RAJA AKHERAT
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cirrtamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor:puji.s
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
1
Suasana di halaman Keraton Kerajaan Pakuan hari
ini begitu meriah dan gegap gempita. Orang-orang
bersorak-sorai bersamaan sambil bertepuk tangan, ketika
raja mereka yang bernama Prabu Adiwarman keluar dari
pintu Keraton diiringi beberapa punggawa berbaju seragam
warna hitam, dengan celana pangsi dibalut kain batik. Di
atas kedua lengan mereka melingkar sebuah Cakra.
Dengan gagah mereka mengiringi Prabu Adiwarman
menuju panggung yang telah didirikan sejak beberapa hari
yang lalu.
Panggung itu besar. Pada tiap sudutnya dihiasi
umbul-umbul lambang Keraton Pakuan. Di sisi panggung
snelah timur, terdapat kursi yang dibuat mirip singgana
sang Prabu.
Matahari baru saja mengintip, dan akan lepas landas
menuju titik akhirnya nanti. Masih sepenggalah, sinarnya
belum begitu terik. Angin berhembus sejuk, melambaikan
pepohonan beringin besar yang tumbuh di depan keraton.
Prabu Adiwarman telah duduk di singgasananya.
Scpuluh punggawa berdiri gagah di belakangnya.
Sedangkan seorang laki-laki yang berwajah tampan
bersidekap di sisinya. Rambutnya digelung ke atas. Ba-
dannya tanpa penutup alias bertelanjang dada. Di
pinggang bagian belakang terselip sebuah kens pusaka
pada kain batik yang melingkar. Orang-orang mengenalinya
sebagai Patih Jalalowe. Pengabdiannya pada sang Prabu
telah cukup lama. Tak heran kalau ia sudah sangat dikenal.
Tepat ketika Prabu Adiwarman berdiri, suara yang
bergemuruh tadi terhenti. Laki-laki berusia sekitar empat
puluh enam tahun ini mcnyapu pandangan pada rakyat
yang mengelu-elukannya. Senyum kearifan dan bijaksana
terpandang di mata mereka.
Di sisi utara, terdapat kursi-kursi yang berjajar. Di
sanalah para tokoh sakti dari dunia persilatan yang
diundang, duduk untuk menyaksikan aeara yang akan
digelar. Di sebelah selatan, berjajar sekitar tiga puluh orang
pemuda gagah berusia di bawah tiga puluh tahun.
“Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Ter-
utama, para pemuda-pemuda gagah yang hendak
mengikuti sayembara dengan mengadu kesaktian di
panggung terbuka ini,” ucap Prabu Adiwarman, berwibawa.
Memang, beberapa minggu yang lalu telah
diumumkan ke seluruh pelosok negeri ini, bahwa Prabu
Adiwarman akan mcngadakan sayembara bagi pemuda-
pemuda berusia di bawah tiga puluh tahun. Hadiahnya tak
tanggung-tanggung, yakni putri beliau sendiri.
Di atas panggung, Prabu Adiwarman tampak gagah
sekali dengan pakaian kebesarannya yang begitu indah.
Warnanya hijau keemasan, dengan rajutan benang emas
yang hanya bisa dilakukan tangan ahli.
"Aku tidak ingin berpanjang lebar. Seperti yang
diumumkan, barang siapa yang bisa memenangkan
seluruh pertarungan ini, maka putri tunggalku, Permata
Delima akan bisa dipersunting salah seorang dari kalian!"
lanjut laki-laki yang kelihatan masih tampan.
Suara gemuruh dari tepukan dan teriakan terdengar
lagi. Kecantikan Permata Delima tidak bisa lagi dilukiskan.
Tak ubahnya dewi kayangan.
Hadirin melihat sang Prabu bertepuk tangan tiga kali.
Lalu, terlihatlah satu iringan yangmelangkah perlahan.
Seorang gadis cantik berpakaian kebesaran istana tampak
melangkah di depan dengan wajah ditutupi cadar.
Langkahnya begitu anggun, diiringi beberapa orang gagah
yang menjaganya. Suara gemuruh semakin terdengar.
Dan tepukan membahana ketika gadis cantik yang
tak lain Putri Permata Delima duduk di sebelah kiri Prabu
Adiwarman.
"Aku hanya menghendaki pertandingan yang jujur.
tidak boleh ada korban nyawa. Tetapi bila hanya cedera
patah, misalnya, rasanya bukan masalah! Karena, calon
menantuku dan calon suami putriku, haruslah orang yang
gagah dan memiliki kepandaian yang tinggi!" tambah Prabu
Adiwarman.
Kembali suara membahana terdengar keras terutama
dari bagian selatan panggung, tempat para peserta duduk.
Dan setelah itu mereka saling pandang dengan tatapan
tajam. Dalam hati mereka tersimpan sebuah harapan,
mendapatkan sekaligus mempersunting Putri Permata
Delima.
Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba. Begitu Prabu
Ailiwarman bertepuk sekali, seorang punggawa bertubuh
kekar dan bertelanjang dada mengangkat sebuah alat
pemukul. Lalu dihantamnya gong besar yang ada di sisinya.
Duaaang!
Bunyi gong yang dipukul pertanda sayembara segera
dimulai. Hadirin terdiam, memperhatikan para tokoh sakti
yang hanya duduk dengan sikap masing-masing.
Salah seorang segera melompat ke atas panggung.
Gerakannya begitu ringan. Dia mengenakan pakaian
ringkas berwarna merah, dengan gelang akar bahar besar
di tangannya. Wajahnya garang. Matanya setajam elang.
Rambutnya pun digelung ke atas. Tombak tajam berada di
tangannya, saat menjura pada Prabu Adiwarman.
"Hamba yang hina ini bernama Palawena dengan
julukan si Tombak Maut. Perkenankanlah hamba mencoba
keberuntungan dalam sayembara ini!" ucap pemuda yang
mengaku bernama Palawena alias si Tombak Maut.
Prabu Adiwarman mengangguk. Sedangkan Putri
Permata Delima hanya menunduk. Tak seorang pun yang
bisa menebak, perasaan apayangmenggelayuti hatinya.
Suara tepuk tangan kembali terdengar.
Begitu suara tepuk tangan sirna. mendadak saja
melompat satu sosok tubuh tinggi besar. Wajahnya
bercambang bauk dengan kedua alis hitam legam. Begitu
mendarat di panggung, dia menjura pada Prabu
Adiwarman.
"Hamba bernama Buntoto, yang berjuluk si Pukulan
Setan."
Ketika Prabu Adiwarman menganggukkan kepala,
orang-orang kembali bertepuk tangan. Kemudian laki-laki
bercambang bauk yang mengaku bernama Buntoto
berbalik pada Palawena yang berdiri gagah.
"Saudara Palawena, tolong beri petunjuk," ujar
Buntoto.
Palawena malah tertawa terbahak-bahak.
"Begitu pula denganku, Buntoto. Hm.... Apakah kau
tidak mempergunakan senjata?" tanya Palawena dengan
suara meremehkan. "Atau, kau sudah yakin dengan
kemampuanmu yang bertangan kosong?"
"Rasanya, kedua tanganku ini mampu untuk
mengimbangi permainan tombakmu."
Rupanya, di balik wajahnya yang seram, Buntoto
memiliki sifat bijak.
"Baik! Lihatserangan!"
Mendadak saja Palawena memutar tombaknya di tins
kepala. Seketika terdengar desingan yang kuat dan
menderu-deru. Lalu dengan suara keras, diterjangnya
Buntoto. Buntoto sendiri tak kalah sigap. Cepat
dihadangnya serangan Palawena.
Pertarungan sengit pun berlangsung. Apa yang
dikatakan Buntoto tadi bcnar. Buktinya ia mampu
mengimbangi permainan tombak Palawena yang
mengincar bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Dan
pukulan-pukulan yang dilakukannya begitu cepat sekali.
Memapak, menangkis, dan menyerang.
Dalam waktu singkat, lima belas jurus berlalu dalam
pertarungan yang cukup sengit. Sementara sorak-sorai
para penonton membahana. Orang-orang gagah yang
mengikuti sayembara itu pun memicingkan mata, mencoba
melihat kelemahan masing-masing.
Di antara para hadirin, tampak pula seorang pemuda
berpakaian hijau muda. Rambutnya panjang tetapi rapi.
Tubuhnya tegap. Wajahnya tampan. Di pundaknya
melingkar sehelai kain bercorak seperti catur berwama
hitam putih. Sejak tadi, ia paling ribut mengocehi
pertandingan itu.
"Wah! Buntoto memang hebat! Meskipun tubuhnya
besar, tapi gerakannya lincah. Palawena juga. Hanya saja
ia kurang bisa mengimbangi kecepatan Buntoto. Kurang
makan rupanya!" oceh pemuda berpakaian hijau muda itu.
Seorang pemuda yang berdiri di dekat pemuda
berpakaian hijau muda ini melirik dan memperhatikan
sekilas. Bila melihat wajah pemuda yang berseloroh tadi,
rasanya ia belum pernah melihat. Tetapi diakui juga kata-
kata pemuda itu. Karena satu pukulan Buntoto kini tampak
masuk ke perut Palawena yang kontan terjajar ke
belakang.
"Nah! Betul, kan? Pasti dia kalah," kata pemuda
berpakaian hijau muda itu lagi.
Sementara di panggung, Buntoto tidak melanjutkan
serangan. Palawena scndiri bangkit menjura.
"Terima kasih atas pelajaran darimu. Aku mengaku
kalah," ucap Palawena.
Para hadirin bersorak. Sebagian mencemooh
Palawena yang melompat masuk ke keramaian dan
menghilang entah ke mana.
"Pertarungan jujur dan ksatria!" desis pemuda itu lagi.
Tepat ketika Buntoto selesai menjura pada para
hadirin, melompat seorang laki-laki gagah berpakaian
kebesaran keraton.
"Namaku Segara, yang berjuluk si Keris Malaikat. Aku
ingin menjajal kemampuanmu...," kata laki-laki gagah itu.
Begitu selesai kata-katanya, orang yang mengaku
bernama Segara dan berjuluk si Keris Malaikat ini langsung
menyerang Buntoto. Serangannya terlihat sangat keji dan
berbahaya.
"Wah, wah Ini namanya bukan sayembara lagi,
tetapi memang ingin mengalahkan!" desis pemuda
beralis legam itu lagi "Tetapi sepertinya.... Buntoto masih
bisa mengalahkannya."
Lagi-lagi apa yang dikatakan pemuda itu benar.
Belum sampai dua jurus, satu pukulan Buntoto telah
mendarat telak di dada Segara. Laki-laki berjuluk si Keris
Malaikat itu terhuyung ke belakang, lalu melompat pergi
tanpa pamit
"Wah,wah! Malu tuh!"
"Makanya..., kalau punya ilmu cetek, tidak usah ikut!"
Suara-suara sumbang, terdengar ramai.
Sementara pemuda berpakaian putih yang di
pinggangnya melingkar sebuah tali merah menoleh ke
samping, ke arah pemuda berbaju hijau. Dia merasa heran
melihat pemuda konyol ini selalu benar dugaannya.
"Kisanak.... Siapakah kau sebenarnya?" tanya
pemuda berpakaian putih itu.
Pemuda berpakaian hijau muda memperhatikan
pemuda yang kira-kira seusia dengannya ini.
"Aku? Wah! Aku siapa, ya? Namaku maksudmu?"
"Benar," pemuda berbaju putih itu mengangguk,
seperti penasaran. "Oh, ya. namaku Danji...."
"Aku Andika."
"Andika?"
"Ya. Bagus, bukan?" seloroh pemuda yang ternyata
Andika alias Pendekar Slebor sambil nyengir kuda.
"Kau bisa tepat menduga, siapa yang akan
memenangkan pertarungan. Mengapa kau tidak ikut
sayembara?" tanya pemuda bernama Danji itu lagi dengan
kening berkerut.
Andika nyengir.
"Bagaimana aku bisa ikut, kalau belum pernah
melihat Putri Permata Delima? Siapa tahu wajahnya penuh
jerawat," seloroh Andika tidak peduli kalau wajah Danji
memerah. Perubahan itu tidak luput dari tatapan Andika.
"Putri Permata Delima sangat cantik. Kecantikannya
hanya bisa ditandingi dewi-dewi kayangan."
"Nah! Kau kan sudah tahu. Aku belum. Jadi, lebih baik
jadi penonton saja. Dan, mengapa tidak kau sendiri saja
yang ingin ikut sayembara itu? Nah coba lihat. Siapa yang
menang sekarang?"
Sementara di atas panggung Buntoto sedang
menghadapi cecaran lawannya yang sebelumnya mengaku
berjuluk si Cakar Harimau. Ganas sekali serangan-se-
rangan yang dilakukan laki-laki berbaju dari kulit harimau
dengan kedua tangan bagai cakar. Tangannya mengibas ke
sana kemari dengan jemari yang berkuku-kuku tajam
mengembang terbuka. Mulutnya menggereng sangat kuat,
menampakkan keganasan jurus 'Cakar Harimau'nya.
Danji menoleh pada Andika
"Menurutmu, siapa yang akan memenangkan
pertarungan itu, Andika?" tanya Danji.
"Si Cakar Harimau akan memenangkan pertarungan
itu," kata Andika sambil memperhatikan pertarungan yang
sengit di atas panggung. "Serangan-serangannya banyak
mengandung gerak tipu. Sayang wataknya terlalu kejam."
Mereka kembali memperhatikan pertarungan. Dan
lagi-lagi Danji mendesak ketika melihat Buntoto harus
terjengkang ke belakang terkena sambaran si Cakar
Harimau tepat di paha kanannya. Tubuhnya limbung, darah
mengucur dari sana.
Buntoto mengangkat tangannya tanda menyerah.
Lalu dia turun tanpa ada rasa kecewa ataupun malu. Se-
mentara para hadirin bukannya menyoraki Buntoto, malah
menyoraki si Cakar Harimau yang bernama asli Rimang.
Tampak laki-laki berpakaian kulit harimau itu berdiri
jumawa.
Tetapi Rimang tidak peduli. Matanya justru menatap
tajam pada para tokoh yang hendak mengikuti sayembara.
"Hhh! Siapa lagi yang ingin meminta pelajaran
dariku?!" dengus Rimang berapi-api dan pongah.
Dua orang pemuda berdiri. Tetapi, mereka justru
saling pandang. Yang berpakaian merah mempersilakan
pemuda yang berpakaian biru. Kali ini di benak mereka
bukan lagi untuk memenangkan sayembara, melainkan
tidak tahan melihat kesombongan Rimang.
Pemuda berpakaian berwarna biru segera menjura
hormat, lalu melenting ke atas panggung dengan gerakan
ringan.
"Ha ha ha...! Apakah kau tidak sayang dengan salah
satu bagian tubuhmu?" ejek Rimang, merendahkan.
Pemuda itu hanya tersenyum saja.
"Aku memang baru turun gunung. Namaku Kusuma,
dan belum mendapatkan julukan apa-apa dari orang-orang
persilatan. Dan aku sangat ingin mendapatkan pelajaran
darimu, Saudara Rimang...," kata pemuda berpakaian biru
yang bernama Kus uma.
Rimang terbahak-bahak.
"Sayang.... Menurut perkiraanku, kau harus segera
kembali ke asalmu dengan salah satu tubuh cacat!"
Begitu habis kata-katanya Rimang membuka jurus.
Kedua tangannya membuka membentuk cakar.
"Kini, kau akan mendapatkan pelajaran pertama
dariku!" desis si Cakar Harimau.
Wuutt!
Rimang menerjang dengan serangan sangat ganas.
Agaknya dia sangat berapi-api ingin memenangkan
pertarungan secepatnya. Tetapi rupanya, Kusuma yang
baru saja turun gunung memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sangat lumayan. Serangan Rimang dihindarinya
dengan ringannya dan berkali-kali membalas.
Kimang cukup terkejut juga melihatnya. Karena baru
disadari kalau kemampuan Kusuma berada di atas
Buntoto. Makanya segera dilancarkannya serangan demi
serangan yang kejam dan ganas, terkesan membabi buta.
Bahkan kini serangannya sudah mengarah pada bagian-
bagian yang mematikan bagi Kusuma.
Sejauh itu Kus uma masih bisa menghindari ke sana
kemari dengan lincah. Hanya sayang, ia belum banyak
menikmati asam garamnya dunia persilatan. Meskipun
ilmunya tinggi, ia masih kurang paham akan gerak tipu dan
naluri kelicikan orang-orang persilatan.
Satu ketika, Kusuma harus melompat ke belakang.
Tetapi Rimang dengan gerakan bagai menerkam mem-
burunya. Dan....
Breeet!
Pakaian Kusuma sobek termakan cakaran si Cakar
Harimau. Darah merembes perlahan. Rupanya cakar itu
pun menyambar dada Kusuma.
Melihat lawannya sudah terluka, Rimang menjadi
semakin ganas. Kali ini sudah kelihatan, siapa dia
sesungguhnya. Dengan teriakan keras bagai suara
harimau, ia menerkam ke arah Kusuma sambil
melepaskan pukulan.
Dan hampir saja serangan itu mendarat, mendadak
berkelebat satu bayangan merah, langsung memapak
serangan si Cakar Harimau.
Plak! Plak!
Rimang mendengus geram melihat serangannya
berhasil digagalkan. Dengan tajam, ditatapnya seorang
pemuda berpakaian warna merah berikat kepala kuning
yang telah menggagalkan serangan sambil berdiri gagah,
pemuda berpakaian merah ini mempersilakan Kusuma
untuk meninggalkan panggung.
Suasana menjadi tegang. Sementara sikap Prabu
Adiwarman masih tenang saja.
"Saudara Rimang.... Di atas panggung ini, kita bukan
ingin saling membunuh. Melukai pun seharusnya tidak.
Tetapi, tindakanmu itu sudah kelewat batas," ujar pemuda
berbaju merah, tenang.
"Jangan banyak omong!" bentak Rimang geram.
"Kalau kau memang ingin ikut sayembara ini, hadapi aku!
Bukannya memberi ceramah!"
Pemuda berpakaian warna merah itu menjura.
"Aku pun ingin mendapatkan pelajaran darimu,
Snudara Rimang! Namaku Panca.... Hiattt!"
Rimang tidak memberi kesempatan lagi bagi pemuda
berbaju merah yang mengaku bernama Panca untuk
meneruskan kata-katanya. Kini ia sudah menyerang
dengan kckuatan penuh.
Panca yang sudah memperkirakan kalau Rimang
akan ganas menyerangnya, menghindar sambil
mengirimkan serangan balasan dengan tendangan.
Sementara itu, Andika hanya menggeleng-geleng.
"Bisa kacau sayembara ini! Rimang nampaknya
memliki naluri membunuh yang kuat! Ia tidak segan-segan
an mbunuh!" kata Andika, agak kesal.
Danji menoleh kembali.
"Menurutmu bagaimana, Andika?"
"Kelihatannya, Rimang akan menguasai
pertandingan. Bila melihat serangannya yang berbahaya,
kemungkinan besar Panca pun bisa dilukainya," sahut
Andika, sok tahu. Lagaknya mirip seorang guru pada
muridnya. Bahkan sambil mengelus-elus janggutnya yang
tak berjenggot.
"Kau tidak membantunya?" pancing Danji.
Andika menoleh pada Danji yang memandangnya
dengan sinar mata penuh harap. Sudah dua kali Danji
berkata seperti itu. Pertama, mengapa Andika tidak ikut
dalam sayembara ini? Kedua, mengapa tidak segera
membantu? Dengan kata lain, semuanya satu tujuan. Danji
mengharapkan Andika untuk ikut dalam sayembara ini.
"Mengapa kau berpikiran seperti itu, Danji? Apakah
ada sesuatu yang sangat kau risaukan?" tanya Pendekar
Slebor.
Kali ini Danji menundukkan kepala. Sikapnya
kelihatan serba salah.
"Kalau kau sudi mengatakannya, aku pun bersedia,
mendengarkannya. Kalau kau tidak mau mengatakannya,
aku pun tidak bersedia mendengarnya...," kata Andika
sambil tertawa
Danji mendesah panjang. Raut wajahnya
mencerminkan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi.
Berkali-kali kepalanya diangkat dan ditundukkan. Seolah
memang sesuatu yang telah lama dipikirkannya, semakin
besar mengganjal.
"Hei? Tidak usahlah kau beritahu. Nanti aku malah
repot!" ujar Andika berlagak tidak tertarik. Padahal, hatinya
yakin kalau Danji mempunyai persoalan rumit.
Justru sikap Andika yang acuh tak acuh itulah
membuat Danji bersedia menceritakan kegalauan di
hatinya Memang, menurutnya lebih baik membagi cerita
pada orang yang tak dikenalnya. daripada membagi cerita
dengan orang yang dikenalnya tetapi justru akan mener-
tawakan.
"Putri Permata Delima adalah kckasihku, Andika..,"
bisik Danji, pada akhirnya.
Sejenak kening Andika berkerut. Danji kelihatan
khawatir kalau mendadak saja meledak tawa dari mulut
pemuda yang baru dikenalnya.
"Dia kekasihmu?" ulang Andika
"Ya. Dia kekasihku," sahut Danji sambil mendesah
panjang. Bersyukur karena tawa Andika tidak terlihat.
"Kalau memang benar, mengapa kau tidak turut
dalam sayembara ini? Dengan begitu, kau bisa
mempertahankan kekasihmu. Danji," kata Andika,
sungguh-sungguh
"Itulah yang membuatku gelisah, Andika Karena, aku
sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Sementara,
kau lihat sendiri, bukan? Mereka yang mengikuti
sayembara jelas terdiri dari orang-orang persilatan yang
krpandaiannya di atas rata-rata" papar Danji, galau.
Andika manggut-manggut sambil mengusap-usap
dagunya
"Kau akan kehilangan kekasihmu bila kau tidak
berusaha"
Danji menundukkan kepala.
"Aku tidak tahu, apayang harus kulakukan, Andika.
Nyalanya aku hanya pasrah saja melihat Putri Permata
Delima diboyong pemenang dari sayembara ini...."
Andika terdiam sejenak.
Sementara di atas panggung, Panca terdesak hebat
nlrli serangan-serangan dahsyat Rimang.
Tiba-tiba Andika menoleh pada Danji.
"Kalau begitu, aku akan mencoba menolongmu, Danji
Kalau aku menang, Putri Permata Delima akan kuserahkan
padamu.... Tetapi, sisakan aku sedikit saja," . seloroh
Andika sambil terkekeh.
Danji tersenyum. Tampaknya, pemuda ini senang
bercakap cakap dengan sahabat barunya ini. Meskipun, ia
tidak yakin akan kemampuan Andika.
"Aaakh...!"
fiba-tiba di atas panggung terdengar jeritan nyaring,
ketika cakar Rimang mengenai punggung Panca. Tampak
Panca terhuyung ke belakang, dan hanya bisa mengangkat
tangannya tanda menyerah.
Rimang tertawa terbahak-bahak.
"Turun dari atas sini!" seru si Cakar Harimau meng-
ejek. "Kau lebih pantas untuk menetek pada ibumu! Ha ha
ha... ayo, siapa lagi yang.hendak menjajal kehebat-anku!"
Kini, tak seorang punyang berani untuk naik ke atas
panggung. Kegagahan dan kegarangan Rimang membuat
nyali para peserta sayembara kontan ciut. Kekejamannya
sudah nyata pada lawan-lawannya yang harus turun
panggung dengan tubuh luka-luka.
Beberapa saat Rimang menunggu. Sementara para
penonton menjadi tegang. Lalu, Rimang pun menoleh pada
Prabu Adiwarman.
"Prabu Yang Mulia.... Nampaknya tak seorang pun
yang berani untuk masuk dalam sayembara ini. Apakah itu
berarti hamba memenangkan sayembara?" tanya si Cakar
Harimau dengan suara angkuh.
Prabu Adiwarman hanya tertawa saja. Baginya,yang
memenangkan sayembara ini baik dari kalangan mana pun
juga, maka berhak mempersunting Putri Permata Delima.
"Kita menunggu beberapa saat lagi. Bila tidak ada
yang naik ke atas panggung, berarti kaulah yang berhak
untuk mempersunting putriku."
Rimang tertawa gagah. Pandangannya disapu ke
bawah panggung. Beberapa tokoh sakti yang menyaksikan
sayembara mendengus melihat sikap Rimang. Tidak
pantas seorang gagah berlaku seperti itu. Begitu kejam!
Padahal sayembara ini dilakukan bukanlah untuk
menunjukkan kesombongan.
Setelah beberapa saat, tak seorang pun yang naik
keatas panggung. Rimang menoleh kembah pada Prabu
Adiwarman Namun, sebelum ia berkata apa-apa, satu
sosok bayangan merah sudah berkelebat ke atas
panggung dengan gerakan indah sekali.
***
2
Para hadirin bertepuk tangan begitu melihat sosok
laki-laki tinggi berpakaian merah hinggap di lantai
panggung. Tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika
melihat wajah lelaki yang sangat mengerikan. Mukanya
tirus menunjukkan sifatnya yang seperti ular. Sepasang
matanya menatap dingin. Bekas luka tampak tergaris di
pipi sebelah kiri. Rambutnya panjang acak-acakan.
Andika sendiri terkejut melihatnya. Dia tadi baru saja
hendak naik ke panggung. Tetapi, sosok berpakaian merah
itu sudah mendahuluinya.
"Ha ha ha...! Mengapa semua menjadi seperti kelinci,
ha?!" seru laki-laki itu sambil tcrbahak-bahak. Suaranya
keras dan kasar. "Hhh! Bocah kemarin sore ini nampaknya
mau menjual lagak!"
Rimang memperhatikan tajam-tajam laki-laki bcr-
wajah buruk di depannya. Melihat wajahnya, jelas orang ini
sudah berada di luar ketentuan yang ditetapkan Prabu
Adiwarman. Karena, usia sosok berpakaian merah itu
paling tidak empat puluh lima tahun.
"Siapa kau, Orang Jelek?!" bentak si Cakar Harimau
kesal. Karena, masih ada saja yang menghalanginya.
"Ha ha ha...! Bagus, bagus sekali! Aku sangat suka
penjelasanmu seperti itu. Aku memang jelek. Tetapi..., kau
akan kubuat lebih jelek daripada wajahku ini!" sam-but
orang itu menggeram. "Namaku, Tidar! Dan orang-orang
menyebutku Raja Akherat!"
Bukan hanya Rimang saja yang kelihatan terkejut.
Bahkan para tokoh sakti yang berada di sana pun sampai
terjingkat. Mereka memang sudah lama mendengar
tentang julukan Raja Akherat yang berasal dari golongan
hitam. Seorang tokoh yang sangat kejam dan tidak segan-
segan menyiksa lawannya, sebelum mampus. Lalu, untuk
apa ia ikut sayembara ini?
Sebelum ada yang membuat gerakan untuk
membuka pertarungan, seseorang berpakaian putih
dengan sorban putih bangkit dari duduknya. Ia langsung
melenting, naik ke panggung.
"Ada apa, Ki Kelana?" tanya Prabu Adiwarman.
"Maafkan hamba, Prabu Yang Mulia. Sesuai
ketentuan sayembara ini, maka Raja Akherat tidak berhak
mengikuti sayembara," ucap laki-laki bersorban putih dan
berwajah lembut yang dipanggil Ki Kelana.
"Ha ha ha...!"
Mendengar itu justru Raja Akherat yang tertawa.
"Mengapa seperti itu, ha?! Dalam setiap sayembara,
tidak ada ketentuan yang berlaku seperti itu!" bentak Tidar
alias si Raja Akherat.
Ki Kelana menoleh dengan menyelidik.
"Maaf, ini sudah ketentuan!" tegas Ki Kelana.
"Banyak lagak!" dengus Tidar.
Mendadak saja si Raja Akherat melesat ke arah
Rimang. Tentu saja hal ini membuat si Cakar Harimau
terkejut sekali. Ia berusaha menghindar. Hanya itulah
gerakan yang bisa dilakukan. Namun, Raja Akherat terus
memburunya dengan sebuah hantaman telapak tangan.
Lalu...
Des!
"Aaa...!"
Telapak tangan Raja Akherat bersarang telak di dada
si Cakar Harimau dan ambruk dengan tubuh hangus.
Orang-orang terkejut, termasuk Andika. Sementara Ki
Kelana menggeram, namun tetap dengan kelembutannya.
"Tak diperkenankan mencabut nyawa di sini!" desis Ki
Kelana.
"Ha ha ha.... Pemenang boleh melakukan apa saja.
Lebih baik kau turun saja dari sini! Bila memang kau ingin
ikut dalam sayembara, lebih baik lawan aku!" tantang si
Raja Akherat.
"Nama besar Raja Akherat sudah lama kudengar
sebagai orang yang kejam. Dan lebih baik..., heaaa!"
Ki Kelana cepat mengempos tubuhnya ke atas,
karena Raja Akherat sudah menghentakkan tangan
kanannya untuk melepas pukulan jarak jauh.
Wuttt...!
Baru saja Ki Kelana mendarat, Raja Akherat telah
berkelebat disertai hantaman telapak tangan. Begitu cepat
gerakannya, sehingga....
Dess...!
"Aaakh...!"
"Aku tidak suka mendengar ceramahmu! Lebih baik
mampus!" dengus si Raja Akherat, begitu mendarat
kembali. Seperti yang terjadi pada Rimang tadi, Ki Kelana
pun tak sempat berbuat banyak. Tubuhnya kontan
terpental disertai jeritan kematian. Begitu ambruk.
tubuhnya telah hangus.
"Ha ha ha...!"
Tidar terbahak-bahak.
Para tokoh persilatan yang berada di sana pun
bangkit berdiri, melihat ketidak beresan yang terjadi di
panggung. Rasa kependekaran mereka terbangkit. Mereka
langsung melesat ke atas mengurus Tidar yang hanya
terbahak-bahak.
"Aku tidak pernah suka bila keinginanku diganjal!
Lebih baik kalian mampus semuanya!" seru Tidar.
Seketika si Raju Akherat memutar tubuhnya dengan
hebat sambil menghentakkan tangannya.
Des! Des! Des!
"Aaakh...!"
Tiga tokoh persilatan kontan jadi korban sambaran
pukulan jarak jauh yang dilepaskan Tidar. Sedangkan yang
lain terus berusaha mengurung dan mendesak, seperti tak
mengenal takut.
Kini keadaan menjadi kacau balau. Beberapa
penonton pun mulai berjatuhan, terkena pukulan jarak
jauh yang dilepaskan Tidar. Keributan semakin menjadi-
jadi. Mereka berusaha menyelamatkan diri. Bahkan ada
yang jatuh dan terinjak-injak.
Pendekar Slebor pun tak urung menjadi geram
melihat keadaan yang sudah menjadi ruwet seperti itu. Dia
Iangsung menoleh pada Danji.
"Kau selamatkan Putri Permata Delima, Danji! Ma-
nusia itu rupanya hendak memanfaatkan kesempatan,
untuk menguasai Keraton Pakuan!"
"Tetapi, bagaimana mungkin aku bisa
melakukannya?" tanya Danji bingung.
"Apalah yang akan kau lakukan! Lakukan saja!"
Begitu selesai dengan kata-katanya, Andika pun
melompat ke atas panggung.
Wuttt...!
Seketika Pendekar Slebor mengirimkan satu pukulan
ke arah Raja Akherat yang sudah memukul jatuh beberapa
pengurung. Namun sebagai tokoh tingkat tinggi, Tidar
langsung.merasakan adanya sebuah angin panas ynng
mengarah padanya. Maka cepat melompat ke samping,
sehingga luput dari serangan. Dan matanya kontan
terbelalak ketika melihat siapa yang menyerang.
"Grrh! Anak ingusan mana yang berani melawanku,
hah?!" geram Tidar sambil memperhatikan Andika yang
hanya nyengir saja.
Sementara para tokoh persilatan yang masih seIamat
cepat melompat turun panggung, seperti memberi
kesempatan pada pemuda berpakaian hijau dengan kain
bercorak catur yang tersampir di pundaknya.
"Grrr! Monyet jelek mana yang jadi tukang obat di sini,
ya?" balas Andika.
Wajah si Raja Akherat merah padam. Dan tanpa
banyak kata lagi segera diserangnya Pendekar Slebor
dengan ganas.
Namun, Andika cepat meliuk-liukkan tubuhnya,
menghindari serangan. Sejak pertama kali melihat Tidar
menyerang dan membunuh Rimang, Pendekar Slebor
sudah bisa menebak kalau sekali gebrak si Raja Akherat ini
akan mampu menghabisi Iawannya. Serangan itu sangat
keji, dan membuat yang diserang sering terjebak.
Makanya, saat meliuk-liukkan tubuhnya, Andika tidak
menjauh. Dia cepat melompat ke depan. Dan ternyata yang
diduga benar. Karena kalau menghindar ke belakang,
serangan akan datang secara beruntun.
"Bakekok, Monyet Utan!" ejek Andika.
Raja Akherat makin geram saja.
Sementara itu Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima sudah diselamatkan Patih Jalalowe, sejak Raja
Akherat membunuh Ki Kelana. Patih itu sendiri keluar
kembali, setelah memerintahkan beberapa pengawal
untuk menjaga Prabu Adiwarman dan putrinya.
Sedang Danji masih terpaku di tempatnya. Ia
memang tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa
memperhatikan saja ketika Patih Jalalowe membawa
masuk Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima. Dan,
masih sempat dilihatnya putri cantik itu meliriknya walau
hanya sekilas.
Di atas panggung, Raja Akherat terus menyerang
Andika dengan ganasnya. Namun dengan kelincahan dan
ilmu warisan dari Pendekar Lembah Kutukan, Pendekar
Slebor bisa menghindarinya. Meskipun berkali-kali
tubuhnya merasakan terpaan hawa panas.
Sementara Patih Jalalowe sudah masuk ke panggung
dengan keris pusaka terhunus. Begitu ada kesempatan,
langsung diserangnya Raja Akherat yang belum sempat
menyerang Andika kembali.
Mendapati serangan-serangan demikian, Raja
Akherat sama sekali tak gentar. Bahkan dengan lincahnya
tusukan-tusukan keris Patih Jalalowe berhasil dihindarinya.
Pada saat yang sama pula para pengawal Kerajaan
Pakuan sudah naik ke panggung. Mereka langsung
mengurung Raja Akherat. Namun sekali Tidar alias Raja
Akherat berkelebat, beberapa pengawal itu harus
beterbangan ke bumi, memuntahkan darah segar. Begitu
ambruk di tanah, nyawa mereka kontan melayang.
"Jaga Keraton! Kalian hanya membuang nyawa
percuma!" seru Patih Jalalowe, pada para pengawal yang
masih selamat.
Mendengar pcrintah itu, para pengawal keraton
segera turun. Mereka langsung berlarian, menjaga pintu
gcrbang. Sedangkan sebagian lagi masih berdiri di sana
ilrngan tombak di tangan yang siap dihunuskan.
Sementara itu, begitu mendapat kesempatan, Andika
berusaha mendesak Raja Akherat kembali dengan jurus-
jurus dari Lembah Kutukan. Namun tokoh hitam itu sangat
tangguh. Diserang dari dua jurusan pun masih tampak
santai.
"Kalian hanya mengganggu keinginanku saja!" desis
Tidar alias Raja Akherat.
Mendadak saja Raja Akherat mengibaskan kedua
tangannya ke atas. Lalu mulutnya komat-kamit.
Pendekar Slebor dan Patih Jalalowe tak meneruskan
serangan ketika melihat apa yang dilakukan si Raja
Akherat. Kening mereka berkerut, memandang heran.
Dan belum habis keheranan mereka, mendadak saja
tubuh Tidar terlihat menjadi dua.
"Ilmu siluman!" seru Patih Jalalowe terkejut. Lebih
terkejut lagi ketika salah satu dari Raja Akherat me
nyerangnya.
"Tukang sulap yang bangun kesiangan, nih!" seru
Andika, langsung menghindar pula dari serangan Raja
Akherat yang lain.
Sukar sekali untuk membedakan, mana Raja Akherat
ash, dan mana yang jelmaan. Karena keduanya berwajah
mirip. Bahkan sama-sama tangguh dan sama-sama kejam
Iuar biasa.
Andika sendiri nampak kewalahan menghadapi
serangan dahsyat yang menimbulkan hawa panas dan ber-
bau busuk itu. Sebisanya tubuhnya berkelit terus
menghindar. Bahkan sekali pun ia tak diberi kesempatan
untuk menyerang.
Begitu pula Patih Jalalowe. Bahkan ia telah terkena
pukulan berkali-kali. Keampuhan keris pusakanya ba-
gaikan kehilangan tenaga. Lebih menggiriskan lagi
tubuhnya terhempas ke bumi dalam keadaan hangus.
Sementara tubuhRaja Akherat yang menyerangnya segera
melesat ke arah keraton.
Tiga orang persilatan yang masih berada di sana
berusaha menghalanginya. Akan tetapi, maut pun segera
menjemput mereka. Begitu pula para pengawal. Sia-sia
mereka mempertaruhkan nyawa, karena hasilnya sia-sia.
Dan Raja Akherat pun dengan leluasa masuk ke
Keraton Pakuan. Tangannya melesat ke sana kemari
dengan ganasnya, menghancurkan apa saja yang nampak
di matanya.
Sedangkan Raja Akherat yang bertarung melawan
Andika di atas panggung, terus menyerang dengan ganas.
Serangan-serangannya sangat mematikan.
Andika sendiri sudah menggunakan tenaga 'Inti Petir'
tingkat kedelapan belas. Seluruh tenaganya bertambah.
Diiringi seruan keras, pemuda sakti dari Lembah Kutukan
itu menderu ke arah Raja Akherat.
Tetapi, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Karena
lugitu pukulan yang mengandung tenaga petir itu melesat,
Raja Akherat hanya mengangkat tangannya, seolah-olah
menangkapnya.
Andika sangat terkejut.
"Gila! Bisa mampus aku kali ini!" dengus Andika cepat
menarik pulang serangannya, lalu cepat melenting ke
belakang, menghindari tangkapan tangan Raja Akherat. Ini
benar-benar gila, karena jarang orang yang berani
menangkap tangannya yang mengandung kekuatan 'Inti
Petir'!
"Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar Slebor, Anak
Muda! Sayang, ilmu-ilmumu tak ada manfaatnya bagiku!"
ejek Raja Akherat.
Andika yakin kalau Raja Akherat mengenalnya dari
jurus yang baru saja dilakukan. Ilmu warisan Pendekar
Lembah Kutukan memang sangat dikenal beberapa puluh
tahun yang lalu.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa kau tidak mencium
pantatku, hah?!" ejek Andika.
"Bangsat! Nama Pendekar Slebor akan mampus hari
ini juga!"
***
Sementara itu, Danji yang melihat Raja Akherat yang
satu lagi masuk ke Keraton Pakuan, segera berlari ke
samping keraton. Sebenarnya, ia tidak tahu seluk beIuk di
keraton itu. Namun bayangan akan kekasihnya yang
terancam bahaya, membuat keberaniannya timbul.
Begitu di dalam, pemuda itu mendengar suara ribut-
ribut yang hingar bingar.
"Gila! Manusia setan itu sedang mengamuk! Oh!
Bagaimana aku harus menyelamatkan Putri Permata
Delima?" gumam Danji.
Belum lagi Danji memikirkan soal itu lebih lanjut,
mendadak saja tanah yang berjarak tiga tombak darinya
terbuka. Lalu terlihat beberapa kepala pengawal Keraton
Pakuan, dis usul Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima.
"Putri!" seru Danji sambil mendekat.
Beberapa pengawal keraton segera menghunus
tombak.
"Jangan! Dia temanku!" seru Putri Permata Delima.
Wajahnya yang tadi kelihatan pias dan tegang, kini terse-
nyum. Tampaknya gadis ini melihat kekasihnya berada di
sana.
Para pengawal itu segera menurunkan tombaknya.
Sementara kening Prabu Adiwarman jadi berkerut. Ia
merasa heran karena putri tersayangnya mengenal
pemuda berpakaian kampungan itu. Tetapi ia pun tidak
mempedulikannya, karena beberapa orang pengawal
memintanya untuk segera cepat melarikan diri.
"Prabu Yang Mulia. Hamba tahu tempat yang aman,"
kata Danji memberanikan diri.
"Di mana?" tanya Prabu Adiwarman.
"Ikut hamba, Prabu."
Prabu Adiwarman melirik putrinya yang hanya
menganggukkan kepalanya. Lalu bersama sepuluh orang
pengawal keraton, mereka pun melarikan diri ke tempat
yang dimaksud Danji.
Sedang di dalam. Raja Akherat mengamuk habis-
habisan, menghancurkan apa saja yang diinginkannya.
Ketika tidak menemukan Prabu Adiwarman dan Putri
Permata Delima, tokoh sesat itu berlari keluar keraton.
"Hiaaa...!"
Sambil berteriak keras kedua tangan Tidar mengibas
ke depan, ke arah panggung. Wesss...!
Terdengar suara deru angin yang sangat keras.
Andika yang sedang dicecar Raja Akherat yang satu
lagi, melompat begitu mendengar teriakan dahsyat. Tu-
buhnya cepat berputar dua kali sambil mengirimkan satu
pukulan yang tepat mengenai kepala Raja Akherat yang
sedang marah-marah.
Wuutt...!
Des!
Blarrr...!
Kepala Raja Akherat itu pun pecah. Sementara
panggung itu berantakan menimbulkan ledakan keras,
ketika pukulan jarak jauh Raja Akherat yang pecah
kepalanya melabraknya.
Sedangkan saat itu, Raja Akherat yang satu lagi
sudah bersalto dengan ringan keluar panggung, lalu
mendarat di tanah.
Andika yang merasa serangannya berhasil mengenai
sasaran, harus membelalakkan matanya. Ketika mayat
Raja Akherat yang dipukul kepalanya tadi mendadak saja
Ienyap. Lalu, terlihat sebuah sinar putih melesat ke arah
Raja Akherat yang sedang berdiri gagah. Dan sinar itu
langsung masuk ke dalam tubuhnya.
"Ha ha ha...! Jangan terkejut, Pendekar Slebor! Itu
adalah salah satu ilmuku yang terdahsyat! Ilmu MeIayang
Dua!"
Andika mendengus.
"Kau juga belum melihat jurusku yang hebat, Monyet
Jelek!" seru Andika.
Lalu mendadak saja, Pendekar Slebor menungging ke
arah Raja Akherat. Dan....
Duuttt!
Andika berdiri tegak kembali.
"Itu jurus 'Pendekar Ganteng Kebanyakan Makan
Ubi'!" Ieceh Pendekar Slebor, seenaknya.
Wajah Raja Akherat merah padam, seketika dia
melompat menyerang kembali ke arah Andika dengan
ganas.
Pendekar Slebor bukannya melayani, tapi justru
melesat ke dalam keraton yang bagian dalamnya sudah
hancur. Ia mencari-cari sambil mendengar teriakan-
teriakan Raja Akherat memanggilnya.
Tetapi Andika tidak peduli. Yang dipikirkannya
hanyalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.
Begitu tiba di dalam, Andika tidak menemukan siapa-siapa.
Justru di peraduan Prabu Adiwarman, terlihat sebuah lantai
terbuka
Dengan cepat Andika masuk dan menutup lahtai itu
kembali. Disusurinya lorong yang diyakini adalah jalan
rahasia. Ia pun yakin kaiau Prabu Adiwarman dan Putri
Permata Delima sudah melarikan diri, karena lorong itu
berakhir di luar keraton.
Andika celingukan sejenak, lalu melesat
meninggalkan tempat itu. Yang penting sekarang, dia harus
mencari Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima.
***
Raja Akherat yang tidak menemukan Pendekar Slebor
menggeram marah. Tangannya tiba-tiba berkelebat ke
depan.
Seketika terdengar suara bagai ledakan. Dinding
bagian dalam hancur berantakan.
"Ha ha ha...!"
Lalu mendadak saja Raja Akherat terbahak-bahak
keras, hingga tubuhnya berguncang-guncang. Dia merasa
kalau kini telah menguasai Keraton Pakuan. Lalu dengan
gagahnya tokoh sesat ini keluar, menatap mayat-mayat
yang bergeletakan dan puing-puing keraton ynng hancur.
"Ha ha ha...! Kini tercapailah keinginanku untuk
menguasai Keraton Barat! Tibalah saatnya bagiku unluk
menjadi raja di rimba persilatan ini!"
Suara Raja Akherat menggema di pagi yang penuh
darah!
***
3
Angin bertiup semilir. Senja sudah merayap, beranjak
pada malam yang akan datang menyergap. Suasana
remang rcmang di sekitar Hutan Kaliamang, membual
Pendekar Slebor menghentikan langkahnya.
Begitu berhenti, pendekar berjiwa konyol dari ta¬nah
Jawa ini duduk mengambil sikap semadi, memulih-kan
jalan napas.
Setelah beberapa saat, Pendekar Slebor pun
men¬desah panjang. Aliran darahnya kini sudah berjalan
se¬perti biasa kembali.
"Gila! Raja Akherat ternyata sangat sakti! Tetapi aku
tidak akan membiarkannya menguasai Keraton Pakuan.
Yang terpenting sekarang, mencari Prabu Adiwarman dan
Putri Permata Delima. Tetapi, oh! Di manakah Danji berada
sekarang?" gumam Pendekar Slebor.
Andika berusaha mengingat-ingat tentang Danji.
Tetapi ia merasa tidak melihat Danji sejak pertarungannya
dengan Raja Akherat.
Andika kembali mendesah.
"Kalau begitu, aku harus kembali ke Keraton Pakuan
besok untuk mencari mayat Danji. Atau..., sebenarnya ia
selamat? Kalau selamat, aku akan mencarinya sampai
dapat."
Pendekar Slebor saat ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Tubuhnya telah letih. Hingga tanpa rerasa ia pun tertidur.
***
Sejak keberhasilannya menguasai Keraton Pakuan,
Kaja Akherat pun mulai mengundang para kerabatnya yang
rata-rata berasal dari golongan hitam. Sejak itu sepaik
terjangnya makin keterlaluan saja. Bahkan ia pun mulai
menculik dara-dara perawan yang tinggal di sekitar
kekuasaan Keraton Pakuan. Juga menculik pemuda-
pemuda tegap untuk dijadikan pengawal sekaligus
pelayannya.
Sudah tentu dengan berkuasanya Raja Akherat,
suasana di Keraton Pakuan sangat menyedihkan.
Kehidupan pahit dan sengsara mulai dirasakan rakyat.
Terutama para dara perawan yang dijadikan sebagai
pemuas nafsu Raja Akherat dan beberapa kambratnya.
Pesta semalam s untuk diadakan malam itu juga.
Diiringi tawa mereka dan jerit tangis para dara perawan
yang diperkosa. Sementara mayat-mayat yang berge-
lelakan, dibakar di halaman depan Keraton Pakuan.
***
Prabu Adiwarman menghela napas panjang ketika
mendengar cerita dari dua orang pengawal setianya yang
mcmata-matai keraton. Kini keadaan keraton benar-benar
bagaikan neraka saja. Kacau balau. Di bawah perintah
Raja Akherat, kerajaan Keraton Pakuan benar-henar di
ambang kehancuran.
Prabu Adiwarman sangat menyesali keadaan ini.
Sungguh tidak disangka, kalau sayembara yang
diadakannya berakibatkan seperti ini. Apalagi bila
mengingat, kesaktian Raja Akherat benar-benar tinggi.
Padahal, baru kali ini ia mendengar nama itu. Dan sekali
mendengar dan melihat orangnya, telah mengobrak-abrik
Keraton Pakuan serta membunuh pemuda gagah yang ikut
dalam sayembara.
Prabu Adiwarman pun sudah mendengar kalau Patih
Jalalowe telah tewas di tangan Raja Akherat. Ah, bila
mengingat akan patih yang gagah perkasa dan setia
mengabdi padanya itu, hatinya menjadi sedih. Terbayang
kembali bagaimana setianya dan sopannya perilaku Patih
Jalalowe.
Sementara Putri Permata Delima hanya bisa
menghibur ayahnya saja. Ia tahu apa yang dirasakan
ayahandanya. Meskipun hatinya merasa senang karena tak
seorang pemuda pun yang mengikuti sayembaran itu
berhasil mempersunting dirinya, tetapi tetap saja sedih
melihat Keraton Pakuan kini dikuasai seorang tokoh hitam
yang berilmu sangat tinggi.
Danji sendiri tidak berani mendekati kekasihnya
terang-terangan. Karena, bisa diduga kalau Prabu
Adiwarman akan murka. Untung saja, Putri Permata Delima
sendiri yang selalu mendekatinya. Dan kini. mereka duduk
berdua di muka gua, sementara beberapa pengawal yang
setia berkeliling menjaga segala kemungkinan.
"Kang Danji... Bagaimana caranya Keraton Pakuan
akan bisa kita kuasai lagi?" tanya Putri Permata Delima
dengan wajah murung.
Danji menggelengkan kepala.
"Aku juga tidak tahu, Putri.... Mungkin. kita hanya bisa
berharap. Mudah-mudahan Gusti Allah akan memberikan
pertolongannya...,"sahut Danji lesu.
"Kalau begitu. selamanya Keraton Pakuan akan
dikuasai manusia-manusia jahat itu. Oh! Betapa
mengenaskannya nasih rakyat sekarang...."
Keduanya terdiam. Tak ada yang bersuara, dicekam
pikiran masing-masing.
"Bagaimana dengan sahabat barumu yang bernama
Andika itu?" tanya Putri Permata Delima tiba-tiba.
Memang, selama perlarian ini, Danji telah
menceritakan tentang Andika pada Putri Permata Delima.
"Oh, Gusti.... Mengapa aku baru teringat dia?" desis
Danji sambil menepuk keningnya. "Kau benar. Putri....
pemuda itu memang berkepandaian tinggi. Tetapi, apakah
ia belum tewas ketika bertarung melawan Raja Akherat?"
sambung Danji sambil mendesah.
Masih terbayang di benak pemuda ini, bagaimana
Andika menyuruhnya untuk menyelamatkan Prabu
Adiwarman dan Putri Permata Delima. Saat itu ia pun
melihat tubuh Andika melenting ke arah Raja Akherat yang
sedang mengamuk.
Apakah Andika masih hidup? "Mudah-mudahan ia
masih hidup, Kang Danji...,' desah Putri Permata Delima.
"Yah. Meskipun sikapnya seperti urakan dan rada
konyol, tetapi jelas sekali kalau kesaktiannya c ukup tinggi,
Putri.... Memang pemuda itu sangat baik. Putri..."
Belum lagi Putri Permata Delima menimpali,
mendadak...
"Kutu busuk! Kampret mati! Biang borok! Kcnapa aku
ditangkap begini, sih?! sejak tadi sudah kubilang, aku
adalah salah seorang yang akan membantu Prabu
Adiwarman!"
Terdengar suara keras mengomel-ngomel. Tak lama
tampak satu sosok tubuh berpakaian hijau muda dengan
kain bercorak catur di punggung tengah digiring di bawah
todongan senjata tombak. Sebenarnya, bisa saja pemuda
yang tak lain Pendekar Slebor ini melumpuhkan para
pengawal. Namun tentu saja dia tak mau melukai
perasaan Prabu Adiwarman.
Tetapi empat orang pengawal yang menggiringnya
tidak mempedulikannya. Mereka teus mendesak Andika
agar melangkah ke arah gua
Andika sendiri sejak semula memang bisa menerka.
kalau mereka adalah para pengawal Keraton Pakuan yang
menyelamatkan Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima. Dan dia pun berharap kalau Danji berada bersama
mereka.
Sementara Danji dan Putri Permata Delima lang¬sung
bangkit, begitu mendengar suara seperti orang ma-rah-
marah. Begitu melihat Danji langsung terkejut.
"Andika!" teriak Danji.
Andika nyengir lalu mengangkat tangannya.
"Rupanya kau masih hidup, hah?!" desis Andika.
Lalu Andika menoleh pada keempat pengawal.
"Nah! Kalian lihat, kan? Aku tidak berbohong, kan?!
Weee!" kata Andika sambil menjulurkan lidahnya kepada
keempat orang itu yang kelihatan menjadi geram
bercampur geli melihat sikapnya.
Danji lantas menoleh pada Putri Permata Delima.
"Putri..., pemuda itulah yang bernama Andika. Lebih
baik perintahkan para pengawalmu untuk
membebaskannya. Karena aku yakin, dia orang baik-baik,"
ujar Danji.
Putri Permata Delima sebentar menatap Andika yang
cengar-cengir. Kemudian, kepalanya menoleh pada
keempat pengawal.
"Ia orang kita," kata Putri Permata Delima.
"Baik, Gusti Putri...," kata salah seorang pengawal
sambil menjura hormat. Segera pengawal itu memberi tahu
yang lain untuk melepaskan Andika. Sebagian pengawal
kemudian kembali ke tempat masing-masing untuk
berjaga-jaga. Sementara pengawal yang memerintahkan
tadi masih berdiri di sana dengan mata waspada,
Meskipun dalam hati kecilnya dia yakin kalau pemuda ini
tidak berbahaya.
Andika menoleh pada Putri Permata Delima.
"Putri.... Namaku Andika...," kata Pendekar Slebor,
inemperkenalkan diri.
"Danji sudah banyak membicarakan tentangmu,"
sahut gadis cantik putri penguasa Kerajaan Pakuan ini.
Andika nyengir.
"Wah! Kalau begini caranya, gagal aku untuk mencuri
perhatianmu," gurau Andika, ceplas-ceplos. Lalu dia
menoleh pada Danji. "He he he.... Kenapa wajahmu
memerah, Danji? Cemburu? Wah, nanti kau cepat tua!"
Danji gelegapan disudutkan seperti itu. Sedangkan
Putri Permata Delima hanya tersenyum saja. Lalu diajaknya
Andika masuk ke dalam gua.
***
Sambil memakan buah-buahan yang dipetik dari
pohon yang tumbuh di sekitar Hutan Kaliamang, Pendekar
Slebor, Danji, dan Putri Permata Delima bercakap-cakap.
Mereka duduk di salah satu ruang gua yang cukup Iuas.
"Bagaimana keadaan Keraton Pakuan. Andika??
tanya Danji.
"Kacau! Perbuatan Raja Akherat harus segera
dihentikan. Aku mendengar kabar, kalau ia telah
memanggil beberapa kerabatnya untuk membantu. Dan
sudah tentu mereka bersedia melakukannya, karena
begitu banyaknya kemewahan dan kemudahan yang akan
didapatkan. Dan yang lebih membuatku dongkol, gadis-
gadis yang tinggal di sekitar Keraton Pakuan mengalami
nasib memilukan. Mereka menjadi budak nafsu orang-
orang kejam itu!" papar Andika. Suasana hening.
"Di mana Prabu saat ini?" tanya Pendekar Slebor,
memecah keheningan.
"Ayahanda sedang tidur. Kasihan dia. Terlalu pusing
memikirkan soal keraton," desah Putri Permata Delima.
Andika tersenyum.
"Aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa
kita jalankan," ungkap Andika.
"Bagaimana?" tanya Putri Permata Delima dan Danji
bersamaan. Lalu keduanya saling pandang dan tersenyum.
"Jadi iri aku melihat keakraban kalian ini?" usik
Andika, sambil cengengesan.
"Bagaimana dengan rencanamu tadi?" tukas Danji
berusaha mengalihkan perhatian.
"Mungkin, berita tentang jatuhnya Kerajaan Pakuan
sudah sampai ke beberapa kerajaan lainnya. Bila memang
Prabu Adiwarman mempunyai hubungan yang baik dengan
kerajaan-kerajaan lain, kita bisa meminta bantuan. Karena,
menghadapi manusia kejam itu sungguh sulit," jelas
Andika.
"Apakah kau tidak mampu melakukannya, Andika'"
tanya Danji.
Andika terbelalak.
"Aku? Sendiri? He he he.... Aku terlalu ganteng untuk
mati muda. Tetapi, aku akan melakukan sekuat tenaga.
Karena aku sendiri sudah terlibat di dalamnya."
Putri Permata Delima menahan senyum mendengar
selorohan Andika tadi.
"Aku akan membangunkan ayahanda untuk
membicarakan soal ini," kata Putri Permata Delima.
"Tidak usah. Biarkan Prabu tidur. Nanti malam
barulah kita kembali membicarakan soal ini."
***
Malam pun membedah alam. Suasana dan sekitar
gua di tengah Hutan Kaliamang sangat sunyi, terhalang
oleh pohon besar yang banyak tumbuh di sekitarnya.
Jarang orang yang tahu kalau di hutan itu terdapat sebuah
gua, tempat berlindung dari binatang buas, hujan, dan
aiigin yang keras.
Prabu Adiwarman tampak mengangguk-angguk
mendengar rencana Andika.
"Aku punya hubungan yang baik dengan Prabu
Srigiwarman, penguasa Kerajaan Labuan. Tetapi,
sebenarnya aku tidak ingin melibatkannya dalam hal ini.
Mengingat, keadaan Kerajaan Labuan sudah aman dan
sentosa. Aku tidak ingin karena gara-garaku, maka
kerajaan itu akan porak poranda," papar Prabu Adiwarman
sambil mengusap dagunya. Wajahnya nampak lima tahun
lebih tua dari usia sebenarnya.
Andika memperhatikan Prabu Adiwarman dengan
seksama. Dan dia melihat sinar lembut dan penuh
kebijaksanaan dari mata laki-laki setengah baya yang telah
ditinggal istrinya untuk selama-lamanya ini. Wajahnya
begitu asri dan penuh pesona. Senyumnya pun
mengundang kedamaian.
"Tetapi. Prabu. Keadaan Kerajaan Pakuan sangat
genting. Dan aku yakin, dalam waktu dua purnama saja,
seluruh kerajaan akan hancur lebur. Termasuk, rakyat yang
akan menderita kepanjangan."
Prabu Adiwarman terdiam. Tampaknya. hatinya berat
untuk memutuskan apakah harus melibatkan Kerajaan
Labuan atau tidak. Ia dengan Prabu Srigiwarman memang
bersahabat baik. Bahkan Kerajaan Pakuan pemah
membantu Kerajaan Labuan ketika diserbu para
pemberontak. Meskipun masih menanamkan budi, Prabu
Adiwarman tetap tidak ingin melibatkan kerajaan itu dalam
masalah yang dihadapinya.
Tetapi seperti yang dikatakan Andika yang dikenal
sebagai Pendekar Slebor agaknya adanya bantuan
memang diperlukan. Karena Kerajaan Pakuan bisa porak
poranda bersama berjayanya Raja Akherat.
"Yah.... Memang tak ada jalan lain. Lawan terlalu
kuat," desah Prabu Adiwarman.
"Prabu setuju?" tanya Andika, ingin meyakinkan.
"Yah.... Aku akan mengutus dua orang pengawalku ke
Kerajaan Labuan dan meminta bantuan dari Prabu
Srigiwarman."
Terdengar desahan Iega dari tiga mulut.
"Dan kau, Andika," kata Prabu Adiwarman. "Bila
memang tulus hendak membantuku, kuucapkan terima
kasih."
"Hamba, Prabu. Hamba akan membantu sekuat
tenaga. Karena, perjuangan menuju kebenaran sangat
berat. Banyak sekali aral rintang, baik yang mudah maupun
yang sangat sukar. Biar bagaimanapun juga, hamba akan
membela kebenaran."
"Terima kasih," ucap Prabu Adiwarman sambil
memandang penuh kebanggaan.
Begitu pula Putri Permata Delima dan Danji.
Keduanya begitu yakin kalau Pendekar Slebor tidak akan
membantu setengah-setengah. Meskipun sitatnya sedikit
konyol, tetapi persahabatan yang telah tercipta dalam
suasana yang genting ini, sudah membangkitkan
kebersamaan.
"Hamba akan kembali memata-matai Kerajaan
Pakuan, Prabu. Biar...." "Haumm...!"
Kata-kata itu terputus ketika terdengar suara auman
harimau yang keras di luar gua.
***
4
Serentak Andika dan Danji berlari keluar. Karena
memang pendekar digdaya. sudah jelas Andika yang tiba
lebih dulu di luar gua. Baru kemudian, Danji yang berlari
terengah-engah. Sementara Putri Permata Delima
menyuruh ayahandanya tetap berada di dalam. Termasuk
dua pengawal yang segera bersiap dengan tombaknya.
Hati Putri Permata Delima sedikit risau. Karena begitu
banyaknya masalah yang dihadapi, namun belum satu pun
yang berhasil dituntaskan. Dan kini di luar gua agaknya ada
masalah lain.
"Permata...," panggil Prabu Adiwarman.
"Ada apa, Ayahanda...," sahut Putri Permaia Delima,
seraya menoleh, menatap ayahnya.
Prabu Adiwarman mendesah. Putri Permata Delima
melihat jelas kalau ayahandanya berada dalam
kegelisahan.
"Ini semua gara-gara ayahanda yang menginginkan
kau mendapatkan suami orang gagah...." kata Prabu
Adiwarman sambil sekali lagi mendesah panjang. Matanya
seperti menerawang, menyesali peristiwa yang terjadi. Yang
ada di benaknya bukanlah diri dan keluarganya, melainkan
nasib rakyat yang linggal di sekitar keraton.
"Sudahlah, Ayah. Semuanya sudah terjadi. Tak ada
yang perlu disesali lagi. Justru kita harus bangkit.
menyusun kekuatan baru untuk merebut kembali tahta,"
hibur Putri Permaia Delima. meskipun disadari kalau
kejadian ini bermula dari sayembara itu. Tetapi gadis ini
pun yakin kalau Raja Akherat memang bermaksud jahat
pada Kerajaan Pakuan. Adanya sayembara atau tidak,
tokoh sesat itu tetap akan datang dan melakukannya.
"Ah! Kini sangat sulit dipastikan, siapakah calon
suamimu nanti?" desah Prabu Adiwarman sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya yang bijaksana
tampak sangat memikirkan persoalan ini.
Sebenamya, ingin sekali Putri Permata Delima
mengatakan, kalau Danjilah yang dicintainya. Pemuda itu
telah menyelamatkan mereka di gua ini. Tetapi sudah tentu
gadis ini tidak ingin menambah beban di benak Ayahnya.
Dulu saja hatinya khawatir kalau ayahnya akan malah dan
jatuh sakit bila mengatakan bahwa dirinya sudah
mempunyai kekasih seorang pemuda desa.
Maka ketika Prabu Adiwarman mengatakan hendak
mengadakan sayembara Mungut Mantu, Putri Permata
Delima hanya menurut saja meskipun hatinya sedih bukan
main. Dan berkali-kali dari atas panggung besar itu, mata
gadis cantik ini melirik kekasihnya yang kelihatan gelisah,
marah, juga sedih.
Tetapi sekarang semuanya sudah berakhir. Dan Putri
Permata Delima bisa selalu berada di sisi Danji. meskipun
masih harus berusaha menyingkirkan semua dugaan
ayahnya. Dan, ia memang tidak ingin menambah
kegelisahan di hati ayahnya.
"Sudahlah, Ayah. Soal itu tidak perlu dibahas
sekarang. Karena masih ada waktu nanti..," hibur Putri
Permata Delima.
Prabu Adiwarman menatap anaknya yang semata
wayang. Seorang anak yang telah tumbuh menjadi dara
jelita dan bersikap layaknya seorang putri keraton. Berrkat
kerendahan hatinya, Putri Permata Delima amat disayangi
rakyat Kerajaan Pakuan. Gadis ini dulu memang sering
berjalan-jalan ke pelosok desa di Kerajaan Pakuan, untuk
melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Hingga
pada suatu saat dia bertemu Danji, di desa yang
dikunjunginya. Dan pertemuan yang singkat itu telah
melahirkan benih-benih cinta dalam hati kedua insan ini.
"Untungnya, dalam keadaan seperti ini Ayah masih
memiliki kau, Permata...," kata Prabu Adiwarman.
"Ayahanda ingat ibunda?" tebak Putri Permata De
lima.
Prabu Adiwarman mengangguk.
"Yah, Ayah sangat mencintainya. Karena itulah, Ayah
tidak menginginkan mencari pengganti ibumu...,' desah
laki-laki setengah baya itu.
"Sudahlah, Ayah... Yang terpenting sekarang, Ayah
harus banyak beristirahat. Jangan terlalu memikirkan
setiap persoalan. Kita pun belum tahu, ada apa di luar gua
ini sekarang?" ujar Putri Permata Delima sambil tersenyum.
Kalau mau jujur, terkadang Putri Permata Delima pun
suka teringat pada ibundanya. Seperti, ketika sayembara
Mungut Mantu itu diadakan. Bila ada ibundanya, mungkin
ia bisa berlindung pada ibunya. Sehingga, sayembara itu
ditiadakan. Karena, ia telah mencintai Danji.
***
Di luar, seorang gadis berwajah cantik bertubuh sintal
dan berambut panjang tergerai tampak duduk di punggung
seekor harimau besar yang mengerikan. Sikap gadis itu
begitu santai. Tetapi, matanya menatap tajam pada lima
pengawal Kerajaan Pakuan yang berdiri seperti
mengurungnya dengan tombak di tangan. Seperti halnya
warna harimau itu belang-belang, gadis itu pun
mengenakan pakaian dengan kulit yang sama. Bagian
bahu sebelah kanan terbuka. Di punggungnya tampak
sebilah pedang dengan warangka dibalut kulit harimau.
Agaknya lima orang pengawal Kerajaan Pakuan yang
menatap dengan sikap waspada inilah yang membuat
gadis itu kelihatan jengkel.
Sementara, Andika hanya menggeleng-gelengkan
kepala.
"liih! Ngeri melihat tampang tungganganmu itu,
Nona," kata Andika sambil mengangkat kedua bahunya,
memperlihatkan tampang bergidik. Padahal dalam hati, ia
memuji kecantikan dara jelita itu.
Gadis itu mendengus sinis.
"Apa pedulimu, hah?! Apakah kau ingin mampus dan
menjadi santapan peliharaanku?!" bentak gadis itu sewot.
Andika tertawa.
"Bagaimana kalau aku yang menjadi tungganganmu?"
seloroh Pendekar Slebor keterlaluan, membuat Danji
tersenyum.
"Menjijikkan!"
"He he he... cuma bercanda saja, kok. Nona manis,
siapakah kau sebenarnya? Apakah kedatanganmu ke sini
untuk berkenalan denganku yang ganteng?" kata Andika,
kumat gilanya. Sikapnya seolah sudah lama mengenalnya.
Dan gadis itu sudah terbiasa bercanda seperti itu.
"Hhh! Pemuda konyol! Mengapa orang-orang
berpakaian seperti orang Kerajaan Pakuan itu
menghadang perjalananku, hah?!" seru gadis itu sewot.
"Aku tidak pernah mengganggu siapa pun. Dan mengapa
mereka bersikap marah begitu?"
Andika sadar kalau rupanya ada kesalah pahaman
diantara gadis ini dengan para pengawal. Maka kakinya
segera maju beberapa tindak, mendekati salah seorang
peJ ngawal yang berpangkat paling tinggi.
"Tolong perintahkan agar yang lainnya menurunkan
tombak. Biar aku yang urus. Aku pengalaman dalam
mengurus gadis cantik seperti itu," bisik Andika.
Kata-kata yang diucapkan Pendekar Slebor
sebenarnya sangat pelan. Tetapi.....
"Apa kau bilang tadi? Menjijikkan!" dengus gadis itu,
yang ternyata mendengar bisikan Andika pada pengawal
tadi. "Baru kali ini aku bertemu pemuda konyol yang tidak
tahu malu!"
Andika tercengang. Bila ternyata gadis ini mendengar
bisikannya, ilmunya cukup tinggi. Siapa sebenarnya dia?
Andika nyengir.
"Nona manis, siapakah sebenarnya Nona ini?" tany
Pendekar Slebor, seramah mungkin.
"Namaku Sari! Ini tungganganku, Belang!"
"Namaku Andika...."
"Aku tidak peduli namamu!" bentak gadis itu
"Yaaa," desah Andika malu hati.
"Minggir, aku ingin melanjutkan perjalananku!"
"Oh. silakan. silakan.... Tetapi hati-hati jangan sampai
peliharaanmu itu menggigitku."
Sebenarnya gadis yang mengaku bernama Sari ini]
tertawa geli dalam hati melihat sikap konyol pemuda di
hadapannya. Tetapi sudah tentu tidak ingin diperlihat
kannya.
"Ayo, Belang! Kita tinggalkan orang-orang dungul ini!"
ujar Sari. Wuuuttt!
Harimau bernama Belang itu seperti menghentikan!
kata-kata tuannya. Dengan gerakan ringan dia melompat
meninggalkan tempat ini.
Sementara Andika menggelengkan kepalanya
Pengawal yang berpangkat paling tinggi cepat men-ilekati
Andika.
"Tuan Pendekar.... Bagaimana kalau ternyata gadis itu
mata-mata dari Raja Akherat?" tanya pengawal itu, gusar.
"Tidak, Kang Wirdoyo. Dia hanyalah seorang gadis
baik-baik. Kau lihat tadi. Kalau kau nekat..., wah!
Auumm...crat! Habis kepalamu ditelan peliharaannya! Kau
mau ditelan harimau yang ganas itu, Kang Wirdoyo?" sahut
Andika yang memang sudah mengenal pengawal ini.
Wirdoyo tersenyum kecut.
Lalu Andika mengajak Danji ke dalam, menemui
Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima kembali.
"Siapa, Andika?" tanya Putri Permata Delima, begitu
melihat Pendekar Slebor dan Andika berjalan menghampiri.
"Seorang gadis yang menunggang seekor harimau
besar," sahut Andika sambil duduk kembali.
"Hei? Sarikah namanya?" tanya Prabu Adiwarman.
"Benar, Prabu."
"Hmm.... Dia adalah putri tunggal dari Ki Wirayuda,
Penguasa Harimau. Ke manakah perginya?"
Andika mengangkat bahunya.
"Tidak tahu. Ia terlalu galak untuk ditanya," sahut
Pendekar Slebor.
"Ayahnya pernah membantuku untuk mengembalikan
harimau-harimau lepas ke Hutan Lawengan. Sudahlah....
Seperti yang telah kita rencanakan, aku akan mengutus
dua orang pengawal ke Kerajaan Labuan. Suratnya pun
telah kusiapkan."
"Kalau begitu, hamba akan pergi ke Keraton Pakuan
Barat, Prabu...."
"Pendekar Slebor.... Terima kasih atas bantuanmu."
"Wah, wah...! Tidak tepat kalau dikatakan membantu.
Karena, aku sendiri tidak suka melihat perbuatan Raja
Akherat yang sewenang-wenang seperti itu," kata Pendekar
Slebor, seraya bangkit berdiri.
Prabu Adiwarman diam-diam memuji sikap pemuda
yang nampak konyol ini. Lalu segera diperintahkannya dua
orang pengawal untuk segera berangkat kerajaan Labuan.
Sementara Andika sendiri sudah melangkah ke luar
gua. Di belakangnya, Danji mengantarkan sampai depan
mulut gua.
"Andika..., hati-hati," ingat Danji.
Andika tersenyum.
"Justru tugasmulah yang sangat berat, Danji," kata
Andika, membesarkan hati sahabat barunya.
"Kenapa?"
"Karena..., kau harus menjaga Putri Permata Delima
dan Prabu Adiwarman. Di tanganmulah aku lebih yakin kau
bisa menyelamatkannya," sahut Andika tanpa maksud
basa-basi.
"Kenapa kau berkata begitu, Andika?"
Andika tersenyum penuh arti.
"Hanya kau yang tahu jawabannya, Danji. Tetapi,
bukankah kau senang karena lebih bisa dan sering ber-
dekatan dengan kekasihmu?" seloroh Andika.
Danji hendak membalas selorohan Andika, tetapi
tubuh berpakaian hijau lumut itu sudah melesat cepat.
***
5
Seperti yang diduga Andika sebelumnya, keadaan
Kerajaan Pakuan sudah seperti neraka saja. Di salah mi tu
sudut tembok keraton, Pendekar Slebor mengawasi
keadaan dari atas pohon asam yang berdaun lebat.
Pendekar tampan ini melihat di tengah-tengah halaman
Keraton Pakuan terdapat sepuluh laki-laki tua yang harus
mati di ujung anak panah. Si pemanah berdiri di tangga
keraton. Dia adalah seorang laki-laki tinggi tegap, berusia
kira-kira empat puluh lima tahun. Pakaiannya berwarna
hitam dengan ikat kepala berwarna merah. Wajahnya tirus.
Matanya memancarkan kekejaman. Sikapnya tampak
dingin.
Dalam sekali jepretan, sepuluh anak panah sekaligus
dilepaskan. Semuanya tepat mengenai sasaran.
Andika menggeram dalam hati sambil mengepalkan
tangannya. Hatinya benar-benar murka melihat kese-
wcnang-wenangan salah satu kerabat Raja Akherat.
Siapakah laki-laki berpakaian hitam itu?
Plok! Plok! Plok!
Mendadak terdengar suara tepuk tangan keras.
"Hebat! Ilmu panahmu masih sangat hebat, Songko!"
Dari tempat persembunyian, Andika melihat jelas
siapa yang bersuara bagaikan guntur itu. Siapa lagi kalau
bukan Raja Akherat, yang sedang duduk di sebuah kursi
besar indah sepuluh tombak dari tangga keraton. Dua
orang gadis yang mengenakan secarik kain untuk
menutupi dadanya, dan sebuah kain terusan untuk
menutupi perut hingga mata kaki, sedang mengipasi tokoh
sesat itu.
Kelihatan sekali kedua gadis itu nampak sangat
terpaksa. Wajah mereka begitu sedih, tetapi dipaksakan
untuk tetap tersenyum. Kalau tidak, mereka akan
mendapat siksaan dari Raja Akherat Sementara tiga orang
gadis duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Jelas
sekali kalau batin mereka sangat tersiksa.
Di sebelah kanan Raja Akherat berdiri seorang! nenek
bertubuh bongkok, terbungkus pakaian kuning keemasan.
Rambutnya digulung ke atas, dihiasi sebuah tusuk konde
dari emas. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat
bengkok. Orang-orang rimba persilatan mengenalnya
sebagai Kayu Seribu Laksa. Namun nama aslinya adalah
Nyai Surti.
Sementara di sebelah kiri Raja Akherat, berdiri dua
orang gagah yang bertelanjang dada. Kepala mereka
gundul kelimis. Bila diperhatikan seksama, jelas wajah satu
sama lain mirip. Mereka memakai celana pangsi warna
hitam. Di pinggang masing-masing melingkar secarik kain
berwarna putih. Dalam rimba persilatan me¬reka berjuluk
Dua Kembar Kepalan Batu. Tapi sebenarnya nama masing-
masing adalah Srigunda dan Srigandi.
Merekalah orang-orang yang ditunjuk oleh Raja
Akherat untuk dijadikan pengawal. Tampak pula beberapa
pemuda desa yang dipaksa untuk menjadi penga¬wal.
Mereka berjajar gagah dengan tombak di tangan. Mau
tidak mau mereka harus menuruti perintah, bila tidak ingin
cepat mampus di tangan Raja Akherat.
Saat itu, pemanah yang dipanggil Songko sedang
tersenyum pada Raja Akherat. Busurnya segera
diselempangkan di dadanya.
"Ha ha ha.... Saudara Tidar hanya bisa memuji saja,"
kata Songko merendah, padahal kepalanya langsung
menjadi besar.
"Kau hebat, Songko! Ilmu panahmu sangat hebat. Tak
sia-sia kau dijuluki Panah Iblis Dari Utara!" puji Raja
Akherat terbahak-bahak.
Rupanya Songko yang berjuluk Panah Iblis Dari Utara
pandai menjilat. Ia tetap berkata dengan suara rendah,
meskipun dadanya semakin membusung.
"Itu berkat petunjuk lama yang pernah kau berikan,"
kata Panah Iblis Dari Utara.
"Hak... hak... hak.... Tak sia-sia kau kuajak bergabung!
Sebagai sahabat lama, sudah tentu aku akan menjamu
tamuku!" seru Raja Akherat. "Pilihlah, gadis mana yang kau
suka! Lebih mengasyikkan bila empat orang sekaligus!"
Sepasang mata Songko langsung berkilat penuh
birahi. Bibirnya tersenyum, namun lebih mirip seringai.
"Gairahku sejak tadi sudah muncul begitu melihat tiga
orang gadis itu, Saudara Tidar! Dapatkan aku memiliki
mereka?" kata Songko.
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Gadis mana pun juga dapat kau miliki! Hei, kalian
gadis-gadis ayu! Layani tuanmu Songko, dengan permainan
mengasyikkan dan tak dapat terlupakannya!" ujar Raja
Akherat terbahak-bahak lalu kembali menoleh pada Panah
Iblis Dari Utara. "Kini mereka menjadi milikmu, Songko!"
'Terima kasih."
Songko bergerak menuju pintu diiringi tiga orang
gadis yang sejak tadi bersimpuh di sana. Mereka hanya
pasrah saja, tetap melangkah dengan kepala tertunduk.
Terbayang kembali, bagaimana mereka akan dipermainkan
di atas ranjang nanti. Kalau saja mereka mempunyai
kekuatan dan keberanian, sudah ditentangnya tirani yang
menyakitkan ini!
Tetapi tepat ketika Songko rnencapai pintu
"Hauummm...!"
Terdengar suara auman yang sangat keras, disusul
berkelebatnya satu sosok jelita di atas punggung harimau
besar.
***
"Sari!" desis Andika dari atas pohon. "Mau apa gadis
itu di sana?"
Yang baru datang memang Sari yang menurut Prabu
Adiwarman adalah putri Ki Wirayuda, Penguasa Harimau.
Sebenarnya, gadis itu belum mendengar kalau Kerajaan
Pakuan s udah dikuasai orang-orang biadab. Ia baru saja
turun gunung, tempat tinggal Ki Wirayuda ayahnya Gunung
Widara memang cukup jauh dari ibukota kerajaan. Paling
tidak, harus ditempuh dua minggu dengan berkuda. Itulah
sebabnya, Sari tidak tahu kalau keraton sudah dikuasai
Raja Akherat.
Sejak peristiwa tadi di Hutan Kaliamang, hati gadis itu
kesal bukan main. Dia heran, mengapa orang-orang
Kerajaan Pakuan mengurungnya? Bahkan bersikap tidak
sopan. Malah ada yang sudah mengangkat senjatanya.
Dan ini amat menjengkelkannya.
Itulah sebabnya, Sari merasa harus mendatangi
keraton. Dia ingin mencari tahu pada Prabu Adiwarman
apa sebabnya diperlakukan demikian. Karena ia tahu,
hubungan ayahnya dengan Prabu Adiwarman sangat dekat.
Bahkan sesekali ia suka bertandang ke keraton bersama
ayahnya. Tapi sekarang?
Sari sangat terkejut ketika melihat beberapa bagian
dinding keraton telah hancur. Lebih terkejut lagi ketika
melihat mayat tergeletak dengan sebatang panah
menancap di jantung maising-masing.
Kening gadis ini pun berkerut, melihat beberapa
sosok tubuh yang tidak dikenal. Bahkan sangat asing.
Wajah dan tatapan mereka mencerminkan suatu
permusuhan. Tak seorang pun yang berada di sana
dikenalinya. Biasanya, bila ia datang, beberapa pengawal
yang mengenalnya akan menyapa dengan akrab. Bahkan
langsung mengantarkan ke kaputren, tempat Putri Permata
Delima sering bermain di sana. Lalu Putri Permata Delima
yang memanggilkan ayahandanya, atau mengajaknya ke
ruang berangin-angin Prabu Adiwarman.
Sari adalah seorang gadis yang cerdas. Seketika dia
bisa berpikir cepat dan menduga, kalau ada sesuatu yang
tidak beres telah terjadi di keraton ini. Seketika dia turun
dari tunggangannya dengan lincah.
"Hhh! Rupanya kalian orang baru di sini, ya?" tegur
Sari dengan tatapan waspada.
"Ha ha ha...!"
Raja Akherat tertawa ngakak sekeras-kerasnya sambil
berdiri, begitu melihat siapa yang muncul. Seorang gadis
ayu berkulit kuning langsat. Kelihatannya, gadis itu sedikit
nakal. Pasti binal bila berada di ranjang. Begitu, pikir Raja
Akherat.
"Ha ha ha.... Selamat datang di keraton, Manis...."
Meskipun heran melihat sambutan yang bernada
membujuk, Sari tetap tenang.
"Aku ingin bertemu Prabu Adiwarman!" kata gadis itu,
ketus.
"Ha ha ha.... Silakan masuk kalau begitu. Beliau pasti
sangat suka menerima kedatanganmu!"
"Kalau memang berada di dalam, mengapa kursinya
kau duduki, Jelek?" sindir Sari.
Wajah Raja Akherat memerah. Birahinya semakin
bergejolak. Dadanya bergetar hebat melihat mangsa yang
menurutnya sangat empuk dan mengasyikkan.
"Ini kursi yang lama. Sedangkan Prabu memiliki yang
baru. Jadi..."
"Jadi..., kau manusia busuk yang menjilat, ha?!
Bahkan telah menghancurkan Kerajaan Pakuan?!" cecar
Sari yang kini sadar, mengapa sikap para pengawal
keraton yang ditemuinya tadi kelihatan begitu tegang.
Semakin memerah wajah Raja Akherat. Semula gadis
ini ingin dibujuk, biar mudah masuk dalam perangkapnya.
Tetapi sekarang, sikap gadis itu justru membuatnya marah.
Tetapi, amarahnya masih berusaha ditahan. Karena paling
tidak, menurutnya akan lebih mengasyikkan bila gadis itu
menyerahkan diri saja, dan mau menuruti seluruh
kehendaknya.
"Manis.... Lebih baik kau ikut bergabung denganku
Prabu Adiwarman sudah mampus dan entah di mana
mayatnya sekarang! Ketahuilah. Akulah orang yang
menguasai Kerajaan Pakuan sekarang ini!"
"Phuih...!"
Sari membuang ludahnya ke tanah. Hatinya semakin
yakin, kalau keadaan Kerajaan Pakuan memang berada di
ambang kchancuran. Apakah ini ada hubungannya dengan
sikap para pengawal di hutan sana? Sari pun yakin, kalau
para pengawal tidak mcngenalnya. Mungkin, mereka lebih
scring menjaga berkeliling, sehingga tidak mengenalnya.
"Cuiiih! Lebih baik kau minggat saja dari sini! Tahta
Kerajaan Pakuan tak pantas kau duduki!" desis Sari.
Raja Akherat yang bernama asli Tidar ini hanya
terbahak-bahak dengan suara nyaring.
"Aku menyukai gadis pemberani sepertimu!"
"Manusia tak tahu malu!" bentak Sari.
"Ha... ha... ha.... Baiklah.... Kita lihat sekarang, apakah
kau memang patut disebut gadis pemberani?" Lalu
tangannya menunjuk sepuluh pemuda desa yang dijadikan
pengawal. "Tangkap gadis itu!"
Serentak para pemuda ini berlompatan mengurung
Sari.
"Raja Pengecut! Apakah kau tidak punya nyali untuk
turun tangan menangkapku, hah?!" bentak Sari.
"Ha... ha... ha.... Aku ingin melihat kepandaianmu,
Manis. Bila memang kau bisa mengalahkan mereka, kau
sudah lulus ujian pertama untuk menjadi pendampingku!"
leceh Tidar.
"Phuih!"
Sari membuang ludahnya lagi.
"Tangkap gadis itu!"
Bagaikan kerbau dicucuk hidungnya, atau mungkin
karena rasa terpaksa. sepuluh pemuda itu segera
mengangkat senjata dan menyerang Sari dengan gencar.
"Kalian pemuda-pemuda tidak punya nyali!" dengus
gadis itu sambil menghindari setiap serangan.
Tiba-tiba tubuh gadis itu berkelebat cepat bukan
main. Tangan dan kakinya bergerak ke sana kemari,
menghantam para pemuda itu.
Duk! Des!
"Aaakh...!"
Dalam waktu yang singkat saja kesepuluh pemuda itu
bergeletakan pingsan. Plok! Plok! Plok!
Melihat hal ini Raja Akherat malah bertepuk tangan.
"Bagus, bagus sekali!"
"Mengapa kau masih duduk di situ, ha?!" bentak Sari.
"Raja Akherat! Biar kubereskan gadis cerewet ini!"
Tiba-tiba terdengar suara keras dari mulut Panah Iblis
Dari Utara. Begitu kata-katanya habis, tubuh Songko sudah
melayang deras ke arah Sari. Memang dia tadi merasa
terganggu. Karena sebelumnya sudah terbayang di
benaknya kalau akan menikmati pemberian Raja Akherat
yang memang telah membuatnya tidak sabar. Maka tak
tanggung-tanggung, langsung dilancarkannya sebuah
serangan berbahaya.
Tetapi mudah sekali Sari menghindar dengan
mengegoskan tubuhnya ke kanan. Panah Iblis Dari Utara
jadi terkejut. Sekali lagi serangannya diulangi. Tetapi tetap
saja dia gagal menyentuh bagian-bagian tubuh Sari yang
bisa meliuk-liuk indah.
"Hhh! Rupanya kau hanya besar mulut saja!" ejek
Sari.
Songko semakin geram. Dalam hal ilmu tangan ko-
song, laki-laki bertampang tirus ini memang tidak terlalu
tinggi menguasainya. Tetapi dalam ilmu memanah, hanya
dialah yang paling tangguh!
Kembali Panah Iblis Dari Utara mencoba terus
mendesak gadis itu. Namun demikian, lincah sekali Sari
menghindar.
"Bosan aku dengan manusia busuk sepertimu,
Belang! Ajar adat manusia busuk itu!" seru Sari.
Mendadak saja Sari bersalto ke depan, ke arah Raja
Akherat. Sementara harimau besar yang sejak tadi diam
saja sambil menatap.nyalang pada Songko, kini mengaum
keras. Diterjangnya Panah Iblis Dari Utara dengan cakar
dan taring-taringnya yang tajam.
Songko terkejut melihatnya. Tubuhnya cepat berkelit
dan melepaskan satu tendangan. Wuuuttt..!
Mengejutkan! Karena, si Belang bagai mengerti kalau
perutnya terancam tendangan. Mendadak saja tubuhnya
bergerak merunduk, bagaikan sedang menghindari
serangan. Lalu kaki kanan bagian depan mengibas.
"Heiiittt!" Songko mendengus kaget dan melompat.
"Gila! Harimau siluman rupanya!"
Si Belang memang telah lama dilatih Ki Wirayuda,
ayahnya Sari. Dan sejak kecil pula, harimau itu sudah
menjadi teman bermain Sari. Secara naluri, Belang tahu
kalau lawan akan menyerang dan bagaimana harus
menghindar.
Sementara Sari yang meluncur ke arah Raja Akherat,
sudah mencabut pedang di punggungnya. Dia yakin, laki-
laki bertampang menyeramkan itulah yang menguasai
orang-orang ini. Dan belum sampai Sari mengebutkan
pedangnya, tangan Raja Akherat sudah terangkat ke atas
sambil menghentak.
Wesss...!
Desss...!
"Aaakh...!"
Sari mengeluh tertahan ketika merasakan dadanya
bagai dihantam sebuah godam yang sangat kuat.
Tubuhnya terpental meluncur ke belakang, dan ambruk ke
tanah.
Sari berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.
Dan ketika baru saja berdiri.... "Hoekh...!" Sari muntah
darah.
"Ha... ha... ha...!" Raja Akherat tertawa terbahak-
bahak. "Lebih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan,
Manis? Daripada terluka...?''
Tatapan Sari meruncing, penuh amarah bergejolak
dalam dada.
"Cuih! Biarpun aku sudah mati, tak sudi kuberikan
mayatku kepadamu, Manusia Busuk!"
Raja Akherat memandang sambil tertawa lebar.
"Aku sangat suka dengan gadis pemberani seperti-
mu, Manis.... Sangat suka. Tetapi, yakinlah. Aku akan
mendapatkanmu sebentar lagi."
Meskipun merasakan kesakitan, Sari tidak pedulikan.
Ia pantang menyerah dan tidak mengenal takut.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan keras, Sari menyerang lagi.
Tubuhnya meluruk, dengan pedang di tangan terhunus ke
arah Raja Akherat yang terbahak-bahak. Begitu tubuh Sari
sudah dekal, kembali Raja Akherat mengangkat tangan
kanannya sambil menghentak.
Wesss...!
Serangkum angin serangan meluncur, mengancam
Sari. Dan.... Des!
"Aaakh...!"
Tubuh Sari kembali terhuyung ke belakang disertai
keluhan kesakitan. begitu angin serangan
menghantamnya.
"Hoekh...!"
Lagi-lagi Sari memuntahkan darah segar, walaupun
tubuhnya belum ambruk.
Raja Akherat tertawa, melihat gadis itu masih
terhuyung-huyung. Tanpa rasa kasihan sedikil pun, kembali
tangannya terangkat dan dihentakkan. Lalu....
Wesss!
Sekali lagi sebuah hantaman tak terlihat meluncur.
mengancam keselamatan Sari. Namun sebelum serangan
itu mencapai sasaran, tiba-tiba berkelebat satu sosok
bayangan hijau yang langsung menyambar tubuh Sari,
sehingga serangan itu luput dari sasaran.
Dua kali sosok itu berputaran di udara, lalu mendarat
ringan sepuluh tombak dari Raja Akherat agak ke samping
kanan.
"Masa' laki-laki bertampang monyet seperti itu,
beraninya melawan seorang gadis?" leceh pemuda berbaju
hijau muda yang menangkap tubuh Sari tadi.
Sementara itu Sari sudah duduk bersemadi, untuk
mengembalikan tenaga dan memulihkan rasa sakit di
dadanya.
Dan bila sejak tadi Raja Akherat hanya santai saja
sambil terbahak-bahak, tetapi begitu melihat sosok
pemuda berpakaian hijau, seketika dia langsung berdiri.
Seolah, ada kalajengking yang menyengat pantatnya.
Tatapannya nyalang, ke arah pemuda yang tak lain Andika
alias Pendekar Slebor.
"Keparat! Berani benar kau mengantarkan nyawamu,
hah?!" bentak Tidar dengan napas mendengus-dengus.
"Keparat! Berani benar kau mengantarkan muka
monyetmu itu, hah?!" Andika balas membentak meniru
Raja Akherat. Sifat konyolnya mulai kumat lagi.
Raja Akherat sudah tidak bisa menguasai marahnya
lagi..
"Kalau waktu itu aku gagal membunuhmu, sekarang
kau harus mampus!"
Bertepatan dengan itu, kedua tangan Raja Akherat
mengibas ke muka.
Wesss...!
Dua rangkum angin besar begitu deras menuju ke
arah Pendekar Slebor.
Andika yang sudah menduga akan hal itu, cepat
mengempos tubuhnya ke samping kanan. Dan angin besar
itu terus meluncur, menghantam sebuah pohon yang
tumbuh di sana.
Blarrr...!
Krakkk...!
Seketika pohon itu tumbang, dalam keadaan hangus.
"Wah, wah.... Ki Maja tak perlu cari arang jauh-jauh
kalau mau bakar satenya. Bagaimana kalau kupinjam
tanganmu untuk buat arang lagi?" ejek Andika, ketika
melirik pohon yang jadi sasaran pukulan Raja Akherat.
Raja Akherat mendengus geram melihat kelakuan
Pendekar Slebor. Bukannya gentar melihat hasil
pukulannya, pemuda itu malah melecehkannya.
"Dua Kembar Kepalan Batu! Perlihatkan tekadmu
untuk mengabdi kepadaku!" desis Raja Akherat, tak ingin
buang-buang tenaga.
Bersamaan dengan itu, Srigunda dan Srigartdi
melesat ke depan. Beberapa kali mereka membuat
putaran di udara, lalu hinggap tak jauh di depan Andika
dengan tatapan dingin.
"Wah, wah.... Aku jadi malu hati nih. karena rambutku
gondrong!" ejek Andika langsung.
Tetapi Dua Kembar Kepalan Batu sudah menyerang
ganas. Kepalan tangan mereka benar-benar sekeras batu.
Karena begitu berkelebat dan memukul, terdengar angin
keras menderu-deru.
"Heiiittt! Hati-hati dengan kepala kalian! Kalau
kupegang, kan rasanya seperti memegang... he... he...
he...," kata Andika sambil melenting, dan berusaha men-
jitak kepala Dua Kembar Kepalan Batu.
Begitu mendarat di tanah, Pendekar Slebor langsung
berbalik. Tubuhnya meluruk ke arah dua manusia gundul
itu disertai sambaran tangannya. Plak! Plak!
Mantap sekali tepakan tangan Andika mendarat di
kepala Srigunda dan Srigandi yang licin tandas. Kontan
keduanya semakin marah. Saat itu juga mereka membalas
serangan dengan lebih gencar. mengarah pada bagian-
bagian tubuh Andika yang mematikan.
Pendekar Slebor terus menghindar dengan segala
kelincahannya. Tapi bisa dirasakan, kalau tenaga kedua
lawannya sangat kuat. Dan yang membuatnya sejak tadi
harus berpikir, sikap Dua Kembar Kepalan Batu tak
ubahnya bagaikan mayat hidup yang bisa dikendalikan.
Gerakan-gerakan mereka bukanlah gerakan lentur yang
lincah, tetapi kaku penuh tenaga mematikan.
Lebih dahsyat lagi, Dua Kembar Kepalan Batu dapat
menyerang seiring, dan terkadang pula bergantian dengan
jurus sama.
Andika sendiri lama kelamaan harus berpikir pula.
Karena kedua lawannya tidak memberi kesempatan sedikit
pun. Bahkan terus mencecarnya.
Pukulan, tangkisan, dan tendangan Pendekar Slebor
sendiri tidak dirasakan kedua lawannya. Entah ajian apa
yang dimiliki Dua Kembar Kepalan Batu. sehingga pukulan
sekeras apa pun tak dirasakan.
Dua Kembar Kepalan Batu terus menyerang ganas
dengan pukulan dan tendangan yang sangat cepat.
Sementara Andika sendiri mulai mempergunakan
kelincahannya, melangkah dari satu tempat ke tempat lain
dengan ilmu warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor melangkah
demikian cepat dari satu tempat ke tempat lain. Ketika
Srigunda menyerang ke arah kepala, Pendekar Slebor
merunduk. Tetapi Andika harus segera melompat, karena
sambaran kaki Srigandi sudah menyambarnya.
Dan memang itulah yang ditunggu. Karena begitu kaki
Srigandi menyambar, Andika langsung melompat ke arah
Srigunda yang siap menyerang pula. Seketika Pendekar
Slebor menghentakkan kedua tangannya dengan jurus
'Guntur Selaksa'.
Wesss...!
Srigunda terkejut ketika merasakan angin keras
menderu ke arahnya. Dicobanya untuk memapak, tetapi
lerlambat. Dan....
Desss...!
Tubuh Srigunda terhuyung ke belakang. Pukulan
Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika memang tepat
mengenai dada. Tetapi, sedikit pun tak terdengar pekikan.
Seolah-olah dia tidak merasakan apa-apa.
Andika jadi heran melihatnya. Dan dia hanya bisa
mendengus dalam hati.
***
Sementara saat ini, Belang masih terus menyerang
Songko dengan ganasnya. Cakar dan taringnya yang tajam
menjadi ancaman bagi Panah Iblis Dari Utara.
Songko sendiri hampir-hampir tak bisa percaya kalau
harimau itu ternyata bisa menguasai jalannya pertarungan.
Memang secara naluri, harimau itu seperti telah biasa
menghadapi sebuah pertarungan. Dan kini mendadak saja
Songko melompat ke belakang, sambil melepas selempang
busur panahnya. Sementara, Belang sedang bersiap-siap
menerkam.
Dengan cepat Songko mencabut lima buah anak
panahnya, seraya memasang pada busur. Direntangkannya
tali busur, dan anak panahnya siap meluncur.
Ajaib! Kali ini Belang tidak segera menyerang. Na
lurinya mengatakan, lawan kali ini sangat kejam. Songko
sendiri yang menunggu diam-diam, merasa keheranan.
Mengapa harimau itu tidak menyerangnya juga?
Lalu mendadak saja, Panah Iblis Dari Utara mele
paskan anak panahnya yang meluncur deras ke arah
Belang.
Set! Set!
Belum juga anak-anak panah mencapai sasara
mendadak melompat satu sosok bayangan menyongsong.
Trang! Trang! Trang! Trang! Trang!
Lima buah anak panah yang dilepaskan Songko
berhasil ditepis sosok bayangan yang langsung berdiri di
depan Panah Iblis Dari Utara. Sosok itu adalah Sari yang
tenaganya sudah pulih.
"Belang! Beristirahatlah! Biar manusia ini bermain-
main denganku!" ujar Sari.
Begitu habis kata-katanya, Sari langsung menerjang
ke arah Songko dengan kelebatan pedangnya. Pada saat
Sari melihat pemuda yang menolongnya sedang bertarung
melawan dua orang berkepala gundul, sejenak ia ingat.
Memang, pemuda itulah yang dijumpainya dua hari yang
lalu di depan gua, di Hutan Kaliamang.
Songko di daerahnya dijuluki Panah Iblis Dari Utara.
Sehingga tak heran kalau dia begitu mudah melayani
kibasan pedang dengan luncuran anak panahnya yang
cepat bagai kilat. Sari sendiri pun harus menghentikan
serangannya, kalau tidak ingin sepuluh anak panah itu
mengenai salah satu bagian tubuhnya.
Mendapat kesempatan, dengan bertubi-lubi Songko
terus melepaskan anak panahnya yang herjumlah sangat
banyak. Sementara Sari pun terpaksa dengan kalang kabut
menghindari sambil menangkis
Pada satu kesempatan putri Ki Wirayuda itu melihat
Songko mengambil sebuah anak panah yang diujungnya
terdapat kain kecil seperti bantalan. Naluri gadis ini
mengatakan kalau anak panah yang dilepaskan Panah Iblis
Dari Utara sangat berbahaya.
Wuuuttt...!
Maka ketika anak panah itu melesat, Sari tidak berani
menangkisnya. Seketika tubuhnya melenting ke atas,
sehingga luncuran anak panah lewat di bawah kakinya.
Duaaarrr!
Dugaan gadis itu ternyata benar. Begitu anak panah
tadi menghantam dinding yang memagari halaman
keraton, terdengar ledakan keras menggelegar. Dinding itu
pun seketika hancur.
Sari menghela napas lega. Kalau saja tadi panah itu
dipapaki. tentu bisa berakibat sangat parah. Bisa-bisa
tubuhnya akan hancur berantakan termakan anak panah
itu!
Sementara Belang yang melihat tuannya dalam
bahaya, langsung menerjang dengan aumannya yang
keras. Songko yang tak menduga jadi terkejut setengah
mati. Apalagi, ia kalah cepat untuk memasang anak
panahnya. Maka sebisanya tubuhnya menghindar ke kiri.
Namun bertepatan dengan itu, Sari sudah melesat cepat
sambil membabatkan pedangnya. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Ujung pedang gadis ini menggores paha kanan Panah
Iblis Dari Utara Laki-laki itu kontan menjerit tertahan.
Tampak darah telah merembes dari celananya.
"Belang! Hajar dia dari belakang! Jangan beri
kesempatan dia mempergunakan panah!" ujar Sari,
berteriak.
Seperti mengerti yang diperintah tuannya. si Belang
pun melompat menerkam. Dan Songko pun harus mati-
matian menyelamatkan selembar nyawanya.
***
Sementara itu, Nyai Surti alias si Kayu Seribu Laksa
sudah tidak sabar melibat Srigandi dan Srigunda belum
juga mampu menjatuhkan Pendekar Slebor. Dalam
pandangannya yang sudah berwarna kelabu, bisa terlihat
kalau dada bagian dalam Srigunda sudah remuk.
Perempuan tua itu memang tahu, Dua Kembar Kepalan
Batu memiliki ajian yang dinamakan 'Mati Rasa'. Tetapi ia
juga tahu, kalau Srigunda tidak akan mampu lagi bertahan
lebih lama
Ajian 'Mati Rasa' memang sangat mengerikan
sebenarnya bagi pemiliknya. Karena, si pemilik tidak akan
bisa mengetahui, bagian mana yang telah terluka. Baik di
luar maupun di dalam tubuhnya.
"Hiaaa..!"
Disertai teriakan membahana. Nyai Surti melesat ke
arah Pendekar Slebor dengan ayunan kayunya yang cepat,
menimbulkan suara mendesir-desir.
Andika yang sedang mencecar Srigunda. terpaksa
harus menarik serangannya. Ayunan tongkat kayu Nyai
Surti harus dihindarinya, kalau tak mau tubuhnya hancur.
"Wah, wah...! Rupanya nenek peot macam kau ini
genit juga, ya? Tetapi, maaf, Aku tak sudi disentuh
tanganmu yang keriput!" seloroh Pendekar Slebor,
langsung bersallo ke belakang.
"Nama Pendekar Slebor. telah sampai ke telingaku
ini!" kata si Kayu Seribu Laksa garang. "Aku ingin tahu
kehebatannya!"
Begitu gema suaranya hilang, pcrempuan tua itu
kembali berkelebat dengan sabetan tongkatnya yang
dahsyat.
Sementara Sari yang sedang menyerang Songko,
mendengar kata-kata nenek berkonde emas tadi. Dan
diam-diam gadis ini terkejut.
Pendekar Slebor? Oh! Pemuda inikah yang sering
dibicarakan ayahnya? Diakah tokoh pendekar yang selalu
membela kebenaran? Sungguh, seringkali Sari mendengar
cerita tentang Pendekar Slebor dari ayahnya Namun yang
tak pernah disangka, ternyata Pendekar Slebor seorang
pemuda konyol yang dijumpainya di depan gua sana. Dan
tadi, pendekar itu telah menolongnya!
"Kehebatannya atau kegantengannya? Kau pura-pura
ya, Peot!" ejek Andika pula sambil tertawa. "Tetapi, maaf
Aku tak sudi disentuh tanganmu! Kambing yang sudah
diberi obat perangsang pun enggan membiarkan tubuhnya
kau sentuh!"
Si Kayu Seribu Laksa semakin geram mendengar
ejekan-ejekan Pendekar Slebor terasa pedas di telinga.
Maka begitu tubuhnya melesat, tongkat kayunya langsung
diputar-putar dengan gerakan dahsyat. Begitu cepatnya,
membuat tongkat itu berubah menjadi seribu.
Kini giliran Andika sendiri yang sekarang kalang
kabut. Bahkan Srigandi dan Srigunda telah menyerang
pula.
"Gawat, aku bisa mampus!" desis Pendekar Slebor,
seraya melirik Raja Akherat yang kelihatan geram bukan
main.
Andika terus mempergunakan kelincahannya dalam
menghindar. Tetapi semakin lama terasa kalau ruang
geraknya semakin tertutup. Dan mendadak saja Pendekar
Slebor melompat ke belakang, sambil mencari kainnya
yang bercorak catur. Begitu kain tertarik, langsung
dikebutkannya ke depan.
Bet! Bet! Bet!
Terdengar suara meledak-ledak yang kuat sekali. Dari
sini para tokoh sesat itu yakin, kalau kain yang
dipergunakan Pendekar Slebor bukanlah kain
sembarangan. Maka dengan serentak mereka menarik
serangan.
Mendapat kesempatan, Andika balas menyerang.
Nyai Surti dan Srigandi bisa melihat kalau sasaran yang
dituju Andika adalah Srigunda. Maka sebisanya keduanya
merapat untuk membela Srigunda yang kewalahan
menghadapi serangan kain catur milik Pendekar Slebor.
"Kenapa jadi rapat begitu, ya? He he he.... Rupanya si
Gundul ini masih bernafsu juga denganmu, Nenek Peot!"
ledek Andika sambil terus mencecar. "Atau..., kau yang
memang genit, hah?!"
Semakin marah si Kayu Seribu Laksa. Maka kembali
dia menerjang dengan sambaran tongkatnya. Dan sekali-
kali dia berusaha menghalangi serangan Pendekar Slebor
pada Srigunda.
Dengan senjata kain itu, Andika sedikit banyaknya
bisa menguasai pertarungan sekarang. Karena, Nyai Surti
malah jadi repot sendiri. Di samping menyerang dan
membela diri, perempuan tua ini juga harus membela
nyawa Srigunda.
"Kayu Seribu Laksa! Biar aku yang menjaga Kakang
Srigunda!" terdengar suara Srigandi untuk pertama kalinya.
Suaranya cempreng tidak sesuai tubuhnya yang kasar.
"Ha... ha... ha...!"
Andika sampai terbahak-bahak.
"Kau lebih pantas menjadi sinden, Gundul!" ejek
Pendekar Slebor.
Tar! Blarrr...!
Berkali-kali dua senjata pusaka itu beradu, menim-
bulkan suara ledakan keras. Kayu di tangan si Kayu Seribu
Laksa membabi-buta menyerang. Sementara kain pusaka
milik Andika berkali-kali melilir dan mencoba menariknya.
Tetapi dengan kelenturan tenaga dalam yang dimiliki.
perempuan tua itu berhasil menarik pulang senjatanya.
Memang patut diakui. kalau wanita setua Surti memUiki
kepandaian sangat tinggi.
"Chiaaa...!"
Dan mendadak saja si Kayu Seribu Laksa memekik
keras, sambil melejit telah siap dengan jurus 'Kayu Me-
mangsa Anjing'. Gebukan tongkat kayunya lebih dahsyat.
Andika dapat merasakan kalau lawannya kini telah melipat
gandakan tenaga dalamnya.
"Uts...!"
Andika cepat bergerak demikian cepat menghindari
serangan si Kayu Seribu Laksa. Tubuhnya melompat
kesamping dan langsung bergulingan. Namun begitu
bangkit berdiri. Raja Akherat diam-diam sudah meng-
hentakkan tangannya melepas pukulan jarak jauh.
Wesss...!
Desss...!
"Aaakh...!"
Andika kontan terlempar beberapa tombak ke
belakang begitu pukulan jarak jauh Raja Akherat mendarat
di punggungnya.
"Aku bosan melihat kalian masih bermain-main perti
itu!" geram Raja Akherat seraya melesat kearah Pendekar
Slebor yang berusaha bangun.
Pendekar Slebor merasakan dadanya sakit luar biasa.
Meskipun begitu, bukan Andika kalau tidak mengejek.
"Rupanya gelar Raja Akherat tidak pantas untukmu!
Kau lebih pantas menyandang gelar Raja Pengecut yang
doyan kentut! Heaaaiiittt!"
Andika melompat ke samping menghindari terjangan
Raja Akherat yang cepat dan dahsyat! Sementa Srigandi
tampak tengah mengalirkan tenaga dalam pada kakak
kembarnya. Dia yakin, dada bagian dalam Srigunda terluka
parah. Sedangkan si Kayu Seribu Laksa kelihatan masih
sangat penasaran. Namun diakui. kalau kepandaian
Pendekar Slebor pun sangat tinggi.
Kini tampak Raja Akherat sedang mendesak
Pendekar Slebor. Kalau tadi Andika berada di atas angin,
kini nampak jelas sekali terdesak. Yang membuat Pen
dekar Slebor terkejut, kain pusakanya ternyata tida
mempan ketika mengenai tubuh Raja Akherat.
"Carilah bagian yang empuk dari tubuhku...! Ha-ha.,
ha...! Kain gombal semacam itu lebih pantas dipergunakan
untuk mengelap pantatku!" ejek Tidar.
"Ya. ya... Nanti akan kulakukan untuk menyumpal
mulutmu yang bau petai!"balas Andika tak kalah sengit.
Raja Akherat terus mendesak dengan cepat. seperti
tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Slebor
lagi.
"Heaaah...!"
Namun mendadak saja Andika melompat cepat ke
kanan dan kiri.
Kain pusakanya disampirkan kembali ke punggung.
Lalu, diterjangnya Raja Akherat.
Raja Akherattampak terkejut melihat serangan tak
terduga. Bisa dirasakan betapa tenaga dalam pemuda
lawannya menjadi berlipat ganda. Bahkan pukulan-pukulan
yang dilakukan menimbulkan suara yang keras sekali.
"Bangsat! Kau harus kukubur hari ini juga!" geram
Raja Akherat.
"Atau kau yang sudah tidak sabar?Ha ha ha.... Aku
masih akan berbaik hati untuk menggali kuburanmu!"
sahut Andika.
Sementara, saat ini Panah Iblis Dari Utara dalam
keadaan terdesak hebat. Diserang dari dua penjuru oleh si
Belang dan Sari, membuatnya kewalahan. Sedikit pun ia
tidak diberi kesempatan untuk mempergunakan senjata.
Bahkan di beberapa bagian tubuhnya, sudah tampak luka
berdarah, terkena cakaran si Belang dan pedang Sari.
Melihat hal itu, si Kayu Seribu Laksa segera
membantu. Langsung diterjangnya Sari yang tengah
mencecar Songko
Trak!
Ayunan pedang Sari terhalang ayunan kayu Nyai Surti.
Dan gadis ini merasakan tangannya sedikit bergetar.
Dalam sekali bentrok saja sudah terlihat kalau tenaga
dalam gadis itu jauh berada di bawah tenaga dalam Nyai
Surti.
"Mampuslah kau!" teriaksi Kayu Seribu Laksa terus
menyerang.
Sebisanya Sari menahan serangan-serangan. Sctiap
kali kayu di tangan perempuan tua ini berkelebat,
terdengar suara angin yang keras sekali.
Sedangkan Songko yang kini hanya diserang si Belang
bisa mengambil kesempatan untuk mencabut anak
panahnya. Dan laki-laki ini pun bersiap memusnahkan
hewan ganas yang terus-menerus menyerang.
"Belang! Pergi dari sini! Pergi!" seru Sari yang melihat
gelagat tidak menguntungkan terhadap peliharaannya.
Sekali lagi, seperti mengerti akan bahaya yang
mengancam. si Belang melompat meninggalkan tempat itu.
Sementara Songko tampaknya tak sempat untuk melepas
anak panahnya. Dan Belang dengan leluasa terus
melarikan diri.
Pada saat berteriak tadi. perhatian Sari jadi terpecah.
Hingga tanpa disadari serangan Nyai Surti telah meluncur
ganas. Akibatnya....
Duk!
"Aaakh...!"
Sari melenguh tertahan ketika kakinya terhantam
kayu si Kayu Seribu Laksa. Tubuhnya kontan sempoyongan
kehilangan keseimbangan.
Melihat gadis itu sudah tidak bisa menguasai
tubuhnya lagi, si Kayu Seribu Laksa menyerang dengan
ayunan kayu ke kepala yang agaknya tak dapat
menghindari lagi.
"Hhh! Mau ke mana lagi kau, hah?!" bentak Nyai Surti
sambil menerjang. "Tak ada kesempatan bagimu sekarang
untuk menghindar, Gadis Binal?!"
***
7
Dalam keadaan kewalahan, Pendekar Slebor masih
tampak melihat kalau Sari tengah dalam bahaya.
"Heaaa...!"
Dengan gcrakan dahsyat, Andika menghentakkan
tangannya dua kali melepaskan pukulan jarak jauh pada
dua tubuh Raja Akherat.
Werrr...!
Werrr...!
"Uts!"
Tepat ketika Raja Akherat menghindar, Pendekar
Slebor berkelebat cepat bagai kilat ke arah Nyai Surti yang
sedang meluruk dengan hantaman tongkat kayunya. Begitu
cepat gerakan Andika, sehingga....
Des!
"Aaakh...!"
Tubuh si Kayu Seribu Laksa terhuyung ke samping
terkena pukulan Andika disertai keluhan tertahan. Lalu
dengan cepat Andika menyambar tubuh Sari, dan
melarikan diri dari tempat ini disertai ilmu meringankan
tubuh yang sudah sangat tinggi. Begitu cepat gerakan yang
dilakukan Pendekar Slebor. sehingga tak seorang pun yang
sempat menyadarinya.
Raja Akherat menggeram marah, melihat lawannya
telah hilang melarikan diri.
"Cari kedua manusia itu! Hidup atau mati!"
Serentak si Kayu Seribu Laksa dan Songko, melesat
mengejar. Nyai Surti geram bukan main karena tadi
terkena pukulan Pendekar Slebor. Sambil berlari, tenaga
dalamnya dialirkan ke bagian tubuh yang terhantam.
Sementara Raja Akherat kembali mengamuk ganas
melihat musuhnya bisa melarikan diri dengan cara tak
terduga. Tangannya tiba-tiba berkelebat ke depan.
Wesss!
Des! Des!
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Seketika sepuluh pemuda desa yang jadi
pengawalnya, beterbangan terhantam pukulan jarak jauh
Raj Akherat yang dahsyat. Ketika jatuh di tanah semu
sudah menjadi mayat!
Di pinggiran Hutan Kaliamang yang sepi dan h
nyaknya pepohonan, Andika menghentikan larinya.
pundaknya tampak tubuh Sari yang sejak tadi meronta
ronta minta dilepaskan. Lama kelamaan Andika menjadi
jengkel juga. Dilontarkannya tubuh gadis itu begit saja
hingga terhempas ke tanah.
"Keterlaluan! Apakah kau sudah bosan hidup, hah?!"
dengus Andika mangkel.
"Biar saja! Daripada seperti kau yang pengecut
begitu?!" balas Sari juga jengkel.
Andika melotot.
"Aku masih mau hidup, Nona! Apa kau tak sayang
dengan wajahmu yang bakal dielus-elus tangan Raj
Akherat?!"
"Mau mati. kek! Mau hidup, kek! Bukan urusanmu!
Tetapi yang baru kutahu, ternyata kau pengecut! Hhh!
Nama besar Pendekar Slebor telah kudengar sejak lama.
Tetapi kenyataannya sekarang ini, kau tak lebih dari
pendekar pengecut belaka!"
"Heran?! Gadis cantik sepertimu tak mau-maunya
sama Raja Akherat?!"
"Hei! Siapa yang mau sama dia?! Aku kan mengobrak-
abrik mereka?!"
"Iya.... Tapi aku masih bisa mempergunakan otakku.
Mundur dulu, baru nanti akan menyerang kembali!"
"Ah! Dasar pengecut!"
Andika kini melotot.
"Kalau kau masih penasaran, kembali saja ke sana!
Lawan mereka. Biar tubuhmu dirancah oleh mereka di atas
ranjang!" kata Andika.
Meskipun membenarkan yang dikatakan Andika
kalau mereka tak akan mampu mengalahkan orang-orang
itu, tetapi Sari masih tidak peduli. Ia sebenarnya malu
kalau sejak tadi marah-marah, kini berubah menjadi
lembek.
"Biar saja! Toh, ini nyawaku sendiri!" cibir gadis itu.
"Siapa bilang nyawaku, hah?!" "Dan tak ada urusannya
denganmu, bukan?" Andika mendengus.
"Hhh! Kalau saja Prabu Adiwarman tidak mengatakan
kalau dia mengenalmu dan ayahmu Ki Wirayuda, sudah
kubiarkan tubuhmu digerayangi di sana!"
Kali ini Sari terdiam.
"Di mana Prabu dan Putri Permata Delima berada?"
tanya gadis ini.
"Kau sudah tahu tempatnya!" sentak Pendekar
Slebor.
"Jangan main-main!" bentak Sari. "Sikapmu yang
norak waktu berada di depan gua di dalam Hutan
Kaliamang sana, mcmbuatmu tidak tahu kalau Prabu
Adiwarman dan Putri Permata Delima berada di sana!"
terjang Andika, ceplas-ceplos.
Kini Sari yang menghentakkan kakinya.
"Ajak aku ke sana!" sentak gadis ini.
"Aku memang ingin ke sana!'Tetapi, berjalan bersama
gadis galak sepertimu... huh! Aku tak sudi, ya?!"
"Sok!" sembur Sari.
"Aku memang sok!" sahut Andika kalem.
"Sok kecakepan!"
"Aku memang cakep!"
Sebelum Sari sempat mengumbar kekesalannya....
"Hauuummmm...!"
Mendadak terdengar suara auman yang keras, lalu
disusul berkelebat hewan berkaki empat dari balik semak.
"Belang!" seru Sari gembira, tangannya langsung
membuka. Dipeluknya binatang peliharaannya itu, lalu
diusap-usapnya dengan lembut.
Belang tahu kalau tuannya amat menyayanginya.
Lidahnya langsung menjilat-jilat wajah Sari.
"Oh! Kau gembira ya, bertemu denganku? Aku juga,
Belang...," desah Sari.
Justru Andika yang bergidik melihatnya.
Tiba-tiba Sari menoleh pada Andika.
"Belang! Ada seorang pemuda sok cakep yang
kerjanya mengganggu orang saja. Kalau kau sayang
padaku, berbuatlah sesuatu untuk menyenangkan hatiku,
ya?" kata Sari, tanpa disangka-sangka.
Andika tahu kalau dirinyalah yang dimaksud Sari.
Seketika wajahnya menjadi pias. Bukannya takut terhadap
harimau itu, tapi Andika khawalir kalau nanti akan melukai
binatang kesayangan gadis ini. Padahal ia tahu, gadis itu
berada di golongan yang sama dengannya.
"Eit! Jangan, jangan kau perintahkan dia!" ujar
Pendekar Slebor sambil melompat mundur dan
menggoyang-goyangkan kedua tangannya.
Sari berdiri dan berkacak pinggang.
"Kau takut?" ejek Sari.
Andika meluruskan tubuhnya.
"Aku bukan takut. Cuma.... Ya, geli saja," kata
Pendekar Slebor, sombong.
"Brengsek! Memangnya si Belang menjijikkan!" seru
Sari sewot.
"Oh, bukan! Bukan.... Dia..., dia tampan sekali." kata
Andika berusaha meyakinkan.
"Aku tidak percaya kau bicara seperti itu!"
"Kalau kau tuli, pasti tidak akan bisa mendengarnya.
Apalagi mempercayainya.''
Sari semakin sewot. Tangannya menepuk punggung si
Belang.
"Hajar pemuda konyol itu!"
Serentak si Belang menerjang ganas. Namun Andika
langsung melompat ke atas. Dan hanya sekali lorn-pat saja,
tubuhnya sudah hinggap di sebuah dahan po-hon.
Tetapi Andika lupa, kalau si Belang dapat memanjat.
Begitu binatang itu memanjat, Pendekar Slebor segera
melompat turun. Si Belang pun turun dengan kedua kaki
depan mengarah padanya. Cakar-cakarnya membuka, siap
mencabik-cabik tubuh Pendekar Slebor.
"Sari...! Hentikan dia! Hentikan! Nanti dia bisa mati
kubunuh!"
"Sombong! Buktikan saja!" sahut Sari.
"Oh, jangan... jangan...."
Sari terbahak-bahak. Di samping senang
mempermainkan, hatinya juga gcli melihat sikap pemuda
yang rada konyol ini. Dibiarkan saja si Belang melompat
menerkam ke arah Andika.
Andika sendiri merasa bingung. Kalau si Belang
berhasil menyergapnya, kan tidak luc u. Kalaupun
diserangnya, binatang itu milik Sari. Maka lebih baik Andika
menghindar saja.
Wuuut!
Tubuh Pendekar Slebor pun seketika berkelebat
cepat.
"Hoooi, Pengec ut! Mau ke mana kau?!" ejek Sari
sambil memberi isyarat pada si Belang untuk tidak usah
mengejar.
Lalu dengan sigapnya. gadis ini melompat
kepunggung si Belang.
"Ayo, Belang! Kita susul pemuda konyol itu! Ia pasti
pergi menemui Prabu Adiwarman dan Putri Perma Delima!"
Tubuh si Belang pun berkelebat cepat. Sari harus
membungkukkan tubuhnya, sejajar punggung si Belang
Selang beberapa lama, munc ul dua sosok tubuh.
Yang satu seorang wanita tua, dan yangsatu lagi seorang
laki-laki berusia empat puluh lima tahun. Keduanya tak lain
dari Nyai Surti dan Songko yang menerima perintah untuk
mengejar Pendekar Slebor dan Sari.
"Hhh! Ke mana kedua manusia itu harus dicari?"'
omel Nyai Surli sambil mendengus.
Songko pun berbuat yang sama.
"Lebih baik kita kembali saja! Peduli setan Tidar akan
marah! Aku belum merasakan nikmatnya tubuh keliga
gadis itu!" seru Panah Iblis Dari Utara jengkel.
"Kau belum tahu kalau dia marah? Bila kita sudah
menyetujui rencana dan bergabung dengannya, maka akan
sulit untuk keluar dari tangannya! Lebih baik kita cari saja
kedua manusia itu!"
Sambil menggerutu jengkel, Songko pun mengikuti
Nyai Surti yang sudah berlari.
***
8
Senja semakin menurun. Matahari mulai menurunkan
kegarangannya. Daerah di sekitar gua di dalam Hutan
Kaliamang tetap sunyi. Hanya pepohonan tinggi saja yang
mendesir-desir ketika dihembus tiupan angin.
Satu sosok tubuh tiba di sana. Dua orang pengawal
Kerajaan Pakuan yang menjaga di depan gua itu segera
mengenali, siapa yang datang.
"Tuah Pendekar...."
"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima?" tanya Andika sambil mengatur napas.
"Di dalam."
"Danji?"
"Sedang memetik buah-buahan di hutan."
Andika segera masuk ke dalam gua. Di dalam gua,
ada dua buah penerangan yang menerangi. Andika melihat
Prabu Adiwarman sedang termenung. Sementara, Putri
Permata Delima langsung bangkit begitu melihat
kemunculannya.
"Tuan Putri...," sebut Andika seraya menjura.
"Bagaimana keadaan keraton, Andika?" tanya Putri
Permata Delima.
"Kacau. Kacau sekali!" kata Andika, seraya duduk di
depan gadis itu.
Prabu Adiwarman mendesah panjang, lalu
mengangkat kepalanya.
"Bagaimana maksudmu?" tanya laki-laki setengah
baya ini.
"Raja Akherat bertindak sewenang-wenang. Ia telah
mempunyai pengikut-pengikut. Prabu..., apakah utusan ke
Kerajaan Labuan sudah tiba?"
Prabu Adiwarman menggeleng lemah.
"Bila menurut perhitungan waktu, seharusnya sudah
kembali. Karena, jarak yang ditempuh paling tidak tiga hari
berkuda. Satu hari beristirahat, dan tiga hari kembali lagi
ke sini. Sedangkan mereka. sudah satu minggu pergi...,"
jelas Prabu Adiwarman.
Andika terdiam beberapa saat seperti berpikir.
"Prabu Yang Mulia..., adakah jalan rahasia untuk
masuk ke keraton?"
Prabu Adiwarman mengangguk cepat.
"Ya! Ada dua jalan untuk masuk ke sana. Pertama,
melalui lubang bawah tanah yang terdapat di kamarku, dan
keluar hingga pintu samping keraton," papar laki-laki
setengah baya ini.
"Yang kedua?"
"Berada sepuluh meter dari dinding halaman keraton
sebelah barat."
"Di mana berakhirnya?"
"Jalan rahasia itu berakhir di istal kuda."
"Hmmm.... Sambil menunggu kedatangan utusan ke
Kerajaan Labuan, hamba akan mencoba menyelinap
kembali ke sana. Meskipun hamba tahu, kesaktian Raja
Akherat sangat tinggi. Apakah ada tanda khus us untuk
menemukan jalan rahasia yang tembus di istal kuda,
Prabu?"
"Ya! Lubang itu tepat berada di antara dua buah
pohon trembesi. Kau bisa merabanya. Maka, akan
menemukan tangkai besi. Jalan rahasia itu Sudah jarang
sekali dipakai. Mungkin sudah sangat berat untuk
mengangkatnya."
Andika manggut-manggut.
"Hamba akan mencobanya, Prabu...."
"Andika..., bila melihat dirimu sekarang ini, apakah
kau tadi bertarung melawan Raja Akherat?" tanya Putri
Permata Delima sambil memperhatikan tubuh Andika yang
kelihatan kotor dan berantakan.
Andika nyengir menahan malu. Namun diam-diam
hatinya kagum dengan kejelian Putri Permata Delima.
"Tuan Putri benar.... Kesaktian Raja Akherat sangat
tinggi. Jalan satu-satunya untuk melumpuhkannya harus
diserang dari belakang. Meskipun ini kelihatan tidak
jantan. Tetapi, untuk mengembalikan tahta keraton, kita
memang telah siap menghalalkan segala cara!"
Belum habis kata-kata Pendekar Slebor....
"Hauuummm...!"
Mendadak saja terdengar auman harimau keras dari
luar.
"Hhh! Gadis ceriwis itu lagi!" dengus Andika. Putri
Permata Delima menatap Andika, penuh tanya.
"Apa kau bilang tadi, Andika?" tanya Putri Permat
Delima.
"Oh, tidak! Tidak.... Aku..., aku bilang.,., yang datang
itu seorang gadis cantik...."
Putri Permata Delima tersenyum geli seraya bangkit
berdiri. Lalu kakinya melangkah keluar, karena dia yakin
yang datang adalah Sari, sahabatnya. Kalau waktu itu ia
tidak muncul menjumpai Sari, karena khawatir yang datang
adalah orang-orang Raja Akherat.
***
"Sariii...!" panggil Putri Permata Delima, begitu tiba di
luar.
"Permata!" seru Sari sambil melompat. Langsung
dirangkulnya Putri Permata Delima.
"Apa kabarmu, Sari?" tanya Putri Permata Delima
akrab.
Sikap Putri Permata Delima memang tidak
mencerminkan seorang putri keraton. Meskipun saat ini
berada jauh di luar keraton. namun tetaplah seorang gadis
yang banyak dihormati dan disanjung rakyat.
Beberapa pengawal yang ada di sana saling
berpandangan. Sebenarnya mereka telah lama mendengar
kalau Putri Permata Delima mempunyai seorang sahabat
yang selalu menunggang seekor harimau. Namun baru kali
ini mereka melihatnya.
"Baik," sahut Sari pelan.
Sedikit banyaknya hati gadis ini terenyuh melihat
keadaan Putri Permata Delima yang banyak dipuja. Namun
kini, putri raja telah berada di hutan belantara yang
menyeramkan. Namun, sikapnya sama saja. Baik di
keraton maupun di luar keraton, Putri Permata Delima
selalu bersikap baik. Bahkan selalu bisa bersikap di mana
tempat.
"Hei? Mengapa sikapmu seperti itu, Sari?" tanya Putri
Permata Delima. bisa melihat kalau Sari sangat menyesali
keadaan ini.
Sari tersenyum.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku..., hei! Kau pemuda konyol!
Mau apa ke sini?"
Tiba-tiba Sari membentak keras begitu melihat Andika
muncul. Padahal sejak tadi ia sudah tidak tahan untuk
bertanya tentang Andika berada? Tetapi perasaannya tidak
enak pada Putri Permata Delima. Kini,kebetulan pemuda
itu muncul.
Sementara Andika hanya nyengir saja.
"Kau sendiri mau apa di sini? Apa bukan ingin me-
nemuiku, hah? Hayo..., bilang saja kalau kangen. Kau
memang kangen padaku, kan?" goda Andika tertawa.
"Brengsek! Berkaca dululah kau, hah!" seru Sari
sewot.
Putri Permata Delima hanya tersenyum geli. Dia yakin
kalau keduanya sudah saling mengenal. Tetapi tidak tahu,
apa yang menyebabkan keduanya bertengkar seperti itu.
"Sudah, sudah...! Ada apa ini?" tanya Putri Permata
Delima, menengahi.
Sari menuding ke arah .Andika yang masih nyengir
dengan mulut berbentuk kerucut.
"Manusia konyol itu kurang ajar, Putri!"
Putri Permata Delima menoleh pada Andika.
"Apa yang telah kau lakukan, Andika?" tanya Putri
Permata Delima.
Andika membuka kedua tangannya.
"Tidak ada. Hanya.... menggendong dia saja...." sahut
Andika, kalem.
"Kurang ajar!" wajah Sari memerah.
"Sebenarnya, aku tidak ingin menikmatinya, Putri.
Karena berat. Tetapi..., karena dia selalu bergerak-gerak...
ya, akhirnya terasa juga...." jelas Andika, membuat amarah
Sari kontan bergolak.
Putri Permata Delima tertawa geli. Dia yakin
sebenarnya hal itu tidak pcrnah terjadi. Tetapi karena sifat
Andika yang memang rada konyol, maka hal seperti itu
dikatakan.
"Ka...," dengus Sari gusar.
"Sudah, sudah...! Kita sama-sama orang sendiri. Tidak
perlu bertengkar... Sari, mari masuk...." .
Sebenarnya Sari masih mendongkol pada Andika.
Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Putri Permata
Delima sudah membimbingnya masuk ke dalam gua.
Sementara Andika menjulurkan lidahnya.
"Kurang ajar!"
Hanya itu yang bisa digumamkan Sari. Sementara
Belang yang sejak tadi menunggu perintah tuannya untuk
menyerang Andika, perlahan-lahan merebahkan tubuhnya
di tanah. Binatang itu menggeliat dan mengeluarkan suara
auman pelan.
Andika tertawa.
"Heran...! Kok ada ya gadis yang berangasan
begitu...."
Belum ada yang bisa menjawab, Danji muncul dengan
membawa buah-buahan yang dipetik tadi di Hutan
Kaliamang sebelah utara. Pada waktu menaiki sebuah
pohon tadi, Danji melihat dua sosok tubuh yang tak
dikenalinya berhenti di sana sambil celingukan.
Dan kejadian ilu segera diceritakan pada Andika.
Begitu diceritakan tentang ciri-cirinya, Pendekar Slebor
sadar kalau mereka adalah si Kayu Seribu Laksa dan
Songko. Kedua tokoh ini memang tengah mencari Andika
dan Sari.
Andika hanya mengangguk-angguk. Jelas sekarang,
kalau keadaan mereka di sini sudah tidak aman lagi.
Besok pagi kedua tokoh anak buah Raja Akherat itu
pasti akan menjelajah dan tiba di sini. Maka Andika segera
mengajak Danji masuk ke dalam gua.
Langsung diceritakannya tentang kejadian tadi pada
Prabu Adiwarman. Sementara Sari memandangnya dengan
sinis.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Andika?" tanya
Prabu Adiwarman.Suara laki-laki ini terdengar tegar. Dan
sikapnya tetap tenang. Meskipun jelas sekali di matanya
suatu beban yang berat
"Kita harus pindah dari sini, Prabu Malam ini juga,"
usul Pendekar Slebor.
"Ke mana kita harus pindah, Andika?" tanya Putri
Permata Delima.
Andika menggaruk-garuk kepala, dia menoleh pada
Danji.
"Apakah kau mempunyai tempat persembunyian yang
lain, Danji?"
Danji mendesah panjang.
Tempatnya agak mengerikan. Andika."
"Maksudmu?"
"Tempat itu bernama Jurang Setan. Jaraknya, dua
waktu penanakan nasi dari sini. Letaknya memang
tersembunyi. Jarang orang yang mendatangi tempat itu.
Tetapi ketika masih kecil, aku sering bermain di sana. Aku
pun telah menemukan jalan masuk yang aman. Tetapi aku
tidak tahu, apakah Jurang Setan sangat berbahaya atau
tidak," jelas Danji.
'Tetapi, hanya itulah tempat yang aman sekarang ini.
Ayo, kita berangkat sekarang juga, sebelum malam
datang," ajak Andika.
Bergegas Pendekar Slebor memberitahukan pada
yang lain untuk bersiap-siap.
***
Malam telah merangkak perlahan-lahan. Rembulan di
langit sana berusaha setengah mati menyingkirkan
timbunan awan hitam yang menghalangi sinarnya. Berjuta
bintang seakan lenyap dari pandangan.
Di bawah kegelapan, beberapa sosok tubuh tampak
herjalan beriring-iring mcnuju ke satu tempat. Suara
nyanyian binatang malam mengiringi setiap langkah
rombongan yang tak lain dari Pendekar Slebor. Sari, Danji,
Putri Permata Delima, dan Prabu Adiwarman, beserta para
pengawal.
"Masih jauhkah tempatnya, Danji?" tanya Andika yang
melangkah di sisi Danji.
Di belakang berlurut-turut tampak Prabu Adiwarman
yang menunggang si Belang, Sari yang berjalan ber-iring
dengan Putri Permata Delima, dan sepuluh orang
pengawal.
"Kita sudah sampai," sahut Danji, melegakan Andika.
Danji mengheritikan langkahnya diikuti Pendekar
Slebor. Tangannya menunjuk ke bawah. Nampaklah lubang
lebar yang menganga daiam. Dari atas tak terlihat apa-apa
karena keadaannya gelap.
"Inikah yang kau sebut sebagai J urang Setan?" tanya
Andika.
"Benar, Andika," sahut Danji singkat. "Jalan manakah
yang harus kita lalui untuk tiba di bawah?" tanya Andika
lagi. "Ayo! Ikut aku!"
Danji melangkah kembali, menuju ke sebuah balu
besar. Ia berhenti di dekat batu itu.
Di bawah batu ini ada sebuah lubang yang cukup
besar, dengan undakan-undakan untuk tiba di dasar
Jurang Setan," jelas Danji.
Andika merasa heran melihat batu yang besar itu.
Sejenak diperhatikannya Danji dengan seksama. Menurut
Danji, semasa kecil ia menemukan jalan rahasia itu. Tetapi,
bagaimana mungkin batu besar itu bisa dige-sernya.
"Jangan heran, Andika," tukas Danji seperti mengerti
tatapan Andika. "Dulu belum ada batu besar ini menutupi
lubang ini. Di sini tumbuh pohon-pohon merambat. Tetapi,
lima belas tahun yang lalu, terjadi gempa bumi kecil, yang
menyebabkan batu ini berguling dari gunung, hingga
menutupi jalan rahasia. Berkali-kali aku mencoba untuk
menggesernya, tetapi sekali pun tak mampu."
Andika kini mengerti.
"Minggirlah.... Aku akan mencoba menggesernya,"
ujar Andika.
Dengan tenaga dalam tingkat tinggi, Andika berhasil
menggeser batu itu. Lalu diperintahkannya para pengawal
keraton untuk membakar obor yang sejak tadi belum
dinyalakan. Andika mengambil obor itu dan menyorotkan
ke lubang.
Apa yang dikatakan Danji memang benar. Di bawah
sana memang terdapat undakan-undakan, juga tumbuhan
merambat.
Andika segera memimpin rombongan untuk turun.
Matanya waspada setiap kali kakinya menginjak setiap
undakan. Bau tanah lembah menerpa hidung. Tidak sedap,
dan membuat napas sedikit sesak.
Bentuk tanah itu miring, sehingga memudahkan
mereka untuk menitinya. Cukup banyak juga undakan yang
dipijak, hingga kemudian menembus ke satu lubang besar.
Andika mengangkat tangannya.
"Kalian semuanya tetap di sini.... Aku akan me-
meriksa dulu sekitar dasar Jurang Setan...," ujar Pendekar
Slebor.
Lalu dengan mata waspada dan kesiagaan penuh,
Andika menjelajahi sekitar dasar Jurang Setan. Banyak
batu cadas di sana. Tumbuhan merambat dan beberapa
hewan kecil yang tak berbahaya. Andika juga melihat
sebuah lubang besar yang cukup untuk menetap tiga puluh
orang.
Sebentar saja Pendekar Slebor sudah kembali pada
yang lainnya.
"Aman.... Ayo jalan....
Satu persatu mereka menginjakkan kaki di dasar
jurang. Hingga akhirnya mereka pun berada di dasar
Jurang Setan.
"Ah...! Lega rasanya...." desah Andika sambil men-
dongak ke atas.
Karena rembulan harus terhalang awan hitam, jadi
tak terlihat apa-apa di atas. Hanya bedanya, di sekitar sana
udara lebih segar dibandingkan di dalam tanah tadi.
Danji memperhatikan sekitarnya. Tidak banyak
perubahan yang terjadi di Jurang Setan. Tetap seperti dulu,
sunyi dan menyeramkan. Ketika ditinggal mati oleh
ayahnya, Danji selalu berdiam diri di sini. Begitu pula ketika
ditinggal mati ibunya. Ia selalu merenung disini, menyesali
kesendiriannya. Tetapi semenjak batu besar menutup jalan
rahasia menuju Jurang Setan, pemuda ini pun tidak bisa
lagi bermain-main di sana. Namun hal itu membuat
kesadarannya tumbuh, kalau harus berjuang melawan
nasib. Bukannya merenungi nasibnya
Prabu Adiwarman mendesah pendek sambil turun
dari bahu si Belang.
"Mungkin, kita akan aman di sini.... Tetapi, bagaimana
bila utusan kita kembali dari Kerajaan Labuan?"
Andika tersenyum.
"Prabu tidak perlu kuatir.... Aku akan mencari tahu
tentang mereka juga. Di samping keinginanku untuk
menyusup masuk ke Keraton Pakuan.
Tetapi Andika. Rasanya itu sangat berbahaya...," kata
Danji yang belum tahu rencana Andika.
Andika nyengir.
"Apakah kita akan membiarkan saja Kerajaan Pakuan
dipimpin seorang begundal kejam? Tidak! Biarpun harus
berkalang tanah, kita tetap mengambil alih kekuasaan
mereka"
Tak ada yang bers uara. Justru diam-diam Sari
menarik napas pendek. Gadis ini suka sekali mendengar
kata-kata Pendekar Slebor. Pendekar tampan yang
sebenarnya diam-diam telah mcmikat hatinya. Namun
sudah tentu tidak ingin diperlihatkannya.
Sebenarnya, Sari sangat senang ketika Andika
membopongnya tadi. Hanya saja, hatinya malu sehingga
yang keluar dari mulutnya kata-kata makian.
"Prabu Adiwarman.... Hamba pun akan membantu
Kakang Andika...," kala Sari.
"He he he .. Nanti kau cerewet lagi?" goda Andika.
"Biar saja! Apa sih, pedulimu?" sergah Sari, sewot. "Tuh,
kan? Belum apa-apa saja sudah galak?! Tetapi, tidak apa-
apa. Lcbih baik ditemani gadis cantik sepertimu, daripada
ditemani harimaumu yang menyeramkan itu....'
Kali ini terdengar tawa dari dasar Jurang Setan
mendengar selorohau Pendekar Slebor. Semenlara Sari
hanya menundukkan kepala malu-raalu.
"Kang, Danji....'
Danji tersentak ketika mendengar suara panggilan
dari belakang. Buru-buru dia menoleh. Ternyata yang
datang kekasihnya.
"Oh, kau belum tidur?" tanya Danji.
Putri Permata Delima menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa tidur, Kakang.... Aku ingin berada di
dekatmu...."
"Tetapi...." Danji celingukan.
"Ayahanda sudah tidur," potong gadis itu.
Pemuda itu menghela napas pendek. Lalu dibiar-
kannya Putri Permata Delima duduk di sisinya. Cukup lama
pemuda itu menunggu saat-saat scperti ini.
Begitu pula yang dirasakan Putri Permata Delima.
Makanya, begitu duduk di sisi Danji, gadis ini langsung
merebahkan kepala di dada kekasihnya. Sementara Danji
merangkulnya dengan mesra. Sayangnya. rembulan di atas
yang seharusnya menjadi saksi terhalang awan. Namun
biasnya bisa dirasakan dihati masing-masing.
"Kang Danji.... Akankah keadaan seperti ini terus
berlangsung?" tanya Putri Permata Delima, menengadah.
Danji bisa mencium bau wangi yang mcnguar dari
tubuh yang lembut itu. Juga bisa dirasakan kemesraan
yang terpancar dari sepasang mata yang jernih itu.
"Aku tidak tahu, Permata. Tetapi yang kuharapkan,
keadaan ini tidak akan berlangsung lama...," sahut Danji,
lirih.
"Aku pun demikian. Meskipun.... ah! Sebenarnya. aku
sedikit senang."
"Senang?"
"Ya. Aku senang, karena..., dengan gagalnya
sayembara 'Mungut Mantu'. aku tetap akan bersamamu,
Kang Danji.... Ketahuilah, Kakang.... Aku amat
mencintaimu...."
Danji tahu dan yakin soal itu. Ia pun tidak
menyalahkan, bila Putri Permata Delima mengatakan
senang dengan kejadian ini. Karena, sayembara 'Mungut
Man-tu' menjadi gagal. Namun Danji pun yakin, di lubuk
hati Putri Permata Delima tersimpan sebaris kekecewaan,
kemarahan. kesedihan. karena keraton dikuasai tokoh
sesat.
Danji langsungmerangkul kekasihnya lebih lembut.
"Permata.... Kita akan bersatu padu untuk bertahan dari
orang-orang sesat itu," tandas Danji.
Putri Permata Delima tersenyum. Matanya redup.
"Kang Danji...."
Mendengar kata-kata itu, hati Danji bergetar. Apalagi
mata redup yang pasrah dan membiaskan cinta di wajah,
membuatnya perlahan-lahan menundukkan kepalanya.
Sedangkan Putri Permata Delima kini memejamkan
matanya rapat-rapat. Lalu dirasakannya sesuatu yang
lembut dan hangat menyentuh bibimya. Semakin lama
terasa mesra dan hangat penuh gelora.
Cinta kasih mereka bukanlah cinta yang dilumuri
nafsu, melainkan cinta sejati yang datang dari hati yang
paling dalam. Cinta yang mampu membuat kebersa-maan
dan pertanggungjawaban. Cinta yang hakiki.
Tak lama kemudian Danji melepaskan ciumannya.
Sementara Putri Permata Delima menyusupkan kepala ke
dada Danji. Malu bercampur senang.
***
9
Pagi kembali membentang, membedah alam dengan
suasana yang seharusnya nyaman dan asri. Namun pagi
yang hening di tengah Hutan Kaliamang terusik oleh
kehadiran puluhan sosok tubuh yang bertelanjang dada.
Mereka baru saja tiba di depan gua tempat Prabu
Adiwarman dan rombongan selama dua minggu mendiami
tempat itu. Mereka bersenjatakan tombak dan parang.
Di depan mereka, berdiri seorang perempuan tua.
Rambutnya digelung, dihiasi tus uk konde emas. Di
tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Siapa lagi
orang ini kalau bukan Nyai Surti alias si Kayu Seribu Laksa.
Sementara seorang lagi adalah laki-laki tegap dengan
senjata sebuah busur panah. Dia tak lain dari Songko. yang
berjuluk Panah Iblis Dari Utara.
Memang setelah kedua orang ini kembali ke Keraton
Pakuan, seperti yang dikatakan Nyai Surti, Raja Akherat
marah berat. Tetapi Songko yang pandai menjilat berhasil
mengemukakan alasannya, sehingga tokoh sesat itu mau
mengerti.
"Bila melihat bekas-bekas di sekitar sini, aku yakin...,
gua itu baru saja ditinggalkan orang," duga Songko yang
masuk memeriksa tadi.
"Apakah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima
yang berada di sana?" tanya Nyai Surti.
"Ya, mungkin juga Pendekar Slebor dan gadis
penunggang harimau itu." sahut Songko, tandas.
"Bangsat! Kita terlambat kalau begitu! Hmmm...,
kemana kira-kira mereka pergi?"
"Sulit ditentukan. Tempat ini jarang sekali didatangi
orang.... Tetapi. barangkali saja ada tempat lain lagi untuk
mereka bersembunyi...."
"Kalau begitu..., kita harus bergegas!"
Tetapi belum lagi mereka melangkah, terdengar derap
langkah kaki kuda menuju tempat ini. Tak lama muncul
dua orang penunggang kuda berpakaian seragam prajurit.
Melihat ciri-cirinya, jelas kalau mereka adalah pengawal
Kerajaan Pakuan yang baru kembali dari Kcrajaan Labuan.
Rupanya, mereka menduga kalau Prabu Adiwarman masih
berada di gua tempat persembunyian.
Sudah tentu kedua pengawal itu terkejut melihat
kehadiran orang-orang asing di tempat ini. Dalam sekali
pandang saja, bisa diyakini kalau mereka bukanlah orang
baik-baik. Dan mereka juga bisa menebak, kalau saat ini
Prabu Adiwarman dan yang lain sudah pindah tempat.
Serentak kedua pengawal itu membalikkan kuda dan
siap melarikan diri. Namun di luar dugaan, Panah Iblis Dari
Utara telah melepas anak panahnya Sementara, si Kayu
Seribu Laksa telah berkelebat cepat bagai kilat.
Ceeep!
"Akkkhhh...!"
Salah seorang penunggang kuda kontan ambruk.
Tepat ketika penunggang kuda itu mencium tanah, si Kayu
Seribu Laksa telah pula melepaskan satu buah totokan
pada penunggang kuda satunya.
Tuk!
"Ohhh!"
Penunggang kuda itu ambruk pula dengan tubuh
lemas, tak bisa digerakkan lagi.
"Hhh! Rupanya memang benar dugaan kita. Jelas
tempat ini dijadikan persembunyian Prabu Adiwarman!"
seru Nyai Surti, begitu mendarat.
Perempuan tua itu lantas mengangkat tubuh
pengawal Keraton Pakuan yang tertotok, lalu
membebaskannya.
Begitu bebas, temyata pengawal itu adalah orang
yang tidak mengenal takut. Apalagi begitu melihat
kawannya sudah menjadi mayat dengan anak panah
menembus jantungnya.
"Manusia rendah!" bentak pengawal ini seraya
mencabut pedang yang dibekali Prabu Adiwarman di
pinggang.
"Aku suka melihat keberanianmu itu! Tetapi, sayang.
Keberanianmu akan sia-sia belaka!" leceh si Kayu Seribu
Laksa dengan tatapan kejam.
Pengawal itu tidak ciut nyalinya mendengar suara
Nyai Surti dan melihat tatapan kejamnya. Pedangnya
langsung ditusukkan tanpa mempedulikan betapa lelahnya
tubuhnya. Padahal dia dan kawanya yang telah menjadi
mayat telah menunggang kuda tiga hari tiga malam tanpa
henti.
"Uts...!"
Nyai Surti hanya menggeser kakinya sedikit, lalu
tangannya bergerak cepat. Dan.... Plak!
"Auakh...!"
Telak sekali tangan si Kayu Seribu Laksa
menghantam lengan kanan pengawal itu hingga menjerit
kesakitan dan bergulingan di tanah. Seketika tangannya
patah.
Nyai Surti memang tidak berniat untuk menghabisi
nyawa pengawal itu. Yang diinginkan adalah penjelasan
yang bisa dipergunakan untuk mengetahui, di mana Prabu
Adiwarman dan yang lainnya. Termasuk. Pendekar Slebor
yang menimbulkan dendam yang sangat dalam di dadanya.
"Hih...!"
"Hekh...!" *
Tanpa rasa kasihan si Kayu Seribu Laksa menginjak
dada pengawa! yang masih bergulingan.
"Siapa nanamu?" bentak Nyai Surti.
"Mureksa...!" sahut pengawal itu, sambil meringis
kesakitan.
"Di mana junjunganmu berada saat ini, hah?!" cecar si
Kayu Seribu Laksa.
"Peduli setan denganmu, Nenek Peot!" seru pengawal
bernama Mureksa berani. Namun dia harus menjerit keras
ketika, kaki Nyai Surti kembali menekan dadanya.
"Aku hanya bertanya tiga kali. Di mana mereka?!”
Ancam si Kayu Seribu Laksa dengan mengandung
kekejaman luar biasa.
"Pergilah kau ke neraka! Karena tempat itu hanya
pantas untuk orang-orang busuk seperti kau!"
Kaki Nyai Surti menekan lagi.
"Aaakh...!"
Mureksa menjerit lagi.
Songko yang lebih cerdas menduga, kalau pengawal
itu memang tidak tahu ke mana pindahnya Prabu
Adiwarman. Bila melihat kelelahan di wajah mereka, jelas
sekali keduanya habis melakukan pcrjalanan jauh.
Segera Panah Iblis Dari Utara mendekat.
"Hhh! Bila kau tidak mau mengatakan di mana Prabu
Adiwarman, itu urusanmu. Sekarang, jawab pertanyaanku.
Dari mana kau?!" tanya Songko, menggeram kasar.
Meskipun penderitaan yang dialami sangat pahit dan
pedih, Mureksa tidak pernah berniat untuk mem-
bayangkan menjadi seorang pengkhianat.
"Kalian lebih baik mampus, Manusia-manusia Ren-
dah!" sahut Mureksa, menggeram dan menahan rasa sakit!
"Ha... ha... ha...!"
Songko terbahak-bahak.
"Apakah kau tidak mendengar apa yang dikatakan-
nya tadi, Surti?" kata Songko, seraya memandang si Kayu
Seribu Laksa.
"Hhh! Lebih baik dia mampus saja!"
"Itu urusanmu! Silakan!"
"Sekali lagi kutanya. Di mana Prabu Adiwarman
berada?! Dan, dari mana kau?" desak Songko dengan
tatapan semakin nyalang.
Mureksa tidak lagi merasakan sakitnya. Ia tetap
bertekad tidak akan membuka mulut. Sekalipun harus
disiksa teramat pedih.
"Manusia-manusia rendah.... Tempat yang pantas
untuk kalian hanyalah neraka!"
Habis sudah kesabaran Nyai Surti. Kakinya langsung
menekan lebih kuat lagi. Sementara kayunya pun terangkat
siap mengepruk pecah kepala Mureksa.
"Kau memang harus mampus!"
Namun sedikit lagi tongkat kayu itu menghantam,
berkelebat satu bayangan hijau yang langsung menuju si
Kayu Seribu Laksa. Dan....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tubuh Nyai Surti kontan terlontar ke belakang. Tahu-
tahu saja terasa ada sesuatu yang mengenai dadanya
dengan keras. Sementara kakinya yang menginjak dada
Mureksa sudah terangkat.
Ketika Nyai Surti sudah berada dalam
keseimbangannya kembali, tampak seorang pemuda
tampan berpakaian warna hijau dengan secarik kain lebar
bercorak catur yang tersampir di bahunya, sedang
memanggul tubuh Mureksa yang jatuh pingsan.
Melihat hal itu, Nyai Surti terkejut. Begitu pula
Songko.
"Rupanya Pendekar Slebor memang mempunyai nyali
besar untuk muncul juga!" kata Nyai Surti.
"He he he.... Sejak tadi kalian mencari-cariku, ya?
Memang, aku terlambat datang! Tetapi, masih pantas dan
memiliki waktu yang panjang untuk menghajar adat kalian
berdua!" sahut sosok pemuda yang tak lain Andika sambil
nyengir.
Pendekar Slebor memang terlambat datang, karena
Sari ingin ikut dengannya. Padahal Andika lebih yakin
dengan dirinya sendiri. Dan bila Sari ikut tanpa si Belang,
mungkin Andika akan mengizinkan pergi bersama-sama.
Namun gadis itu tetap ngotot untuk mengajak si Belang.
Karena, ia memang tidak ingin jauh-jauh dari binatang
peliharaannya. Dan menurut perkiraan Andika, bagaimana
bila si Belang ikut serta, sementara mereka harus
mengintai? Karena, menurut firasat Pendekar Slebor,
orang-orang Raja Akherat pasti masih akan mencari
mereka.
Maka Pendekar Slebor pun mencari akal untuk
mengelabui Sari. Andika pura-pura mendadak sakit perut,
sekaligus buang hajat. Tentu saja gadis ini dengan berat
hati mengizinkan. Dan kesempatan itu digunakan
Pendekar Slebor untuk kabur dari Sari. Dan Andika
menduga, gadis itu pasti akan segera menyusulnya.
Sementara ketika mendengar kata-kata Andika
barusan, wajah Nyai S urti dan Songko memerah menahan
marah. Apalagi teringat kalau Pendekar Sleborlah yang
menjadi momok bagi Raja Akherat.
Tangkap dan bunuh pemuda keparat itu!" teriak
Songko, memerintah puluhan pemuda berlelanjang dada.
Serentak dua puluh pemuda mengurung Andika
dengan senjata di tangan.
"Kalau kalian jeri melawanku, katakan saja.... Tidak
perlu menyuruh para pemuda ini?!" ejek Andika.
"Kau terlalu banyak omong, Pendekar Slebor!"bentak
Nyai Surti dengan wajah memerah geram.
"Karena aku punya mulut!" sahut Andika, santai.
"Bangsat! Bunuh pemuda itu!" Serentak para pemuda itu
menerjang Pendekar Slebor. Andika yang mengerti kalau
mereka terpaksa menerima perintah, berkelebat ke sana
kemari dengan masih memanggul tubuh Mureksa yang
pingsan. Sambil berkelebat, sebelah tangan dan kedua
kakinya bergerak cepat.
Plak! Des! Dug!
"Aaakh...! Aaa...! Auhh...!"
Gerakan Pendekar Slebor yang sangat cepat mem-
buat para pemuda itu kontan pingsan terkena sambaran
tangan dan kakinya. Dan hanya sebentar saja, para
pemuda itu tak ada yang bisa bangun lagi.
"Nah! Siapa lagi yang harus kalian suruh? Apakah
kalian masih punya nyali untuk menghadapi aku?! Kalau
tidak..., ya lebih baik pulang saja dan menetek pada
kambing!" ejek Pendekar Slebor, kurang ajar.
Kemarahan kedua tokoh sesat itu pun sudah singgah
di ubun-ubun. Wajah mereka merah padam.
"Kau memang harus dibungkam hari ini juga,
Pendekar Slebor!" dengus Nyai Surti.
"He he he.... Apakah tidak salah? Ih! Mengapa sih,
kau selalu memilih aku menjadi lawan? Karena aku
ganteng, ya? Tetapi..., cih! Tak sudi aku bersentuhan
denganmu!"
Namun belum lagi Nyai Surti atau Songko
menyerang....
"Hauummmm...!"
Mendadak terdengar auman yang sangat keras. Lalu
muncul seekor harimau besar dari balik semak. Sementara
penunggangnya telah melenting, dan mendarat di sebelah
Pendekar Slebor.
"Heit! Kaget aku!" kata Andika sambil menepuk-nepuk
dadanya.
"Mengapa kau tidak mengajakku bermain-main
dengan mereka, Kang Andika?" kata Sari sambil menatap
tajam ke arah Nyai Surti dan Songko. Di tangannya sudah
tergenggam sebilah pedang tipis namun sangat tajam.
Pedang itu dicabut sambil melompat tadi.
"Nah, Nenek Genit! Kini kau boleh melawan dia?
Sekali-kali kan tidak apa-apa! Aku juga mau muntah bila
bersentuhan denganmu!" seru Andika mengejek.
Kali ini Nyai Surti sudah tidak bisa menahan
geramnya lagi. Langsung diterjangnya Andika dengan
ganas.
Andika cepat melempar tubuh Mureksa yang masih
pingsan pada Sari.
"Sari! Suruh si Belang menyembunyikan Mureksa dan
menjaganya!" ujar Pendekar Slebor sambil menghindari
serangan Nyai Surti yang ganas. "Heit! Sabar dikit, Nek!
Kalau kau bernafsu denganku, bilang saja! Tetapi, maaf
ya.... Aku tidak akan pernah terangsang olehmu!"
Sari yang dengan sigap menangkap tubuh
Mureksapun segera meletakkan tubuh pengawal itu ke
punggung Belang. Dan harimau itu segera melesat mencari
tempat persembunyian yang aman.
Sementara, Sari sendiri langsung melenting ketika
melihat Songko mencuri kesempatan dengan melepaskan
anak panahnya ke arahnya! Set! Set!
"Jangan kau kira dapat membokongku, Manusia
Rendah!" seru Sari garang, ketika anak panah itu telah
lewat di bawah kakinya.
Dan ketika gadis itu meluruk sambil membabatkan
pedang. Maka pertarungan pun berlangsung dengan seru.
***
Di Keraton Pakuan mendadak saja Raja Akherat
terkejut setengah mati. Baru saja dia berada di pintu
utama keraton, terlihat puluhan orang berpakaian prajurit
menerobos mas uk ke halaman. Begitu mendekat, tiga
orang penunggang kuda langsung turun dan berdiri gagah
di depan Raja Akherat
Serentak Dua Kembar Kepalan Batu bersiaga.
mentara para pemuda bertelanjang dada pun sudah
menghunuskan tombak, siap menunggu perintah. Mata
Raja Akherat menyipit. "Ha... ha... ha...! Rupanya... orang-
orang Kerajaan Labuan ingin membantu Kerajaan Pakuan!
Hanya sayang, kalian mencari mampus saja!" kata Raja
Akherat sombong. Agaknya Raja Akherat mengenali
mereka dari pakaian'prajurit yang dikenakan.
Memang, yang datang itu adalah para prajurit
Kerajaan Labuan. Mereka diperintahkan Prabu
Srigiwarman untuk langsung menyerang ke Kerajaan
Pakuan. Sementara, kclompok lain akan menemui Prabu
Adiwarman untuk membicarakan rencana selanjutnya.
Tiga orang gagah yang telah berdiri gagah menatap
tajam pada Raja Akherat. Di punggung mereka terdapat
sebilah pedang. Pakaian mereka sama, berwarna putih.
Hanya yang membedakan, warna ikat pinggang yang
dikenakan. Rambut mereka digelung ke atas. Rupanya,
mereka adalah para pengawal pilihan.
"Raja Akherat! Lebih baik tinggalkan Kerajaan Pakuan
sebelum darahmu tumpah di sini!" kata prajurit yang
mengenakan ikat pinggang biru.
"Ha... ha... ha..!"
Kata-kata itu disambut tawa Raja Akherat yang keras.
"Apakah tidak salah pendengaranku, hah?!" lanjut
Raja Akherat, membentak.
Yang mengenakan ikat pinggang biru, berwajah cukup
tampan. Cambang bauk tampak menghiasi wajahnya.
Prabu Adiwarman mengenal pengawal yang sering
berkunjung ke tempat ini namanya Wenapati. Dia me-
nyipitkan matanya, bertanda marah mendengar kata-kata
Raja Akherat.
"Aku hanya mengatakan itu sekali saja, sebelum
semuanya terlambat!" ancam Wenapati
Raja Akherat kembali terbahak-bahak. Dia merasa
lucu mendengar kata-kata Wenapati. Lalu....
"Hancurkan mereka!" teriak Raja Akherat, meme-
rintah para pengawalnya yang sudah mengurung pula.
Serentak lima belas pemuda bertelanjang dada me-
nyerang dengan ganas. Sudah tentu para prajurit Kerajaan
Labuan pun segera mengangkat senjata. Trang! Trang!
"Hiaaa...!" "Serang...!"
Seketika terdengar suara bunyi beradunya senjata
yang keras dan teriakan-teriakan pertempuran.
Sementara Dua Kembar Kepalan Batu sudah
menyerang pula. Yang bernama Srigandi menyerang
pengawal yang mengenakan ikat pinggang kuning.
Namanya Karnapati. Tubuhnya gagah dengan wajah
kelimis tanpa bulu. Sementara Srigunda menyerang yang
mengenakan ikat pinggang hijau. Namanya, Tiropati. Wa-
jahnya persegi dan cukup tampan. Apalagi dihiasi kumis
tipis.
Sementara Wenapati menggeram ke arah Raja
Akherat.
"Kali ini, kau akan menyesali perbuatanmu seumur
hidupi" seru Wenapati.
Tetapi kata-kata yang bernada ancaman itu hanya
disambut tawa saja oleh Raja Akherat.
"Ha... ha... ha...! Biasanya, orangyang hendak mencari
mampus memang banyak lagak!"
Mendadak saja, Raja Akherat mengibaskan
tangannya ke depan.
Wesss...!
Wenapati yakin, kibasan tangan itu telah dialiri tenaga
dalam tinggi. Maka tubuhnya segera melompat
menghindari.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus sekali!"
"Kini, terimalah ajalmu, Raja Akherat!"
Wenapati pun menyerbu dengan lengkingan suara
yang tinggi. Pedang di tangannya berkelebat, siap
mencabik-cabik tubuh Raja Akherat
Sementara Raja Akherat tidak bergeser sedikit pun
ketika Wenapati menyerang dengan pedangnya. Namun
begitu serangan dekat, tangannya dikibaskan ke depan.
Wesss...!
"Hup...!"
Sekali lagi Wenapati harus menarik pulang
serangannya, dan cepat melenting ke belakang. Sementara
Raja Akherat terbahak-bahak.
Kini sadarlah Wenapati, kalau lawannya sangat
tangguh. Tetapi sebagai orang pilihan dari Kerajaan
Labuan, sudah tentu memiliki bekal yang cukup dan
keberanian tinggi. Maka tanpa gentar diserangnya kembali
Raja Akherat.
"Heaaa...!"
Sementara itu pertarungan antara lima belas pemuda
bertelanjang dada melawan tiga puluh orang prajurit
Kerajaan Labuan, jelas tidak seimbang. Dalam waktu
singkat saja, lima belas pemuda itu telah tewas menjadi
mayat.
Para prajurit Kerajaan Labuan pun kini siap
menunggu perintah, bersiaga sambil memperhatikan
pertarungan yang terjadi.
Ketiga prajurit pilihan Kerajaan Labuan itu memang
menunjukkan kemampuannya sebagai orang pilihan.
Terutama, Wenapati yang memperlihatkan kelincahannya
menghindari serangan Raja Akherat. Memang, sekali pun
prajurit ini belum sempat membalas serangan. Namun biar
begitu. Raja Akherat pun belum dapat menyentuh
tubuhnya.
***
10
Andika yang bertarung melawan si Kayu Seribu Laksa,
mencoba membuat wanita tua itu kerepotan sendiri. Ketika
Nyai Surti menyerang gencar dengan tongkat kayunya,
Andika cepat bergerak. Diputarinya tubuh perempuan tua
itu sambil sekali-kali mengirimkan serangan telak.
Nyai Surti menjadi geram. Lalu....
"Tongkat Kayu Merenggut Sukma!" teriak si Kayu
Seribu Laksa.
Dan tiba-tiba saja Nyai Surti memutar tongkat
kayunya, sehingga mengikuti putaran tubuh Pendekar
Slebor. Bahkan lebih cepat!
Andika sendiri cukup terkejut melihat perubahan
serangan Nyai Surti. Cepat serangannya dihentikan.
Namun belum lagi membuka serangan berikut, Nyai Surti
sudah mencecar dengan ganas. Tongkat kayu di tangannya
itu kini bagai mempunyai mata saja. Karena, ke mana
Andika menghindar, tongkat itu terus memburu.
"Edan! Jurus yang aneh sekali!" dengus Andika dalam
hati.
Segera Pendekar Slebor mempergunakan
kelincahannya untuk menghindari serangan yang ganas
dan berbahaya.
Sementara Sari masih terus berusaha menangkis
serangan anak panah yang dilepaskan Panah Iblis Dari
Utara. Sambil menangkis, dicobanya mem perpendek jarak
serangan. Gadis ini tahu. kalau jarak semakin Iebar, maka
kemudahan akan didapatkan Songko. Jadi, jalan satu-
satunya untuk mematikan langkah lawannya, memang
harus memperpendek jarak.
Tetapi hal itu bukanlah suatu yang mudah untuk di-
lakukan. Karena Panah Iblis Dari Utara dengan gencar
terus memburu. Sehingga gadis itu harus mengeluarkan
kelincahannya memainkan pedang.
"Hayo! Habiskan seluruh anak panahmu, biar ke-
palamu mudah kupenggal!" seru Sari mengejek.
Songko sendiri sudah mempergunakan anak panah-
anak panah rahasianya. Dicabutnya sebuah anak panah
yang lebih pendek daripada yang sering dilepaskan. Karena
perbedaan bentukitulah Sariyakin, kalau anak panah yang
akan dilepaskan lawannya tidak bisa dianggap
sembarangan.
Kali ini gadis itu sendiri tidak berani menangkisnya,
dan hanya menghindari saja. Namun yang
mengejutkannya, anak panah itu seperti mempunyai mata.
Bisa berbelok dan mengejamya!
Set...!
"Gila!" dengus Sari.
Kali ini mencoba menangkis dengan pedangnya.
Tak!
Namun begitu terpental, anak panah itu kembali
menerjang ke arah Sari.
Songko terbahak-bahak melihat lawannya yang
kelimpungan.
"Ha ha ha.... Ada pertunjukan cuma-cuma yang sangat
menarik!" ejek Panah Iblis Dari Utara.
Sari menjadi geram. Sungguh tidak dimengerti
mengapa anak panah itu bagaikan memiliki mata dan
terus mengejarnya. Berkali-kali pedangnya berhasil me-
nyampok anak panah yang mengejarnya. Namun berkali-
kali pula anak panah itu kembali menerjang.
"Ha ha ha...!"
Songko makin terbahak-bahak. Bahkan segera
mencabut sebatang anak panah yang hentuknya sama
seperti yang dilepaskan tadi.
"Aku akan membuat pertunjukan semakin lebih
semarak!" seru Panah Iblis Dari Utara.
Twang!
Set!
Songko kembali melepaskan anak panah ke arah
Sari. Sementara gadis itu harus menangkis kembali. Dan
seperti anak panah pertama tadi, anak panah itu pun
bagaikan memiliki mata. Mencecarnya dengan cepat.
Sari semakin kewalahan saja. Dan kini gadis itu harus
menyelamatkan diri dari dua serangan anak panah aneh
itu.
Sementara itu Pendekar Slebor yang sedang
menghindari serangan dari Nyai Surti sempat melihat
keadaan Sari.
"Kau bisa mati kalau hanya mengurusi kedua anak
panah itu, Sari! Kedua anak panah itu dikendalikan tenaga
dalam Songko! Coba serang dia!" teriak Pendekar Slebor.
Sari kini baru sadar. Maka begitu kedua anak panah
menyerangnya, cepat pedangnya berkelebat menyampok.
Tak! Tak!
Begitu berhasil menyampok, dengan cepat Sari
menerjang ke arah Songko yang tidak percaya kalau jurus
anak panah rahasianya dapat dipecahkan Pendekar
Slebor!
Panah Iblis Dari Utara menggeram kesal sambil
melompat menghindari serangan pedang di tangan Sari.
Sari pun bermaksud menyampok kembali kedua anak
panah yang disangka akan menyerangnya lagi. Tetapi
begitu Songko menghindari tadi, seketika kendali tenaga
jarak jauh yang dialirkan kepada dua anak panah langsung
hilang. Maka seketika kedua anak panah itu pun jatuh tak
berdaya, seperti anak panah lainnya saja.
Menyadari hal itu. Sari segera mencecar Songko
dengan ganas. Kalau tadi gadis ini dipermainkan, maka
kini ganti Songko yang dipermainkannya.
Pedang gadis ini berkelebat ke sana kemari dengan
cepatnya, membuat Songko harus menghindari berkali-kali
Tetapi Sari tidak ingin bertindak lamban lagi Mendadak
saja tubuhnya melompat lurus ke atas dengan gerakan
berputar. Lalu tubuhnya langsung meluruk ke arah Songko
yang seketika menjadi pias wajahnya. Tanpa anak panah
laki-laki itu bukanlah apa-apa.
Sebisanya Songko menghindari serangan. Dan
mendadak saja tali busurnya ditarik, dan mengarahkannya
pada Sari yang siap menancapkan pedangnya ke ubun
ubun Songko.
Tweeeng!
"Aaakh...!"
Terdengar suara keras. Akibatnya sungguh di luar
dugaan. Tubuh Sari kontan terpental ke belakang disertai
keluhan tertahan. Begitu jatuh di tanah, gadis itu langsung
muntah darah.
"Ha... ha... ha...! Ketahuilah, Manis.... Itu adalah
rahasia dari busur kesayanganku ini...," ejek Panah Iblis
Dari Utara.
Dengan punggung tangannya Sari mengelap darah
yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap nyalang.
"Perlihatkan lagi kehebatan dari busurmu itu,
Manusia Rendah!" bentak gadis ini "Hiaaa...!"
Dengan melipatgandakan tenaga dalamnya. Sari
menerjang kembali. Namun lagi-lagi Songko menjepretkan
tali busurnya.
Twang!
"Aaakh...!"
Kembali gadis itu terpental, dan jatuh di tanah.
Sementara dalam keadaan bertarung, Andika masih
juga sempat melihat kalau Sari sudah berada di ambang
maut. Padahal pada saat yang sama, Songko sudah pula
kembali akan menjepretkan tali busumya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan membahana, Pendekar Slebor
melenting menjauhi lawannya yang sama sekali tak
menduga. Dan begitu mendarat di tanah, kedua tangannya
cepat menghentak ke arah Panah Iblis Dari Utara.
Wesss...!
Serangkum angin serangan meluncur dari telapak
tangan Andika. Lalu.... Prak! "Heh?!"
Betapa terkejutnya Songko melihat busur panahnya
patah. Dan dia sama sekali memang tak menduga adanya
serangan itu.
"Bangsat! Surti! Bunuh pemuda konyol itu!" bentak
Songko marah.
Lalu, kemarahan itu dilampiskan Songko pada Sari
yang masih menahan rasa sakit. Tubuhnya cepat meluruk,
hendak melepaskan tendangan.
Andika sendiri bermaksud untuk menyelamatkan Sari.
Namun niatnya cepat diurungkan, karena Nyai Surti
meluruk kembali dengan serangan berhawa maut.
"Sari..., bangunlah! Kau bisa mampus!" teriak
Pendekar Slebor, seraya berkelebat dengan kelincahannya.
Sebisanya Sari berusaha bangun. Namun tenaganya
sudah hilang sama sekali. Padahal, maut sudah di ambang
pintu ketika kaki Songko yang penuh tenaga dalam siap
menggasak kepalanya.
Namun sebelum Songko berhasil melaksanakan
maksudnya....
"Hauuummm...!"
Dengan gerungan membahana, satu sosok berkaki
empat muncul dari balik semak dan langsung menerjang
Panah Iblis Dari Utara.
Rupanya si Belang yang sedang menjaga Mureksa
telah kembali ke tempat itu. Hewan itu memang luar biasa,
naluri dan penciumannya bisa merasakan kalau tuannya
berada dalam bahaya. Memang Ki Wirayuda tak perc uma
bertahun-tahun melatihnya.
Bret!
"Aaakh...!"
Songko yang tidak menyangka kalau binatang itu
akan muncul dan menyerangnya, harus merelakan
tubuhnya terkena cakaran. Dia berteriak merasakan perih
yang bukan main.
Sementara Sari yang semula sudah pasrah, kontan
terkejut melihat kehadiran si Belang. Wajahnya langsung
berubah gembira.
"Belang! Bunuh dia! Bunuh!" teriak Sari, kalap.
Mendengar perintah. si Belang pun semakin kalap.
Aumannya sangat keras dan memekakkan telinga.
Binatang itu terus menerjang Songko yang kini harus ber-
hati-hati. Padahal, kini tenaganya sudah melemah setelah
bertarung berpuluh-puluh jurus.
Pada satu kesempatan, si Belang menerjang sekali
lagi dengan kuku-kuku terbuka. Songko yang sudah
kebingungan, melangkah ke belakang. Namun kakinya ter
antuk batu. Dan....
Bruk!
Songko terjatuh. Dan saat itulah si Belang dengan
ganas menerjang. Langsung dicabik-cabiknya tubuh Panah
Iblis Dari Utara.
Bret! Bret!
"Aaa...!"
Songko menjerit keras ketika daging tubuhnya
terobek-robek. Lalu jeritannya pun melemah, dan
nyawanya pergi meninggalkan jasadnya selama-lamanya.
"Sudah, Belang! Cukup! Jangan kotori cakar dan
taringmu dengan darahnya yang busuk!" ujar Sari.
Binatang buas itu berbalik, lalu menghampiri Sari
yang langsung menerima jilatan Iidah si Belang.
"Kau memang sahabatku yang setia, Belang...," kata
Sari, sambil mengelus-elus.
Sementara itu Pendekar Slebor masih terus
menghindari serangan-serangan ganas dari Nyai Surti.
Tongkat kayu di tangan perempuan tua itu menjelma
begitu banyak, mencecarnya ke mana Andika hinggap.
"Heiiit! Sabar, Nek! Nanti kau kehabisan tenaga!"
seloroh Pendekar Slebor sambil berkelit lincah.
Andika sendiri tidak ingin berlama-Iama lagi,
meskipun harus mencari sela untuk menjatuhkan Nyai
Surti. Dan ketika si Kayu Seribu Laksa menyerang,
Pendekar Slebor melesat disertai pengerahan tenaga
warisan Pendekar Lembah Kutukan.
"Yeaaa!"
Melihat pemuda itu menyongsong serangan, Nyai
Surti pun memperkuat kemposan kakinya. Sementata
tenaga dalamnya dialirkan lebih banyak ke tongkat
kayunya.
"Heaaa...!"
Hantaman tongkat kayu Nyai Surti, ditahan Pendekar
Slebor dengan tangannya. Tap!
Dan mendadak Pendekar Slebor yang cepat bagai
kilat masuk menerjang, melepas pukulan tangan kanan.
Desss...! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Nyai Surti terhantam pukulan
Pendekar Slebor. Perempuan tua itu kontan terjajar ke
belakang disertai jerit kesakitan.
Andika yang melihat lawannya sudah goyah, cepat
melepaskan pukulan 'Guntur Selaksa'. Tangannya seketika
mengibas.
"Heaaa...!"
Wuttt...!
Namun meskipun baru saja terkena hantaman
Andika, si Kayu Seribu Laksa nampaknya memang sudah
ingin mengadu nyawa. Sambil menggeram keras,
perempuan tua itu kembali menyambut disertai hantaman
tongkat kayunya.
"Hiaaa...!"
Prak...!
Terjadi benturan yang keras, diiringi suara nyaring.
Dan ternyata tongkat kayu yang telah dialiri tenaga dalam
oleh Nyai Surti, harus pecah berantakan terhantam ajian
'Guntur Selaksa'. Perempuan tua itu sendiri terkejut
melihat kenyataan ini. Namun keterkejutannya tidak
bertahan lama, karena Pendekar Slebor kembali
berkelebat sambil mengibaskan tangan yang satu lagi.
Lalu....
Dess...!
"Aaa...!"
Si Kayu Seribu Laksa melolong setinggi langit, ketika
dadanya terhantam ajian 'Guntur Selaksa' milik Pendekar
Slebor. Tubuhnya terjajar ke belakang, sempoyongan.
Andika cepat melenting ke belakang. Dan mendarat
tiga tombak dari tubuh perempuan tua itu. Brukkk...!
Si Kayu Seribu Laksa ambruk dengan dada pecah
bagian dalam. Darah segar kontan berhamburan dari
mulutnya. Sebelum ajalnya, perempuan tua itu masih
menatap Pendekar Slebor dengan membiaskan rasa
dendam, marah, dan penasaran. Begitu tubuhnya kaku.
matanya masih mendelik.
Andika bergidik melihatnya.
"Ihhh! Sudah menjadi mayat pun kau masih jahat
saja, Nenek Peot!" desis Pendekar Slebor bergidik.
Lalu Andika mendekati Sari yang masih mengelus-
elus si Belang.
"Sari, aku harus memeriksa luka-lukamu," ujar Andika.
"Tidak perlu!" sahut Sari, tanpa menoleh.
"Hei! Kau kelihatan Iuka bagian dalam tubuhmu...."
Sari menoleh dan menatap sewot.
"Lalu kau berharap untuk melihat tubuhku, hah?!"
bentak gadis ini.
Andika menutup mulutnya, agar tidak tertawa.
Sungguh hal itu tidak terpikirkan oleh otaknya. Tetapi
bukan Andika kalau tidak bisa meledek.
"Apakah kau rela memperlihatkannya sendiri?"
"Andika!"
Andika hanya terbahak-bahak saja.
"Sudahlah.... Bersemadilah dulu untuk memulihkan
tenagamu. Aku pinjam si Belang untuk mengetahui, di
mana Mureksa disembunyikan. Karena, kita harus ber-
tindak cepat untuk mengetahui apakah Prabu Srigiwarman
dari Kerajaan Labuan bersedia membantu atau tidak," kata
Andika.
Sari membenarkan kata-kata Andika. Lalu
diperintahkannya si Belang untuk mengantarkan Andika ke
tempat Mureksa disembunyikan tadi. Meskipun kelihatan
enggan meninggalkan majikannya, si Belang hanya
menurut.
Andika tertawa.
***
Di halaman Keraton Pakuan, darah semakin
membanjir. Suasana semakin pahit dan menyedihkan.
Para prajurit Kerajaan Labuan kini seluruhnya telah
terkapar menjadi mayat. Perlawanan Wenapati, Karnapati,
Tiro-pati, serta para prajurit lain agaknya hanya sia-sia.
Walaupun lebih banyak, tapi dibanding kesaktian Raja
Akherat. Srigandi dan Srigunda, mereka tak berarti apa-
apa. Dan akhimya mereka harus merelakan nyawa,
walaupun sudah gigih untuk melawan.
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Tak seorangpun yang mampu menghadapiku! Kini
aku menjadi orang nomor satu di Kerajaan Pakuan! Dan
sebentar lagi, rimba persilatan akan kukuasai!"
***
11
Mureksa sudah sadar, setelah Pendekar Slebor
mengalirkan hawa murni ke dalam tubuhnya. Selang
beberapa waktu, dia kemudian menceritakan tentang
perjalanannya ke Kerajaan Labuan. Dan ternyata, Prabu
Srigiwarman bersedia mengirimkan dua kelompok prajurit.
Andika mendesah pendek.
"Aku khawatir, kelompok pertama yang langsung
menyerbu ke Keraton Pakuan sudah hancur lebur
semuanya...," ungkap Pendekar Slebor.
Mureksa menganggukkan kepala.
"Tuan Pendekar.... Lebih baik kita kembali ke gua
sebelah sana. Karena aku khawatir kelompok yang kedua
sudah tiba...," usul Mureksa.
"Kau sudah kuat?" tanya Andika.
"Berkat pertolongan, Tuan Pendekar...."
Bersama si Belang mereka segera kembali ke tempat
semula. Memang persembunyian Mureksa tak begitu jauh.
Sehingga sebentar saja mereka telah sampai.
Yang diperkirakan Mureksa memang benar. Dua
puluh lima prajurit Kerajaan Labuan sudah berada di sana.
Mereka dipimpin tiga orang laki-laki gagah berpangkat
senapati menunggang kuda hitam.
Salah seorang sedang bercakap-cakap dengan Sari.
"Itu dia orangnya!" tunjuk Sari, begitu melihat
kemunculan Andika, Mureksa, dan si Belang.
Yang bercakap-cakap dengan Sari tadi seorang laki-
laki tegap dengan wajah tampan. Pakaian seragam prajurit
berpangkat senapati. Rambutnya digelung ke atas. Di
pinggangnya tersampir sebilah golok besar. Ikat
pinggangnya berwarna putih.
"Tuan Pendekar...," sebut senapati itu.
Agaknya laki-laki tegap ini sudah diceritakan Mureksa,
kalau Pendekar Slebor berada di pihak Prabu Adiwarman.
Dan melihat ciri-cirinya, pastilah pemuda yang baru saja
muncul bersamaan seorang prajurit Kerajaan Pakuan yang
nampak lemah adalah Pendekar Slebor. Hanya saja
sungguh tidak disangka, pemuda yang telah
menggemparkan dunia persilatan dan menjadi momok
orang-orang golongan hitam sedemikian mudanya!
"A-ha!" sergah Andika.
"Tuan Pendekar? Namaku Andika...."
"Tuan Pendekar.... Aku Monoseta. Dan kami adalah
utusan Kerajaan Labuan...," kata senapati itu sambil
menjura.
Andika menggerutu dalam hati Tuan pendekar lagi!
Terus terang, dia sebal dengan sebutan semacam itu.
Tetapi saat ini, Andika merasa tidak perlu
mempersoalkannya. Karena yang dikhawatirkan, adalah
kelompok pertama utusan dari Kerajaan Labuan yang
langsung menyerang ke Kerajaan Pakuan.
Pendekar Slebor pun mengatakan soal itu pada
senapati bernama Monoseta.
Monoseta menganggukkan kepala, lalu berkata pada
dua orang kawannya yang sama-sama mengenakan
pakaiansenapati Lagi-lagi yangmembedakan ketiganya
adalah ikat pinggang yang dikenakannya. Walaupun sama-
sama berpangkat senapati, namun warna ikat pingganglah
yang membedakan. Rupanya Prabu Srigiwarman
mengambil beberapa orang senapati yang di-bagi beberapa
kelompok. Tiap kelompok berisi tiga orang senapati yang
masing-masing dibedakan dengan warna ikat pinggang.
"Ardiseta.... Kau ikut denganku ke Kerajaan Pakuan,"
kata Monoseta pada yang mengenakan ikat pinggang
hijau. "Sementara kau, Tiroseta.... Temuilah Prabu
Adiwarman dan Putri Permata Delima di Jurang Setan....
Bawa sepuluh prajurit bersamamu."
Senapati Tiroseta yang mengenakan ikat pinggang
warna kuning langsung menganggukkan kepala.
"Tetapi, siapa yang mengantar Kakang Tiroseta?"
tanya Sari.
Andika tersenyum-senyum.
"Kalau aku, akan ikut ke Keraton Pakuan. Karena,
aku akan menyusup masuk melalui jalan rahasia yang
dikatakan Prabu Adiwarman. Hanya kita berdua yang ta. hu
jalan menuju Jurang Setan. Nah..., bagaimana kalau kau
saja?"
Andika menyangka kalau Sari akan marah-marah dan
menolak. Tetapi gadis itu malah tersenyum.
"Kau lupa, Andika. Si Belang pun tahu jalan ke sana."
Andika menepuk jidatnya.
"Ah! Kenapa aku lupa, ya? Tetapi rasanya..., lebih baik
kau saja yang pergi mengantar Tiroseta dan sepuluh
prajurit Kerajaan Labuan!"
"Kau memang jahat padaku, Andika!" cibirSari.
"He he he.... Masa' sama gadis cantik aku jahat?
Jadi..."
"Tidak bisa!" potong Sari cepat.
"Biar si Belang yang mengantar mereka! Kakang
Tiroseta..., si Belang tahu ke mana harus mengantarmu."
Lalu Sari merunduk pada binatang peliharaannya.
"Belang..., antarlah Kakang Tiroseta dan sepuluh
prajurit. Jangan membuang-buang waktu. Kau hafal
jalannya, bukan?"
Seperti mengerti, si Belang mengaum.
Sari berdiri tegak kembali.
"Nah, beres s udah! Kita bisa segera berangkat ke
Keraton Pakuan!"
Andika hanya menggaruk-garuk kepala yang tidak
gatal. Memang sulit menghadapi gadis ini. Tetapi mau apa
lagi? Tenaganya mungkin memang dibutuhkan.
Setelah persiapan dilakukan, Andika akan menyusup
masuk melalui jalan rahasia. Sementara Sari bersa-ma
rombongan dari Kerajaan Labuan akan masuk melalui
jalan depan. Dan mereka pun segera berangkat.
Sementara si Belang mengantarkan Tiroseta dan
sepuluh prajurit menuju Jurang Setan.
***
Seperti yang sudah direncanakan, Pendekar Slebor
dan rombongannya tiba di Keraton Pakuan ketika senja
semakin turun. Andika segera menemukan dua buah
pohon trembesi sebagai tanda jalan rahasia untukmasuk
ke keraton. Dia kini berdiri di antara kedua pohon itu.
Diraba-rabanya permukaan tanah yang ada di sana. Dan
memang, Andika menemukan sebuah tangkai besi.
Seketika dihentakkan tangkai itu dengan tenaga sakti
warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Trakkk!
Terdengar suara berderak. Sementara beberapa
pohon merambat yang tumbuh di sana tercabut begitu
saja. Terbukalah sebuah lubang kecil. Namun untuk masuk
ke sana, harus berjalan merangkak.
"Kalian segera masuk sekarang juga. Berhati-hatilah,
karena aku yakin..., rombongan pertama pasti sudah
dihabisi Raja Akherat," ujar Pendekar Slebor, sebelum
masuk.
Mendengar kata-kata itu, wajah Monoseta dan
Ardiseta berubah menjadi geram. Kalau memang yang
diduga Pendekar Slebor benar, mereka akan menuntut
balas!
Sementara Sari hanya diam saja. Entah mengapa,
sebenarnya ia ingin ikut bersama Andika. Tetapi sudah
tentu ia malu untuk mengatakannya.
Kepala Andika pun kini menghilang di balik tanah
yang gelap. Pendekar Slebor terus menerobos masuk
lorong yang sempit dan hanya bisa dilalui dengan
merangkak. Bau tanah lembab menerpa hidungnya. Andika
memang sengaja memilih jalan ini Karena, yang
dikuatirkan hanya satu. Yakni, bila Raja Akherat mem-
pergunakan ilmu 'Melayang Dua'nya. Bila memang tokoh
itu mempergunakan ilmunya, maka Andika bermaksud
hendak membokong dari belakang.
"Gila! Bila aku penghuni alam sunyi ini..., kalau keluar
dari sini, bisa-bisa tubuhku menjadi bongkok!" gerutu
Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor membuka matanya lebar-lebar.
Langkahnya terus menerobos jalan rahasia, yang ternyata
panjang dan semakin panjang.
***
Monoseta segera memimpin rombongannya untuk
masuk ke Keraton Pakuan.
Sebenarnya mereka heran, karena pintu keraton tidak
dikunci dan dapat dibuka dengan mudah. Pemandangan
pertama yang menerpa mata adalah mayat-mayat dari
prajurit Kerajaan Labuan yang bergeletakan. Juga, tiga
orang laki-laki berpakaian putih yang telah menjadi mayat.
"Raja Akherat! Keluarlah. Kau harus bertanggung
jawab atas semua perbuatanmu!" teriak Monoseta
menggeram.
Tak ada suara. Angin senja berhembus dingin. Hawa
kematian merebak.
Monoseta mengangkat tangan, lalu mengibaskannya
ke depan.
Wesss...!
Serangkum pukulan jarak jauh yang dilepaskan
senapati ini menghantam pintu masuk ke Keraton Pakuan.
Duarrr!
Pintu itu hancur berantakan.
"Raja Akherat! Keluar kau!" teriak Monoseta
Belum juga hilang gema suara itu, mendadak
Desss... desss... desss...! "Aaa... aaa... aaa...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang meng-
isyaratkan kematian. Begitu Monoseta menoleh, hatinya
mencelat.
Tampak prajurit Kerajaan Labuan yang tengah sedih
melihat saudara-saudara mereka telah menjadi mayat,
beterbangan. Begitu jatuh ke bumi, mereka sudah menjadi
mayat.
Seketika Monoseta menjadi pias. Rupanya, lawan
sudah membokong dari satu tempat yang tersembunyi.
"Bangsat! Jangan hanya bisa membokong seperti
banci, hah?!" bentak Monoseta geram.
Baru saja kata-kata Monoseta lenyap, berkelebat satu
sosok bayangan. Dan tahu-tahu satu sosok tinggi besar
mendarat di hadapan mereka.
Sari yang mengenali sosok itu menggeram marah.
"Rupanya kau muncul juga, Raja Penyakitanl" bentak
Sad
"Ha ha ha...!"
Raja Akherat terbahak-bahak. Lalu dari arah pintu
masuk utama keraton muncul dua sosok tubuh berkepala
licin. Mereka tak lain Dua Kembar Kepalan Batu dengan
langkah lebar dan wajah sangar.
"Ha... ha... ha...! Rupanya orang-orang yang mau
mampus berani menantangku, hah?! Dan kau, Manis
Rupanya kau datang untuk menyodorkan diri menjadi
pendampingku?" leceh Raja Akherat.
"Phuih...!"
Sari membuang ludahnya muak.
"Jangan terlalu gembira! Hari ini kau akan mampus
berkalang tanah!" tandas Sari.
"Ha... ha... ha...! Bagus sekali. Bagus! Aku suka
mendengar kata-katamu yang lembut menerpa telingaku!"
"Hiaaat...!"
Mendadak saja Sari menerjang dengan kelebatan
pedangnya tanpa mengenal takut: Melihat gadis itu
menerjang, Monoseta dan Ardiseta pun berbuat sama, dan
segera disambut Dua Kembar Kepalan Batu.
Sementara, sisa prajurit Kerajaan Labuan segera
bergerak membantu Sari.
Pertarungan sengit pun terjadi. Para prajurit Kerajaan
Labuan lagi-lagi harus beterbangan tanpa nyawa, begitu
Raja Akherat menggerakkan tangannya dengan dahsyat.
Sari merasa kalau mereka akan mcngorbankan
nyawa dengan percuma saja
"Lebih baik kalian minggir! Dia adalah raja kejam yang
gemar membunuh!" teriak gadis itu.
"Ha... ha... ha...! Dan kau akan kubunuh, Manis!"
Raja Akherat bergerak dengan kedua tangan ke
depan, seolah ingin menangkap Sari. Ia memang ingin
mempermainkan gadis itu. Baik di pertarungan ini maupun
di ranjang. Birahinya sudah bergejolak tidak sabar untuk
menggumuli.
Sementara Monoseta yang menghadapi Srigandi
harus terheran-heran melihat lawan yang terus saja
menyerang. Padahal, pukulan saktinya tepat mengenai
dada.
"Gila! Rupanya dua gundul ini memiliki ajian 'Mati
Rasa'!" dengus Monoseta yang mengenali ajian itu.
Begitu mengenali ajian itu, Monoseta jadi teringat
mendiang gurunya bernama Eyang Kilir yang bermukim di
Gunung Kalidera. Selama belajar ilmu kesaktian pada
beliau. Monoseta telah mendapatkan pelajaran silat dan
ilmu pengetahuan yang banyak sekali. Salah satunya
pengetahuan lentang sebuah ilmu dahsyat yang dimiliki
musuh bebuyutan Eyang Kitir, Langdoro. Ajian itu bernama
'Mati Rasa'. Antara Eyang Kitir dengan Langdoro pernah
bertarung pada tiga puluh tahun yang lalu dengan hasil
berimbang. Maka melihat ajian itu, Monoseta menduga
kalau dua orang gundul ini murid dari Ki Langdoro.
"Hm.... Aku harus menandinginya dengan ajian
'Pemunah Rasa'!" gumam Monoseta.
Kini yang ada di hati Monoseta adalah mcneruskan
perjuangan gurunya, untuk membunuh tokoh hitam sakti
yang kini diambil alih oleh dua orang muridnya.
"Hhh! Ajian 'Mati Rasa' harus hancur dengan ajian
'Pemunah Rasa'! Terkutuklah kalian dua gundul murid Ki
Langdoro manusia sesat itu! Hiaaat..!"
Monoseta mendadak saja bersalto ke belakang.
Begitu mendarat, kedua tangannya disilangkan di depan
dada dengan mulut komat-kamit. Rupanya dia tengah
merapal ajian 'Pemunah Rasa', yang diajarkan Eyang Kitir
untuk menghadapi ajian 'Mati Rasa' dari Ki Langdoro. Dan
sebentar saja, Monoseta telah meluruk kembali,
menyerang Monoseta.
Srigandi tidak tahu kalau lawan telah merapal ajian
penangkal dari ajian 'Mati Rasa'. Maka terus saja di-
songsongnya dengan pukulan keras. Sementara ajian 'Mati
Rasa'telah dirangkum disekujur tubuhnya. Dan....
Plak!
Des!
"Aaakh...!"
Ajian 'Pemunah Rasa' milik Monoseta tepat mengenai
dada Srigandi, yang kontan berteriak merasakan sakit
sangat luar biasa. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang
dengan deras, lalu ambruk disertai muntahan da-rah.
"Srigandi!" seru Srigunda terkejut, sambil menyerang
Ardiseta.
"Kakang..., hati-hati...! Manusia itu..., memiliki ajian
penangkal ajian 'Mati Rasa'.... Ia... ia tentu murid Eyang
Kitir... yang sering... diceritakan... guru... aaakhhh!"
Salah seorang dari Dua Kembar Kepalan Batu itu pun
tewas.
"Hiaaa...!"
Melihat adiknya tewas, Srigunda melompat ke arah
Monoseta dengan maksud membalas kematian adiknya.
Monoseta yang sudah mempersiapkan ajian
'Pemunah Rasa' segera menyambut.
"Ardiseta! Bantu Sari menghadapi Raja Akherat!"
teriak Monoseta, pada Ardiseta.
Ardiseta pun segera menerjang ke arah Raja Akherat
yang sedang mempermainkan Sari dengan serangan-
serangan ganas. Golok besar di tangan Ardiseta berkelebat
mengancam Raja Akherat yang harus berkelit menghindar.
"Bagus, bagus...! Aku pun ingin kau segera menyusul
teman-temanmu ke neraka!" sambut Raja Akherat.
Sementara itu, Monoseta terus mencecar Srigunda.
Dan kali ini Srigunda membenarkan kata-kata Srigandi,
kalau lawan memiliki ajian pemunah dari ajian 'Mati Rasa'.
Des! Des!
"Aaakh...!"
Berkali-kali tubuh Srigunda terkena pukulan
Monoseta. Namun tubuhnya yang kebal bukan lagi
disebabkan tidak merasakan kerasnya pukulan Monoseta,
tapi karena kemarahannya untuk membalas dendam atas
kematian Srigandi.
"Hiaaa...!"
Srigunda berbuat nekat. Tubuhnya meluruk
menyerang. Padahal, tindakannya hanya akan
mengirimnya ke neraka saja.
Dengan mengegos ke kiri dan kanan, Monoseta
menghantam dada Srigunda dengan keras.
Desss!
"Aaa...!"
Srigunda terjengkang disertai raung kesakitan.
Tubuhnya ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Kalau
Srigandi mati dengan muntah darah, Srigunda tewas
dengan dada jebol!
Monoseta menggeram puas. Lalu tubuhnya bergerak
membantu Ardiseta dan Sari yang sedang menerima
serangan Raja Akherat. Namun belum lagi bergerak....
"Heh?!"
Mendadak saja muncul satu sosok tubuh Raja
Akherat yang lain dari dalam keraton.
"Ha... ha... ha...! Biarkan mereka bermain-main de-
ngannya! Kini, kau menghadapi aku!" kata Raja Akherat
yang baru datang, memandang tajam pada Monoseta.
Bukan hanya Monoseta saja yang terkejut melihat
sosok Raja Akherat yang tahu-tahu telah menjadi dua
seperti itu. Juga Ardiseta dan Sari yang kaget bukan alang
kepalang.
Rupanya, Raja Akherat sudah kembali
mempergunakan ilmu 'Melayang Dua' yang pernah
membuat Pendekar Slebor kewalahan.
Wesss...!
"Edan! Ilmu siluman!" desis Monoseta. Senapati ini
harus jungkir balik ketika Raja Akherat yang muncul di
ambang pintu itu mengibaskan tangan ke arahnya.
"Bangsat!" dengus Monoseta. "Hiaaa...!" Dengan ajian
'Pemunah Rasa', Monoseta menerjang cepat Tetapi Raja
Akherat tiba-tiba mengibaskan tangannya lagi. Sehingga....
Desss..:! "Aaakh...!"
Senapati itu kontan terpental disertai teriakan
kesakitan.
Sedangkan Ardiseta dan Sari yang menghadapi Raja
Akherat yang satunya lagi, kali ini harus menerima
serangan-serangan sangat dahsyat dan mematikan.
Bahkan tubuh Ardiseta sudah berkali-kali harus
terpental ke belakang. Namun kegigihannya sebagai
senapati pilihan membuatnya kembali bangun.
Akan tetapi, kegigihannya itu tidak membawa hasil
yang memuaskan. Baru saja Ardiseta bangkit, Raja Akherat
telah meluruk sambil melepaskan tepakan pada dada.
Plak!
"Aaa...!"
Tubuh Ardiseta kontan terlontar deras ke belakang.
Ketika ambruk ke bumi, di dadanya tercetak lima jari
tangan Raja Akherat. Nyawanya pun melayang.
"Ha ha ha...! Tak ada gunanya kalian menyerangku!"
kata Raja Akherat pongah. "Nona Manis.... Lebih baik ikut
denganku, menemaniku di ranjang dan melayaniku.
Daripada harus mampus mengenaskan!"
"Justru aku hendak mengadu nyawa denganmu!"
balas Sari, gagah.
Raja Akherat kembali terbahak-bahak.
Tokoh sesat ini tidak ingin melukai gadis itu, dan
tetap berkeinginan untuk menguasainya, Tak sabar
membayangkan hal itu, mendadak saja Raja Akherat
nenerjang ke depan dengan cepat. Tangannya bergerak
cepat, menepak pedang di tangan Sari.
Plak!
"Ihhh...!"
Pedang gadis ini terpental. Dan sebelum Sari berbuat
apa-apa, Raja Akherat telah berkelebat cepat sambil
melepaskan totokan.
Tuk!
"Ohhh...!"
"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan, aku akan
mendapatkanmu, Manis...," leceh Raja Akherat, melihat
tubuh Sari melorot ambruk di tanah.
Sementara ilu Monoseta yang masih menghadapi
Raja Akherat satu lagi harus pula menghadapi Raja
Akherat yang tadi menjadi lawan Sari. Rupanya,
kedua Raja Akherat memiliki ilmu yang sama-sama tinggi.
Bahkan wajah, benluk tubuh, dan kekejamannya pun
sama.
Monoseta sendiri merasa kalau tidak akan mampu
menghadapi kedua Raja Akherat. Hanya yang membuatnya
tidak mengerti, mengapa sampai saat ini Pendekar Slebor
belum muncul juga? Seharusnya, Andika sudah tiba di
belakang keraton ini, dan bersiap membokong Raja
Akherat. Mungkin karena Pendekar Slebor tahu kalau Raja
Akherat mampu membuat tubuhnya menjadi dua seperti
ini, maka harus masuk melalui jalan rahasia.
Tetapi mengapa Pendekar Slebor begitu lama sekali?
Dan belum muncul juga?
Pada saat seperti ini, sebenarnya tenaga Monoseta
sudah merosot jauh. Bahkan tidak akan mampu bertahan
lebih lama lagi. Sementara, kesempatan untuk membalas
sudah tidak ada.
Apa yang diduga memang benar. Monoseta kini harus
melompat menghindari pukulan yuang mengandung
tenaga sakti yang kuat dari Raja Akherat. Namun pada saat
yang sama. Raja Akherat yang satu lagi melepas tendangan
dahsyat. Dan....
Prakkk...!
"Aaakh...!"
Seketika kepala Monoseta pecah terhantam
tendangan Raja Akherat. Lalu tubuhnya ambruk ke bumi,
jatuh berdebam.
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Tak seorang pun yang mampu untuk menghadapiku'
Kini, rencanaku untuk menguasai dunia persilatan akan
segera terwujud! Ha... ha... ha...! Rupanya Pendekar Slebor
takut mengadu nyawa denganku!"
Raja Akherat melangkah, mendekati Raja Akherat
yang satu lagi. Dan perlahan-lahan, tubuh mereka bersatu.
Sebentar saja Raja Akherat memandang ke sekeliling, lalu
melangkah mendekati tubuh Sari yang dalam keadaan
tertotok lemah. Dengan lembut dibopongnya gadis itu.
Perlahan-lahan Raja Akherat melangkah, masuk
kembali ke dalam keraton.
***
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Andika? Adakah
sesuatu penghalang di jalan rahasia itu? Dan, bagaimana
dengan nasib Sari yang sudah di ambang kehancuran?
Tunggu serial Pendekar Slebor selanjutnya:
NERAKA DI KERATON BARAT
0 comments:
Posting Komentar