..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE MISTERI PENGUASA GUNUNG LANANG

Misteri Penguasa Gunung Lanang


MISTERI PENGUASA GUNUNG LANANG

Oleh Sandro S

.

Cetakan pertama,1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:

Misteri Penguasa Gunung Lanang

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Kabupaten Kencana Wungu....

Kabupaten Kencana Wungu dipimpin oleh seo-

rang Bupati yang terkenal dengan sifatnya, yang dingin 

dalam menindak segala kejahatan. Ia begitu arif dan 

bijaksana, mementingkan apa yang menjadi kepentin-

gan rakyatnya daripada kepentingan sendiri.

Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten Ken-

cana Wungu nampak tentram dan tenang. Apalagi se-

jak diangkatnya adik seperguruannya dari Gelagah Pu-

tih memegang tanggung jawab kepala prajurit, makin 

tentram dan amanlah Kabupaten Kencana Wungu. 

Kakak beradik seperguruan itu begitu sakti, 

sehingga ditakuti oleh seluruh rakyatnya juga musuh-

musuh dan para gerombolan. Tak segan-segan, kedua 

kakak beradik seperguruan pemegang tampuk kekua-

saan itu turun tangan sendiri menumpasnya. Kete-

nangan Kabupaten Kencana Wungu yang berjalan di 

atas roda kepemimpinan dua saudara seperguruan itu, 

tiba-tiba digegerkan oleh desas-desus mengenai seo-

rang Datuk sesat yang membuka praktek perdukunan 

beraliran hitam.

Entah dari mana datangnya sang Datuk, tiba-

tiba saja telah membuka praktek perdukunan. Mu-

lanya rakyat mengakui bahwa sang Datuk memang be-

rilmu tinggi, mampu menyembuhkan segala penyakit 

dan bala. Mulanya juga tingkah sang Datuk tidak ma-

cam-macam, sehingga rakyat tak menyorotnya.

Ya, itulah manusia. Kalau belum tahu akan ke-

benarannya, ia tak akan ambil perduli. Begitu juga ra-

kyat Kabupaten Kencana Wungu, mereka baru gelisah, 

manakala sang Datuk makin lama makin menggila


permintaannya.

Kalau saja permintaan itu berupa harta benda, 

hal itu tidak menjadikan masalah. Namun permintaan 

sang Datuk, sungguh-sungguh merupakan permintaan 

gila...

Permintaan sang Datuk, tak lain adalah... Da-

rah Perawan setiap malam bulan purnama tiba. Hal itu 

menjadikan ketakutan para gadis, juga kaum lelaki 

yang merasa mempunyai pacar. Mereka takut kalau-

kalau pacarnya akan menjadi korban. Ya. Korban kegi-

laan sang Datuk sesat.

Mungkin karena terlalu takut dan terteror, sa-

lah seorang pemuda melaporkan hal ketakutan warga 

desanya pada Kabupaten. Dengan harapan, pihak Ka-

bupaten akan segera memberantas dan menutup prak-

tek sang Datuk yang bernama Datuk Luluhung Begeg. 

Bupati mulanya agak kaget mendengar laporan war-

ganya, yang menyatakan bahwa di daerahnya telah da-

tang seorang Datuk beraliran sesat dan membikin ke-

resahan dengan meminta korban darah perawan...

Pihak Bupati yang tak ingin keresahan rakyat-

nya menjadi berlarut-larut, saat itu juga mengirim se-

puluh orang prajurit yang dipimpin oleh prajurit utama 

Prakoso Surya untuk memanggil sang Datuk sekaligus 

menyuruh pada sang Datuk untuk tidak meneruskan 

semua kegiatannya. Hari itu juga ke-sepuluh prajurit 

utama Bupati langsung menuju ke rumah Datuk Lu-

luhung Begeg.

"Sampurasun, apakah sang Datuk Luluhung 

Begeg ada...?"

"Siapa yang ada di luar?" terdengar suara seo-

rang lelaki tua balik bertanya, manakala Prakoso 

Suryo mengucapkan salam.

"Saya Prakoso Suryo dari Kabupaten," menja


wab Prakoso yang dengan segera turun dari kudanya. 

"Apakah sang Datuk berkenan menerima diri saya?" 

tanyanya setelah melangkah mendekat ke pintu ru-

mah.

"Ehm, ehm, ehm..." terdengar deheman tiga kali 

berturut-turut, lalu setelah lama terdiam terdengar su-

ara sang Datuk berkata. "Masuk...."

Prakoso Suryo segera membuka pintu perlahan. 

Namun pintu yang nampaknya telah tua itu berkerit 

juga, mengeluarkan bunyi menyayat.

Datuk Luluhung Begeg tersenyum manakala 

melihat Prakoso Suryo. Senyum itu, adalah senyum 

yang diliputi oleh segala macam misteri hingga Prakoso 

yang memandangnya seketika mengernyitkan kening. 

Setelah sejurus terdiam dengan senyum penuh misteri, 

Datuk Luluhung Begeg bertanya:

"Ada gerangan apa hingga pihak Kabupaten 

menyuruhmu datang menemuiku?"

"Maaf sebelumnya, Datuk. Pihak Kabupaten 

mengutusku untuk menyampaikan sesuatu padamu," 

menjawab Prakoso Suryo, menjadikan sang Datuk me-

nyipitkan matanya.

"Tentang apakah?"

Prakoso Suryo tak segera langsung menjawab. 

Matanya yang tajam seketika menyudut, memandang 

sekeliling ruangan itu. Di situ ada tiga kamar, yang 

masing-masing tertutup oleh kain dan pintu bilik. Ka-

mar pertama yang dilihat Prakoso Suryo tak ada kea-

nehan, sepertinya kamar itu kamar sang Datuk. Kamar 

kedua, juga tidak ada keanehan. Namun ketika me-

mandang pada kamar ketiga, seketika mata Prakoso 

Suryo membeliak. Di pintu kamar itu mengalir darah 

merah.

"Darah siapakah, itu?" berkata Prakoso Suryo


dalam hati.

Mata Prakoso Suryo lekat memandang rembe-

san darah yang sedikit demi sedikit mengering terkena 

udara. Melihat hal itu, cepat-cepat sang Datuk yang 

mengetahui apa gerangan yang menjadi perhatian ke-

tua prajurit Kabupaten itu segera berkata.

"Maaf, tadi itu adalah darah seekor kambing 

yang baru saja saya potong. Tadinya saya mengira 

yang datang bukan tuan-tuan sekalian hingga dengan 

gugup saya yang menyangka kalau yang datang orang 

jahat, tak sadar telah menumpahkan darah itu ketika 

saya hendak membawanya ke dapur."

"Ah...." melenguh Prakoso Suryo demi menden-

gar penuturan Datuk Luluhung Begeg. Namun sebagai 

orang yang pernah menimba ilmu, sekaligus sebagai 

prajurit Prakoso Suryo kembangkan senyum seper-

tinya mengiyakan ucapan Datuk Luluhung Begeg. 

"Ooh... kalau begitu kedatanganku ke mari telah 

mengganggumu, Datuk?"

"Ah, tak mengapa," menjawab Datuk Luluhung 

Begeg dengan senyum mengulas bibir, sepertinya te-

nang demi mendengar jawab Prakoso Suryo. "Bahkan 

aku merasa senang dengan kedatangan tuan ke gubug 

saya ini."

Mata Prakoso Suryo masih lekat menyudut 

memandang pada darah yang makin lama makin men-

galir deras dan mengering.

"Hem, aku kira itu bukan darah binatang. 

Baunya sangat menusuk hidung, amis, jelas itu darah 

manusia," bergumam Prakoso Suryo dalam hati. Tanpa 

diduga sebelumnya oleh Datuk Luluhung Begeg, tiba-

tiba Prakoso Suryo berseru pada para prajuritnya. "Ge-

ledah rumah ini. Cepat...!"

Dengan segera kesepuluh prajurit Kabupaten


itu berkelebat masuk dan menggeledah setiap kamar. 

Mereka seketika berseru, mana kala mereka membuka 

kamar yang ketiga. "Korban...!"

Datuk Luluhung Begeg seketika itu bermaksud 

melarikan diri, manakala dengan segera Prakoso Suryo 

berkelebat menghadangnya. Sang Datuk tersentak 

mundur, memandang dengan mata tajam seperti me-

naruh kebencian.

"Mau lari ke mana, Datuk Iblis!" membentak 

Prakoso Suryo.

Mata Prakoso Suryo nampak melotot marah, 

memandang pandangan sang Datuk. Napas sang Da-

tuk nampak memburu, sehingga terdengar lenguhan-

nya yang besar.

"Jangan harap kalian akan mudah menang-

kapku, Prajurit!" membentak Datuk Luluhung Begeg. 

"Kalian boleh berbuat sesuka kalian, namun kalian tak 

akan mampu untuk memaksaku."

"Hem, begitu? Baiklah, aku sendiri yang akan 

melakukannya. Bersiaplan, Datuk Iblis!" menggeram 

Prakoso Suryo. Bersamaan dengan itu, tubuh Prakoso 

Suryo berkelebat merangsek Datuk Luluhung Begeg. 

Mendapat serangan begitu cepatnya, segera Datuk Lu-

luhung Begeg tanpa sungkan-sungkan memapaki. Per-

tarungan pun tak dapat dihindarkan. Antara Prakoso 

Suryo yang hendak menangkap sang Datuk, melawan 

Datuk Luluhung Begeg yang tak mau ditangkap begitu 

saja.

Pertarungan itu begitu seru, masing-masing 

dengan segala kepandaiannya berusaha menjatuhkan 

lawan. Prakoso Suryo yang telah menjabat selaku ke-

tua prajurit Kabupaten, bukanlah orang sembarangan. 

Walau ia masih muda usia, namun tingkat ilmunya 

dapat disejajarkan dengan para tokoh persilatan. Apa


lagi dia merupakan murid dari Kyai Glagah Putih, seo-

rang Kyai yang sangat kondang namanya. Pantaslah 

kalau sejak ketua prajurit dipegang oleh Prakoso 

Suryo. Kadipaten tampak agak tenang dan tentram. 

Kini Prakoso Suryo menghadapi seorang yang telah 

membuat rakyat Kabupaten resah, yaitu seorang Da-

tuk berilmu hitam yang sakti.

Sekuat apa pun Prakoso Suryo, namun meng-

hadapi Datuk Luluhung Begeg yang telah sekian lama 

malang melintang di dunia persilatan sangatlah tak be-

rarti apa-apa. Setiap serangan yang dilancarkan oleh 

Prakoso Suryo, tak menjadikan hasil. Bahkan sering 

kali dia sendiri yang terkena sambaran tangan dan ka-

ki si Datuk yang keras dan cepat.

Tubuh Prakoso Suryo terpental, manakala un-

tuk yang kedua kalinya kaki sang Datuk menghantam 

telak di lambungnya. Wajah Prakoso Suryo memucat, 

mulutnya meringis menahan sakit. Nafasnya menden-

gus dengan mata melotot, tak percaya pada apa yang 

telah terjadi. Dirinya yang merupakan murid paling 

tertua dari perguruan Glagah Putih, ternyata dengan 

mudah dapat dibuat kalang kabut oleh Datuk Lulu-

hung Begeg. Namun selaku pendekar yang perguruan-

nya telah ternama, Prakoso Suryo tak mau begitu saja 

menerima kekalahan, bahkan dengan meningkatkan 

serangan ia kembali mencoba merangsek Datuk Lulu-

hung Begeg

"Rupanya kau tak mau segera membuka mata, 

Anak muda!"

"Persetan dengan ucapanmu, Datuk Iblis. Hari 

ini juga, aku hendak mengadu nyawa denganmu," 

menjawab Prakoso Suryo kesal, merasa sang Datuk 

meremehkannya. "Prajurit, serang...!"

Para prajurit yang tadinya terdiam menonton,


seketika itu pula berkelebat menyerang Datuk Lulu-

hung Begeg. Sang Datuk segera kibaskan tangannya. 

Dari kibasan tangan sang Datuk keluar angin besar, 

menangkis serangan tombak dan pedang para prajurit. 

Tersentak seketika para prajurit kaget, mendapatkan 

senjata mereka tiba-tiba mental lepas dari tangan.

"Hua, ha, ha... Percuma saja kalian menge-

royokku. Panggil saja Bupatimu agar aku dengan sege-

ra mengelupas kulit batok kepalanya yang gundul." 

bergelak-gelak sang Datuk mengejek, menjadikan ke-

sepuluh prajurit dan Prakoso Suryo menggeram ma-

rah. Dengan didahului geraman panjang, prajurit-

prajurit Kabupaten bersama pimpinannya kembali me-

rangsek.

"Rupanya kalian memang bandel. Baiklah, aku 

akan memberikan pada kalian hadiah. Tunjukkan ha-

diah dariku pada Kanjeng Bupati."

Habis berkata begitu, Datuk Luluhung Begeg 

segera bergerak memapaki serangan kesepuluh praju-

rit Kabupaten. Tangannya bergerak cepat. Dan...! Tan-

pa dapat dielakkan oleh para prajurit, tangan Datuk 

Luluhung Begeg yang bergerak cepat itu menjambak 

kepala salah seorang prajurit. Seketika puntunglah te-

linga prajurit yang tersambar, berbareng dengan pe-

kikkannya yang menyayat menahan sakit yang bukan 

alang kepalang. Darah dari telinga yang puntung, seke-

tika menyembur.

Tak dapat dibayangkan betapa gusar dan ma-

rahnya Prakoso Suryo demi melihat prajuritnya yang 

telinganya puntung. Maka dengan didahului bentakan, 

Prakoso Suryo kembali menyerang.

Tertawalah bergelak-gelak Datuk Luluhung Be-

geg, melihat keberanian Prakoso Suryo. Baru sekali ini 

ada anak muda yang berani menghadapinya, padahal


sudah sepuluh tahun kemunculannya di dunia persila-

tan tak seorang pun yang berani menentangnya apala-

gi melawan. Tapi kini, murid Gelagah Putih telah bera-

ni menghadapinya.

"Merad kau! Jangankan dirimu, gurumu juga 

tak akan mampu menghadapi aku, Anak muda!" mem-

bentak Datuk Luluhung Begeg sembari kibaskan tan-

gannya. Dari tiupan lengan baju yang berupa jubah, 

membersit keluar angin menderu. Angin itu, disertai 

dengan bau yang sangat menyesakkan pernapasan.

"Ah...." melenguh Prakoso Suryo, manakala me-

rasakan adanya kelainan dalam pernafasannya. Na-

fasnya begitu berat, tersengal sesak. "Bahaya! Sungguh 

bahaya kalau begini," mengeluh hati Prakoso Suryo 

sembari melompat mundur.

"Sudah aku katakan, kau belum apa-apa 

menghadapiku. Gurumu saja, mungkin tak akan bera-

ni kurang ajar padaku."

"Jangan sombong, Datuk Iblis! Aku Prakoso 

Suryo, tak akan gentar padamu. Ayo kita lanjutkan," 

menggeretak marah Prakoso Suryo, menjadikan sang 

Datuk tertawa bergelak-gelak.

"Anak bandel! Rupanya kau harus diajar adat!" 

bentak sang Datuk. "Baiklah, aku layani apa yang 

menjadi maumu. Ayo kita lanjutkan."

"Hem.... Aji Seriti Wangi. Hiat...!" dengan ajian 

Seriti Wangi, yaitu ajian penangkal yang ditujukan un-

tuk menangkal ajian yang dikeluarkan oleh Datuk Lu-

luhung Begeg, Prakoso Suryo kembali menyerang.

Datuk Luluhung Begeg yang telah tahu apa 

yang digunakan oleh anak muda murid Glagah Putih, 

tersentak melompat mundur. Bibirnya yang terse-

nyum, seketika mengkerut.

"Hem, ternyata anak muda itu telah mengeta



hui kalau aku menggunakan ajian Serbuk Mayat," 

membatin Datuk Luluhung Begeg.

"Tak aku sangka, kalau Kyai Basofi telah mam-

pu menciptakan ajian tandingan. Aku harus hati-hati."

"Kenapa kau terdiam, Datuk Iblis! Rupanya kau 

kaget kalau aku telah tahu ilmu macam apa yang kau 

gunakan," berkata Prakoso Suryo dengan sinis, menja-

dikan sang Datuk memberengut sengit.

"Jangan bangga dulu, Anak muda. Kalau gu-

rumu si Basofi telah mampu memecahkan ajianku 

Serbuk Mayat, namun ia belum tahu kalau aku mem-

punyai, ini...."

Terbelalak mata Prakoso Suryo, manakala me-

lihat apa yang terjadi di depan matanya. Tangan Datuk 

Luluhung Begeg, seketika berwarna biru memancar.

"Ilmu iblis!" memekik Prakoso Suryo kaget.

"Aku peringatkan padamu, kembalilah dan 

panggil gurumu si Basofi ke mari."

"Sombong kau, Datuk Iblis. Jangan kira aku 

takut menghadapi dirimu. Hiat...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Prakoso 

Suryo segera berkelebat menyerang.

Melihat Prakoso Suryo menyerang, maka den-

gan segera sang Datuk pun tak ambil diam. Dengan 

ajian Lumas Nyawa tingkat ketiga sang Datuk mema-

pakinya.

"Hati-hati, Anak muda. Lengah sedikit saja, me-

layanglah nyawamu. Hiat...."

Larikan sinar biru seketika berkelebat menye-

rang Prakoso Suryo, yang dengan segera lemparkan 

tubuh ke samping. Larikan sinar itu melesat beberapa 

mili di sampingnya. Hal itu menjadikan baju yang di-

kenakannya seketika terbakar, dan kulit tubuhnya te-

rasa perih. Mata Prakoso Suryo melotot, kaget bercam


pur tak percaya. Kini Prakoso Suryo menyadari siapa 

adanya sang Datuk, yang ternyata berilmu jauh di 

atasnya. Namun begitu, nyalinya sebagai seorang pra-

jurit tak menjadikan dirinya takut. Maka dengan lan-

tang Prakoso Suryo membentak, langsung menyerang.

"Jangan bangga dulu, Datuk Iblis! Terimalah 

ini. Hiat...!"

"Rewel kau, Anak muda. Keluarkan segala ilmu 

yang engkau miliki, aku Datuk Luluhung Begeg tak 

akan mundur."

Prakoso Suryo yang telah dikuasi oleh amarah, 

dengan segera hantamkan ajian Glagah Wulung ke tu-

buh Datuk Luluhung Begeg. Datuk Luluhung Begeg 

bagaikan tak mengerti, diam di tempatnya hingga keti-

ka ajian yang dilontarkan Prakoso Suryo menghantam 

tubuhnya sang Datuk tak dapat mengelakkannya. Pra-

koso Suryo terbelalak, melompat mundur dengan dis-

ertai pekikan tertahan. "Aah...."

Tubuh Datuk Luluhung Begeg yang terhantam 

ajian Glagah Wulung tampak masih tegak berdiri, tak 

ada luka apalagi remuk tulang-tulangnya. Senyumnya 

mengembang sinis, melangkah berjalan menghampiri 

Prakoso Suryo.

"Sudah aku katakan padamu, bahwa kau tak 

akan mampu menghadapiku. Minggatlah kau dari sini, 

aku telah muak melihat tampang-tampang kalian!"

Bersamaan dengan membentak, tangan Datuk 

Luluhung Begeg bergerak cepat. Tangan itu bagaikan 

karet, memegang dan mengangkat tubuh Prakoso 

Suryo lalu dilemparkannya keluar rumah. Tubuh Pra-

koso Suryo, mencelat melalui jendela keluar.

Terjengah Prakoso Suryo dengan tulang tubuh 

terasa sakit semua. Ketika ia masih terjengah diam, 

terdengar kembali suara sang Datuk berkata nadanya


mengusir.

"Cepat kalian pergi sebelum kesabaranku ha-

bis! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku berbuat 

pada kalian begini...!"

Sang Datuk hantamkan sebuah pukulan jarak 

jauh pada bebatuan di belakang Prakoso Suryo yang 

tergeletak. Seketika itu, batu-batuan berhamburan 

menjadi debu hancur....

Tanpa pikir panjang, kesepuluh prajurit segera 

menggotong tubuh pimpinannya pergi dari situ. Sang 

Datuk tersenyum sinis mengikuti kepergian kesepuluh 

prajurit Kabupaten, lalu dengan segera sang Datuk 

kembali masuk ke dalam rumah.

***

DUA



Marah dan gusar Bupati Kencana Wungu, 

mendapatkan kenyataan adik seperguruannya sekali-

gus pimpinan prajurit di Kabupaten yang ia pimpin lu-

ka dalam. Sebenarnya bukan karena faktor itu sang 

Bupati gusar, tetapi karena ia merasa malu pada ra-

kyatnya yang mengharapkan penyelesaian atas teror 

Datuk Luluhung Begeg. Namun ternyata adiknya tak 

mampu, malah hampir saja nyawanya terenggut kalau 

saja sang Datuk tak ada rasa sesuatu pada perguruan 

Glagah Putih.

"Siapakah sebenarnya Datuk Luluhung Begeg?" 

tanya Kencana Wungu pada dirinya. "Kenapa ia begitu 

masih menaruh hormat pada perguruan Glagah Putih, 

yaitu perguruanku?"

Kencana Wungu masih tercenung diam, memikirkan semua yang seperti teka-teki. Apa sebenarnya

yang dikehendaki oleh Datuk Luluhung Begeg? Dan

mengapa ia begitu saja membiarkan adik sepergu-

ruannya hidup-hidup? Itulah pertanyaan-pertanyaan 

yang sedang memenuhi pikirannya. Pikiran seorang 

Bupati, yang bertanggung jawab atas ketentraman ra-

kyatnya. Sepihak itu pula, ia begitu tak mengerti den-

gan kenyataan sang Datuk Luluhung Begeg. Kedatan-

gannya sangat tiba-tiba, tahu-tahu telah menetap da-

lam wilayah kekuasaannya.

"Akan aku tanyakan semua keanehan ini pada 

guru," kata hati Kencana Wungu.

Dengan agak lesu karena pikirannya dihanyuti 

berbagai macam masalah, Bupati Kencana Wungu me-

langkah menuju ke tempat di mana adik seperguruan-

nya tergeletak sakit. Ya, Prakoso Suryo rupanya men-

galami luka dalam yang tidak dapat dianggap enteng. 

Terbukti tidak biasanya Prakoso Suryo terbaring den-

gan lesu. Biasanya Prakoso Suryo yang terkenal den-

gan keberanian dan kenakalannya manakala di pergu-

ruan tak akan mau bertele-tele, atau mengeluh sakit. 

Namun kini, sepertinya ia benar-benar tak mampu lagi 

untuk melakukan apa pun.

"Kakang, aku meminta maaf karena aku tak 

mampu memenuhi segala permintaan rakyat. Aku ka-

lah, Kakang," mengeluh Prakoso Suryo, menjadikan 

Kencana Wungu trenyuh hatinya. Jarang seorang per-

wira prajurit mau memikirkan satu persatu rakyatnya, 

namun adiknya betapa besar perhatiannya pada ra-

kyat. Di wajah Prakoso Suryo, jelas tergambar rasa 

sesal. Hal itu menjadikan Kencana Wungu makin iba, 

lalu dengan perlahan digenggamnya tangan adik se-

perguruannya. Dan dengan lembut, dibisikkannya ka-

ta-kata sebagai penghibur di telinga Prakoso Suryo.


kirkan semua yang seperti teka-teki. Apa sebenarnya

yang dikehendaki oleh Datuk Luluhung Begeg? Dan

mengapa ia begitu saja membiarkan adik sepergu-

ruannya hidup-hidup? Itulah pertanyaan-pertanyaan 

yang sedang memenuhi pikirannya. Pikiran seorang 

Bupati, yang bertanggung jawab atas ketentraman ra-

kyatnya. Sepihak itu pula, ia begitu tak mengerti den-

gan kenyataan sang Datuk Luluhung Begeg. Kedatan-

gannya sangat tiba-tiba, tahu-tahu telah menetap da-

lam wilayah kekuasaannya.

"Akan aku tanyakan semua keanehan ini pada 

guru," kata hati Kencana Wungu.

Dengan agak lesu karena pikirannya dihanyuti 

berbagai macam masalah, Bupati Kencana Wungu me-

langkah menuju ke tempat di mana adik seperguruan-

nya tergeletak sakit. Ya, Prakoso Suryo rupanya men-

galami luka dalam yang tidak dapat dianggap enteng. 

Terbukti tidak biasanya Prakoso Suryo terbaring den-

gan lesu. Biasanya Prakoso Suryo yang terkenal den-

gan keberanian dan kenakalannya manakala di pergu-

ruan tak akan mau bertele-tele, atau mengeluh sakit. 

Namun kini, sepertinya ia benar-benar tak mampu lagi 

untuk melakukan apa pun.

"Kakang, aku meminta maaf karena aku tak 

mampu memenuhi segala permintaan rakyat. Aku ka-

lah, Kakang," mengeluh Prakoso Suryo, menjadikan 

Kencana Wungu trenyuh hatinya. Jarang seorang per-

wira prajurit mau memikirkan satu persatu rakyatnya, 

namun adiknya betapa besar perhatiannya pada ra-

kyat. Di wajah Prakoso Suryo, jelas tergambar rasa 

sesal. Hal itu menjadikan Kencana Wungu makin iba, 

lalu dengan perlahan digenggamnya tangan adik se-

perguruannya. Dan dengan lembut, dibisikkannya ka-

ta-kata sebagai penghibur di telinga Prakoso Suryo.


"Sudahlah, Dinda, tak usah kau pikirkan. Aku 

rasa, Datuk Luluhung Begeg bukan memang bukan 

tandingan kita."

"Kita tak boleh putus asa, Kakang." "Aku tak 

berkata begitu, Dinda." menjawab Kencana Wungu 

sembari gelengkan kepala. "Tapi nampaknya memang 

dia bukan tandingan kita."

"Ah...." melenguh Prakoso Suryo demi menden-

gar ucapan kakak seperguruannya, sehingga Kencana 

Wungu pun seketika itu menatap tajam padanya. 

"Apakah kakang mau mengingkari ikrar perguruan?"

"Ooh, jangan kau salah sangka, Dinda." 

"Tapi mengapa kakang sepertinya takut meng-

hadapinya? Aku lebih baik mati daripada harus mem-

biarkannya hidup-hidup dan menteror rakyat," berkata 

Prakoso Suryo dengan menggebu. "Sayang, aku tengah 

terluka."

"Itulah maksud kakang sebenarnya, Dinda. 

Bukannya kakang takut, namun percuma usaha kita 

bila hanya menghadapi kekalahan serta kenyataan pa-

hit. Kita telah tahu ilmunya yang tak sebanding den-

gan ilmu yang kita miliki, kenapa kita mesti nekad? 

Orang nekad itu tidak baik, bahkan dibenci oleh Yang 

Maha Kuasa. Masihkah kau ingat petuah guru, mana-

kala kita habis sholat Subuh?"

Terdiam Prakoso Suryo mendengar pertanyaan 

kakak seperguruannya, yang mengingatkan kembali 

dirinya pada sang guru di perguruan Glagah Putih. 

Mata Prakoso Suryo berkaca-kaca hampir menangis, 

memandang pada kakak seperguruannya seraya men-

gangguk mengiyakan.

"Coba kau katakan, Dinda?"

Dengan terlebih dahulu menarik napas panjang 

Prakoso Suryo bercerita tentang apa yang telah mereka


alami pada waktu masih dalam perguruan Glagah Pu-

tih.

"Guru mengatakan, bahwa orang hidup me-

mang perlu tolong menolong. Gunakan ilmu yang kita 

miliki untuk menolong orang yang lemah, tapi jangan-

lah kita memaksakan pertolongan kita bila kita sendiri 

tak mampu.... Sebab, semuanya akan sia-sia. Di samp-

ing memaksakan kehendak tak baik, juga akan bera-

kibat fatal bagi diri kita. Tuhan juga tidak menyukai 

pada orang-orang yang nekad, yang sebenarnya telah 

dipengaruhi oleh Iblis."

Kencana Wungu tersenyum mendengar ucapan 

adik seperguruannya, makin erat ia menggenggam 

tangan adik seperguruannya. Sepertinya Kencana 

Wungu ingin membuktikan, bahwa dia sangat mem-

perhatikan adik seperguruannya yang telah dianggap 

sebagai adik sendiri.

"Ternyata kau masih mengingatnya, Dinda," 

berkata Kencana Wungu masih tersenyum di bibirnya. 

"Jadi jelasnya, kita tak boleh nekad menghadapi se-

muanya. Kita harus berpikir bagaimana cara yang ter-

baik, agar kita tidak merugikan salah satu pihak. Ya 

pihak kita, maupun pihak orang lain."

Kedua kakak beradik itu akhirnya saling se-

nyum, sepertinya mereka ingin mengulang masa-masa 

kecil mereka. Masa di mana keduanya dalam asuhan 

seorang guru yang bijaksana, Kyai Basofi guru besar 

perguruan Glagah Putih.

"Maafkan dinda, Kakang."

"Tak ada yang salah, Dinda," menjawab Kenca-

na Wungu. "Aku menyadari siapa adanya kau, adikku 

yang nakal dan keras kepala. Seorang Panggulu pergu-

ruan Glagah Putih yang tak mau mengalah pada mu-

suh-musuh, walau mungkin nyawa sebagai taruhan


nya."

Mendengar ucapan Kencana Wungu, seketika 

tertawalah Prakoso Suryo. Ia bangga mempunyai seo-

rang kakak seperguruan yang mengerti akan pera-

saannya, pemberi nasehat yang baik yang menjadikan 

diririya selalu berjalan di jalan yang tepat. Mungkin 

kalau tak ada Kencana Wungu, jadilah Prakoso seo-

rang pendekar yang keras pantang mau mengalah wa-

lau itu untuk kebaikan. Melihat adik seperguruannya 

tertawa, seketika itu pula Kencana Wungu pun turut 

tertawa bergelak-gelak setelah sesaat menyipitkan ma-

ta.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?" 

tanya Prakoso Suryo setelah sekian lama terhanyut 

pada nostalgia kecilnya manakala mereka masih di 

perguruan. "Apakah kita akan membiarkan iblis mera-

jalela, Kakang?"

"Tidak, Dinda. Kita tak akan membiarkan Da-

tuk Luluhung Begeg merajalela," menjawab Kencana 

Wungu. "Tapi untuk melakukan penangkapan kita per-

lu meminta petunjuk pada guru, bagaimana caranya. 

Kakang juga ingin sekali menanyakan siapa sebenar-

nya Datuk Luluhung Begeg pada guru, mungkin guru 

akan mampu memberikan gambarannya sekaligus 

membantu kita."

"Kapan kakang pergi ke Glagah Putih?"

"Setelah kau sembuh, Dinda."

"Ah...." melenguh Prakoso mendengar jawaban 

kakak seperguruannya, yang menjadikan Kencana 

Wungu menyipitkan mata dan bertanya tak mengerti.

"Kenapa, Dinda?"

"Terlalu lama, Kakang," menjawab Prakoso, 

menjadikan Kencana Wungu makin tak mengerti den-

gan ucapan adik seperguruannya.


"Maksudmu, Dinda...?" Mengerut kening Ken-

cana Wungu.

"Terlalu lama jika kakang menunggu kesehatan 

ku. Hal itu akan menjadikan korban makin banyak 

berjatuhan. Berangkatlah kakang segera, biarlah aku 

mampu mengurus diriku sendiri."

"Ah, tidak, Dinda. Sengaja aku menunggumu 

sampai sembuh agar kita bisa sama-sama silaturahmi

pada guru."

"Kalau memang begitu, marilah kita sekarang 

juga ke sana."

Terbelalak mata Kencana Wungu mendengar 

ucapan adiknya, sampai-sampai matanya melotot.

Melihat Kencana Wungu melotot kaget, Prakoso

Suryo kembali berkata seraya mengerutkan keningnya. 

"Kenapa, Kakang?"

"Apakah kau tidak tengah bercanda?"

"Tidak, Kakang. Aku serius"

"Dinda.... Kau sedang sakit, mana mungkin kau 

melakukan perjalanan yang cukup jauh?"

Mendengar ucapan Kencana Wungu yang na-

danya khawatir, Prakoso Suryo lebarkan senyum. Ma-

tanya memandang pada Kencana Wungu, yang seketi-

ka itu juga turut tersenyum sembari gelengkan kepa-

lanya.

"Kakang meragukan kemampuanku?"

"Ah, bukan begitu, Dinda. Aku hanya khawatir 

nanti sakitmu malah makin parah," menjawab Kenca-

na Wungu.

"Aku sudah sembuh, Kakang."

Terbelalak mata Kencana Wungu kembali men-

dengar jawaban adik seperguruannya yang menge-

jutkan. Bagaimana mungkin orang yang sakit menga-

takan telah sehat? Kencana Wungu masih tak mau


percaya dengan omongan adik seperguruannya yang 

dianggap bercanda. Maka Kencana Wungu pun kemba-

li berkata.

"Rupanya kau masih suka ngebanyol seperti 

dulu, Dinda."

"Aku serius, Kanda. Lihatlah...."

Serta merta Prakoso Suryo loncatkan tubuh, 

berdiri dengan sempurna di hadapan kakak sepergu-

ruannya Kencana Wungu hingga Kencana Wungu se-

ketika itu pula membelalakkan mata seraya meman-

dang tak percaya.

"Apakah kakang masih meragukan?"

"Aku jadi tidak mengerti, Dinda."

"Maksudmu, Kakang?" tanya Prakoso terse-

nyum-senyum.

"Kapan kau sembuh? Sungguhkah ini sebuah 

keajaiban, Dinda?"

Prakoso gelengkan kepala....

"Ini bukan keajaiban, Kakang." 

"Aku jadi tidak mengerti dan makin tidak men-

gerti saja," bergumam Kencana Wungu, sepertinya ia 

bergumam pada diri sendiri. Matanya memandang dari 

ujung rambut ke ujung kaki Prakoso, yang hanya me-

matung senyum-senyum. "Apakah kau hanya main-

main, Dinda?"

"Semalam ada orang yang menolongku," jawab 

Prakoso. 

"Menolongmu...?"

"Ya.... Pemuda itu tiba-tiba datang dan meno-

longku menyembuhkan penyakitku. Pemuda itu juga 

telah berjanji akan datang lagi. Ternyata pemuda itu 

telah mengetahui apa yang telah menimpa Kabupaten 

ini," menerangkan Prakoso Suryo, menjadikan Kenca-

na Wungu hanya mampu diam mendengarkan dengan


sekali-kali mendesah berat.

Kencana Wungu kembali berpikir dan diha-

dapkan pada kejadian yang telah terjadi. Belum juga 

habis pikirannya tentang Datuk Luluhung Begeg, kini 

pikirannya mengarah pada pemuda yang menolong 

Prakoso. "Apakah tidak mungkin pemuda itu ada 

sangkut pautnya dengan Datuk Luluhung Begeg? Ka-

lau ya, hubungan apakah? Apakah keduanya sama-

sama ingin merongrong Kabupaten dan menghendaki 

aku tergeser? Kalau pemuda itu bukan bermaksud 

demikian, lalu siapakah sebenarnya pemuda itu...?" 

bertanya-tanya hati Kencana Wungu.

"Siapa nama pemuda itu, Dinda?"

"Entahlah, Kanda. Pemuda itu hanya berkata 

bahwa dia hendak membantu Kadipaten menumpas 

orang tersebut yang katanya juga telah membuat keti-

daktenteraman penduduk desa Mujung."

"Hem, semoga pemuda itu berbuat baik," meng-

gumam Kencana Wungu dengan tatapan mata kosong. 

Segala macam pertanyaan dan ketidakmengertian be-

raduk menjadi satu. Tanggung jawab sebagai Bupati 

tidak enteng, penuh dengan tantangan dan cobaan. 

Baik dari dalam, maupun dari luar yang bermaksud 

merongrong kewibawaannya. Di samping itu pula, ke-

tentraman rakyat harus dipikirkan. Ibarat sebuah ke-

wajiban, yang harus dipikul di atas pundaknya. Ten-

gah Kencana Wungu melamun memikirkan segala 

keadaan daerah kekuasannya, tiba-tiba Prakoso Suryo 

memecahkan lamunannya bertanya.

"Apakah kanda jadi ke Glagah Putih?" 

"Tidak, Dinda. Kanda ingin melihat saja yang 

sebenarnya bakal menimpa Kadipaten ini."

"Kanda sepertinya frustasi?"

Kencana Wungu lebarkan senyum seraya ge


lengkan kepala.

Melihat hal itu, Prakoso Suryo turut tersenyum. 

Kemudian dengan suara datar Prakoso Suryo kembali 

bertanya. "Kenapa, Kanda?"

"Aku tidak frustasi, sebab frustasi adalah milik 

setan yang sengaja digodakan pada manusia-manusia 

lemah iman. Aku hanya ingin melihat kebenaran per-

tanyaan di hatiku," menjawab Kencana Wungu.

"Tentang apa itu, Kanda?"

"Tentang Datuk Luluhung Begeg dengan pemu-

da yang telah menolongmu."

Tertawa Prakoso demi mendengar jawaban ka-

kak seperguruannya yang dirasa lucu, menjadikan 

Kencana Wungu kerutkan kening dengan mata me-

mandang tak berkedip sementara keningnya kembali 

dikerutkan.

"Hai, kenapa kau tertawa, Dinda? Apakah aku 

ngomong lucu?"

Prakoso masih tertawa hingga matanya berli-

nang-linang. Setelah puas ketawa, Prakoso barulah 

berkata.

"Sangat lucu, Kanda."

"Heh, apanya yang sangat lucu?" tanya Kenca-

na Wungu makin tak mengerti saja akan apa yang di-

katakan adik seperguruannya.

"Kenapa kanda harus terlalu memusingkan 

orang-orang itu? Sedangkan kanda tengah dalam ke-

susahan sendiri?"

"Ah.... Rupanya itu yang dinda ketawai. Hem, 

apakah kita akan diam saja, manakala melihat orang 

yang belum kita kenal betul datang-datang ke daerah 

kita dan bermaksud menolong? Apakah tidak mungkin 

pemuda itu juga temannya Datuk Luluhung Begeg 

yang pura-pura menolong, sedangkan sebenarnya ia


juga hendak bermaksud jahat? Kita harus waspada da-

lam hal ini, Dinda. Apalagi kita selaku pengayom ra-

kyat, jangan sekali-kali mudah percaya pada hal-hal 

yang belum benar-benar, kita kenali."

"Benar juga, Kanda." akhir Prakoso mengerti 

juga. Prakoso seketika itu diam, merenungkan akan

apa yang seperti Kencana Wungu renungkan. Tentang 

orang-orang yang datang secara tiba-tiba, yang telah 

membuat sebuah tanda tanya. Kalaulah si Datuk Lu-

lubung Begeg, jelas ia telah tahu maksudnya yaitu in-

gin mengajak rakyat ke jaman kesesatan mengabdi se-

tan. Sedangkan pemuda yang menolongnya dan telah 

memberitahu siapa adanya Datuk Luluhung Begeg pa-

danya, apakah benar-benar hendak membantu? Inilah 

yang susah untuk dijawab, sebab kenyataannya belum 

diketahui pasti. Bisa saja si pemuda memberikan in-

formasi, tapi sebenarnya agar ia sendiri dapat diyakini 

olehnya,

Kedua kakak beradik seperguruan yang kini 

menjabat sebagai Bupati dan pimpinan prajurit, akhir-

nya terdiam. Diam bagaikan telah patah semangat, pa-

srah pada apa yang bakal terjadi. Keduanya tak tahu 

apa yang nantinya terjadi melanda Kabupaten yang di-

pimpinnya.

***

TIGA



Sejak kejadian sebulan yang lalu di mana Da-

tuk Luluhung Begeg mampu mengalahkan Prakoso 

dan kesepuluh prajuritnya, makin menjadi-jadi tinda-

kan Luluhung Begeg. Kini ia bukannya meminta secara halus atau menculik bila tidak diberi, namun den-

gan terang-terangan ia mengambil paksa gadis yang 

akan dijadikan korban dari para penduduk.

Malam itu ketika bulan purnama dua hari lagi 

akan datang, Datuk Luluhung Begeg telah dengan 

paksa meminta pada salah seorang penduduk untuk 

menyerahkan anaknya menjadi wadal penguasa kera-

jaan Siluman sekutunya, yang bersemayam di puncak 

Gunung Lanang.

"Ki Jarot, apakah kau ingin keluargamu terke-

na bala?" tanya sang Datuk menakut-nakuti, menjadi-

kan Ki Jarot gemetaran mendengarnya. Ki Jarot telah 

tahu siapa adanya Datuk Luluhung Begeg, yaitu seo-

rang datuk sakti. Bagaimana pula dengan penguasa 

Gunung Lanang yang memerintahkannya, jelas lebih 

sakti. Maka dengan suara terbata-bata karena takut Ki 

Jarot berkata.

"Ti-tidak, Datuk. Saya tidak mau mendapat 

bala."

"Nah, itu yang baik. Apakah hanya karena kau 

menghalangi nyawa anakmu satu, kau korbankan se-

luruh keluargamu yang menerima murka penguasa 

Gunung Lanang?"

"Apakah tak ada jalan lain, Datuk?" kembali Ki 

Jarot berkata. Matanya membelalak redup karena ta-

kut, bibirnya gemetaran juga seluruh tubuhnya.

"Bodoh! Mana mungkin permintaan penguasa 

Gunung Lanang dapat diganti? Beliau bukanlah sema-

cammu, Monyet jelek!" membentak marah Datuk Lu-

luhung Begeg, demi mendengar ucapan Ki Jarot. Hal 

itu menjadikan Ki Jarot makin menggigil ketakutan. 

Bentakan Datuk Luluhung Begeg, terdengar bagaikan 

hentakan halilintar di musim penghujan, menggelegar.

"A-a-ampun, Datuk."


"Ampun-ampun. Mana anak gadismu, serahkan 

padaku. Cepat!"

"I-i-iya," menjawab Ki Jarot dengan ketakutan 

setengah mati hingga tak terasa lelaki tua itu terkenc-

ing-kencing di celana. Dan manakala ia berjalan, tak 

ayal lagi bau sangit seketika menyumpet pernapasan 

Datuk Luluhung Begeg yang seketika itu melototkan 

mata.

Walaupun telah melihat sendiri ketakutan Ki 

Jarot begitu rupa sampai terkencing-kencing, namun 

Datuk Luluhung Begeg tak mau perduli. Ia sendiri be-

tapa takut dan bingungnya bila harus tidak menda-

patkan darah gadis. Betapa dia akan mendapat murka 

besar dari gurunya, bila semalam saja bulan purnama

ia tidak mendapatkan darah gadis. Di samping itu, ke-

saktiannya tak akan bertambah. Sebab dengan sekali 

bulan purnama, sekali itu pula manakala Datuk Lulu-

hung Begeg menyampaikan persembahan kesaktian-

nya akan bertambah. Jadi semakin banyak ia berikan 

darah gadis, makin bertambah pula kesaktiannya. Da-

tuk Luluhung Begeg masih ingat akan apa yang dika-

takan gurunya, manakala ia hendak kembali ke dunia 

ramai setelah sepuluh tahun menjadi pengikut gu-

runya.

"Ingat, Luluhung. Kau akan bertambah sakti bi-

la setiap bulan purnama mandi dan meminum darah 

gadis. Nanti kalau telah seratus gadis yang telah kau 

pakai darahnya untuk mandi dan minum, jadilah kau 

seorang tokoh tak terkalahkan di jagad ini. Ilmumu 

akan selangit, seluas samudra, sedalam bumi. Namun 

perlu kau ketahui, ilmumu itu akan dapat terpecahkan 

oleh manusia yang setengah siluman." 

"Apa ada, Guru?"

"Ada, Luluhung. Manusia setengah siluman,


adalah manusia yang menjadi murid siluman. Atau si-

luman keturunan manusia, atau manusia yang menja-

di sahabat siluman. Ingat itu!"

Tengah Datuk Luluhung Begeg melamun, Ki 

Jarot dari dalam keluar menghampiri dengan anak ga-

disnya yang tampak menangis.

"Datuk...." berkata Ki Jarot.

"Hem,"

"Ini anak hamba, Datuk."

"Masih perawan?" tanya Datuk Luluhung Begeg 

ingin pasti.

Ki Jarot menganggukkan kepalanya.

"Bagus Ki Jarot. Dengan kau mengorbankan 

anak gadismu, maka keluargamu akan terhindari dari 

bala." berkata Datuk Luluhung Begeg dengan senyum-

nya.

"Ayo, Manis, ikut denganku."

"Tidak! Aku lebih baik mati daripada ikut den-

ganmu, Iblis!" membentak si gadis. Tangannya beron-

tak, digigitnya tangan Datuk Luluhung Begeg yang se-

ketika itu menjerit kibaskan tangan. Tak ayal lagi, 

mentallah tubuh si gadis terpelanting jatuh ke tanah.

"Bunuh saja aku, iblis! Bunuh...." gadis itu 

menjerit histeris. Namun bagaikan tak mendengar, Da-

tuk Luluhung Begeg hanya pelototkan mata sembari 

menyeringai. Dengan keras disentakkan tubuh si gadis 

berdiri dengan kasarnya, sehingga tubuh si gadis seke-

tika itu pula bangkit dari duduknya.

Gadis itu terus berontak, meronta-ronta mana-

kala telah berada dalam bopongan Datuk Luluhung 

Begeg. Namun rontaannya tak berarti apa-apa, sebab 

tenaga Luluhung Begeg lebih besar dan kuat. Tapi ga-

dis itu rupanya tak mau mengalah begitu saja, ia lebih 

baik mati saja daripada dijadikan tumbal walaupun


akhirnya mati nantinya.

"Lepaskan aku! Lepaskan, Datuk Iblis!"

"Rewel! Kalau kau ngebandel, maka aku akan 

membeset tubuhmu!" menggeretak Datuk Luluhung 

Begeg mencoba menakut-nakuti. Namun gadis yang te-

lah nekad itu bukannya menjadi takut, bahkan seba-

liknya dengan lantang gadis itu menantang.

"Lebih baik aku kau kuliti daripada harus men-

jadi tumbal ilmumu yang gila itu! Ayo lakukan, Datuk 

Iblis!"

"Suwe...!"

"Tok, tok, tok."

Terdengar totokan tiga kali berturut-turut di 

leher si gadis, yang menjadikan gadis itu terdiam tanpa 

banyak kata lagi. Hanya matanya saja yang meman-

dang benci pada Datuk Luluhung Begeg, yang tak per-

duli dan terus berlari pergi membawa tubuh gadis itu 

meninggalkan rumah Ki Jarot. Ki Jarot dan istri serta 

anak-anaknya yang lain hanya menangis, melepas ke-

pergian anak gadisnya yang akan menjadi tumbal.

"Kenapa mbakyu Srikanti dibiarkan saja, 

Ayah?" tanya anak laki-laki Ki Jarot yang sudah besar, 

menjadikan Ki Jarot seketika memandangnya dengan 

trenyuh. Ki Jarot tak dapat berkata untuk menjawab, 

hatinya pilu dan gundah serta sedih. Dengan berlinang 

air mata, istri Ki Jarot akhirnya mengatakan pada sang 

anak.

"Kita berdo'a saja semoga arwah kakakmu dite-

rima di sisi-Nya dengan bahagia, Amin." 

Kelima keluarga itu akhirnya kembali masuk, 

manakala sudah tak tampak lagi oleh mereka tubuh 

Datuk Luluhung Begeg yang membawa tubuh Srikanti 

pergi.

* * *


Apa yang ditunggu-tunggu oleh Kencana Wun-

gu tentang kedatangan pemuda itu, kini telah benar-

benar terpenuhi. Pemuda itu yang tak lain dari pada 

Pendekar kita Pedang Siluman Darah, malam itu da-

tang mengunjungi Prakoso guna menilik kesehatan 

Prakoso.

"Sampurasun...." sapa Jaka Ndableg, manakala 

ia telah berdiri di depan pintu rumah Prakoso Suryo. 

Matanya memandang sekeliling, seperti liar.

"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar jawa-

ban dari dalam rumah Prakoso.

"Aku, Ki Sanak," jawab Jaka.

Tak lama kemudian seseorang lelaki yang ber-

nama Prakoso Suryo membukakan pintu. Seketika di 

bibir Prakoso Suryo tergerai senyum, ketika dilihatnya 

siapa adanya pemuda yang datang. Dari mulut Prako-

so Suryo, seketika meloncat kata-kata seruan gembira.

"Ah, ternyata saudara datang juga. Mari, ma-

suk!" ajaknya. 

"Terima kasih!"

Jaka segera masuk mengikuti langkah Prakoso 

Suryo ke dalam rumah. Mata Jaka yang tajam, berke-

liaran memandang sekeliling ruangan itu, sepertinya 

tengah mencari-cari sesuatu hingga mengundang 

tanya Prakoso Suryo.

"Adakah sesuatu yang Ki Sanak cari di sini?"

"Ah, maaf. Sungguh aku ini telah berlaku ku-

rang sopan," melenguh Jaka kaget dan tersentak dari 

pandangannya. "Namaku yang bodoh dan tak tahu ta-

ta krama ini Jaka Ndableg!"

"Ah, jadi... kau..." kata Prakoso terbata-bata 

manakala tahu siapa adanya pemuda yang bertamu ke 

rumahnya, yang tak lain orang yang sering disebut


sebut oleh gurunya Kyai Basofi.

"Kenapa, Ki Sanak? Sepertinya kau begitu ter-

kejut mendengar namaku," tanya Jaka tak mengerti, 

keningnya berkerut demi dilihatnya Prakoso Suryo 

membelalakkan mata kaget.

"Tak aku sangka, kalau aku dapat bertemu 

muka dengan seorang pendekar yang namanya telah 

menjadi sebutan di dunia persilatan. Terimalah salam 

hormatku yang bodoh ini, yang telah merepotkan dan 

menyepelekan dirimu."

"Ah, aku tak merasa kerepotan. Aku datang ke 

mari juga atas permintaan seseorang."

"Permintaan seseorang...?" tanya Prakoso den-

gan nada kaget.

"Ya...." jawab Jaka pendek, menjadikan Prakoso 

Suryo kembali menyipitkan mata dan mengerutkan 

kening tak mengerti. Hatinya seketika bertanya-tanya, 

siapa adanya orang yang telah menyuruh pendekar 

yang namanya telah menjadi buah bibir orang-orang 

persilatan?

"Kalaulah Datuk Iblis itu yang menyuruhnya, 

sungguh petakalah dunia ini. Tapi tak mungkin, sebab 

pendekar muda ini selalu berjalan pada garis kebena-

ran. Jadi siapakah yang telah menyuruhnya datang 

menemui diriku?" gumam Prakoso Suryo dalam hati, 

menjadikannya diam mematung dengan mata meman-

dang tak berkedip ke arah Jaka. Jaka yang dipandang 

begitu rupa, seketika bertanya.

"Kenapa Ki Sanak memandangku begitu?"

"Ah, ti... tidak. Maafkan kelakukanku. Aku ka-

get mendengar ucapanmu," jawab Prakoso sembari le-

barkan senyum, sepertinya hendak menyembunyikan 

kekagetannya. Hal itu seketika mengundang perhatian 

Jaka yang jeli, yang saat itu juga segera berkata kem


bali.

"Ketahuilah, bahwa aku datang ke mari atas 

permintaan seorang Kyai yang menjadi guru besar di 

Glagah Putih. Beliau meminta agar aku datang ke sini 

untuk membantu Bupati Kencana Wungu yang sebe-

narnya anak murid beliau."

Terbelalak mata Prakoso mendengar penuturan 

Jaka Ndableg, sehingga tanpa sadar ia membuka mu-

lutnya menganga. Matanya seketika berkaca-kaca, 

manakala ingatannya kembali pada sang guru yang 

sangat bijaksana. Belum juga Prakoso berbicara, Jaka 

telah kembali berkata meneruskan.

"Menurut keterangan beliau, beliau mempunyai 

dua orang murid yang tengah mengabdi pada Kabupa-

ten ini. Murid pertamanya bernama Kencana Wungu, 

yang sekarang menjadi Bupati di sini. Sedang murid 

keduanya bernama Prakoso Suryo, yang menjadi kepa-

la pasukan Kabupaten sini."

"Akulah orangnya, Saudara pendekar," kata 

Prakoso Suryo yang tak mampu lagi membendung ge-

jolak di hatinya. Kerinduan akan kabar gurunyalah, 

yang menjadikan Prakoso Suryo tak dapat lagi me-

nyembunyikan diri. Untung yang tengah bertamu ada-

lah Pendekar Pedang Siluman Darah yang bermaksud 

baik. Kalaulah yang bertamu orang jahat dan bermak-

sud mencelakainya, niscaya akan celakalah Prakoso 

Suryo.

Tersentak Jaka Ndableg mendengar pengakuan 

orang yang diketemuinya. Sampai-sampai mata Jaka 

membeliak, mulutnya mendecak.

"Ah, sungguh-sungguh aku telah buta, sehing-

ga tak tahu kalau Ki Sanaklah orang yang aku tuju. 

Kebetulan sekali, jadi aku tak perlu susah-susah men-

cari-cari dan bertanya-tanya."


Setelah keduanya saling kenal dan tukar cerita, 

maka kedua orang yang baru bertemu itu seketika 

akrab. Keduanya ngobrol tentang segala apa yang 

menjadi tanggung jawab. Prakoso menceritakan apa 

yang kini menjadi masalah yang tengah dihadapi oleh 

kakaknya, juga dirinya. Sementara Jaka menceritakan 

tentang pertemuannya dengan Kyai Basofi, yang lalu 

meminta tolong padanya untuk membantu kedua mu-

ridnya.

"Mari kita menemui Kakang Kencana Wungu. 

Mungkin kakang Kencana Wungu pun. telah menanti 

kedatangan saudara pendekar."

"Baiklah. Mari...." jawab Jaka.

Segera keduanya malam itu juga pergi menuju 

ke rumah Bupati Kencana Wungu. Dengan setengah 

berlari, kedua orang itu berkelebat menyibak malam 

yang masih agak sore. Keduanya ingin segera dapat 

menemui Kencana Wungu. Karena keduanya berjalan 

dengan langkah-langkah yang panjang setengah berla-

ri, maka tak begitu lama kemudian keduanya pun te-

lah tiba di kediaman Kencana Wungu. Di depan ke-

diaman sang Bupati, nampak penjagaan yang sangat 

ketat. Sepuluh orang prajurit, nampak siaga penuh 

dengan senjata di tangan.

"Siapa kalian!" bentak salah seorang prajurit, 

manakala dilihatnya dua orang berkelebat menuju ke 

arah situ. Hal itu menjadikan prajurit-prajurit lainnya 

segera siaga, tangan mereka menggenggam senjata 

yang berupa golok dan tombak.

"Aku Sobri!" jawab dua orang yang ditanya.

"Ketua... Selamat malam!" menjura Subri, di-

ikuti oleh kesembilan prajurit lainnya. "Ada apa geran-

gan ketua datang malam-malam ke mari?"

"Kanjeng Bupati masih terjaga?" tanya Prakoso.


"Hamba kira masih, Ketua," jawab Sobri semba-

ri menepi yang diikuti oleh kesembilan prajurit lainnya, 

memberi jalan pada ketua mereka yang berjalan den-

gan seorang pemuda asing.

"Sampurasun.... Adakah kakang Kencana Wun-

gu masih terjaga?"

"Rampes, kaukah adikku?" tanya suara dari da-

lam.

"Benar, Kanda. Dinda datang."

Dari dalam rumah tak lama kemudian keluar 

seorang yang tak lain Kencana Wungu adanya. Bibir 

Kencana Wungu seketika mengurai senyum, manakala 

melihat adik seperguruannya. Namun seketika itu pula 

Kencana Wungu mengerutkan keningnya, tatkala me-

lihat seorang pemuda bersama Prakoso dan seketika 

itu pula Kencana Wungu menanyakannya pada Prako-

so siapa adanya pemuda itu.

"Siapakah gerangan pemuda di sampingmu, 

Dinda?"

"Pemuda inilah yang dulu Dinda ceritakan pada 

Kanda," jawab Prakoso. "Ternyata pemuda ini sengaja 

diutus oleh guru untuk menemui kita dan sekaligus 

menolong menyelesaikan kemelut yang tengah terjadi 

di Kabupaten ini. Pemuda ini tak lain adalah Pendekar 

Pedang Siluman Darah atau Jaka Ndableg!"

"Apa...?" tersentak Kencana Wungu setelah ta-

hu siapa adanya pemuda di samping adik sepergu-

ruannya. Bukan saja Kencana Wungu yang kaget men-

getahui pemuda bertampang bloon itu seorang pende-

kar yang namanya tengah menjadi buah bibir orang-

orang persilatan. Kesepuluh prajurit jaga itu pun, se-

ketika melototkan mata kaget. Mereka memang telah 

mendengar seliweran tentang adanya seorang pende-

kar muda bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah.


Namun melihat tampang orangnya, mereka baru kali 

ini. Tadinya mereka menyangka kalaulah pendekar 

muda itu bertampang menyeramkan. Tapi nyatanya, 

pendekar muda itu berwajah kekanak-kanakan dan 

agak sedikit konyol.

"Ah, sungguh aku ini terlalu rabun, sehingga 

tak mampu mengetahui siapa adanya tuan pendekar. 

Maafkan ketololan saya," lanjut Kencana Wungu se-

raya menjura hormat, menjadikan Jaka seketika itu 

tersentak mendapatkan penghormatan yang tak dis-

angka-sangka hingga seketika itu pula Jaka menja-

wabnya.

"Ah, kenapa mesti Kanjeng Bupati yang meng-

hormat padaku? Bukankah hal ini terbalik? Seharus-

nyalah aku yang menyampaikan hormat, karena aku 

orang yang berada di bawahmu!"

"Tidak, Tuan Pendekar. Kita sebagai manusia 

samalah artinya di mata Yang Maha Esa. Hanya saja 

garis hidup kita saja yang berbeda-beda di dunia ini."

"Ooh, sungguh aku yang bodoh ini memang be-

nar-benar bodoh, hingga tak mengerti semuanya. Te-

rima kasih atas segala petunjuk yang Kanjeng Bupati 

berikan padaku, terima kasih," Jaka segera menjura 

hormat.

"Ayo masuk.... Kenapa mesti di luar?" ajak Ken-

cana Wungu.

Segera ketiganya pun masuk ke dalam. Keti-

ganya duduk di atas permadani yang menghampar di 

ruang tamu itu. Dari dalam tiga orang dayang-dayang 

ke luar membawakan mereka makanan dan tiga guci 

air minum.

"Maaf, Kami tidak memiliki arak," kata Kencana 

Wungu, yang, menyangka kalaulah Jaka suka arak. 

Mendengar ucapan Kencana Wungu segera Jaka me


nimpali, berkata:

"Ah, aku pun tak suka itu, Kanjeng. Walaupun 

aku tak pernah sholat, namun aku sebisanya untuk 

selalu mendekatkan diri dengan Gusti Allah."

Tersenyum Kencana Wungu dan Prakoso men-

dengar penuturan Jaka. Keduanya mengangguk-

anggukkan kepala. Tak berapa lama kemudian, keti-

ganya pun terlibat pembicaraan. Sesekali diselingi 

dengan gelak tawa kedua kakak beradik seperguruan, 

manakala mendengar ucapan Jaka yang nadanya lucu.

Malam itu, Jaka pun menginap di kedi aman 

Bupati untuk esok pagi bersama-sama prajurit meng-

hentikan sepak terjang Datuk Luluhung Begeg yang te-

lah membuat keonaran dan kepanikan rakyat Kadipa-

ten Kencana Sari.

***

EMPAT



Dupa dengan bara api yang membara, menge-

pulkan asap yang membumbung tinggi bergulung-

gulung. Di depannya terpampar sebuah meja panjang 

yang cukup untuk membaringkan sesosok tubuh. Ya, 

memang saat itu tampak sesosok tubuh tengah terbar-

ing di atas meja yang terbuat dari batu pipih hitam. 

Yang terbaring itu adalah seorang gadis yang meronta-

ronta, dengan tangan dan kaki diikat seutas tali.

Mata gadis itu lembab seperti habis menangis, 

dan memang gadis itu kini pun masih menangis. Wa-

lau suaranya tak keluar dari mulutnya, namun ma-

tanya yang melelehkan air bening itu jelas menggam-

barkan bahwa ia menangis.


Di dalam ruangan itu ia tergeletak sendirian, 

tak ada orang lain, tak ada siapa-siapa. Sebenarnya 

gadis itu ingin berontak, namun karena tangan dan 

kakinya diikat kencang gadis itu tak mampu melaku-

kannya.

Gadis itu adalah korban yang akan dipersem-

bahkan untuk penguasa Gunung Lanang. Sudah men-

jadi adat kebiasaan daerah kalau setiap bulan purna-

ma mereka melakukan korban bagi penguasa wilayah 

itu. Menurut kepercayaan mereka, bila mereka tak 

mengorbankan sekali dalam seedaran Bulan Purnama 

maka petaka akan menimpa wilayah mereka.

Seluruh rakyat Kadipaten Kencana Wungu ti-

dak menyadari bahwa semua adalah taktik Datuk Lu-

luhung Begeg saja, yang sebenarnya untuk menakut-

nakuti mereka. Sedangkan korban itu, sebenarnya 

korban untuk pemuas Iblisnya guna menambah ilmu 

yang ia miliki.

"Ayah, ibu... Kenapa aku kau biarkan begini. 

Hu, hu, hu...." Gadis itu menangis. Wajahnya tergam-

bar ketakutan yang teramat sangat. Bau anyir darah, 

menjadikannya makin bertambah takut saja. Bayan-

gan yang tergambar dalam benaknya, tak lain dari 

orang-orang yang telah menjadi korban.

Gadis itu adalah anak Ki Jarot yang bernama 

Srikanti, yang telah diminta paksa oleh Datuk Lulu-

hung Begeg dari Ki Jarot. Walau Ki Jarot tak merela-

kannya, hal itu tak menjadi masalah bagi Datuk Iblis 

itu.

Srikanti mencoba berontak, namun sekali lagi 

ia tak mampu melakukannya sebab tangan dan ka-

kinya diikat keras-keras. Ingin rasanya ia menjerit, 

namun urat leher bicaranya telah ditotok menjadikan 

ia tak mampu berkata-kata apalagi menjerit. Jadilah


Srikanti bisu, yang hanya mampu melenguh dan me-

nangis serta mengumpat-umpat dalam hati.

Tengah Srikanti menangis, terdengar pintu di-

buka dari luar. 

"Kreket,"

Seorang lelaki bermuka menyeramkan dengan 

kerudung hitam penutup kepala serta jubah hitam 

menghampiri Srikanti yang seketika melotot marah. 

Lelaki berpakaian serba hitam itu, tak lain Datuk Lu-

luhung Begeg adanya. Luluhung Begeg tersenyum pa-

da Srikanti, lalu dengan suara berat berkata yang 

mendirikan bulu kuduk gadis muda itu.

"Hua, ha, ha... Tenang, Anak manis, sebentar 

lagi kala malam telah agak larut kau akan menjadi 

korban. Darahmu akan menjadikan diriku sakti man-

dra guna. Kelak bila telah mencapai seratus darah se-

macammu, jadilah aku seorang Datuk Sesat yang pal-

ing sakti di antara para tokoh persilatan. Akulah yang 

kelak mengatur segala apa yang ada di jagad ini. Hua, 

ha, ha..."

Srikanti yang tak dapat berkata-kata hanya 

mampu melotot, dan dengan berani tanpa diduga oleh 

Datuk Luluhung Begeg Srikanti meludahi muka sang 

Datuk. Hal itu membuat marah sang Datuk bukan 

alang kepalang, yang seketika itu mencengkeram leher 

si gadis.

"Aku bunuh, Kau anak edan!"

Tangan sang Datuk lekat di leher Srikanti hen-

dak mencekik. Srikanti tersenyum, sepertinya siap un-

tuk dicekik. Seketika sang Datuk tersentak, manakala 

ia ingat akan apa yang terjadi bila gadis itu mati sebe-

lum bulan purnama. Padahal bulan purnama tinggal 

beberapa jam saja. Kalau gadis itu mati, maka tak 

akan dapat lagi Datuk Luluhung Begeg menambah ke


saktiannya.

"Bodoh benar aku ini. Sungguh bodoh bila aku 

melayani anak gila ini. Kalau sampai aku jadi membu-

nuhnya sebelum bulan purnama, tak ada lagi kesem-

patan. Hem, Anak edan! Hampir saja aku terbawa kegi-

laannya," menggerutu Datuk Luluhung Begeg, mem-

buat Srikanti lebarkan senyum sinis. Sang Datuk tak 

mau ambil resiko, segera berkelebat pergi tinggalkan si 

gadis yang kembali tercenung dalam diam.

"Oh, Tuhan, apakah benar-benar aku ini akan 

menjadi korban Iblis sang Datuk? Oh sungguh tak da-

pat aku bayangkan, darahku akan diminumnya. Hii..." 

bergidig si gadis, manakala mengingat bakalan apa 

yang akan dilakukan sang Datuk pada dirinya, pada 

darahnya yang untuk mandi dan minum. Sungguh 

perbuatan yang biadab dan merupakan tindakan iblis.

* * *

Malam perlahan-lahan datang, menggantikan 

siang dan sore hari. Lamat-lamat dari kejauhan ter-

dengar lolongan anjing menggema, menyayat hati seo-

rang gadis, yang kini tengah menghadapi detik-detik 

menyeramkan.

Bila bulan purnama telah berada pada titik 

kulminasi atas, maka saat itu pula korban akan da-

tang. Korban dari seorang Datuk yang menganut ilmu 

Iblis...

Lolongan anjing itu makin lama makin keras, 

bersamaan dengan lajunya sang rembulan yang berpu-

tar. Angin malam yang dingin, terasa makin dingin dan 

menggigit tulang-tulang sumsum.

Di dalam kamar sang Datuk Luluhung Begeg, 

masih tergeletak gadis Srikanti Mata sang gadis mem


beliak, manakala terdengar jerit-jerit yang entah dari 

mana datangnya. Jerit-jerit itu makin kencang, mana-

kala bulan bergeser makin meninggi.

Wajah Srikanti seketika memucat pasi, ketika 

dilihatnya sosok-sosok tubuh tak berkepala dengan ge-

lak tawa membahana, mengisi ruangan itu. Srikanti 

mencoba menjerit, namun mulutnya bagai tersumbat 

rapat. Dan gadis-gadis tanpa kepala itu makin lama 

makin mendekat ke arahnya, dekat dan dekat.

Dari leher-leher putung itu, terdengar desah-

desah yang hampir mirip rintihan kesakitan. Tangan 

mereka seperti mencari-cari entah apa yang tengah 

mereka cari. Mereka menangis, lalu tertawa cekikikan.

"Hi, hi, hi... rupanya kita akan mendapatkan 

kawan. Teman, tahukah kau di mana kepala-kepala 

kami?"

Sebenarnya Srikanti ingin berteriak untuk men-

jawab tidak, namun karena ia dalam keadaan tertotok 

menjadikannya tak mampu berkata-kata. Gadis-gadis 

tanpa kepala itu seketika terdiam, dan tiba-tiba salah 

seorang dari mereka menotok urat nadi di leher Sri-

kanti hingga Srikanti pun dengan seketika dapat ber-

kata.

"Aku tak tahu. Siapa kalian adanya? Kenapa 

kalian menggangguku?" merengek Srikanti ketakutan. 

Keringat dingin seketika meleleh dari kedua keningnya.

Gadis-gadis tanpa kepala itu terus terdiam 

memandang ke arahnya, menjadikan Srikanti menjadi-

jadi takutnya. Mata Srikanti terbelalak hendak keluar, 

manakala dilihatnya mereka membuka pakaian mere-

ka. Ternyata anggota tubuh mereka pun berkurang. 

Kedua buah dada mereka tak ada lagi, hilang entah ke 

mana. Tengah Srikanti tak mengerti maksud setan-

setan itu, terdengar seorang dari setan tanpa kepala


itu kembali berkata.

"Kau pun akan mengalami nasib sepertiku. Kau 

pun akan menjadi seperti kami ini. Dia memang jahat, 

melebihi setan. Tapi kami tak mampu untuk melawan-

nya, sebab kami dalam kuasaanya."

Gadis-gadis itu kembali menangis. Makin lama 

makin seru tangis mereka, lalu melengking seperti his-

teris. Bersamaan dengan rembulan makin meninggi, 

bayangan-bayangan gadis-gadis tanpa kepala itu men-

jerit lalu menghilang dari pandangan Srikanti. Bersa-

maan dengan hilangnya mahluk-mahluk menyeram-

kan itu, pintu kamar dibuka dari luar. Tampaklah se-

sosok tubuh berpakaian dan tudung hitam masuk 

menghampiri Srikanti.

Karena ruangan itu gelap, Srikanti tak dapat 

mengenali jelas orang tersebut. Srikanti hanya dapat 

mengenali dari desah nafas lelaki berpakaian serba hi-

tam itu, yang dikenalinya Datuk Luluhung Begeg. Sang 

Datuk tersenyum menyeringai, menampakkan gigi-

giginya yang kuning kemerah-merahan.

"Anak manis, malam inilah malam untukmu 

bertamasya ke alam yang belum engkau ketahui, yaitu 

alam akherat. Hua, ha, ha..."

"Tidak! Tidak...!"

Tersentak Datuk Luluhung Begeg, manakala 

mengetahui Srikanti ternyata mampu berkata-kata. 

Mata Datuk Luluhung Begeg membeliak, sehingga 

nampak menyeramkan. Mulut sang Datuk terbuka le-

bar, bengong dan heran melihat kejadian aneh. Betapa 

tidak, Srikanti yang tadinya tak dapat berkata-kata ka-

rena telah ditotok olehnya, ternyata kini bisa bicara.

"Apakah ia memiliki kepandaian hingga mampu 

membebaskan totokanku?" tanya Datuk Luluhung Be-

geg dalam hati, karena tak mengira kalau gadis bakal


korbannya mampu membuka totokannya.

"Siapa kau sebenarnya!" membentak sang Da-

tuk.

"Hi, hi, hi... aku...? Aku ya aku."

"Slompret! Kau rupanya hendak mempermain-

kan aku, Anak edan! Jangan kira aku takut melihatmu 

dapat membebaskan totokan. He, sesaat lagi kau akan 

aku jadikan penambah kesaktianku. Darah... ya da-

rahmulah yang aku butuhkan. Hua, ha, ha...!"

Bergidig Srikanti mendengarnya, sampai-

sampai wajahnya kembali memucat. Hatinya seketika 

menjerit-jerit, ya menjerit ketakutan. Bayangan-

bayangan kesepuluh gadis-gadis tanpa kepala, meme-

nuhi benaknya.

"Apakah aku pun akan seperti mereka mati 

gentayangan? Hiiii.... sungguh mengerikan," bergumam 

hati Srikanti.

"Lepaskan aku, Iblis! Lepaskan... aku bukan 

gadis lagi. Aku telah diperawani oleh kekasihku!" me-

mekik Srikanti mencoba mempengaruhi Datuk Lulu-

hung Begeg, menjadikan sang Datuk seketika melo-

totkan mata dan bertanya dengan suara setengah ke-

cewa.

"Benar apa yang kau katakan, Anak edan!" 

"Benar," jawab Srikanti memastikan.

"Bedebah! Kalau benar apa yang engkau kata-

kan, maka keluargamulah yang akan menjadi peng-

gantinya. Seluruh keluargamu akan menerima pemba-

lasanku."

"Jangan...! Jangan kau lakukan itu. Aku ma-

sih-masih perawan. Biarlah aku jadi korbanmu, asal 

kau tidak membinasakan keluargaku."

"Hua, ha, ha... bagus, bagus. Ternyata kau 

hendak mengelabui aku. Hem, tak apa, sebab sebentar



lagi kau berjasa padaku. Darahmu akan membantu di-

riku memperoleh kesaktian."

Datuk Luluhung Begeg tertawa bergelak-gelak, 

lalu dengan tanpa memperdulikan Srikanti ia berkele-

bat keluar dari kamar. Tubuh sang Datuk berkelebat 

keluar rumah. Dipandangnya rembulan yang masih 

agak condong ke timur. Matanya melotot, seakan me-

melototi rembulan yang terlalu lama bergerak,

"Suwe... Waladalah. Kalau begini terus, mana 

mungkin aku segera dapat menambah ilmuku. Hem, 

akan aku pengaruhi peredaran bulan itu."

Habis berkata begitu hatinya, segera Datuk Lu-

luhung Begeg duduk bersilah. Tangannya sedakap, 

kakinya saling lipat. Matanya terpejam, sementara mu-

lutnya komat-kamit. Mengucap mantra. Perlahan-

lahan, bulan itu bergeser dan bergeser tak menuruti 

kehendak pergeseran sang waktu. 

* * *

Tersentak kaget Jaka Ndableg demi melihat se-

buah kejanggalan di atas langit. Matanya membelalak, 

memandang tak berkedip pada bulan yang bergerak 

dengan cepat. Tanpa sadar Jaka bergumam, yang 

menjadikan Prakoso yang berdiri di sampingnya ter-

sentak bengong.

"Gusti Allah, ilmu apa yang digunakannya?"

"Kenapa, Jaka? Sepertinya kau memikirkan pe-

redaran bulan itu."

Jaka terdiam menarik napas perlahan. Dita-

jamkan matanya mengawasi bulan yang terus berjalan 

dengan cepat. Kepalanya menggeleng-geleng, seakan ia 

tengah merasakan sesuatu yang berat. Tak disadari 

mulutnya seketika bergumam, sekaligus menjawab


pertanyaan Prakoso.

"Bulan itu bergerak tidak normal. Ada sesuatu 

tenaga yang mempengaruhi. Biasanya orang yang 

mampu mempengaruhi, hanya yang memiliki ajian Lu-

lur Wektu. Hem, siapakah yang telah berbuat begini. 

Edan... jelas orang-orang sepertinya orang-orang yang 

sangat berbahaya."

Prakoso yang mendengar gumaman Jaka hanya 

tercenung diam, tak mengerti akan apa yang sebenar-

nya terjadi. Tengah semuanya terdiam, tiba-tiba dari 

arah selatan tampak selarik sinar biru memancar ke 

atas langit.

Sinar itu makin lama makin besar dan besar, 

menarik gerakan rembulan ke arah barat. Dengan se-

gera Jaka, heningkan cipta. Ia tahu bahwa gerakan bu-

lan telah di pengaruhi oleh seseorang yang bermaksud 

jelek pada kehidupan.

"Jaka lihat...! Ada sinar biru memancar!" sera 

Prakoso, menjadikan kesepuluh prajurit tersentak dan 

langsung memandang dengan terbengong-bengong la-

rikan sinar biru. Jaka masih terdiam, memusatkan se-

gala panca indra untuk dapat menangkap siapa sebe-

narnya pembuat keganjilan di langit. Setelah sekian 

lama terdiam, segera Jaka belalakkan mata meman-

dang ke arah datangnya sinar. Jaka tersentak mana-

kala melihat dengan mata batinnya siapa adanya orang 

itu, yang tak lain Datuk Luluhung Begeg.

"Ini harus dicegah," bergumam hati Jaka.

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

Tersentak kesebelas orang yang berada tak 

jauh darinya, manakala dilihat oleh mereka Jaka tiba-

tiba telah menggenggam sebilah pedang yang meman-

carkan sinar kuning kemerah-merahan. Serta merta 

kesebelas orang itu memekik menyebut pedang di tan


gan Jaka, yang sudah mereka dengar.

"Pedang Siluman Darah...!"

Belum habis kekagetan kesebelas orang itu, 

serta merta Pedang Siluman Darah telah melesat ter-

bang. Pedang itu meluncur menuju ke arah sinar itu 

berada. Segera Jaka dan kesebelas prajurit Kadipaten 

mengikuti lajunya pedang.

"Wuuut... wut... wut!" 

Pedang Siluman Darah tampak berkelebat, me-

nyerang orang yang tengah membuat kejanggalan du-

nia. Orang yang ternyata Datuk Luluhung Begeg ter-

sentak, lompatkan tubuh ke belakang. Matanya mem-

beliak manakala tahu apa yang tiba-tiba menyerang-

nya dan telah membuat konsentrasinya buyar. Sebilah 

pedang yang mengeluarkan warna kemerah-merahan, 

memburunya.

"Pedang sialan! Siapa yang telah mempengaru-

himu untuk melakukan tindakan gila melawanku, 

hah!" Tangan Datuk Luluhung Begeg bermaksud me-

nangkap Pedang Siluman Darah namun secepat itu 

pula Pedang Siluman Darah berkelebat menghindar 

dan balik menyerang. Tak ayal lagi, tangan Datuk Lu-

luhung Begeg seketika terputung pergelangannya. 

Memekiklah Datuk Luluhung Begeg, bagaikan tersiksa. 

Tangannya lepas, tergeletak di tanah. Mata Datuk Lu-

luhung Begeg melotot tak berkedip, melihat suatu ke-

janggalan yang terjadi. Tangannya yang putus tampak 

mengering, bagikan tak berdarah setetes pun. Berba-

reng dengan itu, kedua belas orang yang mengikuti la-

rinya Pedang Siluman Darah tiba. Pedang Siluman Da-

rah seketika berkelebat, dan tiba-tiba telah berada da-

lam genggaman tuannya Jaka Ndableg.

"Kau... kau Pendekar Pedang Siluman Darah!" 

memekik tertahan Datuk Luluhung Begeg, setelah tahu siapa pemilik pedang itu. Kini ia sadar, kalau pe-

dang yang telah menyerangnya tak lain senjata pusaka 

yang telah mengguncangkan dunia persilatan yaitu 

Pedang Siluman Darah.

"Kenapa, Datuk Iblis! Untung kau bertemu den-

ganku di sini. Kalau tidak! Pedang Siluman Darah ini 

akan menghisap darahmu yang busuk itu. Hem, kare-

na aku menghormati Bupati Kencana Wungu, hingga 

aku tak sampai menghukum mu."

Tubuh Datuk Luluhung Begeg seketika menggi-

gil, setelah tahu Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Si-

luman Darah. Segera Datuk Luluhung Begeg jatuhkan 

diri dan menangis meminta ampun.

"Tobat, jangan bunuh aku. Aku menyerah." 

"Benarkah kau bertobat, Datuk?" tanya Jaka 

Ndableg tak mau percaya begitu saja.

"Ingat olehmu, Datuk. Bila kelak kau mengu-

langi perbuatanmu, niscaya aku tak akan segan-segan 

membunuhmu. Dan Pedang Siluman Darah inilah 

yang akan menghisap darahmu."

Hari itu juga, Datuk Luluhung Begeg ditangkap 

dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Kete-

nangan Kadipaten Kencana Sari pun tampak kembali 

seperti sediakala. Tak ada lagi teror yang mereka taku-

ti, tak ada lagi korban-korban gadis yang diambil da-

rahnya. Apakah benar Kadipaten Kencana Sari tenang? 

Setelah menyelesaikan urusan Datuk Luluhung Begeg, 

segera Jaka pamit untuk melakukan pengembaraan-

nya.

***


LIMA


Tiga Bulan Kemudian...

Seorang wanita muda dan cantik siang itu ber-

jalan menyusuri jalanan Kadipaten Kencana Sari. Diti-

lik dari pakaian yang dikenakan dan pedang yang ter-

gantung di pundaknya, jelas gadis itu adalah orang 

persilatan. Gadis itu berjalan dengan santai, lalu ma-

suk ke sebuah kedai yang tak jauh darinya berjalan.

Kedatangannya di kedai seketika menjadi per-

hatian seluruh pengunjung kedai yang semuanya laki-

laki. Namun bagaikan tak menggubris, gadis itu tenang 

saja dan mengambil duduk. Suaranya yang nyaring 

seketika terdengar berkumandang ketika gadis cantik 

jelita itu berseru memanggil pelayan kedai.

"Pelayan, bawakan aku nasi dan lauk pauk-

nya!"

"Baik, Den ayu."

Gadis itu kembali acuh, duduk memandang ke 

depan. Tengah gadis itu duduk sendirian, dari luar ke-

dai dua orang lelaki bertampang menyeramkan dengan 

muka ditumbuhi cambang bawuk masuk ke kedai. Ke-

dua lelaki itu menyapukan pandangannya ke segenap 

ruangan. Seketika keduanya tersenyum, manakala di-

lihatnya seorang gadis duduk sendirian. Serta merta 

keduanya segera menghampiri.

"Bolehkah kami duduk, Nona?" tanya seorang 

di antara keduanya.

Gadis itu seketika menengok ke asal suara itu, 

dan dengan suara dingin menjawab. "Boleh..."

Mata gadis itu menyudut, menjadikan keinda-

han bagi yang melihatnya. Hal itu juga menjadikan da-

da kedua lelaki bertampang menyeramkan seketika


dag dig dug. Kedua lelaki itu segera duduk di samping 

kiri dan kanan, mengapit sang gadis yang tampaknya 

acuh dan tenang.

"Boleh kami kenal namamu, Nona?" kembali le-

laki tadi bertanya.

Si gadis seketika memandang tak berkedip pa-

da lelaki itu. Hatinya seketika bergumam, "Hem, orang-

orang macam ini harus aku pergunakan sebaik-

baiknya."

"Kenapa terdiam, Nona?" tanya lelaki itu men-

gulang.

"Ooh, maaf," menjawab si gadis, kali ini se-

nyumnya mengembang makin menjadikan kedua lelaki 

bertampang brangasan itu deg-degan hatinya. Kedua-

nya menyangka kalau gadis itu memang benar-benar 

mengijinkan keduanya mengenal dirinya. Kedua lelaki 

itu tak menyadari makna dari senyuman maut si ga-

dis. Senyuman yang tersembunyi sebuah harapan. Ya, 

harapan untuk menjadikan keduanya sebagai budak-

budaknya.

"Namaku Dewi Sariti," mengenalkan Sariti na-

manya.

"Waladalah, cocok dengan wajahnya. Nama 

kami Sepasang Buaya Merah. Aku bernama Catil 

Buaya, sedang adik seperguruanku bernama Catul 

Landak."

Gadis itu kembali tersenyum, kini senyumnya 

makin melebar seperti sengaja dikembangkan. Hal itu 

makin menambah kecantikan Sariti, menjadikan ke-

dua Buaya Merah makin tak mampu untuk memben-

dung rasa yang ada di hatinya. Tangannya yang jail, 

telah gatal untuk colak colek. Hal ini memang sangat 

diharapkan oleh Sariti. Maka ketika Catil Buaya hen-

dak mencolek miliknya yang sensitif, sekonyong


konyong Sariti kibaskan tangan dengan cepat. Keleba-

tan tangan Sariti begitu cepat, sehingga tak mampu 

Catil Buaya mengelakkannya. Tiba-tiba tangan Sariti 

telah mencengkeram tangannya, lalu bagaikan benda 

ringan dihempaskan tubuh Catil Buaya tinggi besar 

itu. 

"Gedebug..."

Melotot mata Catul Landak menyaksikan hal 

itu. Namun Catul Landak tak dapat berbuat apa-apa, 

manakala dengan cepat Sariti telah menghempaskan 

dirinya jatuh terlentang bagaikan sehelai daun lontar 

yang dihempaskan.

"Kau... Bedebah! Rupanya kau ingin main-main 

dengan Dua Buaya Merah. Hem... bersiaplah, hiat...!" 

menggeram marah Catil Buaya. Seketika tubuhnya 

bangkit, berkelebat menyerang pada Sariti yang masih 

tersenyum. Manakala serangan Catil hendak sampai 

dengan mengegoskan tubuh yang langsing itu Sariti 

mengelak dan tanpa dapat dicegah kakinya mengang-

kat menendang muka Catil Buaya.

"Splak...! Splak...! Splak...!"

Tiga kali tendangan beruntun menghantam 

muka Catil Buaya, yang seketika itu sempoyongan 

dengan hidung dan mulut keluarkan darah. Melihat 

kakak seperguruannya terluka, dengan nekad Catul 

Landak bangkit seraya langsung menyerang dengan 

senjatanya Duri Buaya.

"Aku bikin kulitmu yang mulus itu bergedel, 

Gadis Sundel!"

"Hi, hi, hi... Buktikanlah kalau kau mampu, 

Catul?" berkata Sariti dengan senyum meremehkan. 

Tubuhnya yang ramping berkelebat memapaki seran-

gan tersebut. Belum juga serangan Catul sampai, Sari-

ti dengan segera hantamkan pukulan yang disaluri te


naga dalam. Karena Batul tengah dilanda emosi, se-

hingga serangan tersebut tak mampu ia elakan. Tu-

buhnya seketika terhempas terbang bagai ditiup angin 

prahara, dan jatuh membunyikan suara gedebug.

Sariti tersenyum, berjalan menghampiri kedua-

nya yang jatuh terduduk. Senyumnya masih mengem-

bang, bahkan kini makin lebar. Hal itu makin menja-

dikan kedua Buaya Merah merandek marah, yang 

dengan mendengus segera berkelebat menyerang ba-

reng.

Diserang begitu rupa tidak menjadikan Sariti 

bingung atau takut. Bahkan dengan senyum yang ma-

sih mengembang Sariti berkelit balik menyerang. Kaki 

dan tangannya bergerak cepat laksana baling-baling 

yang ditiup oleh angin kencang. Hal itu menjadikan 

kedua Buaya Merah tersentak, melompat mundur.

"Kita hadapi dengan ilmu Buaya, Catul."

"Ayo, kakang, hiat..!"

"Buaya Merah Mencari Mangsa, hiat...!"

"Hi, hi, hi... Buaya ompong, akan aku hadapi 

dengan ini," bersamaan dengan habisnya suara Sariti, 

tiba-tiba tubuh Sariti bergerak bagaikan anak panah 

yang dilepaskan dari busurnya. Tubuh Sariti seketika 

terbelah, menjadi dua, kemudian tiga, empat... Sepu-

luh Sariti kini muncul. Hal itu menjadikan kedua mu-

suhnya bingung untuk menyerang yang mana. Semu-

anya sama, semuanya tersenyum ke arah kedua lelaki 

bertampang menyeramkan.

"Hi, hi, hi... Masihkah kalian tak mau mengakui 

kekalahan kalian?" tanya sepuluh gadis cantik itu ba-

reng, menjadikan gema yang berkepanjangan.

"Baiklah kami menyerah," menjawab Catil 

Buaya.

"Bagus! Mulai sekarang akulah ratumu, pa


ham!" membentak gadis itu dengan angkuhnya. "Juga 

semua yang ada di dalam kedai ini, sejak saat ini ka-

lian harus mengakui aku sebagai pimpinan kalian. In-

gat! Bila ada yang berani membantah maka hadiahnya 

akan seperti ini, hiat...!" Sang gadis kiblatkan telapak 

tangannya ke seseorang yang sedari tadi memandang-

nya yang duduk di sudut ruangan. Seketika bersa-

maan dengan selarik sinar putih keluar dari telapak 

tangan si gadis, melengking pula orang tersebut. Orang 

itu akhirnya terdiam mati dengan tubuh meleleh ba-

gaikan malam terkena api. Itulah ajian Lebur Raga. 

Bergidig semua yang menyaksikan, mata mereka melo-

tot. Bau daging terbakar, seketika menyengat hidung 

menjadikan yang tak kuat menahannya muntah-

muntah.

Sariti kembali duduk dengan tenangnya, me-

nyantap makanan yang telah disediakan dengan la-

hapnya. Ia tak lagi memperdulikan pada semua pen-

gunjung kedai, yang dengan takut-takut memperhati-

kan dirinya.

Tengah Sariti menyantap makannya, terdengar 

seruan orang di luar kedai.

"Kanjeng Bupati Kencana Wungu datang...!"

Serta merta seluruh yang berada di dalam kedai 

keluar, tak luput juga Sariti. Ditinggalkannya maka-

nan, dan segera berkelebat ke luar. Ia ingin tahu ba-

gaimana tampang Bupati Kencana Wungu, yang menu-

rut desas desus sangat tampan dan penuh kewiba-

waan.

Dari kejauhan nampak dua lelaki tampan du-

duk di atas kuda-kuda mereka, sementara di bela-

kangnya berjalan puluhan prajurit mengiringi. Seren-

tak seluruh rakyat jongkok menyembah sembari surut 

minggir memberikan jalan. Kencana Wungu duduk di


atas dengan senyumnya, di samping kanan duduk di 

atas kuda Prakoso Suryo sang pimpinan prajurit yang 

sekaligus adik seperguruannya.

Ketika keduanya sampai de depan kedai, seren-

tak seluruh pengunjung kedai yang telah keluar jong-

kok menyembah seraya keluarkan sanjungan.

"Sejahtera bagi baginda Kanjeng Bupati kencan 

Wungu!" 

"Terimakasih... Sejahtera pula untuk kalian, 

rakyatku!" menjawab sang Bupati sembari lemparkan 

senyum manis. Namun seketika senyumnya menghi-

lang, berganti dengan kerutan di dahinya manakala di-

lihatnya seorang wanita muda cantik berdiri. Wanita 

muda cantik itu tidak jongkok seperti yang lain, tapi 

berdiri dengan angkuhnya bahkan tersenyum seenak-

nya. Mata gadis itu memandang tajam tak berkedip, 

memandang pada Kencana Wungu. Para prajurit yang 

melihat hal itu seketika berkelebat mendatangi gadis 

cantik itu bermaksud menangkapnya, manakala Ken-

cana Wungu telah mendahului berseru.

"Biarkan, Prajurit-prajuritku!"

Tersentak seluruh prajurit mendengar hal itu. 

Mereka tak mengerti kenapa Bupatinya melarang un-

tuk menangkap gadis liar dan angkuh itu. Kencana 

Wungu telah turun dari kuda, menghampiri gadis can-

tik itu yang masih berdiri memandangnya tajam 

menghunjam.

"Siapakah nona ini? Sepertinya nona orang ba-

ru di sini."

"Kaukah Bupati Kencana Wungu itu!" balik ber-

tanya gadis cantik itu, menjadikan seluruh mata melo-

tot kaget tak percaya kalau gadis itu akan nekad bera-

ni bertanya lancang. Seluruh rakyat seketika mengger-

tuk, kesal dan jengkel melihatnya.



"Gadis sombong! Lancang benar mulutmu!"

"Sudahlah, rakyatku. Janganlah kalian me-

mendam rasa benci atau marah. Aku tak apa, dan 

maklum akan hal itu. Siapa nama nona?" tanya Ken-

cana Wungu seraya datang menghampiri.

Gadis itu tersenyum memandang pada Kencana 

Wungu. Matanya menatap sayu, sepertinya mengata-

kan sesuatu maksud agar Kencana Wungu mau men-

gerti dan memahami arti tatapan itu. Hati Kencana 

Wungu seketika terpanah, bergetar mendengungkan 

sebuah kalimat merdu.

"Kenapa nona terdiam?" ulang Kencana Wungu 

bertanya.

"Ti-tidak. Aku terpana memandangmu," terba-

ta-bata gadis itu menjawab, menjadikan Kencana 

Wungu makin melebarkan senyumnya. Sementara 

sang gadis pun tersenyum, mengulaskan sebuah pe-

mandangan indah di bibirnya. "Nama hamba, Sariti... 

Dewi Sariti."

Kepala Kencana Wungu mengangguk-angguk 

mengerti.

"Dapatkah nona nanti datang ke Kadipaten?"

"Adakah saya bersalah, Kanjeng?" tanya sang 

gadis dengan takut-takut, menjadikan Kencana Wungu 

kembali mengulas senyum. Ditajamkan matanya me-

natap sang gadis, yang seketika itu tertunduk. Entah 

apa yang menjadikannya tertunduk, yang semula be-

rani menentang pandang.

"Aku tak dapat menjawabnya sekarang, tapi 

nanti di Kadipaten kau akan aku beritahukan," men-

jawab Kencana Wungu. "Ayo Dinda kita lanjutkan per-

jalanan."

"Daulat, Kanda. Prajurit... Kita teruskan perja-

lanan!" berseru Prakoso Suryo memerintah. Seketika


itu pula mereka pun bergerak kembali, meninggalkan 

tempat itu, meninggalkan Sariti yang memandang ke-

pergian mereka dengan sejuta perasaan yang melekat 

di hatinya.

* * *

Kuda-kuda yang ditumpangi mereka berjalan 

lambat, hal itu memang disengaja agar mereka dapat 

bercakap-cakap. Kencana Wungu tampak tercenung di 

atas kudanya, menjadikan Prakoso yang mengiringinya 

seketika mengajukan pertanyaan.

"Kenapa gerangan kanda melamun? Sepertinya 

kanda memikirkan sesuatu. Apakah gadis itu yang 

kanda tengah pikirkan?"

"Ah..." melenguh Kencana Wungu. "Kau tahu 

saja, Dinda."

"Dinda hanya menebak, sebab dinda perhatikan 

kanda melamun sejak kanda menghampiri gadis itu. 

Kenapa, Kanda...?"

Kencana Wungu sesaat menarik napas, me-

mandang pada Prakoso dengan bibir terurai senyum. 

Dan dengan malu-malu, Kencana Wungu menjawab. 

"Entahlah, Dinda. Sejak melihatnya hati kanda seketi-

ka itu pula telah terpanah oleh cinta."

"Ah..." kini Prakoso yang melenguh, yang seke-

tika mengundang perhatian Kencana Wungu bertanya.

"Kenapa, Dinda? Sepertinya kau merasa berat." 

"Entahlah, Kanda. Aku hanya merasakan sesu-

atu yang tak enak bila kanda harus dengan gadis itu," 

menjawab Prakoso Suryo. "Di samping liar, sorot ma-

tanya nakal. Apakah sorot mata itu tidak ada maksud 

sesuatu di baliknya? Entahlah, Kanda."

"Ah, kenapa kau mesti memikirkan itu semua,


Dinda. Mungkin sorot mata itu karena ia baru saja tu-

run gunung," berkata Kencana Wungu beralasan. "Bu-

kankah dulu kita waktu pertama kali turun gunung 

juga seperti macan...?"

Seketika itu kedua kakak beradik seperguruan 

itu pun bergelak tawa, lalu dengan segera dipacunya 

kuda-kuda yang mereka tumpangi.

* * *

Tersentak Kencana Wungu dan Prakoso Suryo 

manakala dilihat oleh keduanya bahwa gadis itu telah 

berada di halaman Kadipaten. Gadis itu tersenyum 

manakala melihat kedatangan mereka, sepertinya 

memberikan gambaran sesuatu. Ya, sesuatu yang tak 

dapat dijawab oleh kedua kakak beradik yang tak me-

naruh sakwasangka buruk. Apalagi Kencana Wungu, 

serta merta ia segera turun dari atas kudanya meng-

hampiri si gadis.

"Kapankah nona datang?" tanya Kencana Wun-

gu.

"Dari tadi," menjawab Sariti dengan bibir masih 

terurai senyum, senyum yang mampu menggetarkan 

dada setiap lelaki. "Sejak aku melihat Baginda, entah 

karena apa hatiku seketika ingin selalu melihat wajah 

Baginda. Apakah ini yang dinamakan tak bertepuk se-

belah tangan, Tuan...?"

Terbelalak dan makin melebar saja mata Ken-

cana Wungu kaget, demi mendengar penuturan Sariti 

yang polos. Dengan tanpa malu-malu Kencana Wungu 

segera menggandeng tangan Sariti, masuk ke dalam 

rumahnya. Prakoso Suryo hanya mampu geleng-

gelengkan kepala melihat hal itu, lalu ia pun segera 

berlalu menuju ke rumahnya.


Kedua orang itu telah dibuai cinta, yang meng-

gayut dan mengukir di hati mereka. Kencana Wungu 

nampak tersenyum, memapah langkah Sariti menuju 

ke kursi, keduanya hanya terdiam dan diam, saling 

pandang penuh arti. Lama hal seperti itu keduanya la-

kukan, sampai-sampai mereka tak menyadari kalau 

tangan-tangan mereka saling berkait, saling remas 

dengan bibir terurai senyum.

"Apakah yang hendak Kanjeng Bupati katakan 

padaku?" tanya Sariti tiba-tiba, menjadikan Kencana 

Wungu seketika mendesah. Sementara mata keduanya 

masih saling tatap, seakan membersitkan benang-

benang cinta.

"Apakah dinda belum mengerti juga?" balik ber-

tanya Kencana Wungu, menjadikan Sariti seketika 

berbinar-binar matanya disebut dinda. Ah, kata sebu-

tan itu sungguh merdu didengar di telinganya, menja-

dikan Sariti seketika itu melayang sukmanya terbang 

ke alam yang indah.

"Kanda..." mendesah Sariti terbata.

"Benar, Dinda. Sebut aku dengan sebutan itu, 

sungguh aku merasakan kebahagiaan bila kau mau 

menyebutkan sebutan Kanda padaku untuk sela-

manya." 

"Benarkah, Kanda?"

"Benar, Dinda. Sungguh aku mencintaimu se-

jak melihatmu tadi."

"Oooh, Kanda..." Sariti melenguh manja, men-

jadikan Kencana Wungu tak alang kepalang seketika 

itu pula bagaikan hilang keseimbangan tubuhnya. 

Kencana Wungu segera berdiri dari duduknya, me-

langkah mendekati Sariti.

"Maukah kau menjadi istriku, Dinda?"

"Dengan senang hati, Kanda..."


Mendengar jawaban itu, seketika tanpa sadar 

Kencana Wungu dekap tubuh Sariti. Perlahan dide-

katkan mukanya, lalu hidungnya dan yang terakhir 

bibir mereka berkait.

***

ENAM



Jaka Ndableg tersenyum melihat kera-kera 

yang berloncat-loncatan dari satu pohon ke pohon 

lainnya, saling canda ria. Tingkah kera-kera itu sangat 

lucu, mengundang gelak tawa bagi yang melihatnya.

Melihat kera-kera itu yang bebas berkeliaran 

dengan hati riang, menjadikan Jaka teringat pada di-

rinya. Dirinya juga bebas berkeliaran. Bedanya kalau 

kera-kera itu tak ada yang mengusik, sedang dirinya 

banyak musuhnya.

"Sungguh bahagianya kera-kera itu," gumam 

Jaka.

Pagi itu terasa sejuk, angin bertiup sepoi-sepoi 

menerpa daun-daun. Rambut Jaka yang gondrong 

nampak tergerai, beterbangan dihempas angin. Untung 

saja Jaka mengenakan ikat kepala, kalau tidak mung-

kin rambut-rambutnya akan berantakan.

Dengan menggeleng-gelengkan kepala melihat 

kera-kera yang lucu, Jaka segera mengambil sebuah 

buah mangga dan dilemparkannya ke arah kera-kera 

tersebut. 

"Ini untuk kalian, hoop!" 

Setelah memberikan mangga tersebut pada ke-

ra-kera yang seketika itu berebutan Jaka segera mene-

ruskan langkah kakinya berlalu meninggalkan hutan.


Pikirannya tak tentu arah, ke mana saja hati nura-

ninya mengajak. Ke situ pula Jaka membawa tubuh-

nya.

* * *

Manakala Kencana Wungu tak ada di rumah, 

diam-diam istrinya yang bernama Sariti atau Dewi 

Kencana Wungu mencari di mana adanya penjara ba-

wah tanah yang digunakan untuk memenjarakan Da-

tuk Luluhung Begeg.

Hari itu ketika sang Bupati menghadap baginda 

Raja, Dewi Kencana Wungu kembali mencari di mana 

adanya penjara bawah tanah. Telah hampir seluruh 

ruangan itu ia selidiki namun tak ada tanda-tanda ia 

bakal menemukannya.

"Mungkinkah di belakang rumah?" tanyanya 

dalam hati.

Segera Dewi Kencana Wungu berkelebat ke be-

lakang rumahnya. Dicarinya pintu yang berada di ba-

wah tanah, yang memungkinkan untuk menembus 

penjara tersebut. Namun kembali ia menemukan kega-

galan, karena ia tak mendapatkannya.

"Hem, sungguh-sungguh sulit. Kenapa aku ti-

dak menanyai Kencana Wungu saja?" mengeluh Dewi 

Sariti. "Tapi... apakah nanti ia tidak curiga? Ah, benar. 

kalau aku menanyakannya, bisa-bisa aku yang ditang-

kap karenanya. Hem, aku tak boleh putus asa dulu. 

Aku harus tetap mencari sampai ketemu."

Habis menggumam begitu, Sariti kembali men-

cari di mana adanya pintu masuk menuju ke penjara 

bawah tanah. Seluruh ruangan rumah telah ia cari, 

namun belum juga diketemukannya. Hampir saja Sari-

ti putus asa, manakala matanya seketika melihat se


suatu keganjilan di halaman belakang rumah. Pohon 

pisang itu berdiri, namun daun-daunnya tak menghi-

jau seperti daun pohon pisang lainnya.

"Hem, mungkin itu tempatnya. Coba aku perik-

sa."

Segera Sariti mengambil sekop, dan digalinya 

tempat itu. Belum begitu dalam ia menggali, tiba-tiba 

sekop yang digunakannya membentur betonan.

"Duk, duk, duk!"

"Hem, ini dia."

Perlahan-lahan Sariti membuka pintu yang ter-

buat dari betonan, yang menutupi lobang pintu.

"Hooop... ya!"

Betonan itu pun akhirnya terangkat, bersa-

maan dengan mentalnya tubuh Sariti. Saat itu juga, 

sepuluh tombak berkelebat mengarah Sariti yang ter-

sentak kaget, lemparkan tubuh ke samping menghin-

dar.

"Huh, benar-benar bahaya kalau aku tak hati-

hati," mengeluh Sariti dalam hati. Perlahan ia bangkit, 

lalu mendekati lubang yang menganga. Langkahnya 

begitu hati-hati, takut kalau-kalau jebakan akan da-

tang menyerang lagi.

Sariti mengambil sebongkah batu, dicobakan-

nya batu itu. Tak ada apa-apa yang menyerang batu 

itu. Setelah yakin benar bahwa sudah tak ada jebakan, 

Sariti perlahan-lahan menuruni tangga yang ada di si-

tu.

Dengan terlebih dahulu menengok kanan kiri, 

Sariti segera menuruni anak tangga ke bawah. Gelap 

keadaan di bawah hingga Sariti harus tertatih-tatih 

melangkah.

"Adakah ayah mendengar suaraku?"

Tak ada jawaban.


Sariti kembali melangkah maju perlahan, ma-

kin ke dalam dan ke dalam. Sesaat Sariti berdiri mena-

jamkan mata untuk dapat melihat di tempat gelap itu 

dan kembali ia berseru:

"Ayah... di mana kau?"

"Aku di sini, Anakku," terdengar jawaban dari 

seorang lelaki. "Terus kau melangkah maju! Kalau kau 

melihat cahaya, maka di situlah aku."

Sariti segera menuruti, ia melangkah perlahan 

dalam gelap. Dicarinya ruangan yang bercahaya, se-

suai dengan perintah ayahnya. Tak lama kemudian Sa-

riti pun akhirnya menemukan tempat itu.

"Ayah!" Sariti memekik, manakala dilihat oleh-

nya seorang lelaki tua dan tampak makin tua saja ter-

kurung dalam jeruji besi.

"Apakah ayah tak mampu membuka jeruji itu?"

"Mana mungkin, Anakku." melenguh Datuk Lu-

luhung Begeg. "Tangan kananku puntung, Anakku!"

"Puntung!" memekik kaget Sariti demi menden-

gar hal itu. "Siapa yang telah melakukannya, Ayah? 

Kencana Wungukah?"

"Bukan, Anakku." menjawab Datuk Luluhung 

Begeg, menjadikan Sariti kembali bertanya ingin tahu 

siapa adanya yang telah berani memutungi tangan 

ayahnya.

"Lalau siapa, Ayah? Biar aku yang akan meng-

hukumnya!"

Datuk Luluhung Begeg seketika menarik nafas. 

Ditatapnya wajah anaknya yang tegang. Ia maklum be-

tapa sang anak sangat mencintainya. Namun untuk 

mengatakan siapa adanya orang yang telah mencela-

kainya sungguh berat. Bukannya apa, sang Datuk tak 

ingin anaknya harus menghadapi resiko. Melihat 

ayahnya hanya terdiam, Sariti pun mendesaknya.


"Siapa, Ayah? Kenapa ayah sepertinya jeri?"

"Anakku. Tangan ayah ini ditebas oleh senjata 

pusaka milik siluman." Akhirnya Datuk Luluhung Be-

geg menjawabnya, menjadikan Sariti tersentak kaget.

"Siluman...? Jadi ayah telah bertarung dengan 

siluman?"

"Bukan itu, Anakku. Ayah tertebas oleh senjata 

pusaka seorang Pendekar yang namanya akhir-akhir 

ini tengah menjadi bahan ucapan. Kau kenal dia, 

nak?"

Sesaat Sariti terdiam sembari kerutkan kening 

mengingat-ingat siapa gerangan Pendekar Pemilik Sen-

jata Siluman. Namun sekian lama ia mengingat, tak 

juga ia mengenalinya hingga akhirnya ia pun menge-

luh. "Aku tak mengerti, Ayah."

Datuk Luluhung Begeg tersenyum.

"Pendekar itu masih muda. Mungkin sebaya 

dengan dirimu." menjelaskan Datuk Luluhung Begeg. 

"Dan senjata pusaka itu adalah sebuah Pedang yang 

mampu mengeluarkan darah bila berhadapan dengan 

musuh..."

"Pendekar Pedang Siluman Darah!" memekik 

Sariti memotong ucapan ayahnya.

"Benar anakku. Memang Pendekar itulah yang 

telah melakukannya, ia juga mengancam akan mem-

basmi kita, bila kita melakukan kejahatan lagi. Itulah 

kenapa ayah pasrah mendekam dalam penjara bawah 

tanah yang pengap ini."

Tergetar Sariti mendengar ucapan ayahnya 

yang bernada sedih. Darahnya seketika mendidih dan 

mendidih, bergetar-getar laksana badai. Seketika itu 

pula, dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman 

muncul. Dendam untuk dapat membalas segala yang 

pernah dilakukan pendekar itu pada ayahnya, sehing


ga tanpa sadar Sariti berseru lantang

"Aku akan balas semua ini, Ayah! Akan aku 

puntungi leher Pendekar Pedang Siluman Darah!"

"Anakku!" tersentak kaget Datuk Luluhung Be-

geg mendengar sumpah anaknya. Hampir saja Lulu-

hung Begeg menangis. Ya, Datuk Luluhung Begeg se-

dih. Ia tahu bahwa pendekar muda itu sangat susah 

dikalahkan. "Percuma, Anakku. Dia bukan pendekar 

sembarangan apalagi senjatanya."

"Tidak, Ayah! Tekadku untuk membalas semua 

ini akan aku laksanakan. Aku tak akan membiarkan 

pendekar sok ingin mencampuri urusan orang lain."

Menggerutuk ucapan Sariti, sampai-sampai gi-

gi-giginya beradu. "Sekarang ayah menepi, akan aku 

hancurkan jeruji besi ini."

Datuk Luluhung Begeg tak dapat menolak per-

mintaan anaknya, segera sang Datuk menurut menepi. 

Sejurus kemudian...

"Hiat! Aji Lebur Raga!" 

"Duar! Duar! Duar!"

Tiga kali berturut-turut terdengar ledakan dah-

syat. Bersamaan dengan itu, besi-besi penutup ruan-

gan seketika hancur patah-patah terhantam ajian Le-

bur Raga. Hal ini menjadikan mata Datuk Luluhung 

Begeg melotot kaget. Ia tak menyangka kalau anaknya 

mampu memiliki ajian yang sungguh-sungguh dah-

syat. Serta merta Datuk Luluhung Begeg memeluk tu-

buh anaknya dan menangis.

"Sudahlah, Ayah. Jangan kau menangis. Kini 

ayah telah bebas."

"Tapi artinya kebebasanku kalau tetap diburu 

oleh pihak Bupati Kencana Sari, Anakku?"

"Jangan pikirkan itu. Malam nanti aku akan 

membuat segalanya berubah," menjawab Sariti beru


saha menenangkan ayahnya. "Ayah bersembunyilah, 

pergilah ayah ke Gunung Lanang dan temui anak bua-

hku. Katakan pada mereka ayah adalah ayahku. Ayah 

Penguasa Gunung Lanang!"

"Tapi, apa yang hendak kau lakukan, Nak?" 

tanya Datuk Luluhung Begeg dengan mata menyipit.

"Tak usahlah ayah banyak tanya dulu. Waktu-

ku tak ada lagi, sebab sebentar lagi suamiku akan da-

tang."

"Jadi... Kau istri Kencana Wungu?" tanya Datuk 

Luluhung Begeg kaget, dijawab dengan anggukkan ke-

pala oleh Sariti. Setelah kedua bapak dan anak itu 

kembali berpelukan, Datuk Luluhung Begeg pun sege-

ra pergi meninggalkan penjara bawah tanah untuk 

mencari tempat yang ditunjukkan oleh anaknya yaitu 

Gunung Lanang. Tak ia sangka, kalau Penguasa Gu-

nung Lanang yang ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan 

adalah anaknya sendiri...

* * *

"Baru datang, Kakang?" sapa Sariti dengan se-

nyum manis, manakala menyambut kedatangan sua-

minya yang mengangguk sembari tersenyum. Dipa-

pahnya tubuh Sariti masuk ke dalam.

Sariti masih tersenyum, menuruti ajakan sua-

minya dengan perasaan berkecamuk. Perasaan den-

dam, seketika berperang dengan perasaan kasih. Ya, 

benih dari Kencana Wungu telah tersebar di rahimnya. 

Tapi bila mengingat ayahnya, segera pikiran lain dihi-

langkan. Ditekannya perasaan yang satu. Dendam. Ya, 

dendam pada Kencana Wungu suaminya. Juga den-

dam pada Pendekar Pedang Siluman Darah.

"Malam ini aku akan menjadikan Kadipaten ini


geger!" berkata Sariti dalam hati, sementara ia masih 

tetap melayani apa yang tengah dilakukan suaminya. 

Dibalasnya permainan cinta Kencana Wungu. Ketika 

Kencana Wungu terhanyut, tiba-tiba Sariti mendorong 

tubuh Kencana Wungu dengan kasar, menjadikan 

Kencana Wungu tersentak kaget.

"Kenapa, Dinda? Kenapa berbuat begitu?" tanya 

Kencana Wungu tak mengerti. Matanya memandang 

tak berkedip, tajam bagaikan menggores ulu hati. Bi-

birnya memang masih tersenyum, tapi senyum itu ada-

lah senyum sinis.

"Kau harus mati, Wungu. Kau harus mati ma-

lam ini!"

Habis berkata begitu Sariti melompat, men-

gambil pedangnya yang tergantung. Tersentak kencana 

Wungu melihat istrinya tiba-tiba liar dan ganas. Ken-

cana Wungu menyangka itu karena pengaruh sang 

bayi, sehingga ia pun membiarkannya. Maka manakala 

Sariti tebaskan pedang tak ayal lagi, pedang itu mem-

babat puntung lehernya.

"Aaaahhh!" memekik Kencana Wungu.

Tubuhnya seketika ambruk bersamaan dengan 

menggelindingnya kepala. Ambruk dengan darah men-

cuat dari leher yang putung.

Tertawa bergelak-gelak Sariti melihat hal itu. 

Dari sela-sela bibirnya, terbersit sebuah kata-kata, se-

belum ia pergi meninggalkan Kadipaten. "Tunggulah 

nanti olehmu, Pendekar Pedang Siluman Darah. Aku 

akan mengadakan perhitungan denganmu, hi, hi, hi..."

****

TUJUH



Esok paginya…..

Tersentak melotot mata Prakoso melihat apa 

yang terjadi. Dilihatnya tubuh kakak seperguruannya 

telah mati dengan kepala terpenggal. Tanpa dapat 

mencegah, menangislah Prakoso Suryo seketika.

“Di manakah Kanda Dewi?”

Segera Prakoso Suryo tinggalkan tubuh kakak-

nya mencari Dewi Sariti. Segenap penjuru rumah dije-

lajar, tak ditemukan. Prakoso Suryo lari ke belakang, 

tak juga ia menemukan. 

“Kurang ajar! Ternyata iblis betina itu yang te-

lah berbuat semuanya?” menggerutuk marah Prakoso 

Suryo. “Prajurit!”

“Daulat, Tuan!” menjawab Prajurit.

“Sinting kalian! Cepat ke mari!”

Dengan rasa takut, Prajurit itu segera datang 

menghampiri Prakoso Suryo.

“Ada apa, Ketua?”

“Dungu! Apakah kalian tadi malam tidak meli-

hat apa-apa, hah!”

Pucat pasi seketika wajah prajurit itu menden-

gar teriakan ketuanya, prajurit itu tahu kalau ketua-

nya telah marah, dan ia pun telah tahu apa yang bakal 

terjadi bila ketuanya marah. Maka dia hanya mampu 

diam dan diam, tanpa berani berkata-kata.

“Apakah telinga kalian yang jaga telah tuli 

hingga tidak mendengar keributan, hah! Atau kalian 

memang sengaja bersekongkol dengan iblis wanita itu, 

jawab!”

“Am-ampun, Ketua. Sungguh kami tak berani 

berkata bohong pada Ketua. Me-me-mang kami men-

dengarnya, namun kami menyangka suatu pertengka-

ran biasa. Dan-dan ketika kami menanyai sang Dewi,


dia hanya menjawab bahwa dia akan pergi keluar se-

bentar,” menjawab prajurit terbata-bata.

“Hem, sekarang juga beritakan pada seluruh 

rakyat bahwa kadipaten tengah berkabung!” perintah 

Prakoso Suryo. Ia menyadari betapa pun para prajurit-

nya tak dapat disalahkah. Mereka sangat menjunjung 

tinggi tatakrama dan etika. Manalah mereka berani 

bertindak ceroboh, sedang yang ribut adalah gustinya. 

“Daulat, Ketua.”

“Lakukanlah sekarang juga. Beritahu pada se-

genap penduduk bahwa Kanjeng Bupati meninggal di-

bunuh oleh Iblis Betina itu!”

“Daulat, Ketua,” menjawab prajurit.

“Kau….” menunjuk Prakoso Suryo pada prajurit 

lainnya.

“Daulat, Ketua.”

“Periksa tahanan, segera!”

Sang prajurit yang diperintah dengan segera 

melaksanakan tugas mereka masing-masing. Ada yang 

mengurusi mayat sang Bupati, mengurusi penyebaran 

pengumuman dan ada pula yang melihat tahanan ba-

wah tanah. Tak begitu lama kemudian, prajurit yang 

diperintah melihat tahanan telah kembali dengan mata 

menggambarkan ketakutan. Hal itu menjadikan Prako-

so Suryo seketika kerutkan kening, dan bertanya.

“Ada apa, Prajurit?”

“Ketiwasan, Ketua” menjawab prajurit itu.

“Ketiwasan…? Ketiwasan bagaimana maksud-

mu?”

“Tahanan itu telah pergi,” menjawab sang pra-

jurit dengan takut, kalau-kalau ketuanya bakal marah.

“Edan! Kalau begitu jelas iblis betina itu kam-

brat Datuk Luluhung Begeg!” bergumam Prakoso 

Suryo gusar. “Cari mereka sampai ketemu, lakukan



cepat!”

“Daulat, Ketua,” menjawab kesepuluh prajurit.

Setelah menyembah hormat, kesepuluh prajurit 

itu tanpa membuang-buang waktu lagi segera menja-

lankan perintah. Mereka memacu kudanya laksana 

angin, cepat memburu bagaikan desingan anak panah 

yang diluncurkan dari busurnya.

Jaka yang saat itu hendak menuju ke Kabupa-

ten untuk silaturahmi pada Kanjeng Adipati Kencana 

Wungu dan adiknya Prakoso Suryo seketika hentikan 

langkah, manakala dilihat segerombolan penduduk 

tengah berkerumun mengerumuni seseorang. Segera 

Jaka berkelebat menuju ke arah situ.

Tersentak Jaka mendengar pengumuman yang 

dibacakan oleh salah seorang prajurit Bupati yang ia 

kenal bernama Jambe Lanang, yang isinya memuat be-

rita duka kematian sang Bupati. Setelah Jambe La-

nang membacakan pengumuman, segera Jaka berseru 

memanggilnya.

“Jambe Lanang, tunggu…”

Jambe Lanang yang merasa namanya ada yang 

memanggil hentikan langkah. Dibalikkan tubuhnya 

menghadap pada suara itu berasal, ia begitu tersentak 

manakala tahu siapa adanya yang telah memanggil 

namanya. Tanpa sadar Jambe Lanang bergumam me-

nyebut nama pemuda itu.

“Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah, kebe-

tulan.”

“Benarkah apa yang kau bacakan tadi, Jambe?”

tanya Jaka ingin memastikan, yang di angguki oleh 

Jambe Lanang dengan mata terurai menangis. Melihat 

hal itu, trenyuh hati Jaka seketika. Ia telah maklum 

kalau seluruh rakyat benar-benar kehilangan seorang


pimpinan yang baik, yang bijaksana dan mementing-

kan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendi-

ri.

“Sudahlah, Jambe. Ayo kita ke Kadipaten,”

mengajak Jaka.

Keduanya segera meninggalkan kerumunan 

orang yang juga meneteskan air mata. Mereka merasa-

kan betapa Kadipaten akan hilang pamornya bila tidak 

dalam genggaman dua saudara itu. Dengan berlari-lari 

keduanya segera menuju ke Kadipaten.

Tak berapa lama kemudian Jaka dan Jambe 

Lanang telah sampai di Kadipaten. Kadipaten saat itu 

tengah benar-benar berkabung atas wafatnya sang 

Bupati, sehingga kedatangan Jaka dan Jambe Lanang 

tidak mengusik mereka yang tengah dirundung lara. 

Mereka saat itu tengah menangis dan menangis, me-

nangisi 1uka cita sang Bupati.

“Sampurasun…” menyapa Jaka, yang seketika 

itu mengejutkan Prakoso Suryo. Prakoso Suryo seketi-

ka menengokkan muka, dan ia tersentak berbaur rasa 

senang demi melihat siapa gerangan orang yang da-

tang. Dengan mengelap air matanya yang merembes 

keluar, Prakoso Suryo segera menghampiri Jaka.

“Aku turut berduka cita, Prakoso.”

“Ah, terimakasih, Tuan Pendekar,” menjawab 

Prakoso Suryo.

“Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang te-

lah terjadi hingga sampai kejadian seperti ini?” Jaka 

bertanya. Dilangkahkan kakinya menuju ke sesosok 

tubuh yang terbaring bertutup kain. Perlahan kain pe-

nutup itu dibukanya, dan…! Jaka seketika melototkan 

mata, manakala melihat gerangan apa yang ia saksi-

kan. Kepala Bupati sahabatnya, puntung dari tubuh. 

Tanpa sadar, Jaka menggumam dengan gigi bergeme



retukkan menahan marah. Walaupun Bupati Kencana 

Wungu bukan sanak kandungnya, namun Bupati ini 

telah mengangkat dirinya sebagai saudara. Ditambah 

lagi dengan guru Kencana Wungu yang telah memin-

tanya untuk melindungi kedua muridnya.

“Gusti Allah… Sungguh perbuatan keji.”

“Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya 

pada Kyai Basofi? Oh, sungguh aku adalah orang yang 

telah melalaikan amanat,” mengeluh Jaka dalam hati. 

Matanya memandang tak berkedip berkaca-kaca.

“Siapa pelaku semua ini, Prakoso?” tanyanya 

kemudian.

“Anak Datuk Luluhung Begeg,” menjawab Pra-

koso Suryo, menjadikan Jaka tersentak hampir me-

lompat mundur mendengar penuturan Prakoso.

“Edan! Jadi Datuk Iblis itu mempunyai seorang 

anak?” menggerutu Jaka kesal. “Lalu kenapa sampai 

anak Datuk Iblis dapat menyusup ke mari?”

Prakoso Suryo yang ditanya sesaat tercenung 

diam. Dihelanya napas perlahan, lalu dengan suara 

yang serak karena menangis Prakoso Suryo pun men-

ceritakannya.

“Setelah kita dapat menangkap Datuk Lulu-

hung Begeg, seperti yang engkau ketahui sang Datuk 

kami penjarakan di penjara bawah tanah.”

“Benar. Lalu…?”

“Tiga bulan kemudian, ketika kami tengah me-

lakukan perjalanan keliling wilayah untuk melihat-

lihat keadaan wilayah, kami menemui seorang gadis 

yang memandang pada kami dengan pandangan ang-

kuh di depan sebuah kedai. Gadis itu yang kami keta-

hui bernama Dewi Sariti rupanya telah memasang jerat 

cinta di hati kanda Kencana Wungu, sehingga kanda 

Kencana Wungu pun jatuh cinta saat itu pula. Mu


lanya aku bermaksud menghalangi karena menurut 

pendapatku dia bukan orang baik-baik. Namun kanda 

Kencana Wungu menentang pendapatku. Yang lebih 

aneh, gadis itu telah tiba lebih dahulu di sini menda-

hului kami. Saat itu juga, kakanda Kencana Wungu 

menjadikan gadis itu istrinya. Dan terjadilah bencana 

ini.”

Jaka terdiam mendengarkannya, kepalanya te-

rangguk-angguk, tangannya dipotongkan pada tangan 

yang lain menyangga dagu, lalu kembali Jaka membu-

ka kain penutup mayat. Seketika hatinya menggelegar 

marah, sehingga tiba-tiba Jaka bergumam.

“Aku akan mencari kedua iblis itu. Akan aku 

buat perhitungan dengannya. Nah, Prakoso aku tak 

dapat mengikuti pemakaman kakakmu, aku harus se-

gera meringkus dua iblis itu.”

Bersamaan dengan habisnya ucapannya, Jaka 

tiba-tiba telah berkelebat pergi meninggalkan Kadipa-

ten yang tengah dirundung duka untuk mencari dua 

iblis anak bapak.

“Dasar iblis. Sudah aku ancam masih saja ne-

kad. Hem, dikira aku akan membiarkan begitu saja, 

enak saja, memangnya aku ini apa?” bergumam Jaka 

sembari terus berlari entah untuk ke mana, yang jelas 

di hatinya hanya ada satu tujuan yaitu mencari orang 

yang telah membunuh Kencana Wungu.

* * *

Ketika Jaka tengah berlari memburu waktu, ti-

ba-tiba langkahnya dikejutkan oleh suara rintihan dari 

seseorang. Jaka yang mendengar seketika itu juga 

mencarinya. Tak berapa lama kemudian, Jaka telah 

dapat menemukan orang yang tengah merintih itu.


Tubuh orang itu terdapat banyak luka bekas aniaya. 

Jaka gelengkan kepala melihat hal itu seraya meng-

hampiri.

“Ki sanak, kenapa kau? Kenapa kau tergeletak 

di sini dengan luka-luka macam begini?”

Orang yang luka-luka itu perlahan membuka 

matanya, memandang pada Jaka. Dan tiba-tiba orang 

itu menyebut nama Jaka, yang menjadikan Jaka ter-

sentak kaget.

“Kau menyebut namaku, Ki sanak?” tanya Jaka 

heran.

“Bu-bukan. Bukan kau. Aku-aku adalah praju-

rit Kabupaten Kencana Sari. A-aku dan kawan-

kawanku telah dibantai oleh seseorang yang mengaku 

bernama Jaka Sedaya.” Berkata lelaki prajurit itu me-

nerangkan. “Entah karena apa, tiba-tiba ia telah me-

nyerang pada kami.”

“Apa kau tak tahu masalahnya?”

“Ti-tidak. Di-dia hanya menyebut nama De-

Dewi Sariti Iblis durjana yang telah membunuh kan-

jeng Bu-pa-ti…” orang itu akhirnya terkulai lemas, ma-

ti.

“Hem, rupanya sang iblis bukannya sendirian. 

Ternyata dia memiliki anak buah juga. Aku harus 

mencegah segala tindakannya. Hiaaat…”

Setelah membaringkan tubuh lelaki itu yang 

ternyata prajurit Kadipaten Kencana Sari, Jaka Ndab-

leg segera kembali berkelebat pergi mencari siapa 

adanya orang-orang yang telah berbuat sadis. Memang 

telah ia ketahui bahwa orang-orang itu adalah anak 

Datuk Luluhung Begeg, yang ia kenal. Mampukah Ja-

ka mencari mereka? Ikuti terus kisah ini sampai tun-

tas…

***


DELAPAN


Gunung lanang...

Puncak Gunung Lanang dari kejauhan tampak 

menjulang tinggi seperti hendak mencakar langit, tam-

pak tenang dan sunyi. Namun bila kita melihat apa 

yang ada di situ, kita akan dihadapkan pada sebuah 

pemandangan yang sangat mengerikan.

Malam bulan purnama telah datang, bersama 

semilirnya angin malam yang terasa menyengat kulit 

menggigilkan sumsum. Seorang gadis perawan tampak 

tergeletak di atas sebuah batu yang berbentuk pipih 

panjang. Mata gadis itu sayu, sepertinya tak ada gai-

rah lagi untuk memandang atau untuk berbuat lain. Ia 

seperti telah pasrah pada nasibnya, yang akan me-

renggut usianya hanya sampai pada malam itu saja.

Dari tempat lain, terdengar suara orang-orang 

tengah berdoa dengan cara mereka. Tangan mereka di-

angkat tinggi-tinggi, lalu menari-nari. Orang-orang itu 

kebanyakan laki-laki, ditambah dengan seorang wanita 

yang kita kenal sebagai Sariti. Sariti tampak duduk 

dengan agungnya di atas singgasananya. Ya, dialah 

penguasa Gunung Lanang. Apa yang tengah Sariti la-

kukan?

Seperti ayahnya Datuk Luluhung Begeg, Sariti 

pun menganut ilmu sesat dari raja iblis Kongkong Ba-

long. Raja Iblis penguasa Gunung Lanang yang dengan 

senangnya menerima Sariti menjadi murid. Segala ke-

saktian telah dilimpahkan raja Iblis itu pada Sariti 

dengan imbalan Sariti harus mengorbankan seorang 

gadis setiap bulan purnama.

Sepertinya malam itu, Sariti dan pengikut


pengikutnya pun tengah melakukan upacara sakral 

tersebut.

"Wahai para pengikutku. Dengan cara seperti 

inilah, kita akan selalu diindungi oleh Penguasa Gu-

nung Lanang. Malam ini adalah malam korban bagi 

Penguasa Gunung Lanang. Apakah kalian telah meme-

riksa benar-benar akan keperawanan gadis itu?" ter-

dengar suara Sariti berkata. Suaranya menggema, 

menjadikan sebuah gaung yang sangat menggetarkan 

jantung yang mendengarnya.

"Sudah, Ketua..." menjawab para pengikutnya.

"Nah, sesaat lagi malam akan datang. Kalian 

persiapkan segalanya, aku akan datang menemui ka-

lian nanti, lakukanlah!"

Tanpa banyak membantah, semua anggotanya 

segera menyembah dan bergegas pergi meninggalkan 

Sariti seorang diri. Sariti sunggingkan senyum, lalu 

tertawa bergelak-gelak.

"Hua, ha, ha... Akulah yang kelak menjadi pim-

pinan dunia. Aku tak akan ada tandingannya. Hem, 

tinggal menyingkirkan Jaka Ndableg atau Pendekar 

Pedang Siluman Darah saja, semuanya akan beres. 

Hua, ha, ha..."

Tengah Sariti tertawa-tawa seorang diri, dari 

pintu lain keluar seorang pemuda datang menghampi-

rinya. Sariti tersenyum manakala tahu siapa adanya 

pemuda itu, lalu dengan suara manja Sariti memanggil

nama pemuda itu.

"Jaka... Kemarilah, sayang?"

Pemuda yang bernama Jaka itu perlahan me-

langkah menghampiri. Wajahnya tampan, namun ada 

goresan yang menunjukkan sebuah kekerasan di pipi 

sebelah kirinya. Jaka melangkah bagaikan robot, men-

dekati Sariti yang tersenyum. Makin lama makin dekat


dan dekat.

Sariti yang tak tahan lagi dengan nafsunya, ser-

ta merta menarik tangan Jaka. Di tempat itu pula, ke-

duanya segera bergumul saling rengkuh.

Sementara di tempat lain, anak buah Penguasa 

Gunung Lanang nampak tengah menjalankan apa 

yang menjadi perintah ketuanya. Mereka menggotong 

tubuh seorang gadis, yang dibawanya ke luar.

Gadis itu digeletakkan terlentang, dengan tan-

gan dan kaki diikat tali. Mulut semua orang bertudung 

hitam itu nampak komat kamit, sepertinya tengah 

membaca mantra.

Bulan perlahan bergeser ke arah barat, mengi-

kuti pergeseran waktu. Dari rumpun bambu agak jauh 

dari mereka melakukan upacara sakral, sepasang ma-

ta mengawasinya dengan tajam. Mata itu tak berkedip, 

memandang tajam pada orang-orang bertudung. Pemi-

lik mata itu seketika membatin diliputi seribu macam 

pertanyaan.

"Sungguh-sungguh kejadian setahun terulang 

lagi. Apakah pelakunya sama yaitu Datuk Luluhung 

Begeg juga? Aku tak boleh membiarkan begitu saja. 

Aku harus bertindak! Tapi aku akan melihat dulu apa 

yang akan mereka lakukan."

Upacara sakral itu terus berjalan. Sepertinya 

orang-orang bertudung itu tak mengetahui bahwa ke-

giatannya telah diintai oleh sepasang mata tajam, seta-

jam burung rajawali kala mengintai mangsa.

"Wahai Penguasa Gunung Lanang... wahai Pen-

guasa Gunung Lanang... malam ini, kami sengaja kor-

bankan untukmu seorang gadis perawan... semoga, 

kau mau menerimanya... datanglah... datanglah...!"

Terdengar suara seseorang yang berdiri paling 

tengah menyeru doa menjadikan orang yang mengin


tainya hampir tertawa demi mendengar bacaan doa 

yang seperti menyanyi.

"Edan! Rupanya mereka telah dikuasai oleh ib-

lis!" membatin pengintai itu dengan mata yang tetap 

tajam. "Apakah mereka juga tak sadar dengan apa 

yang mereka lakukan? Sepertinya memang ya."

"Wahai Penguasa Gunung Lanang, terimalah 

persembahan kami untukmu." Habis ucapan ketua 

upacara sakral itu, mereka semua menyanyi-nyanyi 

dan berjoget-joget persis orang gila, mengitari tubuh 

gadis yang terbaring itu.

Lelaki yang mengintai seketika berkelebat cepat 

dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berada dalam bo-

pongannya. Tersentak semua yang tengah mengikuti 

upacara itu, demi melihat seorang pemuda yang tak 

lain Jaka Ndableg telah berani lancang mengambil ca-

lon korbannya.

"Bedebah! Kau berani menghina Penguasa Gu-

nung Lanang. Siapa kau adanya, Anak muda!" mem-

bentak ketua upacara dengan geramnya.

Jaka tertawa bergelak, dan dengan suara 

menggereng Jaka berseru. "Akulah penguasa Gunung 

Lanang. Maka aku berhak membawa korbanku ini. 

Bukankah kalian mempersembahkan korban ini un-

tukku? Hua, ha, ha..."

Suara Jaka yang dilandasi dengan tenaga da-

lam, menggema dengan kerasnya. Suara itu menjadi-

kan runtuhan batu-batu yang ada di sekitar Gungung 

Lanang, menimbulkan gempa yang dahsyat.

"Bohong! Kau bukan Penguasa Gunung La-

nang. Penguasa Gunung Lanang meminum darah. Tapi 

kau, kau tak lebihnya manusia cecunguk yang suka 

usilan!" kembali ketua upacara menggeretak marah, 

merasa Jaka telah mempermainkannya.


"Hua, ha, ha... kalau itu yang kalian ingini. 

Baiklah, memang aku pun sudah haus darah. Ayo, 

siapa yang hendak menjadi korbanku."

"Bangsat! Serang cecunguk jelek itu!"

Mendengar ucapan ketua upacara sakral, seke-

tika semuanya berkelebat mengeroyok Jaka Ndableg. 

Namun dengan membopong tubuh gadis di pundaknya 

sekali pun, Jaka dengan mudah melayani setiap se-

rangan musuh-musuhnya. Bahkan dengan ringan kaki 

dan tangannya bergerak cepat.

"Bahaya kalau aku memanggul gadis ini sambil 

bertarung. Memang kalau menghadapi kroco-kroco se-

perti ini, mudah ku melayaninya. Namun bila ketuanya 

keluar juga Datuk Luluhung Begeg, niscaya aku kere-

potan juga. Baiklah, aku akan menitipkan tubuh gadis 

ini pada penduduk, nanti baru aku ke sini lagi," ber-

gumam Jaka dalam hati, dan dengan segera berkelebat 

tinggalkan tempat tersebut.

"Kejar cecunguk itu...!"

"Setan! Aku dikata cecunguk. Ah, biarlah dulu 

nanti kalian akan tahu siapa adanya cecunguk ini." 

Jaka terus berlari dengan cepat menuruni gunung. 

Sementara pengejarnya nampak terus memburu dan 

baru setelah melintasi sendang, pengejar-pengejar itu 

segera balik kembali.

"Syukurlah mereka tak terus mengejar," gumam 

Jaka sembari terus berlari membawa tubuh gadis itu. 

Jaka berhenti dari larinya tatkala dirasa sudah jauh 

meninggalkan Gunung Lanang. Diturunkannya tubuh 

si gadis, lalu dibukanya totokan yang ada di leher si 

gadis yang menjadikannya tak dapat bicara.

"Terimakasih, Tuan. Mungkin bila tuan tidak 

menolong saya akan menjadi apa," berkata si gadis 

yang telah terbebas dari totokannya.


"Ah, tak usah kau pikirkan semua itu. Siapa 

namamu?"

Gadis itu tersipu-sipu manakala matanya bera-

du pandang dengan mata Jaka. Perlahan-lahan kepa-

lanya menunduk, menyembunyikan apa yang kini be-

rada pada kedua pipinya. Lalu dengan suara lembut si 

gadis menjawabnya.

"Nama saya, Leilina."

"Hem..." Jaka menggumam seraya kerutkan 

kening mendengar nama gadis yang ditolongnya, men-

jadikan si gadis yang bernama Leilina seketika ber-

tanya.

"Kenapa tuan menatapku begitu?"

"Namamu aneh, Nona Leilina. Apakah kau bu-

kan orang asli sini?"

Leilina menggelengkan kepala.

"Jadi orang manakah?"

"Aku...?" tanya Leilina ingin memastikan seraya 

menunjuk pada diri sendiri.

"Ya, nona..."

"Aku berasal dari Tibet," jawab Leilina, menja-

dikan Jaka seketika tersentak kaget menggumam, 

mengulang kata-kata akhir yang diucapkan Leilina.

"Tibet...?"

"Ya..."

"Baiklah, Nona Leilina. Kau akan aku titipkan 

pada penduduk kampung dulu."

"Lalu tuan mau ke mana?" tanya Leilina terhe-

ran-heran,

"Aku hendak kembali ke Gunung Lanang, tem-

pat tadi," menjawab Jaka, yang menjadikan mata Leili-

na seketika makin menyipit. "Kenapa nona?"

"Aneh tuan ini," menggumam Leilina makin 

menjadikan Jaka tersentak tak mengerti. "Kenapa tuan


yang telah terbebas mau mendatangi tempat itu lagi?"

Jaka hanya gelengkan kepala, dengan senyum 

menyungging di bibirnya. Lalu dengan suara pelan Ja-

ka menceritakan apa yang telah menjadi tujuannya 

pada Leilina yang seketika itu melotot kaget demi men-

getahui Jaka adanya. Dari bibirnya yang mungil, ter-

bersit seruan kaget. "Jadi tuan seorang pendekar? Ah, 

sungguh aku bahagia bisa mengenal tuan."

"Sudahlah, Nona, aku tak ada waktu. Ayo..."

Dengan segera Jaka membopong tubuh Leilina 

dan membawanya menuju ke perkampungan pendu-

duk. Setelah menitipkan Leilina pada salah seorang 

penduduk yang mau menerimanya, Jaka segera berke-

lebat pergi menuju ke Gunung Lanang.

***

SEMBILAN


bat pergi menuju ke Gunung Lanang.

***

9

"Sariti... Keluar kau!"

Sariti yang tengah menikmati alunan kasih 

dengan seorang pemuda yang bernama Jaka, seketika 

tersentak kaget demi mendengar seruan seorang yang 

mengenal namanya.

"Hem, siapa orang gila yang nekad, datang ke 

mari?" menggerutu Sariti, "Ayo Jaka..."

Dengan ditemani Jaka, Sariti segera bergegas 

keluar menemui orang yang berteriak-teriak memang-

gil namanya. Sariti tersentak, manakala dilihatnya seo-

rang pemuda telah berdiri dengan angkuh memandang 

padanya.

"Siapa kau!" bentaknya.

"Hua, ha, ha... Iblis betina! Rupanya kau juga


seekor iblis yang suka pada pemuda. Hem, inikah pe-

muda yang mengaku-aku namaku?" bergelak Jaka ter-

tawa, menjadikan Sariti dan pemuda yang berdiri di si-

sinya melotot marah.

"Bedebah! Siapa kau, Pemuda gila!" membentak 

pemuda yang berdiri di samping Sariti dengan bengis.

"Akulah Jaka Ndableg, yang namanya kau pa-

kai seenak udelmu!"

"Enak saja kau bicara, Bocah edan! Kuhancur-

kan batok kepalamu, hiaat....!" Jaka yang bergaret be-

kas luka di pipinya segera berkelebat menyerang.

Jaka Ndableg tersenyum renyah mendapat se-

rangan itu, ia tak menyangka kalau orang yang tengah 

dihadapinya bukan pemuda sembarangan. Pemuda 

yang juga bernama Jaka, adalah murid dari seorang 

Datuk sesat Bulang Kesupan.

Serangannya begitu keras dan gesit, menjadi-

kan Jaka tersentak kaget. Jaka yang tak mengira ka-

lau pemuda itu tinggi ilmunya, tak sempat lagi menge-

lakkan serangan manakala pemuda itu menghantam-

kan tangannya. Hantaman itu begitu keras, menjadi-

kan Jaka Ndableg sempoyongan ke belakang. Dadanya 

terasa agak sesak. 

Melihat hal itu, tertawa bergelaklah Sariti yang 

menyangka kalau orang yang ditakuti oleh ayahnya 

ternyata hanya mempunyai ilmu yang rendah.

"Sungguh bodoh ayah. Ternyata pemuda dungu 

seperti ini ia takuti. Hem, belum juga menghadapi aku 

dia sudah keok, apalagi nanti menghadapi aku." ber-

gumam Sariti dalam hati. 

"Mana gelarmu yang besar itu, Pendekar. Ter-

nyata nama besarmu hanya isapan jempol belaka. Nya-

tanya kosong melompong!"

Jaka hanya meringis dan berusaha bangkit dari


duduknya. Dengan masih menahan sakit, Jaka Ndab-

leg kembali bangkit berdiri. Namun belum juga ia was-

pada tiba-tiba pemuda musuhnya telah mendahului 

menyerang. Tersentak Jaka saat itu juga, dan untuk 

kedua kalinya Jaka tak sempat mengelakkan tendan-

gan musuh.

Tubuh Jaka Ndableg kembali terpental ke bela-

kang.

"Bedebah! Jangan berbangga dulu Sariti, aku 

belum kalah. Mari kita lanjutkan!" Dengan sekuat te-

naga, Jaka segera bangkit dari jatuhnya. Secepat kilat 

Jaka berkelebat dengan pukulan tenaga dalamnya. 

Kemarahannya yang merasa telah dibakar seketika 

meledak, menjadikannya bagai banteng ketaton.

Melihat hal itu, bukannya pemuda musuhnya 

takut, bahkan dengan ganda tawa pemuda musuhnya 

itu mengejek. "Hua, ha, ha... Rupanya kau masih 

mampu, Anak edan. Baik, aku layani apa yang menjadi 

sukamu, hiaat...!"

Kedua Jaka itu segera terlibat pertarungan. Ja-

ka Ndableg yang sudah merasakan dua kali hantaman 

pemuda itu, tak segan-segan lagi keluarkan segala ju-

rus yang dimiliki. Segala jurus dari keempat gurunya, 

mengalir bagaikan air bah silih berganti.

Tersentak Jaka kambratnya Sariti melihat ju-

rus-jurus yang aneh, yang dikeluarkan oleh Jaka 

Ndableg. Jurus-jurus Jaka Ndableg tampak kaku, na-

mun angin pukulannya begitu dahsyat. Karena kekua-

tan itulah, menjadikan pukulan dan tendangan Jaka 

Ndableg begitu keras.

"Aku leburkan tubuhmu, Iblis!" memaki Jaka 

Ndableg marah.

Tubuhnya bergerak cepat, berputar laksana 

kincir. Tanpa dapat dicegah, kakinya yang membentuk


sebuah senjata menghantam telak tubuh musuh. Tak 

ayal lagi, mentallah tubuh musuhnya ke belakang.

"Jangan mau mengalah, Jaka!" berseru Sariti 

memberi semangat menjadikan Jaka kambratnya 

bangkit dari duduknya dengan penuh percaya diri. Ma-

ta pemuda itu memerah laksana bara api, memandang 

tajam ke arah Jaka Ndableg. Lalu dengan didahului 

pekikkan, pemuda itu kembali berkelebat menyerang.

Jaka yang tak mau membuang-buang waktu, 

segera memapakinya dengan jurus-jurus yang telah Ki 

Bayong ajarkan. Maka tak ayal lagi, kedua pemuda 

pendekar itu berkelebat saling serang di udara. Kedu-

anya sama-sama tangguh, keduanya sama-sama pen-

dekar yang mumpuni. Keduanya sama-sama Jaka, 

yang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri.

"Hiat...!"

"Hiat...!"

Jurus demi jurus keduanya lalui dengan cepat, 

sepertinya kedua anak muda pendekar itu tak menga-

lami rasa cape sedikit pun. Serangan keduanya masih 

tampak keras, dengan disertai jurus-jurus yang keras 

pula.

Ketika telah mencapai jurus yang kelima puluh, 

Jaka Ndableg segera loncatkan diri ke angkasa. Dan 

ketika telah mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg 

segera menukik ke bawah. Tangannya rapat, memben-

tuk sebuah godam. Seketika memekiklah musuh, den-

gan kepala pecah.

Tersentak Sariti melihat hal itu, serta merta ia 

pun berkelebat menyerang Jaka. Diserang begitu ce-

pat, Jaka yang belum sepenuhnya waspada tersentak. 

Hampir saja lambungnya kena tendangan, kalau saja 

Jaka tak segera egoskan tubuh miring.

"Hem, kebetulan! Memang aku mencarimu. Tak


akan aku biarkan kau hidup, hiat...!"

Dengan segenap amarahnya Jaka segera balik 

menyerang. Kali ini tak tanggung-tanggung, jurus dari 

keempat gurunya digabung menjadi satu dengan hara-

pan dapat segera mengalahkan Sariti. Namun dugaan-

nya ternyata meleset. Sariti ternyata bukan gadis pen-

dekar sembarangan. Segala jurus-jurus yang Jaka ke-

luarkan sepertinya tak ada arti apa-apa bagi Sariti. 

Malah sebaliknya, Jakalah yang terdesak hebat.

Serangan-serangan Sariti begitu keras, menga-

rah pada hal-hal yang mematikan. Jaka tersentak dan 

berusaha mengelak manakala pukulan tangan Sariti 

yang menari-nari mengarah ke dadanya. Namun se-

rangan itu datang dengan cepat, hingga tak dapat lagi 

Jaka mengelakkannya. 

"Dug, dug, dug!"

Terdengar tiga kali berturut-turut hantaman te-

lah mendarat di dada Jaka. Seketika Jaka terpental 

mundur, dan dari bibirnya meleleh darah segar.

Mata Jaka memandang tajam, sepertinya tak 

percaya pada apa yang diterimanya. Sariti kini telah 

menghunus pedangnya, siap untuk mengakhiri hidup 

pendekar kita Jaka Ndableg. Dan dengan suara lan-

tang Sariti berseru.

"Jaka Ndableg! Hari ini adalah akhir hidupmu. 

Pukulan Sekat Nyawa akan menjadikan dirimu tak da-

pat berbuat apa-apa. Hua, ha, ha... Bersiaplah untuk 

mati! Kau telah memputungi tangan ayahku, maka ha-

ri ini aku akan melunasi hutang ayah yang telah eng-

kau pinjamkan pada kami sekaligus bunganya. Karena 

ayahku kau puntungi tangannya, maka aku pun akan 

memuntungi kepalamu."

"Iblis laknat! Jangan kau kira semudah itu, 

cuh!"


Mendengar makian Jaka Ndableg, seketika ter-

tawalah Sariti bergelak-gelak. Lalu dengan masih ter-

tawa, Sariti kembali menggumam mengejek.

"Sebenarnya sayang, kau gagah. Kalau kau 

mau menjadi kekasihku, maka aku akan mengampu-

nimu, bagaimana?"

"Huh... jangan kira aku mau menuruti uca-

panmu yang kotor dan najis itu, Iblis. Aku lebih rela 

mati daripada menjadi kekasihmu!"

"Bedebah! Dikasih hati minta rempela. Jangan 

menyesal kalau kau telah aku kirim ke neraka sana, 

hiaat...!"

Kedua orang itu kembali berkelebat, meloncat 

ke udara untuk mengadakan serangan. Jaka yang be-

lum memanggil Ratu Siluman Darah, segera memapaki 

serangan pedang di tangan Sariti dengan pukulan Ge-

tih Sakti.

"Hiat...!"

"Sroooooot...!"

Terbelalak Sariti melihat cairan merah keluar 

dari tangan Jaka, serta merta ia hantamkan ajiannya, 

dan...!

"Desst....!"

Dua ajian itu bertemu. Getih Sakti yang dilan-

carkan Jaka, nampak berkelebat balik hendak menye-

rang tuannya. Spontan Jaka lemparkan tubuh ke 

samping. Hanya beberapa inci saja, ajian Getih Sakti 

hampir mengenainya.

"Bedebah! Aku harus memanggil Ratu Siluman 

Darah."

"Pendekar! Sesaat lagi kau akan mati. Nyawa-

mu tinggal tiga jam saja, sebab ajian Penyekat Nyawa-

ku telah berjalan. Hua, ha, ha.... kau akan mati den-

gan yang menggidigkan. Lihat di tanganmu, telah tum


buh bintik-bintik merah. Bintik-bintik itu, sedetik demi 

sedetik akan membesar dan besar lalu pecah mengelu-

arkan binatang menjijikkan."

Jaka tak ambil perduli dengan omongan mu-

suhnya, ia nampak terdiam dengan penuh konsentrasi. 

Dari mulutnya, seketika terdengar seruan. "Dening Ra-

tu Siluman Darah. Datanglah!"

Tersentak Sariti atau Penguasa Gunung Lanang 

demi melihat apa yang telah terjadi. Di tangan Jaka 

Ndableg, kini tergenggam sebilah pedang yang meman-

carkan sinar kuning kemerah-merahan. Dari ujung-

nya, sungguh membelalakkan mata Sariti. Dari ujung 

pedang menetes darah membasahi batangnya.

"Pedang Siluman Darah!"

Jaka tak menghiraukan ucapan Sariti, yang

tersentak kaget demi melihat pedang yang tergenggam 

di tangannya. Ditusukkannya Pedang Siluman Darah 

ke urat nadinya. Jaka menjerit sesaat, dan dari urat 

itu mengalir darah hitam tersedot keluar. Saat itu pu-

la, Jaka bagaikan tak mengalami rasa sakit lagi. Ma-

tanya memandang tajam pada Sariti yang masih ter-

diam terbengong menyaksikan apa yang dilakukan Ja-

ka.

Tengah Sariti terdiam bengong, terdengar Jaka 

berseru.

"Sariti, bersiaplah, hiat...!"

Tersentak Sariti mendapat serangan yang begi-

tu tiba-tiba. Segera ia tebaskan pedang berusaha me-

nangkis, namun gerakannya kalah cepat dengan gera-

kan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka yang seper-

tinya bergerak dengan sendirinya.

Tak ampun lagi, seketika Pedang siluman Da-

rah berkelebat membabat puntung leher Sariti. Sariti 

menjerit sesaat, lalu diam dengan kepala puntung.


Jaka terdiam memandang kepala Sariti yang 

menggelinding, terus menggelinding jatuh ke bawah ju-

rang. Itulah balasannya, bagi orang yang telah me-

mancung leher Bupati Kencana Wungu. Melihat Sariti 

telah mati, segera Jaka berkelebat pergi meninggalkan 

Gunung Lanang yang kembali sepi...



                              TAMAT


 


"


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar