..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE WARISAN BERDARAH

Warisan Berdarah

 

WARISAN BERDARAH

Oleh Fahri Asiza

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Gambar oleh: Jesco Setting

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang 

mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se-

luruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Warisan Berdarah


SATU


Semalaman hujan turun dengan lebat. 

Membasahi segenap bumi. Hingga membuat be-

cek yang cukup menyiksa di jalan setapak itu. 

Namun pagi ini hanya tinggal biasnya saja yang 

bercampur dengan embun pagi. Mengeluarkan 

bau tanah yang enak untuk dicium.

Tetapi bagi tiga orang kakek yang melang-

kah dengan masing-masing membawa sebuah pe-

ti di pundaknya, tanah becek yang tebal itu bu-

kanlah suatu halangan bagi ketiganya untuk me-

langkah. Malah mereka seakan tak pernah me-

nyadari kalau tanah yang becek itu bisa menjadi 

penghalang bagi siapa pun yang melangkah.

Salah seorang kakek itu berkata, "Masih 

jauhkah Perguruan Topeng Hitam berada?"

Yang seorang menyahut, dia bertelanjang 

dada. Dan wajahnya mirip orang Cina. Meskipun 

tubuhnya kelihatan kerempeng namun berisi, dia 

kuat bertelanjang dada menahan hembusan an-

gin yang cukup dingin.

"Kata orang yang kita tanya semalam, kita 

harus mengarah ke timur dari Gunung Slamet."

Yang satu lagi menggerutu. Dia mengena-

kan pakaian mirip orang-orang keraton.

"Gara-gara hujan sialan ini yang mengha-

ruskan kita berteduh. Bila tidak hujan dan kita 

tidak berteduh, mungkin pagi ini kita tiba di Per-

guruan Topeng Hitam...."

"Ya, ya...." kata yang pertama berkata tadi.


"Aku sudah tidak sabar ingin melihat Den Putri 

Ratih Ningrum dan suaminya Madewa Gumi-

lang....!"

"Benar, Mukti...." kata yang bertelanjang 

dada. "Kabarnya, mereka pun telah mempunyai 

seorang anak yang telah menikah. Ah, betapa ba-

hagianya mereka..."

"Patidina...." kata yang dipanggil Mukti.

"Apakah kau yakin kalau memang Madewa 

Gumilang yang memimpin Perguruan Topeng Hi-

tam? Setahuku dulu, Perguruan Topeng Hitam 

dipimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara?"

Yang dipanggil Patidina itu adalah kakek 

yang mengenakan pakaian mirip orang-orang ke-

raton. Dia menatap Mukti yang mengenakan pa-

kaian hitam-hitam.

"Aku pun tidak yakin. Malah ketika kuber-

tanya apakah ada yang mengenal dan tahu di 

mana Madewa Gumilang berada, mereka malah 

bertanya, apakah Madewa Gumilang yang berge-

lar Pendekar Bayangan Sukma? Semula aku bin-

gung. Lalu kukatakan saja iya."

"Benar katamu, Patidina," kata kakek yang 

bertelanjang dada, yang bernama Tek Jien. "Ma-

lah ada pula yang bilang, nama Madewa Gumi-

lang pun kadang dijuluki manusia setengah dewa. 

Ada juga yang bilang Pendekar Budiman. Dan se-

perti katamu tadi, dia pun bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma. Ah, andaikata pemuda yang 

pernah mengalahkan kita beberapa puluh tahun 

yang lalu itu memang benar dia adanya, aku 

bangga sekali mendengarnya. Hahaha.... aku ma


sih ingat bagaimana dulu di rumah majikan kita 

Biparsena ayahanda dari Den Putri Ratih Nin-

grum kita dipecundangi dengan mudah olehnya.... 

hahaha.... lucu, lucu sekali bila kita mengingat-

nya..."

"Masih untung kita tidak dibunuhnya oleh 

Pukulan Bayangan Sukmanya yang hebat itu," 

kata Mukti.

"Tetapi aku yakin, dia tak akan melakukan 

kekejaman itu," kata Patidina. "Semula ketika ma-

jikan kita Biparsena mengangkatnya sebagai pen-

jaga kuda, aku sudah yakin sekali kalau pemuda 

itu adalah pemuda baik-baik...."

"Dan yang tak pernah kita sangka, dia ada-

lah murid tunggal dari Eyang Ki Rengsersari atau 

Pendekar Ular Sakti yang mewariskan Pukulan 

Bayangan Sukma padanya. Juga ajian Pandangan 

Menembus Sukma...." kata Tek Jien.

"Hai, apa kau lupa.... kalau dia pun mewa-

risi seruling sakti milik gurunya," kata Patidina.

"Benar, Seruling Naga! Seruling yang maha 

sakti!" kata Mukti.

Sebenarnya siapakah ketiga orang kakek 

yang masing-masing membawa peti dan sedang 

menuju ke Perguruan Topeng Hitam? Mereka se-

pertinya begitu banyak mengenal Madewa Gumi-

lang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya 

Ratih Ningrum.

Ketiga kakek itu tak lain adalah bekas para 

pengawal setia ayah dari Ratih Ningrum, Biparse-

na. Dulu, ketiganya pun pernah mencoba ilmu 

dari Madewa Gumilang sebelum Madewa diangkat


menjadi penjaga kuda dan penjaga Ratih Nin-

grum.

Mereka adalah Mukti, si Pedang Kembar. 

Patidina, si Keris Tunggal dan Tek Jien, si Puku-

lan Tangan Seribu. Merekalah tiga orang guru da-

ri Ratih Ningrum. Mukti dan Patidina telah mem-

berikan senjata-senjata milik mereka pada murid 

mereka, Ratih Ningrum dan ketiganya telah me-

warisi ilmu-ilmu yang hebat kepada Ratih Nin-

grum, saat Ratih Ningrum hendak mencari Ma-

dewa Gumilang.

Setelah ayahnya meninggal di tangan Ma-

dewa Gumilang, Ratih Ningrum yang mencintai 

Madewa Gumilang pun bermaksud mengikutinya. 

Karena dia yakin dan pasti kalau hidupnya akan 

bahagia bersama pemuda yang dicintainya. Ratih 

Ningrum pun tahu kalau ayahnya sebenarnya 

adalah orang golongan hitam. Yang menyebarkan 

kabar palsu tentang adanya Pedang Pusaka Dewa 

Matahari yang dimiliki Ki Rengsersari alias Pen-

dekar Ular Sakti yang menjadi guru dari Madewa 

Gumilang.

Sehingga banyaklah para pendekar baik 

dari golongan hitam maupun golongan putih da-

tang dengan maksud untuk merebut Pedang Pu-

saka Dewa Matahari. Tetapi kenyataannya, ha-

nyalah sebuah kabar bohong belaka.

Sebelum Ratih Ningrum meninggalkan ru-

mahnya bersama Madewa Gumilang, dia menye-

rahkan seluruh harta warisnya kepada ketiga 

pengawal ayahnya yang setia atau pun yang men-

jadi gurunya. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Mata


hari dan Dendam Orang-orang Gagah).

Ketiga gurunya itupun tak bisa menahan-

nya untuk mengikuti Madewa Gumilang. Dan me-

reka dengan setia menjaga seluruh harta ke-

kayaan milik dari Ratih Ningrum, atau warisan 

dari ayahnya Biparsena.

Mereka pun dengan setia menjaga seluruh 

kekayaan itu. Hari berganti hari. Minggu berganti 

Minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun bergan-

ti tahun. Tak terasa berpuluh tahun telah lewat.

Dalam hati ketiganya selalu mengharapkan 

kalau-kalau Ratih Ningrum dan suaminya datang 

menjenguk. Karena mereka merasa sudah tua 

dan tak mungkin lagi dapat menjaga seluruh ke-

kayaan yang dimiliki oleh Ratih Ningrum.

Pada suatu malam, ketiganya pun berem-

buk untuk segera mencari Ratih Ningrum dan 

Madewa Gumilang berada.

"Benar kata-katamu, Mukti," kata Patidina. 

"Kita sudah tua. Umur kita semakin lanjut. Dan 

aku pun kuatir, seluruh warisan ini tak akan bisa 

kita jaga lagi."

"Memang, dan aku berpikir... lebih baik ki-

ta serahkan kembali semua kekayaan harta waris 

ini pada yang mempunyai. Pada murid kita, Ratih 

Ningrum...." kata Mukti.

Tek Jien berkata, "Tetapi... setelah berpu-

luh tahun kita menunggu kedatangan murid kita 

dan suaminya, agaknya penantian kita sia-sia be-

laka. Bukankah menurutku akan lebih baik bila 

kita segera meninggalkan desa ini, desa Bojon-

gronggo untuk mencari dan menyerahkan seluruh


harta waris ini kepada Ratih Ningrum?"

"Aha!" Mukti berseru. "Benar kata-katamu, 

Tek Jien. Yah, lebih baik kita mencari di mana ge-

rangan Ratih Ningrum dan suaminya berada. La-

gipula, bukankah kita selama ini tidak lagi per-

nah melihat keadaan dunia luar?"

"Aku pun setuju dengan usulmu, Tek Jien. 

Yah... kita bisa pergi besok pagi untuk mencari di 

mana gerangan murid kita dan suaminya berada," 

kata Patidina.

"Lalu bagaimana dengan seluruh kekayaan 

ini?" tanya Mukti. "Kita tidak bisa meninggalkan-

nya begitu saja tanpa ada yang menjaga. Nah, 

siapa yang ingin menjaga dan tinggal di sini se-

mentara yang lain mencari ke dunia luar di mana 

Ratih Ningrum dan suaminya berada?"

Mukti menatap kedua sahabatnya yang te-

lah sama-sama menjadi kakek-kakek seperti di-

rinya pula. Namun kedua sahabatnya tidak ada 

yang menyediakan diri untuk menetap di sini dan 

menjaga seluruh kekayaan.

Mukti tertawa.

"Hahaha... aku pun tak mau menetap di 

sini," katanya masih tetap menatap kedua saha-

batnya.

"Lalu siapa yang akan menjaga?" tanya Tek 

Jien dan Patidina bersamaan.

Ketiganya terdiam. Siapa yang menjaga ke-

kayaan itu? Sementara mereka semuanya mau 

pergi mencari Ratih Ningrum.

Tiba-tiba Mukti menepuk keningnya.

Kedua sahabatnya memperhatikan.


"Bodohnya aku!"

"Kenapa?" tanya Patidina.

"Kau punya usul?" tanya Tek Jien.

"Ya, ya... bagaimana bila kita bawa saja ke-

kayaan ini?" tanya Mukti sambil menatap kembali 

kedua sahabatnya.

"Ah, apakah kita bisa membawa rumah 

yang besar ini berikut perlengkapannya yang ser-

ba mewah?" tanya Patidina.

"Bukan, bukan itu maksudku!" kata Mukti.

"Lalu apa?" tanya Tek Jien.

"Kita hanya membawa emas, berlian dan 

permata yang berlimpah. Yang lainnya kita biar-

kan saja di sini. Kita titipkan pada kepala desa. 

Nah, bagaimana?"

Kali ini kedua kepala sahabatnya men-

gangguk setuju.

Lalu malam itu juga, mereka segera mem-

persiapkan diri.

Setelah emas, permata dan berlian itu di-

kumpulkan, ternyata mencapai tiga peti banyak-

nya.

"Bukan main!" desah Mukti. "Aku tak per-

nah menyadari selama ini kalau begitu banyak-

nya perhiasan yang ada di rumah ini."

"Benar," kata Patidina. "Ini tak akan habis 

dipakai oleh lima belas turunan."

"Sudahlah," kata Tek Jien yang selalu ber-

telanjang dada dari masa mudanya. "Kita tak per-

lu memikirkan jumlah kekayaan ini. Yang pasti 

kita harus bersiap dan berangkat besok pagi."

Keesokan paginya setelah matahari se


penggalah, ketiganya pun keluar dari rumah itu 

dengan membawa masing-masing sebuah peti 

yang berisi emas yang jumlahnya amat banyak. 

Dan sebelumnya ketiganya telah mendatangi ru-

mah kepala desa Bojongronggo untuk menitipkan 

rumah dan perlengkapannya yang masih ada.

Setelah itu, ketiganya pun memulai perja-

lanan mereka untuk mencari Ratih Ningrum dan 

suaminya, untuk menyerahkan warisan yang te-

lah berpuluh tahun mereka jaga.

Karena mereka menyadari usia yang mulai 

uzur dan mereka kuatir akan meninggal sebelum 

menyerahkan seluruh warisan ini pada yang ber-

hak.

Di samping itu, mereka pun tak mau me-

ninggal sebelum berjumpa dengan murid mereka 

yang bernama Ratih Ningrum. Yang dulunya seo-

rang gadis jelita yang sopan, baik dan tulus. Itu-

lah sebabnya ketiganya bersedia pula menurun-

kan ilmu-ilmu mereka padanya.



Dua



Dalam setiap saat rasanya mereka selalu 

bertanya tentang Madewa Gumilang. Dan jawa-

ban-jawaban yang didapat, sebenarnya membuat 

mereka bingung.

"Oh! Madewa Gumilang? Laki-laki yang di-

juluki Pendekar Budiman?"

"Pendekar Bayangan Sukma! Ya, ya... aku 

tahu... dia kini memimpin satu perguruan yang


terletak di sebelah timur Gunung Slamet!"

"Manusia setengah dewa? Ya... istrinya 

bernama Ratih Ningrum?"

"Madewa Gumilang... oh, katakan di mana 

saya bisa menemuinya. Dia adalah seorang laki-

laki berjubah putih yang arif dan bijaksana."

Jawaban-jawaban itu memang membin-

gungkan ketiga kakek itu. Dari rasa bingung be-

rubah menjadi rasa penasaran. Mereka pun sepa-

kat untuk segera menuju Perguruan Topeng Hi-

tam yang terletak di sebelah timur Gunung Sla-

met.

Apakah Madewa Gumilang telah menjadi 

tokoh yang teramat sakti dan disegani? Dan ba-

gaimana dengan Ratih Ningrum? Oh, kalau tidak 

salah dari jawaban-jawaban yang diberikan orang 

yang mereka tanyai, Ratih Ningrum masih men-

dampingi laki-laki yang kabarnya gagah perkasa.

Ketiganya menjadi tidak sabar untuk 

membuktikan semua itu.

"Patidina dan Tek Jien," panggil Mukti. 

"Aku sebenarnya menjadi heran namun penasa-

ran tentang siapa adanya pemuda itu. Benarkah 

dia telah menjadi tokoh yang amat sakti dan sela-

lu membela kebenaran?"

Ketiganya masih terus melangkah dengan 

ringan tanpa merasa ada sedikit halangan pun 

pada tanah becek yang mereka pijak. Malah seo-

lah-olah ketiganya tidak menginjak tanah. Ini 

menandakan tenaga dalam dan ilmu meringan-

kan tubuh yang mereka miliki telah amat sem-

purna.


"Sebenarnya aku pun demikian adanya," 

kata Patidina. "Namun bila pemuda yang dulu 

mengalahkan kita telah menjadi seorang tokoh 

budiman pembela kebenaran, aku amat bangga 

padanya."

"Begitu pula aku," kata Tek Jien. "Dan aku 

tak pernah menyesali kepergian murid kita ber-

samanya. Karena aku yakin, tentunya murid kita 

telah dibimbingnya dan diberinya hidup yang 

membahagiakan."

"Ya. ya... ternyata perasaan kalian sama 

dengan perasaan yang ada padaku sekarang," ka-

ta Mukti. "Ini membuatku pun merasa senang 

mengingat pemuda itu telah menjadi tokoh perka-

sa yang sakti dan pembela kebenaran."

Kini ketiganya berada di tempat yang agak 

lapang. Dan tidak begitu becek karena rumput 

yang tumbuh di sana begitu lebat.

Belum ada lagi yang menyahuti kata-kata 

Mukti, tiba-tiba dari balik rumput yang tebal itu 

berlompatan sepuluh orang berpakaian merah-

merah dengan memegang tombak. Mereka lang-

sung mengurung ketiganya.

Tatapan mereka tidak bersahabat. Garang.

Dan tombak yang ada di tangan mereka, 

agaknya telah siap terhunus.

Ketiga kakek itu berpandangan.

"Rupanya ada orang-orang yang tengah 

iseng pada kita," kata Mukti.

"Ya, dan mereka tak begitu suka pada ki-

ta," sambung Patidina.

"Benar," kata Tek Jien. "Mereka memang


tidak bersahabat. Tetapi apa yang telah menye-

babkan semua itu, aku tidak tahu."

"Benar, begitu pula dengan aku." kata 

Mukti.

"Apakah kita akan meneruskan perjalanan 

lagi?" kata Patidina.

"Hei, mengapa kita tidak lihat dulu apa se-

benarnya yang mereka maui," kata Tek Jien.

Mendengar kata-kata ketiga kakek itu yang 

seolah tak merasa ada orang-orang itu di sana, 

yang mengurungnya, telah membuat memerah 

wajah salah seorang yang mengurung mereka.

Orang itu berperawakan tegap. Wajahnya 

kukuh dengan sepasang mata yang nyalang ga-

rang. Seluruh wajahnya ditumbuhi rambut yang 

lebat.

Orang itu menggeram.

Dan membentak dengan suara yang san-

gar, "Kakek-kakek peot... bila kalian ingin tahu 

apa maksud kami sebenarnya dan siapa kami 

bertanyalah!"

Ketiga kakek itu berpandangan kembali. 

Lalu seolah tak menyadari bahaya yang mengan-

cam mereka kembali bercakap-cakap tanpa mera-

sa orang-orang yang mengurung mereka siap 

menghujamkan tombak-tombak mereka.

"Dia menyuruh kita bertanya mereka mau 

apa," kata Mukti.

"Ya, dia juga menyuruh kita untuk ber-

tanya siapa mereka," kata Patidina.

"Apakah kita akan bertanya?" tanya Tek 

Jien.


"Untuk apa?" Mukti balik bertanya.

"Benar, toh mereka tidak bersahabat den-

gan kita," sambung Patidina.

"Kalau begitu, kita terus saja?" kata Tek 

Jien.

"Ya, untuk apa berlama-lama di sini," kata 

Mukti seraya hendak melangkah.

"Toh kita tidak mengenal mereka dan tidak 

punya urusan dengan mereka," kata Patidina 

yang juga hendak melangkah.

"Ayolah kalau begitu," lanjut Tek Jien dan 

berbuat yang sama pula.

Mendengar kata-kata yang mereka 

ucapkan itu, membuat laki-laki yang membentak 

tadi semakin memerah wajahnya.

Dia geram dan merasa dipermainkan.

"Kakek-kakek anjing! Jangan jual lagak di 

depanku?!"

Ketiga kakek itu tidak jadi untuk melang-

kah. Kembali mereka berpandangan.

"Dia marah!" kata Mukti.

"Ya, dia membentak kita," kata Patidina.

"Bukan hanya membentak, tetapi dia juga 

memaki kita seperti anjing," kata Tek Jien.

"Apakah kita harus marah?" tanya Mukti.

"Dia sudah membentak kita dan memaki 

kita seperti anjing," kata Patidina.

"Kalau begitu, kita beri pelajaran pada me-

reka!" sambung Tek Jien.

Dan kepala ketiga kakek itu pun berpaling 

pada laki-laki yang membentak itu.

Mukti berkata, "Hhh! kau telah lancang


berkata, Ki Sanak! Kau seenaknya saja memaki 

kami seperti anjing! Apakah kau mempunyai 

nyawa dua, hah?!"

Merah padam wajah laki-laki itu. Kegera-

mannya sudah sampai ke ubun-ubun dan siapa 

untuk meledak.

"Kakek peot! Banyak omong pula kau, 

hah?! Apakah kau tidak tahu berhadapan dengan 

siapa?!" membentak marah laki-laki itu.

Kali ini Mukti berpaling pada kedua saha-

batnya. Kakek itu terkekeh.

"Hehehe... untuk apa kita bertanya siapa 

mereka. Dia sendiri saja tidak tahu siapa dirinya."

"Benar," Patidina pun terkekeh. "Dia ber-

tanya pada kita siapa dirinya."

"Hei, apakah dia sebenarnya cuma seorang 

badut yang tengah melucu di depan kita?" kata 

Tek Jien dan terkekeh panjang.

Orang itu bukan main geramnya. Marah-

nya bukan alang kepalang lagi. Begitu memun-

cak.

Lalu dia membentak lagi dengan suara 

orang seperti mau muntah.

"Anjing-anjing buduk! Kalian rupanya be-

lum tahu siapa kami, hah?! Kami adalah gerom-

bolan perampok Tombak Seribu. Namaku sendiri 

Barong Projo, pemimpin dari gerombolan ini! Ba-

rang siapa yang berani lancang dan menentang 

kemauan kami, maka dia harus mampus di tan-

gan kami!"

"Lho, kami telah berbuat lancang apa?" ka-

ta Mukti. Lalu berpaling pada kedua sahabatnya.


"Agaknya pagi ini kita bertemu dengan orang sakit 

jiwa."

"Benar, dia bilang kita anjing buduk! Eh, 

bukannya mereka yang seperti anjing-anjing bu-

duk?" kata Patidina dan kakek itu terkekeh.

"Betul, betul... mereka bukan hanya anj-

ing-anjing buduk! Tapi anjing-anjing kudisan... 

hehehe...!" terkekeh Tek Jien yang merasa lucu 

dengan ucapannya sendiri.

Dan murkalah Barong Projo. "Kakek-kakek 

peot, cepat kalian serahkan peti-peti yang kalian 

bawa itu! Atau... kalian ingin mampus hari ini ju-

ga!"

Mukti berkata lagi pada kedua sahabatnya, 

"O... rupanya peti-peti yang kita bawa ini yang 

mereka incar."

"Betul! Rupanya mereka ini memang pe-

rampok-perampok di siang hari... hehehe... pe-

rampok-perampok yang ternyata mau mati!" ter-

kekeh Patidina.

"Apakah kita akan serahkan peti-peti ini 

pada mereka?" tanya Tek Jien.

"Bagaimana kalau murid kita marah?" 

tanya Mukti seolah kebingungan, padahal dia 

memang bermaksud untuk memancing kemara-

han Barong Projo. Sejak mereka dikepung pun dia 

sebenarnya sudah tahu maksud sesungguhnya 

dari orang-orang ini. Sasaran mereka pasti peti-

peti yang mereka bawa!

"Betul. Aku lebih sayang pada murid kita 

daripada orang-orang ini," kata Patidina.

"Berarti mereka tidak kita berikan peti-peti


ini," kata Tek Jien yang berpura-pura baru tahu 

akan kesimpulan kata-kata itu.

"Betul! Tapi kalau mereka bisa mengambil-

nya dan berhasil, ya lebih baik berikan saja!" kata 

Mukti.

"Jadi kita berikan kalau begitu?" kata Pati-

dina.

"Kalau mereka mampu," kata Mukti.

"Berarti kita harus berkelahi?" tanya Tek 

Jien.

"Hei, bukankah kita sudah lama tidak per-

nah berkelahi," kata Mukti. "Jadi ini lebih baik 

untuk menyegarkan ingatan kita pada ilmu-ilmu 

yang kita miliki. Rasanya... ah, aku masih sang-

gup untuk menjatuhkan orang, hei!"

Mukti tak bisa meneruskan lagi kata-

katanya, karena dengan penuh murka dan kema-

rahan yang teramat sangat, Barong Projo sudah 

menyerbunya dengan tombak di tangannya.

Barong Projo tidak bisa menahan marah-

nya lagi karena ejekan-ejekan yang dilontarkan 

ketiga kakek itu. Maka dia pun segera menyerbu.

Tombak yang mengarah lurus ke arah 

Mukti, dengan mudah saja dihindarkannya den-

gan memiringkan tubuh.

"Wah, wah... rupanya orang ini pemarah 

betul!" kekehnya sambil melompat lagi ketika 

tombak itu mengarah ke kakinya.

Melihat ketua mereka sudah menyerang, 

tanpa dikomando lagi, anak buahnya segera me-

nyerbu Patidina dan Tek Jien.

Dan kedua kakek itu pun segera melaya


ninya.

Meskipun masing-masing di pundak kakek 

itu membawa peti yang cukup berat, namun ge-

rakan mereka cukup gesit. Bahkan dengan terke-

keh-kekeh mereka menghindari serangan-

serangan yang datang silih berganti dengan cepat.

"Wah, wah... ini tidak main-main lagi!" kata 

Mukti sambil menghindari beberapa tombak yang 

berdatangan ke arahnya. Kini dia dikerubuti tiga 

orang termasuk Barong Projo.

"Betul, kita harus beri pelajaran agar me-

reka kapok dan tahu siapa kita!" sahut Patidina.

"Jadi kita harus melawan?" tanya Tek Jien 

yang juga menghindari serangan-serangan itu.

"Mengapa tidak?!" seru Mukti sambil ber-

salto ke belakang. Begitu pula yang dilakukan 

dua kakek sahabatnya. Mereka pun berbuat yang 

sama.

Lalu sama-sama pula ketiganya meletak-

kan peti yang mereka bawa di tanah. Setelah itu 

ketiganya pun bersiap.

"Mampuslah kau, kakek-kakek peot!" ge-

ram Barong Projo sambil menyerbu yang diikuti 

oleh beberapa anak buahnya.

Dan ketiga kakek itu pun bergerak mema-

paki. Gerakan mereka amat gesit sekali.

Dengan tanpa beban di pundak, ketiganya 

bergerak bagaikan seekor burung. Tek Jien pun 

sudah mengeluarkan jurus andalannya Pukulan 

Tangan Seribu.

Gerakan kakek itu masih amat lincah. Tak 

ubahnya beberapa puluh tahun yang lalu. Kedua


tangannya menderu-deru bagaikan berubah men-

jadi seribu.

Dan dengan tangan yang telah dialiri tena-

ga dalam dia bergerak bagaikan macan ngamuk. 

Dia menangkis. Memapaki dan membalas.

Membuat para penyerangnya menjadi jeri.

Apalagi ketika dua orang pingsan terkena 

pukulannya. Membuat dua lagi pengeroyoknya 

harus berhati-hati dengan segala serangan yang 

dilancarkan Tek Jien.

"Hehehe... rupanya kalian hanya besar mu-

lut saja!" terkekeh kakek yang keturunan Cina 

itu.

Kembali dia melancarkan serangan. Dua 

penyerangnya menjadi kalang kabut. Dan sebi-

sanya mereka untuk menangkis dan membalas.

Namun tangan Tek Jien yang berubah 

menjadi seribu itu, lebih dulu mendarat di bebe-

rapa bagian tubuh kedua lawannya.

"Des!"

"Des!"

Dua buah pukulan mendarat di masing-

masing tubuh lawannya, yang langsung terjeng-

kang pingsan.

Kakek itu terkekeh sambil menepuk-nepuk 

kedua tangannya.

"Dua sahabatku... untuk apa kalian ber-

main-main lagi? Cepat bereskan! Aku sudah bo-

san! Juga sudah lapar!"


TIGA


Mendengar seruan Tek Jien yang seakan 

mengejek keduanya, Mukti dan Patidina pun se-

gera menyerang dengan hebat.

Apalagi ketika dengan riangnya Mukti me-

matahkan dua buah ranting pohon sebesar pe-

dang. Barong Projo dan dua anak buahnya yang 

membantu menjadi kewalahan.

Kakek itu telah menggunakan kedua rant-

ing tadi sebagai pedang. Lalu dia pun memain-

kannya dengan jurus pedang kembarnya yang 

hebat.

"Hehehe... mengapa kalian mundur, hah?!" 

terkekeh kakek itu yang melihat ketiga lawannya 

menjadi ngeri dengan permainan kedua ranting 

yang dipegang oleh Mukti.

Meskipun hanya berupa ranting kecil, na-

mun bila terkena rasa sakitnya bukan alang ke-

palang. Karena kedua ranting itu sudah dialiri te-

naga dalam.

Mendengar kata-kata yang mengejek itu, 

membuat telinga Barong Projo menjadi memerah. 

Dia menggeram murka.

Dan kembali laki-laki berwajah menyeram-

kan itu menyerbu dengan buas. Disusul dengan 

dua orang anak buahnya. Tombak-tombak yang 

ada di tangan ketiganya benar-benar mampu un-

tuk mencabut nyawa.

Namun yang dihadapinya adalah pendekar 

tua yang masih hebat memainkan ilmu pedang


kembarnya.

Sebentar saja dua buah tombak yang dipe-

gang anak buah Barong Projo sudah terlepas dari 

tangan mereka. Dan sambil memekik bersalto, 

kedua ranting yang ada di kedua tangan Mukti 

dengan cepat menotok hingga kedua orang itu 

terdiam kaku.

Mukti berdiri kembali dengan tegap di ta-

nah. Menatap Barong Projo dengan tatapan men-

gejek.

"Hei, Muka Barong! Bukankah ini sudah 

sebagai bukti, bahwa kau dan para anak buahmu 

itu tak bisa merebut peti-peti yang kami bawa?! 

Nah, mengapa tidak kau bersujud saja untuk 

meminta ampun dariku! Hehehe... percayalah, 

aku adalah seorang kakek yang baik hati! Pasti 

kau kumaafkan... hehehe...!"

Wajah Barong Projo semakin memerah sa-

ja. Matanya membeliak-beliak penuh emosi. Na-

fasnya mendengus-dengus mirip kerbau jantan 

yang tengah mengamuk.

"Kubunuh kau, Kakek peot!" bentaknya se-

raya menyerbu. Kali ini dia menggunakan jurus 

andalannya, Tombak Menggapai Rembulan Me-

nyapu Badai.

Jurus tombak yang dimainkannya demi-

kian hebat. Menyambar-nyambar dengan ganas. 

Mengancam leher dan pergelangan kaki.

Mukti sejenak kebingungan menghadapi 

serangan-serangan itu. Namun dia pun memapa-

kinya dengan ranting yang ada di tangannya.

Berkali-kali kedua senjata itu berbentro


kan.

Hebat.

Cepat.

Dan berbahaya.

Tek Jien cuma menggeleng-gelengkan ke-

palanya saja. Sedikitnya dia kagum dengan per-

mainan tombak yang diperlihatkan oleh Barong 

Projo.

Sementara Patidina sudah menjatuhkan 

salah seorang pengeroyoknya. Dengan gerakan 

berguling yang cepat, kakek itu mengambil tom-

bak yang jatuh di tanah.

Dan mematahkannya pada ujungnya. 

Membentuknya sebuah keris. Dengan patahan 

ujung tombak yang dianggapnya sebagai keris, 

mulailah dia memperlihatkan kehebatan permai-

nan keris tunggalnya.

Para pengeroyoknya menjadi kewalahan.

Dan sebentar saja mereka sudah terdesak.

"Hei, apakah mereka ini harus kubunuh?!" 

seru Patidina pada Tek Jien.

"Terserah padamu. Bila kau biarkan hidup 

pun, mereka akan semakin sombong saja! Mati 

pun mereka tak ada gunanya! Yah, terserah pada 

pilihanmu!" kata Tek Jien sambil melipat tangan-

nya di dada.

"Kalau begitu, mereka akan kubuat ping-

san saja!" kata Patidina. Dan kakek itu memperli-

hatkan kelincahannya bermain keris tunggal dari 

patahan ujung tombak.

Para pengeroyoknya menjadi kebingungan. 

Dan mereka pun sebisanya saja untuk menghin


dar dan melayani, tanpa bisa berbuat lebih ba-

nyak lagi.

Dan sebentar saja ujung tombak yang telah 

dipatahkan itu, mengenai sasarannya.

"Sret!"

"Sret!"

Gerakan yang diperlihatkan Patidina bukan 

main cepatnya. Ujung patahan tombak itu men-

genai tangan yang seorang dan paha yang lain-

nya. Keduanya mengaduh.

Dan segera menekap darah yang mengalir.

Namun melihat kenyataan ini, keduanya 

bukannya malah jeri, malah semakin nekat me-

nyerang.

"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Ka-

kek busuk!" bentak salah seorang yang segera 

menyerbu disusul dengan temannya.

Ganas.

Dan berbahaya.

Tetapi Patidina hanya menyambutnya den-

gan terkekeh saja. Dia pun mengimbanginya den-

gan hebat. Namun baginya sekarang, sulit untuk 

melumpuhkan keduanya tanpa melukai mereka 

dengan luka yang cukup berbahaya.

"Maafkan aku, bila aku terpaksa membu-

nuh kalian!" kata Patidina sambil melompat 

menghindari sambaran tombak yang mengarah 

pada kakinya.

Lalu dia melenting ke depan bersalto. Saat 

bersalto itu dia melakukan satu gerakan yang 

amat aneh. Dengan tiba-tiba saja dia sudah bera-

da di belakang orang itu dan berguling. Dengan


gerakan yang membingungkan, dia melewati ke-

dua kaki orang itu yang terbuka.

Dan tangan kirinya pun menghantam ba-

gian paha orang itu.

"Aaaaaahhhh!" terdengar jeritan yang keras 

disusul dengan suara 'krak'.

Paha orang itu patah. Dan tubuhnya men-

jadi limbung. Dia tak dapat menahan keseimban-

gan tubuhnya, juga merasakan sakit yang amat 

menyengat.

Dan tubuh itu pun ambruk.

Melihat temannya telah berhasil dilumpuh-

kan oleh kakek itu, yang seorang pun menjadi 

murka.

Dia menjerit hebat.

Dan menyerang dengan kalap serta mem-

babi buta. Meskipun demikian, serangannya ma-

lah jadi berbahaya.

Namun Patidina bukanlah kakek yang baru 

saja turun gunung. Tidak mengetahui tipuan ge-

rakan dari seorang jago silat. Dia sudah mengua-

sai ilmu silat dan permainan senjata keris sejak 

muda.

Hal itu bukanlah sebuah kebetulan saja.

Maka dengan mudahnya dia pun berhasil 

mematahkan serangan orang itu. Kembali dengan 

gerakan yang sama seperti yang dilakukannya 

pada orang pertama, kali ini dia menghantam ke-

dua paha orang itu hingga patah dan langsung 

ambruk, pingsan.

Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya 

setelah berdiri kembali.


"Dasar geblek! Bukannya minta maaf, ma-

lah cari penyakit!" gerutunya.

Tek Jien terkekeh.

"Hehehe... biarkan saja mereka. Toh, bu-

kan salah kita. Ah, tapi agaknya kita sudah tidak 

pantas untuk berkelahi, kita sudah terlalu tua 

untuk itu," katanya yang menyadari keadaannya.

Begitu pula dengan Patidina. "Benar kata-

mu, Tek Jien... kita memang sudah tidak pantas 

untuk menjadi seorang jagoan lagi. Tapi... haha-

ha... kita ini adalah pendekar-pendekar tua yang 

masih kok nekat berkelahi dengan orang-orang 

muda... hahahah!"

Tek Jien pun terbahak mendengar kata-

kata sahabatnya.

Lalu keduanya memperhatikan Mukti yang 

masih bertarung dengan Barong Projo.

Dia memang bisa mengimbangi permainan 

tombak andalan yang diperlihatkan Barong Projo. 

Dan hal itupun berhasil diakhirinya dengan satu 

gerakan aneh yang diperlihatkannya.

Tiba-tiba saja tubuhnya meliuk-meliuk 

dengan gerakan yang membingungkan. Dan seca-

ra tiba-tiba pula kedua tangannya yang meme-

gang dua buah ranting pun bergerak dengan ge-

rakan seperti mengacau.

Ini membuat Barong Projo menjadi bin-

gung. Dan lebih bingung lagi ketika mendadak sa-

ja salah sebuah ranting yang dipegang Mukti 

memukul pergelangan tangannya.

Dia menjerit.

"Aaaaakh!"


Dan makin menjerit ketika ranting yang 

sebuah lagi menyodok pangkal tangannya.

Tombaknya terlepas.

Mukti menghentikan serangannya. Dia ter-

kekeh.

"Hehehe... lebih baik kau pergi dari sini, 

Barong Projo. Sebelum aku menjadi semakin 

jengkel dan menurunkan tangan telengas pada-

mu..."

Barong Projo menggeram marah.

Jengkel dan kesal.

Namun bila dia melawan pun dia merasa 

tidak mampu untuk mengatasinya. Kakek ini me-

nurutnya begitu tangguh.

Maka dia pun bermaksud mundur.

"Kakek peot... hari ini kau menang. Tetapi 

ingat, aku akan datang kembali untuk mengambil 

nyawamu!" ancamnya dengan suara menggeram.

"Hehehe... kembalilah... aku pun masih in-

gin melihat sampai di mana kehebatanmu. Tapi 

kau pun perlu mengingatnya, lain kali bila kita 

bertemu lagi, aku tak akan pernah memberi am-

pun padamu, Barong!"

"Hhh! Kita buktikan nanti, siapa tak akan 

pernah memberi ampun!" seru Barong Projo. Lalu 

dia pun berkelebat meninggalkan tempat itu den-

gan membawa sejuta amarah dan dendam yang 

siap meledak suatu saat nanti.

Patidina berkata, "Rupanya kita sudah 

kembali ke zaman di mana kita masih segar dan 

muda dulu..."

Tek Jien pun menyahuti, "Benar, dan kita


tak bisa lagi menghindar dari semua ini. Tadi ada-

lah sebuah permulaan yang akan terjadi pada ki-

ta...."

Mendengar kata-kata kedua sahabatnya, 

Mukti pun mendekat.

"Yah... aku pun sebenarnya merasa malu 

karena di usia kita yang sudah senja ini masih 

suka sok-sok berbuat seperti tadi. Tapi... bukan-

kah ini menandakan kalau kita masih memiliki 

kehebatan yang sama seperti dulu?" kata Mukti 

sambil memperhatikan kedua sahabatnya.

Patidina terkekeh. "Hehehe... kalau mau ju-

jur, aku pun harus mengakuinya, bahwa gera-

kanku sudah begitu lamban dan tak bertenaga...."

Tek Jien pun berkata, "Sama seperti aku., 

gerakanku pun sudah tidak selincah dulu lagi. 

Aku mendadak saja merasa cepat lelah. Dan yang 

pasti, aku sudah tahu, kalau aku sebenarnya tak 

bisa berbuat banyak seperti dulu lagi... ah, ke-

tuaan ini ternyata mendera kita, bukan?"

"Benar kata-katamu itu, Tek Jien...," kata 

Mukti. "Kita memang tidak bisa seperti dulu lagi. 

Aku pun tadi merasa sudah sedikit kewalahan 

menghadapi permainan tombak yang hebat dari 

Barong Projo. Cuma saja, aku menang pengala-

man dalam hal bertarung...."

Ketiga kakek itu terdiam. Dan mereka baru 

menyadari, kalau ketuaan mereka yang datang 

perlahan-lahan ini ternyata begitu menyiksa seka-

li. Mereka sebenarnya kecewa melihat gerakan-

gerakan yang mereka perlihatkan. Karena mas-

ing-masing merasakan kalau gerakan mereka su


dah lambat dan tidak lincah seperti dulu lagi.

Sebelum mereka bertemu dengan gerombo-

lan perampok dan berkelahi, mereka tidak me-

nyadari kalau gerakan mereka sudah tidak seperti 

dulu lagi. Mungkin hanya naluri mereka saja yang 

bisa diandalkan dalam hal berkelahi.

"Sahabat-sahabatku," kata Mukti. "Kita 

memang sudah semakin tua saja. Dan aku ingin 

sekali di masa tuaku ini bisa tenang dalam men-

gakhiri masa hidup. Dan aku tak ingin lagi terli-

bat dengan segala urusan keduniaan."

"Begitu pula denganku, Mukti," kata Pati-

dina. "Aku berharap, dapat hidup yang sempurna 

dan berhasil di masa hayatku ini."

"Keinginan kalian tidak jauh berbeda den-

gan apa yang kuinginkan," kata Tek Jien. "Ya, 

ya... di samping itu, sebelum ajal menjemputku, 

aku masih ingin melihat murid kita, Ratih Nin-

grum dan suaminya, Madewa Gumilang...."

Mendengar kata-kata Tek Jien, Mukti dan 

Patidina seperti diingatkan akan rencana semula 

mereka.

Lalu Mukti berkata, "Kalau begitu, seka-

rang juga kita berangkat menuju Perguruan To-

peng Hitam...."

Dan ketiganya pun kembali mengambil pe-

ti-peti yang mereka bawa tadi. Dan ketiganya mu-

lai melangkah lagi, meninggalkan beberapa orang 

yang pingsan dan terluka.

Meninggalkan tempat yang baru saja terja-

di perkelahian.

Dan menyongsong senja tak terasa mulai

datang menjelang

Empat



Malam semakin larut. Pekat. Udara ber-

hembus amat dingin. Membuat tubuh menggigil 

dan sampai ke tulang sumsum rasanya. Bunyi 

binatang malam bersahut-sahutan. Dan samar-

samar terdengar lolong anjing malam yang me-

nyayat dan menggetarkan hati.

Di sebuah hutan kecil itu, satu sosok tu-

buh berkelebat dengan hebat. Langkahnya cepat. 

Bagai sebuah bayangan belaka.

Sinar rembulan yang terhalang oleh pohon-

pohon yang tumbuh di sana, tak bisa mencapai 

ke tanah. Membuat suasana hutan itu bertambah 

menyeramkan.

Namun sosok tubuh yang berlari itu, tak 

menghiraukan suasana yang menyeramkan. Dia 

terus saja berlari.

Bila rembulan bisa menembus sedikit saja 

pekatnya hutan, maka akan terlihat wajah itu be-

tapa geram. Sinar matanya seakan memancarkan 

amarah yang teramat sangat.

Sosok itu adalah Barong Projo.

Setelah dikalahkan oleh Mukti, dan melihat 

beberapa anak buahnya pingsan dibuat oleh Pati-

dina dan Tek Jien, Patidina Barong Projo menjadi 

amat murka. Dan dia tidak terima perlakuan se-

perti ini.

Barong Projo bermaksud meminta bantuan


pada teman-temannya yang berada di hutan itu.

"Mudah-mudahan Tiga Setan Pemetik 

Bunga berada di tempat kediaman mereka malam 

ini," katanya sambil terus berlari.

Di hutan itu, terdapat sebuah telaga. Dan 

di belakang telaga itu terdapat sebuah gubuk je-

lek yang amat menyeramkan.

Di pintu gubuk itu terdapat dua buah ke-

pala berbentuk tengkorak, dan dua buah dupa 

yang mengepulkan asap.

Barong Projo berhenti di depan gubuk itu.

"Hmm... agaknya ketiganya ada di tempat," 

gumamnya yang melihat dupa mengepulkan asap. 

Bertanda Tiga Setan Pemetik Bunga tidak ke ma-

na-mana. Bila mereka pergi. Dupa itu tak akan 

mengepulkan asap.

Barong Projo bermaksud hendak mengetuk 

pintu gubuk itu. Namun urung ketika mendengar 

suara kekehan dan tangisan dari dalam.

Dia menjadi mendengus sendiri.

"Sialan! Rupanya tiga kakek itu sedang 

asyik berpesta. Ayam-ayam bulat mana lagi yang 

sedang mereka siangi ini!"

Dari dalam gubuk itu terdengar suara ke-

kehan disusul dengan suara berkata, "Hehehe... 

mengapa tidak sejak tadi kau diam saja, hah? 

Mengapa harus berontak? Toh berontak atau pun 

tidak sama saja. Aku akan tetap menikmati han-

gatnya tubuhmu, Manis..."

Dan terdengar suara rintihan mirip tangi-

san. Begitu mengibakan.

Terdengar lagi suara yang lain, "Hehehe...


rupanya kau sudah selesai, Polodomo!"

"Kau juga demikian bukan, Pala Tunggal?" 

terkekeh Polodomo.

"Aku pun sudah selesai, kawan-kawan," 

terdengar suara yang lain. "Bukan main, di ma-

lam yang dingin ini suasana menjadi teramat 

hangat dengan adanya ayam-ayam bulat yang te-

lah membangkitkan birahi kita...."

"Hahaha.... ini semua karena nafsumu 

yang sulit untuk kau kekang, Sakung Bukit!" ter-

tawa Polodomo.

Dan di sela tawa Tiga Setan Pemetik Bun-

ga, terdengar isak pilu dari tiga orang gadis yang 

baru saja mereka perkosa. Ketiga gadis itu diculik 

orang-orang itu saat mandi sore di sungai. Mere-

ka berasal dari desa seberang.

Tiba-tiba terdengar jeritan gadis yang be-

rambut panjang. Lalu disusul dengan kepala ter-

kulai. Rupanya dia tidak kuat menahan penderi-

taan yang telah dialami dan akan dialaminya nan-

ti. Dia tak mau dirinya diejek orang, ditertawakan 

orang karena sudah tidak perawan lagi. Bahkan 

yang amat memalukan, perawannya digasak 

orang dengan buas.

Makanya dia lebih baik memilih mati dari-

pada hidup harus menanggung malu.

Melihat teman mereka telah menjadi mayat 

dengan jalan membunuh diri dengan menggigit li-

dahnya sampai putus, kedua temannya pun ber-

buat yang sama.

Mendengar jeritan itu, Tiga Setan Pemetik 

Bunga menoleh seketika.


Polodomo mendengus, "Gadis-gadis bodoh! 

Dipikirnya enak mati, apalagi dengan jalan mem-

bunuh diri?! Dasar bodoh! Bukankah melayani ki-

ta-kita lebih enak, Kawan-kawan?"

Pala Tunggal dan Sakung Bukit terbahak.

"Betul, betul, itu!" kata Sakung Bukit di se-

la tawanya.

"Mereka rupanya tak pernah merasakan 

secara pasti, betapa nikmatnya sorga dunia yang 

kita ciptakan...."

"Dan membuat kita terlena, bukan?!" sam-

bung Pala Tunggal.

Ketiganya terbahak lagi.

Di luar gubuk itu, Barong Projo yang men-

dengarkan semua percakapan itu dan telah men-

getahui apa yang telah terjadi di dalam, menden-

gus.

"Dasar, kakek-kakek cabul! Sudah pada 

uzur saja masih menghambur-hamburkan nafsu!"

gerutunya. Tetapi kemudian dia terkekeh. "He-

hehe... bukankah bila mereka menjadi orang 

baik-baik sekarang, aku tak akan bisa meminta 

bantuan mereka untuk membalaskan dendamku 

dan merebut tiga buah peti yang dibawa para ka-

kek brengsek itu!"

Tiba-tiba suara terbahak di dalam terhenti. 

Disusul dengan suara, "Barong Projo! Sejak tadi 

kami menantimu untuk masuk! Mengapa kau 

masih berdiam di luar, hah?! Ataukah kau senang 

bila tubuh dan wajahmu yang jelek itu digigiti 

nyamuk-nyamuk liar, hah!"

Barong Projo mendengus.

Lebih mendengus lagi ketika dia membuka 

pintu, tiga orang kakek yang berada di dalam ter-

kekeh.

"Hahahah... bukankah lebih baik sejak tadi 

kau masuk ke sini, Barong?!" kata Polodomo. Dia 

adalah seorang kakek bertubuh kurus. Di perge-

langan tangannya terdapat banyak gelang berge-

rigi. Wajahnya ditumbuhi janggut putih.

Kembali Barong Projo mendengus.

"Hhh! Apakah kalian mau bila kuganggu 

keasyikan kalian, hah?!"

Pala Tunggal terbahak. "Hahaha... jangan 

marah seperti itu sahabat. Kau adalah sahabat 

kami yang paling baik. Nah, ada kabar apa kau 

malam-malam datang ke sini, hah! Dan kulihat 

wajahmu begitu kusut! Sepertinya kau tengah 

menyimpan suatu perasaan yang menjengkelkan!"

Barong Projo menatap Pala Tunggal. Dia 

adalah seorang kakek yang bertubuh gemuk. Ke-

palanya sedikit botak. Sepasang alisnya hitam le-

gam di wajahnya yang tembam.

"Benar katamu, Pala Tunggal," berkata Ba-

rong Projo. Dan sepasang matanya mendadak sa-

ja memancarkan sinar dendam. Sinar mata itu 

tak luput dari perhatian ketiga kakek sahabatnya 

itu.

"He, ada apakah gerangan?!" tanya Sakung 

Bukit. Dia seorang kakek yang tinggi langsing. 

Dengan rambut yang terikat ekor kuda.

"Panjang bila kuceritakan seluruhnya."

"Lebih baik demikian, biar kami jelas apa 

yang telah menyebabkan kau menjadi begitu," ka


ta Sakung Bukit lagi.

"Dan yang perlu kalian ingat, warisan itu 

pasti amat banyak jumlahnya!" kata Barong Projo.

Ketiga kakek pemetik bunga itu terbahak.

Pala Tunggal lalu membuang mayat tiga 

gadis yang membunuh diri dengan jalan menggi-

git lidah masing-masing. Setelah itu dia kembali 

lagi ke gubuk itu.

Polodomo mengambil tuak merah yang me-

reka simpan. Lalu sampai pagi mereka meminum 

sampai mabuk.

Barong Projo sudah tidak sabar lagi me-

nunggu matahari sepenggalah. Dia sudah teramat 

marah, dendam dan sakit hati pada tiga kakek 

yang membawa peti yang melabrak dia dan anak 

buahnya.

"Tak lama lagi, kalian kakek-kakek sialan, 

akan mampus berkalang tanah!" desisnya dengan 

suara menggeram.

"Dan kau perlu ingat, kau adalah sahabat 

kami yang paling baik dan setia, Barong. Barang-

siapa yang berani mengusikmu, berarti dia juga 

mengusik kami. Barang siapa dia menjadi te-

manmu, maka dia juga menjadi teman kami."

Mendengar kata-kata salah seorang dari 

Tiga Setan Pemetik Bunga, wajah Barong Projo 

berseri-seri. Lalu dia pun menceritakan semua 

yang telah menimpa diri dan anak buahnya.

"Hhh....siapa tiga orang kakek itu?!" men-

dengus Polodomo dengan gusar.

"Aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya. 

Mereka bernama Mukti, Patidina dan Tek Jien...."


sahut Barong Projo.

"Hhh! Apa sebenarnya yang mereka ba-

wa?!" tanya Sakung Bukit. Dia sudah tidak sabar 

ingin mencari tiga kakek itu dan membalaskan 

dendam sahabatnya.

"Sebenarnya sejak semula kami telah men-

gikuti ketiganya yang masing-masing membawa 

sebuah peti. Dari percakapan yang mereka laku-

kan, aku yakin sekali kalau tiga buah peti itu be-

risi emas permata dan berlian. Dan dari percaka-

pan mereka pula aku mendengar, kalau semua 

itu adalah harta warisan...."

"Ah, sayang sekali kau tidak bisa merebut 

peti-peti itu dari tangan mereka," kata Pala Tung-

gal. "Bila kau berhasil merebut satu saja, maka 

kita akan kaya raya!"

"Hahaha... benar, benar itu!" terkekeh Po-

lodomo. "Barong.... ya... ya... kami akan memban-

tumu untuk membalaskan sakit hatimu pada tiga 

kakek itu. Dan juga merebut warisan itu dari tan-

gan mereka. Hmmm... kau tahu kira-kira mereka 

ke mana?"

"Secara pasti aku tidak tahu! Tapi yang ku-

tahu, mereka tengah menuju ke arah timur Gu-

nung Slamet!"

"Mau apa mereka ke sana?"

"Aku tidak tahu. Barangkali, si ahli waris 

berada di sana."

"Bagus kalau begitu. Yang penting kita su-

dah tahu kemana orang-orang itu pergi," kata Pa-

la Tunggal.

"Ya, kita akan hajar ketiga kakek itu!" sa


hut Polodomo.

"Kalau begitu, malam ini kita bersiap. Se-

hingga besok kita bisa langsung keluar mencari 

ketiga kakek itu," kata Sakung Bukit. "Aku sudah 

tidak sabar ingin menghajar karena ketiganya be-

rani-beraninya menghajar dan menghancurkan 

gerombolan perampok yang dipimpin oleh Barong 

Projo, sahabat kita!"

Wajah dan hati Barong Projo menjadi gem-

bira mendengar ucapan dari Tiga Setan Pemetik 

Bunga yang bersedia membantunya.



Lima



Tiga kakek yang membawa peti di bahu 

masing-masing berhenti melangkah. Dan pan-

dangan mereka lekat pada tembok-tembok tinggi 

yang mengelilingi sebuah halaman besar dan 

bangunan besar di dalamnya.

"Patidina... apakah kau yakin ini Pergu-

ruan Topeng Hitam?" tanya salah seorang kakek.

"Aku yakin sekali, Mukti. Bukankah kau 

tadi mendengarnya sendiri ketika orang yang ku-

tanya itu menjawab?"

"Kalau memang benar ini adanya Pergu-

ruan Topeng Hitam dan dipimpin oleh Madewa 

Gumilang serta murid kita Ratih Ningrum, alang-

kah berbahagianya aku...."

"Ya, berarti kita tidak sia-sia menurunkan 

ilmu dan melepas Ratih Ningrum pergi bersama 

Madewa Gumilang," kata Tek Jien.


Ketiga kakek itu tak lain Mukti, Patidina 

dan Tek Jien. Setelah menempuh hampir seming-

gu lamanya sejak perkelahian mereka dengan Ba-

rong Projo pimpinan gerombolan perampok Tom-

bak Seribu, kini ketiga kakek itu telah tiba di de-

pan Perguruan Topeng Hitam.

Senja sudah mulai datang.

Dan angin berhembus dengan sejuk.

Ketiga kakek itu memandangi lagi bangu-

nan besar yang dikelilingi tembok tinggi.

"Apakah kita masuk sekarang?" tanya 

Mukti.

"Mengapa tidak?" sambung Patidina.

"Benar, tunggu apa lagi?" kata Tek Jien. 

"Bukankah kita butuh istirahat dan makan?"

"Bagaimana bila bangunan yang dikelilingi 

tembok tinggi ini bukan Perguruan Topeng Hi-

tam?" tanya Mukti.

"Benar. Bagaimana pula bila bukan dipim-

pin oleh pemuda yang pernah mengalahkan kita 

dulu, Madewa Gumilang?" kata Patidina.

"Ya, ya...." Tek Jien mengangguk-angguk. 

"Bila kini bukan Perguruan Topeng Hitam, keda-

tangan kita bisa dikatakan dengan menantang. 

Dan bila ini Perguruan Topeng Hitam namun bu-

kan dipimpin oleh Madewa Gumilang, keadaan ki-

ta pun tak banyak bedanya."

"Lalu bagaimana?" kata Mukti.

"Apa yang harus kita perbuat?" kata Pati-

dina.

"Betul! Perut ku pun sudah lapar!" kata 

Tek Jien.


"Tapi kita harus meyakinkannya terlebih 

dulu!" kata Mukti.

"Kita tak bisa berdiam diri di sini saja."

"Ya, kalau kita bengong saja kayak kamb-

ing congek, kita tidak akan pernah tahu bangu-

nan apa yang ada di balik tembok tinggi ini," kata 

Patidina.

"Berarti kita masuk bukan?" kata Tek Jien 

seolah-olah bertanya.

Ketiga kakek ini rupanya suka sekali per-

cakapan yang seolah-olah satu sama lain masih 

ragu. Padahal maksud mereka untuk masuk ke 

bangunan itu.

Setelah itu ketiganya pun mulai melangkah 

dengan membawa peti di pundak masing-masing.

Di pintu gerbang bangunan itu terdapat 

dua orang penjaga yang mengenakan pakaian hi-

tam-hitam dengan bertopeng hitam pula yang 

menutupi wajahnya. Di punggung masing-masing 

tersampir dua buah pedang bersilangan.

Melihat ketiga kakek itu datang, kedua 

penjaga tadi segera mendekat dan bersikap 

menghadang.

"Hmm... ada apa, Kakek?" tanya salah seo-

rang.

Mukti memandang kedua sahabatnya.

"Lihat pakaiannya. Hitam-hitam. Dan dia 

pun mengenakan topeng berwarna hitam pula," 

katanya.

"Berarti memang ini Perguruan Topeng Hi-

tam," kata Patidina.

"Jangan bergembira dulu, kita tanyai siapa


pemimpin mereka," kata Tek Jien.

Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga 

itu.

"Ki Sanak... kedatangan kami hanya untuk 

sekedar bertanya...."

"Bertanya apa, Kakek?"

"Benarkah ini Perguruan Topeng Hitam?"

"Ya."

"Benarkah perguruan ini dipimpin oleh 

Madewa Gumilang?"

"Ya."

"Benarkah dia yang bergelar Pendekar 

Bayangan Sukma?"

"Ya... hei, Kakek... untuk apa kau ber-

tanya-tanya seperti itu?"

Tetapi Mukti tidak perduli dengan kehera-

nan penjaga itu. Dia terus bertanya.

"Benarkah istrinya yang bernama Ratih 

Ningrum?"

Walau keheranan penjaga itu mengiyakan 

pula 

"Ya."

"Apakah istrinya memiliki ilmu Sepasang 

Pedang Kembar, Keris Tunggal dan Pukulan Tan-

gan Seribu?"

"Ya."

Mendengar jawaban terakhir itu di-

ucapkan, gembira Mukti berpaling pada kedua 

sahabatnya.

"Tidak salah lagi. Perguruan ini dipimpin 

oleh penjaga kuda majikan kita dulu. Dan istrinya 

murid kita!"


"Benar, aku sudah tidak sabar untuk meli-

hatnya!" kata Patidina.

"Cepat kau minta pada kedua penjaga ini, 

bahwa kita ingin masuk!" kata Tek Jien.

Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga 

itu.

"Tolong sampaikan kepada ketua kalian 

dan istri beliau, bahwa tiga pengawal Biparsena 

datang kepada mereka...." katanya.

Tetapi kedua penjaga itu malah terdiam. 

Dari balik topeng yang mereka kenakan, sepasang 

mata itu menatap menyelidik.

"Hei, mengapa kalian diam saja?!" tanya 

Mukti sedikit heran dan kesal.

Salah seorang berkata dengan nada me-

randek, "Hmm.... tidak semudah itu datang untuk 

menemui ketua dan istrinya...."

"Kenapa?"

"Kami tidak mengenal kalian bertiga, Ka-

kek. Dan sepertinya kalian tidak pernah datang 

kemari sebelumnya."

"Memang betul! Tapi kami guru dari Ratih 

Ningrum!"

"Hmm... kakek banyak orang-orang jahat 

yang datang berpura-pura dengan maksud baik 

kepada Ketua dan Nyonya Ketua, tapi kenyataan-

nya...."

"Jadi kau menyangka kami orang jahat?!" 

potong Mukti jengkel. "Dasar penjaga, Tolol! Cepat 

kalian masuk dan katakan kami datang!"

Tetapi kedua penjaga itu tetap berdiam di 

tempat. Malah tanpa diduga, keduanya telah me


loloskan sepasang pedang mereka.

"Tidak mudah untuk menemui Ketua dan 

Nyonya Ketua. Dan pergilah kalian dari sini Ka-

kek, sebelum kemarahan kami menjadi-jadi...."

Mukti mendengus. "Dasar penjaga tolol! 

Rupanya kau terlalu banyak berprasangka buruk 

pada tamu...."

"Karena terlalu banyak pula tamu yang 

berpura-pura baik dan mengenal Ketua dan 

Nyonya Ketua tetapi sebenarnya dia bermaksud 

jahat!" balas penjaga itu tak mau kalah. Suaranya 

pun menggeram.

"Hhh! Dan kau pun menyangka kami ada-

lah orang-orang yang bermaksud jahat?!" potong 

Tek Jien yang tidak sabaran. Dia jengkel karena 

kedua penjaga ini terlalu lamban bergerak.

"Ya! Dan kami minta, kalian sebaiknya per-

gi dari sini!" seru penjaga itu lagi.

"Sialan!" maki ketiga kakek itu berbaren-

gan.

"Bila kalian tidak mau pergi juga dari sini, 

jangan salahkan kami bila kami bertindak kejam!"

"Hei, jadi kau benar-benar menyangka ka-

mi orang jahat dan mengusir kami?!" seru Patidi-

na.

"Kupikir, meskipun kalian sudah kakek-

kakek, tetapi telinga kalian masih berfungsi!"

Memerah wajah ketiga kakek itu. Bila dika-

takan tidak berfungsi, berarti mereka budek. Dan 

dibilang masih berfungsi, ini pun sudah merupa-

kan satu ejekan.

Mukti berkata sambil menahan geramnya,


"Hmm... kami masih ada tenggang rasa sebenar-

nya. Kami kagum dengan kesiagaan kalian ber-

dua menjaga. Yang amat berhati-hati. Namun 

kami tidak suka melihat gerak kalian yang lam-

ban seperti ini... Bila kami bermaksud jahat, ka-

lian sudah kami lumpuhkan, tahu! Mengerti ka-

lian?!"

Bila saja ketiga kakek itu melihat wajah 

keduanya yang berada di balik topeng hitam yang 

keduanya kenakan, dapat melihat wajah kedua-

nya merah padam.

Gerakan mereka lamban? Hhhh! Keduanya 

mendengus.

Keduanya menatap tidak percaya pada ke-

tiga kakek yang nampak tidak sabar menunggu.

Tetapi keduanya pun tak mau membiarkan 

ketiganya masuk begitu saja. Karena mereka ta-

hu, betapa banyaknya orang-orang jahat yang iri 

dan mempunyai dendam kepada Ketua dan 

Nyonya Ketua mereka. Ini menyebabkan mereka 

menjadi lebih hati-hati untuk menerima tamu 

yang datang.

Apalagi sebagian besar orang-orang jahat 

yang datang, selalu berpura-pura baik. Mengenal 

ketua dan Nyonya Ketua. Sahabat akrab mereka. 

Dan masih banyak lagi cara berpura-pura yang 

digunakan oleh orang-orang jahat untuk membu-

nuh Ketua dan Nyonya Ketua mereka.

Itulah sebabnya, keduanya tidak mau 

membuat kesalahan dengan resiko yang cukup 

tinggi.

Bagi keduanya, lebih baik nyawa mereka


yang lepas dari jasad daripada nyawa Ketua dan 

Nyonya yang mereka amat hormati itu.

Pandangan keduanya lekat pada ketiga ka-

kek itu yang nampak sudah jengkel menunggu.

"Cepat kalian katakan pada Ketua kalian, 

bahwa kami, Mukti, Patidina dan Tek Jien datang 

untuk bertemu," kata Tek Jien yang sudah bosan 

untuk berlama-lama di sini.

Begitu pula dengan kedua sahabatnya.

Mereka sudah tidak sabar untuk berjumpa 

dengan murid mereka Ratih Ningrum.

Namun kedua penjaga itu tetap pada kepu-

tusannya.

"Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum 

kami menjadi marah!"

"Penjaga tolol!" membentak Mukti karena 

jengkelnya. "Apakah kau tidak bisa membedakan 

orang yang bermaksud jahat dan bermaksud 

baik...."

"Pergi dari sini kataku...."

"Setan!"

"Pergi dari sini, atau kalian akan melihat 

betapa gerakan kami begitu cepat. Tidak seperti 

sangka kalian!" seru penjaga itu dan tiba-tiba saja 

dia menyerbu dengan dua buah pedang terhunus, 

ke arah Mukti!


Enam



Menerima serangan yang dilancarkan seca-

ra tiba-tiba itu bagi Mukti bukanlah suatu hal


yang menyusahkan. Namun dia terkejut karena 

penjaga itu benar-benar membuktikan ucapan-

ucapannya untuk menyerang.

"Dasar tolol! kau hanya membuang waktu 

dan tenaga saja?" geramnya seraya memiringkan 

tubuhnya. Namun dia pun harus melompat ketika 

kedua pedang itu bergerak menyabet ke arah ka-

kinya.

"Tahan seranganku ini, Kakek!" seru penja-

ga itu dengan geram dan terus melancarkan se-

rangannya.

Melihat kawannya sudah menyerang, pen-

jaga yang satunya lagi pun dengan ganas me-

nyerbu ke arah Tek Jien.

"Hei!" seru Tek Jien terkejut dan menghin-

dari dengan jalan bersalto.

Diam-diam penjaga itu kagum melihat ka-

kek itu bergerak demikian cepat dengan memba-

wa beban di pundaknya.

"Mampuslah kau, Kakek!" geramnya yang 

juga punya keyakinan yang sama seperti teman-

nya kalau ketiga kakek ini bermaksud jahat.

"Hhh! Kau tak banyak beda dengan te-

manmu itu! Sama-sama tolol!"

Namun bagi kedua penjaga atau murid 

Perguruan Topeng Hitam itu, hanya sia-sia saja 

serangan yang mereka lakukan terhadap Mukti 

dan Tek Jien.

Karena kedua kakek itu bukanlah tandin-

gan mereka.

Sebentar saja keduanya berhasil dilum-

puhkan.


Namun suara ribut-ribut itu memancing 

beberapa murid yang lain dan segera mengurung 

mereka.

"Runyam! Runyam sudah semuanya!" 

menggerutu Patidina sambil menghentak-

hentakkan kakinya ke tanah. Apa yang dilaku-

kannya sebenarnya bisa mengundang tawa. Na-

mun tak ada seorang pun yang tertawa.

Apalagi beberapa murid Perguruan Topeng 

Hitam yang baru datang dan terkejut melihat ke-

dua kawan mereka terjatuh di tanah.

"Hhh!" salah seorang mendengus. "Siapa 

kalian kakek? Dan maksud apa kalian membuat 

onar di sini, hah.!"

Mukti pun mendengus.

"Kami adalah tiga kakek dari desa Bojon-

gronggo. Namaku Mukti, ini kawanku Patidina 

dan Tek Jien. Kami datang ingin bertemu dengan 

Ketua dan Nyonya Ketua kalian."

"Tidak mudah untuk bertemu dengan me-

reka, Kakek...."

"Katakan, kami adalah guru dari Ratih 

Ningrum...."

"Tidak, Kakek... tidak semudah itu...."

"Ada apa ini?!" terdengar suara di belakang 

mereka. Nampak seorang laki-laki muda tengah 

berjalan mendekat.

Melihat kemunculan orang itu, para murid 

Perguruan Topeng Hitam segera menjura.

Lalu salah seorang berkata, "Maafkan kami 

Putra Guru... ada tiga orang kakek yang mengaku 

sebagai guru dari Nyonya Ketua... mereka me


maksa ingin masuk dan bertemu dengan Ketua 

dan Nyonya Ketua."

Laki-laki muda yang tak lain Pranata Ku-

mala, putra dari Madewa Gumilang dan Ratih 

Ningrum, memandang ketiga kakek itu dengan 

seksama.

Pranata Kumala dan istrinya. Ambarwati 

memang berada di Perguruan Topeng Hitam. Se-

belumnya mereka selalu bertualang. Namun keti-

ka rindu datang mendera pada keduanya untuk 

kembali ke rumah, malapetaka pun terjadi.

Pranata dan istrinya tinggal di Laut Sela-

tan. Rumah milik istrinya. Namun di Laut Selatan 

terjadi prahara yang amat ganas.

Gerombolan orang-orang jahat pimpinan 

Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah datang 

memporak-porandakan seisi desa dan pantai laut 

Selatan. Dalam satu pertarungan yang sengit, 

Pranata bisa dikalahkan oleh Nyai Prodo.

Dia ditangkap dan disiksa.

Bila Madewa Gumilang dan istrinya tidak 

datang, mungkin ajal sudah menjemput Pranata 

Kumala dan istrinya. Lalu Pranata pun dibawa ke 

Perguruan Topeng Hitam untuk diobati (Baca: 

Prahara di Laut Selatan).

Kini luka-lukanya telah sembuh.

Pranata tersenyum pada ketiga kakek itu.

"Maafkan para sahabatku, Kakek...." ka-

tanya dengan suara yang sopan.

Mendapat sambutan yang hangat dan so-

pan itu, membuat ketiga kakek itu tersenyum.

"Anak muda... kami datang untuk berjum


pa dengan Ketua dan Nyonya Ketua dari Pergu-

ruan ini. Hmm... siapakah Anak muda sebenar-

nya?"

"Namaku Pranata Kumala. Aku adalah pu-

tra dari ayah dan ibuku yang bernama Madewa 

Gumilang dan Ratih Ningrum."

Wajah ketiga kakek itu berseri.

"Benarkah?" tanya ketiganya serempak.

Pranata mengangguk.

"Benar, kakek... Lalu siapakah kakek seka-

lian ini? Dan mengapa kakek ingin menjumpai 

ayah dan ibu?"

"Pranata... pernahkah ibumu menceritakan 

kalau dia memiliki tiga orang guru yang bernama 

Mukti si Pedang Kembar, Patidina di Keris Tung-

gal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu?"

"Pernah, Kek."

"Kau sudah pernah berjumpa dengan keti-

ga guru ibumu itu?"

"Belum, Kek."

"Nah, kamilah tiga guru dari ibumu itu...."

Wajah Pranata Kumala berseri. "Benar-

kah?"

"Maafkan kami, Pranata... tolong panggil 

ibumu kemari. Biar semuanya menjadi jelas dan 

salah paham yang terjadi antara kami dengan pa-

ra murid di sini tidak berlarut-larut...." kata Muk-

ti.

Pranata Kumala menyuruh salah seorang 

murid untuk memanggil ayah dan ibunya.

Tak lama kemudian, muncul dua sosok tu-

buh dari bangunan besar itu. Satu sosok tubuh


mengenakan pakaian berjubah putih dengan se-

nyum arif dan bijaksana. Usianya kira-kira 45 ta-

hun. Yang satu lagi seorang wanita yang nam-

paknya telah matang dalam pengalaman hidup. 

Wajahnya masih cantik jelita.

Hati ketiga kakek itu berdebar keras. Mas-

ing-masing menggumamkan kata, "Ratih! Made-

wa!"

Ratih Ningrum dan Madewa sendiri terkejut 

melihat ketiga kakek yang datang itu.

Ratih Ningrum berlari dan menjatuhkan di-

ri di hadapan ketiga kakek itu yang menjadi ter-

haru.

"Guru!"

Masing-masing menurunkan peti yang me-

reka bawa.

"Guru... sembah dari muridmu yang telah 

lama tidak mengunjungimu...." terdengar suara 

Ratih Ningrum yang terdengar terharu.

Mukti berkata, "Bangunlah, Ratih... Kau 

tak pantas berbuat seperti ini di hadapan para 

muridmu...."

"Tidak Guru... bila Guru belum menerima 

sembah saya, saya akan terus berlutut di sini...."

"Sembahmu kami terima, Ratih...."

Perlahan-lahan tubuh Ratih Ningrum 

bangkit berdiri. Terlihat kalau matanya berkaca-

kaca. Mereka merasa amat terharu melihat murid 

mereka telah menjadi istri dari seorang pendekar 

budiman.

Madewa pun mendekat dan menjura, "Se-

lamat datang di Perguruan Topeng Hitam ini,


Guru...."

Ketiga kakek itu semakin terharu. Mereka 

masih ingat kalau dulu mereka pernah dikalah-

kan oleh Madewa Gumilang yang masih perjaka 

dalam uji tanding di hadapan majikan mereka. 

Dan kini pemuda yang telah tumbuh menjadi seo-

rang gagah perkasa memanggil mereka dengan 

sebutan Guru, betapa makin terharu dan besar-

nya hati mereka.

"Madewa... tidak kusangka kau telah men-

jadi seorang tokoh yang disegani kawan maupun 

lawan...." kata Mukti.

"Aku pun kagum denganmu, Madewa...." 

kata Patidina. "Kau telah merawat dan melindungi 

murid kami terkasih. Ucapan terima kasih yang 

tak terhingga kami ucapkan..."

"Kami tetap merestui kalian sampai kapan 

pun...." kata Tek Jien sambil menghapus air ma-

tanya.

"Janganlah Guru berkata demikian," kata 

Madewa tersenyum. "Aku tetap Madewa Gumilang 

yang dulu..."

"Ah, sifatmu itulah yang sejak dulu kagum 

secara diam-diam, Madewa...." kata Mukti. "Kau 

selalu merendah dan selalu tidak tinggi hati. Pa-

dahal hampir semua yang kami tanyai selalu 

mengenal kau. Namamu agaknya sudah lekat pa-

da mereka sebagai pendekar budiman...."

Madewa tersenyum. "Jangan terlalu ba-

nyak memuji, Guru..." Lalu dia berkata pada para 

muridnya, "Kalian berlutut di hadapan Kakek 

Guru kalian ini, dan minta maaf apa yang telah


kalian lakukan tadi...."

Serentak semua murid yang ada disana 

menjatuhkan diri dan berkata, "Maafkan kami, 

Kakek Guru..."

Semakin terharulah hati ketiga kakek itu 

menerima semua perlakuan ini.

"Bangunlah kalian semua... bukan aku 

yang seharusnya kalian hormati, bukan pula den-

gan kedua sahabatku ini. Tetapi Ketua dan 

Nyonya Ketua kalianlah yang harus kalian horma-

ti," kata Tek Jien.

"Mengapa Guru berkata demikian?" tanya 

Ratih Ningrum. "Kalian adalah tiga orang Guruku 

yang baik hati, dan dengan penuh keikhlasan dan 

kerelaan menurunkan ilmu kalian kepada seo-

rang gadis manja dan nakal dulu...."

Ketiga Gurunya tersenyum.

"Agaknya.... kini tak pantas lagi kami yang 

dihormatimu Ratih. Tetapi kami yang harus 

menghormatimu. Bukankah begitu, Dua saha-

batku?" tanya Mukti sambil berpaling pada Pati-

dina dan Tek Jien.

"Benar, Mukti. Kita yang harus menghor-

matinya...." kata Patidina.

"Dan bukan dia yang menghormati kita," 

kata Tek Jien.

Hari Ratih Ningrum menjadi tercekat men-

dengar kata-kata tiga gurunya.

"Guru... janganlah Guru berkata demikian. 

Aku tetaplah murid kalian yang amat setia dan 

menghormati kalian... Yang selalu menjunjung 

tinggi nama kalian sebagai tiga orang guruku


yang telah susah payah menurunkan ilmu kalian 

kepadaku," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Tiga kakek itu kembali menjadi terharu.

Ratih Ningrum tetap seperti dulu, Hanya 

bedanya kini tak lagi nampak kemanjaan pada 

wajah dan matanya. Kita yang ada hanyalah seo-

rang wanita yang telah banyak memakan pahit 

getirnya kehidupan ini.

Kaya akan pengalaman hidup.

Dan kini dia telah menjadi seorang wanita 

yang amat dihormati dan disanjung oleh murid-

muridnya. Juga menjadi istri dari seorang pende-

kar kenamaan.

Madewa memanggil Pranata Kumala untuk 

mendekat. Lalu katanya. "Guru... kalian kini telah 

mempunyai seorang cucu yang telah tumbuh de-

wasa dan menjadi seorang suami..."

Ketiga kakek itu tertawa. Cucu sebesar ini? 

Dan sudah beristri pula? Hahaha.... tetapi mereka 

gembira melihatnya.

"Di mana istrimu, Pranata?"

"Ada, Kek. Mungkin sedang mandi...."

"Aku sudah selesai mandi, Kakang...." ter-

dengar suara dari belakang mereka. Ambarwati 

muncul dengan pakaian yang bagus. Wajahnya 

begitu cantik berseri.

Pranata berpaling.

"Ah, ini dia istriku, Kek. Namanya Ambar-

wati.... Rayi.... beri sembah pada tiga Kakek Guru 

ini...."

Ambarwati pun menjura.

Kembali keharuan menyelimuti kakek itu.


Mereka tak pernah membayangkan akan menda-

patkan sambutan yang hangat dan penuh keke-

luargaan ini.

"Sebaliknya... kita masuk saja ke dalam," 

kata Madewa Gumilang. "Karena hari sudah ma-

lam...."

Lalu mereka pun masuk ke bangunan be-

sar itu. Peti-peti yang dibawa ketiga kakek itu ta-

di, kini dibawa oleh beberapa murid Perguruan 

Topeng Hitam.

Setelah mandi dan makan malam, mereka 

kembali bercakap-cakap di ruangan tengah.

"Guru.... sebenarnya, apa yang membawa 

Guru hingga datang kemari?" tanya Ratih Nin-

grum.

Ketiga gurunya berpandangan. Dan seperti 

sudah disepakati Mukti berkata. "Muridku Ratih 

dan Madewa... kedatangan kami dari desa Bojon-

gronggo memang bukan sekedar untuk melepas 

rindu pada kalian. Tetapi kami memang datang 

dengan maksud tertentu...."

"Apakah gerangan itu, Guru?" tanya Ratih 

Ningrum.

"Ratih... apakah kalian tidak melihat, bah-

wa kami sudah tua?"

"Maksud, Guru?"

"Sebelum kau pergi meninggalkan rumah 

bersama suamimu ini, kau telah meninggalkan 

harta yang berlimpah banyaknya. Harta dari 

mendiang ayahmu. Dan karena kau putri tung-

galnya, maka otomatis semuanya menjadi milik-

mu. Harta warisan itu tak bisa dihitung banyak


nya. Dan karena warisan itu pula yang membawa 

kami untuk mencarinya..."

"Aku tidak mengerti, Guru."

"Ratih.... semua itu milikmu. Kami sudah 

terlalu tua untuk menjaganya. Kami takut tak bi-

sa lagi berjumpa denganmu dan menjaga warisan 

itu...."

"Jadi...."

"Ya, tiga buah peti yang kami bawa berisi 

emas, permata dan berlian. Masih banyak harta 

yang tersisa di rumahmu. Seperti rumahmu sen-

diri. Kami tak berani menjualnya sebelum men-

dapat perintah darimu...."

"Guru... mengapa Guru menjadi bersikap 

seperti ini? Mengapa harus menunggu perintah-

ku? Apa-apaan guru ini? Kalian bertiga adalah 

guruku, orang tuaku, orang-orang yang aku hor-

mati. Janganlah guru berkata seperti tadi...." kata 

Ratih Ningrum dengan nada kecewa.

"Ratih...." kata Mukti. "Kami bertiga tidak 

bermaksud untuk mengecewakanmu. Tetapi perlu 

kau ingat, kami adalah tiga pengawal setia ayah-

mu, pembantu ayahmu. Yang secara tidak lang-

sung juga menjadi pengawalmu, pembantumu. 

Ingat itu, Ratih...."

"Guru! Apa kalian menduga seperti itu? Ti-

dak, aku tidak pernah menganggap kalian bertiga 

sebagai pengawalku, pembantuku. Kalian adalah 

Guruku, guru yang amat kuhormati!" suara Ratih 

Ningrum terdengar semakin kecewa. Wajahnya 

memerah dan sepasang matanya berkaca-kaca.

Wajah ketiga gurunya menjadi terharu


mendengar kata-kata muridnya itu.

Lalu berkata Patidina, "Muridku... maafkan 

kalau kata-kata Mukti yang juga mewakili pera-

saan kami mengecewakanmu. Tapi sudahlah. Kini 

kita kembali ke masalah warisan itu...."

"Maaf...." Potong Ratih Ningrum. "Maafkan 

aku Guru, kalau menyela kata-katamu. Tidak, 

aku tidak akan pernah menerima warisan itu. 

Warisan itu sudah tidak kupikirkan lagi. Dan aku 

dengan penuh kerelaan telah menyerahkan se-

mua warisan itu kepada Guru bertiga... jadi, jan-

ganlah mengungkit-ungkit soal warisan itu...."

"Ratih... sebelumnya kami mengucapkan 

banyak terima kasih padamu. Tapi maafkan kami, 

kami tidak bisa menerima warisan itu. Sebab, 

pertama kami sudah terlalu tua, hingga kami 

bermaksud menyerahkannya padamu, karena 

kami kuatir umur kami tidak lama lagi. Kedua, 

kami memang tidak butuh warisan itu. Kami ti-

dak butuh harta lagi. Ketiga, kami tidak bermak-

sud untuk memintanya dan tidak merasa berhak 

untuk memilikinya. Jadi, kami tidak bisa mene-

rima warisan itu. Dan sekarang, warisan itu telah 

kami kembalikan kepadamu...."

"Tidak Guru... aku pun tidak akan mene-

rimanya...." kata Ratih Ningrum sambil mengge-

leng-gelengkan kepala.

"Ratih... kaulah yang berhak. Kaulah satu-

satunya yang mewarisi dan menjadi ahli warisan 

dari mendiang ayahmu. Hanya kaulah," kata Tek 

Jien.

"Ratih..." kata Mukti. "Terimalah semua


warisan ini. Berbuatlah untuk mengenakan kami 

bila kau menganggap kami ini sebagai gurumu. 

Kami tak punya niatan sedikit pun untuk menda-

patkan imbalan darimu. Kami datang untuk me-

nyerahkan warisan ini, karena kami merasa su-

dah tua, sudah tidak sanggup lagi untuk menja-

ganya. Kami pun kuatir ajal akan menjemput ka-

mi. Padahal masih ada tugas yang belum kami se-

lesaikan. Kini tugas itu telah tuntas, Ratih... Dan 

aku juga kedua gurumu ini amat rindu padamu. 

Rindu yang amat mendalam, Ratih Ningrum... Ki-

ni rindu kami telah hilang. Kami bahagia melihat 

kau telah tumbuh dan menjadi pendamping seo-

rang pendekar besar, Muridku...."

Suasana kembali menjadi terharu.

Mata Ratih Ningrum semakin berkaca-

kaca. Dia tak bisa melukiskan semua kebaha-

giaan, keharuan dan rasa hormatnya pada tiga 

gurunya ini.

Dan rasa cintanya semakin mendalam.

Tiba-tiba dia bersujud di hadapan keti-

ganya.

"Guru!"

Ketiga gurunya tersenyum menahan haru.

Mukti berkata, "Ratih... janganlah kau lagi 

berbuat seperti ini kepada kami... Kau telah men-

jadi seorang wanita yang terhormat dan dihorma-

ti... Apa nanti kata murid-muridmu bila melihat 

kau bersujud kembali kepada kami?"

"Guru... aku tidak suka mendengar kata-

kata Guru ini... kalian adalah tetap guruku yang 

amat kuhormati. Aku tidak perduli dengan omon


gan apa yang terjadi di antara murid-muridku. 

Tidak Guru, karena aku amat mencintai Guru se-

kalian.... Kalianlah yang telah berbaik hati, yang 

telah membentukku hingga aku menjadi sekarang 

ini...."

Tek Jien berkata, "Ratih... muridku... me-

mang, kami adalah gurumu, orang tuamu, tetapi 

kini kau telah tumbuh menjadi wanita yang ter-

hormat. Dan yang perlu kau ingat lagi, kami 

hanya sebatas seorang guru saja. Bila dikatakan 

orang tua, itu karena kami menganggapmu seba-

gai anak kami. Dan kami adalah tetap pemban-

tumu, Ratih...."

"Tidak, tidak... Guru jangan berkata demi-

kian!" kata Ratih Ningrum yang masih bersujud di 

hadapan ketiganya. "Aku tidak suka mendengar 

kata-kata itu. Bila kalian masih mengatakannya 

lagi, berarti kalian tidak menganggapku sebagai 

murid kalian!"

Kembali keharuan menyelimuti tiga kakek 

itu.

Lalu terdengar desahan nafas panjang Pa-

tidina.

"Ratih kau tetaplah murid kami... ya, kami 

terima sembahmu ini... Kami amat bahagia dan 

bangga memiliki seorang murid sepertimu, Mu-

ridku... Bangunlah...."

Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari 

bersujudnya.

Matanya sembab karena berkaca-kaca.

"Ya, kami bertiga adalah gurumu... dan 

kau adalah murid kami," kata Patidina.


Ratih Ningrum tersenyum.

Madewa Gumilang yang sejak tadi terdiam 

karena menahan haru berkata, "Sebaiknya, Guru 

sekalian beristirahatlah.... Tentunya kalian lelah 

setelah lama berhari-hari berjalan...."

"Benar, Madewa... ya, kami hendak beristi-

rahat," kata Mukti. "Selamat malam...."

Dia pun bangkit, disusul oleh Patidina dan 

Tek Jien.

Sepeninggal tiga kakek itu, Madewa me-

rangkul istrinya.

"Aku bangga padamu, Ratih...." desisnya 

seraya mengecup kening istrinya.

Istrinya hanya tersenyum saja.


Tujuh



Empat sosok tubuh yang menunggang ku-

da itu menggebrak lari kuda mereka kencang-

kencang. Mereka adalah Barong Projo dan Tiga 

Setan Pemetik Bunga.

"Kau yakin, Barong... kalau tiga orang itu 

pergi ke arah timur?" bertanya Polodomo.

"Ya! Aku yakin sekali, karena aku menden-

gar percakapan mereka!" sahut Barong Projo.

Mereka sudah dua hari dua malam berku-

da dengan cepat. Hanya dua kali beristirahat un-

tuk makan. Bagi mereka lebih cepat lebih baik, 

karena bila tidak sudah keduluan oleh orang-

orang yang lain.


Melewati sebuah hutan, keempatnya terus 

saja memacu.

Tiba-tiba terdengar kekehan yang panjang 

yang menggema ke seluruh hutan.

Keempatnya menghentikan lari kuda mere-

ka.

Polodomo mendesis, "Roro Kunti!"

Barong Projo menoleh ke arahnya. "Siapa 

dia, Polodomo?" tanyanya.

"Roro Kunti adalah setan betina saha-

batku!" sahut Polodomo tanpa menoleh pada Ba-

rong Projo. Lalu dia berteriak, suaranya mengge-

ma ke seluruh hutan, "Roro Kunti... keluarlah 

kau! Mengapa menyambut sahabatmu ini dengan 

jalan bersembunyi, hah?!"

"Hihihi... Polodomo... aku tahu kau tidak 

sedang datang untuk menyambangiku! Nah, ka-

takan dulu ada perlu apa kau dengan teman-

temanmu itu seperti tergesa-gesa, hah?"

"Keluarlah dulu!"

"Kau tahu sifatku, bukan?!"

"Baik! Roro Kunti... ketahuilah... aku den-

gan tiga temanku ini sedang memburu warisan 

yang besar!"

"Hihihi... warisan dari mana, Polodomo?! 

Yang kutahu... kau tak punya apa-apa, Kakek!"

Dipanggil dengan sebutan kakek membuat 

wajah Polodomo memerah.

"Baik! Kami tengah memburu harta waris 

yang dibawa oleh tiga orang kakek!"

"Banyakkah jumlahnya?!"

"Luar biasa banyaknya!"


"Apakah aku akan kebagian juga?!"

"Bila kau mau ikut serta!"

"Bagaimana bila aku menyatakan diri un-

tuk ikut?!" terkikik Roro Kunti.

"Itu lebih baik!"

"Bagaimana dengan teman-temanmu?!"

"Semua ini urusanku!"

"Tetapi kulihat wajah mereka begitu tam-

pak dan tak bersahabat!"

Mendengar kata-kata Roro Kunti itu, wajah 

Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo 

memerah.

Tetapi mereka diam saja. Karena Roro Kun-

ti sahabat dari teman mereka, Polodomo.

"Mereka adalah sahabat yang baik, Roro!"

"Bisakah kupegang ucapanmu?!"

"Jangan kuatir!"

"Aku kuatir mereka akan bernafsu meli-

hatku!"

"Hahaha... siapa pun akan nafsu melihat-

mu, Roro!"

"Apakah aku harus keluar sekarang?!"

"Ya, keluarlah kau!"

Tiba-tiba sebuah sosok berbaju putih tipis 

menerawang melompat entah dari mana dan telah 

hinggap di hadapan orang-orang itu.

Roro Kunti terkekeh sambil mengipas-

ngipas wajahnya dengan kipas yang berwarna pu-

tih dengan bunga mawar merah di tengahnya.

Mata Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Ba-

rong Projo seakan mau melompat keluar melihat 

sosok tubuh yang berdiri di hadapan mereka.


Sosok itu mengenakan pakaian tipis yang 

menerawang. Yang memperlihatkan dua buah ca-

rik kain berwarna merah yang menutupi bagian 

dadanya dan pangkal pahanya. Wajah sosok itu 

demikian cantik jelita, bagai dewi yang baru turun 

dari kahyangan.

Ketiganya sampai lupa menutup kembali 

mulut mereka yang terbuka.

Polodomo terkekeh melihat ketiga kawan-

nya menjadi terbengong demikian.

"Selamat bertemu lagi, Roro...."

"Hihihi.... selamat bertemu pula, Polodo-

mo...." terkikik Roro Kunti. Bau wangi yang men-

guar dari tubuhnya begitu semerbak.

"Kau semakin cantik dan mengundang bi-

rahi saja, Roro...." kata Polodomo yang tak bisa 

menyembunyikan gairahnya.

"Hihihi... memang, aku pun merasakan hal 

itu. Dan mengapa tiga temanmu itu terbengong, 

hah? Apakah mulut mereka keram hingga tak bi-

sa menutup kembali.... hihihi..." Roro Kunti men-

gikik genit.

Polodomo pun terbahak.

Membuat ketiga kawan mereka menjadi 

sadar kalau mereka lupa menutup mulut.

Dan mau tak mau wajah mereka pun me-

merah.

Polodomo memperkenalkan Roro Kunti ke-

pada tiga temannya.

"Hmm... sebenarnya kau hendak ke mana, 

hah?!"

"Kami sedang menuju ke arah timur Gu


nung Slamet."

"Mengapa ke sana?"

"Karena tiga kakek yang membawa warisan 

itu sedang mengarah ke sana...."

"Jadi sekarang aku boleh ikut?"

"Dengan senang hati. Kau pilih hendak 

menunggang kuda yang mana?"

"Hihihi... sudah tentu bukan kudamu, Ka-

kek. Juga bukan kuda-kuda di kedua temanmu 

yang juga seorang kakek-kakek. Tetapi.... hihi-

hi..." Roro Kunti mengerling ke arah Barong Projo.

Barong Projo menjadi kembang-kempis da-

danya. Dan debar jantungnya semakin kuat.

Polodomo terbahak melihat siapa yang di-

incar oleh Roro Kunti.

"Silahkan bila kuda itu yang kau pilih?"

"Kau tahu saja keinginanku, Polodomo...." 

terkikik kembali Roro Kunti.

Dan dengan sekali melompat dia sudah 

hingga di belakang Barong Projo. Yang menjadi 

kikuk dan deg-degan. Bau wangi yang menguar 

dari tubuh itu begitu memabukkan.

Belum lagi ketiga sepasang buah dada mi-

lik Roro Kunti menempel di punggungnya. Sema-

kin membuatnya ‘Senin-Kamis’.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Polodo-

mo.

Barong Projo menyahut dengan nafas se-

tengah mendesah.

"Ya! Lebih cepat lebih baik!"

Lalu keempat kuda itu menggebrak berlari.

Barong Projo menjadi setengah grogi. Na


mun lebih cepat dia melarikan kudanya, lebih 

erat pegangan tangan Roro Kunti di pinggangnya.

Dan semakin membuatnya keenakan.

Di wajah Pala Tunggal dan Sakung Bukit 

terpancar sinar iri yang luar biasa.

Ketika senja datang, keempat penunggang 

kuda itu tiba di sebuah desa. Mereka turun di de-

pan sebuah kedai untuk mengisi perut.

Kehadiran mereka sudah tentu menarik 

perhatian para pengunjung kedai itu. Terutama 

Roro Kunti yang berpakaian amat merangsang.

Di kedai itu, ada enam orang laki-laki ber-

wajah seram yang sedang makan. Mereka adalah 

orang-orang yang suka mengacau seisi desa.

Melihat kehadiran orang-orang itu teruta-

ma Roro Kunti, mereka menjadi terbahak-bahak.

"Bukan main... betapa cantiknya wanita 

itu...."

"Ya, aku pun ingin sekali melewati malam 

nanti bersamanya."

"Sudah tentu aku pun demikian."

"Hei, mengapa kalian hanya berbicara saja? 

Mengapa tidak kita datangi saja mereka?"

"Betul! Aku pun sudah tidak sabar untuk 

melihat bagian tubuhnya lebih dekat."

"Ini merupakan anugerah dari Tuhan un-

tuk kita."

Keenam orang itu terbahak-bahak.

Dan serentak keenamnya bangkit meng-

hampiri orang-orang yang baru datang itu.

Mereka terkekeh-kekeh di hadapan kelima 

orang yang sedang menikmati hidangan itu.


"Kau lihat, bukan main.... bagian tubuhnya 

begitu indah sekali!"

"Betul! Aku ingin sekali menyelusup ke da-

da yang montok itu!"

"Hahahah.. mengapa tidak kau lakukan sa-

ja, Sima?"

Yang dipanggil dengan Sima tadi terbahak. 

Lalu tanpa merasa malu atau pun risih dia men-

gulurkan tangannya ke arah dada Roro Kunti.

Roro Kunti diam saja ketika dadanya dira-

ba.

"Bukan main, kenyal sekali!" tertawa Sima.

"Hahaha... beruntung nasibmu, Sima...."

"Apakah kau ingin merasakannya, Ireng 

Guruh?"

"Bukan hanya merasakannya, tetapi me-

remasnya!"

"Silahkan, silahkan!" Sima terbahak dan 

melepas rabaannya.

Ireng Guruh mendekat.

Ganti dia yang memegang dada itu.

Roro Kunti tetap diam saja.

Tetapi ketika Ireng Guruh meremas da-

danya, dengan satu gerakan yang amat cepat, ta-

hu-tahu sumpit yang dipegangnya telah masuk ke 

salah satu lobang hidung Ireng Guruh. Yang lang-

sung menjerit kesakitan.

Hidungnya berdarah.

Roro Kunti tetap tak acuh menikmati ma-

kannya, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Begitu pula dengan Tiga Setan Pemetik 

Bunga.


Barong Projo sendiri dengan nikmatnya 

meneguk araknya.

Namun lain halnya dengan teman-teman 

Ireng Guruh. Melihat kawan mereka dihantam 

seperti itu, dengan satu gerakan yang amat cepat, 

membuat mereka menjadi murka.

Sima menggebrak meja yang sedang dipa-

kai sebagai alas mereka untuk makan.

"Manusia-manusia anjing! Jangan jual la-

gak di sini?!" geramnya.

Para pengunjung yang sudah melihat gela-

gat yang tidak baik, satu per satu beranjak me-

ninggalkan tempat itu. Mereka tak mau jadi sasa-

ran orang-orang ganas itu.

Mereka juga tahu siapa Ireng Guruh dan 

teman-temannya. Orang-orang yang suka mem-

buat onar.

Pemilik kedai itu sudah tegang, sekali. Na-

mun dia tak berani berbuat apa-apa.

Hanya memperhatikan saja dari tempat-

nya.

Dibentak seperti itu, Barong Projo berdiri. 

Seolah tidak melihat adanya orang, dia mengge-

rakkan kedua tangannya ke arah kiri dan kanan.

"Duk!"

Kepalan tangan kanannya mengenai dada 

yang membentak tadi. Membuat Sima terhuyung 

ke belakang.

"Oh, maaf!" kata Barong Projo. "Maafkan 

aku, Ki Sanak... aku tidak melihat Kisanak berdiri 

di sini...."

Sima yang sudah menguasai keseimban


gannya menggeram murka. Lalu tanpa banyak 

cakap lagi dia menyerang Barong Projo. Sudah 

tentu Barong Projo tak mau dirinya dijadikan sa-

saran serangan dari Sima.

Dia tadi memang sengaja melakukannya.

Menghadapi satu pukulan yang dilancar-

kan oleh Sima, Barong Projo keluar dari duduk-

nya dan menendang kursi ke arah Sima.

"Setan alas!" Sima melompati sambil mem-

berikan satu tendangan ke arah dada Barong Pro-

jo.

Barong Projo menangkis dengan tangan-

nya.

Sima merasakan kakinya membentur tem-

bok yang keras. Dan dia pun bersalto ke belakang 

untuk menjaga keseimbangannya.

Ireng Guruh yang masih berdarah hidung-

nya pun langsung menyerang ke arah Roro Kunti.

"Perempuan setan, kubunuh kau atas per-

lakuanmu ini padaku!"

Roro Kunti pun tak mau dirinya dijadikan 

sasaran pukulan Ireng Guruh. Masih dengan tu-

buh terduduk, dia menarik kepalanya ke bela-

kang.

Pukulan itu lewat beberapa senti di wajah-

nya. Dan tangannya segera bergerak ke kanan, ke 

arah perut Ireng Guruh.

"Des!"

Pukulan itu dengan telak mengenai perut 

Ireng Guruh yang langsung mengaduh.

Teman-temannya yang lain pun menjadi 

murka. Mereka langsung menyerang orang-orang


itu.

Tiga Setan Pemetik Bunga pun menjadi sa-

saran serangan-serangan mereka.

Serentak di kedai itu terjadi perkelahian 

yang seru. Polodomo menghadapi dua orang. Yang 

lain berkelahi satu lawan satu.

Namun kali ini gerombolan Ireng Guruh 

harus kena batunya. Selama ini di desa itu me-

mang belum ada yang berani menentang mereka 

dan mengalahkan mereka.

Lalu dengan gerakan yang tak banyak 

membuang tenaga, satu per satu menjatuhkan 

lawannya hingga mampus.

Tinggal Ireng Guruh kini sendiri yang lang-

sung menjadi pias wajahnya.

Roro Kunti terkikik.

Dia mengipas-ngipas wajahnya.

"Sekarang, apa lagi yang hendak kau per-

buat hah. Orang gagah?!" Meskipun menyadari 

dirinya tak akan lolos dan tak akan mungkin me-

nang untuk melawan, Ireng Guruh mendengus 

dengan berani.

"Bila kalian memang jantan, lawan aku sa-

tu per satu!" serunya.

"Hihihi.... melawanmu? Tak sulit, Orang 

Gagah? Malah lebih sulit membalikkan telapak 

tangan!" terkikik kembali Roro Kunti.

Mendengar kata-kata itu wajah Ireng Gu-

ruh semakin pias. Dia yakin memang tak akan 

menang melawan mereka, meskipun satu persa-

tu.

Namun dia tidak mau orang-orang itu tahu

dirinya ketakutan.

Maka dia membentak lagi, "Sombong, kau 

perempuan iblis! Majulah bila kau benar-benar 

berani melawanku, hah?!"

"Hihihi... sudah kukatakan tadi, melawan-

mu lebih sulit membalikkan telapak tangan."

"Maju! Bila kau ingin membuktikannya!"

"Mengapa tidak kau sendiri yang menye-

rangku, hah?!" tersenyum menebar rangsangan 

Roro Kunti.

"Setan alas! Tahan serangan!" sambil 

menggeram Ireng Guruh menyerang dengan ga-

nas.

Namun Roro Kunti dengan masing mengi-

pas-ngipas menghindari setiap serangan itu.

"Hihihi... mana bukti omonganmu itu, 

Orang Gagah?!"

Semakin jengkel dan marah Ireng Guruh. 

Dia kembali menyerang dengan mengerahkan se-

genap kemampuannya. Namun sia-sia saja perla-

wanannya.

Roro Kunti terkikik sambil mengipas dan 

bersalto ke belakang, hinggap pada tempatnya 

semula.

"Hihihi.... inikah bukti yang kau ingin per-

lihatkan?" kikiknya.

Ireng Guruh yang megap-megap menden-

gus.

"Kubunuh kau nanti!"

"Mengapa pakai nanti?"

Merasa dirinya benar-benar tak bisa lolos 

lagi, Ireng Guruh mencoba menggertak, "Perem


puan iblis... mengapa tidak kau yang menyerang-

ku, hah?! Aku pun ingin melihat apakah kau bisa 

menjatuhkan aku? Atau... kau hanya besar mulut 

saja, sama besarnya dengan buah dadamu itu!"

Wajah Roro Kunti memerah.

"Anjing kurap! Kau lihat seranganku ini!" 

geramnya seraya menyerbu.

Kipasnya tertutup. Dan dijadikannya senja-

ta untuk menotok. Tubuhnya berkelebat dengan 

cepat. Setiap kali berkelebat, menguar bau harum 

dari tubuhnya.

Sebisanya Ireng Guruh menghindari seran-

gan-serangan yang dilancarkan dengan cepat itu.

Namun pertahanannya sia-sia belaka.

Satu gedoran telapak tangan kiri Roro Kun-

ti menghantam dadanya.

"Dees!"

Membuat tubuhnya terhuyung ke bela-

kang. Sempoyongan.

Belum lagi Ireng Gurah dapat menguasai 

keseimbangannya, Roro Kunti sudah maju den-

gan deras dengan satu pukulan yang siap dihan-

tamkan kembali.

"Tahan!" terdengar seruan itu.

Membuat Roro Kunti menghentikan seran-

gannya. Dan berpaling pada Polodomo dengan 

jengkel.

"Mengapa kau menyuruhku menahan?!" 

serunya.

Polodomo tersenyum.

"Sabar, Roro..."

"Tetapi dia telah menghinaku, Polo...."


"Sabar, Roro... dia bisa kita jadikan saha-

bat."

"Apa maksudmu?"

"Orang seperti dialah yang menjadi sahabat 

kita."

"Aku tidak mengerti."

"Orang ini begitu gagah berani. Meskipun 

maut sudah diambang pintu. Aku membutuhkan 

orang-orang seperti itu."

"Aku...."

"Biar kuurus semuanya, Roro...." kata Po-

lodomo tersenyum dan berusaha menenangkan 

Roro Kunti yang menggeram marah.

Roro Kunti menoleh pada Ireng Guruh yang 

nampak kesakitan. Dia mendengus.

"Hhh! Bila bukan karena perintah saha-

batku ini, sudah kucabut nyawamu, manusia anj-

ing!" makinya.

Ireng Guruh hanya terdiam. Rasa ngilu 

masih menjalar di seluruh tubuhnya akibat han-

taman telapak tangan kiri dari Roro Kunti tadi.

Polodomo menghampirinya.

"Ulurkan kedua tanganmu," katanya pada 

Ireng Guruh.

Laki-laki berwajah seram yang merasa su-

dah tak bisa berbuat apa-apa lagi mengulurkan 

tangannya, begitu menurut sekali.

Polodomo menindih telapak tangan itu 

dengan telapak tangannya.

Lalu dialirkannya tenaga dalamnya melalui 

telapak tangannya ke telapak tangan Ireng Guruh.


Ireng Guruh merasakan hawa panas ma-

suk ke dalam tubuhnya. Dan perlahan-lahan di-

rasakannya rasa ngilu yang masuk hingga ke tu-

lang sumsumnya, perlahan-lahan menghilang.

Setelah itu Polodomo tersenyum.

"Nah.... siapa namamu?" tanyanya.

"Namaku Ireng Guruh...."

"Ireng.... nyawamu sudah kuselamatkan. 

Dan kau harus berterima kasih padaku."

"Terima kasih, Ki Sanak."

"Namaku Polodomo. Itu Roro Kunti, Pala 

Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo. Kini se-

karang kita teman."

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah menyelamatkan nyawamu, dan 

kau harus menurut pada semua kata-kataku."

"Aku belum mengerti."

"Baik, akan kujelaskan. Kini kau adalah 

salah seorang anggota kami. Sahabat kami. Dan 

kau harus menurut semua perintah kami. Mengi-

kuti semua yang kami lakukan."

"Berarti, mulai hari ini aku adalah bagian 

dari kalian?" tanya Ireng Guruh.

"Benar! Kau adalah bagian dari kami."

"Baik, kalau begitu adanya... aku akan 

menurut pada kalian dan bergabung dengan ka-

lian."

"Bagus! Mari kita lanjutkan perjalanan la-

gi!"

Lalu orang-orang itu pun segera mening-

galkan kedai yang porak poranda tanpa mem-

bayar sepeser pun.


Pemilik kedai itu hanya bisa menghela na-

fas dan mengelus dada. Tetapi dia tak berani un-

tuk berbuat apa-apa. Karena dia masih sayang 

terhadap nyawanya

.

Delapan



Tiga kakek guru dari Ratih Ningrum sedang 

memperhatikan para murid-murid Perguruan To-

peng Hitam yang pagi itu sedang berlatih.

Mereka kagum melihat kedisiplinan dan 

ketaatan para murid-murid Perguruan Topeng Hi-

tam. Dan mereka yakin ini berkat peraturan dan 

rasa kekeluargaan yang diterapkan oleh Madewa 

Gumilang.

Dalam kesempatan itu, Mukti pun menga-

jarkan beberapa jurus pedang yang dimilikinya. 

Begitu pula dengan Patidina. Dia merubah se-

buah pedang menjadi jurus keris. Setelah hampir 

seminggu berada di Perguruan Topeng Hitam, su-

atu malam ketiganya pun bertemu kembali den-

gan Madewa Gumilang dan istrinya di ruangan 

tengah.

Di sana hadir pula Pranata Kumala dan is-

trinya, Ambarwati.

"Ada apa gerangan Guru, hingga Guru 

meminta kami untuk bertemu?" tanya Ratih Nin-

grum.

Ketiga gurunya nampak mendesah pan-

jang.

Lalu terdengar suara Mukti berkata, "Muridku... tugas kami telah selesai... warisan itu te-

lah kami serahkan kepadamu. Maka.... rasanya 

kami sungkan selaku tamu untuk berlama-lama 

di sini..."

"Apa maksud, Guru?"

"Kami ingin segera pamit, Muridku...." kata 

Patidina.

"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut.

"Muridku...." kata Tek Jien. "Kami di sini 

hanyalah seorang tamu. Dan kami menjadi malu 

bila terlalu lama berada di sini. Kau mengerti, 

Muridku?"

"Guru... mengapa kalian menduga seperti 

itu. Di sini adalah rumah kalian juga. Tempat 

tinggal kalian juga. Di sini tidak ada kata-kata se-

bagai tamu dan tuan rumah. Tidak ada sama se-

kali"

"Kami mengerti, Ratih...." kata Mukti. "Te-

tapi kami harus segera pamit."

"Mengapa, Guru?"

"Kami ingin kembali ke asal kami masing-

masing. Kami merasa masing-masing di antara 

kami sudah seharusnya kembali ke kampung ha-

laman sendiri-sendiri...."

"Tidak bisakah Guru menahan keinginan 

itu?"

"Sudah hampir seminggu kami berada di 

sini, Ratih...." kata Patidina.

"Seminggu, sebulan atau pun seumur hi-

dup. Aku tak pernah menganggap kalian sebagai 

tamu di sini. Demi Tuhan, aku tak pernah men-

ganggap kalian seperti itu...."



"Benar, Guru..." kata Madewa Gumilang 

yang sejak tadi dia saja. Dan merasa tidak enak 

bila tidak berkata. "Apa yang dikatakan oleh istri-

ku memang benar. Kami semua tak pernah men-

ganggap kalian sebagai tamu. Malah kami meng-

harapkan kalian untuk selamanya menetap di si-

ni...."

"Iya, Kakek...." kata Pranata Kumala. "Se-

jak kedatangan kakek guru bertiga sekalian di si-

ni, banyak sekali ilmu yang kudapatkan. Bukan-

kah begitu, Rayi?" tanyanya pada isterinya.

Ambarwati mengangguk.

"Benar kakek guru, apa yang dikatakan 

Kakang Pranata memang benar adanya...."

Ketiga kakek itu menjadi terharu menden-

gar semua kata-kata itu. Namun mereka tetap 

berkeinginan untuk kembali ke kampung hala-

man masing-masing.

Ingin menghabiskan masa tua mereka di 

sana. Dan mati di tanah kelahiran.

"Kalian semua memang orang-orang bijak-

sana dan baik," kata Mukti. "Aku pribadi merasa 

bersyukur sekali atas semua ini. Ternyata aku 

dan kedua sahabatku ini memiliki anak dan cucu 

yang begitu baik sekali...."

"Kami pun bangga dengan sikap kalian se-

mua," kata Patidina.

"Namun... kami tetap berkeinginan untuk 

kembali ke kampung halaman... karena kami se-

rasa usia kami sudah diambang pintu maut...." 

kata Tek Jien.

Orang-orang yang hadir di situ menjadi


terharu pula. Diam-diam mereka pun menjadi 

rindu dengan tanah kelahiran mereka.

Dan mereka tak bisa lagi untuk mencegah 

ketiga kakek itu untuk meninggalkan Perguruan 

Topeng Hitam dan kembali ke tanah kelahiran 

mereka.

"Kapan Guru akan meninggalkan kami?" 

tanya Ratih Ningrum dengan mata berkaca-kaca. 

Dia memang tak perduli menangis di hadapan 

suami, putra dan anak menantunya. Dia teramat 

mencintai ketiga kakek ini. Teramat menyayangi 

mereka.

"Besok pagi, setelah matahari sepenggalah 

kami sudah harus meninggalkan tempat ini," kata 

Mukti.

"Tidak bisakah ditunda barang sehari lagi?" 

pinta Ratih Ningrum penuh harap.

"Maafkan kami, Muridku... kami merasa 

sudah cukup untuk melepas rindu padamu...."

Ratih Ningrum hanya terdiam mendengar 

kata-kata itu.

***

Keesokan paginya, di halaman Perguruan 

Topeng Hitam nampak seluruh murid perguruan 

itu berbaris di halaman. Mereka tidak sedang ber-

siap untuk berlatih. Tetapi mereka tengah berdiri 

tegap untuk melepas kepergian tiga kakek guru 

itu.

Mata Ratih Ningrum berkaca-kaca. Dia tak 

bisa menahan tangisnya.


Madewa mendekapnya dengan penuh kasih 

sayang.

Pranata Kumala juga mendekap istrinya 

yang hanya terisak pelan.

Tiga kakek itu telah bersiap untuk segera 

meninggalkan tempat itu.

Mukti berkata, "Janganlah kalian sekali-

kali menganggap kepergian kami ini karena kami 

tidak mencintai kalian. Tidak sama sekali. Kami 

teramat sangat mencintai kalian. Kami amat me-

nyayangi kalian. Namun kami memang harus 

pergi meninggalkan kalian...."

"Dan kenanglah kami yang tua ini," kata 

Patidina.

"Mungkin bila ada satu kesempatan yang 

entah kapan akan datang, kami akan kembali un-

tuk berjumpa dengan kalian," kata Tek Jien.

Ketiga kakek itu pun tak bisa menahan ra-

sa harunya. Mata mereka pun berkaca-kaca.

"Guru...." desis Ratih Ningrum seraya me-

lepaskan diri dari rangkulan suaminya. Dia berla-

ri dan menjatuhkan diri di hadapan ketiga gu-

runya. "Maafkan aku, bila aku mempunyai salah 

pada kalian...."

Kembali terlihat keharuan menyelimuti ke-

tiganya.

Mukti mengusap kepala Ratih Ningrum.

"Muridku... kau harus tegar. Kau telah 

menjadi orang terhormat dan dihormati. Jangan-

lah kau bersikap cengeng. Kau bisa menjaga di-

rimu. Dan kami pun yakin, suamimu akan men-

jaga dirimu pula. Begitu pula dengan putra dan


anak menantumu. Banyak orang-orang yang 

mencintaimu di sini. Muridku.... Jadi, janganlah 

kau bersikap cengeng seperti ini...."

"Benar, Muridku... kami semua mencin-

taimu... Kami tak ingin kau terbelenggu oleh rasa 

hormatmu kepada kami... Tidak, Muridku... kami 

hanya ingin kau hidup berbahagia dan damai se-

lamanya...." kata Patidina.

"Ya.... Ratih Ningrum, Muridku... melihat 

keadaan kau yang sudah berbahagia seperti ini 

kami sudah merasa teramat gembira sekali. Dan 

ini merupakan pengobatan hati kami yang rindu 

padamu...." kata Tek Jien.

"Yah... pagi ini, kami akan segera berang-

kat meninggalkan perguruan ini. Meninggalkan 

kalian semua...." kata Mukti. "Selamat tinggal se-

mua!"

Sesudah berkata begitu, dia pun memba-

likkan tubuhnya dengan segera karena tak mau 

melihat Ratih Ningrum menangis. Mukti merasa-

kan muridnya itu masih seperti yang dulu. Selalu 

manja dan bila keinginannya tidak dipenuhi maka 

dia akan ngambek dan menangis.

Mukti tak mau melihat hal itu lagi. Melihat 

kawannya sudah melangkah, Patidina dan Tek 

Jien pun menyusul.

Angin pagi mengantar kepergian mereka.

Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari 

berlututnya. Lalu diucapnya pelan pada angin, 

"Guru... selamat jalan...."


Sembilan


Setelah melangkah setengah hari, ketiga 

kakek itu beristirahat di sebuah hutan kecil. Me-

reka pun sebenarnya merasa berat untuk me-

ninggalkan murid mereka. Namun mau tak mau 

mereka harus pergi meninggalkannya.

"Mau rasanya aku kembali kepada mere-

ka," kata Mukti.

"Begitu pula aku," kata Patidina. "Ingin pu-

la rasanya aku mati di antara mereka...."

"Yah... agar ada makam kita di tanah Per-

guruan Topeng Hitam...." kata Tek Jien.

Tiba-tiba, amat tiba-tiba, di hadapan mere-

ka telah berdiri enam sosok tubuh. Mereka terdiri 

dari tiga orang kakek, dua laki-laki setengah baya 

dan seorang wanita yang berwajah rupawan.

Ketiga kakek itu segera bangkit berdiri.

Dan kening mereka berkerut ketika men-

genali salah seorang dari yang berdiri di hadapan 

mereka itu.

Dari rasa kaget itu berubah menjadi terta-

wa.

Mukti berkata, "Hahaha... rupanya kau Ba-

rong Projo, bukan?"

Yang berdiri dengan sikap tak bersahabat 

itu memang Barong Projo, Tiga Setan Pemetik 

Bunga, Roro Dewi dan Ireng Guruh yang menjadi 

salah seorang sahabat mereka sekarang.

Barong Projo mendengus.

"Hhhh! Kakek peot, kini kita bertemu kem


bali, bukan? Aku datang untuk membalas sakit 

hatiku dan mengambil peti-peti yang kalian ba-

wa!"

"Peti-peti? Hahaha... peti-peti yang mana, 

Barong? Kau mengigau barangkali!"

"Kakek kurapan! Di mana peti-peti itu kau 

sembunyikan, hah?!" bentak Barong Projo yang 

melihat peti-peti itu sudah tidak ada pada mere-

ka.

"Sudah tentu peti-peti itu telah kami se-

rahkan pada yang berhak? Dan kau... tentunya 

bukanlah orang yang berhak, bukan?" kata Mukti 

dengan suara mengejek dan menyebarkan se-

nyum yang menyakitkan.

Merah padam wajah Barong Projo.

"Kakek-kakek keparat!" geramnya.

Tetapi makian itu hanya disambut tawa sa-

ja oleh ketiga kakek itu.

Roro Kunti mengipas-ngipas tubuhnya. La-

lu sambil menggerakkan tubuh secara erotis ter-

sembunyi, dia melangkah ke muka.

"Hihihi.... kalian berikan kepada siapa, Ka-

kek-kakek yang manis?" suaranya mendesah, dia 

mencoba memikat dengan menggunakan keha-

ruman tubuhnya.

Namun ketiga kakek itu cuma tak acuh sa-

ja. Seolah mereka tidak melihat pemandangan in-

dah yang terpampang di hadapannya.

"Kepada yang berhak, Nona. Itu sudah pas-

ti, bukan?" kata Patidina.

"Siapa dia?"

"Dia adalah seorang wanita yang arif, bi


jaksana, terhormat dan dihormati...."

"Oh, siapakah wanita yang beruntung itu?" 

kata Roro Kunti yang masih mencoba memikat.

"Dia tinggal cukup jauh dari sini, Nona...."

"Siapakah dia?"

"Dia lebih baik daripada kau yang cabul 

seperti itu, Nona!"

Mendengar kata-kata yang dilontarkan 

dengan cukup kasar itu membuat wajah Roro 

Kunti menjadi memerah.

Dia menggeram marah.

"Kakek-kakek tak tahu diuntung! Kalian 

rupanya mau mampus, hah?!"

"Hahaha... aku berbicara apa adanya, No-

na... Tidak melebih-lebihkan dan tidak mengu-

rang-ngurangkannya... Bukankah demikian 

adanya?"

Semakin memerah wajah Roro Kunti. Dia 

bermaksud untuk menyerang. Namun terdengar 

suara Polodomo berkata.

"Ki Sanak sekalian... bila kalian masih in-

gin melihat matahari besok pagi, beritahu kepada 

kami, kepada siapa kalian serahkan peti-peti 

itu...."

"Hahaha... agaknya juga tidak kepada 

kau?" terkekeh Tek Jien.

Hal ini membuat wajah Polodomo tak 

ubahnya seperti wajah Roro Kunti.

"Kalian rupanya mau mampus?" geramnya.

"Hahaha... siapa bilang kami mau mam-

pus? Kami masih ingin hidup lebih lama. Dan wa-

risan itu telah kami serahkan kepada yang ber


hak. Bukan orang-orang seperti kalian!" terkekeh 

Patidina.

Dan sehabis dia berkata demikian, Polo-

domo langsung menyerangnya. Yang disusul oleh 

yang lainnya.

Seketika di tempat itu terjadi pertarungan 

tak seimbang. Tiga guru Ratih Ningrum masing-

masing dikeroyok oleh dua orang.

Jurus demi jurus pun telah mereka lewati.

Bagi keenam orang yang bermaksud jahat 

itu, mereka secepatnya ingin membunuh ketiga 

kakek ini. Namun bagi ketiga guru Ratih Nin-

grum, mereka ingin secepatnya menyelesaikan 

masalah tanpa bermaksud membunuh.

Sebenarnya, mereka pun sudah menduga 

sejak lama. Kalau Barong Projo akan datang un-

tuk menuntut balas dan merebut peti-peti yang 

mereka bawa.

Itulah sebab sebenarnya mengapa keti-

ganya ingin meninggalkan Perguruan Topeng Hi-

tam. Karena mereka tak mau kejadian ini terjadi 

dan menimpa perguruan itu.

Serangan demi serangan pun mereka lan-

carkan.

Saling serang.

Saling balas.

Cepat.

Hebat.

Dan berbahaya.

Pada jurus kedua puluh, terlihat Patidina 

yang dikeroyok oleh Roro Kunti dan Polodomo 

terdesak hebat. Namun dia berusaha sekuat te


nang untuk menahan dan membalas.

Tetapi kedua penyerangnya adalah lawan-

lawan yang cukup tangguh. Dia kali ini benar-

benar terdesak hebat.

Berkali-kali pukulan keduanya masuk pa-

da bagian-bagian tertentu tubuhnya.

"Des!"

Sebuah tendangan yang dilancarkan oleh 

Polodomo membuat tubuhnya kehilangan ke-

seimbangan dan ambruk.

"Hhh! katakan, kepada siapa warisan itu 

kalian serahkan, hah?!" bentak Polodomo.

Patidina mengusap darah yang keluar dari 

mulutnya.

"Biarpun kau membunuhku, tak akan per-

nah kukatakan kepada siapa warisan itu kuse-

rahkan!"

"Anjing kurap! Kau ingin mampus ru-

panya!"

"Lebih baik aku mati secara terhormat da-

ripada hidup secara pengecut!"

"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana 

keberanian omonganmu itu?!" seru Polodomo se-

raya menyerang lagi.

Pikirnya dengan sekali serang dia akan bi-

sa segera menghabisi Patidina. Tetapi kakek itu 

dengan tiba-tiba saja berguling menyongsong se-

rangan Polodomo.

Menerima serangan seperti itu Polodomo 

menjadi terkejut. Maka diapun bersalto. Namun 

mendadak saja tubuh Patidina yang sedang ber-

guling tiba-tiba melompat seperti menerkam.


Dan satu pukulannya bersarang telak di

dada Polodomo hingga kakek itu tersentak ke be-

lakang dan ambruk ke tanah.

Melihat hal itu, Roro Kunti yang tak me-

nyangka Patidina dapat berbuat seperti itu men-

jadi menggeram.

Dia pun menyerang kembali.

Sementara itu Mukti tengah bersusah 

payah menghindari dan mengimbangi serangan-

serangan dari Pala Tunggal dan Ireng Guruh.

"Lebih baik kau menyerah saja, hah?!" ben-

tak Pala Tunggal. "Dan beritahu kepada kami ke-

pada siapa kau serahkan warisan itu?!"

"Aku bukanlah orang yang pengecut, Ki 

Sanak! Kau akan kecewa karena aku tak akan 

pernah memberikan atau memberitahukan kepa-

da siapa warisan itu kami serahkan!" seru Mukti 

dan mencoba terus menyerang dan bertahan.

"Sombong! Kau mengatakannya atau tidak, 

aku akan tetap membunuhmu!"

Sedangkan saat ini, Tek Jien pun tengah 

kewalahan menghadapi serangan-serangan dari 

Barong Projo dan Sakung Bukit. Kedua lawannya 

itu seakan mematikan gerakannya. Membuatnya 

sukar untuk meloloskan diri.

Belum ketika Sakung Bukit mengeluarkan 

ilmu Pemunah Mataharinya yang begitu hebat. 

Kedua tangannya seperti bercahaya.

Dan angin yang ditimbulkan setiap kali dia 

menggerakkan tangannya menebarkan hawa yang 

cukup panas.

Hal ini membuat Tek Jien menjadi semakin


kewalahan.

Dia pun tak berani untuk berbentrokan.

Tiba-tiba terdengar tiga buah jeritan secara 

bersamaan.

Disusul dengan tiga sosok tubuh yang ter-

pental ke belakang. Mukti, Patidina dan Tek Jien 

yang terpental itu.

Masing-masing mengusap darah yang ke-

luar dari mulut mereka. Dan mereka pun menya-

dari tak akan bisa meloloskan diri dari kepungan 

tiga orang ini.

Namun mereka tak mau menyerah begitu 

saja.

Maka dengan serentak ketiganya bangkit 

meskipun rasa sakit di dada mereka begitu me-

nyengat.

"Hahaha..." Polodomo terbahak. "Bukankah 

lebih baik kalian mengatakan saja kepada siapa 

warisan itu kalian serahkan. Kami tak akan lagi 

menurunkan tangan telengas pada kalian bila ka-

lian berlaku seperti seorang sahabat kepada kami! 

Dan ini merupakan jalan yang terbaik, bukan?"

Mukti mendengus. Lalu berkata seperti 

orang mau muntah.

"Tak sekali pun kami mundur dari hada-

pan kalian! Dan tak sekali pun kami akan menge-

luarkan suara untuk menjawab pertanyaan dan 

memenuhi permintaan kalian!"

"Berarti, kalian tidak bertindak seperti seo-

rang sahabat kepada kami?!"

"Kami memang tak pernah punya sahabat 

seperti kalian, Orang-orang busuk!"


"Anjing buduk! Kubunuh kau.!"

Sehabis berkata begitu, tubuh Polodomo 

menyerbu ke arah Mukti. Mukti pun segera me-

mapaki.

Dan kembali perkelahian tak seimbang itu 

terjadi.

Meskipun demikian, tiga kakek dari guru 

Ratih Ningrum itu sekuat tenaga berusaha untuk 

melawan dan menghadapi setiap serangan.

Mereka pantang penyerah.

Mereka bukanlah orang-orang pengecut.

Dan mereka tak akan pernah membuka 

mulut untuk memberitahukan pada siapa wari-

san itu mereka serahkan. Karena mereka tak mau 

Ratih Ningrum dan keluarganya mendapat kesuli-

tan.

Mereka merasa biarlah hanya mereka saja 

yang mengalami hal seperti ini.

Karena mereka amat mencintai Ratih Nin-

grum.

Amat mencintainya. Juga mencintai ke-

luarganya.

Namun kekeras-kepalaan mereka itu, 

membuat para penyerangnya semakin ganas dan 

kejam.

Semakin buas menyerang untuk membu-

nuh.

Sebisanya mereka bertahan.

Namun setelah berkali-kali mereka terkena 

hantaman, pukulan, tendangan dan sapuan yang 

keras, membuat mereka menjadi kehabisan tenaga.


Juga merasakan rasa sakit yang teramat 

sakit.

Kembali ketiganya terkapar di tanah, me-

nahan rasa sakit dan amarah di hati.

Polodomo mendengus lagi.

"Kami masih memberi kesempatan pada 

kalian untuk hidup! katakan, kepada siapa kalian 

menyerahkan warisan itu?!"

"Sudah kukatakan sejak tadi, sekali pun 

kalian akan menyiksa kami, tak akan pernah ka-

mi memberitahukan kepada siapa kami menye-

rahkan warisan itu. Orang-orang busuk!" kata 

Mukti sambil menahan rasa sakit yang menyen-

gat.

"Kalian benar-benar ingin mampus ru-

panya!" geram Polodomo.

"Kami lebih baik mati daripada harus men-

jilat ludah kami sendiri!"

Polodomo berpaling pada teman-temannya 

yang nampak tidak sabar.

"Kalian dengar apa yang diucapkannya itu? 

Dia bilang, mereka ingin mati!"

"Kita bunuh saja!" seru Roro Kunti.

"Ya, manusia-manusia seperti ini tak ada 

gunanya untuk hidup lebih lama!" kata Barong 

Projo. "Dan ini membuat kepala kita menjadi pus-

ing."

"Bagus, kalau begitu siapa di antara kalian 

yang ingin membunuhnya!"

Roro Kunti, Barong Projo dan Ireng Guruh 

menyediakan diri.

"Bagus! Kalian masing-masing membunuh



satu orang!"

Dan yang tengah menjadi algojo itu pun 

bersiap. Lalu dengan satu pekikan keras, keti-

ganya menerjang ke arah ketiga kakek yang ter-

kapar tak berdaya itu


.

Sepuluh



Memang tipis harapan bagi ketiga kakek 

itu untuk dapat hidup lebih lama lagi. Namun 

mereka pun bukanlah orang-orang pengecut. Dan 

mereka pun merasa lebih baik mati daripada me-

nimbulkan kesulitan pada murid mereka, Ratih 

Ningrum.

Yang tak pernah mereka sangka adalah, 

warisan itu telah menjadi incaran dari orang-

orang jahat ini.

Kini ketiganya hanya bisa memejamkan 

mata ketika tiga sosok tubuh itu berkelebat me-

nyerbu ke arah mereka masing-masing. Tak bisa 

lagi mereka untuk meloloskan diri.

Namun tiba-tiba satu sosok putih berkele-

bat ke arah tiga penyerang itu. Dan terdengar su-

ara jeritan berbarengan dari tiga penyerang itu.

Tubuh Roro Kunti terpental beberapa tom-

bak.

Tubuh Barong Projo bergulingan muntah 

darah.

Sedangkan tubuh Ireng Guruh langsung 

terpental dan mampus seketika.

Tiga Setan Pemetik Bunga pun terkejut me



lihat hal itu. Begitu pula dengan tiga kakek yang 

tengah memejamkan matanya. Serentak keti-

ganya membuka mata mereka.

Dan semua mata yang ada di sana melihat 

satu sosok berjubah putih yang tersenyum arif bi-

jaksana.

Belum lagi hilang kekagetan tiga kakek itu, 

satu sosok tubuh berkelebat mendekatinya.

"Guru!"

Ketiganya menoleh.

"Ratih!" seru mereka bersamaan. Ada nada 

gembira dari ucapan mereka.

"Apa yang telah terjadi, Guru?" tanya Ratih 

Ningrum pilu melihat keadaan tiga gurunya yang 

terluka.

"Ada kejadian kecil sedikit yang tak perlu 

dirisaukan," sahut Mukti padahal betapa sakit di-

rasakannya di sekujur tubuhnya. Namun dia be-

rusaha untuk menyembunyikannya.

Ratih Ningrum berpaling pada orang-orang 

yang ada di hadapannya. Tatapannya beringas 

dan berbahaya.

"Apa yang kalian perbuat pada guruku 

ini?" bentaknya marah.

Polodomo terkekeh. Roro Kunti dan Barong 

Projo susah payah bangkit mendekat. Mereka me-

rasakan sakit yang luar biasa sekali.

Hantaman satu sosok berjubah putih itu 

membuat keduanya menjadi kaget karena dengan 

sekali berkelebat sosok berjubah putih itu mampu 

membuat mereka luka parah di bagian dalam se-

perti ini.


"Hehehe... rupanya kau adalah murid dari 

tiga kakek sialan ini!" terdengar suara Polodomo.

"Apa maksud kalian melukainya, hah?!"

"Kami hanya meminta diberitahukan, ke-

pada siapa harta warisan itu mereka serahkan!"

"Warisan?!"

"Hehehe.. ya, ya... aku tahu... tentunya ke-

padamulah harta warisan itu mereka serahkan, 

bukan?"

Madewa memberi tanda agar istrinya ter-

diam.

Sambil menatap orang-orang itu dia berka-

ta, "Hmm... Ki Sanak sekalian, bila aku boleh ta-

hu... siapakah kalian semuanya?"

"Aku Polodomo. Salah seorang dari Tiga Se-

tan Pemetik Bunga. Ini kawanku, Pala Tunggal, 

Sakung Bukit, Barong Projo dan yang wanita itu 

Roro Kunti. Sedangkan yang mampus itu, Ireng 

Guruh, Nah, katakanlah... siapakah kau sendiri 

sebenarnya?!" sahut Polodomo angkuh.

"Rasanya... kita memang belum saling ken-

al. Tetapi karena kalian telah memperkenalkan 

diri, maka aku pun layak memperkenalkan diri 

pula. Namaku Madewa Gumilang... dan dia istri-

ku, Ratih Ningrum...."

"Siapa nama kau tadi, Ki Sanak?!" seru Po-

lodomo seperti teringat sesuatu.

"Kenapa?"

"Katakan lagi siapa namamu?!"

"Namaku Madewa Gumilang!"

"Apa? Madewa Gumilang?! Pendekar 

Bayangan Sukma!" seru Polodomo terkejut dan


membuat teman-temannya pun ikut terkejut.

"Mengapa? Ada yang aneh dengan nama-

ku? Dan yang kau sebutkan barusan adalah na-

ma julukanku? Rasanya... tidak ada yang aneh!"

Dari rasa terkejut Polodomo mendengus. 

"Hhh! Rupanya hari ini kami tengah berhadapan 

dengan pendekar nomor wahid di rimba persila-

tan ini! Tetapi kami tak pernah takut dengan sia-

pa pun!"

"Maaf, Polodomo... siapa yang memerintah-

kan padamu untuk takut kepadaku, hah? Nah, 

katakan... mengapa kau menyerang tiga kakek 

guru istriku ini?" kata Madewa Gumilang atau 

Perguruan Topeng Hitam sambil tetap tersenyum 

arif dan bijaksana.

Polodomo mendengus. "Madewa... tentunya 

kau tak akan pernah ikut campur dalam urusan 

orang lain, bukan?"

"Sayang sekali dugaanmu salah, Polodo-

mo.... bila kau melihat satu kezaliman, siapa pun 

orangnya akan aku bantu. Yah.... siapa pun 

orangnya!"

"Sombong! Rupanya pendekar nomor wahid 

di rimba persilatan ini adalah seorang yang som-

bong!"

"Polodomo.... kita tak punya silang sengke-

ta, sebaiknya kau tinggalkan tempat ini dan jan-

gan lagi mengganggu ketiga kakek ini...."

"Kau benar-benar sombong, Madewa! Nah, 

bila kau mengetahui di mana warisan itu berada, 

maka kami akan melepaskan dirimu dan orang-orang itu!"


"Warisan itu ada pada istriku. Nah, kau 

mau apa setelah mengetahuinya?"

"Kami akan merebutnya!"

"Kuminta... lebih baik kalian tinggalkan 

tempat ini!" seru Madewa.

"Manusia sombong! Tahan serangan! Kami 

akan tetap merebutnya!" seru Polodomo seraya 

maju menyerang.

Serangannya amat ganas. Karena dia me-

nyadari siapa yang tengah dihadapinya. Maka dia 

pun langsung menggunakan jurus andalannya. 

Pemanah Mata Api!

Madewa pun segera memapakinya. Dengan 

menggunakan Jurus Ular Meloloskan Diri dia 

berhasil menghindari setiap serangan yang dilan-

carkan oleh Polodomo.

Lalu diapun lalu mengimbanginya panas-

nya jurus itu dengan jurus Pukulan Angin Salju.

Melihat kawan mereka sudah bertempur, 

yang lain pun segera datang membantu. Mereka 

mengeroyok Madewa Gumilang.

Ratih Ningrum pun tak mau kalah. Melihat 

suaminya dikeroyok, dia pun maju membantu.

Roro Kunti pun segera melayaninya.

Kembali di tempat itu terjadi pertarungan 

yang amat hebat.

Tiga kakek yang dalam keadaan luka parah 

itu hanya bisa memperhatikan saja tanpa bisa 

berbuat apa-apa. Mereka sebenarnya ingin mem-

bantu, namun tubuh mereka dirasakan teramat 

lemah.

Dan diam-diam masing-masing menyesali


kejadian ini. Bila mereka tidak datang membawa 

warisan, tentunya murid mereka dan suami mu-

ridnya tidak akan mengalami hal seperti ini.

Kebetulan sekali tadi Ratih Ningrum ber-

maksud mencari ketiga gurunya karena hendak 

memberikan pada mereka sedikit harta warisan. 

Dan ditemani suaminya, diapun mulai mencari.

Betapa terkejutnya dia dan suaminya meli-

hat guru-gurunya tengah menanti ajal dengan 

mata terpejam. Dan suaminya pun segera bertin-

dak cepat memapaki serangan tiga orang itu pada 

guru-gurunya.

Kini mereka tengah terlibat dalam perkela-

hian yang teramat seru. Madewa sendiri menjadi 

terdesak ketika Tiga Setan Pemetik Bunga bersatu 

padu memainkan jurus andalan mereka bertiga 

bila bersama-sama.

Belum lagi dari serangan yang dilancarkan 

Barong Projo.

Namun Madewa masih berusaha sekuat 

tenaga untuk mengimbangi serangan-serangan 

itu. Kini dia menggunakan pukulan Tembok 

Menghalau Badai.

Suatu ketika pukulan itu mengenai Barong 

Projo yang tengah terluka parah. Dan orang itu 

pun mampus seketika.

Hal itu membuat Tiga Setan Pemetik Bunga 

menjadi murka. Mereka menyerang lagi dengan 

ganas.

"Hari ini, nama besar Perguruan Topeng 

Hitam akan tenggelam selama-lamanya!" terkekeh 

Polodomo.


Sementara itu Ratih Ningrum pun dengan 

sepasang pedangnya tengah mengimbangi per-

mainan kipas dari Roro Kunti. Kedua wanita itu 

nampak berimbang. Namun ketika Ratih Ningrum 

memadukan jurus sepasang Pedang kembarnya 

dengan pukulan Tangan Seribu, membuat Roro 

Kunti menjadi kewalahan.

Dan dengan satu gerak tipu yang hebat. 

Dia mengakhiri perlawanan Roro Kunti dengan 

menghujamkan pedangnya ke dada wanita itu.

Matilah Roro Kunti yang cabul itu.

Sedangkan Madewa tengah berusaha me-

nahan setiap serangan yang dilancarkan Tiga Se-

tan Pemetik Bunga.

Tiba-tiba saja Tiga Setan Pemetik Bunga 

bersalto ke belakang. Dan kemudian ketiga ter-

diam dengan sikap menjura. Mendadak ketiganya 

membuka tangan ke depan. Terlihatlah kalau 

masing-masing tangan mereka telah berubah 

menjadi hitam.

"Madewa... kini mampuslah kau! Tahan ju-

rus kami ini, Bara Menghantam Gunung!" seru 

Polodomo.

Lalu dengan diiringi teriakan yang keras 

ketiganya menyerang. Madewa menghindarkan-

nya dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dia dapat 

merasakan betapa ganasnya jurus yang dimain-

kan secara kompak dan cepat itu.

Namun lama kelamaan dia menjadi kewa-

lahan juga. Mendadak Madewa bersalto ke bela-

kang dan ketika hinggap di tanah dia tengah me-

rangkapkan kedua tangannya. Lalu membentang


kannya. Rupanya Madewa tengah melancarkan 

Pukulan pamungkasnya, Pukulan Bayangan 

Sukma.

Ketika orang itu pun tahu pukulan apa 

yang siap dilancarkan Madewa Gumilang. Namun 

mereka tidak takut.

Serentak pula mereka menyerbu. Madewa 

pun bersiap.

Namun sungguh di luar dugaan Madewa, 

tiba-tiba ketiga kakek itu bersalto ke arah tiga 

kakek yang terkapar tak berdaya di tanah. Tan-

gan mereka siap meluncur.

Dan tanpa ampun lagi ketika kakek yang 

terkapar itu menjerit terkena hantaman ajian Ba-

ra Menghantam Gunung.

"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut. Na-

mun ketiga gurunya telah menemui ajal mereka 

dengan tubuh hangus.

Melihat hal itu, Madewa menjadi murka. 

Lalu dia pun menyerbu ketiga kakek itu yang 

langsung memapakinya.

Dua pukulan sakti berbenturan.

Terdengar suara bagaikan sebuah ledakan.

Daun-daun berguguran. Dan tempat itu 

seketika mengepulkan debu tebal.

Dari debu yang menyelimuti itu terlempar 

empat sosok tubuh ke belakang. Madewa ter-

huyung beberapa langkah. Sedangkan Tiga Setan 

Pemetik Bunga langsung kelojotan mampus den-

gan tubuh hancur. Rupanya Madewa mengelua-

rkan Pukulan Bayangan Sukma tingkat tinggi.

Lalu dengan menahan sakit di dada, dia


menghampiri istrinya yang tengah menangisi 

mayat ketiga gurunya.

"Guru... guru... huhuhu... mengapa harus 

terjadi hal seperti ini... Huhuhu... mengapa 

Guru?"

Madewa cuma mendesah panjang. Tak be-

rani mengusik istrinya yang sedang bersedih.

Malam pun mulai turun.

Tangis Ratih Ningrum masih berkepanjan-

gan.



                             SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive