..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR GILA EPISODE SULING NAGA SAKTI

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

SULING NAGA SAKTI

oleh Firman Raharja

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Mardiansyah

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dart penerbit

Firman Raharja 

Serial Pendekar Gila 

dalam episode: 

Suling Naga Sakti

128 hal ; 12 x 18 cm


SATU


Semilir angin malam menghembuskan 

udara yang terasa sangat dingin ketika 

seorang wanita cantik tengah membuka 

pakaian warna merah yang dikenakannya. 

Rambutnya yang semula digelung dengan 

tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal 

itu membuat kecantikan Dewi Rukmini kian 

bertambah nyata.

Tanpa sepengetahuannya, seseorang 

dengan mata tak berkedip mengintip tubuh-

nya yang kuning langsat dan meng-

gairahkan. Lelaki itu berulang kali 

menelan ludah serta menahan napas dengan 

mata jalang.

"Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau 

Segoro Wedi sampai mabuk kepayang 

kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang 

Dewi benar-benar mempesona," gumamnya 

dengan gairah yang bergejolak.

Ketika ia tengah asyik mengintip 

tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya 

yang tak mampu menahan getaran birahi 

tanpa disengaja membentur sesuatu.

Krak!

Kegaduhan kecil itu membuat Dewi 

Rukmini yang tengah mengganti pakaian 

tersentak dan terburu-buru mengenakannya 

kembali. Mata cantiknya memandang lekat 

pada dinding bilik rumahnya, sedangkan 

pendengarannya dipasang setajam mungkin.


"Hm, kurang ajar!" rutuk hati Dewi 

Rukmini setelah menyadari kalau sejak 

tadi ada seseorang yang mengintipnya. 

Mata Dewi Rukmini memandang tajam, lalu 

tanpa banyak bicara tangannya segera 

mengibas ka arah dinding rumah di mana 

orang itu berada.

"Rasakan ini! Heaaa...!"

Wuut!

Terdengar desiran angin tajam 

menyertai puluhan jarum kecil yang 

menerobos dinding. Lelaki hidung belang 

itu tak mampu lagi mengelak dari ancaman 

senjata rahasia yang dilepaskan Dewi 

Rukmini.

Jlep! Jlep! Jlep...!

"Akh...!"

Jeritan lelaki naas tadi tidak 

hanya mengejutkan Citra Yuda yang saat 

itu sedang menunggu istrinya di luar 

kamar, tetapi juga mengejutkan beberapa 

pengintai lain yang bersembunyi di 

sekeliling rumah itu.

"Hm, ada apa ini?" gumam Citra Yuda 

seraya bangkit dari duduknya.

Pendekar muda dari Perguruan Golok 

Sakti itu melangkah ke arah kamar di mana 

istrinya tengah mengganti pakaian.

"Ada apa, Diajeng? Kudengar tadi 

ada jeritan di luar?" tanya Citra Yuda 

setelah sampai di ambang pintu kamar.

"Mereka telah datang, Kakang,"


sahut Dewi Rukmini dengan wajah geram.

"Maksudmu...?"

"Antek-antek pengkhianat, Segoro 

Wedi," desis Dewi Rukmini penuh kebencian 

terhadap orang yang disebutnya.

"Apa Segoro Wedi masih belum 

kapok?" gumam Citra Yuda.

Setelah menghela napas pelan, 

Pendekar Golok Sakti itu kembali berkata.

"Kalau tahu dia tidak akan jera 

seperti sekarang ini, dulu dia tidak akan 

kuampuni!"

Kedua suami istri itu terdiam, 

saling pandang dengan dengusan napas yang 

memburu. Terlebih Dewi Rukmini yang 

merasa telah diperlakukan tak senonoh 

oleh anak buah Segoro Wedi yang lancang 

mengintipnya.

"Kali ini tidak akan kubiarkan 

pengkhianat itu hidup!" dengus Dewi 

Rukmini sengit, lalu disambarnya golok 

miliknya.

Golok sakti itu sebenarnya kembar. 

Yang pertama dipegang oleh suaminya, 

sedangkan yang lain dipegang Dewi 

Rukmini. Ilmu golok mereka telah terkenal 

sejak keduanya bertualang di rimba 

persilatan untuk membela kebenaran dan 

keadilan. Jangankan ilmu golok yang 

mereka miliki dipadukan, sedangkan untuk 

menghadapi salah satunya saja orang akan 

berpikir seratus kali.


Dewi Rukmini menyelipkan goloknya 

di pinggang, kemudian dengan wajah penuh 

kemarahan melangkah meninggalkan kamar-

nya. Hal itu membuat Citra Yuda terkejut. 

Tidak diduganya sama sekali Dewi Rukmini 

akan begitu berang. Mau tidak mau, Citra 

Yuda ikut melangkah ke luar.

"Sabar, Diajeng.... Biar aku saja 

yang menghadapi mereka. Kau selamatkan 

saja anak kita. Kalau aku selamat, aku 

akan menyusulmu," tutur Citra Yuda, 

berusaha menenangkan istrinya. Dia tahu 

watak Dewi Rukmini, terlebih terhadap 

Segoro Wedi yang sangat dibencinya.

"Tidak, Kakang. Dia harus kuhajar! 

Berulang kali kita coba menyadarkannya. 

Berulang kali pula kita ampuni, tetapi 

dia tetap saja bandel. Itu sama saja 

mencari penyakit!" dengus Dewi Rukmini 

sengit

Citra Yuda menghela napas pelan. 

Dia sadar, kalau Segoro Wedi sangat 

mencintai istrinya. Bahkan lelaki itu 

tidak jera-jeranya berusaha untuk menda-

patkan Dewi Rukmini. Dulu, ketika mereka 

masih sama-sama di perguruan, Segoro Wedi 

malah nekat menculik Dewi Rukmini. 

Beruntung seorang pendekar sakti telah 

menolongnya. Lalu setelah mereka menikah, 

Segoro Wedi pun tidak juga mau memahami 

kedudukan Citra Yuda sebagai suami Dewi 

Rukmini.


Berulang kali Segoro Wedi diberi 

pelajaran oleh Citra Yuda dan istrinya, 

tapi tetap saja orang itu tak mau 

mengalah begitu saja. Sesungguhnya Citra 

Yuda dapat saja menghabisi nyawa Segoro 

Wedi saat itu. Berhubung Citra Yuda masih 

menghargai Segoro Wedi sebagai adik 

seperguruan, masih bisa memaafkannya. 

Kini, apakah dia masih bisa memaafkan 

tindakan Segoro Wedi?

Kedua suami istri yang bergelar 

Sepasang Pendekar Golok Sakti itu 

melangkah dengan mantap. Sorot mata 

mereka tajam, memandang ke luar yang 

masih gelap. Mereka memasang seluruh 

indera, agar gerak sekecil apa pun dapat 

ditangkap.

"Hei! Kalau kalian memang laki-

laki, keluarlah!" tantang Dewi Rukmini 

yang kelihatannya sudah tidak sabar lagi 

untuk secepatnya menghajar orang yang 

dibenci. Matanya beredar tajam, setajam 

mata elang yang memburu mangsa. Tangan 

kanannya menggenggam gagang golok di 

pinggang, siap mencabut golok sakti itu 

untuk memenggal leher lawan.

"Segoro Wedi, keluarlah! Jangan 

berlaku pengecut!" seru Citra Yuda.

Seperti juga istrinya, Citra Yuda 

pun telah slap menyambut kedatangan tamu-

tamu tak diundang. Tangan kanannya ikut 

meraba gagang golok. Sedangkan matanya


nyalang menyapu kegelapan malam yang 

lengang.

Tengah keduanya memandang ke 

sekeliling pelataran rumah, tiba-tiba 

terdengar alunan harpa yang membelah 

kesunyian malam. Dentingan harpa itu 

mulanya terdengar lambat, tapi makin lama 

bertambah keras. Bahkan suaranya kini tak 

beraturan lagi, hingga yang terdengar 

hanya nada melengking yang aneh dan 

memekakkan telinga. 

Ting, tong, ting...!

Citra Yuda dan istrinya tersentak 

kaget, sehingga mata mereka membelalak 

lebar. Tapi keduanya cepat sadar kalau 

dentingan harpa itu bukanlah dentingan 

sembarangan. Alunan harpa itu dilepaskan 

dengan tenaga dalam sempurna yang 

menimbulkan hentakan amat keras di 

telinga.

"Akh...! Cepat tutup saluran 

telinga mu, Diajeng! Ini bukan denting 

harpa sembarangan. Jelas pemetiknya 

menginginkan kematian kita," kata Citra 

Yuda memperingatkan istrinya. Kemudian 

segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk 

menutup gendang telinga agar tidak pecah.

"Ohhh...," keluh Dewi Rukmini. 

Telinga wanita cantik itu terasa sangat 

sakit. Dewi Rukmini memang sedikit 

terlambat menutup gendang telinganya. 

Untung saja telinganya tidak sempat pecah


oleh lengking harpa yang memekakkan.

"Bedebah! Siapa yang memetik harpa 

itu?! Kalau kalian memang laki-laki, 

keluarlah!"

Tantangan Dewi Rukmini sia-sia, 

karena tidak ada seorang pun yang 

menyahuti. Yang terdengar tetap denting 

harpa yang kian menggila hingga mampu 

menggigilkan tubuh Sepasang Pendekar 

Golok Sakti.

"Celaka, Diajeng! kalau kita terus 

bertahan seperti ini, kita tak akan mampu 

melawan. Cabut golokmu! Kita harus 

menyatukannya!" perintah Citra Yuda yang 

merasa sia-sia jika mereka terus menguras 

tenaga untuk melawan suara harpa itu.

Sret!

Sepasang Pendekar Golok Sakti 

segera mencabut senjata kembarnya. 

Kemudian, keduanya segera menyatukan mata 

golok dengan cara menyilangkan ke muka. 

Dari penyilangan golok itu, terpancar 

seberkas cahaya sangat terang berwarna 

merah dan putih. Cahaya itu terus 

memancar untuk memapaki suara harpa yang 

datang.

Glarrr!

Tercipta ledakan menggelegar yang 

memekakkan telinga ketika sinar merah dan 

putih yang keluar dari golok itu bertemu 

dengan suara harpa.

"Akh...!"


Kedua pendekar itu terhuyung dua 

tindak ke belakang dengan mata membelalak 

tegang. Mereka tidak pernah menduga kalau 

'Inti Cahaya Sakti' yang keluar dari 

golok di tangan mereka akan berbenturan 

keras dengan suara yang keluar dari 

petikan senar harpa itu.

Keduanya saling pandang, kemudian 

Dewi Rukmini yang berwatak keras dengan 

sangit membentak,

"Kurang ajar! Kau jangan 

bersembunyi terus-menerus, Pengecut!"

"Ha ha ha...!"

Terdengar suara tawa menggelegar 

sebagai jawaban dari tantangan tadi. 

Sepasang Pendekar Golok Sakti kembali 

terkejut. Keduanya saling pandang, 

kemudian mereka kembali mempersiapkan 

golok sambil memandang ke arah datangnya 

suara tawa itu.

Krasak!

Dari semak-semak yang ada di 

sekitar rumah mereka, berkelebat beberapa 

orang dengan suara tawa yang memekakkan 

telinga.

Mereka berdiri kira-kira dua puluh 

lima tombak di sekeliling kedua pendekar 

itu. Di antaranya, terlihat seseorang 

dengan sebuah harpa bertengger pada 

punggungnya. Mata mereka bersinar liar, 

pada Sepasang Pendekar Golok Sakti.

"Segoro Wedi...!" seru Dewi Rukmini

ketika mengetahui pembawa harpa itu.

***

Orang yang memanggul harpa tertawa. 

Wajahnya yang sesungguhnya tampan, dengan 

tajam memandang Sepasang Pendekar Golok 

Sakti yang juga kakak-kakak seperguruan-

nya. Kemudian, pandangannya diarahkan 

pada Dewi Rukmini yang semakin sengit

melihat tatap mata nakal itu, sehingga 

napasnya turun-naik. Matanya melotot 

penuh kebencian.

"Segoro Wedi, masih belum jerakah 

kau?!" tanya Dewi Rukmini dengan bentakan 

marah.

Ucapan itu tidak menjadikan Segoro 

Wedi takut. Malah, lelaki berpakaian 

serba merah itu tergelak-gelak hingga 

matanya berlinang air mata.

"Ah, mana mungkin aku jera sebelum 

mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti?!"

Usai berkata demikian, Segoro Wedi 

memandang taman-temannya sambil tergelak-

gelak. Sehingga teman-temannya turut 

tertawa.

"Kau benar-benar keras kepala, 

Wedi! Sudah kukatakan, bahwa kitab itu 

tidak ada pada kami! Lagi pula, jangan 

bermimpi untuk mendapatkan kitab itu!" 

bentak Dewi Rukmini gusar. Kemarahannya 

sudah tidak dapat lagi dibendung.


Dibentak begitu rupa oleh Dewi 

Rukmini yang selama ini sangat diidam-

idamkan untuk menjadi pendampingnya, 

tidak membuat Segoro Wedi marah. Malah 

lelaki itu tertawa keras kembali, 

menjadikan gerombolannya turut tertawa.

"Semakin kau galak, hatiku semakin 

bertambah penasaran, Dewi. Percuma aku

datang dan menunggu kesempatan seperti 

ini kalau tidak mendapatkan kitab itu 

beserta dirimu," ucap Segoro Wedi sambil 

tetap tertawa mengejek.

Hal itu tentu saja membuat muka 

Dewi Rukmini merah. Begitu juga dengan 

Citra Yuda yang merasa harga dirinya 

diinjak-injak. Betapa ia dianggap sampah 

yang tidak berarti sama sekali di mata 

bekas adik seperguruannya itu.

"Tutup mulutmu, Segoro Wedi!" 

bentak Citra Yuda yang nampaknya sudah 

hilang kesabaran.

"Sudah kukatakan bahwa kitab yang 

kau maksud tak ada pada kami, namun kau 

tetap tak percaya! Kau rupanya mencari 

gara-gara!"

Tapi Segoro Wedi benar-benar tak 

mau peduli dengan dengusan dan bentakan 

Sepasang Pendekar Golok Sakti yang dulu 

adalah kakak seperguruannya.

"He he he.... Sudah lama dendamku 

menumpuk terhadapmu, Citra Yuda! Kau 

memang lebih beruntung dariku! Karena


kepandaianmu bicara, dan sikap yang sok 

alim, membuat semua ilmu yang seharusnya 

untukku, berpindah ke tanganmu! Guru 

selalu pilih kasih! Apalagi sejak kau 

berhasil merayu wanita ini!" ujar Segoro 

Wedi dengan suara yang ditekan sambil 

menunjuk ke arah Dewi Rukmini. "Aku makin 

dicampakkan olehmu. Kau memang lelaki 

yang pintar merayu! Dan sekarang, aku 

ingin membalas sakit hatiku!".

"Kau memang lelaki tak tahu 

diuntung, Segoro Wedi! Semestinya ayahku 

tak mengampunimu! Kau orang yang tak 

beriman!" bentak Dewi Rukmini dengan 

geram.

"Wajahmu makin menarik kalau sedang 

marah, Dewi. Ha ha ha...."

"Kurang ajar!" bentak Dewi Rukmini 

makin geram.

Segoro Wedi segera mengerling pada 

lima orang rekannya, sebagai isyarat 

kepada mereka untuk bersiap-siap. 

"Baiklah, kalau memang itu yang kau 

inginkan. Tapi harus kau ingat, sebelum 

kau mati, kau akan merasakan kenikmatan 

bagaimana bergelut denganku!" ujar Segoro

Wedi dengan suara bergetar.

Mendengar ucapan Segoro Wedi,

kelima kawannya terbahak-bahak. Seperti-

nya ucapan Segoro Wedi tadi lucu. 

Sepasang Pendekar Golok Sakti menggere-

takkan gigi mereka karena menahan amarah.


Mata mereka memandangi satu persatu 

gerombolan Segoro Wedi.

Berdiri paling kiri, seorang lelaki 

bermuka bengis agak kepucat-pucatan 

dengan cambang bauk menutupi mukanya. 

Orang ini memegang sebilah pedang, yang 

membuatnya mendapat julukan Pedang 

Akhirat

Di sampingnya, berdiri sepasang 

lelaki kurus yang berwajah panjang. Di 

tangan mereka tergenggam rantai baja yang 

di ujungnya terdapat bulatan sebesar buah 

kelapa dengan duri-duri tajam. Keduanya 

terkenal dengan julukan Sepasang Hantu 

dari Kelangit

Di sampingnya lagi, tepatnya di 

samping kanan Segoro Wedi, seorang lelaki 

berbadan tegap yang menggambarkan 

kekokohan dengan wajah tidak kalah seram 

seperti hantu. Dia bertelanjang dada 

dengan perut agak buncit. Alis dan 

kumisnya tebal. Di tangan orang itu 

tergenggam sebatang tongkat berukuran 

kira-kira dua depa. Orang ini dikenal 

sebagai Raja Setan Muka Ular. Di samping 

mukanya yang panjang seperti muka ular, 

kelakuannya pun tidak kalah bengis dengan 

setan.

Dan satu lagi, seorang lelaki muda 

berbaju rompi warna biru dengan kumis 

tipis menghias di atas bibirnya. Di 

tangannya tergenggam senjata kapak,


hingga dia lebih terkenal dengan sebutan 

si Kapak Iblis.

"Diam!" bentak Citra Yuda dengan 

suaranya yang menggelegar karena disertai 

tenaga dalam.

Keenam lelaki di hadapannya 

seketika menghentikan tawa mereka. Mata 

keenam lelaki itu melotot buas, memandang 

ke arah Citra Yuda.

"Selama ini, aku tidak pernah 

berurusan dengan kalian berlima. Tapi 

rupanya kalian ingin berurusan denganku. 

Baik, aku sebagai pewaris 'Ilmu Golok 

Sakti' tidak akan membiarkan kehormatanku 

diinjak."

"Bagus!" ejek si Kapak Iblis. 

Dilihat dari pandangan matanya, pemuda 

beraliran sesat ini sangat merendahkan 

lawan yang ada di hadapannya. Kemudian 

tanpa dapat dicegah, tubuhnya melesat 

disertai bentakan menggelegar.

"Jangan banyak bacot! Hadapilah 

sepasang kapak iblisku. Hiaaa...!"

Si Kapak Iblis dengan cepat

membabatkan kapaknya ke arah Citra Yuda 

yang masih berdiri di samping istrinya. 

Pemuda ini nampaknya sangat bernafsu 

sekali untuk segera menjatuhkan Citra 

Yuda yang selama ini diagung-agungkan di 

dunia persilatan. Karena itu, gerakan 

ilmu silat si Kapak Iblis nampak membabi 

buta, menyerang tanpa perhitungan yang


matang.

Citra Yuda yang tidak mau memandang 

enteng lawannya dengan cepat mendorong 

tubuh istrinya ke samping. Sedangkan dia 

sendiri dengan cepat berkelit ke kiri 

sambil menarik kaki kanannya untuk 

mendekati lawan. Lalu dengan gerakan 

cepat, kaki kanannya menendang ke arah 

kemaluan lawan.

"Seranganmu terlalu mentah, Kawan. 

Terimalah ini.... Heaaat!"

Si Kapak Iblis terbelalak kaget 

melihat serangan cepat yang dilancarkan 

oleh Citra Yuda. Untuk mundur, jelas ia 

malu. Maka dengan nekat kembali kapak di 

tangannya dibabatkan ke bawah, di mana 

kaki Citra Yuda meluncur. Namun, ternyata 

serangan kaki Citra Yuda hanya pancingan 

belaka. Terbukti pendekar itu segera 

menarik kakinya dengan cepat, lalu 

melontarkan pukulan dengan tangan kirinya 

ke arah dada lawan.

"Celaka...!" pekik si Kapak Iblis.

Kembali si Kapak Iblis merasa kaget 

dengan serangan cepat itu. Serangan lawan 

berusaha dielakkan dengan menggeser kaki 

ke samping. Tapi....

Desss!

"Uhk...!"


DUA


Sebuah pukulan mendarat telak di 

pundak sebelah kanan si Kapak Iblis. 

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang 

sambil memegangi pundaknya yang terasa 

sakit.

Citra Yuda kembali berdiri dengan 

tenang. Hanya matanya yang menyorot tajam 

menyapu wajah-wajah keenam lawannya yang 

berdiri dengan mata membelalak 

menyaksikan Kapak Iblis dapat dengan 

mudah dipecundangi oleh Citra Yuda. 

Tiba-tiba....

"Serang dia! Biar aku menyerang 

Dewi Rukmini!" perintah Segoro Wedi pada 

kelima rekannya yang segera melesat 

menyerang Citra Yuda. Dia sendiri segera 

meloncat untuk menghadapi Dewi Rukmini.

"Jangan sampai keduanya menyatukan 

golok mereka!" serunya lagi.

"Kubunuh kau, Segoro Wedi...!" 

bentak Dewi Rukmini sengit.

Kemudian tanpa banyak berkata lagi, 

Dewi Rukmini segera menyerang dengan 

tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu 

gencar, membuat golok di tangannya bagai 

menghilang. Ke mana pun Segoro Wedi 

menghindar, golok di tangan Dewi Rukmini 

mengejarnya. Keadaan itu membuat Segoro 

Wedi agak kerepotan juga.

"Hebat..! Rupanya ilmu golokmu



semakin lama semakin bertambah maju, 

Dewi...," puji Segoro Wedi sambil tertawa 

terkekeh, membuat perempuan itu semakin 

bertambah panas. Karena ia tahu kalau 

ucapan Segoro Wedi hanyalah sebuah ejekan 

kepadanya.

"Jangan banyak bacot! Terima 

seranganku ini...!" Dewi Rukmini semakin 

mempercepat serangannya. Golok di tangan 

kanannya berkelebat cepat, menimbulkan 

sinar putih keperakan yang bergulung 

cepat mengejar Segoro Wedi.

Menghadapi serangan gencar dari 

Dewi Rukmini, Segoro Wedi yang tidak 

memakai senjata mau tak mau harus 

mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk 

berkelit ke sana kemari.

Sebuah sodokan gagang golok Dewi 

Rukmini yang merangsek ke arah dada 

Segoro Wedi dengan cepat, disusul oleh 

tendangan kaki kanan ke arah lambung 

lawan. Sungguh perpaduan gerak yang luar 

biasa dan berbahaya. Kalau saja Segoro 

Wedi lengah, mungkin nyawanya akan segera 

terbang!

Kembali Segoro Wedi berkelit ke 

samping, kemudian tangannya bergerak 

mengebut ke arah kaki lawan yang hendak 

menendang ke lambungnya. Gerakannya tak 

kalah cepat, sehingga menjadikan lawan 

agak kaget menghadapinya. Dewi Rukmini 

tidak menyangka kalau serangan balasan


lawan begitu cepat dan tidak terduga. Dia 

berusaha menarik kembali kakinya, 

sedangkan tangannya yang menyodok dengan 

gagang golok, kini diputar dengan cepat, 

sehingga mata goloklah yang menyerang ke 

arah Segoro Wedi.

"Uts! Hebat..!" puji Segoro Wedi 

dengan senyum sinis menyaksikan bagaimana 

lawan menggerakkan goloknya begitu rupa. 

Sehingga kalau dia lengah, mata golok 

yang tajam akan membelah tubuhnya menjadi 

dua. Tubuhnya ditarik ke belakang dua 

tindak, kemudian tangannya bergerak cepat 

ke arah buah dada lawan.

Gerakan tangan Segoro Wedi yang 

kurang ajar itu membuat mata Dewi Rukmini 

membelalak kaget. Segera tangan kanannya 

diputar untuk membabatkan golok pada 

tangan kiri Segoro Wedi yang hendak 

menjamah buah dadanya. Tapi, rupanya 

serangan yang dilancarkan Segoro Wedi 

hanyalah pancingan belaka. Terbukti 

ketika golok lawan menyerang, dengan 

cepat tangannya ditarik ke belakang. Lalu 

dengan tangan kanannya, Segoro Wedi 

menghantam tangan Dewi Rukmini yang 

menggenggam golok.

Takkk!

"Akh...!" Dewi Rukmini mengaduh. 

Pergelangan tangan kanannya terasa sakit 

akibat berbenturan dengan tangan Segoro 

Wedi. Tubuh wanita itu melompat ke


belakang, sedangkan goloknya terjatuh ke 

tanah.

Segoro Wedi terbahak-bahak menyak-

sikan bagaimana Dewi Rukmini kelihatan 

tegang setelah golok di tangannya jatuh. 

Kakinya melangkah perlahan ke arah Dewi 

Rukmini yang makin ketakutan. Dia tahu, 

tentunya Segoro Wedi akan berbuat kurang 

ajar kepadanya. Kekurangajaran itu sudah 

berulang kali dilakukan Segoro Wedi, tapi 

semua dapat digagalkan oleh Citra Yuda.

Tapi kini Segoro Wedi tidak seorang 

diri, melainkan dengan kelima rekannya 

yang tengah mengeroyok Citra Yuda. Mana 

mungkin Citra Yuda dapat menolongnya? Dia 

sendiri tengah sibuk menghadapi keroyokan 

teman-teman Segoro Wedi dan belum tentu 

menang. Tak ada lagi yang bisa menolong 

Dewi Rukmini dari rasa takut terhadap 

tindakan yang bakal dilakukan Segoro Wedi 

terhadapnya.

"Kini tidak ada lagi yang bisa 

menolongmu, Dewi. Kau harus mau melayani

ku sekarang juga...," kata Segoro Wedi 

sambil terkekeh senang. Sudah terbayang 

dalam benaknya, bagaimana mulus dan 

indahnya tubuh wanita yang tengah 

ketakutan di hadapannya. Tubuh dan 

kecantikan wanita itulah yang senantiasa 

menggoda, hingga ia selalu berharap dapat 

memilikinya.

"Tidak! Jangan kau kira akan dapat



menikmati tubuhku, Segoro Wedi! Kalaupun 

bisa, aku sudah menjadi mayat sebelum hal 

itu dapat kau lakukan," ancam Dewi 

Rukmini seraya melangkah mundur berusaha 

meninggalkan Segoro Wedi. Ia hendak masuk 

ke dalam rumah untuk mencari senjata yang 

dapat dijadikan pelindung dirinya.

"Hm, mungkinkah itu?" sinis suara 

Segoro Wedi. "Tak akan kubiarkan kau 

melakukannya sebelum kudapatkan tubuhmu."

Segoro Wedi tertawa keras. Lalu 

kakinya kembali melangkah perlahan, 

menghampiri Dewi Rukmini yang bertambah 

takut dan tegang. Mata wanita itu 

menyorot tajam penuh kebencian ke arah 

Segoro Wedi yang cengengesan dengan 

sesekali menjulurkan tangan untuk meraih 

tangan Dewi Rukmini.

"Jangan macam-macam, Segoro Wedi! 

Aku adalah istri Citra Yuda, kakak 

seperguruanmu!" sentak Dewi Rukmini 

berusaha menyadarkan Segoro Wedi dari 

keinginan kotor yang membeludak.

Mata lelaki itu merah dibakar api 

nafsu yang membara. Sekian tahun niat 

nista itu dipendamnya. Kini api nafsu itu 

berkobar kembali, setelah dia merasa 

yakin akan kemampuannya mendapatkan tubuh 

Dewi Rukmini.

"Aku tidak macam-macam, Dewi! Kalau 

saja kalian mau menyerahkan kitab itu dan 

sekaligus dirimu..."


"Tak tahu malu! Orang macam kau tak 

pantas memiliki kitab itu! Lagi pula, 

kitab itu tidak ada pada kami!" bentak 

Dewi Rukmini, sebelum ucapan Segoro Wedi 

selesai.

Segoro Wedi menyeringai di bentak 

begitu rupa. Matanya yang merah terbakar, 

masih memandang tajam pada Dewi Rukmini. 

Napasnya mendengus-dengus, bagai diburu 

oleh nafsu dan dendam mendalam.

"He he he.... Kalian memang pintar! 

Sebenarnya kitab dan kau adalah milikku," 

tutur Segoro Wedi seenaknya.

"Cihhh! Tak tahu malu...!" bentak 

Dewi Rukmini "Bicaramu makin menjijikkan, 

Segoro Wedi. Kau kira aku perempuan apa?"

Keduanya terus melangkah masuk ke 

dalam rumah, hingga mereka berdua saja 

yang ada di dalamnya. Justru itu yang 

diharapkan Segoro Wedi. Dengan begitu, 

apa pun yang akan dilakukannya terhadap 

Dewi Rukmini, tidak akan ada yang 

mengganggu.

Melihat keadaan yang makin tidak 

menguntungkan, Dewi Rukmini segera 

mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap 

untuk melawan Segoro Wedi yang sudah 

kerasukan setan.

Dewi Rukmini secepat kilat 

menyerang Segoro Wedi dengan pukulan 

jarak jauh secara beruntun. Kemudian, 

disusul dengan lompatan ke arah Segoro


Wedi, lalu menendang dada laki-laki itu.

Desss!

Segoro Wedi terhuyung lima depa ke 

belakang. Matanya terbelalak gusar pada 

Dewi Rukmini. Sejenak laki-laki itu 

merasakan sakit pada dadanya. Tapi, cepat 

dapat disembuhkannya. Lagi-lagi bibirnya 

tersenyum mengejek.

"He he he.... Ternyata ilmumu masih 

seperti dulu! Kau perlu tahu, Dewi. 

Segoro Wedi yang sekarang bukan Segoro 

Wedi yang dulu!"

Selesai berkata begitu, dengan 

sekali lompat Segoro Wedi sudah berada di 

depan Dewi Rukmini.

Melihat hal itu, Dewi Rukmini 

segera mundur dengan kuda-kuda. Kemudian, 

secepat kilat diserangnya Segoro Wedi. 

Terjadilah perkelahian yang cukup seru. 

Keduanya saling serang dengan menge-

luarkan jurus-jurus andalan. Terkadang 

keduanya melenting ke udara disertai 

beradunya tangan dan pukulan.

Nampak sekali Segoro Wedi lebih 

unggul dibanding Dewi Rukmini, sampai 

akhirnya Segoro Wedi sempat memasukkan 

pukulan ke dada Dewi Rukmini.

"Akh!" pekik Dewi Rukmini. Tubuhnya 

terhuyung beberapa tombak ke belakang 

sambil memegangi dadanya.

Segoro Wedi menyeringai. Ia tak mau 

menyia-nyiakan kesempatan. Maka dengan


gerakan cepat dia melompat memeluk tubuh 

Dewi Rukmini.

"Hup...!"

"Auh, tidak...!" Dewi Rukmini 

kembali memekik seraya menghindari 

sergapan Segoro Wedi. Kaki kanannya 

memang mampu digeser agak melebar, tapi 

tetap saja tangan Segoro Wedi dapat 

menjambret pakaiannya.

Breeet!

Pakaian yang dikenakan Dewi Rukmini 

robek di dadanya, sehingga bagian dadanya 

tampak jelas terlihat. Hal itu membuat 

Segoro Wedi menelan ludahnya berulang 

kali. Sedangkan Dewi Rukmini berusaha 

menutupinya dengan kedua tangan.

Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan 

kepalanya dengan mata masih memandang 

tegang ke arah Segoro Wedi yang kian 

kerasukan setan. Tubuhnya kembali mener-

kam Dewi Rukmini. Dan tanpa dapat 

dihindari lagi, tubuh Dewi Rukmini 

disergap dengan buas oleh Segoro Wedi.

"Lepaskan! Lepaskan aku, Pengecut!" 

jerit Dewi Rukmini sambil terus berontak 

untuk dapat melepaskan dekapan kokoh 

tangan Segoro Wedi yang kian beringas dan 

terus menciumi wajahnya.

Kegaduhan itu rupanya membangunkan 

seorang bocah berusia sekitar sepuluh 

tahun yang tengah tidur di kamarnya. 

Bocah kecil itu melangkah keluar untuk


melihat apa yang sebenarnya terjadi di 

rumahnya. Betapa terkejutnya bocah itu 

ketika menyaksikan ibunya dalam dekapan 

seorang lelaki berpakaian serba merah 

dengan harpa di punggungnya. 

***

Darah bocah yang bernama Sena 

Manggala itu mendidih menyaksikan ibunya 

meronta-ronta dalam pelukan lelaki asing 

yang hendak memperkosanya. Naluri untuk 

menolong ibunya muncul seketika. Dengan 

memekik laksana seekor anak kucing, bocah 

itu menerkam ke arah Segoro Wedi.

Sementara, Segoro Wedi yang tengah 

asyik menggumuli Dewi Rukmini tidak 

menyadari serangan itu. Tubuh Sena 

melompat ke atas tubuh Segoro Wedi, 

kemudian menggigit tengkuknya dengan 

geram.

"Auh! Kurang ajar...! Bocah setan! 

Kubunuh kau...!"

Sambil berkata begitu, tangan kanan 

Segoro Wedi memukul tubuh bocah itu. Tak 

ayal lagi, mulut mungil itu langsung 

menjerit setelah terkena pukulan. 

Kemudian tubuhnya terpelanting deras 

hingga membentur bilik rumahnya yang 

langsung jebol.

Begitu kuat pukulan Segoro Wedi, 

sampai-sampai tubuh Sena terus berguling


guling ke luar, dan baru berhenti ketika 

membentur sebongkah batu yang cukup 

besar.

"Uhhh...!" keluh Sena ketika 

tubuhnya terasa sakit akibat pukulan 

Segoro Wedi. Meski kepalanya terasa agak 

pening, dia terus berusaha bangkit. 

Bayangan ibunya dalam dekapan lelaki itu 

membuat semangatnya tak padam. Dengan 

agak tertatih-tatih, bocah kecil itu 

berusaha bangun. Tapi baru saja tubuhnya 

hendak bangkit, tiba-tiba telinganya 

mendengar kegaduhan di depan rumahnya.

"Heh! Sepertinya ada orang 

bertarung. Kedengarannya seseorang sedang 

dikeroyok...."

Naluri Sena kemudian membimbingnya 

untuk melihat apa yang sebenarnya tengah 

terjadi di halaman depan rumahnya.

Betapa terkejutnya bocah kecil itu 

setelah menyaksikan apa yang tengah 

terjadi. Ayahnya tengah dikeroyok oleh 

lima orang bersenjata lengkap di tangan 

masing-masing.

Sena kebingungan menyaksikan 

pertarungan itu. Tetapi kembali nalurinya 

memerintahkan agar dia membantu sang Ayah 

yang dikeroyok lima orang jahat itu. 

Tanpa pikir panjang, bocah kecil itu 

segera melompat menyerang salah satu 

pengeroyok, lalu dengan geram digigitnya

tangan orang itu kuat-kuat.


"Auh...! Bocah kurang ajar! Kubunuh 

kau...!" maki Raja Setan Muka Ular geram 

sambil memegangi tangannya yang tergigit 

oleh bocah itu. Matanya memandang bengis 

penuh kemarahan pada bocah kecil yang 

tadi menggigitnya.

Melihat anaknya ada di dalam kancah 

pertarungan, seluruh otot Citra Yuda 

semakin tegang. Dia sendiri kini dalam 

keadaan terjepit, apalagi harus 

melindungi anaknya? Celaka. Kalau sampai 

terjadi apa-apa pada Sena, aku belum 

tentu bisa menyelamatkannya. Sedangkan 

aku sendiri kini dalam keroyokan, keluh 

Citra Yuda dalam hati.

"Sena! Cepat tinggalkan tempat 

ini!" seru Citra Yuda sambil menangkis 

serangan yang dilancarkan keempat 

lawannya.

"Tapi, Ayah.... Ibu harus di

tolong," sahut Sena hendak lari ke dalam 

rumah ketika telinganya mendengar jeritan 

sang Ibu yang berusaha melepaskan diri 

dari kebuasan Segoro Wedi.

"Sena, Jangan nekat! Selamatkan 

dirimu, cepat..!" seru Citra Yuda semakin 

panik. Dia takut kalau-kalau anaknya akan 

mendapat celaka jika tidak segera pergi 

dari tempat itu. Dia sadar, tentunya 

Segoro Wedi dan kelima rekannya tidak 

akan membiarkan anaknya hidup.

Sementara, Sena tampak masih


kebingungan. Jeritan ibunya seakan 

mengharap agar dia menolong. Sementara 

ayahnya terus menyuruhnya segera pergi 

meninggalkan tempat itu. Saat bocah kecil 

itu kebingungan, tiba-tiba terdengar 

seruan sang Ayah.

"Sena, awas...!"

Bocah kecil itu tersentak kaget 

ketika melihat Raja Setan Muka Ular 

menendang ke arahnya. Sena berusaha 

mengelakkan tendangan itu. tapi 

terlambat. Tendangan yang dilancarkan 

oleh Raja Setan Muka Ular sangat cepat, 

sehingga dia tidak mampu mengelak. Tanpa 

ampun lagi, tubuh bocah kecil itu harus 

menerimanya.

Bugk!

"Akh...!" Sena menjerit bersamaan 

tubuhnya yang melayang bagai kayu kering 

terkena tendangan Raja Setan Muka Ular. 

Tubuh kecil itu berguling-guling, lalu 

berhenti saat membentur pohon.

Daya tahan tubuh bocah kecil itu 

sungguh luar biasa. Kalau orang lain, 

tentu tulangnya akan langsung patah 

terkena tendangan Raja Setan Muka Ular. 

Tapi Sena tidak! Dia hanya merasakan 

sekujur tubuhnya panas bagai terpanggang.

Bocah itu mengeluh lirih. Kemudian 

dengan tertatih-tatih tubuh kecilnya 

berusaha bangkit. Badannya terasa sangat 

sakit. Dia kembali teringat akan ibunya


yang tengah dalam dekapan seorang lelaki 

dengan sebuah harpa di punggungnya. 

Tentunya lelaki itu hendak memperkosa 

wanita yang amat yang dicintai dalam 

hidupnya. Untuk itu dia harus menolong. 

Namun, dia juga teringat ayahnya yang 

menyuruh agar segera pergi meninggalkan 

tempat itu.

"Ayah, Ibu.... Semoga kalian 

selamat. Oh, aku tak ada gunanya sama 

sekali. Aku tak mampu menolong kalian," 

keluh Sena seraya melangkah meninggalkan 

tempat itu. Dia kini menuruti apa yang 

dikatakan oleh ayahnya. Dia memang harus 

menyelamatkan diri. Mereka bukan 

tandingannya. Ayah dan ibunya yang 

pendekar saja tak mampu berbuat apa-apa, 

apa-lagi dia yang cuma anak kecil dan 

tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat

Dengan merasakan sakit serta panas 

di tubuhnya akibat tendangan Raja Setan 

Muka Ular, kaki bocah kecil itu terus 

melangkah semakin jauh dari tempat di 

mana ayah dan ibunya tengah menghadapi 

orang-orang jahat

Kaki kecil itu terus melangkah, 

menyelusuri jalanan gelap dan lengang. 

Mungkin karena badannya sakit akibat 

tendangan Raja Setan Muka Ular, membuat 

tubuh bocah itu gontai. Kepalanya terasa 

berat. Bumi yang dipijaknya seperti 

berputar, hingga bocah kecil itu tak


mampu lagi mempertahankan diri untuk 

tetap tegak. Dia tidak sadar, saat 

kakinya telah berada di bibir lereng 

sebuah gunung.

"Akh...!"

Sena kembali mengeluh saat tubuhnya 

terpelanting, lalu bergulingan ke bawah. 

Tubuhnya terus meluncur turun tanpa dapat 

tertahan. Kesadarannya menjadi samar-

samar, hingga dia pasrah menerima apa pun 

yang terjadi. Tubuhnya dibiarkan 

berguling ke bawah lereng, di mana sebuah 

gua berada. 

Tubuh kecil itu terus berguling, 

semakin lama semakin bertambah dekat pada 

mulut gua yang seakan siap menerima 

tubuhnya yang kecil. Benar juga! Tubuh 

Sena akhirnya masuk ke dalam gua.

Anehnya, setelah tubuh Sena masuk, 

tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak.

Sebuah batu besar bergerak menutup pintu 

gua. Mulut gua itu tiba-tiba menghilang, 

berganti dengan dinding batu cadas yang 

kokoh. Tak akan ada orang yang tahu kalau 

di balik batu cadas yang kokoh itu 

terdapat sebuah gua yang dinamakan Gua 

Setan.

"Ukh...," Sena kembali mengeluh 

lirih.

Semuanya terlihat gelap gulita. 

Matanya berusaha mengetahui di mana dia 

sekarang berada, tapi kepalanya masih


terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur 

tubuhnya, hingga bocah kecil itu kembali 

terkulai pingsan.


TIGA


Pertarungan Citra Yuda melawan 

kelima begundal Segoro Wedi masih 

berlangsung seru. Dilihat dari perkem-

bangannya, jelas menunjukkan Citra Yuda 

semakin terdesak hebat oleh kelima 

lawannya yang semakin bernafsu untuk 

secepatnya menjatuhkan lawan mereka. 

Meski begitu, Citra Yuda tidak mau 

mengalah begitu saja. Selama hayat masih 

dikandung badan, ia akan tetap melawan 

sampai titik darah penghabisan. Itulah 

jiwa ksatria sejati.

Golok Sakti di tangan Citra Yuda 

bergerak cepat, memapak serangan lawan 

yang datang silih berganti. Sesekali 

tangannya menyodokkan golok ke arah lawan 

yang menyerang, tapi lawannya yang lain 

telah mendahului dari belakang. Mau tak 

mau Citra Yuda mengurung serangannya. 

Sambil membalikkan tubuh, ditangkisnya 

serangan lawan.

"Heaaa...!"

Senjata rantai berujung bola 

berduri di tangan Sepasang Hantu dari 

Kelangit mendesing di alas kepalanya. 

Cepat-cepat Citra Yuda merundukkan tubuh


ke bawah untuk menghindar dari sabetan 

ganas salah satu rantai. Kemudian dengan 

cepat pula goloknya ditebaskan ke arah 

rantai yang lain.

Rantai milik Kelangit Sepuh dapat 

dielakkan, sedangkan milik Kelangit Anom 

berbentur dengan golok di tangannya, 

menimbulkan suara keras yang memekakkan 

telinga.

Trang!

Ki Kelangit Anom terkejut, tangan-

nya langsung terasa bergetar akibat 

benturan tadi. Tidak disangkanya kalau 

ilmu tenaga dalam lawan berada dua 

tingkat di atasnya. Kalau saja dia hanya 

seorang diri, sudah barang tentu dengan 

cepat dapat dipecundangi lawan. Diam-

diam, Kelangit Anom merasa kagum terhadap 

lawannya.

Kemudian, tubuh Citra Yuda diserbu 

serangan lain dari samping. Serangan itu 

dilancarkan oleh Pedang Akhirat dan Kapak 

Iblis yang tidak kalah cepat dan ganas 

dibanding dengan serangan dua lawan 

sebelumnya. Bahkan, senjata mereka yang 

berbentuk pedang dan kapak nampaknya jauh 

lebih berbahaya. Gerakan senjata mereka 

sangat cepat, menimbulkan suara laksana 

dengung ribuan tawon.

Kedua orang itu menggebrak dengan 

tebasan sepasang senjata mereka ke arah 

lambung dan pinggang lawan. Hal itu


menjadikan Citra Yuda harus bergerak 

lebih cepat untuk mengelitkan serangan 

mereka. Lalu dengan tak kalah cepatnya, 

goloknya dibabatkan ke arah salah seorang 

lawan setelah mengelakkan serangan yang 

lain.

Trang!

Benturan golok di tangan Citra Yuda 

dengan senjata di tangan Pedang Akhirat 

terjadi, menimbulkan percikan api 

sekaligus keluhan dari mulut Pedang 

Akhirat. Tangannya yang memegang pedang 

terasa nyeri, bahkan pedangnya sampai 

bergetar hebat

"Hebat! Kau benar-benar hebat, 

Citra Yuda. Tapi kami berlima tidak akan 

kalah olehmu," dengus Pedang Akhirat 

sambil menyeringai akibat benturan itu. 

Kemudian dengan menggerakkan tangan ke 

atas, Pedang Akhirat kembali menyerang 

dibantu oleh keempat rekannya. 

"Heaaa...!"

Senjata di tangan mereka bergerak 

cepat, berusaha mengurung tubuh Citra 

Yuda. Namun begitu, Citra Yuda nampaknya 

tidak gentar sedikit pun menghadapi 

kurungan kelima lawannya. Matanya tajam 

menatap setiap gerakan kelima orang 

lawannya yang terus mengurung sambil 

memutar senjata masing-masing.

Citra Yuda cepat bergerak memutar, 

menyapu kepungan lawan sambil menebaskan


golok di tangannya sedemikian rupa, 

sehingga menciptakan sebuah benteng yang 

akan melindungi tubuhnya dari setiap 

serangan lawan. Golok sakti di tangannya 

pun bagai menghilang, berubah menjadi 

cahaya putih keperakan yang menutupi 

tubuhnya.

"Serang...!"

Kembali terdengar seruan Pedang 

Akhirat memerintahkan kepada keempat 

rekannya yang langsung menyerang 

berbareng ke arah Citra Yuda. Serangan 

mereka sangat cepat diperkuat pula oleh 

tenaga dalam yang mereka kerahkan. 

"Heaaa...!"

Tongkat di tangan Raja Setan Muka 

Ular bergerak memukul ke arah kepala 

lawannya, hingga menimbulkan suara 

menderu keras.

"Pecah batok kepalamu....'"

Citra Yuda tersentak, segera 

kakinya melompat ke belakang sambil 

membabatkan goloknya ke arah ayunan 

tongkat lawan, sedangkan tangan kakinya 

bergerak menghempaskan pukulan untuk 

menangkis serangan pedang.

Trak!

"Hah...?!"

Mata Raja Setan Muka Ular melotot 

tak percaya pada apa yang dilihatnya. 

Tongkat di tangannya yang terbuat dari 

kayu langka itu ternyata bisa dibabat


putus oleh golok Citra Yuda. Raja Setan 

Muka Ular melompat mundur, lalu sesaat 

tertegun menyaksikan kejadian yang baru 

dialaminya. Celaka! Kalau dibiarkan 

terus-menerus, bisa-bisa kami tak mampu 

menghadapinya, keluh Raja Setan Muka Ular 

dalam hati.

Ternyata bukan hanya Raja Setan 

Muka Ular saja yang kaget, Pedang Akhirat 

pun melompat dua tindak ke belakang. Dia 

tidak menduga kalau serangan pedangnya 

dapat dipatahkan oleh Citra Yuda dengan 

pukulan. Malah kembali tangannya terasa 

linu akibat benturan pukulan lawan dengan 

pedangnya.

Sementara itu, Segoro Wedi berusaha 

melampiaskan nafsunya pada Dewi Rukmini 

yang tetap berontak untuk melepaskan 

diri. Namun berontakan Dewi Rukmini 

justru membuat Segoro Wedi bertambah 

nafsu.

"Lepaskan!" jerit Dewi Rukmini 

dengan nada suara bergetar. Pakaian telah 

sebagian lepas dari tubuhnya, sehingga 

tubuh bagian atas benar-benar terbuka.

"Semakin kau berontak, semakin 

membuat gairahku kian menggebu, Manis..," 

Segoro Wedi terkekeh, kemudian tangannya 

kembali bergerak merenggut pakaian yang 

dikenakan oleh Dewi Rukmini.

Setelah tubuh wanita cantik itu 

polos tak tertutup oleh sehelai benang


pun, dengan gerak cepat Segoro Wedi 

menotok jalan darah wanita itu. Membuat 

Dewi Rukmini tak mampu lagi bergerak. 

Hanya suaranya yang masih terdengar 

mencaci-maki.

"Pengecut! Laknat... Lepaskan 

totokan mu. Tak sudi aku melayanimu, 

Iblis!"

Segoro Wedi tertawa terbahak-bahak, 

lalu membopong keluar tubuh Dewi Rukmini. 

Kemudian diletakkannya tubuh wanita itu 

di rerumputan, tak jauh dari arena 

pertarungan Citra Yuda melawan para 

begundal Segoro Wedi. Lalu dengan nafsu 

yang memuncak, tubuh Dewi Rukmini 

digelutinya.

Hal itu membuat Citra Yuda yang 

sedang bertarung menghadapi kelima 

lawannya seketika terpecah perhatiannya. 

Kemarahannya kian menjadi, menyaksikan 

bagaimana Segoro Wedi memperkosa istrinya 

dengan buas.

"Bangsat! Kubunuh kau, Segoro 

Wedi...!"

Dengan dada penuh amarah, Citra 

Yuda membabatkan goloknya ke arah lawan-

lawannya. Kemudian tubuhnya mencelat 

meninggalkan kelima lawannya memburu ke 

arah Segoro Wedi yang masih menggeluti 

tubuh istrinya.

"Kubunuh kau. Hiaaat..!" Citra Yuda 

dengan penuh amarah menebaskan goloknya


ke arah tubuh Segoro Wedi. Namun dengan 

cepat Segoro Wedi membuang tubuhnya ke 

samping. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh 

Dewi Rukminilah yang menjadi sasarannya.

"Kakang...! Akh...!" pekik Dewi 

Rukmini ketika golok suaminya menghunjam 

di lambung sebelah kiri. Darah muncrat 

keluar dari luka di mana golok Citra Yuda 

masih menghunjam.

"Dewi.... Oh, maafkan aku...," 

Citra Yuda segera memeluk tubuh istrinya 

yang bermandi darah. Hingga dia tidak 

dapat lagi memperhatikan keenam lawannya. 

Dia masih terisak menangisi kejadian itu, 

sehingga ketika kelima lawannya 

menyerang, dia tidak dapat lagi mengelak. 

Terlebih ketika Segoro Wedi menghajarnya 

dengan pukulan maut 'Pasir Baja'nya yang 

mengandung racun jahat

"Citra Yuda, terimalah kematianmu! 

Hiaaa...!"

Deggg!

"Aaakh...!" Citra Yuda menjerit 

sejadi-jadinya, ketika pukulan Segoro 

Wedi menghantam tubuhnya. Matanya 

mendelik, memandang ke arah Segoro Wedi 

dan teman-temannya yang tergelak-gelak

"Bajingan! Pengecut...! Kubunuh 

kalian...!"

Citra Yuda berusaha bangkit untuk 

menyerang. Namun baru beberapa langkah, 

tubuhnya telah ambruk. Dari mulutnya


melelehkan darah segar kehitaman.

Melihat suaminya mati, Dewi Rukmini 

yang masih merasakan sakit, dengan cepat 

mengambil golok suaminya. Lalu 

dihunjamkan golok itu ke dadanya.

"Kakang...," Dewi Rukmini berusaha 

menggenggam tangan suaminya. Setelah 

dapat, dia pun terkulai tanpa nyawa 

dengan dada tertembus golok sang Suami.

"Dewi...!" Segoro Wedi berusaha 

mencegah, tapi terlambat. Semuanya telah 

terjadi. Dipandanginya dua sosok mayat 

bekas kakak seperguruan yang ada di 

hadapannya. Dihelanya napas pelan, 

kemudian dengan suara lirih Segoro Wedi 

bertanya pada temannya. "Di mana anak 

mereka?"

"Mungkin sudah mampus, Wedi," sahut 

Raja Setan Muka Ular.

"Mati...?"

"Ya. Tadi kutendang karena 

menggigit tanganku. Lihat, lukanya masih 

ada," kata Raja Setan Muka Ular sembari 

menunjukkan luka bekas gigitan di 

tangannya.

"Syukurlah kalau begitu, jadi kita 

tidak usah repot-repot mencarinya," kata 

Segoro Wedi dengan helaan napas. Tapi 

kemudian dia kembali bertanya. "Kau yakin 

bocah itu telah mampus?"

"Ya!"

"Sekarang cari kitab itu...!"



perintahnya.

Kelima temannya segera menerobos 

masuk ke rumah dan mengobrak-abrik isi 

rumah itu. Namun mereka tidak menemukan 

apa yang dicari.

"Tak ada," lapor Raja Setan Muka 

Ular.

"Hhh...!" Segoro Wedi menghela 

napas. "Bakar saja rumah ini!"

***

Pagi lamat-lamat datang, menyibak 

kegelapan malam dengan sinarnya yang 

terang. Kokok ayam bersahut-sahutan, 

menyambut tersembulnya mentari dari kaki 

langit. Burung-burung berkicau dengan 

riang, bagai bernyanyi bersama sambil 

bercanda. Semilir angin pagi bertiup, 

perlahan mengusir kabut yang 

menggelantung di pucuk-pucuk pepohonan.

Di dalam sebuah gua yang tertutup 

oleh batu cadas, seorang bocah kecil 

berusia sekitar sepuluh tahun tergeletak 

pingsan. Bocah yang tidak lain adalah 

Sena Manggala itu tidak mengetahui kalau 

ayah dan ibunya telah meninggal oleh

keroyokan Segoro Wedi dan begundalnya.

"Uhhh...," keluh Sena lirih.

Perlahan-lahan matanya membuka. Ia 

terkejut menyaksikan dirinya berada di 

dalam sebuah ruangan yang terbuat dari


batu.

"Di manakah aku?" tanyanya sambil 

terus memperhatikan sekelilingnya yang 

terasa asing. Anehnya, meski ruangan itu 

terbuat dari batu, ia tidak merasa 

kedinginan. Justru hawa di dalam ruangan 

itu hangat

Sena berusaha bangun dengan 

tertatih-tatih meski tubuhnya dirasakan 

masih agak linu. Benaknya masih 

menggambarkan tendangan lelaki berwajah 

menyeramkan yang membuat tubuhnya terasa 

remuk. Lalu tubuhnya menggelinding ke 

bawah lereng, dan masuk ke dalam gua ini.

Setelah mampu bangun, bocah kecil 

itu mencoba menajamkan pandangannya ke 

sekeliling gua. Matanya membelalak tiba-

tiba ketika melihat dinding gua di kanan 

dan kirinya terdapat gambar-gambar jurus 

silat yang aneh. Jurus-jurus itu mirip 

dengan gerakan orang gila.

"Hai, gambar apa ini? Seperti 

gambar orang gila sedang menari," gumam 

bocah kecil itu sambil mendekati dinding 

batu untuk mengamati gambar-gambar yang 

ada di sana. Keningnya mengerut, ketika 

lebih jelas lagi memperhatikan gambar-

gambar itu.

"Gambar-gambar yang aneh. Jika 

hanya gerakan orang gila, mengapa mesti 

ada aturannya?" gumamnya saat melihat 

aturan dan cara yang tertulis, untuk



melakukan gerakan dari gambar-gambar itu.

Sena kembali tertegun. Otaknya 

mencoba mencerna gambar-gambar aneh itu. 

Bocah kecil itu menggaruk-garukkan 

kepalanya yang tidak gatal. Pikirannya 

berusaha keras menebak maksud gambar yang 

ditemukannya. Lama dia memperhatikan, 

hingga tanpa disadari, tubuhnya telah 

meniru-niru salah satu gerakan yang ada 

dalam gambar di dinding gua.

"Hei, kenapa aku meniru-niru 

gerakan gambar itu?" tanya Sena tertegun-

tegun setelah menyadari kalau tubuhnya 

bergerak mengikuti salah satu gambar yang 

ada di dinding gua.

Bocah kecil itu terus memandangi 

satu persatu gambar-gambar tersebut. 

Sementara hatinya terus pula bertanya-

tanya.

Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu 

yang menarik perhatian. Sebuah batu 

berwarna ungu bulat menempel di satu 

bagian dinding.

"Hm, batu apakah itu? Coba aku 

dekati," pikir Sena seraya melangkah ke 

arah batu berwarna ungu itu. Dipan-

danginya batu ungu bulat sebesar uang 

perak tersebut. Kemudian dengan perasaan 

ingin tahu, tangannya meraba batu itu.

Srak!

Sena tersentak kaget, ketika tiba-

tiba saja dinding gua di hadapannya yang


tadi tertutup, membuka. Mata bocah itu 

membelalak lebar dan mulutnya menganga.

Belum juga hilang rasa kaget bocah 

itu, dari mulut ruangan yang kini terbuka 

tiba-tiba berhembus asap tebal berwarna 

ungu yang bergulung-gulung menyelimuti 

seluruh ruangan di mana bocah kecil itu 

berada. Hal itu membuat Sena kelabakan. 

Tangannya mengibas-ngibas untuk menghalau 

asap ungu yang terus mengalir ke arahnya. 

Ketika asap ungu itu semakin padat 

mengurungnya, mau tak mau asap ungu itu 

terhisap juga.

"Uhk...!" Sena terbatuk-batuk kecil 

akibat asap ungu yang menerobos 

tenggorokannya. Semakin lama semakin 

banyak menghisapnya.

Sena tidak tahu, kalau asap ungu 

itu sesungguhnya adalah racun yang belum 

ada tandingannya. Racun itu sangat 

dahsyat. Siapa pun yang menghisapnya, 

akan lumpuh dan mati! Anehnya, bocah itu 

justru tidak merasakan kelumpuhan. Hanya 

kepalanya terasa sangat pening. Semakin 

banyak asap ungu beracun itu dihisapnya, 

semakin terasa pusing kepalanya. Tubuhnya 

sendiri merasakan kehangatan yang lain, 

yang perlahan-lahan berubah menjadi 

sejuk.

Bocah itu terheran-heran. Otaknya 

berusaha memahami apa yang terjadi. 

Namun, kepalanya terasa semakin berat dan


matanya mengantuk sekali. Bumi yang 

dipijaknya seakan berputar dengan cepat.

Setelah banyak menghisap asap 

beracun, kepalanya terasa amat berat. 

Dan, Sena melihat gambar-gambar di 

dinding gua seperti bergerak-gerak.

"Hi hi hi.... Ha ha ha..... Lucu! 

Lucu sekali!"


Bocah kecil itu terus tertawa-tawa, 

dan tidak menyadari dirinya malah 

bergerak-gerak mengikuti jurus-jurus gila 

yang tertera di dinding tembok!

Sena masih berusaha bertahan. 

Dicobanya untuk membuka mata selebar 

mungkin. Tiba-tiba semuanya kelihatan 

lucu. Gambar-gambar yang ada dinding gua 

seperti bergerak-gerak, membuat Sena 

tertawa nyaring menyaksikan semua itu. 

Kemudian tanpa sadar tubuhnya bergerak, 

mengikuti gambar-gambar yang terlihat 

bergerak sendiri.

"Hi hi hi... Ha ha ha.... Lucu! 

Lucu sekali!"

Sena terus tertawa-tawa dengan 

tubuh bergerak lentur kian kemari. Bocah 

kecil itu benar-benar tidak sadar kalau 

dirinya tengah mengikuti sekaligus 

mempelajari jurus-jurus gila yang tertera 

di dinding tembok.

Lama Sena mengikuti gerakan-gerakan 

gambar di dinding gua. Keringat bersem-

bulan dari pori-pori tubuhnya. Tapi bocah 

kecil itu sendiri tak peduli, terus 

diikutinya gerakan-gerakan itu. Kepalanya 

yang pening tak dihiraukan. Pandangannya 

yang aneh tidak juga mempengaruhinya. Dia 

terus bergerak dan bergerak. Setelah 

jurus-jurus yang berada di dinding di

ikuti seluruhnya, baru tubuhnya terkulai 

kecapaian.


EMPAT


Entah berapa lama Sena terkulai 

pingsan, tanpa tahu di mana dirinya kini. 

Ketika matanya membuka, didapati dirinya 

telah berada di atas sebuah batu datar 

dengan lebar sekitar dua depa dan panjang 

dua setengah depa. Mata bocah kecil itu 

mengawasi sekelilingnya dengan pandangan 

nanar.

"Di manakah aku...?" tanyanya lirih 

pada diri sendiri.

Setelah pandangannya mulai jelas, 

kembali didapatinya gambar-gambar pada 

kanan dan kiri dinding gua. Sena yakin 

kalau dirinya kini berada di tempat yang 

berbeda dari sebelumnya, karena gambar 

yang ditangkap matanya pun berbeda. Meski 

begitu tetap terlihat bergerak lucu, 

memperagakan gerakan-gerakan yang aneh 

seperti jurus-jurus silat.

Mata bocah kecil itu terus 

memandangi setiap gambar di dinding gua 

yang terus bergerak ganjil, sehingga 

membuatnya kembali tertawa nyaring. Tiba-

tiba semangatnya muncul. Entah apa 

penyebabnya. Mungkin gambar di dinding 

gua yang seperti bergerak memperagakan 

gerakan-gerakan ilmu silat. Atau karena 

pengaruh Racun Kabut Ungu?

Tubuhnya segera bangkit. Rasa letih

setelah mengikuti gerakan-gerakan di


dinding gua sebelumnya, hilang seketika. 

Bocah kecil itu turun dari batu datar, 

lalu dengan tertawa-tawa diikutinya 

gerakan-gerakan gambar di dinding gua.

"Eh! Kenapa aku kembali mengikuti-

nya? Oh, tapi gambar-gambar itu dapat 

bergerak dan lucu sekali. Hi hi hi... Ha 

ha ha...! Baik, aku pun senang dengan 

kalian. Aku suka sekali dengan kalian," 

kata Sena sambil terus mengikuti gerakan-

gerakan yang ada di dinding gua.

Rasa letih yang sempat datang, 

begitu saja hilang melihat lucunya 

gerakan-gerakan yang tergambar di dinding 

gua.

"Heat..!"

Sambil tertawa, tangan dan kakinya 

terus bergerak mengikuti jurus-jurus aneh 

yang ada di dinding. Sesekali kepalanya 

digaruk, lalu kembali tertawa-tawa 

senang, seperti mendapat teman bermain.

Tanpa diketahuinya, sejak bocah itu 

berada di dalam gua, seorang lelaki tua 

berambut serta berjenggot panjang warna 

putih, duduk di atas sebuah batu datar 

berukuran satu tombak kali satu tombak 

sambil memperhatikannya. Dilihat dari 

sorot matanya, lelaki itu merasa kagum 

pada bocah kecil yang masih mengikut 

gerakan-gerakan di dinding gua sambil

tertawa-tawa. Sepertinya bocah kecil itu 

tidak merasakan lelah barang sedikit pun.


"Hm, bocah ini benar-benar hebat 

Racun Kabut Ungu yang selama ini tak ada 

yang mampu menahan, seakan tiada artinya 

sama sekali."

Orang tua itu menggelengkan 

kepalanya, sambil sesekali manggut-

manggut. Diperhatikannya lekat-lekat 

tubuh Sena dengan pandangan tajam.

"Kulihat tulang tubuhnya pun sangat 

rapi dan kokoh.... Hyang Jagat Dewa 

Batara, mungkin bocah inilah yang 

dimaksud dalam mimpiku. Seorang bocah 

yang memiliki daya tahan tubuh yang 

sempurna. Hm, semoga apa yang kuharapkan 

selama ini akan menjadi kenyataan," gumam 

orang tua itu sambil terus memperhatikan 

tingkah laku Sena yang tiada hentinya 

mengikuti gerakan-gerakan gambar di 

dinding gua sambil tertawa-tawa.

"He! Hi hi hi..! Aneh sekali 

gerakan ini. Tapi aku senang. Akan 

kuikuti kalian, Gambar-gambar Aneh!" 

ceracau bocah kecil itu sambil 

memperagakan gerakan-gerakan tangan dan 

kakinya yang ringan.

Bocah kecil itu terus melakukan 

gerakan-gerakan seperti tergambar di 

dinding. Gerakan bagai orang gila! 

Sesekali tangannya bergerak menimpuk, 

lalu menepuk. Itulah jurus 'Kera Gila 

Melempar Batu', sebuah jurus gila yang 

dahsyat dan ampuh.



Sesaat Sena menghentikan gerakan 

untuk menarik napas sambil memperhatikan 

gambar-gambar berikutnya. Lalu kembali 

lagi mengikuti gerakan-gerakan ilmu silat 

itu dengan penuh semangat sambil terus 

tertawa-tawa. Keringat makin membasahi 

seluruh tubuhnya. Tapi bocah itu tetap 

tak peduli.

Sementara, orang tua yang terus 

memperhatikan tingkah laku Sena, 

tercengang menyaksikan bagaimana bocah 

kecil itu melakukan gerakan 'Kera Gila 

Melempar Batu'. Begitu cepatnya si bocah 

menyerap gambar di dinding, sehingga 

mampu melakukan gerakan itu. Padahal 

jurus yang kini tengah dilakukan olehnya 

adalah salah satu jurus yang sulit untuk 

dipelajari. Orang lain paling tidak harus 

mempelajarinya dalam waktu tiga hari, itu 

pun kalau berlatih terus menerus tanpa 

istirahat.

Orang tua itu berdecak kagum tanpa 

sadar. Belum pernah selama ini dilihatnya 

seorang manusia mampu mempelajari jurus-

jurus gila dalam waktu yang singkat.

"Hebat! Sungguh hebat...!" pekik 

orang tua itu dengan mata membelalak 

menyaksikan keluarbiasaan yang terjadi di 

depan matanya.

Makin tersentak hati orang tua itu 

melihat bocah kecil itu menghentikan 

jurus yang telah dilakukannya. Dikiranya


bocah kecil itu akan kelelahan dan 

tertidur, tapi ternyata tidak. Kini bocah 

kecil itu mengalihkan pandangannya ke 

dinding yang lain, di mana tertera jurus-

jurus yang lebih sulit

Sesaat bocah kecil itu memakukan 

pandangannya ke gambar-gambar yang dalam 

penglihatannya bergerak-gerak bagai 

sedang memperagakan jurus. Sekali lagi, 

bocah itu tertawa-tawa senang.

"Oh, begitu...? Baik, kurasa aku 

bisa. Hi hi hi..."

Kembali tubuhnya bergerak mengikuti 

gerakan-gerakan gambar di dinding.

Orang tua yang memperhatikannya 

dari jauh semakin melebarkan matanya 

mendengar ucapan si bocah yang menganggap 

gerakan-gerakan yang tengah dilakukannya 

sebagai permainan yang menyenangkan. 

Dengan tertawa-tawa Sena mengikuti 

gerakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk 

Lalat', sebuah jurus yang lebih tinggi 

dibanding jurus sebelumnya. Tubuh 

kecilnya kini laksana menari-nari dengan 

lemah gemulai. Sementara tangannya 

sesekali menepuk.

Tak diingatnya lagi kegetiran hidup 

yang baru ia telan dengan meninggalkan 

kedua orangtuanya dalam keadaan di ujung 

tanduk. Tidak ada lagi pertanyaan tentang 

nasib ayah dan ibunya dalam benak Sena. 

Perasaannya begitu terhibur dengan gambar


yang bergerak lucu di matanya.

"Jagat Dewa Batara, apakah mataku 

tak salah lihat?" gumam orang tua itu 

dengan mata memperlihatkan ketidak-

percayaan pada apa yang dilihatnya saat 

itu. "Tidak! Aku tidak bermimpi. Ini 

kenyataan. Bocah itu sungguh luar biasa. 

Aneh! bagaimana mungkin jurus sesulit itu 

bisa cepat dikuasainya?"

Dengan mata berbinar takjub, orang 

tua itu menyaksikan Sena mampu melakukan 

gerakan-gerakan yang amat sulit. 

Jangankan orang lain, dulu dia sendiri 

mempelajari jurus itu paling cepat 

sehari. Tapi bocah kecil itu malah 

sekejap, seperti pernah mempelajarinya 

terlebih dahulu. Ingin rasanya bocah itu 

dihampirinya, tapi dia tidak ingin 

mengganggu luapan rasa senang si bocah.

Sementara itu, Sena terlihat 

menghentikan gerakannya, setelah dirasa 

jurus-jurus itu sudah dihafalnya. 

Kemudian tubuhnya dibalikkan, memandang 

ke arah lain. Sesaat matanya memandang 

tajam ke satu deret gambar baru.

"Baik, kalau itu yang kalian 

maksudkan. Aku pun merasa bisa. Hi hi 

hi.... Lihat, aku akan mengikuti kalian."

Sena terkikik, lalu tangan serta 

kakinya bergerak mengikuti gerakan 

gambar-gambar di dinding yang menari. 

Gerakan yang kini diikutinya adalah jurus


'Si Gila Membelah Awan'. Kalau saja bocah 

kecil ini mempunyai tenaga dalam yang 

sempurna, gua itu bisa dibuat hancur 

berantakan.

"Hah...?!"

Orang tua yang masih 

memperhatikannya dari kejauhan lagi-lagi 

tercengang menyaksikan bocah kecil itu 

melakukan gerakan 'Si Gila Membelah 

Awan', sebuah jurus yang dahsyat luar 

biasa bila disertai tenaga dalam.

"Benar-benar bocah aneh. Hm, tidak 

sia-sia selama lima puluh tahun lebih aku 

menanti," gumam orang tua itu.

Setelah melakukan jurus-jurus yang 

ada di dinding gua, Sena tampak berdiri 

mematung. Kepalanya terasa pening. 

Setelah tertawa, bocah kecil itu kembali 

terkulai jatuh. Dia tidak pingsan, tapi 

tertidur kelelahan.

***

Orang tua penghuni Gua Setan 

tersenyum-senyum, kemudian melangkah 

menghampiri tubuh si bocah yang tertidur 

menggeletak di tanah begitu saja. 

Dipegangnya dada si bocah, denyut 

jantungnya sangat beraturan, seperti 

tidak merasakan lelah.

"Hebat..!" puji orang tua penghuni 

Gua Setan tanpa sadar sambil menggeleng


geleng lemah. "Daya tahan tubuh bocah ini 

benar-benar hebat. Mungkinkah karena 

pengaruh Racun Kabut Ungu? Hm, kurasa itu 

hanya sebagian saja. Mungkin ada hal lain 

yang mempengaruhi ketahanan tubuhnya 

hingga daya tahan tubuh bocah ini sangat 

kuat."

Orang tua itu kemudian membopong 

tubuh Sena ke atas batu datar tempat ia 

tertidur tadi. Kembali mata tuanya 

menatap tubuh bocah kecil itu penuh 

perhatian, tanpa sejengkal pun terlewati.

"Hm. Bocah inilah yang ada dalam 

mimpiku. Semuanya sama, tak ada 

bedanya...," ucapnya perlahan namun penuh 

keyakinan. Jarinya memijit beberapa 

bagian tubuh Sena untuk membuka jalan 

darah di tubuhnya.

"Uhhh..."

Sena menggeliat. Perlahan-lahan 

matanya membuka, lalu samar-samar matanya 

melihat seorang lelaki tua berjubah putih 

dengan wajah dihiasi jenggot dan kumis 

yang juga putih. Wajah orang tua itu 

mencerminkan sikap yang ramah dan 

penyabar. Bibirnya tersenyum, menyaksikan 

si bocah telah terjaga.

"Kakek, siapakah engkau? Sedari 

tadi aku tidak melihatmu?" tanya Sena 

sambil menggerakkan tubuh untuk bangkit

"Bocah, aku adalah penghuni Gua 

Setan ini. Sepantasnya aku yang bertanya


begitu padamu," ujar orang tua itu, tanpa 

melepas senyumnya. 

Sena terkejut mendengar penuturan 

orang tua yang memberitahukan kalau 

dirinya berada di dalam gua angker yang 

ditakuti oleh orang-orang rimba persi-

latan. Memang, walaupun masih kecil tapi 

ayah dan ibunya sering memberitahukan 

hal-hal yang terjadi di dalam rimba 

persilatan.

"Jadi, inikah Gua Setan?" tanya 

bocah kecil itu.

"Ya," sahut orang tua penghuni Gua 

Setan masih tersenyum ramah.

"Dan kau penghuni Gua Setan ini?"

"Benar," jawab orang tua itu lagi.

Setelah tahu siapa lelaki tua di 

hadapannya, tanpa diperintah bocah kecil 

itu langsung turun dan sujud di kaki 

orang tua itu.

"Maafkan aku yang bodoh dan begitu 

lancang memasuki Gua Setan ini serta 

mempelajari gambar-gambar di dinding. 

Sekiranya engkau menyalahkan tindakanku, 

aku siap menerima hukuman."

Orang tua penghuni Gua Setan 

tersenyum, kemudian tangannya mengangkat 

pundak si bocah.

"Berdirilah. Kau tidak bersalah, 

Bocah. Bahkan aku bangga menyaksikan mu

tanpa rasa lelah mempelajari jurus-jurus 

ilmu silat yang ada di dinding gua ini.


Siapa namamu?" tanya orang tua itu.

"Ampunkan aku yang bodoh ini, Kek. 

Namaku Sena Manggala. Kalau aku tidak 

salah, bukankah engkau yang bernama Eyang 

Singo Edan?" tanya Sena, memberanikan 

diri. Meski ia tidak berani mengadu 

pandang pada orang tua di depannya yang 

saat itu tertawa.

"Benar.... Benar apa yang kau 

katakan. Aku memang Singo Edan, penghuni 

Gua Setan ini," jawab orang tua itu 

sambil terus tertawa. "Bocah, dari mana 

kau tahu kalau aku Singo Edan?"

Sena tidak langsung menjawab, malah 

dia balik bertanya untuk menegaskan 

kebenaran yang didengarnya.

"Jadi, benarkah kau Eyang Singo 

Edan?" 

"Ya, kenapa...?"

Kembali bocah itu bersujud, lalu 

dengan suara penuh hormat berkata,

"Oh, sekali lagi ampuni saya yang 

bodoh dan lancang ini."

Singo Edan tertawa bergelak. Sekali 

lagi diangkatnya pundak si bocah hingga 

berdiri. Matanya memandang lekat ke wajah 

Sena sebelum kembali bertanya,

"Katakanlah, dari mana kau tahu aku 

bernama Singo Edan? Dan, jangan kau 

pikirkan masalah kelancanganmu, sebab aku 

justru senang dengan kehadiranmu di gua 

ini. Aku bahkan kagum dengan semangatmu


mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si 

Gila'."

Sena tercengang mendengar penuturan 

Singo Edan yang mengatakan kalau dia 

telah mempelajari jurus-jurus langka yang 

hebat itu.

"Apa?! Jadi...," seru Sena tanpa 

sadar.

"Benar. Semua yang kau anggap lucu 

adalah jurus-jurus langka 'Ilmu Silat Si 

Gila'. Nah! Sekarang katakan, dari mana 

kau tahu namaku Singo Edan?" desak orang 

tua itu ingin tahu.

Setelah menjura, Sena menceritakan 

siapa sesungguhnya dirinya, siapa 

orangtuanya dan siapa pula kakeknya. 

Bocah kecil itu juga menceritakan kalau 

dia tergelincir dan menggelinding ke 

bawah lereng karena tubuhnya lemah 

terkena tendangan seorang pengeroyok 

ayahnya.

"Begitulah ceritanya, Eyang," kata 

Sena, mengakhiri ceritanya.

"Jadi kau cucu Senabrata?!" tanya 

Singo Edan dengan kening berkerut

Sena menganggukkan kepala.

"Kakekmu telah meninggal?" tanya 

Singo Edan kembali.

"Benar, Eyang. Kakek meninggal 

karena usia tua, sedangkan ayah dan Ibu 

entah bagaimana nasibnya. Orang-orang itu 

begitu jahat, Eyang...," tutur Sena


polos, membuat Singo Edan manggut-manggut 

dengan raut wajah prihatin.

Di samping Singo Edan terharu 

mendengar penuturan bocah kecil itu, dia 

juga merasa sedih karena Senabrata 

sebenarnya adalah sahabatnya. Nasib yang 

menimpa anak Senabrata dirasakan seperti 

menimpa anaknya sendiri.

"Sudahlah, Sena.... Semua sudah 

menjadi suratan takdir. Tak perlu 

disesali lagi. Kini, Eyang mau menawarkan 

padamu. Maukah kau mempelajari dengan 

tekun gambar-gambar itu?" tanya Singo 

Edan setelah memberi petuah pada si 

bocah, sekaligus memberikan semangat

Sena memandangi wajah Singo Edan. 

Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang 

didengarnya barusan. Tapi, setelah Singo 

Edan kembali menganggukkan kepala sambil 

tersenyum, segera bocah itu bersujud.

"Oh, sungguh aku yang bodoh dan 

lancang ini tidak terkira bahagianya, 

sebab aku merasa telah mendapatkan 

kehormatan menjadi murid Eyang. Terimalah 

sembahku, Eyang."

"Sudahlah, tak perlu begitu. Kita 

sama-sama manusia. Hanya Tuhan yang patut 

disembah. Bangunlah," ujar Singo Edan, 

kemudian diajaknya bocah kecil itu 

melangkah ke ruang dalam. Sejak saat 

itulah, Sena Manggala menjadi murid 

tunggal tokoh sakti yang belum

tertandingi sampai saat ini.


LIMA


Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa 

terasa sepuluh tahun telah berlalu. 

Selama itu, Sena Manggala dengan tekun 

mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si 

Gila' yang langka dan dahsyat. Sedikit 

pun tak ada keluhan dari bibirnya. Bukan 

itu saja, Kitab Ilmu Silat Si Gila yang 

ditulis Eyang Singo Edan pun telah 

dilalapnya dengan cepat, hingga semua 

'Ilmu Silat Si Gila' tak satu pun 

tersisa.

Ilmu-ilmu lainnya, seperti tenaga 

dalam, meringankan tubuh, dan pukulan-

pukulan sakti telah pula dipelajarinya. 

Hingga pada usia dua puluh tahun, Sena 

telah menjadi sosok pendekar muda yang 

memiliki bekal ilmu kedigdayaan yang 

tinggi.

Pagi merambati muka bumi bersama 

seluruh warna dan tembang alam. Di dalam 

Gua Setan, dua orang tengah duduk 

berhadap-hadapan. Yang seorang adalah 

lelaki tua berjubah putih dengan rambut 

yang kian memutih pula. Ia tak lain Singo 

Edan atau lebih terkenal dengan julukan 

Penghuni Gua Setan. Di depannya duduk 

seorang pemuda tampan, berkulit kuning



bersih serta rambut panjang rapi yang 

diikat dengan selembar kulit ular. 

Tubuhnya yang berotot menggambarkan kalau 

selama ini ia telah menjalani godokan 

yang berat. Pemuda itu adalah Sena 

Manggala.

"Sena, sepuluh tahun telah berlalu. 

Sepuluh tahun pula kau berada di gua ini. 

Semua ilmu yang Eyang miliki, telah 

diwariskan padamu...," kata Singo Edan 

setelah beberapa saat terdiam. 

"Perpisahan memang berat, Cucuku...."

Sena tak berkata apa-apa. Pemuda 

itu nampaknya terharu mendengar penuturan 

eyang gurunya. Bagaimanapun juga, selama 

sepuluh tahun mereka senantiasa berdua. 

Susah senang mereka jalani bersama. Tapi, 

tiba-tiba kini mereka harus berpisah. 

Siapa pun pasti akan merasa sedih.

"Sena, jangan kau pikirkan 

perpisahan antara kita, sebab hal itu 

adalah kenyataan hidup setiap manusia. Di 

mana ada pertemuan, tentu ada perpisahan. 

Kau telah dewasa, telah mewarisi seluruh 

'Ilmu Silat Si Gila'...."

Kembali orang tua sakti itu 

menghentikan ucapannya. Dihelanya napas 

sebelum meneruskan ucapannya.

"Ketahuilah, ilmu seseorang tidak 

berarti sama sekali jika digunakan untuk 

kejahatan. Dan harus kau ingat pula, 

bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki


manusia hanya bagai setetes air di lautan 

dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki 

oleh Hyang Widhi. Kau paham, Sena...?" 

pesan Singo Edan, amat menggiris.

"Paham, Eyang...," sahut Sena masih 

menunduk.

"Bagus.... Dengan begitu, kau tidak 

akan tersesat nantinya. Kemudian yang 

perlu kau ingat juga, jangan menaburkan 

benih permusuhan dalam hidupmu. Buanglah 

rasa dendam di hatimu, sebab dendam 

adalah setan."

"Baik, Eyang.... Semua yang Eyang 

petuahkan, akan senantiasa kuingat," 

jawab Sena.

Singo Edan mengangguk-angguk, 

sementara tangannya mengelus-elus 

jenggotnya yang semakin memutih.

"Satu lagi yang ingin kukatakan 

padamu, Sena."

"Kalau Eyang berkenan, katakanlah. 

Sebab semua petuah Eyang adalah penerang 

jalan hidupku yang masih buta," tutur 

Sena, penuh hormat.

"Baiklah. Dengarkan baik-baik, dan 

camkan. Pepatah mengatakan; Jangan 

melawan badai, jika kau tak mampu. Dan 

jangan melawan arus jika kau tak memiliki 

pegangan. Kau tahu artinya, Sena...?" 

tanya Singo Edan.

"Ampun, Eyang.... Aku masih terlalu 

buta dan bodoh untuk mengurai maksud



peribahasa itu," jawab Sena merendah. Dan 

hal itu yang menjadikan Singo Edan 

semakin kagum terhadap muridnya. Ternyata 

sang Murid bukan hanya cerdas, namun 

kepribadiannya pun sangat luhur.

Singo Edan tersenyum seraya 

mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu 

kalau Sena sesungguhnya memahami apa 

maksud peribahasa itu. Tapi pemuda itu 

tampaknya lebih suka merendah.

"Sena, arti peribahasa itu 

begini.... Seorang manusia seharusnya 

jangan menyombongkan diri hingga 

membuatnya mencelakakan diri sendiri. 

Seorang manusia seharusnya jangan 

bertindak tanpa pertimbangan, hingga 

tindakannya menjadi sia-sia belaka. Bukan 

mendapatkan yang terbaik, justru akan 

mencelakakan diri sendiri. Nah, kau 

paham...?"

"Paham, Eyang...."

"Nah, kini tidak ada lagi yang 

dapat Eyang berikan padamu. Hanya suling 

ini yang masih tersisa di tangan Eyang. 

Suling ini pun akan Eyang berikan padamu. 

Terimalah! Anggaplah suling ini sebagian 

hidupmu. Jagalah baik-baik, jangan sampai 

jatuh ke tangan manusia-manusia berhati 

iblis, sebab akan menimbulkan celaka," 

tutur Singo Edan memberi petuah dengan 

penuh penekanan pada setiap kata yang 

terucap. "Hm.... Mari ikut aku, biar


kutunjukkan keistimewaan suling sakti 

ini."

Segera kaki Singo Edan melangkah ke 

ruang lain yang luas dalam gua itu. Singo 

Edan lalu memperagakan sesuatu. Suling 

itu dihentakkannya ke depan dan seketika 

batu-batu yang ada dalam gua itu 

terlempar berhamburan disertai angin 

kencang.

"Ini sebagian dari kesaktian suling 

ini," ujar Singo Edan setelah mempe-

ragakan kesaktian suling sakti itu, 

membuat Sena berdecak kagum.

Setelah itu, Singo Edan memberikan 

suling di tangannya pada Sena yang 

langsung menerimanya. Sekilas diamatinya 

suling berwarna perak yang pada satu 

ujungnya terukir kepala naga. Itulah 

Suling Naga Sakti, yang sampai saat ini 

menjadi incaran kaum rimba persilatan.

"Kini lengkap sudah semua yang kau 

miliki. Semua milik Pendekar Gila telah 

kau dapatkan. Pergilah dari Gua Setan 

ini. Banyak orang yang membutuhkan 

pertolongan dan uluran tanganmu. Ber-

jalanlah di jalan yang lurus, jangan 

sesekali berpaling ke jalan yang sesat," 

tutur Singo Edan seraya membelai rambut 

pemuda itu.

"Terima kasih, Eyang.... Sungguh 

besar jasamu padaku. Entah dengan cara 

apa aku yang bodoh dan tiada guna ini



dapat membalasnya."

"Sudah, jangan pikirkan hal itu. 

Eyang akan senang, jika kau dapat 

membantu orang yang memerlukan perto-

longanmu. Pergilah ke arah selatan, di 

sana akan kau temukan pintu keluar dari 

gua ini. Ingat, jangan kembali ke Gua 

Setan ini," tegas Singo Edan.

"Baik, Eyang. Aku mohon pamit..."

Sena menjura hormat dengan 

membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan 

masih membungkuk, pemuda itu bangkit dari 

duduknya, melangkah mundur meninggalkan 

orang tua yang masih duduk di atas batu 

datar.

Di bibir orang tua itu tersungging 

senyum kepuasan. Hatinya merasa tenang, 

sebab kini telah ada penggantinya untuk 

menegakkan keadilan dan kebenaran di muka 

bumi.

"Semoga Hyang Widhi senantiasa 

melindungimu, Cucuku," desis orang tua 

itu lirih. Matanya pun segera dipejamkan, 

seolah berusaha menahan rasa haru yang 

menyelinap di harinya. 

***

Pemuda berbadan tegap serta 

berwajah tampan dengan pakaian terbuat 

dari kulit ular sanca itu masih melangkah 

menyusuri lorong-lorong gua, meninggalkan


eyang gurunya yang semakin jauh. Pemuda 

itu tidak lain adalah Sena Manggala. 

Kakinya terus menyelusuri lorong gua, 

mencari jalan keluar yang ditunjukkan 

oleh gurunya. 

Lama pemuda itu menyelusuri lorong 

gua, hingga akhirnya matanya melihat 

sebuah sinar terang menyeruak masuk ke 

dalam.

"Hm, tentunya itu sinar dari luar. 

Tidak salah lagi, itu memang pintu gua," 

kata Sena sambil mempercepat langkahnya 

menuju ke arah sumber sinar yang 

menerobos masuk. Lorong gua yang berliku, 

menjadikan sinar itu tidak tembus ke 

dalam. Dan tentunya orang lain tidak akan 

menyangka ada jalan keluar dari lorong 

itu.

Benar juga dugaannya. Ketika tiba 

di mulut gua, terlihat laut yang luas 

membentang. Dan ketika kepalanya 

menengadah ke atas, ternyata pintu gua 

itu terpayungi batu cadas, sehingga tidak 

terlihat dari atas sana.

"Heh! Bagaimana aku bisa ke luar? 

Di hadapanku laut, sedang di atasku 

batu," gumam pemuda itu seperti 

kebingungan. Tangannya menggaruk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya 

cengar-cengir seperti melihat hal lucu. 

"Ah, bodohnya aku! Kenapa aku tidak 

mencoba dengan menggunakan jurus 'Si Gila



Terbang Menyambar Ayam?"

Setelah mengangguk-angguk sambil 

tersenyum, Sena menyurutkan kakinya tiga 

langkah ke belakang. Lalu sambil tertawa, 

dia melesat laksana terbang. Tubuhnya 

meluncur lurus di atas permukaan air 

laut, lalu berputar ke atas bagai 

menunggang angin, dan dengan ringan 

kakinya dijejakkan di atas batu cadas 

yang menutupi mulut gua.

"Huh, segar sekali udara di sini. 

Hm, inikah dunia bebas?"

Bibirnya kembali cengengesan sambil 

menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. 

Kemudian diambilnya suling yang terselip 

di pinggang. Lama suling itu diamati 

seraya menimangnya perlahan.

"Aku harus menjaga suling ini baik-

baik," gumam Sena seperti berjanji pada 

diri sendiri.

Sena kembali menimang-nimang suling 

itu. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk 

meniup suling sekadar menghibur diri. 

Disatukan bibirnya pada ujung suling 

berbentuk kepala naga, kemudian di

tiupnya.

Suara suling mengalun merdu, 

berkumandang ke seluruh pelosok dan 

menyelusup di pucuk-pucuk pohon kelapa 

yang tumbuh di sekitar daerah itu. 

Semakin lama, suara suling itu kian 

tinggi. Dan....


Darrr!

Ledakan terjadi, ketika lengking 

suling membentur sebatang pohon kelapa. 

Kejadian itu menyentakkan Sena, hingga 

segera menghentikan tiupan sulingnya. 

Matanya membuka lebar dan mulutnya 

menganga melihat sesuatu yang dahsyat 

Pohon kelapa itu terbakar hangus, 

kemudian tumbang dengan daun-daunnya yang 

mengering hangus.

"Oh....! Tidak salahkah yang 

kulihat?" tanya Sena pada diri sendiri 

setengah bergumam. Matanya menyapu ke 

segenap penjuru tempat itu. Tidak 

ditemukan adanya orang lain. Berarti, 

pohon kelapa besar itu terbakar dan 

tumbang oleh suara sulingnya. "Oh, 

sungguh dahsyat suara suling ini. Eyang, 

pemberianmu ini sungguh-sungguh benda 

pusaka yang sangat hebat. Pantas kau 

begitu sungguh-sungguh berpesan padaku."

Angin Laut Selatan bertiup ramah, 

mengantar kesejukan. Gelombang laut masih 

bergulung, berusaha menggempur batu 

karang.

Pemuda tampan dengan rompi kulit 

ular itu masih mematung setelah 

menyelipkan sulingnya pada sabuk kulit 

ular yang melilit pinggangnya. Dia masih 

bingung ke mana harus melangkah. Dunia 

bebas ini masih sangat asing baginya.

"Ah, bodohnya aku!"


Kembali Sena menepuk keningnya 

perlahan, seraya menggaruk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal.

"Bukankah aku punya kaki? Kenapa 

mesti bingung?"

Usai berkata begitu, kakinya 

melangkah mantap meninggalkan Pantai 

Selatan di mana pintu rahasia Gua Setan 

berada. Sena hanya mengikuti kata hati, 

melangkah tanpa tujuan yang pasti.

***

Sinar matahari pagi membelai 

hangat. Sebuah kedai telah dibuka oleh 

pemiliknya sejak kokok ayam pertama

terdengar. Empat orang lelaki bertampang 

kasar memperlihatkan kebengisan masuk ke 

kedai itu. Tingkah mereka tidak sopan, 

menandakan kalau keempat lelaki itu bukan 

orang baik-baik. Dilihat dari golok yang 

tergantung di pinggang, jelas keempat 

lelaki berwajah bengis itu dari rimba 

persilatan.

"Sediakan arak empat guci, cepat!" 

seru seorang dari mereka. Tangannya 

dengan keras menggebrak meja di depannya.

Brak!

Pemilik kedai dengan wajah 

ketakutan, tergopoh-gopoh menghampiri 

mereka. Tubuhnya menggigil, karena rasa 

takut tidak alang kepalang.


"Maaf, Aden sekalian minta apa?" 

tanya pemilik kedai itu, dengan suara 

bergetar.

"Goblok! Apa telingamu tuli, hah?! 

Cepat sediakan empat guci arak, juga 

makanan yang enak!" bentak orang yang 

tadi menggebrak meja. 

"Ba..., baik," jawab pemilik kedai 

semakin bertambah ketakutan.

Lalu, tanpa banyak tanya lagi dia 

tergopoh-gopoh berlalu. Tidak lama 

kemudian, bersama seorang pelayan, laki-

laki tua itu membawa empat guci arak 

serta makanan-makanan lezat

"Cepat..!" bentak orang itu lagi 

tak sabar.

"I..., iya, Den," sahut pemilik 

kedai.

Dengan tubuh gemetar ditaruhnya 

empat guci arak di meja. Sedangkan 

pelayannya menaruh makanan-makanan 

permintaan keempat lelaki kasar itu.

Keempat lelaki kasar itu terbahak-

bahak melihat wajah pucat pasi pemilik 

kedai yang masih berdiri di samping 

mereka dengan tubuh gemetaran.

"Heh, kenapa kau masih di sini?" 

tanya orang kedua dari mereka. Nada 

suaranya tidak sekasar orang pertama.

"Maaf, Den.... Barangkali masih ada 

yang dipesan?" tanya pemilik kedai, 

mencoba tersenyum meski terlihat kaku.


"Apa?! Pesan...? Siapa yang pesan?! 

Apakah kau belum tahu siapa aku? Kau 

belum tahu kami, ya? Dengar, kami adalah 

Empat Iblis dari Kranggeng, anak buah 

Segoro Wedi!" tutur orang pertama dengan 

suara keras, seakan ingin menyombongkan 

diri dengan menyebut Segoro Wedi sebagai 

tokoh sesat yang sangat ditakuti.

"Ampunilah hamba yang buta ini...," 

ujar orang tua pemilik kedai setelah 

mendengar penuturan tadi.

"Baik, pergi cepat! Jangan sampai 

aku muak!"

Tanpa diperintah dua kali, orang 

tua itu berlalu meninggalkan mereka.

Bukan hanya pemilik kedai yang 

ketakutan setelah tahu siapa keempat 

lelaki beringas dan kasar itu. Para 

pengunjung kedai juga begitu. Satu 

persatu mereka meninggalkan tempat itu 

dengan terburu-buru. Di wajah mereka 

terlukis rasa takut luar biasa.

Semakin pongah saja keempat lelaki 

bertampang beringas dan kasar itu, merasa 

kalau semua orang takut kepada mereka. 

Dengan tertawa-tawa, mereka menyantap 

makanan. Tapi tawa mereka seketika 

terhenti ketika dari luar terdengar tawa 

yang mampu menggetarkan hati mereka.

"He he he.... Ha ha ha...! Lucu..., 

lucu sekali. Iblis-iblis sekarang 

bergentayangan! Ah, dunia ini aneh


sekali," ujar sebuah suara, dibarengi 

dengan munculnya seorang pemuda tampan 

berompi kulit ular. Pemuda itu tertawa 

sambil menggaruk-garuk kepalanya yang 

sesekali menggeleng. Sedangkan mulutnya 

cengengesan persis orang gila.

"Bocah edan! Siapa kau?! Lancang 

sekali ucapanmu! Apakah kau tidak tahu 

kami, hah?!" bentak salah seorang dari 

Empat Iblis dari Kranggeng. Wajahnya yang 

beringas semakin bertambah beringas 

karena marah. Tapi pemuda yang dibentak 

bukan takut, malah semakin memperkeras 

tawanya sambil menggaruk-garuk kepala.

"He he he.....Bukankah tadi kau 

mengatakan kalian berempat iblis?" balik 

pemuda itu dengan maksud mengejek. 

Tangannya terus menggaruk-garuk kepala 

serta mulutnya cengengesan. Kemudian 

dengan tingkah laku seperti orang gila, 

pemuda yang ternyata Sena Manggala itu 

kembali berkata, "Ah, lucu.... Seharusnya 

orang seusia kalian belum pikun. Tapi... 

Yah, mungkin inilah dunia. Ternyata iblis 

pun bisa pikun...,"

Merah membara wajah Empat Iblis 

dari Kranggeng mendengar ocehan pemuda 

gila itu. Salah seorang dari mereka 

melontarkan paha ayam ke arah si pemuda, 

disertai tenaga dalam penuh.

"Nih untukmu, terimalah! Lalu pergi 

dari sini, jangan sampai kesabaran kami


hilang!"

Paha ayam yang masih utuh itu 

melesat seperti mata anak panah ke arah 

si pemuda. Tapi dengan enteng, Sena 

menangkapnya. Hal itu membuat Empat Iblis 

dari Kranggeng cukup terkejut. Sedang 

pemuda itu dengan santai menggeragoti 

daging ayam.

"Terima kasih, kau baik sekali. 

Terimalah tulang ini. He he he...!" ujar 

Sena setelah paha ayam itu tinggal 

tulang.

Tulang ayam itu melesat cepat, 

mengejutkan Empat iblis dari Kranggeng. 

Mata mereka menegang, tidak menyangka 

lemparan pemuda itu sangat kuat. Mau 

tidak mau mereka merundukkan kepala agar 

tidak terkena sambaran tulang itu

Wesss!

Tulang itu meluncur tepat di atas 

rambut mereka, lalu akhirnya tertanam 

dalam pada sebatang pohon yang ada di 

samping kedai. Semakin terbuka lebar mata 

keempat lelaki beringas itu menyaksikan 

pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa 

itu.

Namun kepongahan rupanya membuat 

mereka buta pada ilmu pemuda yang jauh 

berada di atas mereka. Didahului 

bentakan, Empat Iblis dari Kranggeng 

mencabut golok dan menyerang pemuda yang 

masih tertawa cekikikan sambil menggaruk


garuk kepala.

"Kurang ajar! Rupanya kau perlu 

dihajar!"

Sena agak terkejut mendapat 

serangan begitu cepat dari keempat lelaki 

yang menamakan dirinya Empat Iblis dari 

Kranggeng itu. Ia memang belum banyak 

pengalaman dalam rimba persilatan yang 

penuh kelicikan dan tipu daya. Tapi 

nalurinya menuntun agar serangan itu 

dielakkannya.

Dengan satu lentingan indah, 

dimentahkannya serangan ganas itu. 

Menyebabkan golok para penyerang beradu 

di tempat kosong.

Trang!

Sena kembali cengengesan. Tangannya 

menggaruk-garuk kepala, lalu pantatnya 

ditepuk berulang kali.

"Kenapa kalian mengeroyokku? Wah, 

celaka! Kalian benar-benar orang jahat!"

"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, 

Bocah Sinting!" dengus orang pertama dari 

Empat Iblis dari Kranggeng. Lalu dengan

penuh amarah tubuhnya melesat untuk 

memburu pemuda itu, diikuti oleh ketiga 

temannya.

"Heaaa...!"


ENAM


Semua orang yang menyaksikan pemuda 

itu dikeroyok oleh Empat Iblis dari 

Kranggeng turut tegang. Mereka khawatir 

kalau-kalau pemuda tampan yang bertingkah 

seperti orang gila itu akan menjadi 

korban keberingasan dan kekejaman mereka. 

Namun untuk membantu pemuda itu, mereka 

tidak berani. Mereka tahu, siapa Empat 

Iblis dari Kranggeng, terlebih dengan 

Segoro Wedi.

Tokoh yang terakhir, akhir-akhir 

ini sangat ditakuti, baik oleh tokoh 

rimba persilatan atau oleh tokoh 

kebanyakan. Dia ditakuti karena 

kekejamannya. Belum ada tokoh rimba 

persilatan yang mampu menghadang sepak 

terjangnya. Semua yang mencoba 

menghalangi, tak ada yang dibiarkan 

hidup. Mereka dibantai bagai binatang tak 

berharga.

Kini seorang pemuda berani 

menghadapi Empat Iblis dari Kranggeng, 

itu berarti secara tak langsung telah 

menantang pimpinan mereka.

"Benar-benar nekat pemuda gila itu. 

Apakah dia tidak takut terhadap Segoro 

Wedi?" gumam pemilik kedai yang masih 

menyaksikan jalannya pertarungan antara 

Sena melawan Empat Iblis dari Kranggeng, 

begundal Segoro Wedi.


"Namanya saja pemuda gila. Mana ada 

sih, orang gila yang takut?" sambung 

temannya.

"Iya, ya.... Tapi kasihan juga dia; 

semuda itu sudah gila," kata pemilik 

kedai seraya menghela napas. "Semoga 

pemuda gila itu bisa menang. Muak rasanya 

aku melihat tingkah laku bajingan-

bajingan itu."

"Benar! Mereka bukan hanya kejam, 

tapi juga menculik gadis dan memper-

kosanya. Tindakan mereka benar-benar 

seperti iblis!" rutuk teman bicaranya.

Apa yang diharapkan kedua orang itu 

menjadi kenyataan. Pemuda tampan yang 

tindak-tanduknya seperti orang gila itu 

kini mampu menguasai keadaan. Bahkan kini 

dia mendesak Empat Iblis dari Kranggeng 

dengan jurus-jurus yang aneh. Jurus-jurus 

yang menyerupai orang gila tengah menari-

nari dan sesekali tampak menepuk gemulai 

itu, ternyata mampu membuat keempat 

lawannya kewalahan.

Semua orang yang melihat 

pertarungan itu pun membelalakkan mata 

dengan mulut berdecak kagum melihat 

gerakan pemuda aneh itu.

Gerakannya memang kelihatan lambat, 

namun sesungguhnya sangat dahsyat dan 

cepat, karena disertai tenaga dalam serta 

ilmu meringankan tubuh yang sempurna. 

Berkali-kali pemuda itu terkepung


serangan golok Empat Iblis dari 

Kranggeng. Tapi berkali-kali pula pemuda 

itu mematahkan serangan lawan, hanya 

dengan jurus-jurus yang terlihat sangat 

lemah dan lucu.

Kalau orang yang tidak mengerti 

ilmu silat, mungkin melihat gerakan 

pemuda itu hanyalah sebuah gerakan main-

main. Untuk apa tangannya menepuk? Untuk 

apa tubuhnya meliuk-liuk seperti menari? 

Padahal dia dalam ancaman maut keempat 

lawan yang menyerang bertubi-tubi.

Tapi bagi yang tahu ilmu silat, 

justru akan berpikir seribu kali untuk 

menghadapi gerakan aneh pemuda itu. 

Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk 

Lalat', salah satu jurus langka yang 

pernah menggemparkan rimba persilatan 

puluhan tahun silam milik seorang 

pendekar gila yang bernama Singo Edan. 

Dan selama itu pula, belum ada yang 

mengalahkannya.

Kini jurus itu kembali muncul, 

lewat seorang pemuda bau kencur yang 

aneh. Kalau saja Empat Iblis dari 

Kranggeng tahu, tentunya mereka akan 

berpikir berulang kali untuk menghadapi 

jurus itu.

"Bocah edan! Rupanya kau memiliki 

ilmu juga, heh?!" bentak orang pertama 

dari Empat Iblis dari Kranggeng. "Jangan 

bangga dulu, Bocah! Kalau sejak tadi kau


bisa mematahkan serangan kami, maka kali 

ini nyawamu akan hilang. Terimalah jurus 

'Empat Golok Iblis Membelah Bumi'. 

Heaaa...!" 

Empat Iblis dari Kranggeng 

merangsek cepat. Mula-mula mereka 

mengangkat golok masing-masing ke atas 

kepala. Kemudian menebaskan ke muka, 

disusul dengan tebasan ke samping kiri 

dan kanan. Gerakan mereka serempak, 

sehingga rasanya sangat sulit bagi Sena 

untuk dapat melepaskan diri dari serangan 

itu.

"Celaka...! O, matilah aku...," 

keluh pemuda itu sambil menggaruk-garuk 

kepala. Mulutnya tetap cengengesan, 

layaknya orang gila.

"Belah tubuhmu, Bocah Edan...!"

Empat bilah golok di tangan lawan 

mengarah dari atas ke kepalanya. Sena 

tersentak merasakan angin tebasan. Segera 

nalurinya memerintah agar dia mengelak.

Dengan menggunakan jurus 'Si Gila 

Melepas Lilitan Benang', pemuda itu 

mencoba menyelamatkan diri dari maut

Sebuah gerakan aneh seperti 

melepaskan lilitan benang yang menjerat 

tubuh, ternyata mampu menyelamatkan 

nyawanya. Kini dengan menggerakkan 

tangan, pemuda itu malah menghantamkan 

cengkeraman ke selangkangan salah seorang 

dari pengeroyoknya.


Crak!

"Akh...!" jerit orang itu sambil 

melepaskan goloknya dari genggaman lalu 

beralih memegangi kemaluannya yang pecah. 

Orang itu melotot sesaat, kemudian 

terjerembab dengan tubuh bergelinjang 

sekarat lalu mati.

Ketiga temannya tersentak. Tubuh 

mereka tegang menyaksikan kematian salah 

seorang teman mereka. Kemarahan mereka 

kian membeludak. Kemudian dengan 

mendengus, ketiganya kembali menyerang ke 

arah Sena dengan membabi buta.

Hal itu sebenarnya sangat mengun-

tungkan bagi Sena karena mereka tak 

mempedulikan keselamatan diri sendiri. 

Dada mereka dipenuhi nafsu untuk segera 

membinasakan pemuda gila yang telah 

membunuh salah satu temannya.

"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!"

"Heaaa...!"

Pemuda gila itu menggaruk-garuk 

kepala. Setelah cengengesan, sekali lagi 

pantatnya ditepuk, yang membuat 

pengeroyoknya semakin marah dan langsung 

menggebrak dengan babatan golok.

"Mampus kau...!" bentak orang kedua

dari Empat Iblis dari Kranggeng.

Golok itu melesat cepat ke arah 

Sena, namun dengan gerakan aneh tubuhnya 

berhasil luput dari serangan. Malah tanpa 

diduga, tangannya menepak ke kening si


penyerang.

Plak!

"Akh...!" jerit orang itu. Tubuhnya 

meluncur deras ke belakang dengan tangan 

memegangi keningnya yang hancur. Tulang 

tengkorak kepalanya pecah, sehingga dari 

mata, hidung, dan telinganya mengalir 

darah segar. Untuk sesaat tubuh orang itu 

mengejang, kemudian lunglai tanpa nyawa.

Sena bertepuk tangan sambil 

berjingkrak-jingkrak seperti monyet. 

Tangannya sesekali menggaruk-garuk 

kepala, atau menepuk-nepuk pantat sambil 

tertawa-tawa girang. Seakan apa yang 

terjadi hanya kejadian lucu yang 

mengundang tawanya. Hal itu membuat sisa 

pengeroyoknya semakin murka. Satu orang 

kembali melesat sambil membabatkan 

goloknya. Orang inilah yang sangat bengis 

di antara mereka.

"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan...! 

Heaaa...!"

Golok di tangannya ganas mengancam 

kepala pemuda tampan itu. Sebentar lagi, 

kepala Sena akan menjadi sasaran empuk.

Orang-orang yang menyaksikan 

pertarungan itu menjadi bergidik ngeri. 

Tapi dugaan mereka meleset, dalam sekejap 

pemuda itu menggeserkan kakinya dengan 

melebar ke samping. Kemudian, mendorong 

miring tubuhnya ke arah kaki yang 

melebar.


Tangan lawan yang menggenggam golok 

melesat cepat di sampingnya. Secepat itu 

pula, tangan Sena mencengkeram per-

gelangan tangan lawan, lalu tubuh lawan 

yang tengah melesat dibantingnya dengan 

kuat 

Bugkh!

"Akh...!"

Orang itu menjerit. Tulang 

punggungnya langsung remuk akibat 

bantingan tadi. Sesaat mata orang itu 

mendelik bagai hendak melompat keluar. 

Kemudian diam tak berkutik dengan mulut 

bersimbah darah.

Seorang lawannya yang masih hidup 

seketika ciut nyalinya menyaksikan 

bagaimana ketiga rekannya mati. Lelaki 

berwajah kasar itu mendadak pucat pasti, 

dan serta merta meminta ampun pada pemuda 

itu.

"Ampunilah aku, Anak Muda," 

ratapnya mengiba.

Pemuda tampan itu tertawa, seakan 

menganggap hal itu lucu. Tangannya 

kembali menggaruk-garuk kepalanya yang 

digeleng-gelengkan perlahan. 

"Lucu... Baru kali ini aku melihat 

hal yang amat lucu. Tadi kau menunjukkan 

kebengisanmu. Mengapa kini kau seperti 

tikus pikun?" ujar Sena kembali terbahak 

bahak. "Dunia ini memang aneh,... Ada 

kalanya orang yang mengaku waras,


bertindak seperti orang tak waras. Tapi 

sebaliknya, orang yang dianggap tak 

waras, malah bertingkah bagaikan orang 

waras. Ah, benar-benar lucu...."

Semua tertegun menyaksikan tingkah 

laku pemuda itu yang dengan seenak 

perutnya berlalu sambil bernyanyi 

meninggalkan semua orang. Termasuk 

seorang lawan yang terpaku bengong.

"Pendekar Gila...!" gumam lelaki 

kasar itu, sambil menatap punggung Sena 

yang makin lama makin jauh.

Sementara itu kasak-kusuk merambat 

di sekitar arena pertarungan, bagai satu 

upacara untuk kepergian Sena Manggala.

"Ternyata pemuda gila itu seorang 

pendekar. Pendekar Gila! Dari mana dia 

datang?" gumam pemilik kedai dengan nada 

kagum setelah menyadari siapa sesung-

guhnya pemuda gila yang telah mampu 

mengalahkan keempat tangan kanan Segoro 

Wedi.

"Ck, ck, ck...!" decak temannya. 

"Hebat! Baru kali ini aku melihat 

Pendekar Gila yang sering kudengar. 

Ternyata orangnya masih muda."

"Bukankah Pendekar Gila hidup pada 

puluhan tahun yang silam?" tanya yang 

lainnya terheran-heran.

"Mungkin dia muridnya," sahut 

temannya.

Sejak itulah, orang-orang membica


rakan pemuda gila itu. Tidak hanya rakyat 

biasa, tapi tokoh-tokoh rimba persilatan 

pun mulai membicarakan kehadiran seorang 

pemuda yang berulah gila-gilaan. Tetapi 

ilmu silatnya sangat sakti. Dan, setiap 

Sena Manggala muncul mereka menyebutnya 

Pendekar Gila.

***

Segoro Wedi tengah berkumpul di 

ruangan besar dengan ketujuh kaki 

tangannya, termasuk seorang wanita cantik 

bernama Nyi Bangil yang baru saja menjadi 

anggota. Seperti saat ini, ruangan itu 

dipakai mereka untuk berembuk menentukan 

langkah yang akan mereka lakukan 

selanjutnya.

Ada dua pengikut baru Segoro Wedi. 

Salah satunya Nyi Bangil, wanita cantik 

menggairahkan yang sesungguhnya mencintai 

Segoro Wedi. Hingga karena cintanya, 

wanita itu rela mengabdi pada Segoro 

Wedi. Tapi selama ini, cintanya 

dipermainkan oleh Segoro Wedi. Dia hanya 

dijadikan pelampiasan nafsu lelaki 

berjubah merah yang kini duduk di 

singgasana kepemimpinan.

Berulang kali Nyi Bangil meminta 

pertanggungjawaban dari sang Pemimpin, 

tetapi semuanya tiada guna. Segoro Wedi 

selalu berjanji dan berjanji. Malah


sering berbuat kasar jika dia terlalu 

mendesaknya. Hal itulah yang membuat 

wanita cantik bertubuh sintal itu 

menyimpan dendam cinta di hatinya. Tapi 

apa dayanya saat itu?

Segoro Wedi terlalu kuat baginya.

Apalagi dengan kelima begundalnya. Hingga 

akhirnya dia hanya mampu menerima nasib, 

sambil menunggu datangnya penolong yang 

akan membebaskannya dari belenggu cinta.

Seorang lagi adalah lelaki bertubuh 

ceking bermata sayu. Mungkin hal itu 

disebabkan karena dia selalu meminum 

tuak. Ke mana-mana, selalu dibawanya guci 

berisi tuak. Hingga dia dijuluki Tuak 

Iblis.

"Sahabat-sahabat sekalian, sengaja 

kuundang kalian karena aku ada rencana," 

kata Segoro Wedi membuka pertemuan dengan 

ketujuh kaki tangannya. "Tentunya kalian 

telah tahu, setiap rencana yang aku 

ungkapkan adalah rencana besar."

"Benar, Ketua...," sahut Pedang 

Akhirat.

Segoro Wedi bangun dari 

singgasananya, lalu berdiri tegak sambil 

menopang tangan kanan yang mengelus 

jenggot dengan tangan kiri. Tatapan 

matanya tajam serta lurus ke muka.

"Kalian tahu apa rencanaku?" 

tanyanya tiba-tiba. 

"Menyerang sebuah perguruan,


Ketua...?" tanya Sepasang Hantu dari 

Kelangit hampir bersamaan. Segoro Wedi 

menggelengkan kepalanya. "Bukan itu. 

Semua perguruan di wilayah ini telah kita 

taklukkan...," jawab Segoro Wedi. "Rasa-

rasanya, kedudukan kita telah kuat" 

"Mungkin Ketua hendak menyerang 

kadipaten?" tanya Raja Setan Muka Ular.

"Tidak perlu, Raja Setan Muka Ular. 

Bagaimanapun juga, adipati masih ada 

hubungan saudara denganku. Lagi pula, 

untuk apa merebut kadipaten? Kalau 

kedudukanku kini jauh lebih enak dan 

lebih berpengaruh?" ujar Segoro Wedi 

sambil melepas tawa terkekeh, menjadikan 

keenam rekan lelakinya turut tertawa. 

Hanya Nyi Bangil yang diam, dengan wajah 

agak merengut.

"Memang benar apa yang Ketua 

katakan," tukas Kapak Iblis, bernada 

menjilat. Kemudian setelah melihat 

ketuanya tersenyum sambil mengangguk-

anggukkan kepala, Kapak Iblis melanjutkan 

kata-katanya. "Kalau boleh kami tahu, 

rencana apa yang hendak Ketua sampaikan 

pada kami dan harus kami laksanakan?"

Segoro Wedi tidak langsung 

menjawab, tapi dia kini berjalan ke 

samping kanan. Matanya menatap ke 

dinding, di mana sebuah lukisan seorang 

wanita cantik bernama Dewi Rukmini 

terpajang. Ditatapnya wajah yang cantik


jelita dan membuatnya begitu tergila-gila 

dalam lukisan itu.

Semua terdiam, tanpa seorang pun 

berbicara. Sedangkan Nyi Bangil menjadi 

geram menyaksikan Segoro Wedi memandangi 

lukisan itu. Kau benar-benar bajingan, 

Segoro Wedi! Kau permainkan aku! Kau 

jadikan aku pelampias nafsumu! Huh, 

tunggulah pembalasanku! Geramnya dalam 

hati.

Segoro Wedi membalikkan tubuh dan 

kembali memandang ketujuh kaki tangannya 

sambil berkata.

"Apakah kalian telah mendengar 

bahwa besok akan datang seorang saudagar 

Cina?" tanya Segoro Wedi.

"Belum, Ketua...," sahut ketujuh 

kaki tangannya hampir berbareng, termasuk 

Nyi Bangil yang berusaha memendam dendam 

cinta di harinya.

"Hm apakah kalian tidak menerima 

laporan tentang hal itu dari Prangga yang 

memimpin di laut?" kembali Segoro Wedi 

bertanya.

"Ampun, Ketua. Prangga sama sekali 

tidak menceritakan pada kami," sahut 

ketujuh kaki tangannya setelah saling 

pandang sejenak.

Kembali kepala Segoro Wedi 

mengangguk-angguk. Bibirnya

menyunggingkan seulas senyum. Hal itu 

menjadikan ketujuh kaki tangannya


bertanya-tanya dalam hati, sebab mereka 

merasa heran melihat senyumnya. Selama 

ini, ketua mereka tak pernah tersenyum 

selebar itu. Kalaupun bibirnya tersenyum, 

sekadar senyum kecil. Itulah yang 

menimbulkan tanda tanya di hati mereka. 

Ada apa gerangan dengan sang Ketua?

Tak ada seorang pun yang berani 

bertanya. Mereka hanya diam membisu 

dengan menyimpan pertanyaan dalam hati

"Dengar! Besok kapal saudagar itu 

akan merapat ke pesisir. Untuk itu, 

kuharap kalian dapat menanganinya. 

Prangga dan anak buahnya tak mampu 

menghadapi pengawal saudagar yang terdiri 

dari sepuluh pendekar muda dari Cina."

"Jadi kami harus menumpas mereka 

semua, Ketua?" tanya Tuak Iblis, 

memberanikan diri.

Mata Segoro Wedi langsung melotot 

pada Tuak Iblis yang segera menundukkan 

kepala:

"Bodoh! Apakah kau tahu, bahwa di 

kapal itu ada seorang gadis Cina yang 

cantik?! Kalian boleh menumpas semuanya. 

Tapi ingat, kalian harus bisa membawa 

gadis itu hidup-hidup ke hadapanku untuk 

kujadikan istri! Mengerti...?"! bentak 

Segoro Wedi keras, hingga ketujuh kaki 

tangannya sampai terlonjak karena kaget

"Mengerti, Ketua...," jawab mereka 

serentak sambil menundukkan kepala, tak


berani beradu pandang dengan mata bengis 

Segoro Wedi. Mereka tahu, berani 

menentang berarti kematian!

"Besok, siapkan pasukan secukupnya! 

Tugas ini aku percayakan pada kalian. Dan 

ingat, jika sampai gagal maka leher 

kalian sebagai gantinya!" ancam Segoro 

Wedi, membuat bulu kuduk mereka seketika 

berdiri. Mereka tahu, ancaman ketuanya 

tidak main-main.

"Baik, Ketua," sahut mereka.

Tengah mereka rapat, tiba-tiba 

masuk seorang lelaki yang mereka kenal 

dengan tergopoh-gopoh. Lelaki yang tidak 

lain salah seorang dari Empat Iblis dari 

Kranggeng, memperlihatkan wajah pucat. 

Hal itu menjadikan Segoro Wedi 

mengerutkan kening.

"Ada apa, Wangsana? Kau seperti 

ketakutan, dan di mana ketiga saudara 

seperguruanmu?" tanya Segoro Wedi.

"Ampun, Ketua.... Aku datang untuk 

melaporkan sesuatu," jawab Wangsana 

terbata-bata. Napasnya turun-naik setelah 

berlari tiada henti.

"Katakanlah!"

Dengan wajah masih ketakutan, 

Wangsana pun menceritakan bentrokan 

antara dia dan ketiga saudara 

seperguruannya dengan seorang pemuda gila 

yang memiliki kesaktian luar biasa. 

Sampai mereka mengalami kekalahan.


Bahkan, tiga saudara seperguruannya mati 

terbunuh. Hanya dia yang selamat dan 

sampai di tempat itu.

Mendengar cerita Wangsana, pimpinan 

dunia hitam itu kelihatan sangat gusar. 

Napasnya terdengar mendengus berat

"Kenapa kau tidak sekalian mampus 

saja bersama mereka, Wangsana?! 

Menghadapi pemuda gila saja kalian tidak 

becus! Kau tidak berguna lagi bagiku. 

Pengawal, tangkap orang ini! Pancung di 

depan, hingga semua melihatnya!" perintah 

Segoro Wedi, membuat semua mata 

terbelalak kaget

Wangsana menggigil ketakutan. 

Mulutnya meratap agar mendapat ampunan 

dari ketuanya. Bahkan kaki Segoro Wedi 

diciuminya dengan merengek-rengek. Tapi 

semua itu tiada arti. Sekali keputusan 

diucapkan, maka hukuman harus 

dilaksanakan.

"Ketua, ampunilah nyawa hamba.... 

Ampunilah...."

"Tak ada ampun bagi orang 

sepertimu!" dengus Segoro Wedi "Kalian 

lihai sendiri bukan? Kalau sampai besok 

kalian gagal, maka kalian pun akan 

mengalami hal seperti anjing itu!"

Semua tertunduk tanpa ada yang 

berani berbicara. Bahkan ketika pengawal 

yang bertubuh besar dan kokoh menyeret 

tubuh Wangsana, tak seorang pun berani


melihatnya.

"Sekarang kalian boleh bubar untuk 

mempersiapkan apa yang akan kalian 

lakukan besok!" perintah Segoro Wedi.

Ketujuh kaki tangannya segera 

bangkit lalu menjura hormat Ketika mereka 

hendak pergi, Segoro Wedi memanggil salah 

seorang dari mereka.

"Nyi Bangil, jangan pergi"

Wanita cantik bertubuh sintal yang 

di hatinya memendam dendam karena 

cintanya tak terbalas, menghentikan 

langkahnya. Sakit sekali hatinya saat 

itu. Dia tahu, tentunya Segoro Wedi ingin 

melampiaskan nafsunya lagi.

Segoro Wedi menghampiri wanita 

cantik dan menggairahkan itu. bibirnya 

tersenyum, kemudian tangannya merangkul 

pundak Nyi Bangil.

"Ikutlah aku, Nyi...," ajaknya 

ramah.

Nyi Bangil tahu kalau keramahan itu 

hanya ada di saat-saat tubuhnya 

dibutuhkan. Setelah itu, dia akan kembali 

seperti semula. Melihat Nyi Bangil 

cemberut Segoro Wedi mengerutkan kening,

"Ada apa, Nyi? Mengapa wajahmu 

begitu?"

Nyi Bangil menatap tajam ke arah 

Segoro Wedi. Sorot matanya menyiratkan 

kebencian.

"Kapan kau akan menjadikan aku


istri, Segoro Wedi?"

Segoro Wedi tersenyum. Diajaknya 

Nyi Bangil melangkah masuk ke dalam 

kamarnya. Kemudian setelah menutup pintu, 

tangan Segoro Wedi membuka pakaian yang 

dikenakan Nyi Bangil yang berusaha 

menolak.

"Katakan, kapan...?"

"Jangan mendesakku, Nyi!" bentak 

Segoro Wedi kasar. Lalu tangannya dengan 

kasar merenggut pakaian wanita itu hingga 

lepas dari tubuhnya.

Nyi Bangil tak dapat berbuat apa-

apa, kecuali menuruti apa yang diinginkan 

oleh ketuanya. Dendam di hatinya semakin 

menganga dalam karena cinta yang tak

terbalas.


TUJUH



Dari kejauhan tampak sebuah kapal 

layar melaju menuju pesisir. Kapal itulah 

yang tengah dinanti oleh anak buah Segoro 

Wedi. Kapal yang membawa saudagar kaya 

dari dataran Cina dengan gadis cantik 

jelita.

Beberapa orang tampak berdiri di 

atas perahu dengan mata memandang pesisir 

yang hendak mereka singgahi. Ada sepuluh 

orang lebih di atas perahu itu. Dilihat 

dari sorot mata mereka yang tajam bagai 

elang dan pedang yang tergantung di


punggung, sudah dapat dipastikan kalau 

kesepuluh pemuda tersebut adalah para 

pendekar yang mengawal saudagar kaya itu.

Sepuluh pendekar Cina itu terus 

mengawasi pesisir di mana sebentar lagi 

kapal mereka akan merapat. Mereka 

kelihatannya waspada, mungkin karena 

kejadian di laut tempo hari saat kapal 

mereka diserang sekelompok bajak laut.

Mereka yakin kalau bajak laut yang 

masih hidup dan tidak sempat mereka 

tangkap telah melapor pada pimpinannya. 

Tidak tertutup kemungkinan, kalau 

kedatangan mereka diawasi oleh kawanan 

perompak itu.

"Waspadalah, tentunya bajak laut 

yang tempo hari lolos telah melaporkan 

pada pimpinannya. Tidak tertutup 

kemungkinan, kedatangan kita diawasi 

mereka," kata seorang pendekar bertubuh 

tinggi tegap dalam bahasa Cina. Tentunya 

pendekar ini yang menjadi pemimpin dari 

sembilan pendekar lainnya.

Di dada pemimpin pendekar dari 

daratan Cina itu tertera sebuah lambang 

seekor naga berwarna hijau dengan 

sepasang pedang menyilang. Gambar itu 

mengandung arti kalau pendekar itu 

berasal dari Perguruan Naga Hijau, sebuah 

perguruan besar di Cina yang banyak 

menghasilkan pendekar-pendekar tangguh 

dan digdaya. Dia adalah kakak perguruan



tertua dari sembilan Pendekar Naga Hijau 

lain di kapal layar itu.

"Baik, Koko Han Jin. Kami 

senantiasa siap menjaga kemungkinan yang 

akan terjadi. Kami siap mempertaruhkan

nyawa untuk melindungi Koh Lie dan Nona 

Cin Mei Lie," sahut salah seorang adik 

seperguruannya.

"Bagus! Sebagai seorang pendekar, 

kita harus bisa menjaga nama baik 

Perguruan Naga Hijau. Bersiaplah, sebab 

sebentar lagi kapal akan mendarat..," 

pesan pemimpin rombongan yang bernama Han 

Jin pada adik seperguruanya.

Mendengar ucapan itu, adik 

seperguruan Han Jin segera memberitahukan 

pada delapan pemuda lain untuk bersiap-

siap menghadapi segala kemungkinan yang 

bakal terjadi.

Kapal melaju dengan tenang, semakin 

lama kian dekat dengan pesisir. Tanpa 

mereka ketahui, dari balik semak-semak 

sekitar pesisir telah siap sekelompok 

anak buah Segoro Wedi untuk menunggu 

kapal itu merapat. Nampaknya mereka sudah 

tidak sabar lagi untuk segera menyerang.

Kepungan itu dipimpin oleh tujuh 

orang kaki tangan Segoro Wedi. Masing-

masing pemimpin menempati tempat yang 

telah diatur dengan seksama, hingga tidak 

akan ada jalan bagi orang-orang Cina itu 

untuk meloloskan diri. Strategi mereka


benar-benar matang. Terbukti dari cara 

mereka bersembunyi.

Tiga kelompok yang dipimpin oleh 

tiga orang kaki tangan Segoro Wedi yaitu 

Raja Setan Muka Ular, Kapak Iblis dan 

Tuak Iblis, berada paling depan. Mereka 

akan melakukan serangan pertama. 

Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak 

di belakang mereka, telah siap empat 

kelompok yang masing-masing dipimpin oleh 

Sepasang Hantu dari Kelangit, Pedang 

Akhirat dan Nyi Bangil.

Jika kelompok terdepan menghadapi 

bahaya, maka empat kelompok yang ada di 

belakangnya akan segera membantu. Sungguh 

strategi yang hebat. Untuk membuat 

strategi itu, tidak tanggung-tanggung 

Segoro Wedi dan tujuh begundalnya 

mengerahkan hampir delapan puluh orang 

anggota. Dan telah tertanam peringatan di 

benak mereka kalau mereka tidak boleh 

melukai gadis Cina. Mereka harus 

mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup 

dan utuh. Jika gagal, sudah dapat 

dibayangkan akibat 'Pukulan Pasir 

Beracun', sebuah pukulan dahsyat milik 

ketua mereka.

Mata mereka terus mengawasi kapal 

layar yang melaju perlahan dan semakin 

mendekati pesisir. Mereka tidak tahu 

kalau para pendekar yang mengawal kapal 

itu pun telah siap menghadapi segala


kemungkinan yang akan terjadi.

Sebelum kapal layar itu benar-benar 

merapat di pesisir, terdengar aba-aba 

berkumandang lantang, seakan hendak 

membelah ombak yang datang di bibir 

pantai.

"Serbu...!"

Keempat pemimpin yang berada di 

barisan belakang tersentak kaget. Mereka 

tidak menduga sama sekali kalau pasukan 

di barisan depan telah mendahului 

menyerbu sebelum kapal itu merapat ke 

pesisir.

Mendengar seruan dari pemimpin 

mereka, serentak pasukan pada lapisan 

terdepan yang terdiri dari tiga puluh 

orang, berlompatan keluar dari persem-

bunyian mereka.

Para pendekar Cina yang berada di 

atas kapal tersentak kaget. Beruntung 

mereka telah waspada, hingga mereka tidak 

panik menghadapinya. Dengan sigap, 

sepuluh pendekar Cina itu menghadang di 

tepian kapal yang tentunya akan dijadikan 

jalan bagi penyerang untuk naik.

"Kita sambut mereka di atas!"

Terdengar perintah dari Han Jin 

yang merupakan pemimpin para pendekar 

Cina. Dengan tubuh tegang dan mata tak 

berkedip, mata mereka mengawasi serbuan 

orang-orang yang masih terus berlari 

menuju ke arah kapal dan segera melompat


ke laut yang bergelombang setelah mereka 

tiba di bibir pantai. Sebab, jarak kapal 

dengan pantai memang masih sekitar dua 

puluh lima tombak. Hal itu menguntungkan 

bagi para pendekar Cina. Dengan 

mengarungi laut berarti tenaga mereka 

akan terkuras. Jadi ketika tiba di kapal, 

tenaga mereka akan tinggal separuh.

Nafsu mereka yang terlalu menggebu, 

membuat mereka luput memperhitungkan hal 

itu. Mereka terus merenangi laut dan 

berusaha sampai di kapal.

Ketika mereka tiba di kapal, segera 

sepuluh pendekar Cina menghadang mereka. 

Pedang di tangan sepuluh pendekar dari 

Cina berkelebat cepat untuk membabat 

penyerang yang berusaha naik ke atas 

kapal.

"Hadang...! Jangan sampai ada yang 

bisa naik!" teriak Han Jin sambil 

mengayunkan pedang sedemikian rupa. 

Gerakannya begitu cepat dan lincah, 

sehingga pedang di tangannya hanya 

terlihat sebagai kilatan cahaya perak 

mengelilingi tubuhnya. Setiap kali 

penyerang berusaha naik, dengan cepat 

pedang di tangannya bergerak membabat ke 

arah tubuh lawan.

Cras!

"Akh...!"

Terdengar jeritan melengking 

tinggi, disusul dengan melayangnya tubuh


korban jatuh ke laut. Sesaat tubuh itu 

menghilang di bawah permukaan air laut 

yang tiba-tiba berwarna merah, kemudian 

muncul kembali ke permukaan dengan 

keadaan tak bernyawa.

Begitu juga yang dilakukan sembilan 

pendekar Cina lain, mereka dengan mudah 

menghalau penyerang. Pedang di tangan 

mereka laksana malaikat pencabut nyawa 

yang haus darah, menciptakan kelebatan 

maut yang senantiasa membawa korban. Tapi 

hal itu tidak menjadikan nyali anak buah 

Segoro Wedi ciut, bahkan mereka semakin 

buas dan beringas. Mereka berusaha naik 

ke atas kapal, walau kematian siap 

menghadang mereka.

Pembantaian terhadap para penyerang 

membuat tiga pemimpin mereka menjadi 

sengit. Ketiganya kini ikut melesat cepat 

ke arah kapal yang semakin mendekati 

pesisir. Hingga mereka tidak terlalu 

membuang tenaga dengan mengarungi laut 

untuk sampai di kapal itu.

"Bangsat! Kalian harus mampus...!" 

maki Kapak Iblis murka.

Tokoh sesat bersenjatakan sepasang 

kapak itu tidak sungkan-sungkan lagi 

mengeluarkan senjata yang sudah terkenal 

haus darah manusia. Disertai dengusan 

sebagai tanda kemarahan yang tak 

terbendung lagi, Kapak Iblis memburu ke 

arah Han Jin. Sepasang kapaknya bergerak


dengan ganas, menimbulkan suara dengungan 

yang memekakkan telinga.

Han Jin tersentak mendapat serangan 

tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap 

waspada, sehingga dengan memiringkan 

tubuhnya ke samping, serangan itu dapat 

dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir 

panjang, pendekar dari Cina itu balas 

menyerang dengan menusukkan pedangnya ke 

tubuh lawan yang meluruk ke depan.

Kapak Iblis tersentak kaget, hampir 

saja pedang di tangan lawan menghunjam 

ulu hatinya, kalau saja ia tidak cepat 

berkelit dengan memutar tubuh. Sementara 

tangan yang memegang sepasang kapak turut 

bergerak menangkis tusukan. 

Tring!

Dua buah senjata beradu keras. 

Memercikkan pijaran api di udara. Lalu 

kedua pemilik senjata itu dengan cepat 

melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis 

berubah pucat ketika tangannya tergetar 

akibat benturan senjata tadi. Dia sadar 

kalau lawannya bukan orang sembarangan. 

Tenaga dalam lawan ternyata berada dua 

tingkat di atasnya. Benar-benar tidak 

terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya 

yang masih kelihatan muda itu memiliki 

tenaga dalam hebat. Namun, bagaimana 

mungkin dia harus mengakui keunggulan 

lawan di depan anak buah dan 

gerombolannya? Hendak ditaruh di mana


mukanya?

Sesaat mata kedua orang itu saling 

berpandangan. Nampak ketenangan di wajah 

Han Jin. Sepertinya, dia tidak merasakan 

apa-apa atas benturan senjatanya dengan 

senjata lawan. Hal itu membuat Kapak 

Iblis semakin penasaran bercampur marah. 

Dia mendengus, kemudian kembali 

menyerang.

"Heaaa...!"

***

Sepasang senjata di tangan Kapak 

Iblis bergerak dengan cepat ke arah Han 

Jin, yang dengan tenang mundur sambil 

mengelitkan badan ke kiri dan kanan. Lalu 

dengan cepat dia balik menyerang dengan 

tusukan serta babatan pedang yang 

mengarah ke bagian tubuh yang mematikan.

Kapak Iblis yang sudah tahu 

kehebatan tenaga dalam lawannya berusaha 

menghindari bentrokan senjata. Matanya 

membelalak kaget, menyaksikan serangan 

lawan yang datang begitu cepat dan 

mengarah ke bagian tubuhnya.

"Celaka...!" pekik Kapak iblis. Dia 

tidak menyangka kalau lawan yang semula 

dianggap enteng ternyata memiliki 

serangan-serangan yang sangat berbahaya. 

Kalau tidak hati-hati, dalam beberapa 

gebrakan saja dia akan menerima


kekalahan.

Han Jin yang melihat lawannya agak 

kerepotan, tak menyia-nyiakan kesempatan 

itu. Dengan tusukan dan tebasan pedang 

yang cepat, dia terus menyerang Kapak 

Iblis.

"Gila...! Benar-benar gila...!" 

maki Kapak Iblis sambil berusaha 

berkelit. Serangan-serangan itu terus 

mencecarnya. Seakan-akan tidak memberi 

kesempatan kepadanya untuk menarik napas.

Han Jin terus memberondong dengan 

kombinasi pukulan, tendangan, serta 

tusukan pedangnya. Membuat Kapak Iblis 

kian kewalahan. Dia hanya mampu 

menghindar dari serangan, tanpa berani 

untuk mengadu senjata kembali. Tapi hal 

itulah yang menjadikan kedudukannya 

semakin terjepit.

Gempuran-gempuran yang dilancarkan 

oleh Han Jin kian cepat dan deras pada 

setiap titik kematian. Tangan, kaki, 

serta pedangnya silih berganti menyerang, 

seakan tidak ada ruang bagi Kapak Iblis 

untuk mengelak dan balik menyerang.

Kapak Iblis mencoba membuka benteng 

serangan lawan dengan menyodorkan satu 

serangan. Tapi hampir saja dia menjadi 

korban ketika pedang lawan dengan tiba-

tiba melesat ke arah tubuhnya. Setelah 

itu tak ada lagi kesempatan baginya untuk 

bisa menghindar dari serangan beruntun


itu. Sebab dia baru saja melakukan salto, 

sementara kakinya belum sempat menginjak 

lantai kapal. Mungkin ini saat 

kematianku, keluh Kapak Iblis dalam hati.

Pedang di tangan Han Jin sekejap 

lagi akan melubangi ulu hatinya, ketika 

sebuah benturan terjadi tiba-tiba, hingga 

menyelamatkan nyawa Kapak Iblis dari 

kematian.

Trang!

Han Jin menarik mundur serangannya, 

matanya memandang ke arah orang yang 

telah menggagalkan serangan tadi. Orang 

tersebut kini terhuyung ke belakang 

dengan mulut meringis sambil memegangi 

tangan yang terasa ngilu. Sedangkan 

pedang yang tadi digunakan untuk 

menangkis, kini terpental jauh. Orang itu 

yang tidak lain Raja Setan Muka Ular 

membelalakkan mata. Dia tidak menyangka 

kalau kejadiannya begitu tak terduga. 

Raja Setan Muka Ular yang tadinya

menyangka kalau pendekar muda itu ilmunya 

belum seberapa, kini harus membuka mata 

dan mengakui kalau tenaga dalamnya masih 

di bawah pemuda bermata sipit itu.

"Kalian mencari mampus!" dengus Han 

Jin gusar, kemudian tanpa banyak kata 

lagi dia berkelebat melabrak dua orang 

yang menjadi lawannya dengan serangan 

cepat dan sulit diduga.

"Awas...!" pekik Kapak Iblis dengan


mata membelalak menyaksikan serangan yang 

begitu mendadak dan cepat. Tangannya 

mendorong Raja Setan Muka Ular, sedangkan 

tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri 

untuk mengelakkan tusukan pedang lawan. 

Ternyata dugaannya meleset, pendekar muda 

itu menarik serangan pedangnya, kemudian 

dengan gerakan yang sulit diduga kakinya 

menendang ke arah lambung Kapak Iblis.

Deg!

Tak ampun lagi, tendangan yang 

disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat 

telak di lambung Kapak Iblis, mendorong 

tubuhnya hingga terpental keluar dari 

kapal lalu jatuh ke laut

Hal itu menjadikan Raja Setan Muka 

Ular seketika terkejut. Sulit sekali 

diikutinya gerakan yang dilakukan 

pendekar muda dari Cina itu. Belum juga 

hilang rasa kaget di hati Raja Setan Muka 

Ular, tiba-tiba dia dikejutkan oleh 

serangan cepat yang dilakukan oleh 

pendekar muda itu. Sebuah tusukan pedang 

melesat ke arah ulu hatinya. Mau tak mau 

Raja Satan Muka Ular segera menjatuhkan 

diri untuk menggelakkan tusukan itu. 

Tangannya yang masih agak sakit langsung 

digerakkan, memukul ke arah selangkangan 

lawan yang dengan cepat memapaskan 

pedangnya ke bawah.

"Celaka!" pekik Raja Setan Muka 

Ular perlahan.


Raja Setan Muka Ular berusaha 

menarik pukulannya, tapi tebasan pedang 

lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding 

gerakannya. Tanpa ampun lagi, pedang 

lawan menebas tangan kanannya.

Cras!

"Aaa...!"

Pekik kesakitan pun keluar dari 

mulut Raja Setan Muka Ular. Disusul 

sebuah tendangan cepat menghantam 

dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Raja Setan 

Muka Ular pun terpental keluar dari kapal 

dan jatuh ke air.

Empat begundal Segoro Wedi yang 

masih bersembunyi di semak-semak 

tersentak menyaksikan dua orang temannya 

dapat dikalahkan. Kini yang tersisa di 

kapal itu hanya Tuak Iblis dan beberapa 

anak buahnya.

"Keparat! Kalau didiamkan terus, 

korban akan semakin banyak di pihak kita. 

Nampaknya Tuak Iblis pun tak mampu 

berbuat banyak menghadapi serangan 

pendekar-pendekar Cina itu. Kite bantu 

dia," kata Pedang Akhirat "Kalian serang 

sembilan pendekar lainnya. Bantu Tuak 

Iblis. Kami berempat akan mengeroyok 

pendekar itu. Serbu...!"

Mendengar aba-aba itu, lebih dari 

lima puluh orang dengan spontan 

berlompatan keluar dari persembunyian 

mereka diikuti oleh empat pimpinan


mereka. Dengan semangat tinggi mereka 

menyerbu ke arah kapal.

Seperti telah direncanakan, sekitar 

lima puluh orang anak buah itu segera 

membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan 

pendekar dari Cina itu. Sedangkan empat 

pemimpin mereka kini mengurung pemimpin 

pendekar muda dari Cina yang sudah 

diketahui berilmu tinggi.

Pertarungan yang tadinya tidak 

seimbang kini bertambah seru, karena 

banyak para penyerang mengalami kematian. 

Bahkan dua orang pemimpin mereka entah 

bagaimana nasibnya. Semangat para 

penyerang yang tadinya telah melemah, 

kembali berkobar. Mereka dengan berani 

mencoba merangsek sembilan pendekar muda 

dari Cina, walau untuk itu mereka harus 

mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan 

pendekar muda dari Cina itu ternyata 

bukan lawan enteng. Ilmu mereka semuanya 

setara, membuat gerakan mereka terlihat 

demikian kompak dan cepat

Kegaduhan di atas kapal itu rupanya 

mengejutkan orang yang berada di bawah. 

Termasuk saudagar Cina yang bernama Koh 

Lie dan anaknya, Cin Mei Lie. Ayah dan 

anak itu segera naik untuk mencari tahu 

apa yang sebenarnya terjadi. Dan, betapa 

kagetnya mereka ketika menyaksikan para 

pengawal tengah bersabung nyawa.

"Oh! Apa yang terjadi. Ayah...?"


tanya gadis cantik jelita berkulit kuning 

langsat itu. Di matanya terbayang 

kengerian menyaksikan pertarungan yang 

memakan korban hingga berserakan di atas 

kapal.

Sang Ayah tak dapat menjawab. Dia 

tidak tahu pasti apa yang tengah terjadi. 

Saat itu, terdengar suara perintah dari 

pendekar muda yang tengah dikeroyok oleh 

empat penyerangnya.

"Koh Lie, cepat selamatkan diri! 

Bawa Nona Mei Lie pergi...!"


DELAPAN



Koh Lie dan putrinya kebingungan. 

Mereka tidak tahu harus berbuat apa. 

Membantu kesepuluh pendekar untuk 

menghadapi pengeroyok itu, rasanya tidak 

mungkin. Untuk lari juga sulit, sebab di 

sana-sini terjadi pertempuran sengit yang 

mengerikan.

Melihat ayah dan anak itu masih 

berdiri mematung kebingungan, pendekar 

muda yang tengah menghadapi keroyokan 

empat lawan yang rata-rata berilmu 

setingkat dengannya mau tak mau harus 

membagi perhatian.

Diputarnya pedang dengan cepat 

membuat suatu lingkaran untuk melindungi 

dirinya dari serangan yang dilancarkan 

oleh keempat lawannya.


"Cepat lari! Tak ada waktu 

lagi...!" seru Han Jin lagi.

Setelah melihat tuan dan anaknya 

pergi, dengan cepat perhatiannya kembali 

dicurahkan pada pertempuran yang tengah 

dihadapi. Jurus-jurus pedangnya semakin 

dipercepat, menjadikan keempat lawannya 

meski berilmu setingkat harus berhati-

hati kalau tidak ingin bernasib seperti 

Kapak iblis dan Raja Setan Muka Ular. 

Dengan cepat keempat orang itu berpencar 

mengelakkan serangan lawan, lalu mereka 

serentak menyerang dari empat penjuru.

"Heaaa...!"

Serangan lawan yang datang dari 

empat penjuru angin tidak membuat 

pendekar muda itu gentar. Cepat-cepat 

kepalanya dirundukkan manakala senjata 

milik Kelangit Anom yang berbentuk rantai 

dengan ujung bola besi berduri sebesar 

buah kelapa melesat ke arahnya. Pedangnya 

digerakkan ke atas, menangkis serangan 

senjata lawan. Sedangkan tangan kirinya 

menyerang ke arah lawan yang berada di 

depan. 

Tring!

Terdengar suara beradu dua benda 

yang terbuat dari logam keras disertai 

percikan bunga api dan pekikan kaget 

Kelangit Anom ketika mendapatkan Ujung 

senjatanya yang terbuat dari baja telah 

putus.



"Akh...!" mata Kelangit Anom 

membeliak, bagai tak percaya melihat 

kenyataan yang kini diterimanya. 

Senjatanya yang belum pernah terkalahkan 

oleh senjata lain, kini terputus oleh 

hantaman pedang di tangan pendekar muda 

dari Cina itu.

Kalau Kelangit Anom kaget melihat 

senjatanya putus, tidak kalah kagetnya 

Kelangit Sepuh yang tidak menduga kalau 

dalam keadaan terjepit seperti itu, Han 

Jin masih mampu melontarkan pukulan 

tenaga dalam yang mengeluarkan serangkum 

angin keras ke arahnya.

"Oh...!" keluh Kelangit Sepuh 

melihat selarik angin melesat ke arahnya. 

Kalau saja dia kurang waspada dan tidak 

cepat berkelit dengan menggeser kaki ke 

samping, sudah barang tentu tubuhnya 

terhantam satu pukulan dahsyat. Pukulan 

itu luput beberapa rambut di sampingnya. 

Tak urung pakaiannya koyak akibat 

terserempet angin pukulan lawan.

Darrr!

Pukulan 'Naga Menyibak Samudera' 

yang dilontarkan Han Jin menghantam sisi 

kapal yang seketika hancur berantakan, 

membuat beberapa penyerang yang berada di 

dekatnya terpental. Mereka adalah 

penyerang yang umumnya berilmu rendah. 

Tubuh mereka langsung tertindih serpihan 

kayu-kayu kapal. Sedangkan penyerang yang


berilmu lumayan melompat cepat untuk 

menyelamatkan diri agar terhindar dari 

bencana itu.

Ketika kapal itu sudah benar-benar 

merapat di satu dermaga kecil, maka 

pertarungan dilanjutkan di darat. Dengan 

begitu, tampak gerakan mereka semakin 

leluasa.

Han Jin segera saja mencari tempat 

yang luas untuk menghadapi empat 

pengeroyoknya yang mengejar tanpa mau 

membiarkan pendekar muda itu lepas.

"Mau lari ke mana, heh?!" bentak 

Pedang Akhirat

"Aku bukanlah pengecut seperti 

kalian yang main keroyok! Aku hanya 

mencari tempat yang agak lapang agar 

dapat leluasa membantai kalian!" tantang 

Han Jin lantang. Dengan segera 

disiapkannya jurus-jurus andalan. 

Pedangnya dihunus di depan muka, 

sementara matanya mengawasi gerakan 

keempat orang yang mengurungnya.

"Heaaa...!"

"Hiaaat...!"

Empat orang itu menyerbu kalap 

dengan senjata di tangan masing-masing, 

diikuti pekikan membahana. Tubuh mereka 

bergerak laksana terbang dengan senjata 

mengarah ke satu sasaran yang nampaknya 

masih tenang dan hanya menggeser-geser 

kakinya. Baru ketika keempat penyerang



itu semakin dekat Han Jin bergerak cepat 

Tubuhnya diputar sedemikian rupa, 

sementara pedang di tangan kanannya 

bergerak membabat ke segala penjuru, 

sedangkan tangan kirinya memukul dengan 

pukulan dahsyat yang terbukti mampu 

menghancurkan kapal. 

"Heaaa...!"

Melihat gerakan lawan yang begitu 

cepat seketika keempat penyerang 

tersentak. Mereka segera melompat mundur, 

kemudian dengan cepat mengubah 

serangannya dan kembali melompat 

menyerang.

"Hiaaat..!"

Kembali senjata di tangan keempat 

begundal Segoro Wedi bergerak ke satu 

titik di mana lawan berada. Kini mereka 

benar-benar tak akan merubah lagi jurus 

serangannya. Mereka telah 

memperhitungkannya masak-masak serangan 

itu. Tenaga dalam mereka telah disalurkan 

ke tangan kanan yang menggenggam senjata 

masing-masing. Hingga laju senjata di 

tangan mereka mampu mengeluarkan angin 

dahsyat

Han Jin merasakan angin serangan 

yang menerpanya begitu dahsyat. Namun 

sebagai pendekar yang telah menjalani 

gemblengan keras, wajahnya sama sekali 

tidak menunjukkan rasa kaget apalagi 

gentar.


Pedangnya digerakkan dengan 

membentuk putaran di atas kepala. 

Sementara tangan kirinya yang tidak 

bersenjata, turut menghempas pukulan 

dahsyat ke depan, sedangkan kaki kanannya 

dengan gerakan tak kalah gesit, menyepak 

ke belakang. Sungguh sebuah gerakan yang 

sangat hebat. Jarang orang bisa melakukan 

gerakan-gerakan seperti itu. Hampir semua 

anggota tubuhnya merupakan senjata ampuh.

"Heaaa...."

Keempat penyerang kembali harus 

membuka mata menyaksikan gerakan yang 

aneh dan dahsyat itu. Akan tetapi, tak 

ada kesempatan lagi bagi mereka untuk 

menarik serangan karena jarak antara 

mereka dengan Han Jin telah demikian 

dekat.

Trang!

Benturan senjata mereka dengan 

pedang Han Jin terjadi, menciptakan 

percikan api dan keterkejutan keempat 

penyerangnya. Tangan mereka seperti 

kesemutan.

Sementara itu, Han Jin rupanya 

mengalami luka dalam yang cukup parah 

akibat benturan tadi. Hingga dari sudut 

bibirnya meleleh darah kehitaman. Han Jin 

menggeleng-gelengkan kepala, berusaha 

menghilangkan rasa pening yang berdenyut. 

Matanya sedikit berkunang-kunang membuat 

pandangannya agak meremang.


Di lain pihak, ternyata salah 

seorang dari penyerang, yaitu Kelangit 

Anom, nampak tergeletak tanpa nyawa. Di 

dadanya tergurat tanda hitam berbentuk 

cakar naga. Ternyata ketika mereka 

menyerang, 'Pukulan Cakar Naga' yang 

dilontarkan Han Jin tak mampu dielakkan 

Kelangit Anom. Tanpa ampun lagi, pukulan 

dahsyat itu harus diterimanya.

Di sisi lain, Nyi Bangil nampak 

memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia 

berusaha menahan rasa sakit akibat 

tendangan yang dilancarkan Han Jin. 

Gerakan tendangan tadi yang begitu cepat, 

hingga sulit baginya untuk mengelak.

Sedangkan Kelangit Sepuh dan Pedang 

Akhirat masih tertegun merasakan tangan 

mereka yang berdenyut keras, sehingga 

mereka tak segera bertindak menghabisi 

Han Jin yang kini terluka dalam. Mereka 

sama sekali tidak menyangka, kalau tenaga 

dalam Han Jin masih mampu mengimbangi 

tenaga dalam mereka. Padahal mereka 

terdiri dari empat tokoh yang rata-rata 

berilmu tinggi dan disegani di rimba 

persilatan.

Sementara itu, sembilan pendekar 

muda dari Cina lainnya tampak masih sibuk 

menghadapi keroyokan yang dilakukan oleh 

Tuak Iblis dan anak buahnya yang 

berjumlah cukup banyak. Ada sekitar dua 

puluh orang yang terus berusaha menekan


mereka yang pantang menyerah. Sedangkan 

Tuak Iblis dengan senjata tuaknya tak mau 

ketinggalan untuk menggempur sembilan 

pendekar muda itu.

"Serang -terus! Habisi mereka...!" 

seru Tuak Iblis sambil menenggak tuaknya. 

Kemudian, dengan gerakan mulut yang aneh, 

disemburkannya tuak itu....

Wusss!

Tuak yang menyembur dari mulut Tuak 

Iblis melesat cepat ke arah seorang dari 

Pendekar Naga Hijau yang bernama Can Kok 

Han yang tengah dikeroyok oleh anak 

buahnya. Can Kok Han yang perhatiannya 

tidak tertuju pada Tuak Iblis, tak dapat 

lagi mengelakkan serangan tersebut

"Cuhhh...!"

"Akh...!"

***

Can Kok Han menjerit. Sesaat 

tubuhnya menggelepar-gelepar kejang 

dengan tangan menutupi mukanya yang 

terasa sangat panas bagaikan terbakar. 

Bahkan dari mukanya mengepul asap. Lalu, 

tak begitu lama kemudian tubuhnya 

meregang dan mati.

Pertarungan semakin bertambah seru 

dengan matinya salah seorang dari 

sembilan Pendekar Naga Hijau dari Cina. 

Semangat anak buah Tuak Iblis yang semula


surut kembali berkobar. Mereka dengan 

berani kembali merangsek ke arah lawan 

yang tinggal delapan orang.

Kenekatan mereka tak dilandasi 

perhitungan, sehingga dengan cepat 

serangan mereka dapat dipatahkan oleh 

delapan adik seperguruan Han Jin yang 

memiliki kepandaian di atas lawan-

lawannya. Hingga pedang di tangan mereka 

laksana malaikat maut yang dengan enteng 

mencabut nyawa.

"Bangsat! Ini tidak bisa 

didiamkan!" dengus Tuak Iblis yang 

kemudian melesat untuk membantu anak 

buahnya yang semakin bertambah kacau.

Tuak Iblis meneguk araknya dari 

guci. Kemudian dengan penuh amarah yang 

meledak-ledak dl dada, Tuak Iblis 

menyerang ke arah orang ketiga dari para 

pendekar dari Cina yang bernama Lie Sauw 

Liang. Guci tuaknya bergerak cepat, 

menyerang ke arah pendekar itu.

"Pecah kepalamu!" bentak Tuak 

Iblis.

Lie Sauw Liang tersentak, tak 

menyangka akan diserang begitu cepat dan 

tiba-tiba. Padahal saat itu dia tengah 

menghadapi gempuran anak buah Tuak Iblis. 

Untuk melindungi diri dari serangan Tuak 

Iblis, Lie Sauw Liang membabatkan pedang 

untuk memapak luncuran guci. Secepat itu 

pula Tuak Iblis menyemburkan tuaknya ke


muka lawan, hingga lawan yang tidak 

menduga akan diserang oleh semburannya 

tak mampu lagi mengelak. 

"Cuhhh...!"

"Aaa...!" Lie Sauw Liang menjerit 

merasakan wajahnya terasa sangat panas. 

Tangannya segera mendekap ke arah wajah. 

Tubuhnya tak lama kemudian meregang dan 

mats seperti yang dialami oleh temannya 

yang menjadi korban pertama.

Melihat dua orang temannya mat], 

ketujuh orang pendekar muda dari Cina itu 

menjadi kalap. Terlebih-lebih ketika 

melihat kakak seperguruan mereka tengah 

mengalami luka dalam dan nampaknya sulit 

untuk bebas dari kepungan lawan. Ketujuh 

pendekar muda dari Cina itu kini menjadi 

nekat. Mereka menyerang membabi buta, 

mencurahkan serangan yang cukup berbahaya 

bagi para pengeroyok.

Tuak Iblis yang telah berhasil 

membinasakan dua dari sembilan pendekar 

muda itu terbahak-bahak. Dia semakin 

bersemangat. Serangan dengan guci tuaknya 

kian gencar. Sesekali Tuak Iblis 

menenggak tuak mautnya disertai serangan 

ke arah lawan.

Pedang di tangan Tan Bing It 

bergerak cepat, membabat dan menusuk ke 

arah tubuh Tuak Iblis. Kaki dan tangan 

kirinya pun turut bergerak menangkis dan 

menyerang.


"Cuhhh...!"

Tuak Iblis menyemburkan lagi tuak 

mautnya. Dengan cepat pendekar muda yang 

diserangnya melenting dengan tubuh 

bersalto untuk mengelakkan serangan itu 

hingga luput dan tuak maut. Namun belum 

juga kakinya sempat menginjak tanah, 

serangan dari Tuak Iblis menyusul. Guci 

tuak yang juga merupakan senjata yang 

tidak boleh dipandang ringan, mendesing 

ke arah tubuhnya.

Tan Bing It berusaha berkelit 

dengan membuang tubuhnya ke samping. Tapi 

sebuah tendangan kaki kiri yang 

dilancarkan oleh Tuak Iblis mengha-

dangnya. Pendekar muda itu hendak 

melakukan gerakan menghindar, namun 

tendangan Tuak Iblis lebih cepat

Buggg!

"Huk....!"

Tubuh Tan Bing It terhuyung ke 

belakang dengan mata melotot berusaha 

menahan rasa sakit akibat tendangan pada 

lambungnya itu. Tangannya mendekap bagian 

tubuh yang terasa sakit hingga tubuhnya 

membungkuk. Pada saat itu, sebatang 

tombak tanpa dapat dielakkan menghunjam 

dari belakang, tembus hingga ke ulu hati.

"Aaa...!"

Pendekar malang itu memekik dengan 

mata melotot. Tangannya berusaha mencabut 

tombak yang menancap di punggungnya,


namun maut telah mendahului. Tubuhnya 

limbung, kemudian jatuh terkulai tanpa 

nyawa.

Kepanikan datang mendera keenam 

pendekar muda dari Cina yang masih hidup, 

terlebih ketika mereka mendengar jeritan 

yang menyayat. Ketika mata mereka melirik 

ke arah kakak seperguruan mereka yang 

tengah menderita luka dalam, mata mereka 

membelalak khawatir.

Han Jin terlihat memegangi 

kepalanya yang melelehkan darah, tersabet 

pedang di tangan Pedang Akhirat. Han Jin 

masih berusaha mempertahankan diri, akan 

tetapi darah yang banyak keluar 

menjadikannya tak mampu. Tubuhnya ambruk 

dan mati.

Tuak Iblis yang melihat gelagat itu 

dengan segera memberi semangat pada sisa-

sisa anak buahnya yang masih berjumlah 

dua puluh lima orang.

"Habiskan mereka!"

Pertarungan jelas semakin tidak 

seimbang dengan hilangnya rasa percaya 

diri pada keenam pendekar muda dari Cina 

itu. Hal itu cukup menguntungkan bagi 

Tuak Iblis dan anak buahnya. Mereka terus 

merangsek, berusaha secepat mungkin 

menghabisi keenam pendekar dari Cina itu. 

Hal itu menjadikan serangan yang 

dilakukan tidak lagi terarah, hingga 

mereka harus menerima kenyataan pahit


Ternyata dalam keadaan putus asa, 

keenam pendekar dari Perguruan Naga Hijau 

itu melakukan pertarungan dengan nekat 

dan untung-untungan. Tanpa ampun lagi, 

korban kembali berjatuhan, baik dari anak 

buah Tuak iblis maupun dari pendekar-

pendekar Cina itu sendiri

Kini tinggal seorang lagi dari 

sepuluh pendekar muda Cina yang masih 

hidup. Sedangkan di pihak Tuak Iblis, 

tinggal Tuak iblis seorang diri. Mereka 

kini saling berhadapan, siap melakukan 

pertarungan penentuan. Tak begitu lama 

kemudian, dengan diikuti pekikan dahsyat 

keduanya sama-sama melesat ke udara untuk 

melakukan serangan. 

"Heaaa...!"

Tuak Iblis menghantamkan gucinya ke 

arah lawan yang dengan cepat berkelit 

memiringkan tubuhnya dengan menggeser 

kaki agak melebar. Kemudian dengan cepat 

tangan kanannya yang memegang pedang 

bergerak menusuk ke arah ulu hati Tuak 

Iblis. Tusukan pedang yang cepat itu 

hampir saja melubangi ulu hati Tuak Iblis 

kalau dia tidak segera merundukkan tubuh 

ke bawah dengan cepat lalu menggeser kaki 

kanannya untuk melakukan tendangan dengan 

kaki kanan.

Melihat serangan datang, dengan 

cepat Sun Peng menarik serangannya, lalu 

pedangnya dikibaskan ke kaki Tuak Iblis



yang mengarah ke selangkangannya.

Tuak Iblis tersentak. Serangannya 

berusaha ditahan, namun terlambat. 

Tebasan pedang lawan telah sulit untuk 

dielakkan.

"Celaka...!"

Tuak Iblis menjatuhkan diri ke 

tanah, tangan kirinya cepat mencengkeram 

selangkangan lawan. Gerakan itu bersamaan 

dengan tebasan pedang Sun Peng ke arah 

leher Tuak Iblis. Seketika keduanya 

menjerit

Sun Peng matanya melotot karena 

kemaluannya hancur teremas tangan Tuak 

Iblis, kemudian tubuhnya limbung dan 

jatuh ke tanah tanpa nyawa. Keadaan Tuak 

Iblis juga tak kalah mengerikan. Lehernya 

terpenggal. Kepalanya tergulir lepas dari 

tubuh dengan mata melotot.

Pedang Akhirat, Kelangit Sepuh, dan 

Nyi Bangil yang telah sembuh dari rasa 

sakit akibat tendangan lawan tak mampu 

berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu 

melihat bagaimana dua orang itu mati.

"Hai, sejak tadi kita tidak ingat 

pada gadis itu! Bagaimana kalau gadis itu 

mati? Bisa celaka kita. Ayo, kita cari di 

kapal!" ajak Pedang Akhirat pada kedua 

rekannya yang segera ikut berlari.

Ketiga tangan kanan Segoro Wedi 

yang masih hidup segera mencari gadis 

Cina itu, namun mereka tidak


menemukannya.

"Celaka! Rupanya mereka pergi 

ketika kita sedang bertarung. Mari kita 

kejar, jangan pulang sebelum kita dapat 

menemukan gadis itu...," seru Pedang 

Akhirat dengan wajah tegang.

Mereka tahu apa yang akan 

didapatkan jika gadis Cina itu tidak 

ditemukan. Tanpa membuang-buang waktu, 

ketiga begundal Segoro Wedi itu lari 

meninggalkan tempat yang kini terhias 

oleh puluhan mayat.


SEMBILAN


Pemuda tampan berompi kulit ular 

yang tidak lain Sena Manggala tengah 

meneruskan langkah kakinya, setelah duduk 

istirahat di sebuah dahan pohon. Baru 

saja hendak meneruskan langkahnya, tiba-

tiba pendengarannya yang tajam mendengar 

jeritan kematian. Disusul oleh suara 

teriakan seorang wanita.

Pemuda bertingkah laku seperti 

orang gila itu kembali menghentikan 

langkahnya. Tangannya menggaruk-garuk 

kepala, sedangkan keningnya berkerut.

"Oh, sungguh tiada hentinya 

pembunuhan dan perkosaan di dunia ini. 

Baru saja kulihat mayat-mayat 

bergelimpangan di pantai utara. Kini, 

kudengar suara kematian dan jeritan


seorang wanita. Hm, hidup...," gumam 

Sena. Nalurinya seketika menyeret kakinya 

untuk melihat apa yang telah terjadi.

Baru beberapa langkah dia ke utara, 

matanya melihat seorang gadis cantik 

berkulit kuning, langsat dengan mata agak 

sipit tengah berlari sambil berusaha 

memapah seorang lelaki yang telah lemah. 

Di punggung lelaki setengah baya itu, 

menancap sebuah senjata rahasia yang 

beracun. Hal itu terlihat dari wajahnya 

yang kebiru-biruan.

"Mei Lie, cepatlah pergi. 

Selamatkan dirimu...," ujar lelaki 

setengah baya itu dengan suara lirih, 

mengharap anaknya yang bernama Mei Lie 

pergi untuk menyelamatkan diri.

"Tidak, Ayah.... Ayah tak boleh 

mati...."

Gadis itu menangis sambil terus 

berusaha mendukung tubuh sang Ayah yang 

semakin lama bertambah lemah, hingga pada 

akhirnya ambruk.

"Ayah...!" pekik gadis Cina itu, 

menangisi kematian ayahnya.

Hati Sena terenyuh melihat 

kesedihan yang dialami oleh gadis Cina 

itu. Perlahan kakinya melangkah mendekati 

gadis itu, kemudian dengan pelan 

dipegangnya pundak si gadis.

"Nona..., sudahlah. Jangan kau 

tangisi. Ayahmu telah meninggal. Semua


sudah menjadi suratan."

Mei Lie dengan terisak memandang 

Sena. Kakinya tiba-tiba menyurut mundur 

dengan pandangan takut. Melihat hal itu, 

Sena segera memperkenalkan dirinya. 

Dengan harapan, gadis itu tidak takut 

lagi. Tapi usahanya itu tidak mengubah 

keadaan.

"Nona, aku tidak bermaksud jahat 

padamu," ucap Sena, mencoba meyakinkan. 

Tangannya menggaruk-garuk kepala, 

sedangkan mulutnya nyengir. "Aku tak tahu 

harus berkata apa. Tapi percayalah, aku 

bukan orang jahat seperti yang Nona 

duga."

Mei Lie tak lagi melangkah mundur. 

Matanya yang agak sipit namun lentik dan 

indah, memandangi sosok di hadapannya 

dari ujung kaki hingga ujung rambut

"Maafkan atas prasangka burukku 

tadi...."

"Tidak apa... Kau orang asing di 

sini dan nampaknya baru mengalami suatu 

kejadian yang menyedihkan. Kalau boleh 

kutahu, bagaimana ceritanya hingga Nona 

sampai tersesat ke tanah Jawa Dwipa ini? 

Lalu siapakah lelaki ini?" tanya Sena 

hati-hati.

Mei Lie kembali terisak, kemudian 

menceritakan semua yang terjadi atas 

dirinya juga ayah serta para pengawalnya.

"Entah mengapa, mereka sepertinya


tidak bermaksud membunuhku," tutur Mei 

Lie setelah menceritakan semua kejadian 

yang menimpa mereka.

"Jadi, mayat-mayat yang kemarin 

kutemui, adalah mayat para pengawal kapal 

ayah Nona?" tanya Sena berusaha 

memastikan.

"Tidak semuanya. Pengawal kami 

hanya sepuluh orang. Selebihnya adalah 

begundal orang yang kudengar bernama 

Segoro Wedi," jawab Mei Lie menegaskan, 

membuat mata pemuda itu membelalak 

mendengar nama Segoro Wedi kembali 

diucapkan oleh seseorang sebagai simbol 

kejahatan dan kekejaman.

Ingatan pemuda tampan yang tingkah 

lakunya seperti orang gila itu seketika 

kembali ke masa sepuluh tahun silam. Saat 

ayah dan ibunya dikeroyok oleh Segoro 

Wedi dan begundalnya. Dia sudah 

mendatangi desa di tempat dia dilahirkan. 

Di sana telah didapatnya berita kalau 

ayah dan ibunya mati di tangan Segoro 

Wedi.

"Jahanam! Orang itu benar-benar 

jahanam!" dengus Sena seraya mengepalkan 

tinjunya. Tapi secepat itu pula, pemuda 

itu tersenyum-senyum seraya menggeleng-

gelengkan kepala. "Ah, sayang guru 

melarangku untuk mendendam. Kalau saja 

tidak...."

Sena tidak meneruskan kata-katanya,


tapi kembali mulutnya bertanya pada Mei 

Lie.

"Nona, kulihat tadi kau dan ayahmu 

berlari-lari. Kenapa?"

Setelah menyeka air matanya, Mei 

Lie kembali bercerita sewaktu dia dan 

ayahnya berlari meninggalkan kapal. 

Setelah seharian berlari, akhirnya mereka 

berhenti untuk istirahat. Tetapi rupanya 

Segoro Wedi dan ketiga temannya yang 

masih hidup terus berusaha memburu. 

Hingga akhirnya Segoro Wedi dan 

begundalnya menemukan mereka. Kejar-

mengejar kembali terjadi.

"Seorang di antara mereka 

melemparkan pisau beracun ke arah ayahku, 

hingga Ayah mengalami kematian," isak 

gadis itu tak terbendung, setelah 

menceritakan semua kejadian yang menimpa 

dirinya dan ayahnya.

"He he he.... Jadi Segoro Wedi ikut 

mengejar?" tanya Sena sambil menggaruk-

garuk kepalanya.

Mei Lie mengangguk perlahan. Isak 

tangisnya masih saja bersambung. Gadis 

itu benar-benar hancur hatinya, karena 

ayahnya telah mati di tangan Segoro Wedi

***

"Mau lari ke mana, Manis? Bukankah 

lebih baik kau menuruti keinginanku untuk


menjadi istriku.... Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras 

dari arah hutan yang membuat Mei Lie 

tersentak. Seketika tubuhnya menggigil 

ketakutan setelah mengenali suara itu. 

Gadis Cina itu hendak pergi meninggalkan 

Sena, tapi dengan cepat pemuda itu 

mencegahnya.

"Tak usah lari, Nona...."

"Kenapa? Apakah kau teman mereka?" 

tanya Mei Lie semakin ketakutan. Matanya 

memandang tajam ke wajah pemuda yang 

masih tersenyum sambil menggeleng-

gelengkan kepala itu.

"Bukan, aku bukan teman mereka," 

sahut Sena.

"Lalu, kenapa kau melarangku lari?" 

tanya Mei Lie kembali dengan kecemasan

terlintas di wajahnya. Apalagi ketika 

matanya melihat empat orang keluar dari 

dalam hutan. Seorang di antaranya adalah 

lelaki setengah baya dengan harpa 

bertengger di punggungnya. Bibirnya 

menyeringai, membuat gadis Cina itu 

semakin ketakutan. Seluruh badannya makin 

gemetaran.

Mei Lie berusaha melepaskan tangan 

Sena yang masih menahannya agar tidak 

pergi.

"Lepaskan tanganku. Tolonglah...!" 

pinta gadis itu semakin bertambah 

ketakutan, sebab orang-orang yang


mengejarnya kini semakin mendekat. Tetapi 

pemuda itu malah cengengesan sambil 

menggaruk-garuk kepala seperti orang 

gila.

"Tenanglah, Nona. Ketenangan akan 

membuat semua masalah beres. He he 

he...!" usai berkata begitu, Sena kembali 

cengengesan.

Mei Lie akhirnya mau menuruti 

nasihat Sena. Sementara pemuda itu 

memandang keempat orang yang menatap 

mereka dengan angkuh dan tajam. Detak 

jantung Sena terhenti sesaat dan matanya 

terbelelak lebar manakala melihat lelaki 

angkuh berjubah merah dengan harpa di 

punggungnya.

Ingatan pemuda tampan berompi kulit 

ular itu kembali melayang ke masa sepuluh 

tahun silam, bagaimana lelaki yang kini 

melangkah ke arahnya berusaha memerkosa 

ibunya. Inikah Segoro Wedi? Tanya Sena 

dalam hati seraya memandang tajam lelaki 

yang masih terlihat tampan itu.

Satu persatu, ditatapnya keempat 

orang itu. Tiga orang telah dikenalnya. 

Merekalah yang dulu telah menghancurkan 

keluarganya. Tapi wanita muda dan cantik 

itu, tidak dikenalinya.

"Anak muda, berikan gadis itu 

padaku! Lalu cepatlah minggat dari 

hadapanku!" bentak Segoro Wedi, 

menyentakkan pemuda yang masih



memandangnya.

Sena tertawa nyaring. Kemudian 

tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Ah, kurasa aku tidak bisa 

mengabulkan permintaanmu, sebelum aku 

tahu apakah gadis ini mau atau tidak jika 

kau ajak. Bagaimana, Nona? Apakah kau mau 

ikut dengannya?"

Tidak! Aku tak sudi menjadi istri 

pembunuh ayahku!" sentak Mei Lie dengan 

mata terbakar dendam, memandang liar ke 

arah Segoro Wedi.

Sena kembali tertawa riuh, 

tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah 

laku pemuda itu seketika menyentakkan 

keempat orang di depannya. Mereka 

bertanya-tanya dalam hati, inikah pemuda 

gila yang dimaksudkan Wangsana?

"Anak muda, jangan berlaku kurang 

ajar di hadapanku! Cepat serahkan gadis 

itu padaku, atau terpaksa kami 

menghajarmu!"

"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, 

Orang Tua! Tak ada angin, tak ada hujan. 

Mengapa kau mau menghajarku? Ah, aneh.... 

Aneh sekali," ejek pemuda itu diiringi 

tawa terbahak. "Mengapa orang masih saja 

suka memaksakan kehendak?"

Tanpa menghiraukan semua orang yang 

ada di situ, Sena berdendang menyanyikan 

sebuah syair lagi. Syair itu menceritakan 

tentang sebuah kejadian sepuluh tahun



yang silam, di mana sepasang pendekar 

suami istri dan keluarganya menjadi 

korban dari sifat tamak dan keji orang 

yang selalu berusaha memaksakan kehen-

daknya.

"Bocah edan! Apa maksud syair yang 

kau nyanyikan itu, hah?!" bentak Segoro 

Wedi yang terkejut mendengar syair itu.

Sena menghentikan nyanyiannya. 

Wajahnya ditengadahkan memandang ke 

langit yang biru, kemudian dia tertawa 

sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah 

lakunya itu membuat Segoro Wedi 

mengerutkan kening. Dia teringat akan 

seorang pendekar sakti yang selama hidup 

belum ada yang mampu menandingi ilmu-ilmu 

yang dimilikinya. Tapi pendekar itu 

hilang puluhan tahun yang silam. Kemudian 

muncul seorang yang mirip dengan pendekar 

itu, bernama Singo Edan.

Tidak mungkin! Singo Edan pun telah 

hilang dari dunia persilatan. Lalu, ada 

hubungan apakah pemuda ini dengan kedua 

orang itu? Tanya hati Segoro Wedi, 

mencoba menerka-nerka siapa sesungguhnya 

pemuda gila di hadapannya.

"Orang tua, bukannya aku tak tahu 

apa maksud syair yang baru saja 

kudendangkan tadi, tapi tentunya kau dan 

kedua temanmu sudah mengerti," jawab Sena 

dengan tenang. Bibirnya masih 

cengengesan. Jawaban itu membuat Segoro


Wedi dan kedua temannya semakin terkejut. 

Mereka telah menduga, kalau syair itu 

memang ditujukan kepada mereka.

"Bocah edan! Cepat katakan, siapa 

kau sebenarnya?!" bentak Segoro Wedi 

gusar, merasa dipermainkan oleh pemuda 

sinting yang dianggapnya masih bau kencur 

dan tidak memiliki apa-apa.

Sena yang mendapat julukan Pendekar 

Gila sesaat memandang Mei Lie, lalu 

beralih menatap Segoro Wedi dengan 

tatapan tajam.

"Orang tua, sesungguhnya kau yang 

telah banyak makan asam garam kehidupan, 

sudah tahu siapa aku. Tapi baiklah, 

kuberi tahu siapa aku sebenarnya. Pasang 

telinga kalian baik-baik. Aku bocah kecil 

yang kedua orangtuanya kalian bantai. 

Ayahku bernama Citra Yuda, kakak 

seperguruanmu...."

Sesaat Sena menghentikan ucapannya, 

memandang lekat wajah Segoro Wedi yang 

berubah terkejut. Pemuda itu terkekeh, 

seakan perubahan wajah Segoro Wedi 

merupakan hal lucu yang tak mampu menahan 

tawanya.

"Ibuku bernama Dewi Rukmini. 

Seorang wanita yang setia pada suaminya. 

Dan karena cinta butamu, kau berusaha 

memperkosa ibuku. Nah! Cukup jelas, 

bukan?"

Merah padam wajah Segoro Wedi


dilanda amarah. Kini tak ada waktu lagi 

untuk membiarkan pemuda gila itu hidup. 

Pemuda itu akan senantiasa menjadi duri 

dalam setiap sepak terjangnya. Dengan 

mendengus sengit Segoro Wedi berseru 

memerintahkan pada ketiga rekannya untuk 

menyerang.

"Bunuh pemuda sinting itu...!"

Tanpa diperintah dua kali, ketiga 

pengikutnya segera menyerang pemuda gila 

yang masih cengengesan sambil menggaruk-

garuk kepala menyaksikan tiga orang 

menerjang ke arahnya.

"Bocah edan! Terimalah kematianmu! 

Heaaa...!"

Pedang Akhirat yang sudah tahu 

siapa pemuda yang menjadi lawannya, kini 

tidak tanggung-tanggung menyerang. 

Niatnya untuk menghabisi nyawa pemuda itu 

menggebu. Bagaimanapun juga, dia adalah 

seorang yang turut terlibat pembantaian 

kedua orang tua pemuda itu. Pedang di 

tangannya bergerak cepat, menusuk ke ulu 

hati lawan.

Sena Manggala yang diberi julukan 

Pendekar Gila tersentak kaget mendapatkan 

serangan yang cepat dan tiba-tiba. Hampir 

saja pedang itu menghunjam di ulu 

hatinya, kalau saja pemuda itu tidak 

segera sadar dan menggeser kakinya ke 

belakang. Kemudian tubuhnya disorongkan 

ke kiri, mengelakkan hantaman senjata di


tangan Kelangit Sepuh.

Serangan mereka dapat dielakkan 

Pendekar Gila yang dengan cepat bergerak 

ke arah semula. Disusul satu gerakan aneh 

yang kelihatannya sangat lemah gemulai, 

mirip gerakan orang gila yang sedang 

menari sambil sesekali menepukkan tangan. 

Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk 

Lalat', salah satu dari jurus 'Ilmu Silat 

Si Gila'.

Ketiga orang lawannya terkejut 

menyaksikan jurus aneh yang dilakukan 

pemuda itu. Mereka menyangka jurus 

tersebut sangat lemah, terbukti dari 

gerakan-gerakannya yang terlihat sangat 

lamban dan lowong.

Pedang Akhirat kembali merangsek 

dengan tusukan pedang dan pukulan tangan 

kiri ke arah lawan. Tapi kali ini dia 

harus membuka mata lebar-lebar, serta 

menarik kedua serangannya dengan cepat 

kalau tidak ingin celaka. Ketika pedang 

di tangan kanan Pedang Akhirat menusuk 

yang disusul oleh pukulan tangan kirinya 

tadi, rupanya pemuda itu membabatkan 

kedua tangannya pada dada Pedang Akhirat

Gemulai sekali gerakan kedua kaki 

dan tangan pemuda itu, membuat Pedang 

Akhirat berusaha kembali merangseknya. 

Tapi gerakan yang nampaknya lamban itu 

justru mengandung kekuatan yang kuat. 

Dari angin pukulannya saja, sudah dapat


diketahui bagaimana dahsyatnya gerakan 

itu. Itu pun belum seberapa, ada yang 

lebih mengejutkan Pedang Akhirat ketika 

telapak tangan pemuda itu menepuk.

"Celaka...! Jurus gila...!" pekik 

Pedang Akhirat kaget, Dia segera melompat 

ke belakang untuk menarik tangannya. Tapi 

justru dengan menarik serangan itu, 

dirinya kini balik diserang.

Sena masih menggerakkan kedua 

tangannya seperti menari dengan lemah 

gemulai. Sesekali tangannya menepuk 

bagaikan memburu lalat. Kedua kakinya pun 

turut bergerak, melangkah dengan teratur.

Pedang Akhirat benar-benar terkejut 

dibuatnya. Segenap tenaganya telah 

dikerahkan untuk mengelitkan serangan 

itu. Tapi entah bagaimana caranya, tiba-

tiba tangan pemuda itu telah berada 

persis di depannya. Hampir saja dadanya 

terhajar kibasan punggung tangan itu.

"Uts...! Keparat! Pemuda gila ini 

benar-benar bukan pemuda sembarangan," 

maki Pedang Akhirat sambil terus bergerak 

mengelakkan serangan lawan yang datang 

secara aneh dan susul-menyusul bagaikan 

tiada henti. Dia makin tidak mengerti, 

bagaimana mungkin gerakan yang terlihat 

lamban itu bisa mengejar tubuhnya yang 

telah mengerahkan seluruh ilmu peringan 

tubuh untuk menghindar?

Kedua orang temannya pun seperti


terpaku dengan jurus-jurus yang 

dilancarkan pemuda itu. Keduanya terpana 

dan hanya menjadi penonton. Sedangkan 

Segoro Wedi telah hilang entah ke mana 

bersama gadis Cina yang telah ditotoknya.

Sambil menyerang dengan jurus-jurus 

'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena 

melirik ke tempat Mei Lie berada. Dia 

terkejut ketika tak melihat gadis itu, 

begitu juga Segoro Wedi. Pikirannya 

buyar, hingga dia menjadi lengah. 

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh 

Pedang Akhirat yang segera menendang ke 

arah dagu lawan.

Deggg!

"Akh...!" Sena mengeluh tertahan. 

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, 

dan dari sela bibirnya mengalir darah 

segar. Pendekar Gila meringis, kemudian 

menyeka darah di sela bibirnya dan 

diludahkan ke tanah.

Merasa telah dapat menyarangkan 

sebuah tendangan ke dagu lawan, Pedang 

Akhirat kembali berkelebat menyerang 

sebelum pemuda itu sempat menguasai 

keseimbangannya. Sebuah tendangan, 

pukulan, serta tusukan pedang mengancam 

jiwa Pendekar Gila.

"Mampuslah kau, Bocah Edan! 

Heaaa...!" Sena tersentak kaget ketika 

ujung pedang semakin dekat ke ulu 

hatinya. Cepat-cepat kakinya digeser ke


samping untuk mengelitkan tusukan itu 

sambil melancarkan tepukan ke arah kening 

lawan.

Tusukan Pedang Akhirat dapat 

dielakkan, tapi pukulan dan tendangan itu 

telak menghantam dada dan perutnya, 

bersamaan dengan tepukan tangannya yang 

mendarat di kening Pedang Akhirat

"Ukh...!"

Tubuh Sena kembali terhuyung-huyung 

ke belakang. Darah segar makin banyak 

keluar dari mulutnya. Kedua tangannya 

memegangi dada dan perutnya yang agak 

sakit. Sedangkan mulutnya yang basah oleh 

darah, meringis-ringis dengan napas 

terasa agak sesak.

Sementara apa yang dialami oleh 

Pedang Akhirat jauh lebih parah. Akibat 

tepukan tangan Pendekar Gila, kening 

Pedang Akhirat hancur dengan memuncratkan 

darah. Matanya melotot mengerikan.

Melihat temannya mati, Kelangit 

Sepuh yang juga terlibat pembunuhan kedua 

orang tua pemuda itu berusaha menyerang, 

selagi pemuda itu masih dalam keadaan 

luka dalam.

Benda bulat berduri kini mendesing 

di atas kepala Sena. Dan sambil menahan 

rasa sakit, kakinya digeser agak 

mendatar, kemudian mendoyongkan tubuhnya 

ke samping kanan.

Benda bulat berduri itu lalu


menghantam ruang kosong. Pemuda tampan 

itu dengan masih menahan rasa sakit, 

kembali bergerak mengelitkan serangan 

susulan benda bulat berduri yang berada 

di tangan Kelangit Sepuh. Benda itu terus 

mencecarnya, seperti tidak memberi 

kesempatan padanya untuk mengatur napas.

"Pecah batok kepalamu, Bocah 

Gila...!" bentak Kelangit Sepuh sambil 

menyerang kembali dengan senjata mautnya.

Bola baja berduri itu sekali lagi 

mengancam kepala Sena. Dan, kalau tidak 

dapat dielakkan, pasti kepalanya akan 

hancur. Meski pemuda itu merasakan rasa 

sakit yang tak terkira di dada dan 

perutnya, dia tetap berusaha bertahan 

dari serangan lawan.

Singgg...!

Senjata lawan menderu ke arah 

Pendekar Gila. Sesaat lagi, pasti batok 

kepalanya akan remuk dihantam rantai 

berduri milik lawan. Dalam keadaan 

kritis, pemuda itu mencabut Suling Naga 

Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian 

ditebaskannya suling itu ke atas dengan 

mengerahkan sisa tenaga dalamnya yang 

dilapisi Racun Kabut Ungu.

"Heaaa...!"

Trang!

Percikan bunga api keluar ketika 

dua senjata itu beradu.

Pendekar Gila terpental, jatuh


terduduk dengan darah meleleh dari sela-

sela bibirnya. Sedangkan mata Kelangit 

Sepuh melotot tegang ke arahnya. Dari 

mulutnya keluar kata terputus-putus.

"Kau.... Kau Pendekar Gila.... Kau 

pemilik Racun..., Ka...." 

Belum usai ucapannya, tubuh 

Kelangit Sepuh telah terjungkal setelah 

mengeluarkan darah kehitaman. Sesaat dia 

mengerang, kemudian mati dengan tubuh 

biru!

Nyi Bangil terlonjak ke belakang 

dengan mata melotot tegang. Tatapannya 

ngeri, menyaksikan betapa dahsyatnya 

tenaga dalam pemuda gila itu. Tanpa 

sadar, mulutnya mendesiskan julukan 

pemuda itu.

"Pendekar Gila...?! Pendekar Gila 

dari Gua Setan...!"


SEPULUH


Nyi Bangil menghampiri pemuda 

tampan berbaju rompi kulit ular yang 

tengah duduk bersila. Kelihatannya pemuda 

itu tengah berusaha menyembuhkan luka 

dalamnya akibat tendangan dan pukulan 

Pedang Akhirat. Dari tubuhnya mengepul 

asap berwarna ungu, menjadikan Nyi Bangil 

terkejut dan melompat mundur. Matanya 

membelalak, dan dari mulutnya keluar 

desisan.


"Racun Kabut Ungu...! Hei, dari 

mana pemuda gila ini mendapatkan racun 

langka itu?"

Nyi Bangil masih tertegun, setelah 

melangkah untuk menjauh. Dia tahu, apa-

apa yang baru saja keluar dari tubuh 

pemuda itu. Kalau orang biasa, sudah 

barang tentu akan lumpuh dan mati. Tapi 

pemuda itu justru mampu mengatur racun 

ganas itu di dalam tubuhnya, sehingga 

bisa digunakan untuk menyembuhkan luka 

dalam.

Pendekar Gila membuka matanya 

perlahan setelah tubuhnya dirasakan pulih 

kembali. Matanya memandang tajam pada Nyi 

Bangil yang mendadak ketakutan.

"Aku telah siap melayanimu 

bertarung, Nyi..." tantangnya dingin. 

Semakin menjadikan Nyi Bangil menggigil 

ketakutan. Bagaimanapun juga, dia telah 

melihat dengan mata kepala sendiri 

bagaimana kehebatan ilmu pemuda gila yang 

diyakininya sebagai pewaris tunggal Ilmu 

Singo Edan. 

"Ti..., tidak. Ampunilah aku. 

Sungguh bukan maksudku untuk ikut 

komplotan Segoro Wedi. Aku sangat 

mengharap pertolongan darimu, Tuan 

Pendekar...," desis Nyi Bangil lirih.

Nyi Bangil terdiam sesat, matanya 

memandang wajah pemuda yang tampan itu 

tanpa berkedip, menyebabkan hati wanita



itu tiba-tiba bergetar. Kemudian, 

napasnya dihela dengan tarikan berat 

"Dugaanku tentang dirimu pasti benar!"

"Hm, dugaan apa?" gumam Sena. "Apa 

yang kau lihat?"

"Dilihat dari jurus-jurus yang kau 

lakukan, serta asap ungu yang keluar dari 

tubuhmu, aku tak sangsi lagi kalau kaulah 

pewaris ilmu si Gila. Sungguh beruntung 

kau menjadi pewaris ilmu langka itu. 

Untuk itulah, kumohon pertolonganmu. 

Bukan hanya untukku, tapi juga untuk 

seluruh rakyat yang sangat mengharapkan 

pertolonganmu."

"Aku masih tidak mengerti, Nyi," 

sahut Sena seraya berdiri dari silanya.

"Kau harus mengerti. Sebagai 

seorang pendekar, apalagi sebagai pewaris 

ilmu si Gila, kau harus mengerti 

penderitaan orang yang selama ini dalam 

cengkeraman Segoro Wedi," tutur Nyi 

Bangil menegaskan.

"Hm, itukah yang kau inginkan?"

"Bukan hanya aku, tapi banyak 

orang," tegas Nyi Bangil.

Sena mengerutkan kening, kemudian 

muncul lagi tingkah gilanya. Tangannya 

menggaruk-garuk kepalanya, lalu terdengar 

gelak tawanya yang membahana.

"Ah, benar juga apa yang kau 

katakan, Nyi. Memang selama Segoro Wedi 

masih hidup, wilayah kadipaten ini tak


akan aman. Hm, baiklah. Aku akan 

membantumu."

"Kalau begitu, cepat kita 

menyusulnya!" ajak Nyi Bangil yang 

kemudian lari menuju ke arah utara, 

diikuti oleh Sena.

***

Segoro Wedi baru saja hendak 

melepaskan pakaiannya untuk menggeluti 

Mei Lie yang masih tak berdaya dalam 

pengaruh totokan, ketika terdengar suara 

gelak tawa menggelegar disusul oleh 

teriakan keras.

"Segoro Wedi, aku datang untuk 

menagih hutang padamu!"

Segoro Wedi yang merasa hasratnya 

terganggu, seketika menjadi marah. 

Pakaiannya kembali dikenakan. Kemudian 

dengan membawa harpa di pundaknya, Segoro 

Wedi keluar untuk melihat siapa yang 

berani berkoar di tempatnya.

Kening Segoro Wedi mengerut ketika 

tahu siapa yang datang. Dilihatnya 

seorang pemuda berompi kulit ular yang 

tingkah lakunya seperti orang gila. 

Tetapi bukan pemuda gila itu yang membuat 

keningnya berkerut melainkan wanita 

cantik yang datang bersamanya.

"Kau...?! Rupanya kau telah 

berkhianat, Bangil! Jangan salahkan aku


kalau tubuhmu akan kuhancurkan!?" dengus 

Segoro Wedi marah melihat Nyi Bangil 

berkomplot dengan pemuda gila itu.

"Segoro Wedi, dari dulu aku memang 

menunggu saat-saat seperti ini! Aku 

memang mencintaimu, meski kutahu kaulah 

pembunuh kedua orangtuaku," tutur Nyi 

Bangil. "Tapi kau benar-benar iblis 

berbentuk manusia! Cintaku yang tulus, 

malah kau permainkan. Kau jadikan aku 

budak nafsumu. Kini, terimalah 

kematianmu!"

Segoro Wedi tergelak-gelak men-

dengar ancaman Nyi Bangil. Dia masih 

menganggap enteng pemuda berkelakuan gila 

yang bersama Nyi Bangil.

"Rupanya kalian datang untuk 

mengantar nyawa. Baiklah, jika itu yang 

kalian minta. Tapi sebelum itu, aku ingin 

tanya pada pemuda gila di sampingmu 

itu...," ujar Segoro Wedi seraya menunjuk 

Sena. "Anak muda, tingkah lakumu 

mengingatkan aku pada Pendekar Gila dan 

muridnya yang bernama Singo Edan. Ada 

hubungan apa kau dengan mereka?"

Sena Manggala tertawa riuh sambil 

menggaruk-garuk kepalanya.

"Dengar, Segoro Wedi! Aku adalah 

murid tunggal Singo Edan, yang berarti 

cucu murid Si Gila dari Gua Setan!"

Segoro Wedi terkejut mendengar 

penuturan pemuda gila yang mengatakan


pewaris tunggal ilmu silat Gila dari Gua 

Setan. Tapi hatinya yang sudah diliputi 

kepongahan tak mau peduli dengan 

semuanya.

"Anak muda, aku tak peduli kau cucu 

murid Si Gila dari Gua Setan! Aku Segoro 

Wedi, penguasa rimba persilatan tak akan 

takut menghadapimu! Bersiaplah kalian 

untuk mampus. Heaaa...!"

Tubuh Segoro Wedi melesat menyerang 

dengan harpanya ke arah Pendekar Gila dan 

Nyi Bangil. Harpa di tangannya seketika 

menjadi sebuah senjata yang sangat 

dahsyat dan membahayakan. Sehingga 

memaksa keduanya melompat untuk 

mengelakkan serangan itu.

Nyi Bangil yang sudah tak sabar 

lagi untuk menghabisi manusia keji itu 

segera mencabut pedangnya. Kemudian 

dengan cepat menyerang ke arah Segoro 

Wedi.

"Hiaaat..!"

Melihat serangan pedang Nyi Bangil 

menuju ke arahnya, cepat Segoro Wedi 

menggeser kakinya ke samping. Kemudian 

dengan memiringkan tubuh, tangannya yang 

memegang harpa menderu ke arah lawan.

Serangan Nyi Bangil dapat 

dielakkan, malah harpa di tangannya 

menghantam punggung wanita cantik yang 

selama ini menjadi pelampiasan nafsunya. 

Wanita itu memekik, dan tubuhnya


terpelanting ke depan, kemudian jatuh 

dengan muka mencium tanah.

Melihat Nyi Bangil jatuh, Pendekar 

Gila dengan geram melenting untuk 

menyerang. Jurus 'Si Gila Menari Menepuk 

Lalat' dikeluarkannya, membuat tubuhnya 

meliuk-liuk laksana menari dengan tangan 

sesekali menepuk ke arah lawan. 

Gerakannya kelihatan lamban dan lemah 

gemulai, membuat Segoro Wedi menganggap 

enteng.

Segoro Wedi segera menyabetkan 

harpa di tangannya ke arah lawan. Dia 

menyangka gerakan Pendekar Gila yang 

lamban dan lemah itu tak akan mampu 

mengelakkan sabetan harpanya. Tapi betapa 

terkejut hatinya ketika menyaksikan apa 

yang terjadi

Pemuda berkelakuan seperti orang 

gila yang mengaku sebagai pewaris ilmu Si 

Gila dari Gua Setan dan menurut dugaannya

tak akan mampu mengelakkan serangannya, 

ternyata justru sebaliknya. Meski gerakan 

pemuda itu kelihatan lamban dan lemah, 

namun justru dengan mudahnya mengelak. 

Hanya dengan menggeser kaki ke samping 

dan melenturkan tubuh dengan membungkuk 

dan mendongak, semua serangan lawan dapat 

dielakkannya. Bahkan kini tepukan pemuda 

itu mengejutkan Segoro Wedi.

Plak!

Hampir saja Segoro Wedi dapat


ditepuk oleh tangan pemuda itu, kalau 

tubuhnya tidak segera melompat ke 

belakang. Tidak alang kepalang kagetnya 

Segoro Wedi ketika tiba-tiba tangan 

pemuda yang seperti menari itu telah 

dekat ke arahnya. Padahal dia telah 

menguras ilmu meringankan tubuh, namun 

tetap saja pemuda itu mampu mengejarnya.

"Jurus gila...!" pekik Segoro Wedi, 

kecut menyaksikan jurus aneh yang 

dikeluarkan pemuda itu. Tapi sebagai 

orang yang telah banyak pengalaman, 

Segoro Wedi tidak mau mengalah begitu 

saja. Segera tubuhnya melenting untuk 

mengelakkan serangan Sena, kemudian 

dengan cepat dibukanya jurus andalan yang 

dinamakan 'Cakar Seribu Iblis'

Tangan Segoro Wedi seketika berubah 

menjadi banyak karena cepatnya. Tangan 

dengan jemari membentuk cakar itu, kini 

mencabik ke arah Pendekar Gila. Ke mana 

pemuda itu bergerak, tangan Segoro Wedi 

terus mencecarnya dengan cakaran-cakaran 

maut

"Hiaaat..!"

Tangan itu terus bergerak dengan 

cepat, mencakar atau mencengkeram ke arah 

Pendekar Gila yang hanya mengelak dan 

melompat. Belum juga pemuda itu bisa 

melepaskan diri dari serangan gencar 

'Cakar Seribu Iblis', Segoro Wedi telah 

menambah serangannya dengan pukulan maut


yang dinamakan 'Pukulan Pasir Baja'. 

Pukulan itu semakin merepotkan Pendekar 

Gila yang belum berpengalaman dalam rimba 

persilatan.

Beberapa kali Pendekar Gila harus 

berjumpalitan untuk mengelakkan serangan-

serangan maut yang dilancarkan Segoro 

Wedi. Nampaknya Segoro Wedi tidak mau 

memberikan waktu barang sekejap untuk 

bernapas. Dia terus mencecar pemuda itu 

dengan pukulan dan jurus mautnya.

"Gawat..! Kalau terus begini, bisa-

bisa aku mampus!" gumam Sena perlahan. 

Tubuhnya terus bersalto mengelakkan 

serangan gencar lawan. Sekali saja dia 

lengah, berarti kematian baginya.

"Mampuslah kau, Pemuda Gila! 

Tamatlah riwayatmu.... Ha ha ha...!"

Segoro Wedi kian bertambah congkak 

dan pongah menyaksikan lawannya hanya 

mampu bersalto mengelitkan serangan-

serangannya. Dia semakin gencar 

menyerang, menguras tenaganya.

Pendekar Gila terus berpikir sambil 

menggaruk-garuk kepalanya. Ah, kenapa aku 

tidak mencoba menggunakan jurus 'Si Gila 

Membelah Awan'? Pikir Pendekar Gila. 

Kemudian setelah melakukan salto 

mengelakkan serangan lawan, pemuda itu 

mengeluarkan jurus 'Si Gila Membelah 

Awan'. Tangan dan kakinya dipentang 

lebar-lebar. Kemudian napasnya ditarik


dalam-dalam. Dan setelah itu, secara 

bersamaan kedua tangannya bergerak 

seperti membelah dan kakinya menendang-

nendang sesuatu.

"Hiaaat..!"

Wesss...!

Segoro Wedi tersentak kaget, 

melihat serangannya dapat dikandaskan 

oleh jurus yang dilakukan oleh lawannya. 

Kini giliran pemuda itu mencecarnya 

dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', 

sebuah jurus yang dahsyat. Setiap sabetan 

tangan-tangan yang bergerak membelah, 

menimbulkan desingan angin yang dahsyat

"Edan! Rupanya dia benar-benar 

Pendekar Gila dari Gua Setan! Semua jurus 

yang dilakukannya adalah jurus-jurus dari 

'Ilmu Silat Si Gila'!" pekik Segoro Wedi 

kaget sambil terus mengelakkan serangan-

serangan Pendekar Gila yang dahsyat namun 

terlihat lamban.

Segoro Wedi berkelit, mencoba 

mengelakkan sabetan tangan dan jejakan 

kaki Pendekar Gila. Tapi malang ternyata 

gerakan yang dilakukan Pendekar Gila tadi 

hanya sebuah jebakan. Selanjutnya

serangan-serangannya tak dapat dielakkan 

lagi.

Deggg!

Kaki Pendekar Gila mendepak 

punggung Segoro Wedi sangat keras, 

sampai-sampai tubuhnya terhuyung ke depan


hingga tersuruk mencium tanah.

Pendekar Gila tergelak-gelak sambil 

menggaruk-garuk kepalanya. Dibiarkannya 

Segoro Wedi merutuk dan mencaci maki 

sambil berusaha bangun. Dia terus 

tertawa, berjingkrak-jingkrak seperti 

monyet gila.

"Bangsat! Jangan kira aku akan 

kalah olehmu, Pendekar Gila! Meski ilmu 

gilamu memang hebat, tapi aku tak akan 

kalah. Terimalah ini...!"

Segoro Wedi segera menggerakkan 

jemarinya untuk memetik senar harpa. 

Seketika alunan harpa terdengar. Suara 

itu melengking tinggi, membuat gendang 

telinga bagaikan hendak pecah.

Pendekar Gila tersentak, segera 

tenaga dalamnya dikerahkan untuk 

membendung suara dentingan senar harpa 

yang memekakkan. Tapi, ternyata suara itu 

jauh lebih kuat menyerang telinganya.

"Ohhhh...," keluh Sena.

Seketika lututnya teras lemas dan 

perlahan-lahan tubuhnya semakin merendah 

dan kian rendah. Dan kini dia berlutut

dengan kedua tangan masih menutup 

telinganya yang semakin terasa sakit

"Ha ha ha...!"

Mendadak Sena melepas tawa keras 

menggeledek. Suara tawanya amat dahsyat, 

hingga mampu merontokkan daun pohon 

sekitar arena pertarungan. Tapi tetap


saja desakan suara harpa masih 

dirasakannya.

Tubuh Sena menggigil, menahan rasa 

sakit yang tiada terkira. Semakin dia 

mencoba mengerahkan hawa murni dan tenaga 

dalam, kian terasa sengatan suara itu. 

Saat tubuhnya masih terduduk, dicobanya 

untuk memusatkan pikiran. Dicobanya terus 

untuk bertahan dari serangan suara harpa.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-

tiba Pendekar Gila teringat pada Suling 

Naga Sakti pemberian Eyang Singo Edan 

yang ada di pinggangnya. Seketika suling 

itu dicabut dari pinggangnya, kemudian 

ditiupnya.

Suara Suling Naga Sakti yang ditiup 

oleh Pendekar Gila mengalun lembut. 

Semakin lama semakin bertambah kencang 

melengking. Suara suling itu terus 

mendesak suara harpa yang tak juga mau 

kalah.

Glarrr!

Terdengar ledakan menggelegar, 

ketika dua kekuatan saling beradu.

Sedangkan kedua orang yang tengah 

bertarung itu sama-sama terpental. Segoro 

Wedi terpental tiga tombak ke belakang 

dengan darah meleleh di sela bibirnya. 

Sedangkan Pendekar Gila tersurut dua 

tindak dalam keadaan tetap bersila.

"Uhk..., uhk.... Kau hebat, 

Pendekar Gila! Tapi aku belum mau kalah.


Terimalah seranganku. Heaaat..!"

Tubuh Segoro Wedi melesat bagaikan 

terbang. Harpa di tangannya kini siap 

menghantam lawan.

Pendekar Gila tak mau tinggal diam. 

Dia pun melesat dengan Suling Naga 

Saktinya.

"Heaaa...!"

Dua orang berilmu tinggi, kini 

sama-sama melesat laksana terbang. Dua 

senjata di tangan mereka siap untuk 

menentukan siapa yang lebih hebat. 

Sedangkan tangan kiri mereka yang kosong, 

telah siap melakukan serangan pukulan 

sakti masing-masing. Pendekar Gila dengan 

'Pukulan Inti Bayu'nya. Sedangkan Segoro 

Wedi kembali mengeluarkan 'Pukulan Pasir 

Baja'nya. Serangkum angin menderu keluar 

dari tangan Pendekar Gila. Sedangkan 

selarik sinar seperti jutaan pasir keluar 

dari tangan Segoro Wedi.

"Heaaa...!"

Dua senjata di tangan mereka, dan 

pukulan sakti di tangan kiri masing-

masing siap beradu. Dan.... 

Trak! Desss!

"Hiaaat..!"

Trak!

Desss!

'Pukulan Pasir Baja' yang 

dilontarkan Segoro Wedi tersapu oleh 

'Pukulan Inti Bayu' yang dilontarkan


Pendekar Gila. Tubuh Segoro Wedi bahkan 

turut terpental dan melayang bagai tanpa 

bobot, diikuti pekikan menyayat. 

Sementara harpa yang menjadi senjata 

andalannya nampak hancur berantakan, tak 

mampu menandingi Suling Naga Sakti.

Saat tubuh Segoro Wedi melayang, 

dengan cepat Nyi Bangil segera berlari 

menyongsongnya. Pedang di tangan wanita 

cantik itu berkelebat cepat 

"Hiyaaa...!" 

Desss! 

"Aaa...!"

Lengkingan kematian terdengar, 

bersamaan dengan ambruknya tubuh Segoro 

Wedi tanpa nyawa. Tubuhnya hancur 

terbabat pedang Nyi Bangil yang kini 

justru menangisi kematiannya. Kematian 

orang yang dicintai, sekaligus 

dibencinya.

Pendekar Gila tertegun sesaat 

menyaksikan kejadian itu. Kemudian dia 

melesat ke kediaman Segoro Wedi untuk 

mencari Mei Lie.

"Nona Mei Lie.... Di manakah 

kau...?"

"Koko.... Aku di sini," terdengar 

jawaban dari kamar yang tertutup.

Pendekar Gila segera menuju kamar 

itu. Alangkah terkejutnya dia ketika 

membuka pintu kamar tersebut Matanya 

membelalak, memandang tubuh Mei Lie yang


terkulai polos tanpa sehelai benang pun.

"Koko...," desis Mei Lie agak 

tersipu-sipu.

Sena segera bergerak cepat. 

Dibukanya totokan pada tubuh gadis cantik 

itu.

"Koko.... Oh! Terima kasih, 

Koko...," desah Mei Lie seraya memeluk 

tubuh Sena dalam keadaan masih polos. Hal 

itu membuat Sena salah tingkah.

"Kenapa, Koko. Kau tak suka jika 

aku senang?" tanya Mei Lie yang melihat 

Sena kebingungan.

"Bukan begitu, Nona Mei Lie. 

Tapi...."

"Tapi apa? Katakanlah, Koko...?" 

desak Mei Lie dengan tatapan mata penuh 

harap. Ada detak aneh yang berdentang 

dalam dadanya kalau matanya beradu 

pandang dengan pemuda tampan itu.

"Aku senang jika kau senang, 

Nona...." 

"Jangan panggil aku nona. Panggil 

saja namaku..." 

"Baiklah, Mei.,.. Kenakan lah

pakaianmu dulu," kata Sena sambil 

cengengesan dan menggaruk-garuk 

kepalanya.

Mendengar ucapan itu, Mei Lie 

langsung menyadari keadaannya yang tidak 

berpakaian. Kemudian, tubuhnya membungkuk 

untuk mengambil pakaiannya yang


tergeletak di bawah ranjang. Dan dengan 

tergesa-gesa, setelah membalikkan tubuh, 

dia mengenakan kembali pakaiannya. Tapi 

ketika telah selesai dan membalikkan 

tubuh kembali, Sena telah tiada.

"Koko...!"

Mei Lie lari ke luar. Namun tetap 

saja dia tidak menemukan pemuda tampan 

yang tingkah lakunya seperti orang gila 

itu. Dia hanya menemukan sebaris tulisan

Aku tak bisa membawamu, Mei Lie. 

Pengembaraanku tak menentu.

Si Gila.

"Koko.... Tak tahukah kau akan isi 

hatiku?" tangis Mei Lie setelah membaca 

tulisan itu, "Terus terang, meski kau 

gila, aku mencintaimu. Kau telah banyak 

menolongku.... Mengapa kau tinggalkan 

aku?"

Gadis itu masih menangis, ketika 

sebuah belaian lembut menyentuh 

rambutnya. Mei Lie menengok, dan melihat 

seulas senyum di bibir seorang wanita 

cantik yang matanya masih sembab karena 

habis menangis.

"Sudahlah, Nona.... Jangan kau 

tangisi kepergiannya. Kalau memang 

jodohmu, kelak kalian akan bertemu," 

hibur Nyi Bangil.

"Kuharap begitu, Cici...," desah


Mei Lie hampir tak terdengar.

Kemudian Nyi Bangil membimbing Mei 

Lie meninggalkan tempat itu yang kembali 

sepi bagaikan mati. 

Nah, bagaimanakah kisah petualangan 

Pendekar Gila selanjutnya? Dan, bagaimana 

pula kisah perjalanan Mei lie yang sangat 

mengharapkan cinta Pendekar Gila? Apakah 

kelak mereka akan bertemu? Untuk 

mengetahui semua ini, silakan para 

pembaca mengikuti serial Pendekar Gila 

pada episode-episode selanjutnya.



                               SELESAI








Share:

0 comments:

Posting Komentar