PERTARUNGAN DUA DATUK
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Pertarungan Dua Datuk
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Pegunungan Kapur nampak menjulang,
putih memuncak bagaikan puncak kristal. Keger-
sangan Pegunungan Kapur, jelas melekat dari
areal tanah yang menghampar di bawahnya. Ta-
nah-tanah di situ tiada menghijau, hanya kapur-
kapur putih dan cadas saja yang nampak nyata.
Dua orang penunggang kuda nampak memacu
kudanya ke arah situ. Di wajah kedua orang itu
nampak rasa letih dan capai, sepertinya dua
orang itu telah menempuh perjalanan yang cukup
jauh dan melelahkan.
"Ke mana kita akan tinggal, Kakang?"
tanya salah seorang dari keduanya. "Sungguh tak
dapat dibayangkan. Apa mungkin tempat yang
kering seperti ini dan tandus dapat dijadikan Pe-
sanggrahan?"
Sang kakak seperguruan itu terdiam, tanpa
kata. Matanya memandang lurus ke muka, men-
gawasi hamparan cadas dan granit yang menutu-
pi semua dataran di situ. Sejenak ia tarik napas
dalam-dalam, lalu melirik pada adik sepergu-
ruannya dan berkata: "Ini sudah menjadi perintah
dari guru yang mau tak mau harus kita laksana-
kan. Apa kau ingin dikata membangkang, Adik-
ku?"
"Bukan begitu, Kakang. Aku tak mengerti,"
keluh sang adik masih diliputi rasa tak puasnya,
menjadikan sang kakak kembali menghela napas
dan kembali berujar:
"Setiap apa yang disarankan oleh guru,
aku rasa baik. Guru sebenarnya bertujuan men-
guji pada kita, mampu atau tidak kita melaku-
kannya. Kita harus berusaha. Ya, berusaha untuk
dapat menjalankan apa yang menjadi perintah
dari guru kita. Seperti kata pepatah, ucapan guru
harus di gugu dan ditiru. Ah, sudahlah, ayo kita
makin ke atas, siapa tahu di sana kita akan me-
nemukan tempat yang agak mendingan daripada
tempat ini."
Dengan menurut akhirnya sang adik pun
mengikuti kakaknya. Dihelanya kais kuda me-
langkah menapaki lereng-lereng gunung yang ter-
jal. Kalau saja mereka tak mahir dalam menung-
gang kuda, niscaya tubuh mereka beserta ku-
danya akan terpelanting dan jatuh ke bawah ju-
rang yang menganga. Tapi rupanya kedua kakak
beradik seperguruan itu telah dididik dan dilatih
dengan segala keberanian dan ketangkasan ter-
masuk di dalamnya menaiki kuda, se-hingga me-
reka dengan gampang menjalankan ku-da-kuda
mereka. Bukan saja kuda-kuda mereka berjalan
tertatih-tatih, namun langkah sang kuda seper-
tinya ngeri dan takut kalau-kalau jatuh. Mereka
kembali berhenti setelah sampai di sebuah ham-
paran yang ada ditumbuhi pepohonan.
"Di tempat ini kita akan mendirikannya,"
berkata sang kakak seraya turun dari kudanya.
Ditambatkan tali kuda pada pohon yang ada di si-
tu. Adik seperguruannya pun melakukan hal se-
rupa, menambatkan tali kuda di sebelah pohon
tempat kuda kakaknya tertambat. Mereka sejenak
berdiri mematung di tempat itu, memandang ke
muka di mana hamparan rumput menghijau.
"Ayo kita ke sana."
Kedua kakak beradik seperguruan itu
kembali melangkah, menapaki hamparan rumput
menghijau. Nampaknya kedua kakak beradik itu
tengah mencari tempat yang sekiranya cocok un-
tuk mereka gunakan mendirikan Pesanggrahan.
Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah dataran
di tengah-tengah rumput melebar tersebut. Sepe-
tak tanah kering, menghampar di tengah-tengah
tempat tersebut.
"Aku rasa, tempat inilah yang akan kita
buat Pesanggrahan," kembali sang kakak berkata.
"Ayo, kita bekerja."
Tanpa menunggu jawaban dari sang adik,
segera sang kakak berkelebat lari meninggalkan
adik seperguruannya. Tak lama kemudian, sang
kakak telah membawa beberapa potong kayu. Me-
lihat hal itu, sang adik segera membantu, mem-
bawakan kayu-kayu itu. Kemudian keduanya se-
gera bekerja. Diikatnya kayu-kayu itu membentuk
sebuah bangunan yang menyerupai rumah. Ke-
duanya bekerja dengan tanpa mengeluh capai se-
dikitpun. Keduanya berhenti bekerja untuk isti-
rahat, manakala untuk makan siang saja dan
kemudian keduanya kembali bekerja lagi sampai
hari benar-benar sore. Dalam sehari saja, Pe-
sanggrahan yang mereka buat itu pun jadi.
* * *
Esok harinya kedua kakak beradik itu
mencari orang-orang yang sekiranya mau menjadi
murid. Kedua orang kakak beradik itu dengan ca-
ra memberikan tontonan pada masyarakat, beru-
saha memikat para pemuda untuk mau menjadi
murid di Pesanggrahannya. Sepertinya hari itu,
kedua kakak beradik seperguruan tengah mela-
kukan pertunjukan keliling dalam usahanya
mendapatkan murid.
Rakyat yang mendengar suara gamelan
mengalun di hamparan lapangan segera berbon-
dong-bondong datang untuk menyaksikan geran-
gan apa yang terjadi. Mereka semua seketika ber-
kumpul, semakin lama semakin banyak saja jum-
lah yang datang. Manakala jumlah rakyat desa
tersebut telah cukup banyak, kakak seperguruan
dari dua saudara perguruan itu berkata: "Namaku
Renggana, dan ini Adikku bernama Sanggara.
Kami datang ke mari dengan maksud untuk men-
gajak saudara-saudara menjadi orang yang bisa
main silat. Maka agar saudara-saudara yakin,
kami akan memperagakan ilmu silat yang kami
miliki."
Tepuk sorak seketika membahana, me-
nyambut habisnya ucapan Renggana. Teriakan-
teriakan kegembiraan dari para massa yang su-
dah ingin melihat pertunjukan itu, seperti supor-
ter-suporter persepakbolaan PSSI yang antusias.
"Wah, seru nih."
"Kalau memang mainnya bagus, aku jelas
mau menjadi anggota."
"Apalagi jika mereka orang yang benar
benar pendekar. Aku dan teman-temanku akan
menjadi anggotanya dengan suka rela."
Begitulah komentar-komentar datang silih
berganti. Semuanya yang ada di situ seketika
kembali diam, manakala terdengar pekikan kedua
kakak beradik seperguruan tersebut membuka
pertunjukan. Mata semua yang menonton seketi-
ka terbelalak, kagum menyaksikan apa yang ten-
gah berjalan di hadapan mereka. Tubuh kakak
beradik seperguruan tersebut bagaikan menghi-
lang, terbungkus oleh bayangan-bayangan dari
baju-baju yang mereka pakai. Decak kagum kem-
bali menggema di antara para penonton, seper-
tinya mereka melihat para Dewa yang tengah ber-
tarung. Belum juga para penonton hilang dari ke-
terkejutannya, tiba-tiba kedua kakak beradik itu
sudah saling keluarkan ilmu yang makin membe-
lalakkan mata. Dari tangan kedua kakak beradik
seperguruan seketika keluar asap hitam bergu-
lung-gulung, dan...!
"Wah, apa yang mereka lakukan?" tanya
para penonton terheran-heran tak mengerti. Mata
mereka kembali membelalak, manakala tubuh
kedua kakak beradik itu raib dari pandangan me-
reka. Asap itu makin lama makin bergumpal, lalu
membentuk sebuah ujud. Ujud yang seketika
menjadikan para penonton ketakutan. Tapi ba-
gaikan terpaku, para penonton tak dapat beran-
jak melangkahkan kakinya barang setindak pun.
Hanya mata mereka saja yang melotot tak per-
caya. Apa yang sebenarnya mereka lihat? Tak lain
mereka melihat dua mahluk yang sudah mereka
benar pendekar. Aku dan teman-temanku akan
menjadi anggotanya dengan suka rela."
Begitulah komentar-komentar datang silih
berganti. Semuanya yang ada di situ seketika
kembali diam, manakala terdengar pekikan kedua
kakak beradik seperguruan tersebut membuka
pertunjukan. Mata semua yang menonton seketi-
ka terbelalak, kagum menyaksikan apa yang ten-
gah berjalan di hadapan mereka. Tubuh kakak
beradik seperguruan tersebut bagaikan menghi-
lang, terbungkus oleh bayangan-bayangan dari
baju-baju yang mereka pakai. Decak kagum kem-
bali menggema di antara para penonton, seper-
tinya mereka melihat para Dewa yang tengah ber-
tarung. Belum juga para penonton hilang dari ke-
terkejutannya, tiba-tiba kedua kakak beradik itu
sudah saling keluarkan ilmu yang makin membe-
lalakkan mata. Dari tangan kedua kakak beradik
seperguruan seketika keluar asap hitam bergu-
lung-gulung, dan...!
"Wah, apa yang mereka lakukan?" tanya
para penonton terheran-heran tak mengerti. Mata
mereka kembali membelalak, manakala tubuh
kedua kakak beradik itu raib dari pandangan me-
reka. Asap itu makin lama makin bergumpal, lalu
membentuk sebuah ujud. Ujud yang seketika
menjadikan para penonton ketakutan. Tapi ba-
gaikan terpaku, para penonton tak dapat beran-
jak melangkahkan kakinya barang setindak pun.
Hanya mata mereka saja yang melotot tak per-
caya. Apa yang sebenarnya mereka lihat? Tak lain
mereka melihat dua mahluk yang sudah mereka
kenal. Namun mahluk itu tidak dalam ukuran
yang sebenarnya. Burung Gagak itu jauh seratus
kali lipat lebih besar, sementara Ular Kobra itu
jauh lebih panjang dan besar seratus kali dari
ular kobra sesungguhnya. Para penonton baru
tersadar, manakala kedua kakak beradik itu telah
kembali ke bentuk asalnya yaitu Renggana dan
adiknya Sanggara. Kembali decak kagum pun
membahana, mewarnai tepuk tangan tiada henti.
"Bagaimana saudara-saudara. Apakah ka-
lian telah yakin benar bahwa kami dapat kalian
jadikan guru?" tanya Renggana, di sela-sela tepuk
sorak para penonton yang memadati tempat ter-
sebut.
"Yakin...." jawab semua yang ada si situ,
menjadikan Renggana dan Sanggara tersenyum
senang seraya menjura hormat.
"Terimakasih, terimakasih. Nah, siapa yang
ingin menjadi anggota Pesanggrahan kami? Si-
lakan untuk mendaftar."
Mendengar ucapan Sanggara, seketika para
penonton kembali riuh. Mereka berebut, saling
dulu-mendahului untuk secepatnya menjadi ang-
gota perguruan. Hal itu membuat Renggana dan
Sanggara nampak kerepotan untuk mendata me-
reka. Hampir seratus lebih para pemuda berebut
meminta diri untuk menjadi anggota, juga tak ke-
tinggalan berpuluh-puluh orang tua.
"Kami kira, semua anggota cukup. Gam-
pang nanti kalau memang kami membutuhkan-
nya," terdengar suara Renggana memecah hiruk
pikuk para pemuda yang mendaftar. "Adik Sang
gara, coba kau data lagi siapa-siapa saja yang
hendak menjadi anggota kita."
"Ranges, Lomper, Sulak, Dayat, Emmo, Ji-
lam...."
"Saya...."
Sahutan-sahutan pemuda itu terus mene-
rus, menyahuti mana kala mereka kembali di-
panggil satu persatu. Lengkap sudah seluruhnya,
yang tercatat di daun lontar ada hampir dua ratus
pemuda dan orang tua. Hari itu juga, semua yang
menjadi anggota bareng dengan kedua kakak be-
radik tersebut berjalan menuju ke Pesanggrahan
Gunung Kapur.
* * *
Kedua ratus orang anggota itu duduk ber-
silah memenuhi lapangan rumput yang berada di
depan Pesanggrahan. Wajah mereka walau di-
bakar matahari nampak ceria. Mereka sepertinya
senang dapat menjadi anggota orang-orang beril-
mu tinggi. Mereka tak mengerti, siapa-siapa guru-
guru mereka. Yang mereka tahu, kedua kakak be-
radik seperguruan itu adalah orang-orang yang
dapat diandalkan. Dalam hati semua pemuda dan
orang tua yang menjadi anggota tersebut hanya
ada sebuah harapan, menjadi orang yang sakti
seperti pimpinan mereka. Berilmu tinggi, juga
mempunyai ilmu siluman. Memang kebanyakan
mereka yang mendaftar adalah orang-orang yang
mempunyai antusias kelewat batas. Mereka
hanya mementingkan diri sendiri, tak memikirkan
apa dan untuk apa ia ikut Pesanggrahan Gunung
Kapur.
"Saudara-saudara anggota Pesanggrahan
Gunung Kapur, sengaja kami ajak saudara-
saudara ke sini sekedar untuk membicarakan ba-
gaimana kelanjutan perguruan ini. Kami kira,
saudara-saudara ingin belajar sambil menda-
patkan uang, bukan?" tanya Renggana, menjadi-
kan kedua ratus lebih anggota baru tersebut se-
ketika berseru menjawab:
"Tentu, Tuan Pendekar...!"
"Nah, untuk itulah kami hendak memberi-
kan sebuah rencana. Kami harap, kalian semua
mau menyetujui."
"Apa itu, Tuan Pendekar?" tanya mereka
serentak. Dari sinar mata mereka nampak seber-
cik harapan, harapan untuk mendapatkan harta
yang mampu menunjang hidup mereka di samp-
ing mereka dapat belajar ilmu dari dua orang
yang sudah diketahui berilmu tinggi. Mereka tak
menghiraukan apa yang dapat dilakukan, dan
apa yang hendak mereka perbuat. Di hati mereka
hanya ada satu tujuan, menjadi murid orang-
orang berilmu tinggi dan mendapatkan hasil un-
tuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Sesaat kedua kakak beradik seperguruan
itu diam, saling pandang dengan napas menghela
panjang. Keduanya kemudian memancarkan
pandangan mata mereka ke lapangan, di mana
kedua ratus orang anggotanya duduk bersila di
situ dengan pandangan mata penuh harapan
akan apa yang bakal diberikan oleh Ketuanya.
Lama hal itu terjadi, sebelum akhirnya Renggana
kembali berkata: "Kami mempunyai tujuan yaitu
mengembangkan Perguruan Datuk dengan seiring
pencarian dana. Bukankah dana itu sangat uta-
ma....?"
"Akur...." jawab semuanya penuh seman-
gat. "Bagaimanakah caranya, Tuan Pendekar?"
Kembali Renggana terdiam, melirik pada
adik seperguruannya dan kemudian kembali me-
neruskan. "Bagaimana kalau kita melakukan cara
pintas?" tanyanya seperti pada diri sendiri, men-
jadikan semua yang ada di situ terlolong tak men-
gerti.
"Cara pintas...! Cara pintas bagaimana
yang Tuan Pendekar maksudkan?"
Dan seperti tadi, kembali Renggana ter-
diam. Kini agak lama, memandang satu persatu
para anggota yang seketika itu terdiam, seakan
pasrah pada apa yang bakal dijadikan landasan
oleh Ketuanya. Melihat hal itu, Sanggara yang se-
dari tadi diam kini menjawab.
"Kami akan berikan pada kalian ilmu silat,
dan kami akan mendidik kalian agar menjadi
orang sakti serta pemberani. Dengan ilmu yang
kalian miliki, apakah kalian tidak berani melaku-
kan tindak perampokan...?"
Semua yang hadir seketika terdiam, tak
ada yang berkata untuk menjawab atau menen-
tang. Mata semuanya saling pandang, seperti in-
gin meminta persetujuan dari satu ke lainnya.
Sanggara yang melihat kebimbangan mereka se-
gera meneruskan, "Percayalah pada kami, bahwa
kami akan selalu melindungi kalian semua. Bah-
wa kalian akan mampu menghadapi siapa saja
yang akan menghalangi kalian dengan ilmu yang
kalian miliki. Bukan begitu, saudara- saudara?"
Karena mereka sangat meyakini bahwa dua
Ketuanya benar-benar sakti, maka tanpa berpikir
banyak lagi semuanya segera menganggukkan ke-
pala. Hal itu menjadikan seulas senyum di bibir
kedua kakak beradik tersebut. Keduanya merasa
bahwa jalan untuk mencapai segala cita-citanya
menjadi datuk-datuk persilatan akan dapat mere-
ka rebut.
"Mulai esok pagi, kalian semua akan kami
didik dengan segala ilmu silat dan ilmu-ilmu yang
lain. Bagaimana, apakah kalian mau? Adakah
yang tidak setuju?" tanya Sanggara sembari ma-
tanya memandang pada kedua ratus anggotanya
yang tak ada yang menyahut. "Kalau kalian me-
mang setuju, baiklah hari ini juga akan kami bagi
kalian dalam empat kelompok. Satu kelompok,
harus dapat menjadikan kekuatan yang gagah be-
rani dalam menghadapi apapun juga. Kelompok
pertama, kami tugaskan untuk beroperasi di wi-
layah Kulon. Kelompok kedua di wilayah Kidul.
Kelompok ketiga di wilayah Wetan. Sedang ke-
lompok terakhir, di wilayah Lor. Ingat pembagi-an
ini baik-baik! Besok hari, kalian datang ke mari
lagi untuk mengikuti latihan silat yang akan men-
jadikan diri kalian sebagai seorang pendekar.
Nah, sekarang kalian boleh pulang. Jangan kalian
ceritakan hal ini pada yang lainnya, ingat itu!"
"Daulat, Tuan Pendekar...!" jawab semua
nya serempak.
"Mulai saat ini, kalian harus memanggil
kami Pemimpin. Bukan Pendekar, mengerti?"
"Daulat, Ketua?"
Setelah semuanya mendapatkan sehelai
daun lontar yang entah apa isinya, semuanya pun
berbondong-bondong meninggalkan Padepokan
Gunung Kapur untuk kembali ke rumah masing-
masing. Esok nanti, mereka akan resmi menjadi
anggota Perkumpulan Pesanggrahan Gunung Ka-
pur. Kedua kakak beradik seperguruan itu ter-
senyum, merasakan hasil yang maksimal. Kini
mereka yakin, bahwa mereka kelak akan menjadi
seorang Datuk Persilatan yang ditakuti dan di-
segani kawan maupun lawan.
DUA
Seperti apa yang telah mereka rencanakan,
maka sejak hari itu Pesanggrahan Gunung Kapur
pun mendidik semua anggotanya dengan berbagai
macam ilmu. Semuanya disiapkan untuk kelak
menjadi orang pemberani, siap menghadapi sega-
la apa yang bakal mereka hadapi.
Hari berganti menjadi minggu, akhirnya
minggu berganti dengan bulan. Tanpa terasa, tiga
bulan sudah semuanya belajar ilmu silat dan se-
gala hal yang sekiranya bakal berguna untuk diri
mereka. Kini mereka benar-benar berubah, bukan
menjadi mereka yang dulu, yang polos sebagai
orang gunung. Karena didikan bagi mereka keras,
jadilah kedua ratus pemuda itu sebagai pemuda
pemberani pantang mau menyerah.
Namun walau mereka keras, mereka masih
selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan rasa
persahabatan bagi sesama golongannya.
Kuatlah kini kuku-kuku yang mencengke-
ram, untuk segera kuku-kuku itu beraksi meng-
koyak-koyak mangsa. Kuku-kuku tersebut telah
benar-benar diasah, benar-benar tajam bila harus
digunakan. Hari itu juga, anggota Pesanggrahan
Gunung Kapur yang telah dibagi menjadi empat
itu beraksi. Empat wilayah sekitar Pegunungan
Kapur, seketika itu terkenal angker bagi para
orang yang pulang malam. Tindakan mereka begi-
tu telengas, sehingga dalam sekejap saja nama
Pesanggrahan Gunung Kapur menyebar dan men-
jadi momok bagi para penduduk di sekitarnya.
"Hua, ha, ha... kini bukankah segalanya te-
lah menjadi kenyataan?" tanya Renggana seper-
tinya puas melihat hasil yang dicapai oleh para
anggotanya. "Kalian memang orang-orang yang
pemberani, sehingga kalian sangat disegani tin-
dakannya. Hem, aku mempunyai rencana lagi."
"Rencana apa, Kakang?" tanya Sanggara.
"Benar, apa yang dikatakan Ketua Sangga-
ra. Adakah rencana lainnya lagi?" para anggota
pun tak mau ketinggalan bertanya.
Renggana tak menjawab, ia seketika ter-
diam membisu. Dilangkahkan kakinya pergi ke
luar, diikuti pandangan mata seluruh anggotanya
yang ada di situ. Anggota yang ada di situ, meru-
pakan anggota yang telah menjalani tugasnya. Ya,
begitulah. Kelima puluh anggotanya akan menja-
lani tugas dalam dua kali. Dua puluh lima orang
bekerja, dua puluh lima orang lainnya istirahat.
Sengaja Renggana mengaturnya sedemikian rupa,
dikarenakan ia tak ingin para anggotanya merasa
jenuh untuk melakukan segala apa yang telah di-
rencanakan. Apabila kedua puluh lima anggota
yang telah menjalankan tugas kembali, maka me-
reka diberinya segala kepuasan dari makanan,
gadis-gadis penghibur dan segala macam yang
memabukkan.
Sebenarnya Sanggara tak menyukai sega-
lanya, ia merasa segala tindakannya dan tindakan
Renggana telah kelewatan. Namun untuk mempe-
ringatkannya, jelas Sanggara tak berani. Pertama,
karena ia merasa sebagai adik seperguruan, yang
mau tidak mau harus menghormati kakak seper-
guruannya. Kedua, mereka telah diberi petuah
oleh guru mereka untuk saling menyokong bila
diperlukan, itulah yang mengakibatkan Sanggara
sukar untuk melakukan protes atau tindakan.
"Aku mempunyai maksud...." Renggana tak
meneruskan kalimatnya. Ia kembali melangkah
masuk ke Padepokan, berjalan hilir mudik ke sa-
na ke mari dengan kepala terangguk-angguk. Ma-
tanya memancar tajam, setajam mata burung Ga-
gak. Ya, memang dia adalah Datuk Gagak Hi-tam,
yang dengan ilmu silumannya mampu mengubah
dirinya menjadi seekor burung Gagak.
Semua yang ada di situ termasuk Sanggara
nampak terdiam, hanya mata mereka yang tak
henti-hentinya memandang tajam pada Renggana
yang nampak tenang-tenang, berjalan ke sana ke
mari. Lama kelamaan, Sanggara yang sudah tak
tahan melihat tingkah kakaknya yang diliputi ra-
hasia bertanya.
"Kakang, kenapa Kakang mesti menyem-
bunyikan sesuatu?"
"Oh, tidak. Aku tidak menyembunyikan
apa-apa, Adikku. Aku sebenarnya tengah berpikir
untuk mengembangkan sayap ku, laksana sayap
burung Gagak. Aku ingin kejayaan Datuk Gagak
Hitam, melebar ke segenap penjuru dunia. Tidak
hanya dalam lingkup wilayah Pesanggrahan Gu-
nung Kapur saja, tapi harus mampu menembus
dunia persilatan."
"Ah, apakah itu tidak terlalu tinggi, Ka-
kang?"
"Maksudmu...?"
Sejurus Sanggara terdiam mengatur napas,
matanya memandang ke luar dengan kosong. Ia
memang telah memikirkan bahwa kakaknya yang
berantusias tinggi suatu saat pasti ingin menjadi-
kan dirinya sebagai orang yang paling kuat. Ka-
kak seperguruannya tak berpikir, bahwa di dunia
persilatan bukan mereka saja yang sakti. Bahkan
lebih dari mereka berdua pun banyak. "Apakah
Kakang Renggana tak mendengar nama seorang
tokoh persilatan yang ilmunya sangat tinggi, bah-
kan dapat disejajarkan dengan Dewa?" keluh hati
Sanggara, sepertinya menyesali cita-cita kakak-
nya. Setelah lama terdiam, Sanggara pun akhir-
nya berkata: "Apakah itu sudah Kakang pikirkan
masak-masak?"
"Sudah, Adikku," jawab Renggana kalem,
dengan senyum keangkuhan yang melekat di bi-
birnya yang kebiru-biruan. "Aku sudah memikir-
kan segalanya. Dan aku yakin, bahwa aku akan
mampu menjadi Datuk di antara Datuk Persila-
tan. Hua, ha, ha...!"
Gelak tawa membahana keluar dari mulut
Renggana, yang seketika menjadikan rasa me-
rinding bagi para pendengarnya. Semua yang ada
di situ bagaikan tercekat, diam tanpa ada yang
berkata sepertinya mereka terpengaruh kekuatan
magis yang keluar bersamaan dengan gelak tawa
tersebut.
Walau Sanggara juga terdiam tanpa kata,
tapi dalam hatinya seketika gundah. Ia sadar,
bahwa dirinya tak dapat selaras dengan kakak-
nya. Namun untuk menentang, untuk saat-saat
sekarang ia rasa belum waktunya. Bagaimana
nanti jika guru mengetahui, sungguh petaka bagi
dirinya. "Ah, kenapa aku dulu menjadi murid Da-
tuk Rangka Urip? Oh, sungguh tekanan batin jika
aku harus terus menerus berbuat begini. Hati ke-
cilku seperti menolak, namun aku tak mampu
melakukan apa-apa. Oh, kenapa orang-orang me-
nilai ku sebagai seorang Datuk sesat?" beribu-
ribu macam pertanyaan menggayut dalam ha-
tinya, menjadikan Sanggara hanya mampu ter-
tunduk lesu.
Melihat adik seperguruannya terdiam me-
nunduk, Renggana seketika menanya: "Kenapa
kau melamun, Adikku? Apakah kau kurang setu-
ju dengan apa yang aku cita-citakan?"
Suara Renggana begitu halus, ramah ba-
gaikan tak mengerti apa yang tengah melanda pi-
kiran adiknya. Hal itu membuat Sanggara merasa
makin terpukul, berat untuk berkata-kata. Wa-
laupun dalam hati berkata Ya, namun di mulut
Sanggara tak berani untuk berkata begitu. Maka
sebagai penutup isi hatinya Sanggara mencoba
tersenyum. Digelengkan kepalanya, lalu dengan
mendesah dulu berkata: "Tidak begitu, Kakang.
Aku setuju saja pada apa yang menjadi keingi-
nanmu, bukankah guru menyuruh kita untuk
saling membantu?"
"Memang benar, Adikku. Tapi, kenapa se-
pertinya sedih?"
"Ah, mungkin itu hanya pandangan Ka-
kang saja. Aku tidak sedih, atau gundah. Aku
hanya tengah memikirkan bagaimana jika kelak
kita menjadi Datuk-Datuk yang disegani."
Bergelak tawa Renggana mendengar jawab-
an adik seperguruannya.
"Bagus, bagus. Nah, para kadang ku, ba-
gaimana dengan kalian? Apakah kalian juga se-
nang bila mempunyai guru yang ditakuti di selu-
ruh pelosok dunia persilatan?" tanya Renggana
pada kesemua anggotanya.
"Akur...!"
"Rupanya kalian memang orang-orang ga-
gah berani, yang suka sekali dengan kejayaan.
Kelak, kalian sendiri yang akan merasakan keba-
hagiaannya. Hua, ha, ha...!" kembali Renggana
bergelak tawa, sepertinya puas. "Tapi rencana itu
nanti, kalau benar-benar telah kokoh. Bukan be
gitu...?"
"Akur..." kembali terdengar jawaban se-
rempak.
Tengah mereka bercakap-cakap, dari ke-
jauhan tampak serombongan orang yang juga
anggota mereka datang menuju ke tempat itu. Di
wajah keseratus orang yang datang, nampak se-
buah gambaran kecemasan yang dalam bercam-
pur dengan rasa takut. Hal itu seketika menjadi-
kan Renggana terbelalak kaget, sebab tak biasa-
biasanya anak buahnya datang sebelum ganti ja-
ga. Serta merta, Renggana segera berkelebat me-
nyambutnya dengan penuh ketidakpengertian se-
raya bertanya.
"Kenapa kalian belum waktunya sudah pu-
lang?"
"Ampun, Tetua. Kami diserang oleh gerom-
bolan lain yang langsung dipimpin oleh Ketuanya
Datuk Mujo Hitam," jawab salah seorang Ketua
kelompok dengan wajah pucat ketakutan. Ter-
sentak seketika Renggana mendengar keterangan
anak buahnya, gigi-giginya bergeretukan mena-
han marah. Dari mulutnya seketika mendesis
ucapan kekesalannya:
"Bedebah! Rupanya Datuk anjing itu hen-
dak berlagak! Hem, jangan kira akan mudah
membuat kerusuhan pada kelompok ku. Adik
Sanggara...."
"Ya, Kakang!" Sanggara yang waktu itu ma-
sih terduduk dengan segera bangkit, dan dalam
sekejap saja tubuhnya telah berkelebat diantara
anak buahnya. Tubuh itu bagaikan terbang,
mungkin lebih cepat mencelat hingga tiba-tiba
sampai di hadapan kakak seperguruannya yang
matanya memancarkan api kemarahan. "Ada ge-
rangan apa, sehingga Kakang begitu marahnya?"
"Datuk Anjing itu rupanya ingin menan-
tang kita, Sanggara."
"Siapakah yang Kakang maksudkan?"
Sanggara bertanya belum memahami apa yang
oleh kakak seperguruannya dikatakan Datuk Anj-
ing. Banyak sekali Datuk-Datuk yang memusuhi
mereka, tidak banyak pula yang pro pada mereka.
"Datuk Mujo Hitam, Adikku. Dia telah lan-
cang hendak menguasai wilayah kita. Bagaimana?
Apakah kau akan mendiamkannya?"
Sanggara sesaat terdiam menunduk, sukar
untuk menjawab dengan se-enak kata. Hatinya
bimbang, bagaimana harus menerangkan atau
mengambil keputusan. Satu sisi hatinya menga-
takan, biarlah. Tapi sisi hatinya yang lain menga-
takan, bahwa Renggana adalah kakak sepergu-
ruannya yang harus dibela. Walaupun Renggana
berbuat jahat, sebagai seorang adik seperguruan
ia harus melindungi atau membantunya. Karena
kebimbangan itulah, sehingga Sanggara tak sege-
ra menjawab pertanyaan kakaknya. Dicarinya ca-
ra yang baik untuk dapat mengatasi apa yang te-
lah melanda emosi kakaknya, agar Datuk Mujo
Hitam pun tidak terkena gebuk. Setelah dirasa
ada jalan yang paling baik, Sanggara akhirnya
berkata "Baiklah, Kakang. Aku akan mencoba
menghadapinya. Aku minta, janganlah Kakang
terburu-buru ikut campur. Aku rasa aku akan
mampu menghadapinya seorang diri."
"Bagus, bagus. Hem, memang cukup den-
ganmu saja, tak perlu melibatkan diriku untuk
menghadapi Datuk Anjing Bulukan itu. Kapan
kau mau berangkat, Adikku?" tanya Renggana
senang.
"Mungkin hari ini juga, Kakang." jawab
Sanggara, menjadikan Renggana seketika kembali
bergelak tawa. Ia bangga mempunyai adik seper-
guruan macam Sanggara, yang mengerti akan to-
leransi dan mau membantu dirinya demi menge-
jar cita-citanya sebagai Datuk di antara Datuk
atau Datuk segala Datuk.
"Bagus! Memang lebih baik secepatnya agar
Datuk Anjing itu tidak sembrono pada kita."
Renggana wajahnya berseri-seri. Ia tahu keheba-
tan adik seperguruannya, maka itu ia sangat
mengharapkan tenaga serta ilmu adiknya. Hati
Renggana tenang dan tentram, merasa yakin ka-
lau adik seperguruannya akan mampu mengalah-
kan Datuk Mujo Hitam. Walau Datuk Mujo Hitam
sudah terkenal, namun ilmu yang dimiliki adik-
nya sungguh bukan ilmu sembarangan. Adiknya,
Sanggara adalah murid terpintar di perguruan
hingga kakak-kakak seperguruannya menju-
lukinya sebagai Anak Dewa. Tapi walau dirinya
sangat pintar dan tinggi ilmunya, Sanggara tak
sombong. Bahkan ia rendah diri dan tak mau
memamerkan ilmu yang dimilikinya, seperti hal-
nya Datuk-Datuk Persilatan yang lain.
"Berapa orang anak buah yang hendak
eng-kau bawa, Adikku?"
"Tiga orang saja."
"Apa...?" membeliak kaget mata Renggana,
demi mendengar jawaban adik seperguruannya.
Hatinya berkata bimbang, bagaimana mungkin
menghadapi seratus orang gerombolan yang lang-
sung ditangani Ketuanya hanya dengan tiga
orang? Namun bila ia ingat kembali bahwa adik
seperguruannya bukan orang sembarangan,
Renggana akhirnya sadar dan memahami. Diang-
guk-anggukkan kepalanya, seakan yakin akan se-
gala yang menjadi keputusan sang adik. "Baiklah,
aku hanya menuruti apa yang menjadi permin-
taanmu."
"Terima kasih, Kakang," jawab Sanggara
sembari sunggingkan senyum. Ia kini agak tenan-
gan, merasa bahwa usahanya untuk mencari ja-
lan yang baik akhirnya akan dapat terlaksana.
"Tapi bila Datuk Mujo Hitam menolak, apa boleh
buat," kata hatinya.
"Siapa yang akan kau bawa, Adikku?"
"Topel...!"seru Sanggara memanggil anak
buahnya tanpa memperdulikan pertanyaan kakak
seperguruannya, sebab panggilan itu sudah me-
rupakan jawaban dari pertanyaan Renggana.
Renggana hanya dapat gelengkan kepala melihat
tingkah laku adik seperguruanya yang serba
aneh. Dari sejak mereka masih anak-anak dan
dididik oleh guru mereka, hanya Sanggara saja
yang berkepribadian dan tingkah laku yang aneh.
Dulu Renggana dan kakak-kakak seperguruannya
yang lain, menganggap bahwa tingkah laku adik
seperguruannya itu merupakan, tingkah laku
layaknya seorang anak. Tapi sekarang, rupanya
tingkah laku itu merupakan pembawaan dari la-
hir hingga sukar untuk dirubah oleh siapa pun.
"Saya, Ketua...!" Topel yang dipanggil sege-
ra menjawab dan lari mendekati sembari ber-
tanya. "Ada apa, Ketua?"
Seperti mana kala ditanya oleh Renggana,
kali ini pun Sanggara tak menjawab pertanyaan
Topel.
"Sangkel...!" kembali ia berseru tanpa hi-
raukan Topel yang terbengong-bengong tak men-
gerti dan hanya berdiri mematung di tempatnya.
"Saya, Ketua...!" terdengar jawaban yang
dibarengi dengan berkelebatnya sesosok tubuh
gendut pendek, sehingga tampak lucu kelihatan-
nya. Sangkel merasa biarpun ia menanya, tak
akan mendapat jawaban dari pimpinannya seperti
Topel.
"Rengek...!"
"Saya Ketua...!" Rengek segera berkelebat
menuju ke tempat di mana dua orang temannya
berdiri berjejer. Nampak kelucuan di diri ketiga
orang yang dipilih oleh Sanggara, menjadikan
Renggana seketika tak dapat menahan gelak ta-
wanya.
Melihat kakak seperguruannya tertawa.
dengan rasa tak mengerti Sanggara bertanya:
"Kenapa Kakang tertawa...?"
"Lucu. Sungguh lucu sekali," Renggana
menjawab dengan masih menahan tawa. "Apakah
kau tak salah pilih, Adikku?"
"Tidak, Kakang. Aku memilih mereka, se
bab mereka adalah orang-orang yang tenang dan
lucu. Aku mengharapkan mereka dapat menghi-
bur diriku. Bukan begitu, Topel, Rengek, Sangkel"
"Benar, Ketua...!" jawab ketiganya bareng,
dengan cengar-cengir bagaikan orang bloon. Itu
saja mampu mengundang gelak tawa, apalagi bila
mereka telah bertingkah yang lucu-lucu.
"Baiklah, Kakang. Aku mohon pamit untuk
pergi menemui Datuk Mujo Hitam. Aku harapkan
do'a dari semuanya demi kesuksesan yang akan
aku terima."
"Aku do'akan," jawab Renggana dengan se-
nyum senang melekat di bibirnya. "Kalau sudah
beres semua, cepatlah kau pulang."
"Akan saya usahakan," jawab Sanggara.
"Ayo Topel, Rengek, Sangkel, kita berangkat."
"Daulat, Ketua. Kami iringi..." jawab keti-
ganya sembari menjura. Setelah menjura pada
kakak seperguruannya, segera Sanggara yang di-
ikuti oleh ketiga anak buahnya yang lucu-lucu
berangkat meninggalkan Pesanggrahan Gunung
Kapur menuju ke tempat di mana Datuk Mujo Hi-
tam berada. Mereka pergi dengan jalan kaki, tan-
pa menggunakan kuda karena jarak yang mereka
tempuh tak sampai memakan waktu sehari pe-
nuh.
TIGA
Hutan Tarakan nampak hening, sunyi se-
nyap bagaikan tak berpenghuni. Angin gunung
Kapur yang gersang, bertiup merambah pohon-
pohon yang memadati hutan tersebut. Dari ke-
jauhan yang tepatnya dari atas gunung, seorang
penunggang kuda menggebas kudanya dengan
kecepatan tinggi. Sepertinya orang tersebut ingin
segera lekas sampai pada tempat yang dituju. Wa-
jah orang itu begitu pucat, seakan ada hantu saja
yang tengah mengejarnya. Mulutnya tak henti-
hentinya menggeretak, mengomel-omel entah di-
tujukan pada siapa.
"Empat orang itu sungguh lancang, berani
mendatangi ke mari!" rungutnya. "Mereka seperti
orang-orang Pesanggrahan Gunung Kapur. Ya,
aku lihat orang yang berjalan paling depan tak
lain Datuk Muda Cobra Merah. Pantas... pantas
kalau dia berani menyatroni tempat ini. Sudah
aku bilang pada Datuk, agar jangan sekali-kali
mencari urusan dengan Pesanggrahan Gunung
Kapur. Ah, entahlah. Yang penting aku harus se-
gera memberitahukannya pada sang Datuk."
Orang itu yang ternyata anak Buah Datuk
Mujo Hitam kembali menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi. Napasnya memburu, matanya
liar memandang ke muka di mana liuk-liuk sun-
gai Berantas membujur dari arah Selatan menga-
lir ke Utara. Tanpa kata-kata, orang itu terus
menggebah lari kudanya hingga dalam waktu
singkat sampailah orang tersebut pada Hutan Ta-
rakan di mana seluruh anggota Datuk Mujo Hi-
tam berada.
"Datuk... Datuk...!" orang itu berteriak-
teriak walau masih agak jauh jaraknya, sehingga
membuat seluruh penghuni Hutan Tarakan ter-
sentak kaget dan berserabutan keluar, tak keting-
galan Datuk Mujo Hitam yang bertampang kumal,
berjubah merah menyala. Jenggot sang Datuk
panjang terurai bagaikan tak pernah diurus. Ma-
tanya merah, menyipit sempit memandang ke
arah orang tersebut. Setelah tahu siapa yang da-
tang, sang Datuk membentak bertanya: "Kupret!
Bikin orang jantungan saja kau, Lego! Ada apa
kau berteriak-teriak kayak orang kesetanan,
Hah!?"
"Ampun, Datuk. Orang-orang Pesanggra-
han Gunung Kapur pada datang menuju ke mari."
Membeliak mata sang Datuk, ia mengira
seluruh anggota dan dua Ketuanya datang se-
mua. Mata Datuk Mujo Hitam yang melotot, men-
jadikan warna merah menyala nampak jelas ken-
tara.
"Berapa orang yang datang, Lego?"
"Empat orang, Datuk...."
Mendengar jawaban dari anak buahnya se-
ketika Datuk Mujo Hitam tertawa bergelak-gelak.
Hingga saking kencangnya gelak tawa sang Da-
tuk, sampai-sampai tubuhnya yang gemuk ter-
guncang-guncang.
"Baru empat orang... seluruhnya hadirpun
aku tak akan takut," ucap Datuk Mujo Hitam
sombong. "Anak-anak, siapkah kalian untuk
menghadapi tikus-tikus yang akan menyerang ki-
ta?"
"Siap, Datuk...!" jawab mereka serempak.
Ada kurang lebih seratus anggota perkumpulan
Datuk Mujo Hitam. Tampang mereka beringas,
layaknya seekor kucing yang siap untuk mengha-
dapi empat ekor tikus-tikus tanah. Mungkin da-
lam hati mereka bergumam, baru empat orang
yang datang. Apakah mereka menganggap akan
menang? Mereka nekad menyatroni kandang si-
nga. Ya, memang bila dilihat dari sepintas, ke-
empat orang Pesanggrahan Gunung Kapur bisa
dikatakan nekad. Tapi bila dilihat siapa yang
menjadi pimpinannya, maka anggota Datuk Mujo
Hitam tak akan berani sembrono. Pimpinan ke-
tiga orang itu bukanlah orang sembarangan, ia
adalah Datuk Muda Cobra Merah, seorang Datuk
yang paling muda di antara para Datuk dunia
persilatan. Karena ilmu yang dimiliki begitu ting-
gi, hingga dia semuda itu diangkat menjadi seo-
rang Datuk.
Semua anggota Datuk Mujo Hitam gelak
tawa, hanya Lego saja yang diam. Ia telah men-
dengar kehebatan Datuk Muda Cobra Merah, ma-
ka itu ia tak berani gegabah ngomong. Lego takut
kalau-kalau omongannya tak akan menjadi ke-
nyataan, bahkan mungkin akan berakibat seba-
liknya.
"Datuk, apakah Datuk tak tahu siapa yang
datang ke mari?"
"Bagiku, siapa yang datang tak jadi masa-
lah. Aku Datuk Mujo Hitam, pantang untuk men-
gakui kehebatan lawan."
"Tapi, Datuk...?" Lego hendak memprotes,
namun seketika ia tak meneruskan ucapannya
mana kala dilihatnya mata sang Datuk melototi
nya. Lego akhirnya hanya tertunduk, hatinya
menggerutu kesal. Bagaimana tidak, ia tahu siapa
yang datang. Orang yang sangat ditakuti oleh
orang-orang persilatan setelah nama besar Pen-
dekar Siluman Darah. Memang saat itu ada lima
orang yang namanya cukup kondang bagi dunia
persilatan. Pertama, Raja Maling Suci yang sudah
lama menghilang. Kedua, Pendekar Pedang Silu-
man Darah disusul oleh Maling Siluman, Supit
Songong dan Datuk Muda Cobra Merah.
"Kau jangan menakut-nakuti temanmu,
Lego!" bentak sang Datuk marah, merasa bahwa
Lego telah menakut-nakuti anak buahnya. "Baru
menghadapi empat orang kau sudah ngeper. Ma-
na kesatriaanmu, Lego?"
Lego tak dapat berkata, ia pasrah pada se-
gala keputusan Datuk Mujo Hitam Ketuanya. Ya,
begitulah hukum alam dunia persilatan, pimpi-
nan harus memegang segalanya dan bawahan ha-
rus menuruti segala apa saja yang menjadi kepu-
tusan pimpinannya.
"Masih jauhkah mereka, Lego?"
"Aku sudah datang, Datuk Mujo?"
Tersentak semuanya demi mendengar se-
seorang berseru menyahuti pertanyaan Datuk
Mujo Hitam. Seketika mata semuanya meman-
dang ke arah asalnya suara, di mana tampak em-
pat orang dengan tiga orang bertampang konyol
berada. Mata sang Datuk seketika lebih membe-
liak kaget, ketika diketahui siapa yang datang
bersama tiga orang manusia bertampang konyol.
Saking kagetnya, sampai-sampai sang Datuk ber
seru menyebut gelar orang tersebut. "Datuk Muda
Cobra Merah...!"
Orang itu tersenyum, kakinya melangkah
pelan mendekati arah Datuk Mujo Hitam berada
yang kini tampak mengkeret ketakutan tidak se-
perti pertama kali bicara. Makin dekat Datuk Mu-
da Cobra Merah menuju ke arahnya, makin mun-
dur Datuk Mujo Hitam. Sementara keseratus
anak buahnya telah siaga dengan senjata di tan-
gan masing-masing siap untuk menyerang. Na-
mun Datuk Muda Cobra Merah, sepertinya tak hi-
raukan. Dia terus melangkah mendekati Datuk
Mujo Hitam yang makin menyurut mundur seta-
pak demi setapak.
"Kenapa, Datuk? Apakah kau takut?" tanya
Datuk Muda Cobra Merah tanpa ekspresi, tenang.
Namun justru ketenangan itulah yang membuat
Datuk Mujo Hitam agak jengah. "Aku tak akan
mendahului, bila kau mau menuruti apa yang
akan aku katakan. Bagaimana, Datuk...?"
Sejenak Datuk Mujo Hitam hentikan lang-
kahnya, memandang tajam pada Sanggara atau
Datuk Muda Cobra Merah.
"Bagaimana, Datuk...?" kembali Sanggara
bertanya.
"Baiklah, aku terima apa yang hendak kau
katakan," jawab Datuk Mujo Hitam setelah se-
kian lama berpikir, menjadikan Datuk Muda Co-
bra Merah tersenyum.
"Dengar baik-baik olehmu. Aku minta, per-
gilah kalian dari wilayah kekuasaan kakak seper-
guruanku."
"Ah...!"
"Kenapa, Datuk...? Kau berat?"
"Ya," jawab Datuk Mujo Hitam dengan sua-
ra bergetar.
Datuk Muda Cobra Merah tersenyum. Ma-
tanya yang menyala laksana mata Ular Cobra,
menghujam lekat pada mata Datuk Mujo Hitam.
Sampai tak kuasa sang Datuk untuk meneruskan
menantang pandang. Melihat Datuk Mujo Hitam
tertunduk, Sanggara mendesis.
"Jadi kau hendak menentang kakak seper-
guruanku?"
Sang Datuk terjengat tak dapat berkata. Ia
ragu untuk menjawab pertanyaan Datuk Muda
Cobra Merah. Hatinya galau dan bimbang untuk
menentukan segalanya. Kalau ia menyerah, be-
rarti tamatlah riwayat persekutuannya. Namun
bila ia menolak, ia harus berpikir untuk mengha-
dapi Datuk Muda Cobra Merah yang memiliki il-
mu tinggi lebih dua tingkat di atasnya. Namun
bukankah ia memiliki seratus orang anggota yang
siap dengan senjata masing- masing? Sesaat sang
Datuk sepertinya hendak mengatakan siap! Sete-
lah menimbang-nimbang untung ruginya, Datuk
Mujo Hitam pun menjawab dengan suara agak
berat.
"Aku tak mau, sebab aku pun perlu hidup."
Sang Datuk mengira kalau ucapannya
bakal menjadikan Sanggara atau Datuk Muda
Cobra Merah marah, tapi ternyata tidak. Datuk
Muda Cobra Merah bahkan simpulkan senyum,
angguk-kan kepala sembari memandang tajam
pada Datuk Mujo Hitam.
"Kau ingin terus hidup?" tanyanya kemu-
dian.
"Jelas. Setiap manusia perlu hidup. Bukan-
kah aku pun juga?"
Kembali Sanggara tersenyum.
"Bukankah kau dapat mencari tempat lain?
Mengapa kau mesti merebut tempat kuasa kakak
seperguruanku?" tanya Sanggara menyindir, men-
jadikan muka Datuk Mujo Hitam seketika merah.
"Apakah kau lupa pada semua janji para Datuk?"
"Persetan dengan janji itu. Aku yang pent-
ing hidup, dan hidup dengan segala kebisaanku."
"Hem, kalau begitu kau menentangku, Da-
tuk?"
"Apa boleh buat. Ibarat merendam diri di
air, kepalang basah. Maka lebih baik menyelam..."
jawab sang Datuk, menjadikan Sanggara kembali
tersenyum.
"Baiklah, Datuk. Karena aku sebagai wakil
kakakku, maka aku pun harus memiliki kewa-
jiban. Nah, apakah kau tak punya cara lain untuk
semuanya, Datuk?"
"Tidak! Sudah aku katakan, tidak!" Datuk
Mujo Hitam benar-benar marah merasa diren-
dahkan oleh Sanggara. Kini ia benar-benar telah
gelap, tak hiraukan siapa orang yang tengah di-
hadapinya. Orang yang namanya sempat meng-
gemparkan dunia persilatan. Orang yang dijuluki
dengan Anak Dewa, karena ilmunya yang tinggi.
Dalam hati Datuk Mujo Hitam hanya ada satu pi-
lihan, lebih baik mencoba menentang sekaligus
menjajaki seberapa ilmu yang dimiliki oleh Datuk
Muda Cobra Merah yang kesohor itu.
"Kalau memang itu yang engkau kehenda-
ki. Jangan salahkan aku turun tangan."
"Aku sudah siap. Serang...!"
Mendengar seruan Datuknya, seketika se-
ratus orang anggotanya berkelebat dengan senjata
di tangan masing-masing menyerang Sanggara
dan ketiga orang pengikutnya.
Sanggara yang tak ingin ketiga anak buah-
nya terkena serangan Datuk Mujo Hitam dan ke-
seratus anak buahnya, tanpa sungkan-sungkan
lagi keluarkan ilmunya. Maka tanpa ayal lagi, se-
muanya seketika terpelanting berjatuhan disapu
angin besar yang keluar dari tangan Datuk Muda
Cobra Merah. Melihat hal itu, segera Datuk Mujo
Hitam balas serangan dengan ajian Api Beragam.
Dari tangan sang Datuk keluar aneka warna api
menyembur, menyerang ke arah Sanggara dan
ketiga anak buahnya yang menjerit-jerit ke-
takutan melihat api besar mengarah ke arah me-
reka.
"Tuan, bahaya...!" seru Topel dengan tubuh
gemetaran.
"Wadauw...! Panas, Pimpinan!" Sangkel
ikut ketakutan, juga begitu halnya Rengek yang
merengek-rengek bagaikan anak kecil saking ta-
kutnya. Mungkin saking ketakutannya, sampai-
sampai Rengek terkencing-kencing di celana.
"Aduh, Tuan. Bagaimana ini...? Waduh,
panas..."
Walau anak buahnya bertingkah lucu dan
ketakutan setengah mati, namun semua seperti
tak membuat Sanggara tertawa atau bingung.
Sanggara terdiam, matanya yang tajam meman-
dang dengan sorot mata tajam. Perlahan tangan-
nya terangkat tinggi, kemudian dengan disertai
desiran tangan itu diarahkan memapaki ajian
yang dilontarkan Datuk Mujo Hitam.
"Ajian Prahara Neraka. Hiat...!"
Seketika angin puting beliung yang sangat
besar dart dahsyat menggelegar-gelegar, menyapu
api yang hendak menyerangnya. Api itu seketika
berbalik, menyerang ke arah tuannya. Tersentak
kaget Datuk Mujo Hitam yang segera tarik mun-
dur ajiannya. Dilemparkan tubuhnya, rebah rata
dengan tanah mengelakkan serangan tersebut.
Namun sungguh bahaya bagi anak buahnya. Se-
ketika itu, seluruh anak buahnya beterbangan
melayang-layang di udara hingga jauh dan akhir-
nya jatuh dengan tubuh membiru beku terkoyak-
koyak.
Kini Datuk Mujo Hitam sadar, siapa yang
tengah ia hadapi. Memang nama besar Datuk
Muda Cobra Merah bukanlah omongan kosong
belaka. Kini ia telah membuktikan kebenarannya
sendiri. Maka mana kala Datuk Muda Cobra Me-
rah lengah, segera Datuk Mujo Hitam tinggalkan
tempat itu.
Merasa musuhnya telah tak ada, segera
Sanggara atau Datuk Muda Cobra Merah henti-
kan ajiannya. Dicarinya tubuh Datuk Mujo Hi-
tam, namun tak ditemukannya. Yang ada hanya
bangkai-bangkai anak buah Datuk Mujo Hitam,
dan seorang lagi yang masih hidup tampak me-
mojok di pepohonan ketakutan. Orang itu tak lain
Lego, yang sedari tadi ketakutan melihat apa yang
terjadi. Ternyata segala omongannya benar, bah-
wa Datuk Muda Cobra Merah bukanlah orang
sembarangan.
Sanggara yang melihat Lego tengah mojok
dengan tubuh menggigil ketakutan segera meng-
hampiri. Sejenak dipandangnya lekat-lekat tubuh
orang tersebut, lalu dengan suara pelan seperti
tak ada rasa permusuhan Sanggara bertanya:
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak"
"Dia anak buahnya Datuk itu, Pimpinan."
"Aku tahu, Sangkel!"
Sangkel seketika terdiam, tak berani berka-
ta-kata. Ia tahu kalau pimpinannya yang seorang
ini memang aneh, tapi baik hati. Berbeda dengan
kakak seperguruannya yang kasar dan tak me-
ngenal kompromi, Sanggara memang berjiwa te-
nang dan penyabar serta penyayang. Hanya saja
sifatnya sungguh aneh.
"Siapa namamu, Ki Sanak?" tanya Sangga-
ra kembali.
Mendengar suara yang tak mengandung
permusuhan, Lego segera tengadahkan muka
memandang pada siapa yang berkata. Walaupun
jelas bahwa Sanggara tak menaruh dendam, na-
mun rasa takut kalau-kalau Sanggara marah te-
rus melekat di wajah Lego yang dengan terbata-
bata menjawab.
"Nama saya, Lego."
"Ki Sanak Lego. Apakah kau tahu ke mana
larinya pimpinanmu?"
"Ti-tidak, Tuan. Saya tidak tahu, sungguh."
"Ah, bohong kamu" hardik Rengek ikut-
ikutan. "Masak anggotanya tak tahu ke mana
pimpinannya pergi. Boong!"
"Rengek, diam kau!" Sanggara melotot,
menjadikan Rengek tundukkan muka tak berani
untuk menentang pandang. "Lego, apakah kau
ingin bebas?"
"Be... benar, Tuan," jawab Lego terbata sak-
ing girangnya.
"Kau sekarang bebas. Tapi ingat, jangan se-
kali-kali kau turut serta dengan Datuk Mujo Hi-
tam lagi. Kembalilah kau pada jalanmu, jalan
yang baik!"
Tersentak Lego mendengar penuturan Da-
tuk Muda Cobra Merah. Bagaimana tidak. Baru
kali ini ia mendengar nasehat dari seorang Datuk
yang sungguh-sungguh bertentangan dengan ge-
larnya. Gelar Datuk, biasanya untuk orang-orang
beraliran sesat, tapi mengapa Datuk Cobra Merah
jauh dari semuanya. Dia begitu baik, penyabar,
pemberi saran yang di luar akal dan perbuatan
seorang Datuk yang biasanya tak kenal ampun
dan kejam. Tak percaya Lego mendengarnya, se-
hingga matanya memandang ke seluruhan tubuh
sang Datuk dari ujung kaki ke ujung kepala se-
perti ingin meyakinkan.
"Kenapa, Lego? Apakah kau melihat kegan-
jilan pada diriku?" tanya Sanggara, demi melihat
Lego memandanginya terus menerus dari atas
rambut sampai ke ujung kaki.
"Ti-tidak. Tuan sungguh aneh." jawab Lego
terbata.
"Aneh...? Apanya yang aneh, Lego? Aku
manusia biasa seperti kamu. Bukan setan mara-
kiyangan, atau dedemit yang suka mengganggu
manusia."
"Sifat tuan yang aneh," Lego akhirnya men-
jelaskan, menjadikan Sanggara atau Datuk Cobra
Merah mengernyitkan keningnya tak mengerti.
"Sebagai seorang Datuk, sungguh tuan sangat
berbeda. Sifat tuan yang baik dan welas asih, me-
rupakan keterbalikan dari sifat seorang Datuk.
Seorang Datuk akan tak mengenal semuanya.
Yang hanya kebengisan dan keangkaramurkaan.
Tapi tuan... Oh, tak ubahnya seorang Pendekar."
Jawaban Lego yang polos, menjadikan
Sanggara tersenyum. Matanya berkaca-kaca, sea-
kan gembira mendengarnya. Memang hati kecil-
nya menolak untuk menerima sebutan Datuk.
Tapi mau dikata apa, sebab gelar tersebut bukan
dia sendiri yang membuatnya, melainkan orang
lain.
"Sudahlah, Lego. Kini aku berikan kebe-
basan padamu."
"Terimakasih, tuan, terimakasih!" Lego
menjura-jura beberapa kali sebagai ungkapan ra-
sa bahagia. Namun Lego hendak berlalu pergi, ti-
ba-tiba Sanggara berseru memanggilnya. "Tung-
gu, Lego!"
Lego segera hentikan langkah, balikan tu-
buh kembali menghadap ke arah Datuk Muda
Cobra Merah yang berjalan ke arahnya.
"Ada apakah, Tuan?'
"Aku mau minta tolong padamu,"
"Tentang apa, Tuan? Kalau memang aku
dapat, maka aku akan melaksanakannya," jawab
Lego sembari duduk bersiku.
"Kau bisa, Lego. Kau akan aku minta to-
long untuk memberikan surat pada kakak seper-
guruanku. Tapi ingat, kau jangan menampakkan
diri. Lemparkan surat itu dari jauh dengan tom-
bak, lalu kau harus pergi pulang ke rumahmu.
Ingat, Lego. Jangan sampai ada yang mengetahui
kedatanganmu, sebab tidak mungkin tidak kau
akan mendapat celaka."
"Baiklah, Tuan. Segala apa yang disaran-
kan tuan akan saya taati dengan seksama," Lego
menjawab dengan muka menunduk. Hatinya ma-
sih diliputi beribu macam pertanyaan tentang Da-
tuk yang satu ini, yang segala tindakannya sung-
guh-sungguh bertentangan dengan para Datuk
lainnya.
Sanggara segera mengambil daun lontar
yang sengaja ia simpan di balik sabuknya. Segera
ditulisnya sebuah surat dengan guratan-guratan
benda yang juga sengaja dia bawa.
"Datuk Gagak Hitam. Adik seperguruanmu
telah aku hancurkan.
Beruntung aku tak ingin berurusan den-
ganmu. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau menden-
dam padaku. Aku telah membebaskan tanah kua-
samu, dan meninggalkan dengan tulus ikhlas. Aku
minta maaf, karena telah melalaikan janji para Da
tuk yang tidak boleh menyaingi Datuk lainnya.
Kembali aku meminta maaf, karena telah berbuat
jahat terhadap adik seperguruanmu. Semoga kau
mau memaafkan...
Dariku: Datuk Mujo Hitam
"Ini suratnya. Coba kau ambilkan sebatang
tombak itu," perintahnya pada Sangkel, yang de-
ngan segera berlari untuk mengambil tombak
yang ditunjuk pimpinannya. Setelah mengikat-
kan surat tersebut di ekor tombak, tombak itu
pun segera diberikannya pada Lego.
"Saya pamit mundur, Tuan."
"Laksanakan dengan baik, dan hati-
hatilah," suara Sanggara datar, sepertinya dingin
menyirami hati Lego, yang dengan segera berkele-
bat pergi kembali ke Hutan Tarakan di mana ku-
danya tadi tertambat. Dengan segera Lego pun
memacu kudanya, pergi untuk menuju ke tempat
Pesanggrahan Gunung Kapur yang letaknya se-
tengah hari bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Hari telah agak sore, maka sebentar pun akan ti-
ba malam. Hal itu sungguh sangat berarti bagi
Lego, sebab dengan keadaan yang gelap Lego
akan mudah menjalankan tugasnya.
EMPAT
Malam mulai merambah, dan gelappun
menghampar menyelimuti bumi dan isinya. Sebuah bayangan berkelebat, lompat dari kudanya
dan berlari menuju ke sebuah pepohonan yang
agak rimbun. Sejenak matanya memandang seke-
liling, lalu menatap lekat pada titik api yang tam-
pak dari rumah yang sesungguhnya sebuah Pe-
sanggrahan. Merasa tak ada yang melihat, bayan-
gan itu segera berkelebat lebih mendekat. Lalu
dengan segenap kekuatan, dilemparkan sebuah
tombak yang berada di tangannya ke arah Pe-
sanggrahan tersebut. Terdengar seruan kaget
membentak, bersamaan dengan berkelebatnya
tubuh pelempar tombak itu lari menjauh menuju
ke kudanya.
"Bedebah! Siapa yang telah berani lancang
di sini!" memaki marah Renggana, demi melihat
sebuah tombak berkelebat hampir saja menye-
rang tubuhnya. "Cari orang itu dan cincang tu-
buhnya bila tertangkap!"
Dengan tanpa banyak kata, orang-orang
yang malam itu ada di situ segera menghambur
ke luar untuk mengejar. Namun mereka sampai
jauh menjarah tempat sekeliling, tak ada yang di-
temukan. Yang tampak hanya hamparan gelap
gulita di depan mereka. Maka dengan wajah pe-
nuh keputusasaan mereka kembali menemui Ke-
tuanya.
"Mana orangnya!?"
"Tidak ada, Pimpinan," jawab mereka se-
rempak.
"Bodoh! Mengejar seorang kunyuk saja ka-
lian tidak becus!"
Semuanya tertunduk tak ada yang berani
menjawab atau menentang pandang. Rasa takut
jelas tergambar di wajah mereka, sehingga mere-
ka nampak pucat pasi. Sementara Renggana
nampak berjalan hilir mudik, dengan sekali-kali
memandangi wajah-wajah anak buahnya yang
masih tertunduk. Setelah sekian lama hilir mudik
berjalan Renggana segera hampiri tombak yang
menancap di dinding Pesanggrahan. Dicabutnya
tombak itu, tombak yang di ekornya tergulung se-
carik daun lontar. Perlahan dibukanya ikatan
daun lontar tersebut, lalu dengan segera dibaca-
nya tulisan yang ada.
"Bedebah! Aku tak mau terima! Hem, kau
telah membunuh adik seperguruanku, maka kau
harus menghadapi aku, Datuk Anjing!" Renggana
memaki-maki sendiri, entah pada siapa makian
itu ditujukan. Yang pasti Renggana sangat terpu-
kul dengan isi surat tersebut yang secara tidak
langsung telah menghinanya. "Datuk Mujo Hitam.
Hutang nyawa harus kau bayar dengan nyawa
pula."
Mendengar ucapan Ketuanya yang menga-
takan bahwa Datuk Muda Cobra Merah telah ma-
ti, seketika semuanya makin mendalamkan kepa-
la menunduk. Ada kedukaan lewat celah-celah
mata mereka, yang sepertinya duka itu terlalu be-
rat. Memang duka itu terlalu berat bagi mereka.
Bagaimana tidak, Datuk Muda Cobra Merah me-
rupakan pimpinan yang baik, yang sangat bijak-
sana dalam memberikan apa yang mereka butuh-
kan. Beda dengan Datuk Gagak Hitam kakaknya,
keras dan tak mengenal kasihan. Hal itulah yang
mengakibatkan mereka semua seperti kehilangan
segala-galanya. Kehilangan semangat juga kehi-
langan pimpinan yang baik.
"Sekarang kalian istirahatlah, besok kita
mencari mayat Sanggara," Dengan lesu tanpa gai-
rah Renggana meninggalkan anak buahnya yang
masih terpaku di tempat mereka berdiri. Baru se-
telah melihat Ketuanya masuk ke dalam kamar,
semuanya segera berlalu dari situ. Sebagian ber-
jaga-jaga, kalau-kalau kejadian itu akan ada ke-
lanjutannya. Malam terus merambah, mengge-
lapkan segala apa yang berada di muka bumi.
Angin pun bertiup, dingin menggigil ke tulang
sumsum.
* * *
Pagi telah kembali datang, mana kala tam-
pak serombongan orang-orang bersenjata golok
yang sepertinya siap perang berjalan menuju ke
arah Utara di mana terhampar hutan Tarakan.
Orang-orang tersebut, tak lain dari anggota Pe-
sanggrahan Gunung Kapur yang hendak mencari
Ketua kedua mereka Sanggara. Dari kejauhan ter-
lihat oleh mereka burung-burung Nazar beterban-
gan, lalu kemudian kembali menukik sambil
membunyikan suaranya mencuit- cuit.
"Lihat burung Nazar itu, sepertinya ia ten-
gah memakan bangkai."
"Benar, Ketua. Sepertinya burung-burung
itu memang memakan bangkai," jawab anggota
yang berjalan di sebelahnya, yang sekaligus men
jadi tangan kanan Renggana. Orang itu bernama
Barda Kempo, berwajah menyeramkan dengan
badan tinggi besar hingga ditakuti oleh para anak
buahnya. Barda Kempo dulunya merupakan Ke-
tua Bajak Laut. Setelah ditahan dan bersembunyi
di desa Trenggalek. Dan mana kala ia melihat per-
tunjukan yang diadakan oleh kedua kakak bera-
dik yang kini menjadi Ketuanya, Barda Kempo
pun segera bergabung. Tak ada bedanya, dari Ba-
jak Laut berubah menjadi Begal.
Semakin dekat mereka melangkah, sema-
kin tampak jelas oleh mereka mayat-mayat yang
sudah terkoyak-koyak oleh burung-burung Nazar
bergelimpangan memenuhi Hutan Tarakan yang
sunyi senyap laksana pekuburan.
"Cari di antara mayat-mayat tersebut. Apa-
kah ada ciri-ciri adik seperguruanku dan ketiga
orang pengikutnya?" berkata Renggana dengan
nada memerintah. Mereka serentak bersama-
sama mencari. Namun dikarenakan keadaan tu-
buh mereka yang mati sudah tak karuan, susah
bagi anggota Pesanggrahan Gunung Kapur untuk
mengenali mayat-mayat itu lagi. Dan memang da-
ri pakaian yang dikenakan para mayat, tak ada
satu pun pakaiannya sama dengan pakaian yang
dikenakan oleh Sanggara pada waktu pergi untuk
mengadakan penyerangan pada gerombolan Da-
tuk Mujo Hitam.
"Tak ada, Ketua!" Barda Kempo yang turut
mencari bersama anak buahnya segera berseru
memberitahukan pada Ketuanya, menjadikan
Renggana kerutkan kening.
"Mana mungkin tak ada? Sedangkan isi su-
rat itu mengatakan bahwa Adikku telah binasa.
Hem, apa artinya semua ini?" tanya Renggana pe-
nuh ketidakmengertian. "Jangan-jangan, semua
hanya bohong belaka. Tapi... kalau bohong, mana
mungkin adikku tak kembali, atau paling tidak
ketiga orang anak buahnya?"
Misteri.... Ya, misteri bagi Renggana atau
Datuk Gagak Hitam. Misteri yang harus diselidiki.
Misteri yang menjadikan tanda tanya di hati
Renggana. Semuanya serba gelap, tak ada yang
dapat menjawab semua kejadian. Bagaimana
mungkin, kalau memang binasa jelas ada mayat-
nya. Tapi ini, mereka tak menemukan bekas-be-
kasnya. Maka dengan hasil sia-sia, semua anggo-
ta Pesanggrahan dengan hati yang dibekali seribu
satu macam pertanyaan yang harus mereka ja-
wab.
Hilangnya Sanggara menjadikan Renggana
frustasi. Namun demikian, bukannya Renggana
patah semangat dengan ketidak adaannya seo-
rang adik yang sangat dapat diandalkan. Tin-
dakan Renggana bahkan makin menjadi-jadi. Se-
gala apa yang pernah direncanakan, kini benar-
benar dilaksanakannya. Seperti hari itu, Rengga-
na tampak telah dihadapi oleh seluruh anak
buahnya. Renggana sengaja memanggil semua
anak buahnya untuk mengadakan pembicaraan
hal rencananya untuk membuat segalanya beru-
bah. Rencana untuk menjadikan dirinya Datuk
segala Datuk. Salah satu jalan, dia harus berani
menghadapi segala tantangan. Dia harus mampu
menaklukan perguruan-perguruan persilatan go-
longan sesat. Ya, hanya itulah yang akan menja-
dikan namanya terkenal dan dijadikan momok
pada para Datuk.
"Kalian semuanya, malam ini aku akan
memberikan tugas baru pada kalian." berkata
sang Datuk Gagak Hitam pada kedua ratus anak
buahnya yang tampak mendengarkannya dengan
seksama tanpa ada yang berani membuka mulut
untuk bicara. "Sekian lama kalian hanya bertugas
menghadapi orang-orang kecil. Malam ini aku
akan memberikan tugas baru, yaitu kalian akan
aku ajak untuk menguji sampai seberapa ilmu
yang kalian miliki setelah digembleng oleh Adikku
Sanggara atau Datuk Muda Cobra Merah. Kalian
tahu apa yang bakal kalian kerjakan?"
"Tidak, Ketua...!" jawab seluruh anggotanya
serempak.
"Malam nanti, kalian akan aku pimpin
langsung untuk menyerbu ke Perguruan Bidak
Setan. Bukankah kalian ingin sayap kita makin
melebar?"
"Daulat, Ketua. Kami siap...!"
"Bagus! Itulah jiwa seorang pendekar go-
longan sesat. Pantang mengenal takut, siap
menghadapi bahaya apapun macamnya!" suara
Renggana makin berapi-api, merasa seluruh anak
buahnya nampak menyetujui rencananya. "Siang
ini kalian tak usah melakukan tugas, siapkan se-
gala apa yang perlu untuk penyerbuan nanti ma-
lam."
Semuanya menurut, berlalu meninggalkan
Ketuanya yang kini tinggal bersama Barda Kempo
wakilnya. Semuanya pergi untuk mempersiapkan
apa saja yang sekiranya dibutuhkan nanti malam.
"Apakah tidak kesusu, Pimpinan?" tanya
Barda Kempo, setelah anak buahnya pergi semua
meninggalkan mereka. "Maksudku, apakah tidak
bisa diundur?"
"Tidak!" jawab Renggana singkat dan ga-
rang. Barda Kempo terdiam, tak lagi mengulang
tanya. Lama keheningan itu berjalan, sehingga
ruangan itu tampak sunyi senyap. Renggana ter-
cenung, menancapkan matanya pada satu titik
yaitu sebuah pohon cemara yang tumbuh di de-
pan Pesanggrahan. Pohon itu mereka tanam ber-
sama. Kini tinggal dia sendiri, sementara adik se-
perguruannya yang sama-sama mendirikan Pe-
sanggrahan Gunung Kapur dan menanam pohon
cemara itu kini entah ke mana, lenyap bagaikan
ditelan bumi. Napas Renggana mendesah berat,
seberat pikirannya yang bercabang. Pikirannya
untuk menjadi Datuk segala Datuk terus meng-
hantui jiwanya untuk mengejar cita-cita itu. Se-
mentara di lain sisi, pikirannya melayang pada
adiknya yang entah sekarang di mana rimbanya.
Namun sepertinya kini yang menonjol adalah ci-
ta-citanya menjadi Datuk segala Datuk dengan
kata lain, Raja para Datuk.
"Aku harus mampu," gumamnya lirih,
hingga tak terdengar jelas oleh Barda Kempo yang
ada di sampingnya. Barda Kempo hanya kerutkan
alis mata, tak tahu apa yang telah digumamkan
oleh Ketuanya.
"Ketua menggumam. Apa yang Ketua gu-
mamkan?" tanya Barda Kempo ingin mengetahui.
Namun Renggana hanya tersenyum, lalu bagai-
kan orang gila Renggana tertawa bergelak-gelak.
Suara tawanya makin lama makin melengking,
tinggi menjadikan angin gelak tawa itu bagaikan
ledakan-ledakan petir yang dahsyat mampu me-
mecahkan gendang telinga. Ya, Renggana kini ba-
gaikan tak waras. Ia termakan oleh angan-
angannya, menjadi Datuk Segala Datuk di dunia
persilatan golongan sesat.
Barda Kempo hanya mampu menggigit bi-
bir, menyumbat gendang telinganya untuk dapat
mempertahankan getaran yang bagaikan ribuan
petir menggema. Sampai darah menetes dari bibir
yang tergigit Barda Kempo masih merasakan geta-
ran yang aneh menghentak-hentak gendang telin-
ganya. Tak tahan terus menerus begitu, Barda
Kempo akhirnya menjerit sekencang-kencangnya.
"Berhenti...! Ketua sadarlah!"
Namun sepertinya tak mendengar jeritan
Barda Kempo, Renggana yang memang benar-
benar telah gila terus bergelak tawa sesuka ha-
tinya. Tak ayal lagi, korban dari anak buahnya
berjatuhan. Dari hidung dan mulutnya serta te-
linga mereka melelehkan darah. Barda Kempo
yang sudah tak tahan, akhirnya roboh. Ia mati
dengan keadaan yang sama seperti teman-
temannya, ku-ping dan hidung mengeluarkan da-
rah. Sungguh tragis akhir dari Pesanggrahan Gu-
nung Kapur.
Melihat semuanya bergelimpangan mati,
serta merta Renggana yang sudah gila makin
mengoncangkan irama gelak tawanya. Pohon- po-
hon tumbang, air mencrat menerima getaran sua-
ra yang sungguh-sungguh dahsyat. Burung yang
saat itu terbang di angkasa, jatuh dengan tubuh
remuk bagaikan telah tercabik-cabik. Renggana
seketika melompat ke luar, memandang ke langit
di mana matahari bersinar. Dari mulutnya keluar
sebuah pekikkan.
"Akulah yang akan menjadi Datuk segala
Datuk. Hua, ha, ha...!"
Lalu dengan meninggalkan gelak tawa ber-
kepanjangan Renggana berkelebat pergi mening-
galkan Pesanggrahannya di mana tubuh-tubuh
anak buahnya mati dengan keadaan mengerikan
bergelimpangan memenuhi lapangan Pesanggra-
han. Kini rumput yang tumbuh di lapangan, be-
rubah warnanya bukan hijau lagi tapi kehitam-
hitaman tertutup oleh darah yang meleleh dari
hidung dan telinga juga mulut anggota Pe-
sanggrahan Gunung Kapur.
LIMA
Kerajaan Kuning Gading tampak tenang
dan tentram di bawah kepemimpinan seorang raja
agung dan bijaksana bernama Prabu Briah
Awangga. Di samping itu pula, patihnya yang me-
rupakan seorang tokoh persilatan menjadikan
keadaan kerajaan Kuning Gading makin tambah
bersahaya. Sang patih yang kesatria bernama Ra
wa Sekti. Ia adalah seorang murid dari Empu Ka-
nuruhan, yang sakti mandra guna. Di tangan
sang Patih Rawa Sekti, perkembangan kerajaan
Kuning Gading maju pesat. Kerajaan itu juga dis-
egani oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Namun hari itu kerajaan nampak kelabu.
Bias merah peperangan rupanya telah berkobar.
Pokok dari peperangan itu tak lain karena pihak
kerajaan Kuning Gading ingin menerapkan ke-
benaran dan keadilan.
Dua bulan yang lalu, pihak pemberontak
yang dipimpin Longkat Ketek meminta pada kera-
jaan untuk mendirikan golongan kerajaan sendiri.
Mereka kebanyakan di dalamnya golongan Datuk
beraliran keras. Longkat Ketek menyuruh utu-
sannya untuk meminta persetujuan pada sang ra-
ja, namun dengan mentah-mentah ditolaknya.
Bahkan raja dirasa telah menghinanya.
Pertarungan itu terus berlangsung, mema-
kan korban yang tidak sedikit baik dari pihak ke-
rajaan mau pun dari pihak Longkat Ketek. Tapi
rupanya pihak kerajaan yang dibantu oleh bebe-
rapa tokoh persilatan, ternyata tak mampu
menghadang serangan para Datuk yang berga-
bung menjadi satu.
"Kalian menyerahlah, dan berikan pada
kami kebebasan serta kemerdekaan untuk mendi-
rikan negara sendiri yang terpisah dari kerajaan!"
Longkat Ketek berseru, tangannya terus berkele-
bat-kelebat dengan cepatnya menyambar dengan
keris pada musuh-musuh yang dijumpai dan
bermaksud menghadang.
Sebaliknya dari pihak kerajaan, nampak
Patih Rawa Sekti tak mau kalah. Setiap hantaman
tangan dan kakinya, menjadikan nyawa yang ter-
kena seketika meregang. Juga Ambarik-mu, seo-
rang Wiku istana. Dialah tokoh yang sangat dis-
egani. Tokoh dari golongan tua yang masih ma-
lang melintang di dunia persilatan mengabdikan
dirinya untuk kerajaan. Dengan kehadiran Rawa
Sekti dan Ambarikmu, maka semangat para pra-
jurit makin meninggi. Kini keadaan berbalik. Para
prajurit yang tadinya terdesak, berganti mendesak
musuh.
Betapa gusar dan marahnya Longkat Ketek
menyaksikan hal itu. Maka dengan menggeram
Longkat Ketek segera papaki serangan patih Rawa
Sekti.
"Rawa Sekti, lebih baik kau menyerah dan
ikut bergabung dengan aku!"
"Bedebah! Tak ada dalam kitabku untuk
berkompromi dengan orang-orang semacammu!"
balik menggeretak Rawa Sekti, menjadikan Long-
kat Ketek seketika menggeram marah. Mata
Longkat Ketek merah menyala laksana bola api
yang siap membakar. Napasnya mendengus, sea-
kan ingin memangsa hidup-hidup Rawa Sekti.
"Hem, rupanya kau memang menghendaki
mati, Rawa Sekti!"
"Lebih baik begitu, daripada harus menu-
ruti segala apa yang menjadi kemauanmu, Iblis!"
"Bangsat! Kubunuh kau, Rawa Sekti.
Hiat...!"
Tubuh Longkat Ketek seketika berkelebat
dengan keris pusaka di tangannya menyerang
Rawa Sekti. Sebagai seorang pendekar murid Em-
pu Kanuruhan, Rawa Sekti bukanlah pendekar
murahan yang sekali gebrak saja terkencing-
kencing. Ia telah dididik dengan segala ilmu ka-
nuragan dan keberanian, maka tak ayal jika Rawa
Sekti menjadi seorang pendekar mumpuni.
Dipapakinya serangan Longkat Ketek den-
gan tangan kosong. Digunakannya ajian Lebur
Raga, yang menjadikan tangannya seketika me-
merah bagaikan menyala. Longkat Ketek seketika
tersentak kaget melihat apa yang tengah terjadi di
tangan musuhnya. Ternyata musuhnya benar-
benar bukan orang sembarangan. Pantaslah ka-
lau semua tokoh persilatan golongan sesat takut
padanya. Belum juga hilang rasa kagetnya Long-
kat Ketek, tiba-tiba Rawa Sekti telah memekik
dengan tangannya siap dihantamkan. Longkat Ke-
tek berusaha mengelak, namun kakinya tiba-tiba
mengait sebuah batu. Tanpa ayal lagi, Longkat
Ketek seketika terjengkang jatuh. Dan ketika tan-
gan Rawa Sekti yang sudah membara hendak
menyentuh tubuh Longkat Ketek, tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat menyabet tubuh Long-
kat Ketek dan membawanya pergi meninggalkan
tempat tersebut.
Rawa Sekti sejenak tercengang menyaksi-
kan betapa cepatnya orang itu menyambar tubuh
Longkat Ketek. Kalaulah orang biasa, niscaya tak
akan dapat segera mengelakkan serangan yang
hanya berjarak beberapa centi saja.
"Siapakah dia? Apakah dia seorang Dewa?"
tanya Rawa Sekti pada diri sendiri. Setelah se-
kian lama tersentak diam, Rawa Sekti segera ber-
kelebat hendak mengejar. Namun ternyata ba-
yangan itu telah lenyap, lenyap tak tampak oleh
mata lagi. Maka dengan diliputi tanda tanya di
hatinya, Rawa Sekti kembali melibatkan diri ke
dalam pertempuran yang masih berjalan.
* * *
Orang yang tadi menyambar Longkat Ketek
masih terus berlari dengan membawa tubuh
Longkat Ketek dalam bopongannya. Setelah me-
nengok ke belakang dan ternyata tak ada yang
mengejarnya, segera orang bertutup muka dan
pakaian serba putih hentikan langkah. Ditaruh-
nya tubuh Longkat Ketek, lebih tepat dilempar-
kannya ke atas rerumputan.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" tanya Long-
kat Ketek ingin tahu siapa orang yang telah me-
nolongnya yang berkerudung muka serba putih
dan pakaiannya pula.
"Bodoh! Dungu!" membentak orang berca-
dar dan berpakaian serba putih yang ditujukan
pada Longkat Ketek tanpa hiraukan pertanyaan
Longkat Ketek. Hal ini menjadikan Longkat Ketek
terbengong-bengong tak mengerti.
"Kenapa Ki Sanak marah-marah setelah
menolongku?"
"Bodoh! Lancang kau berani-berani menye-
rang kerajaan! Apakah kau kira kau akan mam-
pu? Untung Pendekar Muda itu tidak datang. Ka
lau datang, maka sudah pasti kau akan menjadi
sate!" Orang bercadar dan pakaian serba putih
kembali membentak.
"Aku telah siap!" Longkat Ketek berkata se-
tengah memekik. Ia begitu kesal pada orang di
hadapannya, walau ia tahu bahwa tanpa adanya
orang tersebut niscaya umurnya tak akan sampai
saat itu. Sebab tangan maut Rawa Sekti mungkin
telah memanggang tubuhnya menjadi panggang-
an orang. Tapi orang ini sungguh keterlaluan.
Jangan karena telah menolong, lalu mentang-
mentang marah seenaknya. Orang itu ditanya
baik-baik, malah memaki-maki. Kalau saja ma-
kian itu diucapkan oleh orang lain, niscaya Long-
kat Ketek akan memukul orang tersebut. Tapi
yang bicara ini adalah orang yang telah meno-
longnya dari kematian hingga sukar bagi Longkat
Ketek untuk melakukan tindakan.
"Siap...? Katamu siap?" Orang bercadar
dan berpakaian serba putih bertanya dengan na-
da sinis. Mungkin bila cadarnya terbuka, nam-
paklah senyum sinisnya mengembang di kedua
bibir. "Siap apa?"
Jengkel Juga Longkat Ketek mendengar
ucapan yang sinis itu, yang baginya sudah keter-
laluan. Maka dengan setengah membentak Long-
kat Ketek kembali berkata menjawab : "Siap ma-
ti!"
"Hua, ha, ha...! Orang dunggu! Apakah
dengan dosamu yang menumpuk kau akan enak
mati, hah?"
"Itu urusanku. Bukan urusanmu, Orang
usil!"
"Hai, rupanya kau memang orang tak tahu
diuntung, Datuk cabul! Kalau itu yang kau ingini,
lakukanlah olehmu. Kembalilah kau ke kerajaan,
di sana kau akan melihat sesuatu yang akan
menjadikan nyalimu akan tampak jelas. Nyali
seekor tikus tanah!"
Mendidih darah Longkat Ketek mendengar
cacian yang dilontarkan oleh tuan penolongnya.
Darahnya sebagai darah seorang Datuk seketika
menggelegar, menerjang-nerjang bagaikan air bah
yang membobolkan tanggul. Matanya memandang
liar, menyala bagaikan penuh hawa kematian.
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi pah-
lawan kesiangan!"
"Siapa bilang. Aku menolongmu karena
hanya kebetulan saja," jawab orang bercadar itu
dengan tenangnya, yang makin menjadikan de-
ngusan kemarahan bagi Longkat Ketek.
"Bangsat! Siapa kau. Jangan sampai mati
tanpa meninggalkan nama!" hardik Longkat Ketek
yang sudah merasa mangkel. Namun seperti tadi,
orang bercadar itu bagaikan acuh dan bicara tan-
pa memperdulikan ucapan Longkat Ketek.
"Sungguh orang-orang yang bodoh! Kalau-
lah ingin membunuh, mengapa mesti menanya-
kan nama segala. Kalau kau memang mampu, la-
kukanlah olehmu, Datuk Bodoh Cabul!"
"Bangsat! Jangan salahkan kalau aku tak
tahu balas budi. Hiat!"
"Orang macammu, tak akan mengenal ba-
las budi segala, Datuk!"
"Benar-benar minta mampus kau. Hiat...!"
Tak ayal lagi. Longkat Ketek yang sudah
tak dapat membendung kemarahannya lagi segera
berkelebat menyerang. Namun bagaikan mengha-
dapi seekor kerbau dungu saja, lelaki bercadar
putih itu nampak tenang. Sepertinya segala se-
rangan yang dilontarkan Longkat Ketek tak ada
artinya sama sekali. Bahkan...!!
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali pukulan lelaki bercadar putih itu
telak menghantam tubuh Longkat Ketek. Seketika
tubuh Longkat Ketek terpelanting ke belakang ja-
tuh ke tanah dengan suara bergedebuk. Lelaki
bercadar putih nampak tersenyum, terlihat dari
tarikan cadarnya yang makin mengencang ke da-
lam.
"Nah, kalau kau belum puas dengan siapa
aku, datanglah kau pada pertemuan para Datuk.
Kelak kau akan tahu siapa aku. Kini orang me-
nyebutku Datuk Suci. Hua, ha, ha...!"
Tanpa hiraukan Longkat Ketek yang masih
terbengong tak mengerti siapa adanya Datuk Pu-
tih, sang Datuk segera berkelebat pergi mening-
galkan Longkat Ketek. Dengan agak tertatih
Longkat Ketek segera bangkit. Dipandangnya arah
ke mana Datuk Putih berkelebat pergi, dengan
hati seketika bergumam lirih: "Siapakah dia? Ke-
napa orang menyebutnya Datuk Putih? Ah, mana
mungkin seorang Datuk beraliran lurus? Sung-
guh aneh...."
Dengan tertatih-tatih, Longkat Ketek segera
melangkah pergi dengan perasaan tak menentu.
Pikirannya gundah, sebab sudah pasti dirinya ki-
ni menjadi buronan kerajaan. "Oh, tidak! Aku tak
akan menyerah begitu saja," gertaknya dalam ha-
ti. Kakinya melangkah bagaikan melayang, ter-
bawa oleh pikirannya yang beribu macam. Ten-
tang keadaan dirinya, tantang tuan penolongnya
yang misterius, tentang Eyang Sulir Kuning bekas
kekasihnya yang telah ia beri janji untuk melaku-
kan pertemuan pertarungan antara keduanya.
Tenggelam segala bayang-bayang dirinya, bagai-
kan terbawa arus hidupnya sebagai seorang Da-
tuk yang dimusuhi.
Tengah Datuk Longkat Ketek tercenung da-
lam langkahnya, tiba-tiba terdengar suara leng-
kingan gelak tawa. Semakin lama semakin dekat
saja, lalu makin keras dan keras. Gelak tawa itu
bukan gelak tawa saja, lebih tepat dikatakan pe-
kikan. Datuk Longkat Ketek berusaha menahan
getaran tawa itu sebisanya, namun tubuhnya
seakan menjadi turut bergetar dahsyat. Manakala
Datuk Longkat Ketek dalam keadaan begitu rupa,
tiba-tiba terdengar bentakan seorang.
"Datuk Longkat Ketek, apa kau tahu di
mana Datuk Mujo Hitam berada?!"
Berbareng dengan habisnya suara orang
tersebut, seketika berkelebat si pemilik suara
yang telah berdiri menghadapi Datuk Longkat Ke-
tek yang terbelalak kaget dengan tubuh gemeta-
ran. Dari mulut sang Datuk menggumam menye-
but nama orang yang berada di hadapannya.
"Datuk Gagak Hitam...!"
"Ya. Aku, Longkat Ketek. Kau tahu di mana
tempat Datuk Mujo Hitam?"
"Ada keperluan apakah engkau mencari
Mujo Hitam?"
"Aku ingin membalas sakit hatiku. Dia te-
lah membunuh adik seperguruanku." jawab
Renggana seakan penuh kemarahan dan dendam,
menjadikan sorot matanya membara bagaikan
lautan api. "Katakan di mana ia berada. Cepat!"
"Sungguh dengan menyesal aku tak tahu,"
jawab Datuk Longkat Ketek, menjadikan Rengga-
na yang otaknya sudah miring seketika menceng-
keram baju yang dikenakan Datuk Longkat Ketek.
Datuk Longkat Ketek segera tepiskan tangan
Renggana, namun bagaikan sebuah beton tangan
Renggana kokoh mencengkeram baju itu. Hal itu
membuat Longkat Ketek tak dapat berbuat apa-
apa, dan hanya diam untuk menunggu ajal bila
Renggana atau Datuk Gagak Hitam benar- benar
membunuhnya.
"Katakan sekali lagi bahwa kau tak tahu,
maka aku akan sumbat mulutmu untuk selama-
lamanya." Renggana mendengus, seakan ada ke-
dukaan di matanya. Namun sejurus kemudian,
tiba-tiba tawanya kembali melengking, tinggi dan
memekakkan telinga.
Longkat Ketek benar-benar dibuat bingung
dengan tingkah laku Renggana yang mirip kayak
orang sinting. Longkat Ketek tak menyadari kalau
Renggana memang tengah dilanda penyakit jiwa
yang berat, yaitu tekanan batin atas segala piki-
rannya. Belum juga Longkat Ketek mengerti den-
gan arti semuanya, tiba-tiba Renggana telah kem
bali membentaknya.
"Katakan pada para Datuk Persilatan, aku-
lah Datuk Segala Datuk. Akulah Raja Datuk du-
nia Persilatan. Ingat itu! Kalian semua Datuk-
Datuk kroco harus menyembah padaku. Menger-
ti!"
Setelah berbuat begitu, tanpa memperduli-
kan lagi pada Datuk Longkat Ketek, Renggana se-
gera berkelebat pergi dengan kembali bergelak
tawa bagaikan orang gila. Datuk Longkat Ketek
hanya tercenung. Ia ingat ucapan Renggana atau
Datuk Gagak Hitam. "Ah, bagaimana ini? Kalau
semuanya saling berbeda haluan, runtuhlah para
Datuk akibat permusuhan para anggota." keluh
Longkat Ketek. Dengan segera Longkat Ketek ber-
kelebat untuk menemui para Datuk lainnya.
Longkat Ketek akan menceritakan apa yang telah
ia alami, bahwa Datuk Gagak Hitam bermaksud
mengangkangi para Datuk yang telah ada Ketua-
nya walau Ketua itu bulan purnama esok sudah
harus diganti. Kini bertambah lagi pikiran Long-
kat Ketek. Karena terlalu pusingnya pikiran
Longkat Ketek tak hiraukan segalanya, ia lari dan
terus lari dengan cepatnya.
ENAM
Pertempuran di alun-alun kerajaan nam-
pak masih terus berjalan dengan korban banyak
berjatuhan di antara kedua belah pihak. Walau-
pun Ketuanya telah minggat, namun prajurit dari
gerombolan sesat yang menghendaki kebebasan
bagi diri mereka untuk memerdekakan golongan-
nya dari kerajaan terus bersemangat. Mereka se-
pertinya pantang untuk mundur menyerah. Wa-
jah mereka beringas, mata mereka menyala-nyala
laksana api neraka.
Rawa Sekti dan Resi Ambarikmu nampak
makin mengganas, setiap saat selalu tangan dan
kaki mereka mencari kematian. Tak bosan-
bosannya Rawa Sekti dan Ambarikmu bagaikan
anak kecil hantamkan ajian mereka pada musuh,
yang seketika itu memekik dan ambruk dengan
tubuh hangus terbakar.
"Menyerahlah kalian! Kalian tak akan
mampu menghadapi aku!" seru Rawa Sekti seten-
gah sombong. "Kalian percuma saja melakukan
perlawanan, sebab tak ada gunanya. Apakah ka-
lian ingin seperti teman-teman kalian itu...?!"
"Benar! Kalian menyerahlah, agar pihak ke-
rajaan tak berat menghukum pada kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar seruan seseorang bersamaan
dengan berkelebatnya orang yang memiliki suara
itu. Semua mata seketika memanahkan pandan-
gannya pada orang tersebut. Seorang pemuda be-
rambut gondrong dan berpakaian putih perak ti-
ba-tiba telah ada di situ. Rawa Sekti dan Amba-
rikmu yang mengetahui siapa adanya pemuda
tersebut segera menjura hormat.
"Oh, rupanya tuan Pendekar. Kebetulan.
Kami memang mengharapkan bantuan tuan un-
tuk sudilah menghalau mereka," Ambarikmu dan
Rawa Sekti berkata bareng, sepertinya kedua
orang tertinggi kerajaan itu dikomando untuk
menyatakannya.
"Kalau boleh aku tahu, mengapa sampai
terjadi hal seperti ini? Apa masalahnya. Dan siapa
pula yang telah membuat kerusuhan ini?"
"Mungkin tuan Pendekar tahu siapa-siapa
adanya mereka?" tanya Ambarikmu.
Pemuda tampan berpakaian putih perak
sesaat palingkan muka memandang pada para
prajurit yang tengah bertempur menghadapi
pemberontakan. Sejurus kemudian, pemuda itu
menggumam lirih. "Golongan kaum Datuk. Hem,
rupanya Datuk-datuk dunia persilatan telah ber-
keliaran untuk memenuhi ambisi mereka. Ini tak
dapat dibiarkan. Siapa Ketuanya, Paman Patih?"
"Ketuanya tak lain Datuk Longkat Ketek. Ia
ingin meminta kemerdekaan bagi para Datuk un-
tuk mendirikan sebuah kerajaan sendiri."
Pemuda itu anggukkan kepala mendengar
penuturan Rawa Sekti. Matanya tajam meman-
dang lurus ke muka, di mana pertempuran masih
terus berlangsung. Pemuda yang tak lain Jaka
Ndableg, sunggingkan senyum, sepertinya ada ke-
lucuan yang telah terjadi di antara mereka. Hal
itu menjadikan kedua orang tokoh istana bela-
lakan mata, tak percaya pada apa yang mereka
saksikan. Betapa sungguh anehnya Pendekar itu.
Dalam keadaan perang begitu rupa ia masih sem-
pat sunggingkan senyum, seakan segalanya
hanya main-main. Belum juga kedua pembesar
istana itu memahami arti senyuman pendekar
Pedang Siluman Darah, tiba-tiba sang Pendekar
telah kembali berkelebat pergi sembari berseru.
"Paman Patih, aku akan mencoba mencari pimpi-
nannya. Kalian berdua cepatlah selesaikan per-
tempuran tersebut."
Kedua Patih kerajaan Kuning Gading seje-
nak terhenyak, lalu dengan sadar keduanya sege-
ra berkelebat masuk ke arena pertempuran. Ma-
kin bertambah ramai saja pertarungan itu, de-
ngan datangnya dua tokoh utama kerajaan. Kini
para pemberontak nampak terdesak mundur, tak
mampu menghalau amukan kedua tokoh utama
Kerajaan.
Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba-
tiba dari dalam istana sebuah bayangan berkele-
bat sambil membawa sesosok tubuh. Bayangan
tersebut berlari, meninggalkan istana. Rawa Sekti
yang melihat bayangan hitam berkelebat sembari
membawa tubuh Rajanya yang sudah dalam kea-
daan tertotok segera berkelebat mengejar tanpa
perdulikan mereka yang bertempur.
"Monyet! Berhenti kau...!"
Orang yang membawa tubuh raja Kuning
Gading tak mau perduli. Malah langkah larinya
makin cepat, menjadikan Rawa Sekti seketika ter-
jengah. Digunakannya ilmu lari, namun sampai
tingkatan akhir ilmu larinya Rawa Sekti tak
mampu mengejar orang berjubah hitam. Orang
itu akhirnya menghilang di balik bukit, tinggal
Rawa Sekti yang terdiam mematung.
"Oh, apa arti semua ini?" keluh Rawa Sekti,
merasa usahanya untuk kembali merebut sang
raja yang diculik telah gagal. "Apa yang dapat aku
lakukan? Segalanya kini berjalan cepat. Wangsit
itu, oh... sungguh sebuah kebenaran. Oh, benar-
kah Kerajaan akan hancur dan dikuasai oleh seo-
rang Datuk Gila...? Jagad Dewa Batara, sungguh
aku tak dapat membayangkan bila hal itu harus
terjadi." keluh hati Rawa Sekti. Dengan hati galau
Rawa Sekti akhirnya tinggalkan bukit Lamus,
kembali menuju alun-alun kerajaan.
Tersentak Rawa Sekti bercampur senang,
mana kala dilihatnya seorang pemuda yang sudah
ia ketahui siapa adanya nampak turun membantu
menghalau para pemberontak. Saking senangnya
Rawa Sekti, sampai-sampai ia bagaikan anak ke-
cil berseru girang.
"Tuan Pendekar... jangan beri ampun me-
reka!"
Jaka Ndableg tak hiraukan seruan Rawa
Sekti, dia masih berkelebat-kelebat menghindari
serangan para pengeroyoknya dengan sesekali
berteriak-teriak bagaikan orang ketakutan.
"Wadauw... kenapa kalian sadis?" tubuh
Jaka berkelebat, melenting ke angkasa bagaikan
orang bermain akrobatik. Tubuh itu berputar ba-
gaikan baling-baling, lalu menukik ke bawah
dan...!
"Bletok, bletok, bletok!"
"Aduh...!"
Menjerit tiga orang pengeroyoknya seketi-
ka, manakala tangan Jaka yang menyatukan jari-
jarinya mematuk-matuk bagaikan paruh burung
pelatuk. Tak ayal, kepala mereka seketika bocor
mengeluarkan darah. Orang-orang itu berputar
putar sesaat, lalu ambruk menjatuhi teman-
temannya dengan mata melotot bagaikan dibeset
kulitnya.
Yang lainnya melihat hal itu segera meng-
geram dan langsung menyerang dengan senjata
ke arah Jaka. Hal itu menjadikan Jaka yang su-
dah ke luar kekonyolannya, menanggapi dengan
ocehan-ocehan yang dapat menjadikan gelak tawa
bagi yang mendengarnya.
"Ladalah, mengapa memang begitu sadis-
nya? Itu golok jangan untuk main-main, Mang.
Bahaya!"
"Bedebah! Golok kami akan merencah tu-
buhmu, Anak Edan!"
"Waduh! Jangan Mang... kenapa Mamang
memusuhiku? Kenapa Mamang semua hendak
menurunkan tangan jahat?" Jaka kembali mengo-
ceh, lalu menjerit manakala tiga orang lagi berke-
lebat membabatkan golok mereka ke tubuhnya.
"Tobat... Mamang...!"
Ketiga orang pengeroyoknya tak perduli
pada apa yang dilakukan oleh Jaka. Mereka terus
berusaha mencerca Jaka, walau Jaka telah me-
lesat ke atas laksana terbang.
"Baik, kalau kalian memang sadis begitu.
Sebagai ungkapan rasa hormatku, akan aku beri-
kan pada kalian hadiah berupa tiket masuk ke
akherat sana!" Setelah berkata demikian, segera
Jaka menukik ke bawah. Tangannya yang sudah
membentuk paruh burung, berkelebat-kelebat
kian ke mari.
Ketiga orang pengeroyoknya sejenak ter
sentak melihat hal itu. Namun mereka segera ba-
batkan golok mereka, menghadang tangan Jaka
yang hendak mematuk kepala. Jaka tersentak, ta-
rik tangannya dan kibaskan kaki yang berada di
atas mengayun ke bawah. Ketiga orang yang tak
menyangka kalau Jaka dapat dengan mudah ber-
gerak seperti itu, kembali tersentak dan berusaha
menghindar. Tapi... gerakan Jaka Ndableg begitu
cepat hingga...!
"Dug... dug... dug...!"
Memekik seketika ketiga orang tersebut,
dengan tulang dada sepertinya remuk. Tubuh ke-
tiga orang tersebut sesaat mengerang, meregang
lalu akhirnya mati terkulai.
Hal itu menjadikan yang lainnya nampak
agak jeri juga. Nyali mereka hampir lenyap dari
hati, manakala melihat betapa pemuda yang ber-
tampang konyol tersebut ternyata bukan seorang
pemuda sembarangan. Apalagi ketika salah seo-
rang di antara mereka membisikkan siapa adanya
pemuda tersebut, pucat pasilah wajah semuanya
memandang takjub pada Jaka yang masih se-
nyum-senyum sendiri.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" pekik
semuanya kaget.
Jaka Ndableg masih tampak tenang. Dari
belakang Rawa Sekti dan Ambarikmu telah da-
tang menghampiri. Kedua tokoh utama kerajaan
itu segera berdiri menjejeri Jaka. Mata mereka
memandang tajam pada sisa-sisa pemberontak
yang ketakutan setelah mengetahui siapa adanya
pemuda tersebut.
"Kenapa kalian kaget? Bukankah kalian
anak buah Datuk Longkat Ketek yang gagah be-
rani?" Jaka bertanya dengan senyum sinis men-
gembang di bibirnya. "Apakah kalian masih hen-
dak meneruskan tindakan kalian yang dungu
itu?"
Semuanya tak ada yang menjawab. Muka
mereka tertunduk, tak berani menentang pan-
dang ke arah Jaka.
"Tangkap mereka...!" Rawa Sekti seketika
berseru memerintah pada anak buahnya yang de-
ngan segera menjalankan tugas. Sisa-sisa pembe-
rontak itu menurut, tak berani untuk melakukan
perlawanan lagi. Ya, sia-sia saja bila mereka me-
lakukan perlawanan sebab di pihak kerajaan kini
telah ada seorang pendekar muda yang namanya
tengah membumbung tinggi dengan ilmu yang
tiada terkalahkan, sehingga orang-orang persila-
tan mengatakan Titisan Dewa. Hal itu dapat terli-
hat dengan ajian-ajian yang dimiliki oleh pende-
kar tersebut. Ajian Jamus Kalimusada, adalah
ajian milik Dewa Wisnu. Juga ajian Buto Dewa
Wisnu. Ajian lain adalah Tapak Bahana, ini me-
rupakan ajian Dewa Brahma. Lalu ajian Petir Se-
wu, yang merupakan ajiannya Dewa Petir.
"Tuan Pendekar, tunggu!" Rawa Sekti ber-
seru memanggil, mana kala dilihatnya Jaka hen-
dak berkelebat pergi. Jaka segera hentikan lang-
kah, berpaling sesaat menunggu kedatangan Ra-
wa Sekti yang berjalan tergesa-gesa ke arah-nya.
"Ada gerangan apa lagi?" tanya Jaka sete-
lah Rawa Sekti sampai.
"Kami kembali mohon pertolonganmu."
"Pertolonganku...?" tanya Jaka seakan tak
percaya.
"Ya, pertolongan tuan."
"Tentang apa? Kalau memang sekiranya
aku mampu, maka aku akan membantu kalian.
Tapi kalau aku tak mampu, maka dengan amat
menyesal terlebih dahulu aku meminta maaf."
"Kami rasa tuan mampu," jawab Rawa Sek-
ti, menjadikan Jaka tersentak kerutkan kening.
"Hai, mengapa engkau berkata begitu, Pa-
man Patih?" tanya Jaka tak mengerti. "Aku ma-
nusia biasa sepertimu, Paman Patih. Setiap ma-
nusia, ada kalanya mengalami kesialan. Begitu
juga halnya dengan diriku, aku pun akan sekali-
kali membutuhkan bantuan orang lain. Kadang-
kala, orang yang tak terkenal tiba-tiba mampu
menangani masalah yang tak dapat ditangani oleh
orang yang sudah terkenal sepertiku. Ah, kenapa
kau berkata tak menentu? Sudahlah, sekarang
katakanlah apa yang akan Paman utarakan pa-
daku."
Patih Rawa Sekti seketika tundukkan mu-
ka. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin menan-
gis. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pa-
tih yang harus melindungi rajanya, ternyata tak
mampu. Tengah keduanya terdiam, dari istana
berlari-lari sang Permaisuri Ayuning Diah meng-
hampiri mereka.
Kedua orang itu juga para prajurit yang
lain segera tundukkan tubuh sembari menghor-
mat, hanya Jaka saja yang cuma anggukkan ke
pala. Hal itu menjadikan Ayuning Diah belalak-
kan mata, menatap tajam pada Jaka Ndableg.
Manakala ia hendak marah, tiba-tiba rasa marah
itu hilang kala matanya beradu pandang dengan
mata Jaka. Hati Ayuning Diah bergetar, mende-
sah panjang. "Ah... Kenapa aku ini? Kenapa pe-
muda ini mampu membuat hatiku bergetar? Oh,
sungguh tampannya pemuda ini."
Jaka Ndableg yang tahu bahwa Ayuning
Diah kini memperhatikan dirinya segera tunduk-
kan muka, membuang wajahnya ke bawah. Masih
ingat ucapan Ratu Siluman Penguasa Bumi, bah-
wa hampir seluruh wanita akan jatuh cinta pa-
danya. Bila ingat itu semua, seketika hati Jaka
menggumam dan mengumpat-umpat dirinya sen-
diri.
"Oh, kenapa aku tampan? Kenapa aku ba-
nyak disukai oleh orang-orang? Kenapa aku di-
cintai oleh wanita? Kenapa aku banyak yang me-
musuhi pula? Bagaimana dengan gadis-gadis
itu...? Loro Ireng, Dewi Miranti atau si Bidadari
Selendang Ungu, dan masih banyak lagi gadis-
gadis yang mendambakan cintaku. Kini... kini
Permaisuri kerajaan Gading Kuning. Oh...."
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" ter-
dengar suara lembut berkata, menjadikan Jaka
yang tengah menunduk tersentak dan dongakkan
mukanya. Hal itu memang yang diinginkan oleh
Ayuning Diah, yang tiba-tiba hatinya telah ter-
paut. Tidakkah itu sebuah kegilaan? Bagaimana
mungkin Jaka Ndableg mau menerimanya? Bu-
kankah Ayuning Diah adalah istri sahabatnya,
Raja Briah Awangga?
Jaka segera membuang segala angannya,
lalu dengan kembali menunduk menjawab perta-
nyaan Ayuning Diah. "Nama hamba yang rendah
ini, Jaka."
"Dia adalah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah, Permaisuri," menambah Rawa Sekti, menja-
dikan kanjeng Permaisuri belalakkan matanya
yang lentik. Sejurus ditatapinya lekat wajah Jaka,
yang tak mau mengadu pandang lagi dengan
Permaisuri. Hati Permaisuri bergetar, bagaikan
meledak-ledak. Seketika kekhawatiran tentang di-
ri suaminya menghilang, kini berganti dengan api
asmara. Jaka yang melihat sinar mata sang Per-
maisuri dengan segera berkata pada Patih Rawa
Sekti.
"Paman Patih, apa yang hendak engkau ka-
takan padaku tadi?"
Namun patih Rawa Sekti yang tidak men-
gerti akan apa yang tengah terjadi antara Jaka
dan Permaisuri rajanya, seketika tersentak kaget.
Ia susah untuk menjawab, sebab tidak mungkin
kalau Permaisuri tidak mengutarakan hal itu
bakal ia ceritakan pada Jaka.
"Tuan Pendekar, mengapa mesti engkau
kesusu?"
Terjengah Jaka Ndableg mendengar perta-
nyaan Ayuning Diah yang tak diduga-duga sebe-
lumnya. Namun Jaka masih berusaha menunduk
dengan harapan tidak kembali beradu pandang
dengan Permaisuri yang ia tahu telah terpanah
hatinya.
Tatapan Permaisuri Ayuning Diah masih
lekat, memanah pada Jaka yang tak dapat ber-
buat apa-apa. Hati Jaka seketika gundah, sulit
untuk mengerti apa kemauan istri Raja Briah
Anggawa yang memang masih muda dan cantik
jelita.
"Maaf, Kanjeng Permaisuri. Hamba rasa,
hamba tak mempunyai waktu banyak. Untuk itu-
lah, sekiranya ada yang hendak Permaisuri utara-
kan. Hamba mohon secepatnyalah."
Permaisuri Ayuning Diah hanya tersenyum.
"Oh, segitu sibuknya engkau, Tuan Pende-
kar?"
"Ah, tidak demikian adanya, Kanjeng Per-
maisuri. Hamba hanya minta secepatnyalah apa
yang hendak Kanjeng Permaisuri utarakan. Kalau
memang hamba dapat membantu. Hamba akan
berusaha membantunya."
"Baiklah. Aku pun tiada hak menghalangi-
mu. Aku sadar, bahwa aku telah memiliki seorang
suami."
Terjengah semuanya mendengar ucapan
Kanjeng Permaisuri Ayuning Diah yang tak ter-
duga-duga itu. Betapa terkejutnya mereka, seper-
tinya ada halilintar menggelegar seru di siang hari
bolong. Tak disangka oleh mereka kalau Kanjeng
Permaisurinya ternyata jatuh hati pada pendekar
muda tampan itu. Mereka maklum, bahwa kalau
mereka wanita pun pasti akan mengalami hal se-
rupa seperti Kanjeng Permaisurinya. Memang
tampan pemuda pendekar itu, sehingga banyak
gadis-gadis yang jatuh cinta. Melihat kebisuan di
antara mereka, secepatnya Rawa Sekti yang men-
getahui gelagat segera memecahkan keheningan
berkata: "Kami memohon bantuanmu untuk da-
patlah membebaskan Baginda Raja yang diculik
oleh seseorang."
"Ah...." Jaka mendesah kaget. "Paman Pa-
tih tahu siapa adanya orang tersebut?"
Patih Rawa Sekti sejenak mendesah, berat.
"Sungguh menyesal, aku tak mengeta-
huinya dengan pasti."
"Oh, susah. Bagaimana dengan Kanjeng...
Kanjeng Permaisuri?"
Ucapan Jaka yang tersendat, menjadikan
Ayuning Diah tersenyum dikulum. Dia senang,
senang sekali mendengar Jaka berucap yang ditu-
jukan padanya. Tanpa menghiraukan semuanya
yang ada di alun-alun, Ayuning Diah hampiri Ja-
ka. Dan dengan tiba-tiba, diciumnya Jaka yang
seketika tersentak kaget tak luput juga yang lain-
nya.
"Kenapa?" tanya Ayuning Diah seperti tak
berdosa. "Bukankah aku perlu mengucapkan te-
rima kasih atas segala bantuanmu?"
Semuanya tak ada yang berkata, diam ba-
gaikan sebuah patung.
"Orang yang menculik Baginda Raja, me-
nyebut dirinya Datuk Gagak Hitam atau Datuk
Segala Datuk," Permaisuri akhirnya menerangkan
siapa adanya penculik tersebut. Mendengar ja-
waban sang Permaisuri, Jaka yang tak ingin se-
muanya berlarut segera berkelebat pergi laksana
tiupan angin. Hal itu menjadikan semua yang ada
di situ hanya terbelalak, mulut mereka melom-
pong bengong dan kepala mereka gelengkan.
TUJUH
Para Datuk-datuk persilatan golongan se-
sat, kini resah oleh hadirnya Dua Datuk yang be-
raliran lain. Salah seorang beraliran menyelim-
pang, yaitu beraliran lurus yang mengakui na-
manya sebagai Datuk Putih. Orang ini selalu da-
lam sepak terjangnya mengenakan segalanya ser-
ba putih, sampai-sampai cadarnya pun memakai
cadar putih. Sementara salah seorang lagi, dia
mengaku Datuk segala Datuk. Kalau orang yang
kedua telah mereka ketahui adanya, tapi orang
yang pertama sungguh merupakan misteri ter-
sendiri. Mereka belum tahu siapa adanya Datuk
Putih tersebut. Kalau dianalisa secara rinci, jelas
Datuk Putih merupakan halangan bagi perkem-
bangan para Datuk golongan sesat. Sebab tidak
mungkin tidak, Datuk Putih akan selalu mengha-
langi gerakan para Datuk lainnya untuk dapat
menguasai dunia persilatan. Jangankan ada Da-
tuk Putih, tak ada pun mereka dibikin kalang ka-
but oleh seorang Pendekar muda bergelar Pende-
kar Pedang Siluman Darah. Sudah seorang tokoh
Datuk yang disegani mati di tangan Pendekar
muda tersebut. Datuk itu tak lain Datuk Tuyul
Setan, yang mati dengan tubuh terbelah oleh sen-
jata pendekar muda tersebut. (Baca Kisah Cinta
Memendam Dendam). Apalagi kini muncul Datuk
Putih, sungguh makin terjepit keadaan mereka.
Mereka menyangka kalau Datuk Putih tak lain
hanyalah penyamaran Pendekar Muda tersebut.
Walaupun mereka tahu bahwa saat itu di dunia
persilatan ada lima atau enam tokoh-tokoh persi-
latan yang ilmunya hampir dikatakan rata dan
dapat dikatakan kelas wahid. Pertama, Jaka
Ndableg si Pendekar Siluman, Supit Songong, Bi-
dadari Selendang Ungu, Maling Siluman, dan seo-
rang Datuk bernama Sanggara yang menurut ka-
bar hilang entah ke mana rimbanya.
Saat itu para Datuk tengah berkumpul,
membahas masalah kejadian-kejadian yang ma-
kin menghimpit kedudukan mereka. Mereka se-
benarnya ingin mengangkat Datuk Gagak Hitam
sebagai Ketua, tapi mereka takut Datuk gila itu
akan makin merepotkan. Datuk Gagak Hitam
memang tindakannya terlalu telengas, tak per-
duli pada kawan maupun lawan. Tapi bila tidak
diangkat menjadi Ketua, mereka pun bingung
siapa yang akan menghadapinya. Juga masalah
Datuk Putih yang makin terasa mendesak kedu-
dukan para Datuk.
"Apa yang harus kita perbuat?" tanya
Longkat Ketek membuka kata.
"Entahlah," mengeluh Datuk Rambut Me-
rah. "Kita belum tahu seberapa ilmu keduanya.
Apakah tidak mungkin kita jajaki ilmu mereka
terlebih dahulu?"
"Jangan-jangan Datuk Putih samaran dari
Pendekar Muda tersebut," Datuk Setan Buntung
turut nimbrung. Semuanya terdiam mengangguk
anggukkan kepala, sepertinya membenarkan uca-
pan Datuk Setan Buntung.
"Mungkin juga. Kalau benar begitu, maka
keadaan kita benar-benar telah kejepit," gumam
Datuk Sejuta Racun. "Sebenarnya semua dapat
kita atasi apa bila kita bersatu. Tapi rupanya kita
terlalu mementingkan ambisi kita masing-ma-
sing, sehingga kita kurang kompak."
"Maksudmu, Racun Sejuta?" "tanya Long-
kat Ketek.
"Bukankah kau sendiri dapat menjawab-
nya?" balik menanya Datuk Racun Sejuta, menja-
dikan Longkat Ketek kerutkan kening tak tahu
apa tujuan kata-kata Sejuta Racun.
"Aku belum mengerti," jawab Longkat Ke-
tek.
"Kau ada masalah dengan Datuk Sulir
Kuning, bukan?"
"Ya... memang kenapa?"
"Itulah yang aku maksudkan kita selalu
mementingkan diri kita sendiri. Apakah kau tak
dapat memaafkan Sulir Kuning?"
Longkat Ketek mengangguk-anggukan ke-
pala mengerti.
"Tapi sebenarnya bukan aku yang tidak
memaafkan. Aku telah berusaha selalu mengalah
padanya, tapi rupanya dia masih menaruh den-
dam pada ku."
"Dendam cinta...?" Sejuta Racun bertanya
dengan nada kelakar. Seketika semua yang hadir
pun tertawa bergelak-gelak, menjadikan muka
Datuk Longkat Ketek merah padam mukanya.
"Sudah... sudah! Kita di sini bukan untuk
bercanda, tapi untuk mengadakan rapat pemben-
tukan Perserikatan Datuk guna menanggulangi
bahaya yang akan menimpa persekutuan kita!"
Datuk Tangan Berapi selaku Ketuanya se-
gera menengahi. "Kalau kita tak bisa memu-
tuskan masalah ini, lebih baik aku akan men-
gundurkan diri dari Perserikatan Datuk!" ancam-
nya, menjadikan semua Datuk yang ada di situ
tersentak kaget. Bagaimana tidak, hanya Datuk
Tangan Berapi yang dapat diandalkan oleh mere-
ka pada masa-masa sekarang ini. Dulu memang
masih ada Datuk Tuyul Setan, tapi sekarang Da-
tuk tersebut telah binasa di tangan Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Tinggal Datuk Tangan Be-
rapi dan Datuk Sejuta Racun serta Rambut Merah
saja yang masih dapat diandalkan. Kalau tiga
orang tersebut mengundurkan diri salah satunya,
niscaya kekuatan mereka makin menurun saja.
Hal ini sudah barang tentu sebuah bencana bagi
para Datuk.
Tengah semua Datuk terdiam memikirkan
bagaimana caranya menjadikan Datuk Tangan
Berapi tak mundur, tiba-tiba dua bayangan ber-
kelebat dari arah yang berlainan.
"Mengapa kalian mesti bingung. Aku Datuk
Sangkala Putung yang akan menjadi Ketua ka-
lian!"
"Aku Datuk Lolo Genderlah yang pantas
menjadi Ketua!"
"Tidak bisa! Akulah yang pantas menjadi
Ketua para Datuk, sebab ilmuku sangat tinggi di
bandingkan dengan ilmumu juga ilmu kalian yang
ada di sini!" Datuk Sangkala Putung membentak,
merasa ada orang lain yang menghalangi niatnya
untuk menjadi Ketua para Datuk. Sudah sepuluh
tahun lebih ia menggembleng dirinya dengan
kembali menekuni semua ilmu dengan harapan
dapat menjadikan dirinya sebagai ketua Datuk-
datuk, ternyata ada orang lain yang menghalangi-
nya.
"Ilmumu tinggi? Hua, ha, ha...! Seberapa?"
tanya Datuk Lolo Gender dengan senyum me-
ngejek. "Akulah yang berilmu paling tinggi di an-
tara kalian semua. Apakah kalian kurang yakin?
Akulah pemilik ajian Seribu Iblis. Hua, ha, ha,...!"
Tersentak semua yang ada di situ menden-
gar Datuk Lolo Gender menyebut nama ajian yang
langka itu. Sudah seabad lamanya ajian itu meng-
hilang dari dunia persilatan setelah si Raja Iblis
yang menghilang dengan sekejap mata tanpa se-
pengetahuan para pendekar dunia persilatan.
"Kau tidak berdusta, Lolo Gender?" tanya
Sangkala Putung kurang yakin. "Kau mungkin
berdusta."
"Hem, mungkin kalian tak percaya kalau
aku katakan bahwa aku adalah murid tunggal si
Raja Iblis."
"Apa...!"
Semua yang hadir seketika terkesiap da-
rahnya, demi mendengar ucapan Lolo Gender.
Bagai-mana mungkin Raja Iblis yang hidup sea-
bad yang lalu masih hidup? Dan bagaimana
mungkin Lolo Gender mengaku-aku murid tung
galnya. Menurut cerita leluhur mereka, Datuk Ra-
ja Iblis tak pernah mengangkat barang seorang
pun menjadi muridnya. Tapi kini Lolo Gender
mengaku-aku sebagai murid si Raja Iblis. Sung-
guh tidak masuk di akal.
"Tidak mungkin...!"
"Kalian masih tak percaya? Akan aku buk-
tikan!" Datuk Lolo Gender sejurus kemudian ter-
diam, mulutnya komat kamit membaca mantra.
Kemudian...! Semua orang yang berada di situ se-
ketika membelalakkan mata tak percaya. Mereka
melihat tubuh Lolo Gender seketika berubah
menjadi banyak dengan muka yang berbeda-beda
dan tubuh membara. Api menyala-nyala pada tu-
buh keseribu Datuk Lolo Gender yang berwajah
berbeda-beda.
Ketika Datuk Lolo Gender tertawa, seketika
gelak tawanya membahana bersaut-sautan. Ya,
karena mereka berjumlah banyak seribu orang
dan bareng tertawa, jadi sudah barang tentu tawa
mereka bagaikan ledakan-ledakan petir. Kini se-
muanya baru yakin, seyakin yakinnya bahwa Da-
tuk Lolo Gender memang murid dari si Raja Iblis.
"Baiklah kami semua percaya," Datuk Tan-
gan Berapi berkata mewakili semuanya. Menden-
gar ucapan Datuk Tangan Berapi, Lolo Gender
kembali tertawa tergelak-gelak. Perlahan tubuh
keseribu orang Datuk Lolo Gender yang wajahnya
beraneka ragam menyatu kembali dan menjadi
Datuk Lolo Gender.
"Nah, apakah kalian sangsi untuk men-
gangkatku sebagai Ketua kalian?"
"Tidak! Kami tak sangsi lagi." jawab semu-
anya serempak.
"Baiklah. Sekarang katakan apa yang men-
jadikan kalian merasa bagaikan terjepit?" tanya
Lolo Gender dengan suara angkuh, merasa bahwa
dirinyalah yang paling sakti di antara para Datuk.
"Kami tengah dihadapkan pada sesuatu
masalah yang belum kami dapat selesaikan."
"Apa itu, Rambut Merah?"
"Kini di Dunia Persilatan telah muncul dua
Datuk yang berbeda, namun sama bahayanya ba-
gi kedudukan kita. Salah seorang bernama Datuk
Gagak Hitam atau Datuk segala Datuk...."
"Bedebah.! Berani dia mengangkat dirinya
sebagai Datuk segala Datuk. Apakah dia tak tahu
ada aku yang pantas!" Datuk Lolo Gender tampak
marah, sepertinya Gagak Hitam telah berani men-
corengkan tahi di mukanya. "Lancang dia!"
"Itulah yang pertama. Yang kedua, adalah
seorang Datuk aneh berilmu tinggi dan beraliran
lurus. Ia menyebutkan dirinya Datuk Putih."
"Hem, itu soal mudah bagiku...." Belum ju-
ga habis ucapan Datuk Lolo Gender, tiba-tiba ter-
dengar suara seseorang membentak dari luar.
"Sombong kau! Apakah kau mengira dengan il-
mumu yang masih picisan itu mampu menghada-
pi dua Datuk itu, hah!"
"Siapa kau!" Datuk Lolo Gender segera ber-
kelebat ke luar, diikuti oleh seluruh yang hadir.
Nampak seorang bertubuh tinggi besar dengan
muka lebat tertutup cambang bawuk dan mata
merah menyala telah berdiri di situ. Mulut orang
tersebut menyeringai sinis, menunjukkan gigi-
giginya yang kuning, napasnya terdengar men-
deru-deru, laksana tiupan angin prahara. Napas
itu terasa panas, membara menyelimuti orang-
orang yang ada di situ yang tersentak kaget. "Da-
tuk Gagak Hitam...!"
"Ya, akulah Datuk Gagak Hitam atau Da-
tuk segala Datuk. Siapa saja yang membangkang
padaku, maka kematianlah yang akan ia da-
patkan!" Datuk Gagak Hitam atau Renggana ter-
senyum sinis, berjalan dengan langkah berat
menghampiri mereka. Tiba-tiba dari belakang
berkelebat seorang nenek-nenek tua, yang bukan
lain Datuk Sulir Kuning.
"Longkat Ketek, aku datang untuk menga-
dakan perhitungan dengan dirimu."
Datuk Gagak Hitam menyeringai, merasa
ada seorang nenek-nenek masih berani menan-
tang para Datuk. Dengan melirik sesaat Gagak
Hitam bertanya: "Apakah kau ada masalah den-
gan salah seorang Datuk yang ada di sini, Nek?"
"Benar. Aku ada masalah dengan Datuk
itu!" jawab si nenek yang tak lain Sulir Kuning
sembari tunjukkan telunjuknya ke arah Datuk
Longkat Ketek.
"Masalah apa, Nek?" kembali Gagak Hitam
bertanya.
Si nenek tersipu-sipu, sukar untuknya
menjawab.
Melihat hal itu, segera Gagak Hitam kem-
bali berkata: "Aku harap nenek tunggu dulu."
"Tidak bisa!" bantah si nenek.
"Kenapa...?"
"Kau boleh berurusan dengan yang lain-
nya, tapi aku minta kau tak ikut campur dengan
urusanku."
"Nenek peot, mengapa kau keras kepala.
Lucu kau, Nek. Kau tak ubahnya seorang pera-
wan centil kegatelan."
Merah padam muka Sulir Kuning demi
mendengar ucapan Gagak Hitam yang menjadi-
kan semuanya tersenyum. Maka tanpa ingin tahu
terlebih dahulu siapa adanya orang yang bicara,
dengan segera Sulir Kuning berkelebat menye-
rangnya.
Gagak Hitam hanya tersenyum, egoskan
tubuh mengelakkan serangan si nenek. Tanpa ay-
al lagi, tubuh si nenek seketika terus terpelanting
nyusur ke tanah. Si nenek makin mengganas, ia
bangkit dengan menggeram dan kembali menye-
rang. Melihat hal itu Gagak Hitam tak kaget, ma-
lah dia tampak tersenyum. Dan ketika tubuh si
nenek kembali berkelebat, Gagak Hitam segera
egoskan tubuhnya dengan tangan bergerak cepat.
Dan..!!!
"Bret... Slosot...!"
Semua mata terbelalak melihat apa yang
terjadi. Celana yang dikenakan oleh si nenek dan
baju-bajunya seketika tertarik, lepas dari tubuh si
nenek yang terus melaju dan kembali meng-
gusrak di tanah.
Bukan alang kepalang lagi kemarahan Da-
tuk Longkat Ketek melihat hal itu. Walau ia ber-
musuhan dengan si nenek Sulir Kuning, namun
hatinya masih mencintai si nenek yang lima pu-
luh tahun lalu menjadi kekasihnya. Maka tanpa
ayal lagi Longkat Ketek dengan didahului mengge-
ram, menyerang Gagak Hitam yang seketika ter-
sentak.
"Rupanya kau ingin membela kekasihmu,"
Gagak Hitam berkata mengejek. Senyumnya sinis,
lalu dengan hanya miringkan tubuh sembari ki-
baskan tangan Gagak Hitam telah mampu mem-
buat Longkat Ketek berjumpalitan sendiri meng-
hindari kibasan tangan Gagak Hitam. Gagak Hi-
tam terkekeh, hampiri tubuh Longkat Ketek yang
terpelanting jatuh. Mana kala tangannya hendak
mencengkram, tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat. Bayangan tersebut milik Datuk Lolo Gend-
er, yang segera membuat Gagak Hitam tersentak
urungkan niatnya. Gagak Hitam kini berpaling
pada orang yang telah menyerangnya, matanya
memandang bengis. Dan tiba-tiba...!
"Hua, ha, ha...! Hua, ha, ha...!"
Gagak Hitam bergelak tawa, makin lama
irama tawanya makin kencang, melengking men-
jadikan sebuah hentakan yang mampu memecah-
kan gendang telinga. Kegilaanya kini mulai kam-
buh, menjadikan Gagak Hitam bukanlah Gagak
Hitam sebenarnya. Segala Iblis telah masuk, me-
nyusup ke dalam tubuh Gagak Hitam. Tanpa am-
pun lagi, orang-orang yang tak mampu bertahan
bergelimpangan mati dengan hidung dan telinga
keluar darah.
Tersentak semuanya yang hadir di situ, tak
percaya kalau ada orang yang memiliki ilmu ter
tawa sedahsyat itu. Namun sebagai seorang Da-
tuk, mereka diajukan pada keberanian. Dicoba-
nya untuk terus bertahan, bahkan Datuk Lolo
Gender yang merasa memiliki ilmu paling tinggi
seketika menyerang. Hal itu rupanya diketahui
oleh Gagak Hitam yang dengan segera hentakkan
tawanya makin kencang sembari membentak.
"Minggir...!"
Sungguh dahsyat! Karena bentakan terse-
but Lolo Gender yang memiliki ajian Seribu Iblis
mampu dipentalkan jatuh di hadapan para Datuk
lainnya. Tapi Lolo Gender tak mau kalah begitu
saja. Gengsinya yang telah mengakui sebagai pe-
waris ilmu Raja Iblis, menghendaki dirinya untuk
tak mau mengalah. Segera ia bangkit, lalu perla-
han matanya terpejam. Mulutnya komat kamit
membaca mantra, dan...! Seribu Datuk Lolo
Gender seketika muncul.
Melihat musuhnya berbuat begitu, Gagak
Hitam pun tak mau kalah. Segera Gagak Hitam
merapalkan mantranya, maka tubuhnya seketika
berubah menjadi beribu-ribu ekor burung gagak
raksasa. Semua yang ada dan menonton di situ
tersentak kaget, tak percaya pada apa yang mere-
ka lihat. Burung Gagak Hitam yang berjumlah se-
ribu itu seketika beterbangan menyerang keseribu
orang Datuk Lolo Gender yang muka-mukanya
beraneka ragam. Dengan ganas keseribu burung
Gagak Raksasa itu mematuk-matuk, menyerang
dengan sekali-kali berkelit dengan gesitnya.
Pertarungan dua Datuk yang hendak men-
gangkat dirinya sebagai Datuk segala Datuk terus
berjalan. Mereka hanya ada satu prinsip, kalah
dan mati atau menang untuk menjadi pimpinan
para Datuk.
Pertarungan itu tak ubahnya sebagai per-
tarungan dua kekuatan Iblis yang menguasai ke-
duanya. Datuk Lolo Gender, berada di pihak Raja
Iblis Muka Sewu. Sebaliknya Gagak Hitam, bera-
da pada pihak Iblis Gagak Kematian.
Burung Gagak itu terus menyambar-nyam-
bar, sesekali mematuk dan kemudian terbang
menghindar. Karena musuhnya seekor burung
yang ganas dan pemakan bangkai, maka Lolo
Gender nampak kesukaran. Api yang menyala di
tubuhnya bagaikan tak berarti apa-apa bagi para
burung Gagak Raksasa tersebut. Namun kedua-
nya bagaikan tak mau mengalah, mereka mengin-
ginkan kemenangan. Ya, kemenangan untuk
menjadikan dirinya sebagai Datuk segala Datuk.
Pertarungan itu entah kapan berakhir, yang jelas
keduanya sama-sama tangguh. Keduanya terus
saling rangsek, sehingga membuat tubuh kedua-
nya makin lama makin menjauhi tempat semula.
* * *
Pertarungan dua Datuk tersebut masih te-
rus berjalan dengan sengitnya. Sudah menginjak
hari ketiga mereka bertarung sepertinya mereka
tak mengenal rasa capai atau pun lelah. Mereka
terus saling serang, saling rangsek dengan ujud-
ujud mereka.
Sementara itu, nampak di tempat lain seo
rang pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg tengah
berlari-lari dalam usahanya mencari Raja Briah
yang hilang diculik oleh Datuk segala Datuk atau
Datuk Gagak Hitam.
"Ke mana aku harus mencarinya? Sedang-
kan aku sendiri tak tahu di mana kediaman Da-
tuk tersebut?" keluh Jaka putus asa. "Ah, bukan-
kah hari ini adalah pertemuan para Datuk?"
Jaka tercenung bingung, melangkah men-
gikuti ke mana kakinya berjalan. Sekali-kali ia
menyanyi, menghibur hatinya yang tengah gun-
dah gulana. Mana kala ia tengah asyik-asyiknya
menyanyi, tiba- tiba sebuah bayangan putih ber-
kelebat menghadangnya. Bayangan putih tersebut
seketika menjura padanya, menjadikan Jaka ter-
lolong bengong karena ia tak mengenal siapa
adanya bayangan tersebut.
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak? Me-
ngapa engkau tiba-tiba menjura padaku?" tanya
Jaka tak mengerti. Matanya memandang atau
mengawasi orang tersebut dengan seksama.
Orang itu masih menjura, lalu kemudian terden-
gar suaranya yang berat berkata:
"Tuan Pendekar, sungguh aku tak me-
nyangka kalau aku dapat bertemu denganmu.
Hendak ke mana dan ada tujuan apa tuan pende-
kar menyelusuri hutan ini?"
"Ah, kenapa kau ditanya malah menanya
sebelum menjawab?"
"Oh, maafkan kelancanganku. Namaku
Sanggara atau orang menjuluki diriku dengan se-
butan Datuk Putih. Karena pakaianku putih, juga
perbuatanku tidak seperti Datuk-datuk lainnya."
"Oh, begitu. Baiklah, Sanggara atau Datuk
Putih. Aku datang ke sini semata-mata tengah
mencari seorang yang diculik oleh Datuk Gagak
Hitam yang menyebutnya Datuk segala Datuk.
Orang tersebut adalah Raja Kerajaan Gading Kun-
ing. Apakah Ki Sanak dapat menunjukkan di ma-
na adanya aku dapat menemukannya?"
Sejenak Datuk Putih terdiam tanpa kata. Ia
sepertinya tengah tercenung, manakala Jaka me-
ngutarakan nama orang sangat ia kenal. Ya, Ga-
gak Hitam, adalah nama yang sedari kecil ia ken-
al. Gagak Hitam tak lain kakak seperguruannya,
yang kini gila akibat cita-citanya yang kelewat
ambisi.
"Kenapa Ki Sanak Datuk Putih terdiam?"
"Ah, ti-tidak. Aku sungguh menyesal tidak
mengetahuinya. Tadinya aku mengira tuan Pen-
dekar hendak menuju ke pertemuan para Datuk."
"Oh, mungkin juga aku ke sana. Namun
untuk sekarang ini, aku hendak mencari Raja Ke-
rajaan Gading Kuning." jawab Jaka. "Apakah Ki
Sanak hendak ke sana?"
"Benar adanya. Aku memang hendak pergi
ke sana."
"Baiklah kalau begitu. Aku hanya dapat
mengucapkan selamat tinggal," Jaka pun dengan
segera melesat pergi setelah menjura hormat. Ke-
pergiannya yang begitu cepat laksana angin, men-
jadikan Datuk Putih menggeleng-gelengkan kepa-
la tak percaya pada apa yang dilihatnya. Setelah
melihat Jaka telah menghilang, segera Datuk Pu
tih pun berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Hari kelima telah berjalan, kini nampaklah
siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal
kalah di antara dua Datuk yang tengah bertarung
itu. Burung-burung Gagak itu makin mengganas,
menyerang bagaikan tak kenal ampun. Luka-luka
kini diderita oleh keduanya, namun sungguh le-
bih parah adalah Lolo Gender. Mata Lolo Gender
Seribu Rupa itu, kini hilang satu tercucuk paruh
Gagak Hitam.
Semuanya yang menyaksikan hanya mam-
pu diam. Hati mereka tercekap tak berani untuk
berkata-kata atau memisahkan salah satunya.
Mereka yang bertarung bukanlah orang semba-
rangan, yang sudah diketahui memiliki ilmu yang
sungguh tinggi.
"Apakah kita akan mendiamkan saja, Ka-
kang?" tanya Rambut Merah pada Tangan Api
yang berdiri di sampingya. "Bahaya kalau salah
satunya harus ada yang mati."
Tangan Api hanya tersenyum kecut men-
dengarnya, laku katanya:
"Apakah ada yang berani memisahkan me-
reka? Huh, mencari mati."
Rambut Merah hanya diam, merasakan
bahwa ucapan kakaknya memang benar adanya.
Siapa yang akan berani memisahkan kedua Da-
tuk yang berilmu tinggi itu? Kalau memang orang
itu mencari mati, maka mungkin hal itu akan di-
lakukannya.
"Kak... Kak... Kak...! Mampuslah kau, Lolo
Gender!"
"Bedebah! Aku belum kalah, Gagak Hitam!"
"Baiklah! Hari ini juga kau akan aku kirim
ke akherat!"
"Jangan bermimpi!"
Keduanya kembali saling serang. Kini ke-
duanya telah kembali pada bentuk asal mereka.
Mata Lolo Gender benar-benar telah hilang sebe-
lah. Mukanya morat marit dicakar oleh Gagak Hi-
tam. Sebaliknya Gagak Hitam pun tak luput dari
luka, namun sungguh tak separah Lolo Gender.
Gagak Hitam hanya luka-luka kecil belaka, se-
hingga serangan-serangannya masih tampak lin-
cah dan keras.
Gagak Hitam seketika kembali memekik,
lalu tertawa bergelak-gelak laksana orang gila.
Gunung yang berada di situ, seketika runtuh.
Bersamaan dengan runtuhnya Gunung
Kapur, seketika Gagak Hitam mencelat terbang
dan...!
"Aaah...!" Lolo Gender memekik sesaat, ke-
palanya copot tertarik oleh tangan Gagak Hitam
yang seketika berubah bentuk menjadi Gagak Hi-
tam kembali. Burung Gagak Hitam Raksasa itu
terbang membawa kepala Lolo Gender, jauh dan
makin menjauh. Dilemparkannya kepala tersebut,
manakala sampai ke tengah-tengah lautan
Selatan. Tamatlah riwayat Lolo Gender,
mati dengan keadaan yang mengerikan.
Semua seketika memburu pada tubuh Lolo
Gender yang tergeletak dengan tanpa kepala. Da-
rah membasahi sekelilingnya, menjadikan re-
rumputan berubah menjadi merah kehitam-hi
taman. Kini Datuk Gagak Hitam telah berlalu per-
gi, sepertinya ia tak menghendaki dirinya menjadi
pimpinan para Datuk yang kini terlolong bengong.
Mereka tak mengerti dengan tingkah laku Datuk
Gagak Hitam, yang serba aneh.
DELAPAN
Tengah kesemua Datuk itu tak mengerti
dengan segala tindakan Gagak Hitam, tiba-tiba
bayangan putih berkelebat menuju ke arah mere-
ka. Seketika mereka yang ada di situ tersentak
kaget, memanahkan pandangannya ke arah orang
berpakaian serta cadar serba putih.
"Datuk Putih...!!"
Datuk Putih nampak tersenyum, terbukti
cadar yang dipakainya mengerut ke dalam. Ma-
tanya yang tertutup oleh kain cadar putih, me-
mandang pada kesemuanya yang nampak ketaku-
tan.
"Kalian para Datuk. Apa yang tengah ka-
lian lakukan di tempat ini?" tanyanya dengan su-
ara tenang.
Semua tak ada yang menjawab, sepertinya
mulut mereka bungkam seribu kata. Hal itu men-
jadikan Datuk Putih terkesiap, marah seketika
dan membentak
"Apakah kalian bisu!"
"Ampun! Kami-kami... tengah menyaksikan
kematian salah seorang anggota kami yang me-
ngerikan." jawab Rambut Merah mewakili teman
temannya.
"Mati? Mati karena apa?"
"Ia mati di tangan Datuk Gagak Hitam."
"Siapa dia?"
"Ia adalah Lolo Gender."
"Hem...." hanya desahan pendek saja yang
keluar dari mulut Datuk Putih. Perlahan ia te-
ngadahkan muka memandang ke arah selatan di
mana Gunung Kapur menjulang tinggi dengan
angkuh dan megahnya. "Kakang Renggana, sung-
guh perbuatanmu sudah kelewat batas. Kau telah
gila dengan segala kemenangan. Hem, kalau saja
Pendekar muda itu tahu bahwa Raja Kerajaan
Gading Kuning mati olehmu, sungguh aku tak
dapat memikirkannya." keluh hati Sanggara atau
Datuk Putih.
"Apakah kalian masih menghendaki keka-
cauan di dunia? Apakah kalian masih menghen-
daki partai kalian tumbuh?" tanya Datuk Putih
setelah lama tercenung diam.
"Jelas! Kami para Datuk menghendaki par-
tai kami tumbuh!" tiba-tiba seorang Datuk yang
tak lain dari pada Datuk Sangkala Putung men-
jawabnya. Hal itu menjadikan Datuk Putih seke-
tika memandang ke arahnya dengan tajam, walau
matanya tertutup oleh kain tapi jelas sorotan ma-
ta itu begitu menghunjam.
"Hem, kau! Rupanya kau masih ingin men-
jadikan dirimu orang yang disembah-sembah,
Sangkala Putung. Tak aku sangka, orang setua-
mu masih saja bertingkah macam-macam. Apa-
kah kau tak mengingat lagi usiamu yang sudah
bau tanah itu?"
"Bedebah! Aku tak perduli. Kami adalah
Datuk dan sepantasnyalah kami berbuat."
"Oh, begitu? Apakah kau akan mengulangi
pertarungan antara Datuk seperti yang baru saja
kalian saksikan? Hem, kalian belum tahu apa
akibatnya rupanya. Atau barangkali kalian me-
mang sengaja menutup mata. Lihatlah temanmu
itu, dialah korban dari segala keserakahan kalian
para Datuk!" membentak Datuk Putih agak jeng-
kel. Merasa ucapannya seperti tak digubris oleh
orang tersebut. "Kalian akan berbuat apa bila aku
menghalangi kalian?"
"Aku akan menentangmu!" tak kalah Sang-
kala Putung membentak.
Datuk Putih hanya tersenyum, sepertinya
ucapan Sangkal Putung sebuah lelucon. Ya, ia bi-
sa saja berkata begitu, sebab ia bukanlah orang
sembarangan.
"Menentangku? Apakah kau mampu,
Sangkala Putung?'
"Sombong! Jangan kira aku takut dengan
nama besarmu yang sudah kesohor. Aku Sangka-
la Putung pantang untuk takut,"
"Hua, ha, ha... kau tak ubahnya seorang
yang sombong dan tak mengaca diri. Kalau kau
tak mengenal takut, mengapa kau tak menghada-
pi Datuk Gagak Hitam? Mengapa mesti Lolo
Gender yang menghadapi?"
"Hem, kau boleh berkata apa. Tapi aku tak
takut padamu!"
"Oh, begitu? Kau tak akan takut bila aku
buka siapa adanya aku sesungguhnya? Maaf, aku
bukan ingin pamer, tapi aku hanya ingin sekedar
menyadarkan kalian untuk kembali ke jalan yang
lurus. Mumpung masih ada umur!"
"Benar katamu, Ki Sanak Datuk Putih!"
Semua mata seketika membelalak, mana-
kala terdengar seruan seseorang yang berbaren-
gan dengan berkelebatnya sesosok tubuh pemuda
dan tahu-tahu telah berdiri sejajar dengan Datuk
Putih. Tak alang kepalang, seketika semua yang
ada di situ membersit kaget.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" Jaka
sepertinya acuhkan kekagetan mereka, ia ber-
tanya pada Datuk Putih yang berdiri di samping-
nya. "Datuk Putih, menurutmu bagaimana den-
gan Raja Kerajaan Gading Kuning?"
Datuk Putih atau Sanggara sejenak mena-
rik napas panjang, sepertinya hendak membuang
segala beban di hatinya yang terlalu berat. Beban
berat itu, tak lain dari pada orang yang menjadi-
kan biang keladi keributan ini semua. Orang itu
adalah kakak seperguruannya sendiri, yang mau
tidak mau harus dia hadapi.
"Beliau telah mati di tangan Datuk Gagak
Hitam." jawabnya pelan seakan tak ada semangat.
"Sayang, dia adalah kakak seperguruanku sendi-
ri," Datuk Putih bergumam lirih, hanya terdengar
oleh Jaka saja yang seketika kerutkan ke-ning.
"Jadi...?" Jaka tak dapat berkata panjang.
"Ya, aku adalah adik seperguruannya. Itu-
lah makanya aku tak dapat berbuat apa-apa," ke-
luh Datuk Putih seperti putus asa.
Jaka hanya mampu menghela panjang-
panjang, ia juga turut merasakan kepedihan yang
dirasakan oleh Datuk Putih. Bagaimanapun juga,
Datuk Putih sukar untuk berbuat. Seperti halnya
makan buah Simalakama. Dimakan ayah mati,
tidak dimakan ibu pun mati. Datuk Putih pun
mengalami hal begitu rupa. Ditumpas kakak sen-
diri, tidak ditumpas akan membuat petaka terus
menerus.
"Aku jadi bingung, Tuan Pendekar."
"Aku memaklumi apa yang engkau pikir-
kan. Aku juga akan berbuat seperti itu bila aku
menjadi dirimu."
Kedua pendekar ternama itu hanya terpe-
kur diam, susah untuk memikirkan tindakan apa
yang harus mereka lakukan. Tengah keduanya
terdiam, tiba-tiba para Datuk yang merasa dirinya
sudah terpepet tanpa disadari oleh Jaka dan Da-
tuk Putih menyerang mereka.
Tersentak keduanya sembari melompat
mundur, menjadikan para penyerangnya makin
tambah beringas saja. Dengan bergabungnya para
Datuk itu menyerang, sudah menjadikan sebuah
kekuatan yang sukar untuk dibendung. Namun
bukanlah Jaka Ndableg bila harus mengalah begi-
tu saja. Maka dengan memaki-maki sejadi-jadinya
Jaka terus berusaha mengelitkan serangan.
"Dasar orang-orang mencari mampus!"
bentak Jaka marah.
"Kalian berdualah yang mencari mampus!"
Sangkala Putung yang mengira ilmu Jaka dan
Malaikat Datuk Putih berada di bawahnya membentak, lalu dengan segenap ilmu yang ia miliki
menyerang membabi buta.
"Wadauw... rupanya mereka ingin hadiah
dari kita, Saudara Datuk Putih. Lihat... mereka
tak ubahnya kegembiraan menari-nari demi men-
dengar aku hendak memberi hadiah pada mere-
ka."
Setelah berkata begitu, serta merta Jaka
berkelebat bagaikan seekor burung walet me-
nyambar. Tangannya dikepakkan bagaikan ter-
bang.
Datuk Putih yang melihat tingkah laku Ja-
ka, seketika terkesiap kaget. Bagaimana mungkin
orang bertarung seperti orang yang main-main.
Datuk Putih begitu mengawatirkan keadaan Jaka.
Dan ia hendak bermaksud menolongnya manaka-
la terdengar Jaka berseru.
"Lihat sahabat! Mereka akan aku beri kue
apem. Hiat...!"
Tangan Jaka Ndableg yang tadi memben-
tang, tiba-tiba menutup dengan salah satu tan-
gannya mengepalkan tinju. Lalu dengan menukik
Jaka hantamkan bogem mentahnya ke arah orang
yang berada di depannya, yang seketika itu ber-
maksud mengelak. Namun ternyata hantaman
yang dilontarkan Jaka hanyalah tipuan. Ketika
orang itu mengelak dan menangkis tangannya,
segera Jaka tarik tangannya dan ganti ayunkan
kedua kakinya bagaikan orang main ayunan.
"Bug...!"
Tendangan kedua kaki Jaka yang disatu-
kan telah mengenai dada musuh. Seketika orang
tersebut menjerit, mengerang sesaat dan akhirnya
ambruk dengan dada bolong melelehkan darah.
Tulang iganya remuk berantakan.
Sebaliknya Datuk Putih, nampak mengha-
dapi serangan-serangan para Datuk dengan kea-
daan tenang. Setiap hantaman tangannya seketi-
ka mengeluarkan angin pukulan yang sungguh
dahsyat. Tapi nampaknya para Datuk hitam itu
bukanlah musuh-musuh kelas kroco yang sekali
gebrak lari terbirit-birit. Mereka adalah Datuk-
datuk kaum persilatan golongan sesat.
"Bedebah! Kalian berdua akan kami cin-
cang!"
"Hua, ha, ha,... Datuk Tangan Api, apa aku
tak salah dengar bahwa aku hendak memberikan
kami daging cincang? Ouh, sungguh kau adalah
seorang sahabat yang mengerti situasi. Memang
aku tengah lapar saat ini. Mana Daging Cincang
itu..."
Marahlah Datuk Tangan Api mendengar
ucapan Jaka yang seperti orang konyol. "Setan!"
"Eh, kenapa kau menyebutkan dirimu sen-
diri, Datuk?" tanya Jaka makin konyol, menjadi-
kan Datuk Tangan Berapi tak alang kepalanglah
kemarahannya. "Wah jangan terlalu emosi, cepat
tua. Hua, ha, ha!"
Jaka segera kelitkan tubuh manakala tan-
gan Datuk Berapi itu menyerang ke arahnya. Ha-
wa panas yang keluar dari nyala api di tangan Da-
tuk Tangan Berapi memang panas tiada kira.
Namun bagi Jaka, yang kondang namanya tidak
menjadikan masalah. Segera Jaka salurkan Hawa
Murni ke sekujur tubuhnya.
"Datuk, kau janganlah suka bermain api.
Aku takut kau nanti akan terbakar sendiri," Jaka
berbicara seperti seorang yang menasehati. "Api di
tanganmu sungguh bahaya, Datuk."
Diam-diam Jaka salurkan segenap kekua-
tannya ke tangan. "Akan aku lawan api tersebut
dengan Bayu Dewa," gumam Jaka dalam hati.
Dan secara tak diketahui oleh Datuk Tangan Api,
Jaka salurkan ajian Bayu Dewa. Seketika angin
puting beliung berserabutan ke luar dari telapak
tangan Jaka, menjadikan api di tangan Datuk
Tangan Berapi berhamburan balik menyerang
tuannya. Tak ayal lagi, Datuk Tangan Berapi se-
ketika menjerit-jerit. Tubuhnya seketika itu ter-
bakar oleh apinya sendiri. Sang Datuk segera ber-
lari, berusaha untuk sedapatnya memadamkan
api yang membara di tubuhnya.
Jaka tertawa bergelak-gelak demi melihat
musuhnya pontang panting dengan api melekat di
tubuhnya. Tengah ia tertawa bergelak-gelak, tiba-
tiba sebuah senjata berkelebat hendak me-
nyerangnya.
"Wadaou... hampir aku kena!"
Jaka segera lemparkan tubuh bersalto,
namun ternyata di belakangnya telah menyambu-
ti sebatang tombak yang digenggam oleh musuh
mengarah ke tubuhnya.
"Ah...." Jaka sesaat mengeluh. "Mati
aku...."
Akalnya seketika kembali konyol. Dan ma-
nakala kedua musuhnya menyerang seketika Ja
ka lentingkan tubuh ke angkasa. Maka dengan
seketika kedua musuhnya saling tusuk dengan
senjatanya masing-masing.
Di pihak lain Datuk Putih pun tak mau be-
gitu saja mengalah oleh keroyokan para Datuk
yang sepertinya tak mengenal rasa takut. Datuk
Putih sebenarnya enggan untuk menurunkan
tangan jahatnya, namun keadaan mendesaklah
hingga ia terpaksa menurunkannya.
"Sebenarnya aku enggan menurunkan tan-
gan jahatku, tapi rupanya kalian memaksaku.
Baiklah, aku akan melayani kalian dengan sege-
nap kemampuan yang aku miliki."
"Jangan banyak bacot, Datuk Putih!" ben-
tak Sangkala Putung.
"Kau masih sombong, Sangkala Putung.
Kau rupanya memang manusia yang sudah ber-
sekutu dengan Iblis!"
Sangkala Putung tertawa bergelak-gelak
sepertinya merasa bangga dapat dikatakan seku-
tu Iblis. Maka dengan gelak tawa yang masih ia
lakukan, Sangkala Putung segera berkelebat me-
nyerang kembali.
Pertarungan dan dikeroyok oleh puluhan
Datuk-datuk persilatan golongan sesat ini terus
berjalan. Mereka nampaknya tak akan segera
menghentikan pertarungan tersebut. Mereka ru-
panya ingin mengungguli satu sama lainnya.
* * *
Tengah pertarungan itu berjalan dengan
seru, tiba-tiba dari arah Selatan berkelebat seso-
sok bayangan serba hitam menuju ke arah di ma-
na pertarungan itu terjadi.
Bayangan itu yang ternyata milik seorang
lelaki tinggi besar dengan muka menyeramkan
serta cambang bawuk tebal, melangkahkan ka-
kinya menghampiri mereka yang bertarung.
Mereka yang bertarung seperti tak hirau-
kan kedatangan orang tersebut. Makin lama,
orang tersebut makin mendekat. Matanya menyo-
rot tajam menghunjam ke arah para Datuk, juga
tak luput memandang pada Jaka dan Datuk Pu-
tih. Tiba-tiba orang itu membentak, "Berhenti ka-
lian semuanya!"
Semua yang ada di situ seketika terjengah
dan hentikan pertarungan. Namun belum sempat
para Datuk itu mengerti, tiba- tiba orang tersebut
hantamkan pukulannya. Tanpa ayal lagi, semua
yang ada di situ tersentak kaget termasuk Jaka
dan Datuk Putih yang segera melompat menghin-
dar. Orang tersebut tak mau ambil perduli, ia te-
rus saja melancarkan serangannya membabi buta
ke arah orang-orang yang ada di situ. Datuk Putih
sungguh-sungguh terkejut, manakala tahu siapa
adanya orang tersebut. Serta merta Datuk Putih
berseru menyebut nama orang mengamuk. "Ka-
kang Renggana, Hentikan!"
Seruan Datuk Putih terlambat, sebab para
Datuk lainnya telah binasa tersapu dengan ajian
yang dilontarkan Renggana. Renggana hentikan
serangan, terpaku memandang pada orang yang
berseru. Serta merta ia menjerit, menyebut nama
seseorang yang dianggapnya telah hilang dari du-
nia atau mati.
"Adikku Sanggara, Kau...!"
"Benar aku, Kakang. Aku adikmu... adik
seperguruanmu."
Mata Renggana seketika memandang ta-
jam, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tiba-
tiba Renggana berteriak-teriak bagaikan orang gi-
la lalu berlari meninggalkan kedua pendekar yang
terbengong mematung di tempat.
Nah, bagaimana dengan Renggana? Apa-
kah ia akan hilang dari pengaruh iblis? Bagaima-
na pula nantinya Jaka Ndableg dan Datuk Putih
atau Sanggara? Untuk lebih jelasnya, ikuti saja
kisah berikutnya pada judul: Munculnya Ratu Si-
luman Darah. Maka dengan ini, aku cukupkan
kisah Pertarungan Dua Datuk, sampai jumpa.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar