..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE AJIAN DURIBANG

Ajian Duribang


 AJIAN DURIBANG

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Rahasia Tombak Sangga Buana

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


"Hiaaa...!"

Suara teriakan melengking tinggi memecah su-

asana pagi yang dipenuhi cericit burung dan desiran 

lembut angin yang bertiup semilir. Suara teriakan itu 

memantul di dinding-dinding Gunung Prataram. Dan 

membubung ke langit. Lalu lenyap terbawa angin.

Blarrr...!

Sebuah ledakan dahsyat terdengar belum lama 

setelah suara teriakan lenyap. Suara ledakan itu be-

rasal dari kaki Gunung Prataram. Dua orang lelaki 

tampak saling mengembangkan senyum. Kelihatannya 

mereka tengah merasakan suatu kebahagiaan atau 

kepuasan hati.

"Sungguh tak kusangka pukulan jarak jauhmu 

lebih sempurna dari yang kumiliki, Laga Lembayung," 

ucap lelaki berjenggot panjang warna putih.

Lelaki berpakaian kuning berusia sekitar enam 

puluh tahun dan berambut hitam legam itu terse-

nyum, seraya menghampiri lelaki muda berusia sekitar 

dua puluh satu tahun yang bernama Laga Lembayung. 

Lelaki muda berpakaian kelabu itu menundukkan ke-

pala mendengar pujian lelaki berjenggot putih yang tak 

lain gurunya.

"Ah, Ki Partugi terlalu berlebihan memuji ke-

mampuanku," kilah Laga Lembayung dengan wajah 

agak tersipu.

"Aku tak akan mengatakan yang tak patut ku-

katakan, Laga. Kemampuanmu tadi menunjukkan kau 

pantas menerima pujian itu. Kau begitu sempurna 

memainkan jurus 'Melebur Karang'," ucap lelaki tua 

yang ternyata bernama Ki Partugi.

Laga Lembayung tak membantah ucapan Ki


Partugi. Disadarinya kalau ucapan itu keluar dari ke-

tulusan hatinya.

"Sekarang, kuminta kau memperagakan 'Ajian 

Duribang' yang tidak dimiliki tokoh-tokoh persilatan 

mana pun. Tidak juga Adi Madrani yang tidak bermi-

nat mempelajari ilmu silat," pinta Ki Partugi kemudian.

Ki Madrani adalah saudara angkat Ki Partugi. 

Lelaki itu lebih menyenangi perniagaan daripada mem-

pelajari ilmu kekerasan seperti yang dipelajari Ki Par-

tugi.

Perpisahannya dengan Ki Partugi terjadi pada 

sewindu yang silam. Saat itu mereka berdua membawa 

barang dagangan dengan menggunakan kapal layar 

bersama para pedagang lainnya. Naas, dalam perjala-

nan itu mereka dihadang orang-orang bertopeng yang 

mengaku Perompak Laut. Pada kejadian itu, Ki Madra-

ni mendapat bacokan pada tangan kiri dan tercebur ke 

laut. Sedangkan Ki Partugi dengan segenap kemam-

puan melawan para perampok-perampok itu. Meski 

akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawan. Dan 

menceburkan diri ke laut mencari selamat.

"Apakah kira-kira Ki Madrani masih hidup, Ki?" 

tanya Laga Lembayung sebelum memenuhi permintaan 

Ki Partugi.

"Entahlah. Setelah kejadian itu, aku berusaha 

mencarinya. Namun tak kutemukan mayatnya," ucap 

Ki Partugi.

"Seandainya Ki Madrani masih hidup, apakah 

dia tertarik mempelajari ilmu silat, termasuk 'Ajian 

Duribang'? Karena menurutku, Ki Madrani merasa 

terpukul dengan kejadian itu dan sadar akan penting-

nya ilmu bela diri," tanya Laga Lembayung lagi.

Ki Partugi tersenyum sebelum menjawab perta-

nyaan muridnya.

"Hal itu bisa saja terjadi, Laga. Tapi kecil sekali


kemungkinannya. Kukatakan demikian karena Adi 

Madrani tak mungkin bertahan di laut dengan tangan 

yang terluka parah," jawab Ki Partugi.

"Seandainya ada kapal Iain yang lewat di perai-

ran itu dan melihat Ki Madrani yang tengah terapung, 

lalu menolongnya. Kurasa hal itu bisa saja terjadi, Ki," 

bantah Laga Lembayung.

Ki Partugi kembali mengembangkan senyum-

nya.

"Itulah yang aku harapkan, Laga. Aku bersyu-

kur sekali seandainya Adi Madrani masih hidup," ucap 

Ki Partugi. "Ayolah, perlihatkan ‘Ajian Duribang’ ting-

kat terakhir yang telah kau kuasai."

"Baik, Ki," ucap Laga Lembayung seraya meng-

gerakkan kakinya lima langkah menjauh dari hadapan 

Ki Partugi.

Ki Partugi ikut melangkah sejauh tiga tindak, 

hingga jarak mereka menjadi lebih jauh. Mata lelaki 

berjenggot putih itu menatap lurus wajah Laga Lem-

bayung yang tengah memusatkan pikiran.

Sesungguhnya, Ki Partugi tahu siapa Laga 

Lembayung. Pemuda ini adalah putra dari Kerajaan 

Suraloka. Anak dari lelaki berusia sekitar lima puluh 

tahun yang di Kerajaan Suraloka menduduki tempat 

sangat penting. Dialah Patih Sodrana.

Lalu, mengapa Ki Partugi tidak memanggil Laga 

Lembayung dengan sebutan terhormat 'tuan muda', 

misalnya? Nah! Di situlah letak kelebihan Laga Lem-

bayung. Meskipun dia seorang anak patih, tapi dia tak 

suka dipanggil ‘tuan muda’.

Terhadap sikap rendah hati yang ditunjukkan 

Laga Lembayung, akhirnya Ki Partugi pun tak ingin di-

rinya dipanggil 'guru'. Ki Partugi meminta Laga Lem-

bayung menyebut namanya dengan tambahan ‘Ki’ se-

bagai tanda bahwa dirinya lebih tua dari Laga Lem


bayung. Itu terjadi selama hampir tujuh tahun. Selama 

Laga Lembayung berguru padanya.

Ki Partugi ingat ketika pertama kali hatinya ter-

tarik untuk mengambil Laga Lembayung menjadi mu-

ridnya. Waktu itu Laga Lembayung tengah dikeroyok 

tiga pembegal. Ki Partugi menyaksikan bagaimana La-

ga Lembayung berusaha keras mempertahankan diri 

dengan ilmu bela diri yang seadanya. Tetapi karena 

kemampuan ilmu silat pengeroyoknya lebih tinggi, ma-

ka Laga Lembayung berhasil dikalahkan. Untung keti-

ga pengeroyok itu tak menghabisi nyawanya.

Ketika Ki Partugi menanyakan apakah Laga 

Lembayung menyesali hartanya yang dirampok, pemu-

da itu menjawab 'Mungkin harta itu bukan milikku'. 

Jawaban itulah yang disukai Ki Partugi, hingga timbul 

hasrat di hatinya untuk mengambil Laga Lembayung 

sebagai murid.

"Ayo lakukan, Laga!" perintah Ki Partugi setelah 

dirasa pemusatan pikiran Laga Lembayung sudah cu-

kup.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Laga Lem-

bayung segera merenggangkan dua telapak tangannya 

yang semula bersatu. Perlahan gerakan itu dilakukan, 

hingga jarak kedua telapak tangannya terpaut satu ja-

ri.

Kemudian Laga Lembayung mengepalkan jari-

jarinya yang terbuka. Seiring dengan itu, aliran tenaga 

dalam ke seluruh tubuhnya dilakukan Laga Lem-

bayung sepenuhnya. Seketika otot-otot tangannya ber-

sembulan. Lalu dengan cepat tangannya diputar tiga 

kali. Dan ketika putaran itu selesai dilakukan, saat itu 

juga tangannya dihentakkan kuat-kuat

"Hiaaa...!"

Glarrr!

Sebuah ledakan keras terjadi saat Laga Lem


bayung menggelar ‘Ajian Duribang’. Sebongkah batu 

sebesar perut gajah hancur berkeping-keping.

Yang mengagumkan dari 'Ajian Duribang' yang 

telah dikuasai Laga Lembayung adalah batu itu bukan 

hanya hancur berkeping-keping, tapi kepingan batu itu 

menjadi merah membara dan mengepulkan asap tipis. 

Tak terbayangkan akibatnya jika kepala manusia yang 

menjadi sasaran.

Laga Lembayung menatap kepingan batu yang 

membara. Napasnya memburu dan keringat memba-

sahi dahinya.

"'Ajian Duribang' tingkat akhir yang kau pera-

gakan itu pun begitu sempurna, Laga. Rasanya ke-

sempurnaan itu hanya kau yang memiliki," ucap Ki 

Partugi setelah menghampiri sosok lelaki bertubuh ke-

kar yang mengenakan pakaian kelabu itu.

"Terima kasih, Ki. Namun semua ini tak lepas 

dari peran sertamu," ucap Laga Lembayung merendah.

Ki Partugi yang di kalangan rimba persilatan 

dikenal sebagai Pendekar Bunga Merah, merasa puas 

mendengar ucapan Laga Lembayung.

'Tapi kuingatkan sekali lagi, jangan pergunakan 

'Ajian Duribang' tingkat terakhir itu untuk mengakhiri 

perlawanan musuh-musuhmu. Kecuali jika kau benar-

benar menemui jalan buntu, dan hanya dengan men-

gerahkan 'Ajian Duribang' tingkat akhir kau terbebas 

dari maut," ujar Ki Partugi lagi.

"Baik, Ki. Akan kuingat pesanmu," Laga Lem-

bayung menundukkan kepala setelah mengucapkan 

janjinya.

Laga Lembayung sadar sepenuhnya kalau 

'Ajian Duribang' yang terdiri dari dua tingkatan itu 

memiliki kedahsyatan yang tidak patut dipergunakan 

di sembarang waktu. Maka pemuda itu berjanji dalam 

hati untuk tidak memperagakan 'Ajian Duribang' ting


kat terendah sekalipun. Kecuali pada saat-saat seperti 

yang tadi disebutkan Ki Partugi.

"Sekarang semuanya telah selesai, Laga. Kau 

telah tampil sebagai sosok yang memiliki ilmu bela diri 

yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Amalkanlah 

ilmu yang kau miliki untuk kebaikan. Hadapi tantan-

gan yang seberat apa pun dalam kehidupan di dunia 

yang selalu timpang ini. Enyahkan segala bentuk keba-

tilan," nasihat Ki Partugi. "Sekarang, kembalilah ke Ke-

rajaan Suraloka. Amalkan ilmu yang kau punyai untuk 

keutuhan wibawa kerajaan. Dan sampaikan salamku 

pada ayahmu."

"Baik, Ki. Akan kujalani segala pesanmu. Ba-

rangkali hanya itu wujud baktiku terhadap budi baik 

yang telah kau berikan padaku."

Ada kesedihan dalam ucapan Laga Lembayung 

itu. Memang begitulah kenyataannya. Bertahan-tahun 

dia hidup bersama Ki Partugj. Selama itu pula Laga 

Lembayung digembleng dalam hal pekerti bermasyara-

kat dan Ilmu olah kanuragan serta ilmu kesaktian. Se-

lama tahun-tahun itu, Ki Partugi memberi berbagai 

bentuk kebaikan tanpa pamrih. Semuanya itu semakin 

membuat hati Laga Lembayung seperti digayuti kebim-

bangan untuk berpisah dengan Ki Partugi si Pendekar 

Bunga Merah. "Ki...."

Parau ucapan yang keluar dari mulut Laga 

Lembayung. Bibir lelaki putra Patih Sodrana itu berge-

tar.

"Jangan beratkan perpisahan ini dengan ke-

bimbangan hatimu, Laga. Tak ada perpisahan yang 

menyedihkan kalau masing-masing kita saling ikhlas. 

Karena perpisahan itu hakikatnya nyata. Dan akan se-

lalu mewarnai segala bentuk kehidupan manusia," pa-

par Ki Partugi memotong ucapan Laga Lembayung.

"Saya mengerti, Guru," tukas Laga Lembayung


seraya menjura hormat.

Terkesiap juga hati Ki Partugi mendengar Laga 

Lembayung memanggilnya dengan sebutan 'guru'.

"Jangan memanggilku seperti itu, Laga. Bukan-

kah kita sudah berjanji tidak akan saling memanggil 

dengan sebutan yang dapat membuat kepongahan?" 

ucap Ki Partugi sedikit menekan.

"Izinkan untuk terakhir kalinya kusebutkan ka-

ta-kata itu," bantah Laga Lembayung hati-hati.

Ki Partugi tidak membantah. Tangan lelaki ber-

juluk Pendekar Bunga Merah itu terulur perlahan ke 

arah punggung Laga Lembayung. Dan dengan segenap 

perasaan telapak tangannya diusapkan.

"Berangkatlah sekarang, Laga. Jangan khawa-

tirkan keadaanku di sini. Kelak jika kau membutuh-

kanku, kau bisa menemuiku di puncak Gunung Prata-

ram ini."

"Ki...."

"Sudah lama aku ingin menghindari rimba ke-

kerasan, Laga. Namun aku tidak bisa melakukan ka-

rena ilmu-ilmuku belum kuturunkan. Sekarang ada 

kau yang mewakiliku untuk menumpas segala bentuk 

keangkaramurkaan. Aku akan menghabiskan sisa hi-

dupku di puncak Gunung Prataram ini," sergah Ki Par-

tugi. "Ayolah berangkat. Lihatlah, langit nampak begitu 

indah. Dan matahari bersinar penuh kegagahan. Jadi-

lah kau seperti matahari yang selalu bersinar dan di-

hormati karena wibawa yang tinggi."

"Baiklah, Ki. Aku berangkat sekarang," tukas 

Laga Lembayung seraya menjura hormat.

Ki Partugi membalas penghormatan Laga Lem-

bayung. Dan ketika kepala Ki Partugi dan muridnya te-

rangkat, Laga Lembayung segera menjatuhkan lutut-

nya dan memeluk kaki gurunya.

"Aku berangkat, Ki. Doakan dan ikhlaskan se


gala yang telah kau berikan padaku," ucap Laga Lem-

bayung dengan wajah masih mencium kaki Ki Partugi

"Tentu, Laga," ujar Ki Partugi.

Laga Lembayung bangkit dari bersimpuhnya. 

Ditatapnya sejenak wajah tua lelaki yang berjuluk 

Pendekar Bunga Merah itu. Sesaat kemudian, Laga 

Lembayung membalikkan badan dan melangkah tegar 

meninggalkan Ki Partugi yang menatapnya dari bela-

kang.

Lelaki tua berpakaian kuning itu terus berdiri 

tegak memandangi kepergian Laga Lembayung yang te-

lah merebut hatinya. Laga Lembayung tak ubahnya 

anak kandung. Ah...! Ketika tubuh pemuda itu lenyap 

ditelan kelebatan hutan, Ki Partugi membalikkan ba-

dan setelah mengucapkan sepatah kata perpisahan.

"Selamat jalan, Laga...."

***

Siang itu matahari berada tepat di atas kepala. 

Angin yang bertiup sesekali menghantarkan elusan se-

juk sesaat.

Di tengah cuaca seperti itu tampak seorang le-

laki bertubuh kekar melangkah perlahan. Dari cara le-

laki itu melangkah bisa disimpulkan kalau dia bukan 

penduduk Desa Magetan yang sehari-harinya bekerja 

sebagai petani. Lelaki itu berwajah tampan dan gagah. 

Kelihatannya dia orang persilatan.

Lelaki gagah berpakaian kelabu yang tak lain 

Laga Lembayung itu terus melangkah. Sedikit pun dia 

tak mempedulikan sengatan matahari yang bersinar 

garang di langit Desa Magetan yang membatasi kotara-

ja dengan desa-desa lainnya.

Laga Lembayung tiba-tiba terusik kepekaannya. 

Langkahnya terhenti dan bola matanya berputar-putar


seolah mencari sesuatu. Sedangkan kepalanya sedikit 

ditelengkan. Putra Patih Sodrana itu sedang mencari-

cari sumber suara yang didengarnya samar-samar. Be-

gitu tersamar dengan gesekan dedaunan yang tertiup 

angin.

Agak lama juga Laga Lembayung memantapkan 

pendengarannya. Pada saat berikutnya, tubuhnya su-

dah mencelat ke arah suara itu. Begitu cepatnya gera-

kan Laga Lembayung. Ilmu lari cepat yang dipadukan 

dengan ilmu meringankan tubuh dilakukannya dengan 

sempurna. Hingga tak heran dalam waktu singkat dia 

sudah berada di tempat jeritan itu berasal.

Bukan main murkanya Laga Lembayung me-

nyaksikan delapan lelaki gagah bergeletakan tanpa 

nyawa. Kemurkaannya tak Iain karena melihat pa-

kaian yang dikenakan delapan lelaki itu. Pakaian yang 

dikenalinya sebagai pakaian prajurit Kerajaan Suralo-

ka.

"Hhh...!" Laga Lembayung menarik napas pan-

jang-panjang untuk meredam kemarahannya.

Ada peristiwa apa di Kerajaan Suraloka? Tanya 

Laga Lembayung dalam hati. Di benak lelaki berpa-

kaian kelabu ini seketika terekam wajah tua orangtua-

nya. Patih Sodrana.

"Bagaimana keadaan ayah? Ah.... Aku begitu 

mengkhawatirkannya," gumam Laga Lembayung, bica-

ra pada diri sendiri.

Laga Lembayung berusaha menghilangkan pra-

sangka buruk yang melintas di benaknya. Tatapan le-

laki muda murid Ki Partugi ini beralih pada mayat-

mayat yang bergelimpangan. Tatapan matanya penuh 

kedukaan.

Aku harus menguburkan mereka! Tekad Laga 

Lembayung dalam hati. Maka, pemuda itu segera 

menghampiri tanah kosong yang ada di dekat situ yang


terdapat jejeran pohon-pohon jati.

"Hih!"

Blarrr!

Tak ada kesukaran bagi Laga Lembayung 

membuat sebuah lubang besar untuk mengubur dela-

pan mayat prajurit Kerajaan Suraloka itu. Hanya den-

gan sekali hentakan tangan, disertai 'Ajian Duribang' 

tingkat pertama, terciptalah sebuah lubang lebar seki-

tar satu setengah tombak. Dan ketika Laga Lembayung 

kembali melakukan pukulan, maka...

"Hiaaa...!"

Blarrr!

Tanah merah kembali berpentalan ke udara. 

Lubang itu kini semakin besar. Laga Lembayung me-

narik napas dalam-dalam. Kemudian dengan cepat 

memasukkan mayat-mayat ke dalam lubang dan me-

nimbunnya.

"Hhh...!"

Peluh membasahi pakaiannya ketika Laga 

Lembayung menarik napas lega. Tenaganya telah diku-

ras untuk mengubur mayat-mayat prajurit kerajaan 

itu.

Sesaat Laga Lembayung memandang langit De-

sa Magetan. Kemudian dengan langkah pendek, perja-

lanannya kembali dilanjutkan menuju Kerajaan Sura-

loka.

***

DUA



"Haiiit..!"

Trang! Trang! 

Blagkh!


Sesosok tubuh terbalut pakaian hitam terjeng-

kang ketika rusuk kirinya terhantam sodokan sikut

kanan gadis cantik berpakaian jingga. Lelaki berpa-

kaian hitam itu menjerit keras sesaat. Kemudian tu-

buhnya ambruk ke tanah dan tak lagi mampu melan-

jutkan pertarungan.

Sesaat pertarungan terhenti. Dua puluh lelaki 

yang berdiri pongah di hadapan gadis berpakaian jing-

ga yang tak lain Mayang Sutera, kekasih Raja Petir, 

nampak tak percaya kalau teman mereka tak mampu 

menghadapi Mayang Sutera.

Suasana di Desa Magetan yang indah hening 

sesaat. Mereka yang bertarung kini terlibat saling me-

natap.

"Hm.... Kukira kau gadis yang hanya mampu 

melayani lelaki di kamar," ucap sosok tinggi besar ber-

pakaian merah.

Lelaki yang ucapannya agak kotor itu meman-

dang wajah cantik Mayang. Matanya yang menjorok ke 

dalam sangat bertentangan dengan alis matanya yang 

hampir tak ada. Namun sebaliknya, wajah bagian 

pinggir lelaki tinggi besar itu ditumbuhi bulu-bulu ka-

sar hitam pekat.

"Sungguh tak kusangka gadis secantikmu me-

miliki isi," lanjut lelaki brewok yang memimpin belasan 

lelaki berpakaian hitam.

"Itulah pelajaran buat kalian kaum laki-laki!" 

bentak Mayang. "Jangan sekali-kali meremehkan pe-

rempuan!"

"Ha ha ha...!"

Lelaki brewok berpakaian merah itu tertawa ke-

ras.

"Dipuji sedikit saja besar kepala! Dasar perem-

puan...!" ejek lelaki brewok itu.

"Hentikan!" bentak Mayang sedikit mengerah


kan tenaga dalam. Suaranya terdengar memantul di 

sudut-sudut Desa Magetan.

Lelaki brewok itu terhenyak mendengar benta-

kan kuat yang dilakukan gadis cantik di hadapannya. 

Tawanya langsung lenyap. Kini tatapan matanya tertu-

ju tajam ke wajah Mayang.

"Kau ternyata gadis setan! Semula aku ingin 

menikmati kecantikanmu, tapi kini seleraku hilang su-

dah. Yang ada keinginan untuk melenyapkanmu!" ujar

lelaki brewok itu dengan nada kasar. "Ketahuilah. Aku 

Sagana, pantang dibentak!"

Mayang Sutera membalas tatapan tajam lelaki 

brewok yang mengaku bernama Sagana itu.

"Sagana! Aku juga pantang mendengar kata-

kata kotor yang selalu keluar dari mulutmu yang bu-

suk! Aku ragu kalian mampu melenyapkanku!" balas 

Mayang tak kalah kasar.

"Setan! Cincang mulut perempuan liar itu!" pe-

rintah Sagana pada belasan lelaki berpakaian hitam.

Belasan lelaki berwajah kasar segera berlompa-

tan mengurung Mayang Sutera. Sungguh suatu pe-

mandangan yang janggal. Seorang perempuan belia 

berhadapan dengan belasan lelaki berwajah kasar yang 

menghunus senjata bermacam-macam. Akan tetapi ji-

ka melihat gadis itu, maka kejadiannya menjadi wajar. 

Kehebatan ilmu bela diri gadis cantik berpakaian jing-

ga itu tidak bisa diragukan lagi.

"Majulah kalian semua kalau ingin segera ma-

suk ke liang kubur!" ucap Mayang menantang.

Mayang menyadari belasan lelaki yang mengu-

rungnya itu adalah orang-orang yang seringkali beru-

rusan dengan kekerasan. Mereka pasti mengenal ilmu 

silat. Mayang harus mengeluarkan seluruh kepan-

daiannya untuk melumpuhkan mereka.

Belasan lelaki yang mengurung Mayang wajah


nya berubah gelap. Itu karena ucapannya yang seperti 

merendahkan. Namun anak buah Sagana itu tak bera-

ni menyerang sebelum mendengar perintah pimpinan-

nya.

"Ganyang...!"

Perintah Sagana terdengar menggelegar. Bela-

san lelaki berpakaian hitam segera berlompatan den-

gan senjata terhunus. Mayang dengan segenap kewas-

padaannya memperhatikan gerakan belasan lelaki 

yang meluruk ke arahnya.

"Hm...."

Rrrt...!

Selesai bergumam, Mayang segera mengem-

bangkan payung kecil yang terbuat dari logam keras. 

Payung kecil yang selama ini menjadi senjata andalan-

nya untuk menghadapi setiap lawan.

"Hiaaa...!"

"Heaaat...!"

Mayang segera mengatur kedudukannya den-

gan membawa mundur kakinya selangkah. Dua lelaki 

bertubuh kekar melesat lebih cepat dari rekannya den-

gan senjata berupa pedang pendek dan golok. Gerakan 

mereka membelah dan menebas.

Wrrr....

Gadis cantik berpakaian jingga itu segera me-

mutar senjatanya dengan pengerahan tenaga dalam. 

Kemudian kakinya menghentak kuat. Tubuh gadis itu 

melejit menyongsong dua sosok tubuh yang melesat ke 

arahnya.

"Hiaaat..!"

Trang!

Bret!

Dua pengeroyok yang tiba lebih dulu ternyata 

harus mengalami kegagalan yang begitu cepat. Lelaki 

yang satu terpental karena senjatanya beradu dengan


permukaan payung Mayang yang berputar keras. Se-

dangkan temannya harus merelakan nyawanya pergi 

meninggalkan raga. Senjata Mayang Sutera telah 

membabat perutnya setelah lebih dulu menangkis se-

rangan. Tubuh lelaki itu langsung ambruk tak bernya-

wa. Namun kematiannya tidak membuat lelaki lainnya 

merasa jera. Mereka terus merangsek maju bagai lebah 

menemukan madu.

Keadaan di sekitar tempat pertarungan menjadi 

tak sedap dilihat. Tanah sekitar tempat itu berlubang 

terkena pukulan nyasar. Dan pohon-pohon kecil ber-

tumbangan. Darah berceceran membasahi tanah Desa 

Magetan.

Kemurkaan belasan lelaki yang menyaksikan 

kematian temannya semakin membuat Mayang was-

pada. Serangan-serangan yang datang dari setiap pen-

juru harus dihadapinya dengan perhitungan matang.

Maka Mayang mengeluarkan seluruh kemam-

puannya. Tubuhnya berkelebat cepat dan menyelinap 

di antara kelebatan senjata lawan. Gerakannya yang 

seperti orang menari di antara rumpun bambu. Meliuk 

menghindari benturan. Namun sekali senjatanya ber-

gerak, lengking kematian pun terdengar susul-

menyusu!.

"Hih!"

Breeet!

"Aaa...!"

Kembali seorang lawannya dijemput ajal. Le-

hernya hampir putus terbabat payung logam kuning 

milik Mayang. Darah memancur dari leher lelaki ber-

pakaian hitam itu. Tubuhnya ambruk menggelepar se-

perti ayam disembelih.

Memang dalam menghadapi lawan-lawannya 

yang berjumlah tidak sedikit dan mengenakan senjata, 

Mayang tak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus


andalan. Seperti jurus 'Benteng Emas' yang berguna 

menahan gempuran lawan, sekaligus memberikan se-

rangan balasan.

Apa yang dilakukan Mayang memang berhasil 

menghalau serangan lawan dan menewaskan beberapa 

orang. Hingga Sagana menjadi gusar. Maka dipu-

tuskannya untuk membantu anak buahnya. Sagana 

segera menghentakkan kakinya, kemudian melenting 

ke udara melewati kepala orang-orang yang tengah 

bertarung.

Jleg!

"Hiaaa...!" 

Trang!

Tubuh Sagana terpental mundur saat senja-

tanya yang berupa clurit hampir mendarat di leher 

Mayang. Pekik tertahan mengiringi terhuyungnya tu-

buh lelaki brewok berpakaian merah itu.

"Setan!" umpat Sagana sambil memegangi tan-

gannya yang bergetar hebat.

Mata Sagana berkilat-kilat bagai naga terluka 

ketika melihat kehadiran lelaki berpakaian kelabu. Le-

laki bertubuh kekar dan berwajah tampan itu berdiri 

tegak di hadapan Sagana pada jarak dua setengah 

tombak.

"Kau sudah menyuruh anak buahmu menge-

royok gadis belia itu. Sekarang dengan kecuranganmu, 

kau ingin membokongnya!" ucap lelaki berpakaian ke-

labu itu dengan suara ditekan. "Laki-laki macam apa 

kau...?!"

Sagana tak meladeni ucapan lelaki muda itu. 

Hanya matanya saja menatap garang sebagai tanda dia 

tidak sudi dengan campur tangan ini. Lelaki muda 

berpakaian kelabu yang tak lain Laga Lembayung tak 

membalas tatapan tajam Sagana. Tatapan mata Laga 

Lembayung memperhatikan pertarungan Mayang Sute


ra dan anak buah Sagana.

"Teruskan perlawananmu, Nisanak! Biar aku 

yang menghadap tua bangka pengecut ini!" teriak Laga 

Lembayung keras.

Sagana marah bukan main disebut tua bangka 

pengecut. Seketika itu pula dia melesat menerjang La-

ga Lembayung. Angin menderu mengiringi tibanya se-

rangan Sagana dengan senjata dibabatkan ke lambung 

putra Patih Sodrana itu.

"Hiaaa...!"

Menyaksikan gerakan Sagana, dengan tenang 

Laga Lembayung memiringkan tubuhnya.

Dua jari lagi serangan Sagana menyentuh kulit 

Laga Lembayung yang sudah lebih dulu merubah ke-

dudukan. Serangan maut itu pun luput.

Tapi Sagana mempunyai gerakan kilat yang pa-

tut mendapat acungan jempol. Sesaat serangannya 

berhasil dielakkan, serangan berikutnya berhasil dila-

kukan dengan tiba-tiba dan tanpa ditingkahi pekikan 

seperti semula.

Wuuut!

"Heh?!"

Laga Lembayung terkejut melihat senjata Saga-

na sudah berpindah tangan. Dan tahu-tahu sudah 

berkelebat mengarah lehernya.

"Uts!"

Dengan gerakannya yang tak kalah cepat, Laga 

Lembayung merendahkan tubuhnya dalam kedudukan 

kuda-kuda rendah. Dan ketika serangan kedua Sagana 

berhasil dielakkannya, Laga Lembayung menjatuhkan 

tubuhnya seraya memberikan serangan menyampok ke 

arah kaki Sagana.

Sagana tentu saja terkejut menyaksikan keje-

lian Laga Lembayung yang mampu membaca pertaha-

nannya yang kosong. Untung Sagana memiliki kepe


kaan yang baik. Sehingga sampokan lawan berhasil di-

elakkan dengan membuang tubuhnya ke arah kiri Laga 

Lembayung.

Crak! Crak!

"Heh...?! Ops!"

Laga Lembayung segera bergulingan di tanah. 

Ternyata saat membuang tubuhnya, Sagana melaku-

kan serangan dengan membacokkan senjatanya secara 

sembarangan ke bagian tubuh Laga Lembayung. Mak-

sud Sagana untuk memberi jarak pertarungan dan 

berjaga-jaga agar lawan tidak memberikan serangan 

susulan. 

"Hup!"

Laga Lembayung melentingkan tubuhnya keti-

ka Sagana tidak lagi melanjutkan serangan. Lentingan 

yang disertai perputaran tubuh dua kali cukup manis 

dilakukan Laga Lembayung. Apalagi dengan cara men-

darat yang tanpa menimbulkan suara. Jelas menun-

jukkan dirinya memiliki ilmu meringankan tubuh ting-

kat tinggi. Kedua lelaki yang terpaut usia cukup jauh 

itu terlihat saling pandang, seperti sedang mengukur 

kekuatan masing-masing.

Sementara pada pertarungan lain, Mayang Su-

tera tanpa menemui kesulitan merobohkan lawan-

lawannya. Meski menggunakan payungnya, namun 

senjata itu tidak digunakan lagi untuk membabat la-

wan-lawannya. Senjata itu dipergunakan Mayang un-

tuk menangkis serangan lawan.

Trang! Trang!

Kembali Mayang menangkis serangan lawan 

yang tertuju ke bagian dada dan perut. Benturan keras 

membuat kedua lawannya yang barusan menyerang 

terpental balik. Dan dengan kecepatan geraknya, 

Mayang langsung mengejar.

Tuk! Tuk!


"Aaakh...!"

"Akh!"

Dua lelaki berpakaian hitam dilumpuhkan 

Mayang dengan totokan yang terarah ke jalan darah. 

Kedua lelaki berwajah kasar itu langsung ambruk dan 

tak lagi mampu meneruskan pertarungan. Sedangkan 

sepuluh lelaki yang bermaksud meneruskan penyeran-

gan dengan berat hati mengurungkan maksudnya. Me-

reka termangu menatap wajah cantik Mayang. Kenge-

rian tergurat jelas di wajah lelaki-lelaki itu.

"Mengapa kalian bengong seperti kerbau dun-

gu?!" bentak Mayang garang.

Lelaki-lelaki berwajah kasar itu tidak menjawab 

bentakan Mayang.

"Aaa...!"

Mayang dan lawan-lawannya serta-merta meno-

leh ke arah jeritan yang cukup keras.

Rona wajah Mayang dan lelaki-lelaki kasar itu 

berubah. Curat wajah dara cantik berpakaian jingga 

itu menampakkan kegembiraan melihat lelaki berpa-

kaian kelabu berhasil melumpuhkan Sagana. Sebalik-

nya, wajah anak buah Sagana bertambah kecut me-

nyaksikan pemimpinnya berhasil dipecundangi Laga 

Lembayung.

Di sela-sela bibir Sagana nampak darah me-

rembes. Lelaki berpakaian merah itu mengalami luka 

dalam setelah kepalan tangan Laga Lembayung meng-

gedor dadanya. Dua orang anak buah Sagana membu-

ru tubuh pimpinannya. Dan mengangkatnya bangkit.

"Sebaiknya kita pergi dari sini, Kakang Sagana," 

ucap salah seorang lelaki berpakaian hitam yang me-

nyangga tubuh Sagana.

"Sebaiknya begitu. Mereka terlalu tangguh un-

tuk kita," timpal Sagana menyetujui.

"Bagaimana dengan teman-teman yang tergele

tak itu?" tanya anak buah Sagana yang satunya.

"Suruh teman-teman membebaskan mereka da-

ri totokan gadis setan itu," perintah Sagana.

Salah seorang anak buahnya segera berteriak 

lantang.

"Bebaskan yang tergeletak itu. Totok jalan da-

rah mereka!"

Ucapan itu terdengar jelas oleh anak buah Sa-

gana yang lain. Dengan cepat mereka membebaskan 

teman-temannya.

"Kami akan membalas dendam padamu, Anak 

Muda!" ancam Sagana.

"Namaku Laga Lembayung! Kau ingat itu, Ki 

sanak," timpal Laga Lembayung mendengar ancaman 

Sagana.

"Dan kau juga, Gadis Setan!" lanjut Sagana 

sambil menuding wajah Mayang Sutera alias Dewi 

Payung Emas.

"Kutunggu apa yang akan kalian lakukan pa-

daku, Sagana!" balas Mayang.

"Huh! Kalian memang bocah-bocah sombong!" 

bentak Sagana. "Kalian rasakan nanti balasan kami!"

Setelah berkata begitu, Sagana menatap wajah 

anak buahnya. Kemudian....

"Ayo kita tinggalkan tempat ini!" perintah Saga-

na lantang.

Belasan lelaki berpakaian hitam itu segera ber-

lompatan cepat mengikuti jejak pimpinannya yang su-

dah berlari lebih dulu. Sementara, lima mayat teman-

nya ditinggalkan begitu saja.

Apakah mereka yang membantai prajurit-

prajurit Kerajaan Suraloka? Batin Laga Lembayung se-

saat setelah belasan lelaki itu lenyap ditelan kelebatan 

hutan d Desa Magetan.

"Terima kasih atas bantuanmu, Kakang Laga


Lembayung," ucap Mayang ketika menyadari di tempat 

itu hanya tinggal mereka berdua.

"Eh! Ja... jangan ucapkan itu padaku...," uca-

pan Laga Lembayung gugup. Sementara mata putra 

Patih Kerajaan Suraloka itu menatap wajah cantik 

Mayang Sutera. 

"Panggil aku Mayang, Kakang," ucap Mayang 

lembut "Tapi nama lengkapku Mayang Sutera."

"Eh, ya. Mayang. Tadi itu.... Eh...."

Kegugupan Laga Lembayung semakin menjadi 

ketika Mayang membalas tatapannya. Pemuda itu 

sungguh tak tahu mengapa dirinya menjadi gugup se-

perti ini. Apakah karena selama tujuh tahun lebih di-

rinya tak pernah bertemu gadis-gadis yang membuat-

nya gugup, atau... kecantikan Mayang yang membuat-

nya begitu?

"Pertolonganku hanya kebetulan saja, Mayang," 

ucap Laga Lembayung sedikit tenang. Dia sudah 

mampu menguasai hatinya. "Kebetulan aku melewati 

tempat ini."

"Tapi aku harus tetap mengucapkan terima ka-

sih, Kakang Laga Lembayung," kilah Mayang.

"Eh! Hendak ke mana kau sebenarnya, 

Mayang?" tanya Laga Lembayung mengalihkan per-

cakapan.

"Aku tak hendak pergi, Kakang. Aku hanya in-

gin menikmati udara pagi. Tapi puluhan lelaki itu telah 

mengusik kelnginanku," jawab Mayang.

"Apa kau penduduk Desa Magetan ini?" tanya 

Laga Lembayung lagi.

Mayang Sutera menggeleng.

"Lalu...?"

"Aku tengah mengembara dengan seorang te-

manku," jelas Mayang.

"Ah! Mana temanmu itu?" tanya Laga Lem


bayung. "Boleh aku mengenalnya? Apakah dia seorang 

perempuan juga?"

Mayang tersenyum mendengar pertanyaan be-

runtun lelaki di hadapannya.

"Tentu saja dengan senang hati aku bersedia 

memperkenalkanmu dengan temanku, Kakang Laga. 

Tapi dia seorang laki-laki," tukas Mayang, menyetujui 

permintaan pemuda itu. 

Wajah Laga Lembayung bersemu merah men-

dengar ucapan Mayang. Tapi lelaki berpakaian kelabu 

itu kini sudah pandai menguasai keadaan.

"Dia pasti kekasihmu. Atau bahkan suamimu," 

ucap Laga Lembayung, menutupi kekikukannya.

Mayang Sutera tersenyum.

"Kalau kau sebut suami rasanya salah besar, 

Kakang Laga," jelas Mayang.

"Calon suami tak berbeda jauh dengan suami, 

Mayang," kilah Laga Lembayung dengan raut wajah 

tersenyum lucu.

"Ha ha ha...!"

Tawa Mayang betul-betul terlepas mendengar 

ucapan dan cara bicara putra Patih Sodrana itu.

"Kita temui dia sekarang, Kakang Laga," putus

Mayang sesaat setelah tawanya reda.

Laga Lembayung mengangguk, menyetujui usul 

gadis cantik itu. Dan ketika Mayang mengayunkan

langkah, Laga Lembayung mengikutinya di belakang.

***

TIGA



Siang yang beranjak sore membawa langkah 

Mayang Sutera ke sebuah penginapan di pinggiran Desa Magetan, yang berjarak sekitar tiga puluh lima pal 

dari kotaraja.

Langkah kaki Mayang yang tidak begitu tergesa 

dibuntuti lelaki berpakaian kelabu yang tak lain Laga 

Lembayung. Tidak begitu lama perjalanan itu dilaku-

kan. Kini di hadapan mereka terpampang sebuah pen-

ginapan yang cukup sederhana. Seorang lelaki berpa-

kaian kuning keemasan terlihat tengah menatap 

Mayang dengan wajah keheranan.

"Ah. Maafkan aku, Kakang Jaka. Aku terlambat 

kembali ke penginapan," ucap Mayang ketika tiba di 

dekat lelaki berpakaian kuning keemasan yang tidak 

lain Jaka Sembada, lelaki muda digdaya yang berjuluk 

Raja Petir.

Sementara di belakang Mayang berdiri Laga 

Lembayung dengan sikap canggung. Ketika tatapan 

Jaka hinggap di wajahnya, Laga Lembayung segera 

mengembangkan senyum bersahabat.

"Oh, ya. Silakan duduk, Kakang Laga. Aku 

akan menceritakan semuanya pada Kakang Jaka," tu-

kas Mayang mempersilakan kawan barunya duduk di 

hadapan Jaka. Sedangkan gadis itu duduk di samping 

Raja Petir.

"Sebaiknya Kakang berdua saling berkenalan 

dulu," pinta Mayang.

Laga Lembayung mengulurkan tangan lebih du-

lu. Dan Jaka segera menyambut uluran tangan lelaki 

itu.

"Laga Lembayung," ucap lelaki berpakaian ke-

labu memperkenalkan diri dengan tegas.

"Jaka Sembada," balas Jaka tak kalah tegas.

Sesaat lamanya kedua lelaki itu saling berjabat 

tangan. Pada saat berikutnya tautan tangan keduanya 

lepas. Namun Laga Lembayung seperti orang terkesi-

ma. Tatapan mata lelaki itu menerawang jauh, seperti


tengah memikirkan sesuatu.

"Kau.... Kaukah yang berjuluk Raja Petir?" 

tanya Laga Lembayung kemudian.

Jaka tersenyum mendengar ucapan Laga Lem-

bayung.

"Lupakan saja julukan itu, Laga," ucap Jaka. 

Sengaja tak memanggil Laga Lembayung dengan sebu-

tan 'kakang' atau 'adi'. Menurut Jaka, usianya dan 

usia Laga Lembayung tak berbeda jauh, malah mung-

kin sama.

Sepasang alis Laga Lembayung terangkat men-

dengar ucapan Jaka.

"Aku lebih suka kau mengingatku sebagai Jaka 

Sembada, bukan Raja Petir," tandas Jaka melihat ke-

heranan Laga Lembayung.

"Oh! Maafkan, aku tadi tak bersikap hormat 

padamu, Kakang Jaka," tukas Laga Lembayung seraya 

menundukkan kepala.

"Jangan bersikap begitu padaku, Laga. Dan 

jangan panggil aku kakang. Kurasa usia kita tak ber-

beda jauh," pinta Jaka merendah.

"Benar rupanya ucapan guruku. Kau memang 

seorang tokoh yang rendah hati," puji Laga Lem-

bayung. "Namun, kuharap kau tak keberatan ku-

panggil kakang."

Mayang yang duduk di sebelah Jaka, terse-

nyum mendengar pujian Laga Lembayung. Jaka tak 

membantah keinginan Laga Lembayung. Akhirnya pe-

muda itu membiarkan Laga Lembayung memanggil di-

rinya kakang.

"Sekarang giliran aku yang bercerita," selak 

Mayang Sutera ketika tak didengarnya lagi ucapan La-

ga Lembayung dan Jaka Sembada.

"Silakan bercerita. Biar aku tahu di mana kau 

mengenal Laga Lembayung," ucap Jaka menyetujui


keinginan kekasihnya.

Mayang Sutera segera menceritakan kejadian 

yang dialaminya. Bagaimana dirinya dikeroyok anak 

buah lelaki berpakaian merah yang mengaku bernama 

Sagana. Dan kedatangan Laga Lembayung yang merin-

gankan bebannya, sekaligus menyelamatkannya dari 

bokongan Sagana.

"Begitulah, Kakang Jaka. Pengeroyokku kira-

kira berjumlah dua puluh orang. Tanpa bantuan Ka-

kang Laga, aku tak tahu apa yang terjadi padaku," 

ucap Mayang menuntaskan ceritanya.

Jaka tertegun mendengar cerita kekasihnya. 

Dia sungguh menyesal telah menaruh curiga pada La-

ga Lembayung yang telah menyelamatkan Mayang dari 

bencana.

"Ah! Terima kasih atas pertolonganmu, Laga. 

Maafkan sikapku yang telah mencurigaimu," tukas Ja-

ka terus terang.

Laga Lembayung tak menyahuti ucapan Raja

Petir. Baginya, ucapan Jaka tak ubahnya igauan da-

lam mimpi. Dia baru yakin kalau di dunia ini masih 

ada orang ternama yang memiliki budi pekerti dan si-

kap rendah hati.

"Pertolonganku tidak seberapa jika dibanding-

kan dengan sepak terjangmu membasmi segala bentuk 

keangkaramurkaan, Kakang Jaka. Mungkin kelak kau 

yang akan menolongku," ujar Laga Lembayung.

Jaka Sembada tersenyum.

"Oh, ya. Sebenarnya kau hendak ke mana, La-

ga?" tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.

"Aku hendak ke Kerajaan Suraloka," jawab Laga 

Lembayung singkat.

"Ke Kerajaan Suraloka?" ulang Mayang Sutera. 

"Apakah Kakang hendak melamar jadi prajurit?"

Laga Lembayung menggelengkan kepala dengan


senyum tipis tergurat di wajahnya.

"Tidak, Mayang," ucap Laga Lembayung.

"Lalu?"

"Untuk menemui ayahku," jawab Laga Lem-

bayung tak bermaksud membanggakan diri.

"Ayahmu...? Beliau bekerja untuk Kerajaan Su-

raloka?" tanya Jaka, ingin menegaskan.

Laga Lembayung mengangguk-angguk kepala.

"Sebagai apa?" tanya Mayang ingin tahu.

Sesaat Laga Lembayung membiarkan perta-

nyaan Mayang. Dan gadis cantik berjuluk Dewi Payung 

Emas itu tidak mendesak Laga Lembayung untuk se-

gera menjawabnya.

"Maaf. Aku tak bermaksud menyombongkan di-

ri," ucap Laga Lembayung kemudian. "Di Kerajaan Su-

raloka, ayahku menjabat sebagai patih."

"Jadi kau seorang putra patih, Kakang? Oh. 

Begitu sederhananya penampilanmu. Juga tutur ka-

tamu sopan," puji Mayang.

Laga Lembayung tersipu mendengar pujian ga-

dis cantik kekasih Raja Petir itu.

"Maaf, Laga. Kalau boleh kutahu, sebenarnya 

dari mana kau ini. Sepertinya telah menempuh perja-

lanan jauh," kata Jaka menutupi ketersipuan Laga 

Lembayung.

"Seperti orang-orang lain, dan mungkin juga 

seperti Kakang Jaka. Aku pun ingin memiliki sedikit 

kemampuan ilmu bela diri. Sebab, menurutku seorang 

lelaki akan percuma jika tak memiliki ilmu olah kanu-

ragan dalam kehidupan yang keras ini. Terlebih hidup 

di lingkungan kerajaan, yang bukan mustahil penuh 

persaingan. Untuk itu aku meninggalkan kerajaan un-

tuk menuntut ilmu silat. Syukur aku mendapat seo-

rang guru yang berilmu tinggi dan berwatak baik, arif, 

dan bijaksana. Tujuh tahun lebih aku menuntut ilmu


pada Ki Partugi," jelas Laga Lembayung menceritakan 

asal-usulnya.

"Cukup lama juga kau meninggalkan Kerajaan 

Suraloka dan ayahmu," timpal Jaka.

"Ya. Itu sebabnya aku harus segera ke sana. 

Aku khawatir telah terjadi sesuatu di sana," tutur Laga 

Lembayung.

"Kejadian apa maksudmu, Kakang?" tanya 

Mayang.

"Sebelum aku memergoki pertarunganmu den-

gan Sagana dan anak buahnya, aku telah menemukan 

delapan mayat prajurit Kerajaan Suraloka. Aku tak ta-

hu siapa yang membunuh mereka. Aku khawatir ke-

matian mereka ada sangkut-pautnya dengan keama-

nan Kerajaan Suraloka," ujar Laga Lembayung mene-

rangkan.

"Hm...," gumam Jaka. Matanya merayapi wajah 

cemas Laga Lembayung.

"Jika begitu, sebaiknya kau segera kembali ke 

Kerajaan Suraloka," putus Jaka.

"Sebaiknya memang begini, Kakang Jaka," ujar 

Laga Lembayung menyetujui. "Kuharap kalian berdua 

sudi singgah di Kerajaan Suraloka. Tenaga dan kepan-

daian kalian sangat dibutuhkan jika di sana terjadi se-

suatu yang tak diinginkan."

"Tentu saja, Laga. Dengan senang hati kuterima 

undanganmu," sahut Jaka.

Mayang Sutera menganggukkan kepala menye-

tujui ucapan Raja Petir.

"Baiklah. Aku pergi sekarang."

Laga Lembayung bangkit dari duduknya.

Kemudian tangannya diulurkan untuk berjaba-

tan tangan dengan Jaka dan Mayang. Laga pun mem-

bawa langkahnya meninggalkan pasangan pendekar 

muda itu.


Namun baru tiga langkah kaki Laga Lembayung 

terayun, tiba-tiba dari selatan penginapan yang ditum-

buhi pohon-pohon besar berlompatan beberapa sosok 

tubuh berpakaian hitam. Puluhan lelaki berpakaian hi-

tam itu langsung menutup jalan Laga Lembayung.

Lelaki putra Patih Sodrana itu tentu saja was-

pada dengan keadaan seperti itu. Di pikirannya terlin-

tas dugaan kalau lelaki berpakaian hitam yang meng-

hadang jalannya ada hubungannya dengan pengeroyok 

Mayang. Atau mungkin dengan kematian prajurit Kera-

jaan Suraloka.

Jaka dan Mayang yang melihat puluhan lelaki 

berpakaian hitam, segera beranjak mendekati Laga 

Lembayung. Tatapan Jaka tajam ke arah lelaki berpa-

kaian hitam yang berjumlah tiga puluh orang lebih.

"Tikus-tikus kurap!" maki Mayang geram.

"Tenang, Mayang. Kita lihat saja, apa yang me-

reka inginkan," ucap Jaka, menenangkan Ma-yang.

Baru saja selesai ucapan Jaka, dari arah yang 

sama melesat tiga sosok lelaki berpakaian merah. Ge-

rakan ketiga lelaki itu begitu ringan. Dan mendarat 

tanpa menimbulkan suara. Jelas mereka memiliki ilmu 

meringankan tubuh tingkat tinggi. Begitu juga ilmu si-

latnya. Tiga lelaki yang berperawakan berbeda itu ber-

diri angkuh di hadapan Jaka, Mayang, dan Laga Lem-

bayung.

Lelaki pertama bertubuh tinggi besar. Badan-

nya tegap dan otot tubuhnya bersembulan keluar dari 

pakaiannya yang cukup ketat. Wajahnya kasar ditum-

buhi kumis tipis. Dialah Sugali. Sedangkan dua lelaki 

lainnya bertubuh pendek. Namun yang satunya memi-

liki perut buncit, hingga tampak lebih mirip gentong 

air daripada manusia. Sedang temannya bertubuh ku-

rus. Mereka bernama Guliwa dan Pardira.

"Ha ha ha.... Kalian harus mampus sekarang!


Tak ada alasan bagi kami untuk membiarkan kalian 

mereguk udara lama-lama!" Ucap lelaki kurus kering 

yang bernama Pardira. "Bukan begitu Adi Guliwa dan 

Adi Sugali?"

"Ha ha ha...!"

Tawa membahana tercipta sebagai jawaban per-

tanyaan Pardira.

"Mereka memang tak pantas hidup!" umpat Gu-

liwa. Telunjuk lelaki bertubuh mirip gentong air itu 

menuding wajah Jaka, Mayang dan Laga Lembayung 

bergantian.

"Ya. Kalau kalian mampu memukul mundur 

Sagana dan anak buahnya, kini ganti kalian yang kami 

hempaskan ke karang kematian," ucap Sugali tak mau 

kalah.

"Maaf Kisanak sekalian. Rasanya di antara kita 

tak ada permusuhan. Mengapa tiba-tiba saja Kisanak 

sekalian memusuhi kami?" tanya Jaka tenang. Sua-

ranya bagai air dingin yang mengalir menembus keger-

sangan.

Tiga lelaki berpakaian merah itu menatap Jaka 

tajam-tajam.

"Apa pedulimu bertanya seperti itu, Kucing Ko-

reng?!" bentak Pardira keras.

Kaki Mayang terangkat satu langkah menden-

gar penghinaan lelaki kurus itu. Begitu juga Laga 

Lembayung. Mereka bermaksud menghajar mulut lan-

cang Pardira. Namun tangan Jaka telah lebih dulu 

menahan langkah Mayang dan Laga Lembayung.

"Sabar. Aku tidak merasa terhina dengan uca-

pan yang tak benar itu," cegah Jaka.

Mayang Sutera dan Laga Lembayung mengu-

rungkan niatnya menghajar lelaki kurus itu.

"Kisanak. Ketahuilah, aku bukan kucing koreng 

seperti yang kau ucapkan itu. Kalau boleh kutebak,


kaukah yang berjuluk Cacing Kurang Makan?" balas 

Jaka tenang. Namun ucapannya berpengaruh dahsyat 

bagi Pardira. 

Wajah Pardira berubah gelap mendengar julu-

kan yang diberikan Jaka. Seketika itu pula tangannya 

terangkat ke atas, memberi perintah pada rekan-

rekannya.

"Seraaang...! Ganyang bocah-bocah ingusan 

itu!" teriak Pardira.

Puluhan lelaki berpakaian hitam, Guliwa serta 

Sugali segera merangsek menyerang Jaka, Mayang, 

dan Laga Lembayung. Teriakan dan pekikan mereka 

hingar-bingar memekakkan telinga.

"Hiaaa...!" 

"Heaaat...!"

***

EMPAT



Sore yang seharusnya indah dengan angin yang 

bertiup semilir tak dapat dirasakan lagi. Puluhan lelaki 

dan seorang dara cantik berpakaian jingga terlihat sal-

ing hantam, saling tusuk dan saling babat. Mereka be-

rusaha menjatuhkan lawan secepatnya.

Suara pekikan marah dan kesakitan serta den-

tang senjata beradu berbaur dengan suara pukulan 

dan sodokan serta berdebuknya tubuh-tubuh yang ke-

na hajar.

Pertarungan yang terpecah menjadi tiga bagian 

berjalan cukup seru. Dara jelita yang berjuluk Dewi 

Payung Emas bergerak manis dan lincah, berkelebat di 

antara serbuan senjata lawan.

Meskipun lawan tidak sedikit, namun perlawa


nan Mayang Sutera belum menggunakan senjata seca-

ra penuh. Senjatanya yang berupa payung logam ma-

sih tertutup, Tetapi serangan balasannya mampu 

mendesak sepuluh lelaki berpakaian hitam dan Sugali.

Mayang Sutera hanya melakukan gerak-gerak 

cepat menghindar. Dan serangan balasannya hanya 

untuk menotok jalan darah lawan. Gerakan Mayang 

Sutera terangkum dalam ilmu 'Menepak Laut Meng-

genggam Air' dan 'Totokan Pembeku Gerak'.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

Tuk! Tuk!

Terdengar dua jeritan yang hampir bersamaan. 

Seiring dengan bergeraknya tangan Mayang yang 

menggenggam payung. Ujung senjata yang terbuat dari 

logam keras berkelebat cepat menotok punggung dua 

lelaki berpakaian hitam yang tengah berada di udara. 

Kedua anak buah Sugali itu langsung terjengkang, dan 

ambruk di tanah tanpa mampu melanjutkan pertarun-

gan.

Para penghuni penginapan yang menyaksikan 

pertarungan dari dalam, sempat terkagum-kagum me-

nyaksikan gadis yang berjuluk Dewi Payung Emas itu.

"Ck ck ck...! Gadis cantik itu hebat betul. Tapi 

apakah mereka bertiga mampu menghadapi lawan 

yang banyak?" ucap seorang lelaki pendek yang men-

gintip dari balik jendela penginapan.

Pada saat itu, Jaka tengah berhadapan dengan 

Pardira. Pertarungan itu berlangsung cukup seru. Le-

laki pendek kurus itu tampak bernafsu sekali menun-

dukkan Jaka. Sayang, lelaki itu tidak tahu dengan sia-

pa dia berhadapan. Seandainya sejak pertama tahu, 

mungkin dia beserta anak buahnya akan mundur tera-

tur. Tetapi itu tidak terjadi. Pardira dengan mata gelap 

terus berkelebat menyerang bagian-bagian peka tubuh


Raja Petir.

Jaka segera mengerahkan jurus ‘Lejitan Lidah 

Petir’. Jurus yang diperuntukkan untuk menghadapi 

keroyokan lawan dengan mengandalkan kecepatan leji-

tan seperti petir menyambar. Beberapa serangan ganas 

lawan kandas dan membentur tempat kosong. Setiap 

kali serangan lawan tiba, yang diserangnya justru le-

nyap meninggalkan tempatnya.

Kenyataan itu membuat Pardira gusar bukan 

main. Mulutnya berteriak-teriak memberi perintah pe-

nyerangnya agar lebih cepat dan terarah. Namun 

sayang lawannya Raja Petir. Maka keinginan Pardira 

hanya tinggal keinginan. Serangan lelaki berpakaian

hitam ini sia-sia saja.

"Hiaaa...!"

"Yeaaat...!"

"Haiiit...!"

Tiga lelaki berpakaian hitam yang merasa pena-

saran, menyerbu Jaka dengan golok-golok berukuran 

besar. Sasarannya leher, perut dan dada pemuda itu. 

Angin berkesiutan mengiringi datangnya serangan 

dahsyat tiga anak buah Pardira.

Tetap seperti kejadian-kejadian awal, ketiga le-

laki itu terpaksa menebaskan senjatanya ke tempat 

kosong. Sebab Jaka sudah tak ada di tempat ketika se-

rangan mereka tiba. Sebaliknya, Jaka menggelar jurus 

'Petir Menyambar Elang' yang dipadu dengan jurus 

'Lejitan Lidah Petir'.

Tubuh Raja Petir yang berada di udara berputar 

balik dan meluruk cepat menyerang ketiga anak buah 

Pardira yang masih tertegun.

"Haaat...!"

Plak! Plak! Plak!

Tamparan tangan yang sedikit dialiri tenaga da-

lam, membuat ketiga lelaki itu tak sempat berkutik.


Mereka langsung ambruk ke tanah. Pingsan.

Sengaja Jaka melakukan hal itu. Karena dia 

merasa tidak mempunyai hak untuk menghilangkan 

nyawa mereka. Apalagi masalahnya belum diketahui 

secara pasti.

Apa yang dilakukan Jaka ternyata tidak diikuti 

Laga Lembayung. Putra Patih Sodrana itu terpaksa 

mengeluarkan tangan besi untuk menghadapi lawan-

lawannya yang sangat menginginkan nyawanya.

"Hiaaa...!"

Sebuah sambaran senjata berkelebat mengarah 

leher Laga Lembayung. "Heaaat...!"

Belum lagi serangan dari depan sampai, lawan 

Laga Lembayung yang lain melejit dari arah belakang 

dengan senjata yang bergerak membacok kepala.

Menghadapi serangan cepat dari dua arah yang 

berlawanan, tanpa pikir panjang Laga Lembayung 

menggelar pukulan jarak jauhnya yang bernama jurus 

‘Melebur Karang’.

"Haaat..!"

Wrrr...!

Serangkum angin keluar dari tangan kanan La-

ga Lembayung yang menghentak. Begitu cepat-nya 

hingga lawan yang berada di depan tak mampu menge-

lak.

Brasss!

"Aaa...!"

Tubuh lelaki itu terhempas dengan bagian dada 

gosong. Nyawanya melayang seketika itu juga.

Laga Lembayung tak peduli melihat kematian 

lawan. Pemuda itu masih harus menghadapi serangan 

bokongan. Maka, setelah selesai menggelar jurus 

'Melebur Karang', tubuhnya berbalik menghadapi se-

rangan lawan. 

Bet!


"Uts!"

Laga Lembayung mencondongkan tubuhnya ke 

belakang ketika serangan lawan datang mencecar da-

da. Seiring dengan gerakannya, diam-diam Laga Lem-

bayung menciptakan 'Ajian Duribang' tingkat pertama.

"Hih!"

Bleps!

"Aaakh...!"

Tubuh orang berpakaian serba hitam itu lang-

sung terjengkang ke belakang terkena pukulan Laga 

Lembayung. Lelaki itu ambruk ke tanah dengan tanda 

merah terlihat pada pergelangan kaki. Sedangkan 

nyawanya melayang, seiring dengan pukulan yang me-

nerpa dada.

"Jangan salahkan aku jika nyawa kalian kuki-

rim ke neraka!" teriak Laga Lembayung keras.

Ucapan putra Patih Sodrana itu ternyata ber-

pengaruh besar pada Guliwa. Lelaki pendek seperti 

gentong air itu tertegun tanpa melanjutkan serangan.

"Suiiiit...!"

Tiba-tiba terdengar siulan yang cukup keras.

Siulan yang dilakukan Pardira dengan menge-

rahkan tenaga dalam.

Pada awalnya, Jaka, Mayang dan Laga Lem-

bayung tertegun mendengar siulan yang melengking 

tinggi itu. Namun mereka tersadar ketika melihat la-

wan-lawannya berkelebat cepat. Mereka membopong 

kawan-kawannya yang tergeletak pingsan. Sedangkan 

yang menjadi mayat tak dipedulikan. Pardira, Sugali, 

dan Guliwa bergerak meninggalkan tempat pertarun-

gan. Diikuti puluhan anak buahnya.

Jaka, Mayang dan Laga Lembayung hanya me-

mandangi kepergian mereka tanpa berusaha mengejar. 

Jaka tak ingin mengejar puluhan lelaki berbaju hitam 

dan tiga lelaki berpakaian merah karena merasa tak


mempunyai urusan dengan mereka. Begitu juga Laga 

Lembayung yang lebih mementingkan segera kembali 

ke Kerajaan Suraloka daripada harus mengejar pulu-

han lelaki yang tidak diketahui keinginannya.

Perkelahian telah usai. Beberapa orang yang 

menonton pertarungan dari dalam penginapan, dan 

seorang lelaki setengah baya pemilik penginapan serta 

beberapa pembantunya berhamburan keluar meng-

hampiri Jaka, Mayang dan Laga Lembayung. Mereka 

berdecak kagum atas kehebatan ketiga anak muda itu.

"Kalian betul-betul hebat," puji lelaki berpa-

kaian coklat yang tak lain pemilik penginapan. "Baru 

kali ini aku menyaksikan mereka tak berkutik."

"Siapa sebenarnya mereka, Ki?" tanya Jaka 

yang merasa tertarik dengan ucapan lelaki setengah 

baya itu.

"Secara jelasnya aku tak tahu siapa mereka, 

Anak Muda. Namun pekerjaan mereka sehari-hari 

memang membegal pendatang-pendatang baru di Desa 

Magetan ini. Mereka menamai dirinya Macan Hutan 

Lindung."

"Apa markas mereka di Hutan Lindung?" tanya 

Mayang polos.

"Bisa jadi, Nisanak," ucap pemilik penginapan.

"Hm...," gumam Jaka.

"Aku bangga gerombolan Macan Hutan Lindung 

berhasil kalian taklukkan. Tapi, aku juga khawatir me-

reka melakukan pembalasan terhadap penginapanku," 

ucap pemilik penginapan dengan raut wajah yang tiba-

tiba berubah pucat.

Ketiga anak muda itu tersentak mendengar 

ucapan pemilik penginapan itu.

"Aku akan menunggu kedatangan mereka un-

tuk membalas dendam di penginapan ini, Kisanak," 

ucap Mayang, mencoba menenangkan kekhawatiran


lelaki setengah baya itu.

Jaka memandang wajah kekasihnya, merasa 

terharu dengan tanggung jawab yang ditunjukkan 

Mayang.

"Betul, Ki. Aku akan tetap di penginapan ini 

sampai mereka datang untuk membalas dendam. Na-

mun aku lebih berharap mereka tidak melakukannya," 

timpal Jaka.

Tatapan pemuda berpakaian kuning keemasan 

itu kemudian beralih pada Laga Lembayung.

"Silakan kau kembali ke Kerajaan Suraloka, La-

ga," ucap Jaka, tanpa bermaksud memerintah.

"Kau benar, Kakang Jaka. Aku memang harus 

segera menemui ayahku. Aku ingin membuktikan ke-

cemasanku," ucap Laga Lembayung, menyetujui usul 

Jaka.

"Kudoakan tak terjadi apa-apa di Kerajaan Su-

raloka, Laga," tukas Jaka seraya memegang bahu Laga 

Lembayung. "Aku akan mengunjungimu setelah per-

soalan di penginapan ini selesai."

"Kalau begitu, aku pergi sekarang. Kutunggu 

kedatangan kalian berdua," ucap Laga Lembayung se-

raya menatap wajah Jaka dan Mayang bergantian. 

"Mari Kakang Jaka, Mayang dan Kisanak semua...."

Tubuh putra Patih Sodrana itu segera berbalik. 

Dan melangkah cepat-cepat. Mayang, Jaka dan bebe-

rapa penghuni penginapan menatap tubuh Laga Lem-

bayung dari kejauhan. Sampai tubuh yang terbalut 

pakaian kelabu itu lenyap.

Jaka segera memandang wajah pemilik pengi-

napan.

''Maaf, Ki. Bisakah kau menolongku mengurus 

mayat-mayat itu?" pinta Jaka sopan.

Pemilik penginapan menganggukkan kepala. 

Dengan gerakan tangannya, lelaki setengah baya itu


memerintah pembantu-pembantunya untuk mengurus 

mayat anggota Macan Hutan Lindung. Sedangkan Jaka 

kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Diikuti 

Mayang yang kamarnya bersebelahan dengannya.

***

LIMA



Udara pagi sangat jernih ketika Laga Lem-

bayung tiba di muka gapura kehormatan Istana Sura-

loka. Dari situ, kira-kira seperempat pal jauhnya, ter-

dapat pagar pembatas dari beton dengan pintu berlapis 

baja. Kelihatan sangat tegar dan kuat.

Agak menjorok ke dalam tampak bangunan 

yang lebih tinggi dari pagar pembatas. Bangunan tinggi 

memanjang searah dengan pagar batas itu ruang pen-

gintaian yang dihuni pasukan panah. Penghuni ban-

gunan pengintai tak kurang lima ratus ahli panah.

Laga Lembayung bersikap tenang, karena tidak 

dilihatnya ada hal-hal yang dikhawatirkan, melan-

jutkan langkahnya setelah sesaat tadi memandangi 

muka Istana Suraloka yang masih penuh kesan wiba-

wa. Bangunannya nampak terawat rapi. Dan para pen-

jaganya patuh dan sigap.

"Berhenti!"

Sebuah bentakan yang cukup kuat membuat 

Laga Lembayung mengurungkan langkahnya yang 

tinggal selangkah lagi melewati gapura kehormatan.

Dua penjaga gapura yang bertubuh tinggi kekar 

menghadang Laga Lembayung dengan tombak.

"Gerak-gerikmu semenjak tadi kuperhatikan 

sangat mencurigakan. Siapa kau? Ada keperluan apa 

melintasi gapura kehormatan?" tanya lelaki tinggi ke


kar dengan kumis kasar melintang.

Laga Lembayung tersenyum mendengar perta-

nyaan penjaga itu. Dia maklum dengan perbuatan-nya 

yang mungkin menjadi prajurit jaga setelah Laga Lem-

bayung tak lagi tinggal di lingkungan kerajaan. Itu se-

babnya Laga Lembayung tidak marah. Malah dikagu-

minya kewaspadaan prajurit jaga itu. Kewaspadaan 

seperti itulah yang dibutuhkan untuk keamanan suatu 

kerajaan.

"Namaku Laga Lembayung," ucapnya memper-

kenalkan diri.

Laga Lembayung baru hendak meneruskan 

ucapannya ketika dilihatnya dari arah belakang penja-

ga nampak seorang berlari-lari kecil ke arahnya. Laga 

Lembayung tak meneruskan niatnya.

"Tuan muda!"

Panggilan lelaki setengah baya yang tengah ber-

lari itu membuat dua penjaga yang menghadang Laga 

Lembayung dengan tombak cepat menarik senjatanya 

masing-masing. Kemudian bergerak cepat mundur sa-

tu langkah dengan sikap tegap, dengan tombak dipe-

gang di samping pinggang.

"Tuan muda, mana prajurit-prajurit yang ditu-

gas menjemputmu?" tanya lelaki setengah baya setelah 

lebih dulu merundukkan kepala.

"Ah, Paman Wibi. Kau sehat-sehat saja?" balik 

Laga Lembayung mengalihkan percakapan. Sungguh 

tak enak kalau menceritakan kematian delapan praju-

rit kerajaan yang ditemukannya di mulut Desa Mage-

tan.

Lelaki setengah baya yang dipanggil Paman Wi-

bi itu menganggukkan kepala.

"Ah! Syukurlah jika begitu," ucap Laga Lem-

bayung. "Bagaimana dengan ayahku, Paman?"

"Beliau sehat. Tak kurang suatu apa," ujar Pa


man Wibi.

Dua prajurit jaga yang mendengar percakapan 

Laga Lembayung dengan orang kepercayaan Patih So-

drana menjadi semakin tak enak hati. Jantung kedua 

lelaki itu berdebar keras. Sementara paras mereka ber-

semu merah. Mereka khawatir kedudukannya akan le-

pas mengingat sikapnya yang kasar pada lelaki yang 

begitu dihormati Paman Wibi.

Setelah mendengar kabar baik tentang ayah-

nya, Laga Lembayung segera melangkah menghampiri 

dua penjaga yang tadi menghadang perjalanannya. 

Jantung dua penjaga itu semakin berdegup kencang 

melihat langkah kaki Laga Lembayung yang meng-

hampiri. Berdirinya pun tampak bergetar.

"Namamu siapa, Kisanak?" tanya Laga Lem-

bayung pada lelaki bertubuh kekar yang berkumis ka-

sar melintang.

"Hamba... ham...."

Laga Lembayung tersenyum melihat kegugupan 

lelaki berwajah kasar di hadapannya.

"Kenapa menjadi gugup seperti itu? Sebagai 

seorang prajurit jaga seharusnya bersikap tegas dan 

tegap. Seperti yang kau perlihatkan barusan padaku. 

Aku suka sikapmu yang pertama itu. Tegas," ujar Laga 

Lembayung.

Seperti ada air sejuk menyirami hati lelaki ber-

kumis kasar melintang. Hatinya tiba-tiba menjadi te-

nang. Dan jantungnya berdetak teratur. Semua itu 

berkat ucapan Laga Lembayung yang begitu penuh wi-

bawa.

"Nama hamba Jonawa, Tuan Muda," ucap lelaki 

berkumis kasar melintang tegas.

"Nah, begitu! Dan kau?" tanya Laga Lembayung 

pada lelaki bertubuh tegap tanpa kumis. Rambutnya 

ikal berwarna hitam legam.


"Hamba Lapak, Tuan Muda," jawab lelaki yang 

berdiri di sebelah kanan Jonawa.

"Bagus! Aku senang dengan sikap yang kalian 

tunjukkan. Sebagai prajurit jaga, modal kalian adalah 

kewaspadaan penuh pada setiap keadaan. Jangan se-

kali-kali lengah. Karena kelengahan kalian berakibat 

kekacauan bagi kerajaan ini," tukas Laga Lembayung 

menasihati. "Namun, hiasilah kewibawaan kerajaan ini 

dengan budi yang luhur serta sopan-santun kalian."

Dua prajurit jaga itu hanya menundukkan ke-

pala mendengar ucapan Laga Lembayung yang dirasa-

kan sangat benar dan patut dijunjung tinggi.

"Aku maklum kalau kalian tak mengenalku. 

Sudah tujuh tahun lebih aku meninggalkan Kerajaan 

Suraloka. Mungkin kau bertugas di kerajaan ini sete-

lah aku tidak di sini. Prajurit! Angkat kepala kalian. 

Dan tatap wajahku," pinta Laga Lembayung

Prajurit jaga yang bernama Jonawa dan Lapak 

serta-merta mengangkat wajah. Mata mereka nampak 

takut-takut menatap wajah putera Patih Sodrana.

"Kalian ingat baik-baik. Namaku Laga Lem-

bayung, putra Patih Sodrana," ujar Laga Lembayung.

"Ohhh...."

Ada nada keterkejutan yang terlontar begitu sa-

ja dari mulut prajurit jaga itu.

"Di antara kita tak ada perbedaan, Paman Jo-

nawa dan Paman Lapak," kilah Laga Lembayung. 

"Asalkan kita dapat saling menghormati kepentingan 

masing-masing. "

Dua prajurit jaga itu menundukkan kepala 

mendengar ucapan luhur putra Patih Sodrana. Sung-

guh keduanya mengagumi sikap dan budi pekerti lela-

ki muda yang berdiri di hadapannya. Yang menurut 

mereka begitu luhur.

"Kembalilah pada tugas masing-masing," perin


tah Laga Lembayung seraya memegang pundak salah 

seorang prajurit jaga.

Dua prajurit jaga itu segera mematuhi perintah

Laga Lembayung setelah lebih dulu menjura hormat

"Sebaiknya lekas kita temui ayah. Paman," ajak 

Laga Lembayung pada Paman Wibi.

"Ayo, Tuan Muda," timpal Paman Wibi. Lalu 

melangkah lebih dahulu. Diikuti Laga Lembayung den-

gan langkah panjangnya, hingga keduanya melangkah 

sejajar.

***

Suasana di kepatihan sunyi dan lengang. Angin 

berhembus semilir menggoyangkan pucuk-pucuk ce-

mara yang tumbuh berjajar rapi. Sejauh mata meman-

dang, yang terlihat hanya taman-taman indah di su-

dut-sudut lingkup kepatihan.

Burung-burung kecil bersenandung sambil ber-

lompatan dari ranting ke ranting, menambah keinda-

han suasana kepatihan. Sementara di tempat-tempat 

tertentu tampak beberapa prajurit jaga menunaikan 

tugasnya. Mereka menjura ketika melihat kedatangan 

Paman Wibi dan Laga Lembayung.

Memasuki halaman rumah Patih Sodrana, Laga 

Lembayung dan Paman Wibi disambut dengan tundu-

kan kepala empat prajurit jaga. Laga Lembayung 

membalas penghormatan mereka.

"Anakku...!" sambut seorang lelaki tua berpa-

kaian putih bergaris renda keemasan, Lelaki berusia 

lima puluh dua tahun itu menghambur menyongsong 

Laga Lembayung yang berdiri tegak di ruang utama 

kepatihan.

"Ayah...!"

Laga Lembayung pun melakukan hal yang sa


ma. Mereka berangkulan melepaskan kerinduan yang 

bertahun-tahun terpendam di dasar hati. Suasana ha-

ru meliputi ruang utama kepatihan itu.

"Kau bertambah tampan dan gagah, Anakku," 

ujar lelaki berambut panjang yang digelung ke atas.

Dialah Patih Sodrana, ayah kandung Laga 

Lembayung.

"Ah, Ayah. Kau pun begitu. Meski usiamu ber-

tambah, namun wibawa Ayah tak kalah bertambah-

nya," timpal Laga Lembayung.

Patih Sodrana tersenyum mendengar ucapan 

anaknya. Kemudian tangannya kembali terulur me-

rangkul tubuh Laga Lembayung. Saat itu ingatan Patih 

Sodrana kembali pada masa ketika ibu Laga Lem-

bayung masih hidup. Istrinya, Saraswati, amat me-

nyayangi Laga Lembayung. Namun sayang dia harus 

menghadap Sang Pencipta untuk selamanya di saat 

putra satu-satunya berusia sebelas tahun.

"Kau bertemu di mana dengan delapan prajurit 

yang kuutus?" tanya Patih Sodrana sambil mengajak 

putranya duduk.

Laga Lembayung tidak segera menjawab perta-

nyaan ayahnya. Tatapannya beralih ke wajah Paman 

Wibi.

"Terima kasih atas kesediaanmu mengantarku, 

Paman," ucap Laga Lembayung dengan harapan Pa-

man Wibi mengerti kalau dirinya hanya ingin berdua 

saja dengan ayahnya.

Paman Wibi memang orang yang cerdik dan 

berwawasan luas. Dia mengerti maksud ucapan Laga 

Lembayung. Maka, lelaki itu segera menundukkan ke-

pala dan memohon diri.

***


"Ahhh...!"

Patih Sodrana terkejut mendengar cerita Laga 

Lembayung akan kematian delapan prajurit kerajaan 

yang ternyata diutus ayahnya untuk menjemputnya.

"Apakah kematian mereka perlu kita laporkan 

ke hadapan Prabu Lokawisesa?" tanya Laga Lem-

bayung hati-hati.

"Melaporkan kematian mereka memang harus, 

Laga." jawab Patih Sodrana seraya memandang barisan 

pohon cemara yang kelihatan melalui jendela. "Namun 

kita harus memberikan alasan yang tepat agar Prabu 

Lokawisesa tidak menjadi resah atas kabar buruk ini."

"Kurasa kematian mereka karena hal yang bi-

asa Ayah. Tidak ada sangkut-pautnya dengan wibawa 

kerajaan. Barangkali saja dalam perjalanan mereka 

bertemu sekawanan pembegal yang menginginkan har-

ta-harta mereka," ucap Laga Lembayung mencoba 

mencarikan jalan keluar.

Patih Sodrana mengangguk-angguk mendengar 

kemungkinan yang dipaparkan putranya.

"Kemungkinan itu mungkin benar, Laga. Tapi 

yang jelas keamanan di sekitar kerajaan perlu dilipat-

gandakan. Dan kewaspadaan harus ditingkatkan. 

Khususnya bagi diri kita," timpal Patih Sodrana.

Kini Laga Lembayung yang mengangguk mem-

benarkan ucapan ayahnya.

"Ah. Kau kelihatan lelah sekali, Laga. Sebaiknya 

beristirahatlah dulu. Ceritanya bisa kita lanjutkan 

nanti," putus Patih Sodrana seraya memegang bahu 

putranya.

Laga Lembayung tak membantah ucapan ayah-

nya. Dia memang sangat lelah dan perlu istirahat un-

tuk mengembalikan tenaganya seperti semula.

"Besok pagi kita menghadap Maha Pati Gempita 

dan Prabu Lokawisesa," ucap Patih Sodrana.


Laga Lembayung mengangguk. Kemudian berla-

lu meninggalkan ayahnya menuju kamar.

***

ENAM



Di ruangan Prabu Lokawisesa kegembiraan se-

dang melanda. Prabu Lokawisesa menampakkan air 

muka cerah. Berkali-kali senyumnya tercipta, yang ter-

tuju pada Laga Lembayung. Lelaki bertubuh tegap dan 

tampan.

Di sebelah kanan Laga Lembayung duduk den-

gan khidmat Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita. 

Beliau adalah saudara lain ibu dengan Prabu Lokawi-

sesa. Maha Patih Gempita putra seorang selir men-

diang ayah Prabu Lokawisesa. Namun selama belasan 

tahun dia tidak menetap di Istana Suraloka. Maha Pa-

tih Gempita tinggal di sebuah padepokan yang berada 

di luar kerajaan. Ketika dia berkeputusan menetap di 

istana, Prabu Lokawisesa memberinya jabatan sebagai 

maha patih. Meskipun di Kerajaan Suraloka sudah ada 

seorang patih, yakni Patih Sodrana. Pemberian jabatan 

itu dilakukan sang Prabu karena rasa persaudaraan 

yang tinggi pada Maha Patih Gempita. Walaupun dia 

anak seorang selir. Di Kerajaan Suraloka kini ada seo-

rang patih dan maha patih.

"Aku senang melihatmu kembali, Laga," ucap 

Prabu Lokawisesa dengan senyum terkembang. "Menu-

rutku, sekarang kau bukan Laga Lembayung yang du-

lu. Tubuhmu nampak kekar dengan otot-otot bersem-

bulan keluar sebagai simbol kegagahan," puji Prabu 

Lokawisesa gembira.

Laga Lembayung merasa risih mendapat pujian


demikian dari orang yang sangat dihormatinya. Maka 

sebisanya putra Patih Sodrana itu menyembunyikan 

kerisihannya dengan menundukkan kepala dalam-

dalam.

"Laga. Kehadiranmu di tengah-tengah kami kini 

adalah sebagai Laga Lembayung yang telah memiliki 

kemampuan ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh. 

Kuduga kemampuanmu lebih tinggi dari punggawa-

punggawa di kerajaan ini. Atau bahkan mampu mele-

bihi kepandaian ayahmu, dan Maha Patih Gempita. 

Aku bangga jika hal itu benar nyata. Aku akan mem-

berikan kedudukan yang tinggi padamu, sebagai pe-

mimpin punggawa-punggawa inti," lanjut Prabu Loka-

wisesa.

Laga Lembayung memberanikan diri mengang-

kat sedikit kepalanya. Kemudian berkata dengan so-

pan-santun yang tinggi.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Rasanya hamba 

tak pantas menerima pujian. Apalagi jabatan yang se-

perti Paduka janjikan," ucap Laga Lembayung hati-

hati. "Hamba rasa, hamba tak patut disejajarkan den-

gan punggawa-punggawa yang telah puluhan tahun 

berbakti di Suraloka ini. Terlebih untuk berdiri sama 

tinggi dengan ayah hamba, dan Maha Patih Gempita. 

Hamba merasa malu sekali, Yang Mulia."

Prabu Lokawisesa tersenyum mendengar uca-

pan Laga Lembayung. Begitu juga Patih Sodrana. Di-

rinya begitu bangga melihat anaknya bersikap rendah 

hati di hadapan Prabu Lokawisesa.

Ternyata begitu juga sikap Maha Patih Gempita 

atas ucapan Laga Lembayung. Maha Patih Kerajaan 

Suraloka itu tampak tersenyum. Tapi senyumnya 

terkesan dibuat-buat. Seperti tak senang dengan pu-

jian Prabu Lokawisesa dan jawaban Laga Lembayung. 

Terlebih dengan keinginan Prabu Lokawisesa yang


bermaksud memberi kedudukan pada putra Patih So-

drana sebagai pimpinan punggawa-punggawa inti. 

Mungkin sikap Maha Patih Gempita yang seperti itu 

karena dirinya sampai saat ini belum dikarunia seo-

rang anak pun.

"Aku tambah bangga dengan sikapmu yang 

rendah hati, Laga. Namun kuharap kau tidak berkebe-

ratan jika aku ingin menyaksikan kepandaian yang 

kau miliki," ucap Prabu Lokawisesa sesaat setelah 

memandangi wajah tampan Laga Lembayung.

"Kalau Yang Mulia menginginkan hal itu, ham-

ba dengan senang hati akan mematuhinya," jawab La-

ga Lembayung tegas. "Tapi sebelumnya hamba meng-

haturkan sembah maaf seandainya Yang Mulia tidak 

berkenan dengan apa yang hamba perlihatkan. "

Kembali Prabu Lokawisesa tersenyum menden-

gar ucapan putra Patih Sodrana itu. Langkah kakinya 

pun tercipta mendekati Laga Lembayung.

"Mari kita ke taman belakang istana. Tak sabar 

rasanya hati ini ingin menyaksikan kebolehanmu, La-

ga," ucap Prabu Lokawisesa seraya menyentuh bahu 

Laga Lembayung. Lalu mengajaknya berjalan beririn-

gan.

Dengan langkah takut-takut, Laga Lembayung 

mengikuti langkah kaki Prabu Lokawisesa. Sementara 

Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita bergegas men-

gikuti langkah Prabu Lokawisesa dan Laga Lembayung 

yang berjalan menuju taman belakang istana. Sebuah 

taman yang cukup luas.

"Ayo mulailah, Laga," perintah Prabu Lokawise-

sa setelah sesaat menempati kursinya.

Laga Lembayung melangkah lebih ke tengah. 

Pemuda itu berdiri tegak lalu memberi hormat. Sebe-

lum memperlihatkan kepandaian yang diperoleh sela-

ma tujuh tahun perantauannya.


Sebuah kuda-kuda kokoh diciptakan Laga 

Lembayung dengan sempurna. Sementara tangannya 

bergerak melipat-lipat, kaku, namun terlihat begitu 

lincah. Kadang melipat, di lain waktu menohok, me-

nangkis dan menebas dengan telapak tangan kanan 

bergantian dengan tangan kiri. Semua gerakan itu di-

lakukan dengan cepat. Tapi tidak terdengar bunyi yang 

mengiringi gerakan Laga Lembayung. Itulah jurus tan-

gan kosong 'Menentang Ombak Meredam Debur'.

Prabu Lokawisesa tersenyum bangga menyak-

sikan gerakan-gerakan cepat yang disuguhkan Laga 

Lembayung, Seperti gerakan seorang penari. Puji Pra-

bu Lokawisesa dalam hati.

Lelaki berusia lima puluh lima tahun yang 

menduduki singgasana tertinggi di Kerajaan Suraloka 

itu terns memperhatikan dengan seksama setiap gera-

kan yang dilakukan putra tunggal Patih Sodrana itu. 

Mata Prabu Lokawisesa seolah tak berkedip. Sementa-

ra lidahnya berdecak-decak penuh kekaguman. 

Seperti halnya Prabu Lokawisesa, Patih Sodra-

na pun memendam perasaan yang sama. Tapi pera-

saan itu tidak ditunjukkan ketika dilihatnya Maha Pa-

tih Gempita menunjukkan sikap kurang senang den-

gan apa yang dilakukan putranya.

"Hei?!"

Tiba-tiba Prabu Lokawisesa terpekik melihat 

kehebatan yang dipertontonkan Laga Lembayung, yang 

memainkan ilmu 'Kijang Emas'.

Tubuh putra Patih Sodrana itu melejit bagaikan 

terbang. Gerakannya begitu cepat, melesat dari pohon 

ke pohon. Sebuah penguasaan ilmu lari cepat dan ilmu 

meringankan tubuh tingkat sempurna. Apalagi ketika 

tubuh Laga Lembayung dengan ringan mendarat pada 

sebuah ranting pohon yang hanya pantas dihinggapi 

seeker burung merpati. Ranting pohon itu hanya me


lengkung sedikit dari kedudukannya, yang bergerak-

gerak seperti tergesek hembusan angin. Kemudian dari 

tempat bertenggernya, Laga Lembayung kembali me-

layang seraya berputar dua kali. Dan mendarat tanpa 

menimbulkan suara di tempat semula dia berdiri.

"Hebat!" puji Prabu Lokawisesa. Mendadak Pra-

bu Lokawisesa bangkit dari duduknya. Dan berjalan 

cepat ke arah Laga Lembayung. Patih Sodrana dan 

Maha Patih Gempita yang menyaksikan perbuatan jun-

jungannya, bergegas bangkit dan berjalan ke arah Laga 

Lembayung.

"Tidak percuma kau mengembara selama tujuh 

tahun lebih, Laga. Ilmu yang kau miliki begitu hebat," 

puji Prabu Lokawisesa.

Laga Lembayung tertunduk.

"Kurasa masih ada kepandaian lain yang kau 

miliki," duga Prabu Lokawisesa seraya memegang bahu 

Laga Lembayung.

Laga Lembayung mengangkat kepalanya sedi-

kit, lalu mengangguk.

"Ada, Yang Mulia," ucap Laga Lembayung per-

lahan.

"Apa nama ilmu itu?" tanya Prabu Lokawisesa.

"Sebuah ajian, Yang mulia," jawab Laga Lem-

bayung polos. Sebenarnya pemuda itu tak ingin mem-

beritahukan ilmu andalannya. Tapi karena Prabu Lo-

kawisesa yang meminta, Laga Lembayung tak kuasa 

menolaknya.

"Sebuah ajian?" ulang Prabu Lokawisesa. "Apa 

namanya?"

'"Ajian Duribang'."

'"Ajian Duribang'," ulang Prabu Lokawisesa te-

gas.

Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita pun 

menyebutkan nama itu. Namun ucapan mereka hanya


tercetus dalam hati.

"Kau bersedia memperlihatkannya padaku, La-

ga?" pinta Prabu Lokawisesa.

"Untuk Yang Mulia, apa pun akan hamba laku-

kan," jawab Laga Lembayung mantap.

"Lakukanlah," putus Prabu Lokawisesa.

Laga Lembayung menjauh dua langkah dari 

sang Prabu. Demikian pula Prabu Lokawisesa, untuk

memberi tempat pada Laga Lembayung memperli-

hatkan kemampuannya. Laga Lembayung tak ingin 

mengecewakan lelaki yang begitu dihormatinya. Sete-

lah dilihatnya sang Prabu duduk di tempatnya semula, 

ajiannya segera disiapkan.

Pemuda itu membentuk kuda-kuda rendah 

yang kokoh. Kedua tangannya terlipat di depan dada. 

Seiring dengan matanya yang terpejam, mulut Laga 

Lembayung bergerak-gerak seperti tengah berdoa. Na-

mun sesaat itu tangan kirinya bergerak melakukan 

pukulan dengan telapak tangan terbuka.

"Hiaaa...!"

Bresssh...!

Sebuah sinar kemerahan melesat dari telapak 

tangan Laga Lembayung. Begitu cepat menghantam 

sebatang pohon sebesar dua kali pelukan orang dewa-

sa. Bunyi seperti bara tercelup air terdengar jelas. Po-

hon yang terhantam ‘Ajian Duribang’ tingkat pertama

itu masih tetap berdiri tegak. Tapi pada bagian batang 

pohon itu tampak bercak-bercak kemerahan pada se-

tiap satu jengkal tangan lelaki dewasa.

Prabu Lokawisesa kelihatan tidak tertarik den-

gan pukulan yang terangkum dalam ‘Ajian Duribang’. 

Pukulan tangan kiri Laga Lembayung itu dilihatnya ti-

dak bisa menumbangkan pohon besar itu. Laga Lem-

bayung maklum dengan sikap Prabu Lokawisesa. Den-

gan tenang, dihampirinya sang Prabu.


"Ampun, Yang Mulia. Kalau Yang Mulia berke-

nan, hamba ingin Yang Mulia menyaksikan keadaan 

pohon yang terkena pukulan hamba dari dekat," ucap 

Laga Lembayung hati-hati.

Prabu Lokawisesa tanpa diminta dua kali sege-

ra bangkit dan beranjak lebih dahulu menuju pohon 

yang terkena pukulan Laga Lembayung. Sedangkan 

Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita tergopoh-

gopoh mengikuti dari belakang.

"Setiap jengkal batang pohon ini berwarna me-

rah, Yang Mulia. Artinya, jika ada angin yang bertiup 

maka pohon besar ini akan tumbang," jelas Laga Lem-

bayung.

Prabu Lokawisesa tertegun mendengar penjela-

san Laga Lembayung.

"Mari kita saksikan dari kejauhan saja, Yang 

Mulia," ajak Laga Lembayung seraya mempersilakan 

Prabu Lokawisesa.

Diikuti Patih Sodrana dan Maha Patih Gempita, 

Prabu Lokawisesa meninggalkan pohon itu. Dan kem-

bali ke tempat duduknya. Tetapi baru saja Prabu Lo-

kawisesa duduk, pohon sebesar dua pelukan tangan 

lelaki dewasa itu runtuh menjadi beberapa bagian.

Bruk! Bruk...!

Bunyi berisik akibat runtuhnya pohon itu 

membuat hati Prabu Lokawisesa senang. Ucapan Laga 

Lembayung benar adanya. Sang Prabu gembira melihat 

kedahsyatan ilmu putra Patih Sodrana itu.

Sementara Laga Lembayung sudah bersiap 

memamerkan 'Ajian Duribang' tingkat terakhir. Sasa-

rannya kali ini sebongkah batu besar yang berada di 

bawah pohon beringin.

Gerakan dasar seperti pada 'Ajian Duribang' 

tingkat pertama dilakukan Laga Lembayung. Setelah 

memantapkan pemusatan pikiran, Laga Lembayung


menarik napas dalam-dalam. Kemudian....

"Hiaaa...!"

Glarrr...!

Batu besar itu hancur berkeping-keping ketika 

dua telapak tangan Laga Lembayung menghentak den-

gan kuat, dan selarik sinar merah melesat cepat 

menghantam batu besar itu.

Prabu Lokawisesa, Patih Sodrana dan Maha Pa-

tih Gempita tampak kagum dengan kedahsyatan ilmu 

yang dikerahkan Laga Lembayung. Kekaguman sang 

Prabu bertambah ketika menyaksikan kepingan batu

itu menjadi merah seperti bara dan mengepulkan asap 

tipis.

"Hamba kira hanya itu yang hamba dapat se-

lama tujuh tahun dalam pengembaraan, Yang Mulia. 

Hamba harap Yang Mulia tidak kecewa dengan apa 

yang hamba tunjukkan tadi," ucap Laga Lembayung 

seraya bersimpuh di hadapan sang Prabu.

Prabu Lokawisesa tersenyum melihat kerenda-

han hati pemuda itu.

"Aku mengagumi kepandaianmu, Laga. Se-

moga ilmu itu dapat kau tempatkan pada tempat yang 

benar. Dan kau persembahkan untuk kewibawaan Ke-

rajaan Suraloka," ujar Prabu Lokawisesa.

Laga Lembayung menganggukkan kepala men-

dengar petuah Prabu Lokawisesa.

"Akan hamba junjung tinggi apa yang menjadi 

harapan Yang Mulia," ucap Laga Lembayung. Kemu-

dian beringsut mendekati Patih Sodrana.

Suasana hening sesaat. Pada saat berikutnya, 

Patih Sodrana membungkukkan tubuh sebagai tanda 

hormat yang dalam.

"Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap Patih So-

drana sopan.

Prabu Lokawisesa menatap wajah Patih Sodra


na.

"Ada apa, Paman Patih? Sepertinya ada sesuatu 

yang hendak kau bicarakan padaku?" tanya sang Pra-

bu, seolah mengetahui isi hati Patih Sodrana.

"Betul, Yang Mulia. Menurut putra hamba, se-

pulangnya menuntut ilmu, dalam perjalanan dia me-

nemukan delapan lelaki berpakaian prajurit Kerajaan 

Suraloka. Kedelapan lelaki itu ditemukan sudah men-

jadi mayat. Dugaan hamba mereka adalah prajurit-

prajurit kerajaan yang hamba utus untuk menjemput 

kedatangan Laga Lembayung."

Terhenyak hati Prabu Lokawisesa mendengar 

penuturan Patih Sodrana. Tatapan matanya tertuju ta-

jam ke wajah patih kepercayaannya itu.

"Namun menurut perkiraan hamba, kematian 

mereka disebabkan oleh sekelompok pembegal yang 

selalu memburu harta kekayaan. Bukan karena hal-

hal yang bermaksud merongrong ketenteraman Kera-

jaan Suraloka," lanjut Patih Sodrana. "Laporan hamba 

ini semata demi pertimbangan kita agar tidak lengah 

dengan keadaan di sekeliling wilayah kerajaan."

"Ada betulnya perkiraan Patih Sodrana, Yang 

Mulia," timbal Maha Patih Gempita untuk menutupi 

keterkejutannya dengan berita yang dibawa Patih So-

drana. "Kematian delapan prajurit kerajaan itu bisa ja-

di karena perbuatan pembegal-pembegal yang gila har-

ta. Namun begitu, kita harus tetap waspada. Kalau 

perlu kita usut kediaman pembegal-pembegal itu. Dan 

kita musnahkan mereka."

"Baiklah. Kita pikirkan masalah itu nanti. Patih 

Sodrana dan Laga Lembayung, kembalilah ke kepati-

han. Begitu juga denganmu, Paman Maha Patih Gem-

pita. Aku akan kembali ke tempatku," perintah Prabu 

Lokawisesa.

Patih Sodrana, Laga Lembayung, dan Maha Pa


tih Gempita tidak membantah. Setelah memberi hor-

mat, mereka berlalu dari tempat itu.

***

TUJUH



Hari-hari berlalu dengan tenang di lingkungan

Kerajaan Suraloka. Prabu Lokawisesa telah mengang-

gap kematian delapan prajurit utusan Patih Sodrana 

karena perbuatan orang-orang yang hanya senang 

memburu harta atau segala bentuk kekerasan. Kema-

tian delapan prajurit kerajaan itu tidak ada sangkut 

pautnya dengan rencana untuk merongrong kewiba-

waan kerajaan, kewibawaan Prabu Lokawisesa.

Tak terasa lima belas hari sudah Laga Lem-

bayung tinggal di kepatihan. Hatinya senang karena 

seluruh penghuni kerajaan, terlebih Prabu Lokawisesa, 

begitu menaruh hormat dan perhatian padanya. Se-

mua itu disebabkan sikap Laga Lembayung, yang pan-

dai menempatkan diri pada setiap tingkatan manusia 

yang berada di lingkungan Kerajaan Suraloka.

Selama lima belas hari keberadaannya di kepa-

tihan, banyak sudah cerita pengalaman yang dipapar-

kan Laga Lembayung kepada ayahnya. Termasuk per-

temuannya dengan seorang tokoh muda digdaya. Siapa 

lagi kalau bukan Jaka Sembada yang bergelar Raja Pe-

tir. Dan kekasihnya yang bernama Mayang Sutera alias 

Dewi Payung Emas.

Patih Sodrana menaruh simpati atas cerita La-

ga Lembayung mengenai Raja Petir. Dan mengakui ka-

lau dia pernah mendengar kabar tentang sepak terjang 

tokoh muda itu, yang selalu berpihak di jalan kebena-

ran. Kabar itu didengar Patih Sodrana ketika dia me


lintasi Desa Blambangan yang masih termasuk wilayah 

kekuasaan Kerajaan Suraloka. Patih Sodrana mengin-

ginkan anaknya meniru jejak Raja Petir. Hadir di ten-

gah manusia sebagai sosok yang selalu menjunjung 

tinggi kebenaran dan menyingkirkan kelaliman.

Tetapi ketenangan hati Laga Lembayung dan 

Patih Sodrana tiba-tiba saja terusik. Itu terjadi pada 

hati ketujuh belas Laga Lembayung tinggal di kepati-

han. Kabar tentang kematian Punggawa Adikara 

menggema ke seluruh pelosok istana dan kepatihan, 

serta rumah-rumah prajurit Kerajaan Suraloka.

Kematian Punggawa Adikara yang memimpin 

pemanah kerajaan, membuat Prabu Lokawisesa seperti 

disengat binatang berbisa. Beliau menyempatkan diri 

melihat langsung mayat Punggawa Adikara. Ditemani 

pengawal-pengawal setianya Prabu Lokawisesa men-

gunjungi rumah duka keluarga Punggawa Adikara. 

Demikian pula Patih Sodrana dan Maha Patih Gempi-

ta.

Mayat Punggawa Adikara terbujur kaku. Pada 

persendian tubuh lelaki yang sudah mengabdi selama 

puluhan tahun itu tampak tanda kemerahan yang be-

gitu jelas. Pikiran Prabu Lokawisesa langsung menera-

wang pada kedahsyatan ilmu yang pernah dipamerkan 

Laga Lembayung tujuh belas hari yang lalu. Tanda 

kemerahan pernah dilihatnya pada sebatang pohon 

yang terkena pukulan 'Ajian Duribang'.

"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Paman Patih?" 

tanya Prabu Lokawisesa pada Maha Patih Gempita.

Wajah Maha Patih Gempita tampak sedikit gu-

gup ketika sekonyong-konyong pertanyaan itu terlon-

tar untuknya.

"Hamba tak tahu pasti kejadiannya, Yang Mu-

lia. Hamba baru tahu setelah wakil Punggawa Adikara 

datang ke kediaman hamba, dan mengabarkan kema


tian Punggawa Adikara," jawab Maha Patih Gempita 

setelah berhasil menenangkan kegugupannya.

"Dan kau, Patih Sodrana?"

Tatapan mata Prabu Lokawisesa langsung me-

mandang lurus wajah Patih Sodrana.

"Seperti Maha Patih Gempita, hamba pun tak 

tahu persis kejadian yang dialami Punggawa Adikara," 

jawab Patih Sodrana sopan.

Prabu Lokawisesa mengangguk. Kemudian ta-

tapannya beralih pada mayat Punggawa Adikara yang 

terbujur kaku. Tatapan matanya tak lepas memandang 

tanda merah yang terdapat pada persendian tubuh 

Punggawa Adikara.

"Paman patih, apakah kalian tahu arti tanda 

merah di persendian tubuh Adikara?" tanya Prabu Lo-

kawisesa pada Maha Patih Gempita dan Patih Sodrana.

Sesaat Maha Patih Gempita dan Patih Sodrana 

membiarkan pertanyaan sang Prabu. Suasana sejenak 

menjadi hening.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Juga kau, Patih 

Sodrana," ucap Maha Patih Gempita memecah kehe-

ningan. "Menurut hemat hamba, kematian Punggawa 

Adikara disebabkan oleh pukulan maut yang disertai 

pengerahan 'Ajian Duribang'."

Ucapan Maha Patih Gempita membuat hati Pa-

tih Sodrana terkejut bukan main. Namun, lelaki itu be-

rusaha menenangkan hatinya. Patih Sodrana tidak 

menyalahkan ucapan Maha Patih Gempita. Tanda-

tanda kematian yang ada pada tubuh Punggawa Adi-

kara telah menunjukkan kebenarannya.

Kematian punggawa Kerajaan Suraloka itu dis-

ebabkan oleh pukulan maut yang disertai pengerahan 

'Ajian Duribang'.

Sementara keluarga almarhum Punggawa Adi-

kara diam saja mendengar ucapan Maha Patih Gempi

ta. Mereka telah menyerahkan persoalan ini pada 

pembesar-pembesar kerajaan itu.

"Menurutmu bagaimana, Paman Patih Sodra-

na?" tanya Prabu Lokawisesa kemudian.

"Hamba sependapat dengan Maha Patih Gempi-

ta," jawab Patih Sodrana dengan berat hati.

"Hm...," gumam Prabu Lokawisesa perlahan. 

"Kita putuskan perkara ini setelah pemakaman Adika-

ra."

Setelah berkata demikian, Prabu Lokawisesa 

segera bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan 

rumah duka. Tak lupa kepada istri dan anak-anak 

Punggawa Adikara sang Prabu mengucapkan kata-kata 

bijaksana yang berupa nasihat, agar selalu tabah dan 

mengikhlaskan kepergian Punggawa Adikara sebagai 

kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta.

***

Setelah pemakaman Punggawa Adikara dilak-

sanakan dengan cara kebesaran, Prabu Lokawisesa 

mengundang pembesar-pembesar kerajaan untuk 

membicarakan kematian yang tidak wajar ini. Di se-

buah ruang pertemuan yang mewah, tampak pejabat-

pejabat tinggi kerajaan dan Maha Patih Gempita serta 

Patih Sodrana telah siap mendengarkan keputusan 

yang akan diambil Prabu Lokawisesa.

"Penyebab kematian Punggawa Adikara telah 

sama-sama kita ketahui," ucap Prabu Lokawisesa, 

memulai keputusannya. "Sebuah pukulan maut yang 

disertai ilmu 'Ajian Duribang' telah mengakhiri hidup 

punggawa yang telah puluhan tahun menanamkan ja-

sanya pada kerajaan. Sepengetahuanku, ilmu dahsyat 

itu hanya dimiliki putra Patih Sodrana, yakni Laga 

Lembayung. Namun begitu, aku tidak ingin menjatuh-

kan tuduhan tanpa alasan kepada putra Patih Sodra-

na. Barangkali saja ada orang lain yang memiliki ilmu



sejenis, dan melakukan hal keji itu untuk mengkam-

binghitamkan Laga Lembayung."

Hening sejenak mewarnai pertemuan itu. Wa-

jah-wajah pejabat tinggi yang hadir terlihat dibalut ke-

tegangan. Terlebih wajah Patih Sodrana. Meski dia ya-

kin betul kalau Laga Lembayung tidak membunuh 

Punggawa Adikara."

"Untuk melahirkan keputusan yang seadil-

adilnya, maka kuminta yang hadir di sini untuk men-

gajukan pendapat masing-masing," ujar Prabu Lokawi-

sesa lagi.

Keheningan kembali meliputi. Dan pecah ketika 

Maha Patih Gempita membuka percakapan seraya 

memberi penghormatan pada Prabu Lokawisesa.

"Ampun, Yang Mulia. Bukannya hamba lancang 

menguraikan pendapat, tapi ini semata untuk kepen-

tingan kerajaan dan keputusan yang akan diambil," 

ucap Maha Patih Gempita perlahan, namun terdengar 

begitu mantap.

"Ya. Uraikan pendapatmu, Paman Patih," perin-

tah Prabu Lokawisesa,

Maha Patih Gempita kembali memberi hormat

"Menurut hamba, kematian Punggawa Adikara 

memang disebabkan oleh 'Ajian Duribang'. Seperti juga

hamba ketahui bahwa ilmu itu hanya dimiliki putra 

Patih Sodrana, yakni Laga Lembayung. Jadi pendapat 

hamba, alangkah baiknya jika putra Patih Sodrana un-

tuk sementara ditempatkan pada sebuah ruangan 

khusus yang dijaga ketat oleh para prajurit terpilih."

Merah padam wajah Patih Sodrana mendengar 

uraian Maha Patih Gempita. Tubuhnya seketika berge-

tar. Namun Patih Sodrana mencoba menahan kemara-

hannya. Lelaki setengah baya itu duduk dengan te-

nang, berusaha menanggapi uraian Maha Patih Gempi-

ta dengan pikiran jernih.


"Uraianmu cukup masuk akal, Paman Maha 

Patih Gempita," ucap Prabu Lokawisesa menimpali 

ucapan Maha Patih Gempita. "Bagaimana dengan yang 

lain? Silakan menyangkal pendapat Paman Maha Patih 

Gempita jika di antara kalian ada yang tidak sependa-

pat"

Kesunyian kembali merambah ruang perte-

muan. Tak ada seorang pun yang berbicara. Tidak juga 

Patih Sodrana.

"Bagaimana denganmu, Paman Patih Sodrana?" 

tanya Prabu Lokawisesa penuh wibawa.

Patih Sodrana mengangkat wajahnya sedikit. 

Dengan tatapan mendung, diperhatikannya wajah 

tampan Prabu Lokawisesa.

"Maafkan hamba, Yang Mulia," sembah Patih 

Sodrana dengan suara parau. "Menurut hemat hamba, 

apa yang terbaik adalah keputusan yang dikeluarkan 

Yang Mulia. Itulah suara hati hamba, Yang Mulia."

"Baiklah," tukas Prabu Lokawisesa setelah 

mendengar ucapan Patih Sodrana. "Karena aku tak in-

gin memutuskan perkara ini dengan sebelah pihak, 

maka aku ingin Laga Lembayung hadir di tengah-

tengah pertemuan ini. Aku ingin tahu pendapatnya 

tentang penempatannya di sebuah ruangan khusus

dan dijaga prajurit-prajurit pilihan."

Memang, setiap mengambil keputusan, Prabu 

Lokawisesa tidak pernah meminta pendapat penasihat 

kerajaan. Karena di Kerajaan Suraloka, jabatan pena-

sihat dirangkap oleh maha patih, dalam hal ini Maha 

Patih Gempita.

"Pengawal! Perintahkan Laga Lembayung untuk 

menghadap," perintah Prabu Lokawisesa.

Seorang pengawal setia sang Prabu bergegas 

meninggalkan ruang pertemuan setelah memberi sem-

bah sebagai tanda hormat. Dan tak lama kemudian,


sosok gagah putra Patih Sodrana hadir di hadapan 

Prabu Lokawisesa. Tatapan mata yang hadir di ruang

pertemuan pun langsung tertuju pada wajah tampan 

Laga Lembayung.

"Ampun, Yang Mulia. Hamba menghadap," ucap 

Laga Lembayung seraya memberi hormat.

Prabu Lokawisesa segera berbicara setelah Laga 

Lembayung memberi hormat.

"Kematian Punggawa Adikara menurut kami 

yang hadir di ruangan ini adalah akibat pukulan dah-

syat yang dilancarkan dengan pengerahan 'Ajian Duri-

bang'. Setahu kami, ajian tersebut hanya kau yang 

memiliki, Laga. Maaf, bukan aku menuduhmu mela-

kukan kekejian itu. Namun bukti-bukti telah membe-

ratkan dirimu. Untuk itu aku mengundangmu ke ten-

gah-tengah kami untuk memberikan tanggapan atas 

kematian Punggawa Adikara, sekaligus pembelaan di-

rimu," ujar Prabu Lokawisesa dengan berwibawa.

Laga Lembayung menundukkan kepala dalam-

dalam. Pemuda ini tak segera memenuhi keinginan 

sang Prabu. Pikirannya disibukkan oleh kematian 

Punggawa Adikara yang meninggalkan bukti yang sa-

ma jika 'Ajian Duribang' digunakan untuk membunuh 

manusia. Tanda kemerahan pada persendian itu kun-

cinya. Apakah ada orang lain yang mempunyai ilmu 

yang berakibat sama? Atau ada orang lain yang memi-

liki 'Ajian Duribang'?

"Laga Lembayung," panggilan sang Prabu ter-

dengar begitu lembut. "Kematian Punggawa Adikara 

mungkin disebabkan 'Ajian Duribang'. Tapi mungkin 

juga disebabkan oleh ilmu lain yang menimbulkan aki-

bat yang sama dengan ‘Ajian Duribang’. Jadi, mungkin 

ada orang lain selain dirimu yang menguasai ‘Ajian 

Duribang’. Karena itu, kami semua sependapat untuk 

sementara waktu menempatkan dirimu di sebuah


ruangan khusus yang dijaga prajurit-prajurit pilihan, 

sampai pembunuh itu tertangkap atau ada seseorang 

yang mengakui perbuatan keji itu. Berbicaralah, Laga. 

Apalah kau setuju dengan pendapat itu? Aku, Paman 

Maha Patih Gempita dan juga ayahmu telah sepakat 

dengan keputusan itu."

Laga Lembayung mengangkat wajahnya perla-

han. Kemudian dengan tenang ditatapnya wajah-wajah 

lelaki yang hadir di ruangan itu. Tatapan mata Laga 

Lembayung berhenti di wajah ayahnya cukup lama. 

Dan Patih Sodrana membalas tatapan Laga Lem-

bayung. Tatapan lelaki setengah baya itu seperti se-

buah danau tenang yang menyimpan ketabahan hati, 

Pandangan Laga Lembayung kemudian beralih ke wa-

jah Prabu Lokawisesa. Hanya sesaat mata bening Laga 

Lembayung menatap wajah sang Prabu. Saat berikut-

nya kepala Laga Lembayung kembali tertunduk.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Bukannya ham-

ba membantah ucapan Yang Mulia, tapi ucapan ham-

ba sekarang hanya untuk mewakili hati nurani yang 

selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Ju-

jur hamba katakan kalau hamba tak pernah melaku-

kan kekejian yang tengah dibicarakan. Memang pada 

waktu kejadian itu terjadi, hamba tidak sedang berada 

di tempat. Jadi kemungkinan tuduhan itu jatuh pada 

hamba sangat memungkinkan. Terlebih kematian 

Punggawa Adikara memiliki tanda-tanda yang sama ji-

ka kematian itu disebabkan oleh 'Ajian Duribang' yang 

hamba yakini hanya hamba yang memiliki."

Suasana hening seketika. Laga Lembayung me-

natap wajah-wajah di sekelilingnya dengan berbagai 

macam perasaan.

"Berdasarkan keyakinan hati hamba, hamba 

tak pernah melepaskan pukulan yang disertai penge-

rahan 'Ajian Duribang' setelah hamba mempertunjuk


kannya di hadapan Yang Mulia. Namun untuk keda-

maian dan ketenteraman seluruh penghuni Kerajaan 

Suraloka, hamba menjunjung tinggi keputusan Yang 

Mulia untuk menempatkan hamba di sebuah ruangan 

khusus yang dijaga prajurit-prajurit pilihan. Hal ini 

hamba lakukan sebagai darma bakti hamba pada Yang 

Mulia Prabu Lokawisesa," lanjut Laga Lembayung den-

gan nada suara yang gamblang.

Semua yang hadir pada pertemuan itu terbawa 

hanyut oleh kata-kata yang terangkai rapi dari mulut 

putra Patih Sodrana. Demikian pula Patih Sodrana. 

Sungguh dia terharu dengan ucapan putranya. Lelaki 

setengah baya itu bangga dengan sikap ksatria Laga 

Lembayung.

Setelah mendengar keputusan Laga Lem-

bayung, Prabu Lokawisesa memutuskan pertemuan 

selesai. Dan Laga Lembayung dibawa ke ruang khusus 

sesuai dengan keputusan sang Prabu.

***

DELAPAN



Patih Sodrana kembali kehilangan putra tung-

galnya. Pertama ketika Laga Lembayung berangkat 

menuntut ilmu. Kedua ketika Laga Lembayung menja-

lankan keputusan yang ditetapkan sang Prabu. Meski 

Patih Sodrana diperkenankan menjenguk anaknya, 

namun ketidakpuasan tetap merambah hatinya. Ha-

tinya tetap merasakan kehilangan.

Ketidakpuasan Patih Sodrana membuatnya 

memutuskan untuk menyelidiki kematian Punggawa 

Adikara. Maka hari ini Patih Sodrana datang mengha-

dap Prabu Lokawisesa untuk meminta izin melihat


lihat keadaan di luar kerajaan. Permohonan Patih So-

drana dikabulkan sang Prabu.

Tanpa ditemani orang-orang kepercayaannya, 

Patih Sodrana pergi ke luar kepatihan. Namun belum 

jauh meninggalkan gapura kehormatan, dua orang 

muda datang mendekatinya.

"Maaf, Kisanak. Apakah bangunan megah itu 

Istana Kerajaan Suraloka?" tanya anak muda berpa-

kaian kuning keemasan yang tak lain Jaka Sembada.

Di sebelah lelaki berpakaian kuning itu berdiri 

sosok dara jelita berpakaian jingga. Dialah Mayang Su-

tera atau Dewi Payung Emas.

Patih Sodrana tidak segera menjawab perta-

nyaan anak muda itu. Tatapannya tertuju ke wajah 

dan sekujur tubuh Jaka.

"Betul sekali, Anak Muda. Bangunan megah itu 

memang Istana Kerajaan Suraloka, Apakah kalian ber-

dua ini hendak mengunjungi istana itu?" tanya Patih 

Sodrana sambil menunjuk bangunan Istana Kerajaan 

Suraloka.

"Betul sekali, Ki," jawab Mayang tegas.

"Hm...," Patih Sodrana menggumam perlahan. 

"Kalau boleh kutahu, siapa yang akan kalian kunjun-

gi?" tanya Patih Sodrana lagi. 

"Sahabat kami, Ki" jawab Jaka. 

"Sahabat kalian? Siapa namanya?" 

"Laga.... Laga Lembayung," kembali Mayang 

menjawab pertanyaan Patih Sodrana.

Ada bias keterkejutan tersirat di wajah tua Pa-

tih Sodrana. Jaka dan Mayang bukannya tidak me-

nangkap gurat keterkejutan di wajah Patih Sodrana, 

namun Jaka tidak ingin mengetahuinya.

"Apakah kalian berdua teman seperguruan La-

ga Lembayung?" ucap Patih Sodrana menyelidiki. Per-

tanyaannya terkesan mencurigai Jaka dan Mayang.


Jaka dan Mayang sama-sama menggelengkan 

kepala. Kemudian Jaka menceritakan perkenalannya 

dengan Laga Lembayung. Dari mulai pertolongan yang 

diberikan Laga Lembayung pada Mayang, hingga per-

tarungannya dengan puluhan lelaki gerombolan Macan 

Hutan Lindung.

Patih Sodrana tertegun sesaat setelah menden-

gar cerita Jaka Sembada.

"Maaf, Ki. Kalau boleh kami tahu, siapakah Ki-

sanak ini sesungguhnya?" tanya Jaka hati-hati.

Patih Sodrana tersenyum mendengar perta-

nyaan Jaka.

"Untuk apa kau mengetahui siapa diriku, Anak 

Muda?" balas Patih Sodrana.

"Aku heran Kisanak terkejut sewaktu kuse-

butkan nama Laga Lembayung," tukas Jaka.

Patih Sodrana kembali tersenyum. Dia sudah 

dapat mengambil kesimpulan bahwa dua anak muda 

di hadapannya itu adalah orang-orang yang pernah di-

ceritakan Laga Lembayung. Dialah Jaka Sembada atau 

Raja Petir, dan Mayang Sutera.

Patih Sodrana lalu menyentuh bahu Jaka.

"Laga Lembayung adalah putra tunggalku, 

Anak Muda," jelas Patih Sodrana.

"Jad.... Kisanak adalah Patih...."

"Ya. Aku Patih Sodrana," potong ayah Laga 

Lembayung, "Kalian berdua pasti Jaka dan Ma-yang, 

bukan?"

"Gembira sekali kami dapat bertemu dengan-

mu, Paman Patih," ucap Jaka mengubah panggilannya.

Patih Sodrana tidak menimpali ucapan Jaka.

"Laga telah menceritakan padaku tentang per-

kenalan kalian. Namun sayang kalian tidak dapat me-

nemuinya sekarang," ucap Patih Sodrana sedikit pa-

rau.


Jaka dan Mayang terkejut mendengar nada bi-

cara Patih Sodrana.

"Ada apa dengan Laga Lembayung, Paman Pa-

tih?" tanya Mayang ingin tahu.

Patih Sodrana menatap wajah Mayang dan Ja-

ka bergantian.

"Secara kasar kukatakan bahwa anakku tengah 

ditawan," jawab Patih Sodrana.

Kedua anak muda itu tampak terkejut menden-

gar jawaban Patih Sodrana.

"Siapa yang menawan Laga, Paman Patih?" 

tanya Jaka penasaran.

"Kuasa Hukum Kerajaan." Jaka dan Mayang ti-

dak melanjutkan pertanyaannya. Hati mereka sibuk 

mereka-reka kesalahan yang telah dilakukan Laga 

Lembayung.

"Dugaanku ada seseorang yang telah memfit-

nah Laga," ucap Patih Sodrana. 

"Maksud Paman Patih?" 

Patih Sodrana menceritakan dengan terperinci 

mengenai kematian Punggawa Adikara. Juga penyebab 

kematian itu, yang bertalian erat dengan ilmu yang 

dimiliki Laga Lembayung.

"Maaf, Paman Patih. Apakah Paman yakin bu-

kan Laga yang melakukan pembunuhan itu?" tanya 

Jaka.

"Yakin sekali, Jaka. Aku tahu persis perangai 

putra tunggalku," sahut Patih Sodrana.

Jaka seketika menatap wajah Mayang. Kedua-

nya menduga kalau di Kerajaan Suraloka telah terjadi 

sesuatu yang tidak beres.

"Maaf, Paman Patih. Kalau Paman Patih yakin 

dengan pendapat Paman, saya mencoba untuk mena-

rik kesimpulan bahwa ada duri dalam daging di Kera-

jaan Suraloka ini. Jika Paman Patih menginginkan,


kami ingin membantu menyelidiki keadaan di sekitar 

Kerajaan Suraloka," ucap Jaka mengajukan keingi-

nannya.

Patih Sodrana tentu saja gembira dengan kein-

ginan Jaka. Hatinya merasa senang atas bantuan cu-

ma-cuma dari tokoh muda digdaya itu.

"Keinginanmu sangat menggembirakan hatiku, 

Jaka. Aku juga senang kalau dalam penyelidikanmu 

itu kau tinggal di kediamanku, di kepatihan. Aku akan 

memintakan izin pada Yang Mulia Prabu Lokawisesa," 

sambut Patih Sodrana dengan wajah dihiasi kebaha-

giaan.

Jaka dan Mayang menyerahkan segalanya ke-

pada Patih Sodrana. Juga ketika dirinya dibawa meng-

hadap Prabu Lokawisesa. Jaka dan Mayang menurut 

saja.

***

Malam merangkak perlahan. Langit tampak di-

penuhi awan pekat yang berarak. Hawa dingin menye-

bar di sudut-sudut kepatihan. Malam sebentar lagi 

akan dirambah hujan. Tiga orang prajurit jaga yang 

bertugas di kediaman Patih Sodrana merasakan hawa 

dingin yang menusuk kulit. Terlihat dari cara mereka 

berdiri yang merapat ke dinding. Tangan mereka dide-

kapkan di dada.

"Akan turun hujan deras," gumam salah seo-

rang penjaga.

Seiring dengan selesainya ucapan penjaga itu, 

hujan pun turun mengguyur bumi Kerajaan Suraloka. 

Suara guntur terdengar saling bersahutan.

Glar! Glegarrr...!

Grudug... gruduk...!

Pada saat guntur menggelegar tampak tiga so


sok bayangan hitam muncul dengan melenting-kan 

tubuh dari balik rerimbunan pohon. Cepat dan gesit 

ketiga sosok bayangan itu melenting. Tahu-tahu sudah 

mendarat tanpa suara di hadapan tiga penjaga yang 

tengah merasakan hawa dingin menggigit

Glegar!

Grudug... grudug...!

Bersamaan dengan suara guntur yang mengge-

legar, ketiga sosok bayangan itu menyerang tiga penja-

ga dengan totokan-totokannya.

Tuk! Tuk! Tuk!

"Aaakh!"

Pekik kesakitan terdengar berturut-turut, na-

mun jeritan yang keluar dari mulut penjaga tertutup 

suara guntur yang menggelegar. Hingga tak seorang 

pun yang mendengarnya. Termasuk Patih Sodrana, 

Jaka dan Mayang yang tengah berada di kamar mas-

ing-masing.

Kemudian tubuh ketiga sosok bayangan itu me-

lenting ke wuwungan, tepat di atas kamar Patih So-

drana tidur. Ringan tiga sosok tubuh itu mendarat di 

wuwungan kamar Patih Sodrana. Dan dengan segenap 

keahliannya, mereka memasuki ruangan tidur Patih 

Sodrana.

Namun sayang, salah seorang di antara mereka 

bertindak ceroboh. Sebuah genteng yang sengaja dis-

ingkapnya terlepas dari tangan. Dan jatuh menimbul-

kan suara berisik. Patih Sodrana yang memang belum 

terlelap mendengar suara itu. 

"Siapa di atas?!" bentak Patih Sodrana. Bersa-

maan dengan selesainya ucapan Patih Sodrana, tiga 

sosok tubuh itu meluruk dari wuwungan rumah. Keti-

ga sosok berpakaian hitam itu langsung menyerang 

Patih Sodrana dengan senjata masing-masing.

Tiga buah arit membabat ke arah leher, perut,


dan paha Patih Sodrana. Cepat dan keras serangan ge-

lap itu. Namun Patih Sodrana bukanlah lelaki tua yang 

menjabat sembarang patih. Dia juga memiliki ilmu si-

lat yang patut dibanggakan. Buktinya, hanya dengan 

sekali gerakan saja tiga serangan maut itu berhasil di-

elakkan.

Tiga sosok tubuh berpakaian hitam dan penu-

tup kepala hitam itu tidak merasa heran melihat Patih 

Sodrana mampu menghindari serangan mereka. Keti-

ganya segera menghentikan serangan. Mata ketiganya 

yang berada di balik topeng hitam, memandang remeh 

Patih Sodrana.

"Kau harus mampus sekarang juga, Sodrana!" 

bentak salah seorang sosok bertopeng dengan suara 

berat dan kasar.

"Siapa kau? Apa yang ingin kau lakukan di si-

ni?" tanya Patih Sodrana geram.

"Kau akan mampus, Sodrana! Jadi, tak perlu 

tahu siapa kami!" bentak sosok bertubuh pendek.

"Kurang ajar!" maki Patih Sodrana.

"He he he...!"

Salah seorang sosok bertopeng itu terkekeh. La-

lu meloncat menerjang Patih Sodrana dengan senja-

tanya yang berupa arit. Suara angin berkesiutan men-

giringi tibanya serangan sosok itu.

"Heaaa...!"

Bet! Bet!

"Hits!"

Patih Sodrana berkelit lincah ketika senjata 

orang bertopeng berkelebat mencecar lambung dan le-

hernya. Di tengah kelitannya, Patih Sodrana yang cer-

dik segera berpikir kalau bertarung di kamarnya ada-

lah suatu kebodohan. Ruangan kamarnya memang ti-

dak sempit, tapi untuk menghadapi keroyokan tiga so-

sok bertopeng itu rasanya dia tidak menemui kelelua


saan bergerak.

Maka Patih Sodrana segera memutuskan untuk 

bertarung di luar kamar. Dengan perhitungan cukup 

matang, Patih Sodrana menghentakkan kaki kuat-

kuat. Tubuh lelaki setengah baya itu seketika melesat 

ke wuwungan yang dibobol tiga tamu tak diundang itu.

"Hiaaa...!"

Cepat dan gesit gerakan yang dilakukan Patih 

Sodrana. Hingga dalam waktu singkat telah berada di 

wuwungan rumahnya. Tiga sosok bertopeng itu pun 

segera mengejar buruannya.

Pertarungan berlanjut di luar rumah Patih So-

drana. Dan rupanya Jaka dan Mayang telah turut ter-

libat dalam pertarungan. Setelah keduanya mendengar 

suara ribut-ribut di dalam kamar Patih Sodrana, kedu-

anya segera berlari menuju asal suara. Dan ketika 

orang-orang yang bertarung itu berlari ke atas wuwun-

gan, Jaka dan Mayang segera mengejarnya.

"Siapa mereka, Paman Patih?" tanya Jaka keti-

ka ada kesempatan untuk bertanya.

"Entah. Yang jelas kita harus menangkap me-

reka hidup-hidup," jawab Patih Sodrana.

Patih Sodrana tak lagi memperhatikan Jaka ke-

tika salah seorang lawan mengibaskan sesuatu dari 

balik pakaian hitamnya.

"Jangan sombong kau, Sodrana! Bagaimana 

mungkin kau dapat menangkap kami hidup-hidup, Te-

rimalah ini! Hih!"

Wesss...!

"Awas, Ki!" teriak Jaka saat melihat puluhan 

benda pipih meluncur deras ke arah Patih Sodrana.

Jaka menduga benda pipih itu adalah puluhan 

jarum yang mengandung racun ganas. Terbukti dari 

bau amis yang menyertai datangnya senjata rahasia 

itu. Jaka tak ingin melihat Jarum-jarum itu menembus


tubuh Patih Sodrana. Maka, segera saja disajikan pu-

kulan jarak jauhnya sesaat setelah memberi perin-

gatkan pada Patih Sodrana. 

"Hih!" 

Wusss...! 

Prat! Prat..!

Puluhan jarum beracun terpental balik terhalau 

serangkum angin keras yang keluar melalui pukulan 

jarak jauh Raja Petir.

Tiga sosok berpakaian hitam dengan topeng hi-

tam yang menutupi wajah tampak terkejut dengan ke-

hebatan lelaki muda berpakaian kuning keemasan itu. 

Senjata rahasia mereka terpental balik mengancam ke-

selamatan mereka sendiri. Dengan geram, ketiga sosok 

itu menghentak kaki dengan keras. Tubuh ketiganya 

melenting ke udara, menghindari jarum-jarum bera-

cun.

"Kurang ajar!" maki salah seorang sosok berpa-

kaian hitam itu.

Ketiga sosok itu mendarat ringan di tanah be-

cek. Hujan memang mulai reda sesaat setelah perta-

rungan di luar kediaman Patih Sodrana dimulai. Bebe-

rapa lamanya enam sosok tubuh itu tampak saling 

memandang. Sesaat kemudian, ketiga lelaki berpa-

kaian serba hitam itu kembali menyerang. Kali ini se-

rangan mereka terpecah menjadi tiga. Masing-masing 

saling berhadapan dengan satu lawan.

"Hati-hati, Mayang." ucap Jaka memperin-

gatkan kekasihnya.

Mayang tak membalas ucapan Jaka. Gadis itu 

kelihatan sibuk menghadapi lawannya yang bertubuh 

gempal. 

"Hiaaa...!" 

Bet! Bet! 

"Hop!"


Sambaran senjata sosok berpakaian hitam yang 

menjadi lawan Mayang terarah ke bagian tubuh yang 

mematikan. Serangan itu begitu cepat, dan disertai 

pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin berkesiutan 

meningkahi serangan sosok bertubuh gempal itu.

Mayang meladeni serangan-serangan itu den-

gan ketenangan yang luar biasa. Pengalamanlah yang 

mengajari dara jelita itu untuk selalu tenang dalam 

menghadapi setiap pertarungan.

Maka dengan ketenangannya, Mayang berhasil 

mengelakkan serangan sosok berpakaian hitam itu. 

Namun begitu, Mayang juga menemui kesulitan saat 

dia harus melancarkan serangan balasan. Sosok ber-

tubuh gempal itu memiliki kegesitan yang patut di-

acungkan jempol. Setiap kali serangan Mayang datang, 

saat itu pula lawannya berhasil mengelak. Bahkan 

memberikan serangan balasan yang tak dapat diduga 

datangnya.

"Mampus kau!" bentak sosok bertubuh gempal 

itu.

Bet!

Sebuah sampokan senjata ke arah dada 

Mayang dilancarkan sosok bertubuh gempal dalam 

rangkaian serangan balasan.

Mayang terkejut bukan main. Tapi berkat ke-

waspadaannya, Mayang segera menangkis serangan 

itu dengan payungnya yang masih menutup.

Trang!

"Akh...!" 

"Ukh...!"

Pekik tertahan terdengar berturut-turut. Ber-

samaan dengan itu dua tubuh terhuyung-huyung se-

jauh dua langkah ke belakang. Sosok bertubuh gempal 

terhuyung seraya memegang tangannya yang bergetar 

dan terasa linu. Begitu juga Mayang Sutera.


Hebat juga tenaga dalam orang ini. Puji Mayang 

dalam hati. Gadis itu merasa tenaga dalamnya tak 

berbeda jauh dengan sosok bertubuh gempal itu. Di 

saat Mayang dan lawannya masih merasakan nyeri 

pada tangannya. Tiba-tiba....

"Aaa...!"

Pekik kematian membubung tinggi ke langit. 

Sosok berpakaian hitam yang menjadi lawan Patih So-

drana tersungkur di tanah dengan tenggorokan ter-

tembus arit miliknya sendiri.

Kejadian itu begitu cepat berlangsung. Saat so-

sok berpakaian hitam yang menjadi lawan Raja Petir 

menghantamkan senjatanya ke arah ulu hati, Jaka 

menangkis dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. 

Senjata yang berada di tangan penyerang Jaka lang-

sung terpental deras dan menghantam tenggorokan 

lawan Patih Sodrana yang tengah berada di udara. Se-

dangkan lawan Jaka harus merasakan sakit yang he-

bat pada pergelangan tangannya.

Sosok bertubuh gempal, lawan Mayang, terke-

jut menyaksikan kematian temannya. Sementara yang 

seorang lagi terkulai di tanah. Sosok itu tiba-tiba ber-

gerak hendak melarikan diri. Namun Mayang telah le-

bih dulu dapat membaca maksud lawan. Saat itu juga 

Mayang mengejar sosok bertubuh gempal dengan sen-

jata yang sudah terhunus.

"Hiaaa...!"

Bret!

"Aaa...!"

Senjata Mayang yang berupa payung kecil be-

rukuran runcing membabat telak punggung sosok ber-

tubuh gempal itu. Pekik kesakitan terdengar. Dan tu-

buh sosok terbungkus pakaian hitam itu roboh dengan 

punggung mengucurkan darah.

Tiga sosok berpakaian hitam yang mengenakan


selubung kepala hitam itu kini tergeletak tanpa daya. 

Seorang di antaranya telah menjadi mayat. Patih So-

drana dengan kegeraman yang luar biasa menghampiri 

lawan-lawan yang sudah tidak berdaya itu.

Bret! Bret! Bret!

Dengan kasar Patih Sodrana menarik kain pe-

nutup wajah tiga orang berpakaian hitam itu

"Heh?!"

Patih Sodrana terkejut melihat salah seorang 

yang ingin membunuhnya ternyata seorang perem-

puan. Begitu juga Jaka dan Mayang. Saat itulah tiba-

tiba....

"Eugkhh...!" 

"Eugkhh...!"

Dua orang tamu tak diundang itu terkulai. Ma-

ti. Rupanya mereka membunuh diri untuk menjaga ke-

rahasiaan penyamarannya. Dari mulut kedua orang itu 

menyebar bau amis.

"Dia tewas karena menggigit pil yang diletakkan 

di mulutnya. Pil beracun ganas," ucap Jaka.

"Pasti ada seseorang yang mengutus mereka. 

Dan menyuruh mereka melakukan bunuh diri daripa-

da harus membongkar rahasia," duga Patih Sodrana.

Jaka dan Mayang membenarkan dugaan Patih 

Sodrana.

Malam semakin larut. Suara-suara serangga 

terdengar jelas, karena hujan telah berhenti. Sementa-

ra Patih Sodrana dan Jaka sibuk menyingkirkan 

mayat-mayat itu. Patih Sodrana berniat melaporkan 

kejadian ini pada Prabu Lokawisesa.

***


SEMBILAN


Prabu Lokawisesa murka mendengar kabar 

yang disampaikan Patih Sodrana. Kemurkaannya bu-

kan saja karena ada orang yang bermaksud mele-

nyapkan nyawa Patih Sodrana. Tapi lebih jauh dis-

ebabkan ada orang-orang yang bermaksud merongrong 

kewibawaan kerajaan. Dan mempertimbangkan keja-

dian yang menimpa Patih Sodrana, Prabu Lokawisesa 

menitahkan untuk memperketat penjagaan di sekitar 

istana dan kepatihan. Seluruh prajurit jaga dari semua 

kesatuan harus meningkatkan kewaspadaan.

Di hati Prabu Lokawisesa terbersit suatu ke-

simpulan kalau yang membunuh Punggawa Adikara 

bukanlah Laga Lembayung. Namun sang Prabu belum 

ingin mengeluarkan Laga Lembayung dari ruang khu-

susnya. Beliau ingin melihat perkembangan keadaan 

lebih dulu.

Di saat penjagaan ketat yang dilakukan pihak 

kerajaan, Jaka dan Mayang memohon pada Patih So-

drana untuk menyelidiki peristiwa itu di luar istana. 

Karena menurut Jaka, bukan mustahil orang-orang 

dekat sang Prabu yang melakukan semua itu. Dan bu-

kan mustahil pula mereka sedang menyusun kekuatan 

di luar kerajaan. Untuk kemudian menyerbu dan 

menggulingkan kedudukan sang Prabu.

Merasa alasan yang diberikan Jaka cukup dite-

rima, Patih Sodrana mengijinkan Jaka dan Mayang 

melakukan penyelidikan di luar istana. Namun Patih 

Sodrana menginginkan Jaka untuk secepatnya mela-

porkan hasil penyelidikannya. Terutama yang berhu-

bungan dengan rencana untuk merongrong wibawa ke-

rajaan. Tentu saja Jaka dan Mayang menyanggupi 

permintaan Patih Sodrana. Pada hari itu juga kedua


pendekar muda itu meninggalkan kepatihan.

"Dari mana kita memulai penyelidikan ini, Ka-

kang?" tanya Mayang ketika keduanya sudah berada di 

luar kepatihan.

"Kau ingat desa yang membatasi kotaraja?" Ja-

ka balik melontarkan pertanyaan pada gads jelita ber-

pakaian jingga itu.

"Desa Magetan yang Kakang maksud?" duga 

Mayang.

"Betul."

"Dan hutan lindung di desa itu yang menjadi 

sasaran penyelidikan kita?" duga Mayang lagi.

"Pikiran kita sama," ucap Jaka seraya terse-

nyum dan memegang pinggang Mayang.

"Ah, Kakang," ujar Mayang malu-malu seraya 

menyentuh tangan kekasihnya.

"Ayo kita mulai penyelidikan ini! Hop!"

Tubuh Jaka melesat cepat meninggalkan 

Mayang. Gadis jelita berpakaian jingga itu sesaat ter-

perangah menyaksikan tindakan Jaka. Namun sesaat 

berikutnya Mayang sudah menghentakkan kaki me-

nyusul kekasihnya. Mereka saling berkejaran. Dan be-

berapa saat kemudian, kedua anak muda itu sudah 

berlari sejajar.

Kedua pendekar muda yang disegani di dunia 

persilatan itu mengerahkan ilmu lari cepat dan merin-

gankan tubuh. Maka tak heran jika hanya dalam wak-

tu singkat mereka sudah tiba di tepi hutan lindung.

"Sepertinya tidak ada kegiatan di dalam hutan 

sana, Kakang," duga Mayang.

"Kita harus waspada. Mungkin kegiatan mereka 

di ujung hutan lindung sebelah sana," jawab Jaka

Belum lagi hilang gema suara Jaka, tiba-tiba 

dua sosok tubuh meluruk dari atas sebatang pohon 

besar yang berdaun rimbun. Dua sosok lelaki bertu


buh kekar itu langsung memberikan pukulan dan ten-

dangan yang mengandung tenaga dalam tinggi.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet!

Dua serangan berturut-turut mencecar dada 

dan perut Jaka serta Mayang. Namun serangan itu 

hanya membentur angin ketika Jaka dan Mayang ber-

kelit lincah. Kemudian menghentakkan kakinya mela-

kukan lompatan ke belakang untuk mengatur jarak

"Hei! Mengapa Kisanak berdua menyerang ka-

mi? Apa alasannya?" tanya Jaka tak mengerti.

"Aku ingin membuat kalian jadi bangkai!"

"Hiaaa...!"

Lelaki bertubuh tinggi besar yang sebelah ma-

tanya ditutup bahan kulit berwarna hijau lurik kemba-

li bergerak hendak menyerang Jaka dan Mayang, ta-

pi....

"Tahan, Kisanak!" bentak Jaka menggelegar.

Lelaki tinggi besar itu seketika menghentikan 

gerakannya.

"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. 

Bertatap muka pun baru kali ini. Kenapa kalian begitu 

memusuhi kami? Adakah perbuatan kami yang meru-

gikan Kisanak berdua?" tanya Jaka tenang.

"Kita memang baru kali ini bertatap muka. 

Anak Muda!" hardik lelaki tinggi kekar yang berkumis 

seperti sapu ijuk. "Tapi aku menginginkan nyawamu!"

"Kau boleh saja menginginkan nyawa kami. Ta-

pi apa alasannya? Ah, perkenalkan dulu. Namaku Ja-

ka," ucap Jaka lagi, tanpa terpancing kata-kata kasar 

yang dilontarkan lelaki di hadapannya.

'Tanpa kau sebut pun aku sudah tahu nama 

lengkapmu. Jaka Sembada alias Raja Petir. Huh! Kau 

ingin menyombongkan julukanmu heh?! Dengar, Bo-

cah! Meski julukanmu sering disebut-sebut tokoh per


silatan, namun aku Naga Mata Tunggal dan kawanku 

Bajing Ireng, tidak takut pada julukanmu!" tukas lelaki 

yang mengaku berjuluk Naga Mata Tunggal.

"Ayo bersiaplah, Raja Petir! Jangan sia-siakan 

hidupmu yang hanya satu kali!" ujar rekan Naga Mala 

Tunggal yang tak lain Bajing Ireng.

Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Bajing 

Ireng dan Naga Mata Tunggal mengatur kedudukan. 

Keduanya meloloskan senjata masing-masing. Naga 

Mata Tunggal mengeluarkan sepasang bola duri beran-

tai panjang yang dililitkan di pinggang. Sedangkan Baj-

ing Ireng meloloskan golok pendek yang bagian depan-

nya bergerigi mirip gigi bajing.

Jaka dan Mayang kelihatan tidak merasa gen-

tar melihat senjata yang terhunus di tangan Naga Mata 

Tunggal dan Bajing Ireng. Namun dengan waspada dua 

pendekar muda itu memperhatikan lawan-lawannya 

yang bergerak memperagakan jurus dasar andalannya.

"Hiaaa...!"

Wuk! Wuk!

Mendadak Naga Mata Tunggal memutar bola 

durinya dengan diiringi pekik yang cukup keras. Bola 

duri itu berputar cepat di atas kepala Naga Mata Tung-

gal. Lalu....

"Haaat...!"

Wuuuk!

Bola duri yang dihubungkan dengan rantai baja 

itu berkelebat ke atas kepala Raja Petir. Tokoh muda 

yang matang pengalaman itu tentu tidak membiarkan 

serangan Naga Mata Tunggal. Hanya dengan meren-

dahkan tubuhnya, serangan bola duri itu luput. Na-

mun bola duri yang lainnya sudah berkelebat mence-

car bagian bawah tubuh Jaka.

Wuuuk! 

"Uts!"


Jaka cepat menghentakkan kakinya kuat-kuat. 

Tubuh pemuda itu melenting indah ke udara. Pada 

saat itu, dua sosok tubuh tiba-tiba melesat dari atas 

pohon besar yang lain. Kedua sosok berpakaian hijau 

dan coklat itu langsung melancarkan pukulan dahsyat 

ke tubuh Jaka.

"Hiaaa...!"

"Heaaat..!"

Jaka terkejut menyaksikan kenyataan yang 

ada. Pada saat tubuhnya berada di udara, dua seran-

gan berturut-turut mengancamnya. Itu cukup menyu-

litkannya untuk menghindari serangan yang datang 

begitu mendadak. Tak ada pilihan lain, dia harus me-

nangkis serangan-serangan itu.

Seketika itu juga Jaka mengangkat tangan me-

lindungi bagian tubuh yang menjadi incaran lawan. 

Tak pelak lagi, dua benturan keras terdengar berturut-

turut.

Plak! Plak!

"Heh?!"

Jaka tampak terkejut merasakan tenaga dalam 

lawan. Kekuatan tenaga dalam itu tidak terpaut jauh 

dengan yang dimilikinya. Dua lelaki berpakaian hijau 

dan coklat pun terperangah menyaksikan kekuatan 

tangan Jaka. Keduanya merasakan linu pada tangan-

nya.

'Tidak percuma kau berjuluk Raja Petir, Anak 

Muda? Ternyata julukanmu bukan omong kosong," 

ucap lelaki berpakaian hijau setelah berhasil meredam 

linu yang mendera tangannya.

"Kalau orang lain yang menerima ‘Pukulan 

Maut Sepasang Iblis Api’ maka tangan orang itu akan 

matang seperti ayam panggang. Tapi ternyata bagimu 

tidak. Raja Petir. Kau memang tokoh yang hebat!"

"Ya. Kau memang hebat. Raja Petir. Namun


sayang kehebatanmu akan terbungkam kedahsyatan 

ilmu-ilmu Sepasang Iblis Api. Ha ha ha...!" timpal lelaki 

berpakaian coklat.

Dua lelaki berjuluk Sepasang Iblis Api itu ter-

tawa keras. Begitu juga Naga Mata Tunggal. Rupanya 

mereka bersekongkol untuk melenyapkan Jaka dari 

rimba persilatan. Sementara, Jaka sekilas melirik ke 

arah pertarungan Mayang Sutera dengan Bajing Ireng.

"Perempuan itu kekasihmu. Raja Petir?" tanya 

lelaki berpakaian coklat yang berambut merah.

Jaka tidak menjawab pertanyaan lelaki itu. Pe-

muda itu mengkhawatirkan keselamatan Ma-yang. En-

tah mengapa tiba-tiba perasaan Jaka dilanda kegelisa-

han.

"Ha ha ha.... Mengapa kau bengong seperti ma-

can ompong, Raja Petir?! Apakah kau gentar mengha-

dapi kami?" ejek lelaki berpakaian hijau yang juga be-

rambut merah. Rupanya, itulah yang menyebabkan 

mereka mendapatkan julukan Sepasang Iblis Api.

"Hentikan kesombongan kalian, Sepasang Iblis 

Api," ucap Jaka tegas. "Aku bukan gentar pada kalian. 

Tapi aku tidak yakin kalian dapat mengalahkanku."

Merah padam wajah Sepasang Iblis Api men-

dengar ucapan Jaka. Maka saat itu juga....

Prok! Prok! Prok!

Tepukan tangan yang cukup kuat dilakukan le-

laki berpakaian hijau. Suara tepukan itu menggema 

dan memantul-mantul. Dan seiring dengan lenyapnya 

suara itu, tiga sosok bayangan berkelebat cepat dan 

mendarat di sisi kanan Sepasang Iblis Api.

Jleg...!

***


SEPULUH



Tiga sosok lelaki berpakaian putih berdiri tegak 

dengan sorot mata tajam menatap wajah Jaka.

"Aku orang pertama dari Tiga Hantu Putih," 

ucap lelaki tinggi kurus.

"Aku orang kedua."

"Dan aku orang ketiga."

Suara perkenalan itu didengar Jaka dengan je-

las. Sementara tatapan matanya menyelusuri tubuh ti-

ga lelaki berpakaian putih itu. Corak pakaian mereka 

sama persis.

"Karena kehadiranmu di rimba persilatan, to-

koh-tokoh golongan hitam selalu gagal setiap kali ingin 

mereguk keinginannya. Sekarang juga kau harus 

mampus!" ucap orang pertama dari Tiga Hantu Putih.

"Ya. Kau harus mampus!" sambut orang kedua 

dan ketiga

Menegang otot-otot Jaka mendengar ucapan le-

laki di hadapannya.

"Kalian boleh saja mempunyai keinginan mem-

bunuhku. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah 

perbuatan kalian ini ada sangkut-pautnya dengan ke-

jadian di Istana Suraloka?" tanya Jaka.

"Untuk apa kau tahu itu, Bocah!" bentak lelaki 

pertama dari Sepasang Iblis Api.

"Naga Mata Tunggal! Kau bantu Bajing Ireng 

membekuk gadis liar itu. Biar kami berlima yang me-

ringkus dan mencabut nyawa Raja Petir!" ujar lelaki itu 

lagi.

Naga Mata Tunggal langsung mencelat mema-

tuhi ucapan orang pertama Sepasang Iblis Api.

Sepeninggal Naga Mata Tunggal, orang pertama 

Sepasang Iblis Api memberi aba-aba untuk segera


menggempur Raja Petir. Maka saat itu juga Tiga Hantu 

Putih langsung bergerak mengurung Jaka. Begitu pula 

Sepasang Iblis Api.

"Hiaaat...!" 

"Haaat..!"

Orang ketiga Tiga Hantu Putih serta orang ke-

dua Sepasang Iblis Api bergerak melancarkan seran-

gan. Angin berkesiutan mengiringi serangan keduanya 

yang langsung menggunakan senjata yang berupa ke-

ris panjang dan sebatang pedang.

Raja Petir tentu saja tidak menganggap remeh 

serangan kedua lawannya yang dilancarkan secara 

bersamaan. Sebelum senjata-senjata itu merejam tu-

buhnya, Jaka telah lebih dulu bergerak lincah dengan 

jurus ‘Lejitan Lidah Petir’.

Bet! Bet!

Serangan gencar yang dilancarkan lelaki be-

rambut merah dan lelaki berpakaian putih menemui 

tempat kosong. Tubuh Jaka dengan mengerahkan ju-

rus 'Lejitan Udah Petir' begitu sukar untuk ditembus 

senjata. Rasa penasaran dua lelaki itu membuat mere-

ka terus melancarkan serangan. Malah serangannya 

kali ini dibantu rekan-rekannya yang lain. Maka perta-

rungan satu lawan lima pun tak dapat dihindarkan la-

gi.

Lima lelaki itu menyerang Jaka dari berbagai 

arah. Tanpa memberi kesempatan pada Jaka untuk 

memberikan serangan balasan. Senjata-senjata mereka 

yang berupa keris dan pedang terus berkelebat mence-

car bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Keparat! Maki Jaka dalam hati. Aku harus 

menggelar ‘Aji Bayang-bayang’.

Sementara Jaka sibuk melayani lima penge-

royoknya, Mayang Sutera pun menghadapi hal yang 

sama. Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng begitu sulit


ditundukkan. Meskipun gadis itu telah mengeluarkan 

senjatanya yang berupa payung namun Naga Mata 

Tunggal begitu sulit didekati. Sebab, senjatanya mam-

pu menjangkau jarak jauh.

Pada pertarungan satu lawan dua ini Mayang 

kelihatan terdesak. Kedudukan Mayang terus tergem-

pur mundur hingga tepi hutan lindung terlampaui.

"Haaat..!"

Trang!

Wut!

Dengan gencar Naga Mata Tunggal dan Bajing 

Ireng melancarkan serangan-serangannya. Mau tak 

mau Mayang terus bergerak mundur untuk menghin-

dari keganasan serangan lawan. Meski sesekali gadis 

itu berusaha menangkis serangan lawan yang terlalu 

cepat datangnya dan mengarah ke jantung.

Bunyi berdentangan dan percik bunga api tak 

dapat dihindari. Mayang masih berusaha memberikan 

perlawanan gigih. Senjatanya yang berupa gelang-

gelang emas yang terselip di balik bajunya telah dike-

luarkan untuk menjaga jarak pertarungan. Gelang-

gelang emas yang dilempar Mayang melesat cepat 

mencecar tubuh Bajing Ireng dan Naga Mata Tunggal.

Singgg...!

"Uts!"

"Ops!"

Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng berlompa-

tan sesaat setelah senjata Mayang melesat ke arah me-

reka. Senjata itu memang berhasil dihindari kedua la-

wan Mayang. Namun gelang-gelang itu seperti mem-

punyai mata. Senjata itu kembali meluncur ke arah 

pemiliknya.

Tap! Tap!

Mayang menangkap senjata miliknya dan ber-

maksud melemparnya kembali. Tapi bukan main terke


jutnya gadis cantik itu ketika tiba-tiba saja dari atas 

kepalanya bertebaran jaring-jaring yang mengurung 

geraknya.

Wrrr! Wrrr...!

Mayang berusaha mendobrak jaring itu dengan 

senjatanya. Namun jaring itu lebih cepat menutupi tu-

buh Mayang. Apalagi jaring itu tidak cuma satu. Jar-

ing-jaring lain berjatuhan menutupi tubuh gadis itu.

Dua belas lelaki berpakaian hitam yang ma-

sing-masing memegang ujung jaring kelihatan saling 

berputar. Akibatnya, tubuhnya semakin terjerat. Gadis 

itu sedikit pun tidak mampu menggerakkan tubuhnya, 

sebab kedua belas lelaki itu mempererat pegangannya 

pada tali jaring.

"Ha ha ha...!"

Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng tertawa 

terbahak-babak menyaksikan lawannya terkurung da-

lam jaring. Kemudian mereka mendekati tubuh 

Mayang yang sudah tidak berdaya.

"Ha ha ha.... Kau sesungguhnya amat cantik. 

Tapi sayang kau terlalu galak," ucap Naga Mata Tung-

gal dengan genit

"Cuh!"

Mayang meludahi tubuh Naga Mata Tunggal. 

Namun sasaran yang dituju lebih dulu menghindar.

"Sudah kukatakan kau itu galak! Sekarang kau 

tahu sendiri akibatnya. Sebentar lagi dirimu akan di-

pasung!" tukas Naga Mata Tunggal menakut-nakuti

Mayang membelalakkan matanya mendengar 

ucapan Naga Mata Tunggal.

"Kubunuh kau jika aku berhasil lepas dari sini!" 

ucap Mayang geram.

"Ha ha ha.... Siapa yang bisa menolongmu, 

Anak Manis? Kekasihmu pun kurasa tidak mungkin. 

Untuk menghadapi Sepasang Iblis Api dan Tiga Hantu


Putih saja dia tak akan sanggup, mana mungkin dia 

bisa mengeluarkan mu dari kekuasaan kami?" kilah 

Bajing Ireng sambil membusungkan dada. "Sayang aku 

tak punya kuasa untuk memperlakukanmu seenak pe-

rutku. Kalau tidak...."

"Lelaki bejat!" maki Mayang yang sudah dapat 

membaca arah bicara Bajing Ireng.

"Ha ha ha...," Bajing Ireng tertawa lepas men-

dengar makian Mayang.

"Ayo kita bawa dara nakal ini ke hadapan Yang 

Mulia," perintah Naga Mata Tunggal.

Belasan lelaki yang memegang tali jaring segera 

bergerak menarik tubuh Mayang. Sementara gadis 

cantik kekasih Raja Petir itu dengan terpaksa melang-

kahkan kaki terseok-seok.

***

Sementara Mayang Sutera telah berhasil dita-

wan Naga Mata Tunggal dan Bajing Ireng, tidak demi-

kian halnya dengan Jaka Sembada. Lelaki muda yang 

berjuluk Raja Petir itu terlalu sukar untuk ditaklukkan 

Sepasang Iblis Api dan Tiga Hantu Putih. Meskipun ke-

lima pengeroyoknya telah mengeluarkan segenap ke-

mampuan mereka.

"Kau memang tangguh. Raja Petir! Tapi mam-

pukah kau menghadapi 'Ajian Iblis Api'. Ayo Darga! Ke-

rahkan ajian itu!" ajak orang pertama Sepasang Iblis 

Api.

Lelaki berambut merah yang bernama Darga

segera menuruti perintah itu. Langkah kakinya ditarik 

mundur. Sesaat setelah membaca mantera-mantera, 

tangannya menghentak keras ke depan.

"Haiiit...!"

"Haaat...!"


Dua pekikan keras terdengar bersamaan. Dan

dua hentakan tangan terlihat. Maka, dua gumpalan si-

nar merah pekat meluncur deras ke arah Raja Petir.

Wesss! Wesss!

Melihat serangan lawan, Jaka segera memapaki 

dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin bergulung ter-

cipta dari telapak tangan Jaka yang terbuka. Angin itu 

meluruk cepat menghadang sinar merah pekat milik 

Sepasang Iblis Api.

Wrrr...!

Glarrr!

Ledakan seperti guntur terdengar seketika keti-

ka segulungan angin ciptaan Jaka dan dua gumpalan 

sinar merah pekat berbenturan di udara. Tubuh Sepa-

sang Iblis Api terhuyung tiga langkah ke belakang. Se-

dangkan Jaka hanya terdorong satu langkah.

Sepasang Iblis Api terlihat saling berpandan-

gan. Mereka tak menyangka kalau serangannya den-

gan mudah dapat dipatahkan lawan. Tatapan mata 

Sepasang Iblis Api kemudian beralih ke wajah-wajah 

Tiga Hantu Putih. Lalu mata orang pertama Sepasang 

Iblis Api mengerling. "Mulai!"

Wesss! Wesss....! 

Werrr! Werrr...!

Seiring dengan teriakan orang pertama Sepa-

sang Iblis Api, bertebaranlah senjata-senjata rahasia 

yang berupa lempengan logam pipih beracun milik Se-

pasang Iblis Api dan gumpalan serbuk putih beracun 

Tiga Hantu Putih.

Jaka tidak menyangka dengan apa yang dila-

kukan lawan. Cepat Raja Petir bergerak melentingkan 

tubuhnya ke belakang. Dan ketika menjejak tanah, tu-

buhnya kembali melenting. Senjata lawan yang berupa 

lempengan logam pipih tidak menemui sasaran. Se-

dangkan gumpalan serbuk putih beracun menimbul


kan ledakan ketika menyentuh tanah.

Blers! Blers!

Udara di sekitar tempat meledaknya gumpalan 

serbuk putih itu dipenuhi asap berwarna putih. Bau 

anyir tercium begitu menyengat.

Jaka yang mengetahui siasat licik lawannya se-

gera mengacaukan asap putih yang menghalangi pan-

dangan matanya. Dan bukan main terkejutnya Jaka 

ketika melihat lawan-lawannya sudah tidak berada di 

tempat. Mereka telah menghilang entah ke mana.

Jaka cemas melihat kenyataan ini. Apalagi ke-

tika mendatangi tempat Mayang bertarung. Di sana ti-

dak dijumpainya siapa pun, sehingga kecemasannya

semakin bertambah.

Setelah berpikir sesaat, akhirnya Jaka memu-

tuskan untuk mencari Mayang di dalam hutan lin-

dung. Pemuda itu yakin kalau Mayang masih hidup. 

Maka, seketika itu pula tubuh Raja Petir melesat cepat 

menuju hutan lindung.

Apakah Raja Petir berhasil menemukan Mayang 

Sutera? Siapa tokoh yang berdiri di balik penawanan-

nya? Dan, bagaimana nasib Laga Lembayung? Serta 

apa yang terjadi di Kerajaan Suraloka?

Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-

pertanyaan itu, silakan simak serial Raja Petir berikut-

nya dalam episode "Api di Suraloka".



                               SELESAI







Share:

0 comments:

Posting Komentar