SI CAKAR RAJAWALI
Karya Djair Warni
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan
belaka
SATU
Hari sudah malam. Tetapi keadaan
di sekitar pantai itu cukup terang
disinari rembulan. Kali Pekik tampak
memanjang dari Utara ke arah Selatan,
berkelok-kelok dan berkilau-kilau
ditimpa sinar rembulan.
Muara kali itu berdesir-desir
diterjang ombak laut, yang datang
bagaikan saling berlomba ke pantai. Di
sana terlihat puluhan benda kehitam-
hitaman mengambang di permukaan air.
Bentuknya kecil panjang, bergerak
perlahan-lahan dan hilir mudik. Itulah
buaya-buaya yang terkenal sangat ganas
dan telah sering mengambil korban
jiwa.
Tak jauh dari muara yang banyak
dihuni buaya itu, tumbuh sebatang
pohon besar, tinggi dan cukup rindang.
Kadang-kadang hempasan ombak laut
sampai ke batang pohon itu, tetapi
pohon itu tetap tegar. Bahkan
sepertinya berlaku sombong menantang
hempasan air laut maupun terjangan
angin. Daun-daunnya bergoyang-goyang
ditiup angin malam. Beberapa helai
daun kering gugur, lalu jatuh
melayang-layang ke pantai berpasir
putih.
Sekitar lima meter dari pohon
itu, berdiri seorang lelaki. Sepasang
matanya menatap ke arah muara yang
dihuni buaya. Mulutnya terkatup rapat
dan tubuhnya pun tegak tanpa bergerak-
gerak mirip patung.
Lelaki itu masih cukup kekar,
berusia sekitar dua puluh lima tahun,
dengan tubuh yang kekar. Kumisnya
panjang melingkar di atas bibirnya
yang kehitam-hitaman. Ia mengenakan
ikat kepala belang-belang. Alis
matanya tebal, pertanda ia seorang
pria yang keras hati
Tetapi melihat sikapnya saat
itu, agaknya ia sedang menanggung
penderitaan batin maupun lahir yang
sangat menyakitkan. Wajahnya yang
mencerminkan kekerasan itu terlihat
menahan sakit dan dendam.
Di bawah sinar rembulan, tampak
tangan kanannya di bagian pergelangan
bengkok dan membengkak kaku seperti
cengkrong. Tulang pergelangan tangan-
nya itu pastilah remuk, sehingga tidak
bisa digerakkan. Nyerinya bukan main,
seperti ditusuk-tusuk jarum.
Berkali-kali terdengar pria itu
mengeluh dan merintih kesakitan. "Oh,
Pak Guru. Seandainya engkau masih
hidup, engkau tentu akan mengobati
tanganku ini sampai sembuh seperti
sedia kala. Tapi engkau telah pergi
untuk selamanya, gugur di tangan
jahanam itu. Aku akan menuntut balas
atas kematianmu ini," lelaki itu
bergumam dalam hati.
Siapakah sebenarnya lelaki itu?
Dialah Barna pendekar yang kelak akan
dikenal sebagai si Cakar Rajawali.
Beberapa hari lalu gurunya bertarung
habis-habisan dengan Jaka Sembung di
tepi muara kali Pekik. Melalui
pertarungan yang sangat panjang dan
menegangkan, gurunya akhirnya terlem-
par dalam keadaan tak berdaya ke dalam
muara itu. Tak ayal lagi, tubuh itu
pun habis dicabik-cabik oleh puluhan
buaya. Di muara sungai itulah gurunya
terkubur.
Dalam pertarungan sebelumnya
Barna menderita luka tulang remuk di
bagian pergelangan tangan kanannya.
Sebentar ada rasa putus asa dalam
hatinya, karena ia telah hidup
menyendiri, tanpa guru bahkan tanpa
sanak saudara. Tetapi karena kebencian
dan dendam di dalam hatinya, semangat-
nya berkobar kembali. Tidak! Aku tidak
boleh putus asa. Aku akan melatih
tanganku yang cacat ini, ia berkata
dalam hati.
Perlahan-lahan, ia berlutut dan
mengangguk-angguk ke arah muara kali
Pekik. "Guru, selamat jalan! Mohon doa
restu untuk muridmu...." katanya
dengan suara bergetar. Setelah itu, ia
kembali bangkit dan melangkah
meninggalkan tempat itu.
Esok harinya, matahari bersinar
sangat teriknya bagai hendak membakar
pasir pantai teluk Cirebon. Pasir
pantai yang sangat luas itu terlihat
mengeluarkan uap seperti air mendidih,
yang menginjaknya pastilah akan
kepanasan. Itulah sebabnya pantai itu
nyaris tak pernah didatangi manusia
bila siang. Tetapi di pantai pasir itu
sekarang tampak seorang lelaki sedang
duduk setengah berjongkok.
Perbuatannya sangat aneh,
sekaligus mengagumkan. Ia membenamkan
tangan kanannya ke dalam pasir yang
panas itu. Itulah Barna! Lelaki muda
itu mulai berlatih, mempersiapkan
tangan kanannya yang cacat menjadi
kuat serta berbahaya. Berjam-jam
lamanya ia berbuat seperti itu. Dan
ketika matahari mulai condong ke
Barat, ia menarik tangannya dan
beristirahat.
Malam harinya, ia berlatih silat
dengan sangat tekunnya. Begitulah ia
habiskan hari-harinya di pantai teluk
Cirebon. Tak ada yang mengetahui atau
menyaksikannya. Seiring dengan
perjalanan waktu, ilmunya pun semakin
tinggi dan pergelangan tangannya mulai
sembuh.
Karena sepanjang hari dipanggang
sinar matahari di pantai, kulit
tubuhnya pun menjadi hitam legam.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan terus
berlalu tanpa terasa. Pergelangan
tangan kanannya selain tidak sakit
lagi, juga telah kuat. Tetapi ben-
tuknya berbeda dengan tangan kirinya.
Pergelangan tangan itu terlihat lebih
besar, kaku dan kehitam-hitaman karena
sepanjang hari dibenamkan di pasir
panas. Jika dibuka dengan posisi
hendak mencengkeram, tangan kanannya
terlihat seperti terbuat dari besi.
Ia berlatih terus, seperti telah
lupa segala-galanya sebab hanya
memikirkan ilmu silat yang sedang
dipelajarinya. Setengah tahun kemu-
dian, terlihat ada kemajuan dalam
dirinya. Sekarang ia tak melatih
tangan kanannya lagi di pasir pantai,
melainkan di dalam air mendidih.
Setiap hari selama berjam-jam, Barna
menyalakan api menjerang air di dalam
kuali.
Di dalam air mendidih itulah ia
membenamkan tangan kanannya sehingga
menjadi sangat kuat. Bahkan pada hari-
hari berikutnya, ia mulai bisa melatih
tangannya itu di dalam kobaran api.
Sungguh luar biasa, pergelangan
tangannya sama sekali tidak terbakar.
Memang hampir tidak masuk akal!
Namun di kalangan dunia persilatan,
ilmu melatih tangan seperti itu,
karena selain membutuhkan waktu yang
sangat lama, juga ketekunan disertai
tekad baja.
Jika berhasil, tangan tersebut
akan menjadi kuat luar biasa. Batang
pohon yang sangat kuat pun bisa
terkelupas oleh sambaran jemari tangan
itu. Selain itu, tenaga dalam yang
menyambar dari telapak tangannya
mengandung hawa panas yang dapat
membuat lawan kewalahan.
Kehebatan tangan kanannya itulah
yang membuatnya dijuluki Si Cakar
Rajawali. Karena cengkeraman tangan
kanannya memang mirip cakar burung
rajawali.
Beberapa bulan kemudian setelah
ilmunya dirasakan sempurna, ia pernah
keluar dari tempatnya mengasingkan
diri sambil memperdalam ilmu, pergi ke
kota untuk membeli kebutuhan hidupnya.
Tanpa ia inginkan, ia hendak ditipu
jagoan-jagoan pasar, bahkan mereka
memperlakukannya sangat kasar. Maka ia
pun mengamuk bagaikan banteng luka.
Tangan kanannya yang sekeras baja itu
menyambar-nyambar amat dahsyatnya.
Akibatnya memang luar biasa! Setiap
jagoan yang terkena sambaran tangannya
langsung roboh bersimbah darah.
Nama Si Cakar Rajawali segera
meluas, berpindah dari mulut ke mulut.
Dan nama itu bahkan merupakan semacam
momok yang sangat menakutkan bagi para
pendekar di sekitar daerah pantai
Cirebon.
Jarang ada pendekar yang
mengetahui latar belakang Si Cakar
Rajawali. Karena sebelum menguasai
ilmu cakar maut itu, ia memang belum
dikenal orang dalam dunia persilatan.
DUA
Teriknya sinar matahari tidak
hanya menyengat pantai teluk Cirebon.
Tetapi juga memanggang Desa Pamanukan
di daerah Utara Cirebon. Penduduk
tampak enggan bicara karena siang itu
udara sangat panas. Hanya beberapa
petani yang kelihatan bekerja seperti
biasa, atau membawa pulang hasil
ladangnya, ke rumah masing-masing.
Di tengah-tengah desa yang
sedang kepanasan itu, tampak seorang
gadis cantik melangkah agak gontai.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya
hingga bajunya terlihat basah.
Berkali-kali ia meneguk air liur
sendiri atau membasahi bibirnya dengan
air ludah sekadar untuk menahan rasa
dahaga dan lapar yang amat sangat.
Itulah dia Ranti, putri almarhum
Gagak Ciremai dari Desa Perbutulan.
Dara jelita yang memiliki ilmu tinggi,
tetapi sedang mengalami prahara cinta,
karena harapannya yang begitu indah
telah kandas, terhempas di batu-batu
karang. Harapannya telah hancur
berkeping-keping.
Seperti diceritakan pada awal
kisah, Ranti datang dari Desa
Perbutulan ke Desa Kandang Haur untuk
menemui Roijah, kekasih Parmin. Dara
jelita yang dididik dan dibesarkan
raja rampok Gembong Wungu ini
bermaksud menantang Roijah untuk
bertarung memperebutkan Parmin, Si
Jaka Sembung. Setibanya di Desa
Kandang Haur, ia berhasil menyelamat-
kan Roijah dari penjara Van Eisen.
Tapi di tengah hutan Loyang, Ranti
mengajak Roijah bertarung hidup mati
dalam arti siapa yang hidup atau
menang dialah yang berhak mendampingi
Parmin.
Tetapi kemudian, Ranti menyadari
sepenuhnya bahwa cinta memang tidak
bisa diperebutkan. Cinta itu lahir
sendiri tak bisa dipaksakan. Akhirnya
ia pun meninggalkan Roijah bersama
gurunya di tengah hutan itu. Ia
berlari dan terus berlari ke luar
hutan Loyang, lalu masuk hutan lain
lagi. Air mata gadis itu tak henti-
hentinya menetes membasahi wajahnya.
Entah berapa hari ia berlari ke
luar masuk hutan, Ranti sendiri tidak
mengingatnya. Hatinya sangat terpukul
karena kegagalannya meraih mimpi-
mimpinya yang sangat indah. Akhirnya,
dalam keadaan sangat lemas, kehausan
dan kelaparan, dara jelita itu sampai
di depan desa Pamanukan.
Ranti sebenarnya tidak mempunyai
kenalan di desa itu. Ia cuma kebetulan
saja sampai di sana dalam
perjalanannya yang tanpa tujuan pasti.
Sejenak ia hentikan langkahnya di
depan sebuah warung di tengah desa. Di
dalam warung itu tampak seorang lelaki
sedang makan sendirian dengan posisi
duduk membelakangi Ranti.
Rasa haus dan lapar semakin
menyiksa. Ranti ingin mampir ke warung
itu, tetapi ia tak mempunyai uang
lagi. Ia kembali merasakan betapa
menyakitkan jika tidak mempunyai uang,
apalagi kalau sedang berada di desa
orang.
"Apa akalku sekarang?" pikir
gadis itu setengah putus asa. "Ah,
sebaiknya aku mencoba menawarkan diri
mencuci piring kepada pemilik warung
itu agar aku bisa minum atau makan."
Namun ketika melangkah hendak ke
warung itu, tiba-tiba seorang lelaki
setengah baya menghampirinya. Lelaki
itu kurus dan matanya cekung dengan
kumis tipis tapi panjang, membuatnya
kelihatan lebih tua dari umur
sebenarnya. Melihat sinar mata pria
itu, Ranti segera menduga bahwa orang
yang belum dikenalnya itu pastilah
orang licik dan jahat.
Sambil tersenyum dengan setengah
menyeringai, Tapor yang dijuluki
Serigala Pamanukan itu menatap Ranti
dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut.
"He, he, he, kelihatannya nona
merupakan orang asing di desa ini.
Agaknya nona sedang dalam kesulitan.
Kalau seandainya nona membutuhkan
pertolongan, dengan senang hati akan
saya bantu, nona," kata Tapor.
"Apa maksudmu?" tanya Ranti
ketus, tidak senang melihat sikap pria
itu, terutama sinar matanya yang
jelalatan melirik ke arah dada Ranti.
"Maksud saya begini nona. Saya
lihat pedang nona itu sangat bagus.
Saya ingin memilikinya. Bagaimana
kubeli beberapa gulden? Nona tentu
tidak keberatan."
"Maaf, pak! Senjata ini adalah
senjata pusaka pemberian ayahku. Tidak
mungkin dijual. Permisi, aku mau pergi
dulu," ujar Ranti sambil membalikkan
badan hendak meninggalkan Serigala
Pamanukan.
"Hei, tunggu dulu, nona! Saya
bermaksud baik. Saya yakin saat ini
nona sangat kehausan dan kelaparan,
namun tidak mempunyai bekal uang lagi.
Biarlah aku membeli senjatamu itu,"
kata Tapor sambil mencolek tangan
Ranti.
Melihat tingkah lelaki itu agak
kurang ajar, menjadi panas juga hati
Ranti. Lelaki itu sepertinya
menanggapi Ranti sebagai gadis murahan
yang bisa diperdaya begitu saja.
Seumur hidupnya, Ranti belum pernah
dicolek-colek lelaki yang bermaksud
kurang ajar seperti itu.
Tetapi agaknya, Tapor sudah
terbiasa tidak perduli perasaan orang
lain. Walaupun wajah Ranti mulai merah
dan matanya mendelik bagai memancarkan
api, Tapor tetap cengengesan, bahkan
kembali mencolek Ranti.
"Heh, orang tua seperti kau
jangan kurang ajar, ya! Nanti kepalamu
sendiri yang belah dua oleh senjata
pusakaku. Sudah kubilang aku tidak
akan menjualnya malah bersikap kurang
ajar lagi."
"Aduh, jangan galak begitu, nona
manis. Apa salahnya nona menjual
senjata pusaka itu kalau nona memang
sangat membutuhkan uang? Pedang itu
toh tidak akan bisa memberikan nona
minuman dan makanan."
"Tutup mulutmu!"
Agaknya pertengkaran mulut itu
terdengar oleh Karta, lelaki yang
sedang makan di warung tersebut. Ia
segera bangkit dari duduknya, lalu
melangkah menghampiri kedua orang yang
sedang bertengkar itu.
Sebenarnya, Karta tidak mau
mencampuri urusan orang. Apalagi
karena ia juga merupakan pendatang
baru di desa Pamanukan. Namun ketika
mendengar suara Ranti, tiba-tiba saja
dadanya berdebar tak karuan. Suara itu
terasa begitu dekat dengan jiwanya,
bahkan selama ini bagaikan perlambang
kebahagiaan baginya.
Ketika memperhatikan wajah
Ranti, terkejut juga Karta karena
gadis itu masih sangat muda dan cantik
jelita. Agaknya ia juga baru kali ini
menginjakkan kakinya di desa ini.
Mungkin ia pendekar yang suka
mengembara, atau paling tidak sedang
dalam perjalanan menunaikan tugas
penting. Demikianlah dugaan Karta yang
dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
"Maaf, saudara-saudara, saya
mengganggu pembicaraan saudara berdua.
Ada apakah gerangan sehingga orang tua
yang tentu saja bijak sana terlibat
pembicaraan yang kurang menyenangkan
dengan seorang gadis?"
"Hai, siapakah kau anak muda?
Kenapa begitu lancang mencampuri
urusan orang?" kata Serigala Pamanukan
dengan nada tak bersahabat.
"Ah, agaknya tuan telah salah
mengerti. Saya sama sekali tidak
bermaksud mencampuri urusan tuan. Saya
tidak berhak mencampurinya sebab di
antara kita memang tidak ada hubungan
apa-apa. Sama seperti tuan yang saya
kira juga tidak berhak mencampuri
urusan nona itu."
"Agaknya kau belum kenal siapa
aku, ya! Akulah si Serigala Pamanukan,
jagoan nomor wahid di desa ini. Kau
orang pendatang jangan coba-coba sok
jadi pahlawan. Sayang jika keda
tanganmu ke sini hanya untuk
mengantarkan nyawa!"
"Sungguh merupakan suatu kehor-
matan bagi saya yang rendah dapat
bertemu dengan jagoan desa ini. Tetapi
janganlah memaksanya, jangan memper-
alat kelemahannya untuk memperdayai.
Barang pusaka memang tidak boleh
diperjual belikan. Sebab harganya sama
dengan nyawa atau kasih sayang orang
yang memberikan pusaka itu. Saya
yakin, jagoan sehebat Serigala Pama-
nukan tentu sudah mengetahuinya."
"Kurang ajar! Agaknya kau harus
diberi pelajaran agar tidak lancang
mencampuri urusan orang."
"Sudah kubilang, saya tidak
bermaksud mencampuri. Tetapi bagaimana
mungkin aku diam melihat seorang gadis
hendak diperdayai orang tua
sepertimu?"
"Oh, jadi kau berani menantang
aku, hah?"
"Maaf, aku tak perlu lagi
melayanimu," kata Karta ketus.
"Tunggu!" bentak Serigala Pama-
nukan sambil menggenggam hulu
goloknya.
"Maaf, saya harus pergi seka-
rang. Harap kau tidak terlalu memak-
saku." Lalu dengan sikap tak mau per-
duli lagi kepada Serigala Pamanukan,
Karta menghampiri Ranti, kemudian
dengan sikap bersahabat: "Maaf, nona!
Nona jangan salah paham terhadap saya.
Tetapi jika nona kiranya tidak
keberatan, marilah kita sama-sama
minum dan makan di warung itu. Saya
yakin nona adalah teman senasib dan
seperjuangan."
"Terima kasih atas kebaikan hati
tuan," ujar Ranti pelan.
Kemudian kedua pendekar berusia
muda itu melangkah meninggalkan
Serigala Pamanukan, hendak masuk ke
warung itu kembali. Namun Serigala
Pamanukan yang agaknya sangat tersing-
gung atas sikap dan kata-kata Karta
kembali membentak dengan wajah merah
padam.
"Tunggu dulu anak muda! Kau
tidak boleh pergi begitu saja seolah-
olah tidak memandang sebelah mata pun
terhadap diriku ini. Ini adalah
penghinaan bagiku. Dan siapa yang
berani menghinaku, berarti ia sudah
bosan hidup."
Karta menatap Serigala Pamanukan
dengan sikap yang sangat tenang.
Bahkan dengan senyum yang sangat
ramah, ia menyahut: "Saudara yang
terhormat, jika kau menuduh aku
menghina dan memandang rendah,
terserahlah. Tetapi kau pun harus
menghormati orang. Saya belum selesai
makan tadi, tapi terpaksa harus
meninggalkan nasi di meja. Sayang
kalau dihinggapi lalat. Dan kalau kau
ingin ikut makan bersama-sama,
silahkan. Kalau tidak, maaf dulu, kami
harus segera ke warung itu. Kasihan
nona ini tampaknya sudah sangat
kelaparan dan kehausan."
"Kurang ajar! Mulutmu yang
lancang itu akan kurobek-robek nanti.
Tapi baiklah, sekarang aku beri
kesempatan untukmu untuk menghabiskan
makananmu. Tetapi setelah itu, jangan
harap kau boleh angkat kaki dari sini
sebelum berurusan denganku."
"Terima kasih atas kemurahanmu
memberi aku kesempatan untuk makan
kembali."
Karta menarik tangan Ranti
memasuki warung itu. Setelah Ranti
duduk, Karta menghampiri pemilik
warung itu. "Pak, tolong bikinkan
makanan sekalian dengan minumannya
untuk nona ini," katanya.
"Baik, den!"
Ketika pemilik warung sedang
menyediakan makanan buat Ranti,
Serigala Pamanukan muncul di pintu
warung. Ia menatap Karta dengan sinar
mata merah bagaikan memancarkan api.
Gerahamnya gemeretak, pertanda
kemarahannya sudah mencapai puncaknya.
"Makan dan minumlah sepuasmu,
gembel busuk! Mungkin ini adalah
kesempatan terakhir bagimu untuk
menikmati lezatnya makanan," kata
jagoan desa itu dengan sikap
mengancam.
"Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan!
Julukanmu sungguh hebat, tapi sikapmu
seperti anak kecil saja," sahut Karta
seenaknya.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi,
Serigala Pamanukan segera meninggalkan
warung itu. Karta menatap kepergian
lelaki itu sambil tersenyum, seolah-
olah geli melihat sikap jagoan desa
itu. Sikap Karta demikian tenangnya,
sehingga ia seolah-olah merasa tidak
pernah terjadi apa-apa, atau tampak
tak mau perduli apa pun akan dilakukan
Serigala Pamanukan.
TIGA
Tetapi rupanya, Pak Joran
pemilik warung makan itu justru sangat
cemas. Sambil menyuguhkan makanan dan
minuman di meja di hadapan Ranti,
lelaki itu mengatakan agar Karta dan
Ranti hati-hati. Serigala Pamanukan
itu katanya sangat brutal dan
mempunyai banyak komplotan yang tak
segan-segan berbuat kejam kepada siapa
pun yang dianggap berani menantang.
Setelah menyediakan semua
pesanan Karta, Pak Joran melihat ke
luar melalui jendela warungnya. Orang
tua itu menghela napas dalam-dalam.
Wajahnya sedikit muram, mungkin sangat
takut membayangkan sesuatu yang tak
diinginkan akan segera terjadi di
warungnya.
"Sebaiknya kalian berdua hati-
hati. Serigala Pamanukan itu sangat
kejam dan memiliki ilmu kesaktian
tinggi. Selama ini tak pernah ada
penduduk di desa ini yang berani
melawannya. Pekerjaannya hanya berbuat
jahat saja, memeras dan menyiksa
penduduk. Semua penduduk desa
Pamanukan ini telah benci kepada
komplotan mereka."
"Tampaknya bapak sangat takut
padanya. Apakah Serigala Pamanukan itu
mau makan daging manusia?" kata Karta
dengan sikap sangat memandang remeh
kepada lelaki tadi.
"Ah, agaknya kalian berdua
memang belum kenal padanya. Sebaiknya
kalian berhati-hati. Sesal kemudian
tiada guna, demikian pesan orang-orang
tua dulu. Kalau sudah marah, Serigala
Pamanukan pasti akan mengajak anak
buah serta kawan-kawannya ke sini
untuk menangkap atau bahkan
mencelakakan kalian berdua. Ia tidak
akan mau berhenti sebelum niatnya
terlaksana."
"Terima kasih atas nasehat
bapak. Tetapi bapak harus mengetahui
bahwa kejahatan, cepat atau lambat,
pasti akan ada akhirnya. Bapak tak
perlu terlalu khawatir atas kese-
lamatan kami berdua. Percayalah,
ucapanku tadi suatu saat nanti pasti
akan terbukti."
Ketika Ranti baru menghabiskan
setengah makannya, tiba-tiba puluhan
lelaki datang ke warung itu bersama
Serigala Pamanukan. Para lelaki yang
merupakan komplotan jagoan desa itu
segera berdiri di depan warung dengan
posisi melingkar, seolah-olah sedang
mempersiapkan pagar betis supaya Karta
tidak bisa melarikan diri.
Serigala Pamanukan maju beberapa
langkah. Di tangannya kini telah
terhunus sebilah golok panjang.
Setelah memberi isyarat agar teman-
temannya segera bersiap-siap, lelaki
itu berteriak: "Keluar kau, bedebah!
Cepat keluar! Kalau tidak, aku akan
mengobrak-abrik warung itu berikut
isinya."
Pak Joran pemilik warung itu
menjadi ketakutan. Wajahnya pucat pasi
dan sekujur tubuhnya gemetaran
dibasahi keringat dingin. Dengan
tergopoh-gopoh, lelaki tua itu
bersembunyi di dapur. Ia hanya berani
mengintip apa yang bakal terjadi
melalui celah-celah dinding.
Lain halnya dengan Karta, pemuda
itu tampak tidak gentar sedikit pun
juga. Ia malah masih sempai minum
beberapa teguk, kemudian tertawa
tergelak-gelak.
"Ha-ha-ha....! Rupanya kau telah
mengundang teman-temanmu ke warung
ini, sobat yang baik hati. Sayang
sekali, uangku tak cukup lagi untuk
membayar makanan kalian semua.
Bagaimana kalau kalian saja yang
bayar. Sebagai tuan rumah yang baik,
kalian tentu tidak akan keberatan,
bukan?"
"Jangan banyak bicara kau,
monyet! Keluarlah! Engkau harus diberi
pelajaran supaya menjadi contoh bagi
yang lainnya bahwa siapapun yang
berani mencoba-coba menantang Serigala
Pamanukan pasti akan mampus!"
Karta kembali tertawa seakan-
akan tidak ada sesuatu yang perlu
dipikirkan. Diam-diam Ranti merasa
kagum juga melihat ketenangan pemuda
yang baru dikenalnya itu. Betapa
tidak, sekali pun telah dikepung
puluhan pendekar yang tampaknya rata-
rata memiliki ilmu yang cukup tinggi,
ia tetap tenang.
Sikap tenang pemuda itu
mengingatkan Ranti kepada Parmin.
Pemuda yang dicintainya itu pun
memiliki ketenangan yang luar biasa.
Ranti masih ingat, ketika hendak
berhadapan dengan Gembong Wungu,
Parmin tetap bersikap tenang. Tak
terlihat gentar apalagi gugup, padahal
semua orang tahu siapa sebenarnya
Gembong Wungu dan betapa tinggi ilmu
silat yang dimilikinya. Entah siapa
yang bakal menang, seandainya Parmin
berhadapan dengan Karta. Ranti
membanding-bandingkan kedua lelaki itu
di dalam hati.
"Nona yang baik hati, harap nona
tidak merasa terganggu atas kehadiran
tikus-tikus itu. Saya sebenarnya masih
ingin menemani nona makan, sebab tak
sopan rasanya meninggalkan teman makan
sendirian. Tapi apa boleh buat, mereka
tampaknya tak sabaran lagi. Saya harus
segera menemui mereka sekarang juga,"
kata Karta sambil menatap Ranti dalam-
dalam.
"Ah, saya jadi menyesal telah
merepotkan tuan!" kata Ranti dengan
suara hampir tak terdengar. Gadis itu
menundukkan kepala sambil mengetuk-
ngetuk jemari tangannya ke atas meja.
Entah apa yang sedang dipikirkannya,
tak seorang pun tahu.
"Maaf, nona. Saya harus menemui
mereka sekarang," kata Karta lagi.
"Oh, hati-hatilah. Tampaknya
mereka adalah orang-orang jahat."
Sambil tersenyum, Karta keluar
dari warung itu. Rambutnya yang
panjang bergoyang bagaikan menari-nari
ditiup angin kencang. Sepasang matanya
yang mencorong tajam bagaikan mata
elang menyapu gerombolan jagoan desa
Pamanukan. Ia kembali tersenyum, entah
karena apa.
"Saudara-saudara sekalian, saya
ucapkan selamat datang atas kedatangan
kalian ke sini. Saya yakin saudara-
saudara adalah para pendekar yang
gagah perkasa yang tak mau ribut hanya
karena sebilah pedang pusaka. Seperti
yang sudah saya katakan kepada saudara
Serigala Pamanukan tadi, benda pusaka
hanya bisa dinilai dengan nyawa atau
kasih sayang orang yang memberikannya
dan tidaklah boleh diperjual-belikan.
Karena itu, dengan segala hormat saya
minta saudara-saudara sekalian tidak
memaksa nona itu lagi untuk menjual
senjata pusakanya."
"Kau jangan berlagak pilon,
gembel busuk! Tadi aku memang ingin
membeli senjata pusakanya. Tapi
persoalannya bukan itu lagi. Kau telah
berani berbuat kurang ajar terhadapku,
Serigala Pamanukan. Kelancanganmu
itulah yang harus kau pertanggung
jawabkan sekarang. Aku tahu kau bukan
orang sembarangan, kau pastilah
pendekar sakti yang sengaja datang ke
desa Pamanukan untuk merebut kekuasaan
kami. Tapi jangan harap niat busukmu
itu bisa tercapai."
Karta mereguk minuman dari dalam
gelasnya yang sengaja ia bawa tadi
dari dalam warung. Setelah mereguk
minuman itu, Karta kembali menatap
Serigala Pamanukan dengan sikap yang
terlalu sukar dimengerti maknanya.
Kusni, jagoan desa Pamanukan
lainnya yang dijuluki si Botak dari
Neraka rupanya mengenal Karta. Jagoan
yang kini berusia sekitar lima puluh
lima tahun itu agaknya pernah bertemu
dengan Karta, dan telah membuktikan
sendiri bahwa kehebatan ilmu Karta
bukan hanya sekedar isapan jempol
belaka.
"Kawan-kawan, harap hati-hati
terhadap iblis ini. Aku kenal padanya.
Dialah si Gila dari Muara Bondet. Aku
pernah bertemu dengannya," kata Kusni
sambil menghunus goloknya.
"Ha-ha-ha.... rupanya di antara
kawan-kawan sekalian sudah ada yang
kenal sama aku. Karena itu, aku merasa
tak perlu lagi memperkenalkan diri.
Aku memang si Gila dari Muara Bondet,
tapi aku tidaklah gila seperti yang
kalian maksudkan. Kalian sendirilah
yang gila, beraninya hanya main
keroyokan saja. Terhadap seorang gadis
lagi. Karena itu, kalau saranku ini
tidak terlalu berat, sebaiknya kalian
kembali menghadap guru kalian untuk
belajar lagi." kata si Gila Dari Muara
Bondet.
"Bangsat!" bentak Serigala
Pamanukan geram. Lalu kepada teman-
temannya, ia berseru: "Kawan-kawan,
pergunakan cara kita yang biasa,
'Jepit Rajungan' untuk mengurung
monyet ini. Biar tahu rasa dia. Hajar
dia sampai... hep!" Tiba-tiba ucapan
Tapor itu terhenti, karena air minum
yang disemburkan Karta melalui
mulutnya tepat menghantam mulut jagoan
desa itu.
Sewaktu menyemburkan air itu
tadi, Karta mengerahkan tenaga dalam,
sehingga air minum dari mulutnya
berubah seperti beku dan keras. Cukup
sakit memang, tetapi bukan rasa sakit
itu yang membuat Serigala Pamanukan
marah bukan main, melainkan karena
merasa dihina.
"Serang...!" teriak jagoan desa
itu dengan suara mengguntur. Bersamaan
dengan itu, ia menerjang Karta dengan
dahsyat. Goloknya diayunkan ke kepala
pemuda itu. Jagoan desa lainnya juga
segera menerjang dengan ganas,
sehingga si Gila Dari Muara Bondet
diserang dari berbagai penjuru.
Karta secepat kilat berkelit ke
kiri dan ke kanan. Tubuhnya tampak
berkelebatan di antara sela-sela
sabetan senjata lawan. Demikian
cepatnya gerakan pemuda itu, sehingga
lawan-lawannya semakin marah dan
penasaran. Semua serangan mereka dapat
dielakkan. Hampir tak dapat dipercaya
gerombolan jagoan desa Pamanukan tidak
dapat berbuat banyak menghadapi
seorang pemuda yang boleh dikatakan
masih sangat hijau dan muda dibanding
mereka.
Apa kata orang-orang nanti jika
mereka tidak dapat mengalahkan seorang
pemuda pendatang seperti Karta? Orang-
orang tentu akan menertawakan mereka.
Merendahkan mereka! Maka Serigala
Pamanukan dan teman-temannya semakin
ganas dan beringas. Mereka
mengeluarkan semua ilmu simpanannya
dengan harapan dapat merobohkan lawan.
Akan tetapi si Gila Dari Muara
Bondet agaknya bukanlah tandingan
mereka. Pemuda itu sekarang tidak
hanya menghindar lagi, tetapi juga
mulai menyerang dengan gerakan yang
semakin cepat. Pemuda itu membuka kain
sarungnya dan menggunakannya sebagai
senjata.
Di tangan seorang pendekar yang
memiliki ilmu tinggi seperti si Gila
Dari Muara Bondet, kain sarung itu
bisa menjadi senjata yang cukup ampuh.
Kadang-kadang kain sarung itu berubah
jadi keras dan kaku bagaikan kayu, dan
kadang-kadang lemas menyambar-nyambar
lawan-lawannya bagaikan sebuah cemeti.
Para jagoan desa Pamanukan
menjadi kalang kabut dan jatuh bangun
terkena pukulan, tendangan dan
sambaran kain sarung Karta. Melihat
itu, makin terkejutlah Tapor. Diam-
diam jagoan desa Pamanukan itu harus
mengakui bahwa Karta memang seorang
pendekar yang luar biasa. Bahkan tadi,
ia sungguh tak mengira kepandaian
pemuda pendatang tersebut setinggi
itu.
"Hati-hati, kawan-kawan. Tikus
busuk ini mempunyai ilmu siluman!"
teriak Tapor.
"Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan.
Mengapa kau belum juga menyerah?" kata
Karta sambil tertawa mengejek.
"Jangan sombong, gembel busuk!
Kau pasti mampus!"
"Kalianlah yang akan mampus!"
bentak Karta. Agaknya pemuda itu tidak
mau main-main lagi. Serangan-
serangannya makin ganas dan mematikan.
Satu per satu, jagoan desa Pamanukan
itu pun roboh tak bisa bangkit lagi
dengan luka-luka yang cukup parah.
Sebagian di antaranya malah terkapar
tak sadarkan diri.
EMPAT
Penduduk desa Pamanukan yang
sejak tadi bergerombol menyaksikan
pertarungan itu menjadi terkejut dan
sangat kagum. Mereka seolah-olah tak
percaya pada penglihatannya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang pemuda
pendatang dengan demikian mudahnya
mengalahkan gerombolan jagoan desa?
Selama ini Serigala Pamanukan
dan kawan-kawannya terkenal sangat
ganas dan memiliki ilmu tinggi. Tak
ada yang berani melawan jagoan-jagoan
desa itu, walaupun sikap maupun
perbuatan mereka sangat menggelisahkan
penduduk. Kini para jagoan desa telah
roboh, di tangan seorang pemuda.
Siapakah gerangan pemuda itu? Penduduk
bertanya-tanya satu sama lainnya.
Namun tak ada yang kenal pada Karta.
Diam-diam, penduduk desa itu
sangat bersyukur karena Serigala
Pamanukan dan komplotannya dirobohkan
pendekar muda itu. Mereka bahkan
sangat mengharap agar cecunguk-
cecunguk desa itu dibunuh saja agar
kelak tidak berbuat jahat lagi.
Ranti pun merasa kagum! Diam-
diam merasa bahwa kepandaian Karta
berada di atas kepandaiannya sendiri.
"Entah siapa sebenarnya pemuda
ini," pikir gadis itu sambil melangkah
menghampiri Karta.
"Terima kasih, tuan telah
menyelamatkan saya dari amukan para
jagoan-jagoan tengik itu," kata Ranti
sambil tersenyum manis. Matanya yang
bening menatap wajah Karta dengan
bersinar-sinar.
"Ah, hanya kebetulan saja, nona.
Bukankah nona pun bisa berbuat seperti
itu?" ujar Karta.
Penduduk desa itu menghampiri
dan mengerumuni Karta. Beberapa di
antaranya mengucapkan terima kasih,
lalu mengajak pendekar gagah perkasa
itu bersama Ranti mampir ke rumahnya
untuk dijamu, makan dan minum
seadanya.
"Selama ini penduduk desa ini
sangat sengsara karena perbuatan
mereka. Kami diperas setiap hari, jika
melawan disiksa habis-habisan. Bahkan
beberapa hari lalu, mereka memperkosa
wanita desa ini."
"Sungguh perbuatan yang sangat
kejam, dan biadab!" kata Ranti dengan
wajah merah padam. Sebagai seorang
gadis, pemerkosaan memang lebih cepat
menyentuh perasaan kewanitaan nya. Ia
dapat merasakan bahwa seorang wanita
yang diperkosa akan merasa sangat
tersiksa, baik lahir maupun batin.
"Tidak apa-apa. Mereka memang
jahat dan sesat. Mudah-mudahan saja
dengan adanya kejadian ini mereka
menjadi insyaf. Kami akan berangkat
sekarang. Kalau misalnya sikap mereka
belum juga berubah, aku berjanji akan
datang lagi ke desa ini untuk memberi
pelajaran," kata Karta.
"Aduh, kenapa tuan dan nona
harus secepat itu meninggalkan desa
ini? Siapakah nama tuan berdua yang
gagah perkasa dan cantik jelita?"
"Bapak-bapak tak perlu
mengetahui nama kami. Tapi percayalah,
nanti kami akan datang lagi ke desa
ini. Kami ingin tahu apakah Serigala
Pamanukan masih belum juga berubah
atau bagaimana. Nah, selamat tinggal
saudara-saudara sekalian. Sampai
ketemu lagi nanti."
Setelah berkata begitu, Karta
dan Ranti melangkah meninggalkan desa
itu diiringi tatapan mata penuh kagum
penduduk desa Pamanukan. Pemuda itu
tampan dan gagah perkasa, sedangkan
gadisnya cantik jelita dan tampaknya
juga bukan orang sembarangan. Entah
dari mana asal sepasang muda mudi yang
sangat mengagumkan itu, kata hati
penduduk desa tersebut.
Seolah-olah tidak sadar, Karta
dan Ranti sama-sama melangkah sampai
ke luar desa. Mereka hanyut dalam
pikiran masing-masing, hingga akhirnya
sama-sama terkejut ketika menyadari
bahwa mereka sebenarnya belum saling
kenal.
"Bolehkah aku tahu siapa kau,
dik? Siapa namamu dan dari manakah
asalmu? Sekarang adik mau ke mana?"
tanya Karta dengan sikap yang agak
kaku.
"Namaku Ranti, dari desa
Perbutulan di lereng Utara gunung
Ciremai. O, iya terima kasih atas
pertolonganmu, pendekar budiman. Tanpa
pertolonganmu, aku tak berani
membayangkan apa yang bakal terjadi
pada diriku."
Karta tertegun mendengar suara
Ranti. Suara itu mirip sekali dengan
suara Nuraini, kekasihnya yang
beberapa tahun lalu meninggal dunia
sebelum mereka sempat mewujudkan cita-
cita cinta mereka. Kenapa suara gadis
ini mirip sekali dengan suara Nuraini?
Apakah aku salah dengar? bisik hati
Karta dengan perasaan tak menentu.
"Eh, kenapa kau diam saja,
pendekar budiman?" tegur Ranti sambil
menatap wajah Karta dalam-dalam.
"Oh, aku tidak apa-apa. Aku
tidak apa-apa, dik. Hendak ke manakah
tujuanmu, dik Ranti? Apakah kau sedang
dalam kesulitan? Jika...."
"Ah, tidak!" Ranti menyela
ucapan Karta, "Aku tidak mau ke mana-
mana. Aku hanya jalan-jalan saja,
ingin melihat-lihat keadaan desa orang
lain di seluruh tanah Cirebon ini."
"Kalau begitu, bolehkah kita
menjadi kawan seperjalanan?"
"Terima kasih, pendekar. Kau
telah berbuat baik padaku. Semoga
Tuhan membalas budi baikmu. Tapi
biarlah aku melanjutkan perjalanan
sendiri. Nah, sekarang kita sudah
sampai di batas desa. Biarlah kita
mengambil jalan masing-masing. Selamat
berpisah, pendekar budiman!"
Lalu Ranti meloncat, tubuhnya
melesat dan dalam sekejap hilang di
balik pepohonan. Tak terdengar lagi
suara percakapan, hanya suara desir
angin menerpa dedaunan. Si Gila Dari
Muara Bondet berdiri termangu-mangu.
Hatinya serasa hancur luluh. Rasa sepi
dan hampa merejam kalbunya. Entah
karena apa, ia sendiri belum bisa
memastikan.
"Oh, Tuhan, kenapa hanya sekejap
saja ia berada di dekatku?
Kenapa....?" Hati pemuda itu merintih
sedih. "Nuraini, oh Nuraini?
Mungkinkah engkau telah menjelma
kembali ke bumi ini?"
Pertemuan yang teramat singkat
itu ternyata telah membuat luka lama
di hati Karta kambuh lagi. Kenangan
indah dan manis kembali memenuhi
benaknya. Ia teringat masa-masa penuh
kemesraan tatkala Nuraini masih berada
di sisinya. Memang saat itu cukup
banyak tantangan. Tetapi dengan dua
hati yang berpadu jadi satu, semua itu
bisa dihadapi dan diatasi. Karta dan
Nuraini melangkah bersama, berbagi
suka maupun duka.
Janji pun teruntai mengikat dua
hati yang sedang dimabuk asmara.
Tetapi semua itu hanya tinggal
kenangan. Perjalanan hidup ini memang
terlalu penuh dengan misteri. Apa yang
terjadi esok hari, tak seorang pun
tahu. Manusia hanya bisa meramal dan
mereka-reka. Karena itu orang
mengatakan, manusia hanya bisa
merencanakan tapi keputusan tetap di
tangan Tuhan.
Di luar segala perhitungan dan
harapan, maut merenggut nyawa Nuraini.
Gadis itu pergi dan takkan pernah lagi
kembali. Ia pergi bersama cinta yang
masih bersemi di dalam sanubari. Karta
pun merasa terhempas ke dalam jurang
yang maha dalam dan gelap. Segala
harapan dan mimpinya yang indah hancur
sudah. Tiada lagi yang bisa ia
harapkan. Cinta yang telah sempat
memberinya keindahan ternyata juga
memberinya kehancuran.
Kenyataan ini terlalu pahit dan
menyakitkan. Karta yang dijuluki si
Gila Dari Muara Bondet itu memang
memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi. Ia telah bertahun-tahun
melanglang buana menembus jalan penuh
duri, menghadapi musuh-musuh yang
tangguh. Ia sudah terbiasa menghadapi
berbagai macam cobaan. Namun kepergian
Nuraini untuk selama-lama tidak bisa
ia tahankan. Jiwa dan hatinya terlalu
rapuh untuk bisa menerima cobaan
seperti itu.
Maka sejak saat itu, Karta
menghadapi hari-harinya yang kelam. Ia
melangkah tanpa harapan. Penyesalan
selalu bergayut di dadanya. Seandainya
dia dan Nuraini memang harus berpisah
karena kematian, kenapa bukan ia yang
lebih dulu mati? Itu lebih baik
daripada ia harus hidup menyendiri
tanpa kekasihnya itu.
Sekarang, ia bertemu dengan
seorang gadis cantik jelita yang
suaranya mirip sekali dengan Nuraini.
Tidaklah mengherankan jika perasaannya
terasa kosong melompong setelah
kepergian Ranti.
Tanpa disadari oleh Karta, gadis
yang baru saja meninggalkan dirinya
juga merasa tak menentu. Ranti berlari
dan terus berlari sampai akhirnya ia
tiba di sepanjang tebing kali Cimanuk
menuju ke arah muaranya.
Ranti merasa menyesal karena
meninggalkan pemuda itu. Tetapi ia
memaksakan diri untuk melupakannya.
"Sebagai wanita aku tidak boleh
terlalu penurut kepada lelaki, apalagi
yang baru kukenal," pikir gadis itu.
Tetapi entah mengapa pula ada rasa
kesal menyusup ke dalam hatinya karena
terlanjur mengenal pendekar budiman
itu.
"Tak seharusnya aku berkenalan
dengannya!" bisik hati Ranti. Dan
diam-diam, ia mulai merasakan bahwa
kegagalan cintanya yang pertama telah
menjadi semacam trauma baginya. Ia tak
ingin perkenalannya dengan Karta
melahirkan rasa cinta di dalam
hatinya. Ia tak ingin gagal lagi,
seperti ketika ia mencintai Parmin. Ia
merasa lebih baik hidup menyendiri,
jauh dari cinta dan lelaki daripada
kelak ia mengalami kegagalan lagi.
Akhirnya dara jelita itu tiba di
pinggir tebing kali Cimanuk. Ranti
duduk bersandar pada batang pohon
rindang yang tumbuh di atas tebing
itu. Tebing itu cukup curam dan dalam.
Di bawahnya mengalir tenang kali
Cimanuk. Burung-burung bangau terbang
kian ke mari, melintas di antara mega-
mega, di atas kali Cimanuk. Beberapa
ekor di antara burung bangau itu
terbang berpasang-pasangan, mencermin-
kan kesetiaan dan kemesraan.
"Ah...." hati Ranti kembali
merintih.
LIMA
Jauh di seberang kali, tampak
rumah penduduk berjejer di antara
pepohonan. Sementara di tengah sungai
yang cukup jernih itu, tampak sampan
hilir mudik menyeberangkan orang dari
daratan sebelah Timur ke Barat. Tukang
sampan penyeberang orang itu bekerja
keras mengayuh dayung agar lebih cepat
sampai di seberang. Lelaki itu
mengenakan topi lebar terbuat dari
anyaman bambu untuk melindungi wajah-
nya dari sengatan terik matahari.
Itulah pekerjaan sehari-hari lelaki
itu untuk menghidupi keluarganya.
Istri dan anak-anaknya tentu
sedang menunggunya di rumah dan
mengharap uang yang dibawa hari ini
lebih banyak dari hari-hari kemarin.
Berat juga tanggung jawab lelaki itu
terhadap keluarganya. Tetapi alangkah
bahagianya hidup bersama orang yang
dicintai. Mereka akan berbagi suka
maupun duka, saling bercanda dan
bertukar pikiran jika seandainya ada
sesuatu persoalan.
Sedangkan Ranti sendiri, kepada
siapakah ia harus menceritakan segala
keluh kesahnya? Orang tua tidak punya,
sanak famili pun demikian. Bahkan
sahabat dekat pun tidak ada. Ia merasa
dirinya terkucilkan, merasa terlempar
ke dunia kesepian yang teramat
menyakitkan.
"Ayah, ibu, mengapa aku harus
tersesat ke dalam dunia yang sunyi
ini?" rintih gadis itu. Tanpa ia
sadari air mata menetes satu persatu
membasahi wajahnya yang kusam.
Ternyata hidup kesepian merupakan
siksaan batin yang teramat
menyakitkan. Segalanya terasa gersang
hampa dan serba menjepit.
Memang demikianlah kehidupan
ini. Harta dan kedudukan tidaklah
cukup bagi orang. Tetapi juga per-
hatian dan kasih sayang baik dari
orang yang dicintai maupun kerabat
lainnya. Orang tidak akan merasa
hidupnya tenang jika merasa tak
diperhatikan atau disayangi.
Ini membuktikan bahwa dalam
hidup ini, manusia tidak hanya
memerlukan kebutuhan lahir, tetapi
terhadap keluarganya. Tetapi alangkah
bahagianya hidup bersama orang yang
dicintai. Mereka akan berbagi suka
maupun duka, saling bercanda dan
bertukar pikiran jika seandainya ada
sesuatu persoalan.
Sedangkan Ranti sendiri, kepada
siapakah ia harus menceritakan segala
keluh kesahnya? Orang tua tidak punya,
sanak famili pun demikian. Bahkan
sahabat dekat pun tidak ada. Ia merasa
dirinya terkucilkan, merasa terlempar
ke dunia kesepian yang teramat
menyakitkan.
"Ayah, ibu, mengapa aku harus
tersesat ke dalam dunia yang sunyi
ini?" rintih gadis itu. Tanpa ia
sadari air mata menetes satu persatu
membasahi wajahnya yang kusam.
Ternyata hidup kesepian merupakan
siksaan batin yang teramat
menyakitkan. Segalanya terasa gersang
hampa dan serba menjepit.
Memang demikianlah kehidupan
ini. Harta dan kedudukan tidaklah
cukup bagi orang. Tetapi juga per-
hatian dan kasih sayang baik dari
orang yang dicintai maupun kerabat
lainnya. Orang tidak akan merasa
hidupnya tenang jika merasa tak
diperhatikan atau disayangi.
Ini membuktikan bahwa dalam
hidup ini, manusia tidak hanya
memerlukan kebutuhan lahir, tetapi
juga kebutuhan batin. Seorang anak
misalnya jika merasa tak diperhatikan
dan disayangi di rumah biasanya akan
mencari pelarian di luaran. Dalam
keadaan seperti inilah si anak sering
terjerumus ke dalam hal-hal yang
kurang baik. Meskipun misalnya keadaan
materi di rumahnya serba berkecukupan
dan mewah.
Ranti hampir saja putus asa. Ia
sungguh tidak tahu harus melakukan apa
agar bisa terbebas dari belenggu
kehidupan yang penuh kesunyian serta
kegersangan ini. Tanpa ia inginkan, ia
teringat lagi ketika ia masih dalam
asuhan Gembong Wungu. Saat itu rasanya
tiada yang kurang sebab waktu itu ia
memang belum mengenal cinta. Ia hanya
butuh perhiasan, uang dan sebagainya.
Rupanya kehidupan sewaktu kecil
lebih enak dibandingkan setelah
dewasa, pikir gadis itu sedih. Ia
tidak mau memikirkan lebih lanjut
apakah anggapannya itu benar atau
salah. Ia cuma merasakan hidupnya
sekarang jauh lebih menyakitkan
daripada sewaktu dirinya masih kecil.
"Dik Ranti...!"
Tiba-tiba terdengar seorang
laki-laki menyebut namanya. Ia segera
berpaling menatap ke arah asal suara
itu. Alangkah terkejutnya Ranti,
karena di tempat itu telah berdiri si
Gila Dari Muara Bondet.
"Oh, kau pendekar dari Muara
Bondet. Mengapa kau mengikuti aku ke
tempat ini? Mau apa kau?" ujar Ranti
dengan suara tidak bersahabat.
Karta tidak segera menyahut.
Pemuda itu merasa tak menentu mendapat
sambutan kurang bersahabat dari Ranti.
Tadi ia memang sengaja menyusul Ranti,
karena masih sangat penasaran. Ketika
tubuh Ranti lenyap, pendekar dari
Muara Bondet itu segera menyusul.
Ia mengerahkan ilmu lari cepat
yang telah hampir mencapai kesem-
purnaan. Tubuhnya berkelebatan di
sela-sela pepohonan dan dalam waktu
yang tidak terlalu lama, pendekar muda
itu dapat menyusul Ranti. Tetapi ia
tidak segera menghampiri, melainkan
membuntuti dari belakang, ingin tahu
hendak ke mana sebenarnya gadis itu.
Karta merasa terkejut juga
setelah melihat Ranti duduk menyendiri
di atas tebing sambil bersandar di
batang pohon. Apalagi saat mengetahui
bahwa Ranti menitikkan air mata. Gadis
ini pastilah sedang menghadapi suatu
problema hidup yang rumit sehingga
membuatnya sedih. Tapi entah apa.
"Kenapa kau diam saja, pendekar
Muara Bondet? Kenapa kau menyusulku ke
tempat ini?" tanya Ranti membuat Karta
tersentak dari lamunannya.
"Maafkan saya, nona. Saya
sebenarnya tak bermaksud mengganggu
ketenanganmu. Tapi ada suatu hal yang
membuatku tak bisa menahan diri untuk
menemuimu. Maksudku...."
"Kalau kau memang tidak ingin
mengangguku, tinggalkan tempat ini
sekarang juga. Aku memang berhutang
budi padamu, tapi jangan memperalat
budi baikmu itu untuk memperdayaiku.
Harap kau meninggalkan aku sendirian
di sini!"
"Dik Ranti, saya mengerti
perasaanmu. Baiklah, aku akan
meninggalkanmu sendiri di sini. Tapi
sebelumnya harap kau tidak keberatan
untuk mendengar penjelasan dariku. Ini
sangat penting untuk kuutarakan,
karena terasa sangat mengganjal di
hati."
"Aku tak perlu mendengar apa-apa
darimu pendekar Muara Bondet. Pergilah
sekarang juga. Kau pun tentunya tahu
tidak baik bagi lelaki dan wanita
berduaan di tempat sepi seperti ini."
"Memang tidak baik jika
terkandung niat buruk. Aku hanya ingin
mengutarakan isi hatiku, dik Ranti.
Kau jangan salah paham. Aku sungguh
tidak bermaksud jelek padamu.
Percayalah, dik! Sedikitnya kita bisa
mengobrol sebentar."
"Tidak!" Ranti berteriak sambil
meloncat berdiri. Wajahnya tampak
merah padam, matanya mendelik bagaikan
hendak menelan lelaki di hadapannya
itu hidup-hidup, "Kau harus pergi dari
sini. Ayo, cepat pergi! Kalau tidak,
jangan salahkan aku jika terpaksa
mencabut senjataku."
"Tenanglah, dik Ranti. Jangan
terlalu cepat marah."
"Aku tak butuh nasehatmu.
Rupanya kau ingin berbuat kurang ajar
padaku, ya? Jangan harap niat busukmu
itu bisa terlaksana. Langkahi dulu
mayatku, baru boleh kau sentuh
diriku."
Karta menghela nafas dalam-dalam
sekedar untuk menahan rasa sesak di
dalam dadanya. "Niat busuk?" pikirnya
sedih. Rupanya Ranti beranggapan jelek
padanya mengira dirinya hendak berbuat
bejat. Entah apa alasan Ranti hingga
beranggapan seperti itu. Apakah
wajahnya memang wajah penipu atau
wajah pemerkosa?
Karta sangat sedih, karena gadis
yang suaranya mirip dengan mendiang
kekasihnya sama sekali tidak mau
mempercayainya, malahan menuduhnya
yang bukan-bukan. Tetapi jauh di lubuk
hatinya yang paling dalam, ia cukup
mengerti perasaan Ranti. Mungkin gadis
itu bersikap demikian hanya karena
sedang mengalami persoalan yang sangat
rumit. Kebanyakan orang memang begitu,
jika sedang kalut, mudah marah dan
tersinggung.
Pendekar muda itu menghibur diri
sendiri.
"Kenapa kau diam saja, hah?
Kenapa belum juga angkat kaki dari
sini?" bentak Ranti.
"Oh, dik Ranti. Kau terlalu ber-
prasangka buruk padaku. Aku sebenarnya
hanya ingin mengatakan bahwa sewaktu
kita pertama kali bertemu, perasaanku
jadi tak menentu karena suaramu sangat
mirip dengan orang yang kucintai. Aku
tak bisa melupakannya. Sayang ia telah
tiada...."
"Kau kira aku wanita yang lemah,
hah? Jangan harap rayuan gombal
seperti itu bisa menggodaku. Baiklah,
agaknya kau harus diberi pelajaran.
Nih, terimalah ini!" Setelah berkata
begitu, Ranti segera meloncat
menerjang Karta. Tubuhnya melayang
bagai rajawali menyambar ke arah
lawan. Pedang diayun cepat sekali
mengincar leher Karta. Agaknya dara
jelita itu tidak mau perduli lagi
tentang keselamatan Karta. Karena
kalau saja sabetan pedangnya itu
mengenai sasaran, tak ayal lagi leher
itu pasti akan terpisah dari badan.
Untunglah si Gila Dari Muara
Bondet memiliki ilmu tinggi. Dengan
gerakan yang tidak kalah cepatnya,
lelaki itu menggeser kakinya ke
belakang sehingga sabetan senjata
lawan tidak mengenai sasaran. Setelah
itu, Karta meloncat jauh ke belakang
untuk menghindari serangan Ranti
berikutnya.
"Sabarlah nona. Jangan menyerang
aku seperti itu. Kalau kau memang
tidak senang padaku, biarlah aku pergi
sekarang juga."
"Diam kau bangsat!" Ranti
membentak, lalu kembali menyerang
Karta dengan ganas. Gadis itu segera
mengeluarkan ilmu simpanan yang pernah
diajarkan Gembong Wungu padanya,
karena ia tahu Karta bukanlah orang
sembarangan. Pedang gadis itu menyam-
bar-nyambar cepat sekali dan penuh
tipu daya yang sangat berbahaya.
Tipu seperti itu memang sudah
merupakan ciri khas ilmu Gembong
Wungu. Sama seperti halnya tokoh sesat
lainnya, almarhum raja rampok itu juga
selalu berusaha menjatuhkan lawan
secepat mungkin dengan cara-cara keji
dan penuh tipuan. Ilmu itu kemudian
diwariskan kepada Ranti, sehingga
tanpa disadari, ilmunya selalu penuh
tipu daya yang sangat berbahaya. Jika
lawan lengah sedikit saja, pasti akan
bernasib fatal. Jika tidak cacat,
mungkin akan segera kehilangan nyawa.
Di kalangan tokoh-tokoh dunia
hitam, jarang ada istilah melumpuhkan
lawan tanpa melukainya. Lain halnya
dengan para pendekar yang sikapnya
kesatria, sering merobohkan lawan
tanpa menurunkan tangan kejam.
Misalnya dengan cara memukul lawan
hingga pingsan, dan jika siuman
kembali tidak akan menderita luka
parah.
Ranti sebenarnya kurang menya-
darinya, sebab ia hanya merasa bahwa
dalam setiap pertarungan ia harus
menyerang jika punya kesempatan dan
mengelak jika diserang. Lawan pun
tentu menginginkan kemenangan. Karena
itu dalam setiap pertarungan hanya ada
dua kemungkinan, menang atau kalah.
Demikian nasehat Gembong Wungu dahulu.
Ganasnya serangan Ranti membuat
Karta terkejut. Sebab siapa nyana,
seorang gadis cantik jelita seperti
Ranti mempunyai sikap ganas dan buas.
Pendekar dari Muara Bondet itu pun
segera berloncatan ke sana ke mari
menghindari serangan Ranti. Tubuhnya
berkelebatan di sela-sela kilatan-
kilatan senjata lawan.
"Kau keras kepala, dik Ranti.
Dan seranganmu sangat ganas.
Tenanglah, aku tak bermaksud jelek
padamu," teriak Karta sambil meloncat
tinggi mengelakkan serangan Ranti.
Namun kata-katanya itu bukannya
membuat Ranti menjadi tenang, malahan
semakin beringas. Ia merasa lelaki itu
memandang rendah padanya, bahkan
menghinanya. Apalagi sejak tadi Karta
sama sekali belum mau melakukan
serangan balasan, selain menghindar
saja. Maka makin panas jugalah hati
Ranti.
Sikap dara jelita itu makin
berangasan. Tetapi kewaspadaannya pun
menjadi berkurang. Karena sangat
marah, ia seolah-olah melupakan
pertahanan dirinya sendiri sebab yang
ia pikirkan sekarang adalah bagaimana
supaya dapat segera merobohkan Karta.
Seandainya pendekar Muara Bondet itu
mau, mungkin sejak tadi Ranti sudah
roboh oleh serangannya. Tetapi ia
tidak mau melakukannya. Sebab untuk
apa ia melayani kekerasan Ranti?
Bukankah di antara mereka tidak ada
persoalan apa-apa? Ranti hanya salah
paham saja, atau mungkin hanya karena
terdorong kemelut yang melanda
hatinya.
Ranti terus menyerang Karta,
dengan serangan yang mulai tampak agak
tidak karuan. Ia kembali menerjang
Karta yang saat itu sedang berdiri di
pinggir tebing curam. Pedangnya
diayunkan dari arah kanan ke sebelah
kiri, mengarah ke arah pinggang pemuda
itu.
Dalam keadaan terdesak seperti
itu, Karta tidak bisa berbuat banyak.
Ia tidak mungkin mundur lagi untuk
mengelak, karena kalau itu ia lakukan
pasti akan terjatuh ke arus sungai.
Maka Karta pun segera meloncat tinggi
sehingga serangan lawan dapat ia
elakkan.
Namun akibatnya cukup fatal bagi
Ranti. Karena terjangannya sangat kuat
tadi, ia tidak dapat lagi menguasai
atau menahan laju tubuhnya. Disertai
jeritan panjang, tubuhnya terjatuh ke
dalam arus kali Cimanuk.
"Dik Ranti!" teriak Karta
terkejut. Tanpa pikir panjang lagi,
pemuda itu segera terjun ke dalam
sungai, dengan maksud untuk
menyelamatkan Ranti.
Arus sungai di pinggir tebing
itu ternyata sangat deras. Dalam
sekejap saja tubuh Ranti sudah hanyut
terbawa arus. Sebagai anak gunung,
dara jelita itu memang tidak pandai
berenang. Nafasnya segera sesak,
bahkan tanpa sengaja ia telah meminum
air sungai.
Si Gila Dari Muara Bondet
mengerahkan segenap kemampuannya untuk
mencari tubuh Ranti. Pendekar muda itu
memang sudah cukup terlatih melawan
arus sungai, walaupun harus diakui
arus Cimanuk lebih ganas dari kali
Bondet.
Sekali waktu, tampak oleh Karta
tangan Ranti melambai agak jauh di
depannya. Tetapi hanya sekejap
kemudian, tangan itu telah lenyap ke
dalam arus air. Dengan perasaan
dicekam kecemasan Karta segera
berenang ke arah itu. Tetapi ia
kembali kecewa, karena ia belum juga
berhasil menemukan tubuh Ranti.
Ya Tuhan. Kalau gadis itu
kehilangan nyawa di sungai ini,
biarlah aku juga mati terkubur di
sini, kata hati Karta.
Ia terus berenang sambil tak
henti-hentinya berdoa agar ia segera
menemukan Ranti. Akhirnya doanya pun
terkabul. Ia dapat menangkap tangan
Ranti. Tetapi keduanya sudah terlanjur
terperangkap masuk pusaran air dahsyat
di sekitar muara kali itu.
Pusaran air itu terjadi karena
bertemunya dua arus kuat dari arah
yang berlawanan. Karena bentrokan arus
itu sangat kuat, arus di sekitar itu
pun menjadi berputar-putar yang makin
ke bawah makin kencang.
Itulah sebabnya pusaran air
sungai itu mengandung tenaga sedot
yang sangat kuat. Makhluk hidup maupun
benda mati jika sudah terlanjur
terperangkap pusaran arus, akan dibawa
berputar-putar, makin lama makin ke
bawah hingga akhirnya sampai ke dasar
sungai.
Selama ini pusaran arus kali
Cimanuk itu telah banyak mengambil
korban jiwa manusia, mau pun hewan
ternak yang kebetulan sampai ke
pusarannya. Tidaklah mengherankan jika
pusaran air itu sangat menakutkan
penduduk di sekitar itu. Bahkan
dulunya ada yang percaya bahwa pusaran
arus itu adalah tempat para jin maupun
makhluk halus lainnya untuk mandi.
Mereka tidak senang jika ada yang
lancang mandi di tempat itu, sehingga
bagi yang melanggarnya, baik sengaja
maupun tidak sengaja akan dihanyutkan
sampai mati.
ENAM
Sebagai orang yang sudah ter-
biasa bermain-main di sungai, terkejut
juga Karta setelah menyadari bahwa
dirinya bersama Ranti telah
terperangkap pusaran arus dahsyat.
Putaran arus sungai itu sangat kuat,
sehingga dada Karta serasa bagaikan
hendak pecah.
Walaupun demikian, pendekar
Muara Bondet itu tidak mau melepaskan
tangan Ranti. Ia terus berusaha sekuat
tenaga menarik tubuh wanita itu ke
luar pusaran air. Makin lama, tenaga
Karta pun makin terkuras. Rasa putus
asa mulai menghinggapi pikirannya.
Akan tetapi sebagai pendekar
yang sejak lama telah digembleng
dengan keras, Karta tidak mau berserah
atau pasrah kepada nasib. Ia tetap
berprinsip, selama masih bisa bergerak
ia tidak boleh berhenti berusaha.
Di sinilah terlihat bahwa
sebelum ajal memang berpantang mati.
Secara kebetulan, arus sungai yang
sedang pasang menghantam pusaran air
itu. Akibatnya tubuh kedua insan itu
terlempar ke luar pusaran. Dengan
sisa-sisa tenaganya, Karta menyeret
tubuh Ranti, hingga akhirnya sampai ke
tepi sungai.
"Terima kasih, Tuhan. Engkau
telah menyelamatkan kami," kata pemuda
itu dengan napas tersengal-sengal.
Lalu ia membopong tubuh Ranti yang
agaknya sudah cukup lama tak sadarkan
diri, ke atas tebing.
Perlahan-lahan, Karta merebahkan
tubuh Ranti di bawah pohon rindang.
Diperiksanya urat nadi gadis itu,
masih berdenyut tapi agak pelan.
Berarti gadis itu hanya pingsan saja
karena kelelahan. Tak ada luka yang
mengkhawatirkan. Karta menghela napas
lega dan membiarkan Ranti tidur dengan
pulasnya.
Perasaan Karta masih tak menentu
mengingat peristiwa yang nyaris
merenggut nyawanya dan nyawa Ranti.
Seandainya ia tidak berhasil
menyelamatkan Ranti, alangkah
berdosanya dirinya. Sebab bagaimanapun
juga, Ranti terjatuh ke kali Cimanuk
adalah gara-gara sikapnya juga.
Ranti sudah berulang kali
menyuruhnya pergi, tetapi ia masih
mencoba membujuk-bujuk hingga akhirnya
gadis itu kehilangan kesabaran.
Karta kemudian membuka bajunya
dan menggantungkannya di dahan pohon
agar cepat kering. Sambil menunggu
pakaiannya itu kering, pendekar Muara
Bondet duduk membelakangi Ranti.
Sepasang matanya menatap ke arah arus
kali Cimanuk, lalu ke arah hutan di
seberang sungai.
Pendekar itu kembali terkenang
akan Nuraini, bahkan merasa kekasihnya
itu seolah-olah sedang berada di
sisinya. Duduk sambil menatapnya
dengan penuh kemesraan. Sinar mata dan
senyum gadis itu teruntai indah dan
erat sehingga tidak mungkin dipisahkan
tanpa merusak keindahannya.
Karta tidak tahu harus melakukan
apa agar bisa melupakan kekasihnya
itu. Dengan putus asa, ia memejamkan
mata. Lalu bagaikan orang yang sedang
mengigau, ia berbisik: "Selamat jalan
kekasihku. Selamat jalan pujaan hati,
nafas kehidupanku yang abadi. Tak akan
pernah lagi kulihat engkau, seperti
dulu ketika kita sama-sama mereguk
nikmat dan manisnya madu cinta kita."
Tak lama kemudian, Ranti bangun
dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa
nyeri dan lemas sekali. Ia menggosok-
gosok kedua matanya dan menatap Karta
yang sedang duduk bertelanjang dada
tak jauh dari tempatnya tidur tadi.
Melihat lelaki itu, maka prasangka
buruk pun segera menghinggapi pikiran
Ranti. Ia pingsan tadi, entah berapa
lama. Pastilah si Gila dari Muara
Bondet itu telah berbuat kurang ajar
pada dirinya.
Maka Ranti pun segera meloncat
ke hadapan Karta. Wajahnya merah
padam, dadanya turun naik tak teratur
karena amarah yang tak terkendalikan.
Sambil menuding Karta dengan tangan
kiri, ia berkata dengan kasar:
"Bajingan kau! Apa yang telah kau
lakukan terhadap diriku ketika pingsan
tadi, hah? Bajingan, kurang ajar kau!
Berani kau berbuat kurang ajar padaku.
Akan kucincang tubuhmu!"
Tentu saja Karta sangat
terkejut. Tadinya ia mengira Ranti
akan mengucapkan terima kasih padanya
karena ia telah menyelamatkannya dari
pusaran arus kali Cimanuk. Lalu
setelah itu, mereka akan berbincang-
bincang penuh persahabatan. Namun
tanpa diduga-duga, gadis itu malah
menuduhnya berbuat kurang ajar. Karta
jadi kesal sekaligus tak tahu harus
mengucapkan apa.
"Jangan diam kau, bajingan!
Pengecut! Kau telah menodai aku ketika
sedang pingsan tadi. Kubunuh kau
bangsat!" bentak gadis itu lagi.
"Dik Ranti, kenapa kau berkata
seperti itu? Kenapa kau tega menuduh
aku seburuk itu? Demi Allah, aku tak
berbuat apa-apa terhadap dirimu."
"Diam! Lelaki pengecut seperti
kau mana mau mengaku? Bangsat tengik
seperti kau harus dilenyapkan dari
permukaan bumi ini. Kau telah
menghancurkan hidupku!"
Karta tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Mimpi pun ia tak menyangka akan
dituduh seperti itu. Pendekar itu pun
melangkah lebih dekat ke hadapan
Ranti. Kepasrahan dan keputusasaan
tercermin di wajahnya yang pucat.
"Dik Ranti, aku sungguh tak
menyangka gadis seperti kau akan
sampai hati menuduh aku sekotor itu.
Tapi agaknya kau tidak akan mau
percaya padaku. Baiklah kalau begitu.
Aku tidak perlu berkata apa-apa lagi.
Kalau kau memang menuduh aku seperti
itu cabutlah senjatamu, bunuhlah aku.
Aku sudah rela. Biarlah Tuhan yang
tahu keadaan yang sebenarnya!"
Ranti meludah dengan sebal,
"Huh, dasar pengecut. Beraninya hanya
sama perempuan," makinya kesal.
"Tak apalah dik Ranti jika kau
tidak senang padaku. Tetapi tak
seharusnya kau menuduh aku serendah
itu. Ayo, cabutlah senjatamu. Laku-
kanlah apa yang kau inginkan."
"Huh, kau pikir aku pengecut
seperti dirimu? Kalau kau memang bukan
pengecut, kenapa tidak kau biarkan
saja aku mampus di kali itu? Kau pikir
aku senang karena bantuanmu? Aku
sangat benci padamu tahu?"
"Terserahlah, dik Ranti. Saya
pun tak merasa telah menolongmu. Tapi
aku yakin orang bijaksana selalu tahu
menghormati kebaikan orang lain
padanya. Tahu menilai mana yang baik
dan mana yang tidak baik. Atau
sedikitnya di atas sana masih ada
Tuhan yang Maha Adil dan penuh kasih
sayang."
"Dasar laki-laki tak tahu diri!
Awas ya! Kalau kau masih berani
mengikutiku, akan kubunuh kau. Aku
tidak akan memberikan ampun lagi."
Habis berkata begitu, Ranti
segera meloncat dari hadapan Karta.
Tubuhnya melayang ringan bagaikan
kapas, dan dalam sekejap telah lenyap
di balik pepohonan dan semak-semak.
Ranti terus berlari sambil
mengerahkan segenap kekuatannya agar
dapat segera menjauh dari tebing kali
Cimanuk. Ia tidak bisa melukiskan
bagaimana perasaannya sekarang. Entah
gembira atau sedih. Sebab sebagai
gadis yang telah menginjak dewasa, ia
sudah bisa memastikan bahwa
kehormatannya masih utuh. Karta tidak
berbuat apa-apa padanya seperti yang
ia tuduhkan tadi.
"Oh, alangkah tolol dan kurang
ajarnya diriku. Nyawaku telah ia
selamatkan. Tetapi bukannya berterima
kasih, malahan menuduhnya berbuat
kurang ajar. Padahal lelaki itu baik
hati, memiliki sikap yang lembut dan
gagah perkasa pula. Kenapa sikapku
harus seperti itu tadi sewaktu
berhadapan dengannya?" Gadis itu
membatin sambil terus berlari.
Menjelang senja, Ranti isti-
rahat, duduk bersandar pada pohon. Ia
mulai kelelahan dan pikirannya makin
kalut. Wajah Karta masih terbayang-
bayang di pelupuk matanya. Kata-kata
pemuda itu terngiang-ngiang kembali di
telinganya. Dan pcnyesalannya pun
semakin menjadi-jadi alas sikapnya
yang keterlaluan terhadap pemuda dari
Muara Bondet itu.
Putri Gagak Ciremai itu semakin
menyadari bahwa dalam dirinya ada yang
kurang beres. Ia telah membohongi hati
nuraninya sendiri. Ia memaki-maki
Karta bahkan menuduhnya telah berbuat
kurang ajar. Padahal sebenarnya, jauh
di lubuk hatinya, ia harus mengaku
bahwa ia mengagumi pria itu. Atau
sedikitnya ia butuh seorang kawan yang
dapat dijadikan sebagai tempat mengadu
dan menumpahkan segala keluh kesah.
Mengingat sikapnya yang
dinilainya tidak wajar itu, Ranti pun
teringat akan perlakuannya beberapa
waktu lalu ketika berhadapan dengan
Roijah, kekasih Parmin di desa Kandang
Haur. Saat itu Ranti sengaja datang
dari desa Perbutulan dan menemukan
Roijah sedang dihukum cambuk oleh
Kompeni Belanda, kemudian dipenjarakan
di gudang penggilingan padi milik Van
Eisen.
Ranti kemudian dapat menyelamat-
kan Roijah dan membawanya sampai ke
hutan Loyang. Di tengah hutan itulah
Ranti mengajak Roijah bertarung hidup
mati untuk memperebutkan Parmin.
Katanya siapa yang menang, dialah yang
berhak mendampingi Parmin. Padahal
saat itu kondisi tubuh Roijah sangat
lemah akibat siksaan centeng-centeng
Belanda.
Alangkah piciknya pikiran Ranti,
seolah-olah menganggap cinta itu dapat
diperebutkan seperti halnya piala.
Untunglah ia kemudian dapat menyadari
kekeliruannya berkat nasehat guru
Roijah. Ia kemudian menyadari bahwa
cinta itu memang tidak bisa
diperebutkan, karena cinta itu lahir
sendiri tanpa disadari dan tanpa
direncanakan.
Ya, tanpa disadari. Apakah
sekarang tanpa sadar pula ia telah
jatuh cinta kepada Karta? Oh, ia
teringat sekarang. Dulu pun ketika
pertama kali bertemu dengan Parmin, ia
menuduh pemuda itu sengaja
mengintipnya sewaktu mandi. Ranti
bahkan menyerang Parmin dengan ganas.
Untunglah pemuda itu memiliki ilmu
kesaktian yang tinggi, sehingga dapat
mengelakkan semua serangan Ranti.
Peristiwanya kira-kira sama seperti
yang terjadi antara Ranti dengan Karta
sekarang.
Dan Parmin memang memiliki
banyak kesamaan dengan Karta. Keduanya
sama-sama gagah perkasa dan memiliki
ilmu tinggi. Selalu mau membela kaum
lemah dari penindasan-penindasan,
bersikap lembut dan penuh kasih
sayang. Cuma saja, Parmin yang
dijuluki Jaka Sembung itu kelihatan
lebih dewasa dan lebih saleh
penampilannya dibandingkan Karta yang
dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
Rambut Parmin dicukur pendek,
sedangkan rambut Karta dibiarkan
panjang sampai ke pinggang. Persamaan
atau perbedaan lainnya masih dalam
pemikiran Ranti, karena ia belum tahu
banyak mengenai diri Karta.
Dulu, dengan sikapnya yang
kekanak-kanakan, Ranti sendirilah yang
selalu berusaha berdekatan dengan
Parmin. Tanpa malu-malu, ia datang ke
sawah tempat Parmin bekerja. Atau ke
rumah petani tua hanya sekadar untuk
bisa berbincang-bincang dengan
pendekar itu.
Sekarang sebaliknya, Karta yang
tampaknya selalu mengejar-ngejar
Ranti. Sementara Ranti sendiri
kelihatannya selalu berusaha
menghindar, meskipun ia sendiri harus
mengakui bahwa sikapnya itu tidak
sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan
mungkin hanya sekadar kompensasi untuk
menutupi isi hatinya yang sebenarnya.
Diam-diam dara jelita itu merasa
khawatir, kalau-kalau Karta tidak mau
lagi memaafkannya. Alangkah malangnya
nasibnya jika ia akan kehilangan
seorang pria yang demikian baik. Tanpa
terasa air matanya menetes membasahi
wajahnya yang pucat.
Aku harus kembali dan minta maaf
padanya, kata hati Ranti. Tetapi saat
itu juga hatinya berteriak lain.
Tidak! Aku tidak boleh merengek-rengek
di hadapannya untuk minta dibelas-
kasihani. Biarlah aku melupakannya! Ia
selalu berusaha mendekatiku hanya
karena suaraku mirip dengan mendiang
kekasihnya. Kalaupun dia merasa cinta,
yang ia cintai hanyalah suaraku."
Tangis Ranti semakin menjadi-
jadi. Matahari mulai gelap, bundar
bagai bola dan mengembang di atas
mega-mega di kaki langit. Udara
menjelang kelam. Cahaya senja merah
tembaga antara terang dan gelap,
terasa lebih cepat kusam dan padam.
Nun jauh di sana, udara senja mulai
hitam, menodai jaringan-jaringan halus
pepohonan di tengah hutan. Seperti
sedang mengisyaratkan sebuah prahara
yang telah datang mengacaukan
segalanya.
Ranti tidak tahu harus melakukan
apa agar pikirannya dapat tenang.
Dengan putus asa, ia menyandarkan
kepala sambil memejamkan mata, lalu
berbisik sedih: "Tuhan, daripada hidup
tersiksa seperti ini, mengapa Tuhan
tidak mencabut nyawaku saja?"
Tatkala malam semakin larut,
Ranti naik ke dahan pohon dan kembali
duduk bersandar. Ia sudah memutuskan
akan melewatkan malam itu di tengah
hutan. Sebab mau ke mana lagi dia? Ia
belum mengenal daerah di sekitar hutan
itu. Kalau ia nekad meneruskan
perjalanan, ia bisa tersesat makin
jauh ke tengah hutan. Dengan air mata
yang masih bercucuran dan suara isak
tangis yang tersendat-sendat, gadis
itu akhirnya tidur kelelahan.
Esok harinya, ia terbangun
ketika matahari telah tinggi menerpa
wajahnya dari sela-sela dedaunan.
Ranti terbangun karena matanya yang
silau terkena sinar matahari. Sambil
mengeluh, ia turun dari atas pohon.
Ranti tidak tahu hendak ke mana
sekarang. Perutnya terasa sangat
lapar, pedih bagaikan dililit-lilit.
Tetapi kemanakah ia harus pergi
mencari makanan?
Gadis itu akhirnya memutuskan
untuk pergi ke muara kali Cimanuk dan
mengharap di tempat itu nanti ia bisa
menemukan perkampungan kaum nelayan.
Mudah-mudahan aku masih bisa menemukan
orang yang mau memberiku sedikit
makanan, kata hati Ranti penuh harap.
Ranti akhirnya sampai di muara
kali Cimanuk, di pesisir pantai laut
Jawa. Ia menyusuri pantai pasir putih
dan matanya menatap liar ke sana ke
mari dengan harapan bisa menemukan
orang yang mempunyai makanan.
Pada usia semuda itu, Ranti
telah hidup luntang lantung ke sana
kemari. Semua itu sebetulnya hanya
karena tuntutan hatinya yang kesepian
dan butuh kasih sayang. Keadaan itu
sangat jauh berbeda dengan kehidupan-
nya pada waktu kecilnya. Dulu Ranti
hidup serba berkecukupan. Sekarang
untuk makan saja sudah terancam. Wajar
kalau ia merasa sangat tersiksa, sebab
ia belum terbiasa hidup dalam
keprihatinan.
Keadaan itu telah membuka mata
hatinya, bahwa dalam hidup ini banyak
tantangan dan rintangan. Bahwa dalam
kehidupan ini manusia saling
membutuhkan, saling tergantung satu
sama lainnya tanpa terkecuali. Yang
kaya bukan berarti tak pernah
membutuhkan yang miskin, begitu juga
sebaliknya yang miskin pun membutuhkan
orang kaya.
Ranti tak dapat membayangkan apa
yang bakal terjadi pada dirinya jika
dalam pengembaraannya itu tidak
menemukan orang lain. Mungkin ia akan
mati kelaparan.
TUJUH
Tak jauh dari tempat Ranti
sekarang berjalan menyusuri pasir
pantai, tampaklah asap mengepul, di
dekat pohon nyiru. Seorang lelaki muda
duduk di batang pohon kelapa yang
telah tumbang. Ia sedang memasak ikan
di dalam sebuah kuali.
Lelaki itu masih cukup muda,
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Tubuhnya tegap kekar dengan kulit
hitam legam. Kumisnya panjang dan
melingkar. Alis matanya tebal,
sedangkan matanya kelihatan selalu
melotot. Ia mengenakan ikat kepala
sehingga rambutnya yang cukup panjang
tidak awut-awutan.
Jika diperhatikan cara lelaki
itu memasak, orang pasti akan
terkejut. Betapa tidak, ia sama sekali
tidak menggunakan sendok untuk
mengaduk rebus ikan yang sedang
mendidih itu, melainkan dengan tangan
kanannya sendiri. Anehnya, lelaki itu
kelihatan tenang-tenang saja, tak
merasa kepanasan sedikitpun juga.
Perlahan-lahan, lelaki itu
mengangkat tangan kanannya dari dalam
kuali. Maka tampaklah tangannya yang
hitam legam dan bentuknya aneh itu
mengeluarkan uap. Tangan itu mirip
garpu besar dan terlihat seperti
terbuat dari baja.
Apakah lelaki itu sedang
mengenakan sarung tangan yang terbuat
dari baja? Sama sekali tidak! Tangan
kanannya itu berubah jadi seperti itu
adalah berkat latihan yang tak kenal
lelah dan putus asa.
Itulah dia si Cakar Rajawali!
Seperti diceritakan di bagian
awal, lelaki itu berlatih tekun siang
dan malam untuk memperdalam ilmu
silatnya di pantai teluk Cirebon.
Tangan kanannya yang cacat itu
dilatih, mulai dengan cara membenam-
kannya di pasir pantai yang panas,
kemudian di dalam air mendidih hingga
akhirnya di dalam kobaran api. Dan
jika malam telah tiba, lelaki itu
berlatih jurus-jurus silat sehingga
tingkat kepandaiannya makan lama makin
tinggi.
Si Cakar Rajawali yang nama
aslinya adalah Barna telah bertekad
untuk membalaskan dendam kesumat atas
kematian gurunya di tangan Jaka
Sembung. Ia telah bersumpah tidak akan
mau berhenti sebelum berhasil membunuh
lelaki pengembara yang mengalahkan
gurunya itu. Itulah sebabnya ia
berlatih dan terus berlatih tanpa
kenal lelah dan putus asa.
Barna menjilat-jilat kuah rebus
ikan yang membasahi tangan kanannya.
Ia tampak lega, mungkin karena merasa
bumbu masakannya telah sesuai dengan
yang ia inginkan. Lalu ia bangkit dan
menoleh ke sana ke mari, mencari
ayahnya.
"Ayah! Di mana kau? Kemarilah,
sarapan sudah siap!" teriak pendekar
itu dengan suara menggelegar, sehingga
suaranya bergema ke sepanjang pantai
Karena tidak ada sahutan, Barna
berlari agak jauh ke sebelah Selatan
pantai itu. Benar saja, ayahnya sedang
terkekeh-kekeh.
"Ayah, kembalilah. Mari kita
makan!" teriak Barna.
Ayahnya tak menyahut. Lelaki tua
itu terus merangkak sambil berkata-
kata seorang diri, "He-he he, mau lari
ke mana kau setan cilik? Jangan kira
kau bisa lolos dari tanganku," katanya
sambil terus merangkak bagaikan anak
kecil yang belum bisa berjalan.
Lelaki tua kurus kerempeng itu
tertawa keras-keras ketika berhasil
menangkap seekor udang. Ia sangat
girang, lalu merangkak lagi menangkap
udang yang banyak berkeliaran di
sekitar pantai itu.
Agaknya pikiran lelaki tua itu
tidak waras lagi. Tingkah lakunya sama
sekali tidak menunjukkan sikap seorang
lelaki yang telah berumur lanjut. Ia
bertelanjang dada sehingga tulang-
tulang rusuknya terlihat menonjol,
seolah-olah hanya dibungkus kulit
saja. Kumisnya yang tebal dan sudah
mulai memutih dibiarkan tumbuh dengan
liar, sehingga wajahnya tampak
menyeramkan.
Siapakah sebenarnya laki-laki
tua dan kurus itu? Dia lah salah
seorang dukun gadungan penyambung
lidah Bergola Ijo. Dulu ia dikenal
sebagai tokoh sesat yang sangat
ditakuti banyak orang. Namun ia tidak
kuat mental sehingga menjadi gila
setelah majikannya terbunuh. Menurut
sebagian orang, dukun itu menjadi gila
adalah karena 'supata'(kutukan) Kyai
Haji Subekti Achmad, ulama besar dari
Gunung Sembung.
Melihat keadaan ayahnya itu,
makin berkobarlah dendam di hati
Barna. Semua ini gara-gara musuh-
musuhnya yang kelak akan ia tumpas
habis sampai ke anak cucunya hingga
lenyap dari permukaan bumi ini.
"Ayah dengarlah aku ayah!
Sarapan pagi kita sudah kusiapkan.
Ayah tentunya sudah lapar. Ayolah,
kita makan sekarang," kata Barna
membujuk-bujuk ayahnya.
"He-he-he, sarapan katamu?
Inilah sarapanku. Cukup perbekalan
selama tiga hari. Enak, manis dan
gurih. Kalau kau suka kau boleh ambil.
Nih, makanlah!" Tangan kiri orang tua
itu diulurkan kepada Barna. Sedangkan
tangan kanannya memasukkan udang yang
masih hidup itu ke dalam mulutnya.
Sambil tak henti-hentinya tertawa
terkekeh-kekeh, lelaki tua itu
mengunyah-ngunyah dengan sangat
lahapnya.
Cakar Rajawali tidak bisa
berbuat apa-apa. Kalaupun dia berusaha
mencegah, tidak akan ada gunanya
karena ayahnya pasti akan tetap makan
udang itu. Bahkan mungkin akan menjadi
marah karena merasa kesenangannya
diganggu.
Memang demikianlah adat orang
tua itu setelah pikirannya tak waras
lagi. Masih mending kali ini ia cuma
makan udang hidup. Pada waktu lalu ia
malah pernah hendak memakan
kalajengking yang ia tangkap di
pinggir hutan. Untunglah anaknya
segera melihat dan mencegahnya.
Kadang-kadang orang tua itu
tertawa-tawa tak henti-hentinya,
tetapi tak lama kemudian tiba-tiba
menangis tersedu-sedu menyesali masa
lalunya. Jika malam tiba, lelaki tua
itu suka duduk menyendiri lama sekali.
Entah apa saja yang ia pikirkan tak
ada yang tahu. Tetapi kalau anaknya
menyuruhnya tidur, ia tidak mau bahkan
sering menjadi beringas.
"Ayah, marilah kita makan. Saya
sudah sangat lapar, ayah! Apakah ayah
tidak merasa kasihan padaku?" tanya
Barna lagi. Ia menarik tangan ayahnya
dengan harapan ayahnya mau diajak
meninggalkan pantai itu.
"Heh, kau berani kurang ajar
padaku, ya?" bentak orang tua itu
dengan sikap yang tiba-tiba berubah
jadi beringas.
"Oh, ayah jangan marah. Saya tak
bermaksud kurang ajar. Aku hanya ingin
mengajak ayah sarapan pagi."
"Aku sudah sarapan. Nih,
sarapannya enak sekali. Cobalah, kau
pasti senang," kata lelaki tua itu
sambil menyodorkan beberapa ekor udang
kepada anaknya.
Si Cakar Rajawali tidak berkata
apa-apa lagi. Dengan langkah lesu, ia
meninggalkan tempat itu, kembali ke
tempatnya tadi merebus ikan.
Akan tetapi setibanya di tempat
itu, alangkah terkejutnya ia melihat
ikan rebusnya sudah habis dimakan
orang. Tinggal tulang-tulangnya saja
berserakan di sekitar tempat itu.
"Bangsat! Siapa yang mengha-
biskan ikanku? Bajingan, akan kurobek-
robek mulutnya jika aku tahu siapa
yang berani mencuri ikanku!" kata
Barna geram.
Pendekar itu melirik ke seke-
lilingnya, mencari orang yang berani
mempermainkannya. Tiba-tiba matanya
mendelik ketika melihat seorang gadis
dengan tenang mencuci tangannya di
pinggir pantai. "Bangsat, pasti dialah
yang telah menghabiskan ikan rebusku,"
pikirnya.
"Hei, siapa kau bangsat?" bentak
Si Cakar Rajawali sambil menatap ke
arah wanita yang duduk membela-
kanginya, yang tak lain tak bukan
adalah Ranti.
Tadi ketika sedang melangkah
sendirian di pasir pantai itu, Ranti
mencium bau lezat ikan dimasak. Tak
lama kemudian, ia melihat kepulan asap
tak jauh dari tempat itu. Ranti
mempercepat larinya ke arah kepulan
asap itu. Ia menjadi kegirangan
melihat ikan rebus di dalam kuali.
Ranti sebenarnya ingin meminta
secara baik-baik kepada orang yang
punya. Tetapi karena di tempat itu
tidak ada siapa-siapa, dan karena
sudah sangat lapar, maka ia segera
memakan ikan rebus itu sampai habis.
"Nanti aku akan minta maaf pada
orang yang punya ikan ini!" pikir
Ranti. Ia nantinya rela bekerja untuk
orang yang punya ikan sebagai ganti
makanannya itu.
Setelah selesai mencuci tangan-
nya, Ranti membalikkan badan lalu
menatap ke arah Barna.
"Bajingan, kau telah menghabis-
kan ikan rebusku!" bentak Si Cakar
Rajawali marah.
"Maafkan aku, tuan. Aku sangat
kelaparan tadi," ujar Ranti hati-hati
Melihat gadis di hadapannya
sangat cantik, Barna menjadi berubah
sikap. Tadinya ia sudah memutuskan
akan menghajar siapa pun yang telah
mencuri ikannya tanpa perduli apapun
alasannya.
Sekarang melihat Ranti sangat
cantik dan masih sangat muda pula,
timbullah niat busuk di hati Si Cakar
Rajawali. Ia ingin memperalat
kesalahan gadis itu untuk menuruti
kemauannya.
"Tak kusangka maling ikanku
seorang gadis yang sangat cantik.
Rupanya kau tersesat ke tempat ini,
nona manis."
"Ya, tuan. Saya sangat berterima
kasih atas kebaikan tuan. Aku tak tahu
harus bagaimana membalas budi baik
tuan."
"Ah, tidak apa. Orang yang lapar
memang perlu makan. Orang yang haus
perlu minum. Tapi sebagai seorang
pengembara dan sebagai pendekar yang
ksatria, kau pun tentunya tahu
membalas budi baik orang, nona."
"Ya, saya sangat berterima kasih
pada tuan. Apakah yang harus kulakukan
untuk membalas kebaikanmu ini?"
"Mudah saja, Nona. Seperti yang
saya katakan tadi, orang lapar perlu
makan dan orang haus perlu minum.
Demikian juga orang kesepian perlu
ditemani dan dihibur."
"Apa maksudmu?" tanya Ranti
sambil mengernyitkan alis matanya.
"Maksudku, kau harus menemani
aku tidur nanti malam. Tidak susah,
bukan? Aku sudah sangat lama tidak
bertemu dengan gadis apalagi yang
sangat cantik seperti dirimu."
Mendengar ucapan lelaki itu,
menjadi merah padamlah wajah Ranti.
Perasaan kewanitaannya sangat tersing-
gung. Ia memang berhutang budi
terhadap lelaki di hadapannya itu,
karena telah menghabiskan ikan
rebusnya. Tetapi apakah ikan rebus
seperti itu harus dibayar dengan
kehormatannya sebagai seorang gadis?
Sampai mati pun dan demi apapun,
Ranti tidak akan sudi. Ia memilih
lebih baik mati daripada harus disuruh
membayar ikan dengan kehormatannya.
Maka Ranti pun segera meloncat ke
hadapan Si Cakar Rajawali. Sikapnya
sekarang tampak sangat beringas.
Matanya mencorong tajam dan merah
bagaikan memancarkan api.
"Kau keterlaluan! Aku memang
bersalah karena telah menghabiskan
ikan rebusmu. Tetapi jangan kira aku
mau membayarnya dengan kehormatanku.
Akan kucabut nyawamu kalau berani
berkata seperti itu lagi."
"Ah, nona cantik yang sangat
galak! Kau tambah cantik saja kalau
sedang marah. Mengapa kau menolak
maksud baikku? Apa salahnya kita tidur
bersama-sama hanya untuk satu malam
saja?"
Ranti makin marah. Membayangkan
tidur bersama Parmin saja selama ini
belum pernah. Apalagi tidur bersama
lelaki yang baru dikenalnya itu.
"Dasar lelaki bajingan. Kalau
abangku si Jaka Sembung tahu kau
berani kurang ajar padaku, mulutmu itu
tentu akan dirobek-robek!" bentak
Ranti. Karena sangat marah dan tadi
sempat teringat kepada Parmin, tanpa
sengaja ia menyebut nama lelaki itu.
Dan rupanya kata 'Jaka Sembung'
yang keluar dari mulut Ranti benar-
benar membuat sikap Si Cakar Rajawali
berubah. Wajahnya merah padam,
kumisnya tegak dan bergerak-gerak
kaku. Kalau tadi sinar matanya
memancarkan nafsu birahi, maka kini
nafsu yang terpancar dari matanya
adalah nafsu membunuh yang tampaknya
tak bisa dicegah lagi.
DELAPAN
Jaka Sembung, adalah salah
seorang musuh besarnya. Pendekar dari
Gunung Sembung itulah yang telah
memberikan kehidupan suram padanya.
Jaka Sembung telah membunuh orang yang
dicintainya, gurunya yang bergelar
Bergola Ijo. Bahkan selama ini ia
memperdalam ilmunya adalah untuk
membalaskan dendamnya kepada Jaka
Sembung.
Ia tahu Jaka Sembung memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Karena itulah
ia menuntut ilmu bertahun-tahun dan
melatih tangan kanannya yang cacat
menjadi cakar maut. Barna telah
bersumpah akan membalaskan dendam
kesumatnya, melenyapkan Jaka Sembung
serta saudara-saudaranya. Sebab hanya
dengan cara itu ia bisa merasa
dendamnya terlampiaskan, atau merasa
hutangnya impas.
Dendam memang sering membuat
orang menjadi mata gelap. Jika dendam
telah merasuki pikiran dan menguasai
hati seseorang, maka orang tersebut
tidak akan pernah merasa tenang
sebelum melampiaskan dendamnya. Cara
apa pun akan ia tempuh demi
membalaskan dendamnya.
Itulah sebabnya permusuhan di
antara sesama pendekar atau para
jagoan silat lainnya sering ber
kepanjangan dan bahkan bisa menjadi
semacam mata rantai yang berkesinam-
bungan. Seperti Si Cakar Rajawali
misalnya, ia menaruh dendam kesumat
kepada Jaka Sembung, karena gurunya
pernah dirobohkan jagoan dari Gunung
Sembung itu.
Kalau misalnya Parmin juga
terbunuh di tangan Cakar Rajawali,
kawan-kawan Parmin pun tentu akan
dendam kepada Cakar Rajawali. Demikian
seterusnya, sehingga merupakan ling-
karan setan yang tak ada habis-
habisnya. Kebanyakan di antara para
pendekar yang kurang bijaksana menilai
nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Padahal itu belum tentu merupakan
penyelesaian yang baik dan benar.
Kekerasan bukanlah satu-satunya cara
untuk menyelesaikan persoalan. Ada
kalanya jalan kekerasan harus dihin-
darkan. Artinya harus mau mengalah
untuk menang.
Sekarang mendengar Ranti mengaku
sebagai adik Jaka Sembung, amarah
Cakar Rajawali pun tak terkendalikan
lagi. Ia merasa tak perlu berpikir dua
kali untuk membunuh Ranti.
"Hm, jadi si Parmin itu adalah
abangmu? Bagus, berarti kau adalah
adiknya. Demi langit dan bumi dan demi
arwah guruku, aku telah bersumpah
untuk menumpas Jaka Sembung, termasuk
sanak familinya hingga habis dari muka
bumi ini. Dan kau adalah korban yang
pertama!" kata Barna dengan suara
meledak-ledak.
Ranti terkejut juga menyaksikan
perubahan sikap Si Cakar Rajawali.
Rupanya lelaki di hadapannya itu
menaruh dendam kesumat kepada Jaka
Sembung, bahkan telah bersumpah akan
menumpas habis siapa saja yang punya
hubungan kekeluargaan dengan pendekar
Gunung Sembung itu.
Diam-diam Ranti merasa ngeri
juga, karena ia tahu Si Cakar Rajawali
bukanlah orang sembarangan. Pastilah
memiliki kesaktian yang sangat tinggi.
Apalagi saat memperhatikan tangan
kanan Si Cakar Rajawali yang hitam
legam dan keras bagaikan baja. Tangan
itu pastilah sangat berbahaya.
Dulu ayah angkat Ranti, Gembong
Wungu telah sering menceritakan ten-
tang kehebatan-kehebatan para pendekar
kesohor. Para jagoan tersebut selalu
memiliki keistimewaan tersendiri,
misalnya mempunyai senjata yang tidak
lazim dimiliki orang, atau jurus-jurus
langka. Tetapi Gembong Wungu belum
pernah menceritakan adanya jagoan yang
memiliki senjata berupa tangan kanan
keras dan bagaikan baja.
Jika bertarung dengan pendekar
aneh itu, Ranti tentu akan merasa
kikuk sebab selama hidupnya ia belum
pernah berhadapan dengan orang seperti
itu. Selain itu, melihat sikap Si
Cakar Rajawali, tahulah Ranti bahwa
lelaki itu memiliki tabiat yang sangat
ganas dan buas.
Ranti merasa cemas juga. Tetapi
ia tak mungkin lagi menghindari
pertarungan dengan musuh yang tangguh.
Maka ia pun segera mencabut
senjatanya. Kalau ia memang harus
mati, biarlah. Toh tidak akan ada yang
menangisinya. Bukankah ia tidak punya
siapa-siapa lagi?
"Bersiaplah untuk mampus, nona.
Si Cakar Rajawali akan merobek-robek
tubuhmu sebagai pelampiasan dendamku
kepada Jaka Sembung. Akan kucabut
jantung dan hatimu, lalu kuberikan
kepada abangmu itu sebagai tanda mata
yang sangat berharga," kata Barna
sambil bersiap-siap untuk menerjang
Ranti.
"Jangan kira aku takut padamu,
bangsat! Jika kau telah bersumpah
menumpas Jaka Sembung dan keluarganya,
maka aku pun telah bersumpah
melenyapkan kau serta penjahat-
penjahat lainnya dari muka bumi ini."
"Rupanya kau tak berbeda dengan
abangmu itu. Mulutmu terlalu besar,
nona. Kau betul-betul tak tahu diri.
Ajalmu sudah dekat, tapi kau masih
berani bicara sesumbar seperti itu."
"Jangan banyak bicara, bedebah!"
"Baiklah, nona sombong. Hada
pilah seranganku!"
Usai berkata demikian, Si Cakar
Rajawali segera menerjang Ranti dengan
dahsyat. Tubuhnya melayang cepat
sekali, kaki kanannya ditekuk dan
hampir menempel ke dada, tangan
kirinya terulur ke depan, sedangkan
tangan kanannya yang hitam keras itu
ditarik ke belakang, sewaktu-waktu
siap melancarkan serangan maut tak
terduga.
Ranti menggeser kaki kanannya ke
samping untuk mengelakkan tendangan
kaki lawan. Lalu dengan gerakan yang
sangat cepat, ia mengayunkan pedangnya
ke arah punggung Cakar Rajawali. Orang
lain yang ilmunya tak terlalu tinggi
tentu akan gugup diserang secepat itu.
Namun Si Cakar Rajawali tampak tetap
tenang. Sambil tersenyum mengejek, ia
mengulurkan tangan kanannya menangkis
sabetan senjata lawan.
Terdengar suara berdenting
ketika senjata Ranti bertemu dengan
tangan kanan lawan, seolah-olah golok
itu mengenai benda logam yang sangat
kuat. Tak terlihat Si Cakar Rajawali
merasa kesakitan, bahkan Ranti sendiri
yang merasa tangannya kesemutan karena
kuatnya tenaga dalam lawan. Ketika ia
belum bisa menguasai perasaan
kagetnya, tangan maut itu telah
terulur mencengkeram senjata di tangan
Ranti.
Sambil berseru kaget, Ranti
membanting diri ke samping. Tubuhnya
berguling-gulingan di atas tanah, lalu
ia kemudian meloncat jauh ke belakang.
Gadis itu menenangkan perasaan. Hampir
saja tadi, hanya dalam satu gebrakan
saja ia tewas di tangan lawan.
Melihat sikap Ranti, maka Si
Cakar Rajawali pun tertawa kegirangan.
Ia benar-benar anggap remeh kepada
gadis di hadapannya.
"Tak kusangka kepandaian adik
Jaka Sembung hanya seperti itu.
Rasanya aku jadi malu jika harus
bertarung denganmu. Kalau saja aku
belum sempat bersumpah untuk membunuh-
mu, aku tidak akan mau bertarung
denganmu. Tapi walaupun demikian,
biarlah aku melanggar sumpahku.
Sebaiknya kau menyerah saja dan mau
menjadi istriku. Sayang kalau nona
secantik kau mati dengan sia-sia di
tanganku."
"Bangsat! Kau jangan sombong,
monyet!" Ranti segera menerjang dengan
dahsyat. Sekarang ia telah menge-
luarkan ilmu silatnya yang paling
tinggi. Pedang diputar cepat sekali
sehingga seolah-olah berubah jadi
banyak sekali, menyerang Si Cakar
Rajawali dari segala penjuru.
Melihat kecepatan gerak Ranti,
agak terkejut juga Si Cakar Rajawali
dan diam-diam harus mengakui bahwa
dalam hal kecepatan gerak, Ranti cukup
bisa mengimbanginya. Si Cakar Rajawali
pun segera mengeluarkan jurus-jurus
mautnya. Setiap pedang lawan menyambar
ke arah tubuhnya, ia langsung
memapakinya dengan tangan bajanya.
Ranti yang sudah mengetahui
kehebatan tangan itu terpaksa harus
menarik serangannya, untuk kemudian
menyerang dari arah lain. Akibatnya
gadis itu menjadi kerepotan sendiri.
Apalagi karena jurus-jurus yang
dikeluarkan Si Cakar Rajawali selalu
penuh dengan perkembangan yang tak
terduga. Begitu Ranti menarik pedang-
nya, Si Cakar Rajawali segera balas
menyerang dengan gerakan cepat
bagaikan kilat.
Pertarungan yang tak disaksikan
siapa-siapa itu berlangsung sampai
berpuluh-puluh jurus. Namun makin
lama, perlawanan Ranti makin lemah. Ia
sekarang tak punya kesempatan lagi
melakukan serangan balasan, sebab
untuk bertahan pun ia harus berjuang
mati-matian.
"Kau akan mampus di tanganku,
nona!" teriak Si Cakar Rajawali.
Serangan-serangannya makin gencar,
mengurung lawan dari segala penjuru.
Tangan kirinya menyambar ke arah ke
dua mata gadis itu dengan kecepatan
yang sukar diikuti pandangan mata. Tak
terkatakan betapa terkejutnya Ranti
mendapat serangan seperti itu, karena
kalau mengenai sasaran, kedua biji
matanya pasti akan hancur.
Secepat yang bisa ia lakukan,
Ranti mundur dengan posisi menyamping.
Serangan tangan kiri lawan bisa ia
elakkan, namun pada saat itu cakar
maut lawan menyambar dari arah kanan.
Ranti makin terkejut, lalu membanting
tubuhnya ke atas tanah. Tetapi
terlambat sudah, cakar maut lawan
telah menyambar tubuhnya.
"Bret!" terdengar suara kain
robek di bagian punggung Ranti,
sehingga kulit tubuhnya yang putih
mulus kelihatan. Hal itu rupanya
membuat Si Cakar Rajawali menjadi
berubah sikap. Murid Bergola Ijo itu
tadinya ingin menghabisi nyawa Ranti
secepatnya, tetapi sekarang ia
mengurungkan niatnya, dan ingin mem-
permainkan gadis itu sepuas hati
sebelum membunuhnya.
"Ha-ha-ha, nona manis. Kulit
tubuhmu sangat halus. Hatiku jadi
berdebar-debar melihatnya," ejek Si
Cakar Rajawali sambil tertawa
kegirangan.
Cakar maut tangan kanannya
kembali menyambar baju di bagian bahu
Ranti hingga sobek hampir sebatas
dada.
"Bangsat! Kubunuh kau!" bentak
Ranti, geram bercampur cemas. Ia
kembali menyerang dengan ganas, tetapi
karena tenaganya sudah sangat
terkuras, dengan mudah lawan dapat
menghindar.
"Aku senang melihat wanita
telanjang menari-nari, nona manis.
Ayo, teruskan seranganmu! Nah,
sekarang giliran dadamu yang montok
itu, nona...."
Benar saja, dengan gerakan cepat
dan penuh tipu daya, Si Cakar Rajawali
kembali merobek baju di bagian dada
Ranti.
Putri Gagak Ciremai itu
menjerit. Dadanya hampir telanjang
sekarang. Sebagai seorang gadis,
apalagi yang masih sangat muda belia,
ia merasa sangat malu dan merasa
sangat terhina. Ingin rasanya ia
menangis saking kesal dan marahnya.
"Bangsat! Kalau kau bukan
pengecut, bunuhlah aku sekarang juga!"
teriak Ranti putus asa.
"Kau pikir aku setolol itu, nona
manis? Lelaki mana yang tak tergiur
melihat mulus dan montoknya tubuhmu,
nona?"
"Diam kau, bangsat!"
"Kau boleh memaki aku sepuas
hatimu, nona. Kau berhak memaki-maki
aku, sama seperti halnya saat ini aku
pun berhak menikmati tubuhmu itu." Si
Cakar Rajawali menghentikan serangan-
nya. Ia mundur beberapa langkah.
Setelah itu, ia menatap tubuh Ranti
dari bawah sampai ke atas dengan mata
mendelik.
Kedua mata Ranti memerah menahan
air mata. Perasaannya tak menentu
lagi. Tangan kanannya memegang sen-
jata, sedangkan tangan kirinya
didekapkan untuk menutupi dadanya yang
tak ditutupi pakaian lagi. Pada saat
seperti itu, Ranti merasa lebih baik
mati. Ia tak tahan lagi menanggung
malu, dibuat hampir telanjang bulat di
hadapan lawan.
"Mana abangmu si Jaka Sembung
itu? Seandainya ia ada di sini, dia
tentu akan senang melihatmu menari-
nari sambil telanjang."
Si Cakar Rajawali kembali me-
nyerang Ranti. Karena tak bisa lagi
menguasai perasaannya, Ranti tidak
berpikir lagi untuk menyerang. Makin
lama pakaiannya makin habis tersobek-
sobek oleh cakar maut lawannya. Dan
akhirnya, dara itu benar-benar
telanjang bulat.
Sambil menjerit, Rand berlari
menyembunyikan diri ke balik batang
pohon kelapa yang banyak tumbuh di
sekitar pantai. Ia menangis sedih dan
geram. Ia ingin dibunuh secepatnya dan
jika ia masih dibiarkan hidup, suatu
saat nanti ia bersumpah akan membunuh
Si Cakar Rajawali.
Ranti tak dapat membayangkan
betapa besarnya aib yang akan menimpa
dirinya jika Si Cakar Rajawali
memperkosanya. Ia sedih dan putus asa,
juga geram, dan entah apa lagi
sehingga perasaannya tidak berbentuk
lagi.
"Bunuhlah aku! Oh, jangan siksa
aku seperti ini. Bunuhlah, bajingan!"
teriak Ranti, dengan air mata menetes
membasahi wajahnya.
Si Cakar Rajawali tertawa ter-
gelak-gelak, sambil melangkah ke arah
pohon kelapa tempat Ranti menyem-
bunyikan tubuh bugilnya. Lelaki itu
tampak merasa semakin puas melihat
Ranti menangis ketakutan dan merintih-
rintih meminta dirinya agar segera
dibunuh.
"Sabarlah sedikit, nona manis!
Sebentar lagi permintaanmu itu akan
kupenuhi. Sayang sekali gadis cantik
dan molek seperti kau harus tinggal
jadi tumpukan daging yang tak laku
dijual. Tetapi perlu kau ketahui bahwa
ini merupakan langkah awal bagiku
untuk membalaskan kesombongan pendekar
dari Gunung Sembung."
"Jangan banyak omong kau!
Bunuhlah aku! Bedebah kau!" teriak
Ranti lagi.
"Baiklah, agaknya kau memang
tidak sabar lagi untuk segera
meninggalkan dunia ini." Si Cakar
Rajawali segera mempersiapkan jurus
mautnya. Ia membungkukkan badan dengan
posisi kaki kanan di depan. Tangan
kirinya dilipatkan di dada, sedangkan
tangan kanannya yang merupakan cakar
maut itu diangkat tinggi-tinggi. Ia
telah siap merobek-robek tubuh Ranti
dengan cakar mautnya.
"Tunggulah abangmu si Jaka
Sembung di pintu akherat..." kata Si
Cakar Rajawali dengan suara bergetar
akibat nafsu membunuh yang tak
terkendalikan lagi.
Tetapi di saat yang sangat
genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat. Begitu cepatnya bayangan
itu sehingga Si Cakar Rajawali tidak
sempat menghindar ketika dadanya
dipukul.
Tak ayal lagi, tubuhnya
terlempar ke belakang beberapa meter.
Ketika ia bangkit kembali,
tampaklah seorang pemuda berdiri di
tempat itu, yang tak lain tak bukan
adalah Si Gila Dari Muara Bondet.
SEMBILAN
Setelah berhasil menyelamatkan
Ranti dari pusaran arus air di muara
Cimanuk, dan Ranti pergi setelah
menuduhnya telah berbuat kurang ajar,
perasaan Karta menjadi hancur luluh.
Ia tidak menyangka gadis cantik jelita
yang suaranya mirip dengan mendiang
kekasihnya sampai hati menuduhnya
seburuk itu, padahal ia telah
mempertaruhkan nyawa menyelamatkan
gadis itu,
Karta sangat kecewa. Ia memang
dapat memahami perasaan Ranti yang
tampaknya sedang mengalami pukulan
batin yang sangat berat. Jadi kalau
sikapnya kurang simpatik, bolehlah
dianggap wajar. Tetapi saat itu, Karta
segera memutuskan untuk tidak mau lagi
mendekati Ranti. Hati gadis itu
terlalu keras. Karta takut jika
pertemuannya dengan Ranti akan
menambah penderitaannya selama ini.
Maka pendekar itu pun segera
melangkah meninggalkan tebing di
pinggir muara kali Cimanuk. Langkahnya
terasa goyah. Berkali-kali ia memaki
dirinya sendiri karena tidak bisa
melupakan Ranti. Karta mengingat saat
Ranti menuduhnya telah berbuat kurang
ajar, atau telah merusak kesucian
gadis itu sewaktu tergeletak dalam
keadaan tak sadarkan diri. Bahkan
kata-kata itu sangat jelas terngiang-
ngiang di telinga Karta. Entah apa
alasan Ranti hingga sampai hati
menuduhnya seperti itu.
Karta terus melangkah, tanpa
tujuan pasti. Ia hanya mengikuti
langkah kakinya, dan tidak menyadari
bahwa ia sedang melangkah menyusuri
pantai laut Jawa. Angin kencang
mengiringi langkah kakinya yang tak
pasti. Rambut dan ikat kepalanya
melambai-lambai, sepertinya sedang
mengucapkan selamat tinggal dunia
cinta. Oh, cinta! Engkau yang
memberiku kebahagiaan dahulu kala,
namun kemudian engkau juga yang
memberikan kegersangan hidup bagiku,
keluh hati pemuda itu.
Ketika sedang melangkah dengan
pikiran yang hanyut di dalam
kesedihan, tiba-tiba telinga Si Gila
Dari Muara Bondet mendengar suara
orang sedang bertempur. Ia segera
berlari ke arah suara itu dan semakin
terkejutlah ia ketika menyadari bahwa
suara itu suara seorang perempuan yang
tampaknya sedang bertarung dengan
seorang lelaki.
Setelah berada tak jauh dari
arena pertarungan itu, alangkah
terkejutnya Karta menyaksikan yang
sedang bertarung itu adalah Ranti
sendiri. Celakanya lagi, saat itu
Ranti dalam keadaan bugil dan
menyembunyikan dirinya di balik pohon
kelapa. Sementara seorang laki-laki
tak dikenal sudah bersiap-siap
menyerangnya dengan dahsyat.
Maka tanpa pikir panjang lagi,
Karta segera menerjang Si Cakar
Rajawali. Tubuhnya melesat dan
berkelebat bagaikan anak panah. Karena
saat itu Si Cakar Rajawali kurang
waspada, ia tak menyadari bahwa
seseorang sedang menerjangnya. Ia pun
terpental terkena hantaman lawan.
"Bangsat! Kau berani menyerang
aku, ya? Siapa kau, hah?" bentak Si
Cakar Rajawali sambil melompat
berdiri. Wajahnya merah padam bagaikan
terbakar api, dan sepasang matanya
mencorong tajam seolah-olah hendak
menelan Karta hidup-hidup.
"Kau keterlaluan, sobat! Sikapmu
ini tidak akan bisa dibenarkan siapa
pun juga," kata Karta dengan tenang.
Pendekar Muara Bondet itu sebenarnya
sangat marah melihat Ranti diper-
lakukan seperti itu. Namun sebagai
pendekar yang telah bertahun-tahun
melanglang buana dalam dunia per-
silatan, ia merasa lebih baik bersikap
tenang. Lain persoalannya kalau
misalnya Si Cakar Rajawali tetap
ngotot bersikap keras. Bagaimana pun
bagi pendekar seperti Karta, mencari
musuh itu adalah pantangan. Tetapi
jika bertemu musuh, artinya ditantang,
ia pantang mundur.
"Bedebah kau! Berani kau
mencampuri urusanku! Rupanya belum
tahu siapa aku. Akulah si Cakar
Rajawali, jagoan tanpa tanding di
pantai Cirebon ini. Siapa pun yang
berani menantang aku, berarti ia sudah
bosan hidup! Atas kelancanganmu ini,
maka aku tidak akan memberikan ampun
lagi bagimu!"
"Sahabat yang baik hati, sungguh
merupakan kehormatan bagiku dapat
bertemu dengan pendekar gagah perkasa
seperti Si Cakar Rajawali. Saya yakin
kau adalah seorang pendekar kesatria,
yang tidak akan mau berbuat kejam pada
orang lain tanpa ada alasannya. Jika
boleh aku tahu. Kesalahan apakah
gerangan yang dilakukan sahabatku itu
hingga kau memperlakukannya seperti
itu?"
"Oh, jadi kau adalah temannya?
Bagus kalau begitu. Berarti kau pun
termasuk orang yang harus kulenyapkan
dari permukaan bumi ini. Ketahuilah,
perempuan jalang itu telah mengha-
biskan ikan rebusku. Tetapi bukan itu
yang membuatku harus mencabut
nyawanya, melainkan karena dia adalah
adik si Jaka Sembung. Aku telah
bersumpah akan melenyapkan Jaka
Sembung dan semua keluarganya dari
muka bumi ini! Kau pun termasuk salah
seorang di antaranya."
Diam-diam Karta terkejut juga
mendengar kata-kata Si Cakar Rajawali.
Rupanya lelaki itu pun menaruh dendam
kesumat kepada Jaka Sembung. Tetapi
apakah memang betul Ranti adalah adik
pendekar dari Gunung Sembung itu?
Sejak tadi, Karta telah
memperhatikan tangan kanan Si Cakar
Rajawali, yang hitam legam dan keras
bagaikan baja. Agaknya kehebatan
tangannya itulah yang membuatnya
dijuluki Si Cakar Rajawali. Karta
mereka-reka dalam hati sambil bersiap-
siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebab melihat sikap dan perkataan Si
Cakar Rajawali, dapatlah dipastikan
bahwa lelaki itu pastilah tidak akan
mau mengurungkan niatnya apa lagi
untuk berdamai.
"Maafkan saya, pendekar Cakar
Rajawali. Agaknya kau punya persoalan
pribadi yang sangat serius dengan
pendekar Jaka Sembung. Tetapi kalau
yang berbuat salah hanyalah Jaka
Sembung, kenapakah yang lain harus
ikut jadi korban? Saya rasa itu bukan
lah sikap yang bijaksana."
"Jangan banyak bacot kau,
bedebah! Sekarang sebutkan namamu,
agar kau tidak mati penasaran di
tanganku. Selain itu, aku pun enggan
membunuh orang yang belum kuketahui
namanya."
"Baiklah sobat. Namaku adalah
Karta. Tetapi orang sering menyebut
diriku sebagai Si Gila Dari Muara
Bondet."
"Oh, pantas saja kata-katamu
seperti orang gila. Rupanya pikiranmu
tidak waras lagi. Baiklah, sekarang
bersiap-siaplah untuk mampus di
tanganku!"
"Pendekar Cakar Rajawali, aku
sebenarnya tak ingin bertarung
denganmu, karena selama ini di antara
kita tidak ada persoalan apa-apa.
Tetapi karena tampaknya kau tetap
memaksaku, aku akan menerima
tantanganmu. Kita sama-sama laki-laki.
Kau boleh menyerang aku sekarang, aku
sudah siap!"
"Mampus kau, bangsat!" Si Cakar
Rajawali tiba-tiba meloncat tinggi ke
arah Karta. Serangannya persis seperti
ketika ia tadi menyerang Ranti. Tangan
kirinya dilipat di dada sedang tangan
kanannya di angkat tinggi, siap
melancarkan serangan maut.
Melihat serangan lawan, Karta
menjadi terkejut karena serangan itu
sangat berbahaya. Lengah sedikit saja
nyawa bisa melayang. Karta pun segera
menghunus goloknya, lalu memapaki
tubuh lawan dengan sabetan senjata
dengan gerakan kilat.
Si Cakar Rajawali tidak menge-
lak. Ia mengulurkan tangan kanannya
menangkis sabetan senjata lawan.
Akibatnya, Karta menjadi terkejut
sekali, karena goloknya tidak mempan
melukai tangan lawan. Bahkan senjata
di tangannya terasa ditolak tenaga
dalam luar biasa, hingga nyaris
terpental dari genggaman tangannya.
Karta terpaksa meloncat jauh ke
belakang untuk mempersiapkan serangan
baru. Kali ini, ia sendiri yang mulai
menyerang. Ia meloncat tinggi ke
udara, dan sewaktu tubuhnya meluncur
turun, goloknya diayun-ayunkan
menyerang lawan dari segala penjuru.
Pertarungan sengit pun terjadi.
Kedua pendekar yang sama-sama memiliki
ilmu silat tinggi itu saling
mengeluarkan segenap kemampuan untuk
merubuhkan lawan.
Ranti menyaksikan pertarungan
itu dari balik batang pohon kelapa.
Diam-diam ia merasa kagum juga
menyaksikan bahwa Karta memiliki ilmu
pedang yang sangat tinggi. Tetapi si
Cakar Rajawali pun tidak kalah
hebatnya. Tangan kanannya yang luar
biasa itu berulangkali merepotkan
Karta. Setiap kali diserang, ia selalu
menangkis dengan tangan kanannya itu.
Ranti menjadi cemas, karena kalau
Karta sampai kalah, maka tiada harapan
lagi baginya untuk bisa lolos dari
maut.
Agaknya Karta pun menyadarinya.
Pendekar itu mengeluarkan segenap
kemampuannya untuk bertahan menghadapi
gempuran lawan, karena ia sadar saat
ini ia bukan hanya mempertahankan
nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa
Ranti. Sadar atau tidak sadar, ia
sudah bertekad untuk melindungi Ranti
sekalipun terpaksa harus mengorbankan
nyawa.
SEPULUH
Makin lama, pertarungan itu
makin menegangkan. Memasuki jurus yang
ke enam puluh, terlihatlah bahwa ilmu
silat Karta masih berada di bawah
kehebatan Si Cakar Rajawali. Perla-
wanan pendekar dari muara Bondet itu
makin lama makin lemah, bahkan
akhirnya hanya bisa bertahan.
"Kau akan mampus di tanganku,
Gila!" teriak Si Cakar Rajawali dengan
suara mengejek.
"Kaulah yang akan mampus,
bangsat!"
Sambil tertawa mengejek, Si
Cakar Rajawali menerjang Karta dengan
jurus mautnya. Diawali tendangan kaki
kanan mengarah ke pusar, tangan
kirinya kemudian menyambar ke arah ulu
hati lawan dengan kecepatan luar
biasa.
Karta sangat terkejut menyadari
betapa berbahayanya serangan lawan.
Buru-buru ia menggeser kakinya ke
sebelah kanan, sehingga serangan kaki
dan tangan kiri lawan dapat ia
hindarkan. Tetapi tanpa di duga-duga,
tangan kiri Si Cakar Rajawali tetap
mengikutinya, meluncur ke arah samping
dengan posisi menukik bagaikan burung
camar menyambar ikan di laut.
Tiada jalan lain bagi Karta
selain membantingkan tubuhnya ke
sebelah kanan. Sambaran tangan kiri
lawan pun lolos, namun pada saat yang
hampir bersamaan, tangan kanan Cakar
Rajawali menyambar dahsyat ke arah
leher Karta.
"Buk....!" Sambaran cakar maut
itu mendarat telak. Akibatnya, tubuh
Karta terpental beberapa meter. Bagian
lehernya mengeluarkan darah kental
kehitam-hitaman. Dan ketika tubuh
pendekar itu terbanting ke tanah,
darah segar yang juga berwarna
kehitam-hitaman tersembur dari mulut
serta hidungnya.
Ranti yang menyaksikan keadaan
itu menjadi terkejut. Gadis itu ingin
meloncat dari balik pohon kelapa untuk
menolong Karta tetapi ia mengurungkan
niatnya karena menyadari dirinya dalam
keadaan bugil.
"Mampus kau, bangsat!" bentak Si
Cakar Rajawali sambil menerjang Karta
dari arah belakang.
Dengan sisa-sisa tenaganya,
Karta yang baru saja bangkit berdiri
segera menunduk kemudian menangkap
tangan lawan yang saat itu mengincar
lehernya. Hanya karena kebetulan saja
Karta berhasil menangkap tangan lawan
karena mungkin Cakar Rajawali mengira
nya tak berdaya lagi.
Ketika Cakar Rajawali masih
berada di atas punggungnya, ia
membantingkan tubuh pendekar sakti itu
ke laut. Sebelum Si Cakar Rajawali
muncul di permukaan air laut, Karta
sudah menerkamnya. Terjadilah
pertarungan sengit di dalam laut,
saling banting-membanting, saling
menerkam dan saling berusaha
membenamkan lawan.
Makin lama tubuh kedua pendekar
yang sedang mengadu nyawa itu makin
jauh ke tengah laut. Keduanya hanya
kadang-kadang saja muncul ke per-
mukaan, tetapi hanya beberapa saat
kemudian sudah terbenam kembali
bersama ombak yang datang bergulung-
gulung.
Pada pertarungan di dalam laut
itu, cakar maut Si Cakar Rajawali
ingin mencekik Karta hingga tewas.
Namun berkat kegigihan Karta, ia
berhasil melepaskan diri walaupun
lehernya menjadi terluka.
Setelah itu, sambil mengerahkan
segenap sisa kekuatannya, Karta muncul
ke permukaan air untuk menarik nafas.
Sementara tangan dan kakinya tetap
menjepit lawan hingga tetap terbenam
di dalam air.
Di sinilah terlihat bahwa ilmu
berkelahi dalam air Karta lebih unggul
di banding Si Cakar Rajawali. Sejak
lama Karta sudah terbiasa bermain-main
dengan derasnya air kali Bondet.
Sedikit banyaknya kebiasaan itu telah
memberinya kepandaian yang sangat
membantunya sekarang, dalam menghadapi
lawan. Sedangkan Si Cakar Rajawali
sendiri, sekalipun selama ini berlatih
di pinggir pantai, ia agak jarang
bermain-main dengan derasnya ombak
lautan.
Makin lama, perlawanannya pun
makin lemah, sebab nafasnya mulai
hampir putus. Bahkan perutnya terasa
mulai kembung karena air laut makin
banyak masuk perutnya, tanpa bisa
dicegah.
Barangkali ini memang hanya
suatu keberuntungan belaka bagi Karta.
Ia sendiri harus mengaku bahwa sewaktu
bertarung di darat tadi, ia hampir tak
bisa memberikan perlawanan berarti
lagi bahkan jika pertarungan itu masih
berlanjut, tipis harapan baginya untuk
memenangkannya.
Makin lama, perlawanan Si Cakar
Rajawali makin lemah. Tubuhnya
menggeliat-geliat beberapa saat.
Setelah itu, jagoan cakar maut itu
diam. Sekujur tubuhnya telah lemas dan
tidak mempunyai kekuatan lagi untuk
menyelamatkan diri. Setelah tubuhnya
berkelojotan, nyawanya pun melayang.
Karta pun sebenarnya hampir
tidak mempunyai tenaga lagi. Ia nyaris
turut tenggelam dalam keadaan lemas.
Namun tatkala teringat bahwa di darat
masih ada Ranti, ia memaksakan diri
untuk berenang.
Sewaktu berada di pinggir
pantai, ia hampir tak sadarkan diri
lagi. Tubuhnya limbung dan nyaris
terjatuh ke laut. Tetapi ia tetap
memaksakan diri, tidak mau menyerah
pada nasib.
Akhirnya dengan langkah
sempoyongan, ia berhasil sampai di
pantai. Ia menatap Ranti dengan mata
mengabur.
"Karta," kata Ranti dengan suara
bergetar. Seandainya tidak dalam
keadaan telanjang, ia pasti sudah
berlari menyongsong pemuda itu,
kemudian memeluknya erat-erat.
Karta melangkah lebih dekat ke
arah gadis itu. Lalu ia membuka kain
sarungnya. Diulurkannya kain sarung
itu dan sambil memalingkan muka, Karta
berkata: "Maafkan aku, dik Ranti. Jika
kau sudi, pakailah kain sarung ini."
Setelah kain sarung itu
berpindah tangan, Karta melangkah agak
menjauh dari pohon kelapa itu.
Tubuhnya masih limbung, dan hanya
karena ketabahannya saja ia masih bisa
berdiri.
Ranti segera melilitkan kain
sarung itu ke tubuhnya sebatas dada.
Ia merasa seperti lepas dari neraka.
Baru sekarang ia sadari bahwa kalau
sedang telanjang bukan main
tersiksanya perasaan.
"Karta..." kata gadis itu sambil
melangkah malu-malu ke arah Karta yang
saat itu sedang membelakanginya.
Karta membalikkan badan. Maka
tampaklah oleh Ranti bahwa dada dan
leher pendekar itu masih mengeluarkan
darah akibat luka cakar dari lawannya
tadi.
"Ah, kau kembali telah menye-
lamatkan nyawaku," ujar Ranti dengan
perasaan tak menentu. Wajahnya masih
bersemu merah, karena teringat bahwa
tadi Karta pun telah mengetahui bahwa
dirinya dalam keadaan telanjang.
"Tidak apa-apa. Dan syukurlah
kalau kau tidak kurang suatu apapun,"
ujar Karta dengan suara hampir tak
terdengar.
"Tapi tampaknya kau sedang
mengalami luka yang cukup parah," kata
Ranti cemas.
"Ah, hanya luka kecil saja.
Nanti juga akan sembuh sendiri. Aku
tidak apa-apa."
"Pendekar budiman, berilah aku
kesempatan untuk membalas budi baikmu.
Tapi... aku... ah, maafkanlah
kesalahanku karena aku telah terlanjur
menuduhmu yang bukan-bukan. Sebenarnya
aku tidak bermaksud...."
"Sudahlah, dik Ranti. Lupakan
saja," sela Karta pelan.
"Tapi aku..."
"Maafkan aku, dik. Aku harus
pergi. Selamat tinggal...." Setelah
berkata begitu, Karta melangkah
meninggalkan Ranti. Namun baru bebe-
rapa langkah, tubuhnya limbung dan
ambruk ke tanah dalam keadaan
tertelungkup.
Ranti segera menubruk tubuh
pemuda itu. Alangkah cemasnya hati
gadis itu manakala menyadari bahwa
Karta sedang dalam keadaan tak
sadarkan diri.
Rupanya di samping sangat kele-
lahan, Si Gila Dari Muara Bondet itu
juga menderita keracunan yang sangat
berbahaya. Tubuhnya membiru, terutama
di bagian dada dan lehernya yang
terkena cakaran Si Cakar Rajawali.
"Oh, maafkanlah semua kesa-
lahanku..." bisik Ranti sambil
membopong tubuh Karta ke bawah pohon
rindang tak jauh dari pantai. Ia
membaringkan tubuh pemuda itu dengan
posisi kepala tersandar pada batang
pohon kelapa.
Melihat keadaan tubuh Karta,
tahulah Ranti bahwa pemuda itu sedang
keracunan yang sangat berbahaya.
Sewaktu kecil ia sudah sering
mempelajari berbagai jenis racun dari
ayah angkatnya Gembong Wungu. Sebagai
tokoh sesat, si raja rampok itu pun
mengetahui banyak sekali tentang
racun.
Ranti pun mempelajari sedikit
cara-cara pengobatan terhadap orang
yang keracunan. Rupanya cakar maut itu
mengandung racun, pikir Ranti sambil
berharap agar ia dapat mengobati luka
yang diderita Karta,
Tanpa merasa sungkan-sungkan
lagi, Ranti segera menempelkan bibir-
nya kepada luka cakar di bagian leher
Karta. Lalu ia menyedotnya, sehingga
darah semakin banyak mengucur masuk ke
mulut gadis itu.
"Aku akan menyembuhkanmu, pende-
kar budiman!" bisik Ranti sambil
menyemburkan darah yang telah
disedotnya itu ke tanah. Setelah itu
ia kembali menyedot darah dari luka-
luka yang diderita Si Gila sampai
menurut perkiraannya racun itu tidak
terlalu berbahaya lagi.
Ranti lalu berlari-lari kecil ke
pinggir hutan untuk mencari daun-
daunan yang bisa diramu jadi obat,
baik berupa obat yang dioleskan maupun
yang diminumkan. Ramuan obat dari
daun-daunan itu dioleskan ke semua
luka-luka di tubuh Karta. Sehabis itu,
ia membalut luka Karta dengan kain
baju pemuda itu sendiri.
Selama merawat luka pemuda itu,
sadarlah Ranti bahwa Karta sebenarnya
adalah pendekar yang sangat baik hati.
Karta telah dua kali menyelamatkan
nyawanya. Ingat akan kekasaran dan
kata-katanya yang keterlaluan, maka
penyesalan pun makin menjadi-jadi di
dalam hati Ranti.
Saat itu juga, makin sadar juga
Ranti bahwa ia mulai merasakan bahwa
ia sangat membutuhkan Karta. Diam-diam
hatinya tak ingin lagi berpisah dengan
pemuda itu. Tetapi hal itu sekaligus
membuatnya cemas. Karena bagaimana
kalau misalnya tidak mau memaafkan
lagi? Tadi pendekar itu tampaknya
benar-benar telah bertekad bulat untuk
meninggalkan Ranti, kalau saja
tubuhnya tidak limbung kemudian tak
sadarkan diri akibat pengaruh racun di
tubuhnya.
Biarlah nanti, setelah ia
siuman, aku akan minta maaf padanya.
Mudah-mudahan saja hatinya masih
terbuka menerima perkataan maaf
dariku, kata hati gadis itu penuh
harap.
Tiba-tiba terdengar suara
jeritan panjang seorang lelaki tak
jauh dari tempat itu. Ranti menjadi
terkejut dan buru-buru bangkit dari
duduknya, berpaling ke arah asal suara
itu. Tetapi pandangan matanya masih
terhalang oleh batang pohon kelapa
yang banyak tumbuh di pantai.
Siapakah gerangan lelaki yang
menjerit itu tadi? Agaknya ia berada
di pinggir pantai, pikir Ranti hati-
hati. Siapa tahu di sekitar tempat itu
masih ada orang lain yang bermaksud
jelek terhadap dirinya atau Karta.
Ranti bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan dan sudah siap mengor-
bankan nyawanya sekalipun jika
seandainya ada yang bermaksud
mencelakakan Karta.
Perlahan-lahan Ranti melangkah
ke arah asal suara itu tadi. Matanya
menatap liar ke sekelilingnya. Kemu-
dian ia menyaksikan seorang lelaki tua
menggelepar-gelepar di atas pasir
pantai. Seekor ular belang sebesar
jari kelingking menempel di lengan
kanannya.
Agaknya lelaki tua itu dipatuk
ular berbisa hingga membuatnya mende-
rita keracunan yang sangat berbahaya.
Ranti melangkah lebih dekat untuk
meneliti wajah lelaki itu sekaligus
untuk memastikan apakah ia mengenalnya
atau tidak.
Ranti tidak mengenal laki-laki
tua bertubuh kurus kerempeng itu.
Melihat keadaannya yang sangat tidak
terawat, Ranti menduga lelaki itu
adalah gelandangan yang sedang
menderita penyakit yang entah bagai-
mana bisa sampai ke pantai. Di dekat
lelaki itu ada bekas-bekas sisa udang
hidup. Agaknya lelaki itu sendirilah
yang nekad memakannya karena sangat
kelaparan.
"Oh, kasihan," kata Ranti ber-
gumam. Tubuh lelaki itu mulai membiru
kehitam-hitaman. Matanya terbalik
sehingga yang kelihatan hanya bagian
mata yang putih saja, sedangkan
mulutnya mengeluarkan busa. Diam-diam
Ranti bergidik ngeri menyaksikan
betapa berbahayanya racun ular yang
menjalar di tubuh lelaki itu. Hanya
beberapa saat kemudian, tubuh laki-
laki itu tidak bergerak-gerak lagi.
Denyut nadinya pun diam, beku dan
mati. Setelah mengerang perlahan,
lelaki itu menghembuskan nafas
terakhir.
"Sungguh malang nasibmu," bisik
Ranti prihatin melihat nasib tragis
lelaki itu
Ranti sama sekali tidak tahu
bahwa lelaki yang baru saja menemui
ajalnya itu adalah ayah Barna yang
merupakan ayah Si Cakar Rajawali.
Seandainya Ranti tahu, entah bagaimana
sikapnya. Entah ia akan memaki-maki
sambil tersenyum puas atau tetap
merasa prihatin.
Tadi ketika orang tua itu sedang
merangkak-rangkak mencari udang di
pasir pantai, tiba-tiba seekor ular
belang mematuk tangannya. Bisa ular
yang sangat berbahaya itu segera
menjalar ke sekujur tubuhnya, masuk ke
dalam jantungnya.
Ular belang-belang itu sebenar-
nya tidak terlalu banyak berkeliaran
di sekitar pantai laut Jawa. Tetapi
penduduk terutama para nelayan,
mengetahui bahwa ular itu sangat
berbahaya. Jika sudah digigit,
korbannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama akan meninggal. Itulah
sebabnya ular tersebut sangat ditakuti
orang, karena dianggap merupakan
binatang yang paling berbahaya di
sekitar pantai.
Maka berakhirlah sudah riwayat
salah seorang kaki tangan dari tokoh
sesat Bergola Ijo, menyusul anaknya Si
Cakar Rajawali yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Takkan terdengar lagi
sepak terjang mereka yang sangat kejam
dan menggegerkan dunia persilatan di
tanah Cirebon.
SEBELAS
Si Cakar Rajawali selama ber-
tahun-tahun memperdalam ilmu terutama
kehebatan cakar maut tangan kanannya.
Semua itu ia lakukan demi melampiaskan
dendam kesumatnya terhadap lawan-
lawannya. Namun sebelum dendamnya
terbalaskan, Si Cakar Rajawali telah
meninggal. Bahkan setelah memperdalam
ilmu silatnya, ia tidak sempat bertemu
dengan musuh besarnya, Jaka Sembung.
Si Cakar Rajawali hanya sempat
bertemu dengan Ranti, kemudian Si Gila
Dari Muara Bondet. Dan dari perta-
rungan itu terbuktilah bahwa jerih
payah Si Cakar Rajawali selama
bertahun-tahun ini tidak sia-sia.
Jangankan Ranti, Karta sendiri pun
nyaris kehilangan nyawanya di tangan
Si Cakar Rajawali. Mungkin ini sudah
takdir, atau merupakan kehendak Tuhan
sendiri untuk menunjukkan bahwa ilmu
yang dikuasai bukan satu-satunya
faktor penentu kemenangan. Tetapi juga
kejujuran dan kebaikan hati!
Ranti telah kembali duduk di
sisi Karta. Gadis itu tak henti-
hentinya menatap wajah Karta yang
pucat. Tampaknya pendekar itu masih
sangat lemah. Namun melihat perna-
fasannya sudah mulai teratur, legalah
perasaan Ranti bahwa kesehatan pemuda
itu dalam waktu yang tidak terlalu
lama lagi akan sembuh seperti sedia
kala.
"Cepatlah sembuh, pendekar
budiman!" bisik Ranti sambil membelai
rambut Karta dengan penuh kasih
sayang.
Agaknya bisikan dan sentuhan
yang lembut itu membuat Karta
terbangun. Ia membuka kedua kelopak
matanya dan mencoba menatap ke
sekelilingnya dengan pandangan mata
yang masih kabur.
"Oh, di manakah aku
sekarang...?" bisik Karta hampir tak
terdengar karena sangat pelan.
"Oh, kau sudah sadar kembali,
pendekar budiman? Syukurlah. Aku
sangat cemas melihatmu tadi," kata
Ranti gembira melihat lelaki itu telah
siuman.
"Kau... kau Ranti, bukan?"
"Ya, ,aku Ranti. Tapi tunggulah
sebentar. Jangan terlalu banyak
bergerak. Kau masih sakit. Aku akan
mengambil obat untukmu," kata Ranti.
Lalu dengan terburu-buru ia meramu
obat jamu yang berkhasiat untuk
memulihkan tenaga dan mematikan sisa-
sisa racun di tubuh Karta.
Dara jelita itu ternyata cukup
cekatan juga membuat jamu obat. Tadi
ia sudah mencuci mangkok milik Si
Cakar Rajawali yang terletak tak jauh
dari tempat itu. Jamu obat hasil
ramuannya di tampung dalam mangkok,
lalu disuguhkannya kepada Karta:
"Pendekar budiman, minumlah jamu ini,
agar kau cepat segar dan tenagamu
pulih kembali."
"Terima kasih," kata Karta lalu
meneguk jamu itu sampai habis masuk ke
dalam perutnya. Tenggorokan dan
dadanya terasa lebih hangat dan lega,
membuat Karta merasa sangat berterima
kasih kepada gadis di hadapannya.
Tetapi ketika ia teringat
kembali akan kata-kata Ranti yang
keterlaluan, menjadi patahlah sema-
ngatnya kembali. Ranti menuduhnya
telah berbuat kurang ajar, telah
menodai gadis itu sewaktu dia dalam
keadaan tak sadarkan diri.
"Dik Ranti, kenapa kau
menolongku? Bukankah..."
"Oh, tidak apa-apa," sela Ranti
cepat. "Kau sendiri telah beberapa
kali menolong bahkan menyelamatkan
nyawaku. Aku pun merasa wajib
menolongmu. Bukankah manusia harus
saling menolong? Manusia tidak bisa
hidup sendiri, harus mempunyai kawan."
Karta menghela nafas mendengar
kata-kata gadis itu. Manusia memang
harus berkawan, tidak bisa hidup
menyendiri, pikirnya. Tapi dalam
keadaan seperti itu, apakah masih
terbuka kemungkinan baginya untuk
berkawan dengan Ranti?
Karta terkenang lagi kepada
Nuraini, mendiang kekasihnya yang
lembut dan penuh kasih sayang.
Seandainya gadis itu masih hidup atau
sekarang berada di sisinya, Karta
tentu akan merasa terhibur. Ia bahkan
kemungkinan tidak akan merasakan sakit
sekarang.
"Mengapa kau diam saja?" tanya
Ranti.
"Tidak apa-apa."
"Kau tentunya masih marah karena
sikapku kemarin. Maafkanlah aku,
pendekar budiman. Aku telah menuduhmu
yang bukan-bukan, padahal kau tidak
berbuat apa-apa, bahkan telah
menyelamatkan nyawaku. Sungguh, aku
sangat menyesali keterlanjuranku."
"Jadi kau tidak menuduh aku lagi
seperti itu, dik Ranti?"
Ranti tidak segera menyahut.
Sebetulnya, walau pun mulutnya berkata
seperti itu pada waktu lalu, hatinya
tidaklah berkata demikian. Semua itu
hanyalah karena tekanan batin yang
masih membekas dalam hatinya akibat
kegagalan cintanya terhadap Parmin
serta lantaran ia merasa sangat
kesepian.
Sedangkan pada saat ia bertemu
dengan Karta dan setelah melihat
keperkasaan dan sifat kesatria lelaki
itu timbullah rasa simpatik dan kagum
dalam hatinya. Namun ia khawatir jika
kemudian ia jatuh cinta, tetapi Karta
tidak merasa demikian, dalam arti kata
akan menolak cintanya seperti halnya
Parmin. Mengalami kegagalan sekali
saja Ranti sudah merasa sangat
tersiksa, apalagi kalau sampai dua
kali.
Sesungguhnya itulah yang membuat
sikap Ranti tidak menentu terhadap
Karta.
"Dik Ranti, kenapa kau diam
saja?" tanya Karta membuat gadis manis
itu tersentak dari lamunannya.
"Aku tidak apa-apa. Tapi aku
masih sangat berdosa padamu. Aku malu
pada diriku sendiri, juga terhadap
dirimu. Tapi... sebenarnya tak ada
niat di hatiku untuk menyakitimu. Ah,
aku tak tahu harus berkata apa lagi
padamu. Biarlah semuanya kusimpan saja
di dalam hati."
Ranti menatap Karta dengan
tatapan sendu. Bola matanya tampak
berkaca-kaca bagaikan kristal-kristal
ditimpa sinar rembulan. Dari situ
terpancar sinar redup cinta berpadu
dengan keputus-asaan. Atau mungkin ada
perasaan lain, hanya gadis itulah yang
tahu.
Karta terkejut juga menyaksikan
perubahan sikap gadis itu. Ia merasa
dadanya berdebar tak karuan manakala
disadarinya bahwa dari sinar mata
Ranti terpancar sesuatu yang selalu ia
temukan dari sinar mata Nuraini.
Apalagi ketika mendengar suara gadis
itu mirip sekali dengan suara Nuraini,
maka makin tak karuanlah perasaan Si
Gila Dari Muara Bondet. Ia hampir saja
tak bisa menahan diri, dan hendak
memeluk gadis itu erat-erat seperti
ketika ia mendekap Nuraini pada waktu
silam.
"Dik Ranti, kenapa kau masih
juga diam?" tanya Karta sambil
berusaha agar suaranya tetap
kedengaran wajar.
"Entahlah, aku tak tahu. Tapi
semuanya terserah padamu saja. Aku
sudah menyatakan penyesalanku. Kalau
kau masih tetap tidak mau memaafkan
aku, biarlah. Mungkin aku akan
mengalami perpisahan yang menyakitkan
lagi..." Dan setelah itu, meneteslah
air mata Ranti, jatuh satu per satu
membasahi pipinya.
Jiwa Karta seakan-akan melayang-
layang mendengar ucapan dara jelita
itu. Ia merasa dirinya dibawa terbang
oleh malaikat-malaikat ke masa silam,
ke taman harum wangi penuh kembang
mekar berseri. Seolah-olah dalam
mimpi, pendekar gagah perkasa itu
menyeka air mata Ranti. Kemudian
dibelai-belainya rambut gadis itu
dengan segenap perasaannya.
"Jangan menangis, dik Ranti!"
bisiknya.
Ranti juga merasa seperti tak
sadar ketika menjatuhkan dirinya ke
dada Karta yang bidang. Dan tangisnya
pun semakin menjadi-jadi.
Setelah kedua insan itu sama-
sama bisa menguasai perasaan, maka
bertanyalah Karta tentang keheranannya
tadi mendengar kata-kata Si Cakar
Rajawali ketika mereka belum
bertarung.
"Dik Ranti, tadi Si Cakar
Rajawali mengatakan kau adalah adik
Jaka Sembung. Apakah memang benar
demikian?"
"Tidak. Antara aku dan dia
sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa.
Tapi aku sudah menganggapnya saudara
sendiri. Ketika Si Cakar Rajawali
mengatakan aku harus membayar ikannya
dengan imbalan tidur bersamanya, aku
sangat marah dan tanpa sadar
menyebutkan nama Jaka Sembung."
Karta manggut-manggut mendengar
penjelasan Ranti. Sebagai pendekar
gagah perkasa yang sering melanglang
buana, Jaka Sembung pun pasti dimusuhi
oleh banyak jagoan-jagoan dari dunia
hitam. Karena pendekar itu selalu
membela kaum lemah dari penindasan
para penjahat, mau pun kaum penjajah.
Dan itu memang merupakan
tantangan yang harus selalu dihadapi
para pendekar, termasuk Karta sendiri.
Namun sejak dulu, pemuda itu tidak
pernah gentar. Apalagi sekarang Ranti
telah berada di sisinya.
Esok harinya, ketika matahari
mulai bersinar cerah di ufuk timur,
Karta dan Ranti meninggalkan pantai
laut Jawa. Keduanya melangkah
beriringan ke arah barat daya. Ketika
mereka memasuki hutan, terdengar
burung-burung berkicau merdu seolah-
olah sedang mendendangkan tembang nan
syahdu. Semilir angin menyambut kedua
insan itu, sejuk dan lembut. Dan daun-
daun pun melambai-lambai, seakan-akan
mengucapkan selamat jalan kedua
pendekar; selamat menunaikan tugas
bagi nusa dan bangsa.
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar