MISTERI PENGUASA GUNUNG LANANG
Oleh Sandro S
.
Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:
Misteri Penguasa Gunung Lanang
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Kabupaten Kencana Wungu....
Kabupaten Kencana Wungu dipimpin oleh seo-
rang Bupati yang terkenal dengan sifatnya, yang dingin
dalam menindak segala kejahatan. Ia begitu arif dan
bijaksana, mementingkan apa yang menjadi kepentin-
gan rakyatnya daripada kepentingan sendiri.
Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten Ken-
cana Wungu nampak tentram dan tenang. Apalagi se-
jak diangkatnya adik seperguruannya dari Gelagah Pu-
tih memegang tanggung jawab kepala prajurit, makin
tentram dan amanlah Kabupaten Kencana Wungu.
Kakak beradik seperguruan itu begitu sakti,
sehingga ditakuti oleh seluruh rakyatnya juga musuh-
musuh dan para gerombolan. Tak segan-segan, kedua
kakak beradik seperguruan pemegang tampuk kekua-
saan itu turun tangan sendiri menumpasnya. Kete-
nangan Kabupaten Kencana Wungu yang berjalan di
atas roda kepemimpinan dua saudara seperguruan itu,
tiba-tiba digegerkan oleh desas-desus mengenai seo-
rang Datuk sesat yang membuka praktek perdukunan
beraliran hitam.
Entah dari mana datangnya sang Datuk, tiba-
tiba saja telah membuka praktek perdukunan. Mu-
lanya rakyat mengakui bahwa sang Datuk memang be-
rilmu tinggi, mampu menyembuhkan segala penyakit
dan bala. Mulanya juga tingkah sang Datuk tidak ma-
cam-macam, sehingga rakyat tak menyorotnya.
Ya, itulah manusia. Kalau belum tahu akan ke-
benarannya, ia tak akan ambil perduli. Begitu juga ra-
kyat Kabupaten Kencana Wungu, mereka baru gelisah,
manakala sang Datuk makin lama makin menggila
permintaannya.
Kalau saja permintaan itu berupa harta benda,
hal itu tidak menjadikan masalah. Namun permintaan
sang Datuk, sungguh-sungguh merupakan permintaan
gila...
Permintaan sang Datuk, tak lain adalah... Da-
rah Perawan setiap malam bulan purnama tiba. Hal itu
menjadikan ketakutan para gadis, juga kaum lelaki
yang merasa mempunyai pacar. Mereka takut kalau-
kalau pacarnya akan menjadi korban. Ya. Korban kegi-
laan sang Datuk sesat.
Mungkin karena terlalu takut dan terteror, sa-
lah seorang pemuda melaporkan hal ketakutan warga
desanya pada Kabupaten. Dengan harapan, pihak Ka-
bupaten akan segera memberantas dan menutup prak-
tek sang Datuk yang bernama Datuk Luluhung Begeg.
Bupati mulanya agak kaget mendengar laporan war-
ganya, yang menyatakan bahwa di daerahnya telah da-
tang seorang Datuk beraliran sesat dan membikin ke-
resahan dengan meminta korban darah perawan...
Pihak Bupati yang tak ingin keresahan rakyat-
nya menjadi berlarut-larut, saat itu juga mengirim se-
puluh orang prajurit yang dipimpin oleh prajurit utama
Prakoso Surya untuk memanggil sang Datuk sekaligus
menyuruh pada sang Datuk untuk tidak meneruskan
semua kegiatannya. Hari itu juga ke-sepuluh prajurit
utama Bupati langsung menuju ke rumah Datuk Lu-
luhung Begeg.
"Sampurasun, apakah sang Datuk Luluhung
Begeg ada...?"
"Siapa yang ada di luar?" terdengar suara seo-
rang lelaki tua balik bertanya, manakala Prakoso
Suryo mengucapkan salam.
"Saya Prakoso Suryo dari Kabupaten," menja
wab Prakoso yang dengan segera turun dari kudanya.
"Apakah sang Datuk berkenan menerima diri saya?"
tanyanya setelah melangkah mendekat ke pintu ru-
mah.
"Ehm, ehm, ehm..." terdengar deheman tiga kali
berturut-turut, lalu setelah lama terdiam terdengar su-
ara sang Datuk berkata. "Masuk...."
Prakoso Suryo segera membuka pintu perlahan.
Namun pintu yang nampaknya telah tua itu berkerit
juga, mengeluarkan bunyi menyayat.
Datuk Luluhung Begeg tersenyum manakala
melihat Prakoso Suryo. Senyum itu, adalah senyum
yang diliputi oleh segala macam misteri hingga Prakoso
yang memandangnya seketika mengernyitkan kening.
Setelah sejurus terdiam dengan senyum penuh misteri,
Datuk Luluhung Begeg bertanya:
"Ada gerangan apa hingga pihak Kabupaten
menyuruhmu datang menemuiku?"
"Maaf sebelumnya, Datuk. Pihak Kabupaten
mengutusku untuk menyampaikan sesuatu padamu,"
menjawab Prakoso Suryo, menjadikan sang Datuk me-
nyipitkan matanya.
"Tentang apakah?"
Prakoso Suryo tak segera langsung menjawab.
Matanya yang tajam seketika menyudut, memandang
sekeliling ruangan itu. Di situ ada tiga kamar, yang
masing-masing tertutup oleh kain dan pintu bilik. Ka-
mar pertama yang dilihat Prakoso Suryo tak ada kea-
nehan, sepertinya kamar itu kamar sang Datuk. Kamar
kedua, juga tidak ada keanehan. Namun ketika me-
mandang pada kamar ketiga, seketika mata Prakoso
Suryo membeliak. Di pintu kamar itu mengalir darah
merah.
"Darah siapakah, itu?" berkata Prakoso Suryo
dalam hati.
Mata Prakoso Suryo lekat memandang rembe-
san darah yang sedikit demi sedikit mengering terkena
udara. Melihat hal itu, cepat-cepat sang Datuk yang
mengetahui apa gerangan yang menjadi perhatian ke-
tua prajurit Kabupaten itu segera berkata.
"Maaf, tadi itu adalah darah seekor kambing
yang baru saja saya potong. Tadinya saya mengira
yang datang bukan tuan-tuan sekalian hingga dengan
gugup saya yang menyangka kalau yang datang orang
jahat, tak sadar telah menumpahkan darah itu ketika
saya hendak membawanya ke dapur."
"Ah...." melenguh Prakoso Suryo demi menden-
gar penuturan Datuk Luluhung Begeg. Namun sebagai
orang yang pernah menimba ilmu, sekaligus sebagai
prajurit Prakoso Suryo kembangkan senyum seper-
tinya mengiyakan ucapan Datuk Luluhung Begeg.
"Ooh... kalau begitu kedatanganku ke mari telah
mengganggumu, Datuk?"
"Ah, tak mengapa," menjawab Datuk Luluhung
Begeg dengan senyum mengulas bibir, sepertinya te-
nang demi mendengar jawab Prakoso Suryo. "Bahkan
aku merasa senang dengan kedatangan tuan ke gubug
saya ini."
Mata Prakoso Suryo masih lekat menyudut
memandang pada darah yang makin lama makin men-
galir deras dan mengering.
"Hem, aku kira itu bukan darah binatang.
Baunya sangat menusuk hidung, amis, jelas itu darah
manusia," bergumam Prakoso Suryo dalam hati. Tanpa
diduga sebelumnya oleh Datuk Luluhung Begeg, tiba-
tiba Prakoso Suryo berseru pada para prajuritnya. "Ge-
ledah rumah ini. Cepat...!"
Dengan segera kesepuluh prajurit Kabupaten
itu berkelebat masuk dan menggeledah setiap kamar.
Mereka seketika berseru, mana kala mereka membuka
kamar yang ketiga. "Korban...!"
Datuk Luluhung Begeg seketika itu bermaksud
melarikan diri, manakala dengan segera Prakoso Suryo
berkelebat menghadangnya. Sang Datuk tersentak
mundur, memandang dengan mata tajam seperti me-
naruh kebencian.
"Mau lari ke mana, Datuk Iblis!" membentak
Prakoso Suryo.
Mata Prakoso Suryo nampak melotot marah,
memandang pandangan sang Datuk. Napas sang Da-
tuk nampak memburu, sehingga terdengar lenguhan-
nya yang besar.
"Jangan harap kalian akan mudah menang-
kapku, Prajurit!" membentak Datuk Luluhung Begeg.
"Kalian boleh berbuat sesuka kalian, namun kalian tak
akan mampu untuk memaksaku."
"Hem, begitu? Baiklah, aku sendiri yang akan
melakukannya. Bersiaplan, Datuk Iblis!" menggeram
Prakoso Suryo. Bersamaan dengan itu, tubuh Prakoso
Suryo berkelebat merangsek Datuk Luluhung Begeg.
Mendapat serangan begitu cepatnya, segera Datuk Lu-
luhung Begeg tanpa sungkan-sungkan memapaki. Per-
tarungan pun tak dapat dihindarkan. Antara Prakoso
Suryo yang hendak menangkap sang Datuk, melawan
Datuk Luluhung Begeg yang tak mau ditangkap begitu
saja.
Pertarungan itu begitu seru, masing-masing
dengan segala kepandaiannya berusaha menjatuhkan
lawan. Prakoso Suryo yang telah menjabat selaku ke-
tua prajurit Kabupaten, bukanlah orang sembarangan.
Walau ia masih muda usia, namun tingkat ilmunya
dapat disejajarkan dengan para tokoh persilatan. Apa
lagi dia merupakan murid dari Kyai Glagah Putih, seo-
rang Kyai yang sangat kondang namanya. Pantaslah
kalau sejak ketua prajurit dipegang oleh Prakoso
Suryo. Kadipaten tampak agak tenang dan tentram.
Kini Prakoso Suryo menghadapi seorang yang telah
membuat rakyat Kabupaten resah, yaitu seorang Da-
tuk berilmu hitam yang sakti.
Sekuat apa pun Prakoso Suryo, namun meng-
hadapi Datuk Luluhung Begeg yang telah sekian lama
malang melintang di dunia persilatan sangatlah tak be-
rarti apa-apa. Setiap serangan yang dilancarkan oleh
Prakoso Suryo, tak menjadikan hasil. Bahkan sering
kali dia sendiri yang terkena sambaran tangan dan ka-
ki si Datuk yang keras dan cepat.
Tubuh Prakoso Suryo terpental, manakala un-
tuk yang kedua kalinya kaki sang Datuk menghantam
telak di lambungnya. Wajah Prakoso Suryo memucat,
mulutnya meringis menahan sakit. Nafasnya menden-
gus dengan mata melotot, tak percaya pada apa yang
telah terjadi. Dirinya yang merupakan murid paling
tertua dari perguruan Glagah Putih, ternyata dengan
mudah dapat dibuat kalang kabut oleh Datuk Lulu-
hung Begeg. Namun selaku pendekar yang perguruan-
nya telah ternama, Prakoso Suryo tak mau begitu saja
menerima kekalahan, bahkan dengan meningkatkan
serangan ia kembali mencoba merangsek Datuk Lulu-
hung Begeg
"Rupanya kau tak mau segera membuka mata,
Anak muda!"
"Persetan dengan ucapanmu, Datuk Iblis. Hari
ini juga, aku hendak mengadu nyawa denganmu,"
menjawab Prakoso Suryo kesal, merasa sang Datuk
meremehkannya. "Prajurit, serang...!"
Para prajurit yang tadinya terdiam menonton,
seketika itu pula berkelebat menyerang Datuk Lulu-
hung Begeg. Sang Datuk segera kibaskan tangannya.
Dari kibasan tangan sang Datuk keluar angin besar,
menangkis serangan tombak dan pedang para prajurit.
Tersentak seketika para prajurit kaget, mendapatkan
senjata mereka tiba-tiba mental lepas dari tangan.
"Hua, ha, ha... Percuma saja kalian menge-
royokku. Panggil saja Bupatimu agar aku dengan sege-
ra mengelupas kulit batok kepalanya yang gundul."
bergelak-gelak sang Datuk mengejek, menjadikan ke-
sepuluh prajurit dan Prakoso Suryo menggeram ma-
rah. Dengan didahului geraman panjang, prajurit-
prajurit Kabupaten bersama pimpinannya kembali me-
rangsek.
"Rupanya kalian memang bandel. Baiklah, aku
akan memberikan pada kalian hadiah. Tunjukkan ha-
diah dariku pada Kanjeng Bupati."
Habis berkata begitu, Datuk Luluhung Begeg
segera bergerak memapaki serangan kesepuluh praju-
rit Kabupaten. Tangannya bergerak cepat. Dan...! Tan-
pa dapat dielakkan oleh para prajurit, tangan Datuk
Luluhung Begeg yang bergerak cepat itu menjambak
kepala salah seorang prajurit. Seketika puntunglah te-
linga prajurit yang tersambar, berbareng dengan pe-
kikkannya yang menyayat menahan sakit yang bukan
alang kepalang. Darah dari telinga yang puntung, seke-
tika menyembur.
Tak dapat dibayangkan betapa gusar dan ma-
rahnya Prakoso Suryo demi melihat prajuritnya yang
telinganya puntung. Maka dengan didahului bentakan,
Prakoso Suryo kembali menyerang.
Tertawalah bergelak-gelak Datuk Luluhung Be-
geg, melihat keberanian Prakoso Suryo. Baru sekali ini
ada anak muda yang berani menghadapinya, padahal
sudah sepuluh tahun kemunculannya di dunia persila-
tan tak seorang pun yang berani menentangnya apala-
gi melawan. Tapi kini, murid Gelagah Putih telah bera-
ni menghadapinya.
"Merad kau! Jangankan dirimu, gurumu juga
tak akan mampu menghadapi aku, Anak muda!" mem-
bentak Datuk Luluhung Begeg sembari kibaskan tan-
gannya. Dari tiupan lengan baju yang berupa jubah,
membersit keluar angin menderu. Angin itu, disertai
dengan bau yang sangat menyesakkan pernapasan.
"Ah...." melenguh Prakoso Suryo, manakala me-
rasakan adanya kelainan dalam pernafasannya. Na-
fasnya begitu berat, tersengal sesak. "Bahaya! Sungguh
bahaya kalau begini," mengeluh hati Prakoso Suryo
sembari melompat mundur.
"Sudah aku katakan, kau belum apa-apa
menghadapiku. Gurumu saja, mungkin tak akan bera-
ni kurang ajar padaku."
"Jangan sombong, Datuk Iblis! Aku Prakoso
Suryo, tak akan gentar padamu. Ayo kita lanjutkan,"
menggeretak marah Prakoso Suryo, menjadikan sang
Datuk tertawa bergelak-gelak.
"Anak bandel! Rupanya kau harus diajar adat!"
bentak sang Datuk. "Baiklah, aku layani apa yang
menjadi maumu. Ayo kita lanjutkan."
"Hem.... Aji Seriti Wangi. Hiat...!" dengan ajian
Seriti Wangi, yaitu ajian penangkal yang ditujukan un-
tuk menangkal ajian yang dikeluarkan oleh Datuk Lu-
luhung Begeg, Prakoso Suryo kembali menyerang.
Datuk Luluhung Begeg yang telah tahu apa
yang digunakan oleh anak muda murid Glagah Putih,
tersentak melompat mundur. Bibirnya yang terse-
nyum, seketika mengkerut.
"Hem, ternyata anak muda itu telah mengeta
hui kalau aku menggunakan ajian Serbuk Mayat,"
membatin Datuk Luluhung Begeg.
"Tak aku sangka, kalau Kyai Basofi telah mam-
pu menciptakan ajian tandingan. Aku harus hati-hati."
"Kenapa kau terdiam, Datuk Iblis! Rupanya kau
kaget kalau aku telah tahu ilmu macam apa yang kau
gunakan," berkata Prakoso Suryo dengan sinis, menja-
dikan sang Datuk memberengut sengit.
"Jangan bangga dulu, Anak muda. Kalau gu-
rumu si Basofi telah mampu memecahkan ajianku
Serbuk Mayat, namun ia belum tahu kalau aku mem-
punyai, ini...."
Terbelalak mata Prakoso Suryo, manakala me-
lihat apa yang terjadi di depan matanya. Tangan Datuk
Luluhung Begeg, seketika berwarna biru memancar.
"Ilmu iblis!" memekik Prakoso Suryo kaget.
"Aku peringatkan padamu, kembalilah dan
panggil gurumu si Basofi ke mari."
"Sombong kau, Datuk Iblis. Jangan kira aku
takut menghadapi dirimu. Hiat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Prakoso
Suryo segera berkelebat menyerang.
Melihat Prakoso Suryo menyerang, maka den-
gan segera sang Datuk pun tak ambil diam. Dengan
ajian Lumas Nyawa tingkat ketiga sang Datuk mema-
pakinya.
"Hati-hati, Anak muda. Lengah sedikit saja, me-
layanglah nyawamu. Hiat...."
Larikan sinar biru seketika berkelebat menye-
rang Prakoso Suryo, yang dengan segera lemparkan
tubuh ke samping. Larikan sinar itu melesat beberapa
mili di sampingnya. Hal itu menjadikan baju yang di-
kenakannya seketika terbakar, dan kulit tubuhnya te-
rasa perih. Mata Prakoso Suryo melotot, kaget bercam
pur tak percaya. Kini Prakoso Suryo menyadari siapa
adanya sang Datuk, yang ternyata berilmu jauh di
atasnya. Namun begitu, nyalinya sebagai seorang pra-
jurit tak menjadikan dirinya takut. Maka dengan lan-
tang Prakoso Suryo membentak, langsung menyerang.
"Jangan bangga dulu, Datuk Iblis! Terimalah
ini. Hiat...!"
"Rewel kau, Anak muda. Keluarkan segala ilmu
yang engkau miliki, aku Datuk Luluhung Begeg tak
akan mundur."
Prakoso Suryo yang telah dikuasi oleh amarah,
dengan segera hantamkan ajian Glagah Wulung ke tu-
buh Datuk Luluhung Begeg. Datuk Luluhung Begeg
bagaikan tak mengerti, diam di tempatnya hingga keti-
ka ajian yang dilontarkan Prakoso Suryo menghantam
tubuhnya sang Datuk tak dapat mengelakkannya. Pra-
koso Suryo terbelalak, melompat mundur dengan dis-
ertai pekikan tertahan. "Aah...."
Tubuh Datuk Luluhung Begeg yang terhantam
ajian Glagah Wulung tampak masih tegak berdiri, tak
ada luka apalagi remuk tulang-tulangnya. Senyumnya
mengembang sinis, melangkah berjalan menghampiri
Prakoso Suryo.
"Sudah aku katakan padamu, bahwa kau tak
akan mampu menghadapiku. Minggatlah kau dari sini,
aku telah muak melihat tampang-tampang kalian!"
Bersamaan dengan membentak, tangan Datuk
Luluhung Begeg bergerak cepat. Tangan itu bagaikan
karet, memegang dan mengangkat tubuh Prakoso
Suryo lalu dilemparkannya keluar rumah. Tubuh Pra-
koso Suryo, mencelat melalui jendela keluar.
Terjengah Prakoso Suryo dengan tulang tubuh
terasa sakit semua. Ketika ia masih terjengah diam,
terdengar kembali suara sang Datuk berkata nadanya
mengusir.
"Cepat kalian pergi sebelum kesabaranku ha-
bis! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku berbuat
pada kalian begini...!"
Sang Datuk hantamkan sebuah pukulan jarak
jauh pada bebatuan di belakang Prakoso Suryo yang
tergeletak. Seketika itu, batu-batuan berhamburan
menjadi debu hancur....
Tanpa pikir panjang, kesepuluh prajurit segera
menggotong tubuh pimpinannya pergi dari situ. Sang
Datuk tersenyum sinis mengikuti kepergian kesepuluh
prajurit Kabupaten, lalu dengan segera sang Datuk
kembali masuk ke dalam rumah.
***
DUA
Marah dan gusar Bupati Kencana Wungu,
mendapatkan kenyataan adik seperguruannya sekali-
gus pimpinan prajurit di Kabupaten yang ia pimpin lu-
ka dalam. Sebenarnya bukan karena faktor itu sang
Bupati gusar, tetapi karena ia merasa malu pada ra-
kyatnya yang mengharapkan penyelesaian atas teror
Datuk Luluhung Begeg. Namun ternyata adiknya tak
mampu, malah hampir saja nyawanya terenggut kalau
saja sang Datuk tak ada rasa sesuatu pada perguruan
Glagah Putih.
"Siapakah sebenarnya Datuk Luluhung Begeg?"
tanya Kencana Wungu pada dirinya. "Kenapa ia begitu
masih menaruh hormat pada perguruan Glagah Putih,
yaitu perguruanku?"
Kencana Wungu masih tercenung diam, memikirkan semua yang seperti teka-teki. Apa sebenarnya
yang dikehendaki oleh Datuk Luluhung Begeg? Dan
mengapa ia begitu saja membiarkan adik sepergu-
ruannya hidup-hidup? Itulah pertanyaan-pertanyaan
yang sedang memenuhi pikirannya. Pikiran seorang
Bupati, yang bertanggung jawab atas ketentraman ra-
kyatnya. Sepihak itu pula, ia begitu tak mengerti den-
gan kenyataan sang Datuk Luluhung Begeg. Kedatan-
gannya sangat tiba-tiba, tahu-tahu telah menetap da-
lam wilayah kekuasaannya.
"Akan aku tanyakan semua keanehan ini pada
guru," kata hati Kencana Wungu.
Dengan agak lesu karena pikirannya dihanyuti
berbagai macam masalah, Bupati Kencana Wungu me-
langkah menuju ke tempat di mana adik seperguruan-
nya tergeletak sakit. Ya, Prakoso Suryo rupanya men-
galami luka dalam yang tidak dapat dianggap enteng.
Terbukti tidak biasanya Prakoso Suryo terbaring den-
gan lesu. Biasanya Prakoso Suryo yang terkenal den-
gan keberanian dan kenakalannya manakala di pergu-
ruan tak akan mau bertele-tele, atau mengeluh sakit.
Namun kini, sepertinya ia benar-benar tak mampu lagi
untuk melakukan apa pun.
"Kakang, aku meminta maaf karena aku tak
mampu memenuhi segala permintaan rakyat. Aku ka-
lah, Kakang," mengeluh Prakoso Suryo, menjadikan
Kencana Wungu trenyuh hatinya. Jarang seorang per-
wira prajurit mau memikirkan satu persatu rakyatnya,
namun adiknya betapa besar perhatiannya pada ra-
kyat. Di wajah Prakoso Suryo, jelas tergambar rasa
sesal. Hal itu menjadikan Kencana Wungu makin iba,
lalu dengan perlahan digenggamnya tangan adik se-
perguruannya. Dan dengan lembut, dibisikkannya ka-
ta-kata sebagai penghibur di telinga Prakoso Suryo.
kirkan semua yang seperti teka-teki. Apa sebenarnya
yang dikehendaki oleh Datuk Luluhung Begeg? Dan
mengapa ia begitu saja membiarkan adik sepergu-
ruannya hidup-hidup? Itulah pertanyaan-pertanyaan
yang sedang memenuhi pikirannya. Pikiran seorang
Bupati, yang bertanggung jawab atas ketentraman ra-
kyatnya. Sepihak itu pula, ia begitu tak mengerti den-
gan kenyataan sang Datuk Luluhung Begeg. Kedatan-
gannya sangat tiba-tiba, tahu-tahu telah menetap da-
lam wilayah kekuasaannya.
"Akan aku tanyakan semua keanehan ini pada
guru," kata hati Kencana Wungu.
Dengan agak lesu karena pikirannya dihanyuti
berbagai macam masalah, Bupati Kencana Wungu me-
langkah menuju ke tempat di mana adik seperguruan-
nya tergeletak sakit. Ya, Prakoso Suryo rupanya men-
galami luka dalam yang tidak dapat dianggap enteng.
Terbukti tidak biasanya Prakoso Suryo terbaring den-
gan lesu. Biasanya Prakoso Suryo yang terkenal den-
gan keberanian dan kenakalannya manakala di pergu-
ruan tak akan mau bertele-tele, atau mengeluh sakit.
Namun kini, sepertinya ia benar-benar tak mampu lagi
untuk melakukan apa pun.
"Kakang, aku meminta maaf karena aku tak
mampu memenuhi segala permintaan rakyat. Aku ka-
lah, Kakang," mengeluh Prakoso Suryo, menjadikan
Kencana Wungu trenyuh hatinya. Jarang seorang per-
wira prajurit mau memikirkan satu persatu rakyatnya,
namun adiknya betapa besar perhatiannya pada ra-
kyat. Di wajah Prakoso Suryo, jelas tergambar rasa
sesal. Hal itu menjadikan Kencana Wungu makin iba,
lalu dengan perlahan digenggamnya tangan adik se-
perguruannya. Dan dengan lembut, dibisikkannya ka-
ta-kata sebagai penghibur di telinga Prakoso Suryo.
"Sudahlah, Dinda, tak usah kau pikirkan. Aku
rasa, Datuk Luluhung Begeg bukan memang bukan
tandingan kita."
"Kita tak boleh putus asa, Kakang." "Aku tak
berkata begitu, Dinda." menjawab Kencana Wungu
sembari gelengkan kepala. "Tapi nampaknya memang
dia bukan tandingan kita."
"Ah...." melenguh Prakoso Suryo demi menden-
gar ucapan kakak seperguruannya, sehingga Kencana
Wungu pun seketika itu menatap tajam padanya.
"Apakah kakang mau mengingkari ikrar perguruan?"
"Ooh, jangan kau salah sangka, Dinda."
"Tapi mengapa kakang sepertinya takut meng-
hadapinya? Aku lebih baik mati daripada harus mem-
biarkannya hidup-hidup dan menteror rakyat," berkata
Prakoso Suryo dengan menggebu. "Sayang, aku tengah
terluka."
"Itulah maksud kakang sebenarnya, Dinda.
Bukannya kakang takut, namun percuma usaha kita
bila hanya menghadapi kekalahan serta kenyataan pa-
hit. Kita telah tahu ilmunya yang tak sebanding den-
gan ilmu yang kita miliki, kenapa kita mesti nekad?
Orang nekad itu tidak baik, bahkan dibenci oleh Yang
Maha Kuasa. Masihkah kau ingat petuah guru, mana-
kala kita habis sholat Subuh?"
Terdiam Prakoso Suryo mendengar pertanyaan
kakak seperguruannya, yang mengingatkan kembali
dirinya pada sang guru di perguruan Glagah Putih.
Mata Prakoso Suryo berkaca-kaca hampir menangis,
memandang pada kakak seperguruannya seraya men-
gangguk mengiyakan.
"Coba kau katakan, Dinda?"
Dengan terlebih dahulu menarik napas panjang
Prakoso Suryo bercerita tentang apa yang telah mereka
alami pada waktu masih dalam perguruan Glagah Pu-
tih.
"Guru mengatakan, bahwa orang hidup me-
mang perlu tolong menolong. Gunakan ilmu yang kita
miliki untuk menolong orang yang lemah, tapi jangan-
lah kita memaksakan pertolongan kita bila kita sendiri
tak mampu.... Sebab, semuanya akan sia-sia. Di samp-
ing memaksakan kehendak tak baik, juga akan bera-
kibat fatal bagi diri kita. Tuhan juga tidak menyukai
pada orang-orang yang nekad, yang sebenarnya telah
dipengaruhi oleh Iblis."
Kencana Wungu tersenyum mendengar ucapan
adik seperguruannya, makin erat ia menggenggam
tangan adik seperguruannya. Sepertinya Kencana
Wungu ingin membuktikan, bahwa dia sangat mem-
perhatikan adik seperguruannya yang telah dianggap
sebagai adik sendiri.
"Ternyata kau masih mengingatnya, Dinda,"
berkata Kencana Wungu masih tersenyum di bibirnya.
"Jadi jelasnya, kita tak boleh nekad menghadapi se-
muanya. Kita harus berpikir bagaimana cara yang ter-
baik, agar kita tidak merugikan salah satu pihak. Ya
pihak kita, maupun pihak orang lain."
Kedua kakak beradik itu akhirnya saling se-
nyum, sepertinya mereka ingin mengulang masa-masa
kecil mereka. Masa di mana keduanya dalam asuhan
seorang guru yang bijaksana, Kyai Basofi guru besar
perguruan Glagah Putih.
"Maafkan dinda, Kakang."
"Tak ada yang salah, Dinda," menjawab Kenca-
na Wungu. "Aku menyadari siapa adanya kau, adikku
yang nakal dan keras kepala. Seorang Panggulu pergu-
ruan Glagah Putih yang tak mau mengalah pada mu-
suh-musuh, walau mungkin nyawa sebagai taruhan
nya."
Mendengar ucapan Kencana Wungu, seketika
tertawalah Prakoso Suryo. Ia bangga mempunyai seo-
rang kakak seperguruan yang mengerti akan pera-
saannya, pemberi nasehat yang baik yang menjadikan
diririya selalu berjalan di jalan yang tepat. Mungkin
kalau tak ada Kencana Wungu, jadilah Prakoso seo-
rang pendekar yang keras pantang mau mengalah wa-
lau itu untuk kebaikan. Melihat adik seperguruannya
tertawa, seketika itu pula Kencana Wungu pun turut
tertawa bergelak-gelak setelah sesaat menyipitkan ma-
ta.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Prakoso Suryo setelah sekian lama terhanyut
pada nostalgia kecilnya manakala mereka masih di
perguruan. "Apakah kita akan membiarkan iblis mera-
jalela, Kakang?"
"Tidak, Dinda. Kita tak akan membiarkan Da-
tuk Luluhung Begeg merajalela," menjawab Kencana
Wungu. "Tapi untuk melakukan penangkapan kita per-
lu meminta petunjuk pada guru, bagaimana caranya.
Kakang juga ingin sekali menanyakan siapa sebenar-
nya Datuk Luluhung Begeg pada guru, mungkin guru
akan mampu memberikan gambarannya sekaligus
membantu kita."
"Kapan kakang pergi ke Glagah Putih?"
"Setelah kau sembuh, Dinda."
"Ah...." melenguh Prakoso mendengar jawaban
kakak seperguruannya, yang menjadikan Kencana
Wungu menyipitkan mata dan bertanya tak mengerti.
"Kenapa, Dinda?"
"Terlalu lama, Kakang," menjawab Prakoso,
menjadikan Kencana Wungu makin tak mengerti den-
gan ucapan adik seperguruannya.
"Maksudmu, Dinda...?" Mengerut kening Ken-
cana Wungu.
"Terlalu lama jika kakang menunggu kesehatan
ku. Hal itu akan menjadikan korban makin banyak
berjatuhan. Berangkatlah kakang segera, biarlah aku
mampu mengurus diriku sendiri."
"Ah, tidak, Dinda. Sengaja aku menunggumu
sampai sembuh agar kita bisa sama-sama silaturahmi
pada guru."
"Kalau memang begitu, marilah kita sekarang
juga ke sana."
Terbelalak mata Kencana Wungu mendengar
ucapan adiknya, sampai-sampai matanya melotot.
Melihat Kencana Wungu melotot kaget, Prakoso
Suryo kembali berkata seraya mengerutkan keningnya.
"Kenapa, Kakang?"
"Apakah kau tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Kakang. Aku serius"
"Dinda.... Kau sedang sakit, mana mungkin kau
melakukan perjalanan yang cukup jauh?"
Mendengar ucapan Kencana Wungu yang na-
danya khawatir, Prakoso Suryo lebarkan senyum. Ma-
tanya memandang pada Kencana Wungu, yang seketi-
ka itu juga turut tersenyum sembari gelengkan kepa-
lanya.
"Kakang meragukan kemampuanku?"
"Ah, bukan begitu, Dinda. Aku hanya khawatir
nanti sakitmu malah makin parah," menjawab Kenca-
na Wungu.
"Aku sudah sembuh, Kakang."
Terbelalak mata Kencana Wungu kembali men-
dengar jawaban adik seperguruannya yang menge-
jutkan. Bagaimana mungkin orang yang sakit menga-
takan telah sehat? Kencana Wungu masih tak mau
percaya dengan omongan adik seperguruannya yang
dianggap bercanda. Maka Kencana Wungu pun kemba-
li berkata.
"Rupanya kau masih suka ngebanyol seperti
dulu, Dinda."
"Aku serius, Kanda. Lihatlah...."
Serta merta Prakoso Suryo loncatkan tubuh,
berdiri dengan sempurna di hadapan kakak sepergu-
ruannya Kencana Wungu hingga Kencana Wungu se-
ketika itu pula membelalakkan mata seraya meman-
dang tak percaya.
"Apakah kakang masih meragukan?"
"Aku jadi tidak mengerti, Dinda."
"Maksudmu, Kakang?" tanya Prakoso terse-
nyum-senyum.
"Kapan kau sembuh? Sungguhkah ini sebuah
keajaiban, Dinda?"
Prakoso gelengkan kepala....
"Ini bukan keajaiban, Kakang."
"Aku jadi tidak mengerti dan makin tidak men-
gerti saja," bergumam Kencana Wungu, sepertinya ia
bergumam pada diri sendiri. Matanya memandang dari
ujung rambut ke ujung kaki Prakoso, yang hanya me-
matung senyum-senyum. "Apakah kau hanya main-
main, Dinda?"
"Semalam ada orang yang menolongku," jawab
Prakoso.
"Menolongmu...?"
"Ya.... Pemuda itu tiba-tiba datang dan meno-
longku menyembuhkan penyakitku. Pemuda itu juga
telah berjanji akan datang lagi. Ternyata pemuda itu
telah mengetahui apa yang telah menimpa Kabupaten
ini," menerangkan Prakoso Suryo, menjadikan Kenca-
na Wungu hanya mampu diam mendengarkan dengan
sekali-kali mendesah berat.
Kencana Wungu kembali berpikir dan diha-
dapkan pada kejadian yang telah terjadi. Belum juga
habis pikirannya tentang Datuk Luluhung Begeg, kini
pikirannya mengarah pada pemuda yang menolong
Prakoso. "Apakah tidak mungkin pemuda itu ada
sangkut pautnya dengan Datuk Luluhung Begeg? Ka-
lau ya, hubungan apakah? Apakah keduanya sama-
sama ingin merongrong Kabupaten dan menghendaki
aku tergeser? Kalau pemuda itu bukan bermaksud
demikian, lalu siapakah sebenarnya pemuda itu...?"
bertanya-tanya hati Kencana Wungu.
"Siapa nama pemuda itu, Dinda?"
"Entahlah, Kanda. Pemuda itu hanya berkata
bahwa dia hendak membantu Kadipaten menumpas
orang tersebut yang katanya juga telah membuat keti-
daktenteraman penduduk desa Mujung."
"Hem, semoga pemuda itu berbuat baik," meng-
gumam Kencana Wungu dengan tatapan mata kosong.
Segala macam pertanyaan dan ketidakmengertian be-
raduk menjadi satu. Tanggung jawab sebagai Bupati
tidak enteng, penuh dengan tantangan dan cobaan.
Baik dari dalam, maupun dari luar yang bermaksud
merongrong kewibawaannya. Di samping itu pula, ke-
tentraman rakyat harus dipikirkan. Ibarat sebuah ke-
wajiban, yang harus dipikul di atas pundaknya. Ten-
gah Kencana Wungu melamun memikirkan segala
keadaan daerah kekuasannya, tiba-tiba Prakoso Suryo
memecahkan lamunannya bertanya.
"Apakah kanda jadi ke Glagah Putih?"
"Tidak, Dinda. Kanda ingin melihat saja yang
sebenarnya bakal menimpa Kadipaten ini."
"Kanda sepertinya frustasi?"
Kencana Wungu lebarkan senyum seraya ge
lengkan kepala.
Melihat hal itu, Prakoso Suryo turut tersenyum.
Kemudian dengan suara datar Prakoso Suryo kembali
bertanya. "Kenapa, Kanda?"
"Aku tidak frustasi, sebab frustasi adalah milik
setan yang sengaja digodakan pada manusia-manusia
lemah iman. Aku hanya ingin melihat kebenaran per-
tanyaan di hatiku," menjawab Kencana Wungu.
"Tentang apa itu, Kanda?"
"Tentang Datuk Luluhung Begeg dengan pemu-
da yang telah menolongmu."
Tertawa Prakoso demi mendengar jawaban ka-
kak seperguruannya yang dirasa lucu, menjadikan
Kencana Wungu kerutkan kening dengan mata me-
mandang tak berkedip sementara keningnya kembali
dikerutkan.
"Hai, kenapa kau tertawa, Dinda? Apakah aku
ngomong lucu?"
Prakoso masih tertawa hingga matanya berli-
nang-linang. Setelah puas ketawa, Prakoso barulah
berkata.
"Sangat lucu, Kanda."
"Heh, apanya yang sangat lucu?" tanya Kenca-
na Wungu makin tak mengerti saja akan apa yang di-
katakan adik seperguruannya.
"Kenapa kanda harus terlalu memusingkan
orang-orang itu? Sedangkan kanda tengah dalam ke-
susahan sendiri?"
"Ah.... Rupanya itu yang dinda ketawai. Hem,
apakah kita akan diam saja, manakala melihat orang
yang belum kita kenal betul datang-datang ke daerah
kita dan bermaksud menolong? Apakah tidak mungkin
pemuda itu juga temannya Datuk Luluhung Begeg
yang pura-pura menolong, sedangkan sebenarnya ia
juga hendak bermaksud jahat? Kita harus waspada da-
lam hal ini, Dinda. Apalagi kita selaku pengayom ra-
kyat, jangan sekali-kali mudah percaya pada hal-hal
yang belum benar-benar, kita kenali."
"Benar juga, Kanda." akhir Prakoso mengerti
juga. Prakoso seketika itu diam, merenungkan akan
apa yang seperti Kencana Wungu renungkan. Tentang
orang-orang yang datang secara tiba-tiba, yang telah
membuat sebuah tanda tanya. Kalaulah si Datuk Lu-
lubung Begeg, jelas ia telah tahu maksudnya yaitu in-
gin mengajak rakyat ke jaman kesesatan mengabdi se-
tan. Sedangkan pemuda yang menolongnya dan telah
memberitahu siapa adanya Datuk Luluhung Begeg pa-
danya, apakah benar-benar hendak membantu? Inilah
yang susah untuk dijawab, sebab kenyataannya belum
diketahui pasti. Bisa saja si pemuda memberikan in-
formasi, tapi sebenarnya agar ia sendiri dapat diyakini
olehnya,
Kedua kakak beradik seperguruan yang kini
menjabat sebagai Bupati dan pimpinan prajurit, akhir-
nya terdiam. Diam bagaikan telah patah semangat, pa-
srah pada apa yang bakal terjadi. Keduanya tak tahu
apa yang nantinya terjadi melanda Kabupaten yang di-
pimpinnya.
***
TIGA
Sejak kejadian sebulan yang lalu di mana Da-
tuk Luluhung Begeg mampu mengalahkan Prakoso
dan kesepuluh prajuritnya, makin menjadi-jadi tinda-
kan Luluhung Begeg. Kini ia bukannya meminta secara halus atau menculik bila tidak diberi, namun den-
gan terang-terangan ia mengambil paksa gadis yang
akan dijadikan korban dari para penduduk.
Malam itu ketika bulan purnama dua hari lagi
akan datang, Datuk Luluhung Begeg telah dengan
paksa meminta pada salah seorang penduduk untuk
menyerahkan anaknya menjadi wadal penguasa kera-
jaan Siluman sekutunya, yang bersemayam di puncak
Gunung Lanang.
"Ki Jarot, apakah kau ingin keluargamu terke-
na bala?" tanya sang Datuk menakut-nakuti, menjadi-
kan Ki Jarot gemetaran mendengarnya. Ki Jarot telah
tahu siapa adanya Datuk Luluhung Begeg, yaitu seo-
rang datuk sakti. Bagaimana pula dengan penguasa
Gunung Lanang yang memerintahkannya, jelas lebih
sakti. Maka dengan suara terbata-bata karena takut Ki
Jarot berkata.
"Ti-tidak, Datuk. Saya tidak mau mendapat
bala."
"Nah, itu yang baik. Apakah hanya karena kau
menghalangi nyawa anakmu satu, kau korbankan se-
luruh keluargamu yang menerima murka penguasa
Gunung Lanang?"
"Apakah tak ada jalan lain, Datuk?" kembali Ki
Jarot berkata. Matanya membelalak redup karena ta-
kut, bibirnya gemetaran juga seluruh tubuhnya.
"Bodoh! Mana mungkin permintaan penguasa
Gunung Lanang dapat diganti? Beliau bukanlah sema-
cammu, Monyet jelek!" membentak marah Datuk Lu-
luhung Begeg, demi mendengar ucapan Ki Jarot. Hal
itu menjadikan Ki Jarot makin menggigil ketakutan.
Bentakan Datuk Luluhung Begeg, terdengar bagaikan
hentakan halilintar di musim penghujan, menggelegar.
"A-a-ampun, Datuk."
"Ampun-ampun. Mana anak gadismu, serahkan
padaku. Cepat!"
"I-i-iya," menjawab Ki Jarot dengan ketakutan
setengah mati hingga tak terasa lelaki tua itu terkenc-
ing-kencing di celana. Dan manakala ia berjalan, tak
ayal lagi bau sangit seketika menyumpet pernapasan
Datuk Luluhung Begeg yang seketika itu melototkan
mata.
Walaupun telah melihat sendiri ketakutan Ki
Jarot begitu rupa sampai terkencing-kencing, namun
Datuk Luluhung Begeg tak mau perduli. Ia sendiri be-
tapa takut dan bingungnya bila harus tidak menda-
patkan darah gadis. Betapa dia akan mendapat murka
besar dari gurunya, bila semalam saja bulan purnama
ia tidak mendapatkan darah gadis. Di samping itu, ke-
saktiannya tak akan bertambah. Sebab dengan sekali
bulan purnama, sekali itu pula manakala Datuk Lulu-
hung Begeg menyampaikan persembahan kesaktian-
nya akan bertambah. Jadi semakin banyak ia berikan
darah gadis, makin bertambah pula kesaktiannya. Da-
tuk Luluhung Begeg masih ingat akan apa yang dika-
takan gurunya, manakala ia hendak kembali ke dunia
ramai setelah sepuluh tahun menjadi pengikut gu-
runya.
"Ingat, Luluhung. Kau akan bertambah sakti bi-
la setiap bulan purnama mandi dan meminum darah
gadis. Nanti kalau telah seratus gadis yang telah kau
pakai darahnya untuk mandi dan minum, jadilah kau
seorang tokoh tak terkalahkan di jagad ini. Ilmumu
akan selangit, seluas samudra, sedalam bumi. Namun
perlu kau ketahui, ilmumu itu akan dapat terpecahkan
oleh manusia yang setengah siluman."
"Apa ada, Guru?"
"Ada, Luluhung. Manusia setengah siluman,
adalah manusia yang menjadi murid siluman. Atau si-
luman keturunan manusia, atau manusia yang menja-
di sahabat siluman. Ingat itu!"
Tengah Datuk Luluhung Begeg melamun, Ki
Jarot dari dalam keluar menghampiri dengan anak ga-
disnya yang tampak menangis.
"Datuk...." berkata Ki Jarot.
"Hem,"
"Ini anak hamba, Datuk."
"Masih perawan?" tanya Datuk Luluhung Begeg
ingin pasti.
Ki Jarot menganggukkan kepalanya.
"Bagus Ki Jarot. Dengan kau mengorbankan
anak gadismu, maka keluargamu akan terhindari dari
bala." berkata Datuk Luluhung Begeg dengan senyum-
nya.
"Ayo, Manis, ikut denganku."
"Tidak! Aku lebih baik mati daripada ikut den-
ganmu, Iblis!" membentak si gadis. Tangannya beron-
tak, digigitnya tangan Datuk Luluhung Begeg yang se-
ketika itu menjerit kibaskan tangan. Tak ayal lagi,
mentallah tubuh si gadis terpelanting jatuh ke tanah.
"Bunuh saja aku, iblis! Bunuh...." gadis itu
menjerit histeris. Namun bagaikan tak mendengar, Da-
tuk Luluhung Begeg hanya pelototkan mata sembari
menyeringai. Dengan keras disentakkan tubuh si gadis
berdiri dengan kasarnya, sehingga tubuh si gadis seke-
tika itu pula bangkit dari duduknya.
Gadis itu terus berontak, meronta-ronta mana-
kala telah berada dalam bopongan Datuk Luluhung
Begeg. Namun rontaannya tak berarti apa-apa, sebab
tenaga Luluhung Begeg lebih besar dan kuat. Tapi ga-
dis itu rupanya tak mau mengalah begitu saja, ia lebih
baik mati saja daripada dijadikan tumbal walaupun
akhirnya mati nantinya.
"Lepaskan aku! Lepaskan, Datuk Iblis!"
"Rewel! Kalau kau ngebandel, maka aku akan
membeset tubuhmu!" menggeretak Datuk Luluhung
Begeg mencoba menakut-nakuti. Namun gadis yang te-
lah nekad itu bukannya menjadi takut, bahkan seba-
liknya dengan lantang gadis itu menantang.
"Lebih baik aku kau kuliti daripada harus men-
jadi tumbal ilmumu yang gila itu! Ayo lakukan, Datuk
Iblis!"
"Suwe...!"
"Tok, tok, tok."
Terdengar totokan tiga kali berturut-turut di
leher si gadis, yang menjadikan gadis itu terdiam tanpa
banyak kata lagi. Hanya matanya saja yang meman-
dang benci pada Datuk Luluhung Begeg, yang tak per-
duli dan terus berlari pergi membawa tubuh gadis itu
meninggalkan rumah Ki Jarot. Ki Jarot dan istri serta
anak-anaknya yang lain hanya menangis, melepas ke-
pergian anak gadisnya yang akan menjadi tumbal.
"Kenapa mbakyu Srikanti dibiarkan saja,
Ayah?" tanya anak laki-laki Ki Jarot yang sudah besar,
menjadikan Ki Jarot seketika memandangnya dengan
trenyuh. Ki Jarot tak dapat berkata untuk menjawab,
hatinya pilu dan gundah serta sedih. Dengan berlinang
air mata, istri Ki Jarot akhirnya mengatakan pada sang
anak.
"Kita berdo'a saja semoga arwah kakakmu dite-
rima di sisi-Nya dengan bahagia, Amin."
Kelima keluarga itu akhirnya kembali masuk,
manakala sudah tak tampak lagi oleh mereka tubuh
Datuk Luluhung Begeg yang membawa tubuh Srikanti
pergi.
* * *
Apa yang ditunggu-tunggu oleh Kencana Wun-
gu tentang kedatangan pemuda itu, kini telah benar-
benar terpenuhi. Pemuda itu yang tak lain dari pada
Pendekar kita Pedang Siluman Darah, malam itu da-
tang mengunjungi Prakoso guna menilik kesehatan
Prakoso.
"Sampurasun...." sapa Jaka Ndableg, manakala
ia telah berdiri di depan pintu rumah Prakoso Suryo.
Matanya memandang sekeliling, seperti liar.
"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar jawa-
ban dari dalam rumah Prakoso.
"Aku, Ki Sanak," jawab Jaka.
Tak lama kemudian seseorang lelaki yang ber-
nama Prakoso Suryo membukakan pintu. Seketika di
bibir Prakoso Suryo tergerai senyum, ketika dilihatnya
siapa adanya pemuda yang datang. Dari mulut Prako-
so Suryo, seketika meloncat kata-kata seruan gembira.
"Ah, ternyata saudara datang juga. Mari, ma-
suk!" ajaknya.
"Terima kasih!"
Jaka segera masuk mengikuti langkah Prakoso
Suryo ke dalam rumah. Mata Jaka yang tajam, berke-
liaran memandang sekeliling ruangan itu, sepertinya
tengah mencari-cari sesuatu hingga mengundang
tanya Prakoso Suryo.
"Adakah sesuatu yang Ki Sanak cari di sini?"
"Ah, maaf. Sungguh aku ini telah berlaku ku-
rang sopan," melenguh Jaka kaget dan tersentak dari
pandangannya. "Namaku yang bodoh dan tak tahu ta-
ta krama ini Jaka Ndableg!"
"Ah, jadi... kau..." kata Prakoso terbata-bata
manakala tahu siapa adanya pemuda yang bertamu ke
rumahnya, yang tak lain orang yang sering disebut
sebut oleh gurunya Kyai Basofi.
"Kenapa, Ki Sanak? Sepertinya kau begitu ter-
kejut mendengar namaku," tanya Jaka tak mengerti,
keningnya berkerut demi dilihatnya Prakoso Suryo
membelalakkan mata kaget.
"Tak aku sangka, kalau aku dapat bertemu
muka dengan seorang pendekar yang namanya telah
menjadi sebutan di dunia persilatan. Terimalah salam
hormatku yang bodoh ini, yang telah merepotkan dan
menyepelekan dirimu."
"Ah, aku tak merasa kerepotan. Aku datang ke
mari juga atas permintaan seseorang."
"Permintaan seseorang...?" tanya Prakoso den-
gan nada kaget.
"Ya...." jawab Jaka pendek, menjadikan Prakoso
Suryo kembali menyipitkan mata dan mengerutkan
kening tak mengerti. Hatinya seketika bertanya-tanya,
siapa adanya orang yang telah menyuruh pendekar
yang namanya telah menjadi buah bibir orang-orang
persilatan?
"Kalaulah Datuk Iblis itu yang menyuruhnya,
sungguh petakalah dunia ini. Tapi tak mungkin, sebab
pendekar muda ini selalu berjalan pada garis kebena-
ran. Jadi siapakah yang telah menyuruhnya datang
menemui diriku?" gumam Prakoso Suryo dalam hati,
menjadikannya diam mematung dengan mata meman-
dang tak berkedip ke arah Jaka. Jaka yang dipandang
begitu rupa, seketika bertanya.
"Kenapa Ki Sanak memandangku begitu?"
"Ah, ti... tidak. Maafkan kelakukanku. Aku ka-
get mendengar ucapanmu," jawab Prakoso sembari le-
barkan senyum, sepertinya hendak menyembunyikan
kekagetannya. Hal itu seketika mengundang perhatian
Jaka yang jeli, yang saat itu juga segera berkata kem
bali.
"Ketahuilah, bahwa aku datang ke mari atas
permintaan seorang Kyai yang menjadi guru besar di
Glagah Putih. Beliau meminta agar aku datang ke sini
untuk membantu Bupati Kencana Wungu yang sebe-
narnya anak murid beliau."
Terbelalak mata Prakoso mendengar penuturan
Jaka Ndableg, sehingga tanpa sadar ia membuka mu-
lutnya menganga. Matanya seketika berkaca-kaca,
manakala ingatannya kembali pada sang guru yang
sangat bijaksana. Belum juga Prakoso berbicara, Jaka
telah kembali berkata meneruskan.
"Menurut keterangan beliau, beliau mempunyai
dua orang murid yang tengah mengabdi pada Kabupa-
ten ini. Murid pertamanya bernama Kencana Wungu,
yang sekarang menjadi Bupati di sini. Sedang murid
keduanya bernama Prakoso Suryo, yang menjadi kepa-
la pasukan Kabupaten sini."
"Akulah orangnya, Saudara pendekar," kata
Prakoso Suryo yang tak mampu lagi membendung ge-
jolak di hatinya. Kerinduan akan kabar gurunyalah,
yang menjadikan Prakoso Suryo tak dapat lagi me-
nyembunyikan diri. Untung yang tengah bertamu ada-
lah Pendekar Pedang Siluman Darah yang bermaksud
baik. Kalaulah yang bertamu orang jahat dan bermak-
sud mencelakainya, niscaya akan celakalah Prakoso
Suryo.
Tersentak Jaka Ndableg mendengar pengakuan
orang yang diketemuinya. Sampai-sampai mata Jaka
membeliak, mulutnya mendecak.
"Ah, sungguh-sungguh aku telah buta, sehing-
ga tak tahu kalau Ki Sanaklah orang yang aku tuju.
Kebetulan sekali, jadi aku tak perlu susah-susah men-
cari-cari dan bertanya-tanya."
Setelah keduanya saling kenal dan tukar cerita,
maka kedua orang yang baru bertemu itu seketika
akrab. Keduanya ngobrol tentang segala apa yang
menjadi tanggung jawab. Prakoso menceritakan apa
yang kini menjadi masalah yang tengah dihadapi oleh
kakaknya, juga dirinya. Sementara Jaka menceritakan
tentang pertemuannya dengan Kyai Basofi, yang lalu
meminta tolong padanya untuk membantu kedua mu-
ridnya.
"Mari kita menemui Kakang Kencana Wungu.
Mungkin kakang Kencana Wungu pun. telah menanti
kedatangan saudara pendekar."
"Baiklah. Mari...." jawab Jaka.
Segera keduanya malam itu juga pergi menuju
ke rumah Bupati Kencana Wungu. Dengan setengah
berlari, kedua orang itu berkelebat menyibak malam
yang masih agak sore. Keduanya ingin segera dapat
menemui Kencana Wungu. Karena keduanya berjalan
dengan langkah-langkah yang panjang setengah berla-
ri, maka tak begitu lama kemudian keduanya pun te-
lah tiba di kediaman Kencana Wungu. Di depan ke-
diaman sang Bupati, nampak penjagaan yang sangat
ketat. Sepuluh orang prajurit, nampak siaga penuh
dengan senjata di tangan.
"Siapa kalian!" bentak salah seorang prajurit,
manakala dilihatnya dua orang berkelebat menuju ke
arah situ. Hal itu menjadikan prajurit-prajurit lainnya
segera siaga, tangan mereka menggenggam senjata
yang berupa golok dan tombak.
"Aku Sobri!" jawab dua orang yang ditanya.
"Ketua... Selamat malam!" menjura Subri, di-
ikuti oleh kesembilan prajurit lainnya. "Ada apa geran-
gan ketua datang malam-malam ke mari?"
"Kanjeng Bupati masih terjaga?" tanya Prakoso.
"Hamba kira masih, Ketua," jawab Sobri semba-
ri menepi yang diikuti oleh kesembilan prajurit lainnya,
memberi jalan pada ketua mereka yang berjalan den-
gan seorang pemuda asing.
"Sampurasun.... Adakah kakang Kencana Wun-
gu masih terjaga?"
"Rampes, kaukah adikku?" tanya suara dari da-
lam.
"Benar, Kanda. Dinda datang."
Dari dalam rumah tak lama kemudian keluar
seorang yang tak lain Kencana Wungu adanya. Bibir
Kencana Wungu seketika mengurai senyum, manakala
melihat adik seperguruannya. Namun seketika itu pula
Kencana Wungu mengerutkan keningnya, tatkala me-
lihat seorang pemuda bersama Prakoso dan seketika
itu pula Kencana Wungu menanyakannya pada Prako-
so siapa adanya pemuda itu.
"Siapakah gerangan pemuda di sampingmu,
Dinda?"
"Pemuda inilah yang dulu Dinda ceritakan pada
Kanda," jawab Prakoso. "Ternyata pemuda ini sengaja
diutus oleh guru untuk menemui kita dan sekaligus
menolong menyelesaikan kemelut yang tengah terjadi
di Kabupaten ini. Pemuda ini tak lain adalah Pendekar
Pedang Siluman Darah atau Jaka Ndableg!"
"Apa...?" tersentak Kencana Wungu setelah ta-
hu siapa adanya pemuda di samping adik sepergu-
ruannya. Bukan saja Kencana Wungu yang kaget men-
getahui pemuda bertampang bloon itu seorang pende-
kar yang namanya tengah menjadi buah bibir orang-
orang persilatan. Kesepuluh prajurit jaga itu pun, se-
ketika melototkan mata kaget. Mereka memang telah
mendengar seliweran tentang adanya seorang pende-
kar muda bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah.
Namun melihat tampang orangnya, mereka baru kali
ini. Tadinya mereka menyangka kalaulah pendekar
muda itu bertampang menyeramkan. Tapi nyatanya,
pendekar muda itu berwajah kekanak-kanakan dan
agak sedikit konyol.
"Ah, sungguh aku ini terlalu rabun, sehingga
tak mampu mengetahui siapa adanya tuan pendekar.
Maafkan ketololan saya," lanjut Kencana Wungu se-
raya menjura hormat, menjadikan Jaka seketika itu
tersentak mendapatkan penghormatan yang tak dis-
angka-sangka hingga seketika itu pula Jaka menja-
wabnya.
"Ah, kenapa mesti Kanjeng Bupati yang meng-
hormat padaku? Bukankah hal ini terbalik? Seharus-
nyalah aku yang menyampaikan hormat, karena aku
orang yang berada di bawahmu!"
"Tidak, Tuan Pendekar. Kita sebagai manusia
samalah artinya di mata Yang Maha Esa. Hanya saja
garis hidup kita saja yang berbeda-beda di dunia ini."
"Ooh, sungguh aku yang bodoh ini memang be-
nar-benar bodoh, hingga tak mengerti semuanya. Te-
rima kasih atas segala petunjuk yang Kanjeng Bupati
berikan padaku, terima kasih," Jaka segera menjura
hormat.
"Ayo masuk.... Kenapa mesti di luar?" ajak Ken-
cana Wungu.
Segera ketiganya pun masuk ke dalam. Keti-
ganya duduk di atas permadani yang menghampar di
ruang tamu itu. Dari dalam tiga orang dayang-dayang
ke luar membawakan mereka makanan dan tiga guci
air minum.
"Maaf, Kami tidak memiliki arak," kata Kencana
Wungu, yang, menyangka kalaulah Jaka suka arak.
Mendengar ucapan Kencana Wungu segera Jaka me
nimpali, berkata:
"Ah, aku pun tak suka itu, Kanjeng. Walaupun
aku tak pernah sholat, namun aku sebisanya untuk
selalu mendekatkan diri dengan Gusti Allah."
Tersenyum Kencana Wungu dan Prakoso men-
dengar penuturan Jaka. Keduanya mengangguk-
anggukkan kepala. Tak berapa lama kemudian, keti-
ganya pun terlibat pembicaraan. Sesekali diselingi
dengan gelak tawa kedua kakak beradik seperguruan,
manakala mendengar ucapan Jaka yang nadanya lucu.
Malam itu, Jaka pun menginap di kedi aman
Bupati untuk esok pagi bersama-sama prajurit meng-
hentikan sepak terjang Datuk Luluhung Begeg yang te-
lah membuat keonaran dan kepanikan rakyat Kadipa-
ten Kencana Sari.
***
EMPAT
Dupa dengan bara api yang membara, menge-
pulkan asap yang membumbung tinggi bergulung-
gulung. Di depannya terpampar sebuah meja panjang
yang cukup untuk membaringkan sesosok tubuh. Ya,
memang saat itu tampak sesosok tubuh tengah terbar-
ing di atas meja yang terbuat dari batu pipih hitam.
Yang terbaring itu adalah seorang gadis yang meronta-
ronta, dengan tangan dan kaki diikat seutas tali.
Mata gadis itu lembab seperti habis menangis,
dan memang gadis itu kini pun masih menangis. Wa-
lau suaranya tak keluar dari mulutnya, namun ma-
tanya yang melelehkan air bening itu jelas menggam-
barkan bahwa ia menangis.
Di dalam ruangan itu ia tergeletak sendirian,
tak ada orang lain, tak ada siapa-siapa. Sebenarnya
gadis itu ingin berontak, namun karena tangan dan
kakinya diikat kencang gadis itu tak mampu melaku-
kannya.
Gadis itu adalah korban yang akan dipersem-
bahkan untuk penguasa Gunung Lanang. Sudah men-
jadi adat kebiasaan daerah kalau setiap bulan purna-
ma mereka melakukan korban bagi penguasa wilayah
itu. Menurut kepercayaan mereka, bila mereka tak
mengorbankan sekali dalam seedaran Bulan Purnama
maka petaka akan menimpa wilayah mereka.
Seluruh rakyat Kadipaten Kencana Wungu ti-
dak menyadari bahwa semua adalah taktik Datuk Lu-
luhung Begeg saja, yang sebenarnya untuk menakut-
nakuti mereka. Sedangkan korban itu, sebenarnya
korban untuk pemuas Iblisnya guna menambah ilmu
yang ia miliki.
"Ayah, ibu... Kenapa aku kau biarkan begini.
Hu, hu, hu...." Gadis itu menangis. Wajahnya tergam-
bar ketakutan yang teramat sangat. Bau anyir darah,
menjadikannya makin bertambah takut saja. Bayan-
gan yang tergambar dalam benaknya, tak lain dari
orang-orang yang telah menjadi korban.
Gadis itu adalah anak Ki Jarot yang bernama
Srikanti, yang telah diminta paksa oleh Datuk Lulu-
hung Begeg dari Ki Jarot. Walau Ki Jarot tak merela-
kannya, hal itu tak menjadi masalah bagi Datuk Iblis
itu.
Srikanti mencoba berontak, namun sekali lagi
ia tak mampu melakukannya sebab tangan dan ka-
kinya diikat keras-keras. Ingin rasanya ia menjerit,
namun urat leher bicaranya telah ditotok menjadikan
ia tak mampu berkata-kata apalagi menjerit. Jadilah
Srikanti bisu, yang hanya mampu melenguh dan me-
nangis serta mengumpat-umpat dalam hati.
Tengah Srikanti menangis, terdengar pintu di-
buka dari luar.
"Kreket,"
Seorang lelaki bermuka menyeramkan dengan
kerudung hitam penutup kepala serta jubah hitam
menghampiri Srikanti yang seketika melotot marah.
Lelaki berpakaian serba hitam itu, tak lain Datuk Lu-
luhung Begeg adanya. Luluhung Begeg tersenyum pa-
da Srikanti, lalu dengan suara berat berkata yang
mendirikan bulu kuduk gadis muda itu.
"Hua, ha, ha... Tenang, Anak manis, sebentar
lagi kala malam telah agak larut kau akan menjadi
korban. Darahmu akan menjadikan diriku sakti man-
dra guna. Kelak bila telah mencapai seratus darah se-
macammu, jadilah aku seorang Datuk Sesat yang pal-
ing sakti di antara para tokoh persilatan. Akulah yang
kelak mengatur segala apa yang ada di jagad ini. Hua,
ha, ha..."
Srikanti yang tak dapat berkata-kata hanya
mampu melotot, dan dengan berani tanpa diduga oleh
Datuk Luluhung Begeg Srikanti meludahi muka sang
Datuk. Hal itu membuat marah sang Datuk bukan
alang kepalang, yang seketika itu mencengkeram leher
si gadis.
"Aku bunuh, Kau anak edan!"
Tangan sang Datuk lekat di leher Srikanti hen-
dak mencekik. Srikanti tersenyum, sepertinya siap un-
tuk dicekik. Seketika sang Datuk tersentak, manakala
ia ingat akan apa yang terjadi bila gadis itu mati sebe-
lum bulan purnama. Padahal bulan purnama tinggal
beberapa jam saja. Kalau gadis itu mati, maka tak
akan dapat lagi Datuk Luluhung Begeg menambah ke
saktiannya.
"Bodoh benar aku ini. Sungguh bodoh bila aku
melayani anak gila ini. Kalau sampai aku jadi membu-
nuhnya sebelum bulan purnama, tak ada lagi kesem-
patan. Hem, Anak edan! Hampir saja aku terbawa kegi-
laannya," menggerutu Datuk Luluhung Begeg, mem-
buat Srikanti lebarkan senyum sinis. Sang Datuk tak
mau ambil resiko, segera berkelebat pergi tinggalkan si
gadis yang kembali tercenung dalam diam.
"Oh, Tuhan, apakah benar-benar aku ini akan
menjadi korban Iblis sang Datuk? Oh sungguh tak da-
pat aku bayangkan, darahku akan diminumnya. Hii..."
bergidig si gadis, manakala mengingat bakalan apa
yang akan dilakukan sang Datuk pada dirinya, pada
darahnya yang untuk mandi dan minum. Sungguh
perbuatan yang biadab dan merupakan tindakan iblis.
* * *
Malam perlahan-lahan datang, menggantikan
siang dan sore hari. Lamat-lamat dari kejauhan ter-
dengar lolongan anjing menggema, menyayat hati seo-
rang gadis, yang kini tengah menghadapi detik-detik
menyeramkan.
Bila bulan purnama telah berada pada titik
kulminasi atas, maka saat itu pula korban akan da-
tang. Korban dari seorang Datuk yang menganut ilmu
Iblis...
Lolongan anjing itu makin lama makin keras,
bersamaan dengan lajunya sang rembulan yang berpu-
tar. Angin malam yang dingin, terasa makin dingin dan
menggigit tulang-tulang sumsum.
Di dalam kamar sang Datuk Luluhung Begeg,
masih tergeletak gadis Srikanti Mata sang gadis mem
beliak, manakala terdengar jerit-jerit yang entah dari
mana datangnya. Jerit-jerit itu makin kencang, mana-
kala bulan bergeser makin meninggi.
Wajah Srikanti seketika memucat pasi, ketika
dilihatnya sosok-sosok tubuh tak berkepala dengan ge-
lak tawa membahana, mengisi ruangan itu. Srikanti
mencoba menjerit, namun mulutnya bagai tersumbat
rapat. Dan gadis-gadis tanpa kepala itu makin lama
makin mendekat ke arahnya, dekat dan dekat.
Dari leher-leher putung itu, terdengar desah-
desah yang hampir mirip rintihan kesakitan. Tangan
mereka seperti mencari-cari entah apa yang tengah
mereka cari. Mereka menangis, lalu tertawa cekikikan.
"Hi, hi, hi... rupanya kita akan mendapatkan
kawan. Teman, tahukah kau di mana kepala-kepala
kami?"
Sebenarnya Srikanti ingin berteriak untuk men-
jawab tidak, namun karena ia dalam keadaan tertotok
menjadikannya tak mampu berkata-kata. Gadis-gadis
tanpa kepala itu seketika terdiam, dan tiba-tiba salah
seorang dari mereka menotok urat nadi di leher Sri-
kanti hingga Srikanti pun dengan seketika dapat ber-
kata.
"Aku tak tahu. Siapa kalian adanya? Kenapa
kalian menggangguku?" merengek Srikanti ketakutan.
Keringat dingin seketika meleleh dari kedua keningnya.
Gadis-gadis tanpa kepala itu terus terdiam
memandang ke arahnya, menjadikan Srikanti menjadi-
jadi takutnya. Mata Srikanti terbelalak hendak keluar,
manakala dilihatnya mereka membuka pakaian mere-
ka. Ternyata anggota tubuh mereka pun berkurang.
Kedua buah dada mereka tak ada lagi, hilang entah ke
mana. Tengah Srikanti tak mengerti maksud setan-
setan itu, terdengar seorang dari setan tanpa kepala
itu kembali berkata.
"Kau pun akan mengalami nasib sepertiku. Kau
pun akan menjadi seperti kami ini. Dia memang jahat,
melebihi setan. Tapi kami tak mampu untuk melawan-
nya, sebab kami dalam kuasaanya."
Gadis-gadis itu kembali menangis. Makin lama
makin seru tangis mereka, lalu melengking seperti his-
teris. Bersamaan dengan rembulan makin meninggi,
bayangan-bayangan gadis-gadis tanpa kepala itu men-
jerit lalu menghilang dari pandangan Srikanti. Bersa-
maan dengan hilangnya mahluk-mahluk menyeram-
kan itu, pintu kamar dibuka dari luar. Tampaklah se-
sosok tubuh berpakaian dan tudung hitam masuk
menghampiri Srikanti.
Karena ruangan itu gelap, Srikanti tak dapat
mengenali jelas orang tersebut. Srikanti hanya dapat
mengenali dari desah nafas lelaki berpakaian serba hi-
tam itu, yang dikenalinya Datuk Luluhung Begeg. Sang
Datuk tersenyum menyeringai, menampakkan gigi-
giginya yang kuning kemerah-merahan.
"Anak manis, malam inilah malam untukmu
bertamasya ke alam yang belum engkau ketahui, yaitu
alam akherat. Hua, ha, ha..."
"Tidak! Tidak...!"
Tersentak Datuk Luluhung Begeg, manakala
mengetahui Srikanti ternyata mampu berkata-kata.
Mata Datuk Luluhung Begeg membeliak, sehingga
nampak menyeramkan. Mulut sang Datuk terbuka le-
bar, bengong dan heran melihat kejadian aneh. Betapa
tidak, Srikanti yang tadinya tak dapat berkata-kata ka-
rena telah ditotok olehnya, ternyata kini bisa bicara.
"Apakah ia memiliki kepandaian hingga mampu
membebaskan totokanku?" tanya Datuk Luluhung Be-
geg dalam hati, karena tak mengira kalau gadis bakal
korbannya mampu membuka totokannya.
"Siapa kau sebenarnya!" membentak sang Da-
tuk.
"Hi, hi, hi... aku...? Aku ya aku."
"Slompret! Kau rupanya hendak mempermain-
kan aku, Anak edan! Jangan kira aku takut melihatmu
dapat membebaskan totokan. He, sesaat lagi kau akan
aku jadikan penambah kesaktianku. Darah... ya da-
rahmulah yang aku butuhkan. Hua, ha, ha...!"
Bergidig Srikanti mendengarnya, sampai-
sampai wajahnya kembali memucat. Hatinya seketika
menjerit-jerit, ya menjerit ketakutan. Bayangan-
bayangan kesepuluh gadis-gadis tanpa kepala, meme-
nuhi benaknya.
"Apakah aku pun akan seperti mereka mati
gentayangan? Hiiii.... sungguh mengerikan," bergumam
hati Srikanti.
"Lepaskan aku, Iblis! Lepaskan... aku bukan
gadis lagi. Aku telah diperawani oleh kekasihku!" me-
mekik Srikanti mencoba mempengaruhi Datuk Lulu-
hung Begeg, menjadikan sang Datuk seketika melo-
totkan mata dan bertanya dengan suara setengah ke-
cewa.
"Benar apa yang kau katakan, Anak edan!"
"Benar," jawab Srikanti memastikan.
"Bedebah! Kalau benar apa yang engkau kata-
kan, maka keluargamulah yang akan menjadi peng-
gantinya. Seluruh keluargamu akan menerima pemba-
lasanku."
"Jangan...! Jangan kau lakukan itu. Aku ma-
sih-masih perawan. Biarlah aku jadi korbanmu, asal
kau tidak membinasakan keluargaku."
"Hua, ha, ha... bagus, bagus. Ternyata kau
hendak mengelabui aku. Hem, tak apa, sebab sebentar
lagi kau berjasa padaku. Darahmu akan membantu di-
riku memperoleh kesaktian."
Datuk Luluhung Begeg tertawa bergelak-gelak,
lalu dengan tanpa memperdulikan Srikanti ia berkele-
bat keluar dari kamar. Tubuh sang Datuk berkelebat
keluar rumah. Dipandangnya rembulan yang masih
agak condong ke timur. Matanya melotot, seakan me-
melototi rembulan yang terlalu lama bergerak,
"Suwe... Waladalah. Kalau begini terus, mana
mungkin aku segera dapat menambah ilmuku. Hem,
akan aku pengaruhi peredaran bulan itu."
Habis berkata begitu hatinya, segera Datuk Lu-
luhung Begeg duduk bersilah. Tangannya sedakap,
kakinya saling lipat. Matanya terpejam, sementara mu-
lutnya komat-kamit. Mengucap mantra. Perlahan-
lahan, bulan itu bergeser dan bergeser tak menuruti
kehendak pergeseran sang waktu.
* * *
Tersentak kaget Jaka Ndableg demi melihat se-
buah kejanggalan di atas langit. Matanya membelalak,
memandang tak berkedip pada bulan yang bergerak
dengan cepat. Tanpa sadar Jaka bergumam, yang
menjadikan Prakoso yang berdiri di sampingnya ter-
sentak bengong.
"Gusti Allah, ilmu apa yang digunakannya?"
"Kenapa, Jaka? Sepertinya kau memikirkan pe-
redaran bulan itu."
Jaka terdiam menarik napas perlahan. Dita-
jamkan matanya mengawasi bulan yang terus berjalan
dengan cepat. Kepalanya menggeleng-geleng, seakan ia
tengah merasakan sesuatu yang berat. Tak disadari
mulutnya seketika bergumam, sekaligus menjawab
pertanyaan Prakoso.
"Bulan itu bergerak tidak normal. Ada sesuatu
tenaga yang mempengaruhi. Biasanya orang yang
mampu mempengaruhi, hanya yang memiliki ajian Lu-
lur Wektu. Hem, siapakah yang telah berbuat begini.
Edan... jelas orang-orang sepertinya orang-orang yang
sangat berbahaya."
Prakoso yang mendengar gumaman Jaka hanya
tercenung diam, tak mengerti akan apa yang sebenar-
nya terjadi. Tengah semuanya terdiam, tiba-tiba dari
arah selatan tampak selarik sinar biru memancar ke
atas langit.
Sinar itu makin lama makin besar dan besar,
menarik gerakan rembulan ke arah barat. Dengan se-
gera Jaka, heningkan cipta. Ia tahu bahwa gerakan bu-
lan telah di pengaruhi oleh seseorang yang bermaksud
jelek pada kehidupan.
"Jaka lihat...! Ada sinar biru memancar!" sera
Prakoso, menjadikan kesepuluh prajurit tersentak dan
langsung memandang dengan terbengong-bengong la-
rikan sinar biru. Jaka masih terdiam, memusatkan se-
gala panca indra untuk dapat menangkap siapa sebe-
narnya pembuat keganjilan di langit. Setelah sekian
lama terdiam, segera Jaka belalakkan mata meman-
dang ke arah datangnya sinar. Jaka tersentak mana-
kala melihat dengan mata batinnya siapa adanya orang
itu, yang tak lain Datuk Luluhung Begeg.
"Ini harus dicegah," bergumam hati Jaka.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak kesebelas orang yang berada tak
jauh darinya, manakala dilihat oleh mereka Jaka tiba-
tiba telah menggenggam sebilah pedang yang meman-
carkan sinar kuning kemerah-merahan. Serta merta
kesebelas orang itu memekik menyebut pedang di tan
gan Jaka, yang sudah mereka dengar.
"Pedang Siluman Darah...!"
Belum habis kekagetan kesebelas orang itu,
serta merta Pedang Siluman Darah telah melesat ter-
bang. Pedang itu meluncur menuju ke arah sinar itu
berada. Segera Jaka dan kesebelas prajurit Kadipaten
mengikuti lajunya pedang.
"Wuuut... wut... wut!"
Pedang Siluman Darah tampak berkelebat, me-
nyerang orang yang tengah membuat kejanggalan du-
nia. Orang yang ternyata Datuk Luluhung Begeg ter-
sentak, lompatkan tubuh ke belakang. Matanya mem-
beliak manakala tahu apa yang tiba-tiba menyerang-
nya dan telah membuat konsentrasinya buyar. Sebilah
pedang yang mengeluarkan warna kemerah-merahan,
memburunya.
"Pedang sialan! Siapa yang telah mempengaru-
himu untuk melakukan tindakan gila melawanku,
hah!" Tangan Datuk Luluhung Begeg bermaksud me-
nangkap Pedang Siluman Darah namun secepat itu
pula Pedang Siluman Darah berkelebat menghindar
dan balik menyerang. Tak ayal lagi, tangan Datuk Lu-
luhung Begeg seketika terputung pergelangannya.
Memekiklah Datuk Luluhung Begeg, bagaikan tersiksa.
Tangannya lepas, tergeletak di tanah. Mata Datuk Lu-
luhung Begeg melotot tak berkedip, melihat suatu ke-
janggalan yang terjadi. Tangannya yang putus tampak
mengering, bagikan tak berdarah setetes pun. Berba-
reng dengan itu, kedua belas orang yang mengikuti la-
rinya Pedang Siluman Darah tiba. Pedang Siluman Da-
rah seketika berkelebat, dan tiba-tiba telah berada da-
lam genggaman tuannya Jaka Ndableg.
"Kau... kau Pendekar Pedang Siluman Darah!"
memekik tertahan Datuk Luluhung Begeg, setelah tahu siapa pemilik pedang itu. Kini ia sadar, kalau pe-
dang yang telah menyerangnya tak lain senjata pusaka
yang telah mengguncangkan dunia persilatan yaitu
Pedang Siluman Darah.
"Kenapa, Datuk Iblis! Untung kau bertemu den-
ganku di sini. Kalau tidak! Pedang Siluman Darah ini
akan menghisap darahmu yang busuk itu. Hem, kare-
na aku menghormati Bupati Kencana Wungu, hingga
aku tak sampai menghukum mu."
Tubuh Datuk Luluhung Begeg seketika menggi-
gil, setelah tahu Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Si-
luman Darah. Segera Datuk Luluhung Begeg jatuhkan
diri dan menangis meminta ampun.
"Tobat, jangan bunuh aku. Aku menyerah."
"Benarkah kau bertobat, Datuk?" tanya Jaka
Ndableg tak mau percaya begitu saja.
"Ingat olehmu, Datuk. Bila kelak kau mengu-
langi perbuatanmu, niscaya aku tak akan segan-segan
membunuhmu. Dan Pedang Siluman Darah inilah
yang akan menghisap darahmu."
Hari itu juga, Datuk Luluhung Begeg ditangkap
dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Kete-
nangan Kadipaten Kencana Sari pun tampak kembali
seperti sediakala. Tak ada lagi teror yang mereka taku-
ti, tak ada lagi korban-korban gadis yang diambil da-
rahnya. Apakah benar Kadipaten Kencana Sari tenang?
Setelah menyelesaikan urusan Datuk Luluhung Begeg,
segera Jaka pamit untuk melakukan pengembaraan-
nya.
***
LIMA
Tiga Bulan Kemudian...
Seorang wanita muda dan cantik siang itu ber-
jalan menyusuri jalanan Kadipaten Kencana Sari. Diti-
lik dari pakaian yang dikenakan dan pedang yang ter-
gantung di pundaknya, jelas gadis itu adalah orang
persilatan. Gadis itu berjalan dengan santai, lalu ma-
suk ke sebuah kedai yang tak jauh darinya berjalan.
Kedatangannya di kedai seketika menjadi per-
hatian seluruh pengunjung kedai yang semuanya laki-
laki. Namun bagaikan tak menggubris, gadis itu tenang
saja dan mengambil duduk. Suaranya yang nyaring
seketika terdengar berkumandang ketika gadis cantik
jelita itu berseru memanggil pelayan kedai.
"Pelayan, bawakan aku nasi dan lauk pauk-
nya!"
"Baik, Den ayu."
Gadis itu kembali acuh, duduk memandang ke
depan. Tengah gadis itu duduk sendirian, dari luar ke-
dai dua orang lelaki bertampang menyeramkan dengan
muka ditumbuhi cambang bawuk masuk ke kedai. Ke-
dua lelaki itu menyapukan pandangannya ke segenap
ruangan. Seketika keduanya tersenyum, manakala di-
lihatnya seorang gadis duduk sendirian. Serta merta
keduanya segera menghampiri.
"Bolehkah kami duduk, Nona?" tanya seorang
di antara keduanya.
Gadis itu seketika menengok ke asal suara itu,
dan dengan suara dingin menjawab. "Boleh..."
Mata gadis itu menyudut, menjadikan keinda-
han bagi yang melihatnya. Hal itu juga menjadikan da-
da kedua lelaki bertampang menyeramkan seketika
dag dig dug. Kedua lelaki itu segera duduk di samping
kiri dan kanan, mengapit sang gadis yang tampaknya
acuh dan tenang.
"Boleh kami kenal namamu, Nona?" kembali le-
laki tadi bertanya.
Si gadis seketika memandang tak berkedip pa-
da lelaki itu. Hatinya seketika bergumam, "Hem, orang-
orang macam ini harus aku pergunakan sebaik-
baiknya."
"Kenapa terdiam, Nona?" tanya lelaki itu men-
gulang.
"Ooh, maaf," menjawab si gadis, kali ini se-
nyumnya mengembang makin menjadikan kedua lelaki
bertampang brangasan itu deg-degan hatinya. Kedua-
nya menyangka kalau gadis itu memang benar-benar
mengijinkan keduanya mengenal dirinya. Kedua lelaki
itu tak menyadari makna dari senyuman maut si ga-
dis. Senyuman yang tersembunyi sebuah harapan. Ya,
harapan untuk menjadikan keduanya sebagai budak-
budaknya.
"Namaku Dewi Sariti," mengenalkan Sariti na-
manya.
"Waladalah, cocok dengan wajahnya. Nama
kami Sepasang Buaya Merah. Aku bernama Catil
Buaya, sedang adik seperguruanku bernama Catul
Landak."
Gadis itu kembali tersenyum, kini senyumnya
makin melebar seperti sengaja dikembangkan. Hal itu
makin menambah kecantikan Sariti, menjadikan ke-
dua Buaya Merah makin tak mampu untuk memben-
dung rasa yang ada di hatinya. Tangannya yang jail,
telah gatal untuk colak colek. Hal ini memang sangat
diharapkan oleh Sariti. Maka ketika Catil Buaya hen-
dak mencolek miliknya yang sensitif, sekonyong
konyong Sariti kibaskan tangan dengan cepat. Keleba-
tan tangan Sariti begitu cepat, sehingga tak mampu
Catil Buaya mengelakkannya. Tiba-tiba tangan Sariti
telah mencengkeram tangannya, lalu bagaikan benda
ringan dihempaskan tubuh Catil Buaya tinggi besar
itu.
"Gedebug..."
Melotot mata Catul Landak menyaksikan hal
itu. Namun Catul Landak tak dapat berbuat apa-apa,
manakala dengan cepat Sariti telah menghempaskan
dirinya jatuh terlentang bagaikan sehelai daun lontar
yang dihempaskan.
"Kau... Bedebah! Rupanya kau ingin main-main
dengan Dua Buaya Merah. Hem... bersiaplah, hiat...!"
menggeram marah Catil Buaya. Seketika tubuhnya
bangkit, berkelebat menyerang pada Sariti yang masih
tersenyum. Manakala serangan Catil hendak sampai
dengan mengegoskan tubuh yang langsing itu Sariti
mengelak dan tanpa dapat dicegah kakinya mengang-
kat menendang muka Catil Buaya.
"Splak...! Splak...! Splak...!"
Tiga kali tendangan beruntun menghantam
muka Catil Buaya, yang seketika itu sempoyongan
dengan hidung dan mulut keluarkan darah. Melihat
kakak seperguruannya terluka, dengan nekad Catul
Landak bangkit seraya langsung menyerang dengan
senjatanya Duri Buaya.
"Aku bikin kulitmu yang mulus itu bergedel,
Gadis Sundel!"
"Hi, hi, hi... Buktikanlah kalau kau mampu,
Catul?" berkata Sariti dengan senyum meremehkan.
Tubuhnya yang ramping berkelebat memapaki seran-
gan tersebut. Belum juga serangan Catul sampai, Sari-
ti dengan segera hantamkan pukulan yang disaluri te
naga dalam. Karena Batul tengah dilanda emosi, se-
hingga serangan tersebut tak mampu ia elakan. Tu-
buhnya seketika terhempas terbang bagai ditiup angin
prahara, dan jatuh membunyikan suara gedebug.
Sariti tersenyum, berjalan menghampiri kedua-
nya yang jatuh terduduk. Senyumnya masih mengem-
bang, bahkan kini makin lebar. Hal itu makin menja-
dikan kedua Buaya Merah merandek marah, yang
dengan mendengus segera berkelebat menyerang ba-
reng.
Diserang begitu rupa tidak menjadikan Sariti
bingung atau takut. Bahkan dengan senyum yang ma-
sih mengembang Sariti berkelit balik menyerang. Kaki
dan tangannya bergerak cepat laksana baling-baling
yang ditiup oleh angin kencang. Hal itu menjadikan
kedua Buaya Merah tersentak, melompat mundur.
"Kita hadapi dengan ilmu Buaya, Catul."
"Ayo, kakang, hiat..!"
"Buaya Merah Mencari Mangsa, hiat...!"
"Hi, hi, hi... Buaya ompong, akan aku hadapi
dengan ini," bersamaan dengan habisnya suara Sariti,
tiba-tiba tubuh Sariti bergerak bagaikan anak panah
yang dilepaskan dari busurnya. Tubuh Sariti seketika
terbelah, menjadi dua, kemudian tiga, empat... Sepu-
luh Sariti kini muncul. Hal itu menjadikan kedua mu-
suhnya bingung untuk menyerang yang mana. Semu-
anya sama, semuanya tersenyum ke arah kedua lelaki
bertampang menyeramkan.
"Hi, hi, hi... Masihkah kalian tak mau mengakui
kekalahan kalian?" tanya sepuluh gadis cantik itu ba-
reng, menjadikan gema yang berkepanjangan.
"Baiklah kami menyerah," menjawab Catil
Buaya.
"Bagus! Mulai sekarang akulah ratumu, pa
ham!" membentak gadis itu dengan angkuhnya. "Juga
semua yang ada di dalam kedai ini, sejak saat ini ka-
lian harus mengakui aku sebagai pimpinan kalian. In-
gat! Bila ada yang berani membantah maka hadiahnya
akan seperti ini, hiat...!" Sang gadis kiblatkan telapak
tangannya ke seseorang yang sedari tadi memandang-
nya yang duduk di sudut ruangan. Seketika bersa-
maan dengan selarik sinar putih keluar dari telapak
tangan si gadis, melengking pula orang tersebut. Orang
itu akhirnya terdiam mati dengan tubuh meleleh ba-
gaikan malam terkena api. Itulah ajian Lebur Raga.
Bergidig semua yang menyaksikan, mata mereka melo-
tot. Bau daging terbakar, seketika menyengat hidung
menjadikan yang tak kuat menahannya muntah-
muntah.
Sariti kembali duduk dengan tenangnya, me-
nyantap makanan yang telah disediakan dengan la-
hapnya. Ia tak lagi memperdulikan pada semua pen-
gunjung kedai, yang dengan takut-takut memperhati-
kan dirinya.
Tengah Sariti menyantap makannya, terdengar
seruan orang di luar kedai.
"Kanjeng Bupati Kencana Wungu datang...!"
Serta merta seluruh yang berada di dalam kedai
keluar, tak luput juga Sariti. Ditinggalkannya maka-
nan, dan segera berkelebat ke luar. Ia ingin tahu ba-
gaimana tampang Bupati Kencana Wungu, yang menu-
rut desas desus sangat tampan dan penuh kewiba-
waan.
Dari kejauhan nampak dua lelaki tampan du-
duk di atas kuda-kuda mereka, sementara di bela-
kangnya berjalan puluhan prajurit mengiringi. Seren-
tak seluruh rakyat jongkok menyembah sembari surut
minggir memberikan jalan. Kencana Wungu duduk di
atas dengan senyumnya, di samping kanan duduk di
atas kuda Prakoso Suryo sang pimpinan prajurit yang
sekaligus adik seperguruannya.
Ketika keduanya sampai de depan kedai, seren-
tak seluruh pengunjung kedai yang telah keluar jong-
kok menyembah seraya keluarkan sanjungan.
"Sejahtera bagi baginda Kanjeng Bupati kencan
Wungu!"
"Terimakasih... Sejahtera pula untuk kalian,
rakyatku!" menjawab sang Bupati sembari lemparkan
senyum manis. Namun seketika senyumnya menghi-
lang, berganti dengan kerutan di dahinya manakala di-
lihatnya seorang wanita muda cantik berdiri. Wanita
muda cantik itu tidak jongkok seperti yang lain, tapi
berdiri dengan angkuhnya bahkan tersenyum seenak-
nya. Mata gadis itu memandang tajam tak berkedip,
memandang pada Kencana Wungu. Para prajurit yang
melihat hal itu seketika berkelebat mendatangi gadis
cantik itu bermaksud menangkapnya, manakala Ken-
cana Wungu telah mendahului berseru.
"Biarkan, Prajurit-prajuritku!"
Tersentak seluruh prajurit mendengar hal itu.
Mereka tak mengerti kenapa Bupatinya melarang un-
tuk menangkap gadis liar dan angkuh itu. Kencana
Wungu telah turun dari kuda, menghampiri gadis can-
tik itu yang masih berdiri memandangnya tajam
menghunjam.
"Siapakah nona ini? Sepertinya nona orang ba-
ru di sini."
"Kaukah Bupati Kencana Wungu itu!" balik ber-
tanya gadis cantik itu, menjadikan seluruh mata melo-
tot kaget tak percaya kalau gadis itu akan nekad bera-
ni bertanya lancang. Seluruh rakyat seketika mengger-
tuk, kesal dan jengkel melihatnya.
"Gadis sombong! Lancang benar mulutmu!"
"Sudahlah, rakyatku. Janganlah kalian me-
mendam rasa benci atau marah. Aku tak apa, dan
maklum akan hal itu. Siapa nama nona?" tanya Ken-
cana Wungu seraya datang menghampiri.
Gadis itu tersenyum memandang pada Kencana
Wungu. Matanya menatap sayu, sepertinya mengata-
kan sesuatu maksud agar Kencana Wungu mau men-
gerti dan memahami arti tatapan itu. Hati Kencana
Wungu seketika terpanah, bergetar mendengungkan
sebuah kalimat merdu.
"Kenapa nona terdiam?" ulang Kencana Wungu
bertanya.
"Ti-tidak. Aku terpana memandangmu," terba-
ta-bata gadis itu menjawab, menjadikan Kencana
Wungu makin melebarkan senyumnya. Sementara
sang gadis pun tersenyum, mengulaskan sebuah pe-
mandangan indah di bibirnya. "Nama hamba, Sariti...
Dewi Sariti."
Kepala Kencana Wungu mengangguk-angguk
mengerti.
"Dapatkah nona nanti datang ke Kadipaten?"
"Adakah saya bersalah, Kanjeng?" tanya sang
gadis dengan takut-takut, menjadikan Kencana Wungu
kembali mengulas senyum. Ditajamkan matanya me-
natap sang gadis, yang seketika itu tertunduk. Entah
apa yang menjadikannya tertunduk, yang semula be-
rani menentang pandang.
"Aku tak dapat menjawabnya sekarang, tapi
nanti di Kadipaten kau akan aku beritahukan," men-
jawab Kencana Wungu. "Ayo Dinda kita lanjutkan per-
jalanan."
"Daulat, Kanda. Prajurit... Kita teruskan perja-
lanan!" berseru Prakoso Suryo memerintah. Seketika
itu pula mereka pun bergerak kembali, meninggalkan
tempat itu, meninggalkan Sariti yang memandang ke-
pergian mereka dengan sejuta perasaan yang melekat
di hatinya.
* * *
Kuda-kuda yang ditumpangi mereka berjalan
lambat, hal itu memang disengaja agar mereka dapat
bercakap-cakap. Kencana Wungu tampak tercenung di
atas kudanya, menjadikan Prakoso yang mengiringinya
seketika mengajukan pertanyaan.
"Kenapa gerangan kanda melamun? Sepertinya
kanda memikirkan sesuatu. Apakah gadis itu yang
kanda tengah pikirkan?"
"Ah..." melenguh Kencana Wungu. "Kau tahu
saja, Dinda."
"Dinda hanya menebak, sebab dinda perhatikan
kanda melamun sejak kanda menghampiri gadis itu.
Kenapa, Kanda...?"
Kencana Wungu sesaat menarik napas, me-
mandang pada Prakoso dengan bibir terurai senyum.
Dan dengan malu-malu, Kencana Wungu menjawab.
"Entahlah, Dinda. Sejak melihatnya hati kanda seketi-
ka itu pula telah terpanah oleh cinta."
"Ah..." kini Prakoso yang melenguh, yang seke-
tika mengundang perhatian Kencana Wungu bertanya.
"Kenapa, Dinda? Sepertinya kau merasa berat."
"Entahlah, Kanda. Aku hanya merasakan sesu-
atu yang tak enak bila kanda harus dengan gadis itu,"
menjawab Prakoso Suryo. "Di samping liar, sorot ma-
tanya nakal. Apakah sorot mata itu tidak ada maksud
sesuatu di baliknya? Entahlah, Kanda."
"Ah, kenapa kau mesti memikirkan itu semua,
Dinda. Mungkin sorot mata itu karena ia baru saja tu-
run gunung," berkata Kencana Wungu beralasan. "Bu-
kankah dulu kita waktu pertama kali turun gunung
juga seperti macan...?"
Seketika itu kedua kakak beradik seperguruan
itu pun bergelak tawa, lalu dengan segera dipacunya
kuda-kuda yang mereka tumpangi.
* * *
Tersentak Kencana Wungu dan Prakoso Suryo
manakala dilihat oleh keduanya bahwa gadis itu telah
berada di halaman Kadipaten. Gadis itu tersenyum
manakala melihat kedatangan mereka, sepertinya
memberikan gambaran sesuatu. Ya, sesuatu yang tak
dapat dijawab oleh kedua kakak beradik yang tak me-
naruh sakwasangka buruk. Apalagi Kencana Wungu,
serta merta ia segera turun dari atas kudanya meng-
hampiri si gadis.
"Kapankah nona datang?" tanya Kencana Wun-
gu.
"Dari tadi," menjawab Sariti dengan bibir masih
terurai senyum, senyum yang mampu menggetarkan
dada setiap lelaki. "Sejak aku melihat Baginda, entah
karena apa hatiku seketika ingin selalu melihat wajah
Baginda. Apakah ini yang dinamakan tak bertepuk se-
belah tangan, Tuan...?"
Terbelalak dan makin melebar saja mata Ken-
cana Wungu kaget, demi mendengar penuturan Sariti
yang polos. Dengan tanpa malu-malu Kencana Wungu
segera menggandeng tangan Sariti, masuk ke dalam
rumahnya. Prakoso Suryo hanya mampu geleng-
gelengkan kepala melihat hal itu, lalu ia pun segera
berlalu menuju ke rumahnya.
Kedua orang itu telah dibuai cinta, yang meng-
gayut dan mengukir di hati mereka. Kencana Wungu
nampak tersenyum, memapah langkah Sariti menuju
ke kursi, keduanya hanya terdiam dan diam, saling
pandang penuh arti. Lama hal seperti itu keduanya la-
kukan, sampai-sampai mereka tak menyadari kalau
tangan-tangan mereka saling berkait, saling remas
dengan bibir terurai senyum.
"Apakah yang hendak Kanjeng Bupati katakan
padaku?" tanya Sariti tiba-tiba, menjadikan Kencana
Wungu seketika mendesah. Sementara mata keduanya
masih saling tatap, seakan membersitkan benang-
benang cinta.
"Apakah dinda belum mengerti juga?" balik ber-
tanya Kencana Wungu, menjadikan Sariti seketika
berbinar-binar matanya disebut dinda. Ah, kata sebu-
tan itu sungguh merdu didengar di telinganya, menja-
dikan Sariti seketika itu melayang sukmanya terbang
ke alam yang indah.
"Kanda..." mendesah Sariti terbata.
"Benar, Dinda. Sebut aku dengan sebutan itu,
sungguh aku merasakan kebahagiaan bila kau mau
menyebutkan sebutan Kanda padaku untuk sela-
manya."
"Benarkah, Kanda?"
"Benar, Dinda. Sungguh aku mencintaimu se-
jak melihatmu tadi."
"Oooh, Kanda..." Sariti melenguh manja, men-
jadikan Kencana Wungu tak alang kepalang seketika
itu pula bagaikan hilang keseimbangan tubuhnya.
Kencana Wungu segera berdiri dari duduknya, me-
langkah mendekati Sariti.
"Maukah kau menjadi istriku, Dinda?"
"Dengan senang hati, Kanda..."
Mendengar jawaban itu, seketika tanpa sadar
Kencana Wungu dekap tubuh Sariti. Perlahan dide-
katkan mukanya, lalu hidungnya dan yang terakhir
bibir mereka berkait.
***
ENAM
Jaka Ndableg tersenyum melihat kera-kera
yang berloncat-loncatan dari satu pohon ke pohon
lainnya, saling canda ria. Tingkah kera-kera itu sangat
lucu, mengundang gelak tawa bagi yang melihatnya.
Melihat kera-kera itu yang bebas berkeliaran
dengan hati riang, menjadikan Jaka teringat pada di-
rinya. Dirinya juga bebas berkeliaran. Bedanya kalau
kera-kera itu tak ada yang mengusik, sedang dirinya
banyak musuhnya.
"Sungguh bahagianya kera-kera itu," gumam
Jaka.
Pagi itu terasa sejuk, angin bertiup sepoi-sepoi
menerpa daun-daun. Rambut Jaka yang gondrong
nampak tergerai, beterbangan dihempas angin. Untung
saja Jaka mengenakan ikat kepala, kalau tidak mung-
kin rambut-rambutnya akan berantakan.
Dengan menggeleng-gelengkan kepala melihat
kera-kera yang lucu, Jaka segera mengambil sebuah
buah mangga dan dilemparkannya ke arah kera-kera
tersebut.
"Ini untuk kalian, hoop!"
Setelah memberikan mangga tersebut pada ke-
ra-kera yang seketika itu berebutan Jaka segera mene-
ruskan langkah kakinya berlalu meninggalkan hutan.
Pikirannya tak tentu arah, ke mana saja hati nura-
ninya mengajak. Ke situ pula Jaka membawa tubuh-
nya.
* * *
Manakala Kencana Wungu tak ada di rumah,
diam-diam istrinya yang bernama Sariti atau Dewi
Kencana Wungu mencari di mana adanya penjara ba-
wah tanah yang digunakan untuk memenjarakan Da-
tuk Luluhung Begeg.
Hari itu ketika sang Bupati menghadap baginda
Raja, Dewi Kencana Wungu kembali mencari di mana
adanya penjara bawah tanah. Telah hampir seluruh
ruangan itu ia selidiki namun tak ada tanda-tanda ia
bakal menemukannya.
"Mungkinkah di belakang rumah?" tanyanya
dalam hati.
Segera Dewi Kencana Wungu berkelebat ke be-
lakang rumahnya. Dicarinya pintu yang berada di ba-
wah tanah, yang memungkinkan untuk menembus
penjara tersebut. Namun kembali ia menemukan kega-
galan, karena ia tak mendapatkannya.
"Hem, sungguh-sungguh sulit. Kenapa aku ti-
dak menanyai Kencana Wungu saja?" mengeluh Dewi
Sariti. "Tapi... apakah nanti ia tidak curiga? Ah, benar.
kalau aku menanyakannya, bisa-bisa aku yang ditang-
kap karenanya. Hem, aku tak boleh putus asa dulu.
Aku harus tetap mencari sampai ketemu."
Habis menggumam begitu, Sariti kembali men-
cari di mana adanya pintu masuk menuju ke penjara
bawah tanah. Seluruh ruangan rumah telah ia cari,
namun belum juga diketemukannya. Hampir saja Sari-
ti putus asa, manakala matanya seketika melihat se
suatu keganjilan di halaman belakang rumah. Pohon
pisang itu berdiri, namun daun-daunnya tak menghi-
jau seperti daun pohon pisang lainnya.
"Hem, mungkin itu tempatnya. Coba aku perik-
sa."
Segera Sariti mengambil sekop, dan digalinya
tempat itu. Belum begitu dalam ia menggali, tiba-tiba
sekop yang digunakannya membentur betonan.
"Duk, duk, duk!"
"Hem, ini dia."
Perlahan-lahan Sariti membuka pintu yang ter-
buat dari betonan, yang menutupi lobang pintu.
"Hooop... ya!"
Betonan itu pun akhirnya terangkat, bersa-
maan dengan mentalnya tubuh Sariti. Saat itu juga,
sepuluh tombak berkelebat mengarah Sariti yang ter-
sentak kaget, lemparkan tubuh ke samping menghin-
dar.
"Huh, benar-benar bahaya kalau aku tak hati-
hati," mengeluh Sariti dalam hati. Perlahan ia bangkit,
lalu mendekati lubang yang menganga. Langkahnya
begitu hati-hati, takut kalau-kalau jebakan akan da-
tang menyerang lagi.
Sariti mengambil sebongkah batu, dicobakan-
nya batu itu. Tak ada apa-apa yang menyerang batu
itu. Setelah yakin benar bahwa sudah tak ada jebakan,
Sariti perlahan-lahan menuruni tangga yang ada di si-
tu.
Dengan terlebih dahulu menengok kanan kiri,
Sariti segera menuruni anak tangga ke bawah. Gelap
keadaan di bawah hingga Sariti harus tertatih-tatih
melangkah.
"Adakah ayah mendengar suaraku?"
Tak ada jawaban.
Sariti kembali melangkah maju perlahan, ma-
kin ke dalam dan ke dalam. Sesaat Sariti berdiri mena-
jamkan mata untuk dapat melihat di tempat gelap itu
dan kembali ia berseru:
"Ayah... di mana kau?"
"Aku di sini, Anakku," terdengar jawaban dari
seorang lelaki. "Terus kau melangkah maju! Kalau kau
melihat cahaya, maka di situlah aku."
Sariti segera menuruti, ia melangkah perlahan
dalam gelap. Dicarinya ruangan yang bercahaya, se-
suai dengan perintah ayahnya. Tak lama kemudian Sa-
riti pun akhirnya menemukan tempat itu.
"Ayah!" Sariti memekik, manakala dilihat oleh-
nya seorang lelaki tua dan tampak makin tua saja ter-
kurung dalam jeruji besi.
"Apakah ayah tak mampu membuka jeruji itu?"
"Mana mungkin, Anakku." melenguh Datuk Lu-
luhung Begeg. "Tangan kananku puntung, Anakku!"
"Puntung!" memekik kaget Sariti demi menden-
gar hal itu. "Siapa yang telah melakukannya, Ayah?
Kencana Wungukah?"
"Bukan, Anakku." menjawab Datuk Luluhung
Begeg, menjadikan Sariti kembali bertanya ingin tahu
siapa adanya yang telah berani memutungi tangan
ayahnya.
"Lalau siapa, Ayah? Biar aku yang akan meng-
hukumnya!"
Datuk Luluhung Begeg seketika menarik nafas.
Ditatapnya wajah anaknya yang tegang. Ia maklum be-
tapa sang anak sangat mencintainya. Namun untuk
mengatakan siapa adanya orang yang telah mencela-
kainya sungguh berat. Bukannya apa, sang Datuk tak
ingin anaknya harus menghadapi resiko. Melihat
ayahnya hanya terdiam, Sariti pun mendesaknya.
"Siapa, Ayah? Kenapa ayah sepertinya jeri?"
"Anakku. Tangan ayah ini ditebas oleh senjata
pusaka milik siluman." Akhirnya Datuk Luluhung Be-
geg menjawabnya, menjadikan Sariti tersentak kaget.
"Siluman...? Jadi ayah telah bertarung dengan
siluman?"
"Bukan itu, Anakku. Ayah tertebas oleh senjata
pusaka seorang Pendekar yang namanya akhir-akhir
ini tengah menjadi bahan ucapan. Kau kenal dia,
nak?"
Sesaat Sariti terdiam sembari kerutkan kening
mengingat-ingat siapa gerangan Pendekar Pemilik Sen-
jata Siluman. Namun sekian lama ia mengingat, tak
juga ia mengenalinya hingga akhirnya ia pun menge-
luh. "Aku tak mengerti, Ayah."
Datuk Luluhung Begeg tersenyum.
"Pendekar itu masih muda. Mungkin sebaya
dengan dirimu." menjelaskan Datuk Luluhung Begeg.
"Dan senjata pusaka itu adalah sebuah Pedang yang
mampu mengeluarkan darah bila berhadapan dengan
musuh..."
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" memekik
Sariti memotong ucapan ayahnya.
"Benar anakku. Memang Pendekar itulah yang
telah melakukannya, ia juga mengancam akan mem-
basmi kita, bila kita melakukan kejahatan lagi. Itulah
kenapa ayah pasrah mendekam dalam penjara bawah
tanah yang pengap ini."
Tergetar Sariti mendengar ucapan ayahnya
yang bernada sedih. Darahnya seketika mendidih dan
mendidih, bergetar-getar laksana badai. Seketika itu
pula, dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman
muncul. Dendam untuk dapat membalas segala yang
pernah dilakukan pendekar itu pada ayahnya, sehing
ga tanpa sadar Sariti berseru lantang
"Aku akan balas semua ini, Ayah! Akan aku
puntungi leher Pendekar Pedang Siluman Darah!"
"Anakku!" tersentak kaget Datuk Luluhung Be-
geg mendengar sumpah anaknya. Hampir saja Lulu-
hung Begeg menangis. Ya, Datuk Luluhung Begeg se-
dih. Ia tahu bahwa pendekar muda itu sangat susah
dikalahkan. "Percuma, Anakku. Dia bukan pendekar
sembarangan apalagi senjatanya."
"Tidak, Ayah! Tekadku untuk membalas semua
ini akan aku laksanakan. Aku tak akan membiarkan
pendekar sok ingin mencampuri urusan orang lain."
Menggerutuk ucapan Sariti, sampai-sampai gi-
gi-giginya beradu. "Sekarang ayah menepi, akan aku
hancurkan jeruji besi ini."
Datuk Luluhung Begeg tak dapat menolak per-
mintaan anaknya, segera sang Datuk menurut menepi.
Sejurus kemudian...
"Hiat! Aji Lebur Raga!"
"Duar! Duar! Duar!"
Tiga kali berturut-turut terdengar ledakan dah-
syat. Bersamaan dengan itu, besi-besi penutup ruan-
gan seketika hancur patah-patah terhantam ajian Le-
bur Raga. Hal ini menjadikan mata Datuk Luluhung
Begeg melotot kaget. Ia tak menyangka kalau anaknya
mampu memiliki ajian yang sungguh-sungguh dah-
syat. Serta merta Datuk Luluhung Begeg memeluk tu-
buh anaknya dan menangis.
"Sudahlah, Ayah. Jangan kau menangis. Kini
ayah telah bebas."
"Tapi artinya kebebasanku kalau tetap diburu
oleh pihak Bupati Kencana Sari, Anakku?"
"Jangan pikirkan itu. Malam nanti aku akan
membuat segalanya berubah," menjawab Sariti beru
saha menenangkan ayahnya. "Ayah bersembunyilah,
pergilah ayah ke Gunung Lanang dan temui anak bua-
hku. Katakan pada mereka ayah adalah ayahku. Ayah
Penguasa Gunung Lanang!"
"Tapi, apa yang hendak kau lakukan, Nak?"
tanya Datuk Luluhung Begeg dengan mata menyipit.
"Tak usahlah ayah banyak tanya dulu. Waktu-
ku tak ada lagi, sebab sebentar lagi suamiku akan da-
tang."
"Jadi... Kau istri Kencana Wungu?" tanya Datuk
Luluhung Begeg kaget, dijawab dengan anggukkan ke-
pala oleh Sariti. Setelah kedua bapak dan anak itu
kembali berpelukan, Datuk Luluhung Begeg pun sege-
ra pergi meninggalkan penjara bawah tanah untuk
mencari tempat yang ditunjukkan oleh anaknya yaitu
Gunung Lanang. Tak ia sangka, kalau Penguasa Gu-
nung Lanang yang ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan
adalah anaknya sendiri...
* * *
"Baru datang, Kakang?" sapa Sariti dengan se-
nyum manis, manakala menyambut kedatangan sua-
minya yang mengangguk sembari tersenyum. Dipa-
pahnya tubuh Sariti masuk ke dalam.
Sariti masih tersenyum, menuruti ajakan sua-
minya dengan perasaan berkecamuk. Perasaan den-
dam, seketika berperang dengan perasaan kasih. Ya,
benih dari Kencana Wungu telah tersebar di rahimnya.
Tapi bila mengingat ayahnya, segera pikiran lain dihi-
langkan. Ditekannya perasaan yang satu. Dendam. Ya,
dendam pada Kencana Wungu suaminya. Juga den-
dam pada Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Malam ini aku akan menjadikan Kadipaten ini
geger!" berkata Sariti dalam hati, sementara ia masih
tetap melayani apa yang tengah dilakukan suaminya.
Dibalasnya permainan cinta Kencana Wungu. Ketika
Kencana Wungu terhanyut, tiba-tiba Sariti mendorong
tubuh Kencana Wungu dengan kasar, menjadikan
Kencana Wungu tersentak kaget.
"Kenapa, Dinda? Kenapa berbuat begitu?" tanya
Kencana Wungu tak mengerti. Matanya memandang
tak berkedip, tajam bagaikan menggores ulu hati. Bi-
birnya memang masih tersenyum, tapi senyum itu ada-
lah senyum sinis.
"Kau harus mati, Wungu. Kau harus mati ma-
lam ini!"
Habis berkata begitu Sariti melompat, men-
gambil pedangnya yang tergantung. Tersentak kencana
Wungu melihat istrinya tiba-tiba liar dan ganas. Ken-
cana Wungu menyangka itu karena pengaruh sang
bayi, sehingga ia pun membiarkannya. Maka manakala
Sariti tebaskan pedang tak ayal lagi, pedang itu mem-
babat puntung lehernya.
"Aaaahhh!" memekik Kencana Wungu.
Tubuhnya seketika ambruk bersamaan dengan
menggelindingnya kepala. Ambruk dengan darah men-
cuat dari leher yang putung.
Tertawa bergelak-gelak Sariti melihat hal itu.
Dari sela-sela bibirnya, terbersit sebuah kata-kata, se-
belum ia pergi meninggalkan Kadipaten. "Tunggulah
nanti olehmu, Pendekar Pedang Siluman Darah. Aku
akan mengadakan perhitungan denganmu, hi, hi, hi..."
****
TUJUH
Esok paginya…..
Tersentak melotot mata Prakoso melihat apa
yang terjadi. Dilihatnya tubuh kakak seperguruannya
telah mati dengan kepala terpenggal. Tanpa dapat
mencegah, menangislah Prakoso Suryo seketika.
“Di manakah Kanda Dewi?”
Segera Prakoso Suryo tinggalkan tubuh kakak-
nya mencari Dewi Sariti. Segenap penjuru rumah dije-
lajar, tak ditemukan. Prakoso Suryo lari ke belakang,
tak juga ia menemukan.
“Kurang ajar! Ternyata iblis betina itu yang te-
lah berbuat semuanya?” menggerutuk marah Prakoso
Suryo. “Prajurit!”
“Daulat, Tuan!” menjawab Prajurit.
“Sinting kalian! Cepat ke mari!”
Dengan rasa takut, Prajurit itu segera datang
menghampiri Prakoso Suryo.
“Ada apa, Ketua?”
“Dungu! Apakah kalian tadi malam tidak meli-
hat apa-apa, hah!”
Pucat pasi seketika wajah prajurit itu menden-
gar teriakan ketuanya, prajurit itu tahu kalau ketua-
nya telah marah, dan ia pun telah tahu apa yang bakal
terjadi bila ketuanya marah. Maka dia hanya mampu
diam dan diam, tanpa berani berkata-kata.
“Apakah telinga kalian yang jaga telah tuli
hingga tidak mendengar keributan, hah! Atau kalian
memang sengaja bersekongkol dengan iblis wanita itu,
jawab!”
“Am-ampun, Ketua. Sungguh kami tak berani
berkata bohong pada Ketua. Me-me-mang kami men-
dengarnya, namun kami menyangka suatu pertengka-
ran biasa. Dan-dan ketika kami menanyai sang Dewi,
dia hanya menjawab bahwa dia akan pergi keluar se-
bentar,” menjawab prajurit terbata-bata.
“Hem, sekarang juga beritakan pada seluruh
rakyat bahwa kadipaten tengah berkabung!” perintah
Prakoso Suryo. Ia menyadari betapa pun para prajurit-
nya tak dapat disalahkah. Mereka sangat menjunjung
tinggi tatakrama dan etika. Manalah mereka berani
bertindak ceroboh, sedang yang ribut adalah gustinya.
“Daulat, Ketua.”
“Lakukanlah sekarang juga. Beritahu pada se-
genap penduduk bahwa Kanjeng Bupati meninggal di-
bunuh oleh Iblis Betina itu!”
“Daulat, Ketua,” menjawab prajurit.
“Kau….” menunjuk Prakoso Suryo pada prajurit
lainnya.
“Daulat, Ketua.”
“Periksa tahanan, segera!”
Sang prajurit yang diperintah dengan segera
melaksanakan tugas mereka masing-masing. Ada yang
mengurusi mayat sang Bupati, mengurusi penyebaran
pengumuman dan ada pula yang melihat tahanan ba-
wah tanah. Tak begitu lama kemudian, prajurit yang
diperintah melihat tahanan telah kembali dengan mata
menggambarkan ketakutan. Hal itu menjadikan Prako-
so Suryo seketika kerutkan kening, dan bertanya.
“Ada apa, Prajurit?”
“Ketiwasan, Ketua” menjawab prajurit itu.
“Ketiwasan…? Ketiwasan bagaimana maksud-
mu?”
“Tahanan itu telah pergi,” menjawab sang pra-
jurit dengan takut, kalau-kalau ketuanya bakal marah.
“Edan! Kalau begitu jelas iblis betina itu kam-
brat Datuk Luluhung Begeg!” bergumam Prakoso
Suryo gusar. “Cari mereka sampai ketemu, lakukan
cepat!”
“Daulat, Ketua,” menjawab kesepuluh prajurit.
Setelah menyembah hormat, kesepuluh prajurit
itu tanpa membuang-buang waktu lagi segera menja-
lankan perintah. Mereka memacu kudanya laksana
angin, cepat memburu bagaikan desingan anak panah
yang diluncurkan dari busurnya.
Jaka yang saat itu hendak menuju ke Kabupa-
ten untuk silaturahmi pada Kanjeng Adipati Kencana
Wungu dan adiknya Prakoso Suryo seketika hentikan
langkah, manakala dilihat segerombolan penduduk
tengah berkerumun mengerumuni seseorang. Segera
Jaka berkelebat menuju ke arah situ.
Tersentak Jaka mendengar pengumuman yang
dibacakan oleh salah seorang prajurit Bupati yang ia
kenal bernama Jambe Lanang, yang isinya memuat be-
rita duka kematian sang Bupati. Setelah Jambe La-
nang membacakan pengumuman, segera Jaka berseru
memanggilnya.
“Jambe Lanang, tunggu…”
Jambe Lanang yang merasa namanya ada yang
memanggil hentikan langkah. Dibalikkan tubuhnya
menghadap pada suara itu berasal, ia begitu tersentak
manakala tahu siapa adanya yang telah memanggil
namanya. Tanpa sadar Jambe Lanang bergumam me-
nyebut nama pemuda itu.
“Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah, kebe-
tulan.”
“Benarkah apa yang kau bacakan tadi, Jambe?”
tanya Jaka ingin memastikan, yang di angguki oleh
Jambe Lanang dengan mata terurai menangis. Melihat
hal itu, trenyuh hati Jaka seketika. Ia telah maklum
kalau seluruh rakyat benar-benar kehilangan seorang
pimpinan yang baik, yang bijaksana dan mementing-
kan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendi-
ri.
“Sudahlah, Jambe. Ayo kita ke Kadipaten,”
mengajak Jaka.
Keduanya segera meninggalkan kerumunan
orang yang juga meneteskan air mata. Mereka merasa-
kan betapa Kadipaten akan hilang pamornya bila tidak
dalam genggaman dua saudara itu. Dengan berlari-lari
keduanya segera menuju ke Kadipaten.
Tak berapa lama kemudian Jaka dan Jambe
Lanang telah sampai di Kadipaten. Kadipaten saat itu
tengah benar-benar berkabung atas wafatnya sang
Bupati, sehingga kedatangan Jaka dan Jambe Lanang
tidak mengusik mereka yang tengah dirundung lara.
Mereka saat itu tengah menangis dan menangis, me-
nangisi 1uka cita sang Bupati.
“Sampurasun…” menyapa Jaka, yang seketika
itu mengejutkan Prakoso Suryo. Prakoso Suryo seketi-
ka menengokkan muka, dan ia tersentak berbaur rasa
senang demi melihat siapa gerangan orang yang da-
tang. Dengan mengelap air matanya yang merembes
keluar, Prakoso Suryo segera menghampiri Jaka.
“Aku turut berduka cita, Prakoso.”
“Ah, terimakasih, Tuan Pendekar,” menjawab
Prakoso Suryo.
“Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang te-
lah terjadi hingga sampai kejadian seperti ini?” Jaka
bertanya. Dilangkahkan kakinya menuju ke sesosok
tubuh yang terbaring bertutup kain. Perlahan kain pe-
nutup itu dibukanya, dan…! Jaka seketika melototkan
mata, manakala melihat gerangan apa yang ia saksi-
kan. Kepala Bupati sahabatnya, puntung dari tubuh.
Tanpa sadar, Jaka menggumam dengan gigi bergeme
retukkan menahan marah. Walaupun Bupati Kencana
Wungu bukan sanak kandungnya, namun Bupati ini
telah mengangkat dirinya sebagai saudara. Ditambah
lagi dengan guru Kencana Wungu yang telah memin-
tanya untuk melindungi kedua muridnya.
“Gusti Allah… Sungguh perbuatan keji.”
“Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya
pada Kyai Basofi? Oh, sungguh aku adalah orang yang
telah melalaikan amanat,” mengeluh Jaka dalam hati.
Matanya memandang tak berkedip berkaca-kaca.
“Siapa pelaku semua ini, Prakoso?” tanyanya
kemudian.
“Anak Datuk Luluhung Begeg,” menjawab Pra-
koso Suryo, menjadikan Jaka tersentak hampir me-
lompat mundur mendengar penuturan Prakoso.
“Edan! Jadi Datuk Iblis itu mempunyai seorang
anak?” menggerutu Jaka kesal. “Lalu kenapa sampai
anak Datuk Iblis dapat menyusup ke mari?”
Prakoso Suryo yang ditanya sesaat tercenung
diam. Dihelanya napas perlahan, lalu dengan suara
yang serak karena menangis Prakoso Suryo pun men-
ceritakannya.
“Setelah kita dapat menangkap Datuk Lulu-
hung Begeg, seperti yang engkau ketahui sang Datuk
kami penjarakan di penjara bawah tanah.”
“Benar. Lalu…?”
“Tiga bulan kemudian, ketika kami tengah me-
lakukan perjalanan keliling wilayah untuk melihat-
lihat keadaan wilayah, kami menemui seorang gadis
yang memandang pada kami dengan pandangan ang-
kuh di depan sebuah kedai. Gadis itu yang kami keta-
hui bernama Dewi Sariti rupanya telah memasang jerat
cinta di hati kanda Kencana Wungu, sehingga kanda
Kencana Wungu pun jatuh cinta saat itu pula. Mu
lanya aku bermaksud menghalangi karena menurut
pendapatku dia bukan orang baik-baik. Namun kanda
Kencana Wungu menentang pendapatku. Yang lebih
aneh, gadis itu telah tiba lebih dahulu di sini menda-
hului kami. Saat itu juga, kakanda Kencana Wungu
menjadikan gadis itu istrinya. Dan terjadilah bencana
ini.”
Jaka terdiam mendengarkannya, kepalanya te-
rangguk-angguk, tangannya dipotongkan pada tangan
yang lain menyangga dagu, lalu kembali Jaka membu-
ka kain penutup mayat. Seketika hatinya menggelegar
marah, sehingga tiba-tiba Jaka bergumam.
“Aku akan mencari kedua iblis itu. Akan aku
buat perhitungan dengannya. Nah, Prakoso aku tak
dapat mengikuti pemakaman kakakmu, aku harus se-
gera meringkus dua iblis itu.”
Bersamaan dengan habisnya ucapannya, Jaka
tiba-tiba telah berkelebat pergi meninggalkan Kadipa-
ten yang tengah dirundung duka untuk mencari dua
iblis anak bapak.
“Dasar iblis. Sudah aku ancam masih saja ne-
kad. Hem, dikira aku akan membiarkan begitu saja,
enak saja, memangnya aku ini apa?” bergumam Jaka
sembari terus berlari entah untuk ke mana, yang jelas
di hatinya hanya ada satu tujuan yaitu mencari orang
yang telah membunuh Kencana Wungu.
* * *
Ketika Jaka tengah berlari memburu waktu, ti-
ba-tiba langkahnya dikejutkan oleh suara rintihan dari
seseorang. Jaka yang mendengar seketika itu juga
mencarinya. Tak berapa lama kemudian, Jaka telah
dapat menemukan orang yang tengah merintih itu.
Tubuh orang itu terdapat banyak luka bekas aniaya.
Jaka gelengkan kepala melihat hal itu seraya meng-
hampiri.
“Ki sanak, kenapa kau? Kenapa kau tergeletak
di sini dengan luka-luka macam begini?”
Orang yang luka-luka itu perlahan membuka
matanya, memandang pada Jaka. Dan tiba-tiba orang
itu menyebut nama Jaka, yang menjadikan Jaka ter-
sentak kaget.
“Kau menyebut namaku, Ki sanak?” tanya Jaka
heran.
“Bu-bukan. Bukan kau. Aku-aku adalah praju-
rit Kabupaten Kencana Sari. A-aku dan kawan-
kawanku telah dibantai oleh seseorang yang mengaku
bernama Jaka Sedaya.” Berkata lelaki prajurit itu me-
nerangkan. “Entah karena apa, tiba-tiba ia telah me-
nyerang pada kami.”
“Apa kau tak tahu masalahnya?”
“Ti-tidak. Di-dia hanya menyebut nama De-
Dewi Sariti Iblis durjana yang telah membunuh kan-
jeng Bu-pa-ti…” orang itu akhirnya terkulai lemas, ma-
ti.
“Hem, rupanya sang iblis bukannya sendirian.
Ternyata dia memiliki anak buah juga. Aku harus
mencegah segala tindakannya. Hiaaat…”
Setelah membaringkan tubuh lelaki itu yang
ternyata prajurit Kadipaten Kencana Sari, Jaka Ndab-
leg segera kembali berkelebat pergi mencari siapa
adanya orang-orang yang telah berbuat sadis. Memang
telah ia ketahui bahwa orang-orang itu adalah anak
Datuk Luluhung Begeg, yang ia kenal. Mampukah Ja-
ka mencari mereka? Ikuti terus kisah ini sampai tun-
tas…
***
DELAPAN
Gunung lanang...
Puncak Gunung Lanang dari kejauhan tampak
menjulang tinggi seperti hendak mencakar langit, tam-
pak tenang dan sunyi. Namun bila kita melihat apa
yang ada di situ, kita akan dihadapkan pada sebuah
pemandangan yang sangat mengerikan.
Malam bulan purnama telah datang, bersama
semilirnya angin malam yang terasa menyengat kulit
menggigilkan sumsum. Seorang gadis perawan tampak
tergeletak di atas sebuah batu yang berbentuk pipih
panjang. Mata gadis itu sayu, sepertinya tak ada gai-
rah lagi untuk memandang atau untuk berbuat lain. Ia
seperti telah pasrah pada nasibnya, yang akan me-
renggut usianya hanya sampai pada malam itu saja.
Dari tempat lain, terdengar suara orang-orang
tengah berdoa dengan cara mereka. Tangan mereka di-
angkat tinggi-tinggi, lalu menari-nari. Orang-orang itu
kebanyakan laki-laki, ditambah dengan seorang wanita
yang kita kenal sebagai Sariti. Sariti tampak duduk
dengan agungnya di atas singgasananya. Ya, dialah
penguasa Gunung Lanang. Apa yang tengah Sariti la-
kukan?
Seperti ayahnya Datuk Luluhung Begeg, Sariti
pun menganut ilmu sesat dari raja iblis Kongkong Ba-
long. Raja Iblis penguasa Gunung Lanang yang dengan
senangnya menerima Sariti menjadi murid. Segala ke-
saktian telah dilimpahkan raja Iblis itu pada Sariti
dengan imbalan Sariti harus mengorbankan seorang
gadis setiap bulan purnama.
Sepertinya malam itu, Sariti dan pengikut
pengikutnya pun tengah melakukan upacara sakral
tersebut.
"Wahai para pengikutku. Dengan cara seperti
inilah, kita akan selalu diindungi oleh Penguasa Gu-
nung Lanang. Malam ini adalah malam korban bagi
Penguasa Gunung Lanang. Apakah kalian telah meme-
riksa benar-benar akan keperawanan gadis itu?" ter-
dengar suara Sariti berkata. Suaranya menggema,
menjadikan sebuah gaung yang sangat menggetarkan
jantung yang mendengarnya.
"Sudah, Ketua..." menjawab para pengikutnya.
"Nah, sesaat lagi malam akan datang. Kalian
persiapkan segalanya, aku akan datang menemui ka-
lian nanti, lakukanlah!"
Tanpa banyak membantah, semua anggotanya
segera menyembah dan bergegas pergi meninggalkan
Sariti seorang diri. Sariti sunggingkan senyum, lalu
tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... Akulah yang kelak menjadi pim-
pinan dunia. Aku tak akan ada tandingannya. Hem,
tinggal menyingkirkan Jaka Ndableg atau Pendekar
Pedang Siluman Darah saja, semuanya akan beres.
Hua, ha, ha..."
Tengah Sariti tertawa-tawa seorang diri, dari
pintu lain keluar seorang pemuda datang menghampi-
rinya. Sariti tersenyum manakala tahu siapa adanya
pemuda itu, lalu dengan suara manja Sariti memanggil
nama pemuda itu.
"Jaka... Kemarilah, sayang?"
Pemuda yang bernama Jaka itu perlahan me-
langkah menghampiri. Wajahnya tampan, namun ada
goresan yang menunjukkan sebuah kekerasan di pipi
sebelah kirinya. Jaka melangkah bagaikan robot, men-
dekati Sariti yang tersenyum. Makin lama makin dekat
dan dekat.
Sariti yang tak tahan lagi dengan nafsunya, ser-
ta merta menarik tangan Jaka. Di tempat itu pula, ke-
duanya segera bergumul saling rengkuh.
Sementara di tempat lain, anak buah Penguasa
Gunung Lanang nampak tengah menjalankan apa
yang menjadi perintah ketuanya. Mereka menggotong
tubuh seorang gadis, yang dibawanya ke luar.
Gadis itu digeletakkan terlentang, dengan tan-
gan dan kaki diikat tali. Mulut semua orang bertudung
hitam itu nampak komat kamit, sepertinya tengah
membaca mantra.
Bulan perlahan bergeser ke arah barat, mengi-
kuti pergeseran waktu. Dari rumpun bambu agak jauh
dari mereka melakukan upacara sakral, sepasang ma-
ta mengawasinya dengan tajam. Mata itu tak berkedip,
memandang tajam pada orang-orang bertudung. Pemi-
lik mata itu seketika membatin diliputi seribu macam
pertanyaan.
"Sungguh-sungguh kejadian setahun terulang
lagi. Apakah pelakunya sama yaitu Datuk Luluhung
Begeg juga? Aku tak boleh membiarkan begitu saja.
Aku harus bertindak! Tapi aku akan melihat dulu apa
yang akan mereka lakukan."
Upacara sakral itu terus berjalan. Sepertinya
orang-orang bertudung itu tak mengetahui bahwa ke-
giatannya telah diintai oleh sepasang mata tajam, seta-
jam burung rajawali kala mengintai mangsa.
"Wahai Penguasa Gunung Lanang... wahai Pen-
guasa Gunung Lanang... malam ini, kami sengaja kor-
bankan untukmu seorang gadis perawan... semoga,
kau mau menerimanya... datanglah... datanglah...!"
Terdengar suara seseorang yang berdiri paling
tengah menyeru doa menjadikan orang yang mengin
tainya hampir tertawa demi mendengar bacaan doa
yang seperti menyanyi.
"Edan! Rupanya mereka telah dikuasai oleh ib-
lis!" membatin pengintai itu dengan mata yang tetap
tajam. "Apakah mereka juga tak sadar dengan apa
yang mereka lakukan? Sepertinya memang ya."
"Wahai Penguasa Gunung Lanang, terimalah
persembahan kami untukmu." Habis ucapan ketua
upacara sakral itu, mereka semua menyanyi-nyanyi
dan berjoget-joget persis orang gila, mengitari tubuh
gadis yang terbaring itu.
Lelaki yang mengintai seketika berkelebat cepat
dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berada dalam bo-
pongannya. Tersentak semua yang tengah mengikuti
upacara itu, demi melihat seorang pemuda yang tak
lain Jaka Ndableg telah berani lancang mengambil ca-
lon korbannya.
"Bedebah! Kau berani menghina Penguasa Gu-
nung Lanang. Siapa kau adanya, Anak muda!" mem-
bentak ketua upacara dengan geramnya.
Jaka tertawa bergelak, dan dengan suara
menggereng Jaka berseru. "Akulah penguasa Gunung
Lanang. Maka aku berhak membawa korbanku ini.
Bukankah kalian mempersembahkan korban ini un-
tukku? Hua, ha, ha..."
Suara Jaka yang dilandasi dengan tenaga da-
lam, menggema dengan kerasnya. Suara itu menjadi-
kan runtuhan batu-batu yang ada di sekitar Gungung
Lanang, menimbulkan gempa yang dahsyat.
"Bohong! Kau bukan Penguasa Gunung La-
nang. Penguasa Gunung Lanang meminum darah. Tapi
kau, kau tak lebihnya manusia cecunguk yang suka
usilan!" kembali ketua upacara menggeretak marah,
merasa Jaka telah mempermainkannya.
"Hua, ha, ha... kalau itu yang kalian ingini.
Baiklah, memang aku pun sudah haus darah. Ayo,
siapa yang hendak menjadi korbanku."
"Bangsat! Serang cecunguk jelek itu!"
Mendengar ucapan ketua upacara sakral, seke-
tika semuanya berkelebat mengeroyok Jaka Ndableg.
Namun dengan membopong tubuh gadis di pundaknya
sekali pun, Jaka dengan mudah melayani setiap se-
rangan musuh-musuhnya. Bahkan dengan ringan kaki
dan tangannya bergerak cepat.
"Bahaya kalau aku memanggul gadis ini sambil
bertarung. Memang kalau menghadapi kroco-kroco se-
perti ini, mudah ku melayaninya. Namun bila ketuanya
keluar juga Datuk Luluhung Begeg, niscaya aku kere-
potan juga. Baiklah, aku akan menitipkan tubuh gadis
ini pada penduduk, nanti baru aku ke sini lagi," ber-
gumam Jaka dalam hati, dan dengan segera berkelebat
tinggalkan tempat tersebut.
"Kejar cecunguk itu...!"
"Setan! Aku dikata cecunguk. Ah, biarlah dulu
nanti kalian akan tahu siapa adanya cecunguk ini."
Jaka terus berlari dengan cepat menuruni gunung.
Sementara pengejarnya nampak terus memburu dan
baru setelah melintasi sendang, pengejar-pengejar itu
segera balik kembali.
"Syukurlah mereka tak terus mengejar," gumam
Jaka sembari terus berlari membawa tubuh gadis itu.
Jaka berhenti dari larinya tatkala dirasa sudah jauh
meninggalkan Gunung Lanang. Diturunkannya tubuh
si gadis, lalu dibukanya totokan yang ada di leher si
gadis yang menjadikannya tak dapat bicara.
"Terimakasih, Tuan. Mungkin bila tuan tidak
menolong saya akan menjadi apa," berkata si gadis
yang telah terbebas dari totokannya.
"Ah, tak usah kau pikirkan semua itu. Siapa
namamu?"
Gadis itu tersipu-sipu manakala matanya bera-
du pandang dengan mata Jaka. Perlahan-lahan kepa-
lanya menunduk, menyembunyikan apa yang kini be-
rada pada kedua pipinya. Lalu dengan suara lembut si
gadis menjawabnya.
"Nama saya, Leilina."
"Hem..." Jaka menggumam seraya kerutkan
kening mendengar nama gadis yang ditolongnya, men-
jadikan si gadis yang bernama Leilina seketika ber-
tanya.
"Kenapa tuan menatapku begitu?"
"Namamu aneh, Nona Leilina. Apakah kau bu-
kan orang asli sini?"
Leilina menggelengkan kepala.
"Jadi orang manakah?"
"Aku...?" tanya Leilina ingin memastikan seraya
menunjuk pada diri sendiri.
"Ya, nona..."
"Aku berasal dari Tibet," jawab Leilina, menja-
dikan Jaka seketika tersentak kaget menggumam,
mengulang kata-kata akhir yang diucapkan Leilina.
"Tibet...?"
"Ya..."
"Baiklah, Nona Leilina. Kau akan aku titipkan
pada penduduk kampung dulu."
"Lalu tuan mau ke mana?" tanya Leilina terhe-
ran-heran,
"Aku hendak kembali ke Gunung Lanang, tem-
pat tadi," menjawab Jaka, yang menjadikan mata Leili-
na seketika makin menyipit. "Kenapa nona?"
"Aneh tuan ini," menggumam Leilina makin
menjadikan Jaka tersentak tak mengerti. "Kenapa tuan
yang telah terbebas mau mendatangi tempat itu lagi?"
Jaka hanya gelengkan kepala, dengan senyum
menyungging di bibirnya. Lalu dengan suara pelan Ja-
ka menceritakan apa yang telah menjadi tujuannya
pada Leilina yang seketika itu melotot kaget demi men-
getahui Jaka adanya. Dari bibirnya yang mungil, ter-
bersit seruan kaget. "Jadi tuan seorang pendekar? Ah,
sungguh aku bahagia bisa mengenal tuan."
"Sudahlah, Nona, aku tak ada waktu. Ayo..."
Dengan segera Jaka membopong tubuh Leilina
dan membawanya menuju ke perkampungan pendu-
duk. Setelah menitipkan Leilina pada salah seorang
penduduk yang mau menerimanya, Jaka segera berke-
lebat pergi menuju ke Gunung Lanang.
***
SEMBILAN
bat pergi menuju ke Gunung Lanang.
***
9
"Sariti... Keluar kau!"
Sariti yang tengah menikmati alunan kasih
dengan seorang pemuda yang bernama Jaka, seketika
tersentak kaget demi mendengar seruan seorang yang
mengenal namanya.
"Hem, siapa orang gila yang nekad, datang ke
mari?" menggerutu Sariti, "Ayo Jaka..."
Dengan ditemani Jaka, Sariti segera bergegas
keluar menemui orang yang berteriak-teriak memang-
gil namanya. Sariti tersentak, manakala dilihatnya seo-
rang pemuda telah berdiri dengan angkuh memandang
padanya.
"Siapa kau!" bentaknya.
"Hua, ha, ha... Iblis betina! Rupanya kau juga
seekor iblis yang suka pada pemuda. Hem, inikah pe-
muda yang mengaku-aku namaku?" bergelak Jaka ter-
tawa, menjadikan Sariti dan pemuda yang berdiri di si-
sinya melotot marah.
"Bedebah! Siapa kau, Pemuda gila!" membentak
pemuda yang berdiri di samping Sariti dengan bengis.
"Akulah Jaka Ndableg, yang namanya kau pa-
kai seenak udelmu!"
"Enak saja kau bicara, Bocah edan! Kuhancur-
kan batok kepalamu, hiaat....!" Jaka yang bergaret be-
kas luka di pipinya segera berkelebat menyerang.
Jaka Ndableg tersenyum renyah mendapat se-
rangan itu, ia tak menyangka kalau orang yang tengah
dihadapinya bukan pemuda sembarangan. Pemuda
yang juga bernama Jaka, adalah murid dari seorang
Datuk sesat Bulang Kesupan.
Serangannya begitu keras dan gesit, menjadi-
kan Jaka tersentak kaget. Jaka yang tak mengira ka-
lau pemuda itu tinggi ilmunya, tak sempat lagi menge-
lakkan serangan manakala pemuda itu menghantam-
kan tangannya. Hantaman itu begitu keras, menjadi-
kan Jaka Ndableg sempoyongan ke belakang. Dadanya
terasa agak sesak.
Melihat hal itu, tertawa bergelaklah Sariti yang
menyangka kalau orang yang ditakuti oleh ayahnya
ternyata hanya mempunyai ilmu yang rendah.
"Sungguh bodoh ayah. Ternyata pemuda dungu
seperti ini ia takuti. Hem, belum juga menghadapi aku
dia sudah keok, apalagi nanti menghadapi aku." ber-
gumam Sariti dalam hati.
"Mana gelarmu yang besar itu, Pendekar. Ter-
nyata nama besarmu hanya isapan jempol belaka. Nya-
tanya kosong melompong!"
Jaka hanya meringis dan berusaha bangkit dari
duduknya. Dengan masih menahan sakit, Jaka Ndab-
leg kembali bangkit berdiri. Namun belum juga ia was-
pada tiba-tiba pemuda musuhnya telah mendahului
menyerang. Tersentak Jaka saat itu juga, dan untuk
kedua kalinya Jaka tak sempat mengelakkan tendan-
gan musuh.
Tubuh Jaka Ndableg kembali terpental ke bela-
kang.
"Bedebah! Jangan berbangga dulu Sariti, aku
belum kalah. Mari kita lanjutkan!" Dengan sekuat te-
naga, Jaka segera bangkit dari jatuhnya. Secepat kilat
Jaka berkelebat dengan pukulan tenaga dalamnya.
Kemarahannya yang merasa telah dibakar seketika
meledak, menjadikannya bagai banteng ketaton.
Melihat hal itu, bukannya pemuda musuhnya
takut, bahkan dengan ganda tawa pemuda musuhnya
itu mengejek. "Hua, ha, ha... Rupanya kau masih
mampu, Anak edan. Baik, aku layani apa yang menjadi
sukamu, hiaat...!"
Kedua Jaka itu segera terlibat pertarungan. Ja-
ka Ndableg yang sudah merasakan dua kali hantaman
pemuda itu, tak segan-segan lagi keluarkan segala ju-
rus yang dimiliki. Segala jurus dari keempat gurunya,
mengalir bagaikan air bah silih berganti.
Tersentak Jaka kambratnya Sariti melihat ju-
rus-jurus yang aneh, yang dikeluarkan oleh Jaka
Ndableg. Jurus-jurus Jaka Ndableg tampak kaku, na-
mun angin pukulannya begitu dahsyat. Karena kekua-
tan itulah, menjadikan pukulan dan tendangan Jaka
Ndableg begitu keras.
"Aku leburkan tubuhmu, Iblis!" memaki Jaka
Ndableg marah.
Tubuhnya bergerak cepat, berputar laksana
kincir. Tanpa dapat dicegah, kakinya yang membentuk
sebuah senjata menghantam telak tubuh musuh. Tak
ayal lagi, mentallah tubuh musuhnya ke belakang.
"Jangan mau mengalah, Jaka!" berseru Sariti
memberi semangat menjadikan Jaka kambratnya
bangkit dari duduknya dengan penuh percaya diri. Ma-
ta pemuda itu memerah laksana bara api, memandang
tajam ke arah Jaka Ndableg. Lalu dengan didahului
pekikkan, pemuda itu kembali berkelebat menyerang.
Jaka yang tak mau membuang-buang waktu,
segera memapakinya dengan jurus-jurus yang telah Ki
Bayong ajarkan. Maka tak ayal lagi, kedua pemuda
pendekar itu berkelebat saling serang di udara. Kedu-
anya sama-sama tangguh, keduanya sama-sama pen-
dekar yang mumpuni. Keduanya sama-sama Jaka,
yang mempunyai kekuatan sendiri-sendiri.
"Hiat...!"
"Hiat...!"
Jurus demi jurus keduanya lalui dengan cepat,
sepertinya kedua anak muda pendekar itu tak menga-
lami rasa cape sedikit pun. Serangan keduanya masih
tampak keras, dengan disertai jurus-jurus yang keras
pula.
Ketika telah mencapai jurus yang kelima puluh,
Jaka Ndableg segera loncatkan diri ke angkasa. Dan
ketika telah mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg
segera menukik ke bawah. Tangannya rapat, memben-
tuk sebuah godam. Seketika memekiklah musuh, den-
gan kepala pecah.
Tersentak Sariti melihat hal itu, serta merta ia
pun berkelebat menyerang Jaka. Diserang begitu ce-
pat, Jaka yang belum sepenuhnya waspada tersentak.
Hampir saja lambungnya kena tendangan, kalau saja
Jaka tak segera egoskan tubuh miring.
"Hem, kebetulan! Memang aku mencarimu. Tak
akan aku biarkan kau hidup, hiat...!"
Dengan segenap amarahnya Jaka segera balik
menyerang. Kali ini tak tanggung-tanggung, jurus dari
keempat gurunya digabung menjadi satu dengan hara-
pan dapat segera mengalahkan Sariti. Namun dugaan-
nya ternyata meleset. Sariti ternyata bukan gadis pen-
dekar sembarangan. Segala jurus-jurus yang Jaka ke-
luarkan sepertinya tak ada arti apa-apa bagi Sariti.
Malah sebaliknya, Jakalah yang terdesak hebat.
Serangan-serangan Sariti begitu keras, menga-
rah pada hal-hal yang mematikan. Jaka tersentak dan
berusaha mengelak manakala pukulan tangan Sariti
yang menari-nari mengarah ke dadanya. Namun se-
rangan itu datang dengan cepat, hingga tak dapat lagi
Jaka mengelakkannya.
"Dug, dug, dug!"
Terdengar tiga kali berturut-turut hantaman te-
lah mendarat di dada Jaka. Seketika Jaka terpental
mundur, dan dari bibirnya meleleh darah segar.
Mata Jaka memandang tajam, sepertinya tak
percaya pada apa yang diterimanya. Sariti kini telah
menghunus pedangnya, siap untuk mengakhiri hidup
pendekar kita Jaka Ndableg. Dan dengan suara lan-
tang Sariti berseru.
"Jaka Ndableg! Hari ini adalah akhir hidupmu.
Pukulan Sekat Nyawa akan menjadikan dirimu tak da-
pat berbuat apa-apa. Hua, ha, ha... Bersiaplah untuk
mati! Kau telah memputungi tangan ayahku, maka ha-
ri ini aku akan melunasi hutang ayah yang telah eng-
kau pinjamkan pada kami sekaligus bunganya. Karena
ayahku kau puntungi tangannya, maka aku pun akan
memuntungi kepalamu."
"Iblis laknat! Jangan kau kira semudah itu,
cuh!"
Mendengar makian Jaka Ndableg, seketika ter-
tawalah Sariti bergelak-gelak. Lalu dengan masih ter-
tawa, Sariti kembali menggumam mengejek.
"Sebenarnya sayang, kau gagah. Kalau kau
mau menjadi kekasihku, maka aku akan mengampu-
nimu, bagaimana?"
"Huh... jangan kira aku mau menuruti uca-
panmu yang kotor dan najis itu, Iblis. Aku lebih rela
mati daripada menjadi kekasihmu!"
"Bedebah! Dikasih hati minta rempela. Jangan
menyesal kalau kau telah aku kirim ke neraka sana,
hiaat...!"
Kedua orang itu kembali berkelebat, meloncat
ke udara untuk mengadakan serangan. Jaka yang be-
lum memanggil Ratu Siluman Darah, segera memapaki
serangan pedang di tangan Sariti dengan pukulan Ge-
tih Sakti.
"Hiat...!"
"Sroooooot...!"
Terbelalak Sariti melihat cairan merah keluar
dari tangan Jaka, serta merta ia hantamkan ajiannya,
dan...!
"Desst....!"
Dua ajian itu bertemu. Getih Sakti yang dilan-
carkan Jaka, nampak berkelebat balik hendak menye-
rang tuannya. Spontan Jaka lemparkan tubuh ke
samping. Hanya beberapa inci saja, ajian Getih Sakti
hampir mengenainya.
"Bedebah! Aku harus memanggil Ratu Siluman
Darah."
"Pendekar! Sesaat lagi kau akan mati. Nyawa-
mu tinggal tiga jam saja, sebab ajian Penyekat Nyawa-
ku telah berjalan. Hua, ha, ha.... kau akan mati den-
gan yang menggidigkan. Lihat di tanganmu, telah tum
buh bintik-bintik merah. Bintik-bintik itu, sedetik demi
sedetik akan membesar dan besar lalu pecah mengelu-
arkan binatang menjijikkan."
Jaka tak ambil perduli dengan omongan mu-
suhnya, ia nampak terdiam dengan penuh konsentrasi.
Dari mulutnya, seketika terdengar seruan. "Dening Ra-
tu Siluman Darah. Datanglah!"
Tersentak Sariti atau Penguasa Gunung Lanang
demi melihat apa yang telah terjadi. Di tangan Jaka
Ndableg, kini tergenggam sebilah pedang yang meman-
carkan sinar kuning kemerah-merahan. Dari ujung-
nya, sungguh membelalakkan mata Sariti. Dari ujung
pedang menetes darah membasahi batangnya.
"Pedang Siluman Darah!"
Jaka tak menghiraukan ucapan Sariti, yang
tersentak kaget demi melihat pedang yang tergenggam
di tangannya. Ditusukkannya Pedang Siluman Darah
ke urat nadinya. Jaka menjerit sesaat, dan dari urat
itu mengalir darah hitam tersedot keluar. Saat itu pu-
la, Jaka bagaikan tak mengalami rasa sakit lagi. Ma-
tanya memandang tajam pada Sariti yang masih ter-
diam terbengong menyaksikan apa yang dilakukan Ja-
ka.
Tengah Sariti terdiam bengong, terdengar Jaka
berseru.
"Sariti, bersiaplah, hiat...!"
Tersentak Sariti mendapat serangan yang begi-
tu tiba-tiba. Segera ia tebaskan pedang berusaha me-
nangkis, namun gerakannya kalah cepat dengan gera-
kan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka yang seper-
tinya bergerak dengan sendirinya.
Tak ampun lagi, seketika Pedang siluman Da-
rah berkelebat membabat puntung leher Sariti. Sariti
menjerit sesaat, lalu diam dengan kepala puntung.
Jaka terdiam memandang kepala Sariti yang
menggelinding, terus menggelinding jatuh ke bawah ju-
rang. Itulah balasannya, bagi orang yang telah me-
mancung leher Bupati Kencana Wungu. Melihat Sariti
telah mati, segera Jaka berkelebat pergi meninggalkan
Gunung Lanang yang kembali sepi...
TAMAT
"
0 comments:
Posting Komentar