..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 08 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE TABIB SETAN

GENTO GUYON EPISODE TABIB SETAN

SATU


Sang surya belum lagi menampakkan 

diri di ufuk timur. Udara dingin di 

pinggir telaga masih terasa menusuk 

tulang. Tapi kakek tua berambut dan 

berjanggut putih itu sudah terjaga 

dari tidurnya. Dia menggeliat 

sedangkan mulutnya menguap lebar. 

Seolah ingat akan sesuatu, begitu 

selesai menyampirkan kantong 

perbekalannya yang butut dia pun 

bangkit berdiri. Sepasang mata si 

kakek memandang liar kian ke mari.

Setelah itu si kakek pun 

menyeringai ketika melihat benda yang 

dicari tergeletak tak jauh dari batu 

yang dijadikan alas tidurnya. Benda 

yang dicari si kakek ternyata hanya 

sebatang bambu sebesar lengan dengan 

panjang dua tombak di mana bagian 

ujungnya kecil. Bambu ini tidak beda 

dengan bambu yang sering dipergunakan 

orang untuk memancing. Dengan cepat si 

kakek menyambar bambu itu. Dari 

mulutnya terdengar dia berkata. "Jika 

bambu ini sampai hilang urusan bisa 

jadi repot."

"Kau hendak menyiksaku dengan 

benda celaka itu tabib?" Tiba-tiba 

saja terdengar suatu suara menyahuti,


membuat si kakek tertawa tergelak-

gelak. Dia lalu memandang ke atas. Di 

atas cabang pohon rendah, terlihat 

tergantung seorang bocah laki-laki 

berumur sekitar enam tahun. Bagian 

kepala menghadap ke bawah. Sedangkan 

kedua kakinya yang terikat di 

cantelkan ke cabang pohon. Sesekali 

tubuhnya tampak bergoyang-goyang bila 

bocah ini meronta. Nampaknya si bocah 

sangat tersiksa sekali. Sehingga dia 

kembali berkata dengan suara keras. 

"Tabib... cepat lepaskan ikatan di 

kakiku ini. Aku ingin bebas. Aku tak 

mau mengikutimu. Aku tak mau kau 

jadikan budak. Tabib, tabib gilaaa kau 

mendengar suaraku bukan?"

Si kakek hentikan tawanya. 

Matanya melotot memandang pada bocah 

gondrong yang tergantung. "Anak edan 

mana mungkin aku melepaskanmu. Kalau 

ikatan kulepas kau pasti akan minggat 

jauh. Kau harus ingat, hidupmu sudah 

ditakdirkan menjadi seorang budak. 

Sejak dirimu masih menjadi angin 

tanda-tanda itu sudah ada. Di ubun-

ubun, di puser bahkan di sekujur 

tubuhmu tanda-tanda kesialan itu sudah 

ada. Kau tak akan pernah menjadi orang 

besar. Tidak akan menjadi panglima 

atau patih, apalagi raja. Kalau pun 

mungkin kau pasti menjadi raja edan, 

raja cacing tanah dan paling tinggi 

raja para pengemis. Aku sudah melihat


semua itu. Hidup dan matimu sudah 

ditentukan oleh yang di atas. Dan kau 

tetap menjadi seorang budak. Kau akan 

menjadi budakku dari kecil sampai 

ubanan. Ha ha ha!" kata si tabib aneh 

disertai tawa panjang.

Bocah itu meronta. Dia kepalkan 

tangannya yang bebas bergerak. Matanya 

yang jenaka namun tajam berkedip-

kedip. "Tabib...!" kata si bocah. 

Karena si tabib diam saja si bocah 

berteriak. "Tabib setaaan... kau 

memang manusia setan. Lekas kau 

turunkan aku. Tubuhku terasa panas, 

aku ingin mandi!" kata si bocah sambil 

melirik ke arah telaga yang bening.

Si kakek menimang-nimang batang 

bambu di tangannya. Dia menatap bocah 

itu sebentar. Setelah itu tertawa 

lagi. "Bocah edan, muslihat apa lagi 

yang ada dalam batok kepalamu? Aku 

tahu akal bulusmu? Jangan pernah mimpi 

aku membebaskanmu. Ha ha ha!"

"Setan, aku bukan minta untuk 

dibebaskan. Buat apa aku mengharap 

belas kasihan darimu. Aku hanya 

mengatakan harap kan turunkan aku. Aku 

mau mandi." jawab si bocah. Lalu dia 

pun tiba-tiba ikut pula tertawa. Si 

kakek menjadi heran. 

"Kau... anak edan, apa yang kau 

tertawakan?" bentak si kakek yang 

sebenarnya memiliki nama asli Tabib 

Tapadara. Merasa heran tawa si bocah


makin menjadi-jadi. Beberapa saat 

kemudian ketika tawanya terhenti dia 

berkata.

"Kakek tabib kurasa dalam hidup 

kau hanya tahu ilmu pengobatan saja. 

Kau urusi orang lain, tapi pada dirimu 

sendiri kau jadi kurang urus. 

Menurutku sebaiknya kita mandi bersama 

dalam telaga." jawab si bocah sambil 

tersenyum-senyum.

"Anak edan. Kau tak perlu 

menggurui aku. Kemarin aku sudah 

mandi. Jika sekarang kau mau mandi, 

baik. Permintaanmu kukabulkan. 

Mandilah sepuasmu. Ha ha ha!" Sambil 

tertawa-tawa si kakek gerakkan ujung 

bambunya ke arah celah kedua kaki si 

bocah yang terikat.

Wuut!

Di lain saat si bocah kini 

tergantung di bagian ujung bambu. 

Karena ujung bambu itu sangat lentur 

maka tubuh si bocah terguncang keras 

terombang-ambing kian kemari tak mau 

diam. Ini tentu merupakan siksaan 

tersendiri bagi si bocah apalagi saat 

itu kepalanya menghadap ke bawah.

"Tabib Setaan... aku hendak kau 

bawa ke mana?" tanya si bocah kesal 

sekali.

Si kakek menyeringai. "Kau minta 

mandi, sekarang aku akan memandikanmu 

anak edan." jawab orang tua itu. Enak 

saja dan seakan tidak punya rasa belas


kasihan sama sekali bagian pangkal 

bambu dipikulnya. Sampai di pinggir 

telaga bambu diputar cepat hingga 

ujungnya yang diganduli si bocah 

berada di atas telaga. Gerakan cepat 

yang dilakukan si kakek membuat si 

bocah laksana dilontarkan, lalu 

berguncang keras ke kanan kiri dan 

gerakan bambu terhenti dengan tiba-

tiba di atas telaga.

"Orang tua, kepalaku pusing. Kau 

perlakukan diriku begini rupa, apakah 

kau kira aku ini seekor ikan?" gerutu 

si bocah sambil memijiti kepalanya 

yang berdenyut sakit.

"Kau seorang budak. Tadi kau 

minta mandi, sekarang mandi sepuasmu!" 

Dengan tidak terduga bambu yang 

dipegang si kakek digerakkan ke bawah. 

Begitu ujung bambu meluncur maka tubuh 

si bocah yang tergantung di sana 

dengan kaki di atas kepala menghadap 

ke permukaan air ikut pula meluncur. 

Byuur! Bleep!

Tubuh si bocah hingga ke bagian 

ujung bambu lenyap dalam kedalaman 

air. Air telaga bergelombang, si bocah 

meronta. Beberapa saat lamanya si 

bocah tenggelam dalam air, baru 

kemudian si kakek sentakkan bambu ke 

atas. Dengan begitu si bocah yang 

dalam keadaan basah kuyup ikut pula 

terahgkat. Si bocah megap-megap. "Tua


bangka edan, aku bisa mati jika kau 

perlakukan seperti ini!" makinya.

"Ha ha ha. Ini adalah cara mandi 

yang bagus dan sangat langka. Kau 

kutenggelamkan, lalu kuangkat. 

Tenggelam... diangkat... tenggelam di 

angkat lagi. Bagus bukan?" kata sang 

Tabib.

Baru saja bocah itu hendak 

mengatakan sesuatu, bambu digerakkan 

ke bawah. Dengan begitu bocah ini pun 

ikut meluncur dan tercebur lagi ke 

dalam telaga. Gerakan ini dilakukan

berulang kali oleh kakek tabib sampai 

akhirnya bocah itu menjadi lemas dan 

sulit bernafas.

Dengan nafas terengah-engah si 

bocah berkata. "Kakek tabib, terima 

kasih kau telah memandikan aku...!"

"Untuk ucapan terima kasihmu itu 

sekarang kau layak duduk dengan kaki 

tetap terikat!" ujar si kakek. 

Kemudian bambu digerakkannya. Kaki si 

bocah yang sengaja dicantolkan di sana 

terlepas. Tak ayal lagi bocah itu 

melayang dan jatuh dengan punggung 

menyentuh tanah di pinggiran telaga. 

Si bocah menggeliat kesakitan. Tapi 

kemudian setelah duduk dengan kaki 

terikat dia tersenyum. "Tabib 

Setan...!"

"Sekali lagi kau memanggilku 

Tabib Setan, kupecahkan kepalamu!" 

desis si kakek merasa tidak senang.


"Tindakanmu sejahat setan. 

Bagaimana aku tidak memanggilmu 

begitu?" rutuk si bocah.

Dengan sikap tak perduli dia 

melanjutkan.

"Tabib... setelah kau mandikan 

aku apakah kau tidak berniat mandi?"

"Eeh, kau hendak mengajari aku 

yang sudah tua bangka. Setiap saat 

badanku selalu wangi karena kubaluri 

ramuan khusus. Lalu buat apa aku 

mandi?!" Si kakek kemudian 

menyeringai, "Aku tahu kau pasti 

hendak mencari kesempatan untuk 

melarikan diri."

Si bocah gelengkan kepala.

"Buat apa lagi. Semua itu percuma 

karena kau pasti menemukan aku juga. 

Aku percaya tubuhmu bau wangi. Tapi 

rambutmu aku yakin bau pesing. Ha ha 

ha."

"Apa? Rambutku bau pesing?" desis 

si kakek. Kemudian cuping hidungnya 

kembang kempis sedangkan kedua tangan 

mengusap-usap rambutnya sendiri. 

Sebagian rambutnya ternyata memang 

basah. Ketika tangan yang memegang 

rambut diciumnya...."

"Hemm, bau pesing!" kata si bocah 

sambil tertawa-tawa. Sang Tabib 

mendelik garang, wajahnya yang 

diwarnai keriput nampak merah padam.


"Bocah edan. Kau kencingi aku 

disaat aku sedang tidur?" teriak Tabib 

Tapadara marah sekali.

"Salahmu sendiri tabib. Aku kau 

gantung di atas ketiduranmu. Malam 

tadi aku kedinginan. Karena kakiku kau 

ikat, terpaksa aku kencing begitu 

saja. Jika kau tak tidur dibawahku, 

mana mungkin air kencingku mengguyur 

kepalamu. Apakah engkau masih mau 

menyalahkan aku? Ha ha ha!" kata si 

bocah.

Tabib Tapadara sebenarnya sangat 

marah terhadap si bocah, namun setelah 

dia berpikir sejenak akhirnya dia 

menyadari semua itu memang 

kesalahannya sendiri.

"Bocah edan, gara-gara ulahmu 

sebagian ilmu yang kusimpan di 

kepalaku luntur. Seharusnya aku membu-

nuhmu saat ini juga. Tapi mengingat 

tenagamu masih kubutuhkan, kematianmu 

bisa kutunda untuk beberapa purnama 

lagi." Dengus si kakek.

Si bocah cibirkan mulutnya. 

"Sejak dulu kau selalu mengancamku. 

Tapi ancamanmu tak pernah kau 

buktikan. Apa kau mengira aku takui 

mati, tabib... setan...!"

"Bocah kurang ajar. Awas kau, 

jangan berani pergi ke mana-mana aku 

terpaksa membersihkan bau pesing di 

kepalaku." Tabib Tapadara tanpa 

menghiraukan ucapan bocah itu langsung


menuju ke pinggir telaga yang dangkal. 

Sebenarnya si bocah ingin 

mempergunakan kesempatan itu untuk 

melarikan diri, namun karena kakinya 

terikat dan tidak dapat dibukanya 

terpaksalah dia diam di situ. Akan 

tetapi kejahilan muncul di dalam 

pikiran si bocah. Dia lalu beringsut 

mendekati bambu yang selama ini selalu 

dipergunakan oleh si kakek untuk 

menggantungnya ke mana pun kakek ini 

pergi.

"Tabib edan. Bertahun-tahun aku 

berada dalam cengkeramanmu tanpa 

sedikit pun kau beri aku kebebasan. 

Sekali-kali kau harus tahu rasa" 

dengus bocah itu dalam hati. Kemudian 

dengan menggunakan ujung bambu itu 

didorongnya panggung Tabib Tapadara 

yang sedang mencuci rambut di pinggir 

telaga. 

Byuur!

"Ha ha ha. Basah sudah semuanya!" 

seru bocah itu sambil tertawa 

tergelak-gelak.

Sumpah serapah keluar dari mulut 

si kakek. Dia dalam keadaan basah 

kuyup melompat ke darat. Sampai di 

sana si kakek berlari, tangannya

berkelebat menyambar tangan bocah itu. 

Sekali angkat melayanglah tubuh bocah 

itu di udara.


"Tabib... kau hendak membunuhku. 

Tabib Setan...!" teriak si bocah 

ketakutan.

"Ternyata kau takut mati. Hemm... 

bocah menyebalkan!" gerutu si kakek. 

Dengan gerakan cepat dia menyambar 

bambu, kemudian ujung bambu diputar 

dan digerakkan sedemikian rupa. Di 

lain waktu celah kedua kaki si bocah 

yang dalam keadaan terikat sudah 

tergantung di ujung tombak itu.

"Sekarang tidak ada waktu lagi 

bagi kita untuk bermain-main. Kita 

harus pergi ke padang yang tak jauh 

dari lembah ini. Di sana kau harus 

mencari tetumbuhan untuk kujadikan 

ramuan." kata Tabib Tapadara.

Setelah itu sang tabib berlari 

secepat yang dapat dia lakukan. Karena 

larinya sesuka hati sendiri, tak ampun 

lagi si bocah yang digantung di ujung 

bambu yang lentur itu nampak pontang-

panting terlempar kian ke mari. Tidak 

dapat dibayangkan betapa tersiksanya 

bocah ini.

"Kakek tabib, jangan terlalu 

kencang kau berlari. Aku... aku mau 

muntah...!"

"Kalau mau muntah, muntah saja 

tidak ada yang melarang. Di ujung 

bambu itu kau bebas berbuat apa saja, 

termasuk buang hajat jika kau mau!" 

kata si kakek diiringi tawa panjang



DUA



Apa yang diucapkan Tabib Tapadara 

memang benar tak jauh dari telaga 

terdapat sebuah padang luas di mana 

beberapa jenis tetumbuhan yang biasa 

dapat dipergunakan sebagai ramuan obat 

tumbuh subur di sana.

"He he he. Apa yang aku butuhkan 

tumbuh di sini. Aku tidak perlu 

bersusah payah, biar bocah edan ini 

saja yang memetiknya." pikir sang 

tabib. Kemudian dengan enak saja dia 

menggerakkan bambu yang dipanggulnya. 

Wuut! Ujung bambu yang sangat lentur 

bergetar, dengan begitu si bocah yang 

tergantung di bagian ujungnya 

terpelanting di udara.

"Tabib Setan. Kau memang iblis 

edan. Ikut denganmu aku selalu 

mendapatkan sialnya melulu." maki si 

bocah sambil melakukan gerakan 

berjumpalitan. Sehingga ketika jatuh 

kedua tangannya yang terlebih dahulu 

menyentuh tanah.

Si kakek tertawa terkekeh. Tanpa 

bicara dia menghampiri bocah itu. Tali


dadung yang mengikat kedua kaki si 

bocah dilepaskannya. Begitu terlepas 

dia hendak melarikan diri. Tetapi

sekali tangan si kakek berkelebat 

bocah ini jatuh tersungkur. Dia 

delikkan matanya, sedang mulutnya 

berkomat-kamit seperti orang bisu yang 

marah.

"Tidak ada gunanya kau melarikan 

diri. Semua jalan tertutup buatmu. 

Budakku, sekarang tiba waktunya bagimu 

untuk mengumpulkan daun-daun untuk 

kujadikan ramuan. Tapi sebelum itu 

seperti biasa kutotok dulu urat besar 

di punggung dan lehermu. Ha ha ha."

"Artinya aku tidak bisa melarikan 

diri lagi?"

"Ya, kalau pun itu kau lakukan 

hanya dalam waktu setengah hari kau 

segera mampus. Wajahmu membiru, 

tubuhmu gosong. Sebelum mati kau akan 

mengalami penderitaan yang sangat 

hebat." Baru saja kakek ini selesai 

bicara, tangannya kiri kanan bergerak 

cepat. Tahu-tahu bocah ini mendapati 

tubuhnya sudah dalam keadaan tertotok. 

Dia menyeringai kesakitan. Bagian 

kepalanya seperti digigiti serangga 

sedangkan punggung laksana diganduli 

batu besar. Sehingga ketika dia 

berjalan kepalanya bergoyang-goyang 

seperti penderita penyakit ayan 

sedangkan bagian punggungnya terus


menggeliat seperti seorang penari. Si 

kakek tertawa terbahak-bahak.

"Sekarang kau benar-benar mirip 

penari edan. Hayo tunggu apa lagi, 

lakukan tugasmu!" perintah sang tabib. 

Karena bocah itu tetap tegak di 

tempatnya dengan badan serta kepala 

terus bergoyang tak mau diam akibat 

totokan, maka si kakek tabib jadi 

hilang rasa sabarnya. Ditepuknya 

pantat si bocah, hingga membuatnya 

melesat ke arah semak-semak di mana 

daun tetumbuhan yang dibutuhkan tabib 

itu berada.

"Edan... tua edan... dasar tabib 

setan...!" pekik si bocah yang merasa 

jantungnya laksana copot akibat 

tepukan menggunakan tenaga dalam yang 

dilakukan orang tua itu.

Makian bocah itu disambut dengan 

tawa si kakek. Dia sendiri lalu rebah 

menelentang di bawah sengatan 

matahari.

Apa yang terjadi antara tabib itu 

dengan si bocah ternyata tak lepas 

dari perhatian seorang kakek tua 

berbadan gemuk luar biasa berkening 

lebar bermuka bulat. Sebenarnya orang 

tua ini sudah menguntit mereka sejak 

beberapa hari ini. Tetapi si kakek

gendut besar nampak agak segan 

berhadapan dengan Tabib Tapadara.

Sehingga melihat ulah si tabib 

yang dinilainya sewenang-wenang


terhadap si bocah membuat kakek gendut 

besar itu hanya mampu mengurut dada.

Kini setelah melihat si bocah 

sedang memetik ramuan daun obat-obatan 

si kakek menyelinap di balik kelebatan 

pohon. Dia mendekati bocah itu. 

Setelah dekat, kerindangan pohon 

disibakkannya. Si bocah terperanjat. 

Si kakek menyengir. Bocah itu kedip-

kedipkan matanya.

"Kakek gendut... dut... dut.... 

Kau ini siapa?" tanya si bocah polos, 

sementara kedua tangannya tetap sibuk 

memetik dedaunan dan memasukkannya ke 

dalam kantong besar.

"Aku... aku Gentong Ketawa!" 

jawab kakek gendut itu. Sambil berkata 

mulutnya terbuka hendak tertawa. Namun 

tangannya yang besar cepat tekap 

mulutnya sendiri. "Aku tak boleh 

tertawa, nanti tabib itu melihatku!"

Bocah itu tersenyum. Sepasang 

matanya yang bulat seperti kelereng 

berputar-putar jenaka.

"Namamu aneh juga lucu. Tapi... 

badanmu memang bulat mirip gentong. 

Lagipula perutmu gendut besar, kek 

apakah kau sedang bunting? Mana 

isterimu?" tanya Si bocah polos.

Mendengar ucapan si bocah, sekali 

lagi si kakek gendut hampir tak kuasa 

menahan tawanya. Tapi sebagaimana 

tadi, kali ini dia buru-buru mendekap 

mulutnya.


Engkau sendiri siapa namamu?" 

tanya Gentong Ketawa. Ketika bicara si 

kakek tak lupa melirik ke arah 

lapangan di mana kakek tabib 

terlentang di sana berjemur matahari.

"Aku... aku tak tahu namaku. Aku 

belum diberi nama. Tabib tua yang 

sering kupanggil Tabib Setan suka 

memanggilku dengan nama bocah edan!" 

jawab si bocah.

"Bocah edan itu bukan nama. Kalau 

pun sebuah panggilan pasti cara 

memanggil yang jelek."

"Terkadang dia juga sering 

menyebutku, budak?!"

"Budak... kedudukannya lebih 

buruk dari kacung atau pembantu. 

Berarti dia orang jahat. Bagaimana 

kalau kau ikut denganku. Kau bisa 

menjadi muridku!" bujuk si kakek.

"Kalau kakek berani bilang sama 

tabib gila itu mungkin aku mau. Tapi 

nanti di sana aku kau suruh 

mengerjakan apa?" tanya si bocah 

dengan lugu.

Si kakek usap-usap keningnya yang 

lebar. Kalau dia harus bicara dengan 

Tabib Tapadara mana mungkin itu 

dilakukannya. Tabib tua itu selain 

sangat pandai dalam hal ilmu obat-

obatan juga memiliki kesaktian tinggi. 

Bukan kesaktian dan ilmunya itu yang 

membuatnya agak segan, melainkan 

karena sang tabib memiliki pukulan dan


beberapa jenis senjata rahasia 

beracun.

"Kau takut dengan tabib setan itu 

kek? Kulihat mukamu pucat, keringatmu 

bercucuran."

"Hus sembarangan. Siapa bilang 

aku takut. Aku tidak takut padanya. 

Hanya sekarang ini aku sedang malas 

saja berkelahi." kilah si kakek.

"Kalau takut ya sudah. Mungkin 

memang sudah jadi nasibku harus 

menjadi budaknya seumur hidup." kata 

bocah itu sedih.

"Kau jangan...!" ucapan Gentong 

Ketawa mendadak terputus karena pada 

saat itu terdengar suara Tabib 

Tapadara.

"Budakku, cepat ke mari. Aku 

dengar ada suara dari situ, kau bicara 

dengan siapa?"

"Aku bicara sama setan!" sahut si 

bocah dengan suara lantang.

Si kakek terlonjak kaget. Dia 

bangkit berdiri dan memandang ke arah 

di mana si bocah saat itu pura-pura 

sibuk mengumpulkan dedaunan.

"Apa kau bilang tadi?"

Bocah itu gelengkan kepala.

"Aku tidak bicara dengan

siapapun. Kau dengar?" rutuknya dengan 

mulut cemberut.

"Bocah edan. Aku yakin di sini 

banyak setannya. Sekarang setelah kau

dapatkan dedaunan itu cepat kemari.


Kita harus pergi. Aku merasa sejak 

beberapa hari ini kita telah dikuntit 

setan." kata si kakek tabib.

Di tempat persembunyiannya 

Gentong Ketawa memaki. "Sialan tabib 

gila itu. Aku dikatainya setan." 

gerutu si kakek gendut besar.

Sementara si bocah sempat 

melengak kaget ketika melihat ke balik 

kelebatan pohon ternyata si kakek tak 

tampak lagi berada di situ. Dengan 

sikap tanpa menimbulkan rasa curiga 

bocah itu akhinya kembali menjumpai 

Tabib Tapadara. Kantong berisi daun 

ramuan diambilnya. Kemudian dari balik 

pinggang dia mengeluarkan tali.

"Celaka dia mau menggantungku 

lagi." Desis si bocah.

Belum lagi hilang rasa kagetnya.

Sreet! Sreet!

Bluk!

Si bocah jatuh terjerembab. 

Kemudian Tabib Tapadara mengambil 

bambu. Ujung bamboo digerakkannya di 

celah kedua kaki bocah ini. Sekali 

lagi si kakek menggerakkan bambu ke 

bahunya maka tubuh si bocah yang 

tergantung itu terguncang keras. Si 

kakek kembali melanjutkan 

perjalanannya.

Belum lagi dia jauh mengayunkan 

langkah. Dari arah atas seakan datang 

dari langit sosok tubuh besar luar


biasa melayang dan jatuh dalam keadaan 

bersila persis di hadapannya.

Tabib Tapadara hentikan 

langkahnya. Dia pandangi orang tua 

berbaju hitam tidak terkancing ini 

dengan perasaan kaget juga heran. Lalu 

dia dongakkan kepala memandang ke 

langit. Mustahil kakek gendut besar 

itu jatuh dari langit.

Sementara itu si gendut Gentong 

Ketawa dengan sikap terkesan tidak 

perduli malah tadahkan tangannya. 

Dengan wajah memandang ke langit dan 

mata berkeriapan, mulutnya yang komat-

kamit mengeluarkan suara tak jelas. 

Terkadang seperti suara dengung 

kumbang, lalu berubah seperti suara 

angin puyuh dan di lain saat berubah 

seperti suara orang mengomel.

"Walah-walah... aku sedang 

berdoa. Doa apa saja, aku ingin punya 

murid. Aku ingin punya budak yang 

dapat mewarisi ilmuku... aku ingin 

punya...!" ucapan si kakek seakan 

terputus. Tapi aneh mulutnya tetap 

komat-kamit.

Dia nampak begitu bersemangat 

dalam konsentrasinya, sehingga kedua 

matanya pun dipejamkan. Beberapa saat 

suara Gentong Ketawa lenyap. Tapi 

kemudian terdengar lagi. "Aku melihat 

bocah digantung. Kasihan. Padahal 

kalau diberikan padaku, aku pasti 

tidak menolak. Kurasa tulangnya bagus,


kulitnya putih bersih. Kalau pun 

pantatnya burik tidak mengapa. Di 

bagian itu tak pernah dilihat orang, 

lagipula bisa ditutupi celana."

"Kakek tolol ini dukun atau apa? 

Kalau dia menghendaki aku jadi 

muridnya mengapa tak mau bicara terus 

terang dengan Tabib Setan?" gerutu 

bocah yang tergantung di ujung bambu 

bersungut-sungut.

Sementara itu kakek tabib yang 

memang sudah kaget melihat kehadiran 

Gentong Ketawa nampaknya tidak mau 

ambil perduii. Dengan sikap acuh Tabib 

Tapadara meninggalkan si kakek gendut 

besar ini begitu saja.

"Orang berdoa dan bertanya 

mengapa tak berjawab. Apa mungkin aku 

berhadapan dengan setan gagu? Kalau 

setan mengapa tubuhnya kelihatan dan 

kedua kali menginjak tanah? Kalau 

manusia mengapa tingkah lakunya 

seperti setan?" kata si kakek gendut 

masih dengan mata terpejam. Tapi 

kemudian daun telinganya bergerak-

gerak. Dia tak mendengar suara apa-

apa. Si kakek buka matanya. Ternyata 

si tabib sudah tak ada lagi di situ. 

"Dasar tabib kampret. Pergi tak mau 

bilang padaku. Bagaimana ya? Apakah 

bocah itu sebaiknya kularikan saja?" 

pikir si kakek. Dia bangkit dengan 

cepat. Lalu dengan tergesa-gesa pula 

dia mengikuti Tabib Tapadara.



TIGA


Tiga bocah berpakaian serba putih 

dan berkepala gundul plontos itu 

masing-masing sibuk memainkan toya, 

roda-roda terbang dan juga pedang 

hitam besar yang terbuat dari kayu 

batu.

Melihat cara mereka memainkan 

senjata, juga gerakan tubuh mereka 

yang indah mengagumkan jelas sekali 

kalau mereka ini adalah bocah-bocah 

yang sudah sangat terlatih dan paling 

tidak murid dari seorang guru yang 

memiliki kepandaian sangat tinggi.

Semua ini terlihat ketika bocah 

itu nampak saling menyerang satu sama 

lain dengan senjata andalan masing-

masing. Mula-mula si bocah ramping 

bermata bagus menggerakkan salah satu 

roda terbangnya ke arah si bocah 

bersenjata toya. Begitu roda bulat 

bergerigi tajam pada lingkaran luarnya 

menyambar ke arah dada. Maka dengan 

bertumpu pada ujung toya tubuhnya 

melenting ke udara. Toya dengan cepat 

digerakkannya ke arah roda terbang. 

Tung! Benturan yang terjadi 

membuat roda maut itu terpental 

membalik ke arah pemiliknya. Begitu


roda terbang pertama berbalik, maka 

roda terbang kedua melesat menghantam 

si botak bertoya yang kini sedang 

berjumpalitan di udara.

"Wei, Taktu curang. Mana boleh 

menyerang dengan dua senjata berturut-

turut!" seru si botak yang ada 

pitaknya di bagian belakang kepala. 

Bocah ini kemudian menggerakkan golok 

kayu batu di tangannya sambil 

melompat.

Tuing...!

Benturan keras terjadi. Botak 

bersenjata golok kayu batu yang sangat 

besar itu terhuyung-huyung, dia hampir 

terpental terseret berat golok kayunya 

sendiri. Sedangkan roda terbang milik 

si botak berbadan ramping jatuh 

berkerintangan di atas tanah berbatu.

Si bocah botak bersenjata toya 

jejakkan kakinya di atas tanah. Dia 

menyeringai, lalu mengusap kepala 

botaknya yang keringatan sebanyak tiga 

kali.

"Terima kasih Takwa. Kalau tidak 

kau tolong mungkin kepalaku sudah 

copot menggelinding. Taktu sangat 

keterlaluan. Kita sedang latihan 

mengapa menyerang sungguhan?"

Bocah yang dipanggil Takwa 

tertawa senang. "Dia memang begitu. 

Dari kecil liciknya sudah kelihatan." 

kata Takwa.


Si bocah berbadan ramping yang 

dipanggil Taktu tersenyum mencibir. 

"Kata guru walau sedang latihan kita 

harus bersikap sungguh-sungguh. Kita 

bertiga harus menjadi yang terbaik. 

Agar kelak kita dapat membantu guru 

dalam membalas dendam pada musuhnya!" 

tegas Taktu.

"Hi hi hi. Kita bukan sedang 

latihan. Kita sedang bermain-main. 

Lagipula jika guru sampai tahu kita 

berada di sini guru bisa marah. 

Sebaiknya kita pulang saja." usul 

bocah botak bersenjata toya yang biasa 

dipanggil Takga.

"Engkau benar, Takga." sahut 

bocah botak bertubuh ramping sambil 

memungut salah satu roda terbangnya 

yang tergeletak. "Mari kita tinggalkan 

tempat ini."

Takwa dan Takga menganggukkan 

kepala. Mereka kemudian berbalik 

langkah. Namun ketiga bocah berkepala 

botak ini menjadi kaget begitu melihat 

di depan mereka berdiri tegak seorang 

laki-laki berpakaian putih, berambut 

dan berjenggot putih. Yang membuat 

mereka jadi kecut, kakek itu memanggul 

sebatang bambu yang lazim dipergunakan 

untuk memancing. Sedangkan di ujung 

bambu tergantung seorang bocah 

berambut gondrong dengan kaki ke atas 

dan kepala ke bawah.


"Takwa, siapa kakek ini? 

Nampaknya dia jahat sekali." tanya 

Takga dengan suara pelan.

"Mungkin juga setan yang biasa 

menculik anak kecil. Sebaiknya kita 

jangan hiraukan dia. Kita pergi 

secepatnya!" jawab Takwa.

"Sobat-sobatku... kalian bertiga 

anak tuyul apa anak setan? Mengapa 

kepala dibotaki seperti itu?" kata si 

bocah yang tergantung begitu melihat 

ketiga bocah itu.

"Enak saja kau bilang kami anak 

setan." kata si botak bertubuh ramping 

sewot. "Kau sendiri siapa? Keadaanmu 

sungguh menggenaskan."

"Betul. Seperti nelayan membawa 

ikan." menimpali si botak ketiga.

"Bukan nelayan yang membawa ikan. 

Tapi seperti ayam bodoh yang hendak 

dipotong. Hi hi hi...!"ujar Takwa 

sambil tertawa-tawa.

"Ha ha ha. Para bocah botak yang 

membawa senjata. Dibandingkan ilmu 

yang kalian miliki. Tentu ilmu 

simpananku lebih hebat. Aku digantung 

seperti ini karena sedang menjalani 

latihan. Kau lihat kakek yang 

memikulku itu? Sudah setua itu dia 

menjadi budakku. Kalau aku tak berilmu 

tinggi mana mungkin ia mau kusuruh 

membawaku seperti ini."

Ketiga bocah berkepala botak ini 

melengak kaget. Menurut penglihatan


mereka kakek itu bukan orang tua 

bodoh. Paling tidak memiliki 

kepandaian tinggi. Jika benar apa yang 

dikatakan bocah yang tergantung di 

ujung bambu itu. Berarti bocah 

gondrong itu memiliki ilmu yang sangat 

tinggi.

Sebaliknya Tabib Tapadara menjadi 

geram sekali mendengar ucapan bocah 

yang menjadi budaknya. Sambil 

menggeram dia membentak. "Bocah edan. 

Kalau benar ucapanmu sekarang aku 

ingin mengadu antara kau dengan salah 

seorang diantaranya." kata si kakek 

tabib.

"Eeh, kau hendak berbuat apa 

tabib?" tanya si bocah.

"Ha ha ha. Kau takut berkelahi 

dengan mereka? Pengecut!" dengus Tabib 

Tapadara disertai senyum mengejek.

"Huh, siapa takut? Coba turunkan 

aku, biar kuhajar salah satu dari 

botak-botak itu biar tahu rasa!"

Tabib Tapadara menyeringai. Bambu 

di bahunya diguncang ke bawah baru 

kemudian ditariknya ke depan. Dengan 

begitu kaki si bocah tidak tersangkut 

lagi di ujung bambu hingga terus 

meluncur. Tapi si bocah tidak sampai 

jatuh dengan kepala menghantam tanah 

lebih dulu karena dia menggerakkan 

tangannya saat meluncur tadi sehingga 

kepalanya tidak hancur menghantam batu


sebagaimana yang diduga ketiga bocah 

berkepala botak ini.

Si kakek melepaskan tali yang 

mengikat kaki si bocah. Dia tersenyum. 

Namun bocah yang dijadikan pembantunya 

selama ini penuh rasa percaya diri. 

Hingga begitu terlepas dari ikatan dia 

langsung berdiri.

"Eh kalian para botak gundul. 

Apakah kalian ingin maju berbarengan 

melawanku atau satu persatu?" tanya 

bocah itu sambil bertolak pinggang.

"Aku Taktu...!"

"Apa itu Taktu?" tanya si bocah 

heran begitu melihat si botak berbadan 

ramping memperke-nalkan diri sambil 

menjura hormat.

"Taktu maksudnya botak ke satu. 

Sedangkan di sebelahku Takwa dan yang 

di sebelah sana Takga...!"

Mendengar penjelasan Taktu si 

bocah tak kuasa menahan tawanya.

"Nama kalian aneh amat. Mengapa 

di atas kepala kalian yang gundul itu 

tak diberi nomor saja sekalian biar 

orang mudah mengenali! Ha ha ha!"

"Eh, kau ini siapakah? Kalau mau 

menguji kepandaian tidak boleh 

menghina dan saling mencaci. Sekarang 

kau hanya tinggal mengatakan yang mana 

di antara kami yang kau inginkan 

melayanimu?" tanya Takga alias botak 

nomor tiga.


Si bocah tersenyum, lagaknya 

petentang-petenteng penuh rasa percaya 

diri. Sambil bertolak pinggang dia 

berkata. "Mestinya kalian bertiga maju 

berbarengan. Dengan begitu aku tak 

terlalu lama menguras tenaga. Tapi 

agar lebih adil bagaimana kalau kalian 

yang menentukannya sendiri?"

Si botak nomor dua melangkah 

maju. "Aku bersedia melayanimu, namun 

sebelum itu tolong sebutkan dulu siapa 

namamu?" kata bocah berbadan lebih 

tegap dari dua kawannya ini sambil 

mehgusap-usap kepalanya yang gundul

plontos.

Ditanya nama si bocah jadi 

bingung dan langsung menoleh pada si 

kakek tabib.

Seakan mengerti si tabib langsung 

menjawab. "Panggil saja bocah edan. 

Aku tidak sempat memberinya nama dan 

pasti aku tidak akan memberinya nama 

apapun."

"Aku pun tidak membutuhkan nama 

darimu, Tabib Setan!" dengus si bocah 

jadi geram sendiri.

Ketiga bocah botak itu saling 

pandang sesamanya.

"Kau bocah aneh. Nampaknya antara 

kau dan kakek setan itu memang tidak 

pernah akur. Tapi baiklah, sekarang 

aku mewakili kedua saudaraku yang 

lain. Aku Taktu ingin menunjukkan


sesuatu padamu, harap jangan memandang 

rendah padaku." kata bocah kesatu.

Si bocah gondrong tersenyum-

senyum. Beberapa saat lamanya dia 

pandangi si botak bertubuh ramping 

beralis lentik itu dari kepala sampai 

ke kaki. Lalu dia berucap. "Aku 

rasanya lebih senang berhadapan 

denganmu. Tutur katamu lembut, gerakan 

badanmu lemah gemulai. Aku yakin kau 

bocah banci. Ha ha ha!"

"Bocah gondrong lancang. Kau 

bertangan kosong akupun tanpa senjata. 

Sekarang lihat serangan!" teriak botak 

ke satu. Sambil berteriak keras si 

botak langsung menyerang. Tubuhnya 

dengan lincah berkelebat, tinjunya 

yang terkepal mendera kepala sedangkan 

kakinya menendang bagian perut si 

bocah gondrong.

Karena pada dasarnya memang tidak 

mengerti dasar maupun jurus-jurus 

silat maka si bocah menghindar 

sekenanya. Gerakan melompat ke 

belakang ini memang berhasil menghin-

dari serangan Taktu alias si botak ke 

satu. Namun begitu si botak mence-

carnya dengan serangan yang lebih 

cepat dan mengarah ke sekujur tubuhnya 

maka si bocah gondrong jadi kalang 

kabut. Dua tendangan beruntun yang 

dilepaskan oleh Taktu membuat si bocah 

terjengkang. Tapi tanpa menghiraukan


rasa sakit yang mendera dada dan 

perutnya dia bangkit lagi.

"Jurus silatmu membuat kepalaku 

pusing. Sekarang aku akan menyerangmu 

dengan jurus Kacau!" dengus si bocah.

Kakek tabib cibirkan bibirnya. 

"Jurus apa itu?" tanya Taktu 

heran. 

"Entah aku pun tak tahu kok!" 

sahut si bocah. Kemudian sebelum rasa 

heran di hati Taktu lenyap, maka si 

bocah sudah melompat ke depan, kedua 

tangan melakukan gerakan mendorong 

sedangkan kepala menyeruduk. Serangan 

yang sangat cepat ini tentu tak sempat 

dihindari oleh Taktu. Dengan telak 

kepala si bocah menghantam perut 

Taktu. Botak ke satu menyeringai, dia 

nampak terhuyung. Tapi ketika lawannya 

menyerang kembali maka kedua tangannya 

tepat menepiskan kepala si bocah. 

Plak! Plak!

Gusraak!

Si bocah gondrong jatuh 

terpelanting. Kepalanya yang ditampar 

lawan terasa sakit berdenyut, namun 

dengan masih penasaran dia merangkak 

bangkit.

"Eeh edan, kau sudah kalah. Buat 

apa diteruskan permainan kita?" ujar 

Taktu.

"Betul. Ternyata dia cuma ber-

mulut besar." Takwa menimpali. 

"Sebaiknya kita pergi!"


"Tapi... tapi...!" Si bocah jadi 

gugup, mukanya merah seperti habis 

kena tamparan pulang balik. Dalam 

kesempatan itu pula terdengar suara 

suitan panjang.

Ketiga bocah berkepala botak ini 

mendadak berubah jadi ketakutan. 

Mereka memutar badan, lalu lari 

berserabutan menghambur dalam semak 

belukar. Tabib Tapadara tidak 

mengejar, dia hanya berkacak pinggang 

sambil tertawa tergelak-gelak.

Melihat kakek tabib tertawa, maka 

si bocah pun ikut tertawa. Kakek itu 

sekonyong-konyong hentikan tawanya. 

Dia melangkah menghampiri si bocah. 

"Bocah tolol, sudah kalah malah 

tertawa. Anak edan... biar kujitaki 

kepalamu!" geram si kakek. Tangannya 

pun kemudian melayang ke kepala si 

bocah. 

Tak! Tak! Tak!

Jitakan pada bagian kepala itu 

sakitnya bukan main. Sehingga sambil 

berguling-guling dengan kedua 

tangannya si bocah lindungi kepalanya.

"Ampun Tabib Setan... ampun...!" 

rintih si bocah.

"Dasar budak tidak berguna, hanya 

membikin malu! Sekarang biar 

kupatahkan tangan dan kakimu!" berkata 

begitu si kakek melompat mendekati si 

bocah gondrong, sedangkan tangannya 

berkelebat menyambar kaki bocah ini.


Walaupun si bocah sudah berusaha 

menghindar nampaknya dia tak mungkin 

dapat menyelamatkan diri dari 

kekejaman si kakek tabib. Akan tetapi 

pada waktu bersamaan dari balik 

kerimbunan semak belukar melesat satu 

benda yang langsung menghantam tangan 

si tabib.

Pletak!

"Akh...!" 

Tabib Tapadara menjerit kesakitan 

sambil menarik tangan yang terasa 

seperti dihantam palu godam. Belum 

lagi hilang rasa kagetnya dari arah 

semak-semak melayang sosok besar yang 

kemudian jatuh di antara kakek tabib 

dan si bocah. 

Bluuk!

"Setan alas, kau lagi?!" maki 

Tabib Tapadara gusar. Seakan tidak 

menghiraukan ucapan orang, si gendut 

besar yang jatuhkan diri sambil 

bersila ini kembali keluarkan racauan 

seperti orang berdoa.

"Manusia terlahir tanpa dosa. 

Mengapa hendak disakiti? Kalau kau tak 

berkenan mengurusnya biar aku yang 

memeliharanya. Tuhan... Tuhan... 

berikan dia padaku." kata si kakek 

gendut besar alias Gentong Ketawa 

dengan mulut terus meracau.

"Kakek gendut, apakah bisamu cuma 

berdoa melulu? Kulihat kau begitu 

takut pada Tabib Setan. Padahal dia


bukan orang yang pantas kau takuti. 

Badanmu besar, sedangkan kakek itu 

kerempeng. Sekali kau memukulnya pasti 

ampasnya mejret." celetuk si bocah 

yang kini sudah bangkit berdiri dan 

siap mengambil langkah seribu.

Gerak-gerik si bocah ternyata 

tidak lepas dari perhatian sang tabib. 

Sekali dia bergerak maka si bocah 

sudah dalam keadaan kaku tertotok tak 

mampu bergerak lagi.

"Bocah edan. Kau diam di sini! 

Biar kubereskan semua urusanku dengan 

setan gendut yang satu ini!" dengus 

Tabib Tapadara. Dia lalu berbalik dan 

menghadap langsung ke arah Gentong 

Ketawa.

Mulutnya menyeringai ketika 

melihat si kakek gendut masih juga 

meracau seperti orang berdoa sambil 

mengangkat kedua tangannya.


EMPAT


Gendut, mengapa kau selalu 

mengikuti kami? Apa sebenarnya yang 

kau inginkan?" hardik Tapadara marah. 

Dalam hati dia merasa yakin, pasti 

orang tua ini tadi yang telah 

menggagalkan niatnya mematahkan tangan 

si bocah.


Gentong Ketawa pura-pura kaget, 

lalu buka matanya yang terpejam.

"Ee... apakah engkau bicara 

denganku, tabib?" 

"Betul."

"Aku sengaja mengikutimu karena 

aku ingin meminta anak itu untuk 

kuangkat sebagai muridku." sahut 

Gentong Ketawa sambil menyembunyikan 

rasa takutnya. Sebenarnya dia sendiri 

belum pernah bentrok dengan Tabib 

Tapadara yang dikenal dengan julukan 

Tabib Sesat Timur dan oleh si bocah 

sering disebut Tabib Setan. Namun 

karena Gentong Ketawa sering mendengar 

sepak terjang dan keganasan tabib ini 

tidak urung berhadapan dengannya 

membuat hati si kakek menjadi keder 

juga.

Mendengar keinginan Gentong 

Ketawa, Tabib Tapadara dongakkan 

kepala ke langit. Kemudian terdengar 

tawanya yang keras menyeramkan;

"Kau inginkan bocah edan itu?" 

hardik sang tabib sesat setelah 

tawanya lenyap.

"Begitulah. Daripada kau gantung 

mubazir, bukankah lebih baik ikut 

denganku?' ujar si kakek.

"Huh, apa kau kira akan semudah 

itu. Terkecuali kau mau memenuhi 

syarat-syarat yang kuajukan."

"Apa syaratmu? Jika aku sanggup 

pasti akan kupenuhi." jawab Gentong


Ketawa sambil kedipkan matanya ke arah 

si bocah. Bocah yang dikedipi malah 

unjukkan wajah cemberut.

"Syaratnya mudah, Kau harus 

bertarung denganku sampai salah 

seorang di antara kita ada yang 

kalah!" kata Tabib Sesat Timur.

"Seandainya aku yang menang?"

"Kau boleh membawanya. Dengan 

catatan kelak aku akan memberikan 

beberapa ilmu penting padanya."

"Seandainya aku kalah?" tanya 

Gentong Ketawa.

"Ha ha ha. Seandainya kau kalah, 

berarti budakku bertambah satu lagi. 

Aku akan memiliki dua budak yang harus 

patuh dan mengerjakan seluruh 

perintahku," tegas Tabib Tapadara.

Wajah si kakek sempat berubah 

pucat, perasaannya jadi ciut. Namun di 

lain kejab dia ikutan tertawa. Si 

bocah tentu saja menjadi sangat heran. 

Sedangkan si kakek seketika itu juga 

hentikan tawanya.

"Apa yang kau tertawakan?"

"Rupanya kau manusia serakah 

tabib. Jika aku menjadi budakmu apakah 

engkau akan mencantelkan aku di ujung 

bambu sebagaimana yang kau lakukan 

pada bocah itu? Badanmu kalah besar 

dengan badanku. Kalau itu sampai 

terjadi, aku takut bahumu miring dan 

punggungmu patah. Ha ha ha!" ejekan 

Gentong Ketawa membuat wajah Tabib


Ketawa sambil kedipkan matanya ke arah 

si bocah. Bocah yang dikedipi malah 

unjukkan wajah cemberut.

"Syaratnya mudah, Kau harus 

bertarung denganku sampai salah 

seorang di antara kita ada yang 

kalah!" kata Tabib Sesat Timur.

"Seandainya aku yang menang?"

"Kau boleh membawanya. Dengan 

catatan kelak aku akan memberikan 

beberapa ilmu penting padanya."

"Seandainya aku kalah?" tanya 

Gentong Ketawa.

"Ha ha ha. Seandainya kau kalah, 

berarti budakku bertambah satu lagi. 

Aku akan memiliki dua budak yang harus 

patuh dan mengerjakan seluruh 

perintahku," tegas Tabib Tapadara.

Wajah si kakek sempat berubah 

pucat, perasaannya jadi ciut. Namun di 

lain kejab dia ikutan tertawa. Si 

bocah tentu saja menjadi sangat heran. 

Sedangkan si kakek seketika itu juga 

hentikan tawanya.

"Apa yang kau tertawakan?"

"Rupanya kau manusia serakah 

tabib. Jika aku menjadi budakmu apakah 

engkau akan mencantelkan aku di ujung 

bambu sebagaimana yang kau lakukan 

pada bocah itu? Badanmu kalah besar 

dengan badanku. Kalau itu sampai 

terjadi, aku takut bahumu miring dan 

punggungmu patah. Ha ha ha!" ejekan 

Gentong Ketawa membuat wajah Tabib


Sesat Timur jadi memerah. Dia lalu 

melompat ke depan, sambil kirimkan 

satu jotosan si tabib membentak. "Tua 

bangka calon budak. Sekarang terimalah 

gebukanku!"

Walaupun saat itu yang diserang 

dalam keadaan duduk. Namun hanya 

dengan menggulingkan tubuhnya ke 

samping kiri, serangan tabib Tapadara 

mengenai tempat kosong.

Melihat kejadian ini si bocah 

yang dalam keadaan kaku tegak tertawa 

mengikik. "Dasar Tabib Setan, mulut 

saja yang besar tapi tak punya 

kebecusan apa-apa."

"Bocah setan, berani kau 

mengejekku nanti aku cambuk 

punggungmu!" seru si kakek tabib.

"Apa yang kau katakan hanya 

terjadi jika kau memenangkan 

pertarungan dengan si gendut itu 

bukan?" sahut si bocah hingga membuat 

telinga Tabib Sesat Timur jadi 

memerah. Diam-diam dia salurkan tenaga 

dalamnya ke arah tangan. Dalam waktu 

sekejab kedua telapak tangannya 

berubah menghitam sampai sebatas siku. 

Kakek Gentong Ketawa melengak kaget 

melihat perubahan ini.

Tak mau kalah dia juga kerahkan 

tenaga saktinya siap melepaskan 

pukulan Raja Dewa Ketawa. Laksana 

kilat si kakek memutar tangannya ke 

samping. Setelah itu tangan digerakkan


ke depan. Bersamaan dengan itu pula 

dengan gerakan yang sangat ringan 

Gentong Ketawa melesat ke udara. Hal 

yang sama pun dilakukan oleh lawannya, 

sehingga bentrokan tenaga dalam pun 

tak dapat dihindari lagi.

Plaak!

Dess!

Dua sosok tubuh sama terpental ke 

belakang. Tabib Tapadara jatuh 

terguling. Sedangkan Gentong Ketawa 

meskipun sempat terhuyung-huyung namun 

sempat jejakkan kakinya. Si kakek 

menyeringai menahan sakit, kedua 

tangannya seperti remuk. Namun dia 

masih dapat tertawa he-he-he-he.

"Tabib.. hayo tunggu apa lagi? 

Jangan bermalas-malasan di situ. 

Sekarang ini badanku sudah pegal-

pegal!" kata si gendut besar.

"Jangan bangga dulu. Hiaa...!" 

sambil berteriak Tabib Tapadara 

melompat ke depan. Kakinya menyambar 

deras ke kaki Gentong Ketawa. Gerakan 

ini walaupun sulit namun masih dapat 

dihindari oleh si gendut. Tapi tanpa 

disangka-sangka, sang tabib gerakkan 

tangan kirinya ke bagian perut. 

Gentong Ketawa menangkis. Tabib 

Tapadara menarik serangan tangan kiri, 

di saat yang bersamaan dia susupkan 

pula tangan kanan.


Melihat serangan ganas yang 

datang demikian cepatnya, maka Gentong 

Ketawa busungkan perutnya. 

Dheel!

Hantaman yang mengenai perut 

membuat kakek tabib terpental sampai 

sejauh tiga tombak. Dia jadi kaget 

karena tangan yang dipergunakan untuk 

memukul tidak ubahnya seperti menghan-

tam karung karet. Tapi aneh tangan 

Tabib Sesat Timur jadi memar membiru.

"Edan, punya ilmu apa kadal 

bunting itu?" maki kakek tabib dalam 

hati.

Melihat kenyataan ini sekali lagi 

si bocah tertawa tergelak-gelak. 

Sedangkan Gentong Ketawa kedipkan 

matanya pada si bocah. Melihat ulah si 

gendut dan bocah itu makin mendidihlah 

darah Tabib Sesat Timur. Sekonyong-

konyong dia bangkit berdiri. Sambil 

mengusap dan memijit tangannya yang 

sakit bukan main, mata sang tabib 

melotot jelalatan memandang ke arah 

Gentong Ketawa dan si bocah silih 

berganti.

"Kadal gendut. Aku akan 

mempesiangi tubuhmu. Kurasa tubuhmu 

cocok untuk dijadikan campuran ramuan 

khusus!" geram Tabib Tapadara sengit.

"Ha ha ha. Kau dengar bocah! 

Majikanmu hendak menjadikan diriku 

sebagai campuran ramuan. Tapi terus 

terang, aku ini masih keturunan dewa.


Dagingku tidak enak. Bila dimasak 

malah jadi racun, apakah kau mau bunuh 

diri?" ejek kakek Gentong Ketawa. 

Ucapan orang tua itu paling tidak 

membuat kaget Tabib Sesat Timur. Dia 

memang baru kali ini bertemu dengan 

Gentong Ketawa, namun sering mendengar 

orang tua dari lereng Merbabu ini 

banyak disebut orang sebagai dewa 

penolong. Mengingat kehadirannya 

selalu menjatuhkan diri dari atas, 

bisa saja gendut besar ini memang dewa 

benaran.

Tapi rasa penasaran dan amarah 

telah membuatnya lupa segala. Tanpa 

pernah terduga tiba-tiba dia menerjang 

ke depan. Sambil melompat kedua 

tangannya meraup kantong perbekalan. 

Setelah itu secara serentak kedua 

tangan langsung dihantamkan ke arah si 

kakek.

"Curang...! Kakek gendut 

menghindar. Tabib Setan menyambitkan 

senjata rahasianya kepadamu!" teriak 

si bocah.

Tidak diberi peringatan sekalipun 

Gentong Ketawa memang sudah 

melihatnya. Sambil kibaskan ujung 

bawah bajunya yang tidak terkancing 

enak saja dia berkata. "Diam saja kau 

di situ bocah. Senjata rahasia yang 

disambitkan padamu ini kecil-kecil. 

Apakah kau pernah melihat kakek setan


ini menunjukkan senjata rahasianya 

yang lain? Ha ha ha!"

"Pernah tapi hanya sehari dua 

kali, itupun di saat dia sedang 

kencing. Hi hi hi!" sahut si bocah.

Mendengar ucapan kedua orang ini 

amarah si kakek bagaikan air bah yang 

meluap. Namun pada saat itu dia 

mendengar dari bagian ujung jubah 

lawannya mengeluarkan suara 

menggemuruh hebat. Angin laksana badai 

melabrak habis senjata rahasia yang 

disambitkan oleh Tabib Sesat Timur, 

sebagian senjata rahasia rontok dan 

sebagian lagi berbalik menyerang 

tuannya sendiri. Si kakek jadi 

terkesiap, wajahnya pucat dan nyaris 

tak dapat menahan kencing saking 

kecutnya. Namun dengan cepat dia 

bantingkan diri ke kanan cari selamat. 

Senjata rahasia lewat di atasnya dan 

menancap di batang pohon. Pohon itu 

langsung layu, daunnya berguguran.

Gentong Ketawa bergidik seram. 

Tak terbayangkan jika tubuhnya yang 

terkena sambitan senjata, bukan 

nyawanya saja yang rontok, tapi 

mungkin juga semua bulu yang tumbuh di 

sekujur tubuhnya ikut rontok tak 

tersisa.

"Bagaimana Tabib, apakah kau 

mengaku kalah?" tanya Gentong Ketawa 

sambil leletkan lidah.


"Ha ha ha! Tabib Sesat Timur

kalah?" ejek si kakek tabib. Dari 

balik pakaiannya dia mengeluarkan 

sebuah lonceng berwarna kuning terbuat 

dari bahan perunggu. Melihat si tabib 

keluarkan senjata andalannya maka si 

bocah kembali keluarkan seruan.

"Kakek gendut jangan bengong 

seperti monyet pikun. Dia keluarkan 

Genta Kematian. Jangankan kau, dulu 

ratusan gajah pun mati ketika Tabib 

Setan itu mengamuk!"

"Dia punya senjata aku juga 

punya. Tapi tidak ada gunanya 

kukeluarkan sekarang. Saat ini aku 

ingin sekali mendengar suara 

gemerincing biar aku bisa menari." 

sahut Gentong Ketawa.

"Ha ha ha. Kau ingin menari? 

Menarilah sambil berangkat ke 

akherat!" seru si kakek. Detik itu 

juga dia gerakkan lonceng di 

tangannya. Terdengar suara gemerincing 

aneh yang langsung terasa menusuk ke 

dalam telinga.

"Akhrrr... tabib edan. Hentikan 

suara lonceng celaka itu!" teriak si 

bocah sambil mendekap kedua telinganya 

dengan jemari tangan. Sementara itu 

Gentong Ketawa yang memang menutup 

indera pendengarannya nampak mulai 

menggoyangkan pinggulnya dengan 

gerakan seperti orang yang menari. 

Namun dentrang suara lonceng semakin


lama semakin meninggi, si bocah nampak 

terhuyung-huyung akibat pengaruh suara 

Genta Kematian yang terasa semakin 

menusuk-nusuk liang telinganya.

Si bocah akhirnya terkapar tak 

sadarkan diri. Sementara itu gerakan 

tarian lucu si kakek kini nampak mulai 

kacau. Tubuhnya bergetar, keringat 

bercucuran akibat pengaruh getaran 

suara yang ditimbulkan lonceng itu. 

Sampai akhirnya si kakek hentikan 

tariannya. Sambil salurkan tenaga 

dalam dia membentak. 

"Bocah itu sudah kau buat 

pingsan. Semua ini menandakan suara 

loncengmu tidak enak untuk didengar. 

Aku sendiri sudah bosan menari. 

Bagaimana jika sekarang lonceng

kuhancurkan dan kau kuminta untuk 

menangis?" 

"Ha ha ha! Mengapa harus berhenti 

menari? Hayo menarilah sampai tua!" 

sahut Tabib Sesat Timur.

"Baik, aku yang menari kau yang 

menangis!" dengus Gentong Ketawa. 

Bersamaan dengan ucapannya itu si 

kakek hantamkan kedua tangannya ke 

depan melepaskan satu pukulan hebat 

yang dikenal dengan nama Iblis Ketawa 

Dewa Menangis. Selarik sinar pelangi 

melesat laksana kilat menghantam 

lonceng di tangan lawannya. Tidak mau 

kalah Tabib Tapadara juga kerontangkan 

lonceng maut itu. Dari bagian dalam


lonceng membersit keluar cahaya kuning 

kemilau yang langsung memapas serangan 

Gentong Ketawa.

Ledakan dahsyat pun menggema di 

udara. Gentong Ketawa jatuh terduduk 

sedangkan Tabib Tapadara terpelanting. 

Sebagian lingkaran bawah lonceng 

meleleh, dari mulut si tabib menyembur 

darah segar.

Tabib Sesat Timur seka darah yang 

meleleh di sudut bibirnya. Dia lalu 

mengambil dua buah pil berwarna merah 

dan langsung menelannya. Dengan 

terhuyung-huyung dia bangkit, setelah 

berdiri tegak si kakek berkata. 

"Kadal gendut, aku mengaku kalah. 

Tapi ingat kelak aku akan mencarimu 

dan juga bocah itu. Kuharap kau dapat 

mendidiknya dengan baik." Sang tabib 

kemudian mengeluarkan tiga butir 

berwarna merah, hitam dan biru. Dia 

menghampiri si bocah dan memasukkan 

tiga butir pil warna-warni tadi ke 

dalam mulut si bocah.

"Heh, apa yang kau lakukan?" 

tanya Gentong Ketawa curiga.

"Ha ha ha. Bisa jadi racun yang 

mematikan. Kau bawa saja dia. Jika kau 

berjodoh dengannya tentu kau segera 

mempunyai murid, jika nasibmu sial 

paling tidak kau harus membuatkan 

sebuah kubur untuknya!" sahut Tabib 

Tapadara sambil melangkah pergi.


"Kurang ajar. Jika dia sampai 

tidak tertolong, kelak aku pasti akan 

mencarimu!" teriak si kakek. Kemudian 

orang tua ini berlutut di samping si 

bocah. Telinganya didekatkan ke dada 

searah dengan jantung bocah itu. 

Terdengar suara degupan lemah.

Si kakek menyeringai. "Ha ha ha. 

Ternyata dia masih hidup... ha ha 

ha... masih hidup!" katanya nampak 

girang sekali. Si bocah lalu 

dipanggulnya. Sambil tertawa-tawa dia 

membawa bocah itu pergi.



LIMA


 

Bagian halaman samping gedung 

Senopati malam hari tiga tahun yang 

lalu. Ni Seroja gadis cantik 

berpakaian serba putih memegang jemari 

tangan Sanjaya dengan erat, seakan dia 

takut kehilangan pemuda tampan putera 

Tumenggung Ageng Tirtamaya yang sangat 

dikasihinya. Beberapa saat berlalu, 

suasana dicekam kebisuan. Ketika Ni 

Seroja tengadahkan wajahnya Sanjaya 

dapat melihat betapa sepasang mata Ni 

Seroja nampak berkaca-kaca.

"Tidak usah menangis. Pertemuan 

jodoh dan maut semuanya ada di tangan 

 Gusti Allah. Tak ada seorang pun 

manusia di dunia ini yang mampu 

melawan kehendak sang takdir. Saat ini 

aku tak bisa berbuat apapun. Aku bukan 

dari keluarga baik-baik. Ayahku baru 

saja meninggal di tiang gantungan. Di 

mata saudaramu aku juga turut 

menanggung akibatnya!" kata Sanjaya 

dengan wajah muram dan perasaan sedih.

"Kakang, apapun kata Senopati aku 

tak perduli. Aku sangat mencintaimu. 

Aku tetap ingin hidup bersamamu!" 

sergah Ni Seroja seakan tidak rela 

jika harus berpisah dengan Sanjaya.

"Siapa yang sanggup menentang 

kekuasaan saudaramu? Dia seorang 

Senopati yang memiiiki kekuatan dan 

kekuasaan. Tak mungkin aku yang tidak 

mempunyai kekuatan apa-apa menentang 

apa yang menjadi keputusannya. Walau 

tak jauh di lubuk hati aku tahu 

rasanya tak sanggup berpisah 

denganmu." jawab Sanjaya sedih.

"Kakang bagaimana kalau kita 

melarikan diri saja? Kita tak punya 

pilihan lain, lagipula kita juga tak 

mungkin bisa melakukan pertemuan 

rahasia seperti ini terus menerus. 

Lama kelamaan kakang Adipati bisa 

mengetahuinya. Jika hal itu sampai 

terjadi, bukan hanya kakang Sanjaya 

tapi aku juga bisa dijatuhi hukuman 

berat!" ujar si gadis. Apa yang 

dikatakan Ni Seroja memang benar.


Sejak Tumenggung Ageng Tirtamaya 

diketahui menggelapkan upeti milik 

kerajaan Senopati Lambak Renggono 

melarang keras adiknya bertemu dengan 

Sanjaya, pemuda yang menjadi kekasih 

Ni Seroja. Apalagi sejak dulu Senopati 

memang tidak menyukai pemuda itu dan 

keluarganya.

"Jadi aku harus bagaimana, adik. 

Menentang larangan Senopati sama saja 

artinya dengan mencari mati. Aku 

sendiri sebenarnya tidak takut dengan 

semua ancamannya. Tapi bagaimana 

dengan dirimu sendiri?" tanya Sanjaya 

pelan. 

"Bagiku menyeberangi lautan api 

pun asal kita dapat bersama-sama

selalu rasanya tidak ada masalah." 

tegas Ni Seroja.

"Kalau itu sudah menjadi tekadmu, 

kurasa jalan satu-satunya agar kita 

dapat mewujudkan semua impian itu 

memang harus melarikan diri. Besok 

malam aku akan menunggumu di luar 

benteng gedung Senopati."

"Tidak besok, kakang, tapi 

sekarang! Sekarang saatnya yang tepat 

untuk mewujudkan semua impian kita!" 

desah Ni Seroja tegas.

"Lebih baik hidup memeluk mimpi 

daripada harus menjalani kenyataan 

yang kulaknat!" satu bentakan keras 

tiba-tiba mengumandang dalam kegelapan 

yang sunyi disertai berkelebatnya satu


sosok bayangan ke arah mereka. Kejut 

kedua insan yang saling jatuh cinta 

itu bukan kepalang. Apalagi ketika 

mereka memandang ke depan, ternyata di 

situ telah berdiri tegak seorang laki-

laki berusia tiga puluhan, berpakaian 

mewah bertopi tinggi. Di belakang 

laki-laki yang bukan lain adalah 

Senopati Lambak Renggono, saudara tua 

Ni Seroja. Di belakang Senopati hadir 

pula tiga perwira pembantu Senopati. 

Beberapa saat lamanya Senopati menatap 

Sanjaya dan adiknya dengan penuh rasa 

benci.

"Ni Seroja, apa kau tak tahu 

siapa pemuda yang kau cintai? Ayahnya 

penghianat kerajaan. Dia manusia yang 

tidak memiliki martabat sama sekali. 

Kedudukannya sama rendah dengan hewan. 

Dengan manusia seperti itu kau

menumpahkan segala harapan hidup? 

Puah... malam ini kau tak akan pergi 

ke manapun!" hardik Senopati keras.

"Kakang, aku hanya ingin 

menjalani hidup sesuai dengan 

pilihanku. Jika kau tak suka atau 

merasa malu aku akan pergi jauh 

darimu. Kalau pun ada yang bersalah 

dalam hal ini, semata-mata adalah 

kesalahan ayahnya. Dia sama sekali 

tidak tahu menahu dalam urusan 

pemerintahan!" tegas Ni Seroja tetap 

pada pendiriannya.


Mendengar ucapan adiknya maka 

gusarlah Senopati Lambak Renggono ini. 

Dalam hidup dia adalah manusia yang 

tidak suka dibantah. Apalagi yang 

membantah itu adalah adik kandungnya 

sendiri. Dengan penuh kemarahan dia 

berpaling pada ketiga perwiranya. 

"Perwira seret dia! Masukkan dalam 

ruangan penyekapan dan pasung!" 

perintah Senopati.

Dengan patuh ketiga perwira itu 

serentak menghampiri. Sanjaya tidak 

tinggal diam. Sambil menghalangi 

Sanjaya berteriak. "Senopati manusia 

keji. Kau ingin menghancurkan tali 

kasih yang dianugerahkan Gusti Allah 

pada manusia? Kelak kau akan mendapat 

balasan dari Tuhan!" 

Buuuk!

Satu hantaman keras mendarat di 

wajah Sanjaya. Begitu kena dipukul 

wajah pemuda yang tak pandai ilmu 

silat ini bengkak lebam membiru. 

Melihat hal ini Ni Seroja berteriak 

histeris. "Kakang Lambak Renggono tega 

sekali kau berbuat itu padanya!" 

Tanpa menghiraukan ucapan

adiknya, Senopati memerintahkan ketiga 

perwira itu membawa Ni Seroja menuju 

ke ruangan khusus. Si gadis meronta 

karena menyadari sesuatu yang menge-

rikan pasti akan terjadi pada Sanjaya. 

Sekuat apapun dia meronta, namun 

tenaga para perwira ini sangat tinggi


sehingga apa yang di lakukannya hanya 

sia-sia saja.

Setelah Ni Seroja berlalu maka 

Senopati Lambak Renggono maju ke depan 

menghampiri Sanjaya. "Karena ulahmu 

kini adikku menjadi orang yang tidak 

mau menurut lagi dengan apa yang 

kukatakan. Kau harus mendapat ganjaran 

setimpal dariku. Akan kubuat cacat 

wajahmu, sehingga bukan hanya Ni 

Seroja saja yang jadi takut melihatmu. 

Tapi setanpun akan terkencing-kencing 

bila melihatmu!" dengus laki-laki itu 

sengit.

"Lambak Renggono, walau aku tak 

pandai ilmu silat. Siapa takut 

menghadapimu?" dengus Sanjaya dingin.

Melihat sikap orang yang sudah 

tidak memakai peradatan lagi saat 

bicara, maka Senopati menjadi sangat 

gusar. Tanpa banyak bicara lagi dia 

langsung menyerbu Sanjaya dengan 

serangan tangan kosong namun sangat 

berbahaya sekali. Mendapat serangan 

yang sangat bertubi-tubi, tentu saja 

Sanjaya yang tidak mengerti ilmu silat 

jadi bulan-bulanan sang Senopati. 

Walau pemuda ini sudah berulang kali 

mencoba menghindar, tapi semua yang 

dilakukannya hanya sia-sia. Dalam 

waktu singkat Sanjaya sudah terkapar 

dan menderita luka parah di bagian 

dalam


Celakanya di saat Sanjaya dalam 

keadaan terluka parah, tanpa perasaan 

sedikitpun dengan pedangnya Senopati 

Lambak Renggono menyayat-nyayat bagian 

wajah pemuda itu.

Sanjaya menjerit kesakitan.

"Bunuh saja aku. Bunuh...!" 

rintih si pemuda sambil mendekap 

wajahnya yang berlumuran darah.

"Ha ha ha! Kau sengaja kubiarkan 

hidup, biar kau dapat merasakan sebuah 

penderitaan yang pahit 

berkepanjangan!" kata Senopati:

Sambil menyarungkan pedangnya 

yang berlumuran darah, enak saja 

Senopati Lambak Renggono berlalu 

meninggalkan Sanjaya.

Pemuda itu sendiri dengan membawa 

luka dan dendam di hati akhirnya pergi 

entah ke mana. Ada yang mengatakan 

Sanjaya pergi menimba ilmu olah 

kanuragan di Lembah Setan. Ada pula 

yang mangatakan karena merasa putus 

asa melihat cacat wajahnya dia 

membunuh diri di lembah itu.

***

Dua tahun kemudian dunia 

persilatan dilanda kegemparan dengan 

munculnya seorang pendekar berwajah 

mengerikan, bergelar Pendekar Sesat 

Patah Hati. Pendekar itu bukan saja 

membantai tokoh golongan hitam, tapi


juga setiap bertemu dengan perwira 

atau prajurit kerajaan pasti 

dibunuhnya. Tidak mengherankan kalau 

akhirnya bukan pihak kerajaan saja 

yang menghendaki nyawanya. Tapi dari 

golongan sesat juga menghendaki 

kepalanya.

Sayang kebanyakan mereka menemui 

ajal di tangan pendekar ini. Sekarang 

setelah berlangsung tiga tahun lebih, 

Sanjaya merasa tak ada gunanya lagi 

malang melintang di dunia persilatan. 

Walau hatinya merasa pedih, namun dia 

berusaha melupakan Ni Seroja. Apalagi 

sekarang wajahnya cacat begitu rupa.

Tapi akibat apa yang dilakukannya 

dulu kini membuntuti dirinya. Dulu dia 

pernah menebar angin, mungkin kini 

saatnya untuk menuai badai. Terbukti 

baru beberapa bulan dia menetap di 

Kuil Kuno yang sepi, sudah beberapa 

lawan datang melabraknya. Tapi karena 

kesaktian yang dimiliki oleh Pendekar 

Sesat Patah Hati ini sangat tinggi. 

Apalagi dia memiliki pukulan Gelombang 

Naga yang dahsyat itu. Sehingga tak 

satu pun dari lawan-lawannya yang 

dapat menyelamatkan diri.

Kini pemuda itu julurkan kedua 

kakinya. Sepasang tangan yang 

dipergunakan untuk menekap wajah 

diusap-usapkan ke atas pelataran kuil.

"Hah... setiap hari aku bosan 

mencium bau busukku sendiri. Jahanam


Senopati Lambak Renggono. Mestinya 

sudah kubunuh dia sekarang ini, atau 

paling tidak kubuat cacat wajahnya. 

Tapi untuk apa...? Kurasa lebih baik 

dia kubiarkah hidup, tersiksa dalam 

kegelisahan." pikir Pendekar Sesat 

Patah hati.

Sementara itu tidak jauh dari 

pelataran depan kuil di balik 

kerapatan pohon besar tampak dua sosok 

bayangan berkelebat mendekati halaman. 

Sampai di satu tempat yang terlindung 

dua sosok berpakaian merah ini 

hentikan gerakannya

Ternyata mereka adalah dua orang 

laki-laki berambut kaku seperti ijuk, 

berwajah sangar berjenggot panjang 

dicat warna kuning dan merah. Di 

bagian punggung membekal senjata aneh 

berbentuk bulat setengah lingkaran 

tajam pada setiap sisinya yang 

berwarna putih mengkilat.

"Inikah Pendekar Sesat Patah Hati 

yang telah membunuh saudara kita Kala 

Hitam?" bertanya laki-laki berbadan 

pendek berkumis melintang.

"Tidak salah. Dia menggantung 

Kala Hitam di alun-alun, lehernya 

putus. Sedangkan kepalanya dijadikan 

bola." menyahuti sang teman yang 

jenggotnya dicat warna-warni.

Si pendek berkumis meiintang 

kepalkan tinjunya sambil kertakkan 

rahang.


"Kurang ajar. Akan kutangkap dia 

hidup-hidup, setelah itu baru kucacah 

bagian tubuhnya yang lain!" geram si 

kumis meiintang.

"Ha... ha... ha...! Buat apa 

kalian berkorban nyawa perturutkan 

hawa nafsu ikuti langkah sesat. Kala 

Hitam kubunuh karena dia memperkosa 

dua gadis, membunuh orang tua gadis 

itu dan menjarah hartanya. Ketika aku 

mencoba memberi peringatan padanya. 

Dia malah nekad menyerangku. Apakah 

hal ini dapat dipersalahkan?" berkata 

Sanjaya.

Tentu saja kedua orang bertampang 

seram ini jadi kaget karena tidak 

menyangka lawan mendengar pembicaraan 

mereka. Karena ketika bicara keduanya 

saling berbisik dan sangat pelan 

sekali. Tetapi kini mereka tidak punya 

pilihan lain. Karena itu mereka 

berlompatan dari tempat persembunyian. 

Kini mereka berdiri tegak di depan 

Sanjaya. Melihat kehadiran mereka 

Sanjaya perlihatkan seringai 

mengerikan.

"Kau yang bergelar Pendekar Sesat 

Patah Hati?" tanya si kumis meiintang 

sinis.

"Pertanyaanmu rasanya tak perlu 

kujawab. Kalian sendiri siapa?" tanya 

Sanjaya.

"Aku Kala Biru dan yang 

berjenggot panjang Kala Merah. Kau


bunuh sahabat kami dan itu tak dapat 

kami terima, terkecuali kau mau 

membayar hutang nyawa teman kami itu!" 

kata Kala Biru sinis.

"Dengan apa aku harus 

membayarnya?" tanya Pendekar Sesat 

Patah Hati.

"Dengan nyawamu berikut kepalamu 

sendiri!" sahut Kala Merah.

Sepasang mata Sanjaya meredup. 

"Andainya itu dapat kau lakukan, aku 

tidak keberatan. Aku malah berterima 

kasih jika kalian berdua dapat 

membunuhku. Tapi terkadang hidup ini 

aneh. Banyak orang inginkan umur 

panjang namun malah cepat mati. Begitu 

juga sebaliknya, orang menginginkan 

supaya hidupnya cepat berakhir. 

Celakanya malaikat maut segan datang 

menjemput." kata Sanjaya tenang. 

"Sekarang kau tunggu apalagi? 

Majulah!"

Kedua orang ini saling pandang 

dan sama memberi isyarat. Selanjutnya 

dengan gerakan kilat mereka menyerang 

Sanjaya dengan serangan dahsyat yang 

dilakukan secara serentak. Angin 

menderu saat kedua tangan Kala Biru 

dan Kala Merah menghantam wajah dan 

perut Sanjaya. Tetapi secepat apapun 

serangan yang dilakukan lawannya, si 

pemuda masih mampu berkelit dan 

jatuhkan diri ke tanah.


Dengan begitu serangan ganas 

kedua lawannya hanya mengenai tempat 

kosong. Namun tanpa terduga begitu 

mereka berada di belakang Sanjaya, 

tanpa menoleh salah satu kaki mereka 

menendang ke belakang. Serangan ini 

dikenal dengan jurus 'Sengatan Kala 

Maut' dan tentu saja lebih berbahaya 

bila sampai mengenai sasaran. Biasanya 

racun yang terkandung dalam kuku lawan 

cepat menyebar dan membuat lawannya 

tewas seketika.

Tetapi dengan gerakan aneh, 

Sanjaya menggulingkan dirinya ke depan 

dua kali. Kemudian posisinya berbalik 

arah, sedangkan tangannya bergerak 

menghantam betis lawannya.

Tes! Tes!

"Arhh...!"

Kala Biru dan Kala Merah yang 

gagal lakukan serangan menjerit keras. 

Mereka berlompatan mundur. Ketika 

mereka melihat ke bagian betis masing-

masing maka kagetlah mereka. Celana di 

bagian betis robek seperti diterabas 

senjata tajam. Lebih dari itu bagian 

betisnya juga terluka mengucurkan 

darah.

"Kurang ajar keparat! Kau melukai 

kami!" hardik Kala Merah sambil 

mencabut senjata anehnya yang tajam 

berkilat.

"Luka itu sebagai peringatan 

bahwa maut semakin dekat. Jika kalian


tidak angkat kaki secepatnya dari 

hadapanku. Jangan menyesal seandainya 

sekejap lagi aku terpaksa mengambil 

tindakan tegas!" kata Sanjaya sengit.

Mana mungkin kedua lawannya mau 

mendengar apa yang dia ucapkan. 

Terbukti sambil berteriak keras 

senjata aneh bergagang panjang itu 

langsung didorongkannya ke arah lawan. 

Sinar putih berkilauan berkiblat 

disertai suara berdesing menggiriskan 

hati. Pertanda kedua lawan mengerahkan 

seluruh tenaga dalam yang mereka 

miliki.

Melihat dua serangan senjata yang 

datang dalam waktu bersamaan, Pendekar 

Sesat Patah Hati langsung melompat di 

udara, namun ketika pemuda ini melesat 

ke atas, tiba-tiba Kala Merah dan Kala 

Biru sambitkan senjata rahasianya 

berupa kala beracun ke arah Sanjaya. 

Wut! Wut!

Sedikitnya sepuluh kala biru dan 

kala merah melesat sebat menghantam 

sepuluh bagian mematikan di tubuh 

Sanjaya. Sambil berjumpalitan, pemuda 

bermuka hancur mengerikan angkat 

tangannya ke atas. Setelah diangkat 

dihantamkan kedua tangannya ke arah 

kala-ka!a yang sangat beracun itu. 

Angin laksana topan menderu disertai 

hawa panas luar biasa. Akibat yang 

ditimbulkan sungguh sangat mengerikan 

sekali. Bukan hanya senjata rahasia


berupa kala beracun itu saja yang 

hancur. Namun kedua lawannya sendiri 

keluarkan pekik kesakitan. Tubuh 

mereka melesat ke dalam tanah, senjata 

di tangan yang mereka jadikan perisai 

begitu menyadari lawan menggunakan 

pukulan Gelombang Naga meleleh.

Sanjaya jejakkan kakinya. Dia 

datang menghampiri kedua lawan yang 

terbenam sampai sedalam perut. 

Ternyata Kala Merah dan Kala Biru 

nampak terluka parah. Dari mulut, 

hidung dan telinga mengucurkan darah.

"Ha... ha... ha...! Tidak ada 

jalan selamat bagi kalian berdua." 

ujar si pemuda disertai tawa tergelak-

gelak. Dia lalu dongakkan kepala 

memandang ke langit. Mata si pemuda 

mendadak nampak berkaca-kaca. "Aku 

melihat langit, aku melihat malaikat. 

Aku melihat maut itu menantimu. 

Heaaa...!" baru saja selesai bicara 

Pendekar Sesat Patah Hati hantamkan 

kedua tangannya ke arah kepala Kala 

Biru dan Kala Merah. 

Prakk!

Terdengar suara berderak hancur 

akibat pecahnya kepala kedua laki-laki 

malang itu. Sanjaya bangkit berdiri. 

Namun baru saja dia hendak tinggalkan 

tempat itu mendadak terdengar derap 

suara langkah kuda yang datang dari 

seluruh penjuru arah


"Kurang ajar. Mereka pasti orang-

orang suruhan Senopati Pamungkas! 

Sebaiknya aku bersembunyi dulu!" pikir 

si pemuda. Selanjutnya dia masuk ke 

dalam kuil meninggalkan mayat-mayat 

lawannya.


ENAM


Benar saja, tak berselang lama 

setelah Sanjaya menyelinap masuk ke 

dalam kuil kuno di sekitar kuil 

bermunculan tidak kurang tiga puluh 

orang suruhan Senopati Lambak 

Renggono. Seluruh pendatang ini 

semuanya menunggang kuda. Sebagian di 

antaranya berpakaian prajurit dan 

perwira tinggi kerajaan. Sedangkan 

yang lainnya dan berpakaian biasa 

tentulah dari dunia persilatan yang 

ikut bergabung dengan utusan Senopati.

Begitu mereka sampai dan 

mengepung kuil. Banyak di antara 

mereka yang jadi kaget ketika melihat 

dua mayat dengan separoh badan 

terpendam di dalam tanah sedangkan 

kepala mereka pecah mengerikan.

"Manusia biadab itu. Mungkinkah 

dia yang telah melakukannya?" Satu 

suara terdengar memecah keheningan. 

Ketika orang ini memandang ke arah


datangnya suara. Ternyata yang bicara 

adalah seorang nenek renta berambut 

putih bergigi ompong, berpakaian warna 

putih sedangkan dari balik pakaiannya 

bersembulan kepala ular berbisa 

berkepala hitam. Di dunia persilatan 

dia dikenal dengan julukan Ratu Ular 

Kayangan. Biasanya dalam setiap 

menghadapi lawan-lawannya dia hanya 

cukup berdiri tegak dengan tangan 

terlipat di depan dada. Pada puncak 

pengerahan tenaga dalamnya dia hanya 

cukup memberi perintah. Dan puluhan 

ular berbisa yang bersembunyi di balik 

pakaiannya langsung berlesatan keluar 

menyerang lawan. Siapapun yang menjadi 

sasaran binatang melata ini nyawanya 

pasti tak akan tertolong hanya dalam 

waktu dua menit.

"Aku merasa pasti si keparat 

Pendekar Sesat Patah Hati ada di 

sekitar sini. Orang itu kelihatannya 

belum lama meninggal. Tempat sudah 

terkepung sekarang tunggu apalagi?"

Yang baru saja bicara adalah seorang 

laki-laki bertelanjang dada. Di 

tangannya memegang sebuah gada besar. 

Sekujur tubuh laki-laki yang tak kalah 

menyeramkan dengan Ratu Ular Kayangan 

ini ditumbuhi bulu-bulu halus lebat. 

Tapi yang cukup mengherankan di 

seluruh permukaan kulitnya bersembulan 

urat-urat darah seperti akar 

tetumbuhan merambat.


"Aku paling tak sabar dalam 

mengurus satu persoalan. Pemuda itu 

pasti bersembunyi di dalam kuil itu." 

sahut perwira tinggi kerajaan yang 

jadi pimpinan rombongan. Untuk 

diketahui, perwira ini termasuk orang 

yang paling dipercaya oleh Senopati 

Lambak Renggono. Namanya Mantra Aji, 

berilmu tinggi dan termasuk seorang 

perwira pemberani. Kemudian dia 

memberi perintah. 

"Prajurit, cepat periksa ke 

dalam!"

Lima orang prajurit sama 

anggukkan kepala dan sama pula 

melompat turun dari kuda masing-

masing. Mereka kemudian mencabut 

senjata. Dengan pedang terhunus kelima 

prajurit itu bergegas menuju kuil 

melalui pintu depan. Di balik pintu ke 

lima prajurit itu lenyap dari 

pandangan mata. Kini semua mata 

tertuju ke arah kuil. Terkecuali 

perwira tinggi, Ratu Ular Kayangan dan 

laki-laki bertelanjang dada berjuluk 

Gada Dewa ini, maka mereka yang berada 

di situ sama diliputi ketegangan.

Hanya beberapa saat setelah ke 

lima prajurit masuk ke dalam kuil. 

Mendadak sontak terdengar suara 

jeritan menyayat lima kali berturut-

turut. Mereka yang berada di luar jadi 

terkesiap kaget. Belum juga lenyap 

rasa kejut di hati mereka juga perwira


itu terdengar suara berderak hancurnya 

atap kuil. Lima sosok tubuh 

berlesatan, melayang dan jatuh 

bergedebukan di hadapan perwira Mantra 

Aji.

Gada Dewa dalam kagetnya melompat 

turun dari atas punggung binatang 

tunggangannya. Dia segera memeriksa 

mayat ke lima prajurit itu. Mandadak 

wajah Gada Dewa berubah memucat. Di 

sekujur tubuh prajurit itu tak 

terdapat luka sedikit pun. Jasad 

mereka tetap utuh, hanya bagian 

wajahnya saja yang agak memucat.

"Dia membunuh para prajurit ini 

dengan ilmu Lilitan Ekor Naga!" desis 

Gada Dewa.

"Lilitan Ekor Naga?" mengulang 

Ratu Ular Kayangan dengan kening 

mengernyit. "Ilmu itu sangat langka, 

biasa darah korbannya menyumbat 

pembuluh jantung. Jantung pecah, rusak 

di bagian dalam namun utuh di bagian 

luar. Jahanam iblis!" Ratu Ular 

Kayangan menggereng. "Dia telah 

membunuh saudaraku Nini Rontek Selatan 

dengan cara yang sama."

"Sekarang apa yang harus kita 

lakukan? Aku sendiri juga harus 

membalaskan kematian saudara tuaku 

Pengemis Setan Akherat!" geram Gada 

Dewa tak kalah sengitnya.

"Kita semua punya tujuan yang 

sama." ujar Mantra Aji dengan suara


bergetar. Selanjutnya dia berteriak 

ditujukan pada prajurit yang mengepung 

kuil itu. "Kalian semua serbu kuil itu 

dan bunuh siapa saja yang kalian temui 

di dalam sana!"

Tidak kurang dari dua puluh lima 

prajurit serentak turun dari kuda 

masing-masing. Dari seluruh penjuru 

kuil mereka dengan senjata di tangan 

langsung mendobrak pintu, sebagian di 

antaranya ada yang melompat ke atas 

genteng. Nampaknya masing-masing punya 

keinginan membunuh orang yang mereka 

cari yang selama ini mendengar namanya 

saja orang bisa dibuat lari 

terkencing-kencing.

Selagi mereka sibuk mencari jalan 

masuk. Maka pada kesempatan itu pula 

terdengar suara seruan yang terasa 

dingin menyeramkan. "Siapa yang berani 

masuk ke kuil ini. Berarti nyawanya 

siap berkorban secara sia-sia!" 

Seiring dengan terdengarnya suara itu, 

dari dalam kuil kuno mendadak 

terdengar suara deru angin yang terasa 

menggiriskan. Suara gemuruh angin 

semakin lama semakin bertambah keras. 

Kemudian terdengar suara jerit 

mengerikan yang saling susul menyusul 

disertai dengan terpentalnya belasan 

prajurit baik yang berada di dalam 

kuil, di atas bangunan maupun mereka 

yang baru saja mencapai pintu. Bukan 

hanya para prajurit itu saja yang


berpentalan tak tentu arah, tapi yang 

lebih mengerikan lagi bagian atas 

kuil, dan seluruh dinding kuil runtuh, 

pecah terbelah seakan terdorong oleh 

satu tenaga raksasa yang tak 

kelihatan.

Dengan hancurnya seluruh dinding 

kuil, maka kini terlihat di tengah-

tengah bangunan yang hancur porak 

poranda ini berdiri tegak seorang 

pemuda bermuka hancur mengerikan 

seperti daging dicacah.

Begitu melihat pemuda ini, maka 

berserulah perwira Mantra Aji 

ditujukan pada prajuritnya yang 

selamat dari amukan angin menggila 

yang berlangsung beberapa saat tadi.

"Tangkap pemuda jahanam buronan 

Senopati itu!!"

Beberapa prajurit yang berkaparan 

namun hanya terkena terpaan angin aneh 

mencoba bangkit. Celakanya mereka 

kehilangan tenaga. Sekujur tubuh 

terasa lemas dan tak dapat digerakkan.

Sebaliknya Gada Dewa yang melihat 

keanehan tadi diam-diam jadi kaget. 

Rasanya seumur hidup belum pernah dia 

melihat ada ilmu sehebat dan seaneh 

seperti yang dimiliki oleh pemuda 

bermuka hancur mengerikan ini. 

Kelihatannya pemuda itu tak melakukan 

apa-apa. Tapi mengapa prajurit 

dibuatnya tewas berkaparan sedangkan 

tembok kuil dibuatnya porak poranda.


Lain lagi halnya dengan Ratu Ular 

Kayangan. Tadi dia memang sempat 

terkejut melihat apa yang terjadi di 

depan matanya, namun hal itu hanya 

berlangsung sesaat saja. Di lain kejap 

dia bergumam. "Darimana pemuda jahanam 

itu mendapatkan ilmu pukulan Gelombang 

Naga?" Pertanyaan ini seakan berlalu 

begitu saja. Perwira Mantra Aji 

sendiri saat itu menjadi marah ketika 

melihat tak seorang pun dari para 

prajuritnya yang selamat bergerak 

melakukan perintahnya.

"Prajurit apakah kalian tak 

mendengar perintahku!" bentak Mantra 

Aji tambah geram.

"Perwira... kami... kami...!" 

Prajurit yang mencoba menerangkan 

keadaan mereka tiba-tiba saja 

semburkan darah dari mulutnya. Dia 

tergeletak tewas dengan mata mendelik 

sedangkan darah terus menyembur dari 

bagian mulut dan hidung.

"Hah... apa yang terjadi...?" 

desis perwira tinggi itu sambil 

belalakkan matanya.

"Nampaknya mereka mengalami luka 

parah di bagian dalam," ujar Gada Dewa 

tegang.

"Sebaiknya kita keroyok saja dia 

sekarang."

"Bukan usul yang bagus," dengus 

Ratu Ular Kayangan sinis. "Aku harus 

jelaskan padanya mengapa kuinginkan


nyawanya agar kelak setelah di neraka 

dia tak jadi roh penasaran."

"Ha… ha... ha...! Perwira tinggi. 

Kau lihat semua prajuritmu tak ada 

yang selamat. Aku telah melepaskan 

ilmu Gelombang Naga. Kalau pun mereka 

ada yang selamat, bergerak satu 

langkah saja membuat jiwa mereka tak

akan tertolong. Sekarang kalian hanya 

bertiga! Katakan apa keperluanmu 

setelah itu cepat minggat dari 

hadapanku!" kata Sanjaya dingin 

menyeramkan.

"Pemuda edan, putra tumenggung 

yang korup. Kau bunuh prajurit 

kerajaan membuat dosamu tak terampuni. 

Ketahuilah aku diperintahkan oleh 

Senopati untuk membawa kepalamu ke 

hadapannya!" berucap perwira tinggi 

ini dengan suara bergetar.

"Aku tidak berkata sombong. Tapi 

kurasa keinginanmu itu hanya sebuah 

mimpi!" ujar Pendekar Sesat Patah 

Hati. Selanjutnya dia berpaling ke 

arah Gada Dewa dan Ratu Ular Kayangan. 

Kepada kedua orang ini Sanjaya ajukan 

pertanyaan. "Kulihat kalian bukan 

orang kerajaan. Lalu apa yang kalian 

inginkan hingga ikut menyibukkan diri 

mencariku?"

Ratu Ular Kayangan meludah. Dia 

menggebrak perut kuda dengan kakinya 

hingga kuda itu bergerak maju lebih 

mendekat ke arah si pemuda. "Kau kenal


dengan Nini Rontek Selatan?" tanya si 

nenek dingin, sedangkan matanya yang 

berkilat memendam dendam mendelik 

besar.

Pendekar Sesat Patah Hati terdiam 

sejenak dengan kening berkerut seakan 

sedang berusaha mengingat-ingat. Si 

pemuda tersenyum, tapi senyumnya tentu 

tidak ubahnya seperti seringai karena 

seluruh wajah pemuda itu rusak. 

"Begitu banyak jiwa yang melayang 

sia-sia di tanganku. Tapi pembunuhan 

yang kulakukan bukan karena tidak 

bersebab. Iblis Nini Rontek Selatan 

terpaksa kubunuh karena dia banyak 

menculik anak perawan untuk dijadikan 

tumbal ilmunya. Dia mati mengenaskan 

dengan mulut ditembus bambu kuning 

tembus sampai ke duburnya." jelas si 

pemuda dingin. Kini perhatiannya 

tertuju pada Gada Dewa. "Kau... 

manusia berbulu kunyuk muka monyet 

lutung, persoalan apa yang hendak kau 

selesaikan denganku?"

Walau tadinya sempat keder 

melihat kesaktian yang dimiliki oleh 

si pemuda. Mendengar dirinya disebut 

kunyuk kini amarah dan dendamnya 

terbangkitkan lagi. Sambil keluarkan 

suara menggereng dia membentak. "Aku 

ingin membalaskan kematian Pengemis 

Setan Akherat saudara tuaku!"

"Pengemis Setan Akherat!" Sanjaya 

mengulangi ucapan Gada Dewa. Mendadak


tawa si pemuda meledak. "Ha... ha... 

ha. Agaknya bangsat tua itu sekarang 

sudah menjadi setan benaran dan 

mengemis di akherat." kata Sanjaya. 

"Aku terpaksa membunuh tua bangka itu 

ketika dia mencoba mengemis kehormatan 

puteri patih kerajaan. Nah... jika kau 

ikutan mengemis dengan saudaramu itu 

aku bersedia mengantarmu ke neraka!"

"Jahanam tengik. Kupecahkan batok 

kepalamu sekarang juga!" hardik Gada 

Dewa. Namun pada saat dia melabrak ke 

depan dari sampingnya menderu angin 

dingin yang menerpa tubuhnya hingga 

membuat laki-laki itu terhuyung. 

Ketika dia menoleh, ternyata yang 

menyerangnya barusan bukan lain adalah 

Ratu Ular Kayangan.

"Tua bangka kau...?!"

"Huh, enak saja kau mengambil 

keputusan. Hanya aku yang berhak 

membunuhnya!" hardik Ratu Ular 

Kayangan.

"Nyawaku hanya satu, tak mungkin 

dibelah menjadi tiga. Dari pada 

bersitegang sebaiknya kalian bertiga 

maju saja sekaligus!" tantang si 

pemuda sinis.

"Hik... hik... hik! Baru kali ini 

kudengar ada bocah ingusan patah hati 

yang berani bicara sombong di hadapan 

Ratu Ular Kayangan. Ingin kulihat 

apakah mulut besarmu sesuai dengan 

kenyataan yang ada?!" seru si nenek


Aku juga punya tugas yang harus 

dilaksanakan. Kurasa supaya adil tidak 

ada salahnya jika kita mengeroyoknya!" 

kata perwira tinggi kerajaan itu 

sinis. Karena menyadari lawannya tidak 

dapat dianggap enteng, begitu melesat 

dari atas punggung kudanya dia 

langsung pergunakan pedang untuk 

menyerang Sanjaya. Serangan yang 

dilakukan dari udara itu tentu sangat 

berbahaya karena jika sampai Sanjaya 

lengah, maka kepalanya akan terbelah 

menjadi dua. Sebaliknya dari samping 

kanan, gada besar di tangan Gada Dewa 

menderu menghantam rusuk. Sedangkan 

dari arah depan lima kuku hitam 

beracun Ratu Ular Kayangan merobek ke 

arah perut, sedangkan tangan yang lain 

mencengkeram bagian bawah pusar 

Sanjaya. Serangan nenek ini bahkan 

lebih dahsyat bila dibandingkan dengan 

serangan pedang petinggi kerajaan 

maupun Gada Dewa. Namun ketiganya 

jelas sama berbahaya karena mengancam 

ke bagian yang mematikan. Melihat tiga 

serangan maut itu datangnya dalam 

waktu bersamaan, Sanjaya tak sempat 

berpikir lagi. Dengan cepat dia 

melompat mundur, kepala ditariknya ke 

belakang sedangkan kaki dihantamkan ke 

perut Gada Dewa.

Desss!

Wuut!


Sambaran kuku dan hantaman pedang 

hanya mengenai tempat kosong. 

Sebaiknya hantaman gada hampir saja 

menyambar tubuh krempeng si nenek. 

Selain itu Gada Dewa nampak terhuyung-

huyung akibat perutnya kena ditendang 

oleh lawannya. Sama-sama keluarkan 

dengusan geram ketiga lawan Sanjaya 

merangsak maju. Kali ini tentu lebih 

berbahaya dari serangan pertama tadi, 

karena perwira tinggi kerajaan itu 

sendiri sekarang mengerahkan jurus-

jurus pedang andalan. Sedangkan Gada 

Dewa memutar gadanya ke kiri atau ke 

atas. Di pihak Ratu Ular Kayangan 

sendiri saat itu sudah mulai 

menggunakan ular hitamnya yang 

terkenal sangat beracun itu. Mendapat 

serangan dahsyat luar biasa ini 

Pendekar Sesat Patah Hati nampak 

terdesak hebat. Apalagi saat itu dia 

harus menghindari patukan dua ekor 

ular berbisa yang melesat terbang 

kearahnya. 

Sssst!

Dua ekor ular mendesis panjang, 

meluncur cepat laksana anak panah. 

Sanjaya tidak mungkin menangkis 

serangan ular-ular ini, karena 

akibatnya bisa membuat dirinya celaka. 

Dia pun jatuhkan diri, namun pada 

waktu bersamaan pedang di tangan 

perwira tinggi yang dibabatkan ke


bawah mengikuti gerakannya yang 

menghindar menyambar bagian punggung.

Craas!

Sanjaya alias Pendekar Sesat 

Patah Hati mengeluh tertahan. Tanpa 

menghiraukan pakaian yang robek besar 

serta punggung yang terluka 

mengucurkan darah dia bergulingan. 

Pada saat itu kedua ular tadi begitu 

gagal mengenai sasaran langsung 

menancap di batang kayu. Batang kayu 

kering hangus dan mengepulkan asap 

berbau amis. Sementara Sanjaya 

nampaknya tidak terlepas dari ancaman 

maut, karena begitu punggung terluka 

dan dia bergulingan ke kiri. Gada Dewa 

gerakkan senjatanya ke bagian kepala 

pemuda itu.

Gada besar yang berat bukan main 

ini menderu mengeluarkan suara bersuit 

aneh. Sebelum gada tersebut menghantam 

remuk batok kepalanya, Pendekar Sesat 

Patah Hati segera lakukan gerakan 

aneh, hingga tubuhnya kini berputar 

dan tahu-tahu berdiri, baru kemudian 

menerobos kepungan lawannya.

"Dia telah terluka, hayo jangan 

beri kesempatan padanya untuk 

meloloskan diri!" teriak Mantra Aji. 

Perwira tinggi kerajaan, kaki tangan 

Senopati Lambak Renggono yang paling 

bersemangat menyerang Sanjaya karena 

dijanjikan mendapat hadiah besar dari 

Senopati langsung menyerbu kembali


sambil babatkan pedangnya ke arah 

Sanjaya. Sinar putih bertabur di udara 

mengurung gerak dan langkah pemuda 

itu. Namun kali ini si pemuda 

nampaknya tidak berusaha menghindar. 

Sedangkan kedua tangan dengan jari 

diacungkan ke arah perwira ini nampak 

menggeletar dan mulai digerakkan.

"Awas! Dia melepaskan pukulan 

Gelombang Naga!" satu suara berseru. 

Dan yang keluar seruan barusan tadi 

bukan lain adalah Ratu Ular Kayangan. 

Gada Dewa yang baru saja melangkah 

maju sambil memutar gada besar di 

tangannya masih sempat bersurut 

langkah. Namun Mantra Aji sang perwira 

tinggi tidak sempat mengikuti 

kawannya. Kini begitu dia melihat 

selarik sinar putih yang meluncur ke 

arahnya dengan gerakan berkelok-kelok 

seperti gerakan ekor ular naga 

berlari, sang perwira putar pedang di 

tangannya membentuk perisai diri yang 

sangat kokoh. Kilatan cahaya pedang 

bertabur menutupi sekujur tubuh Mantra 

Aji. Tapi sehebat apapun pertahanan 

perwira tinggi ini. Sinar maut itu 

kemudian berhasil menyusup benteng 

pertahanan yang dibuat oleh laki-laki 

itu tanpa harus membentur batang 

pedang.

Beberapa saat kemudian Mantra Aji 

tertegak ketika sinar maut menghantam 

bagian dadanya. Mata laki-laki ini


mendelik, mulut ternganga. Bukan hanya 

Gada Dewa saja yang terkejut. Tapi 

Ratu Ular Kayangan juga terkesiap 

begitu melihat tubuh perwira itu tiba-

tiba saja membengkak gembung. 

Perubahan ini semakin lama semakin 

bertambah jelas dan tubuh sang perwira 

semakin membesar seperti balon karet 

yang dipompa.

Bledum!

Akhirnya tanpa dapat dicegah 

perwira kepercayaan Senopati Lambak 

Renggono inipun meledak hancur 

berkeping-keping berubah menjadi 

serpihan daging dan belulang yang

bertebaran di udara. Bau amis darah 

menyengat perciuman. Sanjaya seka 

punggung lengannya yang terkena 

percikan darah. Gada Dewa tercengang 

dengan muka pucat dan tubuh menggigil. 

Melihat dahsyatnya ilmu kesaktian yang 

dimiliki oleh lawannya tanpa pikir 

panjang lagi dia memutar badan dan 

lari langkah seribu.

"Manusia pengecut. Daripada 

melarikan diri sebaiknya kau mampus!" 

hardik Ratu Ular Kayangan. Serentak 

dia meraih seekor ular dari balik 

pakaiannya. Begitu tangan digerakkan 

maka meluncurlah ular itu. Menyadari 

si nenek membokongnya sambil berlari 

Gada Dewa hantamkan senjatanya ke 

belakang. Namun tindakannya kalah 

cepat dengan serangan ular itu. Hingga


dia pun jatuh tersungkur begitu ular 

menembus punggung sampai ke dada 

depan. Gada Dewa menggelepar dan tewas 

seketika.

Kini Ratu Ular Kayangan mem-

balikkan badan. Dipandangnya Pendekar 

Sesat Patah Hati dengan tatapan aneh. 

Selanjutnya tanpa berkata apa-apa. Dia 

melipat kedua tangannya ke depan dada. 

Tidak berselang lama tubuh nenek renta 

itu bergetar hebat. Seiring dengan itu 

pula puluhan ekor ular berkepala hitam 

julurkan kepala.

"Hem, nenek ini benar-benar 

hendak membunuhku dengan ular-

ularnya." batin Sanjaya.

"Hanya ilmu Gelombang Naga yang 

bisa membuktikan siapa di antara kami 

yang layak hidup lebih lama!" geram 

pemuda itu sinis.

Di depan sana Ratu Ular Kayangan 

diam tak menanggapi. Sebaliknya 

Sanjaya pun tidak tinggal diam. Dia 

kerahkan tenaga dalamnya ke bagian 

tangan. Ketika kedua tangannya terasa 

panas, maka kedua telapak tangan 

saling disatukan. Setelah itu dua jari 

telunjuk digerakkan lurus ke arah 

lawan. Seiring dengan itu pula tubuh 

Sanjaya berputar. Gerakan berputar ini 

semakin lama semakin bertambah cepat. 

Selanjutnya secara aneh mengerikan 

dari sekujur tubuh pemuda itu menderu 

angin dahsyat berhawa panas luar


biasa. Angin laksana badai itu semakin 

lama semakin menebar, sementara dari 

arah lawannya belasan ular berkepala 

hitam melesat ke arah Sanjaya. Tetapi 

gerakan ular-ular ini seakan tertahan 

begitu membentur angin dahsyat yang 

bersumber dari ilmu Gelombang Naga 

yang dilepaskan oleh si pemuda.

Tas! Tas! Tas!

Letupan-letupan kecil terdengar 

begitu ular-ular itu membentur 

serangan Sanjaya. Sementara di depan 

sana si nenek nampak mulai terhuyung. 

Wajahnya berubah pucat, sedangkan 

pakaiannya tampak mulai robek di sana-

sini ketika serangan lawan menderanya 

bertubi-tubi.

"'Hiyaaa...!" Pendekar Sesat 

Patah Hati tiba-tiba saja berteriak 

keras sambil sentakkan jari 

telunjuknya dari atas ke bawah dengan 

gerakan seperti membelah tubuh 

lawannya. Sinar putih setipis pedang 

melesat dari bagian ujung jemari

Sanjaya. Sedangkan dari arah Ratu Ular 

Kayangan melesat sedikitnya lima ular 

hitam ke arah pemuda itu. Dua sinar 

maut yang seharusnya menghantam tubuh 

lawan yang satunya terpaksa dibelokkan 

ke arah ular-ular itu. Tapi sayang 

hanya empat yang dapat dibuatnya 

rontok, sedangkan yang satunya lagi 

berhasil menyusup ke dalam pertahanan 

Sanjaya.


Crep!

"Arkh...!"

"Akk...!"

Terdengar suara jeritan dua kali 

berturut-turut. Satu keluar dari mulut 

Ratu Ular Kayangan yang bagian bahunya 

terbelah sampai ke bagian perut akibat 

terkena pukulan Gelombang Naga. 

Sedangkan jeritan kedua keluar dari 

mulut Sanjaya yang kesakitan akibat 

patukan ular yang sangat berbisa itu.

Sanjaya merintih sambil menotok 

jalan darahnya agar racun ular tidak 

cepat menyebar ke seluruh tubuhnya. 

Walaupun begitu nampaknya Pendekar 

Sesat Patah Hati memang tak dapat 

bertahan lebih lama. Begitu hawa 

dingin menyerangnya, si pemuda 

kerahkan hawa panas untuk menolak 

pengaruh hawa dingin akibat pengaruh 

racun ular itu.

Namun pada akhirnya Sanjaya 

terkulai tak sadarkan diri. Sementara 

itu Ratu Ular Kayangan sendiri tewas 

seketika begitu sinar putih yang 

memiliki ketajaman melebihi pedang 

membelah bahunya.



TUJUH



Mendung hitam makin menebal, 

kilat menyambar dan gelegar petir 

sambung menyambung tiada henti. Hujan 

kemudian turun bagai tercurah dari 

langit. Di bawah sebatang pohon kering 

kakek gendut besar berwajah bulat 

berkening lebar, berhidung nyaris rata 

dengan pipinya yang tembem terus saja 

mendengkur seakan tak terpengaruh 

dengan suasana alam yang terjadi di 

sekelilingnya. Sesekali bahkan 

terdengar giginya bergemeretakan. Lalu 

mulutnya menggumamkan sesuatu yang 

tidak jelas. Saat itu tubuh dan 

pakaiannya sudah basah kuyup. Tapi 

aneh nampaknya tidak ada tanda-tanda 

kalau orang tua aneh itu segera 

terjaga.

Tidak jauh dari tempat di mana si 

kakek gendut besar ini tergeletak. 

Seorang pemuda remaja berwajah tampan 

berambut gondrong terus saja melatih 

jurus-jurus silat yang baru diturunkan 

oleh si kakek.

Kaki kanan ditekuk ke depan, kaki 

kiri ditarik ke belakang. Tangan kiri 

yang terkepal dirapatkan ke bagian 

rusuk, tangan kanan dengan jemari 

terkembang ditarik ke belakang


kemudian segera dihantamkannya ke 

depan.

"Heaa...!"

Wuut!

Glaar!

Sinar hitam berkiblat dari 

telapak tangannya, lalu terdengar 

suara menderu dahsyat. Batu besar 

serta semak belukar yang jadi sasaran 

pukulan pemuda itu hancur berkeping-

keping. Si pemuda berjingkrak 

kegirangan sambil tertawa-tawa. Sama 

seperti si kakek gendut besar, dia 

sama sekali tidak perduli dengan 

gelegar petir maupun derasnya hujan 

yang turun saat itu.

"Pukulan Di Balik Bukit Mengintai 

Bidadari. Kurasa ini termasuk pukulan 

yang hebat. Ha… ha... ha. Tapi aku mau 

mencoba pukulan yang lain." kata si 

pemuda. Sejenak dia berpikir, kening 

dikerut-kerutkan. Sampai akhirnya dia 

tersenyum ketika terlintas sesuatu di 

dalam benaknya. "Aku belum mencoba 

pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis!" 

katanya sambil menyeringai. "Iblis 

ketawa dewa menangis apa maksudnya? 

Ada-ada saja kakek tua itu?" ujar si 

pemuda lagi sambil gelengkan kepala.

Tapi kemudian si pemuda kerahkan 

tenaga dalam ke bagian kedua 

tangannya. Sekujur tubuhnya yang basah 

terguyur air hujan tampak bergetar 

hebat. Selanjutnya dengan cepat pula


pemuda itu hantamkan kedua tangannya 

ke arah pohon kering. 

Wuut! 

Dua larik sinar pelangi melesat 

dari tangan pemuda itu. Hawa dingin 

luar biasa menebar. Ketika kedua 

pukulannya menghantam bagian tengah 

batang pohon, maka kagetlah si pemuda 

dibuatnya.

"Celaka!! Orang tua itu 

bukankah...!" Si pemuda tidak 

melanjutkan ucapannya melainkan hendak 

berlari ke bawah pohon untuk 

menyelamatkan si kakek dari reruntuhan 

pohon yang ambruk. 

Buuum!

Terdengar suara ledakan keras 

berdentum. Bagian batang yang terkena 

pukulan hancur menjadi serpihan debu. 

Sedangkan bagian atasnya mengeluarkan 

suara bergemeretakan dan roboh. Wajah 

si pemuda berubah pucat ketika melihat 

bagian atas pohon runtuh menimpa si 

kakek gendut.

Tetapi aneh begitu pohon hendak 

menimpa dirinya si kakek tiba-tiba 

menggeliat, bangkit dan berjalan 

tergesa-gesa menjauh dari pohon.

"Kakek maafkan aku... aku tak 

ingat kau ada di bawah pohon itu!" 

kata si pemuda, namun dia jadi 

tercengang ketika melihat mata si 

kakek ternyata masih dalam keadaan 

terpejam. "Hei... ternyata dia


berjalan dalam keadaan tidur!" ujar si 

pemuda.

Si kakek kemudian menggeliat dan 

kerjapkan matanya. Dia nampak kaget 

ketika menyadari saat itu ternyata 

hujan deras, lebih terkejut lagi 

begitu melihat si pemuda berlutut di 

depannya.

"Gege! Bocah edan, begitulah dulu 

Tabib Sesat Timur memanggilmu. 

Ternyata kau memang edan sungguhan. 

Aku menyuruhmu berlatih, tapi mengapa 

sekarang malah berlutut begitu rupa?" 

Si kakek lalu nampak sibuk memeriksa 

pakaiannya sendiri yang basah. 

"Mengapa kau tak mau membangunkan aku? 

Kurang ajar!" 

"Tadi... tadi...!"

"Tadi apa? Kau hancurkan pohon 

itu hingga membuat aku kaget. Sekarang 

kau mau bicara apa lagi?" tanya si 

kakek gendut besar yang bukan lain 

adalah Gentong Ketawa.

"Tadi itu aku tak sengaja 

melakukannya. Sungguh kek...!"

"Jangan banyak bicara...! 

Terimalah ajalmu!" seru si kakek. 

Bersama dengan itu pula Gentong Ketawa 

dengan gerakan yang sangat ringan 

melesat ke depan. Kaki kanan 

dihantamkannya ke muka si pemuda.

"Celaka. Penyakit gila orang tua 

ini ternyata kambuh lagi!" rutuk si 

pemuda dalam hati. Mengingat tendangan


yang dilakukan Gentong Ketawa disertai 

pengerahan tenaga dalam. Maka pemuda 

itu tidak mau berlaku ayal. Dengan 

cepat dia bergulingan ke samping. 

Dalam kesempatan itu Gentong Ketawa 

terus mengejar, kedua kakinya bergerak 

lincah berusaha menginjak perut maupun 

kepala si pemuda.

Jika sampai terinjak kaki si 

gendut yang beratnya lebih dari dua 

ratus kati ini, pasti pemuda itu tewas 

dengan kepala remuk dan isi perut 

berbusaian. 

Duk! Duk!

Benturan kaki si kakek akibat 

serangannya meleset menimbulkan 

getaran hebat luar biasa. Bahkan 

hentakan-hentakan yang dilakukan si 

kakek membuat tanah amblas. Sampai 

sejauh itu serangan gencar yang 

dilakukan oleh Gentong Ketawa tidak 

mengenai sasaran.

"Kau hendak menghindar terus 

seperti tikus dikejar kucing? Huh..., 

memalukan. Sudah berapa banyak jurus-

jurus maut yang kuturunkan padamu?" 

hardik si kakek dan kini kirimkan 

jotosan ke bagian dada muridnya yang 

rebah menelentang sambil menghindari 

tendangan kakinya.

"Ha... ha...ha. Begitu 

keinginanmu kek. Lihat baik-baik!" 

sahut si pemuda sambil tertawa padahal 

saat itu serangan Gentong Ketawa makin


bertambah gencar dan berbahaya. Dengan 

bertumpu pada bagian punggungnya tubuh 

pemuda itu mendadak berputar. Tangan 

menangkis tendangan lawan, sedangkan 

kakinya dipergunakan untuk menyambut 

jotosan si kakek.

Plak!

Desss!

Benturan yang terjadi antara 

tangan dan kaki antara murid dan guru 

membuat si kakek terhuyung. Sedangkan 

si gondrong menjerit sambil kibaskan 

tangannya.

"Ha... ha... ha! Memalukan 

sekali. Belajar denganku dari kecil 

sampai besar begini ternyata kau tak 

sanggup membuatku jatuh?" ejek Gentong 

Ketawa sambil terkekeh-kekeh.

Pemuda itu menyeringai. Dengan 

bertumpu pada kedua kakinya dia 

bangkit berdiri.

"Lihat serangan!" teriak si 

pemuda. Bersamaan dengan itu pula 

tubuhnya melesat ke arah Gentong 

Ketawa. Sampai di depan kakek itu si 

pemuda memutar tubuhnya. Tangan kanan 

membabat bagian leher, sedangkan 

tangan kiri menampar bagian pipi. 

Melihat serangan ganas ini si kakek 

tertawa panjang. Enak saja dia 

gerakkan tangannya menangkis. Tapi dia 

jadi kaget ketika tiba-tiba si pemuda 

tarik serangannya. Tanpa disadari 

orang itu kaki si pemuda yang sudah


ditekuk dihantamkannya ke bagian perut 

Gentong Ketawa.

Desss!

Hantaman yang sangat keras 

membuat si kakek jatuh tersungkur 

dengan hidung mencium tanah. Pemuda 

gondrong itu tertawa bergelak. Dia 

menunjuk-nunjuk gurunya.

"Kau bilang aku tak bisa 

membuatmu jatuh? Ternyata tidak sulit 

melakukannya. Ha., ha... ha."

"Eh, kau tadi mempergunakan jurus

apa? Rasanya aku tak pernah 

mengajarimu dengan jurus seperti itu?" 

tanya Gentong Ketawa sambil bangkit 

berdiri.

"Memang tidak. Yang kulakukan 

tadi namanya variasi gabungan dari 

jurus warisanmu dan jurus ciptaanku 

sendiri. Namanya jurus 'Ngaco"...!"

Gentong Ketawa sempat terbengong-

bengong mendengar ucapan muridnya. 

Memang dia harus mengakui muridnya itu 

memiliki otak yang cerdik. Ada saja 

yang dipikirkannya. Satu hal yang 

terkadang membuat si kakek jadi pusing 

sendiri, pemuda yang selalu 

dipanggilnya Gege ini mempunyai sifat 

dan tingkah laku yang hampir sama 

dengan dirinya.

"Kau bocah kampret curang. Jangan 

kira kau bisa mengalahkan aku. Kau 

lihat ke mari!" seru si kakek sinis. 

Seiring dengan seruannya itu, maka


Gentong Ketawa putar kedua tangannya. 

Kepala digoyang ke kiri kanan seperti 

orang pusing. Kemudian pinggul diogel-

ogelkan. Sesekali pantat menungging.

"Jurus Tarian Dewa? Ha... ha... 

ha. Kulihat jurus itu seperti gerakan 

kerbau bunting mau buang hajat. Aku 

akan melayanimu dengan jurus Belalang 

Terbang!" seru si pemuda. Sejenak 

lamanya pemuda itu meniru gerakan si 

kakek sekedar untuk meledek. Kemudian 

kedua tangan dikembangkan ke samping, 

salah satu kaki diangkat ke belakang. 

Bersamaan dengan itu pula si pemuda 

melesat ke depan dengan kaki 

mengambang di udara.

Dari arah depan Gentong Ketawa 

berputar sambil tetap mengogel-ogelkan 

pantatnya menyambut serangan sang 

murid dengan kedua tangan terkembang 

pula.

Wuut!

Des! Des!

Dalam hujan lebat yang tak 

kunjung henti keduanya sama 

terjengkang, bergulingan ke belakang. 

Tanpa menghiraukan rasa sakit yang 

mendera dada dan kedua tangannya si 

pemuda membalikkan badan. 

"Aku akan memukulnya dengan 

Selaksa Duka!" membatin si pemuda 

dalam hati. Pemuda ini kemudian 

membalikkan badannya dan menghantam ke 

arah Gentong Ketawa. Tapi dia sendiri


kemudian terkesiap kaget ketika 

melihat gurunya sambil tertawa-tawa 

telah bergerak mendahului melepaskan 

pukulan pula.

"Gege... kau kira dapat mengadali 

orang sepertiku. Selagi dirimu masih 

menjadi angin aku sudah mempelajari 

segala sifat manusia sampai tingkah 

laku binatang. Ternyata manusia lebih 

rendah dari binatang jika tidak 

mempergunakan akalnya." kata si kakek.

"Kuya tengik. Huuup...!" Tiga 

kali berturut-turut si gondrong 

dorongkan kedua tangannya ke arah si 

kakek. Untuk beberapa saat lamanya 

mereka nampak saling dorong pertanda 

antara murid dan guru itu sama-sama 

kerahkan tenaga saktinya. Mata si 

kakek mendelik besar, mulut terkatub 

sedangkan pipi menggembung, kedua kaki 

bahkan nampak amblas ke dalam tanah. 

Sedangkan pemuda itu sendiri nampak 

mulai terseret ke belakang.

"Hiyaa...!"

Sekali lagi si pemuda dorongkan 

kedua tangannya ke depan. Di depan 

sana si kakek lakukan hal yang sama. 

Dua tenaga sakti saling tindih 

menindih. Hingga akhirnya terjadilah 

ledakan berdentum. Bunga api berpijar 

di udara. Dua sosok tubuh sama 

tertempar. Si pemuda mengerang, 

menggeliat lalu bangkit. Nafasnya 

menguik-nguik seperti orang yang


menderita sakit nafas. Sedangkan dari 

sudut bibirnya meneteskan darah. 

Ketika dia memandang ke arah gurunya. 

Maka si kakek tertawa terbahak-bahak.

"Ha... ha... ha! Mulutmu keluar 

kecapnya bocah?" celetuk si kakek.

Si pemuda seka mulutnya. "Oh ini 

bukan kecap, tapi sambal. Hanya 

tinggal cari lalapan dan kita makan 

bersama-sama. Ha... ha... ha!" 

"Dasar bocah edan!" gerutu si 

kakek. Tanpa menghiraukan ucapan 

Gentong Ketawa, pemuda itu duduk di 

atas batu. Si kakek datang 

menghampiri.

"Sudah berapa lama kau ikut 

denganku? Sepuluh atau dua belas 

tahun?" bertanya Gentong Ketawa sambil 

mengusap dagunya yang polos tanpa 

kumis dan jenggot.

"Berapa saja yang kakek suka. 

Yang penting kakek senang aku juga 

senang. Jadi kita sama-sama senang. 

Ha... ha... ha." sahut si pemuda 

sambil tertawa.

"Hem, begitu. Tapi kurasa ilmu 

yang kumiliki belum kuberikan padamu 

seluruhnya. Pada akhirnya nanti aku 

akan menurunkan semua ilmu kepadamu." 

ujar si kakek. Dia terdiam sejenak 

sambil memperhatikan wajah si pemuda. 

Yang diperhatikan jadi salah tingkah 

dan celingukan.


"Gege... sejak kau dibawa Tabib 

Sesat Timur sampai sekarang setelah 

ikut denganku kau masih belum punya 

nama. Aku suka memanggilmu Gege, 

karena panggilan itu cocok dengan 

sebuah tempat indah di mana dulu 

sering aku melamun di sana untuk 

mendapatkan seorang murid."

"Di mana tempat itu kek?" tanya 

si pemuda.

"Tempatnya... emm... anu...!" 

Gentong Ketawa nampak bingung. "Aku 

sudah lupa. Tapi tempat itu bagus, 

indah dan nyaman. Kurasa masih di 

sekitar tanah Jawa ini juga." 

menerangkan kakek itu. Lalu dia 

menambahkan. "Sekarang aku sudah punya 

nama untukmu. Karena kau suka melucu 

dan tertawa-tawa sendiri, bagaimana 

jika kalau kau kuberi nama Gento 

Guyon? Gento Guyon itu kalau 

dipendekkan jadi Gege. Bagus bukan?"

Wajah si pemuda nampak cemberut. 

"Gurunya Gentong Ketawa, muridnya 

Gento Guyon." gumam si pemuda. "Nanti 

orang menyangka Gento anaknya Gentong. 

Padahal mana mungkin aku punya ayah 

berpipi tembem, hidung pesek jelek dan 

badan besar seperti gentong begini?" 

"Anak kampret. Tujuh hari tujuh 

malam aku mencari nama untukmu mengapa 

kau caci nama pemberianku? Lagipuia 

apa kau pikir aku mengakuimu sebagai 

anak?" damprat Gentong Ketawa.


"Aku juga tak sudi jadi anakmu."

"Atau kau suka aku memanggilmu 

anak edan sebagaimana tabib setan itu 

memanggilmu?"

"Tobaat, jangan. Itu adalah 

sebuah panggilan yang lebih buruk dari 

keledai." dengus si pemuda.

"Baiklah, kuterima nama pemberian 

darimu. Selanjutnya kita mau apa? 

Apakah kau hendak menurunkan jurus-

jurus silatmu yang lain?"

"Memang. Aku akan menurunkan Lima 

Jurus Langkah Dewa. Tapi tidak 

sekarang. Saat ini sebaiknya kita 

pergi. Aku ingin bertemu dengan 

Pendekar Sesat Patah Hati."

Kening si pemuda mengernyit. 

"Sudah sesat patah hati lagi. Siapa 

dia? Keponakanmu?"

"Bukan. Pendekar itu akhir-akhir 

ini menjadi buronan banyak tokoh. 

Termasuk Senopati kerajaan. Konon 

kudengar ayahnya bekas Tumenggung. 

Cintanya putus di tengah jaian akibat 

tidak direstui oleh Senopati Lambak 

Renggono. Entahlah, aku kurang tahu 

pasti. Sebaiknya kita berangkat saja 

sekarang." Gentong Ketawa kemudian 

bangkit berdiri. Gento Guyon alias 

Gege mengikuti pula.

"Kek kalau cintanya putus kenapa 

tak disambung lagi? Putusnya di jalan 

mana rupanya?"


"Bocah geblek. Goblok dipelihara. 

Mana aku tahu cintanya putus di jalan 

mana. Mungkin juga di tengah jalan 

menuju neraka. Ha.. ha.. ha!" Sambil 

tertawa terbahak-bahak Gentong Ketawa 

berkelebat pergi.

Si pemuda geleng kepala. Setelah 

menyengir sendirian dia pun menyusul 

gurunya.


DELAPAN


Ketika Tabib Tapadara sampai di 

kuil kuno yang porak poranda. Dia 

melihat puluhan mayat bergeletakan di 

sekitar kuil itu. Dua di antaranya 

bahkan telah membusuk.

"Begitu mudah orang membunuh, 

begitu mudah nyawa melayang, namun tak 

seorang pun yang mampu mengembalikan 

nyawa ke raganya." gumam tabib 

Tapadara yang saat itu berdiri tegak 

di antara mayat-mayat Ratu Ular 

Kayangan dan sosok seorang pemuda 

berwajah rusak mengerikan. Sang tabib 

memperhatikan mayat-mayat itu satu 

demi satu. "Kalau tak salah itu adalah 

mayat Ratu Ular Kayangan, yang di 

sebelah kiri mayat perwira tinggi. Dan 

yang mendam di dalam tanah ini pasti 

mayat Kala Biru dan Kala Merah. Lalu


yang satu ini? Eeh... kulihat dadanya 

kembang kempis?" kata si kakek. Dengan 

agak ragu-ragu dia datang menghampiri. 

Dia membalikkan tubuh si pemuda yang 

dalam keadaan rebah miring. Setelah 

itu denyut nadi di bagian tangan 

segera diperiksanya.

"Aku merasa pasti pemuda ini 

terkena gigitan ular Kayangan. Tapi 

mengapa nenek itu sendiri tewas? Siapa 

yang membunuhnya? Kasihan sekali 

pemuda ini. Mukanya hancur seperti 

daging dicacah. Hemm...!" Tabib Sesat 

Timur berjingkrak kaget begitu ingat 

sesuatu.

"Tidak salah penglihatanku. Dia 

pasti Sanjaya, Pendekar Sesat Patah 

Hati putra tumenggung Ageng Tirtamaya 

yang dihukum gantung akibat mengkorup 

upeti kerajaan. Dia adalah putra 

sahabatku sendiri. Huk... huk... huk!" 

Si kakek menangis sesunggukan bila 

mengenang kematian Tumenggung Ageng 

Tirtamaya yang menemui ajal di tiang 

gantungan itu. Sayang ketika itu dia 

terlambat datang menolong. "Aku harus 

menyembuhkan lukanya dan memunahkan 

racun bekas gigitan ular Kayangan." 

Dari balik kantong perbekalan Tabib 

Sesat Timur mengeluarkan empat butir 

pii warna hitam, kuning, merah dan 

hijau yang menebarkan bau amis luar 

biasa. Kemudian ke empat butir pii itu 

dimasukkannya ke dalam mulut Sanjaya.


Setelah itu dari balik kantong yang 

lain si kakek mengambii sebuah pisau 

yang sangat tajam berwarna putih 

mengkilat.

Pisau itu kemudian ditancapkan ke 

bagian luka akibat gigitan ular di 

bagian leher si pemuda. Luka dibelah 

dan dikoreknya. Kulit bercampur daging 

bekas gigitan ular dibuang. Di bagian 

yang luka oleh si kakek tabib ditaburi 

serbuk ramuan. Ketika serbuk menyentuh 

permukaan luka terdengar suara desis 

aneh yang disertai dengan mengepulnya 

asap hitam berbau busuk. Si kakek 

kemudian menempelkan telapak tangannya 

ke dada Sanjaya. Sekejap dia kerahkan 

tenaga dalamnya ke bagian dada si 

pemuda. Pendekar Sesat Patah Hati 

nampak terguncang, dari bagian 

mulutnya menyembur darah hitam kental.

Si kakek terus kerahkan tenaga 

dalamnya, sampai sekujur tubuhnya 

sendiri dilanda guncangan hebat dan 

basah bersimbah keringat.

"Hoeeek...!"

"Bagus. Terus keluarkan semua isi 

perutmu!" seru si kakek yang mulai 

menjauhkan tangannya dari dada si 

pemuda.

Orang tua ini kemudian menunggu 

untuk beberapa saat lamanya. Kemudian 

terdengar suara erangan yang keluar 

dari mulujt Sanjaya. Pemuda itu 

kerjapkan matanya. Dia jadi kaget


ketika melihat kehadiran Tabib Sesat 

Timur di tempat itu.

"Kakek...? Bagaimana kau bisa 

hadir di sini?" gumam si pemuda heran 

tapi juga gembira.

"Puji syukur pada Tuhan. Kita 

masih dipertemukanNya!"

"Heh, biasanya kakek selalu 

mengatakan puji syukur kepada setan!" 

kata si pemuda heran.

Tabib Sesat Timur tersenyum 

kecut. "Itu dulu Sanjaya. Sekarang aku 

sudah tobat. Aku sudah semakin tua. 

Aku takut sebelum sempat bertobat ajal 

keburu menjemputku. Aku malu menghadap 

Tuhan dalam keadaan kotor. Selama ini 

aku hidup dalam kesesatan. Aku tidak 

ingin semua itu terus berlanjut. Sejak 

bocah edan tidak lagi bersamaku dan 

pergi dengan si gendut entah ke mana. 

Aku merasa kehilangan. Enam tahun dia 

bersamaku, tapi aku terus menyiksanya. 

Anak itu sangat menderita. Kini 

setelah dia pergi, baru kesadari 

betapa dia sangat berarti bagi diriku. 

Tapi lupakanlah!" ujar si kakek dengan 

wajah murung. Dia menghembuskan nafas 

yang terasa menyesak di dalam dadanya. 

Setelah itu perhatiannya tertuju pada 

Sanjaya alias Pendekar Sesat Patah 

Hati. 

"Bagaimana kau sampai mengalami 

kejadian seperti ini? Kau terkena 

gigitan ular Kayangan. Aku yakin itu


hasil perbuatannya." Berkata begitu si 

kakek tabib menunjuk ke arah Ratu Ular 

Kayangan.

"Engkau betul kek. Entahlah sejak 

ayahku meninggal hidupku makin tak 

menentu." kata Sanjaya. Kemudian si 

pemuda menceritakan segala sesuatu 

yang terjadi termasuk juga mengenai 

hubungannya dengan Ni Seroja yang 

ditentang oleh Senopati Lambak 

Renggono.

"Aku merasa ikut prihatin. Aku 

sendiri telah menyeiidiki siapa 

sebenarnya yang telah membocorkan 

kesalahan ayahmu pada paduka prabu. 

Aku sadari ayahmu memang bersalah. 

Tapi kalau bukan kareha ulah Senopati 

Lambak Renggono mungkin ayahmu masih 

hidup saat ini meskipun harus mendekam 

di penjara." ujar Tabib Sesat Timur 

beberapa saat setelah Sanjaya men-

ceritakan segala sesuatunya.

"Jadi Senopati Lambak Renggono 

yang punya ulah?" desis si pemuda. 

"Mengapa dia berbuat begitu?" tanya 

Sanjaya ingin tahu.

"Kudengar ayahmu oleh sri baginda 

hendak diangkat menjadi Adipati di 

daerah lain. Kurasa Senopati itu 

merasa iri, sehingga dia sengaja 

mencari kesalahan ayahmu. Kebetulan 

sekali ayahmu memang kedapatan 

melakukan kesalahan."


"Aku harus membuat perhitungan 

dengan Senopati itu." dengus Pendekar 

Sesat Patah Hati. Sang Tabib gelengkan 

kepala. 

"Mengapa?"

"Senopati itu memiliki kesaktian 

sangat tinggi. Itu sebabnya dia 

dijuiuki Senopati Pamungkas. Dengan 

ilmu Gelombang Naga yang kau miliki 

tak terpikir olehku kau akan kalah 

melawannya. Tapi selain Senopati 

Lambak Renggono dia masih punya 

pasukan perang dalam jumlah besar. 

Lain halnya jika aku membantumu 

menculik Ni Seroja. Kemudian aku 

meninggalkan pesan untuknya, agar dia 

mau datang menemuimu seorang diri."

"Tapi aku tak mungkin bertemu 

dengan Ni Seroja dalam keadaan cacat 

begini rupa!" kata Sanjaya gelisah.

Si kakek tersenyum. "Aku telah 

menyelidik. Ni Seroja kurasa tetap 

mencintaimu. Saat ini dia dipasung 

dalam sebuah kamar. Kurasa ingatannya 

agak terganggu. Namun aku pasti bisa 

membantu menyembuhkannya bila dia 

telah bersamamu." tegas Tabib 

Tapadara.

"Tapi siapa yang akan ke sana?"

"Tentu saja aku. Aku sudah tahu 

tempatnya di mana Ni Seroja disekap. 

Asal kau percaya dengan kemampuanku. 

Aku yakin segala sesuatunya jadi beres 

sesuai dengan keinginanmu."


"Baiklah kek. Aku menurut saja." 

jawab si pemuda pasrah.

"Kalau begitu sekarang kau pergi. 

Lukamu sudah tidak perlu dikhawatirkan 

lagi." kata sang tabib meyakinkan.

Sanjaya anggukkan kepala dan 

mengikuti kakek tabib pergi ke tempat 

kediaman Senopati Lambak Renggono.

* * *

Gadis cantik berambut awut-awutan 

itu baik malam ataupun siang hampir 

tak pernah berhenti menangis. 

Terkadang dia suka berteriak-teriak 

seperti orang kurang waras. Hal ini 

tentu saja mengandung rasa iba para 

pelayan yang melayani segala 

kebutuhannya. Sore itu Senopati Lambak 

Renggono sedang tidak berada di dalam 

gedung tempat kediamannya. Nini 

Parawit tahu benar akan hal itu. 

Menurut keterangan beberapa prajurit 

yang dapat dipercaya sang Senopati 

yang mandapat laporan tentang tewasnya 

belasan prajurit serta perwira tinggi 

yang sangat dipercaya berikut beberapa 

tokoh silat yang mendukungnya sedang 

memimpin pasukan untuk melakukan 

pengejaran ke kuil kuno yang terletak 

di luar dusun Mojokerto.

Kesempatan ini dipergunakan oleh 

kepala abdi Senopati ini untuk 

menyelinap ke dalam kamar di mana Ni


Seroja dipasung. Dan secara kebetulan 

pula prajurit yang berjaga di depan 

pintu penyekapan merupakan orang yang 

sangat dekat dengan Nini Parawit 

sendiri. Sehingga dia tidak menjumpai 

banyak kesulitan.

"Nini… jika sampai Senopati tahu 

adiknya meloloskan diri. Bukan hanya 

nini sendiri. Tapi kami berdua akan 

digantung!" kata salah seorang di 

antara dua pengawal itu sambil 

membukakan pintu.

"Nini harus ingat, istriku di

rumah sekarang sedang hamil besar. 

Anakku lima masih kecil-kecil. Kalau 

aku dibunuh oleh gusti Senopati, bukan 

saja anak-anakku menjadi yatim, tapi 

mereka juga akan sengsara!" menimpali 

pengawal yang satunya lagi. Laki-laki 

itu nampak sangat tegang sekali.

"Bertahun-tahun gusti Ni Seroja 

diperlakukan seperti hewan. Semua itu 

mengundang rasa ibaku. Sekarang aku 

akan menotok dan mengikat kalian 

berdua. Jika Senopati kembali dan 

mengetahui kejadian ini aku yang 

bertanggung jawab. Paham?"

"Tidak takutkah nini dengan 

hukuman yang akan nini jalani?" tanya 

pengawal pertama dengan suara 

bergetar.

Nenek tua berpakaian rapih itu 

tersenyum.


Aku dulu seorang ibu yang jahat. 

Kucegah anakku menikah dengan laki-

laki yang dia cintai. Dia akhirnya 

mati membunuh diri. Aku menyesali 

semua itu. Tapi anakku tidak pernah 

kembali. Sekarang biarkan aku berbuat 

sedikit kebaikan untuk mengurangi 

beban derita batin yang selama ini 

menekan, jiwaku. Aku tak tega 

membiarkan gusti Ni Seroja menderita 

seperti itu. Biarkan aku korbankan 

nyawaku yang tidak berguna ini demi 

kebebasannya!" kata perempuan tua itu 

dengan mata berkaca-kaca.

Kedua pengawal itu menjadi 

terenyuh hati mereka. Belum pernah 

mereka mendengar ada seorang pelayan 

mau mengorbankan nyawa demi kepen-

tingan orang lain.

"Nini, lakukanlah apa yang 

menjadi keinginanmu. Kami tak akan 

menghalangi tapi harap ikat kami 

dulu!" kata kedua pengawal itu hampir 

bersamaan. Nini Parawit anggukkan 

kepala. Kemudian dia dengan cepat 

melakukan dua totokan di punggung dan 

leher kedua pengawal ini. Ketika kedua 

pengawal rebah dalam keadaan kaku 

tertotok, Nini Parawit langsung 

mengikatnya.

Tak berselang lama perempuan tua 

ini dengan terbungkuk-bungkuk memasuki 

sebuah ruangan yang gelap dan pengap. 

Di dalam ruangan itu hanya terdapat


sebuah tikar pandan lusuh, pelita 

minyak dan sebuah alat pemasung yang 

besar dan berat. Sedangkan gadis yang 

dipasung nampak bersandar pada tembok 

dinding berwarna putih kusam.

Melihat kehadiran Nini Parawit si 

gadis yang bukan lain adalah Ni Seroja 

nampak tersenyum dan mulai lagi 

menyanyi.

Nini Parawit tempelkan jari 

telunjuknya ke depan mulut. Dia ber-

jalan mendekati. Selanjutnya nenek tua 

ini melepaskan kayu-kayu yang 

dijadikan kunci alat pemasung sambil 

berkata. 

"Gusti... aku tahu gusti tidak 

gila sungguhan. Sekarang aku ingin 

menolongmu. Tapi setelah bebas harap 

kau pergi sejauh mungkin meninggalkan 

gusti Senopati. Cari Sanjaya yang kini 

bergeiar Pendekar Sesat Patah Hati. 

Doaku menyertaimu, semoga gusti 

selamat dan hidup bersama Sanjaya."

Diam-diam Ni Seroja jadi kaget 

menyadari nenek tua itu tahu keadaan 

yang sebenarnya, namun ada juga rasa 

haru di hati si gadis. Dia tak 

menyangka nenek itu mau berkorban 

nyawa demi kebahagiaannya. Hal ini 

menimbulkan rasa haru yang mendalam 

hingga membuat Ni Seroja menangis 

sesunggukkan. Ketika dia terbebas dari 

pasungan Ni Seroja hendak memeluk Nini 

Parawit. Namun si nenek mencegahnya.


Dia malah kerahkan tenaga dalam ke 

bagian kaki si gadis untuk melancarkan 

jalan darahnya.

"Waktu gusti Ni Seroja tidak 

banyak. Aku telah melakukan apa yang 

dapat kulakukan. Sekarang cepat pergi 

lewat pintu belakang!" pinta Nini 

Parawit.

"Nini, kau telah melakukan 

pengorbanan besar untukku. Aku tak 

mampu membalasnya. Tapi aku pasti 

mengingatnya sepanjang hidup." kata Ni 

Seroja.

Nini Parawit anggukkan kepala. 

Sebelum pergi gadis cantik berambut 

panjang awut-awutan itu memeluk si 

nenek tua. Keharuan di hati si gadis 

yang merasa ditolong oleh orang tua 

itu sempat membuatnya tenggelam dalam 

kesedihan untuk beberapa saat lamanya.

"Pergilah. Senopati sebentar lagi 

pasti akan kembali ke sini." ujar 

nenek itu. Ni Seroja pun akhirnya 

meninggalkan ruangan itu. Lewat pintu 

belakang tanpa arah tujuan yang pasti 

dia berlari di tengah kegelapan malam.

Hanya beberapa saat setelah 

kepergian Ni Seroja di depan pintu

kamar yang dijadikan tempat memasung 

Ni Seroja selama ini muncul seorang 

laki-laki berbadan semampai berwajah 

beringas. Laki-laki itu memakai 

pakaian mewah, bertopi tinggi warna 

kuning, sedangkan di punggungnya


tergantung sebilah pedang dengan hulu 

berukir tengkorak kepala manusia. 

Melihat kemunculan laki-laki ini dua 

prajurit yang dalam keadaan terikat 

tentu sangat terkejut sekali.

Sebaiiknya si laki-laki yang 

bukan lain adalah Senopati Lambak 

Renggono juga tak kalah kagetnya.

"Apa yang telah terjadi?" hardik 

sang Senopati.

"Kami... kami...!" Salah seorang 

prajurit mencoba menjawab. Tapi tak 

kuasa melanjutkan ucapannya karena 

demikian tegangnya.

"Kurang ajar. Adikku lari... 

siapa yang telah melarikannya?!" 

bentak Senopati Lambak Renggono berang 

begitu melihat pintu kamar terbuka.

"Aku yang melakukannya gusti." 

Dari dalam kamar satu suara menjawab 

disertai dengan munculnya Nini 

Parawit. Sejenak lamanya sang Senopati 

tercengang karena tidak menyangka 

kepala pelayan yang sangat dia percaya 

berani melakukan tindakan senekad itu.

"Tua bangka tak tahu diri. Kau 

telah melakukan kesalahan besar. Tidak 

sadarkah kau bahwa kesalahan yang 

telah kau lakukan itu tak akan 

mendapat pengampunan dariku?" dengus 

Senopati Lambak Renggono dengan mata 

mendelik dan wajah berubah beringas. 

Dia sendiri saat itu sedang merasa 

gusar karena ketika sampai di kuil


kuno orang yang dia cari dan sangat 

dibencinya ternyata tak berada di 

tempat. Kini ketika kembali demi 

melihat adiknya meloloskan diri tentu 

saja membuat kemarahannya semakin 

memuncak.

"Aku mengerti gusti!" sahut Nini 

Parawit yang saat itu telah bersimpuh 

di depan sang Senopati.

"Kau sudah mengerti? Lalu mengapa 

kau bebaskan dia?"

"Aku tidak tega melihat 

penderitaannya." kata Nini Parawit. 

Sedikit pun tidak terlihat ada rasa 

takut terbayang di wajah orang tua 

itu.

"Orang tua edan. Kukira kau hanya 

pandai memasak dan menyusun hidangan 

tak tahunya kau pandai pula menotok 

dan mengikat kedua prajurit tolol ini. 

Jiwamu tak akan kuampuni!" teriak 

Senopati Lambak Renggono sambil 

acungkan lima jari tangannya ke arah 

Nini Parawit. Dua prajurit yang sudah 

mengetahui Senopati hendak melepaskan 

salah satu ajian mautnya tidak mampu 

berbuat banyak. Wajah mereka sama 

pucat tegang dan sama pula pejamkan 

matanya.

Beberapa saat kemudian dari empat

jari tangan sang Senopati membersit 

sinar hitam redup berhawa dingin 

menusuk. Sinar itu sekejap lagi pasti 

akan menembus batok kepala Nini


Parawit jika saat itu tidak terdengar 

suara bentakan disertai melesatnya 

sinar putih kemilau dari bagian atas 

langit-langit ruangan yang langsung 

memapas empat sinar hitam itu.

"Orang tua hendak dibunuhnya. 

Sungguh merupakan tindakan tidak 

terpuji."

Lalu ada suara lain yang 

menimpali. "Dia adalah manusia murtad 

yang tak takut kwalat. Dasar bangsat! 

Ha... ha... ha...!"

Terdengar suara empat kali suara 

letupan berturut-turut. Senopati 

terhuyung ke belakang dengan muka 

pucat dan kening mengernyit kaget. 

Bila dia melihat ke langit-langit 

ruangan, bagian atap rumahnya jebol 

bolong melompong. Tapi dia tak melihat 

apa-apa terkecuali kegeiapan semata. 

Dari letupan yang terjadi mengepul 

asap teba!, dalam kemarahannya akibat 

apa yang hendak dilakukannya 

digagalkan orang sang Senopati sempat 

mengendus bau sesuatu. Di bagian atas 

langit-langit rumahnya dia mendengar 

suara bergedebukan seperti suara anak 

kecil yang sedang bercanda. Lalu ada 

suara orang bicara.

"Huh, bau apa ini? Busuk amat?"

Selanjutnya ada suara serak berat 

menyahuti. "Kurang ajar, bocah edan. 

Kau yang kentut rupanya?"


"Biarkan aku kentut. Asal 

kentutku membuat nenek itu jadi 

panjang umur. Ha... ha...ha!"

Merasa ada orang yang telah 

menghinanya begitu rupa dan sadar 

orang-orang itu pastilah memiliki 

kepandaian tinggi mengingat 

kehadirannya tak diketahui oleh 

pengawal yang berjaga di sekeliling 

gedung Senopati, maka sambil katupkan 

bibirnya dia menghantam ke atas, 

sedangkan Nini Parawit sendiri diam-

diam segera menyingkir dan menyelinap 

pergi membawa rasa takutnya.

Sinar hitam berkiblat, hawa 

dingin menderu menghantam langit-

langit gedung,

Buuum!

Ledakan keras berdentum. Langit-

langit ruangan hancur berkeping-

keping, atap genteng jebol. Di atas 

sana terdengar suara gelak tawa saling 

tindih menindih menyakitkan telinga.

"Lihat manusia murtad itu 

mengamuk. Gedung begini bagus hendak 

dihancurkannya!"

"Biarkan saja guru. Kurasa 

gilanya lagi kambuh. Kalau kita 

melarang urusan jadi kapiran!" kata 

suara di atas genteng.

"Setan! Siapa kau berani datang 

ke tempatku ini!" hardik Senopati 

Lambak Renggono sengit.


"Ha... ha... ha. Yang datang 

justru kakek setan dan cucu setan. 

Kami datang ke mari karena merasa 

punya kepentingan dengan anak setan!" 

sahut suara di atas genteng.

"Betul. Anak setan perlu diberi 

pengajaran agar jangan sembarangan 

lagi hendak membunuh nenek tua tidak 

berdaya! Ha... ha... ha!"

Merasa diejek dan dipermainkan 

terus menerus. Maka lenyaplah sudah 

kesabaran di hati sang Senopati. 

Dengan tinju terkepal dan dihantamkan 

ke atas, maka tubuhnya pun melesat. 

Sinar hitam berkiblat menghantam 

bagian atas genteng di mana sang

Senopati memperkirakan kedua tamu yang 

tak diundang itu berada.

Terdengar suara genteng berderak 

hancur disusul dengan munculnya sosok 

Senopati melalui atap yang baru 

dihancurkannya tadi. Dalam gelap hanya 

diterangi cahaya bintang Senopati 

Lambak Renggono melihat dua sosok

laki-laki. Yang satu adalah seorang 

kakek tua berbadan besar luar biasa, 

berperut gendut. Baju hitamnya tidak 

terkancing, sedangkan wajahnya bulat. 

Pipi gemuk padat tembem, bukit 

hidungnya sama sekali nyaris lenyap 

sama rata dengan pipi. Sambil usap-

usap perut dengan tangan kanan, tangan 

kirinya terkadang iseng mengorek 

lubang hidung. Melihat besarnya badan


kakek ini pastilah genteng yang 

dipijaknya akan hancur berantakan. 

Akan tetapi hal itu tak terjadi, ini 

merupakan suatu tanda bahwa kakek itu 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang 

sudah mencapai tarap di atas sempurna.

Sedangkan tak jauh dari kakek 

gendut itu berdiri tegak seorang 

pemuda tampan berambut gondrong, 

berpakaian biru dengan ikat kepala 

warna biru pula. Sambil berkacak 

pinggang dan menggerakkan kedua 

bahunya pemuda ini menyeletuk. 

"Guru... lihat. Senopati ini 

gagah juga ya? Rambut klimis, kumisnya 

yang melintang juga klimis. Tapi 

seperti yang baru kita lihat tadi 

tingkah lakunya seperti iblis. Ha... 

ha... ha!"

"Gege, jangan berani bicara 

sembarangan dengan tuan besarmu itu. 

Kalau dia sampai marah aku tidak 

ikutan menanggung akibatnya." kta si 

kakek yang bukan lain adalah Gentong 

Ketawa.

"Ha... ha... ha. Cepat guru 

berlutut di hadapannya. Katakan 

kedatangan kita ke sini hanya ingin 

memberi tahu bahwa adiknya yang pergi 

tak usah dicari." kata Gelge alias 

Gento Guyon.

Diam-diam Senopati jadi kaget 

mendengar ucapan si pemuda. Jika dia


berkata begitu berarti mereka tahu di 

mana adiknya saat ini berada.

"Kalian yang melarikan adikku?"

hardik Senopati bengis.

Gentong Ketawa gelengkan kepala.

"Kami hanya melihat dia berlari 

dalam gelapnya malam. Kemudian muridku 

itu mengambilkan kuda untuknya di 

kandang belakang gedung, maksud kami 

supaya dia jangan terlalu lelah. 

Setelah itu kami ke mari, bukankah 

begitu Gege?" Sambil berkata si kakek 

melirik muridnya sambil kedipkan mata 

satu kali. Gento Guyon ikut kedipkan 

matanya pula sambil tersenyum.

"Memang begitu Senopati. Aku 

terpaksa mencuri kuda demi adikmu, 

harap kau sudi mengampuniku!"

"Jahanam keparat! "Senopati 

menggeram. Dia kemudian berteriak 

keras. "Pengawal! Tangkap dua kunyuk 

ini hidup atau mati!"

Suara teriakan Senopati lenyap. 

Tapi tak seorang pengawal pun yang 

datang. Bahkan pengawal yang berjaga-

jaga di atas gedung Senopati diam tak 

bergerak. Hal ini tentu menimbulkan 

rasa kaget dan heran. Gento Guyon 

terkekeh, sedangkan Gentong Ketawa tak 

mampu menahan tawanya. 

"Jangan kaget Senopati. Kami 

terpaksa membuat pengawalmu tidur 

semua. Sedangkan pengawal yang di atas 

gedung sudah kami beritahu agar jangan


meninggalkan tempat walaupun petir 

membelah kepala mereka. Ha... ha... 

ha!" kata Gento Guyon seenaknya.

"Saking patuhnya mereka kaku 

tegak. Telinga mendengar tapi berlagak 

tuli. Mereka ingin ke sini tapi takut 

pada guruku betul begitu guru?" ujar 

Gento Guyon.

"Kenyataannya memang begitu, 

Gege! Tapi kau lihat rambut di 

kepalanya berjingkrak tegak. Itu 

pertanda dia merasa kaget!"

"Kurasa semua bulu yang tumbuh di 

sekujur tubuhnya jadi tegak berdiri. 

Aku takut celananya robek! Ha... ha... 

ha." ujar Gento Guyon disertai tawa 

cekakakan. Mendidihlah darah Senopati 

Lambak Renggono mendengar semua kata-

kata yang diucapkan oleh Gentong 

Ketawa dan muridnya. Tapi dia kemudian 

melengak kaget ketika melihat Gento 

Guyon dan Gentong Ketawa secara 

serentak sama jatuhkan diri. Kedua 

tangan yang dirangkapkan diletakkan di 

atas kepala dengan gerakan seperti 

orang menyembah.

Selanjutnya kedua orang ini buka 

mulut masing-masing hampir bersamaan 

mereka berucap. "Gusti Senopati! 

Maafkan kami. Sama sekali kami tak 

bermaksud menghinamu. Kami tadi hanya 

bercanda. Sekarang terimalah hormat 

kami."


Apa yang terjadi kemudian bukan 

sebagaimana yang diharapkan oleh 

Senopati Lambak Renggono. Karena 

begitu Gento Guyon dan gurunya 

menggerakkan kedua tangan masing-

masing ke depan. Maka serangkum hawa 

panas menderu sebat menghantam sang 

Senopati secara susul menyusul.

"Jahanam keparat, penipu tengik!" 

teriak sang Senopati. Sekonyong-

konyong dia melesat ke udara. Di udara 

laki-iaki itu lakukan gerakan 

berjumpalitan tiga kali sambil 

pukulkan tangannya ke arah kedua 

lawannya.

Wuus!

Wuss!

Angin dingin membersit, sinar 

hitam berkiblat dan melesat deras 

memapaki pukulan Selaksa Duka yang 

dilepaskan Gento dan gurunya. Tak 

dapat dihindari lagi bentrokan tenaga 

sakti pun terjadi. Atap gedung hancur 

berkeping-keping. Senopati sendiri 

jatuh terjengkang dan terguling-guiing 

untuk akhirnya jatuh di halaman depan. 

Sedangkan Gento dan gurunya jatuh 

terduduk di atas genteng. Gento merasa 

dadanya jadi sesak. Nafas kembang 

kempis dan aliran darahnya jadi kacau. 

Dia terpaksa kerahkan tenaga daiam 

untuk memulihkan kesehatannya. 

Sedangkan si kakek malah menyengir

sambil mengusap wajahnya yang 

keringatan.



SEMBILAN


Ketika Gentong Ketawa memandang 

ke arah muridnya, maka si kakek 

tertawa tergelak-geiak. "Ada apa 

denganmu? Dadamu kembang kempis 

seperti diurut setan."

"Betul. Habis mengurut setannya 

langsung jatuh menggelinding ke bawah 

sana!" sahut si pemuda sambil menunjuk 

ke arah halaman depan.

Gentong Ketawa memperhatikan 

sejenak, memandang sejenak ke arah 

yang ditunjuk si pemuda. Setelah itu 

dia berkata. "Senopati memiliki 

senjata yang sangat berbahaya. Di 

samping itu dia juga mempunyai 

kesaktian tinggi. Kuharap kau berhati-

hati dalam menghadapinya." pesan si 

kakek.

Gento Guyon mengangguk. Beberapa 

saat lamanya mereka menunggu. Tapi 

ternyata setelah lama menunggu 

Senopati Lambak Renggono tidak muncul-

muncul juga.

"Guru... kurasa Senopati pergi 

mengejar adiknya. Bagaimana kaiau kita 

mengejar Senopati itu?" tanya Gento.


"Dasar geblek. Untuk apa kita 

bermain kejar-kejaran?" sahut si kakek 

yang diam-diam jadi curiga. Apa yang 

dikatakan oleh Gento Guyon memang 

benar. Begitu Senopati menyadari bahwa 

kedua lawan yang dianggapnya kurang 

waras itu ternyata memiliki kesaktian 

tinggi. Maka dia yang khawatir adiknya 

bisa bertemu dengan Sanjaya langsung 

memerintahkan pasukan pemanah dengan 

menunggang kuda segera mengejar 

adiknya.

Kini si kakek dan Gento Guyon 

saling pandang. Namun perasaan mereka 

sama-sama tidak enak.

"Aku curiga bukan mustahil 

Senopati itu menjebak kita." gumam 

Gentong Ketawa.

Si pemuda tertawa terkekeh. "Kau 

ini selalu takut dengan bayang-

bayangmu sendiri, guru. Semua prajurit 

telah kita totok. Mana mungkin mereka 

bisa sampai ke sini!"

"Gege.... Seorang Senopati hanya 

mempunyai prajurit dalam jumlah 

sekecil itu? Tidak mungkin bukan? Dia 

pasti mempunyai pasukan besar. 

Sebaiknya kita kejar saja Senopati 

itu."

"Guru apakah kau sudah linglung. 

Tadi kau mengatakan untuk apa mengejar 

Senopati itu. Sekarang kau malah 

mengatakan sebaliknya." gerutu Gento 

Guyon sambil gelengkan kepala.


Si kakek hanya senyum-senyum 

saja. "Aku merasa tertarik mendengar 

jalan hidup Pendekar Sesat Patah Hati. 

Kalau benar kabar yang ku dengar 

tentang riwayat pemuda itu. Kurasa 

tidak salah jika kita membantunya agar 

jalan perjodohan antara pendekar itu 

dengan adik Senopati bertambah lancar. 

Pendekar itu dapat rejeki besar dan 

kita kebagian pahalanya. Syukur-syukur 

aku diberi kesempatan melihat pesta 

membelah durian di malam pertama. 

Apalagi di malam pesta suasananya 

hujan lebat. Ha... ha... ha!"

Baru saja si kakek selesai 

bicara. Pada waktu bersamaan dari 

segala penjuru arah di bagian atap 

gedung melesat puluhan batang anak 

panah yang menghujani kedua orang ini.

Mendengar suara mendesing yang 

datang dari setiap sudut gedung sambil 

hantamkan kedua tangannya menangkis 

serangan anak panah Gento Guyon 

nyeletuk. 

"Guru... doamu terkabul. Sekarang 

benar-benar hujan. Tapi bukan hujan 

seperti yang kau inginkan. Melainkan 

hujan anak panah. Lengah sedikit tentu 

tubuh besarmu yang seperti raksasa 

ditembusi anak-anak panah ini!"

Si kakek memang sempat terkesiap 

melihat serangan gencar yang dilakukan 

oleh pasukan pemanah Senopati. Namun 

sambil tetap tertawa ha ha he he,


Gentong Ketawa buka bajunya. Ketika 

baju diputar dan dikebutkan. Maka 

puluhan batang anak panah yang 

menghujani tubuhnya berpentalan tak 

karuan. Sebagian anak panah itu bahkan 

ada yang berbalik dan menghantam 

pemiliknya. Terdengar jerit di sana-

sini. Gento Guyon sendiri sambil 

menghindari serangan anak panah 

berjingkrak melompat sesuka hatinya, 

namun walau gerakan yang dilakukannya 

terkesan seenaknya sendiri. Sampai 

sejauh itu tak sebatang pun anak panah 

yang menembus tubuhnya. Pada satu 

kesempatan si pemuda melepaskan 

pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis.

"Gege bocah edan. Kalau memukul 

jangan seenaknya sendiri. Apa kau mau 

membunuhku!" hardik Gentong Ketawa 

yang melihat sang murid juga 

melepaskan pukulan ke arahnya.

"Ha... ha... ha. Kalau sudah 

begini mana aku bisa membedakan mana 

kambing mana kerbau bengkak." sahut si 

pemuda.

Walaupun tubuh si kakek beratnya 

lebih dari dua ratus kati, namun 

sambil mengebutkan bajunya yang 

dipergunakan untuk mengusir serangan 

anak panah yang mendera mereka laksana 

hujan. Dengan gerakan ringan dia 

jatuhkan diri ke atas genteng. 

Bagaikan bantal guling tubuhnya 

menggelinding ke bawah dan...


Bluuk!

Si kakek jatuh di halaman samping 

dan berdiri tegak di sana. Sementara 

itu di atas genteng terdengar suara 

pekik dan jerit kematian ketika 

pukulan yang dilepaskan oleh Gento 

Guyon menghantam pasukan pemanah 

Senopati. Banyak di antara mereka yang 

tewas dengan tubuh berjatuhan dari 

atas gedung setelah habis tertawa-tawa 

aneh.

Kenyataan yang terjadi tentu saja 

membuat kawan-kawannya yang berhasil 

menyelamatkan diri jadi tercengang, 

kaget juga heran. Selagi para pemanah 

bersikap lengah melihat kenyataan yang 

terjadi. Di bawah gedung Senopati 

terdengar suara siulan pendek. Lalu 

Gento Guyon mendengar gurunya berkata 

melalui ilmu mengirimkan suara.

"Apa lagi yang kau tunggu di situ 

Gege? Tak ada gunanya kau melayani 

mereka. Karena itu hanya membuang 

tenaga sia-sia. Ayo kita merat dari 

sini. Rasanya belum kasip untuk 

mengejar anak gondoruwo yang mengejar 

adiknya itu."

"Kau benar kakek gondoruwo. 

Cucumu itu memang kelewat bandel. Awas 

kalau kutemui dia pasti kujitaki 

kepalanya pulang balik!" berkata 

begitu dengan gerakan yang sangat 

ringan Gento Guyon berkelebat turun.


"Jangari biarkan dua kunyuk itu 

melarikan diri!" seru prajurit pemanah 

begitu melihat lawannya berkelebat 

pergi.

Murid dan guru tanpa menghiraukan 

teriakan para prajurit pemanah cepat 

tinggalkan tempat itu. 

Setelah mereka jauh dari kejaran 

musuh-musuhnya sambil tetap berlari si 

kakek berucap. "Rupanya kau teringat 

kenangan indah ketika kau kalah 

berkelahi dengan salah seorang dari 

tiga bocah berkepala botak itu? Ha... 

ha... ha. Aku tak pernah lupa saat itu 

Tabib Sesat Timur menjitaki kepalamu!"

"Tabib Setan!" desis si pemuda. 

Kilatan matanya jelas tak mampu 

menyembunyikan rasa benci di hatinya.

"Kelak bila aku bertemu dengannya aku 

pasti akan membalas perlakuannya dulu. 

Akan kujitaki kepalanya, lalu 

kugantung dia di atas puncak cemara." 

dengus Gento Guyon sengit.

"Jika kau sudah menggantungnya 

baru nanti kucarikan semut merah, 

kepalanya kubotaki."

"Kakinya kukuliti untuk kujadikan 

kasut. Sedangkan kulit badannya hendak 

kubikin tetabuhan. Nantinya kita bisa 

keliling kotaraja. Aku yang menabuh 

gendang, kau yang menari. Ha… ha... 

ha!"


"Dasar sinting, kau kira aku ini 

orang gila?!" rutuk Gentong Ketawa 

sambil delikkan matanya.

Gento Guyon terkekeh-kekeh 

melihat gurunya jadi sewot


SEPULUH



Suasana di pagi itu masih 

diselimuti kabut tebal. Udara dingin 

terasa menusuk hingga ke sumsum 

tulang. Seakan tidak perduli dengan 

keadaan yang terjadi di sekitarnya. 

Gadis cantik Ni Seroja dengan wajah 

pucat dan rambut kusut masai terus 

memacu kuda tunggangannya. Binatang 

itu mendengus-dengus, tubuhnya 

berkeringat sedangkan dari mulutnya 

keluar busa putih. Tambaknya binatang 

ini memang sangat kelelahan setelah 

semalaman penuh terus dipacu tiada 

henti.

Memasuki hutan Mojokerto, jalan 

yang harus ditempuh merupakan 

perbukitan berbatu. Si gadis mencoba 

memaksa kudanya untuk mendaki bukit 

tersebut, namun baru beberapa langkah 

kuda itu mendaki, tiba-tiba kakinya 

bergetar. Tak berapa lama kuda ini 

terguling. Jika Ni Seroja tidak cepat


melompat dan punggung kudanya, niscaya 

dia juga ikut terpelanting.

Sejenak lamanya dia pandangi 

binatang itu. Kini setelah kuda yang 

dia tunggangi sudah tak bergerak lagi 

maka barulah Ni Seroja sadar bahwa 

dirinya seorang diri.

"Ke mana aku hendak pergi?" kata 

Ni Sen dalam hati. Dengan wajah kuyu 

dan tatap matanya yang letih dia 

pandangi kelebatan hutan di 

sekelilingnya. Setelah sadar di mana 

dirinya saat itu berada. Diam-diam 

perasaan takut kini mulai merayapi 

hatinya. "Kakak Sanjaya? Tidak mungkin 

aku bisa hidup seorang diri. Di 

manakah dirimu saat ini berada?" 

Tentu saja pertanyaan ini tidak 

pernah mendapatkan jawaban karena di 

tempat itu tidak ada siapapun 

terkecuali dirinya sendiri. Selagi si 

gadis diliputi rasa bingung. Mendadak 

di belakangnya terdengar suara ranting 

seperti terinjak kaki seseorang. Dalam 

kagetnya karena menyangka yang datang 

adalah Senopati Lambak Renggono yaitu 

kakak kandungnya sendiri, maka gadis 

ini pun menoleh. 

Sepasang mata si gadis yang 

cekung dan seperti banyak menyimpan 

penderitaan iiu terbelalak lebar. 

Mulutnya ternganga hendak menjerit, 

namun tak sepatah katapun yang keluar 

dari bibirnya.


"Ni Seroja...!" Satu suara 

terdengar disusul dengan mendekatnya 

laki-laki berwajah rusak hancur 

seperti dicacah ke arah gadis itu.

Melihat laki-laki itu semakin 

mendekatinya. Maka Ni Seroja pun 

menjerit. Menjerit lagi hingga 

akhirnya dia pun terkulai tak sadarkan 

diri. 

"Ni Seroja kekasihku. Ini aku, 

Sanjaya... akh... mengapa keadaanmu 

begini mengenaskan?" kata Psndekar 

Sesat Patah Hati. Dengan cepat dia 

membaringkan Ni Seroja di tempat yang 

rata berlapiskan daun kering. Setelah 

itu dia memijit kening, pelipis dan 

bagian leher si gadis. Hanya beberapa 

saat seteiah itu si gadis merintih.

"Ni Seroja, tenanglah. Segala 

sesuatunya kurasa sudah berakhir." 

kata pemuda itu lagi menghibur.

Ni Seroja buka matanya. Kembali 

dia melihat wajah yang sangat 

mengerikan itu. Kini bahkan nampak 

demikian dekatnya.

"Jangan takut, Roja...!" kata 

Sanjaya menyebut panggilan akrab si 

gadis.

"Roja? Hanya Sanjaya yang 

memanggilku begitu. Suaramu... suaramu 

seperti tidak asing bagiku. Siapakah 

engkau ini yang sebenarnya?" tanya Ni 

Seroja bingung.


"Aku Sanjaya. Senopati Lambak 

Renggono yang membuat wajahku cacat 

begini." ujar pemuda itu. Suaranya 

bergetar menahan sedih dan dendam.

"Kakak Sanjaya?!" pekik Ni 

Seroja. Tiba-tiba gadis itu duduk. Air 

matanya kini deras menetes. "Benarkah 

kau kakak Sanjaya?"

"Ya... Hanya aku bukan lagi 

Sanjaya yang dulu. Kini wajahku cacat 

mengerikan. Jangankan manusia, setan 

sekalipun lari bila melihatku."

Ni Seroja galengkan kepala.

"Benarkah kakakku Lambak Renggono 

yang telah merusak wajahmu?" tanya 

gadis itu ingin kepastian.

"Aku tidak berdusta." ujar si 

pemuda. Dia kemudian menceritakan 

segala sesuatunya yang telah terjadi.

"Tak kusangka dia sekejam itu. 

Semula kukira dia hanya mengusirmu. 

Tidak tahunya...!" Si gadis tiba-tiba 

memeluk Sanjaya tanpa perduli pengan 

cacat wajah yang dialami pemuda yang 

dicintainya itu. 

"Dia bukan saja memisahkan kita. 

Tapi juga berusaha menghancurkan 

dirimu dan diriku. Aku benci 

kepadanya!" desis Ni Seroja sambil 

menyembunyikan wajahnya di dada 

Sanjaya yang kekar.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya 

si pemuda sambil balas memeluk gadis 

yang sangat dia cintai.


Perlahan Ni Seroja jauhkan 

wajahnya dari dada si pemuda. Dia 

pandangi wajah Sanjaya sambil berkata. 

"Senopati memiliki senjata sakti, 

selain itu ilmunya juga sangat tinggi. 

Aku sejak berpisah denganmu selama 

tiga tahun. Hidup dalam pasungan. Atas 

jasa baik Nini Parawit aku bebas. Tapi 

mengapa harus begini?" Si gadis 

kembali pandangi wajah Sanjaya yang 

hancur mengerikan.

"Aku tahu kau pasti sudah tidak 

mau lagi padaku karena keadaanku yang 

seperti ini. Tidak mengapa, aku 

maklum. Aku memang sudah tidak 

berguna. Sedangkan kau tetap cantik, 

pasti banyak yang mau menjadikanmu 

sebagai istri." kata Sanjaya sedih. 

Dia bangkit berdiri dan bermaksud 

meninggalkan tempat itu. Tapi si gadis 

cepat meraih tangannya.

"Kakak Sanjaya kau hendak ke 

mana?" tanya Ni Seroja ikut pula 

bangkit.

Pendekar Sesat Patah Hati 

palingkan wajahnya ke arah lain.

"Aku ingin pergi ke gedung 

Senopati menyusul Tabib Sesat Timur 

yang semula kuminta menjemputmu. Dan 

yang pasti aku akan membuat 

perhitungan dengan Senopati Lambak 

Renggono!" 

"Aku maklum jika kau hendak 

melakukan hal itu. Tapi sebaiknya


jangan lakukan. Lebih baik kita pergi 

ke tempat aman. Aku tak ingin berpisah 

lagi darimu kakak." ujar Ni Seroja 

tersendat.

Sanjaya tercekat, dia merasa 

seakan tak percaya dengan apa yang 

baru saja didengarnya. Perlahan dia 

memutar tubuh dan pandangi gadis di 

depannya

"Apa maksudmu? Apakah aku masih 

mempunyai arti bagimu?" Sanjaya ajukan 

pertanyaan. 

"Kakak... Seandainya kakimu 

buntung atau tubuhmu memiliki sepuluh 

cacat, rasa cintaku padamu tak pernah 

berubah."

"Benarkah apa yang kau katakan 

itu?" tanya Sanjaya terperangah seakan 

tidak percaya.

Ni Seroja tinpa ragu anggukkan 

kepala.

Betapa Saijaya merasa terharu 

mendengar ucapan gadis cantik itu. Dia 

tiba-tiba memeluk Ni Seroja. Gadis 

itupun balas merangkulnya. Dua kekasih 

yang telah terpisah sekian lama ini 

saling bertangisan menahan rasa haru 

dan bahagia yang tiada tara.

Selagi kedua insan yang saling 

mencinta ini saling berpelukan. Pada 

waktu bersamaan terdengar suara derap 

langkah kuda yang disusul dengan 

bentakan keras menggelegar.


"Dua manusia kutuk sumpah. Kalian 

memang pantas kukirim ke neraka agar 

dapat meneruskan cinta mesum kalian!" 

Dalam kejutnya baik Sanjaya 

maupun Ni Seroja lepaskan rangkulan. 

Wajah gadis ini mendadak berubah pucat 

pasi begitu melihat siapa yang datang. 

Sebaliknya Sanjaya alias Pendekar 

Sesat Patah Hati berubah sinis. 

Dendamnya pada Senopati Lambak 

Renggono memang kelewat memuncak. 

Apalagi bila dia teringat bahwa Se-

nopati itu termasuk salah satu 

penyebab kematian ayahnya. 

"Kau... akhirnya kita dapat 

bertemu juga Senopati?" kata Sanjaya 

dengan suara dingin menyeramkan. 

Tidak jauh di depannya sana 

Senopati Lambak Renggono menyeringai 

sinis. Sedikitnya dia merasa puas 

karena cacat pemuda yang sangat 

dibencinya ternyata tidak dapat 

disembuhkan.

"Budak hina, putra penghianat

kerajaan. Kau sungguh tak bermalu 

menaruh rasa cinta pada adikku. Kau 

pasti telah mengguna-gunainya hingga 

adikku Ni Seroja tergila-gila padamu!" 

dengus sang Senopati penuh rasa benci.

"Mungkin begitu menurutmu. Tapi 

demi Tuhan aku tak pernah melakukan 

semua itu Lambak Rengdono?!" desis 

Sanjaya tak kalah sinis.


"Puah... bualan busuk. Siapa mau 

percaya dengan ucapan anak penghianat 

kerajaan?"

Melihat Senopati berulang kali 

menyebut-nyebut ayahnya. Maka 

mendidihlah darah Sanjaya.

"Senopati keparat! Ayahku tidak 

mungkin mati jika bukan karena ulahmu. 

Adikmu tidak akan menderita dan 

wajahku mustahil menjadi begini kalau 

bukan karena ulahmu juga! Sekarang 

tampaknya tidak ada jalan penyelesaian 

yang baik selain harus ada yang mati 

di antara kita!" geram Sanjaya.

"Hah, akupun tak pernah puas 

sebelum dapat melenyapkan nyawamu!" 

Seiring dengan ucapannya itu Senopati 

melompat dari atas kudanya. Sanjaya 

sendiri tidak tinggal diam. Dia 

melesat ke depan.

Melihat kejadian ini Ni Seroja 

berseru mencegah.

"Kakak Lambak Renggono, kakak

Sanjaya jangan...!!"

Sia-sia saja seruan si gadis bagi 

kedua orang ini. Hanya beberapa saat 

kemudian terjadilah perkelahian sengit 

antara kedua tokoh muda yang sama-sama 

menyimpan dendam kesumat ini.

Sanjaya sendiri mengawali sera-

ngan dengan serangkaian tendangan 

menggeledek bertubi-tubi. Sebaliknya 

Senopati Lambak Renggono yang sudah 

sangat berpengalaman di berbagai


kalangan pertempuran ini dan men-

jatuhkan banyak musuh tangguh hingga 

membuatnya dijuluki Senopati Pamungkas 

selalu berhasil menghindari tendangan 

gencar yang dilakukan lawannya. Pada 

satu kesempatan Senopati melompat ke 

samping ketika tendangan dahsyat yang 

dilancarkah oleh Sanjaya menghantam 

bagian rusuknya. Begitu tendangan 

luput dan lewat di atas bahu sang 

Senopati, maka tangan kanan pemuda itu 

lakukan gerakan membabat ke atas. 

Sanjaya melihat tangan lawan 

berkelebat menghantam selangkangannya. 

Dia tahu jika bagian itu kena 

diterabas ujung jemari lawannya maka 

akan sia-sialah hidupnya sebagai laki-

laki. Untuk itu Sanjaya putar tubuhnya 

ke atas dalam satu gerakan yang sulit 

dan tak mungkin dapat dilakukan oleh 

tokoh silat biasa. Setelah kakinya 

berbalik ke atas, maka dengan telapak 

tangan terkembang dia menangkis.

Dess!

Cres!

Sanjaya jatuh dengan kaki goyah 

dan tubuh agak menghuyung. Ketika 

pemuda itu melihat ke telapak 

tangannya yang dipergunakan untuk 

menangkis, maka terkejutlah dia. 

Bagian telapak tangan terluka 

mengucurkan darah bagaikan terkena 

goresan pedang. Di depan sana Senopati 

Lambak Renggono tersenyum sinis.


"Dengan ujung tanganku ini 

sebentar lagi aku akan memotong 

leherrnu!" dengus Senopati.

Hanya tawa panjang dingin 

menggidikkan yang terdengar dari mulut 

Pendekar Sesat Patah Hati ini. Setelah 

menyedot dan menelan darahnya sendiri 

yang keluar dari telapak tangan. 

Pemuda ini kemudian memutar tubuhnya 

ke samping kiri, setelah itu dia 

angkat tangannya ke atas. Namun pada 

waktu bersamaan pula Senopati Lambak 

Renggono telah menyerbu ke arahnya 

sambil kirimkan satu tendangan dan 

satu pukulan menggeledek ke arah 

lawannya.

Angin dingin disertai sinar hitam 

kebiruan berkiblat mengiringi 

tendangan dan pukulan yang dilancarkan 

oleh Senopati. Melihat hal ini Sanjaya 

cepat hantamkan kedua tangannya ke 

depan. Sedangkan tubuhnya berkelit 

menghindari tendangan lawannya. Dua 

tangan saling beradu. Akibatnya 

Sanjaya terlempar, jatuh terguling-

guling dengan mulut semburkan darah. 

Melihat hal ini Ni Seroja memekik 

kaget. Dia hendak memburu bermaksud 

memberikan pertolongan, namun 

bersamaan dengan itu pula Senopati 

Lambak Renggono yang hanya menderita 

luka ringan sudah melesat ke udara 

sambil melepaskan ajian Telapak 

Guntur. Selama jadi pimpinan belum ada


seorang pun yang dapat menyelamatkan 

diri bila sudah terkena ajiannya ini. 

Ni Seroja hanya mampu menjerit 

histeris ketika terlihat seperti ada 

cahaya kilat menyambar keluar dari 

telapak tangan saudaranya yang 

langsung melesat menghantam Sanjaya.

Pada waktu itu juga sebenarnya 

Pendekar Sesat Patah Hati menyadari 

bahaya yang mengancamnya. Untuk itu 

diam-diam dia kerahkan ilmu ajian 

Gelombang Naga yang dahsyat itu. 

Mendadak sontak dari sekujur tubuh si 

pemuda menderu angin yang sangat 

kencang laksana gelombang topan 

mengeluarkan suara bergemuruh bagaikan 

air bah yang menjebolkan bendungan. 

Lesatan cahaya putih laksana kilat 

yang membersit dari telapak tangan 

Senopati Lambak Renggono langsung 

amblas tersedot pusaran angin yang 

sangat kencang itu. Ni Seroja jatuh 

menelungkup sama rata dengan tanah. 

Sementara Senopati sendiri kini 

terpelanting jungkir balik dihantam 

pusaran angin tersebut.

"Edan... bangsat itu punya ilmu 

aneh yang membuatku jadi bulan-bulanan 

begini rupa." geram laki-laki itu 

sambil memukul kian ke mari dalam 

usahanya membebaskan diri dari ge-

lombang angin yang menggilasnya. Tapi 

usahanya ini gagal. Dalam keadaan 

tubuh berputar-putar seperti gasing


akibat pusaran topan dahsyat itu, 

Senopati Lambak Renggono cabut senjata 

andalannya. 

Sriing! 

Begitu senjata berkiblat di 

udara. Pusaran angin topan yang 

menggilasnya pupus dan buyar seketika. 

Sang Senopati yang sudah terluka di 

bagian dalam segera tancapkan Pedang 

Selaksa Iblis berwarna hitam di atas 

tanah.

Sanjaya terkejut sekali melihat 

kenyataan ini. Dia pun dengan gontai 

berdiri tegak. Ketika melihat sang 

Senopati cabut pedangnya, maka si 

pemuda sudah tak memberinya kesempatan 

lagi. Jari telunjuknya diputar tiga 

kali di udara. Selanjutnya dengan 

pengerahan tenaga dalam penuh Sanjaya 

acungkan jari telunjuknya ke arah 

lawan.

Sinar putih laksana mata pedang 

melesat ke arah Senopati. Lawan 

tertawa terkekeh.

"Hari ini akan diketahui siapa di 

antara kita yang patut hidup lebih 

lama di dunia ini!" seru Senopati 

pamungkas. Dia lalu menggerakkan 

pedang di tangan menyambut sinar putih 

berhawa panas membakar yang keluar 

dari telunjuk lawannya.

Jesss!

Sinar putih itu kemudian 

membentur pedang di tangan Senopati.


Tapi sesuatu yang mengejutkan Sanjaya 

kemudian terjadi. Serangan yang 

dilancarkannya bukan saja tak mampu 

menghancurkan lawan maupun pedangnya. 

Tapi sebaliknya sinar maut itu seakan 

tersedot ke bagian badan pedang. Di 

lain kejap Sanjaya merasakan ujung 

telunjuk serta tangan bagaikan dibetot 

tanggal. Bahkan kemudian tubuh pemuda 

itu mulai terseret, tertarik mendekat 

ke arah lawannya.

Dengan segenap tenaga yang dia 

miliki dia berusaha menarik tangannya 

yang seakan tersedot ke arah senjata 

lawan. Gerakan ini ternyata tidak 

mendatangkan hasil sebagaimana yang 

diharapkannya. Di depan sana Senopati 

Lambak Renggono menyeringai.

"Sekejap lagi kau mampus di 

tanganku, bocah buruk!" dengus laki-

laki itu.

Ni Seroja yang baru saja bangkit 

jadi kaget. Tapi dia tak berani 

melakukan apapun terkecuali menangis. 

Kira-kira sejarak satu langkah lagi 

dari lawannya di mana saat itu 

Senopati siap menggerakkan pedangnya 

untuk membunuh Sanjaya. Maka pada saat 

itu pula terdengar suara siulan.

"Dicari ke mana-mana tidak 

tahunya buruan kita ada di sini!"

"Tunggu apalagi." Menimpali suara 

kedua. "Kau urus anak setan itu sedang 

aku sebaiknya menonton saja!"


Suara lenyap. Dari balik rumpun 

semak belukar melesat selarik sinar 

pelangi yang langsung menghantam 

bagian pergelangan tangan Senopati 

ini. Sang Senopati tentu tak mau 

tangannya jadi korban pukulan orang. 

Sehingga sambil bergulingan ke 

belakang dia tarik pedangnya. Dengan 

begitu serangannya terhadap Sanjaya 

melalui pedang anehnya itu lepas tak 

terkendali. Mempergunakan kesempatan 

itu dengan langkah terhuyung-huyung 

Sanjaya yang banyak kehilangan tenaga 

dalam akibat tersedot senjata lawannya 

segera duduk di bawah pohon untuk

memulihkan tenaganya yang banyak 

terbuang sia-sia. Sedangkan Senopati 

Lambak Renggono sendiri saat itu 

begitu sinar pelangi menghantam pohon 

besar di sampingnya segera melompat 

bangkit. Terdengar suara berderak dan 

gemuruhnya pohon yang roboh.

Ketika Senopati memandang ke 

depan. Di sana dilihatnya berdiri 

tegak seorang pemuda berpakaian serba 

biru dan juga seorang kakek gendut 

besar luar biasa.

"Kau lagi?" gerutu Senopati 

Lambak Renggono geram.

Si pemuda yang bukan lain adalah 

Gento Guyon dan gurunya Gentong Ketawa 

tertawa lebar.


SEBELAS



Agaknya dunia ini terlalu sempit 

bagi kita, Senopati. Kau lari, kami 

mengejar. Akhirnya kita bertemu lagi 

di sini." kata Gento Guyon sambil 

gelengkan kepala.

"Semua itu merupakan satu 

pertanda setiap langkahnya tidak 

direstui Tuhan. Gege... jangan kau 

ajak dia ngobrol. Salah-salah dia 

mencari kesempatan untuk melarikan 

diri lagi. Ha... ha... ha!" timpal 

Gentong Ketawa disertai tawa tergelak-

gelak.

"Dua manusia edan keparat. Berani 

mencampuri urusanku. Kalian kira diri 

kalian itu siapa?" hardik Senopati 

Lambak Renggono berang.

"Ha... ha... ha. Baru tadi malam 

kita bertemu sekarang kau lupa. 

Bukankah kami ini saudaramu yang 

berbaik hati hendak menjadikanmu 

sebagai Senopati di neraka!" jawab 

Gento Guyon acuh.

"Puah, kau dan gurumu boleh 

bermimpi!" dengus sang Senopati. 

Mendadak Senopati Lambak Renggono 

melesat ke arah Gento. Pedang di 

tangan menderu membabat pinggang 

pemuda itu. Si pemuda melesat ke udara 

ketika merasakan sambaran hawa dingin


dan berkelebatnya sinar hitam ke 

bagian pinggang.

"Senopati sinting. Diberi nasehat 

malah mencari penyakit." gerutu Gento 

Guyon sambil berjumpalitan di udara. 

Dengan begitu serangan pedang lawan 

luput. Tangan si pemuda meluncur deras 

menghantam bahu sedangkan tangan 

kirinya bergerak ke bagian kepala. 

Lawan selamatkan bahunya dengan 

melompat mundur ke belakang. Tapi 

bagian kepala tetap menjadi sasaran 

serangan lawannya.

Pletak!

"Akh...!"

Senopati Lambak Renggono meraung 

kesakitan begitu terkena jitakan 

Gento. Bagian yang terkena jitakan 

benjol besar. Hal ini membuat Senopati 

menjadi sangat murka sekali. Sekarang 

dia melompat mundur. Seteiah itu 

langsung memutar pedangnya hingga 

menimbulkan suara berkesiuran aneh 

mengerikan.

"Gege awas! Lengah sedikit isi 

perutmu bisa medel!" teriak Gentong 

Ketawa begitu melihat Senopati 

mengerahkan jurus-jurus pedangnya yang 

hebat dan cepat luar biasa.

Sekejap saja Gento Guyon sudah 

terkurung sinar padang lawannya. 

Pemuda ini goyangkan kepala ke kiri 

atau ke kanan sedangkan kakinya


berjingkrak tak karuan di saat pedang 

membabat bagian perut dan kakinya.

"Hebat amat. Aku tak diberinya 

kesempatan menarik nafas barang 

sejenak!" kata Gento Guyon.

Singg!

Pedang menderu menghantam ke 

dadanya. Gento melompat ke belakang.

"Hampir saja aku berpindah tempat 

ke dunia lain." gerutu si pemuda. 

Laksana kilat dengan mulut sengaja 

diperotkan dia hantamkan kedua 

tangannya ke arah Senopati itu.

Wuuuus!

Kembaii dua larik sinar pelangi 

menderu di udara, mengeluarkan suara 

bergemuruh hebat dan kemudian 

menghantam Senopati itu. Tapi lawannya 

tidak bodoh. Dengan mempergunakan 

pedang iblisnya dia menangkis serangan 

ganas lawannya.

Buuum!

Dua sosok tubuh sama terpental ke 

belakang di saat pukulan yang 

dilepaskan Gento membentur ujung 

pedang lawannya. Pemuda itu sendiri 

jatuh terduduk dengan dada terasa 

sesak dan wajah pucat. Di depan sana 

Senopati Lambak Renggono yang hanya 

mengalami guncangan pada bagian 

perutnya akibat benturan itu segera 

menerjang kembali sambil mengayunkan 

senjatanya ke bagian kepala Gento.


"Weit... hendak kau apakan 

muridku? Enak saja kau mau 

membunuhnya. Dari tolol sampai pintar 

aku mengajarnya bukan untuk dibunuh! 

Husss!" Si kakek dengan gerakan yang 

enteng sekali melompat menghadang 

gerakan Senopati. Pelan saja tangannya 

melambai dengan gerakan seperti orang 

mengusir sesuatu. Tapi akibatnya 

sungguh luar biasa sekali. Hawa panas 

luar biasa menyambar disertai deru 

angin yang membuat gerakan Senopati 

Lambak Renggono jadi tertahan. Begitu 

lawan terdorong mundur, maka tinju 

kakek itu yang berat bukan main 

ditambah dengan pengerahan tenaga 

dalam penuh menghantam dada sang 

Senopati. 

Braaak!

"Wuagkk...!" Laksana dicampakkan 

sang Senopati jatuh terbanting. Dari 

mulutnya menyembur darah segar. Tulang 

dadanya remuk melesat ke dalam. Dia 

terluka parah. Namun walau Senopati 

ini nyaris sekarat. Dengan tangan 

gemetaran dia mengangkat pedangnya.

"Eeh, apa yang hendak 

dilakukannya!" desis Gentong Ketawa 

heran.

"Orang tua awas!!" Tidak jauh di 

belakang si kakek terdengar satu 

seruan. Lalu ada sinar putih melesat 

melewati kepala Gentong Ketawa. Si 

kakek jatuhkan diri dengan kaki


ditekuk. Sementara sinar putih yang 

melesat dari teiapak tangan Sanjaya 

kini menghantam pedang Senopati. 

Kembali satu keanehan terjadi. Sinar 

maut yang pernah membelah tubuh Ratu 

Ular Kayangan itu seakan amblas. 

Sadarlah si kakek dan muridnya kalau 

senjata lawan ternyata menyedot tenaga 

sakti milik lawannya.

"Gento, lakukan sesuatu!" teriak 

Gentong Ketawa. Dia sendiri saat itu 

langsung menghantam kaki Senopati 

Lambak Renggono dengan pukulan Selaksa 

Duka dengan maksud mengacaukan 

perhatian lawan. Dan nampaknya 

Senopati yang telah terluka parah itu 

memang terkecoh. Ketika dia 

menggerakkan pedang ke bawah menangkis 

serangan. Saat itu pula Gento Guyon 

melesat di udara, sedangkan kakinya 

menghantam kepala sang Senopati.

Praak! 

Kepala Senopati berderak pecah. 

Dia tak sempat lagi menjerit, jatuh 

tersungkur tak berkutik lagi.

"Satu langkah yang baik. Ha... 

ha... ha!" gumam si kakek sambil 

tertawa-tawa.

"Menjadi tidak baik karena kita 

termasuk mengeroyoknya!" timpal si 

pemuda.

"Hust, dalam hal apapun. 

Kerjasama merupakan tindakan yang


baik. Apalagi dia sangat berbahaya dan 

sesat pula!" sahut si kakek.

"Orang tua dan anak muda. Aku 

Sanjaya merasa berterima kasih atas 

budi pertolonganmu! Kelak aku akan 

membalasnya!"

"Eeh, jangan berterima kasih 

padaku. Tapi pada bocah itu." kata si 

kakek. Ketika dia menoleh ke belakang. 

Sanjaya nampak masih tetap menjura. 

Sementara tak jauh di belakangnya Ni 

Seroja datang menghampiri kekasihnya.

"Jangan berterima kasih padaku. 

Tapi bersyukurlah pada gusti Allah!" 

ujar Gento Guyon jadi salah tingkah.

"Ya, aku bersyukur pada gusti 

Allah dan berterima kasih pada 

kalian." ujar Sanjaya sambil menatap 

Ni Seroja.

"Sama-sama!" sahut si kakek.

"Kembali kasih." ucap Gento.

Si kakek mendelik

"Eeh' apa maksudmu?" tanya si 

kakek melalui ilmu menyusupkan suara.

"Maksudku kekasihnya sudah 

kembali." celetuk si pemuda sambil 

kedipkan sebelah matanya.

Di depan mereka Sanjaya dan Ni 

Seroja yang baru saja merasa terbebas 

dari segala bencana saling berpelukan. 

Tanpa sadar Gento Guyon yang melihat 

kejadian mesra itu memeluk gurunya.

"Hei, apa-apaan kau... diriku kau 

peluk-peluk." dengus Gentong ketawa


sambil mengibaskan tangan muridnya. 

Gento jadi malu hati.

"Eeh... maaf. Aku jadi ikut-ikut 

latah, habisnya kulihat asyiik sih!" 

kata si pemuda dengan muka merah tapi 

tak pernah lepas dari senyumnya.

Sanjaya dan Ni Seroja jadi malu 

hati dan sadar bahwa di tempat itu 

mereka tidak sendiri.

"Sanjaya... Ni Seroja tidak 

berada di tempatnya. Dia melarikan 

diri!" satu suara berseru. Walau belum 

melihat orangnya, namun Gento Guyon 

merasa mengenali suara itu. Dia dan 

gurunya saling pandang.

"Celaka si setan itu datang...!" 

kata Gento tegang.

"Jangan takut. Kalau dia berani 

macam-macam, kita gebuki saja dia 

bersama-sama." sahut Gentong Ketawa.

Tak berselang lama di tempat itu 

muncul Tabib Sesat Timur. Agaknya 

urusan orang tua itu sangat penting, 

terbukti dia seperti tidak 

menghiraukan kehadiran Gento dan 

gurunya.

"Hah, bukankah gadis ini yang 

seharusnya kujemput. Bagaimana dia 

bisa sampai di sini?" tanya Tabib 

Tapadara.

"Dia melarikan diri, kek. 

Senopati mengejarnya. Tapi kami 

berhasil membunuhnya!" jawab Sanjaya.


"Pantasan kucari di gedung 

Senopati tak ada. Eeh... kau bilang 

tadi kami. Berarti kau tidak sendiri!"

Sanjaya menunjuk ke arah Gento 

dan gurunya. Ketika sang tabib 

memandang ke arah yang ditunjuk 

Sanjaya, maka berubahlah parasnya.

"Kkk... kau... bocah...!"

Belum sempat Tabib Sesat Timur 

melanjutkan ucapannya Gento kepalkan 

tangannya.

"Berani kau memanggilku bocah 

setan lagi. Kujitaki kepalamu sampai 

babak belur!"

"Ah, tidak disangka kita bertemu 

lagi. Aku sangat gembira sekali. 

Kalian telah menolong putra almarhum 

sahabatku. Aku sangat berterima 

kasih." kata si kakek.

"Eeh, bagaimana tabib sinting ini 

bisa berubah baik?" bisik Gento.

"Hati-hati. Bisa jadi dia hendak 

menipu kita." jawab Gentong Ketawa.

Tanpa menghiraukan Sanjaya dan 

kekasihnya, Tabib Tapadara mendekati 

Gento Guyon. "Aku sudah sangat rindu. 

Siapa namamu kini...?"

"Yang jelas bukan bocah setan."

"Kau mengatakan rindu pada Gege, 

apakah rindu untuk menggantungnya? 

Kalau itu niatmu, maka justru kau yang 

akan digantungnya. Ha… ha... ha." kata 

Gentong Ketawa.


Tabib Sesat Timur gelengkan 

kepala.

"Maafkan kesalahanku di masa 

lalu. Gege... oh. Sebuah panggilan 

yang bagus. Kau telah membunuh 

Senopati, berarti ilmu kesaktianmu 

sudah sangat maju." puji sang tabib.

Gento menyengir. "Ya, supaya aku 

tak dijitaki orang lain."

Si kakek berubah muram. "Aku 

mengaku salah, kalau kau mau balas, 

balaslah. Tapi beri aku kesempatan 

untuk menurunkan ilmuku barang satu 

dua jurus."

"Jadi kau benar-benar telah 

tobat. Jika betul, karena dulu kita 

sudah pernah berjanji, masalah 

menurunkan ilmu kesaktian kuserahkan 

pada Gege...!" ujar Gentong Ketawa.

Si pemuda terkejut. Ingat akan 

segala kekejaman si kakek di masa 

lalu, sekarang dia masih belum percaya 

kalau Tabib Sesat Timur benar-benar 

telah insyaf. Sehingga dia pun 

berkelebat melarikan diri.

"Bocah... ee... Gege... tunggu. 

Kau hendak ke mana?" seru kakek tabib. 

Tanpa menghiraukan Sanjaya dan Ni 

Seroja si kakek tabib yang sudah 

sangat rindu pada Gento Guyon segera 

mengejar.

"Kurang asem. Gara-gara kau 

muridku jadi ketakutan. Awas jika dia 

sampai hilang kucungkil matamu."


gerutu Gentong Ketawa ikutan mengejar. 

Sanjaya gelengkan kepala.

"Orang-orang tua yang aneh!" kata 

pemuda itu.

"Ya, tapi tanpa mereka belum 

tentu kita dapat bersatu kembali." 

sahut Ni Seroja. Sambil berangkulan 

kedua insan yang saling mencinta itu 

melangkah pergi.


                     TAMAT


Nantikan Episode Mendatang!


TANAH KUTUKAN

 

Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar