..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE RAJAHAN NAGA HITAM

RAJAHAN NAGA HITAM

 RAJAHAN NAGA HITAM

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : A. Suyudi.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Rajahan Naga Hitam

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Hari masih pagi, suasana Desa Kunyir sebelah 

utara nampak begitu sunyi. Apalagi daerah yang di-

tumbuhi kerimbunan pepohonan besar itu tersiram 

hujan deras. Sehingga menampakkan suasana yang 

terkesan begitu angker.

Tidak begitu jauh dari wilayah itu, di atas se-

buah dataran tinggi nampak suatu bangunan yang mi-

rip sebuah benteng. Di dalam bangunan tua itu terli-

hat dua lelaki berkepala gundul dan mengenakan ju-

bah seperti pendeta. Mereka nampak tengah memper-

cakapkan sesuatu.

"Sudah hampir sebulan kita mempelajari isi ki-

tab Gelang-Gelang Emas ini, Kakang Jatnika," ucap 

salah seorang dari dua lelaki berkepala gundul. Sua-

ranya hampir mirip dengan suara perempuan. "Tapi 

tak banyak yang dapat kita kuasai dari sekian banyak 

jurus-jurus berbahaya yang ada dalam kitab ini," lan-

jutnya.

Lelaki yang mempunyai suara mirip perempuan 

itu bernama Garnika. Mereka merupakan dua lelaki 

yang berjuluk Pendeta Kembar. (Baca serial Raja Petir 

dalam episode: 'Sengketa Pewaris Tunggal').

"Kau ini seperti anak kemarin sore yang baru 

pertama belajar ilmu silat saja, Adi Garnika," tukas 

kawannya dengan suara sedikit berwibawa.

Lelaki yang tak lain bernama Jatnika nampak 

mengembangkan senyumnya.

"Kitab ilmu silat ini kitab yang sangat baik, Adi 

Garnika. Sudah jelas, yang terkandung di dalamnya 

pun ilmu-ilmu yang bermutu baik. Jika seseorang in-

gin menguasai isi kitab ini, dia harus memiliki keingi-

nan yang baik. Maksudku harus sungguh-sungguh


mempelajarinya. Tak peduli berapa lama waktu yang 

harus disediakan," lanjut Jatnika.

Garnika tak membantah ucapan Jatnika. Lelaki 

berpakaian mirip pendeta yang bersuara seperti pe-

rempuan itu, kembali menggerak-gerakkan anggota 

tubuhnya. Sehingga dalam beberapa gerakan, tubuh 

Garnika nampak bergerak ke sana kemari dengan ke-

cepatan tinggi. Tangan dan kaki yang bergerak mela-

kukan pukulan dan tendangan terlihat susul-

menyusul hingga menimbulkan bunyi deru dan cericit 

cukup keras. Garnika dengan kemampuan tenaga da-

lamnya tengah mempelajari jurus-jurus pukulan dan 

tendangan dari kitab hasil curian itu.

"Ha ha ha....!"

Sebuah suara berat namun menggelegar seke-

tika menghentikan gerakan Garnika. Lelaki berkepala 

botak yang bersuara mirip perempuan itu menoleh ke 

wajah Jatnika yang juga terkejut mendengar suara ta-

wa yang berkesan meremehkan.

Beberapa saat Garnika dan Jatnika saling ta-

tap. Namun, kemudian tubuh Pendeta Kembar itu te-

lah melesat cepat ke asal suara menggelegar yang telah 

membuat hati mereka begitu tersinggung.

"Hop!"

Dengan sekali lesatan saja, tubuh Jatnika dan 

Garnika sudah berada di wuwungan rumah yang mirip 

benteng itu. Mata Pendeta Kembar segera berkeliling 

mencari-cari sosok lelaki yang dengan suara tawanya 

telah membangkitkan kemarahan mereka.

"Ha ha ha...! Kalian berdua memang pendeta-

pendeta hebat!" 

Suara berat itu mengusik lagi. Kali ini diiringi 

dengan kelebatan tujuh lelaki berpakaian hitam. Mere-

ka memang mengintai apa yang tengah dilakukan Pen-

deta Kembar dari cabang pohon jati yang paling tinggi.


Tujuh lelaki berpakaian hitam itu dengan ringan men-

darat di halaman bangunan yang mirip benteng itu.

"Panglima Naga Hitam...?" ucap Jatnika yang 

berdiri di atas wuwungan, ketika menyaksikan salah 

seorang dari tujuh lelaki berpakaian hitam.

Lelaki yang dikenali Jatnika sebagai Panglima 

Naga Hitam nampak berdiri dengan angker. Raut wa-

jah keras dan tatapan mata yang mencorong tajam, 

memberikan gambaran kalau lelaki berkumis hitam 

melintang itu bukan orang sembarangan. Dan ram-

butnya yang tergerai panjang sebahu cukup membuat 

penampilan lelaki itu bertambah seram.

"Jurus-jurus yang baru saja kalian mainkan, 

milik Perguruan Gelang Emas yang sudah rata dengan 

tanah. Kusimpulkan kalau kalian mendapatkan jurus-

jurus berbahaya itu, setelah berhasil mencuri kitab 

perguruan tersebut," ujar Panglima Naga Hitam. 

"Apa urusanmu, Panglima Naga Hitam? Toh ki-

tab itu tidak kucuri dari perguruanmu," sangkal Jatni-

ka.

"Tentu saja aku tak punya urusan dengan kitab 

yang begitu tidak ada artinya, Jatnika," bantah Pan-

glima Naga Hitam dengan suara berat dan terdengar 

begitu wibawa.

"Lalu apa tujuanmu mendatangi tempatku dan 

mengusik latihanku?" selak Garnika dengan suara lan-

tang bernada menantang.

"Aku datang dengan maksud baik, Garnika. 

Asalkan kalian menyambut dengan baik, segalanya 

akan berjalan dengan baik," jawab Panglima Naga Hi-

tam. 

"Katakan cepat, apa maksudmu itu! Aku tak 

punya banyak waktu untuk meladenimu," ucap Jatni-

ka.

"Aku ingin kalian turut bersamaku mendirikan


Perguruan Naga Hitam Sejati ini, Pendeta Kembar," ja-

wab lelaki berkumis melintang itu. "Kau akan menda-

patkan kedudukan yang sama dengan orang-orang 

yang kini berdiri di belakangku ini," lanjut Panglima 

Naga Hitam seraya menunjuk enam lelaki di belakang-

nya.

Dengan tatapan mata, Jatnika dan Garnika me-

rayapi enam lelaki pengikut Panglima Naga Hitam. Pa-

da bagian dada enam lelaki yang nampak terbuka le-

bar memperlihatkan rajahan bergambar seekor naga 

berwarna hitam pekat.

"Perkenalkanlah nama kalian pada Pendeta 

Kembar, Sahabat!" perintah Panglima Naga Hitam pada 

enam lelaki pengikutnya.

Satu persatu lelaki berjubah hitam maju dan 

memperkenalkan diri. Yang pertama kali, seorang lela-

ki berwajah pucat bagai mayat. Namun, kulit di bagian 

tubuhnya yang lain justru berwarna hitam, sedangkan 

rambutnya agak kemerahan. Lelaki itu mengaku berju-

luk Kumbang Hutan. Dari mulutnya terdengar ucapan 

ikrar kesetiaan sebagai pengikut setia Panglima Naga 

Hitam dan akan sepenuhnya berjuang untuk keutuhan 

Perguruan Naga Hitam Sejati.

Begitu juga dengan orang kedua, ketiga, dan 

keempat. Mereka yang mengaku berjuluk Tengkorak 

Lembah Tandus, Iblis Tiga Tangan, dan Gajah Sakti 

mengucapkan ikrar yang sama dengan Kumbang Hu-

tan.

"Pendeta Kembar, kuharap kalian bersedia 

mendukung cita-cita kami untuk mendirikan Pergu-

ruan Naga Hitam Sejati. Dengan keikutsertaan kalian, 

berarti kalian telah turut memperkokoh persatuan ja-

go-jago silat golongan hitam, yang selamanya terus 

bertekad menguasai rimba persilatan dan menyingkir-

kan tokoh-tokoh golongan putih yang selalu jadi peng


halang tekad kita," jelas seorang lelaki bertubuh kerdil 

yang mengaku berjuluk Trenggiling Maut. 

"Benar, Pendeta Kembar. Kalau bersedia, berar-

ti kalian tokoh kedelapan yang turut mengokohkan 

berdirinya Perguruan Naga Hitam Sejati. Kita semua 

akan mampu menguasai jalur delapan penjuru angin 

untuk mengibarkan panji-panji Perguruan Naga Hitam 

Sejati," timpal lelaki bertubuh gemuk dan bulat. "Aku 

yang berjuluk Gajah Sakti akan setia mengiringi per-

kembangan kemajuan Perguruan Naga Hitam Sejati," 

lanjut lelaki yang juga bermata sipit. Sehingga kalau 

tertawa, kelopak matanya nampak seperti terpejam. 

"Mereka semua telah memperkenalkan diri, 

Pendeta Kembar," sambung Panglima Naga Hitam sete-

lah ucapan Gajah Sakti mengakhiri perkenalannya. 

"Sekarang, kalian berdualah yang harus mengatakan 

kesanggupan kalian mendukung berdirinya Perguruan 

Naga Hitam Sejati yang bercita-cita menguasai rimba 

persilatan di delapan penjuru angin," tambah Panglima 

Naga Hitam.

Garnika dan Jatnika sama-sama menyungging-

kan seulas senyum sinis mendengar ucapan tujuh le-

laki yang berdiri tegak di hadapannya. Lalu dengan 

langkah tenang, Jatnika orang tertua dari Pendeta 

Kembar mengangkat kakinya maju dua langkah.

"Pendeta Kembar tidak keberatan bergabung 

dengan orang-orang yang setia pada Perguruan Naga 

Hitam Sejati," ucap Jatnika mantap. "Namun terus te-

rang, Pendeta Kembar tak ingin menduduki jabatan te-

rendah di Perguruan Naga Hitam Sejati. Pendeta Kem-

bar hanya ingin bergabung, jika mendapatkan kedu-

dukan sebagai puncak pimpinan Perguruan Naga Hi-

tam Sejati. Selain itu, kalian jangan bermimpi untuk 

menyaksikan kami bergabung."

"Kurang ajar!" umpat Trenggiling Maut men


dengar ucapan Jatnika yang di dengarnya begitu lan-

cang. Lelaki bertubuh kerdil yang bersenjatakan sepa-

sang parang hitam bergerak hendak menyerang Pende-

ta Kembar. Namun, gerakannya telah lebih dulu dita-

han Panglima Naga Hitam.

"Sabar, Trenggiling Maut!" cegah Panglima Naga 

Hitam seraya merentangkan tangan menghadang lelaki 

bertubuh kerdil itu.

"Hanya dalam beberapa gebrakan bisa saja kita 

memaksa Pendeta Kembar untuk menjadi pengikut 

Perguruan Naga Hitam Sejati. Namun, aku ingin meli-

hat dulu sampai di mana kealotan pendirian mereka," 

lanjut Panglima Naga Hitam dengan suara beratnya.

Seperti kerbau dicucuk hidung, lelaki bertubuh 

kerdil yang memiliki gelar sebagai Trenggiling Maut 

mundur beberapa langkah.

"Baik, Yang Mulia!" ucap Trenggiling Maut den-

gan kaki beringsut menjauh.

Pendeta Kembar terkejut mendengar panggilan 

Trenggiling Maut yang diperuntukkan Panglima Naga 

Hitam.

"Aku tidak akan bertindak kasar jika kalian se-

cara baik-baik mau mendukung keinginanku. Namun, 

aku akan melakukan sebaliknya jika kalian tetap pada 

pendirian itu," gertak Panglima Naga Hitam.

"Lakukan apa yang ingin kau lakukan, Pangli-

ma Gila Kedudukan! Kami, Pendeta Kembar akan me-

nandingi kehebatan pucuk pimpinan Perguruan Naga 

Hitam Sejati. Bahkan hari ini juga Panglima Naga Hi-

tam akan berlutut di hadapanku!" balas Jatnika me-

nimpali gertakan Panglima Naga Hitam.

Merah padam wajah lelaki yang berjuluk Pan-

glima Naga Hitam. Wajahnya semakin seram ketika da-

rah kemarahan telah mengalir ke kepalanya. Dan tata-

pan matanya semakin tajam mencorong seolah hendak


menelan tubuh Jatnika dan Garnika.

"Kalian harus membuktikan perkataan itu, 

Pendeta Kembar!" tegas dan mantap ucapan yang ke-

luar dari mulut lelaki berkumis melintang.

Panglima Naga Hitam sengaja secara langsung 

menghadapi Pendeta Kembar, karena dia ingin mem-

buktikan kepada Pendeta Kembar kalau dirinya pantas 

menjadi seorang pemimpin.

Panglima Naga Hitam pun segera menggerak-

kan tangannya dan memainkan sebuah jurus pembu-

ka sebagai tanda dimulainya pertarungan.

"Ayo Jatnika, buktikan sesumbarmu!" tantang 

Panglima Naga Hitam memanasi.

Kedua lelaki berkepala gundul yang bergelar 

Pendeta Kembar merasa terbakar dengan ucapan Pan-

glima Naga Hitam. Seketika itu juga keduanya melan-

carkan serangan secara bersamaan. 

Sepasang tangan Jatnika dan Garnika berkele-

bat cepat mengarah ke bagian tubuh yang dapat me-

matikan. Jari-jarinya yang sangat kuat membentuk 

cakar.

Tangan Jatnika bergerak lurus ke arah pelipis 

dan ubun-ubun Panglima Naga Hitam. Sedangkan se-

pasang cakar Garnika bergerak ke arah ulu hati dan 

kemaluan lawannya.

Melihat serangan yang begitu padu dan sangat 

berbahaya, Panglima Naga Hitam tak ingin tubuhnya 

tercabik-cabik cakar-cakar lawan.

Maka seketika itu juga, tubuh Panglima Naga 

Hitam yang terbalut jubah hitam bergerak cepat 

menghindari serangan Pendeta Kembar.

Seiring dengan gerakan menghindar yang dila-

kukan, Panglima Naga Hitam mengibaskan jubahnya 

yang longgar.

"Wrsss...!"


Wrsss...!

Puluhan benda rahasia berwarna hitam melun-

cur cepat dari balik jubah Panglima Naga Hitam yang 

tersibak. Angin pun menderu menebarkan hawa din-

gin.

Jatnika dan Garnika terkejut bukan kepalang 

menyaksikan benda rahasia yang meluruk deras ke 

tubuh mereka. Seketika kedua lelaki berwajah hampir 

sama yang bergelar Pendeta Kembar, mengurungkan 

serangan mereka. Tubuh Jatnika dan Garnika seketika 

berpentalan ke arah yang berlawanan, karena meng-

hindari terjangan senjata rahasia milik Panglima Naga 

Hitam. 

Tras! Tras!

Asap kebiruan seketika mengepul ketika senja-

ta rahasia berbentuk gigi runcing itu membentur ba-

tang-batang pohon dan permukaan tanah. Untuk se-

saat lamanya, batang-batang pohon yang terhantam 

senjata rahasia Panglima Naga Hitam masih tetap te-

gak berdiri. Namun, ketika angin berhembus, pohon-

pohon itu pun bertumbangan hingga menimbulkan 

bunyi gemuruh.

"Gila!" rutuk Jatnika menyaksikan kehebatan 

senjata rahasia yang dimiliki lelaki berkumis melintang 

dengan raut wajah keras bagai cadas.

Jatnika tak bisa membayangkan seandainya 

tubuhnya terhajar senjata rahasia itu. Sudah bisa di-

pastikan nyawanya akan melayang.

"Bagaimana, Pendeta Kembar? Apa permainan 

pertama barusan telah kita mulai," tukas Panglima Na-

ga Hitam. "Aku masih memberi kesempatan kalian un-

tuk merubah pikiran."

"Pendeta Kembar belum kalah, Panglima Gila! 

Kita teruskan saja permainan ini, biar salah satu di 

antara kita ada yang bertekuk-lutut!" balas Jatnika.


"Baik!"

Panglima Naga Hitam bergerak melompat ke 

kanan. Tubuhnya seketika itu juga meliuk-liuk bagai 

seekor ular. Jari-jari tangannya yang berbentuk mon-

cong ular bergerak-gerak cepat di depan dada dan di 

atas kepalanya.

Dan tiba-tiba sepasang tangan Panglima Naga 

Hitam berubah hitam dan bersisik Kemudian lelaki 

berwajah keras itu memekik keras.

"Kraaaungkh!"

***


DUA



Gerungan keras Panglima Naga Hitam, yang 

berpengaruh pada keadaan di sekitarnya membuat 

Jatnika terkejut. Bumi yang dipijaknya terasa bergetar. 

Sedangkan bagian atas bangunan yang seperti ben-

teng, terlihat meruntuhkan tiang-tiangnya yang sudah 

rapuh berjatuhan ke tanah. Pendeta Kembar pun sege-

ra mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya untuk 

mengimbangi gerungan dahsyat itu.

Hanya beberapa saat saja gerungan dahsyat itu 

terdengar. Selanjutnya tubuh Panglima Naga Hitam 

sudah terlihat mencelat memberikan serangan pada 

Pendeta Kembar.

Serangan ganas dengan pengerahan tenaga da-

lam tinggi yang dilakukan Panglima Naga Hitam men-

garah ke tubuh Garnika, karena berada dalam jang-

kauan yang terdekat.

Bunyi angin bercericitan mengiringi serangan 

Panglima Naga Hitam yang tertuju ke jantung Garnika.

Jari-jari tangannya yang sejak semula membentuk ke-

rucut sedikit demi sedikit terbuka. Mirip mulut ular


perlahan terbuka siap memagut korbannya.

Garnika telah waspada penuh terhadap apa 

yang akan dilakukan Panglima Naga Hitam. Lelaki ber-

kepala gundul itu segera membentengi dirinya dengan 

senjata berupa butir-butir tasbih berukuran besar. Se-

kumpulan butir-butir tasbih itu diputarnya dengan 

mengerahkan kekuatan tenaga dalam tinggi. Begitu 

cepat gerakan memutar yang dilakukan Garnika, se-

hingga wujud senjatanya kini terlihat seperti segulun-

gan sinar kebiruan yang berpendar-pendar di depan 

perut dan dadanya.

Panglima Naga Hitam yang memang ingin men-

jajal kehebatan senjata lawannya, sekaligus menguji 

ketinggian tenaga dalam Garnika tidak menghentikan 

serangannya. Panglima Naga Hitam hanya merubah 

bentuk tangannya. Kini, jari-jarinya yang mengepal 

kuat berputar cepat berlawanan dengan perputaran 

senjata Garnika.

"Hiaaa...!" teriakan keras dari mulut Panglima 

Naga Hitam mengawali serangannya kembali.

Garnika terkejut melihat kenekatan Panglima 

Naga Hitam, yang melanjutkan serangannya menem-

bus putaran senjata di depan dada. Padahal diyaki-

ninya, selama ini tak seorang tokoh pun yang berani 

menerjang lingkaran biru berpendar-pendar yang men-

gandung racun mematikan. Akan tetapi apa yang dila-

kukan Panglima Naga Hitam.... 

Prattt! 

Krats!

Sebuah benturan keras pun terjadi ketika Pan-

glima Naga Hitam benar-benar menyodokkan kepalan-

nya. Kemudian dengan kekuatan tenaga dalamnya, 

Panglima Naga Hitam memutar kepalan tangannya ke 

arah yang berlawanan.

Tentu saja Garnika terkejut bukan kepalang


mendapatkan perlakuan seperti itu. Apalagi ketika 

dengan kekuatan tenaga dalam yang memang berada 

setingkat di atas tenaga dalam Garnika, Panglima Naga 

Hitam membetot tasbih yang me-lingkar di pergelangan 

tangannya. Karuan saja butiran-butiran tasbih itu ter-

lepas dan berpentalan ke berbagai arah. Bahkan biji-

biji tasbih milik Garnika ada yang berpecahan ketika 

terjadi benturan keras dengan pengerahan tenaga da-

lam tinggi. 

Tidak hanya sampai di situ, Panglima Naga Hi-

tam benar-benar mempergunakan kecerdikannya da-

lam bertarung dengan Garnika. Pada saat lelaki berke-

pala botak yang bersuara mirip perempuan itu belum 

terlepas dari keterkejutannya, tendangan setengah me-

lingkar telah dilancarkannya.

"Hiaaa...!"

"Awas Garni!" teriak Jatnika melihat bahaya 

mengancam iga Garnika. Tubuhnya langsung mencelat 

bermaksud hendak memotong serangan yang dilancar-

kan Panglima Naga Hitam. Namun sayang, pertolongan 

yang dilakukannya kalah cepat dengan serangan Pan-

glima Naga Hitam yang melancarkan tendangan seten-

gah melingkar ke tulang Garnika.

Blukkk!

"Ughk!"

Garnika terpekik dan tubuhnya terhuyung em-

pat langkah ke belakang, ketika tendangan setengah 

memutar yang dikirim Panglima Naga Hitam memben-

tur iganya dengan keras.

Garnika merasakan tulang-tulang iganya ber-

patahan. Rasa sesak pun tak kepalang tanggung dira-

sakannya. Sesaat nafasnya bagai tersumbat, kemudian 

tersengal-sengal berat

Panglima Naga Hitam bermaksud untuk kem-

bali memburu tubuh lawannya yang tengah ter



huyung-huyung. Namun, gerakannya diurungkan, ke-

tika tiba-tiba melihat Jatnika telah melompat mengha-

dang gerakannya.

"Kau juga ingin seperti dia, heh?" gertak Pan-

glima Naga Hitam. "Bukankah lebih baik kau menuruti 

apa yang ku ingini, kalian tak usah membuang tenaga 

untuk menyelamatkan diri," tekan lelaki berpakaian 

hitam yang di dadanya bergambar seekor naga hitam.

"Huh! Siapa yang sudi menjadi anak buahmu?! 

Di dunia persilatan ini, aku ingin tak seorang pun yang 

mau memerintah ini dan itu seenaknya. Hidupku tak 

perlu diatur! Segala tindakan yang ku ingini adalah 

hakku untuk melaksanakannya!" bantah Jatnika.

"Kalau begitu kau pun akan menerima pelaja-

ran seperti adikmu itu, heh!" tegas Panglima Naga Hi-

tam.

Lelaki berwajah keras yang memiliki kumis me-

lintang bermaksud memberi pelajaran pada Jatnika. 

Namun, sebuah suara penuh hormat telah mampu 

membuat Panglima Naga Hitam mengurungkan niat-

nya.

"Biar kami yang memberinya pelajaran, Yang 

Mulia!" ucap lelaki bertubuh kerdil yang tak lain 

Trenggiling Maut. Lelaki cebol itu melangkahkan ka-

kinya lucu menghampiri Panglima Naga Hitam.

"Sebaiknya Yang Mulia istirahat saja! Biar kami 

mengurus Pendeta Kembar yang tak tahu di untung 

itu," ucap Trenggiling Maut menambahi.

Panglima Naga Hitam yang merasa kalau peker-

jaan ini adalah serangkaian tugas yang harus dipikul 

bersama, dengan senang hati bergerak mundur. Dia 

memberikan kesempatan pada Trenggiling Maut dan 

Kumbang Hutan serta si Tombak Mayat untuk mering-

kus Jatnika.

"Lakukanlah Trenggiling Maut, tapi ingat, kita


tetap membutuhkan tenaga Pendeta Kembar. Jangan 

memberi hukuman padanya terlalu berat, apalagi 

sampai menewaskan salah satu di antara mereka!" 

ucap Panglima Naga Hitam memperingatkan anak 

buahnya.

"Baik Yang Mulia," sahut Trenggiling Maut se-

raya bergerak dua langkah ke depan.

Kumbang Hutan dan Tombak Mayat yang ingin 

turut andil dalam meringkus Jatnika melakukan hal 

yang sama. Kedua lelaki yang masing-masing bersenja-

ta rantai panjang dan tombak, sama-sama bergerak 

melangkah menjajari langkah Trenggiling Maut. 

"Sebaiknya kau ikuti apa yang menjadi keingi-

nan Panglima Naga Hitam, Jatnika! Dirimu akan sela-

mat dan kau juga akan dapat mempelajari kitab Ge-

lang-Gelang Emas yang kau curi itu dengan aman tan-

pa ada seorang tokoh pun yang mengusikmu," bujuk 

Trenggiling Maut dengan suara perlahan.

"Apa yang kau andalkan hingga bujukan itu 

lancang keluar dari mulutmu yang berbau busuk itu, 

Bocah Cacat?!" selak Jatnika mengejek bentuk tubuh 

Trenggiling Maut sambil terus mengawasi gerak-gerik 

lawannya.

Trenggiling Maut murka bukan kepalang men-

dengar dirinya dijuluki sebagai bocah cacat. Seketika 

itu juga tangannya bergerak memberi aba-aba kepada 

Kumbang Hutan dan Tombak Mayat agar melakukan 

serangan bersama-sama.

Kumbang Hutan dan Tombak Mayat terus saja 

menyambut permintaan Trenggiling Maut. Seketika itu 

juga tubuh keduanya mencelat mengurung Jatnika.

"Hiaaa...."

Diawali dengan bergeraknya tubuh kerdil si 

Trenggiling Maut, bergerak pula serangan Kumbang 

Hutan dan Tombak Mayat.


Serangan tiga lelaki yang memiliki kemampuan 

setingkat membuat Jatnika kewalahan. Bukan hanya 

karena serangan-serangan mereka yang tertuju ke ba-

gian-bagian mematikan. Akan tetapi kepaduan dalam 

mengurung tubuh Jatnika dari tiga jurusan.

Kemudian, Trenggiling Maut dengan gerakan-

gerakan anehnya yang mirip binatang trenggiling, me-

lakukan gerakan menggelinding sambil memberikan 

serangan dari bawah. Sedangkan Kumbang Hutan 

dengan senjata berupa rantai baja berukuran panjang 

melakukan serangan di sebelah atas. Dan si Tombak 

Mayat tentu saja menyerang ke bagian yang tak diam-

bil Trenggiling Maut dan Kumbang Hutan. Tombak 

Mayat selalu mengarahkan senjata andalannya yang 

berupa, sebatang tombak ke perut Jatnika.

"Hiaaa...!" 

"Haaat...!" 

Wuuut..!

Sebuah serangan kilat dilakukan Trenggiling 

Maut ke arah kemaluan Jatnika. Begitu cepat dan 

mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi serangan 

yang dilakukan Trenggiling Maut. Orang tertua dari 

Pendeta Kembar dengan sigap menghentakkan kakinya 

untuk menghindari serangan Trenggiling Maut

"Hop!"

Dengan cepat si Tombak Mayat melesat 

"Heh?!"

Baru setengah jalan tubuh Jatnika mencelat ke 

atas, tiba-tiba sebatang tombak yang meluncur cepat 

menuju pusarnya. Senjata si Tombak Mayat yang ditu-

sukkan dengan kekuatan tenaga dalam membuat Jat-

nika terkejut. Namun, berkat pengalaman bertarung-

nya menghadapi tokoh-tokoh tangguh rimba persila-

tan, sedikit pun tak nampak kegugupan di wajah Jat-

nika.


"Hip!"

Dengan gerakan yang cepat Jatnika menekuk 

kakinya hingga bagian paha menempel di dada. Den-

gan gerakan itu mau tak mau si Tombak Mayat harus 

menelan kekecewaan karena senjatanya hanya melun-

cur di tempat kosong. Terlebih melihat kecerdikan Jat-

nika yang memanfaatkan batang tombaknya sebagai 

landasan kakinya untuk melakukan lentingan ke uda-

ra.

"Hiaaa...!"

"Ups!"

Tubuh Jatnika melenting semakin jauh di uda-

ra saat ujung kakinya menetak dengan kuat pada ba-

tang tombak milik si Tombak Mayat.

Namun, semua gerakan orang tertua dari Pen-

deta Kembar telah dibaca Kumbang Hutan. Lelaki ber-

wajah pucat seperti mayat dan berambut kemerahan 

itu segera menyongsong tubuh Jatnika yang tengah 

berputaran di udara dengan senjata berupa rantai 

panjang terbuat dari baja.

Serangan yang dilakukan Kumbang Hutan begi-

tu cepat dan tak terduga, Rantai panjang miliknya ta-

hu-tahu sudah tertebar seperti jaring dan membelit 

tubuh Jatnika.

Khriiingngng...!

Wreeettt!

Jatnika yang mendapatkan tubuhnya terbelit 

rantai baja milik si Kumbang Hutan berusaha mele-

paskan diri. Cepat-cepat tubuhnya dilemparkan dan 

bergulingan di tanah berlawanan arah dengan belitan 

rantai. Maksudnya tak lain untuk melepaskan belitan 

rantai milik si Kumbang Hutan.

Si Kumbang Hutan yang memiliki kecerdikan 

luar biasa mampu membaca maksud gerakan yang di-

lakukan Jatnika. Lelaki berjubah hitam dan berkulit


muka pucat bagai mayat turut melempar tubuhnya ke 

tanah dan bergulingan berlawanan arah dengan gulin-

gan yang dilakukan Jatnika. Sehingga tubuh lelaki 

berkepala gundul itu tetap dalam keadaan terjerat ran-

tai baja milik si Kumbang Hutan.

Pada saat yang bersamaan, tubuh Trenggiling 

Maut dan si Tombak Mayat mendarat di kiri dan kanan 

tubuh Jatnika dengan senjata masing-masing yang 

terhunus ke bagian tubuh Jatnika yang mematikan.

Sepasang golok besar milik Trenggiling Maut 

nampak melingkar di leher Jatnika, sedangkan mata 

tombak milik si Tombak Maut telah menempel di per-

mukaan kulit, tepat di atas jantung Jatnika.

"Kalau sejak semula menuruti keinginan Pan-

glima Naga Hitam, kekasaran seperti ini tak akan kau 

terima dari kami, Jatnika," ucap lelaki kerdil yang ber-

juluk Trenggiling Maut dengan senjata yang tak lepas 

dari leher Jatnika.

Jatnika tak menimpali ucapan lelaki kerdil itu. 

Matanya yang bergerak-gerak jalang menatapi wajah-

wajah lelaki yang telah berhasil membuatnya bertekuk 

lutut.

Pada saat mata Jatnika menatap wajah Treng-

giling Maut, Tombak Mayat, dan Kumbang Hutan den-

gan segenap dendam yang membara, Panglima Naga 

Hitam dengan gerakan ringan namun cepat mengham-

piri tubuh Jatnika yang tergeletak tak berdaya.

"Maafkan kami, Jatnika! Hal ini terpaksa kami 

lakukan mengingat kekerasan kepalamu," tukas Pan-

glima Naga Hitam dengan tatapan menentang tatapan 

mata Jatnika.

Sesaat lamanya tatapan mata Jatnika dan Pan-

glima Naga Hitam bertemu. Namun sesaat kemudian, 

dengan gerakan tangan yang luar biasa cepat, Pangli-

ma Naga Hitam mendaratkan totokan ke bagian leher


dan dada Jatnika.

Tuk! Tuk!

"Akh!"

Jatnika merasakan sekujur tubuhnya lemah 

tanpa daya, sesaat setelah menerima totokan dari Pan-

glima Naga Hitam. Pada saat itu pula Trenggiling Maut 

dan Tombak Mayat melepaskan todongan senjatanya 

ke tubuh Jatnika. Sedangkan si Kumbang Hutan den-

gan sikap tak peduli segera menghentak rantai yang 

membelit tubuh Jatnika. Karuan saja tubuh pendeta 

berkepala botak itu terguling di tanah. Untung saja 

Panglima Naga Hitam segera menahannya.

"Dua lelaki berkepala gundul ini sudah berada 

pada kekuasaan kita. Sekarang tugas kita tinggal satu, 

merajah dada mereka. Kalian siapkan segala sesua-

tunya!" perintah Panglima Naga Hitam.

Enam lelaki berjubah hitam segera bergerak 

cepat menuruti perintah sang Pemimpin. Nampak lela-

ki bertubuh bulat yang tak lain Gajah Sakti, mengelua-

rkan sebuah lempengan logam berbentuk tubuh seekor 

naga pada bagian ujung dekat ekor terdapat pegangan 

terbuat dari kayu jati berukir.

Tengkorak Lembah Tandus dan Iblis Tiga Tan-

gan pun tak mau ketinggalan. Keduanya segera mem-

bopong tubuh Garnika yang tanpa daya dan memba-

wanya ke hadapan Panglima Naga Hitam. Sementara 

itu, Kumbang Hutan dan Trenggiling Maut bergegas 

mencari ranting dan kayu-kayu kering untuk membuat 

perapian.

"Letakkan di situ!" perintah Panglima Naga Hi-

tam pada Kumbang Hutan dan Trenggiling Maut.

Dua lelaki berwajah pucat dan bertubuh cebol 

segera menuruti perintah Panglima Naga Hitam. Den-

gan cepat keduanya menyusun tumpukan ranting-

ranting dan kayu kering, kemudian membakarnya.




"Ha ha ha...!"

Tawa keras Panglima Naga Hitam terdengar. 

Sementara kayu perapian yang dibuat Kumbang Hutan 

dan Trenggiling Maut telah mulai berkobar. Tawa sang 

Ketua Perguruan Naga Hitam Sejati bergema dan me-

mantul-mantul dari empat penjuru angin.

"Ha ha ha.... Kalian tidak perlu takut Pendeta 

Kembar! Apa yang kami lakukan sekarang ini hanya 

untuk mengekalkan kepandaian kalian. Dengan tera-

jahnya tubuh kalian, maka kekuatan pada tubuh ka-

lian akan menjadi berlipat ganda. Ramuan Naga Hitam 

ini adalah perwujudan dari kekuatan itu," papar Pan-

glima Naga Hitam sambil menunjukkan sebuah benda 

berbentuk stoples kecil di dalamnya berisi serbuk ber-

warna hitam pekat.

"Sakit yang luar biasa akan kalian rasakan saat 

perajahan berlangsung. Namun, aku yakin Pendeta 

Kembar akan mampu menahan rasa sakit yang hanya 

sebentar, apalagi setelah serbuk ini ditaburkan di atas 

rajahan itu," lanjut Panglima Naga Hitam sembari 

memperlihatkan serbuk abu-abu.

Garnika dan Jatnika yang mendengarkan uca-

pan Panglima Naga Hitam sedikit pun tak mengelua-

rkan perkataan membantah. Nampaknya dua lelaki 

berkepala gundul yang berjuluk Pendeta Kembar itu 

pasrah terhadap tindakan Panglima Naga Hitam dan 

kawan-kawannya. Meskipun sorot mata Garnika dan 

Jatnika memperlihatkan kalau mereka tidak suka den-

gan semua ini.

"Gajah Sakti, panggang logam naga itu!" perin-

tah Panglima Naga Hitam tegas.

Gajah Sakti segera menjalankan perintah Pan-

glima Naga Hitam. Kini nampak lelaki bertubuh bulat 

yang di dadanya terdapat rajahan naga hitam tengah 

memanggang lempengan logam berbentuk seekor ular


naga yang tengah meliuk.

Gemeretak ranting dan kayu kering terbakar 

api dan bunyi desisan logam yang terpanggang terden-

gar Garnika dan Jatnika sebagai suatu yang begitu 

mengerikan. Apalagi ketika disaksikannya logam ber-

bentuk ular naga itu kini berubah merah membara.

Gajah Sakti melempar pandangannya pada 

Panglima Naga Hitam ketika lempengan logam berben-

tuk ular naga yang meliuk semakin merah membara.

"Sudah cukupkah, Yang Mulia?" tanya Gajah 

Sakti dengan sikap yang penuh hormat.

Panglima Naga Hitam tidak segera menjawab 

Gajah Sakti. Mata lelaki berwajah keras dengan kumis 

melintang itu menatap lempengan logam berbentuk 

ular naga yang telah membara.

"Ha ha ha.... Cukup! Cukup Gajah Sakti, dan 

bawalah kemari lempengan ular sakti itu!" perintah 

Panglima Naga Hitam kemudian.

Gajah Sakti melangkah menghampiri Panglima 

Naga Hitam dan menyodorkan lempengan logam yang 

telah membara. Dengan sikap penuh hormat diberi-

kannya benda itu.

"Ha ha ha...!"

Panglima Naga Hitam kembali tertawa sebelum 

menerima lempengan logam yang membara dengan 

tangan kirinya.

"Pendeta Kembar, kalian lihat keampuhan ser-

buk ciptaanku ini! Serbuk yang kuberi nama 'Serbuk 

Naga Hitam' akan mengekalkan kekuatanmu. Seka-

rang perhatikanlah baik-baik!" tukas Panglima Naga 

Hitam setelah suara tawanya hilang terbawa angin.

Lelaki berwajah keras dengan jubah hitam dan 

longgar mendekatkan stoples bening berisi serbuk hi-

tam. Perlahan-lahan mulut stoples berukuran kecil itu 

ditunggingkan.


Dengan wajah tegang, Garnika dan Jatnika 

memperhatikan apa yang dilakukan Panglima Naga Hi-

tam terhadap benda keras yang telah membara. Pera-

saan kedua lelaki berjuluk Pendeta Kembar itu sema-

kin tidak karuan.

Cersss...!

Suara mendesis seperti bara yang tersiram air 

seketika terdengar. Garnika dan Jatnika sempat terke-

jut mendengar bunyi yang cukup keras itu. Bunyi yang 

tercipta karena menyatunya serbuk hitam pekat itu 

dengan batang logam berbentuk naga yang telah mem-

bara.

Keterkejutan lain kembali menyergap hari Pen-

deta Kembar. Benda yang berada di tangan Panglima

Naga Hitam kembali mengobarkan api yang cukup be-

sar. Garnika dan Jatnika sempat menduga kalau ba-

gian tubuh mereka akan dipanggang api yang berkobar 

dari lempengan logam di tangan Panglima Naga Hitam. 

Ternyata hal itu tak dilakukan oleh lelaki berjubah hi-

tam itu.

Untuk beberapa saat lempengan logam berben-

tuk ular naga menampakkan api yang berkobar-kobar. 

Namun, ketika kobaran api telah lenyap tanpa bekas, 

lempengan logam berbentuk ular naga meliuk itu be-

rubah menjadi hitam pekat.

Panglima Naga Hitam menatap lempengan lo-

gam itu dengan mata berbinar takjub. Sesungging se-

nyum seketika nampak menghiasi wajahnya. 

"Ha ha ha...!"

Panglima Naga Hitam kembali tertawa keras. 

Dan ketika tawanya terhenti, tatapan matanya lang-

sung tertuju pada tubuh Garnika.

"Bawa dia ke sini!" perintah Panglima Naga Hi-

tam tegas.

Lelaki bertubuh tinggi kurus yang tulang


belulangnya bersembulan keluar, segera memenuhi 

perintah sang Panglima. Hanya dengan sekali sentak 

tubuh Garnika terangkat oleh tangan lelaki kurus ker-

ing yang berjuluk Tengkorak Lembah Tandus. Dengan 

seenaknya lelaki itu membopong tubuh Garnika, lalu 

meletakkannya di hadapan Panglima Naga Hitam.

"Ha ha ha.... Terima kasih, Tengkorak Lembah 

Tandus! Terima kasih!" ucap Panglima Naga Hitam dan 

kemudian mempersilakan lelaki tinggi kurus yang di 

dadanya juga terdapat rajahan bergambar seekor naga 

hitam meliuk, untuk bergeser dari tempatnya.

Si Tengkorak Lembah Tandus tentu saja den-

gan segera menyingkir dari tempatnya.

Setelah lelaki bertubuh tinggi kurus itu me-

nyingkir, Panglima Naga Hitam bergerak mendekati tu-

buh Jatnika yang terlentang tak berdaya.

"Jatnika! Perhatikan keadaan tubuh adikmu 

yang tanpa daya ini! Tubuhnya akan kembali bangkit 

setelah dadanya terajah oleh benda ini," ujar Panglima 

Naga Hitam dengan tatapan mata lekat pada wajah 

orang tertua dari Pendeta Kembar. "Kekuatan Garnika 

juga akan menjadi berkali lipat, lalu akan menjadi seo-

rang pengikutku yang setia, seperti mereka semua," 

lanjut Panglima Naga Hitam dengan telunjuk tangan 

yang menunjuk si Kumbang Hutan, Trenggiling Maut, 

dan juga lelaki berjubah hitam yang lain.

Panglima Naga Hitam perlahan membawa turun 

tubuhnya hingga salah satu lututnya menyentuh ta-

nah. Kemudian tangan lelaki berwajah keras itu me-

nyibak pakaian bagian yang menutup dada Garnika.

Jantung Garnika seketika berdetak kuat saat 

pakaian yang menutupi dadanya tersibak. Wajah lelaki 

berkepala botak itu nampak berubah pucat seperti 

mayat

"Kau tak perlu takut, Garnika," ucap Panglima


Naga Hitam dengan seringai senyum tergurat di wa-

jahnya.

Sementara, Jatnika pun merasakan hal yang 

sama seperti yang dirasakan Garnika. Orang tertua da-

ri Pendeta Kembar itu merasakan jantungnya berpacu 

dua kali lipat cepatnya dan wajahnya nampak terhiasi 

ketegangan yang luar biasa.

"Saksikanlah dengan seksama, Jatnika!"

Perlahan Panglima Naga Hitam membawa turun 

lempengan logam berbentuk seekor ular naga, mende-

katkan ke dada Garnika yang terbuka.

Sementara, bola mata Garnika terbelalak lebar 

menyaksikan pemandangan di depan matanya. Bau 

tak sedap seketika tercium hidung lelaki berkepala 

gundul itu.

Dan ketika lempengan logam berwarna hitam 

ditempelkan Panglima Naga Hitam ke dada Garnika, 

seketika itu juga....

Cesss...!

"Aaakh...!"

***


TIGA



Pekik melengking yang membumbung ke ang-

kasa membuat Jatnika tersentak. Sebagai orang tertua 

dari Pendeta Kembar, Jatnika seperti turut merasakan 

penderitaan Garnika. Ketegangan semakin merayapi 

wajah Jatnika. Bola matanya terbelalak menyaksikan 

tubuh adiknya yang berkelojotan menahan sakit

Biadab! Maki Jatnika dalam hati

"Ha ha ha...!"

Panglima Naga Hitam kembali terbahak setelah 

menyaksikan peristiwa yang terjadi di hadapan ma


tanya. Lelaki berwajah keras dengan kumis hitam me-

lintang itu kelihatan begitu terhibur dengan keadaan 

Garnika yang berkelojotan seperti cacing kepanasan.

Kira-kira empat kali tegukan teh lamanya, tu-

buh Garnika berkelojotan merasakan sakit akibat lem-

pengan logam hitam yang ditempelkan di dadanya. 

Bau sangit dari kulit terbakar pun semakin menyengat 

hidung. Sementara di dada Garnika mulai nampak se-

buah rajahan bergambar ular naga yang nampak ma-

sih basah.

Sesaat Panglima Naga Hitam mengedarkan ma-

tanya ke sekelilingnya, sesaat kemudian mulutnya 

kembali berkata pada Jatnika.

"Jatnika...! Saksikanlah, setelah kutaburi ser-

buk berwarna kelabu ini, maka akan kau lihat keheba-

tannya. Tubuh adikmu akan mampu bangkit dengan 

sendirinya, tanpa harus kulepaskan totokan yang 

mengungkung geraknya. Namun jangan kaget, kalau 

dia harus kembali merasakan kesakitan yang teramat 

sangat!" ucap Panglima Naga Hitam sambil memperli-

hatkan sebuah serbuk berwarna kelabu pada Jatnika.

Jatnika hanya dapat menyaksikan apa yang di-

perlihatkan lelaki berjubah hitam dengan kumis hitam 

melintang. Juga ketika Panglima Naga Hitam mena-

burkan serbuk itu ke bagian dada Garnika, Jatnika 

hanya mampu memejamkan mata. 

Cresssttt..! 

"Aaakh...!"

Lengkingan keras dan menyayat kembali ter-

dengar membumbung ke langit. Hati Jatnika merasa 

seperti teriris-iris mendengar jeritan Garnika, karena 

tubuhnya tak mampu berbuat apa pun. Namun, se-

mua perasaan itu serta-merta hilang dari hati Jatnika 

ketika tiba-tiba dilihatnya Garnika telah bangkit berdi-

ri.


Keadaan Garnika telah kembali seperti sediaka-

la, tak ada sesuatu pun yang berkurang pada dirinya. 

Tubuhnya nampak segar bugar, wajahnya kembali 

bersemu merah, sebagai pertanda kalau darah dalam 

tubuhnya telah kembali mengalir teratur. Hanya pada 

bagian dada lelaki berkepala botak yang bersuara mi-

rip suara perempuan itu terdapat sebuah rajahan ber-

gambar ular naga hitam yang tengah meliuk

"Ha ha ha...! Kau lihat sendiri Jatnika, seka-

rang bagaimana keadaan tubuh Garnika. Dia nampak

lebih gagah, lebih sehat, dan lebih segala-galanya," tu-

kas Panglima Naga Hitam dengan sikap pongah. "Ha 

ha ha.... Betapa mengagumkan pengaruh rajahanku, 

dan betapa dahsyatnya hasil kerja serbuk-serbuk am-

puh itu! Kau! Kau juga harus merasakannya, Jatnika!"

lanjut Panglima Naga Hitam dengan suara lantang.

Dan ketika tawanya telah betul-betul berhenti. 

Dengan sorot mata tajam seperti mata seekor ular naga 

yang tengah marah, Panglima Naga Hitam memandan-

gi sekujur tubuh Garnika.

Kemudian lelaki berkumis melintang yang ber-

hajat mendirikan sebuah perguruan bernama Pergu-

ruan Naga Hitam Sejati bercerita tentang cita-citanya 

yang sudah bertahun-tahun menjadi bahan pikiran-

nya. Sehingga dirinya terus mengembara mencari to-

koh-tokoh sakti yang dapat dijadikan guru dan tempat 

menimba ilmu.

Bertahun-tahun usaha itu dilakukan Panglima 

Naga Hitam, tapi hasil yang didapat tidaklah sebesar 

harapan di hatinya. Sehingga tekadnya untuk mencari 

seorang tokoh yang lebih sakti membuat-nya terus 

mengembara

Panglima Naga Hitam akhirnya mendapatkan 

seorang tokoh sakti dan bersedia mengajari ilmu silat 

yang lebih tinggi. Namun, dirinya kembali kecewa ka


rena kesaktian tokoh itu hanya sedikit lebih tinggi dari 

ilmu kesaktian yang dimilikinya. Panglima Naga Hitam 

terus-menerus menuruti ketidakpuasan dan rasa haus 

akan sebuah ilmu yang benar-benar sakti. Sehingga 

tak satu pun makhluk di dunia yang dapat menandingi 

kesaktiannya.

Karena ketidakpuasan itu, Panglima Naga Hi-

tam kembali mencari seorang guru. Dan dia akhirnya 

menemukan di sebuah desa yang tak berpenghuni 

bernama Desa Perogotan Dalem. Desa itu sampai tidak 

berpenghuni karena lingkungannya yang serba men-

gandung racun. Udara disekitarnya pun selalu dipe-

nuhi uap-uap beracun.

Pada mulanya Panglima Naga Hitam pun tidak 

kuasa memasuki Desa Perogotan Dalem. Namun, ka-

rena tekadnya yang kuat untuk mencari seorang guru, 

membuatnya tidak mempedulikan keadaan desa yang 

begitu membahayakan keselamatannya.

Panglima Naga Hitam memaksakan diri masuk, 

tapi baru setengah perjalanan dirinya sudah tidak kuat 

lagi menahan pengaruh racun yang begitu kuat. Pan-

glima Naga Hitam pingsan di Desa Perogotan Dalem. 

Ketika siuman, Panglima Naga Hitam terkejut 

mendapatkan seorang lelaki berusia lanjut tengah du-

duk bersila di hadapannya. Dialah lelaki yang menga-

ku bernama Kilanjiru dan berjuluk Iblis Racun Laknat. 

Dari Iblis Racun Laknat-lah, Panglima Naga Hitam me-

nemui kepuasan batin. Kesaktian Iblis Racun Laknat 

jauh lebih tinggi dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya se-

lama ini. Dan dari Kilanjiru pula Panglima Naga Hitam

mendapatkan pelajaran mengenai jenis-jenis racun ga-

nas yang sukar dicarikan ramuan pemunahnya.

Sewaktu Panglima Naga Hitam mengajukan 

keinginannya untuk mendirikan sebuah perguruan 

yang bertujuan menguasai dunia persilatan, Kilanjiru


ternyata menyambutnya dengan baik. Bahkan dari Ib-

lis Racun Laknat-lah gagasan menciptakan lempengan 

logam berbentuk seekor ular naga yang tengah meliuk. 

Lempengan logam yang dimaksudkan untuk merajah 

lawan-lawan yang telah berhasil ditaklukkan. Dari Ki-

lanjiru pula gagasan untuk menciptakan racun dah-

syat berwujud serbuk guna mengeringkan rajahan itu 

dengan cepat. Namun ternyata racun itu juga mempu-

nyai pengaruh hebat. Selain dapat mengeringkan raja-

han dengan cepat, serbuk beracun ciptaannya mampu 

mempengaruhi jalan pikiran setiap orang yang telah 

dirajah dan ditaburi serbuk itu.

***

"Ha ha ha...." Panglima Naga Hitam kembali ter-

tawa setelah selesai membeberkan cara dirinya men-

dapatkan ilmu rajahan dan juga ilmu kesaktian. "Se-

karang cita-citaku akan terwujud, Jatnika! Dan kau 

harus membantu mewujudkan cita-cita itu!" lanjut 

Panglima Naga Hitam seraya menuding wajah Jatnika.

Jatnika tak kuasa melakukan apa-apa atas 

ucapan Panglima Naga Hitam. Pun ketika dirinya di-

perlakukan sama persis dengan yang dialami Garnika.

Crrreeesssttt..!

"Aaa...!"

Lengking panjang menyayat kembali terdengar 

seiring dengan ditaburkannya serbuk kelabu ke dada 

Jatnika. Beberapa saat lamanya tubuh Jatnika berke-

lojotan. Namun sebentar kemudian, tubuhnya sudah 

mampu berdiri tegak, seperti tanpa kekurangan suatu

apa pun.

Jatnika kini memandangi dadanya yang sudah 

terajah gambar naga hitam.

"Kau bersedia menjadi pengikutku, Jatnika?"


tanya Panglima Naga Hitam menguji pengaruh rajahan 

naga hitam. 

"Bersedia, Yang Mulia!" jawab Jatnika dengan 

tubuh yang menjura hormat.

"Ha ha ha...!"

Panglima Naga Hitam tertawa lepas menyaksi-

kan kepatuhan orang tertua dari Pendeta Kembar. Wa-

jahnya tersenyum lebar, pertanda bahwa dirinya sudah 

cukup puas dengan cara kerja serbuk beracun yang 

mampu memutar balik jalan pikiran manusia.

"Pendeta Kembar! Kalian kuizinkan mempelajari 

isi kitab Gelang-Gelang Emas itu sampai tuntas, tanpa 

harus ada yang mengusik," ucap Panglima Naga Hitam 

di tengah-tengah kegembiraannya.

"Terima kasih, Yang Mulia!" sambut Jatnika 

dan Garnika serempak. Tubuh keduanya pun terlihat 

kembali menjura hormat.

"Bagus. Bagus! Tapi kalian harus membuktikan 

dulu kesetiaan kalian," sambung Panglima Naga Hi-

tam.

"Apa itu, Yang Mulia?" tanya Jatnika dengan 

sikap yang penuh hormat.

"Kalian berdua harus mendapatkan seorang 

pemimpin perguruan silat agar menjadi pengikut setia 

Perguruan Naga Hitam Sejati!" jawab Panglima Naga 

Hitam.

"Jangankan seorang pemimpin, sepuluh orang 

pimpinan perguruan pun akan kami sanggupi untuk 

menjadi pengikut Perguruan Naga Hitam Sejati, Yang 

Mulia," sambut Garnika.

"Ha ha ha.... Tidak perlu sebanyak itu, Garni-

ka," ucap Panglima Naga Hitam. "Satu orang pemimpin 

pun sudah cukup bagiku. Dan jika kalian menda-

patkannya dalam waktu yang singkat, maka secepat-

nya aku akan membagi-bagikan tugas pada kalian un


tuk menduduki wilayah barat, timur, utara, dan sela-

tan," sambung Panglima Naga Hitam kemudian.

"Akan kami usahakan, Yang Mulia," sahut Jat-

nika.

"Iblis Tiga Tangan!" panggil Panglima Naga Hi-

tam pada lelaki bertubuh sedang yang pada bagian 

pinggangnya terselip sebuah trisula.

"Siap, Yang Mulia!" sambut Iblis Tiga Tangan 

sambil menjura hormat.

"Berikan lempengan rajahan kepada Pendeta 

Kembar!" perintah Panglima Naga Hitam.

Lelaki bertubuh sedang yang berjuluk Iblis Tiga 

Tangan segera memberikan lempengan logam berben-

tuk seekor ular naga kepada Garnika dan Jatnika.

"Sekarang berangkatlah kalian, dan dapatkan 

salah satu dari pemimpin perguruan silat! Setelah kau 

dapat, rajah dia seperti yang telah kami lakukan ter-

hadap kalian!" perintah Panglima Naga Hitam lagi.

Garnika dan Jatnika sama-sama menjura hor-

mat mendengar kelanjutan perintah Panglima Naga Hi-

tam.

"Kami akan melaksanakan tugas dari Yang Mu-

lia sebaik mungkin," ucap Jatnika.

"Kami permisi, Yang Mulia!" pamit Garnika.

"Ya.. Pergilah kalian! Kami semua menunggu 

kabar darimu di Bukit Naga dan jangan coba-coba me-

nemuiku, jika kalian tidak membawa seorang pemim-

pin perguruan silat yang telah kalian taklukan!" tukas 

Panglima Naga Hitam tegas.

"Baik, Yang Mulia," sambut Jatnika.

Kedua lelaki berkepala gundul itu segera mem-

balikkan badan dan berlalu dari hadapan Panglima 

Naga Hitam serta keenam pengikut setianya. Hanya sa-

tu tujuan yang mengiringi kepergian Pendeta Kembar, 

mencari seorang pimpinan perguruan silat yang akan


dijadikan pengikut setia Perguruan Naga Hitam Sejati.

***


EMPAT



Suasana pagi di Desa Bumiayu begitu cepat be-

ranjak siang, membuat kesibukan semakin terlihat je-

las. Seperti halnya terjadi di dalam dua kedai. Di kedai 

itu nampak sejumlah laki-laki dan perempuan yang 

tengah menunggu makanan yang dipesan. Keramaian 

itu cukup membuat pemilik kedai dan pelayannya si-

buk menyediakan pesanan para pengunjungnya.

Kesibukan serupa juga terjadi di sebuah kedai 

yang lain. Memang aneh kelihatannya kalau cuma da-

lam jarak setengah pal berdiri tiga buah kedai, dan 

masing-masing menyediakan makanan dan minuman 

yang tak jauh berbeda. Namun karena ke-tiga kedai 

berada di batas Desa Bumiayu yang biasa digunakan 

sebagai wilayah penghubung desa yang satu dengan 

desa yang lain, keadaan ini tidak dianggap aneh. 

Meskipun tiga buah kedai lagi berdiri di situ, rasanya 

hal itu tetap wajar saja. Apalagi banyak orang yang la-

lu-lalang di sekitar desa itu. Bukan mustahil kalau 

mereka tertarik setiap kali mencium aroma masakan 

yang mengundang selera makan.

Begitu juga dua lelaki gundul berpakaian seper-

ti pendeta yang kebetulan melintasi Desa Bumiayu. Ke-

tika hidung keduanya mengendus aroma masakan 

yang terbawa angin, keduanya baru sadar kalau perut 

mereka sudah lama tidak diisi makanan yang lezat

"Kita mampir dulu ke kedai itu, Kakang! Pe-

rutku sudah lapar sekali. Bau masakan itu membuat 

perut ini semakin melilit," ucap lelaki berkepala gundul 

dengan suara yang mirip perempuan


Dada bidang lelaki berkepala gundul yang tak 

tertutup pakaian menampakkan sebuah rajahan ber-

gambar seekor ular naga hitam yang sedang meliuk.

"Kau punya uang?" tanya lelaki yang satunya. 

Suaranya terdengar sedikit berat.

"Sejak kapan kau memikirkan uang untuk ma-

suk sebuah kedai buruk seperti itu, Kakang Jatnika?" 

tanya lelaki bersuara mirip perempuan yang tak lain 

bernama Garnika.

"Ayolah, Adi Garnika! Perutku juga sudah ber-

bunyi," sambut Jatnika. "Kalau pemilik kedai itu me-

minta bayaran, yaaah.... Kita bayar saja dengan kepa-

lan ini," sambung Jatnika sambil mengacung-kan se-

belah tangannya yang terkepal.

"Ayolah!" ajak Garnika sambil bergegas melang-

kahkan kakinya lebih dulu.

Akan tetapi langkah dua lelaki berkepala gun-

dul yang tak lain Pendeta Kembar seketika terhenti di 

ambang pintu kedai. Mata kedua lelaki itu sempat ter-

belalak menyaksikan tak satu pun kursi kosong di ke-

dai itu.

"Aaah, minggir kau!"

Tiba-tiba saja Garnika dengan cepat melan-

jutkan langkahnya. Dan tanpa diduga, tangannya ber-

gerak mencekal pakaian seorang lelaki berkumis tebal 

yang tengah duduk di kursi kedai.

Lelaki berpakaian biru yang tengah menikmati 

santapannya tentu saja terkejut mendapatkan perla-

kuan yang begitu tiba-tiba dari Garnika.

Lelaki berkumis tebal bermaksud menyempal-

kan tangan Garnika yang mencekal kerah bajunya, ta-

pi cekalan itu terlalu kuat. Bahkan dengan gesit tan-

gan Garnika bergerak memutar tubuh lelaki berpa-

kaian biru yang berkumis tebal dan dihempaskannya 

ke luar kedai.


"Hih!"

Bruk!

Tubuh lelaki berpakaian biru seketika itu juga 

tersungkur di luar kedai. Wajahnya yang telak mem-

bentur tanah menampakkan cairan merah mengalir 

lewat hidung dan mulut

Apa yang dilakukan Garnika ternyata tidak di-

lakukan Jatnika. Orang tertua dari Pendeta Kembar itu 

hanya menggertak seorang lelaki yang duduk di hada-

pan lelaki berkumis.

"Sebaiknya pergilah sebelum kulempar seperti 

dia!" bentak Jatnika keras.

Lelaki berpakaian sederhana yang nampak 

penduduk biasa itu begitu gentar mendengar ancaman 

Jatnika. Dengan cepat lelaki itu bangkit berdiri dan 

meninggalkan kursinya.

Perbuatan dua lelaki berkepala gundul sempat 

mengusik ketenangan para pengunjung kedai lain, 

yang tidak begitu jauh letaknya dari kedai yang dikun-

jungi Pendeta Kembar.

Sepasang muda-mudi berpakaian kuning kee-

masan dan jingga sempat menoleh ke tempat jatuhnya 

lelaki berpakaian biru. Sepasang muda-mudi itu sebe-

narnya ingin bangkit menolong lelaki berkumis yang 

tersungkur itu. Namun diurungkan, karena lelaki ber-

kumis itu telah bangkit lalu pergi bersama seorang le-

laki berpakaian sederhana yang mungkin kawannya.

"Ada apa di kedai sebelah itu, Kakang Jaka?" 

tanya gadis cantik berpakaian jingga

Gadis cantik itu tak lain Mayang Sutera yang 

meskipun belum begitu diperhitungkan dalam rimba 

persilatan, dirinya telah bergelar sebagai Dewi Payung 

Emas.

Sedangkan laki-laki bertubuh kekar dengan 

wajah tampan yang duduk di sebelah si Dewi Payung


Emas, tak lain Jaka alias Raja Petir.

"Entahlah, Mayang. Mungkin hanya keributan 

kecil," jawab Jaka menduga.

Sementara, di kedai itu nampak dua lelaki ber-

kepala gundul tengah menikmati hidangan dengan la-

hapnya. Hanya dalam waktu singkat makanan-

makanan yang terhidang di meja makan telah berpin-

dah ke perut dua lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar.

"Masih mau nambah?" tanya Jatnika.

"Cukup, Kang. Kita harus segera mendapatkan 

seorang pimpinan perguruan silat," jawab Garnika.

"Kita bisa tanya pada orang yang berada dalam 

kedai ini, di mana perguruan yang paling dekat dari 

sini."

"Kau benar, Kang. Dan orang itu rasanya yang 

tepat untuk kita tanyai," sambut Garnika sambil me-

nunjuk seorang lelaki muda berpakaian putih bersih.

Potongan lelaki muda itu memang menunjuk-

kan kalau dirinya orang persilatan.

"Kisanak, kemarilah!" panggil Garnika sembari 

menunjuk lelaki muda berpakaian putih.

Nampak wajah lelaki yang dipanggil itu terke-

jut, tetapi kakinya tak diangkat mendengar panggilan 

yang menurutnya kurang sopan itu.

"Kemari kau!" ulang Garnika lebih keras.

Lelaki berpakaian putih itu semakin tak berge-

rak dari duduknya. Lalu matanya menatap tajam wa-

jah Garnika. Jelas, lelaki itu tidak senang dengan apa 

yang dilakukan oleh lelaki gundul terhadap dirinya.

"Kau yang perlu, seharusnya kau yang ke sini!" 

jawab lelaki muda berpakaian putih penuh kejengke-

lan.

"Hmrggghhh...!"

Garnika menggereng keras mendengar jawaban 

itu. Serta-merta dilangkahkan kakinya menghampiri



lelaki muda berpakaian putih. Sederhana saja langkah 

yang dilakukan Garnika, tapi cukup menunjukkan 

bahwa dirinya tak patut diremehkan.

Sampai di hadapan lelaki muda berpakaian pu-

tih, Garnika langsung menurunkan tangan besinya. 

Sambaran tangan dengan kelima jari-jari tangan yang 

terentang, berkelebat begitu cepat ke wajah lelaki mu-

da berpakaian putih.

Wuttt! 

Di luar dugaan Garnika, lelaki muda berpa-

kaian putih mampu mengelakkan sambaran tangan-

nya.

Dan kenyataan ini cukup membuat bertambah 

kemarahannya. Dengan segera Garnika memberikan 

serangan susulan yang masih terarah ke wajah lelaki 

muda berpakaian putih. Kali ini tangan kirinya yang 

menyampok dengan kepalan kuat.

Wuttt! 

"Heh?!" 

Lelaki berkepala botak itu benar-benar merasa 

dipermainkan dengan tindakan lelaki muda yang begi-

tu sederhana tapi mampu membuat serangan tangan 

kiri Garnika kembali hanya menerjang angin.

"Ternyata kau memiliki kebisaan juga, Anak 

Muda," ucap Garnika. "Siapa namamu dan dari pergu-

ruan mana?" lanjut Garnika dengan pertanyaan me-

mancing.

Di benak Garnika sendiri kini sudah tersimpan 

sebuah rencana untuk memanfaatkan anak muda di 

hadapannya untuk menjadi petunjuk mengantar ke 

perguruannya sendiri.

"Namaku Kintana, aku dari Perguruan Angin 

Barat," jawab lelaki muda berpakaian putih.

"Ah, namamu bagus sekali, Anak Muda! Kin-ta-

na?" puji Jatnika bersiasat. "Nama perguruanmu juga


bagus. Pasti sudah terkenal di kalangan rimba persila-

tan," lanjut Jatnika memuji.

Lelaki muda berpakaian putih yang mengaku 

bernama Kintana tidak menanggapi pujian itu. Ma-

tanya nampak memperhatikan wajah Pendeta Kembar 

dan pakaian yang dikenakan. Dan tatapan mata Kin-

tana berhenti pada dada Jatnika yang terajah gambar 

seekor ular naga hitam yang tengah meliuk

"Ah, namaku Jatnika dan ini adikku Garnika. 

Kami berdua berjuluk Pendeta Kembar," ucap Jatnika 

dengan suara rendah. "Maaf dengan kelakuan adikku 

barusan! Sebenarnya dia tak bermaksud jahat," sam-

bung Jatnika.

"Benar. Maafkan aku!" timpal Garnika. "Sebe-

narnya aku hanya ingin berkenalan denganmu, Kinta-

na. Dan kalau boleh aku ingin berkunjung ke pergu-

ruanmu. Kau bersedia mengantarku?"

"Untuk apa kalian berkunjung ke Perguruan 

Angin Barat?" selidik Kintana tak termakan ucapan 

manis Garnika.

"Tentu saja hendak bertemu gurumu, Kintana. 

Kau keberatan?" tanya Jatnika.

"Aku tidak punya hak untuk keberatan, Pende-

ta Kembar. Tapi guruku, kurasa dia tidak punya ba-

nyak waktu untuk bertemu dengan kalian," kilah Kin-

tana dengan suara yang cukup mantap dan tegas.

"Begitu sibukkah gurumu itu, Kintana?" tanya 

Garnika berkesan menyindir.

Kintana paham dengan ucapan Garnika, se-

hingga dengan keras segera menimpali ucapan Garni-

ka.

"Guruku tidak begitu sibuk, cuma saja dia tak 

pernah mau bertemu dengan orang yang sama sekali 

tak dikenal dan tak punya urusan."

"Hmmm.... Kalau begitu gurumu itu lelaki yang


sombong, Kintana!" ucap Jatnika keras. "Aku jadi se-

makin ingin menemuinya dan menjajal kemampuan-

nya!" lanjut Jatnika.

Di luar dugaan Kintana, Jatnika bergerak den-

gan kecepatan yang luar biasa.

"Hiaaa...!"

Dengan teriakan keras tangan Jarnika me-

layang. Dan... 

Tuk! Tuk! 

"Aaa...!"

Dua kali totokan Jatnika mendarat di leher dan 

punggung Kintana. Tubuh Kintana langsung terkulai 

setelah terlebih dahulu memekik kuat.

Pekikan Kintana ternyata sampai juga di telinga 

Jaka dan Mayang Sutera. Dan teriakan itu cukup 

membuat gadis cantik berpakaian jingga mengangkat 

kakinya bermaksud melihat kejadian di kedai sebelah.

"Sabar, Mayang!" tahan Jaka Pada gadis cantik 

kekasihnya. "Kalau di kedai sebelah memang terjadi 

keributan besar, pasti keributan itu akan menjalar ke 

luar kedai. Dari kedai ini kita dengan leluasa dapat 

mengawasi sejauh mana keributan itu terjadi, dan ba-

haya yang ditimbulkan dari keributan itu. Kalau harus 

meminta nyawa, ya, baru kita turun tangan untuk 

mencegahnya," lanjut Jaka.

Mayang Sutera sedikit pun tidak membantah 

ucapan Jaka. Dirinya bahkan merasa kagum dengan 

ucapan Jaka yang berpikir lebih dahulu sebelum ber-

tindak.

Dan ternyata ucapan Jaka benar. Di kedai se-

belah yang barusan terdengar pekikan, tak terlihat 

orang-orang berhamburan keluar. Mereka nampak sa-

tu persatu keluar dari dalam kedai itu.

"Kakang!"

Jaka sempat tersentak mendengar pekik terta


han dari mulut Mayang dan segera menoleh ke sosok 

yang ditunjuk kekasihnya.

"Pendeta Kembar...," ucap Jaka mirip desahan.

"Lelaki yang dipapahnya itu pasti yang meme-

kik barusan, Kang," duga Mayang-Sutera.

"Ya. Mungkin. Urat-urat pusat lelaki itu juga 

sepertinya terkena totokan," timpal Jaka dengan tata-

pan mata yang terus memandangi sosok Pendeta Kem-

bar yang tengah memapah tubuh lelaki berpakaian pu-

tih.

"Hendak dibawa ke manakah lelaki itu?" ucap 

Mayang bertanya sendiri. "Kita harus mengikutinya, 

Kang. Kitab Gelang-Gelang Emas bagaimanapun harus 

kita rebut kembali!" mantap ucapan Mayang Sutera. 

(Baca serial Raja Petir dalam episode: 'Sengketa Pewa-

ris Tunggal')

"Tentu saja, Mayang. Kita memang harus men-

guntit pendeta-pendeta gadungan itu. Kita juga harus 

menyelamatkan pemuda itu sekaligus mencari tahu 

apa yang akan dilakukan Pendeta Kembar," sambut 

Jaka. 

"Ayo Kakang, jangan sampai kita kehilangan je-

jak!" ajak Mayang Sutera seraya menghentakkan ka-

kinya. Ringan saja gerakan yang dilakukan gadis can-

tik berpakaian jingga. Namun, dengan gerakan yang 

sederhana itu tubuh Mayang Sutera sudah berpindah 

sejauh dua batang tombak. Sementara Raja Petir sete-

lah menyelesaikan urusan dengan pemilik kedai segera 

menyusul tubuh kekasihnya yang telah bergerak lebih 

dulu. Keduanya menguntit perjalanan Pendeta Kembar 

yang memapah lelaki muda berpakaian putih.

"Apa yang akan dilakukan pendeta sesat itu, 

Kang?" tanya Mayang di tengah langkahnya yang men-

guntit Pendeta Kembar.

"Kita ikuti saja ke mana pendeta-pendeta palsu


itu bergerak. Namun dugaanku, dua lelaki berkepala 

gundul itu hendak menuju ke perguruan tempat pe-

muda berpakaian putih itu menimba ilmu," jawab Jaka 

menduga-duga.

"Untuk apa mereka memaksa pergi ke pergu-

ruan lelaki berpakaian putih itu?"

Jaka mengembangkan senyumnya mendengar 

pertanyaan gadis cantik berpakaian jingga yang begitu 

dikasihinya.

"Mana aku tahu maksud pendeta-pendeta itu 

menyatroni perguruan lelaki berpakaian putih itu, 

Mayang," jawab Jaka dengan senyum yang terus ber-

kembang.

Mayang tidak melanjutkan lagi pertanyaan-

pertanyaannya. Mata bening gadis cantik yang berpa-

kaian jingga itu terus menatapi sosok Pendeta Kembar 

yang berada lebih kurang lima pal di depannya.

Kedua sosok Pendeta Kembar berhenti di depan 

sebuah bangunan yang cukup besar dan megah. Di 

depan bangunan itu bertuliskan nama perguruan pada 

sebuah batu besar di atas tembok pintu gerbangnya 

yang kokoh.

Raja Petir dan Mayang Sutera segera menghen-

tikan langkah kaki mereka. Lalu keduanya segera 

mencari tempat aman untuk mengetahui apa yang 

akan dilakukan kedua lelaki gundul itu.

Sementara, pemandangan di depan gerbang se-

buah Perguruan Angin Barat nampak para penjaga 

menghadang Jatnika dan Garnika.

"Siapa kalian! Dan kenapa menawan Kakang 

Kintana?!" hardik salah seorang penjaga cukup keras.

Garnika menjawab pertanyaan penjaga pintu 

gerbang Perguruan Angin Barat dengan tatapan mata 

yang mencorong tajam.

Penjaga pintu gerbang yang barusan bertanya


seketika mengalihkan tatapannya ke tubuh Jatnika. 

Hatinya kontan berdebar setelah mendapatkan tatapan 

tajam mata Garnika.

"Cepat sebutkan siapa kalian dan apa tujuan 

kalian datang ke Perguruan Angin Barat, jangan sam-

pai orang-orang Perguruan Angin Barat mengambil 

tindakan keras!" bentak salah seorang penjaga yang 

bertubuh tinggi besar namun berwajah kekanakan.

"Ha ha ha.... Tindakan keras macam apa yang 

akan kalian lakukan, Tikus-tikus Comberan?!" balas 

Garnika diiringi tawa dengan pengerahan tenaga dalam 

tinggi.

Orang-orang Perguruan Angin Barat yang me-

miliki kemampuan tenaga dalam di bawah Pendeta 

Kembar, gelagapan mendapatkan serangan suara tawa 

yang cukup keras. Kelima penjaga pintu gerbang kon-

tan terhuyung-huyung. Sementara dengan kedua tela-

pak tangan mereka menekap kuat-kuat telinga mas-

ing-masing.

Untungnya tawa keras yang diciptakan Garnika 

tak berlangsung begitu lama, hingga siksaan yang di-

rasakan lima penjaga pintu gerbang Perguruan Angin 

Barat tidak berkepanjangan.

"Cepat, suruh keluar ketua perguruan ini!" pe-

rintah Garnika setelah tawanya terhenti. "Jangan sam-

pai kesabaranku hilang dan kulenyapkan nyawa kalian 

semua!" hardik Garnika melanjutkan.

Lima penjaga pintu gerbang Perguruan Angin 

Barat tak seorang pun yang memenuhi perintah Gar-

nika. Tatapan mata para penjaga pintu gerbang itu 

malah menyiratkan sebuah kemarahan yang me-luap.

"Biar nyawaku yang menjadi taruhan! Sedikit 

pun kami tidak sudi diperintah lelaki bejat semacam 

kau!" bentak lelaki tinggi yang berwajah kekanakan 

itu.


Lelaki berwajah kekanakan itu serta-merta me-

loloskan senjata dari balik pakaiannya. Sebuah golok 

kini terhunus di depan dada lelaki penjaga pintu ger-

bang itu. Secercah sinar matahari yang menerpa senja-

ta milik penjaga pintu gerbang terlihat berkeredep.

Empat penjaga pintu gerbang Perguruan Angin 

Barat yang lain pun turut meloloskan senjatanya, 

mengikuti perbuatan yang dilakukan lelaki berwajah 

kekanakan.

"Ayo, kita lumat dua lelaki yang tak tahu adat 

itu!" perintah lelaki berwajah kekanakan lantang, diba-

rengi dengan gerakan cepat menebaskan senjatanya ke 

leher Garnika.

"Hiaaa!"

Teriakan keras penjaga pintu mengawali seran-

gannya. 

Garnika hanya memandang sebelah mata se-

rangan yang dilakukan seorang penjaga pintu gerbang. 

Dengan gerakan yang ringan lelaki berkepala botak itu 

menarik badan dan memiringkan dadanya.

Wuttt! Wuttt!

Serangan yang dilakukan oleh lelaki berwajah 

kekanakan hanya menerpa angin. Namun serangannya 

ternyata tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Se-

telah serangan yang pertamanya tidak berhasil, lelaki 

berwajah kekanakan melanjutkan serangan berikut-

nya. Kali ini diikuti juga oleh dua lelaki penjaga pintu 

gerbang yang lain 

"Haaat!" 

"Hiyaaa!" 

"Heaaa!"

***


LIMA


Garnika bergerak-gerak lincah menghindari te-

basan dan tusukan senjata lawan. Tubuh lelaki berke-

pala gundul itu meliuk-liuk bagai seorang penari yang 

diiringi tabuhan gamelan yang begitu cepat. Namun di 

balik Bukan tubuh Garnika, tersimpan sebuah bahaya 

lewat serangan balasan yang memang sudah direnca-

nakannya.

Dengan kejelian matanya, Garnika melihat ke-

sempatan bagus untuk memanfaatkan serangan lawan 

yang akan dijadikannya sebagai tumpuan serangan ba-

lik.

"Hiaaa!"

Sebuah teriakan keras mengiringi tusukan sen-

jata yang dilakukan salah seorang penjaga pintu, ger-

bang dengan segenap kemarahannya. Tusukan itu be-

gitu cepat dan kuat. Namun, Garnika yang memiliki 

kemampuan jauh di atas lawan-lawannya mampu ber-

buat yang terbaik untuk dirinya.

Ketika serangan lawan datang mencecar lam-

bungnya, Garnika segera menghentakkan kakinya. 

Tubuh lelaki berkepala botak itu seketika melejit ke 

atas. Kemudian dengan bertumpu pada batang senjata 

lawan, Garnika kembali melejit ke atas seraya melaku-

kan serangan melintir di udara dengan tendangan-

tendangan mautnya. 

"Hiaaattt..!"

Teriakan keras terdengar mengiringi tendangan 

Garnika.

Plak! Plak! Plak! 

"Aaakhhh...!"

Seketika tubuh tiga lelaki penjaga pintu ger-

bang Perguruan Angin Barat ambruk ke tanah setelah


terkena tendangan beruntun yang cukup keras pada 

bagian kepalanya. Pekik kesakitan mengiringi roboh-

nya ketiga penjaga pintu gerbang itu. Darah segar pun 

mengalir dari sela-sela bibir mereka.

Dua orang lainnya yang belum sempat mem-

bantu menyerang, seketika itu juga terkesima menyak-

sikan tiga temannya langsung tewas hanya dalam se-

kejap. Sedangkan Kintana yang masih dalam kekua-

saan Jatnika tak mampu berbuat banyak, karena pen-

garuh totokan yang dilakukan lelaki berkepala gundul 

masih terlalu kuat dirasakannya.

Namun kesetiaan dua penjaga pintu gerbang 

yang tersisa patut mendapatkan pujian. Meski dengan 

hati gentar, dua lelaki itu bermaksud melakukan per-

lawanan terhadap Garnika yang telah menewaskan ti-

ga kawannya.

"Hiaaa!" 

"Hiaaa!"

Teriakan-teriakan keras mengawali serangan 

mereka.

"Tahaaan!"

Dua lelaki penjaga pintu gerbang serentak 

menghentikan gerakannya, ketika tiba-tiba mendengar 

teriakan keras. Dua lelaki penjaga pintu gerbang itu 

tahu betul dengan suara yang bermaksud melarang 

mereka menyerang Garnika. Suara milik seorang lelaki 

berusia setengah baya yang sangat mereka hormati. 

Seorang lelaki yang berkedudukan sebagai pimpinan 

tertinggi di Perguruan Angin Barat

"Kalian sebagai tamu yang tak kuundang! Se-

baiknya masuklah. Jangan berdiri di luar pintu seperti 

itu!" ucap lelaki berpakaian merah darah dengan suara 

berat.

Jatnika dan Garnika dengan tatapan mata ta-

jam memperhatikan sikap lelaki berpakaian merah da


rah yang berdiri begitu tenang.

Apa yang dilakukan Jatnika dan Garnika ter-

nyata dilakukan juga oleh Raja Petir dan Mayang Sute-

ra dari tempat persembunyiannya yang berjarak kira-

kira sebelas batang tombak.

Tubuh sepasang pendekar itu bersembunyi di 

balik sebatang pohon besar. Namun, mata mereka 

dengan bebas tertuju pada sosok lelaki berpakaian me-

rah yang diyakininya sebagai Ketua Perguruan Angin 

Barat

"Apakah kau pimpinan perguruan ini?!" tanya 

Jarnika dengan tatapan mata yang tertuju lurus ke 

wajah lelaki setengah baya berpakaian merah darah.

Lelaki berpakaian merah darah membalas tata-

pan mata Jatnika sebelum menjawab pertanyaan yang 

ditujukan kepadanya.

"Seharusnya aku yang bertanya, siapa kalian 

dan mau apa datang ke perguruan ini dengan memba-

wa kekacauan," balik lelaki setengah baya berpakaian 

merah darah. "Namun, karena aku dapat mengerti ke-

mauan orang-orang yang tak memiliki adab, maka ku-

jawab juga pertanyaan kalian, agar kalian tidak me-

ninggalkan perguruan ini dengan hati penasaran. Den-

garlah! Namaku Setyogunala, kedudukanku sebagai 

pimpinan di Perguruan Angin Barat!" lanjut lelaki ber-

pakaian merah darah yang mengaku bernama Setyo-

gunala. Ucapan barusan terdengar lantang dan man-

tap. 

"Ha ha ha...!"

Di luar dugaan Setyogunala, Garnika tertawa 

keras. Suara tawa itu berkesan meremehkan diri Ketua 

Perguruan Angin Barat

"Gunala!" ucap Garnika setelah tawanya ber-

henti.

Panggilannya terhadap Ketua Perguruan Angin


Barat amat tidak sopan. Beberapa murid utama Pergu-

ruan Angin Barat yang kini berdiri di samping kiri-

kanan Setyogunala bermaksud hendak menghajar ke-

lancangan lelaki berkepala gundul. Namun, hasrat mu-

rid-murid itu terbendung oleh ketenangan sang Pe-

mimpin.

"Sabar, biar dia bicara seenak perutnya," cegah 

Setyogunala dengan ketenangan yang luar biasa.

Jaka dan Mayang Sutera pun mengagumi kete-

nangan yang diperlihatkan Ketua Perguruan Angin Ba-

rat itu.

"Aku ingin tahu seberapa banyak murid yang 

menimba ilmu di perguruan ini," lanjut Garnika sete-

lah ucapannya terhenti karena menyaksikan murid-

murid utama Perguruan Angin Barat yang bermaksud 

menyerangnya namun tertahan oleh larangan Setyo-

gunala.

"Untuk apa kau ketahui keadaan murid pergu-

ruan ini?" balik Setyogunala ketus. "Yang jelas, karena 

kedatanganmu ke perguruan ini jumlah murid-

muridku menjadi berkurang tiga orang. Dan kalian ha-

rus menebus kekurangan itu!" lanjut Setyogunala te-

gas.

"Ha ha ha.... Jangan lanjutkan mimpimu di 

siang bolong begini, Gunala! Tahukah kau, kalau seka-

rang ini tengah berhadapan dengan Pendeta Kembar 

yang telah bergabung di bawah naungan Perguruan 

Naga Hitam Sejati. Dan kami utusan Panglima Naga 

Hitam yang menginginkan kau menjadi pengikut setia 

Perguruan Naga Hitam Sejati!" papar Jatnika menyelak 

ucapan yang hendak keluar dari mulut Garnika.

"Kau lihatlah Rajahan Naga Hitam ini!" lanjut 

Garnika seraya menyingkap sedikit pakaian di bagian 

dadanya. Gambar seekor ular naga hitam nampak di 

dadanya yang bidang.


Bruk!

Pada saat tangan Jarnika menyibak pakaian di 

bagian dadanya, tubuh Kintana murid Perguruan An-

gin Barat jatuh terkulai di tanah.

"Akan kuturuti keinginan Panglima Naga Hitam 

asalkan kalian berhasil menundukkanku dan juga mu-

rid-murid perguruan ini, namun sebelumnya kuha-

rapkan kalian sudi membebaskan totokan pada tubuh 

Kintana," pinta Setyogunala pelan.

Murid-murid utama Perguruan Angin Barat 

sempat kaget mendengar persetujuan yang keluar dari 

mulut pimpinannya, namun begitu semua murid uta-

ma Perguruan Angin Barat segera memaklumi keting-

gian ilmu gurunya. 

Tuk! Tuk! 

"Hmmmhhh...!"

Jatnika tanpa membuang waktu segera mem-

bebaskan Kintana dari pengaruh totokannya. Seketika 

itu juga terdengar lenguhan kesakitan yang keluar dari 

mulut Kintana.

Tiga murid utama Perguruan Angin Barat yang 

berdiri di samping Setyogunala segera berhamburan 

menubruk tubuh Kintana sesaat setelah mendapat pe-

rintah dari gurunya.

Beberapa saat lamanya, Jarnika dan Garnika 

menyaksikan tubuh Kintana dibawa oleh murid-murid 

utama Setyogunala. Namun pada saat selanjutnya ta-

tapan mata Pendeta Kembar telah mencorong tajam ke 

wajah Ketua Perguruan Angin Barat.

"Pertarungan yang bagaimana yang kalian in-

ginkan, Pendeta Kembar?!" tanya Setyogunala menim-

pali tatapan mata Jarnika dan Garnika yang menyala 

seperti kilatan mata kucing di kegelapan malam.

"Bebas!" sahut Garnika mendahului Jatnika. 

"Baik!"


Setyogunala memberi aba-aba pada seluruh 

muridnya untuk bersiap-siap menghadapi segala ke-

mungkinan. Sementara dirinya maju dua langkah 

mengikuti gerakan yang dilakukan Jatnika.

Sementara itu, dari balik persembunyian Raja 

Petir dan Mayang Sutera terus mengikuti dengan tata-

pan mata seperti tak berkedip.

"Kau pernah bentrok dengan Panglima Naga Hi-

tam, Kakang?" tanya Mayang Sutera.

Lelaki berpakaian kuning keemasan yang berju-

luk Raja Petir menggelengkan kepala menjawab perta-

nyaan gadis cantik berpakaian jingga.

"Mendengar sepak terjangnya?" tanya Mayang 

lagi.

"Ya. Panglima Naga Hitam tergolong seorang da-

tuk sesat yang bertekad menjadi pemimpin besar rim-

ba persilatan," jawab Jaka. "Itu pun kudengar dari 

pembicaraan kasak-kusuk di sebuah kedai di Desa 

Bantul beberapa purnama yang silam," lanjut Jaka.

"Keinginan yang bagus, namun sayang ber-

sumber pada orang yang salah," ulas Mayang.

"Ya. Sekarang Panglima Naga Hitam telah me-

lancarkan gerakan-gerakannya demi keinginan untuk 

menjadi seorang pemimpin besar. Dan kita harus men-

cegah semua itu," ucap Jaka dengan tatapan mata 

yang kembali pada pemandangan yang tak jauh di ha-

dapannya. 

Pertarungan antara Setyogunala dan Jatnika 

pun berlangsung. Nampak serangan kedua lelaki yang 

sama-sama berpakaian merah itu masih pada tahap 

saling menjajaki. Setyogunala merasa kemampuan la-

wannya tak berada di bawahnya. Begitu juga yang di-

rasakan Jatnika.

"Hiaaa!"

Sebuah teriakan mengiringi tubuh Jarnika yang


melejit ke arah Setyogunala. Lelaki berkepala botak se-

bagai orang tertua dari Pendeta Kembar langsung 

menggunakan senjatanya berupa tasbih berbiji besar-

besar yang diayunkan ke arah leher Ketua Perguruan 

Angin Barat

Singngng!

Suara berdesing mengiringi serangan Jatnika 

dengan tasbihnya. Setyogunala sempat terkesiap me-

nyaksikan kedahsyatan serangan lawan yang dilancar-

kan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun 

begitu, Ketua Perguruan Angin Barat itu tidak merasa 

gugup karenanya.

Lelaki setengah baya berpakaian merah darah 

itu segera menghentakkan kakinya melakukan lejitan 

ke belakang.

"Hip...!"

Singngng!

Wrettt..!

Serangan dahsyat Jatnika berhasil dielakkan 

Setyogunala. Akan tetapi lelaki Ketua Perguruan Angin 

Barat sempat merasakan getaran hebat di bagian da-

danya akibat sambaran angin yang keluar dari senjata 

milik Jatnika.

Sedangkan Jatnika yang unggul dalam hal ke-

gesitan, segera memanfaatkan Setyogunala dengan 

kembali melancarkan serangan susulan melalui ten-

dangannya yang cepat terarah ke dada lawan.

"Haaa...!"

Diiringi dengan pekikan mengguntur tubuh 

Jatnika melesat dengan kaki kanan yang bergerak lu-

rus memberikan tendangan dengan pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

Wuttt..!

"Uts!"

Setyogunala menyadari kecepatan gerakan se

rangan susulan yang dilancarkan Jatnika, dengan ce-

pat memiringkan badan dengan membawa mundur se-

langkah kaki kanannya.

Tapi rupanya Jatnika telah mampu membawa 

gerakan yang diambil Ketua Perguruan Angin Barat 

demi menyelamatkan tubuhnya dari sambaran kaki 

kanannya.

Setelah serangannya berhasil dielakkan Setyo-

gunala, Jatnika cepat melancarkan gedoran kuat 

menggunakan sikunya.

"Hih!" 

Plak! 

"Akh!"

Tubuh Ketua Perguruan Angin Barat terpekik. 

Tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang saat 

tangannya berkelebat menepis sodokan siku Jatnika. 

Sementara lelaki berkepala gundul itu sendiri cuma 

terhuyung dua langkah. Kenyataan ini membuktikan 

kalau dalam benturan tadi kekuatan tenaga dalam 

Jatnika lebih tinggi.

Pada pertarungan lain nampak Garnika berha-

dapan dengan empat murid utama dari Perguruan An-

gin Barat Pertarungan itu sendiri sudah berlangsung 

beberapa jurus, tapi belum menampakkan keterdesa-

kan salah satu pihak.

Garnika yang memang memiliki mutu dan ke-

pandaian ilmu silat yang lebih tinggi tidak mampu di-

desak oleh keempat lawannya. Namun, Garnika tidak 

mampu mendesak empat murid Perguruan Angin Ba-

rat yang melakukan penyerangan begitu padu.

Aku harus melumpuhkan salah satu di antara 

mereka, ucap Garnika dalam hati.

Bersamaan dengan selesainya ucapan Garnika, 

salah seorang murid utama Perguruan Angin Barat 

kembali menerjang dengan senjatanya berupa sebilah



pedang. Bunyi angin menderu mengiringi serangan 

yang dilancarkan dengan pengerahan tenaga dalam 

tinggi.

Wungngng!

Trak!

"Aaakh!"

Tubuh tinggi kurus murid utama Perguruan 

Angin Barat seketika terpental balik ke belakang, keti-

ka pedang yang ditebaskan ke dada Garnika memben-

tur dengan tepat. Sehingga akibat yang di-timbulkan 

sungguh berbeda dari apa yang diinginkan.

Murid utama Perguruan Angin Barat merasa-

kan hantamannya seperti membentur batu karang 

yang amat kuat. Dirasakan tangannya begitu panas, 

sedangkan senjatanya terpental jatuh di tanah.

Sementara itu, Garnika juga tidak yakin dengan 

kejadian yang betul-betul dialami. Sungguh dia sendiri 

tak menyangka kalau tubuhnya menjadi demikian 

kebal. Padahal, ketika menghadapi senjata murid uta-

ma Perguruan Angin Barat dirinya cuma mengaliri se-

luruh kekuatan tenaga dalamnya ke bagian yang dite-

bas lawan, akan tetapi....

Apakah ini pengaruh dari rajahan Panglima Na-

ga Hitam? Ucap hati Garnika bertanya-tanya.

Pertanyaan Garnika belum sempat terpecahkan 

ketika dengan lantang salah seorang murid Perguruan 

Angin Barat yang lain mencaci-maki.

"Manusia Iblis!" bentak lelaki bertubuh kekar.

Lelaki itu kemudian berkelebat memberikan se-

rangan susulan. Namun serangan mematikan yang di-

berikan kali ini sengaja diarahkan ke batang leher 

Garnika.

Lelaki berkepala gundul yang memiliki suara 

mirip perempuan terkejut mendapatkan serangan su-

sulan murid Perguruan Angin Barat. Sungguh dia ti


dak berani menanggung akibat dari serangan lawan 

yang mengancam lehernya dengan hanya membiarkan 

serangan itu.

"Hop!"

"Uts!"

Dengan perhitungan yang cukup matang, Gar-

nika membawa kakinya melompat mundur ke bela-

kang, lalu dengan kecepatan geraknya yang luar biasa, 

tubuh lelaki berjubah pendeta itu kembali melejit ke 

depan melewati kepala murid Perguruan Angin Barat. 

Dan dengan gerakan yang di luar dugaan tubuh Gar-

nika yang tengah berada di udara meluruk dengan se-

pasang kakinya tertuju ke arah punggung murid uta-

ma Setyogunala.

"Hiaaa...!"

Blugkh! 

Hughk!

Tubuh murid utama Perguruan Angin Barat 

terjerembab dan melenguh kesakitan, ketika tendan-

gan Garnika mendarat di punggungnya. Tubuh yang 

terbalut pakaian putih itu tersungkur hingga bagian 

wajahnya, dengan keras membentur permukaan ta-

nah. Darah nampak berceceran, keluar dari mulut, hi-

dung, dan kulit wajah yang tergores permukaan tanah.

Raja Petir dan Mayang Sutera yang menyaksi-

kan kejadian dari tempat sembunyi sempat terkejut. 

Sungguh keduanya tidak menyangka kecepatan gerak 

dan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Garnika.

"Kita harus campur tangan secepatnya, 

Mayang, " ucap Jaka pada gadis cantik berpakaian 

jingga yang berdiri di sebelahnya.

"Ayo, Kakang! Biar aku yang menghadapi Gar-

nika," timpal Mayang Sutera menyetujui ucapan lelaki 

berpakaian kuning keemasan yang berjuluk Raja Petir.

Jaka kembali menyaksikan pertarungan antara


Setyogunala menghadapi Jatnika. Nampak lelaki se-

tengah baya yang mengenakan pakaian merah mulai 

terdesak, seperti juga murid-murid utama Perguruan 

Angin Barat yang mulai terpukul mundur.

Akan tetapi murid-murid utama Setyogunala 

sedikit mendapatkan angin segar untuk bertahan keti-

ka tanpa diperintah oleh pimpinan perguruan, murid-

murid kelas menengah telah turun ke kancah perta-

rungan.

Garnika sendiri terkejut menyaksikan puluhan 

murid-murid Perguruan Angin Barat yang telah melu-

ruk ke arahnya dengan senjata tajam yang terhunus. 

Akan tetapi Garnika bukanlah tokoh persilatan yang 

mudah menyerah begitu saja. Meski hanya mengguna-

kan senjata berupa tasbih berukuran besar, lelaki ber-

kepala gundul yang memiliki suara mirip perempuan 

itu mampu mengimbangi keroyokan lawan-lawannya.

Tebasan, tusukan, dan serangan membokong 

yang dilakukan murid-murid Perguruan Angin Barat 

berhasil dielakkan Garnika. Bahkan serangan balasan 

yang dilakukan secara tiba-tiba mampu memukul 

mundur murid-murid Setyogunala yang berhasrat 

menghabisi nyawanya. 

"Hiaaa...!" 

"Uts!"

Blugkh! Blugkh!

Dua murid kelas menengah kembali terpukul 

mundur. Tendangan menyilang dan hantaman siku 

Garnika dengan telak menghantam bagian perut dan 

dada lawannya.

Kedua lawan Garnika yang terkena hantaman 

tendangan dan sikutan seketika terpental sejauh satu 

setengah batang tombak. Kedua murid kelas menen-

gah Perguruan Angin Barat seketika roboh dengan da-

rah segar yang menyembur dari mulut mereka.


Di tengah-tengah keganasan Garnika yang 

membabat murid-murid Perguruan Angin Barat, tiba-

tiba melesat sesosok bayangan tubuh mengenakan pa-

kaian jingga. Begitu gesit dan cepat gerakan yang dila-

kukan sosok berpakaian jingga, hingga tahu-tahu su-

dah berada di tengah pertempuran antara murid-

murid kelas menengah Perguruan Angin Barat mela-

wan Garnika.

"Akulah lawanmu, Garnika!" ucap sosok berpa-

kaian jingga yang ternyata seorang gadis berparas can-

tik Gadis cantik itu tak lain Mayang Sutera alias Dewi 

Payung Emas.

"Heh?! Putri Perguruan Gelang Emas?" ucap 

Garnika dengan raut muka menyimpan keterkejutan. 

"Kau masih penasaran ingin merebut kitab pusaka Ge-

lang-Gelang Emas?" tanya Garnika.

"Bukan hanya itu, Pendeta Sesat! Kau harus 

kuringkus agar tak merajalela dengan meminta korban 

nyawa!" sahut Mayang Sutera.

Garnika mendelikkan kedua matanya menden-

gar ucapan gadis cantik putri tunggal Perguruan Ge-

lang Emas. Sementara di tempat lain sosok muda ber-

pakaian kuning keemasan yang tak lain Jaka alias Ra-

ja Petir telah turun juga di antara pertempuran Setyo-

gunala melawan Jatnika.

"Maafkan kelancanganku, telah turut campur 

dalam urusan ini, Kisanak sekalian!" ucap Jaka sopan

Setyogunala dan Jatnika langsung saja meng-

hujani wajah Jaka dengan tatapan mata yang masing-

masing mengandung makna yang berbeda.

***



ENAM


Raja Petir!" bentak Jatnika ketika mengenali 

sosok muda yang berdiri tegak di antara dirinya dan 

Setyogunala. "Jangan coba-coba ingin mencampuri 

urusanku kalau masih ingin mereguk hari esok!"

Jaka hanya menanggapi hardikan Jatnika den-

gan senyum samar menghias wajahnya. Namun, tata-

pan matanya yang tenang tak lepas pula membalas ta-

tapan mata orang tertua dari Pendeta Kembar.

Setyogunala sendiri menjadi tenang hatinya se-

saat nama Raja Petir disebut Jatnika. Sungguh dirinya 

tak menyangka kalau hari ini berjumpa dengan sosok 

muda yang namanya terukir harum di rimba persila-

tan. Tokoh muda yang digdaya, yang selalu berpijak

pada kebenaran dan tak segan-segan menyingkirkan 

kelaliman yang berlangsung di muka bumi ini. Meski 

Ketua Perguruan Angin Barat belum pernah menyak-

sikan secara langsung kehebatan Raja Petir, dirinya 

begitu yakin dengan kabar yang pernah didengarnya 

dari tokoh-tokoh persilatan lain.

"Raja Petir! Telah kudengar kehebatanmu dari 

orang-orang persilatan golongan hitam atau putih. Tapi 

seharusnya kau tidak menjadi besar kepala. Janganlah 

kau mencari urusan dengan Pendeta Kembar, karena 

akan percuma saja apa yang kau lakukan. Di belakang 

Pendeta Kembar berdiri sosok Maha Sakti Panglima 

Naga Hitam. Kuperingatkan sekali lagi padamu, Raja 

Petir! Secepatnya kau enyah dari hadapanku!" kasar 

dan berkesan meremehkan ucapan yang keluar dari 

mulut lelaki berkepala botak bernama Jatnika.

"Jatnika!" ucap Jaka dengan suara ditekan se-

dalam mungkin. "Aku tak pernah punya urusan den-

gan Panglima Naga Hitam. Siapa pun dia dan apa pun


kedudukannya di matamu, aku tidak akan ambil pe-

duli. Yang jelas kau dan adikmu yang mirip banci itu

harus segera enyah dari sini. Namun, sebelumnya ku-

minta kau serahkan kitab Gelang-Gelang Emas milik 

kawanku!" lanjut Raja Petir lantang.

"Jangan bermimpi kau Raja Petir!" balas Jatni-

ka tak kalah lantang. "Kitab Perguruan Gelang Emas 

kini tak berada lagi di tanganku. Kalau kau mau men-

gambilnya silakan kau berhadapan langsung dengan 

junjunganku, Panglima Naga Hitam. Kurasa tak 

mungkin, karena kau sendiri harus berhadapan dulu 

dengan Pendeta Kembar," ucapan sombong yang ke-

luar dari mulut Jatnika.

Namun tanggapan Raja Petir terhadap ucapan 

itu tak ubahnya dengan tanggapannya menghadapi 

kemauan bocah tujuh tahunan yang tengah menonton 

sebuah pertandingan ilmu bela diri.

"Ah, kurasa keinginanku itu bukanlah mimpi, 

Jatnika. Kau saja yang terlalu membanggakan keting-

gian ilmu Panglima Naga Hitam," timpal Jaka kemu-

dian.

"Tutup mulutmu, Raja Buduk! Kau telah me-

rendahkan kedudukan Panglima Naga Hitam, kau ta-

hu! Itu berarti maut buatmu!" hardik Jarnika.

"Maut ada di tangan sang Pencipta Jagat, Jat-

nika. Seharusnya kau sadar itu," kilah Raja Petir den-

gan tenang.

Setyogunala, Ketua Perguruan Angin Barat 

nampak tersenyum dengan ucapan Jaka. Lelaki beru-

sia setengah baya itu kelihatannya mengagumi tutur 

kata yang terucap dari mulut tokoh muda yang na-

manya tersohor di seluruh pelosok rimba persilatan.

Sementara wajah Jatnika terlihat menjadi gelap 

dengan ucapan sederhana yang keluar dari mulut Raja 

Petir. Dari perubahan wajah itu tiba-tiba menjelma se


buah tatapan membara. Mata Jatnika berkilat-kilat se-

bagai pertanda kemarahan telah betul-betul memun-

cak.

"Bedebah kau, Raja Buduk! Heaaattt..!"

Kemarahan Jatnika betul-betul diwujudkan da-

lam sebuah serangan maut. Tangan lelaki berkepala 

gundul itu nampak menegang kuat sebagai pertanda 

bahwa dirinya tengah mengalirkan tenaga dalam ting-

gi.

Raja Petir sendiri telah mampu membaca gera-

kan cepat yang dilakukan Jatnika. Sehingga dengan 

segala kerendahan ucapannya dia meminta pada Se-

tyogunala agar menyingkir dari arena pertarungan.

"Maaf, Ki! Biar aku yang ganti menghadapi 

pendeta gila ini," ucap Jaka seraya membungkukkan 

sedikit tubuhnya. "Namun tolong kau awasi kawan 

wanitaku itu." 

Hanya selang beberapa saat dengan ucapan Ra-

ja Petir, serangan Jatnika datang. Angin berkesiutan 

mengiringi kedatangan pukulan lurus yang terarah ke 

dada Raja Petir.

Wuts!

"Uts!"

Jaka langsung memiringkan badannya bersa-

maan dengan tibanya serangan Jatnika. Begitu cepat 

dan ringan gerakan yang dilakukan Raja Petir. Namun 

gerakannya itu ternyata juga mampu dibaca lawannya.

Siku Jatnika langsung menusuk ketika puku-

lan lurus yang dilancarkannya berhasil dielakkan Ja-

ka. 

"Eit!" 

Plak!

Raja Petir langsung mengembangkan telapak 

tangannya guna menangkis serangan Jatnika. Tenaga 

dalamnya pun dikeluarkan untuk menandingi sikutan


Jatnika yang cukup keras.

Akibatnya, tubuh Jatnika dan Raja Petir sama-

sama terdorong tiga langkah.

Akan tetapi Jatnika dengan segenap kemara-

hannya langsung kembali mencelat. Kali ini lelaki ber-

kepala gundul itu langsung menggunakan senjatanya 

berupa tasbih berukuran besar.

"Hiaaa...!"

Arah loncatan Jatnika yang tertuju ke bagian 

leher Raja Petir membuat lelaki muda berpakaian kun-

ing keemasan itu harus cepat melejit dengan melaku-

kan putaran tubuh dua kali di udara.

"Haaaps...!"

Wrettt!

Kembali Jatnika menelan kekecewaan karena 

serangannya kembali berhasil digagalkan Raja Petir. 

Lelaki berkepala gundul sebagai orang tertua dari Pen-

deta Kembar geram bukan kepalang, maka ketika tu-

buhnya kembali mencelat serangkaian serangan gelap 

dengan senjata rahasianya dilancarkan.

"Hiaaa...!"

"Hih!"

Wrssst...!

Tangan Jatnika menyibak jubah kependetaan-

nya dengan cepat. Kemudian dengan begitu cepat pula 

tangannya berkelebat melemparkan benda-benda kecil 

ke arah Raja Petir.

Raja Petir yang telah seringkali menghadapi ke-

licikan-kelicikan tokoh-tokoh golongan hitam, tidak 

mengalami keterkejutan yang membuat pertahanannya 

rapuh.

Puluhan jarum beracun yang meluruk deras ke 

tubuhnya dengan sigap dihalaunya lewat jurus 

'Pukulan Pengacau Arah'. Meskipun kedudukan Raja 

Petir tengah berada di udara, tanpa kesulitan me


lepaskan pukulan maut untuk menghalau serbuan 

senjata-senjata beracun milik Jatnika.

Dari kepalan tangan Raja Petir yang terbuka 

seketika meluncur serangkum angin bergulung ke arah 

datangnya luncuran jarum-jarum beracun.

Wrusss...!

Jatnika sungguh tak mengira kalau dalam ke-

dudukan di udara, Raja Petir mampu melancarkan 

pukulan dahsyat yang mampu menjelmakan segulun-

gan angin berpusar. Dan ketika senjata rahasianya 

membentur angin bergulung itu. Jatnika ter-paksa 

membuang dirinya ke kanan demi menghindari senja-

tanya yang terpental balik

"Heh?!"

Blukkk!

Pada saat tubuh Jatnika bergulingan menghin-

dari senjata rahasianya yang terpental balik, sebenar-

nya Raja Petir bisa saja memberikan serangan susulan 

untuk mematikan perlawanan orang tertua dari Pende-

ta Kembar. Namun, hal itu tak dilakukan, karena di-

rinya tak mau membokong lawan.

Tatapan mata Jaka sementara justru dialihkan 

pada pertarungan Dewi Payung Emas melawan Garni-

ka.

Sebenarnya pada saat itu Raja Petir mengalami 

keterkejutan yang teramat sangat, dilihatnya Garnika 

tengah melancarkan serangan dengan menggunakan 

senjata rahasia berupa jarum-jarum yang mengandung 

kekuatan racun ganas.

Tapi hati Jaka menjadi sedikit lega ketika dis-

aksikannya Mayang Sutera telah mengembangkan sen-

jata andalannya berupa sebuah payung berukuran ke-

cil yang terbuat dari logam keras.

Gadis cantik berpakaian jingga yang rambutnya 

panjang terkepang itu kini nampak tengah memutar


mutar senjata pamungkasnya. Perputaran senjata 

yang berada di tangan Mayang begitu cepatnya, hingga 

bentuk asli senjata itu sendiri tak nampak, berganti 

dengan segulungan sinar berwarna keemasan. Itulah 

serangkai jurus andalan Mayang Sutera yang bernama 

'Benteng Emas'

Wrrr...!

Trak! Trak!

Jarum-jarum beracun milik Garnika seketika 

berpentalan balik setelah membentur segulungan sinar 

keemasan sebagai benteng kokoh yang dimiliki Mayang 

Sutera. Jarum-jarum beracun milik lelaki kedua dari 

Pendeta Kembar tidak hanya terpental balik, tapi juga 

berpatahan. Tenaga yang terkandung dalam lemparan 

Garnika, dan tenaga putaran yang dilakukan Mayang 

terhadap payung bajanya membuat jarum-jarum ganas 

itu tak mampu menembus sasaran.

Dan kenyataan itu membuat hati Garnika ter-

bakar nafsu amarah yang tak terkendali. Sehingga 

dengan gerakan yang tanpa perhitungan matang lelaki 

gundul itu langsung meluruk ke arah Mayang Sutera.

Gadis cantik berpakaian jingga yang memiliki 

kecerdikan luar biasa segera mampu membaca kecero-

bohan lawan yang sedang terbakar amarah.

Dan ketika serangan Garnika yang berupa pu-

kulan miring mencecar pelipis, Mayang Sutera hanya 

mengegoskan sedikit kakinya, menghindari serangan 

tanpa perhitungan itu.

"Uts!"

"Hea!"

Blukkk!

Sambil mengelakkan serangan-serangan Garni-

ka, Mayang Sutera bergerak dengan begitu cepat 

memberikan serangan balasan. Cukup telak serangan 

itu mendarat di punggung lelaki berkepala gundul


hingga tubuhnya terdorong dua langkah.

Garnika hanya terbatuk mendapatkan pukulan 

keras Mayang Sutera yang dikeluarkan dengan penge-

rahan tenaga dalam. Sedikit pun tak terlihat cairan 

merah keluar dari mulut tokoh golongan sesat yang 

menggunakan jubah kependetaannya sebagai kedok

Padahal, menurut perhitungan Mayang, jurus 

'Menyibak Mega' yang barusan dilancarkannya ke tu-

buh Garnika paling tidak dapat menimbulkan luka da-

lam yang ditandai dengan memerciknya darah dari 

mulut. Namun kenyataannya?

Hebat juga daya tahan lelaki gundul ini, batin 

Mayang Sutera.

Gadis cantik berpakaian jingga sudah kembali 

bermaksud memberikan serangan susulan. Namun di-

urungkan ketika mendengar pekik melengking keluar 

dari mulut lelaki berkepala gundul yang tengah berta-

rung melawan Raja Petir. 

"Aaakh...!"

Mayang Sutera dan Garnika sama-sama meno-

lehkan kepala ke arah pekikan keras yang membum-

bung tinggi ke langit. Nampak sosok tubuh berpakaian 

merah terlempar deras setelah bagian dadanya terhan-

tam pukulan keras Raja Petir.

Garnika bergerak cepat menyongsong tubuh 

Jatnika yang tengah melayang, tapi gerakannya ter-

lambat satu langkah. Pada saat itu tubuh Jatnika te-

lah berhenti meluncur karena terhadang sebatang po-

hon berukuran besar.

Brakh!

Blugh!

Tubuh Jatnika langsung terbanting di tanah, 

sementara Garnika dengan wajah cemas memegangi 

tubuh Jatnika.

"Hoekh!"


Jatnika memuntahkan darah kental kehitaman 

dari mulutnya. Sesaat tubuhnya berkelojotan setelah 

darah kental kehitaman keluar mengotori pakaiannya, 

namun pada saat berikutnya tubuh lelaki tertua dari 

dua tokoh yang berjuluk Pendeta Kembar itu tak ber-

gerak. Pingsan.

Garnika yang menyaksikan keadaan Jatnika 

seperti itu, seketika tak mampu mengekang kemur-

kaannya. Tubuh lelaki itu dengan cepat melesat menu-

ju Raja Petir.

"Kubunuh kau!" teriak Garnika lantang. 

"Hiaaat...!"

***

7l

TUJUH



Raja Petir pun melakukan lejitan yang tak ter-

duga sama sekali oleh orang-orang yang barusan terli-

bat dalam pertempuran.

Terlebih Mayang Sutera. Gadis cantik yang ber-

juluk Dewi Payung Emas tak menyangka kalau Raja 

Petir menyongsong serangan lawan yang tengah kalap. 

Apalagi dalam lesatan tubuhnya, Jaka mengerahkan 

sebuah ajian pamungkasnya aji 'Kukuh Karang'.

Tubuh Raja Petir yang pada bagian dada sam-

pai kepalanya terbalut sinar kuning keemasan berke-

lebat lebih cepat dari yang dilakukan Garnika. Dan ke-

tika jarak di antara keduanya semakin pendek, Jaka 

telah lebih dulu mendaratkan gedoran dengan meng-

gunakan telapak tangannya yang terbuka lebar. 

"Hiaaa...!" 

Diegkh! 

"Hugkh!"

Tubuh Garnika terpukul mundur ketika seran


gan Raja Petir dengan telak menggedor bagian da-

danya. Sengaja Jaka menyertakan aji 'Kukuh Karang' 

ketika menggedor dada Garnika. Sehingga seketika itu 

juga tubuh Garnika terbalut sinar kuning keemasan 

dan kemudian jatuh berdebum di tanah.

Bagi orang-orang yang menyaksikan kedahsya-

tan pukulan Raja Petir, maka mustahil sekali kalau le-

laki yang berkedok sebagai pendeta itu mampu berta-

han hidup. Padahal sesungguhnya dilakukan Raja Pe-

tir justru sebaliknya.

Pukulan dahsyat yang dikeluarkan dengan 

pengerahan aji 'Kukuh Karang' hanya untuk menghan-

curkan pengaruh rajahan yang ada di dada Garnika. 

Rajahan bergambar seekor naga hitam yang tengah 

meliuk itu, bukan semata rajahan biasa. Rajahan Naga 

Hitam itu di dalamnya mengandung sejenis ramuan

yang bisa mengakibatkan seseorang terampas pikiran-

nya dan akan paruh serta tunduk pada orang yang te-

lah merajahnya.

Itu sebabnya Raja Petir menggedor dada Garni-

ka dengan mengerahkan ajian pamungkasnya yang 

berguna sekaligus sebagai pemunah racun. Dan sinar 

kuning keemasan yang sekilas tadi terlihat membalut 

bagian dada dan punggung belakang Garnika, telah 

merasuk ke dalam tubuh Garnika untuk menghancur-

kan pengaruh racun yang menggumpal.

"Hoeeekh!"

"Hoeeekh!"

Garnika seketika memuntahkan gumpalan da-

rah kehitaman dari mulutnya. Wajah lelaki berkepala 

gundul itu nampak berubah pucat-pasi.

Lelaki botak yang bersama kawannya berjuluk 

Pendeta Kembar kini tergeletak telentang di tanah. Tu-

buhnya nampak sudah tidak memiliki daya sama seka-

li, hanya sepasang matanya yang masih terlihat mem

belalak lebar.

Namun pemandangan seperti itu tidak begitu 

lama terlihat, pada saat selanjutnya, tiba-tiba mata 

Garnika terpejam dan kepalanya meneleng ke kanan. 

Garnika telah jatuh pingsan.

Setyogunala dan Mayang Sutera mengikuti 

langkah kaki Raja Petir mendekati tubuh Garnika yang 

pingsan.

"Dia cuma pingsan, Kisanak. Seperti juga ka-

wannya," jelas Jaka ketika tatapan mata Ketua Pergu-

ruan Angin Barat tengah merayapi wajahnya.

Setyogunala terlihat salah tingkah mendengar 

ucapan dan tatapan balasan sepasang mata Raja Petir.

"Eh.... Uh, panggil aku Setyogunala, Raja Petir!" 

ucap Ketua Perguruan Angin Barat terbata-bata.

"Panggil juga aku Jaka, Ki Gunala," sambut Ra-

ja Petir. "Jangan kau panggil aku dengan julukan itu, 

aku selalu merasa risih acapkali orang memanggilku 

dengan julukan itu," lanjut Jaka bukan semata berpu-

ra-pura merendah.

"Kau hebat, Jaka! Kiranya kabar yang selama 

ini kudengar tentang sosok muda yang mampu meng-

gemparkan dunia persilatan, ternyata tidaklah berlebi-

han. Kau pun memang mengagumkan," puji Setyogu-

nala.

"Ah, jangan menyanjungku seperti itu, Ki Gu-

nala! Bisa besar kepala aku nantinya," kilah Jaka. 

"Kakang!" ucap Mayang Sutera keras.

"Ada apa, Mayang?" Raja Petir kontan menoleh 

ke arah gadis cantik yang berada paling dekat dengan 

sosok Garnika yang tergeletak.

"Kitab pusaka itu sudah tidak ada pada mere-

ka," ucap Mayang Sutera dengan raut wajah meng-

gambarkan kecemasan luar biasa.

"Menurut Jatnika kitab itu berada di tangan


Panglima Naga Hitam," jelas Jaka tenang.

"Panglima Naga Hitam?" ulang Mayang Sutera 

dengan mata yang membelalak keluar. "Kenapa kitab 

itu bisa berada di tangannya?" selidik Mayang Sutera 

kemudian.

"Entahlah, mungkin Pendeta Kembar bentrok 

dengan Panglima Naga Hitam, dan dia keluar sebagai 

pecundang. Buntutnya mungkin dia menjadi pengikut 

Panglima Naga Hitam," jelas Jaka menduga-duga.

Dugaan lelaki berpakaian kuning keemasan 

bukan dugaan yang asal saja, tapi berlandaskan pada 

apa yang diucapkan Jatnika. Lelaki berkepala gundul 

itu mengatakan kalau Pendeta Kembar memiliki seo-

rang junjungan, yakni Panglima Naga Hitam.

Mayang Sutera nampaknya masih belum puas 

juga dengan penjelasan Raja Petir. Raut wajahnya me-

nampakkan kecemasan terhadap kitab pusaka milik 

leluhurnya yang dicuri Pendeta Kembar.

"Sudahlah, Mayang! Kita urusi dulu korban-

korban dari pihak Ki Gunala. Setelah itu kita coba me-

nyadarkan Pendeta Kembar. Semoga saja kita berhasil 

manfaatkan Garnika dan Jatnika sebagai penunjuk 

tempat kediaman Panglima Naga Hitam!" tukas Jaka 

mencoba meredakan kecemasan hati kekasihnya.

Sementara itu, Ketua Perguruan Angin Barat 

segera memerintahkan beberapa muridnya untuk 

membawa korban-korban akibat perbuatan Pendeta 

Kembar, setelah menyaksikan anggukan kepala gadis 

cantik berpakaian jingga.

"Mari, Ki! Kita sama-sama mencoba menyadar-

kan Pendeta Kembar," ajak Jaka pada Setyogunala.

Ketua Perguruan Angin Barat tidak menyahuti 

ucapan Raja Petir. Lelaki tua berpakaian merah darah 

itu kembali melambaikan tangan memanggil beberapa 

orang muridnya.


Empat orang murid Perguruan Angin Barat se-

gera datang dan menjura hormat pada Setyogunala, 

Raja Petir, dan Mayang Sutera.

"Kalian bawa dua lelaki itu ke pendopo," perin-

tah Setyogunala pada keempat muridnya.

Tanpa terdengar sepatah ucapan pun keempat 

murid Perguruan Angin Barat segera bergerak cepat 

memenuhi perintah orang yang dihormatinya. Tubuh 

Garnika dan Jatnika masing-masing diusung oleh dua 

lelaki murid Setyogunala.

Sementara dengan langkah perlahan Setyogu-

nala, Raja Petir, dan Mayang Sutera beranjak menuju 

pendopo Perguruan Angin Barat.

***

"Uhugkh!"

Jatnika terbatuk setelah beberapa saat la-

manya Raja Petir mengalirkan hawa murninya melalui 

telapak tangan yang menempel di dada lelaki berkepala 

gundul itu.

Batuk-batuk yang dialami Jatnika sebagai buk-

ti bahwa dirinya sudah siuman dari pingsan. Namun, 

karena keadaan tubuhnya yang terlampau lelah mem-

buat lelaki berkepala gundul itu tak kuasa membuka 

matanya, apalagi untuk menggerakkan tubuhnya.

Sementara Setyogunala yang mencoba meno-

long Garnika dari pingsannya nampak belum menemui 

hasil, meski peluh telah membasahi wajah serta leher-

nya.

"Sekali lagi kau alirkan tenaga murnimu, Ki!" 

pinta Jaka pada Setyogunala.

Raja Petir merasa Ketua Perguruan Angin Barat 

sudah menyerah dalam usahanya membuat Garnika 

siuman.


"Lakukan sekali lagi, Ki Gunala!" pinta Jaka la-

gi meyakinkan. "Dia pasti dapat siuman."

Setyogunala kembali menempelkan telapak 

tangannya ke dada lelaki berkepala gundul bernama 

Garnika. Wajah lelaki setengah baya yang mengenakan 

pakaian merah darah itu nampak sedikit menegang, 

kedua belah matanya dipejamkan.

"Hoekh!"

Sesaat Garnika nampak berkelojotan setelah 

Setyogunala menempelkan dua telapak tangan ke da-

danya. Darah kehitaman bermuncratan membasahi 

pakaian Garnika dan tangan Setyogunala.

"Jaka?" ucap Setyogunala sedikit terkejut men-

dapatkan keadaan Garnika yang kembali tergeletak tak 

bergerak. Lelaki berkepala gundul itu kembali pingsan.

Raja Petir segera bangkit dari duduknya. Dide-

katinya tubuh Garnika yang kembali pingsan, kemu-

dian ditempelkan tangannya persis di belahan dada 

Garnika.

Setegukan teh lamanya belum berhasil dari pe-

kerjaan yang dilakukan Raja Petir. Namun, pada saat 

berikutnya tubuh Garnika bergetar perlahan dan ke-

mudian....

"Guhgkh...!"

Garnika terbatuk pelan diiringi dengan tubuh-

nya yang menggelinjang. Mata lelaki berkepala gundul 

itu pelan-pelan terbuka.

"Heh?"

Sebuah helaan napas keheranan keluar dari 

mulut Garnika. Perlahan-lahan tubuhnya berusaha 

bangkit. Namun, tubuh lelaki yang memiliki suara mi-

rip perempuan itu telah kehabisan tenaga. Sedikit pun 

Garnika tak mampu menggeser tubuhnya. 

"Apa yang telah kalian lakukan terhadap diri-

ku?" tanya Garnika sesaat setelah pikirannya mampu


membaca keadaannya.

Lelaki berkepala gundul yang bersama kawan-

nya berjuluk Pendeta Kembar itu nampak ingin bang-

kit, tapi diurungkannya karena rasa linu yang menye-

rang otot-otot tubuhnya.

Raja Petir menatap bola mata Garnika dalam-

dalam seperti hendak mempengaruhi lelaki yang terge-

letak tanpa daya untuk melakukan sesuatu yang diin-

ginkan. Dan kenyataannya memang Garnika tak 

mampu melawan tatapan tajam mata Raja Petir.

"Kau kenal dengan Panglima Naga Hitam?" 

pancing Jaka membuka pikiran Garnika.

Lelaki berkepala gundul orang kedua dari Pen-

deta Kembar itu merenung sesaat mendengar perta-

nyaan Raja Petir.

"Panglima Naga Hitam?" ulang Garnika mirip 

igauan.

"Ya. Apakah rajahan di dadamu itu juga dia 

yang melakukan?" tanya Jaka lagi mencoba membawa 

pikiran Garnika pada kejadian yang telah dialaminya.

Garnika langsung membawa tatapan matanya 

ke dada. Ketika itu juga dilihatnya sebuah tanda hitam 

melingkar di dada. Dan ketika itu pula pikirannya ber-

hasil mengingat kejadian yang telah dialaminya.

"Ya. Rajahan ini Panglima Naga Hitam yang me-

lakukannya," ucap Garnika sambil menempelkan te-

lunjuk pada bagian dadanya yang terdapat rajahan 

bergambar seekor naga yang meliuk.

"Kenapa kau bersedia diperlakukannya seperti 

itu?" tanya Jaka lagi penuh selidik.

"Siapa yang sudi diperlakukan seperti ini?" ba-

tik Garnika sedikit bernafsu.

"Buktinya?" desak Jaka.

"Aku telah dipecundanginya. Panglima Naga Hi-

tam memang tangguh," ucap Garnika mengakui.


"Lalu apa sebenarnya tujuan Panglima Naga Hi-

tam berbuat seperti ini?" tanya Jaka.

"Dia ingin mendirikan sebuah perguruan yang 

dinamakan Perguruan Naga Hitam Sejati. Anggotanya 

diambil dari tokoh-tokoh terkenal kalangan persilatan 

yang telah dipecundanginya. Sedangkan tujuannya 

mendirikan Perguruan Naga Hitam Sejati, tidak lain 

untuk menguasai rimba persilatan dan menghancurle-

burkan tokoh-tokoh golongan putih. Karena golongan 

putih selama ini selalu menjadi penghalang bagi tokoh-

tokoh golongan hitam," jelas Garnika panjang lebar.

Sementara tak jauh dari Garnika, Jatnika terli-

hat masih tergeletak. Di sebelahnya berdiri Dewi 

Payung Emas dengan sikap waspada penuh. Begitu ju-

ga dengan beberapa orang murid utama Perguruan 

Angin Barat yang ikut menjaga Jatnika dengan senjata 

masing-masing terhunus.

"Adi Garnika," ucap Jatnika yang sepertinya 

menyesali keterangan yang diberikan adiknya. Mata 

Jatnika nampak memandang wajah Garnika.

"Aku mendendam pada Panglima Naga Hitam, 

Kakang. Itu sebabnya kuceritakan semuanya pada Ra-

ja Petir. Aku yakin Raja Petir akan mampu membina-

sakan Panglima Naga Hitam dan para pengikutnya," ki-

lah Garnika tegas.

Lelaki berjubah pendeta yang sudah terbebas 

dari pengaruh ramuan rajahan itu kini mampu bangkit 

untuk duduk. Gerakannya itu diawasi dengan ketat 

oleh Raja Petir dan Ketua Perguruan Angin Barat.

"Kuharap kalian juga mau membantuku untuk 

menghadapi Panglima Naga Hitam serta para pengi-

kutnya," pinta Jaka pada Pendeta Kembar. "Paling ti-

dak kalian memberitahukan, di mana tempat Panglima 

Naga Hitam itu," lanjut Jaka.

"Demi dendamku, Pendeta Kembar bersedia


membantumu, Raja Petir. Tidak hanya dalam membe-

ritahukan tempat Panglima Naga Hitam, tapi juga da-

lam pertempuran," sambut Garnika semangat.

Jarnika sebagai orang tertua dari Pendeta 

Kembar tidak bisa membantah apa yang telah di-

ucapkan Garnika. Disadari kalau dirinya juga memiliki 

dendam pada Panglima Naga Hitam yang telah merajah 

dadanya hingga merasakan rasa sakit yang teramat 

sangat

"Bagaimana dengan kau, Jatnika?" tanya Jaka 

sambil menoleh ke Jatnika. "Apakah kau juga bersedia 

membantu kami?"

Jatnika tidak menjawab pertanyaan Raja Petir, 

tapi anggukan kepalanya yang pelan menandakan ka-

lau dia tak keberatan menyetujui ucapan Garnika.

"Berapa jumlah pengikut Panglima Naga Hitam 

itu. Maksudku tokoh-tokoh sakti yang telah dipenga-

ruhinya, dan dirajahnya?" tanya Jaka pada Garnika.

"Enam tokoh," jawab Garnika dengan cepat. 

"Mereka adalah Kumbang Hutan, Tengkorak Lembah 

Tandus, Iblis Tiga Tangan. Juga Trenggiling Maut 

Tombak Mayat dan Gajah Sakti," lanjutnya sambil me-

lihat ke Raja Petir dan Setyogunala.

"Bagaimana denganmu, Ki Gunala?" tanya Jaka 

pada Ketua Perguruan Angin Barat yang sejak tadi tak 

angkat bicara.

"Kau telah menyelamatkanku dari amukan 

Pendeta Kembar, Jaka. Akan tetapi tekadku untuk tu-

rut serta melenyapkan Panglima Naga Hitam bukan 

semata karena aku ingin membalas jasamu, melainkan 

karena pekerjaan itu juga tugasku," jawab Setyogunala 

tandas.

"Aku gembira sekali dengan keikutsertaan ka-

lian untuk mengubur cita-cita keji Panglima Naga Hi-

tam serta keenam tokoh sakti pengikutnya," ucap Ja



ka. "Untuk itu kuucapkan terima kasih pada kalian 

semua. Dan khusus Pendeta Kembar, kuharapkan ka-

lian kembali menjadi sosok-sosok yang berjalan pada 

roda kehidupan yang sebenar-benarnya. Aku yakin ka-

lian akan menemukan kebahagiaan di sana. Bukankah 

kebahagiaan yang kalian cari? Untuk itu kembalilah 

kalian ke jalan yang lurus, tinggalkan segala bentuk 

kekejian dan keangkara-murkaan, dan mulailah berdi-

ri di belakang orang-orang yang lemah dan benar. Bela 

mereka meski nyawa yang menjadi taruhannya," lanjut 

Jaka mencoba mempengaruhi pemikiran Pendeta 

Kembar.

Jatnika dan Garnika sendiri hanya tercenung 

mendengarkan kata-kata bijak yang mengalir dari mu-

lut tokoh muda yang digdaya itu. Disadari kalau uca-

pan itu begitu benar adanya dan telah mampu meng-

gugah lubuk hati mereka yang paling dalam. 

"Akan kucoba untuk itu, Raja Petir," ucap Jat-

nika parau.

Raja Petir tersenyum mendengar ucapan Jatni-

ka, begitu juga Setyogunala, dan Dewi Payung Emas.

"Baiklah. Karena kalian nampak lelah, begitu 

juga aku. Kuputuskan untuk menghadang Panglima 

Naga Hitam esok pagi," ujar Jaka kemudian.

Setyogunala, Pendeta Kembar, dan juga Dewi 

Payung Emas sama-sama menganggukkan kepalanya 

sebagai tanda setuju atas keputusan Raja Petir.

***


DELAPAN



Sepenanak nasi lamanya kokok ayam jantan 

yang bersahutan terdengar, dan ketika kokok ayam 

jantan itu lenyap, sang Surya pun mulai mengintip


malu-malu. Sinar yang menyertai kehangatan mulai 

menyebar dan merata di permukaan jagat semesta.

Di bawah sebuah wuwungan Perguruan Angin 

Barat nampak empat sosok lelaki dan satu sosok pe-

rempuan tengah bersiap-siap berangkat untuk suatu 

tujuan. Keempat lelaki tersebut tak lain Jaka, seorang 

muda yang digdaya dengan julukan Raja Petir, Ketua 

Perguruan Angin Barat yakni Setyogunala. Dua lelaki 

kembar berjuluk Pendeta Kembar dan seorang gadis 

cantik berpakaian jingga dengan rambut panjang dike-

pang kelabang. Gadis cantik itu tak lain kekasih Jaka 

yang bergelar Dewi Payung Emas.

Kelima sosok keluar melalui pintu utama Per-

guruan Angin Barat Setyogunala sebagai tuan rumah 

melangkah lebih dulu, diikuti Pendeta Kembar dan 

Mayang serta Raja Petir. Mereka semua berangkat ke 

satu tujuan, yakni Bukit Naga.

Bukit Naga merupakan tempat Panglima Naga 

Hitam dan pengikutnya berada. Sesuai yang dijanjikan 

pada Pendeta Kembar, mereka menunggu di Bukit Na-

ga.

Sepanjang perjalanan Raja Petir dan keempat 

tokoh persilatan yang lain, matahari terus bersinar be-

gitu terik. Sehingga rasa lelah lebih cepat menghingga-

pi kelima orang yang tengah menuju ke Bukit Naga. 

Peluh terlihat membasahi leher Setyogunala. Maklum, 

lelaki berusia setengah baya itu tahun-tahun belakan-

gan ini sibuk mengurusi perguruannya, sehingga tak 

pernah sempat lagi melakukan perjalanan jauh seperti 

ini. Tidak heran kalau perjalanan yang dilakukannya 

sekarang dirasakan begitu melelahkan.

"Berapa pal lagi kira-kira perjalanan menuju 

Bukit Naga, Pendeta Kembar?" tanya Setyogunala pada 

dua lelaki gundul berpakaian jubah merah.

"Tiga pal," Garnika yang menjawab pertanyaan


Ketua Perguruan Angin Barat

Setyogunala sempat menarik napas mendengar 

jawaban yang diberikan Garnika. Suasana terasa kem-

bali hening dan perjalanan pun terus berlanjut. Akan 

tetapi tiba-tiba saja....

"Berhenti sebentar, Pendeta Kembar," pinta Ja-

ka pada Jatnika dan Garnika yang berjalan paling de-

pan.

Dua lelaki berkepala gundul itu melakukan apa 

yang dikatakan Raja Petir. Kini dua lelaki berjubah 

pendeta menatap Raja Petir yang sepertinya tengah 

memusatkan kepekaannya untuk menangkap isya-rat 

yang paling halus.

Setyogunala dan Mayang Sutera pun melaku-

kan hal yang sama seperti yang dilakukan Pendeta 

Kembar. Keduanya menatap tajam wajah Raja Petir.

"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang Sutera lem-

but.

"Kalian tidak merasakan sesuatu di sekitar 

tempat ini?" tanya Jaka yang tidak hanya ditujukan 

pada Mayang Sutera kekasihnya, tetapi juga pada Ke-

tua Perguruan Angin Barat dan Pendeta Kembar. Mata 

Jaka nampak beredar mengawasi sekeliling-nya yang 

dipenuhi dengan pohon-pohon karet.

Mayang Sutera, Setyogunala, dan Pendeta 

Kembar tak menjawab pertanyaan Raja Petir. Lima to-

koh sakti itu kini nampak tengah memusatkan piki-

rannya masing-masing. Mereka meningkatkan kepe-

kaan demi menjaga kemungkinan yang terjadi di ten-

gah hutan karet ini. 

"Ahhh!"

Mayang Sutera tiba-tiba menarik napas pan-

jang, disusul dengan Pendeta Kembar dan Setyogunala 

yang raut wajahnya seketika berubah menjadi tegang.

"Aku merasakan sesuatu kekuatan tengah



mengurung kita di tempat ini," ucap Jatnika dengan 

suara yang cukup berat.

Ucapan orang tertua dari Pendeta Kembar itu 

didukung penuh oleh Mayang Sutera, dan Setyogunala 

dengan melontarkan ucapan yang sama.

"Waspadalah kalian! Perbuatan ini bukan mus-

tahil dilakukan Panglima Naga Hitam dan para pengi-

kutnya yang sudah mencium perjalanan kita," tukas 

Raja Petir mengingatkan rekan-rekannya.

Wajah Pendeta Kembar, Setyogunala, dan 

Mayang Sutera semakin tegang ketika ucapan itu ke-

luar dari mulut Raja Petir. Keempat tokoh persilatan 

itu kini semakin meningkatkan kepekaannya untuk 

menjaga jika sewaktu-waktu mendapatkan serangan 

gelap dari lawan yang tak terlihat.

"Heh?!"

"Hah?!"

Ketegangan di wajah Pendeta Kembar dan Ke-

tua Perguruan Angin Barat semakin bertambah ketika 

masing-masing merasakan sesuatu yang bergerak se-

makin dekat ke arahnya. Namun, sesuatu yang berge-

rak itu tak mampu dilihat Pendeta Kembar dan Setyo-

gunala. Ketiga lelaki itu hanya merasakan terkurung 

hawa panas yang melingkar-lingkar. Hawa panas itu 

semakin lama semakin terasa membakar kulit. Sik-

saan seperti itu ternyata dirasakan juga oleh Mayang 

Sutera dan Jaka.

Garnika yang memiliki perangai cepat naik da-

rah segera melakukan sesuatu untuk mengusir penga-

ruh gaib yang tengah mengurungnya. Setelah memu-

satkan pikirannya beberapa saat, lelaki berkepala bo-

tak yang memiliki suara mirip perempuan itu berteriak 

keras-keras.

"Haaattt...!"

Tubuh Garnika seketika mencelat ke atas seir


ing dengan teriakannya yang membahana ke langit. 

Namun sebuah keanehan kembali dirasakan Garnika.

Ketika melakukan lentingan barusan, Garnika 

merasakan kepalanya menyundul suatu lapisan ke-

nyal. Sesuatu yang membuatnya tak mampu melaku-

kan lompatan tinggi, apalagi untuk melakukan perpu-

taran di udara. Sesuatu yang gaib itu membuat lonca-

tan yang dilakukan Garnika menjadi mentah. Bahkan 

tubuhnya meluncur kembali ke tanah seperti terbant-

ing.

"Heh?! Kekuatan macam apa ini?" pekik Garni-

ka.

Jatnika yang menyaksikan adiknya kembali 

meluncur ke tanah merasa penasaran. Dengan diiringi 

teriakan nyaring Jatnika melakukan seperti yang dila-

kukan Garnika.

"Heyaaa...!"

Tubuh Jatnika kembali meluncur ke bawah se-

saat setelah dia melakukan lompatan dengan kuat. 

Apa yang dirasakan Garnika kini dirasakannya juga.

"Aneh?" ucap Jatnika tertahan.

"Kita sudah terkurung sebuah ajian yang maha 

kuat, Pendeta Kembar. Kalian tidak bakalan bisa ke-

luar dari pengaruh itu, begitu juga aku. Ah! Ajian ini 

begitu dahsyatnya hingga aku tak sanggup mengerah-

kan ajianku untuk menangkalnya," ucap Raja Petir se-

dikit tegang.

Mayang Sutera menatap wajah Raja Petir den-

gan penuh ketegangan.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?" 

tanya gadis cantik berpakaian jingga.

"Waspada!" jawab Jaka singkat.

Mayang Sutera tak lagi melanjutkan perta-

nyaannya, kini gadis berambut panjang itu tengah me-

lipatgandakan kewaspadaannya.


"Ha ha ha...!"

Ketika Raja Petir, Pendeta Kembar, Setyoguna-

la, dan Mayang Sutera tengah dicekam ketegangan, 

terdengar suara tawa cukup kuat Suara yang disertai 

pengerahan tenaga dalam tinggi itu terdengar mengge-

tarkan gendang telinga dan jantung.

Lima sosok tubuh persilatan yang terkurung 

oleh sebentuk kekuatan gaib mencoba mengimbangi 

suara tawa yang menyakitkan telinga itu dengan men-

gerahkan kekuatan tenaga dalam masing-masing.

Sesaat lamanya Jaka, Pendeta Kembar, Setyo-

gunala, dan Mayang Sutera mengerahkan tenaga da-

lamnya untuk mengimbangi tawa menggelegar milik 

sosok yang tak terlihat wujudnya.

Pada saat berikutnya tawa yang menggetarkan 

jantung itu lenyap, namun bersamaan dengan itu me-

lesat beberapa sosok bayangan hitam.

Begitu cepat dan ringan lesatan sosok-sosok 

berjubah hitam yang tahu-tahu sudah berdiri tegak di 

hadapan Raja Petir dan kawan-kawan. Gerakan cepat 

dan ringan yang dilakukan sosok-sosok lelaki berjubah 

hitam menandakan kalau mereka bukan-lah sosok-

sosok sembarangan. Paling tidak mereka orang-orang 

yang memiliki kemampuan ilmu silat tinggi dan itu di-

buktikan dengan ketinggian ilmu meringankan tubuh 

yang mereka lakukan barusan.

"Panglima Naga Hitam?" ucap Garnika dan Jat-

nika berbarengan.

Mata Pendeta Kembar terbelalak keluar ketika 

menyebutkan nama lelaki berjubah hitam yang pernah 

merajah dadanya dengan gambar seekor naga yang 

tengah meliuk.

"Ha ha ha...!"

Salah seorang lelaki berjubah hitam bertubuh 

tinggi kekar dengan raut wajah keras yang ditumbuhi


kumis tebal melintang dan rambut yang seperti tak te-

rurus tertawa ketika Pendeta Kembar menyebut julu-

kannya.

Lelaki berjubah hitam dengan wajah keras itu 

menuding wajah Jatnika, kemudian dari mulut sosok 

yang ternyata berjuluk Panglima Naga Hitam keluar 

sebuah makian yang membuat Jatnika dan Garnika 

marah bukan kepalang.

"Pendeta Goblok! Sudah kukatakan jangan 

membawa seseorang ke hadapanku dengan dada tanpa 

Rajahan Naga Hitam!" maki Panglima Naga Hitam.

Garnika mendengus marah, tatapannya yang 

mencorong tajam terarah lurus ke wajah Panglima Na-

ga Hitam.

"Panglima Sesat!" balas Garnika memaki. "Ke-

tahuilah, kedatanganku ke tempatmu ini bukan untuk 

mengantarkan seseorang untuk turut menjadi pengi-

kutmu, tapi justru sebaliknya. Kami ingin menghan-

curkan seluruh angan-angan gilamu!"

"Ha ha ha...!"

Panglima Naga Hitam menimpali makian Gar-

nika dengan tawa mengejek.

"Apa yang kau andalkan untuk menghancurkan 

cita-citaku, Pendeta Goblok!" ejek Panglima Naga Hi-

tam. "Untuk melepaskan dirimu dari ajian 'Lingkar Na-

ga Penakluk Gunung' pun kalian tak akan mampu, 

apalagi untuk mengandaskan cita-citaku," lanjut Pan-

glima Naga Hitam.

Aji 'Lingkar Naga Penakluk Gunung'? Batin Ja-

ka. "Begitu dahsyatnya ajian ini!" ucap Jaka dengan ta-

tapan mata tertuju pada tujuh sosok lelaki berjubah 

hitam yang pada bagian dada masing-masing nampak 

rajahan bergambar seekor naga tengah meliuk.

"Dan kau, siapakah?!" telunjuk Panglima Naga 

Hitam tiba-tiba saja menuding Raja Petir.


SEMBILAN


"Namaku Jaka Sembada!" jawab Raja Petir 

mantap.

"Ha ha ha.... Kalau nama lengkapmu seperti 

itu, berarti kaulah yang berjuluk Raja Petir!" ucap Pan-

glima Naga Hitam.

"Betul!" timpal Jaka.

"Ha ha ha...!"

Panglima Naga Hitam kembali tertawa keras 

mendengar jawaban Raja Petir. Kepalanya nampak ter-

guncang-guncang.

"Ternyata desas-desus tokoh-tokoh persilatan 

itu hanya isapan jempol belaka. Kumbang Hitam! Sak-

sikanlah, tokoh yang katanya digdaya itu ternyata ti-

dak mampu melepaskan diri dari aji 'Lingkar Naga Pe-

nakluk Gunung' milikku!" lanjut Panglima Naga Hitam 

keras.

Kumbang Hitam dan lima lelaki pengikut Pan-

glima Naga Hitam tertawa-tawa mendengar ucapan 

junjungannya.

Sementara, Mayang Sutera tersinggung sekali 

mendengar ucapan Panglima Naga Hitam dan tawa 

mengejek keenam lelaki pengikutnya. Akan tetapi da-

lam keadaan dirinya yang terkurung aji 'Lingkar Naga 

Penculik Gunung' tidak kuasa melakukan apa-apa.

"Percuma saja di lehermu menggelantung seba-

tang pedang yang berpamor dahsyat, Raja Petir. Lebih 

baik kau berikan saja pedang yang tak berguna itu pa-

daku!" ejek Panglima Naga Hitam lagi.

Menjadi gelap wajah Raja Petir mendengar uca-

pan lelaki berwajah keras yang berjuluk Panglima Naga 

Hitam itu. Nampak Jaka dilanda kemarahan yang di-

tahan-tahan.


"Ucapanmu terlalu merendahkanku, Panglima 

Naga Hitam. Dan itu pun merupakan alasanku untuk 

tetap menghancurkan semua angan-anganmu!" tandas 

Jaka lantang.

"Hua ha ha...!"

Panglima Naga Hitam menanggapi ucapan Jaka 

dengan tawa terkekeh-kekeh.

Pada saat yang bersamaan, Raja Petir telah me-

loloskan senjatanya yang menggelantung di leher. Sua-

sana di sekitar tempat kejadian tiba-tiba berubah gelap 

ketika Raja Petir mengangkat pedangnya yang memen-

darkan warna kemerahan. Awan pekat terlihat bera-

rak-arak di langit dan cahaya kilat berkelebatan me-

nyambar-nyambar batang pedang yang terangkat di 

atas kepala Raja Petir.

Beberapa saat lamanya pemandangan seperti 

itu terjadi, namun pada saat berikutnya suasana alam 

kembali terang-benderang.

Panglima Naga Hitam terpukau dengan kea-

daan tadi, dan begitu terkejut ketika dari mulut Raja 

Petir terdengar lengkingan tinggi.

"Hoaaa...!"

Bersamaan dengan lengkingan keras itu, pe-

dang yang berada di tangan Raja Petir berkelebat-

kelebat secepat kilat melakukan gerakan seperti hen-

dak memutuskan rantai baja yang teramat kuat.

Pretsss!

Bunyi yang cukup keras terdengar, ketika Pe-

dang Petir milik Raja Petir terayun ke bawah. Dan pen-

garuh dari semua itu, Pendeta Kembar, Setyogunala, 

dan Mayang Sutera langsung terbebas dari pengaruh 

aji ‘Lingkar Naga Penakluk Gunung’ milik Panglima 

Naga Hitam. Sedangkan Panglima Naga Hitam sendiri 

sangat terkejut dengan kenyataan itu.

"Seraaang!"


Sebuah seruan keras tiba-tiba terdengar dari 

mulut Panglima Naga Hitam. Lelaki berwajah keras 

dengan kumis melintang itu nampak kecewa dengan 

keberhasilan Raja Petir mengatasi aji ‘Lingkar Naga 

Penakluk Gunung’.

Enam lelaki berjubah hitam pengikut Panglima 

Naga Hitam segera berhamburan memberikan seran-

gan pada Pendeta Kembar, Setyogunala, dan Mayang 

Sutera. Sementara Panglima Naga Hitam sendiri ber-

hadapan langsung dengan Raja Petir.

"Kau harus mampus, Raja Petir!" bentak Pan-

glima Naga Hitam keras.

"Lakukan kalau kau mampu, Panglima Sesat!" 

balas Raja Petir tenang.

Gigi Panglima Naga Hitam langsung bergemere-

takan mendengar ucapan Raja Petir. Otot-otot di tu-

buhnya seketika menegang dan tangan kanannya ber-

gerak cepat ke belakang jubahnya.

Wrrrttt..!

Panglima Naga Hitam mengeluarkan senjatanya 

berupa sebuah pecut yang berbentuk mirip buntut 

ular naga, kemudian mengacungkan ke atas kepala.

Gletarrr!

Suara keras yang memekakkan telinga seketika 

terdengar saat Panglima Naga Hitam melecutkan cam-

buknya ke atas. Sinar kehijauan berkeredep dari ujung 

pecut itu.

"Kau akan mampus di ujung Pecut Naga Hitam 

ku ini, Raja Bodoh!" ucap Panglima Naga Hitam.

Kemudian setelah ucapannya selesai tubuh le-

laki yang mengenakan jubah hitam itu melesat mener-

jang Raja Petir yang masih nampak berdiri tenang.

"Hiyaaa...!"

Teriakan keras menggelegar mengiringi seran-

gan Panglima Naga Hitam.


Gletar! Gletar!

Pecut di tangan Panglima Naga Hitam berkele-

bat cepat ke bagian-bagian tubuh Raja Petir yang me-

matikan. Terutama bagian kepala yang selalu menjadi 

sasaran.

Raja Petir sendiri mencoba menangkal serangan 

maut itu dengan jurus-jurus yang mengandalkan ke-

cepatan gerak, sekaligus melanjutkan dengan jurus 

yang khusus memberikan serangan balasan. Dalam 

hal ini Raja Petir lebih memilih jurus 'Lejitan Lidah Pe-

tir' dan jurus ‘Petir Menyambar Elang’. Dan hasilnya, 

Raja Petir memang berhasil mengatasi serangan-

serangan maut lawannya.

"Haaat!"

Gletar! Gletar!

"Uts!"

Serangan susul-menyusul secara cepat terus 

dilancarkan oleh Panglima Naga Hitam.

Tubuh Jaka kembali melejit cepat menghindari 

lidah pecut yang terarah ke bagian kemaluannya. Dan 

ketika tubuhnya masih di udara, Raja Petir dengan ce-

pat menukik ke arah Panglima Naga Hitam dengan 

mengerahkan jurus menyerang 'Petir Menyambar 

Elang'. Dua telapak tangan Raja Petir yang membentuk 

cakar, bergerak cepat ke dada dan kepala lawan.

Panglima Naga Hitam tak menyangka kalau Ra-

ja Petir mampu memberikan serangan yang sedahsyat 

itu dalam kedudukan melayang di udara. Karena ter-

kejut sekali, Panglima Naga Hitam segera melempar 

tubuhnya ke kiri.

"Hop!"

"Aaa...!"

Sebuah lengking kematian seketika terdengar 

membumbung ke langit. Raja Petir menolehkan kepala 

ke arah jeritan itu, dilihatnya tubuh lelaki kerdil yang


menjadi lawan Mayang Sutera tergeletak tak bernyawa 

dengan luka lebar di perutnya yang mengucurkan ba-

nyak darah.

Memang ketika lelaki kerdil yang berjuluk 

Trenggiling Maut menyerang Mayang, gadis cantik itu 

telah lebih dahulu memberikan serangan dalam jurus 

'Membelah Mega'. Senjatanya yang berupa payung ter-

buat dari logam telah mengakhiri perlawanan Trenggil-

ing Maut.

Menyaksikan kematian Trenggiling Maut, 

Mayang Sutera seolah tak ambil peduli. Dia kembali 

turun ke arena pertempuran membantu Jatnika yang 

tengah dikeroyok dua orang berjubah hitam.

Tengkorak Lembah Tandus dan Iblis Tiga Tan-

gan yang hampir berhasil mendesak Jatnika menjadi 

terkejut mendapatkan campur tangan Mayang yang te-

lah berhasil menewaskan Trenggiling Maut. Senjata 

Mayang berkelebat cepat ke berbagai arah, bagai tan-

gan-tangan malaikat maut yang siap me-renggut nya-

wa.

Dengan hadirnya Mayang membantu Jatnika. 

Keadaan semula menjadi terbalik. Kini dua lelaki yang 

berjuluk Tengkorak Lembah Tandus dan Iblis Tiga 

Tangan mengalami keterdesakan yang luar biasa. Dan 

pada satu kesempatan.

"Hiaaa...!"

Teriakan keras dan melengking menyertai se-

rangan Mayang Sutera. 

Bruettt!

"Aaa...!"

Pekik menyayat terdengar.

Tengkorak Lembah Tandus yang tubuhnya 

tinggal tulang itu terbabat senjata Mayang yang berke-

lebat cepat Lelaki kurus kering yang memegang senjata 

pedang itu terluka parah di bagian dada, seketika itu


juga ambruk ke tanah dan sampailah ajalnya.

Sementara itu, Jatnika yang menjadi lawan Ib-

lis Tiga Tangan tak menyia-nyiakan kesempatan baik 

yang di dapat. Lelaki berkepala gundul itu seketika 

berteriak nyaring dan tubuhnya melesat memberikan 

tendangan lurus terarah ke batang leher Iblis Tiga 

Tangan.

"Haiiittt!"

Dug...!

"Aaakh!"

Tubuh Iblis Tiga Tangan terpental sejauh dua 

batang tombak ketika tendangan cepat dan keras Jat-

nika mendarat telak di lehernya. Sesaat lamanya tu-

buh Iblis Tiga Tangan menggelepar dengan tangan 

memegangi leher. Namun, pada saat berikutnya tu-

buhnya diam tidak berkutik untuk sela-ma-lamanya.

Jatnika yang telah berhasil menewaskan la-

wannya segera berhambur ke arah pertarungan Garni-

ka melawan Kumbang Hitam. Sedangkan Mayang ter-

lihat tengah membantu Setyogunala menghadapi si 

Tombak Mayat. Mau tak mau Kumbang Hutan dan 

Tombak Mayat mengalami keterdesakan hebat.

Sementara pertarungan antara Raja Petir mela-

wan Panglima Naga Hitam mulai berlangsung tak 

seimbang. Apalagi saat itu Raja Petir nampak telah me-

loloskan sabuk di pinggangnya untuk memberikan pe-

lajaran pada Panglima Naga Hitam.

Sebuah jurus ampuh akan digelarnya agar la-

wan tak lagi bersikap angkuh. Sebuah jurus yang dibe-

ri nama 'Petir Membelah Malam'. Sinar hijau seketika 

memendar-mendar dari sabuk hijau yang telah lolos 

dari pinggang Raja Petir.

Panglima Naga Hitam terkejut bukan main me-

lihat ketinggian perbawa dari senjata yang dipegang 

lawannya, namun dia berusaha menutupi keterkeju



tannya sebisa mungkin.

"Aku mampu menandingi senjatamu itu, Raja 

Gila!" bentak Panglima Naga Hitam menutupi keterke-

jutannya.

"Apa mungkin?" ledek Jaka dengan mimik wa-

jah dibuat lucu.

Panglima Naga Hitam tak menjawab pertanyaan 

Raja Petir, tangannya bergerak seperti hendak melepas 

jubahnya, dan kenyataannya memang demikian. Pan-

glima Naga Hitam melepas jubahnya, tubuhnya yang 

kekar menampakkan otot yang melingkar-lingkar.

Raja Petir sedikit keheranan melihat kelakukan 

Panglima Naga Hitam. Dan memang itulah yang diin-

ginkan Panglima Naga Hitam. Di saat Raja Petir terte-

gun melihat apa yang dilakukannya, dia segera men-

gebut jubah yang telah terlepas dari tubuhnya.

Groat! Groattt!

Dua kali Panglima Naga Hitam mengebutkan 

jubahnya dengan keras. Dari kebutannya itu menjel-

makan asap hitam yang mengepul bagai awan dan 

membuat pandangan mate Raja Petir menjadi kabur.

Pada saat itulah Panglima Naga Hitam berkele-

bat cepat meninggalkan arena pertarungan. Kabur!

Jaka segera mengeluarkan jurus 'Pukulan Pen-

gacau Arah' untuk mengusir asap hitam yang mengha-

langi penglihatannya. Namun, setelah berhasil mela-

kukannya, di hadapannya tak lagi nampak sosok Pan-

glima Naga Hitam.

Licik! Ucap Jaka dalam hati sambil mencari-

cari sosok Panglima Naga Hitam di sekeliling tempat 

pertarungan.

"Heh?!"

Raja Petir terkejut ketika tatapan matanya 

membentur pada sebuah kitab yang tergeletak sekitar 

satu batang tombak dari hadapannya. Segera dihampi


ri dan dipungutnya kitab yang ternyata milik Mayang 

Sutera. Rupa-rupanya kitab itu mental dari dalam sa-

ku baju milik Panglima Naga Hitam yang barusan di-

kebutkan dua kali. Dan Panglima Naga Hitam sendiri 

tak menyadari hal itu.

"Aaa...!" 

"Aaa...!"

Dua lengking kematian berturut-turut di dengar 

Raja Petir, lelaki muda nan digdaya itu kontan meno-

leh. Hatinya menjadi sedikit lega ketika jeritan itu ke-

luar dari mulut pengikut Panglima Naga Hitam yang 

masih tersisa. Tubuh Kumbang Hitam dan Tombak 

Mayat menggelepar setelah dada dan kepalanya terha-

jar tendangan dan pukulan bertenaga dalam tinggi 

yang dilakukan Garnika dan Setyogunala.

***

Mayang Sutera segera menghambur ke arah 

Raja Petir ketika di sekelilingnya sudah tak lagi ada 

musuh-musuh yang harus dihadapi.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Mayang 

manja.

Raja Petir menggeleng.

"Ini kitab milikmu," ucap Jaka sambil membe-

rikan kitab Gelang-Gelang Emas milik Perguruan Ge-

lang Emas.

"Oh!" Mayang terkejut dengan apa yang dikata-

kan Jaka. "Kau berhasil merebutnya, Kakang," ucap 

Mayang dengan suara penuh haru.

Jaka menggeleng, dan gelengannya membuat 

Mayang keheranan.

"Kitab ini terpental dari jubah Panglima Naga 

Hitam," jelas Jaka.

"Hei?! Mana mayat panglima gila itu?" tanya


Mayang Sutera menyadari ketiadaan jasad Panglima 

Naga Hitam.

"Dia kabur, Mayang," jawab Jaka.

"Kabur? Dan Kakang pun membiarkannya? 

Hhh...!" Mayang Sutera menarik napas panjang. 

"Orang seperti dia tak pantas dibiarkan hidup. Suatu 

saat nanti dirinya pasti menimbulkan masalah lagi. 

Dan yang pasti Panglima Naga Hitam menaruh den-

dam pada kita, terutama sekali padamu, Kang," lanjut 

Mayang dengan suara penuh kekhawatiran.

"Kita lihat saja apa yang akan dilakukannya ke-

lak, Mayang," timpal Jaka. "Yang terpenting saat ini ki-

ta telah berhasil mengubur keinginan gilanya, mudah-

mudahan begitu juga nanti!"

Mayang Sutera diam. Dia tak lagi memberon-

dong Raja Petir dengan ucapan-ucapannya. Sementara 

tatapan matanya terlihat mesra merayapi wajah keka-

sihnya.

Di tempat lain, nampak Jatnika tengah me-

mandangi sebuah alat rajahan milik Panglima Naga Hi-

tam. Sesaat lamanya Jatnika memandangi benda ter-

buat dari logam yang berbentuk gambar seekor ular 

naga itu. Namun kemudian, dengan segenap kegera-

mannya, Jatnika mematahkan benda itu hingga ber-

keping-keping. 

Bruakkk!

Jatnika pun melempar patahan alat rajahan itu 

hingga menimbulkan bunyi keras.



                                SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar