..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 26 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE PERGOLAKAN GIA TERATAI

Pergolakan Goa Teratai

 

PERGOLAKAN GOA TERATAI

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Pergolakan Goa Teratai

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


"Ha ha ha.... Apa daerah itu yang bernama 

Desa Walang Teter, Kakang?" ucap lelaki muda 

berusia dua puluh lima tahun yang mengenakan 

jubah merah darah. Di tangan pemuda tampan 

itu tergenggam sebatang tongkat berkeluk sembi-

lan, yang pada hulunya terdapat bulatan berben-

tuk kepala ular.

Dua lelaki berusia empat puluh lima tahun 

yang memakai jubah hitam dan biru juga meme-

gang tongkat serupa dengan warna pakaiannya. 

Kedua lelaki itu menatap wajah lelaki muda yang 

barusan melemparkan pertanyaan.

"Kau betul, Sancasona," ucap dua lelaki 

berjubah hitam dan biru bersamaan. "Sebentar 

lagi kita akan menemukan mulut Desa Walang 

Teter. Di sana terdapat sebuah batu besar yang 

terletak di sebelah kanan yang bertuliskan nama 

desa itu dan nama Perguruan Kepodang Emas di 

sebelah kirinya," jelas lelaki bercambang bauk pu-

tih yang mengenakan jubah hitam.

"Ah. Kalau begitu, cita-cita kita akan terca-

pai, Kakang Sandala," sambut lelaki muda berju-

bah merah yang ternyata bernama Sancasona.

"Cita-citamu, Sancasona," kilah lelaki ber-

jubah biru yang wajahnya ditumbuhi cambang 

bauk lebat berwarna hitam.

"Ha ha ha.... Kenapa kau katakan hanya ci-

ta-citaku, Kakang Parada?" tanya Sancasona pada 

lelaki berjubah biru.


Lelaki tua itu berjuluk Iblis Tongkat Biru 

jika hanya seorang diri, tanpa keberadaan Sanca-

sona dan Sandala. Begitu pula sebaliknya, Sanca-

sona akan bergelar Iblis Tongkat Merah jika dia 

sedang seorang diri, dan Sandala berjuluk Iblis 

Tongkat Hitam. Sedangkan jika bergabung mere-

ka berjuluk Tiga Iblis Sakti.

"Karena kau yang menginginkan Lempen-

gan Teratai Emas itu, Sancasona," jawab Parada 

setelah beberapa saat mendiamkan pertanyaan 

Sancasona.

"Apa Kakang tidak menginginkan harta ka-

run itu?" tanya Sancasona datar. 

"Tentu saja, Sanca."

"Itu berarti kita semua menginginkan Lem-

pengan Teratai Emas itu, Parada," ucap Sandala 

menengahi.

Hening tercipta. Ketiga lelaki yang meme-

gang sebatang tongkat berkeluk sembilan itu. te-

rus melanjutkan perjalanan menuju Desa Walang 

Teter.

"Kau lihat itu, Sancasona. Nama Perguruan 

Kepodang Emas dan nama Desa Walang Teter ter-

pampang sangat jelas," ucap Sandala dengan jari 

telunjuk menuding mulut Desa Walang Teter.

"Uhhh! Rasanya aku sudah tidak sabar in-

gin segera mendapatkan benda berharga itu, Ka-

kang," ucap Sancasona pada Parada dan Sandala.

"Hilangkan perasaanmu itu, Sanca," ucap 

Parada mengingatkan. "Rasa tak sabarmu akan 

melenyapkan beberapa bagian dari kewaspa-

daanmu. Itu akan merugikan keselamatanmu."


"Betul ucapan Parada, Sanca. Biar bagai-

manapun kita harus waspada pada penduduk 

Desa Walang Teter. Bukan mustahil mereka me-

miliki kepandaian yang setara dengan kita. Begitu 

juga orang-orang Perguruan Kepodang Emas, 

yang nama besar perguruan itu cukup santer ter-

dengar di dunia persilatan," timpal Sandala.

Lelaki muda berjubah merah menyung-

gingkan senyum mendengar perkataan Parada

dan Sandala.

"Ucapan Kakang berdua tidak salah. Tapi 

apakah Kakang lupa siapa diri kita? Julukan kita 

tak kalah santernya dari nama Perguruan Kepo-

dang Emas. Itu merupakan jaminan kalau ilmu-

ilmu kita berada di atas orang-orang Perguruan 

Kepodang Emas. Kita akan mampu menghancur-

kan nama perguruan itu dan merebut Lempengan 

Teratai Emas!" sangkal Sancasona dengan cukup 

tegas. "Kakang yakin akan hal itu?"

"Aku yakin, Sanca," ucap Parada dan San-

dala bersamaan.

"Bagus! Sekarang mari kita masuki Desa 

Walang Teter. Kita turunkan tangan besi kalau 

mereka mempersulit kita," ucap Sancasona.

Tiga lelaki berpakaian merah, biru, dan hi-

tam melangkah gagah memasuki wilayah Desa 

Walang Teter yang nampak begitu enak dipan-

dang. Di bagian muka mulut desa itu berjajar po-

kok-pokok bambu yang ditanam begitu teratur, 

hampir mirip batas pintu masuk.

Dan memasuki mulut Desa Walang Teter 

lebih jauh, maka akan terlihat sebuah kedai yang


cukup besar di sebelah kanan, dan sebuah ban-

gunan kokoh yang dihuni lima lelaki bersenjata 

dengan tubuh tinggi kekar. Kelima lelaki itu ditu-

gasi menjaga keamanan mulut Desa Walang Te-

ter. Juga bertugas menanyai maksud kedatangan 

seorang tamu ke desa tersebut

Lazimnya setiap tamu yang bermaksud 

mengunjungi sanak-saudara atau hanya sekadar 

ingin singgah, maka kewajiban mereka adalah 

mendatangi bangunan yang dijaga lima lelaki itu 

untuk melaporkan. Namun tiga lelaki itu, yang 

memang tidak mengetahui peraturan di Desa Wa-

lang Teter, langsung bergerak ke arah kedai yang 

pada salah satu ruangannya menebarkan aroma 

sedap yang membangkitkan selera makan.

"Kita ke kedai itu dulu, Kakang. Mencium 

bau yang begitu sedap perutku jadi minta diisi," 

ucap Sancasona sambil memegang perutnya.

"Begitu juga baik, Sanca. Desa Walang Te-

ter memang hebat. Begitu tamu masuk langsung 

dihadapi sebuah kedai. Ha ha ha.... Ayo cepat 

Sandala," timpal Parada melangkah mendahului 

Sancasona.

Sancasona, Parada, dan Sandala yang ber-

juluk Tiga Iblis Sakti terus melanjutkan langkah-

nya menuju kedai yang cukup besar itu. Keti-

ganya seperti sudah tidak sabar untuk menyan-

tap hidangan yang ada di kedai itu.

"Tunggu sebentar, Kisanak sekalian," tegur 

sebuah suara cukup sopan.

Tiga Iblis Sakti langsung menghentikan 

langkahnya mendengar ucapan di belakang mere


ka. Langkahnya yang dua tindak lagi mencapai 

pintu kedai terpaksa diurungkan. Sanca yang 

memiliki perangai cepat naik pitam mendengus

geram.

"Berani betul kau melarang kami masuk ke 

kedai ini!" bentak Sancasona. "Kau tidak tahu pe-

rut kami sudah terlalu lapar. Apa daging men-

tahmu yang harus kumakan, heh? Dan darahmu 

yang harus kuminum?!"

"Maaf, Kisanak," ucap lelaki bertubuh te-

gap yang di pinggangnya terselip sebilah golok. 

Wajah lelaki itu sedikit pun tidak menyiratkan ra-

sa takut pada ucapan kasar Sancasona. "Saya ti-

dak pernah melarang tamu yang mengunjungi 

Desa Walang Teter makan di kedai yang memang 

telah kami sediakan. Namun sebelumnya harap 

Kisanak sekalian maklum, Kisanak harus melapor 

terlebih dulu," lanjut lelaki bertubuh tinggi tegap 

dan berahang kuat menonjol.

"Melaporkan diri?" ucap Parada seraya 

memegang dagunya yang berjenggot jarang. "Un-

tuk apa?!" tanya Parada kemudian dengan suara 

cukup tinggi.

Lelaki penjaga mulut Desa Walang Teter 

memang terkejut, namun dia berusaha untuk sa-

bar dan membujuk ketiga tamu yang menurutnya 

kurang diajar tata krama.

"Hanya sekadar melaporkan diri, Kisanak. 

Biar kehadiran Kisanak kami ketahui maksud 

dan tujuannya," jelas penjaga itu.

"Desa usilan!" bentak Sandala tak mau ke-

tinggalan. "Untuk apa ingin tahu urusan orang


lain, heh?!"

"Rakyat di sini bukannya usilan, Kisanak," 

ucap penjaga mulai naik pitam. Tubuh lelaki ting-

gi tegap itu berdiri tegar. Tatapan matanya men-

coba membalas pandangan angker sepasang mata 

Sandala. "Peraturan itu diterapkan hanya untuk 

menjaga ketenangan dan kedamaian desa yang 

kami cintai ini," lanjut penjaga menjelaskan.

"Hmh...!"

Sancasona mendengus geram mendengar 

ucapan lelaki berahang kuat di depannya. "Apa-

kah ini yang kalian namakan ketenangan?"

Wukkk!

Prakkk!

"Aaa...!"

Pekik kematian melengking tinggi membu-

bung ke langit. Kepala penjaga itu pecah terhan-

tam tongkat berhulu kepala ular yang berkeluk 

sembilan milik Sancasona. Gerakan lelaki muda 

berpakaian merah darah itu demikian cepat. 

Hingga tahu-tahu sudah mendarat di kepala pen-

jaga yang tak sempat mengelak.

Cairan merah bercampur putih meleleh da-

ri kepala lelaki yang kini tergeletak tanpa nyawa. 

Pekik kematian yang melengking tinggi mengun-

dang empat penjaga lainnya. Para pengunjung 

kedai bermunculan di ambang pintu untuk meli-

hat kejadian itu.

"Kalian pasti tamu-tamu tak tahu diri!" 

bentak seorang penjaga ketika menyaksikan tu-

buh temannya tergeletak dengan kepala pecah. 

Senjata lelaki yang berupa golok besar itu digu


nakan untuk menuding wajah Sancasona, Para-

da, dan Sandala.

"Kalian harus dihukum sesuai dengan per-

buatan kalian!" hardik penjaga lain yang bertu-

buh pendek gempal.

"Hukuman apa yang hendak kalian jatuh-

kan pada kami, heh?!" tanya Parada menantang.

"Kalian harus ikut kami menghadap kepala 

keamanan desa," jelas lelaki bertubuh pendek 

gempal.

"Suruh kepala keamanan itu menemui ka-

mi!" bentak Sancasona.

"Kurang ajar! Kalian memang tamu-tamu 

tak tahu adat. Kalian harus diberi pelajaran! 

Tangkap mereka!" perintah lelaki bertubuh tegap 

yang bercambang tipis.

Empat penjaga Desa Walang Teter segera 

mengurung Tiga Iblis Sakti. Senjata mereka ber-

gerak-gerak di depan wajah. Bagi Tiga Iblis Sakti, 

keempat lelaki yang kini tengah mengurungnya 

bukanlah hal yang berarti. Seratus kali lipat pun 

Tiga Iblis Sakti mampu melenyapkan hanya da-

lam beberapa jurus saja.

Maka ketika empat keamanan Desa Walang

Teter bergerak, hanya dengan sentakan tangan 

yang menggenggam tongkat, tubuh keempat kea-

manan desa itu kembali terpukul mundur.

Trak, trak, trakkk..!

"Ih! Uh! Ih! Uh!"

Keempat lelaki itu memekik tertahan ketika 

senjata-senjata mereka membentur tongkat kayu 

yang keras bagai baja. Tubuh mereka terhuyung


empat langkah ke belakang, dengan tangan terasa 

sangat linu.

"Tamu-tamu setan!" maki lelaki bertubuh 

pendek gempal menyadari senjatanya terlempar 

jauh.

"Ha ha ha.... Kalianlah tikus-tikus buduk 

yang berlagak sok jago!" ejek Parada seraya me-

langkah mendekati penjaga-penjaga Desa Walang 

Teter. "Karena keusilan kalian, maka kematianlah 

yang harus kalian terima!"

Parada mengangkat tongkat berkeluk sem-

bilannya yang berwarna biru. Maka saat itu ju-

ga.... 

"Hih!"

Prak, prak, prakkk...! 

"Aaa...!"

Empat lengkingan kematian terdengar ber-

turut-turut. Tongkat biru Iblis Tongkat Biru den-

gan kecepatan luar biasa mendarat di batok kepa-

la empat keamanan Desa Walang Teter.

Darah bermuncratan dari kepala-kepala 

yang pecah. Nyawa mereka melayang saat itu ju-

ga. Dan Tiga Iblis Sakti tanpa perasaan mening-

galkan mayat keempat lelaki itu. Lalu memasuki 

kedai.

***

Seorang penduduk Desa Walang Teter ber-

lari tergopong-gopoh. Lelaki itu tidak mempeduli-

kan napasnya yang mulai tersengal-sengal. Dia 

terus berlari menuju sebuah bangunan yang lima


batang tombak lagi dicapainya.

"Ada apa, Lihun. Kau melihat hantu?" 

tanya seorang lelaki tinggi kurus yang muncul da-

ri rumah yang dituju lelaki bernama Lihun.

"Kacau, Min. Kacau!" ucap Lihun tersen-

dat-sendat.

"Kacau? Apanya yang kacau?" tanya lelaki 

tinggi kurus tak mengerti.

"Kakang Garda ada?" tanya Lihun tanpa 

menjawab pertanyaan lelaki tinggi kurus itu.

"Ada! Ada...," jawab lelaki tinggi kurus itu.

Lihun tanpa mempedulikan keheranan le-

laki tinggi kurus segera memasuki rumah itu.

"Kakang Garda!"

Lihun langsung berlutut ketika menda-

patkan Garda tengah berbincang-bincang di 

ruang depan.

"Ada apa, Lihun? Sepertinya kau tengah 

dikejar setan," ucap lelaki tinggi besar berkumis 

melintang.

"Kacau, Kang. Kacau," ucap Lihun masih 

terbata-bata.

"Katakan apa yang kacau, Lihun. Kata-

kan?" pinta Garda dengan mengguncang-guncang 

bahu Lihun.

"Sebaiknya diberi minum dulu, Kang. Biar 

dia tenang," ucap sebuah suara merdu.

Garda menoleh ke arah gadis manis berpa-

kaian hijau. Dia adalah adiknya, Ayuni.

"Kau benar, Ayu. Bawa kemari air di meja 

itu," ucap Garda.

Gadis manis bernama Ayuni itu dengan ce


pat memenuhi perintah kakaknya. Disodorkannya 

segelas air pada Garda. Dan Lihun meminumnya 

sampai habis.

"Sekarang ceritakan apa yang kau lihat, Li-

hun," pinta Garda setelah dilihatnya wajah Lihun 

kembali tenang.

"Anu Kang Garda. Di kedai, maksud saya, 

di depan kedai dekat mulut desa. Kakang Sarta 

berkelahi dengan tiga lelaki bersenjata tongkat. 

Kakang Sarta.... Kakang Sarta dan keempat pen-

jaga yang lain mati di tangan tiga lelaki bersenjata 

tongkat itu," ucap Lihun. Wajahnya kembali pias 

mengingat kematian mengerikan yang dialami 

Sarta dan kawan-kawannya.

Garda yang mendengar cerita Lihun mera-

sakan kemarahan merambati dirinya. Wajahnya 

yang sedikit kasar nampak tegang, dan otot-otot 

tangannya bersembulan keluar.

"Kau tidak mengenali mereka, Lihun?" 

tanya Garda.

"Tidak, Kang. Saya tidak berani mendekat 

ketika Kang Sarta dan kawan-kawannya terlibat 

pertarungan."

"Kalau begitu, cepat kumpulkan kawan-

kawan. Kita harus mengusir tamu tak tahu adat 

itu!" perintah Garda.

Lihun segera menjalankan perintah lelaki 

berkumis melintang yang di Desa Walang Teter 

berkedudukan sebagai kepala keamanan desa. 

Bukan itu saja, Garda juga tercatat sebagai murid 

Perguruan Kepodang Emas yang diketuai Ki Ba-

jang Genta, Kepala Desa Walang Teter. Ki Bajang


Genta dalam rimba persilatan terkenal dengan ju-

lukan Pendekar Tombak Emas.

Hanya dalam waktu singkat Lihun telah 

berhasil mengumpulkan tiga puluh lelaki. Ketiga 

puluh lelaki itu adalah anak buah Garda, yang 

selalu setia dan bahu-membahu menghadapi ron-

grongan pihak luar yang ingin mengacau ketente-

raman Desa Walang Teter.

"Kita telah kedatangan tamu-tamu keparat. 

Mereka membunuh Sarta dan kawan-kawannya 

di mulut desa. Kita harus mengusir tamu tak ta-

hu sopan itu dari desa ini. Kalau perlu kita kirim 

nyawa mereka ke akherat!" ucap Garda berse-

mangat.

"Ya! Setiap orang yang bermaksud menga-

cau desa ini harus kita usir!" sambut lelaki be-

rambut gondrong yang menggenggam sebilah 

tombak.

"Ayo, kita usir mereka sekarang!" ajak Gar-

da.

"Ayo!"

"Ayooo...!"

Sambut puluhan lelaki dengan senjata te-

racung ke udara. Garda dan ketiga puluh lelaki 

penduduk Desa Walang Teter segera bergerak ke 

arah mulut desa.

"Keparat itu pasti ada di dalam, Kang," 

ucap Lihun yang berdiri di samping kiri Garda ke-

tika mereka sampai di depan kedai. Garda tidak 

segera bertindak. Lelaki berkumis melintang itu 

menyuruh anak buahnya waspada.

"Kalian angkat mayat Sarta dan yang lain



nya," perintah Garda pada lima lelaki yang terde-

kat dengannya.

Tanpa membantah kelima lelaki itu menja-

lankan perintah Garda, mereka membobong 

mayat Sarta dan kawan-kawannya dengan kepala 

yang tak utuh lagi. Sementara yang lain ikut Gar-

da dengan langkah tegang mendekati pintu kedai.

"Hai, laki-laki pembuat onar! Keluarlah! 

Kalian harus mempertanggungjawabkan perbua-

tan kalian!" ucap Garda lantang.

Hening sesaat ketika Garda tak lagi beru-

cap keras. Namun tidak ada tanda-tanda lelaki 

yang dimaksud Garda keluar dari dalam kedai.

Suasana di dalam kedai nampak sepi. Na-

mun sesungguhnya di dalam sana tengah duduk 

tenang tiga lelaki yang menamakan dirinya Tiga 

Iblis Sakti dan seorang lelaki tua pemilik kedai 

dengan wajah pucat pasi. Tubuh lelaki tua itu 

bergetar menahan ketakutan yang sangat. Semen-

tara kedai yang biasanya selalu penuh pengun-

jung kini tak nampak seorang pun di situ. Mereka 

memilih pergi semenjak kedatangan Tiga Iblis 

Sakti.

"Kami masih mau bersikap sopan pada ka-

lian. Keluarlah! Jangan tunggu kesabaran kami 

hilang!" lanjut Garda lebih keras.

Tak berapa lama gaung ucapan Garda le-

nyap, tiga sosok tubuh bertongkat merah, hitam, 

dan biru keluar dengan langkah perlahan namun 

mantap.

"Hmmm.... Tak kusangka penduduk Desa 

Walang Teter semuanya usilan!" sindir lelaki ber


jubah biru yang tak lain Parada. Lelaki bertubuh 

kurus itu bergerak lebih maju dari kedua teman-

nya Sancasona dan Sandala. "Apa yang kalian in-

ginkan dari kami, heh?!" tanya Parada dengan da-

gu mendongak ke atas.

"Kalian telah membinasakan lima keama-

nan Desa Walang Teter. Kalian harus bertanggung 

jawab!" sentak Garda.

"Tanggung jawab bagaimana yang kalian 

inginkan?" tanya Sandala si Iblis Tongkat Hitam 

penuh tantangan.

"Kalian harus menerima hukuman sesuai 

dengan perbuatan kalian!" jawab Garda. 

"Silakan kalian lakukan. Kalau memang bi-

sa menghukum Tiga Iblis Sakti," ujar Sancasona 

datar namun mengundang kemarahan Garda dan 

anak buahnya.

"Sombong!" maki Garda dengan wajah me-

rah padam. "Ringkus mereka!" perintah Garda 

kemudian.

Tiga puluh lelaki bersenjata golok, tombak, 

dan pedang meluruk ke arah Tiga Iblis Sakti. Sen-

jata mereka terayun-ayun disertai pekik kemara-

han yang membahana.

"Hiaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Puluhan lelaki penduduk Desa Walang Te-

ter melakukan serangan ganas ke berbagai bagian 

tubuh Tiga Iblis Sakti. Namun ketiga orang itu 

menghadapi keroyokan puluhan lelaki bersenjata 

tajam dengan ketenangan mengagumkan.

Puluhan senjata yang mengancam tubuh


Sancasona, Parada, dan Sandala tidak mampu 

melukai tubuh Tiga Iblis Sakti. Untuk menyentuh 

saja tampak menemui kesukaran. Agaknya ke-

mampuan ketiga lelaki itu jauh di atas para pen-

geroyoknya. Itu terbukti ketika Sancasona men-

gadakan serangan balasan. 

"Hih!"

Plak, plakkk!

"Akh!"

"Aaa...!"

Dua tubuh pengeroyoknya terjengkang ter-

kena sampokan tangan lelaki muda berjubah me-

rah itu, yang mendarat telak di pelipis. Sampokan 

keras yang disertai pengerahan tenaga dalam 

tinggi itu mengakibatkan nyawa kedua lawannya 

tidak dapat diselamatkan lagi.

Begitu pula kehebatan yang dipertonton-

kan kedua rekannya. Lelaki berpakaian biru yang 

bernama Parada nampak ingin menunjukkan sia-

pa dirinya. Hanya dengan sebatang tongkat yang 

dipindah-pindahkan dari tangan kiri ke kanan 

berganti-ganti, para pengeroyoknya dapat dire-

dam. Bahkan dengan sadisnya Parada menusuk 

kepala pengeroyoknya yang telah jatuh lebih dulu.

"Mampus kau!"

Crottt!

Kepala lelaki berpakaian hitam yang beru-

saha menjatuhkan Parada jebol tertembus ujung 

tongkat lelaki itu. Darah bercampur cairan otak 

mengalir dari kepala yang berlubang.

"Biadab!" maki penduduk Desa Walang Te-

ter yang lain.


Tubuh lelaki berpakaian putih itu melesat 

dengan pedang di tangan hendak menebas batang 

leher Parada. Sekilas gerakan lelaki berpakaian 

putih itu sebuah bahaya besar bagi Parada. Na-

mun nyatanya....

Tappp!

Mata pedang lelaki berpakaian putih di-

tangkap Parada dengan tangan telanjang, dan 

tanpa menimbulkan luka sedikit pun. Kenyataan 

itu membuat penyerang Parada terkejut. Dan se-

saat kemudian Parada menghentakkan senjata 

yang dicekalnya.

"Hih!"

Wuttt!

Blagkh!

"Aaa...!"

Seiring dengan sentakan, tangan kiri Para-

da bergerak cepat menghantam kerongkongan la-

wan. Seketika itu juga pengeroyoknya terhempas 

di tanah tanpa nyawa.

Brukkk!

Bunyi berdebuk terdengar, membuat pen-

duduk Desa Walang Teter merasa ngeri. Mayat-

mayat rekan mereka bergeletakan dengan kepala 

pecah.

Kengerian itu juga terlihat jelas di wajah 

Garda. Namun kepala keamanan Desa Walang Te-

ter tidak ingin namanya jatuh. Dengan kebera-

nian yang dipaksakan kembali melesat. Senja-

tanya digerakkan membelah kepala Sancasona.

"Hiaaa...!"

Wuttt!


"Uts!"

Lelaki berjubah merah itu dengan ringan 

menggerakkan badannya menghindari serangan 

Garda yang kalap. Tetapi di balik gerakan itu ter-

sembunyi serangan balasan yang cukup berba-

haya. Ujung tongkat merahnya tiba-tiba melaku-

kan gerakan menotok iga Garda.

"Hih!"

Tlakkk!

"Akh...!"

Garda terpekik ketika ujung tongkat San-

casona yang hendak menotok iganya ditangkis 

dengan golok. Sungguh Garda tak percaya toto-

kan Sancasona mengandung kekuatan tenaga 

yang luar biasa tinggi. Sekujur tangan Garda te-

rasa ngilu yang sangat, sedang ujung senjatanya 

gompal.

"Sebaiknya kau mampus saja!" hardik San-

casona melihat Garda menahan sakit.

Sing...!

Usai berkata Sancasona melepaskan tong-

kat merahnya ke arah Garda. Maka.... 

Crabbb! 

"Aaa...!"

Tubuh Garda langsung ambruk ke tanah. 

Tongkat merah Sancasona meluruk dengan kece-

patan yang sukar diikuti mata dan menghujam 

persis di ubun-ubunnya.

Lima lelaki yang tersisa menggigil ketaku-

tan menyaksikan kematian pimpinannya, mereka 

tidak berani melanjutkan pertarungan. Namun 

juga tidak berani meninggalkan tempatnya.


Lelaki tua pemilik kedai yang menyaksikan 

kebengisan Tiga Iblis Sakti tak mampu bergerak 

dari tempatnya. Dengan wajah pucat pasi, lelaki 

tua itu berdiri sambil berpegangan pada tiang pe-

nyangga kedai.

"Kalian juga harus mampus seperti dia!" 

hardik Sandala sambil menunjuk tubuh Garda 

yang kepalanya tertembus tongkat Sancasona.

Webs!

Sancasona mencabut tongkat merahnya 

yang terbenam di kepala Garda. Lalu dengan 

tongkat itu ditudingkannya kelima lelaki yang 

masih hidup.

"Hanya satu di antara kalian yang berhak 

menghirup matahari esok pagi. Yang lainnya ha-

rus mati!" sentak Sancasona keras.

Seiring dengan hilangnya gema ucapan 

Sancasona, tubuh Parada dan Sandala melesat 

cepat Dan....

Prak, prak, prakkk...!

"Aaa...!"

Empat lengkingan kematian berturut-turut 

membubung ke langit Desa Walang Teter. Diiringi 

ambruknya empat sosok tubuh dengan kepala 

pecah terhantam tongkat hitam dan biru Iblis 

Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru. Darah ber-

campur cairan putih memancur dari kepala em-

pat lelaki itu.

"Kau!" tunjuk Sancasona pada seorang le-

laki kurus yang tersisa. "Cepat laporkan pada Ki 

Bajang Genta! Katakan Tiga Iblis Sakti datang in-

gin meruntuhkan Perguruan Kepodang Emas.


Dan mengambil alih kekuasaan sebagai Kepala 

Desa Walang Teter!" lanjut Sancasona dengan su-

ara menggelegar.

Lelaki yang tak lain adalah Lihun menggigil 

ketakutan. Tubuhnya seperti orang terserang de-

mam.

"Cepat! Atau kau juga ingin mampus!" har-

dik Sandala seraya mengacungkan tongkat hi-

tamnya.

Lihun dengan sekuat tenaga berusaha ber-

gerak meninggalkan ketiga pengacau itu. Dan Ti-

ga Iblis Sakti kembali masuk ke dalam kedai den-

gan mengumandangkan tawa kemenangan. Sedi-

kit pun ketiganya tidak menoleh pada mayat-

mayat yang bergelimpangan.

"Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"


DUA



Setengah tak percaya Ki Bajang Genta me-

nerima laporan murid utama Perguruan Kepo-

dang Emas yang didapatnya dari Lihun.

"Penjaga-penjaga keamanan mulut desa, 

bahkan Garda beserta anak buahnya telah men-

jadi mayat," lanjut lelaki bertubuh sedang namun 

menampakkan otot-otot yang kuat. "Mayat-mayat 

mereka bergelimpangan di depan kedai, Guru. Ini 

sudah keterlaluan," lanjut lelaki berpakaian biru 

itu. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang dita


han.

Ki Bajang Genta, seorang lelaki berusia li-

ma puluh lima tahun, tidak menimpali laporan 

muridnya. Wajah tuanya yang masih menyimpan 

raut kekerasan sedikit dibalut ketegangan. Se-

mentara matanya yang setajam tatapan elang tak 

bergerak dari daun jendela yang terbuka lebar, 

tertuju lurus seperti mencari sesuatu di sana.

"Kau tahu siapa Tiga Iblis Sakti, Anugda?" 

tanpa memandang wajah muridnya, Ki Bajang 

Genta melemparkan pertanyaan dengan suara 

yang terkesan begitu kaku.

Murid utama Perguruan Kepodang Emas 

itu tidak segera menjawab. Pertanyaan yang 

hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak' itu 

sebenarnya tidak terlalu berat. Namun makna di 

balik pertanyaan itu yang membuat Anugda 

mempertimbangkan jawabannya.

"Kau pernah mendengar sepak terjang Tiga 

Iblis Sakti, Anugda?" tanya Ki Bajang Genta lagi.

Anugda semakin menenggelamkan wajah-

nya. Menekuri lantai perguruan yang terasa din-

gin. Ki Bajang Genta membalikkan tubuh. Tata-

pan matanya yang tajam tertuju lurus ke wajah 

Anugda. Sementara tangan lelaki setengah baya 

itu meraba-raba jenggotnya yang memutih.

"Inilah tentangan terbesar selama puluhan 

tahun aku memimpin Perguruan Kepodang Emas 

ini, Anugda," papar Ki Bajang Genta.

Anugda mengangkat wajahnya perlahan 

memberanikan diri menatap wajah gurunya. Na-

mun sepatah kata pun tidak keluar dari mulut


nya.

"Kau tahu kenapa kedatangan Tiga Iblis 

Sakti kukatakan sebagai tantangan besar, Anug-

da?" tanya Ketua Perguruan Kepodang Emas yang 

selalu mengenakan pakaian kuning berbintik-

bintik hitam.

Anugda tak menjawab pertanyaan gu-

runya.

"Karena kedatangan iblis-iblis itu kuyakini 

ingin meminta sesuatu dariku," jelas Ki Bajang 

Genta menjawab pertanyaannya sendiri. "Sesuatu 

itu bukanlah nyawaku, Anugda. Bukan juga per-

guruan ini," Lanjut Ki Bajang Genta.

Anugda kembali menatap wajah gurunya 

dengan sejuta tanda tanya melingkar-lingkar di 

benaknya.

"Sesuatu itu belum saatnya kujelaskan ke-

padamu, Anugda. Namun yang perlu kau ketahui, 

sesuatu itu tidak pantas jatuh ke tangan orang-

orang bermoral bejat seperti Tiga Iblis Sakti. Aku 

akan mempertahankannya dengan segenap jiwa 

dan ragaku," tukas Ki Bajang Genta lagi.

"Kalau begitu, izinkan aku dan murid-

murid utama perguruan ini mengusir Tiga Iblis 

Sakti dari desa ini. Guru," ucap Anugda membe-

ranikan diri.

Ki Bajang Genta menarik kulit wajahnya 

hingga membentuk sebuah senyum dingin. Na-

mun tidak mengandung arti meremehkan keingi-

nan muridnya.

"Kukatakan kepadamu, Anugda. Kepan-

daian yang kumiliki jika dibanding dengan orang


termuda dari Tiga Iblis Sakti bisa diumpamakan 

seperti kucing dan macan tutul. Aku dan orang 

termuda dari Tiga Iblis Sakti memang sama-sama 

punya taring. Tapi apalah arti taring seekor kuc-

ing dapur jika harus menghadapi taring si Raja 

Rimba? Kau mengerti maksudku, Anugda?"

"Kita minta bantuan Kakang Yudistira, 

Guru. Dengan demikian kekuatan kita semakin 

kokoh," saran Anugda polos.

Kembali segurat senyum menghiasi wajah 

Ki Bajang Genta.

"Tiga Iblis Sakti adalah tokoh sesat nomor 

satu di jagad raya ini, Anugda. Mungkin hanya 

satu orang yang dapat mengimbangi kepandaian 

Tiga Iblis Sakti."

"Siapa, Guru?" tanya Anugda ingin tahu.

"Raja Petir."

"Raja Petir?" ulang Anugda.

"Ya. Raja Petir. Tapi untuk meminta ban-

tuannya bukan hal yang mudah. Dia seorang 

pengembara. Kolong langit adalah tempat tinggal-

nya. Sangat sulit jika kita ingin mencarinya den-

gan sengaja, namun bukan sesuatu yang musta-

hil tiba-tiba tokoh muda yang digdaya itu muncul 

di Desa Walang Teter," jelas pimpinan Perguruan 

Kepodang Emas.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Guru?" 

tanya Anugda seperti putus asa.

"Akan kuhadapi mereka. Apa pun akibat-

nya!" jawab Ki Bajang Genta mantap.

"Maaf, Ki. Bukankah lebih aman jika kita 

ikut sertakan Kakang Yudistira. Bukankah dia ju


ga memiliki orang-orang berkepandaian tinggi 

yang pasti bisa meringankan langkah kita?" ucap 

Anugda masih dengan usulnya.

"Aku tidak mengatakan percuma atas ban-

tuan mereka. Aku hanya tidak ingin melihat ke-

hancuran mereka karena ingin meringankan be-

ban kita. Sebagai perguruan yang punya nama 

besar di kalangan rimba persilatan, kita harus 

berjiwa besar menghadapi tantangan yang paling 

berat sekali pun. Dengan darah dan nyawa kita 

hadapi apa yang diingini Tiga Iblis Sakti," tandas 

Ki Bajang Genta.

"Kalau begitu, aku persiapkan segala sesu-

atunya untuk menghadapi tikus-tikus itu. Guru," 

pinta Anugda seraya beringsut dari hadapan Ki 

Bajang Genta.

"Tak ada yang perlu kau persiapkan, 

Anugda. Cukup aku saja yang menghadapi Tiga 

Iblis Sakti," kilah Ki Bajang Genta mengejutkan 

murid utama Perguruan Kepodang Emas itu.

"Apa Guru ingin mendatangi mereka seo-

rang diri?" tanya Anugda sangat khawatir.

"Aku tidak akan menghadang mereka di 

mulut desa, Anugda. Akan kutunggu mereka di 

sini," jawab Ki Bajang Genta.

Anugda semakin tak mengerti dengan uca-

pan dan keinginan gurunya. Tapi untuk memban-

tah rasanya tidak mungkin.

"Sedapatnya aku akan mengatur siasat 

agar tidak terjadi banjir darah di perguruan ini," 

tukas Ki Bajang Genta. "Namun jika hal itu terjadi 

juga, kusarankan agar kalian mencari selamat en


tah dengan cara bagaimana. Yang pasti aku tidak 

mengajari kalian menjadi seorang pengecut. Yang 

kuinginkan adalah kepentingan kalian untuk te-

tap bertahan hidup. Kemudian memperdalam il-

mu dan menjelma menjadi sosok yang selalu 

membela kebenaran dan mengusir keangkara-

murkaan. Kehancuran yang menimpa Perguruan 

Kepodang Emas kuharap tidak terjadi lagi setelah 

kau dan yang lainnya menjelma menjadi pendekar 

berbudi luhur. Contohlah Raja Petir," urai Ki Ba-

jang Genta panjang lebar.

Anugda tidak bersuara mendengar penutu-

ran lelaki tua yang sangat dihormatinya itu. Rasa 

hormatnya semakin bertambah mendengar kata-

kata bijaknya. Betapa jiwa Ki Bajang Genta begitu 

besar dan luhur.

"Lalu bagaimana dengan Nini Harum Sero-

ja, Guru?"

"Kurasa dia lebih tahu bagaimana cara 

menjaga dirinya, Anugda. Meski perempuan, Ha-

rum akan menunjukkan kekuatannya untuk 

menjaga kehormatannya. Ah! Yang terakhir itu 

kuharap tak terjadi," jawab Ki Bajang Genta.

Hening tercipta sesaat. Ki Bajang Genta 

kembali melempar pandangan ke halaman rumah 

di samping kanan.

"Kudengar ada kericuhan terjadi di mulut 

desa. Ayah. Apa sudah dapat ditanggulangi?" 

tanya seorang gadis cantik berpakaian longgar 

merah dadu. Wajah gadis yang putih bersih itu 

menyiratkan kekhawatiran yang dalam.

"Sebentar lagi pasti teratasi, Harum," jawab


Ki Bajang Genta menanggapi pertanyaan putri 

tunggalnya yang tiba-tiba muncul dari pintu bela-

kang.

"Siapa pembuat kericuhan itu, Kakang?" 

tanya perempuan setengah baya yang muncul 

bersama gadis cantik itu.

"Tiga Iblis Sakti," jawab Ki Bajang Genta 

pelan.

Ucapan Ki Bajang Genta mengejutkan pe-

rempuan setengah baya yang tak lain istrinya. Pe-

rempuan yang wajahnya masih menampakkan si-

sa-sisa kecantikan itu tampak terkejut.

"Tiga Iblis Sakti?" ulang istri Ki Bajang 

Genta.

"Apakah mereka mau merebut..."

"Itu pasti tujuan utama mereka, Nyi Ran-

da," potong Ki Bajang Genta sebelum rahasia itu 

disebut istrinya.

Harum Seroja dan Anugda yang mendengar 

pembicaraan itu tidak berusaha menegaskan.

"Apa tindakanmu, Kakang Bajang?" tanya 

Nyi Randa cemas.

"Aku akan menantangnya mengadu nya-

wa," jawab Ki Bajang Genta mantap.

"Kakang...," tak percaya Nyi Randa men-

dengar penuturan suaminya.

"Setidaknya itu salah satu cara untuk 

mengurangi pertumpahan darah di Desa Walang 

Teter. Khususnya di Perguruan Kepodang Emas," 

kilah Ki Bajang Genta.

"Tapi...."

"Aku akan mengatur siasat untuk mengu


lur waktu. Dengan mengharapkan kemunculan 

seorang pendekar sakti seperti Raja Petir. Meski 

itu mustahil, aku tetap berharap," potong Ki Ba-

jang Genta.

"Apa siasat mengulur waktu yang kau 

maksud itu?" tanya Nyi Randa lebih jauh.

"Aku akan menantangnya mengadu nyawa 

untuk mempertahankan sesuatu yang telah lama 

kujaga dengan hati-hati. Waktunya tepat pada 

purnama mendatang," jelas Ki Bajang Genta.

"Sembilan hari lagi...," desah Nyi Randa mi-

rip desisan.

"Ya. Sembilan hari lagi," tegas Ki Bajang 

Genta.

"Bagaimana seandainya Tiga Iblis Sakti 

mampu membaca siasatmu?" kejar Nyi Randa.

Ki Bajang Genta tidak segera menjawab. 

Matanya yang tajam menatap wajah redup pe-

rempuan setengah baya di hadapannya. Kemu-

dian setelah puas, Ki Bajang Genta menarik na-

pas panjang. Dada Ki Bajang Genta mengembang 

sesaat, lalu tertarik ke dalam perlahan-lahan 

menghembuskan napas dari lubang hidungnya.

"Hhh...."

"Tampaknya pertarungan tidak akan tere-

lakkan lagi, Nyi," ucap Ki Bajang Genta.

Nyi Randa tidak mengomentari. Tatapan 

matanya menghujam wajah Ki Bajang Genta.

"Terpaksa benda itu berpindah dari tem-

patnya. Dan kau, Anugda! Kuharap kau mampu 

menjaga diri dan anakku dalam menyelamatkan 

benda itu. Pergilah kalian bertiga ke tempat yang


aman. Biar aku yang menghadapi Tiga Iblis Lak-

nat itu bersama murid-murid perguruan," pinta 

Ki Bajang Genta pada Anugda.

"Kalau aku boleh tahu, benda apakah yang 

Ayah maksud itu?" tanya Harum Seroja hati-hati.

Ki Bajang Genta menatap wajah anaknya. 

Namun Nyi Randa justru menatap wajah Ki Ba-

jang Genta.

"Pada akhirnya kau memang harus tahu, 

Harum. Benda itu adalah Lempengan Teratai 

Emas," ujar Ki Bajang Genta memberi tahu.

"Lempengan Teratai Emas...?" ulang Harum 

Seroja pelan. "Apakah demikian berharganya, 

hingga Ayah harus mempertahankan dengan 

nyawa dan keutuhan perguruan ini?"

"Bukan hanya itu nilai Lempengan Teratai 

Emas, Harum. Tetapi keselamatan rimba persila-

tan, khususnya golongan putih. Mereka akan ter-

jaga jika kalian mampu mempertahankan benda 

itu dari tangan-tangan hitam yang ingin mengua-

sai sejak puluhan tahun silam," tandas Ki Bajang 

Genta.

"Oh! Betapa besar nilai benda itu. Apa-

kah.... Apakah kita harus menyelamatkannya se-

karang. Ayah. Sebelum iblis-iblis itu datang," usul 

Harum Seroja hati-hati.

"Tidak sekarang, Harum. Akan kujalani du-

lu siasat yang kususun. Akan kutantang Tiga Iblis 

Sakti!" tolak Ki Bajang Genta. "Kalian boleh me-

mindahkan benda itu kalau tanda-tanda pertem-

puran sudah terlihat jelas."

Sepi sesaat melingkupi mereka yang se


dang berbincang-bincang di ruang tengah tempat 

tinggal Ki Bajang Genta. Namun kemudian.... 

"Ha ha ha...!" 

Sepi itu terpecahkan oleh suara tawa ber-

kepanjangan. Suara tawa yang keluar melalui 

pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga rumah Ki 

Bajang Genta bergetar. Ki Bajang Genta, Harum 

Seroja, Nyi Randa, dan Anugda melawan suara 

tawa itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga 

dalam. Ki Bajang Genta segera menghambur ke-

luar ingin melihat sosok yang telah mengeluarkan 

tawa.

"Hm.... Rupanya Tiga Iblis Sakti," ucap Ki 

Bajang Genta setelah memperhatikan tiga lelaki 

berpakaian merah, biru, dan hitam.

"Kau ternyata berjiwa besar, Bajang! 

Sayang kau kurang beruntung karena siasatmu 

telah kami ketahui," ucap sosok bertongkat hi-

tam. Dialah Sandala yang berjuluk Iblis Tongkat 

Hitam.

"Sebelum kami meminta dengan paksa 

Lempengan Teratai Emas, sebaiknya kau mencari 

selamat dengan menyerahkannya secara sukare-

la. Sebetulnya tidak begitu prinsip Tiga Iblis Sak-

ti, yang selalu menagih nyawa pada setiap orang 

yang berurusan dengannya. Tapi untukmu kube-

rikan kelonggaran, Bajang!" timpal lelaki muda 

merah darah.

Ki Bajang Genta tidak mengomentari per-

kataan lelaki berjubah merah yang tak lain San-

casona si Iblis Tongkat Merah. Pada saat itu Nyi 

Randa, Harum Seroja, dan Anugda keluar mene


mui Ki Bajang Genta. Mereka berdiri di samping 

Ketua Perguruan Kepodang Emas.

Tak lama kemudian dari belakang, samping 

kiri dan kanan Tiga Iblis Sakti bermunculan tiga 

murid utama Ki Bajang Genta. Kemunculan keti-

ganya dibarengi dengan puluhan murid Pergu-

ruan Kepodang Emas yang lengkap dengan senja-

ta terhunus.

Tiga Iblis Sakti yang menyaksikan kemun-

culan murid-murid Perguruan Kepodang Emas 

tersenyum meremehkan.

"Tak adakah yang lain selain kelinci-kelinci 

lucu yang kau hadirkan ke hadapan kami, Ba-

jang?" tanya Parada si Iblis Tongkat Biru. Tatapan 

Iblis Tongkat Biru beredar merayapi wajah-wajah 

murid Perguruan Kepodang Emas yang bersemu 

merah mendengar julukan itu.

"Yang kuinginkan kau menyambutku den-

gan puluhan ekor serigala liar, atau puluhan be-

ruang gurun yang buas. Keluarkanlah kalau kau 

memilikinya, Bajang. Jangan kelinci-kelinci lucu 

ini!" Lanjut Parada dengan suara agak tinggi.

"Jangan sombong, Tongkat Biru!" balas Ki 

Bajang Genta marah. "Kalau sudah sampai 

umurmu sekarang ini, kelinci-kelinci di bela-

kangmu akan mengirimmu ke liang kubur!"

"Ha ha ha...!"

Iblis Tongkat Biru tertawa keras menden-

gar perkataan Ketua Perguruan Kepodang Emas.

"Pandai sekali kau menghibur hati, Bajang! 

Sungguh aku kagum. Di tengah-tengah ambruk-

nya Perguruan Kepodang Emas dan nyawamu


yang sebentar lagi melayat ke neraka, kau masih 

bisa menghibur diri," ejek Parada dengan air mu-

ka dibuat selucu mungkin.

"Phuih!"

Ki Bajang Genta meludah ke tanah. Kemu-

dian kepalanya menoleh pada tiga sosok yang be-

rada di samping kirinya.

"Nyi Randa, Harum, dan kau Anugda ce-

pat..."

"Hei! Kalian bertiga jangan pergi!" potong 

Sancasona yang rupanya dapat membaca arah 

ucapan Ki Bajang Genta. Serta merta tangan Iblis 

Tongkat Merah menghentak cepat 

Slerets...!

Seberkas sinar kemerahan meluruk cepat 

ke arah tubuh gadis cantik putri Ki Bajang Genta. 

Tubuh Harum Seroja terbungkus sinar kemera-

han yang melesat dari telapak tangan Sancasona. 

Tubuh gadis itu berubah kaku dan tak mampu 

bergeming sedikit pun dari tempatnya.

Kenyataan itu mengejutkan Ki Bajang Gen-

ta, Nyi Randa, dan Anugda. Dan keterkejutan Ki 

Bajang Genta semakin bertambah ketika Iblis 

Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru ikut meng-

hentakkan tangannya.

Dua berkas siar biru dan putih meluruk 

dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Tanpa 

bisa dihindari lagi, tubuh Nyi Randa dan Anugda 

terhantam dua sinar Parada dan Sandala. Nasib 

yang dialami Harum Seroja menimpa Nyi Randa 

dan Anugda. Keduanya kaku di tempat mereka 

dengan sinar biru dan putih yang membungkus


tubuh.

Di tengah keterkejutannya Ki Bajang Genta 

berseru keras. "Ganyang tiga iblis laknat itu!"

Tiga murid utama Perguruan Kepodang 

Emas dengan diikuti puluhan murid yang bersen-

jata terhunus segera merangsek tubuh-

Sancasona, Parada, dan Sandala. Teriakan-

teriakan mereka berbaur dengan kegeraman yang 

tak terbendung.

"Heyaaa...!"

"Hiaaat....!"

"Hiaaa...!"


TIGA



Puluhan murid Perguruan Kepodang Emas 

yang meluruk maju terpecah menjadi tiga bagian. 

Sebagian menggasak Parada, sebagian lagi men-

geroyok Sandala, dan sisanya membantu Ki Ba-

jang Genta menghadapi orang termuda Tiga Iblis 

Sakti, Iblis Tongkat Merah.

Namun perlawanan yang dilakukan Ki Ba-

jang Genta dan seluruh muridnya bagi Tiga Iblis 

Sakti merupakan sebuah permainan. Yang mem-

buat mereka tertawa setiap kali sosok manusia 

terkapar tak bernyawa dengan kepala bolong ter-

tembus ujung tongkat mereka.

"Hiyaaa...!"

Bet, bet!

"Uts!"

Iblis Tongkat Biru hanya menggerakkan


pinggangnya untuk menghindari tebasan senjata 

murid Perguruan Kepodang Emas. Lalu Parada 

ganti mengayunkan tongkat keluk sembilannya ke 

pinggang lawan. 

"Hih!" 

Plak! 

Crokkk! 

"Aaa...!"

Sosok tubuh penyerang Parada terjungkal 

setelah sambaran tongkat yang dimainkan dalam 

jurus 'Tongkat Iblis Mengejar Nyawa' cukup telak 

mendera pinggangnya. Dan ketika tubuhnya ter-

bungkuk, ujung tongkat Parada dengan telak me-

nembus ubun-ubunnya. Darah yang mengucur 

deras disertai cairan putih dari kepala yang bo-

long itu.

Seiring dengan ambruknya murid Pergu-

ruan Kepodang Emas, nyawanya terpisah dari 

badan. Sedangkan Iblis Tongkat Biru tanpa mem-

pedulikan mayat yang bergeletakkan di dekatnya 

kembali melanjutkan pembantaian. Anehnya, le-

laki itu melakukannya dengan tersenyum-

senyum. Kadang Parada terbahak menyaksikan 

kematian lawannya. Baginya, mungkin kematian 

lawan merupakan hiburan segar yang harus di-

tanggapi dengan tawa.

Apa yang dilakukan Parada juga diperbuat 

Sandala dan Sancasona. Kedua lelaki yang berju-

luk Iblis Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Merah 

berpestapora. Membantai murid-murid Perguruan 

Kepodang Emas yang memang bukan tandingan 

mereka. Bahkan Ki Bajang Genta belum setara


ilmunya dengan Tiga Iblis Sakti.

"Mampus kau, Iblis!" maki seorang murid 

utama Ki Bajang Genta. Pedangnya dilayangkan 

membabat leher Iblis Tongkat Hitam. Angin ber-

desing keras terjadi seiring dengan melayangnya 

senjata yang ditebaskan dengan pengerahan te-

naga dalam tinggi.

Sing...!

Sandala yang menyaksikan serangan cu-

kup ganas itu, seolah tidak menyaksikan luncu-

ran benda tajam. Dia tetap berdiri tenang tanpa 

ada usaha menghindari. Namun urat-urat leher-

nya sedikit mengejang. Tampaknya lelaki itu ingin 

mencoba kekuatan tenaga dalam lawan.

Tlakkk!

Bunyi seperti beradunya dua benda keras 

terdengar ketika senjata murid utama Ki Bajang 

Genta menghantam leher Iblis Tongkat Hitam.

"Aaakh...!"

Pekik tertahan pun terdengar. Dengan tu-

buh terhuyung dan batang pedang patah jadi 

dua. Sendala, lelaki berusia empat puluh lima ta-

hun, terus mengejar tubuh murid utama Ki Ba-

jang Genta yang terhuyung dengan rasa nyeri 

mendera tangannya. Iblis Tongkat Hitam membu-

ru dengan mengerahkan jurus 'Tongkat Iblis Men-

gejar Nyawa'. 

"Haiiit...!" 

Wukkk! 

Crokkk!

Kembali kepala salah seorang murid Ki Ba-

jang Genta terpanggang tongkat berkeluk sembi


lan milik Sandala. Untuk kesekian kalinya seso-

sok tubuh tergeletak dengan kepala bolong.

Kenyataan itu membuat Ki Bajang Genta 

menjadi panik bukan main. Disadarinya tak lama 

lagi semua muridnya menjadi korban keganasan 

Tiga Iblis Sakti. Sedangkan Nyi Randa, Harum Se-

roja, dan Anugda tidak bisa bergerak karena ter-

bungkus sinar merah, biru, dan hitam.

"Hiyaaa...!"

Merasa tak ada jalan lain, Ki Bajang Genta 

kembali berkelebat menyerang orang termuda da-

ri Tiga Iblis Sakti. Suara berdesing tajam mengi-

ringi serangan Ki Bajang Genta. Pedangnya berke-

lebat ke arah lambung Sancasona. Ketua Pergu-

ruan Kepodang Emas itu tengah mengerahkan ju-

rus 'Pedang Pembelah Awan'.

Namun bagi Sancasona yang sudah mam-

pu mengukur kekuatan tenaga dalam Ketua Per-

guruan Kepodang Emas, serangan yang dihada-

pinya tidaklah menakutkan. Disongsongnya sen-

jata Ki Bajang Genta dengan telapak tangan telan-

jang. 

"Tappp!"

Dengan kekuatan tenaga dalam yang bera-

da di atas Ki Bajang Genta, Sancasona seenaknya 

menangkap pedang itu.

"Buang saja senjatamu, Bajang!" ejek San-

casona. Batang pedang itu digenggamnya erat-

erat.

"Hmh....!"

Ki Bajang Genta mendengus marah. Sekuat 

tenaga ditariknya senjata itu dari cekalan Sanca


sona.

"Tariklah sebisamu, Bajang!" kembali Iblis 

Tongkat Merah mengejek.

Ki Bajang Genta yang memang sudah ter-

pancing kemarahannya segera mengerahkan selu-

ruh tenaganya. Namun sampai napasnya tersen-

gal-sengal senjata itu tidak terlepas juga. Bah-

kan....

Trakkk!

Iblis Tongkat Merah yang menggoyangkan 

pergelangan tangan Ki Bajang Genta. Hingga pe-

dang lelaki setengah baya itu patah menjadi dua 

bagian. Kejadian itu tentu saja merugikan Ketua 

Perguruan Kepodang Emas. Saat itu dia tengah 

mengerahkan tenaganya, maka akibatnya tubuh 

Ki Bajang Genta terdorong ke belakang oleh tena-

ganya sendiri.

Ki Bajang Genta yang matang pengalaman 

segera mementahkan daya dorongnya dengan me-

lemparkan tubuhnya ke samping kanan dan ber-

gulingan di tanah. Tapi Iblis Tongkat Merah telah 

memperhitungkan segalanya. Ketika tubuh Ketua 

Perguruan Kepodang Emas bergulingan, Sanca-

sona melempar patahan pedang Ki Bajang Genta 

yang masih berada di genggamannya.

"Hih!"

Sing...!

Cepat laksana kilat lemparan itu dilakukan 

Iblis Tongkat Merah. Maka.... 

Crabbb! 

"Aaa…!"

Peristiwa senjata makan tuan pun terjadi.


Kepala Ki Bajang Genta tertembus patahan pe-

dang miliknya sendiri. Tubuh Ki Bajang Genta 

yang tengah bergulingan terus berguling. Darah 

merembes dari batok kepalanya.

"Ha ha ha...!"

Melihat pemandangan di depannya, Iblis 

Tongkat Merah terbahak-bahak. Begitu kejamnya 

pemuda itu dan tidak punya perasaan.

"Habisi semuanya!" perintah Sancasona.

Parada dan Sandala, meski tanpa diperin-

tah pun memang bermaksud menghabisi murid-

murid Perguruan Kepodang Emas. Maka peman-

dangan yang terlihat sebuah permainan maut 

yang sangat mengerikan. Murid-murid Perguruan 

Kepodang Emas satu persatu melayat ke akherat 

menyusul kematian gurunya.

"Hiaaa...!"

Plak, plak...!

Crokkk, crokkk...!

Dua lengking kematian kembali mengge-

tarkan alam Desa Walang Teter. Dua sosok terak-

hir murid Perguruan Kepodang Emas terhantam 

tongkat Parada dan Sandala. Sasarannya ubun-

ubun.

"Hhh...!"

Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat Hitam 

menarik napas panjang-panjang setelah menyele-

saikan lawan-lawan terakhirnya. Keduanya 

menghampiri mayat seorang murid Ki Bajang 

Genta. Lalu membersihkan tongkat-tongkat me-

reka yang berlumuran darah dengan pakaian mu-

rid Perguruan Kepodang Emas. Selesai member


sihkan senjatanya, Iblis Tongkat Biru dan Iblis 

Tongkat Hitam menghampiri Iblis Tongkat Merah.

"Tinggal selangkah lagi kita mendapatkan 

benda itu, Sancasona," ucap Parada riang.

"Ya. Kita gunakan ketiga manusia itu seba-

gai penunjuk," timpal Sandala seraya menunjuk 

sosok Nyi Randa, Harum Seroja, dan Anugda yang 

berdiri kaku.

"Kakang berdua betul! Ayo, kita bebaskan 

mereka dari pengaruh ilmu 'Pembungkus Gerak'," 

ucap Iblis Tongkat Merah.

"Ayolah!" sambut Iblis Tongkat Hitam dan 

Iblis Tongkat Biru berbarengan.

Ketiganya melangkah mendekati Nyi Ran-

da, Harum Seroja, dan Anugda. Tapi baru dua 

langkah kaki Tiga Iblis Sakti terayun, sebuah ta-

wa menggelegar seketika terdengar.

"Ha ha ha...!"

Tiga Iblis Sakti langsung menghentikan 

langkahnya, dan berpaling ke arah suara tawa.

Jlig, jlig...!

Bersamaan dengan berbaliknya tubuh Tiga 

Iblis Sakti, dua sosok bayangan hitam berkelebat 

dan mendarat ringan tiga tombak di hadapan 

Sancasona, Parada, dan Sandala. 

"Dua Datuk Jubah Hitam!" ucap Sancaso-

na keras. Tampak berdiri tegak dengan sikap me-

nantang dua lelaki berusia lanjut yang mengena-

kan jubah longgar.

***

Dua lelaki tua yang dipanggil Dua Datuk 

Jubah Hitam tidak menanggapi ucapan orang 

termuda Tiga Iblis Sakti.

Lelaki pertama dari Dua Datuk Jubah Hi-

tam memandang wajah Sancasona tajam. Wajah 

tuanya yang berkerut dan ditumbuhi tahi lalat 

cukup banyak nampak menegang. Sepasang ma-

tanya menyorotkan kebengisan yang luar biasa. 

Alisnya berwarna putih, sama dengan jenggotnya 

yang tidak terurus. Sementara pandangan orang 

kedua dari Dua Datuk Jubah Hitam merayapi 

mayat-mayat yang bergeletakan dengan kepala 

bolong.

"Rupanya pesta kalian telah selesai. Ah, 

sayang. Kami datang terlambat hingga tak dapat 

merasakan kelezatan daging-daging kelinci itu," 

ucap orang pertama dari Dua Datuk Jubah Hi-

tam.

"Gordama! Jangan banyak bicara! Katakan, 

apa maksudmu mencampuri urusan Tiga Iblis 

Sakti!" bentak Sancasona marah.

Lelaki yang dipanggil Gordama tersenyum 

mendengar bentakan Sancasona.

"Sama seperti yang kau inginkan, Sanca-

sona! Aku pun ingin keabadian itu!" timpal Gor-

dama membentak nyaring.

"Hmh...!" Sancasona mendengus kasar. 

"Kalau kau menginginkan isi yang berada di Goa 

Teratai, Tiga Iblis Sakti-lah yang harus kalian ha-

dapi!" bentak Iblis Tongkat Merah geram.

"Iblis Tongkat Merah pun akan kuhadapi 

untuk mencapai keabadian hidup yang telah lama


kuidamkan. Bukan begitu, Landura?" ucap Gor-

dama seraya menoleh pada orang kedua dari Dua 

Datuk Jubah Hitam.

"Betul!" sambut Landura. "Tak kupandang 

keberadaan kalian, Tiga Iblis Sakti!" Lanjut Lan-

dura mengejek pedas.

"Bangsat!" maki Sandala berang.

Dua Datuk Jubah Hitam tersenyum me-

nyaksikan kemarahan Iblis Tongkat Hitam. Tidak 

terdengar sanggahan dari mulut dua lelaki tua 

berjubah longgar hitam. Hening sesaat merayapi 

kelima tokoh golongan hitam yang memiliki ke-

pandaian tinggi itu. Mereka saling bertatapan seo-

lah mengukur kekuatan lawan.

Keabadian yang dimaksud adalah sebuah 

ramuan yang tersimpan di Goa Teratai. Ramuan 

itu menurut sebagian tokoh tingkat tinggi yang 

hidup puluhan tahun silam adalah ramuan yang 

jika diminum mampu membuat orang awet muda 

dan berangsur-angsur menjadi muda bagi yang 

sudah berusia lanjut.

Ramuan itu juga dapat menebalkan kulit, 

otot, dan organ-organ tubuh lainnya. Hingga men-

jadi kebal terhadap tebasan senjata, meski se-

buah pusaka! Penyakit tidak akan menyentuh tu-

buh mereka. Kematian tak akan mereka temui, 

hingga mereka mendapatkan keabadian hidup.

Namun akibat yang ditimbulkan adalah 

watak menjadi berubah menjadi dari watak semu-

la. Kalau yang meminum berwatak baik, maka dia 

akan berubah menjadi bengis dan kejam. Jika dia 

berwatak bengis dan kejam, maka kekejaman dan


kebengisannya menjadi berlipat-lipat.

Itu sebabnya almarhum Pendekar Lembah 

Teratai tidak mau meminum ramuan laknat itu. 

Ketika beliau mati karena sakit, kunci pembuka 

Goa Teratai diserahkan pada Ki Bajang Genta.

Sesungguhnya Goa Teratai bukan hanya 

menyimpan ramuan keabadian. Tapi juga harta 

karun dan sebilah pedang maut yang bernama 

Pedang Beruang Salju. Yang aneh dari Goa Tera-

tai adalah bila seseorang ingin memiliki harta ka-

run, dia harus pula mengambil Pedang Beruang 

Salju dan ramuan keabadian, yang harus lang-

sung diminum di dalam goa. Kalau keharusan itu 

dilanggar, jangan harap apa yang diinginkan akan 

tercapai.

Tokoh-tokoh golongan hitam adalah yang 

paling berniat memiliki isi Goa Teratai, seperti Ti-

ga Iblis Sakti dan Dua Datuk Jubah Hitam. Tetapi 

mereka tidak tahu letak Goa Teratai. Untuk men-

getahuinya, mereka harus mendapatkan dulu se-

buah benda yang bernama Lempengan Teratai 

Emas. Pada lempengan itulah akan didapat pe-

tunjuk tentang letak Goa Teratai. Dan lempengan 

itu digunakan kunci pembuka pintu goa. Tiga Ib-

lis Sakti dan Dua Datuk Jubah Hitam tahu di 

mana mereka harus mendapatkan Lempengan Te-

ratai Emas.

"Jangan menyesal kalau kalian yang masih 

muda harus mati di tangan Dua Datuk Jubah Hi-

tam," ucap Gordama memecah keheningan.

"Kalianlah yang harus mati di tangan Tiga 

Iblis Sakti!" balas Sancasona. "Ayo! Kita gasak


mereka!" lanjutnya mengajak Parada dan Sanda-

la.

"Hiyaaa...!"

Tubuh Sancasona melesat ke arah Gorda-

ma. Sedangkan Sandala dan Parada menyerang 

Landura.


EMPAT



Pertarungan antara Tiga Iblis Sakti mela-

wan Dua Datuk Jubah Hitam tidak dapat dielak-

kan. Sancasona si Iblis Tongkat Merah yang ber-

hadapan dengan Gordama mengeluarkan jurus-

jurus andalannya. Begitu pun sebaliknya.

"Jaga seranganku, Gordama! Hiaaa...!"

Kembali Sancasona Melesat cepat. Tangan 

kanannya yang menggenggam tongkat merah ber-

keluk sembilan teracung tinggi-tinggi di atas ke-

pala. Sebuah 'Pukulan Lelang Nyawa' tengah di-

kerahkan Iblis Tongkat Merah. Angin menderu 

mengiringi serangan Sancasona, yang dikeluarkan 

dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wukkk...!

"Uts!"

Sambaran tongkat Sancasona yang terarah 

ke batok kepala Gordama mengandung kekuatan 

hawa panas menyengat. Tapi dengan ilmu merin-

gankan tubuh yang dibarengi hentakan kaki cu-

kup kuat, Gordama melesat ke belakang meng-

hindari sambaran senjata lawan.

Serangan Sancasona yang dilancarkan me


lalui jurus 'Pukulan Lelang Nyawa' memang ber-

hasil dihindari Gordama, namun Iblis Tongkat 

Merah bukanlah orang yang mudah dipecundangi 

lawan. Sancasona dengan kecepatan gerak yang 

mengagumkan kembali melancarkan serangan 

susulan, tetap menggunakan jurus 'Pukulan Le-

lang Nyawa'.

"Hiyaaa...!"

"Heh?!" 

Melihat Iblis Tongkat Merah melesat bagai 

kilat, Gordama terkejut juga. Namun tokoh itu tak 

gugup, meski kesempatannya menghindari seran-

gan itu sangat sedikit. Maka ketika sambaran 

tongkat berkeluk sembilan Sancasona datang, se-

gera disambutnya dengan kibasan senjatanya 

yang berupa Pecut Ekor Kuda. 

"Hih!" 

Plark!

Bunyi cukup kuat seperti dua logam keras 

beradu seketika terdengar. Cukup mengagumkan 

senjata yang dimiliki orang tertua dari Dua Datuk 

Jubah Hitam. Senjata itu terdiri dari bulu-bulu 

halus dibentuk persis buntut kuda yang dapat

menegang bagai lempengan logam. Itu berkat te-

naga dalam Gordama yang hampir mencapai 

tingkat sempurna. Akibat yang ditimbulkan dari 

benturan keras itu adalah terhuyungnya tubuh 

Sancasona dan Gordama beberapa langkah.

"Hebat juga kau, Kakek Tua Renta!" pujian 

yang mirip hardikan itu keluar dari mulut Iblis 

Tongkat Merah. "Namun kusangsikan apakah kau 

mampu membendung seranganku berikutnya.


'"Tongkat Pemecah Gelombang'!" lanjut 

Sancasona seraya menggeser kakinya dua lang-

kah ke samping kanan dan satu langkah mundur. 

Tubuhnya dalam kedudukan kuda-kuda rendah. 

Sementara tongkat merah miliknya rebah di ta-

nah dengan bagian ujung terarah ke belakang.

Melihat Iblis Tongkat Merah merubah ju-

rusnya, orang tertua dari Dua Datuk Jubah Hi-

tam pun segera melakukan gerakan yang menga-

wali pembukaan jurus 'Cemeti Maut'.

"Akan kutimpali jurus murahanmu dengan 

jurus 'Cemeti Maut' milikku, Iblis Kurap!" ledek 

Gordama lantang.

Merah wajah Sancasona dan terasa begitu 

panas telinganya. Maka seketika itu juga dia me-

lesat setelah kedua kakinya diangkat bersamaan 

dan dibanting menghentak kuat-kuat.

"Heaaa...!" 

Wrrr...!

Angin yang menjelma dari sambaran tong-

kat Iblis Tongkat Merah angin topan yang mampu 

menumbangkan sebatang pohon. Pakaian Sanca-

sona berkibar. Demikian pula jubah hitam Gor-

dama.

Ctar!

Gordama segera mengebutkan senjatanya 

dalam jurus 'Cemeti Maut' untuk menandingi pu-

saran angin yang keluar akibat hentakan tangan 

Sancasona.

"Haaat!"

Wukkk! Wukkk!

"Uts!"



Ctar!

Sancasona dan Gordama melancarkan se-

rangan saling susul-menyusul. Tongkat merah 

berkeluk sembilan yang selalu berkelebat mence-

car batok kepala lawan berhasil dielakkan Gor-

dama. Begitu juga senjata Dua Datuk Jubah Hi-

tam yang mencecar ulu hati dan tenggorokan la-

wan, selalu saja membentur tempat kosong.

Dalam adu ketangkasan bermain senjata 

dan kecepatan gerak, nampaknya dua tokoh go-

longan hitam itu seimbang. Salah satu di antara 

mereka akan binasa jika sedikit saja lengah.

"Hiaaa...!" 

Wukkk! 

Blagkh! 

"Ugkh!"

Tubuh Gordama terhuyung empat langkah 

ketika gerak tipu yang dilancarkan Sancasona 

berhasil. Sesaat Gordama mengira Sancasona 

akan membabatkan tongkatnya ke kepala. Namun 

di tengah serangannya, Iblis Tongkat Merah me-

rubah dengan menarik pulang senjatanya dan 

melancarkan tendangan lurus ke dada Dua Datuk 

Jubah Hitam.

"Uhugkh!"

Gordama kembali terbatuk. Rasa sesak 

mendera dadanya. Darah setetes demi setetes 

mengalir dari sela bibirnya.

"Sudah kukatakan kau akan mampus di 

tanganku, Gordama! Terimalah ini!"

"Haaat...!"

Tubuh Sancasona kembali melayang men


gejar sosok Dua Datuk Jubah Hitam yang ter-

huyung. Kemudian dengan mengerahkan tenaga 

dalam, tongkat merahnya dikebutkan ke bahu 

Gordama.

Bluk!

"Aaa...!"

Pekik tertahan terdengar seiring olengnya 

tubuh Datuk Jubah Hitam ke kanan. Karena ba-

hu kirinya tersambar tongkat berkeluk sembilan 

Sancasona. Dan pada saat itulah, Iblis Tongkat 

Merah menghentakkan ujung tongkatnya kuat-

kuat ke arah ubun-ubun Gordama.

"Hih!"

Crokkk!

"Aaa...!"

***

Tubuh orang tertua dari Dua Datuk Jubah 

Hitam ambruk ke tanah. Beberapa saat Gordama 

meregang nyawa dengan menggelepar-gelepar ba-

gai kerbau disembelih. Dan saat berikutnya, nya-

wa Gordama tidak bersarang lagi di tubuhnya. 

Tubuh Dua Datuk Jubah Hitam berubah kaku 

dan berangsur-angsur dingin.

"Jangan terlalu banyak bermain-main, Ka-

kang. Habisi secepatnya!" tukas Sancasona ketika 

melihat Iblis Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Bi-

ru belum juga merobohkan Landura, orang kedua 

dari Dua Datuk Jubah Hitam.

"Ilmunya hebat!" jawab Parada. "Tapi jan-

gan khawatir, Kakang berdua akan menghabisi


hidupnya sekarang juga!" 

"Hiaaa...!" 

"Heyaaa...!"

Tubuh Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat 

Merah bergerak cepat. Kali ini serangan berge-

lombang yang dilakukan mereka menggunakan 

jurus 'Pukulan Lelang Nyawa'.

Iblis Tongkat Biru berkelebat dengan men-

gayunkan senjatanya ke bagian atas tubuh Lan-

dura. Sedangkan Iblis Tongkat Hitam menyerang 

bagian bawah, yakni selangkangan lawan.

Menghadapi serangan dari dua arah kema-

tian. Landura merasa sedikit gentar. Kedudukan-

nya seperti telur di ujung tanduk, apalagi dengan 

kematian Gordama. Maka untuk menghadapi se-

rangan kilat itu....

Wukkk!

"Uts!"

Landura merundukkan kepala dengan ce-

pat untuk menghindari serangan Iblis Tongkat Bi-

ru. Tapi tidak demikian ketika serangan susulan 

Iblis Tongkat Hitam datang.

"Haaat...!"

Wukkk!

Prats!

Ujung cemeti Landura berhasil melibat 

tongkat hitam berkeluk sembilan. Namun siapa

sangka itulah yang diinginkan dua orang lawan-

nya. Maka ketika saling tarik-menarik terjadi, Pa-

rada melesat dengan tendangan lurus ke depan 

Landura.

"Hiaaa...!"


Blugkh!" 

"Akh!"

Tubuh tua Landura terpental deras terkena 

terjangan kuat pada bagian dadanya. Darah ber-

muncratan dari mulut orang termuda Dua Datuk 

Jubah Hitam.

Tidak hanya itu penderitaan yang dialami 

Landura. Saat dirinya ambruk dan terkulai di ta-

nah, Iblis Tongkat Hitam berkelebat ke arahnya 

dengan tongkat terayun ke kepala.

"Mampus kau!" teriak Sandala geram.

Crokkk!

Darah muncrat dari kepala Landura yang 

tertembus ujung tongkat Iblis Tongkat Hitam. 

Orang termuda dari Dua Datuk Jubah Hitam itu 

langsung jadi mayat. 

"Hhh...?!" 

Sandala menarik napas berat menyaksikan 

kematian Landura. Kemudian dihampirinya San-

casona yang telah lebih dulu menewaskan Gor-

dama.

"Kenapa kalian begitu lambat menjatuhkan 

Landura?" sesal Iblis Tongkat Merah.

"Tadinya aku menganggap remeh Landura, 

Sancasona. Tapi kemudian aku jadi tahu dia ti-

dak bisa diajak bermain-main. Landura ternyata 

cukup tangguh," kilah Iblis Tongkat Biru.

"Ayo! Sekarang kita manfaatkan tiga ce-

cunguk itu untuk menunjukkan tempat penyim-

panan Lempengan Teratai Emas," ajak Sancaaso-

na seraya melangkah menuju Nyi Randa, Harum 

Seroja, dan Anugda. Kemudian Tiga Iblis Sakti


membebaskan ketiganya dari pengaruh ilmu 

'Pembungkus Gerak'.

"Ah...!"

"Ah...!" 

"Uh...!"

Seperti orang terjaga dari mimpi Nyi Randa, 

Harum Seroja, dan Anugda menyadari keadaan 

dirinya. Tatapan mata ketiganya langsung mem-

bentur mayat-mayat yang bergeletakan di sana-

sini.

"Ayaaah...!" pekik Harum Seroja ketika me-

nyaksikan tubuh Ki Bajang Genta tergeletak den-

gan kepala bolong.


LIMA



Angin yang berhembus semilir mengantar-

kan hawa segar membelai kulit. Pagi ini, matahari 

belum begitu kuat memancarkan sinarnya. Desa 

Barakrapi yang begitu tenang memperlihatkan 

keindahan melalui hamparan sawah dan pohon-

pohon nyiur yang melambai-lambai tertiup angin.

Seorang lelaki muda berusia dua puluh 

empat tahun nampak termenung di pendopo ru-

mahnya yang bagus dan terawat rapi. Mata lelaki 

tampan berpakaian putih itu begitu hampa mena-

tap pemandangan indah di depannya. Dia adalah 

Yudistira. Pimpinan Perguruan Pedang Kumala 

itu baru saja mengetahui perihal runtuhnya Per-

guruan Kepodang Emas oleh Tiga Iblis Sakti yang


kini menawan Harum Seroja kekasihnya, Nyi 

Randa, dan Anugda. Berita itu diterima Yudistira 

dari anak buahnya, yang memang ditugasi men-

gawasi Desa Walang Teter untuk mendapat kete-

rangan akan desa yang semula begitu aman itu.

"Ahhh...!"

Yudistira menarik napas panjang. Pemuda 

itu bangkit dari duduknya dan berjalan menyusu-

ri halaman rumahnya yang cukup luas. Yudistira 

tidak menyangka Desa Walang Teter akan keda-

tangan tamu bejat yang memiliki kepandaian 

tinggi. Tiga Iblis Sakti memang sangat disegani di 

kalangan rimba persilatan, baik oleh kaum sego-

longan maupun golongan putih.

Berdasarkan cerita yang didapatnya, keda-

tangan Tiga Iblis Sakti itu untuk meminta Lem-

pengan Teratai Emas dari tangan Ki Bajang Gen-

ta. Namun kejadiannya membuat nyawa Ketua 

Perguruan Kepodang Emas dan keutuhan pergu-

ruan itu tidak dapat dipertahankan.

Bagi Yudistira sendiri, mendatangi Tiga Ib-

lis Sakti untuk membebaskan kekasihnya, Nyi 

Randa, dan Anugda adalah perbuatan nekat yang 

hanya akan menyerahkan nyawa sia-sia saja. Yu-

distira merasa dirinya dan seluruh muridnya tak 

akan mampu menandingi kehebatan Tiga Iblis 

Sakti.

Hanya ada satu orang tokoh muda golon-

gan putih yang mampu mengimbangi Tiga Iblis 

Sakti. Menurut Yudistira orang tersebut adalah 

Raja Petir. Tapi untuk meminta bantuan pada Ra-

ja Petir bukanlah hal yang mudah. Raja Petir seo


rang pengembara yang tidak mempunyai tempat 

tinggal tetap. Kolong jagad adalah tempatnya. Ja-

di cukup menyulitkan jika seseorang ingin berte-

mu dengannya, kecuali tanpa sengaja.

"Apakah aku harus menyelusup ke sana 

dengan menyamar?" batin Yudistira mencari jalan 

keluar yang terbaik. "Dengan begitu aku akan bi-

sa mendekati Harum Seroja, Nyi Randa, dan 

Anugda. Lalu kusarankan agar mereka memberi

tahu letak penyimpanan Lempengan Teratai Emas 

demi keselamatan? Ahhh....'" kembali Yudistira 

menarik napas dalam-dalam. Kepalanya terasa 

sangat penat.

***

Pagi itu bertepatan dengan sinar matahari 

yang menjarah bumi, sesosok tubuh berpakaian 

putih berlari cepat. Cukup cepat juga lari sosok 

berpakaian putih berwajah buruk itu. Wajahnya 

dipenuhi bekas luka terbakar. Dari cara sosok itu 

berlari tampaknya dia seorang anggota persilatan. 

Sosok berpakaian putih yang buruk rupa itu te-

rus berlari seolah ada yang mengejarnya. Tak te-

rasa dia sudah begitu jauh meninggalkan desa 

asalnya, Desa Barakrapi.

Kini di depan mata lelaki buruk rupa itu 

membentang sebuah mulut perkampungan yang 

bernama Desa Galarasati. Desa itu berada di an-

tara Desa Barakrapi dan desa tempat Perguruan 

Kepodang Emas berada. Lelaki berpakaian putih 

itu memasuki mulut Desa Galarasati. Namun la


rinya telah ditukar dengan langkah yang panjang-

panjang.

"Hiaaa...!"

Trang!

"Aaa...!"

Lelaki buruk rupa itu sesaat menghentikan 

jalannya ketika telinganya sayup-sayup menden-

gar suara dentang senjata dan jerit kematian.

"Heh?!"

Lelaki berpakaian putih itu terkejut ketika 

kembali mendengar pekik kesakitan. Sesungguh-

nya tak ada niat di hatinya untuk mengetahui 

siapa yang tengah berkelahi, tapi dia memang ha-

rus melewati jalan tempat jeritan itu berasal.

"Hhh...!"

Sambil menarik napas berat, lelaki buruk 

rupa itu melanjutkan perjalanannya. Langkahnya 

tampak dipercepat.

"Hiaaa...!"

Brettt, brettt...!

"Aaa...!"

"Akh...!"

Tercengang lelaki buruk rupa itu menyak-

sikan pembantaian yang dilakukan sekelompok 

lelaki berpakaian hitam terhadap orang-orang 

yang diduganya penduduk Desa Galarasati. Di 

antara lelaki berpakaian hitam tergeletak dua le-

laki dengan luka parah pada perutnya. Lelaki bu-

ruk rupa yang semula tidak berniat mencampuri 

urusan itu tergetar juga hatinya. Perbuatan ter-

kutuk itu mau tak mau harus dicegahnya.

"Biadab!" maki lelaki berpakaian putih itu.


"Hiaaat...!" 

"Hentikaaan...!" 

Seorang lelaki berpakaian hitam yang hen-

dak membabatkan senjatanya ke tubuh pendu-

duk Desa Galarasati terpaksa mengurungkan 

niatnya ketika mendengar bentakan cukup keras. 

Lelaki berpakaian hitam itu segera menoleh ke 

arah bentakan dengan wajah garang tak terkira-

kan. Sementara matanya melotot hampir keluar.

"Gembel busuk!" maki lelaki itu ketika ta-

tapan matanya membentur wajah buruk lelaki 

berpakaian putih. "Lancang sekali kau mencam-

puri urusan kami, Gembel!" lanjut lelaki berpa-

kaian hitam yang rupanya senang merawat ku-

mis. Kumisnya begitu lebat hingga lubang hi-

dungnya hampir tak terlihat 

"Maaf. Aku bukan gembel seperti yang ka-

lian perkirakan. Kalianlah yang berkelakuan bu-

suk!" balas lelaki berpakaian putih merasa ter-

singgung.

Lelaki berpakaian hitam yang tengah mem-

bantai penduduk segera mengepung lelaki berpa-

kaian putih.

"Rupanya kau tidak tahu dengan siapa kau 

berhadapan sekarang ini, hah?!" tukas lelaki ber-

kumis tebal dengan suara ditekan. Tatapan mata 

lelaki berpakaian hitam terkesan begitu mere-

mehkan.

"Aku tahu dengan siapa sekarang ini ber-

hadapan!" kilah lelaki buruk rupa itu lantang dan 

mencerminkan ketenangan. "Bukankah kalian 

yang berjuluk Pengecut-pengecut Tak Tahu Ma


lu?"

"Kurang ajar! Kau benar-benar ingin cari 

mampus!" maki lelaki berkumis lebat itu berang. 

"Akan kulumat tubuhmu, Bangsat!"

"Jangan takabur, Kisanak!" timpal lelaki 

buruk rupa. "Pada penduduk yang lemah kau bi-

sa berkata seperti itu, tapi padaku? Harap kau 

cabut ucapanmu tadi, atau keadaan ini malah 

berbalik?"

"Setan! Cincang gembel sombong itu!" pe-

rintah lelaki berkumis lebat "Kasih tahu padanya 

kalau Gerombolan Musang Hitam pantang dire-

mehkan!"

Tiga lelaki berpakaian hitam meluruk ke 

arah lelaki buruk rupa. Senjata mereka yang be-

rupa parang teracung di udara.

"Hiaaat...!"

"Heaaa...!"

"Hyaaa..!"

Lelaki berpakaian putih tenang saja meng-

hadapi gempuran tiga lelaki berpakaian hitam. 

Dan ketika sambaran parang lawan mendekat, 

dengan gerak cukup cepat dan lincah dia berhasil 

mementahkan serangan pertama hanya dengan 

berkelit ke kanan, lalu melompat mundur.

"Kurang ajar!" maki salah seorang penye-

rangnya.

"Mampus kau sekarang! Hiyaaa...!" 

Bettt! Bettt...! 

"Uts!" 

Kembali lelaki buruk rupa memiringkan 

tubuhnya menghindari sambaran senjata yang


mengincar dada. Begitu sederhana gerakan lelaki 

itu. Bahkan sesaat setelah kelebatan parang itu 

lewat di depan dadanya, lelaki buruk rupa mela-

kukan gerakan yang sama sekali tidak diduga la-

wan.

"Rasakan ini. Hih!"

Plakkk!

"Aaa...!"

Sebuah sodokan siku berhasil disarangkan 

ke wajah penyerangnya. Lelaki berpakaian hitam 

itu langsung terhuyung empat langkah ke bela-

kang. Tangannya memegangi wajah yang terkena 

sodokan.

Lelaki berkumis lebat yang menjadi Pimpi-

nan Gerombolan Musang Hitam kelihatan terkejut 

menyaksikan ketiga anak buahnya tidak mampu 

meringkus lelaki buruk rupa. Maka dengan geram 

dia menyuruh anak buahnya yang lain membantu 

penyerangan.

"Kalian semua! Lumat tubuh jelek itu!" te-

riak lelaki berkumis lebat.

Satu, dua, tiga..., sepuluh lelaki berpa-

kaian hitam yang sejak tadi hanya menonton ber-

lompatan dengan senjata terhunus. Lelaki berwa-

jah buruk bukannya tidak menduga hal seperti 

itu akan terjadi. Maka tanpa berpikir lama dica-

butnya senjata yang tergantung di punggung.

Srattt!

Sinar berkilauan terpancar dari batang pe-

dang lelaki buruk ketika tertimpa sinar matahari.

"Ayo! Majulah kalian semua. Pedangku 

akan mengirim nyawa kalian lebih cepat!" tantang


lelaki buruk rupa geram.

Belasan anak buah Gerombolan Musang 

Hitam bukannya ngeri melihat lawan menghunus 

pedang yang begitu tajam, malah sebaliknya. Me-

reka ingin membuktikan bahwa mereka bisa me-

ringkus seorang gembel. Seketika itu pula bebe-

rapa pengepung merangsek maju dengan teria-

kan-teriakan yang memekakkan telinga.

"Hiyaaa...!"

"Heaaa...!"

Lelaki buruk rupa pun demikian. Dia tidak 

ingin ditundukkan anak buah Gerombolan Mu-

sang Hitam. Maka lelaki itu bergerak maju me-

nyongsong serangan lawan.

"Haaat...!"

Bettt!

Trang, trang!

Brebettt...! Bret!

Dua lelaki berpakaian hitam langsung ter-

jungkal ke tanah. Ujung pedang lelaki berpakaian 

putih berkelebat cepat dan merobek perut dan 

dada lawan.

Kematian dua lelaki itu bukan membuat 

serangan mengendur. Lelaki yang masih bertahan 

dan mampu mengelakkan sambaran pedang lelaki 

buruk rupa berusaha terus menggempur dan 

mendesak.

"Hiaaat...!" 

"Uts!"

Sebuah serangan ganas yang melesat ke 

arah leher lelaki buruk rupa berhasil dielakkan 

dengan merundukkan kepala. Namun lelaki ber



pakaian putih itu terkejut ketika serangan cepat 

lewat tendangan lurus ke arah jidat dilakukan le-

laki berpakaian hitam yang lain.

"Heh?! Eits!"

Tap!

Dengan kecepatan sambaran tangan yang 

luar biasa, lelaki berpakaian putih berambut pan-

jang itu mencekal pergelangan kaki lawan.

"Krk!"

"Akh!"

Pekik kesakitan terlontar ketika pergelan-

gan kaki anak buah Gerombolan Musang Hitam 

dipelintir lelaki buruk rupa. Dan dengan cepat 

mengirimkan totokan keras menggunakan lutut-

nya ke dada lawan yang naas itu.

"Hih!"

Duegkh!"

"Aaa...!"

Kembali pekik kesakitan terdengar kali ini 

diiringi dengan mentalnya sosok berpakaian hi-

tam yang terhajar sodokan lawan. Lelaki itu me-

rasa dadanya sesak dan tulangnya seperti mele-

sak ke dalam. Darah merembes dari sudut bibir-

nya.

Seluruh anak buah Gerombolan Musang 

Hitam terpaku di tempatnya menyaksikan seo-

rang temannya kembali terkulai di tanah. Mereka 

gentar dengan kepandaian ilmu silat lelaki buruk 

rupa. 

Pemandangan itu disaksikan penduduk 

Desa Galarasati dengan sedikit lega. Para pendu-

duk yang selama ini dirongrong Gerombolan Mu


sang Hitam berharap lelaki buruk rupa dapat 

menaklukkan lawan-lawannya. Dengan begitu tak 

ada perampasan harta lagi seperti yang dialami 

selama ini.

Namun perasaan Pimpinan Gerombolan 

Musang Hitam jauh berbeda dengan keinginan 

penduduk. Lelaki berkumis tebal itu geram akan

sikap anak buahnya yang tiba-tiba menjadi pen-

gecut

"Kenapa kalian bengong! Seraaang...!"

Teriakan yang cukup lantang itu membuat 

anak buahnya tersentak. Saat itu juga mereka 

meluruk ke arah lelaki buruk rupa.

"Hiaaa...!"

Pertarungan kembali berlanjut. Lima lelaki 

berpakaian hitam berlompatan. Senjata mereka 

ditebaskan, ditusuk, dan bahkan dilempar ke 

arah tubuh lelaki berpakaian putih.

Trang! Trang! Trang!

"Aaa...!"

Pijar bunga api tercipta saat bertemunya 

dua logam keras dengan kekuatan tenaga cukup 

tinggi. Ditingkahi teriakan kesakitan orang-orang 

yang kalah dalam adu tenaga.

"Minggir semua!"

Wrrr...!

Lelaki berkumis tebal, Pimpinan Gerombo-

lan Musang Hitam, tiba-tiba berteriak seraya 

menghentakkan tangan setelah menyelinap ke ba-

lik pakaiannya.

Delapan orang berpakaian hitam yang 

mendengar perintah itu tampaknya mengerti. Se


cepatnya mereka berlompatan ke samping kiri 

dan kanan. Membiarkan senjata rahasia pimpi-

nannya meluruk deras ke arah lelaki buruk rupa.

"Heh?!"

Lelaki buruk rupa terkejut menyaksikan 

benda-benda pipih meluruk ke arahnya. Padahal 

kedudukannya saat itu sangat sulit untuk meng-

hindar. Maka sebisanya dia memutar senjata.

"Hih!"

Wukkk! Wukkk! 

Trang, trang, trang...! 

Crabs! 

"Aaa...!"

Lelaki buruk rupa terpekik keras. Salah sa-

tu senjata rahasia lelaki berkumis tebal menghu-

jam dada sebelah kiri. Tubuhnya terhuyung ke 

belakang tiga langkah. Sementara tangannya 

menggenggam bagian yang tiba-tiba terasa sangat 

panas.

"Ah!"

Bruk!

Lelaki berpakaian putih yang wajahnya di-

penuhi bekas luka bakar itu ambruk ke tanah. 

Dari mulutnya keluar erangan kesakitan. Kenya-

taan itu mengejutkan penduduk yang menyaksi-

kan jalannya pertarungan. Pupus sudah harapan 

mereka yang menginginkan kebebasan dan keten-

teraman hidup. Sedangkan Pimpinan Gerombolan 

Musang Hitam terlihat begitu bangga menyaksi-

kan lawan roboh.

"Ha ha ha.... Sudah kukatakan jangan be-

rani bermain-main dengan Gerombolan Musang


Hitam. Akibatnya? Ha ha ha.... Detik ini juga 

nyawamu akan kukirim ke neraka, Gembel Bu-

suk!" ucap lelaki berkumis tebal.

"Biar aku yang menebas batang lehernya, 

kakang Waraka," pinta seorang lelaki berpakaian 

hitam yang bertubuh tinggi tegap.

Lelaki berkumis tebal yang ternyata ber-

nama Waraka tersenyum mendengar permintaan 

anak buahnya.

"Biar aku saja yang melakukannya, Darya," 

larang Waraka. "Aku ingin mengetahui apakah 

leher gembel busuk itu cukup kuat melawan keta-

jaman parangku," Lanjut Waraka.

Srat!

Waraka mengeluarkan senjata yang terselip 

di pinggangnya.

"Bersiaplah kau melayat ke alam kubur, 

Gembel Busuk!" bentak Waraka. Kakinya melang-

kah perlahan.

"Hiyaaa...!" Waraka memekik keras seraya 

mengacungkan senjatanya ke udara. 

Plak! 

"Akh!"

Kejadian yang begitu cepat dan menge-

jutkan dialami Waraka. Sesaat lagi senjatanya 

akan menghantam batang leher lelaki buruk ru-

pa, sesosok bayangan kurung keemasan melesat 

cepat menghantam pergelangan tangannya. Pim-

pinan Gerombolan Musang Hitam itu terhuyung 

empat langkah ke belakang. Sedang parang yang 

tergenggam di tangannya terpental.

Penduduk Desa Galarasati yang menyaksi


kan kejadian itu tampak terkejut. Namun di balik 

keterkejutan mereka terangkat kembali harapan-

nya untuk terbebas dari rongrongan Gerombolan 

Musang Hitam. 

"Bangsat!" maki Waraka setelah mampu 

berdiri. Sebelah tangannya masih memegangi 

tangan kanannya yang linu bukan main.

Sosok muda berpakaian kuning keemasan 

yang telah menyelamatkan lelaki buruk rupa 

hanya tersenyum membalas makian Ketua Ge-

rombolan Musang Hitam. 

"Maaf. Perbuatanku tadi semata karena ti-

dak tega menyaksikan kepala Kisanak ini ter-

penggal," ucap lelaki berpakaian kuning keema-

san yang tidak lain Jaka Sembada.

"Kakang...," seorang gadis cantik berpa-

kaian jingga yang menyertai Jaka bergerak men-

dekati kekasihnya.

"Kakang, orang itu tampaknya terkena ra-

cun. Biar aku yang menghadapi mereka. Sebaik-

nya Kakang menolongnya," pinta gadis cantik 

yang bernama Mayang Sutera. 

Jaka menoleh menatap wajah Mayang Su-

tera yang kelihatan cemas.

"Hati-hati," sambut Jaka.

Langkah Jaka kemudian tertuju pada lelaki 

buruk rupa yang tengah mengerang-ngerang me-

nahan sakit. Lempengan logam pipih berwarna hi-

tam tampak membenam di dadanya.

"Tahan sebentar, Kisanak. Akan kucabut 

logam beracun ini," ucap Jaka seraya membung-

kukkan tubuh.



Cab!

"Aaa...!"

Pekik kesakitan yang cukup keras terden-

gar ketika tangan Jaka menghentak mengelua-

rkan logam pipih yang membenam di dada lelaki 

buruk rupa.

"Daya tahan tubuhmu hebat sekali, Kisa-

nak. Kalau tidak, nyawamu mungkin sudah me-

layang karena racun ganas ini," ucap Jaka me-

mandangi lempengan logam pipih di tangannya.

'Terima kasih atas pertolonganmu," ucap 

lelaki buruk rupa dengan tersendat. Rasa sakit di 

dadanya sedikit pun belum hilang.

"Sebaiknya kau minum pil ini. Mudah-mu-

dahan racun ganas itu segera keluar dari tubuh-

mu,"

Jaka menyodorkan pil berwarna merah da-

ri balik pakaiannya.

Lelaki buruk rupa tentu saja tidak menyia-

nyiakan pertolongan itu. Segera diraihnya pil 

pemberian Raja Petir, dan langsung ditelannya.

Glekkk...!

Sesaat setelah pil itu masuk ke mulut dan 

melewati tenggorokannya, lelaki buruk rupa me-

rasakan khasiat obat Jaka. Hawa sejuk terasa 

melingkar-lingkar di dalam perutnya. Kemudian 

merambat perlahan ke dalam, dan berubah men-

jadi hawa dingin seperti es. Sesaat kemudian, le-

laki buruk rupa merasakan hawa panas menyen-

gat dadanya. Kemudian.....

"Hoekkkh...!"

Kepala lelaki berpakaian putih itu tertun


duk ke tanah. Darah kehitaman tumpah dari mu-

lutnya.

"Hoekh...!"

Kembali darah muncrat dari mulut lelaki 

buruk rupa. Muntahan darah itu tidak sepekat 

muntahan pertama. Tubuh lelaki itu tiba-tiba 

menggigil seperti orang terserang demam hebat 

Jaka segera mengangkat tubuhnya dan membawa 

ke rumah penduduk yang terdekat

"Tolong berikan tempat istirahat untuk 

orang ini," pinta Raja Petir pada seorang pendu-

duk yang berusia lanjut

"Silakan-silakan!" sambut lelaki tua itu. "Di 

dalam saja," lanjutnya melangkah mendahului 

Jaka.

Sebuah rumah yang terawat rapi dimasuki 

Jaka. Pada sebuah kamar yang terdapat balai-

balai bertikar pandan, tubuh lelaki buruk rupa 

dibaringkan.

"Maaf. Aku tidak bisa menungguinya. Ku-

harap Kisanak sudi menjaganya dan memberikan 

segelas air hangat. Aku akan membantu kawanku 

menyingkirkan keparat-keparat itu," ucap Jaka 

ramah.

"Silakan, Tuan. Biar saya yang mengurus 

Kisanak ini," jawab lelaki berusia empat puluh 

tahun itu.

Mendengar jawaban lelaki tua itu, Jaka se-

gera melesat keluar. Sementara pertarungan Ge-

rombolan Musang Hitam dan Mayang Sutera ber-

langsung seru. Mayang Sutera belum mengelua-

rkan jurus-jurus andalannya untuk menghalau


serangan beruntun Gerombolan Musang Hitam.

"Mampus kau, Gadis Liar!" maki seorang 

lelaki berpakaian hitam seraya membabatkan pa-

rangnya ke arah buah dada gadis cantik berpa-

kaian jingga itu.

Namun Mayang Sutera bukanlah tandin-

gan mereka. Hanya dengan menarik badannya 

sambaran senjata lawan mampu digagalkan. 

Bahkan tangan kirinya menyampok cepat. 

Mayang Sutera mengirimkan serangan balasan.

"Awas, Kisanak!"

Plakkk! 

"Akh!"

Lawan Mayang Sutera langsung terjungkal. 

Sambaran tangan gadis cantik itu menghantam 

keningnya. Lelaki itu roboh dengan raungan yang 

tak henti-henti.

Mayang Sutera tidak sempat memperhati-

kannya. Saat itu seorang lawannya tengah berke-

lebat dengan senjata teracung ke arah kepala.

Plakkk!

Dugkh! 

"Aaa...!"

Penyerang gadis itu ambruk ketika lelaki 

berpakaian kuning keemasan melesat menyong-

songnya. Dengan kecepatan tinggi dipapakinya 

pergelangan tangan lelaki berpakaian hitam. Lalu 

memberikan pukulan menyilang dengan pung-

gung tangan ke dada lawan.

Brukkk! 

Lelaki berpakaian hitam yang sial itu jatuh 

berdebuk di tanah. Seiring dengan jatuhnya lelaki


itu, lelaki-lelaki berpakaian hitam yang menama-

kan dirinya Gerombolan Musang Hitam menghen-

tikan serangan mereka. Wajah anggota Gerombo-

lan Musang Hitam menunjukkan rasa ngeri.

"Kenapa kalian diam seperti sapi ompong! 

Ayo, serang lagi aku!" ucap Mayang Sutera ga-

rang. Mata gadis cantik yang berjuluk Dewi 

Payung Emas menatap wajah Waraka Pimpinan 

Gerombolan Musang Hitam.

Waraka tidak membalas ucapan Mayang 

Sutera. Tapi matanya berusaha menentang tata-

pan gadis cantik itu.

"Kali ini aku kalah, Perempuan Liar! Tapi 

tidak untuk nanti. Aku akan datang kepadamu 

dengan pasukanku yang lebih banyak dan kuat! 

Ingat itu!" ucap Waraka. Suaranya terdengar pe-

nuh bara dendam.

"Aku tunggu gerombolanmu yang hanya 

pantas menghadapi macan ompong!" balas 

Mayang Sutera.

"Huh!"

Waraka mendengus geram. "Ayo! Tinggal-

kan tempat ini!" perintah lelaki berkumis tebal itu 

pada anak buahnya.

"Hoppp!"

Tubuh Waraka melesat cepat ke arah uda-

ra. Diikuti anak buahnya di belakang. Jaka dan 

Mayang Sutera hanya menatap kepergian Gerom-

bolan Musang Hitam seraya menggeleng-

gelengkan kepala.


ENAM


Di salah satu kamar rumah penduduk De-

sa Galarasati, tepatnya di kamar Ki Anumerga, 

Jaka dan Mayang Sutera tengah berbincang-

bincang dengan lelaki buruk rupa yang sudah 

terbebas dari racun ganas Ketua Gerombolan Mu-

sang Hitam. Ki Anumerga nampak tengah mem-

perhatikan wajah sepasang pendekar muda itu 

dengan hati penuh kagum dan terima kasih.

Menurut Ki Anumerga, baru Jaka dan 

Mayang Sutera yang berhasil menghentikan sepak 

terjang Gerombolan Musang Hitam setelah berta-

hun-tahun mencengkeramkan kukunya dalam 

kehidupan penduduk Desa Galarasati.

"Maaf, Ki Anumerga," ucap Jaka seraya 

menatap lembut wajah lelaki berkumis tipis di 

hadapannya. "Kalau Ki Anumerga tidak kebera-

tan, di kamar ini kami minta izin untuk berbicara 

bertiga saja," lanjut Jaka hati-hati agar tidak in-

gin menyinggung perasaan Ki Anumerga.

"Silakan, Nak Jaka. Silakan!" sambut Ki 

Anumerga.

"Ah. Terima kasih, Ki. Kuharap Ki Anumer-

ga tidak tersinggung." Jaka merasa tidak enak.

Permintaan Jaka terdengar ganjil di telinga 

Mayang Sutera dan lelaki berpakaian putih. Na-

mun Mayang Sutera tidak ingin bertanya. Nanti 

pun dia akan tahu keanehan itu.

"Aku tidak apa-apa, Nak Jaka. Aku keluar. 

sekarang saja," ucap Ki Anumerga


Sepeninggal Ki Anumerga, Jaka segera me-

natap wajah lelaki berpakaian putih di hadapan-

nya.

"Aku melihat keanehan pada dirimu, Kisa-

nak. Tapi sebelum kau memperkenalkan nama-

mu, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Kau 

bersedia menjawab?" tanya Jaka.

"Tentu saja Raja Petir," ucap lelaki buruk 

rupa. Lelaki berpakaian putih itu tahu lelaki mu-

da yang telah menyelamatkan nyawanya adalah 

tokoh yang memang diharapkan dapat membe-

baskan Harum Seroja dan ibunya. Juga mence-

gah terjadinya penguasaan Goa Teratai oleh Tiga 

Iblis Sakti yang akan berakibat terjadinya pergo-

lakan di rimba persilatan. Lelaki buruk rupa 

mengenali Jaka sebagai Raja Petir. Ini terlihat dari 

ciri-ciri yang sering diucapkan tokoh-tokoh persi-

latan kenalannya, dan dari penduduk yang per-

nah menyaksikan sepak terjang Jaka.

Jaka menatap wajah lelaki buruk rupa 

dengan tajam. Lalu dari mulutnya mengalir per-

tanyaan yang sedikit pun tidak terpikirkan 

Mayang Sutera.

"Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Kenapa 

mengenakan topeng buruk itu?" tanya Jaka te-

nang.

Rasa kaget sesaat terlihat pada wajah lelaki

berpakaian putih. Tapi kemudian dia mampu 

menguasai perasaannya. Dengan lancar dijawab-

nya pertanyaan Jaka.

"Namaku Yudistira, Ketua Perguruan Pe-

dang Kumala," jawab lelaki buruk rupa yang ter


nyata Yudistira. Tangannya lalu melepas topeng 

karet tipis dari wajahnya. Sebuah penyamaran 

yang nyaris sempurna.

Setelah melepas topengnya, cerita Yudistira 

pun mengalir. Pemuda itu menceritakan tujuan 

penyamarannya, juga musibah yang menimpa 

Perguruan Kepodang Emas dari kekejaman Tiga 

Iblis Sakti yang hendak merebut Lempengan Tera-

tai Emas, sebuah benda berbentuk bunga teratai 

yang berfungsi sebagai alat pembuka pintu Goa 

Teratai. Diceritakan pula bahwa di Goa Teratai 

tersimpan ramuan keabadian berkhasiat menja-

dikan orang muda kembali dan tak akan pernah 

mati. Sebuah pedang pusaka yang bernama Pe-

dang Bemang Salju dan harta karun yang tak ter-

nilai harganya.

Mendengar cerita Yudistira, Jaka sempat 

tertawa dalam hati. "Ramuan keabadian?" batin 

Jaka. "Apa ada ciptaan manusia yang mampu 

mencegah kodrat yang telah digariskan Yang Ku-

asa? Mustahil! Tak ada orang tak akan mati. Ke-

matian adalah sesuatu yang sudah digariskan 

sang Pencinta Jagad Raya untuk manusia yang 

telah diberi kehidupan," lanjut suara hati Jaka.

"Kau percaya dengan ramuan keabadian 

itu, Yudis?" tanya Jaka ingin tahu tanggapan le-

laki berpakaian putih berwajah tampan itu. 

"Entah, Raja Petir. Yang kuyakini kematian 

adalah suatu keharusan bagi manusia," jawab 

Yudistira.

"Kau benar, Yudis. Tak ada manusia yang 

dapat mengelak dari kematian yang memang di


takdirkan sang Pencipta dunia," ulas Jaka.

Mayang Sutera mengangguk membenarkan 

ucapan kekasihnya.

"Raja Petir," panggil Yudistira.

"Jangan panggil aku dengan julukan itu, 

Yudis," pinta Jaka.

"Ah, maaf. Kuharap kau suka kalau aku 

panggil Jaka saja," timpal Yudistira. 

"Tentu saja tidak. Aku malah mengingin-

kan panggilan itu," putus Jaka. "Katakanlah apa 

yang ingin kau ucapkan."

Yudistira memandang wajah Jaka dan 

Mayang Sutera. "Sebenarnya suatu keberuntun-

gan besar aku bertemu dengan sepasang pende-

kar yang begitu digdaya. Aku bermaksud menga-

jak kalian membebaskan kekasihku Harum Sero-

ja, dan ibunya yang ditawan Tiga Iblis Sakti. Dan 

mencegah kepergian Tiga Iblis Sakti ke Goa Tera-

tai untuk mengambil isi goa itu," pinta Yudistira. 

"Kalau benda-benda yang berada di dalam Goa 

Teratai sampai dikuasai, malapetaka bagi kehidu-

pan orang-orang rimba persilatan, juga para pen-

duduk."

Jaka tidak segera menjawab. Tapi itu tidak 

berarti penolakan. Jaka merasa ini adalah seba-

gian dari tugasnya memberantas setiap bentuk 

keangkaramurkaan di jagad ini.

"Sepenuhnya aku akan membantumu, Yu-

dis. Namun jangan terlalu berharap banyak dari 

kami berdua. Kami adalah manusia yang memiliki 

keterbatasan dan kekurangan. Jadi kita sama-

sama berusaha dan berdoa," ucap Jaka bijaksa


na.

Yudistira terharu dengan ucapan pendekar 

muda yang digdaya itu, hingga tak terucap lagi 

kata-kata yang hendak disampaikannya.

"Ke mana kita harus berangkat sekarang, 

Kakang Yudis?" tanya Mayang kemudian.

Yudistira menatap wajah Mayang Sutera. 

"Kita ke Perguruan Kepodang Emas, Nini Mayang. 

Semoga belum terjadi apa-apa di sana," jawab 

Yudistira.

"Kalau begitu, kita berangkat sekarang saja 

Yudis. Jauhkah letak Perguruan Kepodang 

Emas?", tanya Jaka.

"Tidak, Jaka. Hanya membutuhkan waktu 

tidak lebih dari setengah hari perjalanan biasa," 

jawab Yudistira.

"Ayolah kita berangkat," putus Mayang Su-

tera.

"Ayolah!" sambut Yudistira.

Jaka, Mayang Sutera dan Yudistira mohon 

diri pada Ki Anumerga. Ketiganya lalu bergerak 

cepat menuju Desa Walang Teter.

***

Karena Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira 

menggunakan ilmu lari cepat menuju Desa Wa-

lang Teter, tidak heran perjalanan setengah hari 

bisa dipersingkat menjadi setengahnya. Di depan 

ketiganya kini terbentang mulut Desa Walang Te-

ter.

Dengan langkah tenang Jaka dan Mayang


Sutera memasuki Desa Walang Teter. Namun ke-

tenangan tidak terlihat pada langkah Yudistira. 

Ketua Perguruan Pedang Kumala itu kelihatan te-

gang.

"Kakang Yudistira!" teriak seseorang dari 

arah depan. Sosok itu adalah murid Perguruan 

Kepodang Emas yang masih tersisa. Lelaki itu 

berlari tergesa-gesa memburu Yudistira.

"Aku sudah tahu semuanya," ucap Yudisti-

ra mencoba menenangkan lelaki berpakaian biru 

di hadapannya.

"Tapi, Kakang...."

Yudistira tidak berusaha memotong kem-

bali ucapan lelaki berpakaian biru ketika mem-

perhatikan kecemasan di wajahnya semakin ken-

tara.

"Ceritakan apa yang telah diperbuat iblis-

iblis itu terhadap Harum Seroja dan Nyi Randa," 

pinta Yudistira.

"Nyi Randa sudah tiada," jelas murid Per-

guruan Kepodang Emas.

"Ah!" tersentak Yudistira mendengar pem-

beritahuan itu. "Bagaimana dengan Harum?" ta-

nyanya mengkhawatirkan gadis yang dicintainya.

"Dia..., dia...," lelaki berpakaian biru agak 

gugup saat ingin memberitahukan keadaan putri 

Ki Bajang Genta.

"Katakan cepat! Apa yang terjadi pa-

danya?!" pinta Yudistira. 

"Sabar, Yudis," relai Jaka melihat Yudistira 

begitu mendesak lelaki berpakaian biru.

"Hhh....!" murid Perguruan Kepodang Emas


itu menarik napas panjang. "Seroja dibawa lari ib-

lis-iblis laknat itu, Kakang," jelas lelaki berpa-

kaian biru setelah mampu menenangkan hatinya.

"Keparat!" maki Yudistira. 

"Mereka berlari ke arah utara, Kakang. Ku-

duga mereka sudah mendapatkan yang dicarinya 

dan menyandera Harum Seroja sebagai penunjuk 

jalan," sambung lelaki berpakaian biru.

"Sebenarnya tanpa menyandera Harum Se-

roja iblis-iblis laknat itu sudah dapat menemukan 

letak Goa Teratai. Pada Lempengan Teratai emas 

sudah ada petunjuk letak goa tersebut. Hhh...! 

Dasar Iblis Bejat!" rutuk Yudistira.

"Sudah lama iblis itu membawa lari Ha-

rum, Kisanak?" tanya Mayang Sutera tiba-tiba.

"Belum begitu lama, Nini," jawab murid 

Perguruan Kepodang Emas. 

"Kalau begitu, kita kejar mereka. Ke arah 

utarakan?" timpal Jaka memberi saran.

"Ayolah! Moga-moga kita dapat mengejar-

nya, dan Harum belum diperlakukan secara tidak 

wajar," sambut Yudistira cemas.

"Ayo cepat, Kakang. Jangan kita mem-

buang-buang waktu," ujar Mayang Sutera, lalu 

melesat meninggalkan Desa Walang Teter.

Yudistira segera menghentakkan kaki. Di-

ikuti gerakan Jaka yang begitu ringan dan sem-

purna dalam menggunakan ilmu lari cepatnya.

"Hup!"

"Hop!"

Tiga sosok tubuh melesat cepat meninggal-

kan lelaki berpakaian biru dengan menggunakan


ilmu lari cepat yang sudah mencapai taraf sem-

purna, terutama Jaka alias Raja Petir.

***

Jarak puluhan pal sudah ditempuh Jaka, 

Mayang Sutera, dan Yudistira. Tapi mereka belum 

menemukan tanda-tanda keberadaan Tiga Iblis 

Sakti yang telah melarikan putri tunggal Ki Ba-

jang Genta. 

"Hhh...!"

Terdengar tarikan napas kekecewaan di se-

la-sela lari Yudistira.

"Tenang, Yudis," ujar Jaka mencoba mene-

nangkan Yudistira. "Kita pasti bisa mengejar iblis-

iblis itu. Yakinlah!"

"Betul, Kakang Yudis," timpal Mayang Su-

tera. "Apalagi kalau kita tingkatkan kecepatan lari 

kita. Ayo, Kakang!"

Mayang Sutera si Dewi Payung Emas me-

nambah kecepatan larinya. Tubuhnya kini berada 

paling, depan. Yang dilakukan Mayang Sutera 

membuat Yudistira kagum. Tanpa banyak cakap, 

Yudistira menambah kecepatan larinya, diikuti 

Jaka.

"Itu mereka!" ucap Jaka setelah jarak pu-

luhan pal dilaluinya.

"Tenang, Yudis dan kau Mayang," ujar Ja-

ka mengingatkan. "Kita harus mengatur jarak 

agar tidak tahu keberadaan kita," lanjut Jaka.

"Langsung kita cegah saja keinginan mere-

ka, Jaka," usul Yudistira tak sabar.


"Tidak, Yudis. Kita harus mengikutinya 

sampai mereka menemui Goa Teratai. Aku juga 

ingin tahu Goa Teratai itu," larang Jaka.

"Terserah kaulah. Yang penting kita jangan 

sampai kehilangan jejak," ucap Yudistira dengan 

tatapan mata tak lepas dari tiga lelaki bertongkat 

yang tengah berlari sambil mencekal pergelangan 

tangan gadis berpakaian merah dadu. "Tentu saja 

tidak, Yudis," hibur Jaka.

Ketiga tokoh muda rimba persilatan golon-

gan putih itu kembali bergerak dengan menjaga 

jarak yang cukup jauh. Kecuali jika akan berke-

lok, maka mereka mempercepat larinya agar tidak 

kehilangan jejak.

Tapi baru tiga penanakan nasi Jaka, 

Mayang Sutera, dan Yudistira menguntit Tiga Iblis 

Sakti, mendadak ketiganya menghentikan lari 

mereka ketika mendengar suara tawa menggele-

gar sambung-menyambung.

"Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"

Jaka, Mayang Sutera juga Yudistira mera-

patkan diri ke sebatang pohon besar. Sepasang 

mata mereka memperhatikan keadaan yang akan 

terjadi.

Ketika suara tawa itu hilang, nampak ber-

kelebat bayangan kecoklatan menghadang lari Ti-

ga Iblis Sakti.

"Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"

"Dua Setan Muka Ular?!" teriak orang ter-

muda Tiga Iblis Sakti. "Mau apa kalian mengha


dang perjalananku?" tanya Iblis Tongkat Merah 

geram.

"Hmh...!"

Dua lelaki berpakaian coklat yang dipanggil 

Dua Setan Muka Ular menggeram bersamaan.

"Apa kau pikir cuma Tiga Iblis Sakti yang 

menginginkan Lempengan Teratai Emas?" tanya 

orang tertua Dua Setan Muka Ular. Lelaki berwa-

jah tirus mirip ular itu mencorongkan matanya ke 

wajah Sancasona. "Kami juga menginginkannya. 

Sudah lama sekali hal itu kami impikan. Seka-

ranglah kesempatan yang paling baik. Kudengar 

kau sudah memperoleh lempengan itu dengan 

membinasakan seluruh isi Perguruan Kepodang 

Emas," lanjut orang tertua Dua Setan Muka Ular.

"Kalau kau menginginkan lempengan itu, 

berarti kematianlah yang kalian cari!" sentak 

Sancasona keras.

"Jangan meremehkan Dua Setan Muka 

Ular, Iblis Gila!" balas orang kedua dari Dua Se-

tan Muka Ular berang.

Merah seluruh permukaan wajah Sancaso-

na ketika julukannya diganti dengan Iblis Gila.

"Kakang Parada! Sumbat mulut busuk itu!" 

ucap Sancasona keras. "Biar Kakang Sandala 

yang menjaga gadis itu."

Parada si Iblis Tongkat Biru segera melesat 

menghadapi orang kedua dari Dua Setan Muka 

Ular.

"Akan kubelah kepalamu dengan tongkat-

mu, Setan Dekil!" maid Parada. 

"Hiaaa...!"


Serbuan Parada ke arah orang kedua dari 

Dua Setan Muka Ular ternyata diikuti Sancasona. 

Lelaki muda berpakaian merah darah itu melesat 

cepat menuju orang pertama Dua Setan Muka 

Ular.

"Hiyaaa...!"


TUJUH



Pertarungan antara Dua Setan Muka Ular 

menghadapi Sancasona dan Parada berlangsung 

dalam tempo tinggi. Tampaknya mereka ingin per-

tarungan cepat selesai. Tak heran jika pertarun-

gan cepat itu tidak dapat disaksikan dengan mata 

biasa. Bayang biru, merah, dan hitam berlesatan

cepat. Teriakan dan bunyi senjata yang luput dari 

sasaran berbaur jadi satu.

Bagi Dua Setan Muka Ular mungkin inilah 

pertarungan yang paling dahsyat. Hanya dalam 

waktu singkat mereka berdua harus mengelua-

rkan jurus-jurus andalan. Itu dilakukan Dua Se-

tan Muka Ular agar tak menemui kekalahan da-

lam waktu singkat.

Begitu juga Sancasona dan Parada. Mereka 

tidak menyangka Dua Setan Muka Ular mampu 

mengimbangi jurus-jurus mereka yang terkenal 

dahsyat.

"Mampus kau, Setan!" teriak Sancasona se-

raya melayangkan tongkat ke arah kepala lawan.

Wukkk...!

Bunyi bergemuruh mengiringi datangnya


sambaran tongkat yang terangkum dalam jurus 

'Pukulan Lelang Nyawa'. Begitu dahsyat serangan 

Iblis Tongkat Merah. Namun yang lebih menga-

gumkan gaya mengelak yang dilakukan lawan.

"Uts!"

Dengan meliuk seperti seekor ular, tubuh 

orang pertama Dua Setan Muka Ular bergerak 

lincah menghindari tebasan tongkat merah San-

casona. Liukan gemulai itu dibarengi dengan ge-

rakan tangan menotol tanah. Kemudian melompat 

ke atas dan berputaran dua kali.

Jlig!

Tubuh orang pertama yang beralis kemera-

han itu mendarat ringan di tanah. Sementara ma-

tanya menatap Sancasona dengan tatapan mele-

ceh.

"Tak semudah yang kau inginkan untuk 

menjatuhkan Dua Setan Muka Ular, Iblis Dungu!" 

ejek lelaki beralis kemerahan memanaskan hati 

Iblis Tongkat Merah.

"Kurejam mulut busukmu, Setan Buduk!" 

balas Sancasona memaki.

"Brut!"

Bukan main jengkelnya Sancasona me-

nyaksikan kelakuan orang tertua Dua Setan Mu-

ka Ular.

Lelaki beralis kemerahan itu tiba-tiba 

membalikkan tubuh dan menyorongkan pantat-

nya hingga menimbulkan bunyi yang keluar dari 

lubang dubur. Dia kentut.

"Setan gila!" maki Sancasona geram. 

"Hiyaaa...!"


Tanpa membuang waktu Iblis Tongkat Me-

rah kembali melesat. Tongkat merahnya teracung 

ke udara. 

Wukkk!

"Heh?!"

Terkejut lelaki beralis merah mendapatkan 

serangan Sancasona. Serangan itu lain dari se-

rangan sebelumnya. Serangan Sancasona terang-

kum dalam jurus 'Tongkat Pemecah Gelombang'. 

Menyebarkan hawa dingin menyengat yang dira-

sakan orang tertua dari Dua Setan Muka Ular se-

perti membungkus kulitnya.

"Iblis!" maki lelaki beralis kemerahan.

Srat!

Wukkk! Wukkk! Wukkk...!

Orang pertama dari Dua Setan Muka Ular 

membabatkan pedang ularnya untuk mengusir 

hawa dingin. Pekerjaan yang dilakukannya ter-

nyata tidak sia-sia. Hawa dingin itu dapat diusir 

dari tubuhnya. Namun pada saat itu Sancasona 

kembali melancarkan serangan.

"Hiyaaa...!"

Wukkk!

Trang!

"Aaakh!"

Percikan bunga api tercipta ketika bentu-

ran sebilah pedang dan sebatang tongkat terjadi. 

Pekik kesakitan pun menyemaraki suara dentang 

senjata. Dua sosok tubuh yang mengadu kekua-

tan tenaga dalam itu tergempur mundur.

Setan Muka Ular yang menggunakan pe-

dang ular tergempur, sedangkan Sancasona si Ib


lis Tongkat Merah hanya beringsut dua langkah. 

Dari kejadian itu bisa disimpulkan kalau kekua-

tan tenaga dalam Iblis Tongkat Merah lebih tinggi.

Jaka Sembada yang menyaksikan perta-

rungan dari tempat terlindung, dapat memastikan 

pertempuran Sancasona melawan orang tertua 

dari Dua Setan Muka Ular akan berkesudahan 

dengan unggulnya Iblis Tongkat Merah. Pemuda 

itu melihat keunggulan Sancasona dalam bera-

gam gerakan yang dimiliki, di samping kelebihan 

daya tahan tubuh, dalam hal ini pernapasannya 

terlihat begitu sempurna.

Dengan tergempurnya Dua Setan Muka 

Ular, Sancasona semakin menambah keganasan 

serangannya.

"Kau harus mampus di tanganku, Setan 

Usil!"' bentak Iblis Tongkat Merah. Kakinya ke-

mudian menghentak ke tanah, dan tongkatnya 

yang sudah hilang bentuk berputar-putar di uda-

ra.

Wukkk! Wukkk! Wukkk..! 

Bret!

"Uts!"

Sebisanya orang tertua Dua Setan Muka 

Ular membanting tubuhnya menghindari samba-

ran tongkat merah Sancasona yang terarah ke ba-

tok kepalanya. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu 

bergulingan di tanah. 

Melihat lawannya bergulingan, Sancasona 

tidak mau membuang kesempatan baik. Pemuda 

itu segera menggeser kakinya. Lalu bersiap-siap 

memberikan serangan susulan yang bernama


'Tongkat Iblis Memanggang Kepala'. Maka....

Sing...!

Di luar dugaan Jaka, Sancasona melempar 

tongkat merah berkeluk sembilannya dengan ke-

kuatan penuh.

Cab!

Tongkat merah itu membenam di tanah se-

jengkal dari kepala Dua Setan Muka Ular. Namun 

tidak terlihat kekecewaan di wajah Sancasona 

melihat serangannya gagal. Juga ketika tiba-tiba 

orang tertua dari Dua Setan Muka Ular mencekal 

gagang tongkat merahnya, Sancasona hanya ter-

senyum.

"Akh!"

Suara pekikan terdengar ketika telapak 

tangan Dua Setan Muka Ular menggenggam sen-

jata Iblis Tongkat Merah. Tenaganya seperti terse-

dot kekuatan yang ada pada tongkat. Semakin dia 

berusaha melepaskan pegangan, semakin kuat 

daya sedot yang dirasakan. Apalagi ketika berniat 

mencabut tongkat yang terbenam di tanah itu.

"Akh!" lagi-lagi teriakan keluar dari mulut 

Dua Setan Muka Ular.

"Mampus kau sekarang, Setan! Hiyaaa...!"

Sancasona melejit cepat bagai kilat. Kekua-

tannya yang bertumpu pada kaki kanan menen-

dang lurus. Akibatnya....

Buegkh

"Aaa...!"

Tubuh Dua Setan Muka Ular terpental de-

ras. Tendangan kaki kanan Sancasona mendarat 

telak di dada. Lelaki tertua dari Dua Setan Muka


Ular merasakan tulang-tulang dadanya melesak 

ke dalam hingga menembus jantung.

Bruk!

"Hoekh!"

Dua Setan Muka Ular ambruk ke tanah 

dengan muntahan darah yang tak terbendung. 

Sesaat lelaki berpakaian coklat itu tersengal. Dan 

selanjutnya sudah mengejang di tanah. Nyawa 

orang tertua Dua Setan Muka Ular pergi mening-

galkan raga. 

Benar dugaan Jaka kemenangan akhirnya 

berpihak pada Iblis Tongkat Merah. Sebenarnya 

Jaka tidak tega melihatnya. Tapi untuk melaku-

kan pertolongan rasanya tidak mungkin. Tokoh-

tokoh golongan hitam itu bisa berbalik menye-

rangnya. Kemudian melanjutkan pertarungan 

memperebutkan Lempengan Teratai Emas.

"Aaa...!"

Pekik kematian kembali mengudara. Kali 

ini akibat tertembusnya kepala orang kedua dari 

Dua Setan Muka Ular yang bertarung menghada-

pi Iblis Tongkat Biru. Tombak biru berkeluk sem-

bilan tampak membenam tepat di ubun-ubun 

Dua Setan Muka Ular. Tubuh lelaki itu terbujur 

kaku tanpa nyawa. 

"Hhh...," Parada menarik napas. Langkah-

nya terayun mendekati Sancasona dan Sandala 

yang tengah menawan Harum Seroja.

"Sebaiknya kita segera ke Goa Teratai, Ka-

kang. Sebelum kita jumpai lagi tokoh-tokoh yang 

berniat merebut Lempengan Teratai Emas," ucap 

Sancasona pada Parada dan Sandala.


"Begitulah lebih baik," sambut Iblis Tong-

kat Hitam yang tidak ikut bertarung.

"Betul! Kita harus lebih dulu mendapatkan 

isi goa itu. Setelah itu kita siap menghadapi tan-

tangan dari tokoh mana pun, untuk memperta-

hankan dan memamerkan apa yang telah kita pe-

roleh. Ayo kita berangkat sekarang," timpal Iblis 

Tongkat Biru.

Tiga Iblis Sakti kembali melanjutkan perja-

lanan mereka menuju Goa Teratai. Ketiganya 

menggunakan ilmu lari cepat. Sementara gadis 

cantik berpakaian merah dadu yang menjadi ta-

wanan mereka berada di atas pundak Iblis Tong-

kat Hitam. Gadis cantik kekasih Yudistira itu 

menjadi lemah karena beberapa bagian tubuhnya 

telah ditotok.

Raja Petir, Mayang Sutera, dan Yudistira 

yang telah memperhatikan gerak-gerik Tiga Iblis 

Sakti segera bergerak cepat menguntit perjalanan 

tiga lelaki tokoh sesat itu menuju Goa Teratai.


DELAPAN



Hari menjelang sore ketika langkah-

langkah Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira terus 

bergerak cepat dan ringan. Langkah tanpa suara 

itu untuk mencegah terciumnya jejak mereka 

mengikuti perjalanan Tiga Iblis Sakti. Peluh ber-

ceceran di kening Yudistira. Pakaian Pimpinan 

Perguruan Pedang Kumala itu basah oleh kerin-

gat.


Ketika matahari telah bergeser ke barat, ti-

ga lelaki yang berjuluk Tiga Iblis Sakti menjejak-

kan kaki di Bukit Teratai. Sebuah tempat yang le-

bih tinggi dari dataran di sekelilingnya. Ditumbu-

hi pohon-pohon besar dan semak belukar yang 

merambat dan menumpang hidup pada pohon-

pohon yang lain. Bukit Teratai hampir tidak per-

nah didatangi manusia, paling tidak dalam waktu 

puluhan purnama.

"Menurut tulisan yang tertera pada Lem-

pengan Teratai Emas di sinilah letak Goa Teratai, 

Kakang," ucap Iblis Tongkat Merah. Bola matanya 

beredar mengelilingi sudut-sudut Bukit Teratai.

Iblis Tongkat Hitam memperhatikan Lem-

pengan Teratai Emas yang disodorkan Sancasona.

"Betul. Tapi kita harus berhati-hati. Bukan 

tidak mungkin daerah sekitar Goa Teratai banyak 

terdapat jebakan maut," tukas Iblis Tongkat Hi-

tam memperingatkan.

"Kau betul, Kakang Sandala," ujar Iblis 

Tongkat Biru membenarkan.

"Kalau begitu bebaskan gadis cantik itu da-

ri totokanmu, Kakang Sandala," perintah Sanca-

sona.

Iblis Tongkat Hitam segera menurunkan 

tubuh Harum Seroja yang berada dalam pondon-

gannya.

"Kau ingin membebaskan dia sebagai um-

pan?" selidik Iblis Tongkat Biru.

Yudistira yang menyaksikan pemandangan 

itu dari tempat tersembunyi menjadi cemas akan 

keselamatan kekasihnya. Yudistira tidak tega me


nyaksikan tubuh Harum Seroja digeletakkan begi-

tu saja di tanah.

"Hhh...."

Yudistira menarik napas khawatir.

"Tenanglah, Yudis," bisik Jaka menenang-

kan Yudistira. "Kita akan bergerak kalau mereka 

hendak berbuat macam-macam pada Harum."

"Akh!"

Terdengar lenguhan tertahan ketika Iblis 

Tongkat Hitam melepaskan totokan di tubuh Ha-

rum Seroja. Gadis cantik berpakaian merah dadu 

itu tampak bergerak-gerak. Matanya memandang 

marah pada tiga lelaki di hadapannya.

"Bunuh saja aku. Mengapa kalian bawa 

aku ke tempat ini?!" bentak Harum Seroja ketika 

telah mampu bangkit.

"Siapa yang sudi membunuh gadis cantik 

sepertimu, heh?!" tanya Sancasona dengan men-

gerling genit. "Kau akan kujadikan pendamping 

hidupku!"

"Setan!" maki Yudistira dalam hati men-

dengar ucapan Iblis Tongkat Merah. Kupecahkan 

kepalamu nanti.

Sementara Jaka dengan mata tak berkedip 

memandang kejadian itu. Raja Petir telah bersiaga 

untuk segera memberi pertolongan, jika Tiga Iblis 

Sakti melakukan perbuatan tak senonoh pada 

gadis itu.

"Katakan! Apa kau pernah menjelajahi 

tempat ini?" tanya Parada.

"Huh! Untuk apa kau bertanya seperti itu?" 

dengus Harum Seroja kesal.


"Goblok! Jangan rewel. Katakan saja!" ben-

tak Parada naik darah.

Harum Seroja tidak berkata-kata lagi men-

dengar bentakan Parada yang cukup keras.

"Baiklah. Kuyakini di tempat ini banyak 

terdapat jebakan maut. Nah! Kalau kau tidak mau 

menjawab, sekarang juga tubuhmu akan kulem-

par ke depan sana untuk menguji apakah ada je-

bakan atau tidak?!" gertak Parada.

"Aku belum pernah menginjak daerah ini," 

jawab Harum Seroja.

"Hm.... Bagus," puji Sancasona. Lelaki ber-

jubah merah itu lalu membungkuk meraih rant-

ing kayu yang cukup besar. Dilemparkannya 

ranting itu ke sebuah jalan yang diapit dua pohon 

jati yang cukup besar.

Gusrak!

Terdengar bunyi berderak ketika ranting 

yang dilempar Sancasona jatuh di semak-semak. 

Tiba-tiba....

Zzzsss! Zzzsss...!

Dua ekor ular sebesar paha keluar dari ba-

lik semak-semak. Ular-ular itu mengangkat tu-

buhnya tinggi-tinggi ketika penciuman dan mata 

mereka menangkap sosok asing menginjak Bukit 

Teratai.

"Cuma dua ekor ular besar, Kakang," ucap 

Sancasona.

"Biar aku yang menangani ular-ular berbi-

sa itu," ucap Sandala.

Lelaki berjubah hitam itu melangkah maju 

dengan tongkat menuding ke arah kedua ular be

sar itu.

"Seranglah aku!" perintah Sandala keras.

Ular-ular itu seolah mengerti ucapan San-

dala. Begitu suara Iblis Tongkat Hitam lenyap, 

ular-ular itu seperti terbang menyerang Iblis 

Tongkat Hitam.

Wukkk!

Bletak! 

Crot!

Hanya sekali Iblis Tongkat Hitam mengi-

baskan senjatanya, tapi akibatnya cukup menga-

gumkan. Serangan dua ular besar itu mampu di-

halau. Kedua binatang melata itu menggeletak di 

tanah dengan kepala pecah dan bolong.

"Menurut perkiraanku tidak ada perangkap 

yang terpasang. Jadi kita bisa melintasinya seka-

rang juga," ucap Sancasona.

"Mudah-mudahan begitu," timpal Sandala. 

"Namun kita harus tetap meningkatkan kewaspa-

daan dan kepekaan."

"Itu memang sudah keharusan, Kakang," 

sambut Sancasona seraya melangkah memasuki 

jalan yang terapit dua pohon jati.

Sandala dan Parada yang memegang tan-

gan Harum Seroja mengikuti langkah Sancasona 

dengan kewaspadaan penuh. Empat sosok tubuh 

itu memasuki Bukit Teratai lebih jauh. Sementara 

Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira mengikuti 

pada jarak yang sama.

***


Setelah berjalan lima pal ke dalam Bukit 

Teratai, di depan Tiga Iblis Sakti membentang da-

taran rumput yang tidak seberapa luas. Panjang 

dan lebarnya tidak lebih dari empat dan lima ba-

tang tombak.

"Di situlah letak Goa Teratai, Kakang," 

ucap Sancasona seraya memperhatikan Lempen-

gan Teratai Emas di genggamannya.

"Ya. Mudah-mudahan kau tidak keliru me-

nerjemahkan petunjuk yang tertera pada lempen-

gan itu, Sanca," ucap Iblis Tongkat Hitam.

"Kalau begitu, mungkin saja letak Goa Te-

ratai berada di dalam tanah," ucap Sancasona la-

gi.

"Kita dekati saja daerah padang rumput 

itu," saran Iblis Tongkat Biru.

Tanpa melemparkan sanggahan, Sancaso-

na bergerak menuju tanah datar berumput di ha-

dapannya.

"Kakang...!" teriak Sancasona ketika meli-

hat sesuatu di tengah tanah berumput itu.

Parada dan Sandala segera menghampiri 

Sancasona yang tengah mengorek-ngorek tanah 

dengan jari tangannya.

"Ini pasti Goa Teratai. Aku lihat di dalam 

tanah ini ada sebuah lempengan logam tebal. 

Mungkin pintu goa," tukas Sancasona. "Ayo kita 

singkap tanah ini lebih lebar."

Parada dan Sandala pun ikut mengorek-

ngorek tanah.

"Sancasona, lihat!" ucap Parada. Di atas lo-

gam baja itu terdapat gambar teratai yang menon


jol ke dalam. Besarnya sama dengan Lempengan 

Teratai Emas.

Sancasona segera melihat hasil penemuan 

Parada.

"Kau betul, Kakang. Coba kupasang Lem-

pengan Teratai Emas ini," putus Sancasona. Tan-

gannya kemudian bergerak ke arah gambar lem-

pengan teratai yang terdapat di dinding baja.

Namun belum lagi tangan Sancasona yang 

memegang Lempengan Teratai Emas menyentuh 

dinding baja, sesosok bayangan kuning tiba-tiba 

melesat.

Jlig!

Sosok kuning keemasan itu berdiri tegak di 

depan Tiga Iblis Sakti.

"Jangan mimpi kalian akan mendapatkan 

isi Goa Teratai, Kisanak!" ucap sosok berpakaian 

kuning keemasan yang tidak lain Raja Petir.

Jlig! Jlig...!

Begitu ucapan Jaka selesai, Mayang Sutera 

dan Yudistira melesat dari tempat persembunyian 

dan berdiri tegak di samping Jaka.

Sancasona yang memang tidak mengha-

rapkan kedatangan orang lain marah bukan 

main. Saat itu juga dia mengurungkan niatnya 

menempelkan Lempengan Teratai Emas pada 

permukaan dinding baja.

"Setan! Bocah usil! Berani betul kau men-

gusik pekerjaanku!" bentak Iblis Tongkat Merah.

"Aku tidak akan berbuat usil kalau kalian 

tidak mengganggu kehidupan orang lain, kehidu-

pan gadis itu!" balas Jaka dengan tenang.


"Cari mampus!" bentak Parada menimpali 

kemarahan Sancasona.

"Mati tidak bisa dicari, Kisanak. Tapi kema-

tian memang sudah ditakdirkan sang Penguasa 

Alam ini," sanggah Jaka. "Mudah-mudahan hari 

inilah batas kehidupan kalian!" 

"Bedebah laknat! Berani kau meremehkan 

Tiga Iblis Sakti?" hardik Parada jengkel. 

"Sancasona, perhatikan lelaki muda itu," 

ucap Iblis Tongkat Hitam yang tidak terpancing 

kemarahan. "Bukankah ciri-cirinya mirip tokoh 

muda yang akhir-akhir ini menjadi momok orang-

orang rimba persilatan, khususnya golongan ki-

ta?"

"Raja Petir, maksudmu?" '

"Ya. Dia pasti Raja Petir," sahut Sandala. 

"Hm.... Pantas dia berani bicara sombong seperti 

itu," ucap Sancasona.

"Hei...! Kenapa kalian berbisik-bisik? Se-

dang merundingkan tanah untuk tempat mengu-

burkan bangkai kalian?!" ejek Jaka menyaksikan 

percakapan pelan Sancasona dan Sandala.

"Sudah lama sekali Tiga Iblis Sakti ingin 

bertemu dengan tokoh muda sepertimu. Raja Pe-

tir. Sekarang, pucuk dicinta ulam tiba. Karena 

kau yang mencari kami, itu berarti kematian se-

saat lagi akan menjemputmu," ucap Sancasona 

meremehkan.

"Aku tidak yakin dengan ucapanmu," ban-

tah Jaka.

"Kita buktikan saja!" ucap Sancasona lan-

tang.


"Benar," timpal Jaka. "Tapi jangan menyes-

al kalau isi Goa Teratai akhirnya menjadi bagian-

ku." 

"Cuh!"

Sancasona membuang ludah ke tanah. 

Kemudian kakinya bergerak maju satu langkah.

"Bersiaplah! Hiyaaa...!"

Lelaki berjubah merah itu melejit cepat ba-

gai kilat. Tongkat merah berkeluk sembilannya 

berada di udara melewati kepala. Dan terayun de-

ras ke kepala Raja Petir.

Wukkk!

"Uts!"

Jaka melompat menghindari sambaran 

Sancasona yang menimbulkan hawa dingin cukup 

kuat. Serangan pembuka Iblis Tongkat Merah 

mampu dielakkan Jaka. Tapi lelaki muda berpa-

kaian merah itu tidak mau membiarkan buruan-

nya lolos. Seketika itu juga serangan keduanya 

menyusul tak kalah ganas.

"Mampus kau. Raja Sundel!"

Wukkk!

"Hop!"

Mendapat serangan ganas yang begitu ce-

pat.

Jaka segera mengeluarkan jurus 'Lejitan 

Lidah Petir'. Akibatnya, semua serangan yang di-

lancarkan Iblis Tongkat Merah selalu membentur 

tempat kosong. Hingga Sancasona semakin mur-

ka. Jurus-jurus andalannya segera disajikan un-

tuk membungkam kegesitan Jaka. 

"Hiyaaa...!"


Iblis Tongkat Merah kembali meluruk ma-

ju. Kali ini tongkatnya tidak digunakan untuk 

menyerang. Tangannya yang terkepal kuat me-

layang ke arah dada Jaka.

Bet!

"Uts!"

Dugkh!

"Heh!"

Jaka terkejut ketika mendapati gerakan 

Sancasona hanya tipuan belaka. Ternyata tongkat 

merah juga menjadi andalan utama lawannya. Sa-

tu sodokan tongkat yang mendarat di bahunya 

memperlihatkan tanda cukup jelas ketika Jaka 

menyingkap pakaiannya. Dilihatnya tanda keme-

rahan pada kulit bahu.

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba Sancasona tertawa 

keras. "Kau rasakan ilmu 'Tongkat Merah Bera-

cun'ku. Raja Geblek! Sepeminum teh lagi nyawa-

mu akan melayang ke neraka!" ucap Sancasona 

jumawa.

Jaka tidak menimpali ucapan Sancasona. 

Pemuda itu menunggu kebenaran ucapan Iblis 

Tongkat Merah sampai sepeminum teh yang di-

janjikan.

"Bagaimana, Iblis? Apa kau lihat tubuhku 

tergeletak jadi bangkai setelah sepeminum teh 

yang kau katakan?" ejek Jaka ketika waktu yang 

dijanjikan Sancasona telah lewat.

"Hmh...!"

Iblis Tongkat Merah menggeram melihat 

keadaan Jaka tidak berubah sedikit pun. Sung-

guh tidak disangka kalau Jaka mampu bertahan


dari pukulan 'Tongkat Merah Beracun', yang se-

lama ini diyakini selalu meminta nyawa dalam 

waktu singkat. Tapi kenyataannya?

"Kau memang hebat. Raja Gendeng! Tapi 

apa kau mampu menahan ajian 'Iblis Murka'? Ke-

luarkan seluruh kepandaianmu agar tidak me-

nyesal mati di tanganku," tukas Iblis Tongkat Me-

rah menutupi keterkejutannya menyaksikan ke-

hebatan Raja Petir.

"Keluarkan seluruh ilmumu, Iblis Kurap," 

balas Jaka mengejek. "Aku bersedia melayanimu."

Sancasona segera melakukan gerak pem-

buka dari ajian 'Iblis Murka'. Wajah lelaki berusia 

dua puluh lima tahun itu menjadi merah. Namun 

sebaliknya, bagian bawah tubuhnya berubah ke-

hijauan.

Jaka yang menyaksikan kejadian itu hanya 

menggelengkan kepala.

"Ilmu setan," suara hatinya berujar.

"Hiyaaa...!"

Slat! Slat..!

Sinar merah dan hijau berturut-turut me-

lesat dari tangan kiri Sancasona yang menghen-

tak. Dua sinar itu meluruk deras ke arah Raja Pe-

tir yang sudah siap menghalaunya dengan ilmu 

'Pukulan Pengacau Arah'.

"Hih!"

Wrrr...!

Serangkum angin bergulung bagai pusaran 

angin tercipta saat tangan Jaka menghentak. Ma-

ka....

Presss...!


"Heh?!"

Jaka terkejut menyaksikan angin pukulan-

nya tidak mampu mengusir sinar ciptaan Sanca-

sona yang terus meluruk ke arahnya. Mau tak 

mau Jaka kembali mengerahkan ilmu 'Lejitan Li-

dah Petir', Jaka melesat menghindari terjangan 

sinar merah dan hijau.

"Heh?!" 

Kembali Jaka terkejut ketika berhasil 

menghindari sinar-sinar itu. Kedua sinar itu se-

perti memiliki mata, dan mengejar Jaka ke mana 

pun dirinya melesat.

"Hebat!" puji Jaka dalam hati. 

Jlig!

Raja Petir segera mendarat di tanah ketika 

sinar-sinar itu berhasil dijauhinya. Cepat tokoh 

muda yang digdaya itu menciptakan aji 'Kukuh 

Karang' untuk melindungi diri.

Maka ketika sinar merah dan hijau kembali 

meluruk deras, membentur sinar kuning keema-

san yang membungkus tubuh Jaka, keanehan 

seketika terlihat mengejutkan Sancasona.

Prefs! Presfs...!

Dua sinar ciptaan Sancasona seperti teng-

gelam di kemilauan sinar kuning tubuh Jaka. Ke-

nyataan itu membuat Iblis Tongkat Merah tidak 

percaya. Seharusnya jika seseorang terhantam aji 

'Iblis Murka,' maka saat itu juga tubuhnya han-

gus terbakar. Tapi tidak terhadap tubuh Jaka? 

Karena murkanya, Sancasona bergerak memberi-

kan serangan susulan.

Jaka yang sekilas memperhatikan jalannya


pertarungan Mayang Sutera dan Sandala mence-

maskan keselamatan gadis yang dikasihinya itu. 

Maka Jaka segera memutuskan untuk secepatnya 

menghentikan perlawanan Sancasona.

Ketika lejitan Sancasona semakin dekat, 

Jaka meloloskan Sabuk Petirnya. Dan saat perge-

langan tangannya bergerak, seberkas sinar kepe-

rakan melesat cepat ke arah tubuh Sancasona.

Slat!

Glar!

"Aaa...!"

Sancasona terpental balik tertahan sinar 

keperakan Raja Petir melalui jurus 'Petir Membe-

lah Malam' yang mengenai dadanya dengan telak. 

Nyawa Iblis Tongkat Merah melayang meninggal-

kan raga saat itu juga.

Bruk!

Jasad Sancasona jatuh ke bumi dengan 

sebagian tubuh menghitam.

Kematian Sancasona sangat mengejutkan 

Parada dan Sandala. Keduanya langsung meng-

hentikan serangan gencar mereka terhadap

Mayang Sutera dan Yudistira. Mereka mengham-

piri mayat lelaki berpakaian merah yang hangus 

terbakar.

"Sancasona! Kau.... Ah! Tidaaak!" Parada 

memekik kalap.

"Raja Petir!" bentak Sandala seraya menud-

ing Jaka. "Kau harus bertanggung jawab atas ke-

matian saudaraku yang begitu kucintai. Kau ha-

rus menyerahkan nyawamu sekarang juga! 

Hiyaaa...!"


Tubuh Iblis Tongkat Hitam mencelat den-

gan tongkat hitam berkeluk sembilan berkelebat 

cepat mengancam kepala Jaka.

Wukkk!

Bet!

"Uts!"

Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah

Petir', Jaka melejit menghindari serangan Iblis 

Tongkat Hitam. Namun lelaki berjubah hitam 

yang sudah dirasuki iblis itu terus memburu tu-

buh Jaka. Hingga pukulan tongkatnya terpaksa 

ditangkap Jaka.

Wukkk!

Tap!

Adegan tarik menarik pun terjadi ketika 

senjata Iblis Tongkat Hitam tertangkap tangan 

Jaka. Berkat penguasaan tenaga dalam Jaka yang 

lebih tinggi terlihat Iblis Tongkat Hitam tertarik ke 

depan. Seketika itu juga Raja Petir melepaskan 

genggamannya pada ujung tombak.

Plash! 

Wusss!

Iblis Tongkat Hitam terdorong keras ke be-

lakang. Keseimbangannya telah hilang termakan 

tenaganya sendiri.

Di luar dugaan, mendadak Yudistira men-

celat menyongsong tubuh Iblis Tongkat Hitam 

dengan pedang terhunus.

"Terimalah ganjaranmu, Iblis! Hiyaaa...!"

Trash!

Tak ada jeritan yang terdengar ketika Pe-

dang Kumala Yudistira memenggal kepala Sanda


la. Detik itu juga nyawa Iblis Tongkat Hitam me-

layang ke akherat.

Bruk!

Tubuh tanpa kepala Iblis Tongkat Hitam ja-

tuh berdebum di tanah. 

"Keparaaat...!"

Iblis Tongkat Biru memekik histeris me-

nyaksikan kematian Sandala. Seiring dengan pe-

kikannya, Iblis Tongkat Biru meluruk ke arah Yu-

distira dengan tongkat biru berkeluk sembilan te-

racung di udara. 

"Hiyaaa...!"

"Haaat...!"

Bersamaan dengan itu, Mayang Sutera 

mencelat mengejar sosok Parada dari samping 

kanan. 

Trak!

Bles! 

"Aaa...!" 

Pekik kematian kembali terdengar. Perut 

Iblis Tongkat Biru tertembus Pedang Kumala mi-

lik Yudistira.

Yudistira yang ikut menyongsong serangan 

Iblis Tongkat Biru segera menghujamkan tusukan 

pedangnya setelah payung baja milik Mayang Su-

tera menangkis tongkat Parada. Lelaki berjubah 

biru itu kini menggelepar-gelepar memegangi pe-

rutnya yang mengucurkan darah. Hanya sesaat 

Iblis Tongkat Biru meregang nyawa. Saat berikut-

nya tubuh terbalut jubah biru itu sudah menge-

jang kaku. 

"Hhh...!"


Jaka menarik napas panjang. Dan Yudisti-

ra segera meraih Lempengan Teratai Emas dari 

balik jubah Iblis Tongkat Merah. 

"Sebaiknya lempengan ini kau yang me-

nyimpannya, Jaka," ucap Yudistira seraya menye-

rahkan Lempengan Teratai Emas pada Raja Petir.

Jaka menerimanya tanpa banyak bicara.

"Kakang...," Harum Seroja memburu tubuh 

Yudistira dan merangkulnya dengan erat.

"Kuatkan hatimu, Harum," ujar Yudistira 

membelai rambut gadis cantik berpakaian merah 

dadu itu.

"Sebaiknya kumusnahkan saja lempengan 

ini agar tidak menjadi sengketa kelak di kemu-

dian hari," tukas Jaka mengejutkan Yudistira. 

Namun Ketua Perguruan Pedang Kumala menya-

dari kebenaran ucapan itu.

"Kalau menurutmu itu jalan terbaik sila-

kan. Raja Petir," ucap Harum Seroja.

"Baik. Menyingkirlah kalian agak jauh," 

pinta Jaka. Lalu meloloskan pedang yang mengge-

lantung di lehernya.

Yudistira, Harum Seroja, dan Mayang Sute-

ra segera berpindah dari tempatnya. Jaka pun 

mengangkat Pedang Petirnya. Seketika itu juga....

Gludug.... Gludug.... Glederg....!

Suara gemuruh terdengar di kejauhan. 

Seiring dengan itu suasana di sekitar Goa Teratai 

semakin gelap. Lidah-lidah petir menjilati ujung 

pedang milik Jaka yang memendarkan sinar ke-

merahan.

Dan ketika suasana kembali seperti semu


la, tangan kiri Jaka segera melempar Lempengan 

Teratai Emas tinggi-tinggi. Dan tangan kanannya 

yang menggenggam Pedang Petir secepatnya men-

gibas. Maka....

Trang! Trang! Trang...!

Lempengan Teratai Emas yang terbuat dari 

emas murni terbelah menjadi empat bagian. Ke-

mudian dibuangnya pecahan emas itu ke empat 

penjuru angin.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Raja Pe-

tir. Juga kau, Mayang," ucap Harum Seroja me-

langkah menghampiri sosok anggun Mayang Su-

tera.

"Kewajiban kita untuk saling tolong-

menolong, Harum," elak Mayang Sutera.

"Hari hampir malam. Sebaiknya kita ting-

galkan tempat ini sekarang," ucap Jaka.

"Kau betul, Jaka. Ayo," seru Yudistira.

Dua pasang muda-mudi itu pun bergerak 

meninggalkan Goa Teratai. Angin malam yang 

berhembus agak keras mengiringi kepergian mereka.



                              SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar