatinya tiada 

lurus kepada suaminya dalam segala hal, seperti telah kukatakan 

tadi. Janganlah dipandangnya suaminya sebagai kekasihnya,, 

sebagai sahabatnya pun tak dapat dibenarkannya; karena pada 

penglihatan dan perasaannya, laki-laki itu ialah tuannya yang

bengis. Bagaimanakah dapat hidup senang dan sehati dengan 

musuh yang dibenci? 

Ah Fatimah, banyak lagi kejahatan adat beristri banyak itu; 

kemudian boleh kuceritakan pula. Sekarang mataku sudah 

mengantuk, suruhlah, si Hasan memadami lampu dan menutup 

pintu!" 

Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, gelaplah rumah 

Ahmad Maulana, sunyi senyap; karena lampu sudah dipadami 

dan sekalian pintu jendela sudah ditutup. Hanya di belakang 

rumah itulah masih kedengaran suara si Hasan, bujang Ahmad 

Maulana, bersenandung perlahan-lahan, akan menggolekkan 

dirinya sendiri. 

Di dalam biiik Alimah, kelihatan Nurbaya dengan saudara 

sepupunya ini, masih menjahit. Sebentar-sebentar Nurbaya 

berhenti, lalu termenung, sebagai ada yang dipikirkannya. 

"Nur, datang pula penyakitmu?" tanya Alimah. 

"Bukan. Lim; hanya aku masih ingat akan perkataan bapa 

tadi sebab pikirannya itu sangat terbenar dalam hatiku dan 

menimbulkan ingatan kepada untung kita bangsa perempuan 

ini," jawab Nurbaya. 

"Nur, jangan kau banyak menyusahkan pikiranmu dengan 

ingatan yang sedih-sedih! Penyakitmu rupanya masih ada. 

Segala kenang-kenangan yang pilu-pilu, belum hendak hilang

dari hatimu. Bukankah engkau sudah berjanji kepadaku, akan 

menetapkan pikiranmu supaya jangan tergoda pula lagi?" 

"Bukan hatiku rawan, Lim; memang hal ini sudah lama 

terpikir olehku. Cobalah kaupikir benar-benar, nasib kita 

perempuan ini! Demi Tuhan yang bersifat rahman dan rahim, 

kita telah dikurangkan daripada laki-laki, teman kita itu. Sengaja 

kukatakan teman kita laki-laki itu, karena sesungguhnyalah 

demikian walaupun banyak di antara mereka yang menyangka, 

mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya. 

Pada persangkaan mereka, mereka lebih daripada kita, tentang 

kekuatan dan akal mereka. Betul kita lemah daripada laki-laki 

dan barangkali juga tiada sepandai laki-laki, akan tetapi 

kelemahan tubuh kita dan kekurangan akal kita itu, bukanlah 

sebab kelihatan kita yang kurang atau otak kita yang tiada 

sempurna; hanya karena tubuh kita, sangat berlainan dengan 

laki-laki. lngatlah. kita ini bangsa ibu, karena anak itu kita yang 

mengandungnya melahirkannya, menyusukannya, memelihara-

nya dan membesarkannya. Laki-laki tak tahu apa-apa, hanya 

tahu senangnya saja. 

Ingatlah perasaan perempuan yang hamil itu, muntah-muntah 

sakit-sakit, tak sedap perasaan badan. Bukanlah sekalian itu 

penyakit? Oleh sebab kira-kira dua bulan sesudah kita beranak, 

kita telah bunting pula, bolehkah dikatakan, kita hampir

selamanya dalam sakit-sakit. Lihatlah perempuan yang tiap-tiap 

tahun beranak! Bagaimana halnya? Badan rusak, lekas tua, umur 

pendek. Bagaimana kita dapat menyamai kekuatan laki-laki, 

yang boleh dikatakan selalu dalam sehat? 

Lagi pula, segala pekerjaan laki-laki menambah kekuatan 

badannya dan tajam pikirannya, tetapi pekerjaan kita perempuan 

dari rumah ke dapur dan Jari dapur ke rumah, menjaga anak, 

rnemasak, mencuci dan membersihkan rumah tangga; sekali-kali 

bukan pekerjaan yang rnenambahkan kekuatan dan pikiran. 

Laki-laki tahu perbedaan ini dan ia tahu pula penanggungan 

kita tatkala kita hamil. Akan tetapi pengetahuannya itu jangan-

kan menjadi pandangan padanya, yang menimbulkan iba kasihan 

kepada kita, tidak, melainkan ditertawakan dan dipermainkan 

pula kita. Ada pula yang kawin, di waktu istrinya bunting atau 

beranak. Kitakah yang berkehendak akan nasib yang malang ini? 

Kitakah yang meminta, supaya dijadikan begitu? Oleh sebab 

laki-laki itu tiada merasai penanggungan, kesengsaraan dan 

kesakitan kita ini, itulah sebabnya tiada diindahkannya hal kita. 

Jarang laki-laki yang ingat, bahwa ibunya yang telah bersusah 

payah mengandung, melahirkan dan memeliharanya, bangsa 

perempuan juga, bukan bangsanya sendiri, yaitu laki-laki." 

"Benar sekali katamu itu, Nur," jawab Alimah, sarnbil 

termenung memikirkan perkataan adiknya ini.

"Marilah kuteruskan uraian ini! Terlebih dahulu 

penanggungan perempuan, karena anaknya, yang sebetulnya 

bukan anaknya sendiri, melainkan anak berdua dengan laki-laki. 

Oleh sebab itu haruslah kesusahan dan kesenangan yang 

diperoleh, karena anak itu, terbagi sama rata atas ibu dan bapa. 

Tetapi bukan begitu halnya, sebagai yang telah kupaparkan tadi. 

Dan walaupun perempuan yang terlebih bersusah payah atas 

anak itu, bahagia yang diperoleh lebih kepada bapanya daripada 

kepada ibunya, karena anak itu kelak lebili dikenal sebagai anak 

ayahnya daripada anak ibunya. Bila anak itu menjadi orang yang 

berpangkat tinggi misalnya, siapakah yang terlebih beroleh nama 

baik, bapanya atau ibunya? Bila orang bertanya. "Anak siapakah 

yang baik, itu?" Yang disebut nama ayahnya, bukan nama 

ibunya. Perempuan Barat, harus pula memakai nama suaminya. 

Adakah adil perempuan ini? 

Ah, keadilan! Adakah engkau dalam dunia ini atau tidak? 

Kalau ada, di manakah engkau tersembunyi? keluh Nurbaya, lalu 

termenung seketika. 

Kemudian berkata pula ia, "Apabila kita hamil dua tiga bulan 

bedan kurang segar kepala pening-pening, penglihatan kurang 

terang pendengaran kurang nyata, perut selalu tak enak, acap kali 

muntah, nafsu makan tiada tentu, yang enak, tak lazat rasanya 

tetapi yang tak enak, disukai. Terkadang-kadang barang yang tak

ada atau sukar dicari atau tak patut dimakan, itulah yang 

diidamkan. Kalau tak dapat, hati susalt dan sedih. Pikiran pun 

kurang sempurna, acap kali suka marah dan benci kepada 

seorang, tetapi sayang kepada yang lain, dengan tak ada sebab 

karenanya. Kelakuan pun senantiasa berubah pula. 

Bila hamil telah enam bulan, perut bertambah-tambah besar 

dan mulai berat, sehingga susah berjalan, berdiri, bekerja, ber-

henti, duduk, dan tidur. Pantangan bertambah-tambah banyak. 

Ada makanan yang tak boleh dimakan, banyak pekerjaan yang 

tak boleh dikerjakan, pendengaran yang tak boleh didengar dan 

penglihatan yang tak boleh dilihat. 

Tatkala anak hampir dilahirkan, tak dapatlah berbuat apa-apa 

lagi, karena perut makin lama makin besar dan makin berat, 

tetapi duduk selalu pun tak baik pula, karena susah kelak 

melahirkan anak kata orang. Berjalan ke luar rumah, malu, takut 

dikatakan tukang tambur. 

Bila laki-laki disuruh mendukung anaknya sejam saja, lelah-

lah ia katanya; tetapi perempuan sembilan bulan lamanya; ter-

kadang-kadang lebih lama pula, tiada berhenti-henti siang 

malam, pada segala tempat, mengandung anak dan sesudah itu 

beberapa tahun pula mendukungnya, perempuan itu tiada botch 

mengatakan lelah.

Bila waktu akan melahirkan anak telah datang, tak dapatlah 

dikatakan perasaan diri kesakitan yang ditanggung. Alam dan 

dunia rasakan lenyap, pikiran benar menjadi hilang, bertukar 

dengan ketakutan dan was-was. Sakit pun tiada terderita, seluruh 

badan rasakan hancur, pemandangan menjadi gelap, perasaan 

tiada tentu. Bila susah bersalin itu, karena sesuatu hal, acap kali 

membawa kita ke pintu kubur, jika tiada lekas dapat pertolongan. 

Walaupun mendapat pertolongan sekalipun, dari dukun atau 

dokter yang pandai, acap kali terlalu sakit juga, karena 

terkadang-kadang dengan kekerasan. Ada yang dipotong, di-

bedah dan dijahit, sekaliannya boleh mendatangkan cacat dan 

penyakit seumur hidup. 

Apabila anak itu telah lahir ke dunia, beberapa lamanya 

perempuan itu harus tidur diam-diam, tak botch bergerak-gerak, 

serta harus pula memakan bermacam-macam obat yang kurang 

sedap rasanya, supaya lekas sembuh. Ada kalanya penyakit itu 

lama maka baik, padahal dalam waktu itu kita telah harus men-

jaga dan menyusukan anak, karena kurang baik jika anak itu di-

beri susu lembu. 

Bila kita telah sernbuh, tiadalah pula dapat melepaskan lelah 

barang sedikit pun, sebab kewajiban yang lain telah menanti, 

yaitu menjaga, memelihara dan membesarkan anak itu. Tak tentu 

susah, tak tentu payah, tak tahu siang dan tak tahu malam;

karena makanannya harus diberi dan dijaga, pakaiannya harus 

dibuat dan dibersihkan. lika menangis harus dibujuk dan di-

dukung, jika mengantuk harus ditidurkan dan diayunkan. Kalau 

ia sakit, berjam-jam lamanya didukung dan dinyanyikan; siang 

malam tak dapat tidur atau mengerjakan apa-apa yang lain, 

karena berjaga-jaga. 

Bila anak ini telah besar sedikit, permainan harus diadakan 

belanja harus diberi dan ia harus dididik pula dengan sempurna, 

supaya ia kelak menjadi orang yang baik. 

Belum selesai pekerjaan ini tanggungan yang baru sudah 

datang pula, karena anak yang kedua telah dikandung. Tatkala 

anak ini telah besar, harus disekolahkan dan kemudian dikawin-

kan. Anak perempuan, sesudah kawin pun masih ditolong oleh 

ibunya." 

"Sesungguhnya demikian hal perempuan bangsa kita," jawab 

Alimah. "Betul aku sendiri belum merasai beranak, tetapi aku 

acap kali bercakap-cakap dengan perempuan yang telah beranak 

dan menolong mereka. Oleh sebab itu kuketahui perasaan dan 

penanggungan mereka." 

"Dan adakah selamanya baik balasan anak itu kepada 

ibunya?" kata Nurbaya pula. "Lebih-lebiht anak laki-laki acap 

kali tak tahu membalas guna. Terkadang-kadang, air susu ibunya 

dibalasnya dengan air racun. Bila ia telah beristri, tiadalah di

indahkannya lagi ibunya. Ada pula yang tiada hendak mengaku 

ibu lagi kepada makiiya, karena ia telah kaya atau berpangkat 

tinggi malu beribukan perempuan yang biasa saja atau 

perempuan yang bodoh. Dan ada pula yang memusuhi sampai 

memukul dan menyiksa ibunya sendiri. 

"Memang anak laki-laki yang acap kali berbuat begitu; anak 

perempuan jarang," sahut Alimah. ' 

"Boleh jadi sebab angkuhnya juga. Walaupurt asalnya dari 

ibunya, tetapi pada sangkanya, ibunya itu hina, sebab ia bangsa 

perempuan," kata Nurbaya seraya mengangkat kepalanya. 

Setelah sejurus terhenti, berkata pula ia, "Hal yang kedua, 

yang menyebabkan kita lebih lemah dan lebih kurang tajam 

pikiran kita daripada laki-laki, ialah pemeliharaan, pekerjaan dan 

kewajiban kita. Tentang pemeliharaan kita, sejak kita mulai 

pandai berjalan, sampai berumur enarn tujuh tahun sajalah kita 

boleh dikatakan bebas sedikit; boleh berjalan-jalan ke sana 

kemari; boleh bermain-main ke luar rumah. Itulah waktu yang 

sangat mulia bagi kita, waktu kita berbesar hati, waktu kita 

merasa bebas. Sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah 

lain kehidupan kita melainkan dari rumah ke dapur dan dari 

dapur kembali pula ke rumah. 

Apabila telah berumur tujuh delapan tahun, mulailah 

dikurung sebagai burung, tiada diberi melihat langit dan bumi,

sehingga tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita. 

Sedangkan pakaian dun makanan, tiada diindahkan, apalagi 

kehendak dan kesukaan hati. Sementara itu kita disuruh belajar 

memasak, menjahit, menjaga rumah tangga, sekaliannya 

pekerjaan yang tiada dapat menambah kekuatan dan menajam-

kan pikiran. 

Tetapi anak laki-laki waktu itu, lain daripada disuruh ke 

sekolah dan ke langgar, disuruli pula belajar menari, memencak, 

berenang, berkuda dan lain-lainnya, untuk menguatkan tubuh 

dan menajamkan pikirannya. Jadi sekalian pelajaran dan 

pekerjaan itu pada laki-laki selalu menambah kemauan, kekuatan 

dan menajamkan pikirannya sedang pada perempuan melemah-

kan tubuhnya dun tiada berapa menambah kepandaiannya. 

Jadi pekerjaan dan kewajiban kita pula, ialah mengandung 

dan menyusukan anak; kepada anak, memelihara, membesarkan 

dan mengajari dia; kepada suami, menjaga rumah tangga meng-

atur makanan, pakaian dan lain-lainnya dan kepada ibu-bapa 

serta kaum keluarga menurut sebarang kehendaknya. Sekalian 

itupun tiada pula menambah kekuatan dan akal kita, sebagai 

pada laki-laki. 

Pekerjaan, pemeliharaan dan kewajiban ini, bukan kita yang 

menghendaki; kita terpaksa harus menjauhkannya. Dan untuk 

siapa? Untuk laki-laki dengan anaknya. Demikian pula tentang

sifat-sifat perempuan itu, bukan ia yang memintanya. Adalah 

patut laki-laki menghinakan dia, sebab kita beroleh sifat-sifat 

ini? Pada pikiranku, tentang kemauan dan akal itu, bila kita 

perempuan diberi pelajaran, pemeliharaan, makanan, pendeknya 

sekaliannya sama benar-benar dengan laki-laki, tentulah kita tak 

akan kalah dari laki-laki." 

"Pikiranku pun demikian juga, Nur," jawab Alimah. 

"Perbedaan itu adanya, hanya karena berlainan pemeliharaan, 

pelajaran, kewajiban dan lain-lainnya." 

"Sungguhpun begitu, banyak juga yang asalnya dari 

kesalahan perempuan sendiri, maksudku kesalahan ibu. Karena 

kurang pikirannya, banyak perbuatannya yang tidak baik. Misal-

nya dilarangnya anak perempuannya pergi ke sekolah, sebab 

takut anak itu menjadi jahat, karena pandai membaca dan 

menulis, sehingga memberi malu. Pikiranku persangkaan ini 

salah benar; karena hal itu, bergantung kepada, hati, serta tabiat 

kelakuannya dan pelajaran yang diperolehnya. Bila cukup 

kepandaian, luas pemandangan dan jauh pendengarannya, hingga 

tahu ia membedakan yang baik dengan yang jahat, artinya dapat 

ia menimbang buruk dan baik perbuatannya, tentulah tiada 

mudah ia terjerumus ke dalam lubang godaan laki-laki. Di mana 

diperolehnya ilmu-ilmu itu, kalau tiada di sekolah? 

Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh

ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan 

sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat juga diper-

gunakannya untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang 

baik dan pikiran sempurna. Bila perempuan itu memang tiada 

baik tabiatnya atau sebab salah ajarannya, walaupun ia tak ber-

kepandaian sekolah sekalipun, dapat juga ia berbuat pekerjaan 

jahat. Tak adalah perempuan jahat, pada bangsa yang masih 

bodoh?" 

"Jika dipikir dalam-dalam, nyatalah kita perempuan ini, 

diperbuat sebagai anak tiri dan laki-laki sebagai anak kandung, 

sebab sangat diperbedakan. Dan perempuan tiada pula diberi 

tempat bergantung." kata Alimah. 

"Memang," jawab Nurbaya, "dari Tuhan kita telah mendapat 

alangan yaitu dalam hal mengandung dan menjaga anak, 

sehingga tiada dapat melawan laki-laki, tentang apa pun; oleh 

agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab laki-laki 

diizinkan beristri sampai ernpat, tetapi perempuan, ke luar rumah 

pun tak boleh; oleh suami dihina dan disia-siakan dan oleh ibu 

bapa serta kaum kerabat, dipaksa menwut segala kehendak hati 

mereka. Bangsa dan negeri pun tiada pula hendak menolong." 

Di situ terhentilah Nurbaya berkata-kata, termenung 

memikirkan hal dan nasib bangsanya perempuan. 

"Ya seadil-adilnya, tentulah perempuan boleh pula bersuami

dua tiga, kalau laki-laki boleh beristri banyak," kata Alimah. 

"Apa, perempuan bersuami banyak. Sedangkan melihat muka 

laki-laki lain; tak boleh. Jika hendak ke luar rumah, haruslah 

ditutup muka rapat-rapat, begitu pula bagian badan yang lain-

lain. Sudah demikian, talak diserahkan pula kepada si laki-laki. 

Mengapakah begitu? Mengapa laki-laki saja yang boleh men-

ceraikan dan mengawini perempuan, sesuka hatinya? Apakah 

sebabnya maka perempuan tiada boleh berbuat begitu pula? 

Perempuan sajakah yang boleh berbuat kesalahan dan menerima 

hukuman dari laki-laki? Tiadakah laki-laki itu boleh pula berbuat 

kesalahan kepada istrinya? 

Apabila dikatakan kelaliman ini kepada laki-laki, tentulah 

mereka akan gelak tersenyum saja, karena pada sangkanya, 

itulah yang seadil-adilnya. Bukankah laki-laki itu tuan 

perempuan, dan perempuan itu hamba laki-laki? Tentu saja 

mereka boleh berbuat sekehendak, hatinya kepada kita; disiksa, 

dipukul dan didera dengan tiada diberi belanja yang cukup dan 

rumah tangga yang baik; tiada pula dilepaskan hati kita, tiada 

diberi melihat permainan apa pun, yang boleh menyenangkan 

hati dan meuambalt penglihatan dan tiada diizinkan pula men-

dengar bunyi-bunyian yang menghilangkan kesusahan. 

Jika salah sedikit, karena belum tahu, bukan pelajaran atau 

peringatan yang diperoleh, hanya maki dan nistalah yang

diterima; ada kalanya disertai pula oleh pukul dan terjang. Jika 

terlambat menyediakan makanan atau pakaian, perkataan yang 

hina tentulah kedengaran. Menjawab, sekali-kali tak boleh; apa 

yang terasa di hati tak boleh dikeluarkan, harus disimpan saja 

dalam dada. Kalau berani melawan, tentulah akan diusir sebagai 

anjing. Jika lekas diceraikan, sudahlah, tetapi acip kali, 

digantung tak bertali; tiada dan tiada pula dipulang-pulangi*) 

sehingga segala maksud, jadi terhalang." 

"Sungguhpun demikian, penanggungan itu belumlah 

seberapa, jika dibandingkan dengan penanggungan dipermadu-

kan," kata Alimah. "Aku lebih suka dipukul, dikurung atau 

dihinakan, daripada dipermadukan." 

"Tentu," jawab Nurbaya, "itulah sebabnya agaknya, engkau 

sampai bercerai dengan suamimu." 

"Memang," kata Alimah. 

"Cobalah ceritakan, bagaimana asalnya perceraian itu!" kata 

Nurbaya pula. 

"Asal mulanya, ialah asutan perempuannya dan maknya. 

Kata mereka, aku yang mengasut suamiku, supaya ia benci 

kepada mereka, sebab selama ia kawin dengan aku, mereka tiada 

dapat berbelanja dari suamiku. Tetapi aku, sekali-kali tiada ber-

buat demikian. Hanya ada aku minta kepada suamiku, supaya 

*) dikunjung-kunjungi

belanja rumah setiap hari, jangan sampai kurang, sebab orang 

tuaku bukan hartawan. Mendengar permintaanku ini, diberikan-

nya segala pendapatannya kepadaku. Dari uang itu, aku berikan 

kepada ibunya sepuluh rupiah dan saudaranya lima belas rupiah 

sebulan. Pada sangkaku, jika sekedar makan, cukuplah belanja 

sekian itu. Tetapi rupanya kemauan mereka, sekalian pendapatan 

suamiku harus diberikan kepada mereka, sebagai tatkala suamiku 

belum kawin dengan aku. 

Mana boleh jadi, sebab orang telah bertambah, rumah telah 

dua. Bukanlah telah diketahuinya, sebelum kami kawin, ayahku 

bukan orang yang mampu; jadi tak dapat menerirna suamiku, 

sebagai menerima anak-anak bangsawan di Padang ini; segala 

disediakan dan diadakan, tinggal pulang saja lagi. Lagi pula, 

suamiku bukan seorang yang berbangsa tingki. Meskipun 

demikian, mula-mula ia hendak dijemput juga. Akan tetapi 

tatkala ayahku, berkata, ia tiada beruang, sudilah ia sebagai 

biasa, suka sama suka saja. 

Sesungguhnya perkawinan itu, atas kemauan mentua dan ipar 

perempuanku itulah. Tetapi tatkala dilihat mereka, pemberian 

suamiku berkurang kepadanya, bencilah mereka kepadaku dan 

bibujuknyalah suamiku, supaya menceraikan aku. 

Setelah dilihat mereka, suamiku tak mau saja menurut asutan 

mereka dicarinyalah dukun ke sana kemari, supaya suamiku

benci kepadaku dan aku diceraikannya. Kabarnya mereka sampai 

berniat hendak mengerjakan aku, supaya aku menjadi gila atau 

mati. 

Tatkala maksudnya yang jahat ini, dengan jalan demikian, 

tak sampai pula, dikawinkannyalah suamiku dengan seorang 

perempuan hartawan. Ketika aku mendengar kabar ini, tak 

dapatlah kurencanakan, bagaimana rasa hatiku; marah, sedih, 

benci bercampur baur tak tentu. Mataku gelap, kepalaku pening, 

pendengaran hilang dan perasaan pun lenyap. Bibir dan sekujur 

badanku gemetar, hatiku berdebar-debar, rasakan belah, segala 

sendi anggota menjadi lemah, sehingga terjatuhlah aku ke tempat 

tidurku beberapa lama¬ya, tiada khabarkan diri. 

Semalam-malam aku menangis, karena tak dapat menahan 

hati. Tatkala aku bertemu pula dengan suamiku adalah sebagai 

aku melihat binatang rasanya, aku melihat dia: benci dan marah, 

datang berganti-ganti. Segala kesukaan dan kasih sayangku 

kepadanya, tiada berasa lagi. Jika tiada disabarkan oleh ibuku, 

niscaya kukenakanlah tanganku ke kepalanya; begitulah geram 

hatiku. Berapa kali aku minta bercerai, tetapi tiada dikabulkan-

nya. Apa dayaku? Karena talak dalam tangannya. Jika aku yang 

memegang talak tentulah tak sampai kulihat lagi mukanya, 

kujatuhkan talak ttga sekali. 

Sejak waktu itu, tiadalah kuindahkan lagi dia, baik tentang

makanannya atau pakaiannya; sebab hatiku telah berubah 

kepadanya, tiada lurus lagi. Jika ada laki-laki lain, yang 

menggodaku pada waktu itu, agaknya kuturutkan, karena sakit 

hatiku. Hendak aku lari, takut, kalau-kalau digantungkan aku 

selama-lamanya; tiada diceraikan dan tidak pula dibelanjai. 

Path suatu hari tatkala aku berjalan jalan dengan makku, 

pada, malarrtd hari di pasar Kampung Jawa, kelihatanlah olehku 

suamiku itu, sedang berjalan-jalan bersuka-sukaan, membeli apa-

apa dengan maduku itu. Ketika kulihat mereka itu, gelaplah 

mataku, tak tahu lagi, apa yang kuperbuat. Kata ibuku, aku terus 

memburu perempuan itu, lalu menghela rambut dan bajunya 

sambil memaki-makinya, sehingga berkelahilah kami di tengah~ 

orang banyak, bergumul dan bertarik-tarikkan rambut. Setelah 

kami dipisahkan orang, kuberi malulah suamiku itu dengan 

perkataan yang keji-keji serta kukatakan ia bukan laki-laki, kalau 

tiada berani menceraikan daku. Ituiah sebabnya maka di pasar itu 

juga dijatuhkannya talak kepadaku. 

Inilah akhirnya perkawinan yang telah menghabiskan 

beberapa biaya dan menimbulkan beberapa susah payah, di-

sebabkan perkara pemaduan." 

"Jadi berapa lamanya kau bercampur dengan suamimu itu?" 

tanya Nurbaya." 

"Tak sampai setahun," jawab Alimah. "Sejak itu aku ber

sumpah, tiada hendak kawin lagi. Apakah gunanya kawin, jika 

untuk menyusahkan hati, merusakkan badan dan menghabiskan 

harta? Maksudku kawin helidak mendapat kesenangan dan 

menumpangkan diriku. Jika tiadadapat yang sedemikian, lebih 

baik janda sebagai ini; bebas sebagai burung di udara, tiada siapa 

dapat mengalangi barang sesuatu maksudku." 

"Atau tinggal perawan selama-lamanya." kata Nurbaya. 

"Itu tak boleh, karena terlalu aib, bagi kita; dikatakan tak 

laku, sebab ada cacat," jawab Alimah. 

"Aib itu karena diaibkan. Akan tetapi jika telah banyak yang 

berbuat begitu, menjadi biasalah pula," kata Nurbaya. 

"Barangkali," jawab Alimah. 

Setelah Nurbaya termenung sejurus, berkata pula ia, seraya 

mengeluh, "Memang demikianlah nasib kita perempuan. Adakah 

akan berubah peraturan kita ini? Adakah kita akan dihargai oleh 

laki-laki, kelak? Biar tak banyak, sekadar untuk yang perlu bagi 

kehidupan kita saja pun, cukuplah. Aku tiada hendak meminta, 

supaya perempuan disamakan benar-benar dengan laki-laki 

dalam segala hal; tidak, karena aku mengerti juga, tentu tak 

boleh jadi. Tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu 

memandang perempuan, sebagai adiknya, jika tak mau ia 

memuliakan dan menghormati perempuannya, sebagai pada 

bangsa Eropa. Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau

suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu 

yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan men-

dengar segala ,yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia 

boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya, 

supaya dapat bertukar-tukar pikiran, untuk menajamkan otaknya. 

Dan berilah ia kuasa atas segala yang harus dikuasainya, agar 

jangan sama ia dengan boneka yang bernyawa saja. 

Perkara rumah tangga, pada pikiranku boleh dimisalkan 

dengan sebuah negeri, yang diperintahi oleh dua orang wazir. 

Kedua wazir ini hampir sama besar kekuasaannya. Seorang 

wazir perkara dalam negeri, yaitu istri dan seorang pula wazir 

perkara luar negeri, yaitu suami. Segala hal dalam negeri, yakni 

perkara rumah tangga, penjagaan anak, makanan, perkakas-

perkakas dan lain-lainnya, harus dikuasai oleh istri. Oleh sebab 

itu harus perempuan faham dalarn segala hal-hal ini. Perkara luar 

negeri, jadi perkara mencari penghidupan, pekerjaan, per-

lindungan dan lain-lain, harus dikuasai oleh laki-laki; perempuan 

tak boleh campur dalam hal itu. Di dalam segala perkara yang 

penting, yang mengenai kewajiban keduanya, tentulah kedua 

wazir itu boleh campur-mencampuri kewajiban masing-masing 

dan bermupakat kedua, supaya dapat yang sebaik-baiknya." 

"Tetapi siapakah yang menjadi raja?" tanya Alimah. 

"Raja tak ada; segala sesuatu boleh dimupakatkan berdua,


supaya bertambah-tambah baik negeri. Jika hendak dilebihkan 

sedikit kekuasaan wazir luar negeri itu, biarlah, tak mengapa; 

sebab pahamnya lebih tua, lebih-lebih dalam memutuskan 

perkara yang sukar-sukar, asal jangan lupa ia, pangkatnya 

sesungguhnya sama dengan wazir dalam negeri dan janganlah ia 

sampai bersangka, bahwa ialah raja, jadi dapat berbuat se-

kehendak hatinya kepada temannya itu. 

Kedua mereka itu sebenarnya satu, hanya terjadi dari dua 

badan. Wazir dalam negeri perlu dapat pertolongan dari wazir 

luar negeri, dan kebalikannya, wazir luar negeri harus pula 

dibantu oleh wazir dalam negeri, dalam pekerjaan dan 

kewajibannya; jadi tolong-menolonglah keduanya, dalam segala 

kesusahan dan kesenangan, sebagai kata pepatah: berat sama 

dipikul, ringan sama dijinjing. Sekali-kali janganlah masing-

masing bersangka, mereka dapat hidup sendiri-sendiri, karena 

pekerjaan dan kekuasaannya yang berlain-lainan itu. 

Sekalian penghasilan laki-laki atau perempuan, tak boleh 

disembunyi-sembunyikan; baik dengan sebenar-benarnya 

dinyatakan, supaya dapat dikumpulkan jadi satu. Dari jumlah 

hasil ini, diberikan sebagian kepada perempuan, untuk belanja 

rumah tangga, makanan dan lain-lain sebagainya; sebagian pula 

kepada laki-laki, untuk biaya di luar rumah. Jika ada kelebihan, 

simpanlah di atas nama berdua atau di atas nama anak. Jika laki

laki kurang percaya kepada perempuan, sebetulnya tak boleh 

laki-laki demikian, sebab laki-istri itu harus percaya-mem-

percayai dan harus berhati sama lurus lebih baik janganlah 

dicampurkan perkara keuangan itu. Tetapi kalau misalnya pada 

sangka laki-laki, istrinya kurang pandai menjalankan uang 

belanja atau pada sangka si perempuan, suaminya sangat boros, 

tentulah mereka boleh campur-mencampuri tugas dalam perkara 

keuangan ini. 

Lain daripada itu, haruslah masing-masing selalu mencari 

akal, untuk menyenangkan temannya dan selalu menjaga, supaya 

jangan sampai sakit menyakiti hati. Jika tumbuh silang selisih, 

janganlah masing-masing hendak beraja di hati dan bersutan di 

mata sendiri-sendiri saja, karena jika demikian, menjadi kusutlah 

penghidupan. Jika terbit marah, tahanlah hati, jangan ber¬kata-

kata atau berbuat apa-apa melainkan dinginkanlah darah yang 

panas itu dahulu, supaya jangan berbuat atau mengatakan 

sesuatu, dalam marah; karena hal itu boleh mendatangkan sesal 

yang tak habis kemudian hari. Kalau marah tak hendak hilang, 

bawalah tidur atau berjalan-jalan. Setelah habis marah dan 

pikiran yang baik timbul pula, bicarakanlah pertikaian itu dengan 

sabar bersama-sama, supaya mendapat kebenaran. Tak jua dapat 

diputuskan, barulah dibawa kepada orang tua atau guru, minta 

diselesaikan; karena biasanya, mereka banyak mempunyai

pendapat tentang hal ini. Kalau sudah demikian, tak dapat jua 

diselesaikan kekusutan itu baiklah bercerai keduanya. Apa boleh 

buat. Daripada bercampur dalam neraka, lebih baik bercerai 

dalam surga. Tetapi bercerai itu hendaklah dengan baik, jangan 

sampai menaruh dendam kesumat. Tatkala kawin dengan baik, 

bercerai pun dengan baik pula. Siapa tahu, barangkali jodoh 

masih ada: jadi mudah kembali. Biarpun telah habis sekalipun 

jodoh, apako gunanya bekas suami atau istri itu dipandang 

se,bagai musuh? Karena kita telah bercampur beberapa lamanya; 

menjadi satu dengan dia. Bukankah lebih baik ia dipandang 

sebagai saudara? Sedangkan hewan yang telah dipelihara, lagi 

tak dapat dilupakan dalam sekejap mata, mengapakah manusia, 

yang terkadang-kadang telah terikat kepada kita dengan tali 

anak, diperbuat musuh? 

Berselisih bermaki-makian, sampai terbuka rahasia yang 

penting-penting, berteriak-teriak, sampai gempar orang sebelah-

menyebelah, berpukul-pukulan, sampai berluka-lukaan atau cara 

lain yang semacam itu bukan saja tak berguna, tetapi menyata-

kan kita bukan orang yang betertib sopan dan tak tahu peraturan 

yang baik. Lagi pula ia boleh mendatangkan, bahaya kepada 

badan sendiri. Bukankah lebih baik, kalau hendak berselisilr, 

masuk berdua ke dalam bilik, tutup pintu, lalu bicarakan atau 

keluarkan apa yang terasa dalam hati, perlahan-lahan, supaya

jangan diketahui orang. Apakah gunanya perselisilran kita, 

diperlihatkan kepada orang lain, yang tiada bersangkut paut 

dengan hal itu; apalagi karena tiada berapa lama sesudah itu, kita 

akaii berdamai pula? Pada rasa hatiku, perkara yang sedemikian, 

masuk rahasia rumah tangga kita; tak ada faedahnya diketahui 

orang lain. Lagi pula aib rasanya seperti kelakuan anak kecil, 

sebentar berkelahi, sebentar berbaik. Lihatlah anak-anak! Tatkala 

berkelahi, bermaki-makian, berpukul-pukulan, seakan-akan 

hendak berbunuh-bunuhan rupanya, tetapi sejurus kemudian 

berbaik pula, bermain-main, bersama-sama, sebagai orang yang 

berkasih-kasihan. Sedangkan pada anak-anak telah ganjil 

rasanya kelakuan yang sedemikian, istimewa pula pada orang 

yang telah cukup umurnya. 

Perselisilian yang kecil-kecil, terkadang-kadang memang tak 

dapat dihindarkan. Tetapi tak mengapa; itulah tanda bercampur 

dua barang yang hidup. Sedangkan senduk dengan periuk, ada 

kalanya lagi berlaga, kata orang; apa pula manusia, yang 

pikirannya tiada selamanya tetap. Dan acap kali perselisihan itu 

sebagai garam, menyedapkan makanan; sebab lebih besai 

perselisihan, lebih nikmat pula perdamaiannya." 

Sedang mereka bercakap-cakap itu, kedengaranlah dari jauh, 

tukang jualan kue berteriak, "Eeee bipang, kue kerambil, kue 

kacang, wajik lemang, enak-enak eeeii! ... Eee bipang!"

"Hai, telah berapa kali aku dengar tukang kue itu berteriak-

teriak; rupanya sudah ada pula orang berjual kue-kue, pada 

malam hari di sini," kata Nurbaya, yang telah mulai lelah ber-

kata-kata sedang perutnya mulai merasa lapar pula. 

"Benar rupanya; tetapi baru semalam ini kudengar suara itu. 

Biasanya tiada kemari jalannya, sebab di sini sunyi. Barangkali 

ia sesat," jawab Alimah. 

"Mari kita panggil ia, Lim! Barangkali enak-enak kuenya," 

kata Nurbaya pula. 

"Ah, apa gunanya? Jika engkau hendak makan kue-kue, di 

lemari ada, aku sediakan untuk jamu yang datang. Aku 

sesungguhnya kurang suka makan kue-kue yang dibeli di jalan 

raya, sebab tak tahu, siapa yang membuatnya dan biasanya 

barang dagangan itu, tiada diindahkan amat memasaknya; 

terkadang-kadang kotor," jawab Alirnah. 

"Ah, masakan kotor! Aku di kampung Jawa Dalam, acap kali 

membeli kue-kue itu dengan Samsu. Kami makan bersama-sama 

dalarn kebun: belum pernah kedapatan yang kotor. Alangkah 

senang hatinya, bila ia ada bersama-sama dengan kita sekarang 

ini! Marilah kita beli, nanti bertambah-tambah jauh ia," kata 

Nurbaya seraya menarik tangan saudaranya, mengajaknya 

keluar, supaya dapat memanggil tukang kue itu. 

"Bipang, bawa kemari!" seru Nurbaya.

Setelah hainpir tukang kue itu, bertanyalah Alimah, "Kue 

dari mana ini?" 

"Kue Mak Sati," jawab si penjual. 

"Mak Sati di Kampung Jawa?" tanya Nurbaya. 

"Saya," jawab tukang kue itu. 

"Mengapa belum pernah kulihat engkau di Kampung Jawa?" 

tanya Nurbaya pula. "Tukang kuenya yang seorang lagi acap kali 

berjaja di Kampung Jawa Dalam. Aku kenal benar padanya 

Amat namanya, bukan?" 

"Benar. la berjaja di Kampung Jawa Dalam, hamba di sini," 

jawab tukang kue itu. 

"Tetapi apa sebabnya, baru sekarang ini, kudengar suaramu? 

Selama ini, di mana engkau?" tanya Alimah. 

"Hamba baru datang dari Padang Darat," sahut tukang kue 

itu, sambil membuka tempat kuenya, akan memperlihatkan 

jualannya. "Sebab hamba belum dapat pekerjaan yang baik, 

menjadi tukang kuelah hamba sementara." 

"Di mana negerimu," tanya Nurbaya, sambil memeriksa kue-

kue itu. 

"Di Payakumbuh," jawab tukang kue. 

"Kue wajik ini tak ada yang baru?" tanya Nurbaya. 

"Tak ada," jawab tukang kue. "Akan tetapi jika Orang Kaya 

suka makan lemang bergula, ada yang masih panas."

"Mana?" tanya Nurbaya. 

"Ini," jawab tukang kue, seraya membuka tempat kue yang 

sebuah lagi dan memilih beberapa lemang yang masih hangaf, 

lalu ditunjukkannya kepada Nurbaya. 

"Baik, berilah empat buah lemang itu!" kata Nurbaya pula. 

"Apa gunanya banyak-banyak, Nur? Aku sedang tak enak 

makan sekarang, nasi pun tiada habis." 

Tatkala ifu mengerlinglah tukang kue dengan sudut matanya 

kepada Alimah. Jika kelihatan oleh Alimah sudut mata ini, 

tentulah nyata kepadanya, tukang kue itu marah rupanya, 

mendengar perkataannya ini. Tetapi Alimah tiada melihat 

kepadanya dan Nurbaya sedang asyik memilih kue-kue yang 

enak-enak. 

Setelah diambil Nurbaya beberapa kue yang lain, dibayarnya-

lah harga makanan itu, lalu berangkatlah tukang kue itu, berjalan 

cepat-cepat ke luar pekarangan. 

Kedua perempuan muda itu pun pergilah duduk ke serambi 

muka, lalu bercakap-cakap pula, sedang Nurbaya membuka 

sebuah lemang akan dimakannya. 

"Mengapa tiada terdengar lagi suara tukang kue tadi?" tanya 

Alimah. 

 "Dipanggil orang yang di rumah muka agaknya," jawab 

Nurbaya. "Makanlah kue-kue ini!"

"Tadi sudah kukatakan kepadamu, aku telah beberapa hari 

tak enak makan. Berilah wajik itu sebuah! Aku coba-coba." 

"Jangan begitu, Lim! Barangkali sekali inilah lagi kita akan 

makan bersama-sama. Bila aku telah pergi pula ke Jakarta, tentu 

susah kita akan bertemu kembali, sebab Samsu rupanya tak 

hendak kembali lagi ke Padang ini. Ia hendak tinggal selama-

lamanya di tanah Jawa. Bila aku telah ada di sana, is hendak 

menjual segala hartaku yang masih ada di sini, untuk pembeli 

rumah di sana. Dan bila aku telah senang kelak, kumintalah 

engkau datang. Maukah engkau, Lim?" tanya Nurbaya, sambil 

memakan lemang yang telah dikupasnya itu. 

"Tentu mau, sebab aku pun ingin hendak melihat tanah Jawa; 

lebih-lebih kola Jakarta." 

"Hai, mengapakah lemang ini pahit gulanya?" tanya 

Nurbaya. 

"Barangkali gula enaunya kurang baik atau angus memasak-

nya," jawab Alimah. 

"Barangkali ini enak," kata Nurbaya pula sambil mengupas 

sebuah lemang lagi. Yang pertama tadi, telah habis dimakannya. 

"Sesungguhnya kola Jakarta itu sangat besar; sepuluh kali lebih 

besar dari kola Padang ini agaknya. Dan ramainya tak dapat 

dikatakan; siang malam di jalan raya penuh orang dan kendaraan 

serta kereta-kereta, bermacam-macam. Bagusnya pun tak ada

bandingannya; penuh dengan gedung yang cantik-cantik dan 

kedai yang besar-besar. Patut dijadikan ibu negeri, tempat 

kedudukan Pemerintah Tinggi. Tetapi istana yang sebenarnya 

ada di Bogor, karena hawa negeri ini dingin; sedang di Jakarta 

sangat panas. Nanti, bila aku telah ada di Jakarta pula, tentulah 

kami akan berjalan-jalan ke Bogor, kata Samsu. 

Sekarang inilah baru berasa senang benar hatiku, Lim, karena 

tak ada alangan apa-apa lagi. Tambahan pula, tatkala aku di 

Jakarta, nyata benar olehku, hati Samsu sekali-kali tiada berubah 

kepadaku. Alangkah senangnya rasa hatiku, ketika berjalan jalan 

dengan dia, bersiar-siar dam berputar-putar, naik bendi dan 

kereta, melihat kola Jakarta... Ah, mengapa pening kepalaku ini 

rasanya?" 

"Barangkali kurang tidur tadi malam," jawab Alimah. 

"Tidak, siang tadi, lama aku tidur. Hai, seperti berputar 

penglihatanku." 

"Marilah masuk, coba tidurkan!" 

"Ya," jawab Nurbaya, lalu berdiri, hendak masuk ke ruang 

tengah, tetapi tiba-tiba jatuhlah ia. Oleh sebab itu dipeluklah oleh 

Alimah pinggangnya, lalu dibawanya masuk ke bilik dan 

ditidurkannya di alas tilam. 

"Tolong pijit sedikit kepalaku ini, Lim! Barangkali benar aku 

masuk angin."

"Baiklah," jawab Alimah; lalu dipijitnya kepala Nurbaya. 

Tiada berapa lama kemudian daripada itu, tertidurlah Nurbaya 

rupanya. 

Tatkala memijit itu berpikir Alimah dalam hatinya, 

"Mengapakah Nurbaya tiba-tiba jadi pening? Apakah yang 

diperbuatnya tadi? Pukul setengah sebelas ia telah tidur. Biasa-

nya sampai jauh malam is masih bercerita-cerita dan bercakap-

cakap." 

Walaupun Nurbaya telah terlena, masih dipijit juga oleh 

Alimah kepalanya, sampai beberapa lamanya. la takut adiknya 

itu akan terbangun pula karena kurang enak rasa badannya; 

apalagi karena Nurbaya rupanya senang kena pijitnya, sebab 

lekas ia tertidur. 

Ketika ia berdiri hendak pergi tidur pula, diperhatikannya 

muka adiknya itu. Sangatlah is terperanjat melihat Nurbaya, 

sebagai tiada bernafas lagi, lalu diguncangkannya badan 

Nurbaya, supaya bangun. Tetapi sesungguhnyalah, perempuan 

yang malang itu, tak ada lagi. 

Maka menjeritlah Alimah, meratap menangis amat sangat, 

sehingga ibu bapanya terperanjat bangun dan datang berlari-lari. 

Tatkala dilihat Fatimah, Nurbaya terhantar di tempat tidurnya, 

tiada bergerak lagi, lalu berteriaklah pula ia menangis dengan 

merentak-rentak dan memukul-mukulkan tangannya, sehingga

ramailah bunyi ratap di rumah itu. Orang sebelah-menyebelah 

pun gempar datang, hendak mengetahui, apa yang terjadi di situ. 

Tetapi seorang pun tak dapat memberi keterangan yang nyata, 

selainnya daripada Nurbaya telah meninggal. Malam itu juga 

Ahmad Maulana pergi memanggil dokter dan dua jam kemudian 

datanglah dokter itu,lalu memeriksa Nurbaya dan nyatalah 

kepadanya, bahwa Nurbaya memang telah meninggal. Walaupun 

dokter mencobakan sekalian ilmunya, untuk menolong Nurbaya, 

tetapi sia-sia belaka. 

Karena menurut cerita Alimah, Nurbaya berasa badannya tak 

enak sesudah memakan lemang itu, diambillah oleh dokter 

lemang yang tinggal lagi dengan kue-kue lain, akan disuruh 

diperiksanya. Pada keesokan harinya nyatalah kepadanya, bahwa 

Nurbaya termakan racun. Itulah yang menyebabkan mautnya. 

Meskipun perkara terserah ke tangan polisi, tetapi yang 

bersalah, tiada kedapatan. 

Untuk mengetahui penjahat ini, marilah kita kembali meng-

ikuti tukang kue tadi. 

Setelah sampai ia ke jalan besar, tiba-tiba keluarlah seseorang 

yang memakai serba hitam dari balik pohon kayu, lalu 

menghampiri tukang kue itu. Setelah dekat bertanyalah ia, 

"Bagaimana Pendekar Empat?" 

"Dibelinya, dan aku berikan yang bergula enau."

"Bagus! Sekarang marilah kita pergi kelas-lekas dari sini." 

"Tetapi peti kue ini bagaimana?" tanya Pendekar Empat. 

"Nanti; di rumah kosong itu ada sumur yang tiada dipakai 

lagi. Ke sanalah kaumasukkan peti ini," jawab Pendekar Lima. 

"Tetapi aku khawatir juga, kalau-kalau yang lain pun kena 

pula," kata Pendekar Empat. 

"Ada siapa lagi di sana?" tanya Pendekar Lima. 

"Alimah; tetapi katanya ia tak mau memakan kue-kue, sebab 

perutnya tak enak. Itulah sebabnya dilarangnya Nurbaya mem-

beli banyak-banyak. Panas hatiku mendengar perkataannya itu. 

Jika tidak di rumahnya, kuterjang ia, supaya mulutnya jangan 

dapat berkata-kata lagi," sahut Pendekar Empat. 

"Berapa buah dibelinya lemangmu?" tanya Pendekar Lima 

pula. 

" "Empat buah;" jawab Pendekar Empat. 

"Masakan keempatnya dimakan Nurbaya sebab sebuah 

lemang pun cukup untuk membawa dua tiga orang ke pintu 

kubur. Akan tetapi, tahu benarkah engkau, keempatnya berisi 

gula?" 

"Tahu, sebab yang berisi gula itu, kupisahkan." 

"Jika demikian, tentulah sampai maksud kita, sekali ini," kata 

Pendekar Lima. 

"Turutlah aku!" lalu hilanglah keduanya pada tempat yang

gelap. 

Pada keesokan harinya, tatkala sampai kabar kematian 

Nurbaya ini kepada Sitti Maryam, yang sedang sakit keras di 

Kampung Sebelah, karena terkejut ditinggalkan anaknya Samsu, 

tiba-tiba berpulanglah pula ibu Samsulbahri ini, sebab kabar itu 

rupanya sangat menyedihkan hatinya. 

Pada hari itu, kelihatanlah dua jenazah, dibawa ke gunung 

Padang. Kedua perempuan yang sangat dicintai Samsu ini, 

dikuburkan dekat makam Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya.

XIII. SAMSULBAHRI MEMBUNUH DIRI 

"Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, 

kepadamu bukan?" kata Samsulbahri kepada sahabatnya, pada 

keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira 

pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya 

membayar makan. 

"Penglihatan apa, Sam?" tanya Arifin. 

"Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikir-

kan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?" 

"Cobalah ceritakan; " kata Arifin pula. 

"Sebagai biasa," kata Samsu, "pukul sepuluh malam, pergilah 

aku tidur. Kira-kira pukul dua belas dengan tiada kuketahui apa 

sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti 

ada yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan 

olehku dekat meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri 

di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat 

bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau pen-

jahat, yang telah masuk ke dalam bilikku." 

"Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian 

putih?" kata Arifin. 

"Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku

bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, 

tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi, 

barang yang putih itu masih kelihatan juga." 

"Barangkali pemandangan tiada benar," kata Arifin, yang 

belum hendak percaya akan cerita sahabatnya ini. 

"Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi 

yang putih itu tak hendak hilang." 

"Barangkali engkau takut. atau tatkala hendak tidur, banyak 

mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala yang kaulihat, 

rupanya sebagai setan," sahut Arifin pula. 

"Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala 

yang demikian. Lagi pula, tatkala baru saja kubuka mataku, telah 

kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang 

yang baru bangun tidur akan takut, jika ia tiada bermimpi yang 

dahsyat!" 

"Bagaimana bentuknya?" tanya Arifin, yang rupanya mulai 

percaya akan cerita Samsu ini. 

"Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan 

berkaki," sahut Samsu, "serta memakai pakaian sutera putih, 

yang jarang." 

"Sebagai manusia?" tanya Arifin yang mulai berasa takut, 

walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh 

di jalan besar. "Hih! Seram buluku mendengar ceritamu:"

"Sesungguhnya," jawab Samsu. "Melihat hal yang ajaib ini, 

meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus 

lamanya, tiadalah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak 

berteriak, malu rasanya. Lagi pula suaraku tak hendak keluar, 

sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, badan dan kaki berat 

rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku. Walau-

pun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan 

punggungku sebagai terkena air dingin." 

"Sudah itu?" tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah 

takut. 

"Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, 

kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya." 

"Nurbaya?" tanya Arifin dengan heran. 

"Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. 

Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatlah juga 

kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataan, lalu bertanya, 

"Siapa ini? 

"Dan apa jawabnya?" tanya Arifin dengan lekas. 

"Tak ada apa-apa. la diam saja dan tiada pula bergerak-gerak 

dari tempatnya." 

"Kemudian?" tanya Arifin pula. 

"Kemudian melumpatlah aku, hendak mengambil pestolku 

dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia. Tetapi

tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah ke mana 

perginya tiada kuketahui." 

"Betul berani benar engkau," kata Arifin. 

"Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke 

segenap tempat kalau-kalau dicekiknya aku dari belakang. Tetapi 

tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan 

kuambil pestolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani 

aku memeriksa ke sana kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah 

meja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, 

sedang jendela dan pintu pun masih terkunci." 

"Jika aku bertemu yang sedemikian, tentulah aku menjerit 

minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tiada tentulah 

aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan." 

"Setelah kututup lampu itu dengan kertas, supaya terangnya 

jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pestolku di bawah 

bantalku, berbaringlah pula aku. Tetapi sesudah itu tiadalah 

dapat aku tidur lagi; pertama karena takut akan didatanginya 

kembali dalam tidurku, kedua sebab memikirkan penglihatan 

yang ajaib itu. Apakah itu dan apakah takbir! Itulah setan atau 

hantu!" 

"Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya seroman dengan 

Nurbaya? 

Yang menjadi hantu itu, bukankah orang yang telah mati,

kata orang?" jawab Arifin. 

"Sesungguhnya, seumur hidupku, baru sekali itu aku melihat 

bayang-bayang yang sedemikian," jawab Samsu, yang sekali-kali 

tiada mengira, bahwa Nurbaya telah mati. "Bukan mimpi tetapi 

sebenar-benarnya penglihatan itu." 

"Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah 

aku sampai bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut 

dapat celaka." 

"Karena tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya 

dan ibuku, negeri dan kampung halaman kita, serta timbullah 

hasrat yang amat sangat dalam hatiku, hendak pulang menemui 

mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi meng-

antarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belum 

pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Di 

mukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang 

telah kurasai, sejak kita berjalan jalan ke gunung Padang. Makin 

kuingat Nurbaya, makin khawatir hatiku dan makin terasa pula 

olehku alpa dan lengahku, melepaskan dia seorang diri, kembali 

ke dalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku 

itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat 

celaka pula." 

"Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia pula 

di sini. Jika tiada, baik kaujemput saja; perkaranya tentulah telah

selesai," jawab Arifin. 

"Maksudku pun demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan 

datang ini belum juga ia sampai kemari, tentulah akan kujemput 

sendiri ia ke Padang." 

Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di 

rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik masing-

masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglah seorang opas 

pos membawa dua helai surat kawat, untuk Samsulbahri. 

Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Samsulbahri, lalu 

ditunjukkanlah oleh Arifin bilik sahabatnya ini. 

Tatkala Arifin, setengah jam sesudah itu, pergi ke bilik 

Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang 

diterimanya tadi dua sekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela 

bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah 

tidur, untuk melepaskan kantuknya, karena kurang tidur malam. 

Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu, 

ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali. 

Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, 

sesungguhnya hendak pergi gidur; jendelanya pun telah ditutup-

nya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, 

karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, 

karena kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya. 

"Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah

bunyinya?" katanya dalam hatinya. "O, barangkali dari Nurbaya, 

memberi tahu ia akan datang kemari. 

"Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?" Demikianlah 

pertanyaan yang timbul dalam hatinya. 

Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat 

kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua 

surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada khabarkan dirinya, sebab 

kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan 

ibunya. 

Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah 

diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya 

seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. 

Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya. 

Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan 

kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya. 

Begini bunyinya: 

Jakarta, 13 Juli 1879. 

Paduka Ayahanda! 

Sebelum ananda menuliskan maksud ananda dan 

mencurahkan segala yang terasa di hati ananda 

kepada Ayahanda dalam surat ini, terlebih dahulu 

ananda memohonkan ampun beribu-ribu ampun ke

bawah ribaan Ayahanda, atas kesalahan ananda 

yang telah ananda perbuat dahulu dan kesalahan 

ananda sekarang ini, karena telah berani 

memanggil Ayah pula kepada Ayahanda, walaupun 

Ayahanda tiada sudi lagi mengaku anak kepada 

ananda. 

Ananda maklum, tentulah sangat susah bagi 

Ayahanda, seorang yang berbangsa dan berpangkat 

tinggi, akan menarik surut perkataan yang telah 

terlanjur. Tetapi sebab permintaan ini, ialah 

permintaan yang penghabisan bagi ananda, 

permintaan seorang yang tiada lama lagi akan 

hidup di dunia ini, seorang yang akan segera 

meninggalkan negeri yang fana ini dan pada 

penghabisan umurnya, tiada lain pengharapannya, 

hanya akan beroleh ampun dan maaf dari ayah-

bunda, sanak saudara dan kaum kerabatnya, maka 

besar gunung kata orang, tetapi lebih besarlah lagi 

pengharapan ananda, supaya permintaan ananda 

ini, Ayahanda kabulkan juga. 

Bukankah orang yang akan dihukum mati itu, 

diturut kehendaknya dan diberi permintaannya yang 

akhir? Sekali inilah lagi ananda akan meminta

kepada Ayahanda dan sekali inilah pula lagi, 

Ayahanda akan meluluskan permintaan ananda; 

karena bilamana Ayahanda membaca surat ini, 

lamalah sudah ananda tiada dalam dunia ini, 

melainkan telah sujud ke hadirat Tuhan 

rabbulalamin, akan memohonkan ampun ata!O 

sekalian dosa ananda yang amat besar itu; karena 

rupanya dalam dunia yang fana ini, tiadalah boleh 

ananda mendapat ampun itu, meskipun ananda telah 

mengaku kesalahan ananda dan telah pula 

mendapat hukuman yang berat. 

Ayahanda, mengapakah begitu hal dunia ini? 

Mengapakah ananda tiada boleh mendapat 

keadilan? Bukankah ananda ini manusia juga, 

sebagai orang lain'? Bukankah manusia itu bersifat 

lupa, berhati lemah dan berfikir yang tiada tetap? 

Hanya Allah yang bersifat kadim? Bukankah 

manusia itu suatu maliluk yang tiada boleh berbuat 

sekehendak hatinya, bila tiada dengan izin Tuhan 

Yang Maha Kuasa? Bukankah nasib manusia itu tak 

dapat dibuat-buat, karena sekalian itu telah 

terdaftar di lauhmahfut dan sudah dijanjikan, 

sebelum dilahirkan ke dunia? Dan bukankah tiap

tiap kesalahan itu, walau bagaimanapun besarnya, 

ada juga ampunannya? Akan tetapi mengapakah 

dunia ini tiada menimbang dengan adil, melainkan 

melemparkan segala kesalahan kepada ananda? 

Meskipun ananda insyaf dan mengaku sekalian 

kesalahan itu, tetapi bukan ampunan atau hukuman 

yang enteng yang ananda peroleh, melainkan 

sebagai ditambah siksaan yang diberikan kepada 

ananda. 

Sesungguhnya kesalahan ananda itu, bukanlah 

suatu kesalahan yang ringan, melainkan kesalahan 

yang memberi aib nama ayah-bunda, kaum keluarga 

dan kampung halaman serta mendatangkan duka 

nestapa kepada beberapa manusia, memutusasakan 

beberapa orang, tetapi seharusnyalah hakim yang 

adil, mendengarkan kedua belah pihak dan tidak 

menuduh sebelah pihak saja. 

Jangankan hati manusia yang memang lemah dan 

lembut, sedangkan batu yang keras, dapat juga 

ditembus air yang lunak, apabila selalu ia jatuh 

bertitik-titik ke atasnya. Bukankah besi keras, tetapi 

mengapakah dapat juga ia ditajamkan dengan batu 

yang rapuh? Dan apakah yang lebih keras daripada

intan? Tetapi dapat juga ia diasah. Apalagi ananda, 

seorang laki-laki muda, yang memang bersifat 

mudah jatuh ke dalam jaring yang sedemikian; 

bagaimana dapat menahan hati? Tambahan pula 

memanglah hati ananda yang lemah itu, tak dapat 

melihat kesusahan dan kesengsaraan atau kelaliman 

orang; terlebih-lebih bila yang teraniaya itu teman 

ananda sendiri, kawan bermain dari kecil, sahabat 

yang lebih daripada saudara kandung. Bagaimana 

dapat ananda membiarkan teraniaya? 

Bukannya pula ananda akan menjatuhkan segala 

kesalahan ke atas Nurbaya, sekali-kali tidak. 

Memang ananda merasa, bahwa hati Nurbaya telah 

lama tersangkut pada ananda, dan pada sangka 

ananda pun takkan tiada, tentu ialah kelak yang 

akan menjadi istri ananda. Pada pikiran ananda, 

persangkaan ini bukanlah pada ananda saja 

adanya, tetapi pada Ayahanda dan sekalian mereka 

yang kenal akan kami pun, tentulah ada pula. 

Sekarang bolehkah kita berkecil hati atau marah, 

apabila seekor burung yang telah dipelihara itu, 

meskipun dengan pemeliharaan yang sempurna 

sekalipun, diberi sangkar yang bagus, makanan dan

minuman yang cukup, pada suata hari, tatkala ia 

dilepaskan, terus terbang kembali ke tempatnya asli, 

ke dalam hutan? Bukankah, kesenangan dan 

kesentosa• an itu tiada selamanya disebabkan oleh 

uang atau harta? Bukankah terkadang-kadang 

seorang kuli, boleh merasa lebih senang dan sentosa 

daripada seorang raja; 

Bagaimanakah boleh disalahkan perbuatan 

seorang yang telah putus asa, sebagai Nurbaya 

waktu itu, karena melihat maksud dait keinginannya, 

yang sejak dari kecil telah diidamkannya, tiba-tiba 

dengan paksa dihilangkan orang, sehingga tak 

dapat berharap lagi? 

Orang yang mendapat kecelakaan amat sangat, 

sehingga terpaksa menjalankan pekerjaan yang 

terlebih ditakutinya daripada mati, pikirannya 

tiadalah benar lagi dan segala perbuatannya tak 

dapat disalahkan. Herankah kita, bila seorang yang 

teramat dahaga, tak berpikir panjang lagi dan tak 

mengindahkan segala kesengsaraan yang akan 

diperolehnya kelak, karena perbuatannya, tetapi 

dengan segera meminum air telaga, yang baru 

dijumpainya?

Jadi siapakah yang salah dalam hal ini? 

Nurbaya? Tidak! Ananda? Tidak! Tiada seorang 

pun jua; sebab masing-masing sekadar menurut 

jalan yang telah tentu, yang akan ditempuhnya juga. 

Datuk Meringgih sekalipun tak boleh disesali pula, 

sebab ia sekadar mengerjakan yang lazim dijalan-

kan di tanah air kita. Walaupun ia telah memaksa 

Nurbaya, dengan jalan yang keji dan memperguna-

kan berbagai tipu muslihat untuk menyampaikan 

sekalian maksudnya yang keji, tak juga boleh 

disalahkan; karena ia tak tahu kepada yang baik. 

Pada sangkanya tiada jahat perbuatannya itu. 

Apakah gunanya uangnya yang sebanyak itu, 

kalau harta itu tiada akan dapat menyampaikan 

segala maksudnya, walau yang hina sebagaimana 

jua pun? Apakah pedulinya kesusahan orang lain, 

putusnya pengharapan orang, karena kelakuannya, 

kesengsaraan orang, karena perbuatannya, asal ia 

dapat beroleh kesenangan dan dapat melepaskan 

hawa nafsunya? Bukankah sekalian orang berbuat 

demikian? Jangankan manusia, sedangkan hewan 

yang hina, lagi berbuat begitu. Bukankah sekalian 

maliluk di atas dunia ini kerjanya selalu bunuh

membunuh, celaka-mencelakakan, untuk membela 

dirinya sendiri? Mengapakah Datuk Meringgih tak 

boleh berbuat sedemikian? Terlebih-lebih pula 

kepada perempuan, yang memang di mata bangsa 

kita, bukan manusia, melainkan boneka bernyawa, 

yang harus menurut segala kemauan suaminya 

dengan tiada boleh berpikir., berkata, melihat, 

mendengar, mencium dan merasai. Disuruh bekerja, 

haruslah bekerja, jika disuruh sakit, haruslah sakit 

dan jika disutuh mati sekalipun haruslah mati. 

Tentu, sebab budak namanya, boleh diperbuat 

sesuka hati. 

Jadi apakah salahnya, jika laki-laki yang telah 

putih rambutnya, telah habis giginya, telah bungkuk 

punggungnya, karena tuanya, dikawinkan dengan 

seorang perawan yang sebaya dengan cucunya'? 

Dan apakah alangannya, jika laki-laki itu beristri 

lebih daripada seorang? Lihatlah ayam jantan! 

Betinanya pun lebih pada seekor. Kalau seekor 

binatang boleh berbuat sedemikian, mengapakah 

manusia yang terlebih mulia, terlebih berkuasa, 

terlebih cerdik dan pandai, tak boleh berbuat 

sebagai binatang itu? Tentu saja boleh, seharusnya

lebih dari itu. Jika diberikan kepada seekor bapa 

kuda, sepuluh atau dua puluh kuda betina, menurut 

perbandingan, masih kurang, jika diizinkan kepada 

manusia beristri sampai seratus dua ratus 

sekalipun." 

Samsu berhenti sejurus menyurat, untuk menahan hatinya 

yang geram. Tak puas ia, sebab segala yang terasa dalam hatinya 

waktu itu hanya dapat dituliskannya dalam surat itu saja: itu pun 

tiada pula sempurna. Kemudian diteruskanyalah menulis surat 

itu: 

Supaya surat ini jangan terlalu panjang, baiklah 

ananda ceritakan penanggungan ananda, sejak 

ananda tiada berbapa lagi. Hukuman dan deraan, 

azab dan sengsara yang telah ananda rasai, tak 

dapat ananda uraikan dengan secukupnya dalam 

surat ini. Sejak ananda menjadi yatim, tiada 

berayah berkaum keluarga, tiada berkampung 

berhalaman dan tiada berumah bertanah air, 

sampai kepada waktu ini, belumlah ananda merasai 

kesenangan. Setiap waktu pikiran digoda sesal yang 

tak putus dan kenang-kenangan yang dahsyat. Pada 

siang hari terbayang-bayanglah di mata ananda

segala kelakuan ananda yang keji itu; adalah 

sebagai hal itu baru terjadi. Muka Ayahanda yang 

murka, nyata kelihatan; suara Ayahanda yang 

garang, nyata terdengar oleh ananda sehingga 

kecutlah hati dan seramlah bulu ananda, seperti 

seorang yang akan dihukum gantung. 

Apabila telah hilanglah penglihatan dan 

pendengaran ini, terbayanglah pula muka Bunda 

ananda yang sangat berdukacita, karena putus asa: 

bagai sampan hilang pengayuh, bagai ayam hilang 

induknya. Pada mukanya itu nyata tergambar, 

betapa sedih dan sesal hatinya, melihat anak 

kandungnya, yang sebiji mata, buah hatinya, tempat 

pengharapannya berkumpul, mendapat mara 

bahaya yang amat besar, sehingga luput dari 

matanya. Hancur luluh hati ananda melihat 

kesedihannya, yang tak dapat ananda lipur. . 

Setelah itu berdirilah pula di muka ananda 

sekalian kaum keluarga, yang memandang ananda 

dengan benci dan merengut, sebagai melihat seekor 

anjing yang mencuri tulang. Penglihatan yang 

sedemikian, sangatlah memberi malu ananda, 

sehingga hampirlah tak berani ananda memperlihat

kan diri. 

Pada malam hari, bertukarlah kenang-kenangan 

dan ingatan tadi dengan mimpi yang dalisyat. 

Sekalian hal yang telah terjadi, melintas kembali, 

sebagai sebenarnya terjadi pula sekali lagi. Rasanya 

Datuk Meringgih datang membawa sebilah pedang 

yang terhunus, hendak memancung leher ananda. 

Oleh sebab itu, berteriaklah ananda di dalam tidur 

dan terbangunlah teman-teman yang dekat dengan 

ananda. Apabila ananda bermimpikan Nurbaya, 

menangislah ananda di waktu tidur, karena tak 

tahan melihat sedih hatinya, yang disebabkan oleh 

nasibnya yangmalang. 

Demikianlah hal ananda siang malam digoda 

pikiran dan mimpi yang jahat. Jangankan belajar, 

makan dan minum pun hampir tak dapat, karena 

nasi dimakan serasa sekam, air diminum rasakan 

duri. Apabila Ayahanda melihat ananda pada waktu 

menulis surat ini, barangkali tiadalah kenal lagi 

Ayahanda kepada ananda, karena badan ananda 

sangat berubah. 

Terkadang-kadang timbul niat di dalam hati 

hendak membunuh diri; tetapi ingatan kepada

Bunda dan Nurbayalah yang mengalangi 'maksud 

itu, sebab takut, kalau-kalau bertambah pula 

dukacita mereka, oleh perbuatan ananda ini. Akan 

tetapi walaupun ananda belum melekatkan senjata 

ke badan sendiri, jika demikian saja godaan-godaan 

yang datang, tentulah akhirnya akan ke sana juga 

perginya. Inilah pula yang menambahkan susah 

hati, sebab waktu itu ananda belum boleh 

meninggalkan dunia ini; bukan untuk ananda 

sendiri, melainkan untuk Bunda dan Nurbaya, yang 

telah ananda celakakan itu. 

Seharusnyalah bagi ananda, mengangkat mereka 

kembali dari lumpur, tempat mereka ananda 

jatuhkan. Itulah sebabnya maka ananda kembali ke 

Jakarta, dengan maksud akan mencoba meneruskan 

pelajaran ananda. 

Tetapi apa hendak dikata, Ayahanda? Rupanya 

hukuman dan penderitaan yang telah ananda 

tanggung, belumlah cukup untuk pembayar utang 

kesalahan ananda. Karena tatkala ananda baru 

berasa bebas sedikit dari godaan ini dan mulai 

biasa menanggung kesakitan, dan ketika ananda 

mulai beroleh pengharapan, akan dapat melawan,

segala siksaan dan percobaan ini, sehingga dapat 

juga menyampaikan maksud ananda, yakni akan 

menyenangkan Bunda dan Nurbaya lebih dahulu, 

sebelum berpindah ke alam lain, ketika itulah pula 

datang hukuman ananda yang sebenar-benarnya. 

Ketika itulah jatuh pedang yang menceraikan badan 

dari kepala ananda, menembus dada dan jantung 

ananda, menghancurkan hati dan tulang ananda 

seluruh tubuh; karena waktu itulah datang surat 

kawat, yang membawa kabar Ibu ananda dan 

Nurbaya, dua orang perempuan yang masih sayang 

kepada ananda, tatkala ananda telah jatuh ke dalam 

lumpur, telah meninggal dunia ini ... 

Aduhai! Di situlah putus pengharapan, habis 

sabar dan hilang akal ananda. Sekaranglah ananda 

menjadi yatim piatu, tiada beribu, tiada berbapa, 

tiada bersanak atau saudara, tiada berkaum 

kerabat, kampung halaman dan tanah air lagi. Oleh 

sebab itu, apal4h gunanya ananda hidup juga? 

Daripada hidup bercermin bangkai, baiklah mati 

berkalang tanah."

Tatkala sampai ke sana Samsu menulis, jatuhlah kalam dari 

tangannya, sebagai ia tiada berdaya lagi, memegang kayu yang 

sekerat kecil itu, dan penuhlah surat itu berlumur dawat. Air 

matanya pun jatuh pula bercucuran, membasahi kertas yang 

disuratnya. Karena terlalu amat sedih hatinya, menangkuplah ia 

ke meja tulisnya dan menangis tersedu-sedu beberapa lamanya. 

"Ya, nasib! Tiadakah engkau menaruh iba kasihan kepada 

bani Adam yang muda remaja itu? Bukankah ia baru akan 

mengenal kesenangan, kemuliaan dan kekayaan dunia ini, 

sebagai sekuntum bunga yang baru hendak mengembangkan 

kelopaknya akan menghamburkan baunya yang semerbak, dan 

mempertunjukkan warnanya yang cantik, kepada segala kupu-

kupu yang melintas dekatnya. Dengan kekerasan dan 

kekejaman, telah kaubantun ia dari tangkainya, sehingga putus 

lalu gugur ke tanah, menjadi hancur." 

Setelah bersedih hati sedemikian itu diangkatlah oleh Samsu 

kepalanya, lalu disapunya air matanya, diambilnya pula 

kalamnya dan diteruskannya menulis suratnya tadi: 

Ya, Ayahanda! Rupanya pengharapan yang 

ananda peroleh sedikit itu, ialah suatu tanda yang 

menyatakan, bahwa kesudahan nasib ananda akan 

datang. Sejak Ayahanda membuang ananda, kutuk

telah jatuh bertubi-tubi ke atas kepala ananda dan 

sejak waktu itu, tiadalah ditinggalkannya lagi 

ananda barang sekejap pun, melainkan selalu 

diturutnya jejak ananda, sebagai bayang-bayang di 

waktu malam, menanti saat yang baik dan ketika 

yang sempurna, untuk menerkam ananda. 

Sejak waktu itulah ananda dipermain-mainkan-

nya, seperti kucing mempermainkan tikus; ditangkap 

dan dilepaskannya pula. Gelak senyum ia agaknya 

melihat ananda, tatkala beroleh pengharapan yang 

sedikit tadi. Direnggangkannya sedikit cakarnya 

yang panjang dan tajam itu dari badan ananda, 

karena pada pikirannya, "Kelak akan masuklah 

cakarku ini ke dalam dagingmu yang lembut itu, 

untuk meleburkan tubuhmu, bila engkau coba 

hendak melepaskan dirimu." 

Sesungguhnya, Ayahanda, maksudnya itu telah 

dapat dilangsungkannya. Ananda telah diremasnya 

dalam cakarnya yang runcing dan panjang itu. 

Tinggal menunggu hancur luluh saja lagi ... 

Tentang perbuatan ananda yang akhir ini pun, 

ananda pohonkanlah ampun dan maaf, dunia 

akhirat kepada Ayahanda jangan jadi keberatan

atas perjalanan ananda dalam menuruti Bunda dan 

Nurbaya, yang telah berangkat lebih dahulu. Moga-

moga dapatlah kami bersama-sama menghadap ke 

hadirat Tuhan yang amat add. 

Akhirnya ananda mintalah pula terima kasih 

banyak-banyak kepada Ayahanda serta kaum 

kerabat kita, atas susah payah, karena telah sudi 

memelihara ananda dari kecil sampai besar. Akan 

kebaikan itu, tiada lain, melainkan Allahlah yang 

akan membalasnya, karena balasan yang telah 

ananda berikan, adalah jahat semata-mata, sebagai 

air susu dengan air tuba. Tetapi apa hendak dikata? 

Karena sekalian itu pun takdir daripada Tuhan 

juga. 

Terimalah sembah sujud yang penghabisan dari 

ananda. 

Selamat tinggal! 

 SAMSULBAHRI 

 

Tatkala Samsu hendak menyuratkan perkataan "selamat 

tinggal" itu gemetarlah tangannya, sehingga hampir-hampir tak

dapat ditulisnya tanda tangannya. Napasnya sesak dan mukanya 

pucat karena nemahan sedih yang memenuhi dadanya. Kepala 

pening dan penglihatannya berputar, terlebih-lebih sebab 

matanya penuh dengan air mata yang tak dapat ditahannya. 

Maka menangislah pula Samsu dengan amat rawannya, sambil 

menutup mukanya dengan kedua belah tangannya dan 

menangkup ke atas meja. 

Beberapa lamanya ia bersedih hati itu, tiadalah diketahuinya, 

hanya tatkala ia sadarkan dirinya pula, didengarnyalah lonceng 

setengah enam telah berbunyi. Maka berdirilah ia melihat surat 

itu dan memasukkameya ke dalam sebuah pembungkus surat. 

Surat itu dialamatkannya kepada ayahnya. Kemudian 

dicucinyalah mukanya, supaya hilang merah matanya, bekas 

menangis, lalu dipakainya pakaiannya. 

Setelah itu ditulisnya pula sepucuk surat, untuk guru dan 

teman sejawatnya yang demikian bunyinya: 

Sekalian guru dan teman sekolah hamba! 

Janganlah Tuan-tuan heran bila mendengar kabar, 

hamba dengan paksa telah membawa diri ke pintu 

kubur. Tuan-tuan sekalian tentu maklum, bahwa 

kehidupan tiap-tiap manusia di atas dunia ini tiada 

sama. Ada yang beruntung, ada yang malang, ada

pula yang berganti-ganti beroleh kesenangan dan 

kesusahan. Walaupun nasib mereka berlain-lainan, 

tetapi ada juga yang bersamaan pada mereka, yaitu 

maksud dan harapan yang ada pada tiap-tiap 

manusia yang hidup. Bukankah tiap-tiap pekerjaan 

itu ada sebab dan tujuannya? Akan tetapi, apabila 

maksud itu telah hilang dan pengharapan telah 

putus, apakah gunanya hidup lagi? Daripada 

memenuh-menuhkan kampung, menghabis-habiskan 

makanan dan menyusahkan orang, dengan tiada 

berguna, baiklah mati. 

Hal yang sedemikian, telah jatuh ke atas diri 

hamba. Oleh sebab itu, pada sangka hamba, tak ada 

gunanya hamba hidup lama lagi di atas dunia ini. 

Hamba harap cukuplah ini bagi Tuan-tuan untuk 

mengetahui sebab perbuatan hamba ini. Sungguhpun 

hamba berbuat begitu, hamba pohonkan siang dan 

malam, janganlah ada di antara teman-teman 

hamba, yang berniat hendak meniru perbuatan 

hamba ini dan terjauh jugalah hendaknya mereka 

daripada segala kecelakaan yang telah menimpa diri 

hamba. 

Kemudian hamba pohonkan banyak terima kasih

kepada sekalian guru dan teman sejawat, atas 

sekalian pelajararn dan kasih sayang, yang telah 

dilimpahkan kepada hamba. 

Sambutlah sembah sujud dan salam maaf dari 

murid dan teman Tuan yang malang ini. 

SAMSULBAHRI 

Tambahan: Sekalian barang-barang dan perkakas 

hamba, haraplah dibagi-bagikan kepada segala teman 

sekolah hamba, untuk menjadi-tanda mata dari 

hamba. 

Setelah dilipatnya surat ini, diletakkannya di atas meja 

tulisnya, lalu pergilah ia membuka lemarinya, mengambil suatu 

benda yang kecil. Setelah diperiksanya benda itu baik-baik, 

dimasukkannyalah ke dalam kocek celananya. Kemudian 

dibukanya pintu biliknya, lalu ke luar. Di luar dilihatnya Arifin 

hendak mengetuk pintu biliknya. Air matanya hendak keluar 

pula, karena teringat, tiada berapa saat lagi, akan bercerailah ia 

dengan sahabat karibnya ini. 

Lama ia termenung memikirkan hal itu, sampai didengarnya 

suara Arifin yang berkata sambil menghampirinya, "Alangkah

lamanya engkau tidur hari ini, Sam. Lihatlah matamu masih 

merah! Kabar apa yang kau terima dari Padang tadi? Aku harap, 

kabar baik." 

"Ya," jawab Samsu dengan susah payah mengeluarkan 

perkataan ..., Ibuku telah sembuh kembali." 

"Syukur! Alangkah senangnya hatiku, mendengar kabar yang 

baik ini! Tetapi surat kawat yang sebuah lagi dan siapa?" tanya 

Arifin pula. 

"Dari Mamanda, mengabarkan hal itu juga," jawab Samsu 

seraya membuang mukanya ke pintu biliknya dengan segera, 

supaya jangan kelihatan oleh Arifin dukacitanya. 

Tatkala pintu bilik ini akan ditutupnya, diperhatikannyalah 

biliknya ini dengan sekalian perkakas yang ada di dalamnya, 

yakni segala benda, yang telah dipergunakannya sekian lama. 

Setelah itu ditariknyalah pintu ini dengan keras, sebagai takut ia 

lama-lama memandang sekalian perkakas yang akan ditinggal-

kannya itu. 

"Engkau hendak ke mana sekarang, Sam? Rupanya hendak 

berjalan?" tanya Arifin. 

"Ke kantor pos, akan memasukkan sepucuk surat untuk 

ayahku," jawab Samsu. 

"Tentulah akan membalas kawat tadi, bukan?" 

"Ya," jawab Samsu dengan pendek.

"Jika demikian, marilah aku temani engkau ke sana, sebab 

maksudku pun hendak berjalan-jalan juga," kata Arifin. 

Samsu tiada dapat menjawab permintaan sahabatnya ini 

dengan segera, sebab tak tahu, apa yang akan diperbuatnya. 

Kalau dibawanya Arifin, tentulah tak dapat dilangsungkannya 

maksudnya dan jika tak dikabulkannya permintaan ini, takut ia, 

sahabatnya ini akan menduga niatnya; karena belum pernah ia ke 

luar rumah, tidak bersama-sama dengan Arifn. Tampak seorang, 

tampak keduanya. 

Setelah berpikir sejurus, berkatalah ia, "Baik benar; tetapi di 

kantor pos kita kelak harus bercerai, sebab ada maksudku yang 

lain." 

Walaupun Arifin heran mendengar jawab Samsu ini, karena 

belum pernah ia berbuat sesuatu yang tiada boleh diketahuinya, 

tetapi dengan tersenyum dijawabnya perkataan Samsu itu. 

"Tentu aku tiada akan mengalangi engkau, bila engkau ada 

keperluan yang lain." 

. Meskipun ia tersenyum, tetapi hatinya tiada senang. Bukan 

saja karena melihat perubahan kelakuan Samsu, tetapi karena 

nyata kepadanya, tatkala menghampiri sahabatnya ini. Samsu 

baru saja menangis. Tambahan pula, bila benar kabar yang baru 

diterimanya, menyatakan ibunya telah sembuh dari penyakitnya, 

mengapakah dikawatkan dan dengan dua surat kawat sekali

sebagai suatu kabar yang amat penting dan segera. Mengapakah 

tidak dengan surat biasa saja? 

Oleh sebab itu ditetapkannyalah hatinya, hendak mengetahui 

rahasia ini. Takut ia, kalau-kalau karena mendapat sesuatu 

kesusahanlah, maka sahabatnya sampai menangis. Dalam hal itu, 

tentulah akan dicobanya melipur duka nestapa Samsu. 

Di tengah jalan khawatir Arifin ini makin bertambah-tambah, 

sebab dilihatnya Samsu sebagai seorang yang sedang memikir-

kan sesuatu hal yang sangat penting; karena acap kali tiada 

didengarnya perkataan Arifin dan jawabannya pun banyak yang 

salah, bila ia bertanyakan barang sesuatu kepadanya. Dan lagi 

apakah sebabnya lama benar dipandang Samsu mukanya tadi? 

Dan pintu biliknya ditutupnya dengan keras, sebagai orang 

takut? Mengapa pula lama ia berhenti di muka sekolah, memper-

hatikan sekolah itu, sebagai orang yang baru melihatnya? 

Tiada berapa lamanya berjalan itu, sampailah kedua mereka 

ke kantor pos. Segera Samsu menghampiri tempat memasukkan 

surat, lalu mengeluarkan surat yang hendak dikirimkannya 

kepada ayahnya itu dari dalam koceknya. Lama dipandangnya 

surat itu, sebagai ia memperhatikan alamatnya, barulah 

dimasukkannya perlahan-lahan ke dalam lubang surat, seolah-

olah sayang ia rupanya hendak mengirimkannya. 

Sekalian kelakuan Samsu ini diintip oleh Arifin dari sisinya,

sambil pura-pura membaca suatu surat yang tergantung di 

dinding kantor pos itu. Tiba¬tiba menolehlah ia kepada 

sahabatnya ini, sebab didengarnya Samsu berkata, "Sekarang 

engkau jangan marah, Rif, sebab aku akan meninggalkan 

engkau. Bukan karena tak suka berjalan bersama-sama dengan 

engkau, hanya sebab aku telah berjanji, akan pergi ke rumah 

seorang tuan, seorang diri saja; jadi kurang baik, bila aku bawa 

engkau, dengan tiada memberi tahu lebih dahulu kepada yang 

punya rumah. Kelak, bila aku pergi pula ke sana, tentulah akan 

kuminta kepadanya, supaya kita boleh pergi bersama-sama ke 

situ." 

"Ah, tak jadi apa itu. Aku pun tentu tak berani ke sana, kalau 

tiada dipanggil. Hanya kuharap, janganlah engkau lupa pulang 

kelak, karena asyik bercakap-cakap," kata Arifin dengan pura-

pura tersenyum, supaya jangan syak hati Samsu kepadanya. 

"Nah, Sam, aku harap engkau akan banyak beroleh kesukaan 

dan kesenangan di sana!" kata Arifin pula, sambil keluar dari 

kantor pos. Setelah sampai ke jalan besar, di muka kantor pos 

itu, menolehlah ia kebelakang. Dengan terperanjat dilihatnya 

Samsu masih berdiri di kantor pos itu sambil memandang ia 

berjalan dan nyata tampak olehnya, air mata sahabatnya ini 

berlinang-linang di pipinya, dengan tiada dirasainya rupanya. 

Ketika itu barulah Samsu ingat akan dirinya, lalu

memalingkan mukanya dan berjalan cepat-cepat menuju arah ke 

barat. 

Melihat hal yang sedemikian, bertambah-tambahlah keras 

sangka Arifin, Samsu berniat akan berbuat pekerjaan yang 

penting, yang tiada boleh diketahui orang; siapa tahu barangkali 

perbuatan yang boleh mencelakakan dirinya. Sekarang yakinlah 

nyata kepadanya, bahwa segala perkataan Samsu tadi tiada 

benar. Oleh sebab itu semangkin keraslah keinginannya hendak 

mengetahui maksud sahabatnya ini dan kalau benar ia berniat 

jahat, seboleh-bolehnya hendak dicegahnya. 

Akan menyembunyikan dirinya, segeralah ia masuk ke dalam 

suatu kedai, pura-pura hendak membeli apa-apa, tetapi sebenar-

nya akan mengintai ke mana tujuan perjalanan sahabatnya itu. 

Setelah nyata olehnya Samsu berjalan menuju ke barat dengan 

tiada menoleh-noleh ke belakang, keluarlah Arifin dari kedai itu, 

lalu mengikut Samsu dari jauh. Sebentar-bentar ia bersembunyi 

di balik pohon kayu atau kereta, takut terlihat oleh Samsu, kalau 

ia menoleh ke belakang. 

Setelah beberapa lamanya berjalan itu, kelihatanlah olehnya 

Samsu masuk ke dalam suatu kebun bunga dan di sana luputlah 

ia dari pemandangan Arifin. Oleh sebab itu Arifin mempercepat 

langkahnya, mengejar temannya. Akan tetapi tatkala ia sampai 

ke kebun itu, tiadalah kelihatan olehnya Samsulbahri, karena hari

telah mulai gelap. 

Hati Arifin berdebar dan khawatirnya bertambah-tambah, 

sebagai ada sesuatu bahaya, yang mengancam sahabatnya. 

Karena tak tahu ke mana akan dicarinya Samsu, berdirilah ia 

sejurus akan mendengarkan, adakah bunyi orang berjalan atau 

tidak. Tetapi lain daripada ribut di jalan besar, tiadalah 

kedengaran apa-apa olehnya. Sebab itu berjalanlah ia cepat-cepat 

ke sana kemari, sambil memandang ke kiri dan ke kanan. 

Setelah sejurus ia mencari, kelihatanlah olehnya dari jauh 

sebagai orang duduk di atas sebuah bangku, membelakang 

kepadanya. Tangannya yang kanan diangkatnya ke kepalanya, 

seperti hendak memberi tabik. Tatkala diperhatikan Arifin benar-

benar orang ini, nyatalah yang duduk itu Samsu, yang sedang 

mengacungkan sebuah pestol ke kepalanya. Dengan tiada 

berpikir lagi menjeritlah ia, "Samsu, ingat akan dirimu!" sambil 

melompat memburu sahabatnya itu. 

Akan tetapi terlambat, karena tatkala itu juga didengarnya 

bunyi pestol dan dilihatnya Samsu rebah ke bangku. Segera 

Arifin lari ke bangku itu dan di sana dilihatnya sahabatnya ini 

tiada ingatkan diri lagi dan kepalanya berlumuran darah. Arifin 

tiadalah terkata-kata dan tak tahu apa yang akan diperbuatnya, 

lalu berteriak minta tolong. 

Tiada berapa lama kemudian, penuhlah orang di tempat itu

dan kabar orang menembak diri, pecahlah ke sana kemari. Polisi 

datang akan memeriksa. Setelah diceritakan Arifin kejadian itu 

dibawalah mayat Samsu ke rumah sakit. 

Keesokan harinya tersiarlah di surat kabar, seorang muda 

anak Padang, murid Sekolah Dokter Jawa telah menembak diri 

di kebun kembang Jakarta. Entah apa sebabnya belum diketahui.

XIV. SEPULUH TAHUN KEMUDIAN 

Walaupun waktu itu telah diberi berukuran, seperti detik, menit, 

jam, hari, Jumat, bulan, tahun dan abad, tetapi tiadalah sama juga 

ia pada yang setahun. Bagi kebanyakan orang, waktu itu 

sesungguhnya setahun lamanya, yaitu 12 bulan atau 52 Jumat 

atau 365 hari. Akan tetapi ada juga orang yang merasa waktu itu 

365 X 24 jam atau 364 X 1440 menit lamanya dan akhirnya ada 

pula yang meyangka setahun itu lebih lama lagi sebagai sepuluh 

tahun atau seabad. Kebalikannya, ada pula yang berkata, waktu 

yang setahun itu tiada seberapa lama, hanya sebulan atau sejumat 

saja. 

Orang-orang kaya, yang setiap hari beroleh kesenangan, 

kesukaan dan kemuliaan dan seumur hidupnya belum pernah 

merasai atau mengenal kesengsaraan, dan belum pula ditimpa 

mara bahaya dan kecelakaan dunia, tentulah tiada akan merasai 

perjalanan waktu itu. Bagi mereka, waktu itu sebagai melompat, 

dari pagi ke petang, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. 

Pada orang yang mencari penghidupannya dengan harus 

membanting tulang, atau orang yang asyik akan pekerjaannya, 

waktu itu tiadalah sampai-menyampai. Orang inilah yang tahu 

menimbang mahal harga waktu itu. Acap kali mereka mengeluh,

karena kekurangan waktu. 

"Alangkah baiknya bila siang itu lebih daripada 12 jam 

lamanya," katanya. 

Akan tetapi bagi insan yang mengandung kedukaan dan 

kesengsaraan atau dendam dan pengharapan, yang tak mudah 

diperolehnya, terkadang-kadang waktu itu suatu penggoda yang 

amat sangat tiada terhingga. Itulah sebabnya, maka sehari serasa 

setahun, yang setahun serasa seabad. 

Sungguhpun waktu itu tiada sama, pada perasaan tiap-tiap 

manusia, tetapi janganlah alpa, bahwa waktu itu sangat mahal 

'harganya, bila tahu menghargakannya dan sangatlah berpaedah, 

bila tahu mempergunakannya. Terlebih-lebih, karena tiap-tiap 

makhluk, telah ditetapkan waktu yang diperolehnya daripada 

Allah taala, guna hidup di atas dunia ini. Bila waktu yang telah 

diberikan itu telah dilalui, tak dapat tiada, haruslah makhluk itu 

meninggalkan dunia ini, berpulang ke negeri yang baka. Pada 

waktu itulah kebanyakan manusia baru insyaf akan dirinya dan 

menoleh ke belakang, melihat jalan yang jauh, yang telah 

ditempuhnya. Oleh mereka yang beruntung baik, tiadalah lain 

yang dilihatnya sepanjang jalan itu, melainkan pohon rimbun 

daun, yang melindungi sekalian yang lalu-lintas di situ, dari 

panas matahari; serta pula beberapa tempat perhentian untuk 

berteduh, melepaskan lelah. Buah-buahan yang lezat citarasanya,

yang menghilangkan lapar dan dahaga dan bunga-bungaan yang 

cantik molek warnanya, yang menyedapkan pemandangan mata 

dan yang harum baunya, menyegarkan perasaan badan, ber-

gantungan dan berkembangan pada segala tempat. Telaga yang 

jernih dan sejuk airnya, terdapat sepanjang jalan. 

Akan tetapi, mereka yang malang dan celaka, tiadalah lain 

yang diperolehnya di jalan itu, melainkan panas terik atau hujan 

lebat dan angin topan, yang disertai oleh kilat dan petir. Dan 

adalah jalan itu sangat berbelok-belok, sehingga tak mudah 

ditempuh serta turun-naik dengan susahnya. Oleh sebab itu 

sebelum sampai kita ke ujung jalan ini, baiklah diingat, bahwa 

jalan itu kelak akan ditempuh juga oleh anak cucu, kaum 

kerabat, handai tolan kita atau sesama manusia. Bukankah 

kewajiban kita, yang dahulu menempuh jalan ini, untuk berbuat 

barang sesuatu, yang mendatangkan faedah kepada mereka 

kelak, lebih-lebih kepada yang bernasib malang? 

Tanamlah di pinggir jalan yang belum sempurna itu, pohon-

pohonan yang rindang dan buah-buahan yang dapat dimakan. 

Perbuatlah bangku-bangku tempat berhenti, galilah telaga yang 

berair sejuk, adakanlah taman bunga-bungaan yang menyedap-

kan pemandangan mata dan menyenangkan pikiran, serta ubah-

lah jalan itu, supaya menjadi jalan yang datar dan lurus lagi 

mudah ditempuh; jalan yang tiada memberi bahaya dan

keselamatan kepada barang siapa yang melaluinya. Apabila telah 

sampai lagi, karena jalan itu tiada akan ditempuh pula. 

Sepuluh tahun sesudah Samsulbahri menembak diri di 

Jakarta, kelihatanlah pada suatu hari, kira-kira pukul lima 

petang, dua orang posir, berjalan perlahan-lahan serta bercakap-

cakap, menuju setasiun kerera api di Cimahi. Walaupun kedua 

mereka itu sama-sama petah lidahnya berkata dalam bahasa 

Belanda dan pakaiannya serupa pula, tetapi dari jauh, telah nyata 

sangat berlainan. Yang seorang tubuhnya pendek dan gemuk, 

tanda kuat tenaganya. Rambutnya perang, matanya biru, hidung-

nya mancung, tiada bermisai atau berjanggut dan kulitnya pun 

putih, menyatakan ia bukan anak negeri di sana, melainkan 

bangsa di atas angin. Yang seorang lagi, badannya tinggi 

semampai, tanda cepat dan lentuk; rambut dan matanya hitam 

hidungnya sedang, bermisai dan berjanggut yang runcing dan 

kulitnya kuning, menyatakan ia bangsa anak Indonesia. Lain 

daripada itu adalah pula perbedaannya yang nyata benar 

kelihatan, yaitu air muka kedua mereka itu. Opsir barat itu, 

cahaya mukanya riang dan lucu; kelakuannya pun bersetujuan 

benar dengan air mukanya, karena selalu bersukacita dan 

berolok-olok, seolah-olah tidak dikenalnya kedukaan hati dan 

kesusahan dunia, melainkan kesukaan dan keriangan itulah yang 

selalu diingat dan dipikirkannya.

Katanya, "Apa gunanya aku berdukacita, bila dapat 

bersukacita? Apa gunanya aku menangis bila dapat tertawa? 

Bukankah menangis itu menyedihkan hati dan sedih itu 

merusakkan badan? Tetapi tertawa menambah kesehatan tubuh. 

Apalah gunanya sejengkal, dipikirkan sampai sedepa? Bukankah 

lebih baik digulung, jadi pendek dan disimpul sampai mati? 

Apakah gunanya dipikirkan hal yang akan terjadi pada esok 

lusa, sebulan atau setahun lagi? Karena hal itu belum ada dan 

belum tentu. Jika terjadi juga, bagaimana nanti saja. Ada umur, 

ada rezeki. Dan lagi, apa faedahnya diingat juga sekalian yang 

telah lalu? Bukankah barang yang telah terjadi, tiada dapat 

diubah lagi, walau dikejar sekarang ini saja terjadi, tiada dapat 

diubah lagi, walau dikejar dengan kuda sembrani sekalipun? 

Tidakkah lebih baik hal yang sekarang ini saja yang dipikirkan 

dan dibuat seboleh-boleh, supaya menjadi hal yang dapat 

menyenangkan hati dan menyentosakan pikiran?" 

Demikianlah pikir opsir putih itu. Segala kesusahan dan 

kemalangan tiada diindahkan dan dipikirkannya benar-benar 

melainkan kesukaan dan kesenangan itulah yang dicintainya. 

Pikirannya ini benar juga, karena dalam pekerjaannya waktu itu 

di mana sekalian keperluan hidup telah ada, memang dapat ia 

berbuat sedemikian. 

Sesungguhnya. tabiat yang semacam ini acap kali

menyenangkan hati, menggemukkan badan dan memudakan 

rupa. Akan tetapi tiada sekalian orang dapat berbuat begitu. 

Orang yang harus bekerja dahulu, baru mendapat sesuap nasi, 

susah akan meniru kelakuan yang sedemikian; kerena halnya, 

tiada seperti pada tentara; makanan, pakaian dan rumah tangga 

telah tersedia. Sungguhpun demikian, baik juga barang sesuatu 

itu dipikirkan dengan sempurna, karena: pikir itu pelita hati; asal 

jangan dilebih-lebih. Sebab pikiran yang banyak dan bercabang-

cabang, tiada dapat menyehatkan tubuh. 

Jika dipandang muka opsir Bumiputra tadi, nyata kelihatan, 

bahwa ia tiada seriang temannya, bahkan pendiam, sebagai 

seorang yang telah tua fahamnya. Acap kali juga ia tersenyum, 

bila sahabatnya tadi berolok-olok tetapi pada air mukanya terang 

berbayang, bahwa ia seorang yang telah banyak menanggung 

azab sengsara dan senantiasa digoda oleh suatu kedudukan, yang 

tak dapat dilipur lagi. 

Sungguhpun pada kedua mereka banyak yang sangat 

berbeda, tetapi ada juga yang bersamaan. Lain daripada 

pangkatnya, banyak tabiat dan kelakuannya yang sepadan, 

misalnya: baik, lurus daq rendah hati, lagi berani. Sifat-sifat yang 

sama inilah, yang mempertalikan mereka, sehingga jadi 

bersahabat karib. Walaupun percampuran keduanya baru enam 

bulan, tetapi tali silaturrahim antara mereka, telah sangat teguh,

sebagai persahabatan yang sudah bertahun-tahun lamanya. 

"Alangkah baik hari ini! Segar rasanya badanku berjalan 

jalan." kata opsir Barat. 

"Sungguh katamu itu, Yan," jawab opsir Bumiputra, "karena 

hari baru hujan, tiada terlalu lebat, sehingga lumpur tak ada, 

tetapi debu hilang. Ke mana kita berjalan-jalan?" 

"Marilah kita ke setasiun kereta api dahulu, kemudian 

berputar lalu ke ruinah bola," jawab Letnan Yan Van Sta. 

"Baiklah," jawab Letnan Bumiputra. 

"Tadi pagi ke mana engkau pergi dengan serdadumu, Mas?" 

tanya Yan Van Sta. 

"Menembak, ke padang pembedekan," jawab Letnan Mas. 

"Siapa yang beroleh ros?" *) tanya Van Sta pula. 

"Ada beberapa orang: Vander Ha, de Kuip, Lewikawang, 

Mahutu, Suwoto dan Prawira," jawab Mas. 

"Memang kudengar, mereka pandai benar menembak. Acap 

kali mendapat ros." 

"Tangan dan hati mereka rupanya tetap, tiada gemetar, dan 

pemandangannya pun tajam. Itulah sifat-sifat yang terutama 

sekali bagi orang yang masuk golongan bala tentara. Dengan 

serdadu sedemikian, mudali merampas benteng yang kukuh dan 

mengalahkan musuh yang kuat. Telah kurasai sendiri, tatkala aku 

di Aceh." 

*) Pusat pembedekan (alamat).

"Nah, kejadian itu nanti kuceritakan kepadaku, Mas! Banyak 

pendengaran, banyak pula pengetahuan. Itulah sebabnya maka 

aku tak putus-putus bertutur dan bercakap-cakap dengan 

engkau." 

"Baiklah," jawab Mas dengan tersenyum. "Nanti, bila kita 

telah duduk bersenang-senang di rumah bola atau rumah sendiri! 

Tetapi cerita ini, hanya cerita peperangan yang biasa saja." 

"Biar bagaimanapun biasanya, acap kali banyak juga 

pelajaran yang dapat dipetik dari dalamnya; terlebih-lebih bagiku 

yang baru datang ke Indonesia ini. Aku belum tahu adat dan 

peraturan orang di sini," kata Van Sta. 

"Hai,dengan tiada kita ketahui, kita telah ada di setasiun. 

Marilah kita masuk sebentar, sebab kebetulan ada kereta api 

yang hendak ke Bandung. Barangkali ada kupu-kupu Bandung, 

yang hendak pulang ke sarangnya," kata Van Sta pula, sambil 

tersenyum. 

"Walaupun ada hendak kauapakan? Sebab ia dalam 

perjalanan. Masakan dapat dipegang, burung di udara'."jawab 

Mas. 

"Dengan tangan tentu tidak, sebab tentulah tanganku harus 

berpuluh meter, panjangnya. Tetapi dengan pemegangnya, 

misalnya bedil atau jerat. Dan biar tak dapat memegangnya, 

melihat pun cukuplah. Mata pun hendak senang pula," jawab

Van Sta. 

Maka masuklah kedua mereka ke dalarn setasiun. Di sana 

seNungguuhnya kelihatan oleh mereka, seorang nona yang 

cantik parasnya, duduk seorang diri di kelas satu. 

"Nah, apa kataku!" bisik Van Sta kepada Mas. "Memang tak 

salah sangkaku. Lihatlah olehmu bidadari yang duduk di kelas 

satu itu. Alangkah manis pemandangan matanya. Lihat! 

Ditentangnya aku. Matilah gua*)." 

Ketika itu, berbunyilah lonceng tiga, dan tiada berapa saat 

kemudian, keluarlah kereta api dengan mengembus ke kiri ke 

kanan, dari setasiun Cimahi, menuju Bandung, diikuti dengan 

mata oleh Letnan Van Sta. 

"Hai, Mas, bila kita pergi ke Bandung? Aku telah beberapa 

lamanya tiada tamasya ke sana," kata Van Sta dengan tiba-tiba, 

tatkala permainan matanya telah lenyap dari pemandangannya, 

seraya mengajak sahabatnya ke luar setasiun. 

"Bila saja engkau suka, aku menurut" jawab Mas. 

"Malam Ahad ini,' kata Van Sta pula. 

"Baik," jawab Mas. "Tetapi Yan, mengapakah engkau tiada 

hendak beristri. Bukankah lebih baik beristri, daripada 

membujang sedemikian ini?" 

"Aku beristri?" tanya Van Sta dengan tersenyum, sambil 

menunjuk dadanya. "Ha ha, ha! Yang akan menjadi istriku itu, 

* Saya

belum ddahirkan lagi." 

"Mengapakah begitu'? Masakan tak ada perempuan yang 

baik bagimu?" kata Mas. 

"Jika aku mencari istri, bukan kecantikannya saja yang 

kupandang, tetapi yang terutama bagiku, ialah kelakuan dan 

kesayangannya kepadaku karena aku kawin, bukan sebab hendak 

berperempuan, tetapi sebab hendak beristri. Perempuan mudah 

diperoleh, tetapi sukar didapat. Yang cantik banyak di jalan, 

yang baik susah dicari. Bagiku biar buruk, asal baik, biar bodoh 

asal pandai." 

"Hai, hai! Apa pula artinya itu?" jawab Mas. "Masakan yang 

buruk itu boleh baik dan yang bodoh itu pandai pula. Ada-ada 

saja peribahasamu." 

"Boleh, mengapa tidak? Sebab buruk dan baik itu hanya 

perkataan orang. Jika buruk dikatakan, menjadi buruklah ia, dan 

jika baik dikatakan, menjadi baiklah pula ia. Misalnya nona tadi, 

jika dibandingkan dengan orang yang cantik-cantik di Eropa, 

buruk kata kita; tetapi jika dibandingkan dengan orang Papua, 

amat cantik ia, kurang baik rupanya asal kelakuannya dan 

hatinya baik kepadaku; biar kurang pandai dalatu ilmu yang lain-

lain, asal cakap mengurus aku dan anakku serta rumah 

tanggaku." 

"Benar katamu itu, Yan. Pikiranku pun demikian pula,"

jawab Mas. 

"Akan tetapi meskipun ada yang seperti itu waktu ini 

belumlah juga aku hendak kawin." 

"Mengapa tidak?" tanya Mas. 

"Kawin itu adalah suatu perkara yang penting, terlebih-lebih 

bangsa Eropa; sebab kami terikat oleli beberapa perjanjian, 

sehingga tak mudah bercerai. Bila dapat yang sesungguhnya 

baik, sudahlah. Tetapi jika tidak, bagaimana?" 

"Itulah gunanya bertunangan dahulu, supaya yang seorang 

kenal benar yang lain, bukan?" 

"Benar, walaupun tiada selamanya memadai; karena ter-

kadang-kadang dalam bertunangan itu, bukan kelakuan dan hati 

sejati, yang diperlihatkan, melainkan kedua-duanya bermain 

komidi, sehingga sesudah kawin, baharulah diketahui, bahwa 

mereka sama-sama tertipu. Akan tetapi yang menjadi alangan 

besar bagiku, ialah karena badan terikat, apalagi telah kawin; 

bukan untuk sementara, melainkan untuk hidup. 

Sesungguhnya beristri itu ada kebaikannya, tetapi kejahatan-

nya ada pula. Kebaikannya yaitu: kehidupan tetap, uang jika 

habis pun ada bekasnya, rumah tangga terpelihara, yang suka 

beranak, dapat beroleh anak akan penghiburkan hatinya. Istri 

yang baik, memang terlebih menyenangkan daripada menyusah-

kan suaminya. Tetapi kejahatannya yang amat sangat bagiku,

yaitu kita tidak bebas lagi; segala kehendak hati tak dapat 

diturutkan. Terkadang-kadang harus minta izin pula kepada si 

nyonya, kalau hendak berbuat apa-apa. Dan jika dapat istri yang 

cemburu, sudah, rusuhlah negeri! Dan terikatlah kaki tangan." 

"Tetapi, Yan, cemburu itu bukankah tanda cinta? Bila engkau 

tiada cinta kepada istrimu, masakan engkau cemburu? Tentu 

katamu: Biar diambil orang, aku tak perduli; kucari yang lain," 

kata Mas. 

"Benar, tak salah katamu itu! Tetapi kalau terlalu cemburu, 

menjadi tak baik juga. Enakkah itu, apabila tak boleh berkata-

kata dengan atau melihat perempuan lain? Tak boleh berjalan ke 

rumah bola atau ke mana-mana?" 

'"Ah, kalau terlalu, tentulah menjadi buruk. Segala yang 

terlalu memang tak baik. Terlalu penuh melimpah, terlalu baik 

dipermainkan orang, kata pepatah Belanda." 

"Benar, benar, benar! Itulah sebabnya, maka aku tak hendak 

beristri sekarang ini. Jika dapat istri yang sedemikian, celakalah 

aku. Bila aku telah tua kelak, hendak dikurung pun boleh, tetapi 

tatkala masih muda ini, masih cinta aku kepada kemerdekaan: 

tak hendak aku diikat-ikat perempuan. Bila telah puas mem-

bujang, biarlah terikat." 

"Bila engkau telah tua, perempuan mana pula yang Ian suka 

mengikut engkau? Yang suka kepadamu pun barangkali tak ada

lagi," kata Mas, sambil tertawa. "Tambahan pula, apabila engkau 

telah tua, tentu tak diikat lagi, sebab biasanya yang tua itu tak 

suka lari, karena kakinya telah lemah dan ia tak kuat berjalan 

lagi. Yang diikat itu, ialah yang muda, yang kakinya masih kuat 

akan melarikan dirinya..." 

"Aha, itulah yang kusukai, Mas!" jawab Van Sta. "Makin 

lama, engkau makin riang. Barangkali tadi malam engkau dapat 

mimpi yang baik. Itulah yang sebaik-baiknya. Nyahkan segala 

waswas dan pikiran yang kusut, ganti dengan kesukaan! Turutlah 

fahamku, riang selama-lamanya. Hidup keriangan!" 

"Sungguhpun dernikian, hidup sendiri-sendiri, bukanlah 

hidup sejati," 

kata Mas pula, sebagai tak mengindahkan kesukaan hati 

sahabatnya. "Sebab perempuan harus bersuami dan laki-laki 

harus beristri. Bukankah kewajiban sekalian makhluk yang 

hidup, mengembangkan bangsanya? Bagaimanakah akhirnya 

dunia ini, bila sekalian orang hendak hidup bebas, sebagai 

engkau?" 

"Di tanah Eropah telah mulai banyak yang berbuat begitu," 

jawab Van Sta. 

"Ya, tapi pikiran yang sebagai itu, tak hendak kawin seumur 

hidup, tak dapat kubenarkan. Bila ada sesuatu cacat di badan, 

misalnya penyakit atau celaan yang lain, sudahlah; tak mengapa.

Tetapi jika membujang itu, karena hendak menurutkan kesukaan 

hati saja, kurang baik. Bagaimanakah jadinya manusia itu 

kelak?" 

"Jadinya, ialah laki-laki dan perempuan terlebih merdeka 

daripada sekarang ini dalam perkara perkawinan. Jika hendak 

berhubung atau bercerai dengan siapa pun, dapat pada sebilang 

waktu, dengan tiada ada alangan apa-apa, asal suka sama suka." 

"Ya, itulah yang hendak kukatakan! Bukankah itu yang 

dinamakan percintaan rahasia atau percintaan b9bas, bukan? 

Yaitu perhubungan antara laki-laki dan perempuan, yang tiada 

dipertalikan oleh perkawinan? Perempuan tak tentu suaminya, 

laki-laki pun tak tentu istrinya; masing-masing hidup dengan 

kekasihnya. Bila telah jemu dengan yang seorang, dibuang, 

dicari pula yang lain. Dan anak yang dilahirkan, tak tentu 

bapanya. Wahai! Kalau begitu, akhirnya berbaliklah kita kepada 

zaman purbakala, tatkala manusia belum berpakaian, hidup 

biadab sebagai binatang." 

Tatkala itu sampailah kedua letnan ini ke rumah bola, lalu 

duduk di luar, di tempat yang sunyi. 

"Perhatikanlah dahulu. perbantahan kita ini," kata Van 

Sta,."dan katakan¬lah apa yang hendak kauminum?" 

"Wiski soda," jawab Mas. 

Van Sta lalu meminta dua gelas wiski soda kepada bujang

iumah bola. 

Sementara itu Letnan Mas mengeluarkan serutunya; sebatang 

diberikannya kepada sahabatnya dan sebatang diisapnya sendiri. 

Setelah datang minuman yang diminta mereka, rriin`umlah 

keduanya. 

"Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan 

dewasa ini, yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan 

bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat 

demikian, apakah kelak akan pekerjaan laki-laki? Harus ke 

dapurkah mereka, mengurus rumah tangga dan menjaga anak? 

Berbalik hujan ke langit. 

Bertambah besar bahayanya, karena kebanyakan orang yang 

memberi pekerjaan, suka memakai perempuan; sebab perempuan 

mau menerima gaji sedikit. Itulah suatu hal yang menambahkan 

perempuan tak suka bersuami. Pikirannya, apakah gunanya 

bersuami lagi, karena pendapatan telah cukup untuk kehidupan? 

Akan tetapi adakah benar pikiran ini? Kita hidup di atas dunia 

ini, tak boleh dengan mengingat keperluan diri sendiri saja, 

melainkan harus juga mengingat keperluan umum. Sebagai 

seorang laki-laki, harus mempunyai kewajiban atas anak dan 

istrinya, sehingga tak boleh membela dirinya sendiri saja, 

demikian pula tiap-tiap manusia, harus berkewajiban atas 

sesamanya manusia.

Pada sangkaku pikiran perempuan tadi salah. Apa gunanya 

perempuan menuntut kepandaian laki-laki dan memegang 

pekerjaan laki-laki? Bukankah sesuatu pekerjaan itu ada 

maksudnya? Dalam hal itu yang diutamakari ialah kehidupan 

dan kesenangan. Apabila maksud ini dapat diperoleh dari suami, 

apakah perlunya perempuan hendak mencari sendiri? Bukan aku 

cemburu dan dengki, perempuan akan sepandai laki-laki; tidak 

sekali-kali! Lebih dalam, lebih tinggi dan lebih banyak ilmu 

perempuan, lebih baik, asal jangan lupa ia akan kewajibannya 

yang asli." 

"Apakah kewajibannya yang asli itu?" tanya Van Sta. 

"Perkara anak, perkara rumah tangga dan perkara makanan." 

"Benar, tetapi perempuan, lain pula katanya. Untuk menjaga 

rumah tangga ada bujang, untuk memasak ada juru masak, untuk 

menjahit ada tukang jahit, untuk menjaga anak ada babu, untuk 

mencuci ada tukang cuci dan untuk menjaga kebun ada tukang 

kebun. Masakah sekalian itu ia sendiri yang harus mengerjakan-

nya?" 

"Tentu tidak. Akan tetapi meskipun ada bujang, juru masak 

babu dan lain-lain, perempuan, harus juga faham dalam segala 

hal itu, karena sekalian orang-orangnya tadi sekadar pekerja, 

yang harus bekerja, yang akan mengatur dan memerintah, 

tentulah ia sendiri. Dapatkah didikan anaknya, diserahkannya

kepada babunya yang bodoh itu? 

Lagi pula perkara berbujang, berjuru masak, berbabu itu, 

hanya dapat dilakukan oleh orang yang mampu saja, walau 

bangsa Eropah sekalipun. Jika tak dapat berbuat sedemikian, 

bagaimana? Ingatlah, manusia itu terlebih banyak yang miskin 

daripada yang kaya. Si laki-lakilah pula yang harus mengerjakan 

pekerjaan babu, juru masak, tukang kebun dan lain-lain itu, bila 

ia telah letih karena membanting tulang, pulang dari pekerjaan-

nya? Dan apakah pekerjaan si perempuan? Menjadi bunga dalam 

rumah sajakah? Tak adil benar pembagian kerja yang seperti itu. 

Herankah kita, bila laki-laki yang kurang maju, kelak akan takut 

beristri dan berpikir pula, "Apakah faedahnya aku beristri, jika 

akan menambah susah badanku sendiri dan tiada dapat 

menolongku dalam kehidupanku sehari-hari? Lebih baik aku 

membujang, karena jika perempuan itu saja, banyak di jalan." 

Kalau demikian, bukankah jadi bertambah dalam, jurang 

yang menceraikan laki-laki dengan perempuan. 

Bila laki-laki itu kaya, seharusnyalah ia memenuhi segala 

keinginan istrinya dan haruslah ia menjadikan perempuan, putri 

dalam istana. Akan tetapi jika laki-laki itu sungguh tak cakap 

mengadakan sekalian permintaan istrinya, janganlah dipaksa. 

Keadaan suaminya harus ditimbang juga oleh perempuan. 

Jangan membuta tuli, mengingat yang senang untuk diri sendiri

saja!" 

"Ya, tetapi perempuan bersuami, karena hendak mendapat 

penghidupan dan kesenangan pula. Jika akan susah juga, apa 

gunanya bersuami? Lebih baik bekerja, mencari penghidupan 

sendiri," jawab Van Sta. 

'"Inilah yang hendak kukatakan. Pikiran semacam inilah yang 

tak boleh ada, baik pada laki-laki ataupun pada perempuan; 

sebab itulah tanda mereka hanya mengingat keperluan sendiri 

saja, tiada mengindahkan keperluan bersama. Kalau diteruskan 

peraturan yang begitu, tentulah akan bermusuh-musuhan suami 

dengan istri dan akhirnya akan terjadilah peperangan antara 

perempuan dengan laki-laki. Itulah sebabnya maka aku 

sesungguhnya khawatir, kalau kepandaian segenapnya 

diturunkan kepada perempuan dengan tiada mengindahkan 

keadaan dan kewajiban perempuan. Sebab karena kepandian itu, 

bukannya menjadi benar, melainkan menjadi salah pikiran; 

misalnya tak dapat hidup cara biasa lagi, sebagai adatnya 

sediakala melainkan hendak hidup besar. Bercampur, dengan 

orang biasa saja tak dapat pula. Jika hendak bersuami, haruslah 

yang kaya atau yang berpangkat tinggi Tetapi sebab laki-laki itu, 

lebih-lebih pada bangsaku, belum banyak yang sedemikian, 

tentulah perempuan yang telah pandai itu akan lari kepada 

bangsa lain, umpamanya kepada bangsamu atau bangsa Cina,

sehingga akhirnya akan hilanglah bangsa sendiri. Dan jika 

sekalian perempuan, yang telah terpelajar berbuat begitu apakah 

yang tinggal pada bangsanya sendiri dan bagaimanakah akhirnya 

bangsaku itu? Siapakah yang akan memajukannya lagi? 

Sesungguhnya tak baik perempuan atau laki-laki menaruh 

pikiran hendak hidup sendiri-sendiri, berebut-rebutan pekerjaan, 

atas mengatasi kepandaian dan bermusuh-musuhan dalam 

penghidupan, karena laki-laki dan perempuan itu satu, tak boleh 

bercerai, harus tolong-menolong. Laki-laki perlu kepada 

perempuan dan perempuan perlu pula kepada laki-laki. Bukan-

kah telah dikatakan dalam bahasa Belanda: seia sekata itu men-

datangkan kekuatan, akan tetapi perselisihan itu memecah belah 

tenaga. Peperangan kehidupan di atas dunia ini memang tak 

mudah. Apa gunanya diperbuat lagi dengan perselisihan antara 

perempuan dan laki-laki?" 

"Memang, memang," jawab Van Sta, sambil meminum wiski 

sodanya. 

"Ada lagi yang masih terasa di hatiku," kata Mas, setelah 

meminum wiskinya pula. 

"Apa itu?" 

"Yaitu tentang pelajaran anak perempuan bangsaku. Oleh 

sebab kewajiban perempuan memang tiada sama dengan 

kewajiban laki-laki, pada pikiranku tak perlu segala ilmu laki

laki dipelajari oleh perempuan. Laki-laki pun tak perlu pula 

mempelajari kepandaian perempuan, yang tak perlu baginya, 

misalnya ilmu menjahit atau memasak, kalau ia tiada harus 

menjadi tukang jahit atau tukang masak. Apa gunanya 

kepandaian insinyur dan hakim misalnya bagi perempuan? 

Bukankah lebih baik dipelajarinya kepandaian yang berguna 

baginya? 

Aku katakan sekalian itu kepadamu, Yan, sebab sesungguh-

nya hatiku khawatir perempuan Indonesia ini dengan buta tuli 

meniru segala aturan dan pikiran perempuan Eropah, dengan 

tiada menimbang baik-baik, sebenarnyakah berguna sekalian 

aturan dan pikiran itu bagi perempuan di sini? Pada pikiranku, 

tidak sekalian yang baik bagi perempuan Eropah, baik pula bagi 

perempuan Indonesia. Ada yang baik di sana, tak baik di sini dan 

kebalikannya ada yang berguna di sini tak berguna di sana. Yang 

sesungguhnya baik ambillah, tirulah dan pakailah!" 

"Baiklah Mas! Sekalian pikiranmu telah kudengar, hanya ada 

suatu yang belum kuketahui. Tadi engkau suruh aku beristri dan 

kaucacat niatku hendak membujang, tapi mengapakah engkau 

sendiri tiada hendak beristri?" 

Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah Letnan Mas Wiski 

yang diangkatnya ke mulutnya, tiada jadi diminumnya, 

melainkan diletakkannya kembali, lalu termenunglah ia sejurus

lamanya, tiada berkata-kata. Kemudian menunduklah ia dan 

tatkala itu jatuhlah setitik air mata kepangkuannya. 

Van Sta sangat heran melihat kelakuan sahabatnya ini, karena 

tiada diketahuinya, apakah sebabnya ia tiba-tiba jadi demikian. 

Oleh sahabat itu bertanyalah ia, "Apakah sebabnya engkau 

sekonyong-konyong berdiam diri. Mas? Tak enakkah badanmu?" 

"Bukan begitu," jawab Mas, seraya mengangkat kepalanya 

kembali. "Sudahlah, jangan kautanyakan lagi hal itu! Tak apa-

apa." 

Sebab nyata oleh Van Sta, muka Mas sesungguhnya menjadi 

muram, karena mendengar pertanyaan tadi, tiadalah hendak 

dipanjangkannya perkara itu, lalu diputarnya haluan percakapan-

nya. 

"Telah sepuluh tahun lamanya aku masuk bala tentara, mulai 

di Aceh. Bagaimana ceritanya?" 

"O, ya" jawab Mas. Sungguhpun dicobanya hendak 

melenyapkan muram durja yang terbayang di mukanya, tetapi 

tiadalah dapat, karena pikiran, yang menyebabkan ia bermuram 

durja, tiada hendak hilang dari kalbunya; adalah sebagai luka 

lama yang hampir sembuh, terbuka kembali. "Hampir lupa aku 

akan janjiku itu. Dengarlah! Tetapi baiklah kumulai mencerita-

kan halku dahulu supaya terang ceritanya ini. Hanya kuminta 

kepadamu, janganlah engkau gusar mendengar cerita ini, karena

banyak mengandung kesedihan." 

Dalam berkata-kata itu, rupanya muka Letnan Mas, makin 

lama makin bertambah muram, sehingga segala keriangan hati-

nya tadi, tiadalah kelihatan sedikit juga lagi. 

"Pada mukaku tentu telah nyata kepadamu, aku ini bukan 

bangsa Eropah, melainkan anak Indonesia," demikian permulaan 

cerita Letnan Mas. 

"Tadi engkau berjanji akan menceritakan peperanganmu dari 

serdadu sampai kepada pangkatku sekarang ini. Aku masuk jadi 

bala tentara ini bukan karena apa, hanya karena hendak ..." di 

situ terhenti Letnan Mas bercakap, sebagai tak dapat ia 

mengeluarkan perkataannya ..." mencari kematian." 

"Apa katamu?" tanya Van Sta dengan takjub. 

"Mencari kematian, kataku," jawab Mas dengan sedih. 

"Tetapi sekarang, belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya 

benar kata pepatah Melayu: sebelum ajal, berpantang mati. 

Telah beberapa kali kucoba hendak mendapat maut, tetapi 

ada-ada saja alangannya, sehingga tak sampailah maksudku. 

Barangkali belum boleh aku meninggalkan dunia ini, sebelum 

aku menyampaikan janjiku. Oleh sebab itu tawakal aku, sambil 

menunggu waktu itu. Ketika itulah kuketahui benar, bahwa 

manusia tak dapat berbuat sekehendak hatinya, jika tiada dengan 

gerak Tuhan. Berapa orang yang tiada hendak mati, karena takut

atau karena masih perlu hidup, tetapi dicabut nyawanya. Tetapi 

aku ini yang beringin benar akan maut itu dan di atas dunia ini 

tiada berguna lagi, masih dipeliharakan. 

Barangkali engkau tiada percaya ceritaku ini, dan bersangka, 

bahwa aku sangat percaya kepada segala takhyul. Atau engkau 

berpikir, bila kutembak kepalaku, tentulah aku mati; tiada siapa 

dapat melarang. Itu pun telah kucoba, tetapi ada saja yang 

melepaskan aku dari bahaya. Lihatlah, ini tandanya di kepalaku, 

bahwa aku telah menembak kepalaku." 

Lalu Letnan Mas memperlihatkan suatu tanda luka, pada 

kepalanya sebelah kanan. 

"Pada suatu hari hendak kugantung diriku. Terlebih dahulu 

kuperiksa tali dan tiang tempat aku akan menggantung diriku itu, 

karena aku takut kalau-kalau tiada berhasil pula pekerjaanku. 

Rupanya tali dan tiang itu kuat; tetapi apakah sebabnya, tatkala 

aku tergantung di sana, tiang itu patah, roboh bersama-sama aku 

ke tanah, sehingga maksudku itu tiada sampai pula. Ketiga 

kalinya hendak kumakan racun. Akan tetapi ketika gelas itu 

sampai ke mulutku, berbunyilah bedil musuh yang ditembakkan-

nya kepadaku. Pelurunya melalui jendela kacaku dan meng-

hancurkan gelas yang ada dalam tanganku. Keempat kalinya aku 

terjun ke dalam air, pada tempat yang kusangka sunyi. Tetapi 

mengapakah tiada kelihatan olehku, di sana ada orang mengail

tersembunyi di tempat gelap! Si pengail itulah yang menolong-

ku, tatkala aku akan tenggelam. Lain daripada itu membabi buta 

dalam peperangan. Itu pun tak juga menyampaikan hajatku, 

karena aku sampai sekarang belum mati, melainkan bintanglah 

yang diberikan kepadaku, sebab sangka orang, aku gagah berani 

dan dinaikkanlah pula pangkatku sampai menjadi letnan." 

"Memang keberanaianmu dan hadiah yang kauperoleh dari 

Pemerintah, acap kali dipercakapkan orang." 

"Bukan sebab keberanian dan kegagahanku, maka aku 

beroleh hadiah dan pangkat itu; hanya semata-mata karena 

untung. Kepadaku yang tiada beringin apa-apa lagi, diberikan 

pangkat dan hadiah ini. 

Kepada orang lain yang bercinta akan anugerah itu, tiada 

diberikan bukan...? Sekarang tentulah maklum engkau, apa 

sebabnya aku tiada beristri. 

Orang yang putus asa, sebagai aku tak boleh beristri. Apakah 

jadinya kelak dengan anak dan istriku, bila kuperoleh keinginan 

hatiku tadi?" 

"Tetapi siapa tahu, barangkali, dapat dilipur oleh anak dan 

istrimu." 

"Tak boleh, tak boleh aku berbuat demikian! Karena aku 

telah bersumpah, selekas-lekasnya akan meninggalkan dunia 

ini."


Maka termenunglah pula Letnan Mas, sedang air matanya 

pun berlinang-linang kembali. 

"Sangat ajaib ceritamu ini!" kata Van Sta dengan sangat 

sedih melihat hal temannya. Sebenarnya ingin hatinya hendak 

mengetahui, apa sebab sahabatnya ini, jadi putus asa sedemikian 

itu. Tetapi tiadalah berani ia bertanya, karena terasa olehnya, 

tentulah sebabnya itu sangat penting; barangkali melukakan 

hatinya pula, apabila disuruh menceritakan. Karena itu 

diputarnyalah haluan percakapan itu. 

"Tetapi perkara peperangan itu, bagaimana pulakah?" tanya 

Van Sta akan membawa Mas dari kenang-kenangan yang meng-

hancurkan hatinya. 

"Ah, ya; kejadian itu belum juga lagi kuceritakan. Demikian 

riwayatnya. Akan tetapi ada suatu yang hendak kupinta kepada-

mu sebelum kita meninggalkan perkara yang sedih ini, yakni 

janganlah kaubukakan rahasiaku ini kepada orang lain. Engkau-

lah baru sahabatku yang mengetahui halku ini." 

"Masakan gila aku akan menceritakannya, bila tak boleh," 

jawab Van Sta. 

"Dengarlah," kata Letnan Mas. "Pada suatu hari, tatkala aku 

di Aceh, dapatlah aku perintah pergi memeriksa beberapa 

kampung dekat Sigli, dengan tiga puluh orang serdadu marsose, 

karena kabarnya di sana banyak musuh membuat ribut, dikepalai


oleh Teuku Putih. Penunjuk jalan kami, rupanya belum tahu 

benar jalan-jalan di sana; jadi sesatlah kami. Ketika hampir 

malam, belum juga dapat jalan pulang. 

Kira-kira pukul tujuh malam bertemulah kami dengan bala 

tentara Teuku Putih, lebih kurang 150 orang banyaknya. Mula-

mula sangkaku musuh tiada sebanyak itu, karena hari gelap, tak 

dapat ditaksir. Oleh sebab itu kukerahkanlah serdaduku ke muka, 

mengadang musuh, lalu berperanglah kami dengan bedil, amat 

ramainya. Belum berapa lamanya berperang, nyatalah kepadaku, 

bahwa kami telah tertutup dart muka, kiri dan kanan. Sejurus 

kemudian, terdengar bunyi bedil dari belakang. 

Tatkala diketahui oleh serdaduku, bahwa kami telah tertutup 

gemparlah mereka, karena tak tahu, apa hendak diperbuatnya. 

Ada yang hendak lari, ada yang tak mau mendengar perintah 

lagi. Hanya adalah kira-kira sepuluh orang yang masih setia 

kepadaku. Kataku kepada serdaduku yang sepuluh itu, "Jangan 

alang kepalang! Jika akan mati pun, biarlah karena berkelahi, 

jangan karena diazab musuh dalam tawanan. Sandang bedilmu 

dan cabutlah kelewangmu, maju ke muka, sambil tertempik. 

Hanya satu jalan yang dapat menolong kita, yaitu keluar dari 

lingkungan musuh ini." 

"Baiklah," jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu ber-

tempiklah kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada

musuh yang di muka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah 

kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang 

musuh di muka, undur ke kiri ke kanan. 

Tatkala kami akan lari, kudengar musuh berteriak, "Kafir 

hitam, Mas! Kafir hitam, Mas!" 

Rupanya telah dikenalnya namaku. Lagi pula dalam 

peperangan itu Teuku Putih kena kelewang serdaduku. Oleh 

sebab itu undurlah musuh selangkah-selangkah, sehingga akhir-

nya tiada kedengaran lagi suara bedilnya. Sesudah berperang, 

kuhitunglah serdaduku; tinggal 16 orang yang masih dapat 

berkelahi. Dan yang 14 orang lagi 10 orang mati dan 4 orang 

luka parah. Aku dengan beberapa serdadu yang setia tadi luka 

juga, tetapi tiada berbahaya. Karena aku khawatir akan diserang 

musuh pula, berikhtiarlah aku hendak pulang, tetapi tak tahu 

jalan. Kebetulan di antara orang Aceh yang tinggal di sana, ada 

seorang yang luka kakinya, tak dapat lari. Aku tanyakanlah 

kepadanya ke mana jalan pulang serta berjanji akan memberi 

hadiah kepadanya, bila ia berkata benar, dan akan menderanya, 

bila ia berbuat bohong. Orang itu mau mengabulkan per-

mintaanku itu, asal aku menetapi janjiku. 

Setelah kuperiksa benar-benar sekalian serdadu yang telah 

rubuh itu dan nyata sesungguhnya mereka telah mati, barulah 

aku pulang. Keempat serdadu yang luka tadi, kami usunglah ber

ganti-ganti. 

Tiada lama berjalan itu, sampailah kami ke jalan yang kami 

kenal dan tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, sampai-

lah kami ke kota. 

Orang Aceh yang luka tadi kuberi hadiah duit dan kulepaskan 

di jalan, atas permintaannya. Ada juga kutanyakan kepadanya di 

mana tempat Teuku Putih, tetapi katanya ia tiada tahu, sebab 

pada sangkanya Teuku itu tak bertempat diam yang tetap, 

melainkan mengembara selama-lamanya. 

Tatkala hampir sampai ke kota berhentilah kami sejurus, dan 

kukatakanlah kepada serdadu yang hendak lari tadi, sekali itu 

kuberi maaf kelakuan mereka, tetapi bila kemudian hari di-

perbuatnya pula sedemikian, takkan tiada kubedil atau kutuntut 

mereka. Sekali itu dengan sengaja hendak kuperlihatkan kepada 

mereka, bahwa dalam hal terdesak dan terkepung, hanya hati 

yang tetap dan pikiran yang terang itulah, yang acap kali dapat 

menolong. Sekalian mereka minta ampun dan bersumpah, tiada 

lagi akan berbuat demikian. 

Di Sigli itulah gelasku dibedil musuh, sebagai kuceritakan 

tadi." 

"Sesungguhnya hulubalang itu harus tetap hatinya; tak boleh 

lekas hilang akal," kata Van Sta. 

"Memang! Sekarang hendak minum apa lagi engkau? Karena


aku ingin segelas bir?" 

"Aku pun bir pula." 

Setelah datang bir ini, minumlah pula kedua mereka. 

"Rupanya orang Aceh kenal kepadamu," kata Van Sta. 

"Barangkali. Sebab aku acap kali beruntung dalam 

peperangan, disangkanya aku berilmu, tak dapat dikalahkan." 

"Memang, mereka itu sangat percaya kepada takhyul.". 

"Yang kedua di Lhokseumawe," kata Letnan Mas 

menyambung ceritanya. Akan tetapi waktu itu kelihatan seorang 

serdadu datang tergopoh-gopoh kepada mereka. Sesudah 

memberi hormat, lalu diunjukkannya sepucuk surat kepada 

kedua letnan itu. Setelah dibaca Letnan Mas surat ini, diunjuk-

kannyalah kepada sahabatnya sambil berkata, "Mengapa-kah 

Tuan Kapitan menyuruh datang kita dengan segera? Ayuh, 

marilah kita berangkat bangat-bangat!" 

Sesudah dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka 

ke rumah Kapitan yang memanggilnya. Baru sampai mereka ke 

sana, Kapitan itu berkata, "Mas dan Van Sta, aku dapat perintah 

menyuruh kamu kedua bersama-sama serdadurnu, segera 

berangkat ke Padang. Esok hari juga kamu harus berangkat dari 

sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari 

tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang; karena di sana telah 

timbul perusuhan, perkara belasting. Beritahulah sekalian

serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap 

engkau di sana akan beruntung pula, sebagai sedia kala," kata 

Kapitan itu kepada Letnan Mas, sambil menjabat tangannya. 

"Dan engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan." 

katanya kepada Van Sta, seraya bersalam pula. "Selamat jalan!" 

"Terima kasih Kapitan," jawab kedua letnan ini, lalu keluar 

dan berjalan menuju tangsinya, akan mengabarkan perintah itu 

kepada sekalian serdadunya. 

Serdadu-serdadu ini gempar semalam-malaman, karena 

bersiap tergesa-gesa. 

"Sekarang aku dapat berperang bersama-sama dengan engkau 

dan dapat belajar padamu," kata Van Sta kepada Letnan Mas. 

Akan tetapi perkataan ini tiada didengar oleh Letnan Mas, 

sebagai ia sedang memikirkan sesuatu hal yang penting. 

Semalam-malaman itu Letnan Mas tiada dapat tidur. Apakah 

sebabnya? Takutlah ia pergi berperang ke Padang? Mustahil! 

Letnan Mas yang telah termasyhur gagah beraninya dan telah 

berpuluh kali berperang, selamanya mendapat kemenangan. 

Letnan yang tiada takut, melainkan beringin mati itu, tak boleh 

jadi 'kan menaruh gentar. Sungguhpun demikian, pucat mukanya 

dan gemetar tangannya, sampai jauh malam, belum hendak 

hilang. 

Karena tak dapat tidur, berjalan-jalanlah ia bolak-balik dalam

rumahnya; kemudian duduk di atas kursi, sudah itu berdiri pula 

seraya berpikir, sebagai sebenarnya ia takut berperang, sekali itu. 

Dengarlah apa katanya! 

"Belum cukup jugakah azabku, setelah disiksa sedemikian 

ini? Sudahlah kesengsaraanku sendiri tak dapat kutanggung 

rasanya, sekarang disuruh pula aku membunuh bangsaku. Berapa 

yang telah jatuh karena senjataku, berapa yang binasa karena 

tanganku, berapa ibu yang kehilangan anaknya, berapa 

perempuan yang kematian suaminya dan kanak-kanak yang 

ditinggalkan bapanya. Berapa kaum yang bercerai, terbuang dan 

terhukum dan lumbung yang roboh dan terbakar, kampung dan 

desa yang binasa, karena tugasku. 

Bilakah aku dapat berhenti dari pekerjaan jahanam ini dan 

menjadi algojo bangsaku sendiri? Sesungguhnya untung yang 

sebagai untungku ini, agaknya tak adalah bandingannya dalam 

dunia ini. Dan apa sebabnya? Apa dosaku maka diazab 

sedemikian ini? Mereka yang tiada tahu akan nasibku, 

barangkali menyangka, bahwa aku gemar akan pekerjaanku 

sekarang ini. Tetapi hanya Tuhanlah yang tahu, betapa hancur 

hatiku, melihat berpuluh-puluh perempuan menjadi janda, ber-

puluh kanak-kanak menjadi yatim, beratus nyawa yang 

melayang, beratus laki-laki remaja menjadi daif, karena 

kehilangan kaki atau tangan atau bagian badannya yang lain;

beratus rumah yang roboh dan terbakar, berpuluh kampung dan 

desa yang rusak binasa dan beberapa pula harta yang dirampas. 

Akan tetapi apa hendak kukatakan? Sebab aku terpaksa berbuat 

sedemikian, untuk mendapat kematianku. Mengapakah sampai 

sekarang belum juga kuperoleh keinginan hatiku ini? Mengapa-

kah nyawaku ini belum juga dicabut? Masih saja aku dipelihara! 

Belumkah juga habis hukumanku? Kini aku bukan disuruh 

membunuh bangsaku saja lagi, tetapi disuruh pula membunuh 

kaum keluarga, sahabat kenalanku sendiri. 

Ya Allah, ya Rabbi! Belumkah juga sampai waktunya 

hamba-Mu ini akan dilepaskan dari kesengsaraan ini? Berapa 

lamakah lagi hamba-Mu harus bernanti?" 

Setelah ia berkata demikian itu, sebagai terdengarlah olehnya 

suara berkata dalam hatinya, "Sekarang inilah, akan dapat 

disampaikan keinginan hatimu itu. Sekarang inilah, akan terlepas 

engkau dari azabmu dan sekarang inilah akan dapat engkau 

bercampur kembali dengan sekalian mereka yang kaucintai!" 

Maka terperanjatlah Letnan Mas mendengar jawaban ini, dan 

berdebar-debar hatinya, karena pikirannya, "Benarkah suara 

yang kudengar itu atau pikiranku pulakah yang tiada sempurna?" 

Kemudian duduklah ia di atas sebuah kursi, lalu termenung 

memikirkan perkataan yang timbul dalam hatinya tadi. Sekalian 

kesengsaraannya, sejak dari mulanya sampai kepada waktu itu,

terbayanglah pula di mukanya. Dalam pada itu terlalailah ia 

dengan tiada diketahuinya, lalu tertidur di atas kursi ini. Akan 

tetapi tiada berapa iamanya kemudian, terperanjatlah ia bangun 

mendengar bunyi selompret, karena hari telah pukul setengah 

enam pagi. Dengan segera berdirilah ia, lalu menyuruh bawa 

sekalian perkakasnya ke setasiun, dan setelah ia membasuh 

mukanya dan minum kopi secangkir, berjalanlah ia ke tangsi. 

Tiada beberapa lamanya kemudian, berangkatlah kereta api 

yang membawa mereka, nienuju kota Jakarta.

XV. RUSUH PERKARA BELASTING DI PADANG 

"Sudahkah Engku Datuk Malelo mendengar kabar yang kurang 

baik itu?" tanya seorang tua, di pasar Bukit Tinggi, kepada 

temannya. 

"Kabar apakah itu, Engku Malim Batuah?" sahut sahabatnya. 

"Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita," jawab 

Malim Batuah. 

"Uang belasting? Uang apa pula itu?" tanya Datuk Malelo 

dengan senyum merengut. "Ada-ada saja kompeni itu, untuk 

mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu? 

Tentulah anak negeri juga. Belumkah cukup uang rodi, uang 

jaga, uang ini dan uang itu? Sekarang ditambah pula dengan 

uang belasting? Uang apakah artinya itu, Malim?" 

"Uang belasting, yaitu uang pajak harta benda atau 

pencaharian, dalam setahun-setahun," jawab Malim Batuah. 

"Belanda kekurangan duit rupanya, jadi dicari-carinya akal 

untuk memperoleh uang. Tetapi perbuatan yang sedemikian, tak 

boleh dibiarkan. Kalau diturutkan saja, cobalah Engku Malim 

lihat! Sudah ini ada pula lagi uang yang akan dibayar. Di mana 

kita peroleh sekalian itu? Dan apakah sebabnya maka kita harus 

membayar uang-uang itu? Karena kita budak, bukan tawanan,

bukan pula orang yang membayar upeti kepada kompeni. Dan 

lagi apakah gunanya uang itu?" 

"Hamba pun tak tahu, hanya sekedar mendengar cerita orang 

pula. Kabarnya sekalian Tuanku Laras akan dipanggil ke kantor 

Tuan Residen, untuk memupakatkan perkara ini. Tentulah kita 

akan mendapat kabar yang nyata dari Datuk-Datuk dan Tuanku 

kita betapa yang sebenarnya." 

"Biar bagaimana sekalipun, hamba tak mupakat dengan 

peraturan ini," jawab Datuk Malelo. 

Demikianlah anak negeri menyambut kedatangan kabar 

perkara belasting ini. Bukan di Padang Hilir dan Padang Hulu 

saja, anak negeri berpikir sedemikian, tetapi pada seluruh negeri, 

yang akan menerima aturan baru ini. 

Kabar perkara belasting itu segeralah pecah dan kembang 

pada seluruh negeri, kota dan lorong, sampai ke kampung dan 

dusun yang kecil-kecil, sehingga tua muda, kecil besar, laki-laki 

perempuan, tahulah kabar ini. Sekalian mereka mencomel, 

karena berasa kurang adil diperintahi Belanda, yang pada pikiran 

mereka berbuat sekehendak hatinya, memaksa mereka mem-

bayar belasting, untuk menambah kekayaannya. 

Oleh sebab Pemerintah merasa khawatir, anak negeri tiada 

hendak menurut saja aturan baru ini, melainkan boleh jadi 

membantah, bermupakatlah pegawai-pegawai Belanda dengan

pegawai anak negeri. Di Padang Hilir dengan Tuanku-Tuanku 

Penghulu, di Padang Hulu dengan Tuanku-Tuanku Laras, untuk 

mencari akal yang baik, supaya dapat juga menjalankan 

belasting itu, dengan amannya. 

Sekalian pegawai bumiputra, disuruhlah menyampaikan dan 

memperbincangkan perkara ini dengan pegawai-pegawai 

kampung dan anak negeri, serta disuruh terangkan pula sebab-

sebab dan keperluan belasting itu, supaya mereka jangan salah 

sangka. Oleh sebab itu ramailah orang berkumpul-kumpul di 

sana-sini, membicarakan hal itu. Tuanku-Tuanku Laras atau 

Tuanku-Tuanku Penghulu dengan Kepala-Kepala Negeri, 

Kepala-Kepala Negeri dengan anak buahnya dan anak buah 

dengan kaum keluarganya. 

Supaya kita ketahui benar perkara ini, marilah kita turut tiap-

tiap permupakatan itu! 

Pada suatu hari berkumpullah di kantor Residen Bukit 

Tinggi, sekalian Tuanku Laras keresidenan Padang Hulu*). 

Asisten-Asisten Residen dengan Kemendur-Kemendur dan 

Aspiran-Aspirannya pun ada serta hadir. Setelah cukup 

sekaliannya dalam majelis, berdirilah Tuan Residen, lalu berkata 

dalam bahasa Melayu Minangkabau, "Tuan-Tuan dan Tuanku-

Tuanku sekalian yang hadir di sini! Sebelum kami nyatakan 

*) Pada ketika itu keresidenan Sumatra Barat sekarang ini masih 

terbatas atas dua keresidenan: pertama, keresiden Padang Hulu 

(Bukit Tinggi) kedua, keresidenan Padang Hilir (Padang).

perintah yang kami teruna, terlebih dahulu kaini ucapkan selamat 

datang kepada Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku yang telah 

menurut permintaan kami, datang berkumpul kemari, karena 

adalah suatu perintah, yang penting dari Pemerintah Agung, 

yang hendak kami memupakatkan di sini dengan Tuan-tuan dan 

Tuanku-Tuanku sekalian. 

Sebagai Tuanku-Tuanku ketahui, tanah Hindia ini diperintahi 

oleh Pemerintah Belanda. Tuan-tuan tahu pula, tanah Hindia ini 

bukan kecil, melainkan sangatlah besar dan luasnya. Beberapa 

pulau yang besar-besar, seperti pulau Sumatra, pulau Jawa, 

Kalimantan, Sulawesi, sampai ke pulau Papua, masuk 

jajahannya. Lain daripada itu, banyak pula pulau yang kecil-

kecil, yang masuk bagiannya, sebagai pulau Bali, Loinbok, 

Sumbawa, Flores, Timor, Sumba, Sawu, Roti dan lain-lain 

sebagainya. Sekaliannya itu harus dijaga dan diurus oleh 

Pemerintah Belanda, sebaik-baiknya, supaya segala penduduk-

nya mendapat keselamatan dan kesejahteraan. 

Akan menyampaikan maksud ini, diadakan oleh Pemerintah 

pegawai-pegawai, cukup dengan alat perkakas, rumah dan 

kantornya. Marilah kami sebutkan berapa macam pegawai, akan 

jadi misal. Pertama pegawai yang memerintah dan mengemudi-

kan negeri, yaitu pegawai sebagai kita sekalian ini. Pegawai ini 

bukan sedikit orangnya, perkakasnya, rumahnya dan kantornya.

Beribu orangnya, dari yang berpangkat Residen sampai ke juru 

juru tulis dan Kepala Kampung, sedang Gubernur Jenderal pun, 

boleh dimasukkan golongan ini. 

Kedua, pegawai yang memajukan bumiputra tentang 

pengetahuan dan kerajinannya, yaitu guru-guru. Beribu pula 

banyaknya dengan rumah-rumah sekolahnya, kecil besar; 

perkakasnya pun bermacam-macam pula. 

Ketiga, pegawai yang memajukan perusahaan tanah dan 

perniagaan, sedemikian pula banyak orang tempatnya dan 

perkakasnya. 

Keempat, pegawai yang membuat rumah-rumah, jalan jalan, 

serokan-serokan, sungai-sungai dan lain-lain. Pegawai itu pun 

tak kurang orang, kantor dan perkakasnya. 

Kelima, pegawai yang menjaga keamanan negeri, yaitu bala 

tentara. Pegawai inilah yang sangat banyak belanja, tetapi 

keperluannya pun sangat besar pula. Bukannya di daratan saja, 

tetapi di lautan pun diadakan pula bala tentara, untuk menjaga 

keamanan laut, perniagaan dan musuh. Bala tentara ini 

dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan senjatanya. 

Pegawai yang mengurus uang Pemerintah pun diadakan pula. 

Lain daripada itu banyak lagi tiada kami sebutkan di sini, sebab 

tentulah akan menjadi lanjut percakapan ini. Tuanku-Tuanku 

lihat, semuanya diurus dengan sebaik-baiknya; segala yang

berguna, diadakan dan yang tak perlu, dibuang. Jangankari hal 

manusia, perkara hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah¬tanah, 

air-air dan yang lain-lain pun tidak dilupakan. ' 

Tuanku-Tuanku tentulah maklum, sekalian itu bukan- sedikit 

belanjanya, mana penggaji pegawai, niana pembuat tempat atau 

rumahnya, mana pembeli perkakasnya, dan mana pula biaya 

perjalanannya. Cobalah pikirkan dan hitung belanja sebuah 

rumah atau kantor Gubernemen saja, dalam sebulan dengan gaji-

gaji orang, biaya perkakas dan lain-lain sebagainya. Di situ 

barulah nyata, bahwa belanja ini bukan sedikit. Berpuluh juta 

rupiah Pemerintah harus mengeluarkan uang tiap-tiap tahun, 

untuk biaya sekaliannya itu. 

Di manakah diperoleh uang yang sekian banyaknya? Benar 

ada hasil dari tanah, dari kopi, dari perniagaan, dari ini dan dari 

itu, tetapi hasil ini sekarang nyata tiada memadai. Bagaimana 

akal kini akan mencari uang penambah yang kurang ini? Bila 

Tuanku-Tuanku di rumah hendak memakai tikar, lainpu, kursi 

dan meja, siapakah yang harus membelinya? Tentu Tuanku 

sendiri, bukan? Masakan dapat diminta kepada orang lain? 

Demikianlah juga perkara negeri kita ini, tak boleh kita meminta 

bantuan kepada kerajaan lain, melainkan kita sendirilah, yang 

harus memikulnya. Bukankah aturan itu sejak dahulu kala, telah 

ada juga di sini? Segala sesuatu yarig perlu bagi negeri, negeri

itu sendirilah yang mengadakan, dipungut dari anak negeri. 

Dahulu penghasilan yang kami sebut tadi, memang cukup, 

untuk membiayai sekalian keperluan tadi, tetapi sebab keperluan 

itu makin lama makin bertambah, sebab orang pun kian lama 

kian banyak pula, sekarang hasil-hasil itu tak mencukupi lagi. 

Barangkali tambahan keperluan itu, di sini belum nyata benar, 

tetapi di negeri-negeri asing, terang kelilhatan. Sungguhpun 

demikian, harus juga kita bersama-sama menolong. Janganlah 

kita berpikir, apa perlunya ditolong negeri asing itu? Sebab 

sebagai telah kami katakan tadi, sekalian pulau yang masuk 

tanah Hindia, menjadi satu. Biar bangsa Melayu atau Jawa. 

Dayak atau Papua. Belanda ataupun Cina, sekalian penduduk 

Hindia ini, harus menjadi satu dan harus bersama-sama 

memajukan tanah kita. 

Janganlah tiada percaya, bahwa segala yang diperbuat di 

negeri lain, membawa hasil juga ke mana-mana. Lihatlah 

Sekolah Dokter Jawa, diadakan hanya di tanah Jawa; tetapi 

bukan urang Jawa saja yang beroleh hasil dari sekolah itu; orang 

Minangkabau, orang Batak, Menado. Ambun dan lain-lain pun 

dapat pula belajar di sana, untuk menjadi dokter. Dalam sekolah 

Raja*), di sini, bukannya bangsa Minangkabau saja yang dapat 

menuntut ilmu guru, tetapi orang Tapanuli, Aceh, Palembang-

Lampung, Bengkulu sampai ke Pontianak dan Sambas pun, 

*) Kweekshool

boleh juga. Demikian pulalah perbaikan-perbaikan yang diada-

kan di negeri lain-lain itu, tak dapat tiada mendatangkan kebai-

kan juga kepada kita di sini. 

Oleh sebab itu, diputuskanlah oleh Pemerintah Agung, 

sekalian penduduk tanah Hindia ini, haruslah bersama-sama, 

membantu kekurangan ini. Yang miskin tentulah sedikit, yang 

kaya banyak. Uang bantuan itu dinamakan "Uang belasting", 

dibayar tiap-tiap tahun. Jadi tak ada ubahnya dengan uang jakat 

dan fitrah. Hanya uang belasting, dipakai untuk keperluan kita 

bersama dan bukan dihadiahkan kepada orang miskin, untuk 

keperluan mereka itu sendiri. 

Belasting ini telah dijalankan di mana-mana, baik di negeri di 

atas angin atau negeri di bawah angin; sedang di tanah Hindia ini 

pun hampir pada segenap tempat dan sekalian penduduknya 

menerima aturan ini dengan rela. Hanya di Minangkabau inilah 

yang belum lagi. Tuanku-Tuanku tentu maklum, bila orang di 

sini dibebaskan dari belasting itu, perbuatan Pemerintah ini 

niscaya tidak adil. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. 

Tambahan pula, bila orang di sini suka menuntut aturan ini 

dengan senang hati. Pemerintah suka membebaskan orang 

Minangkabau daripada kontrak menjual kopi kepada 

Gubernemen, sehingga kopi boleh dijual kepada orang lain, 

dengan harga lima atau enam kali lipat ganda. Apalagi kalau

dipikir benar-benar, nyatalah kontrak menjual kopi itu pada masa 

ini tiada adil lagi; tak sesuai dengan zamannya, karena 

timbanglah: Siapakah yang bertanam kopi din menjualnya ke 

gedung Gubernemen? Bukankah orang-orang peladang, artinya 

orang-orang miskin? Orang kaya-kaya, saudagar-saudagar, 

adakah berbuat sedemikian? Tidak. Jadi siapakah yang mem-

bayar belasting pada hakikinya? Bukankah si miskin? Si kaya 

bersenang-senang saja. 

Inilah maksud kami meminta datang Tuanku sekalian kemari 

supaya disampaikan pemerintah ini kepada anak negeri, dengan 

diterangkan apa sebabnya dan apa gunanya uang belasting itu. 

Mengerti benarlah hendaknya mereka tentang perkara ini, supaya 

jangan sampai mereka berpikir, uang itu diminta, sekedar hendak 

memenuhi kantung orang Belanda. Sekali-kali negeri tiada 

beroleh hasil dari belasting ini, melainkan kita yang di sini 

jugalah. 

Lagi pula janganlah salah sangka. Sekalian kami bangsa 

Belanda yang ada di sini, ialah pegawai Gubernemen, sebagai 

Tuanku-Tuanku juga, dan yang Gubernemen itu bukanlah 

bangsa Belanda atau kerajaan Belanda, sekali-kali tidak lain 

melainkan penduduk tanah Hindia inilah. Bangsa Belanda di sini 

sekadar memerintah, menolong mengatur. 

Pada rasa hati kami cukuplah itu, untuk menerangkan

maksud kami. Bila ada di antara Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku 

yang merasa apa-apa tentang perkara ini, keluarkanlah! Supaya 

dapat diperbincangkan bersama-sama." 

Lalu Residen duduk di atas kursi, bernanti, adakah orang 

yang hendak berkata atau tidak. Tetapi seorang pun tiada yang 

hendak mengeluarkan pikirannya, tentang hal ini. 

Setelah berdiam-diam sejurus, bertanya pula Residen, "Tak 

adakah orang yang hendak berkata apa-apa, tentang hal ini?" 

Tatkala itu berdirilah seorang Tuanku Laras, yang tertua 

daripada sekalian laras yang hadir, lalu memberi hormat kepada 

Residen dan segala yang hadir dalam majelis itu; kernudian 

berkatalah ia, "Sepanjang pikiran hamba yang tua ini, tak adalah 

yang akan dijawab lagi dalam perkara ini, karena sekaliannya 

telah diputuskan oleh Pemerintah Agung. Walaupun ada yang 

terasa dalam hati kami, terkalang di mata kami, tetapi pada 

sangka hamba, tak ada paedahnya diperkatakan lagi, sebab tak 

dapat mengubah aturan yang telah ditetapkan itu. Tak ada yang 

lain yang dapat kami perbuat dalam hal ini, melainkan kami 

sampaikan perintah ini kepada anak negeri serta kami terangkan 

kepada mereka, guna dan sebabnya diadakan belasting itu. 

Seboleh-bolehnya kami akan berdaya upaya, supaya anak negeri 

menurut peraturan ini. Meskipun demikian, tentulah tak dapat 

kami pastikan, anak negeri akan menerima aturan ini dengan

senang hati; sebab tiap-tiap yang baru, tiada lekas diterima, 

lebih-lebih jika tak nyata kebaikannya. Tambahan pula, aturan 

ini, ialah aturan yang mengenai pura*) anak negeri. Oleh sebab 

itu marilah kita bersama-sama berikhtiar dan memohon kepada 

Tuhan, supaya perintah ini dapat dilangsungkan dengan 

selamat." 

Sekarang marilah kita dengar pula jawab pegawai kampung, 

tentang perkara ini, dalam perkumpulan yang diadakan di rumah 

atau balairung. 

Rapat itu dikepalai oleh Tuanku Laras. 

Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang, 

orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, Cerdik pandai dan 

lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah 

yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan 

sebabnya belasting itu dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata, 

menjawablah beberapa orang daripada yang hadir. 

"Tentang peraturan Gubernemen ini, belum kami ketahui 

buruk baiknya. Tetapi yang mula-mula terasa dalam hati kami 

dalarn perkara belasting ini, ialah orang Belanda rupanya telah 

lupa akan janjinya, kepada orang Minangkabau. Bukankah sudah 

ditetapkan dalam "Pelekat Panjang", bahwa kami anak 

Minangkabau tak perlu membayar bia, yang sebagai belasting 

ini? Apakah sebabnya maka kami disuruh juga membayar, 

*) pundi-pundi uang

sekarang? Mungkirkah orang Belanda akan janjinya? 

Kedua, orang Belanda sudah lupa pula, bahwa kami bukan 

orang takluk, yang harus membayar upeti kepada bangsa 

Belanda. Negeri kami tiada diambil dengan asap bedil, oleh 

orang Belanda, melainkan dengan perjanjian, antara sahabat 

dengan sahabat. 

Ketiga Tuan Residen berkata, orang Belanda di sini 

menolong memerintahkan. Tetapi siapakah yang meminta 

pertolongan itu? Kami tidak minta tolong diperintah, melainkan 

minta tolong mengalahkan paderi di zaman paderi, lain tidak. 

Pada pikiran kami, tiada perlu kami diperintahi bangsa asing, 

sebab dari nenek moyang kami dahulu kala, kami biasa 

diperintah Raja bangsa kami sendiri dan dalam pemerintahan itu 

kami pun merasa senang, tiada berasa kurang adil. Oleh sebab 

itu, tak perlu kami meminta pertolongan kepada bangsa asing, 

untuk memerintahi kami. 

Keempat, kata Tuan Residen uang belasting itu untuk 

menambah kekurangan belanja Pemerintah, sebab banyak 

perubahan yang akan diadakan. Perubahan apakah itu, tiada kami 

ketahui; sebab tiada dimupakatkan dahulu dengan kami, 

sehingga kami tak tahu pula sungguhkah perubahan itu berguna 

bagi kami. Pada pikiran kami, segala yang ada sekarang ini pun 

cukuplah; tak perlu diadakan perubahan lagi. Adapun perubahan,

bukannya untuk kami saja, hanya terutama untuk mereka yang 

berpangkat tinggi, yang kaya dan orang kota. 

Kelima, Tuan Residen berkata sendiri, keperluan kita tak 

boleh diminta kepada orang lain, mengapakah tidak tiap-tiap 

kampung atau negeri mengadakan keperluannya sendiri-sendiri? 

Mengapakah kami harus menolong orang Selebes, Timor dan 

Papua? Melihat rupanya pun kami belum! Dan siapakah yang 

akan menanggung, mereka itu kelak akan rnenolong kami pula, 

bila kami dapat kesusahan atau ada keperluan apa-apa? 

Keenam, Tuan Residen berkata, kita sekalian ini yang 

Gubernemen, bukan bangsa Belanda. Mengapakah segala 

sesuatu diputuskan dan diperbuat oleh orang Belanda saja; suara 

anak negeri sekali-kali tiada didengar? Perkara belasting ini pun 

tiada dimupakatkan dahulu dengan kami. Setelah terjadi, disuruh 

kami menurut, dengan tiada boleh mengatakan tidak. Bagai-

manakah kami namanya itu, orang yang diperintahkan atau 

orang yang memerintah? 

Ketujuh, dikatakan ada pegawai yang membuat rumah, jalan 

dan lain-lain. Rumah siapakah yang dibuatnya? Rumah kami, 

kami sendiri yang membuat. Jalan pun kami pula yang 

mengerjakan. Apa paedahnya pegawai-pegawai yang diadakan 

itu untuk kami? Pegawai perusahaan tanah, belum kami ketahui 

di sini dan orang itu tak ada perlunya bagi kami. Apakah yang

akan diajarkannya kepada kami? Bertanam padi? Telah diketahui 

nenek moyang kami beratus tahun yarig telah lalu. Perkara 

hewan? Kerbau kami kembang biak juga, walaupun tiada 

dipelihara benar-benar. Dari dokter itu adakah ia sampai 

mengobat ke kampung-kampung kami? Hanya di kota itulah ia 

tinggal, di tempat orang yang kaya-kaya. Kami anak kampung, 

miskin, tak cakap membayar upahnya. 

Balatentara, gunanya yang baru kelihatan oleh kami, lain 

tidak akan memaksa kami menurut perintah Kompeni. Musuh 

dari darat dan dari laut, siapakah itu? Jika bangsa kami, cukuplah 

kami saja yang akan melawannya dan kalau bangsa asing, 

apakah gunanya kami lawan? Orang Belanda bukankah bangsa 

asing? 

Perkara sekolah pun demikian pula, adanya hanya di kota 

saja, untuk orang kota. Jika anak kami hendak bersekolah, 

haruslah ia berjalan berpal-pal jauhnya; sebab di kampung hanya 

langgar yang ada." 

Begitulah jawab kebanyakan Penghulu, Kepala-Kepala 

Negeri dan Kepala Kampung atas perintah belasting itu. 

Sekarang marilah kita dengar pula pikiran anak negeri 

sendiri. 

Di kampung Kota Tengah, dekat kota Padang, berkumpullah 

pada suatu malam, sekalian isi kampung ini, dalam mesjid.

Sesudah sembahyang isya, kelihatanlah beratus-ratus orang di 

sana, orang kampung itu dan orang kampung-kampung lain, 

yang rupanya telah diberi tahu, bahwa pada malam itu akan 

diadakan rapat besar, untuk membicarakan perkara belasting. 

Orang yang seakan-akan menjadi kepala permusyawaratan ini, 

ialah haji-haji, orang alim, guru agama dan orang tua-tua. Di 

antara orang tua-tua itu kelihatanlah Datuk Meringgih, saudagar 

yang amat kaya di Padang. 

Setelah hadir sekalian, mulailah Datuk Meringgih membuka 

bicara. 

"Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik 

kakak, sanak saudara sekalian, malam ini berkumpul di sini, 

ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan 

dipikulkan Kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang 

belasting. Rupanya orang Belanda, belum puas mengisap darah 

kita, memeras tenaga kita mengeluarkan keringat kita. Cobalah 

pikir, uang rodi, uang jaga, dan beberapa uang yang lain-lain, 

sudah kita bayar, katanya untuk kita; padahal untuk dirinya 

sendiri, untuk mengenyangkan perutnya, melepaskan dahaganya 

dan mengayakan bangsanya. Bagi kita anak negeri, paedah 

apakah yang kita terima dari uang-uang yang telah kita bayar 

itu? Adakah di antara saudara yang hadir ini, yang telah 

merasainya? Hamba yang telah setua ini, tinggal di dalam kota,

siang malam bercampur gaul dengan Belanda, Cina, Keling, 

Arab dan bangsa yang lain-lain, sampai sekarang, belum tahu 

akan paedahnya itu. Ke mana perginya dan apa gunanya uang 

itu, hanya Kompenilah yang tahu. Sebab dilihatnya kita suka saja 

membayar uang-uang itu, sekarang dimintanya pula uang 

belasting. Kalau belasting ini kita bayar juga esok, ada lagi uang 

yang dimintanya dari kita. Barangkali rumah tangga, pakaian dan 

perkakas, anak-istri kita dibiayainya pula. 

Bukankah pepatah kita telah menunjukkan betapa tamak dan 

lobanya bangsa Belanda? Bukankah telalt dikatakan seperti 

Belanda minta tanah, diberi sejengkal, mau sedepa. Peraturan 

yang serupa ini, dalam jajahan bangsa lain seperti bangsa 

Inggris, tak ada. Hamba sendiri sudah pergi ke Singapura, Pulau 

Pinang, Perak dan Johor, tak ada hamba lihat orang yang mem-

bayar belasting di sana. Hanya di sini saja yang ada. Jadi aturan 

ini dibuat-buat saja olelt orang Belanda, untuk memeras kita, 

supaya kering sekering-keringnya. 

Memang kemauan orang Belanda, kita anak negeri, miskin 

dan bodoh hendaknya, supaya mudah dipermain-mainkannya 

dan bila kita tiada berdaya lagi kelak, tentulah akan dijualnya 

seperti budak." 

Mengapakah Datuk Meringgih ada di situ, mengasut anak 

negeri, kepada Pemerintah? Mengapakah ia tiada pada perniaga

annya? Karena ia mengerti, kalau jadi dijalankan belasting itu, 

tentulah ia yang banyak harus membayar. Lagi pula rupanya 

Pemerintah di Padang, sedang mengintip perjalanannya, karena 

orang makin lama makin kurang percaya akan kelurusan hatinya. 

Hal ini diketahui oleh Datuk Meringgih, itulah sebabnya maka 

sangat panas hatinya kepada Pemerintah Belanda. Ketika itu, 

sebab ada jalan, hendakk dibalaskannya sakit hatinya ini. Oleh 

sebab itulah dicarinya akal, supaya maksud Pemerintah ini tiada 

sampai. Disuruhnya orang-orangnya ke sana kemari, mengasut 

anak negeri, supaya melawan; jangan mau membayar belasting. 

Setelah selesai Datuk Meringgih beikata-kata, berdirilah pula 

seorang haji, katanya, "Pada pikiran hamba benarlah kata Engku 

Datuk itu, karena hamba telah pergi ke Mekah, Madinah, Jedah, 

tetapi di sana pun tak ada hamba dapat aturan sebagai ini. 

Memang susah, kalau di bawah perintah kapir; selamanya kita 

hendak dianiaya saja. Akhirnya niscaya agama kita akan ditukar-

nya dengan agama Nasrani, sehingga menjadi kapirlah kita, 

masuk api neraka seperti mereka. Tentu tak senang hati mereka, 

melihat kita masuk surga; jadi dicarinya kawan mati." 

Mendengar perkataan haji ini, geramlah hati sekalian yang 

hadir dan kedengaranlah comel di sana-sini, mengatakan, 

"Sesungguhnya tak patut!" 

Ada pula yang berkata, "Memang Belanda tak boleh di

percayai, bicaranya putar balik, sebagai lidah Keling." 

Setengahnya berkata pula, "Memang Belanda musuh kita, 

dunia akhirat, dalam perkara agama dan perkara yang lain-lain 

pun." 

Datuk Meringgih berseri mukanya melihat kegembiraan hati 

sekalian orang itu dan sangatlah benci hatinya, tatkala ada 

seorang di antara mereka yang berani menyahut, "Sepanjang 

pendengaran hamba, uang itu akan dipergunakan, untuk 

keperluan kita juga." 

"Keperluan apa?" tanya Datuk Meringgih dengan segera. 

"Pembuat jalan jalan, rumah-rumah dan sekolah, kantor-

kantor misalnya," jawab yang berkata itu. 

"Untuk siapa jalan yang baik, untuk kita atau untuk dia? Kita 

tak perlu akan jalan yang baik, tetapi tak mau jalan yang buruk; 

sebab itu disuruhnya kita membuat jalan untuk dia. Sekarang 

jalan apa pula lagi yang akan dibuat dengan uang belasting itu? 

Tentang rumah sekolah itu untuk siapa pula? Anak siapakah 

yang banyak bersekolah, anak kita atau anaknya? Ada 

beberapakah di antara Engku-Engku yang ada di sini, yang sudah 

bersekolah Pemerintah? Tahukah Engku-Engku akan maksud 

sekolah itu? Supaya anak-anak kita suka kepadanya dan benci 

kepada bangsanya sendiri. 

Di mana ada sekolah di kampung ini? Hamba tidak ber

sekolah tetapi jadi kaya juga. Jadi, apa perlunya sekolah itu 

kepada kita? Yang perlu bagi kita, yaitu langgar dan mesjid. 

Adakah diperbuatnya itu? Tidak, bukan? Tetapi gerejanya 

dibesarkannya, diperbuatnya bagus-bagus dengan uang kita. Dan 

tentang kantor itu, tak perlu hamba katakan gunanya; setiap hari 

Engku-Engku dapat melihat sendiri. Bukankah di sana kita 

dihukumnya, terkadang-kadang dengan tiada bersalah? Bila tak 

mau menurut kehendaknya, dimasukkannya ke gedung yang 

sebuah lagi, yaitu penjara. 

"Apa lagi?" tanya Datuk Maringgih kepada orang yang men-

jawab tadi. "Coba katakan, supaya hamba terangkan yang 

sebenar-benarnya. Jangan suka mendengar kata orang saja dan 

menurut kata itu dengan tiada dipikirkan dalam-dalam; menjadi 

kita burung tiung." 

Orang yang berkata tadi, tiadalah dapat menjawab lagi lalu 

berdiam diri. 

Setelah berdiam sejuruh, kedengaianlah pula suara Datuk 

Meringgih, "Sekarang hendak hamba tanyakan kepada sekalian 

saudara-saudara yang hadir ini, haruslah diturut saja perintah ini 

dan dibiarkan hidung kita diberi bertali, sebagai kerbau, supaya 

dapat ditariknya ke mana sukanya? Kita ini bukan binatang, 

melainkan manusia juga, sebagai dia; bermata, berkepala, 

berkaki dan bertangan. Mengapakah kita mau diperbodoh orang

datang? Adakah patut, limau dialahkan bendalu?" 

"Sesungguhnya tak baik dibiarkan," jawab seorang guru tua, 

"jadi bertambah-tambah lalim dia. Akhirnya diusirnya kita dari 

negeri kita ini. Ke mana hendak pergi?" 

"Jadi, jika tiada hendak dibiarkan, bagaimana?" tanya 

seorang. 

"Lawan saja," jawab beberapa anak muda. ' 

"Melawan itu mudah asal hati sungguh berani dan perkakas 

cukup, diadulah untuk kelak," jawab yang bertanya tadi." Tetapi 

tak adakah jalan lain-lain yang lebih baik, daripada melawan, 

karena pekerjaan berperang itu tak baik dipermudah? Bukan 

sedikit kesengsaraan dan kemalangan yang dibawanya. Kita ini 

bukan sebatang kara, melainkan beranak beristri, berkaum 

keluarga, berkampung, berhalaman. Yang berperang tidak 

dipikirkan: esa hidup, kedua mati, namanya anak laki-laki. 

Tetapi yang tinggal itulah, yang menjadi pikiran. Betapa hal 

mereka kelak, bila kita kalah?" 

Perkataan itu rupanya mendatangkan pikiran kepada yang 

mendengarnya dan hal itu lekas dimaklumi oleh Datuk 

Maringgih. Karena itu segeralah ia menjawab; katanya, 

"Barangkali Engku takut berhadapan dengan Belanda. Jika dua 

hati, tak perlu mengikut; karena tentulah akan mendatangkan 

beban kepada kami. Kami bukannya perempuan; tak takut mati.

Yang tinggal itu kami serahkan kepada Tuhan. Dia terlebih 

sempurna memelihara daripada kami." 

"Bukan hamba takut," jawab orang itu pula. "Jika perlu, 

hamba pun rela menyerahkan nyawa hamba. Tetapi yang hendak 

hamba katakan, yaitu tak adakah jalan lain, yang lebih baik 

daripada melawan, untuk memperoleh maksud kita? Kalau ada, 

mengapakah takkan diturut?" 

"Bagaimanakah jalan itu?" tanya orang banyak, yang rupanya 

kurang suka berperang. 

"Tak baiklah, bila kita pergi bersama-sama kepada 

Pemerintah Tinggi di sini, minta diurungkan saja aturan itu?" 

kata orang tadi pula. 

"Ha, ha, ha!" tertawa Datuk Meringgih." Engku belum tahu 

rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan 

mereka. Tetapi hamba ini, bukan sehari dua hari kenal pada 

Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab 

itu tahu benar hamba akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh 

kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna, 

hendak berkeras saja; apa-apa maksudnya harus terjadi. 

Bukankah ia katanya bangsa yang memerintah, yaitu bangsa 

yang tinggi? Kita ini dipandangnya sebagai budak, sebagai 

binatang, tak boleh membuka bicara, melainkan harus buta tuli, 

menurut kemauannya. Hamba berani bertaruh, seribu lawan,

serupiah, kalau dikabulkannya permjntaan kita itu. Lagi pula 

perintah datangnya dari Jakarta, bukannya dari Pemerintah 

Tinggi di sini. Walaupun Pemerintah Tinggi di sini mem-

perkenankan permintaan kita, kalau Pemerintah Tinggi di Jakarta 

tak suka, masakan boleh jadi. Tambahan lagi siapa tahu, 

barangkali perintah itu dari negeri Belanda datangnya. Siapa 

yang hendak pergi ke sana, bertemu dengan raja Belanda? Pada 

pikiran hamba, jika kita tiada hendak menurut perintah ini, 

baiklah ditunjukkan dengan melawan. Itulah jalan yang 

sependek-pendeknya. Bila akan dikabulkannya, tentu lekas 

diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit dikabulkannya, tentu 

lekas diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit apa salahnya, 

permainan anak laki-laki. Untuk beroleh keuntungan, bukankah 

harus rugi lebih dahulu?" 

Muka mereka yang telah mulai sabar sedikit, menjadilah 

gembira pula,mendengar kata Datuk Meringgih ini. 

"Yang hamba pikirkan, ialah akhir kelaknya. Jika melawan, 

adakah akan dapat kemenangan? Karena Belanda banyak 

serdadunya dan cukup senjatanya. Kalau tiada terlawan, menjadi 

sia-sialah pekerjaan kita dan akhirnya rusak binasa, tiada 

bertentu; sedang belasting harus juga dibayar." 

"Perkara kalah memang itu tiada dapat ditentukan lebih 

dahulu, karena sekaliannya itu takdir Allah. Jika ditolongnya kita

walau berjuta banyaknya serdadu musuh dan berkapal perkakas 

dan senjatanya, tentulah kita akan beroleh kemenangan juga. Jika 

tak menang pun, tak mengapa, karena telah kita perlihatkan 

kepadanya, bahwa kita bukan perempuan, melainkan laki-laki, 

yang tak boleh diperbuat sembarang saja. Apabila ia kemudian 

hari hendak membuat peraturan baru pula, tentulah akan 

dipikirnya baik-baik, sebelum dijalankannya. Inilah suatti 

daripada keuntungan kita. Akan tetapi, kalau kita berdiam diri 

saja dan menurut segala kemauannya, niscaya dikatakannya kita 

takut dan sebab lemah tentulah akan dititinya benar-benar, 

sehingga tiadalah terlepas lagi kita daripada aniayanya, makin 

lama, makin bertambah.berat. Lihatlah orang Aceh! Apa senjata-

nya? Tetapi dapat mereka melawan, sehingga sampai sekarang, 

belum juga takluk lagi. Pendeknya asal hati jantan, tentu boleh 

menjadi." jawab Datuk Meringgih. 

"Benar perkataan Engku Datuk itu," teriak beberapa anak 

muda, yang masuk perkumpulan Datuk Meringgih. "Itulah per-

kataan laki-laki sejati. Pendeknya sekarang begini saja, barang 

siapa yang tak hendak ikut melawan, boleh tinggal di rumah. 

Jika hendak menyebelah kepada kapir itu pun, tak dilarang; asal 

jangan ada di sini lagi, sebab tentulah takkan kami beri ampun." 

Karena perkataan ini, tak adalah lagi yang berani membantah 

kamauan Datuk Meringgih ini, sehingga sekaliannya terdiam

sejurus, sampai berkata pula seorang haji tua, "Berperang dengan 

Belanda itu ada akalnya. Jika tak ada perkakas lawan dengan 

yang lain." 

"Akal apa itu? Cobalah nenek haji katakan!" teriak beberapa 

orang yang kurang berani. 

"Akal orang Aceh; bedil dan meriam itu dilawannya dengan 

isim; sehingga bedil tak berbunyi atau tak mengenai dan pedang 

tak makan." 

"Tahukan Nenek ilmu itu?" 

"Jika tak tahu, apa gunanya aku berkata-kata di sini? Bukan 

cuma-cuma saja rambutku telah putih. Aku sendiri sudah pergi 

ke tanah Aceh, menuntut ilmu itu." 

"Kalau begitu tak perlu takut. Tetapkanlah hati, untuk 

melawan dan suruhlah dia datang beribu-ribu kemari," kata yang 

berani kepada yang tak berdaya. 

Demikianlah pikiran kebanyakan anak negeri, tentang 

belasting itu. 

Oleh sebab pada sangkanya, Pemerintah berbuat tak semena-

mena kepada mereka, ditetapkannyalah, tiada hendak membayar 

belasting dan jika dipaksa juga, tentu melawan. 

Sesungguhnya, tatkala seorang menteri di Padang Hulu 

datang hendak menangkap beberapa orang, yapg disangka 

menjadi kepala dalam perusuhan itu, melawanlah anak negeri

dan dibunuhnyalah menteri ini. Beberapa Datuk yang keras 

kepala, dipenjarakan dalam penjara Bukit Tinggi. Pada keesokan 

harinya. datanglah beratus-ratus anak negeri, meminta lepaskan 

mereka itu. Seorang Tuanku Laras yang dengan keras hendak 

menjalankan belasting itu dibunuh; dikatakan menolong bangsa 

Belanda. Demikian pula seorang Kemendur, diserang anak 

negeri dalam rumahnya. Tatkala ia telah dibunuh, mayatnya 

dilembarkan ke dalam api rumahnya yang dibakar. Seorang 

Asisten Residen diserang, ketika bekerja dalam kantornya. 

Banyak gudang Pemerintah yang berisi kopi, dirampas dan 

dibakar begitu juga rumah-rumah dan kantor-kantor Pemerintah. 

Dengan demikian, gemparlah seluruh Padang Hulu dan 

Padang Hilir. Di mana-mana kedengaran rusuh dan orang 

melawan, sebagai mereka telah mupakat lebih dahulu sama-sama 

hendak berontak. 

Serdadu yang ada, tak dapat, disuruh memadamkan huru-hara 

itu. sebab tak cukup, lalu disuruh menjaga kota saja. Sekalian 

pegawai Pemerintah disuruh berkumpul dalam kota. Di dalam 

kota, yang selalu dikelilingi serdadu, dicarilah akal seboleh-

bolehnya akan melindungkan diri, bila musuh datang 

menyerang. Dan lagi dilarang orang berkumpul-kumpul di sana, 

supaya jangan dapat bermupakat. 

Pada malam hari tak boleh berjalan di tempat-tempat yang

gelap, dengan tiada membawa api (suluh). Memakai pakaian 

serba putih pun dilarang, supaya jangan disangkakan musuh. 

Pada malam hari, serdadu-serdadu ronda di dalam kota menjaga 

keamanan. Sementara itu dimintalah serdadu-serdadu datang dari 

negeri lain lalu dikirimkan mereka ke tempat-tempat yang yang 

berbahaya dan disuruh pula ronda ke luar kota atau ke kampung-

kampung. Ada pula yang disuruh menjaga rumah-rumah dan 

harta benda Pemerintah. Jalan kereta api dari pelabuhan Teluk 

Bayur sampai ke Padang Hulu pun, dijaga oleh serdadu, supaya 

jangan dirusak perusuh. 

Akan tetapi anak negeri selalu pula berkumpul-kumpul di 

luar kota di tempat yang sunyi, bermupakat akan melawan atau 

menyerang. Masing-masing bersiap, menyediakan senjata, untuk 

berperang. Perempuan-perempaan dan anak-anak dikirim ke 

gunung-gunung. Harta benda mereka dikuburkan di dalam tanah 

atau disembunyikan di tempat yang sunyi. Utusan dikirim ke 

segenap tempat, supaya dapat santa-sama menyerang. Ada yang 

dikirim ke Aceh hendak mengajak orang Aceh bersama-sama 

melawan dan ada pula yang diutus ke negeri Turki, akan 

mengadukan kelaliman Pemerintah Belanda.

XVI. PEPERANGAN ANTARA SAMSULBAHRI DAN 

DATUK MERINGGIH 

Setelah masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke 

pelabuhan Teluk Bayur, turunlah sekalian bala tentara itu ke 

daiat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di sana gemparlah 

isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup 

dengan alat senjata dan meriamnya. 

Yang seorang bertanya kepada yang lain: 

"Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini?" 

"Tidakkah engkau tahu?" jawab yang ditanyai. "Seluruh 

tanah jajahan Belanda akan rusuh, sebab anak negeri hendak 

melawan; tak mau membayar belasting." 

Kabar kedatangan bala tentara, ini, sekejap itu juga pecah ke 

sana kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan 

anak-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan 

peperangan yang akan terjadi. Yang penakut, larilah 

bersembunyi ke gunung-gunung dengan anak bini dan harta 

bendanya; yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin 

hendak melihat tamasya perang. Yang kaya, berharta banyak, 

khawatir kalau-kalau harta bendanya dirampas orang. Yang 

banyak beranak dan bersanak saudara, ngeri, takut anak-istri dan

kaum keluarganya terbawa-bawa mendapat kesusahan. Hanya 

bangsa penjahatiah yang gembira hatinya, karena ada harapan 

akan dapat mencuri dan menyamun dengan mudah dan sepuas, 

puas hatinya. Saudagar-saudagar pun tak kurang khawatirnya, 

sebab pada sangkanya, tentulah perniagaannya akan jatuh, 

karena peperangan ini. Begitu pula pegawai-pegawai 

Pemerintah, berdebar-debar hatinya, takut kalau-kalau serdadu 

kalah. Jika demikian, tentulah mereka tiada akan mendapat 

ampunan dari perusuh, karena sekalian yang tiada hendak ikut 

melawan, dipandang mereka sebagai musuhnya. Hanya 

perusuhlah yang geram melihat, bala tentara Pemerintah datang 

sebanyak itu dan panas hatinya, lalu berpikir mencari akal akan 

memperdayakan serdadu ini. 

Setelah sampailah bala tentara itu ke tangsi Padang, pergilah 

Letnan Mas kepada Kapitannya, minta izin akan pergi sebentar 

dengan berjanji, segera akan kembali pula, karena adalah suatu 

keperluan yang sangat penting baginya. 

Mula-mula rupanya kapitannya tiada hendak memberi izin ini 

tetapi tatkala dilihatnya Mas meminta amat sangat, diperkenan-

kanyalah juga permintaan itu dengan pesan, supaya jangan lewat 

daripada pukul enam petang kembali. Sebab pada waktu itu hari 

baru pukul setengah lima, berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya, 

"Tentu tidak terlambat aku kembali."

Dengan segera dipanggilnya sebuah bendi sewaan, lalu 

berangkat menuju ke Muara. Setelah sampailah ia ke sana, 

diseberanginyalah sungai Arau dengan perahu dan didakinya 

Gunung Padang. Di tengah jalan bertemulah ia dengan seorang 

fakir, yang tinggal di atas gunung itu, lalu ditanyakannya di 

mana kubur Baginda Sulaiman, saudagar yang berpulang kira-

kira sepuluh tahun telah lalu. Walaupun fakir itu sangat heran 

mendengar perkataan ini dan berpikir dalam hatinya, apakah 

sebabnya seorang letnan menanyakan kubur seorang Melayu, 

tetapi ditunjukkannya juga kubur itu. 

Setelah sampai ke makam ini, kelihatanlah oleh Letnan Mas 

tiga buah kubur dalam suatu tempat yang berpagar tembok. Dua 

buah daripada kubur ini, letaknya berdekat-dekatan; yang sebuah 

lagi agak jauh sedikit. Tatkala dibacanya huruf yang tertulis pada 

batu nisan kubur yang berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya, 

bahwa kubur itulah yang dicarinya. Karena tiada tertahan oleh 

Letnan Mas hatinya, segeralah ia masuk ke dalam makam ini, 

lalu berlutut di antara kedua kubur yang berjauh-jauhan itu, 

sambil memeluk keduanya dengan kedua belah tangannya. Di 

situ menangislah ia tersedu-sedu, seraya meratap demikian, 

"Aduhai Nurbaya dan Ibu yang sangat hamba cintai! 

Mengapakah sampai hati benar meninggalkan hamba seorang 

diri di atas dunia ini? Berjalan tiada hendak berkata-kata, pergi

tiada hendak membawa-bawa. Mengapakah tiada diajak hamba 

pergi bersama-sama dan tiada dinantikan hamba, supaya boleh 

hamba temani, dalam perjalanan yang jauh itu? Dan tatkala telah 

ditinggalkan, mengapakah tidak lekas dijemput, dibiarkan 

sepuluh tahun lamanya hamba mengembara ke sana kemari, 

mencari jalan akan mengikut Bunda dan Adinda, sehingga 

sampai kepada waktu ini pekerjaan itu sia-sia belaka. 

Aduhai! Bilakah masanya kita akan dapat berjumpa pula dan 

bilakah waktunya kita akan dapat berkumpul dan bercakap-

cakap, sebagai dahulu? Bunda dan Nur, pintakanlah kepada 

Allah subhanahu wataala, supaya jangan dipanjangkan-Nya lagi 

umur hamba ini dan lekaslah dipertemukan-Nya kita sekalian; 

karena hidup bercinta seperti ini, sesungguhnyalah tiada terderita 

oleh hamba. Cukuplah sepuluh tahun lamanya hamba 

menanggung siksa dan azab yang tiada tertanggung oleh manusia 

dan patutlah sudah hamba dilepaskan daripada penjara yang 

sedemikian. 

Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada kusangka sekali-kali akan 

beginilah akhirnya kita ini. Mengapakah segala pengharapan dan 

cita-cita orang dikabulkan, tetapi harapan dan cita-cita kita 

dijadikan seperti ini? Apakah salahmu, dan salahku dan salah 

kita ini, maka beroleh nasib yang sedemikian ini? Sudahlah di 

dunia ini, segala pengharapan dan permintaan kita, yang kita

pohonkan sebilang waktu, tiada dikabulkan, di akhirat kelak ada 

akan disampaikan Allah, segala cita-cita itu? Ah, pada rasaku tak 

adalah manusia yang malang sebagai kita ini! Sepuluh tahun 

lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita; sepuluh tahun 

pula aku menanggung rindu dendam, kepadamu, tetapi sampai 

sekarang ini, belum disampaikan Tuhan juga maksudku ini. 

Berapakah lamanya lagi aku harus menunggu? 

Tetapi oya, Nur; aku telah beroleh alamat, bahwa aku segera 

akan dipertemukan dengan engkau, karena inilah penghabisan 

sisaku. Mudah-mudahan demikianlah hendaknya; doakan 

bersama-sama. 

Suatu yang belum kuketahui, yaitu dapatkah aku menuntut-

kan belamu atau tiada? Tetapi biarpun tak dapat, Allah Yang 

Maha Kuasa takkan lupa, bahwa tiap-tiap kesalahan itu tiada 

akan luput daripada hukumannya. Biarlah bersama-sama kita 

kelak menyembahkan kesalahannya ini." 

Setelah itu diciumlah oleh Letnan Mas kedua nisan kubur itu, 

lalu berdiri perlahan-lahan dan berkata kepada fakir yang masih 

tercengang berdiri di sana, melihat kelakuan letnan ini, karena 

heran, mengapakah seorang Belanda, menangis di kubur seorang 

Islam! 

"Fakir, mengajilah Tuan di sana, bagi arwah segala yang 

telah meninggal itu. Inilah hamba beri sedekah!" lalu

dikeluarkannya uang kertas sepuluh rupiah dari dalam tempat 

uangnya, diberikannya kepada fakir ini. Karena seumur 

hidupnya, belum pernah fakir ini menerima hadiah sekian 

banyaknya, sangatlah sukacita hatinya, lalu mengaji semalam-

malaman di makam itu. 

Sementara Letnan Mas pergi ke Gunung Padang, datanglah 

kabar dari Gubernur Padang, mengatakan malam itu perusuh 

akan masuk ke dalam kota, membuat huru-hara. Oleh sebab itu 

dimintalah sebagian daripada serdadu yang ada itu, pergi ke luar 

kota, mengadang musuh ini, supaya jangan sampai berperang di 

dalam kota. 

Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan 

serdadu yang dipimpin oleh Letnan Mas dan Van Sta, ke luar 

kota Padang menuju Kota Tengah. Pukul sembilan, sampailah 

mereka ke Tabing dan tiada berapa lama kemudian, hampirlah 

mereka ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluh-

puluh orang; sekaliannya memakai serba putih, berkumpul-

kumpul di pinggir jalan, di muka sebuah kedai; rupanya mereka 

sedang bermusyawarat, bagaimana hendak menyerang. 

Sekaliannya bersenjata sebuah golok. 

Tatkala kelihatan oleh perusuh serdadu datang, gemparlah 

sekaliannya; ada yang mengambil senjatanya, ada yang 

menghunus kerisnya, ada yang memencak, ada yang berteriak

memanggil kawan, ada yang memaki-maki dan ada pula yang 

mengacu-acukan senjatanya; berbagai-bagai kelakuan mereka. 

Setelah hampir kepada mereka ini, Letnan Mas menyuruh 

berhenti serdadunya dan membariskan mereka. Seorang 

kemendur yang mengikut bersama-sama maju ke muka, 

menyuruh perusuh menyerahkan dirinya. Tetapi jangankan di-

indahkan mereka, kemendur itulah yang dimaki-makinya, seraya 

memencak mengajak berkelahi. Setelah tiga kali kemendur 

membujuk dengan lemah-lembut, menyuruh mereka menyerah-

kan diri, tiada juga didengar oleh orang-orang itu, diserahkan-

nyalah kekuasaan ke tangan Letnan Mas. Letnan Mas menyusun 

serdadunya, lalu menyuruh menembak ke udara. Seketika itu 

juga berbunyilah kira-kira tiga puluh bedil, sekaligus. Tatkala 

didengar perusuh bunyi bedil ini dan dilihatnya, tiada seorang 

pun yang kena, bertambah-tambahlah berani mereka, karena 

pada sangkanya sesungguhnyalah mereka tiada dimakan anak 

bedil lagi, berkah ajimat yang diperolehnya dari gurunya. Maka 

bertempiklah mereka bersorak dan ratib mengucap "La illaha 

illallah" lalu maju ke muka. Setelah hampirlah mereka, barulah 

Letnan Mas memerintahkan membedilnya. 

Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris 

orang yang di muka, jatuh ke tanah. Ada yang menjerit, ada yang 

memekik, ada yang meminta tolong dan ada pula yang terus

ratib, tetapi banyak yang tiada bersuara lagi karena terus mati. 

Perusuh yang berdiri di belakang, bingunglah sejurus, tiada tahu 

apa yang dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil ketiga kalinya, 

pecahlah perang perusuh itu, karena banyak yang mati. Mana 

yang tinggal larilah cerai-berai kian kemari, membawa dirinya 

masing-masing. 

Akan tetapi seketika itu juga, keluarlah beberapa orang tua-

tua dan haji-haji dari dalam sebuah rumah, lalu berteriak 

memanggil sekalian orang yang lari itu, serta mencabut kerisnya 

dan maju ke muka. Karena melihat keberanian ini, berbaliklah 

sekalian yang lari, lalu mengikut guru-gurunya dengan 

bertempik sorak pula, menyerang serdadu-serdadu dari dua 

pihak. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya, 

serdadu-serdadu Letnan Mas, tiadalah sempat menembak lagi, 

lalu mempergunakan bayonetnya. Dengan segera menjadi 

ramailah peperangan itu, masing-masing mencari lawannya. Ada 

yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-tetakan pedang, ada 

yang tangkis-menangkis, berpukul-pukulan, tangkap-menangkap 

dan banting-membantingkan. Yang mati, jatuh, yang luka, 

berdarah, yang takut, lari, yang berani mengejar. Ada yang maju, 

ada yang mundur, ada yang melompat, berbagai-bagai kelakuan 

mereka. Suara pun bermacam-macam kedengaran, gegap 

gempita, tiada disangka bunyi lagi, dicampuri pula oleh bedil,

pistol, pedang dan parang. Walaupun bulan terang cahayanya, 

tetapi di tempat itu gelap, karena asap bedil. Dan jika pakaian 

mereka tiada sangat berlainan, yakni hitarn dan putih, niscaya 

tiadalah tentu lawan kawan. Letnan Mas dengan kepala perusuh, 

kelihatan sama-sama mengerahkan bala tenteranya, menyuruh 

maju sambil membedil dan menetak. 

Tiada berapa lamanya berperang itu, banyaklah yang mati 

dan yang luka pada kedua belah pihak. Darah mengalir di jalan 

raya dan mayat tersiar-siar di sana-sini. Oleh sebab dari 

kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiadalah 

tertahan oleh Letnan Mas serangan musuhnya, sehingga 

disuruhnya serdadunya undur perlahan-lahan. Bila tiada datang 

bantuan dari Letnan Van Sta, pastilah pecah perang Letnan Mas. 

Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu 

Letnan Van Sta, yang menyerbukan diri ke medan peperangan. 

Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, undurlah perusuh 

perlahan-lahan dan akhirnya, tatkala bantuan mereka tak datang 

lagi, pecahlah perang mereka, lalu lari kian kemari, 

bertemperasan, diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu. 

Tatkala mengejar perusuh, kelihatan oleh Letnan Mas, 

seorang daripada kepala mereka, bangun badan, perjalanan dan 

suaranya serupa benar dengan bangun badan, perjalanan dan 

suara Datuk Maringgih, musuhnya yang sekian lama dicari

carinya. Maka berdebar-debarlah hati Letnan Mas dan gemetar 

tangannya serta berubah mukanya, sebagai suka bercampur 

duka. Suka karena ada pengharapan akan dapat membalaskan 

sakit hatinya, dan duka karena ingat akan segala kejahatan yang 

telah diperbuat jahanam itu. Ketika kepala perusuh ini hendak 

melarikan dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir 

panjang lagi. Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada 

Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena 

sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di 

mukanya, lalu berkatalah ia, "Datuk Meringgih! Benarkah 

engkau ini?" 

"Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang 

ini," jawab kepala perusuh itu. "Engkau ini siapa, maka kenal 

kepadaku? 

Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia 

lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak, 

"Samsulbahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?" 

"Seketika itu juga melompatlah ia kembali ke muka, hendak 

menetak Letnan Mas. Letnan Mas melompat ke kanan, lalu 

berkata, "Tunggu dahulu, Datuk Meringgih! Karena banyak yang 

terasa dalam hatiku, yang hendak kukatakan kepadamu, sebelum 

aku terpaksa mencabut nyawamu." 

Mendengar perkataan ini berdirilah Datuk Meringgih, karena

hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu. 

"Datuk Meringgih! Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang 

sepuluh tahun telah lalu, sudah mati, tetapi yang dikeluarkan 

kemtali dari dalam kubur, untuk menghukum engkau atas segala 

kejahatanmu yang keji itu. Tatkala aku membedil diriku di 

Jakarta, karena terlebih suka mati daripada hidup menanggung 

sengsara yang asalnya daripada perbuatanmu, tiadalah disampai-

kan Tuhan maksudku itu. Rupanya aku terlebih dahulu harus 

menuntut bela atas segala kesalahanmu. Itulah sebabnya maka 

peluru yang kutujukan ke kepalaku, tiada menembus otakku. 

Karena aku terperanjat, mendengar suara sahabatku, Arifin, yang 

tatkala itu berteriak, dan tanganku bergoyang, sehingga anak 

bedil, sekadar merusakkan tulang kepalaku saja. Ketika aku 

sadar akan diriku, kupintalah kepada dokter dan sekalian orang 

yang tahu akan halku, supaya kabar aku hidup kembali, tiada 

disiarkan ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku 

disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian. Beberapa 

kali aku mencari kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan 

masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum 

engkau atas segala dosamu. 

Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan 

dukacita yang tiada terderita, sepuluh tahun pula aku menaruh 

dendam dalam hatiku kepadamu. Sekarang barulah disampaikan

Tuhan maksudku itu; sekarang barulah dapat aku menuntutkan 

bela sekalian orang yang telah engkau aniaya, hai penjahat yang 

sebesar-besarnya! Karena kekayaanmu, menjadilan engkau 

sombong dan angkuh serta tekebur kepada Tuhan, yang telah 

memberunu kekayaan itu. Pada sangkamu dengan kekayaan itu 

tentulah 'kan dapat engkau berbuat sekehendak hatimu. Yang 

tinggi kaujatuhkan, yang mulia kauhinakan, yang kaya kau 

miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik 

dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan 

hina itu dapat kaupenuhi. 

Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah 

kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu 

manusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan men-

datangkan segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi 

negeri. Tiada layak engkau dikurniai Tuhan senjata yang sekuat 

itu. 

Dengan kekayaanmu itu kauceraikan anak daripada bapanya, 

adik daripada kakaknya, asyik daripada masyuknya, sahabat 

daripada karibnya. Dengan kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda 

Sulaiman, sampal berpulang ke rahmatullah, karena dukacita; 

dengan kekayaanmu itu kaupaksa anaknya menurut kesukaanmu 

yang keji, kekasih dan saudaranya kauaniaya ini sampai hampir 

mati di dalam laut. Kemudian kaudakwa ia mencuri barang

barangmu yang kauperoleh dengan tipu daya, darah keringat 

orang lain. Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa 

Nurbaya, yang tiada bersalah itu, kaubunuhlah ia dengan racun. 

Dengan kekayaanmu itu kauceraikan aku daripada ibu-bapa 

dan kaum keluargaku dan kauputuskan, pengharapanku akan 

menjadi orang baik-baik, sehingga ibuku meninggal dunia 

karena kesedihan hati. Sungguhpun demikian, sekalian itu belum 

lagi seperseratus dari segala dosamu yang harus kautanggunl. 

Hai Datuk Meringgih! Tiadakah terasa olehmu kesalahnmu 

itu? Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberikan 

segala kekuasaan itu kepadamu? Tiadakah malu engkau kepada 

sesamamu manusia, yang engkau perdayakan? Dan tiadalah 

belas kasihan engkau kepada sekalian mereka, yang telah 

menjadi kurbanmu?" 

Samsulbahri berhenti sejurus berkata-kata itu, karena penuh 

rasa dadanya dan sesak rasa napasnya, menahan hatinya yang tak 

dapat direncanakan di sini. 

Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah kata pun, sebab 

baru dirasanya waktu itu, kebenaran perkataan Samsulbahri ini. 

Di situlah baru nyata padanya, bahwa sebenarnya sampai kepada 

waktu itu, belumlah lagi ia berbuat kebaikan dengan hartanya 

yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini, 

tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang

tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur? Tak lain 

nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang 

telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya 

dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah 

juga yang akan mendoakan arwahnya. 

Di sana, tatkala ia telah hempir ke pintu kubur, baru 

diinsyafinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya, 

untuk kehidupannya di negeri yang baka. Maka timbullah sesal 

dalarn hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa 

hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi 

memperbaiki kesalahannya itu. 

Setelah sejurus berdiam diri, berkatalah pula Samsulbahri 

dengan menyapu air matanya, yang tak dapat ditahannya, "Hai 

Datuk Meringgih! Sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu, 

bahwa ada lagi yang terlebih berkuasa daripada hartamu itu. 

Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu dari yang ada 

sekarang ini, tiadalah akan dapat ia mengubah pikiranku, hendak 

membalas kejahatanmu itu dan tiadalah dapat ia menolong 

melepaskan engkau dari dalam tanganku. Terimalah olehmu 

hukumanmu!" lalu Samsu mengangkat pestolnya, menembak 

Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih 

melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya, 

sambil berteriak, "Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai

anjing Belanda!" 

Setelah itu juga rebahlah keduanya ke tanah; Datuk 

Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus 

dada dan jantungnya dan Samsulbahri, karena kena parang 

Datuk Meringgih kepalanya. 

Tatkala diangkat Letnan Mas oleh serdadwrya, kelihatan di 

antara mayat-mayat perusuh itu, dua mayat yang memakai serba 

hitam yang seorang lehernya hampir putus, rupanya kena 

kelewang, yang seorang lagi dadanya tembus kena bayonet. 

Itulah mayat Pendekar Lima dan Pendekar Empat, yang beroleh 

hukuman daripada Yang Maha Kuasa, atas segala kejahatannya. 

Dua hari kemudian daripada peperangan yang tersebut di atas 

ini, kelihatanlah dalam rumah sakit di Padang, seorang opsir, 

sedang tidur di atas sebuah ranjang, berselimutkan kain selimut 

putih. Rupanya ia sakit keras, karena hampir seluruh kepalanya 

terbungkus perban putih, sehingga hanya mukanya saja yang 

tampak, yang pucat warnanya. Dekat tempat tidur ini, berdirilah 

seorang penjaga, yang sedang mengatur gelas-gelas obat, 

perlahan-lahan; rupanya ia takut, kalau-kalau si sakit ini terkejut 

bangun. Ketika itu masuklah seorang dokter Belanda, hendak 

memeriksa keadaan si sakit ini. 

Mendengar bunyi sepatu dokter si sakit membuka matanya 

dan memandang kepada dokter. Di situ nyata, mata si sakit telah

kabur warnanya dan pemandangannya telah lemah. Dokter yang 

masuk ini segera memberi salam, lalu bertanya, "Apa kabar?" 

"Perasaan badan ada baik sedikit, walaupun sakit kepala 

belum hilang benar," jawab si sakit perlahan-lahan. . 

"Memang, sakit kepala itu dalain dua tiga hari ini barangkali 

masih ada," lalu dokter memeriksa kulit muda mata dan jalan 

darah pada pangkal lengan si sakit. "Berapa panas badannya pagi 

ini?" tanya dokter kepada penjaga. 

"Ada hamba tuliskan," jawab penjaga, seraya mengunjukkan 

sehelai daftar. Setelah doukter melihat daftar ini, terdiamlah ia 

sejurus. 

"Tuan Dokter," kata si sakit pula dengan tiba-tiba. 

"Walaupun hamba katakan tadi, perasaan badan hamba senang 

sedikit, tetapi kesenangan itu, pada sangka hamba, bukan 

kesenangan karena akan sembuh. Jangan marah, bila hamba 

katakan, bahwa hamba tiada lama lagi akan hidup di atas dunia 

ini; karena demikianlah perasaan hamba. Janganlah Tuan 

sembunyikan pendapatan Tuan kepada hamba, karena misalnya 

Tuan kuatir, hamba takut mati. Sekali-kali tidak. Kematian telah 

lama hamba ingini dan telah hamba cari di mana-mana. Baru 

sekarang hamba peroleh. Syukurlah! 

Lagi pula tadi malam hamba telah dikunjungi oleh kekasih 

dan ibu hamba, yang telah lama meninggalkan dunia ini. Mereka

berjanji hari ini akan datang kembali menjemput hamba supaya 

dapat pergi bersama-sama ke tempat mereka." 

Di sini berhentilah si sakit berkata-kata sejurus lamanya 

karena percakapan ini rupanya sangat melemahkannya. Kepala-

nya dipegangnya, sebagai ia berasa sakit di sana. 

"Jika berasa lelah, lebih baik jangan berkata-kata dahulu." 

kata dokter. 

Setelah berdiam sejurus si sakit menggagahi dirinya, untuk 

meneruskan perkataannya, "Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan 

kuatir! Sakit kepala hamba datang pula sedikit. Sebelum hamba 

meninggalkan dunia ini ada suatu permintaan hamba kepada 

Tuan." 

"Permiritaan apa itu? Katakanlah! Jika dapat, tentu akan 

hamba kabulkan." sahut dokter. 

"Hamba ingin benar hendak bertemu dengan Sutan Mahmud, 

Penghulu di Padang ini. Bolehkah?" tanya si sakit perlahan-lahan 

putus-putus suaranya. 

"Tentu sekali boleh." jawab dokter, walaupun ia tiada 

mengerti apakah sebabnya seorang opsir tentara, hendak ber-

jumpa dengan seorang Melayu Padang. "Dengan segera ia akan 

hamba minta datang kemari. Adakah lagi permintaan Tuan?" 

"Tidak. Hanya itu. Terima kasih!" jawab si sakit. 

"Baiklah," kata dokter pula, lalu ke luar, untuk menyuruh

panggil Sutan Mahmud. 

Setelah keluar dokter, si sakit tertidur kembali, sebagai 

kelelahan karena berkata-kata tadi. 

Dua jam kemudian datanglah Sutan Mahmud ke rumah sakit 

ini, lalu dibawa penjaga masuk bilik opsir tentara yang sakit tadi. 

Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka si sakit, sangatlah 

terperanjat ia, karena rupa opsir ini tak ubah dengan rupa 

anaknya Samsulbahri, yang telah ineninggal dunia di Jakarta, 

sepuluh tahun yang telah lalu. 

Dengan tiada dapat ditahannya, berlinang-linang air matanya, 

sebab terkenang nasib anaknya yang malang itu, yang telah 

membunuh dirinya, karena putus asa. Sekali-kali tiada disangka-

nya akan demikian untung anaknya yang sebiji mata itu. 

Sebenarnya ia telah lama menyesal akan perbuatannya, yang 

tergopoh-gopoh atas anaknya itu. Karena akan perbuatan 

anaknya itu berhubung dengan bangsa dan pangkatnya yang 

tinggi, diusirnya anaknya ini, sehingga istrinya yang hanya 

seorang, mati karena kesedihan hati dan anaknya yang tunggal 

mernbunuh diri, karena kedukaan. Setelah meninggal anaknya 

ini dan setelah dipikirkannya benar-benar perkara ini, terasa 

olehnya, bahwa kesalahan anaknya itu sebenarnya tiada 

seberapa. 

Percintaannya kepada Nurbaya, tak dapat disalahkan; karena

sejak kecil ia bercampur gaul dengan anak sahabatnya ini, 

sebagai seorang yang bersaudara kandung. Persangkaannya, 

bahkan pengharapannya pun, Nurbaya akan menjadi istri anak-

nya. Walaupun Nurbaya tiada berbangsa tinggi, tetapi tak 

mengapa. Kecantikan parasnya, kepandaiannya dan tingkah 

lakunya yang baik, telah cukup untuk pengganti kerugian 

kebangsawanan Padang. lstrinya, Ibu Samsu, bukan orang 

berbangsa, tetapi tiada menjadi alangan apa-apa bagi kehidupan 

bersuami-istri. Memang patut Samsu bersanding dengan 

Nurbaya, seorang cantik, seorang tangkas. Demikian kenang-

kenangan Sutan Mahmud. 

Maka terbayanglah di matanya pada waktu itu, anaknya 

duduk bersuka-sukaan dengan Nurbaya, sebagai orang yang 

bersuami-istri. Samsu sebagai seorang dokter dan Nurbaya, 

sedang memangku seorang anak laki-laki, cucunya. 

"Ah, kalau tak ada Datuk Meringgih jahanam itu, niscaya 

kenang-kenanganku ini bukan cita-cita, melainkan 

sebenarnyalah. Dan jika tiada karena bangsa dan pangkatku yang 

tinggi, barangkali tiada sampai kuusir anakku yang sebiji mata. 

Sekarang apa hendak dikata? Karena keduanya tak ada di 

dunia ini lagi. Semoga di akhirat dapat disampaikannya sekalian 

cita-cita dan hasrat hatinya, yang tiada diperolehnya di dunia 

ini."

Di situ bercucuran pula air matanya, jatuh berderai dengan 

tiada dirasainya. 

Sesungguhnya demikianlah, hati Sutan Mahmud. Sesal 

dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata pepatah. 

Walaupun engkau menjerit sampai ke langit sekalipun, 

kesalahanmu ini tak dapat diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa 

engkau menjatuhkan hukurnan atas anakmu waktu itu, 

barangkali tiada terjadi kesengsaraan dan kesedihan ini dan 

dapatlah kaucapai cita-citamu tadi. Tetapi karena engkau masih 

sangat terikat oleh kemegahan pangkat dan bangsamu, jadilah 

demikian kesudahannya. 

Tentu; mulut terdorong, mas padahannya; hukumanmu 

terdorong kepada anakmu, kesengsaraan dan kematian beberapa 

orang balasnya. "Terlebih besar dosamu atas kesalahanmu ini, 

karena engkau seorang kepala negeri, ibu-bapa, tempat meminta, 

tempat bertanya, tempat berlindung kepanasan, tempat berteduh 

kelrujanan, bagi anak buahmu. Engkaulah yang harus 

menyelesaikan yang kusut, memperjemih yang keruh dan 

memperbaiki yang rusak. 

Bila engkau kepada anakmu sendiri telah menjatuhkan 

hukuman yang seberat itu, hanya karena engkau bersangka harus 

berbuat sedemikian, karena kebangsawananmu dan pangkatmu 

yang tinggi, betapakah engkau akan melakukan kewajibaumu

dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya kepada oiang lain'' 

fiap-tiap kesalahan itu memang ada hukumannya dan inilah 

hukuman yang telah dijatuhkan Tuhan ke atas dirimu. Mudah-

mudahan dapatlah engkau memetik ibaratnya! 

Sementara Sutan Mahmud berdiri termenung memikirkari 

untung nasib anaknya yang malang dan merindukannya serta 

menyesal akan perbuatan yang tergesa-gesa, menunggu si sakit 

bangun, masuklah dokter tadi ke dalam bilik itu dan karena itu si 

sakit terjaga daripada tidurnya, lalu membuka matanya dan 

menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala dililiatnya Sutan Mahmud, 

lalu diperhatikannya Penghulu ini sejurus lamanya. Kemudian 

ditutupnya pula matanya dan dilambainya Penghulu ini dengan 

tangannya, supaya datang mendekatinya. Dokter dan penjaga 

berdiri agak jauh sedikit, karena tiada hendak mendengarkan 

percakapan yang mungkin tiada boleh didengar orang lain. 

Setelah hampirlah Nenohulu Sutan Mahmud, lalu berkatalah 

si sakit perlahan-lahan dengan putus-putus suaranya, "Tuanku 

Penghulu! Hamba minta datang Tuanku kemari, karena adalah 

suatu rahasia yang hendak hamba bukakan, sebelum hamba 

berpulang. Rahasia itu ialah permintaan anak Tuanku sendiri, 

Samsulbahri." 

"Anak hamba Samsulbahri yang telah meninggal dunia di 

Jakarta?" tanya Sutan Mahmud dengan terkejut.

"Ya, Samsu itu, yang tiada jadi mati," sahut si sakit. 

"Samsu tiada mati. Anak hamba tiada mati?" tanya Sutan 

Mahmud dengan tergesa-gesa dan amat herannya. 

"Benar," sahut si sakit. 

"Jadi ia masih hidup sekarang? Di manakah ia waktu ini? ... 

Tetapi betapakah Tuan tahu akan hal ini." 

"Sebab hamba waktu itu ada dalam rumah sakit, tempat ia 

diobati," lalu diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan 

diri Samsu di Jakarta dan apa sebabnya ia dikatakan telah mati. 

Kemudian ia masuk tentara, untuk mencari kematian, tetapi tiada 

diperolehnya juga. Akhirnya ia disuruh ke Padang untuk 

memadamkan huru-hara belasting. 

"Jika demikian, ia ada di Padang sekarang ini." kata Sutan 

Mahmud dan mukanya bercahaya karena kesukaan. 

"Benar ia datang bersama-sama hamba kemari dan berperang 

pun bersama-sama hamba pula. Pangkatnya Letnan dan namanya 

Mas, yaitu kebalikan namanya yang sebenarnya. Sam." 

Karena bercakap-cakap ini rupanya si sakit bertambah lelah 

sehingga berkata pun hampir tak dapat. Mukanya semakin pucat 

dan acap kali ia memegaug kepalanya, karena kesakitan. 

Setelah berhenti sejurus, berkata pula ia sambil mengangkat 

kepalanya sedikit, sebagai kuatir, suaranya tiada akan terdengar 

oleh Sutan Mahmud.

"Inilah pesannya: bila . . . ia ... mati minta ... dikuburkan ... 

antara ... ibunya ... dan ... Nurbaya ... Allahu Akbar!" 

Tatkala habis perkataan ini, habislah pula napas si sakit, lalu 

rebah ke tempat tidurnya dan berpulanglah ia dengan tenangnya. 

Walaupun kamatian si sakit ini amat tenang dan mudah 

rupanya, karena muka mayatnya tiada berubah, sebagai orang 

yang tidur biasa saja, sedang pada bibirnya masih berbekas 

senyum, seolah-olah suka meninggalkan dunia yang fana ini, 

tetapi Sutan Mahmud sangat terperanjat, melihat kematian yang 

tiba-tiba ini. Setelah ia berkomat-kamit membaca doa sejurus 

lamanya, seraya bertanya, "Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang 

datang dari Jakarta, bersama-sama Tuan yang baru meninggal 

ini? Di manakah ia sekarang ini?" 

"Letnan Mas?" tanya dokter dengan heran. 

"Ya, Letnan Mas, yang datang kemari untuk berperang 

dengan perusuh di Padang ini." kata Sutan Mahmud pula. 

"Tiada lain, melainkan inilah dia, yang baru meninggal dunia 

ini." jawab dokter. 

Tatkala Sutan Mahmud mendengar perkataan dokter ini, 

terpekiklah ia, lalu memeluk dan mencium mayat itu, sambil 

menangis tersedu-sedu; karena sekarang nyatalah olehnya, si 

sakit yang baru meninggal itu, tiada lain melainkan anaknya 

sendiri, Samsulbahri, yang telah sepuluh tahun dirindu-rindukan

nya, sekarang meninggal di hadapannya, dengan tiada dikenal-

nya. 

"Aduhai Anakku, biji mataku!! Mengapakah tiada dikatakan 

lebih dahulu, sehingga ayahda tiada tahu akan anak sendiri. 

Memang sejak terpandang mukamu tadi, ayanda telah syak 

wasangka; tetapi tiada berani membenarkan persangkaan itu, 

karena mustahil rasanya. Wahai! Mengapakah Ananda tiada 

hendak mengaku terus terang, melainkan menyembunyikan diri, 

sampai ananda tak ada lagi. Barangkali ananda masih marah 

kepada ayanda, sehingga tiada hendak mengaku bapa lagi 

kepada ayanda. 

Telah lama ayanda rasai dan ketahui kesalahan ayanda, 

karena telah menjatuhkan hukuman yang berat, ke atas diri 

Ananda, dengart tiada usul periksa yang sebaik-baiknya, 

sehingga sesal yang tak kunjung putus, telah menggoda ayanda. 

Oleh sebab itu, beringin benar ayanda beroleh maaf dari Ananda, 

dunia dan akhirat. 

Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala hidup dalam sepuluh 

tahun, tiada hendak kembali kepada ayanda, sehingga ayanda 

hanya diberi kesempatan sejurus lamanya, untuk bercakap-cakap 

dengan Ananda, yang tiada ayanda kenal lagi, pada penghabisan 

umur Ananda? 

Kesalahan ayanda kepada Ananda memanglah besar, tetapi

patut juga Ananda maklumi kekurangan orang tua, yang terikat 

oleh adat istiadat negerinya, sebagai ayanda ini. Sekarang apalah 

gunanya ayanda hidup lagi, seorang diri di atas dunia ini, karena 

Ananda tak ada lagi; sedang bunda Ananda pun telah lama pula 

meninggalkan ayanda. Bawalah ayanda bersama-sama, supaya 

dapat pula kita bercampur gaul, sebagai dahulu. Janganlah 

ayanda ditinggalkan seorang diri, di atas dunia ini! 

"Ya Allah, ya Tuhanku! Lekaslah cabut pula nyawaku ini, 

supaya dapat bertemu kembali dengan anak-istriku!" 

Maka pingsanlah Sutan Mahmud, tiada khabarkan dirinya 

lagi. 

Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah 

Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat 

orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan di 

Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bunga-

bungaan. Sebelah ke muka, di tengah-tengah dan sebelah ke 

belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda 

yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi. Di muka jenazah, 

berjalan dua orang muda. Yang membakar setanggi dan gaharu 

dalam perasapan yang ditaruh di atas dulang perak. Yang 

seorang lagi membawa bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri 

kanan jenazah ini, berjalan beberapa pemuda bangsawan, yang 

membawa tombak dan perisai, pedang dan panji-panji, dan lain

lainnya, yang biasa dibawa dalam upacara penguburan anak raja-

raja. Hanya gendang dan serunailah yang tiada kedengaran 

bunyinya, karena tiada dibenarkan oleh ulama-ulama. 

Di belakang jenazah ini, kelihatan haji-haji, syekh-syekh, 

ulama-ulama, yang tiada putus-putusnya zikir dan membaca doa. 

Di belakang mereka, berjalan pembesar, pegawai-pegawai, 

Kepala-Kepala, orang tua-tua, cerdik pandai, kaum bangsawan 

dan rakyat biasa. Di belakang itu pula, berbaris serdadu yang 

memakai pakaian kebesaran. 

Mulanya akan disertakan musik dan penembakan bedil, 

menurut aturan tentara, tetapi ini pun tiada dapat dibenarkan oleh 

kaum ulama. Sebagai penutup, kelihatan kendaraan pembesar-

pembesar kota Padang, dari sekalian bangsa yang berjejer 

sampai jauh ke belakang. 

Jenazah siapakah itu? Itulah jenazah Samsulbahri, anak Sutan 

Mahmud, Penghulu Padang yang terkenal, sebagai seorang 

bangsawan tinggi, yang dihormati dan dimuliakan orang. Bagi 

sahabat kenalannya, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi, 

peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik 

rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur 

gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa 

kesukaran peperangan. Itulah sebabnya, tatkala hidupnya 

dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah

seorang anak yang disayangi. 

Di antara orang yang banyak, yang mengantarkan jenazah 

ini, kelihatan seorang tua bungkuk, yang telah berambut putih, 

berjalan perlahan-lahan di sisi jenazah, sebentar-sebentar 

meminta ikut mendagang jenazah ini, dengan air matanya yang 

tergenang di pelupuk matanya, seraya berkata seorang diri, "Ya, 

inilah penanggungan orang yang dikurniai Tuhan umur yang 

panjang. Segala yang muda-muda, yang mendahuluinya, harus 

diantarkannya seorang ke dalam kubur, sampai datang giliran-

nya, ia sendiri diantarkan orang ke makamnya. 

"Alangkah beratnya bagi mereka yang harus melihat kekasih-

nya dilahirkan dan diambil kembali, oleh Yang Maha Kuasa. 

Ibunya kulihat dilahirkan, dan sepuluh tahun yang lalu, kuantar-

kan ia kekuburan. Anaknya ini, kulihat pula dilahirkan. Sekarang 

harus pula kuantarkan ia ke makamnya. Tetapi aku sendiri, 

bilakah datang giliranku? Dan siapakah yang akan mengantarkan 

aku ke kuburku?" Demikianlah pikiran orang tua itu, yakni kusir 

Ali yang sangat terikat hatinya kepada Samsulbahri dan ibunya. 

Di antara perempuan, yang banyak pula pergi mengantarkan, 

kelihatan Sitti Alirnah dengan ibu-bapanya, karena teringat akan 

Sitti Nurbaya, kekasih yang meninggal ini. 

Setelah jenazah Samsulbahri dibawa ke mesjid dan 

disembahyangkan di sana, barulah dibawa ke Gunung Padang,

tempat makam yang diminta oleh yang meninggal. Setelah 

sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam 

kubur, yang letaknya antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya, 

kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan 

umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu. 

Kemudian dibacakan talkin. 

Sekalian pembesar Belanda dan bangsa lain turut menimbun 

kubur itu dengan sekepal tanah dan akhirnya disiramilah kubur 

itu dengan air cendana dan disebarkanlah bunga-bungaan ke 

atasnya. Setelah itu berpidatolah seorang pembesar tentara, 

memperingati kegagahan dan kesetiaan yang meninggal, kepada 

Pemerintah. Ialah anak negeri yang mula-mula dapat mencapai 

pangkat yang setinggi itu dalam golongan tentara. Kemudian 

diucapkannya, supaya arwah yang meninggal mendapat 

kesentosaan dan kesejahteraan di alam yang baka. 

Setelah Sutan Mahmud mengucapkan terima kasih kepada 

pembesar ini dan kepada sekalian orang yang telah datang 

memperlihatkan kesedihan hatinya, dengan bersusah payah, ikut 

serta menyelamatkan jenazah anaknya dan setelah dimintakan-

nya maaf atas sekalian dosa kesalahan anaknya ini, yang dapat 

memberatinya di dalam kuburnya dan setelah dimintakannya 

pula doa sekalian yang hadir kepada Allah taala, untuk 

keselamatan Samsulbahri, pulanglah sekaliannya ke rumah

masing-masing. Hanya Sutan Mahmud dengan beberapa hajilah 

yang masih tinggal mengaji di sana. Kemudian mereka ini pun 

pulang pula dan tinggallah Sutan Mahmud dengan kusir Ali, 

termenung duduk di atas sebuah batu. Rupanya Sutan Mahmud 

terlalu berdukacita karena kematian anaknya ini dan amat 

menyesal akan perbuatannya yang telah lalu. 

Setelah malamlah hari, berjalanlah kedua mereka itu dari 

sana dan sunyilah di makam itu. Hanya Samsulbahrilah yang 

tinggal seorang diri, di tempatnya yang awal dan akhir ini. 

Insaflah insan akan dirimu, demikianlah juga akhirnya akan 

jadimu! 

Dua bulan kemudian, kelihatan pada suatu hari, dua orang 

muda naik bendi menuju ke Muara. Walaupun pakaian mereka 

cara Eropah, tetapi kopiahnya yang hitam itu menyatakan, bahwa 

mereka bangsa Bumiputra, anak negeri di sana. 

Seorang daripada mereka, berpangkat dokter dan seorang 

lagi, berpangkat opseter. Keduanya memegang seikat bunga 

dalam tangannya. Setelah sampai ke Muara, lalu mereka 

menyeberang sungai Arau dan mendaki Gunung Padang. Tatkala 

mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana 

olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan. Kelima 

kubur itu sama besar dan sama bentuknya. Pada tiap-tiap kepala 

kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang bertulis dengan

huruf air mas. Di kubur yang pertama tertulis "Inilah kubur 

Baginda Sulaiman, meninggal pada tanggal 5 Ramadan, tahun 

1315" 

Pada nisan yang kedua tertulis "Inilah kubur Siti Nurbaya, 

binti Baginda Sulaiman meninggal pada tanggal 5 Zulhidjdjah 

tahun 1315". 

Pada nisan yang ketiga tertulis "Inilah kubur Samsulbahri, 

anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal tanggal 5 

Syafar, tahun 1326". 

Pada nisan yang keempat tertulis, "Inilah kubur Sitti 

Maryam, istri Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada 

tanggal 5 Zulhijah 1315." 

Pada nisan yang kelima tertulis "Inilah kubur Sutan Mahmud, 

Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 8 Rabiulawal, tahun 

1326". 

Kedua anak muda tadi, lalu menaburkan bunga yang 

dibawanya ke atas kelima kubur ini, terlebih-lebih ke atas kubur 

yang kedua dan ketiga, sedang air matanya berlinang-linang. 

"Bakhtiar!" kata dokter itu. "Adakah engkau sangka, tatkala 

kira-kira sebelas tahun yang lalu, berjalan-jalan dengan Samsu 

dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya 

di sini? Masihkah engkau mengingat waktu itu, tiga bulan 

sebelum kita berangkat ke Jakarta?"

"Sesungguhnya, Arifin," jawab opseter, "tidak kusangka 

sekali-kali. Tetapi apa hendak dikata? Karena manusia itu tiada 

dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan haruslah menepati 

segala janji, yang telah diperbuat. Meskipun demikian, kelima 

mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan 

kelimanya. Akan tetapi kita ini, belum tentu lagi, entah di mana, 

entah dengan siapa." 

"Tetapi apakah sebabnya Engku Sutan Mahmud meninggal 

dengan tiba-tiba? Apakah sakitnya?" tanya Arifin pula. 

"Rindu akan anak-istrinya, menyesal akan perbuatannya," 

jawab Bakhtiar. 

"Kasihan," sahut Arifin. 

Setelah disuruh mereka beberapa fakir mengaji di sana, 

kembalilah keduanya pulang ke rumahnya. Hanya yang telah 

berkubur itu jugalah yang tinggal di sana, untuk selama-lamanya. 



                           TAMAT





























Share: