SATU
Sang surya belum lagi menampakkan
diri di ufuk timur. Udara dingin di
pinggir telaga masih terasa menusuk
tulang. Tapi kakek tua berambut dan
berjanggut putih itu sudah terjaga
dari tidurnya. Dia menggeliat
sedangkan mulutnya menguap lebar.
Seolah ingat akan sesuatu, begitu
selesai menyampirkan kantong
perbekalannya yang butut dia pun
bangkit berdiri. Sepasang mata si
kakek memandang liar kian ke mari.
Setelah itu si kakek pun
menyeringai ketika melihat benda yang
dicari tergeletak tak jauh dari batu
yang dijadikan alas tidurnya. Benda
yang dicari si kakek ternyata hanya
sebatang bambu sebesar lengan dengan
panjang dua tombak di mana bagian
ujungnya kecil. Bambu ini tidak beda
dengan bambu yang sering dipergunakan
orang untuk memancing. Dengan cepat si
kakek menyambar bambu itu. Dari
mulutnya terdengar dia berkata. "Jika
bambu ini sampai hilang urusan bisa
jadi repot."
"Kau hendak menyiksaku dengan
benda celaka itu tabib?" Tiba-tiba
saja terdengar suatu suara menyahuti,
membuat si kakek tertawa tergelak-
gelak. Dia lalu memandang ke atas. Di
atas cabang pohon rendah, terlihat
tergantung seorang bocah laki-laki
berumur sekitar enam tahun. Bagian
kepala menghadap ke bawah. Sedangkan
kedua kakinya yang terikat di
cantelkan ke cabang pohon. Sesekali
tubuhnya tampak bergoyang-goyang bila
bocah ini meronta. Nampaknya si bocah
sangat tersiksa sekali. Sehingga dia
kembali berkata dengan suara keras.
"Tabib... cepat lepaskan ikatan di
kakiku ini. Aku ingin bebas. Aku tak
mau mengikutimu. Aku tak mau kau
jadikan budak. Tabib, tabib gilaaa kau
mendengar suaraku bukan?"
Si kakek hentikan tawanya.
Matanya melotot memandang pada bocah
gondrong yang tergantung. "Anak edan
mana mungkin aku melepaskanmu. Kalau
ikatan kulepas kau pasti akan minggat
jauh. Kau harus ingat, hidupmu sudah
ditakdirkan menjadi seorang budak.
Sejak dirimu masih menjadi angin
tanda-tanda itu sudah ada. Di ubun-
ubun, di puser bahkan di sekujur
tubuhmu tanda-tanda kesialan itu sudah
ada. Kau tak akan pernah menjadi orang
besar. Tidak akan menjadi panglima
atau patih, apalagi raja. Kalau pun
mungkin kau pasti menjadi raja edan,
raja cacing tanah dan paling tinggi
raja para pengemis. Aku sudah melihat
semua itu. Hidup dan matimu sudah
ditentukan oleh yang di atas. Dan kau
tetap menjadi seorang budak. Kau akan
menjadi budakku dari kecil sampai
ubanan. Ha ha ha!" kata si tabib aneh
disertai tawa panjang.
Bocah itu meronta. Dia kepalkan
tangannya yang bebas bergerak. Matanya
yang jenaka namun tajam berkedip-
kedip. "Tabib...!" kata si bocah.
Karena si tabib diam saja si bocah
berteriak. "Tabib setaaan... kau
memang manusia setan. Lekas kau
turunkan aku. Tubuhku terasa panas,
aku ingin mandi!" kata si bocah sambil
melirik ke arah telaga yang bening.
Si kakek menimang-nimang batang
bambu di tangannya. Dia menatap bocah
itu sebentar. Setelah itu tertawa
lagi. "Bocah edan, muslihat apa lagi
yang ada dalam batok kepalamu? Aku
tahu akal bulusmu? Jangan pernah mimpi
aku membebaskanmu. Ha ha ha!"
"Setan, aku bukan minta untuk
dibebaskan. Buat apa aku mengharap
belas kasihan darimu. Aku hanya
mengatakan harap kan turunkan aku. Aku
mau mandi." jawab si bocah. Lalu dia
pun tiba-tiba ikut pula tertawa. Si
kakek menjadi heran.
"Kau... anak edan, apa yang kau
tertawakan?" bentak si kakek yang
sebenarnya memiliki nama asli Tabib
Tapadara. Merasa heran tawa si bocah
makin menjadi-jadi. Beberapa saat
kemudian ketika tawanya terhenti dia
berkata.
"Kakek tabib kurasa dalam hidup
kau hanya tahu ilmu pengobatan saja.
Kau urusi orang lain, tapi pada dirimu
sendiri kau jadi kurang urus.
Menurutku sebaiknya kita mandi bersama
dalam telaga." jawab si bocah sambil
tersenyum-senyum.
"Anak edan. Kau tak perlu
menggurui aku. Kemarin aku sudah
mandi. Jika sekarang kau mau mandi,
baik. Permintaanmu kukabulkan.
Mandilah sepuasmu. Ha ha ha!" Sambil
tertawa-tawa si kakek gerakkan ujung
bambunya ke arah celah kedua kaki si
bocah yang terikat.
Wuut!
Di lain saat si bocah kini
tergantung di bagian ujung bambu.
Karena ujung bambu itu sangat lentur
maka tubuh si bocah terguncang keras
terombang-ambing kian kemari tak mau
diam. Ini tentu merupakan siksaan
tersendiri bagi si bocah apalagi saat
itu kepalanya menghadap ke bawah.
"Tabib Setaan... aku hendak kau
bawa ke mana?" tanya si bocah kesal
sekali.
Si kakek menyeringai. "Kau minta
mandi, sekarang aku akan memandikanmu
anak edan." jawab orang tua itu. Enak
saja dan seakan tidak punya rasa belas
kasihan sama sekali bagian pangkal
bambu dipikulnya. Sampai di pinggir
telaga bambu diputar cepat hingga
ujungnya yang diganduli si bocah
berada di atas telaga. Gerakan cepat
yang dilakukan si kakek membuat si
bocah laksana dilontarkan, lalu
berguncang keras ke kanan kiri dan
gerakan bambu terhenti dengan tiba-
tiba di atas telaga.
"Orang tua, kepalaku pusing. Kau
perlakukan diriku begini rupa, apakah
kau kira aku ini seekor ikan?" gerutu
si bocah sambil memijiti kepalanya
yang berdenyut sakit.
"Kau seorang budak. Tadi kau
minta mandi, sekarang mandi sepuasmu!"
Dengan tidak terduga bambu yang
dipegang si kakek digerakkan ke bawah.
Begitu ujung bambu meluncur maka tubuh
si bocah yang tergantung di sana
dengan kaki di atas kepala menghadap
ke permukaan air ikut pula meluncur.
Byuur! Bleep!
Tubuh si bocah hingga ke bagian
ujung bambu lenyap dalam kedalaman
air. Air telaga bergelombang, si bocah
meronta. Beberapa saat lamanya si
bocah tenggelam dalam air, baru
kemudian si kakek sentakkan bambu ke
atas. Dengan begitu si bocah yang
dalam keadaan basah kuyup ikut pula
terahgkat. Si bocah megap-megap. "Tua
bangka edan, aku bisa mati jika kau
perlakukan seperti ini!" makinya.
"Ha ha ha. Ini adalah cara mandi
yang bagus dan sangat langka. Kau
kutenggelamkan, lalu kuangkat.
Tenggelam... diangkat... tenggelam di
angkat lagi. Bagus bukan?" kata sang
Tabib.
Baru saja bocah itu hendak
mengatakan sesuatu, bambu digerakkan
ke bawah. Dengan begitu bocah ini pun
ikut meluncur dan tercebur lagi ke
dalam telaga. Gerakan ini dilakukan
berulang kali oleh kakek tabib sampai
akhirnya bocah itu menjadi lemas dan
sulit bernafas.
Dengan nafas terengah-engah si
bocah berkata. "Kakek tabib, terima
kasih kau telah memandikan aku...!"
"Untuk ucapan terima kasihmu itu
sekarang kau layak duduk dengan kaki
tetap terikat!" ujar si kakek.
Kemudian bambu digerakkannya. Kaki si
bocah yang sengaja dicantolkan di sana
terlepas. Tak ayal lagi bocah itu
melayang dan jatuh dengan punggung
menyentuh tanah di pinggiran telaga.
Si bocah menggeliat kesakitan. Tapi
kemudian setelah duduk dengan kaki
terikat dia tersenyum. "Tabib
Setan...!"
"Sekali lagi kau memanggilku
Tabib Setan, kupecahkan kepalamu!"
desis si kakek merasa tidak senang.
"Tindakanmu sejahat setan.
Bagaimana aku tidak memanggilmu
begitu?" rutuk si bocah.
Dengan sikap tak perduli dia
melanjutkan.
"Tabib... setelah kau mandikan
aku apakah kau tidak berniat mandi?"
"Eeh, kau hendak mengajari aku
yang sudah tua bangka. Setiap saat
badanku selalu wangi karena kubaluri
ramuan khusus. Lalu buat apa aku
mandi?!" Si kakek kemudian
menyeringai, "Aku tahu kau pasti
hendak mencari kesempatan untuk
melarikan diri."
Si bocah gelengkan kepala.
"Buat apa lagi. Semua itu percuma
karena kau pasti menemukan aku juga.
Aku percaya tubuhmu bau wangi. Tapi
rambutmu aku yakin bau pesing. Ha ha
ha."
"Apa? Rambutku bau pesing?" desis
si kakek. Kemudian cuping hidungnya
kembang kempis sedangkan kedua tangan
mengusap-usap rambutnya sendiri.
Sebagian rambutnya ternyata memang
basah. Ketika tangan yang memegang
rambut diciumnya...."
"Hemm, bau pesing!" kata si bocah
sambil tertawa-tawa. Sang Tabib
mendelik garang, wajahnya yang
diwarnai keriput nampak merah padam.
"Bocah edan. Kau kencingi aku
disaat aku sedang tidur?" teriak Tabib
Tapadara marah sekali.
"Salahmu sendiri tabib. Aku kau
gantung di atas ketiduranmu. Malam
tadi aku kedinginan. Karena kakiku kau
ikat, terpaksa aku kencing begitu
saja. Jika kau tak tidur dibawahku,
mana mungkin air kencingku mengguyur
kepalamu. Apakah engkau masih mau
menyalahkan aku? Ha ha ha!" kata si
bocah.
Tabib Tapadara sebenarnya sangat
marah terhadap si bocah, namun setelah
dia berpikir sejenak akhirnya dia
menyadari semua itu memang
kesalahannya sendiri.
"Bocah edan, gara-gara ulahmu
sebagian ilmu yang kusimpan di
kepalaku luntur. Seharusnya aku membu-
nuhmu saat ini juga. Tapi mengingat
tenagamu masih kubutuhkan, kematianmu
bisa kutunda untuk beberapa purnama
lagi." Dengus si kakek.
Si bocah cibirkan mulutnya.
"Sejak dulu kau selalu mengancamku.
Tapi ancamanmu tak pernah kau
buktikan. Apa kau mengira aku takui
mati, tabib... setan...!"
"Bocah kurang ajar. Awas kau,
jangan berani pergi ke mana-mana aku
terpaksa membersihkan bau pesing di
kepalaku." Tabib Tapadara tanpa
menghiraukan ucapan bocah itu langsung
menuju ke pinggir telaga yang dangkal.
Sebenarnya si bocah ingin
mempergunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri, namun karena kakinya
terikat dan tidak dapat dibukanya
terpaksalah dia diam di situ. Akan
tetapi kejahilan muncul di dalam
pikiran si bocah. Dia lalu beringsut
mendekati bambu yang selama ini selalu
dipergunakan oleh si kakek untuk
menggantungnya ke mana pun kakek ini
pergi.
"Tabib edan. Bertahun-tahun aku
berada dalam cengkeramanmu tanpa
sedikit pun kau beri aku kebebasan.
Sekali-kali kau harus tahu rasa"
dengus bocah itu dalam hati. Kemudian
dengan menggunakan ujung bambu itu
didorongnya panggung Tabib Tapadara
yang sedang mencuci rambut di pinggir
telaga.
Byuur!
"Ha ha ha. Basah sudah semuanya!"
seru bocah itu sambil tertawa
tergelak-gelak.
Sumpah serapah keluar dari mulut
si kakek. Dia dalam keadaan basah
kuyup melompat ke darat. Sampai di
sana si kakek berlari, tangannya
berkelebat menyambar tangan bocah itu.
Sekali angkat melayanglah tubuh bocah
itu di udara.
"Tabib... kau hendak membunuhku.
Tabib Setan...!" teriak si bocah
ketakutan.
"Ternyata kau takut mati. Hemm...
bocah menyebalkan!" gerutu si kakek.
Dengan gerakan cepat dia menyambar
bambu, kemudian ujung bambu diputar
dan digerakkan sedemikian rupa. Di
lain waktu celah kedua kaki si bocah
yang dalam keadaan terikat sudah
tergantung di ujung tombak itu.
"Sekarang tidak ada waktu lagi
bagi kita untuk bermain-main. Kita
harus pergi ke padang yang tak jauh
dari lembah ini. Di sana kau harus
mencari tetumbuhan untuk kujadikan
ramuan." kata Tabib Tapadara.
Setelah itu sang tabib berlari
secepat yang dapat dia lakukan. Karena
larinya sesuka hati sendiri, tak ampun
lagi si bocah yang digantung di ujung
bambu yang lentur itu nampak pontang-
panting terlempar kian ke mari. Tidak
dapat dibayangkan betapa tersiksanya
bocah ini.
"Kakek tabib, jangan terlalu
kencang kau berlari. Aku... aku mau
muntah...!"
"Kalau mau muntah, muntah saja
tidak ada yang melarang. Di ujung
bambu itu kau bebas berbuat apa saja,
termasuk buang hajat jika kau mau!"
kata si kakek diiringi tawa panjang
DUA
Apa yang diucapkan Tabib Tapadara
memang benar tak jauh dari telaga
terdapat sebuah padang luas di mana
beberapa jenis tetumbuhan yang biasa
dapat dipergunakan sebagai ramuan obat
tumbuh subur di sana.
"He he he. Apa yang aku butuhkan
tumbuh di sini. Aku tidak perlu
bersusah payah, biar bocah edan ini
saja yang memetiknya." pikir sang
tabib. Kemudian dengan enak saja dia
menggerakkan bambu yang dipanggulnya.
Wuut! Ujung bambu yang sangat lentur
bergetar, dengan begitu si bocah yang
tergantung di bagian ujungnya
terpelanting di udara.
"Tabib Setan. Kau memang iblis
edan. Ikut denganmu aku selalu
mendapatkan sialnya melulu." maki si
bocah sambil melakukan gerakan
berjumpalitan. Sehingga ketika jatuh
kedua tangannya yang terlebih dahulu
menyentuh tanah.
Si kakek tertawa terkekeh. Tanpa
bicara dia menghampiri bocah itu. Tali
dadung yang mengikat kedua kaki si
bocah dilepaskannya. Begitu terlepas
dia hendak melarikan diri. Tetapi
sekali tangan si kakek berkelebat
bocah ini jatuh tersungkur. Dia
delikkan matanya, sedang mulutnya
berkomat-kamit seperti orang bisu yang
marah.
"Tidak ada gunanya kau melarikan
diri. Semua jalan tertutup buatmu.
Budakku, sekarang tiba waktunya bagimu
untuk mengumpulkan daun-daun untuk
kujadikan ramuan. Tapi sebelum itu
seperti biasa kutotok dulu urat besar
di punggung dan lehermu. Ha ha ha."
"Artinya aku tidak bisa melarikan
diri lagi?"
"Ya, kalau pun itu kau lakukan
hanya dalam waktu setengah hari kau
segera mampus. Wajahmu membiru,
tubuhmu gosong. Sebelum mati kau akan
mengalami penderitaan yang sangat
hebat." Baru saja kakek ini selesai
bicara, tangannya kiri kanan bergerak
cepat. Tahu-tahu bocah ini mendapati
tubuhnya sudah dalam keadaan tertotok.
Dia menyeringai kesakitan. Bagian
kepalanya seperti digigiti serangga
sedangkan punggung laksana diganduli
batu besar. Sehingga ketika dia
berjalan kepalanya bergoyang-goyang
seperti penderita penyakit ayan
sedangkan bagian punggungnya terus
menggeliat seperti seorang penari. Si
kakek tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang kau benar-benar mirip
penari edan. Hayo tunggu apa lagi,
lakukan tugasmu!" perintah sang tabib.
Karena bocah itu tetap tegak di
tempatnya dengan badan serta kepala
terus bergoyang tak mau diam akibat
totokan, maka si kakek tabib jadi
hilang rasa sabarnya. Ditepuknya
pantat si bocah, hingga membuatnya
melesat ke arah semak-semak di mana
daun tetumbuhan yang dibutuhkan tabib
itu berada.
"Edan... tua edan... dasar tabib
setan...!" pekik si bocah yang merasa
jantungnya laksana copot akibat
tepukan menggunakan tenaga dalam yang
dilakukan orang tua itu.
Makian bocah itu disambut dengan
tawa si kakek. Dia sendiri lalu rebah
menelentang di bawah sengatan
matahari.
Apa yang terjadi antara tabib itu
dengan si bocah ternyata tak lepas
dari perhatian seorang kakek tua
berbadan gemuk luar biasa berkening
lebar bermuka bulat. Sebenarnya orang
tua ini sudah menguntit mereka sejak
beberapa hari ini. Tetapi si kakek
gendut besar nampak agak segan
berhadapan dengan Tabib Tapadara.
Sehingga melihat ulah si tabib
yang dinilainya sewenang-wenang
terhadap si bocah membuat kakek gendut
besar itu hanya mampu mengurut dada.
Kini setelah melihat si bocah
sedang memetik ramuan daun obat-obatan
si kakek menyelinap di balik kelebatan
pohon. Dia mendekati bocah itu.
Setelah dekat, kerindangan pohon
disibakkannya. Si bocah terperanjat.
Si kakek menyengir. Bocah itu kedip-
kedipkan matanya.
"Kakek gendut... dut... dut....
Kau ini siapa?" tanya si bocah polos,
sementara kedua tangannya tetap sibuk
memetik dedaunan dan memasukkannya ke
dalam kantong besar.
"Aku... aku Gentong Ketawa!"
jawab kakek gendut itu. Sambil berkata
mulutnya terbuka hendak tertawa. Namun
tangannya yang besar cepat tekap
mulutnya sendiri. "Aku tak boleh
tertawa, nanti tabib itu melihatku!"
Bocah itu tersenyum. Sepasang
matanya yang bulat seperti kelereng
berputar-putar jenaka.
"Namamu aneh juga lucu. Tapi...
badanmu memang bulat mirip gentong.
Lagipula perutmu gendut besar, kek
apakah kau sedang bunting? Mana
isterimu?" tanya Si bocah polos.
Mendengar ucapan si bocah, sekali
lagi si kakek gendut hampir tak kuasa
menahan tawanya. Tapi sebagaimana
tadi, kali ini dia buru-buru mendekap
mulutnya.
Engkau sendiri siapa namamu?"
tanya Gentong Ketawa. Ketika bicara si
kakek tak lupa melirik ke arah
lapangan di mana kakek tabib
terlentang di sana berjemur matahari.
"Aku... aku tak tahu namaku. Aku
belum diberi nama. Tabib tua yang
sering kupanggil Tabib Setan suka
memanggilku dengan nama bocah edan!"
jawab si bocah.
"Bocah edan itu bukan nama. Kalau
pun sebuah panggilan pasti cara
memanggil yang jelek."
"Terkadang dia juga sering
menyebutku, budak?!"
"Budak... kedudukannya lebih
buruk dari kacung atau pembantu.
Berarti dia orang jahat. Bagaimana
kalau kau ikut denganku. Kau bisa
menjadi muridku!" bujuk si kakek.
"Kalau kakek berani bilang sama
tabib gila itu mungkin aku mau. Tapi
nanti di sana aku kau suruh
mengerjakan apa?" tanya si bocah
dengan lugu.
Si kakek usap-usap keningnya yang
lebar. Kalau dia harus bicara dengan
Tabib Tapadara mana mungkin itu
dilakukannya. Tabib tua itu selain
sangat pandai dalam hal ilmu obat-
obatan juga memiliki kesaktian tinggi.
Bukan kesaktian dan ilmunya itu yang
membuatnya agak segan, melainkan
karena sang tabib memiliki pukulan dan
beberapa jenis senjata rahasia
beracun.
"Kau takut dengan tabib setan itu
kek? Kulihat mukamu pucat, keringatmu
bercucuran."
"Hus sembarangan. Siapa bilang
aku takut. Aku tidak takut padanya.
Hanya sekarang ini aku sedang malas
saja berkelahi." kilah si kakek.
"Kalau takut ya sudah. Mungkin
memang sudah jadi nasibku harus
menjadi budaknya seumur hidup." kata
bocah itu sedih.
"Kau jangan...!" ucapan Gentong
Ketawa mendadak terputus karena pada
saat itu terdengar suara Tabib
Tapadara.
"Budakku, cepat ke mari. Aku
dengar ada suara dari situ, kau bicara
dengan siapa?"
"Aku bicara sama setan!" sahut si
bocah dengan suara lantang.
Si kakek terlonjak kaget. Dia
bangkit berdiri dan memandang ke arah
di mana si bocah saat itu pura-pura
sibuk mengumpulkan dedaunan.
"Apa kau bilang tadi?"
Bocah itu gelengkan kepala.
"Aku tidak bicara dengan
siapapun. Kau dengar?" rutuknya dengan
mulut cemberut.
"Bocah edan. Aku yakin di sini
banyak setannya. Sekarang setelah kau
dapatkan dedaunan itu cepat kemari.
Kita harus pergi. Aku merasa sejak
beberapa hari ini kita telah dikuntit
setan." kata si kakek tabib.
Di tempat persembunyiannya
Gentong Ketawa memaki. "Sialan tabib
gila itu. Aku dikatainya setan."
gerutu si kakek gendut besar.
Sementara si bocah sempat
melengak kaget ketika melihat ke balik
kelebatan pohon ternyata si kakek tak
tampak lagi berada di situ. Dengan
sikap tanpa menimbulkan rasa curiga
bocah itu akhinya kembali menjumpai
Tabib Tapadara. Kantong berisi daun
ramuan diambilnya. Kemudian dari balik
pinggang dia mengeluarkan tali.
"Celaka dia mau menggantungku
lagi." Desis si bocah.
Belum lagi hilang rasa kagetnya.
Sreet! Sreet!
Bluk!
Si bocah jatuh terjerembab.
Kemudian Tabib Tapadara mengambil
bambu. Ujung bamboo digerakkannya di
celah kedua kaki bocah ini. Sekali
lagi si kakek menggerakkan bambu ke
bahunya maka tubuh si bocah yang
tergantung itu terguncang keras. Si
kakek kembali melanjutkan
perjalanannya.
Belum lagi dia jauh mengayunkan
langkah. Dari arah atas seakan datang
dari langit sosok tubuh besar luar
biasa melayang dan jatuh dalam keadaan
bersila persis di hadapannya.
Tabib Tapadara hentikan
langkahnya. Dia pandangi orang tua
berbaju hitam tidak terkancing ini
dengan perasaan kaget juga heran. Lalu
dia dongakkan kepala memandang ke
langit. Mustahil kakek gendut besar
itu jatuh dari langit.
Sementara itu si gendut Gentong
Ketawa dengan sikap terkesan tidak
perduli malah tadahkan tangannya.
Dengan wajah memandang ke langit dan
mata berkeriapan, mulutnya yang komat-
kamit mengeluarkan suara tak jelas.
Terkadang seperti suara dengung
kumbang, lalu berubah seperti suara
angin puyuh dan di lain saat berubah
seperti suara orang mengomel.
"Walah-walah... aku sedang
berdoa. Doa apa saja, aku ingin punya
murid. Aku ingin punya budak yang
dapat mewarisi ilmuku... aku ingin
punya...!" ucapan si kakek seakan
terputus. Tapi aneh mulutnya tetap
komat-kamit.
Dia nampak begitu bersemangat
dalam konsentrasinya, sehingga kedua
matanya pun dipejamkan. Beberapa saat
suara Gentong Ketawa lenyap. Tapi
kemudian terdengar lagi. "Aku melihat
bocah digantung. Kasihan. Padahal
kalau diberikan padaku, aku pasti
tidak menolak. Kurasa tulangnya bagus,
kulitnya putih bersih. Kalau pun
pantatnya burik tidak mengapa. Di
bagian itu tak pernah dilihat orang,
lagipula bisa ditutupi celana."
"Kakek tolol ini dukun atau apa?
Kalau dia menghendaki aku jadi
muridnya mengapa tak mau bicara terus
terang dengan Tabib Setan?" gerutu
bocah yang tergantung di ujung bambu
bersungut-sungut.
Sementara itu kakek tabib yang
memang sudah kaget melihat kehadiran
Gentong Ketawa nampaknya tidak mau
ambil perduii. Dengan sikap acuh Tabib
Tapadara meninggalkan si kakek gendut
besar ini begitu saja.
"Orang berdoa dan bertanya
mengapa tak berjawab. Apa mungkin aku
berhadapan dengan setan gagu? Kalau
setan mengapa tubuhnya kelihatan dan
kedua kali menginjak tanah? Kalau
manusia mengapa tingkah lakunya
seperti setan?" kata si kakek gendut
masih dengan mata terpejam. Tapi
kemudian daun telinganya bergerak-
gerak. Dia tak mendengar suara apa-
apa. Si kakek buka matanya. Ternyata
si tabib sudah tak ada lagi di situ.
"Dasar tabib kampret. Pergi tak mau
bilang padaku. Bagaimana ya? Apakah
bocah itu sebaiknya kularikan saja?"
pikir si kakek. Dia bangkit dengan
cepat. Lalu dengan tergesa-gesa pula
dia mengikuti Tabib Tapadara.
TIGA
Tiga bocah berpakaian serba putih
dan berkepala gundul plontos itu
masing-masing sibuk memainkan toya,
roda-roda terbang dan juga pedang
hitam besar yang terbuat dari kayu
batu.
Melihat cara mereka memainkan
senjata, juga gerakan tubuh mereka
yang indah mengagumkan jelas sekali
kalau mereka ini adalah bocah-bocah
yang sudah sangat terlatih dan paling
tidak murid dari seorang guru yang
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Semua ini terlihat ketika bocah
itu nampak saling menyerang satu sama
lain dengan senjata andalan masing-
masing. Mula-mula si bocah ramping
bermata bagus menggerakkan salah satu
roda terbangnya ke arah si bocah
bersenjata toya. Begitu roda bulat
bergerigi tajam pada lingkaran luarnya
menyambar ke arah dada. Maka dengan
bertumpu pada ujung toya tubuhnya
melenting ke udara. Toya dengan cepat
digerakkannya ke arah roda terbang.
Tung! Benturan yang terjadi
membuat roda maut itu terpental
membalik ke arah pemiliknya. Begitu
roda terbang pertama berbalik, maka
roda terbang kedua melesat menghantam
si botak bertoya yang kini sedang
berjumpalitan di udara.
"Wei, Taktu curang. Mana boleh
menyerang dengan dua senjata berturut-
turut!" seru si botak yang ada
pitaknya di bagian belakang kepala.
Bocah ini kemudian menggerakkan golok
kayu batu di tangannya sambil
melompat.
Tuing...!
Benturan keras terjadi. Botak
bersenjata golok kayu batu yang sangat
besar itu terhuyung-huyung, dia hampir
terpental terseret berat golok kayunya
sendiri. Sedangkan roda terbang milik
si botak berbadan ramping jatuh
berkerintangan di atas tanah berbatu.
Si bocah botak bersenjata toya
jejakkan kakinya di atas tanah. Dia
menyeringai, lalu mengusap kepala
botaknya yang keringatan sebanyak tiga
kali.
"Terima kasih Takwa. Kalau tidak
kau tolong mungkin kepalaku sudah
copot menggelinding. Taktu sangat
keterlaluan. Kita sedang latihan
mengapa menyerang sungguhan?"
Bocah yang dipanggil Takwa
tertawa senang. "Dia memang begitu.
Dari kecil liciknya sudah kelihatan."
kata Takwa.
Si bocah berbadan ramping yang
dipanggil Taktu tersenyum mencibir.
"Kata guru walau sedang latihan kita
harus bersikap sungguh-sungguh. Kita
bertiga harus menjadi yang terbaik.
Agar kelak kita dapat membantu guru
dalam membalas dendam pada musuhnya!"
tegas Taktu.
"Hi hi hi. Kita bukan sedang
latihan. Kita sedang bermain-main.
Lagipula jika guru sampai tahu kita
berada di sini guru bisa marah.
Sebaiknya kita pulang saja." usul
bocah botak bersenjata toya yang biasa
dipanggil Takga.
"Engkau benar, Takga." sahut
bocah botak bertubuh ramping sambil
memungut salah satu roda terbangnya
yang tergeletak. "Mari kita tinggalkan
tempat ini."
Takwa dan Takga menganggukkan
kepala. Mereka kemudian berbalik
langkah. Namun ketiga bocah berkepala
botak ini menjadi kaget begitu melihat
di depan mereka berdiri tegak seorang
laki-laki berpakaian putih, berambut
dan berjenggot putih. Yang membuat
mereka jadi kecut, kakek itu memanggul
sebatang bambu yang lazim dipergunakan
untuk memancing. Sedangkan di ujung
bambu tergantung seorang bocah
berambut gondrong dengan kaki ke atas
dan kepala ke bawah.
"Takwa, siapa kakek ini?
Nampaknya dia jahat sekali." tanya
Takga dengan suara pelan.
"Mungkin juga setan yang biasa
menculik anak kecil. Sebaiknya kita
jangan hiraukan dia. Kita pergi
secepatnya!" jawab Takwa.
"Sobat-sobatku... kalian bertiga
anak tuyul apa anak setan? Mengapa
kepala dibotaki seperti itu?" kata si
bocah yang tergantung begitu melihat
ketiga bocah itu.
"Enak saja kau bilang kami anak
setan." kata si botak bertubuh ramping
sewot. "Kau sendiri siapa? Keadaanmu
sungguh menggenaskan."
"Betul. Seperti nelayan membawa
ikan." menimpali si botak ketiga.
"Bukan nelayan yang membawa ikan.
Tapi seperti ayam bodoh yang hendak
dipotong. Hi hi hi...!"ujar Takwa
sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha. Para bocah botak yang
membawa senjata. Dibandingkan ilmu
yang kalian miliki. Tentu ilmu
simpananku lebih hebat. Aku digantung
seperti ini karena sedang menjalani
latihan. Kau lihat kakek yang
memikulku itu? Sudah setua itu dia
menjadi budakku. Kalau aku tak berilmu
tinggi mana mungkin ia mau kusuruh
membawaku seperti ini."
Ketiga bocah berkepala botak ini
melengak kaget. Menurut penglihatan
mereka kakek itu bukan orang tua
bodoh. Paling tidak memiliki
kepandaian tinggi. Jika benar apa yang
dikatakan bocah yang tergantung di
ujung bambu itu. Berarti bocah
gondrong itu memiliki ilmu yang sangat
tinggi.
Sebaliknya Tabib Tapadara menjadi
geram sekali mendengar ucapan bocah
yang menjadi budaknya. Sambil
menggeram dia membentak. "Bocah edan.
Kalau benar ucapanmu sekarang aku
ingin mengadu antara kau dengan salah
seorang diantaranya." kata si kakek
tabib.
"Eeh, kau hendak berbuat apa
tabib?" tanya si bocah.
"Ha ha ha. Kau takut berkelahi
dengan mereka? Pengecut!" dengus Tabib
Tapadara disertai senyum mengejek.
"Huh, siapa takut? Coba turunkan
aku, biar kuhajar salah satu dari
botak-botak itu biar tahu rasa!"
Tabib Tapadara menyeringai. Bambu
di bahunya diguncang ke bawah baru
kemudian ditariknya ke depan. Dengan
begitu kaki si bocah tidak tersangkut
lagi di ujung bambu hingga terus
meluncur. Tapi si bocah tidak sampai
jatuh dengan kepala menghantam tanah
lebih dulu karena dia menggerakkan
tangannya saat meluncur tadi sehingga
kepalanya tidak hancur menghantam batu
sebagaimana yang diduga ketiga bocah
berkepala botak ini.
Si kakek melepaskan tali yang
mengikat kaki si bocah. Dia tersenyum.
Namun bocah yang dijadikan pembantunya
selama ini penuh rasa percaya diri.
Hingga begitu terlepas dari ikatan dia
langsung berdiri.
"Eh kalian para botak gundul.
Apakah kalian ingin maju berbarengan
melawanku atau satu persatu?" tanya
bocah itu sambil bertolak pinggang.
"Aku Taktu...!"
"Apa itu Taktu?" tanya si bocah
heran begitu melihat si botak berbadan
ramping memperke-nalkan diri sambil
menjura hormat.
"Taktu maksudnya botak ke satu.
Sedangkan di sebelahku Takwa dan yang
di sebelah sana Takga...!"
Mendengar penjelasan Taktu si
bocah tak kuasa menahan tawanya.
"Nama kalian aneh amat. Mengapa
di atas kepala kalian yang gundul itu
tak diberi nomor saja sekalian biar
orang mudah mengenali! Ha ha ha!"
"Eh, kau ini siapakah? Kalau mau
menguji kepandaian tidak boleh
menghina dan saling mencaci. Sekarang
kau hanya tinggal mengatakan yang mana
di antara kami yang kau inginkan
melayanimu?" tanya Takga alias botak
nomor tiga.
Si bocah tersenyum, lagaknya
petentang-petenteng penuh rasa percaya
diri. Sambil bertolak pinggang dia
berkata. "Mestinya kalian bertiga maju
berbarengan. Dengan begitu aku tak
terlalu lama menguras tenaga. Tapi
agar lebih adil bagaimana kalau kalian
yang menentukannya sendiri?"
Si botak nomor dua melangkah
maju. "Aku bersedia melayanimu, namun
sebelum itu tolong sebutkan dulu siapa
namamu?" kata bocah berbadan lebih
tegap dari dua kawannya ini sambil
mehgusap-usap kepalanya yang gundul
plontos.
Ditanya nama si bocah jadi
bingung dan langsung menoleh pada si
kakek tabib.
Seakan mengerti si tabib langsung
menjawab. "Panggil saja bocah edan.
Aku tidak sempat memberinya nama dan
pasti aku tidak akan memberinya nama
apapun."
"Aku pun tidak membutuhkan nama
darimu, Tabib Setan!" dengus si bocah
jadi geram sendiri.
Ketiga bocah botak itu saling
pandang sesamanya.
"Kau bocah aneh. Nampaknya antara
kau dan kakek setan itu memang tidak
pernah akur. Tapi baiklah, sekarang
aku mewakili kedua saudaraku yang
lain. Aku Taktu ingin menunjukkan
sesuatu padamu, harap jangan memandang
rendah padaku." kata bocah kesatu.
Si bocah gondrong tersenyum-
senyum. Beberapa saat lamanya dia
pandangi si botak bertubuh ramping
beralis lentik itu dari kepala sampai
ke kaki. Lalu dia berucap. "Aku
rasanya lebih senang berhadapan
denganmu. Tutur katamu lembut, gerakan
badanmu lemah gemulai. Aku yakin kau
bocah banci. Ha ha ha!"
"Bocah gondrong lancang. Kau
bertangan kosong akupun tanpa senjata.
Sekarang lihat serangan!" teriak botak
ke satu. Sambil berteriak keras si
botak langsung menyerang. Tubuhnya
dengan lincah berkelebat, tinjunya
yang terkepal mendera kepala sedangkan
kakinya menendang bagian perut si
bocah gondrong.
Karena pada dasarnya memang tidak
mengerti dasar maupun jurus-jurus
silat maka si bocah menghindar
sekenanya. Gerakan melompat ke
belakang ini memang berhasil menghin-
dari serangan Taktu alias si botak ke
satu. Namun begitu si botak mence-
carnya dengan serangan yang lebih
cepat dan mengarah ke sekujur tubuhnya
maka si bocah gondrong jadi kalang
kabut. Dua tendangan beruntun yang
dilepaskan oleh Taktu membuat si bocah
terjengkang. Tapi tanpa menghiraukan
rasa sakit yang mendera dada dan
perutnya dia bangkit lagi.
"Jurus silatmu membuat kepalaku
pusing. Sekarang aku akan menyerangmu
dengan jurus Kacau!" dengus si bocah.
Kakek tabib cibirkan bibirnya.
"Jurus apa itu?" tanya Taktu
heran.
"Entah aku pun tak tahu kok!"
sahut si bocah. Kemudian sebelum rasa
heran di hati Taktu lenyap, maka si
bocah sudah melompat ke depan, kedua
tangan melakukan gerakan mendorong
sedangkan kepala menyeruduk. Serangan
yang sangat cepat ini tentu tak sempat
dihindari oleh Taktu. Dengan telak
kepala si bocah menghantam perut
Taktu. Botak ke satu menyeringai, dia
nampak terhuyung. Tapi ketika lawannya
menyerang kembali maka kedua tangannya
tepat menepiskan kepala si bocah.
Plak! Plak!
Gusraak!
Si bocah gondrong jatuh
terpelanting. Kepalanya yang ditampar
lawan terasa sakit berdenyut, namun
dengan masih penasaran dia merangkak
bangkit.
"Eeh edan, kau sudah kalah. Buat
apa diteruskan permainan kita?" ujar
Taktu.
"Betul. Ternyata dia cuma ber-
mulut besar." Takwa menimpali.
"Sebaiknya kita pergi!"
"Tapi... tapi...!" Si bocah jadi
gugup, mukanya merah seperti habis
kena tamparan pulang balik. Dalam
kesempatan itu pula terdengar suara
suitan panjang.
Ketiga bocah berkepala botak ini
mendadak berubah jadi ketakutan.
Mereka memutar badan, lalu lari
berserabutan menghambur dalam semak
belukar. Tabib Tapadara tidak
mengejar, dia hanya berkacak pinggang
sambil tertawa tergelak-gelak.
Melihat kakek tabib tertawa, maka
si bocah pun ikut tertawa. Kakek itu
sekonyong-konyong hentikan tawanya.
Dia melangkah menghampiri si bocah.
"Bocah tolol, sudah kalah malah
tertawa. Anak edan... biar kujitaki
kepalamu!" geram si kakek. Tangannya
pun kemudian melayang ke kepala si
bocah.
Tak! Tak! Tak!
Jitakan pada bagian kepala itu
sakitnya bukan main. Sehingga sambil
berguling-guling dengan kedua
tangannya si bocah lindungi kepalanya.
"Ampun Tabib Setan... ampun...!"
rintih si bocah.
"Dasar budak tidak berguna, hanya
membikin malu! Sekarang biar
kupatahkan tangan dan kakimu!" berkata
begitu si kakek melompat mendekati si
bocah gondrong, sedangkan tangannya
berkelebat menyambar kaki bocah ini.
Walaupun si bocah sudah berusaha
menghindar nampaknya dia tak mungkin
dapat menyelamatkan diri dari
kekejaman si kakek tabib. Akan tetapi
pada waktu bersamaan dari balik
kerimbunan semak belukar melesat satu
benda yang langsung menghantam tangan
si tabib.
Pletak!
"Akh...!"
Tabib Tapadara menjerit kesakitan
sambil menarik tangan yang terasa
seperti dihantam palu godam. Belum
lagi hilang rasa kagetnya dari arah
semak-semak melayang sosok besar yang
kemudian jatuh di antara kakek tabib
dan si bocah.
Bluuk!
"Setan alas, kau lagi?!" maki
Tabib Tapadara gusar. Seakan tidak
menghiraukan ucapan orang, si gendut
besar yang jatuhkan diri sambil
bersila ini kembali keluarkan racauan
seperti orang berdoa.
"Manusia terlahir tanpa dosa.
Mengapa hendak disakiti? Kalau kau tak
berkenan mengurusnya biar aku yang
memeliharanya. Tuhan... Tuhan...
berikan dia padaku." kata si kakek
gendut besar alias Gentong Ketawa
dengan mulut terus meracau.
"Kakek gendut, apakah bisamu cuma
berdoa melulu? Kulihat kau begitu
takut pada Tabib Setan. Padahal dia
bukan orang yang pantas kau takuti.
Badanmu besar, sedangkan kakek itu
kerempeng. Sekali kau memukulnya pasti
ampasnya mejret." celetuk si bocah
yang kini sudah bangkit berdiri dan
siap mengambil langkah seribu.
Gerak-gerik si bocah ternyata
tidak lepas dari perhatian sang tabib.
Sekali dia bergerak maka si bocah
sudah dalam keadaan kaku tertotok tak
mampu bergerak lagi.
"Bocah edan. Kau diam di sini!
Biar kubereskan semua urusanku dengan
setan gendut yang satu ini!" dengus
Tabib Tapadara. Dia lalu berbalik dan
menghadap langsung ke arah Gentong
Ketawa.
Mulutnya menyeringai ketika
melihat si kakek gendut masih juga
meracau seperti orang berdoa sambil
mengangkat kedua tangannya.
EMPAT
Gendut, mengapa kau selalu
mengikuti kami? Apa sebenarnya yang
kau inginkan?" hardik Tapadara marah.
Dalam hati dia merasa yakin, pasti
orang tua ini tadi yang telah
menggagalkan niatnya mematahkan tangan
si bocah.
Gentong Ketawa pura-pura kaget,
lalu buka matanya yang terpejam.
"Ee... apakah engkau bicara
denganku, tabib?"
"Betul."
"Aku sengaja mengikutimu karena
aku ingin meminta anak itu untuk
kuangkat sebagai muridku." sahut
Gentong Ketawa sambil menyembunyikan
rasa takutnya. Sebenarnya dia sendiri
belum pernah bentrok dengan Tabib
Tapadara yang dikenal dengan julukan
Tabib Sesat Timur dan oleh si bocah
sering disebut Tabib Setan. Namun
karena Gentong Ketawa sering mendengar
sepak terjang dan keganasan tabib ini
tidak urung berhadapan dengannya
membuat hati si kakek menjadi keder
juga.
Mendengar keinginan Gentong
Ketawa, Tabib Tapadara dongakkan
kepala ke langit. Kemudian terdengar
tawanya yang keras menyeramkan;
"Kau inginkan bocah edan itu?"
hardik sang tabib sesat setelah
tawanya lenyap.
"Begitulah. Daripada kau gantung
mubazir, bukankah lebih baik ikut
denganku?' ujar si kakek.
"Huh, apa kau kira akan semudah
itu. Terkecuali kau mau memenuhi
syarat-syarat yang kuajukan."
"Apa syaratmu? Jika aku sanggup
pasti akan kupenuhi." jawab Gentong
Ketawa sambil kedipkan matanya ke arah
si bocah. Bocah yang dikedipi malah
unjukkan wajah cemberut.
"Syaratnya mudah, Kau harus
bertarung denganku sampai salah
seorang di antara kita ada yang
kalah!" kata Tabib Sesat Timur.
"Seandainya aku yang menang?"
"Kau boleh membawanya. Dengan
catatan kelak aku akan memberikan
beberapa ilmu penting padanya."
"Seandainya aku kalah?" tanya
Gentong Ketawa.
"Ha ha ha. Seandainya kau kalah,
berarti budakku bertambah satu lagi.
Aku akan memiliki dua budak yang harus
patuh dan mengerjakan seluruh
perintahku," tegas Tabib Tapadara.
Wajah si kakek sempat berubah
pucat, perasaannya jadi ciut. Namun di
lain kejab dia ikutan tertawa. Si
bocah tentu saja menjadi sangat heran.
Sedangkan si kakek seketika itu juga
hentikan tawanya.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Rupanya kau manusia serakah
tabib. Jika aku menjadi budakmu apakah
engkau akan mencantelkan aku di ujung
bambu sebagaimana yang kau lakukan
pada bocah itu? Badanmu kalah besar
dengan badanku. Kalau itu sampai
terjadi, aku takut bahumu miring dan
punggungmu patah. Ha ha ha!" ejekan
Gentong Ketawa membuat wajah Tabib
Ketawa sambil kedipkan matanya ke arah
si bocah. Bocah yang dikedipi malah
unjukkan wajah cemberut.
"Syaratnya mudah, Kau harus
bertarung denganku sampai salah
seorang di antara kita ada yang
kalah!" kata Tabib Sesat Timur.
"Seandainya aku yang menang?"
"Kau boleh membawanya. Dengan
catatan kelak aku akan memberikan
beberapa ilmu penting padanya."
"Seandainya aku kalah?" tanya
Gentong Ketawa.
"Ha ha ha. Seandainya kau kalah,
berarti budakku bertambah satu lagi.
Aku akan memiliki dua budak yang harus
patuh dan mengerjakan seluruh
perintahku," tegas Tabib Tapadara.
Wajah si kakek sempat berubah
pucat, perasaannya jadi ciut. Namun di
lain kejab dia ikutan tertawa. Si
bocah tentu saja menjadi sangat heran.
Sedangkan si kakek seketika itu juga
hentikan tawanya.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Rupanya kau manusia serakah
tabib. Jika aku menjadi budakmu apakah
engkau akan mencantelkan aku di ujung
bambu sebagaimana yang kau lakukan
pada bocah itu? Badanmu kalah besar
dengan badanku. Kalau itu sampai
terjadi, aku takut bahumu miring dan
punggungmu patah. Ha ha ha!" ejekan
Gentong Ketawa membuat wajah Tabib
Sesat Timur jadi memerah. Dia lalu
melompat ke depan, sambil kirimkan
satu jotosan si tabib membentak. "Tua
bangka calon budak. Sekarang terimalah
gebukanku!"
Walaupun saat itu yang diserang
dalam keadaan duduk. Namun hanya
dengan menggulingkan tubuhnya ke
samping kiri, serangan tabib Tapadara
mengenai tempat kosong.
Melihat kejadian ini si bocah
yang dalam keadaan kaku tegak tertawa
mengikik. "Dasar Tabib Setan, mulut
saja yang besar tapi tak punya
kebecusan apa-apa."
"Bocah setan, berani kau
mengejekku nanti aku cambuk
punggungmu!" seru si kakek tabib.
"Apa yang kau katakan hanya
terjadi jika kau memenangkan
pertarungan dengan si gendut itu
bukan?" sahut si bocah hingga membuat
telinga Tabib Sesat Timur jadi
memerah. Diam-diam dia salurkan tenaga
dalamnya ke arah tangan. Dalam waktu
sekejab kedua telapak tangannya
berubah menghitam sampai sebatas siku.
Kakek Gentong Ketawa melengak kaget
melihat perubahan ini.
Tak mau kalah dia juga kerahkan
tenaga saktinya siap melepaskan
pukulan Raja Dewa Ketawa. Laksana
kilat si kakek memutar tangannya ke
samping. Setelah itu tangan digerakkan
ke depan. Bersamaan dengan itu pula
dengan gerakan yang sangat ringan
Gentong Ketawa melesat ke udara. Hal
yang sama pun dilakukan oleh lawannya,
sehingga bentrokan tenaga dalam pun
tak dapat dihindari lagi.
Plaak!
Dess!
Dua sosok tubuh sama terpental ke
belakang. Tabib Tapadara jatuh
terguling. Sedangkan Gentong Ketawa
meskipun sempat terhuyung-huyung namun
sempat jejakkan kakinya. Si kakek
menyeringai menahan sakit, kedua
tangannya seperti remuk. Namun dia
masih dapat tertawa he-he-he-he.
"Tabib.. hayo tunggu apa lagi?
Jangan bermalas-malasan di situ.
Sekarang ini badanku sudah pegal-
pegal!" kata si gendut besar.
"Jangan bangga dulu. Hiaa...!"
sambil berteriak Tabib Tapadara
melompat ke depan. Kakinya menyambar
deras ke kaki Gentong Ketawa. Gerakan
ini walaupun sulit namun masih dapat
dihindari oleh si gendut. Tapi tanpa
disangka-sangka, sang tabib gerakkan
tangan kirinya ke bagian perut.
Gentong Ketawa menangkis. Tabib
Tapadara menarik serangan tangan kiri,
di saat yang bersamaan dia susupkan
pula tangan kanan.
Melihat serangan ganas yang
datang demikian cepatnya, maka Gentong
Ketawa busungkan perutnya.
Dheel!
Hantaman yang mengenai perut
membuat kakek tabib terpental sampai
sejauh tiga tombak. Dia jadi kaget
karena tangan yang dipergunakan untuk
memukul tidak ubahnya seperti menghan-
tam karung karet. Tapi aneh tangan
Tabib Sesat Timur jadi memar membiru.
"Edan, punya ilmu apa kadal
bunting itu?" maki kakek tabib dalam
hati.
Melihat kenyataan ini sekali lagi
si bocah tertawa tergelak-gelak.
Sedangkan Gentong Ketawa kedipkan
matanya pada si bocah. Melihat ulah si
gendut dan bocah itu makin mendidihlah
darah Tabib Sesat Timur. Sekonyong-
konyong dia bangkit berdiri. Sambil
mengusap dan memijit tangannya yang
sakit bukan main, mata sang tabib
melotot jelalatan memandang ke arah
Gentong Ketawa dan si bocah silih
berganti.
"Kadal gendut. Aku akan
mempesiangi tubuhmu. Kurasa tubuhmu
cocok untuk dijadikan campuran ramuan
khusus!" geram Tabib Tapadara sengit.
"Ha ha ha. Kau dengar bocah!
Majikanmu hendak menjadikan diriku
sebagai campuran ramuan. Tapi terus
terang, aku ini masih keturunan dewa.
Dagingku tidak enak. Bila dimasak
malah jadi racun, apakah kau mau bunuh
diri?" ejek kakek Gentong Ketawa.
Ucapan orang tua itu paling tidak
membuat kaget Tabib Sesat Timur. Dia
memang baru kali ini bertemu dengan
Gentong Ketawa, namun sering mendengar
orang tua dari lereng Merbabu ini
banyak disebut orang sebagai dewa
penolong. Mengingat kehadirannya
selalu menjatuhkan diri dari atas,
bisa saja gendut besar ini memang dewa
benaran.
Tapi rasa penasaran dan amarah
telah membuatnya lupa segala. Tanpa
pernah terduga tiba-tiba dia menerjang
ke depan. Sambil melompat kedua
tangannya meraup kantong perbekalan.
Setelah itu secara serentak kedua
tangan langsung dihantamkan ke arah si
kakek.
"Curang...! Kakek gendut
menghindar. Tabib Setan menyambitkan
senjata rahasianya kepadamu!" teriak
si bocah.
Tidak diberi peringatan sekalipun
Gentong Ketawa memang sudah
melihatnya. Sambil kibaskan ujung
bawah bajunya yang tidak terkancing
enak saja dia berkata. "Diam saja kau
di situ bocah. Senjata rahasia yang
disambitkan padamu ini kecil-kecil.
Apakah kau pernah melihat kakek setan
ini menunjukkan senjata rahasianya
yang lain? Ha ha ha!"
"Pernah tapi hanya sehari dua
kali, itupun di saat dia sedang
kencing. Hi hi hi!" sahut si bocah.
Mendengar ucapan kedua orang ini
amarah si kakek bagaikan air bah yang
meluap. Namun pada saat itu dia
mendengar dari bagian ujung jubah
lawannya mengeluarkan suara
menggemuruh hebat. Angin laksana badai
melabrak habis senjata rahasia yang
disambitkan oleh Tabib Sesat Timur,
sebagian senjata rahasia rontok dan
sebagian lagi berbalik menyerang
tuannya sendiri. Si kakek jadi
terkesiap, wajahnya pucat dan nyaris
tak dapat menahan kencing saking
kecutnya. Namun dengan cepat dia
bantingkan diri ke kanan cari selamat.
Senjata rahasia lewat di atasnya dan
menancap di batang pohon. Pohon itu
langsung layu, daunnya berguguran.
Gentong Ketawa bergidik seram.
Tak terbayangkan jika tubuhnya yang
terkena sambitan senjata, bukan
nyawanya saja yang rontok, tapi
mungkin juga semua bulu yang tumbuh di
sekujur tubuhnya ikut rontok tak
tersisa.
"Bagaimana Tabib, apakah kau
mengaku kalah?" tanya Gentong Ketawa
sambil leletkan lidah.
"Ha ha ha! Tabib Sesat Timur
kalah?" ejek si kakek tabib. Dari
balik pakaiannya dia mengeluarkan
sebuah lonceng berwarna kuning terbuat
dari bahan perunggu. Melihat si tabib
keluarkan senjata andalannya maka si
bocah kembali keluarkan seruan.
"Kakek gendut jangan bengong
seperti monyet pikun. Dia keluarkan
Genta Kematian. Jangankan kau, dulu
ratusan gajah pun mati ketika Tabib
Setan itu mengamuk!"
"Dia punya senjata aku juga
punya. Tapi tidak ada gunanya
kukeluarkan sekarang. Saat ini aku
ingin sekali mendengar suara
gemerincing biar aku bisa menari."
sahut Gentong Ketawa.
"Ha ha ha. Kau ingin menari?
Menarilah sambil berangkat ke
akherat!" seru si kakek. Detik itu
juga dia gerakkan lonceng di
tangannya. Terdengar suara gemerincing
aneh yang langsung terasa menusuk ke
dalam telinga.
"Akhrrr... tabib edan. Hentikan
suara lonceng celaka itu!" teriak si
bocah sambil mendekap kedua telinganya
dengan jemari tangan. Sementara itu
Gentong Ketawa yang memang menutup
indera pendengarannya nampak mulai
menggoyangkan pinggulnya dengan
gerakan seperti orang yang menari.
Namun dentrang suara lonceng semakin
lama semakin meninggi, si bocah nampak
terhuyung-huyung akibat pengaruh suara
Genta Kematian yang terasa semakin
menusuk-nusuk liang telinganya.
Si bocah akhirnya terkapar tak
sadarkan diri. Sementara itu gerakan
tarian lucu si kakek kini nampak mulai
kacau. Tubuhnya bergetar, keringat
bercucuran akibat pengaruh getaran
suara yang ditimbulkan lonceng itu.
Sampai akhirnya si kakek hentikan
tariannya. Sambil salurkan tenaga
dalam dia membentak.
"Bocah itu sudah kau buat
pingsan. Semua ini menandakan suara
loncengmu tidak enak untuk didengar.
Aku sendiri sudah bosan menari.
Bagaimana jika sekarang lonceng
kuhancurkan dan kau kuminta untuk
menangis?"
"Ha ha ha! Mengapa harus berhenti
menari? Hayo menarilah sampai tua!"
sahut Tabib Sesat Timur.
"Baik, aku yang menari kau yang
menangis!" dengus Gentong Ketawa.
Bersamaan dengan ucapannya itu si
kakek hantamkan kedua tangannya ke
depan melepaskan satu pukulan hebat
yang dikenal dengan nama Iblis Ketawa
Dewa Menangis. Selarik sinar pelangi
melesat laksana kilat menghantam
lonceng di tangan lawannya. Tidak mau
kalah Tabib Tapadara juga kerontangkan
lonceng maut itu. Dari bagian dalam
lonceng membersit keluar cahaya kuning
kemilau yang langsung memapas serangan
Gentong Ketawa.
Ledakan dahsyat pun menggema di
udara. Gentong Ketawa jatuh terduduk
sedangkan Tabib Tapadara terpelanting.
Sebagian lingkaran bawah lonceng
meleleh, dari mulut si tabib menyembur
darah segar.
Tabib Sesat Timur seka darah yang
meleleh di sudut bibirnya. Dia lalu
mengambil dua buah pil berwarna merah
dan langsung menelannya. Dengan
terhuyung-huyung dia bangkit, setelah
berdiri tegak si kakek berkata.
"Kadal gendut, aku mengaku kalah.
Tapi ingat kelak aku akan mencarimu
dan juga bocah itu. Kuharap kau dapat
mendidiknya dengan baik." Sang tabib
kemudian mengeluarkan tiga butir
berwarna merah, hitam dan biru. Dia
menghampiri si bocah dan memasukkan
tiga butir pil warna-warni tadi ke
dalam mulut si bocah.
"Heh, apa yang kau lakukan?"
tanya Gentong Ketawa curiga.
"Ha ha ha. Bisa jadi racun yang
mematikan. Kau bawa saja dia. Jika kau
berjodoh dengannya tentu kau segera
mempunyai murid, jika nasibmu sial
paling tidak kau harus membuatkan
sebuah kubur untuknya!" sahut Tabib
Tapadara sambil melangkah pergi.
"Kurang ajar. Jika dia sampai
tidak tertolong, kelak aku pasti akan
mencarimu!" teriak si kakek. Kemudian
orang tua ini berlutut di samping si
bocah. Telinganya didekatkan ke dada
searah dengan jantung bocah itu.
Terdengar suara degupan lemah.
Si kakek menyeringai. "Ha ha ha.
Ternyata dia masih hidup... ha ha
ha... masih hidup!" katanya nampak
girang sekali. Si bocah lalu
dipanggulnya. Sambil tertawa-tawa dia
membawa bocah itu pergi.
LIMA
Bagian halaman samping gedung
Senopati malam hari tiga tahun yang
lalu. Ni Seroja gadis cantik
berpakaian serba putih memegang jemari
tangan Sanjaya dengan erat, seakan dia
takut kehilangan pemuda tampan putera
Tumenggung Ageng Tirtamaya yang sangat
dikasihinya. Beberapa saat berlalu,
suasana dicekam kebisuan. Ketika Ni
Seroja tengadahkan wajahnya Sanjaya
dapat melihat betapa sepasang mata Ni
Seroja nampak berkaca-kaca.
"Tidak usah menangis. Pertemuan
jodoh dan maut semuanya ada di tangan
Gusti Allah. Tak ada seorang pun
manusia di dunia ini yang mampu
melawan kehendak sang takdir. Saat ini
aku tak bisa berbuat apapun. Aku bukan
dari keluarga baik-baik. Ayahku baru
saja meninggal di tiang gantungan. Di
mata saudaramu aku juga turut
menanggung akibatnya!" kata Sanjaya
dengan wajah muram dan perasaan sedih.
"Kakang, apapun kata Senopati aku
tak perduli. Aku sangat mencintaimu.
Aku tetap ingin hidup bersamamu!"
sergah Ni Seroja seakan tidak rela
jika harus berpisah dengan Sanjaya.
"Siapa yang sanggup menentang
kekuasaan saudaramu? Dia seorang
Senopati yang memiiiki kekuatan dan
kekuasaan. Tak mungkin aku yang tidak
mempunyai kekuatan apa-apa menentang
apa yang menjadi keputusannya. Walau
tak jauh di lubuk hati aku tahu
rasanya tak sanggup berpisah
denganmu." jawab Sanjaya sedih.
"Kakang bagaimana kalau kita
melarikan diri saja? Kita tak punya
pilihan lain, lagipula kita juga tak
mungkin bisa melakukan pertemuan
rahasia seperti ini terus menerus.
Lama kelamaan kakang Adipati bisa
mengetahuinya. Jika hal itu sampai
terjadi, bukan hanya kakang Sanjaya
tapi aku juga bisa dijatuhi hukuman
berat!" ujar si gadis. Apa yang
dikatakan Ni Seroja memang benar.
Sejak Tumenggung Ageng Tirtamaya
diketahui menggelapkan upeti milik
kerajaan Senopati Lambak Renggono
melarang keras adiknya bertemu dengan
Sanjaya, pemuda yang menjadi kekasih
Ni Seroja. Apalagi sejak dulu Senopati
memang tidak menyukai pemuda itu dan
keluarganya.
"Jadi aku harus bagaimana, adik.
Menentang larangan Senopati sama saja
artinya dengan mencari mati. Aku
sendiri sebenarnya tidak takut dengan
semua ancamannya. Tapi bagaimana
dengan dirimu sendiri?" tanya Sanjaya
pelan.
"Bagiku menyeberangi lautan api
pun asal kita dapat bersama-sama
selalu rasanya tidak ada masalah."
tegas Ni Seroja.
"Kalau itu sudah menjadi tekadmu,
kurasa jalan satu-satunya agar kita
dapat mewujudkan semua impian itu
memang harus melarikan diri. Besok
malam aku akan menunggumu di luar
benteng gedung Senopati."
"Tidak besok, kakang, tapi
sekarang! Sekarang saatnya yang tepat
untuk mewujudkan semua impian kita!"
desah Ni Seroja tegas.
"Lebih baik hidup memeluk mimpi
daripada harus menjalani kenyataan
yang kulaknat!" satu bentakan keras
tiba-tiba mengumandang dalam kegelapan
yang sunyi disertai berkelebatnya satu
sosok bayangan ke arah mereka. Kejut
kedua insan yang saling jatuh cinta
itu bukan kepalang. Apalagi ketika
mereka memandang ke depan, ternyata di
situ telah berdiri tegak seorang laki-
laki berusia tiga puluhan, berpakaian
mewah bertopi tinggi. Di belakang
laki-laki yang bukan lain adalah
Senopati Lambak Renggono, saudara tua
Ni Seroja. Di belakang Senopati hadir
pula tiga perwira pembantu Senopati.
Beberapa saat lamanya Senopati menatap
Sanjaya dan adiknya dengan penuh rasa
benci.
"Ni Seroja, apa kau tak tahu
siapa pemuda yang kau cintai? Ayahnya
penghianat kerajaan. Dia manusia yang
tidak memiliki martabat sama sekali.
Kedudukannya sama rendah dengan hewan.
Dengan manusia seperti itu kau
menumpahkan segala harapan hidup?
Puah... malam ini kau tak akan pergi
ke manapun!" hardik Senopati keras.
"Kakang, aku hanya ingin
menjalani hidup sesuai dengan
pilihanku. Jika kau tak suka atau
merasa malu aku akan pergi jauh
darimu. Kalau pun ada yang bersalah
dalam hal ini, semata-mata adalah
kesalahan ayahnya. Dia sama sekali
tidak tahu menahu dalam urusan
pemerintahan!" tegas Ni Seroja tetap
pada pendiriannya.
Mendengar ucapan adiknya maka
gusarlah Senopati Lambak Renggono ini.
Dalam hidup dia adalah manusia yang
tidak suka dibantah. Apalagi yang
membantah itu adalah adik kandungnya
sendiri. Dengan penuh kemarahan dia
berpaling pada ketiga perwiranya.
"Perwira seret dia! Masukkan dalam
ruangan penyekapan dan pasung!"
perintah Senopati.
Dengan patuh ketiga perwira itu
serentak menghampiri. Sanjaya tidak
tinggal diam. Sambil menghalangi
Sanjaya berteriak. "Senopati manusia
keji. Kau ingin menghancurkan tali
kasih yang dianugerahkan Gusti Allah
pada manusia? Kelak kau akan mendapat
balasan dari Tuhan!"
Buuuk!
Satu hantaman keras mendarat di
wajah Sanjaya. Begitu kena dipukul
wajah pemuda yang tak pandai ilmu
silat ini bengkak lebam membiru.
Melihat hal ini Ni Seroja berteriak
histeris. "Kakang Lambak Renggono tega
sekali kau berbuat itu padanya!"
Tanpa menghiraukan ucapan
adiknya, Senopati memerintahkan ketiga
perwira itu membawa Ni Seroja menuju
ke ruangan khusus. Si gadis meronta
karena menyadari sesuatu yang menge-
rikan pasti akan terjadi pada Sanjaya.
Sekuat apapun dia meronta, namun
tenaga para perwira ini sangat tinggi
sehingga apa yang di lakukannya hanya
sia-sia saja.
Setelah Ni Seroja berlalu maka
Senopati Lambak Renggono maju ke depan
menghampiri Sanjaya. "Karena ulahmu
kini adikku menjadi orang yang tidak
mau menurut lagi dengan apa yang
kukatakan. Kau harus mendapat ganjaran
setimpal dariku. Akan kubuat cacat
wajahmu, sehingga bukan hanya Ni
Seroja saja yang jadi takut melihatmu.
Tapi setanpun akan terkencing-kencing
bila melihatmu!" dengus laki-laki itu
sengit.
"Lambak Renggono, walau aku tak
pandai ilmu silat. Siapa takut
menghadapimu?" dengus Sanjaya dingin.
Melihat sikap orang yang sudah
tidak memakai peradatan lagi saat
bicara, maka Senopati menjadi sangat
gusar. Tanpa banyak bicara lagi dia
langsung menyerbu Sanjaya dengan
serangan tangan kosong namun sangat
berbahaya sekali. Mendapat serangan
yang sangat bertubi-tubi, tentu saja
Sanjaya yang tidak mengerti ilmu silat
jadi bulan-bulanan sang Senopati.
Walau pemuda ini sudah berulang kali
mencoba menghindar, tapi semua yang
dilakukannya hanya sia-sia. Dalam
waktu singkat Sanjaya sudah terkapar
dan menderita luka parah di bagian
dalam
Celakanya di saat Sanjaya dalam
keadaan terluka parah, tanpa perasaan
sedikitpun dengan pedangnya Senopati
Lambak Renggono menyayat-nyayat bagian
wajah pemuda itu.
Sanjaya menjerit kesakitan.
"Bunuh saja aku. Bunuh...!"
rintih si pemuda sambil mendekap
wajahnya yang berlumuran darah.
"Ha ha ha! Kau sengaja kubiarkan
hidup, biar kau dapat merasakan sebuah
penderitaan yang pahit
berkepanjangan!" kata Senopati:
Sambil menyarungkan pedangnya
yang berlumuran darah, enak saja
Senopati Lambak Renggono berlalu
meninggalkan Sanjaya.
Pemuda itu sendiri dengan membawa
luka dan dendam di hati akhirnya pergi
entah ke mana. Ada yang mengatakan
Sanjaya pergi menimba ilmu olah
kanuragan di Lembah Setan. Ada pula
yang mangatakan karena merasa putus
asa melihat cacat wajahnya dia
membunuh diri di lembah itu.
***
Dua tahun kemudian dunia
persilatan dilanda kegemparan dengan
munculnya seorang pendekar berwajah
mengerikan, bergelar Pendekar Sesat
Patah Hati. Pendekar itu bukan saja
membantai tokoh golongan hitam, tapi
juga setiap bertemu dengan perwira
atau prajurit kerajaan pasti
dibunuhnya. Tidak mengherankan kalau
akhirnya bukan pihak kerajaan saja
yang menghendaki nyawanya. Tapi dari
golongan sesat juga menghendaki
kepalanya.
Sayang kebanyakan mereka menemui
ajal di tangan pendekar ini. Sekarang
setelah berlangsung tiga tahun lebih,
Sanjaya merasa tak ada gunanya lagi
malang melintang di dunia persilatan.
Walau hatinya merasa pedih, namun dia
berusaha melupakan Ni Seroja. Apalagi
sekarang wajahnya cacat begitu rupa.
Tapi akibat apa yang dilakukannya
dulu kini membuntuti dirinya. Dulu dia
pernah menebar angin, mungkin kini
saatnya untuk menuai badai. Terbukti
baru beberapa bulan dia menetap di
Kuil Kuno yang sepi, sudah beberapa
lawan datang melabraknya. Tapi karena
kesaktian yang dimiliki oleh Pendekar
Sesat Patah Hati ini sangat tinggi.
Apalagi dia memiliki pukulan Gelombang
Naga yang dahsyat itu. Sehingga tak
satu pun dari lawan-lawannya yang
dapat menyelamatkan diri.
Kini pemuda itu julurkan kedua
kakinya. Sepasang tangan yang
dipergunakan untuk menekap wajah
diusap-usapkan ke atas pelataran kuil.
"Hah... setiap hari aku bosan
mencium bau busukku sendiri. Jahanam
Senopati Lambak Renggono. Mestinya
sudah kubunuh dia sekarang ini, atau
paling tidak kubuat cacat wajahnya.
Tapi untuk apa...? Kurasa lebih baik
dia kubiarkah hidup, tersiksa dalam
kegelisahan." pikir Pendekar Sesat
Patah hati.
Sementara itu tidak jauh dari
pelataran depan kuil di balik
kerapatan pohon besar tampak dua sosok
bayangan berkelebat mendekati halaman.
Sampai di satu tempat yang terlindung
dua sosok berpakaian merah ini
hentikan gerakannya
Ternyata mereka adalah dua orang
laki-laki berambut kaku seperti ijuk,
berwajah sangar berjenggot panjang
dicat warna kuning dan merah. Di
bagian punggung membekal senjata aneh
berbentuk bulat setengah lingkaran
tajam pada setiap sisinya yang
berwarna putih mengkilat.
"Inikah Pendekar Sesat Patah Hati
yang telah membunuh saudara kita Kala
Hitam?" bertanya laki-laki berbadan
pendek berkumis melintang.
"Tidak salah. Dia menggantung
Kala Hitam di alun-alun, lehernya
putus. Sedangkan kepalanya dijadikan
bola." menyahuti sang teman yang
jenggotnya dicat warna-warni.
Si pendek berkumis meiintang
kepalkan tinjunya sambil kertakkan
rahang.
"Kurang ajar. Akan kutangkap dia
hidup-hidup, setelah itu baru kucacah
bagian tubuhnya yang lain!" geram si
kumis meiintang.
"Ha... ha... ha...! Buat apa
kalian berkorban nyawa perturutkan
hawa nafsu ikuti langkah sesat. Kala
Hitam kubunuh karena dia memperkosa
dua gadis, membunuh orang tua gadis
itu dan menjarah hartanya. Ketika aku
mencoba memberi peringatan padanya.
Dia malah nekad menyerangku. Apakah
hal ini dapat dipersalahkan?" berkata
Sanjaya.
Tentu saja kedua orang bertampang
seram ini jadi kaget karena tidak
menyangka lawan mendengar pembicaraan
mereka. Karena ketika bicara keduanya
saling berbisik dan sangat pelan
sekali. Tetapi kini mereka tidak punya
pilihan lain. Karena itu mereka
berlompatan dari tempat persembunyian.
Kini mereka berdiri tegak di depan
Sanjaya. Melihat kehadiran mereka
Sanjaya perlihatkan seringai
mengerikan.
"Kau yang bergelar Pendekar Sesat
Patah Hati?" tanya si kumis meiintang
sinis.
"Pertanyaanmu rasanya tak perlu
kujawab. Kalian sendiri siapa?" tanya
Sanjaya.
"Aku Kala Biru dan yang
berjenggot panjang Kala Merah. Kau
bunuh sahabat kami dan itu tak dapat
kami terima, terkecuali kau mau
membayar hutang nyawa teman kami itu!"
kata Kala Biru sinis.
"Dengan apa aku harus
membayarnya?" tanya Pendekar Sesat
Patah Hati.
"Dengan nyawamu berikut kepalamu
sendiri!" sahut Kala Merah.
Sepasang mata Sanjaya meredup.
"Andainya itu dapat kau lakukan, aku
tidak keberatan. Aku malah berterima
kasih jika kalian berdua dapat
membunuhku. Tapi terkadang hidup ini
aneh. Banyak orang inginkan umur
panjang namun malah cepat mati. Begitu
juga sebaliknya, orang menginginkan
supaya hidupnya cepat berakhir.
Celakanya malaikat maut segan datang
menjemput." kata Sanjaya tenang.
"Sekarang kau tunggu apalagi?
Majulah!"
Kedua orang ini saling pandang
dan sama memberi isyarat. Selanjutnya
dengan gerakan kilat mereka menyerang
Sanjaya dengan serangan dahsyat yang
dilakukan secara serentak. Angin
menderu saat kedua tangan Kala Biru
dan Kala Merah menghantam wajah dan
perut Sanjaya. Tetapi secepat apapun
serangan yang dilakukan lawannya, si
pemuda masih mampu berkelit dan
jatuhkan diri ke tanah.
Dengan begitu serangan ganas
kedua lawannya hanya mengenai tempat
kosong. Namun tanpa terduga begitu
mereka berada di belakang Sanjaya,
tanpa menoleh salah satu kaki mereka
menendang ke belakang. Serangan ini
dikenal dengan jurus 'Sengatan Kala
Maut' dan tentu saja lebih berbahaya
bila sampai mengenai sasaran. Biasanya
racun yang terkandung dalam kuku lawan
cepat menyebar dan membuat lawannya
tewas seketika.
Tetapi dengan gerakan aneh,
Sanjaya menggulingkan dirinya ke depan
dua kali. Kemudian posisinya berbalik
arah, sedangkan tangannya bergerak
menghantam betis lawannya.
Tes! Tes!
"Arhh...!"
Kala Biru dan Kala Merah yang
gagal lakukan serangan menjerit keras.
Mereka berlompatan mundur. Ketika
mereka melihat ke bagian betis masing-
masing maka kagetlah mereka. Celana di
bagian betis robek seperti diterabas
senjata tajam. Lebih dari itu bagian
betisnya juga terluka mengucurkan
darah.
"Kurang ajar keparat! Kau melukai
kami!" hardik Kala Merah sambil
mencabut senjata anehnya yang tajam
berkilat.
"Luka itu sebagai peringatan
bahwa maut semakin dekat. Jika kalian
tidak angkat kaki secepatnya dari
hadapanku. Jangan menyesal seandainya
sekejap lagi aku terpaksa mengambil
tindakan tegas!" kata Sanjaya sengit.
Mana mungkin kedua lawannya mau
mendengar apa yang dia ucapkan.
Terbukti sambil berteriak keras
senjata aneh bergagang panjang itu
langsung didorongkannya ke arah lawan.
Sinar putih berkilauan berkiblat
disertai suara berdesing menggiriskan
hati. Pertanda kedua lawan mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang mereka
miliki.
Melihat dua serangan senjata yang
datang dalam waktu bersamaan, Pendekar
Sesat Patah Hati langsung melompat di
udara, namun ketika pemuda ini melesat
ke atas, tiba-tiba Kala Merah dan Kala
Biru sambitkan senjata rahasianya
berupa kala beracun ke arah Sanjaya.
Wut! Wut!
Sedikitnya sepuluh kala biru dan
kala merah melesat sebat menghantam
sepuluh bagian mematikan di tubuh
Sanjaya. Sambil berjumpalitan, pemuda
bermuka hancur mengerikan angkat
tangannya ke atas. Setelah diangkat
dihantamkan kedua tangannya ke arah
kala-ka!a yang sangat beracun itu.
Angin laksana topan menderu disertai
hawa panas luar biasa. Akibat yang
ditimbulkan sungguh sangat mengerikan
sekali. Bukan hanya senjata rahasia
berupa kala beracun itu saja yang
hancur. Namun kedua lawannya sendiri
keluarkan pekik kesakitan. Tubuh
mereka melesat ke dalam tanah, senjata
di tangan yang mereka jadikan perisai
begitu menyadari lawan menggunakan
pukulan Gelombang Naga meleleh.
Sanjaya jejakkan kakinya. Dia
datang menghampiri kedua lawan yang
terbenam sampai sedalam perut.
Ternyata Kala Merah dan Kala Biru
nampak terluka parah. Dari mulut,
hidung dan telinga mengucurkan darah.
"Ha... ha... ha...! Tidak ada
jalan selamat bagi kalian berdua."
ujar si pemuda disertai tawa tergelak-
gelak. Dia lalu dongakkan kepala
memandang ke langit. Mata si pemuda
mendadak nampak berkaca-kaca. "Aku
melihat langit, aku melihat malaikat.
Aku melihat maut itu menantimu.
Heaaa...!" baru saja selesai bicara
Pendekar Sesat Patah Hati hantamkan
kedua tangannya ke arah kepala Kala
Biru dan Kala Merah.
Prakk!
Terdengar suara berderak hancur
akibat pecahnya kepala kedua laki-laki
malang itu. Sanjaya bangkit berdiri.
Namun baru saja dia hendak tinggalkan
tempat itu mendadak terdengar derap
suara langkah kuda yang datang dari
seluruh penjuru arah
"Kurang ajar. Mereka pasti orang-
orang suruhan Senopati Pamungkas!
Sebaiknya aku bersembunyi dulu!" pikir
si pemuda. Selanjutnya dia masuk ke
dalam kuil meninggalkan mayat-mayat
lawannya.
ENAM
Benar saja, tak berselang lama
setelah Sanjaya menyelinap masuk ke
dalam kuil kuno di sekitar kuil
bermunculan tidak kurang tiga puluh
orang suruhan Senopati Lambak
Renggono. Seluruh pendatang ini
semuanya menunggang kuda. Sebagian di
antaranya berpakaian prajurit dan
perwira tinggi kerajaan. Sedangkan
yang lainnya dan berpakaian biasa
tentulah dari dunia persilatan yang
ikut bergabung dengan utusan Senopati.
Begitu mereka sampai dan
mengepung kuil. Banyak di antara
mereka yang jadi kaget ketika melihat
dua mayat dengan separoh badan
terpendam di dalam tanah sedangkan
kepala mereka pecah mengerikan.
"Manusia biadab itu. Mungkinkah
dia yang telah melakukannya?" Satu
suara terdengar memecah keheningan.
Ketika orang ini memandang ke arah
datangnya suara. Ternyata yang bicara
adalah seorang nenek renta berambut
putih bergigi ompong, berpakaian warna
putih sedangkan dari balik pakaiannya
bersembulan kepala ular berbisa
berkepala hitam. Di dunia persilatan
dia dikenal dengan julukan Ratu Ular
Kayangan. Biasanya dalam setiap
menghadapi lawan-lawannya dia hanya
cukup berdiri tegak dengan tangan
terlipat di depan dada. Pada puncak
pengerahan tenaga dalamnya dia hanya
cukup memberi perintah. Dan puluhan
ular berbisa yang bersembunyi di balik
pakaiannya langsung berlesatan keluar
menyerang lawan. Siapapun yang menjadi
sasaran binatang melata ini nyawanya
pasti tak akan tertolong hanya dalam
waktu dua menit.
"Aku merasa pasti si keparat
Pendekar Sesat Patah Hati ada di
sekitar sini. Orang itu kelihatannya
belum lama meninggal. Tempat sudah
terkepung sekarang tunggu apalagi?"
Yang baru saja bicara adalah seorang
laki-laki bertelanjang dada. Di
tangannya memegang sebuah gada besar.
Sekujur tubuh laki-laki yang tak kalah
menyeramkan dengan Ratu Ular Kayangan
ini ditumbuhi bulu-bulu halus lebat.
Tapi yang cukup mengherankan di
seluruh permukaan kulitnya bersembulan
urat-urat darah seperti akar
tetumbuhan merambat.
"Aku paling tak sabar dalam
mengurus satu persoalan. Pemuda itu
pasti bersembunyi di dalam kuil itu."
sahut perwira tinggi kerajaan yang
jadi pimpinan rombongan. Untuk
diketahui, perwira ini termasuk orang
yang paling dipercaya oleh Senopati
Lambak Renggono. Namanya Mantra Aji,
berilmu tinggi dan termasuk seorang
perwira pemberani. Kemudian dia
memberi perintah.
"Prajurit, cepat periksa ke
dalam!"
Lima orang prajurit sama
anggukkan kepala dan sama pula
melompat turun dari kuda masing-
masing. Mereka kemudian mencabut
senjata. Dengan pedang terhunus kelima
prajurit itu bergegas menuju kuil
melalui pintu depan. Di balik pintu ke
lima prajurit itu lenyap dari
pandangan mata. Kini semua mata
tertuju ke arah kuil. Terkecuali
perwira tinggi, Ratu Ular Kayangan dan
laki-laki bertelanjang dada berjuluk
Gada Dewa ini, maka mereka yang berada
di situ sama diliputi ketegangan.
Hanya beberapa saat setelah ke
lima prajurit masuk ke dalam kuil.
Mendadak sontak terdengar suara
jeritan menyayat lima kali berturut-
turut. Mereka yang berada di luar jadi
terkesiap kaget. Belum juga lenyap
rasa kejut di hati mereka juga perwira
itu terdengar suara berderak hancurnya
atap kuil. Lima sosok tubuh
berlesatan, melayang dan jatuh
bergedebukan di hadapan perwira Mantra
Aji.
Gada Dewa dalam kagetnya melompat
turun dari atas punggung binatang
tunggangannya. Dia segera memeriksa
mayat ke lima prajurit itu. Mandadak
wajah Gada Dewa berubah memucat. Di
sekujur tubuh prajurit itu tak
terdapat luka sedikit pun. Jasad
mereka tetap utuh, hanya bagian
wajahnya saja yang agak memucat.
"Dia membunuh para prajurit ini
dengan ilmu Lilitan Ekor Naga!" desis
Gada Dewa.
"Lilitan Ekor Naga?" mengulang
Ratu Ular Kayangan dengan kening
mengernyit. "Ilmu itu sangat langka,
biasa darah korbannya menyumbat
pembuluh jantung. Jantung pecah, rusak
di bagian dalam namun utuh di bagian
luar. Jahanam iblis!" Ratu Ular
Kayangan menggereng. "Dia telah
membunuh saudaraku Nini Rontek Selatan
dengan cara yang sama."
"Sekarang apa yang harus kita
lakukan? Aku sendiri juga harus
membalaskan kematian saudara tuaku
Pengemis Setan Akherat!" geram Gada
Dewa tak kalah sengitnya.
"Kita semua punya tujuan yang
sama." ujar Mantra Aji dengan suara
bergetar. Selanjutnya dia berteriak
ditujukan pada prajurit yang mengepung
kuil itu. "Kalian semua serbu kuil itu
dan bunuh siapa saja yang kalian temui
di dalam sana!"
Tidak kurang dari dua puluh lima
prajurit serentak turun dari kuda
masing-masing. Dari seluruh penjuru
kuil mereka dengan senjata di tangan
langsung mendobrak pintu, sebagian di
antaranya ada yang melompat ke atas
genteng. Nampaknya masing-masing punya
keinginan membunuh orang yang mereka
cari yang selama ini mendengar namanya
saja orang bisa dibuat lari
terkencing-kencing.
Selagi mereka sibuk mencari jalan
masuk. Maka pada kesempatan itu pula
terdengar suara seruan yang terasa
dingin menyeramkan. "Siapa yang berani
masuk ke kuil ini. Berarti nyawanya
siap berkorban secara sia-sia!"
Seiring dengan terdengarnya suara itu,
dari dalam kuil kuno mendadak
terdengar suara deru angin yang terasa
menggiriskan. Suara gemuruh angin
semakin lama semakin bertambah keras.
Kemudian terdengar suara jerit
mengerikan yang saling susul menyusul
disertai dengan terpentalnya belasan
prajurit baik yang berada di dalam
kuil, di atas bangunan maupun mereka
yang baru saja mencapai pintu. Bukan
hanya para prajurit itu saja yang
berpentalan tak tentu arah, tapi yang
lebih mengerikan lagi bagian atas
kuil, dan seluruh dinding kuil runtuh,
pecah terbelah seakan terdorong oleh
satu tenaga raksasa yang tak
kelihatan.
Dengan hancurnya seluruh dinding
kuil, maka kini terlihat di tengah-
tengah bangunan yang hancur porak
poranda ini berdiri tegak seorang
pemuda bermuka hancur mengerikan
seperti daging dicacah.
Begitu melihat pemuda ini, maka
berserulah perwira Mantra Aji
ditujukan pada prajuritnya yang
selamat dari amukan angin menggila
yang berlangsung beberapa saat tadi.
"Tangkap pemuda jahanam buronan
Senopati itu!!"
Beberapa prajurit yang berkaparan
namun hanya terkena terpaan angin aneh
mencoba bangkit. Celakanya mereka
kehilangan tenaga. Sekujur tubuh
terasa lemas dan tak dapat digerakkan.
Sebaliknya Gada Dewa yang melihat
keanehan tadi diam-diam jadi kaget.
Rasanya seumur hidup belum pernah dia
melihat ada ilmu sehebat dan seaneh
seperti yang dimiliki oleh pemuda
bermuka hancur mengerikan ini.
Kelihatannya pemuda itu tak melakukan
apa-apa. Tapi mengapa prajurit
dibuatnya tewas berkaparan sedangkan
tembok kuil dibuatnya porak poranda.
Lain lagi halnya dengan Ratu Ular
Kayangan. Tadi dia memang sempat
terkejut melihat apa yang terjadi di
depan matanya, namun hal itu hanya
berlangsung sesaat saja. Di lain kejap
dia bergumam. "Darimana pemuda jahanam
itu mendapatkan ilmu pukulan Gelombang
Naga?" Pertanyaan ini seakan berlalu
begitu saja. Perwira Mantra Aji
sendiri saat itu menjadi marah ketika
melihat tak seorang pun dari para
prajuritnya yang selamat bergerak
melakukan perintahnya.
"Prajurit apakah kalian tak
mendengar perintahku!" bentak Mantra
Aji tambah geram.
"Perwira... kami... kami...!"
Prajurit yang mencoba menerangkan
keadaan mereka tiba-tiba saja
semburkan darah dari mulutnya. Dia
tergeletak tewas dengan mata mendelik
sedangkan darah terus menyembur dari
bagian mulut dan hidung.
"Hah... apa yang terjadi...?"
desis perwira tinggi itu sambil
belalakkan matanya.
"Nampaknya mereka mengalami luka
parah di bagian dalam," ujar Gada Dewa
tegang.
"Sebaiknya kita keroyok saja dia
sekarang."
"Bukan usul yang bagus," dengus
Ratu Ular Kayangan sinis. "Aku harus
jelaskan padanya mengapa kuinginkan
nyawanya agar kelak setelah di neraka
dia tak jadi roh penasaran."
"Ha… ha... ha...! Perwira tinggi.
Kau lihat semua prajuritmu tak ada
yang selamat. Aku telah melepaskan
ilmu Gelombang Naga. Kalau pun mereka
ada yang selamat, bergerak satu
langkah saja membuat jiwa mereka tak
akan tertolong. Sekarang kalian hanya
bertiga! Katakan apa keperluanmu
setelah itu cepat minggat dari
hadapanku!" kata Sanjaya dingin
menyeramkan.
"Pemuda edan, putra tumenggung
yang korup. Kau bunuh prajurit
kerajaan membuat dosamu tak terampuni.
Ketahuilah aku diperintahkan oleh
Senopati untuk membawa kepalamu ke
hadapannya!" berucap perwira tinggi
ini dengan suara bergetar.
"Aku tidak berkata sombong. Tapi
kurasa keinginanmu itu hanya sebuah
mimpi!" ujar Pendekar Sesat Patah
Hati. Selanjutnya dia berpaling ke
arah Gada Dewa dan Ratu Ular Kayangan.
Kepada kedua orang ini Sanjaya ajukan
pertanyaan. "Kulihat kalian bukan
orang kerajaan. Lalu apa yang kalian
inginkan hingga ikut menyibukkan diri
mencariku?"
Ratu Ular Kayangan meludah. Dia
menggebrak perut kuda dengan kakinya
hingga kuda itu bergerak maju lebih
mendekat ke arah si pemuda. "Kau kenal
dengan Nini Rontek Selatan?" tanya si
nenek dingin, sedangkan matanya yang
berkilat memendam dendam mendelik
besar.
Pendekar Sesat Patah Hati terdiam
sejenak dengan kening berkerut seakan
sedang berusaha mengingat-ingat. Si
pemuda tersenyum, tapi senyumnya tentu
tidak ubahnya seperti seringai karena
seluruh wajah pemuda itu rusak.
"Begitu banyak jiwa yang melayang
sia-sia di tanganku. Tapi pembunuhan
yang kulakukan bukan karena tidak
bersebab. Iblis Nini Rontek Selatan
terpaksa kubunuh karena dia banyak
menculik anak perawan untuk dijadikan
tumbal ilmunya. Dia mati mengenaskan
dengan mulut ditembus bambu kuning
tembus sampai ke duburnya." jelas si
pemuda dingin. Kini perhatiannya
tertuju pada Gada Dewa. "Kau...
manusia berbulu kunyuk muka monyet
lutung, persoalan apa yang hendak kau
selesaikan denganku?"
Walau tadinya sempat keder
melihat kesaktian yang dimiliki oleh
si pemuda. Mendengar dirinya disebut
kunyuk kini amarah dan dendamnya
terbangkitkan lagi. Sambil keluarkan
suara menggereng dia membentak. "Aku
ingin membalaskan kematian Pengemis
Setan Akherat saudara tuaku!"
"Pengemis Setan Akherat!" Sanjaya
mengulangi ucapan Gada Dewa. Mendadak
tawa si pemuda meledak. "Ha... ha...
ha. Agaknya bangsat tua itu sekarang
sudah menjadi setan benaran dan
mengemis di akherat." kata Sanjaya.
"Aku terpaksa membunuh tua bangka itu
ketika dia mencoba mengemis kehormatan
puteri patih kerajaan. Nah... jika kau
ikutan mengemis dengan saudaramu itu
aku bersedia mengantarmu ke neraka!"
"Jahanam tengik. Kupecahkan batok
kepalamu sekarang juga!" hardik Gada
Dewa. Namun pada saat dia melabrak ke
depan dari sampingnya menderu angin
dingin yang menerpa tubuhnya hingga
membuat laki-laki itu terhuyung.
Ketika dia menoleh, ternyata yang
menyerangnya barusan bukan lain adalah
Ratu Ular Kayangan.
"Tua bangka kau...?!"
"Huh, enak saja kau mengambil
keputusan. Hanya aku yang berhak
membunuhnya!" hardik Ratu Ular
Kayangan.
"Nyawaku hanya satu, tak mungkin
dibelah menjadi tiga. Dari pada
bersitegang sebaiknya kalian bertiga
maju saja sekaligus!" tantang si
pemuda sinis.
"Hik... hik... hik! Baru kali ini
kudengar ada bocah ingusan patah hati
yang berani bicara sombong di hadapan
Ratu Ular Kayangan. Ingin kulihat
apakah mulut besarmu sesuai dengan
kenyataan yang ada?!" seru si nenek
Aku juga punya tugas yang harus
dilaksanakan. Kurasa supaya adil tidak
ada salahnya jika kita mengeroyoknya!"
kata perwira tinggi kerajaan itu
sinis. Karena menyadari lawannya tidak
dapat dianggap enteng, begitu melesat
dari atas punggung kudanya dia
langsung pergunakan pedang untuk
menyerang Sanjaya. Serangan yang
dilakukan dari udara itu tentu sangat
berbahaya karena jika sampai Sanjaya
lengah, maka kepalanya akan terbelah
menjadi dua. Sebaliknya dari samping
kanan, gada besar di tangan Gada Dewa
menderu menghantam rusuk. Sedangkan
dari arah depan lima kuku hitam
beracun Ratu Ular Kayangan merobek ke
arah perut, sedangkan tangan yang lain
mencengkeram bagian bawah pusar
Sanjaya. Serangan nenek ini bahkan
lebih dahsyat bila dibandingkan dengan
serangan pedang petinggi kerajaan
maupun Gada Dewa. Namun ketiganya
jelas sama berbahaya karena mengancam
ke bagian yang mematikan. Melihat tiga
serangan maut itu datangnya dalam
waktu bersamaan, Sanjaya tak sempat
berpikir lagi. Dengan cepat dia
melompat mundur, kepala ditariknya ke
belakang sedangkan kaki dihantamkan ke
perut Gada Dewa.
Desss!
Wuut!
Sambaran kuku dan hantaman pedang
hanya mengenai tempat kosong.
Sebaiknya hantaman gada hampir saja
menyambar tubuh krempeng si nenek.
Selain itu Gada Dewa nampak terhuyung-
huyung akibat perutnya kena ditendang
oleh lawannya. Sama-sama keluarkan
dengusan geram ketiga lawan Sanjaya
merangsak maju. Kali ini tentu lebih
berbahaya dari serangan pertama tadi,
karena perwira tinggi kerajaan itu
sendiri sekarang mengerahkan jurus-
jurus pedang andalan. Sedangkan Gada
Dewa memutar gadanya ke kiri atau ke
atas. Di pihak Ratu Ular Kayangan
sendiri saat itu sudah mulai
menggunakan ular hitamnya yang
terkenal sangat beracun itu. Mendapat
serangan dahsyat luar biasa ini
Pendekar Sesat Patah Hati nampak
terdesak hebat. Apalagi saat itu dia
harus menghindari patukan dua ekor
ular berbisa yang melesat terbang
kearahnya.
Sssst!
Dua ekor ular mendesis panjang,
meluncur cepat laksana anak panah.
Sanjaya tidak mungkin menangkis
serangan ular-ular ini, karena
akibatnya bisa membuat dirinya celaka.
Dia pun jatuhkan diri, namun pada
waktu bersamaan pedang di tangan
perwira tinggi yang dibabatkan ke
bawah mengikuti gerakannya yang
menghindar menyambar bagian punggung.
Craas!
Sanjaya alias Pendekar Sesat
Patah Hati mengeluh tertahan. Tanpa
menghiraukan pakaian yang robek besar
serta punggung yang terluka
mengucurkan darah dia bergulingan.
Pada saat itu kedua ular tadi begitu
gagal mengenai sasaran langsung
menancap di batang kayu. Batang kayu
kering hangus dan mengepulkan asap
berbau amis. Sementara Sanjaya
nampaknya tidak terlepas dari ancaman
maut, karena begitu punggung terluka
dan dia bergulingan ke kiri. Gada Dewa
gerakkan senjatanya ke bagian kepala
pemuda itu.
Gada besar yang berat bukan main
ini menderu mengeluarkan suara bersuit
aneh. Sebelum gada tersebut menghantam
remuk batok kepalanya, Pendekar Sesat
Patah Hati segera lakukan gerakan
aneh, hingga tubuhnya kini berputar
dan tahu-tahu berdiri, baru kemudian
menerobos kepungan lawannya.
"Dia telah terluka, hayo jangan
beri kesempatan padanya untuk
meloloskan diri!" teriak Mantra Aji.
Perwira tinggi kerajaan, kaki tangan
Senopati Lambak Renggono yang paling
bersemangat menyerang Sanjaya karena
dijanjikan mendapat hadiah besar dari
Senopati langsung menyerbu kembali
sambil babatkan pedangnya ke arah
Sanjaya. Sinar putih bertabur di udara
mengurung gerak dan langkah pemuda
itu. Namun kali ini si pemuda
nampaknya tidak berusaha menghindar.
Sedangkan kedua tangan dengan jari
diacungkan ke arah perwira ini nampak
menggeletar dan mulai digerakkan.
"Awas! Dia melepaskan pukulan
Gelombang Naga!" satu suara berseru.
Dan yang keluar seruan barusan tadi
bukan lain adalah Ratu Ular Kayangan.
Gada Dewa yang baru saja melangkah
maju sambil memutar gada besar di
tangannya masih sempat bersurut
langkah. Namun Mantra Aji sang perwira
tinggi tidak sempat mengikuti
kawannya. Kini begitu dia melihat
selarik sinar putih yang meluncur ke
arahnya dengan gerakan berkelok-kelok
seperti gerakan ekor ular naga
berlari, sang perwira putar pedang di
tangannya membentuk perisai diri yang
sangat kokoh. Kilatan cahaya pedang
bertabur menutupi sekujur tubuh Mantra
Aji. Tapi sehebat apapun pertahanan
perwira tinggi ini. Sinar maut itu
kemudian berhasil menyusup benteng
pertahanan yang dibuat oleh laki-laki
itu tanpa harus membentur batang
pedang.
Beberapa saat kemudian Mantra Aji
tertegak ketika sinar maut menghantam
bagian dadanya. Mata laki-laki ini
mendelik, mulut ternganga. Bukan hanya
Gada Dewa saja yang terkejut. Tapi
Ratu Ular Kayangan juga terkesiap
begitu melihat tubuh perwira itu tiba-
tiba saja membengkak gembung.
Perubahan ini semakin lama semakin
bertambah jelas dan tubuh sang perwira
semakin membesar seperti balon karet
yang dipompa.
Bledum!
Akhirnya tanpa dapat dicegah
perwira kepercayaan Senopati Lambak
Renggono inipun meledak hancur
berkeping-keping berubah menjadi
serpihan daging dan belulang yang
bertebaran di udara. Bau amis darah
menyengat perciuman. Sanjaya seka
punggung lengannya yang terkena
percikan darah. Gada Dewa tercengang
dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Melihat dahsyatnya ilmu kesaktian yang
dimiliki oleh lawannya tanpa pikir
panjang lagi dia memutar badan dan
lari langkah seribu.
"Manusia pengecut. Daripada
melarikan diri sebaiknya kau mampus!"
hardik Ratu Ular Kayangan. Serentak
dia meraih seekor ular dari balik
pakaiannya. Begitu tangan digerakkan
maka meluncurlah ular itu. Menyadari
si nenek membokongnya sambil berlari
Gada Dewa hantamkan senjatanya ke
belakang. Namun tindakannya kalah
cepat dengan serangan ular itu. Hingga
dia pun jatuh tersungkur begitu ular
menembus punggung sampai ke dada
depan. Gada Dewa menggelepar dan tewas
seketika.
Kini Ratu Ular Kayangan mem-
balikkan badan. Dipandangnya Pendekar
Sesat Patah Hati dengan tatapan aneh.
Selanjutnya tanpa berkata apa-apa. Dia
melipat kedua tangannya ke depan dada.
Tidak berselang lama tubuh nenek renta
itu bergetar hebat. Seiring dengan itu
pula puluhan ekor ular berkepala hitam
julurkan kepala.
"Hem, nenek ini benar-benar
hendak membunuhku dengan ular-
ularnya." batin Sanjaya.
"Hanya ilmu Gelombang Naga yang
bisa membuktikan siapa di antara kami
yang layak hidup lebih lama!" geram
pemuda itu sinis.
Di depan sana Ratu Ular Kayangan
diam tak menanggapi. Sebaliknya
Sanjaya pun tidak tinggal diam. Dia
kerahkan tenaga dalamnya ke bagian
tangan. Ketika kedua tangannya terasa
panas, maka kedua telapak tangan
saling disatukan. Setelah itu dua jari
telunjuk digerakkan lurus ke arah
lawan. Seiring dengan itu pula tubuh
Sanjaya berputar. Gerakan berputar ini
semakin lama semakin bertambah cepat.
Selanjutnya secara aneh mengerikan
dari sekujur tubuh pemuda itu menderu
angin dahsyat berhawa panas luar
biasa. Angin laksana badai itu semakin
lama semakin menebar, sementara dari
arah lawannya belasan ular berkepala
hitam melesat ke arah Sanjaya. Tetapi
gerakan ular-ular ini seakan tertahan
begitu membentur angin dahsyat yang
bersumber dari ilmu Gelombang Naga
yang dilepaskan oleh si pemuda.
Tas! Tas! Tas!
Letupan-letupan kecil terdengar
begitu ular-ular itu membentur
serangan Sanjaya. Sementara di depan
sana si nenek nampak mulai terhuyung.
Wajahnya berubah pucat, sedangkan
pakaiannya tampak mulai robek di sana-
sini ketika serangan lawan menderanya
bertubi-tubi.
"'Hiyaaa...!" Pendekar Sesat
Patah Hati tiba-tiba saja berteriak
keras sambil sentakkan jari
telunjuknya dari atas ke bawah dengan
gerakan seperti membelah tubuh
lawannya. Sinar putih setipis pedang
melesat dari bagian ujung jemari
Sanjaya. Sedangkan dari arah Ratu Ular
Kayangan melesat sedikitnya lima ular
hitam ke arah pemuda itu. Dua sinar
maut yang seharusnya menghantam tubuh
lawan yang satunya terpaksa dibelokkan
ke arah ular-ular itu. Tapi sayang
hanya empat yang dapat dibuatnya
rontok, sedangkan yang satunya lagi
berhasil menyusup ke dalam pertahanan
Sanjaya.
Crep!
"Arkh...!"
"Akk...!"
Terdengar suara jeritan dua kali
berturut-turut. Satu keluar dari mulut
Ratu Ular Kayangan yang bagian bahunya
terbelah sampai ke bagian perut akibat
terkena pukulan Gelombang Naga.
Sedangkan jeritan kedua keluar dari
mulut Sanjaya yang kesakitan akibat
patukan ular yang sangat berbisa itu.
Sanjaya merintih sambil menotok
jalan darahnya agar racun ular tidak
cepat menyebar ke seluruh tubuhnya.
Walaupun begitu nampaknya Pendekar
Sesat Patah Hati memang tak dapat
bertahan lebih lama. Begitu hawa
dingin menyerangnya, si pemuda
kerahkan hawa panas untuk menolak
pengaruh hawa dingin akibat pengaruh
racun ular itu.
Namun pada akhirnya Sanjaya
terkulai tak sadarkan diri. Sementara
itu Ratu Ular Kayangan sendiri tewas
seketika begitu sinar putih yang
memiliki ketajaman melebihi pedang
membelah bahunya.
TUJUH
Mendung hitam makin menebal,
kilat menyambar dan gelegar petir
sambung menyambung tiada henti. Hujan
kemudian turun bagai tercurah dari
langit. Di bawah sebatang pohon kering
kakek gendut besar berwajah bulat
berkening lebar, berhidung nyaris rata
dengan pipinya yang tembem terus saja
mendengkur seakan tak terpengaruh
dengan suasana alam yang terjadi di
sekelilingnya. Sesekali bahkan
terdengar giginya bergemeretakan. Lalu
mulutnya menggumamkan sesuatu yang
tidak jelas. Saat itu tubuh dan
pakaiannya sudah basah kuyup. Tapi
aneh nampaknya tidak ada tanda-tanda
kalau orang tua aneh itu segera
terjaga.
Tidak jauh dari tempat di mana si
kakek gendut besar ini tergeletak.
Seorang pemuda remaja berwajah tampan
berambut gondrong terus saja melatih
jurus-jurus silat yang baru diturunkan
oleh si kakek.
Kaki kanan ditekuk ke depan, kaki
kiri ditarik ke belakang. Tangan kiri
yang terkepal dirapatkan ke bagian
rusuk, tangan kanan dengan jemari
terkembang ditarik ke belakang
kemudian segera dihantamkannya ke
depan.
"Heaa...!"
Wuut!
Glaar!
Sinar hitam berkiblat dari
telapak tangannya, lalu terdengar
suara menderu dahsyat. Batu besar
serta semak belukar yang jadi sasaran
pukulan pemuda itu hancur berkeping-
keping. Si pemuda berjingkrak
kegirangan sambil tertawa-tawa. Sama
seperti si kakek gendut besar, dia
sama sekali tidak perduli dengan
gelegar petir maupun derasnya hujan
yang turun saat itu.
"Pukulan Di Balik Bukit Mengintai
Bidadari. Kurasa ini termasuk pukulan
yang hebat. Ha… ha... ha. Tapi aku mau
mencoba pukulan yang lain." kata si
pemuda. Sejenak dia berpikir, kening
dikerut-kerutkan. Sampai akhirnya dia
tersenyum ketika terlintas sesuatu di
dalam benaknya. "Aku belum mencoba
pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis!"
katanya sambil menyeringai. "Iblis
ketawa dewa menangis apa maksudnya?
Ada-ada saja kakek tua itu?" ujar si
pemuda lagi sambil gelengkan kepala.
Tapi kemudian si pemuda kerahkan
tenaga dalam ke bagian kedua
tangannya. Sekujur tubuhnya yang basah
terguyur air hujan tampak bergetar
hebat. Selanjutnya dengan cepat pula
pemuda itu hantamkan kedua tangannya
ke arah pohon kering.
Wuut!
Dua larik sinar pelangi melesat
dari tangan pemuda itu. Hawa dingin
luar biasa menebar. Ketika kedua
pukulannya menghantam bagian tengah
batang pohon, maka kagetlah si pemuda
dibuatnya.
"Celaka!! Orang tua itu
bukankah...!" Si pemuda tidak
melanjutkan ucapannya melainkan hendak
berlari ke bawah pohon untuk
menyelamatkan si kakek dari reruntuhan
pohon yang ambruk.
Buuum!
Terdengar suara ledakan keras
berdentum. Bagian batang yang terkena
pukulan hancur menjadi serpihan debu.
Sedangkan bagian atasnya mengeluarkan
suara bergemeretakan dan roboh. Wajah
si pemuda berubah pucat ketika melihat
bagian atas pohon runtuh menimpa si
kakek gendut.
Tetapi aneh begitu pohon hendak
menimpa dirinya si kakek tiba-tiba
menggeliat, bangkit dan berjalan
tergesa-gesa menjauh dari pohon.
"Kakek maafkan aku... aku tak
ingat kau ada di bawah pohon itu!"
kata si pemuda, namun dia jadi
tercengang ketika melihat mata si
kakek ternyata masih dalam keadaan
terpejam. "Hei... ternyata dia
berjalan dalam keadaan tidur!" ujar si
pemuda.
Si kakek kemudian menggeliat dan
kerjapkan matanya. Dia nampak kaget
ketika menyadari saat itu ternyata
hujan deras, lebih terkejut lagi
begitu melihat si pemuda berlutut di
depannya.
"Gege! Bocah edan, begitulah dulu
Tabib Sesat Timur memanggilmu.
Ternyata kau memang edan sungguhan.
Aku menyuruhmu berlatih, tapi mengapa
sekarang malah berlutut begitu rupa?"
Si kakek lalu nampak sibuk memeriksa
pakaiannya sendiri yang basah.
"Mengapa kau tak mau membangunkan aku?
Kurang ajar!"
"Tadi... tadi...!"
"Tadi apa? Kau hancurkan pohon
itu hingga membuat aku kaget. Sekarang
kau mau bicara apa lagi?" tanya si
kakek gendut besar yang bukan lain
adalah Gentong Ketawa.
"Tadi itu aku tak sengaja
melakukannya. Sungguh kek...!"
"Jangan banyak bicara...!
Terimalah ajalmu!" seru si kakek.
Bersama dengan itu pula Gentong Ketawa
dengan gerakan yang sangat ringan
melesat ke depan. Kaki kanan
dihantamkannya ke muka si pemuda.
"Celaka. Penyakit gila orang tua
ini ternyata kambuh lagi!" rutuk si
pemuda dalam hati. Mengingat tendangan
yang dilakukan Gentong Ketawa disertai
pengerahan tenaga dalam. Maka pemuda
itu tidak mau berlaku ayal. Dengan
cepat dia bergulingan ke samping.
Dalam kesempatan itu Gentong Ketawa
terus mengejar, kedua kakinya bergerak
lincah berusaha menginjak perut maupun
kepala si pemuda.
Jika sampai terinjak kaki si
gendut yang beratnya lebih dari dua
ratus kati ini, pasti pemuda itu tewas
dengan kepala remuk dan isi perut
berbusaian.
Duk! Duk!
Benturan kaki si kakek akibat
serangannya meleset menimbulkan
getaran hebat luar biasa. Bahkan
hentakan-hentakan yang dilakukan si
kakek membuat tanah amblas. Sampai
sejauh itu serangan gencar yang
dilakukan oleh Gentong Ketawa tidak
mengenai sasaran.
"Kau hendak menghindar terus
seperti tikus dikejar kucing? Huh...,
memalukan. Sudah berapa banyak jurus-
jurus maut yang kuturunkan padamu?"
hardik si kakek dan kini kirimkan
jotosan ke bagian dada muridnya yang
rebah menelentang sambil menghindari
tendangan kakinya.
"Ha... ha...ha. Begitu
keinginanmu kek. Lihat baik-baik!"
sahut si pemuda sambil tertawa padahal
saat itu serangan Gentong Ketawa makin
bertambah gencar dan berbahaya. Dengan
bertumpu pada bagian punggungnya tubuh
pemuda itu mendadak berputar. Tangan
menangkis tendangan lawan, sedangkan
kakinya dipergunakan untuk menyambut
jotosan si kakek.
Plak!
Desss!
Benturan yang terjadi antara
tangan dan kaki antara murid dan guru
membuat si kakek terhuyung. Sedangkan
si gondrong menjerit sambil kibaskan
tangannya.
"Ha... ha... ha! Memalukan
sekali. Belajar denganku dari kecil
sampai besar begini ternyata kau tak
sanggup membuatku jatuh?" ejek Gentong
Ketawa sambil terkekeh-kekeh.
Pemuda itu menyeringai. Dengan
bertumpu pada kedua kakinya dia
bangkit berdiri.
"Lihat serangan!" teriak si
pemuda. Bersamaan dengan itu pula
tubuhnya melesat ke arah Gentong
Ketawa. Sampai di depan kakek itu si
pemuda memutar tubuhnya. Tangan kanan
membabat bagian leher, sedangkan
tangan kiri menampar bagian pipi.
Melihat serangan ganas ini si kakek
tertawa panjang. Enak saja dia
gerakkan tangannya menangkis. Tapi dia
jadi kaget ketika tiba-tiba si pemuda
tarik serangannya. Tanpa disadari
orang itu kaki si pemuda yang sudah
ditekuk dihantamkannya ke bagian perut
Gentong Ketawa.
Desss!
Hantaman yang sangat keras
membuat si kakek jatuh tersungkur
dengan hidung mencium tanah. Pemuda
gondrong itu tertawa bergelak. Dia
menunjuk-nunjuk gurunya.
"Kau bilang aku tak bisa
membuatmu jatuh? Ternyata tidak sulit
melakukannya. Ha., ha... ha."
"Eh, kau tadi mempergunakan jurus
apa? Rasanya aku tak pernah
mengajarimu dengan jurus seperti itu?"
tanya Gentong Ketawa sambil bangkit
berdiri.
"Memang tidak. Yang kulakukan
tadi namanya variasi gabungan dari
jurus warisanmu dan jurus ciptaanku
sendiri. Namanya jurus 'Ngaco"...!"
Gentong Ketawa sempat terbengong-
bengong mendengar ucapan muridnya.
Memang dia harus mengakui muridnya itu
memiliki otak yang cerdik. Ada saja
yang dipikirkannya. Satu hal yang
terkadang membuat si kakek jadi pusing
sendiri, pemuda yang selalu
dipanggilnya Gege ini mempunyai sifat
dan tingkah laku yang hampir sama
dengan dirinya.
"Kau bocah kampret curang. Jangan
kira kau bisa mengalahkan aku. Kau
lihat ke mari!" seru si kakek sinis.
Seiring dengan seruannya itu, maka
Gentong Ketawa putar kedua tangannya.
Kepala digoyang ke kiri kanan seperti
orang pusing. Kemudian pinggul diogel-
ogelkan. Sesekali pantat menungging.
"Jurus Tarian Dewa? Ha... ha...
ha. Kulihat jurus itu seperti gerakan
kerbau bunting mau buang hajat. Aku
akan melayanimu dengan jurus Belalang
Terbang!" seru si pemuda. Sejenak
lamanya pemuda itu meniru gerakan si
kakek sekedar untuk meledek. Kemudian
kedua tangan dikembangkan ke samping,
salah satu kaki diangkat ke belakang.
Bersamaan dengan itu pula si pemuda
melesat ke depan dengan kaki
mengambang di udara.
Dari arah depan Gentong Ketawa
berputar sambil tetap mengogel-ogelkan
pantatnya menyambut serangan sang
murid dengan kedua tangan terkembang
pula.
Wuut!
Des! Des!
Dalam hujan lebat yang tak
kunjung henti keduanya sama
terjengkang, bergulingan ke belakang.
Tanpa menghiraukan rasa sakit yang
mendera dada dan kedua tangannya si
pemuda membalikkan badan.
"Aku akan memukulnya dengan
Selaksa Duka!" membatin si pemuda
dalam hati. Pemuda ini kemudian
membalikkan badannya dan menghantam ke
arah Gentong Ketawa. Tapi dia sendiri
kemudian terkesiap kaget ketika
melihat gurunya sambil tertawa-tawa
telah bergerak mendahului melepaskan
pukulan pula.
"Gege... kau kira dapat mengadali
orang sepertiku. Selagi dirimu masih
menjadi angin aku sudah mempelajari
segala sifat manusia sampai tingkah
laku binatang. Ternyata manusia lebih
rendah dari binatang jika tidak
mempergunakan akalnya." kata si kakek.
"Kuya tengik. Huuup...!" Tiga
kali berturut-turut si gondrong
dorongkan kedua tangannya ke arah si
kakek. Untuk beberapa saat lamanya
mereka nampak saling dorong pertanda
antara murid dan guru itu sama-sama
kerahkan tenaga saktinya. Mata si
kakek mendelik besar, mulut terkatub
sedangkan pipi menggembung, kedua kaki
bahkan nampak amblas ke dalam tanah.
Sedangkan pemuda itu sendiri nampak
mulai terseret ke belakang.
"Hiyaa...!"
Sekali lagi si pemuda dorongkan
kedua tangannya ke depan. Di depan
sana si kakek lakukan hal yang sama.
Dua tenaga sakti saling tindih
menindih. Hingga akhirnya terjadilah
ledakan berdentum. Bunga api berpijar
di udara. Dua sosok tubuh sama
tertempar. Si pemuda mengerang,
menggeliat lalu bangkit. Nafasnya
menguik-nguik seperti orang yang
menderita sakit nafas. Sedangkan dari
sudut bibirnya meneteskan darah.
Ketika dia memandang ke arah gurunya.
Maka si kakek tertawa terbahak-bahak.
"Ha... ha... ha! Mulutmu keluar
kecapnya bocah?" celetuk si kakek.
Si pemuda seka mulutnya. "Oh ini
bukan kecap, tapi sambal. Hanya
tinggal cari lalapan dan kita makan
bersama-sama. Ha... ha... ha!"
"Dasar bocah edan!" gerutu si
kakek. Tanpa menghiraukan ucapan
Gentong Ketawa, pemuda itu duduk di
atas batu. Si kakek datang
menghampiri.
"Sudah berapa lama kau ikut
denganku? Sepuluh atau dua belas
tahun?" bertanya Gentong Ketawa sambil
mengusap dagunya yang polos tanpa
kumis dan jenggot.
"Berapa saja yang kakek suka.
Yang penting kakek senang aku juga
senang. Jadi kita sama-sama senang.
Ha... ha... ha." sahut si pemuda
sambil tertawa.
"Hem, begitu. Tapi kurasa ilmu
yang kumiliki belum kuberikan padamu
seluruhnya. Pada akhirnya nanti aku
akan menurunkan semua ilmu kepadamu."
ujar si kakek. Dia terdiam sejenak
sambil memperhatikan wajah si pemuda.
Yang diperhatikan jadi salah tingkah
dan celingukan.
"Gege... sejak kau dibawa Tabib
Sesat Timur sampai sekarang setelah
ikut denganku kau masih belum punya
nama. Aku suka memanggilmu Gege,
karena panggilan itu cocok dengan
sebuah tempat indah di mana dulu
sering aku melamun di sana untuk
mendapatkan seorang murid."
"Di mana tempat itu kek?" tanya
si pemuda.
"Tempatnya... emm... anu...!"
Gentong Ketawa nampak bingung. "Aku
sudah lupa. Tapi tempat itu bagus,
indah dan nyaman. Kurasa masih di
sekitar tanah Jawa ini juga."
menerangkan kakek itu. Lalu dia
menambahkan. "Sekarang aku sudah punya
nama untukmu. Karena kau suka melucu
dan tertawa-tawa sendiri, bagaimana
jika kalau kau kuberi nama Gento
Guyon? Gento Guyon itu kalau
dipendekkan jadi Gege. Bagus bukan?"
Wajah si pemuda nampak cemberut.
"Gurunya Gentong Ketawa, muridnya
Gento Guyon." gumam si pemuda. "Nanti
orang menyangka Gento anaknya Gentong.
Padahal mana mungkin aku punya ayah
berpipi tembem, hidung pesek jelek dan
badan besar seperti gentong begini?"
"Anak kampret. Tujuh hari tujuh
malam aku mencari nama untukmu mengapa
kau caci nama pemberianku? Lagipuia
apa kau pikir aku mengakuimu sebagai
anak?" damprat Gentong Ketawa.
"Aku juga tak sudi jadi anakmu."
"Atau kau suka aku memanggilmu
anak edan sebagaimana tabib setan itu
memanggilmu?"
"Tobaat, jangan. Itu adalah
sebuah panggilan yang lebih buruk dari
keledai." dengus si pemuda.
"Baiklah, kuterima nama pemberian
darimu. Selanjutnya kita mau apa?
Apakah kau hendak menurunkan jurus-
jurus silatmu yang lain?"
"Memang. Aku akan menurunkan Lima
Jurus Langkah Dewa. Tapi tidak
sekarang. Saat ini sebaiknya kita
pergi. Aku ingin bertemu dengan
Pendekar Sesat Patah Hati."
Kening si pemuda mengernyit.
"Sudah sesat patah hati lagi. Siapa
dia? Keponakanmu?"
"Bukan. Pendekar itu akhir-akhir
ini menjadi buronan banyak tokoh.
Termasuk Senopati kerajaan. Konon
kudengar ayahnya bekas Tumenggung.
Cintanya putus di tengah jaian akibat
tidak direstui oleh Senopati Lambak
Renggono. Entahlah, aku kurang tahu
pasti. Sebaiknya kita berangkat saja
sekarang." Gentong Ketawa kemudian
bangkit berdiri. Gento Guyon alias
Gege mengikuti pula.
"Kek kalau cintanya putus kenapa
tak disambung lagi? Putusnya di jalan
mana rupanya?"
"Bocah geblek. Goblok dipelihara.
Mana aku tahu cintanya putus di jalan
mana. Mungkin juga di tengah jalan
menuju neraka. Ha.. ha.. ha!" Sambil
tertawa terbahak-bahak Gentong Ketawa
berkelebat pergi.
Si pemuda geleng kepala. Setelah
menyengir sendirian dia pun menyusul
gurunya.
DELAPAN
Ketika Tabib Tapadara sampai di
kuil kuno yang porak poranda. Dia
melihat puluhan mayat bergeletakan di
sekitar kuil itu. Dua di antaranya
bahkan telah membusuk.
"Begitu mudah orang membunuh,
begitu mudah nyawa melayang, namun tak
seorang pun yang mampu mengembalikan
nyawa ke raganya." gumam tabib
Tapadara yang saat itu berdiri tegak
di antara mayat-mayat Ratu Ular
Kayangan dan sosok seorang pemuda
berwajah rusak mengerikan. Sang tabib
memperhatikan mayat-mayat itu satu
demi satu. "Kalau tak salah itu adalah
mayat Ratu Ular Kayangan, yang di
sebelah kiri mayat perwira tinggi. Dan
yang mendam di dalam tanah ini pasti
mayat Kala Biru dan Kala Merah. Lalu
yang satu ini? Eeh... kulihat dadanya
kembang kempis?" kata si kakek. Dengan
agak ragu-ragu dia datang menghampiri.
Dia membalikkan tubuh si pemuda yang
dalam keadaan rebah miring. Setelah
itu denyut nadi di bagian tangan
segera diperiksanya.
"Aku merasa pasti pemuda ini
terkena gigitan ular Kayangan. Tapi
mengapa nenek itu sendiri tewas? Siapa
yang membunuhnya? Kasihan sekali
pemuda ini. Mukanya hancur seperti
daging dicacah. Hemm...!" Tabib Sesat
Timur berjingkrak kaget begitu ingat
sesuatu.
"Tidak salah penglihatanku. Dia
pasti Sanjaya, Pendekar Sesat Patah
Hati putra tumenggung Ageng Tirtamaya
yang dihukum gantung akibat mengkorup
upeti kerajaan. Dia adalah putra
sahabatku sendiri. Huk... huk... huk!"
Si kakek menangis sesunggukan bila
mengenang kematian Tumenggung Ageng
Tirtamaya yang menemui ajal di tiang
gantungan itu. Sayang ketika itu dia
terlambat datang menolong. "Aku harus
menyembuhkan lukanya dan memunahkan
racun bekas gigitan ular Kayangan."
Dari balik kantong perbekalan Tabib
Sesat Timur mengeluarkan empat butir
pii warna hitam, kuning, merah dan
hijau yang menebarkan bau amis luar
biasa. Kemudian ke empat butir pii itu
dimasukkannya ke dalam mulut Sanjaya.
Setelah itu dari balik kantong yang
lain si kakek mengambii sebuah pisau
yang sangat tajam berwarna putih
mengkilat.
Pisau itu kemudian ditancapkan ke
bagian luka akibat gigitan ular di
bagian leher si pemuda. Luka dibelah
dan dikoreknya. Kulit bercampur daging
bekas gigitan ular dibuang. Di bagian
yang luka oleh si kakek tabib ditaburi
serbuk ramuan. Ketika serbuk menyentuh
permukaan luka terdengar suara desis
aneh yang disertai dengan mengepulnya
asap hitam berbau busuk. Si kakek
kemudian menempelkan telapak tangannya
ke dada Sanjaya. Sekejap dia kerahkan
tenaga dalamnya ke bagian dada si
pemuda. Pendekar Sesat Patah Hati
nampak terguncang, dari bagian
mulutnya menyembur darah hitam kental.
Si kakek terus kerahkan tenaga
dalamnya, sampai sekujur tubuhnya
sendiri dilanda guncangan hebat dan
basah bersimbah keringat.
"Hoeeek...!"
"Bagus. Terus keluarkan semua isi
perutmu!" seru si kakek yang mulai
menjauhkan tangannya dari dada si
pemuda.
Orang tua ini kemudian menunggu
untuk beberapa saat lamanya. Kemudian
terdengar suara erangan yang keluar
dari mulujt Sanjaya. Pemuda itu
kerjapkan matanya. Dia jadi kaget
ketika melihat kehadiran Tabib Sesat
Timur di tempat itu.
"Kakek...? Bagaimana kau bisa
hadir di sini?" gumam si pemuda heran
tapi juga gembira.
"Puji syukur pada Tuhan. Kita
masih dipertemukanNya!"
"Heh, biasanya kakek selalu
mengatakan puji syukur kepada setan!"
kata si pemuda heran.
Tabib Sesat Timur tersenyum
kecut. "Itu dulu Sanjaya. Sekarang aku
sudah tobat. Aku sudah semakin tua.
Aku takut sebelum sempat bertobat ajal
keburu menjemputku. Aku malu menghadap
Tuhan dalam keadaan kotor. Selama ini
aku hidup dalam kesesatan. Aku tidak
ingin semua itu terus berlanjut. Sejak
bocah edan tidak lagi bersamaku dan
pergi dengan si gendut entah ke mana.
Aku merasa kehilangan. Enam tahun dia
bersamaku, tapi aku terus menyiksanya.
Anak itu sangat menderita. Kini
setelah dia pergi, baru kesadari
betapa dia sangat berarti bagi diriku.
Tapi lupakanlah!" ujar si kakek dengan
wajah murung. Dia menghembuskan nafas
yang terasa menyesak di dalam dadanya.
Setelah itu perhatiannya tertuju pada
Sanjaya alias Pendekar Sesat Patah
Hati.
"Bagaimana kau sampai mengalami
kejadian seperti ini? Kau terkena
gigitan ular Kayangan. Aku yakin itu
hasil perbuatannya." Berkata begitu si
kakek tabib menunjuk ke arah Ratu Ular
Kayangan.
"Engkau betul kek. Entahlah sejak
ayahku meninggal hidupku makin tak
menentu." kata Sanjaya. Kemudian si
pemuda menceritakan segala sesuatu
yang terjadi termasuk juga mengenai
hubungannya dengan Ni Seroja yang
ditentang oleh Senopati Lambak
Renggono.
"Aku merasa ikut prihatin. Aku
sendiri telah menyeiidiki siapa
sebenarnya yang telah membocorkan
kesalahan ayahmu pada paduka prabu.
Aku sadari ayahmu memang bersalah.
Tapi kalau bukan kareha ulah Senopati
Lambak Renggono mungkin ayahmu masih
hidup saat ini meskipun harus mendekam
di penjara." ujar Tabib Sesat Timur
beberapa saat setelah Sanjaya men-
ceritakan segala sesuatunya.
"Jadi Senopati Lambak Renggono
yang punya ulah?" desis si pemuda.
"Mengapa dia berbuat begitu?" tanya
Sanjaya ingin tahu.
"Kudengar ayahmu oleh sri baginda
hendak diangkat menjadi Adipati di
daerah lain. Kurasa Senopati itu
merasa iri, sehingga dia sengaja
mencari kesalahan ayahmu. Kebetulan
sekali ayahmu memang kedapatan
melakukan kesalahan."
"Aku harus membuat perhitungan
dengan Senopati itu." dengus Pendekar
Sesat Patah Hati. Sang Tabib gelengkan
kepala.
"Mengapa?"
"Senopati itu memiliki kesaktian
sangat tinggi. Itu sebabnya dia
dijuiuki Senopati Pamungkas. Dengan
ilmu Gelombang Naga yang kau miliki
tak terpikir olehku kau akan kalah
melawannya. Tapi selain Senopati
Lambak Renggono dia masih punya
pasukan perang dalam jumlah besar.
Lain halnya jika aku membantumu
menculik Ni Seroja. Kemudian aku
meninggalkan pesan untuknya, agar dia
mau datang menemuimu seorang diri."
"Tapi aku tak mungkin bertemu
dengan Ni Seroja dalam keadaan cacat
begini rupa!" kata Sanjaya gelisah.
Si kakek tersenyum. "Aku telah
menyelidik. Ni Seroja kurasa tetap
mencintaimu. Saat ini dia dipasung
dalam sebuah kamar. Kurasa ingatannya
agak terganggu. Namun aku pasti bisa
membantu menyembuhkannya bila dia
telah bersamamu." tegas Tabib
Tapadara.
"Tapi siapa yang akan ke sana?"
"Tentu saja aku. Aku sudah tahu
tempatnya di mana Ni Seroja disekap.
Asal kau percaya dengan kemampuanku.
Aku yakin segala sesuatunya jadi beres
sesuai dengan keinginanmu."
"Baiklah kek. Aku menurut saja."
jawab si pemuda pasrah.
"Kalau begitu sekarang kau pergi.
Lukamu sudah tidak perlu dikhawatirkan
lagi." kata sang tabib meyakinkan.
Sanjaya anggukkan kepala dan
mengikuti kakek tabib pergi ke tempat
kediaman Senopati Lambak Renggono.
* * *
Gadis cantik berambut awut-awutan
itu baik malam ataupun siang hampir
tak pernah berhenti menangis.
Terkadang dia suka berteriak-teriak
seperti orang kurang waras. Hal ini
tentu saja mengandung rasa iba para
pelayan yang melayani segala
kebutuhannya. Sore itu Senopati Lambak
Renggono sedang tidak berada di dalam
gedung tempat kediamannya. Nini
Parawit tahu benar akan hal itu.
Menurut keterangan beberapa prajurit
yang dapat dipercaya sang Senopati
yang mandapat laporan tentang tewasnya
belasan prajurit serta perwira tinggi
yang sangat dipercaya berikut beberapa
tokoh silat yang mendukungnya sedang
memimpin pasukan untuk melakukan
pengejaran ke kuil kuno yang terletak
di luar dusun Mojokerto.
Kesempatan ini dipergunakan oleh
kepala abdi Senopati ini untuk
menyelinap ke dalam kamar di mana Ni
Seroja dipasung. Dan secara kebetulan
pula prajurit yang berjaga di depan
pintu penyekapan merupakan orang yang
sangat dekat dengan Nini Parawit
sendiri. Sehingga dia tidak menjumpai
banyak kesulitan.
"Nini… jika sampai Senopati tahu
adiknya meloloskan diri. Bukan hanya
nini sendiri. Tapi kami berdua akan
digantung!" kata salah seorang di
antara dua pengawal itu sambil
membukakan pintu.
"Nini harus ingat, istriku di
rumah sekarang sedang hamil besar.
Anakku lima masih kecil-kecil. Kalau
aku dibunuh oleh gusti Senopati, bukan
saja anak-anakku menjadi yatim, tapi
mereka juga akan sengsara!" menimpali
pengawal yang satunya lagi. Laki-laki
itu nampak sangat tegang sekali.
"Bertahun-tahun gusti Ni Seroja
diperlakukan seperti hewan. Semua itu
mengundang rasa ibaku. Sekarang aku
akan menotok dan mengikat kalian
berdua. Jika Senopati kembali dan
mengetahui kejadian ini aku yang
bertanggung jawab. Paham?"
"Tidak takutkah nini dengan
hukuman yang akan nini jalani?" tanya
pengawal pertama dengan suara
bergetar.
Nenek tua berpakaian rapih itu
tersenyum.
Aku dulu seorang ibu yang jahat.
Kucegah anakku menikah dengan laki-
laki yang dia cintai. Dia akhirnya
mati membunuh diri. Aku menyesali
semua itu. Tapi anakku tidak pernah
kembali. Sekarang biarkan aku berbuat
sedikit kebaikan untuk mengurangi
beban derita batin yang selama ini
menekan, jiwaku. Aku tak tega
membiarkan gusti Ni Seroja menderita
seperti itu. Biarkan aku korbankan
nyawaku yang tidak berguna ini demi
kebebasannya!" kata perempuan tua itu
dengan mata berkaca-kaca.
Kedua pengawal itu menjadi
terenyuh hati mereka. Belum pernah
mereka mendengar ada seorang pelayan
mau mengorbankan nyawa demi kepen-
tingan orang lain.
"Nini, lakukanlah apa yang
menjadi keinginanmu. Kami tak akan
menghalangi tapi harap ikat kami
dulu!" kata kedua pengawal itu hampir
bersamaan. Nini Parawit anggukkan
kepala. Kemudian dia dengan cepat
melakukan dua totokan di punggung dan
leher kedua pengawal ini. Ketika kedua
pengawal rebah dalam keadaan kaku
tertotok, Nini Parawit langsung
mengikatnya.
Tak berselang lama perempuan tua
ini dengan terbungkuk-bungkuk memasuki
sebuah ruangan yang gelap dan pengap.
Di dalam ruangan itu hanya terdapat
sebuah tikar pandan lusuh, pelita
minyak dan sebuah alat pemasung yang
besar dan berat. Sedangkan gadis yang
dipasung nampak bersandar pada tembok
dinding berwarna putih kusam.
Melihat kehadiran Nini Parawit si
gadis yang bukan lain adalah Ni Seroja
nampak tersenyum dan mulai lagi
menyanyi.
Nini Parawit tempelkan jari
telunjuknya ke depan mulut. Dia ber-
jalan mendekati. Selanjutnya nenek tua
ini melepaskan kayu-kayu yang
dijadikan kunci alat pemasung sambil
berkata.
"Gusti... aku tahu gusti tidak
gila sungguhan. Sekarang aku ingin
menolongmu. Tapi setelah bebas harap
kau pergi sejauh mungkin meninggalkan
gusti Senopati. Cari Sanjaya yang kini
bergeiar Pendekar Sesat Patah Hati.
Doaku menyertaimu, semoga gusti
selamat dan hidup bersama Sanjaya."
Diam-diam Ni Seroja jadi kaget
menyadari nenek tua itu tahu keadaan
yang sebenarnya, namun ada juga rasa
haru di hati si gadis. Dia tak
menyangka nenek itu mau berkorban
nyawa demi kebahagiaannya. Hal ini
menimbulkan rasa haru yang mendalam
hingga membuat Ni Seroja menangis
sesunggukkan. Ketika dia terbebas dari
pasungan Ni Seroja hendak memeluk Nini
Parawit. Namun si nenek mencegahnya.
Dia malah kerahkan tenaga dalam ke
bagian kaki si gadis untuk melancarkan
jalan darahnya.
"Waktu gusti Ni Seroja tidak
banyak. Aku telah melakukan apa yang
dapat kulakukan. Sekarang cepat pergi
lewat pintu belakang!" pinta Nini
Parawit.
"Nini, kau telah melakukan
pengorbanan besar untukku. Aku tak
mampu membalasnya. Tapi aku pasti
mengingatnya sepanjang hidup." kata Ni
Seroja.
Nini Parawit anggukkan kepala.
Sebelum pergi gadis cantik berambut
panjang awut-awutan itu memeluk si
nenek tua. Keharuan di hati si gadis
yang merasa ditolong oleh orang tua
itu sempat membuatnya tenggelam dalam
kesedihan untuk beberapa saat lamanya.
"Pergilah. Senopati sebentar lagi
pasti akan kembali ke sini." ujar
nenek itu. Ni Seroja pun akhirnya
meninggalkan ruangan itu. Lewat pintu
belakang tanpa arah tujuan yang pasti
dia berlari di tengah kegelapan malam.
Hanya beberapa saat setelah
kepergian Ni Seroja di depan pintu
kamar yang dijadikan tempat memasung
Ni Seroja selama ini muncul seorang
laki-laki berbadan semampai berwajah
beringas. Laki-laki itu memakai
pakaian mewah, bertopi tinggi warna
kuning, sedangkan di punggungnya
tergantung sebilah pedang dengan hulu
berukir tengkorak kepala manusia.
Melihat kemunculan laki-laki ini dua
prajurit yang dalam keadaan terikat
tentu sangat terkejut sekali.
Sebaiiknya si laki-laki yang
bukan lain adalah Senopati Lambak
Renggono juga tak kalah kagetnya.
"Apa yang telah terjadi?" hardik
sang Senopati.
"Kami... kami...!" Salah seorang
prajurit mencoba menjawab. Tapi tak
kuasa melanjutkan ucapannya karena
demikian tegangnya.
"Kurang ajar. Adikku lari...
siapa yang telah melarikannya?!"
bentak Senopati Lambak Renggono berang
begitu melihat pintu kamar terbuka.
"Aku yang melakukannya gusti."
Dari dalam kamar satu suara menjawab
disertai dengan munculnya Nini
Parawit. Sejenak lamanya sang Senopati
tercengang karena tidak menyangka
kepala pelayan yang sangat dia percaya
berani melakukan tindakan senekad itu.
"Tua bangka tak tahu diri. Kau
telah melakukan kesalahan besar. Tidak
sadarkah kau bahwa kesalahan yang
telah kau lakukan itu tak akan
mendapat pengampunan dariku?" dengus
Senopati Lambak Renggono dengan mata
mendelik dan wajah berubah beringas.
Dia sendiri saat itu sedang merasa
gusar karena ketika sampai di kuil
kuno orang yang dia cari dan sangat
dibencinya ternyata tak berada di
tempat. Kini ketika kembali demi
melihat adiknya meloloskan diri tentu
saja membuat kemarahannya semakin
memuncak.
"Aku mengerti gusti!" sahut Nini
Parawit yang saat itu telah bersimpuh
di depan sang Senopati.
"Kau sudah mengerti? Lalu mengapa
kau bebaskan dia?"
"Aku tidak tega melihat
penderitaannya." kata Nini Parawit.
Sedikit pun tidak terlihat ada rasa
takut terbayang di wajah orang tua
itu.
"Orang tua edan. Kukira kau hanya
pandai memasak dan menyusun hidangan
tak tahunya kau pandai pula menotok
dan mengikat kedua prajurit tolol ini.
Jiwamu tak akan kuampuni!" teriak
Senopati Lambak Renggono sambil
acungkan lima jari tangannya ke arah
Nini Parawit. Dua prajurit yang sudah
mengetahui Senopati hendak melepaskan
salah satu ajian mautnya tidak mampu
berbuat banyak. Wajah mereka sama
pucat tegang dan sama pula pejamkan
matanya.
Beberapa saat kemudian dari empat
jari tangan sang Senopati membersit
sinar hitam redup berhawa dingin
menusuk. Sinar itu sekejap lagi pasti
akan menembus batok kepala Nini
Parawit jika saat itu tidak terdengar
suara bentakan disertai melesatnya
sinar putih kemilau dari bagian atas
langit-langit ruangan yang langsung
memapas empat sinar hitam itu.
"Orang tua hendak dibunuhnya.
Sungguh merupakan tindakan tidak
terpuji."
Lalu ada suara lain yang
menimpali. "Dia adalah manusia murtad
yang tak takut kwalat. Dasar bangsat!
Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara empat kali suara
letupan berturut-turut. Senopati
terhuyung ke belakang dengan muka
pucat dan kening mengernyit kaget.
Bila dia melihat ke langit-langit
ruangan, bagian atap rumahnya jebol
bolong melompong. Tapi dia tak melihat
apa-apa terkecuali kegeiapan semata.
Dari letupan yang terjadi mengepul
asap teba!, dalam kemarahannya akibat
apa yang hendak dilakukannya
digagalkan orang sang Senopati sempat
mengendus bau sesuatu. Di bagian atas
langit-langit rumahnya dia mendengar
suara bergedebukan seperti suara anak
kecil yang sedang bercanda. Lalu ada
suara orang bicara.
"Huh, bau apa ini? Busuk amat?"
Selanjutnya ada suara serak berat
menyahuti. "Kurang ajar, bocah edan.
Kau yang kentut rupanya?"
"Biarkan aku kentut. Asal
kentutku membuat nenek itu jadi
panjang umur. Ha... ha...ha!"
Merasa ada orang yang telah
menghinanya begitu rupa dan sadar
orang-orang itu pastilah memiliki
kepandaian tinggi mengingat
kehadirannya tak diketahui oleh
pengawal yang berjaga di sekeliling
gedung Senopati, maka sambil katupkan
bibirnya dia menghantam ke atas,
sedangkan Nini Parawit sendiri diam-
diam segera menyingkir dan menyelinap
pergi membawa rasa takutnya.
Sinar hitam berkiblat, hawa
dingin menderu menghantam langit-
langit gedung,
Buuum!
Ledakan keras berdentum. Langit-
langit ruangan hancur berkeping-
keping, atap genteng jebol. Di atas
sana terdengar suara gelak tawa saling
tindih menindih menyakitkan telinga.
"Lihat manusia murtad itu
mengamuk. Gedung begini bagus hendak
dihancurkannya!"
"Biarkan saja guru. Kurasa
gilanya lagi kambuh. Kalau kita
melarang urusan jadi kapiran!" kata
suara di atas genteng.
"Setan! Siapa kau berani datang
ke tempatku ini!" hardik Senopati
Lambak Renggono sengit.
"Ha... ha... ha. Yang datang
justru kakek setan dan cucu setan.
Kami datang ke mari karena merasa
punya kepentingan dengan anak setan!"
sahut suara di atas genteng.
"Betul. Anak setan perlu diberi
pengajaran agar jangan sembarangan
lagi hendak membunuh nenek tua tidak
berdaya! Ha... ha... ha!"
Merasa diejek dan dipermainkan
terus menerus. Maka lenyaplah sudah
kesabaran di hati sang Senopati.
Dengan tinju terkepal dan dihantamkan
ke atas, maka tubuhnya pun melesat.
Sinar hitam berkiblat menghantam
bagian atas genteng di mana sang
Senopati memperkirakan kedua tamu yang
tak diundang itu berada.
Terdengar suara genteng berderak
hancur disusul dengan munculnya sosok
Senopati melalui atap yang baru
dihancurkannya tadi. Dalam gelap hanya
diterangi cahaya bintang Senopati
Lambak Renggono melihat dua sosok
laki-laki. Yang satu adalah seorang
kakek tua berbadan besar luar biasa,
berperut gendut. Baju hitamnya tidak
terkancing, sedangkan wajahnya bulat.
Pipi gemuk padat tembem, bukit
hidungnya sama sekali nyaris lenyap
sama rata dengan pipi. Sambil usap-
usap perut dengan tangan kanan, tangan
kirinya terkadang iseng mengorek
lubang hidung. Melihat besarnya badan
kakek ini pastilah genteng yang
dipijaknya akan hancur berantakan.
Akan tetapi hal itu tak terjadi, ini
merupakan suatu tanda bahwa kakek itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tarap di atas sempurna.
Sedangkan tak jauh dari kakek
gendut itu berdiri tegak seorang
pemuda tampan berambut gondrong,
berpakaian biru dengan ikat kepala
warna biru pula. Sambil berkacak
pinggang dan menggerakkan kedua
bahunya pemuda ini menyeletuk.
"Guru... lihat. Senopati ini
gagah juga ya? Rambut klimis, kumisnya
yang melintang juga klimis. Tapi
seperti yang baru kita lihat tadi
tingkah lakunya seperti iblis. Ha...
ha... ha!"
"Gege, jangan berani bicara
sembarangan dengan tuan besarmu itu.
Kalau dia sampai marah aku tidak
ikutan menanggung akibatnya." kta si
kakek yang bukan lain adalah Gentong
Ketawa.
"Ha... ha... ha. Cepat guru
berlutut di hadapannya. Katakan
kedatangan kita ke sini hanya ingin
memberi tahu bahwa adiknya yang pergi
tak usah dicari." kata Gelge alias
Gento Guyon.
Diam-diam Senopati jadi kaget
mendengar ucapan si pemuda. Jika dia
berkata begitu berarti mereka tahu di
mana adiknya saat ini berada.
"Kalian yang melarikan adikku?"
hardik Senopati bengis.
Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Kami hanya melihat dia berlari
dalam gelapnya malam. Kemudian muridku
itu mengambilkan kuda untuknya di
kandang belakang gedung, maksud kami
supaya dia jangan terlalu lelah.
Setelah itu kami ke mari, bukankah
begitu Gege?" Sambil berkata si kakek
melirik muridnya sambil kedipkan mata
satu kali. Gento Guyon ikut kedipkan
matanya pula sambil tersenyum.
"Memang begitu Senopati. Aku
terpaksa mencuri kuda demi adikmu,
harap kau sudi mengampuniku!"
"Jahanam keparat! "Senopati
menggeram. Dia kemudian berteriak
keras. "Pengawal! Tangkap dua kunyuk
ini hidup atau mati!"
Suara teriakan Senopati lenyap.
Tapi tak seorang pengawal pun yang
datang. Bahkan pengawal yang berjaga-
jaga di atas gedung Senopati diam tak
bergerak. Hal ini tentu menimbulkan
rasa kaget dan heran. Gento Guyon
terkekeh, sedangkan Gentong Ketawa tak
mampu menahan tawanya.
"Jangan kaget Senopati. Kami
terpaksa membuat pengawalmu tidur
semua. Sedangkan pengawal yang di atas
gedung sudah kami beritahu agar jangan
meninggalkan tempat walaupun petir
membelah kepala mereka. Ha... ha...
ha!" kata Gento Guyon seenaknya.
"Saking patuhnya mereka kaku
tegak. Telinga mendengar tapi berlagak
tuli. Mereka ingin ke sini tapi takut
pada guruku betul begitu guru?" ujar
Gento Guyon.
"Kenyataannya memang begitu,
Gege! Tapi kau lihat rambut di
kepalanya berjingkrak tegak. Itu
pertanda dia merasa kaget!"
"Kurasa semua bulu yang tumbuh di
sekujur tubuhnya jadi tegak berdiri.
Aku takut celananya robek! Ha... ha...
ha." ujar Gento Guyon disertai tawa
cekakakan. Mendidihlah darah Senopati
Lambak Renggono mendengar semua kata-
kata yang diucapkan oleh Gentong
Ketawa dan muridnya. Tapi dia kemudian
melengak kaget ketika melihat Gento
Guyon dan Gentong Ketawa secara
serentak sama jatuhkan diri. Kedua
tangan yang dirangkapkan diletakkan di
atas kepala dengan gerakan seperti
orang menyembah.
Selanjutnya kedua orang ini buka
mulut masing-masing hampir bersamaan
mereka berucap. "Gusti Senopati!
Maafkan kami. Sama sekali kami tak
bermaksud menghinamu. Kami tadi hanya
bercanda. Sekarang terimalah hormat
kami."
Apa yang terjadi kemudian bukan
sebagaimana yang diharapkan oleh
Senopati Lambak Renggono. Karena
begitu Gento Guyon dan gurunya
menggerakkan kedua tangan masing-
masing ke depan. Maka serangkum hawa
panas menderu sebat menghantam sang
Senopati secara susul menyusul.
"Jahanam keparat, penipu tengik!"
teriak sang Senopati. Sekonyong-
konyong dia melesat ke udara. Di udara
laki-iaki itu lakukan gerakan
berjumpalitan tiga kali sambil
pukulkan tangannya ke arah kedua
lawannya.
Wuus!
Wuss!
Angin dingin membersit, sinar
hitam berkiblat dan melesat deras
memapaki pukulan Selaksa Duka yang
dilepaskan Gento dan gurunya. Tak
dapat dihindari lagi bentrokan tenaga
sakti pun terjadi. Atap gedung hancur
berkeping-keping. Senopati sendiri
jatuh terjengkang dan terguling-guiing
untuk akhirnya jatuh di halaman depan.
Sedangkan Gento dan gurunya jatuh
terduduk di atas genteng. Gento merasa
dadanya jadi sesak. Nafas kembang
kempis dan aliran darahnya jadi kacau.
Dia terpaksa kerahkan tenaga daiam
untuk memulihkan kesehatannya.
Sedangkan si kakek malah menyengir
sambil mengusap wajahnya yang
keringatan.
SEMBILAN
Ketika Gentong Ketawa memandang
ke arah muridnya, maka si kakek
tertawa tergelak-geiak. "Ada apa
denganmu? Dadamu kembang kempis
seperti diurut setan."
"Betul. Habis mengurut setannya
langsung jatuh menggelinding ke bawah
sana!" sahut si pemuda sambil menunjuk
ke arah halaman depan.
Gentong Ketawa memperhatikan
sejenak, memandang sejenak ke arah
yang ditunjuk si pemuda. Setelah itu
dia berkata. "Senopati memiliki
senjata yang sangat berbahaya. Di
samping itu dia juga mempunyai
kesaktian tinggi. Kuharap kau berhati-
hati dalam menghadapinya." pesan si
kakek.
Gento Guyon mengangguk. Beberapa
saat lamanya mereka menunggu. Tapi
ternyata setelah lama menunggu
Senopati Lambak Renggono tidak muncul-
muncul juga.
"Guru... kurasa Senopati pergi
mengejar adiknya. Bagaimana kaiau kita
mengejar Senopati itu?" tanya Gento.
"Dasar geblek. Untuk apa kita
bermain kejar-kejaran?" sahut si kakek
yang diam-diam jadi curiga. Apa yang
dikatakan oleh Gento Guyon memang
benar. Begitu Senopati menyadari bahwa
kedua lawan yang dianggapnya kurang
waras itu ternyata memiliki kesaktian
tinggi. Maka dia yang khawatir adiknya
bisa bertemu dengan Sanjaya langsung
memerintahkan pasukan pemanah dengan
menunggang kuda segera mengejar
adiknya.
Kini si kakek dan Gento Guyon
saling pandang. Namun perasaan mereka
sama-sama tidak enak.
"Aku curiga bukan mustahil
Senopati itu menjebak kita." gumam
Gentong Ketawa.
Si pemuda tertawa terkekeh. "Kau
ini selalu takut dengan bayang-
bayangmu sendiri, guru. Semua prajurit
telah kita totok. Mana mungkin mereka
bisa sampai ke sini!"
"Gege.... Seorang Senopati hanya
mempunyai prajurit dalam jumlah
sekecil itu? Tidak mungkin bukan? Dia
pasti mempunyai pasukan besar.
Sebaiknya kita kejar saja Senopati
itu."
"Guru apakah kau sudah linglung.
Tadi kau mengatakan untuk apa mengejar
Senopati itu. Sekarang kau malah
mengatakan sebaliknya." gerutu Gento
Guyon sambil gelengkan kepala.
Si kakek hanya senyum-senyum
saja. "Aku merasa tertarik mendengar
jalan hidup Pendekar Sesat Patah Hati.
Kalau benar kabar yang ku dengar
tentang riwayat pemuda itu. Kurasa
tidak salah jika kita membantunya agar
jalan perjodohan antara pendekar itu
dengan adik Senopati bertambah lancar.
Pendekar itu dapat rejeki besar dan
kita kebagian pahalanya. Syukur-syukur
aku diberi kesempatan melihat pesta
membelah durian di malam pertama.
Apalagi di malam pesta suasananya
hujan lebat. Ha... ha... ha!"
Baru saja si kakek selesai
bicara. Pada waktu bersamaan dari
segala penjuru arah di bagian atap
gedung melesat puluhan batang anak
panah yang menghujani kedua orang ini.
Mendengar suara mendesing yang
datang dari setiap sudut gedung sambil
hantamkan kedua tangannya menangkis
serangan anak panah Gento Guyon
nyeletuk.
"Guru... doamu terkabul. Sekarang
benar-benar hujan. Tapi bukan hujan
seperti yang kau inginkan. Melainkan
hujan anak panah. Lengah sedikit tentu
tubuh besarmu yang seperti raksasa
ditembusi anak-anak panah ini!"
Si kakek memang sempat terkesiap
melihat serangan gencar yang dilakukan
oleh pasukan pemanah Senopati. Namun
sambil tetap tertawa ha ha he he,
Gentong Ketawa buka bajunya. Ketika
baju diputar dan dikebutkan. Maka
puluhan batang anak panah yang
menghujani tubuhnya berpentalan tak
karuan. Sebagian anak panah itu bahkan
ada yang berbalik dan menghantam
pemiliknya. Terdengar jerit di sana-
sini. Gento Guyon sendiri sambil
menghindari serangan anak panah
berjingkrak melompat sesuka hatinya,
namun walau gerakan yang dilakukannya
terkesan seenaknya sendiri. Sampai
sejauh itu tak sebatang pun anak panah
yang menembus tubuhnya. Pada satu
kesempatan si pemuda melepaskan
pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis.
"Gege bocah edan. Kalau memukul
jangan seenaknya sendiri. Apa kau mau
membunuhku!" hardik Gentong Ketawa
yang melihat sang murid juga
melepaskan pukulan ke arahnya.
"Ha... ha... ha. Kalau sudah
begini mana aku bisa membedakan mana
kambing mana kerbau bengkak." sahut si
pemuda.
Walaupun tubuh si kakek beratnya
lebih dari dua ratus kati, namun
sambil mengebutkan bajunya yang
dipergunakan untuk mengusir serangan
anak panah yang mendera mereka laksana
hujan. Dengan gerakan ringan dia
jatuhkan diri ke atas genteng.
Bagaikan bantal guling tubuhnya
menggelinding ke bawah dan...
Bluuk!
Si kakek jatuh di halaman samping
dan berdiri tegak di sana. Sementara
itu di atas genteng terdengar suara
pekik dan jerit kematian ketika
pukulan yang dilepaskan oleh Gento
Guyon menghantam pasukan pemanah
Senopati. Banyak di antara mereka yang
tewas dengan tubuh berjatuhan dari
atas gedung setelah habis tertawa-tawa
aneh.
Kenyataan yang terjadi tentu saja
membuat kawan-kawannya yang berhasil
menyelamatkan diri jadi tercengang,
kaget juga heran. Selagi para pemanah
bersikap lengah melihat kenyataan yang
terjadi. Di bawah gedung Senopati
terdengar suara siulan pendek. Lalu
Gento Guyon mendengar gurunya berkata
melalui ilmu mengirimkan suara.
"Apa lagi yang kau tunggu di situ
Gege? Tak ada gunanya kau melayani
mereka. Karena itu hanya membuang
tenaga sia-sia. Ayo kita merat dari
sini. Rasanya belum kasip untuk
mengejar anak gondoruwo yang mengejar
adiknya itu."
"Kau benar kakek gondoruwo.
Cucumu itu memang kelewat bandel. Awas
kalau kutemui dia pasti kujitaki
kepalanya pulang balik!" berkata
begitu dengan gerakan yang sangat
ringan Gento Guyon berkelebat turun.
"Jangari biarkan dua kunyuk itu
melarikan diri!" seru prajurit pemanah
begitu melihat lawannya berkelebat
pergi.
Murid dan guru tanpa menghiraukan
teriakan para prajurit pemanah cepat
tinggalkan tempat itu.
Setelah mereka jauh dari kejaran
musuh-musuhnya sambil tetap berlari si
kakek berucap. "Rupanya kau teringat
kenangan indah ketika kau kalah
berkelahi dengan salah seorang dari
tiga bocah berkepala botak itu? Ha...
ha... ha. Aku tak pernah lupa saat itu
Tabib Sesat Timur menjitaki kepalamu!"
"Tabib Setan!" desis si pemuda.
Kilatan matanya jelas tak mampu
menyembunyikan rasa benci di hatinya.
"Kelak bila aku bertemu dengannya aku
pasti akan membalas perlakuannya dulu.
Akan kujitaki kepalanya, lalu
kugantung dia di atas puncak cemara."
dengus Gento Guyon sengit.
"Jika kau sudah menggantungnya
baru nanti kucarikan semut merah,
kepalanya kubotaki."
"Kakinya kukuliti untuk kujadikan
kasut. Sedangkan kulit badannya hendak
kubikin tetabuhan. Nantinya kita bisa
keliling kotaraja. Aku yang menabuh
gendang, kau yang menari. Ha… ha...
ha!"
"Dasar sinting, kau kira aku ini
orang gila?!" rutuk Gentong Ketawa
sambil delikkan matanya.
Gento Guyon terkekeh-kekeh
melihat gurunya jadi sewot
SEPULUH
Suasana di pagi itu masih
diselimuti kabut tebal. Udara dingin
terasa menusuk hingga ke sumsum
tulang. Seakan tidak perduli dengan
keadaan yang terjadi di sekitarnya.
Gadis cantik Ni Seroja dengan wajah
pucat dan rambut kusut masai terus
memacu kuda tunggangannya. Binatang
itu mendengus-dengus, tubuhnya
berkeringat sedangkan dari mulutnya
keluar busa putih. Tambaknya binatang
ini memang sangat kelelahan setelah
semalaman penuh terus dipacu tiada
henti.
Memasuki hutan Mojokerto, jalan
yang harus ditempuh merupakan
perbukitan berbatu. Si gadis mencoba
memaksa kudanya untuk mendaki bukit
tersebut, namun baru beberapa langkah
kuda itu mendaki, tiba-tiba kakinya
bergetar. Tak berapa lama kuda ini
terguling. Jika Ni Seroja tidak cepat
melompat dan punggung kudanya, niscaya
dia juga ikut terpelanting.
Sejenak lamanya dia pandangi
binatang itu. Kini setelah kuda yang
dia tunggangi sudah tak bergerak lagi
maka barulah Ni Seroja sadar bahwa
dirinya seorang diri.
"Ke mana aku hendak pergi?" kata
Ni Sen dalam hati. Dengan wajah kuyu
dan tatap matanya yang letih dia
pandangi kelebatan hutan di
sekelilingnya. Setelah sadar di mana
dirinya saat itu berada. Diam-diam
perasaan takut kini mulai merayapi
hatinya. "Kakak Sanjaya? Tidak mungkin
aku bisa hidup seorang diri. Di
manakah dirimu saat ini berada?"
Tentu saja pertanyaan ini tidak
pernah mendapatkan jawaban karena di
tempat itu tidak ada siapapun
terkecuali dirinya sendiri. Selagi si
gadis diliputi rasa bingung. Mendadak
di belakangnya terdengar suara ranting
seperti terinjak kaki seseorang. Dalam
kagetnya karena menyangka yang datang
adalah Senopati Lambak Renggono yaitu
kakak kandungnya sendiri, maka gadis
ini pun menoleh.
Sepasang mata si gadis yang
cekung dan seperti banyak menyimpan
penderitaan iiu terbelalak lebar.
Mulutnya ternganga hendak menjerit,
namun tak sepatah katapun yang keluar
dari bibirnya.
"Ni Seroja...!" Satu suara
terdengar disusul dengan mendekatnya
laki-laki berwajah rusak hancur
seperti dicacah ke arah gadis itu.
Melihat laki-laki itu semakin
mendekatinya. Maka Ni Seroja pun
menjerit. Menjerit lagi hingga
akhirnya dia pun terkulai tak sadarkan
diri.
"Ni Seroja kekasihku. Ini aku,
Sanjaya... akh... mengapa keadaanmu
begini mengenaskan?" kata Psndekar
Sesat Patah Hati. Dengan cepat dia
membaringkan Ni Seroja di tempat yang
rata berlapiskan daun kering. Setelah
itu dia memijit kening, pelipis dan
bagian leher si gadis. Hanya beberapa
saat seteiah itu si gadis merintih.
"Ni Seroja, tenanglah. Segala
sesuatunya kurasa sudah berakhir."
kata pemuda itu lagi menghibur.
Ni Seroja buka matanya. Kembali
dia melihat wajah yang sangat
mengerikan itu. Kini bahkan nampak
demikian dekatnya.
"Jangan takut, Roja...!" kata
Sanjaya menyebut panggilan akrab si
gadis.
"Roja? Hanya Sanjaya yang
memanggilku begitu. Suaramu... suaramu
seperti tidak asing bagiku. Siapakah
engkau ini yang sebenarnya?" tanya Ni
Seroja bingung.
"Aku Sanjaya. Senopati Lambak
Renggono yang membuat wajahku cacat
begini." ujar pemuda itu. Suaranya
bergetar menahan sedih dan dendam.
"Kakak Sanjaya?!" pekik Ni
Seroja. Tiba-tiba gadis itu duduk. Air
matanya kini deras menetes. "Benarkah
kau kakak Sanjaya?"
"Ya... Hanya aku bukan lagi
Sanjaya yang dulu. Kini wajahku cacat
mengerikan. Jangankan manusia, setan
sekalipun lari bila melihatku."
Ni Seroja galengkan kepala.
"Benarkah kakakku Lambak Renggono
yang telah merusak wajahmu?" tanya
gadis itu ingin kepastian.
"Aku tidak berdusta." ujar si
pemuda. Dia kemudian menceritakan
segala sesuatunya yang telah terjadi.
"Tak kusangka dia sekejam itu.
Semula kukira dia hanya mengusirmu.
Tidak tahunya...!" Si gadis tiba-tiba
memeluk Sanjaya tanpa perduli pengan
cacat wajah yang dialami pemuda yang
dicintainya itu.
"Dia bukan saja memisahkan kita.
Tapi juga berusaha menghancurkan
dirimu dan diriku. Aku benci
kepadanya!" desis Ni Seroja sambil
menyembunyikan wajahnya di dada
Sanjaya yang kekar.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya
si pemuda sambil balas memeluk gadis
yang sangat dia cintai.
Perlahan Ni Seroja jauhkan
wajahnya dari dada si pemuda. Dia
pandangi wajah Sanjaya sambil berkata.
"Senopati memiliki senjata sakti,
selain itu ilmunya juga sangat tinggi.
Aku sejak berpisah denganmu selama
tiga tahun. Hidup dalam pasungan. Atas
jasa baik Nini Parawit aku bebas. Tapi
mengapa harus begini?" Si gadis
kembali pandangi wajah Sanjaya yang
hancur mengerikan.
"Aku tahu kau pasti sudah tidak
mau lagi padaku karena keadaanku yang
seperti ini. Tidak mengapa, aku
maklum. Aku memang sudah tidak
berguna. Sedangkan kau tetap cantik,
pasti banyak yang mau menjadikanmu
sebagai istri." kata Sanjaya sedih.
Dia bangkit berdiri dan bermaksud
meninggalkan tempat itu. Tapi si gadis
cepat meraih tangannya.
"Kakak Sanjaya kau hendak ke
mana?" tanya Ni Seroja ikut pula
bangkit.
Pendekar Sesat Patah Hati
palingkan wajahnya ke arah lain.
"Aku ingin pergi ke gedung
Senopati menyusul Tabib Sesat Timur
yang semula kuminta menjemputmu. Dan
yang pasti aku akan membuat
perhitungan dengan Senopati Lambak
Renggono!"
"Aku maklum jika kau hendak
melakukan hal itu. Tapi sebaiknya
jangan lakukan. Lebih baik kita pergi
ke tempat aman. Aku tak ingin berpisah
lagi darimu kakak." ujar Ni Seroja
tersendat.
Sanjaya tercekat, dia merasa
seakan tak percaya dengan apa yang
baru saja didengarnya. Perlahan dia
memutar tubuh dan pandangi gadis di
depannya
"Apa maksudmu? Apakah aku masih
mempunyai arti bagimu?" Sanjaya ajukan
pertanyaan.
"Kakak... Seandainya kakimu
buntung atau tubuhmu memiliki sepuluh
cacat, rasa cintaku padamu tak pernah
berubah."
"Benarkah apa yang kau katakan
itu?" tanya Sanjaya terperangah seakan
tidak percaya.
Ni Seroja tinpa ragu anggukkan
kepala.
Betapa Saijaya merasa terharu
mendengar ucapan gadis cantik itu. Dia
tiba-tiba memeluk Ni Seroja. Gadis
itupun balas merangkulnya. Dua kekasih
yang telah terpisah sekian lama ini
saling bertangisan menahan rasa haru
dan bahagia yang tiada tara.
Selagi kedua insan yang saling
mencinta ini saling berpelukan. Pada
waktu bersamaan terdengar suara derap
langkah kuda yang disusul dengan
bentakan keras menggelegar.
"Dua manusia kutuk sumpah. Kalian
memang pantas kukirim ke neraka agar
dapat meneruskan cinta mesum kalian!"
Dalam kejutnya baik Sanjaya
maupun Ni Seroja lepaskan rangkulan.
Wajah gadis ini mendadak berubah pucat
pasi begitu melihat siapa yang datang.
Sebaliknya Sanjaya alias Pendekar
Sesat Patah Hati berubah sinis.
Dendamnya pada Senopati Lambak
Renggono memang kelewat memuncak.
Apalagi bila dia teringat bahwa Se-
nopati itu termasuk salah satu
penyebab kematian ayahnya.
"Kau... akhirnya kita dapat
bertemu juga Senopati?" kata Sanjaya
dengan suara dingin menyeramkan.
Tidak jauh di depannya sana
Senopati Lambak Renggono menyeringai
sinis. Sedikitnya dia merasa puas
karena cacat pemuda yang sangat
dibencinya ternyata tidak dapat
disembuhkan.
"Budak hina, putra penghianat
kerajaan. Kau sungguh tak bermalu
menaruh rasa cinta pada adikku. Kau
pasti telah mengguna-gunainya hingga
adikku Ni Seroja tergila-gila padamu!"
dengus sang Senopati penuh rasa benci.
"Mungkin begitu menurutmu. Tapi
demi Tuhan aku tak pernah melakukan
semua itu Lambak Rengdono?!" desis
Sanjaya tak kalah sinis.
"Puah... bualan busuk. Siapa mau
percaya dengan ucapan anak penghianat
kerajaan?"
Melihat Senopati berulang kali
menyebut-nyebut ayahnya. Maka
mendidihlah darah Sanjaya.
"Senopati keparat! Ayahku tidak
mungkin mati jika bukan karena ulahmu.
Adikmu tidak akan menderita dan
wajahku mustahil menjadi begini kalau
bukan karena ulahmu juga! Sekarang
tampaknya tidak ada jalan penyelesaian
yang baik selain harus ada yang mati
di antara kita!" geram Sanjaya.
"Hah, akupun tak pernah puas
sebelum dapat melenyapkan nyawamu!"
Seiring dengan ucapannya itu Senopati
melompat dari atas kudanya. Sanjaya
sendiri tidak tinggal diam. Dia
melesat ke depan.
Melihat kejadian ini Ni Seroja
berseru mencegah.
"Kakak Lambak Renggono, kakak
Sanjaya jangan...!!"
Sia-sia saja seruan si gadis bagi
kedua orang ini. Hanya beberapa saat
kemudian terjadilah perkelahian sengit
antara kedua tokoh muda yang sama-sama
menyimpan dendam kesumat ini.
Sanjaya sendiri mengawali sera-
ngan dengan serangkaian tendangan
menggeledek bertubi-tubi. Sebaliknya
Senopati Lambak Renggono yang sudah
sangat berpengalaman di berbagai
kalangan pertempuran ini dan men-
jatuhkan banyak musuh tangguh hingga
membuatnya dijuluki Senopati Pamungkas
selalu berhasil menghindari tendangan
gencar yang dilakukan lawannya. Pada
satu kesempatan Senopati melompat ke
samping ketika tendangan dahsyat yang
dilancarkah oleh Sanjaya menghantam
bagian rusuknya. Begitu tendangan
luput dan lewat di atas bahu sang
Senopati, maka tangan kanan pemuda itu
lakukan gerakan membabat ke atas.
Sanjaya melihat tangan lawan
berkelebat menghantam selangkangannya.
Dia tahu jika bagian itu kena
diterabas ujung jemari lawannya maka
akan sia-sialah hidupnya sebagai laki-
laki. Untuk itu Sanjaya putar tubuhnya
ke atas dalam satu gerakan yang sulit
dan tak mungkin dapat dilakukan oleh
tokoh silat biasa. Setelah kakinya
berbalik ke atas, maka dengan telapak
tangan terkembang dia menangkis.
Dess!
Cres!
Sanjaya jatuh dengan kaki goyah
dan tubuh agak menghuyung. Ketika
pemuda itu melihat ke telapak
tangannya yang dipergunakan untuk
menangkis, maka terkejutlah dia.
Bagian telapak tangan terluka
mengucurkan darah bagaikan terkena
goresan pedang. Di depan sana Senopati
Lambak Renggono tersenyum sinis.
"Dengan ujung tanganku ini
sebentar lagi aku akan memotong
leherrnu!" dengus Senopati.
Hanya tawa panjang dingin
menggidikkan yang terdengar dari mulut
Pendekar Sesat Patah Hati ini. Setelah
menyedot dan menelan darahnya sendiri
yang keluar dari telapak tangan.
Pemuda ini kemudian memutar tubuhnya
ke samping kiri, setelah itu dia
angkat tangannya ke atas. Namun pada
waktu bersamaan pula Senopati Lambak
Renggono telah menyerbu ke arahnya
sambil kirimkan satu tendangan dan
satu pukulan menggeledek ke arah
lawannya.
Angin dingin disertai sinar hitam
kebiruan berkiblat mengiringi
tendangan dan pukulan yang dilancarkan
oleh Senopati. Melihat hal ini Sanjaya
cepat hantamkan kedua tangannya ke
depan. Sedangkan tubuhnya berkelit
menghindari tendangan lawannya. Dua
tangan saling beradu. Akibatnya
Sanjaya terlempar, jatuh terguling-
guling dengan mulut semburkan darah.
Melihat hal ini Ni Seroja memekik
kaget. Dia hendak memburu bermaksud
memberikan pertolongan, namun
bersamaan dengan itu pula Senopati
Lambak Renggono yang hanya menderita
luka ringan sudah melesat ke udara
sambil melepaskan ajian Telapak
Guntur. Selama jadi pimpinan belum ada
seorang pun yang dapat menyelamatkan
diri bila sudah terkena ajiannya ini.
Ni Seroja hanya mampu menjerit
histeris ketika terlihat seperti ada
cahaya kilat menyambar keluar dari
telapak tangan saudaranya yang
langsung melesat menghantam Sanjaya.
Pada waktu itu juga sebenarnya
Pendekar Sesat Patah Hati menyadari
bahaya yang mengancamnya. Untuk itu
diam-diam dia kerahkan ilmu ajian
Gelombang Naga yang dahsyat itu.
Mendadak sontak dari sekujur tubuh si
pemuda menderu angin yang sangat
kencang laksana gelombang topan
mengeluarkan suara bergemuruh bagaikan
air bah yang menjebolkan bendungan.
Lesatan cahaya putih laksana kilat
yang membersit dari telapak tangan
Senopati Lambak Renggono langsung
amblas tersedot pusaran angin yang
sangat kencang itu. Ni Seroja jatuh
menelungkup sama rata dengan tanah.
Sementara Senopati sendiri kini
terpelanting jungkir balik dihantam
pusaran angin tersebut.
"Edan... bangsat itu punya ilmu
aneh yang membuatku jadi bulan-bulanan
begini rupa." geram laki-laki itu
sambil memukul kian ke mari dalam
usahanya membebaskan diri dari ge-
lombang angin yang menggilasnya. Tapi
usahanya ini gagal. Dalam keadaan
tubuh berputar-putar seperti gasing
akibat pusaran topan dahsyat itu,
Senopati Lambak Renggono cabut senjata
andalannya.
Sriing!
Begitu senjata berkiblat di
udara. Pusaran angin topan yang
menggilasnya pupus dan buyar seketika.
Sang Senopati yang sudah terluka di
bagian dalam segera tancapkan Pedang
Selaksa Iblis berwarna hitam di atas
tanah.
Sanjaya terkejut sekali melihat
kenyataan ini. Dia pun dengan gontai
berdiri tegak. Ketika melihat sang
Senopati cabut pedangnya, maka si
pemuda sudah tak memberinya kesempatan
lagi. Jari telunjuknya diputar tiga
kali di udara. Selanjutnya dengan
pengerahan tenaga dalam penuh Sanjaya
acungkan jari telunjuknya ke arah
lawan.
Sinar putih laksana mata pedang
melesat ke arah Senopati. Lawan
tertawa terkekeh.
"Hari ini akan diketahui siapa di
antara kita yang patut hidup lebih
lama di dunia ini!" seru Senopati
pamungkas. Dia lalu menggerakkan
pedang di tangan menyambut sinar putih
berhawa panas membakar yang keluar
dari telunjuk lawannya.
Jesss!
Sinar putih itu kemudian
membentur pedang di tangan Senopati.
Tapi sesuatu yang mengejutkan Sanjaya
kemudian terjadi. Serangan yang
dilancarkannya bukan saja tak mampu
menghancurkan lawan maupun pedangnya.
Tapi sebaliknya sinar maut itu seakan
tersedot ke bagian badan pedang. Di
lain kejap Sanjaya merasakan ujung
telunjuk serta tangan bagaikan dibetot
tanggal. Bahkan kemudian tubuh pemuda
itu mulai terseret, tertarik mendekat
ke arah lawannya.
Dengan segenap tenaga yang dia
miliki dia berusaha menarik tangannya
yang seakan tersedot ke arah senjata
lawan. Gerakan ini ternyata tidak
mendatangkan hasil sebagaimana yang
diharapkannya. Di depan sana Senopati
Lambak Renggono menyeringai.
"Sekejap lagi kau mampus di
tanganku, bocah buruk!" dengus laki-
laki itu.
Ni Seroja yang baru saja bangkit
jadi kaget. Tapi dia tak berani
melakukan apapun terkecuali menangis.
Kira-kira sejarak satu langkah lagi
dari lawannya di mana saat itu
Senopati siap menggerakkan pedangnya
untuk membunuh Sanjaya. Maka pada saat
itu pula terdengar suara siulan.
"Dicari ke mana-mana tidak
tahunya buruan kita ada di sini!"
"Tunggu apalagi." Menimpali suara
kedua. "Kau urus anak setan itu sedang
aku sebaiknya menonton saja!"
Suara lenyap. Dari balik rumpun
semak belukar melesat selarik sinar
pelangi yang langsung menghantam
bagian pergelangan tangan Senopati
ini. Sang Senopati tentu tak mau
tangannya jadi korban pukulan orang.
Sehingga sambil bergulingan ke
belakang dia tarik pedangnya. Dengan
begitu serangannya terhadap Sanjaya
melalui pedang anehnya itu lepas tak
terkendali. Mempergunakan kesempatan
itu dengan langkah terhuyung-huyung
Sanjaya yang banyak kehilangan tenaga
dalam akibat tersedot senjata lawannya
segera duduk di bawah pohon untuk
memulihkan tenaganya yang banyak
terbuang sia-sia. Sedangkan Senopati
Lambak Renggono sendiri saat itu
begitu sinar pelangi menghantam pohon
besar di sampingnya segera melompat
bangkit. Terdengar suara berderak dan
gemuruhnya pohon yang roboh.
Ketika Senopati memandang ke
depan. Di sana dilihatnya berdiri
tegak seorang pemuda berpakaian serba
biru dan juga seorang kakek gendut
besar luar biasa.
"Kau lagi?" gerutu Senopati
Lambak Renggono geram.
Si pemuda yang bukan lain adalah
Gento Guyon dan gurunya Gentong Ketawa
tertawa lebar.
SEBELAS
Agaknya dunia ini terlalu sempit
bagi kita, Senopati. Kau lari, kami
mengejar. Akhirnya kita bertemu lagi
di sini." kata Gento Guyon sambil
gelengkan kepala.
"Semua itu merupakan satu
pertanda setiap langkahnya tidak
direstui Tuhan. Gege... jangan kau
ajak dia ngobrol. Salah-salah dia
mencari kesempatan untuk melarikan
diri lagi. Ha... ha... ha!" timpal
Gentong Ketawa disertai tawa tergelak-
gelak.
"Dua manusia edan keparat. Berani
mencampuri urusanku. Kalian kira diri
kalian itu siapa?" hardik Senopati
Lambak Renggono berang.
"Ha... ha... ha. Baru tadi malam
kita bertemu sekarang kau lupa.
Bukankah kami ini saudaramu yang
berbaik hati hendak menjadikanmu
sebagai Senopati di neraka!" jawab
Gento Guyon acuh.
"Puah, kau dan gurumu boleh
bermimpi!" dengus sang Senopati.
Mendadak Senopati Lambak Renggono
melesat ke arah Gento. Pedang di
tangan menderu membabat pinggang
pemuda itu. Si pemuda melesat ke udara
ketika merasakan sambaran hawa dingin
dan berkelebatnya sinar hitam ke
bagian pinggang.
"Senopati sinting. Diberi nasehat
malah mencari penyakit." gerutu Gento
Guyon sambil berjumpalitan di udara.
Dengan begitu serangan pedang lawan
luput. Tangan si pemuda meluncur deras
menghantam bahu sedangkan tangan
kirinya bergerak ke bagian kepala.
Lawan selamatkan bahunya dengan
melompat mundur ke belakang. Tapi
bagian kepala tetap menjadi sasaran
serangan lawannya.
Pletak!
"Akh...!"
Senopati Lambak Renggono meraung
kesakitan begitu terkena jitakan
Gento. Bagian yang terkena jitakan
benjol besar. Hal ini membuat Senopati
menjadi sangat murka sekali. Sekarang
dia melompat mundur. Seteiah itu
langsung memutar pedangnya hingga
menimbulkan suara berkesiuran aneh
mengerikan.
"Gege awas! Lengah sedikit isi
perutmu bisa medel!" teriak Gentong
Ketawa begitu melihat Senopati
mengerahkan jurus-jurus pedangnya yang
hebat dan cepat luar biasa.
Sekejap saja Gento Guyon sudah
terkurung sinar padang lawannya.
Pemuda ini goyangkan kepala ke kiri
atau ke kanan sedangkan kakinya
berjingkrak tak karuan di saat pedang
membabat bagian perut dan kakinya.
"Hebat amat. Aku tak diberinya
kesempatan menarik nafas barang
sejenak!" kata Gento Guyon.
Singg!
Pedang menderu menghantam ke
dadanya. Gento melompat ke belakang.
"Hampir saja aku berpindah tempat
ke dunia lain." gerutu si pemuda.
Laksana kilat dengan mulut sengaja
diperotkan dia hantamkan kedua
tangannya ke arah Senopati itu.
Wuuuus!
Kembaii dua larik sinar pelangi
menderu di udara, mengeluarkan suara
bergemuruh hebat dan kemudian
menghantam Senopati itu. Tapi lawannya
tidak bodoh. Dengan mempergunakan
pedang iblisnya dia menangkis serangan
ganas lawannya.
Buuum!
Dua sosok tubuh sama terpental ke
belakang di saat pukulan yang
dilepaskan Gento membentur ujung
pedang lawannya. Pemuda itu sendiri
jatuh terduduk dengan dada terasa
sesak dan wajah pucat. Di depan sana
Senopati Lambak Renggono yang hanya
mengalami guncangan pada bagian
perutnya akibat benturan itu segera
menerjang kembali sambil mengayunkan
senjatanya ke bagian kepala Gento.
"Weit... hendak kau apakan
muridku? Enak saja kau mau
membunuhnya. Dari tolol sampai pintar
aku mengajarnya bukan untuk dibunuh!
Husss!" Si kakek dengan gerakan yang
enteng sekali melompat menghadang
gerakan Senopati. Pelan saja tangannya
melambai dengan gerakan seperti orang
mengusir sesuatu. Tapi akibatnya
sungguh luar biasa sekali. Hawa panas
luar biasa menyambar disertai deru
angin yang membuat gerakan Senopati
Lambak Renggono jadi tertahan. Begitu
lawan terdorong mundur, maka tinju
kakek itu yang berat bukan main
ditambah dengan pengerahan tenaga
dalam penuh menghantam dada sang
Senopati.
Braaak!
"Wuagkk...!" Laksana dicampakkan
sang Senopati jatuh terbanting. Dari
mulutnya menyembur darah segar. Tulang
dadanya remuk melesat ke dalam. Dia
terluka parah. Namun walau Senopati
ini nyaris sekarat. Dengan tangan
gemetaran dia mengangkat pedangnya.
"Eeh, apa yang hendak
dilakukannya!" desis Gentong Ketawa
heran.
"Orang tua awas!!" Tidak jauh di
belakang si kakek terdengar satu
seruan. Lalu ada sinar putih melesat
melewati kepala Gentong Ketawa. Si
kakek jatuhkan diri dengan kaki
ditekuk. Sementara sinar putih yang
melesat dari teiapak tangan Sanjaya
kini menghantam pedang Senopati.
Kembali satu keanehan terjadi. Sinar
maut yang pernah membelah tubuh Ratu
Ular Kayangan itu seakan amblas.
Sadarlah si kakek dan muridnya kalau
senjata lawan ternyata menyedot tenaga
sakti milik lawannya.
"Gento, lakukan sesuatu!" teriak
Gentong Ketawa. Dia sendiri saat itu
langsung menghantam kaki Senopati
Lambak Renggono dengan pukulan Selaksa
Duka dengan maksud mengacaukan
perhatian lawan. Dan nampaknya
Senopati yang telah terluka parah itu
memang terkecoh. Ketika dia
menggerakkan pedang ke bawah menangkis
serangan. Saat itu pula Gento Guyon
melesat di udara, sedangkan kakinya
menghantam kepala sang Senopati.
Praak!
Kepala Senopati berderak pecah.
Dia tak sempat lagi menjerit, jatuh
tersungkur tak berkutik lagi.
"Satu langkah yang baik. Ha...
ha... ha!" gumam si kakek sambil
tertawa-tawa.
"Menjadi tidak baik karena kita
termasuk mengeroyoknya!" timpal si
pemuda.
"Hust, dalam hal apapun.
Kerjasama merupakan tindakan yang
baik. Apalagi dia sangat berbahaya dan
sesat pula!" sahut si kakek.
"Orang tua dan anak muda. Aku
Sanjaya merasa berterima kasih atas
budi pertolonganmu! Kelak aku akan
membalasnya!"
"Eeh, jangan berterima kasih
padaku. Tapi pada bocah itu." kata si
kakek. Ketika dia menoleh ke belakang.
Sanjaya nampak masih tetap menjura.
Sementara tak jauh di belakangnya Ni
Seroja datang menghampiri kekasihnya.
"Jangan berterima kasih padaku.
Tapi bersyukurlah pada gusti Allah!"
ujar Gento Guyon jadi salah tingkah.
"Ya, aku bersyukur pada gusti
Allah dan berterima kasih pada
kalian." ujar Sanjaya sambil menatap
Ni Seroja.
"Sama-sama!" sahut si kakek.
"Kembali kasih." ucap Gento.
Si kakek mendelik
"Eeh' apa maksudmu?" tanya si
kakek melalui ilmu menyusupkan suara.
"Maksudku kekasihnya sudah
kembali." celetuk si pemuda sambil
kedipkan sebelah matanya.
Di depan mereka Sanjaya dan Ni
Seroja yang baru saja merasa terbebas
dari segala bencana saling berpelukan.
Tanpa sadar Gento Guyon yang melihat
kejadian mesra itu memeluk gurunya.
"Hei, apa-apaan kau... diriku kau
peluk-peluk." dengus Gentong ketawa
sambil mengibaskan tangan muridnya.
Gento jadi malu hati.
"Eeh... maaf. Aku jadi ikut-ikut
latah, habisnya kulihat asyiik sih!"
kata si pemuda dengan muka merah tapi
tak pernah lepas dari senyumnya.
Sanjaya dan Ni Seroja jadi malu
hati dan sadar bahwa di tempat itu
mereka tidak sendiri.
"Sanjaya... Ni Seroja tidak
berada di tempatnya. Dia melarikan
diri!" satu suara berseru. Walau belum
melihat orangnya, namun Gento Guyon
merasa mengenali suara itu. Dia dan
gurunya saling pandang.
"Celaka si setan itu datang...!"
kata Gento tegang.
"Jangan takut. Kalau dia berani
macam-macam, kita gebuki saja dia
bersama-sama." sahut Gentong Ketawa.
Tak berselang lama di tempat itu
muncul Tabib Sesat Timur. Agaknya
urusan orang tua itu sangat penting,
terbukti dia seperti tidak
menghiraukan kehadiran Gento dan
gurunya.
"Hah, bukankah gadis ini yang
seharusnya kujemput. Bagaimana dia
bisa sampai di sini?" tanya Tabib
Tapadara.
"Dia melarikan diri, kek.
Senopati mengejarnya. Tapi kami
berhasil membunuhnya!" jawab Sanjaya.
"Pantasan kucari di gedung
Senopati tak ada. Eeh... kau bilang
tadi kami. Berarti kau tidak sendiri!"
Sanjaya menunjuk ke arah Gento
dan gurunya. Ketika sang tabib
memandang ke arah yang ditunjuk
Sanjaya, maka berubahlah parasnya.
"Kkk... kau... bocah...!"
Belum sempat Tabib Sesat Timur
melanjutkan ucapannya Gento kepalkan
tangannya.
"Berani kau memanggilku bocah
setan lagi. Kujitaki kepalamu sampai
babak belur!"
"Ah, tidak disangka kita bertemu
lagi. Aku sangat gembira sekali.
Kalian telah menolong putra almarhum
sahabatku. Aku sangat berterima
kasih." kata si kakek.
"Eeh, bagaimana tabib sinting ini
bisa berubah baik?" bisik Gento.
"Hati-hati. Bisa jadi dia hendak
menipu kita." jawab Gentong Ketawa.
Tanpa menghiraukan Sanjaya dan
kekasihnya, Tabib Tapadara mendekati
Gento Guyon. "Aku sudah sangat rindu.
Siapa namamu kini...?"
"Yang jelas bukan bocah setan."
"Kau mengatakan rindu pada Gege,
apakah rindu untuk menggantungnya?
Kalau itu niatmu, maka justru kau yang
akan digantungnya. Ha… ha... ha." kata
Gentong Ketawa.
Tabib Sesat Timur gelengkan
kepala.
"Maafkan kesalahanku di masa
lalu. Gege... oh. Sebuah panggilan
yang bagus. Kau telah membunuh
Senopati, berarti ilmu kesaktianmu
sudah sangat maju." puji sang tabib.
Gento menyengir. "Ya, supaya aku
tak dijitaki orang lain."
Si kakek berubah muram. "Aku
mengaku salah, kalau kau mau balas,
balaslah. Tapi beri aku kesempatan
untuk menurunkan ilmuku barang satu
dua jurus."
"Jadi kau benar-benar telah
tobat. Jika betul, karena dulu kita
sudah pernah berjanji, masalah
menurunkan ilmu kesaktian kuserahkan
pada Gege...!" ujar Gentong Ketawa.
Si pemuda terkejut. Ingat akan
segala kekejaman si kakek di masa
lalu, sekarang dia masih belum percaya
kalau Tabib Sesat Timur benar-benar
telah insyaf. Sehingga dia pun
berkelebat melarikan diri.
"Bocah... ee... Gege... tunggu.
Kau hendak ke mana?" seru kakek tabib.
Tanpa menghiraukan Sanjaya dan Ni
Seroja si kakek tabib yang sudah
sangat rindu pada Gento Guyon segera
mengejar.
"Kurang asem. Gara-gara kau
muridku jadi ketakutan. Awas jika dia
sampai hilang kucungkil matamu."
gerutu Gentong Ketawa ikutan mengejar.
Sanjaya gelengkan kepala.
"Orang-orang tua yang aneh!" kata
pemuda itu.
"Ya, tapi tanpa mereka belum
tentu kita dapat bersatu kembali."
sahut Ni Seroja. Sambil berangkulan
kedua insan yang saling mencinta itu
melangkah pergi.
TAMAT
Nantikan Episode Mendatang!
TANAH KUTUKAN
0 comments:
Posting Komentar