..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE SI CAKAR RAJAWALI

Si Cakar Rajawali

 

SI CAKAR RAJAWALI

Karya Djair Warni

Penerbit SARANA KARYA

Cetakan pertama 1991

Setting oleh : Trias Typesetting 

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 

tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan 

belaka


SATU


Hari sudah malam. Tetapi keadaan 

di sekitar pantai itu cukup terang 

disinari rembulan. Kali Pekik tampak 

memanjang dari Utara ke arah Selatan, 

berkelok-kelok dan berkilau-kilau 

ditimpa sinar rembulan.

Muara kali itu berdesir-desir 

diterjang ombak laut, yang datang 

bagaikan saling berlomba ke pantai. Di 

sana terlihat puluhan benda kehitam-

hitaman mengambang di permukaan air. 

Bentuknya kecil panjang, bergerak 

perlahan-lahan dan hilir mudik. Itulah 

buaya-buaya yang terkenal sangat ganas 

dan telah sering mengambil korban 

jiwa.

Tak jauh dari muara yang banyak 

dihuni buaya itu, tumbuh sebatang 

pohon besar, tinggi dan cukup rindang. 

Kadang-kadang hempasan ombak laut 

sampai ke batang pohon itu, tetapi 

pohon itu tetap tegar. Bahkan 

sepertinya berlaku sombong menantang 

hempasan air laut maupun terjangan 

angin. Daun-daunnya bergoyang-goyang 

ditiup angin malam. Beberapa helai 

daun kering gugur, lalu jatuh 

melayang-layang ke pantai berpasir 

putih.

Sekitar lima meter dari pohon 

itu, berdiri seorang lelaki. Sepasang 

matanya menatap ke arah muara yang


dihuni buaya. Mulutnya terkatup rapat 

dan tubuhnya pun tegak tanpa bergerak-

gerak mirip patung.

Lelaki itu masih cukup kekar, 

berusia sekitar dua puluh lima tahun, 

dengan tubuh yang kekar. Kumisnya 

panjang melingkar di atas bibirnya 

yang kehitam-hitaman. Ia mengenakan 

ikat kepala belang-belang. Alis 

matanya tebal, pertanda ia seorang 

pria yang keras hati

Tetapi melihat sikapnya saat 

itu, agaknya ia sedang menanggung 

penderitaan batin maupun lahir yang 

sangat menyakitkan. Wajahnya yang 

mencerminkan kekerasan itu terlihat 

menahan sakit dan dendam.

Di bawah sinar rembulan, tampak 

tangan kanannya di bagian pergelangan 

bengkok dan membengkak kaku seperti 

cengkrong. Tulang pergelangan tangan-

nya itu pastilah remuk, sehingga tidak 

bisa digerakkan. Nyerinya bukan main, 

seperti ditusuk-tusuk jarum.

Berkali-kali terdengar pria itu 

mengeluh dan merintih kesakitan. "Oh, 

Pak Guru. Seandainya engkau masih 

hidup, engkau tentu akan mengobati 

tanganku ini sampai sembuh seperti 

sedia kala. Tapi engkau telah pergi 

untuk selamanya, gugur di tangan 

jahanam itu. Aku akan menuntut balas 

atas kematianmu ini," lelaki itu 

bergumam dalam hati.


Siapakah sebenarnya lelaki itu? 

Dialah Barna pendekar yang kelak akan 

dikenal sebagai si Cakar Rajawali. 

Beberapa hari lalu gurunya bertarung 

habis-habisan dengan Jaka Sembung di 

tepi muara kali Pekik. Melalui 

pertarungan yang sangat panjang dan 

menegangkan, gurunya akhirnya terlem-

par dalam keadaan tak berdaya ke dalam 

muara itu. Tak ayal lagi, tubuh itu 

pun habis dicabik-cabik oleh puluhan 

buaya. Di muara sungai itulah gurunya 

terkubur.

Dalam pertarungan sebelumnya 

Barna menderita luka tulang remuk di 

bagian pergelangan tangan kanannya. 

Sebentar ada rasa putus asa dalam 

hatinya, karena ia telah hidup 

menyendiri, tanpa guru bahkan tanpa 

sanak saudara. Tetapi karena kebencian 

dan dendam di dalam hatinya, semangat-

nya berkobar kembali. Tidak! Aku tidak 

boleh putus asa. Aku akan melatih 

tanganku yang cacat ini, ia berkata 

dalam hati.

Perlahan-lahan, ia berlutut dan 

mengangguk-angguk ke arah muara kali 

Pekik. "Guru, selamat jalan! Mohon doa 

restu untuk muridmu...." katanya 

dengan suara bergetar. Setelah itu, ia 

kembali bangkit dan melangkah 

meninggalkan tempat itu.

Esok harinya, matahari bersinar 

sangat teriknya bagai hendak membakar


pasir pantai teluk Cirebon. Pasir 

pantai yang sangat luas itu terlihat 

mengeluarkan uap seperti air mendidih, 

yang menginjaknya pastilah akan 

kepanasan. Itulah sebabnya pantai itu 

nyaris tak pernah didatangi manusia 

bila siang. Tetapi di pantai pasir itu 

sekarang tampak seorang lelaki sedang 

duduk setengah berjongkok.

Perbuatannya sangat aneh, 

sekaligus mengagumkan. Ia membenamkan 

tangan kanannya ke dalam pasir yang 

panas itu. Itulah Barna! Lelaki muda 

itu mulai berlatih, mempersiapkan 

tangan kanannya yang cacat menjadi 

kuat serta berbahaya. Berjam-jam 

lamanya ia berbuat seperti itu. Dan 

ketika matahari mulai condong ke 

Barat, ia menarik tangannya dan 

beristirahat.

Malam harinya, ia berlatih silat 

dengan sangat tekunnya. Begitulah ia 

habiskan hari-harinya di pantai teluk 

Cirebon. Tak ada yang mengetahui atau 

menyaksikannya. Seiring dengan 

perjalanan waktu, ilmunya pun semakin 

tinggi dan pergelangan tangannya mulai 

sembuh.

Karena sepanjang hari dipanggang 

sinar matahari di pantai, kulit 

tubuhnya pun menjadi hitam legam. 

Sebulan, dua bulan, tiga bulan terus 

berlalu tanpa terasa. Pergelangan 

tangan kanannya selain tidak sakit


lagi, juga telah kuat. Tetapi ben-

tuknya berbeda dengan tangan kirinya. 

Pergelangan tangan itu terlihat lebih 

besar, kaku dan kehitam-hitaman karena 

sepanjang hari dibenamkan di pasir 

panas. Jika dibuka dengan posisi 

hendak mencengkeram, tangan kanannya 

terlihat seperti terbuat dari besi.

Ia berlatih terus, seperti telah 

lupa segala-galanya sebab hanya 

memikirkan ilmu silat yang sedang 

dipelajarinya. Setengah tahun kemu-

dian, terlihat ada kemajuan dalam 

dirinya. Sekarang ia tak melatih 

tangan kanannya lagi di pasir pantai, 

melainkan di dalam air mendidih. 

Setiap hari selama berjam-jam, Barna 

menyalakan api menjerang air di dalam 

kuali.

Di dalam air mendidih itulah ia 

membenamkan tangan kanannya sehingga 

menjadi sangat kuat. Bahkan pada hari-

hari berikutnya, ia mulai bisa melatih 

tangannya itu di dalam kobaran api. 

Sungguh luar biasa, pergelangan 

tangannya sama sekali tidak terbakar.

Memang hampir tidak masuk akal! 

Namun di kalangan dunia persilatan, 

ilmu melatih tangan seperti itu, 

karena selain membutuhkan waktu yang 

sangat lama, juga ketekunan disertai 

tekad baja.

Jika berhasil, tangan tersebut 

akan menjadi kuat luar biasa. Batang


pohon yang sangat kuat pun bisa 

terkelupas oleh sambaran jemari tangan 

itu. Selain itu, tenaga dalam yang 

menyambar dari telapak tangannya 

mengandung hawa panas yang dapat 

membuat lawan kewalahan.

Kehebatan tangan kanannya itulah 

yang membuatnya dijuluki Si Cakar 

Rajawali. Karena cengkeraman tangan 

kanannya memang mirip cakar burung 

rajawali.

Beberapa bulan kemudian setelah 

ilmunya dirasakan sempurna, ia pernah 

keluar dari tempatnya mengasingkan 

diri sambil memperdalam ilmu, pergi ke 

kota untuk membeli kebutuhan hidupnya. 

Tanpa ia inginkan, ia hendak ditipu 

jagoan-jagoan pasar, bahkan mereka 

memperlakukannya sangat kasar. Maka ia 

pun mengamuk bagaikan banteng luka. 

Tangan kanannya yang sekeras baja itu 

menyambar-nyambar amat dahsyatnya. 

Akibatnya memang luar biasa! Setiap 

jagoan yang terkena sambaran tangannya 

langsung roboh bersimbah darah.

Nama Si Cakar Rajawali segera 

meluas, berpindah dari mulut ke mulut. 

Dan nama itu bahkan merupakan semacam 

momok yang sangat menakutkan bagi para 

pendekar di sekitar daerah pantai 

Cirebon.

Jarang ada pendekar yang 

mengetahui latar belakang Si Cakar 

Rajawali. Karena sebelum menguasai


ilmu cakar maut itu, ia memang belum 

dikenal orang dalam dunia persilatan.


DUA



Teriknya sinar matahari tidak 

hanya menyengat pantai teluk Cirebon. 

Tetapi juga memanggang Desa Pamanukan 

di daerah Utara Cirebon. Penduduk 

tampak enggan bicara karena siang itu 

udara sangat panas. Hanya beberapa 

petani yang kelihatan bekerja seperti 

biasa, atau membawa pulang hasil 

ladangnya, ke rumah masing-masing.

Di tengah-tengah desa yang 

sedang kepanasan itu, tampak seorang 

gadis cantik melangkah agak gontai. 

Peluh membasahi sekujur tubuhnya 

hingga bajunya terlihat basah. 

Berkali-kali ia meneguk air liur 

sendiri atau membasahi bibirnya dengan 

air ludah sekadar untuk menahan rasa 

dahaga dan lapar yang amat sangat.

Itulah dia Ranti, putri almarhum 

Gagak Ciremai dari Desa Perbutulan. 

Dara jelita yang memiliki ilmu tinggi, 

tetapi sedang mengalami prahara cinta, 

karena harapannya yang begitu indah 

telah kandas, terhempas di batu-batu 

karang. Harapannya telah hancur 

berkeping-keping.

Seperti diceritakan pada awal 

kisah, Ranti datang dari Desa 

Perbutulan ke Desa Kandang Haur untuk


menemui Roijah, kekasih Parmin. Dara 

jelita yang dididik dan dibesarkan 

raja rampok Gembong Wungu ini 

bermaksud menantang Roijah untuk 

bertarung memperebutkan Parmin, Si 

Jaka Sembung. Setibanya di Desa 

Kandang Haur, ia berhasil menyelamat-

kan Roijah dari penjara Van Eisen. 

Tapi di tengah hutan Loyang, Ranti 

mengajak Roijah bertarung hidup mati 

dalam arti siapa yang hidup atau 

menang dialah yang berhak mendampingi 

Parmin.

Tetapi kemudian, Ranti menyadari 

sepenuhnya bahwa cinta memang tidak 

bisa diperebutkan. Cinta itu lahir 

sendiri tak bisa dipaksakan. Akhirnya 

ia pun meninggalkan Roijah bersama 

gurunya di tengah hutan itu. Ia 

berlari dan terus berlari ke luar 

hutan Loyang, lalu masuk hutan lain 

lagi. Air mata gadis itu tak henti-

hentinya menetes membasahi wajahnya.

Entah berapa hari ia berlari ke 

luar masuk hutan, Ranti sendiri tidak 

mengingatnya. Hatinya sangat terpukul 

karena kegagalannya meraih mimpi-

mimpinya yang sangat indah. Akhirnya, 

dalam keadaan sangat lemas, kehausan 

dan kelaparan, dara jelita itu sampai 

di depan desa Pamanukan.

Ranti sebenarnya tidak mempunyai 

kenalan di desa itu. Ia cuma kebetulan 

saja sampai di sana dalam


perjalanannya yang tanpa tujuan pasti. 

Sejenak ia hentikan langkahnya di 

depan sebuah warung di tengah desa. Di 

dalam warung itu tampak seorang lelaki 

sedang makan sendirian dengan posisi 

duduk membelakangi Ranti.

Rasa haus dan lapar semakin 

menyiksa. Ranti ingin mampir ke warung 

itu, tetapi ia tak mempunyai uang 

lagi. Ia kembali merasakan betapa 

menyakitkan jika tidak mempunyai uang, 

apalagi kalau sedang berada di desa 

orang.

"Apa akalku sekarang?" pikir 

gadis itu setengah putus asa. "Ah, 

sebaiknya aku mencoba menawarkan diri 

mencuci piring kepada pemilik warung 

itu agar aku bisa minum atau makan."

Namun ketika melangkah hendak ke 

warung itu, tiba-tiba seorang lelaki 

setengah baya menghampirinya. Lelaki 

itu kurus dan matanya cekung dengan 

kumis tipis tapi panjang, membuatnya 

kelihatan lebih tua dari umur 

sebenarnya. Melihat sinar mata pria 

itu, Ranti segera menduga bahwa orang 

yang belum dikenalnya itu pastilah 

orang licik dan jahat.

Sambil tersenyum dengan setengah 

menyeringai, Tapor yang dijuluki 

Serigala Pamanukan itu menatap Ranti 

dari ujung kaki sampai ke ujung 

rambut.

"He, he, he, kelihatannya nona


merupakan orang asing di desa ini. 

Agaknya nona sedang dalam kesulitan. 

Kalau seandainya nona membutuhkan 

pertolongan, dengan senang hati akan 

saya bantu, nona," kata Tapor.

"Apa maksudmu?" tanya Ranti 

ketus, tidak senang melihat sikap pria 

itu, terutama sinar matanya yang 

jelalatan melirik ke arah dada Ranti.

"Maksud saya begini nona. Saya 

lihat pedang nona itu sangat bagus. 

Saya ingin memilikinya. Bagaimana 

kubeli beberapa gulden? Nona tentu 

tidak keberatan."

"Maaf, pak! Senjata ini adalah 

senjata pusaka pemberian ayahku. Tidak 

mungkin dijual. Permisi, aku mau pergi 

dulu," ujar Ranti sambil membalikkan 

badan hendak meninggalkan Serigala 

Pamanukan.

"Hei, tunggu dulu, nona! Saya 

bermaksud baik. Saya yakin saat ini 

nona sangat kehausan dan kelaparan, 

namun tidak mempunyai bekal uang lagi. 

Biarlah aku membeli senjatamu itu," 

kata Tapor sambil mencolek tangan 

Ranti.

Melihat tingkah lelaki itu agak 

kurang ajar, menjadi panas juga hati 

Ranti. Lelaki itu sepertinya 

menanggapi Ranti sebagai gadis murahan 

yang bisa diperdaya begitu saja. 

Seumur hidupnya, Ranti belum pernah 

dicolek-colek lelaki yang bermaksud


kurang ajar seperti itu.

Tetapi agaknya, Tapor sudah 

terbiasa tidak perduli perasaan orang 

lain. Walaupun wajah Ranti mulai merah 

dan matanya mendelik bagai memancarkan 

api, Tapor tetap cengengesan, bahkan 

kembali mencolek Ranti.

"Heh, orang tua seperti kau 

jangan kurang ajar, ya! Nanti kepalamu 

sendiri yang belah dua oleh senjata 

pusakaku. Sudah kubilang aku tidak 

akan menjualnya malah bersikap kurang 

ajar lagi."

"Aduh, jangan galak begitu, nona 

manis. Apa salahnya nona menjual 

senjata pusaka itu kalau nona memang 

sangat membutuhkan uang? Pedang itu 

toh tidak akan bisa memberikan nona 

minuman dan makanan." 

"Tutup mulutmu!"

Agaknya pertengkaran mulut itu 

terdengar oleh Karta, lelaki yang 

sedang makan di warung tersebut. Ia 

segera bangkit dari duduknya, lalu 

melangkah menghampiri kedua orang yang 

sedang bertengkar itu.

Sebenarnya, Karta tidak mau 

mencampuri urusan orang. Apalagi 

karena ia juga merupakan pendatang 

baru di desa Pamanukan. Namun ketika 

mendengar suara Ranti, tiba-tiba saja 

dadanya berdebar tak karuan. Suara itu 

terasa begitu dekat dengan jiwanya, 

bahkan selama ini bagaikan perlambang


kebahagiaan baginya.

Ketika memperhatikan wajah 

Ranti, terkejut juga Karta karena 

gadis itu masih sangat muda dan cantik 

jelita. Agaknya ia juga baru kali ini 

menginjakkan kakinya di desa ini. 

Mungkin ia pendekar yang suka 

mengembara, atau paling tidak sedang 

dalam perjalanan menunaikan tugas 

penting. Demikianlah dugaan Karta yang 

dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.

"Maaf, saudara-saudara, saya 

mengganggu pembicaraan saudara berdua. 

Ada apakah gerangan sehingga orang tua 

yang tentu saja bijak sana terlibat 

pembicaraan yang kurang menyenangkan 

dengan seorang gadis?"

"Hai, siapakah kau anak muda? 

Kenapa begitu lancang mencampuri 

urusan orang?" kata Serigala Pamanukan 

dengan nada tak bersahabat.

"Ah, agaknya tuan telah salah 

mengerti. Saya sama sekali tidak 

bermaksud mencampuri urusan tuan. Saya 

tidak berhak mencampurinya sebab di 

antara kita memang tidak ada hubungan 

apa-apa. Sama seperti tuan yang saya 

kira juga tidak berhak mencampuri 

urusan nona itu."

"Agaknya kau belum kenal siapa 

aku, ya! Akulah si Serigala Pamanukan, 

jagoan nomor wahid di desa ini. Kau 

orang pendatang jangan coba-coba sok 

jadi pahlawan. Sayang jika keda


tanganmu ke sini hanya untuk 

mengantarkan nyawa!"

"Sungguh merupakan suatu kehor-

matan bagi saya yang rendah dapat 

bertemu dengan jagoan desa ini. Tetapi 

janganlah memaksanya, jangan memper-

alat kelemahannya untuk memperdayai. 

Barang pusaka memang tidak boleh 

diperjual belikan. Sebab harganya sama 

dengan nyawa atau kasih sayang orang 

yang memberikan pusaka itu. Saya 

yakin, jagoan sehebat Serigala Pama-

nukan tentu sudah mengetahuinya."

"Kurang ajar! Agaknya kau harus 

diberi pelajaran agar tidak lancang 

mencampuri urusan orang."

"Sudah kubilang, saya tidak 

bermaksud mencampuri. Tetapi bagaimana 

mungkin aku diam melihat seorang gadis 

hendak diperdayai orang tua 

sepertimu?"

"Oh, jadi kau berani menantang 

aku, hah?"

"Maaf, aku tak perlu lagi 

melayanimu," kata Karta ketus.

"Tunggu!" bentak Serigala Pama-

nukan sambil menggenggam hulu 

goloknya.

"Maaf, saya harus pergi seka-

rang. Harap kau tidak terlalu memak-

saku." Lalu dengan sikap tak mau per-

duli lagi kepada Serigala Pamanukan, 

Karta menghampiri Ranti, kemudian 

dengan sikap bersahabat: "Maaf, nona!


Nona jangan salah paham terhadap saya. 

Tetapi jika nona kiranya tidak 

keberatan, marilah kita sama-sama 

minum dan makan di warung itu. Saya 

yakin nona adalah teman senasib dan 

seperjuangan."

"Terima kasih atas kebaikan hati 

tuan," ujar Ranti pelan.

Kemudian kedua pendekar berusia 

muda itu melangkah meninggalkan 

Serigala Pamanukan, hendak masuk ke 

warung itu kembali. Namun Serigala 

Pamanukan yang agaknya sangat tersing-

gung atas sikap dan kata-kata Karta 

kembali membentak dengan wajah merah 

padam.

"Tunggu dulu anak muda! Kau 

tidak boleh pergi begitu saja seolah-

olah tidak memandang sebelah mata pun 

terhadap diriku ini. Ini adalah 

penghinaan bagiku. Dan siapa yang 

berani menghinaku, berarti ia sudah 

bosan hidup."

Karta menatap Serigala Pamanukan 

dengan sikap yang sangat tenang. 

Bahkan dengan senyum yang sangat 

ramah, ia menyahut: "Saudara yang 

terhormat, jika kau menuduh aku 

menghina dan memandang rendah, 

terserahlah. Tetapi kau pun harus 

menghormati orang. Saya belum selesai 

makan tadi, tapi terpaksa harus 

meninggalkan nasi di meja. Sayang 

kalau dihinggapi lalat. Dan kalau kau


ingin ikut makan bersama-sama, 

silahkan. Kalau tidak, maaf dulu, kami 

harus segera ke warung itu. Kasihan 

nona ini tampaknya sudah sangat 

kelaparan dan kehausan."

"Kurang ajar! Mulutmu yang 

lancang itu akan kurobek-robek nanti. 

Tapi baiklah, sekarang aku beri 

kesempatan untukmu untuk menghabiskan 

makananmu. Tetapi setelah itu, jangan 

harap kau boleh angkat kaki dari sini 

sebelum berurusan denganku."

"Terima kasih atas kemurahanmu 

memberi aku kesempatan untuk makan 

kembali."

Karta menarik tangan Ranti 

memasuki warung itu. Setelah Ranti 

duduk, Karta menghampiri pemilik 

warung itu. "Pak, tolong bikinkan 

makanan sekalian dengan minumannya 

untuk nona ini," katanya.

"Baik, den!"

Ketika pemilik warung sedang 

menyediakan makanan buat Ranti, 

Serigala Pamanukan muncul di pintu 

warung. Ia menatap Karta dengan sinar 

mata merah bagaikan memancarkan api. 

Gerahamnya gemeretak, pertanda

kemarahannya sudah mencapai puncaknya.

"Makan dan minumlah sepuasmu, 

gembel busuk! Mungkin ini adalah 

kesempatan terakhir bagimu untuk 

menikmati lezatnya makanan," kata 

jagoan desa itu dengan sikap


mengancam.

"Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan! 

Julukanmu sungguh hebat, tapi sikapmu 

seperti anak kecil saja," sahut Karta 

seenaknya.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, 

Serigala Pamanukan segera meninggalkan 

warung itu. Karta menatap kepergian 

lelaki itu sambil tersenyum, seolah-

olah geli melihat sikap jagoan desa 

itu. Sikap Karta demikian tenangnya, 

sehingga ia seolah-olah merasa tidak 

pernah terjadi apa-apa, atau tampak 

tak mau perduli apa pun akan dilakukan 

Serigala Pamanukan.



TIGA



Tetapi rupanya, Pak Joran 

pemilik warung makan itu justru sangat 

cemas. Sambil menyuguhkan makanan dan 

minuman di meja di hadapan Ranti, 

lelaki itu mengatakan agar Karta dan 

Ranti hati-hati. Serigala Pamanukan 

itu katanya sangat brutal dan 

mempunyai banyak komplotan yang tak 

segan-segan berbuat kejam kepada siapa 

pun yang dianggap berani menantang.

Setelah menyediakan semua 

pesanan Karta, Pak Joran melihat ke 

luar melalui jendela warungnya. Orang 

tua itu menghela napas dalam-dalam. 

Wajahnya sedikit muram, mungkin sangat 

takut membayangkan sesuatu yang tak


diinginkan akan segera terjadi di 

warungnya.

"Sebaiknya kalian berdua hati-

hati. Serigala Pamanukan itu sangat 

kejam dan memiliki ilmu kesaktian 

tinggi. Selama ini tak pernah ada 

penduduk di desa ini yang berani 

melawannya. Pekerjaannya hanya berbuat 

jahat saja, memeras dan menyiksa 

penduduk. Semua penduduk desa 

Pamanukan ini telah benci kepada 

komplotan mereka."

"Tampaknya bapak sangat takut 

padanya. Apakah Serigala Pamanukan itu 

mau makan daging manusia?" kata Karta 

dengan sikap sangat memandang remeh 

kepada lelaki tadi.

"Ah, agaknya kalian berdua 

memang belum kenal padanya. Sebaiknya 

kalian berhati-hati. Sesal kemudian 

tiada guna, demikian pesan orang-orang 

tua dulu. Kalau sudah marah, Serigala 

Pamanukan pasti akan mengajak anak 

buah serta kawan-kawannya ke sini 

untuk menangkap atau bahkan 

mencelakakan kalian berdua. Ia tidak 

akan mau berhenti sebelum niatnya 

terlaksana."

"Terima kasih atas nasehat 

bapak. Tetapi bapak harus mengetahui 

bahwa kejahatan, cepat atau lambat, 

pasti akan ada akhirnya. Bapak tak 

perlu terlalu khawatir atas kese-

lamatan kami berdua. Percayalah,


ucapanku tadi suatu saat nanti pasti 

akan terbukti."

Ketika Ranti baru menghabiskan 

setengah makannya, tiba-tiba puluhan 

lelaki datang ke warung itu bersama 

Serigala Pamanukan. Para lelaki yang 

merupakan komplotan jagoan desa itu

segera berdiri di depan warung dengan 

posisi melingkar, seolah-olah sedang 

mempersiapkan pagar betis supaya Karta 

tidak bisa melarikan diri.

Serigala Pamanukan maju beberapa 

langkah. Di tangannya kini telah 

terhunus sebilah golok panjang. 

Setelah memberi isyarat agar teman-

temannya segera bersiap-siap, lelaki 

itu berteriak: "Keluar kau, bedebah! 

Cepat keluar! Kalau tidak, aku akan 

mengobrak-abrik warung itu berikut 

isinya."

Pak Joran pemilik warung itu 

menjadi ketakutan. Wajahnya pucat pasi 

dan sekujur tubuhnya gemetaran 

dibasahi keringat dingin. Dengan 

tergopoh-gopoh, lelaki tua itu 

bersembunyi di dapur. Ia hanya berani 

mengintip apa yang bakal terjadi 

melalui celah-celah dinding.

Lain halnya dengan Karta, pemuda 

itu tampak tidak gentar sedikit pun 

juga. Ia malah masih sempai minum 

beberapa teguk, kemudian tertawa 

tergelak-gelak.

"Ha-ha-ha....! Rupanya kau telah


mengundang teman-temanmu ke warung 

ini, sobat yang baik hati. Sayang 

sekali, uangku tak cukup lagi untuk 

membayar makanan kalian semua. 

Bagaimana kalau kalian saja yang 

bayar. Sebagai tuan rumah yang baik, 

kalian tentu tidak akan keberatan, 

bukan?"

"Jangan banyak bicara kau, 

monyet! Keluarlah! Engkau harus diberi 

pelajaran supaya menjadi contoh bagi 

yang lainnya bahwa siapapun yang 

berani mencoba-coba menantang Serigala 

Pamanukan pasti akan mampus!"

Karta kembali tertawa seakan-

akan tidak ada sesuatu yang perlu 

dipikirkan. Diam-diam Ranti merasa 

kagum juga melihat ketenangan pemuda 

yang baru dikenalnya itu. Betapa 

tidak, sekali pun telah dikepung 

puluhan pendekar yang tampaknya rata-

rata memiliki ilmu yang cukup tinggi, 

ia tetap tenang.

Sikap tenang pemuda itu 

mengingatkan Ranti kepada Parmin. 

Pemuda yang dicintainya itu pun 

memiliki ketenangan yang luar biasa. 

Ranti masih ingat, ketika hendak 

berhadapan dengan Gembong Wungu, 

Parmin tetap bersikap tenang. Tak 

terlihat gentar apalagi gugup, padahal 

semua orang tahu siapa sebenarnya 

Gembong Wungu dan betapa tinggi ilmu 

silat yang dimilikinya. Entah siapa


yang bakal menang, seandainya Parmin 

berhadapan dengan Karta. Ranti 

membanding-bandingkan kedua lelaki itu 

di dalam hati.

"Nona yang baik hati, harap nona 

tidak merasa terganggu atas kehadiran 

tikus-tikus itu. Saya sebenarnya masih 

ingin menemani nona makan, sebab tak 

sopan rasanya meninggalkan teman makan

sendirian. Tapi apa boleh buat, mereka 

tampaknya tak sabaran lagi. Saya harus 

segera menemui mereka sekarang juga," 

kata Karta sambil menatap Ranti dalam-

dalam.

"Ah, saya jadi menyesal telah 

merepotkan tuan!" kata Ranti dengan 

suara hampir tak terdengar. Gadis itu 

menundukkan kepala sambil mengetuk-

ngetuk jemari tangannya ke atas meja. 

Entah apa yang sedang dipikirkannya, 

tak seorang pun tahu.

"Maaf, nona. Saya harus menemui 

mereka sekarang," kata Karta lagi.

"Oh, hati-hatilah. Tampaknya 

mereka adalah orang-orang jahat."

Sambil tersenyum, Karta keluar 

dari warung itu. Rambutnya yang 

panjang bergoyang bagaikan menari-nari 

ditiup angin kencang. Sepasang matanya 

yang mencorong tajam bagaikan mata 

elang menyapu gerombolan jagoan desa 

Pamanukan. Ia kembali tersenyum, entah 

karena apa.

"Saudara-saudara sekalian, saya


ucapkan selamat datang atas kedatangan 

kalian ke sini. Saya yakin saudara-

saudara adalah para pendekar yang 

gagah perkasa yang tak mau ribut hanya 

karena sebilah pedang pusaka. Seperti 

yang sudah saya katakan kepada saudara 

Serigala Pamanukan tadi, benda pusaka 

hanya bisa dinilai dengan nyawa atau 

kasih sayang orang yang memberikannya 

dan tidaklah boleh diperjual-belikan. 

Karena itu, dengan segala hormat saya 

minta saudara-saudara sekalian tidak 

memaksa nona itu lagi untuk menjual 

senjata pusakanya."

"Kau jangan berlagak pilon, 

gembel busuk! Tadi aku memang ingin 

membeli senjata pusakanya. Tapi 

persoalannya bukan itu lagi. Kau telah 

berani berbuat kurang ajar terhadapku, 

Serigala Pamanukan. Kelancanganmu 

itulah yang harus kau pertanggung 

jawabkan sekarang. Aku tahu kau bukan 

orang sembarangan, kau pastilah 

pendekar sakti yang sengaja datang ke 

desa Pamanukan untuk merebut kekuasaan 

kami. Tapi jangan harap niat busukmu 

itu bisa tercapai."

Karta mereguk minuman dari dalam 

gelasnya yang sengaja ia bawa tadi 

dari dalam warung. Setelah mereguk 

minuman itu, Karta kembali menatap 

Serigala Pamanukan dengan sikap yang 

terlalu sukar dimengerti maknanya.

Kusni, jagoan desa Pamanukan


lainnya yang dijuluki si Botak dari 

Neraka rupanya mengenal Karta. Jagoan 

yang kini berusia sekitar lima puluh 

lima tahun itu agaknya pernah bertemu 

dengan Karta, dan telah membuktikan 

sendiri bahwa kehebatan ilmu Karta 

bukan hanya sekedar isapan jempol 

belaka.

"Kawan-kawan, harap hati-hati 

terhadap iblis ini. Aku kenal padanya. 

Dialah si Gila dari Muara Bondet. Aku 

pernah bertemu dengannya," kata Kusni 

sambil menghunus goloknya.

"Ha-ha-ha.... rupanya di antara 

kawan-kawan sekalian sudah ada yang 

kenal sama aku. Karena itu, aku merasa 

tak perlu lagi memperkenalkan diri. 

Aku memang si Gila dari Muara Bondet, 

tapi aku tidaklah gila seperti yang 

kalian maksudkan. Kalian sendirilah 

yang gila, beraninya hanya main 

keroyokan saja. Terhadap seorang gadis 

lagi. Karena itu, kalau saranku ini 

tidak terlalu berat, sebaiknya kalian 

kembali menghadap guru kalian untuk 

belajar lagi." kata si Gila Dari Muara 

Bondet.

"Bangsat!" bentak Serigala 

Pamanukan geram. Lalu kepada teman-

temannya, ia berseru: "Kawan-kawan, 

pergunakan cara kita yang biasa, 

'Jepit Rajungan' untuk mengurung 

monyet ini. Biar tahu rasa dia. Hajar 

dia sampai... hep!" Tiba-tiba ucapan


Tapor itu terhenti, karena air minum 

yang disemburkan Karta melalui 

mulutnya tepat menghantam mulut jagoan 

desa itu.

Sewaktu menyemburkan air itu 

tadi, Karta mengerahkan tenaga dalam, 

sehingga air minum dari mulutnya 

berubah seperti beku dan keras. Cukup 

sakit memang, tetapi bukan rasa sakit 

itu yang membuat Serigala Pamanukan 

marah bukan main, melainkan karena 

merasa dihina.

"Serang...!" teriak jagoan desa 

itu dengan suara mengguntur. Bersamaan 

dengan itu, ia menerjang Karta dengan 

dahsyat. Goloknya diayunkan ke kepala 

pemuda itu. Jagoan desa lainnya juga 

segera menerjang dengan ganas, 

sehingga si Gila Dari Muara Bondet 

diserang dari berbagai penjuru.

Karta secepat kilat berkelit ke 

kiri dan ke kanan. Tubuhnya tampak 

berkelebatan di antara sela-sela 

sabetan senjata lawan. Demikian 

cepatnya gerakan pemuda itu, sehingga 

lawan-lawannya semakin marah dan 

penasaran. Semua serangan mereka dapat 

dielakkan. Hampir tak dapat dipercaya 

gerombolan jagoan desa Pamanukan tidak 

dapat berbuat banyak menghadapi 

seorang pemuda yang boleh dikatakan 

masih sangat hijau dan muda dibanding 

mereka.

Apa kata orang-orang nanti jika


mereka tidak dapat mengalahkan seorang 

pemuda pendatang seperti Karta? Orang-

orang tentu akan menertawakan mereka. 

Merendahkan mereka! Maka Serigala 

Pamanukan dan teman-temannya semakin 

ganas dan beringas. Mereka 

mengeluarkan semua ilmu simpanannya 

dengan harapan dapat merobohkan lawan.

Akan tetapi si Gila Dari Muara 

Bondet agaknya bukanlah tandingan 

mereka. Pemuda itu sekarang tidak 

hanya menghindar lagi, tetapi juga 

mulai menyerang dengan gerakan yang 

semakin cepat. Pemuda itu membuka kain 

sarungnya dan menggunakannya sebagai 

senjata.

Di tangan seorang pendekar yang 

memiliki ilmu tinggi seperti si Gila 

Dari Muara Bondet, kain sarung itu 

bisa menjadi senjata yang cukup ampuh. 

Kadang-kadang kain sarung itu berubah 

jadi keras dan kaku bagaikan kayu, dan 

kadang-kadang lemas menyambar-nyambar 

lawan-lawannya bagaikan sebuah cemeti.

Para jagoan desa Pamanukan 

menjadi kalang kabut dan jatuh bangun 

terkena pukulan, tendangan dan 

sambaran kain sarung Karta. Melihat 

itu, makin terkejutlah Tapor. Diam-

diam jagoan desa Pamanukan itu harus 

mengakui bahwa Karta memang seorang 

pendekar yang luar biasa. Bahkan tadi, 

ia sungguh tak mengira kepandaian 

pemuda pendatang tersebut setinggi


itu.

"Hati-hati, kawan-kawan. Tikus 

busuk ini mempunyai ilmu siluman!" 

teriak Tapor.

"Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan. 

Mengapa kau belum juga menyerah?" kata 

Karta sambil tertawa mengejek.

"Jangan sombong, gembel busuk! 

Kau pasti mampus!"

"Kalianlah yang akan mampus!" 

bentak Karta. Agaknya pemuda itu tidak 

mau main-main lagi. Serangan-

serangannya makin ganas dan mematikan. 

Satu per satu, jagoan desa Pamanukan 

itu pun roboh tak bisa bangkit lagi 

dengan luka-luka yang cukup parah. 

Sebagian di antaranya malah terkapar 

tak sadarkan diri.


EMPAT



Penduduk desa Pamanukan yang 

sejak tadi bergerombol menyaksikan 

pertarungan itu menjadi terkejut dan 

sangat kagum. Mereka seolah-olah tak 

percaya pada penglihatannya sendiri. 

Bagaimana mungkin seorang pemuda 

pendatang dengan demikian mudahnya 

mengalahkan gerombolan jagoan desa?

Selama ini Serigala Pamanukan 

dan kawan-kawannya terkenal sangat 

ganas dan memiliki ilmu tinggi. Tak 

ada yang berani melawan jagoan-jagoan 

desa itu, walaupun sikap maupun


perbuatan mereka sangat menggelisahkan 

penduduk. Kini para jagoan desa telah 

roboh, di tangan seorang pemuda. 

Siapakah gerangan pemuda itu? Penduduk

bertanya-tanya satu sama lainnya.

Namun tak ada yang kenal pada Karta.

Diam-diam, penduduk desa itu 

sangat bersyukur karena Serigala 

Pamanukan dan komplotannya dirobohkan 

pendekar muda itu. Mereka bahkan 

sangat mengharap agar cecunguk-

cecunguk desa itu dibunuh saja agar 

kelak tidak berbuat jahat lagi.

Ranti pun merasa kagum! Diam-

diam merasa bahwa kepandaian Karta 

berada di atas kepandaiannya sendiri.

"Entah siapa sebenarnya pemuda 

ini," pikir gadis itu sambil melangkah 

menghampiri Karta.

"Terima kasih, tuan telah 

menyelamatkan saya dari amukan para 

jagoan-jagoan tengik itu," kata Ranti 

sambil tersenyum manis. Matanya yang 

bening menatap wajah Karta dengan 

bersinar-sinar.

"Ah, hanya kebetulan saja, nona. 

Bukankah nona pun bisa berbuat seperti 

itu?" ujar Karta.

Penduduk desa itu menghampiri 

dan mengerumuni Karta. Beberapa di 

antaranya mengucapkan terima kasih, 

lalu mengajak pendekar gagah perkasa 

itu bersama Ranti mampir ke rumahnya 

untuk dijamu, makan dan minum


seadanya.

"Selama ini penduduk desa ini 

sangat sengsara karena perbuatan 

mereka. Kami diperas setiap hari, jika 

melawan disiksa habis-habisan. Bahkan 

beberapa hari lalu, mereka memperkosa 

wanita desa ini."

"Sungguh perbuatan yang sangat 

kejam, dan biadab!" kata Ranti dengan 

wajah merah padam. Sebagai seorang 

gadis, pemerkosaan memang lebih cepat 

menyentuh perasaan kewanitaan nya. Ia 

dapat merasakan bahwa seorang wanita 

yang diperkosa akan merasa sangat 

tersiksa, baik lahir maupun batin.

"Tidak apa-apa. Mereka memang 

jahat dan sesat. Mudah-mudahan saja 

dengan adanya kejadian ini mereka 

menjadi insyaf. Kami akan berangkat 

sekarang. Kalau misalnya sikap mereka 

belum juga berubah, aku berjanji akan 

datang lagi ke desa ini untuk memberi 

pelajaran," kata Karta.

"Aduh, kenapa tuan dan nona 

harus secepat itu meninggalkan desa 

ini? Siapakah nama tuan berdua yang 

gagah perkasa dan cantik jelita?"

"Bapak-bapak tak perlu 

mengetahui nama kami. Tapi percayalah, 

nanti kami akan datang lagi ke desa 

ini. Kami ingin tahu apakah Serigala 

Pamanukan masih belum juga berubah 

atau bagaimana. Nah, selamat tinggal 

saudara-saudara sekalian. Sampai


ketemu lagi nanti."

Setelah berkata begitu, Karta 

dan Ranti melangkah meninggalkan desa 

itu diiringi tatapan mata penuh kagum 

penduduk desa Pamanukan. Pemuda itu 

tampan dan gagah perkasa, sedangkan 

gadisnya cantik jelita dan tampaknya 

juga bukan orang sembarangan. Entah 

dari mana asal sepasang muda mudi yang 

sangat mengagumkan itu, kata hati 

penduduk desa tersebut.

Seolah-olah tidak sadar, Karta 

dan Ranti sama-sama melangkah sampai 

ke luar desa. Mereka hanyut dalam 

pikiran masing-masing, hingga akhirnya 

sama-sama terkejut ketika menyadari 

bahwa mereka sebenarnya belum saling 

kenal.

"Bolehkah aku tahu siapa kau, 

dik? Siapa namamu dan dari manakah 

asalmu? Sekarang adik mau ke mana?" 

tanya Karta dengan sikap yang agak 

kaku.

"Namaku Ranti, dari desa 

Perbutulan di lereng Utara gunung 

Ciremai. O, iya terima kasih atas 

pertolonganmu, pendekar budiman. Tanpa 

pertolonganmu, aku tak berani 

membayangkan apa yang bakal terjadi 

pada diriku."

Karta tertegun mendengar suara 

Ranti. Suara itu mirip sekali dengan 

suara Nuraini, kekasihnya yang 

beberapa tahun lalu meninggal dunia


sebelum mereka sempat mewujudkan cita-

cita cinta mereka. Kenapa suara gadis 

ini mirip sekali dengan suara Nuraini? 

Apakah aku salah dengar? bisik hati 

Karta dengan perasaan tak menentu.

"Eh, kenapa kau diam saja, 

pendekar budiman?" tegur Ranti sambil 

menatap wajah Karta dalam-dalam.

"Oh, aku tidak apa-apa. Aku 

tidak apa-apa, dik. Hendak ke manakah 

tujuanmu, dik Ranti? Apakah kau sedang 

dalam kesulitan? Jika...."

"Ah, tidak!" Ranti menyela 

ucapan Karta, "Aku tidak mau ke mana-

mana. Aku hanya jalan-jalan saja, 

ingin melihat-lihat keadaan desa orang 

lain di seluruh tanah Cirebon ini."

"Kalau begitu, bolehkah kita 

menjadi kawan seperjalanan?"

"Terima kasih, pendekar. Kau 

telah berbuat baik padaku. Semoga 

Tuhan membalas budi baikmu. Tapi 

biarlah aku melanjutkan perjalanan 

sendiri. Nah, sekarang kita sudah 

sampai di batas desa. Biarlah kita 

mengambil jalan masing-masing. Selamat 

berpisah, pendekar budiman!"

Lalu Ranti meloncat, tubuhnya 

melesat dan dalam sekejap hilang di 

balik pepohonan. Tak terdengar lagi 

suara percakapan, hanya suara desir 

angin menerpa dedaunan. Si Gila Dari 

Muara Bondet berdiri termangu-mangu. 

Hatinya serasa hancur luluh. Rasa sepi


dan hampa merejam kalbunya. Entah 

karena apa, ia sendiri belum bisa 

memastikan.

"Oh, Tuhan, kenapa hanya sekejap 

saja ia berada di dekatku? 

Kenapa....?" Hati pemuda itu merintih 

sedih. "Nuraini, oh Nuraini? 

Mungkinkah engkau telah menjelma 

kembali ke bumi ini?"

Pertemuan yang teramat singkat 

itu ternyata telah membuat luka lama 

di hati Karta kambuh lagi. Kenangan 

indah dan manis kembali memenuhi 

benaknya. Ia teringat masa-masa penuh 

kemesraan tatkala Nuraini masih berada 

di sisinya. Memang saat itu cukup 

banyak tantangan. Tetapi dengan dua 

hati yang berpadu jadi satu, semua itu 

bisa dihadapi dan diatasi. Karta dan 

Nuraini melangkah bersama, berbagi 

suka maupun duka.

Janji pun teruntai mengikat dua 

hati yang sedang dimabuk asmara. 

Tetapi semua itu hanya tinggal 

kenangan. Perjalanan hidup ini memang 

terlalu penuh dengan misteri. Apa yang 

terjadi esok hari, tak seorang pun 

tahu. Manusia hanya bisa meramal dan 

mereka-reka. Karena itu orang 

mengatakan, manusia hanya bisa 

merencanakan tapi keputusan tetap di 

tangan Tuhan.

Di luar segala perhitungan dan 

harapan, maut merenggut nyawa Nuraini.


Gadis itu pergi dan takkan pernah lagi 

kembali. Ia pergi bersama cinta yang 

masih bersemi di dalam sanubari. Karta 

pun merasa terhempas ke dalam jurang 

yang maha dalam dan gelap. Segala 

harapan dan mimpinya yang indah hancur 

sudah. Tiada lagi yang bisa ia 

harapkan. Cinta yang telah sempat 

memberinya keindahan ternyata juga 

memberinya kehancuran.

Kenyataan ini terlalu pahit dan 

menyakitkan. Karta yang dijuluki si 

Gila Dari Muara Bondet itu memang 

memiliki ilmu silat yang sangat 

tinggi. Ia telah bertahun-tahun 

melanglang buana menembus jalan penuh 

duri, menghadapi musuh-musuh yang 

tangguh. Ia sudah terbiasa menghadapi 

berbagai macam cobaan. Namun kepergian 

Nuraini untuk selama-lama tidak bisa 

ia tahankan. Jiwa dan hatinya terlalu 

rapuh untuk bisa menerima cobaan 

seperti itu.

Maka sejak saat itu, Karta 

menghadapi hari-harinya yang kelam. Ia 

melangkah tanpa harapan. Penyesalan 

selalu bergayut di dadanya. Seandainya 

dia dan Nuraini memang harus berpisah 

karena kematian, kenapa bukan ia yang 

lebih dulu mati? Itu lebih baik 

daripada ia harus hidup menyendiri 

tanpa kekasihnya itu.

Sekarang, ia bertemu dengan 

seorang gadis cantik jelita yang


suaranya mirip sekali dengan Nuraini. 

Tidaklah mengherankan jika perasaannya

terasa kosong melompong setelah 

kepergian Ranti.

Tanpa disadari oleh Karta, gadis 

yang baru saja meninggalkan dirinya 

juga merasa tak menentu. Ranti berlari 

dan terus berlari sampai akhirnya ia 

tiba di sepanjang tebing kali Cimanuk

menuju ke arah muaranya.

Ranti merasa menyesal karena 

meninggalkan pemuda itu. Tetapi ia 

memaksakan diri untuk melupakannya.

"Sebagai wanita aku tidak boleh 

terlalu penurut kepada lelaki, apalagi 

yang baru kukenal," pikir gadis itu. 

Tetapi entah mengapa pula ada rasa 

kesal menyusup ke dalam hatinya karena 

terlanjur mengenal pendekar budiman 

itu.

"Tak seharusnya aku berkenalan 

dengannya!" bisik hati Ranti. Dan 

diam-diam, ia mulai merasakan bahwa 

kegagalan cintanya yang pertama telah 

menjadi semacam trauma baginya. Ia tak 

ingin perkenalannya dengan Karta 

melahirkan rasa cinta di dalam 

hatinya. Ia tak ingin gagal lagi, 

seperti ketika ia mencintai Parmin. Ia 

merasa lebih baik hidup menyendiri, 

jauh dari cinta dan lelaki daripada 

kelak ia mengalami kegagalan lagi.

Akhirnya dara jelita itu tiba di 

pinggir tebing kali Cimanuk. Ranti


duduk bersandar pada batang pohon 

rindang yang tumbuh di atas tebing 

itu. Tebing itu cukup curam dan dalam. 

Di bawahnya mengalir tenang kali 

Cimanuk. Burung-burung bangau terbang 

kian ke mari, melintas di antara mega-

mega, di atas kali Cimanuk. Beberapa 

ekor di antara burung bangau itu 

terbang berpasang-pasangan, mencermin-

kan kesetiaan dan kemesraan.

"Ah...." hati Ranti kembali 

merintih.


LIMA



Jauh di seberang kali, tampak 

rumah penduduk berjejer di antara 

pepohonan. Sementara di tengah sungai 

yang cukup jernih itu, tampak sampan 

hilir mudik menyeberangkan orang dari 

daratan sebelah Timur ke Barat. Tukang 

sampan penyeberang orang itu bekerja 

keras mengayuh dayung agar lebih cepat 

sampai di seberang. Lelaki itu 

mengenakan topi lebar terbuat dari 

anyaman bambu untuk melindungi wajah-

nya dari sengatan terik matahari. 

Itulah pekerjaan sehari-hari lelaki 

itu untuk menghidupi keluarganya.

Istri dan anak-anaknya tentu 

sedang menunggunya di rumah dan 

mengharap uang yang dibawa hari ini 

lebih banyak dari hari-hari kemarin. 

Berat juga tanggung jawab lelaki itu


terhadap keluarganya. Tetapi alangkah 

bahagianya hidup bersama orang yang 

dicintai. Mereka akan berbagi suka 

maupun duka, saling bercanda dan 

bertukar pikiran jika seandainya ada 

sesuatu persoalan.

Sedangkan Ranti sendiri, kepada 

siapakah ia harus menceritakan segala 

keluh kesahnya? Orang tua tidak punya, 

sanak famili pun demikian. Bahkan 

sahabat dekat pun tidak ada. Ia merasa 

dirinya terkucilkan, merasa terlempar 

ke dunia kesepian yang teramat 

menyakitkan.

"Ayah, ibu, mengapa aku harus 

tersesat ke dalam dunia yang sunyi 

ini?" rintih gadis itu. Tanpa ia 

sadari air mata menetes satu persatu 

membasahi wajahnya yang kusam. 

Ternyata hidup kesepian merupakan 

siksaan batin yang teramat 

menyakitkan. Segalanya terasa gersang 

hampa dan serba menjepit.

Memang demikianlah kehidupan 

ini. Harta dan kedudukan tidaklah 

cukup bagi orang. Tetapi juga per-

hatian dan kasih sayang baik dari 

orang yang dicintai maupun kerabat 

lainnya. Orang tidak akan merasa 

hidupnya tenang jika merasa tak 

diperhatikan atau disayangi.

Ini membuktikan bahwa dalam 

hidup ini, manusia tidak hanya 

memerlukan kebutuhan lahir, tetapi


terhadap keluarganya. Tetapi alangkah 

bahagianya hidup bersama orang yang 

dicintai. Mereka akan berbagi suka 

maupun duka, saling bercanda dan 

bertukar pikiran jika seandainya ada 

sesuatu persoalan.

Sedangkan Ranti sendiri, kepada 

siapakah ia harus menceritakan segala 

keluh kesahnya? Orang tua tidak punya, 

sanak famili pun demikian. Bahkan 

sahabat dekat pun tidak ada. Ia merasa 

dirinya terkucilkan, merasa terlempar 

ke dunia kesepian yang teramat 

menyakitkan.

"Ayah, ibu, mengapa aku harus 

tersesat ke dalam dunia yang sunyi 

ini?" rintih gadis itu. Tanpa ia 

sadari air mata menetes satu persatu 

membasahi wajahnya yang kusam. 

Ternyata hidup kesepian merupakan 

siksaan batin yang teramat 

menyakitkan. Segalanya terasa gersang 

hampa dan serba menjepit.

Memang demikianlah kehidupan 

ini. Harta dan kedudukan tidaklah 

cukup bagi orang. Tetapi juga per-

hatian dan kasih sayang baik dari 

orang yang dicintai maupun kerabat 

lainnya. Orang tidak akan merasa 

hidupnya tenang jika merasa tak 

diperhatikan atau disayangi.

Ini membuktikan bahwa dalam 

hidup ini, manusia tidak hanya 

memerlukan kebutuhan lahir, tetapi


juga kebutuhan batin. Seorang anak 

misalnya jika merasa tak diperhatikan 

dan disayangi di rumah biasanya akan 

mencari pelarian di luaran. Dalam 

keadaan seperti inilah si anak sering 

terjerumus ke dalam hal-hal yang 

kurang baik. Meskipun misalnya keadaan 

materi di rumahnya serba berkecukupan 

dan mewah.

Ranti hampir saja putus asa. Ia 

sungguh tidak tahu harus melakukan apa 

agar bisa terbebas dari belenggu 

kehidupan yang penuh kesunyian serta 

kegersangan ini. Tanpa ia inginkan, ia 

teringat lagi ketika ia masih dalam 

asuhan Gembong Wungu. Saat itu rasanya 

tiada yang kurang sebab waktu itu ia 

memang belum mengenal cinta. Ia hanya 

butuh perhiasan, uang dan sebagainya.

Rupanya kehidupan sewaktu kecil 

lebih enak dibandingkan setelah 

dewasa, pikir gadis itu sedih. Ia 

tidak mau memikirkan lebih lanjut 

apakah anggapannya itu benar atau 

salah. Ia cuma merasakan hidupnya 

sekarang jauh lebih menyakitkan 

daripada sewaktu dirinya masih kecil.

"Dik Ranti...!"

Tiba-tiba terdengar seorang 

laki-laki menyebut namanya. Ia segera 

berpaling menatap ke arah asal suara 

itu. Alangkah terkejutnya Ranti, 

karena di tempat itu telah berdiri si 

Gila Dari Muara Bondet.


"Oh, kau pendekar dari Muara 

Bondet. Mengapa kau mengikuti aku ke 

tempat ini? Mau apa kau?" ujar Ranti 

dengan suara tidak bersahabat.

Karta tidak segera menyahut. 

Pemuda itu merasa tak menentu mendapat 

sambutan kurang bersahabat dari Ranti. 

Tadi ia memang sengaja menyusul Ranti, 

karena masih sangat penasaran. Ketika 

tubuh Ranti lenyap, pendekar dari 

Muara Bondet itu segera menyusul.

Ia mengerahkan ilmu lari cepat 

yang telah hampir mencapai kesem-

purnaan. Tubuhnya berkelebatan di 

sela-sela pepohonan dan dalam waktu 

yang tidak terlalu lama, pendekar muda 

itu dapat menyusul Ranti. Tetapi ia 

tidak segera menghampiri, melainkan 

membuntuti dari belakang, ingin tahu 

hendak ke mana sebenarnya gadis itu.

Karta merasa terkejut juga 

setelah melihat Ranti duduk menyendiri 

di atas tebing sambil bersandar di 

batang pohon. Apalagi saat mengetahui 

bahwa Ranti menitikkan air mata. Gadis 

ini pastilah sedang menghadapi suatu 

problema hidup yang rumit sehingga 

membuatnya sedih. Tapi entah apa.

"Kenapa kau diam saja, pendekar 

Muara Bondet? Kenapa kau menyusulku ke 

tempat ini?" tanya Ranti membuat Karta 

tersentak dari lamunannya.

"Maafkan saya, nona. Saya 

sebenarnya tak bermaksud mengganggu


ketenanganmu. Tapi ada suatu hal yang 

membuatku tak bisa menahan diri untuk 

menemuimu. Maksudku...."

"Kalau kau memang tidak ingin 

mengangguku, tinggalkan tempat ini 

sekarang juga. Aku memang berhutang 

budi padamu, tapi jangan memperalat 

budi baikmu itu untuk memperdayaiku. 

Harap kau meninggalkan aku sendirian 

di sini!"

"Dik Ranti, saya mengerti 

perasaanmu. Baiklah, aku akan 

meninggalkanmu sendiri di sini. Tapi 

sebelumnya harap kau tidak keberatan 

untuk mendengar penjelasan dariku. Ini 

sangat penting untuk kuutarakan, 

karena terasa sangat mengganjal di 

hati."

"Aku tak perlu mendengar apa-apa 

darimu pendekar Muara Bondet. Pergilah 

sekarang juga. Kau pun tentunya tahu 

tidak baik bagi lelaki dan wanita 

berduaan di tempat sepi seperti ini."

"Memang tidak baik jika 

terkandung niat buruk. Aku hanya ingin 

mengutarakan isi hatiku, dik Ranti. 

Kau jangan salah paham. Aku sungguh 

tidak bermaksud jelek padamu. 

Percayalah, dik! Sedikitnya kita bisa 

mengobrol sebentar."

"Tidak!" Ranti berteriak sambil 

meloncat berdiri. Wajahnya tampak 

merah padam, matanya mendelik bagaikan 

hendak menelan lelaki di hadapannya


itu hidup-hidup, "Kau harus pergi dari 

sini. Ayo, cepat pergi! Kalau tidak, 

jangan salahkan aku jika terpaksa 

mencabut senjataku."

"Tenanglah, dik Ranti. Jangan 

terlalu cepat marah."

"Aku tak butuh nasehatmu. 

Rupanya kau ingin berbuat kurang ajar 

padaku, ya? Jangan harap niat busukmu 

itu bisa terlaksana. Langkahi dulu 

mayatku, baru boleh kau sentuh 

diriku."

Karta menghela nafas dalam-dalam 

sekedar untuk menahan rasa sesak di 

dalam dadanya. "Niat busuk?" pikirnya 

sedih. Rupanya Ranti beranggapan jelek 

padanya mengira dirinya hendak berbuat 

bejat. Entah apa alasan Ranti hingga 

beranggapan seperti itu. Apakah 

wajahnya memang wajah penipu atau 

wajah pemerkosa?

Karta sangat sedih, karena gadis 

yang suaranya mirip dengan mendiang 

kekasihnya sama sekali tidak mau 

mempercayainya, malahan menuduhnya 

yang bukan-bukan. Tetapi jauh di lubuk 

hatinya yang paling dalam, ia cukup 

mengerti perasaan Ranti. Mungkin gadis 

itu bersikap demikian hanya karena 

sedang mengalami persoalan yang sangat 

rumit. Kebanyakan orang memang begitu, 

jika sedang kalut, mudah marah dan 

tersinggung.

Pendekar muda itu menghibur diri


sendiri.

"Kenapa kau diam saja, hah? 

Kenapa belum juga angkat kaki dari 

sini?" bentak Ranti.

"Oh, dik Ranti. Kau terlalu ber-

prasangka buruk padaku. Aku sebenarnya 

hanya ingin mengatakan bahwa sewaktu 

kita pertama kali bertemu, perasaanku 

jadi tak menentu karena suaramu sangat 

mirip dengan orang yang kucintai. Aku 

tak bisa melupakannya. Sayang ia telah 

tiada...."

"Kau kira aku wanita yang lemah, 

hah? Jangan harap rayuan gombal 

seperti itu bisa menggodaku. Baiklah, 

agaknya kau harus diberi pelajaran. 

Nih, terimalah ini!" Setelah berkata 

begitu, Ranti segera meloncat 

menerjang Karta. Tubuhnya melayang 

bagai rajawali menyambar ke arah

lawan. Pedang diayun cepat sekali 

mengincar leher Karta. Agaknya dara 

jelita itu tidak mau perduli lagi 

tentang keselamatan Karta. Karena 

kalau saja sabetan pedangnya itu 

mengenai sasaran, tak ayal lagi leher 

itu pasti akan terpisah dari badan.

Untunglah si Gila Dari Muara 

Bondet memiliki ilmu tinggi. Dengan 

gerakan yang tidak kalah cepatnya, 

lelaki itu menggeser kakinya ke 

belakang sehingga sabetan senjata 

lawan tidak mengenai sasaran. Setelah 

itu, Karta meloncat jauh ke belakang


untuk menghindari serangan Ranti 

berikutnya.

"Sabarlah nona. Jangan menyerang 

aku seperti itu. Kalau kau memang 

tidak senang padaku, biarlah aku pergi 

sekarang juga."

"Diam kau bangsat!" Ranti 

membentak, lalu kembali menyerang 

Karta dengan ganas. Gadis itu segera 

mengeluarkan ilmu simpanan yang pernah 

diajarkan Gembong Wungu padanya, 

karena ia tahu Karta bukanlah orang 

sembarangan. Pedang gadis itu menyam-

bar-nyambar cepat sekali dan penuh 

tipu daya yang sangat berbahaya.

Tipu seperti itu memang sudah 

merupakan ciri khas ilmu Gembong 

Wungu. Sama seperti halnya tokoh sesat 

lainnya, almarhum raja rampok itu juga 

selalu berusaha menjatuhkan lawan 

secepat mungkin dengan cara-cara keji 

dan penuh tipuan. Ilmu itu kemudian 

diwariskan kepada Ranti, sehingga 

tanpa disadari, ilmunya selalu penuh 

tipu daya yang sangat berbahaya. Jika 

lawan lengah sedikit saja, pasti akan 

bernasib fatal. Jika tidak cacat, 

mungkin akan segera kehilangan nyawa.

Di kalangan tokoh-tokoh dunia 

hitam, jarang ada istilah melumpuhkan 

lawan tanpa melukainya. Lain halnya 

dengan para pendekar yang sikapnya 

kesatria, sering merobohkan lawan 

tanpa menurunkan tangan kejam.


Misalnya dengan cara memukul lawan 

hingga pingsan, dan jika siuman 

kembali tidak akan menderita luka 

parah.

Ranti sebenarnya kurang menya-

darinya, sebab ia hanya merasa bahwa 

dalam setiap pertarungan ia harus 

menyerang jika punya kesempatan dan 

mengelak jika diserang. Lawan pun 

tentu menginginkan kemenangan. Karena 

itu dalam setiap pertarungan hanya ada 

dua kemungkinan, menang atau kalah. 

Demikian nasehat Gembong Wungu dahulu.

Ganasnya serangan Ranti membuat 

Karta terkejut. Sebab siapa nyana, 

seorang gadis cantik jelita seperti 

Ranti mempunyai sikap ganas dan buas. 

Pendekar dari Muara Bondet itu pun 

segera berloncatan ke sana ke mari 

menghindari serangan Ranti. Tubuhnya 

berkelebatan di sela-sela kilatan-

kilatan senjata lawan.

"Kau keras kepala, dik Ranti. 

Dan seranganmu sangat ganas. 

Tenanglah, aku tak bermaksud jelek 

padamu," teriak Karta sambil meloncat 

tinggi mengelakkan serangan Ranti.

Namun kata-katanya itu bukannya 

membuat Ranti menjadi tenang, malahan 

semakin beringas. Ia merasa lelaki itu 

memandang rendah padanya, bahkan 

menghinanya. Apalagi sejak tadi Karta 

sama sekali belum mau melakukan 

serangan balasan, selain menghindar


saja. Maka makin panas jugalah hati 

Ranti.

Sikap dara jelita itu makin 

berangasan. Tetapi kewaspadaannya pun 

menjadi berkurang. Karena sangat 

marah, ia seolah-olah melupakan 

pertahanan dirinya sendiri sebab yang 

ia pikirkan sekarang adalah bagaimana 

supaya dapat segera merobohkan Karta. 

Seandainya pendekar Muara Bondet itu 

mau, mungkin sejak tadi Ranti sudah 

roboh oleh serangannya. Tetapi ia 

tidak mau melakukannya. Sebab untuk 

apa ia melayani kekerasan Ranti? 

Bukankah di antara mereka tidak ada 

persoalan apa-apa? Ranti hanya salah 

paham saja, atau mungkin hanya karena 

terdorong kemelut yang melanda 

hatinya.

Ranti terus menyerang Karta, 

dengan serangan yang mulai tampak agak 

tidak karuan. Ia kembali menerjang 

Karta yang saat itu sedang berdiri di 

pinggir tebing curam. Pedangnya 

diayunkan dari arah kanan ke sebelah 

kiri, mengarah ke arah pinggang pemuda 

itu.

Dalam keadaan terdesak seperti 

itu, Karta tidak bisa berbuat banyak. 

Ia tidak mungkin mundur lagi untuk 

mengelak, karena kalau itu ia lakukan 

pasti akan terjatuh ke arus sungai. 

Maka Karta pun segera meloncat tinggi 

sehingga serangan lawan dapat ia


elakkan.

Namun akibatnya cukup fatal bagi 

Ranti. Karena terjangannya sangat kuat 

tadi, ia tidak dapat lagi menguasai 

atau menahan laju tubuhnya. Disertai 

jeritan panjang, tubuhnya terjatuh ke

dalam arus kali Cimanuk.

"Dik Ranti!" teriak Karta 

terkejut. Tanpa pikir panjang lagi, 

pemuda itu segera terjun ke dalam 

sungai, dengan maksud untuk 

menyelamatkan Ranti.

Arus sungai di pinggir tebing 

itu ternyata sangat deras. Dalam 

sekejap saja tubuh Ranti sudah hanyut 

terbawa arus. Sebagai anak gunung, 

dara jelita itu memang tidak pandai 

berenang. Nafasnya segera sesak, 

bahkan tanpa sengaja ia telah meminum 

air sungai.

Si Gila Dari Muara Bondet 

mengerahkan segenap kemampuannya untuk 

mencari tubuh Ranti. Pendekar muda itu 

memang sudah cukup terlatih melawan 

arus sungai, walaupun harus diakui 

arus Cimanuk lebih ganas dari kali 

Bondet.

Sekali waktu, tampak oleh Karta 

tangan Ranti melambai agak jauh di 

depannya. Tetapi hanya sekejap 

kemudian, tangan itu telah lenyap ke 

dalam arus air. Dengan perasaan 

dicekam kecemasan Karta segera 

berenang ke arah itu. Tetapi ia


kembali kecewa, karena ia belum juga 

berhasil menemukan tubuh Ranti.

Ya Tuhan. Kalau gadis itu 

kehilangan nyawa di sungai ini, 

biarlah aku juga mati terkubur di 

sini, kata hati Karta.

Ia terus berenang sambil tak 

henti-hentinya berdoa agar ia segera 

menemukan Ranti. Akhirnya doanya pun 

terkabul. Ia dapat menangkap tangan 

Ranti. Tetapi keduanya sudah terlanjur 

terperangkap masuk pusaran air dahsyat 

di sekitar muara kali itu.

Pusaran air itu terjadi karena 

bertemunya dua arus kuat dari arah 

yang berlawanan. Karena bentrokan arus 

itu sangat kuat, arus di sekitar itu 

pun menjadi berputar-putar yang makin 

ke bawah makin kencang.

Itulah sebabnya pusaran air 

sungai itu mengandung tenaga sedot 

yang sangat kuat. Makhluk hidup maupun 

benda mati jika sudah terlanjur 

terperangkap pusaran arus, akan dibawa 

berputar-putar, makin lama makin ke 

bawah hingga akhirnya sampai ke dasar 

sungai.

Selama ini pusaran arus kali 

Cimanuk itu telah banyak mengambil 

korban jiwa manusia, mau pun hewan 

ternak yang kebetulan sampai ke 

pusarannya. Tidaklah mengherankan jika 

pusaran air itu sangat menakutkan 

penduduk di sekitar itu. Bahkan


dulunya ada yang percaya bahwa pusaran 

arus itu adalah tempat para jin maupun 

makhluk halus lainnya untuk mandi. 

Mereka tidak senang jika ada yang 

lancang mandi di tempat itu, sehingga 

bagi yang melanggarnya, baik sengaja 

maupun tidak sengaja akan dihanyutkan 

sampai mati.


ENAM



Sebagai orang yang sudah ter-

biasa bermain-main di sungai, terkejut 

juga Karta setelah menyadari bahwa 

dirinya bersama Ranti telah 

terperangkap pusaran arus dahsyat. 

Putaran arus sungai itu sangat kuat, 

sehingga dada Karta serasa bagaikan 

hendak pecah.

Walaupun demikian, pendekar 

Muara Bondet itu tidak mau melepaskan 

tangan Ranti. Ia terus berusaha sekuat 

tenaga menarik tubuh wanita itu ke 

luar pusaran air. Makin lama, tenaga 

Karta pun makin terkuras. Rasa putus 

asa mulai menghinggapi pikirannya.

Akan tetapi sebagai pendekar 

yang sejak lama telah digembleng 

dengan keras, Karta tidak mau berserah 

atau pasrah kepada nasib. Ia tetap 

berprinsip, selama masih bisa bergerak 

ia tidak boleh berhenti berusaha.

Di sinilah terlihat bahwa 

sebelum ajal memang berpantang mati.


Secara kebetulan, arus sungai yang 

sedang pasang menghantam pusaran air 

itu. Akibatnya tubuh kedua insan itu 

terlempar ke luar pusaran. Dengan 

sisa-sisa tenaganya, Karta menyeret 

tubuh Ranti, hingga akhirnya sampai ke 

tepi sungai.

"Terima kasih, Tuhan. Engkau 

telah menyelamatkan kami," kata pemuda 

itu dengan napas tersengal-sengal. 

Lalu ia membopong tubuh Ranti yang 

agaknya sudah cukup lama tak sadarkan 

diri, ke atas tebing.

Perlahan-lahan, Karta merebahkan 

tubuh Ranti di bawah pohon rindang. 

Diperiksanya urat nadi gadis itu, 

masih berdenyut tapi agak pelan. 

Berarti gadis itu hanya pingsan saja 

karena kelelahan. Tak ada luka yang 

mengkhawatirkan. Karta menghela napas 

lega dan membiarkan Ranti tidur dengan 

pulasnya.

Perasaan Karta masih tak menentu 

mengingat peristiwa yang nyaris 

merenggut nyawanya dan nyawa Ranti. 

Seandainya ia tidak berhasil 

menyelamatkan Ranti, alangkah 

berdosanya dirinya. Sebab bagaimanapun 

juga, Ranti terjatuh ke kali Cimanuk 

adalah gara-gara sikapnya juga.

Ranti sudah berulang kali 

menyuruhnya pergi, tetapi ia masih 

mencoba membujuk-bujuk hingga akhirnya 

gadis itu kehilangan kesabaran.



Karta kemudian membuka bajunya 

dan menggantungkannya di dahan pohon 

agar cepat kering. Sambil menunggu 

pakaiannya itu kering, pendekar Muara 

Bondet duduk membelakangi Ranti. 

Sepasang matanya menatap ke arah arus 

kali Cimanuk, lalu ke arah hutan di 

seberang sungai.

Pendekar itu kembali terkenang 

akan Nuraini, bahkan merasa kekasihnya 

itu seolah-olah sedang berada di 

sisinya. Duduk sambil menatapnya 

dengan penuh kemesraan. Sinar mata dan 

senyum gadis itu teruntai indah dan 

erat sehingga tidak mungkin dipisahkan 

tanpa merusak keindahannya.

Karta tidak tahu harus melakukan 

apa agar bisa melupakan kekasihnya 

itu. Dengan putus asa, ia memejamkan 

mata. Lalu bagaikan orang yang sedang 

mengigau, ia berbisik: "Selamat jalan 

kekasihku. Selamat jalan pujaan hati, 

nafas kehidupanku yang abadi. Tak akan 

pernah lagi kulihat engkau, seperti 

dulu ketika kita sama-sama mereguk 

nikmat dan manisnya madu cinta kita."

Tak lama kemudian, Ranti bangun 

dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa 

nyeri dan lemas sekali. Ia menggosok-

gosok kedua matanya dan menatap Karta 

yang sedang duduk bertelanjang dada 

tak jauh dari tempatnya tidur tadi. 

Melihat lelaki itu, maka prasangka 

buruk pun segera menghinggapi pikiran


Ranti. Ia pingsan tadi, entah berapa 

lama. Pastilah si Gila dari Muara 

Bondet itu telah berbuat kurang ajar 

pada dirinya.

Maka Ranti pun segera meloncat 

ke hadapan Karta. Wajahnya merah 

padam, dadanya turun naik tak teratur 

karena amarah yang tak terkendalikan. 

Sambil menuding Karta dengan tangan 

kiri, ia berkata dengan kasar: 

"Bajingan kau! Apa yang telah kau 

lakukan terhadap diriku ketika pingsan 

tadi, hah? Bajingan, kurang ajar kau! 

Berani kau berbuat kurang ajar padaku. 

Akan kucincang tubuhmu!"

Tentu saja Karta sangat 

terkejut. Tadinya ia mengira Ranti 

akan mengucapkan terima kasih padanya 

karena ia telah menyelamatkannya dari 

pusaran arus kali Cimanuk. Lalu 

setelah itu, mereka akan berbincang-

bincang penuh persahabatan. Namun 

tanpa diduga-duga, gadis itu malah 

menuduhnya berbuat kurang ajar. Karta 

jadi kesal sekaligus tak tahu harus 

mengucapkan apa.

"Jangan diam kau, bajingan! 

Pengecut! Kau telah menodai aku ketika 

sedang pingsan tadi. Kubunuh kau 

bangsat!" bentak gadis itu lagi.

"Dik Ranti, kenapa kau berkata 

seperti itu? Kenapa kau tega menuduh 

aku seburuk itu? Demi Allah, aku tak 

berbuat apa-apa terhadap dirimu."


"Diam! Lelaki pengecut seperti 

kau mana mau mengaku? Bangsat tengik 

seperti kau harus dilenyapkan dari 

permukaan bumi ini. Kau telah 

menghancurkan hidupku!"

Karta tidak bisa berkata apa-apa 

lagi. Mimpi pun ia tak menyangka akan 

dituduh seperti itu. Pendekar itu pun 

melangkah lebih dekat ke hadapan 

Ranti. Kepasrahan dan keputusasaan 

tercermin di wajahnya yang pucat.

"Dik Ranti, aku sungguh tak 

menyangka gadis seperti kau akan 

sampai hati menuduh aku sekotor itu. 

Tapi agaknya kau tidak akan mau 

percaya padaku. Baiklah kalau begitu. 

Aku tidak perlu berkata apa-apa lagi. 

Kalau kau memang menuduh aku seperti 

itu cabutlah senjatamu, bunuhlah aku. 

Aku sudah rela. Biarlah Tuhan yang 

tahu keadaan yang sebenarnya!"

Ranti meludah dengan sebal, 

"Huh, dasar pengecut. Beraninya hanya 

sama perempuan," makinya kesal.

"Tak apalah dik Ranti jika kau 

tidak senang padaku. Tetapi tak 

seharusnya kau menuduh aku serendah

itu. Ayo, cabutlah senjatamu. Laku-

kanlah apa yang kau inginkan."

"Huh, kau pikir aku pengecut 

seperti dirimu? Kalau kau memang bukan 

pengecut, kenapa tidak kau biarkan 

saja aku mampus di kali itu? Kau pikir 

aku senang karena bantuanmu? Aku


sangat benci padamu tahu?"

"Terserahlah, dik Ranti. Saya 

pun tak merasa telah menolongmu. Tapi 

aku yakin orang bijaksana selalu tahu 

menghormati kebaikan orang lain 

padanya. Tahu menilai mana yang baik 

dan mana yang tidak baik. Atau 

sedikitnya di atas sana masih ada 

Tuhan yang Maha Adil dan penuh kasih 

sayang."

"Dasar laki-laki tak tahu diri! 

Awas ya! Kalau kau masih berani 

mengikutiku, akan kubunuh kau. Aku 

tidak akan memberikan ampun lagi."

Habis berkata begitu, Ranti 

segera meloncat dari hadapan Karta. 

Tubuhnya melayang ringan bagaikan 

kapas, dan dalam sekejap telah lenyap 

di balik pepohonan dan semak-semak.

Ranti terus berlari sambil 

mengerahkan segenap kekuatannya agar 

dapat segera menjauh dari tebing kali 

Cimanuk. Ia tidak bisa melukiskan 

bagaimana perasaannya sekarang. Entah 

gembira atau sedih. Sebab sebagai 

gadis yang telah menginjak dewasa, ia 

sudah bisa memastikan bahwa 

kehormatannya masih utuh. Karta tidak 

berbuat apa-apa padanya seperti yang 

ia tuduhkan tadi.

"Oh, alangkah tolol dan kurang 

ajarnya diriku. Nyawaku telah ia 

selamatkan. Tetapi bukannya berterima 

kasih, malahan menuduhnya berbuat


kurang ajar. Padahal lelaki itu baik 

hati, memiliki sikap yang lembut dan 

gagah perkasa pula. Kenapa sikapku 

harus seperti itu tadi sewaktu 

berhadapan dengannya?" Gadis itu

membatin sambil terus berlari.

Menjelang senja, Ranti isti-

rahat, duduk bersandar pada pohon. Ia 

mulai kelelahan dan pikirannya makin 

kalut. Wajah Karta masih terbayang-

bayang di pelupuk matanya. Kata-kata 

pemuda itu terngiang-ngiang kembali di 

telinganya. Dan pcnyesalannya pun 

semakin menjadi-jadi alas sikapnya 

yang keterlaluan terhadap pemuda dari 

Muara Bondet itu.

Putri Gagak Ciremai itu semakin 

menyadari bahwa dalam dirinya ada yang 

kurang beres. Ia telah membohongi hati 

nuraninya sendiri. Ia memaki-maki 

Karta bahkan menuduhnya telah berbuat 

kurang ajar. Padahal sebenarnya, jauh 

di lubuk hatinya, ia harus mengaku 

bahwa ia mengagumi pria itu. Atau 

sedikitnya ia butuh seorang kawan yang 

dapat dijadikan sebagai tempat mengadu 

dan menumpahkan segala keluh kesah.

Mengingat sikapnya yang 

dinilainya tidak wajar itu, Ranti pun 

teringat akan perlakuannya beberapa 

waktu lalu ketika berhadapan dengan 

Roijah, kekasih Parmin di desa Kandang 

Haur. Saat itu Ranti sengaja datang 

dari desa Perbutulan dan menemukan


Roijah sedang dihukum cambuk oleh 

Kompeni Belanda, kemudian dipenjarakan 

di gudang penggilingan padi milik Van 

Eisen.

Ranti kemudian dapat menyelamat-

kan Roijah dan membawanya sampai ke 

hutan Loyang. Di tengah hutan itulah 

Ranti mengajak Roijah bertarung hidup 

mati untuk memperebutkan Parmin. 

Katanya siapa yang menang, dialah yang 

berhak mendampingi Parmin. Padahal 

saat itu kondisi tubuh Roijah sangat 

lemah akibat siksaan centeng-centeng 

Belanda.

Alangkah piciknya pikiran Ranti, 

seolah-olah menganggap cinta itu dapat 

diperebutkan seperti halnya piala. 

Untunglah ia kemudian dapat menyadari 

kekeliruannya berkat nasehat guru 

Roijah. Ia kemudian menyadari bahwa 

cinta itu memang tidak bisa 

diperebutkan, karena cinta itu lahir 

sendiri tanpa disadari dan tanpa 

direncanakan.

Ya, tanpa disadari. Apakah 

sekarang tanpa sadar pula ia telah 

jatuh cinta kepada Karta? Oh, ia 

teringat sekarang. Dulu pun ketika 

pertama kali bertemu dengan Parmin, ia 

menuduh pemuda itu sengaja 

mengintipnya sewaktu mandi. Ranti 

bahkan menyerang Parmin dengan ganas. 

Untunglah pemuda itu memiliki ilmu 

kesaktian yang tinggi, sehingga dapat


mengelakkan semua serangan Ranti. 

Peristiwanya kira-kira sama seperti 

yang terjadi antara Ranti dengan Karta 

sekarang.

Dan Parmin memang memiliki 

banyak kesamaan dengan Karta. Keduanya 

sama-sama gagah perkasa dan memiliki 

ilmu tinggi. Selalu mau membela kaum 

lemah dari penindasan-penindasan, 

bersikap lembut dan penuh kasih 

sayang. Cuma saja, Parmin yang 

dijuluki Jaka Sembung itu kelihatan 

lebih dewasa dan lebih saleh 

penampilannya dibandingkan Karta yang 

dijuluki si Gila Dari Muara Bondet. 

Rambut Parmin dicukur pendek, 

sedangkan rambut Karta dibiarkan 

panjang sampai ke pinggang. Persamaan 

atau perbedaan lainnya masih dalam 

pemikiran Ranti, karena ia belum tahu 

banyak mengenai diri Karta.

Dulu, dengan sikapnya yang 

kekanak-kanakan, Ranti sendirilah yang 

selalu berusaha berdekatan dengan 

Parmin. Tanpa malu-malu, ia datang ke 

sawah tempat Parmin bekerja. Atau ke 

rumah petani tua hanya sekadar untuk 

bisa berbincang-bincang dengan 

pendekar itu.

Sekarang sebaliknya, Karta yang 

tampaknya selalu mengejar-ngejar 

Ranti. Sementara Ranti sendiri 

kelihatannya selalu berusaha 

menghindar, meskipun ia sendiri harus


mengakui bahwa sikapnya itu tidak 

sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan 

mungkin hanya sekadar kompensasi untuk 

menutupi isi hatinya yang sebenarnya.

Diam-diam dara jelita itu merasa 

khawatir, kalau-kalau Karta tidak mau 

lagi memaafkannya. Alangkah malangnya 

nasibnya jika ia akan kehilangan 

seorang pria yang demikian baik. Tanpa 

terasa air matanya menetes membasahi 

wajahnya yang pucat.

Aku harus kembali dan minta maaf 

padanya, kata hati Ranti. Tetapi saat 

itu juga hatinya berteriak lain. 

Tidak! Aku tidak boleh merengek-rengek 

di hadapannya untuk minta dibelas-

kasihani. Biarlah aku melupakannya! Ia 

selalu berusaha mendekatiku hanya 

karena suaraku mirip dengan mendiang 

kekasihnya. Kalaupun dia merasa cinta, 

yang ia cintai hanyalah suaraku."

Tangis Ranti semakin menjadi-

jadi. Matahari mulai gelap, bundar 

bagai bola dan mengembang di atas 

mega-mega di kaki langit. Udara 

menjelang kelam. Cahaya senja merah 

tembaga antara terang dan gelap, 

terasa lebih cepat kusam dan padam. 

Nun jauh di sana, udara senja mulai 

hitam, menodai jaringan-jaringan halus 

pepohonan di tengah hutan. Seperti 

sedang mengisyaratkan sebuah prahara 

yang telah datang mengacaukan 

segalanya.


Ranti tidak tahu harus melakukan 

apa agar pikirannya dapat tenang. 

Dengan putus asa, ia menyandarkan 

kepala sambil memejamkan mata, lalu 

berbisik sedih: "Tuhan, daripada hidup 

tersiksa seperti ini, mengapa Tuhan 

tidak mencabut nyawaku saja?"

Tatkala malam semakin larut, 

Ranti naik ke dahan pohon dan kembali 

duduk bersandar. Ia sudah memutuskan 

akan melewatkan malam itu di tengah 

hutan. Sebab mau ke mana lagi dia? Ia 

belum mengenal daerah di sekitar hutan 

itu. Kalau ia nekad meneruskan 

perjalanan, ia bisa tersesat makin 

jauh ke tengah hutan. Dengan air mata 

yang masih bercucuran dan suara isak 

tangis yang tersendat-sendat, gadis 

itu akhirnya tidur kelelahan.

Esok harinya, ia terbangun 

ketika matahari telah tinggi menerpa 

wajahnya dari sela-sela dedaunan. 

Ranti terbangun karena matanya yang 

silau terkena sinar matahari. Sambil 

mengeluh, ia turun dari atas pohon.

Ranti tidak tahu hendak ke mana 

sekarang. Perutnya terasa sangat 

lapar, pedih bagaikan dililit-lilit. 

Tetapi kemanakah ia harus pergi 

mencari makanan?

Gadis itu akhirnya memutuskan 

untuk pergi ke muara kali Cimanuk dan 

mengharap di tempat itu nanti ia bisa 

menemukan perkampungan kaum nelayan.


Mudah-mudahan aku masih bisa menemukan 

orang yang mau memberiku sedikit 

makanan, kata hati Ranti penuh harap.

Ranti akhirnya sampai di muara 

kali Cimanuk, di pesisir pantai laut 

Jawa. Ia menyusuri pantai pasir putih 

dan matanya menatap liar ke sana ke 

mari dengan harapan bisa menemukan 

orang yang mempunyai makanan.

Pada usia semuda itu, Ranti 

telah hidup luntang lantung ke sana 

kemari. Semua itu sebetulnya hanya 

karena tuntutan hatinya yang kesepian 

dan butuh kasih sayang. Keadaan itu 

sangat jauh berbeda dengan kehidupan-

nya pada waktu kecilnya. Dulu Ranti 

hidup serba berkecukupan. Sekarang 

untuk makan saja sudah terancam. Wajar 

kalau ia merasa sangat tersiksa, sebab 

ia belum terbiasa hidup dalam 

keprihatinan.

Keadaan itu telah membuka mata 

hatinya, bahwa dalam hidup ini banyak 

tantangan dan rintangan. Bahwa dalam 

kehidupan ini manusia saling 

membutuhkan, saling tergantung satu 

sama lainnya tanpa terkecuali. Yang 

kaya bukan berarti tak pernah 

membutuhkan yang miskin, begitu juga 

sebaliknya yang miskin pun membutuhkan 

orang kaya.

Ranti tak dapat membayangkan apa 

yang bakal terjadi pada dirinya jika 

dalam pengembaraannya itu tidak


menemukan orang lain. Mungkin ia akan 

mati kelaparan.


TUJUH



Tak jauh dari tempat Ranti 

sekarang berjalan menyusuri pasir 

pantai, tampaklah asap mengepul, di 

dekat pohon nyiru. Seorang lelaki muda 

duduk di batang pohon kelapa yang 

telah tumbang. Ia sedang memasak ikan 

di dalam sebuah kuali.

Lelaki itu masih cukup muda, 

berusia sekitar dua puluh lima tahun. 

Tubuhnya tegap kekar dengan kulit 

hitam legam. Kumisnya panjang dan 

melingkar. Alis matanya tebal, 

sedangkan matanya kelihatan selalu 

melotot. Ia mengenakan ikat kepala 

sehingga rambutnya yang cukup panjang 

tidak awut-awutan.

Jika diperhatikan cara lelaki 

itu memasak, orang pasti akan 

terkejut. Betapa tidak, ia sama sekali 

tidak menggunakan sendok untuk 

mengaduk rebus ikan yang sedang 

mendidih itu, melainkan dengan tangan 

kanannya sendiri. Anehnya, lelaki itu 

kelihatan tenang-tenang saja, tak 

merasa kepanasan sedikitpun juga.

Perlahan-lahan, lelaki itu 

mengangkat tangan kanannya dari dalam 

kuali. Maka tampaklah tangannya yang


hitam legam dan bentuknya aneh itu 

mengeluarkan uap. Tangan itu mirip 

garpu besar dan terlihat seperti 

terbuat dari baja.

Apakah lelaki itu sedang 

mengenakan sarung tangan yang terbuat 

dari baja? Sama sekali tidak! Tangan 

kanannya itu berubah jadi seperti itu 

adalah berkat latihan yang tak kenal 

lelah dan putus asa.

Itulah dia si Cakar Rajawali!

Seperti diceritakan di bagian 

awal, lelaki itu berlatih tekun siang 

dan malam untuk memperdalam ilmu 

silatnya di pantai teluk Cirebon. 

Tangan kanannya yang cacat itu 

dilatih, mulai dengan cara membenam-

kannya di pasir pantai yang panas, 

kemudian di dalam air mendidih hingga 

akhirnya di dalam kobaran api. Dan 

jika malam telah tiba, lelaki itu 

berlatih jurus-jurus silat sehingga 

tingkat kepandaiannya makan lama makin 

tinggi.

Si Cakar Rajawali yang nama 

aslinya adalah Barna telah bertekad 

untuk membalaskan dendam kesumat atas 

kematian gurunya di tangan Jaka 

Sembung. Ia telah bersumpah tidak akan 

mau berhenti sebelum berhasil membunuh 

lelaki pengembara yang mengalahkan 

gurunya itu. Itulah sebabnya ia 

berlatih dan terus berlatih tanpa 

kenal lelah dan putus asa.


Barna menjilat-jilat kuah rebus 

ikan yang membasahi tangan kanannya. 

Ia tampak lega, mungkin karena merasa 

bumbu masakannya telah sesuai dengan 

yang ia inginkan. Lalu ia bangkit dan 

menoleh ke sana ke mari, mencari 

ayahnya.

"Ayah! Di mana kau? Kemarilah, 

sarapan sudah siap!" teriak pendekar 

itu dengan suara menggelegar, sehingga 

suaranya bergema ke sepanjang pantai

Karena tidak ada sahutan, Barna 

berlari agak jauh ke sebelah Selatan 

pantai itu. Benar saja, ayahnya sedang 

terkekeh-kekeh.

"Ayah, kembalilah. Mari kita 

makan!" teriak Barna.

Ayahnya tak menyahut. Lelaki tua 

itu terus merangkak sambil berkata-

kata seorang diri, "He-he he, mau lari 

ke mana kau setan cilik? Jangan kira 

kau bisa lolos dari tanganku," katanya 

sambil terus merangkak bagaikan anak 

kecil yang belum bisa berjalan.

Lelaki tua kurus kerempeng itu 

tertawa keras-keras ketika berhasil 

menangkap seekor udang. Ia sangat 

girang, lalu merangkak lagi menangkap 

udang yang banyak berkeliaran di 

sekitar pantai itu.

Agaknya pikiran lelaki tua itu 

tidak waras lagi. Tingkah lakunya sama 

sekali tidak menunjukkan sikap seorang 

lelaki yang telah berumur lanjut. Ia


bertelanjang dada sehingga tulang-

tulang rusuknya terlihat menonjol, 

seolah-olah hanya dibungkus kulit 

saja. Kumisnya yang tebal dan sudah 

mulai memutih dibiarkan tumbuh dengan 

liar, sehingga wajahnya tampak 

menyeramkan.

Siapakah sebenarnya laki-laki 

tua dan kurus itu? Dia lah salah 

seorang dukun gadungan penyambung 

lidah Bergola Ijo. Dulu ia dikenal 

sebagai tokoh sesat yang sangat 

ditakuti banyak orang. Namun ia tidak 

kuat mental sehingga menjadi gila 

setelah majikannya terbunuh. Menurut 

sebagian orang, dukun itu menjadi gila 

adalah karena 'supata'(kutukan) Kyai 

Haji Subekti Achmad, ulama besar dari 

Gunung Sembung.

Melihat keadaan ayahnya itu, 

makin berkobarlah dendam di hati 

Barna. Semua ini gara-gara musuh-

musuhnya yang kelak akan ia tumpas 

habis sampai ke anak cucunya hingga 

lenyap dari permukaan bumi ini.

"Ayah dengarlah aku ayah! 

Sarapan pagi kita sudah kusiapkan. 

Ayah tentunya sudah lapar. Ayolah, 

kita makan sekarang," kata Barna 

membujuk-bujuk ayahnya.

"He-he-he, sarapan katamu? 

Inilah sarapanku. Cukup perbekalan 

selama tiga hari. Enak, manis dan 

gurih. Kalau kau suka kau boleh ambil.


Nih, makanlah!" Tangan kiri orang tua 

itu diulurkan kepada Barna. Sedangkan 

tangan kanannya memasukkan udang yang 

masih hidup itu ke dalam mulutnya. 

Sambil tak henti-hentinya tertawa 

terkekeh-kekeh, lelaki tua itu 

mengunyah-ngunyah dengan sangat 

lahapnya.

Cakar Rajawali tidak bisa 

berbuat apa-apa. Kalaupun dia berusaha 

mencegah, tidak akan ada gunanya 

karena ayahnya pasti akan tetap makan 

udang itu. Bahkan mungkin akan menjadi 

marah karena merasa kesenangannya 

diganggu.

Memang demikianlah adat orang 

tua itu setelah pikirannya tak waras 

lagi. Masih mending kali ini ia cuma 

makan udang hidup. Pada waktu lalu ia 

malah pernah hendak memakan 

kalajengking yang ia tangkap di 

pinggir hutan. Untunglah anaknya 

segera melihat dan mencegahnya.

Kadang-kadang orang tua itu 

tertawa-tawa tak henti-hentinya, 

tetapi tak lama kemudian tiba-tiba 

menangis tersedu-sedu menyesali masa 

lalunya. Jika malam tiba, lelaki tua 

itu suka duduk menyendiri lama sekali. 

Entah apa saja yang ia pikirkan tak 

ada yang tahu. Tetapi kalau anaknya 

menyuruhnya tidur, ia tidak mau bahkan 

sering menjadi beringas.

"Ayah, marilah kita makan. Saya


sudah sangat lapar, ayah! Apakah ayah 

tidak merasa kasihan padaku?" tanya 

Barna lagi. Ia menarik tangan ayahnya 

dengan harapan ayahnya mau diajak 

meninggalkan pantai itu.

"Heh, kau berani kurang ajar 

padaku, ya?" bentak orang tua itu 

dengan sikap yang tiba-tiba berubah 

jadi beringas.

"Oh, ayah jangan marah. Saya tak 

bermaksud kurang ajar. Aku hanya ingin 

mengajak ayah sarapan pagi."

"Aku sudah sarapan. Nih, 

sarapannya enak sekali. Cobalah, kau 

pasti senang," kata lelaki tua itu 

sambil menyodorkan beberapa ekor udang 

kepada anaknya.

Si Cakar Rajawali tidak berkata 

apa-apa lagi. Dengan langkah lesu, ia 

meninggalkan tempat itu, kembali ke 

tempatnya tadi merebus ikan.

Akan tetapi setibanya di tempat 

itu, alangkah terkejutnya ia melihat 

ikan rebusnya sudah habis dimakan 

orang. Tinggal tulang-tulangnya saja 

berserakan di sekitar tempat itu.

"Bangsat! Siapa yang mengha-

biskan ikanku? Bajingan, akan kurobek-

robek mulutnya jika aku tahu siapa 

yang berani mencuri ikanku!" kata 

Barna geram.

Pendekar itu melirik ke seke-

lilingnya, mencari orang yang berani 

mempermainkannya. Tiba-tiba matanya


mendelik ketika melihat seorang gadis 

dengan tenang mencuci tangannya di 

pinggir pantai. "Bangsat, pasti dialah 

yang telah menghabiskan ikan rebusku," 

pikirnya.

"Hei, siapa kau bangsat?" bentak 

Si Cakar Rajawali sambil menatap ke 

arah wanita yang duduk membela-

kanginya, yang tak lain tak bukan 

adalah Ranti.

Tadi ketika sedang melangkah 

sendirian di pasir pantai itu, Ranti 

mencium bau lezat ikan dimasak. Tak 

lama kemudian, ia melihat kepulan asap 

tak jauh dari tempat itu. Ranti 

mempercepat larinya ke arah kepulan 

asap itu. Ia menjadi kegirangan 

melihat ikan rebus di dalam kuali.

Ranti sebenarnya ingin meminta 

secara baik-baik kepada orang yang 

punya. Tetapi karena di tempat itu 

tidak ada siapa-siapa, dan karena 

sudah sangat lapar, maka ia segera 

memakan ikan rebus itu sampai habis.

"Nanti aku akan minta maaf pada 

orang yang punya ikan ini!" pikir 

Ranti. Ia nantinya rela bekerja untuk 

orang yang punya ikan sebagai ganti 

makanannya itu.

Setelah selesai mencuci tangan-

nya, Ranti membalikkan badan lalu 

menatap ke arah Barna.

"Bajingan, kau telah menghabis-

kan ikan rebusku!" bentak Si Cakar


Rajawali marah.

"Maafkan aku, tuan. Aku sangat 

kelaparan tadi," ujar Ranti hati-hati

Melihat gadis di hadapannya 

sangat cantik, Barna menjadi berubah 

sikap. Tadinya ia sudah memutuskan 

akan menghajar siapa pun yang telah 

mencuri ikannya tanpa perduli apapun 

alasannya.

Sekarang melihat Ranti sangat 

cantik dan masih sangat muda pula, 

timbullah niat busuk di hati Si Cakar 

Rajawali. Ia ingin memperalat 

kesalahan gadis itu untuk menuruti 

kemauannya.

"Tak kusangka maling ikanku 

seorang gadis yang sangat cantik. 

Rupanya kau tersesat ke tempat ini, 

nona manis."

"Ya, tuan. Saya sangat berterima 

kasih atas kebaikan tuan. Aku tak tahu 

harus bagaimana membalas budi baik 

tuan."

"Ah, tidak apa. Orang yang lapar 

memang perlu makan. Orang yang haus 

perlu minum. Tapi sebagai seorang 

pengembara dan sebagai pendekar yang 

ksatria, kau pun tentunya tahu 

membalas budi baik orang, nona."

"Ya, saya sangat berterima kasih 

pada tuan. Apakah yang harus kulakukan 

untuk membalas kebaikanmu ini?"

"Mudah saja, Nona. Seperti yang 

saya katakan tadi, orang lapar perlu


makan dan orang haus perlu minum. 

Demikian juga orang kesepian perlu 

ditemani dan dihibur."

"Apa maksudmu?" tanya Ranti 

sambil mengernyitkan alis matanya.

"Maksudku, kau harus menemani 

aku tidur nanti malam. Tidak susah, 

bukan? Aku sudah sangat lama tidak 

bertemu dengan gadis apalagi yang 

sangat cantik seperti dirimu."

Mendengar ucapan lelaki itu, 

menjadi merah padamlah wajah Ranti. 

Perasaan kewanitaannya sangat tersing-

gung. Ia memang berhutang budi 

terhadap lelaki di hadapannya itu, 

karena telah menghabiskan ikan 

rebusnya. Tetapi apakah ikan rebus 

seperti itu harus dibayar dengan 

kehormatannya sebagai seorang gadis?

Sampai mati pun dan demi apapun, 

Ranti tidak akan sudi. Ia memilih 

lebih baik mati daripada harus disuruh 

membayar ikan dengan kehormatannya. 

Maka Ranti pun segera meloncat ke 

hadapan Si Cakar Rajawali. Sikapnya 

sekarang tampak sangat beringas. 

Matanya mencorong tajam dan merah 

bagaikan memancarkan api.

"Kau keterlaluan! Aku memang 

bersalah karena telah menghabiskan 

ikan rebusmu. Tetapi jangan kira aku 

mau membayarnya dengan kehormatanku. 

Akan kucabut nyawamu kalau berani 

berkata seperti itu lagi."


"Ah, nona cantik yang sangat 

galak! Kau tambah cantik saja kalau 

sedang marah. Mengapa kau menolak 

maksud baikku? Apa salahnya kita tidur 

bersama-sama hanya untuk satu malam 

saja?"

Ranti makin marah. Membayangkan 

tidur bersama Parmin saja selama ini 

belum pernah. Apalagi tidur bersama 

lelaki yang baru dikenalnya itu.

"Dasar lelaki bajingan. Kalau 

abangku si Jaka Sembung tahu kau 

berani kurang ajar padaku, mulutmu itu 

tentu akan dirobek-robek!" bentak 

Ranti. Karena sangat marah dan tadi 

sempat teringat kepada Parmin, tanpa 

sengaja ia menyebut nama lelaki itu.

Dan rupanya kata 'Jaka Sembung' 

yang keluar dari mulut Ranti benar-

benar membuat sikap Si Cakar Rajawali 

berubah. Wajahnya merah padam, 

kumisnya tegak dan bergerak-gerak 

kaku. Kalau tadi sinar matanya 

memancarkan nafsu birahi, maka kini 

nafsu yang terpancar dari matanya 

adalah nafsu membunuh yang tampaknya 

tak bisa dicegah lagi.


DELAPAN


Jaka Sembung, adalah salah 

seorang musuh besarnya. Pendekar dari 

Gunung Sembung itulah yang telah 

memberikan kehidupan suram padanya. 

Jaka Sembung telah membunuh orang yang 

dicintainya, gurunya yang bergelar 

Bergola Ijo. Bahkan selama ini ia 

memperdalam ilmunya adalah untuk 

membalaskan dendamnya kepada Jaka 

Sembung.

Ia tahu Jaka Sembung memiliki 

ilmu yang sangat tinggi. Karena itulah 

ia menuntut ilmu bertahun-tahun dan 

melatih tangan kanannya yang cacat 

menjadi cakar maut. Barna telah 

bersumpah akan membalaskan dendam 

kesumatnya, melenyapkan Jaka Sembung 

serta saudara-saudaranya. Sebab hanya 

dengan cara itu ia bisa merasa 

dendamnya terlampiaskan, atau merasa 

hutangnya impas.

Dendam memang sering membuat 

orang menjadi mata gelap. Jika dendam 

telah merasuki pikiran dan menguasai 

hati seseorang, maka orang tersebut 

tidak akan pernah merasa tenang 

sebelum melampiaskan dendamnya. Cara 

apa pun akan ia tempuh demi 

membalaskan dendamnya.

Itulah sebabnya permusuhan di 

antara sesama pendekar atau para 

jagoan silat lainnya sering ber


kepanjangan dan bahkan bisa menjadi 

semacam mata rantai yang berkesinam-

bungan. Seperti Si Cakar Rajawali 

misalnya, ia menaruh dendam kesumat 

kepada Jaka Sembung, karena gurunya 

pernah dirobohkan jagoan dari Gunung 

Sembung itu.

Kalau misalnya Parmin juga 

terbunuh di tangan Cakar Rajawali, 

kawan-kawan Parmin pun tentu akan 

dendam kepada Cakar Rajawali. Demikian 

seterusnya, sehingga merupakan ling-

karan setan yang tak ada habis-

habisnya. Kebanyakan di antara para 

pendekar yang kurang bijaksana menilai 

nyawa harus dibayar dengan nyawa. 

Padahal itu belum tentu merupakan 

penyelesaian yang baik dan benar. 

Kekerasan bukanlah satu-satunya cara 

untuk menyelesaikan persoalan. Ada 

kalanya jalan kekerasan harus dihin-

darkan. Artinya harus mau mengalah 

untuk menang.

Sekarang mendengar Ranti mengaku 

sebagai adik Jaka Sembung, amarah 

Cakar Rajawali pun tak terkendalikan 

lagi. Ia merasa tak perlu berpikir dua 

kali untuk membunuh Ranti.

"Hm, jadi si Parmin itu adalah 

abangmu? Bagus, berarti kau adalah 

adiknya. Demi langit dan bumi dan demi 

arwah guruku, aku telah bersumpah 

untuk menumpas Jaka Sembung, termasuk 

sanak familinya hingga habis dari muka


bumi ini. Dan kau adalah korban yang 

pertama!" kata Barna dengan suara 

meledak-ledak.

Ranti terkejut juga menyaksikan 

perubahan sikap Si Cakar Rajawali. 

Rupanya lelaki di hadapannya itu 

menaruh dendam kesumat kepada Jaka 

Sembung, bahkan telah bersumpah akan 

menumpas habis siapa saja yang punya 

hubungan kekeluargaan dengan pendekar 

Gunung Sembung itu.

Diam-diam Ranti merasa ngeri 

juga, karena ia tahu Si Cakar Rajawali 

bukanlah orang sembarangan. Pastilah 

memiliki kesaktian yang sangat tinggi. 

Apalagi saat memperhatikan tangan 

kanan Si Cakar Rajawali yang hitam 

legam dan keras bagaikan baja. Tangan 

itu pastilah sangat berbahaya.

Dulu ayah angkat Ranti, Gembong 

Wungu telah sering menceritakan ten-

tang kehebatan-kehebatan para pendekar 

kesohor. Para jagoan tersebut selalu 

memiliki keistimewaan tersendiri, 

misalnya mempunyai senjata yang tidak 

lazim dimiliki orang, atau jurus-jurus 

langka. Tetapi Gembong Wungu belum 

pernah menceritakan adanya jagoan yang 

memiliki senjata berupa tangan kanan 

keras dan bagaikan baja.

Jika bertarung dengan pendekar 

aneh itu, Ranti tentu akan merasa 

kikuk sebab selama hidupnya ia belum 

pernah berhadapan dengan orang seperti


itu. Selain itu, melihat sikap Si 

Cakar Rajawali, tahulah Ranti bahwa 

lelaki itu memiliki tabiat yang sangat 

ganas dan buas.

Ranti merasa cemas juga. Tetapi 

ia tak mungkin lagi menghindari 

pertarungan dengan musuh yang tangguh. 

Maka ia pun segera mencabut 

senjatanya. Kalau ia memang harus 

mati, biarlah. Toh tidak akan ada yang 

menangisinya. Bukankah ia tidak punya 

siapa-siapa lagi?

"Bersiaplah untuk mampus, nona. 

Si Cakar Rajawali akan merobek-robek 

tubuhmu sebagai pelampiasan dendamku 

kepada Jaka Sembung. Akan kucabut 

jantung dan hatimu, lalu kuberikan 

kepada abangmu itu sebagai tanda mata 

yang sangat berharga," kata Barna 

sambil bersiap-siap untuk menerjang 

Ranti.

"Jangan kira aku takut padamu, 

bangsat! Jika kau telah bersumpah 

menumpas Jaka Sembung dan keluarganya, 

maka aku pun telah bersumpah 

melenyapkan kau serta penjahat-

penjahat lainnya dari muka bumi ini."

"Rupanya kau tak berbeda dengan 

abangmu itu. Mulutmu terlalu besar, 

nona. Kau betul-betul tak tahu diri. 

Ajalmu sudah dekat, tapi kau masih 

berani bicara sesumbar seperti itu."

"Jangan banyak bicara, bedebah!"

"Baiklah, nona sombong. Hada


pilah seranganku!"

Usai berkata demikian, Si Cakar 

Rajawali segera menerjang Ranti dengan 

dahsyat. Tubuhnya melayang cepat 

sekali, kaki kanannya ditekuk dan 

hampir menempel ke dada, tangan 

kirinya terulur ke depan, sedangkan 

tangan kanannya yang hitam keras itu 

ditarik ke belakang, sewaktu-waktu 

siap melancarkan serangan maut tak 

terduga.

Ranti menggeser kaki kanannya ke 

samping untuk mengelakkan tendangan 

kaki lawan. Lalu dengan gerakan yang 

sangat cepat, ia mengayunkan pedangnya 

ke arah punggung Cakar Rajawali. Orang 

lain yang ilmunya tak terlalu tinggi 

tentu akan gugup diserang secepat itu. 

Namun Si Cakar Rajawali tampak tetap 

tenang. Sambil tersenyum mengejek, ia 

mengulurkan tangan kanannya menangkis 

sabetan senjata lawan.

Terdengar suara berdenting 

ketika senjata Ranti bertemu dengan 

tangan kanan lawan, seolah-olah golok 

itu mengenai benda logam yang sangat 

kuat. Tak terlihat Si Cakar Rajawali 

merasa kesakitan, bahkan Ranti sendiri 

yang merasa tangannya kesemutan karena 

kuatnya tenaga dalam lawan. Ketika ia 

belum bisa menguasai perasaan 

kagetnya, tangan maut itu telah 

terulur mencengkeram senjata di tangan 

Ranti.


Sambil berseru kaget, Ranti 

membanting diri ke samping. Tubuhnya 

berguling-gulingan di atas tanah, lalu 

ia kemudian meloncat jauh ke belakang. 

Gadis itu menenangkan perasaan. Hampir 

saja tadi, hanya dalam satu gebrakan 

saja ia tewas di tangan lawan.

Melihat sikap Ranti, maka Si 

Cakar Rajawali pun tertawa kegirangan. 

Ia benar-benar anggap remeh kepada 

gadis di hadapannya.

"Tak kusangka kepandaian adik 

Jaka Sembung hanya seperti itu. 

Rasanya aku jadi malu jika harus 

bertarung denganmu. Kalau saja aku 

belum sempat bersumpah untuk membunuh-

mu, aku tidak akan mau bertarung 

denganmu. Tapi walaupun demikian, 

biarlah aku melanggar sumpahku. 

Sebaiknya kau menyerah saja dan mau 

menjadi istriku. Sayang kalau nona

secantik kau mati dengan sia-sia di 

tanganku."

"Bangsat! Kau jangan sombong, 

monyet!" Ranti segera menerjang dengan 

dahsyat. Sekarang ia telah menge-

luarkan ilmu silatnya yang paling 

tinggi. Pedang diputar cepat sekali 

sehingga seolah-olah berubah jadi 

banyak sekali, menyerang Si Cakar 

Rajawali dari segala penjuru.

Melihat kecepatan gerak Ranti, 

agak terkejut juga Si Cakar Rajawali 

dan diam-diam harus mengakui bahwa


dalam hal kecepatan gerak, Ranti cukup 

bisa mengimbanginya. Si Cakar Rajawali 

pun segera mengeluarkan jurus-jurus 

mautnya. Setiap pedang lawan menyambar 

ke arah tubuhnya, ia langsung 

memapakinya dengan tangan bajanya.

Ranti yang sudah mengetahui 

kehebatan tangan itu terpaksa harus 

menarik serangannya, untuk kemudian 

menyerang dari arah lain. Akibatnya 

gadis itu menjadi kerepotan sendiri. 

Apalagi karena jurus-jurus yang 

dikeluarkan Si Cakar Rajawali selalu 

penuh dengan perkembangan yang tak 

terduga. Begitu Ranti menarik pedang-

nya, Si Cakar Rajawali segera balas 

menyerang dengan gerakan cepat 

bagaikan kilat.

Pertarungan yang tak disaksikan 

siapa-siapa itu berlangsung sampai 

berpuluh-puluh jurus. Namun makin 

lama, perlawanan Ranti makin lemah. Ia 

sekarang tak punya kesempatan lagi 

melakukan serangan balasan, sebab 

untuk bertahan pun ia harus berjuang 

mati-matian.

"Kau akan mampus di tanganku, 

nona!" teriak Si Cakar Rajawali. 

Serangan-serangannya makin gencar, 

mengurung lawan dari segala penjuru. 

Tangan kirinya menyambar ke arah ke 

dua mata gadis itu dengan kecepatan 

yang sukar diikuti pandangan mata. Tak 

terkatakan betapa terkejutnya Ranti


mendapat serangan seperti itu, karena 

kalau mengenai sasaran, kedua biji 

matanya pasti akan hancur.

Secepat yang bisa ia lakukan, 

Ranti mundur dengan posisi menyamping. 

Serangan tangan kiri lawan bisa ia 

elakkan, namun pada saat itu cakar 

maut lawan menyambar dari arah kanan. 

Ranti makin terkejut, lalu membanting 

tubuhnya ke atas tanah. Tetapi 

terlambat sudah, cakar maut lawan 

telah menyambar tubuhnya.

"Bret!" terdengar suara kain 

robek di bagian punggung Ranti, 

sehingga kulit tubuhnya yang putih 

mulus kelihatan. Hal itu rupanya 

membuat Si Cakar Rajawali menjadi 

berubah sikap. Murid Bergola Ijo itu 

tadinya ingin menghabisi nyawa Ranti 

secepatnya, tetapi sekarang ia 

mengurungkan niatnya, dan ingin mem-

permainkan gadis itu sepuas hati 

sebelum membunuhnya.

"Ha-ha-ha, nona manis. Kulit 

tubuhmu sangat halus. Hatiku jadi 

berdebar-debar melihatnya," ejek Si 

Cakar Rajawali sambil tertawa 

kegirangan.

Cakar maut tangan kanannya 

kembali menyambar baju di bagian bahu 

Ranti hingga sobek hampir sebatas 

dada.

"Bangsat! Kubunuh kau!" bentak 

Ranti, geram bercampur cemas. Ia


kembali menyerang dengan ganas, tetapi 

karena tenaganya sudah sangat 

terkuras, dengan mudah lawan dapat 

menghindar.

"Aku senang melihat wanita 

telanjang menari-nari, nona manis. 

Ayo, teruskan seranganmu! Nah, 

sekarang giliran dadamu yang montok 

itu, nona...." 

Benar saja, dengan gerakan cepat 

dan penuh tipu daya, Si Cakar Rajawali 

kembali merobek baju di bagian dada 

Ranti.

Putri Gagak Ciremai itu 

menjerit. Dadanya hampir telanjang 

sekarang. Sebagai seorang gadis, 

apalagi yang masih sangat muda belia, 

ia merasa sangat malu dan merasa 

sangat terhina. Ingin rasanya ia 

menangis saking kesal dan marahnya.

"Bangsat! Kalau kau bukan 

pengecut, bunuhlah aku sekarang juga!" 

teriak Ranti putus asa.

"Kau pikir aku setolol itu, nona 

manis? Lelaki mana yang tak tergiur 

melihat mulus dan montoknya tubuhmu, 

nona?"

"Diam kau, bangsat!"

"Kau boleh memaki aku sepuas 

hatimu, nona. Kau berhak memaki-maki 

aku, sama seperti halnya saat ini aku 

pun berhak menikmati tubuhmu itu." Si 

Cakar Rajawali menghentikan serangan-

nya. Ia mundur beberapa langkah.


Setelah itu, ia menatap tubuh Ranti 

dari bawah sampai ke atas dengan mata 

mendelik.

Kedua mata Ranti memerah menahan 

air mata. Perasaannya tak menentu 

lagi. Tangan kanannya memegang sen-

jata, sedangkan tangan kirinya 

didekapkan untuk menutupi dadanya yang 

tak ditutupi pakaian lagi. Pada saat 

seperti itu, Ranti merasa lebih baik 

mati. Ia tak tahan lagi menanggung 

malu, dibuat hampir telanjang bulat di 

hadapan lawan.

"Mana abangmu si Jaka Sembung 

itu? Seandainya ia ada di sini, dia 

tentu akan senang melihatmu menari-

nari sambil telanjang." 

Si Cakar Rajawali kembali me-

nyerang Ranti. Karena tak bisa lagi 

menguasai perasaannya, Ranti tidak 

berpikir lagi untuk menyerang. Makin 

lama pakaiannya makin habis tersobek-

sobek oleh cakar maut lawannya. Dan 

akhirnya, dara itu benar-benar 

telanjang bulat.

Sambil menjerit, Rand berlari 

menyembunyikan diri ke balik batang 

pohon kelapa yang banyak tumbuh di 

sekitar pantai. Ia menangis sedih dan 

geram. Ia ingin dibunuh secepatnya dan 

jika ia masih dibiarkan hidup, suatu 

saat nanti ia bersumpah akan membunuh 

Si Cakar Rajawali.

Ranti tak dapat membayangkan


betapa besarnya aib yang akan menimpa 

dirinya jika Si Cakar Rajawali 

memperkosanya. Ia sedih dan putus asa, 

juga geram, dan entah apa lagi 

sehingga perasaannya tidak berbentuk 

lagi.

"Bunuhlah aku! Oh, jangan siksa 

aku seperti ini. Bunuhlah, bajingan!" 

teriak Ranti, dengan air mata menetes 

membasahi wajahnya.

Si Cakar Rajawali tertawa ter-

gelak-gelak, sambil melangkah ke arah 

pohon kelapa tempat Ranti menyem-

bunyikan tubuh bugilnya. Lelaki itu 

tampak merasa semakin puas melihat 

Ranti menangis ketakutan dan merintih-

rintih meminta dirinya agar segera 

dibunuh.

"Sabarlah sedikit, nona manis! 

Sebentar lagi permintaanmu itu akan 

kupenuhi. Sayang sekali gadis cantik 

dan molek seperti kau harus tinggal 

jadi tumpukan daging yang tak laku 

dijual. Tetapi perlu kau ketahui bahwa 

ini merupakan langkah awal bagiku 

untuk membalaskan kesombongan pendekar 

dari Gunung Sembung."

"Jangan banyak omong kau! 

Bunuhlah aku! Bedebah kau!" teriak 

Ranti lagi.

"Baiklah, agaknya kau memang 

tidak sabar lagi untuk segera 

meninggalkan dunia ini." Si Cakar 

Rajawali segera mempersiapkan jurus


mautnya. Ia membungkukkan badan dengan 

posisi kaki kanan di depan. Tangan 

kirinya dilipatkan di dada, sedangkan 

tangan kanannya yang merupakan cakar 

maut itu diangkat tinggi-tinggi. Ia 

telah siap merobek-robek tubuh Ranti 

dengan cakar mautnya.

"Tunggulah abangmu si Jaka 

Sembung di pintu akherat..." kata Si 

Cakar Rajawali dengan suara bergetar 

akibat nafsu membunuh yang tak 

terkendalikan lagi.

Tetapi di saat yang sangat 

genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan 

berkelebat. Begitu cepatnya bayangan 

itu sehingga Si Cakar Rajawali tidak 

sempat menghindar ketika dadanya 

dipukul.

Tak ayal lagi, tubuhnya 

terlempar ke belakang beberapa meter.

Ketika ia bangkit kembali, 

tampaklah seorang pemuda berdiri di 

tempat itu, yang tak lain tak bukan 

adalah Si Gila Dari Muara Bondet.


SEMBILAN



Setelah berhasil menyelamatkan 

Ranti dari pusaran arus air di muara 

Cimanuk, dan Ranti pergi setelah 

menuduhnya telah berbuat kurang ajar, 

perasaan Karta menjadi hancur luluh. 

Ia tidak menyangka gadis cantik jelita 

yang suaranya mirip dengan mendiang


kekasihnya sampai hati menuduhnya 

seburuk itu, padahal ia telah 

mempertaruhkan nyawa menyelamatkan 

gadis itu,

Karta sangat kecewa. Ia memang 

dapat memahami perasaan Ranti yang 

tampaknya sedang mengalami pukulan 

batin yang sangat berat. Jadi kalau 

sikapnya kurang simpatik, bolehlah 

dianggap wajar. Tetapi saat itu, Karta 

segera memutuskan untuk tidak mau lagi 

mendekati Ranti. Hati gadis itu 

terlalu keras. Karta takut jika 

pertemuannya dengan Ranti akan 

menambah penderitaannya selama ini.

Maka pendekar itu pun segera 

melangkah meninggalkan tebing di 

pinggir muara kali Cimanuk. Langkahnya 

terasa goyah. Berkali-kali ia memaki 

dirinya sendiri karena tidak bisa 

melupakan Ranti. Karta mengingat saat 

Ranti menuduhnya telah berbuat kurang 

ajar, atau telah merusak kesucian 

gadis itu sewaktu tergeletak dalam 

keadaan tak sadarkan diri. Bahkan 

kata-kata itu sangat jelas terngiang-

ngiang di telinga Karta. Entah apa 

alasan Ranti hingga sampai hati 

menuduhnya seperti itu.

Karta terus melangkah, tanpa 

tujuan pasti. Ia hanya mengikuti 

langkah kakinya, dan tidak menyadari 

bahwa ia sedang melangkah menyusuri 

pantai laut Jawa. Angin kencang


mengiringi langkah kakinya yang tak 

pasti. Rambut dan ikat kepalanya 

melambai-lambai, sepertinya sedang 

mengucapkan selamat tinggal dunia 

cinta. Oh, cinta! Engkau yang 

memberiku kebahagiaan dahulu kala, 

namun kemudian engkau juga yang 

memberikan kegersangan hidup bagiku, 

keluh hati pemuda itu.

Ketika sedang melangkah dengan 

pikiran yang hanyut di dalam 

kesedihan, tiba-tiba telinga Si Gila 

Dari Muara Bondet mendengar suara 

orang sedang bertempur. Ia segera 

berlari ke arah suara itu dan semakin 

terkejutlah ia ketika menyadari bahwa 

suara itu suara seorang perempuan yang 

tampaknya sedang bertarung dengan 

seorang lelaki.

Setelah berada tak jauh dari 

arena pertarungan itu, alangkah 

terkejutnya Karta menyaksikan yang 

sedang bertarung itu adalah Ranti 

sendiri. Celakanya lagi, saat itu 

Ranti dalam keadaan bugil dan 

menyembunyikan dirinya di balik pohon 

kelapa. Sementara seorang laki-laki 

tak dikenal sudah bersiap-siap 

menyerangnya dengan dahsyat.

Maka tanpa pikir panjang lagi, 

Karta segera menerjang Si Cakar 

Rajawali. Tubuhnya melesat dan 

berkelebat bagaikan anak panah. Karena 

saat itu Si Cakar Rajawali kurang


waspada, ia tak menyadari bahwa 

seseorang sedang menerjangnya. Ia pun 

terpental terkena hantaman lawan.

"Bangsat! Kau berani menyerang 

aku, ya? Siapa kau, hah?" bentak Si 

Cakar Rajawali sambil melompat 

berdiri. Wajahnya merah padam bagaikan 

terbakar api, dan sepasang matanya 

mencorong tajam seolah-olah hendak 

menelan Karta hidup-hidup.

"Kau keterlaluan, sobat! Sikapmu 

ini tidak akan bisa dibenarkan siapa 

pun juga," kata Karta dengan tenang. 

Pendekar Muara Bondet itu sebenarnya 

sangat marah melihat Ranti diper-

lakukan seperti itu. Namun sebagai 

pendekar yang telah bertahun-tahun 

melanglang buana dalam dunia per-

silatan, ia merasa lebih baik bersikap 

tenang. Lain persoalannya kalau 

misalnya Si Cakar Rajawali tetap 

ngotot bersikap keras. Bagaimana pun 

bagi pendekar seperti Karta, mencari 

musuh itu adalah pantangan. Tetapi 

jika bertemu musuh, artinya ditantang, 

ia pantang mundur.

"Bedebah kau! Berani kau 

mencampuri urusanku! Rupanya belum 

tahu siapa aku. Akulah si Cakar 

Rajawali, jagoan tanpa tanding di 

pantai Cirebon ini. Siapa pun yang 

berani menantang aku, berarti ia sudah 

bosan hidup! Atas kelancanganmu ini, 

maka aku tidak akan memberikan ampun


lagi bagimu!"

"Sahabat yang baik hati, sungguh 

merupakan kehormatan bagiku dapat 

bertemu dengan pendekar gagah perkasa 

seperti Si Cakar Rajawali. Saya yakin 

kau adalah seorang pendekar kesatria, 

yang tidak akan mau berbuat kejam pada 

orang lain tanpa ada alasannya. Jika 

boleh aku tahu. Kesalahan apakah 

gerangan yang dilakukan sahabatku itu 

hingga kau memperlakukannya seperti 

itu?"

"Oh, jadi kau adalah temannya? 

Bagus kalau begitu. Berarti kau pun 

termasuk orang yang harus kulenyapkan 

dari permukaan bumi ini. Ketahuilah, 

perempuan jalang itu telah mengha-

biskan ikan rebusku. Tetapi bukan itu 

yang membuatku harus mencabut 

nyawanya, melainkan karena dia adalah 

adik si Jaka Sembung. Aku telah 

bersumpah akan melenyapkan Jaka 

Sembung dan semua keluarganya dari 

muka bumi ini! Kau pun termasuk salah 

seorang di antaranya."

Diam-diam Karta terkejut juga 

mendengar kata-kata Si Cakar Rajawali. 

Rupanya lelaki itu pun menaruh dendam 

kesumat kepada Jaka Sembung. Tetapi 

apakah memang betul Ranti adalah adik 

pendekar dari Gunung Sembung itu?

Sejak tadi, Karta telah 

memperhatikan tangan kanan Si Cakar 

Rajawali, yang hitam legam dan keras


bagaikan baja. Agaknya kehebatan 

tangannya itulah yang membuatnya 

dijuluki Si Cakar Rajawali. Karta 

mereka-reka dalam hati sambil bersiap-

siap menghadapi segala kemungkinan. 

Sebab melihat sikap dan perkataan Si 

Cakar Rajawali, dapatlah dipastikan 

bahwa lelaki itu pastilah tidak akan 

mau mengurungkan niatnya apa lagi 

untuk berdamai.

"Maafkan saya, pendekar Cakar 

Rajawali. Agaknya kau punya persoalan 

pribadi yang sangat serius dengan 

pendekar Jaka Sembung. Tetapi kalau 

yang berbuat salah hanyalah Jaka 

Sembung, kenapakah yang lain harus 

ikut jadi korban? Saya rasa itu bukan 

lah sikap yang bijaksana."

"Jangan banyak bacot kau, 

bedebah! Sekarang sebutkan namamu, 

agar kau tidak mati penasaran di 

tanganku. Selain itu, aku pun enggan 

membunuh orang yang belum kuketahui 

namanya." 

"Baiklah sobat. Namaku adalah 

Karta. Tetapi orang sering menyebut 

diriku sebagai Si Gila Dari Muara 

Bondet."

"Oh, pantas saja kata-katamu 

seperti orang gila. Rupanya pikiranmu 

tidak waras lagi. Baiklah, sekarang 

bersiap-siaplah untuk mampus di 

tanganku!"

"Pendekar Cakar Rajawali, aku


sebenarnya tak ingin bertarung 

denganmu, karena selama ini di antara 

kita tidak ada persoalan apa-apa. 

Tetapi karena tampaknya kau tetap 

memaksaku, aku akan menerima 

tantanganmu. Kita sama-sama laki-laki. 

Kau boleh menyerang aku sekarang, aku 

sudah siap!"

"Mampus kau, bangsat!" Si Cakar 

Rajawali tiba-tiba meloncat tinggi ke 

arah Karta. Serangannya persis seperti 

ketika ia tadi menyerang Ranti. Tangan 

kirinya dilipat di dada sedang tangan 

kanannya di angkat tinggi, siap 

melancarkan serangan maut.

Melihat serangan lawan, Karta 

menjadi terkejut karena serangan itu 

sangat berbahaya. Lengah sedikit saja 

nyawa bisa melayang. Karta pun segera 

menghunus goloknya, lalu memapaki 

tubuh lawan dengan sabetan senjata 

dengan gerakan kilat.

Si Cakar Rajawali tidak menge-

lak. Ia mengulurkan tangan kanannya 

menangkis sabetan senjata lawan. 

Akibatnya, Karta menjadi terkejut 

sekali, karena goloknya tidak mempan 

melukai tangan lawan. Bahkan senjata 

di tangannya terasa ditolak tenaga 

dalam luar biasa, hingga nyaris 

terpental dari genggaman tangannya.

Karta terpaksa meloncat jauh ke 

belakang untuk mempersiapkan serangan 

baru. Kali ini, ia sendiri yang mulai



menyerang. Ia meloncat tinggi ke 

udara, dan sewaktu tubuhnya meluncur 

turun, goloknya diayun-ayunkan 

menyerang lawan dari segala penjuru.

Pertarungan sengit pun terjadi. 

Kedua pendekar yang sama-sama memiliki 

ilmu silat tinggi itu saling 

mengeluarkan segenap kemampuan untuk 

merubuhkan lawan.

Ranti menyaksikan pertarungan 

itu dari balik batang pohon kelapa. 

Diam-diam ia merasa kagum juga 

menyaksikan bahwa Karta memiliki ilmu 

pedang yang sangat tinggi. Tetapi si 

Cakar Rajawali pun tidak kalah 

hebatnya. Tangan kanannya yang luar 

biasa itu berulangkali merepotkan 

Karta. Setiap kali diserang, ia selalu 

menangkis dengan tangan kanannya itu. 

Ranti menjadi cemas, karena kalau 

Karta sampai kalah, maka tiada harapan 

lagi baginya untuk bisa lolos dari 

maut.

Agaknya Karta pun menyadarinya. 

Pendekar itu mengeluarkan segenap 

kemampuannya untuk bertahan menghadapi 

gempuran lawan, karena ia sadar saat 

ini ia bukan hanya mempertahankan 

nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa 

Ranti. Sadar atau tidak sadar, ia 

sudah bertekad untuk melindungi Ranti 

sekalipun terpaksa harus mengorbankan 

nyawa.


SEPULUH



Makin lama, pertarungan itu 

makin menegangkan. Memasuki jurus yang 

ke enam puluh, terlihatlah bahwa ilmu 

silat Karta masih berada di bawah 

kehebatan Si Cakar Rajawali. Perla-

wanan pendekar dari muara Bondet itu 

makin lama makin lemah, bahkan 

akhirnya hanya bisa bertahan.

"Kau akan mampus di tanganku, 

Gila!" teriak Si Cakar Rajawali dengan 

suara mengejek.

"Kaulah yang akan mampus, 

bangsat!"

Sambil tertawa mengejek, Si 

Cakar Rajawali menerjang Karta dengan 

jurus mautnya. Diawali tendangan kaki 

kanan mengarah ke pusar, tangan 

kirinya kemudian menyambar ke arah ulu 

hati lawan dengan kecepatan luar 

biasa.

Karta sangat terkejut menyadari 

betapa berbahayanya serangan lawan. 

Buru-buru ia menggeser kakinya ke 

sebelah kanan, sehingga serangan kaki 

dan tangan kiri lawan dapat ia 

hindarkan. Tetapi tanpa di duga-duga, 

tangan kiri Si Cakar Rajawali tetap 

mengikutinya, meluncur ke arah samping 

dengan posisi menukik bagaikan burung 

camar menyambar ikan di laut.

Tiada jalan lain bagi Karta 

selain membantingkan tubuhnya ke


sebelah kanan. Sambaran tangan kiri 

lawan pun lolos, namun pada saat yang 

hampir bersamaan, tangan kanan Cakar 

Rajawali menyambar dahsyat ke arah 

leher Karta.

"Buk....!" Sambaran cakar maut 

itu mendarat telak. Akibatnya, tubuh 

Karta terpental beberapa meter. Bagian 

lehernya mengeluarkan darah kental 

kehitam-hitaman. Dan ketika tubuh 

pendekar itu terbanting ke tanah, 

darah segar yang juga berwarna 

kehitam-hitaman tersembur dari mulut 

serta hidungnya.

Ranti yang menyaksikan keadaan 

itu menjadi terkejut. Gadis itu ingin 

meloncat dari balik pohon kelapa untuk 

menolong Karta tetapi ia mengurungkan 

niatnya karena menyadari dirinya dalam 

keadaan bugil.

"Mampus kau, bangsat!" bentak Si 

Cakar Rajawali sambil menerjang Karta 

dari arah belakang.

Dengan sisa-sisa tenaganya, 

Karta yang baru saja bangkit berdiri 

segera menunduk kemudian menangkap 

tangan lawan yang saat itu mengincar 

lehernya. Hanya karena kebetulan saja 

Karta berhasil menangkap tangan lawan 

karena mungkin Cakar Rajawali mengira 

nya tak berdaya lagi.

Ketika Cakar Rajawali masih 

berada di atas punggungnya, ia 

membantingkan tubuh pendekar sakti itu


ke laut. Sebelum Si Cakar Rajawali 

muncul di permukaan air laut, Karta 

sudah menerkamnya. Terjadilah 

pertarungan sengit di dalam laut, 

saling banting-membanting, saling 

menerkam dan saling berusaha 

membenamkan lawan.

Makin lama tubuh kedua pendekar 

yang sedang mengadu nyawa itu makin 

jauh ke tengah laut. Keduanya hanya 

kadang-kadang saja muncul ke per-

mukaan, tetapi hanya beberapa saat 

kemudian sudah terbenam kembali 

bersama ombak yang datang bergulung-

gulung.

Pada pertarungan di dalam laut 

itu, cakar maut Si Cakar Rajawali 

ingin mencekik Karta hingga tewas. 

Namun berkat kegigihan Karta, ia 

berhasil melepaskan diri walaupun 

lehernya menjadi terluka.

Setelah itu, sambil mengerahkan 

segenap sisa kekuatannya, Karta muncul 

ke permukaan air untuk menarik nafas. 

Sementara tangan dan kakinya tetap 

menjepit lawan hingga tetap terbenam 

di dalam air.

Di sinilah terlihat bahwa ilmu 

berkelahi dalam air Karta lebih unggul 

di banding Si Cakar Rajawali. Sejak 

lama Karta sudah terbiasa bermain-main 

dengan derasnya air kali Bondet. 

Sedikit banyaknya kebiasaan itu telah 

memberinya kepandaian yang sangat


membantunya sekarang, dalam menghadapi 

lawan. Sedangkan Si Cakar Rajawali 

sendiri, sekalipun selama ini berlatih 

di pinggir pantai, ia agak jarang 

bermain-main dengan derasnya ombak 

lautan.

Makin lama, perlawanannya pun 

makin lemah, sebab nafasnya mulai 

hampir putus. Bahkan perutnya terasa 

mulai kembung karena air laut makin 

banyak masuk perutnya, tanpa bisa 

dicegah.

Barangkali ini memang hanya 

suatu keberuntungan belaka bagi Karta. 

Ia sendiri harus mengaku bahwa sewaktu 

bertarung di darat tadi, ia hampir tak 

bisa memberikan perlawanan berarti 

lagi bahkan jika pertarungan itu masih 

berlanjut, tipis harapan baginya untuk 

memenangkannya.

Makin lama, perlawanan Si Cakar 

Rajawali makin lemah. Tubuhnya 

menggeliat-geliat beberapa saat. 

Setelah itu, jagoan cakar maut itu 

diam. Sekujur tubuhnya telah lemas dan 

tidak mempunyai kekuatan lagi untuk 

menyelamatkan diri. Setelah tubuhnya 

berkelojotan, nyawanya pun melayang.

Karta pun sebenarnya hampir 

tidak mempunyai tenaga lagi. Ia nyaris 

turut tenggelam dalam keadaan lemas. 

Namun tatkala teringat bahwa di darat 

masih ada Ranti, ia memaksakan diri 

untuk berenang.


Sewaktu berada di pinggir 

pantai, ia hampir tak sadarkan diri 

lagi. Tubuhnya limbung dan nyaris 

terjatuh ke laut. Tetapi ia tetap 

memaksakan diri, tidak mau menyerah 

pada nasib.

Akhirnya dengan langkah 

sempoyongan, ia berhasil sampai di 

pantai. Ia menatap Ranti dengan mata 

mengabur.

"Karta," kata Ranti dengan suara 

bergetar. Seandainya tidak dalam 

keadaan telanjang, ia pasti sudah 

berlari menyongsong pemuda itu, 

kemudian memeluknya erat-erat.

Karta melangkah lebih dekat ke 

arah gadis itu. Lalu ia membuka kain 

sarungnya. Diulurkannya kain sarung 

itu dan sambil memalingkan muka, Karta 

berkata: "Maafkan aku, dik Ranti. Jika 

kau sudi, pakailah kain sarung ini."

Setelah kain sarung itu 

berpindah tangan, Karta melangkah agak 

menjauh dari pohon kelapa itu. 

Tubuhnya masih limbung, dan hanya 

karena ketabahannya saja ia masih bisa 

berdiri.

Ranti segera melilitkan kain 

sarung itu ke tubuhnya sebatas dada. 

Ia merasa seperti lepas dari neraka. 

Baru sekarang ia sadari bahwa kalau 

sedang telanjang bukan main 

tersiksanya perasaan.

"Karta..." kata gadis itu sambil


melangkah malu-malu ke arah Karta yang 

saat itu sedang membelakanginya.

Karta membalikkan badan. Maka 

tampaklah oleh Ranti bahwa dada dan 

leher pendekar itu masih mengeluarkan 

darah akibat luka cakar dari lawannya 

tadi.

"Ah, kau kembali telah menye-

lamatkan nyawaku," ujar Ranti dengan 

perasaan tak menentu. Wajahnya masih 

bersemu merah, karena teringat bahwa 

tadi Karta pun telah mengetahui bahwa 

dirinya dalam keadaan telanjang.

"Tidak apa-apa. Dan syukurlah 

kalau kau tidak kurang suatu apapun," 

ujar Karta dengan suara hampir tak 

terdengar.

"Tapi tampaknya kau sedang 

mengalami luka yang cukup parah," kata 

Ranti cemas.

"Ah, hanya luka kecil saja. 

Nanti juga akan sembuh sendiri. Aku 

tidak apa-apa."

"Pendekar budiman, berilah aku 

kesempatan untuk membalas budi baikmu. 

Tapi... aku... ah, maafkanlah 

kesalahanku karena aku telah terlanjur 

menuduhmu yang bukan-bukan. Sebenarnya 

aku tidak bermaksud...."

"Sudahlah, dik Ranti. Lupakan 

saja," sela Karta pelan.

"Tapi aku..."

"Maafkan aku, dik. Aku harus 

pergi. Selamat tinggal...." Setelah


berkata begitu, Karta melangkah 

meninggalkan Ranti. Namun baru bebe-

rapa langkah, tubuhnya limbung dan 

ambruk ke tanah dalam keadaan 

tertelungkup.

Ranti segera menubruk tubuh 

pemuda itu. Alangkah cemasnya hati 

gadis itu manakala menyadari bahwa 

Karta sedang dalam keadaan tak 

sadarkan diri.

Rupanya di samping sangat kele-

lahan, Si Gila Dari Muara Bondet itu 

juga menderita keracunan yang sangat 

berbahaya. Tubuhnya membiru, terutama 

di bagian dada dan lehernya yang 

terkena cakaran Si Cakar Rajawali.

"Oh, maafkanlah semua kesa-

lahanku..." bisik Ranti sambil 

membopong tubuh Karta ke bawah pohon 

rindang tak jauh dari pantai. Ia 

membaringkan tubuh pemuda itu dengan 

posisi kepala tersandar pada batang 

pohon kelapa.

Melihat keadaan tubuh Karta, 

tahulah Ranti bahwa pemuda itu sedang 

keracunan yang sangat berbahaya. 

Sewaktu kecil ia sudah sering 

mempelajari berbagai jenis racun dari 

ayah angkatnya Gembong Wungu. Sebagai 

tokoh sesat, si raja rampok itu pun 

mengetahui banyak sekali tentang 

racun.

Ranti pun mempelajari sedikit 

cara-cara pengobatan terhadap orang


yang keracunan. Rupanya cakar maut itu 

mengandung racun, pikir Ranti sambil 

berharap agar ia dapat mengobati luka 

yang diderita Karta,

Tanpa merasa sungkan-sungkan 

lagi, Ranti segera menempelkan bibir-

nya kepada luka cakar di bagian leher 

Karta. Lalu ia menyedotnya, sehingga 

darah semakin banyak mengucur masuk ke 

mulut gadis itu.

"Aku akan menyembuhkanmu, pende-

kar budiman!" bisik Ranti sambil 

menyemburkan darah yang telah 

disedotnya itu ke tanah. Setelah itu 

ia kembali menyedot darah dari luka-

luka yang diderita Si Gila sampai 

menurut perkiraannya racun itu tidak 

terlalu berbahaya lagi.

Ranti lalu berlari-lari kecil ke 

pinggir hutan untuk mencari daun-

daunan yang bisa diramu jadi obat, 

baik berupa obat yang dioleskan maupun 

yang diminumkan. Ramuan obat dari 

daun-daunan itu dioleskan ke semua 

luka-luka di tubuh Karta. Sehabis itu, 

ia membalut luka Karta dengan kain 

baju pemuda itu sendiri.

Selama merawat luka pemuda itu, 

sadarlah Ranti bahwa Karta sebenarnya 

adalah pendekar yang sangat baik hati. 

Karta telah dua kali menyelamatkan 

nyawanya. Ingat akan kekasaran dan 

kata-katanya yang keterlaluan, maka 

penyesalan pun makin menjadi-jadi di


dalam hati Ranti.

Saat itu juga, makin sadar juga 

Ranti bahwa ia mulai merasakan bahwa 

ia sangat membutuhkan Karta. Diam-diam 

hatinya tak ingin lagi berpisah dengan 

pemuda itu. Tetapi hal itu sekaligus 

membuatnya cemas. Karena bagaimana 

kalau misalnya tidak mau memaafkan 

lagi? Tadi pendekar itu tampaknya 

benar-benar telah bertekad bulat untuk 

meninggalkan Ranti, kalau saja 

tubuhnya tidak limbung kemudian tak 

sadarkan diri akibat pengaruh racun di 

tubuhnya.

Biarlah nanti, setelah ia 

siuman, aku akan minta maaf padanya. 

Mudah-mudahan saja hatinya masih 

terbuka menerima perkataan maaf 

dariku, kata hati gadis itu penuh 

harap.

Tiba-tiba terdengar suara 

jeritan panjang seorang lelaki tak 

jauh dari tempat itu. Ranti menjadi 

terkejut dan buru-buru bangkit dari 

duduknya, berpaling ke arah asal suara 

itu. Tetapi pandangan matanya masih 

terhalang oleh batang pohon kelapa 

yang banyak tumbuh di pantai.

Siapakah gerangan lelaki yang 

menjerit itu tadi? Agaknya ia berada 

di pinggir pantai, pikir Ranti hati-

hati. Siapa tahu di sekitar tempat itu 

masih ada orang lain yang bermaksud 

jelek terhadap dirinya atau Karta.


Ranti bersiap-siap menghadapi segala 

kemungkinan dan sudah siap mengor-

bankan nyawanya sekalipun jika 

seandainya ada yang bermaksud 

mencelakakan Karta.

Perlahan-lahan Ranti melangkah 

ke arah asal suara itu tadi. Matanya 

menatap liar ke sekelilingnya. Kemu-

dian ia menyaksikan seorang lelaki tua 

menggelepar-gelepar di atas pasir 

pantai. Seekor ular belang sebesar 

jari kelingking menempel di lengan 

kanannya.

Agaknya lelaki tua itu dipatuk 

ular berbisa hingga membuatnya mende-

rita keracunan yang sangat berbahaya. 

Ranti melangkah lebih dekat untuk 

meneliti wajah lelaki itu sekaligus 

untuk memastikan apakah ia mengenalnya 

atau tidak.

Ranti tidak mengenal laki-laki 

tua bertubuh kurus kerempeng itu. 

Melihat keadaannya yang sangat tidak 

terawat, Ranti menduga lelaki itu

adalah gelandangan yang sedang 

menderita penyakit yang entah bagai-

mana bisa sampai ke pantai. Di dekat 

lelaki itu ada bekas-bekas sisa udang 

hidup. Agaknya lelaki itu sendirilah 

yang nekad memakannya karena sangat 

kelaparan. 

"Oh, kasihan," kata Ranti ber-

gumam. Tubuh lelaki itu mulai membiru 

kehitam-hitaman. Matanya terbalik


sehingga yang kelihatan hanya bagian 

mata yang putih saja, sedangkan 

mulutnya mengeluarkan busa. Diam-diam 

Ranti bergidik ngeri menyaksikan 

betapa berbahayanya racun ular yang 

menjalar di tubuh lelaki itu. Hanya 

beberapa saat kemudian, tubuh laki-

laki itu tidak bergerak-gerak lagi. 

Denyut nadinya pun diam, beku dan 

mati. Setelah mengerang perlahan, 

lelaki itu menghembuskan nafas 

terakhir.

"Sungguh malang nasibmu," bisik 

Ranti prihatin melihat nasib tragis 

lelaki itu

Ranti sama sekali tidak tahu 

bahwa lelaki yang baru saja menemui 

ajalnya itu adalah ayah Barna yang 

merupakan ayah Si Cakar Rajawali. 

Seandainya Ranti tahu, entah bagaimana 

sikapnya. Entah ia akan memaki-maki 

sambil tersenyum puas atau tetap 

merasa prihatin.

Tadi ketika orang tua itu sedang 

merangkak-rangkak mencari udang di 

pasir pantai, tiba-tiba seekor ular 

belang mematuk tangannya. Bisa ular 

yang sangat berbahaya itu segera 

menjalar ke sekujur tubuhnya, masuk ke 

dalam jantungnya.

Ular belang-belang itu sebenar-

nya tidak terlalu banyak berkeliaran 

di sekitar pantai laut Jawa. Tetapi 

penduduk terutama para nelayan,


mengetahui bahwa ular itu sangat 

berbahaya. Jika sudah digigit, 

korbannya dalam waktu yang tidak 

terlalu lama akan meninggal. Itulah 

sebabnya ular tersebut sangat ditakuti 

orang, karena dianggap merupakan 

binatang yang paling berbahaya di 

sekitar pantai.

Maka berakhirlah sudah riwayat 

salah seorang kaki tangan dari tokoh 

sesat Bergola Ijo, menyusul anaknya Si 

Cakar Rajawali yang memiliki ilmu yang 

sangat tinggi. Takkan terdengar lagi 

sepak terjang mereka yang sangat kejam 

dan menggegerkan dunia persilatan di 

tanah Cirebon.



SEBELAS



Si Cakar Rajawali selama ber-

tahun-tahun memperdalam ilmu terutama 

kehebatan cakar maut tangan kanannya. 

Semua itu ia lakukan demi melampiaskan 

dendam kesumatnya terhadap lawan-

lawannya. Namun sebelum dendamnya 

terbalaskan, Si Cakar Rajawali telah 

meninggal. Bahkan setelah memperdalam 

ilmu silatnya, ia tidak sempat bertemu 

dengan musuh besarnya, Jaka Sembung.

Si Cakar Rajawali hanya sempat 

bertemu dengan Ranti, kemudian Si Gila 

Dari Muara Bondet. Dan dari perta-

rungan itu terbuktilah bahwa jerih


payah Si Cakar Rajawali selama 

bertahun-tahun ini tidak sia-sia. 

Jangankan Ranti, Karta sendiri pun

nyaris kehilangan nyawanya di tangan 

Si Cakar Rajawali. Mungkin ini sudah 

takdir, atau merupakan kehendak Tuhan 

sendiri untuk menunjukkan bahwa ilmu 

yang dikuasai bukan satu-satunya 

faktor penentu kemenangan. Tetapi juga 

kejujuran dan kebaikan hati!

Ranti telah kembali duduk di 

sisi Karta. Gadis itu tak henti-

hentinya menatap wajah Karta yang 

pucat. Tampaknya pendekar itu masih 

sangat lemah. Namun melihat perna-

fasannya sudah mulai teratur, legalah 

perasaan Ranti bahwa kesehatan pemuda 

itu dalam waktu yang tidak terlalu 

lama lagi akan sembuh seperti sedia 

kala.

"Cepatlah sembuh, pendekar 

budiman!" bisik Ranti sambil membelai 

rambut Karta dengan penuh kasih 

sayang.

Agaknya bisikan dan sentuhan 

yang lembut itu membuat Karta 

terbangun. Ia membuka kedua kelopak

matanya dan mencoba menatap ke 

sekelilingnya dengan pandangan mata 

yang masih kabur.

"Oh, di manakah aku 

sekarang...?" bisik Karta hampir tak 

terdengar karena sangat pelan.

"Oh, kau sudah sadar kembali,


pendekar budiman? Syukurlah. Aku 

sangat cemas melihatmu tadi," kata 

Ranti gembira melihat lelaki itu telah 

siuman.

"Kau... kau Ranti, bukan?"

"Ya, ,aku Ranti. Tapi tunggulah 

sebentar. Jangan terlalu banyak 

bergerak. Kau masih sakit. Aku akan 

mengambil obat untukmu," kata Ranti. 

Lalu dengan terburu-buru ia meramu 

obat jamu yang berkhasiat untuk 

memulihkan tenaga dan mematikan sisa-

sisa racun di tubuh Karta.

Dara jelita itu ternyata cukup 

cekatan juga membuat jamu obat. Tadi 

ia sudah mencuci mangkok milik Si 

Cakar Rajawali yang terletak tak jauh 

dari tempat itu. Jamu obat hasil 

ramuannya di tampung dalam mangkok, 

lalu disuguhkannya kepada Karta: 

"Pendekar budiman, minumlah jamu ini, 

agar kau cepat segar dan tenagamu 

pulih kembali."

"Terima kasih," kata Karta lalu 

meneguk jamu itu sampai habis masuk ke 

dalam perutnya. Tenggorokan dan 

dadanya terasa lebih hangat dan lega, 

membuat Karta merasa sangat berterima 

kasih kepada gadis di hadapannya.

Tetapi ketika ia teringat 

kembali akan kata-kata Ranti yang 

keterlaluan, menjadi patahlah sema-

ngatnya kembali. Ranti menuduhnya 

telah berbuat kurang ajar, telah


menodai gadis itu sewaktu dia dalam 

keadaan tak sadarkan diri.

"Dik Ranti, kenapa kau 

menolongku? Bukankah..."

"Oh, tidak apa-apa," sela Ranti 

cepat. "Kau sendiri telah beberapa 

kali menolong bahkan menyelamatkan 

nyawaku. Aku pun merasa wajib 

menolongmu. Bukankah manusia harus 

saling menolong? Manusia tidak bisa 

hidup sendiri, harus mempunyai kawan."

Karta menghela nafas mendengar 

kata-kata gadis itu. Manusia memang 

harus berkawan, tidak bisa hidup 

menyendiri, pikirnya. Tapi dalam 

keadaan seperti itu, apakah masih 

terbuka kemungkinan baginya untuk 

berkawan dengan Ranti?

Karta terkenang lagi kepada 

Nuraini, mendiang kekasihnya yang 

lembut dan penuh kasih sayang. 

Seandainya gadis itu masih hidup atau 

sekarang berada di sisinya, Karta 

tentu akan merasa terhibur. Ia bahkan 

kemungkinan tidak akan merasakan sakit 

sekarang.

"Mengapa kau diam saja?" tanya 

Ranti.

"Tidak apa-apa."

"Kau tentunya masih marah karena 

sikapku kemarin. Maafkanlah aku, 

pendekar budiman. Aku telah menuduhmu 

yang bukan-bukan, padahal kau tidak 

berbuat apa-apa, bahkan telah


menyelamatkan nyawaku. Sungguh, aku 

sangat menyesali keterlanjuranku."

"Jadi kau tidak menuduh aku lagi 

seperti itu, dik Ranti?"

Ranti tidak segera menyahut. 

Sebetulnya, walau pun mulutnya berkata 

seperti itu pada waktu lalu, hatinya 

tidaklah berkata demikian. Semua itu 

hanyalah karena tekanan batin yang 

masih membekas dalam hatinya akibat 

kegagalan cintanya terhadap Parmin 

serta lantaran ia merasa sangat 

kesepian.

Sedangkan pada saat ia bertemu 

dengan Karta dan setelah melihat 

keperkasaan dan sifat kesatria lelaki 

itu timbullah rasa simpatik dan kagum 

dalam hatinya. Namun ia khawatir jika 

kemudian ia jatuh cinta, tetapi Karta 

tidak merasa demikian, dalam arti kata 

akan menolak cintanya seperti halnya 

Parmin. Mengalami kegagalan sekali 

saja Ranti sudah merasa sangat 

tersiksa, apalagi kalau sampai dua 

kali.

Sesungguhnya itulah yang membuat 

sikap Ranti tidak menentu terhadap 

Karta.

"Dik Ranti, kenapa kau diam 

saja?" tanya Karta membuat gadis manis 

itu tersentak dari lamunannya.

"Aku tidak apa-apa. Tapi aku 

masih sangat berdosa padamu. Aku malu 

pada diriku sendiri, juga terhadap


dirimu. Tapi... sebenarnya tak ada 

niat di hatiku untuk menyakitimu. Ah, 

aku tak tahu harus berkata apa lagi 

padamu. Biarlah semuanya kusimpan saja 

di dalam hati."

Ranti menatap Karta dengan 

tatapan sendu. Bola matanya tampak 

berkaca-kaca bagaikan kristal-kristal 

ditimpa sinar rembulan. Dari situ 

terpancar sinar redup cinta berpadu 

dengan keputus-asaan. Atau mungkin ada 

perasaan lain, hanya gadis itulah yang 

tahu.

Karta terkejut juga menyaksikan 

perubahan sikap gadis itu. Ia merasa 

dadanya berdebar tak karuan manakala 

disadarinya bahwa dari sinar mata 

Ranti terpancar sesuatu yang selalu ia 

temukan dari sinar mata Nuraini.

Apalagi ketika mendengar suara gadis 

itu mirip sekali dengan suara Nuraini, 

maka makin tak karuanlah perasaan Si 

Gila Dari Muara Bondet. Ia hampir saja 

tak bisa menahan diri, dan hendak 

memeluk gadis itu erat-erat seperti 

ketika ia mendekap Nuraini pada waktu 

silam.

"Dik Ranti, kenapa kau masih 

juga diam?" tanya Karta sambil 

berusaha agar suaranya tetap 

kedengaran wajar.

"Entahlah, aku tak tahu. Tapi 

semuanya terserah padamu saja. Aku 

sudah menyatakan penyesalanku. Kalau


kau masih tetap tidak mau memaafkan

aku, biarlah. Mungkin aku akan 

mengalami perpisahan yang menyakitkan 

lagi..." Dan setelah itu, meneteslah 

air mata Ranti, jatuh satu per satu 

membasahi pipinya.

Jiwa Karta seakan-akan melayang-

layang mendengar ucapan dara jelita 

itu. Ia merasa dirinya dibawa terbang 

oleh malaikat-malaikat ke masa silam, 

ke taman harum wangi penuh kembang 

mekar berseri. Seolah-olah dalam 

mimpi, pendekar gagah perkasa itu 

menyeka air mata Ranti. Kemudian 

dibelai-belainya rambut gadis itu 

dengan segenap perasaannya.

"Jangan menangis, dik Ranti!" 

bisiknya.

Ranti juga merasa seperti tak 

sadar ketika menjatuhkan dirinya ke 

dada Karta yang bidang. Dan tangisnya 

pun semakin menjadi-jadi.

Setelah kedua insan itu sama-

sama bisa menguasai perasaan, maka 

bertanyalah Karta tentang keheranannya 

tadi mendengar kata-kata Si Cakar 

Rajawali ketika mereka belum 

bertarung.

"Dik Ranti, tadi Si Cakar 

Rajawali mengatakan kau adalah adik 

Jaka Sembung. Apakah memang benar 

demikian?"

"Tidak. Antara aku dan dia 

sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa.


Tapi aku sudah menganggapnya saudara 

sendiri. Ketika Si Cakar Rajawali 

mengatakan aku harus membayar ikannya 

dengan imbalan tidur bersamanya, aku 

sangat marah dan tanpa sadar 

menyebutkan nama Jaka Sembung."

Karta manggut-manggut mendengar 

penjelasan Ranti. Sebagai pendekar 

gagah perkasa yang sering melanglang 

buana, Jaka Sembung pun pasti dimusuhi 

oleh banyak jagoan-jagoan dari dunia 

hitam. Karena pendekar itu selalu 

membela kaum lemah dari penindasan 

para penjahat, mau pun kaum penjajah.

Dan itu memang merupakan 

tantangan yang harus selalu dihadapi 

para pendekar, termasuk Karta sendiri. 

Namun sejak dulu, pemuda itu tidak 

pernah gentar. Apalagi sekarang Ranti 

telah berada di sisinya.

Esok harinya, ketika matahari 

mulai bersinar cerah di ufuk timur, 

Karta dan Ranti meninggalkan pantai 

laut Jawa. Keduanya melangkah 

beriringan ke arah barat daya. Ketika 

mereka memasuki hutan, terdengar 

burung-burung berkicau merdu seolah-

olah sedang mendendangkan tembang nan 

syahdu. Semilir angin menyambut kedua 

insan itu, sejuk dan lembut. Dan daun-

daun pun melambai-lambai, seakan-akan 

mengucapkan selamat jalan kedua 

pendekar; selamat menunaikan tugas 

bagi nusa dan bangsa.


                            T A M A T




Share:

0 comments:

Posting Komentar