..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE PERTARUNGAN DUA DATUK

PERTARUNGAN DUA DATUK

PERTARUNGAN DUA DATUK

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama,1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Pertarungan Dua Datuk

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Pegunungan Kapur nampak menjulang, 

putih memuncak bagaikan puncak kristal. Keger-

sangan Pegunungan Kapur, jelas melekat dari 

areal tanah yang menghampar di bawahnya. Ta-

nah-tanah di situ tiada menghijau, hanya kapur-

kapur putih dan cadas saja yang nampak nyata. 

Dua orang penunggang kuda nampak memacu 

kudanya ke arah situ. Di wajah kedua orang itu 

nampak rasa letih dan capai, sepertinya dua 

orang itu telah menempuh perjalanan yang cukup 

jauh dan melelahkan.

"Ke mana kita akan tinggal, Kakang?" 

tanya salah seorang dari keduanya. "Sungguh tak 

dapat dibayangkan. Apa mungkin tempat yang 

kering seperti ini dan tandus dapat dijadikan Pe-

sanggrahan?"

Sang kakak seperguruan itu terdiam, tanpa 

kata. Matanya memandang lurus ke muka, men-

gawasi hamparan cadas dan granit yang menutu-

pi semua dataran di situ. Sejenak ia tarik napas 

dalam-dalam, lalu melirik pada adik sepergu-

ruannya dan berkata: "Ini sudah menjadi perintah 

dari guru yang mau tak mau harus kita laksana-

kan. Apa kau ingin dikata membangkang, Adik-

ku?"

"Bukan begitu, Kakang. Aku tak mengerti," 

keluh sang adik masih diliputi rasa tak puasnya, 

menjadikan sang kakak kembali menghela napas 

dan kembali berujar:


"Setiap apa yang disarankan oleh guru, 

aku rasa baik. Guru sebenarnya bertujuan men-

guji pada kita, mampu atau tidak kita melaku-

kannya. Kita harus berusaha. Ya, berusaha untuk 

dapat menjalankan apa yang menjadi perintah 

dari guru kita. Seperti kata pepatah, ucapan guru 

harus di gugu dan ditiru. Ah, sudahlah, ayo kita 

makin ke atas, siapa tahu di sana kita akan me-

nemukan tempat yang agak mendingan daripada 

tempat ini."

Dengan menurut akhirnya sang adik pun 

mengikuti kakaknya. Dihelanya kais kuda me-

langkah menapaki lereng-lereng gunung yang ter-

jal. Kalau saja mereka tak mahir dalam menung-

gang kuda, niscaya tubuh mereka beserta ku-

danya akan terpelanting dan jatuh ke bawah ju-

rang yang menganga. Tapi rupanya kedua kakak 

beradik seperguruan itu telah dididik dan dilatih 

dengan segala keberanian dan ketangkasan ter-

masuk di dalamnya menaiki kuda, se-hingga me-

reka dengan gampang menjalankan ku-da-kuda 

mereka. Bukan saja kuda-kuda mereka berjalan 

tertatih-tatih, namun langkah sang kuda seper-

tinya ngeri dan takut kalau-kalau jatuh. Mereka 

kembali berhenti setelah sampai di sebuah ham-

paran yang ada ditumbuhi pepohonan.

"Di tempat ini kita akan mendirikannya," 

berkata sang kakak seraya turun dari kudanya. 

Ditambatkan tali kuda pada pohon yang ada di si-

tu. Adik seperguruannya pun melakukan hal se-

rupa, menambatkan tali kuda di sebelah pohon 

tempat kuda kakaknya tertambat. Mereka sejenak


berdiri mematung di tempat itu, memandang ke 

muka di mana hamparan rumput menghijau. 

"Ayo kita ke sana."

Kedua kakak beradik seperguruan itu 

kembali melangkah, menapaki hamparan rumput

menghijau. Nampaknya kedua kakak beradik itu 

tengah mencari tempat yang sekiranya cocok un-

tuk mereka gunakan mendirikan Pesanggrahan. 

Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah dataran 

di tengah-tengah rumput melebar tersebut. Sepe-

tak tanah kering, menghampar di tengah-tengah 

tempat tersebut.

"Aku rasa, tempat inilah yang akan kita 

buat Pesanggrahan," kembali sang kakak berkata. 

"Ayo, kita bekerja."

Tanpa menunggu jawaban dari sang adik, 

segera sang kakak berkelebat lari meninggalkan 

adik seperguruannya. Tak lama kemudian, sang 

kakak telah membawa beberapa potong kayu. Me-

lihat hal itu, sang adik segera membantu, mem-

bawakan kayu-kayu itu. Kemudian keduanya se-

gera bekerja. Diikatnya kayu-kayu itu membentuk 

sebuah bangunan yang menyerupai rumah. Ke-

duanya bekerja dengan tanpa mengeluh capai se-

dikitpun. Keduanya berhenti bekerja untuk isti-

rahat, manakala untuk makan siang saja dan 

kemudian keduanya kembali bekerja lagi sampai 

hari benar-benar sore. Dalam sehari saja, Pe-

sanggrahan yang mereka buat itu pun jadi.

* * *


Esok harinya kedua kakak beradik itu 

mencari orang-orang yang sekiranya mau menjadi 

murid. Kedua orang kakak beradik itu dengan ca-

ra memberikan tontonan pada masyarakat, beru-

saha memikat para pemuda untuk mau menjadi 

murid di Pesanggrahannya. Sepertinya hari itu, 

kedua kakak beradik seperguruan tengah mela-

kukan pertunjukan keliling dalam usahanya 

mendapatkan murid.

Rakyat yang mendengar suara gamelan 

mengalun di hamparan lapangan segera berbon-

dong-bondong datang untuk menyaksikan geran-

gan apa yang terjadi. Mereka semua seketika ber-

kumpul, semakin lama semakin banyak saja jum-

lah yang datang. Manakala jumlah rakyat desa 

tersebut telah cukup banyak, kakak seperguruan 

dari dua saudara perguruan itu berkata: "Namaku 

Renggana, dan ini Adikku bernama Sanggara. 

Kami datang ke mari dengan maksud untuk men-

gajak saudara-saudara menjadi orang yang bisa 

main silat. Maka agar saudara-saudara yakin, 

kami akan memperagakan ilmu silat yang kami 

miliki."

Tepuk sorak seketika membahana, me-

nyambut habisnya ucapan Renggana. Teriakan-

teriakan kegembiraan dari para massa yang su-

dah ingin melihat pertunjukan itu, seperti supor-

ter-suporter persepakbolaan PSSI yang antusias. 

"Wah, seru nih."

"Kalau memang mainnya bagus, aku jelas 

mau menjadi anggota."

"Apalagi jika mereka orang yang benar


benar pendekar. Aku dan teman-temanku akan 

menjadi anggotanya dengan suka rela."

Begitulah komentar-komentar datang silih 

berganti. Semuanya yang ada di situ seketika 

kembali diam, manakala terdengar pekikan kedua 

kakak beradik seperguruan tersebut membuka 

pertunjukan. Mata semua yang menonton seketi-

ka terbelalak, kagum menyaksikan apa yang ten-

gah berjalan di hadapan mereka. Tubuh kakak 

beradik seperguruan tersebut bagaikan menghi-

lang, terbungkus oleh bayangan-bayangan dari 

baju-baju yang mereka pakai. Decak kagum kem-

bali menggema di antara para penonton, seper-

tinya mereka melihat para Dewa yang tengah ber-

tarung. Belum juga para penonton hilang dari ke-

terkejutannya, tiba-tiba kedua kakak beradik itu 

sudah saling keluarkan ilmu yang makin membe-

lalakkan mata. Dari tangan kedua kakak beradik 

seperguruan seketika keluar asap hitam bergu-

lung-gulung, dan...!

"Wah, apa yang mereka lakukan?" tanya 

para penonton terheran-heran tak mengerti. Mata 

mereka kembali membelalak, manakala tubuh 

kedua kakak beradik itu raib dari pandangan me-

reka. Asap itu makin lama makin bergumpal, lalu 

membentuk sebuah ujud. Ujud yang seketika 

menjadikan para penonton ketakutan. Tapi ba-

gaikan terpaku, para penonton tak dapat beran-

jak melangkahkan kakinya barang setindak pun. 

Hanya mata mereka saja yang melotot tak per-

caya. Apa yang sebenarnya mereka lihat? Tak lain 

mereka melihat dua mahluk yang sudah mereka


benar pendekar. Aku dan teman-temanku akan 

menjadi anggotanya dengan suka rela."

Begitulah komentar-komentar datang silih 

berganti. Semuanya yang ada di situ seketika 

kembali diam, manakala terdengar pekikan kedua 

kakak beradik seperguruan tersebut membuka 

pertunjukan. Mata semua yang menonton seketi-

ka terbelalak, kagum menyaksikan apa yang ten-

gah berjalan di hadapan mereka. Tubuh kakak 

beradik seperguruan tersebut bagaikan menghi-

lang, terbungkus oleh bayangan-bayangan dari 

baju-baju yang mereka pakai. Decak kagum kem-

bali menggema di antara para penonton, seper-

tinya mereka melihat para Dewa yang tengah ber-

tarung. Belum juga para penonton hilang dari ke-

terkejutannya, tiba-tiba kedua kakak beradik itu 

sudah saling keluarkan ilmu yang makin membe-

lalakkan mata. Dari tangan kedua kakak beradik 

seperguruan seketika keluar asap hitam bergu-

lung-gulung, dan...!

"Wah, apa yang mereka lakukan?" tanya 

para penonton terheran-heran tak mengerti. Mata 

mereka kembali membelalak, manakala tubuh 

kedua kakak beradik itu raib dari pandangan me-

reka. Asap itu makin lama makin bergumpal, lalu 

membentuk sebuah ujud. Ujud yang seketika 

menjadikan para penonton ketakutan. Tapi ba-

gaikan terpaku, para penonton tak dapat beran-

jak melangkahkan kakinya barang setindak pun. 

Hanya mata mereka saja yang melotot tak per-

caya. Apa yang sebenarnya mereka lihat? Tak lain 

mereka melihat dua mahluk yang sudah mereka


kenal. Namun mahluk itu tidak dalam ukuran 

yang sebenarnya. Burung Gagak itu jauh seratus 

kali lipat lebih besar, sementara Ular Kobra itu 

jauh lebih panjang dan besar seratus kali dari 

ular kobra sesungguhnya. Para penonton baru 

tersadar, manakala kedua kakak beradik itu telah 

kembali ke bentuk asalnya yaitu Renggana dan 

adiknya Sanggara. Kembali decak kagum pun 

membahana, mewarnai tepuk tangan tiada henti.

"Bagaimana saudara-saudara. Apakah ka-

lian telah yakin benar bahwa kami dapat kalian 

jadikan guru?" tanya Renggana, di sela-sela tepuk 

sorak para penonton yang memadati tempat ter-

sebut.

"Yakin...." jawab semua yang ada si situ, 

menjadikan Renggana dan Sanggara tersenyum 

senang seraya menjura hormat.

"Terimakasih, terimakasih. Nah, siapa yang 

ingin menjadi anggota Pesanggrahan kami? Si-

lakan untuk mendaftar."

Mendengar ucapan Sanggara, seketika para 

penonton kembali riuh. Mereka berebut, saling 

dulu-mendahului untuk secepatnya menjadi ang-

gota perguruan. Hal itu membuat Renggana dan 

Sanggara nampak kerepotan untuk mendata me-

reka. Hampir seratus lebih para pemuda berebut 

meminta diri untuk menjadi anggota, juga tak ke-

tinggalan berpuluh-puluh orang tua.

"Kami kira, semua anggota cukup. Gam-

pang nanti kalau memang kami membutuhkan-

nya," terdengar suara Renggana memecah hiruk 

pikuk para pemuda yang mendaftar. "Adik Sang


gara, coba kau data lagi siapa-siapa saja yang 

hendak menjadi anggota kita."

"Ranges, Lomper, Sulak, Dayat, Emmo, Ji-

lam...."

"Saya...."

Sahutan-sahutan pemuda itu terus mene-

rus, menyahuti mana kala mereka kembali di-

panggil satu persatu. Lengkap sudah seluruhnya, 

yang tercatat di daun lontar ada hampir dua ratus 

pemuda dan orang tua. Hari itu juga, semua yang 

menjadi anggota bareng dengan kedua kakak be-

radik tersebut berjalan menuju ke Pesanggrahan 

Gunung Kapur.

* * *

Kedua ratus orang anggota itu duduk ber-

silah memenuhi lapangan rumput yang berada di 

depan Pesanggrahan. Wajah mereka walau di-

bakar matahari nampak ceria. Mereka sepertinya 

senang dapat menjadi anggota orang-orang beril-

mu tinggi. Mereka tak mengerti, siapa-siapa guru-

guru mereka. Yang mereka tahu, kedua kakak be-

radik seperguruan itu adalah orang-orang yang 

dapat diandalkan. Dalam hati semua pemuda dan 

orang tua yang menjadi anggota tersebut hanya 

ada sebuah harapan, menjadi orang yang sakti 

seperti pimpinan mereka. Berilmu tinggi, juga 

mempunyai ilmu siluman. Memang kebanyakan 

mereka yang mendaftar adalah orang-orang yang 

mempunyai antusias kelewat batas. Mereka 

hanya mementingkan diri sendiri, tak memikirkan


apa dan untuk apa ia ikut Pesanggrahan Gunung 

Kapur.

"Saudara-saudara anggota Pesanggrahan 

Gunung Kapur, sengaja kami ajak saudara-

saudara ke sini sekedar untuk membicarakan ba-

gaimana kelanjutan perguruan ini. Kami kira, 

saudara-saudara ingin belajar sambil menda-

patkan uang, bukan?" tanya Renggana, menjadi-

kan kedua ratus lebih anggota baru tersebut se-

ketika berseru menjawab:

"Tentu, Tuan Pendekar...!"

"Nah, untuk itulah kami hendak memberi-

kan sebuah rencana. Kami harap, kalian semua 

mau menyetujui."

"Apa itu, Tuan Pendekar?" tanya mereka 

serentak. Dari sinar mata mereka nampak seber-

cik harapan, harapan untuk mendapatkan harta 

yang mampu menunjang hidup mereka di samp-

ing mereka dapat belajar ilmu dari dua orang 

yang sudah diketahui berilmu tinggi. Mereka tak 

menghiraukan apa yang dapat dilakukan, dan 

apa yang hendak mereka perbuat. Di hati mereka 

hanya ada satu tujuan, menjadi murid orang-

orang berilmu tinggi dan mendapatkan hasil un-

tuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.

Sesaat kedua kakak beradik seperguruan 

itu diam, saling pandang dengan napas menghela 

panjang. Keduanya kemudian memancarkan 

pandangan mata mereka ke lapangan, di mana 

kedua ratus orang anggotanya duduk bersila di 

situ dengan pandangan mata penuh harapan 

akan apa yang bakal diberikan oleh Ketuanya.


Lama hal itu terjadi, sebelum akhirnya Renggana 

kembali berkata: "Kami mempunyai tujuan yaitu 

mengembangkan Perguruan Datuk dengan seiring 

pencarian dana. Bukankah dana itu sangat uta-

ma....?"

"Akur...." jawab semuanya penuh seman-

gat. "Bagaimanakah caranya, Tuan Pendekar?"

Kembali Renggana terdiam, melirik pada 

adik seperguruannya dan kemudian kembali me-

neruskan. "Bagaimana kalau kita melakukan cara 

pintas?" tanyanya seperti pada diri sendiri, men-

jadikan semua yang ada di situ terlolong tak men-

gerti.

"Cara pintas...! Cara pintas bagaimana 

yang Tuan Pendekar maksudkan?"

Dan seperti tadi, kembali Renggana ter-

diam. Kini agak lama, memandang satu persatu 

para anggota yang seketika itu terdiam, seakan 

pasrah pada apa yang bakal dijadikan landasan 

oleh Ketuanya. Melihat hal itu, Sanggara yang se-

dari tadi diam kini menjawab.

"Kami akan berikan pada kalian ilmu silat, 

dan kami akan mendidik kalian agar menjadi 

orang sakti serta pemberani. Dengan ilmu yang 

kalian miliki, apakah kalian tidak berani melaku-

kan tindak perampokan...?"

Semua yang hadir seketika terdiam, tak 

ada yang berkata untuk menjawab atau menen-

tang. Mata semuanya saling pandang, seperti in-

gin meminta persetujuan dari satu ke lainnya. 

Sanggara yang melihat kebimbangan mereka se-

gera meneruskan, "Percayalah pada kami, bahwa


kami akan selalu melindungi kalian semua. Bah-

wa kalian akan mampu menghadapi siapa saja 

yang akan menghalangi kalian dengan ilmu yang 

kalian miliki. Bukan begitu, saudara- saudara?"

Karena mereka sangat meyakini bahwa dua 

Ketuanya benar-benar sakti, maka tanpa berpikir 

banyak lagi semuanya segera menganggukkan ke-

pala. Hal itu menjadikan seulas senyum di bibir 

kedua kakak beradik tersebut. Keduanya merasa 

bahwa jalan untuk mencapai segala cita-citanya 

menjadi datuk-datuk persilatan akan dapat mere-

ka rebut.

"Mulai esok pagi, kalian semua akan kami 

didik dengan segala ilmu silat dan ilmu-ilmu yang 

lain. Bagaimana, apakah kalian mau? Adakah 

yang tidak setuju?" tanya Sanggara sembari ma-

tanya memandang pada kedua ratus anggotanya 

yang tak ada yang menyahut. "Kalau kalian me-

mang setuju, baiklah hari ini juga akan kami bagi 

kalian dalam empat kelompok. Satu kelompok, 

harus dapat menjadikan kekuatan yang gagah be-

rani dalam menghadapi apapun juga. Kelompok 

pertama, kami tugaskan untuk beroperasi di wi-

layah Kulon. Kelompok kedua di wilayah Kidul. 

Kelompok ketiga di wilayah Wetan. Sedang ke-

lompok terakhir, di wilayah Lor. Ingat pembagi-an 

ini baik-baik! Besok hari, kalian datang ke mari 

lagi untuk mengikuti latihan silat yang akan men-

jadikan diri kalian sebagai seorang pendekar. 

Nah, sekarang kalian boleh pulang. Jangan kalian 

ceritakan hal ini pada yang lainnya, ingat itu!"

"Daulat, Tuan Pendekar...!" jawab semua


nya serempak.

"Mulai saat ini, kalian harus memanggil 

kami Pemimpin. Bukan Pendekar, mengerti?"

"Daulat, Ketua?"

Setelah semuanya mendapatkan sehelai 

daun lontar yang entah apa isinya, semuanya pun 

berbondong-bondong meninggalkan Padepokan 

Gunung Kapur untuk kembali ke rumah masing-

masing. Esok nanti, mereka akan resmi menjadi 

anggota Perkumpulan Pesanggrahan Gunung Ka-

pur. Kedua kakak beradik seperguruan itu ter-

senyum, merasakan hasil yang maksimal. Kini 

mereka yakin, bahwa mereka kelak akan menjadi 

seorang Datuk Persilatan yang ditakuti dan di-

segani kawan maupun lawan.


DUA



Seperti apa yang telah mereka rencanakan, 

maka sejak hari itu Pesanggrahan Gunung Kapur 

pun mendidik semua anggotanya dengan berbagai 

macam ilmu. Semuanya disiapkan untuk kelak 

menjadi orang pemberani, siap menghadapi sega-

la apa yang bakal mereka hadapi.

Hari berganti menjadi minggu, akhirnya 

minggu berganti dengan bulan. Tanpa terasa, tiga 

bulan sudah semuanya belajar ilmu silat dan se-

gala hal yang sekiranya bakal berguna untuk diri 

mereka. Kini mereka benar-benar berubah, bukan 

menjadi mereka yang dulu, yang polos sebagai 

orang gunung. Karena didikan bagi mereka keras,



jadilah kedua ratus pemuda itu sebagai pemuda 

pemberani pantang mau menyerah.

Namun walau mereka keras, mereka masih 

selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan rasa 

persahabatan bagi sesama golongannya.

Kuatlah kini kuku-kuku yang mencengke-

ram, untuk segera kuku-kuku itu beraksi meng-

koyak-koyak mangsa. Kuku-kuku tersebut telah 

benar-benar diasah, benar-benar tajam bila harus 

digunakan. Hari itu juga, anggota Pesanggrahan 

Gunung Kapur yang telah dibagi menjadi empat 

itu beraksi. Empat wilayah sekitar Pegunungan 

Kapur, seketika itu terkenal angker bagi para 

orang yang pulang malam. Tindakan mereka begi-

tu telengas, sehingga dalam sekejap saja nama 

Pesanggrahan Gunung Kapur menyebar dan men-

jadi momok bagi para penduduk di sekitarnya.

"Hua, ha, ha... kini bukankah segalanya te-

lah menjadi kenyataan?" tanya Renggana seper-

tinya puas melihat hasil yang dicapai oleh para 

anggotanya. "Kalian memang orang-orang yang 

pemberani, sehingga kalian sangat disegani tin-

dakannya. Hem, aku mempunyai rencana lagi."

"Rencana apa, Kakang?" tanya Sanggara.

"Benar, apa yang dikatakan Ketua Sangga-

ra. Adakah rencana lainnya lagi?" para anggota 

pun tak mau ketinggalan bertanya.

Renggana tak menjawab, ia seketika ter-

diam membisu. Dilangkahkan kakinya pergi ke 

luar, diikuti pandangan mata seluruh anggotanya 

yang ada di situ. Anggota yang ada di situ, meru-

pakan anggota yang telah menjalani tugasnya. Ya,


begitulah. Kelima puluh anggotanya akan menja-

lani tugas dalam dua kali. Dua puluh lima orang 

bekerja, dua puluh lima orang lainnya istirahat. 

Sengaja Renggana mengaturnya sedemikian rupa, 

dikarenakan ia tak ingin para anggotanya merasa 

jenuh untuk melakukan segala apa yang telah di-

rencanakan. Apabila kedua puluh lima anggota 

yang telah menjalankan tugas kembali, maka me-

reka diberinya segala kepuasan dari makanan, 

gadis-gadis penghibur dan segala macam yang 

memabukkan.

Sebenarnya Sanggara tak menyukai sega-

lanya, ia merasa segala tindakannya dan tindakan 

Renggana telah kelewatan. Namun untuk mempe-

ringatkannya, jelas Sanggara tak berani. Pertama, 

karena ia merasa sebagai adik seperguruan, yang 

mau tidak mau harus menghormati kakak seper-

guruannya. Kedua, mereka telah diberi petuah 

oleh guru mereka untuk saling menyokong bila 

diperlukan, itulah yang mengakibatkan Sanggara 

sukar untuk melakukan protes atau tindakan.

"Aku mempunyai maksud...." Renggana tak 

meneruskan kalimatnya. Ia kembali melangkah 

masuk ke Padepokan, berjalan hilir mudik ke sa-

na ke mari dengan kepala terangguk-angguk. Ma-

tanya memancar tajam, setajam mata burung Ga-

gak. Ya, memang dia adalah Datuk Gagak Hi-tam, 

yang dengan ilmu silumannya mampu mengubah 

dirinya menjadi seekor burung Gagak.

Semua yang ada di situ termasuk Sanggara 

nampak terdiam, hanya mata mereka yang tak 

henti-hentinya memandang tajam pada Renggana


yang nampak tenang-tenang, berjalan ke sana ke 

mari. Lama kelamaan, Sanggara yang sudah tak 

tahan melihat tingkah kakaknya yang diliputi ra-

hasia bertanya.

"Kakang, kenapa Kakang mesti menyem-

bunyikan sesuatu?"

"Oh, tidak. Aku tidak menyembunyikan 

apa-apa, Adikku. Aku sebenarnya tengah berpikir 

untuk mengembangkan sayap ku, laksana sayap 

burung Gagak. Aku ingin kejayaan Datuk Gagak 

Hitam, melebar ke segenap penjuru dunia. Tidak 

hanya dalam lingkup wilayah Pesanggrahan Gu-

nung Kapur saja, tapi harus mampu menembus 

dunia persilatan."

"Ah, apakah itu tidak terlalu tinggi, Ka-

kang?" 

"Maksudmu...?"

Sejurus Sanggara terdiam mengatur napas, 

matanya memandang ke luar dengan kosong. Ia 

memang telah memikirkan bahwa kakaknya yang 

berantusias tinggi suatu saat pasti ingin menjadi-

kan dirinya sebagai orang yang paling kuat. Ka-

kak seperguruannya tak berpikir, bahwa di dunia 

persilatan bukan mereka saja yang sakti. Bahkan 

lebih dari mereka berdua pun banyak. "Apakah 

Kakang Renggana tak mendengar nama seorang 

tokoh persilatan yang ilmunya sangat tinggi, bah-

kan dapat disejajarkan dengan Dewa?" keluh hati 

Sanggara, sepertinya menyesali cita-cita kakak-

nya. Setelah lama terdiam, Sanggara pun akhir-

nya berkata: "Apakah itu sudah Kakang pikirkan 

masak-masak?"


"Sudah, Adikku," jawab Renggana kalem, 

dengan senyum keangkuhan yang melekat di bi-

birnya yang kebiru-biruan. "Aku sudah memikir-

kan segalanya. Dan aku yakin, bahwa aku akan 

mampu menjadi Datuk di antara Datuk Persila-

tan. Hua, ha, ha...!"

Gelak tawa membahana keluar dari mulut 

Renggana, yang seketika menjadikan rasa me-

rinding bagi para pendengarnya. Semua yang ada 

di situ bagaikan tercekat, diam tanpa ada yang 

berkata sepertinya mereka terpengaruh kekuatan 

magis yang keluar bersamaan dengan gelak tawa 

tersebut.

Walau Sanggara juga terdiam tanpa kata, 

tapi dalam hatinya seketika gundah. Ia sadar, 

bahwa dirinya tak dapat selaras dengan kakak-

nya. Namun untuk menentang, untuk saat-saat 

sekarang ia rasa belum waktunya. Bagaimana 

nanti jika guru mengetahui, sungguh petaka bagi 

dirinya. "Ah, kenapa aku dulu menjadi murid Da-

tuk Rangka Urip? Oh, sungguh tekanan batin jika 

aku harus terus menerus berbuat begini. Hati ke-

cilku seperti menolak, namun aku tak mampu 

melakukan apa-apa. Oh, kenapa orang-orang me-

nilai ku sebagai seorang Datuk sesat?" beribu-

ribu macam pertanyaan menggayut dalam ha-

tinya, menjadikan Sanggara hanya mampu ter-

tunduk lesu.

Melihat adik seperguruannya terdiam me-

nunduk, Renggana seketika menanya: "Kenapa 

kau melamun, Adikku? Apakah kau kurang setu-

ju dengan apa yang aku cita-citakan?"


Suara Renggana begitu halus, ramah ba-

gaikan tak mengerti apa yang tengah melanda pi-

kiran adiknya. Hal itu membuat Sanggara merasa 

makin terpukul, berat untuk berkata-kata. Wa-

laupun dalam hati berkata Ya, namun di mulut 

Sanggara tak berani untuk berkata begitu. Maka 

sebagai penutup isi hatinya Sanggara mencoba 

tersenyum. Digelengkan kepalanya, lalu dengan 

mendesah dulu berkata: "Tidak begitu, Kakang. 

Aku setuju saja pada apa yang menjadi keingi-

nanmu, bukankah guru menyuruh kita untuk 

saling membantu?"

"Memang benar, Adikku. Tapi, kenapa se-

pertinya sedih?"

"Ah, mungkin itu hanya pandangan Ka-

kang saja. Aku tidak sedih, atau gundah. Aku 

hanya tengah memikirkan bagaimana jika kelak 

kita menjadi Datuk-Datuk yang disegani."

Bergelak tawa Renggana mendengar jawab-

an adik seperguruannya.

"Bagus, bagus. Nah, para kadang ku, ba-

gaimana dengan kalian? Apakah kalian juga se-

nang bila mempunyai guru yang ditakuti di selu-

ruh pelosok dunia persilatan?" tanya Renggana 

pada kesemua anggotanya.

"Akur...!"

"Rupanya kalian memang orang-orang ga-

gah berani, yang suka sekali dengan kejayaan. 

Kelak, kalian sendiri yang akan merasakan keba-

hagiaannya. Hua, ha, ha...!" kembali Renggana 

bergelak tawa, sepertinya puas. "Tapi rencana itu 

nanti, kalau benar-benar telah kokoh. Bukan be


gitu...?"

"Akur..." kembali terdengar jawaban se-

rempak.

Tengah mereka bercakap-cakap, dari ke-

jauhan tampak serombongan orang yang juga 

anggota mereka datang menuju ke tempat itu. Di 

wajah keseratus orang yang datang, nampak se-

buah gambaran kecemasan yang dalam bercam-

pur dengan rasa takut. Hal itu seketika menjadi-

kan Renggana terbelalak kaget, sebab tak biasa-

biasanya anak buahnya datang sebelum ganti ja-

ga. Serta merta, Renggana segera berkelebat me-

nyambutnya dengan penuh ketidakpengertian se-

raya bertanya.

"Kenapa kalian belum waktunya sudah pu-

lang?"

"Ampun, Tetua. Kami diserang oleh gerom-

bolan lain yang langsung dipimpin oleh Ketuanya 

Datuk Mujo Hitam," jawab salah seorang Ketua 

kelompok dengan wajah pucat ketakutan. Ter-

sentak seketika Renggana mendengar keterangan 

anak buahnya, gigi-giginya bergeretukan mena-

han marah. Dari mulutnya seketika mendesis 

ucapan kekesalannya:

"Bedebah! Rupanya Datuk anjing itu hen-

dak berlagak! Hem, jangan kira akan mudah 

membuat kerusuhan pada kelompok ku. Adik 

Sanggara...."

"Ya, Kakang!" Sanggara yang waktu itu ma-

sih terduduk dengan segera bangkit, dan dalam 

sekejap saja tubuhnya telah berkelebat diantara 

anak buahnya. Tubuh itu bagaikan terbang,


mungkin lebih cepat mencelat hingga tiba-tiba 

sampai di hadapan kakak seperguruannya yang 

matanya memancarkan api kemarahan. "Ada ge-

rangan apa, sehingga Kakang begitu marahnya?"

"Datuk Anjing itu rupanya ingin menan-

tang kita, Sanggara."

"Siapakah yang Kakang maksudkan?" 

Sanggara bertanya belum memahami apa yang 

oleh kakak seperguruannya dikatakan Datuk Anj-

ing. Banyak sekali Datuk-Datuk yang memusuhi 

mereka, tidak banyak pula yang pro pada mereka.

"Datuk Mujo Hitam, Adikku. Dia telah lan-

cang hendak menguasai wilayah kita. Bagaimana? 

Apakah kau akan mendiamkannya?"

Sanggara sesaat terdiam menunduk, sukar 

untuk menjawab dengan se-enak kata. Hatinya 

bimbang, bagaimana harus menerangkan atau 

mengambil keputusan. Satu sisi hatinya menga-

takan, biarlah. Tapi sisi hatinya yang lain menga-

takan, bahwa Renggana adalah kakak sepergu-

ruannya yang harus dibela. Walaupun Renggana 

berbuat jahat, sebagai seorang adik seperguruan 

ia harus melindungi atau membantunya. Karena 

kebimbangan itulah, sehingga Sanggara tak sege-

ra menjawab pertanyaan kakaknya. Dicarinya ca-

ra yang baik untuk dapat mengatasi apa yang te-

lah melanda emosi kakaknya, agar Datuk Mujo 

Hitam pun tidak terkena gebuk. Setelah dirasa 

ada jalan yang paling baik, Sanggara akhirnya 

berkata "Baiklah, Kakang. Aku akan mencoba 

menghadapinya. Aku minta, janganlah Kakang 

terburu-buru ikut campur. Aku rasa aku akan


mampu menghadapinya seorang diri."

"Bagus, bagus. Hem, memang cukup den-

ganmu saja, tak perlu melibatkan diriku untuk 

menghadapi Datuk Anjing Bulukan itu. Kapan 

kau mau berangkat, Adikku?" tanya Renggana 

senang.

"Mungkin hari ini juga, Kakang." jawab 

Sanggara, menjadikan Renggana seketika kembali 

bergelak tawa. Ia bangga mempunyai adik seper-

guruan macam Sanggara, yang mengerti akan to-

leransi dan mau membantu dirinya demi menge-

jar cita-citanya sebagai Datuk di antara Datuk 

atau Datuk segala Datuk.

"Bagus! Memang lebih baik secepatnya agar 

Datuk Anjing itu tidak sembrono pada kita." 

Renggana wajahnya berseri-seri. Ia tahu keheba-

tan adik seperguruannya, maka itu ia sangat 

mengharapkan tenaga serta ilmu adiknya. Hati 

Renggana tenang dan tentram, merasa yakin ka-

lau adik seperguruannya akan mampu mengalah-

kan Datuk Mujo Hitam. Walau Datuk Mujo Hitam

sudah terkenal, namun ilmu yang dimiliki adik-

nya sungguh bukan ilmu sembarangan. Adiknya, 

Sanggara adalah murid terpintar di perguruan 

hingga kakak-kakak seperguruannya menju-

lukinya sebagai Anak Dewa. Tapi walau dirinya 

sangat pintar dan tinggi ilmunya, Sanggara tak 

sombong. Bahkan ia rendah diri dan tak mau 

memamerkan ilmu yang dimilikinya, seperti hal-

nya Datuk-Datuk Persilatan yang lain.

"Berapa orang anak buah yang hendak 

eng-kau bawa, Adikku?"


"Tiga orang saja."

"Apa...?" membeliak kaget mata Renggana, 

demi mendengar jawaban adik seperguruannya. 

Hatinya berkata bimbang, bagaimana mungkin 

menghadapi seratus orang gerombolan yang lang-

sung ditangani Ketuanya hanya dengan tiga 

orang? Namun bila ia ingat kembali bahwa adik 

seperguruannya bukan orang sembarangan, 

Renggana akhirnya sadar dan memahami. Diang-

guk-anggukkan kepalanya, seakan yakin akan se-

gala yang menjadi keputusan sang adik. "Baiklah, 

aku hanya menuruti apa yang menjadi permin-

taanmu." 

"Terima kasih, Kakang," jawab Sanggara 

sembari sunggingkan senyum. Ia kini agak tenan-

gan, merasa bahwa usahanya untuk mencari ja-

lan yang baik akhirnya akan dapat terlaksana. 

"Tapi bila Datuk Mujo Hitam menolak, apa boleh 

buat," kata hatinya.

"Siapa yang akan kau bawa, Adikku?"

"Topel...!"seru Sanggara memanggil anak 

buahnya tanpa memperdulikan pertanyaan kakak 

seperguruannya, sebab panggilan itu sudah me-

rupakan jawaban dari pertanyaan Renggana. 

Renggana hanya dapat gelengkan kepala melihat 

tingkah laku adik seperguruanya yang serba 

aneh. Dari sejak mereka masih anak-anak dan 

dididik oleh guru mereka, hanya Sanggara saja 

yang berkepribadian dan tingkah laku yang aneh. 

Dulu Renggana dan kakak-kakak seperguruannya 

yang lain, menganggap bahwa tingkah laku adik 

seperguruannya itu merupakan, tingkah laku


layaknya seorang anak. Tapi sekarang, rupanya 

tingkah laku itu merupakan pembawaan dari la-

hir hingga sukar untuk dirubah oleh siapa pun.

"Saya, Ketua...!" Topel yang dipanggil sege-

ra menjawab dan lari mendekati sembari ber-

tanya. "Ada apa, Ketua?"

Seperti mana kala ditanya oleh Renggana, 

kali ini pun Sanggara tak menjawab pertanyaan 

Topel.

"Sangkel...!" kembali ia berseru tanpa hi-

raukan Topel yang terbengong-bengong tak men-

gerti dan hanya berdiri mematung di tempatnya.

"Saya, Ketua...!" terdengar jawaban yang 

dibarengi dengan berkelebatnya sesosok tubuh 

gendut pendek, sehingga tampak lucu kelihatan-

nya. Sangkel merasa biarpun ia menanya, tak 

akan mendapat jawaban dari pimpinannya seperti 

Topel.

"Rengek...!"

"Saya Ketua...!" Rengek segera berkelebat 

menuju ke tempat di mana dua orang temannya 

berdiri berjejer. Nampak kelucuan di diri ketiga 

orang yang dipilih oleh Sanggara, menjadikan 

Renggana seketika tak dapat menahan gelak ta-

wanya.

Melihat kakak seperguruannya tertawa.

dengan rasa tak mengerti Sanggara bertanya: 

"Kenapa Kakang tertawa...?"

"Lucu. Sungguh lucu sekali," Renggana 

menjawab dengan masih menahan tawa. "Apakah 

kau tak salah pilih, Adikku?"

"Tidak, Kakang. Aku memilih mereka, se


bab mereka adalah orang-orang yang tenang dan 

lucu. Aku mengharapkan mereka dapat menghi-

bur diriku. Bukan begitu, Topel, Rengek, Sangkel"

"Benar, Ketua...!" jawab ketiganya bareng, 

dengan cengar-cengir bagaikan orang bloon. Itu 

saja mampu mengundang gelak tawa, apalagi bila 

mereka telah bertingkah yang lucu-lucu.

"Baiklah, Kakang. Aku mohon pamit untuk 

pergi menemui Datuk Mujo Hitam. Aku harapkan 

do'a dari semuanya demi kesuksesan yang akan 

aku terima."

"Aku do'akan," jawab Renggana dengan se-

nyum senang melekat di bibirnya. "Kalau sudah 

beres semua, cepatlah kau pulang."

"Akan saya usahakan," jawab Sanggara. 

"Ayo Topel, Rengek, Sangkel, kita berangkat."

"Daulat, Ketua. Kami iringi..." jawab keti-

ganya sembari menjura. Setelah menjura pada 

kakak seperguruannya, segera Sanggara yang di-

ikuti oleh ketiga anak buahnya yang lucu-lucu 

berangkat meninggalkan Pesanggrahan Gunung 

Kapur menuju ke tempat di mana Datuk Mujo Hi-

tam berada. Mereka pergi dengan jalan kaki, tan-

pa menggunakan kuda karena jarak yang mereka 

tempuh tak sampai memakan waktu sehari pe-

nuh. 


TIGA



Hutan Tarakan nampak hening, sunyi se-

nyap bagaikan tak berpenghuni. Angin gunung


Kapur yang gersang, bertiup merambah pohon-

pohon yang memadati hutan tersebut. Dari ke-

jauhan yang tepatnya dari atas gunung, seorang 

penunggang kuda menggebas kudanya dengan 

kecepatan tinggi. Sepertinya orang tersebut ingin 

segera lekas sampai pada tempat yang dituju. Wa-

jah orang itu begitu pucat, seakan ada hantu saja 

yang tengah mengejarnya. Mulutnya tak henti-

hentinya menggeretak, mengomel-omel entah di-

tujukan pada siapa.

"Empat orang itu sungguh lancang, berani 

mendatangi ke mari!" rungutnya. "Mereka seperti 

orang-orang Pesanggrahan Gunung Kapur. Ya, 

aku lihat orang yang berjalan paling depan tak 

lain Datuk Muda Cobra Merah. Pantas... pantas 

kalau dia berani menyatroni tempat ini. Sudah 

aku bilang pada Datuk, agar jangan sekali-kali 

mencari urusan dengan Pesanggrahan Gunung 

Kapur. Ah, entahlah. Yang penting aku harus se-

gera memberitahukannya pada sang Datuk."

Orang itu yang ternyata anak Buah Datuk 

Mujo Hitam kembali menggebah kudanya dengan 

kecepatan tinggi. Napasnya memburu, matanya 

liar memandang ke muka di mana liuk-liuk sun-

gai Berantas membujur dari arah Selatan menga-

lir ke Utara. Tanpa kata-kata, orang itu terus 

menggebah lari kudanya hingga dalam waktu 

singkat sampailah orang tersebut pada Hutan Ta-

rakan di mana seluruh anggota Datuk Mujo Hi-

tam berada.

"Datuk... Datuk...!" orang itu berteriak-

teriak walau masih agak jauh jaraknya, sehingga


membuat seluruh penghuni Hutan Tarakan ter-

sentak kaget dan berserabutan keluar, tak keting-

galan Datuk Mujo Hitam yang bertampang kumal, 

berjubah merah menyala. Jenggot sang Datuk 

panjang terurai bagaikan tak pernah diurus. Ma-

tanya merah, menyipit sempit memandang ke 

arah orang tersebut. Setelah tahu siapa yang da-

tang, sang Datuk membentak bertanya: "Kupret! 

Bikin orang jantungan saja kau, Lego! Ada apa 

kau berteriak-teriak kayak orang kesetanan, 

Hah!?"

"Ampun, Datuk. Orang-orang Pesanggra-

han Gunung Kapur pada datang menuju ke mari."

Membeliak mata sang Datuk, ia mengira 

seluruh anggota dan dua Ketuanya datang se-

mua. Mata Datuk Mujo Hitam yang melotot, men-

jadikan warna merah menyala nampak jelas ken-

tara.

"Berapa orang yang datang, Lego?"

"Empat orang, Datuk...."

Mendengar jawaban dari anak buahnya se-

ketika Datuk Mujo Hitam tertawa bergelak-gelak. 

Hingga saking kencangnya gelak tawa sang Da-

tuk, sampai-sampai tubuhnya yang gemuk ter-

guncang-guncang.

"Baru empat orang... seluruhnya hadirpun 

aku tak akan takut," ucap Datuk Mujo Hitam 

sombong. "Anak-anak, siapkah kalian untuk 

menghadapi tikus-tikus yang akan menyerang ki-

ta?"

"Siap, Datuk...!" jawab mereka serempak. 

Ada kurang lebih seratus anggota perkumpulan


Datuk Mujo Hitam. Tampang mereka beringas, 

layaknya seekor kucing yang siap untuk mengha-

dapi empat ekor tikus-tikus tanah. Mungkin da-

lam hati mereka bergumam, baru empat orang 

yang datang. Apakah mereka menganggap akan 

menang? Mereka nekad menyatroni kandang si-

nga. Ya, memang bila dilihat dari sepintas, ke-

empat orang Pesanggrahan Gunung Kapur bisa 

dikatakan nekad. Tapi bila dilihat siapa yang 

menjadi pimpinannya, maka anggota Datuk Mujo 

Hitam tak akan berani sembrono. Pimpinan ke-

tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, ia 

adalah Datuk Muda Cobra Merah, seorang Datuk 

yang paling muda di antara para Datuk dunia 

persilatan. Karena ilmu yang dimiliki begitu ting-

gi, hingga dia semuda itu diangkat menjadi seo-

rang Datuk.

Semua anggota Datuk Mujo Hitam gelak 

tawa, hanya Lego saja yang diam. Ia telah men-

dengar kehebatan Datuk Muda Cobra Merah, ma-

ka itu ia tak berani gegabah ngomong. Lego takut 

kalau-kalau omongannya tak akan menjadi ke-

nyataan, bahkan mungkin akan berakibat seba-

liknya.

"Datuk, apakah Datuk tak tahu siapa yang 

datang ke mari?"

"Bagiku, siapa yang datang tak jadi masa-

lah. Aku Datuk Mujo Hitam, pantang untuk men-

gakui kehebatan lawan."

"Tapi, Datuk...?" Lego hendak memprotes, 

namun seketika ia tak meneruskan ucapannya 

mana kala dilihatnya mata sang Datuk melototi


nya. Lego akhirnya hanya tertunduk, hatinya 

menggerutu kesal. Bagaimana tidak, ia tahu siapa 

yang datang. Orang yang sangat ditakuti oleh 

orang-orang persilatan setelah nama besar Pen-

dekar Siluman Darah. Memang saat itu ada lima 

orang yang namanya cukup kondang bagi dunia 

persilatan. Pertama, Raja Maling Suci yang sudah 

lama menghilang. Kedua, Pendekar Pedang Silu-

man Darah disusul oleh Maling Siluman, Supit 

Songong dan Datuk Muda Cobra Merah.

"Kau jangan menakut-nakuti temanmu, 

Lego!" bentak sang Datuk marah, merasa bahwa 

Lego telah menakut-nakuti anak buahnya. "Baru 

menghadapi empat orang kau sudah ngeper. Ma-

na kesatriaanmu, Lego?"

Lego tak dapat berkata, ia pasrah pada se-

gala keputusan Datuk Mujo Hitam Ketuanya. Ya, 

begitulah hukum alam dunia persilatan, pimpi-

nan harus memegang segalanya dan bawahan ha-

rus menuruti segala apa saja yang menjadi kepu-

tusan pimpinannya.

"Masih jauhkah mereka, Lego?"

"Aku sudah datang, Datuk Mujo?"

Tersentak semuanya demi mendengar se-

seorang berseru menyahuti pertanyaan Datuk 

Mujo Hitam. Seketika mata semuanya meman-

dang ke arah asalnya suara, di mana tampak em-

pat orang dengan tiga orang bertampang konyol 

berada. Mata sang Datuk seketika lebih membe-

liak kaget, ketika diketahui siapa yang datang 

bersama tiga orang manusia bertampang konyol. 

Saking kagetnya, sampai-sampai sang Datuk ber


seru menyebut gelar orang tersebut. "Datuk Muda 

Cobra Merah...!"

Orang itu tersenyum, kakinya melangkah 

pelan mendekati arah Datuk Mujo Hitam berada 

yang kini tampak mengkeret ketakutan tidak se-

perti pertama kali bicara. Makin dekat Datuk Mu-

da Cobra Merah menuju ke arahnya, makin mun-

dur Datuk Mujo Hitam. Sementara keseratus 

anak buahnya telah siaga dengan senjata di tan-

gan masing-masing siap untuk menyerang. Na-

mun Datuk Muda Cobra Merah, sepertinya tak hi-

raukan. Dia terus melangkah mendekati Datuk 

Mujo Hitam yang makin menyurut mundur seta-

pak demi setapak.

"Kenapa, Datuk? Apakah kau takut?" tanya 

Datuk Muda Cobra Merah tanpa ekspresi, tenang. 

Namun justru ketenangan itulah yang membuat 

Datuk Mujo Hitam agak jengah. "Aku tak akan 

mendahului, bila kau mau menuruti apa yang 

akan aku katakan. Bagaimana, Datuk...?"

Sejenak Datuk Mujo Hitam hentikan lang-

kahnya, memandang tajam pada Sanggara atau 

Datuk Muda Cobra Merah.

"Bagaimana, Datuk...?" kembali Sanggara 

bertanya.

"Baiklah, aku terima apa yang hendak kau 

katakan," jawab Datuk Mujo Hitam setelah se-

kian lama berpikir, menjadikan Datuk Muda Co-

bra Merah tersenyum.

"Dengar baik-baik olehmu. Aku minta, per-

gilah kalian dari wilayah kekuasaan kakak seper-

guruanku."


"Ah...!"

"Kenapa, Datuk...? Kau berat?" 

"Ya," jawab Datuk Mujo Hitam dengan sua-

ra bergetar.

Datuk Muda Cobra Merah tersenyum. Ma-

tanya yang menyala laksana mata Ular Cobra, 

menghujam lekat pada mata Datuk Mujo Hitam. 

Sampai tak kuasa sang Datuk untuk meneruskan 

menantang pandang. Melihat Datuk Mujo Hitam 

tertunduk, Sanggara mendesis.

"Jadi kau hendak menentang kakak seper-

guruanku?"

Sang Datuk terjengat tak dapat berkata. Ia 

ragu untuk menjawab pertanyaan Datuk Muda 

Cobra Merah. Hatinya galau dan bimbang untuk 

menentukan segalanya. Kalau ia menyerah, be-

rarti tamatlah riwayat persekutuannya. Namun 

bila ia menolak, ia harus berpikir untuk mengha-

dapi Datuk Muda Cobra Merah yang memiliki il-

mu tinggi lebih dua tingkat di atasnya. Namun 

bukankah ia memiliki seratus orang anggota yang 

siap dengan senjata masing- masing? Sesaat sang 

Datuk sepertinya hendak mengatakan siap! Sete-

lah menimbang-nimbang untung ruginya, Datuk 

Mujo Hitam pun menjawab dengan suara agak 

berat.

"Aku tak mau, sebab aku pun perlu hidup."

Sang Datuk mengira kalau ucapannya 

bakal menjadikan Sanggara atau Datuk Muda 

Cobra Merah marah, tapi ternyata tidak. Datuk 

Muda Cobra Merah bahkan simpulkan senyum, 

angguk-kan kepala sembari memandang tajam


pada Datuk Mujo Hitam.

"Kau ingin terus hidup?" tanyanya kemu-

dian.

"Jelas. Setiap manusia perlu hidup. Bukan-

kah aku pun juga?"

Kembali Sanggara tersenyum.

"Bukankah kau dapat mencari tempat lain? 

Mengapa kau mesti merebut tempat kuasa kakak 

seperguruanku?" tanya Sanggara menyindir, men-

jadikan muka Datuk Mujo Hitam seketika merah. 

"Apakah kau lupa pada semua janji para Datuk?"

"Persetan dengan janji itu. Aku yang pent-

ing hidup, dan hidup dengan segala kebisaanku."

"Hem, kalau begitu kau menentangku, Da-

tuk?"

"Apa boleh buat. Ibarat merendam diri di 

air, kepalang basah. Maka lebih baik menyelam..." 

jawab sang Datuk, menjadikan Sanggara kembali 

tersenyum.

"Baiklah, Datuk. Karena aku sebagai wakil 

kakakku, maka aku pun harus memiliki kewa-

jiban. Nah, apakah kau tak punya cara lain untuk 

semuanya, Datuk?"

"Tidak! Sudah aku katakan, tidak!" Datuk 

Mujo Hitam benar-benar marah merasa diren-

dahkan oleh Sanggara. Kini ia benar-benar telah 

gelap, tak hiraukan siapa orang yang tengah di-

hadapinya. Orang yang namanya sempat meng-

gemparkan dunia persilatan. Orang yang dijuluki 

dengan Anak Dewa, karena ilmunya yang tinggi. 

Dalam hati Datuk Mujo Hitam hanya ada satu pi-

lihan, lebih baik mencoba menentang sekaligus


menjajaki seberapa ilmu yang dimiliki oleh Datuk 

Muda Cobra Merah yang kesohor itu.

"Kalau memang itu yang engkau kehenda-

ki. Jangan salahkan aku turun tangan."

"Aku sudah siap. Serang...!"

Mendengar seruan Datuknya, seketika se-

ratus orang anggotanya berkelebat dengan senjata

di tangan masing-masing menyerang Sanggara 

dan ketiga orang pengikutnya.

Sanggara yang tak ingin ketiga anak buah-

nya terkena serangan Datuk Mujo Hitam dan ke-

seratus anak buahnya, tanpa sungkan-sungkan 

lagi keluarkan ilmunya. Maka tanpa ayal lagi, se-

muanya seketika terpelanting berjatuhan disapu 

angin besar yang keluar dari tangan Datuk Muda 

Cobra Merah. Melihat hal itu, segera Datuk Mujo 

Hitam balas serangan dengan ajian Api Beragam. 

Dari tangan sang Datuk keluar aneka warna api 

menyembur, menyerang ke arah Sanggara dan 

ketiga anak buahnya yang menjerit-jerit ke-

takutan melihat api besar mengarah ke arah me-

reka.

"Tuan, bahaya...!" seru Topel dengan tubuh 

gemetaran.

"Wadauw...! Panas, Pimpinan!" Sangkel 

ikut ketakutan, juga begitu halnya Rengek yang 

merengek-rengek bagaikan anak kecil saking ta-

kutnya. Mungkin saking ketakutannya, sampai-

sampai Rengek terkencing-kencing di celana.

"Aduh, Tuan. Bagaimana ini...? Waduh, 

panas..."

Walau anak buahnya bertingkah lucu dan


ketakutan setengah mati, namun semua seperti

tak membuat Sanggara tertawa atau bingung. 

Sanggara terdiam, matanya yang tajam meman-

dang dengan sorot mata tajam. Perlahan tangan-

nya terangkat tinggi, kemudian dengan disertai 

desiran tangan itu diarahkan memapaki ajian 

yang dilontarkan Datuk Mujo Hitam.

"Ajian Prahara Neraka. Hiat...!"

Seketika angin puting beliung yang sangat 

besar dart dahsyat menggelegar-gelegar, menyapu 

api yang hendak menyerangnya. Api itu seketika 

berbalik, menyerang ke arah tuannya. Tersentak 

kaget Datuk Mujo Hitam yang segera tarik mun-

dur ajiannya. Dilemparkan tubuhnya, rebah rata 

dengan tanah mengelakkan serangan tersebut. 

Namun sungguh bahaya bagi anak buahnya. Se-

ketika itu, seluruh anak buahnya beterbangan 

melayang-layang di udara hingga jauh dan akhir-

nya jatuh dengan tubuh membiru beku terkoyak-

koyak.

Kini Datuk Mujo Hitam sadar, siapa yang 

tengah ia hadapi. Memang nama besar Datuk 

Muda Cobra Merah bukanlah omongan kosong 

belaka. Kini ia telah membuktikan kebenarannya 

sendiri. Maka mana kala Datuk Muda Cobra Me-

rah lengah, segera Datuk Mujo Hitam tinggalkan 

tempat itu.

Merasa musuhnya telah tak ada, segera 

Sanggara atau Datuk Muda Cobra Merah henti-

kan ajiannya. Dicarinya tubuh Datuk Mujo Hi-

tam, namun tak ditemukannya. Yang ada hanya 

bangkai-bangkai anak buah Datuk Mujo Hitam,


dan seorang lagi yang masih hidup tampak me-

mojok di pepohonan ketakutan. Orang itu tak lain 

Lego, yang sedari tadi ketakutan melihat apa yang 

terjadi. Ternyata segala omongannya benar, bah-

wa Datuk Muda Cobra Merah bukanlah orang 

sembarangan.

Sanggara yang melihat Lego tengah mojok 

dengan tubuh menggigil ketakutan segera meng-

hampiri. Sejenak dipandangnya lekat-lekat tubuh 

orang tersebut, lalu dengan suara pelan seperti 

tak ada rasa permusuhan Sanggara bertanya: 

"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak"

"Dia anak buahnya Datuk itu, Pimpinan."

"Aku tahu, Sangkel!"

Sangkel seketika terdiam, tak berani berka-

ta-kata. Ia tahu kalau pimpinannya yang seorang 

ini memang aneh, tapi baik hati. Berbeda dengan 

kakak seperguruannya yang kasar dan tak me-

ngenal kompromi, Sanggara memang berjiwa te-

nang dan penyabar serta penyayang. Hanya saja 

sifatnya sungguh aneh.

"Siapa namamu, Ki Sanak?" tanya Sangga-

ra kembali.

Mendengar suara yang tak mengandung 

permusuhan, Lego segera tengadahkan muka 

memandang pada siapa yang berkata. Walaupun 

jelas bahwa Sanggara tak menaruh dendam, na-

mun rasa takut kalau-kalau Sanggara marah te-

rus melekat di wajah Lego yang dengan terbata-

bata menjawab.

"Nama saya, Lego."

"Ki Sanak Lego. Apakah kau tahu ke mana



larinya pimpinanmu?"

"Ti-tidak, Tuan. Saya tidak tahu, sungguh."

"Ah, bohong kamu" hardik Rengek ikut-

ikutan. "Masak anggotanya tak tahu ke mana 

pimpinannya pergi. Boong!"

"Rengek, diam kau!" Sanggara melotot, 

menjadikan Rengek tundukkan muka tak berani 

untuk menentang pandang. "Lego, apakah kau 

ingin bebas?"

"Be... benar, Tuan," jawab Lego terbata sak-

ing girangnya.

"Kau sekarang bebas. Tapi ingat, jangan se-

kali-kali kau turut serta dengan Datuk Mujo Hi-

tam lagi. Kembalilah kau pada jalanmu, jalan 

yang baik!"

Tersentak Lego mendengar penuturan Da-

tuk Muda Cobra Merah. Bagaimana tidak. Baru 

kali ini ia mendengar nasehat dari seorang Datuk 

yang sungguh-sungguh bertentangan dengan ge-

larnya. Gelar Datuk, biasanya untuk orang-orang 

beraliran sesat, tapi mengapa Datuk Cobra Merah 

jauh dari semuanya. Dia begitu baik, penyabar, 

pemberi saran yang di luar akal dan perbuatan 

seorang Datuk yang biasanya tak kenal ampun 

dan kejam. Tak percaya Lego mendengarnya, se-

hingga matanya memandang ke seluruhan tubuh 

sang Datuk dari ujung kaki ke ujung kepala se-

perti ingin meyakinkan.

"Kenapa, Lego? Apakah kau melihat kegan-

jilan pada diriku?" tanya Sanggara, demi melihat 

Lego memandanginya terus menerus dari atas 

rambut sampai ke ujung kaki.


"Ti-tidak. Tuan sungguh aneh." jawab Lego 

terbata.

"Aneh...? Apanya yang aneh, Lego? Aku

manusia biasa seperti kamu. Bukan setan mara-

kiyangan, atau dedemit yang suka mengganggu 

manusia."

"Sifat tuan yang aneh," Lego akhirnya men-

jelaskan, menjadikan Sanggara atau Datuk Cobra 

Merah mengernyitkan keningnya tak mengerti. 

"Sebagai seorang Datuk, sungguh tuan sangat 

berbeda. Sifat tuan yang baik dan welas asih, me-

rupakan keterbalikan dari sifat seorang Datuk. 

Seorang Datuk akan tak mengenal semuanya. 

Yang hanya kebengisan dan keangkaramurkaan. 

Tapi tuan... Oh, tak ubahnya seorang Pendekar."

Jawaban Lego yang polos, menjadikan 

Sanggara tersenyum. Matanya berkaca-kaca, sea-

kan gembira mendengarnya. Memang hati kecil-

nya menolak untuk menerima sebutan Datuk. 

Tapi mau dikata apa, sebab gelar tersebut bukan 

dia sendiri yang membuatnya, melainkan orang 

lain.

"Sudahlah, Lego. Kini aku berikan kebe-

basan padamu."

"Terimakasih, tuan, terimakasih!" Lego 

menjura-jura beberapa kali sebagai ungkapan ra-

sa bahagia. Namun Lego hendak berlalu pergi, ti-

ba-tiba Sanggara berseru memanggilnya. "Tung-

gu, Lego!"

Lego segera hentikan langkah, balikan tu-

buh kembali menghadap ke arah Datuk Muda 

Cobra Merah yang berjalan ke arahnya.


"Ada apakah, Tuan?'

"Aku mau minta tolong padamu,"

"Tentang apa, Tuan? Kalau memang aku 

dapat, maka aku akan melaksanakannya," jawab 

Lego sembari duduk bersiku.

"Kau bisa, Lego. Kau akan aku minta to-

long untuk memberikan surat pada kakak seper-

guruanku. Tapi ingat, kau jangan menampakkan 

diri. Lemparkan surat itu dari jauh dengan tom-

bak, lalu kau harus pergi pulang ke rumahmu. 

Ingat, Lego. Jangan sampai ada yang mengetahui 

kedatanganmu, sebab tidak mungkin tidak kau 

akan mendapat celaka."

"Baiklah, Tuan. Segala apa yang disaran-

kan tuan akan saya taati dengan seksama," Lego 

menjawab dengan muka menunduk. Hatinya ma-

sih diliputi beribu macam pertanyaan tentang Da-

tuk yang satu ini, yang segala tindakannya sung-

guh-sungguh bertentangan dengan para Datuk 

lainnya.

Sanggara segera mengambil daun lontar 

yang sengaja ia simpan di balik sabuknya. Segera 

ditulisnya sebuah surat dengan guratan-guratan 

benda yang juga sengaja dia bawa.

"Datuk Gagak Hitam. Adik seperguruanmu 

telah aku hancurkan.

Beruntung aku tak ingin berurusan den-

ganmu. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau menden-

dam padaku. Aku telah membebaskan tanah kua-

samu, dan meninggalkan dengan tulus ikhlas. Aku 

minta maaf, karena telah melalaikan janji para Da


tuk yang tidak boleh menyaingi Datuk lainnya. 

Kembali aku meminta maaf, karena telah berbuat 

jahat terhadap adik seperguruanmu. Semoga kau 

mau memaafkan...

Dariku: Datuk Mujo Hitam

"Ini suratnya. Coba kau ambilkan sebatang 

tombak itu," perintahnya pada Sangkel, yang de-

ngan segera berlari untuk mengambil tombak 

yang ditunjuk pimpinannya. Setelah mengikat-

kan surat tersebut di ekor tombak, tombak itu 

pun segera diberikannya pada Lego.

"Saya pamit mundur, Tuan."

"Laksanakan dengan baik, dan hati-

hatilah," suara Sanggara datar, sepertinya dingin 

menyirami hati Lego, yang dengan segera berkele-

bat pergi kembali ke Hutan Tarakan di mana ku-

danya tadi tertambat. Dengan segera Lego pun 

memacu kudanya, pergi untuk menuju ke tempat 

Pesanggrahan Gunung Kapur yang letaknya se-

tengah hari bila ditempuh dengan berjalan kaki. 

Hari telah agak sore, maka sebentar pun akan ti-

ba malam. Hal itu sungguh sangat berarti bagi 

Lego, sebab dengan keadaan yang gelap Lego 

akan mudah menjalankan tugasnya.


EMPAT



Malam mulai merambah, dan gelappun 

menghampar menyelimuti bumi dan isinya. Sebuah bayangan berkelebat, lompat dari kudanya 

dan berlari menuju ke sebuah pepohonan yang 

agak rimbun. Sejenak matanya memandang seke-

liling, lalu menatap lekat pada titik api yang tam-

pak dari rumah yang sesungguhnya sebuah Pe-

sanggrahan. Merasa tak ada yang melihat, bayan-

gan itu segera berkelebat lebih mendekat. Lalu 

dengan segenap kekuatan, dilemparkan sebuah 

tombak yang berada di tangannya ke arah Pe-

sanggrahan tersebut. Terdengar seruan kaget 

membentak, bersamaan dengan berkelebatnya 

tubuh pelempar tombak itu lari menjauh menuju 

ke kudanya.

"Bedebah! Siapa yang telah berani lancang 

di sini!" memaki marah Renggana, demi melihat 

sebuah tombak berkelebat hampir saja menye-

rang tubuhnya. "Cari orang itu dan cincang tu-

buhnya bila tertangkap!"

Dengan tanpa banyak kata, orang-orang 

yang malam itu ada di situ segera menghambur 

ke luar untuk mengejar. Namun mereka sampai 

jauh menjarah tempat sekeliling, tak ada yang di-

temukan. Yang tampak hanya hamparan gelap 

gulita di depan mereka. Maka dengan wajah pe-

nuh keputusasaan mereka kembali menemui Ke-

tuanya.

"Mana orangnya!?"

"Tidak ada, Pimpinan," jawab mereka se-

rempak.

"Bodoh! Mengejar seorang kunyuk saja ka-

lian tidak becus!"

Semuanya tertunduk tak ada yang berani



menjawab atau menentang pandang. Rasa takut 

jelas tergambar di wajah mereka, sehingga mere-

ka nampak pucat pasi. Sementara Renggana 

nampak berjalan hilir mudik, dengan sekali-kali 

memandangi wajah-wajah anak buahnya yang

masih tertunduk. Setelah sekian lama hilir mudik 

berjalan Renggana segera hampiri tombak yang 

menancap di dinding Pesanggrahan. Dicabutnya 

tombak itu, tombak yang di ekornya tergulung se-

carik daun lontar. Perlahan dibukanya ikatan 

daun lontar tersebut, lalu dengan segera dibaca-

nya tulisan yang ada.

"Bedebah! Aku tak mau terima! Hem, kau 

telah membunuh adik seperguruanku, maka kau 

harus menghadapi aku, Datuk Anjing!" Renggana 

memaki-maki sendiri, entah pada siapa makian 

itu ditujukan. Yang pasti Renggana sangat terpu-

kul dengan isi surat tersebut yang secara tidak 

langsung telah menghinanya. "Datuk Mujo Hitam. 

Hutang nyawa harus kau bayar dengan nyawa 

pula."

Mendengar ucapan Ketuanya yang menga-

takan bahwa Datuk Muda Cobra Merah telah ma-

ti, seketika semuanya makin mendalamkan kepa-

la menunduk. Ada kedukaan lewat celah-celah 

mata mereka, yang sepertinya duka itu terlalu be-

rat. Memang duka itu terlalu berat bagi mereka. 

Bagaimana tidak, Datuk Muda Cobra Merah me-

rupakan pimpinan yang baik, yang sangat bijak-

sana dalam memberikan apa yang mereka butuh-

kan. Beda dengan Datuk Gagak Hitam kakaknya, 

keras dan tak mengenal kasihan. Hal itulah yang


mengakibatkan mereka semua seperti kehilangan 

segala-galanya. Kehilangan semangat juga kehi-

langan pimpinan yang baik.

"Sekarang kalian istirahatlah, besok kita 

mencari mayat Sanggara," Dengan lesu tanpa gai-

rah Renggana meninggalkan anak buahnya yang 

masih terpaku di tempat mereka berdiri. Baru se-

telah melihat Ketuanya masuk ke dalam kamar, 

semuanya segera berlalu dari situ. Sebagian ber-

jaga-jaga, kalau-kalau kejadian itu akan ada ke-

lanjutannya. Malam terus merambah, mengge-

lapkan segala apa yang berada di muka bumi. 

Angin pun bertiup, dingin menggigil ke tulang 

sumsum.

* * *

Pagi telah kembali datang, mana kala tam-

pak serombongan orang-orang bersenjata golok 

yang sepertinya siap perang berjalan menuju ke 

arah Utara di mana terhampar hutan Tarakan. 

Orang-orang tersebut, tak lain dari anggota Pe-

sanggrahan Gunung Kapur yang hendak mencari 

Ketua kedua mereka Sanggara. Dari kejauhan ter-

lihat oleh mereka burung-burung Nazar beterban-

gan, lalu kemudian kembali menukik sambil 

membunyikan suaranya mencuit- cuit.

"Lihat burung Nazar itu, sepertinya ia ten-

gah memakan bangkai."

"Benar, Ketua. Sepertinya burung-burung 

itu memang memakan bangkai," jawab anggota 

yang berjalan di sebelahnya, yang sekaligus men


jadi tangan kanan Renggana. Orang itu bernama 

Barda Kempo, berwajah menyeramkan dengan 

badan tinggi besar hingga ditakuti oleh para anak 

buahnya. Barda Kempo dulunya merupakan Ke-

tua Bajak Laut. Setelah ditahan dan bersembunyi 

di desa Trenggalek. Dan mana kala ia melihat per-

tunjukan yang diadakan oleh kedua kakak bera-

dik yang kini menjadi Ketuanya, Barda Kempo 

pun segera bergabung. Tak ada bedanya, dari Ba-

jak Laut berubah menjadi Begal.

Semakin dekat mereka melangkah, sema-

kin tampak jelas oleh mereka mayat-mayat yang 

sudah terkoyak-koyak oleh burung-burung Nazar 

bergelimpangan memenuhi Hutan Tarakan yang 

sunyi senyap laksana pekuburan.

"Cari di antara mayat-mayat tersebut. Apa-

kah ada ciri-ciri adik seperguruanku dan ketiga 

orang pengikutnya?" berkata Renggana dengan 

nada memerintah. Mereka serentak bersama-

sama mencari. Namun dikarenakan keadaan tu-

buh mereka yang mati sudah tak karuan, susah 

bagi anggota Pesanggrahan Gunung Kapur untuk 

mengenali mayat-mayat itu lagi. Dan memang da-

ri pakaian yang dikenakan para mayat, tak ada 

satu pun pakaiannya sama dengan pakaian yang 

dikenakan oleh Sanggara pada waktu pergi untuk 

mengadakan penyerangan pada gerombolan Da-

tuk Mujo Hitam.

"Tak ada, Ketua!" Barda Kempo yang turut 

mencari bersama anak buahnya segera berseru 

memberitahukan pada Ketuanya, menjadikan 

Renggana kerutkan kening.


"Mana mungkin tak ada? Sedangkan isi su-

rat itu mengatakan bahwa Adikku telah binasa. 

Hem, apa artinya semua ini?" tanya Renggana pe-

nuh ketidakmengertian. "Jangan-jangan, semua 

hanya bohong belaka. Tapi... kalau bohong, mana 

mungkin adikku tak kembali, atau paling tidak 

ketiga orang anak buahnya?"

Misteri.... Ya, misteri bagi Renggana atau 

Datuk Gagak Hitam. Misteri yang harus diselidiki. 

Misteri yang menjadikan tanda tanya di hati 

Renggana. Semuanya serba gelap, tak ada yang 

dapat menjawab semua kejadian. Bagaimana 

mungkin, kalau memang binasa jelas ada mayat-

nya. Tapi ini, mereka tak menemukan bekas-be-

kasnya. Maka dengan hasil sia-sia, semua anggo-

ta Pesanggrahan dengan hati yang dibekali seribu 

satu macam pertanyaan yang harus mereka ja-

wab.

Hilangnya Sanggara menjadikan Renggana 

frustasi. Namun demikian, bukannya Renggana 

patah semangat dengan ketidak adaannya seo-

rang adik yang sangat dapat diandalkan. Tin-

dakan Renggana bahkan makin menjadi-jadi. Se-

gala apa yang pernah direncanakan, kini benar-

benar dilaksanakannya. Seperti hari itu, Rengga-

na tampak telah dihadapi oleh seluruh anak 

buahnya. Renggana sengaja memanggil semua 

anak buahnya untuk mengadakan pembicaraan 

hal rencananya untuk membuat segalanya beru-

bah. Rencana untuk menjadikan dirinya Datuk 

segala Datuk. Salah satu jalan, dia harus berani 

menghadapi segala tantangan. Dia harus mampu


menaklukan perguruan-perguruan persilatan go-

longan sesat. Ya, hanya itulah yang akan menja-

dikan namanya terkenal dan dijadikan momok 

pada para Datuk.

"Kalian semuanya, malam ini aku akan 

memberikan tugas baru pada kalian." berkata 

sang Datuk Gagak Hitam pada kedua ratus anak 

buahnya yang tampak mendengarkannya dengan 

seksama tanpa ada yang berani membuka mulut 

untuk bicara. "Sekian lama kalian hanya bertugas 

menghadapi orang-orang kecil. Malam ini aku 

akan memberikan tugas baru, yaitu kalian akan 

aku ajak untuk menguji sampai seberapa ilmu 

yang kalian miliki setelah digembleng oleh Adikku 

Sanggara atau Datuk Muda Cobra Merah. Kalian 

tahu apa yang bakal kalian kerjakan?"

"Tidak, Ketua...!" jawab seluruh anggotanya 

serempak.

"Malam nanti, kalian akan aku pimpin 

langsung untuk menyerbu ke Perguruan Bidak 

Setan. Bukankah kalian ingin sayap kita makin 

melebar?"

"Daulat, Ketua. Kami siap...!"

"Bagus! Itulah jiwa seorang pendekar go-

longan sesat. Pantang mengenal takut, siap 

menghadapi bahaya apapun macamnya!" suara 

Renggana makin berapi-api, merasa seluruh anak 

buahnya nampak menyetujui rencananya. "Siang 

ini kalian tak usah melakukan tugas, siapkan se-

gala apa yang perlu untuk penyerbuan nanti ma-

lam."

Semuanya menurut, berlalu meninggalkan


Ketuanya yang kini tinggal bersama Barda Kempo 

wakilnya. Semuanya pergi untuk mempersiapkan 

apa saja yang sekiranya dibutuhkan nanti malam. 

"Apakah tidak kesusu, Pimpinan?" tanya 

Barda Kempo, setelah anak buahnya pergi semua 

meninggalkan mereka. "Maksudku, apakah tidak 

bisa diundur?"

"Tidak!" jawab Renggana singkat dan ga-

rang. Barda Kempo terdiam, tak lagi mengulang 

tanya. Lama keheningan itu berjalan, sehingga 

ruangan itu tampak sunyi senyap. Renggana ter-

cenung, menancapkan matanya pada satu titik 

yaitu sebuah pohon cemara yang tumbuh di de-

pan Pesanggrahan. Pohon itu mereka tanam ber-

sama. Kini tinggal dia sendiri, sementara adik se-

perguruannya yang sama-sama mendirikan Pe-

sanggrahan Gunung Kapur dan menanam pohon 

cemara itu kini entah ke mana, lenyap bagaikan 

ditelan bumi. Napas Renggana mendesah berat, 

seberat pikirannya yang bercabang. Pikirannya 

untuk menjadi Datuk segala Datuk terus meng-

hantui jiwanya untuk mengejar cita-cita itu. Se-

mentara di lain sisi, pikirannya melayang pada 

adiknya yang entah sekarang di mana rimbanya. 

Namun sepertinya kini yang menonjol adalah ci-

ta-citanya menjadi Datuk segala Datuk dengan 

kata lain, Raja para Datuk.

"Aku harus mampu," gumamnya lirih, 

hingga tak terdengar jelas oleh Barda Kempo yang 

ada di sampingnya. Barda Kempo hanya kerutkan 

alis mata, tak tahu apa yang telah digumamkan 

oleh Ketuanya.


"Ketua menggumam. Apa yang Ketua gu-

mamkan?" tanya Barda Kempo ingin mengetahui. 

Namun Renggana hanya tersenyum, lalu bagai-

kan orang gila Renggana tertawa bergelak-gelak. 

Suara tawanya makin lama makin melengking, 

tinggi menjadikan angin gelak tawa itu bagaikan 

ledakan-ledakan petir yang dahsyat mampu me-

mecahkan gendang telinga. Ya, Renggana kini ba-

gaikan tak waras. Ia termakan oleh angan-

angannya, menjadi Datuk Segala Datuk di dunia 

persilatan golongan sesat.

Barda Kempo hanya mampu menggigit bi-

bir, menyumbat gendang telinganya untuk dapat 

mempertahankan getaran yang bagaikan ribuan

petir menggema. Sampai darah menetes dari bibir 

yang tergigit Barda Kempo masih merasakan geta-

ran yang aneh menghentak-hentak gendang telin-

ganya. Tak tahan terus menerus begitu, Barda 

Kempo akhirnya menjerit sekencang-kencangnya.

"Berhenti...! Ketua sadarlah!"

Namun sepertinya tak mendengar jeritan 

Barda Kempo, Renggana yang memang benar-

benar telah gila terus bergelak tawa sesuka ha-

tinya. Tak ayal lagi, korban dari anak buahnya 

berjatuhan. Dari hidung dan mulutnya serta te-

linga mereka melelehkan darah. Barda Kempo 

yang sudah tak tahan, akhirnya roboh. Ia mati 

dengan keadaan yang sama seperti teman-

temannya, ku-ping dan hidung mengeluarkan da-

rah. Sungguh tragis akhir dari Pesanggrahan Gu-

nung Kapur.

Melihat semuanya bergelimpangan mati,


serta merta Renggana yang sudah gila makin 

mengoncangkan irama gelak tawanya. Pohon- po-

hon tumbang, air mencrat menerima getaran sua-

ra yang sungguh-sungguh dahsyat. Burung yang 

saat itu terbang di angkasa, jatuh dengan tubuh 

remuk bagaikan telah tercabik-cabik. Renggana 

seketika melompat ke luar, memandang ke langit 

di mana matahari bersinar. Dari mulutnya keluar 

sebuah pekikkan.

"Akulah yang akan menjadi Datuk segala 

Datuk. Hua, ha, ha...!"

Lalu dengan meninggalkan gelak tawa ber-

kepanjangan Renggana berkelebat pergi mening-

galkan Pesanggrahannya di mana tubuh-tubuh 

anak buahnya mati dengan keadaan mengerikan 

bergelimpangan memenuhi lapangan Pesanggra-

han. Kini rumput yang tumbuh di lapangan, be-

rubah warnanya bukan hijau lagi tapi kehitam-

hitaman tertutup oleh darah yang meleleh dari 

hidung dan telinga juga mulut anggota Pe-

sanggrahan Gunung Kapur.


LIMA


Kerajaan Kuning Gading tampak tenang 

dan tentram di bawah kepemimpinan seorang raja 

agung dan bijaksana bernama Prabu Briah 

Awangga. Di samping itu pula, patihnya yang me-

rupakan seorang tokoh persilatan menjadikan 

keadaan kerajaan Kuning Gading makin tambah 

bersahaya. Sang patih yang kesatria bernama Ra


wa Sekti. Ia adalah seorang murid dari Empu Ka-

nuruhan, yang sakti mandra guna. Di tangan 

sang Patih Rawa Sekti, perkembangan kerajaan 

Kuning Gading maju pesat. Kerajaan itu juga dis-

egani oleh kerajaan-kerajaan lainnya.

Namun hari itu kerajaan nampak kelabu. 

Bias merah peperangan rupanya telah berkobar. 

Pokok dari peperangan itu tak lain karena pihak 

kerajaan Kuning Gading ingin menerapkan ke-

benaran dan keadilan.

Dua bulan yang lalu, pihak pemberontak 

yang dipimpin Longkat Ketek meminta pada kera-

jaan untuk mendirikan golongan kerajaan sendiri. 

Mereka kebanyakan di dalamnya golongan Datuk 

beraliran keras. Longkat Ketek menyuruh utu-

sannya untuk meminta persetujuan pada sang ra-

ja, namun dengan mentah-mentah ditolaknya. 

Bahkan raja dirasa telah menghinanya.

Pertarungan itu terus berlangsung, mema-

kan korban yang tidak sedikit baik dari pihak ke-

rajaan mau pun dari pihak Longkat Ketek. Tapi 

rupanya pihak kerajaan yang dibantu oleh bebe-

rapa tokoh persilatan, ternyata tak mampu 

menghadang serangan para Datuk yang berga-

bung menjadi satu.

"Kalian menyerahlah, dan berikan pada 

kami kebebasan serta kemerdekaan untuk mendi-

rikan negara sendiri yang terpisah dari kerajaan!" 

Longkat Ketek berseru, tangannya terus berkele-

bat-kelebat dengan cepatnya menyambar dengan 

keris pada musuh-musuh yang dijumpai dan 

bermaksud menghadang.


Sebaliknya dari pihak kerajaan, nampak 

Patih Rawa Sekti tak mau kalah. Setiap hantaman 

tangan dan kakinya, menjadikan nyawa yang ter-

kena seketika meregang. Juga Ambarik-mu, seo-

rang Wiku istana. Dialah tokoh yang sangat dis-

egani. Tokoh dari golongan tua yang masih ma-

lang melintang di dunia persilatan mengabdikan

dirinya untuk kerajaan. Dengan kehadiran Rawa 

Sekti dan Ambarikmu, maka semangat para pra-

jurit makin meninggi. Kini keadaan berbalik. Para 

prajurit yang tadinya terdesak, berganti mendesak 

musuh.

Betapa gusar dan marahnya Longkat Ketek 

menyaksikan hal itu. Maka dengan menggeram 

Longkat Ketek segera papaki serangan patih Rawa 

Sekti.

"Rawa Sekti, lebih baik kau menyerah dan 

ikut bergabung dengan aku!"

"Bedebah! Tak ada dalam kitabku untuk 

berkompromi dengan orang-orang semacammu!" 

balik menggeretak Rawa Sekti, menjadikan Long-

kat Ketek seketika menggeram marah. Mata 

Longkat Ketek merah menyala laksana bola api 

yang siap membakar. Napasnya mendengus, sea-

kan ingin memangsa hidup-hidup Rawa Sekti.

"Hem, rupanya kau memang menghendaki 

mati, Rawa Sekti!"

"Lebih baik begitu, daripada harus menu-

ruti segala apa yang menjadi kemauanmu, Iblis!"

"Bangsat! Kubunuh kau, Rawa Sekti. 

Hiat...!"

Tubuh Longkat Ketek seketika berkelebat


dengan keris pusaka di tangannya menyerang 

Rawa Sekti. Sebagai seorang pendekar murid Em-

pu Kanuruhan, Rawa Sekti bukanlah pendekar 

murahan yang sekali gebrak saja terkencing-

kencing. Ia telah dididik dengan segala ilmu ka-

nuragan dan keberanian, maka tak ayal jika Rawa 

Sekti menjadi seorang pendekar mumpuni.

Dipapakinya serangan Longkat Ketek den-

gan tangan kosong. Digunakannya ajian Lebur 

Raga, yang menjadikan tangannya seketika me-

merah bagaikan menyala. Longkat Ketek seketika 

tersentak kaget melihat apa yang tengah terjadi di 

tangan musuhnya. Ternyata musuhnya benar-

benar bukan orang sembarangan. Pantaslah ka-

lau semua tokoh persilatan golongan sesat takut 

padanya. Belum juga hilang rasa kagetnya Long-

kat Ketek, tiba-tiba Rawa Sekti telah memekik 

dengan tangannya siap dihantamkan. Longkat Ke-

tek berusaha mengelak, namun kakinya tiba-tiba 

mengait sebuah batu. Tanpa ayal lagi, Longkat 

Ketek seketika terjengkang jatuh. Dan ketika tan-

gan Rawa Sekti yang sudah membara hendak 

menyentuh tubuh Longkat Ketek, tiba-tiba se-

buah bayangan berkelebat menyabet tubuh Long-

kat Ketek dan membawanya pergi meninggalkan 

tempat tersebut.

Rawa Sekti sejenak tercengang menyaksi-

kan betapa cepatnya orang itu menyambar tubuh 

Longkat Ketek. Kalaulah orang biasa, niscaya tak 

akan dapat segera mengelakkan serangan yang 

hanya berjarak beberapa centi saja.

"Siapakah dia? Apakah dia seorang Dewa?"


tanya Rawa Sekti pada diri sendiri. Setelah se-

kian lama tersentak diam, Rawa Sekti segera ber-

kelebat hendak mengejar. Namun ternyata ba-

yangan itu telah lenyap, lenyap tak tampak oleh 

mata lagi. Maka dengan diliputi tanda tanya di 

hatinya, Rawa Sekti kembali melibatkan diri ke 

dalam pertempuran yang masih berjalan.

* * *

Orang yang tadi menyambar Longkat Ketek 

masih terus berlari dengan membawa tubuh 

Longkat Ketek dalam bopongannya. Setelah me-

nengok ke belakang dan ternyata tak ada yang 

mengejarnya, segera orang bertutup muka dan 

pakaian serba putih hentikan langkah. Ditaruh-

nya tubuh Longkat Ketek, lebih tepat dilempar-

kannya ke atas rerumputan.

"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya Long-

kat Ketek ingin tahu siapa orang yang telah me-

nolongnya yang berkerudung muka serba putih 

dan pakaiannya pula.

"Bodoh! Dungu!" membentak orang berca-

dar dan berpakaian serba putih yang ditujukan 

pada Longkat Ketek tanpa hiraukan pertanyaan 

Longkat Ketek. Hal ini menjadikan Longkat Ketek 

terbengong-bengong tak mengerti.

"Kenapa Ki Sanak marah-marah setelah 

menolongku?"

"Bodoh! Lancang kau berani-berani menye-

rang kerajaan! Apakah kau kira kau akan mam-

pu? Untung Pendekar Muda itu tidak datang. Ka


lau datang, maka sudah pasti kau akan menjadi 

sate!" Orang bercadar dan pakaian serba putih 

kembali membentak.

"Aku telah siap!" Longkat Ketek berkata se-

tengah memekik. Ia begitu kesal pada orang di 

hadapannya, walau ia tahu bahwa tanpa adanya 

orang tersebut niscaya umurnya tak akan sampai 

saat itu. Sebab tangan maut Rawa Sekti mungkin 

telah memanggang tubuhnya menjadi panggang-

an orang. Tapi orang ini sungguh keterlaluan. 

Jangan karena telah menolong, lalu mentang-

mentang marah seenaknya. Orang itu ditanya 

baik-baik, malah memaki-maki. Kalau saja ma-

kian itu diucapkan oleh orang lain, niscaya Long-

kat Ketek akan memukul orang tersebut. Tapi 

yang bicara ini adalah orang yang telah meno-

longnya dari kematian hingga sukar bagi Longkat 

Ketek untuk melakukan tindakan.

"Siap...? Katamu siap?" Orang bercadar 

dan berpakaian serba putih bertanya dengan na-

da sinis. Mungkin bila cadarnya terbuka, nam-

paklah senyum sinisnya mengembang di kedua 

bibir. "Siap apa?"

Jengkel Juga Longkat Ketek mendengar 

ucapan yang sinis itu, yang baginya sudah keter-

laluan. Maka dengan setengah membentak Long-

kat Ketek kembali berkata menjawab : "Siap ma-

ti!"

"Hua, ha, ha...! Orang dunggu! Apakah 

dengan dosamu yang menumpuk kau akan enak 

mati, hah?"

"Itu urusanku. Bukan urusanmu, Orang


usil!"

"Hai, rupanya kau memang orang tak tahu 

diuntung, Datuk cabul! Kalau itu yang kau ingini, 

lakukanlah olehmu. Kembalilah kau ke kerajaan, 

di sana kau akan melihat sesuatu yang akan 

menjadikan nyalimu akan tampak jelas. Nyali 

seekor tikus tanah!"

Mendidih darah Longkat Ketek mendengar 

cacian yang dilontarkan oleh tuan penolongnya. 

Darahnya sebagai darah seorang Datuk seketika 

menggelegar, menerjang-nerjang bagaikan air bah 

yang membobolkan tanggul. Matanya memandang 

liar, menyala bagaikan penuh hawa kematian.

"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi pah-

lawan kesiangan!"

"Siapa bilang. Aku menolongmu karena 

hanya kebetulan saja," jawab orang bercadar itu 

dengan tenangnya, yang makin menjadikan de-

ngusan kemarahan bagi Longkat Ketek.

"Bangsat! Siapa kau. Jangan sampai mati 

tanpa meninggalkan nama!" hardik Longkat Ketek 

yang sudah merasa mangkel. Namun seperti tadi, 

orang bercadar itu bagaikan acuh dan bicara tan-

pa memperdulikan ucapan Longkat Ketek.

"Sungguh orang-orang yang bodoh! Kalau-

lah ingin membunuh, mengapa mesti menanya-

kan nama segala. Kalau kau memang mampu, la-

kukanlah olehmu, Datuk Bodoh Cabul!"

"Bangsat! Jangan salahkan kalau aku tak 

tahu balas budi. Hiat!"

"Orang macammu, tak akan mengenal ba-

las budi segala, Datuk!"


"Benar-benar minta mampus kau. Hiat...!"

Tak ayal lagi. Longkat Ketek yang sudah 

tak dapat membendung kemarahannya lagi segera 

berkelebat menyerang. Namun bagaikan mengha-

dapi seekor kerbau dungu saja, lelaki bercadar 

putih itu nampak tenang. Sepertinya segala se-

rangan yang dilontarkan Longkat Ketek tak ada

artinya sama sekali. Bahkan...!!

"Bug, bug, bug!"

Tiga kali pukulan lelaki bercadar putih itu 

telak menghantam tubuh Longkat Ketek. Seketika 

tubuh Longkat Ketek terpelanting ke belakang ja-

tuh ke tanah dengan suara bergedebuk. Lelaki 

bercadar putih nampak tersenyum, terlihat dari 

tarikan cadarnya yang makin mengencang ke da-

lam.

"Nah, kalau kau belum puas dengan siapa 

aku, datanglah kau pada pertemuan para Datuk. 

Kelak kau akan tahu siapa aku. Kini orang me-

nyebutku Datuk Suci. Hua, ha, ha...!"

Tanpa hiraukan Longkat Ketek yang masih 

terbengong tak mengerti siapa adanya Datuk Pu-

tih, sang Datuk segera berkelebat pergi mening-

galkan Longkat Ketek. Dengan agak tertatih 

Longkat Ketek segera bangkit. Dipandangnya arah 

ke mana Datuk Putih berkelebat pergi, dengan 

hati seketika bergumam lirih: "Siapakah dia? Ke-

napa orang menyebutnya Datuk Putih? Ah, mana 

mungkin seorang Datuk beraliran lurus? Sung-

guh aneh...."

Dengan tertatih-tatih, Longkat Ketek segera 

melangkah pergi dengan perasaan tak menentu.


Pikirannya gundah, sebab sudah pasti dirinya ki-

ni menjadi buronan kerajaan. "Oh, tidak! Aku tak 

akan menyerah begitu saja," gertaknya dalam ha-

ti. Kakinya melangkah bagaikan melayang, ter-

bawa oleh pikirannya yang beribu macam. Ten-

tang keadaan dirinya, tantang tuan penolongnya 

yang misterius, tentang Eyang Sulir Kuning bekas 

kekasihnya yang telah ia beri janji untuk melaku-

kan pertemuan pertarungan antara keduanya. 

Tenggelam segala bayang-bayang dirinya, bagai-

kan terbawa arus hidupnya sebagai seorang Da-

tuk yang dimusuhi.

Tengah Datuk Longkat Ketek tercenung da-

lam langkahnya, tiba-tiba terdengar suara leng-

kingan gelak tawa. Semakin lama semakin dekat 

saja, lalu makin keras dan keras. Gelak tawa itu 

bukan gelak tawa saja, lebih tepat dikatakan pe-

kikan. Datuk Longkat Ketek berusaha menahan 

getaran tawa itu sebisanya, namun tubuhnya 

seakan menjadi turut bergetar dahsyat. Manakala 

Datuk Longkat Ketek dalam keadaan begitu rupa, 

tiba-tiba terdengar bentakan seorang.

"Datuk Longkat Ketek, apa kau tahu di 

mana Datuk Mujo Hitam berada?!"

Berbareng dengan habisnya suara orang 

tersebut, seketika berkelebat si pemilik suara 

yang telah berdiri menghadapi Datuk Longkat Ke-

tek yang terbelalak kaget dengan tubuh gemeta-

ran. Dari mulut sang Datuk menggumam menye-

but nama orang yang berada di hadapannya.

"Datuk Gagak Hitam...!"

"Ya. Aku, Longkat Ketek. Kau tahu di mana


tempat Datuk Mujo Hitam?"

"Ada keperluan apakah engkau mencari 

Mujo Hitam?"

"Aku ingin membalas sakit hatiku. Dia te-

lah membunuh adik seperguruanku." jawab 

Renggana seakan penuh kemarahan dan dendam, 

menjadikan sorot matanya membara bagaikan 

lautan api. "Katakan di mana ia berada. Cepat!"

"Sungguh dengan menyesal aku tak tahu," 

jawab Datuk Longkat Ketek, menjadikan Rengga-

na yang otaknya sudah miring seketika menceng-

keram baju yang dikenakan Datuk Longkat Ketek. 

Datuk Longkat Ketek segera tepiskan tangan 

Renggana, namun bagaikan sebuah beton tangan 

Renggana kokoh mencengkeram baju itu. Hal itu 

membuat Longkat Ketek tak dapat berbuat apa-

apa, dan hanya diam untuk menunggu ajal bila 

Renggana atau Datuk Gagak Hitam benar- benar 

membunuhnya.

"Katakan sekali lagi bahwa kau tak tahu, 

maka aku akan sumbat mulutmu untuk selama-

lamanya." Renggana mendengus, seakan ada ke-

dukaan di matanya. Namun sejurus kemudian, 

tiba-tiba tawanya kembali melengking, tinggi dan 

memekakkan telinga.

Longkat Ketek benar-benar dibuat bingung 

dengan tingkah laku Renggana yang mirip kayak 

orang sinting. Longkat Ketek tak menyadari kalau 

Renggana memang tengah dilanda penyakit jiwa 

yang berat, yaitu tekanan batin atas segala piki-

rannya. Belum juga Longkat Ketek mengerti den-

gan arti semuanya, tiba-tiba Renggana telah kem


bali membentaknya.

"Katakan pada para Datuk Persilatan, aku-

lah Datuk Segala Datuk. Akulah Raja Datuk du-

nia Persilatan. Ingat itu! Kalian semua Datuk-

Datuk kroco harus menyembah padaku. Menger-

ti!"

Setelah berbuat begitu, tanpa memperduli-

kan lagi pada Datuk Longkat Ketek, Renggana se-

gera berkelebat pergi dengan kembali bergelak 

tawa bagaikan orang gila. Datuk Longkat Ketek 

hanya tercenung. Ia ingat ucapan Renggana atau 

Datuk Gagak Hitam. "Ah, bagaimana ini? Kalau 

semuanya saling berbeda haluan, runtuhlah para 

Datuk akibat permusuhan para anggota." keluh 

Longkat Ketek. Dengan segera Longkat Ketek ber-

kelebat untuk menemui para Datuk lainnya. 

Longkat Ketek akan menceritakan apa yang telah 

ia alami, bahwa Datuk Gagak Hitam bermaksud 

mengangkangi para Datuk yang telah ada Ketua-

nya walau Ketua itu bulan purnama esok sudah 

harus diganti. Kini bertambah lagi pikiran Long-

kat Ketek. Karena terlalu pusingnya pikiran 

Longkat Ketek tak hiraukan segalanya, ia lari dan 

terus lari dengan cepatnya.


ENAM



Pertempuran di alun-alun kerajaan nam-

pak masih terus berjalan dengan korban banyak 

berjatuhan di antara kedua belah pihak. Walau-

pun Ketuanya telah minggat, namun prajurit dari


gerombolan sesat yang menghendaki kebebasan 

bagi diri mereka untuk memerdekakan golongan-

nya dari kerajaan terus bersemangat. Mereka se-

pertinya pantang untuk mundur menyerah. Wa-

jah mereka beringas, mata mereka menyala-nyala 

laksana api neraka.

Rawa Sekti dan Resi Ambarikmu nampak 

makin mengganas, setiap saat selalu tangan dan 

kaki mereka mencari kematian. Tak bosan-

bosannya Rawa Sekti dan Ambarikmu bagaikan 

anak kecil hantamkan ajian mereka pada musuh,

yang seketika itu memekik dan ambruk dengan 

tubuh hangus terbakar.

"Menyerahlah kalian! Kalian tak akan 

mampu menghadapi aku!" seru Rawa Sekti seten-

gah sombong. "Kalian percuma saja melakukan 

perlawanan, sebab tak ada gunanya. Apakah ka-

lian ingin seperti teman-teman kalian itu...?!"

"Benar! Kalian menyerahlah, agar pihak ke-

rajaan tak berat menghukum pada kalian semua!" 

Tiba-tiba terdengar seruan seseorang bersamaan 

dengan berkelebatnya orang yang memiliki suara 

itu. Semua mata seketika memanahkan pandan-

gannya pada orang tersebut. Seorang pemuda be-

rambut gondrong dan berpakaian putih perak ti-

ba-tiba telah ada di situ. Rawa Sekti dan Amba-

rikmu yang mengetahui siapa adanya pemuda 

tersebut segera menjura hormat.

"Oh, rupanya tuan Pendekar. Kebetulan. 

Kami memang mengharapkan bantuan tuan un-

tuk sudilah menghalau mereka," Ambarikmu dan 

Rawa Sekti berkata bareng, sepertinya kedua


orang tertinggi kerajaan itu dikomando untuk 

menyatakannya.

"Kalau boleh aku tahu, mengapa sampai 

terjadi hal seperti ini? Apa masalahnya. Dan siapa 

pula yang telah membuat kerusuhan ini?"

"Mungkin tuan Pendekar tahu siapa-siapa 

adanya mereka?" tanya Ambarikmu.

Pemuda tampan berpakaian putih perak 

sesaat palingkan muka memandang pada para 

prajurit yang tengah bertempur menghadapi 

pemberontakan. Sejurus kemudian, pemuda itu 

menggumam lirih. "Golongan kaum Datuk. Hem, 

rupanya Datuk-datuk dunia persilatan telah ber-

keliaran untuk memenuhi ambisi mereka. Ini tak 

dapat dibiarkan. Siapa Ketuanya, Paman Patih?"

"Ketuanya tak lain Datuk Longkat Ketek. Ia 

ingin meminta kemerdekaan bagi para Datuk un-

tuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri."

Pemuda itu anggukkan kepala mendengar 

penuturan Rawa Sekti. Matanya tajam meman-

dang lurus ke muka, di mana pertempuran masih 

terus berlangsung. Pemuda yang tak lain Jaka 

Ndableg, sunggingkan senyum, sepertinya ada ke-

lucuan yang telah terjadi di antara mereka. Hal 

itu menjadikan kedua orang tokoh istana bela-

lakan mata, tak percaya pada apa yang mereka 

saksikan. Betapa sungguh anehnya Pendekar itu. 

Dalam keadaan perang begitu rupa ia masih sem-

pat sunggingkan senyum, seakan segalanya 

hanya main-main. Belum juga kedua pembesar 

istana itu memahami arti senyuman pendekar 

Pedang Siluman Darah, tiba-tiba sang Pendekar


telah kembali berkelebat pergi sembari berseru. 

"Paman Patih, aku akan mencoba mencari pimpi-

nannya. Kalian berdua cepatlah selesaikan per-

tempuran tersebut."

Kedua Patih kerajaan Kuning Gading seje-

nak terhenyak, lalu dengan sadar keduanya sege-

ra berkelebat masuk ke arena pertempuran. Ma-

kin bertambah ramai saja pertarungan itu, de-

ngan datangnya dua tokoh utama kerajaan. Kini 

para pemberontak nampak terdesak mundur, tak 

mampu menghalau amukan kedua tokoh utama 

Kerajaan.

Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba-

tiba dari dalam istana sebuah bayangan berkele-

bat sambil membawa sesosok tubuh. Bayangan 

tersebut berlari, meninggalkan istana. Rawa Sekti 

yang melihat bayangan hitam berkelebat sembari 

membawa tubuh Rajanya yang sudah dalam kea-

daan tertotok segera berkelebat mengejar tanpa 

perdulikan mereka yang bertempur.

"Monyet! Berhenti kau...!"

Orang yang membawa tubuh raja Kuning 

Gading tak mau perduli. Malah langkah larinya 

makin cepat, menjadikan Rawa Sekti seketika ter-

jengah. Digunakannya ilmu lari, namun sampai 

tingkatan akhir ilmu larinya Rawa Sekti tak 

mampu mengejar orang berjubah hitam. Orang 

itu akhirnya menghilang di balik bukit, tinggal 

Rawa Sekti yang terdiam mematung.

"Oh, apa arti semua ini?" keluh Rawa Sekti, 

merasa usahanya untuk kembali merebut sang 

raja yang diculik telah gagal. "Apa yang dapat aku


lakukan? Segalanya kini berjalan cepat. Wangsit 

itu, oh... sungguh sebuah kebenaran. Oh, benar-

kah Kerajaan akan hancur dan dikuasai oleh seo-

rang Datuk Gila...? Jagad Dewa Batara, sungguh 

aku tak dapat membayangkan bila hal itu harus 

terjadi." keluh hati Rawa Sekti. Dengan hati galau 

Rawa Sekti akhirnya tinggalkan bukit Lamus, 

kembali menuju alun-alun kerajaan.

Tersentak Rawa Sekti bercampur senang, 

mana kala dilihatnya seorang pemuda yang sudah 

ia ketahui siapa adanya nampak turun membantu 

menghalau para pemberontak. Saking senangnya 

Rawa Sekti, sampai-sampai ia bagaikan anak ke-

cil berseru girang.

"Tuan Pendekar... jangan beri ampun me-

reka!"

Jaka Ndableg tak hiraukan seruan Rawa 

Sekti, dia masih berkelebat-kelebat menghindari 

serangan para pengeroyoknya dengan sesekali 

berteriak-teriak bagaikan orang ketakutan.

"Wadauw... kenapa kalian sadis?" tubuh 

Jaka berkelebat, melenting ke angkasa bagaikan 

orang bermain akrobatik. Tubuh itu berputar ba-

gaikan baling-baling, lalu menukik ke bawah 

dan...!

"Bletok, bletok, bletok!"

"Aduh...!"

Menjerit tiga orang pengeroyoknya seketi-

ka, manakala tangan Jaka yang menyatukan jari-

jarinya mematuk-matuk bagaikan paruh burung 

pelatuk. Tak ayal, kepala mereka seketika bocor 

mengeluarkan darah. Orang-orang itu berputar


putar sesaat, lalu ambruk menjatuhi teman-

temannya dengan mata melotot bagaikan dibeset 

kulitnya.

Yang lainnya melihat hal itu segera meng-

geram dan langsung menyerang dengan senjata 

ke arah Jaka. Hal itu menjadikan Jaka yang su-

dah ke luar kekonyolannya, menanggapi dengan 

ocehan-ocehan yang dapat menjadikan gelak tawa 

bagi yang mendengarnya.

"Ladalah, mengapa memang begitu sadis-

nya? Itu golok jangan untuk main-main, Mang. 

Bahaya!" 

"Bedebah! Golok kami akan merencah tu-

buhmu, Anak Edan!"

"Waduh! Jangan Mang... kenapa Mamang 

memusuhiku? Kenapa Mamang semua hendak 

menurunkan tangan jahat?" Jaka kembali mengo-

ceh, lalu menjerit manakala tiga orang lagi berke-

lebat membabatkan golok mereka ke tubuhnya. 

"Tobat... Mamang...!"

Ketiga orang pengeroyoknya tak perduli 

pada apa yang dilakukan oleh Jaka. Mereka terus 

berusaha mencerca Jaka, walau Jaka telah me-

lesat ke atas laksana terbang.

"Baik, kalau kalian memang sadis begitu. 

Sebagai ungkapan rasa hormatku, akan aku beri-

kan pada kalian hadiah berupa tiket masuk ke 

akherat sana!" Setelah berkata demikian, segera 

Jaka menukik ke bawah. Tangannya yang sudah 

membentuk paruh burung, berkelebat-kelebat 

kian ke mari.

Ketiga orang pengeroyoknya sejenak ter


sentak melihat hal itu. Namun mereka segera ba-

batkan golok mereka, menghadang tangan Jaka 

yang hendak mematuk kepala. Jaka tersentak, ta-

rik tangannya dan kibaskan kaki yang berada di 

atas mengayun ke bawah. Ketiga orang yang tak 

menyangka kalau Jaka dapat dengan mudah ber-

gerak seperti itu, kembali tersentak dan berusaha 

menghindar. Tapi... gerakan Jaka Ndableg begitu 

cepat hingga...!

"Dug... dug... dug...!"

Memekik seketika ketiga orang tersebut, 

dengan tulang dada sepertinya remuk. Tubuh ke-

tiga orang tersebut sesaat mengerang, meregang 

lalu akhirnya mati terkulai.

Hal itu menjadikan yang lainnya nampak 

agak jeri juga. Nyali mereka hampir lenyap dari 

hati, manakala melihat betapa pemuda yang ber-

tampang konyol tersebut ternyata bukan seorang 

pemuda sembarangan. Apalagi ketika salah seo-

rang di antara mereka membisikkan siapa adanya 

pemuda tersebut, pucat pasilah wajah semuanya 

memandang takjub pada Jaka yang masih se-

nyum-senyum sendiri.

"Pendekar Pedang Siluman Darah!" pekik 

semuanya kaget.

Jaka Ndableg masih tampak tenang. Dari 

belakang Rawa Sekti dan Ambarikmu telah da-

tang menghampiri. Kedua tokoh utama kerajaan 

itu segera berdiri menjejeri Jaka. Mata mereka 

memandang tajam pada sisa-sisa pemberontak 

yang ketakutan setelah mengetahui siapa adanya 

pemuda tersebut.


"Kenapa kalian kaget? Bukankah kalian 

anak buah Datuk Longkat Ketek yang gagah be-

rani?" Jaka bertanya dengan senyum sinis men-

gembang di bibirnya. "Apakah kalian masih hen-

dak meneruskan tindakan kalian yang dungu 

itu?"

Semuanya tak ada yang menjawab. Muka 

mereka tertunduk, tak berani menentang pan-

dang ke arah Jaka.

"Tangkap mereka...!" Rawa Sekti seketika 

berseru memerintah pada anak buahnya yang de-

ngan segera menjalankan tugas. Sisa-sisa pembe-

rontak itu menurut, tak berani untuk melakukan 

perlawanan lagi. Ya, sia-sia saja bila mereka me-

lakukan perlawanan sebab di pihak kerajaan kini 

telah ada seorang pendekar muda yang namanya 

tengah membumbung tinggi dengan ilmu yang 

tiada terkalahkan, sehingga orang-orang persila-

tan mengatakan Titisan Dewa. Hal itu dapat terli-

hat dengan ajian-ajian yang dimiliki oleh pende-

kar tersebut. Ajian Jamus Kalimusada, adalah 

ajian milik Dewa Wisnu. Juga ajian Buto Dewa 

Wisnu. Ajian lain adalah Tapak Bahana, ini me-

rupakan ajian Dewa Brahma. Lalu ajian Petir Se-

wu, yang merupakan ajiannya Dewa Petir.

"Tuan Pendekar, tunggu!" Rawa Sekti ber-

seru memanggil, mana kala dilihatnya Jaka hen-

dak berkelebat pergi. Jaka segera hentikan lang-

kah, berpaling sesaat menunggu kedatangan Ra-

wa Sekti yang berjalan tergesa-gesa ke arah-nya.

"Ada gerangan apa lagi?" tanya Jaka sete-

lah Rawa Sekti sampai.


"Kami kembali mohon pertolonganmu."

"Pertolonganku...?" tanya Jaka seakan tak 

percaya.

"Ya, pertolongan tuan."

"Tentang apa? Kalau memang sekiranya 

aku mampu, maka aku akan membantu kalian. 

Tapi kalau aku tak mampu, maka dengan amat 

menyesal terlebih dahulu aku meminta maaf."

"Kami rasa tuan mampu," jawab Rawa Sek-

ti, menjadikan Jaka tersentak kerutkan kening.

"Hai, mengapa engkau berkata begitu, Pa-

man Patih?" tanya Jaka tak mengerti. "Aku ma-

nusia biasa sepertimu, Paman Patih. Setiap ma-

nusia, ada kalanya mengalami kesialan. Begitu 

juga halnya dengan diriku, aku pun akan sekali-

kali membutuhkan bantuan orang lain. Kadang-

kala, orang yang tak terkenal tiba-tiba mampu 

menangani masalah yang tak dapat ditangani oleh 

orang yang sudah terkenal sepertiku. Ah, kenapa 

kau berkata tak menentu? Sudahlah, sekarang 

katakanlah apa yang akan Paman utarakan pa-

daku."

Patih Rawa Sekti seketika tundukkan mu-

ka. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin menan-

gis. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pa-

tih yang harus melindungi rajanya, ternyata tak 

mampu. Tengah keduanya terdiam, dari istana 

berlari-lari sang Permaisuri Ayuning Diah meng-

hampiri mereka.

Kedua orang itu juga para prajurit yang 

lain segera tundukkan tubuh sembari menghor-

mat, hanya Jaka saja yang cuma anggukkan ke


pala. Hal itu menjadikan Ayuning Diah belalak-

kan mata, menatap tajam pada Jaka Ndableg. 

Manakala ia hendak marah, tiba-tiba rasa marah 

itu hilang kala matanya beradu pandang dengan 

mata Jaka. Hati Ayuning Diah bergetar, mende-

sah panjang. "Ah... Kenapa aku ini? Kenapa pe-

muda ini mampu membuat hatiku bergetar? Oh, 

sungguh tampannya pemuda ini."

Jaka Ndableg yang tahu bahwa Ayuning 

Diah kini memperhatikan dirinya segera tunduk-

kan muka, membuang wajahnya ke bawah. Masih 

ingat ucapan Ratu Siluman Penguasa Bumi, bah-

wa hampir seluruh wanita akan jatuh cinta pa-

danya. Bila ingat itu semua, seketika hati Jaka 

menggumam dan mengumpat-umpat dirinya sen-

diri.

"Oh, kenapa aku tampan? Kenapa aku ba-

nyak disukai oleh orang-orang? Kenapa aku di-

cintai oleh wanita? Kenapa aku banyak yang me-

musuhi pula? Bagaimana dengan gadis-gadis 

itu...? Loro Ireng, Dewi Miranti atau si Bidadari 

Selendang Ungu, dan masih banyak lagi gadis-

gadis yang mendambakan cintaku. Kini... kini 

Permaisuri kerajaan Gading Kuning. Oh...."

"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" ter-

dengar suara lembut berkata, menjadikan Jaka 

yang tengah menunduk tersentak dan dongakkan 

mukanya. Hal itu memang yang diinginkan oleh 

Ayuning Diah, yang tiba-tiba hatinya telah ter-

paut. Tidakkah itu sebuah kegilaan? Bagaimana 

mungkin Jaka Ndableg mau menerimanya? Bu-

kankah Ayuning Diah adalah istri sahabatnya,


Raja Briah Awangga?

Jaka segera membuang segala angannya, 

lalu dengan kembali menunduk menjawab perta-

nyaan Ayuning Diah. "Nama hamba yang rendah 

ini, Jaka."

"Dia adalah Pendekar Pedang Siluman Da-

rah, Permaisuri," menambah Rawa Sekti, menja-

dikan kanjeng Permaisuri belalakkan matanya 

yang lentik. Sejurus ditatapinya lekat wajah Jaka, 

yang tak mau mengadu pandang lagi dengan 

Permaisuri. Hati Permaisuri bergetar, bagaikan 

meledak-ledak. Seketika kekhawatiran tentang di-

ri suaminya menghilang, kini berganti dengan api 

asmara. Jaka yang melihat sinar mata sang Per-

maisuri dengan segera berkata pada Patih Rawa 

Sekti.

"Paman Patih, apa yang hendak engkau ka-

takan padaku tadi?"

Namun patih Rawa Sekti yang tidak men-

gerti akan apa yang tengah terjadi antara Jaka 

dan Permaisuri rajanya, seketika tersentak kaget. 

Ia susah untuk menjawab, sebab tidak mungkin 

kalau Permaisuri tidak mengutarakan hal itu 

bakal ia ceritakan pada Jaka.

"Tuan Pendekar, mengapa mesti engkau 

kesusu?" 

Terjengah Jaka Ndableg mendengar perta-

nyaan Ayuning Diah yang tak diduga-duga sebe-

lumnya. Namun Jaka masih berusaha menunduk 

dengan harapan tidak kembali beradu pandang 

dengan Permaisuri yang ia tahu telah terpanah 

hatinya.


Tatapan Permaisuri Ayuning Diah masih 

lekat, memanah pada Jaka yang tak dapat ber-

buat apa-apa. Hati Jaka seketika gundah, sulit 

untuk mengerti apa kemauan istri Raja Briah 

Anggawa yang memang masih muda dan cantik 

jelita.

"Maaf, Kanjeng Permaisuri. Hamba rasa, 

hamba tak mempunyai waktu banyak. Untuk itu-

lah, sekiranya ada yang hendak Permaisuri utara-

kan. Hamba mohon secepatnyalah."

Permaisuri Ayuning Diah hanya tersenyum.

"Oh, segitu sibuknya engkau, Tuan Pende-

kar?"

"Ah, tidak demikian adanya, Kanjeng Per-

maisuri. Hamba hanya minta secepatnyalah apa 

yang hendak Kanjeng Permaisuri utarakan. Kalau

memang hamba dapat membantu. Hamba akan 

berusaha membantunya."

"Baiklah. Aku pun tiada hak menghalangi-

mu. Aku sadar, bahwa aku telah memiliki seorang 

suami."

Terjengah semuanya mendengar ucapan 

Kanjeng Permaisuri Ayuning Diah yang tak ter-

duga-duga itu. Betapa terkejutnya mereka, seper-

tinya ada halilintar menggelegar seru di siang hari 

bolong. Tak disangka oleh mereka kalau Kanjeng 

Permaisurinya ternyata jatuh hati pada pendekar 

muda tampan itu. Mereka maklum, bahwa kalau 

mereka wanita pun pasti akan mengalami hal se-

rupa seperti Kanjeng Permaisurinya. Memang 

tampan pemuda pendekar itu, sehingga banyak 

gadis-gadis yang jatuh cinta. Melihat kebisuan di


antara mereka, secepatnya Rawa Sekti yang men-

getahui gelagat segera memecahkan keheningan 

berkata: "Kami memohon bantuanmu untuk da-

patlah membebaskan Baginda Raja yang diculik 

oleh seseorang."

"Ah...." Jaka mendesah kaget. "Paman Pa-

tih tahu siapa adanya orang tersebut?"

Patih Rawa Sekti sejenak mendesah, berat.

"Sungguh menyesal, aku tak mengeta-

huinya dengan pasti."

"Oh, susah. Bagaimana dengan Kanjeng... 

Kanjeng Permaisuri?"

Ucapan Jaka yang tersendat, menjadikan 

Ayuning Diah tersenyum dikulum. Dia senang, 

senang sekali mendengar Jaka berucap yang ditu-

jukan padanya. Tanpa menghiraukan semuanya 

yang ada di alun-alun, Ayuning Diah hampiri Ja-

ka. Dan dengan tiba-tiba, diciumnya Jaka yang 

seketika tersentak kaget tak luput juga yang lain-

nya.

"Kenapa?" tanya Ayuning Diah seperti tak 

berdosa. "Bukankah aku perlu mengucapkan te-

rima kasih atas segala bantuanmu?"

Semuanya tak ada yang berkata, diam ba-

gaikan sebuah patung.

"Orang yang menculik Baginda Raja, me-

nyebut dirinya Datuk Gagak Hitam atau Datuk 

Segala Datuk," Permaisuri akhirnya menerangkan 

siapa adanya penculik tersebut. Mendengar ja-

waban sang Permaisuri, Jaka yang tak ingin se-

muanya berlarut segera berkelebat pergi laksana 

tiupan angin. Hal itu menjadikan semua yang ada


di situ hanya terbelalak, mulut mereka melom-

pong bengong dan kepala mereka gelengkan.


TUJUH



Para Datuk-datuk persilatan golongan se-

sat, kini resah oleh hadirnya Dua Datuk yang be-

raliran lain. Salah seorang beraliran menyelim-

pang, yaitu beraliran lurus yang mengakui na-

manya sebagai Datuk Putih. Orang ini selalu da-

lam sepak terjangnya mengenakan segalanya ser-

ba putih, sampai-sampai cadarnya pun memakai

cadar putih. Sementara salah seorang lagi, dia 

mengaku Datuk segala Datuk. Kalau orang yang 

kedua telah mereka ketahui adanya, tapi orang 

yang pertama sungguh merupakan misteri ter-

sendiri. Mereka belum tahu siapa adanya Datuk 

Putih tersebut. Kalau dianalisa secara rinci, jelas 

Datuk Putih merupakan halangan bagi perkem-

bangan para Datuk golongan sesat. Sebab tidak 

mungkin tidak, Datuk Putih akan selalu mengha-

langi gerakan para Datuk lainnya untuk dapat 

menguasai dunia persilatan. Jangankan ada Da-

tuk Putih, tak ada pun mereka dibikin kalang ka-

but oleh seorang Pendekar muda bergelar Pende-

kar Pedang Siluman Darah. Sudah seorang tokoh 

Datuk yang disegani mati di tangan Pendekar 

muda tersebut. Datuk itu tak lain Datuk Tuyul 

Setan, yang mati dengan tubuh terbelah oleh sen-

jata pendekar muda tersebut. (Baca Kisah Cinta 

Memendam Dendam). Apalagi kini muncul Datuk


Putih, sungguh makin terjepit keadaan mereka. 

Mereka menyangka kalau Datuk Putih tak lain 

hanyalah penyamaran Pendekar Muda tersebut. 

Walaupun mereka tahu bahwa saat itu di dunia 

persilatan ada lima atau enam tokoh-tokoh persi-

latan yang ilmunya hampir dikatakan rata dan 

dapat dikatakan kelas wahid. Pertama, Jaka 

Ndableg si Pendekar Siluman, Supit Songong, Bi-

dadari Selendang Ungu, Maling Siluman, dan seo-

rang Datuk bernama Sanggara yang menurut ka-

bar hilang entah ke mana rimbanya.

Saat itu para Datuk tengah berkumpul, 

membahas masalah kejadian-kejadian yang ma-

kin menghimpit kedudukan mereka. Mereka se-

benarnya ingin mengangkat Datuk Gagak Hitam 

sebagai Ketua, tapi mereka takut Datuk gila itu 

akan makin merepotkan. Datuk Gagak Hitam 

memang tindakannya terlalu telengas, tak per-

duli pada kawan maupun lawan. Tapi bila tidak 

diangkat menjadi Ketua, mereka pun bingung 

siapa yang akan menghadapinya. Juga masalah 

Datuk Putih yang makin terasa mendesak kedu-

dukan para Datuk.

"Apa yang harus kita perbuat?" tanya 

Longkat Ketek membuka kata.

"Entahlah," mengeluh Datuk Rambut Me-

rah. "Kita belum tahu seberapa ilmu keduanya. 

Apakah tidak mungkin kita jajaki ilmu mereka 

terlebih dahulu?"

"Jangan-jangan Datuk Putih samaran dari 

Pendekar Muda tersebut," Datuk Setan Buntung 

turut nimbrung. Semuanya terdiam mengangguk


anggukkan kepala, sepertinya membenarkan uca-

pan Datuk Setan Buntung.

"Mungkin juga. Kalau benar begitu, maka 

keadaan kita benar-benar telah kejepit," gumam 

Datuk Sejuta Racun. "Sebenarnya semua dapat 

kita atasi apa bila kita bersatu. Tapi rupanya kita 

terlalu mementingkan ambisi kita masing-ma-

sing, sehingga kita kurang kompak."

"Maksudmu, Racun Sejuta?" "tanya Long-

kat Ketek.

"Bukankah kau sendiri dapat menjawab-

nya?" balik menanya Datuk Racun Sejuta, menja-

dikan Longkat Ketek kerutkan kening tak tahu 

apa tujuan kata-kata Sejuta Racun.

"Aku belum mengerti," jawab Longkat Ke-

tek.

"Kau ada masalah dengan Datuk Sulir 

Kuning, bukan?"

"Ya... memang kenapa?"

"Itulah yang aku maksudkan kita selalu 

mementingkan diri kita sendiri. Apakah kau tak 

dapat memaafkan Sulir Kuning?"

Longkat Ketek mengangguk-anggukan ke-

pala mengerti.

"Tapi sebenarnya bukan aku yang tidak 

memaafkan. Aku telah berusaha selalu mengalah 

padanya, tapi rupanya dia masih menaruh den-

dam pada ku."

"Dendam cinta...?" Sejuta Racun bertanya 

dengan nada kelakar. Seketika semua yang hadir 

pun tertawa bergelak-gelak, menjadikan muka 

Datuk Longkat Ketek merah padam mukanya.


"Sudah... sudah! Kita di sini bukan untuk 

bercanda, tapi untuk mengadakan rapat pemben-

tukan Perserikatan Datuk guna menanggulangi 

bahaya yang akan menimpa persekutuan kita!"

Datuk Tangan Berapi selaku Ketuanya se-

gera menengahi. "Kalau kita tak bisa memu-

tuskan masalah ini, lebih baik aku akan men-

gundurkan diri dari Perserikatan Datuk!" ancam-

nya, menjadikan semua Datuk yang ada di situ 

tersentak kaget. Bagaimana tidak, hanya Datuk 

Tangan Berapi yang dapat diandalkan oleh mere-

ka pada masa-masa sekarang ini. Dulu memang 

masih ada Datuk Tuyul Setan, tapi sekarang Da-

tuk tersebut telah binasa di tangan Pendekar Pe-

dang Siluman Darah. Tinggal Datuk Tangan Be-

rapi dan Datuk Sejuta Racun serta Rambut Merah 

saja yang masih dapat diandalkan. Kalau tiga 

orang tersebut mengundurkan diri salah satunya, 

niscaya kekuatan mereka makin menurun saja. 

Hal ini sudah barang tentu sebuah bencana bagi 

para Datuk.

Tengah semua Datuk terdiam memikirkan 

bagaimana caranya menjadikan Datuk Tangan 

Berapi tak mundur, tiba-tiba dua bayangan ber-

kelebat dari arah yang berlainan.

"Mengapa kalian mesti bingung. Aku Datuk 

Sangkala Putung yang akan menjadi Ketua ka-

lian!"

"Aku Datuk Lolo Genderlah yang pantas 

menjadi Ketua!"

"Tidak bisa! Akulah yang pantas menjadi 

Ketua para Datuk, sebab ilmuku sangat tinggi di


bandingkan dengan ilmumu juga ilmu kalian yang 

ada di sini!" Datuk Sangkala Putung membentak, 

merasa ada orang lain yang menghalangi niatnya 

untuk menjadi Ketua para Datuk. Sudah sepuluh 

tahun lebih ia menggembleng dirinya dengan 

kembali menekuni semua ilmu dengan harapan 

dapat menjadikan dirinya sebagai ketua Datuk-

datuk, ternyata ada orang lain yang menghalangi-

nya.

"Ilmumu tinggi? Hua, ha, ha...! Seberapa?" 

tanya Datuk Lolo Gender dengan senyum me-

ngejek. "Akulah yang berilmu paling tinggi di an-

tara kalian semua. Apakah kalian kurang yakin? 

Akulah pemilik ajian Seribu Iblis. Hua, ha, ha,...!"

Tersentak semua yang ada di situ menden-

gar Datuk Lolo Gender menyebut nama ajian yang 

langka itu. Sudah seabad lamanya ajian itu meng-

hilang dari dunia persilatan setelah si Raja Iblis 

yang menghilang dengan sekejap mata tanpa se-

pengetahuan para pendekar dunia persilatan.

"Kau tidak berdusta, Lolo Gender?" tanya 

Sangkala Putung kurang yakin. "Kau mungkin 

berdusta."

"Hem, mungkin kalian tak percaya kalau 

aku katakan bahwa aku adalah murid tunggal si 

Raja Iblis."

"Apa...!"

Semua yang hadir seketika terkesiap da-

rahnya, demi mendengar ucapan Lolo Gender. 

Bagai-mana mungkin Raja Iblis yang hidup sea-

bad yang lalu masih hidup? Dan bagaimana 

mungkin Lolo Gender mengaku-aku murid tung


galnya. Menurut cerita leluhur mereka, Datuk Ra-

ja Iblis tak pernah mengangkat barang seorang 

pun menjadi muridnya. Tapi kini Lolo Gender 

mengaku-aku sebagai murid si Raja Iblis. Sung-

guh tidak masuk di akal.

"Tidak mungkin...!"

"Kalian masih tak percaya? Akan aku buk-

tikan!" Datuk Lolo Gender sejurus kemudian ter-

diam, mulutnya komat kamit membaca mantra. 

Kemudian...! Semua orang yang berada di situ se-

ketika membelalakkan mata tak percaya. Mereka 

melihat tubuh Lolo Gender seketika berubah 

menjadi banyak dengan muka yang berbeda-beda 

dan tubuh membara. Api menyala-nyala pada tu-

buh keseribu Datuk Lolo Gender yang berwajah 

berbeda-beda.

Ketika Datuk Lolo Gender tertawa, seketika 

gelak tawanya membahana bersaut-sautan. Ya, 

karena mereka berjumlah banyak seribu orang 

dan bareng tertawa, jadi sudah barang tentu tawa 

mereka bagaikan ledakan-ledakan petir. Kini se-

muanya baru yakin, seyakin yakinnya bahwa Da-

tuk Lolo Gender memang murid dari si Raja Iblis.

"Baiklah kami semua percaya," Datuk Tan-

gan Berapi berkata mewakili semuanya. Menden-

gar ucapan Datuk Tangan Berapi, Lolo Gender 

kembali tertawa tergelak-gelak. Perlahan tubuh 

keseribu orang Datuk Lolo Gender yang wajahnya 

beraneka ragam menyatu kembali dan menjadi 

Datuk Lolo Gender.

"Nah, apakah kalian sangsi untuk men-

gangkatku sebagai Ketua kalian?"


"Tidak! Kami tak sangsi lagi." jawab semu-

anya serempak.

"Baiklah. Sekarang katakan apa yang men-

jadikan kalian merasa bagaikan terjepit?" tanya 

Lolo Gender dengan suara angkuh, merasa bahwa 

dirinyalah yang paling sakti di antara para Datuk.

"Kami tengah dihadapkan pada sesuatu 

masalah yang belum kami dapat selesaikan."

"Apa itu, Rambut Merah?"

"Kini di Dunia Persilatan telah muncul dua 

Datuk yang berbeda, namun sama bahayanya ba-

gi kedudukan kita. Salah seorang bernama Datuk 

Gagak Hitam atau Datuk segala Datuk...."

"Bedebah.! Berani dia mengangkat dirinya 

sebagai Datuk segala Datuk. Apakah dia tak tahu 

ada aku yang pantas!" Datuk Lolo Gender tampak 

marah, sepertinya Gagak Hitam telah berani men-

corengkan tahi di mukanya. "Lancang dia!"

"Itulah yang pertama. Yang kedua, adalah 

seorang Datuk aneh berilmu tinggi dan beraliran 

lurus. Ia menyebutkan dirinya Datuk Putih."

"Hem, itu soal mudah bagiku...." Belum ju-

ga habis ucapan Datuk Lolo Gender, tiba-tiba ter-

dengar suara seseorang membentak dari luar. 

"Sombong kau! Apakah kau mengira dengan il-

mumu yang masih picisan itu mampu menghada-

pi dua Datuk itu, hah!"

"Siapa kau!" Datuk Lolo Gender segera ber-

kelebat ke luar, diikuti oleh seluruh yang hadir. 

Nampak seorang bertubuh tinggi besar dengan 

muka lebat tertutup cambang bawuk dan mata 

merah menyala telah berdiri di situ. Mulut orang


tersebut menyeringai sinis, menunjukkan gigi-

giginya yang kuning, napasnya terdengar men-

deru-deru, laksana tiupan angin prahara. Napas 

itu terasa panas, membara menyelimuti orang-

orang yang ada di situ yang tersentak kaget. "Da-

tuk Gagak Hitam...!"

"Ya, akulah Datuk Gagak Hitam atau Da-

tuk segala Datuk. Siapa saja yang membangkang 

padaku, maka kematianlah yang akan ia da-

patkan!" Datuk Gagak Hitam atau Renggana ter-

senyum sinis, berjalan dengan langkah berat 

menghampiri mereka. Tiba-tiba dari belakang 

berkelebat seorang nenek-nenek tua, yang bukan 

lain Datuk Sulir Kuning.

"Longkat Ketek, aku datang untuk menga-

dakan perhitungan dengan dirimu."

Datuk Gagak Hitam menyeringai, merasa 

ada seorang nenek-nenek masih berani menan-

tang para Datuk. Dengan melirik sesaat Gagak 

Hitam bertanya: "Apakah kau ada masalah den-

gan salah seorang Datuk yang ada di sini, Nek?"

"Benar. Aku ada masalah dengan Datuk 

itu!" jawab si nenek yang tak lain Sulir Kuning 

sembari tunjukkan telunjuknya ke arah Datuk 

Longkat Ketek.

"Masalah apa, Nek?" kembali Gagak Hitam 

bertanya.

Si nenek tersipu-sipu, sukar untuknya 

menjawab.

Melihat hal itu, segera Gagak Hitam kem-

bali berkata: "Aku harap nenek tunggu dulu." 

"Tidak bisa!" bantah si nenek.



"Kenapa...?"

"Kau boleh berurusan dengan yang lain-

nya, tapi aku minta kau tak ikut campur dengan 

urusanku."

"Nenek peot, mengapa kau keras kepala. 

Lucu kau, Nek. Kau tak ubahnya seorang pera-

wan centil kegatelan."

Merah padam muka Sulir Kuning demi 

mendengar ucapan Gagak Hitam yang menjadi-

kan semuanya tersenyum. Maka tanpa ingin tahu 

terlebih dahulu siapa adanya orang yang bicara, 

dengan segera Sulir Kuning berkelebat menye-

rangnya.

Gagak Hitam hanya tersenyum, egoskan 

tubuh mengelakkan serangan si nenek. Tanpa ay-

al lagi, tubuh si nenek seketika terus terpelanting 

nyusur ke tanah. Si nenek makin mengganas, ia 

bangkit dengan menggeram dan kembali menye-

rang. Melihat hal itu Gagak Hitam tak kaget, ma-

lah dia tampak tersenyum. Dan ketika tubuh si 

nenek kembali berkelebat, Gagak Hitam segera 

egoskan tubuhnya dengan tangan bergerak cepat. 

Dan..!!!

"Bret... Slosot...!"

Semua mata terbelalak melihat apa yang 

terjadi. Celana yang dikenakan oleh si nenek dan 

baju-bajunya seketika tertarik, lepas dari tubuh si 

nenek yang terus melaju dan kembali meng-

gusrak di tanah.

Bukan alang kepalang lagi kemarahan Da-

tuk Longkat Ketek melihat hal itu. Walau ia ber-

musuhan dengan si nenek Sulir Kuning, namun


hatinya masih mencintai si nenek yang lima pu-

luh tahun lalu menjadi kekasihnya. Maka tanpa 

ayal lagi Longkat Ketek dengan didahului mengge-

ram, menyerang Gagak Hitam yang seketika ter-

sentak.

"Rupanya kau ingin membela kekasihmu," 

Gagak Hitam berkata mengejek. Senyumnya sinis, 

lalu dengan hanya miringkan tubuh sembari ki-

baskan tangan Gagak Hitam telah mampu mem-

buat Longkat Ketek berjumpalitan sendiri meng-

hindari kibasan tangan Gagak Hitam. Gagak Hi-

tam terkekeh, hampiri tubuh Longkat Ketek yang 

terpelanting jatuh. Mana kala tangannya hendak 

mencengkram, tiba-tiba sebuah bayangan berke-

lebat. Bayangan tersebut milik Datuk Lolo Gend-

er, yang segera membuat Gagak Hitam tersentak 

urungkan niatnya. Gagak Hitam kini berpaling 

pada orang yang telah menyerangnya, matanya 

memandang bengis. Dan tiba-tiba...!

"Hua, ha, ha...! Hua, ha, ha...!"

Gagak Hitam bergelak tawa, makin lama 

irama tawanya makin kencang, melengking men-

jadikan sebuah hentakan yang mampu memecah-

kan gendang telinga. Kegilaanya kini mulai kam-

buh, menjadikan Gagak Hitam bukanlah Gagak 

Hitam sebenarnya. Segala Iblis telah masuk, me-

nyusup ke dalam tubuh Gagak Hitam. Tanpa am-

pun lagi, orang-orang yang tak mampu bertahan 

bergelimpangan mati dengan hidung dan telinga 

keluar darah.

Tersentak semuanya yang hadir di situ, tak 

percaya kalau ada orang yang memiliki ilmu ter


tawa sedahsyat itu. Namun sebagai seorang Da-

tuk, mereka diajukan pada keberanian. Dicoba-

nya untuk terus bertahan, bahkan Datuk Lolo 

Gender yang merasa memiliki ilmu paling tinggi 

seketika menyerang. Hal itu rupanya diketahui 

oleh Gagak Hitam yang dengan segera hentakkan 

tawanya makin kencang sembari membentak. 

"Minggir...!"

Sungguh dahsyat! Karena bentakan terse-

but Lolo Gender yang memiliki ajian Seribu Iblis 

mampu dipentalkan jatuh di hadapan para Datuk 

lainnya. Tapi Lolo Gender tak mau kalah begitu 

saja. Gengsinya yang telah mengakui sebagai pe-

waris ilmu Raja Iblis, menghendaki dirinya untuk 

tak mau mengalah. Segera ia bangkit, lalu perla-

han matanya terpejam. Mulutnya komat kamit 

membaca mantra, dan...! Seribu Datuk Lolo 

Gender seketika muncul.

Melihat musuhnya berbuat begitu, Gagak 

Hitam pun tak mau kalah. Segera Gagak Hitam 

merapalkan mantranya, maka tubuhnya seketika 

berubah menjadi beribu-ribu ekor burung gagak 

raksasa. Semua yang ada dan menonton di situ 

tersentak kaget, tak percaya pada apa yang mere-

ka lihat. Burung Gagak Hitam yang berjumlah se-

ribu itu seketika beterbangan menyerang keseribu 

orang Datuk Lolo Gender yang muka-mukanya 

beraneka ragam. Dengan ganas keseribu burung 

Gagak Raksasa itu mematuk-matuk, menyerang 

dengan sekali-kali berkelit dengan gesitnya.

Pertarungan dua Datuk yang hendak men-

gangkat dirinya sebagai Datuk segala Datuk terus


berjalan. Mereka hanya ada satu prinsip, kalah 

dan mati atau menang untuk menjadi pimpinan 

para Datuk.

Pertarungan itu tak ubahnya sebagai per-

tarungan dua kekuatan Iblis yang menguasai ke-

duanya. Datuk Lolo Gender, berada di pihak Raja 

Iblis Muka Sewu. Sebaliknya Gagak Hitam, bera-

da pada pihak Iblis Gagak Kematian.

Burung Gagak itu terus menyambar-nyam-

bar, sesekali mematuk dan kemudian terbang 

menghindar. Karena musuhnya seekor burung 

yang ganas dan pemakan bangkai, maka Lolo 

Gender nampak kesukaran. Api yang menyala di 

tubuhnya bagaikan tak berarti apa-apa bagi para 

burung Gagak Raksasa tersebut. Namun kedua-

nya bagaikan tak mau mengalah, mereka mengin-

ginkan kemenangan. Ya, kemenangan untuk 

menjadikan dirinya sebagai Datuk segala Datuk. 

Pertarungan itu entah kapan berakhir, yang jelas 

keduanya sama-sama tangguh. Keduanya terus 

saling rangsek, sehingga membuat tubuh kedua-

nya makin lama makin menjauhi tempat semula.

* * *

Pertarungan dua Datuk tersebut masih te-

rus berjalan dengan sengitnya. Sudah menginjak 

hari ketiga mereka bertarung sepertinya mereka 

tak mengenal rasa capai atau pun lelah. Mereka 

terus saling serang, saling rangsek dengan ujud-

ujud mereka.

Sementara itu, nampak di tempat lain seo


rang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg tengah 

berlari-lari dalam usahanya mencari Raja Briah 

yang hilang diculik oleh Datuk segala Datuk atau 

Datuk Gagak Hitam.

"Ke mana aku harus mencarinya? Sedang-

kan aku sendiri tak tahu di mana kediaman Da-

tuk tersebut?" keluh Jaka putus asa. "Ah, bukan-

kah hari ini adalah pertemuan para Datuk?"

Jaka tercenung bingung, melangkah men-

gikuti ke mana kakinya berjalan. Sekali-kali ia 

menyanyi, menghibur hatinya yang tengah gun-

dah gulana. Mana kala ia tengah asyik-asyiknya 

menyanyi, tiba- tiba sebuah bayangan putih ber-

kelebat menghadangnya. Bayangan putih tersebut 

seketika menjura padanya, menjadikan Jaka ter-

lolong bengong karena ia tak mengenal siapa 

adanya bayangan tersebut.

"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak? Me-

ngapa engkau tiba-tiba menjura padaku?" tanya 

Jaka tak mengerti. Matanya memandang atau 

mengawasi orang tersebut dengan seksama. 

Orang itu masih menjura, lalu kemudian terden-

gar suaranya yang berat berkata:

"Tuan Pendekar, sungguh aku tak me-

nyangka kalau aku dapat bertemu denganmu. 

Hendak ke mana dan ada tujuan apa tuan pende-

kar menyelusuri hutan ini?"

"Ah, kenapa kau ditanya malah menanya 

sebelum menjawab?"

"Oh, maafkan kelancanganku. Namaku 

Sanggara atau orang menjuluki diriku dengan se-

butan Datuk Putih. Karena pakaianku putih, juga


perbuatanku tidak seperti Datuk-datuk lainnya."

"Oh, begitu. Baiklah, Sanggara atau Datuk 

Putih. Aku datang ke sini semata-mata tengah 

mencari seorang yang diculik oleh Datuk Gagak 

Hitam yang menyebutnya Datuk segala Datuk. 

Orang tersebut adalah Raja Kerajaan Gading Kun-

ing. Apakah Ki Sanak dapat menunjukkan di ma-

na adanya aku dapat menemukannya?"

Sejenak Datuk Putih terdiam tanpa kata. Ia 

sepertinya tengah tercenung, manakala Jaka me-

ngutarakan nama orang sangat ia kenal. Ya, Ga-

gak Hitam, adalah nama yang sedari kecil ia ken-

al. Gagak Hitam tak lain kakak seperguruannya, 

yang kini gila akibat cita-citanya yang kelewat 

ambisi.

"Kenapa Ki Sanak Datuk Putih terdiam?"

"Ah, ti-tidak. Aku sungguh menyesal tidak 

mengetahuinya. Tadinya aku mengira tuan Pen-

dekar hendak menuju ke pertemuan para Datuk."

"Oh, mungkin juga aku ke sana. Namun 

untuk sekarang ini, aku hendak mencari Raja Ke-

rajaan Gading Kuning." jawab Jaka. "Apakah Ki 

Sanak hendak ke sana?"

"Benar adanya. Aku memang hendak pergi 

ke sana."

"Baiklah kalau begitu. Aku hanya dapat 

mengucapkan selamat tinggal," Jaka pun dengan 

segera melesat pergi setelah menjura hormat. Ke-

pergiannya yang begitu cepat laksana angin, men-

jadikan Datuk Putih menggeleng-gelengkan kepa-

la tak percaya pada apa yang dilihatnya. Setelah 

melihat Jaka telah menghilang, segera Datuk Pu


tih pun berkelebat meninggalkan tempat tersebut.

Hari kelima telah berjalan, kini nampaklah 

siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal 

kalah di antara dua Datuk yang tengah bertarung 

itu. Burung-burung Gagak itu makin mengganas, 

menyerang bagaikan tak kenal ampun. Luka-luka 

kini diderita oleh keduanya, namun sungguh le-

bih parah adalah Lolo Gender. Mata Lolo Gender 

Seribu Rupa itu, kini hilang satu tercucuk paruh 

Gagak Hitam.

Semuanya yang menyaksikan hanya mam-

pu diam. Hati mereka tercekap tak berani untuk 

berkata-kata atau memisahkan salah satunya. 

Mereka yang bertarung bukanlah orang semba-

rangan, yang sudah diketahui memiliki ilmu yang 

sungguh tinggi.

"Apakah kita akan mendiamkan saja, Ka-

kang?" tanya Rambut Merah pada Tangan Api 

yang berdiri di sampingya. "Bahaya kalau salah 

satunya harus ada yang mati."

Tangan Api hanya tersenyum kecut men-

dengarnya, laku katanya:

"Apakah ada yang berani memisahkan me-

reka? Huh, mencari mati."

Rambut Merah hanya diam, merasakan 

bahwa ucapan kakaknya memang benar adanya. 

Siapa yang akan berani memisahkan kedua Da-

tuk yang berilmu tinggi itu? Kalau memang orang 

itu mencari mati, maka mungkin hal itu akan di-

lakukannya.

"Kak... Kak... Kak...! Mampuslah kau, Lolo 

Gender!"



"Bedebah! Aku belum kalah, Gagak Hitam!"

"Baiklah! Hari ini juga kau akan aku kirim 

ke akherat!"

"Jangan bermimpi!"

Keduanya kembali saling serang. Kini ke-

duanya telah kembali pada bentuk asal mereka. 

Mata Lolo Gender benar-benar telah hilang sebe-

lah. Mukanya morat marit dicakar oleh Gagak Hi-

tam. Sebaliknya Gagak Hitam pun tak luput dari 

luka, namun sungguh tak separah Lolo Gender. 

Gagak Hitam hanya luka-luka kecil belaka, se-

hingga serangan-serangannya masih tampak lin-

cah dan keras.

Gagak Hitam seketika kembali memekik, 

lalu tertawa bergelak-gelak laksana orang gila. 

Gunung yang berada di situ, seketika runtuh.

Bersamaan dengan runtuhnya Gunung 

Kapur, seketika Gagak Hitam mencelat terbang 

dan...!

"Aaah...!" Lolo Gender memekik sesaat, ke-

palanya copot tertarik oleh tangan Gagak Hitam 

yang seketika berubah bentuk menjadi Gagak Hi-

tam kembali. Burung Gagak Hitam Raksasa itu 

terbang membawa kepala Lolo Gender, jauh dan 

makin menjauh. Dilemparkannya kepala tersebut, 

manakala sampai ke tengah-tengah lautan

Selatan. Tamatlah riwayat Lolo Gender, 

mati dengan keadaan yang mengerikan.

Semua seketika memburu pada tubuh Lolo 

Gender yang tergeletak dengan tanpa kepala. Da-

rah membasahi sekelilingnya, menjadikan re-

rumputan berubah menjadi merah kehitam-hi


taman. Kini Datuk Gagak Hitam telah berlalu per-

gi, sepertinya ia tak menghendaki dirinya menjadi 

pimpinan para Datuk yang kini terlolong bengong. 

Mereka tak mengerti dengan tingkah laku Datuk 

Gagak Hitam, yang serba aneh.


DELAPAN



Tengah kesemua Datuk itu tak mengerti 

dengan segala tindakan Gagak Hitam, tiba-tiba 

bayangan putih berkelebat menuju ke arah mere-

ka. Seketika mereka yang ada di situ tersentak 

kaget, memanahkan pandangannya ke arah orang 

berpakaian serta cadar serba putih.

"Datuk Putih...!!"

Datuk Putih nampak tersenyum, terbukti 

cadar yang dipakainya mengerut ke dalam. Ma-

tanya yang tertutup oleh kain cadar putih, me-

mandang pada kesemuanya yang nampak ketaku-

tan.

"Kalian para Datuk. Apa yang tengah ka-

lian lakukan di tempat ini?" tanyanya dengan su-

ara tenang.

Semua tak ada yang menjawab, sepertinya 

mulut mereka bungkam seribu kata. Hal itu men-

jadikan Datuk Putih terkesiap, marah seketika 

dan membentak

"Apakah kalian bisu!"

"Ampun! Kami-kami... tengah menyaksikan 

kematian salah seorang anggota kami yang me-

ngerikan." jawab Rambut Merah mewakili teman


temannya.

"Mati? Mati karena apa?"

"Ia mati di tangan Datuk Gagak Hitam." 

"Siapa dia?"

"Ia adalah Lolo Gender."

"Hem...." hanya desahan pendek saja yang 

keluar dari mulut Datuk Putih. Perlahan ia te-

ngadahkan muka memandang ke arah selatan di 

mana Gunung Kapur menjulang tinggi dengan 

angkuh dan megahnya. "Kakang Renggana, sung-

guh perbuatanmu sudah kelewat batas. Kau telah 

gila dengan segala kemenangan. Hem, kalau saja 

Pendekar muda itu tahu bahwa Raja Kerajaan 

Gading Kuning mati olehmu, sungguh aku tak 

dapat memikirkannya." keluh hati Sanggara atau 

Datuk Putih.

"Apakah kalian masih menghendaki keka-

cauan di dunia? Apakah kalian masih menghen-

daki partai kalian tumbuh?" tanya Datuk Putih 

setelah lama tercenung diam.

"Jelas! Kami para Datuk menghendaki par-

tai kami tumbuh!" tiba-tiba seorang Datuk yang 

tak lain dari pada Datuk Sangkala Putung men-

jawabnya. Hal itu menjadikan Datuk Putih seke-

tika memandang ke arahnya dengan tajam, walau 

matanya tertutup oleh kain tapi jelas sorotan ma-

ta itu begitu menghunjam.

"Hem, kau! Rupanya kau masih ingin men-

jadikan dirimu orang yang disembah-sembah, 

Sangkala Putung. Tak aku sangka, orang setua-

mu masih saja bertingkah macam-macam. Apa-

kah kau tak mengingat lagi usiamu yang sudah


bau tanah itu?"

"Bedebah! Aku tak perduli. Kami adalah 

Datuk dan sepantasnyalah kami berbuat."

"Oh, begitu? Apakah kau akan mengulangi 

pertarungan antara Datuk seperti yang baru saja 

kalian saksikan? Hem, kalian belum tahu apa 

akibatnya rupanya. Atau barangkali kalian me-

mang sengaja menutup mata. Lihatlah temanmu 

itu, dialah korban dari segala keserakahan kalian 

para Datuk!" membentak Datuk Putih agak jeng-

kel. Merasa ucapannya seperti tak digubris oleh 

orang tersebut. "Kalian akan berbuat apa bila aku 

menghalangi kalian?"

"Aku akan menentangmu!" tak kalah Sang-

kala Putung membentak.

Datuk Putih hanya tersenyum, sepertinya 

ucapan Sangkal Putung sebuah lelucon. Ya, ia bi-

sa saja berkata begitu, sebab ia bukanlah orang 

sembarangan.

"Menentangku? Apakah kau mampu, 

Sangkala Putung?'

"Sombong! Jangan kira aku takut dengan 

nama besarmu yang sudah kesohor. Aku Sangka-

la Putung pantang untuk takut," 

"Hua, ha, ha... kau tak ubahnya seorang 

yang sombong dan tak mengaca diri. Kalau kau 

tak mengenal takut, mengapa kau tak menghada-

pi Datuk Gagak Hitam? Mengapa mesti Lolo 

Gender yang menghadapi?"

"Hem, kau boleh berkata apa. Tapi aku tak 

takut padamu!"

"Oh, begitu? Kau tak akan takut bila aku


buka siapa adanya aku sesungguhnya? Maaf, aku 

bukan ingin pamer, tapi aku hanya ingin sekedar 

menyadarkan kalian untuk kembali ke jalan yang 

lurus. Mumpung masih ada umur!"

"Benar katamu, Ki Sanak Datuk Putih!"

Semua mata seketika membelalak, mana-

kala terdengar seruan seseorang yang berbaren-

gan dengan berkelebatnya sesosok tubuh pemuda 

dan tahu-tahu telah berdiri sejajar dengan Datuk 

Putih. Tak alang kepalang, seketika semua yang 

ada di situ membersit kaget.

"Pendekar Pedang Siluman Darah!" Jaka 

sepertinya acuhkan kekagetan mereka, ia ber-

tanya pada Datuk Putih yang berdiri di samping-

nya. "Datuk Putih, menurutmu bagaimana den-

gan Raja Kerajaan Gading Kuning?"

Datuk Putih atau Sanggara sejenak mena-

rik napas panjang, sepertinya hendak membuang 

segala beban di hatinya yang terlalu berat. Beban 

berat itu, tak lain dari pada orang yang menjadi-

kan biang keladi keributan ini semua. Orang itu 

adalah kakak seperguruannya sendiri, yang mau 

tidak mau harus dia hadapi.

"Beliau telah mati di tangan Datuk Gagak 

Hitam." jawabnya pelan seakan tak ada semangat. 

"Sayang, dia adalah kakak seperguruanku sendi-

ri," Datuk Putih bergumam lirih, hanya terdengar 

oleh Jaka saja yang seketika kerutkan ke-ning.

"Jadi...?" Jaka tak dapat berkata panjang.

"Ya, aku adalah adik seperguruannya. Itu-

lah makanya aku tak dapat berbuat apa-apa," ke-

luh Datuk Putih seperti putus asa.


Jaka hanya mampu menghela panjang-

panjang, ia juga turut merasakan kepedihan yang 

dirasakan oleh Datuk Putih. Bagaimanapun juga, 

Datuk Putih sukar untuk berbuat. Seperti halnya 

makan buah Simalakama. Dimakan ayah mati, 

tidak dimakan ibu pun mati. Datuk Putih pun 

mengalami hal begitu rupa. Ditumpas kakak sen-

diri, tidak ditumpas akan membuat petaka terus 

menerus.

"Aku jadi bingung, Tuan Pendekar."

"Aku memaklumi apa yang engkau pikir-

kan. Aku juga akan berbuat seperti itu bila aku 

menjadi dirimu."

Kedua pendekar ternama itu hanya terpe-

kur diam, susah untuk memikirkan tindakan apa 

yang harus mereka lakukan. Tengah keduanya 

terdiam, tiba-tiba para Datuk yang merasa dirinya 

sudah terpepet tanpa disadari oleh Jaka dan Da-

tuk Putih menyerang mereka.

Tersentak keduanya sembari melompat 

mundur, menjadikan para penyerangnya makin 

tambah beringas saja. Dengan bergabungnya para 

Datuk itu menyerang, sudah menjadikan sebuah 

kekuatan yang sukar untuk dibendung. Namun 

bukanlah Jaka Ndableg bila harus mengalah begi-

tu saja. Maka dengan memaki-maki sejadi-jadinya

Jaka terus berusaha mengelitkan serangan.

"Dasar orang-orang mencari mampus!" 

bentak Jaka marah.

"Kalian berdualah yang mencari mampus!" 

Sangkala Putung yang mengira ilmu Jaka dan 

Malaikat Datuk Putih berada di bawahnya membentak, lalu dengan segenap ilmu yang ia miliki 

menyerang membabi buta.

"Wadauw... rupanya mereka ingin hadiah 

dari kita, Saudara Datuk Putih. Lihat... mereka 

tak ubahnya kegembiraan menari-nari demi men-

dengar aku hendak memberi hadiah pada mere-

ka."

Setelah berkata begitu, serta merta Jaka 

berkelebat bagaikan seekor burung walet me-

nyambar. Tangannya dikepakkan bagaikan ter-

bang.

Datuk Putih yang melihat tingkah laku Ja-

ka, seketika terkesiap kaget. Bagaimana mungkin 

orang bertarung seperti orang yang main-main. 

Datuk Putih begitu mengawatirkan keadaan Jaka. 

Dan ia hendak bermaksud menolongnya manaka-

la terdengar Jaka berseru.

"Lihat sahabat! Mereka akan aku beri kue 

apem. Hiat...!"

Tangan Jaka Ndableg yang tadi memben-

tang, tiba-tiba menutup dengan salah satu tan-

gannya mengepalkan tinju. Lalu dengan menukik 

Jaka hantamkan bogem mentahnya ke arah orang 

yang berada di depannya, yang seketika itu ber-

maksud mengelak. Namun ternyata hantaman 

yang dilontarkan Jaka hanyalah tipuan. Ketika 

orang itu mengelak dan menangkis tangannya, 

segera Jaka tarik tangannya dan ganti ayunkan 

kedua kakinya bagaikan orang main ayunan. 

"Bug...!"

Tendangan kedua kaki Jaka yang disatu-

kan telah mengenai dada musuh. Seketika orang


tersebut menjerit, mengerang sesaat dan akhirnya

ambruk dengan dada bolong melelehkan darah. 

Tulang iganya remuk berantakan.

Sebaliknya Datuk Putih, nampak mengha-

dapi serangan-serangan para Datuk dengan kea-

daan tenang. Setiap hantaman tangannya seketi-

ka mengeluarkan angin pukulan yang sungguh 

dahsyat. Tapi nampaknya para Datuk hitam itu 

bukanlah musuh-musuh kelas kroco yang sekali 

gebrak lari terbirit-birit. Mereka adalah Datuk-

datuk kaum persilatan golongan sesat.

"Bedebah! Kalian berdua akan kami cin-

cang!"

"Hua, ha, ha,... Datuk Tangan Api, apa aku 

tak salah dengar bahwa aku hendak memberikan 

kami daging cincang? Ouh, sungguh kau adalah 

seorang sahabat yang mengerti situasi. Memang 

aku tengah lapar saat ini. Mana Daging Cincang 

itu..."

Marahlah Datuk Tangan Api mendengar 

ucapan Jaka yang seperti orang konyol. "Setan!"

"Eh, kenapa kau menyebutkan dirimu sen-

diri, Datuk?" tanya Jaka makin konyol, menjadi-

kan Datuk Tangan Berapi tak alang kepalanglah 

kemarahannya. "Wah jangan terlalu emosi, cepat 

tua. Hua, ha, ha!"

Jaka segera kelitkan tubuh manakala tan-

gan Datuk Berapi itu menyerang ke arahnya. Ha-

wa panas yang keluar dari nyala api di tangan Da-

tuk Tangan Berapi memang panas tiada kira. 

Namun bagi Jaka, yang kondang namanya tidak 

menjadikan masalah. Segera Jaka salurkan Hawa


Murni ke sekujur tubuhnya.

"Datuk, kau janganlah suka bermain api. 

Aku takut kau nanti akan terbakar sendiri," Jaka 

berbicara seperti seorang yang menasehati. "Api di 

tanganmu sungguh bahaya, Datuk."

Diam-diam Jaka salurkan segenap kekua-

tannya ke tangan. "Akan aku lawan api tersebut 

dengan Bayu Dewa," gumam Jaka dalam hati. 

Dan secara tak diketahui oleh Datuk Tangan Api, 

Jaka salurkan ajian Bayu Dewa. Seketika angin 

puting beliung berserabutan ke luar dari telapak 

tangan Jaka, menjadikan api di tangan Datuk 

Tangan Berapi berhamburan balik menyerang 

tuannya. Tak ayal lagi, Datuk Tangan Berapi se-

ketika menjerit-jerit. Tubuhnya seketika itu ter-

bakar oleh apinya sendiri. Sang Datuk segera ber-

lari, berusaha untuk sedapatnya memadamkan 

api yang membara di tubuhnya.

Jaka tertawa bergelak-gelak demi melihat 

musuhnya pontang panting dengan api melekat di 

tubuhnya. Tengah ia tertawa bergelak-gelak, tiba-

tiba sebuah senjata berkelebat hendak me-

nyerangnya.

"Wadaou... hampir aku kena!"

Jaka segera lemparkan tubuh bersalto, 

namun ternyata di belakangnya telah menyambu-

ti sebatang tombak yang digenggam oleh musuh 

mengarah ke tubuhnya.

"Ah...." Jaka sesaat mengeluh. "Mati 

aku...."

Akalnya seketika kembali konyol. Dan ma-

nakala kedua musuhnya menyerang seketika Ja


ka lentingkan tubuh ke angkasa. Maka dengan 

seketika kedua musuhnya saling tusuk dengan 

senjatanya masing-masing.

Di pihak lain Datuk Putih pun tak mau be-

gitu saja mengalah oleh keroyokan para Datuk 

yang sepertinya tak mengenal rasa takut. Datuk 

Putih sebenarnya enggan untuk menurunkan 

tangan jahatnya, namun keadaan mendesaklah 

hingga ia terpaksa menurunkannya.

"Sebenarnya aku enggan menurunkan tan-

gan jahatku, tapi rupanya kalian memaksaku. 

Baiklah, aku akan melayani kalian dengan sege-

nap kemampuan yang aku miliki."

"Jangan banyak bacot, Datuk Putih!" ben-

tak Sangkala Putung.

"Kau masih sombong, Sangkala Putung. 

Kau rupanya memang manusia yang sudah ber-

sekutu dengan Iblis!"

Sangkala Putung tertawa bergelak-gelak 

sepertinya merasa bangga dapat dikatakan seku-

tu Iblis. Maka dengan gelak tawa yang masih ia 

lakukan, Sangkala Putung segera berkelebat me-

nyerang kembali.

Pertarungan dan dikeroyok oleh puluhan 

Datuk-datuk persilatan golongan sesat ini terus 

berjalan. Mereka nampaknya tak akan segera 

menghentikan pertarungan tersebut. Mereka ru-

panya ingin mengungguli satu sama lainnya.

* * *

Tengah pertarungan itu berjalan dengan


seru, tiba-tiba dari arah Selatan berkelebat seso-

sok bayangan serba hitam menuju ke arah di ma-

na pertarungan itu terjadi.

Bayangan itu yang ternyata milik seorang 

lelaki tinggi besar dengan muka menyeramkan 

serta cambang bawuk tebal, melangkahkan ka-

kinya menghampiri mereka yang bertarung.

Mereka yang bertarung seperti tak hirau-

kan kedatangan orang tersebut. Makin lama, 

orang tersebut makin mendekat. Matanya menyo-

rot tajam menghunjam ke arah para Datuk, juga 

tak luput memandang pada Jaka dan Datuk Pu-

tih. Tiba-tiba orang itu membentak, "Berhenti ka-

lian semuanya!"

Semua yang ada di situ seketika terjengah 

dan hentikan pertarungan. Namun belum sempat 

para Datuk itu mengerti, tiba- tiba orang tersebut 

hantamkan pukulannya. Tanpa ayal lagi, semua 

yang ada di situ tersentak kaget termasuk Jaka 

dan Datuk Putih yang segera melompat menghin-

dar. Orang tersebut tak mau ambil perduli, ia te-

rus saja melancarkan serangannya membabi buta 

ke arah orang-orang yang ada di situ. Datuk Putih 

sungguh-sungguh terkejut, manakala tahu siapa 

adanya orang tersebut. Serta merta Datuk Putih 

berseru menyebut nama orang mengamuk. "Ka-

kang Renggana, Hentikan!"

Seruan Datuk Putih terlambat, sebab para 

Datuk lainnya telah binasa tersapu dengan ajian 

yang dilontarkan Renggana. Renggana hentikan 

serangan, terpaku memandang pada orang yang 

berseru. Serta merta ia menjerit, menyebut nama


seseorang yang dianggapnya telah hilang dari du-

nia atau mati.

"Adikku Sanggara, Kau...!"

"Benar aku, Kakang. Aku adikmu... adik 

seperguruanmu."

Mata Renggana seketika memandang ta-

jam, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tiba-

tiba Renggana berteriak-teriak bagaikan orang gi-

la lalu berlari meninggalkan kedua pendekar yang 

terbengong mematung di tempat.

Nah, bagaimana dengan Renggana? Apa-

kah ia akan hilang dari pengaruh iblis? Bagaima-

na pula nantinya Jaka Ndableg dan Datuk Putih 

atau Sanggara? Untuk lebih jelasnya, ikuti saja 

kisah berikutnya pada judul: Munculnya Ratu Si-

luman Darah. Maka dengan ini, aku cukupkan 

kisah Pertarungan Dua Datuk, sampai jumpa.


                                 TAMAT


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar