..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE SUMPIT NYAI LORENG

Sumpit Nyai Loreng



SUMPIT  NYAI LORENG

Oleh Fahri A.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang 

mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma dalam episode:

Sumpit Nyai Loreng


SATU


Pagi itu udara cerah. Kicau burung menyambut da-

tangnya sang surya. Belahan dunia telah disinari oleh 

sang surya tak pernah berhenti bekerja atau mengeluh 

sedikit pun.

Di sebelah barat sana, Gunung Kelud berdiri den-

gan megahnya. Puncaknya ditutupi oleh kabut yang 

cukup tebal. Gunung itu bagaikan makhluk raksasa 

yang sedang tidur. Dan sekali-sekali bisa murka den-

gan memuntahkan lahar yang sangat panas.

Pelan-pelan angin mencoba mengusir kabut yang 

tebal itu. Namun agaknya kabut itu masih enggan un-

tuk pergi dari puncak Gunung Kelud.

Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh menung-

gang kuda mendekati tempat itu. Melihat dari cara ke-

tiganya berpakaian yang ringkas dan sebilah pedang di 

punggung, menandakan ketiganya orang-orang yang 

memiliki kepandaian ilmu silat.

Di salah seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang 

yang berwajah kelimis, nampak sebuah buntalan besar 

berwarna hitam.

Orang itu menghentikan laju kudanya.

"Sebaiknya kita beristirahat saja dulu di sini, Ka-

wan-kawan," katanya seraya melompati kudanya. Lalu 

merentangkan kedua tangannya yang terasa pegal dan 

memat (Editor: memat?).

Kedua temannya pun segera melompat dari kuda 

mereka. Keduanya pun berbuat yang sama dan meng-

hirup udara pagi.

"Kita sudah dua hari dua malam melakukan perja-

lanan ini menuju Desa Bojong Karta," kata laki-laki 

berwajah kelimis yang bernama Bahar.

"Benar, Bahar... kita harus memulihkan tenaga kita


dulu," kata kawannya yang bernama Langgono, sambil 

menggeliatkan tubuhnya.

"Setelah beristirahat, kita sebaiknya langsung saja 

menuju Desa Bojong Karta, Bahar," kata yang bernama 

Galur. "Sebaiknya ku pikir lebih cepat lebih baik. Ka-

rena kita masih ada satu tugas lagi, untuk mengantar-

kan emas permata itu ke Kepala desa di Desa Glagah 

Mentari."

Bahar pun mengangguk.

Ketiga orang itu adalah suruhan dari Ki Madrim, 

tukang emas dan permata untuk membawa dan men-

girimkan barang-barangnya kepada pemesannya yang 

tinggal di Desa Bojong Karta dan Glagah Mentari.

Ketiganya memang selalu berhasil secara baik men-

girimkan barang-barang pesanan itu. Mereka pun ser-

ing mengalami gangguan dari orang-orang jahat di per-

jalanan yang hendak merebut emas permata yang me-

reka bawa. Namun selama ini, mereka berhasil menye-

lamatkannya.

Ketiga orang itu pun mencari sungai untuk mem-

bersihkan diri. Setelah itu mereka mencari buah-

buahan yang banyak terdapat di tepi hutan itu.

Selagi mereka asyik menikmati buah-buahan itu, 

tiba-tiba terdengar suara terkikik di dekat mereka. Ke-

tiganya menoleh, dan melihat seorang nenek yang ber-

diri tidak jauh dari mereka.

Diam-diam ketiganya kagum karena kedatangan 

nenek itu tidak terdengar sama sekali.

"Selamat pagi, Nek..." sapa Bahar yang memang di 

samping sebagai penjaga dan pengirim barang juga 

memiliki jiwa yang baik hati.

Nenek itu terkikik.

"Hikhikhik... aku tidak lapar..."

"Kalau begitu, biar kami makan dulu, Nek..."

"Hikhikhik... teruskanlah makan kalian. Tetapi aku


cuma minta buntalan yang ada di kudamu itu..." kata 

nenek itu lagi.

Mendengar kata-kata nenek itu ketiganya menjadi 

bersiaga. Perlahan-lahan ketiganya pun bangkit.

Namun Bahar masih berkata dengan suara yang 

sabar "Maafkan kami, Nek... kami tidak bisa memberi-

kan buntalan ini pada nenek..."

"Hikhikhik... kalau begitu... aku akan merebutnya 

dari kalian!" kata nenek itu lagi, kali ini suaranya ter-

dengar angker.

Bahar yang mencoba bersabar, menjadi tidak enak 

mendengar suara dan nada bicara nenek itu. Dia pun 

menjadi makin bersiaga. Begitu pula dengan Langgono 

dan Galur.

"Nek!" Galur buka suara. "Kami tidak menanamkan 

bibit permusuhan dengan nenek... dan hari ini kami 

pun tidak sedang memetik hasil dari permusuhan itu... 

mengapa nenek begitu memaksa untuk mengambil 

buntalan yang tak ada barang berharga itu?!"

Nenek itu terkikik.

"Kalian lucu sekali... aku tahu apa yang terdapat 

dalam buntalan itu. Emas permata, bukan? Nah, di 

pagi ini... aku... Nyai Loreng meminta kepada kalian 

secara baik-baik agar buntalan itu diberikan kepada-

ku, hah!"

"Nek! Kami sudah katakan, kami tidak menanam 

bibit permusuhan denganmu!"

"Jangan panggil aku nenek! Namaku Nyai Loreng!" 

seru nenek itu dengan sengit. Dia mengenakan pa-

kaian yang berwarna loreng, mirip kulit harimau. Den-

gan kain yang berwarna hitam legam.

"Nyai Loreng... dengan berat hati, kami tidak bisa 

memberikan buntalan ini padamu..."

"Kalau begitu... kalian akan merasakan akibatnya 

dari kekeraskepalaan kalian ini!"


"Kami siap untuk menyabung nyawa demi memper-

tahankan buntalan ini!" kata Bahar gagah.

"Hihihi... kalian mencari mati rupanya! Baik, tahan 

seranganku!"

Setelah berkata begitu, Nyai Loreng menyerang den-

gan cepat. Jari-jarinya yang berkuku panjang men-

gembang. Siap menghujam di jantung mereka.

Namun ketiganya adalah pengirim-pengirim barang 

pilihan. Sudah tentu serangan dari Nyai Loreng berha-

sil mereka hindari. Dan secara serempak ketiganya 

pun menerjang.

Namun di luar dugaan ketiganya, nenek peot yang 

sudah tua dan nampak lemah itu dapat bergerak den-

gan gesit. Dia bersalto dua kali ke belakang. Lalu begi-

tu kakinya hinggap di tanah dia menderu maju menye-

rang kembali.

Kali ini lebih cepat dan lebih gencar.

Membuat ketiganya menjadi kaget. Dan secara se-

rentak ketiganya mencabut pedang karena merasa 

Nyai Loreng memiliki kemampuan yang teramat lihai 

dan hebat.

Di tempat itu pun terjadilah pertarungan yang sen-

git antara ketiganya melawan Nyai Loreng. Nyai Loreng 

sendiri nampak terkekeh-kekeh menghadapi serangan-

serangan itu.

"Hihihi... rupanya hanya begitu saja kemampuan 

kalian, hah?! Kalian tidak layak menjadi pengirim ba-

rang emas permata! Kalian lebih patut menjadi penjaga 

WC saja!"

Mendengar kata-kata itu, ketiganya semakin berin-

gas. Namun sampai sejauh itu Nyai Loreng dapat 

menghindar, bahkan membalas menyerang dengan he-

bat dan gencar.

Kuku-kukunya yang runcing dan tajam berkelebat 

ke sana-ke mari.


"Hihihi... hati-hati kalian! Sekali tergores ujung ku-

kuku, kalian akan menderita seumur hidup ataupun 

mati dengan mengerikan! Kukuku ini mengandung ra-

cun buaya putih!"

Ketiganya pun semakin berhati-hati.

Tiba-tiba terdengar lengkingan keras Nyai Loreng 

dan menyerang Langgono bertubi-tubi.

"Sreeet!"

Kuku di tangan kanannya mengoyak baju bagian 

dada Langgono yang teramat terkejut. Dia menekap 

darah yang mengalir.

Mendadak dirasakannya gatal yang teramat luar bi-

asa menyerang sekujur tubuhnya. Langgono menjadi 

menggaruk-garuki seluruh tubuhnya dengan gatal 

yang teramat menyengat.

Karena gatalnya dan karena kuatnya dia mengga-

ruk, sebentar saja terlihat warna memerah di seluruh 

kulitnya. Dan kulit itu pun terkupas mengeluarkan da-

rah.

"Hihihi... itulah khasiat racun buaya putih yang ku

oleskan di ujung kuku-kukuku!" terkikik Nyai Loreng 

melihat salah seorang lawannya tengah berusaha ke-

ras untuk melawan rasa gatal yang teramat menyen-

gat.

Melihat kawan mereka nampak begitu tersiksa, Ba-

har dan Galur menggeram marah. Lalu keduanya pun 

kembali menyerang Nyai Loreng dengan gencar.

Pedang yang ada di tangan mereka menyambar ke 

sana-ke mari dengan hebat. Siap mencabut nyawa 

Nyai Loreng.

Namun sampai sejauh itu tak satu pun pedang me-

reka yang berhasil mengenai sasarannya. Hal ini se-

makin membuat mereka kesal, jengkel dan panik. Apa-

lagi keduanya nampak sudah kepayahan dan mulai 

kehabisan tenaga.


Nyai Loreng terkekeh.

"Hihihi... rupanya kalian cuma pantas berlari seben-

tar... karena nafas kalian sudah ngos-ngosan seperti 

itu!"

"Nenek keparat! Kubunuh kau!" seru Bahar geram 

dan menyerang kembali. Dia sudah mengeluarkan se-

genap kemampuannya untuk menjatuhkan dan men-

galahkan nenek peot itu.

Sama halnya dengan Galur yang sudah mengelua-

rkan pula segenap kemampuannya.

Namun sampai sejauh itu, Nyai Loreng belum pula 

berhasil mereka kalahkan. Bahkan terdesak pun tidak. 

Kini keduanya sadar siapa lawan yang tengah mereka 

hadapi.

Nyai Loreng sendiri tetap saja dengan santai meng-

hindari setiap serangan yang datang. Bahkan dia pun 

mulai membalas kembali.

Serangannya aneh dan berbahaya. Kadang-kadang 

tubuhnya berkelebat bagaikan burung, kadang berge-

rak selicin belut. Dan kuku-kuku beracunnya siap 

menghadang dan mengundang nyawa keduanya untuk 

pergi ke akhirat.

"Hihihi... apa kalian sudah merasa tidak mampu 

menghadapiku?"

"Nenek busuk! Kami akan mengadu nyawa den-

ganmu!" seru Galur.

Sementara tubuh Langgono semakin banyak men-

geluarkan darah akibat digaruk yang begitu keras. Ra-

sa gatal itu amat menyengat dan tidak terhenti-henti 

menyiksanya. Bahkan semakin digaruk terasa semakin 

gatal.

Dia menjadi putus asa. Dan tubuhnya sudah sema-

kin terasa tersiksa. Dengan nekat dia pun menggigit li-

dahnya hingga putus. Darah pun mengalir dengan he-

bat. Dan tubuhnya itu pun meregang, lalu nyawanya


putus meninggalkan jasadnya.

Melihat kenyataan itu, membuat Bahar dan Galur 

semakin nekat. Mereka pun menyerang dengan ganas. 

Tiba-tiba Nyai Loreng bergerak dengan cepat.

Dan 

"Des!"

"Des!"

Tangannya memukul tangan keduanya hingga pe-

dang yang ada di genggaman mereka terlepas.

"Hihihi... kini kalianlah sasaran uji coba Sumpit Ra-

cun yang telah kuciptakan!" desisnya sambil mengelu-

arkan sebatang sumpit kecil yang berwarna loreng pu-

la. Lalu dia pun mengambil pelurunya yang terdapat di 

kantung kecil yang tercantel di pinggangnya. Dan me-

masang nya pada sumpitnya. "Kini bersiaplah kalian 

untuk menerima ajal kalian!"

"Tahan!" kata Bahar.

"Hihihi... rupanya kau takut mati juga? Nah, cepat-

lah serahkan buntalan yang berisi emas permata itu 

padaku? Bila tidak... kalian pun akan mampus mengi-

kuti teman kalian itu!"

"Nenek... kami tak punya permusuhan denganmu. 

Dan kami tak punya masalah denganmu! Kenal pun 

baru sekarang ini!" kata Bahar mencoba mengulur 

waktu. Dia tengah berpikir untuk menyerang kembali, 

namun melihat dulu di mana titik kelemahan dari ne-

nek itu.

"Itu bukanlah suatu masalah!"

"Nenek... untuk apa kita harus saling menanamkan 

bibit permusuhan! Biarkan kami pergi... dan kami tak 

akan menuntut balas pada kematian kawan kami itu!"

"Hihihi... kalian boleh pergi... bila kalian mau me-

nyerahkan buntalan hitam itu padaku!"

"Tidak! Sampai mati pun tak akan kami serahkan!" 

seru Galur.


"Bagus! Berarti kalian setuju dengan kematian yang 

akan kulepaskan pada kalian!"

"Tunggu!" kata Bahar yang melihat nenek itu sudah 

memasang sumpit di ujung bibirnya. "Nyai Loreng... 

kuminta sekali lagi, biarkan kami pergi. Dan kamu 

pun pergi secara damai..."

"Kalian memang boleh pergi sejak tadi, tapi ingat, 

buntalan itu harus kalian tinggalkan..."

"Nyai Loreng... sejak tadi kami mencoba untuk tidak 

menanamkan bibit permusuhan... tetapi agaknya kau 

sulit untuk menerimanya. Dan kami pun tak akan be-

gitu mudah memberikan apa yang kau minta ini..."

"Bagus!"

Tiba-tiba saja Bahar menyerang dengan pukulan lu-

rus ke muka. Begitu pula dengan Galur. Namun tubuh 

keduanya tiba-tiba terpental kembali. Dan jatuh ke ta-

nah.

Sumpit yang dipegang Nyai Loreng sudah menjalan-

kan fungsinya. Dua pelurunya menancap ke tubuh 

masing-masing.

Kedua tubuh itu kelojotan menahan sakit yang luar 

biasa. Dan tubuh keduanya bergulingan. Tiba-tiba 

sangat tiba-tiba sekali seluruh urat nadi keduanya pe-

cah, dan darah segar pun berhamburan. Tidak lebih 

dari lima detik, nyawa keduanya pun terlepas.

Nyai Loreng terkikik.

"Bukan main, racun yang kuciptakan ini hebat! He-

bat, hebat sekali! Dan aku pun menemukan senjata 

ampuh untuk melepaskannya! Sumpit! Hihihi... sumpit 

beracun Nyai Loreng!"

Lalu nenek itu pun mengambil buntalan hitam yang 

ada di kuda Bahar. Lalu dia melesat pergi meninggal-

kan kikikannya.

***


DUA


Juragan Seta Agung adalah orang yang paling kaya 

di Desa Bojong Karta. Di samping kekayaannya yang 

melimpah, Juragan Seta Agung juga seorang yang pe-

murah dan baik hati. Dia memiliki rumah yang sangat 

besar. Dengan seorang istri dan dua orang putrinya 

yang jelita.

Juragan Seta Agung juga memiliki banyak pengawal

yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepan-

daian.

Dan pagi ini, di tempat kediamannya, Juragan Seta 

Agung tengah menanti kedatangan orang-orang yang 

hendak mengantarkan pesanannya. Seharusnya ba-

rang itu sudah tiba kemarin, namun satu harian dia 

menunggu, orang-orang yang mengantarkan pesanan-

nya tidak muncul juga.

Barangkali saja hari ini orang-orang itu baru mun-

cul.

"Apakah perjanjiannya saat itu tepat, Tuan?" tanya 

salah seorang pengawalnya yang bernama Suralaga. 

Dia seorang ahli yang pandai memainkan sepasang 

tombaknya yang bermata tiga.

"Tidak salah. Pesanan itu seharusnya telah datang 

kemarin. Tapi nyatanya... sampai hari ini pun belum 

tiba," kata Juragan Seta Agung. "Hmm... tidak seperti 

biasanya Ki Madrim telat begini..."

"Barangkali para pengantar barang itu mendapat 

gangguan di jalan, Tuan."

"Mungkin... tapi selama ini, para pengantar barang 

pesanannya adalah orang-orang pilihannya yang gagah 

perkasa."

"Atau... maafkan aku, Tuanku," kata Suralaga 

menghormat. "Mungkinkah para pengirim barang itu


berkhianat sendiri pada Ki Madrim?"

Sepasang mata Seta Agung berkilat-kilat. Dia tidak 

memikirkan kemungkinan itu. Mengapa tidak? Ini bisa 

saja terjadi. Mengingat barang-barang pesanan itu 

adalah emas dan permata.

Akhirnya karena Seta Agung sudah merasa mem-

bayar uang muka dan dia tidak mau terlibat kerugian, 

dia pun mengirimkan Suralaga dan Giri Lantang men-

datangi Ki Madrim. Di samping itu, juga ingin memas-

tikan apakah barang-barang pesanan itu memang su-

dah dikirimkan atau belum.

Lalu berangkatlah Suralaga dan Giri Lantang den-

gan menunggang sepasang kuda hitam yang gagah 

perkasa. Pagi masih bersatu dengan butir embun saat 

keduanya memacu kuda mereka dengan cepat.

Karena terus menerus memacu kudanya dengan 

cepat, maka menjelang malam tibalah keduanya di de-

sa kediaman Ki Madrim. Keduanya segera mengarah-

kan kuda-kuda mereka ke sebuah rumah yang nam-

pak cukup besar.

Para pengawal Ki Madrim yang telah mengenal ke-

duanya sebagai pengawal dari Juragan Seta Agung. 

Karena setiap kali Seta Agung memesan emas permata, 

keduanya selalu menemaninya.

Makanya tanpa susah-susah keduanya sudah me-

masuki halaman rumah besar itu. Lalu salah seorang 

pengawal di sana, mengantar mereka menjumpai Ki 

Madrim.

Ki Madrim seorang laki-laki berusia 60 tahun. 

Janggut dan kumisnya berwarna putih, cukup lebat. 

Di kedua pergelangan tangannya terdapat sepasang ge-

lang bahar. Rambutnya yang tergerai panjang dikuncir 

mirip perempuan.

Dia menyambut Suralaga dan Giri Lantang dengan 

senyum dan kedua tangan terbuka.


"Hahaha... pengawal-pengawal perkasa? Bagaimana 

kabar dari Tuan Seta Agung?" sapanya akrab. "Mari, 

mari silahkan duduk!"

Kedua utusan dari Seta Agung itu duduk.

Ki Madrim tertawa kembali. "Bagaimana? Apakah 

kedatangan kalian ke sini untuk memesan kembali 

emas dan permata? Hahaha... kalian memang tidak sa-

lah tempat mendatangi tempatku ini. O ya, bagaimana 

dengan Tuan Seta Agung? Puaskah beliau dengan pe-

sanan yang beliau pesan itu?"

Suralaga dan Giri Lantang saling berpandangan. Bi-

la Ki Madrim berkata begitu, berarti barang-barang pe-

sanan itu sudah dikirim.

Untuk menegaskannya Suralaga berkata, "Ki... 

maafkan kami berdua yang telah lancang datang ke 

mari."

"Hei, apa maksudmu, Suralaga?"

"Ki... pesanan yang majikan kami pesan kepada 

mu... sampai hari ini belum tiba di tangan majikan 

kami..."

"Tidak mungkin, tidak mungkin!" seru Ki Madrim 

yang tadi di terlihat sedikit tegang.

"Kami tidak bicara bohong, Ki... kedatangan kami 

kesini pun ingin menanyakan... apakah barang-barang 

itu sudah dikirimkan?"

Wajah Ki Madrim tampak pias. Dan sebentar saja 

keringat sudah keluar membasahi wajahnya.

"Sudah, sudah dikirim. Seminggu yang lalu barang 

itu dikirim..."

"Siapa yang mengantarkannya, Ki?"

"Seperti biasa. Bahar, Langgono dan Galur. Mereka 

adalah pengawal-pengawalku yang teramat setia..."

"Maafkan aku, Ki... apakah tidak mungkin mereka 

mengkhianatimu?"

Ki Madrim mengelap keringatnya. Dia menggeleng


geleng cepat. "Tidak, tidak mungkin... mereka telah 

bekerja padaku hampir tujuh tahun. Dan sekali pun 

aku tak pernah mendengar tentang kecurangan mere-

ka terhadapku. Jadi tidak mungkin mereka akan 

mengkhianatiku..."

"Tapi kalau begitu... mengapa barang-barang yang 

kami pesan tidak sampai di tempat kami? Itu pun ka-

lau omonganmu benar, Ki..."

"Suralaga! Apa maksudmu?" tanya Ki Madrim den-

gan suara yang agak keras karena dia mendengar sua-

ra Suralaga mengandung nada mencurigai.

Suralaga hanya tersenyum dan mengangkat ba-

hunya. Lalu sambil menyeringai dia berkata, "Ki Ma-

drim... tadi kau mengatakan betapa setianya para pen-

gawalmu itu... dan tak mungkin mereka mengkhiana-

timu. Tapi aku jadi bertanya, mungkinkah kalau ba-

rang itu tidak kau kirimkan?"

"Suralaga! Jaga ucapanmu!" geram Ki Madrim gu-

sar. Secara terang-terangan Suralaga telah menuduh-

nya. Dan dia tidak terima. Darahnya pun mendidih 

mendengar kata-kata Suralaga tadi.

"Ki Madrim... mengapa pesanan itu tidak sampai 

kepada kami? Kau jangan coba-coba bermain api den-

gan kami! Selama ini hubungan antara kau dengan 

majikan kami begitu utuh, sempurna dan teramat 

baik. Namun kayaknya kau sudah mulai bermain api 

dengan semua ini. Nah, Ki Madrim... kami ke mari in-

gin meminta tanggung jawabmu, atau mengembalikan 

uang majikan kami yang telah separuh dibayar..."

Wajah Ki Madrim merah padam. Tetapi dia sadar, 

kalau kedua orang ini jelas-jelas menuduhnya berbuat 

curang. Ki Madrim mencoba menahan amarahnya.

"Suralaga... ketiga pengawalku itu kutugaskan pula 

ke Desa Glagah Mentari. Mungkin saja mereka ke sana 

lebih dulu..." kata Ki Madrim.


"Hmm... ke sana lebih dulu? Apakah mereka hen-

dak memutar dan mengambil jalan yang terjauh, Ki?" 

kata Suralaga dengan tatapan mengejek.

Tiba-tiba terdengar tapak kaki memasuki tempat 

itu. Seorang pengawal Ki Madrim muncul kembali den-

gan dua orang muda mudi.

Kedua remaja itu menghaturkan hormat pada Ki 

Madrim.

"Jaka Raga dan Intan Wulan!" sapa Ki Madrim. "Si-

lahkan... silahkan duduk. Apa kabar Desa Glagah 

Mentari?"

"Desa kami tetap dalam keadaan aman sentosa, Ki," 

kata Jaka Raga. Dia seorang pemuda yang berwajah 

tampan. Dia memakai pakaian berwarna hitam yang 

ringkas.

Di sampingnya duduk Intan Wulan. Dia seorang ga-

dis yang cantik jelita. Dengan kulit yang kuning lang-

sat.

"Ada apa gerangan hingga kalian berdua datang ke 

sini?"

"Maafkan kami, Ki... kedatangan kami atas suruhan 

dari Kepala desa kami, Ki Santika..."

"Hmmm..." Ki Madrim mendehem. Mendadak saja di 

benaknya dia merasa kejadian yang sama seperti utu-

san dari Seta Agung. Tetapi Ki Madrim berpura-pura 

tidak tahu. "Apakah beliau hendak memesan emas 

permata kembali?"

"Maafkan kami, Ki... sebenarnya kedatangan kami 

hendak menanyakan... mengapa barang yang dipesan

oleh Ki Santika sampai saat ini belum tiba?"

"Belum tiba?"

"Benar, Ki. Kami ingin mencari tahu ke sini. Apakah 

barang itu sudah dikirim?"

"Belum dikirim? Ah, aku sudah mengirimkan ba-

rang pesanan itu," kata Ki Madrim. Dia melirik Surala


ga yang tersenyum mengejek.

"Benar, Ki... hingga sekarang barang itu belum tiba 

juga..."

Belum lagi Ki Madrim berkata, Suralaga sudah me-

motong, "Nah... bagaimana, Ki? Apakah dugaanku sa-

lah tadi?"

Ki Madrim menghapus keringatnya. Dia sangat ma-

lu akan kejadian ini. Dan yang dikuatirkannya para 

langganannya akan menjadi tidak percaya kepadanya.

"Saudara-saudaraku... maafkan aku terlebih dahu-

lu. Percayalah... barang-barang pesanan itu sudah ku-

kirimkan melalui tiga pengawal kepercayaanku..."

"Tapi hingga sekarang barang-barang itu belum ti-

ba, Ki..." kata Jaka Raga.

Kembali Ki Madrim mengusap keringatnya. Bila ma-

salahnya begini ini merupakan suatu problem yang 

cukup besar dan pelik baginya. Dan dia tidak mau 

menanggung malu dari semua ini.

Lalu dia pun bangkit.

"Kalau begitu... sebentar..." dia pun beranjak ke 

kamarnya. Lalu keluar lagi. Dan duduk kembali di ha-

dapan para tamunya. "Saudara-saudara sekalian... 

aku tidak mau memperpanjang urusan ini. Nah, sam-

paikan salah maafku kepada majikan kalian. Sebagai 

gantinya... uang muka yang telah dibayarkan oleh ma-

jikan-majikan kalian kuganti saja..."

Para utusan itu pun segera menerimanya. Mereka 

pun tak mau memperpanjang masalah ini. Karena bagi 

mereka yang penting sudah mendapat kejelasan dari 

Ki Madrim.

Dan mendapatkan uang muka itu kembali. Itu saja!

Lalu para utusan itu pun segera meninggalkan 

tempat itu.

Meninggalkan Ki Madrim yang menjadi termenung 

sendiri. Ada apakah sesungguhnya hingga barang


barang pesanan itu belum tiba di tempatnya? Apakah 

dugaan Suralaga menjadi kenyataan, orang-orang ke-

percayaannya mengkhianatinya?

Ki Madrim tidak tega menuduh seperti itu. Karena 

dia yakin akan kesetiaan dan kepatuhan, Bahar, Lang-

gono dan Galur. Mereka memang selalu bertugas un-

tuk mengantarkan barang-barang pesanan. Dan hasil 

yang mereka lakukan cukup memuaskan. Mengapa 

mendadak saja sekarang barang-barang itu tidak tiba 

di tempatnya?

Ataukah... ada kejadian yang menimpa mereka di 

jalan? Mungkinkah mereka dibegal perampok? Tapi Ki 

Madrim pun yakin dengan kemampuan mereka. Ten-

tunya mereka dapat mengatasi segala rintangan. Se-

perti biasanya!

Tetapi mengapa sekarang barang-barang itu belum 

tiba?

Ki Madrim lalu menyuruh beberapa pengawalnya 

untuk segera berangkat mencari ketiga orang itu.

Malam ini juga!

***

TIGA



Lima orang yang ditugaskan untuk mencari ketiga 

pengirim barang yang mendadak hilang itupun segera 

memacu kuda-kuda mereka. Kuda-kuda itu dibawanya 

untuk menyelusuri jalan-jalan yang biasa dilalui oleh 

mereka.

Menjelang pagi, mereka tiba di perbatasan Desa Bo-

jong Karta dan menghentikan kuda-kuda mereka di 

tepi hutan kecil.

Biasanya di tempat ini para pengawal itu beristira-

hat. Karena mereka sudah mendapat ancar-ancarnya


dari Ki Madrim.

Dan betapa terkejutnya mereka ketika mendadak di 

mata mereka terlihat tiga sosok mayat. Mayat-mayat 

itu keadaannya teramat mengerikan. Serentak mereka 

turun dari kuda dan memeriksa mayat-mayat itu.

"Hei, ini adalah kawan-kawan kita!" seru salah seo-

rang yang bernama Jayengmoko.

"Ya ampun... keadaan mereka begitu mengerikan 

sekali!"

"Siapa gerangan yang telah membunuh mayat-

mayat ini?"

"Tentunya seorang yang sakti dan teramat kejam! 

Kalian lihat tubuh Langgono, yang terluka sekujur tu-

buhnya dan dibanjiri darahnya sendiri. Juga tubuh 

Bahar dan Galur yang tak kalah menyedihkan..."

"Sebaiknya kita bawa saja sekarang mayat-mayat 

ini kepada Ki Madrim. Biar mereka tahu apa yang se-

sungguhnya telah terjadi..."

Ketiga mayat itu pun segera diangkut ke kuda. Dan 

dibawa ke Ki Madrim.

Sudah tentu Ki Madrim teramat terkejut. Dia tidak 

menyangka hal ini akan terjadi.

"Jahanam! Siapa yang telah berbuat begini kejam 

terhadap mereka?!" serunya marah. "Dan tentunya 

orang itu amat sakti!"

"Benar, Ki... Tubuh ketiganya mati dengan mengeri-

kan..."

Tiba-tiba di luar terdengar keributan. Matahari baru 

saja muncul. Memancarkan sinarnya ke seluruh du-

nia.

Suara ramai-ramai itupun berubah menjadi pekikan 

dan jeritan.

Serentak Ki Madrim dan lima orang pengawalnya itu 

keluar.

Mereka melihat seorang nenek berbaju loreng ten


gah asyik membantai para pengawal yang menyerang 

mereka. Melihat hal itu Ki Madrim segera berseru,

"Tahan!"

Seruannya itu menghentikan sepak terjang memati-

kan dari nenek yang tak lain Nyai Loreng.

Nyai Loreng terkikik.

"Hihihi... akhirnya kau keluar juga, Ki Madrim!" se-

runya.

Ki Madrim mendengus. Dia merasa belum mengenal 

nenek yang kejam ini.

"Hhh! Nenek... mengapa kau berbuat seperti ini?" 

tanyanya sambil memperhatikan beberapa tubuh pen-

gawalnya yang telah menjadi mayat. Dan sebagian lagi 

telah mengurung nenek itu dengan senjata terhunus, 

siap untuk bergerak.

"Hihihi... kakek... kaukah yang bernama Ki Ma-

drim?"

"Betul! Akulah Ki Madrim. Dan kau siapa adanya 

yang begitu telengas dan kejam membuat onar di pagi 

ini?!"

"Hihihi... namaku Nyai Loreng..."

"Nyai Loreng... apa maksudmu berbuat seperti ini, 

hah?!"

"Hanya satu, Ki Madrim... hanya satu..." Nyai Lo-

reng terkikik sambil mengacungkan jari telunjuknya 

yang keriput.

"Apa itu, Nyai Loreng?"

"Emas permata... hihihi... semua emas permata 

yang kau miliki... cepat serahkan padaku saat ini ju-

ga..."

"Apa maksudmu, Nyai Loreng?" tanya Ki Madrim 

yang sebenarnya sudah tahu maksud dari Nyai Loreng. 

Namun dia mencoba mengulur waktu untuk mengukur 

kesaktian dari Nyai Loreng.

Dan tiba-tiba saja melintas dalam benaknya siapa


yang telah menjegal dan membunuh ketika pengawal 

pengirim barangnya. Nyai Loreng-kah?

"Hihihi... jangan berpura-pura bodoh, Ki Madrim! 

Aku datang untuk meminta semua emas permata yang 

kau miliki!"

"Hhh! Nyai Loreng... bagaimana bila tidak kuberi-

kan?"

"Hihihi... berarti kau membangkang! Dan itu artinya 

matilah untukmu! Seperti tiga pengawalmu yang sok 

mempertahankan emas permata yang mereka bawa!"

Dan Ki Madrim berdetak lebih cepat

"Nyai Loreng... kaukah yang telah membunuh ketiga 

pengawalku itu?!" 

"Benar sekali tebakanmu. Memang, akulah yang te-

lah membunuh mereka. Karena mereka mencoba 

menghalangi perbuatanku dan menahan emas permata 

yang hendak aku rebut!"

"Nyai Loreng! Kau begitu kejam sekali dan telengas 

menurunkan tangan pada mereka!"

"Salah mereka sendiri! Karena berani menantang 

Nyai Loreng!"

"Nyai Loreng... di pagi ini... aku hendak meminta 

nyawamu untuk tebusan nyawa ketiga pengawal setia-

ku!"

"Apa? Hihihi... kau sepertinya memang mengingin-

kan kematian dan menyusul ketiga pengawal bodohmu 

itu, Ki Madrim! Majulah, aku pun sudah bosan dengan 

banyak cakap seperti ini! Hhh! Majulah, biar kau 

mampus sekalian!"

Ki Madrim menggerakkan tangan kanannya. Seren-

tak para pengawalnya yang berjumlah sepuluh orang 

yang sedang mengurung Nyai Loreng bergerak menye-

rang.

Nyai Loreng cuma terkikik saja. Dia pun segera me-

nyambut serangan-serangan itu dengan serangan ber


bahaya melalui kuku-kukunya yang mengandung ra-

cun buaya putih.

Para pengawal yang setia itu dengan gigih dan be-

rani menerjang. Mereka seakan melupakan mati dan 

tak takut mati. Bagi mereka, mempertahankan kebe-

naran lebih layak daripada mempertahankan nyawa!

Namun sudah tentu mereka bukanlah tandingan 

dari Nyai Loreng yang sakti itu. Dengan sekali mengge-

rakkan tangannya, terdengar jeritan yang menyayat 

hati.

Dan yang menjerit itu pun terjengkang. Dan mera-

sakan sekujur tubuhnya mendadak gatal sekali. Lalu 

digaruk-garuknya hingga mengeluarkan darah.

Ki Madrim terkejut melihat keadaan anak buahnya 

yang kelojotan sekarat. Dia dapat menduga kalau ku-

ku-kuku dari Nyai Loreng mengandung racun yang 

amat berbahaya.

"Hati-hati! Jangan sampai terkena kuku-kukunya! 

Karena mengandung racun!" serunya memperingatkan.

Namun terlambat, karena sepuluh pengawalnya itu 

sudah sekarat kelojotan.

Nyai Loreng tertawa di antara orang-orang yang 

mengerang kesakitan.

"Hihihi... sudah kubilang sejak tadi, kau hanya 

membuang nyawa anak buahmu dengan percuma! Ki 

Madrim... cepat kau serahkan seluruh harta ke-

kayaanmu! Karena emas dan permata itu kubutuhkan 

untuk membuat peluru sumpitku!"

"Nyai Loreng... sedikit pun aku tak akan mundur 

dari hadapanmu! Kau harus membayar lunas semua 

yang ada di sini! Jayengmoko, hadapi dia!" seru Ki Ma-

drim pada Jayengmoko yang sudah sejak tadi mena-

han geramnya melihat tangan telengas yang dijatuh-

kan oleh Nyai Loreng.

Lalu sambil menjerit diapun bersalto dan menye


rang dengan pedang terhunus. Begitu pula dengan 

empat kawannya yang datang membantu.

Nyai Loreng hanya terkikik. Dia bersalto menghin-

dari pedang-pedang yang berkilat tertimpa cahaya ma-

tahari itu. Gerakannya lincah dan gesit. Dia pun mem-

balas dengan gerakan yang tak kalah cepat dan berba-

hayanya. "Awas serangan!"

Kelima pengawal Ki Madrim harus tunggang lang-

gang menghindari sabetan kuku-kuku beracun milik 

Nyai Loreng yang bergerak dengan cepat. Nyai Loreng 

terkikik.

"Hihihi... rupanya pengawal-pengawal yang kau 

banggakan Ki Madrim, tak lebih dari anak perawan 

yang malu-malu terhadap seorang pemuda!"

Jayengmoko murka dikatakan seperti itu. Dia me-

nerjang secara membabi-buta dengan pedang di tan-

gannya yang menyabet, menusuk dan menangkis den-

gan cepat.

Begitu pula dengan keempat kawannya. Mereka ber-

juang dan bertahan mati-matian. Karena yang mereka 

takutkan hanya satu, sedikit saja tergores kuku-kuku 

Nyai Loreng maka mautlah ganjarannya. Dan ini mem-

buat mereka bertindak berhati-hati.

Tentu saja ini menguntungkan Nyai Loreng, karena 

dengan begitu, kelima lawannya tidak berani mendeka-

tinya.

Secara tiba-tiba terdengar jeritannya yang keras 

disusul dengan tubuhnya yang bersalto beberapa kali 

di udara. Saat bersalto itu tangannya pun bergerak 

mencari sasaran.

"Sret!"

"Sret!"

Dua kali kuku-kuku beracunnya menggores dua 

lawannya yang langsung terjengkang dan merasakan 

sekujur tubuh mereka gatal yang luar biasa. Lalu diga


ruk-garuknya tubuh itu untuk menghilangkan rasa 

gatal yang teramat menyengat. Namun semakin diga-

ruk gatal itu malah semakin bertambah. Hingga tenaga 

mereka pun ditambah untuk menggaruk, hingga tim-

bullah luka akibat garukan yang cukup keras itu.

Melihat keadaan yang menyedihkan, Jayengmoko 

makin menggeram marah. Dia pun menerjang kembali 

dengan hebat.

Pedangnya menyambar bagaikan walet yang sedang 

mencari mangsa.

Melihat keadaan yang tak seimbang itu pula, Ki 

Madrim bersalto ke depan. Lalu menerjang Nyai Loreng 

yang saat ini tengah menghadapi serangan-serangan 

dari Jayengmoko.

"Des!"

Kedua telapak tangannya mengenai tepat di dada 

Nyai Loreng yang terhuyung ke belakang. Mulutnya 

pun mengeluarkan darah.

Tetapi dasar nenek liar itu, malah terkikik.

"Hihihi... orang tua! Genit sekali kau memegang-

megang dadaku! Apa kau memang menginginkannya, 

hah?!"

Wajah Ki Madrim memerah.

"Nyai Loreng... kuminta padamu untuk meninggal-

kan tempat ini... sebelum tempatku ini banjir darah 

akibat ulahmu."

"Hihihi... mengapa tidak sejak tadi kau katakan itu, 

Ki Madrim? Baiklah... aku akan meninggalkan tempat 

ini, tapi... hihihi... cepat serahkan dulu emas permata 

yang kau miliki..."

"Tidak!"

"Dan berarti itu maut akan menyebar di halaman 

ini!" kata Nyai Loreng dan terkikik kembali.

"Kau ternyata kejam, Nyai Loreng!"

"Karena kau terlalu berlama-lama menahanku di


sini dan tak mau menyerahkan emas permata yang 

kau miliki!"

"Baik, Nyai Loreng! Aku akan mengadu jiwa den-

ganmu!" seru Ki Madrim seraya bersiap. Dia telah da-

pat menduga-duga kehebatan ilmu yang dimiliki Nyai 

Loreng.

"Majulah, Ki Madrim! Dari pada kau membuang-

buang nyawa anak buahmu secara percuma!"

"Baik, tahan seranganku, Nyai Loreng!"

"Sejak tadi aku sudah siap menghadapimu, Ki Ma-

drim! Dan kupikir lebih cepat lebih baik hingga aku ti-

dak banyak tenaga untuk membunuhmu!"

Ki Madrim pun menderu maju dengan pukulan lu-

rus ke depan dan siap disusul dengan satu tendangan. 

Nyai Loreng menghindari pukulan Ki Madrim dengan 

memiringkan kepalanya dan menangkis tendangan Ki 

Madrim yang mengarah pada perutnya.

"Des!"

Nyai Loreng dapat merasakan tenaga dalam Ki Ma-

drim yang cukup besar. Sedangkan dari tangkisan 

tangan Nyai Loreng Ki Madrim dapat merasakan pula 

tenaga dalam yang dimiliki Nyai Loreng.

"Hhh! Tenaga dalam nenek iblis ini cukup besar pu-

la!" desisnya dalam hati dan menyerang kembali.

Pertarungan antara dua orang sakti ini lebih hebat 

daripada saat Nyai Loreng menghadapi keroyokan 

anak buah Nyai Madrim. Keduanya sudah saling ber-

tempur dengan hebat. Dan masing-masing mengelua-

rkan segenap kemampuan mereka.

Ki Madrim sendiri sudah membuka jurusnya, Elang 

Menembus Langit. Yang membuat gerakannya semakin 

cepat dan hebat. Kedua tangannya membentuk paruh 

elang dan berkelebat mematuk ke sana-kemari.

Nyai Loreng sendiri pun tak mau kalah.

Kuku-kuku beracunnya siap menghadang dan


mengancam jiwa Ki Madrim. Berbahaya dan tak kalah 

ganasnya.

Nampak pertarungan keduanya begitu seimbang. 

Masing-masing saling menyerang dan bertahan. Dan 

mata mereka pun tak kalah liarnya mencari titik kele-

mahan lawan.

Tiba-tiba salah seorang anak buah Ki Madrim me-

lemparkan pedang yang dipegangnya. Pedang itu me-

luncur deras ke arah Nyai Loreng..

Meskipun sedang menghadapi Ki Madrim, Nyai Lo-

reng adalah seorang nenek yang sakti. Gerak refleknya 

begitu berbahaya. Dan pendengarannya pun tajam 

mendengar derasnya pedang yang meluncur ke arah-

nya.

Tangan kanannya pun mengibas.

"Des!" menangkis pedang itu.

Pedang itu tiba-tiba berbalik dan meluncur dengan 

deras pada tuannya. Yang melempar pedang tadi tidak 

menyangka hal itu.

Dia tak bisa menghindar lagi karena kecepatan lun-

curan pedang itu sulit diikuti oleh mata telanjang.

Dan 

"Bles!"

Tanpa ampun lagi pedang itu tepat menghujam di 

jantungnya. Menembus ke belakang.

Luar biasa!

Terdengarlah pekikan yang teramat menyayat hati. 

Lalu disusul tubuh ambruk bersimbah darah.

"Bandoroooo!" pekik Jayengmoko yang juga tidak 

menyangka Bandoro akan membokong.

Namun Bandoro telah mampus. Nyawanya telah ter-

lepas dari jasadnya.

Jayengmoko menggeram murka. Begitu pula dengan 

temannya yang tinggal seorang. Dengan secara serem-

pak keduanya pun masuk ke pertempuran antara Ki


Madrim dan Nyai Loreng.

Nyai Loreng sendiri sejak merasa kewalahan meng-

hadapi gempuran-gempuran itu. Belum lagi serangan-

serangan Ki Madrim.

Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dua kali. Dan ke-

tika kakinya hinggap di bumi, di tangannya sudah ter-

pegang sebuah sumpit. Lalu dia pun segera mengambil 

pelurunya.

"Hihihi... aku belum mengenalkan sumpitku ini pa-

da kalian, bukan? Nah, inilah sumpitku yang mengan-

dung racun yang luar biasa! Hihihi... kalian boleh me-

rasakannya dan seketika kalian akan bertamasya ke 

akhirat! Bukankah ini perjalanan yang telah kalian 

tunggu?" Nyai Loreng terkikik.

"Nyai Loreng!" geram Ki Madrim marah. "Kami tak 

akan mundur sejenak pun dari hadapanmu! Kami 

akan mengadu nyawa denganmu!"

"Hihihi... perbuatan kalian akan sia-sia belaka!"

"Peduli setan!" bentak Jayengmoko. "Kau pun harus 

menebus semua nyawa sahabat-sahabatku, Nyai Lo-

reng keparat!"

"Hihihi... apa kalian sudah merasa mampu untuk 

menghadapiku? Ki Madrim... sebaiknya kau serahkan 

saja cepat emas permata milikmu itu! Dan aku ber-

sumpah akan membiarkan kalian hidup untuk me-

nikmati indah dan megahnya dunia! Untuk menghirup 

udara pagi yang segar dan menyegarkan rongga dada 

kalian!"

"Sedikit pun aku tak akan mundur dari hadapan-

mu, Nyai Loreng!"

"Bagus! Kalian berarti memang ingin mati di hari ini 

juga!"

"Mati pun kami tidak akan penasaran, Nyai Loreng!"

"Bagus, bagus! Nah kalian hadapilah Sumpit Bera-

cunku ini!" kata Nyai Loreng dan segera membidikkan


senjatanya.

"Sreet!"

"Sreet!"

"Sreet!"

Tiga butir peluru melesat dari sumpitnya. Mengarah 

pada tiga lawannya. Peluru yang kecil itu sulit sekali 

untuk diikuti oleh mata. Ki Madrim dan Jayengmoko 

dengan sebisanya menghindar ke samping. Sayang, 

seorang anak buahnya malah bersalto ke belakang. 

Dan saat dia hinggap kembali ke tanah, tubuhnya pun 

menjadi sasaran peluru dari sumpit Nyai Loreng.

Tubuhnya bagai dihantam sebuah peluru besar. Dia 

pun terhuyung ke belakang dan jatuh ke tanah. Peluru 

sumpit Nyai Loreng telah menancap dalam di jantung-

nya. Tiba-tiba sangat tiba-tiba tubuh itu kelojotan. 

Dan terjadilah pemandangan yang teramat mengeri-

kan. Tubuh itu meregang dengan rasa sakit yang luar 

biasa. Dan mendadak seluruh urat nadi di tubuh itu 

pecah hingga darahpun menghambur ke luar.

Dalam sekejap saja tubuh itu telah kering oleh da-

rah. Dan seluruh kulitnya berubah menjadi putih lalu 

tubuh itu pun kehabisan darah!

Ki Madrim menggeram.

"Kejam!"

"Itu belum seberapa, Ki Madrim! Setelah cukup 

emas dan permata yang kukumpulkan, akan kubuat 

menjadi peluru yang berbahaya. Dan kau bisa merasa-

kannya nanti... tapi, bila saat ini nyawamu masih be-

rada di jasadmu... hihihi..."

"Nenek keparat!" geram Jayengmoko. Dia sudah ne-

kat untuk menyerang dan menyabung nyawa dengan 

Nyai Loreng. Melihat seluruh sahabatnya telah mam-

pus menemui ajal secara mengerikan, membuatnya 

menangis. Kenyataan ini yang terlalu menyakitkan.

Maka dia pun menyerang lagi dengan pedangnya.


Tak peduli akan bahaya yang siap mengancamnya.

"Jayengmoko...!" seru Ki Madrim yang tak me-

nyangka Jayengmoko akan berbuat nekat seperti itu.

Tetapi terlambat, Jayengmoko telah meluncur den-

gan deras ke arah Nyai Loreng.

Nyai Loreng sendiri hanya terkikik.

Lalu dia pun meniupkan sumpitnya ke arah tubuh 

Jayengmoko yang deras meluncur ke arahnya.

Sebutir peluru itu kembali menerjang. Namun 

Jayengmoko yang melihat Nyai Loreng menempelkan 

senjatanya lagi ke bibirnya, segera bersalto ke samp-

ing. Dan sambil bersalto dia melemparkan pedangnya 

ke arah Nyai Loreng.

Nyai Loreng sendiri tidak menyangka Jayengmoko 

bisa melakukan itu. Dia pun melompat ke samping 

dan sambil melompat kembali meniupkan sumpitnya.

Peluru kembali mencelat ke luar. Dan kali ini me-

luncur tepat ke jantung Jayengmoko.

***

EMPAT



Tabuh Jayengmoko terpental ke belakang bagaikan 

didorong oleh angin yang keras dan kuat.

"Aaaakkkhhh!"

Tubuh itu pun ambruk. Dan sama seperti yang di-

alami oleh Bandoro, tubuh itu pun meregang. Lalu se-

luruh urat nadinya pecah mengeluarkan darah yang 

cukup deras.

Lalu tubuh itu pun mampus dengan seputih kapas. 

Sepasang mata Jayengmoko terbuka. Separuh mena-

han sakit, separuh menyimpan dendam yang diba-

wanya mati.

Nyai Loreng terkikik.


"Ki Madrim... kini tinggallah kau seorang yang ma-

sih hidup! Aku masih memberi kesempatan padamu 

untuk hidup lebih lama. Nah, serahkan cepat seluruh 

harta kekayaanmu yang berupa emas permata itu! Ce-

pat, Ki Madrim aku tidak punya banyak waktu lagi! 

Cepat, kataku!"

Ki Madrim mendengus antara marah dan sedih. 

Memang tak ada jalan lain.

Tiba-tiba dia mengangguk.

"Nyai Loreng... bila itu maumu... baiklah... akan 

kuambilkan emas permata untukmu...!"

"Hihihi... bagus, bagus... mengapa tidak sejak tadi 

kau katakan itu, Ki Madrim? Sehingga tidak banyak 

nyawa anak buahmu yang kucabut!"

"Tunggulah di sini! Biar aku yang mengambil sendi-

ri!"

"Hihihi... Ki Madrim, Ki Madrim... kau pikir aku bo-

cah kecil yang bisa kau kelabui? Hihihi... tidak, biar 

aku menemanimu mengambilnya!"

Ki Madrim mendesah.

"Bila itu maumu, ikutlah denganku!" kata Ki Ma-

drim seraya melangkah lebih dulu masuk ke rumah-

nya.

Nyai Loreng mengikutinya dari belakang sambil ter-

kikik. Di benaknya sudah terbayang akan banyaknya 

emas permata yang akan diperoleh. Dan emas permata 

itu akan diolahnya menjadi peluru sumpitnya yang 

akan lebih hebat nanti.

Dia melihat Ki Madrim memasuki sebuah ruangan 

yang mirip tempat penyimpanan emas. Lalu nampak Ki 

Madrim membuka sebuah tembok rahasia yang persis 

menempel dengan tembok yang lain.

Dia mempersilahkan Nyai Loreng untuk masuk. "Si-

lahkan ambil semaumu, Nyai Loreng!" kata Ki Madrim.

Tetapi nenek itu hanya tertawa.


"Ki Madrim... sudah kukatakan... aku bukanlah 

anak kecil yang mudah kau kelabui! Nah, masuklah 

kau sendiri ke dalam. Ambilkan seluruh emas perma-

tamu untukku! Dan ingat, jangan coba-coba menipuku 

karena sumpitku ini masih haus oleh darah!" ancam 

Nyai Loreng.

"Kalau itu maumu, baiklah!" kata Ki Madrim sambil 

memasuki tembok rahasia yang kini berbentuk sebuah 

pintu dan berongga itu.

Nyai Loreng menunggu di luar. Namun secara tiba-

tiba, pintu atau tembok rahasia itu menutup kembali.

"Hei!" seru Nyai Loreng kaget.

Dari dalam terdengar suara Ki Madrim, "Nenek ke-

parat! Selamat tinggal dan tunggulah aku di situ sam-

pai seribu tahun!"

"Anjing buduk!" geram Nyai Loreng yang tidak me-

nyangka akhirnya dia tertipu juga. Dengan geram di-

hantamnya tangannya ke tembok itu. Namun tembok 

itu begitu kokoh dan kuat.

Tidak bergeming.

Nyai Loreng makin menggeram.

"Bangsat!"

Dia kembali menghantamkan tangannya ke tembok 

itu.

Namun lagi-lagi tembok itu tidak bergeming.

Dia menambah lagi tenaga dalamnya.

Dan barulah tembok itu sedikit bergetar.

"Aku tak akan mengampuni lagi nyawamu, Ki Ma-

drim!" geramnya murka dan menghantam lagi tembok 

itu sekuat tenaga.

Setelah berkali-kali dihantam, barulah tembok itu 

pecah berantakan. Kepingan-kepingan batunya ber-

muntahan.

Nyai Loreng melihat sebuah lorong di dalam tembok 

itu. Lalu dengan perasaan geram dan marah dia berge


rak maju.

Mula-mula lorong itu nampak sempit, namun lama 

kelamaan menjadi besar dan luas. Kini Nyai Loreng be-

rada di sebuah tempat yang cukup besar yang diteran-

gi oleh beberapa obor.

"Ki Madrim!" jeritnya. "Keluar kau! Biar kuremas 

kepalamu yang busuk itu!"

Tak ada sahutan dari Ki Madrim.

Hanya suara Nyai Loreng sendiri yang menggema di 

ruangan itu!

"Ki Madriiiimmm! Keluar kau, Bangsat!"

Lagi tak ada sahutan.

Lagi hanya gema suara Nyai Loreng sendiri yang 

menggema.

Dan tiba-tiba matanya melihat ada tiga buah pintu. 

Nyai Loreng mendengus. Pintu mana yang telah dilalui 

Ki Madrim.

Lalu dia pun beranjak mendekati pintu yang terda-

pat di sebelah barat. Didorongnya pintu itu. Namun 

mendadak beterbangan beberapa buah tombak ke 

arahnya.

Nyai Loreng terkejut. Dan dengan sigap dia bergu-

lingan. Tombak-tombak itu menancap di dinding. Me-

nandakan cukup keras lontarannya.

"Bangsat buduk! Ternyata banyak jebakan pula di 

sini!" makinya. "Awas kau, Ki Madrim! Bila tertangkap, 

kau tak akan aku ampuni! Akan kusiksa kau sebelum 

mati, Ki Madrim keparat! Anjing buduk! Kau berani-

beraninya bermain api dengan Nyai Loreng! Awas bila 

ketemu nanti!"

Nyai Loreng pun mendekati pintu di sebelah timur. 

Tapi kali ini Nyai Loreng tak mau bertindak gegabah 

seperti tadi. Lalu diambilnya sebuah kursi yang terda-

pat di sana.

Dan dengan sekuat tenaga dilontarkannya ke arah


pintu itu hingga hancur berantakan. Lalu dia pun me-

lompat ke samping. Pikirnya, akan terjadi jebakan se-

perti tadi.

Namun tak ada lontaran tombak kembali seperti ta-

di.

"Sialan! Mungkin pintu inilah yang dilalui oleh Ki 

Madrim keparat itu!" serunya, lalu bergegas untuk ma-

suk.

Tetapi mendadak dia gelagapan. Dari atas jatuh se-

buah jaring besar dan langsung menerpa dirinya. Be-

lum lagi dia sadar apa yang telah terjadi, mendadak 

saja tubuhnya terangkat dan terperangkap oleh jaring 

itu.

Kini tubuhnya tergantung terperangkap oleh jaring 

itu.

"Anjing buduk!" makinya sambil berusaha membe-

baskan diri. Namun jaring itu bukan sembarang jaring. 

Jaring itu terbuat dari bahan yang cukup kuat dan 

alot.

Tiba-tiba dari pintu yang berada di selatan, muncul 

sosok tubuh yang terkekeh. Ki Madrim.

"Hehehe... mampuslah kau tergantung di sana, Nyai 

Loreng!" serunya sambil membawa sebuah buntalan 

besar. Dan mengangkatnya ke arah Nyai Loreng. "Bu-

kankah kau menginginkan emas permata ini? Nah, 

melompatlah turun dan ambillah!"

Bukan main geramnya Nyai Loreng. Dia mencoba 

meloloskan diri. Namun jaring itu cukup kuat untuk 

meringkusnya.

"Hehehe... kau tak akan bisa meloloskan diri dari 

sana, Nyai! Kau akan mampus di sana karena kelapa-

ran!"

"Lepaskan aku, Ki Madrim! Kita bertarung sampai 

mati!"

"Hehehe... aku hendak melihat sampai di mana ke


hebatanmu, Nyai Loreng!" kata Ki Madrim sambil me-

nurunkan buntalannya. Lalu dia mengambil beberapa 

bilah pedang yang terdapat di sana. Diacungkannya 

pedang-pedang itu pada Nyai Loreng. "Nah, kini mam-

puslah, Nyai Loreng!"

Lalu pedang-pedang itu pun dilontarkannya ke arah 

Nyai Loreng yang tergantung di atas.

"Hei!" seru Nyai Loreng kaget, lalu mengempos tena-

ganya. Dan jaring itu pun bergoyang. Tubuhnya luput 

dari serangan-serangan pedang Ki Madrim.

Diam-diam Ki Madrim kagum dengan tenaga dalam 

Nyai Loreng, yang saat tergantung pun mampu mem-

perlihatkan dan menggoyang jaring itu. Hingga luput 

dari sasaran.

Tetapi Ki Madrim pun tak mau dia menyia-nyiakan 

kesempatan yang ada. Kembali dilemparkannya pe-

dang-pedang yang lain.

Namun lagi-lagi serangannya luput karena dengan 

lincahnya Nyai Loreng menggoyang-goyangkan tubuh-

nya hingga jaring-jaring itu pun bergerak-gerak.

"Turunkan aku, Ki Madrim! Kita bertarung sampai 

mati!"

"Hehehe... biarlah kau mati tergantung di sana, 

Nyai Loreng!" kata Ki Madrim sambil mengambil bunta-

lannya kembali. Lalu dia pun melangkah.

Dan tanpa setahu Ki Madrim, Nyai Loreng kembali 

memasang sumpitnya. Dan "Sreet!" peluru dari sumpit 

itu pun melontar ke luar.

Untung pada saat itu, Ki Madrim menoleh ke arah-

nya dan melihat Nyai Loreng sedang meniupkan sum-

pitnya. Dengan sigap dia bersalto ke samping. Lau se-

cara bergulingan kembali ke luar dari ruangan itu.

"Hehehe... selamat tinggal, Nyai Loreng... tergantun-

glah kau selama-lamanya di sana!" serunya seraya me-

lesat pergi.


Nyai Loreng memaki panjang pendek. Tetapi bayan-

gan Ki Madrim sudah hilang dari pandangan.

"Awas kau, Ki Madrim! Bila suatu saat bertemu 

nanti, kau akan kulumat hingga habis bersatu dengan 

tanah!" geramnya mengancam.

Lalu berusaha membebaskan diri dari jaring yang 

meringkusnya.

***

LIMA



Senja itu matahari sudah bersiap-siap hendak kem-

bali ke peraduannya. Dari kejauhan nampak dua ekor 

kuda berjalan perlahan. Di atas kuda-kuda itu duduk 

seorang pemuda dan seorang pemudi.

Pemuda itu mengenakan pakaian berwarna biru-

biru. Di pinggangnya nampak terlihat terselip sebuah 

seruling.

Sedangkan yang pemudi berwajah cantik jelita. Di 

bahunya terdapat sebilah pedang. Hal ini menandakan 

keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemam-

puan kanuragan.

Keduanya tak lain adalah Pranata Kumala dan is-

trinya Ambarwati. Setelah bertemu dengan orang tua 

mereka, Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan 

Sukma dan istrinya Ratih Ningrum, Pranata dan is-

trinya pun kembali melanjutkan perjalanan mereka 

(Baca: Undangan Berdarah).

Sudah lama keduanya melakukan perjalanan sema-

ta-mata untuk mencari pengalaman, sama seperti hal-

nya yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Di pinggang Pranata Kumala tadi terselip sebuah 

seruling yang bila sekilas nampak seperti seruling bi-

asa. Tetapi sesungguhnya itu adalah seruling sakti,


yang bernama Seruling Naga. Bila seruling itu ditiup, 

maka yang mendengarnya akan mendengar suara yang 

amat menyakitkan telinga. Dan bagi yang memiliki te-

naga dalam rendah, maka dia akan mati kelojotan 

dengan telinga yang mengeluarkan darah.

Seruling Naga itu sebenarnya milik dari Ki Rengser-

sari, atau berjuluk Pendekar Ular Sakti. Ki Rengsersari 

adalah guru dari Madewa Gumilang yang bergelar Pen-

dekar Bayangan Sukma. Seruling Naga itu diserah-

kannya kepada muridnya itu saat dia berhadapan den-

gan Pratiwi atau si Selendang Merah dan Gundaling. 

(Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Seruling yang di tubuhnya terdapat gambar sepa-

sang naga sedang bertarung, diserahkan Madewa ke-

pada putranya Pranata Kumala saat dia hendak bergu-

ru kepada Ki Ageng Jayasih (Baca: Kakek Sakti dari 

Gunung Muria).

Dan berkali-kali Seruling Naga itu menjadi rebutan 

dari tokoh-tokoh rimba persilatan (Sepasang Manusia 

Srigala). Kini seruling itu dipegang oleh Pranata Kuma-

la, yang dalam petualangannya selalu ditemani oleh is-

trinya Ambarwati putra dari seorang pemimpin gerom-

bolan perampok di daerah Pacitan (Baca: Pendekar Ke-

dok Putih).

Dalam perjalanannya mencari petualangan, berkali-

kali keduanya mengalami berbagai kejadian yang me-

narik sekaligus mengerikan (Baca: Datuk Sesat Bukit 

Kubur, Pertarungan Para Pendekar, Iblis Berbaju Hijau 

dan Undangan Berdarah). Keduanya banyak mendapat 

pelajaran dari perjalanan yang mereka lakukan, hingga 

mereka dapat mengenal watak-watak manusia.

Kini keduanya pun tiba di lereng Gunung Kelud. 

Dan tiba-tiba pendengaran mereka menangkap suara 

ribut-ribut tak jauh dari sana. Disusul dengan suara 

senjata beradu keras yang menimbulkan suara cukup


hebat.

"Kakang... seperti ada yang berkelahi di sini," kata 

Ambarwati sambil menatap suaminya.

"Benar, Rayi. Sebaiknya kita selidiki saja, Rayi..." 

kata Pranata sambil memacu kudanya.

Ambarwati pun menggebrak kudanya menyusul lari 

kuda suaminya. Dan kini di sebuah tempat yang cu-

kup luas dan besar, terlihat di hadapannya dua orang 

laki-laki muda sedang bertarung melawan seorang la-

ki-laki setengah baya yang membawa sebuah bunta-

lan.

"Ki Madrim! Kau telah menjual lagak di depan kami 

tiga hari yang lalu! Tapi akhirnya ketahuan pula be-

langmu! Kau ingin menghianati majikan kami!" seru 

salah seorang penyerang laki-laki setengah baya itu. 

Dia dengan hebat menyerang laki-laki setengah baya 

itu dengan sepasang tombak yang bermata tiga.

"Suralaga! Sudah kukatakan padamu, bahwa se-

mua ini perbuatan dari Nyi Loreng!"

"Laki-laki tua busuk! Kau mencoba menipu kami, 

hah?!" seru laki-laki penyerang yang tak lain Suralaga. 

Dan yang seorang lagi Giri Lantang.

Keduanya adalah pengawal andalan dari Juragan 

Seta Agung yang berkuasa di Desa Bojong Karta. Seta 

Agung amat terhina dengan mengembalikan uang mu-

ka dari Ki Madrim. Baginya, ini merupakan suatu 

penghinaan yang besar. Menurutnya, mengapa Ki Ma-

drim tidak menggantikan saja dengan emas yang lain?

Lalu dia pun mengirim kembali Suralaga dan Giri 

Lantang untuk memberi pelajaran pada Ki Madrim. 

Dan di tengah jalan keduanya bertemu dengan Ki Ma-

drim yang baru saja lolos dari tangan Nyai Loreng.

Melihat sikap Ki Madrim yang seperti ingin melari-

kan diri membuat Suralaga dan Giri Lantang menjadi 

salah paham. Kalau begitu benar dugaan mereka, Ki


Madrim hendak bermain api dengan mereka.

Keduanya pun langsung menyerang. Dan sudah 

tentu Ki Madrim tidak mau dirinya dijadikan sasaran 

serangan-serangan keduanya.

Dia pun mempertahankan dirinya dan membalas.

Berulangkali Ki Madrim menjelaskan kalau dia ti-

dak bermaksud untuk membohongi Juragan Seta 

Agung dan mengatakan semua itu perbuatan Nyai Lo-

reng semata-mata. Namun kedua orang penyerangnya 

itu tak mau tahu, bagi mereka pesan majikan mereka 

lebih berarti yang menyuruh mereka memberi pelaja-

ran pada Ki Madrim.

Orang-orang itu masih berkelahi dengan hebat. Be-

rulang kali Ki Madrim hampir saja termakan oleh se-

pasang tombak bermata tiga milik Suralaga.

"Menyerahlah, Ki Madrim! Untuk kubawa kau ke-

pada majikan kami Seta Agung untuk minta maaf!"

"Suralaga... aku tidak bersalah, mana mungkin aku 

hendak meminta maaf?" seru Ki Madrim sambil meng-

hindari tusukan sepasang tombak bermata tiga Sura-

laga.

Juga menghindari pukulan-pukulan yang dile-

paskan oleh Giri Lantang. Yang tak kalah hebatnya 

dengan serangan-serangan Suralaga.

Namun lama kelamaan, Ki Madrim kelihatan terde-

sak. Serangan kedua lawannya bagaikan datang dari 

empat penjuru. Begitu beringas dan berbahaya.

Sampai suatu ketika, Suralaga menghambur den-

gan deras ke arahnya, diiringi dengan tusukan kedua 

tombak bermata tiganya yang siap untuk mencabut 

nyawa Ki Madrim.

Ki Madrim mencoba bersalto menghindar, dan da-

tang lagi serangan dari Giri Lantang yang cepat dan 

penuh tenaga. Ki Madrim mengambil satu tindakan 

yang penuh resiko. Dia memapaki serangan dari Giri


Lantang. Dan terjadilah benturan yang cukup keras.

"Des!"

Karena Ki Madrim masih dalam keadaan bersalto, 

tenaganya tidak begitu kuat. Keseimbangannya pun hi-

lang. Dia terpental dan ambruk ke belakang.

Sementara Giri Lantang bersalto dengan manis dan 

hinggap di tanah dengan ringannya.

"Ki Madrim! Kau masih belum mau menyerahkan 

diri dan minta maaf pada Juragan Seta Agung?!" geram 

Giri Lantang keras.

Ki Madrim menahan rasa sakit di dadanya. Dia 

mencoba bangkit, namun rasa sakit itu seakan me-

nyiksa dan membelenggunya. Dia meraba dadanya dan 

menekannya untuk mencoba menghilangkan rasa sa-

kit itu.

"Giri Lantang! Bila aku punya salah... aku akan da-

tang minta maaf pada Juragan Seta Agung! Tanpa kau 

suruh dan paksa! Namun aku tak punya salah! Aku 

sudah mengatakan yang sebenarnya, tiga pengirim ba-

rang ku telah dibunuh oleh Nyai Loreng! Dan ini di 

luar kemauan kita semua! Dan Nyai Loreng pun baru 

saja kemarin sore mendatangi kediamanku dan men-

gobrak-abrik semuanya, bahkan dia membunuhi selu-

ruh anak buahku!"

"Hhh! Bisa pula kau bicara, Ki Madrim!" seru Sura-

laga tak percaya. "Lalu bagaimana kau bisa meloloskan 

diri, hah?! Dan apa semuanya kau biarkan terjadi se-

mentara kau melarikan diri?"

"Suralaga! Tadi sudah kukatakan, Nyai Loreng ku-

jebak di ruangan pribadiku, tempat aku menyimpan 

emas dan permataku! Sedangkan untuk menghadapi 

Nyai Loreng sendiri, aku merasa tidak mampu sama 

sekali. Dia teramat sakti dan teramat kejam!"

"Omong kosong! Kau tentunya telah menyiapkan 

semua jawaban-jawaban ini, Ki Madrim! Hhh! Aku


mau memenuhi permintaanku untuk menghadap Ju-

ragan Seta Agung, atau kubunuh di sini?!"

"Suralaga... sudah..."

"Anjing buduk! Masih berani kau bicara, hah?!" ge-

ram Suralaga dan kembali menerjang dengan sepasang 

tombak bermata tiganya.

Ki Madrim adalah orang yang jujur, bila dia tidak 

bersalah maka dipaksa pun dia tak akan mau meminta 

maaf. Kini dia hanya pasrah melihat serangan Surala-

ga yang menuju padanya.

Namun mendadak secarik sinar merah melesat ke 

arah Suralaga. Suralaga terkejut. Dia menarik kembali 

serangannya dan bersalto untuk menghindari sinar 

merah itu.

"Heiiit!"

Dua kali dia bersalto ke belakang dan hinggap den-

gan siaga. Begitu pula dengan Giri Lantang.

Suralaga membentak, "Orang usil! Cepat nongolkan 

wajahmu yang buruk itu!"

Terdengar suara langkah kuda perlahan mendekati 

tempat itu. Suralaga melihat dua orang penunggang 

kuda. Yang seorang pemuda berwajah tampan dan 

yang seorang lagi pemudi yang berwajah cantik.

"Hhh! Rupanya kalian yang telah ikut campur tan-

gan urusan ini!" geram Suralaga.

Kedua orang itu yang tak lain Pranata Kumala dan 

istrinya Ambarwati, tersenyum.

Pranata berkata, "Maafkan aku, Ki sanak. Bukan 

sekali-sekali aku hendak ikut campur urusannya! Ti-

dak sama sekali. Tapi kulihat hanya satu kebetulan sa-

ja, kau hendak menurunkan tangan telengas pada la-

ki-laki setengah baya itu!"

Ki Madrim sendiri mendesah lega. Karena ada yang 

berhasil menyelamatkan nyawanya. Suralaga mengge-

ram kembali. "Anak muda! Kuminta padamu untuk


meninggalkan tempat ini dengan segera! Dan jangan 

ikut campur urusan ini!"

"Aku tidak suka melihat kekejaman yang kalian la-

kukan terhadap orang tua itu," kata Pranata, Kumala 

tenang.

Namun kata-katanya itu semakin membangkitkan 

kemarahan Suralaga.

"Anak muda, kau usil sekali rupanya! Hhh! Ingin 

kulihat sampai di mana kemampuanmu!"

"Maafkan aku, Kisanak. Bukan sekali-sekali mak-

sudku untuk bertarung denganmu. Aku sudah tahu 

apa yang telah terjadi di antara kalian. Dan yang 

membuatku heran, mengapa kau tidak mau menyeli-

diki lebih dulu kata-kata orang tua itu? Bukankah bila 

kau telah melihat buktinya semula menjadi jelas? Apa-

kah yang dikatakan orang tua itu hanya membual atau 

memang benar-benar semata."

Suralaga terdiam. Sebenarnya dia membenarkan 

pula kata-kata Pranata itu. Namun kesombongannya 

karena serangannya dihalau oleh Pranata tadi, mem-

buatnya geram dan tak perduli dengan kata-kata itu.

"Anak muda! Kau sudah masuk ke kalangan, dan 

berarti kau telah siap untuk menanggung semula resi-

konya!"

Pranata Kumala yang sejak tadi memang sudah 

bersiap dan waspada, cepat bersalto dari kudanya dan 

langsung memapaki serangan tombak bermata tiga mi-

lik Suralaga.

"Des!"

Pukulannya berbenturan dengan lengan Suralaga. 

Dan Pranata langsung bersalto kembali ke belakang. 

Sementara Suralaga terhenyak karena merasakan tan-

gannya kesemutan.

"Anjing buduk! Pantas kau berani jual lagak di de-

panku! Rupanya kau punya kelebihan pula?!"


"Hanya sekadarnya saja, Kisanak. Tapi cukup un-

tuk membungkamkan mulutmu yang sombong dan tak 

mengenal keadilan!"

"Setan!" Maki Suralaga dan kembali menyerang.

Kali ini Pranata menunjukkan kebolehannya meng-

hindar. Dengan jurus Kijang Kumala dia bisa berkelit 

selincah seekor kijang.

Hal ini semakin membuat Suralaga menjadi panas 

dan jengkel. Dia meningkatkan lagi serangan-

serangannya. Melihat hal itu pula Pranata pun mulai 

membalas dengan pukulan Tangan Bayangannya wari-

san Ki Ageng Jayasih (Baca: Kakek Sakti dari Gunung 

Muria).

Tangannya bisa berkelebat bagaikan bayangan be-

laka. Siap mengancam tubuh dari Suralaga yang pal-

ing berbahaya.

Suralaga pun menjadi kewalahan. Sebisanya dia 

menghindar dan membalas. Namun kecepatan dan ke-

gesitannya jauh berada di bawah Pranata Kumala. 

Yang demikian cepatnya berberak.

Hingga suatu ketika, lengan kirinya dihantam oleh 

pukulan Pranata. Tombak yang dipegang Suralaga ter-

lepas. Pranata pun segera mencecar. Dengan satu ten-

dangan melompat kembali dia menghajar tangan ka-

nan Suralaga. Dan tombak yang berada di tangan ka-

nannya pun terlepas. Disusul dengan satu pukulan ke-

ras ke dada Suralaga.

"Des!"

Tubuh itu terhuyung ke belakang. Sementara Pra-

nata telah berdiri tegak kembali di bumi.

Suralaga merasakan dadanya nyeri sekali.

Ki Madrim diam-diam kagum melihat kehebatan 

pemuda itu.

Dan melihat hal itu, Giri Lantang menjadi murka. 

Dia pun menerjang maju.


Satu sosok tubuh melenting dari kuda yang diam 

disana, dan memapaki serangan Giri Lantang pada 

Pranata Kumala.

"Des!"

Giri Lantang bersalto dan hinggap dengan ringan-

nya. Dia melihat sosok tubuh yang memapakinya telah 

berdiri di hadapannya.

Ambarwati yang berdiri gagah.

"Bila kau merasa gatal dan ingin bermain-main se-

jenak, aku bersedia melayanimu!"

"Perempuan sial! Aku ingin melihat sampai di mana 

kehebatanmu itu, hah?!" geram Giri Lantang yang ti-

dak menyangka serangannya akan dipapaki oleh gadis 

itu. Dia pun menyerang kembali dengan ganas. Namun 

kali ini sasarannya adalah Ambarwati.

***

ENAM



Ambarwati pun tak malu dirinya dijadikan sasaran 

empuk serangan dari Giri Lantang. Dia pun segera 

membalas serangan-serangan itu.

Kini terjadilah kembali pertarungan yang hebat. 

Namun kali ini antara Ambarwati dan Giri Lantang. 

Kalau melihat sekilas, Ambarwati menang dalam soal 

kelincahan dan kegesitan. Tetapi dia kalah tenaga den-

gan Giri Lantang.

Namun dengan mengandalkan kegesitannya itu, 

sampai beberapa jurus dia belum kelihatan terdesak. 

Malah Ambarwati yang kemudian terlihat mendesak 

Giri Lantang.

"Perempuan keparat!" dengus Giri Lantang yang 

dengan sebisanya menghindari serangan-serangan 

Ambarwati.


"Mengapa kau hanya bisa menghindar saja, Ki sa-

nak?!" seru Ambarwati dengan suara mengejek.

Mendengar kata-kata itu wajah Giri Lantang meme-

rah.

"Baik, tahan seranganku!"

Lalu dia pun kembali mulai membalas. Namun se-

rangan-serangan dari Ambarwati seolah telah mengu-

rung langkahnya. Dan membuatnya kebingungan sen-

diri.

Hingga akhirnya serangannya pun menjadi kacau, 

sekaligus pertahanannya. Dan satu ketika, Ambarwati 

memekik keras dengan satu pukulan lurus ke wajah 

Giri Lantang.

Giri Lantang sendiri terkejut, karena tidak me-

nyangka serangan itu datang dengan cepatnya.

Dia jatuh ke bumi setelah bergulingan beberapa 

kali. Bibirnya berdarah. Dia menjadi geram sekali. Ka-

rena merasa dengan mudahnya gadis itu mengalah-

kannya.

Ketika dia hendak bangkit untuk menyerang kem-

bali terdengar seruan Pranata Kumala,

"Tahan!"

Giri Lantang hanya menahan marahnya.

Begitu pula dengan Suralaga yang tidak menyangka 

dia dan temannya itu akan mudah dikalahkan oleh 

pemuda-pemudi yang belia.

"Maafkan kami berdua, Ki sanak..." kata Pranata 

Kumala lagi. "Perkenalkan, namaku Pranata Kumala 

dan ini istriku, Ambarwati. Kami petualang dari Laut 

Selatan."

"Hhh! Pranata, cepatlah kau menyingkir dari sini! 

Kami masih punya urusan dengan Ki Madrim!" kata 

Suralaga.

"Maafkan aku, Ki sanak. O ya, tadi sudah kudengar 

nama kalian berdua. Suralaga... melihat kejadian yang


tengah kalian alami, aku berkeyakinan kalian telah sa-

lah paham. Dan seperti ucapan dari Ki Madrim benar 

adanya dan tentunya harus dibuktikan. Tadi pun ku-

dengar Ki Madrim mengatakan munculnya seorang to-

koh jahat yang bernama Nyai Loreng. Bukankah begi-

tu, Ki Madrim?"

"Benar, Pranata..." sahut Ki Madrim yang kini bisa 

bernafas cukup lega. "Nenek yang mengaku bernama 

Nyai Loreng itu sungguh sakti dan kejam. Tiba-tiba sa-

ja dia muncul ke tempat kediamanku dan meminta se-

luruh emas permataku untuk dibuatnya menjadi sen-

jata sumpitnya. Dia pun mengaku dialah yang telah 

membunuh tiga pengawalku sekaligus pengirim ba-

rang-barangku. Dan merampas emas permata yang 

mereka bawa untuk diserahkan kepada pemesan, Ju-

ragan Seta Agung dari Desa Bojong Karta dan kepala 

desa di Glagah Mentari. Dia pun memporak-

porandakan kediamanku dan membunuhi seluruh 

pengawalku. Untungnya aku berhasil meloloskan diri 

dan menjebaknya di ruangan pribadiku. Sekarang dia 

tergantung di sana. Di dalam jaring yang cukup kuat."

"Suralaga... bukankah dengan begini kau dan te-

manmu telah salah paham pada Ki Madrim?" kata 

Pranata Kumala.

"Hhh! Pranata... bisa saja kakek itu berbohong, bu-

kan?"

"Tentu. Dan untuk menguji kebenarannya kita ha-

rus melihat kenyataan yang diceritakannya. Nah, ba-

gaimana, Ki Madrim? Apakah kau bersedia membawa 

kami ke tempat kediamanmu dan menunjukkan di 

mana Nyai Loreng terjebak?"

"Dengan senang hati, Pranata. Mari!"

Pranata Kumala kembali menaiki kudanya. Begitu 

pula istrinya. Sedangkan Ki Madrim, Suralaga dan Giri 

Lantang berjalan di depan mereka.


***

Apa yang diceritakan Ki Madrim memang benar. Be-

gitu mereka tiba di kediamannya, terlihatlah satu pe-

mandangan yang cukup mengerikan. Di halaman de-

pan rumah itu mayat-mayat bergeletakan. Dan ada 

beberapa mayat yang mati secara mengerikan.

"Itu akibat sumpit dari Nyai Loreng!" kata Ki Ma-

drim menjelaskan sambil menahan pilu di hatinya.

"Sudah jangan banyak omong!" bentak Suralaga. 

"Cepat tunjukkan di mana Nyai Loreng itu kau jebak, 

Kakek jelek!"

Ki Madrim hanya tersenyum. Lalu mengajak mereka 

untuk ke ruangan pribadinya. Pranata Kumala dan 

Ambarwati yang sudah turun dari kudanya kembali 

melihat pemandangan yang mengerikan di dalam ru-

mah itu.

Mayat-mayat banyak pula terdapat di sini. Mengeri-

kan. Dan ini menandakan betapa kejamnya Nyai Lo-

reng yang begitu telengas membunuhi orang-orang 

yang tak berdosa.

Ki Madrim mengajak mereka langsung ke ruangan 

pribadinya. Pintu rahasia yang ada di sana telah jebol 

itu mereka lewati.

"Di sini dia kujebak!" kata Ki Madrim.

Lalu dia pun melihat ke atas.

Dan betapa terkejutnya Ki Madrim ketika tidak me-

lihat tubuh Nyai Loreng tergantung di sana.

"Hei! Dia berhasil meloloskan diri rupanya!" serunya 

kaget.

Suralaga mendengus. "Jangan berbohong, Ki Ma-

drim!" geramnya.

"Aku berani bersumpah atas nama Dewata, kalau 

wanita iblis itu tergantung di sana!"

"Jangan mungkir! Kau lihat sendiri kenyataannya,


wanita itu tidak berada di sana, hah?!"

Ki Madrim mendesah masygul. Tapi kemudian dia 

berkata, "Suralaga... kau lihatlah jaring yang telah je-

bol itu. Rupanya wanita iblis itu berhasil menjebol jar-

ing yang terbuat dari bahan yang cukup kuat itu! Dan 

meloloskan diri!"

Di atas memang terdapat jaring yang telah jebol. 

Mau tak mau Suralaga dan Giri Lantang jadi memper-

cayainya. Namun bagi mereka itu bukanlah suatu ke-

puasan karena bisa saja Ki Madrim telah sengaja me-

masangnya untuk mengelabui mereka.

Seperti mengetahui apa yang tersirat di hati Surala-

ga dan Giri Lantang, Ki Madrim berkata lagi,

"Kalian lihatlah! Pintu itu sudah hancur oleh perbu-

atannya. Dan kalian lihat tombak-tombak yang me-

nancap di dinding. Tombak-tombak itu telah menye-

rang Nyai Loreng!"

"Hahaha... tapi kenyataannya dia tidak berada di 

sini, Ki Madrim?" tertawa Giri Lantang.

Pranata Kumala pun bisa memahami ketidakper-

cayaan Suralaga dan Giri Lantang. Namun melihat 

bukti-bukti yang ada baginya sudah cukup untuk per-

caya. Namun memang sulit karena Nyai Loreng sendiri

tidak tergantung di sana.

"Suralaga... kukira... bukti yang ada di ruangan ini 

sudah menunjukkan keberadaan Nyai Loreng," kata 

Pranata, "Jadi kuminta... kau dan Giri Lantang jangan-

lah dulu mempersoalkan masalah ini kembali. Yang 

penting... kita cari dulu Nyai Loreng..."

Mendengar kata-kata itu, Suralaga dan Giri Lantang 

memahaminya. Bagi mereka, itu pun sudah menjadi 

bukti.

"Kalau begitu... baiklah. Kita akan sama-sama men-

cari Nyai Loreng..."

Tiba-tiba terdengar suara terkikik di belakang me


reka. Serentak semuanya menoleh.

Seorang nenek telah berdiri di sana sambil terkikik. 

Di tangannya memegang sebuah sumpit. Dia seperti 

merasa lucu melihat orang-orang itu kebingungan dan 

keheranan. Terutama melihat wajah Ki Madrim.

Dan nenek itu adalah Nyai Loreng!

***

TUJUH



Sebenarnya bagaimanakah Nyai Loreng bisa melo-

loskan diri dari jaring yang terbuat dari bahan yang 

alot dan kuat itu?

Setelah Ki Madrim melarikan diri, Nyai Loreng ter-

gantung di jerat itu. Dan berusaha untuk mencoba 

merobek jaring itu. Namun dirasakannya sia-sia bela-

ka.

Tiba-tiba secara tidak sengaja, kuku-kukunya yang 

mengandung racun tersentuh jaring itu. Dan menda-

dak saja jaring-jaring itu putus terbakar.

Lalu Nyai Loreng pun berhasil keluar dan bersalto 

dengan ringan dan hinggap di lantai dengan ringan pu-

la. Dia yang merasa geram pada Ki Madrim yang ber-

hasil menjebaknya menjadi marah besar.

Lalu diobrak-abriknya tempat itu.

Setelah itu dia melesat keluar.

Namun baginya sudah sulit untuk menemukan Ki 

Madrim. Tiba-tiba dia merasa kalau Ki Madrim suatu 

saat akan kembali lagi ke rumah ini karena ingin meli-

hat dirinya yang tergantung.

Maka dengan sabarnya Nyai Loreng menunggu.

Hingga penantiannya pun berakhir. Dari tempatnya 

bersembunyi dia melihat Ki Madrim dan empat orang 

lainnya mendekati tempat itu.


Dia masih berusaha untuk menahan marahnya. Di-

tunggunya sampai mereka masuk ke rumah itu. Du-

gaan Nyai Loreng mereka pasti akan masuk untuk me-

lihat dirinya yang tergantung.

Dan dugaannya memang benar. Lalu dia pun segera 

menyusul dan geli melihat mereka terheran-heran ka-

rena dirinya tak lagi tergantung di sana.

Kini dia berdiri gagah dengan sumpit di tangan.

"Hihihi... kita bertemu lagi, Ki Madrim," kikiknya ge-

li.

Ki Madrim berseru tertahan, "Nyai Loreng!"

Suralaga dan Giri Lantang pun kini benar-benar 

mempercayai ucapan Ki Madrim. Mereka menjadi malu 

sendiri karena telah menuduh sembarangan pada Ki 

Madrim.

Karena didasari malunya itu, keduanya melangkah 

dua tindak berhadapan dengan Nyai Loreng.

"Nenek iblis! Rupanya kau yang telah membuat se-

mua menjadi kacau begini!" geram Suralaga.

"Dan kau harus membayar dengan nyawa peotmu 

itu, Nenek keparat!" sambung Giri Lantang.

"Hihihi... rupanya ada dua ekor tikus yang berani 

membentak padaku! Hihihi... sebutkan nama kalian 

sebelum aku membunuh kalian!"

"Nenek Iblis! Namaku Suralaga, dan ini kawanku, 

Giri Lantang! Kami adalah pengawal setia dari Juragan 

Seta Agung!"

"Hihihi... rupanya kalian manusia-manusia yang 

punya nyali juga! Nah, cepat kalian maju ke sini, biar 

kulubangi kepala kalian!"

"Nenek iblis! Tahan seranganku!" geram Suralaga 

sambil menyerang dengan sepasang tombak bermata 

tiganya. Di samping geram pada Nyai Loreng dia juga 

malu pada Ki Madrim karena berpikiran pendek yang 

langsung menuduh Ki Madrim seenaknya. Makanya


dia bertekad untuk membunuh Nyai Loreng yang di-

anggapnya sebagai biang keladinya, sebagai biang ter-

jadinya salah paham ini.

Dua tombak bermata tiga milik Suralaga bergerak 

dengan gencar, mengancam bagian-bagian tubuh ber-

bahaya dari Nyai Loreng. Begitu pula dengan Giri Lan-

tang yang juga ikut menyerang.

Di tempat itu kembali terjadi pertarungan yang sen-

git antara Suralaga, Giri Lantang dengan Nyai Loreng. 

Namun biarpun diserang oleh dua orang, Nyai Loreng 

kelihatan dengan mudahnya menghadapi keduanya. 

Malah dia mulai membalas dengan tertawa.

Kuku-kuku beracunnya siap menyambar nyawa ke-

duanya. Berbahaya. Tangan-tangannya berkelebat 

dengan cepat. Tiga jurus kemudian terlihat Suralaga 

dan Giri Lantang yang terdesak.

"Awas, kuku-kukunya mengandung racun!" seru Ki 

Madrim memperingatkan.

Namun terlambat. Dengan satu pekikan yang cukup 

keras, tangan kanan Nyai Loreng berhasil memukul 

perut Giri Lantang. Dan dengan cepat kuku-kukunya 

bergerak, menyayat perut Giri Lantang.

Giri Lantang mengaduh dan terhuyung.

Dia merasakan perutnya sakit sekali. Dan tiba-tiba 

dirasakannya sekujur tubuhnya gatal. Seperti yang 

terjadi sebelumnya pada orang-orang yang terkena ku-

ku-kuku beracun Nyai Loreng, tubuh Giri Lantang pun 

menggeliat hebat. Kelojotan.

Gatal yang dirasakannya teramat menyakitkan. Dan 

mulailah kedua tangannya menggaruk-garuk. Namun 

semakin digaruk gatal itu malah semakin bertambah. 

Parah. Perih dan menyakitkan.

Sekuat tenaga Giri Lantang menggaruk kembali, 

hingga mulailah nampak kulit-kulitnya memerah dan 

berdarah. Lalu keluarlah darah yang mengucur deras.


"Aaaakkkhhh!"

Giri Lantang memekik kesakitan. Dan tiba-tiba tu-

buhnya terkulai. Lalu nyawanya pun melayang.

Ambarwati menutup matanya, ngeri melihat pe-

mandangan di depannya itu.

Nyai Loreng terbahak.

"Hihihi... rasakan itu! Dan kau Suralaga, sebentar 

lagi kau pun akan menyusul kawanmu itu!" seru Nyai 

Loreng dan tanpa menunggu Suralaga menyerang, dia 

telah mendahului menyerang.

Menghadapi Suralaga dan Giri Lantang saja dia be-

rada di atas angin, apalagi menghadapi Suralaga yang 

sendirian. Sudah tentu dengan mudah dia mendesak 

Suralaga.

Dan kembali kuku-kukunya menyayat tangan Sura-

laga. Seperti yang dialami Giri Lantang, Suralaga pun 

merasakan gatal yang serupa. Lalu dia pun mampus 

dengan tubuh berdarah.

Nyai Loreng terkikik.

"Hihihi... Ki Madrim... kini tak ada lagi jalan ke luar 

bagimu. Nah, serahkan buntalan yang kau bawa itu 

padaku!"

Ki Madrim mendengus. "Tidak akan pernah kulaku-

kan itu, Nyai Loreng!"

Nyai Loreng terkikik. Dan tiba-tiba dia menggeram 

murka.

"Kalau begitu maumu, baiklah... terimalah kema-

tianmu, Ki Madrim!" seru Nyai Loreng dan menderu 

menyerang dengan kuku-kuku yang terbuka lebar, 

siap menghujam di jantung Ki Madrim.

Namun tiba-tiba Nyai Loreng bersalto ke samping 

ketika sebuah sinar merah mengarah datang padanya.

"Heiiitt!"

Pekiknya dan hinggap kembali di lantai. Dia mena-

tap Pranata Kumala yang melepaskan pukulan Sinar


Merah itu padanya.

"Bocah keparat! Berani-beraninya kau membokong 

seperti itu! Sebutkan namamu, hah?!"

"Nyai Loreng... namaku Pranata Kumala dan ini is-

triku Ambarwati."

"Nah, cepat kalian bersujud di depanku, akan 

kuampuni nyawa kalian!"

"Maafkan aku, Nyai Loreng... sebenarnya aku tidak 

terlibat dalam urusan ini dan tidak bermaksud men-

campuri urusan ini. Tapi melihat tangan telengas yang 

kau turunkan pada Suralaga dan Giri Lantang, entah

kenapa hatiku terpanggil untuk menghentikan sepak 

terjangmu."

"Hhh! Bagus kalau begitu! Biar kucabut nyawamu 

dan nyawa istrimu sekalian! Bersiaplah!"

"Majulah, Nyai Loreng!"

Nyai Loreng pun menderu menyerang dengan ga-

nas. Hebat dan kejam. Pranata Kumala pun mengha-

dapinya dengan memadukan jurus Kijang Kumalanya 

dan jurus Pukulan Tangan Bayangan. Hingga sampai 

sekian jurus berlangsung, Nyai Loreng belum sekali 

pun berhasil memukulnya.

Hal ini semakin membuatnya geram. Apalagi setelah 

Pranata Kumala melepaskan pukulan Sinar Merahnya. 

Sinar Merah itu pun membuat Nyai Loreng kalang ka-

but. Dia menyadari bila tubuhnya terkena Sinar Merah 

itu akan mati dengan tubuh hangus. Apalagi setelah 

melihat pukulan sinar merah yang luput itu menerpa 

tembok yang menjadi bolong berantakan.

"Bocah setan! Mampuslah kau!" pekiknya keras dan 

menerjang kembali.

Pranata yang sejak tadi sudah mengetahui keheba-

tan dari Nyai Loreng pun segera mengimbanginya. Dia 

langsung membalas menyerang.

Pertarungan antara keduanya begitu hebat dan


sengit. Pranata tahu akan racun yang terdapat di ku-

ku-kuku Nyai Loreng amat berbahaya dan mematikan. 

Itulah sebabnya dia menjaga jarak agar Nyai Loreng ti-

dak bisa mendekatinya. Secara gencar dia pun mele-

paskan pukulan Sinar Merahnya sehingga Nyai Loreng 

harus bersalto ke sana ke mari menghindari Sinar Me-

rah yang tak kalah dahsyatnya.

Hingga suatu ketika dia bergulingan dan bersalto ke 

belakang. Sumpit di tangannya kini siap menjalankan 

fungsinya. Lalu diambilnya beberapa peluru dan dima-

sukkan ke mulutnya.

"Pranata! Kini terimalah kematianmu!" desisnya 

sambil memasang sumpit di mulutnya.

"Pranata!" seru Ki Madrim. "Hati-hati dengan sumpit 

itu. Peluru sumpit itu lebih berbahaya dari racun yang 

terdapat di kuku-kukunya!"

Pranata pun bersiap. Dia sendiri bisa menduga 

akan racun yang terdapat pada sumpit Nyai Loreng.

Dan 

"Plup! Sreeet!"

Peluru-peluru itu pun mulai berfungsi. Pranata 

hanya mengandalkan instingnya saja untuk menghin-

dar, karena peluru sumpit itu sukar dilihat dan diikuti 

oleh mata.

"Hihihi... menghindarlah kau sekuat kau bisa, Pra-

nata!" terkikik Nyai Loreng melihat Pranata Kumala 

menghindar.

Dan dia pun terus menyerang dengan gencar.

Kini ganti Pranata yang terdesak. Dia menghindar 

sebisanya. Walau sekali-sekali dia masih sempat mele-

paskan pukulan Sinar Merahnya.

Namun desakan-desakan yang dilakukan Nyai Lo-

reng lebih gencar dari pukulan Sinar Merah Pranata 

Kumala. Sebentar saja Pranata kembali terdesak.

Melihat keadaan suaminya yang terdesak, Ambar


wati segera memekik menyerang Nyai Loreng. Nyai Lo-

reng terkejut, dia menunduk dan berguling ketika pe-

dang Ambarwati siap menebas lehernya.

"Hup!"

"Nenek iblis! Mampus kau!" geram Ambarwati keras 

karena melihat suaminya nampak sudah kehabisan 

tenaga.

Kini dia yang menghadapi Nyai Loreng. Tetapi Nyai 

Loreng sendiri tidak mau membuang waktu lagi. Lang-

sung dia mengarahkan sumpitnya pada Ambarwati.

Ambarwatilah yang sekarang kalang kabut. Peluru-

peluru beracun itu demikian gencar menyerangnya. 

Melihat keadaan isterinya yang terdesak, Pranata sege-

ra membantu dengan pukulan Sinar Merahnya.

Dia merasa dapat kesempatan untuk bernafas dan 

menghimpun tenaga. Maka dia pun menyerang kemba-

li dengan gencar.

"Manusia-manusia keparat!" maki Nyai Loreng yang 

kembali menjadi kalang kabut dan sukar untuk mem-

balas. Dia terus mundur untuk menjaga jarak.

Namun serangan Sinar Merah yang dilepaskan Pra-

nata Kumala begitu gencar. Tiba-tiba dia bersalto ke 

belakang dan menghilang di balik pintu yang jebol.

"Nenek iblis!" bentak Pranata. "Jangan kabur, Nyai 

Loreng!" kejar Pranata Kumala.

Tetapi bayangan Nyai Loreng telah menghilang. 

Pranata kembali lagi ke ruangan itu.

Dia berkata pada Ki Madrim, "Kini semuanya sudah 

jelas, Ki... Nyai Loreng adalah manusia iblis yang ke-

jam dan sakti. Sayang... Suralaga dan Giri Lantang te-

lah mampus di tangannya..."

"Pranata... biar bagaimanapun keadaanku, aku ber-

terima kasih padamu. Nah, sebaiknya kita tinggalkan 

tempat ini sekarang juga!"

Ki Madrim bergerak mendahului. Namun mendadak


terdengar pekikannya yang keras luar biasa.

"Aaaakkkkkhhhh!"

Tubuh yang sudah bergerak itu mencelat ke bela-

kang bagai dihantam oleh satu dorongan angin yang 

kuat. Dan tubuh itu kelojotan keras.

Pranata Kumala dan Ambarwati terkejut. Mereka ti-

dak menyangka satu serangan gelap datang menerpa 

Ki Madrim.

Dan mereka baru menyadari setelah terdengar sua-

ra Nyai Loreng, "Hihihi... rasakanlah kematianmu, Ki 

Madrim! Nah, Pranata Kumala dan Ambarwati... sela-

mat tinggal dan sampai bertemu lagi!"

Rupanya Ki Madrim terkena peluru Sumpit Beracun 

Nyai Loreng. Karena tubuh itu kemudian meregang 

dan pecahlah seluruh urat nadinya hingga tubuh itu 

pun bermandikan darah dan mati dengan tubuh pucat 

pasi.

Pranata yang merasa Nyai Loreng telah meninggal-

kan tempat itu, melangkah mendekati Ki Madrim! Na-

mun tiba-tiba terdengar pekikan Ambarwati.

"Awaaaas, Kakang!"

Satu sosok tubuh mencelat dari luar menerjang ke 

arah Pranata Kumala. Pranata langsung bersalto ke 

belakang begitu merasakan angin besar mendekatinya.

Sosok itu memang Nyai Loreng. Setelah Pranata 

menghindar dengan gerakan cepat, Nyai Loreng me-

nyambar buntalan berisi emas permata yang terletak di 

dekat mayat Ki Madrim.

Lalu dia mencelat ke luar dan menghilang.

Hanya kikikannya yang menggema keras.

"Sampai ketemu lagi, Pranata dan Ambarwati!"

Pranata menggeram marah. Di samping kejam, ter-

nyata wanita iblis itu pun licik. Dia tak bisa mengejar 

Nyai Loreng karena tubuh itu telah menghilang bagai 

ditelan bumi.


Ambarwati mendekati suaminya.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?"

"Tidak, Rayi... tidak kusangka wanita itu demikian 

liciknya."

"Benar, Kakang. Dan kesaktiannya pun tinggi."

"Terutama racun pada kuku dan sumpitnya. Itu 

sangat berbahaya."

"Lalu apa tindakan Kakang selanjutnya?"

"Aku akan mencari Nyai Loreng, Rayi."

"Kalau itu maumu, Kakang... aku akan tetap me-

nemanimu..."

Pranata Kumala tersenyum. Lalu mengajak isterinya 

keluar dari sana untuk menyusuri jejak Nyai Loreng si 

penyebar mala petaka.

***

DELAPAN



Satu sosok berjubah putih dengan wajah arif dan 

bijaksana, melangkahkan kakinya dengan gerakan 

lambat. Matanya yang memancarkan sinar kebijaksa-

naan dan kasih sayang memperhatikan bangunan be-

sar itu.

Bangunan itu dikawal oleh beberapa orang penjaga. 

Sosok berjubah putih itu mendesah.

Lalu hati-hati dia mendekati bangunan yang tak 

lain tempat kediaman Juragan Seta Agung. Dua orang 

pengawal rumah itu menghampirinya dan saling me-

nyilangkan tombak.

Laki-laki berjubah putih itu tersenyum.

"Maaf... aku perlu bertemu dengan majikan kalian."

Salah seorang pengawal yang berwajah seram, me-

nyahut galak, "Siapa kau?"

"Namaku... Madewa Gumilang."


"Hhh! Ada keperluan apa kau bertemu dengan ma-

jikan kami?"

"Aku telah mendengar kabar yang buruk, di mana 

seorang tokoh jahat yang bernama Nyai Loreng hendak 

menyerang ke sini..." kata sosok berjubah putih itu 

yang memang Madewa Gumilang alias Pendekar 

Bayangan Sukma.

Dia keluar dari Perguruan Topeng Hitam, perguruan 

silat yang dipimpinnya warisan dari Paksi Uludara (Ba-

ca: Dewi Cantik Penyebar Maut), hendak mengikuti pe-

tualangan putra dan menantunya. Karena selama ini 

salah seorang murid Perguruan Topeng Hitam yang 

mengikuti petualangan putera dan menantunya tidak 

pernah memberi kabar. Murid itu bernama Pratama 

(Baca: Pertarungan Para Pendekar).

Selama pencariannya Madewa Gumilang alias Pen-

dekar Bayangan Sukma tiba di sebuah desa yang 

nampak hancur berantakan bagaikan dilanda angin 

topan yang amat dahsyat. Dari keterangan yang dida-

pat, desa itu telah diporak-porandakan oleh seorang 

nenek iblis yang mengaku bernama Nyai Loreng yang 

memiliki senjata sumpit yang amat berbahaya dan be-

racun.

Dari keterangan itu pula, Madewa mengetahui ka-

lau Nyai Loreng hendak menyerang dan membumi-

ratakan rumah Juragan Seta Agung dan merampok se-

luruh emas permata yang dimiliki hartawan itu.

Itulah sebabnya Madewa segera menuju Desa Bo-

jong Karta dan mencari rumah Juragan Seta Agung. Di 

antara rumah-rumah yang terdapat di sana, hanya se-

buah yang nampak besar dan kaya. Dugaan Madewa, 

tentu itulah rumah milik Juragan Seta Agung.

"Hei, Madewa!" kata pengawal itu dengan congkak. 

"Jangan coba-coba untuk berbohong! Mana ada orang 

yang berani menyerang kediaman Juragan Seta Agung,


hah?"

"Pengawal, aku tak punya banyak waktu! Biarkan 

aku menemui Seta Agung!" kata Madewa Gumilang.

"Tak semudah itu, Madewa! Kau..." pengawal itu 

menghentikan kata-katanya karena sosok tubuh di de-

pannya mendadak menghilang. Dia kaget. Dan tak me-

lihat Madewa telah melompati tubuhnya dan kini den-

gan santainya masuk ke bangunan besar itu. Pengawal 

tadi dari rasa sombong dan kaget berubah menjadi ke-

takutan. Dia melirik temannya yang juga tak kalah ka-

getnya. "Apa... apakah yang berdiri di hadapan kita ta-

di dedemit?"

"Aku... aku tidak tahu... sebaiknya kita menjaga sa-

ja lagi. Ah... untungnya dedemit itu tidak mengganggu 

kita."

Di dalam Madewa Gumilang tengah berhadapan 

dengan Juragan Seta Agung.

Seta Agung terbelalak ketika Madewa memperke-

nalkan dirinya.

"Madewa Gumilang? Pendekar Bayangan Sukma!" 

serunya kaget. Dia sudah lama mendengar nama pen-

dekar budiman itu yang sering dijuluki manusia dewa. 

Dan dia merasa beruntung karena bisa bertemu den-

gan pendekar budiman itu. Tiba-tiba dia bangkit dari 

kursinya dan menjura hormat, "Salam hormat buatmu, 

Pendekar Budiman. Selamat datang di kediamanku 

ini..."

Melihat majikan mereka nampak menghormat, para 

pengawalnya pun ikut-ikutan menghormat. Madewa 

menjadi tidak enak dengan sambutan yang seperti itu.

"Seta Agung... aku datang hanya memperingatkan 

padamu... kalau ada seorang nenek iblis yang akan 

menyerang rumahmu ini. Dia bernama Nyai Loreng..."

"Nyai Loreng! Madewa... hei!" Seta Agung terperanjat 

karena sosok Madewa Gumilang sudah tidak nampak


di matanya. Dia kagum luar biasa dengan kesaktian 

Pendekar Bayangan Sukma.

Dan dia pun percaya apa yang disampaikan Made-

wa tadi. Maka dia pun segera mengumpulkan para 

pengawalnya untuk berjaga di setiap penjuru.

***

Malam mulai larut. Dan rembulan nampak enggan 

untuk bersinar. Dia bersembunyi di balik awan hitam.

Satu sosok tubuh melompat dari satu dahan pohon 

ke dahan lain. Gerakannya lincah dan cepat. Sosok 

tubuh itu adalah Nyai Loreng.

Dia makin mendekati rumah milik Juragan Seta 

Agung. Dan tanpa menimbulkan suara, dia melum-

puhkan satu per satu pengawal yang ada di sana den-

gan sumpitnya.

Namun tanpa setahunya, dua pasang mata melihat 

perbuatannya. Keduanya tak lain Pranata Kumala dan 

Ambarwati, yang langsung mengikuti Nyai Loreng seca-

ra diam-diam.

"Kita bekuk manusia iblis itu, Rayi," desis Pranata 

Kumala.

Sementara Nyai Loreng makin asyik beroperasi. 

Membunuhi para pengawal itu dengan sumpitnya. Ke-

tika dia akan memasuki bangunan itu, terdengar ben-

takan,

"Nyai Loreng! Aksimu hanya sampai di sini saja!"

Nyai Loreng berbalik dan melihat Pranata Kumala 

dan Ambarwati di hadapannya.

Dia mendengus. "Hhh! Kalian rupanya memang in-

gin mampus!" desisnya marah.

Dan teriakan-teriakan itu menarik perhatian para 

pengawal di rumah Seta Agung. Begitu pula dengan 

Seta Agung. Dia melihat beberapa tubuh pengawalnya 

telah menjadi mayat. Dan di halaman ada tiga sosok


tubuh yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun begi-

tu melihat pakaian yang dikenakan Nyai Loreng ber-

warna loreng mirip kulit harimau, dia dapat menduga 

siapa adanya nenek itu. Pasti dialah yang bernama 

Nyai Loreng!

"Nyai Loreng keparat!" serunya. "Dengan maksud 

apa kau menyatroni rumahku dan membunuhi para 

pengawalku, hah?!"

"Hihihi... Seta Agung... serahkan emas permata mi-

likmu padaku! Cepat... bila tidak, akan kuratakan ru-

mahmu ini dengan tanah!"

"Tidak semudah itu, Nyai Loreng!" kata Seta Agung 

berani.

"Hihihi... tikus kecil punya nyali juga rupanya!" ben-

taknya. Dan tiba-tiba sumpitnya bergerak dengan ce-

pat. Dan pelurunya pun mendesing ke arah Seta 

Agung.

"Berguliiiiing!" terdengar seruan Pranata Kumala. 

Dan secara reflek Seta Agung menjatuhkan tubuhnya.

Pranata segera bersalto dua kali di udara dan me-

nyerang Nyai Loreng. Nyai Loreng berbalik dan me-

nyumpit.

"Sreet!"

Pranata tidak jadi untuk menyerang, dia melompat 

ke kiri, dan membalas dengan pukulan Sinar Merah-

nya.

Tiba-tiba terdengar seruan dari Seta Agung, "Ke-

pung nenek itu dan tangkap!"

Beberapa pengawal setianya segera bergerak. Men-

gurung. Namun mereka hanya mengantarkan nyawa 

dengan sia-sia. Dengan santai dan ringannya Nyai Lo-

reng menyumpit mereka satu per satu hingga tak ada 

yang tersisa. Semuanya mati dengan tubuh berdarah 

karena seluruh urat nadi mereka pecah.

Seta Agung menggeram marah separuh ngeri.


Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dia menjerit 

menerjang dengan hebat. Tetapi dari tempatnya, Nyai 

Loreng hanya menyumpit saja. Membuat Pranata lagi-

lagi menghentikan serangannya.

Tiba-tiba Pranata teringat akan Seruling Naga. Se-

ruling sakti pemberian ayahnya. Dia bermaksud hen-

dak menggunakan seruling itu, namun di sini masih 

ada isterinya, Seta Agung dan putera serta isterinya 

Seta Agung. Ini sangat berbahaya karena bila mereka 

mendengar alunan suara seruling itu mereka bisa mati 

kelojotan dengan telinga yang mengalirkan darah.

"Hihihi... kini tibalah saatnya kau mampus, Prana-

ta!" kata Nyai Loreng dan siap menyerang Pranata den-

gan peluru-peluru sumpitnya secara gencar.

Pranata pun menghindar dengan sebisanya. Semen-

tara Ambarwati tidak berani maju untuk membokong 

karena di malam yang cukup gelap ini, peluru Nyai Lo-

reng sangat sukar untuk diikuti oleh mata.

Mendadak suatu ketika Pranata terjatuh dan pelu-

ru-peluru sumpit Nyai Loreng siap untuk menjemput 

nyawanya.

"Kakaaaangg!" seru Ambarwati terkejut.

Pranata sendiri sudah sukar untuk menghindar. Ti-

ba-tiba sebuah kain putih mengibaskan peluru-peluru 

Nyai Loreng.

Dan kain putih itu berubah menjadi sebuah jubah. 

Di hadapan Pranata Kumala kini berdiri satu sosok 

berjubah putih.

Pranata terkejut melihatnya dan berseru, "Ayah!"

Sosok itu memang Madewa Gumilang. Sebenarnya 

sejak tadi Madewa melihat perkelahian antara pu-

tranya dengan Nyai Loreng. Namun dibiarkan saja. 

Hingga ketika putranya sudah kewalahan dan terdesak 

tak mungkin menghindar, dia pun maju memapaki pe-

luru-peluru Nyai Loreng dengan jubah putihnya.


Nyai Loreng sendiri menggeram marah.

"Orang berjubah putih! Siapa kau adanya?!"

"Aku... Madewa Gumilang, Nyai Loreng!"

"Madewa Gumilang!" ulang Nyai Loreng dengan sua-

ra yang terdengar terkejut. Tapi kemudian dia terkikik. 

Dia sudah lama mendengar tentang nama Madewa 

Gumilang, pendekar budiman yang sering dijuluki ma-

nusia dewa. "Hihihi... selamat berkenalan denganku, 

Madewa Gumilang... sudah lama kudengar namamu 

dan sudah lama pula aku ingin mencoba kesaktianmu, 

Madewa!"

"Ah, aku tidak sehebat yang kau kira, Nyai Loreng. 

Aku hanyalah manusia biasa."

"Tidak percuma kau dijuluki pendekar budiman, 

Madewa. Sikapmu begitu arif dan merendah."

"Kau hanya mendengar namaku dari orang-orang 

saja, Nyai Loreng..."

"Madewa... sekali lagi kukatakan, aku sudah lama 

ingin mencoba kesaktianmu! Nah, terimalah tantan-

ganku ini!" seru Nyai Loreng sambil menerjang hebat. 

Kedua tangannya terbuka. Kuku-kuku beracunnya 

siap untuk menghunjam.

Namun yang dihadapinya ini adalah manusia dewa, 

dengan mudah saja Madewa menghindari serangan 

berbahaya dari Nyai Loreng dengan jurus Ular Melo-

loskan Diri.

"Jangan hanya bisa menghindar saja, Madewa!"

"Nyai Loreng... kekejamanmu sudah nampak di ma-

taku. Kau begitu telengas dan kejamnya! Baik, aku 

akan memberi pelajaran untukmu!" kata Madewa dan 

membuka jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Mendadak 

tangannya bergerak sangat cepat dan kelihatannya 

menjadi banyak. Nyai Loreng sendiri menghindar dan 

membalas. Madewa dapat merasakan hawa panas yang 

keluar dari kuku-kuku Nyai Loreng. Berarti kuku


kuku itu mengandung racun.

Madewa pun mengganti jurusnya dengan Pukulan 

Tembok Menghalau Badai. Nyai Loreng sendiri kaget 

ketika merasakan desiran angin yang kuat yang ditim-

bulkan oleh pukulan itu.

"Des!" suatu saat dadanya berhasil digedor oleh pu-

kulan itu. Sadarlah kini Nyai Loreng akan kehebatan 

Pendekar Bayangan Sukma. Dia pun tak mau bertin-

dak tanggung-tanggung lagi. Langsung dipasangnya 

sumpitnya dan dia pun mulai meniup menyerang Ma-

dewa.

Madewa menghindari serangan itu. Dengan ilmu 

Pandangan Menembus Sukmanya dia dapat melihat la-

ju peluru-peluru itu hingga dengan mudah dia berhasil 

menghindar.

Hal ini membuat Nyai Loreng menjadi geram. Dia 

menghentikan menyumpitnya. Dan mengambil bebe-

rapa peluru yang terbuat dari emas. Keajaiban peluru 

itu bisa seperti mata, karena bila belum mengenai sa-

sarannya, peluru itu akan mengejar terus.

Dan itu pun dialami oleh Madewa Gumilang. Dia 

menghindar ke mana pun peluru itu mengikutinya. 

Nyai Loreng terbahak. Madewa mendengus. Dia berpi-

kir mengapa peluru ini bisa seperti mempunyai mata. 

Dan tiba-tiba sekali Madewa bergerak ke arah Nyai Lo-

reng sementara peluru-peluru itu terus mengikutinya. 

Nyai Loreng sendiri kaget. Dia bergerak ke kiri. Dan 

Madewa pun bergerak ke kiri. Dan secepat kilat dia 

bergulingan di tanah. Peluru yang mengikutinya itu 

begitu dekat jaraknya dengan Nyai Loreng. Dan tanpa 

ampun lagi peluru-peluru itu mengenai tuannya sendi-

ri.

Terdengar pekikan keras yang menyayat hati.

Tidak lebih dari lima detik, tubuh itu telah menjadi 

hangus secara mengerikan.


Madewa mendesah panjang. Lalu diambilnya sumpit 

di tangan Nyai Loreng. Dia mencoba memusnahkan-

nya, namun gagal. Berkali-kali dia pukul sumpit itu 

tak pecah. Bahkan Pukulan Tembok Menghalau Badai 

pun sedikit juga tak membuat sumpit itu retak.

Madewa merasa sumpit itu harus dimusnahkan. 

Dan tiba-tiba dia merangkul kedua tangannya di dada 

hingga mengeluarkan asap berwarna putih. Itulah Pu-

kulan Bayangan Sukma miliknya, pukulan pamungkas 

yang belum ada duanya di dunia persilatan. Dan dia 

pun mengayunkan tangannya ke arah sumpit itu.

Terdengar suara ledakan keras. Dan sumpit itu 

hancur berantakan.

Lagi Madewa mendesah. Lalu melangkah pada pu-

tra dan anak menantunya.

"Ayah!" seru Pranata dan Ambarwati bersamaan.

"Ayah cuma minta... masihkah kalian hendak me-

neruskan petualangan kalian?"

"Sampai kapan pun, Ayah! Kami akan meneruskan 

petualangan ini!"

"Bila itu mau kalian, teruskanlah! Pesan ayah, hati-

hati!" Dan tubuh itu pun tiba-tiba menghilang, bagai 

ditelan bumi.

Pranata mendesah. Lalu menghampiri Seta Agung 

yang sedang meratapi mayat-mayat para pengawalnya. 

Setelah bercakap-cakap sebentar, lalu Pranata dan is-

trinya pun meninggalkan tempat itu.



                         TAMAT




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive