RAHASIA TOMBAK SANGGA BUANA
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Rahasia Tombak Sangga Buana
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Alam terlihat kurang bersahabat sore ini. Langit
berwajah muram. Gumpalan-gumpalan awan hitam
pekat yang berarak, membuat Hutan Sagar yang mem-
batasi Desa Kuntup dan Desa Ledar gelap. Angin ber-
tiup cukup keras, membawa butiran es yang jatuh ber-
tebaran ke segala arah. Cuaca seketika berubah din-
gin. Samar-samar terdengar bunyi gemuruh di kejau-
han. Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan deras
menyiram bumi.
Glederg.... Glederg...!
Glar! Glar!
Suara guntur kembali terdengar, mengiringi hu-
jan yang semakin lebat. Kilatan-kilatan lidah petir, se-
kejap menerangi alam.
Di tengah hujan lebat itulah tampak di kejauhan
empat orang lelaki gagah tengah menunggang kuda. Di
antara keempat lelaki gagah itu, sebuah kereta kuda
yang cukup mewah merangkak perlahan. Dua orang
kusir kereta kuda terlihat sedang mengendalikan ku-
da-kuda hitam yang nampak kelelahan.
"Heya...!"
Kedua kusir itu kembali menggebah binatang
pengangkut beban majikannya. Mereka sebenarnya ta-
hu kalau binatang-binatang itu telah lelah setelah me-
nempuh perjalanan yang cukup jauh. Perjalanan yang
kerap kali dilakukan Ki Sunara untuk menjajakan ba-
rang-barang antik perabot rumah tangga dan kain-
kain hias yang terbuat dari benang sutera, bahkan ada
yang terajut dari benang emas.
Hujan masih terus mengguyur bumi, mengguyur
kereta kuda seorang pedagang kayu. Dinding-dinding
kereta dihiasi dengan ukiran timbul yang tepiannya di
beri warna kuning seperti emas.
Empat lelaki gagah yang mengawal kereta keliha-
tan tidak terpengaruh oleh air hujan yang seperti ter-
curah dari langit. Dengan tenang, mereka terus berge-
rak mengiringi laju kereta yang membawa sepasang
suami istri pedagang kaya. Sementara sepasang mata
mereka berkeliaran ke berbagai arah, mengawasi dae-
rah yang tengah dilaluinya.
Keempat lelaki bertubuh tinggi besar itu menge-
nakan pakaian yang cukup ketat, hingga menampak-
kan otot-ototnya yang melingkar-lingkar di badan tu-
buh tertentu. Wajah mereka yang keras bertambah
angker dengan sebaris kumis tebal.
Sementara itu, di dalam kereta kuda duduk ber-
himpitan sepasang suami istri. Sang istri yang meski
sudah berusia lima puluh satu tahun masih kelihatan
cantik. Matanya bersinar dengan kulit wajah putih.
Rambutnya yang belum ditumbuhi uban menandakan
dirinya begitu pandai memelihara tubuh. Sementara
sang Suami yang dua tahun lebih tua nampak masih
gagah. Rambutnya pun masih hitam.
Angin dingin yang menerobos masuk melalui lu-
bang-lubang kecil pada dinding kereta, membuat pe-
rempuan setengah baya itu merapatkan tubuhnya pa-
da suaminya.
"Seharusnya kita tak menempuh jalan ini, Ka-
kang," ucap sang Istri sambil merangkul pundak sua-
minya.
"Memangnya kenapa, Sumirah?" tanya lelaki
berwajah kelimis sambil memandang istrinya.
"Entahlah, Kakang. Tiba-tiba perasaanku tak
enak," jawab Sumirah dengan kecemasan yang tak
mampu disembunyikan.
"Kau hanya terlalu letih."
"Mungkin kau betul, Kakang Sunara," timpal
Sumirah.
"Kalau begitu, sebaiknya kau tidur saja. Aku ya-
kin tak ada gangguan dalam perjalanan pulang ini,
meski kita mengambil jalan pintas yang jarang dilalui
kereta pedagang," hibur Ki Sunara sambil merebahkan
tubuh Sumirah di pangkuannya. Ki Sunara melepas
tatapan matanya lurus ke depan. Tidak dipungkiri ka-
lau dirinya juga merasa gelisah seperti yang dirasakan
Sumirah. Apakah rasa gelisah ini timbul karena terlalu
letih? Tanya hati Ki Sunara. Atau jangan-jangan....
"Berhenti!"
Belum lagi pertanyaan itu terjawab, sebuah ben-
takan yang cukup keras terdengar dari arah depan,
seperti menghadang laju kereta. Bentakan keras itu
membangunkan Sumirah dari tidurnya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Sumirah cemas. Fira-
satnya mengatakan kalau akan terjadi sesuatu terha-
dap mereka.
"Entahlah. Sumirah. Aku akan keluar untuk me-
lihatnya," Jawab Ki Sunara sambil hendak membuka
pintu kereta.
"Sebaiknya kau jangan keluar dulu, Kakang. Jika
terjadi sesuatu, Santana dan kawan-kawannya pasti
akan mengatasi," tahan Sumirah.
Ki Sunara tak membantah keinginan istrinya.
Sementara di luar kereta tampak Santana dan ketiga
rekannya telah berlompatan dari kuda, menentang li-
ma lelaki berwajah angker yang menghadang perjala-
nan mereka.
"Mengapa kisanak sekalian menghentikan perja-
lanan kami? Apakah Kisanak semua mempunyai ke-
perluan dengan kami?" tanya Santana dengan suara
berat.
"Kucing gudik! Kami berlima bukan saja punya
keperluan dengan kalian, tapi juga tuntutan!" bentak
lelaki tinggi besar berwajah hitam legam sambil memi-
lin-milin kumisnya yang melintang. Di telinga kirinya
tersemat anting-anting berbentuk gembok.
"Tuntutan? Ah. Aku tak mengerti maksud Kisa-
nak," kilah Santana betul-betul tak mengerti.
"Kucing gudik! Kalian memang bodoh. Tak tahu-
kah kalau kau telah memasuki wilayah kekuasaan
orang lain?!" bentak lelaki berwajah pucat. "Kakang Ji-
lunta, kita musnahkan saja orang-orang bodoh itu!"
"Sabar Adi Gibara," tahan lelaki berwajah hitam
yang ternyata bernama Jilunta.
Gibara tak berani menyangkal ucapan Jilunta.
Lelaki berwajah pucat itu kembali membenamkan sen-
jatanya yang sudah keluar sebagian.
"Aku masih memberi kesempatan pada kalian
untuk menghirup udara esok pagi, Kucing Gudik.
Dengan satu syarat yang harus kalian penuhi. Ting-
galkan kereta kuda itu. Setelah itu, kalian bisa pergi
dengan selamat," ucap Jilunta.
"Apa tidak ada tawaran lain, Jilunta?" tanya San-
tana tenang.
"Kalian tinggal pilih harta atau nyawa," balik Ji-
lunta, sambil meraba hulu golok
"Bagaimana kalau aku pilih nyawa. Jilunta?"
"Kurang ajar!" maki Gibara keras. Senjatanya kini
telah lolos dari tempatnya. "Biar kurobek mulut kucing
gudik itu, Kakang Jilunta!"
"Lakukanlah!" sahut Jilunta, menyetujui.
Gibara langsung melompat mendengar keputu-
san pemimpinnya. Wajahnya menampakkan keben-
cian. Otot-otot tubuhnya seketika menegang. Lelaki
berpakaian rompi hitam itu mengibaskan senjatanya
ke arah dada Santana.
"Hih!"
Bet!
Mendapat serangan seperti itu, Santana tidak
tinggal diam. Lelaki pengawal Ki Sunara dan Sumirah
itu bergerak cepat menghindari tebasan senjata Giba-
ra. Begitu cepat gerakan Santana hingga serangan Gi-
bara luput dari sasaran. Bukan hanya itu. Lelaki ber-
pakaian merah itu memberi serangan balasan melalui
tendangan menyilang ke pelipis Gibara.
Wukkk!
"Uts!"
Hampir saja pelipis Gibara tersambar tendangan
keras. Untung kepalanya cepat dirundukkan. Angin
keras dari tendangan yang dilontarkan Santana mem-
buat rambut Gibara berkibar.
"Setan!"
Tiga rekan Gibara yang menonton pertarungan
itu berteriak bersamaan. Ketiga lelaki itu terkejut me-
nyaksikan kebolehan lawan Gibara. Maka ketika men-
dapat izin Jilunta, mereka membantu Gibara mengha-
dapi Santana.
"Kucincang tubuhmu, Keparat!" bentak lelaki ku-
rus yang baru turun ke arena pertempuran. Lelaki ku-
rus bernama Dalatu itu langsung mengibaskan senja-
tanya ke leher Santana. Angin berciutan mengiringi ti-
banya sambaran senjata Dalatu.
"Awas, Kakang Santana!" teriak Wadika mempe-
ringatkan. Tubuh pengawal kereta kuda itu seketika
mencelat untuk memapaki sambaran senjata Dalatu.
"Haaat..!"
Trang!
Tubuh Wadika terdorong dua langkah ke bela-
kang ketika senjatanya berhasil memapaki senjata Da-
latu. Wajah Wadika menyeringai menahan linu yang
mendera tangannya. Apa yang dirasakan Wadika, juga
dialami Datatu. Tubuh lelaki kurus itu tergempur dua
langkah ke belakang. Wajahnya menyeringai karena
rasa nyeri di tangan. Kekuatan tenaga dalam Dalatu
dan Wadika rupanya seimbang.
Pada pertarungan lain, dua lelaki pengawal kere-
ta kuda berhadapan dengan dua anak buah Jilunta.
Pada awalnya kedua pengawal itu berhasil mengim-
bangi kepandaian lawan-lawannya. Namun, memasuki
jurus ketiga belas, mereka mulai terdesak. Tebasan
dan tusukan senjata lawan tak berhasil melukai tubuh
kedua pengawal itu. Hanya sodokan-sodokan tangan
kosong berkali-kali menghajar tubuh mereka.
Tapi, tak urung kekuatan mereka mengendur.
Keadaan itu dimanfaatkan anak buah Jilunta. Ketika
kesempatan itu terbuka, salah seorang anak buah Ji-
lunta menusukkan senjatanya ke perut seorang pen-
gawal.
Crab!
"Aaa...!"
Lengking kematian seketika terdengar menyayat
hati. Diiringi ambruknya seorang pengawal kereta ku-
da.
"Aaa...!"
Kembali lengking kematian membubung ke ang-
kasa. Kali ini berasal dari mulut pengawal kereta kuda
yang lain.
Di dalam kereta kuda, Ki Sunara tercekat men-
dengar teriakan itu. Tanpa meminta ijin Sumirah, lela-
ki berpakaian biru itu membuka pintu kereta dan me-
nyaksikan pertarungan yang telah memakan korban
dua anak buahnya.
"Kurang ajar!" geram Ki Sunara.
Saudagar kaya dari Desa Lebak Mera itu bermak-
sud meramaikan pertarungan Santana dan Wadika,
yang tengah menghadapi empat anak buah Jilunta. Ki
Sunara ingin menunjukkan kalau dirinya memiliki ke-
pandaian ilmu silat, yang didapatnya dari Ki Karmada
na si Iblis Tombak Merah yang setelah insyaf lalu men-
gasingkan diri. Namun, gerakan Jilunta menghadang-
nya.
"Kau harus berhadapan denganku, Kisanak!" tan-
tang Jilunta sambil menepuk dada.
"Apa yang kau inginkan, hingga berani mengha-
dang perjalananku?" tanya Ki Sunara keras.
"Mulanya, harta. Tapi, anak buahmu mengingin-
kan nyawanya diserahkan padaku. Mungkin kau juga,
Kisanak!" ucap Jilunta tak kalah keras.
"Kau harus menebus kematian anak buahku,
Kadal Ireng!" sentak Ki Sunara tak kalah gertak.
"Heh?! Punya nyali juga kau!"
"Hiyaaa...!"
Jilunta berkelebat cepat melancarkan serangan
ke dada Ki Sunara. Angin menderu mengiringi datang-
nya tendangan lurus yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Menyaksikan serangan itu, Ki Sunara se-
gera bertindak tidak kalah cepatnya. Dengan lincah, le-
laki berpakaian biru itu mengelakkan serangan Jilun-
ta.
"Hip!"
"Uts!"
"Hih...!"
Ki Sunara memiringkan tubuh, hingga tendangan
lurus Jilunta membentur tempat kosong. Bersamaan
dengan itu, sodokan sikut Ki Sunara mengarah ke leh-
er Jilunta.
Plak!
"Aaa...!"
Ki Sunara memekik tertahan. Sodokan sikutnya
berhasil dipapaki tangan Jilunta dengan cepat dan
kuat. Tubuh lelaki berpakaian biru itu terdorong mun-
dur dua langkah. Jilunta pun merasakan hal yang sa-
ma. Tapak kaki lelaki berwajah hitam dengan kumis
melintang itu terlihat mundur tiga langkah.
"Hih!"
Srat!
Jilunta segera meloloskan senjatanya. Lelaki ber-
tubuh kekar itu tak ingin bermain-main dengan Ki Su-
nara yang telah diketahui kemampuannya. Jilunta in-
gin segera menyudahi pertarungan itu. Sunara pun te-
lah menghunus senjata.
Srat!
Kedua lelaki itu saling bertatapan dengan tajam
dan penuh selidik. Seolah mereka sedang mengukur
kekuatan masing-masing. Tak berapa lama kemudian,
diiringi teriakan nyaring, Jilunta membuka serangan.
Tombak pendek bermata dua miliknya teracung ke
udara.
"Hiyaaa...!"
"Hiaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Ki Sunara bergerak
maju dengan pedang siap menghunjam tubuh lawan.
Teriakan nyaring keluar dari mulut Ki Sunara. Angin
berciutan mengiringi tibanya kedua serangan itu.
"Hih!"
"Uts!"
Trang!
Terdengar benturan dua benda keras. Percikan
bunga api keluar dari beradunya dua logam keras yang
dikerahkan dengan tenaga dalam penuh. Tubuh Ki
Sunara dan Jilunta terdorong mundur tiga langkah.
Wajah keduanya menyeringai kesakitan. Namun tanpa
mempedulikan rasa sakit, mereka kembali melancar-
kan serangan.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Uts!"
Ki Sunara lebih unggul karena senjatanya memi
liki jangkauan yang lebih jauh. Pedangnya yang lebih
panjang dari tombak pendek bermata dua milik Jilunta
berkelebat cepat mendahului. Jilunta tentu tak ingin
kulitnya robek terbabat ujung senjata Ki Sunara. Tapi
untuk memapaki senjata lawan, Jilunta tak berani. Le-
laki berkumis tebal itu tahu kekuatan tenaga dalam Ki
Sunara cukup tinggi.
Jilunta melompat untuk menghindari sambaran
pedang Ki Sunara. Tubuh Jilunta bergerak ringan ber-
putaran dengan indahnya di udara. Ki Sunara melihat
peluang untuk menyarangkan senjatanya di tubuh Ji-
lunta. Tak ingin kehilangan kesempatan, saudagar
kaya itu berkelebat cepat mengejar tubuh Jilunta yang
berada di udara.
"Hiyaaa...!"
Trang!
Ki Sunara tersentak melihat serangannya dikan-
daskan seseorang. Tubuh lelaki itu terhuyung dua
langkah ke belakang. Sedangkan orang yang memapa-
ki serangannya terdorong mundur empat langkah.
Keterkejutan Ki Sunara semakin bertambah keti-
ka mengetahui lelaki yang memotong laju serangan-
nya. Lelaki itu, bukankah lawan Santana dan Wadika?
Tanpa mempedulikannya, Sunara segera melempar
pandangan ke arah lain. Tatapan lelaki berpakaian bi-
ru itu berkeliling mencari sosok Santana dan Wadika.
"Ahhh...!"
Ki Sunara mendesah keras melihat tubuh Santa-
na dan Wadika tergeletak tak bergerak. Dari tubuh ke-
dua pengawal kepercayaannya nampak darah mengu-
cur.
"Jahanam!" maki Ki Sunara geram.
Saudagar kaya itu ingin kembali menerjang la-
wan. Namun, apa yang dilihatnya membuat hatinya
sedikit gentar. Lima orang lelaki berdiri di hadapannya
dengan senjata terhunus. Saat itulah, tiba-tiba Sumi-
rah keluar dari dalam kereta dan menghambur ke arah
suaminya. Semakin bertambah kekacauan hati Ki Su-
nara. Lelaki itu mengkhawatirkan keselamatan Sumi-
rah yang tidak mengerti ilmu silat.
"Ha ha ha...! Walau kau dapat menyelamatkan
diri, tapi bukan jaminan dapat menyelamatkan tubuh
istrimu. Ha ha ha.... Dia akan menjadi santapan kami,
Sunara!" ucap Jilunta keras.
Ki Sunara menatap tajam wajah Jilunta. Disadari
kalau dirinya tak akan mampu menghadapi Jilunta
yang kini dibantu empat anak buahnya. Apalagi, den-
gan keberadaan Sumirah di sampingnya yang hanya
akan membuat pikirannya terpecah. Bukan mustahil
dalam beberapa gebrakan saja dirinya akan dapat di-
tundukkan. Namun, tak ada pilihan lain baginya. Ki
Sunara terpaksa melanjutkan pertarungan. Dia tak in-
gin mati percuma tanpa memberikan perlawanan.
"Kadal ireng! Kalian pikir akan mudah menyan-
tap istriku?! Aku tak gentar menghadapi kalian! Cuh...!
Tak akan pernah Sunara lari dari kenyataan yang pa-
hit bagaimanapun! Majulah kalian semua! Biar cepat
kukirim ke neraka!"
"Kakang...!" Sumirah tersentak mendengar uca-
pan suaminya.
"Ha ha ha.... Hebat juga keberanianmu, Sunara!
Di ujung kematian pun kau masih sempat sesumbar,"
ejek Jilunta.
"Kakang Jilunta, kita habisi saja kucing gudik itu
segera!" ajak Gibara tak sabar.
"Ayo, Gibara. Aku juga tak sabar," sambut Jilun-
ta.
Lelaki berwajah hitam dengan kumis tebal melin-
tang itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk
mencincang tubuh Ki Sunara dan Sumirah. Empat
anak buah Jilunta segera bergerak cepat. Mereka lang-
sung mengepung sepasang suami istri itu.
"Kakang...!"
Sumirah gemetaran menahan rasa takut yang
amat sangat. Sungguh tak disangkanya kalau akan
menemui kematian yang mengerikan seperti ini. Tim-
bul rasa sesal di hatinya akan keengganannya berlatih
silat, seperti yang dilakukan putrinya, Nila Juwita. Ji-
ka seandainya dia turut mempelajari ilmu bela diri,
maka sedikit banyak dirinya akan mampu memberikan
perlawanan pada kelima perampok itu.
"Ha ha ha.... Inilah akibatnya berani main-main
dengan kaki tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong.
Kau akan binasa sekarang juga, Sunara! Begitu juga
istrimu!" bentak Jilunta menakut-nakuti.
Ki Sunara merasa ngeri mendengar ucapan Jilun-
ta. Namun hatinya berusaha dikuatkan dengan men-
gangkat senjatanya tinggi-tinggi.
"Seraaang...!"
Perintah Jilunta menggema ke seluruh penjuru
angin. Empat anak buahnya segera berkelebat dengan
senjata terhunus di udara.
"Hiyaaa!"
"Heaaat!"
"Tahaaan...!"
***
DUA
Keempat lelaki yang ingin mencincang tubuh Ki
Sunara dan Sumirah langsung menghentikan gera-
kannya. Tubuh mereka terlonjak mundur satu lang-
kah. Jilunta terkejut mendengar bentakan yang cukup
keras itu. Telinganya berdengung hebat oleh getaran
suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga da-
lam tinggi.
Sosok pemuda berpakaian kuning keemasan
nampak berdiri di samping Ki Sunara. Sosok pemuda
berwajah tampan seperti putra mahkota itu berdiri
dengan tenang. Menampakkan kegagahannya yang
sempurna, namun tak berkesan sombong.
"Lancang sekali kau mencampuri urusan orang
lain, Kunyuk Kecil!" maki Jilunta geram. Sorot ma-
tanya mencorong tajam, terarah ke wajah pemuda ber-
pakaian kuning keemasan itu.
"Ah. Aku mohon maaf jika Kisanak sekalian tidak
berkenan dengan apa yang kulakukan," ucap pemuda
berwajah tampan yang tak lain Jaka Sembada alias
Raja Petir.
"Ucapan maafmu merupakan penghinaan bagi
kaki tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong! Kau harus
membayar penghinaan itu dengan nyawa!" hardik Ji-
lunta.
"Kisanak merasa terhina? Duh, aku jadi tak
enak. Sekali lagi aku mohon maaf." kilah Jaka dengan
wajah tak berdosa.
Ki Sunara dan Sumirah yang menyaksikan ting-
kah lelaki muda di sebelahnya menjadi sedikit bin-
gung. Pemuda itu sepertinya seorang pemberani. Na-
mun, ucapan maafnya yang berkali-kali lebih menun-
jukkan kalau dirinya gentar menghadapi lima lelaki
yang mengaku kaki tangan Dua Buaya Sungai Tengga-
rong.
"Kurang ajar! Kau telah mempermainkan kami!
Kupenggal kepalamu, Kunyuk!" bentak Jilunta geram.
"Biar aku yang menghadapinya, Kakang," pinta
Gibara.
Jilunta menatap wajah Gibara sekilas.
"Lakukan, Gibara. Dan kau, Dalatu. Bantu Giba-
ra!"
"Baik, Kakang Jilunta," ucap Dalatu.
Gibara dan Dalatu mengayunkan langkah tegap
ke arah Jaka Sembada. Pemuda berpakaian kuning
keemasan yang berjuluk Raja Petir itu memamerkan
ketenangannya di hadapan Gibara dan Dalatu yang
sudah menghunus senjata.
"Sebenarnya aku tak menginginkan pertarungan
ini, Kisanak," ucap Jaka mencoba menahan langkah
Gibara dan Dalatu. Ucapan Jaka berhasil menghenti-
kan langkah mereka. Namun, ucapan itu membuat
mata keduanya membelalak geram.
"Keparat! Kau menganggap kami terlalu remeh,
Anak Muda!" sentak Gibara sewot
"Aku tidak menganggap remeh kalian. Aku hanya
merasa tak punya urusan dengan kalian dan tak ingin
memperpanjang persoalan ini," kilah Jaka.
"Setan!"
Habis sudah kesabaran Gibara mendengar perka-
taan Jaka. Lelaki berpakaian rompi hitam itu men-
gayunkan senjatanya ke arah Raja Petir. Angin mende-
ru mengiringi kedatangan senjatanya.
"Hyaaa...!"
Bet! Bet!
Jaka berkelit ringan tanpa menggeser kedudukan
kakinya. Serangan Gibara lolos beberapa jengkal dari
dada pemuda itu. Untuk menakut-nakuti Gibara agar
tak terlalu dekat dengannya, dengan kasar Jaka me-
nyodokkan tangannya ke ulu hati Gibara.
Sut!
"Ikh?!"
"Uts!"
Gibara terpaksa menghentakkan kakinya untuk
menghindari sodokan tangan Jaka. Tubuh lelaki terba
lut pakaian rompi hitam itu melejit lalu berputaran
dua kali dan mendarat dengan ringan satu batang
tombak di hadapan Jaka.
"Ayo kita cincang bersama-sama tubuh anak
muda itu!" ajak Gibara lantang.
"Ayo!"
"Ayo kita lumat tubuh lelaki sombong itu!" sahut
yang lain.
Tiga rekan Gibara yang memang sudah menghu-
nus senjata, segera menyambut ajakan itu. Mereka se-
ketika merangsek maju. Senjata-senjata yang sudah
teracung di udara, siap dihunjamkan ke tubuh Jaka.
Raja Petir yang sudah dapat mengukur kekuatan
tenaga dalam lawan, tetap tegak tak bergerak. Ia hen-
dak menentang tebasan senjata mereka hanya dengan
mengerahkan sedikit kekuatan tenaga dalamnya. Apa
yang dilakukan Raja Petir membuat Ki Sunara dan
Sumirah terkejut bukan kepalang. Suami istri itu me-
rasa pemuda yang menolongnya terlalu sembrono jika
bersikap seperti itu.
"Awas, Anak Muda," ucap Ki Sunara memperin-
gatkan.
Jaka menjawab peringatan Ki Sunara dengan se-
nyumnya.
"Hiyaaa...!"
Trak! Trak...!
Tubuh empat lelaki yang mendaratkan senja-
tanya ke bagian tubuh Raja Petir langsung berpenta-
lan. Jerit kesakitan mengawali ambruknya tubuh-
tubuh anak buah Jilunta itu.
Jilunta terkejut menyaksikan kenyataan itu.
Sungguh tak dapat dipercaya kekuatan yang dimiliki
anak muda berpakaian kuning keemasan itu. Jilunta
tahu kalau Gibara, Dalatu, dan dua anak buahnya
yang lain telah mengerahkan tenaga dalam sepenuh
nya untuk melumat tubuh Jaka. Namun kenyataan-
nya? Empat anak buahnya tak berdaya menghadapi
pemuda itu. Ki Sunara dan Sumirah pun terkejut. Ke-
duanya tak menyangka kalau pemuda berpakaian
kuning keemasan itu memiliki kekebalan tubuh yang
luar biasa.
"Sudah kubilang, aku tak suka bertarung dengan
kalian," ucap Jaka mantap. "Sudahi saja persoalan ini
sampai di sini. Aku akan membiarkan kalian pergi
tanpa ku usik."
"Jangan sombong, Kunyuk! Kau belum mengha-
dapiku!" bentak Jilunta kasar.
"Kalau aku dapat mempecundangimu?" goda Ja-
ka.
"Kunyuk sombong!" maki Jilunta.
"Katakan, apa yang akan kau lakukan kalau aku
dapat menaklukkanmu?" tekan Jaka mantap.
"Aku akan mundur dan melaporkan semua ini
pada junjunganku. Dua Buaya Sungai Tenggarong."
"Begitu?"
"Ya."
Jilunta segera mengambil ancang-ancang mulai
menyerang. Kaki kanannya bergerak satu langkah ke
depan dengan pedang terhunus di depan pinggang.
Sementara matanya membara menatap wajah pemuda
di hadapannya.
"Kau harus mampus di tanganku, Kunyuk!
Heaaa...!"
Raja Petir yang ingin segera menyudahi pertaru-
ngan segera menyajikan ilmu andalannya. Sebuah il-
mu yang bukan dikeluarkan untuk menyerang Jilunta.
Aji 'Bayang-Bayang' digunakan Jaka untuk menghin-
dar sekaligus menguras tenaga dalam Jilunta.
Pada saat tubuh Jilunta masih berada di udara,
tubuh Raja Petir sudah bertambah jumlahnya. Lima
sosok lelaki berpakaian kuning keemasan tertangkap
penglihatan Jilunta.
Lelaki berwajah hitam dengan kumis melintang
itu sejenak ragu untuk menyerang. Jilunta tidak tahu
harus menyerang tubuh Jaka yang mana. Lima sosok
tubuh berpakaian kuning keemasan itu tampak berge-
rak-gerak ke sana kemari.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
Tanpa pikir panjang, Jilunta langsung mene-
baskan senjatanya pada salah satu sosok Raja Petir.
Namun betapa murka hatinya melihat sambaran tom-
bak pendek bermata dua, yang selama ini menjadi sen-
jata andalannya hanya membentur bayangan kosong
saja.
"Haaat..!"
Wut! Wut!
"Hiaaa...!"
Rasa penasaran membuat Jilunta terus menu-
suk, membabat, dan menetakkan senjatanya bagai
seekor banteng luka. Namun serangan Jilunta yang
disertai pengerahan tenaga dalam hanya membentur
sosok kosong tubuh Jaka.
"Hhh... hhh... hhh...!
Jilunta akhirnya menghentikan serangan. Tu-
buhnya terasa sangat lelah. Keringat membasahi seku-
jur tubuhnya.
"Kau..., hhh.... Kau memang hebat, Anak Mu-
da...," ucap Jilunta terbata. "Tapi kau akan mampus di
tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong. Aku akan me-
laporkan kejadian ini."
"Hm...," Jaka hanya bergumam mendengar uca-
pan Jilunta.
"Sebutkan namamu, Anak Muda. Biar aku gam-
pang mencarimu?" pinta Jilunta dengan geram. "Aku
ingin tahu, apakah kau berani menghadapi junjungan-
ku!"
"Namaku Jaka. Ku ingatkan, agar kalian jangan
salah mencari nanti. Banyak lelaki bernama Jaka di
atas jagat ini."
"Jaka...?" ulang Jilunta perlahan.
Demikian pula dengan Ki Sunara. Malah lelaki
berpakaian biru itu menghubungkan nama Jaka den-
gan Sembada. Apakah pemuda ini bernama Jaka Sem-
bada? Tanya hati Ki Sunara. Dia yang berjuluk Raja
Petir? Pantas....
"Katakan pada junjunganmu. Aku tak pernah
mencari urusan dengannya, apalagi menantangnya.
Akan tetapi, kalau Dua Buaya Sungai Tenggarong in-
gin mencariku, aku tidak akan menghindar," ujar Jaka
kalem.
"Tunggu saja saatnya, Jaka! Tubuhmu akan me-
nyatu dengan tanah."
"Kau betul!" timpal Jaka. "Kalau ajal sudah da-
tang, tubuhku memang akan menyatu dengan tanah.
Namun jika belum, jangan harap hal itu akan terjadi"
"Phuih...!"
Jilunta meludah ke tanah dengan kasar. Seben-
tar tatapan matanya tertuju ke arah Jaka dan Ki Su-
nara bergantian. Kemudian beralih pada anak buah-
nya yang sudah bangkit.
"Ayo!" ajak Jilunta sambil menghentakkan ka-
kinya kuat-kuat ke tanah.
Tubuh Jilunta melesat cepat. Gerakan lelaki ber-
pakaian rompi hitam itu cukup ringan. Menandakan
ilmu meringankan tubuhnya tidak rendah. Empat
anak buah Jilunta pun segera menghentakkan kakinya
kuat-kuat. Tanpa menoleh lebih dulu ke arah Raja Pe-
tir dan Ki Sunara yang membiarkan mereka pergi.
"Hhh...."
Ki Sunara menarik napas lega setelah kelima le-
laki itu lenyap dari hadapannya. Begitu pula Sumirah.
Istri Ki Sunara itu merayapi wajah Jaka dengan rasa
terima kasih yang begitu banyak. Sumirah tak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi jika Jaka tidak
segera datang.
"Terima kasih, Nak Jaka. Terima kasih sekali.
Tanpa kehadiranmu...."
"Aku hanya kebetulan lewat, Nyai," potong Jaka
sopan. Saat itu Jaka memang hendak kembali ke pen-
ginapan untuk menemui Mayang Sutera.
Sumirah tersenyum mendengar ucapan pemuda
tampan itu.
"Lalu, sekarang kau hendak ke mana?" tanya Ki
Sunara.
"Aku pengembara, Ki. Kolong langit inilah ru-
mahku," polos ucapan Jaka.
"Hhh...!" Ki Sunara menarik napas mendengar
jawaban Jaka. Hingga Raja Petir heran.
"Ada apa, Ki?" selidik Jaka.
"Kalau kau tak berkeberatan, aku ingin kau men-
gunjungi kediamanku," pinta Ki Sunara.
"Ya. Nyai akan senang kalau Nak Jaka sudi men-
gunjungi kediaman kami," tambah Sumirah dengan
senyum terkembang cerah.
Jaka tidak segera menyetujui ajakan Ki Sunara
dan Sumirah. Tatapan pemuda yang berjuluk Raja Pe-
tir itu sekilas memandangi mayat-mayat yang berge-
limpangan.
"Sebaiknya kita urus mayat-mayat itu, Ki," tukas
Jaka.
"Ah!" Ki Sunara tersedak mendengar ucapan Ja-
ka. "Aku hampir lupa mengurus mereka, Jaka. Kalau
begitu, kita kuburkan di daerah sini saja."
Jaka segera mengurus pemakaman mayat-mayat
pengawal Ki Sunara. Tak berapa lama kemudian,
mayat-mayat itu sudah terkubur semua.
"Ayo kita berangkat sekarang, Jaka," ajak Ki Su-
nara.
Jaka mengikuti langkah Ki Sunara dan Sumirah
yang berjalan menuju kereta kuda. Angin malam ber-
hembus kencang mengiringi derak suara kereta kuda
yang ditumpangi Jaka, Ki Sunara dan istrinya.
***
TIGA
"Ah, Ayah! Bukankah sudah berjanji akan pulang
pagi tadi? Mengapa sampai malam begini?" sambut ga-
dis cantik berpakaian merah muda.
Gerak-gerik gadis yang berusia dua puluh tahun
itu terlihat sangat manja.
Ki Sunara tersenyum sambil menatap tubuh se-
mampai putrinya yang berkulit putih. Wajahnya yang
lonjong sangat serasi dengan hidungnya yang man-
cung. Apalagi, dengan bola mata membulat yang di-
tumbuhi bulu mata lentik. Menambah lengkap kecan-
tikan anak tunggal Ki Sunara itu.
"Aku sangat mengkhawatirkan Ayah dan Ibu,"
lanjut gadis itu lagi sambil menggelayuti lengan Ki Su-
nara.
Menyaksikan semua itu, Jaka hanya tersenyum.
"Kekhawatiranmu hampir terjadi, Nila," sambut
Sumirah.
"Maksud Ibu?" tanya gadis bernama Nila itu
sambil membelalakkan mata.
Sumirah mengalihkan tatapannya pada Ki Suna-
ra. Seolah meminta pertimbangan suaminya, apakah
akan menceritakan kejadian yang telah mereka alami.
"Ah, Nak Jaka! Perkenalkan, ini Nila Juwita.
Anakku satu-satunya," ucap Ki Sunara mengalihkan
tatapan mata Sumirah.
"Iya. Hampir lupa kita mengenalkan Nak Jaka
dengan anak kita," tukas Sumirah malu-malu.
Jaka segera mengulurkan tangan untuk berkena-
lan dengan Nila Juwita. Selesai muda-mudi itu berke-
nalan, mata Sumirah kembali menatap wajah Ki Suna-
ra. Terlebih ketika Nila menanyakan ucapan
'kekhawatiran yang nyaris terjadi' yang barusan di-
ucapkan. Ketika kepala Ki Sunara terangguk, maka
mengalirlah cerita kejadian yang baru saja mereka
alami.
"Begitulah, Nila. Tanpa kehadiran Nak Jaka,
mungkin Ibu dan Ayah sudah menjadi bangkai di tan-
gan lima lelaki yang mengaku kaki tangan Dua Buaya
Sungai Tenggarong. Seperti nasib Santana, Wadika
dan yang lainnya," tukas Sumirah mengakhiri ceri-
tanya.
"Jadi, Kakang Wadika dan...."
"Mereka sudah dimakamkan di tempat kejadian
itu setelah Nak Jaka berhasil mengusir kelima peram-
pok itu," potong Sumirah.
Mata Nila Juwita kembali menatap wajah tampan
Jaka Sembada.
"Kau hebat, Kakang Jaka," ucap Nila Juwita per-
lahan.
Jaka mendengar pujian gadis putri Ki Sunara be-
gitu tulus. Namun, tak urung membuatnya jadi serba
salah.
"Aku tak akan sehebat itu jika yang kulakukan
tidak mendapat restu Sang Pencipta Jagat Raya ini,"
kilah Jaka menenteramkan hatinya.
"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Nila. Juga
kau, Nyai. Biar aku yang menemani Jaka malam ini,"
ucap Ki Sunara.
Sumirah dan Nila saling berpandangan sesaat.
Kemudian keduanya bangkit meninggalkan Ki Sunara
dan Jaka. Ketika tubuh Sumirah dan Nila menghilang
di balik pintu, mata Ki Sunara langsung tertuju ke wa-
jah tampan pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Apakah nama panjangmu Jaka Sembada?" tanya
Ki Sunara pelan, hampir mirip bisikan.
Jaka membalas tatapan Ki Sunara. Lelaki berusia
lima puluh tahun itu memang sejak tadi memendam
pertanyaan itu. Tepatnya sejak Jaka memperkenalkan
namanya pada kaki tangan Dua Buaya Sungai Tengga-
rong.
"Betul, Ki," jawab Jaka.
"Ah!" Ki Sunara tersentak "Maafkan kalau sam-
butan kami hanya seperti ini."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Tidak, Raja Petir. Aku hanya merasa tak enak,
menyambut lelaki yang punya nama besar sepertimu
dengan cara seperti ini," kilah Ki Sunara. Jaka terse-
nyum mendengar ucapan Ki Sunara. "Apa bedanya
aku dengan tamu-tamumu yang lain, Ki?"
Ki Sunara tak menjawab pertanyaan Jaka. Lelaki
berpakaian biru itu begitu mengagumi keluhuran budi
Raja Petir. Tak salah kalau orang-orang kalangan per-
silatan, bahkan penduduk biasa membicarakan kehe-
batan dan keluhuran pekertinya.
"Sebaiknya kau beristirahat, Jaka. besok pagi ki-
ta lanjutkan pembicaraan ini. Kurasa Nila akan senang
mendapat teman sepertimu," tukas Ki Sunara menga-
lihkan pembicaraan.
"Bagaimana baiknya saja, Ki," ucap Jaka membe-
ri tanggapan.
Ki Sunara sekilas mengembangkan senyum, se
raya bangkit dari duduknya.
"Mari kuantar ke kamarmu, Jaka," ajak Ki Suna-
ra.
Tanpa diperintah dua kali, Jaka segera mengekor
di belakang Ki Sunara.
***
Pagi nampak begitu indah. Hembusan angin se-
milir membelai kulit muka. Burung-burung kecil ber-
nyanyi dan melompat dari ranting satu ke ranting yang
lain. Jaka nampak menikmati suasana pagi yang begi-
tu indah ini. Di sampingnya duduk seorang gadis yang
tak lain Nila Juwita.
"Nila pernah mendengar beberapa kali nama dan
julukan Kakang disebut-sebut orang," ucap Nila Juwita
memecah keheningan pagi. "Pantas Kakang dapat den-
gan mudah menguar kaki tangan Dua Buaya Sungai
Tenggarong."
Dalam hati Nila, terpintas rasa suka dengan pe-
nampilan dan kepribadian pemuda berpakaian kuning
keemasan itu. Namun untuk menanamkan bibit cinta
pada diri pemuda yang telah menyelamatkan nyawa
kedua orangtuanya, Nila harus berpikir seribu kali. Dia
tak ingin membuat hati kekasihnya yang bernama Sir-
galoka terluka.
"Orang-orang itu terlalu berlebihan menilai diri-
ku, Nila," sangkal Jaka lunak.
"Kurasa tidak, Kakang Jaka," bantah Nila.
"Kau telah menunjukkannya pada kami."
"Kakang rasa, apa yang telah Kakang tunjukkan
adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja," sangkal
Jaka, seraya menatap wajah Nila lekat-lekat
Nila baru hendak membalas bantahan Jaka keti-
ka tiba-tiba matanya menangkap kelebatan sosok ber
pakaian hijau. Gadis itu sangat terkejut melihat sosok
lelaki berpakaian hijau yang kini berdiri tegak di hada-
pannya. Mata Nila terbelalak, merayapi sekujur tubuh
lelaki itu.
"Dinan Jayu...!" ucap Nila perlahan.
Namun ucapan Nila yang pelan sempat tertang-
kap pendengaran Jaka dan lelaki berpakaian hijau
yang berdiri angkuh.
"Nila...!"
Lelaki berpakaian hijau yang bernama Dinan
Jayu menatap wajah Nila tak berkedip.
"Apa kabar, Nila?" tanya Dinan Jayu seraya me-
langkah perlahan mendekati Nila.
"Baik," jawab Nila.
Dinan Jayu mengalihkan pandangan matanya ke
arah Jaka. Sebuah pandangan menyelidik yang begitu
sarat dengan kecurigaan. Hati Dinan Jayu berdebar
keras ketika tatapannya tepat menusuk bola mata Ja-
ka yang bersinar cerah.
"Ah. Perkenalkan, dia Kakang Jaka," ucap Nila
memecahkan kekakuan.
Jaka segera mengulurkan tangan ketika na-
manya disebut Nila. Namun Dinan Jayu tak segera
membalas uluran tangan Jaka. Mata Dinan Jayu tetap
menatap wajah Jaka.
"Namaku Jaka," ucap Jaka. "Keberadaanku di si-
ni semata ada urusan dengan Ki Sunara."
"Aku Dinan Jayu," balas Dinan Jayu agak ketus.
"Nila kekasihku...."
Lelaki berpakaian hijau itu lalu berdiri dengan
angkuh. Wajahnya berahang kuat dan berkulit bersih,
begitu sesuai dengan keangkuhannya. Apalagi tatapan
matanya setajam mata elang. Sementara rambut hi-
tamnya terurus rapi, amat bertolak belakang dengan
keangkuhannya.
Mendengar ucapan Dinan Jayu, Nila menjadi ri-
sih. Raut wajahnya langsung bersemu merah. Begitu
juga saat Dinan Jayu hendak merengkuhnya. Nila in-
gin menghindar, namun pemuda itu segera menahan-
nya.
"Sudah lama kalian berhubungan?" tanya Jaka.
Nila langsung memelototi wajah Jaka ketika per-
tanyaan itu meluncur polos?
"Tiga tahun lebih," jawab Dinan Jaya
"Ooo...."
Jaka hanya membulatkan bibirnya mendengar
jawaban Dinan Jayu. Tapi, dia menemukan keganjilan
dalam sikap Nila. Teka-teki apa yang menyemaraki ke-
hidupan mereka? pikir Jaka. Kemudian, pemuda ber-
pakaian kuning keemasan itu segera beranjak ketika
Dinan Jayu mendekati Nila.
"Hendak ke mana, Kakang Jaka?" tahan Nila.
"Ah! Kalian berdua kan perlu bicara empat mata.
Aku harus tahu di...."
"Tidak, Kakang. Kakang Jaka di sini saja mene-
mani Nila," pinta Nila.
Gadis berpakaian merah muda itu hendak meng-
hampiri Jaka. Tapi, tangan Dinan Jayu telah lebih du-
lu mencegahnya.
"Biarkan dia pergi, Nila," ucap Dinan Jayu tak
senang.
"Biarkan juga aku bersamanya, Kakang Dinan!"
ucap Nila keras.
Dinan Jayu menautkan sepasang alisnya, men-
dengar ucapan Nila Juwita.
"Kau tidak rindu padaku, Nila?" tanya Dinan
Jayu sedikit ditekan.
"Rindu?" ulang Nila dengan membelalakkan ma-
ta. "Semenjak kau menelantarkan hubungan kita, rin-
du itu telah pupus, Kakang Dinan!"
"Kau bicara apa, Nila?!" bentak Dinan Jayu ka-
sar.
"Bicara kenyataan!" balas Nila ketus.
"Kau pasti telah menjalin hubungan dengan lela-
ki lain!" tuduh Dinan Jayu.
"Ada lelaki lain atau tidak, itu urusanku!" kilah
Nila dengan wajah memerah.
"Katakan! Siapa lelaki itu, Nila? Apakah Jaka?!"
tanya Dinan Jayu dengan nada tinggi.
Jaka tak terkejut mendengar namanya disebut-
sebut Dinan Jayu. Pemuda itu memang sengaja beran-
jak tidak begitu jauh dari tempat Nila dan Dinan Jayu
bertengkar. Ucapan Dinan Jayu telah diperhitungkan-
nya. Sejak melihat tatapan curiga lelaki berpakaian hi-
jau itu.
"Mau Kakang Jaka atau bukan, itu urusanku!"
bantah Nila.
"Baik!" putus Dinan Jayu agak merendahkan te-
kanan suaranya. "Tapi aku harus mengetahui alasan-
mu membelakangi diriku."
"Tanpa kuberi tahu pun seharusnya kau sudah
tahu. Bahkan lebih tahu," jawab Nila.
"Kau sekarang berubah, Nila!"
"Itu karena ulahmu, Kakang."
"Ulahku? Aku telah membuat ulah macam apa,
Nila?"
"Sudah kukatakan, kau yang lebih tahu jawa-
bannya!"
"Aku mengerti sekarang, Nila. Kau marah padaku
karena aku pergi tanpa seizinmu dan tanpa sekali pun
memberi kabar padamu, begitu kan?" papar Dinan
Jayu.
Nila tak menanggapi ucapan lelaki berpakaian hi-
jau yang di belakang punggungnya tersembul gagang
senjata berkepala buaya.
"Itu kulakukan semata untuk memberimu keju-
tan, Nila. Kepergianku untuk menuntut ilmu bela diri.
Sekarang aku telah mendapatkannya. Aku ingin kita
hidup berdampingan dengan ilmu bela diri yang kumi-
liki. Bukan hanya kau yang memiliki kepandaian itu.
Aku ingin melindungimu, Nila. Bukan sebaliknya."
"Jadi selama ini Kakang berhubungan denganku,
Kakang merasa kulindungi?" tanya Nila.
"Setidaknya aku merasa begitu. Nila. Aku tak
pandai ilmu bela diri," bantah Dinan Jayu. "Tapi seka-
rang, tokoh sakti mana pun akan kuhadapi."
"Aku tak memerlukan kehebatanmu dalam ilmu
bela diri, Kakang. Yang kuperlukan adalah perhatian-
mu. Namun kenyataannya? Kau telah menelantarkan-
nya. Kau terlampau berani menyepelekan. Hingga kau
pergi tanpa sepengetahuanku, tanpa kabar berita. Itu
cukup membuatku tersiksa."
"Maafkan aku, Nila," ucap Dinan Jayu pelan.
"Tanpa kau minta pun aku telah memaafkanmu,
Kakang. Tapi untuk melanjutkan hubungan kita yang
sudah hampir lima belas purnama terputus, kurasa itu
hal yang mustahil," jelas Nila tanpa sedikit pun mena-
tap wajah Dinan Jayu.
"Itu cuma alasanmu saja, Nila! Kau pasti telah
memiliki laki-laki lain selama pengembaraanku!" ujar
Dinan Jayu keras.
"Sudah kukatakan itu bukan urusanmu!" kilah
Nila.
"Tapi aku harus tahu lelaki itu!" bentak Dinan
Jayu.
Jaka terkesiap mendengar bentakan Dinan Jayu.
"Apa kau ingin membuat perhitungan dengan-
nya?" tanya Nila dengan tatapan geram.
"Setidaknya begitu, Nila. Lelaki itu telah melukai
hatiku, menghancurkan impianku, menghancurkan...."
"Ucapanmu itu tak pantas, Kakang Dinan. Siapa
pun lelaki yang menjadi kekasihku, dia tak pantas dis-
alahkan. Dia mencintaiku karena aku mencintainya.
Kalau Kakang ingin membuat perhitungan, akulah
orang yang tepat untuk itu!" tantang Nila. "Heh?!"
Mata Dinan Jayu terbelalak mendengar perka-
taan gadis cantik berpakaian merah muda itu.
"Apa kau pikir kepandaianmu dalam ilmu silat
akan selamanya berada di atasku, Nona Manis? Jan-
ganlah kau sombong seperti itu! Dinan Jayu yang be-
rada di hadapanmu sekarang, bukanlah Dinan Jayu
yang dulu mengkeret jika kau meraba hulu pedang.
Dinan Jayu sekarang adalah Dinan Jayu yang mampu
membinasakan seribu laki-laki macam dia." ujar Dinan
Jayu dengan jari telunjuk menuding ke arah Jaka.
Nila sangat terkejut melihat Dinan Jayu menga-
rahkan telunjuknya ke wajah Jaka yang berdiri di ke-
jauhan. Mata gadis cantik itu menampakkan kegera-
man yang luar biasa. Nila ingin marah, namun urung
ketika dari kejauhan dilihatnya senyum Jaka.
"Kalau kau memang mampu melakukannya, Ka-
kang. Sekarang tunjukkan padaku," tantang Nila.
Mendengar ucapan Nila, Jaka sempat tersentak.
Pemuda itu khawatir kalau Dinan Jayu akan meneri-
ma tantangan itu.
"Cintaku memang akan kupertaruhkan d ujung
pedang ini, Nila! Tetapi bukan terhadap perempuan
sepertimu! Ujung pedangku hanya kuperuntukkan ba-
gi lelaki yang berani mencintaimu! Katakan, siapa laki-
laki itu. Akan ku tantang dia secara jantan!" tegas dan
lantang ucapan yang keluar dari mulut Dinan Jayu.
"Maaf, Dinan Jayu! Akulah lelaki yang telah be-
rani mencintai Nila Juwita!" terdengar sebuah suara
cukup tegas.
Dinan Jayu tersentak. Dan cepat menoleh ke
arah Jaka. Dinan Jayu menduga yang barusan berbi-
cara adalah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
Namun kenyataannya....
Tak jauh dari tempat Jaka berdiri, nampak seo-
rang lelaki berpakaian putih bertubuh tegap. Wajahnya
yang berahang kuat, dihiasi sebaris kumis tipis. Dinan
Jayu terbelalak menatap lelaki tampan yang telah di-
kenalnya.
"Sirgaloka?" ucap Dinan Jayu bergetar,
"Ya. Aku Sirgaloka, murid utama Perguruan Tera-
tai Perak. Bertahun-tahun aku menimba Ilmu dari Ki
Ajeng Guya, bukan untuk menjadi seorang pengecut
dengan membiarkan gadis yang dicintainya diperlaku-
kan semena-mena," sanggah lelaki berpakaian putih
yang mengaku dari Perguruan Teratai Perak
"Hmhrrr...!"
***
EMPAT
Dinan Jayu menatap wajah Sirgaloka dengan ge-
ram. Walaupun lelaki berpakaian putih itu murid Ki
Ajeng Guya yang mengetuai Perguruan Teratai Perak,
namun Dinan Jayu tidak gentar sedikit pun. Apalagi,
lelaki itu telah berani mencintai Nila Juwita.
"Sirgaloka...! Sungguh tak kusangka kau juga
menginginkan Nila. Rupanya, kau sengaja menarik Ni-
la menjadi murid Perguruan Teratai Perak. Kau dan Ki
Ajeng Guya berdalih memberikan ilmu-ilmu. Namun,
semua itu hanya kedok belaka. Ki Ajeng Guya hanya
ingin menjodohkanmu dengan Nila. Atau bahkan
mungkin kau yang merengek minta dijodohkan..." tu-
duh Dinan Jayu dengan sorot mata berapi-api.
"Tuduhanmu tidak betul, Dinan Jayu. Kami, aku
dan Nila sama-sama mencintai dengan setulus hati.
Itulah yang benar," sangkal Sirgaloka tak kalah tajam.
"Berarti kita sekarang menjadi musuh, Sirgalo-
ka!"
"Aku tidak mengharapkan demikian," bantah Sir-
galoka,
"Kita bersaing untuk mendapatkan Nila. Itu be-
rarti kita harus saling menjatuhkan. Aku memperta-
ruhkan cintaku di ujung pedang ini!"
Srat!
Dinan Jayu meloloskan senjata yang hulunya te-
rukir kepala buaya. Pedang yang terhunus itu memen-
darkan cahaya kehijauan. Nila tercekat menyaksikan
tindakan Dinan Jayu. Pikirannya mengatakan kalau
akan terjadi pertumpahan darah di pagi ini.
Srat!
"Kupertaruhkan juga cintaku di ujung pedang!"
timpal Sirgaloka seraya mencabut pedang dari wa-
rangkanya.
Kali ini bukan hanya Nila yang terkejut, akan te-
tapi juga Jaka. Pemuda yang berjuluk Raja Petir itu se-
jenak menatap tajam dua lelaki yang telah sama-sama
menghunus pedang.
"Jika begitu, di ujung pedanglah kita tentukan
siapa yang berhak mendapatkan Nila Juwita," putus
Dinan Jayu.
"Kalau itu memang maumu, aku setuju," timpal
Sirgaloka.
"Bagaimana kalau di Bukit Naga kita pertaruh-
kan cinta kita?" tawar Dinan Jayu.
"Bukit Naga..,?" gumam Jaka.
"Aku setuju!" balas Sirgaloka seraya mengacung-
kan pedangnya tinggi-tinggi.
"Hm.... Kutunggu kau esok saat fajar datang,"
tantang Dinan Jayu.
"Aku akan datang tepat pada waktunya, Dinan
Jayu!"
"Hhh! Kau akan jadi bangkai esok pagi, Sirgalo-
ka!" ucapan keras Dinan Jayu diiringi dengan bunyi
masuknya ujung pedang bergagang kepala buaya ke
dalam warangkanya.
Cring!
"Lihat saja nanti, Dinan Jayu! Siapa di antara ki-
ta yang unggul."
"Baik!"
"Hup!"
Begitu cepat dan ringan gerakan yang diperton-
tonkan Dinan Jayu. Hanya sekali hentak saja tubuh
yang terbalut pakaian hijau itu telah melesat beberapa
tombak jauhnya.
Nila Juwita tertegun menyaksikan kemampuan
Dinan Jayu. Sungguh tak disangka kalau lelaki yang
pernah dicintainya itu memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi. Nila merasa ilmu meringankan tubuh yang di-
pamerkan Dinan Jayu barusan jauh lebih baik dari il-
mu meringankan tubuhnya. Itu berarti tantangan Di-
nan Jayu harus diperhitungkan Sirgaloka.
"Kutunggu kedatanganmu di Bukit Naga, Sirgalo-
ka!" bergema ucapan jarak jauh yang dikirim Dinan
Jayu.
Ucapan jarak jauh itu semakin membuat hati Ni-
la yakin akan ketinggian ilmu Dinan Jayu.
***
"Ah!"
Sirgaloka terkejut ketika Nila memperkenalkan-
nya dengan Jaka.
"Maafkan aku, Kakang Jaka. Tadi aku telah ber
sikap kurang sopan di hadapanmu," ucap Sirgaloka
agak tersendat.
"Kau tak melakukan kesalahan apa-apa, Kakang
Sirgaloka. Kenapa harus minta maaf?" tegas Jaka.
Sirgaloka tersipu mendengar ucapan pemuda
tampan berpakaian kuning keemasan itu.
"Dan tolong panggil aku Jaka saja, Kakang Sirga-
loka," lanjut Jaka.
"Panggil juga aku Sirgaloka, tanpa tambahan ka-
kang," timpal Sirgaloka.
Jaka menyetujui permintaan Sirgaloka. Meski dia
merasa kalau pemuda itu berusia lebih tua beberapa
tahun darinya.
"Aku mengkhawatirkan tantangan Kakang Dinan
Jayu, Kakang Jaka," ucap Nila dengan raut wajah
membiaskan kecemasan.
"Kau menyangsikan kemampuanku, Nila?" tanya
Sirgaloka seraya mengembangkan senyum. Pemuda itu
ingin agar kekasihnya menganggap pertanyaannya se-
bagai lelucon belaka.
"Bukan begitu, Kakang. Aku hanya melihat ilmu
yang dimiliki Kakang Dinan Jayu tidak rendah. Itu te-
lah dibuktikannya ketika pergi meninggalkan kita. Ge-
rakannya demikian cepat dan ringan. Aku sendiri me-
rasa ilmu meringankan tubuhnya berada di atas ilmu
yang kumiliki," jelas Nila.
"Itu tidak berarti ilmu lain yang dimilikinya sama
baik, Nila." sangkal Sirgaloka.
"Ucapanmu betul, Sirgaloka. Namun perkataan
Nila juga tidak salah. Menurutku, ucapan Nila hanya
sebuah peringatkan untukmu. Nila menginginkan kau
tidak meremehkan Dinan Jayu dan harus selalu bersi-
kap waspada, Aku sendiri menaruh curiga padanya,"
Jaka berusaha menengahi.
"Curiga! Apa maksudmu, Kakang Jaka?" tanya
Nila tak mengerti
"Kecurigaan ku ada kaitannya dengan kejadian
yang menimpa ayahmu kemarin sore, Nila," jelas Jaka.
"Maksud Kakang dengan lima lelaki yang menga-
ku kaki tangan Dua Iblis Sungai Tenggarong?" tanya
Nila.
Jaka menganggukkan kepala. Pemuda itu kagum
dengan kecerdikan putri Ki Sunara ini.
"Dua Iblis Sungai Tenggarong...?" ulang Sirgaloka
pelan. Tatapannya menusuk mata Nila.
"Kakang Sirgaloka mengenal mereka?" tanya Nila.
Sirgaloka menjawab pertanyaan gadis itu dengan
gelengan kepala.
"Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-
sebut orang-orang persilatan," jawab Sirgaloka kemu-
dian.
"Kakang Jaka pernah bertemu dengan dua buaya
itu?"
"Tidak, Nila."
"Lalu, di mana letak hubungan Kakang Dinan
Jayu dengan Dua Buaya Sungai Tenggarong, Jaka?"
selidik Sirgaloka.
Jaka menatap wajah Sirgaloka dan Nila bergan-
tian.
"Kalau dugaanku tidak meleset, kukaitkan hu-
bungan mereka dari pedang yang dimiliki Dinan Jayu.
Kalian perhatikan kepala senjata Dinan Jayu?"
Nila dan Sirgaloka sating bertatapan. Keduanya
mengakui telah melihat gagang pedang Dinan Jayu
yang berukir kepala buaya. Sirgaloka dan Nila men-
ganggukkan kepala bersamaan.
"Kalian perhatikan juga pakaian di bagian dada
sebelah kiri Dinan Jayu?" tanya Jaka lagi.
Kali ini Sirgaloka dan Nila menggelengkan kepala.
"Gambar dua buaya sedang bergelut menghiasi
pakaian Dinan Jayu. Tepat di bagian dada sebelah ki-
ri," jelas Jaka.
"Jadi...?" ujar Nila sedikit ragu.
"Dinan Jayu adalah salah satu dari Dua Buaya
Sungai Tenggarong, yang belakangan ini mencemaskan
penduduk. Begitu?" selak Sirgaloka.
"Besar kemungkinan begitu," tegas Jaka.
"Kakang Dinan Jayu telah berguru pada orang
yang salah," gumam Nila. "Dia telah berguru pada seo-
rang tokoh aliran hitam.... Ah!"
Nila menarik napas dalam-dalam. Tatapan ma-
tanya tertuju lurus ke wajah Sirgaloka.
"Aku mencemaskanmu, Kakang. Aku yakin guru
Kakang Dinan Jayu akan mencampuri urusan murid-
nya," papar Nila.
Sirgaloka tak membantah ucapan kekasihnya.
Mata lelaki berpakaian sutera putih itu membalas ta-
tapan Nila yang menyiratkan kecemasan dalam.
"Kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin meng-
hadiri pertarunganmu dengan Dinan Jayu. Hanya un-
tuk menjaga kemungkinan yang ditakuti Nila. Yaaah....
Barangkali kehadiranku akan dapat membantumu,
Sirgaloka. Namun aku tak ingin kehadiranku diketahui
Dinan Jayu." pinta Jaka dengan nada merendah.
"Terima kasih, Jaka. Semua kuserahkan pada-
mu, bagaimana baiknya saja," kata Sirgaloka.
"Apakah aku boleh menyertaimu. Kakang Sirga-
loka?" tanya Nila Juwita penuh harap. Gadis cantik
putri Ki Sunara itu berharap kehadirannya dapat
memperingan beban Sirgaloka.
"Tidak, Nila. Ini urusan laki-laki. Aku tak ingin
dikatakan pengecut dengan mengajakmu serta," larang
Sirgaloka.
"Memang lebih baik begitu, Nila," timpal Jaka.
"Hhh...!" Nila menarik napas dalam-dalam. Dita
tapnya wajah Sirgaloka dan Jaka bergantian.
"Yaaah.... Aku hanya dapat berdoa untuk Kakang
berdua," ucap Nila akhirnya.
Ucapan dara manis berpakaian merah muda itu
terdengar lembut di telinga Sirgaloka. Lelaki muda itu
menghampiri kekasihnya dan digenggamnya tangan
Nila yang berkulit lembut
"Terima kasih atas doamu, Nila. Akan kuperta-
ruhkan cintaku demi kebersamaan cinta kita."
***
LIMA
Semburat kemerahan baru saja terlihat di langit
sebelah timur. Fajar datang dengan disambut hembu-
san angin basah. Suasana di sekitar Bukit Naga terasa
begitu dingin. Pepohonan yang tumbuh di sekitar tem-
pat itu seperti sengaja dikipaskan angin. Tanah di Bu-
kit Naga tidak rata dan lembab. Seolah ingin ikut men-
guapkan hawa dinginnya dari perut bumi.
Namun, rupanya bukan hanya angin basah yang
menyambut kedatangan fajar. Dua sosok tubuh tegap
tampak berdiri saling berhadapan. Dua sosok lelaki
yang tak lain Sirgaloka dan Dinan Jayu. Mereka sating
bertukar pandang. seolah sedang mengukur kekuatan
lawan.
"Hm.... Tak kusangka kau bernyali besar, Sirga-
loka!" ejek Dinan Jayu.
"Guruku Ki Ajeng Guya, tidak mengajari ku men-
jadi seorang pengecut," timpal Sirgaloka. "Malah kupi-
kir ucapanmu kemarin hanya gertak sambal saja."
"Aku bukan lelaki bertampang pengecut seperti-
mu, Sirgaloka. Kau berani mendekati Nila di saat aku
tidak berada di sisinya. Lelaki macam apa kau, heh?!"
"Kau memang lelaki bertampang tukang tuduh,
Dinan! Kau juga lelaki yang mudah mengobral kese-
tiaan. Tapi tak mampu memberi kesetiaan yang telah
kau ucapkan. Kau siksa perasaan Nila selama berbu-
lan-bulan. Apakah itu yang disebut lelaki setia?" balas
Sirgaloka sengit
Dinan Jayu tak membalas perkataan itu. Lelaki
berpakaian hijau itu hanya menatap tajam wajah Sir-
galoka. Seolah hendak menelan bulat-bulat tubuh mu-
rid Perguruan Teratai Perak itu,
"Mulutmu memang busuk, Sirgaloka! Seperti juga
hatimu! Kebusukanmu akan kukubur sekarang juga.
Aku, Buaya Sungai Tenggarong, tak akan sungkan-
sungkan merampas nyawamu. Bersiaplah!" tukas Di-
nan Jayu. Tatapannya terlihat semakin membara.
"Hei?! Jadi kaulah yang berjuluk Buaya Sungai
Tenggarong?" tanya Sirgaloka pura-pura terkejut.
"Kau gentar dengan julukan itu?" ejek Dinan
Jayu pongah.
"Ha ha ha.... Awalnya aku gentar mendengar ju-
lukan yang cukup gagah itu, Dinan Jayu. Tapi setelah
berhadapan dengan orang yang menyandangnya, ke-
gentaranku lenyap tanpa bekas. Menurutku, kau
hanya buaya dalam perkara perempuan," pedas ejekan
yang keluar dari mulut Sirgaloka.
Wajah Dinan Jayu merah padam. Telinganya te-
rasa panas mendengar ejekan yang pedas itu.
"Kurang ajar! Heaaat...!"
Didahului bentakan kuat, tubuh Dinan Jayu me-
luruk cepat ke arah Sirgaloka. Telapak tangan Dinan
Jayu membentuk cakar kokoh, terarah ke bagian mata
lawan.
Bet! Bet!
"Uts!"
Mendapat serangan mendadak dan ganas, Sirga-
loka segera bergerak cepat dan lincah. Dengan mem-
bawa kakinya mundur selangkah, lelaki tegap itu me-
narik kepalanya sedikit. Sambaran cakar Dinan Jayu
lewat satu jengkal dari wajahnya.
Melihat serangannya berhasil dielakkan, Dinan
Jayu kembali menyerang lebih dahsyat. Serangan-
serangannya semakin dipercepat. Angin berciutan
mengawali serangan Dinan Jayu. Cakarnya yang san-
gat kokoh, mirip cakar seekor buaya. Itulah jurus
'Cakar Buaya Tenggarong'.
"Mampus kau, Sirgaloka!"
Bret!
"Uts!"
"Tidak semudah yang kau duga, Dinan!" Sirgalo-
ka kembali berhasil mengelakkan serangan Dinan
Jayu. Malah lelaki berpakaian sutera putih itu mampu
memberi serangan balasan yang cukup berbahaya ke
arah pelipis lawan.
"Hih!"
"Heh?!"
Dinan Jayu terkejut mendapat serangan yang tak
terduga. Secepat kilat lelaki berpakaian hijau itu mem-
buang dirinya ke samping kanan. Tubuh Dinan Jayu
menjauh dengan hentakan kuat, melenting ke udara
lalu berputaran dua kali, dan mendarat dengan manis.
Namun belum begitu lama kaki Dinan Jayu menginjak
di tanah, tubuh Sirgaloka sudah melesat cepat dengan
kedua belah tangan terentang yang dialiri tenaga da-
lam tinggi. Seolah ingin menebas leher lawannya. Sir-
galoka tengah memainkan jurus 'Teratai Terbang'.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
Trak!
Tubuh Sirgaloka terpental balik ke belakang.
Sambaran tangannya yang mengarah leher Dinan Jayu
mampu ditangkis lelaki berpakaian hijau itu. Suara
pekik tertahan mengiringi luncuran tubuh Sirgaloka,
yang terdorong kekuatan tenaga Dirtan Jayu. Tetapi
Sirgaloka bukan lelaki yang baru kemarin mempelajari
ilmu silat. Dengan gerakan manis, lelaki tegap itu
mampu mematahkan daya dorong luncurannya.
"Setan alas!" maki Dinan Jayu sambil memegangi
pergelangan tangannya yang terasa linu. Lelaki bersen-
jatakan sebatang pedang dengan hulu berukir kepala
buaya itu mengalami hal yang sama dengan Sirgaloka.
Pijakan kaki Dinan Jayu terlihat sudah berpindah em-
pat langkah dari kedudukan awal.
Srat!
Setelah rasa linu di tangannya berkurang, Dinan
Jayu meloloskan pedangnya yang seketika memendar-
kan cahaya kehijauan. Sekilas tatapan Dinan Jayu ter-
tuju tajam ke mata Sirgaloka. Sebentar kemudian, mu-
lutnya bergerak-gerak mengucapkan sesuatu.
"Kali ini kau akan kubuat mampus, Sirgaloka!
Pedang Cadas Tenggarong ini akan mengakhiri riwayat
hidupmu!" lantang ucapan yang keluar dari mulut Di-
nan Jayu.
Sirgaloka tak membalas ucapan Dinan Jayu den-
gan kata-kata. Tatapan matanya tertuju tajam ke wa-
jah Dinan Jayu. Sebagai tanda bahwa dirinya tak gen-
tar menghadapi Pedang Cadas Tenggarong. Dan, itu
diperkuat Sirgaloka dengan meloloskan pedang dari
warangkanya.
Srat!
"Kau memang berani mati, Sirgaloka!" ejek Dinan
Jayu.
"Umurku bukan di tanganmu, Buaya Darat!" ba-
las Sirgaloka.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Dinan Jayu melesat lebih dahulu. Pedang
yang memendarkan sinar kehijauan teracung di atas
kepala. Dan, ketika pedang itu ditebaskan ke arah Sir-
galoka....
Bet! Bet!
"Uts!"
Sirgaloka terhenyak mendapat serangan pedang
Dinan Jayu yang menyebarkan hawa dingin menyen-
gat. Hawa dingin itu begitu cepat menusuk seakan
sanggup menghentikan peredaran darahnya.
Sirgaloka segera mengerahkan tenaga murninya
untuk mengusir pengaruh dingin jurus 'Pedang Dasar
Kedung'.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
Puncak dari pengerahan tenaga murni Sirgaloka,
adalah berkelebatnya kebutan pedang putihnya den-
gan kekuatan tenaga dalam tinggi. Hawa dingin yang
mencoba membungkus tubuh Sirgaloka seketika sirna.
Namun belum lama hawa dingin itu sirna, serangan
berikutnya sudah datang. Dinan Jayu kembali menu-
suk dengan pedangnya yang merentang mengancam
tubuh Sirgaloka.
"Hiyaaa...!"
Trang!
Percikan bunga api keluar dari benturan dua
senjata yang dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi. Ke-
dua tubuh pemilik senjata itu terlempar beberapa
langkah. Wajah keduanya nampak mengguratkan rasa
sakit
Dinan Jayu yang sejak awal menganggap remeh
Sirgaloka semakin terbakar hatinya. Tanpa mempedu-
likan rasa sakit, Dinan Jayu kembali bangkit. Sambil
menggereng keras dan dengan kemarahan yang tak
terkendali, tubuh Dinan Jayu berkelebat seraya mem
babatkan senjatanya ke tubuh Sirgaloka.
Sirgaloka yang sudah bersiap-siap menghadapi
kemungkinan itu berusaha untuk tetap tenang.
Karena ketenangannya itu, Sirgaloka dapat meli-
hat celah kelemahan pada diri Dinan Jayu. Dan ketika
serangan Dinan Jayu datang, Sirgaloka segera berkelit
seraya memberikan serangan balasan lewat tendangan
lurus, yang terarah ke bagian tubuh Dinan Jayu yang
terbuka.
"Hiaaa...!"
Diekh!
"Aaa...!"
Tubuh Dinan Jayu terhempas ketika tendangan
lurus Sirgaloka dengan keras mendarat di rusuk ki-
rinya. Sebuah tendangan yang dimainkan dalam jurus
‘Menentang Angin’. Tubuh yang terbalut pakaian hijau
itu terpental sejauh satu setengah tombak, dan men-
darat di tanah dengan menimbulkan bunyi berdebuk.
Dinan Jayu menyeringai merasakan tulang rusuknya
seperti berpatahan, begitu juga tulang belakangnya.
Sirgaloka tidak mau memberi kesempatan pada
Dinan Jayu untuk berlama-lama merasakan sakit. Tu-
buh lelaki tegap itu kembali berkelebat dengan pedang
terayun di udara.
Dengan geram dan didahului teriakan melengk-
ing nyaring, Sirgaloka menerjang maju.
"Hiaaa...!"
Trakk
Bugk! Bugk!
"Aaa...!"
Tubuh Sirgaloka tiba-tiba terpental deras sebe-
lum senjatanya menghajar tubuh Dinan Jayu yang su-
dah tak berdaya. Sosok bayangan berpakaian coklat
kehitaman telah menghadang laju pedang Sirgaloka.
Sekaligus menggedor dada Sirgaloka dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi.
Brukkk!
"Uhugkh!"
"Hoeeek...!"
Tubuh Sirgaloka terhempas deras dan jatuh ber-
debuk dengan memuntahkan cairan merah. Sirgaloka
mengalami luka dalam yang cukup parah. Sambil me-
megangi dadanya yang terasa sesak bukan main, Sir-
galoka mengangkat kepala.
"Ah...!"
Dengan dada berdenyut-denyut nyeri, Sirgaloka
mencoba menatap wajah lelaki yang telah menggagal-
kan serangannya. Lelaki itu berusia sekitar empat pu-
luh lima tahun lebih. Tubuhnya yang agak gemuk ber-
diri dengan angkuh. Di tangan lelaki itu tergenggam
sebatang trisula hitam. Lelaki penolong Dinan Jayu
yang berjenggot tebal dengan ikat kepala hitam, mena-
tap Sirgaloka dengan sinar mata merendahkan.
"Kemampuan ilmu silat yang kau miliki cukup
baik, Anak Muda," ucap lelaki berpakaian coklat dan
berambut gondrong tak terurus itu. "Tetapi untuk
menghadapi Ki Tunggul Sulada si Buaya Sungai Teng-
garong, kau harus belajar lebih banyak lagi!"
Sirgaloka membalas ucapan Ki Tunggul Sulada
dengan tatapan mata yang menyorot tajam. Tatapan
mata Sirgaloka penuh bara dendam.
"Uhugkh.... Tua bangka licik!" maki Sirgaloka
dengan terbatuk.
"Berkatalah sepuasmu, Anak Muda. Sebentar lagi
nyawamu akan melayang ke neraka!" balas Ki Tunggul
Sulada.
Hati Sirgaloka, sedikit bergetar mendengar uca-
pan Ki Tunggul Sulada. Dirinya tak akan mampu
memberi perlawanan jika Ki Tunggul Sulada menye-
rangnya.
Sirgaloka berharap Raja Petir akan muncul, se-
perti janjinya kemarin yang akan menyertainya dari
tempat bersembunyi. Tetapi sampai sekarang....
"Haaat..!"
Sirgaloka menggeser kakinya sedikit ketika meli-
hat Ki Tunggul Sulada bergerak hendak merenggut
nyawanya. Tekad lelaki berpakaian sutera putih itu
hanya satu. Akan tetap menghindar meski kesempatan
untuk itu sedikit sekali. Sirgaloka tak ingin menjemput
kematiannya dengan berpasrah diri. Ketika serangan
Ki Tunggul Sulada semakin dekat, Sirgaloka mencoba
berkelit dengan sekuat tenaga. Akan tetapi....
Trak!
"Akh!"
Sebuah benda bulat sebesar telur puyuh tiba-tiba
melesat dan menghantam trisula Ki Tunggul Sulada,
yang sejengkal lagi melumat tubuh Sirgaloka. Tubuh
Ki Tunggul Sulada terdorong dua langkah ke belakang.
Pekik tertahan terdengar seiring dengan seringai wajah
lelaki berpakaian coklat itu.
"Jaka," desis Sirgaloka lega.
"Jaka...?!" geram Dinan Jayu. Lelaki berpakaian
hijau itu bermaksud menyerang Jaka Sembada. Na-
mun tindakannya lebih dahulu dicegah Ki Tunggul Su-
lada.
"Jangan gegabah, Jayu," larang Ki Tunggul Sula-
da sambil mencekal tangan Dinan Jayu.
"Ki..,."
Dinan Jayu ingin membantah ucapan Ki Tunggul
Sulada. Tapi, belalakkan mata lelaki berpakaian coklat
itu membuat hati Dinan Jayu kecut
"Dia bukan tandinganmu, Jayu," jelas Ki Tunggul
Sulada sedikit geram.
"Siapa dia sesungguhnya, Ki?" tanya Dinan Jayu
penasaran.
"Raja Petir."
"Raja Petir...?!" ulang Dinan Jayu terkejut
Lelaki berpakaian hijau itu tidak percaya kalau
Jaka, yang pernah berbincang-bincang dengan Nila
Juwita, adalah sosok lelaki yang nama besarnya ba-
nyak dibicarakan tokoh-tokoh persilatan.
"Lebih baik kita menghindari bertempur dengan-
nya, Jayu," ajak Ki Tunggul Sulada.
"Kau gentar menghadapinya, Ki?" tanya Dinan
Jayu kelepasan.
"Goblok!" maki Ki Tunggul Sulada panas. "Aku
bukan gentar menghadapi dia. Tapi ingin mencari cara
lain untuk melenyapkannya, sekaligus menamatkan
riwayat sainganmu itu!"
Lelaki berpakaian coklat dengan rambut panjang
tak terawat itu segera menghentakkan kakinya ke ta-
nah. Tubuhnya melesat ringan meninggalkan Dinan
Jayu yang masih menatap sosok Jaka.
"Ayo pergi, Goblok!" ajak Ki Tunggul Sulada ma-
rah.
Mendapat bentakan seperti itu, Dinan Jayu tak
lagi membuang waktu. Kakinya segera dihentakkan
kuat-kuat. Tubuhnya melesat, mencoba mengejar tu-
buh Ki Tunggul Sulada yang sudah bergerak lebih da-
hulu.
Jaka tak sedikit pun mencegah kepergian dua
lawan Sirgaloka. Pemuda berjuluk Raja Petir itu memi-
lih melihat keadaan Sirgaloka. Dia tak ingin menanam
bibit permusuhan pada Dinan Jayu dan Ki Tunggul
Sulada.
"Uhugkh!"
Sirgaloka kembali terbatuk ketika Jaka mendeka-
tinya. Tangan lelaki berpakaian sutera putih itu me-
megangi dadanya kuat-kuat yang terasa sesak bukan
main.
"Kerahkan hawa murnimu, Sirgaloka. Aku akan
membantu dengan hawa murniku," perintah Jaka
sambil menempelkan telapak tangannya di punggung
Sirgaloka.
Sirgaloka segera menjalankan perintah Jaka. Le-
laki tegap itu berusaha menguatkan diri dengan meme-
jamkan mata.
"Uhugkh!"
Sirgaloka kembali terbatuk. Kali ini disertai den-
gan keluarnya darah kental Sirgaloka membuka kelo-
pak matanya. Dadanya kini terasa lega.
"Kau harus beristirahat, Sirgaloka. Ayo kita ting-
galkan tempat ini," putus Jaka.
Sirgaloka tak segera menuruti ucapan Jaka. Rasa
nyeri masih terasa pada bagian dadanya.
"Ah. Maaf, Sirgaloka. Aku harus menggendong-
mu. Hop!"
Dengan gerakan yang tidak tertangkap mata, Ja-
ka mengangkat tubuh lelaki berpakaian sutera putih
itu. Dan, membawanya pergi dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh tingkat tinggi.
***
ENAM
Sementara Jaka berlari cepat menggendong tu-
buh Sirgaloka menuju kediaman Ki Sunara, Ki Tung-
gul Sulada memarahi Dinan Jayu sambil berlari pergi.
"Huh! Mendapatkan seorang perempuan saja su-
kar sekali untukmu, Dinan!" omel Ki Tunggul Sulada.
Larinya diubah menjadi langkah biasa.
Dinan Jayu tak menimpali omelan lelaki yang te-
lah banyak mengajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi.
Dari Ki Tunggul Sulada, Dinan Jayu mendapatkan il-
mu-ilmu hebat dan berbahaya. Bahkan, sekarang ke-
pandaiannya boleh dibilang hampir sejajar dengan Ki
Tunggul Subda. Lelaki yang berjuluk Buaya Sungai
Tenggarong itu telah mewarisi seluruh kepandaian
yang dimilikinya.
"Lebih baik kau cari perempuan lain, Dinan," ujar
Ki Tunggul Sulada pelan.
Namun ucapan itu terdengar seperti guntur
menggelegar di telinga Dinan Jayu. Lelaki itu nampak
terkejut. Rona wajahnya langsung merah, dan bola
matanya seperti hendak keluar.
"Itu tidak mungkin kulakukan, Ki," ucap Dinan
Jayu takut-takut
Ki Tunggul Sulada menatap tak berkedip wajah
Dinan Jayu.
"Aku mencintainya, Ki," ucap Dinan Jayu lagi
tanpa mampu membalas tatapan Ki Tunggul Sulada.
"Hm.... Cinta," gumam Ki Tunggul Sulada. "Sebe-
narnya siapa gadis yang kau cintai itu?"
"Anak Ki Sunara," jawab Dinan Jayu tegas.
"Sunara...?" ulang Ki Tunggul Sulada dengan
raut wajah menggambarkan rasa terkejut
"Ya. Sunara," ucap Dinan Jayu menegasi.
"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," te-
gas Ki Tunggul Sulada.
"Di jagat ini banyak lelaki bernama Sunara, Ki,"
kilah Dinan Jayu.
"Goblok! Aku bicara menurut firasat dan kepe-
kaan ku!" bentak Ki Tunggul Sulada.
Dinan Jayu menundukkan kepala.
"Sunara...," Ki Tunggul Sulada kembali mengu-
lang nama yang baru didengarnya dengan tatapan ma-
ta menerawang jauh ke depan.
"Apa kau pernah melihat Sunara menyimpan
atau memegang sebatang tombak berwarna merah da-
rah? Pada bagian hulunya berbentuk bulatan yang di-
kelilingi batu-batu mutiara warna-warni dan tombak
itu mengeluarkan sinar kemerahan?" tanya Ki Tunggul
Sulada dengan tatapan mata tertuju lurus ke depan.
Dinan Jayu dengan mata membelalak lebar men-
gawasi sosok Ki Tunggul Sulada. Hatinya terkejut
mendengar pertanyaan itu.
"Tombak, Ki?" tanya Dinan Jayu menegaskan
pertanyaan Ki Tunggul Sulada.
"Ya. Tombak! Kalau memang dia Sunara yang ku
maksud, maka dia memiliki senjata andalan Iblis Tom-
bak Merah yang selama ini ku buru," jawab Ki Tunggul
Sulada.
Sesaat lamanya Dinan Jayu membiarkan ucapan
Ki Tunggul Sulada tanpa jawaban. Lelaki berpakaian
hijau yang pada bagian dadanya terdapat gambar dua
ekor buaya yang tengah bergulat, mencoba mengingat-
ingat sesuatu yang pernah dilihatnya di rumah Ki Su-
nara.
"Ah. Ya, Ki. Aku ingat! Aku ingat!" ucap Dinan
Jayu tiba-tiba.
Ki Tunggul Sulada tersentak mendengar ucapan
Dinan Jayu yang cukup keras.
"Ingat apa, Dinan?" tanya Ki Tunggul Sulada.
"Tombak yang kau maksudkan itu, Ki. Ya. Tom-
bak itu!" jawab Dinan Jayu penuh semangat "Ketika
masih berhubungan dengan Nila Juwita, aku bebas
masuk ke tempat tinggal Ki Sunara. Cuma satu ruan-
gan yang tak pernah ku masuki, yakni kamar pribadi
Ki Sunara. Suatu kali, ketika aku bersama Nila melin-
tas di depan kamar Ki Sunara, aku melihat pintu ka-
mar tak terkunci. Sekilas aku melihat Ki Sunara ten-
gah memegang sebatang tombak berwarna merah se-
perti darah. Hulunya bundar dan dikelilingi batu-batu
mutiara warna-warni.
Ki Tunggul Sulada tak berusaha memotong cerita
Dinan Jayu. Lelaki tua yang berpakaian coklat itu den-
gan seksama mendengarkan cerita Dinan Jayu.
"Ketika aku bertanya perihal nama senjata itu, Ki
Sunara memberitahukannya padaku," lanjut Dinan
Jayu.
"Apa nama tombak itu, Dinan?" tanya Ki Tunggul
Sulada penasaran.
"Kalau tidak salah, nama senjata itu Tombak
Sangga Buana," ucap Dinan Jayu pelan.
Ucapan Dinan Jayu yang pelan cukup menyen-
takkan Ki Tunggul Sulada. Wajah lelaki berusia seten-
gah baya itu nampak dijalari kegembiraan.
"Tombak Sangga Buana!" ulang Ki Tunggul Sula-
da mantap. "Ha ha ha...!"
Ki Tunggul Sulada tertawa keras. Lalu ber-
jingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang diberi gula-
gula. Menyaksikan tingkah gurunya seperti itu, Dinan
Jayu tak dapat berbuat apa-apa. Meski hatinya heran
dan ingin melemparkan pertanyaan.
"Kita harus dapat merebut Tombak Sangga Bua-
na, Dinan! Sudah lama aku memimpikan senjata maut
itu ada dalam genggamanku. Sekarang impian itu
akan segera terwujud," tukas Ki Tunggul Sulada man-
tap sesaat setelah tawa kerasnya reda. "Sewaktu Iblis
Tombak Merah hidup, sukar bagiku untuk menda-
patkan senjata dahsyat itu. Tapi sekarang...."
"Bukankah sekarang ada Raja Petir, Ki?" tukas
Dinan Jayu bermaksud mengingatkan.
"Goblok! Kau meragukan kemampuanku, heh?!"
bentak Ki Tunggul Sulada keras.
"Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Ki,"
bantah Dinan Jayu. "Aku hanya mengulang ucapanmu
yang mengatakan kalau dia bukan tokoh sembaran
gan."
"Hm...," Ki Tunggul Sulada bergumam mendengar
bantahan Dinan Jayu. "Kalau begitu, sekarang juga ki-
ta temui Ki Wungu Suta dan Ki Dalu Dungga"
"Sebaiknya memang begitu, Ki," sambut Dinan
Jayu.
"Mereka harus tahu bahwa Tombak Sangga Bua-
na berada di tangan murid tunggal Iblis Tombak Me-
rah," ucap Ki Tunggul Sulada penuh semangat "Ka-
kang Wungu dan Kakang Dalu pasti senang dengan
kabar yang kubawa. Mereka akan dengan senang hati
membantu kita. Kau dapat memiliki putri Ki Sunara
dan aku memiliki Tombak Sangga Buana yang selama
itu kuidam-idamkan. Sedangkan Raja Petir? Ha ha
ha.... Dia pasti akan menemui ajalnya."
"Semoga begitu, Ki," sambut Dinan Jayu dengan
wajah berseri.
"Ayo! Sekarang kita pergi ke kediaman Ki Wungu
Suta dan Ki Dalu Dungga," ajak Ki Tunggul Sulada.
Lelaki berpakaian coklat yang berjuluk Buaya
Sungai Tenggarong itu melesat lebih dulu dengan
menggunakan ilmu lari cepat tingkat menengah. Se-
mentara Dinan Jayu segera menyusul dengan tingkat
kecepatan lari yang seimbang.
Untuk sesaat lamanya kedua lelaki itu saling
berkejaran ke arah utara. Tapi pada saat selanjutnya,
mereka sudah berlari sejajar menuju kediaman Ki
Wungu Suta, yang di kalangan rimba persilatan ter-
kenal berjuluk Raka Macan Loreng. Dan, Ki Dalu
Dungga yang lebih dikenal dengan julukan Tapak Iblis
Utara.
"Ayo kita lari lebih cepat, Dinan!" ajak Ki Tunggul
Sulada. "Rasanya, aku sudah tak sabar untuk menga-
barkan berita baik ini."
"Ayolah, Ki," sambut Dinan Jayu seraya menam
bah kecepatan larinya.
Ki Tunggul Sulada tersenyum melihat kesetiaan
Dinan Jayu. Keduanya segera mengempos larinya. Dan
sebentar kemudian, tubuh mereka menghilang di kele-
batan hutan jati.
***
"Ah...!"
Nila Juwita terkejut melihat kedatangan Raja Pe-
tir yang menggendong Sirgaloka. Wajah cantik putri
tunggal Ki Sunara itu menampakkan kecemasan yang
luar biasa. Tubuhnya agak gemetar saat menyongsong
tubuh Sirgaloka.
"Kakang Sirgaloka...," ucap Nila sedikit bergetar.
"Dia tidak apa-apa, Nila. Sirgaloka hanya perlu
bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuhnya."
Ucapan Jaka memang berpengaruh besar. Nila Juwita
tak bertanya-tanya lagi. Wajahnya yang semula dipe-
nuhi kecemasan, kini dengan tenang menatap Sirgalo-
ka yang tengah duduk bersila. Mengatur hawa murni
untuk mengusir rasa sakit di bagian dadanya.
Untuk sesaat lamanya suasana di ruang tengah
tempat tinggal Ki Sunara senyap. Jaka dan Nila tak
sepatah kata pun berbicara. Keduanya tengah mem-
perhatikan semadi Sirgaloka.
"Budimu pada keluargaku sudah tak terhitung
lagi Jaka. Entah bagaimana aku harus membalasnya,"
ucap Ki Sunara yang tiba-tiba muncul dari balik lorong
di samping kiri ruang tengah.
"Setelah kau selamatkan nyawaku dan Sumirah,
sekarang kau lakukan pula pada Sirgaloka," lanjut Ki
Sunara sambil duduk di antara Jaka dan Nila yang
tengah mengawasi Sirgaloka. Sementara Sumirah ten-
gah berada di ruang belakang.
Jaka menyunggingkan seulas senyum mendengar
perkataan lelaki setengah baya itu.
"Jangan berkata seperti itu, Ki," kilah Jaka mera-
sa tak enak "Apa yang kulakukan dan yang diterima Ki
Sunara serta yang lainnya, sudah ketentuan yang te-
lah digariskan Sang Pengatur Alam Semesta. Kalau
pada saat ini aku menolong, mungkin dan itu bisa pas-
ti suatu saat aku membutuhkan pertolongan orang
lain. Baik langsung maupun tidak."
Ki Sunara termangu mendengar penuturan lelaki
muda nan digdaya itu.
"Jaka! Dengan kejadian yang menimpa diriku, pi-
kiranku jadi terbuka. Di dalam kehidupan ini, suatu
hal yang tak terduga atau tidak kita ingini justru se-
ringkali terjadi. Seperti halnya pertemuan kita kali ini.
Sebelumnya, aku minta maaf keterusterangan ku nanti
hanya akan menambah kerepotanmu. Namun sean-
dainya kau tak bersedia membantu, aku tak akan me-
rasa sakit hati," ujar Ki Sunara datar.
"Keterusterangan tentang apa, Ki?" selidik Jaka
ingin tahu.
"Sebatang tombak pusaka yang sudah bertahun-
tahun berada d tanganku," jelas Ki Sunara tanpa ragu-
ragu.
"Tombak pusaka?" gumam Jaka.
"Ya. Tombak Sangga Buana."
"Rahasia apa yang terkandung dalam tombak
yang kau maksudkan itu, Ki?"
"Tiga tahun silam, secara tak sengaja aku berte-
mu dengan seorang lelaki yang berusia lima tahun le-
bih tua dariku. Lelaki itu mengaku bernama Karmada-
na dan berjuluk Iblis Tongkat Merah. Entah mengapa,
sedikit pun aku tak menaruh curiga padanya, meski
dia memakai julukan iblis. Mungkin aku terpana den-
gan tutur katanya yang sopan dan berkesan jujur. Se
jak pertemuan itu, aku bergaul dekat dengan Iblis
Tongkat Merah."
Ki Sunara menghentikan ceritanya sebentar. Di-
tatapnya wajah Jaka dan Nila Juwita lekat-lekat. Sea-
kan-akan ingin mengetahui tanggapan kedua anak
muda itu mengenai cerita yang akan dipaparkannya.
"Pada awalnya, persahabatan ku dengan Karma-
dana biasa-biasa saja. Namun beberapa purnama ke-
mudian, Karmadana bermaksud menurunkan ilmu
ciptaannya padaku. Dan, dengan senang hati aku me-
nerima maksud baiknya. Meskipun dia berjuluk Iblis
Tongkat Merah yang sudah pasti memiliki ilmu-ilmu
keji tokoh golongan hitam. Menurutku, sebuah ilmu
bisa menjadi hitam atau putih tergantung pada tabiat
si pemilik ilmu itu. Kalau pemiliknya bertabiat buruk,
maka bisa dipastikan ilmu-ilmu yang dimiliki selalu
berkaitan dengan nyawa dan kematian. Namun jika
sebaliknya, maka ilmu itu sangat bermanfaat untuk
membela kebenaran."
Kembali Ki Sunara menghentikan ceritanya. Dita-
riknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan da-
danya yang terasa sesak. Dahinya tampak berkerut,
menandakan kalau ingatannya sedang dikuras untuk
mengingat kejadian yang telah lama dialaminya.
"Dengan alasan itulah, aku mau menerima segala
pelajaran ilmu silat yang diberikan Iblis Tombak Me-
rah. Dua tahun lebih aku digembleng Karmadana se-
cara rahasia. Sumirah, istriku pun tak pernah tahu hal
itu."
Nila Juwita yang sejak semula tak lepas meman-
dangi tubuh Sirgaloka, akhirnya berpaling menatap
wajah ayahnya. Sungguh tak disangka kalau ayahnya
pernah berguru pada seorang tokoh sesat golongan hi-
tam.
"Namun, belakangan hubungan ku dengan Iblis
Tombak Merah diketahui Buaya Sungai Tenggarong,"
lanjut Ki Sunara.
"Buaya Sungai Tenggarong?" tanya Jaka, "Jadi
pada waktu kau dikeroyok lima lelaki yang mengaku
kaki tangan Dua Buaya Sungai Tenggarong, sebenar-
nya kau telah kenal dengan pemimpin mereka?"
"Ya. Nama asli Buaya Sungai Tenggarong adalah
Tunggul Sulada," jelas Ki Sunara.
"Lalu, apa yang dilakukan Buaya Sungai Tengga-
rong atas hubungan Ayah dengan Iblis Tombak Me-
rah?" tanya Nila.
"Menurut Karmadana, sudah cukup lama Tung-
gul Sulada dan dua temannya menginginkan Tombak
Sangga Buana. Namun, itu tak pernah terwujud. Kar-
madana begitu pandai menghindari pertemuan dengan
Tunggul Sulada, Wungu Suta, dan Dalu Dungga," jelas
Ki Sunara.
"Mengapa Iblis Tombak Merah menghindari per-
temuan dengan Tunggul Sulada dan dua temannya?
Bukankah Tombak Sangga Buana itu miliknya? Dan
kenapa tiga lelaki itu ingin memiliki tombak itu?" tanya
Nila gencar. Rasa penasaran membuat gadis cantik itu
bertanya seperti itu.
"Tombak Sangga Buana sebenarnya bukan milik
sah Iblis Tombak Merah. Senjata itu milik seorang to-
koh golongan putih yang berjuluk Panglima Tombak
Sakti. Karmadana, Tunggul Sulada dan Wungu Suta
yang bergelar Raja Macan Loreng serta Dalu Dungga
yang berjuluk Tapak Iblis Utara telah merebut Tombak
Sangga Buana dari tangan Panglima Tombak Sakti.
Tokoh itu sendiri tewas terbunuh."
Ki Sunara menghentikan ceritanya dan menatap
wajah putrinya dan wajah Jaka bergantian.
"Belakangan, kesadaran di dada Karmadana
tumbuh dan berkembang. Kesadaran yang menuju ke
arah kebaikan. Menurut Iblis Tombak Merah, adalah
sebuah bahaya besar jika Tombak Sangga Buana yang
berpamor mengiriskan berada di tangan mereka. Maka
secara diam-diam Karmadana mencuri tombak itu dari
tempatnya dan membawa lari. Setelah itu, Karmadana
mengasingkan diri dari dunia ramai. Untuk mengela-
bui Buaya Sungai Tenggarong, Raja Macan Loreng, dan
Tapak Iblis Utara, Karmadana mengambilku sebagai
muridnya lalu menyerahkan Tombak Sangga Buana
padaku. Namun, dia berpesan agar selanjutnya aku
hidup dalam penyamaran...."
"Penyamaran apa yang kau maksudkan itu, Ki?"
tanya Jaka, setelah Ki Sunara tidak melanjutkan ceri-
tanya lagi.
Ki Sunara tak menjawab pertanyaan Jaka. Tan-
gan kanannya tiba-tiba meraba kumis tipis yang tera-
tur rapi. Dilepaskannya bulu-bulu hitam yang menem-
pel di bawah hidungnya. Selesai melepaskan kumis
palsunya, tangannya segera naik ke ujung pelipis.
Dengan gerakan seolah hendak menguliti kulit kepala,
Ki Sunara melepaskan topeng yang terbuat dari bahan
karet tipis yang berwarna sama dengan kulit aslinya.
Sebentuk wajah tampan namun tercoreng sebaris
bekas luka menghitam dipipi sebelah kanan terlihat
Jaka. Tokoh muda usia yang bergelar Raja Petir itu se-
benarnya tak begitu terkejut melihat wajah asli Ki Su-
nara. Tapi tatapan matanya yang tak berkedip mem-
buat Ki Sunara menjelaskan perihal bekas luka yang
tercetak di pipi kanannya.
"Luka ini akibat sayatan senjata Raja Macan Lo-
reng. Waktu aku dan Karmadana bertarung melawan
Tunggul Sulada dan dua temannya, beruntung kami
tak dapat dikalahkan. Karmada yang memang memiliki
ilmu lari cepat di atas kemampuan Tunggul Sulada,
Wungu Suta dan Dalu Dungga, segera merangkulku
dan membawa kabur menghindari pertarungan," papar
Ki Sunara.
"Jadi, Iblis Tombak Merah sampai saat ini masih
hidup dan mengasingkan diri?" tanya Nila.
Ki Sunara mengangguk membenarkan perta-
nyaan anaknya.
"Kalau Ki Sunara tidak keberatan, bolehkah aku
melihat Tombak Sangga Buana yang berpamor mengi-
riskan itu?" pinta Jaka lembut
"Dengan senang hati aku akan memperlihatkan-
nya padamu, Jaka. Bahkan kalau kau mau, aku lebih
suka kalau senjata itu kau miliki," jawab Ki Sunara
"Heh?!" Jaka terkejut mendengar ucapan itu.
"Kenapa senjata itu harus kau serahkan padaku. Ki?"
Ki Sunara tersenyum mendengar pertanyaan le-
laki muda yang berjuluk Raja Petir itu.
"Senjata itu sudah tak aman lagi jika berada di
tanganku, Jaka," jawab Ki Sunara.
"Maksud Ki Sunara?"
"Dinan Jayu pernah melihat Tombak Sangga Bu-
ana. Dan, secara tak sadar aku telah memberi tahu
nama senjata itu," jawab Ki Sunara. "Dengan tahunya
Dinan Jayu akan senjata itu, maka tidak mustahil ia
memberitahukannya pada Tunggul Sulada. Begitu pula
Buaya Sungai Tenggarong. Aku yakin betul dia akan
mengabarkannya pada Raja Macan Loreng dan Tapak
Iblis Utara. Dan aku juga yakin, sebentar lagi mereka
akan mendatangi kediamanku untuk merebut kembali
Tombak Sangga Buana."
Sementara, di saat Ki Sunara menghentikan ceri-
tanya, Sirgaloka telah selesai menyalurkan hawa mur-
ni untuk mengembalikan keadaan tubuhnya seperti
sediakala.
"Kau bersedia membantuku mengatasi persoalan
ini, Jaka?" tanya Ki Sunara. Sesaat setelah menatap
wajah Sirgaloka yang sudah sedikit memerah.
Jaka tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Bukan berarti Jaka tengah mempertimbangkan
permintaan Ki Sunara, melainkan dia tengah mencari
cara untuk menyingkirkan tiga tokoh golongan hitam
yang pasti memiliki ilmu silat tinggi.
"Aku bersedia membantumu, Ki," putus kemu-
dian.
Ki Sunara nampak menyunggingkan senyum se-
telah mendengar jawaban Raja Petir. Hatinya menjadi
sedikit lega, meski belum sepenuhnya. Tapi paling ti-
dak keinginan Tunggul Sulada, Raja Loreng, dan Ta-
pak Iblis Utara harus diperjuangkan dengan memper-
taruhkan nyawa. Orang yang dihadapi mereka kali ini
Raja Petir. Seorang tokoh muda yang namanya telah
melambung tinggi di seluruh jagat
Ki Sunara tiba-tiba bergerak hendak merangkul
tubuh Jaka. Apa yang dilakukan lelaki setengah baya
itu dibiarkan Jaka. Sesaat lamanya Ki Sunara me-
rangkul tubuh pemuda itu. Beberapa saat kemudian,
baru dilepaskannya.
"Terima kasih, Jaka. Hanya Sang Penguasa Alam
yang tahu bagaimana harus membalas budi baikmu."
Raja Petir terharu mendengar ucapan Ki Sunara.
"Kita sama-sama berdoa, Ki. Biar segala bentuk
keangkaramurkaan sirna dari muka bumi ini," tukas
Jaka.
"Tentu, Jaka. Tentu...."
***
TUJUH
Ki Sunara beranjak menuju kamar khususnya.
Hanya sebentar lelaki setengah baya itu berada di sa-
na. Saat selanjutnya, Ki Sunara sudah berada di ha-
dapan Jaka dengan sebuah senjata yang bernama
Tombak Sangga Buana. Ki Sunara menggenggam hati-
hati senjata pusaka yang didapatnya dari Iblis Tombak
Merah itu. Kemudian disodorkannya pada Jaka.
"Telitilah baik-baik, Jaka. Tombak Sangga Buana
memiliki perbawa yang mengiriskan," ucap Ki Sunara,
sesaat setelah menyerahkan Tombak Sangga Buana
pada Raja Petir.
Jaka segera meneliti senjata yang berupa seba-
tang tombak merah darah. Hulunya berbentuk sebuah
bulatan dengan dikelilingi batu-batu mutiara warna-
warni. Tombak Sangga Buana memendarkan sinar
kemerahan yang mampu menyebarkan hawa dingin
cukup menyengat
"Senjata ini sangat berbahaya jika berada di tan-
gan tokoh sakti golongan hitam, Ki," ucap Jaka perla-
han.
"Ya. Sangat berbahaya sekali," timpal Ki Sunara.
Sementara Raja Petir dan Ki Sunara tengah me-
mandangi Tombak Sangga Buana, di tempat yang ber-
beda dalam jarak sekitar ratusan depa jauhnya, Ki
Tunggul Sulada yang berjuluk Buaya Sungai Tengga-
rong, Ki Wungu Suta yang bergelar Raja Macan Loreng
dan Ki Dalu Dungga alias Tapak Iblis Utara nampak
tengah membicarakan sebuah benda yang sama. Tom-
bak Sangga Buana! Mereka memang sengaja berkum-
pul tempat tinggal Ki Dalu Dungga yang berada Desa
Cagarasa.
"Kau tak salah dengar, Dinan?" tanya Ki Wungu
Suta mencari ketegasan.
"Benar, Ki. Buktinya aku mampu menyebutkan
nama tombak itu, meski sudah lama aku mendengar-
nya dari Ki Sunara," jawab Dinan Jayu meyakinkan.
"Apa kau melihat di bagian pipi Sunara terdapat
sebaris bekas luka akibat goresan senjataku?" tanya Ki
Wungu Suta penasaran.
Dinan Jayu menggeleng-gelengkan kepala.
Ki Wungu Suta. Ki Dalu Dungga dan Ki Tunggul
Sulada terkejut melihat gelengan Dinan Jayu. Tapi, Ki
Tunggul Sulada cepat mengambil kesimpulan.
"Ah. Mungkin dia menyamar dengan menutupi
bekas luka sayatan aritmu, Kakang Wungu," duga Ki
Tunggul Sulada.
"Ha ha ha.... Ucapanmu mungkin benar, Tung-
gul," selak Tapak Iblis Utara. "Lagi pula, pedulinya
dengan dia. Yang terpenting bagiku adalah Tombak
Sangga Buana itu berada di tangannya. Kita semua
yang berada di sini harus segera merebutnya!"
"Di mana tempat tinggal Sunara, Dinan?" tanya
Ki Wungu Suta kemudian.
"Di desa tempatku tinggal, Ki. Desa Lebak Mera."
"Desa Lebak Mera? Hm... Besok kita datangi desa
itu, Kita rebut Tombak Sangga Buana!" cetus Ki Wun-
gu Suta mantap.
"Lalu, bagaimana dengan Raja Petir?" tanya Ki
Tunggul Sulada.
"Raja Petir?" ucap Ki Wungu Suta heran. "Apa
urusannya kita dengannya, Adi Tunggul?" tanya Ki Da-
lu Dungga.
Ki Tunggul Sulada segera menceritakan kebera-
daan Raja Petir di kediaman Ki Sunara. Tentang keja-
dian yang menimpa Dinan Jayu bersama putrid tung-
gal Ki Sunara, yang baru menjalin hubungan cinta
dengan murid Perguruan Teratai Perak yang bernama
Sirgaloka. Juga mengenai bentroknya kaki tangan Ki
Tunggul Sulada dengan Raja Petir, ketika bermaksud
merampok kereta barang seorang saudagar kaya yang
ternyata Ki Sunara.
"Hm.... Jadi, Raja Petir sekarang berada di ke-
diaman Sunara?" tandas Ki Wungu Suta.
"Betul," jawab Ki Tunggul Sulada.
Ki Wungu Suta dan Ki Dalu Dungga terlihat sal-
ing pandang. Dua tokoh golongan hitam itu telah men-
getahui kehebatan Raja Petir. Meskipun secara lang-
sung mereka belum pernah mencoba kebolehan mas-
ing-masing, namun dari tokoh-tokoh persilatan sudah
didengarnya tentang kehebatan Raja Petir yang mam-
pu membungkam keangkaramurkaan tokoh-tokoh
tingkat tinggi golongan hitam.
"Kita harus menyingkirkan Raja Petir lebih dahu-
lu, Adi Tunggul," ucap Tapak Iblis Utara memberi usul.
"Kupikir juga begitu," sambut Ki Wungu Suta.
"Kita berempat pasti mampu mengalahkan Raja Petir.
Aku yakin, kali ini tokoh usilan itu akan terkubur di
tangan kita."
"Kalau begitu, besok pagi kita datangi Desa Lebak
Mera," putus Ki Dalu Dungga.
"Lebih cepat lebih baik," sambut Ki Tunggul Su-
lada.
***
Pagi kali ini dihiasi hujan lebat yang turun me-
nyirami bumi. Fajar yang hendak keluar dari peraduan
memberi kesempatan pada awan-awan yang berarak
dan menjelmakan titik-titik air. Di tengah guyuran air
hujan, tampak empat sosok tubuh sedang melangkah
dengan sedikit tergesa. Mereka tak mempedulikan pa-
kaian yang basah kuyup terguyur air hujan. Tanpa ada
percakapan sedikit pun, keempat lelaki yang tak lain
Dua Buaya Sungai Tenggarong, Raja Macan Loreng,
dan Tapak Iblis Utara terus memacu langkahnya. Tak
terasa mereka telah tiba di mulut Desa Lebak Mera.
"Inilah mulut Desa Lebak Mera," ucap Dinan
Jayu pada Ki Wungu Suta dan Ki Dalu Dungga.
"Rasanya, aku sudah tak sabar untuk segera me-
rebut Tombak Sangga Buana," timpal Raja Macan Lo-
reng seraya menambah kecepatan langkahnya.
Demikian pula, Tapak Iblis Utara dan dua Buaya
Sungai Tenggarong. Keempat lelaki itu kini sudah me-
masuki wilayah Desa Lebak Mera. Sementara, hujan
yang sejak pagi buta sudah mengucur deras kini mulai
reda. Dan, ketika keempat tokoh sesat golongan hitam
itu hampir mencapai tujuan, hujan berhenti sama se-
kali. Digantikan matahari yang kini menebarkan si-
narnya dengan leluasa.
"Bangunan cukup mewah itukah rumah Suna-
ra?" tanya Ki Wungu Suta dan jari telunjuk mengarah
ke rumah besar yang terletak delapan tombak darinya.
"Betul, Ki. Bangunan itulah tempat tinggal Ki Su-
nara," ucap Dinan Jayu membenarkan.
"Hei! Mengapa tiba-tiba wajahmu menjadi pucat?"
tanya Ki Dalu Dungga ketika matanya menangkap pe-
rubahan raut wajah murid kesayangan Ki Tunggul Su-
lada.
Dinan Jayu menundukkan kepala mendengar
pertanyaan Tapak Iblis Utara itu.
"He he he.... Kau pasti tengah memikirkan Nila
Juwita ya, Dinan?" selak Ki Tunggul Sulada. Dinan
Jayu mengangguk.
"Siapa Nila Juwita, Adi Tunggul?" tanya Ki Wun-
gu Suta ingin tahu.
"Anak Sunara. Kekasihnya," jelas Ki Tunggul Su-
lada.
"Ha ha ha....!" Raja Macan Loreng tertawa keras.
Tubuhnya terguncang-guncang hebat "Kalau hanya itu
kau tak perlu secemas itu, Dinan. Selain gadis cantik
yang kau cintai itu, semua harus kita bunuh."
"Kau dengar ucapan Kakang Wungu, Dinan. Hari
ini, kau akan memiliki Nila Juwita sepenuhnya," tim-
pal Ki Tunggul Sulada.
"Terima kasih, Ki," ucap Dinan Jayu sedikit men-
gangkat wajah.
Keempat lelaki yang bermaksud merebut Tombak
Sangga Buana itu kembali melanjutkan perjalanan me-
reka yang sempat terhenti. Beberapa ayunan kaki lagi
keempat lelaki itu sampai di halaman depan rumah Ki
Sunara.
"Sunara! Keluar kau! Bawa Tombak Sangga Bua-
na curian itu ke hadapan kami!" teriak Ki Wungu Suta
menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Kalau kau tidak mau keluar, akan ku bakar ru-
mahmu!" tambah Tapak Iblis Utara.
Belum lagi gema ucapan Tapak Iblis Utara le-
nyap, dari dalam rumah itu muncul dua sosok lelaki
yang tak lain Ki Sunara dan Sirgaloka.
"Hm.... Sirgaloka! Kubunuh kau hari ini," gumam
Dinan Jayu ketika melihat wajah lelaki yang telah me-
rebut Nila Juwita dari sisinya.
"Ha ha ha.... Ternyata kau memang Sunara! Co-
det di pipi kananmu itu kukenal betul. Sebuah hasil
karya manis senjataku," ucap Ki Wungu Suta diiringi
tawa.
"Aku memang Sunara, Tua Bangka Gila!" balas Ki
Sunara dengan suara tak kalah lantang. "Codet di pipi
kananku ini memang hasil kerjamu. Kau harus mera-
sakan balasannya."
"Heh?!" Ki Wungu Suta terkejut melihat kebera-
nian Ki Sunara. "Kurang ajar! Kau memang pantas
mampus, Sunara! Sekarang serahkan Tombak Sangga
Buana yang dicuri Iblis Tombak Merah, sebelum jasad
mu bersatu dengan tanah!"
"Jangan sombong. Raja Macan Loreng," ucap se
buah suara dari dalam rumah Ki Sunara.
Ki Sunara tahu pasti kalau yang bicara adalah
Jaka Sembada. Tapi, tidak bagi Ki Wungu Suta dan ke-
tiga rekannya. Di benak mereka tersimpan pertanyaan,
siapa lelaki yang berbicara dengan penuh perbawa itu?
"Jangan bersembunyi seperti anjing buduk! Ke-
luarlah kalau kau memang ingin berhadapan dengan-
ku," hardik Raja Macan Loreng marah.
Tanpa diulang dua kali, keluarlah seorang pemu-
da terbungkus pakaian kuning keemasan. Penampilan
pemuda itu seperti seorang putra mahkota. Ketenan-
gan dan wajah tampannya membuat empat tokoh go-
longan itu tertegun sesaat. Apalagi, ketika menyaksi-
kan gagang senjata Jaka yang menggelantung di leher.
Gagang senjata yang berukiran seperti gumpalan
awan. Itulah Pedang Petir, yang memiliki perbawa
amat dahsyat
Ki Wungu Suta, Ki Dalu Dungga dan Ki Tunggul
Sulada langsung tersentak ketika melihat tangan ka-
nan pemuda berpakaian kuning keemasan menggeng-
gam senjata yang sudah bertahun-tahun mereka cari.
Tombak Sangga Buana!
"Apakah senjata ini yang kalian cari?" tanya Raja
Petir seraya mengacungkan tombak berwarna merah
darah yang menimbulkan pendar kemerahan.
Darah di tubuh Ki Wungu Suta dan Ki Dalu
Dungga seketika naik ke kepala. Keduanya segera ma-
ju tiga langkah.
"Cukup! Jangan teruskan langkah kalian kalau
tak ingin mati oleh senjata yang kalian cari ini," tahan
Jaka sambil melakukan gerakan menusuk dengan
ujung tombak disorongkan ke depan.
Raja Macan Loreng dan Tapak Iblis Utara mema-
tuhi larangan Jaka yang dikeluarkan dengan tegas.
Sepasang mata lelaki berpakaian kulit macan dan lela
ki berpakaian hitam itu menatap wajah Jaka dengan
kegeraman luar biasa.
"Sebenarnya, aku tak ingin mempertahankan
senjata bagus ini. Senjata ini bukan milikku," ucap
Jaka.
"Kalau begitu, serahkan senjata itu padaku. Se-
lanjutnya, kalian bisa hidup bebas tanpa ku ganggu,"
ucap Ki Dalu Dungga kasar.
"Senjata ini memiliki kekuatan yang begitu dah-
syat. Kalian tak pantas memilikinya," sergah Jaka.
Mata Ki Wungu Suta mendelik mendengar uca-
pan itu.
"Setan! Kau harus mampus!" maki Ki Wungu Su-
ta geram.
"Jaka Sembada tak takut mati. Raja Macan Lo-
reng!" balas Jaka tegas.
"Tapi sekarang kematianmu akan datang men-
jemput. Raja Petir!" tukas Ki Tunggul Sulada,
"Hiaaat..!"
"Yeaaat..!"
Tubuh Ki Tunggul Sulada langsung melesat me-
nerjang Jaka. Disusul Raja Macan Loreng, dan Ki Dalu
Dungga.
"Berhenti...!"
Namun, belum lagi gerakan mereka mencapai
pada sasaran, sebuah bentakan berkekuatan tenaga
dalam tinggi telah memaksa ketiga tokoh beraliran se-
sat yang tengah berada di udara itu turun men-jejak
tanah. Tubuh Raja Macan Loreng, Tapak Iblis Utara
dan Buaya Sungai Tenggarong mundur satu langkah.
Orang-orang yang berada di sekitar rumah Ki
Sunara pun turut merasakan kedahsyatan bentakan
itu. Telinga mereka berdengung sangat kuat, hingga
menimbulkan rasa sakit
Tidak terkecuali Sumirah dan Nila Juwita yang
berada di ambang pintu. Tubuh Sumirah hampir ter-
banting ke belakang kalau tidak segera disanggah Nila.
Sumirah sedikit pun tidak memiliki kepandaian ilmu
silat, apalagi ilmu tenaga dalam. Untung bentakan itu
tidak berlanjut. Hingga Sumirah dan Nila Juwita dapat
menyaksikan kehadiran sosok lelaki berpakaian me-
rah. Namun, Sumirah masih merasa telinganya ber-
dengung.
Tak berapa lama kemudian, sosok yang mengelu-
arkan bentakan dahsyat sekonyong-konyong melesat
dari belakang bangunan rumah Ki Sunara. Lalu men-
darat ringan sejauh dua tombak di samping Ki Sunara.
"Karmadana...!" ucap Ki Wungu Suta, Ki Dalu
Dungga, dan Ki Tunggul Sulada bersamaan, ketika
menatap sosok berpakaian merah yang berdiri di de-
pan mereka. Mata ketiga lelaki itu terbelalak tidak per-
caya.
"Ki Karmadana...?" ucapan bernada tak percaya
pun terdengar dari mulut Ki Sunara.
***
DELAPAN
"Betul apa yang dikatakan Raja Petir, Wungu, Da-
lu dan kau Tunggul!" ucap sosok lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun.
Sosok lelaki berpakaian merah itu masih nampak
gagah, meski sebagian rambutnya sudah memutih.
Tubuhnya yang terbungkus pakaian cukup ketat me-
nampakkan otot-ototnya yang kuat
"Karmadana! Apakah kemunculanmu untuk
mengambil Tombak Sangga Buana?!" tanya Ki Dalu
Dungga.
"Ha ha ha.... Kau salah, Dalu! Untuk apa aku
mengambil senjata yang sudah berada di tangan orang
yang pantas memilikinya. Raja Petir adalah orang yang
paling cocok untuk menguasai senjata ampuh itu. Dia
seorang tokoh digdaya yang tidak sembarangan men-
gumbar kepandaian. Tokoh golongan putih yang bijak-
sana dan senang membela orang-orang lemah. Kupikir,
dialah orang yang pantas memiliki Tombak Sangga
Buana. Bukan kalian!" tegas perkataan yang keluar
dari mulut Ki Karmadana yang berjuluk Iblis Tombak
Merah.
"Lalu untuk apa kau hadir di sini? Bukankah le-
bih baik kau bersembunyi seperti tikus comberan, se-
perti yang kau lakukan selama ini?" tukas Ki Tunggul
Sulada.
"Untuk membantu mengamankan Tombak Sang-
ga Buana dari incaran manusia-manusia rakus seperti
kalian!" jawab Iblis Tombak Merah.
"Setan! Ternyata kau pun ingin cari mampus,
Karmadana!" maki Tapak Iblis Utara.
Lelaki bertubuh sedang yang mengenakan pa-
kaian hitam itu seketika bergerak cepat, menyerang Ib-
lis Tombak Merah yang sudah siap bertarung. Diiringi
teriakan nyaring, Tapak Iblis Utara melancarkan puku-
lan ke batok kepala Iblis Tombak Merah. Angin berci-
utan keras mengiringi serangan ganas Tapak Iblis Uta-
ra yang memainkan jurus ‘Pukulan Iblis Murka’.
"Hiaaa...!"
Bettt! Bettt!
Dengan ketenangan yang luar biasa, Karmadana
membawa mundur tubuhnya seraya menarik kepala
hingga melewati batas bahu. Gerakan lelaki berpa-
kaian serba merah itu sekilas nampak sederhana. Na-
mun, siapa sangka kalau gerakan itu mampu menye-
lamatkan nyawanya.
Sementara itu, Ki Dalu Dungga bukan main ge-
ramnya menyaksikan serangannya mampu dielakkan
lawan dengan begitu mudah. Dalam hati, dikaguminya
kemajuan ilmu Iblis Tombak Merah. Tapak Iblis Utara
menduga kalau Ki Karmadana memperdalam ilmu se-
lama dalam persembunyian-nya. Dengan kemarahan
yang sudah mencapai ubun-ubun, Tapak Iblis Utara
kembali melanjutkan serangan. Kali ini, tokoh sesat itu
meloloskan senjata andalannya yang berupa sebatang
tongkat berkepala tengkorak manusia.
"Jaga seranganku, Karmadana! Hiaaa...!"
Tapak Iblis Utara mengebutkan tongkatnya ke
arah iga lawan. Begitu kuat dan cepat kebutannya. Ta-
pi, kalah cepat dengan gerakan menghindar yang dila-
kukan Ki Karmadana.
Lelaki berpakaian serba merah itu telah lebih du-
lu menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah. Seke-
tika itu juga tubuhnya mencelat ke udara. Angin yang
timbul akibat gerakan kuat yang dilakukan Ki Karma-
dana mengeluarkan bunyi bergemuruh. Tubuh lelaki
itu berputaran indah di udara.
Jleg!
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
Sesaat setelah tubuh Ki Karmadana mendarat di
tanah, sebuah serangan susulan kembali harus diha-
dapinya. Maka tanpa pikir panjang, Ki Karmadana se-
gera meloloskan tombak pendek yang tersembunyi di
belakang tubuhnya. Lalu, memainkan serangkaian ju-
rus Tombak Sakti. Tombak pendek bermata dua dari
logam baja itu dimajukan menyilang untuk menangkis
sambaran tongkat Ki Dalu Dungga.
Trang...!
Bunyi keras memekakkan telinga pun terdengar.
Benturan keras itu menimbulkan percikan bunga api.
"Ikh!"
Pekik tertahan keluar dari mulut Tapak Iblis Uta-
ra saat benturan keras itu terjadi. Tubuh lelaki terba-
lut pakaian hitam itu mundur sejauh empat langkah.
Tapak Iblis Utara merasakan tangannya bergetar hebat
dan berdenyut nyeri.
Sementara Ki Karmadana hanya terhuyung mun-
dur sejauh dua langkah. Tenaga dalamnya memang se-
tingkat lebih tinggi dari Tapak Iblis Utara.
Rupanya, pertarungan yang terjadi bukan hanya
antara mereka berdua saja. Tapi, sudah menjalar anta-
ra Dua Buaya Sungai Tenggarong dan Raja Macan Lo-
reng menghadapi Raja Petir, Ki Sunara, dan Sirgaloka.
Sirgaloka dan Dinan Jayu nampak saling gem-
pur. Kedua lelaki yang bertarung demi seorang gadis
itu saling menunjukkan kebolehannya. Permainan pe-
dang Dinan Jayu dalam jurus ‘Pedang Dasar Kedung’
begitu cepat, dan selalu terarah pada bagian-bagian
mematikan di tubuh lawannya. Sementara Sirgaloka
mengimbangi dengan gerakan-gerakan menghindar
yang manis. Namun, di balik gerakan menghindar itu
tersembunyi sebuah serangan yang mengancam kese-
lamatan Dinan Jayu. Sebuah jurus dahsyat yang ber-
nama 'Pedang Inti Teratai'.
"Terimalah balasan seranganku, Dinan! Heaaa...!"
Wuuung...!
Pedang di tangan Sirgaloka berkelebat cepat ke
leher Dinan Jayu. Serangan tiba-tiba itu dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun Dinan
Jayu dengan manis mengelak dengan merendahkan
tubuhnya sambil memberikan sampokan ke ulu hati
lawan.
"Heh?!"
Sirgaloka terkejut melihat kelincahan Dinan
Jayu. Lawannya itu ternyata masih sempat memberi
kan serangan balasan di saat dirinya terancam. Na-
mun, keterkejutan Sirgaloka tak membuatnya lengah.
Dengan gerakan cukup manis, Sirgaloka menangkis
serangan balasan Dinan Jayu dengan bagian tengah
telapak kakinya.
"Hih!"
Plak!
Benturan keras pun terjadi. Sambaran tangan
Dinan Jayu berhasil dipapaki telapak kaki Sirgaloka.
Tubuh dua lelaki yang tengah dimabuk api asmara itu
masing-masing terdorong tiga langkah. Kekuatan tena-
ga dalam mereka telah mencapai taraf yang sama.
Sementara pada pertarungan lain, Raja Petir ten-
gah dikeroyok Ki Wungu Suta dan Ki Tunggul Sulada.
Dua lelaki yang berhasrat merampas Tombak Sangga
Buana dari tangan Jaka, nampak begitu bernafsu un-
tuk segera menjatuhkan lawannya. Ki Wungu Suta
yang bersenjatakan arit, berusaha mendesak Jaka
dengan babatan-babatan yang terarah ke bagian me-
matikan tubuh Raja Petir.
Begitu pula dengan Ki Tunggul Sulada. Trisula
hitam yang berada di tangannya, berkali-kali mengin-
car jantung dan ubun-ubun Jaka. Namun, incaran-
incaran senjata Ki Tunggul Sulada sejauh ini belum
menemui hasil. Dengan menggunakan jurus 'Lesatan
Lidah Petir' Jaka mampu membendung serangan-
serangan ganas kedua lawannya.
"Heaaat..!"
"Yeaaah...!"
Rasa penasaran membuat Ki Tunggul Sulada dan
Ki Wungu Suta gelap mata. Tanpa memikirkan siapa
lawan yang tengah dihadapi, keduanya kembali me-
rangsek maju. Senjata-senjata mereka teracung di
udara, penuh kekuatan tenaga dalam.
Menyaksikan amarah lawan yang tak terkendali,
Jaka mengembangkan senyum. Raja Petir ingin men-
guji lawannya dengan mengeluarkan pukulan jarak
jauh yang didapatnya dari Nyi Selasih, yaitu ‘Pukulan
Pengacau Arah’.
Kaki kanan Jaka segera ditarik satu langkah ke
belakang. Sedangkan tangan kanannya yang tanpa
senjata diletakkan di atas pinggang. Ketika tangan ka-
nan Raja Petir yang dialiri kekuatan tenaga dalam di-
hentakkan, keluarlah angin yang bergulung-gulung,
meluruk deras ke arah Ki Wungu Suta dan Ki Tunggul
Sulada yang tengah meluruk ke arahnya.
Wusss...!
"Heh?!"
Raja Macan Loreng dan Buaya Sungai Tengga-
rong tercekat melihat angin dahsyat bergulung-gulung
menyebarkan hawa panas, melesat cepat menyongsong
mereka. Angin itu seperti pusaran maut yang siap me-
nelan apa saja yang menghadangnya.
Tanpa pikir panjang, Ki Wungu Suta dan Ki
Tunggul Sulada melempar tubuhnya ke lain arah,
menghindari terjangan angin maut yang tercipta dari
telapak tangan kanan Jaka. Keduanya bergulingan di
tanah beberapa kali. Pada saat kedua tokoh sesat itu
bergulingan di tanah, sesosok bayangan biru melesat
memasuki arena pertempuran.
"Maaf, Raja Petir. Namaku Ki Ajeng Guya, guru
Sirgaloka," ucap sosok berpakaian biru yang kini ber-
diri di sisi kiri Jaka. "Kalau kau tak keberatan, aku
akan menghadapi Buaya Sungai Tenggarong."
"Silakan," balas Jaka sopan.
***
SEMBILAN
Ki Tunggul Sulada yang sudah bangkit berdiri
terkejut menyaksikan sosok berpakaian biru yang ber-
diri di sisi kiri Raja Petir. Sosok itu adalah milik Ketua
Perguruan Teratai Perak.
"Siapa kau? Apa kau juga ingin merebut Tombak
Sangga Buana?" tanya Ki Tunggul Sulada di tengah de-
ru napasnya yang memburu. Telunjuk lelaki yang ber-
juluk Buaya Sungai Tenggarong ini menuding senjata
yang berada di tangan kiri Jaka.
"Namaku Ajeng Guya. Buaya Darat! Sedikit pun
aku tak berhasrat memiliki senjata yang bukan hak-
ku," jawab Ki Ajeng Guya. "Kedatanganku ke sini un-
tuk menuntaskan urusanmu dengan Sirgaloka, murid-
ku."
"Hm.... Jadi Sirgaloka muridmu?" tanya Ki Tung-
gul Sulada bernada meremehkan. "Pantas lagakmu
pun seperti banci!"
Ki Ajeng Guya tersenyum mendengar ucapan Ki
Tunggul Sulada.
"Menurut cerita yang kudapat dari Sirgaloka. Kau
yang sudah tua bangka seperti itu masih mencampuri
urusan anak muda, urusan cinta. Apakah bukan seba-
liknya kau yang harus disebut banci?!" balik Ki Ajeng
Guya. "Cobalah berkaca dengan kelakuanmu, Buaya
Buntung!"
Ki Tunggul Sulada geram bukan kepalang men-
dengar ucapan balik Ketua Perguruan Teratai Perak
itu. Seketika itu juga tubuhnya melejit menyerang Ki
Ajeng Guya. Sebuah pukulan lurus ke dada di-
lancarkan Ki Tunggul Sulada, setelah lebih dahulu
mengeluarkan pekik kemarahan yang meluap. Pukulan
itu adalah "Tinju Raja Buaya'.
"Haaat..!"
Bettt!
Tubuh Ki Ajeng Guya melejit ke samping kanan
menghindari serangan lawan. Tapi, sungguh tak dis-
angka kalau dua jengkal lagi serangan Ki Tunggul Su-
lada mendarat Buaya Sungai Tenggarong menghenti-
kan gerakannya secara mendadak. Kemudian meru-
bahnya menjadi tendangan cepat yang tertuju ke dada.
Ki Ajeng Guya yang terkejut menyaksikan kece-
patan perubahan serangan lawan, tak sempat berbuat
sesuatu. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan te-
naga dalamnya, Ketua Perguruan Teratai Perak itu
memapaki tendangan keras Ki Tunggul Sulada.
Plakkk!
Benturan keras tak dapat dielakkan lagi. Dua tu-
buh yang masing-masing terbalut pakaian biru dan hi-
jau terpental deras dan jatuh berdebuk di tanah.
Bruk! Bruk!
"Aaa...!"
Di tengah bunyi berdebuk itu terdengar jerit ke-
matian melengking tinggi. Semua yang terlibat pertem-
puran menoleh sesaat ke arah jeritan yang menyayat
hati itu.
"Hah?!"
Ki Tunggul Sulada terkejut menyaksikan tubuh
Ki Dalu Dungga tergeletak bersimbah darah. Kepala
laki-laki berjuluk Tapak Iblis Utara itu tertancap sebi-
lah tombak kecil. Rupanya, Ki Karmadana berhasil
menyudahi perlawanan lawan.
Kematian Tapak Iblis Utara berpengaruh pada Ki
Tunggul Sulada, Ki Wungu Suta dan Dinan Jayu. Se-
mangat bertarung mereka mulai menurun. Dinan Jayu
terlihat mulai terdesak hebat. Berkali-kali serangan
Sirgaloka memaksanya terus-menerus mundur, tanpa
sedikit pun memberikan serangan balasan. Hingga su
atu ketika serangan Sirgaloka tak mampu dielakkan-
nya.
"Hiaaa...!"
Bugkh!
"Ugkh...!"
Tubuh Dinan Jayu terhuyung ketika tendangan
keras Sirgaloka mendarat telak di perutnya. Rasa mual
yang dirasakan Dinan Jayu mengiringi ambruknya tu-
buh murid Ki Tunggul Sulada itu.
Bruk!
Melihat kesempatan baik itu, Sirgaloka bermak-
sud menghabisi nyawa lawan. Tubuhnya berkelebat
dengan pedang teracung di udara.
"Hiaaa...!"
"Jangan, Kakang Sirga!" larang sebuah suara.
Sirgaloka yang tengah berada di udara seketika
menghentikan gerakannya. Kepalanya ditolehkan ke
arah datangnya suara yang sudah cukup dikenalnya.
Tampak Nila Juwita berlari menghampiri.
"Jangan bunuh dia, Kakang," ucap Nila sambil
merangkul pinggang Sirgaloka.
"Ah! Kau, Nila. Kenapa kau melarangku untuk
membunuhnya?" tanya Sirgaloka lembut. Namun na-
pasnya yang memburu terdengar jelas.
"Aku tak ingin kau menjadi seorang pembunuh,"
jawab Nila.
Sirgaloka mengembangkan senyum. Rasa cembu-
ru yang sempat mengisi hatinya seketika sirna.
"Baiklah" ucap Sirgaloka sambil membawa tubuh
Nila menjauhi Dinan Jayu yang tengah terkulai mena-
han sakit
Pertarungan yang sudah mereda membuat Ki
Wungu Suta dan Ki Tunggul Sulada salah tingkah.
Maksud hati mereka hendak merebut kembali Tombak
Sangga Buana sedikit mengendur. Tapi, untuk menga
lah dalam perebutan itu adalah hal yang mustahil.
Maka, setelah mengumpulkan segenap semangat yang
ada, Ki Wungu Suta dan Ki Tunggul Sulada kembali
bangkit meneruskan pertempuran.
Ki Wungu Suta yang menaruh dendam pada Iblis
Tombak Merah, memilih lelaki itu sebagai lawannya.
Seketika, tubuhnya berkelebat cepat menyerang Ki
Karmadana.
"Hiyaaa...!"
Sementara Ki Wungu Suta tengah bertempur me-
lawan Ki Karmadana, dengan liciknya Ki Tunggul Su-
lada membokong Sirgaloka dan Nila Juwita dengan
senjata rahasia yang belum sempat dikeluarkannya.
Maka ketika tubuhnya bergerak, dari balik lengan pa-
kaiannya yang sedikit longgar meluncur puluhan sen-
jata rahasia berbentuk kuku-kuku buaya.
Wrrr...!
Sirgaloka yang tengah merangkul pinggang Nila
Juwita tak melihat luncuran senjata rahasia yang
mengandung racun ganas itu. Luncuran senjata raha-
sia itu begitu cepat datangnya. Hingga....
"Heh?!"
Jaka terkejut saat menangkap luncuran puluhan
senjata rahasia ke arah Sirgaloka dan Nila Juwita itu.
Nalurinya yang peka membuatnya cepat menggerak-
kan tangan untuk memainkan jurus 'Pukulan Penga-
cau Arah'.
"Sirga, Nila! Awasss...!"
Wusss...!
Serangkum angin keras melesat cepat ke arah
senjata-senjata rahasia Ki Tunggul Sulada. Sementara
Sirgaloka dan Nila Juwita membuang diri. Hingga....
Prats! Prats! Prats!
Puluhan senjata rahasia itu berpentalan ke ber-
bagai arah, ketika serangkum angin deras yang tercip
ta dari jurus 'Pukulan Pengacau Arah' Raja Petir da-
tang menyambut. Ki Tunggul Sulada kaget menyaksi-
kan senjatanya dapat dilumpuhkan.
"Aaakh...!"
Keterkejutan Ki Tunggul Sulada semakin bertam-
bah ketika sebuah jeritan melengking tinggi keluar dari
mulut Dinan Jayu. Ki Tunggul Sulada segera meng-
hampiri tubuh muridnya.
"Ah...!"
Ki Tunggul Sulada tak mengira kalau senjata ra-
hasianya menghilangkan nyawa muridnya sendiri. Ru-
panya, puluhan senjata beracun yang berbentuk kuku
buaya itu beberapa di antaranya nyasar ke tubuh Di-
nan Jayu, ketika berpentalan terusir pukulan Jaka.
Tubuh lelaki berpakaian hijau itu seketika berubah hi-
jau. Pengaruh racun itu demikian dahsyat. Hingga saat
itu juga nyawa Dinan Jayu pergi meninggalkan raga.
"Hmhhh..,!" Ki Tunggul Sulada menggereng kuat
melihat kenyataan itu.
Dengan menghunus senjata, tokoh sesat itu me-
lejit menyerang Jaka. "Hiaaa...!"
"Tahan!"
Sebuah bentakan keras terdengar.
Ki Tunggul Sulada dengan sangat terpaksa men-
gurungkan niatnya. Suara bentakan itu memiliki per-
bawa kuat. Wajah Buaya Sungai Tenggarong terlihat
begitu geram.
Tiba-tiba melesat tiga sosok tubuh berpakaian
putih. Gerakan yang dilakukan mereka begitu indah
dan ringan, mencerminkan ketinggian ilmunya. Begitu
juga cara mereka mendarat di tanah, ringan dan tanpa
menimbulkan suara.
Ki Tunggul Sulada terperangah beberapa saat.
Apalagi ketika mengetahui di antara tiga sosok tubuh
itu satu di antaranya seorang perempuan yang berpa
ras cantik. Dua lelaki dan seorang perempuan yang
baru datang itu menatap wajah Buaya Sungai Tengga-
rong lekat-lekat
"Maafkan kami, Kisanak," ucap perempuan ber-
paras cantik.
Tubuh perempuan itu padat berisi, sesuai dengan
tingginya. Matanya bulat bercahaya yang menampak-
kan kilat kebengisan. Rambutnya panjang hitam dike-
pang kelabang, dan pada ujungnya terdapat dua buah
pisau pipih yang masing-masing berwarna hitam dan
merah.
"Kami adalah Tiga Hantu Lembah Pucung yang
tidak bermaksud menghalangimu melenyapkan bocah
sombong itu!" lanjut perempuan cantik itu sambil me-
nuding wajah Jaka.
"Betul, Kisanak," timpal lelaki berpakaian putih
yang berambut jarang dan berkumis lebat "Kami tak
bermaksud mencegahmu membunuh Raja Petir. Tapi
kami ingin ikut melenyapkan tokoh yang selama ini
merintangi langkah golongan hitam."
"Kenapa kalian ingin membunuhnya?" tanya Ki
Tunggul Sulada.
"Dendam!" jawab perempuan cantik berpakaian
putih.
Jaka tak berusaha mengomentari pembicaraan
itu. Ingin diketahuinya lebih dulu alasan pasti Tiga
Hantu Lembah Pucung turut campur dalam pertarun-
gan ini. Dendam apa yang dimaksud mereka.
"Ya. Dendam!" sambut lelaki berpakaian putih
yang bertubuh ringkih. "Kami ingin menuntut balas
atas kematian saudara seperguruan kami, Hantu Putih
Lembah Pucung!"
Ki Tunggul Sulada tak lagi angkat bicara setelah
mendengar jawaban tegas Tiga Hantu Lembah Pucung.
Ki Tunggul Sulada kini melempar tatapannya ke arah
Jaka. Tiga Hantu Lembah Pucung pun menatap lurus
wajah pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Raja Petir! Kenalilah! Namaku Saraswati dan ke-
dua rekanku Saladra serta Madaga. Kami bertiga sau-
dara seperguruan Hantu Putih Lembah Pucung! Bu-
kankah kau mengenalnya?" ujar perempuan cantik itu.
"Ya. Dia sudah lebih dulu pergi ke neraka!" (Un-
tuk lebih jelasnya, silakan baca serial Raja Petir dalam
episode "Asmara Sang Pengemis").
"Bangsat!" maki Saladra sambil mencabut pe-
dang. "Kita ringkus sekarang saja bocah usil itu!"
"Ayo!" sambut Saraswati dan Madaga.
Tiga Hantu Lembah Pucung bergerak mengurung
Jaka. Dibantu Ki Tunggul Sulada yang tak mau ke-
tinggalan mencincang tubuh Raja Petir.
"Hiaaa...!"
Teriakan pertama keluar dari mulut Saladra. Le-
laki itu memang memiliki watak bengis dan tak saba-
ran. Tubuhnya melesat dengan mengarahkan pedang-
nya ke batang leher Raja Petir. Demikian pula Saras-
wati dan Madaga.
Tiga serangan yang datang dari arah yang berbe-
da harus dihadapi Jaka. Dan ketika tiba-tiba dengan
teriakan keras tubuh Ki Tunggul Sulada melesat me-
nerjangnya, lengkap sudah empat penjuru angin diku-
asai lawan-lawan Raja Petir.
Sirgaloka dan Nila Juwita yang ingin membantu
Raja Petir mengurungkan niatnya. Mereka tak ingin
menyinggung perasaan Jaka. Lagi pula, mereka belum
melihat pemuda berpakaian kurang keemasan itu ke-
walahan.
Sementara Jaka tetap tenang menanggapi ser-
buan lawan-lawannya. Ditunggunya serangan lawan
datang lebih dulu.
"Hiaaat..!"
"Uts!"
"Hop!"
Tubuh Raja Petir melejit bagai kilat ketika lawan
pertama yang menyerangnya mendaratkan babatan
pedangnya ke arah leher. Jaka berputaran di udara se-
telah tadi mengeluarkan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’.
Keempat lawannya terkagum-kagum menyaksikan ke-
cepatan gerak Raja Petir. Namun mereka tak putus
asa, terus mengejar tubuh Jaka.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Ops!"
Sambaran-sambaran pedang Tiga Hantu Lembah
Pucung terus berkelebatan mencecar tubuh Jaka. Tapi
tak satu pun yang mampu menyentuh tubuh pemuda
itu. Angin berciutan menimpali serangan yang mem-
bentur tempat kosong.
"Brengsek! Bisa habis napasku kalau terus
menghindar!" maki Jaka dalam hati.
"Hiaaa...!"
"Hop!"
Ketika serangan Ki Tunggul Sulada datang, Raja
Petir menggenjot tubuhnya melenting ke belakang. Ja-
ka ingin mengambil jarak bertarung. Tubuhnya me-
lenting jauh ke belakang. Dan ketika mendarat, Ki
Tunggul Sulada kembali memburunya.
"Haaat..!"
"Hiaaa...!"
Kali ini. Raja Petir tidak menghindari serbuan
Buaya Sungai Tenggarong. Tubuhnya mencelat dengan
mengeluarkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaaa...!"
Plak! Plak!
Diegkh...!
Setelah menangkis dua serangan Ki Tunggul Su
lada, Jaka dengan gerakan luar biasa cepat menyo-
dokkan lututnya ke dada tokoh sesat itu.
"Aaakh...!"
Buaya Sungai Tenggarong menjerit keras. Sodo-
kan lutut Jaka dilakukan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Brak!
Tubuh Ki Tunggul Sulada jatuh berderak ke ta-
nah. Darah segar bermuncratan dari mulutnya. Seke-
tika itu juga nyawa Ki Tunggul Sulada melayang.
Tiga Hantu Lembah Pucung tampak tidak terke-
jut melihat kematian Ki Tunggul Sulada. Malah keliha-
tan senang, karena mereka akan leluasa melenyapkan
Raja Petir.
Dengan pemikiran itu, Tiga Hantu Lembah Pu-
cung kembali meneruskan serangan. Kali ini, serangan
yang datang bagai gelombang samudera yang tak per-
nah putus. Ya! Itulah jurus andalan mereka ‘Gelom-
bang Samudera’.
Senjata-senjata Saraswati, Saladra, dan Madaga
berdesingan bagai suara lebah. Bentuk senjata-senjata
itu hilang. Hanya gulungan sinar-sinar putih yang ter-
lihat
"Hiaaa...!"
Wuuung! Wuuung!
Berkali-kali serangan itu hampir mendarat di leh-
er dan dada Jaka. Namun, Raja Petir yang tetap men-
gandalkan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’ masih mampu
membebaskan diri dari maut. Tetapi ketika serangan
lawan dirasakan semakin ganas, Jaka segera menge-
rahkan jurus ‘Menggiring Awan’ untuk menimpali se-
rangan itu.
"Hiaaa...!"
Jaka mengembangkan tangannya dengan kekua-
tan tenaga dalam penuh. Pukulannya diarahkan pada
Saraswati, yang menurutnya sebagai sumber kekuatan
Tiga Hantu Lembah Pucung. Maka, seketika itu juga...
"Hiaaa...!"
Blep! Blep!
"Heh...?!"
Raja Petir terkejut ketika pukulan yang dikerah-
kan dengan tenaga dalam itu, seperti menyentuh ben-
da kenyal ketika mendarat di perut Saraswati. Semen-
tara, perempuan jelita itu tersenyum melihat keterke-
jutan Jaka yang tak mampu menembus ilmu ‘Lembah
Dalam Lumpur’ miliknya.
"Hi hi hi ...!" Saraswati tertawa terkikik. "Hari ini
kau akan mampus. Raja Petir! Apa pun ilmu yang kau
keluarkan, tidak akan bermanfaat untuk menjatuhkan
kami. Lakukan sekali lagi kalau kau tak percaya."
Usai berkata begitu, Saraswati meraih tangan Sa-
ladra. Kemudian Saladra segera meraih tangan Mada-
ga. Dan, tangan-tangan mereka saling bertautan mem-
bentuk kekuatan gabungan.
"Ayo lakukan, Raja Petir! Keluarkan ilmumu yang
paling hebat!" ucap Saraswati pongah.
"Jangan salahkan aku jika kalian mampus seka-
rang!" timpal Jaka sambil meloloskan Sabuk Petir dari
pinggangnya. Sinar kehijauan memancar dari sabuk
petir di tangannya.
"Lakukanlah! Jangan malu-malu!" ucap Saraswa-
ti bergema.
"Baik! Hiaaa...!"
Jaka berteriak kuat sambil mengerahkan jurus
inti 'Petir Membelah Malam'. Maka....
Slaps...!
Glegar...!
Bunyi ledakan keras terjadi saat sinar yang mirip
lidah petir menyambar tubuh Tiga Hantu Lembah Pu-
cung. Tapi, bukan main terkejutnya Raja Petir me
nyaksikan lawan masih berdiri tegak di tempatnya.
Tanpa tergeser sedikit pun! Apalagi melukai tubuh me-
reka.
"Hi hi hi.... Masih adakah Ilmu yang lain, Jaka?"
tanya Saraswati. "Keluarkan saja senjata yang mengge-
lantung di lehermu. Untuk apa disimpan. Tunjukkan
kehebatan pedang itu pada kami!"
Setelah mempertimbangkan permintaan sombong
Saraswati, Jaka segera mengeluarkan senjata pusa-
kanya, Pedang Petir.
"Jangan menyesal kalian!" ucap Jaka berat. Sua-
sana di sekitar tempat pertarungan seketika berubah
gelap. Suara guntur terdengar saling bersahutan di ke-
jauhan. Angin bertiup keras. Dan, lidah petir menjilat-
jilat pedang Jaka yang teracung ke udara dan memen-
darkan sinar kemerahan. Seiring dengan suasana alam
yang kembali terang dan tak terdengar lagi suara gun-
tur di kejauhan, Raja Petir bergerak sambil memekik
keras.
"Hiaaat..!"
Tiga Hantu Lembah Pucung terkejut menyaksi-
kan kedahsyatan ilmu Jaka. Mereka ingin menghindar,
namun serangan Jaka terlalu cepat datangnya. Hing-
ga....
Bret! Bret! Bret!
"Aaakh...!"
Tiga lengkingan panjang seketika terdengar
membubung ke angkasa. Tak lama setelah itu tubuh
Saraswati, Saladra dan Madaga bertumbangan ke ta-
nah dengan perut menganga lebar terbabat senjata pu-
saka Jaka. Tiga Hantu Lembah Pucung langsung me-
nemui ajal!
Jaka menarik napas lega. Senjatanya kembali di-
kalungkan ke leher, setelah terlebih dahulu dibersih-
kan dari darah yang mengotori ujung pedangnya.
"Aaakh...!"
Lengking menyayat kembali terdengar. Lengkin-
gan itu ternyata keluar dari mulut Ki Wungu Suta.
Kening tokoh sesat itu tertembus ujung tombak Ki
Karmadana.
"Hhh...!"
Ki Karmadana menarik napas menyaksikan ke-
matian Ki Wungu Suta. Setelah mencabut senjatanya
yang terbenam di kepala Raja Macan Loreng, Ki Kar-
madana segera menghampiri Raja Petir.
"Terima kasih, Raja Petir. Kau telah menyela-
matkan Tombak Sangga Buana. Kalau kau mau, sim-
panlah senjata itu," ucap Ki Karmadana.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Iblis Tombak
Merah.
"Menurut Ki Sunara, selama ini kau mengasing-
kan diri dari keramaian rimba persilatan. Nah. Seka-
rang asingkanlah pula Tombak Sangga Buana ini. Jan-
gan biarkan senjata dahsyat ini jatuh ke tangan orang-
orang tak bertanggung jawab," ucap Jaka, menimpali
ucapan Ki Karmadana.
"Ah, ya. Ki Karmadana, Ki Sunara, dan Ki Ajeng.
Sudah terlalu lama aku meninggalkan Mayang. Aku
khawatir terjadi apa-apa terhadapnya. Aku permisi se-
karang!" lanjut Jaka mohon diri.
Belum lagi ada jawaban dari orang-orang yang
berada di tempat itu, tubuh Jaka sudah melesat cepat
"Hop!"
Jaka pergi dengan menggunakan ilmu lari cepat-
nya. Dalam sekejapan saja, tubuh tokoh muda yang
berjuluk Raja Petir itu telah lenyap dari tatapan mata
Ki Karmadana, Ki Ajeng Guya, Ki Sunara dan yang
lainnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar