..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 12 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE RAJA AKHIRAT

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

RAJA AKHERAT

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cirrtamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor:puji.s



Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh Isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor


1


Suasana di halaman Keraton Kerajaan Pakuan hari

ini begitu meriah dan gegap gempita. Orang-orang

bersorak-sorai bersamaan sambil bertepuk tangan, ketika

raja mereka yang bernama Prabu Adiwarman keluar dari

pintu Keraton diiringi beberapa punggawa berbaju seragam

warna hitam, dengan celana pangsi dibalut kain batik. Di

atas kedua lengan mereka melingkar sebuah Cakra.

Dengan gagah mereka mengiringi Prabu Adiwarman

menuju panggung yang telah didirikan sejak beberapa hari

yang lalu.

Panggung itu besar. Pada tiap sudutnya dihiasi

umbul-umbul lambang Keraton Pakuan. Di sisi panggung

snelah timur, terdapat kursi yang dibuat mirip singgana

sang Prabu.

Matahari baru saja mengintip, dan akan lepas landas

menuju titik akhirnya nanti. Masih sepenggalah, sinarnya

belum begitu terik. Angin berhembus sejuk, melambaikan

pepohonan beringin besar yang tumbuh di depan keraton.

Prabu Adiwarman telah duduk di singgasananya.

Scpuluh punggawa berdiri gagah di belakangnya.

Sedangkan seorang laki-laki yang berwajah tampan

bersidekap di sisinya. Rambutnya digelung ke atas. Ba-

dannya tanpa penutup alias bertelanjang dada. Di

pinggang bagian belakang terselip sebuah kens pusaka

pada kain batik yang melingkar. Orang-orang mengenalinya

sebagai Patih Jalalowe. Pengabdiannya pada sang Prabu

telah cukup lama. Tak heran kalau ia sudah sangat dikenal.

Tepat ketika Prabu Adiwarman berdiri, suara yang

bergemuruh tadi terhenti. Laki-laki berusia sekitar empat

puluh enam tahun ini mcnyapu pandangan pada rakyat

yang mengelu-elukannya. Senyum kearifan dan bijaksana

terpandang di mata mereka.

Di sisi utara, terdapat kursi-kursi yang berjajar. Di

sanalah para tokoh sakti dari dunia persilatan yang

diundang, duduk untuk menyaksikan aeara yang akan

digelar. Di sebelah selatan, berjajar sekitar tiga puluh orang

pemuda gagah berusia di bawah tiga puluh tahun.

“Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Ter-

utama, para pemuda-pemuda gagah yang hendak

mengikuti sayembara dengan mengadu kesaktian di

panggung terbuka ini,” ucap Prabu Adiwarman, berwibawa.

Memang, beberapa minggu yang lalu telah

diumumkan ke seluruh pelosok negeri ini, bahwa Prabu

Adiwarman akan mcngadakan sayembara bagi pemuda-

pemuda berusia di bawah tiga puluh tahun. Hadiahnya tak

tanggung-tanggung, yakni putri beliau sendiri.

Di atas panggung, Prabu Adiwarman tampak gagah

sekali dengan pakaian kebesarannya yang begitu indah.

Warnanya hijau keemasan, dengan rajutan benang emas

yang hanya bisa dilakukan tangan ahli.

"Aku tidak ingin berpanjang lebar. Seperti yang

diumumkan, barang siapa yang bisa memenangkan

seluruh pertarungan ini, maka putri tunggalku, Permata

Delima akan bisa dipersunting salah seorang dari kalian!"

lanjut laki-laki yang kelihatan masih tampan.

Suara gemuruh dari tepukan dan teriakan terdengar

lagi. Kecantikan Permata Delima tidak bisa lagi dilukiskan.

Tak ubahnya dewi kayangan.

Hadirin melihat sang Prabu bertepuk tangan tiga kali.

Lalu, terlihatlah satu iringan yangmelangkah perlahan.

Seorang gadis cantik berpakaian kebesaran istana tampak

melangkah di depan dengan wajah ditutupi cadar.

Langkahnya begitu anggun, diiringi beberapa orang gagah

yang menjaganya. Suara gemuruh semakin terdengar.

Dan tepukan membahana ketika gadis cantik yang

tak lain Putri Permata Delima duduk di sebelah kiri Prabu

Adiwarman.

"Aku hanya menghendaki pertandingan yang jujur.

tidak boleh ada korban nyawa. Tetapi bila hanya cedera

patah, misalnya, rasanya bukan masalah! Karena, calon

menantuku dan calon suami putriku, haruslah orang yang

gagah dan memiliki kepandaian yang tinggi!" tambah Prabu

Adiwarman.

Kembali suara membahana terdengar keras terutama

dari bagian selatan panggung, tempat para peserta duduk.

Dan setelah itu mereka saling pandang dengan tatapan

tajam. Dalam hati mereka tersimpan sebuah harapan,

mendapatkan sekaligus mempersunting Putri Permata

Delima.

Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba. Begitu Prabu

Ailiwarman bertepuk sekali, seorang punggawa bertubuh

kekar dan bertelanjang dada mengangkat sebuah alat

pemukul. Lalu dihantamnya gong besar yang ada di sisinya.

Duaaang!

Bunyi gong yang dipukul pertanda sayembara segera

dimulai. Hadirin terdiam, memperhatikan para tokoh sakti

yang hanya duduk dengan sikap masing-masing.

Salah seorang segera melompat ke atas panggung.

Gerakannya begitu ringan. Dia mengenakan pakaian

ringkas berwarna merah, dengan gelang akar bahar besar

di tangannya. Wajahnya garang. Matanya setajam elang.

Rambutnya pun digelung ke atas. Tombak tajam berada di

tangannya, saat menjura pada Prabu Adiwarman.

"Hamba yang hina ini bernama Palawena dengan

julukan si Tombak Maut. Perkenankanlah hamba mencoba

keberuntungan dalam sayembara ini!" ucap pemuda yang

mengaku bernama Palawena alias si Tombak Maut.

Prabu Adiwarman mengangguk. Sedangkan Putri

Permata Delima hanya menunduk. Tak seorang pun yang

bisa menebak, perasaan apayangmenggelayuti hatinya.

Suara tepuk tangan kembali terdengar.

Begitu suara tepuk tangan sirna. mendadak saja

melompat satu sosok tubuh tinggi besar. Wajahnya

bercambang bauk dengan kedua alis hitam legam. Begitu

mendarat di panggung, dia menjura pada Prabu

Adiwarman.

"Hamba bernama Buntoto, yang berjuluk si Pukulan

Setan."

Ketika Prabu Adiwarman menganggukkan kepala,

orang-orang kembali bertepuk tangan. Kemudian laki-laki

bercambang bauk yang mengaku bernama Buntoto

berbalik pada Palawena yang berdiri gagah.

"Saudara Palawena, tolong beri petunjuk," ujar

Buntoto.

Palawena malah tertawa terbahak-bahak.

"Begitu pula denganku, Buntoto. Hm.... Apakah kau

tidak mempergunakan senjata?" tanya Palawena dengan

suara meremehkan. "Atau, kau sudah yakin dengan

kemampuanmu yang bertangan kosong?"

"Rasanya, kedua tanganku ini mampu untuk

mengimbangi permainan tombakmu."

Rupanya, di balik wajahnya yang seram, Buntoto

memiliki sifat bijak.

"Baik! Lihatserangan!"

Mendadak saja Palawena memutar tombaknya di tins

kepala. Seketika terdengar desingan yang kuat dan

menderu-deru. Lalu dengan suara keras, diterjangnya

Buntoto. Buntoto sendiri tak kalah sigap. Cepat

dihadangnya serangan Palawena.

Pertarungan sengit pun berlangsung. Apa yang

dikatakan Buntoto tadi bcnar. Buktinya ia mampu

mengimbangi permainan tombak Palawena yang

mengincar bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Dan

pukulan-pukulan yang dilakukannya begitu cepat sekali.

Memapak, menangkis, dan menyerang.

Dalam waktu singkat, lima belas jurus berlalu dalam

pertarungan yang cukup sengit. Sementara sorak-sorai

para penonton membahana. Orang-orang gagah yang

mengikuti sayembara itu pun memicingkan mata, mencoba

melihat kelemahan masing-masing.

Di antara para hadirin, tampak pula seorang pemuda

berpakaian hijau muda. Rambutnya panjang tetapi rapi.

Tubuhnya tegap. Wajahnya tampan. Di pundaknya

melingkar sehelai kain bercorak seperti catur berwama

hitam putih. Sejak tadi, ia paling ribut mengocehi

pertandingan itu.

"Wah! Buntoto memang hebat! Meskipun tubuhnya

besar, tapi gerakannya lincah. Palawena juga. Hanya saja

ia kurang bisa mengimbangi kecepatan Buntoto. Kurang

makan rupanya!" oceh pemuda berpakaian hijau muda itu.

Seorang pemuda yang berdiri di dekat pemuda

berpakaian hijau muda ini melirik dan memperhatikan

sekilas. Bila melihat wajah pemuda yang berseloroh tadi,

rasanya ia belum pernah melihat. Tetapi diakui juga kata-

kata pemuda itu. Karena satu pukulan Buntoto kini tampak

masuk ke perut Palawena yang kontan terjajar ke

belakang.

"Nah! Betul, kan? Pasti dia kalah," kata pemuda

berpakaian hijau muda itu lagi.

Sementara di panggung, Buntoto tidak melanjutkan

serangan. Palawena scndiri bangkit menjura.

"Terima kasih atas pelajaran darimu. Aku mengaku

kalah," ucap Palawena.

Para hadirin bersorak. Sebagian mencemooh

Palawena yang melompat masuk ke keramaian dan

menghilang entah ke mana.

"Pertarungan jujur dan ksatria!" desis pemuda itu lagi.

Tepat ketika Buntoto selesai menjura pada para

hadirin, melompat seorang laki-laki gagah berpakaian

kebesaran keraton.

"Namaku Segara, yang berjuluk si Keris Malaikat. Aku

ingin menjajal kemampuanmu...," kata laki-laki gagah itu.

Begitu selesai kata-katanya, orang yang mengaku

bernama Segara dan berjuluk si Keris Malaikat ini langsung

menyerang Buntoto. Serangannya terlihat sangat keji dan

berbahaya.

"Wah, wah Ini namanya bukan sayembara lagi,

tetapi memang ingin mengalahkan!" desis pemuda

beralis legam itu lagi "Tetapi sepertinya.... Buntoto masih

bisa mengalahkannya."

Lagi-lagi apa yang dikatakan pemuda itu benar.

Belum sampai dua jurus, satu pukulan Buntoto telah

mendarat telak di dada Segara. Laki-laki berjuluk si Keris

Malaikat itu terhuyung ke belakang, lalu melompat pergi

tanpa pamit

"Wah,wah! Malu tuh!"

"Makanya..., kalau punya ilmu cetek, tidak usah ikut!"

Suara-suara sumbang, terdengar ramai.

Sementara pemuda berpakaian putih yang di

pinggangnya melingkar sebuah tali merah menoleh ke

samping, ke arah pemuda berbaju hijau. Dia merasa heran

melihat pemuda konyol ini selalu benar dugaannya.

"Kisanak.... Siapakah kau sebenarnya?" tanya

pemuda berpakaian putih itu.

Pemuda berpakaian hijau muda memperhatikan

pemuda yang kira-kira seusia dengannya ini.

"Aku? Wah! Aku siapa, ya? Namaku maksudmu?"

"Benar," pemuda berbaju putih itu mengangguk,

seperti penasaran. "Oh, ya. namaku Danji...."

"Aku Andika."

"Andika?"

"Ya. Bagus, bukan?" seloroh pemuda yang ternyata

Andika alias Pendekar Slebor sambil nyengir kuda.

"Kau bisa tepat menduga, siapa yang akan

memenangkan pertarungan. Mengapa kau tidak ikut

sayembara?" tanya pemuda bernama Danji itu lagi dengan

kening berkerut.

Andika nyengir.

"Bagaimana aku bisa ikut, kalau belum pernah

melihat Putri Permata Delima? Siapa tahu wajahnya penuh

jerawat," seloroh Andika tidak peduli kalau wajah Danji

memerah. Perubahan itu tidak luput dari tatapan Andika.

"Putri Permata Delima sangat cantik. Kecantikannya

hanya bisa ditandingi dewi-dewi kayangan."

"Nah! Kau kan sudah tahu. Aku belum. Jadi, lebih baik

jadi penonton saja. Dan, mengapa tidak kau sendiri saja

yang ingin ikut sayembara itu? Nah coba lihat. Siapa yang

menang sekarang?"

Sementara di atas panggung Buntoto sedang

menghadapi cecaran lawannya yang sebelumnya mengaku

berjuluk si Cakar Harimau. Ganas sekali serangan-se-

rangan yang dilakukan laki-laki berbaju dari kulit harimau

dengan kedua tangan bagai cakar. Tangannya mengibas ke

sana kemari dengan jemari yang berkuku-kuku tajam

mengembang terbuka. Mulutnya menggereng sangat kuat,

menampakkan keganasan jurus 'Cakar Harimau'nya.

Danji menoleh pada Andika

"Menurutmu, siapa yang akan memenangkan

pertarungan itu, Andika?" tanya Danji.

"Si Cakar Harimau akan memenangkan pertarungan

itu," kata Andika sambil memperhatikan pertarungan yang

sengit di atas panggung. "Serangan-serangannya banyak

mengandung gerak tipu. Sayang wataknya terlalu kejam."

Mereka kembali memperhatikan pertarungan. Dan

lagi-lagi Danji mendesak ketika melihat Buntoto harus

terjengkang ke belakang terkena sambaran si Cakar

Harimau tepat di paha kanannya. Tubuhnya limbung, darah

mengucur dari sana.

Buntoto mengangkat tangannya tanda menyerah.

Lalu dia turun tanpa ada rasa kecewa ataupun malu. Se-

mentara para hadirin bukannya menyoraki Buntoto, malah

menyoraki si Cakar Harimau yang bernama asli Rimang.

Tampak laki-laki berpakaian kulit harimau itu berdiri

jumawa.

Tetapi Rimang tidak peduli. Matanya justru menatap

tajam pada para tokoh yang hendak mengikuti sayembara.

"Hhh! Siapa lagi yang ingin meminta pelajaran

dariku?!" dengus Rimang berapi-api dan pongah.

Dua orang pemuda berdiri. Tetapi, mereka justru

saling pandang. Yang berpakaian merah mempersilakan

pemuda yang berpakaian biru. Kali ini di benak mereka

bukan lagi untuk memenangkan sayembara, melainkan

tidak tahan melihat kesombongan Rimang.

Pemuda berpakaian berwarna biru segera menjura

hormat, lalu melenting ke atas panggung dengan gerakan

ringan.

"Ha ha ha...! Apakah kau tidak sayang dengan salah

satu bagian tubuhmu?" ejek Rimang, merendahkan.

Pemuda itu hanya tersenyum saja.

"Aku memang baru turun gunung. Namaku Kusuma,

dan belum mendapatkan julukan apa-apa dari orang-orang

persilatan. Dan aku sangat ingin mendapatkan pelajaran

darimu, Saudara Rimang...," kata pemuda berpakaian biru

yang bernama Kus uma.

Rimang terbahak-bahak.

"Sayang.... Menurut perkiraanku, kau harus segera

kembali ke asalmu dengan salah satu tubuh cacat!"

Begitu habis kata-katanya Rimang membuka jurus.

Kedua tangannya membuka membentuk cakar.

"Kini, kau akan mendapatkan pelajaran pertama

dariku!" desis si Cakar Harimau.

Wuutt!

Rimang menerjang dengan serangan sangat ganas.

Agaknya dia sangat berapi-api ingin memenangkan

pertarungan secepatnya. Tetapi rupanya, Kusuma yang

baru saja turun gunung memiliki ilmu meringankan tubuh

yang sangat lumayan. Serangan Rimang dihindarinya

dengan ringannya dan berkali-kali membalas.

Kimang cukup terkejut juga melihatnya. Karena baru

disadari kalau kemampuan Kusuma berada di atas

Buntoto. Makanya segera dilancarkannya serangan demi

serangan yang kejam dan ganas, terkesan membabi buta.

Bahkan kini serangannya sudah mengarah pada bagian-

bagian yang mematikan bagi Kusuma.

Sejauh itu Kus uma masih bisa menghindari ke sana

kemari dengan lincah. Hanya sayang, ia belum banyak

menikmati asam garamnya dunia persilatan. Meskipun

ilmunya tinggi, ia masih kurang paham akan gerak tipu dan

naluri kelicikan orang-orang persilatan.

Satu ketika, Kusuma harus melompat ke belakang.

Tetapi Rimang dengan gerakan bagai menerkam mem-

burunya. Dan....

Breeet!

Pakaian Kusuma sobek termakan cakaran si Cakar

Harimau. Darah merembes perlahan. Rupanya cakar itu

pun menyambar dada Kusuma.

Melihat lawannya sudah terluka, Rimang menjadi

semakin ganas. Kali ini sudah kelihatan, siapa dia

sesungguhnya. Dengan teriakan keras bagai suara

harimau, ia menerkam ke arah Kusuma sambil

melepaskan pukulan.

Dan hampir saja serangan itu mendarat, mendadak

berkelebat satu bayangan merah, langsung memapak

serangan si Cakar Harimau.

Plak! Plak!

Rimang mendengus geram melihat serangannya

berhasil digagalkan. Dengan tajam, ditatapnya seorang

pemuda berpakaian warna merah berikat kepala kuning

yang telah menggagalkan serangan sambil berdiri gagah,

pemuda berpakaian merah ini mempersilakan Kusuma

untuk meninggalkan panggung.

Suasana menjadi tegang. Sementara sikap Prabu

Adiwarman masih tenang saja.

"Saudara Rimang.... Di atas panggung ini, kita bukan

ingin saling membunuh. Melukai pun seharusnya tidak.

Tetapi, tindakanmu itu sudah kelewat batas," ujar pemuda

berbaju merah, tenang.

"Jangan banyak omong!" bentak Rimang geram.

"Kalau kau memang ingin ikut sayembara ini, hadapi aku!

Bukannya memberi ceramah!"

Pemuda berpakaian warna merah itu menjura.

"Aku pun ingin mendapatkan pelajaran darimu,

Snudara Rimang! Namaku Panca.... Hiattt!"

Rimang tidak memberi kesempatan lagi bagi pemuda

berbaju merah yang mengaku bernama Panca untuk

meneruskan kata-katanya. Kini ia sudah menyerang

dengan kckuatan penuh.

Panca yang sudah memperkirakan kalau Rimang

akan ganas menyerangnya, menghindar sambil

mengirimkan serangan balasan dengan tendangan.

Sementara itu, Andika hanya menggeleng-geleng.

"Bisa kacau sayembara ini! Rimang nampaknya

memliki naluri membunuh yang kuat! Ia tidak segan-segan

an mbunuh!" kata Andika, agak kesal.

Danji menoleh kembali.

"Menurutmu bagaimana, Andika?"

"Kelihatannya, Rimang akan menguasai

pertandingan. Bila melihat serangannya yang berbahaya,

kemungkinan besar Panca pun bisa dilukainya," sahut

Andika, sok tahu. Lagaknya mirip seorang guru pada

muridnya. Bahkan sambil mengelus-elus janggutnya yang

tak berjenggot.

"Kau tidak membantunya?" pancing Danji.

Andika menoleh pada Danji yang memandangnya

dengan sinar mata penuh harap. Sudah dua kali Danji

berkata seperti itu. Pertama, mengapa Andika tidak ikut

dalam sayembara ini? Kedua, mengapa tidak segera

membantu? Dengan kata lain, semuanya satu tujuan. Danji

mengharapkan Andika untuk ikut dalam sayembara ini.

"Mengapa kau berpikiran seperti itu, Danji? Apakah

ada sesuatu yang sangat kau risaukan?" tanya Pendekar

Slebor.

Kali ini Danji menundukkan kepala. Sikapnya

kelihatan serba salah.

"Kalau kau sudi mengatakannya, aku pun bersedia,

mendengarkannya. Kalau kau tidak mau mengatakannya,

aku pun tidak bersedia mendengarnya...," kata Andika

sambil tertawa

Danji mendesah panjang. Raut wajahnya

mencerminkan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi.

Berkali-kali kepalanya diangkat dan ditundukkan. Seolah

memang sesuatu yang telah lama dipikirkannya, semakin

besar mengganjal.

"Hei? Tidak usahlah kau beritahu. Nanti aku malah

repot!" ujar Andika berlagak tidak tertarik. Padahal, hatinya

yakin kalau Danji mempunyai persoalan rumit.

Justru sikap Andika yang acuh tak acuh itulah

membuat Danji bersedia menceritakan kegalauan di

hatinya Memang, menurutnya lebih baik membagi cerita

pada orang yang tak dikenalnya. daripada membagi cerita

dengan orang yang dikenalnya tetapi justru akan mener-

tawakan.

"Putri Permata Delima adalah kckasihku, Andika..,"

bisik Danji, pada akhirnya.

Sejenak kening Andika berkerut. Danji kelihatan

khawatir kalau mendadak saja meledak tawa dari mulut

pemuda yang baru dikenalnya.

"Dia kekasihmu?" ulang Andika

"Ya. Dia kekasihku," sahut Danji sambil mendesah

panjang. Bersyukur karena tawa Andika tidak terlihat.

"Kalau memang benar, mengapa kau tidak turut

dalam sayembara ini? Dengan begitu, kau bisa

mempertahankan kekasihmu. Danji," kata Andika,

sungguh-sungguh

"Itulah yang membuatku gelisah, Andika Karena, aku

sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Sementara,

kau lihat sendiri, bukan? Mereka yang mengikuti

sayembara jelas terdiri dari orang-orang persilatan yang

krpandaiannya di atas rata-rata" papar Danji, galau.

Andika manggut-manggut sambil mengusap-usap

dagunya

"Kau akan kehilangan kekasihmu bila kau tidak

berusaha"

Danji menundukkan kepala.

"Aku tidak tahu, apayang harus kulakukan, Andika.

Nyalanya aku hanya pasrah saja melihat Putri Permata

Delima diboyong pemenang dari sayembara ini...."

Andika terdiam sejenak.

Sementara di atas panggung, Panca terdesak hebat

nlrli serangan-serangan dahsyat Rimang.

Tiba-tiba Andika menoleh pada Danji.

"Kalau begitu, aku akan mencoba menolongmu, Danji

Kalau aku menang, Putri Permata Delima akan kuserahkan

padamu.... Tetapi, sisakan aku sedikit saja," . seloroh

Andika sambil terkekeh.

Danji tersenyum. Tampaknya, pemuda ini senang

bercakap cakap dengan sahabat barunya ini. Meskipun, ia

tidak yakin akan kemampuan Andika.

"Aaakh...!"

fiba-tiba di atas panggung terdengar jeritan nyaring,

ketika cakar Rimang mengenai punggung Panca. Tampak

Panca terhuyung ke belakang, dan hanya bisa mengangkat

tangannya tanda menyerah.

Rimang tertawa terbahak-bahak.

"Turun dari atas sini!" seru si Cakar Harimau meng-

ejek. "Kau lebih pantas untuk menetek pada ibumu! Ha ha

ha... ayo, siapa lagi yang.hendak menjajal kehebat-anku!"

Kini, tak seorang punyang berani untuk naik ke atas

panggung. Kegagahan dan kegarangan Rimang membuat

nyali para peserta sayembara kontan ciut. Kekejamannya

sudah nyata pada lawan-lawannya yang harus turun

panggung dengan tubuh luka-luka.

Beberapa saat Rimang menunggu. Sementara para

penonton menjadi tegang. Lalu, Rimang pun menoleh pada

Prabu Adiwarman.

"Prabu Yang Mulia.... Nampaknya tak seorang pun

yang berani untuk masuk dalam sayembara ini. Apakah itu

berarti hamba memenangkan sayembara?" tanya si Cakar

Harimau dengan suara angkuh.

Prabu Adiwarman hanya tertawa saja. Baginya,yang

memenangkan sayembara ini baik dari kalangan mana pun

juga, maka berhak mempersunting Putri Permata Delima.

"Kita menunggu beberapa saat lagi. Bila tidak ada

yang naik ke atas panggung, berarti kaulah yang berhak

untuk mempersunting putriku."

Rimang tertawa gagah. Pandangannya disapu ke

bawah panggung. Beberapa tokoh sakti yang menyaksikan

sayembara mendengus melihat sikap Rimang. Tidak

pantas seorang gagah berlaku seperti itu. Begitu kejam!

Padahal sayembara ini dilakukan bukanlah untuk

menunjukkan kesombongan.

Setelah beberapa saat, tak seorang pun yang naik

keatas panggung. Rimang menoleh kembah pada Prabu

Adiwarman Namun, sebelum ia berkata apa-apa, satu

sosok bayangan merah sudah berkelebat ke atas

panggung dengan gerakan indah sekali.

***

2


Para hadirin bertepuk tangan begitu melihat sosok

laki-laki tinggi berpakaian merah hinggap di lantai

panggung. Tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika

melihat wajah lelaki yang sangat mengerikan. Mukanya

tirus menunjukkan sifatnya yang seperti ular. Sepasang

matanya menatap dingin. Bekas luka tampak tergaris di

pipi sebelah kiri. Rambutnya panjang acak-acakan.

Andika sendiri terkejut melihatnya. Dia tadi baru saja

hendak naik ke panggung. Tetapi, sosok berpakaian merah

itu sudah mendahuluinya.

"Ha ha ha...! Mengapa semua menjadi seperti kelinci,

ha?!" seru laki-laki itu sambil tcrbahak-bahak. Suaranya

keras dan kasar. "Hhh! Bocah kemarin sore ini nampaknya

mau menjual lagak!"

Rimang memperhatikan tajam-tajam laki-laki bcr-

wajah buruk di depannya. Melihat wajahnya, jelas orang ini

sudah berada di luar ketentuan yang ditetapkan Prabu

Adiwarman. Karena, usia sosok berpakaian merah itu

paling tidak empat puluh lima tahun.

"Siapa kau, Orang Jelek?!" bentak si Cakar Harimau

kesal. Karena, masih ada saja yang menghalanginya.

"Ha ha ha...! Bagus, bagus sekali! Aku sangat suka

penjelasanmu seperti itu. Aku memang jelek. Tetapi..., kau

akan kubuat lebih jelek daripada wajahku ini!" sam-but

orang itu menggeram. "Namaku, Tidar! Dan orang-orang

menyebutku Raja Akherat!"

Bukan hanya Rimang saja yang kelihatan terkejut.

Bahkan para tokoh sakti yang berada di sana pun sampai

terjingkat. Mereka memang sudah lama mendengar

tentang julukan Raja Akherat yang berasal dari golongan

hitam. Seorang tokoh yang sangat kejam dan tidak segan-

segan menyiksa lawannya, sebelum mampus. Lalu, untuk

apa ia ikut sayembara ini?

Sebelum ada yang membuat gerakan untuk

membuka pertarungan, seseorang berpakaian putih

dengan sorban putih bangkit dari duduknya. Ia langsung

melenting, naik ke panggung.

"Ada apa, Ki Kelana?" tanya Prabu Adiwarman.

"Maafkan hamba, Prabu Yang Mulia. Sesuai

ketentuan sayembara ini, maka Raja Akherat tidak berhak

mengikuti sayembara," ucap laki-laki bersorban putih dan

berwajah lembut yang dipanggil Ki Kelana.

"Ha ha ha...!"

Mendengar itu justru Raja Akherat yang tertawa.

"Mengapa seperti itu, ha?! Dalam setiap sayembara,

tidak ada ketentuan yang berlaku seperti itu!" bentak Tidar

alias si Raja Akherat.

Ki Kelana menoleh dengan menyelidik.

"Maaf, ini sudah ketentuan!" tegas Ki Kelana.

"Banyak lagak!" dengus Tidar.

Mendadak saja si Raja Akherat melesat ke arah

Rimang. Tentu saja hal ini membuat si Cakar Harimau

terkejut sekali. Ia berusaha menghindar. Hanya itulah

gerakan yang bisa dilakukan. Namun, Raja Akherat terus

memburunya dengan sebuah hantaman telapak tangan.

Lalu...

Des!

"Aaa...!"

Telapak tangan Raja Akherat bersarang telak di dada

si Cakar Harimau dan ambruk dengan tubuh hangus.

Orang-orang terkejut, termasuk Andika. Sementara Ki

Kelana menggeram, namun tetap dengan kelembutannya.

"Tak diperkenankan mencabut nyawa di sini!" desis Ki

Kelana.

"Ha ha ha.... Pemenang boleh melakukan apa saja.

Lebih baik kau turun saja dari sini! Bila memang kau ingin

ikut dalam sayembara, lebih baik lawan aku!" tantang si

Raja Akherat.

"Nama besar Raja Akherat sudah lama kudengar

sebagai orang yang kejam. Dan lebih baik..., heaaa!"

Ki Kelana cepat mengempos tubuhnya ke atas,

karena Raja Akherat sudah menghentakkan tangan

kanannya untuk melepas pukulan jarak jauh.

Wuttt...!

Baru saja Ki Kelana mendarat, Raja Akherat telah

berkelebat disertai hantaman telapak tangan. Begitu cepat

gerakannya, sehingga....

Dess...!

"Aaakh...!"

"Aku tidak suka mendengar ceramahmu! Lebih baik

mampus!" dengus si Raja Akherat, begitu mendarat

kembali. Seperti yang terjadi pada Rimang tadi, Ki Kelana

pun tak sempat berbuat banyak. Tubuhnya kontan

terpental disertai jeritan kematian. Begitu ambruk.

tubuhnya telah hangus.

"Ha ha ha...!"

Tidar terbahak-bahak.

Para tokoh persilatan yang berada di sana pun

bangkit berdiri, melihat ketidak beresan yang terjadi di

panggung. Rasa kependekaran mereka terbangkit. Mereka

langsung melesat ke atas mengurus Tidar yang hanya

terbahak-bahak.

"Aku tidak pernah suka bila keinginanku diganjal!

Lebih baik kalian mampus semuanya!" seru Tidar.

Seketika si Raju Akherat memutar tubuhnya dengan

hebat sambil menghentakkan tangannya.

Des! Des! Des!

"Aaakh...!"

Tiga tokoh persilatan kontan jadi korban sambaran

pukulan jarak jauh yang dilepaskan Tidar. Sedangkan yang

lain terus berusaha mengurung dan mendesak, seperti tak

mengenal takut.

Kini keadaan menjadi kacau balau. Beberapa

penonton pun mulai berjatuhan, terkena pukulan jarak

jauh yang dilepaskan Tidar. Keributan semakin menjadi-

jadi. Mereka berusaha menyelamatkan diri. Bahkan ada

yang jatuh dan terinjak-injak.

Pendekar Slebor pun tak urung menjadi geram

melihat keadaan yang sudah menjadi ruwet seperti itu. Dia

Iangsung menoleh pada Danji.

"Kau selamatkan Putri Permata Delima, Danji! Ma-

nusia itu rupanya hendak memanfaatkan kesempatan,

untuk menguasai Keraton Pakuan!"

"Tetapi, bagaimana mungkin aku bisa

melakukannya?" tanya Danji bingung.

"Apalah yang akan kau lakukan! Lakukan saja!"

Begitu selesai dengan kata-katanya, Andika pun

melompat ke atas panggung.

Wuttt...!

Seketika Pendekar Slebor mengirimkan satu pukulan

ke arah Raja Akherat yang sudah memukul jatuh beberapa

pengurung. Namun sebagai tokoh tingkat tinggi, Tidar

langsung.merasakan adanya sebuah angin panas ynng

mengarah padanya. Maka cepat melompat ke samping,

sehingga luput dari serangan. Dan matanya kontan

terbelalak ketika melihat siapa yang menyerang.

"Grrh! Anak ingusan mana yang berani melawanku,

hah?!" geram Tidar sambil memperhatikan Andika yang

hanya nyengir saja.

Sementara para tokoh persilatan yang masih seIamat

cepat melompat turun panggung, seperti memberi

kesempatan pada pemuda berpakaian hijau dengan kain

bercorak catur yang tersampir di pundaknya.

"Grrr! Monyet jelek mana yang jadi tukang obat di sini,

ya?" balas Andika.

Wajah si Raja Akherat merah padam. Dan tanpa

banyak kata lagi segera diserangnya Pendekar Slebor

dengan ganas.

Namun, Andika cepat meliuk-liukkan tubuhnya,

menghindari serangan. Sejak pertama kali melihat Tidar

menyerang dan membunuh Rimang, Pendekar Slebor

sudah bisa menebak kalau sekali gebrak si Raja Akherat ini

akan mampu menghabisi Iawannya. Serangan itu sangat

keji, dan membuat yang diserang sering terjebak.

Makanya, saat meliuk-liukkan tubuhnya, Andika tidak

menjauh. Dia cepat melompat ke depan. Dan ternyata yang

diduga benar. Karena kalau menghindar ke belakang,

serangan akan datang secara beruntun.

"Bakekok, Monyet Utan!" ejek Andika.

Raja Akherat makin geram saja.

Sementara itu Prabu Adiwarman dan Putri Permata

Delima sudah diselamatkan Patih Jalalowe, sejak Raja

Akherat membunuh Ki Kelana. Patih itu sendiri keluar

kembali, setelah memerintahkan beberapa pengawal

untuk menjaga Prabu Adiwarman dan putrinya.

Sedang Danji masih terpaku di tempatnya. Ia

memang tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa

memperhatikan saja ketika Patih Jalalowe membawa

masuk Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima. Dan,

masih sempat dilihatnya putri cantik itu meliriknya walau

hanya sekilas.

Di atas panggung, Raja Akherat terus menyerang

Andika dengan ganasnya. Namun dengan kelincahan dan

ilmu warisan dari Pendekar Lembah Kutukan, Pendekar

Slebor bisa menghindarinya. Meskipun berkali-kali

tubuhnya merasakan terpaan hawa panas.

Sementara Patih Jalalowe sudah masuk ke panggung

dengan keris pusaka terhunus. Begitu ada kesempatan,

langsung diserangnya Raja Akherat yang belum sempat

menyerang Andika kembali.

Mendapati serangan-serangan demikian, Raja

Akherat sama sekali tak gentar. Bahkan dengan lincahnya

tusukan-tusukan keris Patih Jalalowe berhasil dihindarinya.

Pada saat yang sama pula para pengawal Kerajaan

Pakuan sudah naik ke panggung. Mereka langsung

mengurung Raja Akherat. Namun sekali Tidar alias Raja

Akherat berkelebat, beberapa pengawal itu harus

beterbangan ke bumi, memuntahkan darah segar. Begitu

ambruk di tanah, nyawa mereka kontan melayang.

"Jaga Keraton! Kalian hanya membuang nyawa

percuma!" seru Patih Jalalowe, pada para pengawal yang

masih selamat.

Mendengar pcrintah itu, para pengawal keraton

segera turun. Mereka langsung berlarian, menjaga pintu

gcrbang. Sedangkan sebagian lagi masih berdiri di sana

ilrngan tombak di tangan yang siap dihunuskan.

Sementara itu, begitu mendapat kesempatan, Andika

berusaha mendesak Raja Akherat kembali dengan jurus-

jurus dari Lembah Kutukan. Namun tokoh hitam itu sangat

tangguh. Diserang dari dua jurusan pun masih tampak

santai.

"Kalian hanya mengganggu keinginanku saja!" desis

Tidar alias Raja Akherat.

Mendadak saja Raja Akherat mengibaskan kedua

tangannya ke atas. Lalu mulutnya komat-kamit.

Pendekar Slebor dan Patih Jalalowe tak meneruskan

serangan ketika melihat apa yang dilakukan si Raja

Akherat. Kening mereka berkerut, memandang heran.

Dan belum habis keheranan mereka, mendadak saja

tubuh Tidar terlihat menjadi dua.

"Ilmu siluman!" seru Patih Jalalowe terkejut. Lebih

terkejut lagi ketika salah satu dari Raja Akherat me

nyerangnya.

"Tukang sulap yang bangun kesiangan, nih!" seru

Andika, langsung menghindar pula dari serangan Raja

Akherat yang lain.

Sukar sekali untuk membedakan, mana Raja Akherat

ash, dan mana yang jelmaan. Karena keduanya berwajah

mirip. Bahkan sama-sama tangguh dan sama-sama kejam

Iuar biasa.

Andika sendiri nampak kewalahan menghadapi

serangan dahsyat yang menimbulkan hawa panas dan ber-

bau busuk itu. Sebisanya tubuhnya berkelit terus

menghindar. Bahkan sekali pun ia tak diberi kesempatan

untuk menyerang.

Begitu pula Patih Jalalowe. Bahkan ia telah terkena

pukulan berkali-kali. Keampuhan keris pusakanya ba-

gaikan kehilangan tenaga. Lebih menggiriskan lagi

tubuhnya terhempas ke bumi dalam keadaan hangus.

Sementara tubuhRaja Akherat yang menyerangnya segera

melesat ke arah keraton.

Tiga orang persilatan yang masih berada di sana

berusaha menghalanginya. Akan tetapi, maut pun segera

menjemput mereka. Begitu pula para pengawal. Sia-sia

mereka mempertaruhkan nyawa, karena hasilnya sia-sia.

Dan Raja Akherat pun dengan leluasa masuk ke

Keraton Pakuan. Tangannya melesat ke sana kemari

dengan ganasnya, menghancurkan apa saja yang nampak

di matanya.

Sedangkan Raja Akherat yang bertarung melawan

Andika di atas panggung, terus menyerang dengan ganas.

Serangan-serangannya sangat mematikan.

Andika sendiri sudah menggunakan tenaga 'Inti Petir'

tingkat kedelapan belas. Seluruh tenaganya bertambah.

Diiringi seruan keras, pemuda sakti dari Lembah Kutukan

itu menderu ke arah Raja Akherat.

Tetapi, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena

lugitu pukulan yang mengandung tenaga petir itu melesat,

Raja Akherat hanya mengangkat tangannya, seolah-olah

menangkapnya.

Andika sangat terkejut.

"Gila! Bisa mampus aku kali ini!" dengus Andika cepat

menarik pulang serangannya, lalu cepat melenting ke

belakang, menghindari tangkapan tangan Raja Akherat. Ini

benar-benar gila, karena jarang orang yang berani

menangkap tangannya yang mengandung kekuatan 'Inti

Petir'!

"Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar Slebor, Anak

Muda! Sayang, ilmu-ilmumu tak ada manfaatnya bagiku!"

ejek Raja Akherat.

Andika yakin kalau Raja Akherat mengenalnya dari

jurus yang baru saja dilakukan. Ilmu warisan Pendekar

Lembah Kutukan memang sangat dikenal beberapa puluh

tahun yang lalu.

"Kalau kau sudah tahu, kenapa kau tidak mencium

pantatku, hah?!" ejek Andika.

"Bangsat! Nama Pendekar Slebor akan mampus hari

ini juga!"

***

Sementara itu, Danji yang melihat Raja Akherat yang

satu lagi masuk ke Keraton Pakuan, segera berlari ke

samping keraton. Sebenarnya, ia tidak tahu seluk beIuk di

keraton itu. Namun bayangan akan kekasihnya yang

terancam bahaya, membuat keberaniannya timbul.

Begitu di dalam, pemuda itu mendengar suara ribut-

ribut yang hingar bingar.

"Gila! Manusia setan itu sedang mengamuk! Oh!

Bagaimana aku harus menyelamatkan Putri Permata

Delima?" gumam Danji.

Belum lagi Danji memikirkan soal itu lebih lanjut,

mendadak saja tanah yang berjarak tiga tombak darinya

terbuka. Lalu terlihat beberapa kepala pengawal Keraton

Pakuan, dis usul Prabu Adiwarman dan Putri Permata

Delima.

"Putri!" seru Danji sambil mendekat.

Beberapa pengawal keraton segera menghunus

tombak.

"Jangan! Dia temanku!" seru Putri Permata Delima.

Wajahnya yang tadi kelihatan pias dan tegang, kini terse-

nyum. Tampaknya gadis ini melihat kekasihnya berada di

sana.

Para pengawal itu segera menurunkan tombaknya.

Sementara kening Prabu Adiwarman jadi berkerut. Ia

merasa heran karena putri tersayangnya mengenal

pemuda berpakaian kampungan itu. Tetapi ia pun tidak

mempedulikannya, karena beberapa orang pengawal

memintanya untuk segera cepat melarikan diri.

"Prabu Yang Mulia. Hamba tahu tempat yang aman,"

kata Danji memberanikan diri.

"Di mana?" tanya Prabu Adiwarman.

"Ikut hamba, Prabu."

Prabu Adiwarman melirik putrinya yang hanya

menganggukkan kepalanya. Lalu bersama sepuluh orang

pengawal keraton, mereka pun melarikan diri ke tempat

yang dimaksud Danji.

Sedang di dalam. Raja Akherat mengamuk habis-

habisan, menghancurkan apa saja yang diinginkannya.

Ketika tidak menemukan Prabu Adiwarman dan Putri

Permata Delima, tokoh sesat itu berlari keluar keraton.

"Hiaaa...!"

Sambil berteriak keras kedua tangan Tidar mengibas

ke depan, ke arah panggung. Wesss...!

Terdengar suara deru angin yang sangat keras.

Andika yang sedang dicecar Raja Akherat yang satu

lagi, melompat begitu mendengar teriakan dahsyat. Tu-

buhnya cepat berputar dua kali sambil mengirimkan satu

pukulan yang tepat mengenai kepala Raja Akherat yang

sedang marah-marah.

Wuutt...!

Des!

Blarrr...!

Kepala Raja Akherat itu pun pecah. Sementara

panggung itu berantakan menimbulkan ledakan keras,

ketika pukulan jarak jauh Raja Akherat yang pecah

kepalanya melabraknya.

Sedangkan saat itu, Raja Akherat yang satu lagi

sudah bersalto dengan ringan keluar panggung, lalu

mendarat di tanah.

Andika yang merasa serangannya berhasil mengenai

sasaran, harus membelalakkan matanya. Ketika mayat

Raja Akherat yang dipukul kepalanya tadi mendadak saja

Ienyap. Lalu, terlihat sebuah sinar putih melesat ke arah

Raja Akherat yang sedang berdiri gagah. Dan sinar itu

langsung masuk ke dalam tubuhnya.

"Ha ha ha...! Jangan terkejut, Pendekar Slebor! Itu

adalah salah satu ilmuku yang terdahsyat! Ilmu MeIayang

Dua!"

Andika mendengus.

"Kau juga belum melihat jurusku yang hebat, Monyet

Jelek!" seru Andika.

Lalu mendadak saja, Pendekar Slebor menungging ke

arah Raja Akherat. Dan....

Duuttt!

Andika berdiri tegak kembali.

"Itu jurus 'Pendekar Ganteng Kebanyakan Makan

Ubi'!" Ieceh Pendekar Slebor, seenaknya.

Wajah Raja Akherat merah padam, seketika dia

melompat menyerang kembali ke arah Andika dengan

ganas.

Pendekar Slebor bukannya melayani, tapi justru

melesat ke dalam keraton yang bagian dalamnya sudah

hancur. Ia mencari-cari sambil mendengar teriakan-

teriakan Raja Akherat memanggilnya.

Tetapi Andika tidak peduli. Yang dipikirkannya

hanyalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.

Begitu tiba di dalam, Andika tidak menemukan siapa-siapa.

Justru di peraduan Prabu Adiwarman, terlihat sebuah lantai

terbuka

Dengan cepat Andika masuk dan menutup lahtai itu

kembali. Disusurinya lorong yang diyakini adalah jalan

rahasia. Ia pun yakin kaiau Prabu Adiwarman dan Putri

Permata Delima sudah melarikan diri, karena lorong itu

berakhir di luar keraton.

Andika celingukan sejenak, lalu melesat

meninggalkan tempat itu. Yang penting sekarang, dia harus

mencari Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.

***

Raja Akherat yang tidak menemukan Pendekar Slebor

menggeram marah. Tangannya tiba-tiba berkelebat ke

depan.

Seketika terdengar suara bagai ledakan. Dinding

bagian dalam hancur berantakan.

"Ha ha ha...!"

Lalu mendadak saja Raja Akherat terbahak-bahak

keras, hingga tubuhnya berguncang-guncang. Dia merasa

kalau kini telah menguasai Keraton Pakuan. Lalu dengan

gagahnya tokoh sesat ini keluar, menatap mayat-mayat

yang bergeletakan dan puing-puing keraton ynng hancur.

"Ha ha ha...! Kini tercapailah keinginanku untuk

menguasai Keraton Barat! Tibalah saatnya bagiku unluk

menjadi raja di rimba persilatan ini!"

Suara Raja Akherat menggema di pagi yang penuh

darah!

***

3


Angin bertiup semilir. Senja sudah merayap, beranjak

pada malam yang akan datang menyergap. Suasana

remang rcmang di sekitar Hutan Kaliamang, membual

Pendekar Slebor menghentikan langkahnya.

Begitu berhenti, pendekar berjiwa konyol dari ta¬nah

Jawa ini duduk mengambil sikap semadi, memulih-kan

jalan napas.

Setelah beberapa saat, Pendekar Slebor pun

men¬desah panjang. Aliran darahnya kini sudah berjalan

se¬perti biasa kembali.

"Gila! Raja Akherat ternyata sangat sakti! Tetapi aku

tidak akan membiarkannya menguasai Keraton Pakuan.

Yang terpenting sekarang, mencari Prabu Adiwarman dan

Putri Permata Delima. Tetapi, oh! Di manakah Danji berada

sekarang?" gumam Pendekar Slebor.

Andika berusaha mengingat-ingat tentang Danji.

Tetapi ia merasa tidak melihat Danji sejak pertarungannya

dengan Raja Akherat.

Andika kembali mendesah.

"Kalau begitu, aku harus kembali ke Keraton Pakuan

besok untuk mencari mayat Danji. Atau..., sebenarnya ia

selamat? Kalau selamat, aku akan mencarinya sampai

dapat."

Pendekar Slebor saat ini tidak bisa berbuat apa-apa.

Tubuhnya telah letih. Hingga tanpa rerasa ia pun tertidur.

***

Sejak keberhasilannya menguasai Keraton Pakuan,

Kaja Akherat pun mulai mengundang para kerabatnya yang

rata-rata berasal dari golongan hitam. Sejak itu sepaik

terjangnya makin keterlaluan saja. Bahkan ia pun mulai

menculik dara-dara perawan yang tinggal di sekitar

kekuasaan Keraton Pakuan. Juga menculik pemuda-

pemuda tegap untuk dijadikan pengawal sekaligus

pelayannya.

Sudah tentu dengan berkuasanya Raja Akherat,

suasana di Keraton Pakuan sangat menyedihkan.

Kehidupan pahit dan sengsara mulai dirasakan rakyat.

Terutama para dara perawan yang dijadikan sebagai

pemuas nafsu Raja Akherat dan beberapa kambratnya.

Pesta semalam s untuk diadakan malam itu juga.

Diiringi tawa mereka dan jerit tangis para dara perawan

yang diperkosa. Sementara mayat-mayat yang berge-

lelakan, dibakar di halaman depan Keraton Pakuan.

***

Prabu Adiwarman menghela napas panjang ketika

mendengar cerita dari dua orang pengawal setianya yang

mcmata-matai keraton. Kini keadaan keraton benar-benar

bagaikan neraka saja. Kacau balau. Di bawah perintah

Raja Akherat, kerajaan Keraton Pakuan benar-henar di

ambang kehancuran.

Prabu Adiwarman sangat menyesali keadaan ini.

Sungguh tidak disangka, kalau sayembara yang

diadakannya berakibatkan seperti ini. Apalagi bila

mengingat, kesaktian Raja Akherat benar-benar tinggi.

Padahal, baru kali ini ia mendengar nama itu. Dan sekali

mendengar dan melihat orangnya, telah mengobrak-abrik

Keraton Pakuan serta membunuh pemuda gagah yang ikut

dalam sayembara.

Prabu Adiwarman pun sudah mendengar kalau Patih

Jalalowe telah tewas di tangan Raja Akherat. Ah, bila

mengingat akan patih yang gagah perkasa dan setia

mengabdi padanya itu, hatinya menjadi sedih. Terbayang

kembali bagaimana setianya dan sopannya perilaku Patih

Jalalowe.

Sementara Putri Permata Delima hanya bisa

menghibur ayahnya saja. Ia tahu apa yang dirasakan

ayahandanya. Meskipun hatinya merasa senang karena tak

seorang pemuda pun yang mengikuti sayembaran itu

berhasil mempersunting dirinya, tetapi tetap saja sedih

melihat Keraton Pakuan kini dikuasai seorang tokoh hitam

yang berilmu sangat tinggi.

Danji sendiri tidak berani mendekati kekasihnya

terang-terangan. Karena, bisa diduga kalau Prabu

Adiwarman akan murka. Untung saja, Putri Permata Delima

sendiri yang selalu mendekatinya. Dan kini. mereka duduk

berdua di muka gua, sementara beberapa pengawal yang

setia berkeliling menjaga segala kemungkinan.

"Kang Danji... Bagaimana caranya Keraton Pakuan

akan bisa kita kuasai lagi?" tanya Putri Permata Delima

dengan wajah murung.

Danji menggelengkan kepala.

"Aku juga tidak tahu, Putri.... Mungkin. kita hanya bisa

berharap. Mudah-mudahan Gusti Allah akan memberikan

pertolongannya...,"sahut Danji lesu.

"Kalau begitu. selamanya Keraton Pakuan akan

dikuasai manusia-manusia jahat itu. Oh! Betapa

mengenaskannya nasih rakyat sekarang...."

Keduanya terdiam. Tak ada yang bersuara, dicekam

pikiran masing-masing.

"Bagaimana dengan sahabat barumu yang bernama

Andika itu?" tanya Putri Permata Delima tiba-tiba.

Memang, selama perlarian ini, Danji telah

menceritakan tentang Andika pada Putri Permata Delima.

"Oh, Gusti.... Mengapa aku baru teringat dia?" desis

Danji sambil menepuk keningnya. "Kau benar. Putri....

pemuda itu memang berkepandaian tinggi. Tetapi, apakah

ia belum tewas ketika bertarung melawan Raja Akherat?"

sambung Danji sambil mendesah.

Masih terbayang di benak pemuda ini, bagaimana

Andika menyuruhnya untuk menyelamatkan Prabu

Adiwarman dan Putri Permata Delima. Saat itu ia pun

melihat tubuh Andika melenting ke arah Raja Akherat yang

sedang mengamuk.

Apakah Andika masih hidup? "Mudah-mudahan ia

masih hidup, Kang Danji...,' desah Putri Permata Delima.

"Yah. Meskipun sikapnya seperti urakan dan rada

konyol, tetapi jelas sekali kalau kesaktiannya c ukup tinggi,

Putri.... Memang pemuda itu sangat baik. Putri..."

Belum lagi Putri Permata Delima menimpali,

mendadak...

"Kutu busuk! Kampret mati! Biang borok! Kcnapa aku

ditangkap begini, sih?! sejak tadi sudah kubilang, aku

adalah salah seorang yang akan membantu Prabu

Adiwarman!"

Terdengar suara keras mengomel-ngomel. Tak lama

tampak satu sosok tubuh berpakaian hijau muda dengan

kain bercorak catur di punggung tengah digiring di bawah

todongan senjata tombak. Sebenarnya, bisa saja pemuda

yang tak lain Pendekar Slebor ini melumpuhkan para

pengawal. Namun tentu saja dia tak mau melukai

perasaan Prabu Adiwarman.

Tetapi empat orang pengawal yang menggiringnya

tidak mempedulikannya. Mereka teus mendesak Andika

agar melangkah ke arah gua

Andika sendiri sejak semula memang bisa menerka.

kalau mereka adalah para pengawal Keraton Pakuan yang

menyelamatkan Prabu Adiwarman dan Putri Permata

Delima. Dan dia pun berharap kalau Danji berada bersama

mereka.

Sementara Danji dan Putri Permata Delima lang¬sung

bangkit, begitu mendengar suara seperti orang ma-rah-

marah. Begitu melihat Danji langsung terkejut.

"Andika!" teriak Danji.

Andika nyengir lalu mengangkat tangannya.

"Rupanya kau masih hidup, hah?!" desis Andika.

Lalu Andika menoleh pada keempat pengawal.

"Nah! Kalian lihat, kan? Aku tidak berbohong, kan?!

Weee!" kata Andika sambil menjulurkan lidahnya kepada

keempat orang itu yang kelihatan menjadi geram

bercampur geli melihat sikapnya.

Danji lantas menoleh pada Putri Permata Delima.

"Putri..., pemuda itulah yang bernama Andika. Lebih

baik perintahkan para pengawalmu untuk

membebaskannya. Karena aku yakin, dia orang baik-baik,"

ujar Danji.

Putri Permata Delima sebentar menatap Andika yang

cengar-cengir. Kemudian, kepalanya menoleh pada

keempat pengawal.

"Ia orang kita," kata Putri Permata Delima.

"Baik, Gusti Putri...," kata salah seorang pengawal

sambil menjura hormat. Segera pengawal itu memberi tahu

yang lain untuk melepaskan Andika. Sebagian pengawal

kemudian kembali ke tempat masing-masing untuk

berjaga-jaga. Sementara pengawal yang memerintahkan

tadi masih berdiri di sana dengan mata waspada,

Meskipun dalam hati kecilnya dia yakin kalau pemuda ini

tidak berbahaya.

Andika menoleh pada Putri Permata Delima.

"Putri.... Namaku Andika...," kata Pendekar Slebor,

inemperkenalkan diri.

"Danji sudah banyak membicarakan tentangmu,"

sahut gadis cantik putri penguasa Kerajaan Pakuan ini.

Andika nyengir.

"Wah! Kalau begini caranya, gagal aku untuk mencuri

perhatianmu," gurau Andika, ceplas-ceplos. Lalu dia

menoleh pada Danji. "He he he.... Kenapa wajahmu

memerah, Danji? Cemburu? Wah, nanti kau cepat tua!"

Danji gelegapan disudutkan seperti itu. Sedangkan

Putri Permata Delima hanya tersenyum saja. Lalu diajaknya

Andika masuk ke dalam gua.

***

Sambil memakan buah-buahan yang dipetik dari

pohon yang tumbuh di sekitar Hutan Kaliamang, Pendekar

Slebor, Danji, dan Putri Permata Delima bercakap-cakap.

Mereka duduk di salah satu ruang gua yang cukup Iuas.

"Bagaimana keadaan Keraton Pakuan. Andika??

tanya Danji.

"Kacau! Perbuatan Raja Akherat harus segera

dihentikan. Aku mendengar kabar, kalau ia telah

memanggil beberapa kerabatnya untuk membantu. Dan

sudah tentu mereka bersedia melakukannya, karena

begitu banyaknya kemewahan dan kemudahan yang akan

didapatkan. Dan yang lebih membuatku dongkol, gadis-

gadis yang tinggal di sekitar Keraton Pakuan mengalami

nasib memilukan. Mereka menjadi budak nafsu orang-

orang kejam itu!" papar Andika. Suasana hening.

"Di mana Prabu saat ini?" tanya Pendekar Slebor,

memecah keheningan.

"Ayahanda sedang tidur. Kasihan dia. Terlalu pusing

memikirkan soal keraton," desah Putri Permata Delima.

Andika tersenyum.

"Aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa

kita jalankan," ungkap Andika.

"Bagaimana?" tanya Putri Permata Delima dan Danji

bersamaan. Lalu keduanya saling pandang dan tersenyum.

"Jadi iri aku melihat keakraban kalian ini?" usik

Andika, sambil cengengesan.

"Bagaimana dengan rencanamu tadi?" tukas Danji

berusaha mengalihkan perhatian.

"Mungkin, berita tentang jatuhnya Kerajaan Pakuan

sudah sampai ke beberapa kerajaan lainnya. Bila memang

Prabu Adiwarman mempunyai hubungan yang baik dengan

kerajaan-kerajaan lain, kita bisa meminta bantuan. Karena,

menghadapi manusia kejam itu sungguh sulit," jelas

Andika.

"Apakah kau tidak mampu melakukannya, Andika'"

tanya Danji.

Andika terbelalak.

"Aku? Sendiri? He he he.... Aku terlalu ganteng untuk

mati muda. Tetapi, aku akan melakukan sekuat tenaga.

Karena aku sendiri sudah terlibat di dalamnya."

Putri Permata Delima menahan senyum mendengar

selorohan Andika tadi.

"Aku akan membangunkan ayahanda untuk

membicarakan soal ini," kata Putri Permata Delima.

"Tidak usah. Biarkan Prabu tidur. Nanti malam

barulah kita kembali membicarakan soal ini."

***

Malam pun membedah alam. Suasana dan sekitar

gua di tengah Hutan Kaliamang sangat sunyi, terhalang

oleh pohon besar yang banyak tumbuh di sekitarnya.

Jarang orang yang tahu kalau di hutan itu terdapat sebuah

gua, tempat berlindung dari binatang buas, hujan, dan

aiigin yang keras.

Prabu Adiwarman tampak mengangguk-angguk

mendengar rencana Andika.

"Aku punya hubungan yang baik dengan Prabu

Srigiwarman, penguasa Kerajaan Labuan. Tetapi,

sebenarnya aku tidak ingin melibatkannya dalam hal ini.

Mengingat, keadaan Kerajaan Labuan sudah aman dan

sentosa. Aku tidak ingin karena gara-garaku, maka

kerajaan itu akan porak poranda," papar Prabu Adiwarman

sambil mengusap dagunya. Wajahnya nampak lima tahun

lebih tua dari usia sebenarnya.

Andika memperhatikan Prabu Adiwarman dengan

seksama. Dan dia melihat sinar lembut dan penuh

kebijaksanaan dari mata laki-laki setengah baya yang telah

ditinggal istrinya untuk selama-lamanya ini. Wajahnya

begitu asri dan penuh pesona. Senyumnya pun

mengundang kedamaian.

"Tetapi. Prabu. Keadaan Kerajaan Pakuan sangat

genting. Dan aku yakin, dalam waktu dua purnama saja,

seluruh kerajaan akan hancur lebur. Termasuk, rakyat yang

akan menderita kepanjangan."

Prabu Adiwarman terdiam. Tampaknya. hatinya berat

untuk memutuskan apakah harus melibatkan Kerajaan

Labuan atau tidak. Ia dengan Prabu Srigiwarman memang

bersahabat baik. Bahkan Kerajaan Pakuan pemah

membantu Kerajaan Labuan ketika diserbu para

pemberontak. Meskipun masih menanamkan budi, Prabu

Adiwarman tetap tidak ingin melibatkan kerajaan itu dalam

masalah yang dihadapinya.

Tetapi seperti yang dikatakan Andika yang dikenal

sebagai Pendekar Slebor agaknya adanya bantuan

memang diperlukan. Karena Kerajaan Pakuan bisa porak

poranda bersama berjayanya Raja Akherat.

"Yah.... Memang tak ada jalan lain. Lawan terlalu

kuat," desah Prabu Adiwarman.

"Prabu setuju?" tanya Andika, ingin meyakinkan.

"Yah.... Aku akan mengutus dua orang pengawalku ke

Kerajaan Labuan dan meminta bantuan dari Prabu

Srigiwarman."

Terdengar desahan Iega dari tiga mulut.

"Dan kau, Andika," kata Prabu Adiwarman. "Bila

memang tulus hendak membantuku, kuucapkan terima

kasih."

"Hamba, Prabu. Hamba akan membantu sekuat

tenaga. Karena, perjuangan menuju kebenaran sangat

berat. Banyak sekali aral rintang, baik yang mudah maupun

yang sangat sukar. Biar bagaimanapun juga, hamba akan

membela kebenaran."

"Terima kasih," ucap Prabu Adiwarman sambil

memandang penuh kebanggaan.

Begitu pula Putri Permata Delima dan Danji.

Keduanya begitu yakin kalau Pendekar Slebor tidak akan

membantu setengah-setengah. Meskipun sitatnya sedikit

konyol, tetapi persahabatan yang telah tercipta dalam

suasana yang genting ini, sudah membangkitkan

kebersamaan.

"Hamba akan kembali memata-matai Kerajaan

Pakuan, Prabu. Biar...." "Haumm...!"

Kata-kata itu terputus ketika terdengar suara auman

harimau yang keras di luar gua.

***

4


Serentak Andika dan Danji berlari keluar. Karena

memang pendekar digdaya. sudah jelas Andika yang tiba

lebih dulu di luar gua. Baru kemudian, Danji yang berlari

terengah-engah. Sementara Putri Permata Delima

menyuruh ayahandanya tetap berada di dalam. Termasuk

dua pengawal yang segera bersiap dengan tombaknya.

Hati Putri Permata Delima sedikit risau. Karena begitu

banyaknya masalah yang dihadapi, namun belum satu pun

yang berhasil dituntaskan. Dan kini di luar gua agaknya ada

masalah lain.

"Permata...," panggil Prabu Adiwarman.

"Ada apa, Ayahanda...," sahut Putri Permaia Delima,

seraya menoleh, menatap ayahnya.

Prabu Adiwarman mendesah. Putri Permata Delima

melihat jelas kalau ayahandanya berada dalam

kegelisahan.

"Ini semua gara-gara ayahanda yang menginginkan

kau mendapatkan suami orang gagah...." kata Prabu

Adiwarman sambil sekali lagi mendesah panjang. Matanya

seperti menerawang, menyesali peristiwa yang terjadi. Yang

ada di benaknya bukanlah diri dan keluarganya, melainkan

nasib rakyat yang linggal di sekitar keraton.

"Sudahlah, Ayah. Semuanya sudah terjadi. Tak ada

yang perlu disesali lagi. Justru kita harus bangkit.

menyusun kekuatan baru untuk merebut kembali tahta,"

hibur Putri Permaia Delima. meskipun disadari kalau

kejadian ini bermula dari sayembara itu. Tetapi gadis ini

pun yakin kalau Raja Akherat memang bermaksud jahat

pada Kerajaan Pakuan. Adanya sayembara atau tidak,

tokoh sesat itu tetap akan datang dan melakukannya.

"Ah! Kini sangat sulit dipastikan, siapakah calon

suamimu nanti?" desah Prabu Adiwarman sambil

menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya yang bijaksana

tampak sangat memikirkan persoalan ini.

Sebenamya, ingin sekali Putri Permata Delima

mengatakan, kalau Danjilah yang dicintainya. Pemuda itu

telah menyelamatkan mereka di gua ini. Tetapi sudah tentu

gadis ini tidak ingin menambah beban di benak Ayahnya.

Dulu saja hatinya khawatir kalau ayahnya akan malah dan

jatuh sakit bila mengatakan bahwa dirinya sudah

mempunyai kekasih seorang pemuda desa.

Maka ketika Prabu Adiwarman mengatakan hendak

mengadakan sayembara Mungut Mantu, Putri Permata

Delima hanya menurut saja meskipun hatinya sedih bukan

main. Dan berkali-kali dari atas panggung besar itu, mata

gadis cantik ini melirik kekasihnya yang kelihatan gelisah,

marah, juga sedih.

Tetapi sekarang semuanya sudah berakhir. Dan Putri

Permata Delima bisa selalu berada di sisi Danji. meskipun

masih harus berusaha menyingkirkan semua dugaan

ayahnya. Dan, ia memang tidak ingin menambah

kegelisahan di hati ayahnya.

"Sudahlah, Ayah. Soal itu tidak perlu dibahas

sekarang. Karena masih ada waktu nanti..," hibur Putri

Permata Delima.

Prabu Adiwarman menatap anaknya yang semata

wayang. Seorang anak yang telah tumbuh menjadi dara

jelita dan bersikap layaknya seorang putri keraton. Berrkat

kerendahan hatinya, Putri Permata Delima amat disayangi

rakyat Kerajaan Pakuan. Gadis ini dulu memang sering

berjalan-jalan ke pelosok desa di Kerajaan Pakuan, untuk

melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Hingga

pada suatu saat dia bertemu Danji, di desa yang

dikunjunginya. Dan pertemuan yang singkat itu telah

melahirkan benih-benih cinta dalam hati kedua insan ini.

"Untungnya, dalam keadaan seperti ini Ayah masih

memiliki kau, Permata...," kata Prabu Adiwarman.

"Ayahanda ingat ibunda?" tebak Putri Permata De

lima.

Prabu Adiwarman mengangguk.

"Yah, Ayah sangat mencintainya. Karena itulah, Ayah

tidak menginginkan mencari pengganti ibumu...,' desah

laki-laki setengah baya itu.

"Sudahlah, Ayah... Yang terpenting sekarang, Ayah

harus banyak beristirahat. Jangan terlalu memikirkan

setiap persoalan. Kita pun belum tahu, ada apa di luar gua

ini sekarang?" ujar Putri Permata Delima sambil tersenyum.

Kalau mau jujur, terkadang Putri Permata Delima pun

suka teringat pada ibundanya. Seperti, ketika sayembara

Mungut Mantu itu diadakan. Bila ada ibundanya, mungkin

ia bisa berlindung pada ibunya. Sehingga, sayembara itu

ditiadakan. Karena, ia telah mencintai Danji.

***

Di luar, seorang gadis berwajah cantik bertubuh sintal

dan berambut panjang tergerai tampak duduk di punggung

seekor harimau besar yang mengerikan. Sikap gadis itu

begitu santai. Tetapi, matanya menatap tajam pada lima

pengawal Kerajaan Pakuan yang berdiri seperti

mengurungnya dengan tombak di tangan. Seperti halnya

warna harimau itu belang-belang, gadis itu pun

mengenakan pakaian dengan kulit yang sama. Bagian

bahu sebelah kanan terbuka. Di punggungnya tampak

sebilah pedang dengan warangka dibalut kulit harimau.

Agaknya lima orang pengawal Kerajaan Pakuan yang

menatap dengan sikap waspada inilah yang membuat

gadis itu kelihatan jengkel.

Sementara, Andika hanya menggeleng-gelengkan

kepala.

"liih! Ngeri melihat tampang tungganganmu itu,

Nona," kata Andika sambil mengangkat kedua bahunya,

memperlihatkan tampang bergidik. Padahal dalam hati, ia

memuji kecantikan dara jelita itu.

Gadis itu mendengus sinis.

"Apa pedulimu, hah?! Apakah kau ingin mampus dan

menjadi santapan peliharaanku?!" bentak gadis itu sewot.

Andika tertawa.

"Bagaimana kalau aku yang menjadi tungganganmu?"

seloroh Pendekar Slebor keterlaluan, membuat Danji

tersenyum.

"Menjijikkan!"

"He he he... cuma bercanda saja, kok. Nona manis,

siapakah kau sebenarnya? Apakah kedatanganmu ke sini

untuk berkenalan denganku yang ganteng?" kata Andika,

kumat gilanya. Sikapnya seolah sudah lama mengenalnya.

Dan gadis itu sudah terbiasa bercanda seperti itu.

"Hhh! Pemuda konyol! Mengapa orang-orang

berpakaian seperti orang Kerajaan Pakuan itu

menghadang perjalananku, hah?!" seru gadis itu sewot.

"Aku tidak pernah mengganggu siapa pun. Dan mengapa

mereka bersikap marah begitu?"

Andika sadar kalau rupanya ada kesalah pahaman

diantara gadis ini dengan para pengawal. Maka kakinya

segera maju beberapa tindak, mendekati salah seorang

peJ ngawal yang berpangkat paling tinggi.

"Tolong perintahkan agar yang lainnya menurunkan

tombak. Biar aku yang urus. Aku pengalaman dalam

mengurus gadis cantik seperti itu," bisik Andika.

Kata-kata yang diucapkan Pendekar Slebor

sebenarnya sangat pelan. Tetapi.....

"Apa kau bilang tadi? Menjijikkan!" dengus gadis itu,

yang ternyata mendengar bisikan Andika pada pengawal

tadi. "Baru kali ini aku bertemu pemuda konyol yang tidak

tahu malu!"

Andika tercengang. Bila ternyata gadis ini mendengar

bisikannya, ilmunya cukup tinggi. Siapa sebenarnya dia?

Andika nyengir.

"Nona manis, siapakah sebenarnya Nona ini?" tany

Pendekar Slebor, seramah mungkin.

"Namaku Sari! Ini tungganganku, Belang!"

"Namaku Andika...."

"Aku tidak peduli namamu!" bentak gadis itu

"Yaaa," desah Andika malu hati.

"Minggir, aku ingin melanjutkan perjalananku!"

"Oh. silakan. silakan.... Tetapi hati-hati jangan sampai

peliharaanmu itu menggigitku."

Sebenarnya gadis yang mengaku bernama Sari ini]

tertawa geli dalam hati melihat sikap konyol pemuda di

hadapannya. Tetapi sudah tentu tidak ingin diperlihat

kannya.

"Ayo, Belang! Kita tinggalkan orang-orang dungul ini!"

ujar Sari. Wuuuttt!

Harimau bernama Belang itu seperti menghentikan!

kata-kata tuannya. Dengan gerakan ringan dia melompat

meninggalkan tempat ini.

Sementara Andika menggelengkan kepalanya

Pengawal yang berpangkat paling tinggi cepat men-ilekati

Andika.

"Tuan Pendekar.... Bagaimana kalau ternyata gadis itu

mata-mata dari Raja Akherat?" tanya pengawal itu, gusar.

"Tidak, Kang Wirdoyo. Dia hanyalah seorang gadis

baik-baik. Kau lihat tadi. Kalau kau nekat..., wah!

Auumm...crat! Habis kepalamu ditelan peliharaannya! Kau

mau ditelan harimau yang ganas itu, Kang Wirdoyo?" sahut

Andika yang memang sudah mengenal pengawal ini.

Wirdoyo tersenyum kecut.

Lalu Andika mengajak Danji ke dalam, menemui

Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima kembali.

"Siapa, Andika?" tanya Putri Permata Delima, begitu

melihat Pendekar Slebor dan Andika berjalan menghampiri.

"Seorang gadis yang menunggang seekor harimau

besar," sahut Andika sambil duduk kembali.

"Hei? Sarikah namanya?" tanya Prabu Adiwarman.

"Benar, Prabu."

"Hmm.... Dia adalah putri tunggal dari Ki Wirayuda,

Penguasa Harimau. Ke manakah perginya?"

Andika mengangkat bahunya.

"Tidak tahu. Ia terlalu galak untuk ditanya," sahut

Pendekar Slebor.

"Ayahnya pernah membantuku untuk mengembalikan

harimau-harimau lepas ke Hutan Lawengan. Sudahlah....

Seperti yang telah kita rencanakan, aku akan mengutus


dua orang pengawal ke Kerajaan Labuan. Suratnya pun

telah kusiapkan."

"Kalau begitu, hamba akan pergi ke Keraton Pakuan

Barat, Prabu...."

"Pendekar Slebor.... Terima kasih atas bantuanmu."

"Wah, wah...! Tidak tepat kalau dikatakan membantu.

Karena, aku sendiri tidak suka melihat perbuatan Raja

Akherat yang sewenang-wenang seperti itu," kata Pendekar

Slebor, seraya bangkit berdiri.

Prabu Adiwarman diam-diam memuji sikap pemuda

yang nampak konyol ini. Lalu segera diperintahkannya dua

orang pengawal untuk segera berangkat kerajaan Labuan.

Sementara Andika sendiri sudah melangkah ke luar

gua. Di belakangnya, Danji mengantarkan sampai depan

mulut gua.

"Andika..., hati-hati," ingat Danji.

Andika tersenyum.

"Justru tugasmulah yang sangat berat, Danji," kata

Andika, membesarkan hati sahabat barunya.

"Kenapa?"

"Karena..., kau harus menjaga Putri Permata Delima

dan Prabu Adiwarman. Di tanganmulah aku lebih yakin kau

bisa menyelamatkannya," sahut Andika tanpa maksud

basa-basi.

"Kenapa kau berkata begitu, Andika?"

Andika tersenyum penuh arti.

"Hanya kau yang tahu jawabannya, Danji. Tetapi,

bukankah kau senang karena lebih bisa dan sering ber-

dekatan dengan kekasihmu?" seloroh Andika.

Danji hendak membalas selorohan Andika, tetapi

tubuh berpakaian hijau lumut itu sudah melesat cepat.

***

5


Seperti yang diduga Andika sebelumnya, keadaan

Kerajaan Pakuan sudah seperti neraka saja. Di salah mi tu

sudut tembok keraton, Pendekar Slebor mengawasi

keadaan dari atas pohon asam yang berdaun lebat.

Pendekar tampan ini melihat di tengah-tengah halaman

Keraton Pakuan terdapat sepuluh laki-laki tua yang harus

mati di ujung anak panah. Si pemanah berdiri di tangga

keraton. Dia adalah seorang laki-laki tinggi tegap, berusia

kira-kira empat puluh lima tahun. Pakaiannya berwarna

hitam dengan ikat kepala berwarna merah. Wajahnya tirus.

Matanya memancarkan kekejaman. Sikapnya tampak

dingin.

Dalam sekali jepretan, sepuluh anak panah sekaligus

dilepaskan. Semuanya tepat mengenai sasaran.

Andika menggeram dalam hati sambil mengepalkan

tangannya. Hatinya benar-benar murka melihat kese-

wcnang-wenangan salah satu kerabat Raja Akherat.

Siapakah laki-laki berpakaian hitam itu?

Plok! Plok! Plok!

Mendadak terdengar suara tepuk tangan keras.

"Hebat! Ilmu panahmu masih sangat hebat, Songko!"

Dari tempat persembunyian, Andika melihat jelas

siapa yang bersuara bagaikan guntur itu. Siapa lagi kalau

bukan Raja Akherat, yang sedang duduk di sebuah kursi

besar indah sepuluh tombak dari tangga keraton. Dua

orang gadis yang mengenakan secarik kain untuk

menutupi dadanya, dan sebuah kain terusan untuk

menutupi perut hingga mata kaki, sedang mengipasi tokoh

sesat itu.

Kelihatan sekali kedua gadis itu nampak sangat

terpaksa. Wajah mereka begitu sedih, tetapi dipaksakan

untuk tetap tersenyum. Kalau tidak, mereka akan

mendapat siksaan dari Raja Akherat Sementara tiga orang

gadis duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Jelas

sekali kalau batin mereka sangat tersiksa.

Di sebelah kanan Raja Akherat berdiri seorang! nenek

bertubuh bongkok, terbungkus pakaian kuning keemasan.

Rambutnya digulung ke atas, dihiasi sebuah tusuk konde

dari emas. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat

bengkok. Orang-orang rimba persilatan mengenalnya

sebagai Kayu Seribu Laksa. Namun nama aslinya adalah

Nyai Surti.

Sementara di sebelah kiri Raja Akherat, berdiri dua

orang gagah yang bertelanjang dada. Kepala mereka

gundul kelimis. Bila diperhatikan seksama, jelas wajah satu

sama lain mirip. Mereka memakai celana pangsi warna

hitam. Di pinggang masing-masing melingkar secarik kain

berwarna putih. Dalam rimba persilatan me¬reka berjuluk

Dua Kembar Kepalan Batu. Tapi sebenarnya nama masing-

masing adalah Srigunda dan Srigandi.

Merekalah orang-orang yang ditunjuk oleh Raja

Akherat untuk dijadikan pengawal. Tampak pula beberapa

pemuda desa yang dipaksa untuk menjadi penga¬wal.

Mereka berjajar gagah dengan tombak di tangan. Mau

tidak mau mereka harus menuruti perintah, bila tidak ingin

cepat mampus di tangan Raja Akherat.

Saat itu, pemanah yang dipanggil Songko sedang

tersenyum pada Raja Akherat. Busurnya segera

diselempangkan di dadanya.

"Ha ha ha.... Saudara Tidar hanya bisa memuji saja,"

kata Songko merendah, padahal kepalanya langsung

menjadi besar.

"Kau hebat, Songko! Ilmu panahmu sangat hebat. Tak

sia-sia kau dijuluki Panah Iblis Dari Utara!" puji Raja

Akherat terbahak-bahak.

Rupanya Songko yang berjuluk Panah Iblis Dari Utara

pandai menjilat. Ia tetap berkata dengan suara rendah,

meskipun dadanya semakin membusung.

"Itu berkat petunjuk lama yang pernah kau berikan,"

kata Panah Iblis Dari Utara.

"Hak... hak... hak.... Tak sia-sia kau kuajak bergabung!

Sebagai sahabat lama, sudah tentu aku akan menjamu

tamuku!" seru Raja Akherat. "Pilihlah, gadis mana yang kau

suka! Lebih mengasyikkan bila empat orang sekaligus!"

Sepasang mata Songko langsung berkilat penuh

birahi. Bibirnya tersenyum, namun lebih mirip seringai.

"Gairahku sejak tadi sudah muncul begitu melihat tiga

orang gadis itu, Saudara Tidar! Dapatkan aku memiliki

mereka?" kata Songko.

Raja Akherat terbahak-bahak.

"Gadis mana pun juga dapat kau miliki! Hei, kalian

gadis-gadis ayu! Layani tuanmu Songko, dengan permainan

mengasyikkan dan tak dapat terlupakannya!" ujar Raja

Akherat terbahak-bahak lalu kembali menoleh pada Panah

Iblis Dari Utara. "Kini mereka menjadi milikmu, Songko!"

'Terima kasih."

Songko bergerak menuju pintu diiringi tiga orang

gadis yang sejak tadi bersimpuh di sana. Mereka hanya

pasrah saja, tetap melangkah dengan kepala tertunduk.

Terbayang kembali, bagaimana mereka akan dipermainkan

di atas ranjang nanti. Kalau saja mereka mempunyai

kekuatan dan keberanian, sudah ditentangnya tirani yang

menyakitkan ini!

Tetapi tepat ketika Songko rnencapai pintu

"Hauummm...!"

Terdengar suara auman yang sangat keras, disusul

berkelebatnya satu sosok jelita di atas punggung harimau

besar.

***

"Sari!" desis Andika dari atas pohon. "Mau apa gadis

itu di sana?"

Yang baru datang memang Sari yang menurut Prabu

Adiwarman adalah putri Ki Wirayuda, Penguasa Harimau.

Sebenarnya, gadis itu belum mendengar kalau Kerajaan

Pakuan s udah dikuasai orang-orang biadab. Ia baru saja

turun gunung, tempat tinggal Ki Wirayuda ayahnya Gunung

Widara memang cukup jauh dari ibukota kerajaan. Paling

tidak, harus ditempuh dua minggu dengan berkuda. Itulah

sebabnya, Sari tidak tahu kalau keraton sudah dikuasai

Raja Akherat.

Sejak peristiwa tadi di Hutan Kaliamang, hati gadis itu

kesal bukan main. Dia heran, mengapa orang-orang

Kerajaan Pakuan mengurungnya? Bahkan bersikap tidak

sopan. Malah ada yang sudah mengangkat senjatanya.

Dan ini amat menjengkelkannya.

Itulah sebabnya, Sari merasa harus mendatangi

keraton. Dia ingin mencari tahu pada Prabu Adiwarman

apa sebabnya diperlakukan demikian. Karena ia tahu,

hubungan ayahnya dengan Prabu Adiwarman sangat dekat.

Bahkan sesekali ia suka bertandang ke keraton bersama

ayahnya. Tapi sekarang?

Sari sangat terkejut ketika melihat beberapa bagian

dinding keraton telah hancur. Lebih terkejut lagi ketika

melihat mayat tergeletak dengan sebatang panah

menancap di jantung maising-masing.

Kening gadis ini pun berkerut, melihat beberapa

sosok tubuh yang tidak dikenal. Bahkan sangat asing.

Wajah dan tatapan mereka mencerminkan suatu

permusuhan. Tak seorang pun yang berada di sana

dikenalinya. Biasanya, bila ia datang, beberapa pengawal

yang mengenalnya akan menyapa dengan akrab. Bahkan

langsung mengantarkan ke kaputren, tempat Putri Permata

Delima sering bermain di sana. Lalu Putri Permata Delima

yang memanggilkan ayahandanya, atau mengajaknya ke

ruang berangin-angin Prabu Adiwarman.

Sari adalah seorang gadis yang cerdas. Seketika dia

bisa berpikir cepat dan menduga, kalau ada sesuatu yang

tidak beres telah terjadi di keraton ini. Seketika dia turun

dari tunggangannya dengan lincah.

"Hhh! Rupanya kalian orang baru di sini, ya?" tegur

Sari dengan tatapan waspada.

"Ha ha ha...!"

Raja Akherat tertawa ngakak sekeras-kerasnya sambil

berdiri, begitu melihat siapa yang muncul. Seorang gadis

ayu berkulit kuning langsat. Kelihatannya, gadis itu sedikit

nakal. Pasti binal bila berada di ranjang. Begitu, pikir Raja

Akherat.

"Ha ha ha.... Selamat datang di keraton, Manis...."

Meskipun heran melihat sambutan yang bernada

membujuk, Sari tetap tenang.

"Aku ingin bertemu Prabu Adiwarman!" kata gadis itu,

ketus.

"Ha ha ha.... Silakan masuk kalau begitu. Beliau pasti

sangat suka menerima kedatanganmu!"

"Kalau memang berada di dalam, mengapa kursinya

kau duduki, Jelek?" sindir Sari.

Wajah Raja Akherat memerah. Birahinya semakin

bergejolak. Dadanya bergetar hebat melihat mangsa yang

menurutnya sangat empuk dan mengasyikkan.

"Ini kursi yang lama. Sedangkan Prabu memiliki yang

baru. Jadi..."

"Jadi..., kau manusia busuk yang menjilat, ha?!

Bahkan telah menghancurkan Kerajaan Pakuan?!" cecar

Sari yang kini sadar, mengapa sikap para pengawal

keraton yang ditemuinya tadi kelihatan begitu tegang.

Semakin memerah wajah Raja Akherat. Semula gadis

ini ingin dibujuk, biar mudah masuk dalam perangkapnya.

Tetapi sekarang, sikap gadis itu justru membuatnya marah.

Tetapi, amarahnya masih berusaha ditahan. Karena paling

tidak, menurutnya akan lebih mengasyikkan bila gadis itu

menyerahkan diri saja, dan mau menuruti seluruh

kehendaknya.

"Manis.... Lebih baik kau ikut bergabung denganku

Prabu Adiwarman sudah mampus dan entah di mana

mayatnya sekarang! Ketahuilah. Akulah orang yang

menguasai Kerajaan Pakuan sekarang ini!"

"Phuih...!"

Sari membuang ludahnya ke tanah. Hatinya semakin

yakin, kalau keadaan Kerajaan Pakuan memang berada di

ambang kchancuran. Apakah ini ada hubungannya dengan

sikap para pengawal di hutan sana? Sari pun yakin, kalau

para pengawal tidak mcngenalnya. Mungkin, mereka lebih

scring menjaga berkeliling, sehingga tidak mengenalnya.

"Cuiiih! Lebih baik kau minggat saja dari sini! Tahta

Kerajaan Pakuan tak pantas kau duduki!" desis Sari.

Raja Akherat yang bernama asli Tidar ini hanya

terbahak-bahak dengan suara nyaring.

"Aku menyukai gadis pemberani sepertimu!"

"Manusia tak tahu malu!" bentak Sari.

"Ha... ha... ha.... Baiklah.... Kita lihat sekarang, apakah

kau memang patut disebut gadis pemberani?" Lalu

tangannya menunjuk sepuluh pemuda desa yang dijadikan

pengawal. "Tangkap gadis itu!"

Serentak para pemuda ini berlompatan mengurung

Sari.

"Raja Pengecut! Apakah kau tidak punya nyali untuk

turun tangan menangkapku, hah?!" bentak Sari.

"Ha... ha... ha.... Aku ingin melihat kepandaianmu,

Manis. Bila memang kau bisa mengalahkan mereka, kau

sudah lulus ujian pertama untuk menjadi pendampingku!"

leceh Tidar.

"Phuih!"

Sari membuang ludahnya lagi.

"Tangkap gadis itu!"

Bagaikan kerbau dicucuk hidungnya, atau mungkin

karena rasa terpaksa. sepuluh pemuda itu segera

mengangkat senjata dan menyerang Sari dengan gencar.

"Kalian pemuda-pemuda tidak punya nyali!" dengus

gadis itu sambil menghindari setiap serangan.

Tiba-tiba tubuh gadis itu berkelebat cepat bukan

main. Tangan dan kakinya bergerak ke sana kemari,

menghantam para pemuda itu.

Duk! Des!

"Aaakh...!"

Dalam waktu yang singkat saja kesepuluh pemuda itu

bergeletakan pingsan. Plok! Plok! Plok!

Melihat hal ini Raja Akherat malah bertepuk tangan.

"Bagus, bagus sekali!"

"Mengapa kau masih duduk di situ, ha?!" bentak Sari.

"Raja Akherat! Biar kubereskan gadis cerewet ini!"

Tiba-tiba terdengar suara keras dari mulut Panah Iblis

Dari Utara. Begitu kata-katanya habis, tubuh Songko sudah

melayang deras ke arah Sari. Memang dia tadi merasa

terganggu. Karena sebelumnya sudah terbayang di

benaknya kalau akan menikmati pemberian Raja Akherat

yang memang telah membuatnya tidak sabar. Maka tak

tanggung-tanggung, langsung dilancarkannya sebuah

serangan berbahaya.

Tetapi mudah sekali Sari menghindar dengan

mengegoskan tubuhnya ke kanan. Panah Iblis Dari Utara

jadi terkejut. Sekali lagi serangannya diulangi. Tetapi tetap

saja dia gagal menyentuh bagian-bagian tubuh Sari yang

bisa meliuk-liuk indah.

"Hhh! Rupanya kau hanya besar mulut saja!" ejek

Sari.

Songko semakin geram. Dalam hal ilmu tangan ko-

song, laki-laki bertampang tirus ini memang tidak terlalu

tinggi menguasainya. Tetapi dalam ilmu memanah, hanya

dialah yang paling tangguh!

Kembali Panah Iblis Dari Utara mencoba terus

mendesak gadis itu. Namun demikian, lincah sekali Sari

menghindar.

"Bosan aku dengan manusia busuk sepertimu,

Belang! Ajar adat manusia busuk itu!" seru Sari.

Mendadak saja Sari bersalto ke depan, ke arah Raja

Akherat. Sementara harimau besar yang sejak tadi diam

saja sambil menatap.nyalang pada Songko, kini mengaum

keras. Diterjangnya Panah Iblis Dari Utara dengan cakar

dan taring-taringnya yang tajam.

Songko terkejut melihatnya. Tubuhnya cepat berkelit

dan melepaskan satu tendangan. Wuuuttt..!

Mengejutkan! Karena, si Belang bagai mengerti kalau

perutnya terancam tendangan. Mendadak saja tubuhnya

bergerak merunduk, bagaikan sedang menghindari

serangan. Lalu kaki kanan bagian depan mengibas.

"Heiiittt!" Songko mendengus kaget dan melompat.

"Gila! Harimau siluman rupanya!"

Si Belang memang telah lama dilatih Ki Wirayuda,

ayahnya Sari. Dan sejak kecil pula, harimau itu sudah

menjadi teman bermain Sari. Secara naluri, Belang tahu

kalau lawan akan menyerang dan bagaimana harus

menghindar.

Sementara Sari yang meluncur ke arah Raja Akherat,

sudah mencabut pedang di punggungnya. Dia yakin, laki-

laki bertampang menyeramkan itulah yang menguasai

orang-orang ini. Dan belum sampai Sari mengebutkan

pedangnya, tangan Raja Akherat sudah terangkat ke atas

sambil menghentak.

Wesss...!

Desss...!

"Aaakh...!"

Sari mengeluh tertahan ketika merasakan dadanya

bagai dihantam sebuah godam yang sangat kuat.

Tubuhnya terpental meluncur ke belakang, dan ambruk ke

tanah.

Sari berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.

Dan ketika baru saja berdiri.... "Hoekh...!" Sari muntah

darah.

"Ha... ha... ha...!" Raja Akherat tertawa terbahak-

bahak. "Lebih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan,

Manis? Daripada terluka...?''

Tatapan Sari meruncing, penuh amarah bergejolak

dalam dada.

"Cuih! Biarpun aku sudah mati, tak sudi kuberikan

mayatku kepadamu, Manusia Busuk!"

Raja Akherat memandang sambil tertawa lebar.

"Aku sangat suka dengan gadis pemberani seperti-

mu, Manis.... Sangat suka. Tetapi, yakinlah. Aku akan

mendapatkanmu sebentar lagi."

Meskipun merasakan kesakitan, Sari tidak pedulikan.

Ia pantang menyerah dan tidak mengenal takut.

"Hiaaa...!"

Disertai teriakan keras, Sari menyerang lagi.

Tubuhnya meluruk, dengan pedang di tangan terhunus ke

arah Raja Akherat yang terbahak-bahak. Begitu tubuh Sari

sudah dekal, kembali Raja Akherat mengangkat tangan

kanannya sambil menghentak.

Wesss...!

Serangkum angin serangan meluncur, mengancam

Sari. Dan.... Des!

"Aaakh...!"

Tubuh Sari kembali terhuyung ke belakang disertai

keluhan kesakitan. begitu angin serangan

menghantamnya.

"Hoekh...!"

Lagi-lagi Sari memuntahkan darah segar, walaupun

tubuhnya belum ambruk.

Raja Akherat tertawa, melihat gadis itu masih

terhuyung-huyung. Tanpa rasa kasihan sedikil pun, kembali

tangannya terangkat dan dihentakkan. Lalu....

Wesss!

Sekali lagi sebuah hantaman tak terlihat meluncur.

mengancam keselamatan Sari. Namun sebelum serangan

itu mencapai sasaran, tiba-tiba berkelebat satu sosok

bayangan hijau yang langsung menyambar tubuh Sari,

sehingga serangan itu luput dari sasaran.

Dua kali sosok itu berputaran di udara, lalu mendarat

ringan sepuluh tombak dari Raja Akherat agak ke samping

kanan.

"Masa' laki-laki bertampang monyet seperti itu,

beraninya melawan seorang gadis?" leceh pemuda berbaju

hijau muda yang menangkap tubuh Sari tadi.

Sementara itu Sari sudah duduk bersemadi, untuk

mengembalikan tenaga dan memulihkan rasa sakit di

dadanya.

Dan bila sejak tadi Raja Akherat hanya santai saja

sambil terbahak-bahak, tetapi begitu melihat sosok

pemuda berpakaian hijau, seketika dia langsung berdiri.

Seolah, ada kalajengking yang menyengat pantatnya.

Tatapannya nyalang, ke arah pemuda yang tak lain Andika

alias Pendekar Slebor.

"Keparat! Berani benar kau mengantarkan nyawamu,

hah?!" bentak Tidar dengan napas mendengus-dengus.

"Keparat! Berani benar kau mengantarkan muka

monyetmu itu, hah?!" Andika balas membentak meniru

Raja Akherat. Sifat konyolnya mulai kumat lagi.

Raja Akherat sudah tidak bisa menguasai marahnya

lagi..

"Kalau waktu itu aku gagal membunuhmu, sekarang

kau harus mampus!"

Bertepatan dengan itu, kedua tangan Raja Akherat

mengibas ke muka.

Wesss...!

Dua rangkum angin besar begitu deras menuju ke

arah Pendekar Slebor.

Andika yang sudah menduga akan hal itu, cepat

mengempos tubuhnya ke samping kanan. Dan angin besar

itu terus meluncur, menghantam sebuah pohon yang

tumbuh di sana.

Blarrr...!

Krakkk...!

Seketika pohon itu tumbang, dalam keadaan hangus.

"Wah, wah.... Ki Maja tak perlu cari arang jauh-jauh

kalau mau bakar satenya. Bagaimana kalau kupinjam

tanganmu untuk buat arang lagi?" ejek Andika, ketika

melirik pohon yang jadi sasaran pukulan Raja Akherat.

Raja Akherat mendengus geram melihat kelakuan

Pendekar Slebor. Bukannya gentar melihat hasil

pukulannya, pemuda itu malah melecehkannya.

"Dua Kembar Kepalan Batu! Perlihatkan tekadmu

untuk mengabdi kepadaku!" desis Raja Akherat, tak ingin

buang-buang tenaga.

Bersamaan dengan itu, Srigunda dan Srigartdi

melesat ke depan. Beberapa kali mereka membuat

putaran di udara, lalu hinggap tak jauh di depan Andika

dengan tatapan dingin.

"Wah, wah.... Aku jadi malu hati nih. karena rambutku

gondrong!" ejek Andika langsung.

Tetapi Dua Kembar Kepalan Batu sudah menyerang

ganas. Kepalan tangan mereka benar-benar sekeras batu.

Karena begitu berkelebat dan memukul, terdengar angin

keras menderu-deru.

"Heiiittt! Hati-hati dengan kepala kalian! Kalau

kupegang, kan rasanya seperti memegang... he... he...

he...," kata Andika sambil melenting, dan berusaha men-

jitak kepala Dua Kembar Kepalan Batu.

Begitu mendarat di tanah, Pendekar Slebor langsung

berbalik. Tubuhnya meluruk ke arah dua manusia gundul

itu disertai sambaran tangannya. Plak! Plak!

Mantap sekali tepakan tangan Andika mendarat di

kepala Srigunda dan Srigandi yang licin tandas. Kontan

keduanya semakin marah. Saat itu juga mereka membalas

serangan dengan lebih gencar. mengarah pada bagian-

bagian tubuh Andika yang mematikan.

Pendekar Slebor terus menghindar dengan segala

kelincahannya. Tapi bisa dirasakan, kalau tenaga kedua

lawannya sangat kuat. Dan yang membuatnya sejak tadi

harus berpikir, sikap Dua Kembar Kepalan Batu tak

ubahnya bagaikan mayat hidup yang bisa dikendalikan.

Gerakan-gerakan mereka bukanlah gerakan lentur yang

lincah, tetapi kaku penuh tenaga mematikan.

Lebih dahsyat lagi, Dua Kembar Kepalan Batu dapat

menyerang seiring, dan terkadang pula bergantian dengan

jurus sama.

Andika sendiri lama kelamaan harus berpikir pula.

Karena kedua lawannya tidak memberi kesempatan sedikit

pun. Bahkan terus mencecarnya.

Pukulan, tangkisan, dan tendangan Pendekar Slebor

sendiri tidak dirasakan kedua lawannya. Entah ajian apa

yang dimiliki Dua Kembar Kepalan Batu. sehingga pukulan

sekeras apa pun tak dirasakan.

Dua Kembar Kepalan Batu terus menyerang ganas

dengan pukulan dan tendangan yang sangat cepat.

Sementara Andika sendiri mulai mempergunakan

kelincahannya, melangkah dari satu tempat ke tempat lain

dengan ilmu warisan Pendekar Lembah Kutukan.

Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor melangkah

demikian cepat dari satu tempat ke tempat lain. Ketika

Srigunda menyerang ke arah kepala, Pendekar Slebor

merunduk. Tetapi Andika harus segera melompat, karena

sambaran kaki Srigandi sudah menyambarnya.

Dan memang itulah yang ditunggu. Karena begitu kaki

Srigandi menyambar, Andika langsung melompat ke arah

Srigunda yang siap menyerang pula. Seketika Pendekar

Slebor menghentakkan kedua tangannya dengan jurus

'Guntur Selaksa'.

Wesss...!

Srigunda terkejut ketika merasakan angin keras

menderu ke arahnya. Dicobanya untuk memapak, tetapi

lerlambat. Dan....

Desss...!

Tubuh Srigunda terhuyung ke belakang. Pukulan

Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika memang tepat

mengenai dada. Tetapi, sedikit pun tak terdengar pekikan.

Seolah-olah dia tidak merasakan apa-apa.

Andika jadi heran melihatnya. Dan dia hanya bisa

mendengus dalam hati.

***

Sementara saat ini, Belang masih terus menyerang

Songko dengan ganasnya. Cakar dan taringnya yang tajam

menjadi ancaman bagi Panah Iblis Dari Utara.

Songko sendiri hampir-hampir tak bisa percaya kalau

harimau itu ternyata bisa menguasai jalannya pertarungan.

Memang secara naluri, harimau itu seperti telah biasa

menghadapi sebuah pertarungan. Dan kini mendadak saja

Songko melompat ke belakang, sambil melepas selempang

busur panahnya. Sementara, Belang sedang bersiap-siap

menerkam.

Dengan cepat Songko mencabut lima buah anak

panahnya, seraya memasang pada busur. Direntangkannya

tali busur, dan anak panahnya siap meluncur.

Ajaib! Kali ini Belang tidak segera menyerang. Na

lurinya mengatakan, lawan kali ini sangat kejam. Songko

sendiri yang menunggu diam-diam, merasa keheranan.

Mengapa harimau itu tidak menyerangnya juga?

Lalu mendadak saja, Panah Iblis Dari Utara mele

paskan anak panahnya yang meluncur deras ke arah

Belang.

Set! Set!

Belum juga anak-anak panah mencapai sasara

mendadak melompat satu sosok bayangan menyongsong.

Trang! Trang! Trang! Trang! Trang!

Lima buah anak panah yang dilepaskan Songko

berhasil ditepis sosok bayangan yang langsung berdiri di

depan Panah Iblis Dari Utara. Sosok itu adalah Sari yang

tenaganya sudah pulih.

"Belang! Beristirahatlah! Biar manusia ini bermain-

main denganku!" ujar Sari.

Begitu habis kata-katanya, Sari langsung menerjang

ke arah Songko dengan kelebatan pedangnya. Pada saat

Sari melihat pemuda yang menolongnya sedang bertarung

melawan dua orang berkepala gundul, sejenak ia ingat.

Memang, pemuda itulah yang dijumpainya dua hari yang

lalu di depan gua, di Hutan Kaliamang.

Songko di daerahnya dijuluki Panah Iblis Dari Utara.

Sehingga tak heran kalau dia begitu mudah melayani

kibasan pedang dengan luncuran anak panahnya yang

cepat bagai kilat. Sari sendiri pun harus menghentikan

serangannya, kalau tidak ingin sepuluh anak panah itu

mengenai salah satu bagian tubuhnya.

Mendapat kesempatan, dengan bertubi-lubi Songko

terus melepaskan anak panahnya yang herjumlah sangat

banyak. Sementara Sari pun terpaksa dengan kalang kabut

menghindari sambil menangkis

Pada satu kesempatan putri Ki Wirayuda itu melihat

Songko mengambil sebuah anak panah yang diujungnya

terdapat kain kecil seperti bantalan. Naluri gadis ini

mengatakan kalau anak panah yang dilepaskan Panah Iblis

Dari Utara sangat berbahaya.

Wuuuttt...!

Maka ketika anak panah itu melesat, Sari tidak berani

menangkisnya. Seketika tubuhnya melenting ke atas,

sehingga luncuran anak panah lewat di bawah kakinya.

Duaaarrr!

Dugaan gadis itu ternyata benar. Begitu anak panah

tadi menghantam dinding yang memagari halaman

keraton, terdengar ledakan keras menggelegar. Dinding itu

pun seketika hancur.

Sari menghela napas lega. Kalau saja tadi panah itu

dipapaki. tentu bisa berakibat sangat parah. Bisa-bisa

tubuhnya akan hancur berantakan termakan anak panah

itu!

Sementara Belang yang melihat tuannya dalam

bahaya, langsung menerjang dengan aumannya yang

keras. Songko yang tak menduga jadi terkejut setengah

mati. Apalagi, ia kalah cepat untuk memasang anak

panahnya. Maka sebisanya tubuhnya menghindar ke kiri.

Namun bertepatan dengan itu, Sari sudah melesat cepat

sambil membabatkan pedangnya. Dan....

Cras!

"Aaakh...!"

Ujung pedang gadis ini menggores paha kanan Panah

Iblis Dari Utara Laki-laki itu kontan menjerit tertahan.

Tampak darah telah merembes dari celananya.

"Belang! Hajar dia dari belakang! Jangan beri

kesempatan dia mempergunakan panah!" ujar Sari,

berteriak.

Seperti mengerti yang diperintah tuannya. si Belang

pun melompat menerkam. Dan Songko pun harus mati-

matian menyelamatkan selembar nyawanya.

***


Sementara itu, Nyai Surti alias si Kayu Seribu Laksa

sudah tidak sabar melibat Srigandi dan Srigunda belum

juga mampu menjatuhkan Pendekar Slebor. Dalam

pandangannya yang sudah berwarna kelabu, bisa terlihat

kalau dada bagian dalam Srigunda sudah remuk.

Perempuan tua itu memang tahu, Dua Kembar Kepalan

Batu memiliki ajian yang dinamakan 'Mati Rasa'. Tetapi ia

juga tahu, kalau Srigunda tidak akan mampu lagi bertahan

lebih lama

Ajian 'Mati Rasa' memang sangat mengerikan

sebenarnya bagi pemiliknya. Karena, si pemilik tidak akan

bisa mengetahui, bagian mana yang telah terluka. Baik di

luar maupun di dalam tubuhnya.

"Hiaaa..!"

Disertai teriakan membahana. Nyai Surti melesat ke

arah Pendekar Slebor dengan ayunan kayunya yang cepat,

menimbulkan suara mendesir-desir.

Andika yang sedang mencecar Srigunda. terpaksa

harus menarik serangannya. Ayunan tongkat kayu Nyai

Surti harus dihindarinya, kalau tak mau tubuhnya hancur.

"Wah, wah...! Rupanya nenek peot macam kau ini

genit juga, ya? Tetapi, maaf, Aku tak sudi disentuh

tanganmu yang keriput!" seloroh Pendekar Slebor,

langsung bersallo ke belakang.

"Nama Pendekar Slebor. telah sampai ke telingaku

ini!" kata si Kayu Seribu Laksa garang. "Aku ingin tahu

kehebatannya!"

Begitu gema suaranya hilang, pcrempuan tua itu

kembali berkelebat dengan sabetan tongkatnya yang

dahsyat.

Sementara Sari yang sedang menyerang Songko,

mendengar kata-kata nenek berkonde emas tadi. Dan

diam-diam gadis ini terkejut.

Pendekar Slebor? Oh! Pemuda inikah yang sering

dibicarakan ayahnya? Diakah tokoh pendekar yang selalu

membela kebenaran? Sungguh, seringkali Sari mendengar

cerita tentang Pendekar Slebor dari ayahnya Namun yang

tak pernah disangka, ternyata Pendekar Slebor seorang

pemuda konyol yang dijumpainya di depan gua sana. Dan

tadi, pendekar itu telah menolongnya!

"Kehebatannya atau kegantengannya? Kau pura-pura

ya, Peot!" ejek Andika pula sambil tertawa. "Tetapi, maaf

Aku tak sudi disentuh tanganmu! Kambing yang sudah

diberi obat perangsang pun enggan membiarkan tubuhnya

kau sentuh!"

Si Kayu Seribu Laksa semakin geram mendengar

ejekan-ejekan Pendekar Slebor terasa pedas di telinga.

Maka begitu tubuhnya melesat, tongkat kayunya langsung

diputar-putar dengan gerakan dahsyat. Begitu cepatnya,

membuat tongkat itu berubah menjadi seribu.

Kini giliran Andika sendiri yang sekarang kalang

kabut. Bahkan Srigandi dan Srigunda telah menyerang

pula.

"Gawat, aku bisa mampus!" desis Pendekar Slebor,

seraya melirik Raja Akherat yang kelihatan geram bukan

main.

Andika terus mempergunakan kelincahannya dalam

menghindar. Tetapi semakin lama terasa kalau ruang

geraknya semakin tertutup. Dan mendadak saja Pendekar

Slebor melompat ke belakang, sambil mencari kainnya

yang bercorak catur. Begitu kain tertarik, langsung

dikebutkannya ke depan.

Bet! Bet! Bet!

Terdengar suara meledak-ledak yang kuat sekali. Dari

sini para tokoh sesat itu yakin, kalau kain yang

dipergunakan Pendekar Slebor bukanlah kain

sembarangan. Maka dengan serentak mereka menarik

serangan.

Mendapat kesempatan, Andika balas menyerang.

Nyai Surti dan Srigandi bisa melihat kalau sasaran yang

dituju Andika adalah Srigunda. Maka sebisanya keduanya

merapat untuk membela Srigunda yang kewalahan

menghadapi serangan kain catur milik Pendekar Slebor.

"Kenapa jadi rapat begitu, ya? He he he.... Rupanya si

Gundul ini masih bernafsu juga denganmu, Nenek Peot!"

ledek Andika sambil terus mencecar. "Atau..., kau yang

memang genit, hah?!"

Semakin marah si Kayu Seribu Laksa. Maka kembali

dia menerjang dengan sambaran tongkatnya. Dan sekali-

kali dia berusaha menghalangi serangan Pendekar Slebor

pada Srigunda.

Dengan senjata kain itu, Andika sedikit banyaknya

bisa menguasai pertarungan sekarang. Karena, Nyai Surti

malah jadi repot sendiri. Di samping menyerang dan

membela diri, perempuan tua ini juga harus membela

nyawa Srigunda.

"Kayu Seribu Laksa! Biar aku yang menjaga Kakang

Srigunda!" terdengar suara Srigandi untuk pertama kalinya.

Suaranya cempreng tidak sesuai tubuhnya yang kasar.

"Ha... ha... ha...!"

Andika sampai terbahak-bahak.

"Kau lebih pantas menjadi sinden, Gundul!" ejek

Pendekar Slebor.

Tar! Blarrr...!

Berkali-kali dua senjata pusaka itu beradu, menim-

bulkan suara ledakan keras. Kayu di tangan si Kayu Seribu

Laksa membabi-buta menyerang. Sementara kain pusaka

milik Andika berkali-kali melilir dan mencoba menariknya.

Tetapi dengan kelenturan tenaga dalam yang dimiliki.

perempuan tua itu berhasil menarik pulang senjatanya.

Memang patut diakui. kalau wanita setua Surti memUiki

kepandaian sangat tinggi.

"Chiaaa...!"

Dan mendadak saja si Kayu Seribu Laksa memekik

keras, sambil melejit telah siap dengan jurus 'Kayu Me-

mangsa Anjing'. Gebukan tongkat kayunya lebih dahsyat.

Andika dapat merasakan kalau lawannya kini telah melipat

gandakan tenaga dalamnya.

"Uts...!"

Andika cepat bergerak demikian cepat menghindari

serangan si Kayu Seribu Laksa. Tubuhnya melompat

kesamping dan langsung bergulingan. Namun begitu

bangkit berdiri. Raja Akherat diam-diam sudah meng-

hentakkan tangannya melepas pukulan jarak jauh.

Wesss...!

Desss...!

"Aaakh...!"

Andika kontan terlempar beberapa tombak ke

belakang begitu pukulan jarak jauh Raja Akherat mendarat

di punggungnya.

"Aku bosan melihat kalian masih bermain-main perti

itu!" geram Raja Akherat seraya melesat kearah Pendekar

Slebor yang berusaha bangun.

Pendekar Slebor merasakan dadanya sakit luar biasa.

Meskipun begitu, bukan Andika kalau tidak mengejek.

"Rupanya gelar Raja Akherat tidak pantas untukmu!

Kau lebih pantas menyandang gelar Raja Pengecut yang

doyan kentut! Heaaaiiittt!"

Andika melompat ke samping menghindari terjangan

Raja Akherat yang cepat dan dahsyat! Sementa Srigandi

tampak tengah mengalirkan tenaga dalam pada kakak

kembarnya. Dia yakin, dada bagian dalam Srigunda terluka

parah. Sedangkan si Kayu Seribu Laksa kelihatan masih

sangat penasaran. Namun diakui. kalau kepandaian

Pendekar Slebor pun sangat tinggi.

Kini tampak Raja Akherat sedang mendesak

Pendekar Slebor. Kalau tadi Andika berada di atas angin,

kini nampak jelas sekali terdesak. Yang membuat Pen

dekar Slebor terkejut, kain pusakanya ternyata tida

mempan ketika mengenai tubuh Raja Akherat.

"Carilah bagian yang empuk dari tubuhku...! Ha-ha.,

ha...! Kain gombal semacam itu lebih pantas dipergunakan

untuk mengelap pantatku!" ejek Tidar.

"Ya. ya... Nanti akan kulakukan untuk menyumpal

mulutmu yang bau petai!"balas Andika tak kalah sengit.

Raja Akherat terus mendesak dengan cepat. seperti

tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Slebor

lagi.

"Heaaah...!"

Namun mendadak saja Andika melompat cepat ke

kanan dan kiri.

Kain pusakanya disampirkan kembali ke punggung.

Lalu, diterjangnya Raja Akherat.

Raja Akherattampak terkejut melihat serangan tak

terduga. Bisa dirasakan betapa tenaga dalam pemuda

lawannya menjadi berlipat ganda. Bahkan pukulan-pukulan

yang dilakukan menimbulkan suara yang keras sekali.

"Bangsat! Kau harus kukubur hari ini juga!" geram

Raja Akherat.

"Atau kau yang sudah tidak sabar?Ha ha ha.... Aku

masih akan berbaik hati untuk menggali kuburanmu!"

sahut Andika.

Sementara, saat ini Panah Iblis Dari Utara dalam

keadaan terdesak hebat. Diserang dari dua penjuru oleh si

Belang dan Sari, membuatnya kewalahan. Sedikit pun ia

tidak diberi kesempatan untuk mempergunakan senjata.

Bahkan di beberapa bagian tubuhnya, sudah tampak luka

berdarah, terkena cakaran si Belang dan pedang Sari.

Melihat hal itu, si Kayu Seribu Laksa segera

membantu. Langsung diterjangnya Sari yang tengah

mencecar Songko

Trak!

Ayunan pedang Sari terhalang ayunan kayu Nyai Surti.

Dan gadis ini merasakan tangannya sedikit bergetar.

Dalam sekali bentrok saja sudah terlihat kalau tenaga

dalam gadis itu jauh berada di bawah tenaga dalam Nyai

Surti.

"Mampuslah kau!" teriaksi Kayu Seribu Laksa terus

menyerang.

Sebisanya Sari menahan serangan-serangan. Sctiap

kali kayu di tangan perempuan tua ini berkelebat,

terdengar suara angin yang keras sekali.

Sedangkan Songko yang kini hanya diserang si Belang

bisa mengambil kesempatan untuk mencabut anak

panahnya. Dan laki-laki ini pun bersiap memusnahkan

hewan ganas yang terus-menerus menyerang.

"Belang! Pergi dari sini! Pergi!" seru Sari yang melihat

gelagat tidak menguntungkan terhadap peliharaannya.

Sekali lagi, seperti mengerti akan bahaya yang

mengancam. si Belang melompat meninggalkan tempat itu.

Sementara Songko tampaknya tak sempat untuk melepas

anak panahnya. Dan Belang dengan leluasa terus

melarikan diri.

Pada saat berteriak tadi. perhatian Sari jadi terpecah.

Hingga tanpa disadari serangan Nyai Surti telah meluncur

ganas. Akibatnya....

Duk!

"Aaakh...!"

Sari melenguh tertahan ketika kakinya terhantam

kayu si Kayu Seribu Laksa. Tubuhnya kontan sempoyongan

kehilangan keseimbangan.

Melihat gadis itu sudah tidak bisa menguasai

tubuhnya lagi, si Kayu Seribu Laksa menyerang dengan

ayunan kayu ke kepala yang agaknya tak dapat

menghindari lagi.

"Hhh! Mau ke mana lagi kau, hah?!" bentak Nyai Surti

sambil menerjang. "Tak ada kesempatan bagimu sekarang

untuk menghindar, Gadis Binal?!"

***

7


Dalam keadaan kewalahan, Pendekar Slebor masih

tampak melihat kalau Sari tengah dalam bahaya.

"Heaaa...!"

Dengan gcrakan dahsyat, Andika menghentakkan

tangannya dua kali melepaskan pukulan jarak jauh pada

dua tubuh Raja Akherat.

Werrr...!

Werrr...!

"Uts!"

Tepat ketika Raja Akherat menghindar, Pendekar

Slebor berkelebat cepat bagai kilat ke arah Nyai Surti yang

sedang meluruk dengan hantaman tongkat kayunya. Begitu

cepat gerakan Andika, sehingga....

Des!

"Aaakh...!"

Tubuh si Kayu Seribu Laksa terhuyung ke samping

terkena pukulan Andika disertai keluhan tertahan. Lalu

dengan cepat Andika menyambar tubuh Sari, dan

melarikan diri dari tempat ini disertai ilmu meringankan

tubuh yang sudah sangat tinggi. Begitu cepat gerakan yang

dilakukan Pendekar Slebor. sehingga tak seorang pun yang

sempat menyadarinya.

Raja Akherat menggeram marah, melihat lawannya

telah hilang melarikan diri.

"Cari kedua manusia itu! Hidup atau mati!"

Serentak si Kayu Seribu Laksa dan Songko, melesat

mengejar. Nyai Surti geram bukan main karena tadi

terkena pukulan Pendekar Slebor. Sambil berlari, tenaga

dalamnya dialirkan ke bagian tubuh yang terhantam.

Sementara Raja Akherat kembali mengamuk ganas

melihat musuhnya bisa melarikan diri dengan cara tak

terduga. Tangannya tiba-tiba berkelebat ke depan.

Wesss!

Des! Des!

"Aaa...!"

"Aaa...!"

Seketika sepuluh pemuda desa yang jadi

pengawalnya, beterbangan terhantam pukulan jarak jauh

Raj Akherat yang dahsyat. Ketika jatuh di tanah semu

sudah menjadi mayat!

Di pinggiran Hutan Kaliamang yang sepi dan h

nyaknya pepohonan, Andika menghentikan larinya.

pundaknya tampak tubuh Sari yang sejak tadi meronta

ronta minta dilepaskan. Lama kelamaan Andika menjadi

jengkel juga. Dilontarkannya tubuh gadis itu begit saja

hingga terhempas ke tanah.

"Keterlaluan! Apakah kau sudah bosan hidup, hah?!"

dengus Andika mangkel.

"Biar saja! Daripada seperti kau yang pengecut

begitu?!" balas Sari juga jengkel.

Andika melotot.

"Aku masih mau hidup, Nona! Apa kau tak sayang

dengan wajahmu yang bakal dielus-elus tangan Raj

Akherat?!"

"Mau mati. kek! Mau hidup, kek! Bukan urusanmu!

Tetapi yang baru kutahu, ternyata kau pengecut! Hhh!

Nama besar Pendekar Slebor telah kudengar sejak lama.

Tetapi kenyataannya sekarang ini, kau tak lebih dari

pendekar pengecut belaka!"

"Heran?! Gadis cantik sepertimu tak mau-maunya

sama Raja Akherat?!"

"Hei! Siapa yang mau sama dia?! Aku kan mengobrak-

abrik mereka?!"

"Iya.... Tapi aku masih bisa mempergunakan otakku.

Mundur dulu, baru nanti akan menyerang kembali!"

"Ah! Dasar pengecut!"

Andika kini melotot.

"Kalau kau masih penasaran, kembali saja ke sana!

Lawan mereka. Biar tubuhmu dirancah oleh mereka di atas

ranjang!" kata Andika.

Meskipun membenarkan yang dikatakan Andika

kalau mereka tak akan mampu mengalahkan orang-orang

itu, tetapi Sari masih tidak peduli. Ia sebenarnya malu

kalau sejak tadi marah-marah, kini berubah menjadi

lembek.

"Biar saja! Toh, ini nyawaku sendiri!" cibir gadis itu.

"Siapa bilang nyawaku, hah?!" "Dan tak ada urusannya

denganmu, bukan?" Andika mendengus.

"Hhh! Kalau saja Prabu Adiwarman tidak mengatakan

kalau dia mengenalmu dan ayahmu Ki Wirayuda, sudah

kubiarkan tubuhmu digerayangi di sana!"

Kali ini Sari terdiam.

"Di mana Prabu dan Putri Permata Delima berada?"

tanya gadis ini.

"Kau sudah tahu tempatnya!" sentak Pendekar

Slebor.

"Jangan main-main!" bentak Sari. "Sikapmu yang

norak waktu berada di depan gua di dalam Hutan

Kaliamang sana, mcmbuatmu tidak tahu kalau Prabu

Adiwarman dan Putri Permata Delima berada di sana!"

terjang Andika, ceplas-ceplos.

Kini Sari yang menghentakkan kakinya.

"Ajak aku ke sana!" sentak gadis ini.

"Aku memang ingin ke sana!'Tetapi, berjalan bersama

gadis galak sepertimu... huh! Aku tak sudi, ya?!"

"Sok!" sembur Sari.

"Aku memang sok!" sahut Andika kalem.

"Sok kecakepan!"

"Aku memang cakep!"

Sebelum Sari sempat mengumbar kekesalannya....

"Hauuummmm...!"

Mendadak terdengar suara auman yang keras, lalu

disusul berkelebat hewan berkaki empat dari balik semak.

"Belang!" seru Sari gembira, tangannya langsung

membuka. Dipeluknya binatang peliharaannya itu, lalu

diusap-usapnya dengan lembut.

Belang tahu kalau tuannya amat menyayanginya.

Lidahnya langsung menjilat-jilat wajah Sari.

"Oh! Kau gembira ya, bertemu denganku? Aku juga,

Belang...," desah Sari.

Justru Andika yang bergidik melihatnya.

Tiba-tiba Sari menoleh pada Andika.

"Belang! Ada seorang pemuda sok cakep yang

kerjanya mengganggu orang saja. Kalau kau sayang

padaku, berbuatlah sesuatu untuk menyenangkan hatiku,

ya?" kata Sari, tanpa disangka-sangka.

Andika tahu kalau dirinyalah yang dimaksud Sari.

Seketika wajahnya menjadi pias. Bukannya takut terhadap

harimau itu, tapi Andika khawalir kalau nanti akan melukai

binatang kesayangan gadis ini. Padahal ia tahu, gadis itu

berada di golongan yang sama dengannya.

"Eit! Jangan, jangan kau perintahkan dia!" ujar

Pendekar Slebor sambil melompat mundur dan

menggoyang-goyangkan kedua tangannya.

Sari berdiri dan berkacak pinggang.

"Kau takut?" ejek Sari.

Andika meluruskan tubuhnya.

"Aku bukan takut. Cuma.... Ya, geli saja," kata

Pendekar Slebor, sombong.

"Brengsek! Memangnya si Belang menjijikkan!" seru

Sari sewot.

"Oh, bukan! Bukan.... Dia..., dia tampan sekali." kata

Andika berusaha meyakinkan.

"Aku tidak percaya kau bicara seperti itu!"

"Kalau kau tuli, pasti tidak akan bisa mendengarnya.

Apalagi mempercayainya.''

Sari semakin sewot. Tangannya menepuk punggung si

Belang.

"Hajar pemuda konyol itu!"

Serentak si Belang menerjang ganas. Namun Andika

langsung melompat ke atas. Dan hanya sekali lorn-pat saja,

tubuhnya sudah hinggap di sebuah dahan po-hon.

Tetapi Andika lupa, kalau si Belang dapat memanjat.

Begitu binatang itu memanjat, Pendekar Slebor segera

melompat turun. Si Belang pun turun dengan kedua kaki

depan mengarah padanya. Cakar-cakarnya membuka, siap

mencabik-cabik tubuh Pendekar Slebor.

"Sari...! Hentikan dia! Hentikan! Nanti dia bisa mati

kubunuh!"

"Sombong! Buktikan saja!" sahut Sari.

"Oh, jangan... jangan...."

Sari terbahak-bahak. Di samping senang

mempermainkan, hatinya juga gcli melihat sikap pemuda

yang rada konyol ini. Dibiarkan saja si Belang melompat

menerkam ke arah Andika.

Andika sendiri merasa bingung. Kalau si Belang

berhasil menyergapnya, kan tidak luc u. Kalaupun

diserangnya, binatang itu milik Sari. Maka lebih baik Andika

menghindar saja.

Wuuut!

Tubuh Pendekar Slebor pun seketika berkelebat

cepat.

"Hoooi, Pengec ut! Mau ke mana kau?!" ejek Sari

sambil memberi isyarat pada si Belang untuk tidak usah

mengejar.

Lalu dengan sigapnya. gadis ini melompat

kepunggung si Belang.

"Ayo, Belang! Kita susul pemuda konyol itu! Ia pasti

pergi menemui Prabu Adiwarman dan Putri Perma Delima!"

Tubuh si Belang pun berkelebat cepat. Sari harus

membungkukkan tubuhnya, sejajar punggung si Belang

Selang beberapa lama, munc ul dua sosok tubuh.

Yang satu seorang wanita tua, dan yangsatu lagi seorang

laki-laki berusia empat puluh lima tahun. Keduanya tak lain

dari Nyai Surti dan Songko yang menerima perintah untuk

mengejar Pendekar Slebor dan Sari.

"Hhh! Ke mana kedua manusia itu harus dicari?"'

omel Nyai Surli sambil mendengus.

Songko pun berbuat yang sama.

"Lebih baik kita kembali saja! Peduli setan Tidar akan

marah! Aku belum merasakan nikmatnya tubuh keliga

gadis itu!" seru Panah Iblis Dari Utara jengkel.

"Kau belum tahu kalau dia marah? Bila kita sudah

menyetujui rencana dan bergabung dengannya, maka akan

sulit untuk keluar dari tangannya! Lebih baik kita cari saja

kedua manusia itu!"

Sambil menggerutu jengkel, Songko pun mengikuti

Nyai Surti yang sudah berlari.

***

8


Senja semakin menurun. Matahari mulai menurunkan

kegarangannya. Daerah di sekitar gua di dalam Hutan

Kaliamang tetap sunyi. Hanya pepohonan tinggi saja yang

mendesir-desir ketika dihembus tiupan angin.

Satu sosok tubuh tiba di sana. Dua orang pengawal

Kerajaan Pakuan yang menjaga di depan gua itu segera

mengenali, siapa yang datang.

"Tuah Pendekar...."

"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata

Delima?" tanya Andika sambil mengatur napas.

"Di dalam."

"Danji?"

"Sedang memetik buah-buahan di hutan."

Andika segera masuk ke dalam gua. Di dalam gua,

ada dua buah penerangan yang menerangi. Andika melihat

Prabu Adiwarman sedang termenung. Sementara, Putri

Permata Delima langsung bangkit begitu melihat

kemunculannya.

"Tuan Putri...," sebut Andika seraya menjura.

"Bagaimana keadaan keraton, Andika?" tanya Putri

Permata Delima.

"Kacau. Kacau sekali!" kata Andika, seraya duduk di

depan gadis itu.

Prabu Adiwarman mendesah panjang, lalu

mengangkat kepalanya.

"Bagaimana maksudmu?" tanya laki-laki setengah

baya ini.

"Raja Akherat bertindak sewenang-wenang. Ia telah

mempunyai pengikut-pengikut. Prabu..., apakah utusan ke

Kerajaan Labuan sudah tiba?"

Prabu Adiwarman menggeleng lemah.

"Bila menurut perhitungan waktu, seharusnya sudah

kembali. Karena, jarak yang ditempuh paling tidak tiga hari

berkuda. Satu hari beristirahat, dan tiga hari kembali lagi

ke sini. Sedangkan mereka. sudah satu minggu pergi...,"

jelas Prabu Adiwarman.

Andika terdiam beberapa saat seperti berpikir.

"Prabu Yang Mulia..., adakah jalan rahasia untuk

masuk ke keraton?"

Prabu Adiwarman mengangguk cepat.

"Ya! Ada dua jalan untuk masuk ke sana. Pertama,

melalui lubang bawah tanah yang terdapat di kamarku, dan

keluar hingga pintu samping keraton," papar laki-laki

setengah baya ini.

"Yang kedua?"

"Berada sepuluh meter dari dinding halaman keraton

sebelah barat."

"Di mana berakhirnya?"

"Jalan rahasia itu berakhir di istal kuda."

"Hmmm.... Sambil menunggu kedatangan utusan ke

Kerajaan Labuan, hamba akan mencoba menyelinap

kembali ke sana. Meskipun hamba tahu, kesaktian Raja

Akherat sangat tinggi. Apakah ada tanda khus us untuk

menemukan jalan rahasia yang tembus di istal kuda,

Prabu?"

"Ya! Lubang itu tepat berada di antara dua buah

pohon trembesi. Kau bisa merabanya. Maka, akan

menemukan tangkai besi. Jalan rahasia itu Sudah jarang

sekali dipakai. Mungkin sudah sangat berat untuk

mengangkatnya."

Andika manggut-manggut.

"Hamba akan mencobanya, Prabu...."

"Andika..., bila melihat dirimu sekarang ini, apakah

kau tadi bertarung melawan Raja Akherat?" tanya Putri

Permata Delima sambil memperhatikan tubuh Andika yang

kelihatan kotor dan berantakan.

Andika nyengir menahan malu. Namun diam-diam

hatinya kagum dengan kejelian Putri Permata Delima.

"Tuan Putri benar.... Kesaktian Raja Akherat sangat

tinggi. Jalan satu-satunya untuk melumpuhkannya harus

diserang dari belakang. Meskipun ini kelihatan tidak

jantan. Tetapi, untuk mengembalikan tahta keraton, kita

memang telah siap menghalalkan segala cara!"

Belum habis kata-kata Pendekar Slebor....

"Hauuummm...!"

Mendadak saja terdengar auman harimau keras dari

luar.

"Hhh! Gadis ceriwis itu lagi!" dengus Andika. Putri

Permata Delima menatap Andika, penuh tanya.

"Apa kau bilang tadi, Andika?" tanya Putri Permat

Delima.

"Oh, tidak! Tidak.... Aku..., aku bilang.,., yang datang

itu seorang gadis cantik...."

Putri Permata Delima tersenyum geli seraya bangkit

berdiri. Lalu kakinya melangkah keluar, karena dia yakin

yang datang adalah Sari, sahabatnya. Kalau waktu itu ia

tidak muncul menjumpai Sari, karena khawatir yang datang

adalah orang-orang Raja Akherat.

***

"Sariii...!" panggil Putri Permata Delima, begitu tiba di

luar.

"Permata!" seru Sari sambil melompat. Langsung

dirangkulnya Putri Permata Delima.

"Apa kabarmu, Sari?" tanya Putri Permata Delima

akrab.

Sikap Putri Permata Delima memang tidak

mencerminkan seorang putri keraton. Meskipun saat ini

berada jauh di luar keraton. namun tetaplah seorang gadis

yang banyak dihormati dan disanjung rakyat.

Beberapa pengawal yang ada di sana saling

berpandangan. Sebenarnya mereka telah lama mendengar

kalau Putri Permata Delima mempunyai seorang sahabat

yang selalu menunggang seekor harimau. Namun baru kali

ini mereka melihatnya.

"Baik," sahut Sari pelan.

Sedikit banyaknya hati gadis ini terenyuh melihat

keadaan Putri Permata Delima yang banyak dipuja. Namun

kini, putri raja telah berada di hutan belantara yang

menyeramkan. Namun, sikapnya sama saja. Baik di

keraton maupun di luar keraton, Putri Permata Delima

selalu bersikap baik. Bahkan selalu bisa bersikap di mana

tempat.

"Hei? Mengapa sikapmu seperti itu, Sari?" tanya Putri

Permata Delima. bisa melihat kalau Sari sangat menyesali

keadaan ini.

Sari tersenyum.

"Tidak, tidak apa-apa. Aku..., hei! Kau pemuda konyol!

Mau apa ke sini?"

Tiba-tiba Sari membentak keras begitu melihat Andika

muncul. Padahal sejak tadi ia sudah tidak tahan untuk

bertanya tentang Andika berada? Tetapi perasaannya tidak

enak pada Putri Permata Delima. Kini,kebetulan pemuda

itu muncul.

Sementara Andika hanya nyengir saja.

"Kau sendiri mau apa di sini? Apa bukan ingin me-

nemuiku, hah? Hayo..., bilang saja kalau kangen. Kau

memang kangen padaku, kan?" goda Andika tertawa.

"Brengsek! Berkaca dululah kau, hah!" seru Sari

sewot.

Putri Permata Delima hanya tersenyum geli. Dia yakin

kalau keduanya sudah saling mengenal. Tetapi tidak tahu,

apa yang menyebabkan keduanya bertengkar seperti itu.

"Sudah, sudah...! Ada apa ini?" tanya Putri Permata

Delima, menengahi.

Sari menuding ke arah .Andika yang masih nyengir

dengan mulut berbentuk kerucut.

"Manusia konyol itu kurang ajar, Putri!"

Putri Permata Delima menoleh pada Andika.

"Apa yang telah kau lakukan, Andika?" tanya Putri

Permata Delima.

Andika membuka kedua tangannya.

"Tidak ada. Hanya.... menggendong dia saja...." sahut

Andika, kalem.

"Kurang ajar!" wajah Sari memerah.

"Sebenarnya, aku tidak ingin menikmatinya, Putri.

Karena berat. Tetapi..., karena dia selalu bergerak-gerak...

ya, akhirnya terasa juga...." jelas Andika, membuat amarah

Sari kontan bergolak.

Putri Permata Delima tertawa geli. Dia yakin

sebenarnya hal itu tidak pcrnah terjadi. Tetapi karena sifat

Andika yang memang rada konyol, maka hal seperti itu

dikatakan.

"Ka...," dengus Sari gusar.

"Sudah, sudah...! Kita sama-sama orang sendiri. Tidak

perlu bertengkar... Sari, mari masuk...." .

Sebenarnya Sari masih mendongkol pada Andika.

Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Putri Permata

Delima sudah membimbingnya masuk ke dalam gua.

Sementara Andika menjulurkan lidahnya.

"Kurang ajar!"

Hanya itu yang bisa digumamkan Sari. Sementara

Belang yang sejak tadi menunggu perintah tuannya untuk

menyerang Andika, perlahan-lahan merebahkan tubuhnya

di tanah. Binatang itu menggeliat dan mengeluarkan suara

auman pelan.

Andika tertawa.

"Heran...! Kok ada ya gadis yang berangasan

begitu...."

Belum ada yang bisa menjawab, Danji muncul dengan

membawa buah-buahan yang dipetik tadi di Hutan

Kaliamang sebelah utara. Pada waktu menaiki sebuah

pohon tadi, Danji melihat dua sosok tubuh yang tak

dikenalinya berhenti di sana sambil celingukan.

Dan kejadian ilu segera diceritakan pada Andika.

Begitu diceritakan tentang ciri-cirinya, Pendekar Slebor

sadar kalau mereka adalah si Kayu Seribu Laksa dan

Songko. Kedua tokoh ini memang tengah mencari Andika

dan Sari.

Andika hanya mengangguk-angguk. Jelas sekarang,

kalau keadaan mereka di sini sudah tidak aman lagi.

Besok pagi kedua tokoh anak buah Raja Akherat itu

pasti akan menjelajah dan tiba di sini. Maka Andika segera

mengajak Danji masuk ke dalam gua.

Langsung diceritakannya tentang kejadian tadi pada

Prabu Adiwarman. Sementara Sari memandangnya dengan

sinis.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Andika?" tanya

Prabu Adiwarman.Suara laki-laki ini terdengar tegar. Dan

sikapnya tetap tenang. Meskipun jelas sekali di matanya

suatu beban yang berat

"Kita harus pindah dari sini, Prabu Malam ini juga,"

usul Pendekar Slebor.

"Ke mana kita harus pindah, Andika?" tanya Putri

Permata Delima.

Andika menggaruk-garuk kepala, dia menoleh pada

Danji.

"Apakah kau mempunyai tempat persembunyian yang

lain, Danji?"

Danji mendesah panjang.

Tempatnya agak mengerikan. Andika."

"Maksudmu?"

"Tempat itu bernama Jurang Setan. Jaraknya, dua

waktu penanakan nasi dari sini. Letaknya memang

tersembunyi. Jarang orang yang mendatangi tempat itu.

Tetapi ketika masih kecil, aku sering bermain di sana. Aku

pun telah menemukan jalan masuk yang aman. Tetapi aku

tidak tahu, apakah Jurang Setan sangat berbahaya atau

tidak," jelas Danji.

'Tetapi, hanya itulah tempat yang aman sekarang ini.

Ayo, kita berangkat sekarang juga, sebelum malam

datang," ajak Andika.

Bergegas Pendekar Slebor memberitahukan pada

yang lain untuk bersiap-siap.

***

Malam telah merangkak perlahan-lahan. Rembulan di

langit sana berusaha setengah mati menyingkirkan

timbunan awan hitam yang menghalangi sinarnya. Berjuta

bintang seakan lenyap dari pandangan.

Di bawah kegelapan, beberapa sosok tubuh tampak

herjalan beriring-iring mcnuju ke satu tempat. Suara

nyanyian binatang malam mengiringi setiap langkah

rombongan yang tak lain dari Pendekar Slebor. Sari, Danji,

Putri Permata Delima, dan Prabu Adiwarman, beserta para

pengawal.

"Masih jauhkah tempatnya, Danji?" tanya Andika yang

melangkah di sisi Danji.

Di belakang berlurut-turut tampak Prabu Adiwarman

yang menunggang si Belang, Sari yang berjalan ber-iring

dengan Putri Permata Delima, dan sepuluh orang

pengawal.

"Kita sudah sampai," sahut Danji, melegakan Andika.

Danji mengheritikan langkahnya diikuti Pendekar

Slebor. Tangannya menunjuk ke bawah. Nampaklah lubang

lebar yang menganga daiam. Dari atas tak terlihat apa-apa

karena keadaannya gelap.

"Inikah yang kau sebut sebagai J urang Setan?" tanya

Andika.

"Benar, Andika," sahut Danji singkat. "Jalan manakah

yang harus kita lalui untuk tiba di bawah?" tanya Andika

lagi. "Ayo! Ikut aku!"

Danji melangkah kembali, menuju ke sebuah balu

besar. Ia berhenti di dekat batu itu.

Di bawah batu ini ada sebuah lubang yang cukup

besar, dengan undakan-undakan untuk tiba di dasar

Jurang Setan," jelas Danji.

Andika merasa heran melihat batu yang besar itu.

Sejenak diperhatikannya Danji dengan seksama. Menurut

Danji, semasa kecil ia menemukan jalan rahasia itu. Tetapi,

bagaimana mungkin batu besar itu bisa dige-sernya.

"Jangan heran, Andika," tukas Danji seperti mengerti

tatapan Andika. "Dulu belum ada batu besar ini menutupi

lubang ini. Di sini tumbuh pohon-pohon merambat. Tetapi,

lima belas tahun yang lalu, terjadi gempa bumi kecil, yang

menyebabkan batu ini berguling dari gunung, hingga

menutupi jalan rahasia. Berkali-kali aku mencoba untuk

menggesernya, tetapi sekali pun tak mampu."

Andika kini mengerti.

"Minggirlah.... Aku akan mencoba menggesernya,"

ujar Andika.

Dengan tenaga dalam tingkat tinggi, Andika berhasil

menggeser batu itu. Lalu diperintahkannya para pengawal

keraton untuk membakar obor yang sejak tadi belum

dinyalakan. Andika mengambil obor itu dan menyorotkan

ke lubang.

Apa yang dikatakan Danji memang benar. Di bawah

sana memang terdapat undakan-undakan, juga tumbuhan

merambat.

Andika segera memimpin rombongan untuk turun.

Matanya waspada setiap kali kakinya menginjak setiap

undakan. Bau tanah lembah menerpa hidung. Tidak sedap,

dan membuat napas sedikit sesak.

Bentuk tanah itu miring, sehingga memudahkan

mereka untuk menitinya. Cukup banyak juga undakan yang

dipijak, hingga kemudian menembus ke satu lubang besar.

Andika mengangkat tangannya.

"Kalian semuanya tetap di sini.... Aku akan me-

meriksa dulu sekitar dasar Jurang Setan...," ujar Pendekar

Slebor.

Lalu dengan mata waspada dan kesiagaan penuh,

Andika menjelajahi sekitar dasar Jurang Setan. Banyak

batu cadas di sana. Tumbuhan merambat dan beberapa

hewan kecil yang tak berbahaya. Andika juga melihat

sebuah lubang besar yang cukup untuk menetap tiga puluh

orang.

Sebentar saja Pendekar Slebor sudah kembali pada

yang lainnya.

"Aman.... Ayo jalan....

Satu persatu mereka menginjakkan kaki di dasar

jurang. Hingga akhirnya mereka pun berada di dasar

Jurang Setan.

"Ah...! Lega rasanya...." desah Andika sambil men-

dongak ke atas.

Karena rembulan harus terhalang awan hitam, jadi

tak terlihat apa-apa di atas. Hanya bedanya, di sekitar sana

udara lebih segar dibandingkan di dalam tanah tadi.

Danji memperhatikan sekitarnya. Tidak banyak

perubahan yang terjadi di Jurang Setan. Tetap seperti dulu,

sunyi dan menyeramkan. Ketika ditinggal mati oleh

ayahnya, Danji selalu berdiam diri di sini. Begitu pula ketika

ditinggal mati ibunya. Ia selalu merenung disini, menyesali

kesendiriannya. Tetapi semenjak batu besar menutup jalan

rahasia menuju Jurang Setan, pemuda ini pun tidak bisa

lagi bermain-main di sana. Namun hal itu membuat

kesadarannya tumbuh, kalau harus berjuang melawan

nasib. Bukannya merenungi nasibnya

Prabu Adiwarman mendesah pendek sambil turun

dari bahu si Belang.

"Mungkin, kita akan aman di sini.... Tetapi, bagaimana

bila utusan kita kembali dari Kerajaan Labuan?"

Andika tersenyum.

"Prabu tidak perlu kuatir.... Aku akan mencari tahu

tentang mereka juga. Di samping keinginanku untuk

menyusup masuk ke Keraton Pakuan.

Tetapi Andika. Rasanya itu sangat berbahaya...," kata

Danji yang belum tahu rencana Andika.

Andika nyengir.

"Apakah kita akan membiarkan saja Kerajaan Pakuan

dipimpin seorang begundal kejam? Tidak! Biarpun harus

berkalang tanah, kita tetap mengambil alih kekuasaan

mereka"

Tak ada yang bers uara. Justru diam-diam Sari

menarik napas pendek. Gadis ini suka sekali mendengar

kata-kata Pendekar Slebor. Pendekar tampan yang

sebenarnya diam-diam telah mcmikat hatinya. Namun

sudah tentu tidak ingin diperlihatkannya.

Sebenarnya, Sari sangat senang ketika Andika

membopongnya tadi. Hanya saja, hatinya malu sehingga

yang keluar dari mulutnya kata-kata makian.

"Prabu Adiwarman.... Hamba pun akan membantu

Kakang Andika...," kala Sari.

"He he he .. Nanti kau cerewet lagi?" goda Andika.

"Biar saja! Apa sih, pedulimu?" sergah Sari, sewot. "Tuh,

kan? Belum apa-apa saja sudah galak?! Tetapi, tidak apa-

apa. Lcbih baik ditemani gadis cantik sepertimu, daripada

ditemani harimaumu yang menyeramkan itu....'

Kali ini terdengar tawa dari dasar Jurang Setan

mendengar selorohau Pendekar Slebor. Semenlara Sari

hanya menundukkan kepala malu-raalu.

"Kang, Danji....'

Danji tersentak ketika mendengar suara panggilan

dari belakang. Buru-buru dia menoleh. Ternyata yang

datang kekasihnya.

"Oh, kau belum tidur?" tanya Danji.

Putri Permata Delima menggelengkan kepala.

"Aku tidak bisa tidur, Kakang.... Aku ingin berada di

dekatmu...."

"Tetapi...." Danji celingukan.

"Ayahanda sudah tidur," potong gadis itu.

Pemuda itu menghela napas pendek. Lalu dibiar-

kannya Putri Permata Delima duduk di sisinya. Cukup lama

pemuda itu menunggu saat-saat scperti ini.

Begitu pula yang dirasakan Putri Permata Delima.

Makanya, begitu duduk di sisi Danji, gadis ini langsung

merebahkan kepala di dada kekasihnya. Sementara Danji

merangkulnya dengan mesra. Sayangnya. rembulan di atas

yang seharusnya menjadi saksi terhalang awan. Namun

biasnya bisa dirasakan dihati masing-masing.

"Kang Danji.... Akankah keadaan seperti ini terus

berlangsung?" tanya Putri Permata Delima, menengadah.

Danji bisa mencium bau wangi yang mcnguar dari

tubuh yang lembut itu. Juga bisa dirasakan kemesraan

yang terpancar dari sepasang mata yang jernih itu.

"Aku tidak tahu, Permata. Tetapi yang kuharapkan,

keadaan ini tidak akan berlangsung lama...," sahut Danji,

lirih.

"Aku pun demikian. Meskipun.... ah! Sebenarnya. aku

sedikit senang."

"Senang?"

"Ya. Aku senang, karena..., dengan gagalnya

sayembara 'Mungut Mantu'. aku tetap akan bersamamu,

Kang Danji.... Ketahuilah, Kakang.... Aku amat

mencintaimu...."

Danji tahu dan yakin soal itu. Ia pun tidak

menyalahkan, bila Putri Permata Delima mengatakan

senang dengan kejadian ini. Karena, sayembara 'Mungut

Man-tu' menjadi gagal. Namun Danji pun yakin, di lubuk

hati Putri Permata Delima tersimpan sebaris kekecewaan,

kemarahan. kesedihan. karena keraton dikuasai tokoh

sesat.

Danji langsungmerangkul kekasihnya lebih lembut.

"Permata.... Kita akan bersatu padu untuk bertahan dari

orang-orang sesat itu," tandas Danji.

Putri Permata Delima tersenyum. Matanya redup.

"Kang Danji...."

Mendengar kata-kata itu, hati Danji bergetar. Apalagi

mata redup yang pasrah dan membiaskan cinta di wajah,

membuatnya perlahan-lahan menundukkan kepalanya.

Sedangkan Putri Permata Delima kini memejamkan

matanya rapat-rapat. Lalu dirasakannya sesuatu yang

lembut dan hangat menyentuh bibimya. Semakin lama

terasa mesra dan hangat penuh gelora.

Cinta kasih mereka bukanlah cinta yang dilumuri

nafsu, melainkan cinta sejati yang datang dari hati yang

paling dalam. Cinta yang mampu membuat kebersa-maan

dan pertanggungjawaban. Cinta yang hakiki.

Tak lama kemudian Danji melepaskan ciumannya.

Sementara Putri Permata Delima menyusupkan kepala ke

dada Danji. Malu bercampur senang.

***

9


Pagi kembali membentang, membedah alam dengan

suasana yang seharusnya nyaman dan asri. Namun pagi

yang hening di tengah Hutan Kaliamang terusik oleh

kehadiran puluhan sosok tubuh yang bertelanjang dada.

Mereka baru saja tiba di depan gua tempat Prabu

Adiwarman dan rombongan selama dua minggu mendiami

tempat itu. Mereka bersenjatakan tombak dan parang.

Di depan mereka, berdiri seorang perempuan tua.

Rambutnya digelung, dihiasi tus uk konde emas. Di

tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Siapa lagi

orang ini kalau bukan Nyai Surti alias si Kayu Seribu Laksa.

Sementara seorang lagi adalah laki-laki tegap dengan

senjata sebuah busur panah. Dia tak lain dari Songko. yang

berjuluk Panah Iblis Dari Utara.

Memang setelah kedua orang ini kembali ke Keraton

Pakuan, seperti yang dikatakan Nyai Surti, Raja Akherat

marah berat. Tetapi Songko yang pandai menjilat berhasil

mengemukakan alasannya, sehingga tokoh sesat itu mau

mengerti.

"Bila melihat bekas-bekas di sekitar sini, aku yakin...,

gua itu baru saja ditinggalkan orang," duga Songko yang

masuk memeriksa tadi.

"Apakah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima

yang berada di sana?" tanya Nyai Surti.

"Ya, mungkin juga Pendekar Slebor dan gadis

penunggang harimau itu." sahut Songko, tandas.

"Bangsat! Kita terlambat kalau begitu! Hmmm...,

kemana kira-kira mereka pergi?"

"Sulit ditentukan. Tempat ini jarang sekali didatangi

orang.... Tetapi. barangkali saja ada tempat lain lagi untuk

mereka bersembunyi...."

"Kalau begitu..., kita harus bergegas!"

Tetapi belum lagi mereka melangkah, terdengar derap

langkah kaki kuda menuju tempat ini. Tak lama muncul

dua orang penunggang kuda berpakaian seragam prajurit.

Melihat ciri-cirinya, jelas kalau mereka adalah pengawal

Kerajaan Pakuan yang baru kembali dari Kcrajaan Labuan.

Rupanya, mereka menduga kalau Prabu Adiwarman masih

berada di gua tempat persembunyian.

Sudah tentu kedua pengawal itu terkejut melihat

kehadiran orang-orang asing di tempat ini. Dalam sekali

pandang saja, bisa diyakini kalau mereka bukanlah orang

baik-baik. Dan mereka juga bisa menebak, kalau saat ini

Prabu Adiwarman dan yang lain sudah pindah tempat.

Serentak kedua pengawal itu membalikkan kuda dan

siap melarikan diri. Namun di luar dugaan, Panah Iblis Dari

Utara telah melepas anak panahnya Sementara, si Kayu

Seribu Laksa telah berkelebat cepat bagai kilat.

Ceeep!

"Akkkhhh...!"

Salah seorang penunggang kuda kontan ambruk.

Tepat ketika penunggang kuda itu mencium tanah, si Kayu

Seribu Laksa telah pula melepaskan satu buah totokan

pada penunggang kuda satunya.

Tuk!

"Ohhh!"

Penunggang kuda itu ambruk pula dengan tubuh

lemas, tak bisa digerakkan lagi.

"Hhh! Rupanya memang benar dugaan kita. Jelas

tempat ini dijadikan persembunyian Prabu Adiwarman!"

seru Nyai Surti, begitu mendarat.

Perempuan tua itu lantas mengangkat tubuh

pengawal Keraton Pakuan yang tertotok, lalu

membebaskannya.

Begitu bebas, temyata pengawal itu adalah orang

yang tidak mengenal takut. Apalagi begitu melihat

kawannya sudah menjadi mayat dengan anak panah

menembus jantungnya.

"Manusia rendah!" bentak pengawal ini seraya

mencabut pedang yang dibekali Prabu Adiwarman di

pinggang.

"Aku suka melihat keberanianmu itu! Tetapi, sayang.

Keberanianmu akan sia-sia belaka!" leceh si Kayu Seribu

Laksa dengan tatapan kejam.

Pengawal itu tidak ciut nyalinya mendengar suara

Nyai Surti dan melihat tatapan kejamnya. Pedangnya

langsung ditusukkan tanpa mempedulikan betapa lelahnya

tubuhnya. Padahal dia dan kawanya yang telah menjadi

mayat telah menunggang kuda tiga hari tiga malam tanpa

henti.

"Uts...!"

Nyai Surti hanya menggeser kakinya sedikit, lalu

tangannya bergerak cepat. Dan.... Plak!

"Auakh...!"

Telak sekali tangan si Kayu Seribu Laksa

menghantam lengan kanan pengawal itu hingga menjerit

kesakitan dan bergulingan di tanah. Seketika tangannya

patah.

Nyai Surti memang tidak berniat untuk menghabisi

nyawa pengawal itu. Yang diinginkan adalah penjelasan

yang bisa dipergunakan untuk mengetahui, di mana Prabu

Adiwarman dan yang lainnya. Termasuk. Pendekar Slebor

yang menimbulkan dendam yang sangat dalam di dadanya.

"Hih...!"

"Hekh...!" *

Tanpa rasa kasihan si Kayu Seribu Laksa menginjak

dada pengawa! yang masih bergulingan.

"Siapa nanamu?" bentak Nyai Surti.

"Mureksa...!" sahut pengawal itu, sambil meringis

kesakitan.

"Di mana junjunganmu berada saat ini, hah?!" cecar si

Kayu Seribu Laksa.

"Peduli setan denganmu, Nenek Peot!" seru pengawal

bernama Mureksa berani. Namun dia harus menjerit keras

ketika, kaki Nyai Surti kembali menekan dadanya.

"Aku hanya bertanya tiga kali. Di mana mereka?!”

Ancam si Kayu Seribu Laksa dengan mengandung

kekejaman luar biasa.

"Pergilah kau ke neraka! Karena tempat itu hanya

pantas untuk orang-orang busuk seperti kau!"

Kaki Nyai Surti menekan lagi.

"Aaakh...!"

Mureksa menjerit lagi.

Songko yang lebih cerdas menduga, kalau pengawal

itu memang tidak tahu ke mana pindahnya Prabu

Adiwarman. Bila melihat kelelahan di wajah mereka, jelas

sekali keduanya habis melakukan pcrjalanan jauh.

Segera Panah Iblis Dari Utara mendekat.

"Hhh! Bila kau tidak mau mengatakan di mana Prabu

Adiwarman, itu urusanmu. Sekarang, jawab pertanyaanku.

Dari mana kau?!" tanya Songko, menggeram kasar.

Meskipun penderitaan yang dialami sangat pahit dan

pedih, Mureksa tidak pernah berniat untuk mem-

bayangkan menjadi seorang pengkhianat.

"Kalian lebih baik mampus, Manusia-manusia Ren-

dah!" sahut Mureksa, menggeram dan menahan rasa sakit!

"Ha... ha... ha...!"

Songko terbahak-bahak.

"Apakah kau tidak mendengar apa yang dikatakan-

nya tadi, Surti?" kata Songko, seraya memandang si Kayu

Seribu Laksa.

"Hhh! Lebih baik dia mampus saja!"

"Itu urusanmu! Silakan!"

"Sekali lagi kutanya. Di mana Prabu Adiwarman

berada?! Dan, dari mana kau?" desak Songko dengan

tatapan semakin nyalang.

Mureksa tidak lagi merasakan sakitnya. Ia tetap

bertekad tidak akan membuka mulut. Sekalipun harus

disiksa teramat pedih.

"Manusia-manusia rendah.... Tempat yang pantas

untuk kalian hanyalah neraka!"

Habis sudah kesabaran Nyai Surti. Kakinya langsung

menekan lebih kuat lagi. Sementara kayunya pun terangkat

siap mengepruk pecah kepala Mureksa.

"Kau memang harus mampus!"

Namun sedikit lagi tongkat kayu itu menghantam,

berkelebat satu bayangan hijau yang langsung menuju si

Kayu Seribu Laksa. Dan....

Desss...!

"Aaakh...!"

Tubuh Nyai Surti kontan terlontar ke belakang. Tahu-

tahu saja terasa ada sesuatu yang mengenai dadanya

dengan keras. Sementara kakinya yang menginjak dada

Mureksa sudah terangkat.

Ketika Nyai Surti sudah berada dalam

keseimbangannya kembali, tampak seorang pemuda

tampan berpakaian warna hijau dengan secarik kain lebar

bercorak catur yang tersampir di bahunya, sedang

memanggul tubuh Mureksa yang jatuh pingsan.

Melihat hal itu, Nyai Surti terkejut. Begitu pula

Songko.

"Rupanya Pendekar Slebor memang mempunyai nyali

besar untuk muncul juga!" kata Nyai Surti.

"He he he.... Sejak tadi kalian mencari-cariku, ya?

Memang, aku terlambat datang! Tetapi, masih pantas dan

memiliki waktu yang panjang untuk menghajar adat kalian

berdua!" sahut sosok pemuda yang tak lain Andika sambil

nyengir.

Pendekar Slebor memang terlambat datang, karena

Sari ingin ikut dengannya. Padahal Andika lebih yakin

dengan dirinya sendiri. Dan bila Sari ikut tanpa si Belang,

mungkin Andika akan mengizinkan pergi bersama-sama.

Namun gadis itu tetap ngotot untuk mengajak si Belang.

Karena, ia memang tidak ingin jauh-jauh dari binatang

peliharaannya. Dan menurut perkiraan Andika, bagaimana

bila si Belang ikut serta, sementara mereka harus

mengintai? Karena, menurut firasat Pendekar Slebor,

orang-orang Raja Akherat pasti masih akan mencari

mereka.

Maka Pendekar Slebor pun mencari akal untuk

mengelabui Sari. Andika pura-pura mendadak sakit perut,

sekaligus buang hajat. Tentu saja gadis ini dengan berat

hati mengizinkan. Dan kesempatan itu digunakan

Pendekar Slebor untuk kabur dari Sari. Dan Andika

menduga, gadis itu pasti akan segera menyusulnya.

Sementara ketika mendengar kata-kata Andika

barusan, wajah Nyai S urti dan Songko memerah menahan

marah. Apalagi teringat kalau Pendekar Sleborlah yang

menjadi momok bagi Raja Akherat.

Tangkap dan bunuh pemuda keparat itu!" teriak

Songko, memerintah puluhan pemuda berlelanjang dada.

Serentak dua puluh pemuda mengurung Andika

dengan senjata di tangan.

"Kalau kalian jeri melawanku, katakan saja.... Tidak

perlu menyuruh para pemuda ini?!" ejek Andika.

"Kau terlalu banyak omong, Pendekar Slebor!"bentak

Nyai Surti dengan wajah memerah geram.

"Karena aku punya mulut!" sahut Andika, santai.

"Bangsat! Bunuh pemuda itu!" Serentak para pemuda itu

menerjang Pendekar Slebor. Andika yang mengerti kalau

mereka terpaksa menerima perintah, berkelebat ke sana

kemari dengan masih memanggul tubuh Mureksa yang

pingsan. Sambil berkelebat, sebelah tangan dan kedua

kakinya bergerak cepat.

Plak! Des! Dug!

"Aaakh...! Aaa...! Auhh...!"

Gerakan Pendekar Slebor yang sangat cepat mem-

buat para pemuda itu kontan pingsan terkena sambaran

tangan dan kakinya. Dan hanya sebentar saja, para

pemuda itu tak ada yang bisa bangun lagi.

"Nah! Siapa lagi yang harus kalian suruh? Apakah

kalian masih punya nyali untuk menghadapi aku?! Kalau

tidak..., ya lebih baik pulang saja dan menetek pada

kambing!" ejek Pendekar Slebor, kurang ajar.

Kemarahan kedua tokoh sesat itu pun sudah singgah

di ubun-ubun. Wajah mereka merah padam.

"Kau memang harus dibungkam hari ini juga,

Pendekar Slebor!" dengus Nyai Surti.

"He he he.... Apakah tidak salah? Ih! Mengapa sih,

kau selalu memilih aku menjadi lawan? Karena aku

ganteng, ya? Tetapi..., cih! Tak sudi aku bersentuhan

denganmu!"

Namun belum lagi Nyai Surti atau Songko

menyerang....

"Hauummmm...!"

Mendadak terdengar auman yang sangat keras. Lalu

muncul seekor harimau besar dari balik semak. Sementara

penunggangnya telah melenting, dan mendarat di sebelah

Pendekar Slebor.

"Heit! Kaget aku!" kata Andika sambil menepuk-nepuk

dadanya.

"Mengapa kau tidak mengajakku bermain-main

dengan mereka, Kang Andika?" kata Sari sambil menatap

tajam ke arah Nyai Surti dan Songko. Di tangannya sudah

tergenggam sebilah pedang tipis namun sangat tajam.

Pedang itu dicabut sambil melompat tadi.

"Nah, Nenek Genit! Kini kau boleh melawan dia?

Sekali-kali kan tidak apa-apa! Aku juga mau muntah bila

bersentuhan denganmu!" seru Andika mengejek.

Kali ini Nyai Surti sudah tidak bisa menahan

geramnya lagi. Langsung diterjangnya Andika dengan

ganas.

Andika cepat melempar tubuh Mureksa yang masih

pingsan pada Sari.

"Sari! Suruh si Belang menyembunyikan Mureksa dan

menjaganya!" ujar Pendekar Slebor sambil menghindari

serangan Nyai Surti yang ganas. "Heit! Sabar dikit, Nek!

Kalau kau bernafsu denganku, bilang saja! Tetapi, maaf

ya.... Aku tidak akan pernah terangsang olehmu!"

Sari yang dengan sigap menangkap tubuh

Mureksapun segera meletakkan tubuh pengawal itu ke

punggung Belang. Dan harimau itu segera melesat mencari

tempat persembunyian yang aman.

Sementara, Sari sendiri langsung melenting ketika

melihat Songko mencuri kesempatan dengan melepaskan

anak panahnya ke arahnya! Set! Set!

"Jangan kau kira dapat membokongku, Manusia

Rendah!" seru Sari garang, ketika anak panah itu telah

lewat di bawah kakinya.

Dan ketika gadis itu meluruk sambil membabatkan

pedang. Maka pertarungan pun berlangsung dengan seru.

***

Di Keraton Pakuan mendadak saja Raja Akherat

terkejut setengah mati. Baru saja dia berada di pintu

utama keraton, terlihat puluhan orang berpakaian prajurit

menerobos mas uk ke halaman. Begitu mendekat, tiga

orang penunggang kuda langsung turun dan berdiri gagah

di depan Raja Akherat

Serentak Dua Kembar Kepalan Batu bersiaga.

mentara para pemuda bertelanjang dada pun sudah

menghunuskan tombak, siap menunggu perintah. Mata

Raja Akherat menyipit. "Ha... ha... ha...! Rupanya... orang-

orang Kerajaan Labuan ingin membantu Kerajaan Pakuan!

Hanya sayang, kalian mencari mampus saja!" kata Raja

Akherat sombong. Agaknya Raja Akherat mengenali

mereka dari pakaian'prajurit yang dikenakan.

Memang, yang datang itu adalah para prajurit

Kerajaan Labuan. Mereka diperintahkan Prabu

Srigiwarman untuk langsung menyerang ke Kerajaan

Pakuan. Sementara, kclompok lain akan menemui Prabu

Adiwarman untuk membicarakan rencana selanjutnya.

Tiga orang gagah yang telah berdiri gagah menatap

tajam pada Raja Akherat. Di punggung mereka terdapat

sebilah pedang. Pakaian mereka sama, berwarna putih.

Hanya yang membedakan, warna ikat pinggang yang

dikenakan. Rambut mereka digelung ke atas. Rupanya,

mereka adalah para pengawal pilihan.

"Raja Akherat! Lebih baik tinggalkan Kerajaan Pakuan

sebelum darahmu tumpah di sini!" kata prajurit yang

mengenakan ikat pinggang biru.

"Ha... ha... ha..!"

Kata-kata itu disambut tawa Raja Akherat yang keras.

"Apakah tidak salah pendengaranku, hah?!" lanjut

Raja Akherat, membentak.

Yang mengenakan ikat pinggang biru, berwajah cukup

tampan. Cambang bauk tampak menghiasi wajahnya.

Prabu Adiwarman mengenal pengawal yang sering

berkunjung ke tempat ini namanya Wenapati. Dia me-

nyipitkan matanya, bertanda marah mendengar kata-kata

Raja Akherat.

"Aku hanya mengatakan itu sekali saja, sebelum

semuanya terlambat!" ancam Wenapati

Raja Akherat kembali terbahak-bahak. Dia merasa

lucu mendengar kata-kata Wenapati. Lalu....

"Hancurkan mereka!" teriak Raja Akherat, meme-

rintah para pengawalnya yang sudah mengurung pula.

Serentak lima belas pemuda bertelanjang dada me-

nyerang dengan ganas. Sudah tentu para prajurit Kerajaan

Labuan pun segera mengangkat senjata. Trang! Trang!

"Hiaaa...!" "Serang...!"

Seketika terdengar suara bunyi beradunya senjata

yang keras dan teriakan-teriakan pertempuran.

Sementara Dua Kembar Kepalan Batu sudah

menyerang pula. Yang bernama Srigandi menyerang

pengawal yang mengenakan ikat pinggang kuning.

Namanya Karnapati. Tubuhnya gagah dengan wajah

kelimis tanpa bulu. Sementara Srigunda menyerang yang

mengenakan ikat pinggang hijau. Namanya, Tiropati. Wa-

jahnya persegi dan cukup tampan. Apalagi dihiasi kumis

tipis.

Sementara Wenapati menggeram ke arah Raja

Akherat.

"Kali ini, kau akan menyesali perbuatanmu seumur

hidupi" seru Wenapati.

Tetapi kata-kata yang bernada ancaman itu hanya

disambut tawa saja oleh Raja Akherat.

"Ha... ha... ha...! Biasanya, orangyang hendak mencari

mampus memang banyak lagak!"

Mendadak saja, Raja Akherat mengibaskan

tangannya ke depan.

Wesss...!

Wenapati yakin, kibasan tangan itu telah dialiri tenaga

dalam tinggi. Maka tubuhnya segera melompat

menghindari.

"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali!"

"Kini, terimalah ajalmu, Raja Akherat!"

Wenapati pun menyerbu dengan lengkingan suara

yang tinggi. Pedang di tangannya berkelebat, siap

mencabik-cabik tubuh Raja Akherat

Sementara Raja Akherat tidak bergeser sedikit pun

ketika Wenapati menyerang dengan pedangnya. Namun

begitu serangan dekat, tangannya dikibaskan ke depan.

Wesss...!

"Hup...!"

Sekali lagi Wenapati harus menarik pulang

serangannya, dan cepat melenting ke belakang. Sementara

Raja Akherat terbahak-bahak.

Kini sadarlah Wenapati, kalau lawannya sangat

tangguh. Tetapi sebagai orang pilihan dari Kerajaan

Labuan, sudah tentu memiliki bekal yang cukup dan

keberanian tinggi. Maka tanpa gentar diserangnya kembali

Raja Akherat.

"Heaaa...!"

Sementara itu pertarungan antara lima belas pemuda

bertelanjang dada melawan tiga puluh orang prajurit

Kerajaan Labuan, jelas tidak seimbang. Dalam waktu

singkat saja, lima belas pemuda itu telah tewas menjadi

mayat.

Para prajurit Kerajaan Labuan pun kini siap

menunggu perintah, bersiaga sambil memperhatikan

pertarungan yang terjadi.

Ketiga prajurit pilihan Kerajaan Labuan itu memang

menunjukkan kemampuannya sebagai orang pilihan.

Terutama, Wenapati yang memperlihatkan kelincahannya

menghindari serangan Raja Akherat. Memang, sekali pun

prajurit ini belum sempat membalas serangan. Namun biar

begitu. Raja Akherat pun belum dapat menyentuh

tubuhnya.

***

10


Andika yang bertarung melawan si Kayu Seribu Laksa,

mencoba membuat wanita tua itu kerepotan sendiri. Ketika

Nyai Surti menyerang gencar dengan tongkat kayunya,

Andika cepat bergerak. Diputarinya tubuh perempuan tua

itu sambil sekali-kali mengirimkan serangan telak.

Nyai Surti menjadi geram. Lalu....

"Tongkat Kayu Merenggut Sukma!" teriak si Kayu

Seribu Laksa.

Dan tiba-tiba saja Nyai Surti memutar tongkat

kayunya, sehingga mengikuti putaran tubuh Pendekar

Slebor. Bahkan lebih cepat!

Andika sendiri cukup terkejut melihat perubahan

serangan Nyai Surti. Cepat serangannya dihentikan.

Namun belum lagi membuka serangan berikut, Nyai Surti

sudah mencecar dengan ganas. Tongkat kayu di tangannya

itu kini bagai mempunyai mata saja. Karena, ke mana

Andika menghindar, tongkat itu terus memburu.

"Edan! Jurus yang aneh sekali!" dengus Andika dalam

hati.

Segera Pendekar Slebor mempergunakan

kelincahannya untuk menghindari serangan yang ganas

dan berbahaya.

Sementara Sari masih terus berusaha menangkis

serangan anak panah yang dilepaskan Panah Iblis Dari

Utara. Sambil menangkis, dicobanya mem perpendek jarak

serangan. Gadis ini tahu. kalau jarak semakin Iebar, maka

kemudahan akan didapatkan Songko. Jadi, jalan satu-

satunya untuk mematikan langkah lawannya, memang

harus memperpendek jarak.

Tetapi hal itu bukanlah suatu yang mudah untuk di-

lakukan. Karena Panah Iblis Dari Utara dengan gencar

terus memburu. Sehingga gadis itu harus mengeluarkan

kelincahannya memainkan pedang.

"Hayo! Habiskan seluruh anak panahmu, biar ke-

palamu mudah kupenggal!" seru Sari mengejek.

Songko sendiri sudah mempergunakan anak panah-

anak panah rahasianya. Dicabutnya sebuah anak panah

yang lebih pendek daripada yang sering dilepaskan. Karena

perbedaan bentukitulah Sariyakin, kalau anak panah yang

akan dilepaskan lawannya tidak bisa dianggap

sembarangan.

Kali ini gadis itu sendiri tidak berani menangkisnya,

dan hanya menghindari saja. Namun yang

mengejutkannya, anak panah itu seperti mempunyai mata.

Bisa berbelok dan mengejamya!

Set...!

"Gila!" dengus Sari.

Kali ini mencoba menangkis dengan pedangnya.

Tak!

Namun begitu terpental, anak panah itu kembali

menerjang ke arah Sari.

Songko terbahak-bahak melihat lawannya yang

kelimpungan.

"Ha ha ha.... Ada pertunjukan cuma-cuma yang sangat

menarik!" ejek Panah Iblis Dari Utara.

Sari menjadi geram. Sungguh tidak dimengerti

mengapa anak panah itu bagaikan memiliki mata dan

terus mengejarnya. Berkali-kali pedangnya berhasil me-

nyampok anak panah yang mengejarnya. Namun berkali-

kali pula anak panah itu kembali menerjang.

"Ha ha ha...!"

Songko makin terbahak-bahak. Bahkan segera

mencabut sebatang anak panah yang hentuknya sama

seperti yang dilepaskan tadi.

"Aku akan membuat pertunjukan semakin lebih

semarak!" seru Panah Iblis Dari Utara.

Twang!

Set!

Songko kembali melepaskan anak panah ke arah

Sari. Sementara gadis itu harus menangkis kembali. Dan

seperti anak panah pertama tadi, anak panah itu pun

bagaikan memiliki mata. Mencecarnya dengan cepat.

Sari semakin kewalahan saja. Dan kini gadis itu harus

menyelamatkan diri dari dua serangan anak panah aneh

itu.

Sementara itu Pendekar Slebor yang sedang

menghindari serangan dari Nyai Surti sempat melihat

keadaan Sari.

"Kau bisa mati kalau hanya mengurusi kedua anak

panah itu, Sari! Kedua anak panah itu dikendalikan tenaga

dalam Songko! Coba serang dia!" teriak Pendekar Slebor.

Sari kini baru sadar. Maka begitu kedua anak panah

menyerangnya, cepat pedangnya berkelebat menyampok.

Tak! Tak!

Begitu berhasil menyampok, dengan cepat Sari

menerjang ke arah Songko yang tidak percaya kalau jurus

anak panah rahasianya dapat dipecahkan Pendekar

Slebor!

Panah Iblis Dari Utara menggeram kesal sambil

melompat menghindari serangan pedang di tangan Sari.

Sari pun bermaksud menyampok kembali kedua anak

panah yang disangka akan menyerangnya lagi. Tetapi

begitu Songko menghindari tadi, seketika kendali tenaga

jarak jauh yang dialirkan kepada dua anak panah langsung

hilang. Maka seketika kedua anak panah itu pun jatuh tak

berdaya, seperti anak panah lainnya saja.

Menyadari hal itu. Sari segera mencecar Songko

dengan ganas. Kalau tadi gadis ini dipermainkan, maka

kini ganti Songko yang dipermainkannya.

Pedang gadis ini berkelebat ke sana kemari dengan

cepatnya, membuat Songko harus menghindari berkali-kali

Tetapi Sari tidak ingin bertindak lamban lagi Mendadak

saja tubuhnya melompat lurus ke atas dengan gerakan

berputar. Lalu tubuhnya langsung meluruk ke arah Songko

yang seketika menjadi pias wajahnya. Tanpa anak panah

laki-laki itu bukanlah apa-apa.

Sebisanya Songko menghindari serangan. Dan

mendadak saja tali busurnya ditarik, dan mengarahkannya

pada Sari yang siap menancapkan pedangnya ke ubun

ubun Songko.

Tweeeng!

"Aaakh...!"

Terdengar suara keras. Akibatnya sungguh di luar

dugaan. Tubuh Sari kontan terpental ke belakang disertai

keluhan tertahan. Begitu jatuh di tanah, gadis itu langsung

muntah darah.

"Ha... ha... ha...! Ketahuilah, Manis.... Itu adalah

rahasia dari busur kesayanganku ini...," ejek Panah Iblis

Dari Utara.

Dengan punggung tangannya Sari mengelap darah

yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap nyalang.

"Perlihatkan lagi kehebatan dari busurmu itu,

Manusia Rendah!" bentak gadis ini "Hiaaa...!"

Dengan melipatgandakan tenaga dalamnya. Sari

menerjang kembali. Namun lagi-lagi Songko menjepretkan

tali busurnya.

Twang!

"Aaakh...!"

Kembali gadis itu terpental, dan jatuh di tanah.

Sementara dalam keadaan bertarung, Andika masih

juga sempat melihat kalau Sari sudah berada di ambang

maut. Padahal pada saat yang sama, Songko sudah pula

kembali akan menjepretkan tali busumya.

"Hiaaa...!"

Disertai teriakan membahana, Pendekar Slebor

melenting menjauhi lawannya yang sama sekali tak

menduga. Dan begitu mendarat di tanah, kedua tangannya

cepat menghentak ke arah Panah Iblis Dari Utara.

Wesss...!

Serangkum angin serangan meluncur dari telapak

tangan Andika. Lalu.... Prak! "Heh?!"

Betapa terkejutnya Songko melihat busur panahnya

patah. Dan dia sama sekali memang tak menduga adanya

serangan itu.

"Bangsat! Surti! Bunuh pemuda konyol itu!" bentak

Songko marah.

Lalu, kemarahan itu dilampiskan Songko pada Sari

yang masih menahan rasa sakit. Tubuhnya cepat meluruk,

hendak melepaskan tendangan.

Andika sendiri bermaksud untuk menyelamatkan Sari.

Namun niatnya cepat diurungkan, karena Nyai Surti

meluruk kembali dengan serangan berhawa maut.

"Sari..., bangunlah! Kau bisa mampus!" teriak

Pendekar Slebor, seraya berkelebat dengan kelincahannya.

Sebisanya Sari berusaha bangun. Namun tenaganya

sudah hilang sama sekali. Padahal, maut sudah di ambang

pintu ketika kaki Songko yang penuh tenaga dalam siap

menggasak kepalanya.

Namun sebelum Songko berhasil melaksanakan

maksudnya....

"Hauuummm...!"

Dengan gerungan membahana, satu sosok berkaki

empat muncul dari balik semak dan langsung menerjang

Panah Iblis Dari Utara.

Rupanya si Belang yang sedang menjaga Mureksa

telah kembali ke tempat itu. Hewan itu memang luar biasa,

naluri dan penciumannya bisa merasakan kalau tuannya

berada dalam bahaya. Memang Ki Wirayuda tak perc uma

bertahun-tahun melatihnya.

Bret!

"Aaakh...!"

Songko yang tidak menyangka kalau binatang itu

akan muncul dan menyerangnya, harus merelakan

tubuhnya terkena cakaran. Dia berteriak merasakan perih

yang bukan main.

Sementara Sari yang semula sudah pasrah, kontan

terkejut melihat kehadiran si Belang. Wajahnya langsung

berubah gembira.

"Belang! Bunuh dia! Bunuh!" teriak Sari, kalap.

Mendengar perintah. si Belang pun semakin kalap.

Aumannya sangat keras dan memekakkan telinga.

Binatang itu terus menerjang Songko yang kini harus ber-

hati-hati. Padahal, kini tenaganya sudah melemah setelah

bertarung berpuluh-puluh jurus.

Pada satu kesempatan, si Belang menerjang sekali

lagi dengan kuku-kuku terbuka. Songko yang sudah

kebingungan, melangkah ke belakang. Namun kakinya ter

antuk batu. Dan....

Bruk!

Songko terjatuh. Dan saat itulah si Belang dengan

ganas menerjang. Langsung dicabik-cabiknya tubuh Panah

Iblis Dari Utara.

Bret! Bret!

"Aaa...!"

Songko menjerit keras ketika daging tubuhnya

terobek-robek. Lalu jeritannya pun melemah, dan

nyawanya pergi meninggalkan jasadnya selama-lamanya.

"Sudah, Belang! Cukup! Jangan kotori cakar dan

taringmu dengan darahnya yang busuk!" ujar Sari.

Binatang buas itu berbalik, lalu menghampiri Sari

yang langsung menerima jilatan Iidah si Belang.

"Kau memang sahabatku yang setia, Belang...," kata

Sari, sambil mengelus-elus.

Sementara itu Pendekar Slebor masih terus

menghindari serangan-serangan ganas dari Nyai Surti.

Tongkat kayu di tangan perempuan tua itu menjelma

begitu banyak, mencecarnya ke mana Andika hinggap.

"Heiiit! Sabar, Nek! Nanti kau kehabisan tenaga!"

seloroh Pendekar Slebor sambil berkelit lincah.

Andika sendiri tidak ingin berlama-Iama lagi,

meskipun harus mencari sela untuk menjatuhkan Nyai

Surti. Dan ketika si Kayu Seribu Laksa menyerang,

Pendekar Slebor melesat disertai pengerahan tenaga

warisan Pendekar Lembah Kutukan.

"Yeaaa!"

Melihat pemuda itu menyongsong serangan, Nyai

Surti pun memperkuat kemposan kakinya. Sementata

tenaga dalamnya dialirkan lebih banyak ke tongkat

kayunya.

"Heaaa...!"

Hantaman tongkat kayu Nyai Surti, ditahan Pendekar

Slebor dengan tangannya. Tap!

Dan mendadak Pendekar Slebor yang cepat bagai

kilat masuk menerjang, melepas pukulan tangan kanan.

Desss...! "Aaakh...!"

Telak sekali dada Nyai Surti terhantam pukulan

Pendekar Slebor. Perempuan tua itu kontan terjajar ke

belakang disertai jerit kesakitan.

Andika yang melihat lawannya sudah goyah, cepat

melepaskan pukulan 'Guntur Selaksa'. Tangannya seketika

mengibas.

"Heaaa...!"

Wuttt...!

Namun meskipun baru saja terkena hantaman

Andika, si Kayu Seribu Laksa nampaknya memang sudah

ingin mengadu nyawa. Sambil menggeram keras,

perempuan tua itu kembali menyambut disertai hantaman

tongkat kayunya.

"Hiaaa...!"

Prak...!

Terjadi benturan yang keras, diiringi suara nyaring.

Dan ternyata tongkat kayu yang telah dialiri tenaga dalam

oleh Nyai Surti, harus pecah berantakan terhantam ajian

'Guntur Selaksa'. Perempuan tua itu sendiri terkejut

melihat kenyataan ini. Namun keterkejutannya tidak

bertahan lama, karena Pendekar Slebor kembali

berkelebat sambil mengibaskan tangan yang satu lagi.

Lalu....

Dess...!

"Aaa...!"

Si Kayu Seribu Laksa melolong setinggi langit, ketika

dadanya terhantam ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar

Slebor. Tubuhnya terjajar ke belakang, sempoyongan.

Andika cepat melenting ke belakang. Dan mendarat

tiga tombak dari tubuh perempuan tua itu. Brukkk...!

Si Kayu Seribu Laksa ambruk dengan dada pecah

bagian dalam. Darah segar kontan berhamburan dari

mulutnya. Sebelum ajalnya, perempuan tua itu masih

menatap Pendekar Slebor dengan membiaskan rasa

dendam, marah, dan penasaran. Begitu tubuhnya kaku.

matanya masih mendelik.

Andika bergidik melihatnya.

"Ihhh! Sudah menjadi mayat pun kau masih jahat

saja, Nenek Peot!" desis Pendekar Slebor bergidik.

Lalu Andika mendekati Sari yang masih mengelus-

elus si Belang.

"Sari, aku harus memeriksa luka-lukamu," ujar Andika.

"Tidak perlu!" sahut Sari, tanpa menoleh.

"Hei! Kau kelihatan Iuka bagian dalam tubuhmu...."

Sari menoleh dan menatap sewot.

"Lalu kau berharap untuk melihat tubuhku, hah?!"

bentak gadis ini.

Andika menutup mulutnya, agar tidak tertawa.

Sungguh hal itu tidak terpikirkan oleh otaknya. Tetapi

bukan Andika kalau tidak bisa meledek.

"Apakah kau rela memperlihatkannya sendiri?"

"Andika!"

Andika hanya terbahak-bahak saja.

"Sudahlah.... Bersemadilah dulu untuk memulihkan

tenagamu. Aku pinjam si Belang untuk mengetahui, di

mana Mureksa disembunyikan. Karena, kita harus ber-

tindak cepat untuk mengetahui apakah Prabu Srigiwarman

dari Kerajaan Labuan bersedia membantu atau tidak," kata

Andika.

Sari membenarkan kata-kata Andika. Lalu

diperintahkannya si Belang untuk mengantarkan Andika ke

tempat Mureksa disembunyikan tadi. Meskipun kelihatan

enggan meninggalkan majikannya, si Belang hanya

menurut.

Andika tertawa.

***

Di halaman Keraton Pakuan, darah semakin

membanjir. Suasana semakin pahit dan menyedihkan.

Para prajurit Kerajaan Labuan kini seluruhnya telah

terkapar menjadi mayat. Perlawanan Wenapati, Karnapati,

Tiro-pati, serta para prajurit lain agaknya hanya sia-sia.

Walaupun lebih banyak, tapi dibanding kesaktian Raja

Akherat. Srigandi dan Srigunda, mereka tak berarti apa-

apa. Dan akhimya mereka harus merelakan nyawa,

walaupun sudah gigih untuk melawan.

Raja Akherat terbahak-bahak.

"Tak seorangpun yang mampu menghadapiku! Kini

aku menjadi orang nomor satu di Kerajaan Pakuan! Dan

sebentar lagi, rimba persilatan akan kukuasai!"

***

11


Mureksa sudah sadar, setelah Pendekar Slebor

mengalirkan hawa murni ke dalam tubuhnya. Selang

beberapa waktu, dia kemudian menceritakan tentang

perjalanannya ke Kerajaan Labuan. Dan ternyata, Prabu

Srigiwarman bersedia mengirimkan dua kelompok prajurit.

Andika mendesah pendek.

"Aku khawatir, kelompok pertama yang langsung

menyerbu ke Keraton Pakuan sudah hancur lebur

semuanya...," ungkap Pendekar Slebor.

Mureksa menganggukkan kepala.

"Tuan Pendekar.... Lebih baik kita kembali ke gua

sebelah sana. Karena aku khawatir kelompok yang kedua

sudah tiba...," usul Mureksa.

"Kau sudah kuat?" tanya Andika.

"Berkat pertolongan, Tuan Pendekar...."

Bersama si Belang mereka segera kembali ke tempat

semula. Memang persembunyian Mureksa tak begitu jauh.

Sehingga sebentar saja mereka telah sampai.

Yang diperkirakan Mureksa memang benar. Dua

puluh lima prajurit Kerajaan Labuan sudah berada di sana.

Mereka dipimpin tiga orang laki-laki gagah berpangkat

senapati menunggang kuda hitam.

Salah seorang sedang bercakap-cakap dengan Sari.

"Itu dia orangnya!" tunjuk Sari, begitu melihat

kemunculan Andika, Mureksa, dan si Belang.

Yang bercakap-cakap dengan Sari tadi seorang laki-

laki tegap dengan wajah tampan. Pakaian seragam prajurit

berpangkat senapati. Rambutnya digelung ke atas. Di

pinggangnya tersampir sebilah golok besar. Ikat

pinggangnya berwarna putih.

"Tuan Pendekar...," sebut senapati itu.

Agaknya laki-laki tegap ini sudah diceritakan Mureksa,

kalau Pendekar Slebor berada di pihak Prabu Adiwarman.

Dan melihat ciri-cirinya, pastilah pemuda yang baru saja

muncul bersamaan seorang prajurit Kerajaan Pakuan yang

nampak lemah adalah Pendekar Slebor. Hanya saja

sungguh tidak disangka, pemuda yang telah

menggemparkan dunia persilatan dan menjadi momok

orang-orang golongan hitam sedemikian mudanya!

"A-ha!" sergah Andika.

"Tuan Pendekar? Namaku Andika...."

"Tuan Pendekar.... Aku Monoseta. Dan kami adalah

utusan Kerajaan Labuan...," kata senapati itu sambil

menjura.

Andika menggerutu dalam hati Tuan pendekar lagi!

Terus terang, dia sebal dengan sebutan semacam itu.

Tetapi saat ini, Andika merasa tidak perlu

mempersoalkannya. Karena yang dikhawatirkan, adalah

kelompok pertama utusan dari Kerajaan Labuan yang

langsung menyerang ke Kerajaan Pakuan.

Pendekar Slebor pun mengatakan soal itu pada

senapati bernama Monoseta.

Monoseta menganggukkan kepala, lalu berkata pada

dua orang kawannya yang sama-sama mengenakan

pakaiansenapati Lagi-lagi yangmembedakan ketiganya

adalah ikat pinggang yang dikenakannya. Walaupun sama-

sama berpangkat senapati, namun warna ikat pingganglah

yang membedakan. Rupanya Prabu Srigiwarman

mengambil beberapa orang senapati yang di-bagi beberapa

kelompok. Tiap kelompok berisi tiga orang senapati yang

masing-masing dibedakan dengan warna ikat pinggang.

"Ardiseta.... Kau ikut denganku ke Kerajaan Pakuan,"

kata Monoseta pada yang mengenakan ikat pinggang

hijau. "Sementara kau, Tiroseta.... Temuilah Prabu

Adiwarman dan Putri Permata Delima di Jurang Setan....

Bawa sepuluh prajurit bersamamu."

Senapati Tiroseta yang mengenakan ikat pinggang

warna kuning langsung menganggukkan kepala.

"Tetapi, siapa yang mengantar Kakang Tiroseta?"

tanya Sari.

Andika tersenyum-senyum.

"Kalau aku, akan ikut ke Keraton Pakuan. Karena,

aku akan menyusup masuk melalui jalan rahasia yang

dikatakan Prabu Adiwarman. Hanya kita berdua yang ta. hu

jalan menuju Jurang Setan. Nah..., bagaimana kalau kau

saja?"

Andika menyangka kalau Sari akan marah-marah dan

menolak. Tetapi gadis itu malah tersenyum.

"Kau lupa, Andika. Si Belang pun tahu jalan ke sana."

Andika menepuk jidatnya.

"Ah! Kenapa aku lupa, ya? Tetapi rasanya..., lebih baik

kau saja yang pergi mengantar Tiroseta dan sepuluh

prajurit Kerajaan Labuan!"

"Kau memang jahat padaku, Andika!" cibirSari.

"He he he.... Masa' sama gadis cantik aku jahat?

Jadi..."

"Tidak bisa!" potong Sari cepat.

"Biar si Belang yang mengantar mereka! Kakang

Tiroseta..., si Belang tahu ke mana harus mengantarmu."

Lalu Sari merunduk pada binatang peliharaannya.

"Belang..., antarlah Kakang Tiroseta dan sepuluh

prajurit. Jangan membuang-buang waktu. Kau hafal

jalannya, bukan?"

Seperti mengerti, si Belang mengaum.

Sari berdiri tegak kembali.

"Nah, beres s udah! Kita bisa segera berangkat ke

Keraton Pakuan!"

Andika hanya menggaruk-garuk kepala yang tidak

gatal. Memang sulit menghadapi gadis ini. Tetapi mau apa

lagi? Tenaganya mungkin memang dibutuhkan.

Setelah persiapan dilakukan, Andika akan menyusup

masuk melalui jalan rahasia. Sementara Sari bersa-ma

rombongan dari Kerajaan Labuan akan masuk melalui

jalan depan. Dan mereka pun segera berangkat.

Sementara si Belang mengantarkan Tiroseta dan

sepuluh prajurit menuju Jurang Setan.

***

Seperti yang sudah direncanakan, Pendekar Slebor

dan rombongannya tiba di Keraton Pakuan ketika senja

semakin turun. Andika segera menemukan dua buah

pohon trembesi sebagai tanda jalan rahasia untukmasuk

ke keraton. Dia kini berdiri di antara kedua pohon itu.

Diraba-rabanya permukaan tanah yang ada di sana. Dan

memang, Andika menemukan sebuah tangkai besi.

Seketika dihentakkan tangkai itu dengan tenaga sakti

warisan Pendekar Lembah Kutukan.

Trakkk!

Terdengar suara berderak. Sementara beberapa

pohon merambat yang tumbuh di sana tercabut begitu

saja. Terbukalah sebuah lubang kecil. Namun untuk masuk

ke sana, harus berjalan merangkak.

"Kalian segera masuk sekarang juga. Berhati-hatilah,

karena aku yakin..., rombongan pertama pasti sudah

dihabisi Raja Akherat," ujar Pendekar Slebor, sebelum

masuk.

Mendengar kata-kata itu, wajah Monoseta dan

Ardiseta berubah menjadi geram. Kalau memang yang

diduga Pendekar Slebor benar, mereka akan menuntut

balas!

Sementara Sari hanya diam saja. Entah mengapa,

sebenarnya ia ingin ikut bersama Andika. Tetapi sudah

tentu ia malu untuk mengatakannya.

Kepala Andika pun kini menghilang di balik tanah

yang gelap. Pendekar Slebor terus menerobos masuk

lorong yang sempit dan hanya bisa dilalui dengan

merangkak. Bau tanah lembab menerpa hidungnya. Andika

memang sengaja memilih jalan ini Karena, yang

dikuatirkan hanya satu. Yakni, bila Raja Akherat mem-

pergunakan ilmu 'Melayang Dua'nya. Bila memang tokoh

itu mempergunakan ilmunya, maka Andika bermaksud

hendak membokong dari belakang.

"Gila! Bila aku penghuni alam sunyi ini..., kalau keluar

dari sini, bisa-bisa tubuhku menjadi bongkok!" gerutu

Pendekar Slebor.

Pendekar Slebor membuka matanya lebar-lebar.

Langkahnya terus menerobos jalan rahasia, yang ternyata

panjang dan semakin panjang.

***

Monoseta segera memimpin rombongannya untuk

masuk ke Keraton Pakuan.

Sebenarnya mereka heran, karena pintu keraton tidak

dikunci dan dapat dibuka dengan mudah. Pemandangan

pertama yang menerpa mata adalah mayat-mayat dari

prajurit Kerajaan Labuan yang bergeletakan. Juga, tiga

orang laki-laki berpakaian putih yang telah menjadi mayat.

"Raja Akherat! Keluarlah. Kau harus bertanggung

jawab atas semua perbuatanmu!" teriak Monoseta

menggeram.

Tak ada suara. Angin senja berhembus dingin. Hawa

kematian merebak.

Monoseta mengangkat tangan, lalu mengibaskannya

ke depan.

Wesss...!

Serangkum pukulan jarak jauh yang dilepaskan

senapati ini menghantam pintu masuk ke Keraton Pakuan.

Duarrr!

Pintu itu hancur berantakan.

"Raja Akherat! Keluar kau!" teriak Monoseta

Belum juga hilang gema suara itu, mendadak

Desss... desss... desss...! "Aaa... aaa... aaa...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang meng-

isyaratkan kematian. Begitu Monoseta menoleh, hatinya

mencelat.

Tampak prajurit Kerajaan Labuan yang tengah sedih

melihat saudara-saudara mereka telah menjadi mayat,

beterbangan. Begitu jatuh ke bumi, mereka sudah menjadi

mayat.

Seketika Monoseta menjadi pias. Rupanya, lawan

sudah membokong dari satu tempat yang tersembunyi.

"Bangsat! Jangan hanya bisa membokong seperti

banci, hah?!" bentak Monoseta geram.

Baru saja kata-kata Monoseta lenyap, berkelebat satu

sosok bayangan. Dan tahu-tahu satu sosok tinggi besar

mendarat di hadapan mereka.

Sari yang mengenali sosok itu menggeram marah.

"Rupanya kau muncul juga, Raja Penyakitanl" bentak

Sad

"Ha ha ha...!"

Raja Akherat terbahak-bahak. Lalu dari arah pintu

masuk utama keraton muncul dua sosok tubuh berkepala

licin. Mereka tak lain Dua Kembar Kepalan Batu dengan

langkah lebar dan wajah sangar.

"Ha... ha... ha...! Rupanya orang-orang yang mau

mampus berani menantangku, hah?! Dan kau, Manis

Rupanya kau datang untuk menyodorkan diri menjadi

pendampingku?" leceh Raja Akherat.

"Phuih...!"

Sari membuang ludahnya muak.

"Jangan terlalu gembira! Hari ini kau akan mampus

berkalang tanah!" tandas Sari.

"Ha... ha... ha...! Bagus sekali. Bagus! Aku suka

mendengar kata-katamu yang lembut menerpa telingaku!"

"Hiaaat...!"

Mendadak saja Sari menerjang dengan kelebatan

pedangnya tanpa mengenal takut: Melihat gadis itu

menerjang, Monoseta dan Ardiseta pun berbuat sama, dan

segera disambut Dua Kembar Kepalan Batu.

Sementara, sisa prajurit Kerajaan Labuan segera

bergerak membantu Sari.

Pertarungan sengit pun terjadi. Para prajurit Kerajaan

Labuan lagi-lagi harus beterbangan tanpa nyawa, begitu

Raja Akherat menggerakkan tangannya dengan dahsyat.

Sari merasa kalau mereka akan mcngorbankan

nyawa dengan percuma saja

"Lebih baik kalian minggir! Dia adalah raja kejam yang

gemar membunuh!" teriak gadis itu.

"Ha... ha... ha...! Dan kau akan kubunuh, Manis!"

Raja Akherat bergerak dengan kedua tangan ke

depan, seolah ingin menangkap Sari. Ia memang ingin

mempermainkan gadis itu. Baik di pertarungan ini maupun

di ranjang. Birahinya sudah bergejolak tidak sabar untuk

menggumuli.

Sementara Monoseta yang menghadapi Srigandi

harus terheran-heran melihat lawan yang terus saja

menyerang. Padahal, pukulan saktinya tepat mengenai

dada.

"Gila! Rupanya dua gundul ini memiliki ajian 'Mati

Rasa'!" dengus Monoseta yang mengenali ajian itu.

Begitu mengenali ajian itu, Monoseta jadi teringat

mendiang gurunya bernama Eyang Kilir yang bermukim di

Gunung Kalidera. Selama belajar ilmu kesaktian pada

beliau. Monoseta telah mendapatkan pelajaran silat dan

ilmu pengetahuan yang banyak sekali. Salah satunya

pengetahuan lentang sebuah ilmu dahsyat yang dimiliki

musuh bebuyutan Eyang Kitir, Langdoro. Ajian itu bernama

'Mati Rasa'. Antara Eyang Kitir dengan Langdoro pernah

bertarung pada tiga puluh tahun yang lalu dengan hasil

berimbang. Maka melihat ajian itu, Monoseta menduga

kalau dua orang gundul ini murid dari Ki Langdoro.

"Hm.... Aku harus menandinginya dengan ajian

'Pemunah Rasa'!" gumam Monoseta.

Kini yang ada di hati Monoseta adalah mcneruskan

perjuangan gurunya, untuk membunuh tokoh hitam sakti

yang kini diambil alih oleh dua orang muridnya.

"Hhh! Ajian 'Mati Rasa' harus hancur dengan ajian

'Pemunah Rasa'! Terkutuklah kalian dua gundul murid Ki

Langdoro manusia sesat itu! Hiaaat..!"

Monoseta mendadak saja bersalto ke belakang.

Begitu mendarat, kedua tangannya disilangkan di depan

dada dengan mulut komat-kamit. Rupanya dia tengah

merapal ajian 'Pemunah Rasa', yang diajarkan Eyang Kitir

untuk menghadapi ajian 'Mati Rasa' dari Ki Langdoro. Dan

sebentar saja, Monoseta telah meluruk kembali,

menyerang Monoseta.

Srigandi tidak tahu kalau lawan telah merapal ajian

penangkal dari ajian 'Mati Rasa'. Maka terus saja di-

songsongnya dengan pukulan keras. Sementara ajian 'Mati

Rasa'telah dirangkum disekujur tubuhnya. Dan....

Plak!

Des!

"Aaakh...!"

Ajian 'Pemunah Rasa' milik Monoseta tepat mengenai

dada Srigandi, yang kontan berteriak merasakan sakit

sangat luar biasa. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang

dengan deras, lalu ambruk disertai muntahan da-rah.

"Srigandi!" seru Srigunda terkejut, sambil menyerang

Ardiseta.

"Kakang..., hati-hati...! Manusia itu..., memiliki ajian

penangkal ajian 'Mati Rasa'.... Ia... ia tentu murid Eyang

Kitir... yang sering... diceritakan... guru... aaakhhh!"

Salah seorang dari Dua Kembar Kepalan Batu itu pun

tewas.

"Hiaaa...!"

Melihat adiknya tewas, Srigunda melompat ke arah

Monoseta dengan maksud membalas kematian adiknya.

Monoseta yang sudah mempersiapkan ajian

'Pemunah Rasa' segera menyambut.

"Ardiseta! Bantu Sari menghadapi Raja Akherat!"

teriak Monoseta, pada Ardiseta.

Ardiseta pun segera menerjang ke arah Raja Akherat

yang sedang mempermainkan Sari dengan serangan-

serangan ganas. Golok besar di tangan Ardiseta berkelebat

mengancam Raja Akherat yang harus berkelit menghindar.

"Bagus, bagus...! Aku pun ingin kau segera menyusul

teman-temanmu ke neraka!" sambut Raja Akherat.

Sementara itu, Monoseta terus mencecar Srigunda.

Dan kali ini Srigunda membenarkan kata-kata Srigandi,

kalau lawan memiliki ajian pemunah dari ajian 'Mati Rasa'.

Des! Des!

"Aaakh...!"

Berkali-kali tubuh Srigunda terkena pukulan

Monoseta. Namun tubuhnya yang kebal bukan lagi

disebabkan tidak merasakan kerasnya pukulan Monoseta,

tapi karena kemarahannya untuk membalas dendam atas

kematian Srigandi.

"Hiaaa...!"

Srigunda berbuat nekat. Tubuhnya meluruk

menyerang. Padahal, tindakannya hanya akan

mengirimnya ke neraka saja.

Dengan mengegos ke kiri dan kanan, Monoseta

menghantam dada Srigunda dengan keras.

Desss!

"Aaa...!"

Srigunda terjengkang disertai raung kesakitan.

Tubuhnya ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Kalau

Srigandi mati dengan muntah darah, Srigunda tewas

dengan dada jebol!

Monoseta menggeram puas. Lalu tubuhnya bergerak

membantu Ardiseta dan Sari yang sedang menerima

serangan Raja Akherat. Namun belum lagi bergerak....

"Heh?!"

Mendadak saja muncul satu sosok tubuh Raja

Akherat yang lain dari dalam keraton.

"Ha... ha... ha...! Biarkan mereka bermain-main de-

ngannya! Kini, kau menghadapi aku!" kata Raja Akherat

yang baru datang, memandang tajam pada Monoseta.

Bukan hanya Monoseta saja yang terkejut melihat

sosok Raja Akherat yang tahu-tahu telah menjadi dua

seperti itu. Juga Ardiseta dan Sari yang kaget bukan alang

kepalang.

Rupanya, Raja Akherat sudah kembali

mempergunakan ilmu 'Melayang Dua' yang pernah

membuat Pendekar Slebor kewalahan.

Wesss...!

"Edan! Ilmu siluman!" desis Monoseta. Senapati ini

harus jungkir balik ketika Raja Akherat yang muncul di

ambang pintu itu mengibaskan tangan ke arahnya.

"Bangsat!" dengus Monoseta. "Hiaaa...!" Dengan ajian

'Pemunah Rasa', Monoseta menerjang cepat Tetapi Raja

Akherat tiba-tiba mengibaskan tangannya lagi. Sehingga....

Desss..:! "Aaakh...!"

Senapati itu kontan terpental disertai teriakan

kesakitan.

Sedangkan Ardiseta dan Sari yang menghadapi Raja

Akherat yang satunya lagi, kali ini harus menerima

serangan-serangan sangat dahsyat dan mematikan.

Bahkan tubuh Ardiseta sudah berkali-kali harus

terpental ke belakang. Namun kegigihannya sebagai

senapati pilihan membuatnya kembali bangun.

Akan tetapi, kegigihannya itu tidak membawa hasil

yang memuaskan. Baru saja Ardiseta bangkit, Raja Akherat

telah meluruk sambil melepaskan tepakan pada dada.

Plak!

"Aaa...!"

Tubuh Ardiseta kontan terlontar deras ke belakang.

Ketika ambruk ke bumi, di dadanya tercetak lima jari

tangan Raja Akherat. Nyawanya pun melayang.

"Ha ha ha...! Tak ada gunanya kalian menyerangku!"

kata Raja Akherat pongah. "Nona Manis.... Lebih baik ikut

denganku, menemaniku di ranjang dan melayaniku.

Daripada harus mampus mengenaskan!"

"Justru aku hendak mengadu nyawa denganmu!"

balas Sari, gagah.

Raja Akherat kembali terbahak-bahak.

Tokoh sesat ini tidak ingin melukai gadis itu, dan

tetap berkeinginan untuk menguasainya, Tak sabar

membayangkan hal itu, mendadak saja Raja Akherat

nenerjang ke depan dengan cepat. Tangannya bergerak

cepat, menepak pedang di tangan Sari.

Plak!

"Ihhh...!"

Pedang gadis ini terpental. Dan sebelum Sari berbuat

apa-apa, Raja Akherat telah berkelebat cepat sambil

melepaskan totokan.

Tuk!

"Ohhh...!"

"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan, aku akan

mendapatkanmu, Manis...," leceh Raja Akherat, melihat

tubuh Sari melorot ambruk di tanah.

Sementara ilu Monoseta yang masih menghadapi

Raja Akherat satu lagi harus pula menghadapi Raja

Akherat yang tadi menjadi lawan Sari. Rupanya,

kedua Raja Akherat memiliki ilmu yang sama-sama tinggi.

Bahkan wajah, benluk tubuh, dan kekejamannya pun

sama.

Monoseta sendiri merasa kalau tidak akan mampu

menghadapi kedua Raja Akherat. Hanya yang membuatnya

tidak mengerti, mengapa sampai saat ini Pendekar Slebor

belum muncul juga? Seharusnya, Andika sudah tiba di

belakang keraton ini, dan bersiap membokong Raja

Akherat. Mungkin karena Pendekar Slebor tahu kalau Raja

Akherat mampu membuat tubuhnya menjadi dua seperti

ini, maka harus masuk melalui jalan rahasia.

Tetapi mengapa Pendekar Slebor begitu lama sekali?

Dan belum muncul juga?

Pada saat seperti ini, sebenarnya tenaga Monoseta

sudah merosot jauh. Bahkan tidak akan mampu bertahan

lebih lama lagi. Sementara, kesempatan untuk membalas

sudah tidak ada.

Apa yang diduga memang benar. Monoseta kini harus

melompat menghindari pukulan yuang mengandung

tenaga sakti yang kuat dari Raja Akherat. Namun pada saat

yang sama. Raja Akherat yang satu lagi melepas tendangan

dahsyat. Dan....

Prakkk...!

"Aaakh...!"

Seketika kepala Monoseta pecah terhantam

tendangan Raja Akherat. Lalu tubuhnya ambruk ke bumi,

jatuh berdebam.

Raja Akherat terbahak-bahak.

"Tak seorang pun yang mampu untuk menghadapiku'

Kini, rencanaku untuk menguasai dunia persilatan akan

segera terwujud! Ha... ha... ha...! Rupanya Pendekar Slebor

takut mengadu nyawa denganku!"

Raja Akherat melangkah, mendekati Raja Akherat

yang satu lagi. Dan perlahan-lahan, tubuh mereka bersatu.

Sebentar saja Raja Akherat memandang ke sekeliling, lalu

melangkah mendekati tubuh Sari yang dalam keadaan

tertotok lemah. Dengan lembut dibopongnya gadis itu.

Perlahan-lahan Raja Akherat melangkah, masuk

kembali ke dalam keraton.

***

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Andika? Adakah

sesuatu penghalang di jalan rahasia itu? Dan, bagaimana

dengan nasib Sari yang sudah di ambang kehancuran?



Tunggu serial Pendekar Slebor selanjutnya:

NERAKA DI KERATON BARAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar