SUMPIT NYAI LORENG
Oleh Fahri A.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma dalam episode:
Sumpit Nyai Loreng
SATU
Pagi itu udara cerah. Kicau burung menyambut da-
tangnya sang surya. Belahan dunia telah disinari oleh
sang surya tak pernah berhenti bekerja atau mengeluh
sedikit pun.
Di sebelah barat sana, Gunung Kelud berdiri den-
gan megahnya. Puncaknya ditutupi oleh kabut yang
cukup tebal. Gunung itu bagaikan makhluk raksasa
yang sedang tidur. Dan sekali-sekali bisa murka den-
gan memuntahkan lahar yang sangat panas.
Pelan-pelan angin mencoba mengusir kabut yang
tebal itu. Namun agaknya kabut itu masih enggan un-
tuk pergi dari puncak Gunung Kelud.
Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh menung-
gang kuda mendekati tempat itu. Melihat dari cara ke-
tiganya berpakaian yang ringkas dan sebilah pedang di
punggung, menandakan ketiganya orang-orang yang
memiliki kepandaian ilmu silat.
Di salah seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang
yang berwajah kelimis, nampak sebuah buntalan besar
berwarna hitam.
Orang itu menghentikan laju kudanya.
"Sebaiknya kita beristirahat saja dulu di sini, Ka-
wan-kawan," katanya seraya melompati kudanya. Lalu
merentangkan kedua tangannya yang terasa pegal dan
memat (Editor: memat?).
Kedua temannya pun segera melompat dari kuda
mereka. Keduanya pun berbuat yang sama dan meng-
hirup udara pagi.
"Kita sudah dua hari dua malam melakukan perja-
lanan ini menuju Desa Bojong Karta," kata laki-laki
berwajah kelimis yang bernama Bahar.
"Benar, Bahar... kita harus memulihkan tenaga kita
dulu," kata kawannya yang bernama Langgono, sambil
menggeliatkan tubuhnya.
"Setelah beristirahat, kita sebaiknya langsung saja
menuju Desa Bojong Karta, Bahar," kata yang bernama
Galur. "Sebaiknya ku pikir lebih cepat lebih baik. Ka-
rena kita masih ada satu tugas lagi, untuk mengantar-
kan emas permata itu ke Kepala desa di Desa Glagah
Mentari."
Bahar pun mengangguk.
Ketiga orang itu adalah suruhan dari Ki Madrim,
tukang emas dan permata untuk membawa dan men-
girimkan barang-barangnya kepada pemesannya yang
tinggal di Desa Bojong Karta dan Glagah Mentari.
Ketiganya memang selalu berhasil secara baik men-
girimkan barang-barang pesanan itu. Mereka pun ser-
ing mengalami gangguan dari orang-orang jahat di per-
jalanan yang hendak merebut emas permata yang me-
reka bawa. Namun selama ini, mereka berhasil menye-
lamatkannya.
Ketiga orang itu pun mencari sungai untuk mem-
bersihkan diri. Setelah itu mereka mencari buah-
buahan yang banyak terdapat di tepi hutan itu.
Selagi mereka asyik menikmati buah-buahan itu,
tiba-tiba terdengar suara terkikik di dekat mereka. Ke-
tiganya menoleh, dan melihat seorang nenek yang ber-
diri tidak jauh dari mereka.
Diam-diam ketiganya kagum karena kedatangan
nenek itu tidak terdengar sama sekali.
"Selamat pagi, Nek..." sapa Bahar yang memang di
samping sebagai penjaga dan pengirim barang juga
memiliki jiwa yang baik hati.
Nenek itu terkikik.
"Hikhikhik... aku tidak lapar..."
"Kalau begitu, biar kami makan dulu, Nek..."
"Hikhikhik... teruskanlah makan kalian. Tetapi aku
cuma minta buntalan yang ada di kudamu itu..." kata
nenek itu lagi.
Mendengar kata-kata nenek itu ketiganya menjadi
bersiaga. Perlahan-lahan ketiganya pun bangkit.
Namun Bahar masih berkata dengan suara yang
sabar "Maafkan kami, Nek... kami tidak bisa memberi-
kan buntalan ini pada nenek..."
"Hikhikhik... kalau begitu... aku akan merebutnya
dari kalian!" kata nenek itu lagi, kali ini suaranya ter-
dengar angker.
Bahar yang mencoba bersabar, menjadi tidak enak
mendengar suara dan nada bicara nenek itu. Dia pun
menjadi makin bersiaga. Begitu pula dengan Langgono
dan Galur.
"Nek!" Galur buka suara. "Kami tidak menanamkan
bibit permusuhan dengan nenek... dan hari ini kami
pun tidak sedang memetik hasil dari permusuhan itu...
mengapa nenek begitu memaksa untuk mengambil
buntalan yang tak ada barang berharga itu?!"
Nenek itu terkikik.
"Kalian lucu sekali... aku tahu apa yang terdapat
dalam buntalan itu. Emas permata, bukan? Nah, di
pagi ini... aku... Nyai Loreng meminta kepada kalian
secara baik-baik agar buntalan itu diberikan kepada-
ku, hah!"
"Nek! Kami sudah katakan, kami tidak menanam
bibit permusuhan denganmu!"
"Jangan panggil aku nenek! Namaku Nyai Loreng!"
seru nenek itu dengan sengit. Dia mengenakan pa-
kaian yang berwarna loreng, mirip kulit harimau. Den-
gan kain yang berwarna hitam legam.
"Nyai Loreng... dengan berat hati, kami tidak bisa
memberikan buntalan ini padamu..."
"Kalau begitu... kalian akan merasakan akibatnya
dari kekeraskepalaan kalian ini!"
"Kami siap untuk menyabung nyawa demi memper-
tahankan buntalan ini!" kata Bahar gagah.
"Hihihi... kalian mencari mati rupanya! Baik, tahan
seranganku!"
Setelah berkata begitu, Nyai Loreng menyerang den-
gan cepat. Jari-jarinya yang berkuku panjang men-
gembang. Siap menghujam di jantung mereka.
Namun ketiganya adalah pengirim-pengirim barang
pilihan. Sudah tentu serangan dari Nyai Loreng berha-
sil mereka hindari. Dan secara serempak ketiganya
pun menerjang.
Namun di luar dugaan ketiganya, nenek peot yang
sudah tua dan nampak lemah itu dapat bergerak den-
gan gesit. Dia bersalto dua kali ke belakang. Lalu begi-
tu kakinya hinggap di tanah dia menderu maju menye-
rang kembali.
Kali ini lebih cepat dan lebih gencar.
Membuat ketiganya menjadi kaget. Dan secara se-
rentak ketiganya mencabut pedang karena merasa
Nyai Loreng memiliki kemampuan yang teramat lihai
dan hebat.
Di tempat itu pun terjadilah pertarungan yang sen-
git antara ketiganya melawan Nyai Loreng. Nyai Loreng
sendiri nampak terkekeh-kekeh menghadapi serangan-
serangan itu.
"Hihihi... rupanya hanya begitu saja kemampuan
kalian, hah?! Kalian tidak layak menjadi pengirim ba-
rang emas permata! Kalian lebih patut menjadi penjaga
WC saja!"
Mendengar kata-kata itu, ketiganya semakin berin-
gas. Namun sampai sejauh itu Nyai Loreng dapat
menghindar, bahkan membalas menyerang dengan he-
bat dan gencar.
Kuku-kukunya yang runcing dan tajam berkelebat
ke sana-ke mari.
"Hihihi... hati-hati kalian! Sekali tergores ujung ku-
kuku, kalian akan menderita seumur hidup ataupun
mati dengan mengerikan! Kukuku ini mengandung ra-
cun buaya putih!"
Ketiganya pun semakin berhati-hati.
Tiba-tiba terdengar lengkingan keras Nyai Loreng
dan menyerang Langgono bertubi-tubi.
"Sreeet!"
Kuku di tangan kanannya mengoyak baju bagian
dada Langgono yang teramat terkejut. Dia menekap
darah yang mengalir.
Mendadak dirasakannya gatal yang teramat luar bi-
asa menyerang sekujur tubuhnya. Langgono menjadi
menggaruk-garuki seluruh tubuhnya dengan gatal
yang teramat menyengat.
Karena gatalnya dan karena kuatnya dia mengga-
ruk, sebentar saja terlihat warna memerah di seluruh
kulitnya. Dan kulit itu pun terkupas mengeluarkan da-
rah.
"Hihihi... itulah khasiat racun buaya putih yang ku
oleskan di ujung kuku-kukuku!" terkikik Nyai Loreng
melihat salah seorang lawannya tengah berusaha ke-
ras untuk melawan rasa gatal yang teramat menyen-
gat.
Melihat kawan mereka nampak begitu tersiksa, Ba-
har dan Galur menggeram marah. Lalu keduanya pun
kembali menyerang Nyai Loreng dengan gencar.
Pedang yang ada di tangan mereka menyambar ke
sana-ke mari dengan hebat. Siap mencabut nyawa
Nyai Loreng.
Namun sampai sejauh itu tak satu pun pedang me-
reka yang berhasil mengenai sasarannya. Hal ini se-
makin membuat mereka kesal, jengkel dan panik. Apa-
lagi keduanya nampak sudah kepayahan dan mulai
kehabisan tenaga.
Nyai Loreng terkekeh.
"Hihihi... rupanya kalian cuma pantas berlari seben-
tar... karena nafas kalian sudah ngos-ngosan seperti
itu!"
"Nenek keparat! Kubunuh kau!" seru Bahar geram
dan menyerang kembali. Dia sudah mengeluarkan se-
genap kemampuannya untuk menjatuhkan dan men-
galahkan nenek peot itu.
Sama halnya dengan Galur yang sudah mengelua-
rkan pula segenap kemampuannya.
Namun sampai sejauh itu, Nyai Loreng belum pula
berhasil mereka kalahkan. Bahkan terdesak pun tidak.
Kini keduanya sadar siapa lawan yang tengah mereka
hadapi.
Nyai Loreng sendiri tetap saja dengan santai meng-
hindari setiap serangan yang datang. Bahkan dia pun
mulai membalas kembali.
Serangannya aneh dan berbahaya. Kadang-kadang
tubuhnya berkelebat bagaikan burung, kadang berge-
rak selicin belut. Dan kuku-kuku beracunnya siap
menghadang dan mengundang nyawa keduanya untuk
pergi ke akhirat.
"Hihihi... apa kalian sudah merasa tidak mampu
menghadapiku?"
"Nenek busuk! Kami akan mengadu nyawa den-
ganmu!" seru Galur.
Sementara tubuh Langgono semakin banyak men-
geluarkan darah akibat digaruk yang begitu keras. Ra-
sa gatal itu amat menyengat dan tidak terhenti-henti
menyiksanya. Bahkan semakin digaruk terasa semakin
gatal.
Dia menjadi putus asa. Dan tubuhnya sudah sema-
kin terasa tersiksa. Dengan nekat dia pun menggigit li-
dahnya hingga putus. Darah pun mengalir dengan he-
bat. Dan tubuhnya itu pun meregang, lalu nyawanya
putus meninggalkan jasadnya.
Melihat kenyataan itu, membuat Bahar dan Galur
semakin nekat. Mereka pun menyerang dengan ganas.
Tiba-tiba Nyai Loreng bergerak dengan cepat.
Dan
"Des!"
"Des!"
Tangannya memukul tangan keduanya hingga pe-
dang yang ada di genggaman mereka terlepas.
"Hihihi... kini kalianlah sasaran uji coba Sumpit Ra-
cun yang telah kuciptakan!" desisnya sambil mengelu-
arkan sebatang sumpit kecil yang berwarna loreng pu-
la. Lalu dia pun mengambil pelurunya yang terdapat di
kantung kecil yang tercantel di pinggangnya. Dan me-
masang nya pada sumpitnya. "Kini bersiaplah kalian
untuk menerima ajal kalian!"
"Tahan!" kata Bahar.
"Hihihi... rupanya kau takut mati juga? Nah, cepat-
lah serahkan buntalan yang berisi emas permata itu
padaku? Bila tidak... kalian pun akan mampus mengi-
kuti teman kalian itu!"
"Nenek... kami tak punya permusuhan denganmu.
Dan kami tak punya masalah denganmu! Kenal pun
baru sekarang ini!" kata Bahar mencoba mengulur
waktu. Dia tengah berpikir untuk menyerang kembali,
namun melihat dulu di mana titik kelemahan dari ne-
nek itu.
"Itu bukanlah suatu masalah!"
"Nenek... untuk apa kita harus saling menanamkan
bibit permusuhan! Biarkan kami pergi... dan kami tak
akan menuntut balas pada kematian kawan kami itu!"
"Hihihi... kalian boleh pergi... bila kalian mau me-
nyerahkan buntalan hitam itu padaku!"
"Tidak! Sampai mati pun tak akan kami serahkan!"
seru Galur.
"Bagus! Berarti kalian setuju dengan kematian yang
akan kulepaskan pada kalian!"
"Tunggu!" kata Bahar yang melihat nenek itu sudah
memasang sumpit di ujung bibirnya. "Nyai Loreng...
kuminta sekali lagi, biarkan kami pergi. Dan kamu
pun pergi secara damai..."
"Kalian memang boleh pergi sejak tadi, tapi ingat,
buntalan itu harus kalian tinggalkan..."
"Nyai Loreng... sejak tadi kami mencoba untuk tidak
menanamkan bibit permusuhan... tetapi agaknya kau
sulit untuk menerimanya. Dan kami pun tak akan be-
gitu mudah memberikan apa yang kau minta ini..."
"Bagus!"
Tiba-tiba saja Bahar menyerang dengan pukulan lu-
rus ke muka. Begitu pula dengan Galur. Namun tubuh
keduanya tiba-tiba terpental kembali. Dan jatuh ke ta-
nah.
Sumpit yang dipegang Nyai Loreng sudah menjalan-
kan fungsinya. Dua pelurunya menancap ke tubuh
masing-masing.
Kedua tubuh itu kelojotan menahan sakit yang luar
biasa. Dan tubuh keduanya bergulingan. Tiba-tiba
sangat tiba-tiba sekali seluruh urat nadi keduanya pe-
cah, dan darah segar pun berhamburan. Tidak lebih
dari lima detik, nyawa keduanya pun terlepas.
Nyai Loreng terkikik.
"Bukan main, racun yang kuciptakan ini hebat! He-
bat, hebat sekali! Dan aku pun menemukan senjata
ampuh untuk melepaskannya! Sumpit! Hihihi... sumpit
beracun Nyai Loreng!"
Lalu nenek itu pun mengambil buntalan hitam yang
ada di kuda Bahar. Lalu dia melesat pergi meninggal-
kan kikikannya.
***
DUA
Juragan Seta Agung adalah orang yang paling kaya
di Desa Bojong Karta. Di samping kekayaannya yang
melimpah, Juragan Seta Agung juga seorang yang pe-
murah dan baik hati. Dia memiliki rumah yang sangat
besar. Dengan seorang istri dan dua orang putrinya
yang jelita.
Juragan Seta Agung juga memiliki banyak pengawal
yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepan-
daian.
Dan pagi ini, di tempat kediamannya, Juragan Seta
Agung tengah menanti kedatangan orang-orang yang
hendak mengantarkan pesanannya. Seharusnya ba-
rang itu sudah tiba kemarin, namun satu harian dia
menunggu, orang-orang yang mengantarkan pesanan-
nya tidak muncul juga.
Barangkali saja hari ini orang-orang itu baru mun-
cul.
"Apakah perjanjiannya saat itu tepat, Tuan?" tanya
salah seorang pengawalnya yang bernama Suralaga.
Dia seorang ahli yang pandai memainkan sepasang
tombaknya yang bermata tiga.
"Tidak salah. Pesanan itu seharusnya telah datang
kemarin. Tapi nyatanya... sampai hari ini pun belum
tiba," kata Juragan Seta Agung. "Hmm... tidak seperti
biasanya Ki Madrim telat begini..."
"Barangkali para pengantar barang itu mendapat
gangguan di jalan, Tuan."
"Mungkin... tapi selama ini, para pengantar barang
pesanannya adalah orang-orang pilihannya yang gagah
perkasa."
"Atau... maafkan aku, Tuanku," kata Suralaga
menghormat. "Mungkinkah para pengirim barang itu
berkhianat sendiri pada Ki Madrim?"
Sepasang mata Seta Agung berkilat-kilat. Dia tidak
memikirkan kemungkinan itu. Mengapa tidak? Ini bisa
saja terjadi. Mengingat barang-barang pesanan itu
adalah emas dan permata.
Akhirnya karena Seta Agung sudah merasa mem-
bayar uang muka dan dia tidak mau terlibat kerugian,
dia pun mengirimkan Suralaga dan Giri Lantang men-
datangi Ki Madrim. Di samping itu, juga ingin memas-
tikan apakah barang-barang pesanan itu memang su-
dah dikirimkan atau belum.
Lalu berangkatlah Suralaga dan Giri Lantang den-
gan menunggang sepasang kuda hitam yang gagah
perkasa. Pagi masih bersatu dengan butir embun saat
keduanya memacu kuda mereka dengan cepat.
Karena terus menerus memacu kudanya dengan
cepat, maka menjelang malam tibalah keduanya di de-
sa kediaman Ki Madrim. Keduanya segera mengarah-
kan kuda-kuda mereka ke sebuah rumah yang nam-
pak cukup besar.
Para pengawal Ki Madrim yang telah mengenal ke-
duanya sebagai pengawal dari Juragan Seta Agung.
Karena setiap kali Seta Agung memesan emas permata,
keduanya selalu menemaninya.
Makanya tanpa susah-susah keduanya sudah me-
masuki halaman rumah besar itu. Lalu salah seorang
pengawal di sana, mengantar mereka menjumpai Ki
Madrim.
Ki Madrim seorang laki-laki berusia 60 tahun.
Janggut dan kumisnya berwarna putih, cukup lebat.
Di kedua pergelangan tangannya terdapat sepasang ge-
lang bahar. Rambutnya yang tergerai panjang dikuncir
mirip perempuan.
Dia menyambut Suralaga dan Giri Lantang dengan
senyum dan kedua tangan terbuka.
"Hahaha... pengawal-pengawal perkasa? Bagaimana
kabar dari Tuan Seta Agung?" sapanya akrab. "Mari,
mari silahkan duduk!"
Kedua utusan dari Seta Agung itu duduk.
Ki Madrim tertawa kembali. "Bagaimana? Apakah
kedatangan kalian ke sini untuk memesan kembali
emas dan permata? Hahaha... kalian memang tidak sa-
lah tempat mendatangi tempatku ini. O ya, bagaimana
dengan Tuan Seta Agung? Puaskah beliau dengan pe-
sanan yang beliau pesan itu?"
Suralaga dan Giri Lantang saling berpandangan. Bi-
la Ki Madrim berkata begitu, berarti barang-barang pe-
sanan itu sudah dikirim.
Untuk menegaskannya Suralaga berkata, "Ki...
maafkan kami berdua yang telah lancang datang ke
mari."
"Hei, apa maksudmu, Suralaga?"
"Ki... pesanan yang majikan kami pesan kepada
mu... sampai hari ini belum tiba di tangan majikan
kami..."
"Tidak mungkin, tidak mungkin!" seru Ki Madrim
yang tadi di terlihat sedikit tegang.
"Kami tidak bicara bohong, Ki... kedatangan kami
kesini pun ingin menanyakan... apakah barang-barang
itu sudah dikirimkan?"
Wajah Ki Madrim tampak pias. Dan sebentar saja
keringat sudah keluar membasahi wajahnya.
"Sudah, sudah dikirim. Seminggu yang lalu barang
itu dikirim..."
"Siapa yang mengantarkannya, Ki?"
"Seperti biasa. Bahar, Langgono dan Galur. Mereka
adalah pengawal-pengawalku yang teramat setia..."
"Maafkan aku, Ki... apakah tidak mungkin mereka
mengkhianatimu?"
Ki Madrim mengelap keringatnya. Dia menggeleng
geleng cepat. "Tidak, tidak mungkin... mereka telah
bekerja padaku hampir tujuh tahun. Dan sekali pun
aku tak pernah mendengar tentang kecurangan mere-
ka terhadapku. Jadi tidak mungkin mereka akan
mengkhianatiku..."
"Tapi kalau begitu... mengapa barang-barang yang
kami pesan tidak sampai di tempat kami? Itu pun ka-
lau omonganmu benar, Ki..."
"Suralaga! Apa maksudmu?" tanya Ki Madrim den-
gan suara yang agak keras karena dia mendengar sua-
ra Suralaga mengandung nada mencurigai.
Suralaga hanya tersenyum dan mengangkat ba-
hunya. Lalu sambil menyeringai dia berkata, "Ki Ma-
drim... tadi kau mengatakan betapa setianya para pen-
gawalmu itu... dan tak mungkin mereka mengkhiana-
timu. Tapi aku jadi bertanya, mungkinkah kalau ba-
rang itu tidak kau kirimkan?"
"Suralaga! Jaga ucapanmu!" geram Ki Madrim gu-
sar. Secara terang-terangan Suralaga telah menuduh-
nya. Dan dia tidak terima. Darahnya pun mendidih
mendengar kata-kata Suralaga tadi.
"Ki Madrim... mengapa pesanan itu tidak sampai
kepada kami? Kau jangan coba-coba bermain api den-
gan kami! Selama ini hubungan antara kau dengan
majikan kami begitu utuh, sempurna dan teramat
baik. Namun kayaknya kau sudah mulai bermain api
dengan semua ini. Nah, Ki Madrim... kami ke mari in-
gin meminta tanggung jawabmu, atau mengembalikan
uang majikan kami yang telah separuh dibayar..."
Wajah Ki Madrim merah padam. Tetapi dia sadar,
kalau kedua orang ini jelas-jelas menuduhnya berbuat
curang. Ki Madrim mencoba menahan amarahnya.
"Suralaga... ketiga pengawalku itu kutugaskan pula
ke Desa Glagah Mentari. Mungkin saja mereka ke sana
lebih dulu..." kata Ki Madrim.
"Hmm... ke sana lebih dulu? Apakah mereka hen-
dak memutar dan mengambil jalan yang terjauh, Ki?"
kata Suralaga dengan tatapan mengejek.
Tiba-tiba terdengar tapak kaki memasuki tempat
itu. Seorang pengawal Ki Madrim muncul kembali den-
gan dua orang muda mudi.
Kedua remaja itu menghaturkan hormat pada Ki
Madrim.
"Jaka Raga dan Intan Wulan!" sapa Ki Madrim. "Si-
lahkan... silahkan duduk. Apa kabar Desa Glagah
Mentari?"
"Desa kami tetap dalam keadaan aman sentosa, Ki,"
kata Jaka Raga. Dia seorang pemuda yang berwajah
tampan. Dia memakai pakaian berwarna hitam yang
ringkas.
Di sampingnya duduk Intan Wulan. Dia seorang ga-
dis yang cantik jelita. Dengan kulit yang kuning lang-
sat.
"Ada apa gerangan hingga kalian berdua datang ke
sini?"
"Maafkan kami, Ki... kedatangan kami atas suruhan
dari Kepala desa kami, Ki Santika..."
"Hmmm..." Ki Madrim mendehem. Mendadak saja di
benaknya dia merasa kejadian yang sama seperti utu-
san dari Seta Agung. Tetapi Ki Madrim berpura-pura
tidak tahu. "Apakah beliau hendak memesan emas
permata kembali?"
"Maafkan kami, Ki... sebenarnya kedatangan kami
hendak menanyakan... mengapa barang yang dipesan
oleh Ki Santika sampai saat ini belum tiba?"
"Belum tiba?"
"Benar, Ki. Kami ingin mencari tahu ke sini. Apakah
barang itu sudah dikirim?"
"Belum dikirim? Ah, aku sudah mengirimkan ba-
rang pesanan itu," kata Ki Madrim. Dia melirik Surala
ga yang tersenyum mengejek.
"Benar, Ki... hingga sekarang barang itu belum tiba
juga..."
Belum lagi Ki Madrim berkata, Suralaga sudah me-
motong, "Nah... bagaimana, Ki? Apakah dugaanku sa-
lah tadi?"
Ki Madrim menghapus keringatnya. Dia sangat ma-
lu akan kejadian ini. Dan yang dikuatirkannya para
langganannya akan menjadi tidak percaya kepadanya.
"Saudara-saudaraku... maafkan aku terlebih dahu-
lu. Percayalah... barang-barang pesanan itu sudah ku-
kirimkan melalui tiga pengawal kepercayaanku..."
"Tapi hingga sekarang barang-barang itu belum ti-
ba, Ki..." kata Jaka Raga.
Kembali Ki Madrim mengusap keringatnya. Bila ma-
salahnya begini ini merupakan suatu problem yang
cukup besar dan pelik baginya. Dan dia tidak mau
menanggung malu dari semua ini.
Lalu dia pun bangkit.
"Kalau begitu... sebentar..." dia pun beranjak ke
kamarnya. Lalu keluar lagi. Dan duduk kembali di ha-
dapan para tamunya. "Saudara-saudara sekalian...
aku tidak mau memperpanjang urusan ini. Nah, sam-
paikan salah maafku kepada majikan kalian. Sebagai
gantinya... uang muka yang telah dibayarkan oleh ma-
jikan-majikan kalian kuganti saja..."
Para utusan itu pun segera menerimanya. Mereka
pun tak mau memperpanjang masalah ini. Karena bagi
mereka yang penting sudah mendapat kejelasan dari
Ki Madrim.
Dan mendapatkan uang muka itu kembali. Itu saja!
Lalu para utusan itu pun segera meninggalkan
tempat itu.
Meninggalkan Ki Madrim yang menjadi termenung
sendiri. Ada apakah sesungguhnya hingga barang
barang pesanan itu belum tiba di tempatnya? Apakah
dugaan Suralaga menjadi kenyataan, orang-orang ke-
percayaannya mengkhianatinya?
Ki Madrim tidak tega menuduh seperti itu. Karena
dia yakin akan kesetiaan dan kepatuhan, Bahar, Lang-
gono dan Galur. Mereka memang selalu bertugas un-
tuk mengantarkan barang-barang pesanan. Dan hasil
yang mereka lakukan cukup memuaskan. Mengapa
mendadak saja sekarang barang-barang itu tidak tiba
di tempatnya?
Ataukah... ada kejadian yang menimpa mereka di
jalan? Mungkinkah mereka dibegal perampok? Tapi Ki
Madrim pun yakin dengan kemampuan mereka. Ten-
tunya mereka dapat mengatasi segala rintangan. Se-
perti biasanya!
Tetapi mengapa sekarang barang-barang itu belum
tiba?
Ki Madrim lalu menyuruh beberapa pengawalnya
untuk segera berangkat mencari ketiga orang itu.
Malam ini juga!
***
TIGA
Lima orang yang ditugaskan untuk mencari ketiga
pengirim barang yang mendadak hilang itupun segera
memacu kuda-kuda mereka. Kuda-kuda itu dibawanya
untuk menyelusuri jalan-jalan yang biasa dilalui oleh
mereka.
Menjelang pagi, mereka tiba di perbatasan Desa Bo-
jong Karta dan menghentikan kuda-kuda mereka di
tepi hutan kecil.
Biasanya di tempat ini para pengawal itu beristira-
hat. Karena mereka sudah mendapat ancar-ancarnya
dari Ki Madrim.
Dan betapa terkejutnya mereka ketika mendadak di
mata mereka terlihat tiga sosok mayat. Mayat-mayat
itu keadaannya teramat mengerikan. Serentak mereka
turun dari kuda dan memeriksa mayat-mayat itu.
"Hei, ini adalah kawan-kawan kita!" seru salah seo-
rang yang bernama Jayengmoko.
"Ya ampun... keadaan mereka begitu mengerikan
sekali!"
"Siapa gerangan yang telah membunuh mayat-
mayat ini?"
"Tentunya seorang yang sakti dan teramat kejam!
Kalian lihat tubuh Langgono, yang terluka sekujur tu-
buhnya dan dibanjiri darahnya sendiri. Juga tubuh
Bahar dan Galur yang tak kalah menyedihkan..."
"Sebaiknya kita bawa saja sekarang mayat-mayat
ini kepada Ki Madrim. Biar mereka tahu apa yang se-
sungguhnya telah terjadi..."
Ketiga mayat itu pun segera diangkut ke kuda. Dan
dibawa ke Ki Madrim.
Sudah tentu Ki Madrim teramat terkejut. Dia tidak
menyangka hal ini akan terjadi.
"Jahanam! Siapa yang telah berbuat begini kejam
terhadap mereka?!" serunya marah. "Dan tentunya
orang itu amat sakti!"
"Benar, Ki... Tubuh ketiganya mati dengan mengeri-
kan..."
Tiba-tiba di luar terdengar keributan. Matahari baru
saja muncul. Memancarkan sinarnya ke seluruh du-
nia.
Suara ramai-ramai itupun berubah menjadi pekikan
dan jeritan.
Serentak Ki Madrim dan lima orang pengawalnya itu
keluar.
Mereka melihat seorang nenek berbaju loreng ten
gah asyik membantai para pengawal yang menyerang
mereka. Melihat hal itu Ki Madrim segera berseru,
"Tahan!"
Seruannya itu menghentikan sepak terjang memati-
kan dari nenek yang tak lain Nyai Loreng.
Nyai Loreng terkikik.
"Hihihi... akhirnya kau keluar juga, Ki Madrim!" se-
runya.
Ki Madrim mendengus. Dia merasa belum mengenal
nenek yang kejam ini.
"Hhh! Nenek... mengapa kau berbuat seperti ini?"
tanyanya sambil memperhatikan beberapa tubuh pen-
gawalnya yang telah menjadi mayat. Dan sebagian lagi
telah mengurung nenek itu dengan senjata terhunus,
siap untuk bergerak.
"Hihihi... kakek... kaukah yang bernama Ki Ma-
drim?"
"Betul! Akulah Ki Madrim. Dan kau siapa adanya
yang begitu telengas dan kejam membuat onar di pagi
ini?!"
"Hihihi... namaku Nyai Loreng..."
"Nyai Loreng... apa maksudmu berbuat seperti ini,
hah?!"
"Hanya satu, Ki Madrim... hanya satu..." Nyai Lo-
reng terkikik sambil mengacungkan jari telunjuknya
yang keriput.
"Apa itu, Nyai Loreng?"
"Emas permata... hihihi... semua emas permata
yang kau miliki... cepat serahkan padaku saat ini ju-
ga..."
"Apa maksudmu, Nyai Loreng?" tanya Ki Madrim
yang sebenarnya sudah tahu maksud dari Nyai Loreng.
Namun dia mencoba mengulur waktu untuk mengukur
kesaktian dari Nyai Loreng.
Dan tiba-tiba saja melintas dalam benaknya siapa
yang telah menjegal dan membunuh ketika pengawal
pengirim barangnya. Nyai Loreng-kah?
"Hihihi... jangan berpura-pura bodoh, Ki Madrim!
Aku datang untuk meminta semua emas permata yang
kau miliki!"
"Hhh! Nyai Loreng... bagaimana bila tidak kuberi-
kan?"
"Hihihi... berarti kau membangkang! Dan itu artinya
matilah untukmu! Seperti tiga pengawalmu yang sok
mempertahankan emas permata yang mereka bawa!"
Dan Ki Madrim berdetak lebih cepat
"Nyai Loreng... kaukah yang telah membunuh ketiga
pengawalku itu?!"
"Benar sekali tebakanmu. Memang, akulah yang te-
lah membunuh mereka. Karena mereka mencoba
menghalangi perbuatanku dan menahan emas permata
yang hendak aku rebut!"
"Nyai Loreng! Kau begitu kejam sekali dan telengas
menurunkan tangan pada mereka!"
"Salah mereka sendiri! Karena berani menantang
Nyai Loreng!"
"Nyai Loreng... di pagi ini... aku hendak meminta
nyawamu untuk tebusan nyawa ketiga pengawal setia-
ku!"
"Apa? Hihihi... kau sepertinya memang mengingin-
kan kematian dan menyusul ketiga pengawal bodohmu
itu, Ki Madrim! Majulah, aku pun sudah bosan dengan
banyak cakap seperti ini! Hhh! Majulah, biar kau
mampus sekalian!"
Ki Madrim menggerakkan tangan kanannya. Seren-
tak para pengawalnya yang berjumlah sepuluh orang
yang sedang mengurung Nyai Loreng bergerak menye-
rang.
Nyai Loreng cuma terkikik saja. Dia pun segera me-
nyambut serangan-serangan itu dengan serangan ber
bahaya melalui kuku-kukunya yang mengandung ra-
cun buaya putih.
Para pengawal yang setia itu dengan gigih dan be-
rani menerjang. Mereka seakan melupakan mati dan
tak takut mati. Bagi mereka, mempertahankan kebe-
naran lebih layak daripada mempertahankan nyawa!
Namun sudah tentu mereka bukanlah tandingan
dari Nyai Loreng yang sakti itu. Dengan sekali mengge-
rakkan tangannya, terdengar jeritan yang menyayat
hati.
Dan yang menjerit itu pun terjengkang. Dan mera-
sakan sekujur tubuhnya mendadak gatal sekali. Lalu
digaruk-garuknya hingga mengeluarkan darah.
Ki Madrim terkejut melihat keadaan anak buahnya
yang kelojotan sekarat. Dia dapat menduga kalau ku-
ku-kuku dari Nyai Loreng mengandung racun yang
amat berbahaya.
"Hati-hati! Jangan sampai terkena kuku-kukunya!
Karena mengandung racun!" serunya memperingatkan.
Namun terlambat, karena sepuluh pengawalnya itu
sudah sekarat kelojotan.
Nyai Loreng tertawa di antara orang-orang yang
mengerang kesakitan.
"Hihihi... sudah kubilang sejak tadi, kau hanya
membuang nyawa anak buahmu dengan percuma! Ki
Madrim... cepat kau serahkan seluruh harta ke-
kayaanmu! Karena emas dan permata itu kubutuhkan
untuk membuat peluru sumpitku!"
"Nyai Loreng... sedikit pun aku tak akan mundur
dari hadapanmu! Kau harus membayar lunas semua
yang ada di sini! Jayengmoko, hadapi dia!" seru Ki Ma-
drim pada Jayengmoko yang sudah sejak tadi mena-
han geramnya melihat tangan telengas yang dijatuh-
kan oleh Nyai Loreng.
Lalu sambil menjerit diapun bersalto dan menye
rang dengan pedang terhunus. Begitu pula dengan
empat kawannya yang datang membantu.
Nyai Loreng hanya terkikik. Dia bersalto menghin-
dari pedang-pedang yang berkilat tertimpa cahaya ma-
tahari itu. Gerakannya lincah dan gesit. Dia pun mem-
balas dengan gerakan yang tak kalah cepat dan berba-
hayanya. "Awas serangan!"
Kelima pengawal Ki Madrim harus tunggang lang-
gang menghindari sabetan kuku-kuku beracun milik
Nyai Loreng yang bergerak dengan cepat. Nyai Loreng
terkikik.
"Hihihi... rupanya pengawal-pengawal yang kau
banggakan Ki Madrim, tak lebih dari anak perawan
yang malu-malu terhadap seorang pemuda!"
Jayengmoko murka dikatakan seperti itu. Dia me-
nerjang secara membabi-buta dengan pedang di tan-
gannya yang menyabet, menusuk dan menangkis den-
gan cepat.
Begitu pula dengan keempat kawannya. Mereka ber-
juang dan bertahan mati-matian. Karena yang mereka
takutkan hanya satu, sedikit saja tergores kuku-kuku
Nyai Loreng maka mautlah ganjarannya. Dan ini mem-
buat mereka bertindak berhati-hati.
Tentu saja ini menguntungkan Nyai Loreng, karena
dengan begitu, kelima lawannya tidak berani mendeka-
tinya.
Secara tiba-tiba terdengar jeritannya yang keras
disusul dengan tubuhnya yang bersalto beberapa kali
di udara. Saat bersalto itu tangannya pun bergerak
mencari sasaran.
"Sret!"
"Sret!"
Dua kali kuku-kuku beracunnya menggores dua
lawannya yang langsung terjengkang dan merasakan
sekujur tubuh mereka gatal yang luar biasa. Lalu diga
ruk-garuknya tubuh itu untuk menghilangkan rasa
gatal yang teramat menyengat. Namun semakin diga-
ruk gatal itu malah semakin bertambah. Hingga tenaga
mereka pun ditambah untuk menggaruk, hingga tim-
bullah luka akibat garukan yang cukup keras itu.
Melihat keadaan yang menyedihkan, Jayengmoko
makin menggeram marah. Dia pun menerjang kembali
dengan hebat.
Pedangnya menyambar bagaikan walet yang sedang
mencari mangsa.
Melihat keadaan yang tak seimbang itu pula, Ki
Madrim bersalto ke depan. Lalu menerjang Nyai Loreng
yang saat ini tengah menghadapi serangan-serangan
dari Jayengmoko.
"Des!"
Kedua telapak tangannya mengenai tepat di dada
Nyai Loreng yang terhuyung ke belakang. Mulutnya
pun mengeluarkan darah.
Tetapi dasar nenek liar itu, malah terkikik.
"Hihihi... orang tua! Genit sekali kau memegang-
megang dadaku! Apa kau memang menginginkannya,
hah?!"
Wajah Ki Madrim memerah.
"Nyai Loreng... kuminta padamu untuk meninggal-
kan tempat ini... sebelum tempatku ini banjir darah
akibat ulahmu."
"Hihihi... mengapa tidak sejak tadi kau katakan itu,
Ki Madrim? Baiklah... aku akan meninggalkan tempat
ini, tapi... hihihi... cepat serahkan dulu emas permata
yang kau miliki..."
"Tidak!"
"Dan berarti itu maut akan menyebar di halaman
ini!" kata Nyai Loreng dan terkikik kembali.
"Kau ternyata kejam, Nyai Loreng!"
"Karena kau terlalu berlama-lama menahanku di
sini dan tak mau menyerahkan emas permata yang
kau miliki!"
"Baik, Nyai Loreng! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu!" seru Ki Madrim seraya bersiap. Dia telah da-
pat menduga-duga kehebatan ilmu yang dimiliki Nyai
Loreng.
"Majulah, Ki Madrim! Dari pada kau membuang-
buang nyawa anak buahmu secara percuma!"
"Baik, tahan seranganku, Nyai Loreng!"
"Sejak tadi aku sudah siap menghadapimu, Ki Ma-
drim! Dan kupikir lebih cepat lebih baik hingga aku ti-
dak banyak tenaga untuk membunuhmu!"
Ki Madrim pun menderu maju dengan pukulan lu-
rus ke depan dan siap disusul dengan satu tendangan.
Nyai Loreng menghindari pukulan Ki Madrim dengan
memiringkan kepalanya dan menangkis tendangan Ki
Madrim yang mengarah pada perutnya.
"Des!"
Nyai Loreng dapat merasakan tenaga dalam Ki Ma-
drim yang cukup besar. Sedangkan dari tangkisan
tangan Nyai Loreng Ki Madrim dapat merasakan pula
tenaga dalam yang dimiliki Nyai Loreng.
"Hhh! Tenaga dalam nenek iblis ini cukup besar pu-
la!" desisnya dalam hati dan menyerang kembali.
Pertarungan antara dua orang sakti ini lebih hebat
daripada saat Nyai Loreng menghadapi keroyokan
anak buah Nyai Madrim. Keduanya sudah saling ber-
tempur dengan hebat. Dan masing-masing mengelua-
rkan segenap kemampuan mereka.
Ki Madrim sendiri sudah membuka jurusnya, Elang
Menembus Langit. Yang membuat gerakannya semakin
cepat dan hebat. Kedua tangannya membentuk paruh
elang dan berkelebat mematuk ke sana-kemari.
Nyai Loreng sendiri pun tak mau kalah.
Kuku-kuku beracunnya siap menghadang dan
mengancam jiwa Ki Madrim. Berbahaya dan tak kalah
ganasnya.
Nampak pertarungan keduanya begitu seimbang.
Masing-masing saling menyerang dan bertahan. Dan
mata mereka pun tak kalah liarnya mencari titik kele-
mahan lawan.
Tiba-tiba salah seorang anak buah Ki Madrim me-
lemparkan pedang yang dipegangnya. Pedang itu me-
luncur deras ke arah Nyai Loreng..
Meskipun sedang menghadapi Ki Madrim, Nyai Lo-
reng adalah seorang nenek yang sakti. Gerak refleknya
begitu berbahaya. Dan pendengarannya pun tajam
mendengar derasnya pedang yang meluncur ke arah-
nya.
Tangan kanannya pun mengibas.
"Des!" menangkis pedang itu.
Pedang itu tiba-tiba berbalik dan meluncur dengan
deras pada tuannya. Yang melempar pedang tadi tidak
menyangka hal itu.
Dia tak bisa menghindar lagi karena kecepatan lun-
curan pedang itu sulit diikuti oleh mata telanjang.
Dan
"Bles!"
Tanpa ampun lagi pedang itu tepat menghujam di
jantungnya. Menembus ke belakang.
Luar biasa!
Terdengarlah pekikan yang teramat menyayat hati.
Lalu disusul tubuh ambruk bersimbah darah.
"Bandoroooo!" pekik Jayengmoko yang juga tidak
menyangka Bandoro akan membokong.
Namun Bandoro telah mampus. Nyawanya telah ter-
lepas dari jasadnya.
Jayengmoko menggeram murka. Begitu pula dengan
temannya yang tinggal seorang. Dengan secara serem-
pak keduanya pun masuk ke pertempuran antara Ki
Madrim dan Nyai Loreng.
Nyai Loreng sendiri sejak merasa kewalahan meng-
hadapi gempuran-gempuran itu. Belum lagi serangan-
serangan Ki Madrim.
Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dua kali. Dan ke-
tika kakinya hinggap di bumi, di tangannya sudah ter-
pegang sebuah sumpit. Lalu dia pun segera mengambil
pelurunya.
"Hihihi... aku belum mengenalkan sumpitku ini pa-
da kalian, bukan? Nah, inilah sumpitku yang mengan-
dung racun yang luar biasa! Hihihi... kalian boleh me-
rasakannya dan seketika kalian akan bertamasya ke
akhirat! Bukankah ini perjalanan yang telah kalian
tunggu?" Nyai Loreng terkikik.
"Nyai Loreng!" geram Ki Madrim marah. "Kami tak
akan mundur sejenak pun dari hadapanmu! Kami
akan mengadu nyawa denganmu!"
"Hihihi... perbuatan kalian akan sia-sia belaka!"
"Peduli setan!" bentak Jayengmoko. "Kau pun harus
menebus semua nyawa sahabat-sahabatku, Nyai Lo-
reng keparat!"
"Hihihi... apa kalian sudah merasa mampu untuk
menghadapiku? Ki Madrim... sebaiknya kau serahkan
saja cepat emas permata milikmu itu! Dan aku ber-
sumpah akan membiarkan kalian hidup untuk me-
nikmati indah dan megahnya dunia! Untuk menghirup
udara pagi yang segar dan menyegarkan rongga dada
kalian!"
"Sedikit pun aku tak akan mundur dari hadapan-
mu, Nyai Loreng!"
"Bagus! Kalian berarti memang ingin mati di hari ini
juga!"
"Mati pun kami tidak akan penasaran, Nyai Loreng!"
"Bagus, bagus! Nah kalian hadapilah Sumpit Bera-
cunku ini!" kata Nyai Loreng dan segera membidikkan
senjatanya.
"Sreet!"
"Sreet!"
"Sreet!"
Tiga butir peluru melesat dari sumpitnya. Mengarah
pada tiga lawannya. Peluru yang kecil itu sulit sekali
untuk diikuti oleh mata. Ki Madrim dan Jayengmoko
dengan sebisanya menghindar ke samping. Sayang,
seorang anak buahnya malah bersalto ke belakang.
Dan saat dia hinggap kembali ke tanah, tubuhnya pun
menjadi sasaran peluru dari sumpit Nyai Loreng.
Tubuhnya bagai dihantam sebuah peluru besar. Dia
pun terhuyung ke belakang dan jatuh ke tanah. Peluru
sumpit Nyai Loreng telah menancap dalam di jantung-
nya. Tiba-tiba sangat tiba-tiba tubuh itu kelojotan.
Dan terjadilah pemandangan yang teramat mengeri-
kan. Tubuh itu meregang dengan rasa sakit yang luar
biasa. Dan mendadak seluruh urat nadi di tubuh itu
pecah hingga darahpun menghambur ke luar.
Dalam sekejap saja tubuh itu telah kering oleh da-
rah. Dan seluruh kulitnya berubah menjadi putih lalu
tubuh itu pun kehabisan darah!
Ki Madrim menggeram.
"Kejam!"
"Itu belum seberapa, Ki Madrim! Setelah cukup
emas dan permata yang kukumpulkan, akan kubuat
menjadi peluru yang berbahaya. Dan kau bisa merasa-
kannya nanti... tapi, bila saat ini nyawamu masih be-
rada di jasadmu... hihihi..."
"Nenek keparat!" geram Jayengmoko. Dia sudah ne-
kat untuk menyerang dan menyabung nyawa dengan
Nyai Loreng. Melihat seluruh sahabatnya telah mam-
pus menemui ajal secara mengerikan, membuatnya
menangis. Kenyataan ini yang terlalu menyakitkan.
Maka dia pun menyerang lagi dengan pedangnya.
Tak peduli akan bahaya yang siap mengancamnya.
"Jayengmoko...!" seru Ki Madrim yang tak me-
nyangka Jayengmoko akan berbuat nekat seperti itu.
Tetapi terlambat, Jayengmoko telah meluncur den-
gan deras ke arah Nyai Loreng.
Nyai Loreng sendiri hanya terkikik.
Lalu dia pun meniupkan sumpitnya ke arah tubuh
Jayengmoko yang deras meluncur ke arahnya.
Sebutir peluru itu kembali menerjang. Namun
Jayengmoko yang melihat Nyai Loreng menempelkan
senjatanya lagi ke bibirnya, segera bersalto ke samp-
ing. Dan sambil bersalto dia melemparkan pedangnya
ke arah Nyai Loreng.
Nyai Loreng sendiri tidak menyangka Jayengmoko
bisa melakukan itu. Dia pun melompat ke samping
dan sambil melompat kembali meniupkan sumpitnya.
Peluru kembali mencelat ke luar. Dan kali ini me-
luncur tepat ke jantung Jayengmoko.
***
EMPAT
Tabuh Jayengmoko terpental ke belakang bagaikan
didorong oleh angin yang keras dan kuat.
"Aaaakkkhhh!"
Tubuh itu pun ambruk. Dan sama seperti yang di-
alami oleh Bandoro, tubuh itu pun meregang. Lalu se-
luruh urat nadinya pecah mengeluarkan darah yang
cukup deras.
Lalu tubuh itu pun mampus dengan seputih kapas.
Sepasang mata Jayengmoko terbuka. Separuh mena-
han sakit, separuh menyimpan dendam yang diba-
wanya mati.
Nyai Loreng terkikik.
"Ki Madrim... kini tinggallah kau seorang yang ma-
sih hidup! Aku masih memberi kesempatan padamu
untuk hidup lebih lama. Nah, serahkan cepat seluruh
harta kekayaanmu yang berupa emas permata itu! Ce-
pat, Ki Madrim aku tidak punya banyak waktu lagi!
Cepat, kataku!"
Ki Madrim mendengus antara marah dan sedih.
Memang tak ada jalan lain.
Tiba-tiba dia mengangguk.
"Nyai Loreng... bila itu maumu... baiklah... akan
kuambilkan emas permata untukmu...!"
"Hihihi... bagus, bagus... mengapa tidak sejak tadi
kau katakan itu, Ki Madrim? Sehingga tidak banyak
nyawa anak buahmu yang kucabut!"
"Tunggulah di sini! Biar aku yang mengambil sendi-
ri!"
"Hihihi... Ki Madrim, Ki Madrim... kau pikir aku bo-
cah kecil yang bisa kau kelabui? Hihihi... tidak, biar
aku menemanimu mengambilnya!"
Ki Madrim mendesah.
"Bila itu maumu, ikutlah denganku!" kata Ki Ma-
drim seraya melangkah lebih dulu masuk ke rumah-
nya.
Nyai Loreng mengikutinya dari belakang sambil ter-
kikik. Di benaknya sudah terbayang akan banyaknya
emas permata yang akan diperoleh. Dan emas permata
itu akan diolahnya menjadi peluru sumpitnya yang
akan lebih hebat nanti.
Dia melihat Ki Madrim memasuki sebuah ruangan
yang mirip tempat penyimpanan emas. Lalu nampak Ki
Madrim membuka sebuah tembok rahasia yang persis
menempel dengan tembok yang lain.
Dia mempersilahkan Nyai Loreng untuk masuk. "Si-
lahkan ambil semaumu, Nyai Loreng!" kata Ki Madrim.
Tetapi nenek itu hanya tertawa.
"Ki Madrim... sudah kukatakan... aku bukanlah
anak kecil yang mudah kau kelabui! Nah, masuklah
kau sendiri ke dalam. Ambilkan seluruh emas perma-
tamu untukku! Dan ingat, jangan coba-coba menipuku
karena sumpitku ini masih haus oleh darah!" ancam
Nyai Loreng.
"Kalau itu maumu, baiklah!" kata Ki Madrim sambil
memasuki tembok rahasia yang kini berbentuk sebuah
pintu dan berongga itu.
Nyai Loreng menunggu di luar. Namun secara tiba-
tiba, pintu atau tembok rahasia itu menutup kembali.
"Hei!" seru Nyai Loreng kaget.
Dari dalam terdengar suara Ki Madrim, "Nenek ke-
parat! Selamat tinggal dan tunggulah aku di situ sam-
pai seribu tahun!"
"Anjing buduk!" geram Nyai Loreng yang tidak me-
nyangka akhirnya dia tertipu juga. Dengan geram di-
hantamnya tangannya ke tembok itu. Namun tembok
itu begitu kokoh dan kuat.
Tidak bergeming.
Nyai Loreng makin menggeram.
"Bangsat!"
Dia kembali menghantamkan tangannya ke tembok
itu.
Namun lagi-lagi tembok itu tidak bergeming.
Dia menambah lagi tenaga dalamnya.
Dan barulah tembok itu sedikit bergetar.
"Aku tak akan mengampuni lagi nyawamu, Ki Ma-
drim!" geramnya murka dan menghantam lagi tembok
itu sekuat tenaga.
Setelah berkali-kali dihantam, barulah tembok itu
pecah berantakan. Kepingan-kepingan batunya ber-
muntahan.
Nyai Loreng melihat sebuah lorong di dalam tembok
itu. Lalu dengan perasaan geram dan marah dia berge
rak maju.
Mula-mula lorong itu nampak sempit, namun lama
kelamaan menjadi besar dan luas. Kini Nyai Loreng be-
rada di sebuah tempat yang cukup besar yang diteran-
gi oleh beberapa obor.
"Ki Madrim!" jeritnya. "Keluar kau! Biar kuremas
kepalamu yang busuk itu!"
Tak ada sahutan dari Ki Madrim.
Hanya suara Nyai Loreng sendiri yang menggema di
ruangan itu!
"Ki Madriiiimmm! Keluar kau, Bangsat!"
Lagi tak ada sahutan.
Lagi hanya gema suara Nyai Loreng sendiri yang
menggema.
Dan tiba-tiba matanya melihat ada tiga buah pintu.
Nyai Loreng mendengus. Pintu mana yang telah dilalui
Ki Madrim.
Lalu dia pun beranjak mendekati pintu yang terda-
pat di sebelah barat. Didorongnya pintu itu. Namun
mendadak beterbangan beberapa buah tombak ke
arahnya.
Nyai Loreng terkejut. Dan dengan sigap dia bergu-
lingan. Tombak-tombak itu menancap di dinding. Me-
nandakan cukup keras lontarannya.
"Bangsat buduk! Ternyata banyak jebakan pula di
sini!" makinya. "Awas kau, Ki Madrim! Bila tertangkap,
kau tak akan aku ampuni! Akan kusiksa kau sebelum
mati, Ki Madrim keparat! Anjing buduk! Kau berani-
beraninya bermain api dengan Nyai Loreng! Awas bila
ketemu nanti!"
Nyai Loreng pun mendekati pintu di sebelah timur.
Tapi kali ini Nyai Loreng tak mau bertindak gegabah
seperti tadi. Lalu diambilnya sebuah kursi yang terda-
pat di sana.
Dan dengan sekuat tenaga dilontarkannya ke arah
pintu itu hingga hancur berantakan. Lalu dia pun me-
lompat ke samping. Pikirnya, akan terjadi jebakan se-
perti tadi.
Namun tak ada lontaran tombak kembali seperti ta-
di.
"Sialan! Mungkin pintu inilah yang dilalui oleh Ki
Madrim keparat itu!" serunya, lalu bergegas untuk ma-
suk.
Tetapi mendadak dia gelagapan. Dari atas jatuh se-
buah jaring besar dan langsung menerpa dirinya. Be-
lum lagi dia sadar apa yang telah terjadi, mendadak
saja tubuhnya terangkat dan terperangkap oleh jaring
itu.
Kini tubuhnya tergantung terperangkap oleh jaring
itu.
"Anjing buduk!" makinya sambil berusaha membe-
baskan diri. Namun jaring itu bukan sembarang jaring.
Jaring itu terbuat dari bahan yang cukup kuat dan
alot.
Tiba-tiba dari pintu yang berada di selatan, muncul
sosok tubuh yang terkekeh. Ki Madrim.
"Hehehe... mampuslah kau tergantung di sana, Nyai
Loreng!" serunya sambil membawa sebuah buntalan
besar. Dan mengangkatnya ke arah Nyai Loreng. "Bu-
kankah kau menginginkan emas permata ini? Nah,
melompatlah turun dan ambillah!"
Bukan main geramnya Nyai Loreng. Dia mencoba
meloloskan diri. Namun jaring itu cukup kuat untuk
meringkusnya.
"Hehehe... kau tak akan bisa meloloskan diri dari
sana, Nyai! Kau akan mampus di sana karena kelapa-
ran!"
"Lepaskan aku, Ki Madrim! Kita bertarung sampai
mati!"
"Hehehe... aku hendak melihat sampai di mana ke
hebatanmu, Nyai Loreng!" kata Ki Madrim sambil me-
nurunkan buntalannya. Lalu dia mengambil beberapa
bilah pedang yang terdapat di sana. Diacungkannya
pedang-pedang itu pada Nyai Loreng. "Nah, kini mam-
puslah, Nyai Loreng!"
Lalu pedang-pedang itu pun dilontarkannya ke arah
Nyai Loreng yang tergantung di atas.
"Hei!" seru Nyai Loreng kaget, lalu mengempos tena-
ganya. Dan jaring itu pun bergoyang. Tubuhnya luput
dari serangan-serangan pedang Ki Madrim.
Diam-diam Ki Madrim kagum dengan tenaga dalam
Nyai Loreng, yang saat tergantung pun mampu mem-
perlihatkan dan menggoyang jaring itu. Hingga luput
dari sasaran.
Tetapi Ki Madrim pun tak mau dia menyia-nyiakan
kesempatan yang ada. Kembali dilemparkannya pe-
dang-pedang yang lain.
Namun lagi-lagi serangannya luput karena dengan
lincahnya Nyai Loreng menggoyang-goyangkan tubuh-
nya hingga jaring-jaring itu pun bergerak-gerak.
"Turunkan aku, Ki Madrim! Kita bertarung sampai
mati!"
"Hehehe... biarlah kau mati tergantung di sana,
Nyai Loreng!" kata Ki Madrim sambil mengambil bunta-
lannya kembali. Lalu dia pun melangkah.
Dan tanpa setahu Ki Madrim, Nyai Loreng kembali
memasang sumpitnya. Dan "Sreet!" peluru dari sumpit
itu pun melontar ke luar.
Untung pada saat itu, Ki Madrim menoleh ke arah-
nya dan melihat Nyai Loreng sedang meniupkan sum-
pitnya. Dengan sigap dia bersalto ke samping. Lau se-
cara bergulingan kembali ke luar dari ruangan itu.
"Hehehe... selamat tinggal, Nyai Loreng... tergantun-
glah kau selama-lamanya di sana!" serunya seraya me-
lesat pergi.
Nyai Loreng memaki panjang pendek. Tetapi bayan-
gan Ki Madrim sudah hilang dari pandangan.
"Awas kau, Ki Madrim! Bila suatu saat bertemu
nanti, kau akan kulumat hingga habis bersatu dengan
tanah!" geramnya mengancam.
Lalu berusaha membebaskan diri dari jaring yang
meringkusnya.
***
LIMA
Senja itu matahari sudah bersiap-siap hendak kem-
bali ke peraduannya. Dari kejauhan nampak dua ekor
kuda berjalan perlahan. Di atas kuda-kuda itu duduk
seorang pemuda dan seorang pemudi.
Pemuda itu mengenakan pakaian berwarna biru-
biru. Di pinggangnya nampak terlihat terselip sebuah
seruling.
Sedangkan yang pemudi berwajah cantik jelita. Di
bahunya terdapat sebilah pedang. Hal ini menandakan
keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemam-
puan kanuragan.
Keduanya tak lain adalah Pranata Kumala dan is-
trinya Ambarwati. Setelah bertemu dengan orang tua
mereka, Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan
Sukma dan istrinya Ratih Ningrum, Pranata dan is-
trinya pun kembali melanjutkan perjalanan mereka
(Baca: Undangan Berdarah).
Sudah lama keduanya melakukan perjalanan sema-
ta-mata untuk mencari pengalaman, sama seperti hal-
nya yang dilakukan oleh orang tua mereka.
Di pinggang Pranata Kumala tadi terselip sebuah
seruling yang bila sekilas nampak seperti seruling bi-
asa. Tetapi sesungguhnya itu adalah seruling sakti,
yang bernama Seruling Naga. Bila seruling itu ditiup,
maka yang mendengarnya akan mendengar suara yang
amat menyakitkan telinga. Dan bagi yang memiliki te-
naga dalam rendah, maka dia akan mati kelojotan
dengan telinga yang mengeluarkan darah.
Seruling Naga itu sebenarnya milik dari Ki Rengser-
sari, atau berjuluk Pendekar Ular Sakti. Ki Rengsersari
adalah guru dari Madewa Gumilang yang bergelar Pen-
dekar Bayangan Sukma. Seruling Naga itu diserah-
kannya kepada muridnya itu saat dia berhadapan den-
gan Pratiwi atau si Selendang Merah dan Gundaling.
(Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Seruling yang di tubuhnya terdapat gambar sepa-
sang naga sedang bertarung, diserahkan Madewa ke-
pada putranya Pranata Kumala saat dia hendak bergu-
ru kepada Ki Ageng Jayasih (Baca: Kakek Sakti dari
Gunung Muria).
Dan berkali-kali Seruling Naga itu menjadi rebutan
dari tokoh-tokoh rimba persilatan (Sepasang Manusia
Srigala). Kini seruling itu dipegang oleh Pranata Kuma-
la, yang dalam petualangannya selalu ditemani oleh is-
trinya Ambarwati putra dari seorang pemimpin gerom-
bolan perampok di daerah Pacitan (Baca: Pendekar Ke-
dok Putih).
Dalam perjalanannya mencari petualangan, berkali-
kali keduanya mengalami berbagai kejadian yang me-
narik sekaligus mengerikan (Baca: Datuk Sesat Bukit
Kubur, Pertarungan Para Pendekar, Iblis Berbaju Hijau
dan Undangan Berdarah). Keduanya banyak mendapat
pelajaran dari perjalanan yang mereka lakukan, hingga
mereka dapat mengenal watak-watak manusia.
Kini keduanya pun tiba di lereng Gunung Kelud.
Dan tiba-tiba pendengaran mereka menangkap suara
ribut-ribut tak jauh dari sana. Disusul dengan suara
senjata beradu keras yang menimbulkan suara cukup
hebat.
"Kakang... seperti ada yang berkelahi di sini," kata
Ambarwati sambil menatap suaminya.
"Benar, Rayi. Sebaiknya kita selidiki saja, Rayi..."
kata Pranata sambil memacu kudanya.
Ambarwati pun menggebrak kudanya menyusul lari
kuda suaminya. Dan kini di sebuah tempat yang cu-
kup luas dan besar, terlihat di hadapannya dua orang
laki-laki muda sedang bertarung melawan seorang la-
ki-laki setengah baya yang membawa sebuah bunta-
lan.
"Ki Madrim! Kau telah menjual lagak di depan kami
tiga hari yang lalu! Tapi akhirnya ketahuan pula be-
langmu! Kau ingin menghianati majikan kami!" seru
salah seorang penyerang laki-laki setengah baya itu.
Dia dengan hebat menyerang laki-laki setengah baya
itu dengan sepasang tombak yang bermata tiga.
"Suralaga! Sudah kukatakan padamu, bahwa se-
mua ini perbuatan dari Nyi Loreng!"
"Laki-laki tua busuk! Kau mencoba menipu kami,
hah?!" seru laki-laki penyerang yang tak lain Suralaga.
Dan yang seorang lagi Giri Lantang.
Keduanya adalah pengawal andalan dari Juragan
Seta Agung yang berkuasa di Desa Bojong Karta. Seta
Agung amat terhina dengan mengembalikan uang mu-
ka dari Ki Madrim. Baginya, ini merupakan suatu
penghinaan yang besar. Menurutnya, mengapa Ki Ma-
drim tidak menggantikan saja dengan emas yang lain?
Lalu dia pun mengirim kembali Suralaga dan Giri
Lantang untuk memberi pelajaran pada Ki Madrim.
Dan di tengah jalan keduanya bertemu dengan Ki Ma-
drim yang baru saja lolos dari tangan Nyai Loreng.
Melihat sikap Ki Madrim yang seperti ingin melari-
kan diri membuat Suralaga dan Giri Lantang menjadi
salah paham. Kalau begitu benar dugaan mereka, Ki
Madrim hendak bermain api dengan mereka.
Keduanya pun langsung menyerang. Dan sudah
tentu Ki Madrim tidak mau dirinya dijadikan sasaran
serangan-serangan keduanya.
Dia pun mempertahankan dirinya dan membalas.
Berulangkali Ki Madrim menjelaskan kalau dia ti-
dak bermaksud untuk membohongi Juragan Seta
Agung dan mengatakan semua itu perbuatan Nyai Lo-
reng semata-mata. Namun kedua orang penyerangnya
itu tak mau tahu, bagi mereka pesan majikan mereka
lebih berarti yang menyuruh mereka memberi pelaja-
ran pada Ki Madrim.
Orang-orang itu masih berkelahi dengan hebat. Be-
rulang kali Ki Madrim hampir saja termakan oleh se-
pasang tombak bermata tiga milik Suralaga.
"Menyerahlah, Ki Madrim! Untuk kubawa kau ke-
pada majikan kami Seta Agung untuk minta maaf!"
"Suralaga... aku tidak bersalah, mana mungkin aku
hendak meminta maaf?" seru Ki Madrim sambil meng-
hindari tusukan sepasang tombak bermata tiga Sura-
laga.
Juga menghindari pukulan-pukulan yang dile-
paskan oleh Giri Lantang. Yang tak kalah hebatnya
dengan serangan-serangan Suralaga.
Namun lama kelamaan, Ki Madrim kelihatan terde-
sak. Serangan kedua lawannya bagaikan datang dari
empat penjuru. Begitu beringas dan berbahaya.
Sampai suatu ketika, Suralaga menghambur den-
gan deras ke arahnya, diiringi dengan tusukan kedua
tombak bermata tiganya yang siap untuk mencabut
nyawa Ki Madrim.
Ki Madrim mencoba bersalto menghindar, dan da-
tang lagi serangan dari Giri Lantang yang cepat dan
penuh tenaga. Ki Madrim mengambil satu tindakan
yang penuh resiko. Dia memapaki serangan dari Giri
Lantang. Dan terjadilah benturan yang cukup keras.
"Des!"
Karena Ki Madrim masih dalam keadaan bersalto,
tenaganya tidak begitu kuat. Keseimbangannya pun hi-
lang. Dia terpental dan ambruk ke belakang.
Sementara Giri Lantang bersalto dengan manis dan
hinggap di tanah dengan ringannya.
"Ki Madrim! Kau masih belum mau menyerahkan
diri dan minta maaf pada Juragan Seta Agung?!" geram
Giri Lantang keras.
Ki Madrim menahan rasa sakit di dadanya. Dia
mencoba bangkit, namun rasa sakit itu seakan me-
nyiksa dan membelenggunya. Dia meraba dadanya dan
menekannya untuk mencoba menghilangkan rasa sa-
kit itu.
"Giri Lantang! Bila aku punya salah... aku akan da-
tang minta maaf pada Juragan Seta Agung! Tanpa kau
suruh dan paksa! Namun aku tak punya salah! Aku
sudah mengatakan yang sebenarnya, tiga pengirim ba-
rang ku telah dibunuh oleh Nyai Loreng! Dan ini di
luar kemauan kita semua! Dan Nyai Loreng pun baru
saja kemarin sore mendatangi kediamanku dan men-
gobrak-abrik semuanya, bahkan dia membunuhi selu-
ruh anak buahku!"
"Hhh! Bisa pula kau bicara, Ki Madrim!" seru Sura-
laga tak percaya. "Lalu bagaimana kau bisa meloloskan
diri, hah?! Dan apa semuanya kau biarkan terjadi se-
mentara kau melarikan diri?"
"Suralaga! Tadi sudah kukatakan, Nyai Loreng ku-
jebak di ruangan pribadiku, tempat aku menyimpan
emas dan permataku! Sedangkan untuk menghadapi
Nyai Loreng sendiri, aku merasa tidak mampu sama
sekali. Dia teramat sakti dan teramat kejam!"
"Omong kosong! Kau tentunya telah menyiapkan
semua jawaban-jawaban ini, Ki Madrim! Hhh! Aku
mau memenuhi permintaanku untuk menghadap Ju-
ragan Seta Agung, atau kubunuh di sini?!"
"Suralaga... sudah..."
"Anjing buduk! Masih berani kau bicara, hah?!" ge-
ram Suralaga dan kembali menerjang dengan sepasang
tombak bermata tiganya.
Ki Madrim adalah orang yang jujur, bila dia tidak
bersalah maka dipaksa pun dia tak akan mau meminta
maaf. Kini dia hanya pasrah melihat serangan Surala-
ga yang menuju padanya.
Namun mendadak secarik sinar merah melesat ke
arah Suralaga. Suralaga terkejut. Dia menarik kembali
serangannya dan bersalto untuk menghindari sinar
merah itu.
"Heiiit!"
Dua kali dia bersalto ke belakang dan hinggap den-
gan siaga. Begitu pula dengan Giri Lantang.
Suralaga membentak, "Orang usil! Cepat nongolkan
wajahmu yang buruk itu!"
Terdengar suara langkah kuda perlahan mendekati
tempat itu. Suralaga melihat dua orang penunggang
kuda. Yang seorang pemuda berwajah tampan dan
yang seorang lagi pemudi yang berwajah cantik.
"Hhh! Rupanya kalian yang telah ikut campur tan-
gan urusan ini!" geram Suralaga.
Kedua orang itu yang tak lain Pranata Kumala dan
istrinya Ambarwati, tersenyum.
Pranata berkata, "Maafkan aku, Ki sanak. Bukan
sekali-sekali aku hendak ikut campur urusannya! Ti-
dak sama sekali. Tapi kulihat hanya satu kebetulan sa-
ja, kau hendak menurunkan tangan telengas pada la-
ki-laki setengah baya itu!"
Ki Madrim sendiri mendesah lega. Karena ada yang
berhasil menyelamatkan nyawanya. Suralaga mengge-
ram kembali. "Anak muda! Kuminta padamu untuk
meninggalkan tempat ini dengan segera! Dan jangan
ikut campur urusan ini!"
"Aku tidak suka melihat kekejaman yang kalian la-
kukan terhadap orang tua itu," kata Pranata, Kumala
tenang.
Namun kata-katanya itu semakin membangkitkan
kemarahan Suralaga.
"Anak muda, kau usil sekali rupanya! Hhh! Ingin
kulihat sampai di mana kemampuanmu!"
"Maafkan aku, Kisanak. Bukan sekali-sekali mak-
sudku untuk bertarung denganmu. Aku sudah tahu
apa yang telah terjadi di antara kalian. Dan yang
membuatku heran, mengapa kau tidak mau menyeli-
diki lebih dulu kata-kata orang tua itu? Bukankah bila
kau telah melihat buktinya semula menjadi jelas? Apa-
kah yang dikatakan orang tua itu hanya membual atau
memang benar-benar semata."
Suralaga terdiam. Sebenarnya dia membenarkan
pula kata-kata Pranata itu. Namun kesombongannya
karena serangannya dihalau oleh Pranata tadi, mem-
buatnya geram dan tak perduli dengan kata-kata itu.
"Anak muda! Kau sudah masuk ke kalangan, dan
berarti kau telah siap untuk menanggung semula resi-
konya!"
Pranata Kumala yang sejak tadi memang sudah
bersiap dan waspada, cepat bersalto dari kudanya dan
langsung memapaki serangan tombak bermata tiga mi-
lik Suralaga.
"Des!"
Pukulannya berbenturan dengan lengan Suralaga.
Dan Pranata langsung bersalto kembali ke belakang.
Sementara Suralaga terhenyak karena merasakan tan-
gannya kesemutan.
"Anjing buduk! Pantas kau berani jual lagak di de-
panku! Rupanya kau punya kelebihan pula?!"
"Hanya sekadarnya saja, Kisanak. Tapi cukup un-
tuk membungkamkan mulutmu yang sombong dan tak
mengenal keadilan!"
"Setan!" Maki Suralaga dan kembali menyerang.
Kali ini Pranata menunjukkan kebolehannya meng-
hindar. Dengan jurus Kijang Kumala dia bisa berkelit
selincah seekor kijang.
Hal ini semakin membuat Suralaga menjadi panas
dan jengkel. Dia meningkatkan lagi serangan-
serangannya. Melihat hal itu pula Pranata pun mulai
membalas dengan pukulan Tangan Bayangannya wari-
san Ki Ageng Jayasih (Baca: Kakek Sakti dari Gunung
Muria).
Tangannya bisa berkelebat bagaikan bayangan be-
laka. Siap mengancam tubuh dari Suralaga yang pal-
ing berbahaya.
Suralaga pun menjadi kewalahan. Sebisanya dia
menghindar dan membalas. Namun kecepatan dan ke-
gesitannya jauh berada di bawah Pranata Kumala.
Yang demikian cepatnya berberak.
Hingga suatu ketika, lengan kirinya dihantam oleh
pukulan Pranata. Tombak yang dipegang Suralaga ter-
lepas. Pranata pun segera mencecar. Dengan satu ten-
dangan melompat kembali dia menghajar tangan ka-
nan Suralaga. Dan tombak yang berada di tangan ka-
nannya pun terlepas. Disusul dengan satu pukulan ke-
ras ke dada Suralaga.
"Des!"
Tubuh itu terhuyung ke belakang. Sementara Pra-
nata telah berdiri tegak kembali di bumi.
Suralaga merasakan dadanya nyeri sekali.
Ki Madrim diam-diam kagum melihat kehebatan
pemuda itu.
Dan melihat hal itu, Giri Lantang menjadi murka.
Dia pun menerjang maju.
Satu sosok tubuh melenting dari kuda yang diam
disana, dan memapaki serangan Giri Lantang pada
Pranata Kumala.
"Des!"
Giri Lantang bersalto dan hinggap dengan ringan-
nya. Dia melihat sosok tubuh yang memapakinya telah
berdiri di hadapannya.
Ambarwati yang berdiri gagah.
"Bila kau merasa gatal dan ingin bermain-main se-
jenak, aku bersedia melayanimu!"
"Perempuan sial! Aku ingin melihat sampai di mana
kehebatanmu itu, hah?!" geram Giri Lantang yang ti-
dak menyangka serangannya akan dipapaki oleh gadis
itu. Dia pun menyerang kembali dengan ganas. Namun
kali ini sasarannya adalah Ambarwati.
***
ENAM
Ambarwati pun tak malu dirinya dijadikan sasaran
empuk serangan dari Giri Lantang. Dia pun segera
membalas serangan-serangan itu.
Kini terjadilah kembali pertarungan yang hebat.
Namun kali ini antara Ambarwati dan Giri Lantang.
Kalau melihat sekilas, Ambarwati menang dalam soal
kelincahan dan kegesitan. Tetapi dia kalah tenaga den-
gan Giri Lantang.
Namun dengan mengandalkan kegesitannya itu,
sampai beberapa jurus dia belum kelihatan terdesak.
Malah Ambarwati yang kemudian terlihat mendesak
Giri Lantang.
"Perempuan keparat!" dengus Giri Lantang yang
dengan sebisanya menghindari serangan-serangan
Ambarwati.
"Mengapa kau hanya bisa menghindar saja, Ki sa-
nak?!" seru Ambarwati dengan suara mengejek.
Mendengar kata-kata itu wajah Giri Lantang meme-
rah.
"Baik, tahan seranganku!"
Lalu dia pun kembali mulai membalas. Namun se-
rangan-serangan dari Ambarwati seolah telah mengu-
rung langkahnya. Dan membuatnya kebingungan sen-
diri.
Hingga akhirnya serangannya pun menjadi kacau,
sekaligus pertahanannya. Dan satu ketika, Ambarwati
memekik keras dengan satu pukulan lurus ke wajah
Giri Lantang.
Giri Lantang sendiri terkejut, karena tidak me-
nyangka serangan itu datang dengan cepatnya.
Dia jatuh ke bumi setelah bergulingan beberapa
kali. Bibirnya berdarah. Dia menjadi geram sekali. Ka-
rena merasa dengan mudahnya gadis itu mengalah-
kannya.
Ketika dia hendak bangkit untuk menyerang kem-
bali terdengar seruan Pranata Kumala,
"Tahan!"
Giri Lantang hanya menahan marahnya.
Begitu pula dengan Suralaga yang tidak menyangka
dia dan temannya itu akan mudah dikalahkan oleh
pemuda-pemudi yang belia.
"Maafkan kami berdua, Ki sanak..." kata Pranata
Kumala lagi. "Perkenalkan, namaku Pranata Kumala
dan ini istriku, Ambarwati. Kami petualang dari Laut
Selatan."
"Hhh! Pranata, cepatlah kau menyingkir dari sini!
Kami masih punya urusan dengan Ki Madrim!" kata
Suralaga.
"Maafkan aku, Ki sanak. O ya, tadi sudah kudengar
nama kalian berdua. Suralaga... melihat kejadian yang
tengah kalian alami, aku berkeyakinan kalian telah sa-
lah paham. Dan seperti ucapan dari Ki Madrim benar
adanya dan tentunya harus dibuktikan. Tadi pun ku-
dengar Ki Madrim mengatakan munculnya seorang to-
koh jahat yang bernama Nyai Loreng. Bukankah begi-
tu, Ki Madrim?"
"Benar, Pranata..." sahut Ki Madrim yang kini bisa
bernafas cukup lega. "Nenek yang mengaku bernama
Nyai Loreng itu sungguh sakti dan kejam. Tiba-tiba sa-
ja dia muncul ke tempat kediamanku dan meminta se-
luruh emas permataku untuk dibuatnya menjadi sen-
jata sumpitnya. Dia pun mengaku dialah yang telah
membunuh tiga pengawalku sekaligus pengirim ba-
rang-barangku. Dan merampas emas permata yang
mereka bawa untuk diserahkan kepada pemesan, Ju-
ragan Seta Agung dari Desa Bojong Karta dan kepala
desa di Glagah Mentari. Dia pun memporak-
porandakan kediamanku dan membunuhi seluruh
pengawalku. Untungnya aku berhasil meloloskan diri
dan menjebaknya di ruangan pribadiku. Sekarang dia
tergantung di sana. Di dalam jaring yang cukup kuat."
"Suralaga... bukankah dengan begini kau dan te-
manmu telah salah paham pada Ki Madrim?" kata
Pranata Kumala.
"Hhh! Pranata... bisa saja kakek itu berbohong, bu-
kan?"
"Tentu. Dan untuk menguji kebenarannya kita ha-
rus melihat kenyataan yang diceritakannya. Nah, ba-
gaimana, Ki Madrim? Apakah kau bersedia membawa
kami ke tempat kediamanmu dan menunjukkan di
mana Nyai Loreng terjebak?"
"Dengan senang hati, Pranata. Mari!"
Pranata Kumala kembali menaiki kudanya. Begitu
pula istrinya. Sedangkan Ki Madrim, Suralaga dan Giri
Lantang berjalan di depan mereka.
***
Apa yang diceritakan Ki Madrim memang benar. Be-
gitu mereka tiba di kediamannya, terlihatlah satu pe-
mandangan yang cukup mengerikan. Di halaman de-
pan rumah itu mayat-mayat bergeletakan. Dan ada
beberapa mayat yang mati secara mengerikan.
"Itu akibat sumpit dari Nyai Loreng!" kata Ki Ma-
drim menjelaskan sambil menahan pilu di hatinya.
"Sudah jangan banyak omong!" bentak Suralaga.
"Cepat tunjukkan di mana Nyai Loreng itu kau jebak,
Kakek jelek!"
Ki Madrim hanya tersenyum. Lalu mengajak mereka
untuk ke ruangan pribadinya. Pranata Kumala dan
Ambarwati yang sudah turun dari kudanya kembali
melihat pemandangan yang mengerikan di dalam ru-
mah itu.
Mayat-mayat banyak pula terdapat di sini. Mengeri-
kan. Dan ini menandakan betapa kejamnya Nyai Lo-
reng yang begitu telengas membunuhi orang-orang
yang tak berdosa.
Ki Madrim mengajak mereka langsung ke ruangan
pribadinya. Pintu rahasia yang ada di sana telah jebol
itu mereka lewati.
"Di sini dia kujebak!" kata Ki Madrim.
Lalu dia pun melihat ke atas.
Dan betapa terkejutnya Ki Madrim ketika tidak me-
lihat tubuh Nyai Loreng tergantung di sana.
"Hei! Dia berhasil meloloskan diri rupanya!" serunya
kaget.
Suralaga mendengus. "Jangan berbohong, Ki Ma-
drim!" geramnya.
"Aku berani bersumpah atas nama Dewata, kalau
wanita iblis itu tergantung di sana!"
"Jangan mungkir! Kau lihat sendiri kenyataannya,
wanita itu tidak berada di sana, hah?!"
Ki Madrim mendesah masygul. Tapi kemudian dia
berkata, "Suralaga... kau lihatlah jaring yang telah je-
bol itu. Rupanya wanita iblis itu berhasil menjebol jar-
ing yang terbuat dari bahan yang cukup kuat itu! Dan
meloloskan diri!"
Di atas memang terdapat jaring yang telah jebol.
Mau tak mau Suralaga dan Giri Lantang jadi memper-
cayainya. Namun bagi mereka itu bukanlah suatu ke-
puasan karena bisa saja Ki Madrim telah sengaja me-
masangnya untuk mengelabui mereka.
Seperti mengetahui apa yang tersirat di hati Surala-
ga dan Giri Lantang, Ki Madrim berkata lagi,
"Kalian lihatlah! Pintu itu sudah hancur oleh perbu-
atannya. Dan kalian lihat tombak-tombak yang me-
nancap di dinding. Tombak-tombak itu telah menye-
rang Nyai Loreng!"
"Hahaha... tapi kenyataannya dia tidak berada di
sini, Ki Madrim?" tertawa Giri Lantang.
Pranata Kumala pun bisa memahami ketidakper-
cayaan Suralaga dan Giri Lantang. Namun melihat
bukti-bukti yang ada baginya sudah cukup untuk per-
caya. Namun memang sulit karena Nyai Loreng sendiri
tidak tergantung di sana.
"Suralaga... kukira... bukti yang ada di ruangan ini
sudah menunjukkan keberadaan Nyai Loreng," kata
Pranata, "Jadi kuminta... kau dan Giri Lantang jangan-
lah dulu mempersoalkan masalah ini kembali. Yang
penting... kita cari dulu Nyai Loreng..."
Mendengar kata-kata itu, Suralaga dan Giri Lantang
memahaminya. Bagi mereka, itu pun sudah menjadi
bukti.
"Kalau begitu... baiklah. Kita akan sama-sama men-
cari Nyai Loreng..."
Tiba-tiba terdengar suara terkikik di belakang me
reka. Serentak semuanya menoleh.
Seorang nenek telah berdiri di sana sambil terkikik.
Di tangannya memegang sebuah sumpit. Dia seperti
merasa lucu melihat orang-orang itu kebingungan dan
keheranan. Terutama melihat wajah Ki Madrim.
Dan nenek itu adalah Nyai Loreng!
***
TUJUH
Sebenarnya bagaimanakah Nyai Loreng bisa melo-
loskan diri dari jaring yang terbuat dari bahan yang
alot dan kuat itu?
Setelah Ki Madrim melarikan diri, Nyai Loreng ter-
gantung di jerat itu. Dan berusaha untuk mencoba
merobek jaring itu. Namun dirasakannya sia-sia bela-
ka.
Tiba-tiba secara tidak sengaja, kuku-kukunya yang
mengandung racun tersentuh jaring itu. Dan menda-
dak saja jaring-jaring itu putus terbakar.
Lalu Nyai Loreng pun berhasil keluar dan bersalto
dengan ringan dan hinggap di lantai dengan ringan pu-
la. Dia yang merasa geram pada Ki Madrim yang ber-
hasil menjebaknya menjadi marah besar.
Lalu diobrak-abriknya tempat itu.
Setelah itu dia melesat keluar.
Namun baginya sudah sulit untuk menemukan Ki
Madrim. Tiba-tiba dia merasa kalau Ki Madrim suatu
saat akan kembali lagi ke rumah ini karena ingin meli-
hat dirinya yang tergantung.
Maka dengan sabarnya Nyai Loreng menunggu.
Hingga penantiannya pun berakhir. Dari tempatnya
bersembunyi dia melihat Ki Madrim dan empat orang
lainnya mendekati tempat itu.
Dia masih berusaha untuk menahan marahnya. Di-
tunggunya sampai mereka masuk ke rumah itu. Du-
gaan Nyai Loreng mereka pasti akan masuk untuk me-
lihat dirinya yang tergantung.
Dan dugaannya memang benar. Lalu dia pun segera
menyusul dan geli melihat mereka terheran-heran ka-
rena dirinya tak lagi tergantung di sana.
Kini dia berdiri gagah dengan sumpit di tangan.
"Hihihi... kita bertemu lagi, Ki Madrim," kikiknya ge-
li.
Ki Madrim berseru tertahan, "Nyai Loreng!"
Suralaga dan Giri Lantang pun kini benar-benar
mempercayai ucapan Ki Madrim. Mereka menjadi malu
sendiri karena telah menuduh sembarangan pada Ki
Madrim.
Karena didasari malunya itu, keduanya melangkah
dua tindak berhadapan dengan Nyai Loreng.
"Nenek iblis! Rupanya kau yang telah membuat se-
mua menjadi kacau begini!" geram Suralaga.
"Dan kau harus membayar dengan nyawa peotmu
itu, Nenek keparat!" sambung Giri Lantang.
"Hihihi... rupanya ada dua ekor tikus yang berani
membentak padaku! Hihihi... sebutkan nama kalian
sebelum aku membunuh kalian!"
"Nenek Iblis! Namaku Suralaga, dan ini kawanku,
Giri Lantang! Kami adalah pengawal setia dari Juragan
Seta Agung!"
"Hihihi... rupanya kalian manusia-manusia yang
punya nyali juga! Nah, cepat kalian maju ke sini, biar
kulubangi kepala kalian!"
"Nenek iblis! Tahan seranganku!" geram Suralaga
sambil menyerang dengan sepasang tombak bermata
tiganya. Di samping geram pada Nyai Loreng dia juga
malu pada Ki Madrim karena berpikiran pendek yang
langsung menuduh Ki Madrim seenaknya. Makanya
dia bertekad untuk membunuh Nyai Loreng yang di-
anggapnya sebagai biang keladinya, sebagai biang ter-
jadinya salah paham ini.
Dua tombak bermata tiga milik Suralaga bergerak
dengan gencar, mengancam bagian-bagian tubuh ber-
bahaya dari Nyai Loreng. Begitu pula dengan Giri Lan-
tang yang juga ikut menyerang.
Di tempat itu kembali terjadi pertarungan yang sen-
git antara Suralaga, Giri Lantang dengan Nyai Loreng.
Namun biarpun diserang oleh dua orang, Nyai Loreng
kelihatan dengan mudahnya menghadapi keduanya.
Malah dia mulai membalas dengan tertawa.
Kuku-kuku beracunnya siap menyambar nyawa ke-
duanya. Berbahaya. Tangan-tangannya berkelebat
dengan cepat. Tiga jurus kemudian terlihat Suralaga
dan Giri Lantang yang terdesak.
"Awas, kuku-kukunya mengandung racun!" seru Ki
Madrim memperingatkan.
Namun terlambat. Dengan satu pekikan yang cukup
keras, tangan kanan Nyai Loreng berhasil memukul
perut Giri Lantang. Dan dengan cepat kuku-kukunya
bergerak, menyayat perut Giri Lantang.
Giri Lantang mengaduh dan terhuyung.
Dia merasakan perutnya sakit sekali. Dan tiba-tiba
dirasakannya sekujur tubuhnya gatal. Seperti yang
terjadi sebelumnya pada orang-orang yang terkena ku-
ku-kuku beracun Nyai Loreng, tubuh Giri Lantang pun
menggeliat hebat. Kelojotan.
Gatal yang dirasakannya teramat menyakitkan. Dan
mulailah kedua tangannya menggaruk-garuk. Namun
semakin digaruk gatal itu malah semakin bertambah.
Parah. Perih dan menyakitkan.
Sekuat tenaga Giri Lantang menggaruk kembali,
hingga mulailah nampak kulit-kulitnya memerah dan
berdarah. Lalu keluarlah darah yang mengucur deras.
"Aaaakkkhhh!"
Giri Lantang memekik kesakitan. Dan tiba-tiba tu-
buhnya terkulai. Lalu nyawanya pun melayang.
Ambarwati menutup matanya, ngeri melihat pe-
mandangan di depannya itu.
Nyai Loreng terbahak.
"Hihihi... rasakan itu! Dan kau Suralaga, sebentar
lagi kau pun akan menyusul kawanmu itu!" seru Nyai
Loreng dan tanpa menunggu Suralaga menyerang, dia
telah mendahului menyerang.
Menghadapi Suralaga dan Giri Lantang saja dia be-
rada di atas angin, apalagi menghadapi Suralaga yang
sendirian. Sudah tentu dengan mudah dia mendesak
Suralaga.
Dan kembali kuku-kukunya menyayat tangan Sura-
laga. Seperti yang dialami Giri Lantang, Suralaga pun
merasakan gatal yang serupa. Lalu dia pun mampus
dengan tubuh berdarah.
Nyai Loreng terkikik.
"Hihihi... Ki Madrim... kini tak ada lagi jalan ke luar
bagimu. Nah, serahkan buntalan yang kau bawa itu
padaku!"
Ki Madrim mendengus. "Tidak akan pernah kulaku-
kan itu, Nyai Loreng!"
Nyai Loreng terkikik. Dan tiba-tiba dia menggeram
murka.
"Kalau begitu maumu, baiklah... terimalah kema-
tianmu, Ki Madrim!" seru Nyai Loreng dan menderu
menyerang dengan kuku-kuku yang terbuka lebar,
siap menghujam di jantung Ki Madrim.
Namun tiba-tiba Nyai Loreng bersalto ke samping
ketika sebuah sinar merah mengarah datang padanya.
"Heiiitt!"
Pekiknya dan hinggap kembali di lantai. Dia mena-
tap Pranata Kumala yang melepaskan pukulan Sinar
Merah itu padanya.
"Bocah keparat! Berani-beraninya kau membokong
seperti itu! Sebutkan namamu, hah?!"
"Nyai Loreng... namaku Pranata Kumala dan ini is-
triku Ambarwati."
"Nah, cepat kalian bersujud di depanku, akan
kuampuni nyawa kalian!"
"Maafkan aku, Nyai Loreng... sebenarnya aku tidak
terlibat dalam urusan ini dan tidak bermaksud men-
campuri urusan ini. Tapi melihat tangan telengas yang
kau turunkan pada Suralaga dan Giri Lantang, entah
kenapa hatiku terpanggil untuk menghentikan sepak
terjangmu."
"Hhh! Bagus kalau begitu! Biar kucabut nyawamu
dan nyawa istrimu sekalian! Bersiaplah!"
"Majulah, Nyai Loreng!"
Nyai Loreng pun menderu menyerang dengan ga-
nas. Hebat dan kejam. Pranata Kumala pun mengha-
dapinya dengan memadukan jurus Kijang Kumalanya
dan jurus Pukulan Tangan Bayangan. Hingga sampai
sekian jurus berlangsung, Nyai Loreng belum sekali
pun berhasil memukulnya.
Hal ini semakin membuatnya geram. Apalagi setelah
Pranata Kumala melepaskan pukulan Sinar Merahnya.
Sinar Merah itu pun membuat Nyai Loreng kalang ka-
but. Dia menyadari bila tubuhnya terkena Sinar Merah
itu akan mati dengan tubuh hangus. Apalagi setelah
melihat pukulan sinar merah yang luput itu menerpa
tembok yang menjadi bolong berantakan.
"Bocah setan! Mampuslah kau!" pekiknya keras dan
menerjang kembali.
Pranata yang sejak tadi sudah mengetahui keheba-
tan dari Nyai Loreng pun segera mengimbanginya. Dia
langsung membalas menyerang.
Pertarungan antara keduanya begitu hebat dan
sengit. Pranata tahu akan racun yang terdapat di ku-
ku-kuku Nyai Loreng amat berbahaya dan mematikan.
Itulah sebabnya dia menjaga jarak agar Nyai Loreng ti-
dak bisa mendekatinya. Secara gencar dia pun mele-
paskan pukulan Sinar Merahnya sehingga Nyai Loreng
harus bersalto ke sana ke mari menghindari Sinar Me-
rah yang tak kalah dahsyatnya.
Hingga suatu ketika dia bergulingan dan bersalto ke
belakang. Sumpit di tangannya kini siap menjalankan
fungsinya. Lalu diambilnya beberapa peluru dan dima-
sukkan ke mulutnya.
"Pranata! Kini terimalah kematianmu!" desisnya
sambil memasang sumpit di mulutnya.
"Pranata!" seru Ki Madrim. "Hati-hati dengan sumpit
itu. Peluru sumpit itu lebih berbahaya dari racun yang
terdapat di kuku-kukunya!"
Pranata pun bersiap. Dia sendiri bisa menduga
akan racun yang terdapat pada sumpit Nyai Loreng.
Dan
"Plup! Sreeet!"
Peluru-peluru itu pun mulai berfungsi. Pranata
hanya mengandalkan instingnya saja untuk menghin-
dar, karena peluru sumpit itu sukar dilihat dan diikuti
oleh mata.
"Hihihi... menghindarlah kau sekuat kau bisa, Pra-
nata!" terkikik Nyai Loreng melihat Pranata Kumala
menghindar.
Dan dia pun terus menyerang dengan gencar.
Kini ganti Pranata yang terdesak. Dia menghindar
sebisanya. Walau sekali-sekali dia masih sempat mele-
paskan pukulan Sinar Merahnya.
Namun desakan-desakan yang dilakukan Nyai Lo-
reng lebih gencar dari pukulan Sinar Merah Pranata
Kumala. Sebentar saja Pranata kembali terdesak.
Melihat keadaan suaminya yang terdesak, Ambar
wati segera memekik menyerang Nyai Loreng. Nyai Lo-
reng terkejut, dia menunduk dan berguling ketika pe-
dang Ambarwati siap menebas lehernya.
"Hup!"
"Nenek iblis! Mampus kau!" geram Ambarwati keras
karena melihat suaminya nampak sudah kehabisan
tenaga.
Kini dia yang menghadapi Nyai Loreng. Tetapi Nyai
Loreng sendiri tidak mau membuang waktu lagi. Lang-
sung dia mengarahkan sumpitnya pada Ambarwati.
Ambarwatilah yang sekarang kalang kabut. Peluru-
peluru beracun itu demikian gencar menyerangnya.
Melihat keadaan isterinya yang terdesak, Pranata sege-
ra membantu dengan pukulan Sinar Merahnya.
Dia merasa dapat kesempatan untuk bernafas dan
menghimpun tenaga. Maka dia pun menyerang kemba-
li dengan gencar.
"Manusia-manusia keparat!" maki Nyai Loreng yang
kembali menjadi kalang kabut dan sukar untuk mem-
balas. Dia terus mundur untuk menjaga jarak.
Namun serangan Sinar Merah yang dilepaskan Pra-
nata Kumala begitu gencar. Tiba-tiba dia bersalto ke
belakang dan menghilang di balik pintu yang jebol.
"Nenek iblis!" bentak Pranata. "Jangan kabur, Nyai
Loreng!" kejar Pranata Kumala.
Tetapi bayangan Nyai Loreng telah menghilang.
Pranata kembali lagi ke ruangan itu.
Dia berkata pada Ki Madrim, "Kini semuanya sudah
jelas, Ki... Nyai Loreng adalah manusia iblis yang ke-
jam dan sakti. Sayang... Suralaga dan Giri Lantang te-
lah mampus di tangannya..."
"Pranata... biar bagaimanapun keadaanku, aku ber-
terima kasih padamu. Nah, sebaiknya kita tinggalkan
tempat ini sekarang juga!"
Ki Madrim bergerak mendahului. Namun mendadak
terdengar pekikannya yang keras luar biasa.
"Aaaakkkkkhhhh!"
Tubuh yang sudah bergerak itu mencelat ke bela-
kang bagai dihantam oleh satu dorongan angin yang
kuat. Dan tubuh itu kelojotan keras.
Pranata Kumala dan Ambarwati terkejut. Mereka ti-
dak menyangka satu serangan gelap datang menerpa
Ki Madrim.
Dan mereka baru menyadari setelah terdengar sua-
ra Nyai Loreng, "Hihihi... rasakanlah kematianmu, Ki
Madrim! Nah, Pranata Kumala dan Ambarwati... sela-
mat tinggal dan sampai bertemu lagi!"
Rupanya Ki Madrim terkena peluru Sumpit Beracun
Nyai Loreng. Karena tubuh itu kemudian meregang
dan pecahlah seluruh urat nadinya hingga tubuh itu
pun bermandikan darah dan mati dengan tubuh pucat
pasi.
Pranata yang merasa Nyai Loreng telah meninggal-
kan tempat itu, melangkah mendekati Ki Madrim! Na-
mun tiba-tiba terdengar pekikan Ambarwati.
"Awaaaas, Kakang!"
Satu sosok tubuh mencelat dari luar menerjang ke
arah Pranata Kumala. Pranata langsung bersalto ke
belakang begitu merasakan angin besar mendekatinya.
Sosok itu memang Nyai Loreng. Setelah Pranata
menghindar dengan gerakan cepat, Nyai Loreng me-
nyambar buntalan berisi emas permata yang terletak di
dekat mayat Ki Madrim.
Lalu dia mencelat ke luar dan menghilang.
Hanya kikikannya yang menggema keras.
"Sampai ketemu lagi, Pranata dan Ambarwati!"
Pranata menggeram marah. Di samping kejam, ter-
nyata wanita iblis itu pun licik. Dia tak bisa mengejar
Nyai Loreng karena tubuh itu telah menghilang bagai
ditelan bumi.
Ambarwati mendekati suaminya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?"
"Tidak, Rayi... tidak kusangka wanita itu demikian
liciknya."
"Benar, Kakang. Dan kesaktiannya pun tinggi."
"Terutama racun pada kuku dan sumpitnya. Itu
sangat berbahaya."
"Lalu apa tindakan Kakang selanjutnya?"
"Aku akan mencari Nyai Loreng, Rayi."
"Kalau itu maumu, Kakang... aku akan tetap me-
nemanimu..."
Pranata Kumala tersenyum. Lalu mengajak isterinya
keluar dari sana untuk menyusuri jejak Nyai Loreng si
penyebar mala petaka.
***
DELAPAN
Satu sosok berjubah putih dengan wajah arif dan
bijaksana, melangkahkan kakinya dengan gerakan
lambat. Matanya yang memancarkan sinar kebijaksa-
naan dan kasih sayang memperhatikan bangunan be-
sar itu.
Bangunan itu dikawal oleh beberapa orang penjaga.
Sosok berjubah putih itu mendesah.
Lalu hati-hati dia mendekati bangunan yang tak
lain tempat kediaman Juragan Seta Agung. Dua orang
pengawal rumah itu menghampirinya dan saling me-
nyilangkan tombak.
Laki-laki berjubah putih itu tersenyum.
"Maaf... aku perlu bertemu dengan majikan kalian."
Salah seorang pengawal yang berwajah seram, me-
nyahut galak, "Siapa kau?"
"Namaku... Madewa Gumilang."
"Hhh! Ada keperluan apa kau bertemu dengan ma-
jikan kami?"
"Aku telah mendengar kabar yang buruk, di mana
seorang tokoh jahat yang bernama Nyai Loreng hendak
menyerang ke sini..." kata sosok berjubah putih itu
yang memang Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma.
Dia keluar dari Perguruan Topeng Hitam, perguruan
silat yang dipimpinnya warisan dari Paksi Uludara (Ba-
ca: Dewi Cantik Penyebar Maut), hendak mengikuti pe-
tualangan putra dan menantunya. Karena selama ini
salah seorang murid Perguruan Topeng Hitam yang
mengikuti petualangan putera dan menantunya tidak
pernah memberi kabar. Murid itu bernama Pratama
(Baca: Pertarungan Para Pendekar).
Selama pencariannya Madewa Gumilang alias Pen-
dekar Bayangan Sukma tiba di sebuah desa yang
nampak hancur berantakan bagaikan dilanda angin
topan yang amat dahsyat. Dari keterangan yang dida-
pat, desa itu telah diporak-porandakan oleh seorang
nenek iblis yang mengaku bernama Nyai Loreng yang
memiliki senjata sumpit yang amat berbahaya dan be-
racun.
Dari keterangan itu pula, Madewa mengetahui ka-
lau Nyai Loreng hendak menyerang dan membumi-
ratakan rumah Juragan Seta Agung dan merampok se-
luruh emas permata yang dimiliki hartawan itu.
Itulah sebabnya Madewa segera menuju Desa Bo-
jong Karta dan mencari rumah Juragan Seta Agung. Di
antara rumah-rumah yang terdapat di sana, hanya se-
buah yang nampak besar dan kaya. Dugaan Madewa,
tentu itulah rumah milik Juragan Seta Agung.
"Hei, Madewa!" kata pengawal itu dengan congkak.
"Jangan coba-coba untuk berbohong! Mana ada orang
yang berani menyerang kediaman Juragan Seta Agung,
hah?"
"Pengawal, aku tak punya banyak waktu! Biarkan
aku menemui Seta Agung!" kata Madewa Gumilang.
"Tak semudah itu, Madewa! Kau..." pengawal itu
menghentikan kata-katanya karena sosok tubuh di de-
pannya mendadak menghilang. Dia kaget. Dan tak me-
lihat Madewa telah melompati tubuhnya dan kini den-
gan santainya masuk ke bangunan besar itu. Pengawal
tadi dari rasa sombong dan kaget berubah menjadi ke-
takutan. Dia melirik temannya yang juga tak kalah ka-
getnya. "Apa... apakah yang berdiri di hadapan kita ta-
di dedemit?"
"Aku... aku tidak tahu... sebaiknya kita menjaga sa-
ja lagi. Ah... untungnya dedemit itu tidak mengganggu
kita."
Di dalam Madewa Gumilang tengah berhadapan
dengan Juragan Seta Agung.
Seta Agung terbelalak ketika Madewa memperke-
nalkan dirinya.
"Madewa Gumilang? Pendekar Bayangan Sukma!"
serunya kaget. Dia sudah lama mendengar nama pen-
dekar budiman itu yang sering dijuluki manusia dewa.
Dan dia merasa beruntung karena bisa bertemu den-
gan pendekar budiman itu. Tiba-tiba dia bangkit dari
kursinya dan menjura hormat, "Salam hormat buatmu,
Pendekar Budiman. Selamat datang di kediamanku
ini..."
Melihat majikan mereka nampak menghormat, para
pengawalnya pun ikut-ikutan menghormat. Madewa
menjadi tidak enak dengan sambutan yang seperti itu.
"Seta Agung... aku datang hanya memperingatkan
padamu... kalau ada seorang nenek iblis yang akan
menyerang rumahmu ini. Dia bernama Nyai Loreng..."
"Nyai Loreng! Madewa... hei!" Seta Agung terperanjat
karena sosok Madewa Gumilang sudah tidak nampak
di matanya. Dia kagum luar biasa dengan kesaktian
Pendekar Bayangan Sukma.
Dan dia pun percaya apa yang disampaikan Made-
wa tadi. Maka dia pun segera mengumpulkan para
pengawalnya untuk berjaga di setiap penjuru.
***
Malam mulai larut. Dan rembulan nampak enggan
untuk bersinar. Dia bersembunyi di balik awan hitam.
Satu sosok tubuh melompat dari satu dahan pohon
ke dahan lain. Gerakannya lincah dan cepat. Sosok
tubuh itu adalah Nyai Loreng.
Dia makin mendekati rumah milik Juragan Seta
Agung. Dan tanpa menimbulkan suara, dia melum-
puhkan satu per satu pengawal yang ada di sana den-
gan sumpitnya.
Namun tanpa setahunya, dua pasang mata melihat
perbuatannya. Keduanya tak lain Pranata Kumala dan
Ambarwati, yang langsung mengikuti Nyai Loreng seca-
ra diam-diam.
"Kita bekuk manusia iblis itu, Rayi," desis Pranata
Kumala.
Sementara Nyai Loreng makin asyik beroperasi.
Membunuhi para pengawal itu dengan sumpitnya. Ke-
tika dia akan memasuki bangunan itu, terdengar ben-
takan,
"Nyai Loreng! Aksimu hanya sampai di sini saja!"
Nyai Loreng berbalik dan melihat Pranata Kumala
dan Ambarwati di hadapannya.
Dia mendengus. "Hhh! Kalian rupanya memang in-
gin mampus!" desisnya marah.
Dan teriakan-teriakan itu menarik perhatian para
pengawal di rumah Seta Agung. Begitu pula dengan
Seta Agung. Dia melihat beberapa tubuh pengawalnya
telah menjadi mayat. Dan di halaman ada tiga sosok
tubuh yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun begi-
tu melihat pakaian yang dikenakan Nyai Loreng ber-
warna loreng mirip kulit harimau, dia dapat menduga
siapa adanya nenek itu. Pasti dialah yang bernama
Nyai Loreng!
"Nyai Loreng keparat!" serunya. "Dengan maksud
apa kau menyatroni rumahku dan membunuhi para
pengawalku, hah?!"
"Hihihi... Seta Agung... serahkan emas permata mi-
likmu padaku! Cepat... bila tidak, akan kuratakan ru-
mahmu ini dengan tanah!"
"Tidak semudah itu, Nyai Loreng!" kata Seta Agung
berani.
"Hihihi... tikus kecil punya nyali juga rupanya!" ben-
taknya. Dan tiba-tiba sumpitnya bergerak dengan ce-
pat. Dan pelurunya pun mendesing ke arah Seta
Agung.
"Berguliiiiing!" terdengar seruan Pranata Kumala.
Dan secara reflek Seta Agung menjatuhkan tubuhnya.
Pranata segera bersalto dua kali di udara dan me-
nyerang Nyai Loreng. Nyai Loreng berbalik dan me-
nyumpit.
"Sreet!"
Pranata tidak jadi untuk menyerang, dia melompat
ke kiri, dan membalas dengan pukulan Sinar Merah-
nya.
Tiba-tiba terdengar seruan dari Seta Agung, "Ke-
pung nenek itu dan tangkap!"
Beberapa pengawal setianya segera bergerak. Men-
gurung. Namun mereka hanya mengantarkan nyawa
dengan sia-sia. Dengan santai dan ringannya Nyai Lo-
reng menyumpit mereka satu per satu hingga tak ada
yang tersisa. Semuanya mati dengan tubuh berdarah
karena seluruh urat nadi mereka pecah.
Seta Agung menggeram marah separuh ngeri.
Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dia menjerit
menerjang dengan hebat. Tetapi dari tempatnya, Nyai
Loreng hanya menyumpit saja. Membuat Pranata lagi-
lagi menghentikan serangannya.
Tiba-tiba Pranata teringat akan Seruling Naga. Se-
ruling sakti pemberian ayahnya. Dia bermaksud hen-
dak menggunakan seruling itu, namun di sini masih
ada isterinya, Seta Agung dan putera serta isterinya
Seta Agung. Ini sangat berbahaya karena bila mereka
mendengar alunan suara seruling itu mereka bisa mati
kelojotan dengan telinga yang mengalirkan darah.
"Hihihi... kini tibalah saatnya kau mampus, Prana-
ta!" kata Nyai Loreng dan siap menyerang Pranata den-
gan peluru-peluru sumpitnya secara gencar.
Pranata pun menghindar dengan sebisanya. Semen-
tara Ambarwati tidak berani maju untuk membokong
karena di malam yang cukup gelap ini, peluru Nyai Lo-
reng sangat sukar untuk diikuti oleh mata.
Mendadak suatu ketika Pranata terjatuh dan pelu-
ru-peluru sumpit Nyai Loreng siap untuk menjemput
nyawanya.
"Kakaaaangg!" seru Ambarwati terkejut.
Pranata sendiri sudah sukar untuk menghindar. Ti-
ba-tiba sebuah kain putih mengibaskan peluru-peluru
Nyai Loreng.
Dan kain putih itu berubah menjadi sebuah jubah.
Di hadapan Pranata Kumala kini berdiri satu sosok
berjubah putih.
Pranata terkejut melihatnya dan berseru, "Ayah!"
Sosok itu memang Madewa Gumilang. Sebenarnya
sejak tadi Madewa melihat perkelahian antara pu-
tranya dengan Nyai Loreng. Namun dibiarkan saja.
Hingga ketika putranya sudah kewalahan dan terdesak
tak mungkin menghindar, dia pun maju memapaki pe-
luru-peluru Nyai Loreng dengan jubah putihnya.
Nyai Loreng sendiri menggeram marah.
"Orang berjubah putih! Siapa kau adanya?!"
"Aku... Madewa Gumilang, Nyai Loreng!"
"Madewa Gumilang!" ulang Nyai Loreng dengan sua-
ra yang terdengar terkejut. Tapi kemudian dia terkikik.
Dia sudah lama mendengar tentang nama Madewa
Gumilang, pendekar budiman yang sering dijuluki ma-
nusia dewa. "Hihihi... selamat berkenalan denganku,
Madewa Gumilang... sudah lama kudengar namamu
dan sudah lama pula aku ingin mencoba kesaktianmu,
Madewa!"
"Ah, aku tidak sehebat yang kau kira, Nyai Loreng.
Aku hanyalah manusia biasa."
"Tidak percuma kau dijuluki pendekar budiman,
Madewa. Sikapmu begitu arif dan merendah."
"Kau hanya mendengar namaku dari orang-orang
saja, Nyai Loreng..."
"Madewa... sekali lagi kukatakan, aku sudah lama
ingin mencoba kesaktianmu! Nah, terimalah tantan-
ganku ini!" seru Nyai Loreng sambil menerjang hebat.
Kedua tangannya terbuka. Kuku-kuku beracunnya
siap untuk menghunjam.
Namun yang dihadapinya ini adalah manusia dewa,
dengan mudah saja Madewa menghindari serangan
berbahaya dari Nyai Loreng dengan jurus Ular Melo-
loskan Diri.
"Jangan hanya bisa menghindar saja, Madewa!"
"Nyai Loreng... kekejamanmu sudah nampak di ma-
taku. Kau begitu telengas dan kejamnya! Baik, aku
akan memberi pelajaran untukmu!" kata Madewa dan
membuka jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Mendadak
tangannya bergerak sangat cepat dan kelihatannya
menjadi banyak. Nyai Loreng sendiri menghindar dan
membalas. Madewa dapat merasakan hawa panas yang
keluar dari kuku-kuku Nyai Loreng. Berarti kuku
kuku itu mengandung racun.
Madewa pun mengganti jurusnya dengan Pukulan
Tembok Menghalau Badai. Nyai Loreng sendiri kaget
ketika merasakan desiran angin yang kuat yang ditim-
bulkan oleh pukulan itu.
"Des!" suatu saat dadanya berhasil digedor oleh pu-
kulan itu. Sadarlah kini Nyai Loreng akan kehebatan
Pendekar Bayangan Sukma. Dia pun tak mau bertin-
dak tanggung-tanggung lagi. Langsung dipasangnya
sumpitnya dan dia pun mulai meniup menyerang Ma-
dewa.
Madewa menghindari serangan itu. Dengan ilmu
Pandangan Menembus Sukmanya dia dapat melihat la-
ju peluru-peluru itu hingga dengan mudah dia berhasil
menghindar.
Hal ini membuat Nyai Loreng menjadi geram. Dia
menghentikan menyumpitnya. Dan mengambil bebe-
rapa peluru yang terbuat dari emas. Keajaiban peluru
itu bisa seperti mata, karena bila belum mengenai sa-
sarannya, peluru itu akan mengejar terus.
Dan itu pun dialami oleh Madewa Gumilang. Dia
menghindar ke mana pun peluru itu mengikutinya.
Nyai Loreng terbahak. Madewa mendengus. Dia berpi-
kir mengapa peluru ini bisa seperti mempunyai mata.
Dan tiba-tiba sekali Madewa bergerak ke arah Nyai Lo-
reng sementara peluru-peluru itu terus mengikutinya.
Nyai Loreng sendiri kaget. Dia bergerak ke kiri. Dan
Madewa pun bergerak ke kiri. Dan secepat kilat dia
bergulingan di tanah. Peluru yang mengikutinya itu
begitu dekat jaraknya dengan Nyai Loreng. Dan tanpa
ampun lagi peluru-peluru itu mengenai tuannya sendi-
ri.
Terdengar pekikan keras yang menyayat hati.
Tidak lebih dari lima detik, tubuh itu telah menjadi
hangus secara mengerikan.
Madewa mendesah panjang. Lalu diambilnya sumpit
di tangan Nyai Loreng. Dia mencoba memusnahkan-
nya, namun gagal. Berkali-kali dia pukul sumpit itu
tak pecah. Bahkan Pukulan Tembok Menghalau Badai
pun sedikit juga tak membuat sumpit itu retak.
Madewa merasa sumpit itu harus dimusnahkan.
Dan tiba-tiba dia merangkul kedua tangannya di dada
hingga mengeluarkan asap berwarna putih. Itulah Pu-
kulan Bayangan Sukma miliknya, pukulan pamungkas
yang belum ada duanya di dunia persilatan. Dan dia
pun mengayunkan tangannya ke arah sumpit itu.
Terdengar suara ledakan keras. Dan sumpit itu
hancur berantakan.
Lagi Madewa mendesah. Lalu melangkah pada pu-
tra dan anak menantunya.
"Ayah!" seru Pranata dan Ambarwati bersamaan.
"Ayah cuma minta... masihkah kalian hendak me-
neruskan petualangan kalian?"
"Sampai kapan pun, Ayah! Kami akan meneruskan
petualangan ini!"
"Bila itu mau kalian, teruskanlah! Pesan ayah, hati-
hati!" Dan tubuh itu pun tiba-tiba menghilang, bagai
ditelan bumi.
Pranata mendesah. Lalu menghampiri Seta Agung
yang sedang meratapi mayat-mayat para pengawalnya.
Setelah bercakap-cakap sebentar, lalu Pranata dan is-
trinya pun meninggalkan tempat itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar