SULING NAGA SAKTI
oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Suling Naga Sakti
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Semilir angin malam menghembuskan
udara yang terasa sangat dingin ketika
seorang wanita cantik tengah membuka
pakaian warna merah yang dikenakannya.
Rambutnya yang semula digelung dengan
tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal
itu membuat kecantikan Dewi Rukmini kian
bertambah nyata.
Tanpa sepengetahuannya, seseorang
dengan mata tak berkedip mengintip tubuh-
nya yang kuning langsat dan meng-
gairahkan. Lelaki itu berulang kali
menelan ludah serta menahan napas dengan
mata jalang.
"Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau
Segoro Wedi sampai mabuk kepayang
kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang
Dewi benar-benar mempesona," gumamnya
dengan gairah yang bergejolak.
Ketika ia tengah asyik mengintip
tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya
yang tak mampu menahan getaran birahi
tanpa disengaja membentur sesuatu.
Krak!
Kegaduhan kecil itu membuat Dewi
Rukmini yang tengah mengganti pakaian
tersentak dan terburu-buru mengenakannya
kembali. Mata cantiknya memandang lekat
pada dinding bilik rumahnya, sedangkan
pendengarannya dipasang setajam mungkin.
"Hm, kurang ajar!" rutuk hati Dewi
Rukmini setelah menyadari kalau sejak
tadi ada seseorang yang mengintipnya.
Mata Dewi Rukmini memandang tajam, lalu
tanpa banyak bicara tangannya segera
mengibas ka arah dinding rumah di mana
orang itu berada.
"Rasakan ini! Heaaa...!"
Wuut!
Terdengar desiran angin tajam
menyertai puluhan jarum kecil yang
menerobos dinding. Lelaki hidung belang
itu tak mampu lagi mengelak dari ancaman
senjata rahasia yang dilepaskan Dewi
Rukmini.
Jlep! Jlep! Jlep...!
"Akh...!"
Jeritan lelaki naas tadi tidak
hanya mengejutkan Citra Yuda yang saat
itu sedang menunggu istrinya di luar
kamar, tetapi juga mengejutkan beberapa
pengintai lain yang bersembunyi di
sekeliling rumah itu.
"Hm, ada apa ini?" gumam Citra Yuda
seraya bangkit dari duduknya.
Pendekar muda dari Perguruan Golok
Sakti itu melangkah ke arah kamar di mana
istrinya tengah mengganti pakaian.
"Ada apa, Diajeng? Kudengar tadi
ada jeritan di luar?" tanya Citra Yuda
setelah sampai di ambang pintu kamar.
"Mereka telah datang, Kakang,"
sahut Dewi Rukmini dengan wajah geram.
"Maksudmu...?"
"Antek-antek pengkhianat, Segoro
Wedi," desis Dewi Rukmini penuh kebencian
terhadap orang yang disebutnya.
"Apa Segoro Wedi masih belum
kapok?" gumam Citra Yuda.
Setelah menghela napas pelan,
Pendekar Golok Sakti itu kembali berkata.
"Kalau tahu dia tidak akan jera
seperti sekarang ini, dulu dia tidak akan
kuampuni!"
Kedua suami istri itu terdiam,
saling pandang dengan dengusan napas yang
memburu. Terlebih Dewi Rukmini yang
merasa telah diperlakukan tak senonoh
oleh anak buah Segoro Wedi yang lancang
mengintipnya.
"Kali ini tidak akan kubiarkan
pengkhianat itu hidup!" dengus Dewi
Rukmini sengit, lalu disambarnya golok
miliknya.
Golok sakti itu sebenarnya kembar.
Yang pertama dipegang oleh suaminya,
sedangkan yang lain dipegang Dewi
Rukmini. Ilmu golok mereka telah terkenal
sejak keduanya bertualang di rimba
persilatan untuk membela kebenaran dan
keadilan. Jangankan ilmu golok yang
mereka miliki dipadukan, sedangkan untuk
menghadapi salah satunya saja orang akan
berpikir seratus kali.
Dewi Rukmini menyelipkan goloknya
di pinggang, kemudian dengan wajah penuh
kemarahan melangkah meninggalkan kamar-
nya. Hal itu membuat Citra Yuda terkejut.
Tidak diduganya sama sekali Dewi Rukmini
akan begitu berang. Mau tidak mau, Citra
Yuda ikut melangkah ke luar.
"Sabar, Diajeng.... Biar aku saja
yang menghadapi mereka. Kau selamatkan
saja anak kita. Kalau aku selamat, aku
akan menyusulmu," tutur Citra Yuda,
berusaha menenangkan istrinya. Dia tahu
watak Dewi Rukmini, terlebih terhadap
Segoro Wedi yang sangat dibencinya.
"Tidak, Kakang. Dia harus kuhajar!
Berulang kali kita coba menyadarkannya.
Berulang kali pula kita ampuni, tetapi
dia tetap saja bandel. Itu sama saja
mencari penyakit!" dengus Dewi Rukmini
sengit
Citra Yuda menghela napas pelan.
Dia sadar, kalau Segoro Wedi sangat
mencintai istrinya. Bahkan lelaki itu
tidak jera-jeranya berusaha untuk menda-
patkan Dewi Rukmini. Dulu, ketika mereka
masih sama-sama di perguruan, Segoro Wedi
malah nekat menculik Dewi Rukmini.
Beruntung seorang pendekar sakti telah
menolongnya. Lalu setelah mereka menikah,
Segoro Wedi pun tidak juga mau memahami
kedudukan Citra Yuda sebagai suami Dewi
Rukmini.
Berulang kali Segoro Wedi diberi
pelajaran oleh Citra Yuda dan istrinya,
tapi tetap saja orang itu tak mau
mengalah begitu saja. Sesungguhnya Citra
Yuda dapat saja menghabisi nyawa Segoro
Wedi saat itu. Berhubung Citra Yuda masih
menghargai Segoro Wedi sebagai adik
seperguruan, masih bisa memaafkannya.
Kini, apakah dia masih bisa memaafkan
tindakan Segoro Wedi?
Kedua suami istri yang bergelar
Sepasang Pendekar Golok Sakti itu
melangkah dengan mantap. Sorot mata
mereka tajam, memandang ke luar yang
masih gelap. Mereka memasang seluruh
indera, agar gerak sekecil apa pun dapat
ditangkap.
"Hei! Kalau kalian memang laki-
laki, keluarlah!" tantang Dewi Rukmini
yang kelihatannya sudah tidak sabar lagi
untuk secepatnya menghajar orang yang
dibenci. Matanya beredar tajam, setajam
mata elang yang memburu mangsa. Tangan
kanannya menggenggam gagang golok di
pinggang, siap mencabut golok sakti itu
untuk memenggal leher lawan.
"Segoro Wedi, keluarlah! Jangan
berlaku pengecut!" seru Citra Yuda.
Seperti juga istrinya, Citra Yuda
pun telah slap menyambut kedatangan tamu-
tamu tak diundang. Tangan kanannya ikut
meraba gagang golok. Sedangkan matanya
nyalang menyapu kegelapan malam yang
lengang.
Tengah keduanya memandang ke
sekeliling pelataran rumah, tiba-tiba
terdengar alunan harpa yang membelah
kesunyian malam. Dentingan harpa itu
mulanya terdengar lambat, tapi makin lama
bertambah keras. Bahkan suaranya kini tak
beraturan lagi, hingga yang terdengar
hanya nada melengking yang aneh dan
memekakkan telinga.
Ting, tong, ting...!
Citra Yuda dan istrinya tersentak
kaget, sehingga mata mereka membelalak
lebar. Tapi keduanya cepat sadar kalau
dentingan harpa itu bukanlah dentingan
sembarangan. Alunan harpa itu dilepaskan
dengan tenaga dalam sempurna yang
menimbulkan hentakan amat keras di
telinga.
"Akh...! Cepat tutup saluran
telinga mu, Diajeng! Ini bukan denting
harpa sembarangan. Jelas pemetiknya
menginginkan kematian kita," kata Citra
Yuda memperingatkan istrinya. Kemudian
segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk
menutup gendang telinga agar tidak pecah.
"Ohhh...," keluh Dewi Rukmini.
Telinga wanita cantik itu terasa sangat
sakit. Dewi Rukmini memang sedikit
terlambat menutup gendang telinganya.
Untung saja telinganya tidak sempat pecah
oleh lengking harpa yang memekakkan.
"Bedebah! Siapa yang memetik harpa
itu?! Kalau kalian memang laki-laki,
keluarlah!"
Tantangan Dewi Rukmini sia-sia,
karena tidak ada seorang pun yang
menyahuti. Yang terdengar tetap denting
harpa yang kian menggila hingga mampu
menggigilkan tubuh Sepasang Pendekar
Golok Sakti.
"Celaka, Diajeng! kalau kita terus
bertahan seperti ini, kita tak akan mampu
melawan. Cabut golokmu! Kita harus
menyatukannya!" perintah Citra Yuda yang
merasa sia-sia jika mereka terus menguras
tenaga untuk melawan suara harpa itu.
Sret!
Sepasang Pendekar Golok Sakti
segera mencabut senjata kembarnya.
Kemudian, keduanya segera menyatukan mata
golok dengan cara menyilangkan ke muka.
Dari penyilangan golok itu, terpancar
seberkas cahaya sangat terang berwarna
merah dan putih. Cahaya itu terus
memancar untuk memapaki suara harpa yang
datang.
Glarrr!
Tercipta ledakan menggelegar yang
memekakkan telinga ketika sinar merah dan
putih yang keluar dari golok itu bertemu
dengan suara harpa.
"Akh...!"
Kedua pendekar itu terhuyung dua
tindak ke belakang dengan mata membelalak
tegang. Mereka tidak pernah menduga kalau
'Inti Cahaya Sakti' yang keluar dari
golok di tangan mereka akan berbenturan
keras dengan suara yang keluar dari
petikan senar harpa itu.
Keduanya saling pandang, kemudian
Dewi Rukmini yang berwatak keras dengan
sangit membentak,
"Kurang ajar! Kau jangan
bersembunyi terus-menerus, Pengecut!"
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar
sebagai jawaban dari tantangan tadi.
Sepasang Pendekar Golok Sakti kembali
terkejut. Keduanya saling pandang,
kemudian mereka kembali mempersiapkan
golok sambil memandang ke arah datangnya
suara tawa itu.
Krasak!
Dari semak-semak yang ada di
sekitar rumah mereka, berkelebat beberapa
orang dengan suara tawa yang memekakkan
telinga.
Mereka berdiri kira-kira dua puluh
lima tombak di sekeliling kedua pendekar
itu. Di antaranya, terlihat seseorang
dengan sebuah harpa bertengger pada
punggungnya. Mata mereka bersinar liar,
pada Sepasang Pendekar Golok Sakti.
"Segoro Wedi...!" seru Dewi Rukmini
ketika mengetahui pembawa harpa itu.
***
Orang yang memanggul harpa tertawa.
Wajahnya yang sesungguhnya tampan, dengan
tajam memandang Sepasang Pendekar Golok
Sakti yang juga kakak-kakak seperguruan-
nya. Kemudian, pandangannya diarahkan
pada Dewi Rukmini yang semakin sengit
melihat tatap mata nakal itu, sehingga
napasnya turun-naik. Matanya melotot
penuh kebencian.
"Segoro Wedi, masih belum jerakah
kau?!" tanya Dewi Rukmini dengan bentakan
marah.
Ucapan itu tidak menjadikan Segoro
Wedi takut. Malah, lelaki berpakaian
serba merah itu tergelak-gelak hingga
matanya berlinang air mata.
"Ah, mana mungkin aku jera sebelum
mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti?!"
Usai berkata demikian, Segoro Wedi
memandang taman-temannya sambil tergelak-
gelak. Sehingga teman-temannya turut
tertawa.
"Kau benar-benar keras kepala,
Wedi! Sudah kukatakan, bahwa kitab itu
tidak ada pada kami! Lagi pula, jangan
bermimpi untuk mendapatkan kitab itu!"
bentak Dewi Rukmini gusar. Kemarahannya
sudah tidak dapat lagi dibendung.
Dibentak begitu rupa oleh Dewi
Rukmini yang selama ini sangat diidam-
idamkan untuk menjadi pendampingnya,
tidak membuat Segoro Wedi marah. Malah
lelaki itu tertawa keras kembali,
menjadikan gerombolannya turut tertawa.
"Semakin kau galak, hatiku semakin
bertambah penasaran, Dewi. Percuma aku
datang dan menunggu kesempatan seperti
ini kalau tidak mendapatkan kitab itu
beserta dirimu," ucap Segoro Wedi sambil
tetap tertawa mengejek.
Hal itu tentu saja membuat muka
Dewi Rukmini merah. Begitu juga dengan
Citra Yuda yang merasa harga dirinya
diinjak-injak. Betapa ia dianggap sampah
yang tidak berarti sama sekali di mata
bekas adik seperguruannya itu.
"Tutup mulutmu, Segoro Wedi!"
bentak Citra Yuda yang nampaknya sudah
hilang kesabaran.
"Sudah kukatakan bahwa kitab yang
kau maksud tak ada pada kami, namun kau
tetap tak percaya! Kau rupanya mencari
gara-gara!"
Tapi Segoro Wedi benar-benar tak
mau peduli dengan dengusan dan bentakan
Sepasang Pendekar Golok Sakti yang dulu
adalah kakak seperguruannya.
"He he he.... Sudah lama dendamku
menumpuk terhadapmu, Citra Yuda! Kau
memang lebih beruntung dariku! Karena
kepandaianmu bicara, dan sikap yang sok
alim, membuat semua ilmu yang seharusnya
untukku, berpindah ke tanganmu! Guru
selalu pilih kasih! Apalagi sejak kau
berhasil merayu wanita ini!" ujar Segoro
Wedi dengan suara yang ditekan sambil
menunjuk ke arah Dewi Rukmini. "Aku makin
dicampakkan olehmu. Kau memang lelaki
yang pintar merayu! Dan sekarang, aku
ingin membalas sakit hatiku!".
"Kau memang lelaki tak tahu
diuntung, Segoro Wedi! Semestinya ayahku
tak mengampunimu! Kau orang yang tak
beriman!" bentak Dewi Rukmini dengan
geram.
"Wajahmu makin menarik kalau sedang
marah, Dewi. Ha ha ha...."
"Kurang ajar!" bentak Dewi Rukmini
makin geram.
Segoro Wedi segera mengerling pada
lima orang rekannya, sebagai isyarat
kepada mereka untuk bersiap-siap.
"Baiklah, kalau memang itu yang kau
inginkan. Tapi harus kau ingat, sebelum
kau mati, kau akan merasakan kenikmatan
bagaimana bergelut denganku!" ujar Segoro
Wedi dengan suara bergetar.
Mendengar ucapan Segoro Wedi,
kelima kawannya terbahak-bahak. Seperti-
nya ucapan Segoro Wedi tadi lucu.
Sepasang Pendekar Golok Sakti menggere-
takkan gigi mereka karena menahan amarah.
Mata mereka memandangi satu persatu
gerombolan Segoro Wedi.
Berdiri paling kiri, seorang lelaki
bermuka bengis agak kepucat-pucatan
dengan cambang bauk menutupi mukanya.
Orang ini memegang sebilah pedang, yang
membuatnya mendapat julukan Pedang
Akhirat
Di sampingnya, berdiri sepasang
lelaki kurus yang berwajah panjang. Di
tangan mereka tergenggam rantai baja yang
di ujungnya terdapat bulatan sebesar buah
kelapa dengan duri-duri tajam. Keduanya
terkenal dengan julukan Sepasang Hantu
dari Kelangit
Di sampingnya lagi, tepatnya di
samping kanan Segoro Wedi, seorang lelaki
berbadan tegap yang menggambarkan
kekokohan dengan wajah tidak kalah seram
seperti hantu. Dia bertelanjang dada
dengan perut agak buncit. Alis dan
kumisnya tebal. Di tangan orang itu
tergenggam sebatang tongkat berukuran
kira-kira dua depa. Orang ini dikenal
sebagai Raja Setan Muka Ular. Di samping
mukanya yang panjang seperti muka ular,
kelakuannya pun tidak kalah bengis dengan
setan.
Dan satu lagi, seorang lelaki muda
berbaju rompi warna biru dengan kumis
tipis menghias di atas bibirnya. Di
tangannya tergenggam senjata kapak,
hingga dia lebih terkenal dengan sebutan
si Kapak Iblis.
"Diam!" bentak Citra Yuda dengan
suaranya yang menggelegar karena disertai
tenaga dalam.
Keenam lelaki di hadapannya
seketika menghentikan tawa mereka. Mata
keenam lelaki itu melotot buas, memandang
ke arah Citra Yuda.
"Selama ini, aku tidak pernah
berurusan dengan kalian berlima. Tapi
rupanya kalian ingin berurusan denganku.
Baik, aku sebagai pewaris 'Ilmu Golok
Sakti' tidak akan membiarkan kehormatanku
diinjak."
"Bagus!" ejek si Kapak Iblis.
Dilihat dari pandangan matanya, pemuda
beraliran sesat ini sangat merendahkan
lawan yang ada di hadapannya. Kemudian
tanpa dapat dicegah, tubuhnya melesat
disertai bentakan menggelegar.
"Jangan banyak bacot! Hadapilah
sepasang kapak iblisku. Hiaaa...!"
Si Kapak Iblis dengan cepat
membabatkan kapaknya ke arah Citra Yuda
yang masih berdiri di samping istrinya.
Pemuda ini nampaknya sangat bernafsu
sekali untuk segera menjatuhkan Citra
Yuda yang selama ini diagung-agungkan di
dunia persilatan. Karena itu, gerakan
ilmu silat si Kapak Iblis nampak membabi
buta, menyerang tanpa perhitungan yang
matang.
Citra Yuda yang tidak mau memandang
enteng lawannya dengan cepat mendorong
tubuh istrinya ke samping. Sedangkan dia
sendiri dengan cepat berkelit ke kiri
sambil menarik kaki kanannya untuk
mendekati lawan. Lalu dengan gerakan
cepat, kaki kanannya menendang ke arah
kemaluan lawan.
"Seranganmu terlalu mentah, Kawan.
Terimalah ini.... Heaaat!"
Si Kapak Iblis terbelalak kaget
melihat serangan cepat yang dilancarkan
oleh Citra Yuda. Untuk mundur, jelas ia
malu. Maka dengan nekat kembali kapak di
tangannya dibabatkan ke bawah, di mana
kaki Citra Yuda meluncur. Namun, ternyata
serangan kaki Citra Yuda hanya pancingan
belaka. Terbukti pendekar itu segera
menarik kakinya dengan cepat, lalu
melontarkan pukulan dengan tangan kirinya
ke arah dada lawan.
"Celaka...!" pekik si Kapak Iblis.
Kembali si Kapak Iblis merasa kaget
dengan serangan cepat itu. Serangan lawan
berusaha dielakkan dengan menggeser kaki
ke samping. Tapi....
Desss!
"Uhk...!"
DUA
Sebuah pukulan mendarat telak di
pundak sebelah kanan si Kapak Iblis.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi pundaknya yang terasa
sakit.
Citra Yuda kembali berdiri dengan
tenang. Hanya matanya yang menyorot tajam
menyapu wajah-wajah keenam lawannya yang
berdiri dengan mata membelalak
menyaksikan Kapak Iblis dapat dengan
mudah dipecundangi oleh Citra Yuda.
Tiba-tiba....
"Serang dia! Biar aku menyerang
Dewi Rukmini!" perintah Segoro Wedi pada
kelima rekannya yang segera melesat
menyerang Citra Yuda. Dia sendiri segera
meloncat untuk menghadapi Dewi Rukmini.
"Jangan sampai keduanya menyatukan
golok mereka!" serunya lagi.
"Kubunuh kau, Segoro Wedi...!"
bentak Dewi Rukmini sengit.
Kemudian tanpa banyak berkata lagi,
Dewi Rukmini segera menyerang dengan
tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu
gencar, membuat golok di tangannya bagai
menghilang. Ke mana pun Segoro Wedi
menghindar, golok di tangan Dewi Rukmini
mengejarnya. Keadaan itu membuat Segoro
Wedi agak kerepotan juga.
"Hebat..! Rupanya ilmu golokmu
semakin lama semakin bertambah maju,
Dewi...," puji Segoro Wedi sambil tertawa
terkekeh, membuat perempuan itu semakin
bertambah panas. Karena ia tahu kalau
ucapan Segoro Wedi hanyalah sebuah ejekan
kepadanya.
"Jangan banyak bacot! Terima
seranganku ini...!" Dewi Rukmini semakin
mempercepat serangannya. Golok di tangan
kanannya berkelebat cepat, menimbulkan
sinar putih keperakan yang bergulung
cepat mengejar Segoro Wedi.
Menghadapi serangan gencar dari
Dewi Rukmini, Segoro Wedi yang tidak
memakai senjata mau tak mau harus
mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk
berkelit ke sana kemari.
Sebuah sodokan gagang golok Dewi
Rukmini yang merangsek ke arah dada
Segoro Wedi dengan cepat, disusul oleh
tendangan kaki kanan ke arah lambung
lawan. Sungguh perpaduan gerak yang luar
biasa dan berbahaya. Kalau saja Segoro
Wedi lengah, mungkin nyawanya akan segera
terbang!
Kembali Segoro Wedi berkelit ke
samping, kemudian tangannya bergerak
mengebut ke arah kaki lawan yang hendak
menendang ke lambungnya. Gerakannya tak
kalah cepat, sehingga menjadikan lawan
agak kaget menghadapinya. Dewi Rukmini
tidak menyangka kalau serangan balasan
lawan begitu cepat dan tidak terduga. Dia
berusaha menarik kembali kakinya,
sedangkan tangannya yang menyodok dengan
gagang golok, kini diputar dengan cepat,
sehingga mata goloklah yang menyerang ke
arah Segoro Wedi.
"Uts! Hebat..!" puji Segoro Wedi
dengan senyum sinis menyaksikan bagaimana
lawan menggerakkan goloknya begitu rupa.
Sehingga kalau dia lengah, mata golok
yang tajam akan membelah tubuhnya menjadi
dua. Tubuhnya ditarik ke belakang dua
tindak, kemudian tangannya bergerak cepat
ke arah buah dada lawan.
Gerakan tangan Segoro Wedi yang
kurang ajar itu membuat mata Dewi Rukmini
membelalak kaget. Segera tangan kanannya
diputar untuk membabatkan golok pada
tangan kiri Segoro Wedi yang hendak
menjamah buah dadanya. Tapi, rupanya
serangan yang dilancarkan Segoro Wedi
hanyalah pancingan belaka. Terbukti
ketika golok lawan menyerang, dengan
cepat tangannya ditarik ke belakang. Lalu
dengan tangan kanannya, Segoro Wedi
menghantam tangan Dewi Rukmini yang
menggenggam golok.
Takkk!
"Akh...!" Dewi Rukmini mengaduh.
Pergelangan tangan kanannya terasa sakit
akibat berbenturan dengan tangan Segoro
Wedi. Tubuh wanita itu melompat ke
belakang, sedangkan goloknya terjatuh ke
tanah.
Segoro Wedi terbahak-bahak menyak-
sikan bagaimana Dewi Rukmini kelihatan
tegang setelah golok di tangannya jatuh.
Kakinya melangkah perlahan ke arah Dewi
Rukmini yang makin ketakutan. Dia tahu,
tentunya Segoro Wedi akan berbuat kurang
ajar kepadanya. Kekurangajaran itu sudah
berulang kali dilakukan Segoro Wedi, tapi
semua dapat digagalkan oleh Citra Yuda.
Tapi kini Segoro Wedi tidak seorang
diri, melainkan dengan kelima rekannya
yang tengah mengeroyok Citra Yuda. Mana
mungkin Citra Yuda dapat menolongnya? Dia
sendiri tengah sibuk menghadapi keroyokan
teman-teman Segoro Wedi dan belum tentu
menang. Tak ada lagi yang bisa menolong
Dewi Rukmini dari rasa takut terhadap
tindakan yang bakal dilakukan Segoro Wedi
terhadapnya.
"Kini tidak ada lagi yang bisa
menolongmu, Dewi. Kau harus mau melayani
ku sekarang juga...," kata Segoro Wedi
sambil terkekeh senang. Sudah terbayang
dalam benaknya, bagaimana mulus dan
indahnya tubuh wanita yang tengah
ketakutan di hadapannya. Tubuh dan
kecantikan wanita itulah yang senantiasa
menggoda, hingga ia selalu berharap dapat
memilikinya.
"Tidak! Jangan kau kira akan dapat
menikmati tubuhku, Segoro Wedi! Kalaupun
bisa, aku sudah menjadi mayat sebelum hal
itu dapat kau lakukan," ancam Dewi
Rukmini seraya melangkah mundur berusaha
meninggalkan Segoro Wedi. Ia hendak masuk
ke dalam rumah untuk mencari senjata yang
dapat dijadikan pelindung dirinya.
"Hm, mungkinkah itu?" sinis suara
Segoro Wedi. "Tak akan kubiarkan kau
melakukannya sebelum kudapatkan tubuhmu."
Segoro Wedi tertawa keras. Lalu
kakinya kembali melangkah perlahan,
menghampiri Dewi Rukmini yang bertambah
takut dan tegang. Mata wanita itu
menyorot tajam penuh kebencian ke arah
Segoro Wedi yang cengengesan dengan
sesekali menjulurkan tangan untuk meraih
tangan Dewi Rukmini.
"Jangan macam-macam, Segoro Wedi!
Aku adalah istri Citra Yuda, kakak
seperguruanmu!" sentak Dewi Rukmini
berusaha menyadarkan Segoro Wedi dari
keinginan kotor yang membeludak.
Mata lelaki itu merah dibakar api
nafsu yang membara. Sekian tahun niat
nista itu dipendamnya. Kini api nafsu itu
berkobar kembali, setelah dia merasa
yakin akan kemampuannya mendapatkan tubuh
Dewi Rukmini.
"Aku tidak macam-macam, Dewi! Kalau
saja kalian mau menyerahkan kitab itu dan
sekaligus dirimu..."
"Tak tahu malu! Orang macam kau tak
pantas memiliki kitab itu! Lagi pula,
kitab itu tidak ada pada kami!" bentak
Dewi Rukmini, sebelum ucapan Segoro Wedi
selesai.
Segoro Wedi menyeringai di bentak
begitu rupa. Matanya yang merah terbakar,
masih memandang tajam pada Dewi Rukmini.
Napasnya mendengus-dengus, bagai diburu
oleh nafsu dan dendam mendalam.
"He he he.... Kalian memang pintar!
Sebenarnya kitab dan kau adalah milikku,"
tutur Segoro Wedi seenaknya.
"Cihhh! Tak tahu malu...!" bentak
Dewi Rukmini "Bicaramu makin menjijikkan,
Segoro Wedi. Kau kira aku perempuan apa?"
Keduanya terus melangkah masuk ke
dalam rumah, hingga mereka berdua saja
yang ada di dalamnya. Justru itu yang
diharapkan Segoro Wedi. Dengan begitu,
apa pun yang akan dilakukannya terhadap
Dewi Rukmini, tidak akan ada yang
mengganggu.
Melihat keadaan yang makin tidak
menguntungkan, Dewi Rukmini segera
mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap
untuk melawan Segoro Wedi yang sudah
kerasukan setan.
Dewi Rukmini secepat kilat
menyerang Segoro Wedi dengan pukulan
jarak jauh secara beruntun. Kemudian,
disusul dengan lompatan ke arah Segoro
Wedi, lalu menendang dada laki-laki itu.
Desss!
Segoro Wedi terhuyung lima depa ke
belakang. Matanya terbelalak gusar pada
Dewi Rukmini. Sejenak laki-laki itu
merasakan sakit pada dadanya. Tapi, cepat
dapat disembuhkannya. Lagi-lagi bibirnya
tersenyum mengejek.
"He he he.... Ternyata ilmumu masih
seperti dulu! Kau perlu tahu, Dewi.
Segoro Wedi yang sekarang bukan Segoro
Wedi yang dulu!"
Selesai berkata begitu, dengan
sekali lompat Segoro Wedi sudah berada di
depan Dewi Rukmini.
Melihat hal itu, Dewi Rukmini
segera mundur dengan kuda-kuda. Kemudian,
secepat kilat diserangnya Segoro Wedi.
Terjadilah perkelahian yang cukup seru.
Keduanya saling serang dengan menge-
luarkan jurus-jurus andalan. Terkadang
keduanya melenting ke udara disertai
beradunya tangan dan pukulan.
Nampak sekali Segoro Wedi lebih
unggul dibanding Dewi Rukmini, sampai
akhirnya Segoro Wedi sempat memasukkan
pukulan ke dada Dewi Rukmini.
"Akh!" pekik Dewi Rukmini. Tubuhnya
terhuyung beberapa tombak ke belakang
sambil memegangi dadanya.
Segoro Wedi menyeringai. Ia tak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Maka dengan
gerakan cepat dia melompat memeluk tubuh
Dewi Rukmini.
"Hup...!"
"Auh, tidak...!" Dewi Rukmini
kembali memekik seraya menghindari
sergapan Segoro Wedi. Kaki kanannya
memang mampu digeser agak melebar, tapi
tetap saja tangan Segoro Wedi dapat
menjambret pakaiannya.
Breeet!
Pakaian yang dikenakan Dewi Rukmini
robek di dadanya, sehingga bagian dadanya
tampak jelas terlihat. Hal itu membuat
Segoro Wedi menelan ludahnya berulang
kali. Sedangkan Dewi Rukmini berusaha
menutupinya dengan kedua tangan.
Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan mata masih memandang
tegang ke arah Segoro Wedi yang kian
kerasukan setan. Tubuhnya kembali mener-
kam Dewi Rukmini. Dan tanpa dapat
dihindari lagi, tubuh Dewi Rukmini
disergap dengan buas oleh Segoro Wedi.
"Lepaskan! Lepaskan aku, Pengecut!"
jerit Dewi Rukmini sambil terus berontak
untuk dapat melepaskan dekapan kokoh
tangan Segoro Wedi yang kian beringas dan
terus menciumi wajahnya.
Kegaduhan itu rupanya membangunkan
seorang bocah berusia sekitar sepuluh
tahun yang tengah tidur di kamarnya.
Bocah kecil itu melangkah keluar untuk
melihat apa yang sebenarnya terjadi di
rumahnya. Betapa terkejutnya bocah itu
ketika menyaksikan ibunya dalam dekapan
seorang lelaki berpakaian serba merah
dengan harpa di punggungnya.
***
Darah bocah yang bernama Sena
Manggala itu mendidih menyaksikan ibunya
meronta-ronta dalam pelukan lelaki asing
yang hendak memperkosanya. Naluri untuk
menolong ibunya muncul seketika. Dengan
memekik laksana seekor anak kucing, bocah
itu menerkam ke arah Segoro Wedi.
Sementara, Segoro Wedi yang tengah
asyik menggumuli Dewi Rukmini tidak
menyadari serangan itu. Tubuh Sena
melompat ke atas tubuh Segoro Wedi,
kemudian menggigit tengkuknya dengan
geram.
"Auh! Kurang ajar...! Bocah setan!
Kubunuh kau...!"
Sambil berkata begitu, tangan kanan
Segoro Wedi memukul tubuh bocah itu. Tak
ayal lagi, mulut mungil itu langsung
menjerit setelah terkena pukulan.
Kemudian tubuhnya terpelanting deras
hingga membentur bilik rumahnya yang
langsung jebol.
Begitu kuat pukulan Segoro Wedi,
sampai-sampai tubuh Sena terus berguling
guling ke luar, dan baru berhenti ketika
membentur sebongkah batu yang cukup
besar.
"Uhhh...!" keluh Sena ketika
tubuhnya terasa sakit akibat pukulan
Segoro Wedi. Meski kepalanya terasa agak
pening, dia terus berusaha bangkit.
Bayangan ibunya dalam dekapan lelaki itu
membuat semangatnya tak padam. Dengan
agak tertatih-tatih, bocah kecil itu
berusaha bangun. Tapi baru saja tubuhnya
hendak bangkit, tiba-tiba telinganya
mendengar kegaduhan di depan rumahnya.
"Heh! Sepertinya ada orang
bertarung. Kedengarannya seseorang sedang
dikeroyok...."
Naluri Sena kemudian membimbingnya
untuk melihat apa yang sebenarnya tengah
terjadi di halaman depan rumahnya.
Betapa terkejutnya bocah kecil itu
setelah menyaksikan apa yang tengah
terjadi. Ayahnya tengah dikeroyok oleh
lima orang bersenjata lengkap di tangan
masing-masing.
Sena kebingungan menyaksikan
pertarungan itu. Tetapi kembali nalurinya
memerintahkan agar dia membantu sang Ayah
yang dikeroyok lima orang jahat itu.
Tanpa pikir panjang, bocah kecil itu
segera melompat menyerang salah satu
pengeroyok, lalu dengan geram digigitnya
tangan orang itu kuat-kuat.
"Auh...! Bocah kurang ajar! Kubunuh
kau...!" maki Raja Setan Muka Ular geram
sambil memegangi tangannya yang tergigit
oleh bocah itu. Matanya memandang bengis
penuh kemarahan pada bocah kecil yang
tadi menggigitnya.
Melihat anaknya ada di dalam kancah
pertarungan, seluruh otot Citra Yuda
semakin tegang. Dia sendiri kini dalam
keadaan terjepit, apalagi harus
melindungi anaknya? Celaka. Kalau sampai
terjadi apa-apa pada Sena, aku belum
tentu bisa menyelamatkannya. Sedangkan
aku sendiri kini dalam keroyokan, keluh
Citra Yuda dalam hati.
"Sena! Cepat tinggalkan tempat
ini!" seru Citra Yuda sambil menangkis
serangan yang dilancarkan keempat
lawannya.
"Tapi, Ayah.... Ibu harus di
tolong," sahut Sena hendak lari ke dalam
rumah ketika telinganya mendengar jeritan
sang Ibu yang berusaha melepaskan diri
dari kebuasan Segoro Wedi.
"Sena, Jangan nekat! Selamatkan
dirimu, cepat..!" seru Citra Yuda semakin
panik. Dia takut kalau-kalau anaknya akan
mendapat celaka jika tidak segera pergi
dari tempat itu. Dia sadar, tentunya
Segoro Wedi dan kelima rekannya tidak
akan membiarkan anaknya hidup.
Sementara, Sena tampak masih
kebingungan. Jeritan ibunya seakan
mengharap agar dia menolong. Sementara
ayahnya terus menyuruhnya segera pergi
meninggalkan tempat itu. Saat bocah kecil
itu kebingungan, tiba-tiba terdengar
seruan sang Ayah.
"Sena, awas...!"
Bocah kecil itu tersentak kaget
ketika melihat Raja Setan Muka Ular
menendang ke arahnya. Sena berusaha
mengelakkan tendangan itu. tapi
terlambat. Tendangan yang dilancarkan
oleh Raja Setan Muka Ular sangat cepat,
sehingga dia tidak mampu mengelak. Tanpa
ampun lagi, tubuh bocah kecil itu harus
menerimanya.
Bugk!
"Akh...!" Sena menjerit bersamaan
tubuhnya yang melayang bagai kayu kering
terkena tendangan Raja Setan Muka Ular.
Tubuh kecil itu berguling-guling, lalu
berhenti saat membentur pohon.
Daya tahan tubuh bocah kecil itu
sungguh luar biasa. Kalau orang lain,
tentu tulangnya akan langsung patah
terkena tendangan Raja Setan Muka Ular.
Tapi Sena tidak! Dia hanya merasakan
sekujur tubuhnya panas bagai terpanggang.
Bocah itu mengeluh lirih. Kemudian
dengan tertatih-tatih tubuh kecilnya
berusaha bangkit. Badannya terasa sangat
sakit. Dia kembali teringat akan ibunya
yang tengah dalam dekapan seorang lelaki
dengan sebuah harpa di punggungnya.
Tentunya lelaki itu hendak memperkosa
wanita yang amat yang dicintai dalam
hidupnya. Untuk itu dia harus menolong.
Namun, dia juga teringat ayahnya yang
menyuruh agar segera pergi meninggalkan
tempat itu.
"Ayah, Ibu.... Semoga kalian
selamat. Oh, aku tak ada gunanya sama
sekali. Aku tak mampu menolong kalian,"
keluh Sena seraya melangkah meninggalkan
tempat itu. Dia kini menuruti apa yang
dikatakan oleh ayahnya. Dia memang harus
menyelamatkan diri. Mereka bukan
tandingannya. Ayah dan ibunya yang
pendekar saja tak mampu berbuat apa-apa,
apa-lagi dia yang cuma anak kecil dan
tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat
Dengan merasakan sakit serta panas
di tubuhnya akibat tendangan Raja Setan
Muka Ular, kaki bocah kecil itu terus
melangkah semakin jauh dari tempat di
mana ayah dan ibunya tengah menghadapi
orang-orang jahat
Kaki kecil itu terus melangkah,
menyelusuri jalanan gelap dan lengang.
Mungkin karena badannya sakit akibat
tendangan Raja Setan Muka Ular, membuat
tubuh bocah itu gontai. Kepalanya terasa
berat. Bumi yang dipijaknya seperti
berputar, hingga bocah kecil itu tak
mampu lagi mempertahankan diri untuk
tetap tegak. Dia tidak sadar, saat
kakinya telah berada di bibir lereng
sebuah gunung.
"Akh...!"
Sena kembali mengeluh saat tubuhnya
terpelanting, lalu bergulingan ke bawah.
Tubuhnya terus meluncur turun tanpa dapat
tertahan. Kesadarannya menjadi samar-
samar, hingga dia pasrah menerima apa pun
yang terjadi. Tubuhnya dibiarkan
berguling ke bawah lereng, di mana sebuah
gua berada.
Tubuh kecil itu terus berguling,
semakin lama semakin bertambah dekat pada
mulut gua yang seakan siap menerima
tubuhnya yang kecil. Benar juga! Tubuh
Sena akhirnya masuk ke dalam gua.
Anehnya, setelah tubuh Sena masuk,
tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak.
Sebuah batu besar bergerak menutup pintu
gua. Mulut gua itu tiba-tiba menghilang,
berganti dengan dinding batu cadas yang
kokoh. Tak akan ada orang yang tahu kalau
di balik batu cadas yang kokoh itu
terdapat sebuah gua yang dinamakan Gua
Setan.
"Ukh...," Sena kembali mengeluh
lirih.
Semuanya terlihat gelap gulita.
Matanya berusaha mengetahui di mana dia
sekarang berada, tapi kepalanya masih
terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur
tubuhnya, hingga bocah kecil itu kembali
terkulai pingsan.
TIGA
Pertarungan Citra Yuda melawan
kelima begundal Segoro Wedi masih
berlangsung seru. Dilihat dari perkem-
bangannya, jelas menunjukkan Citra Yuda
semakin terdesak hebat oleh kelima
lawannya yang semakin bernafsu untuk
secepatnya menjatuhkan lawan mereka.
Meski begitu, Citra Yuda tidak mau
mengalah begitu saja. Selama hayat masih
dikandung badan, ia akan tetap melawan
sampai titik darah penghabisan. Itulah
jiwa ksatria sejati.
Golok Sakti di tangan Citra Yuda
bergerak cepat, memapak serangan lawan
yang datang silih berganti. Sesekali
tangannya menyodokkan golok ke arah lawan
yang menyerang, tapi lawannya yang lain
telah mendahului dari belakang. Mau tak
mau Citra Yuda mengurung serangannya.
Sambil membalikkan tubuh, ditangkisnya
serangan lawan.
"Heaaa...!"
Senjata rantai berujung bola
berduri di tangan Sepasang Hantu dari
Kelangit mendesing di alas kepalanya.
Cepat-cepat Citra Yuda merundukkan tubuh
ke bawah untuk menghindar dari sabetan
ganas salah satu rantai. Kemudian dengan
cepat pula goloknya ditebaskan ke arah
rantai yang lain.
Rantai milik Kelangit Sepuh dapat
dielakkan, sedangkan milik Kelangit Anom
berbentur dengan golok di tangannya,
menimbulkan suara keras yang memekakkan
telinga.
Trang!
Ki Kelangit Anom terkejut, tangan-
nya langsung terasa bergetar akibat
benturan tadi. Tidak disangkanya kalau
ilmu tenaga dalam lawan berada dua
tingkat di atasnya. Kalau saja dia hanya
seorang diri, sudah barang tentu dengan
cepat dapat dipecundangi lawan. Diam-
diam, Kelangit Anom merasa kagum terhadap
lawannya.
Kemudian, tubuh Citra Yuda diserbu
serangan lain dari samping. Serangan itu
dilancarkan oleh Pedang Akhirat dan Kapak
Iblis yang tidak kalah cepat dan ganas
dibanding dengan serangan dua lawan
sebelumnya. Bahkan, senjata mereka yang
berbentuk pedang dan kapak nampaknya jauh
lebih berbahaya. Gerakan senjata mereka
sangat cepat, menimbulkan suara laksana
dengung ribuan tawon.
Kedua orang itu menggebrak dengan
tebasan sepasang senjata mereka ke arah
lambung dan pinggang lawan. Hal itu
menjadikan Citra Yuda harus bergerak
lebih cepat untuk mengelitkan serangan
mereka. Lalu dengan tak kalah cepatnya,
goloknya dibabatkan ke arah salah seorang
lawan setelah mengelakkan serangan yang
lain.
Trang!
Benturan golok di tangan Citra Yuda
dengan senjata di tangan Pedang Akhirat
terjadi, menimbulkan percikan api
sekaligus keluhan dari mulut Pedang
Akhirat. Tangannya yang memegang pedang
terasa nyeri, bahkan pedangnya sampai
bergetar hebat
"Hebat! Kau benar-benar hebat,
Citra Yuda. Tapi kami berlima tidak akan
kalah olehmu," dengus Pedang Akhirat
sambil menyeringai akibat benturan itu.
Kemudian dengan menggerakkan tangan ke
atas, Pedang Akhirat kembali menyerang
dibantu oleh keempat rekannya.
"Heaaa...!"
Senjata di tangan mereka bergerak
cepat, berusaha mengurung tubuh Citra
Yuda. Namun begitu, Citra Yuda nampaknya
tidak gentar sedikit pun menghadapi
kurungan kelima lawannya. Matanya tajam
menatap setiap gerakan kelima orang
lawannya yang terus mengurung sambil
memutar senjata masing-masing.
Citra Yuda cepat bergerak memutar,
menyapu kepungan lawan sambil menebaskan
golok di tangannya sedemikian rupa,
sehingga menciptakan sebuah benteng yang
akan melindungi tubuhnya dari setiap
serangan lawan. Golok sakti di tangannya
pun bagai menghilang, berubah menjadi
cahaya putih keperakan yang menutupi
tubuhnya.
"Serang...!"
Kembali terdengar seruan Pedang
Akhirat memerintahkan kepada keempat
rekannya yang langsung menyerang
berbareng ke arah Citra Yuda. Serangan
mereka sangat cepat diperkuat pula oleh
tenaga dalam yang mereka kerahkan.
"Heaaa...!"
Tongkat di tangan Raja Setan Muka
Ular bergerak memukul ke arah kepala
lawannya, hingga menimbulkan suara
menderu keras.
"Pecah batok kepalamu....'"
Citra Yuda tersentak, segera
kakinya melompat ke belakang sambil
membabatkan goloknya ke arah ayunan
tongkat lawan, sedangkan tangan kakinya
bergerak menghempaskan pukulan untuk
menangkis serangan pedang.
Trak!
"Hah...?!"
Mata Raja Setan Muka Ular melotot
tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Tongkat di tangannya yang terbuat dari
kayu langka itu ternyata bisa dibabat
putus oleh golok Citra Yuda. Raja Setan
Muka Ular melompat mundur, lalu sesaat
tertegun menyaksikan kejadian yang baru
dialaminya. Celaka! Kalau dibiarkan
terus-menerus, bisa-bisa kami tak mampu
menghadapinya, keluh Raja Setan Muka Ular
dalam hati.
Ternyata bukan hanya Raja Setan
Muka Ular saja yang kaget, Pedang Akhirat
pun melompat dua tindak ke belakang. Dia
tidak menduga kalau serangan pedangnya
dapat dipatahkan oleh Citra Yuda dengan
pukulan. Malah kembali tangannya terasa
linu akibat benturan pukulan lawan dengan
pedangnya.
Sementara itu, Segoro Wedi berusaha
melampiaskan nafsunya pada Dewi Rukmini
yang tetap berontak untuk melepaskan
diri. Namun berontakan Dewi Rukmini
justru membuat Segoro Wedi bertambah
nafsu.
"Lepaskan!" jerit Dewi Rukmini
dengan nada suara bergetar. Pakaian telah
sebagian lepas dari tubuhnya, sehingga
tubuh bagian atas benar-benar terbuka.
"Semakin kau berontak, semakin
membuat gairahku kian menggebu, Manis..,"
Segoro Wedi terkekeh, kemudian tangannya
kembali bergerak merenggut pakaian yang
dikenakan oleh Dewi Rukmini.
Setelah tubuh wanita cantik itu
polos tak tertutup oleh sehelai benang
pun, dengan gerak cepat Segoro Wedi
menotok jalan darah wanita itu. Membuat
Dewi Rukmini tak mampu lagi bergerak.
Hanya suaranya yang masih terdengar
mencaci-maki.
"Pengecut! Laknat... Lepaskan
totokan mu. Tak sudi aku melayanimu,
Iblis!"
Segoro Wedi tertawa terbahak-bahak,
lalu membopong keluar tubuh Dewi Rukmini.
Kemudian diletakkannya tubuh wanita itu
di rerumputan, tak jauh dari arena
pertarungan Citra Yuda melawan para
begundal Segoro Wedi. Lalu dengan nafsu
yang memuncak, tubuh Dewi Rukmini
digelutinya.
Hal itu membuat Citra Yuda yang
sedang bertarung menghadapi kelima
lawannya seketika terpecah perhatiannya.
Kemarahannya kian menjadi, menyaksikan
bagaimana Segoro Wedi memperkosa istrinya
dengan buas.
"Bangsat! Kubunuh kau, Segoro
Wedi...!"
Dengan dada penuh amarah, Citra
Yuda membabatkan goloknya ke arah lawan-
lawannya. Kemudian tubuhnya mencelat
meninggalkan kelima lawannya memburu ke
arah Segoro Wedi yang masih menggeluti
tubuh istrinya.
"Kubunuh kau. Hiaaat..!" Citra Yuda
dengan penuh amarah menebaskan goloknya
ke arah tubuh Segoro Wedi. Namun dengan
cepat Segoro Wedi membuang tubuhnya ke
samping. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh
Dewi Rukminilah yang menjadi sasarannya.
"Kakang...! Akh...!" pekik Dewi
Rukmini ketika golok suaminya menghunjam
di lambung sebelah kiri. Darah muncrat
keluar dari luka di mana golok Citra Yuda
masih menghunjam.
"Dewi.... Oh, maafkan aku...,"
Citra Yuda segera memeluk tubuh istrinya
yang bermandi darah. Hingga dia tidak
dapat lagi memperhatikan keenam lawannya.
Dia masih terisak menangisi kejadian itu,
sehingga ketika kelima lawannya
menyerang, dia tidak dapat lagi mengelak.
Terlebih ketika Segoro Wedi menghajarnya
dengan pukulan maut 'Pasir Baja'nya yang
mengandung racun jahat
"Citra Yuda, terimalah kematianmu!
Hiaaa...!"
Deggg!
"Aaakh...!" Citra Yuda menjerit
sejadi-jadinya, ketika pukulan Segoro
Wedi menghantam tubuhnya. Matanya
mendelik, memandang ke arah Segoro Wedi
dan teman-temannya yang tergelak-gelak
"Bajingan! Pengecut...! Kubunuh
kalian...!"
Citra Yuda berusaha bangkit untuk
menyerang. Namun baru beberapa langkah,
tubuhnya telah ambruk. Dari mulutnya
melelehkan darah segar kehitaman.
Melihat suaminya mati, Dewi Rukmini
yang masih merasakan sakit, dengan cepat
mengambil golok suaminya. Lalu
dihunjamkan golok itu ke dadanya.
"Kakang...," Dewi Rukmini berusaha
menggenggam tangan suaminya. Setelah
dapat, dia pun terkulai tanpa nyawa
dengan dada tertembus golok sang Suami.
"Dewi...!" Segoro Wedi berusaha
mencegah, tapi terlambat. Semuanya telah
terjadi. Dipandanginya dua sosok mayat
bekas kakak seperguruan yang ada di
hadapannya. Dihelanya napas pelan,
kemudian dengan suara lirih Segoro Wedi
bertanya pada temannya. "Di mana anak
mereka?"
"Mungkin sudah mampus, Wedi," sahut
Raja Setan Muka Ular.
"Mati...?"
"Ya. Tadi kutendang karena
menggigit tanganku. Lihat, lukanya masih
ada," kata Raja Setan Muka Ular sembari
menunjukkan luka bekas gigitan di
tangannya.
"Syukurlah kalau begitu, jadi kita
tidak usah repot-repot mencarinya," kata
Segoro Wedi dengan helaan napas. Tapi
kemudian dia kembali bertanya. "Kau yakin
bocah itu telah mampus?"
"Ya!"
"Sekarang cari kitab itu...!"
perintahnya.
Kelima temannya segera menerobos
masuk ke rumah dan mengobrak-abrik isi
rumah itu. Namun mereka tidak menemukan
apa yang dicari.
"Tak ada," lapor Raja Setan Muka
Ular.
"Hhh...!" Segoro Wedi menghela
napas. "Bakar saja rumah ini!"
***
Pagi lamat-lamat datang, menyibak
kegelapan malam dengan sinarnya yang
terang. Kokok ayam bersahut-sahutan,
menyambut tersembulnya mentari dari kaki
langit. Burung-burung berkicau dengan
riang, bagai bernyanyi bersama sambil
bercanda. Semilir angin pagi bertiup,
perlahan mengusir kabut yang
menggelantung di pucuk-pucuk pepohonan.
Di dalam sebuah gua yang tertutup
oleh batu cadas, seorang bocah kecil
berusia sekitar sepuluh tahun tergeletak
pingsan. Bocah yang tidak lain adalah
Sena Manggala itu tidak mengetahui kalau
ayah dan ibunya telah meninggal oleh
keroyokan Segoro Wedi dan begundalnya.
"Uhhh...," keluh Sena lirih.
Perlahan-lahan matanya membuka. Ia
terkejut menyaksikan dirinya berada di
dalam sebuah ruangan yang terbuat dari
batu.
"Di manakah aku?" tanyanya sambil
terus memperhatikan sekelilingnya yang
terasa asing. Anehnya, meski ruangan itu
terbuat dari batu, ia tidak merasa
kedinginan. Justru hawa di dalam ruangan
itu hangat
Sena berusaha bangun dengan
tertatih-tatih meski tubuhnya dirasakan
masih agak linu. Benaknya masih
menggambarkan tendangan lelaki berwajah
menyeramkan yang membuat tubuhnya terasa
remuk. Lalu tubuhnya menggelinding ke
bawah lereng, dan masuk ke dalam gua ini.
Setelah mampu bangun, bocah kecil
itu mencoba menajamkan pandangannya ke
sekeliling gua. Matanya membelalak tiba-
tiba ketika melihat dinding gua di kanan
dan kirinya terdapat gambar-gambar jurus
silat yang aneh. Jurus-jurus itu mirip
dengan gerakan orang gila.
"Hai, gambar apa ini? Seperti
gambar orang gila sedang menari," gumam
bocah kecil itu sambil mendekati dinding
batu untuk mengamati gambar-gambar yang
ada di sana. Keningnya mengerut, ketika
lebih jelas lagi memperhatikan gambar-
gambar itu.
"Gambar-gambar yang aneh. Jika
hanya gerakan orang gila, mengapa mesti
ada aturannya?" gumamnya saat melihat
aturan dan cara yang tertulis, untuk
melakukan gerakan dari gambar-gambar itu.
Sena kembali tertegun. Otaknya
mencoba mencerna gambar-gambar aneh itu.
Bocah kecil itu menggaruk-garukkan
kepalanya yang tidak gatal. Pikirannya
berusaha keras menebak maksud gambar yang
ditemukannya. Lama dia memperhatikan,
hingga tanpa disadari, tubuhnya telah
meniru-niru salah satu gerakan yang ada
dalam gambar di dinding gua.
"Hei, kenapa aku meniru-niru
gerakan gambar itu?" tanya Sena tertegun-
tegun setelah menyadari kalau tubuhnya
bergerak mengikuti salah satu gambar yang
ada di dinding gua.
Bocah kecil itu terus memandangi
satu persatu gambar-gambar tersebut.
Sementara hatinya terus pula bertanya-
tanya.
Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu
yang menarik perhatian. Sebuah batu
berwarna ungu bulat menempel di satu
bagian dinding.
"Hm, batu apakah itu? Coba aku
dekati," pikir Sena seraya melangkah ke
arah batu berwarna ungu itu. Dipan-
danginya batu ungu bulat sebesar uang
perak tersebut. Kemudian dengan perasaan
ingin tahu, tangannya meraba batu itu.
Srak!
Sena tersentak kaget, ketika tiba-
tiba saja dinding gua di hadapannya yang
tadi tertutup, membuka. Mata bocah itu
membelalak lebar dan mulutnya menganga.
Belum juga hilang rasa kaget bocah
itu, dari mulut ruangan yang kini terbuka
tiba-tiba berhembus asap tebal berwarna
ungu yang bergulung-gulung menyelimuti
seluruh ruangan di mana bocah kecil itu
berada. Hal itu membuat Sena kelabakan.
Tangannya mengibas-ngibas untuk menghalau
asap ungu yang terus mengalir ke arahnya.
Ketika asap ungu itu semakin padat
mengurungnya, mau tak mau asap ungu itu
terhisap juga.
"Uhk...!" Sena terbatuk-batuk kecil
akibat asap ungu yang menerobos
tenggorokannya. Semakin lama semakin
banyak menghisapnya.
Sena tidak tahu, kalau asap ungu
itu sesungguhnya adalah racun yang belum
ada tandingannya. Racun itu sangat
dahsyat. Siapa pun yang menghisapnya,
akan lumpuh dan mati! Anehnya, bocah itu
justru tidak merasakan kelumpuhan. Hanya
kepalanya terasa sangat pening. Semakin
banyak asap ungu beracun itu dihisapnya,
semakin terasa pusing kepalanya. Tubuhnya
sendiri merasakan kehangatan yang lain,
yang perlahan-lahan berubah menjadi
sejuk.
Bocah itu terheran-heran. Otaknya
berusaha memahami apa yang terjadi.
Namun, kepalanya terasa semakin berat dan
matanya mengantuk sekali. Bumi yang
dipijaknya seakan berputar dengan cepat.
Setelah banyak menghisap asap
beracun, kepalanya terasa amat berat.
Dan, Sena melihat gambar-gambar di
dinding gua seperti bergerak-gerak.
"Hi hi hi.... Ha ha ha..... Lucu!
Lucu sekali!"
Bocah kecil itu terus tertawa-tawa,
dan tidak menyadari dirinya malah
bergerak-gerak mengikuti jurus-jurus gila
yang tertera di dinding tembok!
Sena masih berusaha bertahan.
Dicobanya untuk membuka mata selebar
mungkin. Tiba-tiba semuanya kelihatan
lucu. Gambar-gambar yang ada dinding gua
seperti bergerak-gerak, membuat Sena
tertawa nyaring menyaksikan semua itu.
Kemudian tanpa sadar tubuhnya bergerak,
mengikuti gambar-gambar yang terlihat
bergerak sendiri.
"Hi hi hi... Ha ha ha.... Lucu!
Lucu sekali!"
Sena terus tertawa-tawa dengan
tubuh bergerak lentur kian kemari. Bocah
kecil itu benar-benar tidak sadar kalau
dirinya tengah mengikuti sekaligus
mempelajari jurus-jurus gila yang tertera
di dinding tembok.
Lama Sena mengikuti gerakan-gerakan
gambar di dinding gua. Keringat bersem-
bulan dari pori-pori tubuhnya. Tapi bocah
kecil itu sendiri tak peduli, terus
diikutinya gerakan-gerakan itu. Kepalanya
yang pening tak dihiraukan. Pandangannya
yang aneh tidak juga mempengaruhinya. Dia
terus bergerak dan bergerak. Setelah
jurus-jurus yang berada di dinding di
ikuti seluruhnya, baru tubuhnya terkulai
kecapaian.
EMPAT
Entah berapa lama Sena terkulai
pingsan, tanpa tahu di mana dirinya kini.
Ketika matanya membuka, didapati dirinya
telah berada di atas sebuah batu datar
dengan lebar sekitar dua depa dan panjang
dua setengah depa. Mata bocah kecil itu
mengawasi sekelilingnya dengan pandangan
nanar.
"Di manakah aku...?" tanyanya lirih
pada diri sendiri.
Setelah pandangannya mulai jelas,
kembali didapatinya gambar-gambar pada
kanan dan kiri dinding gua. Sena yakin
kalau dirinya kini berada di tempat yang
berbeda dari sebelumnya, karena gambar
yang ditangkap matanya pun berbeda. Meski
begitu tetap terlihat bergerak lucu,
memperagakan gerakan-gerakan yang aneh
seperti jurus-jurus silat.
Mata bocah kecil itu terus
memandangi setiap gambar di dinding gua
yang terus bergerak ganjil, sehingga
membuatnya kembali tertawa nyaring. Tiba-
tiba semangatnya muncul. Entah apa
penyebabnya. Mungkin gambar di dinding
gua yang seperti bergerak memperagakan
gerakan-gerakan ilmu silat. Atau karena
pengaruh Racun Kabut Ungu?
Tubuhnya segera bangkit. Rasa letih
setelah mengikuti gerakan-gerakan di
dinding gua sebelumnya, hilang seketika.
Bocah kecil itu turun dari batu datar,
lalu dengan tertawa-tawa diikutinya
gerakan-gerakan gambar di dinding gua.
"Eh! Kenapa aku kembali mengikuti-
nya? Oh, tapi gambar-gambar itu dapat
bergerak dan lucu sekali. Hi hi hi... Ha
ha ha...! Baik, aku pun senang dengan
kalian. Aku suka sekali dengan kalian,"
kata Sena sambil terus mengikuti gerakan-
gerakan yang ada di dinding gua.
Rasa letih yang sempat datang,
begitu saja hilang melihat lucunya
gerakan-gerakan yang tergambar di dinding
gua.
"Heat..!"
Sambil tertawa, tangan dan kakinya
terus bergerak mengikuti jurus-jurus aneh
yang ada di dinding. Sesekali kepalanya
digaruk, lalu kembali tertawa-tawa
senang, seperti mendapat teman bermain.
Tanpa diketahuinya, sejak bocah itu
berada di dalam gua, seorang lelaki tua
berambut serta berjenggot panjang warna
putih, duduk di atas sebuah batu datar
berukuran satu tombak kali satu tombak
sambil memperhatikannya. Dilihat dari
sorot matanya, lelaki itu merasa kagum
pada bocah kecil yang masih mengikut
gerakan-gerakan di dinding gua sambil
tertawa-tawa. Sepertinya bocah kecil itu
tidak merasakan lelah barang sedikit pun.
"Hm, bocah ini benar-benar hebat
Racun Kabut Ungu yang selama ini tak ada
yang mampu menahan, seakan tiada artinya
sama sekali."
Orang tua itu menggelengkan
kepalanya, sambil sesekali manggut-
manggut. Diperhatikannya lekat-lekat
tubuh Sena dengan pandangan tajam.
"Kulihat tulang tubuhnya pun sangat
rapi dan kokoh.... Hyang Jagat Dewa
Batara, mungkin bocah inilah yang
dimaksud dalam mimpiku. Seorang bocah
yang memiliki daya tahan tubuh yang
sempurna. Hm, semoga apa yang kuharapkan
selama ini akan menjadi kenyataan," gumam
orang tua itu sambil terus memperhatikan
tingkah laku Sena yang tiada hentinya
mengikuti gerakan-gerakan gambar di
dinding gua sambil tertawa-tawa.
"He! Hi hi hi..! Aneh sekali
gerakan ini. Tapi aku senang. Akan
kuikuti kalian, Gambar-gambar Aneh!"
ceracau bocah kecil itu sambil
memperagakan gerakan-gerakan tangan dan
kakinya yang ringan.
Bocah kecil itu terus melakukan
gerakan-gerakan seperti tergambar di
dinding. Gerakan bagai orang gila!
Sesekali tangannya bergerak menimpuk,
lalu menepuk. Itulah jurus 'Kera Gila
Melempar Batu', sebuah jurus gila yang
dahsyat dan ampuh.
Sesaat Sena menghentikan gerakan
untuk menarik napas sambil memperhatikan
gambar-gambar berikutnya. Lalu kembali
lagi mengikuti gerakan-gerakan ilmu silat
itu dengan penuh semangat sambil terus
tertawa-tawa. Keringat makin membasahi
seluruh tubuhnya. Tapi bocah itu tetap
tak peduli.
Sementara, orang tua yang terus
memperhatikan tingkah laku Sena,
tercengang menyaksikan bagaimana bocah
kecil itu melakukan gerakan 'Kera Gila
Melempar Batu'. Begitu cepatnya si bocah
menyerap gambar di dinding, sehingga
mampu melakukan gerakan itu. Padahal
jurus yang kini tengah dilakukan olehnya
adalah salah satu jurus yang sulit untuk
dipelajari. Orang lain paling tidak harus
mempelajarinya dalam waktu tiga hari, itu
pun kalau berlatih terus menerus tanpa
istirahat.
Orang tua itu berdecak kagum tanpa
sadar. Belum pernah selama ini dilihatnya
seorang manusia mampu mempelajari jurus-
jurus gila dalam waktu yang singkat.
"Hebat! Sungguh hebat...!" pekik
orang tua itu dengan mata membelalak
menyaksikan keluarbiasaan yang terjadi di
depan matanya.
Makin tersentak hati orang tua itu
melihat bocah kecil itu menghentikan
jurus yang telah dilakukannya. Dikiranya
bocah kecil itu akan kelelahan dan
tertidur, tapi ternyata tidak. Kini bocah
kecil itu mengalihkan pandangannya ke
dinding yang lain, di mana tertera jurus-
jurus yang lebih sulit
Sesaat bocah kecil itu memakukan
pandangannya ke gambar-gambar yang dalam
penglihatannya bergerak-gerak bagai
sedang memperagakan jurus. Sekali lagi,
bocah itu tertawa-tawa senang.
"Oh, begitu...? Baik, kurasa aku
bisa. Hi hi hi..."
Kembali tubuhnya bergerak mengikuti
gerakan-gerakan gambar di dinding.
Orang tua yang memperhatikannya
dari jauh semakin melebarkan matanya
mendengar ucapan si bocah yang menganggap
gerakan-gerakan yang tengah dilakukannya
sebagai permainan yang menyenangkan.
Dengan tertawa-tawa Sena mengikuti
gerakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat', sebuah jurus yang lebih tinggi
dibanding jurus sebelumnya. Tubuh
kecilnya kini laksana menari-nari dengan
lemah gemulai. Sementara tangannya
sesekali menepuk.
Tak diingatnya lagi kegetiran hidup
yang baru ia telan dengan meninggalkan
kedua orangtuanya dalam keadaan di ujung
tanduk. Tidak ada lagi pertanyaan tentang
nasib ayah dan ibunya dalam benak Sena.
Perasaannya begitu terhibur dengan gambar
yang bergerak lucu di matanya.
"Jagat Dewa Batara, apakah mataku
tak salah lihat?" gumam orang tua itu
dengan mata memperlihatkan ketidak-
percayaan pada apa yang dilihatnya saat
itu. "Tidak! Aku tidak bermimpi. Ini
kenyataan. Bocah itu sungguh luar biasa.
Aneh! bagaimana mungkin jurus sesulit itu
bisa cepat dikuasainya?"
Dengan mata berbinar takjub, orang
tua itu menyaksikan Sena mampu melakukan
gerakan-gerakan yang amat sulit.
Jangankan orang lain, dulu dia sendiri
mempelajari jurus itu paling cepat
sehari. Tapi bocah kecil itu malah
sekejap, seperti pernah mempelajarinya
terlebih dahulu. Ingin rasanya bocah itu
dihampirinya, tapi dia tidak ingin
mengganggu luapan rasa senang si bocah.
Sementara itu, Sena terlihat
menghentikan gerakannya, setelah dirasa
jurus-jurus itu sudah dihafalnya.
Kemudian tubuhnya dibalikkan, memandang
ke arah lain. Sesaat matanya memandang
tajam ke satu deret gambar baru.
"Baik, kalau itu yang kalian
maksudkan. Aku pun merasa bisa. Hi hi
hi.... Lihat, aku akan mengikuti kalian."
Sena terkikik, lalu tangan serta
kakinya bergerak mengikuti gerakan
gambar-gambar di dinding yang menari.
Gerakan yang kini diikutinya adalah jurus
'Si Gila Membelah Awan'. Kalau saja bocah
kecil ini mempunyai tenaga dalam yang
sempurna, gua itu bisa dibuat hancur
berantakan.
"Hah...?!"
Orang tua yang masih
memperhatikannya dari kejauhan lagi-lagi
tercengang menyaksikan bocah kecil itu
melakukan gerakan 'Si Gila Membelah
Awan', sebuah jurus yang dahsyat luar
biasa bila disertai tenaga dalam.
"Benar-benar bocah aneh. Hm, tidak
sia-sia selama lima puluh tahun lebih aku
menanti," gumam orang tua itu.
Setelah melakukan jurus-jurus yang
ada di dinding gua, Sena tampak berdiri
mematung. Kepalanya terasa pening.
Setelah tertawa, bocah kecil itu kembali
terkulai jatuh. Dia tidak pingsan, tapi
tertidur kelelahan.
***
Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum-senyum, kemudian melangkah
menghampiri tubuh si bocah yang tertidur
menggeletak di tanah begitu saja.
Dipegangnya dada si bocah, denyut
jantungnya sangat beraturan, seperti
tidak merasakan lelah.
"Hebat..!" puji orang tua penghuni
Gua Setan tanpa sadar sambil menggeleng
geleng lemah. "Daya tahan tubuh bocah ini
benar-benar hebat. Mungkinkah karena
pengaruh Racun Kabut Ungu? Hm, kurasa itu
hanya sebagian saja. Mungkin ada hal lain
yang mempengaruhi ketahanan tubuhnya
hingga daya tahan tubuh bocah ini sangat
kuat."
Orang tua itu kemudian membopong
tubuh Sena ke atas batu datar tempat ia
tertidur tadi. Kembali mata tuanya
menatap tubuh bocah kecil itu penuh
perhatian, tanpa sejengkal pun terlewati.
"Hm. Bocah inilah yang ada dalam
mimpiku. Semuanya sama, tak ada
bedanya...," ucapnya perlahan namun penuh
keyakinan. Jarinya memijit beberapa
bagian tubuh Sena untuk membuka jalan
darah di tubuhnya.
"Uhhh..."
Sena menggeliat. Perlahan-lahan
matanya membuka, lalu samar-samar matanya
melihat seorang lelaki tua berjubah putih
dengan wajah dihiasi jenggot dan kumis
yang juga putih. Wajah orang tua itu
mencerminkan sikap yang ramah dan
penyabar. Bibirnya tersenyum, menyaksikan
si bocah telah terjaga.
"Kakek, siapakah engkau? Sedari
tadi aku tidak melihatmu?" tanya Sena
sambil menggerakkan tubuh untuk bangkit
"Bocah, aku adalah penghuni Gua
Setan ini. Sepantasnya aku yang bertanya
begitu padamu," ujar orang tua itu, tanpa
melepas senyumnya.
Sena terkejut mendengar penuturan
orang tua yang memberitahukan kalau
dirinya berada di dalam gua angker yang
ditakuti oleh orang-orang rimba persi-
latan. Memang, walaupun masih kecil tapi
ayah dan ibunya sering memberitahukan
hal-hal yang terjadi di dalam rimba
persilatan.
"Jadi, inikah Gua Setan?" tanya
bocah kecil itu.
"Ya," sahut orang tua penghuni Gua
Setan masih tersenyum ramah.
"Dan kau penghuni Gua Setan ini?"
"Benar," jawab orang tua itu lagi.
Setelah tahu siapa lelaki tua di
hadapannya, tanpa diperintah bocah kecil
itu langsung turun dan sujud di kaki
orang tua itu.
"Maafkan aku yang bodoh dan begitu
lancang memasuki Gua Setan ini serta
mempelajari gambar-gambar di dinding.
Sekiranya engkau menyalahkan tindakanku,
aku siap menerima hukuman."
Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum, kemudian tangannya mengangkat
pundak si bocah.
"Berdirilah. Kau tidak bersalah,
Bocah. Bahkan aku bangga menyaksikan mu
tanpa rasa lelah mempelajari jurus-jurus
ilmu silat yang ada di dinding gua ini.
Siapa namamu?" tanya orang tua itu.
"Ampunkan aku yang bodoh ini, Kek.
Namaku Sena Manggala. Kalau aku tidak
salah, bukankah engkau yang bernama Eyang
Singo Edan?" tanya Sena, memberanikan
diri. Meski ia tidak berani mengadu
pandang pada orang tua di depannya yang
saat itu tertawa.
"Benar.... Benar apa yang kau
katakan. Aku memang Singo Edan, penghuni
Gua Setan ini," jawab orang tua itu
sambil terus tertawa. "Bocah, dari mana
kau tahu kalau aku Singo Edan?"
Sena tidak langsung menjawab, malah
dia balik bertanya untuk menegaskan
kebenaran yang didengarnya.
"Jadi, benarkah kau Eyang Singo
Edan?"
"Ya, kenapa...?"
Kembali bocah itu bersujud, lalu
dengan suara penuh hormat berkata,
"Oh, sekali lagi ampuni saya yang
bodoh dan lancang ini."
Singo Edan tertawa bergelak. Sekali
lagi diangkatnya pundak si bocah hingga
berdiri. Matanya memandang lekat ke wajah
Sena sebelum kembali bertanya,
"Katakanlah, dari mana kau tahu aku
bernama Singo Edan? Dan, jangan kau
pikirkan masalah kelancanganmu, sebab aku
justru senang dengan kehadiranmu di gua
ini. Aku bahkan kagum dengan semangatmu
mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si
Gila'."
Sena tercengang mendengar penuturan
Singo Edan yang mengatakan kalau dia
telah mempelajari jurus-jurus langka yang
hebat itu.
"Apa?! Jadi...," seru Sena tanpa
sadar.
"Benar. Semua yang kau anggap lucu
adalah jurus-jurus langka 'Ilmu Silat Si
Gila'. Nah! Sekarang katakan, dari mana
kau tahu namaku Singo Edan?" desak orang
tua itu ingin tahu.
Setelah menjura, Sena menceritakan
siapa sesungguhnya dirinya, siapa
orangtuanya dan siapa pula kakeknya.
Bocah kecil itu juga menceritakan kalau
dia tergelincir dan menggelinding ke
bawah lereng karena tubuhnya lemah
terkena tendangan seorang pengeroyok
ayahnya.
"Begitulah ceritanya, Eyang," kata
Sena, mengakhiri ceritanya.
"Jadi kau cucu Senabrata?!" tanya
Singo Edan dengan kening berkerut
Sena menganggukkan kepala.
"Kakekmu telah meninggal?" tanya
Singo Edan kembali.
"Benar, Eyang. Kakek meninggal
karena usia tua, sedangkan ayah dan Ibu
entah bagaimana nasibnya. Orang-orang itu
begitu jahat, Eyang...," tutur Sena
polos, membuat Singo Edan manggut-manggut
dengan raut wajah prihatin.
Di samping Singo Edan terharu
mendengar penuturan bocah kecil itu, dia
juga merasa sedih karena Senabrata
sebenarnya adalah sahabatnya. Nasib yang
menimpa anak Senabrata dirasakan seperti
menimpa anaknya sendiri.
"Sudahlah, Sena.... Semua sudah
menjadi suratan takdir. Tak perlu
disesali lagi. Kini, Eyang mau menawarkan
padamu. Maukah kau mempelajari dengan
tekun gambar-gambar itu?" tanya Singo
Edan setelah memberi petuah pada si
bocah, sekaligus memberikan semangat
Sena memandangi wajah Singo Edan.
Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang
didengarnya barusan. Tapi, setelah Singo
Edan kembali menganggukkan kepala sambil
tersenyum, segera bocah itu bersujud.
"Oh, sungguh aku yang bodoh dan
lancang ini tidak terkira bahagianya,
sebab aku merasa telah mendapatkan
kehormatan menjadi murid Eyang. Terimalah
sembahku, Eyang."
"Sudahlah, tak perlu begitu. Kita
sama-sama manusia. Hanya Tuhan yang patut
disembah. Bangunlah," ujar Singo Edan,
kemudian diajaknya bocah kecil itu
melangkah ke ruang dalam. Sejak saat
itulah, Sena Manggala menjadi murid
tunggal tokoh sakti yang belum
tertandingi sampai saat ini.
LIMA
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa
terasa sepuluh tahun telah berlalu.
Selama itu, Sena Manggala dengan tekun
mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si
Gila' yang langka dan dahsyat. Sedikit
pun tak ada keluhan dari bibirnya. Bukan
itu saja, Kitab Ilmu Silat Si Gila yang
ditulis Eyang Singo Edan pun telah
dilalapnya dengan cepat, hingga semua
'Ilmu Silat Si Gila' tak satu pun
tersisa.
Ilmu-ilmu lainnya, seperti tenaga
dalam, meringankan tubuh, dan pukulan-
pukulan sakti telah pula dipelajarinya.
Hingga pada usia dua puluh tahun, Sena
telah menjadi sosok pendekar muda yang
memiliki bekal ilmu kedigdayaan yang
tinggi.
Pagi merambati muka bumi bersama
seluruh warna dan tembang alam. Di dalam
Gua Setan, dua orang tengah duduk
berhadap-hadapan. Yang seorang adalah
lelaki tua berjubah putih dengan rambut
yang kian memutih pula. Ia tak lain Singo
Edan atau lebih terkenal dengan julukan
Penghuni Gua Setan. Di depannya duduk
seorang pemuda tampan, berkulit kuning
bersih serta rambut panjang rapi yang
diikat dengan selembar kulit ular.
Tubuhnya yang berotot menggambarkan kalau
selama ini ia telah menjalani godokan
yang berat. Pemuda itu adalah Sena
Manggala.
"Sena, sepuluh tahun telah berlalu.
Sepuluh tahun pula kau berada di gua ini.
Semua ilmu yang Eyang miliki, telah
diwariskan padamu...," kata Singo Edan
setelah beberapa saat terdiam.
"Perpisahan memang berat, Cucuku...."
Sena tak berkata apa-apa. Pemuda
itu nampaknya terharu mendengar penuturan
eyang gurunya. Bagaimanapun juga, selama
sepuluh tahun mereka senantiasa berdua.
Susah senang mereka jalani bersama. Tapi,
tiba-tiba kini mereka harus berpisah.
Siapa pun pasti akan merasa sedih.
"Sena, jangan kau pikirkan
perpisahan antara kita, sebab hal itu
adalah kenyataan hidup setiap manusia. Di
mana ada pertemuan, tentu ada perpisahan.
Kau telah dewasa, telah mewarisi seluruh
'Ilmu Silat Si Gila'...."
Kembali orang tua sakti itu
menghentikan ucapannya. Dihelanya napas
sebelum meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, ilmu seseorang tidak
berarti sama sekali jika digunakan untuk
kejahatan. Dan harus kau ingat pula,
bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki
manusia hanya bagai setetes air di lautan
dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki
oleh Hyang Widhi. Kau paham, Sena...?"
pesan Singo Edan, amat menggiris.
"Paham, Eyang...," sahut Sena masih
menunduk.
"Bagus.... Dengan begitu, kau tidak
akan tersesat nantinya. Kemudian yang
perlu kau ingat juga, jangan menaburkan
benih permusuhan dalam hidupmu. Buanglah
rasa dendam di hatimu, sebab dendam
adalah setan."
"Baik, Eyang.... Semua yang Eyang
petuahkan, akan senantiasa kuingat,"
jawab Sena.
Singo Edan mengangguk-angguk,
sementara tangannya mengelus-elus
jenggotnya yang semakin memutih.
"Satu lagi yang ingin kukatakan
padamu, Sena."
"Kalau Eyang berkenan, katakanlah.
Sebab semua petuah Eyang adalah penerang
jalan hidupku yang masih buta," tutur
Sena, penuh hormat.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik, dan
camkan. Pepatah mengatakan; Jangan
melawan badai, jika kau tak mampu. Dan
jangan melawan arus jika kau tak memiliki
pegangan. Kau tahu artinya, Sena...?"
tanya Singo Edan.
"Ampun, Eyang.... Aku masih terlalu
buta dan bodoh untuk mengurai maksud
peribahasa itu," jawab Sena merendah. Dan
hal itu yang menjadikan Singo Edan
semakin kagum terhadap muridnya. Ternyata
sang Murid bukan hanya cerdas, namun
kepribadiannya pun sangat luhur.
Singo Edan tersenyum seraya
mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu
kalau Sena sesungguhnya memahami apa
maksud peribahasa itu. Tapi pemuda itu
tampaknya lebih suka merendah.
"Sena, arti peribahasa itu
begini.... Seorang manusia seharusnya
jangan menyombongkan diri hingga
membuatnya mencelakakan diri sendiri.
Seorang manusia seharusnya jangan
bertindak tanpa pertimbangan, hingga
tindakannya menjadi sia-sia belaka. Bukan
mendapatkan yang terbaik, justru akan
mencelakakan diri sendiri. Nah, kau
paham...?"
"Paham, Eyang...."
"Nah, kini tidak ada lagi yang
dapat Eyang berikan padamu. Hanya suling
ini yang masih tersisa di tangan Eyang.
Suling ini pun akan Eyang berikan padamu.
Terimalah! Anggaplah suling ini sebagian
hidupmu. Jagalah baik-baik, jangan sampai
jatuh ke tangan manusia-manusia berhati
iblis, sebab akan menimbulkan celaka,"
tutur Singo Edan memberi petuah dengan
penuh penekanan pada setiap kata yang
terucap. "Hm.... Mari ikut aku, biar
kutunjukkan keistimewaan suling sakti
ini."
Segera kaki Singo Edan melangkah ke
ruang lain yang luas dalam gua itu. Singo
Edan lalu memperagakan sesuatu. Suling
itu dihentakkannya ke depan dan seketika
batu-batu yang ada dalam gua itu
terlempar berhamburan disertai angin
kencang.
"Ini sebagian dari kesaktian suling
ini," ujar Singo Edan setelah mempe-
ragakan kesaktian suling sakti itu,
membuat Sena berdecak kagum.
Setelah itu, Singo Edan memberikan
suling di tangannya pada Sena yang
langsung menerimanya. Sekilas diamatinya
suling berwarna perak yang pada satu
ujungnya terukir kepala naga. Itulah
Suling Naga Sakti, yang sampai saat ini
menjadi incaran kaum rimba persilatan.
"Kini lengkap sudah semua yang kau
miliki. Semua milik Pendekar Gila telah
kau dapatkan. Pergilah dari Gua Setan
ini. Banyak orang yang membutuhkan
pertolongan dan uluran tanganmu. Ber-
jalanlah di jalan yang lurus, jangan
sesekali berpaling ke jalan yang sesat,"
tutur Singo Edan seraya membelai rambut
pemuda itu.
"Terima kasih, Eyang.... Sungguh
besar jasamu padaku. Entah dengan cara
apa aku yang bodoh dan tiada guna ini
dapat membalasnya."
"Sudah, jangan pikirkan hal itu.
Eyang akan senang, jika kau dapat
membantu orang yang memerlukan perto-
longanmu. Pergilah ke arah selatan, di
sana akan kau temukan pintu keluar dari
gua ini. Ingat, jangan kembali ke Gua
Setan ini," tegas Singo Edan.
"Baik, Eyang. Aku mohon pamit..."
Sena menjura hormat dengan
membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan
masih membungkuk, pemuda itu bangkit dari
duduknya, melangkah mundur meninggalkan
orang tua yang masih duduk di atas batu
datar.
Di bibir orang tua itu tersungging
senyum kepuasan. Hatinya merasa tenang,
sebab kini telah ada penggantinya untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran di muka
bumi.
"Semoga Hyang Widhi senantiasa
melindungimu, Cucuku," desis orang tua
itu lirih. Matanya pun segera dipejamkan,
seolah berusaha menahan rasa haru yang
menyelinap di harinya.
***
Pemuda berbadan tegap serta
berwajah tampan dengan pakaian terbuat
dari kulit ular sanca itu masih melangkah
menyusuri lorong-lorong gua, meninggalkan
eyang gurunya yang semakin jauh. Pemuda
itu tidak lain adalah Sena Manggala.
Kakinya terus menyelusuri lorong gua,
mencari jalan keluar yang ditunjukkan
oleh gurunya.
Lama pemuda itu menyelusuri lorong
gua, hingga akhirnya matanya melihat
sebuah sinar terang menyeruak masuk ke
dalam.
"Hm, tentunya itu sinar dari luar.
Tidak salah lagi, itu memang pintu gua,"
kata Sena sambil mempercepat langkahnya
menuju ke arah sumber sinar yang
menerobos masuk. Lorong gua yang berliku,
menjadikan sinar itu tidak tembus ke
dalam. Dan tentunya orang lain tidak akan
menyangka ada jalan keluar dari lorong
itu.
Benar juga dugaannya. Ketika tiba
di mulut gua, terlihat laut yang luas
membentang. Dan ketika kepalanya
menengadah ke atas, ternyata pintu gua
itu terpayungi batu cadas, sehingga tidak
terlihat dari atas sana.
"Heh! Bagaimana aku bisa ke luar?
Di hadapanku laut, sedang di atasku
batu," gumam pemuda itu seperti
kebingungan. Tangannya menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya
cengar-cengir seperti melihat hal lucu.
"Ah, bodohnya aku! Kenapa aku tidak
mencoba dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam?"
Setelah mengangguk-angguk sambil
tersenyum, Sena menyurutkan kakinya tiga
langkah ke belakang. Lalu sambil tertawa,
dia melesat laksana terbang. Tubuhnya
meluncur lurus di atas permukaan air
laut, lalu berputar ke atas bagai
menunggang angin, dan dengan ringan
kakinya dijejakkan di atas batu cadas
yang menutupi mulut gua.
"Huh, segar sekali udara di sini.
Hm, inikah dunia bebas?"
Bibirnya kembali cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Kemudian diambilnya suling yang terselip
di pinggang. Lama suling itu diamati
seraya menimangnya perlahan.
"Aku harus menjaga suling ini baik-
baik," gumam Sena seperti berjanji pada
diri sendiri.
Sena kembali menimang-nimang suling
itu. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk
meniup suling sekadar menghibur diri.
Disatukan bibirnya pada ujung suling
berbentuk kepala naga, kemudian di
tiupnya.
Suara suling mengalun merdu,
berkumandang ke seluruh pelosok dan
menyelusup di pucuk-pucuk pohon kelapa
yang tumbuh di sekitar daerah itu.
Semakin lama, suara suling itu kian
tinggi. Dan....
Darrr!
Ledakan terjadi, ketika lengking
suling membentur sebatang pohon kelapa.
Kejadian itu menyentakkan Sena, hingga
segera menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya membuka lebar dan mulutnya
menganga melihat sesuatu yang dahsyat
Pohon kelapa itu terbakar hangus,
kemudian tumbang dengan daun-daunnya yang
mengering hangus.
"Oh....! Tidak salahkah yang
kulihat?" tanya Sena pada diri sendiri
setengah bergumam. Matanya menyapu ke
segenap penjuru tempat itu. Tidak
ditemukan adanya orang lain. Berarti,
pohon kelapa besar itu terbakar dan
tumbang oleh suara sulingnya. "Oh,
sungguh dahsyat suara suling ini. Eyang,
pemberianmu ini sungguh-sungguh benda
pusaka yang sangat hebat. Pantas kau
begitu sungguh-sungguh berpesan padaku."
Angin Laut Selatan bertiup ramah,
mengantar kesejukan. Gelombang laut masih
bergulung, berusaha menggempur batu
karang.
Pemuda tampan dengan rompi kulit
ular itu masih mematung setelah
menyelipkan sulingnya pada sabuk kulit
ular yang melilit pinggangnya. Dia masih
bingung ke mana harus melangkah. Dunia
bebas ini masih sangat asing baginya.
"Ah, bodohnya aku!"
Kembali Sena menepuk keningnya
perlahan, seraya menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Bukankah aku punya kaki? Kenapa
mesti bingung?"
Usai berkata begitu, kakinya
melangkah mantap meninggalkan Pantai
Selatan di mana pintu rahasia Gua Setan
berada. Sena hanya mengikuti kata hati,
melangkah tanpa tujuan yang pasti.
***
Sinar matahari pagi membelai
hangat. Sebuah kedai telah dibuka oleh
pemiliknya sejak kokok ayam pertama
terdengar. Empat orang lelaki bertampang
kasar memperlihatkan kebengisan masuk ke
kedai itu. Tingkah mereka tidak sopan,
menandakan kalau keempat lelaki itu bukan
orang baik-baik. Dilihat dari golok yang
tergantung di pinggang, jelas keempat
lelaki berwajah bengis itu dari rimba
persilatan.
"Sediakan arak empat guci, cepat!"
seru seorang dari mereka. Tangannya
dengan keras menggebrak meja di depannya.
Brak!
Pemilik kedai dengan wajah
ketakutan, tergopoh-gopoh menghampiri
mereka. Tubuhnya menggigil, karena rasa
takut tidak alang kepalang.
"Maaf, Aden sekalian minta apa?"
tanya pemilik kedai itu, dengan suara
bergetar.
"Goblok! Apa telingamu tuli, hah?!
Cepat sediakan empat guci arak, juga
makanan yang enak!" bentak orang yang
tadi menggebrak meja.
"Ba..., baik," jawab pemilik kedai
semakin bertambah ketakutan.
Lalu, tanpa banyak tanya lagi dia
tergopoh-gopoh berlalu. Tidak lama
kemudian, bersama seorang pelayan, laki-
laki tua itu membawa empat guci arak
serta makanan-makanan lezat
"Cepat..!" bentak orang itu lagi
tak sabar.
"I..., iya, Den," sahut pemilik
kedai.
Dengan tubuh gemetar ditaruhnya
empat guci arak di meja. Sedangkan
pelayannya menaruh makanan-makanan
permintaan keempat lelaki kasar itu.
Keempat lelaki kasar itu terbahak-
bahak melihat wajah pucat pasi pemilik
kedai yang masih berdiri di samping
mereka dengan tubuh gemetaran.
"Heh, kenapa kau masih di sini?"
tanya orang kedua dari mereka. Nada
suaranya tidak sekasar orang pertama.
"Maaf, Den.... Barangkali masih ada
yang dipesan?" tanya pemilik kedai,
mencoba tersenyum meski terlihat kaku.
"Apa?! Pesan...? Siapa yang pesan?!
Apakah kau belum tahu siapa aku? Kau
belum tahu kami, ya? Dengar, kami adalah
Empat Iblis dari Kranggeng, anak buah
Segoro Wedi!" tutur orang pertama dengan
suara keras, seakan ingin menyombongkan
diri dengan menyebut Segoro Wedi sebagai
tokoh sesat yang sangat ditakuti.
"Ampunilah hamba yang buta ini...,"
ujar orang tua pemilik kedai setelah
mendengar penuturan tadi.
"Baik, pergi cepat! Jangan sampai
aku muak!"
Tanpa diperintah dua kali, orang
tua itu berlalu meninggalkan mereka.
Bukan hanya pemilik kedai yang
ketakutan setelah tahu siapa keempat
lelaki beringas dan kasar itu. Para
pengunjung kedai juga begitu. Satu
persatu mereka meninggalkan tempat itu
dengan terburu-buru. Di wajah mereka
terlukis rasa takut luar biasa.
Semakin pongah saja keempat lelaki
bertampang beringas dan kasar itu, merasa
kalau semua orang takut kepada mereka.
Dengan tertawa-tawa, mereka menyantap
makanan. Tapi tawa mereka seketika
terhenti ketika dari luar terdengar tawa
yang mampu menggetarkan hati mereka.
"He he he.... Ha ha ha...! Lucu...,
lucu sekali. Iblis-iblis sekarang
bergentayangan! Ah, dunia ini aneh
sekali," ujar sebuah suara, dibarengi
dengan munculnya seorang pemuda tampan
berompi kulit ular. Pemuda itu tertawa
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
sesekali menggeleng. Sedangkan mulutnya
cengengesan persis orang gila.
"Bocah edan! Siapa kau?! Lancang
sekali ucapanmu! Apakah kau tidak tahu
kami, hah?!" bentak salah seorang dari
Empat Iblis dari Kranggeng. Wajahnya yang
beringas semakin bertambah beringas
karena marah. Tapi pemuda yang dibentak
bukan takut, malah semakin memperkeras
tawanya sambil menggaruk-garuk kepala.
"He he he.....Bukankah tadi kau
mengatakan kalian berempat iblis?" balik
pemuda itu dengan maksud mengejek.
Tangannya terus menggaruk-garuk kepala
serta mulutnya cengengesan. Kemudian
dengan tingkah laku seperti orang gila,
pemuda yang ternyata Sena Manggala itu
kembali berkata, "Ah, lucu.... Seharusnya
orang seusia kalian belum pikun. Tapi...
Yah, mungkin inilah dunia. Ternyata iblis
pun bisa pikun...,"
Merah membara wajah Empat Iblis
dari Kranggeng mendengar ocehan pemuda
gila itu. Salah seorang dari mereka
melontarkan paha ayam ke arah si pemuda,
disertai tenaga dalam penuh.
"Nih untukmu, terimalah! Lalu pergi
dari sini, jangan sampai kesabaran kami
hilang!"
Paha ayam yang masih utuh itu
melesat seperti mata anak panah ke arah
si pemuda. Tapi dengan enteng, Sena
menangkapnya. Hal itu membuat Empat Iblis
dari Kranggeng cukup terkejut. Sedang
pemuda itu dengan santai menggeragoti
daging ayam.
"Terima kasih, kau baik sekali.
Terimalah tulang ini. He he he...!" ujar
Sena setelah paha ayam itu tinggal
tulang.
Tulang ayam itu melesat cepat,
mengejutkan Empat iblis dari Kranggeng.
Mata mereka menegang, tidak menyangka
lemparan pemuda itu sangat kuat. Mau
tidak mau mereka merundukkan kepala agar
tidak terkena sambaran tulang itu
Wesss!
Tulang itu meluncur tepat di atas
rambut mereka, lalu akhirnya tertanam
dalam pada sebatang pohon yang ada di
samping kedai. Semakin terbuka lebar mata
keempat lelaki beringas itu menyaksikan
pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa
itu.
Namun kepongahan rupanya membuat
mereka buta pada ilmu pemuda yang jauh
berada di atas mereka. Didahului
bentakan, Empat Iblis dari Kranggeng
mencabut golok dan menyerang pemuda yang
masih tertawa cekikikan sambil menggaruk
garuk kepala.
"Kurang ajar! Rupanya kau perlu
dihajar!"
Sena agak terkejut mendapat
serangan begitu cepat dari keempat lelaki
yang menamakan dirinya Empat Iblis dari
Kranggeng itu. Ia memang belum banyak
pengalaman dalam rimba persilatan yang
penuh kelicikan dan tipu daya. Tapi
nalurinya menuntun agar serangan itu
dielakkannya.
Dengan satu lentingan indah,
dimentahkannya serangan ganas itu.
Menyebabkan golok para penyerang beradu
di tempat kosong.
Trang!
Sena kembali cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, lalu pantatnya
ditepuk berulang kali.
"Kenapa kalian mengeroyokku? Wah,
celaka! Kalian benar-benar orang jahat!"
"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu,
Bocah Sinting!" dengus orang pertama dari
Empat Iblis dari Kranggeng. Lalu dengan
penuh amarah tubuhnya melesat untuk
memburu pemuda itu, diikuti oleh ketiga
temannya.
"Heaaa...!"
ENAM
Semua orang yang menyaksikan pemuda
itu dikeroyok oleh Empat Iblis dari
Kranggeng turut tegang. Mereka khawatir
kalau-kalau pemuda tampan yang bertingkah
seperti orang gila itu akan menjadi
korban keberingasan dan kekejaman mereka.
Namun untuk membantu pemuda itu, mereka
tidak berani. Mereka tahu, siapa Empat
Iblis dari Kranggeng, terlebih dengan
Segoro Wedi.
Tokoh yang terakhir, akhir-akhir
ini sangat ditakuti, baik oleh tokoh
rimba persilatan atau oleh tokoh
kebanyakan. Dia ditakuti karena
kekejamannya. Belum ada tokoh rimba
persilatan yang mampu menghadang sepak
terjangnya. Semua yang mencoba
menghalangi, tak ada yang dibiarkan
hidup. Mereka dibantai bagai binatang tak
berharga.
Kini seorang pemuda berani
menghadapi Empat Iblis dari Kranggeng,
itu berarti secara tak langsung telah
menantang pimpinan mereka.
"Benar-benar nekat pemuda gila itu.
Apakah dia tidak takut terhadap Segoro
Wedi?" gumam pemilik kedai yang masih
menyaksikan jalannya pertarungan antara
Sena melawan Empat Iblis dari Kranggeng,
begundal Segoro Wedi.
"Namanya saja pemuda gila. Mana ada
sih, orang gila yang takut?" sambung
temannya.
"Iya, ya.... Tapi kasihan juga dia;
semuda itu sudah gila," kata pemilik
kedai seraya menghela napas. "Semoga
pemuda gila itu bisa menang. Muak rasanya
aku melihat tingkah laku bajingan-
bajingan itu."
"Benar! Mereka bukan hanya kejam,
tapi juga menculik gadis dan memper-
kosanya. Tindakan mereka benar-benar
seperti iblis!" rutuk teman bicaranya.
Apa yang diharapkan kedua orang itu
menjadi kenyataan. Pemuda tampan yang
tindak-tanduknya seperti orang gila itu
kini mampu menguasai keadaan. Bahkan kini
dia mendesak Empat Iblis dari Kranggeng
dengan jurus-jurus yang aneh. Jurus-jurus
yang menyerupai orang gila tengah menari-
nari dan sesekali tampak menepuk gemulai
itu, ternyata mampu membuat keempat
lawannya kewalahan.
Semua orang yang melihat
pertarungan itu pun membelalakkan mata
dengan mulut berdecak kagum melihat
gerakan pemuda aneh itu.
Gerakannya memang kelihatan lambat,
namun sesungguhnya sangat dahsyat dan
cepat, karena disertai tenaga dalam serta
ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Berkali-kali pemuda itu terkepung
serangan golok Empat Iblis dari
Kranggeng. Tapi berkali-kali pula pemuda
itu mematahkan serangan lawan, hanya
dengan jurus-jurus yang terlihat sangat
lemah dan lucu.
Kalau orang yang tidak mengerti
ilmu silat, mungkin melihat gerakan
pemuda itu hanyalah sebuah gerakan main-
main. Untuk apa tangannya menepuk? Untuk
apa tubuhnya meliuk-liuk seperti menari?
Padahal dia dalam ancaman maut keempat
lawan yang menyerang bertubi-tubi.
Tapi bagi yang tahu ilmu silat,
justru akan berpikir seribu kali untuk
menghadapi gerakan aneh pemuda itu.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat', salah satu jurus langka yang
pernah menggemparkan rimba persilatan
puluhan tahun silam milik seorang
pendekar gila yang bernama Singo Edan.
Dan selama itu pula, belum ada yang
mengalahkannya.
Kini jurus itu kembali muncul,
lewat seorang pemuda bau kencur yang
aneh. Kalau saja Empat Iblis dari
Kranggeng tahu, tentunya mereka akan
berpikir berulang kali untuk menghadapi
jurus itu.
"Bocah edan! Rupanya kau memiliki
ilmu juga, heh?!" bentak orang pertama
dari Empat Iblis dari Kranggeng. "Jangan
bangga dulu, Bocah! Kalau sejak tadi kau
bisa mematahkan serangan kami, maka kali
ini nyawamu akan hilang. Terimalah jurus
'Empat Golok Iblis Membelah Bumi'.
Heaaa...!"
Empat Iblis dari Kranggeng
merangsek cepat. Mula-mula mereka
mengangkat golok masing-masing ke atas
kepala. Kemudian menebaskan ke muka,
disusul dengan tebasan ke samping kiri
dan kanan. Gerakan mereka serempak,
sehingga rasanya sangat sulit bagi Sena
untuk dapat melepaskan diri dari serangan
itu.
"Celaka...! O, matilah aku...,"
keluh pemuda itu sambil menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya tetap cengengesan,
layaknya orang gila.
"Belah tubuhmu, Bocah Edan...!"
Empat bilah golok di tangan lawan
mengarah dari atas ke kepalanya. Sena
tersentak merasakan angin tebasan. Segera
nalurinya memerintah agar dia mengelak.
Dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Melepas Lilitan Benang', pemuda itu
mencoba menyelamatkan diri dari maut
Sebuah gerakan aneh seperti
melepaskan lilitan benang yang menjerat
tubuh, ternyata mampu menyelamatkan
nyawanya. Kini dengan menggerakkan
tangan, pemuda itu malah menghantamkan
cengkeraman ke selangkangan salah seorang
dari pengeroyoknya.
Crak!
"Akh...!" jerit orang itu sambil
melepaskan goloknya dari genggaman lalu
beralih memegangi kemaluannya yang pecah.
Orang itu melotot sesaat, kemudian
terjerembab dengan tubuh bergelinjang
sekarat lalu mati.
Ketiga temannya tersentak. Tubuh
mereka tegang menyaksikan kematian salah
seorang teman mereka. Kemarahan mereka
kian membeludak. Kemudian dengan
mendengus, ketiganya kembali menyerang ke
arah Sena dengan membabi buta.
Hal itu sebenarnya sangat mengun-
tungkan bagi Sena karena mereka tak
mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Dada mereka dipenuhi nafsu untuk segera
membinasakan pemuda gila yang telah
membunuh salah satu temannya.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!"
"Heaaa...!"
Pemuda gila itu menggaruk-garuk
kepala. Setelah cengengesan, sekali lagi
pantatnya ditepuk, yang membuat
pengeroyoknya semakin marah dan langsung
menggebrak dengan babatan golok.
"Mampus kau...!" bentak orang kedua
dari Empat Iblis dari Kranggeng.
Golok itu melesat cepat ke arah
Sena, namun dengan gerakan aneh tubuhnya
berhasil luput dari serangan. Malah tanpa
diduga, tangannya menepak ke kening si
penyerang.
Plak!
"Akh...!" jerit orang itu. Tubuhnya
meluncur deras ke belakang dengan tangan
memegangi keningnya yang hancur. Tulang
tengkorak kepalanya pecah, sehingga dari
mata, hidung, dan telinganya mengalir
darah segar. Untuk sesaat tubuh orang itu
mengejang, kemudian lunglai tanpa nyawa.
Sena bertepuk tangan sambil
berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
Tangannya sesekali menggaruk-garuk
kepala, atau menepuk-nepuk pantat sambil
tertawa-tawa girang. Seakan apa yang
terjadi hanya kejadian lucu yang
mengundang tawanya. Hal itu membuat sisa
pengeroyoknya semakin murka. Satu orang
kembali melesat sambil membabatkan
goloknya. Orang inilah yang sangat bengis
di antara mereka.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan...!
Heaaa...!"
Golok di tangannya ganas mengancam
kepala pemuda tampan itu. Sebentar lagi,
kepala Sena akan menjadi sasaran empuk.
Orang-orang yang menyaksikan
pertarungan itu menjadi bergidik ngeri.
Tapi dugaan mereka meleset, dalam sekejap
pemuda itu menggeserkan kakinya dengan
melebar ke samping. Kemudian, mendorong
miring tubuhnya ke arah kaki yang
melebar.
Tangan lawan yang menggenggam golok
melesat cepat di sampingnya. Secepat itu
pula, tangan Sena mencengkeram per-
gelangan tangan lawan, lalu tubuh lawan
yang tengah melesat dibantingnya dengan
kuat
Bugkh!
"Akh...!"
Orang itu menjerit. Tulang
punggungnya langsung remuk akibat
bantingan tadi. Sesaat mata orang itu
mendelik bagai hendak melompat keluar.
Kemudian diam tak berkutik dengan mulut
bersimbah darah.
Seorang lawannya yang masih hidup
seketika ciut nyalinya menyaksikan
bagaimana ketiga rekannya mati. Lelaki
berwajah kasar itu mendadak pucat pasti,
dan serta merta meminta ampun pada pemuda
itu.
"Ampunilah aku, Anak Muda,"
ratapnya mengiba.
Pemuda tampan itu tertawa, seakan
menganggap hal itu lucu. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepalanya yang
digeleng-gelengkan perlahan.
"Lucu... Baru kali ini aku melihat
hal yang amat lucu. Tadi kau menunjukkan
kebengisanmu. Mengapa kini kau seperti
tikus pikun?" ujar Sena kembali terbahak
bahak. "Dunia ini memang aneh,... Ada
kalanya orang yang mengaku waras,
bertindak seperti orang tak waras. Tapi
sebaliknya, orang yang dianggap tak
waras, malah bertingkah bagaikan orang
waras. Ah, benar-benar lucu...."
Semua tertegun menyaksikan tingkah
laku pemuda itu yang dengan seenak
perutnya berlalu sambil bernyanyi
meninggalkan semua orang. Termasuk
seorang lawan yang terpaku bengong.
"Pendekar Gila...!" gumam lelaki
kasar itu, sambil menatap punggung Sena
yang makin lama makin jauh.
Sementara itu kasak-kusuk merambat
di sekitar arena pertarungan, bagai satu
upacara untuk kepergian Sena Manggala.
"Ternyata pemuda gila itu seorang
pendekar. Pendekar Gila! Dari mana dia
datang?" gumam pemilik kedai dengan nada
kagum setelah menyadari siapa sesung-
guhnya pemuda gila yang telah mampu
mengalahkan keempat tangan kanan Segoro
Wedi.
"Ck, ck, ck...!" decak temannya.
"Hebat! Baru kali ini aku melihat
Pendekar Gila yang sering kudengar.
Ternyata orangnya masih muda."
"Bukankah Pendekar Gila hidup pada
puluhan tahun yang silam?" tanya yang
lainnya terheran-heran.
"Mungkin dia muridnya," sahut
temannya.
Sejak itulah, orang-orang membica
rakan pemuda gila itu. Tidak hanya rakyat
biasa, tapi tokoh-tokoh rimba persilatan
pun mulai membicarakan kehadiran seorang
pemuda yang berulah gila-gilaan. Tetapi
ilmu silatnya sangat sakti. Dan, setiap
Sena Manggala muncul mereka menyebutnya
Pendekar Gila.
***
Segoro Wedi tengah berkumpul di
ruangan besar dengan ketujuh kaki
tangannya, termasuk seorang wanita cantik
bernama Nyi Bangil yang baru saja menjadi
anggota. Seperti saat ini, ruangan itu
dipakai mereka untuk berembuk menentukan
langkah yang akan mereka lakukan
selanjutnya.
Ada dua pengikut baru Segoro Wedi.
Salah satunya Nyi Bangil, wanita cantik
menggairahkan yang sesungguhnya mencintai
Segoro Wedi. Hingga karena cintanya,
wanita itu rela mengabdi pada Segoro
Wedi. Tapi selama ini, cintanya
dipermainkan oleh Segoro Wedi. Dia hanya
dijadikan pelampiasan nafsu lelaki
berjubah merah yang kini duduk di
singgasana kepemimpinan.
Berulang kali Nyi Bangil meminta
pertanggungjawaban dari sang Pemimpin,
tetapi semuanya tiada guna. Segoro Wedi
selalu berjanji dan berjanji. Malah
sering berbuat kasar jika dia terlalu
mendesaknya. Hal itulah yang membuat
wanita cantik bertubuh sintal itu
menyimpan dendam cinta di hatinya. Tapi
apa dayanya saat itu?
Segoro Wedi terlalu kuat baginya.
Apalagi dengan kelima begundalnya. Hingga
akhirnya dia hanya mampu menerima nasib,
sambil menunggu datangnya penolong yang
akan membebaskannya dari belenggu cinta.
Seorang lagi adalah lelaki bertubuh
ceking bermata sayu. Mungkin hal itu
disebabkan karena dia selalu meminum
tuak. Ke mana-mana, selalu dibawanya guci
berisi tuak. Hingga dia dijuluki Tuak
Iblis.
"Sahabat-sahabat sekalian, sengaja
kuundang kalian karena aku ada rencana,"
kata Segoro Wedi membuka pertemuan dengan
ketujuh kaki tangannya. "Tentunya kalian
telah tahu, setiap rencana yang aku
ungkapkan adalah rencana besar."
"Benar, Ketua...," sahut Pedang
Akhirat.
Segoro Wedi bangun dari
singgasananya, lalu berdiri tegak sambil
menopang tangan kanan yang mengelus
jenggot dengan tangan kiri. Tatapan
matanya tajam serta lurus ke muka.
"Kalian tahu apa rencanaku?"
tanyanya tiba-tiba.
"Menyerang sebuah perguruan,
Ketua...?" tanya Sepasang Hantu dari
Kelangit hampir bersamaan. Segoro Wedi
menggelengkan kepalanya. "Bukan itu.
Semua perguruan di wilayah ini telah kita
taklukkan...," jawab Segoro Wedi. "Rasa-
rasanya, kedudukan kita telah kuat"
"Mungkin Ketua hendak menyerang
kadipaten?" tanya Raja Setan Muka Ular.
"Tidak perlu, Raja Setan Muka Ular.
Bagaimanapun juga, adipati masih ada
hubungan saudara denganku. Lagi pula,
untuk apa merebut kadipaten? Kalau
kedudukanku kini jauh lebih enak dan
lebih berpengaruh?" ujar Segoro Wedi
sambil melepas tawa terkekeh, menjadikan
keenam rekan lelakinya turut tertawa.
Hanya Nyi Bangil yang diam, dengan wajah
agak merengut.
"Memang benar apa yang Ketua
katakan," tukas Kapak Iblis, bernada
menjilat. Kemudian setelah melihat
ketuanya tersenyum sambil mengangguk-
anggukkan kepala, Kapak Iblis melanjutkan
kata-katanya. "Kalau boleh kami tahu,
rencana apa yang hendak Ketua sampaikan
pada kami dan harus kami laksanakan?"
Segoro Wedi tidak langsung
menjawab, tapi dia kini berjalan ke
samping kanan. Matanya menatap ke
dinding, di mana sebuah lukisan seorang
wanita cantik bernama Dewi Rukmini
terpajang. Ditatapnya wajah yang cantik
jelita dan membuatnya begitu tergila-gila
dalam lukisan itu.
Semua terdiam, tanpa seorang pun
berbicara. Sedangkan Nyi Bangil menjadi
geram menyaksikan Segoro Wedi memandangi
lukisan itu. Kau benar-benar bajingan,
Segoro Wedi! Kau permainkan aku! Kau
jadikan aku pelampias nafsumu! Huh,
tunggulah pembalasanku! Geramnya dalam
hati.
Segoro Wedi membalikkan tubuh dan
kembali memandang ketujuh kaki tangannya
sambil berkata.
"Apakah kalian telah mendengar
bahwa besok akan datang seorang saudagar
Cina?" tanya Segoro Wedi.
"Belum, Ketua...," sahut ketujuh
kaki tangannya hampir berbareng, termasuk
Nyi Bangil yang berusaha memendam dendam
cinta di harinya.
"Hm apakah kalian tidak menerima
laporan tentang hal itu dari Prangga yang
memimpin di laut?" kembali Segoro Wedi
bertanya.
"Ampun, Ketua. Prangga sama sekali
tidak menceritakan pada kami," sahut
ketujuh kaki tangannya setelah saling
pandang sejenak.
Kembali kepala Segoro Wedi
mengangguk-angguk. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyum. Hal itu
menjadikan ketujuh kaki tangannya
bertanya-tanya dalam hati, sebab mereka
merasa heran melihat senyumnya. Selama
ini, ketua mereka tak pernah tersenyum
selebar itu. Kalaupun bibirnya tersenyum,
sekadar senyum kecil. Itulah yang
menimbulkan tanda tanya di hati mereka.
Ada apa gerangan dengan sang Ketua?
Tak ada seorang pun yang berani
bertanya. Mereka hanya diam membisu
dengan menyimpan pertanyaan dalam hati
"Dengar! Besok kapal saudagar itu
akan merapat ke pesisir. Untuk itu,
kuharap kalian dapat menanganinya.
Prangga dan anak buahnya tak mampu
menghadapi pengawal saudagar yang terdiri
dari sepuluh pendekar muda dari Cina."
"Jadi kami harus menumpas mereka
semua, Ketua?" tanya Tuak Iblis,
memberanikan diri.
Mata Segoro Wedi langsung melotot
pada Tuak Iblis yang segera menundukkan
kepala:
"Bodoh! Apakah kau tahu, bahwa di
kapal itu ada seorang gadis Cina yang
cantik?! Kalian boleh menumpas semuanya.
Tapi ingat, kalian harus bisa membawa
gadis itu hidup-hidup ke hadapanku untuk
kujadikan istri! Mengerti...?"! bentak
Segoro Wedi keras, hingga ketujuh kaki
tangannya sampai terlonjak karena kaget
"Mengerti, Ketua...," jawab mereka
serentak sambil menundukkan kepala, tak
berani beradu pandang dengan mata bengis
Segoro Wedi. Mereka tahu, berani
menentang berarti kematian!
"Besok, siapkan pasukan secukupnya!
Tugas ini aku percayakan pada kalian. Dan
ingat, jika sampai gagal maka leher
kalian sebagai gantinya!" ancam Segoro
Wedi, membuat bulu kuduk mereka seketika
berdiri. Mereka tahu, ancaman ketuanya
tidak main-main.
"Baik, Ketua," sahut mereka.
Tengah mereka rapat, tiba-tiba
masuk seorang lelaki yang mereka kenal
dengan tergopoh-gopoh. Lelaki yang tidak
lain salah seorang dari Empat Iblis dari
Kranggeng, memperlihatkan wajah pucat.
Hal itu menjadikan Segoro Wedi
mengerutkan kening.
"Ada apa, Wangsana? Kau seperti
ketakutan, dan di mana ketiga saudara
seperguruanmu?" tanya Segoro Wedi.
"Ampun, Ketua.... Aku datang untuk
melaporkan sesuatu," jawab Wangsana
terbata-bata. Napasnya turun-naik setelah
berlari tiada henti.
"Katakanlah!"
Dengan wajah masih ketakutan,
Wangsana pun menceritakan bentrokan
antara dia dan ketiga saudara
seperguruannya dengan seorang pemuda gila
yang memiliki kesaktian luar biasa.
Sampai mereka mengalami kekalahan.
Bahkan, tiga saudara seperguruannya mati
terbunuh. Hanya dia yang selamat dan
sampai di tempat itu.
Mendengar cerita Wangsana, pimpinan
dunia hitam itu kelihatan sangat gusar.
Napasnya terdengar mendengus berat
"Kenapa kau tidak sekalian mampus
saja bersama mereka, Wangsana?!
Menghadapi pemuda gila saja kalian tidak
becus! Kau tidak berguna lagi bagiku.
Pengawal, tangkap orang ini! Pancung di
depan, hingga semua melihatnya!" perintah
Segoro Wedi, membuat semua mata
terbelalak kaget
Wangsana menggigil ketakutan.
Mulutnya meratap agar mendapat ampunan
dari ketuanya. Bahkan kaki Segoro Wedi
diciuminya dengan merengek-rengek. Tapi
semua itu tiada arti. Sekali keputusan
diucapkan, maka hukuman harus
dilaksanakan.
"Ketua, ampunilah nyawa hamba....
Ampunilah...."
"Tak ada ampun bagi orang
sepertimu!" dengus Segoro Wedi "Kalian
lihai sendiri bukan? Kalau sampai besok
kalian gagal, maka kalian pun akan
mengalami hal seperti anjing itu!"
Semua tertunduk tanpa ada yang
berani berbicara. Bahkan ketika pengawal
yang bertubuh besar dan kokoh menyeret
tubuh Wangsana, tak seorang pun berani
melihatnya.
"Sekarang kalian boleh bubar untuk
mempersiapkan apa yang akan kalian
lakukan besok!" perintah Segoro Wedi.
Ketujuh kaki tangannya segera
bangkit lalu menjura hormat Ketika mereka
hendak pergi, Segoro Wedi memanggil salah
seorang dari mereka.
"Nyi Bangil, jangan pergi"
Wanita cantik bertubuh sintal yang
di hatinya memendam dendam karena
cintanya tak terbalas, menghentikan
langkahnya. Sakit sekali hatinya saat
itu. Dia tahu, tentunya Segoro Wedi ingin
melampiaskan nafsunya lagi.
Segoro Wedi menghampiri wanita
cantik dan menggairahkan itu. bibirnya
tersenyum, kemudian tangannya merangkul
pundak Nyi Bangil.
"Ikutlah aku, Nyi...," ajaknya
ramah.
Nyi Bangil tahu kalau keramahan itu
hanya ada di saat-saat tubuhnya
dibutuhkan. Setelah itu, dia akan kembali
seperti semula. Melihat Nyi Bangil
cemberut Segoro Wedi mengerutkan kening,
"Ada apa, Nyi? Mengapa wajahmu
begitu?"
Nyi Bangil menatap tajam ke arah
Segoro Wedi. Sorot matanya menyiratkan
kebencian.
"Kapan kau akan menjadikan aku
istri, Segoro Wedi?"
Segoro Wedi tersenyum. Diajaknya
Nyi Bangil melangkah masuk ke dalam
kamarnya. Kemudian setelah menutup pintu,
tangan Segoro Wedi membuka pakaian yang
dikenakan Nyi Bangil yang berusaha
menolak.
"Katakan, kapan...?"
"Jangan mendesakku, Nyi!" bentak
Segoro Wedi kasar. Lalu tangannya dengan
kasar merenggut pakaian wanita itu hingga
lepas dari tubuhnya.
Nyi Bangil tak dapat berbuat apa-
apa, kecuali menuruti apa yang diinginkan
oleh ketuanya. Dendam di hatinya semakin
menganga dalam karena cinta yang tak
terbalas.
TUJUH
Dari kejauhan tampak sebuah kapal
layar melaju menuju pesisir. Kapal itulah
yang tengah dinanti oleh anak buah Segoro
Wedi. Kapal yang membawa saudagar kaya
dari dataran Cina dengan gadis cantik
jelita.
Beberapa orang tampak berdiri di
atas perahu dengan mata memandang pesisir
yang hendak mereka singgahi. Ada sepuluh
orang lebih di atas perahu itu. Dilihat
dari sorot mata mereka yang tajam bagai
elang dan pedang yang tergantung di
punggung, sudah dapat dipastikan kalau
kesepuluh pemuda tersebut adalah para
pendekar yang mengawal saudagar kaya itu.
Sepuluh pendekar Cina itu terus
mengawasi pesisir di mana sebentar lagi
kapal mereka akan merapat. Mereka
kelihatannya waspada, mungkin karena
kejadian di laut tempo hari saat kapal
mereka diserang sekelompok bajak laut.
Mereka yakin kalau bajak laut yang
masih hidup dan tidak sempat mereka
tangkap telah melapor pada pimpinannya.
Tidak tertutup kemungkinan, kalau
kedatangan mereka diawasi oleh kawanan
perompak itu.
"Waspadalah, tentunya bajak laut
yang tempo hari lolos telah melaporkan
pada pimpinannya. Tidak tertutup
kemungkinan, kedatangan kita diawasi
mereka," kata seorang pendekar bertubuh
tinggi tegap dalam bahasa Cina. Tentunya
pendekar ini yang menjadi pemimpin dari
sembilan pendekar lainnya.
Di dada pemimpin pendekar dari
daratan Cina itu tertera sebuah lambang
seekor naga berwarna hijau dengan
sepasang pedang menyilang. Gambar itu
mengandung arti kalau pendekar itu
berasal dari Perguruan Naga Hijau, sebuah
perguruan besar di Cina yang banyak
menghasilkan pendekar-pendekar tangguh
dan digdaya. Dia adalah kakak perguruan
tertua dari sembilan Pendekar Naga Hijau
lain di kapal layar itu.
"Baik, Koko Han Jin. Kami
senantiasa siap menjaga kemungkinan yang
akan terjadi. Kami siap mempertaruhkan
nyawa untuk melindungi Koh Lie dan Nona
Cin Mei Lie," sahut salah seorang adik
seperguruannya.
"Bagus! Sebagai seorang pendekar,
kita harus bisa menjaga nama baik
Perguruan Naga Hijau. Bersiaplah, sebab
sebentar lagi kapal akan mendarat..,"
pesan pemimpin rombongan yang bernama Han
Jin pada adik seperguruanya.
Mendengar ucapan itu, adik
seperguruan Han Jin segera memberitahukan
pada delapan pemuda lain untuk bersiap-
siap menghadapi segala kemungkinan yang
bakal terjadi.
Kapal melaju dengan tenang, semakin
lama kian dekat dengan pesisir. Tanpa
mereka ketahui, dari balik semak-semak
sekitar pesisir telah siap sekelompok
anak buah Segoro Wedi untuk menunggu
kapal itu merapat. Nampaknya mereka sudah
tidak sabar lagi untuk segera menyerang.
Kepungan itu dipimpin oleh tujuh
orang kaki tangan Segoro Wedi. Masing-
masing pemimpin menempati tempat yang
telah diatur dengan seksama, hingga tidak
akan ada jalan bagi orang-orang Cina itu
untuk meloloskan diri. Strategi mereka
benar-benar matang. Terbukti dari cara
mereka bersembunyi.
Tiga kelompok yang dipimpin oleh
tiga orang kaki tangan Segoro Wedi yaitu
Raja Setan Muka Ular, Kapak Iblis dan
Tuak Iblis, berada paling depan. Mereka
akan melakukan serangan pertama.
Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak
di belakang mereka, telah siap empat
kelompok yang masing-masing dipimpin oleh
Sepasang Hantu dari Kelangit, Pedang
Akhirat dan Nyi Bangil.
Jika kelompok terdepan menghadapi
bahaya, maka empat kelompok yang ada di
belakangnya akan segera membantu. Sungguh
strategi yang hebat. Untuk membuat
strategi itu, tidak tanggung-tanggung
Segoro Wedi dan tujuh begundalnya
mengerahkan hampir delapan puluh orang
anggota. Dan telah tertanam peringatan di
benak mereka kalau mereka tidak boleh
melukai gadis Cina. Mereka harus
mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup
dan utuh. Jika gagal, sudah dapat
dibayangkan akibat 'Pukulan Pasir
Beracun', sebuah pukulan dahsyat milik
ketua mereka.
Mata mereka terus mengawasi kapal
layar yang melaju perlahan dan semakin
mendekati pesisir. Mereka tidak tahu
kalau para pendekar yang mengawal kapal
itu pun telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi.
Sebelum kapal layar itu benar-benar
merapat di pesisir, terdengar aba-aba
berkumandang lantang, seakan hendak
membelah ombak yang datang di bibir
pantai.
"Serbu...!"
Keempat pemimpin yang berada di
barisan belakang tersentak kaget. Mereka
tidak menduga sama sekali kalau pasukan
di barisan depan telah mendahului
menyerbu sebelum kapal itu merapat ke
pesisir.
Mendengar seruan dari pemimpin
mereka, serentak pasukan pada lapisan
terdepan yang terdiri dari tiga puluh
orang, berlompatan keluar dari persem-
bunyian mereka.
Para pendekar Cina yang berada di
atas kapal tersentak kaget. Beruntung
mereka telah waspada, hingga mereka tidak
panik menghadapinya. Dengan sigap,
sepuluh pendekar Cina itu menghadang di
tepian kapal yang tentunya akan dijadikan
jalan bagi penyerang untuk naik.
"Kita sambut mereka di atas!"
Terdengar perintah dari Han Jin
yang merupakan pemimpin para pendekar
Cina. Dengan tubuh tegang dan mata tak
berkedip, mata mereka mengawasi serbuan
orang-orang yang masih terus berlari
menuju ke arah kapal dan segera melompat
ke laut yang bergelombang setelah mereka
tiba di bibir pantai. Sebab, jarak kapal
dengan pantai memang masih sekitar dua
puluh lima tombak. Hal itu menguntungkan
bagi para pendekar Cina. Dengan
mengarungi laut berarti tenaga mereka
akan terkuras. Jadi ketika tiba di kapal,
tenaga mereka akan tinggal separuh.
Nafsu mereka yang terlalu menggebu,
membuat mereka luput memperhitungkan hal
itu. Mereka terus merenangi laut dan
berusaha sampai di kapal.
Ketika mereka tiba di kapal, segera
sepuluh pendekar Cina menghadang mereka.
Pedang di tangan sepuluh pendekar dari
Cina berkelebat cepat untuk membabat
penyerang yang berusaha naik ke atas
kapal.
"Hadang...! Jangan sampai ada yang
bisa naik!" teriak Han Jin sambil
mengayunkan pedang sedemikian rupa.
Gerakannya begitu cepat dan lincah,
sehingga pedang di tangannya hanya
terlihat sebagai kilatan cahaya perak
mengelilingi tubuhnya. Setiap kali
penyerang berusaha naik, dengan cepat
pedang di tangannya bergerak membabat ke
arah tubuh lawan.
Cras!
"Akh...!"
Terdengar jeritan melengking
tinggi, disusul dengan melayangnya tubuh
korban jatuh ke laut. Sesaat tubuh itu
menghilang di bawah permukaan air laut
yang tiba-tiba berwarna merah, kemudian
muncul kembali ke permukaan dengan
keadaan tak bernyawa.
Begitu juga yang dilakukan sembilan
pendekar Cina lain, mereka dengan mudah
menghalau penyerang. Pedang di tangan
mereka laksana malaikat pencabut nyawa
yang haus darah, menciptakan kelebatan
maut yang senantiasa membawa korban. Tapi
hal itu tidak menjadikan nyali anak buah
Segoro Wedi ciut, bahkan mereka semakin
buas dan beringas. Mereka berusaha naik
ke atas kapal, walau kematian siap
menghadang mereka.
Pembantaian terhadap para penyerang
membuat tiga pemimpin mereka menjadi
sengit. Ketiganya kini ikut melesat cepat
ke arah kapal yang semakin mendekati
pesisir. Hingga mereka tidak terlalu
membuang tenaga dengan mengarungi laut
untuk sampai di kapal itu.
"Bangsat! Kalian harus mampus...!"
maki Kapak Iblis murka.
Tokoh sesat bersenjatakan sepasang
kapak itu tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan senjata yang sudah terkenal
haus darah manusia. Disertai dengusan
sebagai tanda kemarahan yang tak
terbendung lagi, Kapak Iblis memburu ke
arah Han Jin. Sepasang kapaknya bergerak
dengan ganas, menimbulkan suara dengungan
yang memekakkan telinga.
Han Jin tersentak mendapat serangan
tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap
waspada, sehingga dengan memiringkan
tubuhnya ke samping, serangan itu dapat
dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir
panjang, pendekar dari Cina itu balas
menyerang dengan menusukkan pedangnya ke
tubuh lawan yang meluruk ke depan.
Kapak Iblis tersentak kaget, hampir
saja pedang di tangan lawan menghunjam
ulu hatinya, kalau saja ia tidak cepat
berkelit dengan memutar tubuh. Sementara
tangan yang memegang sepasang kapak turut
bergerak menangkis tusukan.
Tring!
Dua buah senjata beradu keras.
Memercikkan pijaran api di udara. Lalu
kedua pemilik senjata itu dengan cepat
melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis
berubah pucat ketika tangannya tergetar
akibat benturan senjata tadi. Dia sadar
kalau lawannya bukan orang sembarangan.
Tenaga dalam lawan ternyata berada dua
tingkat di atasnya. Benar-benar tidak
terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya
yang masih kelihatan muda itu memiliki
tenaga dalam hebat. Namun, bagaimana
mungkin dia harus mengakui keunggulan
lawan di depan anak buah dan
gerombolannya? Hendak ditaruh di mana
mukanya?
Sesaat mata kedua orang itu saling
berpandangan. Nampak ketenangan di wajah
Han Jin. Sepertinya, dia tidak merasakan
apa-apa atas benturan senjatanya dengan
senjata lawan. Hal itu membuat Kapak
Iblis semakin penasaran bercampur marah.
Dia mendengus, kemudian kembali
menyerang.
"Heaaa...!"
***
Sepasang senjata di tangan Kapak
Iblis bergerak dengan cepat ke arah Han
Jin, yang dengan tenang mundur sambil
mengelitkan badan ke kiri dan kanan. Lalu
dengan cepat dia balik menyerang dengan
tusukan serta babatan pedang yang
mengarah ke bagian tubuh yang mematikan.
Kapak Iblis yang sudah tahu
kehebatan tenaga dalam lawannya berusaha
menghindari bentrokan senjata. Matanya
membelalak kaget, menyaksikan serangan
lawan yang datang begitu cepat dan
mengarah ke bagian tubuhnya.
"Celaka...!" pekik Kapak iblis. Dia
tidak menyangka kalau lawan yang semula
dianggap enteng ternyata memiliki
serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Kalau tidak hati-hati, dalam beberapa
gebrakan saja dia akan menerima
kekalahan.
Han Jin yang melihat lawannya agak
kerepotan, tak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Dengan tusukan dan tebasan pedang
yang cepat, dia terus menyerang Kapak
Iblis.
"Gila...! Benar-benar gila...!"
maki Kapak Iblis sambil berusaha
berkelit. Serangan-serangan itu terus
mencecarnya. Seakan-akan tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menarik napas.
Han Jin terus memberondong dengan
kombinasi pukulan, tendangan, serta
tusukan pedangnya. Membuat Kapak Iblis
kian kewalahan. Dia hanya mampu
menghindar dari serangan, tanpa berani
untuk mengadu senjata kembali. Tapi hal
itulah yang menjadikan kedudukannya
semakin terjepit.
Gempuran-gempuran yang dilancarkan
oleh Han Jin kian cepat dan deras pada
setiap titik kematian. Tangan, kaki,
serta pedangnya silih berganti menyerang,
seakan tidak ada ruang bagi Kapak Iblis
untuk mengelak dan balik menyerang.
Kapak Iblis mencoba membuka benteng
serangan lawan dengan menyodorkan satu
serangan. Tapi hampir saja dia menjadi
korban ketika pedang lawan dengan tiba-
tiba melesat ke arah tubuhnya. Setelah
itu tak ada lagi kesempatan baginya untuk
bisa menghindar dari serangan beruntun
itu. Sebab dia baru saja melakukan salto,
sementara kakinya belum sempat menginjak
lantai kapal. Mungkin ini saat
kematianku, keluh Kapak Iblis dalam hati.
Pedang di tangan Han Jin sekejap
lagi akan melubangi ulu hatinya, ketika
sebuah benturan terjadi tiba-tiba, hingga
menyelamatkan nyawa Kapak Iblis dari
kematian.
Trang!
Han Jin menarik mundur serangannya,
matanya memandang ke arah orang yang
telah menggagalkan serangan tadi. Orang
tersebut kini terhuyung ke belakang
dengan mulut meringis sambil memegangi
tangan yang terasa ngilu. Sedangkan
pedang yang tadi digunakan untuk
menangkis, kini terpental jauh. Orang itu
yang tidak lain Raja Setan Muka Ular
membelalakkan mata. Dia tidak menyangka
kalau kejadiannya begitu tak terduga.
Raja Setan Muka Ular yang tadinya
menyangka kalau pendekar muda itu ilmunya
belum seberapa, kini harus membuka mata
dan mengakui kalau tenaga dalamnya masih
di bawah pemuda bermata sipit itu.
"Kalian mencari mampus!" dengus Han
Jin gusar, kemudian tanpa banyak kata
lagi dia berkelebat melabrak dua orang
yang menjadi lawannya dengan serangan
cepat dan sulit diduga.
"Awas...!" pekik Kapak Iblis dengan
mata membelalak menyaksikan serangan yang
begitu mendadak dan cepat. Tangannya
mendorong Raja Setan Muka Ular, sedangkan
tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri
untuk mengelakkan tusukan pedang lawan.
Ternyata dugaannya meleset, pendekar muda
itu menarik serangan pedangnya, kemudian
dengan gerakan yang sulit diduga kakinya
menendang ke arah lambung Kapak Iblis.
Deg!
Tak ampun lagi, tendangan yang
disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat
telak di lambung Kapak Iblis, mendorong
tubuhnya hingga terpental keluar dari
kapal lalu jatuh ke laut
Hal itu menjadikan Raja Setan Muka
Ular seketika terkejut. Sulit sekali
diikutinya gerakan yang dilakukan
pendekar muda dari Cina itu. Belum juga
hilang rasa kaget di hati Raja Setan Muka
Ular, tiba-tiba dia dikejutkan oleh
serangan cepat yang dilakukan oleh
pendekar muda itu. Sebuah tusukan pedang
melesat ke arah ulu hatinya. Mau tak mau
Raja Satan Muka Ular segera menjatuhkan
diri untuk menggelakkan tusukan itu.
Tangannya yang masih agak sakit langsung
digerakkan, memukul ke arah selangkangan
lawan yang dengan cepat memapaskan
pedangnya ke bawah.
"Celaka!" pekik Raja Setan Muka
Ular perlahan.
Raja Setan Muka Ular berusaha
menarik pukulannya, tapi tebasan pedang
lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding
gerakannya. Tanpa ampun lagi, pedang
lawan menebas tangan kanannya.
Cras!
"Aaa...!"
Pekik kesakitan pun keluar dari
mulut Raja Setan Muka Ular. Disusul
sebuah tendangan cepat menghantam
dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Raja Setan
Muka Ular pun terpental keluar dari kapal
dan jatuh ke air.
Empat begundal Segoro Wedi yang
masih bersembunyi di semak-semak
tersentak menyaksikan dua orang temannya
dapat dikalahkan. Kini yang tersisa di
kapal itu hanya Tuak Iblis dan beberapa
anak buahnya.
"Keparat! Kalau didiamkan terus,
korban akan semakin banyak di pihak kita.
Nampaknya Tuak Iblis pun tak mampu
berbuat banyak menghadapi serangan
pendekar-pendekar Cina itu. Kite bantu
dia," kata Pedang Akhirat "Kalian serang
sembilan pendekar lainnya. Bantu Tuak
Iblis. Kami berempat akan mengeroyok
pendekar itu. Serbu...!"
Mendengar aba-aba itu, lebih dari
lima puluh orang dengan spontan
berlompatan keluar dari persembunyian
mereka diikuti oleh empat pimpinan
mereka. Dengan semangat tinggi mereka
menyerbu ke arah kapal.
Seperti telah direncanakan, sekitar
lima puluh orang anak buah itu segera
membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan
pendekar dari Cina itu. Sedangkan empat
pemimpin mereka kini mengurung pemimpin
pendekar muda dari Cina yang sudah
diketahui berilmu tinggi.
Pertarungan yang tadinya tidak
seimbang kini bertambah seru, karena
banyak para penyerang mengalami kematian.
Bahkan dua orang pemimpin mereka entah
bagaimana nasibnya. Semangat para
penyerang yang tadinya telah melemah,
kembali berkobar. Mereka dengan berani
mencoba merangsek sembilan pendekar muda
dari Cina, walau untuk itu mereka harus
mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan
pendekar muda dari Cina itu ternyata
bukan lawan enteng. Ilmu mereka semuanya
setara, membuat gerakan mereka terlihat
demikian kompak dan cepat
Kegaduhan di atas kapal itu rupanya
mengejutkan orang yang berada di bawah.
Termasuk saudagar Cina yang bernama Koh
Lie dan anaknya, Cin Mei Lie. Ayah dan
anak itu segera naik untuk mencari tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Dan, betapa
kagetnya mereka ketika menyaksikan para
pengawal tengah bersabung nyawa.
"Oh! Apa yang terjadi. Ayah...?"
tanya gadis cantik jelita berkulit kuning
langsat itu. Di matanya terbayang
kengerian menyaksikan pertarungan yang
memakan korban hingga berserakan di atas
kapal.
Sang Ayah tak dapat menjawab. Dia
tidak tahu pasti apa yang tengah terjadi.
Saat itu, terdengar suara perintah dari
pendekar muda yang tengah dikeroyok oleh
empat penyerangnya.
"Koh Lie, cepat selamatkan diri!
Bawa Nona Mei Lie pergi...!"
DELAPAN
Koh Lie dan putrinya kebingungan.
Mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Membantu kesepuluh pendekar untuk
menghadapi pengeroyok itu, rasanya tidak
mungkin. Untuk lari juga sulit, sebab di
sana-sini terjadi pertempuran sengit yang
mengerikan.
Melihat ayah dan anak itu masih
berdiri mematung kebingungan, pendekar
muda yang tengah menghadapi keroyokan
empat lawan yang rata-rata berilmu
setingkat dengannya mau tak mau harus
membagi perhatian.
Diputarnya pedang dengan cepat
membuat suatu lingkaran untuk melindungi
dirinya dari serangan yang dilancarkan
oleh keempat lawannya.
"Cepat lari! Tak ada waktu
lagi...!" seru Han Jin lagi.
Setelah melihat tuan dan anaknya
pergi, dengan cepat perhatiannya kembali
dicurahkan pada pertempuran yang tengah
dihadapi. Jurus-jurus pedangnya semakin
dipercepat, menjadikan keempat lawannya
meski berilmu setingkat harus berhati-
hati kalau tidak ingin bernasib seperti
Kapak iblis dan Raja Setan Muka Ular.
Dengan cepat keempat orang itu berpencar
mengelakkan serangan lawan, lalu mereka
serentak menyerang dari empat penjuru.
"Heaaa...!"
Serangan lawan yang datang dari
empat penjuru angin tidak membuat
pendekar muda itu gentar. Cepat-cepat
kepalanya dirundukkan manakala senjata
milik Kelangit Anom yang berbentuk rantai
dengan ujung bola besi berduri sebesar
buah kelapa melesat ke arahnya. Pedangnya
digerakkan ke atas, menangkis serangan
senjata lawan. Sedangkan tangan kirinya
menyerang ke arah lawan yang berada di
depan.
Tring!
Terdengar suara beradu dua benda
yang terbuat dari logam keras disertai
percikan bunga api dan pekikan kaget
Kelangit Anom ketika mendapatkan Ujung
senjatanya yang terbuat dari baja telah
putus.
"Akh...!" mata Kelangit Anom
membeliak, bagai tak percaya melihat
kenyataan yang kini diterimanya.
Senjatanya yang belum pernah terkalahkan
oleh senjata lain, kini terputus oleh
hantaman pedang di tangan pendekar muda
dari Cina itu.
Kalau Kelangit Anom kaget melihat
senjatanya putus, tidak kalah kagetnya
Kelangit Sepuh yang tidak menduga kalau
dalam keadaan terjepit seperti itu, Han
Jin masih mampu melontarkan pukulan
tenaga dalam yang mengeluarkan serangkum
angin keras ke arahnya.
"Oh...!" keluh Kelangit Sepuh
melihat selarik angin melesat ke arahnya.
Kalau saja dia kurang waspada dan tidak
cepat berkelit dengan menggeser kaki ke
samping, sudah barang tentu tubuhnya
terhantam satu pukulan dahsyat. Pukulan
itu luput beberapa rambut di sampingnya.
Tak urung pakaiannya koyak akibat
terserempet angin pukulan lawan.
Darrr!
Pukulan 'Naga Menyibak Samudera'
yang dilontarkan Han Jin menghantam sisi
kapal yang seketika hancur berantakan,
membuat beberapa penyerang yang berada di
dekatnya terpental. Mereka adalah
penyerang yang umumnya berilmu rendah.
Tubuh mereka langsung tertindih serpihan
kayu-kayu kapal. Sedangkan penyerang yang
berilmu lumayan melompat cepat untuk
menyelamatkan diri agar terhindar dari
bencana itu.
Ketika kapal itu sudah benar-benar
merapat di satu dermaga kecil, maka
pertarungan dilanjutkan di darat. Dengan
begitu, tampak gerakan mereka semakin
leluasa.
Han Jin segera saja mencari tempat
yang luas untuk menghadapi empat
pengeroyoknya yang mengejar tanpa mau
membiarkan pendekar muda itu lepas.
"Mau lari ke mana, heh?!" bentak
Pedang Akhirat
"Aku bukanlah pengecut seperti
kalian yang main keroyok! Aku hanya
mencari tempat yang agak lapang agar
dapat leluasa membantai kalian!" tantang
Han Jin lantang. Dengan segera
disiapkannya jurus-jurus andalan.
Pedangnya dihunus di depan muka,
sementara matanya mengawasi gerakan
keempat orang yang mengurungnya.
"Heaaa...!"
"Hiaaat...!"
Empat orang itu menyerbu kalap
dengan senjata di tangan masing-masing,
diikuti pekikan membahana. Tubuh mereka
bergerak laksana terbang dengan senjata
mengarah ke satu sasaran yang nampaknya
masih tenang dan hanya menggeser-geser
kakinya. Baru ketika keempat penyerang
itu semakin dekat Han Jin bergerak cepat
Tubuhnya diputar sedemikian rupa,
sementara pedang di tangan kanannya
bergerak membabat ke segala penjuru,
sedangkan tangan kirinya memukul dengan
pukulan dahsyat yang terbukti mampu
menghancurkan kapal.
"Heaaa...!"
Melihat gerakan lawan yang begitu
cepat seketika keempat penyerang
tersentak. Mereka segera melompat mundur,
kemudian dengan cepat mengubah
serangannya dan kembali melompat
menyerang.
"Hiaaat..!"
Kembali senjata di tangan keempat
begundal Segoro Wedi bergerak ke satu
titik di mana lawan berada. Kini mereka
benar-benar tak akan merubah lagi jurus
serangannya. Mereka telah
memperhitungkannya masak-masak serangan
itu. Tenaga dalam mereka telah disalurkan
ke tangan kanan yang menggenggam senjata
masing-masing. Hingga laju senjata di
tangan mereka mampu mengeluarkan angin
dahsyat
Han Jin merasakan angin serangan
yang menerpanya begitu dahsyat. Namun
sebagai pendekar yang telah menjalani
gemblengan keras, wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan rasa kaget apalagi
gentar.
Pedangnya digerakkan dengan
membentuk putaran di atas kepala.
Sementara tangan kirinya yang tidak
bersenjata, turut menghempas pukulan
dahsyat ke depan, sedangkan kaki kanannya
dengan gerakan tak kalah gesit, menyepak
ke belakang. Sungguh sebuah gerakan yang
sangat hebat. Jarang orang bisa melakukan
gerakan-gerakan seperti itu. Hampir semua
anggota tubuhnya merupakan senjata ampuh.
"Heaaa...."
Keempat penyerang kembali harus
membuka mata menyaksikan gerakan yang
aneh dan dahsyat itu. Akan tetapi, tak
ada kesempatan lagi bagi mereka untuk
menarik serangan karena jarak antara
mereka dengan Han Jin telah demikian
dekat.
Trang!
Benturan senjata mereka dengan
pedang Han Jin terjadi, menciptakan
percikan api dan keterkejutan keempat
penyerangnya. Tangan mereka seperti
kesemutan.
Sementara itu, Han Jin rupanya
mengalami luka dalam yang cukup parah
akibat benturan tadi. Hingga dari sudut
bibirnya meleleh darah kehitaman. Han Jin
menggeleng-gelengkan kepala, berusaha
menghilangkan rasa pening yang berdenyut.
Matanya sedikit berkunang-kunang membuat
pandangannya agak meremang.
Di lain pihak, ternyata salah
seorang dari penyerang, yaitu Kelangit
Anom, nampak tergeletak tanpa nyawa. Di
dadanya tergurat tanda hitam berbentuk
cakar naga. Ternyata ketika mereka
menyerang, 'Pukulan Cakar Naga' yang
dilontarkan Han Jin tak mampu dielakkan
Kelangit Anom. Tanpa ampun lagi, pukulan
dahsyat itu harus diterimanya.
Di sisi lain, Nyi Bangil nampak
memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia
berusaha menahan rasa sakit akibat
tendangan yang dilancarkan Han Jin.
Gerakan tendangan tadi yang begitu cepat,
hingga sulit baginya untuk mengelak.
Sedangkan Kelangit Sepuh dan Pedang
Akhirat masih tertegun merasakan tangan
mereka yang berdenyut keras, sehingga
mereka tak segera bertindak menghabisi
Han Jin yang kini terluka dalam. Mereka
sama sekali tidak menyangka, kalau tenaga
dalam Han Jin masih mampu mengimbangi
tenaga dalam mereka. Padahal mereka
terdiri dari empat tokoh yang rata-rata
berilmu tinggi dan disegani di rimba
persilatan.
Sementara itu, sembilan pendekar
muda dari Cina lainnya tampak masih sibuk
menghadapi keroyokan yang dilakukan oleh
Tuak Iblis dan anak buahnya yang
berjumlah cukup banyak. Ada sekitar dua
puluh orang yang terus berusaha menekan
mereka yang pantang menyerah. Sedangkan
Tuak Iblis dengan senjata tuaknya tak mau
ketinggalan untuk menggempur sembilan
pendekar muda itu.
"Serang -terus! Habisi mereka...!"
seru Tuak Iblis sambil menenggak tuaknya.
Kemudian, dengan gerakan mulut yang aneh,
disemburkannya tuak itu....
Wusss!
Tuak yang menyembur dari mulut Tuak
Iblis melesat cepat ke arah seorang dari
Pendekar Naga Hijau yang bernama Can Kok
Han yang tengah dikeroyok oleh anak
buahnya. Can Kok Han yang perhatiannya
tidak tertuju pada Tuak Iblis, tak dapat
lagi mengelakkan serangan tersebut
"Cuhhh...!"
"Akh...!"
***
Can Kok Han menjerit. Sesaat
tubuhnya menggelepar-gelepar kejang
dengan tangan menutupi mukanya yang
terasa sangat panas bagaikan terbakar.
Bahkan dari mukanya mengepul asap. Lalu,
tak begitu lama kemudian tubuhnya
meregang dan mati.
Pertarungan semakin bertambah seru
dengan matinya salah seorang dari
sembilan Pendekar Naga Hijau dari Cina.
Semangat anak buah Tuak Iblis yang semula
surut kembali berkobar. Mereka dengan
berani kembali merangsek ke arah lawan
yang tinggal delapan orang.
Kenekatan mereka tak dilandasi
perhitungan, sehingga dengan cepat
serangan mereka dapat dipatahkan oleh
delapan adik seperguruan Han Jin yang
memiliki kepandaian di atas lawan-
lawannya. Hingga pedang di tangan mereka
laksana malaikat maut yang dengan enteng
mencabut nyawa.
"Bangsat! Ini tidak bisa
didiamkan!" dengus Tuak Iblis yang
kemudian melesat untuk membantu anak
buahnya yang semakin bertambah kacau.
Tuak Iblis meneguk araknya dari
guci. Kemudian dengan penuh amarah yang
meledak-ledak dl dada, Tuak Iblis
menyerang ke arah orang ketiga dari para
pendekar dari Cina yang bernama Lie Sauw
Liang. Guci tuaknya bergerak cepat,
menyerang ke arah pendekar itu.
"Pecah kepalamu!" bentak Tuak
Iblis.
Lie Sauw Liang tersentak, tak
menyangka akan diserang begitu cepat dan
tiba-tiba. Padahal saat itu dia tengah
menghadapi gempuran anak buah Tuak Iblis.
Untuk melindungi diri dari serangan Tuak
Iblis, Lie Sauw Liang membabatkan pedang
untuk memapak luncuran guci. Secepat itu
pula Tuak Iblis menyemburkan tuaknya ke
muka lawan, hingga lawan yang tidak
menduga akan diserang oleh semburannya
tak mampu lagi mengelak.
"Cuhhh...!"
"Aaa...!" Lie Sauw Liang menjerit
merasakan wajahnya terasa sangat panas.
Tangannya segera mendekap ke arah wajah.
Tubuhnya tak lama kemudian meregang dan
mats seperti yang dialami oleh temannya
yang menjadi korban pertama.
Melihat dua orang temannya mat],
ketujuh orang pendekar muda dari Cina itu
menjadi kalap. Terlebih-lebih ketika
melihat kakak seperguruan mereka tengah
mengalami luka dalam dan nampaknya sulit
untuk bebas dari kepungan lawan. Ketujuh
pendekar muda dari Cina itu kini menjadi
nekat. Mereka menyerang membabi buta,
mencurahkan serangan yang cukup berbahaya
bagi para pengeroyok.
Tuak Iblis yang telah berhasil
membinasakan dua dari sembilan pendekar
muda itu terbahak-bahak. Dia semakin
bersemangat. Serangan dengan guci tuaknya
kian gencar. Sesekali Tuak Iblis
menenggak tuak mautnya disertai serangan
ke arah lawan.
Pedang di tangan Tan Bing It
bergerak cepat, membabat dan menusuk ke
arah tubuh Tuak Iblis. Kaki dan tangan
kirinya pun turut bergerak menangkis dan
menyerang.
"Cuhhh...!"
Tuak Iblis menyemburkan lagi tuak
mautnya. Dengan cepat pendekar muda yang
diserangnya melenting dengan tubuh
bersalto untuk mengelakkan serangan itu
hingga luput dan tuak maut. Namun belum
juga kakinya sempat menginjak tanah,
serangan dari Tuak Iblis menyusul. Guci
tuak yang juga merupakan senjata yang
tidak boleh dipandang ringan, mendesing
ke arah tubuhnya.
Tan Bing It berusaha berkelit
dengan membuang tubuhnya ke samping. Tapi
sebuah tendangan kaki kiri yang
dilancarkan oleh Tuak Iblis mengha-
dangnya. Pendekar muda itu hendak
melakukan gerakan menghindar, namun
tendangan Tuak Iblis lebih cepat
Buggg!
"Huk....!"
Tubuh Tan Bing It terhuyung ke
belakang dengan mata melotot berusaha
menahan rasa sakit akibat tendangan pada
lambungnya itu. Tangannya mendekap bagian
tubuh yang terasa sakit hingga tubuhnya
membungkuk. Pada saat itu, sebatang
tombak tanpa dapat dielakkan menghunjam
dari belakang, tembus hingga ke ulu hati.
"Aaa...!"
Pendekar malang itu memekik dengan
mata melotot. Tangannya berusaha mencabut
tombak yang menancap di punggungnya,
namun maut telah mendahului. Tubuhnya
limbung, kemudian jatuh terkulai tanpa
nyawa.
Kepanikan datang mendera keenam
pendekar muda dari Cina yang masih hidup,
terlebih ketika mereka mendengar jeritan
yang menyayat. Ketika mata mereka melirik
ke arah kakak seperguruan mereka yang
tengah menderita luka dalam, mata mereka
membelalak khawatir.
Han Jin terlihat memegangi
kepalanya yang melelehkan darah, tersabet
pedang di tangan Pedang Akhirat. Han Jin
masih berusaha mempertahankan diri, akan
tetapi darah yang banyak keluar
menjadikannya tak mampu. Tubuhnya ambruk
dan mati.
Tuak Iblis yang melihat gelagat itu
dengan segera memberi semangat pada sisa-
sisa anak buahnya yang masih berjumlah
dua puluh lima orang.
"Habiskan mereka!"
Pertarungan jelas semakin tidak
seimbang dengan hilangnya rasa percaya
diri pada keenam pendekar muda dari Cina
itu. Hal itu cukup menguntungkan bagi
Tuak Iblis dan anak buahnya. Mereka terus
merangsek, berusaha secepat mungkin
menghabisi keenam pendekar dari Cina itu.
Hal itu menjadikan serangan yang
dilakukan tidak lagi terarah, hingga
mereka harus menerima kenyataan pahit
Ternyata dalam keadaan putus asa,
keenam pendekar dari Perguruan Naga Hijau
itu melakukan pertarungan dengan nekat
dan untung-untungan. Tanpa ampun lagi,
korban kembali berjatuhan, baik dari anak
buah Tuak iblis maupun dari pendekar-
pendekar Cina itu sendiri
Kini tinggal seorang lagi dari
sepuluh pendekar muda Cina yang masih
hidup. Sedangkan di pihak Tuak Iblis,
tinggal Tuak iblis seorang diri. Mereka
kini saling berhadapan, siap melakukan
pertarungan penentuan. Tak begitu lama
kemudian, dengan diikuti pekikan dahsyat
keduanya sama-sama melesat ke udara untuk
melakukan serangan.
"Heaaa...!"
Tuak Iblis menghantamkan gucinya ke
arah lawan yang dengan cepat berkelit
memiringkan tubuhnya dengan menggeser
kaki agak melebar. Kemudian dengan cepat
tangan kanannya yang memegang pedang
bergerak menusuk ke arah ulu hati Tuak
Iblis. Tusukan pedang yang cepat itu
hampir saja melubangi ulu hati Tuak Iblis
kalau dia tidak segera merundukkan tubuh
ke bawah dengan cepat lalu menggeser kaki
kanannya untuk melakukan tendangan dengan
kaki kanan.
Melihat serangan datang, dengan
cepat Sun Peng menarik serangannya, lalu
pedangnya dikibaskan ke kaki Tuak Iblis
yang mengarah ke selangkangannya.
Tuak Iblis tersentak. Serangannya
berusaha ditahan, namun terlambat.
Tebasan pedang lawan telah sulit untuk
dielakkan.
"Celaka...!"
Tuak Iblis menjatuhkan diri ke
tanah, tangan kirinya cepat mencengkeram
selangkangan lawan. Gerakan itu bersamaan
dengan tebasan pedang Sun Peng ke arah
leher Tuak Iblis. Seketika keduanya
menjerit
Sun Peng matanya melotot karena
kemaluannya hancur teremas tangan Tuak
Iblis, kemudian tubuhnya limbung dan
jatuh ke tanah tanpa nyawa. Keadaan Tuak
Iblis juga tak kalah mengerikan. Lehernya
terpenggal. Kepalanya tergulir lepas dari
tubuh dengan mata melotot.
Pedang Akhirat, Kelangit Sepuh, dan
Nyi Bangil yang telah sembuh dari rasa
sakit akibat tendangan lawan tak mampu
berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu
melihat bagaimana dua orang itu mati.
"Hai, sejak tadi kita tidak ingat
pada gadis itu! Bagaimana kalau gadis itu
mati? Bisa celaka kita. Ayo, kita cari di
kapal!" ajak Pedang Akhirat pada kedua
rekannya yang segera ikut berlari.
Ketiga tangan kanan Segoro Wedi
yang masih hidup segera mencari gadis
Cina itu, namun mereka tidak
menemukannya.
"Celaka! Rupanya mereka pergi
ketika kita sedang bertarung. Mari kita
kejar, jangan pulang sebelum kita dapat
menemukan gadis itu...," seru Pedang
Akhirat dengan wajah tegang.
Mereka tahu apa yang akan
didapatkan jika gadis Cina itu tidak
ditemukan. Tanpa membuang-buang waktu,
ketiga begundal Segoro Wedi itu lari
meninggalkan tempat yang kini terhias
oleh puluhan mayat.
SEMBILAN
Pemuda tampan berompi kulit ular
yang tidak lain Sena Manggala tengah
meneruskan langkah kakinya, setelah duduk
istirahat di sebuah dahan pohon. Baru
saja hendak meneruskan langkahnya, tiba-
tiba pendengarannya yang tajam mendengar
jeritan kematian. Disusul oleh suara
teriakan seorang wanita.
Pemuda bertingkah laku seperti
orang gila itu kembali menghentikan
langkahnya. Tangannya menggaruk-garuk
kepala, sedangkan keningnya berkerut.
"Oh, sungguh tiada hentinya
pembunuhan dan perkosaan di dunia ini.
Baru saja kulihat mayat-mayat
bergelimpangan di pantai utara. Kini,
kudengar suara kematian dan jeritan
seorang wanita. Hm, hidup...," gumam
Sena. Nalurinya seketika menyeret kakinya
untuk melihat apa yang telah terjadi.
Baru beberapa langkah dia ke utara,
matanya melihat seorang gadis cantik
berkulit kuning, langsat dengan mata agak
sipit tengah berlari sambil berusaha
memapah seorang lelaki yang telah lemah.
Di punggung lelaki setengah baya itu,
menancap sebuah senjata rahasia yang
beracun. Hal itu terlihat dari wajahnya
yang kebiru-biruan.
"Mei Lie, cepatlah pergi.
Selamatkan dirimu...," ujar lelaki
setengah baya itu dengan suara lirih,
mengharap anaknya yang bernama Mei Lie
pergi untuk menyelamatkan diri.
"Tidak, Ayah.... Ayah tak boleh
mati...."
Gadis itu menangis sambil terus
berusaha mendukung tubuh sang Ayah yang
semakin lama bertambah lemah, hingga pada
akhirnya ambruk.
"Ayah...!" pekik gadis Cina itu,
menangisi kematian ayahnya.
Hati Sena terenyuh melihat
kesedihan yang dialami oleh gadis Cina
itu. Perlahan kakinya melangkah mendekati
gadis itu, kemudian dengan pelan
dipegangnya pundak si gadis.
"Nona..., sudahlah. Jangan kau
tangisi. Ayahmu telah meninggal. Semua
sudah menjadi suratan."
Mei Lie dengan terisak memandang
Sena. Kakinya tiba-tiba menyurut mundur
dengan pandangan takut. Melihat hal itu,
Sena segera memperkenalkan dirinya.
Dengan harapan, gadis itu tidak takut
lagi. Tapi usahanya itu tidak mengubah
keadaan.
"Nona, aku tidak bermaksud jahat
padamu," ucap Sena, mencoba meyakinkan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala,
sedangkan mulutnya nyengir. "Aku tak tahu
harus berkata apa. Tapi percayalah, aku
bukan orang jahat seperti yang Nona
duga."
Mei Lie tak lagi melangkah mundur.
Matanya yang agak sipit namun lentik dan
indah, memandangi sosok di hadapannya
dari ujung kaki hingga ujung rambut
"Maafkan atas prasangka burukku
tadi...."
"Tidak apa... Kau orang asing di
sini dan nampaknya baru mengalami suatu
kejadian yang menyedihkan. Kalau boleh
kutahu, bagaimana ceritanya hingga Nona
sampai tersesat ke tanah Jawa Dwipa ini?
Lalu siapakah lelaki ini?" tanya Sena
hati-hati.
Mei Lie kembali terisak, kemudian
menceritakan semua yang terjadi atas
dirinya juga ayah serta para pengawalnya.
"Entah mengapa, mereka sepertinya
tidak bermaksud membunuhku," tutur Mei
Lie setelah menceritakan semua kejadian
yang menimpa mereka.
"Jadi, mayat-mayat yang kemarin
kutemui, adalah mayat para pengawal kapal
ayah Nona?" tanya Sena berusaha
memastikan.
"Tidak semuanya. Pengawal kami
hanya sepuluh orang. Selebihnya adalah
begundal orang yang kudengar bernama
Segoro Wedi," jawab Mei Lie menegaskan,
membuat mata pemuda itu membelalak
mendengar nama Segoro Wedi kembali
diucapkan oleh seseorang sebagai simbol
kejahatan dan kekejaman.
Ingatan pemuda tampan yang tingkah
lakunya seperti orang gila itu seketika
kembali ke masa sepuluh tahun silam. Saat
ayah dan ibunya dikeroyok oleh Segoro
Wedi dan begundalnya. Dia sudah
mendatangi desa di tempat dia dilahirkan.
Di sana telah didapatnya berita kalau
ayah dan ibunya mati di tangan Segoro
Wedi.
"Jahanam! Orang itu benar-benar
jahanam!" dengus Sena seraya mengepalkan
tinjunya. Tapi secepat itu pula, pemuda
itu tersenyum-senyum seraya menggeleng-
gelengkan kepala. "Ah, sayang guru
melarangku untuk mendendam. Kalau saja
tidak...."
Sena tidak meneruskan kata-katanya,
tapi kembali mulutnya bertanya pada Mei
Lie.
"Nona, kulihat tadi kau dan ayahmu
berlari-lari. Kenapa?"
Setelah menyeka air matanya, Mei
Lie kembali bercerita sewaktu dia dan
ayahnya berlari meninggalkan kapal.
Setelah seharian berlari, akhirnya mereka
berhenti untuk istirahat. Tetapi rupanya
Segoro Wedi dan ketiga temannya yang
masih hidup terus berusaha memburu.
Hingga akhirnya Segoro Wedi dan
begundalnya menemukan mereka. Kejar-
mengejar kembali terjadi.
"Seorang di antara mereka
melemparkan pisau beracun ke arah ayahku,
hingga Ayah mengalami kematian," isak
gadis itu tak terbendung, setelah
menceritakan semua kejadian yang menimpa
dirinya dan ayahnya.
"He he he.... Jadi Segoro Wedi ikut
mengejar?" tanya Sena sambil menggaruk-
garuk kepalanya.
Mei Lie mengangguk perlahan. Isak
tangisnya masih saja bersambung. Gadis
itu benar-benar hancur hatinya, karena
ayahnya telah mati di tangan Segoro Wedi
***
"Mau lari ke mana, Manis? Bukankah
lebih baik kau menuruti keinginanku untuk
menjadi istriku.... Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras
dari arah hutan yang membuat Mei Lie
tersentak. Seketika tubuhnya menggigil
ketakutan setelah mengenali suara itu.
Gadis Cina itu hendak pergi meninggalkan
Sena, tapi dengan cepat pemuda itu
mencegahnya.
"Tak usah lari, Nona...."
"Kenapa? Apakah kau teman mereka?"
tanya Mei Lie semakin ketakutan. Matanya
memandang tajam ke wajah pemuda yang
masih tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala itu.
"Bukan, aku bukan teman mereka,"
sahut Sena.
"Lalu, kenapa kau melarangku lari?"
tanya Mei Lie kembali dengan kecemasan
terlintas di wajahnya. Apalagi ketika
matanya melihat empat orang keluar dari
dalam hutan. Seorang di antaranya adalah
lelaki setengah baya dengan harpa
bertengger di punggungnya. Bibirnya
menyeringai, membuat gadis Cina itu
semakin ketakutan. Seluruh badannya makin
gemetaran.
Mei Lie berusaha melepaskan tangan
Sena yang masih menahannya agar tidak
pergi.
"Lepaskan tanganku. Tolonglah...!"
pinta gadis itu semakin bertambah
ketakutan, sebab orang-orang yang
mengejarnya kini semakin mendekat. Tetapi
pemuda itu malah cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala seperti orang
gila.
"Tenanglah, Nona. Ketenangan akan
membuat semua masalah beres. He he
he...!" usai berkata begitu, Sena kembali
cengengesan.
Mei Lie akhirnya mau menuruti
nasihat Sena. Sementara pemuda itu
memandang keempat orang yang menatap
mereka dengan angkuh dan tajam. Detak
jantung Sena terhenti sesaat dan matanya
terbelelak lebar manakala melihat lelaki
angkuh berjubah merah dengan harpa di
punggungnya.
Ingatan pemuda tampan berompi kulit
ular itu kembali melayang ke masa sepuluh
tahun silam, bagaimana lelaki yang kini
melangkah ke arahnya berusaha memerkosa
ibunya. Inikah Segoro Wedi? Tanya Sena
dalam hati seraya memandang tajam lelaki
yang masih terlihat tampan itu.
Satu persatu, ditatapnya keempat
orang itu. Tiga orang telah dikenalnya.
Merekalah yang dulu telah menghancurkan
keluarganya. Tapi wanita muda dan cantik
itu, tidak dikenalinya.
"Anak muda, berikan gadis itu
padaku! Lalu cepatlah minggat dari
hadapanku!" bentak Segoro Wedi,
menyentakkan pemuda yang masih
memandangnya.
Sena tertawa nyaring. Kemudian
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kurasa aku tidak bisa
mengabulkan permintaanmu, sebelum aku
tahu apakah gadis ini mau atau tidak jika
kau ajak. Bagaimana, Nona? Apakah kau mau
ikut dengannya?"
Tidak! Aku tak sudi menjadi istri
pembunuh ayahku!" sentak Mei Lie dengan
mata terbakar dendam, memandang liar ke
arah Segoro Wedi.
Sena kembali tertawa riuh,
tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah
laku pemuda itu seketika menyentakkan
keempat orang di depannya. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, inikah pemuda
gila yang dimaksudkan Wangsana?
"Anak muda, jangan berlaku kurang
ajar di hadapanku! Cepat serahkan gadis
itu padaku, atau terpaksa kami
menghajarmu!"
"Ha ha ha...! Lucu sekali kau,
Orang Tua! Tak ada angin, tak ada hujan.
Mengapa kau mau menghajarku? Ah, aneh....
Aneh sekali," ejek pemuda itu diiringi
tawa terbahak. "Mengapa orang masih saja
suka memaksakan kehendak?"
Tanpa menghiraukan semua orang yang
ada di situ, Sena berdendang menyanyikan
sebuah syair lagi. Syair itu menceritakan
tentang sebuah kejadian sepuluh tahun
yang silam, di mana sepasang pendekar
suami istri dan keluarganya menjadi
korban dari sifat tamak dan keji orang
yang selalu berusaha memaksakan kehen-
daknya.
"Bocah edan! Apa maksud syair yang
kau nyanyikan itu, hah?!" bentak Segoro
Wedi yang terkejut mendengar syair itu.
Sena menghentikan nyanyiannya.
Wajahnya ditengadahkan memandang ke
langit yang biru, kemudian dia tertawa
sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah
lakunya itu membuat Segoro Wedi
mengerutkan kening. Dia teringat akan
seorang pendekar sakti yang selama hidup
belum ada yang mampu menandingi ilmu-ilmu
yang dimilikinya. Tapi pendekar itu
hilang puluhan tahun yang silam. Kemudian
muncul seorang yang mirip dengan pendekar
itu, bernama Singo Edan.
Tidak mungkin! Singo Edan pun telah
hilang dari dunia persilatan. Lalu, ada
hubungan apakah pemuda ini dengan kedua
orang itu? Tanya hati Segoro Wedi,
mencoba menerka-nerka siapa sesungguhnya
pemuda gila di hadapannya.
"Orang tua, bukannya aku tak tahu
apa maksud syair yang baru saja
kudendangkan tadi, tapi tentunya kau dan
kedua temanmu sudah mengerti," jawab Sena
dengan tenang. Bibirnya masih
cengengesan. Jawaban itu membuat Segoro
Wedi dan kedua temannya semakin terkejut.
Mereka telah menduga, kalau syair itu
memang ditujukan kepada mereka.
"Bocah edan! Cepat katakan, siapa
kau sebenarnya?!" bentak Segoro Wedi
gusar, merasa dipermainkan oleh pemuda
sinting yang dianggapnya masih bau kencur
dan tidak memiliki apa-apa.
Sena yang mendapat julukan Pendekar
Gila sesaat memandang Mei Lie, lalu
beralih menatap Segoro Wedi dengan
tatapan tajam.
"Orang tua, sesungguhnya kau yang
telah banyak makan asam garam kehidupan,
sudah tahu siapa aku. Tapi baiklah,
kuberi tahu siapa aku sebenarnya. Pasang
telinga kalian baik-baik. Aku bocah kecil
yang kedua orangtuanya kalian bantai.
Ayahku bernama Citra Yuda, kakak
seperguruanmu...."
Sesaat Sena menghentikan ucapannya,
memandang lekat wajah Segoro Wedi yang
berubah terkejut. Pemuda itu terkekeh,
seakan perubahan wajah Segoro Wedi
merupakan hal lucu yang tak mampu menahan
tawanya.
"Ibuku bernama Dewi Rukmini.
Seorang wanita yang setia pada suaminya.
Dan karena cinta butamu, kau berusaha
memperkosa ibuku. Nah! Cukup jelas,
bukan?"
Merah padam wajah Segoro Wedi
dilanda amarah. Kini tak ada waktu lagi
untuk membiarkan pemuda gila itu hidup.
Pemuda itu akan senantiasa menjadi duri
dalam setiap sepak terjangnya. Dengan
mendengus sengit Segoro Wedi berseru
memerintahkan pada ketiga rekannya untuk
menyerang.
"Bunuh pemuda sinting itu...!"
Tanpa diperintah dua kali, ketiga
pengikutnya segera menyerang pemuda gila
yang masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala menyaksikan tiga orang
menerjang ke arahnya.
"Bocah edan! Terimalah kematianmu!
Heaaa...!"
Pedang Akhirat yang sudah tahu
siapa pemuda yang menjadi lawannya, kini
tidak tanggung-tanggung menyerang.
Niatnya untuk menghabisi nyawa pemuda itu
menggebu. Bagaimanapun juga, dia adalah
seorang yang turut terlibat pembantaian
kedua orang tua pemuda itu. Pedang di
tangannya bergerak cepat, menusuk ke ulu
hati lawan.
Sena Manggala yang diberi julukan
Pendekar Gila tersentak kaget mendapatkan
serangan yang cepat dan tiba-tiba. Hampir
saja pedang itu menghunjam di ulu
hatinya, kalau saja pemuda itu tidak
segera sadar dan menggeser kakinya ke
belakang. Kemudian tubuhnya disorongkan
ke kiri, mengelakkan hantaman senjata di
tangan Kelangit Sepuh.
Serangan mereka dapat dielakkan
Pendekar Gila yang dengan cepat bergerak
ke arah semula. Disusul satu gerakan aneh
yang kelihatannya sangat lemah gemulai,
mirip gerakan orang gila yang sedang
menari sambil sesekali menepukkan tangan.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat', salah satu dari jurus 'Ilmu Silat
Si Gila'.
Ketiga orang lawannya terkejut
menyaksikan jurus aneh yang dilakukan
pemuda itu. Mereka menyangka jurus
tersebut sangat lemah, terbukti dari
gerakan-gerakannya yang terlihat sangat
lamban dan lowong.
Pedang Akhirat kembali merangsek
dengan tusukan pedang dan pukulan tangan
kiri ke arah lawan. Tapi kali ini dia
harus membuka mata lebar-lebar, serta
menarik kedua serangannya dengan cepat
kalau tidak ingin celaka. Ketika pedang
di tangan kanan Pedang Akhirat menusuk
yang disusul oleh pukulan tangan kirinya
tadi, rupanya pemuda itu membabatkan
kedua tangannya pada dada Pedang Akhirat
Gemulai sekali gerakan kedua kaki
dan tangan pemuda itu, membuat Pedang
Akhirat berusaha kembali merangseknya.
Tapi gerakan yang nampaknya lamban itu
justru mengandung kekuatan yang kuat.
Dari angin pukulannya saja, sudah dapat
diketahui bagaimana dahsyatnya gerakan
itu. Itu pun belum seberapa, ada yang
lebih mengejutkan Pedang Akhirat ketika
telapak tangan pemuda itu menepuk.
"Celaka...! Jurus gila...!" pekik
Pedang Akhirat kaget, Dia segera melompat
ke belakang untuk menarik tangannya. Tapi
justru dengan menarik serangan itu,
dirinya kini balik diserang.
Sena masih menggerakkan kedua
tangannya seperti menari dengan lemah
gemulai. Sesekali tangannya menepuk
bagaikan memburu lalat. Kedua kakinya pun
turut bergerak, melangkah dengan teratur.
Pedang Akhirat benar-benar terkejut
dibuatnya. Segenap tenaganya telah
dikerahkan untuk mengelitkan serangan
itu. Tapi entah bagaimana caranya, tiba-
tiba tangan pemuda itu telah berada
persis di depannya. Hampir saja dadanya
terhajar kibasan punggung tangan itu.
"Uts...! Keparat! Pemuda gila ini
benar-benar bukan pemuda sembarangan,"
maki Pedang Akhirat sambil terus bergerak
mengelakkan serangan lawan yang datang
secara aneh dan susul-menyusul bagaikan
tiada henti. Dia makin tidak mengerti,
bagaimana mungkin gerakan yang terlihat
lamban itu bisa mengejar tubuhnya yang
telah mengerahkan seluruh ilmu peringan
tubuh untuk menghindar?
Kedua orang temannya pun seperti
terpaku dengan jurus-jurus yang
dilancarkan pemuda itu. Keduanya terpana
dan hanya menjadi penonton. Sedangkan
Segoro Wedi telah hilang entah ke mana
bersama gadis Cina yang telah ditotoknya.
Sambil menyerang dengan jurus-jurus
'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena
melirik ke tempat Mei Lie berada. Dia
terkejut ketika tak melihat gadis itu,
begitu juga Segoro Wedi. Pikirannya
buyar, hingga dia menjadi lengah.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
Pedang Akhirat yang segera menendang ke
arah dagu lawan.
Deggg!
"Akh...!" Sena mengeluh tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang,
dan dari sela bibirnya mengalir darah
segar. Pendekar Gila meringis, kemudian
menyeka darah di sela bibirnya dan
diludahkan ke tanah.
Merasa telah dapat menyarangkan
sebuah tendangan ke dagu lawan, Pedang
Akhirat kembali berkelebat menyerang
sebelum pemuda itu sempat menguasai
keseimbangannya. Sebuah tendangan,
pukulan, serta tusukan pedang mengancam
jiwa Pendekar Gila.
"Mampuslah kau, Bocah Edan!
Heaaa...!" Sena tersentak kaget ketika
ujung pedang semakin dekat ke ulu
hatinya. Cepat-cepat kakinya digeser ke
samping untuk mengelitkan tusukan itu
sambil melancarkan tepukan ke arah kening
lawan.
Tusukan Pedang Akhirat dapat
dielakkan, tapi pukulan dan tendangan itu
telak menghantam dada dan perutnya,
bersamaan dengan tepukan tangannya yang
mendarat di kening Pedang Akhirat
"Ukh...!"
Tubuh Sena kembali terhuyung-huyung
ke belakang. Darah segar makin banyak
keluar dari mulutnya. Kedua tangannya
memegangi dada dan perutnya yang agak
sakit. Sedangkan mulutnya yang basah oleh
darah, meringis-ringis dengan napas
terasa agak sesak.
Sementara apa yang dialami oleh
Pedang Akhirat jauh lebih parah. Akibat
tepukan tangan Pendekar Gila, kening
Pedang Akhirat hancur dengan memuncratkan
darah. Matanya melotot mengerikan.
Melihat temannya mati, Kelangit
Sepuh yang juga terlibat pembunuhan kedua
orang tua pemuda itu berusaha menyerang,
selagi pemuda itu masih dalam keadaan
luka dalam.
Benda bulat berduri kini mendesing
di atas kepala Sena. Dan sambil menahan
rasa sakit, kakinya digeser agak
mendatar, kemudian mendoyongkan tubuhnya
ke samping kanan.
Benda bulat berduri itu lalu
menghantam ruang kosong. Pemuda tampan
itu dengan masih menahan rasa sakit,
kembali bergerak mengelitkan serangan
susulan benda bulat berduri yang berada
di tangan Kelangit Sepuh. Benda itu terus
mencecarnya, seperti tidak memberi
kesempatan padanya untuk mengatur napas.
"Pecah batok kepalamu, Bocah
Gila...!" bentak Kelangit Sepuh sambil
menyerang kembali dengan senjata mautnya.
Bola baja berduri itu sekali lagi
mengancam kepala Sena. Dan, kalau tidak
dapat dielakkan, pasti kepalanya akan
hancur. Meski pemuda itu merasakan rasa
sakit yang tak terkira di dada dan
perutnya, dia tetap berusaha bertahan
dari serangan lawan.
Singgg...!
Senjata lawan menderu ke arah
Pendekar Gila. Sesaat lagi, pasti batok
kepalanya akan remuk dihantam rantai
berduri milik lawan. Dalam keadaan
kritis, pemuda itu mencabut Suling Naga
Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian
ditebaskannya suling itu ke atas dengan
mengerahkan sisa tenaga dalamnya yang
dilapisi Racun Kabut Ungu.
"Heaaa...!"
Trang!
Percikan bunga api keluar ketika
dua senjata itu beradu.
Pendekar Gila terpental, jatuh
terduduk dengan darah meleleh dari sela-
sela bibirnya. Sedangkan mata Kelangit
Sepuh melotot tegang ke arahnya. Dari
mulutnya keluar kata terputus-putus.
"Kau.... Kau Pendekar Gila.... Kau
pemilik Racun..., Ka...."
Belum usai ucapannya, tubuh
Kelangit Sepuh telah terjungkal setelah
mengeluarkan darah kehitaman. Sesaat dia
mengerang, kemudian mati dengan tubuh
biru!
Nyi Bangil terlonjak ke belakang
dengan mata melotot tegang. Tatapannya
ngeri, menyaksikan betapa dahsyatnya
tenaga dalam pemuda gila itu. Tanpa
sadar, mulutnya mendesiskan julukan
pemuda itu.
"Pendekar Gila...?! Pendekar Gila
dari Gua Setan...!"
SEPULUH
Nyi Bangil menghampiri pemuda
tampan berbaju rompi kulit ular yang
tengah duduk bersila. Kelihatannya pemuda
itu tengah berusaha menyembuhkan luka
dalamnya akibat tendangan dan pukulan
Pedang Akhirat. Dari tubuhnya mengepul
asap berwarna ungu, menjadikan Nyi Bangil
terkejut dan melompat mundur. Matanya
membelalak, dan dari mulutnya keluar
desisan.
"Racun Kabut Ungu...! Hei, dari
mana pemuda gila ini mendapatkan racun
langka itu?"
Nyi Bangil masih tertegun, setelah
melangkah untuk menjauh. Dia tahu, apa-
apa yang baru saja keluar dari tubuh
pemuda itu. Kalau orang biasa, sudah
barang tentu akan lumpuh dan mati. Tapi
pemuda itu justru mampu mengatur racun
ganas itu di dalam tubuhnya, sehingga
bisa digunakan untuk menyembuhkan luka
dalam.
Pendekar Gila membuka matanya
perlahan setelah tubuhnya dirasakan pulih
kembali. Matanya memandang tajam pada Nyi
Bangil yang mendadak ketakutan.
"Aku telah siap melayanimu
bertarung, Nyi..." tantangnya dingin.
Semakin menjadikan Nyi Bangil menggigil
ketakutan. Bagaimanapun juga, dia telah
melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana kehebatan ilmu pemuda gila yang
diyakininya sebagai pewaris tunggal Ilmu
Singo Edan.
"Ti..., tidak. Ampunilah aku.
Sungguh bukan maksudku untuk ikut
komplotan Segoro Wedi. Aku sangat
mengharap pertolongan darimu, Tuan
Pendekar...," desis Nyi Bangil lirih.
Nyi Bangil terdiam sesat, matanya
memandang wajah pemuda yang tampan itu
tanpa berkedip, menyebabkan hati wanita
itu tiba-tiba bergetar. Kemudian,
napasnya dihela dengan tarikan berat
"Dugaanku tentang dirimu pasti benar!"
"Hm, dugaan apa?" gumam Sena. "Apa
yang kau lihat?"
"Dilihat dari jurus-jurus yang kau
lakukan, serta asap ungu yang keluar dari
tubuhmu, aku tak sangsi lagi kalau kaulah
pewaris ilmu si Gila. Sungguh beruntung
kau menjadi pewaris ilmu langka itu.
Untuk itulah, kumohon pertolonganmu.
Bukan hanya untukku, tapi juga untuk
seluruh rakyat yang sangat mengharapkan
pertolonganmu."
"Aku masih tidak mengerti, Nyi,"
sahut Sena seraya berdiri dari silanya.
"Kau harus mengerti. Sebagai
seorang pendekar, apalagi sebagai pewaris
ilmu si Gila, kau harus mengerti
penderitaan orang yang selama ini dalam
cengkeraman Segoro Wedi," tutur Nyi
Bangil menegaskan.
"Hm, itukah yang kau inginkan?"
"Bukan hanya aku, tapi banyak
orang," tegas Nyi Bangil.
Sena mengerutkan kening, kemudian
muncul lagi tingkah gilanya. Tangannya
menggaruk-garuk kepalanya, lalu terdengar
gelak tawanya yang membahana.
"Ah, benar juga apa yang kau
katakan, Nyi. Memang selama Segoro Wedi
masih hidup, wilayah kadipaten ini tak
akan aman. Hm, baiklah. Aku akan
membantumu."
"Kalau begitu, cepat kita
menyusulnya!" ajak Nyi Bangil yang
kemudian lari menuju ke arah utara,
diikuti oleh Sena.
***
Segoro Wedi baru saja hendak
melepaskan pakaiannya untuk menggeluti
Mei Lie yang masih tak berdaya dalam
pengaruh totokan, ketika terdengar suara
gelak tawa menggelegar disusul oleh
teriakan keras.
"Segoro Wedi, aku datang untuk
menagih hutang padamu!"
Segoro Wedi yang merasa hasratnya
terganggu, seketika menjadi marah.
Pakaiannya kembali dikenakan. Kemudian
dengan membawa harpa di pundaknya, Segoro
Wedi keluar untuk melihat siapa yang
berani berkoar di tempatnya.
Kening Segoro Wedi mengerut ketika
tahu siapa yang datang. Dilihatnya
seorang pemuda berompi kulit ular yang
tingkah lakunya seperti orang gila.
Tetapi bukan pemuda gila itu yang membuat
keningnya berkerut melainkan wanita
cantik yang datang bersamanya.
"Kau...?! Rupanya kau telah
berkhianat, Bangil! Jangan salahkan aku
kalau tubuhmu akan kuhancurkan!?" dengus
Segoro Wedi marah melihat Nyi Bangil
berkomplot dengan pemuda gila itu.
"Segoro Wedi, dari dulu aku memang
menunggu saat-saat seperti ini! Aku
memang mencintaimu, meski kutahu kaulah
pembunuh kedua orangtuaku," tutur Nyi
Bangil. "Tapi kau benar-benar iblis
berbentuk manusia! Cintaku yang tulus,
malah kau permainkan. Kau jadikan aku
budak nafsumu. Kini, terimalah
kematianmu!"
Segoro Wedi tergelak-gelak men-
dengar ancaman Nyi Bangil. Dia masih
menganggap enteng pemuda berkelakuan gila
yang bersama Nyi Bangil.
"Rupanya kalian datang untuk
mengantar nyawa. Baiklah, jika itu yang
kalian minta. Tapi sebelum itu, aku ingin
tanya pada pemuda gila di sampingmu
itu...," ujar Segoro Wedi seraya menunjuk
Sena. "Anak muda, tingkah lakumu
mengingatkan aku pada Pendekar Gila dan
muridnya yang bernama Singo Edan. Ada
hubungan apa kau dengan mereka?"
Sena Manggala tertawa riuh sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Dengar, Segoro Wedi! Aku adalah
murid tunggal Singo Edan, yang berarti
cucu murid Si Gila dari Gua Setan!"
Segoro Wedi terkejut mendengar
penuturan pemuda gila yang mengatakan
pewaris tunggal ilmu silat Gila dari Gua
Setan. Tapi hatinya yang sudah diliputi
kepongahan tak mau peduli dengan
semuanya.
"Anak muda, aku tak peduli kau cucu
murid Si Gila dari Gua Setan! Aku Segoro
Wedi, penguasa rimba persilatan tak akan
takut menghadapimu! Bersiaplah kalian
untuk mampus. Heaaa...!"
Tubuh Segoro Wedi melesat menyerang
dengan harpanya ke arah Pendekar Gila dan
Nyi Bangil. Harpa di tangannya seketika
menjadi sebuah senjata yang sangat
dahsyat dan membahayakan. Sehingga
memaksa keduanya melompat untuk
mengelakkan serangan itu.
Nyi Bangil yang sudah tak sabar
lagi untuk menghabisi manusia keji itu
segera mencabut pedangnya. Kemudian
dengan cepat menyerang ke arah Segoro
Wedi.
"Hiaaat..!"
Melihat serangan pedang Nyi Bangil
menuju ke arahnya, cepat Segoro Wedi
menggeser kakinya ke samping. Kemudian
dengan memiringkan tubuh, tangannya yang
memegang harpa menderu ke arah lawan.
Serangan Nyi Bangil dapat
dielakkan, malah harpa di tangannya
menghantam punggung wanita cantik yang
selama ini menjadi pelampiasan nafsunya.
Wanita itu memekik, dan tubuhnya
terpelanting ke depan, kemudian jatuh
dengan muka mencium tanah.
Melihat Nyi Bangil jatuh, Pendekar
Gila dengan geram melenting untuk
menyerang. Jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat' dikeluarkannya, membuat tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari dengan tangan
sesekali menepuk ke arah lawan.
Gerakannya kelihatan lamban dan lemah
gemulai, membuat Segoro Wedi menganggap
enteng.
Segoro Wedi segera menyabetkan
harpa di tangannya ke arah lawan. Dia
menyangka gerakan Pendekar Gila yang
lamban dan lemah itu tak akan mampu
mengelakkan sabetan harpanya. Tapi betapa
terkejut hatinya ketika menyaksikan apa
yang terjadi
Pemuda berkelakuan seperti orang
gila yang mengaku sebagai pewaris ilmu Si
Gila dari Gua Setan dan menurut dugaannya
tak akan mampu mengelakkan serangannya,
ternyata justru sebaliknya. Meski gerakan
pemuda itu kelihatan lamban dan lemah,
namun justru dengan mudahnya mengelak.
Hanya dengan menggeser kaki ke samping
dan melenturkan tubuh dengan membungkuk
dan mendongak, semua serangan lawan dapat
dielakkannya. Bahkan kini tepukan pemuda
itu mengejutkan Segoro Wedi.
Plak!
Hampir saja Segoro Wedi dapat
ditepuk oleh tangan pemuda itu, kalau
tubuhnya tidak segera melompat ke
belakang. Tidak alang kepalang kagetnya
Segoro Wedi ketika tiba-tiba tangan
pemuda yang seperti menari itu telah
dekat ke arahnya. Padahal dia telah
menguras ilmu meringankan tubuh, namun
tetap saja pemuda itu mampu mengejarnya.
"Jurus gila...!" pekik Segoro Wedi,
kecut menyaksikan jurus aneh yang
dikeluarkan pemuda itu. Tapi sebagai
orang yang telah banyak pengalaman,
Segoro Wedi tidak mau mengalah begitu
saja. Segera tubuhnya melenting untuk
mengelakkan serangan Sena, kemudian
dengan cepat dibukanya jurus andalan yang
dinamakan 'Cakar Seribu Iblis'
Tangan Segoro Wedi seketika berubah
menjadi banyak karena cepatnya. Tangan
dengan jemari membentuk cakar itu, kini
mencabik ke arah Pendekar Gila. Ke mana
pemuda itu bergerak, tangan Segoro Wedi
terus mencecarnya dengan cakaran-cakaran
maut
"Hiaaat..!"
Tangan itu terus bergerak dengan
cepat, mencakar atau mencengkeram ke arah
Pendekar Gila yang hanya mengelak dan
melompat. Belum juga pemuda itu bisa
melepaskan diri dari serangan gencar
'Cakar Seribu Iblis', Segoro Wedi telah
menambah serangannya dengan pukulan maut
yang dinamakan 'Pukulan Pasir Baja'.
Pukulan itu semakin merepotkan Pendekar
Gila yang belum berpengalaman dalam rimba
persilatan.
Beberapa kali Pendekar Gila harus
berjumpalitan untuk mengelakkan serangan-
serangan maut yang dilancarkan Segoro
Wedi. Nampaknya Segoro Wedi tidak mau
memberikan waktu barang sekejap untuk
bernapas. Dia terus mencecar pemuda itu
dengan pukulan dan jurus mautnya.
"Gawat..! Kalau terus begini, bisa-
bisa aku mampus!" gumam Sena perlahan.
Tubuhnya terus bersalto mengelakkan
serangan gencar lawan. Sekali saja dia
lengah, berarti kematian baginya.
"Mampuslah kau, Pemuda Gila!
Tamatlah riwayatmu.... Ha ha ha...!"
Segoro Wedi kian bertambah congkak
dan pongah menyaksikan lawannya hanya
mampu bersalto mengelitkan serangan-
serangannya. Dia semakin gencar
menyerang, menguras tenaganya.
Pendekar Gila terus berpikir sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Ah, kenapa aku
tidak mencoba menggunakan jurus 'Si Gila
Membelah Awan'? Pikir Pendekar Gila.
Kemudian setelah melakukan salto
mengelakkan serangan lawan, pemuda itu
mengeluarkan jurus 'Si Gila Membelah
Awan'. Tangan dan kakinya dipentang
lebar-lebar. Kemudian napasnya ditarik
dalam-dalam. Dan setelah itu, secara
bersamaan kedua tangannya bergerak
seperti membelah dan kakinya menendang-
nendang sesuatu.
"Hiaaat..!"
Wesss...!
Segoro Wedi tersentak kaget,
melihat serangannya dapat dikandaskan
oleh jurus yang dilakukan oleh lawannya.
Kini giliran pemuda itu mencecarnya
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan',
sebuah jurus yang dahsyat. Setiap sabetan
tangan-tangan yang bergerak membelah,
menimbulkan desingan angin yang dahsyat
"Edan! Rupanya dia benar-benar
Pendekar Gila dari Gua Setan! Semua jurus
yang dilakukannya adalah jurus-jurus dari
'Ilmu Silat Si Gila'!" pekik Segoro Wedi
kaget sambil terus mengelakkan serangan-
serangan Pendekar Gila yang dahsyat namun
terlihat lamban.
Segoro Wedi berkelit, mencoba
mengelakkan sabetan tangan dan jejakan
kaki Pendekar Gila. Tapi malang ternyata
gerakan yang dilakukan Pendekar Gila tadi
hanya sebuah jebakan. Selanjutnya
serangan-serangannya tak dapat dielakkan
lagi.
Deggg!
Kaki Pendekar Gila mendepak
punggung Segoro Wedi sangat keras,
sampai-sampai tubuhnya terhuyung ke depan
hingga tersuruk mencium tanah.
Pendekar Gila tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Dibiarkannya
Segoro Wedi merutuk dan mencaci maki
sambil berusaha bangun. Dia terus
tertawa, berjingkrak-jingkrak seperti
monyet gila.
"Bangsat! Jangan kira aku akan
kalah olehmu, Pendekar Gila! Meski ilmu
gilamu memang hebat, tapi aku tak akan
kalah. Terimalah ini...!"
Segoro Wedi segera menggerakkan
jemarinya untuk memetik senar harpa.
Seketika alunan harpa terdengar. Suara
itu melengking tinggi, membuat gendang
telinga bagaikan hendak pecah.
Pendekar Gila tersentak, segera
tenaga dalamnya dikerahkan untuk
membendung suara dentingan senar harpa
yang memekakkan. Tapi, ternyata suara itu
jauh lebih kuat menyerang telinganya.
"Ohhhh...," keluh Sena.
Seketika lututnya teras lemas dan
perlahan-lahan tubuhnya semakin merendah
dan kian rendah. Dan kini dia berlutut
dengan kedua tangan masih menutup
telinganya yang semakin terasa sakit
"Ha ha ha...!"
Mendadak Sena melepas tawa keras
menggeledek. Suara tawanya amat dahsyat,
hingga mampu merontokkan daun pohon
sekitar arena pertarungan. Tapi tetap
saja desakan suara harpa masih
dirasakannya.
Tubuh Sena menggigil, menahan rasa
sakit yang tiada terkira. Semakin dia
mencoba mengerahkan hawa murni dan tenaga
dalam, kian terasa sengatan suara itu.
Saat tubuhnya masih terduduk, dicobanya
untuk memusatkan pikiran. Dicobanya terus
untuk bertahan dari serangan suara harpa.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-
tiba Pendekar Gila teringat pada Suling
Naga Sakti pemberian Eyang Singo Edan
yang ada di pinggangnya. Seketika suling
itu dicabut dari pinggangnya, kemudian
ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti yang ditiup
oleh Pendekar Gila mengalun lembut.
Semakin lama semakin bertambah kencang
melengking. Suara suling itu terus
mendesak suara harpa yang tak juga mau
kalah.
Glarrr!
Terdengar ledakan menggelegar,
ketika dua kekuatan saling beradu.
Sedangkan kedua orang yang tengah
bertarung itu sama-sama terpental. Segoro
Wedi terpental tiga tombak ke belakang
dengan darah meleleh di sela bibirnya.
Sedangkan Pendekar Gila tersurut dua
tindak dalam keadaan tetap bersila.
"Uhk..., uhk.... Kau hebat,
Pendekar Gila! Tapi aku belum mau kalah.
Terimalah seranganku. Heaaat..!"
Tubuh Segoro Wedi melesat bagaikan
terbang. Harpa di tangannya kini siap
menghantam lawan.
Pendekar Gila tak mau tinggal diam.
Dia pun melesat dengan Suling Naga
Saktinya.
"Heaaa...!"
Dua orang berilmu tinggi, kini
sama-sama melesat laksana terbang. Dua
senjata di tangan mereka siap untuk
menentukan siapa yang lebih hebat.
Sedangkan tangan kiri mereka yang kosong,
telah siap melakukan serangan pukulan
sakti masing-masing. Pendekar Gila dengan
'Pukulan Inti Bayu'nya. Sedangkan Segoro
Wedi kembali mengeluarkan 'Pukulan Pasir
Baja'nya. Serangkum angin menderu keluar
dari tangan Pendekar Gila. Sedangkan
selarik sinar seperti jutaan pasir keluar
dari tangan Segoro Wedi.
"Heaaa...!"
Dua senjata di tangan mereka, dan
pukulan sakti di tangan kiri masing-
masing siap beradu. Dan....
Trak! Desss!
"Hiaaat..!"
Trak!
Desss!
'Pukulan Pasir Baja' yang
dilontarkan Segoro Wedi tersapu oleh
'Pukulan Inti Bayu' yang dilontarkan
Pendekar Gila. Tubuh Segoro Wedi bahkan
turut terpental dan melayang bagai tanpa
bobot, diikuti pekikan menyayat.
Sementara harpa yang menjadi senjata
andalannya nampak hancur berantakan, tak
mampu menandingi Suling Naga Sakti.
Saat tubuh Segoro Wedi melayang,
dengan cepat Nyi Bangil segera berlari
menyongsongnya. Pedang di tangan wanita
cantik itu berkelebat cepat
"Hiyaaa...!"
Desss!
"Aaa...!"
Lengkingan kematian terdengar,
bersamaan dengan ambruknya tubuh Segoro
Wedi tanpa nyawa. Tubuhnya hancur
terbabat pedang Nyi Bangil yang kini
justru menangisi kematiannya. Kematian
orang yang dicintai, sekaligus
dibencinya.
Pendekar Gila tertegun sesaat
menyaksikan kejadian itu. Kemudian dia
melesat ke kediaman Segoro Wedi untuk
mencari Mei Lie.
"Nona Mei Lie.... Di manakah
kau...?"
"Koko.... Aku di sini," terdengar
jawaban dari kamar yang tertutup.
Pendekar Gila segera menuju kamar
itu. Alangkah terkejutnya dia ketika
membuka pintu kamar tersebut Matanya
membelalak, memandang tubuh Mei Lie yang
terkulai polos tanpa sehelai benang pun.
"Koko...," desis Mei Lie agak
tersipu-sipu.
Sena segera bergerak cepat.
Dibukanya totokan pada tubuh gadis cantik
itu.
"Koko.... Oh! Terima kasih,
Koko...," desah Mei Lie seraya memeluk
tubuh Sena dalam keadaan masih polos. Hal
itu membuat Sena salah tingkah.
"Kenapa, Koko. Kau tak suka jika
aku senang?" tanya Mei Lie yang melihat
Sena kebingungan.
"Bukan begitu, Nona Mei Lie.
Tapi...."
"Tapi apa? Katakanlah, Koko...?"
desak Mei Lie dengan tatapan mata penuh
harap. Ada detak aneh yang berdentang
dalam dadanya kalau matanya beradu
pandang dengan pemuda tampan itu.
"Aku senang jika kau senang,
Nona...."
"Jangan panggil aku nona. Panggil
saja namaku..."
"Baiklah, Mei.,.. Kenakan lah
pakaianmu dulu," kata Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk
kepalanya.
Mendengar ucapan itu, Mei Lie
langsung menyadari keadaannya yang tidak
berpakaian. Kemudian, tubuhnya membungkuk
untuk mengambil pakaiannya yang
tergeletak di bawah ranjang. Dan dengan
tergesa-gesa, setelah membalikkan tubuh,
dia mengenakan kembali pakaiannya. Tapi
ketika telah selesai dan membalikkan
tubuh kembali, Sena telah tiada.
"Koko...!"
Mei Lie lari ke luar. Namun tetap
saja dia tidak menemukan pemuda tampan
yang tingkah lakunya seperti orang gila
itu. Dia hanya menemukan sebaris tulisan
Aku tak bisa membawamu, Mei Lie.
Pengembaraanku tak menentu.
Si Gila.
"Koko.... Tak tahukah kau akan isi
hatiku?" tangis Mei Lie setelah membaca
tulisan itu, "Terus terang, meski kau
gila, aku mencintaimu. Kau telah banyak
menolongku.... Mengapa kau tinggalkan
aku?"
Gadis itu masih menangis, ketika
sebuah belaian lembut menyentuh
rambutnya. Mei Lie menengok, dan melihat
seulas senyum di bibir seorang wanita
cantik yang matanya masih sembab karena
habis menangis.
"Sudahlah, Nona.... Jangan kau
tangisi kepergiannya. Kalau memang
jodohmu, kelak kalian akan bertemu,"
hibur Nyi Bangil.
"Kuharap begitu, Cici...," desah
Mei Lie hampir tak terdengar.
Kemudian Nyi Bangil membimbing Mei
Lie meninggalkan tempat itu yang kembali
sepi bagaikan mati.
Nah, bagaimanakah kisah petualangan
Pendekar Gila selanjutnya? Dan, bagaimana
pula kisah perjalanan Mei lie yang sangat
mengharapkan cinta Pendekar Gila? Apakah
kelak mereka akan bertemu? Untuk
mengetahui semua ini, silakan para
pembaca mengikuti serial Pendekar Gila
pada episode-episode selanjutnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar