PERGOLAKAN GOA TERATAI
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Pergolakan Goa Teratai
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
"Ha ha ha.... Apa daerah itu yang bernama
Desa Walang Teter, Kakang?" ucap lelaki muda
berusia dua puluh lima tahun yang mengenakan
jubah merah darah. Di tangan pemuda tampan
itu tergenggam sebatang tongkat berkeluk sembi-
lan, yang pada hulunya terdapat bulatan berben-
tuk kepala ular.
Dua lelaki berusia empat puluh lima tahun
yang memakai jubah hitam dan biru juga meme-
gang tongkat serupa dengan warna pakaiannya.
Kedua lelaki itu menatap wajah lelaki muda yang
barusan melemparkan pertanyaan.
"Kau betul, Sancasona," ucap dua lelaki
berjubah hitam dan biru bersamaan. "Sebentar
lagi kita akan menemukan mulut Desa Walang
Teter. Di sana terdapat sebuah batu besar yang
terletak di sebelah kanan yang bertuliskan nama
desa itu dan nama Perguruan Kepodang Emas di
sebelah kirinya," jelas lelaki bercambang bauk pu-
tih yang mengenakan jubah hitam.
"Ah. Kalau begitu, cita-cita kita akan terca-
pai, Kakang Sandala," sambut lelaki muda berju-
bah merah yang ternyata bernama Sancasona.
"Cita-citamu, Sancasona," kilah lelaki ber-
jubah biru yang wajahnya ditumbuhi cambang
bauk lebat berwarna hitam.
"Ha ha ha.... Kenapa kau katakan hanya ci-
ta-citaku, Kakang Parada?" tanya Sancasona pada
lelaki berjubah biru.
Lelaki tua itu berjuluk Iblis Tongkat Biru
jika hanya seorang diri, tanpa keberadaan Sanca-
sona dan Sandala. Begitu pula sebaliknya, Sanca-
sona akan bergelar Iblis Tongkat Merah jika dia
sedang seorang diri, dan Sandala berjuluk Iblis
Tongkat Hitam. Sedangkan jika bergabung mere-
ka berjuluk Tiga Iblis Sakti.
"Karena kau yang menginginkan Lempen-
gan Teratai Emas itu, Sancasona," jawab Parada
setelah beberapa saat mendiamkan pertanyaan
Sancasona.
"Apa Kakang tidak menginginkan harta ka-
run itu?" tanya Sancasona datar.
"Tentu saja, Sanca."
"Itu berarti kita semua menginginkan Lem-
pengan Teratai Emas itu, Parada," ucap Sandala
menengahi.
Hening tercipta. Ketiga lelaki yang meme-
gang sebatang tongkat berkeluk sembilan itu. te-
rus melanjutkan perjalanan menuju Desa Walang
Teter.
"Kau lihat itu, Sancasona. Nama Perguruan
Kepodang Emas dan nama Desa Walang Teter ter-
pampang sangat jelas," ucap Sandala dengan jari
telunjuk menuding mulut Desa Walang Teter.
"Uhhh! Rasanya aku sudah tidak sabar in-
gin segera mendapatkan benda berharga itu, Ka-
kang," ucap Sancasona pada Parada dan Sandala.
"Hilangkan perasaanmu itu, Sanca," ucap
Parada mengingatkan. "Rasa tak sabarmu akan
melenyapkan beberapa bagian dari kewaspa-
daanmu. Itu akan merugikan keselamatanmu."
"Betul ucapan Parada, Sanca. Biar bagai-
manapun kita harus waspada pada penduduk
Desa Walang Teter. Bukan mustahil mereka me-
miliki kepandaian yang setara dengan kita. Begitu
juga orang-orang Perguruan Kepodang Emas,
yang nama besar perguruan itu cukup santer ter-
dengar di dunia persilatan," timpal Sandala.
Lelaki muda berjubah merah menyung-
gingkan senyum mendengar perkataan Parada
dan Sandala.
"Ucapan Kakang berdua tidak salah. Tapi
apakah Kakang lupa siapa diri kita? Julukan kita
tak kalah santernya dari nama Perguruan Kepo-
dang Emas. Itu merupakan jaminan kalau ilmu-
ilmu kita berada di atas orang-orang Perguruan
Kepodang Emas. Kita akan mampu menghancur-
kan nama perguruan itu dan merebut Lempengan
Teratai Emas!" sangkal Sancasona dengan cukup
tegas. "Kakang yakin akan hal itu?"
"Aku yakin, Sanca," ucap Parada dan San-
dala bersamaan.
"Bagus! Sekarang mari kita masuki Desa
Walang Teter. Kita turunkan tangan besi kalau
mereka mempersulit kita," ucap Sancasona.
Tiga lelaki berpakaian merah, biru, dan hi-
tam melangkah gagah memasuki wilayah Desa
Walang Teter yang nampak begitu enak dipan-
dang. Di bagian muka mulut desa itu berjajar po-
kok-pokok bambu yang ditanam begitu teratur,
hampir mirip batas pintu masuk.
Dan memasuki mulut Desa Walang Teter
lebih jauh, maka akan terlihat sebuah kedai yang
cukup besar di sebelah kanan, dan sebuah ban-
gunan kokoh yang dihuni lima lelaki bersenjata
dengan tubuh tinggi kekar. Kelima lelaki itu ditu-
gasi menjaga keamanan mulut Desa Walang Te-
ter. Juga bertugas menanyai maksud kedatangan
seorang tamu ke desa tersebut
Lazimnya setiap tamu yang bermaksud
mengunjungi sanak-saudara atau hanya sekadar
ingin singgah, maka kewajiban mereka adalah
mendatangi bangunan yang dijaga lima lelaki itu
untuk melaporkan. Namun tiga lelaki itu, yang
memang tidak mengetahui peraturan di Desa Wa-
lang Teter, langsung bergerak ke arah kedai yang
pada salah satu ruangannya menebarkan aroma
sedap yang membangkitkan selera makan.
"Kita ke kedai itu dulu, Kakang. Mencium
bau yang begitu sedap perutku jadi minta diisi,"
ucap Sancasona sambil memegang perutnya.
"Begitu juga baik, Sanca. Desa Walang Te-
ter memang hebat. Begitu tamu masuk langsung
dihadapi sebuah kedai. Ha ha ha.... Ayo cepat
Sandala," timpal Parada melangkah mendahului
Sancasona.
Sancasona, Parada, dan Sandala yang ber-
juluk Tiga Iblis Sakti terus melanjutkan langkah-
nya menuju kedai yang cukup besar itu. Keti-
ganya seperti sudah tidak sabar untuk menyan-
tap hidangan yang ada di kedai itu.
"Tunggu sebentar, Kisanak sekalian," tegur
sebuah suara cukup sopan.
Tiga Iblis Sakti langsung menghentikan
langkahnya mendengar ucapan di belakang mere
ka. Langkahnya yang dua tindak lagi mencapai
pintu kedai terpaksa diurungkan. Sanca yang
memiliki perangai cepat naik pitam mendengus
geram.
"Berani betul kau melarang kami masuk ke
kedai ini!" bentak Sancasona. "Kau tidak tahu pe-
rut kami sudah terlalu lapar. Apa daging men-
tahmu yang harus kumakan, heh? Dan darahmu
yang harus kuminum?!"
"Maaf, Kisanak," ucap lelaki bertubuh te-
gap yang di pinggangnya terselip sebilah golok.
Wajah lelaki itu sedikit pun tidak menyiratkan ra-
sa takut pada ucapan kasar Sancasona. "Saya ti-
dak pernah melarang tamu yang mengunjungi
Desa Walang Teter makan di kedai yang memang
telah kami sediakan. Namun sebelumnya harap
Kisanak sekalian maklum, Kisanak harus melapor
terlebih dulu," lanjut lelaki bertubuh tinggi tegap
dan berahang kuat menonjol.
"Melaporkan diri?" ucap Parada seraya
memegang dagunya yang berjenggot jarang. "Un-
tuk apa?!" tanya Parada kemudian dengan suara
cukup tinggi.
Lelaki penjaga mulut Desa Walang Teter
memang terkejut, namun dia berusaha untuk sa-
bar dan membujuk ketiga tamu yang menurutnya
kurang diajar tata krama.
"Hanya sekadar melaporkan diri, Kisanak.
Biar kehadiran Kisanak kami ketahui maksud
dan tujuannya," jelas penjaga itu.
"Desa usilan!" bentak Sandala tak mau ke-
tinggalan. "Untuk apa ingin tahu urusan orang
lain, heh?!"
"Rakyat di sini bukannya usilan, Kisanak,"
ucap penjaga mulai naik pitam. Tubuh lelaki ting-
gi tegap itu berdiri tegar. Tatapan matanya men-
coba membalas pandangan angker sepasang mata
Sandala. "Peraturan itu diterapkan hanya untuk
menjaga ketenangan dan kedamaian desa yang
kami cintai ini," lanjut penjaga menjelaskan.
"Hmh...!"
Sancasona mendengus geram mendengar
ucapan lelaki berahang kuat di depannya. "Apa-
kah ini yang kalian namakan ketenangan?"
Wukkk!
Prakkk!
"Aaa...!"
Pekik kematian melengking tinggi membu-
bung ke langit. Kepala penjaga itu pecah terhan-
tam tongkat berhulu kepala ular yang berkeluk
sembilan milik Sancasona. Gerakan lelaki muda
berpakaian merah darah itu demikian cepat.
Hingga tahu-tahu sudah mendarat di kepala pen-
jaga yang tak sempat mengelak.
Cairan merah bercampur putih meleleh da-
ri kepala lelaki yang kini tergeletak tanpa nyawa.
Pekik kematian yang melengking tinggi mengun-
dang empat penjaga lainnya. Para pengunjung
kedai bermunculan di ambang pintu untuk meli-
hat kejadian itu.
"Kalian pasti tamu-tamu tak tahu diri!"
bentak seorang penjaga ketika menyaksikan tu-
buh temannya tergeletak dengan kepala pecah.
Senjata lelaki yang berupa golok besar itu digu
nakan untuk menuding wajah Sancasona, Para-
da, dan Sandala.
"Kalian harus dihukum sesuai dengan per-
buatan kalian!" hardik penjaga lain yang bertu-
buh pendek gempal.
"Hukuman apa yang hendak kalian jatuh-
kan pada kami, heh?!" tanya Parada menantang.
"Kalian harus ikut kami menghadap kepala
keamanan desa," jelas lelaki bertubuh pendek
gempal.
"Suruh kepala keamanan itu menemui ka-
mi!" bentak Sancasona.
"Kurang ajar! Kalian memang tamu-tamu
tak tahu adat. Kalian harus diberi pelajaran!
Tangkap mereka!" perintah lelaki bertubuh tegap
yang bercambang tipis.
Empat penjaga Desa Walang Teter segera
mengurung Tiga Iblis Sakti. Senjata mereka ber-
gerak-gerak di depan wajah. Bagi Tiga Iblis Sakti,
keempat lelaki yang kini tengah mengurungnya
bukanlah hal yang berarti. Seratus kali lipat pun
Tiga Iblis Sakti mampu melenyapkan hanya da-
lam beberapa jurus saja.
Maka ketika empat keamanan Desa Walang
Teter bergerak, hanya dengan sentakan tangan
yang menggenggam tongkat, tubuh keempat kea-
manan desa itu kembali terpukul mundur.
Trak, trak, trakkk..!
"Ih! Uh! Ih! Uh!"
Keempat lelaki itu memekik tertahan ketika
senjata-senjata mereka membentur tongkat kayu
yang keras bagai baja. Tubuh mereka terhuyung
empat langkah ke belakang, dengan tangan terasa
sangat linu.
"Tamu-tamu setan!" maki lelaki bertubuh
pendek gempal menyadari senjatanya terlempar
jauh.
"Ha ha ha.... Kalianlah tikus-tikus buduk
yang berlagak sok jago!" ejek Parada seraya me-
langkah mendekati penjaga-penjaga Desa Walang
Teter. "Karena keusilan kalian, maka kematianlah
yang harus kalian terima!"
Parada mengangkat tongkat berkeluk sem-
bilannya yang berwarna biru. Maka saat itu ju-
ga....
"Hih!"
Prak, prak, prakkk...!
"Aaa...!"
Empat lengkingan kematian terdengar ber-
turut-turut. Tongkat biru Iblis Tongkat Biru den-
gan kecepatan luar biasa mendarat di batok kepa-
la empat keamanan Desa Walang Teter.
Darah bermuncratan dari kepala-kepala
yang pecah. Nyawa mereka melayang saat itu ju-
ga. Dan Tiga Iblis Sakti tanpa perasaan mening-
galkan mayat keempat lelaki itu. Lalu memasuki
kedai.
***
Seorang penduduk Desa Walang Teter ber-
lari tergopong-gopoh. Lelaki itu tidak mempeduli-
kan napasnya yang mulai tersengal-sengal. Dia
terus berlari menuju sebuah bangunan yang lima
batang tombak lagi dicapainya.
"Ada apa, Lihun. Kau melihat hantu?"
tanya seorang lelaki tinggi kurus yang muncul da-
ri rumah yang dituju lelaki bernama Lihun.
"Kacau, Min. Kacau!" ucap Lihun tersen-
dat-sendat.
"Kacau? Apanya yang kacau?" tanya lelaki
tinggi kurus tak mengerti.
"Kakang Garda ada?" tanya Lihun tanpa
menjawab pertanyaan lelaki tinggi kurus itu.
"Ada! Ada...," jawab lelaki tinggi kurus itu.
Lihun tanpa mempedulikan keheranan le-
laki tinggi kurus segera memasuki rumah itu.
"Kakang Garda!"
Lihun langsung berlutut ketika menda-
patkan Garda tengah berbincang-bincang di
ruang depan.
"Ada apa, Lihun? Sepertinya kau tengah
dikejar setan," ucap lelaki tinggi besar berkumis
melintang.
"Kacau, Kang. Kacau," ucap Lihun masih
terbata-bata.
"Katakan apa yang kacau, Lihun. Kata-
kan?" pinta Garda dengan mengguncang-guncang
bahu Lihun.
"Sebaiknya diberi minum dulu, Kang. Biar
dia tenang," ucap sebuah suara merdu.
Garda menoleh ke arah gadis manis berpa-
kaian hijau. Dia adalah adiknya, Ayuni.
"Kau benar, Ayu. Bawa kemari air di meja
itu," ucap Garda.
Gadis manis bernama Ayuni itu dengan ce
pat memenuhi perintah kakaknya. Disodorkannya
segelas air pada Garda. Dan Lihun meminumnya
sampai habis.
"Sekarang ceritakan apa yang kau lihat, Li-
hun," pinta Garda setelah dilihatnya wajah Lihun
kembali tenang.
"Anu Kang Garda. Di kedai, maksud saya,
di depan kedai dekat mulut desa. Kakang Sarta
berkelahi dengan tiga lelaki bersenjata tongkat.
Kakang Sarta.... Kakang Sarta dan keempat pen-
jaga yang lain mati di tangan tiga lelaki bersenjata
tongkat itu," ucap Lihun. Wajahnya kembali pias
mengingat kematian mengerikan yang dialami
Sarta dan kawan-kawannya.
Garda yang mendengar cerita Lihun mera-
sakan kemarahan merambati dirinya. Wajahnya
yang sedikit kasar nampak tegang, dan otot-otot
tangannya bersembulan keluar.
"Kau tidak mengenali mereka, Lihun?"
tanya Garda.
"Tidak, Kang. Saya tidak berani mendekat
ketika Kang Sarta dan kawan-kawannya terlibat
pertarungan."
"Kalau begitu, cepat kumpulkan kawan-
kawan. Kita harus mengusir tamu tak tahu adat
itu!" perintah Garda.
Lihun segera menjalankan perintah lelaki
berkumis melintang yang di Desa Walang Teter
berkedudukan sebagai kepala keamanan desa.
Bukan itu saja, Garda juga tercatat sebagai murid
Perguruan Kepodang Emas yang diketuai Ki Ba-
jang Genta, Kepala Desa Walang Teter. Ki Bajang
Genta dalam rimba persilatan terkenal dengan ju-
lukan Pendekar Tombak Emas.
Hanya dalam waktu singkat Lihun telah
berhasil mengumpulkan tiga puluh lelaki. Ketiga
puluh lelaki itu adalah anak buah Garda, yang
selalu setia dan bahu-membahu menghadapi ron-
grongan pihak luar yang ingin mengacau ketente-
raman Desa Walang Teter.
"Kita telah kedatangan tamu-tamu keparat.
Mereka membunuh Sarta dan kawan-kawannya
di mulut desa. Kita harus mengusir tamu tak ta-
hu sopan itu dari desa ini. Kalau perlu kita kirim
nyawa mereka ke akherat!" ucap Garda berse-
mangat.
"Ya! Setiap orang yang bermaksud menga-
cau desa ini harus kita usir!" sambut lelaki be-
rambut gondrong yang menggenggam sebilah
tombak.
"Ayo, kita usir mereka sekarang!" ajak Gar-
da.
"Ayo!"
"Ayooo...!"
Sambut puluhan lelaki dengan senjata te-
racung ke udara. Garda dan ketiga puluh lelaki
penduduk Desa Walang Teter segera bergerak ke
arah mulut desa.
"Keparat itu pasti ada di dalam, Kang,"
ucap Lihun yang berdiri di samping kiri Garda ke-
tika mereka sampai di depan kedai. Garda tidak
segera bertindak. Lelaki berkumis melintang itu
menyuruh anak buahnya waspada.
"Kalian angkat mayat Sarta dan yang lain
nya," perintah Garda pada lima lelaki yang terde-
kat dengannya.
Tanpa membantah kelima lelaki itu menja-
lankan perintah Garda, mereka membobong
mayat Sarta dan kawan-kawannya dengan kepala
yang tak utuh lagi. Sementara yang lain ikut Gar-
da dengan langkah tegang mendekati pintu kedai.
"Hai, laki-laki pembuat onar! Keluarlah!
Kalian harus mempertanggungjawabkan perbua-
tan kalian!" ucap Garda lantang.
Hening sesaat ketika Garda tak lagi beru-
cap keras. Namun tidak ada tanda-tanda lelaki
yang dimaksud Garda keluar dari dalam kedai.
Suasana di dalam kedai nampak sepi. Na-
mun sesungguhnya di dalam sana tengah duduk
tenang tiga lelaki yang menamakan dirinya Tiga
Iblis Sakti dan seorang lelaki tua pemilik kedai
dengan wajah pucat pasi. Tubuh lelaki tua itu
bergetar menahan ketakutan yang sangat. Semen-
tara kedai yang biasanya selalu penuh pengun-
jung kini tak nampak seorang pun di situ. Mereka
memilih pergi semenjak kedatangan Tiga Iblis
Sakti.
"Kami masih mau bersikap sopan pada ka-
lian. Keluarlah! Jangan tunggu kesabaran kami
hilang!" lanjut Garda lebih keras.
Tak berapa lama gaung ucapan Garda le-
nyap, tiga sosok tubuh bertongkat merah, hitam,
dan biru keluar dengan langkah perlahan namun
mantap.
"Hmmm.... Tak kusangka penduduk Desa
Walang Teter semuanya usilan!" sindir lelaki ber
jubah biru yang tak lain Parada. Lelaki bertubuh
kurus itu bergerak lebih maju dari kedua teman-
nya Sancasona dan Sandala. "Apa yang kalian in-
ginkan dari kami, heh?!" tanya Parada dengan da-
gu mendongak ke atas.
"Kalian telah membinasakan lima keama-
nan Desa Walang Teter. Kalian harus bertanggung
jawab!" sentak Garda.
"Tanggung jawab bagaimana yang kalian
inginkan?" tanya Sandala si Iblis Tongkat Hitam
penuh tantangan.
"Kalian harus menerima hukuman sesuai
dengan perbuatan kalian!" jawab Garda.
"Silakan kalian lakukan. Kalau memang bi-
sa menghukum Tiga Iblis Sakti," ujar Sancasona
datar namun mengundang kemarahan Garda dan
anak buahnya.
"Sombong!" maki Garda dengan wajah me-
rah padam. "Ringkus mereka!" perintah Garda
kemudian.
Tiga puluh lelaki bersenjata golok, tombak,
dan pedang meluruk ke arah Tiga Iblis Sakti. Sen-
jata mereka terayun-ayun disertai pekik kemara-
han yang membahana.
"Hiaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Puluhan lelaki penduduk Desa Walang Te-
ter melakukan serangan ganas ke berbagai bagian
tubuh Tiga Iblis Sakti. Namun ketiga orang itu
menghadapi keroyokan puluhan lelaki bersenjata
tajam dengan ketenangan mengagumkan.
Puluhan senjata yang mengancam tubuh
Sancasona, Parada, dan Sandala tidak mampu
melukai tubuh Tiga Iblis Sakti. Untuk menyentuh
saja tampak menemui kesukaran. Agaknya ke-
mampuan ketiga lelaki itu jauh di atas para pen-
geroyoknya. Itu terbukti ketika Sancasona men-
gadakan serangan balasan.
"Hih!"
Plak, plakkk!
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua tubuh pengeroyoknya terjengkang ter-
kena sampokan tangan lelaki muda berjubah me-
rah itu, yang mendarat telak di pelipis. Sampokan
keras yang disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi itu mengakibatkan nyawa kedua lawannya
tidak dapat diselamatkan lagi.
Begitu pula kehebatan yang dipertonton-
kan kedua rekannya. Lelaki berpakaian biru yang
bernama Parada nampak ingin menunjukkan sia-
pa dirinya. Hanya dengan sebatang tongkat yang
dipindah-pindahkan dari tangan kiri ke kanan
berganti-ganti, para pengeroyoknya dapat dire-
dam. Bahkan dengan sadisnya Parada menusuk
kepala pengeroyoknya yang telah jatuh lebih dulu.
"Mampus kau!"
Crottt!
Kepala lelaki berpakaian hitam yang beru-
saha menjatuhkan Parada jebol tertembus ujung
tongkat lelaki itu. Darah bercampur cairan otak
mengalir dari kepala yang berlubang.
"Biadab!" maki penduduk Desa Walang Te-
ter yang lain.
Tubuh lelaki berpakaian putih itu melesat
dengan pedang di tangan hendak menebas batang
leher Parada. Sekilas gerakan lelaki berpakaian
putih itu sebuah bahaya besar bagi Parada. Na-
mun nyatanya....
Tappp!
Mata pedang lelaki berpakaian putih di-
tangkap Parada dengan tangan telanjang, dan
tanpa menimbulkan luka sedikit pun. Kenyataan
itu membuat penyerang Parada terkejut. Dan se-
saat kemudian Parada menghentakkan senjata
yang dicekalnya.
"Hih!"
Wuttt!
Blagkh!
"Aaa...!"
Seiring dengan sentakan, tangan kiri Para-
da bergerak cepat menghantam kerongkongan la-
wan. Seketika itu juga pengeroyoknya terhempas
di tanah tanpa nyawa.
Brukkk!
Bunyi berdebuk terdengar, membuat pen-
duduk Desa Walang Teter merasa ngeri. Mayat-
mayat rekan mereka bergeletakan dengan kepala
pecah.
Kengerian itu juga terlihat jelas di wajah
Garda. Namun kepala keamanan Desa Walang Te-
ter tidak ingin namanya jatuh. Dengan kebera-
nian yang dipaksakan kembali melesat. Senja-
tanya digerakkan membelah kepala Sancasona.
"Hiaaa...!"
Wuttt!
"Uts!"
Lelaki berjubah merah itu dengan ringan
menggerakkan badannya menghindari serangan
Garda yang kalap. Tetapi di balik gerakan itu ter-
sembunyi serangan balasan yang cukup berba-
haya. Ujung tongkat merahnya tiba-tiba melaku-
kan gerakan menotok iga Garda.
"Hih!"
Tlakkk!
"Akh...!"
Garda terpekik ketika ujung tongkat San-
casona yang hendak menotok iganya ditangkis
dengan golok. Sungguh Garda tak percaya toto-
kan Sancasona mengandung kekuatan tenaga
yang luar biasa tinggi. Sekujur tangan Garda te-
rasa ngilu yang sangat, sedang ujung senjatanya
gompal.
"Sebaiknya kau mampus saja!" hardik San-
casona melihat Garda menahan sakit.
Sing...!
Usai berkata Sancasona melepaskan tong-
kat merahnya ke arah Garda. Maka....
Crabbb!
"Aaa...!"
Tubuh Garda langsung ambruk ke tanah.
Tongkat merah Sancasona meluruk dengan kece-
patan yang sukar diikuti mata dan menghujam
persis di ubun-ubunnya.
Lima lelaki yang tersisa menggigil ketaku-
tan menyaksikan kematian pimpinannya, mereka
tidak berani melanjutkan pertarungan. Namun
juga tidak berani meninggalkan tempatnya.
Lelaki tua pemilik kedai yang menyaksikan
kebengisan Tiga Iblis Sakti tak mampu bergerak
dari tempatnya. Dengan wajah pucat pasi, lelaki
tua itu berdiri sambil berpegangan pada tiang pe-
nyangga kedai.
"Kalian juga harus mampus seperti dia!"
hardik Sandala sambil menunjuk tubuh Garda
yang kepalanya tertembus tongkat Sancasona.
Webs!
Sancasona mencabut tongkat merahnya
yang terbenam di kepala Garda. Lalu dengan
tongkat itu ditudingkannya kelima lelaki yang
masih hidup.
"Hanya satu di antara kalian yang berhak
menghirup matahari esok pagi. Yang lainnya ha-
rus mati!" sentak Sancasona keras.
Seiring dengan hilangnya gema ucapan
Sancasona, tubuh Parada dan Sandala melesat
cepat Dan....
Prak, prak, prakkk...!
"Aaa...!"
Empat lengkingan kematian berturut-turut
membubung ke langit Desa Walang Teter. Diiringi
ambruknya empat sosok tubuh dengan kepala
pecah terhantam tongkat hitam dan biru Iblis
Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru. Darah ber-
campur cairan putih memancur dari kepala em-
pat lelaki itu.
"Kau!" tunjuk Sancasona pada seorang le-
laki kurus yang tersisa. "Cepat laporkan pada Ki
Bajang Genta! Katakan Tiga Iblis Sakti datang in-
gin meruntuhkan Perguruan Kepodang Emas.
Dan mengambil alih kekuasaan sebagai Kepala
Desa Walang Teter!" lanjut Sancasona dengan su-
ara menggelegar.
Lelaki yang tak lain adalah Lihun menggigil
ketakutan. Tubuhnya seperti orang terserang de-
mam.
"Cepat! Atau kau juga ingin mampus!" har-
dik Sandala seraya mengacungkan tongkat hi-
tamnya.
Lihun dengan sekuat tenaga berusaha ber-
gerak meninggalkan ketiga pengacau itu. Dan Ti-
ga Iblis Sakti kembali masuk ke dalam kedai den-
gan mengumandangkan tawa kemenangan. Sedi-
kit pun ketiganya tidak menoleh pada mayat-
mayat yang bergelimpangan.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
DUA
Setengah tak percaya Ki Bajang Genta me-
nerima laporan murid utama Perguruan Kepo-
dang Emas yang didapatnya dari Lihun.
"Penjaga-penjaga keamanan mulut desa,
bahkan Garda beserta anak buahnya telah men-
jadi mayat," lanjut lelaki bertubuh sedang namun
menampakkan otot-otot yang kuat. "Mayat-mayat
mereka bergelimpangan di depan kedai, Guru. Ini
sudah keterlaluan," lanjut lelaki berpakaian biru
itu. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang dita
han.
Ki Bajang Genta, seorang lelaki berusia li-
ma puluh lima tahun, tidak menimpali laporan
muridnya. Wajah tuanya yang masih menyimpan
raut kekerasan sedikit dibalut ketegangan. Se-
mentara matanya yang setajam tatapan elang tak
bergerak dari daun jendela yang terbuka lebar,
tertuju lurus seperti mencari sesuatu di sana.
"Kau tahu siapa Tiga Iblis Sakti, Anugda?"
tanpa memandang wajah muridnya, Ki Bajang
Genta melemparkan pertanyaan dengan suara
yang terkesan begitu kaku.
Murid utama Perguruan Kepodang Emas
itu tidak segera menjawab. Pertanyaan yang
hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak' itu
sebenarnya tidak terlalu berat. Namun makna di
balik pertanyaan itu yang membuat Anugda
mempertimbangkan jawabannya.
"Kau pernah mendengar sepak terjang Tiga
Iblis Sakti, Anugda?" tanya Ki Bajang Genta lagi.
Anugda semakin menenggelamkan wajah-
nya. Menekuri lantai perguruan yang terasa din-
gin. Ki Bajang Genta membalikkan tubuh. Tata-
pan matanya yang tajam tertuju lurus ke wajah
Anugda. Sementara tangan lelaki setengah baya
itu meraba-raba jenggotnya yang memutih.
"Inilah tentangan terbesar selama puluhan
tahun aku memimpin Perguruan Kepodang Emas
ini, Anugda," papar Ki Bajang Genta.
Anugda mengangkat wajahnya perlahan
memberanikan diri menatap wajah gurunya. Na-
mun sepatah kata pun tidak keluar dari mulut
nya.
"Kau tahu kenapa kedatangan Tiga Iblis
Sakti kukatakan sebagai tantangan besar, Anug-
da?" tanya Ketua Perguruan Kepodang Emas yang
selalu mengenakan pakaian kuning berbintik-
bintik hitam.
Anugda tak menjawab pertanyaan gu-
runya.
"Karena kedatangan iblis-iblis itu kuyakini
ingin meminta sesuatu dariku," jelas Ki Bajang
Genta menjawab pertanyaannya sendiri. "Sesuatu
itu bukanlah nyawaku, Anugda. Bukan juga per-
guruan ini," Lanjut Ki Bajang Genta.
Anugda kembali menatap wajah gurunya
dengan sejuta tanda tanya melingkar-lingkar di
benaknya.
"Sesuatu itu belum saatnya kujelaskan ke-
padamu, Anugda. Namun yang perlu kau ketahui,
sesuatu itu tidak pantas jatuh ke tangan orang-
orang bermoral bejat seperti Tiga Iblis Sakti. Aku
akan mempertahankannya dengan segenap jiwa
dan ragaku," tukas Ki Bajang Genta lagi.
"Kalau begitu, izinkan aku dan murid-
murid utama perguruan ini mengusir Tiga Iblis
Sakti dari desa ini. Guru," ucap Anugda membe-
ranikan diri.
Ki Bajang Genta menarik kulit wajahnya
hingga membentuk sebuah senyum dingin. Na-
mun tidak mengandung arti meremehkan keingi-
nan muridnya.
"Kukatakan kepadamu, Anugda. Kepan-
daian yang kumiliki jika dibanding dengan orang
termuda dari Tiga Iblis Sakti bisa diumpamakan
seperti kucing dan macan tutul. Aku dan orang
termuda dari Tiga Iblis Sakti memang sama-sama
punya taring. Tapi apalah arti taring seekor kuc-
ing dapur jika harus menghadapi taring si Raja
Rimba? Kau mengerti maksudku, Anugda?"
"Kita minta bantuan Kakang Yudistira,
Guru. Dengan demikian kekuatan kita semakin
kokoh," saran Anugda polos.
Kembali segurat senyum menghiasi wajah
Ki Bajang Genta.
"Tiga Iblis Sakti adalah tokoh sesat nomor
satu di jagad raya ini, Anugda. Mungkin hanya
satu orang yang dapat mengimbangi kepandaian
Tiga Iblis Sakti."
"Siapa, Guru?" tanya Anugda ingin tahu.
"Raja Petir."
"Raja Petir?" ulang Anugda.
"Ya. Raja Petir. Tapi untuk meminta ban-
tuannya bukan hal yang mudah. Dia seorang
pengembara. Kolong langit adalah tempat tinggal-
nya. Sangat sulit jika kita ingin mencarinya den-
gan sengaja, namun bukan sesuatu yang musta-
hil tiba-tiba tokoh muda yang digdaya itu muncul
di Desa Walang Teter," jelas pimpinan Perguruan
Kepodang Emas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Guru?"
tanya Anugda seperti putus asa.
"Akan kuhadapi mereka. Apa pun akibat-
nya!" jawab Ki Bajang Genta mantap.
"Maaf, Ki. Bukankah lebih aman jika kita
ikut sertakan Kakang Yudistira. Bukankah dia ju
ga memiliki orang-orang berkepandaian tinggi
yang pasti bisa meringankan langkah kita?" ucap
Anugda masih dengan usulnya.
"Aku tidak mengatakan percuma atas ban-
tuan mereka. Aku hanya tidak ingin melihat ke-
hancuran mereka karena ingin meringankan be-
ban kita. Sebagai perguruan yang punya nama
besar di kalangan rimba persilatan, kita harus
berjiwa besar menghadapi tantangan yang paling
berat sekali pun. Dengan darah dan nyawa kita
hadapi apa yang diingini Tiga Iblis Sakti," tandas
Ki Bajang Genta.
"Kalau begitu, aku persiapkan segala sesu-
atunya untuk menghadapi tikus-tikus itu. Guru,"
pinta Anugda seraya beringsut dari hadapan Ki
Bajang Genta.
"Tak ada yang perlu kau persiapkan,
Anugda. Cukup aku saja yang menghadapi Tiga
Iblis Sakti," kilah Ki Bajang Genta mengejutkan
murid utama Perguruan Kepodang Emas itu.
"Apa Guru ingin mendatangi mereka seo-
rang diri?" tanya Anugda sangat khawatir.
"Aku tidak akan menghadang mereka di
mulut desa, Anugda. Akan kutunggu mereka di
sini," jawab Ki Bajang Genta.
Anugda semakin tak mengerti dengan uca-
pan dan keinginan gurunya. Tapi untuk memban-
tah rasanya tidak mungkin.
"Sedapatnya aku akan mengatur siasat
agar tidak terjadi banjir darah di perguruan ini,"
tukas Ki Bajang Genta. "Namun jika hal itu terjadi
juga, kusarankan agar kalian mencari selamat en
tah dengan cara bagaimana. Yang pasti aku tidak
mengajari kalian menjadi seorang pengecut. Yang
kuinginkan adalah kepentingan kalian untuk te-
tap bertahan hidup. Kemudian memperdalam il-
mu dan menjelma menjadi sosok yang selalu
membela kebenaran dan mengusir keangkara-
murkaan. Kehancuran yang menimpa Perguruan
Kepodang Emas kuharap tidak terjadi lagi setelah
kau dan yang lainnya menjelma menjadi pendekar
berbudi luhur. Contohlah Raja Petir," urai Ki Ba-
jang Genta panjang lebar.
Anugda tidak bersuara mendengar penutu-
ran lelaki tua yang sangat dihormatinya itu. Rasa
hormatnya semakin bertambah mendengar kata-
kata bijaknya. Betapa jiwa Ki Bajang Genta begitu
besar dan luhur.
"Lalu bagaimana dengan Nini Harum Sero-
ja, Guru?"
"Kurasa dia lebih tahu bagaimana cara
menjaga dirinya, Anugda. Meski perempuan, Ha-
rum akan menunjukkan kekuatannya untuk
menjaga kehormatannya. Ah! Yang terakhir itu
kuharap tak terjadi," jawab Ki Bajang Genta.
Hening tercipta sesaat. Ki Bajang Genta
kembali melempar pandangan ke halaman rumah
di samping kanan.
"Kudengar ada kericuhan terjadi di mulut
desa. Ayah. Apa sudah dapat ditanggulangi?"
tanya seorang gadis cantik berpakaian longgar
merah dadu. Wajah gadis yang putih bersih itu
menyiratkan kekhawatiran yang dalam.
"Sebentar lagi pasti teratasi, Harum," jawab
Ki Bajang Genta menanggapi pertanyaan putri
tunggalnya yang tiba-tiba muncul dari pintu bela-
kang.
"Siapa pembuat kericuhan itu, Kakang?"
tanya perempuan setengah baya yang muncul
bersama gadis cantik itu.
"Tiga Iblis Sakti," jawab Ki Bajang Genta
pelan.
Ucapan Ki Bajang Genta mengejutkan pe-
rempuan setengah baya yang tak lain istrinya. Pe-
rempuan yang wajahnya masih menampakkan si-
sa-sisa kecantikan itu tampak terkejut.
"Tiga Iblis Sakti?" ulang istri Ki Bajang
Genta.
"Apakah mereka mau merebut..."
"Itu pasti tujuan utama mereka, Nyi Ran-
da," potong Ki Bajang Genta sebelum rahasia itu
disebut istrinya.
Harum Seroja dan Anugda yang mendengar
pembicaraan itu tidak berusaha menegaskan.
"Apa tindakanmu, Kakang Bajang?" tanya
Nyi Randa cemas.
"Aku akan menantangnya mengadu nya-
wa," jawab Ki Bajang Genta mantap.
"Kakang...," tak percaya Nyi Randa men-
dengar penuturan suaminya.
"Setidaknya itu salah satu cara untuk
mengurangi pertumpahan darah di Desa Walang
Teter. Khususnya di Perguruan Kepodang Emas,"
kilah Ki Bajang Genta.
"Tapi...."
"Aku akan mengatur siasat untuk mengu
lur waktu. Dengan mengharapkan kemunculan
seorang pendekar sakti seperti Raja Petir. Meski
itu mustahil, aku tetap berharap," potong Ki Ba-
jang Genta.
"Apa siasat mengulur waktu yang kau
maksud itu?" tanya Nyi Randa lebih jauh.
"Aku akan menantangnya mengadu nyawa
untuk mempertahankan sesuatu yang telah lama
kujaga dengan hati-hati. Waktunya tepat pada
purnama mendatang," jelas Ki Bajang Genta.
"Sembilan hari lagi...," desah Nyi Randa mi-
rip desisan.
"Ya. Sembilan hari lagi," tegas Ki Bajang
Genta.
"Bagaimana seandainya Tiga Iblis Sakti
mampu membaca siasatmu?" kejar Nyi Randa.
Ki Bajang Genta tidak segera menjawab.
Matanya yang tajam menatap wajah redup pe-
rempuan setengah baya di hadapannya. Kemu-
dian setelah puas, Ki Bajang Genta menarik na-
pas panjang. Dada Ki Bajang Genta mengembang
sesaat, lalu tertarik ke dalam perlahan-lahan
menghembuskan napas dari lubang hidungnya.
"Hhh...."
"Tampaknya pertarungan tidak akan tere-
lakkan lagi, Nyi," ucap Ki Bajang Genta.
Nyi Randa tidak mengomentari. Tatapan
matanya menghujam wajah Ki Bajang Genta.
"Terpaksa benda itu berpindah dari tem-
patnya. Dan kau, Anugda! Kuharap kau mampu
menjaga diri dan anakku dalam menyelamatkan
benda itu. Pergilah kalian bertiga ke tempat yang
aman. Biar aku yang menghadapi Tiga Iblis Lak-
nat itu bersama murid-murid perguruan," pinta
Ki Bajang Genta pada Anugda.
"Kalau aku boleh tahu, benda apakah yang
Ayah maksud itu?" tanya Harum Seroja hati-hati.
Ki Bajang Genta menatap wajah anaknya.
Namun Nyi Randa justru menatap wajah Ki Ba-
jang Genta.
"Pada akhirnya kau memang harus tahu,
Harum. Benda itu adalah Lempengan Teratai
Emas," ujar Ki Bajang Genta memberi tahu.
"Lempengan Teratai Emas...?" ulang Harum
Seroja pelan. "Apakah demikian berharganya,
hingga Ayah harus mempertahankan dengan
nyawa dan keutuhan perguruan ini?"
"Bukan hanya itu nilai Lempengan Teratai
Emas, Harum. Tetapi keselamatan rimba persila-
tan, khususnya golongan putih. Mereka akan ter-
jaga jika kalian mampu mempertahankan benda
itu dari tangan-tangan hitam yang ingin mengua-
sai sejak puluhan tahun silam," tandas Ki Bajang
Genta.
"Oh! Betapa besar nilai benda itu. Apa-
kah.... Apakah kita harus menyelamatkannya se-
karang. Ayah. Sebelum iblis-iblis itu datang," usul
Harum Seroja hati-hati.
"Tidak sekarang, Harum. Akan kujalani du-
lu siasat yang kususun. Akan kutantang Tiga Iblis
Sakti!" tolak Ki Bajang Genta. "Kalian boleh me-
mindahkan benda itu kalau tanda-tanda pertem-
puran sudah terlihat jelas."
Sepi sesaat melingkupi mereka yang se
dang berbincang-bincang di ruang tengah tempat
tinggal Ki Bajang Genta. Namun kemudian....
"Ha ha ha...!"
Sepi itu terpecahkan oleh suara tawa ber-
kepanjangan. Suara tawa yang keluar melalui
pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga rumah Ki
Bajang Genta bergetar. Ki Bajang Genta, Harum
Seroja, Nyi Randa, dan Anugda melawan suara
tawa itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga
dalam. Ki Bajang Genta segera menghambur ke-
luar ingin melihat sosok yang telah mengeluarkan
tawa.
"Hm.... Rupanya Tiga Iblis Sakti," ucap Ki
Bajang Genta setelah memperhatikan tiga lelaki
berpakaian merah, biru, dan hitam.
"Kau ternyata berjiwa besar, Bajang!
Sayang kau kurang beruntung karena siasatmu
telah kami ketahui," ucap sosok bertongkat hi-
tam. Dialah Sandala yang berjuluk Iblis Tongkat
Hitam.
"Sebelum kami meminta dengan paksa
Lempengan Teratai Emas, sebaiknya kau mencari
selamat dengan menyerahkannya secara sukare-
la. Sebetulnya tidak begitu prinsip Tiga Iblis Sak-
ti, yang selalu menagih nyawa pada setiap orang
yang berurusan dengannya. Tapi untukmu kube-
rikan kelonggaran, Bajang!" timpal lelaki muda
merah darah.
Ki Bajang Genta tidak mengomentari per-
kataan lelaki berjubah merah yang tak lain San-
casona si Iblis Tongkat Merah. Pada saat itu Nyi
Randa, Harum Seroja, dan Anugda keluar mene
mui Ki Bajang Genta. Mereka berdiri di samping
Ketua Perguruan Kepodang Emas.
Tak lama kemudian dari belakang, samping
kiri dan kanan Tiga Iblis Sakti bermunculan tiga
murid utama Ki Bajang Genta. Kemunculan keti-
ganya dibarengi dengan puluhan murid Pergu-
ruan Kepodang Emas yang lengkap dengan senja-
ta terhunus.
Tiga Iblis Sakti yang menyaksikan kemun-
culan murid-murid Perguruan Kepodang Emas
tersenyum meremehkan.
"Tak adakah yang lain selain kelinci-kelinci
lucu yang kau hadirkan ke hadapan kami, Ba-
jang?" tanya Parada si Iblis Tongkat Biru. Tatapan
Iblis Tongkat Biru beredar merayapi wajah-wajah
murid Perguruan Kepodang Emas yang bersemu
merah mendengar julukan itu.
"Yang kuinginkan kau menyambutku den-
gan puluhan ekor serigala liar, atau puluhan be-
ruang gurun yang buas. Keluarkanlah kalau kau
memilikinya, Bajang. Jangan kelinci-kelinci lucu
ini!" Lanjut Parada dengan suara agak tinggi.
"Jangan sombong, Tongkat Biru!" balas Ki
Bajang Genta marah. "Kalau sudah sampai
umurmu sekarang ini, kelinci-kelinci di bela-
kangmu akan mengirimmu ke liang kubur!"
"Ha ha ha...!"
Iblis Tongkat Biru tertawa keras menden-
gar perkataan Ketua Perguruan Kepodang Emas.
"Pandai sekali kau menghibur hati, Bajang!
Sungguh aku kagum. Di tengah-tengah ambruk-
nya Perguruan Kepodang Emas dan nyawamu
yang sebentar lagi melayat ke neraka, kau masih
bisa menghibur diri," ejek Parada dengan air mu-
ka dibuat selucu mungkin.
"Phuih!"
Ki Bajang Genta meludah ke tanah. Kemu-
dian kepalanya menoleh pada tiga sosok yang be-
rada di samping kirinya.
"Nyi Randa, Harum, dan kau Anugda ce-
pat..."
"Hei! Kalian bertiga jangan pergi!" potong
Sancasona yang rupanya dapat membaca arah
ucapan Ki Bajang Genta. Serta merta tangan Iblis
Tongkat Merah menghentak cepat
Slerets...!
Seberkas sinar kemerahan meluruk cepat
ke arah tubuh gadis cantik putri Ki Bajang Genta.
Tubuh Harum Seroja terbungkus sinar kemera-
han yang melesat dari telapak tangan Sancasona.
Tubuh gadis itu berubah kaku dan tak mampu
bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Kenyataan itu mengejutkan Ki Bajang Gen-
ta, Nyi Randa, dan Anugda. Dan keterkejutan Ki
Bajang Genta semakin bertambah ketika Iblis
Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru ikut meng-
hentakkan tangannya.
Dua berkas siar biru dan putih meluruk
dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Tanpa
bisa dihindari lagi, tubuh Nyi Randa dan Anugda
terhantam dua sinar Parada dan Sandala. Nasib
yang dialami Harum Seroja menimpa Nyi Randa
dan Anugda. Keduanya kaku di tempat mereka
dengan sinar biru dan putih yang membungkus
tubuh.
Di tengah keterkejutannya Ki Bajang Genta
berseru keras. "Ganyang tiga iblis laknat itu!"
Tiga murid utama Perguruan Kepodang
Emas dengan diikuti puluhan murid yang bersen-
jata terhunus segera merangsek tubuh-
Sancasona, Parada, dan Sandala. Teriakan-
teriakan mereka berbaur dengan kegeraman yang
tak terbendung.
"Heyaaa...!"
"Hiaaat....!"
"Hiaaa...!"
TIGA
Puluhan murid Perguruan Kepodang Emas
yang meluruk maju terpecah menjadi tiga bagian.
Sebagian menggasak Parada, sebagian lagi men-
geroyok Sandala, dan sisanya membantu Ki Ba-
jang Genta menghadapi orang termuda Tiga Iblis
Sakti, Iblis Tongkat Merah.
Namun perlawanan yang dilakukan Ki Ba-
jang Genta dan seluruh muridnya bagi Tiga Iblis
Sakti merupakan sebuah permainan. Yang mem-
buat mereka tertawa setiap kali sosok manusia
terkapar tak bernyawa dengan kepala bolong ter-
tembus ujung tongkat mereka.
"Hiyaaa...!"
Bet, bet!
"Uts!"
Iblis Tongkat Biru hanya menggerakkan
pinggangnya untuk menghindari tebasan senjata
murid Perguruan Kepodang Emas. Lalu Parada
ganti mengayunkan tongkat keluk sembilannya ke
pinggang lawan.
"Hih!"
Plak!
Crokkk!
"Aaa...!"
Sosok tubuh penyerang Parada terjungkal
setelah sambaran tongkat yang dimainkan dalam
jurus 'Tongkat Iblis Mengejar Nyawa' cukup telak
mendera pinggangnya. Dan ketika tubuhnya ter-
bungkuk, ujung tongkat Parada dengan telak me-
nembus ubun-ubunnya. Darah yang mengucur
deras disertai cairan putih dari kepala yang bo-
long itu.
Seiring dengan ambruknya murid Pergu-
ruan Kepodang Emas, nyawanya terpisah dari
badan. Sedangkan Iblis Tongkat Biru tanpa mem-
pedulikan mayat yang bergeletakkan di dekatnya
kembali melanjutkan pembantaian. Anehnya, le-
laki itu melakukannya dengan tersenyum-
senyum. Kadang Parada terbahak menyaksikan
kematian lawannya. Baginya, mungkin kematian
lawan merupakan hiburan segar yang harus di-
tanggapi dengan tawa.
Apa yang dilakukan Parada juga diperbuat
Sandala dan Sancasona. Kedua lelaki yang berju-
luk Iblis Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Merah
berpestapora. Membantai murid-murid Perguruan
Kepodang Emas yang memang bukan tandingan
mereka. Bahkan Ki Bajang Genta belum setara
ilmunya dengan Tiga Iblis Sakti.
"Mampus kau, Iblis!" maki seorang murid
utama Ki Bajang Genta. Pedangnya dilayangkan
membabat leher Iblis Tongkat Hitam. Angin ber-
desing keras terjadi seiring dengan melayangnya
senjata yang ditebaskan dengan pengerahan te-
naga dalam tinggi.
Sing...!
Sandala yang menyaksikan serangan cu-
kup ganas itu, seolah tidak menyaksikan luncu-
ran benda tajam. Dia tetap berdiri tenang tanpa
ada usaha menghindari. Namun urat-urat leher-
nya sedikit mengejang. Tampaknya lelaki itu ingin
mencoba kekuatan tenaga dalam lawan.
Tlakkk!
Bunyi seperti beradunya dua benda keras
terdengar ketika senjata murid utama Ki Bajang
Genta menghantam leher Iblis Tongkat Hitam.
"Aaakh...!"
Pekik tertahan pun terdengar. Dengan tu-
buh terhuyung dan batang pedang patah jadi
dua. Sendala, lelaki berusia empat puluh lima ta-
hun, terus mengejar tubuh murid utama Ki Ba-
jang Genta yang terhuyung dengan rasa nyeri
mendera tangannya. Iblis Tongkat Hitam membu-
ru dengan mengerahkan jurus 'Tongkat Iblis Men-
gejar Nyawa'.
"Haiiit...!"
Wukkk!
Crokkk!
Kembali kepala salah seorang murid Ki Ba-
jang Genta terpanggang tongkat berkeluk sembi
lan milik Sandala. Untuk kesekian kalinya seso-
sok tubuh tergeletak dengan kepala bolong.
Kenyataan itu membuat Ki Bajang Genta
menjadi panik bukan main. Disadarinya tak lama
lagi semua muridnya menjadi korban keganasan
Tiga Iblis Sakti. Sedangkan Nyi Randa, Harum Se-
roja, dan Anugda tidak bisa bergerak karena ter-
bungkus sinar merah, biru, dan hitam.
"Hiyaaa...!"
Merasa tak ada jalan lain, Ki Bajang Genta
kembali berkelebat menyerang orang termuda da-
ri Tiga Iblis Sakti. Suara berdesing tajam mengi-
ringi serangan Ki Bajang Genta. Pedangnya berke-
lebat ke arah lambung Sancasona. Ketua Pergu-
ruan Kepodang Emas itu tengah mengerahkan ju-
rus 'Pedang Pembelah Awan'.
Namun bagi Sancasona yang sudah mam-
pu mengukur kekuatan tenaga dalam Ketua Per-
guruan Kepodang Emas, serangan yang dihada-
pinya tidaklah menakutkan. Disongsongnya sen-
jata Ki Bajang Genta dengan telapak tangan telan-
jang.
"Tappp!"
Dengan kekuatan tenaga dalam yang bera-
da di atas Ki Bajang Genta, Sancasona seenaknya
menangkap pedang itu.
"Buang saja senjatamu, Bajang!" ejek San-
casona. Batang pedang itu digenggamnya erat-
erat.
"Hmh....!"
Ki Bajang Genta mendengus marah. Sekuat
tenaga ditariknya senjata itu dari cekalan Sanca
sona.
"Tariklah sebisamu, Bajang!" kembali Iblis
Tongkat Merah mengejek.
Ki Bajang Genta yang memang sudah ter-
pancing kemarahannya segera mengerahkan selu-
ruh tenaganya. Namun sampai napasnya tersen-
gal-sengal senjata itu tidak terlepas juga. Bah-
kan....
Trakkk!
Iblis Tongkat Merah yang menggoyangkan
pergelangan tangan Ki Bajang Genta. Hingga pe-
dang lelaki setengah baya itu patah menjadi dua
bagian. Kejadian itu tentu saja merugikan Ketua
Perguruan Kepodang Emas. Saat itu dia tengah
mengerahkan tenaganya, maka akibatnya tubuh
Ki Bajang Genta terdorong ke belakang oleh tena-
ganya sendiri.
Ki Bajang Genta yang matang pengalaman
segera mementahkan daya dorongnya dengan me-
lemparkan tubuhnya ke samping kanan dan ber-
gulingan di tanah. Tapi Iblis Tongkat Merah telah
memperhitungkan segalanya. Ketika tubuh Ketua
Perguruan Kepodang Emas bergulingan, Sanca-
sona melempar patahan pedang Ki Bajang Genta
yang masih berada di genggamannya.
"Hih!"
Sing...!
Cepat laksana kilat lemparan itu dilakukan
Iblis Tongkat Merah. Maka....
Crabbb!
"Aaa…!"
Peristiwa senjata makan tuan pun terjadi.
Kepala Ki Bajang Genta tertembus patahan pe-
dang miliknya sendiri. Tubuh Ki Bajang Genta
yang tengah bergulingan terus berguling. Darah
merembes dari batok kepalanya.
"Ha ha ha...!"
Melihat pemandangan di depannya, Iblis
Tongkat Merah terbahak-bahak. Begitu kejamnya
pemuda itu dan tidak punya perasaan.
"Habisi semuanya!" perintah Sancasona.
Parada dan Sandala, meski tanpa diperin-
tah pun memang bermaksud menghabisi murid-
murid Perguruan Kepodang Emas. Maka peman-
dangan yang terlihat sebuah permainan maut
yang sangat mengerikan. Murid-murid Perguruan
Kepodang Emas satu persatu melayat ke akherat
menyusul kematian gurunya.
"Hiaaa...!"
Plak, plak...!
Crokkk, crokkk...!
Dua lengking kematian kembali mengge-
tarkan alam Desa Walang Teter. Dua sosok terak-
hir murid Perguruan Kepodang Emas terhantam
tongkat Parada dan Sandala. Sasarannya ubun-
ubun.
"Hhh...!"
Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat Hitam
menarik napas panjang-panjang setelah menyele-
saikan lawan-lawan terakhirnya. Keduanya
menghampiri mayat seorang murid Ki Bajang
Genta. Lalu membersihkan tongkat-tongkat me-
reka yang berlumuran darah dengan pakaian mu-
rid Perguruan Kepodang Emas. Selesai member
sihkan senjatanya, Iblis Tongkat Biru dan Iblis
Tongkat Hitam menghampiri Iblis Tongkat Merah.
"Tinggal selangkah lagi kita mendapatkan
benda itu, Sancasona," ucap Parada riang.
"Ya. Kita gunakan ketiga manusia itu seba-
gai penunjuk," timpal Sandala seraya menunjuk
sosok Nyi Randa, Harum Seroja, dan Anugda yang
berdiri kaku.
"Kakang berdua betul! Ayo, kita bebaskan
mereka dari pengaruh ilmu 'Pembungkus Gerak',"
ucap Iblis Tongkat Merah.
"Ayolah!" sambut Iblis Tongkat Hitam dan
Iblis Tongkat Biru berbarengan.
Ketiganya melangkah mendekati Nyi Ran-
da, Harum Seroja, dan Anugda. Tapi baru dua
langkah kaki Tiga Iblis Sakti terayun, sebuah ta-
wa menggelegar seketika terdengar.
"Ha ha ha...!"
Tiga Iblis Sakti langsung menghentikan
langkahnya, dan berpaling ke arah suara tawa.
Jlig, jlig...!
Bersamaan dengan berbaliknya tubuh Tiga
Iblis Sakti, dua sosok bayangan hitam berkelebat
dan mendarat ringan tiga tombak di hadapan
Sancasona, Parada, dan Sandala.
"Dua Datuk Jubah Hitam!" ucap Sancaso-
na keras. Tampak berdiri tegak dengan sikap me-
nantang dua lelaki berusia lanjut yang mengena-
kan jubah longgar.
***
Dua lelaki tua yang dipanggil Dua Datuk
Jubah Hitam tidak menanggapi ucapan orang
termuda Tiga Iblis Sakti.
Lelaki pertama dari Dua Datuk Jubah Hi-
tam memandang wajah Sancasona tajam. Wajah
tuanya yang berkerut dan ditumbuhi tahi lalat
cukup banyak nampak menegang. Sepasang ma-
tanya menyorotkan kebengisan yang luar biasa.
Alisnya berwarna putih, sama dengan jenggotnya
yang tidak terurus. Sementara pandangan orang
kedua dari Dua Datuk Jubah Hitam merayapi
mayat-mayat yang bergeletakan dengan kepala
bolong.
"Rupanya pesta kalian telah selesai. Ah,
sayang. Kami datang terlambat hingga tak dapat
merasakan kelezatan daging-daging kelinci itu,"
ucap orang pertama dari Dua Datuk Jubah Hi-
tam.
"Gordama! Jangan banyak bicara! Katakan,
apa maksudmu mencampuri urusan Tiga Iblis
Sakti!" bentak Sancasona marah.
Lelaki yang dipanggil Gordama tersenyum
mendengar bentakan Sancasona.
"Sama seperti yang kau inginkan, Sanca-
sona! Aku pun ingin keabadian itu!" timpal Gor-
dama membentak nyaring.
"Hmh...!" Sancasona mendengus kasar.
"Kalau kau menginginkan isi yang berada di Goa
Teratai, Tiga Iblis Sakti-lah yang harus kalian ha-
dapi!" bentak Iblis Tongkat Merah geram.
"Iblis Tongkat Merah pun akan kuhadapi
untuk mencapai keabadian hidup yang telah lama
kuidamkan. Bukan begitu, Landura?" ucap Gor-
dama seraya menoleh pada orang kedua dari Dua
Datuk Jubah Hitam.
"Betul!" sambut Landura. "Tak kupandang
keberadaan kalian, Tiga Iblis Sakti!" Lanjut Lan-
dura mengejek pedas.
"Bangsat!" maki Sandala berang.
Dua Datuk Jubah Hitam tersenyum me-
nyaksikan kemarahan Iblis Tongkat Hitam. Tidak
terdengar sanggahan dari mulut dua lelaki tua
berjubah longgar hitam. Hening sesaat merayapi
kelima tokoh golongan hitam yang memiliki ke-
pandaian tinggi itu. Mereka saling bertatapan seo-
lah mengukur kekuatan lawan.
Keabadian yang dimaksud adalah sebuah
ramuan yang tersimpan di Goa Teratai. Ramuan
itu menurut sebagian tokoh tingkat tinggi yang
hidup puluhan tahun silam adalah ramuan yang
jika diminum mampu membuat orang awet muda
dan berangsur-angsur menjadi muda bagi yang
sudah berusia lanjut.
Ramuan itu juga dapat menebalkan kulit,
otot, dan organ-organ tubuh lainnya. Hingga men-
jadi kebal terhadap tebasan senjata, meski se-
buah pusaka! Penyakit tidak akan menyentuh tu-
buh mereka. Kematian tak akan mereka temui,
hingga mereka mendapatkan keabadian hidup.
Namun akibat yang ditimbulkan adalah
watak menjadi berubah menjadi dari watak semu-
la. Kalau yang meminum berwatak baik, maka dia
akan berubah menjadi bengis dan kejam. Jika dia
berwatak bengis dan kejam, maka kekejaman dan
kebengisannya menjadi berlipat-lipat.
Itu sebabnya almarhum Pendekar Lembah
Teratai tidak mau meminum ramuan laknat itu.
Ketika beliau mati karena sakit, kunci pembuka
Goa Teratai diserahkan pada Ki Bajang Genta.
Sesungguhnya Goa Teratai bukan hanya
menyimpan ramuan keabadian. Tapi juga harta
karun dan sebilah pedang maut yang bernama
Pedang Beruang Salju. Yang aneh dari Goa Tera-
tai adalah bila seseorang ingin memiliki harta ka-
run, dia harus pula mengambil Pedang Beruang
Salju dan ramuan keabadian, yang harus lang-
sung diminum di dalam goa. Kalau keharusan itu
dilanggar, jangan harap apa yang diinginkan akan
tercapai.
Tokoh-tokoh golongan hitam adalah yang
paling berniat memiliki isi Goa Teratai, seperti Ti-
ga Iblis Sakti dan Dua Datuk Jubah Hitam. Tetapi
mereka tidak tahu letak Goa Teratai. Untuk men-
getahuinya, mereka harus mendapatkan dulu se-
buah benda yang bernama Lempengan Teratai
Emas. Pada lempengan itulah akan didapat pe-
tunjuk tentang letak Goa Teratai. Dan lempengan
itu digunakan kunci pembuka pintu goa. Tiga Ib-
lis Sakti dan Dua Datuk Jubah Hitam tahu di
mana mereka harus mendapatkan Lempengan Te-
ratai Emas.
"Jangan menyesal kalau kalian yang masih
muda harus mati di tangan Dua Datuk Jubah Hi-
tam," ucap Gordama memecah keheningan.
"Kalianlah yang harus mati di tangan Tiga
Iblis Sakti!" balas Sancasona. "Ayo! Kita gasak
mereka!" lanjutnya mengajak Parada dan Sanda-
la.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Sancasona melesat ke arah Gorda-
ma. Sedangkan Sandala dan Parada menyerang
Landura.
EMPAT
Pertarungan antara Tiga Iblis Sakti mela-
wan Dua Datuk Jubah Hitam tidak dapat dielak-
kan. Sancasona si Iblis Tongkat Merah yang ber-
hadapan dengan Gordama mengeluarkan jurus-
jurus andalannya. Begitu pun sebaliknya.
"Jaga seranganku, Gordama! Hiaaa...!"
Kembali Sancasona Melesat cepat. Tangan
kanannya yang menggenggam tongkat merah ber-
keluk sembilan teracung tinggi-tinggi di atas ke-
pala. Sebuah 'Pukulan Lelang Nyawa' tengah di-
kerahkan Iblis Tongkat Merah. Angin menderu
mengiringi serangan Sancasona, yang dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wukkk...!
"Uts!"
Sambaran tongkat Sancasona yang terarah
ke batok kepala Gordama mengandung kekuatan
hawa panas menyengat. Tapi dengan ilmu merin-
gankan tubuh yang dibarengi hentakan kaki cu-
kup kuat, Gordama melesat ke belakang meng-
hindari sambaran senjata lawan.
Serangan Sancasona yang dilancarkan me
lalui jurus 'Pukulan Lelang Nyawa' memang ber-
hasil dihindari Gordama, namun Iblis Tongkat
Merah bukanlah orang yang mudah dipecundangi
lawan. Sancasona dengan kecepatan gerak yang
mengagumkan kembali melancarkan serangan
susulan, tetap menggunakan jurus 'Pukulan Le-
lang Nyawa'.
"Hiyaaa...!"
"Heh?!"
Melihat Iblis Tongkat Merah melesat bagai
kilat, Gordama terkejut juga. Namun tokoh itu tak
gugup, meski kesempatannya menghindari seran-
gan itu sangat sedikit. Maka ketika sambaran
tongkat berkeluk sembilan Sancasona datang, se-
gera disambutnya dengan kibasan senjatanya
yang berupa Pecut Ekor Kuda.
"Hih!"
Plark!
Bunyi cukup kuat seperti dua logam keras
beradu seketika terdengar. Cukup mengagumkan
senjata yang dimiliki orang tertua dari Dua Datuk
Jubah Hitam. Senjata itu terdiri dari bulu-bulu
halus dibentuk persis buntut kuda yang dapat
menegang bagai lempengan logam. Itu berkat te-
naga dalam Gordama yang hampir mencapai
tingkat sempurna. Akibat yang ditimbulkan dari
benturan keras itu adalah terhuyungnya tubuh
Sancasona dan Gordama beberapa langkah.
"Hebat juga kau, Kakek Tua Renta!" pujian
yang mirip hardikan itu keluar dari mulut Iblis
Tongkat Merah. "Namun kusangsikan apakah kau
mampu membendung seranganku berikutnya.
'"Tongkat Pemecah Gelombang'!" lanjut
Sancasona seraya menggeser kakinya dua lang-
kah ke samping kanan dan satu langkah mundur.
Tubuhnya dalam kedudukan kuda-kuda rendah.
Sementara tongkat merah miliknya rebah di ta-
nah dengan bagian ujung terarah ke belakang.
Melihat Iblis Tongkat Merah merubah ju-
rusnya, orang tertua dari Dua Datuk Jubah Hi-
tam pun segera melakukan gerakan yang menga-
wali pembukaan jurus 'Cemeti Maut'.
"Akan kutimpali jurus murahanmu dengan
jurus 'Cemeti Maut' milikku, Iblis Kurap!" ledek
Gordama lantang.
Merah wajah Sancasona dan terasa begitu
panas telinganya. Maka seketika itu juga dia me-
lesat setelah kedua kakinya diangkat bersamaan
dan dibanting menghentak kuat-kuat.
"Heaaa...!"
Wrrr...!
Angin yang menjelma dari sambaran tong-
kat Iblis Tongkat Merah angin topan yang mampu
menumbangkan sebatang pohon. Pakaian Sanca-
sona berkibar. Demikian pula jubah hitam Gor-
dama.
Ctar!
Gordama segera mengebutkan senjatanya
dalam jurus 'Cemeti Maut' untuk menandingi pu-
saran angin yang keluar akibat hentakan tangan
Sancasona.
"Haaat!"
Wukkk! Wukkk!
"Uts!"
Ctar!
Sancasona dan Gordama melancarkan se-
rangan saling susul-menyusul. Tongkat merah
berkeluk sembilan yang selalu berkelebat mence-
car batok kepala lawan berhasil dielakkan Gor-
dama. Begitu juga senjata Dua Datuk Jubah Hi-
tam yang mencecar ulu hati dan tenggorokan la-
wan, selalu saja membentur tempat kosong.
Dalam adu ketangkasan bermain senjata
dan kecepatan gerak, nampaknya dua tokoh go-
longan hitam itu seimbang. Salah satu di antara
mereka akan binasa jika sedikit saja lengah.
"Hiaaa...!"
Wukkk!
Blagkh!
"Ugkh!"
Tubuh Gordama terhuyung empat langkah
ketika gerak tipu yang dilancarkan Sancasona
berhasil. Sesaat Gordama mengira Sancasona
akan membabatkan tongkatnya ke kepala. Namun
di tengah serangannya, Iblis Tongkat Merah me-
rubah dengan menarik pulang senjatanya dan
melancarkan tendangan lurus ke dada Dua Datuk
Jubah Hitam.
"Uhugkh!"
Gordama kembali terbatuk. Rasa sesak
mendera dadanya. Darah setetes demi setetes
mengalir dari sela bibirnya.
"Sudah kukatakan kau akan mampus di
tanganku, Gordama! Terimalah ini!"
"Haaat...!"
Tubuh Sancasona kembali melayang men
gejar sosok Dua Datuk Jubah Hitam yang ter-
huyung. Kemudian dengan mengerahkan tenaga
dalam, tongkat merahnya dikebutkan ke bahu
Gordama.
Bluk!
"Aaa...!"
Pekik tertahan terdengar seiring olengnya
tubuh Datuk Jubah Hitam ke kanan. Karena ba-
hu kirinya tersambar tongkat berkeluk sembilan
Sancasona. Dan pada saat itulah, Iblis Tongkat
Merah menghentakkan ujung tongkatnya kuat-
kuat ke arah ubun-ubun Gordama.
"Hih!"
Crokkk!
"Aaa...!"
***
Tubuh orang tertua dari Dua Datuk Jubah
Hitam ambruk ke tanah. Beberapa saat Gordama
meregang nyawa dengan menggelepar-gelepar ba-
gai kerbau disembelih. Dan saat berikutnya, nya-
wa Gordama tidak bersarang lagi di tubuhnya.
Tubuh Dua Datuk Jubah Hitam berubah kaku
dan berangsur-angsur dingin.
"Jangan terlalu banyak bermain-main, Ka-
kang. Habisi secepatnya!" tukas Sancasona ketika
melihat Iblis Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Bi-
ru belum juga merobohkan Landura, orang kedua
dari Dua Datuk Jubah Hitam.
"Ilmunya hebat!" jawab Parada. "Tapi jan-
gan khawatir, Kakang berdua akan menghabisi
hidupnya sekarang juga!"
"Hiaaa...!"
"Heyaaa...!"
Tubuh Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat
Merah bergerak cepat. Kali ini serangan berge-
lombang yang dilakukan mereka menggunakan
jurus 'Pukulan Lelang Nyawa'.
Iblis Tongkat Biru berkelebat dengan men-
gayunkan senjatanya ke bagian atas tubuh Lan-
dura. Sedangkan Iblis Tongkat Hitam menyerang
bagian bawah, yakni selangkangan lawan.
Menghadapi serangan dari dua arah kema-
tian. Landura merasa sedikit gentar. Kedudukan-
nya seperti telur di ujung tanduk, apalagi dengan
kematian Gordama. Maka untuk menghadapi se-
rangan kilat itu....
Wukkk!
"Uts!"
Landura merundukkan kepala dengan ce-
pat untuk menghindari serangan Iblis Tongkat Bi-
ru. Tapi tidak demikian ketika serangan susulan
Iblis Tongkat Hitam datang.
"Haaat...!"
Wukkk!
Prats!
Ujung cemeti Landura berhasil melibat
tongkat hitam berkeluk sembilan. Namun siapa
sangka itulah yang diinginkan dua orang lawan-
nya. Maka ketika saling tarik-menarik terjadi, Pa-
rada melesat dengan tendangan lurus ke depan
Landura.
"Hiaaa...!"
Blugkh!"
"Akh!"
Tubuh tua Landura terpental deras terkena
terjangan kuat pada bagian dadanya. Darah ber-
muncratan dari mulut orang termuda Dua Datuk
Jubah Hitam.
Tidak hanya itu penderitaan yang dialami
Landura. Saat dirinya ambruk dan terkulai di ta-
nah, Iblis Tongkat Hitam berkelebat ke arahnya
dengan tongkat terayun ke kepala.
"Mampus kau!" teriak Sandala geram.
Crokkk!
Darah muncrat dari kepala Landura yang
tertembus ujung tongkat Iblis Tongkat Hitam.
Orang termuda dari Dua Datuk Jubah Hitam itu
langsung jadi mayat.
"Hhh...?!"
Sandala menarik napas berat menyaksikan
kematian Landura. Kemudian dihampirinya San-
casona yang telah lebih dulu menewaskan Gor-
dama.
"Kenapa kalian begitu lambat menjatuhkan
Landura?" sesal Iblis Tongkat Merah.
"Tadinya aku menganggap remeh Landura,
Sancasona. Tapi kemudian aku jadi tahu dia ti-
dak bisa diajak bermain-main. Landura ternyata
cukup tangguh," kilah Iblis Tongkat Biru.
"Ayo! Sekarang kita manfaatkan tiga ce-
cunguk itu untuk menunjukkan tempat penyim-
panan Lempengan Teratai Emas," ajak Sancaaso-
na seraya melangkah menuju Nyi Randa, Harum
Seroja, dan Anugda. Kemudian Tiga Iblis Sakti
membebaskan ketiganya dari pengaruh ilmu
'Pembungkus Gerak'.
"Ah...!"
"Ah...!"
"Uh...!"
Seperti orang terjaga dari mimpi Nyi Randa,
Harum Seroja, dan Anugda menyadari keadaan
dirinya. Tatapan mata ketiganya langsung mem-
bentur mayat-mayat yang bergeletakan di sana-
sini.
"Ayaaah...!" pekik Harum Seroja ketika me-
nyaksikan tubuh Ki Bajang Genta tergeletak den-
gan kepala bolong.
LIMA
Angin yang berhembus semilir mengantar-
kan hawa segar membelai kulit. Pagi ini, matahari
belum begitu kuat memancarkan sinarnya. Desa
Barakrapi yang begitu tenang memperlihatkan
keindahan melalui hamparan sawah dan pohon-
pohon nyiur yang melambai-lambai tertiup angin.
Seorang lelaki muda berusia dua puluh
empat tahun nampak termenung di pendopo ru-
mahnya yang bagus dan terawat rapi. Mata lelaki
tampan berpakaian putih itu begitu hampa mena-
tap pemandangan indah di depannya. Dia adalah
Yudistira. Pimpinan Perguruan Pedang Kumala
itu baru saja mengetahui perihal runtuhnya Per-
guruan Kepodang Emas oleh Tiga Iblis Sakti yang
kini menawan Harum Seroja kekasihnya, Nyi
Randa, dan Anugda. Berita itu diterima Yudistira
dari anak buahnya, yang memang ditugasi men-
gawasi Desa Walang Teter untuk mendapat kete-
rangan akan desa yang semula begitu aman itu.
"Ahhh...!"
Yudistira menarik napas panjang. Pemuda
itu bangkit dari duduknya dan berjalan menyusu-
ri halaman rumahnya yang cukup luas. Yudistira
tidak menyangka Desa Walang Teter akan keda-
tangan tamu bejat yang memiliki kepandaian
tinggi. Tiga Iblis Sakti memang sangat disegani di
kalangan rimba persilatan, baik oleh kaum sego-
longan maupun golongan putih.
Berdasarkan cerita yang didapatnya, keda-
tangan Tiga Iblis Sakti itu untuk meminta Lem-
pengan Teratai Emas dari tangan Ki Bajang Gen-
ta. Namun kejadiannya membuat nyawa Ketua
Perguruan Kepodang Emas dan keutuhan pergu-
ruan itu tidak dapat dipertahankan.
Bagi Yudistira sendiri, mendatangi Tiga Ib-
lis Sakti untuk membebaskan kekasihnya, Nyi
Randa, dan Anugda adalah perbuatan nekat yang
hanya akan menyerahkan nyawa sia-sia saja. Yu-
distira merasa dirinya dan seluruh muridnya tak
akan mampu menandingi kehebatan Tiga Iblis
Sakti.
Hanya ada satu orang tokoh muda golon-
gan putih yang mampu mengimbangi Tiga Iblis
Sakti. Menurut Yudistira orang tersebut adalah
Raja Petir. Tapi untuk meminta bantuan pada Ra-
ja Petir bukanlah hal yang mudah. Raja Petir seo
rang pengembara yang tidak mempunyai tempat
tinggal tetap. Kolong jagad adalah tempatnya. Ja-
di cukup menyulitkan jika seseorang ingin berte-
mu dengannya, kecuali tanpa sengaja.
"Apakah aku harus menyelusup ke sana
dengan menyamar?" batin Yudistira mencari jalan
keluar yang terbaik. "Dengan begitu aku akan bi-
sa mendekati Harum Seroja, Nyi Randa, dan
Anugda. Lalu kusarankan agar mereka memberi
tahu letak penyimpanan Lempengan Teratai Emas
demi keselamatan? Ahhh....'" kembali Yudistira
menarik napas dalam-dalam. Kepalanya terasa
sangat penat.
***
Pagi itu bertepatan dengan sinar matahari
yang menjarah bumi, sesosok tubuh berpakaian
putih berlari cepat. Cukup cepat juga lari sosok
berpakaian putih berwajah buruk itu. Wajahnya
dipenuhi bekas luka terbakar. Dari cara sosok itu
berlari tampaknya dia seorang anggota persilatan.
Sosok berpakaian putih yang buruk rupa itu te-
rus berlari seolah ada yang mengejarnya. Tak te-
rasa dia sudah begitu jauh meninggalkan desa
asalnya, Desa Barakrapi.
Kini di depan mata lelaki buruk rupa itu
membentang sebuah mulut perkampungan yang
bernama Desa Galarasati. Desa itu berada di an-
tara Desa Barakrapi dan desa tempat Perguruan
Kepodang Emas berada. Lelaki berpakaian putih
itu memasuki mulut Desa Galarasati. Namun la
rinya telah ditukar dengan langkah yang panjang-
panjang.
"Hiaaa...!"
Trang!
"Aaa...!"
Lelaki buruk rupa itu sesaat menghentikan
jalannya ketika telinganya sayup-sayup menden-
gar suara dentang senjata dan jerit kematian.
"Heh?!"
Lelaki berpakaian putih itu terkejut ketika
kembali mendengar pekik kesakitan. Sesungguh-
nya tak ada niat di hatinya untuk mengetahui
siapa yang tengah berkelahi, tapi dia memang ha-
rus melewati jalan tempat jeritan itu berasal.
"Hhh...!"
Sambil menarik napas berat, lelaki buruk
rupa itu melanjutkan perjalanannya. Langkahnya
tampak dipercepat.
"Hiaaa...!"
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
"Akh...!"
Tercengang lelaki buruk rupa itu menyak-
sikan pembantaian yang dilakukan sekelompok
lelaki berpakaian hitam terhadap orang-orang
yang diduganya penduduk Desa Galarasati. Di
antara lelaki berpakaian hitam tergeletak dua le-
laki dengan luka parah pada perutnya. Lelaki bu-
ruk rupa yang semula tidak berniat mencampuri
urusan itu tergetar juga hatinya. Perbuatan ter-
kutuk itu mau tak mau harus dicegahnya.
"Biadab!" maki lelaki berpakaian putih itu.
"Hiaaat...!"
"Hentikaaan...!"
Seorang lelaki berpakaian hitam yang hen-
dak membabatkan senjatanya ke tubuh pendu-
duk Desa Galarasati terpaksa mengurungkan
niatnya ketika mendengar bentakan cukup keras.
Lelaki berpakaian hitam itu segera menoleh ke
arah bentakan dengan wajah garang tak terkira-
kan. Sementara matanya melotot hampir keluar.
"Gembel busuk!" maki lelaki itu ketika ta-
tapan matanya membentur wajah buruk lelaki
berpakaian putih. "Lancang sekali kau mencam-
puri urusan kami, Gembel!" lanjut lelaki berpa-
kaian hitam yang rupanya senang merawat ku-
mis. Kumisnya begitu lebat hingga lubang hi-
dungnya hampir tak terlihat
"Maaf. Aku bukan gembel seperti yang ka-
lian perkirakan. Kalianlah yang berkelakuan bu-
suk!" balas lelaki berpakaian putih merasa ter-
singgung.
Lelaki berpakaian hitam yang tengah mem-
bantai penduduk segera mengepung lelaki berpa-
kaian putih.
"Rupanya kau tidak tahu dengan siapa kau
berhadapan sekarang ini, hah?!" tukas lelaki ber-
kumis tebal dengan suara ditekan. Tatapan mata
lelaki berpakaian hitam terkesan begitu mere-
mehkan.
"Aku tahu dengan siapa sekarang ini ber-
hadapan!" kilah lelaki buruk rupa itu lantang dan
mencerminkan ketenangan. "Bukankah kalian
yang berjuluk Pengecut-pengecut Tak Tahu Ma
lu?"
"Kurang ajar! Kau benar-benar ingin cari
mampus!" maki lelaki berkumis lebat itu berang.
"Akan kulumat tubuhmu, Bangsat!"
"Jangan takabur, Kisanak!" timpal lelaki
buruk rupa. "Pada penduduk yang lemah kau bi-
sa berkata seperti itu, tapi padaku? Harap kau
cabut ucapanmu tadi, atau keadaan ini malah
berbalik?"
"Setan! Cincang gembel sombong itu!" pe-
rintah lelaki berkumis lebat "Kasih tahu padanya
kalau Gerombolan Musang Hitam pantang dire-
mehkan!"
Tiga lelaki berpakaian hitam meluruk ke
arah lelaki buruk rupa. Senjata mereka yang be-
rupa parang teracung di udara.
"Hiaaat...!"
"Heaaa...!"
"Hyaaa..!"
Lelaki berpakaian putih tenang saja meng-
hadapi gempuran tiga lelaki berpakaian hitam.
Dan ketika sambaran parang lawan mendekat,
dengan gerak cukup cepat dan lincah dia berhasil
mementahkan serangan pertama hanya dengan
berkelit ke kanan, lalu melompat mundur.
"Kurang ajar!" maki salah seorang penye-
rangnya.
"Mampus kau sekarang! Hiyaaa...!"
Bettt! Bettt...!
"Uts!"
Kembali lelaki buruk rupa memiringkan
tubuhnya menghindari sambaran senjata yang
mengincar dada. Begitu sederhana gerakan lelaki
itu. Bahkan sesaat setelah kelebatan parang itu
lewat di depan dadanya, lelaki buruk rupa mela-
kukan gerakan yang sama sekali tidak diduga la-
wan.
"Rasakan ini. Hih!"
Plakkk!
"Aaa...!"
Sebuah sodokan siku berhasil disarangkan
ke wajah penyerangnya. Lelaki berpakaian hitam
itu langsung terhuyung empat langkah ke bela-
kang. Tangannya memegangi wajah yang terkena
sodokan.
Lelaki berkumis lebat yang menjadi Pimpi-
nan Gerombolan Musang Hitam kelihatan terkejut
menyaksikan ketiga anak buahnya tidak mampu
meringkus lelaki buruk rupa. Maka dengan geram
dia menyuruh anak buahnya yang lain membantu
penyerangan.
"Kalian semua! Lumat tubuh jelek itu!" te-
riak lelaki berkumis lebat.
Satu, dua, tiga..., sepuluh lelaki berpa-
kaian hitam yang sejak tadi hanya menonton ber-
lompatan dengan senjata terhunus. Lelaki berwa-
jah buruk bukannya tidak menduga hal seperti
itu akan terjadi. Maka tanpa berpikir lama dica-
butnya senjata yang tergantung di punggung.
Srattt!
Sinar berkilauan terpancar dari batang pe-
dang lelaki buruk ketika tertimpa sinar matahari.
"Ayo! Majulah kalian semua. Pedangku
akan mengirim nyawa kalian lebih cepat!" tantang
lelaki buruk rupa geram.
Belasan anak buah Gerombolan Musang
Hitam bukannya ngeri melihat lawan menghunus
pedang yang begitu tajam, malah sebaliknya. Me-
reka ingin membuktikan bahwa mereka bisa me-
ringkus seorang gembel. Seketika itu pula bebe-
rapa pengepung merangsek maju dengan teria-
kan-teriakan yang memekakkan telinga.
"Hiyaaa...!"
"Heaaa...!"
Lelaki buruk rupa pun demikian. Dia tidak
ingin ditundukkan anak buah Gerombolan Mu-
sang Hitam. Maka lelaki itu bergerak maju me-
nyongsong serangan lawan.
"Haaat...!"
Bettt!
Trang, trang!
Brebettt...! Bret!
Dua lelaki berpakaian hitam langsung ter-
jungkal ke tanah. Ujung pedang lelaki berpakaian
putih berkelebat cepat dan merobek perut dan
dada lawan.
Kematian dua lelaki itu bukan membuat
serangan mengendur. Lelaki yang masih bertahan
dan mampu mengelakkan sambaran pedang lelaki
buruk rupa berusaha terus menggempur dan
mendesak.
"Hiaaat...!"
"Uts!"
Sebuah serangan ganas yang melesat ke
arah leher lelaki buruk rupa berhasil dielakkan
dengan merundukkan kepala. Namun lelaki ber
pakaian putih itu terkejut ketika serangan cepat
lewat tendangan lurus ke arah jidat dilakukan le-
laki berpakaian hitam yang lain.
"Heh?! Eits!"
Tap!
Dengan kecepatan sambaran tangan yang
luar biasa, lelaki berpakaian putih berambut pan-
jang itu mencekal pergelangan kaki lawan.
"Krk!"
"Akh!"
Pekik kesakitan terlontar ketika pergelan-
gan kaki anak buah Gerombolan Musang Hitam
dipelintir lelaki buruk rupa. Dan dengan cepat
mengirimkan totokan keras menggunakan lutut-
nya ke dada lawan yang naas itu.
"Hih!"
Duegkh!"
"Aaa...!"
Kembali pekik kesakitan terdengar kali ini
diiringi dengan mentalnya sosok berpakaian hi-
tam yang terhajar sodokan lawan. Lelaki itu me-
rasa dadanya sesak dan tulangnya seperti mele-
sak ke dalam. Darah merembes dari sudut bibir-
nya.
Seluruh anak buah Gerombolan Musang
Hitam terpaku di tempatnya menyaksikan seo-
rang temannya kembali terkulai di tanah. Mereka
gentar dengan kepandaian ilmu silat lelaki buruk
rupa.
Pemandangan itu disaksikan penduduk
Desa Galarasati dengan sedikit lega. Para pendu-
duk yang selama ini dirongrong Gerombolan Mu
sang Hitam berharap lelaki buruk rupa dapat
menaklukkan lawan-lawannya. Dengan begitu tak
ada perampasan harta lagi seperti yang dialami
selama ini.
Namun perasaan Pimpinan Gerombolan
Musang Hitam jauh berbeda dengan keinginan
penduduk. Lelaki berkumis tebal itu geram akan
sikap anak buahnya yang tiba-tiba menjadi pen-
gecut
"Kenapa kalian bengong! Seraaang...!"
Teriakan yang cukup lantang itu membuat
anak buahnya tersentak. Saat itu juga mereka
meluruk ke arah lelaki buruk rupa.
"Hiaaa...!"
Pertarungan kembali berlanjut. Lima lelaki
berpakaian hitam berlompatan. Senjata mereka
ditebaskan, ditusuk, dan bahkan dilempar ke
arah tubuh lelaki berpakaian putih.
Trang! Trang! Trang!
"Aaa...!"
Pijar bunga api tercipta saat bertemunya
dua logam keras dengan kekuatan tenaga cukup
tinggi. Ditingkahi teriakan kesakitan orang-orang
yang kalah dalam adu tenaga.
"Minggir semua!"
Wrrr...!
Lelaki berkumis tebal, Pimpinan Gerombo-
lan Musang Hitam, tiba-tiba berteriak seraya
menghentakkan tangan setelah menyelinap ke ba-
lik pakaiannya.
Delapan orang berpakaian hitam yang
mendengar perintah itu tampaknya mengerti. Se
cepatnya mereka berlompatan ke samping kiri
dan kanan. Membiarkan senjata rahasia pimpi-
nannya meluruk deras ke arah lelaki buruk rupa.
"Heh?!"
Lelaki buruk rupa terkejut menyaksikan
benda-benda pipih meluruk ke arahnya. Padahal
kedudukannya saat itu sangat sulit untuk meng-
hindar. Maka sebisanya dia memutar senjata.
"Hih!"
Wukkk! Wukkk!
Trang, trang, trang...!
Crabs!
"Aaa...!"
Lelaki buruk rupa terpekik keras. Salah sa-
tu senjata rahasia lelaki berkumis tebal menghu-
jam dada sebelah kiri. Tubuhnya terhuyung ke
belakang tiga langkah. Sementara tangannya
menggenggam bagian yang tiba-tiba terasa sangat
panas.
"Ah!"
Bruk!
Lelaki berpakaian putih yang wajahnya di-
penuhi bekas luka bakar itu ambruk ke tanah.
Dari mulutnya keluar erangan kesakitan. Kenya-
taan itu mengejutkan penduduk yang menyaksi-
kan jalannya pertarungan. Pupus sudah harapan
mereka yang menginginkan kebebasan dan keten-
teraman hidup. Sedangkan Pimpinan Gerombolan
Musang Hitam terlihat begitu bangga menyaksi-
kan lawan roboh.
"Ha ha ha.... Sudah kukatakan jangan be-
rani bermain-main dengan Gerombolan Musang
Hitam. Akibatnya? Ha ha ha.... Detik ini juga
nyawamu akan kukirim ke neraka, Gembel Bu-
suk!" ucap lelaki berkumis tebal.
"Biar aku yang menebas batang lehernya,
kakang Waraka," pinta seorang lelaki berpakaian
hitam yang bertubuh tinggi tegap.
Lelaki berkumis tebal yang ternyata ber-
nama Waraka tersenyum mendengar permintaan
anak buahnya.
"Biar aku saja yang melakukannya, Darya,"
larang Waraka. "Aku ingin mengetahui apakah
leher gembel busuk itu cukup kuat melawan keta-
jaman parangku," Lanjut Waraka.
Srat!
Waraka mengeluarkan senjata yang terselip
di pinggangnya.
"Bersiaplah kau melayat ke alam kubur,
Gembel Busuk!" bentak Waraka. Kakinya melang-
kah perlahan.
"Hiyaaa...!" Waraka memekik keras seraya
mengacungkan senjatanya ke udara.
Plak!
"Akh!"
Kejadian yang begitu cepat dan menge-
jutkan dialami Waraka. Sesaat lagi senjatanya
akan menghantam batang leher lelaki buruk ru-
pa, sesosok bayangan kurung keemasan melesat
cepat menghantam pergelangan tangannya. Pim-
pinan Gerombolan Musang Hitam itu terhuyung
empat langkah ke belakang. Sedang parang yang
tergenggam di tangannya terpental.
Penduduk Desa Galarasati yang menyaksi
kan kejadian itu tampak terkejut. Namun di balik
keterkejutan mereka terangkat kembali harapan-
nya untuk terbebas dari rongrongan Gerombolan
Musang Hitam.
"Bangsat!" maki Waraka setelah mampu
berdiri. Sebelah tangannya masih memegangi
tangan kanannya yang linu bukan main.
Sosok muda berpakaian kuning keemasan
yang telah menyelamatkan lelaki buruk rupa
hanya tersenyum membalas makian Ketua Ge-
rombolan Musang Hitam.
"Maaf. Perbuatanku tadi semata karena ti-
dak tega menyaksikan kepala Kisanak ini ter-
penggal," ucap lelaki berpakaian kuning keema-
san yang tidak lain Jaka Sembada.
"Kakang...," seorang gadis cantik berpa-
kaian jingga yang menyertai Jaka bergerak men-
dekati kekasihnya.
"Kakang, orang itu tampaknya terkena ra-
cun. Biar aku yang menghadapi mereka. Sebaik-
nya Kakang menolongnya," pinta gadis cantik
yang bernama Mayang Sutera.
Jaka menoleh menatap wajah Mayang Su-
tera yang kelihatan cemas.
"Hati-hati," sambut Jaka.
Langkah Jaka kemudian tertuju pada lelaki
buruk rupa yang tengah mengerang-ngerang me-
nahan sakit. Lempengan logam pipih berwarna hi-
tam tampak membenam di dadanya.
"Tahan sebentar, Kisanak. Akan kucabut
logam beracun ini," ucap Jaka seraya membung-
kukkan tubuh.
Cab!
"Aaa...!"
Pekik kesakitan yang cukup keras terden-
gar ketika tangan Jaka menghentak mengelua-
rkan logam pipih yang membenam di dada lelaki
buruk rupa.
"Daya tahan tubuhmu hebat sekali, Kisa-
nak. Kalau tidak, nyawamu mungkin sudah me-
layang karena racun ganas ini," ucap Jaka me-
mandangi lempengan logam pipih di tangannya.
'Terima kasih atas pertolonganmu," ucap
lelaki buruk rupa dengan tersendat. Rasa sakit di
dadanya sedikit pun belum hilang.
"Sebaiknya kau minum pil ini. Mudah-mu-
dahan racun ganas itu segera keluar dari tubuh-
mu,"
Jaka menyodorkan pil berwarna merah da-
ri balik pakaiannya.
Lelaki buruk rupa tentu saja tidak menyia-
nyiakan pertolongan itu. Segera diraihnya pil
pemberian Raja Petir, dan langsung ditelannya.
Glekkk...!
Sesaat setelah pil itu masuk ke mulut dan
melewati tenggorokannya, lelaki buruk rupa me-
rasakan khasiat obat Jaka. Hawa sejuk terasa
melingkar-lingkar di dalam perutnya. Kemudian
merambat perlahan ke dalam, dan berubah men-
jadi hawa dingin seperti es. Sesaat kemudian, le-
laki buruk rupa merasakan hawa panas menyen-
gat dadanya. Kemudian.....
"Hoekkkh...!"
Kepala lelaki berpakaian putih itu tertun
duk ke tanah. Darah kehitaman tumpah dari mu-
lutnya.
"Hoekh...!"
Kembali darah muncrat dari mulut lelaki
buruk rupa. Muntahan darah itu tidak sepekat
muntahan pertama. Tubuh lelaki itu tiba-tiba
menggigil seperti orang terserang demam hebat
Jaka segera mengangkat tubuhnya dan membawa
ke rumah penduduk yang terdekat
"Tolong berikan tempat istirahat untuk
orang ini," pinta Raja Petir pada seorang pendu-
duk yang berusia lanjut
"Silakan-silakan!" sambut lelaki tua itu. "Di
dalam saja," lanjutnya melangkah mendahului
Jaka.
Sebuah rumah yang terawat rapi dimasuki
Jaka. Pada sebuah kamar yang terdapat balai-
balai bertikar pandan, tubuh lelaki buruk rupa
dibaringkan.
"Maaf. Aku tidak bisa menungguinya. Ku-
harap Kisanak sudi menjaganya dan memberikan
segelas air hangat. Aku akan membantu kawanku
menyingkirkan keparat-keparat itu," ucap Jaka
ramah.
"Silakan, Tuan. Biar saya yang mengurus
Kisanak ini," jawab lelaki berusia empat puluh
tahun itu.
Mendengar jawaban lelaki tua itu, Jaka se-
gera melesat keluar. Sementara pertarungan Ge-
rombolan Musang Hitam dan Mayang Sutera ber-
langsung seru. Mayang Sutera belum mengelua-
rkan jurus-jurus andalannya untuk menghalau
serangan beruntun Gerombolan Musang Hitam.
"Mampus kau, Gadis Liar!" maki seorang
lelaki berpakaian hitam seraya membabatkan pa-
rangnya ke arah buah dada gadis cantik berpa-
kaian jingga itu.
Namun Mayang Sutera bukanlah tandin-
gan mereka. Hanya dengan menarik badannya
sambaran senjata lawan mampu digagalkan.
Bahkan tangan kirinya menyampok cepat.
Mayang Sutera mengirimkan serangan balasan.
"Awas, Kisanak!"
Plakkk!
"Akh!"
Lawan Mayang Sutera langsung terjungkal.
Sambaran tangan gadis cantik itu menghantam
keningnya. Lelaki itu roboh dengan raungan yang
tak henti-henti.
Mayang Sutera tidak sempat memperhati-
kannya. Saat itu seorang lawannya tengah berke-
lebat dengan senjata teracung ke arah kepala.
Plakkk!
Dugkh!
"Aaa...!"
Penyerang gadis itu ambruk ketika lelaki
berpakaian kuning keemasan melesat menyong-
songnya. Dengan kecepatan tinggi dipapakinya
pergelangan tangan lelaki berpakaian hitam. Lalu
memberikan pukulan menyilang dengan pung-
gung tangan ke dada lawan.
Brukkk!
Lelaki berpakaian hitam yang sial itu jatuh
berdebuk di tanah. Seiring dengan jatuhnya lelaki
itu, lelaki-lelaki berpakaian hitam yang menama-
kan dirinya Gerombolan Musang Hitam menghen-
tikan serangan mereka. Wajah anggota Gerombo-
lan Musang Hitam menunjukkan rasa ngeri.
"Kenapa kalian diam seperti sapi ompong!
Ayo, serang lagi aku!" ucap Mayang Sutera ga-
rang. Mata gadis cantik yang berjuluk Dewi
Payung Emas menatap wajah Waraka Pimpinan
Gerombolan Musang Hitam.
Waraka tidak membalas ucapan Mayang
Sutera. Tapi matanya berusaha menentang tata-
pan gadis cantik itu.
"Kali ini aku kalah, Perempuan Liar! Tapi
tidak untuk nanti. Aku akan datang kepadamu
dengan pasukanku yang lebih banyak dan kuat!
Ingat itu!" ucap Waraka. Suaranya terdengar pe-
nuh bara dendam.
"Aku tunggu gerombolanmu yang hanya
pantas menghadapi macan ompong!" balas
Mayang Sutera.
"Huh!"
Waraka mendengus geram. "Ayo! Tinggal-
kan tempat ini!" perintah lelaki berkumis tebal itu
pada anak buahnya.
"Hoppp!"
Tubuh Waraka melesat cepat ke arah uda-
ra. Diikuti anak buahnya di belakang. Jaka dan
Mayang Sutera hanya menatap kepergian Gerom-
bolan Musang Hitam seraya menggeleng-
gelengkan kepala.
ENAM
Di salah satu kamar rumah penduduk De-
sa Galarasati, tepatnya di kamar Ki Anumerga,
Jaka dan Mayang Sutera tengah berbincang-
bincang dengan lelaki buruk rupa yang sudah
terbebas dari racun ganas Ketua Gerombolan Mu-
sang Hitam. Ki Anumerga nampak tengah mem-
perhatikan wajah sepasang pendekar muda itu
dengan hati penuh kagum dan terima kasih.
Menurut Ki Anumerga, baru Jaka dan
Mayang Sutera yang berhasil menghentikan sepak
terjang Gerombolan Musang Hitam setelah berta-
hun-tahun mencengkeramkan kukunya dalam
kehidupan penduduk Desa Galarasati.
"Maaf, Ki Anumerga," ucap Jaka seraya
menatap lembut wajah lelaki berkumis tipis di
hadapannya. "Kalau Ki Anumerga tidak kebera-
tan, di kamar ini kami minta izin untuk berbicara
bertiga saja," lanjut Jaka hati-hati agar tidak in-
gin menyinggung perasaan Ki Anumerga.
"Silakan, Nak Jaka. Silakan!" sambut Ki
Anumerga.
"Ah. Terima kasih, Ki. Kuharap Ki Anumer-
ga tidak tersinggung." Jaka merasa tidak enak.
Permintaan Jaka terdengar ganjil di telinga
Mayang Sutera dan lelaki berpakaian putih. Na-
mun Mayang Sutera tidak ingin bertanya. Nanti
pun dia akan tahu keanehan itu.
"Aku tidak apa-apa, Nak Jaka. Aku keluar.
sekarang saja," ucap Ki Anumerga
Sepeninggal Ki Anumerga, Jaka segera me-
natap wajah lelaki berpakaian putih di hadapan-
nya.
"Aku melihat keanehan pada dirimu, Kisa-
nak. Tapi sebelum kau memperkenalkan nama-
mu, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Kau
bersedia menjawab?" tanya Jaka.
"Tentu saja Raja Petir," ucap lelaki buruk
rupa. Lelaki berpakaian putih itu tahu lelaki mu-
da yang telah menyelamatkan nyawanya adalah
tokoh yang memang diharapkan dapat membe-
baskan Harum Seroja dan ibunya. Juga mence-
gah terjadinya penguasaan Goa Teratai oleh Tiga
Iblis Sakti yang akan berakibat terjadinya pergo-
lakan di rimba persilatan. Lelaki buruk rupa
mengenali Jaka sebagai Raja Petir. Ini terlihat dari
ciri-ciri yang sering diucapkan tokoh-tokoh persi-
latan kenalannya, dan dari penduduk yang per-
nah menyaksikan sepak terjang Jaka.
Jaka menatap wajah lelaki buruk rupa
dengan tajam. Lalu dari mulutnya mengalir per-
tanyaan yang sedikit pun tidak terpikirkan
Mayang Sutera.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Kenapa
mengenakan topeng buruk itu?" tanya Jaka te-
nang.
Rasa kaget sesaat terlihat pada wajah lelaki
berpakaian putih. Tapi kemudian dia mampu
menguasai perasaannya. Dengan lancar dijawab-
nya pertanyaan Jaka.
"Namaku Yudistira, Ketua Perguruan Pe-
dang Kumala," jawab lelaki buruk rupa yang ter
nyata Yudistira. Tangannya lalu melepas topeng
karet tipis dari wajahnya. Sebuah penyamaran
yang nyaris sempurna.
Setelah melepas topengnya, cerita Yudistira
pun mengalir. Pemuda itu menceritakan tujuan
penyamarannya, juga musibah yang menimpa
Perguruan Kepodang Emas dari kekejaman Tiga
Iblis Sakti yang hendak merebut Lempengan Tera-
tai Emas, sebuah benda berbentuk bunga teratai
yang berfungsi sebagai alat pembuka pintu Goa
Teratai. Diceritakan pula bahwa di Goa Teratai
tersimpan ramuan keabadian berkhasiat menja-
dikan orang muda kembali dan tak akan pernah
mati. Sebuah pedang pusaka yang bernama Pe-
dang Bemang Salju dan harta karun yang tak ter-
nilai harganya.
Mendengar cerita Yudistira, Jaka sempat
tertawa dalam hati. "Ramuan keabadian?" batin
Jaka. "Apa ada ciptaan manusia yang mampu
mencegah kodrat yang telah digariskan Yang Ku-
asa? Mustahil! Tak ada orang tak akan mati. Ke-
matian adalah sesuatu yang sudah digariskan
sang Pencinta Jagad Raya untuk manusia yang
telah diberi kehidupan," lanjut suara hati Jaka.
"Kau percaya dengan ramuan keabadian
itu, Yudis?" tanya Jaka ingin tahu tanggapan le-
laki berpakaian putih berwajah tampan itu.
"Entah, Raja Petir. Yang kuyakini kematian
adalah suatu keharusan bagi manusia," jawab
Yudistira.
"Kau benar, Yudis. Tak ada manusia yang
dapat mengelak dari kematian yang memang di
takdirkan sang Pencipta dunia," ulas Jaka.
Mayang Sutera mengangguk membenarkan
ucapan kekasihnya.
"Raja Petir," panggil Yudistira.
"Jangan panggil aku dengan julukan itu,
Yudis," pinta Jaka.
"Ah, maaf. Kuharap kau suka kalau aku
panggil Jaka saja," timpal Yudistira.
"Tentu saja tidak. Aku malah mengingin-
kan panggilan itu," putus Jaka. "Katakanlah apa
yang ingin kau ucapkan."
Yudistira memandang wajah Jaka dan
Mayang Sutera. "Sebenarnya suatu keberuntun-
gan besar aku bertemu dengan sepasang pende-
kar yang begitu digdaya. Aku bermaksud menga-
jak kalian membebaskan kekasihku Harum Sero-
ja, dan ibunya yang ditawan Tiga Iblis Sakti. Dan
mencegah kepergian Tiga Iblis Sakti ke Goa Tera-
tai untuk mengambil isi goa itu," pinta Yudistira.
"Kalau benda-benda yang berada di dalam Goa
Teratai sampai dikuasai, malapetaka bagi kehidu-
pan orang-orang rimba persilatan, juga para pen-
duduk."
Jaka tidak segera menjawab. Tapi itu tidak
berarti penolakan. Jaka merasa ini adalah seba-
gian dari tugasnya memberantas setiap bentuk
keangkaramurkaan di jagad ini.
"Sepenuhnya aku akan membantumu, Yu-
dis. Namun jangan terlalu berharap banyak dari
kami berdua. Kami adalah manusia yang memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Jadi kita sama-
sama berusaha dan berdoa," ucap Jaka bijaksa
na.
Yudistira terharu dengan ucapan pendekar
muda yang digdaya itu, hingga tak terucap lagi
kata-kata yang hendak disampaikannya.
"Ke mana kita harus berangkat sekarang,
Kakang Yudis?" tanya Mayang kemudian.
Yudistira menatap wajah Mayang Sutera.
"Kita ke Perguruan Kepodang Emas, Nini Mayang.
Semoga belum terjadi apa-apa di sana," jawab
Yudistira.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang saja
Yudis. Jauhkah letak Perguruan Kepodang
Emas?", tanya Jaka.
"Tidak, Jaka. Hanya membutuhkan waktu
tidak lebih dari setengah hari perjalanan biasa,"
jawab Yudistira.
"Ayolah kita berangkat," putus Mayang Su-
tera.
"Ayolah!" sambut Yudistira.
Jaka, Mayang Sutera dan Yudistira mohon
diri pada Ki Anumerga. Ketiganya lalu bergerak
cepat menuju Desa Walang Teter.
***
Karena Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira
menggunakan ilmu lari cepat menuju Desa Wa-
lang Teter, tidak heran perjalanan setengah hari
bisa dipersingkat menjadi setengahnya. Di depan
ketiganya kini terbentang mulut Desa Walang Te-
ter.
Dengan langkah tenang Jaka dan Mayang
Sutera memasuki Desa Walang Teter. Namun ke-
tenangan tidak terlihat pada langkah Yudistira.
Ketua Perguruan Pedang Kumala itu kelihatan te-
gang.
"Kakang Yudistira!" teriak seseorang dari
arah depan. Sosok itu adalah murid Perguruan
Kepodang Emas yang masih tersisa. Lelaki itu
berlari tergesa-gesa memburu Yudistira.
"Aku sudah tahu semuanya," ucap Yudisti-
ra mencoba menenangkan lelaki berpakaian biru
di hadapannya.
"Tapi, Kakang...."
Yudistira tidak berusaha memotong kem-
bali ucapan lelaki berpakaian biru ketika mem-
perhatikan kecemasan di wajahnya semakin ken-
tara.
"Ceritakan apa yang telah diperbuat iblis-
iblis itu terhadap Harum Seroja dan Nyi Randa,"
pinta Yudistira.
"Nyi Randa sudah tiada," jelas murid Per-
guruan Kepodang Emas.
"Ah!" tersentak Yudistira mendengar pem-
beritahuan itu. "Bagaimana dengan Harum?" ta-
nyanya mengkhawatirkan gadis yang dicintainya.
"Dia..., dia...," lelaki berpakaian biru agak
gugup saat ingin memberitahukan keadaan putri
Ki Bajang Genta.
"Katakan cepat! Apa yang terjadi pa-
danya?!" pinta Yudistira.
"Sabar, Yudis," relai Jaka melihat Yudistira
begitu mendesak lelaki berpakaian biru.
"Hhh....!" murid Perguruan Kepodang Emas
itu menarik napas panjang. "Seroja dibawa lari ib-
lis-iblis laknat itu, Kakang," jelas lelaki berpa-
kaian biru setelah mampu menenangkan hatinya.
"Keparat!" maki Yudistira.
"Mereka berlari ke arah utara, Kakang. Ku-
duga mereka sudah mendapatkan yang dicarinya
dan menyandera Harum Seroja sebagai penunjuk
jalan," sambung lelaki berpakaian biru.
"Sebenarnya tanpa menyandera Harum Se-
roja iblis-iblis laknat itu sudah dapat menemukan
letak Goa Teratai. Pada Lempengan Teratai emas
sudah ada petunjuk letak goa tersebut. Hhh...!
Dasar Iblis Bejat!" rutuk Yudistira.
"Sudah lama iblis itu membawa lari Ha-
rum, Kisanak?" tanya Mayang Sutera tiba-tiba.
"Belum begitu lama, Nini," jawab murid
Perguruan Kepodang Emas.
"Kalau begitu, kita kejar mereka. Ke arah
utarakan?" timpal Jaka memberi saran.
"Ayolah! Moga-moga kita dapat mengejar-
nya, dan Harum belum diperlakukan secara tidak
wajar," sambut Yudistira cemas.
"Ayo cepat, Kakang. Jangan kita mem-
buang-buang waktu," ujar Mayang Sutera, lalu
melesat meninggalkan Desa Walang Teter.
Yudistira segera menghentakkan kaki. Di-
ikuti gerakan Jaka yang begitu ringan dan sem-
purna dalam menggunakan ilmu lari cepatnya.
"Hup!"
"Hop!"
Tiga sosok tubuh melesat cepat meninggal-
kan lelaki berpakaian biru dengan menggunakan
ilmu lari cepat yang sudah mencapai taraf sem-
purna, terutama Jaka alias Raja Petir.
***
Jarak puluhan pal sudah ditempuh Jaka,
Mayang Sutera, dan Yudistira. Tapi mereka belum
menemukan tanda-tanda keberadaan Tiga Iblis
Sakti yang telah melarikan putri tunggal Ki Ba-
jang Genta.
"Hhh...!"
Terdengar tarikan napas kekecewaan di se-
la-sela lari Yudistira.
"Tenang, Yudis," ujar Jaka mencoba mene-
nangkan Yudistira. "Kita pasti bisa mengejar iblis-
iblis itu. Yakinlah!"
"Betul, Kakang Yudis," timpal Mayang Su-
tera. "Apalagi kalau kita tingkatkan kecepatan lari
kita. Ayo, Kakang!"
Mayang Sutera si Dewi Payung Emas me-
nambah kecepatan larinya. Tubuhnya kini berada
paling, depan. Yang dilakukan Mayang Sutera
membuat Yudistira kagum. Tanpa banyak cakap,
Yudistira menambah kecepatan larinya, diikuti
Jaka.
"Itu mereka!" ucap Jaka setelah jarak pu-
luhan pal dilaluinya.
"Tenang, Yudis dan kau Mayang," ujar Ja-
ka mengingatkan. "Kita harus mengatur jarak
agar tidak tahu keberadaan kita," lanjut Jaka.
"Langsung kita cegah saja keinginan mere-
ka, Jaka," usul Yudistira tak sabar.
"Tidak, Yudis. Kita harus mengikutinya
sampai mereka menemui Goa Teratai. Aku juga
ingin tahu Goa Teratai itu," larang Jaka.
"Terserah kaulah. Yang penting kita jangan
sampai kehilangan jejak," ucap Yudistira dengan
tatapan mata tak lepas dari tiga lelaki bertongkat
yang tengah berlari sambil mencekal pergelangan
tangan gadis berpakaian merah dadu. "Tentu saja
tidak, Yudis," hibur Jaka.
Ketiga tokoh muda rimba persilatan golon-
gan putih itu kembali bergerak dengan menjaga
jarak yang cukup jauh. Kecuali jika akan berke-
lok, maka mereka mempercepat larinya agar tidak
kehilangan jejak.
Tapi baru tiga penanakan nasi Jaka,
Mayang Sutera, dan Yudistira menguntit Tiga Iblis
Sakti, mendadak ketiganya menghentikan lari
mereka ketika mendengar suara tawa menggele-
gar sambung-menyambung.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Jaka, Mayang Sutera juga Yudistira mera-
patkan diri ke sebatang pohon besar. Sepasang
mata mereka memperhatikan keadaan yang akan
terjadi.
Ketika suara tawa itu hilang, nampak ber-
kelebat bayangan kecoklatan menghadang lari Ti-
ga Iblis Sakti.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
"Dua Setan Muka Ular?!" teriak orang ter-
muda Tiga Iblis Sakti. "Mau apa kalian mengha
dang perjalananku?" tanya Iblis Tongkat Merah
geram.
"Hmh...!"
Dua lelaki berpakaian coklat yang dipanggil
Dua Setan Muka Ular menggeram bersamaan.
"Apa kau pikir cuma Tiga Iblis Sakti yang
menginginkan Lempengan Teratai Emas?" tanya
orang tertua Dua Setan Muka Ular. Lelaki berwa-
jah tirus mirip ular itu mencorongkan matanya ke
wajah Sancasona. "Kami juga menginginkannya.
Sudah lama sekali hal itu kami impikan. Seka-
ranglah kesempatan yang paling baik. Kudengar
kau sudah memperoleh lempengan itu dengan
membinasakan seluruh isi Perguruan Kepodang
Emas," lanjut orang tertua Dua Setan Muka Ular.
"Kalau kau menginginkan lempengan itu,
berarti kematianlah yang kalian cari!" sentak
Sancasona keras.
"Jangan meremehkan Dua Setan Muka
Ular, Iblis Gila!" balas orang kedua dari Dua Se-
tan Muka Ular berang.
Merah seluruh permukaan wajah Sancaso-
na ketika julukannya diganti dengan Iblis Gila.
"Kakang Parada! Sumbat mulut busuk itu!"
ucap Sancasona keras. "Biar Kakang Sandala
yang menjaga gadis itu."
Parada si Iblis Tongkat Biru segera melesat
menghadapi orang kedua dari Dua Setan Muka
Ular.
"Akan kubelah kepalamu dengan tongkat-
mu, Setan Dekil!" maid Parada.
"Hiaaa...!"
Serbuan Parada ke arah orang kedua dari
Dua Setan Muka Ular ternyata diikuti Sancasona.
Lelaki muda berpakaian merah darah itu melesat
cepat menuju orang pertama Dua Setan Muka
Ular.
"Hiyaaa...!"
TUJUH
Pertarungan antara Dua Setan Muka Ular
menghadapi Sancasona dan Parada berlangsung
dalam tempo tinggi. Tampaknya mereka ingin per-
tarungan cepat selesai. Tak heran jika pertarun-
gan cepat itu tidak dapat disaksikan dengan mata
biasa. Bayang biru, merah, dan hitam berlesatan
cepat. Teriakan dan bunyi senjata yang luput dari
sasaran berbaur jadi satu.
Bagi Dua Setan Muka Ular mungkin inilah
pertarungan yang paling dahsyat. Hanya dalam
waktu singkat mereka berdua harus mengelua-
rkan jurus-jurus andalan. Itu dilakukan Dua Se-
tan Muka Ular agar tak menemui kekalahan da-
lam waktu singkat.
Begitu juga Sancasona dan Parada. Mereka
tidak menyangka Dua Setan Muka Ular mampu
mengimbangi jurus-jurus mereka yang terkenal
dahsyat.
"Mampus kau, Setan!" teriak Sancasona se-
raya melayangkan tongkat ke arah kepala lawan.
Wukkk...!
Bunyi bergemuruh mengiringi datangnya
sambaran tongkat yang terangkum dalam jurus
'Pukulan Lelang Nyawa'. Begitu dahsyat serangan
Iblis Tongkat Merah. Namun yang lebih menga-
gumkan gaya mengelak yang dilakukan lawan.
"Uts!"
Dengan meliuk seperti seekor ular, tubuh
orang pertama Dua Setan Muka Ular bergerak
lincah menghindari tebasan tongkat merah San-
casona. Liukan gemulai itu dibarengi dengan ge-
rakan tangan menotol tanah. Kemudian melompat
ke atas dan berputaran dua kali.
Jlig!
Tubuh orang pertama yang beralis kemera-
han itu mendarat ringan di tanah. Sementara ma-
tanya menatap Sancasona dengan tatapan mele-
ceh.
"Tak semudah yang kau inginkan untuk
menjatuhkan Dua Setan Muka Ular, Iblis Dungu!"
ejek lelaki beralis kemerahan memanaskan hati
Iblis Tongkat Merah.
"Kurejam mulut busukmu, Setan Buduk!"
balas Sancasona memaki.
"Brut!"
Bukan main jengkelnya Sancasona me-
nyaksikan kelakuan orang tertua Dua Setan Mu-
ka Ular.
Lelaki beralis kemerahan itu tiba-tiba
membalikkan tubuh dan menyorongkan pantat-
nya hingga menimbulkan bunyi yang keluar dari
lubang dubur. Dia kentut.
"Setan gila!" maki Sancasona geram.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang waktu Iblis Tongkat Me-
rah kembali melesat. Tongkat merahnya teracung
ke udara.
Wukkk!
"Heh?!"
Terkejut lelaki beralis merah mendapatkan
serangan Sancasona. Serangan itu lain dari se-
rangan sebelumnya. Serangan Sancasona terang-
kum dalam jurus 'Tongkat Pemecah Gelombang'.
Menyebarkan hawa dingin menyengat yang dira-
sakan orang tertua dari Dua Setan Muka Ular se-
perti membungkus kulitnya.
"Iblis!" maki lelaki beralis kemerahan.
Srat!
Wukkk! Wukkk! Wukkk...!
Orang pertama dari Dua Setan Muka Ular
membabatkan pedang ularnya untuk mengusir
hawa dingin. Pekerjaan yang dilakukannya ter-
nyata tidak sia-sia. Hawa dingin itu dapat diusir
dari tubuhnya. Namun pada saat itu Sancasona
kembali melancarkan serangan.
"Hiyaaa...!"
Wukkk!
Trang!
"Aaakh!"
Percikan bunga api tercipta ketika bentu-
ran sebilah pedang dan sebatang tongkat terjadi.
Pekik kesakitan pun menyemaraki suara dentang
senjata. Dua sosok tubuh yang mengadu kekua-
tan tenaga dalam itu tergempur mundur.
Setan Muka Ular yang menggunakan pe-
dang ular tergempur, sedangkan Sancasona si Ib
lis Tongkat Merah hanya beringsut dua langkah.
Dari kejadian itu bisa disimpulkan kalau kekua-
tan tenaga dalam Iblis Tongkat Merah lebih tinggi.
Jaka Sembada yang menyaksikan perta-
rungan dari tempat terlindung, dapat memastikan
pertempuran Sancasona melawan orang tertua
dari Dua Setan Muka Ular akan berkesudahan
dengan unggulnya Iblis Tongkat Merah. Pemuda
itu melihat keunggulan Sancasona dalam bera-
gam gerakan yang dimiliki, di samping kelebihan
daya tahan tubuh, dalam hal ini pernapasannya
terlihat begitu sempurna.
Dengan tergempurnya Dua Setan Muka
Ular, Sancasona semakin menambah keganasan
serangannya.
"Kau harus mampus di tanganku, Setan
Usil!"' bentak Iblis Tongkat Merah. Kakinya ke-
mudian menghentak ke tanah, dan tongkatnya
yang sudah hilang bentuk berputar-putar di uda-
ra.
Wukkk! Wukkk! Wukkk..!
Bret!
"Uts!"
Sebisanya orang tertua Dua Setan Muka
Ular membanting tubuhnya menghindari samba-
ran tongkat merah Sancasona yang terarah ke ba-
tok kepalanya. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu
bergulingan di tanah.
Melihat lawannya bergulingan, Sancasona
tidak mau membuang kesempatan baik. Pemuda
itu segera menggeser kakinya. Lalu bersiap-siap
memberikan serangan susulan yang bernama
'Tongkat Iblis Memanggang Kepala'. Maka....
Sing...!
Di luar dugaan Jaka, Sancasona melempar
tongkat merah berkeluk sembilannya dengan ke-
kuatan penuh.
Cab!
Tongkat merah itu membenam di tanah se-
jengkal dari kepala Dua Setan Muka Ular. Namun
tidak terlihat kekecewaan di wajah Sancasona
melihat serangannya gagal. Juga ketika tiba-tiba
orang tertua dari Dua Setan Muka Ular mencekal
gagang tongkat merahnya, Sancasona hanya ter-
senyum.
"Akh!"
Suara pekikan terdengar ketika telapak
tangan Dua Setan Muka Ular menggenggam sen-
jata Iblis Tongkat Merah. Tenaganya seperti terse-
dot kekuatan yang ada pada tongkat. Semakin dia
berusaha melepaskan pegangan, semakin kuat
daya sedot yang dirasakan. Apalagi ketika berniat
mencabut tongkat yang terbenam di tanah itu.
"Akh!" lagi-lagi teriakan keluar dari mulut
Dua Setan Muka Ular.
"Mampus kau sekarang, Setan! Hiyaaa...!"
Sancasona melejit cepat bagai kilat. Kekua-
tannya yang bertumpu pada kaki kanan menen-
dang lurus. Akibatnya....
Buegkh
"Aaa...!"
Tubuh Dua Setan Muka Ular terpental de-
ras. Tendangan kaki kanan Sancasona mendarat
telak di dada. Lelaki tertua dari Dua Setan Muka
Ular merasakan tulang-tulang dadanya melesak
ke dalam hingga menembus jantung.
Bruk!
"Hoekh!"
Dua Setan Muka Ular ambruk ke tanah
dengan muntahan darah yang tak terbendung.
Sesaat lelaki berpakaian coklat itu tersengal. Dan
selanjutnya sudah mengejang di tanah. Nyawa
orang tertua Dua Setan Muka Ular pergi mening-
galkan raga.
Benar dugaan Jaka kemenangan akhirnya
berpihak pada Iblis Tongkat Merah. Sebenarnya
Jaka tidak tega melihatnya. Tapi untuk melaku-
kan pertolongan rasanya tidak mungkin. Tokoh-
tokoh golongan hitam itu bisa berbalik menye-
rangnya. Kemudian melanjutkan pertarungan
memperebutkan Lempengan Teratai Emas.
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali mengudara. Kali
ini akibat tertembusnya kepala orang kedua dari
Dua Setan Muka Ular yang bertarung menghada-
pi Iblis Tongkat Biru. Tombak biru berkeluk sem-
bilan tampak membenam tepat di ubun-ubun
Dua Setan Muka Ular. Tubuh lelaki itu terbujur
kaku tanpa nyawa.
"Hhh...," Parada menarik napas. Langkah-
nya terayun mendekati Sancasona dan Sandala
yang tengah menawan Harum Seroja.
"Sebaiknya kita segera ke Goa Teratai, Ka-
kang. Sebelum kita jumpai lagi tokoh-tokoh yang
berniat merebut Lempengan Teratai Emas," ucap
Sancasona pada Parada dan Sandala.
"Begitulah lebih baik," sambut Iblis Tong-
kat Hitam yang tidak ikut bertarung.
"Betul! Kita harus lebih dulu mendapatkan
isi goa itu. Setelah itu kita siap menghadapi tan-
tangan dari tokoh mana pun, untuk memperta-
hankan dan memamerkan apa yang telah kita pe-
roleh. Ayo kita berangkat sekarang," timpal Iblis
Tongkat Biru.
Tiga Iblis Sakti kembali melanjutkan perja-
lanan mereka menuju Goa Teratai. Ketiganya
menggunakan ilmu lari cepat. Sementara gadis
cantik berpakaian merah dadu yang menjadi ta-
wanan mereka berada di atas pundak Iblis Tong-
kat Hitam. Gadis cantik kekasih Yudistira itu
menjadi lemah karena beberapa bagian tubuhnya
telah ditotok.
Raja Petir, Mayang Sutera, dan Yudistira
yang telah memperhatikan gerak-gerik Tiga Iblis
Sakti segera bergerak cepat menguntit perjalanan
tiga lelaki tokoh sesat itu menuju Goa Teratai.
DELAPAN
Hari menjelang sore ketika langkah-
langkah Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira terus
bergerak cepat dan ringan. Langkah tanpa suara
itu untuk mencegah terciumnya jejak mereka
mengikuti perjalanan Tiga Iblis Sakti. Peluh ber-
ceceran di kening Yudistira. Pakaian Pimpinan
Perguruan Pedang Kumala itu basah oleh kerin-
gat.
Ketika matahari telah bergeser ke barat, ti-
ga lelaki yang berjuluk Tiga Iblis Sakti menjejak-
kan kaki di Bukit Teratai. Sebuah tempat yang le-
bih tinggi dari dataran di sekelilingnya. Ditumbu-
hi pohon-pohon besar dan semak belukar yang
merambat dan menumpang hidup pada pohon-
pohon yang lain. Bukit Teratai hampir tidak per-
nah didatangi manusia, paling tidak dalam waktu
puluhan purnama.
"Menurut tulisan yang tertera pada Lem-
pengan Teratai Emas di sinilah letak Goa Teratai,
Kakang," ucap Iblis Tongkat Merah. Bola matanya
beredar mengelilingi sudut-sudut Bukit Teratai.
Iblis Tongkat Hitam memperhatikan Lem-
pengan Teratai Emas yang disodorkan Sancasona.
"Betul. Tapi kita harus berhati-hati. Bukan
tidak mungkin daerah sekitar Goa Teratai banyak
terdapat jebakan maut," tukas Iblis Tongkat Hi-
tam memperingatkan.
"Kau betul, Kakang Sandala," ujar Iblis
Tongkat Biru membenarkan.
"Kalau begitu bebaskan gadis cantik itu da-
ri totokanmu, Kakang Sandala," perintah Sanca-
sona.
Iblis Tongkat Hitam segera menurunkan
tubuh Harum Seroja yang berada dalam pondon-
gannya.
"Kau ingin membebaskan dia sebagai um-
pan?" selidik Iblis Tongkat Biru.
Yudistira yang menyaksikan pemandangan
itu dari tempat tersembunyi menjadi cemas akan
keselamatan kekasihnya. Yudistira tidak tega me
nyaksikan tubuh Harum Seroja digeletakkan begi-
tu saja di tanah.
"Hhh...."
Yudistira menarik napas khawatir.
"Tenanglah, Yudis," bisik Jaka menenang-
kan Yudistira. "Kita akan bergerak kalau mereka
hendak berbuat macam-macam pada Harum."
"Akh!"
Terdengar lenguhan tertahan ketika Iblis
Tongkat Hitam melepaskan totokan di tubuh Ha-
rum Seroja. Gadis cantik berpakaian merah dadu
itu tampak bergerak-gerak. Matanya memandang
marah pada tiga lelaki di hadapannya.
"Bunuh saja aku. Mengapa kalian bawa
aku ke tempat ini?!" bentak Harum Seroja ketika
telah mampu bangkit.
"Siapa yang sudi membunuh gadis cantik
sepertimu, heh?!" tanya Sancasona dengan men-
gerling genit. "Kau akan kujadikan pendamping
hidupku!"
"Setan!" maki Yudistira dalam hati men-
dengar ucapan Iblis Tongkat Merah. Kupecahkan
kepalamu nanti.
Sementara Jaka dengan mata tak berkedip
memandang kejadian itu. Raja Petir telah bersiaga
untuk segera memberi pertolongan, jika Tiga Iblis
Sakti melakukan perbuatan tak senonoh pada
gadis itu.
"Katakan! Apa kau pernah menjelajahi
tempat ini?" tanya Parada.
"Huh! Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
dengus Harum Seroja kesal.
"Goblok! Jangan rewel. Katakan saja!" ben-
tak Parada naik darah.
Harum Seroja tidak berkata-kata lagi men-
dengar bentakan Parada yang cukup keras.
"Baiklah. Kuyakini di tempat ini banyak
terdapat jebakan maut. Nah! Kalau kau tidak mau
menjawab, sekarang juga tubuhmu akan kulem-
par ke depan sana untuk menguji apakah ada je-
bakan atau tidak?!" gertak Parada.
"Aku belum pernah menginjak daerah ini,"
jawab Harum Seroja.
"Hm.... Bagus," puji Sancasona. Lelaki ber-
jubah merah itu lalu membungkuk meraih rant-
ing kayu yang cukup besar. Dilemparkannya
ranting itu ke sebuah jalan yang diapit dua pohon
jati yang cukup besar.
Gusrak!
Terdengar bunyi berderak ketika ranting
yang dilempar Sancasona jatuh di semak-semak.
Tiba-tiba....
Zzzsss! Zzzsss...!
Dua ekor ular sebesar paha keluar dari ba-
lik semak-semak. Ular-ular itu mengangkat tu-
buhnya tinggi-tinggi ketika penciuman dan mata
mereka menangkap sosok asing menginjak Bukit
Teratai.
"Cuma dua ekor ular besar, Kakang," ucap
Sancasona.
"Biar aku yang menangani ular-ular berbi-
sa itu," ucap Sandala.
Lelaki berjubah hitam itu melangkah maju
dengan tongkat menuding ke arah kedua ular be
sar itu.
"Seranglah aku!" perintah Sandala keras.
Ular-ular itu seolah mengerti ucapan San-
dala. Begitu suara Iblis Tongkat Hitam lenyap,
ular-ular itu seperti terbang menyerang Iblis
Tongkat Hitam.
Wukkk!
Bletak!
Crot!
Hanya sekali Iblis Tongkat Hitam mengi-
baskan senjatanya, tapi akibatnya cukup menga-
gumkan. Serangan dua ular besar itu mampu di-
halau. Kedua binatang melata itu menggeletak di
tanah dengan kepala pecah dan bolong.
"Menurut perkiraanku tidak ada perangkap
yang terpasang. Jadi kita bisa melintasinya seka-
rang juga," ucap Sancasona.
"Mudah-mudahan begitu," timpal Sandala.
"Namun kita harus tetap meningkatkan kewaspa-
daan dan kepekaan."
"Itu memang sudah keharusan, Kakang,"
sambut Sancasona seraya melangkah memasuki
jalan yang terapit dua pohon jati.
Sandala dan Parada yang memegang tan-
gan Harum Seroja mengikuti langkah Sancasona
dengan kewaspadaan penuh. Empat sosok tubuh
itu memasuki Bukit Teratai lebih jauh. Sementara
Jaka, Mayang Sutera, dan Yudistira mengikuti
pada jarak yang sama.
***
Setelah berjalan lima pal ke dalam Bukit
Teratai, di depan Tiga Iblis Sakti membentang da-
taran rumput yang tidak seberapa luas. Panjang
dan lebarnya tidak lebih dari empat dan lima ba-
tang tombak.
"Di situlah letak Goa Teratai, Kakang,"
ucap Sancasona seraya memperhatikan Lempen-
gan Teratai Emas di genggamannya.
"Ya. Mudah-mudahan kau tidak keliru me-
nerjemahkan petunjuk yang tertera pada lempen-
gan itu, Sanca," ucap Iblis Tongkat Hitam.
"Kalau begitu, mungkin saja letak Goa Te-
ratai berada di dalam tanah," ucap Sancasona la-
gi.
"Kita dekati saja daerah padang rumput
itu," saran Iblis Tongkat Biru.
Tanpa melemparkan sanggahan, Sancaso-
na bergerak menuju tanah datar berumput di ha-
dapannya.
"Kakang...!" teriak Sancasona ketika meli-
hat sesuatu di tengah tanah berumput itu.
Parada dan Sandala segera menghampiri
Sancasona yang tengah mengorek-ngorek tanah
dengan jari tangannya.
"Ini pasti Goa Teratai. Aku lihat di dalam
tanah ini ada sebuah lempengan logam tebal.
Mungkin pintu goa," tukas Sancasona. "Ayo kita
singkap tanah ini lebih lebar."
Parada dan Sandala pun ikut mengorek-
ngorek tanah.
"Sancasona, lihat!" ucap Parada. Di atas lo-
gam baja itu terdapat gambar teratai yang menon
jol ke dalam. Besarnya sama dengan Lempengan
Teratai Emas.
Sancasona segera melihat hasil penemuan
Parada.
"Kau betul, Kakang. Coba kupasang Lem-
pengan Teratai Emas ini," putus Sancasona. Tan-
gannya kemudian bergerak ke arah gambar lem-
pengan teratai yang terdapat di dinding baja.
Namun belum lagi tangan Sancasona yang
memegang Lempengan Teratai Emas menyentuh
dinding baja, sesosok bayangan kuning tiba-tiba
melesat.
Jlig!
Sosok kuning keemasan itu berdiri tegak di
depan Tiga Iblis Sakti.
"Jangan mimpi kalian akan mendapatkan
isi Goa Teratai, Kisanak!" ucap sosok berpakaian
kuning keemasan yang tidak lain Raja Petir.
Jlig! Jlig...!
Begitu ucapan Jaka selesai, Mayang Sutera
dan Yudistira melesat dari tempat persembunyian
dan berdiri tegak di samping Jaka.
Sancasona yang memang tidak mengha-
rapkan kedatangan orang lain marah bukan
main. Saat itu juga dia mengurungkan niatnya
menempelkan Lempengan Teratai Emas pada
permukaan dinding baja.
"Setan! Bocah usil! Berani betul kau men-
gusik pekerjaanku!" bentak Iblis Tongkat Merah.
"Aku tidak akan berbuat usil kalau kalian
tidak mengganggu kehidupan orang lain, kehidu-
pan gadis itu!" balas Jaka dengan tenang.
"Cari mampus!" bentak Parada menimpali
kemarahan Sancasona.
"Mati tidak bisa dicari, Kisanak. Tapi kema-
tian memang sudah ditakdirkan sang Penguasa
Alam ini," sanggah Jaka. "Mudah-mudahan hari
inilah batas kehidupan kalian!"
"Bedebah laknat! Berani kau meremehkan
Tiga Iblis Sakti?" hardik Parada jengkel.
"Sancasona, perhatikan lelaki muda itu,"
ucap Iblis Tongkat Hitam yang tidak terpancing
kemarahan. "Bukankah ciri-cirinya mirip tokoh
muda yang akhir-akhir ini menjadi momok orang-
orang rimba persilatan, khususnya golongan ki-
ta?"
"Raja Petir, maksudmu?" '
"Ya. Dia pasti Raja Petir," sahut Sandala.
"Hm.... Pantas dia berani bicara sombong seperti
itu," ucap Sancasona.
"Hei...! Kenapa kalian berbisik-bisik? Se-
dang merundingkan tanah untuk tempat mengu-
burkan bangkai kalian?!" ejek Jaka menyaksikan
percakapan pelan Sancasona dan Sandala.
"Sudah lama sekali Tiga Iblis Sakti ingin
bertemu dengan tokoh muda sepertimu. Raja Pe-
tir. Sekarang, pucuk dicinta ulam tiba. Karena
kau yang mencari kami, itu berarti kematian se-
saat lagi akan menjemputmu," ucap Sancasona
meremehkan.
"Aku tidak yakin dengan ucapanmu," ban-
tah Jaka.
"Kita buktikan saja!" ucap Sancasona lan-
tang.
"Benar," timpal Jaka. "Tapi jangan menyes-
al kalau isi Goa Teratai akhirnya menjadi bagian-
ku."
"Cuh!"
Sancasona membuang ludah ke tanah.
Kemudian kakinya bergerak maju satu langkah.
"Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Lelaki berjubah merah itu melejit cepat ba-
gai kilat. Tongkat merah berkeluk sembilannya
berada di udara melewati kepala. Dan terayun de-
ras ke kepala Raja Petir.
Wukkk!
"Uts!"
Jaka melompat menghindari sambaran
Sancasona yang menimbulkan hawa dingin cukup
kuat. Serangan pembuka Iblis Tongkat Merah
mampu dielakkan Jaka. Tapi lelaki muda berpa-
kaian merah itu tidak mau membiarkan buruan-
nya lolos. Seketika itu juga serangan keduanya
menyusul tak kalah ganas.
"Mampus kau. Raja Sundel!"
Wukkk!
"Hop!"
Mendapat serangan ganas yang begitu ce-
pat.
Jaka segera mengeluarkan jurus 'Lejitan
Lidah Petir'. Akibatnya, semua serangan yang di-
lancarkan Iblis Tongkat Merah selalu membentur
tempat kosong. Hingga Sancasona semakin mur-
ka. Jurus-jurus andalannya segera disajikan un-
tuk membungkam kegesitan Jaka.
"Hiyaaa...!"
Iblis Tongkat Merah kembali meluruk ma-
ju. Kali ini tongkatnya tidak digunakan untuk
menyerang. Tangannya yang terkepal kuat me-
layang ke arah dada Jaka.
Bet!
"Uts!"
Dugkh!
"Heh!"
Jaka terkejut ketika mendapati gerakan
Sancasona hanya tipuan belaka. Ternyata tongkat
merah juga menjadi andalan utama lawannya. Sa-
tu sodokan tongkat yang mendarat di bahunya
memperlihatkan tanda cukup jelas ketika Jaka
menyingkap pakaiannya. Dilihatnya tanda keme-
rahan pada kulit bahu.
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba Sancasona tertawa
keras. "Kau rasakan ilmu 'Tongkat Merah Bera-
cun'ku. Raja Geblek! Sepeminum teh lagi nyawa-
mu akan melayang ke neraka!" ucap Sancasona
jumawa.
Jaka tidak menimpali ucapan Sancasona.
Pemuda itu menunggu kebenaran ucapan Iblis
Tongkat Merah sampai sepeminum teh yang di-
janjikan.
"Bagaimana, Iblis? Apa kau lihat tubuhku
tergeletak jadi bangkai setelah sepeminum teh
yang kau katakan?" ejek Jaka ketika waktu yang
dijanjikan Sancasona telah lewat.
"Hmh...!"
Iblis Tongkat Merah menggeram melihat
keadaan Jaka tidak berubah sedikit pun. Sung-
guh tidak disangka kalau Jaka mampu bertahan
dari pukulan 'Tongkat Merah Beracun', yang se-
lama ini diyakini selalu meminta nyawa dalam
waktu singkat. Tapi kenyataannya?
"Kau memang hebat. Raja Gendeng! Tapi
apa kau mampu menahan ajian 'Iblis Murka'? Ke-
luarkan seluruh kepandaianmu agar tidak me-
nyesal mati di tanganku," tukas Iblis Tongkat Me-
rah menutupi keterkejutannya menyaksikan ke-
hebatan Raja Petir.
"Keluarkan seluruh ilmumu, Iblis Kurap,"
balas Jaka mengejek. "Aku bersedia melayanimu."
Sancasona segera melakukan gerak pem-
buka dari ajian 'Iblis Murka'. Wajah lelaki berusia
dua puluh lima tahun itu menjadi merah. Namun
sebaliknya, bagian bawah tubuhnya berubah ke-
hijauan.
Jaka yang menyaksikan kejadian itu hanya
menggelengkan kepala.
"Ilmu setan," suara hatinya berujar.
"Hiyaaa...!"
Slat! Slat..!
Sinar merah dan hijau berturut-turut me-
lesat dari tangan kiri Sancasona yang menghen-
tak. Dua sinar itu meluruk deras ke arah Raja Pe-
tir yang sudah siap menghalaunya dengan ilmu
'Pukulan Pengacau Arah'.
"Hih!"
Wrrr...!
Serangkum angin bergulung bagai pusaran
angin tercipta saat tangan Jaka menghentak. Ma-
ka....
Presss...!
"Heh?!"
Jaka terkejut menyaksikan angin pukulan-
nya tidak mampu mengusir sinar ciptaan Sanca-
sona yang terus meluruk ke arahnya. Mau tak
mau Jaka kembali mengerahkan ilmu 'Lejitan Li-
dah Petir', Jaka melesat menghindari terjangan
sinar merah dan hijau.
"Heh?!"
Kembali Jaka terkejut ketika berhasil
menghindari sinar-sinar itu. Kedua sinar itu se-
perti memiliki mata, dan mengejar Jaka ke mana
pun dirinya melesat.
"Hebat!" puji Jaka dalam hati.
Jlig!
Raja Petir segera mendarat di tanah ketika
sinar-sinar itu berhasil dijauhinya. Cepat tokoh
muda yang digdaya itu menciptakan aji 'Kukuh
Karang' untuk melindungi diri.
Maka ketika sinar merah dan hijau kembali
meluruk deras, membentur sinar kuning keema-
san yang membungkus tubuh Jaka, keanehan
seketika terlihat mengejutkan Sancasona.
Prefs! Presfs...!
Dua sinar ciptaan Sancasona seperti teng-
gelam di kemilauan sinar kuning tubuh Jaka. Ke-
nyataan itu membuat Iblis Tongkat Merah tidak
percaya. Seharusnya jika seseorang terhantam aji
'Iblis Murka,' maka saat itu juga tubuhnya han-
gus terbakar. Tapi tidak terhadap tubuh Jaka?
Karena murkanya, Sancasona bergerak memberi-
kan serangan susulan.
Jaka yang sekilas memperhatikan jalannya
pertarungan Mayang Sutera dan Sandala mence-
maskan keselamatan gadis yang dikasihinya itu.
Maka Jaka segera memutuskan untuk secepatnya
menghentikan perlawanan Sancasona.
Ketika lejitan Sancasona semakin dekat,
Jaka meloloskan Sabuk Petirnya. Dan saat perge-
langan tangannya bergerak, seberkas sinar kepe-
rakan melesat cepat ke arah tubuh Sancasona.
Slat!
Glar!
"Aaa...!"
Sancasona terpental balik tertahan sinar
keperakan Raja Petir melalui jurus 'Petir Membe-
lah Malam' yang mengenai dadanya dengan telak.
Nyawa Iblis Tongkat Merah melayang meninggal-
kan raga saat itu juga.
Bruk!
Jasad Sancasona jatuh ke bumi dengan
sebagian tubuh menghitam.
Kematian Sancasona sangat mengejutkan
Parada dan Sandala. Keduanya langsung meng-
hentikan serangan gencar mereka terhadap
Mayang Sutera dan Yudistira. Mereka mengham-
piri mayat lelaki berpakaian merah yang hangus
terbakar.
"Sancasona! Kau.... Ah! Tidaaak!" Parada
memekik kalap.
"Raja Petir!" bentak Sandala seraya menud-
ing Jaka. "Kau harus bertanggung jawab atas ke-
matian saudaraku yang begitu kucintai. Kau ha-
rus menyerahkan nyawamu sekarang juga!
Hiyaaa...!"
Tubuh Iblis Tongkat Hitam mencelat den-
gan tongkat hitam berkeluk sembilan berkelebat
cepat mengancam kepala Jaka.
Wukkk!
Bet!
"Uts!"
Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah
Petir', Jaka melejit menghindari serangan Iblis
Tongkat Hitam. Namun lelaki berjubah hitam
yang sudah dirasuki iblis itu terus memburu tu-
buh Jaka. Hingga pukulan tongkatnya terpaksa
ditangkap Jaka.
Wukkk!
Tap!
Adegan tarik menarik pun terjadi ketika
senjata Iblis Tongkat Hitam tertangkap tangan
Jaka. Berkat penguasaan tenaga dalam Jaka yang
lebih tinggi terlihat Iblis Tongkat Hitam tertarik ke
depan. Seketika itu juga Raja Petir melepaskan
genggamannya pada ujung tombak.
Plash!
Wusss!
Iblis Tongkat Hitam terdorong keras ke be-
lakang. Keseimbangannya telah hilang termakan
tenaganya sendiri.
Di luar dugaan, mendadak Yudistira men-
celat menyongsong tubuh Iblis Tongkat Hitam
dengan pedang terhunus.
"Terimalah ganjaranmu, Iblis! Hiyaaa...!"
Trash!
Tak ada jeritan yang terdengar ketika Pe-
dang Kumala Yudistira memenggal kepala Sanda
la. Detik itu juga nyawa Iblis Tongkat Hitam me-
layang ke akherat.
Bruk!
Tubuh tanpa kepala Iblis Tongkat Hitam ja-
tuh berdebum di tanah.
"Keparaaat...!"
Iblis Tongkat Biru memekik histeris me-
nyaksikan kematian Sandala. Seiring dengan pe-
kikannya, Iblis Tongkat Biru meluruk ke arah Yu-
distira dengan tongkat biru berkeluk sembilan te-
racung di udara.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Bersamaan dengan itu, Mayang Sutera
mencelat mengejar sosok Parada dari samping
kanan.
Trak!
Bles!
"Aaa...!"
Pekik kematian kembali terdengar. Perut
Iblis Tongkat Biru tertembus Pedang Kumala mi-
lik Yudistira.
Yudistira yang ikut menyongsong serangan
Iblis Tongkat Biru segera menghujamkan tusukan
pedangnya setelah payung baja milik Mayang Su-
tera menangkis tongkat Parada. Lelaki berjubah
biru itu kini menggelepar-gelepar memegangi pe-
rutnya yang mengucurkan darah. Hanya sesaat
Iblis Tongkat Biru meregang nyawa. Saat berikut-
nya tubuh terbalut jubah biru itu sudah menge-
jang kaku.
"Hhh...!"
Jaka menarik napas panjang. Dan Yudisti-
ra segera meraih Lempengan Teratai Emas dari
balik jubah Iblis Tongkat Merah.
"Sebaiknya lempengan ini kau yang me-
nyimpannya, Jaka," ucap Yudistira seraya menye-
rahkan Lempengan Teratai Emas pada Raja Petir.
Jaka menerimanya tanpa banyak bicara.
"Kakang...," Harum Seroja memburu tubuh
Yudistira dan merangkulnya dengan erat.
"Kuatkan hatimu, Harum," ujar Yudistira
membelai rambut gadis cantik berpakaian merah
dadu itu.
"Sebaiknya kumusnahkan saja lempengan
ini agar tidak menjadi sengketa kelak di kemu-
dian hari," tukas Jaka mengejutkan Yudistira.
Namun Ketua Perguruan Pedang Kumala menya-
dari kebenaran ucapan itu.
"Kalau menurutmu itu jalan terbaik sila-
kan. Raja Petir," ucap Harum Seroja.
"Baik. Menyingkirlah kalian agak jauh,"
pinta Jaka. Lalu meloloskan pedang yang mengge-
lantung di lehernya.
Yudistira, Harum Seroja, dan Mayang Sute-
ra segera berpindah dari tempatnya. Jaka pun
mengangkat Pedang Petirnya. Seketika itu juga....
Gludug.... Gludug.... Glederg....!
Suara gemuruh terdengar di kejauhan.
Seiring dengan itu suasana di sekitar Goa Teratai
semakin gelap. Lidah-lidah petir menjilati ujung
pedang milik Jaka yang memendarkan sinar ke-
merahan.
Dan ketika suasana kembali seperti semu
la, tangan kiri Jaka segera melempar Lempengan
Teratai Emas tinggi-tinggi. Dan tangan kanannya
yang menggenggam Pedang Petir secepatnya men-
gibas. Maka....
Trang! Trang! Trang...!
Lempengan Teratai Emas yang terbuat dari
emas murni terbelah menjadi empat bagian. Ke-
mudian dibuangnya pecahan emas itu ke empat
penjuru angin.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Raja Pe-
tir. Juga kau, Mayang," ucap Harum Seroja me-
langkah menghampiri sosok anggun Mayang Su-
tera.
"Kewajiban kita untuk saling tolong-
menolong, Harum," elak Mayang Sutera.
"Hari hampir malam. Sebaiknya kita ting-
galkan tempat ini sekarang," ucap Jaka.
"Kau betul, Jaka. Ayo," seru Yudistira.
Dua pasang muda-mudi itu pun bergerak
meninggalkan Goa Teratai. Angin malam yang
berhembus agak keras mengiringi kepergian mereka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar