..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE PERBURUAN BUSUR MAUT

Perburuan Busur Maut

 

PERBURUAN BUSUR MAUT

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Perburuan Busur Maut

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Matahari belum begitu lama terbangun dari 

peraduannya, dan kini tengah mengintip malu-malu 

persada raya dengan panoramanya yang begitu in-

dah.

Hutan Jati Selajar yang berada dalam wilayah 

Desa Getar Jala mendapat bagian curahan sinar 

lembut yang hanya kuasa mengintip dari celah de-

daunan. Sementara satu pal jauhnya dari mulut Hu-

tan Jati Selajar, lima lelaki bertampang kasar tengah 

mengayunkan kakinya tergesa-gesa.

"Percepat langkah kalian!" ucap lelaki tinggi 

besar berwajah pucat bagai mayat. Sepertinya lelaki 

berambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu adalah 

pimpinan empat lelaki lain yang berpakaian longgar 

warna hitam mengkilat, terbukti perkataannya sege-

ra saja mendapat tanggapan dari empat lelaki yang 

rata-rata bertubuh tinggi besar.

"Kurasa Hutan Jati Selajar tak berada jauh 

dari tempat ini," tukas lelaki berwajah pucat lagi.

"Kurasa juga begitu, Kak," timpal lelaki bera-

lis sebelah. Dia nampak mengayun langkahnya lebih 

cepat dari yang lainnya.

Kemudian, tanpa ada pembicaraan lagi kelima 

lelaki bertampang kasar melanjutkan perjalanannya 

menuju Hutan Jati Selajar.

Sementara itu, di dalam Hutan Jati Selajar, di 

mana terdapat tujuh batang pohon jati yang tumbuh 

seperti membuat lingkaran, menampakkan panora-

ma yang lain dari Hutan Jati Selajar. Agak aneh ke-

lihatannya, apalagi hanya tempat itu yang ditumbu


hi rumput halus. Memang, tempat itu sesungguh-

nyalah sebuah tempat rahasia. Merupakan sebuah 

ruang bawah tanah yang didiami oleh lebih dari seo-

rang penghuni.

"Kurasa sekaranglah waktu yang tepat un-

tukmu menemui Kakek Saroagung yang bergelar 

Kakek Tanpa Jari. Baru setelah itu, kalian berdua 

bersama Kakek Saroagung mencari Raja Petir untuk 

menyerahkan busur dan panah emas itu," ucap seo-

rang lelaki berusia lanjut, salah seorang penghuni 

ruang bawah tanah itu. Kelanjutan usianya ditandai 

dengan rambutnya yang sudah memutih semua dan 

juga jenggot panjang berwarna putih. Namun mata 

lelaki berpakaian serba putih itu masih memperli-

hatkan ketajamannya, setajam mata elang. Dan itu 

cukup memberi gambaran bahwa dia bukanlah lela-

ki sembarangan.

"Lima tahun lamanya kalian kugembleng ilmu 

bela diri, kurasa cukup bekalmu untuk menghadapi 

orang-orang yang usil di perjalanan," lanjut kakek 

berjenggot putih panjang yang sesungguhnya ber-

nama Suranggrati. "Dari mulut Kakek Tanpa Jari 

kalian akan tahu siapa diri kalian sesungguhnya."

"Apakah Kakek Sura tak sudi menceritakan 

sedikit saja perihal diri kami sesungguhnya, agar 

kami tak penasaran?" pinta pemuda tampan berusia 

tak lebih dari tiga belas tahun. Pakaiannya yang 

berwarna merah darah terlihat begitu nyerap dengan 

kulitnya yang berwarna putih bersih.

Pemuda lain yang seusia dan juga berpakaian 

warna merah hanya menyetujui ucapan saudaranya 

dengan bahasa isyarat, tatapan matanya yang tertu-

ju lurus ke wajah Kakek Suranggrati menandakan


kalau dirinya juga ingin mendengar jawaban dari 

mulut lelaki tua yang telah hampir tiga belas tahun 

merawat dan mendidiknya serta membekalinya ilmu 

bela diri.

Sementara sikap Kakek Suranggrati hanya 

tersenyum saja menanggapi keinginan dua pemuda 

tampan yang sudah dianggapnya seperti cucu bah-

kan anak sendiri.

"Setya Wangsakesuma," panggil Kakek Su-

ranggrati kemudian seiring lenyap senyumnya. "Ka-

lau aku tahu hal ikhwal diri kalian berdua, untuk 

apa kalian kusuruh menemui Kakek Tanpa Jari," 

lanjut Kakek Suranggrati. 

"Ah, maafkan kami, Kek?" ucap pemuda yang 

bernama Darma Wangsakesuma sambil menjura 

memberi hormat.

"Tidak apa, Darma," sela Kakek Suranggrati 

sambil menyentuh bahu saudara kembar Setya 

Wangsakesuma yang bernama Darma Wangsakesu-

ma. Lelaki remaja berhidung lancip itu mendapatkan 

tatapan teduh mata Kakek Suranggrati. "Justru Ka-

keklah yang harus minta maaf pada kalian, karena 

Kakek tak dapat mengantar kalian untuk menemui 

Kakek Tanpa Jari melainkan hanya sampai ambang 

pintu nanti. Kakek memang sudah terlalu jenuh un-

tuk menggeluti dunia luar. Biarlah Kakek akan tetap 

di tempat ini, berhubungan terus-menerus dengan 

Allah, dengan Penguasa Jagad yang menciptakan 

kehidupan dan kematian, yang memiliki kasih 

sayang dan ampunan tak terhitung," lanjut Kakek 

Suranggrati panjang lebar.

"Kami mengerti, Kek," ucap Setya Wangsake-

suma.


"Jika begitu, mari secepatnya kita keluar. Le-

bih cepat menjumpai Kakek Saroagung lebih baik, 

begitu juga dengan Raja Petir. Kuyakin hanya dia 

seorang yang mampu meredam tokoh-tokoh jahat 

yang berhajat memiliki busur dan panah emas ini," 

tutur Kakek Suranggrati, "Darsa, Sapta! Kalian te-

mani Setya dan Darma sampai menjumpai Kakek 

Saroagung dan Raja Petir," lanjut lelaki berusia lan-

jut sambil memerintah pada dua lelaki yang bertu-

buh kekar berpakaian hitam yang sejak tadi hanya 

berdiri di belakangnya tanpa ikut menimpali pembi-

caraan.

"Baik, Kakek Suranggrati! Nyawa kami yang 

jadi tameng hidup Adi Setya dan Adi Darma," jawab 

lelaki berotot melingkar-lingkar karena pakaiannya 

yang dikenakan cukup ketat membungkus tubuh. 

Lelaki itu berwajah tampan dan kelimis, dialah yang 

bernama Sapta.

"Tak kuragukan kesetiaan kalian, dan mari 

kita keluar sekarang," ujar Kakek Suranggrati den-

gan ayunan kaki yang melewati sosok lelaki muda 

kembar yang berpakaian warna serba merah.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma yang di bagian dada mereka terdapat benda 

yang terbungkus kain putih sutera pun mengikuti 

langkah kaki Kakek Suranggrati, baru kemudian 

Darsa dan Sapta melakukan hal yang sama.

"Ha ha ha...! Pucuk di cinta ulam tiba!" ucap 

sebuah suara cukup keras sesaat tapak kaki Kakek 

Suranggrati dan orang-orangnya menjejak tanah be-

rumput Hutan Jati Selajar.

"Ternyata tak sesulit apa yang kukira untuk 

mendapatkanmu, Suranggrati! Yang kucari malah


ikut mencariku," lanjut suara itu lagi sebelum Kakek 

Suranggrati tahu siapa yang berbicara.

"Iblis Bengis Wajah Dingin!" sentak Kakek Su-

ranggrati sedikit terkejut menyaksikan lelaki tinggi 

kekar yang mengenakan jubah longgar warna putih, 

rambutnya yang gondrong sebahu tersibak angin 

yang tiba-tiba saja datang. Di belakangnya berdiri 

empat lelaki berpakaian hitam dan bertubuh tinggi 

besar.

"Tanpa kuberitahu maksud kedatanganku 

menemuimu, kurasa kau sudah lebih tahu, Su-

ranggrati!" tukas lelaki berjubah putih longgar yang 

dipanggil Kakek Suranggrati sebagai Iblis Bengis 

Wajah Dingin. "Untuk itu, demi selembar nyawamu 

yang tak lama lagi berkalang tanah, serahkanlah 

benda yang ada pada dua bocah itu secara baik-baik 

padaku. Dengan demikian usiamu masih sempat 

mendapatkan tempat di muka jagad ini, begitu juga 

dengan dua bocah kembar pengikutmu yang lain 

itu!" tunjuk Iblis Bengis Wajah Dingin pada dua bo-

cah berhidung lancip dan juga pada diri Darsa dan 

Sapta.

Kakek Suranggrati hanya menimpali ucapan 

Iblis Bengis Wajah Dingin dengan senyum samar 

yang terkembang, namun tak lama berselang sang-

kalan pun segera terdengar keluar dari sepasang bi-

bir tipis lelaki berusia enam puluhan.

"Iblis Bengis Wajah Dingin," panggil Kakek 

Suranggrati dengan suara yang sedikit pun tak tersi-

rat kegeraman, apalagi kegentaran berhadapan den-

gan lelaki yang sudah cukup punya nama di kalan-

gan rimba persilatan. "Aku cukup mengenal kau 

yang memiliki kesaktian yang begitu tinggi, meski


kabar itu kuketahui dari mulut ke mulut, namun 

kuyakini betul bahwa kau memiliki kesaktian yang 

tinggi itu. Tapi kini sungguh tak terpikir olehku, ter-

nyata kau juga ingin memiliki benda yang kini bera-

da di tangan kedua cucuku itu. Aku heran, apakah 

kau menjadi kurang sakti tanpa senjata yang berada 

pada Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma?" sambung Kakek Suranggrati sambil melem-

par pertanyaan dengan nada sindiran halus namun 

cukup menusuk hati Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Hm.... Ternyata kau tak sayang dengan nya-

wamu yang hanya tinggal sedikit lagi mengenyam 

nikmatnya kehidupan ini, Suranggrati! Kata-katamu 

barusan yang kuanggap kelewat berani itu adalah 

bumerang untuk sepenggal nyawamu!"

"Apa kau yang berhak untuk menentukan ke-

hidupan dan kematian seseorang, Iblis?" tanya Ka-

kek Suranggrati masih dengan sikap yang cukup te-

nang. Sementara Setya Wangsakesuma dan saudara 

kembarnya sudah nampak berdiri gelisah, begitu ju-

ga dengan Darsa dan Sapta. Mereka menjadi tak te-

nang karena ingin menghajar mulut kurang ajar le-

laki yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Aku dan senjata mautku ini memang punya 

hak untuk melenyapkan nyawa kalian!" jawab Iblis 

Bengis Wajah Dingin.

"Iblis sombong!" maki Darma Wangsakesuma 

keras.

"Iblis laknat!" timpal Setya Wangsakesuma 

tak kuasa membendung emosinya. Dua lelaki kem-

bar berusia tiga belasan itu sama-sama melangkah-

kan kakinya bermaksud memberi pelajaran pada Ib-

lis Bengis Wajah Dingin, namun langkahnya terha


dang tangan kanan Kakek Suranggrati.

"Sabar, Cucuku," tahan Kakek Suranggrati 

dengan suara yang tiba-tiba saja bergetar.

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-

suma menjadi sedikit terkejut mendengar ucapan 

Kakek Suranggrati yang bergetar itu.

"Kenapa, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma 

polos.

Kakek Suranggrati menatap tepat bola mata 

Darma Wangsakesuma, lalu ucapan yang cukup pe-

lan pun terdengar di telinga lelaki kembar yang be-

rusia tiga belas tahun itu.

"Kesaktiannya bukanlah tandingan kita, Cu-

cuku. Untuk itu Kakek sarankan sebaiknya kalian 

berdua menyelamatkan diri dan segera menemui 

Kakek Saroagung," ujar Kakek Suranggrati menja-

wab pertanyaan Darma Wangsakesuma. "Kakek...?"

"Pergilah, biar Kakek, juga Darsa dan Sapta 

yang menghadapi mereka," tukas Kakek Suranggrati 

lebih keras.

"Tapi, Kek...?"

"Pergi cepat kalau kau tak mau kuanggap se-

bagai Cucu yang tak tahu adab!" bentak Kakek Su-

ranggrati keras.

"Ha ha ha.... Ternyata nyalimu tak lebih besar 

dari kedua cucumu itu, Suranggrati! Biarkan saja 

mereka menunjukkan kebesaran nyalinya di hada-

panku," ejek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan ta-

wanya yang memantul-mantul ke sudut Hutan Jati 

Selajar.

Kakek Suranggrati menolehkan wajahnya 

yang merah ke arah wajah Iblis Bengis Wajah Din-

gin, tatapan penuh tantangan membias dari sepasang bola mata tuanya yang masih menyiratkan ke-

tajaman, namun tatapan itu hanya sebentar saja 

mampir di wajah Iblis Bengis Wajah Dingin, karena 

pada saat berikutnya tatapan Kakek Suranggrati su-

dah beralih kembali ke wajah cucu-cucunya.

"Cepat kalian pergi!" perintah Kakek Su-

ranggrati pada Darma Wangsakesuma dan Setya 

Wangsakesuma.

Lelaki muda usia yang mengenakan pakaian 

merah tahu kalau kata-kata Kakek Suranggrati tak 

mungkin terbantah lagi, maka secara bersamaan 

dua bocah kembar itu menghentakkan kaki mereka 

kuat-kuat ke permukaan bumi. Tubuh keduanya 

pun kemudian melesat cepat dengan menggunakan 

ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang cukup 

mendapat acungan jempol.

"Jangan pergi! Hops!" Ibis Bengis Wajah Din-

gin berteriak seraya menghentakkan kakinya mela-

kukan gerakan mengejar ke arah lari Darma Wang-

sakesuma dan Setya Wangsakesuma.

"Hops!" bersamaan dengan melesatnya sosok 

Iblis Bengis Wajah Dingin, sosok Kakek Suranggrati 

pun melesat menghadang.

"Hadapi aku dulu kalau kau ingin menda-

patkannya, Iblis Gila!" sentak Kakek Suranggrati. 

Tendangan lurus mengarah ke ulu hati Iblis Bengis 

Wajah Dingin langsung dilancarkannya, itu sengaja 

dilakukannya untuk mencegah keinginan lelaki ber-

jubah putih mengkilat untuk mengejar Darma 

Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.

Terhadap serangan Kakek Suranggrati yang 

mengarah ke bagian tubuh pekanya, Iblis Bengis 

Wajah Dingin tentu saja tak ingin mengambil resiko,


maka seketika itu juga, pada saat tubuhnya masih 

berada di atas permukaan tanah, dibuang tubuhnya 

ke arah kanan untuk menghindari sambaran kaki 

tua milik Kakek Suranggrati.

Sungguh mengagumkan gerakan cepat yang 

dilakukan oleh Iblis Bengis Wajah Dingin. Sesaat le-

laki berjubah putih melemparkan tubuhnya ke ka-

nan, dengan cepat ujung kakinya menotol permu-

kaan tanah dan dengan kecepatan yang luar biasa 

memberikan serangan balasan dengan dua kepalan 

tangan terarah ke batok kepala Kakek Suranggrati.

Bet! Bet!

Pemandangan yang tersaji malah menjadi ter-

balik, kini nampak Kakek Suranggrati yang kelaba-

kan menghindari serangan balasan yang dilancar-

kan Iblis Bengis Wajah Dingin yang mengandung 

kekuatan tenaga dalam tinggi.

Namun patut dipuji juga gerakan lincah dari 

si Kakek yang juga mengenakan pakaian warna pu-

tih, meskipun dengan susah payah dirinya berhasil 

juga meluputkan serangan balasan lawan.

"Hm.... Kurasa hanya sampai di sini aku 

mengeluarkan jurus perkenalanku, Kakek Bau Ta-

nah!" tukas Iblis Bengis Wajah Dingin yang seketika 

itu juga menghentikan serangannya.

Kini, dalam jarak dua batang tombak nampak 

dua lelaki berpakaian putih saling berhadapan den-

gan masing-masing kemarahan yang bergelora di 

dada.

"Sudah kukatakan kalau nyawaku tidak be-

rada di genggamanmu, Iblis Kurap!" maki Kakek Su-

ranggrati.

"Hrgh...!" Iblis Bengis Wajah Dingin mengge


reng marah mendengar cercaan yang keluar dari 

mulut Kakek Suranggrati, seketika itu juga tangan-

nya tergerak meraba senjata yang melilit di ping-

gangnya. Sebuah rantai baja yang panjangnya seki-

tar satu setengah batang tombak yang pada bagian 

ujungnya terdapat bola-bola berduri masing-masing 

tiga buah sebesar kepalan bayi berusia sembilan bu-

lan. Rantai baja berbandul bola berduri pun kini lo-

los dari pinggang Iblis Bengis Wajah Dingin, saat itu 

juga kebengisan wajah lelaki iblis berjubah putih 

mengkilat nampak menjadi dua kali lipat, bola ma-

tanya berubah menjadi berwarna kemerahan, layak 

seperti mata seekor naga murka.

"Akan kubuktikan kalau aku mampu mem-

begal nyawamu, Kakek Sundel! Bersiaplah segera 

untuk melayat ke liang lahat!"

Seiring dengan ucapannya itu, Iblis Bengis 

Wajah Dingin mengangkat tangan kanannya yang 

menggenggam bagian tengah dari rantai baja yang 

ujungnya masing-masing terdapat tiga bandulan 

berduri, lalu lelaki yang berusia empat puluh lima 

tahun itu memutar-mutar senjatanya di atas kepala.

Wuk! Wukkk...!

Wrrr...!

Bunyi bergemuruh disertai dengan suara an-

gin yang cukup keras pun terdengar menyakitkan 

telinga. Bebatuan kecil yang berada di sekitar tem-

pat di mana Iblis Bengis Wajah Dingin berpijak seke-

tika beterbangan ke berbagai arah. Daun-daun yang 

merimbuni Hutan Jati Selajar berguguran ke tanah, 

sementara orang-orang Iblis Bengis Wajah Dingin 

dan Sapta juga Darsa menjauhi daerah yang seperti 

terlanda angin topan. Sedangkan Kakek Suranggrati


masih tetap berpijak pada tempatnya, namun pada 

tangan kakek berusia enam puluh tahun itu kini 

tergenggam sebilah keris yang menebarkan hawa 

dingin, keris itu sendiri memendar-mendarkan sinar 

kebiruan.

Wukkk...!

Jledarrr...!

Sebuah pohon sebesar dua kali pelukan lelaki 

dewasa tumbang saat Iblis Bengis Wajah Dingin 

menghentakkan tangannya, dan tiga bandulan duri 

yang melesat cepat mencecar kepala Kakek Su-

ranggrati membentur pohon itu hingga menimbul-

kan bunyi dahsyat. Pohon jati kokoh itu pun hangus 

layak terbakar.

"Gila...!" desis Kakek Suranggrati dalam hati 

menyadari kedahsyatan serangan yang dilancarkan 

Iblis Bengis Wajah Dingin. Untung dia berhasil men-

celat dengan cepat menghindari terjangan tiga bun-

dalan berduri yang ternyata seperti mampu menge-

luarkan api, jika tidak? Huh! Tak terbayangkan akan 

menjadi apa tubuhnya.

Di tengah-tengah usaha Kakek Suranggrati 

menghindari serangan-serangan maut yang dilan-

carkan Iblis Bengis Wajah Dingin, dua lelaki ber-

nama Darsa dan Sapta pun tengah berjuang mati-

matian untuk menyelamatkan nyawanya dari sam-

baran senjata milik anak buah Iblis Bengis Wajah 

Dingin.

Namun dikarenakan jumlah anak buah Iblis 

Bengis Wajah Dingin lebih banyak dan lagi memiliki 

kemampuan ilmu silat lebih tinggi dari Darsa dan 

Sapta, maka dua lelaki anak buah Kakek Suranggra-

ti tak mampu berbuat banyak.


"Mampus kau, Gembel!" hardik lelaki berpa-

kaian hitam dengan kumis tipis di bagian pinggir.

Pada saat yang bersamaan lelaki anak buah 

Iblis Bengis Wajah Dingin yang hanya memiliki sebe-

lah alis mata melesat cepat ke arah Darsa. Senja-

tanya yang berupa golok berukuran besar ikut ber-

kelebat mencecar kepala lelaki bertubuh kekar.

Brat!

Tlash!

Lengking panjang menyayat pun seketika ter-

dengar menggema saat Darsa mendapatkan samba-

ran dua senjata yang merobek perut dan bagian da-

da.

Lelaki berpakaian warna hijau lumut itu pun 

ambruk ke tanah dengan darah yang bermuncratan 

mengotori pakaian dan tanah di sekitar tubuhnya 

ambruk, hanya sesaat tubuh Darsa mengejang-

ngejang menanti kedatangan maut dan untuk saat 

selanjutnya tubuh itu menjadi kaku setelah nya-

wanya tak lagi mendiami jasadnya.

Bugkh! Bugkh!

Baru saja tubuh Darsa berubah menjadi 

mayat, kini giliran Sapta yang menjadi incaran ke-

ganasan anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin. Lela-

ki berpakaian kelabu bernama Satpa dua kali mene-

rima hantaman di bagian dada dan perutnya. Kini 

lelaki itu tengah terhuyung dengan telapak tangan 

yang mendekap dada.

Sapta meringis menahan kesakitan. Pada saat 

itulah lelaki beralis sebelah kembali melesat cepat 

dengan golok besar yang terayun ke arah leher la-

wannya.

Tlash!


Tubuh Sapta terhempas sejauh dua langkah, 

sementara kepalanya yang sudah terpisah dari tu-

buh menggelinding dan berhenti tepat di kaki Iblis 

Bengis Wajah Dingin.

"Kepalamu pun akan mengalami nasib seperti 

ini, Suranggrati!" ucap Iblis Bengis Wajah Dingin 

dengan tangan kanan yang mengangkat kepala Sap-

ta tinggi-tinggi, sebagian darah yang belum mengen-

tal keluar dari daging yang terkoyak.

"Kau memang biadab! Kau betul-betul, Iblis 

Neraka! Tapi dengar, tak semudah itu kau mem-

buktikan kata-katamu terhadap diriku!" sentak Ka-

kek Suranggrati dengan raut wajah yang tegang ter-

bungkus kemarahan yang tak terbendung.

"Hhh...! Tua bangka sombong, ujung kema-

tianmu sesaat lagi akan datang, berdoalah segera!" 

ledek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangannya 

yang melempar kepala Sapta ke arah wajah Kakek 

Suranggrati.

Di luar dugaan Iblis Bengis Wajah Dingin, 

Kakek Suranggrati tak mengelak lemparannya. Ma-

lahan lelaki tua berusia lanjut itu menangkap kepala 

Sapta yang sesungguhnya sangat disayangi.

Tap!

"Maafkan aku, Sapta," ucap Kakek Su-

ranggrati dengan suara parau, air mata pun tiba-

tiba bergulir melalui kelopak matanya yang keriput. 

"Demi membelaku kau rela mengorbankan kepala-

mu," lanjut Kakek Suranggrati yang kemudian mele-

takkan kepala anak muridnya dengan hati-hati.

Bola mata kakek berusia enam puluh tahun 

yang berkilat-kilat penuh bara kemarahan terlihat 

seperti hendak menelan wajah lawannya yang tengah berdiri dengan keangkuhannya.

"Kau harus membayar kematian kedua mu-

ridku dengan nyawamu, Iblis Laknat!" maki Kakek 

Suranggrati dengan keris yang ditudingkan lurus ke 

wajah Iblis Bengis Wajah Dingin.

Sebelum Kakek Suranggrati menurunkan 

senjatanya yang digunakan untuk menuding wajah 

lawannya, si Iblis Bengis Wajah Dingin sudah lebih 

dulu memberi aba-aba pada empat anak buahnya.

"Lumat tubuh kakek tak tahu diri itu!" perin-

tah Iblis Bengis Wajah Dingin dengan suara lantang 

menggelagar.

Seketika itu juga empat lelaki berpakaian hi-

tam yang dipimpin oleh lelaki beralis mata sebelah, 

bergerak cepat melancarkan serangan ke arah Kakek 

Suranggrati.

"Hiaaa...!"

"Haaat..!"

Empat anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin 

bergerak lincah dengan senjatanya yang berupa go-

lok besar yang bercericit mencari sasaran di tubuh 

Kakek Suranggrati. 

Wut! Wut! 

"Eits!"

Tubuh lelaki tua berjenggot putih panjang itu 

bergerak-gerak cepat, melakukan lompatan bebera-

pa kali ke udara demi menghindari serangan-

serangan gencar yang rata-rata mempergunakan te-

naga dalam kelas tinggi.

Dari keberhasilan Kakek Suranggititi dalam 

menggagalkan serangan keempat lawannya yang da-

tang silih berganti, jelas terlihat ketinggian ilmu si 

Kakek yang berada beberapa tingkat di atas la



wannya, namun dikarenakan serangan yang dilaku-

kan lawan-lawannya cukup padu dan beragam, ma-

ka Kakek Suranggrati merasa kerepotan juga di-

buatnya.

"Hm.... Aku harus merobohkan lebih dulu sa-

lah satu di antara mereka, terutama lelaki beralis 

mata sebelah itu," batin Kakek Suranggrati berenca-

na. Dan belum lagi gema rencana di kakek berpa-

kaian putih bersih itu hilang, sebuah teriakan mem-

bahana terdengar seiring dengan melesatnya sosok 

lelaki beralis mata sebelah.

"Hm.... Ini kesempatan baik," kata hati Kakek 

Suranggrati lagi, dia tak segera menyambut seran-

gan yang dilakukan lawannya akan tetapi menunggu 

sampai serangan itu lebih mendekat dan....

Wung 

Bret! 

Lawan Kakek Suranggrati tiba-tiba memekik 

keras manakala ujung keris telah merobek bagian 

perutnya, sungguh dia tak menyana kalau di balik 

gerakan mengelak yang dilakukan Kakek Suranggra-

ti disertai pula dengan serangan yang begitu mem-

bahayakan.

"Sagawan!" pekik Iblis Bengis Wajah Dingin 

ketika menyaksikan robohnya lelaki beralis mata se-

belah dengan bagian perut yang terkoyak lebar dan 

isi perut serta darah yang nampak saling berebutan 

keluar.

"Keparat!" maki Iblis Bengis Wajah Dingin ge-

ram. "Seraaang...!" perintahnya lagi keras, sementa-

ra dirinya segera memutar-mutar senjata yang beru-

pa rantai baja panjang berbandul enam buah bola 

berduri. Suara bergemuruh pun tak pelak lagi terdengar bising.

Wuk! Wuk!

Di tengah-tengah sepak terjang tiga anak 

buahnya yang hendak merobohkan si Kakek berpa-

kaian putih, Iblis Bengis Wajah Dingin terus memu-

tar-mutar senjata yang semakin lama semakin ce-

pat, namun mata dan pikiran Iblis Bengis Wajah 

Dingin tetap berkonsentrasi pada keadaan diri Ka-

kek Suranggrati itu untuk mengambil kesempatan 

dalam kelengahan lawan, maka manakala kesempa-

tan itu terbaca mata Iblis Bengis Wajah Dingin, se-

ketika itu juga.... 

"Haiiit...!"

Tubuh Iblis Bengis Wajah Dingin melesat 

dengan senjata yang terus berputar, namun kemu-

dian....

Sing!

Brttt..!

Rantai berbandul bola-bola berduri yang be-

rada di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin seketika 

itu juga terlepas, dan tanpa disadari oleh Kakek Su-

ranggrati senjata lawan itu menjerat lehernya tanpa 

dia mampu mengelak karena dari arah depan dan 

belakang dua buah golok besar saling berdesing 

memburu tubuhnya, dua buah golok besar yang ju-

ga dilepas bersama dengan Iblis Bengis Wajah Din-

gin melepas senjatanya.

Sesaat setelah melepas senjatanya, Iblis Ben-

gis Wajah Dingin pun melesat memburu ujung sen-

jatanya, sama halnya dengan yang dilakukan seo-

rang anak buahnya.

Tap! Tap!

Ujung senjata berbandul bola berduri itu kini


sama-sama tertangkap tangan Iblis Bengis Wajah 

Dingin dan anak buahnya, sementara rantai bajanya 

melilit di leher Kakek Suranggrati, dan ketika dua 

tokoh jahat itu menarik bandulan berduri terdengar-

lah lenguhan kematian yang keluar dari mulut Ka-

kek Suranggrati dengan lidah yang menjulur keluar. 

Bruk!

Tubuh Kakek Suranggrati ambruk ke tanah 

ketika rantai baja yang melilit lehernya terlepas, li-

dahnya masih menjulur keluar.

"Ayo kita kejar, Bocah Kembar itu!" perintah 

Iblis Bengis Wajah Dingin, tubuhnya pun kemudian 

melesat lebih dahulu meninggalkan tiga anak buah-

nya yang tersisa.

Tiga lelaki berpakaian hitam anak buah Iblis 

Bengis Wajah Dingin segera menghentak kakinya 

kuat-kuat, mengikuti jejak sang Majikan.


DUA



Sinar matahari yang kini berada tegak di atas 

ubun-ubun, hingga menghadirkan rasa panas yang 

menyengat tak dipedulikan oleh dua bocah berpa-

kaian warna merah darah yang terus saja melang-

kahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Sudah pulu-

han pal jauhnya mereka meninggalkan Hutan Jati 

Selajar. Entah ke mana tujuan mereka sekarang. 

Namun, di depan mereka kini terbentang sebongkah 

batu besar yang menandai kalau mereka telah me-

masuki wilayah Desa Karang Sedaya.

Dua bocah yang tak lain adalah si Kembar


yang masing-masing bernama Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma kini sama-sama meng-

hentikan langkah kaki mereka, tatapan matanya 

pun sama-sama memperhatikan sebongkah batu 

yang bertuliskan nama "Desa Karang Sedaya".

"Aku mengkhawatirkan keselamatan Kakek 

Suranggrati, Darma," ucap Setya Wangsakesuma 

pada saudaranya.

"Aku pun begitu, Setya," timpal Darma Wang-

sakesuma. "Tapi semoga saja Kakek Suranggrati da-

pat mengatasinya," lanjut Darma Wangsakesuma

"Ya. Semoga saja," sahut Setya Wangsakesu-

ma. "Sekarang apakah kita masuk saja ke Desa Ka-

rang Sedaya?" tanya Setya Wangsakesuma me-minta 

pendapat

"Ke mana lagi? Barangkali saja di desa itu ki-

ta akan peroleh kabar tentang kediaman Kakek Tan-

pa Jari," papar Darma Wangsakesuma. 

"Ayolah kalau begitu," setuju Setya Wangsa-

kesuma melangkahkan kaki terlebih dulu, diikuti 

kemudian dengan langkah kaki Darma Wangsake-

suma yang mencoba mensejajari.

Namun baru beberapa langkah lelaki kembar 

berusia tiga belas tahun mengayunkan kaki, sebuah 

teguran lunak membuatnya berhenti meneruskan 

perjalanannya.

"Hai, Bocah-bocah Tampan! Hendak ke ma-

nakah kalian?" tanya sebuah suara bernada enteng 

dan terdengar seperti bersahabat. 

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma segera saja menolehkan kepalanya dan kemu-

dian sama-sama membalikkan tubuh menghadap 

dua lelaki tampan berpakaian hijau yang berdiri tegak di hadapannya sejauh enam batang tombak.

Dua lelaki tampan yang berpakaian hijau itu 

rata-rata menampakkan hulu senjata yang tersem-

bul dari balik punggungnya. Mereka tersenyum ma-

nis hingga memperlihatkan gigi-gigi putih mereka 

yang tersusun rapi. Wajah mereka yang memang 

tampan dengan mata bulat cemerlang serta kulit wa-

jah yang putih bening semakin menampakkan ke-

tampanan mereka, terlebih dengan rambut lurus 

mereka yang terpotong begitu rapi dan apik. Dan 

semuanya itu membuat Setya Wangsakesuma dan 

Darma Wangsakesuma tak segan-segan membalas 

senyuman itu dan menjawab pertanyaannya.

"Kami hendak ke Desa Karang Sedaya, Kak," 

jawab Setya Wangsakesuma dengan sikap sopan.

"Hm.... Kalian pasti punya urusan penting di 

sana," ucap salah seorang dari lelaki tampan berpa-

kaian hijau lagi.

"Kira-kira begitulah, Kak," kali ini Darma 

Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan itu.

"Hm...."

Dua lelaki tampan berpakaian hijau ini sama-

sama melangkahkan kakinya mendekati Setya 

Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma hingga 

berjarak satu setengah batang tombak.

"O, ya, namaku Ajiwana dan kawanku ini 

bernama Lugawika," ucap lelaki tampan berkumis 

lebih tipis yang mengaku bernama Ajiwana. "Boleh-

kah aku mengenal nama kalian?" lanjutnya sopan.

"Tentu saja," jawab Setya Wangsakesuma 

tanpa merasa keberatan sedikit pun. "Namaku Setya 

Wangsakesuma dan saudaraku ini punya nama 

Darma Wangsakesuma," tambahnya memperkenal



kan diri.

"Kalian pasti anak kembar, betulkah?" selidik 

Jiwana kemudian.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma tak menjawab pertanyaan itu dengan segera, 

dua bocah berusia tiga belas tahun itu kini terlibat 

saling tatap satu sama lain.

"Kuyakini kalian sebagai anak kembar, wajah 

kalian satu sama lain tak terlihat perbedaannya," 

ucap Lugawka. "Maaf, Darma, Setya. Kalau boleh 

aku tahu kepentingan apakah yang membawa lang-

kah kaki kalian ke Desa Karang Sedaya?" tambah 

Lugawnka.

Dua lelaki kembar berpakaian warna merah 

darah sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang 

terlontar dari mulut Lugawika, hingga jawabannya 

pun tak keluar dari mulut mereka.

"Kalau kalian berkeberatan untuk menjawab, 

tak usahlah dijawab," kilah Ajiwana.

"Maafkan kami, Kak. Kami memang berke-

baratan untuk memberitahukan," ujar Setya Wang-

sakesuma polos.

"Kalau aku menduga, bolehkah?" tanya Lu-

gawika berkesan mendesak. 

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma tak menimpali pertanyaan itu, mereka sama-

sama diam dan sama-sama pula merasakan sesuatu 

yang tak beres akan terjadi.

"Ah, maaf, Kak. Kami harus segera ke sana," 

ujar Darma Wangsakesuma dengan telunjuk yang 

menuding mulut Desa Karang Sedaya.

"Tunggulah sebentar, aku belum meneruskan 

dugaanku," tahan Lugawika. "Barusan aku mendengar nama Kakek Tanpa Jari kalian sebut-sebut, 

apakah kalian akan menemuinya di Desa Karang 

Sedaya sana?" tandas Lugawika membuat keyakinan 

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma 

akan hal yang tak beres semakin kuat. Itu kare-

nanya dua lelaki kembar tak menjawab pertanyaan 

Lugawika.

"Kalian tak perlu takut untuk menjawab," 

ucap Ajiwana. "Kami berdua tahu persis di mana 

kediaman si Kakek Tanpa Jari itu, dan untuk kalian 

aku bersedia memberitahu," lanjut Ajiwana.

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-

suma terpengaruh juga dengan ucapan lelaki lembut 

yang keluar dari mulut Ajiwana, itu dapat dilihat da-

ri perubahan raut wajah dan tatapan bola mata 

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma 

yang tak lagi tersirat kecurigaan.

"Betulkah Kakak berdua ingin menunjukkan 

pada kami kediaman Kakek Tanpa Jari?" tanya 

Setya Wangsakesuma terus terang.

"Tentu saja," jawab Lugawika mantap.

"Di manakah?" kejar Darma Wangsakesuma.

"Bukan di Desa Karang Sedaya," jawab Ajiwa-

na.

"Lalu di mana?" tanya Darma Wangsakesuma 

dan Setya Wangsakesuma berbarengan.

"Ada persyaratan yang harus kalian penuhi 

kalau ingin tahu kediaman si Kakek Tanpa Jari itu," 

kilah Lugawika dengan mata yang berkedip sebelah 

kepada Ajiwana.

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-

suma melihat apa yang dilakukan Lugawika, seketi-

ka itu juga kecurigaannya muncul kembali dan


keengganan untuk menanyakan persyaratan yang 

dimaksud Lugawika membuat lelaki kembar berusia 

tiga belas tahun itu bungkam seribu bahasa.

"Kalian tak ingin tahu apa persyaratan itu?" 

tanya Ajiwana.

"Saya rasa tidak perlu, Kak. Kami berdua in-

gin mencarinya tanpa bantuan orang lain," jawab 

Setya Wangsakesuma. "Ayo, Darma. Kita ke Karang 

Sedaya sekarang," lanjutnya mengajak Darma 

Wangsakesuma berjalan menuju mulut Desa Karang 

Sedaya.

"Tunggu!" sentak Lugawika sedikit keras. 

"Aku kecewa kalian tak bisa menghargai niat baik-

ku, padahal persyaratan yang kuajukan cukup gam-

pang dan tak akan menyulitkan kalian."

"Ya. Kami akan meminta benda yang kalian 

bawa itu," sambung Ajiwana sambil menunjuk ben-

da yang berada di tangan Darma Wangsakesuma 

dan Setya Wangsakesuma yang terbungkus kain su-

tera warna putih mengkilat.

"Apa?" tanya Darma Wangsakesuma dan 

Setya Wangsakesuma terkejut. Wajah keduanya 

langsung dibaluri rona merah sesaat mendengar 

persyaratan yang diucapkan Ajiwana.

"Hanya itu, tak ada yang lain," kilah Lugawi-

ka.

"Maaf, kami tak bisa memenuhi persyaratan 

itu," ujar Darma Wangsakesuma tandas. Sepertinya 

jawaban itu tak bisa diubah lagi.

"Berarti kalian kehilangan kesempatan untuk 

mengetahui rumah tinggal si Kakek Tanpa Jari."

"Tak apa. Kami bisa mencarinya," jawab Setya 

Wangsakesuma.


"Kalau kami merebut benda yang kau bawa 

secara paksa bagaimana? Apa kau sanggup mem-

pertahankannya?" tanya Lugeiwika mengajukan per-

timbangan untuk dipilih lelaki kembar berpakaian 

merah.

"Kami akan mempertahankannya selama 

nyawa kami masih berada di tempatnya," mantap 

jawaban yang keluar dari mulut Setya Wangsake-

suma.

"Ternyata kalian punya nyali juga!" hardik 

Lugawika yang berwatak agak panasan dibanding 

dengan watak Ajiwana.

"Lima jurus kalian mampu mempertahankan 

benda itu, maka persyaratan itu kucabut," sambung 

Ajiwana. "Bersiaplah!"

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-

suma membawa mundur kakinya satu langkah, 

nampaknya kedua lelaki kembar yang masih muda 

usia itu ingin menghadapi serangan yang pasti akan 

dilakukan dua lelaki tampan yang menginginkan 

panah dan busur emas yang dimilikinya.

"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Bocah! 

Jangan anggap serangan Dua Pemuda Tampan Pen-

jenguk Maut main-main!" ucap Lugawika keras, ke-

mudian lelaki yang berwatak pemarah itu menghen-

takkan kakinya kuat-kuat di permukaan tanah, se-

ketika itu juga tubuhnya melesat ke arah Darma 

Wangsakesuma.

Sebuah pukulan lurus yang terarah ke bagian 

dada Darma Wangsakesuma dilancarkan Lugawika 

dengan tanpa sungkan-sungkan, angin menderu 

yang mengiringi kedatangan serangan itu menanda-

kan kalau Lugawika tak main-main.


Wuttt!

Diiringi teriakan menghindar, Darma Wang-

sakesuma melesat ke samping kanan menghindari 

kepalan tangan lawannya yang menjurus ke bagian 

dada. Tubuh lelaki berusia tiga belas tahun itu terli-

hat melenting ringan beberapa kali di udara. Terlihat 

betapa luwes dan ringan cara Darma Wangsakesu-

ma bergerak dan itu cukup membuatnya terhindar 

dari gempuran maut yang dilancarkan Lugawika.

Lugawika sendiri hanya tersenyum menyaksi-

kan kelincahan gerak lelaki yang berusia jauh lebih 

muda darinya, kemudian dia pun mencoba menim-

pali dengan jurus pertama dari lima jurus yang telah 

dijanjikan.

Tubuh Lugawika kembali melesat dengan 

mengerahkan tendangan yang terangkum dalam ju-

rus 'Menggali Liang Lahat'. Tendangan maut yang di-

lancarkan Lugawika memperlihatkan kaki kanan 

yang berputar-putar hebat hingga menimbulkan de-

ru angin yang cukup jelas terdengar telinga.

Wuttt!

Kembali Darma Wangsakesuma melenting 

ringan menghindari luncuran kaki kanan Lugawika 

yang berputar bagai baling-baling kapal, sambil me-

lakukan beberapa kali putaran ke samping kanan.

Namun kiranya hal seperti itulah yang dinan-

ti-nanti Lugawika, lelaki tampan berpakaian hijau 

yang pada bagian punggungnya tersandar sebilah 

pedang terlihat merubah serangannya. Kaki kanan 

yang berputar di depan tiba-tiba terhenti bergerak, 

kemudian dengan cepat kaki itu ditarik ke belakang, 

menjejak ke tanah dengan cepat, lalu menghentak-

kannya kuat-kuat



Kini sosok Lugawika melayang deras dengan 

dua kepalan tangan yang terarah ke bagian uluhati 

dan kepala lawannya.

Plak!

Begkh!

Meskipun Darma Wangsakesuma berhasil 

memapak sambaran tangan kanan Lugawika, na-

mun dirinya yang dalam hal penguasaan tenaga da-

lam masih berada di bawah lawannya tak kuasa un-

tuk menghindari keterhuyungan saat benturan tan-

gan terjadi. Pada saat itulah gerakan Lugawika yang 

begitu cepat kembali mengirim serangan susulan 

yang mendarat telak di dada.

"Hoekh...!"

Darma Wangsakesuma tergolek di tanah, se-

mentara dari mulutnya mengalir darah kental. Be-

rarti lelaki muda usia yang dianggap Kakek Su-

ranggrati sebagai cucunya tengah mengalami luka 

dalam yang cukup parah. 

"Darma...!"

Setya Wangsakesuma yang menyaksikan kea-

daan saudaranya sempat terpekik, namun pekikan-

nya itulah yang membuatnya menjadi lengah akan 

serangan Ajiwana yang kembali datang.

"Aw... aw... aw... as Set... ya!" Darma Wangsa-

kesuma yang melihat bahaya mengancam sauda-

ranya berusaha memberitahu sebisanya, namun apa 

yang dilakukannya tak membuat Setya Wangsake-

suma sadar dari kelengahannya. Baru ketika seran-

gan Ajiwana semakin mendekat Setya Wangsakesu-

ma menoleh, namun sudah terlambat untuk mela-

kukan gerakan menghindar, hingga....

Blagkh!


Meskipun Setya Wangsakesuma berusaha ke-

ras menggeser kedudukannya demi menghindari

sambaran kaki lawan, namun hal itu tak banyak 

membantu. Bahu kanannya terhajar juga dengan te-

lak oleh telapak kaki Ajiwana, dan itu membuat ke-

dudukan Setya Wangsakesuma terhuyung empat 

langkah ke belakang.

Pada saat tubuh Setya Wangsakesuma ter-

huyung dan kehilangan kendali, Ajiwana kembali 

bergerak memberikan serangan tambahan dengan 

kepalannya yang bergerak memutar mencecar ra-

hang lawannya. Serangannya yang terangkum dalam 

jurus 'Menggali Liang Lahat' menjelmakan angin 

menderu kuat.

Setya Wangsakesuma meskipun dalam kea-

daan kedudukan limbung, masih tetap berusaha 

mengelakkan sambaran tangan kanan Ajiwana den-

gan melakukan gerakan memutar ke samping ka-

nan, akan tetapi gerakan Ajiwana yang berubah-

ubah dan demikian cepat membuat saudara kembar 

Darma Wangsakesuma tak kuasa untuk mengelak 

terus-menerus, suatu ketika pukulan tangan Ajiwa-

na mendarat dengan telak di punggungnya hingga 

tubuh Setya Wangsakesuma mencium tanah.

"Ha ha ha.... Kami Dua Pemuda Tampan Pen-

jenguk Maut masih cukup punya moral untuk men-

jenguk nyawa kalian, karena kalian masih terlalu 

kecil untuk mendapatkan perlakuan itu. Begitu juga 

dengan merebut panah dan busur emas itu secara 

paksa, kami tak ingin melakukannya. Kami ingin 

kau menyerahkannya sendiri. Sekarang tinggal pilih, 

kalian akan menyerahkan benda itu sendiri atau 

aku yang mengambilnya setelah tubuh-tubuh kalian


berubah menjadi mayat!" sentak Lugawika tegas.

"Aku pilih yang kedua!" jawab Setya Wangsa-

kesuma tak kalah tegas, meski di tengah kedudu-

kannya yang terkulai di tanah dan merasakan sakit 

yang teramat sangat mendera bagian punggungnya.

"Hm.... Bagus! Ternyata kau punya nyali yang 

cukup besar, dan aku juga tak akan memberi kalian 

pilihan untuk yang kedua kalinya. Sekarang ber-

siaplah untuk mampus!"

Tubuh Lugawika melesat dengan sebilah pe-

dang di tangan yang teracung di udara, nampaknya 

lelaki berpakaian warna hijau itu hendak memenggal 

kepala Setya Wangsakesuma.

Ternyata bukan hanya Lugawika yang melo-

loskan pedangnya untuk memenggal kepala Setya 

Wangsakesuma, hal seperti itu juga dilakukan oleh 

Ajiwana yang bergerak cepat ke arah Darma Wang-

sakesuma.

"Ha ha ha...!"

Belum lagi serangan Lugawika dan Ajiwana 

berkelanjutan, sebuah suara membahana terdengar 

dengan diiringi dua serangan jarak jauh yang me-

nimbulkan angin menderu cukup keras.

Wusss...!

"Setan!"

Lugawika memaki sengit mendapatkan seran-

gan yang mendadak, namun begitu, kegesitannya 

bergerak membuat dirinya mampu meredam puku-

lan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga 

dalam tinggi. Lugawika bergerak cepat bagai kilat 

mengurungkan niatnya memenggal kepala salah 

seorang dari bocah kembar berusia tiga belas tahun.

Kenyataan itu juga dilakukan oleh Ajiwana


untuk mengelakkan pukulan jarak jauh yang belum 

jelas siapa orang yang melakukannya. Baru setelah 

Lugawika dan Ajiwana mendarat dengan selamat, 

disaksikannya seorang lelaki bertubuh tinggi kekar 

mengenakan jubah warna putih mengkilat. Wajah le-

laki yang putih layak mayat membuat Lugawika dan 

Ajiwana segera mengenali siapa dia adanya, serta ti-

ga orang anak buahnya yang rata-rata menggeng-

gam golok besar di tangan.

"Iblis Bengis Wajah Dingin!" ujar Lugawika 

dan Ajiwana dengan nada yang menyimpan keterke-

jutan.

"Ha ha ha.... Terima kasih atas jasa kalian 

berdua menghentikan dua bocah itu hingga aku tak 

sukar-sukar mengejarnya," tukas lelaki berjubah pu-

tih yang memang ternyata si Iblis Bengis Wajah Din-

gin. Lelaki pemilik senjata bola berduri itu nampak 

berdiri dengan kepongahan yang memuakkan hati 

Lugawika dan Ajiwana. "Namun kusayangkan kena-

pa kalian hendak membinasakan bocah-bocah itu," 

lanjut Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Hhh! Jangan banyak basa-basi, Iblis Dungu! 

Kau telah lancang mencampuri urusan kami, itu be-

rarti mautlah yang pantas menjemput kelancan-

ganmu!" bentak Lugawika dengan tatapan mata 

membara penuh kemarahan.

"Ha ha ha...!" Iblis Bengis Wajah Dingin ter-

bahak mendengar ucapan yang keluar dari mulut 

Lugawika. "Katakan cepat! Apakah urusan mengi-

ngini panah dan busur emas hanya menjadi uru-

sanmu!"

"Tak ada seorang pun yang akan dapat memi-

liki panah dan busur emas itu kecuali Dua Pemuda


Tampan Penjenguk Maut!" sentak Ajiwana sengit

"Hm.... Jadi sekarang aku berhadapan dengan 

Dua Pemuda Sok Tampan dan Sok Hebat? Ck, ck, 

ck.... Bukan main, bukan main beraninya kalian 

berdua ini, tapi sia-sia saja keberanian kalian kalau 

sudah berhadapan dengan Iblis Bengis Wajah Din-

gin," ejek lelaki bertubuh kekar yang membawa serta 

tiga anak buahnya.

"Hrgh!" Lugawika mendengus menimpali ke-

congkakan Iblis Bengis Wajah Dingin.

"Lebih baik kalian pergi sekarang juga, dan 

kubur keinginan untuk memiliki panah dan busur 

emas yang tak pantas kalian miliki! Itu kalau kalian 

masih ingin melihat matahari esok pagi!" balas Iblis 

Bengis Wajah Dingin menimpali dengusan kesal Lu-

gawika.

"Iblis Tengik!" damprat Lugawika tak kuasa 

meredam kemarahannya. "Akan kukubur kesom-

bonganmu sekarang juga! Hiyaaa...!"

Demi melampiaskan kejengkelannya, Lugawi-

ka menggenjot tubuhnya melancarkan serangan 

berkekuatan tenaga dalam tinggi. Otot-otot tangan-

nya nampak mengejang kaku dengan jari-jari yang 

terkepal kuat, angin berkesiutan pun meningkahi 

serangan maut yang dilancarkan salah seorang dari 

dua lelaki yang berjuluk Dua Pemuda Tampan Pen-

jenguk Maut.

Pertarungan pun tak dapat dielakkan ketika 

Iblis Bengis Wajah Dingin menyambut serangan 

yang dilancarkan Lugawika. Pertarungan pun mulai 

merambat antara Ajiwana menghadapi tiga lelaki 

bersenjata golok anak buah Iblis Bengis Wajah Din-

gin.


Sementara pertarungan memperebutkan pa-

nah dan busur emas terjadi dengan seru dan dengan 

nafsu membunuh yang menggebu, Setya Wangsake-

suma segera mencari jalan selamat dengan mema-

pah tubuh Darma Wangsakesuma yang mengalami 

luka dalam menjauhi tempat pertarungan sedikit 

demi sedikit.

Sebenarnya Iblis Bengis Wajah Dingin dan 

Lugawika bukannya tidak tahu kalau Setya Wang-

sakesuma dan Darma Wangsakesuma melarikan di-

ri. Keduanya sama-sama ingin mengejar bocah yang 

diperebutkan, tapi hal itu dirasa tak mungkin. Me-

reka sama-sama ingin lebih dulu menyudahi per-

tempuran dengan binasanya salah satu di antara 

mereka. Termasuk Ajiwana atau anak buah Iblis 

Bengis Wajah Dingin.

"Biarkan bocah itu kabur!" sentak Lugawika. 

"Kita tentukan dulu sampai mati siapa yang berhak 

atas mereka dan senjatanya!"

"Aku setuju! Akan kubinasakan kau, juga te-

manmu yang tak pantas memiliki panah dan busur 

emas itu!" timpal Iblis Bengis Wajah Dingin geram.

"Bacot besarmu terlalu bagus untuk dibiar-

kan!" bentak Lugawika. "Ajiwana! Bunuh habis me-

reka!" teriak Lugawika pada Ajiwana yang terus ber-

tempur menghadapi anak buah Iblis Bengis Wajah 

Dingin.

"Hyaaat...!"

Pertempuran kembali berlanjut tanpa mem-

pedulikan lagi Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma yang bergerak diam-diam menjauhi 

arena pertarungan.

"Ayo, Darma. Kuatkan dirimu, kita harus bisa


meninggalkan mereka untuk segera menemui Kakek 

Saroagung," ajak Setya Wangsakesuma dengan me-

mapah tubuh saudara kembarnya, padahal dirinya 

sendiri masih mengalami kesakitan pada bagian tu-

buhnya setelah mendapat serangan keras dari salah 

seorang Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut.

"Mereka pasti akan mengejar kita setelah sa-

lah satu di antara mereka memenangkan pertarun-

gan," ucap Darma Wangsakesuma penuh kekhawati-

ran.

"Mudah-mudahan pertarungan mereka me-

minta banyak waktu, Darma. Aku yakin Dua Pemu-

da Tampan Penjenguk Maut bukanlah lawan yang 

ringan bagi Iblis Bengis Wajah Dingin," kilah Setya 

Wangsakesuma. "Dengan begitu kita memiliki ke-

sempatan untuk menghindarinya lebih jauh," lanjut 

Setya Wangsakesuma memberi dorongan semangat 

pada saudara kembarnya.

"Ehhhgk...."

Sebisanya Darma Wangsakesuma melang-

kahkan kakinya dengan dipapah oleh Setya Wang-

sakesuma, meski dia merasakan dadanya seperti di-

cucuk-cucuk ratusan jarum. Sedikit demi sedikit 

dua lelaki kembar berpakaian warna merah darah 

bisa menjauhi tempat pertarungan Iblis Bengis Wa-

jah Dingin dan Dua Pemuda Tampan Penjenguk 

Maut yang masih terlibat pertarungan sengit.

***


TIGA


Angin sore mulai berhembus ketika langkah 

kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma terseok-seok semakin jauh ke dalam Desa Ka-

rang Sedaya yang masih begitu jarang penduduk-

nya. Desa Karang Sedaya memang masih nampak 

seperti sebuah hutan yang baru dibuka oleh bebera-

pa orang penduduk pendatang, terbukti rumah-

rumah di desa itu masih begitu berjauhan, masih 

begitu jarang hingga meski sudah berpal-pal lang-

kah kaki dua lelaki kembar terayun, mereka belum 

juga menemui sosok-sosok penduduk yang lalu-

lalang.

Namun ketika langkah kaki Setya Wangsake-

suma dan Darma Wangsakesuma terayun ke kelo-

kan jalan sebelah kanan, hampir saja tubuhnya di-

tabrak oleh seorang lelaki berpakaian warna kuning 

keemasan yang tengah berlari cukup cepat.

"Ups!"

Untuk mencegah terjadinya tabrakan itu, le-

laki tampan segera menghentak kakinya kuat-kuat 

hingga tubuhnya melenting ke udara dan berputa-

ran beberapa kali sebelum lelaki muda berpakaian 

warna kuning keemasan mendarat dengan ringan di 

tanah.

"Ah, maafkan aku, Dik. Hampir saja aku me-

langgar kalian," tukas lelaki tampan berpakaian 

warna kuning keemasan yang tak lain adalah Jaka 

Sembada. Ucapan yang keluar dari mulut Raja Petir 

terkesan begitu tulus dengan tekanan suara yang 

terdengar lembut dan sopan.



Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma tak sempat menyahuti permintaan maaf Jaka, 

kedua mata lelaki kembar itu kini tengah menatapi 

sosok Raja Petir, tatapan mata mereka seperti terpa-

ku.

"Namaku Jaka, Dik. Ah, sepertinya kawanmu 

tengah mengalami luka dalam," ucap Jaka sambil 

melangkahkan kakinya dua tindak mendekati sosok 

Setya Wangsakesuma yang tengah menyangga tu-

buh Darma Wangsakesuma.

"Apakah nama lengkap Kakak, Jaka Semba-

da?" sebuah pertanyaan balik tiba-tiba terlontar be-

gitu saja dari mulut Setya Wangsakesuma setelah 

hampir setengah penanakan nasi menatapi kebera-

daan Raja Petir dari ujung kaki hingga ujung ram-

but.

Dengan anggukan mantap Jaka membenar-

kan pertanyaan Setya Wangsakesuma. Seketika itu 

juga Jaka menangkap rona kegembiraan terpancar 

dari wajah bola mata dua lelaki muda usia yang sa-

ma-sama mengenakan pakaian warna merah, den-

gan wajah hampir tiada perbedaan satu sama lain. 

Seperti buah pinang dibelah dua. 

"Kakak Raja Petir?! Ugkh...!" Ucapan kegembi-

raan yang keluar dari mulut Darma Wangsakesuma 

membuat saudara kembar Setya Wangsakesuma itu 

terbatuk, setitik darah nampak merembes dari ke-

dua sudut bibirnya.

Jaka yang sejak pertama sudah dapat men-

duga keadaan Darma Wangsakesuma tak mau ber-

tindak ayal, segera langkahnya terayun menyambar 

tubuh Darma Wangsakesuma yang berada dalam 

sanggahan saudara kembarnya, kemudian tanpa ra


gu-ragu dan dengan cepat Jaka meraih pil warna 

merah dari balik saku pakaiannya, kemudian dima-

suk-kannya ke dalam mulut Darma Wangsakesuma. 

Setelah itu Jaka membaringkan tubuh lemah lelaki 

berusia tiga belas tahun itu berbantalkan akar po-

hon yang menyembul dari permukaan tanah.

"Sebenarnya apa yang tengah terjadi pada diri 

kalian?" tanya Jaka setelah keadaan beranjak se-

saat.

"Namaku Setya Wangsakesuma dan saudara 

kembarku bernama Darma Wangsakesuma," tukas 

Setya Wangsakesuma belum menjawab pertanyaan 

Raja Petir. "Sungguh kebetulan yang memberun-

tungkan kalau kita bisa berjumpa," lanjut Setya 

Wangsakesuma dengan tatapan kegembiraan yang 

terus melekat ke wajah Jaka.

Tatapan Setya Wangsakesuma yang seperti 

itu mendapatkan sambutan yang berbantahan den-

gan tatapan mata Jaka yang bermakna sebuah ke-

heranan akan ucapan lelaki muda belia di hadapan-

nya.

"Apa maksud ucapanmu, Dik Setya?" tanya 

Jaka menuntaskan keheranannya.

Tanpa keraguan sedikit pun Setya Wangsake-

suma menceritakan maksud dari ucapannya. Selu-

ruh ucapan yang diwasiatkan oleh Kakek Su-

ranggrati dipaparkannya tanpa satu kalimat pun 

yang tertinggal.

"Siapa itu Kakek Saroagung yang bergelar Ka-

kek Tanpa Jari?"

"Aku sendiri tak pernah mengenalnya, Kak," 

jawab Setya Wangsakesuma atas pertanyaan Jaka. 

"Kakek Saroagunglah yang jelas-jelas mengetahui


hal ikhwal diri kami berdua," lanjut Setya Wangsa-

kesuma.

"Kalau boleh Kakak tahu, kenapa Kakek Su-

ranggrati menugasi kalian untuk menyerahkan pa-

nah dan busur emas yang kalian katakan sebagai 

senjata yang maha dahsyat pada Kakak dan akan 

menjadi momok kegemparan bagi dunia persilatan 

jika jatuh ke tangan yang salah?" tanya Jaka lagi 

menyelidik.

"Kakek Suranggrati cuma bilang hanya Raja 

Petir yang mampu meredam kekuatan tokoh-tokoh 

hitam yang berhajat merebut panah dan busur emas 

ini," jawab Setya Wangsakesuma polos.

"Kakek Suranggratimu terlalu berlebihan me-

nilai diriku, Dik Setya," kilah Jaka merendah.

"Kakek tak pernah bicara berlebihan yang di 

luar kenyataan, Kak," bantah Setya Wangsakesuma. 

"Ah, sayang.... Kakek Suranggrati mungkin te-

lah binasa di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin, yang 

bisa kupastikan juga akan dapat membinasakan 

Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang hampir 

saja memenggal kepala kami," lanjut Setya Wangsa-

kesuma. Tiba-tiba saja sebutir air mata menggelind-

ing dari kelopak mata yang berkedip setelah mene-

rawang jauh beberapa saat.

"Sudahlah, Dik. Kalian sudah menunaikan 

perintah Kakek Suranggrati dengan baik hingga sen-

jata berbahaya ini berada di tanganku. Sekarang 

mari kita cari kediaman Kakek Saroagung. Biar ba-

gaimanapun kalian berdua harus tahu hal ikhwal 

diri kalian, aku sendiri ingin mengetahuinya," ujar 

Jaka mencoba mengalihkan suasana hati Setya 

Wangsakesuma.


"Apakah tidak kita tunggu Darma siuman?" 

tanya Setya Wangsakesuma bersemangat manakala 

mendengar kesediaan Raja Petir membantunya me-

nemui Kakek Tanpa Jari.

"Obat yang kuberikan pada Darma memang 

cukup keras untuk ukuran lelaki semuda kalian, 

namun Darma bukanlah pemuda lemah, kuperhati-

kan otot-ototnya yang berisi dan tulang-tulangnya 

yang cukup bagus. Sesaat lagi dia juga akan si-

uman," tukas Jaka kemudian.

Ternyata memang betul ucapan Raja Petir. 

Belum lagi gema ucapannya sirna dari pendengaran 

Setya Wangsakesuma, nampak Darma Wangsake-

suma sudah menggeliatkan tubuhnya dan kemudian 

seperti tanpa terjadi sesuatu pada dirinya, Darma 

Wangsakesuma mampu bangkit dari rebahnya tanpa 

menemui kesulitan. Cuma dari wajahnya saja yang 

masih menampakkan kepucatan.

"Sekarang kita berangkat, Kak?" tanya Setya 

Wangsakesuma sambil menggamit lengan Darma 

Wangsakesuma.

"Kapan lagi?"

* * *

Siang telah benar-benar menjelma menjadi 

sore ketika tiga lelaki tampan yang tak lain adalah 

Jaka dan dua bocah kembar berpakaian merah me-

langkahkan kakinya mencari seorang kakek yang 

berjuluk Kakek Tanpa Jari.

Sementara di tempat lain, tepatnya di daerah 

perbatasan Desa Karang Sedaya enam orang lelaki 

bersenjata tengah terlibat pertarungan yang sengit.


Dari pertarungan itu bisa terlihat kalau dua lelaki 

tampan yang mengenakan pakaian warna hijau ke-

teteran menghadapi serangan-serangan yang dila-

kukan lelaki berjubah putih berwajah pucat bagai 

mayat bersama dengan tiga orang anak buahnya, 

akan tetapi keadaan salah seorang pemuda tampan 

berpakaian warna hijau tidaklah separah keadaan 

kawannya.

Dalam kesempatan sempit, setelah dirinya 

berhasil mengelakkan serangan salah seorang dari 

tiga lelaki bersenjata golok besar, Ajiwana si Pemuda 

Tampan itu berhasil memberikan serangan balasan 

yang sempurna dengan pedang di tangan yang 

membabat cepat membelah dada salah seorang lela-

ki berpakaian warna hitam.

"Mampus kau!"

Brat!

"Aaa...!"

Salah seorang anak buah lelaki berjubah pu-

tih yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin kini ter-

geletak tanpa nyawa dengan bagian dada terkoyak 

lebar tersambar senjata milik Ajiwana. Kenyataan itu 

tentu saja membuat dirinya marah, seketika itu juga 

kegencaran serangannya terhadap Lugawika ditam-

bah lebih cepat. Senjata yang berupa rantai baja 

berbandul enam bola-bola berduri pun telah dilo-

loskan.

"Nyawamu yang akan membayar kematian 

anak buahku!" teriak Iblis Bengis Wajah Dingin ke-

ras, tangan kanannya seketika itu juga diputar-

putar.

Wuk, wuk....!

Bunyi bergemuruh terdengar keras. Bebatuan


kecil yang memang banyak terdapat di perbatasan 

Desa Karang Sedaya berpentalan tak tentu arah.

Lugawika sendiri berkali-kali harus berlompa-

tan menghindari luncuran kerikil-kerikil yang tera-

rah ke tubuhnya.

"Hiaaa...!"

Saat Lugawika melompat itulah Iblis Bengis 

Wajah Dingin melepaskan bola-bola berdurinya yang 

terarah ke batok kepala lawannya.

Serangan Iblis Bengis Wajah Dingin segera 

disadari Lugawika. Sebentuk keberanian yang tak 

terduga sama sekali oleh Iblis Bengis Wajah Dingin 

dilakukan oleh Lugawika. Dengan beraninya lelaki 

berwajah tampan itu menyambut luncuran senjata 

lawannya.

"Hih!" 

Taps!

Rantai baja milik Iblis Bengis Wajah Dingin 

kini berada di genggaman tangan Lugawika. Lelaki 

berjubah putih itu tentu saja terkejut bukan kepa-

lang menyaksikan keadaan itu, namun pengala-

mannya yang cukup matang telah mengajarkannya 

untuk mengambil tindakan tepat dan cepat.

Seketika itu juga Iblis Bengis Wajah Dingin 

melepaskan cekalan tangannya pada rantai yang di-

pegangnya dan melemparnya dengan kekuatan te-

naga dalam penuh ke arah Lugawika.

Lugawika sendiri tak menyana dengan apa 

yang dilakukan oleh lawannya. Sebuah lemparan ke-

ras memutar membuat dirinya menjadi kebi-

ngungan, apalagi lemparan itu cukup cepat.

Swing...!

Rrt...!


"Hhh?!"

Bukan alang kepalang terkejutnya Lugawika 

yang mendapatkan tubuhnya terlilit rantai baja mi-

lik lawan sebelum dia sempat melakukan gerakan 

mengelak. Sedemikian cepatnya lemparan yang dila-

kukan musuhnya.

"Hiaaa...!"

Belum lagi Lugawika menemukan jalan keluar 

untuk membebaskan diri dari belitan rantai milik Ib-

lis Bengis Wajah Dingin, lawannya yang memang 

memiliki mutu ilmu silat yang lebih sempurna ter-

dengar berteriak lantang seraya mengibaskan dua 

telapak tangannya. 

Twing...! Twing...!

Lempengan berbentuk pipih dan bergerigi se-

ketika meluncur cepat ke arah Lugawika seiring 

dengan kibasan tangan lelaki yang begitu cepat me-

nyelinap ke balik jubah kebesarannya. Hal itu tentu 

saja semakin membuat Lugawika mati kutu. Otak-

nya betul-betul menjadi buntu untuk mencari jalan 

keluar. Dan ketika dirinya memutuskan untuk me-

lompat ke arah kanan, hal itu ternyata sudah ter-

lambat.

Crab! Crab!

Dua buah benda pipih bergerigi sudah lebih 

dulu mengenai sasaran pada bagian dada dan mata 

kirinya.

Lugawika meraung dahsyat merasakan rasa 

sakit yang teramat sangat, terutama pada bagian 

matanya yang tentu saja sangat mengganggu pan-

dangannya. Kepalanya pun seketika berputar-putar.

Lelaki berjubah putih itu ternyata memang 

berwatak telengas. Meski lawannya dalam keadaan


payah seperti itu dan tak mungkin dapat bertahan 

lama, dia masih juga melancarkan serangan susulan 

dengan tendangan kaki kanan lurus yang terarah ke 

bagian perut Lugawika.

Bugkh!

Sosok lelaki tampan berpakaian warna hijau 

seketika itu juga terlontar sejauh dua batang tom-

bak, dengan nyawanya yang langsung hijrah ke alam 

lain.

Pada sisi yang lain, Ajiwana ternyata harus 

menerima nasib yang sama. Dua lawannya yang 

berkepandaian cukup tinggi berhasil membenamkan 

golok-golok besarnya pada bagian-bagian mematikan 

di tubuh Ajiwana. Jantung dan lehernya.

Kini dua lelaki berwajah tampan yang berju-

luk Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut sudah le-

nyap dari keramaian dunia persilatan. Nampak Iblis 

Bengis Wajah Dingin tersenyum pongah dengan ta-

tapan mata yang tertuju bergantian pada mayat Lu-

gawika dan Ajiwana.

"Hhh! Banyak tokoh lain yang pasti mengin-

ginkan panah dan busur emas itu, kita harus segera 

mengejar bocah-bocah keparat itu, jika berjumpa, 

langsung saja kita penggal kepalanya. Ayo!"

Iblis Bengis Wajah Dingin langsung melesat 

meninggalkan mayat Lugawika dan Ajiwana yang 

sudah terbujur kaku. Dua anak buahnya pun mela-

kukan hal yang sama.

Langit di Perbatasan Desa karang Sedaya su-

dah nampak gelap, warna jingga yang mengiringi 

tenggelamnya matahari ke peraduan menandakan 

malam sudah menjelang, bunyi jangkrik pun samar-

samar mulai terdengar, mengiringi kelebatan tiga le

laki yang baru saja melenyapkan dua nyawa lelaki 

berpakaian warna hijau, tiga lelaki yang kini sama-

sama berlari cepat memasuki Desa Karang Sedaya.


EMPAT



"Raja Petir!" bentak seorang lelaki berpakaian 

warna hitam dengan setelan bawahan berwarna me-

rah darah. Lelaki bertubuh tegap dengan sebelah 

mata yang ditutup dengan selembar kulit macan tu-

tul itu berdiri pongah di hadapan Jaka yang berdiri 

bersisian dengan Darma Wangsakesuma dan Setya 

Wangsakesuma. "Kau ternyata hanyalah seorang to-

koh penjilat yang patut segera dilenyapkan dari ke-

ramaian rimba persilatan. Kedudukanmu sebagai 

seorang tokoh pembela kebenaran ternyata cuma 

kedok belaka!" lanjut lelaki bermata picak yang se-

sungguhnya berjuluk Golok Darah Mata Tunggal.

Jaka yang mendapatkan caci maki seperti itu 

hanya mencoba mengimbanginya dengan tatapan 

mata lembut dan sesungging senyum yang meng-

gantung di wajahnya.

"Mereka pasti ingin memiliki busur dan panah 

emas ini, Kak Jaka," bisik Setya Wangsakesuma.

Jaka tak mengomentari bisikan Setya Wang-

sakesuma, tatapannya tetap tertuju pada tiga lelaki 

yang menghadang perjalanannya. 

"Tuan-tuan yang gagah," ujar Jaka kemudian 

dengan suara yang mengalun penuh tata krama. 

"Sungguh aku tak mengerti akan makna dari kata-

kata yang barusan kudengar. Ah, sayang sekali ka-

lau kata-kata itu telah mengusik keindahan pagi

yang seharusnya sama-sama bisa kita nikmati," lan-

jut Jaka dengan ketenangan yang cukup membuat 

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma 

terkagum-kagum.

Ucapan mata Jaka disambut dengan belala-

kan sebelah mata lelaki yang berjuluk Golok Darah 

Mata Tunggal, kemudian lelaki picak itu mendengus 

keras.

"Kau juga berlindung di balik kata-katamu 

yang lembut! Padahal kau bajingan. Raja Edan!" 

maki Golok Darah Mata Tunggal lagi. "Sekarang se-

rahkan kedua bocah ingusan itu, dan jangan coba-

coba ingin memiliki panah dan busur emas itu!" 

sambung lelaki bermata sebelah, tangannya yang 

kekar bergerak dengan telunjuk yang menuding wa-

jah tampan Jaka.

"Hei! Jadi kau menginginkan kawan-kawanku 

ini? Hm.... Apakah dia kemenakanmu?" tanya Jaka 

dengan sikap mengejek.

"Keparat! Kuhancurkan mulutmu!" bentak 

Golok Darah Mata Tunggal dengan suara yang 

menggelegar.

"Aku tak punya salah, kenapa Tuan ingin 

menghancurkan mulutku?" tanya Jaka lagi. "Hen-

daknyalah Tuan pikirkan kembali keinginan itu."

"Burdawa! Jangan kau timpali Raja Edan 

yang pintar bicara itu! Lenyapkan saja nyawanya se-

gera, juga kedua bocah itu!" ujar lelaki berperawa-

kan sedang pakaian putih dengan kain warna merah 

yang berjuntai ke belakang. Dialah Semaga yang 

berjuluk Walet Paruh Racun.

"Kau betul, Semaga," timpal Golok Darah Ma-

ta Tunggal yang ternyata bernama Burdawa. "Namun biarlah keinginan hatiku terpenuhi dulu, aku 

ingin Raja Petir yang selalu disebut-sebut sebagai 

tokoh pembasmi kejahatan mampus di tanganku," 

lanjut Burdawa dengan kepala yang tertunduk sedi-

kit memberi penghormatan pada Semaga. 

"Silakan, Burdawa!" setuju Semaga. Burdawa 

kemudian membawa langkah kakinya tiga tindak 

mendekati Jaka, hingga jarak di antara mereka ting-

gal dua batang tombak saja.

"Kalau kau ingin menjajal kemampuanku, ada 

satu hal yang harus kau ingat," pinta Jaka berbasa-

basi. "Saat kita bertarung, kuharap kawan-

kawanmu tak menjahili kawan-kawanku."

"Itu terserah kami. Raja Pengecut!" potong le-

laki berusia lebih dari lima puluh lima tahun. Lelaki 

yang layak disebut kakek oleh Jaka itu mengenakan 

pakaian warna biru terang, wajahnya yang keriput 

dengan tatapan mata yang setajam mata elang me-

nandakan kalau dia lelaki yang matang segala ma-

cam pengalaman. Dialah lelaki yang berjuluk Kakek 

Seribu Totokan.

"Itulah ciri-ciri kalian para tokoh bejat!" ucap 

Jaka membuat telinga Kakek Seribu Totokan mema-

nas.

"Binasakan Raja Gila itu, Burdawa! Biar aku 

menguliti tubuh bocah-bocah itu!" perintah Kakek 

Seribu Totokan yang sesungguhnya bernama Niluh 

Gardela.

Golok Darah Mata Tunggal tak menunggu 

waktu lagi dengan ucapan Kakek Seribu Totokan, 

namun sebelum serangannya sampai ke arah Jaka, 

lelaki berjuluk Raja Petir itu telah lebih dulu melin-

dungi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake


suma dengan 'Aji Kukuh Karang'. Hal itu dilakukan

Jaka untuk menghindari bahaya akan keganasan 

tokoh-tokoh hitam yang berjuluk Walet Paruh Racun 

dan Kakek Seribu Totokan.

Kini di sekujur tubuh Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma nampak sinar warna 

kuning keemasan melingkar dan memendar-mendar.

"Hyaaa...!"

Brrrt!

Pada saat itu juga sebuah pukulan keras-

melayang ke arah kepala Jaka yang segera menim-

palinya dengan gerakan mengegos kakinya ke arah 

kanan. Pukulan Golok Darah Mata Tunggal memang 

melenceng ke lain arah, namun sambaran tangan 

yang lain dengan cepat menyusul mencecar ulu hati 

Raja Petir. 

Plak!

Sebuah benturan keras terjadi ketika tangan 

kiri Jaka bergerak melindungi ulu hatinya, sebuah 

benturan berkekuatan tenaga dalam tinggi yang 

membuat Raja Petir dan Golok Darah Mata Tunggal 

terjajar dua langkah ke belakang menandakan kalau 

kekuatan tenaga dalam mereka berimbang.

"Hm.... Baru kujumpai lawan yang memiliki 

tenaga dalam setinggi kau. Raja Edan! Tapi jangan 

bangga dulu, kehebatanmu akan kukubur sekarang 

juga!" bentak Golok Darah Mata Tunggal, kemudian 

tangan kanannya bergerak-gerak ke atas dan ke ba-

wah dengan kecepatan yang luar biasa. Itulah ilmu 

'Pukulan Maut Tangan Kosong' yang pada puncak-

nya menjelmakan sinar kebiruan yang membungkus 

tangan Burdawa. Sinar kebiruan yang menebarkan 

hawa dingin.


"Hiaaa...!"

Sesaat menyiapkan ilmu pukulannya, kini 

Burdawa melesat cepat ke arah Jaka. Tangan ka-

nannya yang terbalut sinar kebiruan terangkat sam-

pai ke batas kening, nampaknya si Golok Darah Ma-

ta Tunggal hendak menyarangkan pukulan mautnya 

dengan dibarengi tenaga dalam yang tidak sedikit, 

dan yang menjadi incarannya adalah bagian terle-

mah di tubuh Raja Petir. 

Buet! Beut!

Tubuh Jaka bergeser cepat ke samping kanan 

sebelum pukulan keras yang dilakukan Golok Darah 

Mata Tunggal mematahkan batang lehernya.

Apa yang dilakukan Raja Petir memang ber-

hasil, terbukti serangan yang dilakukan lawannya 

lolos beberapa jengkal dan hanya mampu menerpa 

tempat kosong, namun keterkejutan seketika me-

landa hati Jaka. Meskipun batang lehernya tak ter-

kena pukulan Golok Darah Mata Tunggal, namun 

angin pukulan dari lawannya membuat bagian le-

hernya seketika terasa kaku, ada hawa dingin yang 

luar biasa menyengat menjalar dalam darah di ba-

gian lehernya.

Seketika itu juga Jaka merasakan kepalanya 

sukar sekali untuk digerakkan, terlebih ketika dira-

sakannya hawa dingin itu mulai merambat ke ba-

gian dada.

Golok Darah Mata Tunggal yang menyaksikan 

Raja Petir berdiri seperti orang kebingungan, segera 

saja mengambil kesempatan yang dianggapnya men-

guntungkan. Tubuhnya seketika itu juga bergerak 

dan bermaksud menghancurkan tubuh lawan den-

gan ilmu yang sama, 'Pukulan Maut Tangan Kosong'.


"Hiaaa...!"

Teriakan keras yang dilakukan Burdawa 

membuat tatapan mata Jaka tak bergeming meman-

dangi sosok yang tengah meluruk ke arahnya. Awal-

nya Jaka ingin menciptakan 'Aji Bayang-Bayang' un-

tuk menggagalkan serangan lawannya, namun kein-

ginan lain muncul, hingga Jaka memutuskan me-

nangkis saja serangan Golok Darah Mata Tunggal 

dengan mengerahkan tenaga saktinya.

Plak! Tlak!

Pekik tertahan sama-sama terdengar melom-

pat dari mulut Raja Petir dan Golok Darah Mata 

Tunggal, kedudukan kedua tokoh bertenaga dalam 

tinggi itu pun terlihat kembali terjajar beberapa 

langkah ke belakang, dan jarak yang memisahkan 

itu segera digunakan Jaka untuk melepaskan diri 

dari pengaruh pukulan sakti yang telah dilancarkan 

Burdawa.

"Hhh...!"

Beberapa saat setelah menciptakan kekuatan 

hawa murni untuk melenyapkan pengaruh dingin 

yang diakibatkan dari 'Pukulan Maut Tangan Ko-

song' lawan, Raja Petir kembali siap untuk melan-

jutkan pertarungan.

"Ternyata kehebatanmu yang kudengar dari 

tokoh-tokoh rimba persilatan bukanlah sekadar 

bualan belaka, Raja Petir!" puji Golok Darah Mata 

Tunggal setelah dirinya mampu mengatasi rasa nyeri 

pada tangannya setelah berbenturan dengan kekua-

tan tangan Jaka. "Namun berhati-hatilah mengha-

dapi Golok Darahku ini, jika kau masih ingin men-

dengar pujian-pujian tokoh-tokoh rimba persilatan, 

namun aku yakin pujian-pujian itu tak akan kau


dapatkan lagi!" lanjut Burdawa dengan suara dan 

napas yang memburu.

Jaka memang mendengarkan kata-kata lelaki 

berpakaian hitam dan merah, namun ekor matanya 

tertuju pada kelakuan dua lelaki yang berjuluk Wa-

let Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan yang 

tengah berusaha menggempur Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma yang berada dalam ling-

karan sinar kuning keemasan yang diciptakan Jaka 

berkat 'Aji Kukuh Karang'.

"Sebenarnya aku tak suka dengan puji-pujian 

yang Tuan maksudkan itu," ucap Jaka berusaha 

berkilah. "Dan jika sekarang aku tak akan menda-

patkan pujian-pujian itu lagi, aku tak akan menyes-

al," tambahnya tenang.

"Baik! Jaga seranganku sekarang!" sentak Go-

lok Darah Mata Tunggal.

Sring...!

Bunyi gemerincing yang timbul ketika senjata 

milik Burdawa keluar dari warangkanya, tajam ter-

dengar. Senjata yang berupa golok besar bergerigi 

itu kini dipamerkan Burdawa dengan mengangkat-

nya sejajar dengan dahi.

Jaka yang melihat senjata milik lawannya 

langsung berkesimpulan kalau senjata milik Burda-

wa bukanlah senjata sembarangan. Jaka merasakan 

hawa panas yang menyergapnya saat senjata yang 

memendarkan sinar samar kemerahan itu lolos dari 

tempatnya.

"Haaat...!"

Sosok Burdawa kini betul-betul melesat ke 

arah Jaka, Golok Darah Mata Tunggalnya pun sege-

ra diayunkan ke bagian dada lawan.


Wung! Wung!

Dua kali berturut-turut Golok Darah Mata 

Tunggal berkelebat mencari sasaran, namun dua 

kali itu pula apa yang dilakukan Burdawa menemui 

kesia-siaan.

Jaka yang menjadi lawannya telah menghin-

dari serangan mautnya dengan mengerahkan ilmu 

'Lejitan Lidah Petir' yang bertumpu pada kecepatan 

gerak yang luar biasa. Tubuh Raja Petir dengan ce-

pat, layak petir, melesat dari tempat yang satu ke 

tempat yang lain. 

"Keparat kau, Raja Sinting! Kulumat tubuh-

mu! Hiaaa...!" kembali Golok Darah Mata Tunggal 

memekik geram setelah mendapatkan serangannya 

dikandaskan lawan, tubuhnya yang tinggi besar kini 

meluruk dengan senjatanya yang terayun-ayun di 

udara.

Wung...!

"Ups!"

Kembali Jaka bergerak lincah dan cepat den-

gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu 

membuat dirinya terhindar dari senjata maut Bur-

dawa. Si Golok Darah Mata Tunggal kembali mene-

lan kemangkelan mendapatkan serangannya kemba-

li menerpa tempat kosong.

Kemangkelan yang tertahan di dada Burdawa 

membuat lelaki bermata picak itu menghentikan se-

rangannya sesaat, dan kesempatan itu segera digu-

nakan Raja Petir untuk mengadakan serangan bala-

san. Jurus 'Petir Menyambar Elang' yang merupakan 

paduan jurus 'Lejitan Lidah Petir' langsung digelar-

nya.

"Hiaaa...!"


Layak seekor elang yang hendak menerkam 

ikan di dalam laut, sosok Jaka melesat ke arah Bur-

dawa. Gerakannya yang bagai kilat dengan dua tan-

gan terpentang lebar yang mengarah ke bagian dada 

dan kepala dengan leluasa dilakukannya. 

Bet! Bet!

Golok Darah Mata Tunggal yang menyadari 

serangan balasan Raja Petir terkejut bukan kepa-

lang, akan tetapi gerakan tiba-tiba yang dilakukan-

nya telah cukup menyelamatkan diri dari sambaran 

dua tangan Jaka.

Raja Petir sendiri kagum dengan kegesitan 

dan cara mengelak yang dilakukan Burdawa, dan itu 

membuatnya ingin mencoba memberikan serangan 

susulan yang lebih cepat.

"Hiaaa...!"

Tubuh Jaka kembali melayang di udara den-

gan dua tangan yang terpentang layak seekor elang 

terbang. Apa yang dilakukan Jaka terbaca oleh Bur-

dawa yang seketika itu juga menempatkan Golok 

Darah Mata Tunggalnya menyilang di depan dada. 

Rupanya Burdawa ingin menyambut serangan Raja 

Petir dengan menggunakan senjatanya.

Betul saja!

Manakala serangan Jaka mendekat, Burdawa 

langsung membabatkan Golok Darah Mata Tunggal-

nya ke depan.

Wung...!

Bunyi mengaung segera terdengar ditingkahi 

dengan teriakan menghindar yang keluar dari mulut 

Raja Petir.

Hops! 

Tuk!


Tanpa disadari Golok Darah Mata Tunggal, 

Jaka menggunakan senjata lawannya sebagai landa-

san untuk melakukan salto ke udara setelah tan-

gannya dengan cepat menekan batang Golok Darah 

Mata Tunggal. Dan ketika sosok Raja Petir sudah be-

rada di belakang Burdawa, dengan cepat tubuhnya 

bergerak memberikan tendangan yang mencecar ba-

gian punggung.

"Hiaaa...!"

Begkh!

"Hgkh...!"

Tubuh Burdawa langsung tersungkur mana-

kala tendangan keras yang dilancarkan Jaka men-

darat dengan tepat, namun patut dipuji daya tahan 

tubuh si Golok Darah Mata Tunggal, meski pung-

gungnya mendapatkan hantaman yang keras dirinya 

masih mampu bangkit dan berhajat kembali menye-

rang lawannya.

Namun belum lagi sosok Burdawa bergerak, 

Semaga lelaki bertubuh sedang yang bergelar Walet 

Paruh Racun telah lebih dulu melesat ke arah Jaka.

"Biar kubantu kau, Burdawa!" tukas Semaga 

dengan tubuh yang terus meluruk memberikan se-

rangan ke arah Jaka.

Lurukan tubuh Semaga yang begitu cepat dan 

lincah memang membuat dirinya pantas menyan-

dang julukan Walet Paruh Racun.

"Haaat...!"

Cwit! 

"Heh?! Hips!"

Tercekat hati Jaka mendapatkan serangan 

aneh yang dilancarkan laki-laki berjubah putih den-

gan kain warna merah yang menjuntai menutupi


punggung. Serangan yang dilakukan dengan gera-

kan menebas menggunakan telapak tangan yang te-

rentang menjelmakan serangkum angin yang mem-

bentuk lempengan setajam mata pisau. Untung saja 

Jaka cepat bergerak, melejit ke udara seraya mela-

kukan jungkir balik beberapa kali.

"Hyaaa...!"

"Hiaaat...! Haaa...!"

Baru saja kaki Jaka menginjak permukaan 

bumi, Walet Paruh Racun kembali melakukan pe-

nyerangan dengan berteriak lantang, akan tetapi 

yang datang menyerang bukan hanya dia seorang. 

Nampak Kakek Seribu Totokan dan Golok Darah 

Mata Tunggal ikut menyerbu ke arah Jaka.

"Kakak! Bebaskan kami! Biar kami bantu 

kau!" teriak Setya Wangsakesuma mencemaskan ke-

selamatan Raja Petir. Biar bagaimanapun juga dia 

dan saudaranya tak ingin berdiam diri melihat Jaka 

diserbu tiga lawan-lawannya yang cukup tangguh. 

Namun keinginan Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma tidaklah tercapai. Raja Petir tak juga 

membebaskannya dari lingkaran kuning keemasan 

yang mengurungnya. Lelaki tampan murid tunggal 

Nyi Selasih sibuk menghadapi serangan yang dilan-

carkan tiga lawannya.

"Hm.... Aku harus menggunakan 'Aji Bayang-

Bayang' untuk menanggulangi keganasan mereka," 

batin Jaka dalam hati.

Seketika itu juga, selesai dengan kata batin-

nya, sosok lelaki tampan yang mengenakan pakaian 

warna kuning keemasan bertambah menjadi lima 

kali lipat banyaknya.

Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Ra


cun dan Kakek Seribu Totokan seketika itu juga 

menghentikan gerakannya. Sungguh mereka tak 

percaya kalau Raja Petir memiliki ilmu yang begitu 

tinggi hingga sosoknya bisa bertambah menjadi ber-

kali lima banyaknya.

"Salah satu sosoknya pastilah yang asli, kita 

harus pandai-pandai memilih!" ujar Kakek Seribu 

Totokan sambil memandang kedudukan lima tubuh 

Raja Petir yang berdiri sejajar. "Burdawa, kau serang 

wujudnya yang paling kanan dan kau Semaga, se-

ranglah sosoknya yang paling kiri, sedangkan aku 

akan mengambil yang paling tengah," lanjut Kakek 

Seribu Totokan mengatur siasat 

Apa yang disiasatkan Kakek Seribu Totokan

memang benar adanya, cuma saja dirinya tak men-

dapatkan sasaran yang tepat. Justru Burdawalah 

yang mendapatkan petunjuk untuk menyerang wu-

jud Raja Petir yang asli, namun ketika mereka sama-

sama bergerak melakukan penyerangan, Jaka sudah 

merubah kedudukannya dengan menempatkan wu-

jud aslinya pada kedudukan nomor dua paling ka-

nan. Hingga ketika serangan ketiga lawannya sam-

pai, maka....

Bet! Bet! 

Cuit!

Wrugkh!

Serangan-serangan yang dilakukan Golok Da-

rah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek 

Seribu Totokan ternyata hanya membentur sosok 

kosong Jaka.

"Keparat!" hardik Golok Darah Mata Tunggal. 

"

"Sundel!"


Burdawa dan Semaga sama-sama memaki 

jengkel karena kegagalan serangannya, cuma Kakek 

Seribu Totokan yang diam mencari jalan untuk sege-

ra mungkin menaklukkan Raja Petir.

"Kita serang dia dengan cepat, dan berganti-

ganti pada semua wujudnya!" ucap Kakek Seribu To-

tokan lagi bersiasat.

"Kau benar! Ayo!" setuju Semaga. Sosoknya 

melesat mendahului kedua sekutunya. 


LIMA



Desa Karang Sedaya yang masih sepi pendu-

duknya, ternyata menjadi begitu bisingnya karena 

teriakan-teriakan keras yang dibarengi nafsu mem-

bunuh yang meletup-letup di dada tiga tokoh sesat 

yang bergelar Golok Darah Mata Tunggal, Walet Pa-

ruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan.

Keadaan Desa Karang Sedaya sendiri nampak 

menjadi tak karuan. Di sana-sini mulai nampak ta-

nah yang berlubang-lubang karena pukulan yang 

berkekuatan tenaga sakti salah arah, begitu juga 

dengan pohon-pohon yang sebagian besar tumbuh 

di Desa Karang Sedaya. Beberapa di antaranya ber-

tumbangan terkena pukulan yang luput dari sasa-

ran.

Kini ketiga tokoh hitam itu berbarengan melu-

ruk ke arah Raja Petir. Sesuai yang disiasati Kakek 

Seribu Totokan, mereka melakukan penyerangan 

dengan cepat mencecar lima sosok wujud Jaka.

Hal yang demikian itu tentu saja membuat 

Raja Petir harus dengan cepat pula menggeser dan

mengubah-ubah letak kedudukannya.

Berkali-kali Burdawa menebas-nebaskan go-

loknya ke bagian-bagian tubuh Jaka yang memati-

kan, namun sejauh itu tak satu pun serangan Bur-

dawa yang mengenai sasaran. Begitu juga dengan 

keadaan Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu To-

tokan yang tak juga berhasil menyarangkan tebasan 

dan totokan tangan mereka yang mematikan.

"Pergunakan racun!" teriak Semaga tiba-tiba. 

Tangan kanannya pun seketika itu juga menyelinap 

cepat ke balik pakaiannya. Hal serupa juga dilaku-

kan oleh Burdawa dan Niluh Gardela.

Wurrr...!

Tiga tokoh sesat itu berbarengan melempar 

senjata-senjata gelap mereka yang mengandung ra-

cun cukup ganas dan mematikan.

Asap warna kemerahan, kebiruan, dan kehi-

jauan yang dikeluarkan oleh masing-masing senjata 

rahasia milik lawan-lawan Raja Petir mengepul ke 

udara, dan mencoba mengurung kedudukan Jaka.

Akan halnya Raja Petir yang sudah terbiasa 

menghadapi kelicikan lawan-lawannya, maka sedikit 

pun tak timbul kegentaran menyaksikan racun-

racun yang mencoba mengurungnya, meski sesung-

guhnya dirinya tak akan terpengaruh oleh racun-

racun itu, namun serangan membokong lawanlah 

yang menjadi perhitungan. Maka seketika itu juga 

timbul hajat di hati Jaka untuk mengacaukan asap-

asap yang membentengi penglihatannya dengan 

mengerahkan 'Pukulan Pengacau Arah'. Kedudukan 

kaki dan kuda-kuda rendah pun diciptakan Jaka 

dengan telapak tangan terbuka yang diletakkan di 

pinggang, kemudian hentakan kuat pun dilakukan


nya.

Wrrr...!

Dua rangkum angin yang bergulung keluar 

dari telapak tangan Raja Petir menghentak keras. 

Angin yang bergerak layak pusaran itu terus melaju 

menyongsong asap-asap beracun yang mengganggu 

penglihatan Jaka.

Seketika itu juga perubahan nampak terlihat 

asap-asap beracun yang mengganggu penglihatan-

nya seketika itu juga porak-poranda dan nampak 

ketiga lawannya yang tengah bergerak bermaksud 

melakukan serangan membokong.

"Heaaa...!"

"Hiaaa...!"

Karena hatinya yang mulai dilanda kejengke-

lan, Jaka ikut berteriak keras, sementara kedua 

tangannya kembali menghentak memberikan puku-

lan jarak jauh.

Wusss! Wusss!

Kembali dua angin bergulung-gulung me-

nyongsong kedatangan sosok-sosok tokoh sesat yang 

berhajat membinasakan Raja Petir. Dan angin ber-

gulung yang keluar berkat ilmu 'Pukulan Pengacau 

Arah' itu membuat Burdawa, Semaga, dan Niluh 

Gardela mengurungkan niat jahatnya dan melem-

parkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk 

mencari selamat

"Hm.... Ternyata mereka adalah orang-orang 

keras kepala yang tak mengerti kata peringatan. Aku 

harus mengalah saat ini, biarlah kutunda saja per-

tarungan ini dengan meninggalkan mereka," putus 

Jaka dalam hati. Itu dilakukannya semata demi 

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.


Di samping itu juga Jaka ingin cepat-cepat menge-

tahui rahasia jati diri dua lelaki kembar itu dan juga 

hal ikhwal busur dan panah emas yang menjadi pe-

rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.

Maka ketika Golok Darah Mata Tunggal, Wa-

let Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan kembali 

melakukan penyerangan, dengan sikap seolah-olah 

hendak menyongsong serangan mereka, tubuh Jaka 

mencelat seraya memberikan pukulan jarak jauh-

nya, maka....

Wusss...!

Serangkum angin bergulung kembali keluar 

mengancam keselamatan lawan-lawannya, pada saat 

itulah Jaka merubah arah lejitannya dan mengham-

piri dua bocah kembar yang terkurung lingkaran si-

nar kuning keemasan.

"Ayo kita tinggalkan mereka, Dik!" ajak Jaka 

seraya membebaskan Setya Wangsakesuma dan 

Darma Wangsakesuma dari kurungan sinar kundng 

yang tercipta berkat 'Aji Kukuh Karang'.

Tanpa banyak tanya, Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma langsung berlari menuju 

utara dengan menggunakan ilmu lari cepat yang di-

peroleh dari Kakek Suranggrati. Jaka sendiri kagum 

menyaksikan ilmu lari lelaki yang baru berusia tiga 

belas tahun itu, ilmu lari yang cukup tinggi untuk 

ukuran lelaki muda usia seperti mereka.

Setelah menyaksikan lari dua lelaki kembar 

hingga mencapai beberapa batang tombak di depan, 

Jaka menolehkan wajahnya ke arah tiga tokoh sesat 

yang tengah bersiap melakukan serangan, bahkan di 

antara mereka ada yang bermaksud mengejar Setya 

Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.


Untuk mencegah maksud jahat Golok Darah 

Mata Tunggal beserta kawan-kawannya, Jaka segera 

saja menggelar 'Pukulan Pengacau Arah' untuk me-

nahan langkah mereka.

Werrr! Werrr! 

Dua kali dengan keras Jaka menghentakkan 

tangan kiri dan kanannya, lebih dari tiga rangkum 

angin bergulung layak pusaran kembali meluruk ce-

pat ke arah Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh 

Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang langsung sa-

ja melemparkan tubuh masing-masing demi mencari 

selamat dari hantaman angin pukulannya yang me-

nebarkan hawa panas menyengat.

Pada saat lawan-lawannya bergerak menghin-

dari serangannya, Jaka langsung menghentakkan 

kakinya keras-keras. Seketika itu sosoknya yang 

terbungkus pakaian warna kuning keemasan berke-

lebat bagai kilat meninggalkan lawan-lawannya dan 

menyusuli Darma Wangsakesuma serta Setya Wang-

sakesuma yang telah menghindar lebih dulu.

* * *

Tiga lelaki muda usia terlihat menghentikan 

lari mereka yang seperti dikejar-kejar setan. Dua le-

laki yang memakai pakaian warna sama memperli-

hatkan keringat yang mengucur pada dahi dan ke-

ningnya, sementara napasnya yang memburu me-

nandakan bahwa keduanya merasa terlalu lelah.

Sementara lelaki berpakaian warna kuning 

keemasan terlihat biasa-biasa saja, hanya sejentik 

keringat yang terlihat menggelantung di dahinya.

"Sebaiknya kita beristirahat dulu, Dik. Kalian



nampak begitu letih," ajak lelaki yang tak lain ada-

lah Jaka.

"Aku setuju, Kak," Setya Wangsakesuma yang 

menjawab ajakan Raja Petir.

"Aku juga, Kak. Apalagi perutku terasa lapar 

seperti ini," Darma Wangsakesuma memegang pe-

rutnya yang dirasakannya perih karena belum terisi 

makanan semenjak pagi kemarin. 

"Ah, kasihan sekali kalian ini," timpal Jaka. 

"Mari kita cari tempat istirahat sekaligus tempat 

mengi perut," ajak Jaka kemudian.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma kemudian mengikuti langkah kaki Raja Petir 

yang perlahan dan berbelok ke arah kanan, tak jauh 

dari kelokan jalan itulah, pada jarak kurang lebih 

sepuluh batang tombak tatapan mata mereka ber-

benturan dengan sebuah bangunan yang layak dis-

ebut sebuah kedai makan.

"Kalian lihat di depan sana?" tanya Jaka pada 

dua lelaki kembar yang kini jadi sahabatnya, telun-

juk kanannya menunjuk ke arah rumah yang bera-

tapkan rumbia.

"Ya," jawab Darma Wangsakesuma. "Semoga 

saja itu rumah makan," tambahnya berharap.

"Aku yakin itu kedai makan, Darma," timpal 

Setya Wangsakesuma seraya mengayunkan kakinya 

cepat-cepat mendahului langkah kaki Jaka.

"Ayo, Kak. Aku sudah lapar sekali," ajak Setya 

Wangsakesuma.

Tanpa ada ucapan lagi Raja Petir dan Darma 

Wangsakesuma mengayunkan kaki mereka cepat-

cepat, sepertinya mereka sedang berlomba untuk le-

bih dulu sampai di bangunan yang dituju.


"Harapan kita terkabul," tukas Setya Wangsa-

kesuma memastikan, karena memang dialah yang 

lebih dulu di depan kedai.

"Kalau begitu mari kita masuk," ajak Jaka. 

Tiga lelaki tampan nan muda usia itu kini sama-

sama melangkah memasuki kedai makan yang ber-

tuliskan 'Kedai Makan Pak Kumis Desa Tretes Da-

lem'.

Setelah Darma Wangsakesuma dan Setya 

Wangsakesuma dan juga Jaka mengambil tempat 

duduk di sebelah pojok, seorang pelayan tua meng-

hampirinya dengan sikap yang penuh hormat.

"Tuan-tuan muda ingin makan apa?" tanya le-

laki berkumis dan berambut putih dengan suara 

yang begitu sopan.

"Aku nasi putih dan panggang ayam, Kek," 

jawab Darma Wangsakesuma mendahului ucapan 

Setya Wangsakesuma yang sudah menggantung di 

bibir.

"Aku pesan yang serupa," pinta Setya Wang-

sakesuma. "Kak Raja Petir pesan apa?" tanyanya 

pada Jaka.

Jaka tentu saja tersenyum disebut dengan 

'Kak Raja Petir' oleh Setya Wangsakesuma, seketika 

itu juga bibirnya didekatkan ke telinga bocah muda 

usia yang masih begitu polos.

"Panggil saja Kak Jaka, jangan menyebut-

nyebut julukan itu lagi, ya," bisik Raja Petir di telin-

ga Setya Wangsakesuma.

Lelaki tampan yang saudara kembar Darma 

Wangsakesuma menganggukkan kepala, lalu perta-

nyaan serupa kembali terucap olehnya: "Kak Jaka 

pesan apa?"


"Kek, bawakan aku pesanan yang sama, ya," 

pinta Jaka pada lelaki tua penjaga kedai.

Lelaki penjaga kedai menganggukkan kepa-

lanya memenuhi pesanan pengunjungnya, tubuhnya 

dengan cepat berbalik ke arah dapur dan tak lama 

kemudian sudah kembali lagi dengan membawa ma-

kanan yang dipesan tiga lelaki tampan yang duduk 

di sudut ruangan.

"Ayo kita serbu hidangan ini," ajak Jaka ber-

nada akrab.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma tentu saja segera melahap hidangan yang 

membuat terbit selera makannya, nasi putih dan 

ayam panggang yang masih hangat membuatnya 

menyantap dengan lahap makanan yang ada tanpa 

menyisakan sedikit pun.

"Kalian mau nambah?" tanya Jaka kemudian 

sesaat melihat hidangan sudah berpindah ke perut 

Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.

"Tidak, Kak. Nanti aku tak bisa jalan karena 

kekenyangan," tolak Darma Wangsakesuma jujur.

Sementara Darma Wangsakesuma menjawab 

pertanyaan Raja Petir, lain lagi yang dilakukan Setya 

Wangsakesuma. Baru saja lelaki itu memperhatikan 

seorang lelaki berusia lanjut yang duduk di bagian 

sudut di sebelah barat kedai, langsung saja dia 

mendapatkan isyarat yang berguna untuknya, sau-

daranya dan juga Jaka.

Setya Wangsakesuma melihat lelaki yang ber-

jubah warna tembaga itu mengeluarkan tangannya 

yang semenjak tadi hanya tenggelam dalam kantung 

jubahnya yang longgar, Setya Wangsakesuma sem-

pat terkejut menyaksikan lengan kakek berjubah


warna tembaga itu tidak memiliki jari.

"Diakah Kakek Saroagung si Kakek Tanpa Ja-

ri?" batin hati Setya Wangsakesuma bertanya-tanya 

sendiri. "Aku yakin dia!" putusnya berkeyakinan.

"Kak, sebaiknya kita dekati kakek berjubah 

warna tembaga itu," pinta Setya Wangsakesuma pa-

da Raja Petir.

"Kau punya keperluan dengannya? Ah, hati-

hatilah," ucap Jaka mengomentari permintaan Setya 

Wangsakesuma.

"Aku kira kakek itulah yang berjuluk Kakek 

Tanpa Jari yang kita cari-cari, Kak," ucap Setya 

Wangsakesuma mengejutkan Darma Wangsakesuma 

dan juga Raja Petir.

"Apa alasan keyakinanmu, Setya?" tanya 

Darma Wangsakesuma penasaran.

"Barusan aku melihat tangannya yang tanpa 

jari," jawab Setya Wangsakesuma tegas dan mantap.

"Kau tak salah lihat?" tanya Darma Wangsa-

kesuma lagi merasa kurang yakin.

"Untuk apa aku mengajak Kak Jaka mende-

kati kakek itu kalau aku tak menyaksikan tangan-

nya yang tanpa jari," debat Setya Wangsakesuma 

sewot.

"Sebaiknya kita buktikan saja sekarang," tim-

pal Jaka menengahi, kemudian dengan langkah kaki 

ringan meninggalkan mejanya menghampiri lelaki 

berusia lanjut yang mengenakan jubah warna tem-

baga.

"Maaf, Kek," tutur Jaka sopan dengan berdiri 

sedikit membungkukkan badan di hadapan lelaki 

berambut panjang digelung ke atas. Setya Wangsa-

kesuma dan Darma Wangsakesuma pun melakukan

hal yang sama.

Kakek berpakaian warna tembaga itu sedikit 

terkejut menghadapi Jaka dan dua lelaki kembar, 

namun kemudian dengan sikap sopan dia memper-

silakan Jaka dan Setya Wangsakesuma, juga Darma 

Wangsakesuma untuk duduk mengisi bangku yang 

kosong.

"Apa yang bisa aku bantu, Nak?" tanya kakek 

berjubah warna tembaga dengan lemah lembut sete-

lah Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wang-

sakesuma mengambil tempat duduk masing-masing.

"Maaf sebelumnya, Kek. Jika kami bertiga te-

lah membuat hati Kakek gusar nantinya," ucap Jaka 

hati-hati. "Kami harap Kakek tidak tersinggung den-

gan pertanyaan kami," lanjut Jaka menjaga tata 

krama bicaranya.

"Katakanlah, Nak. Aku ingin tahu pertanyaan 

apa yang akan kalian ajukan," sahut kakek berjubah 

warna tembaga berkesan sabar.

"Maaf, barusan kawan saya menyaksikan len-

gan Kakek yang tanpa jari. Betulkah begitu, Kek?" 

tukas Jaka.

"Betul," jawab kakek yang duduk tenang di 

hadapan Raja Petir.

"Keyakinan kawanku ini, Kakek adalah yang 

bernama Kakek Saroagung, betulkah begitu, Kek?" 

tanya Jaka lagi.

"Hei! Dari mana kalian tahu nama asliku? 

Siapa kalian ini?" tanya kakek yang ternyata benar 

si Kakek Saroagung. Lelaki berusia sekitar enam pu-

luh tahunan itu sedikit mengalami keterkejutan.

"Dari Kakek Suranggrati," Setya Wangsake-

suma yang menjawab pertanyaan Kakek Saroagung.

"Suranggrati...?!"


ENAM



Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa 

Jari terkejut mendengar nama Kakek Suranggrati 

disebut-sebut oleh lelaki muda usia yang mengena-

kan pakaian warna merah darah, ditatapinya wajah 

Setya Wangsakesuma dengan tatapan penuh selidik. 

Kemudian tatapannya berpindah ke wajah Darma 

Wangsakesuma.

"Perkenalkan dirimu, Anak Muda. Dan kata-

kan apa hubunganmu dengan Suranggrati," pinta 

Kakek Tanpa Jari pada Setya Wangsakesuma.

"Namaku Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma saudara kembarku," ucap Setya 

Wangsakesuma memperkenalkan diri.

Kakek Saroagung mengangguk-anggukkan 

kepalanya mendengar tutur kata Setya Wangsake-

suma. Hatinya memang sudah menduga kalau lelaki 

berusia belasan tahun yang sama-sama mengena-

kan pakaian merah adalah sepasang anak kembar. 

Ada kesimpulan sekilas di hatinya, kalau merekalah 

cucu angkat Kakek Suranggrati.

"Kami sudah dianggap cucu oleh Kakek Su-

ranggrati, bahkan dianggap sebagai anak," ucap 

Darma Wangsakesuma menambahkan.

"Sudah kuduga," jawab Kakek Saroagung. 

"Sudah sedemikian besarnya kalian, gagah, dan

tampan," puji Kakek Tanpa Jari.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma tertunduk mendengar pujian Kakek Saroa-

gung, sementara si Kakek yang memuji kini menancapkan pandangannya lurus ke wajah Raja Petir.

"Kalau aku boleh menduga," ucapnya kemu-

dian tertuju pada Jaka. "Kaukah lelaki muda yang 

berjuluk Raja Petir?" lanjut Kakek Tanpa Jari.

"Orang-orang persilatan yang menggelariku 

seperti itu, Kek. Namun aku lebih senang dipanggil 

dengan sebutan Jaka," kilah Jaka merendah.

"Persis sekali dengan apa yang mereka kata-

kan, " bantah Kakek Saroagung. "Ternyata kau me-

mang seorang pemuda gagah yang tak sombong 

dengan gelarmu yang hebat, kau seorang yang ren-

dah hati dan santun budi," puji Kakek Saroagung te-

rang-terangan.

Jaka hanya tertunduk mendengarkan pujian 

itu, dia tak tahu harus membantah bagaimana.

"Apakah kalian bertiga atau tepatnya Setya 

Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma memang 

sengaja-sengaja mencari Kakek karena diutus oleh 

Kakek Suranggrati?" tanya Kakek Saroagung pada 

dua lelaki kembar.

"Betul sekali, Kek," jawab Darma Wangsake-

suma dan Setya Wangsakesuma bersamaan.

"Jika begitu, mari kita bicarakan saja segala 

urusan ini di tempat tinggalku," putus Kakek Saroa-

gung, kemudian tangannya melambai ke arah penja-

ga kedai untuk menyelesaikan pembayaran atas hi-

dangan yang telah dinikmatinya, termasuk mem-

bayari hidangan yang telah lenyap ke perut Jaka, 

Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma.

* * *

Rumah kediaman Kakek Saroagung yang ma


sih dalam wilayah Desa Tretes Dalem nampak begitu 

hening. Maklum pada jarak ratusan meter tak nam-

pak rumah penduduk tetangga Kakek Tanpa Jari.

Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma 

Wangsakesuma duduk di pendopo rumah yang di 

bagian sudutnya terdapat guci warna coklat beruki-

ran ular naga yang tengah menjulur-julurkan lidah-

nya. Dari guci itu pula Kakek Saroagung menciduk 

air minum untuk disediakan pada ketiga tamu mu-

danya.

"Air ini cukup enak untuk diminum, dingin 

seperti air dari pegunungan," tukas Kakek Saroa-

gung seraya meletakkan air ke hadapan Jaka, Setya 

Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma. "Sila-

kan diminum," lanjutnya mempersilakan.

Jaka dan dua lelaki kembar langsung mere-

guk air yang disediakan Kakek Saroagung, mereka 

langsung merasakan kebenaran kata-kata si em-

punya rumah. Air yang diteguknya barusan begitu 

dingin membuat tenggorokan terasa sejuk.

"Sekarang ceritakanlah dari awal, aku ingin 

mendengarkannya," pinta Kakek Saroagung. "Terse-

rah Darma Wangsakesuma atau Setya Wangsake-

suma yang mewakili," lanjutnya menambahi.

"Tiga belas tahun kami hidup bersama Kakek 

Suranggrati," ucap Setya Wangsakesuma mewakili 

saudaranya bercerita. "Kami hidup bahagia meski-

pun kehidupan kami terkurung pada satu tempat 

dan tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Men-

jelang usia kami yang ketiga belas tahun, Kakek Su-

ranggrati memperlihatkan sepasang benda yang cu-

kup bagus menurut kami, panah dan busur yang 

terbuat dari logam emas. Kakek Suranggrati berwasiat agar benda yang menurutnya adalah milik sah 

kami dan harus diserahkan pada Raja Petir untuk 

diselamatkan, karena menurut Kakek Suranggrati, 

hanya Raja Petirlah tokoh yang mampu menyela-

matkan panah dan busur emas dari tangan tokoh-

tokoh sesat yang juga mendambakannya untuk di-

miliki, namun sebelumnya kami harus menemui 

Kakek Saroagung untuk mendapatkan petunjuk 

akan jatidiri kami yang sesungguhnya baru kemu-

dian sama-sama mencari Raja Petir untuk menye-

rahkan panah dan busur emas, tapi kenyataannya 

kami bertemu lebih dulu dengan Raja Petir," papar 

Setya Wangsakesuma panjang lebar.

"Beruntung sekali kalian bertemu lebih dulu 

dengan Raja Petir. Kalau tidak, senjata maut yang 

berada di tangan kalian akan jatuh ke tangan orang-

orang yang tidak bertanggung jawab," sahut Kakek 

Saroagung. "Terima kasih kuucapkan padamu, Ja-

ka," tambah Kakek Saroagung sambil menolehkan 

kepalanya pada Jaka.

Jaka sempat tersipu menyaksikan apa yang 

dilakukan lelaki tua yang berjuluk Kakek Tanpa Ja-

ri, hingga dirinya tak kuasa berkata apa-apa atas 

ucapan terima kasih yang disampaikan Kakek Sa-

roagung.

"Sesungguhnya aku tak akan pernah tahu 

akan hal ikhwal jatidiri kalian seandainya saja aku 

tak diberitahu oleh Adik Pradipta," buka Kakek Sa-

roagung mengawali ceritanya. "Dari dialah aku tahu 

kalau kau anak seorang raja dari Kerajaan Watu 

Sanjai."

"Kami anak raja? Ah, kenapa Kakek Su-

ranggrati tak menceritakannya?" tanya Darma


Wangsakesuma lepas kendali.

"Tentu saja Suranggrati tak menceritakannya, 

karena dia tak mengetahui," kilah Kakek Tanpa Jari 

tenang.

Setya Wangsakesuma tertunduk malu.

"Pada waktu Adi Pradipta menyerahkan bayi 

kembar yang baru berusia tiga bulan, dia memang 

tak bercerita apa-apa pada Suranggrati. Adi Pradipta 

hanya menyerahkan dua bayi kembar untuk dirawat 

sebaik mungkin dan juga menyerahkan panah dan 

busur emas untuk disimpan dan kemudian diserah-

kan pada si Bayi jika sudah besar. Setelah berpesan 

seperti itu Adi Pradipta langsung kembali ke Kera-

jaan Watu Sanjai," sampai di situ Kakek Saroagung 

menghentikan ceritanya, tatapan matanya tertuju ke 

wajah Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma yang dengan begitu sungguh-sungguh men-

dengar ceritanya.

"Siapakah Pradipta itu? Mengapa menyerah-

kan kami pada Kakek Suranggrati? Dan apa yang 

sesungguhnya terjadi di dalam Kerajaan Watu San-

jai, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma cukup cer-

dik.

"Pradipta adalah abdi setia Raja Watu Sanjai, 

dia dengan berani membawa kabur diri kalian kare-

na dia tak ingin kalian dipelihara oleh orang yang te-

lah melenyapkan rajanya sendiri, orang yang telah 

membunuh ayahmu, Sunan Jagat Sena," jelas Ka-

kek Saroagung.

"Siapakah orangnya, Kek?" desak Darma

Wangsakesuma penasaran.

"Mahapatih Paksa Dahana. Orang keper-

cayaan ayahmu," jawab Kakek Saroagung mantap.


Seketika itu juga kegeraman melanda hati 

Setya Wangsakesuma hingga tak sadar tinjunya 

yang terkepal melayang ke udara.

"Kau memang wajib marah, Setya," ucap Ka-

kek Tanpa Jari.

Sementara Jaka yang mendengarkan penutu-

ran Kakek Saroagung yang panjang lebar tak mem-

berikan reaksi apa-apa, dirinya cuma bisa mengasi-

hani nasib Setya Wangsakesuma dan Darma Wang-

sakesuma, namun di hati Raja Petir terbersit keingi-

nan untuk membantu bocah kembar itu jika me-

mang mereka berminat merebut kembali mahkota 

raja yang terlepas dari kepala ayahnya.

"Lalu apakah patih laknat itu yang kini men-

duduki jabatan sebagai Raja Watu Sanjai, Kek?" 

tanya Darma Wangsakesuma setelah berhasil mere-

dakan amarahnya.

"Betul. Dan dia berkuasa dengan kesewenan-

gannya.

"Lalu apakah Ibu kami masih hidup?" tanya 

Setya Wangsakesuma.

"Ya. Dalam tahanan bawah tanah," jelas Ka-

kek Saroagung.

"Patih laknat!" maki Darma Wangsakesuma 

sewot

"Kenapa rakyat tidak memberontak manakala 

rajanya dan permaisuri dilakukan sedemikian itu?"

"Rakyat tidak bisa berontak karena akal licik 

Patih Paksa Dahana yang bekerja sama dengan seo-

rang perempuan cantik yang berjuluk Bidadari Pe-

nyamar. Bersamanya pembunuhan berencana ter-

hadap ayahmu terlaksana tanpa menimbulkan ke-

curigaan orang-orang yang setia pada rajanya. Pem


bunuhan itu dilaksanakan seolah-olah raja menga-

lami kecelakaan dengan kuda tunggangannya saat 

mengunjungi rumah seorang sahabat karibnya, dan 

si Bidadari Penyamar itu menggantikan kedudukan 

Nyi Paramesti Dewi yang sampai saat ini masih 

mendekam dalam ruang tahanan bawah tanah," tu-

kas Kakek Tanpa Jari berusaha menjelasi sejelas-

jelasnya.

Tangan Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma sama-sama terkepal menahan ama-

rah yang meletup-letup, sementara wajah mereka 

memerah karena usahanya menekan amarah sebisa 

mungkin.

"Jika aku boleh ikut bicara, kiranya masih hi-

dupkah lelaki bernama Pradipta yang telah berjasa 

menyelamatkan Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma, Kek?" tutur Jaka ikut bicara.

"Pradipta telah tewas di tangan Bidadari Pe-

nyamar yang memiliki kesaktian cukup tinggi," ja-

wab Kakek Tanpa Jari.

Untuk sesaat suasana di pendopo kediaman 

Kakek Saroagung menjadi hening, tak lagi terdengar 

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Setya Wang-

sakesuma dan Darma Wangsakesuma pada lelaki 

berusia lanjut yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.

"Apakah kalian berniat merebut kembali tahta 

singgasana kerajaan yang kini diduduki oleh Patih 

Paksa Dahana?" tanya Kakek Saroagung kemudian 

memecah keheningan.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma sama-sama melemparkan pandangannya ke 

wajah Kakek Saroagung, namun dari mulut mereka 

tak keluar sepatah kata pun.


"Kakek akan membantu kalian untuk itu," 

ujar Kakek Saroagung dengan tatapan yang sebentar 

kemudian beralih ke wajah Jaka. "Kakek rasa Raja 

Petir pun dengan senang hati akan membantu ka-

lian," lanjutnya menambahkan.

"Aku ingin kita membebaskan ibu terlebih du-

lu, Kek. Kasihan dia tersiksa selama belasan tahun, 

meringkuk dalam sel bawah tanah yang tak layak 

bagi seorang permaisuri raja," ucap Saroagung tak 

menjawab pertanyaan Kakek Tanpa Jari. "Setelah 

Ibu terselamatkan, baru kita pertimbangkan kembali 

pertanyaan Kakek barusan. Aku yakin banyak 

orang-orang kerajaan, orang-orang istana yang ma-

sih memihak pada Ibu jika mereka tahu siapa se-

sungguhnya Nyi Paramesti Dewi yang kini menjadi 

pendamping patih laknat itu, dan aku yakin pula ka-

lau mereka yang sesungguhnya setia pada raja dan 

permaisuri yang sah akan membantu kita sepenuh 

hati, meski nyawa yang menjadi taruhannya," lanjut 

Setya Wangsakesuma dengan ucapan yang penuh 

semangat.

Kakek Tanpa Jari mengangguk-anggukkan 

kepalanya. "Tentu saja, Setya. Yang pertama kali ha-

rus kita lakukan adalah menyelamatkan ibumu. 

Dan untuk itu kita harus mengatur siasat secermat 

dan setepat mungkin. Kakek pribadi akan meminta 

bantuan pada sahabat-sahabat Kakek yang memiliki 

ilmu silat tingkat tinggi, juga meminta bantuan 

orang-orang dalam istana yang setia. Pradipta telah 

menyebutkan nama-nama orang dalam istana jika 

suatu saat aku ingin berbuat sesuatu untuk kepen-

tingan kalian berdua."

"Terima kasih, Kek," ucap Darma Wangsake


suma. Hatinya terasa gembira mengingat rencana 

mereka untuk menyelamatkan ibu kandungnya.

"Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh golon-

gan hitam yang berniat memiliki panah dan busur 

emas ini?" tanya Setya Wangsakesuma kemudian.

"Kita memang harus menghadapi mereka un-

tuk mempertahankan benda peninggalan orangtua

mu, Setya. Di antara tokoh-tokoh sesat itu, bukan 

mustahil ada yang sengaja diutus Mahapatih Paksa 

Dahana dan Bidadari Penyamar," papar Kakek Tan-

pa Jari menjelaskan.

"Berarti kita harus menyingkirkan mereka ter-

lebih dahulu, Kek," ujar Saroagung.

"Ya," mantap jawaban yang dilakukan Kakek 

Saroagung. "Namun menyingkirkan bukan berarti 

harus membinasakan mereka," lanjutnya menjelasi. 

"Bukan begitu, Jaka?"

"Betul, Kek," jawab Jaka.

Kakek Saroagung tersenyum dengan jawaban 

Raja Petir, lalu katanya kemudian, "Untuk hari ini, 

beristirahatlah kalian hingga esok. Dan setelah fajar 

menyingsing, baru sama-sama kita mendatangi ru-

mah kediaman Kakek Rangsasana, dia sahabatku 

yang juga teman seperguruan Bidadari Penyamar. 

Kakang Rangsasana juga ahli dalam penyamaran 

dan menyamarkan orang lain, karenanya kita sangat 

membutuhkan bantuannya."

"Kakek memanggil Kakek Rangsasana sebagai 

'Kakang', itu berarti umur Kakek Rangsasana lebih 

tua darimu. Dan beliau adalah teman seperguruan 

si Bidadari Penyamar. Apakah si Bidadari Penyamar 

itu adalah orang yang juga sudah lanjut usia?" tanya 

Jaka.


"Betul. Usianya kurasa sebaya denganku," ja-

wab Kakek Saroagung. "Namun kurasa setiap lelaki 

akan tergiur menyaksikan si Bidadari Penyamar 

yang bertubuh bagus dan menantang, wajahnya 

yang cantik layaknya perempuan yang berumur be-

lasan tahun. Entah ramuan apa yang diminumnya 

hingga dirinya menjadi awet muda seperti itu," lan-

jut Kakek Tanpa Jari menjelaskan.

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma yang mendengarkan ucapan Kakek Saroagung 

terbelalak kaget, mana ada orang tua yang memiliki 

para secantik perempuan umur belasan tahun, begi-

tu batin Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsa-

kesuma berkata-kata, namun tidak demikian halnya 

bagi Jaka. Sepenuhnya dia tak meragukan penjela-

san Kakek Saroagung. Di kalangan dunia persilatan 

banyak berkembang ilmu-ilmu dan ramuan-ramuan 

yang membuat manusia-manusia menjadi awet mu-

da, bahkan Jaka pernah mendengar kalau ada seo-

rang tokoh persilatan yang memiliki 'Ramuan Kea-

badian'.

"Nah, manfaatkanlah waktu istirahat kalian 

dengan baik agar besok kita dapat lebih siap meng-

hadapi orang-orang sesat maupun orang-orang su-

ruhan si Bidadari Penyamar. Jika kalian ingin tidur, 

ada tiga kamar di bagian belakang yang selalu tera-

wat bersih," ujar Kakek Tanpa Jari.

"Kalau begitu kami ke belakang dulu, Kek," 

ujar Jaka.

"Kami juga, Kek," timpal Setya Wangsakesu-

ma dan Darma Wangsakesuma bersamaan.

Kini di pendopo hanya tinggal Kakek Tanpa 

Jari yang memandang sosok Raja Petir dan dua lela

ki kembar putra dari Kerajaan Watu Sanjai.


TUJUH



Saat matahari terjaga dari peraduannya, ko-

kok ayam hutan pun bersahut-sahutan menyong-

song datangnya pagi. Saat itulah empat lelaki tengah 

berjalan gagah ke arah Selatan, keluar dari desa 

yang bernama Tretes Dalem. Nampaknya empat le-

laki itu tengah menuju sebuah daerah gunung batu 

yang menjadi batas wilayah Desa Tretes Dalem den-

gan Desa Warakula. 

"Masih jauhkah kediaman Kakek Rangsasana, 

Kek?" tanya lelaki muda usia yang tak lain adalah 

Darma Wangsakesuma. Memang terlihat kalau 

Darma Wangsakesuma sudah tak sabaran untuk se-

gera tiba di tempat tujuan, maklum, dia ingin cepat-

cepat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan 

ibunya.

"Setengah hari perjalanan lagi, Nak," jawab 

Kakek Tanpa Jari.

"Bagaimana kalau kita tempuh saja dengan 

menggunakan ilmu lari cepat, biar lebih cepat sam-

pai," usul Setya Wangsakesuma yang juga mengala-

mi perasaan sama dengan saudara kembarnya.

"Kakek setuju saja. Bagaimana dengan kau, 

Jaka?" lemparnya ke arah Jaka.

"Aku menurut saja apa yang Setya dan Darma 

ingini," jawab Jaka.

"Jika begitu, mulailah kalian berlari," perintah 

Kakek Saroagung pada dua lelaki kembar.

Tanpa menunggu lama Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma sudah melesat cepat


menggunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, Kakek 

Saroagung dan Jaka hanya memandangi tingkah 

anak kembar itu dengan sesungging senyum.

"Ayo, Jaka. Hops!" Kakek Saroagung meng-

hentakkan kakinya dengan keras, seketika itu juga 

tubuhnya melayang deras, jelas lelaki berusia enam 

puluh tahunan itu berlari dengan menggunakan il-

mu lari cepat yang dibarengi dengan ilmu meringan-

kan tubuh tingkat tinggi.

"Hups!"

Jaka pun melakukan hal yang sama, melesat 

cepat menggunakan ilmu lari cepatnya.

Namun belum lagi setengah pal jarak yang di-

tempuh Jaka, dia melihat kalau Setya Wangsakesu-

ma dan Darma Wangsakesuma, juga Kakek Saroa-

gung menghentikan larinya. Di depannya nampak 

menghadang dua orang lelaki bertubuh tegap yang 

mengenakan pakaian rompi warna coklat, sementara 

di belakang dua lelaki berkepala gundul itu nampak 

belasan lelaki bersenjata golok.

"Kau kenal mereka, Kek?" tanya Raja Petir 

pada Kakek Tanpa Jari.

Kakek Saroagung menganggukkan kepala. 

"Dua lelaki itulah yang bergelar Dua Iblis Gunung 

Batu, sedangkan belasan lelaki bersenjata golok itu, 

pastilah anak buahnya," jelas Kakek Saroagung.

"Apakah mereka menginginkan juga panah 

dan busur emas?"

"Dugaanku begitu," jawab Kakek Saroagung 

dengan langkah kaki yang terayun mendahului ke-

dudukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsa-

kesuma.

"Tuan-tuan muda yang gagah, kami minta


dengan rendah hati, berilah kami sedikit jalan," ucap 

Kakek Saroagung mantap dan berkesan tenang.

"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"

Ucapan Kakek Tanpa Jari dibalas dengan ta-

wa yang terkesan begitu merendahkan.

"Jika kau ingin berlalu dari tempat ini dengan 

selamat, harap tinggalkan dua lelaki kembar itu!" 

keras ucapan yang dilontarkan salah seorang dari 

dua lelaki yang mengenakan rompi warna coklat. Le-

laki itu mengenakan anting-anting besar di telinga 

bagian kiri. Tubuhnya yang tegap berisi menampak-

kan otot-otot yang melingkar-lingkar.

"Apa yang kalian inginkan dari kedua cucuku 

ini?" tanya Kakek Saroagung sambil menyentuh ba-

hu Setya Wangsakesuma.

"Dirinya! Dan juga panah dan busur emas mi-

liknya," jawab lelaki lain yang mengenakan anting-

anting besar pada telinga bagian kanan.

"Permintaan kalian itu sungguh tak masuk di 

akal! Mana mungkin aku mau menyerahkan cucuku 

pada orang yang bejad seperti kalian, apalagi dengan 

panah dan busur emas itu," bantah Kakek Saroa-

gung.

"Jika kalian ingin selamat cepat serahkan bo-

cah-bocah itu dan juga benda yang kumaksud!" ben-

tak lelaki beranting-anting besar di telinga kiri. "Aku 

Junali tak akan segan-segan menurunkan tangan 

maut!" lanjut lelaki yang mengaku bernama Junali.

"Ya. Cepat! Jangan tunggu Sunawi bertindak 

kasar!" timpal temannya yang lain.

Kakek Saroagung menatap wajah Jaka sebe-

lum meladeni ucapan lelaki yang bernama Junali 

dan Sunawi. "Apakah menurutmu yang pantas kita


lakukan untuk mereka, Jaka?!" tanya Kakek Tanpa 

Jari.

"Bagaimana jika kutantang kedua lelaki itu 

dalam beberapa jurus?" usul Jaka menimpali perta-

nyaan Kakek Tanpa Jari.

"Silakan, Jaka," setuju lelaki lanjut usia yang 

mengenakan jubah warna tembaga.

Mendengar persetujuan Kakek Tanpa Jari, 

tanpa menunggu waktu lama kaki Raja Petir lang-

sung terangkat beberapa tindak mendekati dua lela-

ki bertubuh tegap yang berjuluk Dua Iblis Gunung

Batu.

"Maaf tuan-tuan yang gagah berani," ujar Ja-

ka ketika langkahnya terhenti pada jarak kurang le-

bih tiga batang tombak dari hadapan orang-orang 

yang menghadang perjalanannya. "Bukannya kami 

tak ingin mengabulkan permintaan, namun ada satu 

syarat yang harus kalian penuhi jika ingin menda-

patkan adik-adik kami dan juga panah dan busur 

emas milik mereka," lanjut Jaka berujar.

"Apa syarat itu?!" tanya Junali bernada mem-

bentak.

"Kalian harus bisa menundukkanku hanya 

dalam sepuluh jurus, lebih dari itu harap kalian su-

di merelakan kami pergi meninggalkan tempat ini," 

jawab Jaka tegas.

"Ha ha ha...!"

Persyaratan yang diajukan Jaka disambut ta-

wa meleceh yang keluar dari mulut Dua Iblis Gu-

nung Batu serta belasan pengikutnya.

"Dalam lima jurus pun kepalamu kurasa su-

dah terpisah dari badan, Anak Muda!" ledek Sunawi.

"Aku ingin bukti akan ucapanmu itu, Suna


wi!" tantang Jaka lantang.

Merah padam wajah Sunawi mendengar tan-

tangan itu, maka langkah kakinya pun segera tercip-

ta dua tindak.

"Ayo Junali, kita hancurkan bocah ingusan 

yang tak tahu diri ini," ajak Sunawi pada Junali.

"Ayo," timpal Junali.

Dengan memasang kuda-kuda rendah, Suna-

wi dan Junali sama-sama mengambil ancang-ancang 

untuk melakukan penyerangan. Nampak bagian 

tangan dua lelaki yang berjuluk Dua Iblis Gunung 

Batu menegang kaku, jelas terlihat kalau mereka 

tengah menyalurkan tenaga dalamnya untuk menye-

rang Raja Petir.

"Yeaaah...!"

Tubuh Sunawi melesat lebih dulu daripada 

Junali. Tangannya yang terkepal terangkat di sisi 

kepala.

"Yeaaat...!"

Selang beberapa saat Junali melakukan hal 

yang sama. Kini keduanya sama-sama bergerak me-

nyerang dari dua arah.

Bet! Bet!

Raja Petir bergerak-gerak lincah dengan 

menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Tentu saja 

gerakannya yang cepat itu membuat Dua Iblis Gu-

nung Batu menemui kesukaran untuk menyarang-

kan serangannya, kemarahannya pun mulai berko-

bar.

"Setan belang!" maki Junali kasar.

"Keparat!" hardik Sunawi geram.

"Jangan cuma bisa memaki, Tuan-tuan yang 

gagah. Ayo keluarkan jurus andalan kalian," tantang


Jaka penuh ejekan.

"Sombong kau!" bentak Junali. "Belum per-

nah kau rasakan kehebatan jurus 'Dua Iblis Melebur 

Gunung'," lanjut Junali seraya menyebutkan nama 

jurus andalannya.

"Jurus 'Dua Iblis Mengaduk Comberan' pun 

tak akan aku takuti," ledek Jaka lagi. Sengaja itu di-

lakukan Jaka untuk memancing kemarahan lawan 

lebih jauh, karena dengan kemarahan lawan yang 

menjadi-jadi, dengan sendirinya mereka tak mem-

perhatikan kekosongan pertahanannya, dengan be-

gitu Jaka tak akan menjumpai kesulitan untuk me-

nyarangkan serangan balasan.

Ternyata pancingan Jaka mendapat hasil. 

Dengan tatapan mata membara bagai mata seekor 

harimau, Dua Iblis Gunung Batu menggereng mur-

ka. "Hrghghg...! Kau memang harus dibinasakan, 

Bocah! Yeaaat..!"

Dua lelaki bertubuh tinggi besar dan menge-

nakan rompi warna coklat melesat cepat menyerang 

seorang pemuda tampan yang berjuluk Raja Petir. 

Dua lelaki yang mengenakan sebelah anting itu kini 

melakukan penyerangan tidak dengan tangan ko-

song. Junali dan Sunawi telah menghunus senja-

tanya yang berupa tombak tanggung kembar.

Wut! Wut!

Plak! Plak!

Sengaja Jaka tidak mengelakkan serangan 

pertama yang datangnya melalui tangan Junali, dia 

ingin tahu sejauh mana kekuatan tenaga dalam la-

wan, itu makanya Jaka hanya menangkis luncuran 

dua mata tombak yang mengancam bagian dada dan 

perutnya. Akibat dari tangkisan Jaka, sosok Junali


nampak terhuyung tiga langkah ke belakang, lelaki 

itu merasakan tangannya linu seketika. Hal seperti 

itu jelas menandakan tenaga dalamnya kalah di-

banding dengan tenaga dalam yang dimiliki Jaka.

Sunawi yang menyaksikan Junali terhuyung 

mundur, seketika itu juga menambahkan kekuatan 

tenaga dalamnya pada luncuran tombaknya yang te-

rarah ke bagian dada.

"Yeaaat..!"

Di luar dugaan Sunawi, Jaka tak bergeming

dari kedudukannya. Lelaki yang bergelar Raja Petir 

seperti sengaja menyongsong kedatangan mata tom-

bak dengan dada dan perutnya yang tanpa dilindun-

gi apa-apa, akan tetapi.... 

Trak! Trak!

Sunawi terpental mundur saat senjatanya 

menghujam keras bagian dada dan perut Jaka yang 

telah dilindungi kekuatan tenaga dalam yang jauh di 

atas kekuatan tenaga dalam lawan, maka bukan 

hanya tubuh Sunawi yang terpental, tapi juga senja-

tanya yang jadi patah menjadi dua bagian.

Untuk memberikan peringatan pada lawan-

nya, tubuh Jaka melejit dengan cepat menggunakan 

jurus 'Petir Menyambar Elang'.

Tuk! Tuk!

Dua kali totokan tangan Jaka mendarat di 

bagian tubuh Sunawi, hingga lelaki berkepala gun-

dul itu ambruk di tanah dan tak mampu bangkit un-

tuk melanjutkan pertarungan karena tubuhnya su-

dah tertotok lumpuh.

"Bagaimana, Junali? Kawanmu ini sudah tak 

punya daya apa-apa untuk melanjutkan pertarun-

gan, apakah kau akan menghadapiku seorang diri?"


tanya Jaka sambil menuding sosok Sunawi yang ter-

geletak tak berdaya.

"Hhh!" Junali mendengus marah, namun dia 

tak segera melakukan sesuatu untuk membuktikan 

kalau dirinya tak gentar untuk meneruskan perta-

rungan.

"Kalau kau takut melanjutkan pertarungan, 

aku memberimu kebebasan untuk segera pergi dari 

sini," ucap Jaka lagi.

"Hhhs!" Junali kembali mendengus. "Kali ini 

aku mengaku kalah, tapi tidak untuk lain kali!" lan-

jutnya ketus.

"Lain kali aku yang mengalah, tuan yang ga-

gah. Karena kita tak pernah punya sengketa satu 

sama lain," kilah Jaka. "Sekarang pergilah dan bawa 

temanmu itu! Jangan tunggu kawan-kawanku ma-

rah!" tambah Jaka sambil melempar pandangan ke 

arah Kakek Tanpa Jari dan Setya Wangsakesuma, 

juga Darma Wangsakesuma yang semenjak tadi 

hanya menjadi penonton.

Junali menggerakkan tangannya memberi 

isyarat pada belasan lelaki bersenjata golok agar tiga 

orang maju membopong tubuh Sunawi.

"Tak akan kami lupakan penghinaan ini!" 

ucap Junali tegas. "Lain kali pasti kupenggal kepa-

lamu! Sekarang aku ingin kau menyebutkan nama 

dan julukanmu?" pinta Junali sebelum berlalu dari 

hadapan Jaka.

"Namaku, Jaka," ucap Jaka-memenuhi per-

mintaan Junali. "Orang-orang menjulukiku sebagai 

Raja Petir," lanjutnya dengan suara datar.

"Raja Petir?!" ada nada keterkejutan yang te-

rucap dari penyebutan nama julukan Jaka. Mata


Junali pun nampak menyimpan keterkejutan yang 

sama.

"Begitulah orang-orang memanggil julukan-

ku."

Tanpa berkomentar lagi Junali menghentak-

kan kakinya cukup keras dan berlalu begitu saja da-

ri hadapan Jaka. Tiga lelaki yang membopong tubuh 

Sunawi pun melakukan hal yang sama, diikuti den-

gan belasan lelaki bersenjata golok yang juga berlalu 

dari hadapan Jaka mengikuti ketua mereka.

"Ternyata hanya sebegitu nyali mereka," usik 

Kakek Tanpa Jari setelah Dua Iblis Gunung Batu 

dan belasan anak buahnya berlalu dari pandangan-

nya.

"Kak Jaka hebat," puji Setya Wangsakesuma 

polos.

"Iya. Gerakan Kakak ringan dan cepat," timpal 

Darma Wangsakesuma ikut-ikutan.

"Kalian terlalu mengada-ada," kilah Jaka me-

rendah. "Ah, ayo kita lanjutkan perjalanan ini," pin-

tanya kemudian.


DELAPAN



"Saroagung!" sambung lelaki berusia lanjut 

ketika si Kakek Tanpa Jari, Raja Petir dan Setya 

Wangsakesuma juga Darma Wangsakesuma bam sa-

ja melintasi tumpukan batu-batu sebesar perut ker-

bau yang mengapit jalan selebar dua batang tombak, 

sebuah daerah yang masih masuk dalam kawasan 

Desa Warakula.

"Kakang Rangsasana!" sambut Kakek Tanpa


Jari. Kemudian tangannya yang tak memiliki satu 

jari pun digenggam erat jari-jari tangan Kakek Rang-

sasana.

"Aku butuh bantuanmu," tanpa basa-basi 

Kakek Tanpa Jari langsung mengucapkan tujuan 

kedatangannya.

"Jangan khawatir," timpal Kakek Rangsasana 

seraya mempersilakan mereka masuk ke rumah

yang dikelilingi oleh bebatuan sebesar perut kerbau.

Kakek Tanpa Jari pun langsung membuka 

percakapan dengan memperkenalkan diri Setya 

Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berikut 

kejadian yang dialami raja dari Kerajaan Watu San-

jai yang tak lain adalah ayah kandung Darma Wang-

sakesuma dan Setya Wangsakesuma. Kakek Saroa-

gung juga menceritakan cita-citanya untuk membe-

baskan permaisuri raja yang sampai saat ini masih 

mendekam dalam tahanan bawah tanah, di samping 

itu juga Kakek Saroagung memperkenalkan Raja Pe-

tir.

"Sungguh aku tak percaya kalau hari ini akan 

kedatangan tamu yang namanya bergema di seluruh 

persada persilatan. Sungguh suatu kebanggaan ba-

giku," ucap Kakek Rangsasana ketika tahu kalau 

pemuda yang berpakaian warna kuning keemasan 

adalah Raja Petir.

"Ah, jangan terlalu membesar-besarkan, Kek," 

kilah Jaka tak enak hati. "Yang jelas kedatanganku 

bersama Kakek Saroagung adalah untuk meminta 

bantuan," lanjut Jaka merendah.

"Kita sama-sama membantu Darma dan 

Setya, " ujar Kakek Rangsasana masih tetap me-

ninggikan kedudukan Jaka.


"Tentu, Kek," sambut Jaka mantap.

"Setelah mendengar cerita kalian di benakku 

langsung terselip sebuah rencana yang mudah-

mudahan bisa kalian setujui, namun sebelumnya 

aku akan memberitahukan dulu pada Jaka, Darma 

Wangsakesuma, dan Setya Wangsakesuma bahwa 

orang yang menjabat sebagai permaisuri raja saat ini 

adalah adik seperguruanku. Kalau saja Kakek Sa-

roagung tak menceritakan persoalan ini padaku, 

mungkin sampai mati aku tak akan mengetahui di 

mana Nyi Ganda Laras berada," ujar Kakek Rangsa-

sana menjelasi. "Ada satu masukan yang patut ka-

lian ketahui, termasuk oleh Adi Saroagung. Itu jika 

kalian semua memang belum tahu," lanjut Kakek 

Rangsasana.

"Apa itu, Kakang?" tanya Kakek Tanpa Jari 

ingin tahu.

"Pihak kerajaan tengah mengadakan sayem-

bara," beritahu Kakek Rangsasana.

"Sayembara?" ulang Darma Wangsakesuma. 

"Ya. Busur emas yang kalian milikilah yang sedang 

disayembarakan pihak kerajaan, ini pasti keinginan 

Patih Paksa Dahana dan Nyi Ganda Laras. Akan te-

tapi bukan hanya benda itu yang diingini, diri Setya 

Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma juga

menjadi tujuan dari sayembara itu. Dalam isi pen-

gumuman sayembara yang disaksikan oleh dua 

orang muridku mengatakan kalau dua lelaki kembar 

berusia lebih kurang tiga belas tahu didapati memi-

liki panah dan busur emas, maka keduanya harus 

dibawa serta ke kerajaan hidup-hidup," tandas Ka-

kek Rangsasana.

"Lalu apa rencana Kakek Rangsasana?" desak


Darma Wangsakesuma tak sabar.

"Salah satu di antara kalian harus ada yang 

mengikuti sayembara itu," jawab lelaki bertubuh 

tinggi dengan sorot mata yang masih memperli-

hatkan ketajamannya.

"Bagaimana kalau Jaka yang mengikuti," usul 

Kakek Tanpa Jari. "Aku yakin Kakang bisa menya-

markannya menjadi seorang persilatan yang tak di-

kenal," lanjut Kakek Saroagung.

"Aku setuju dengan usulan Adi Saroagung, 

bagaimana denganmu, Jaka?" lempar Kakek Rang-

sasana pada Raja Petir.

"Aku bersedia," sahut Jaka mantap. Menden-

gar kesanggupan Raja Petir, Kakek Rangsasana 

langsung menyusun siasat, selain Jaka yang dis-

amarkan, dua muridnya juga disamarkan sebagai 

Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma 

dan dijadikan umpan untuk menghadap raja. Kakek 

Rangsasana yakin kalau Setya Wangsakesuma dan 

Darma Wangsakesuma tidak akan dibunuh setelah 

diserahkan ke kerajaan akan tetapi akan dijebloskan 

ke dalam tahanan menemani ibunya, agar semuanya 

bisa merasakan betapa tidak enaknya hidup di ta-

hanan untuk selama-lamanya. Dia juga menjelaskan 

dugaannya, kalau Jaka juga akan mendapatkan per-

lakuan yang tidak adil. Bukan hadiah besar yang 

akan didapatkan Jaka, tetapi dirinyalah yang akan 

dijebloskan ke dalam tahanan. "Jika siasat dan du-

gaanku benar, maka dalam tahanan itulah Jaka dan 

juga kedua muridku merencanakan sebuah pelarian 

menyelamatkan permaisuri. Keyakinanku juga men-

gatakan kalau di dalam tahanan itu juga sudah di-

bangun sebuah jalan rahasia yang cuma diketahui


oleh raja yang sah, yakni ayah Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma, dan orang kedua yang 

tahu adalah istrinya. Hal seperti itu kurasa telah di-

pikirkan ayahmu yang berpikiran panjang akan 

adanya pengkhianatan di suatu saat nanti, dan 

seandainya mereka dipenjarakan, jalan keluar untuk 

menyelamatkan diri sudah ada," papar Kakek Rang-

sasana panjang lebar, dan siasat itu sepertinya dis-

etujui orang-orang yang mendengarnya.

"Lalu mengapa ibuku tak menyelamatkan diri 

melalui jalan rahasia itu?" tanya Setya Wangsake-

suma polos.

"Mungkin saja ibumu, meski berada di dalam 

tahanan tapi juga ditambahkan dengan pemasungan 

kakinya, atau mungkin juga seorang yang pintar te-

lah menotok anggota tubuh ibumu, hingga dirinya 

tak kuasa bergerak sedikit pun dari kedudukannya," 

jelas Kakek Rangsasana.

"Laknat!" maki Setya Wangsakesuma geram.

Jaka sudah disamarkan sebagai tokoh yang 

tak dikenal, yakni mengaku sebagai Joko Galung 

Mata Tunggal, sedangkan dua murid Kakek Rangsa-

sana menyamar sebagai dua anak kembar dari Kera-

jaan Watu Sanjai. Mereka kini tengah bergerak ke 

wilayah selatan menuju ke Kerajaan Watu Sanjai. 

Untuk menghindari kecurigaan dari orang-orang 

persilatan yang mengetahui akan adanya panah dan 

busur emas, maka benda itu disembunyikan Raja 

Petir di balik pakaian penyamarannya yang longgar.

Sementara Kakek Rangsasana menghubungi 

teman-teman yang berilmu tinggi untuk membantu 

penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai, Kakek Tanpa 

Jari segera bekerja menyatroni orang-orang dalam


yang pernah disebutkan Pradipta, yang sebenarnya 

teramat setia pada rajanya yang sah. Mereka adalah 

para punggawa yang menangani pasukan berpedang 

dan panah. Dan juga orang-orang dalam kerajaan 

yang berpengaruh, yang kesetiaannya pada ayah 

kandung Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsa-

kesuma tak lagi diragukan.

Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari 

berharap penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai ber-

hasil baik dengan tidak banyak mengambil korban, 

tapi kedua kakek berpengalaman itu yakin kalau 

korban bisa ditekan sekecil mungkin mengingat ba-

nyak orang-orang kerajaan yang berpihak pada raja 

yang sah, yang telah mati akibat kejahatan patih-

nya.

* * *

Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Ra-

ja Petir yang menyamar sebagai Joko Galung Mata 

Tunggal dan dua murid Kakek Rangsasana yang 

menyaru sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma sudah tiba di depan tembok pemba-

tas kerajaan dengan dunia luar. Sesuai siasat mere-

ka, kedua murid Kakek Rangsasana diikat dengan 

rantai baja yang sengaja dibawanya. 

Selesai menyelesaikan sandiwaranya, Jaka 

segera melangkahkan kakinya, membawa Setya 

Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma palsu ke 

muka pintu gerbang pembatas. Dua orang prajurit 

jaga yang melihat kedatangannya langsung mende-

kat dan bertanya dengan ketus.

"Mau apa kau?" tanya seorang prajurit jaga


yang bercambang bauk tebal.

"Tolong pertemukan aku dengan Yang Mulia 

Raja Paksa Dahana, katakan kalau aku Joko Galung 

Mata Tunggal ingin menyerahkan hasil sayembara!" 

ucap Jaka tegas.

Salah seorang prajurit jaga itu langsung 

menghadap atasannya yang juga langsung mengha-

dap pada Yang Mulia Raja Paksa Dahana.

"Cepat bawa masuk orang itu ke hadapanku!" 

perintah Yang Mulia Raja Paksa Dahana tegas. 

Nampak keangkuhannya begitu nyata. Dia berdiri 

begitu berwibawa di sisi Bidadari Penyamar yang di-

dampingi oleh tiga lelaki gagah perkasa yang mas-

ing-masing mengenakan pakaian hitam, putih, dan 

merah. Merekalah tokoh-tokoh sesat berkepandaian 

tinggi yang sengaja disewa untuk memperkuat ke-

dudukannya sebagai raja dan permaisuri.

Abdi setia raja yang diperintahkan membawa 

Joko Galung Mata Tunggal datang menghadap ber-

sama Raja Petir yang menyamar. Raja Petir begitu 

tiba di hadapan raja langsung berlutut memberi 

hormat

"Maaf kalau hamba terlalu lancang berani 

menghadap," ucap Jaka sopan.

Yang Mulia Raja Paksa Dahana hanya mem-

balas ucapan Jaka dengan senyuman yang lebih 

pantas disebut sebagai cibiran.

"Aku sudah menyaksikan bocah kembar yang 

kau bawa, sekarang perlihatkan benda yang kumak-

sud!" pinta Yang Mulia Raja Paksa Dahana.

Jaka langsung mengeluarkan panah dan bu-

sur emas dari balik pakaiannya dan menyerahkan-

nya dengan hikmat ke hadapan raja.


"Ha ha ha.... Kau memang hebat! Kau patut 

mendapatkan hadiah!" ucap Yang Mulia Raja Paksa 

Dahana setelah meneliti benda di tangannya. "Kau 

lihat, Permaisuriku, betapa menakjubkannya benda 

ini," lanjutnya seraya menyerahkan panah dan bu-

sur emas ke tangan Bidadari Penyamar.

"Kau memang hebat, Joko Galung," puji Bida-

dari Penyamar setelah mengamati benda di tangan-

nya. "Kau akan kujamu sekarang juga," lanjutnya, 

kemudian dengan suara tegas dia memerintahkan 

untuk menyiapkan jamuan buat Joko Galung Mata 

Tunggal. Sementara Raja Paksa Dahana memerintah 

yang lain untuk menjebloskan Setya Wangsakesuma 

dan Darma Wangsakesuma ke dalam tahanan ba-

wah tanah disatukan dengan ibunya.

Ketika jamuan untuk Raja Petir sudah siap, 

raja dan permaisuri langsung memerintahkan Joko 

Galung Mata Tunggal untuk segera menikmatinya.

Akan tetap baru satu tegukan Jaka mereguk 

air yang disediakan, kepalanya tiba-tiba merasakan 

pusing yang luar biasa. Lantai kerajaan yang dipi-

jaknya seperti telah memutar tubuhnya hingga di-

rinya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.

"Ha ha ha...!" Raja Paksa Dahana tertawa ke-

ras melihat Joko Galung Mata Tunggal ambruk. "Ku-

rung dia di tempat yang sama! Jadikan satu!" perin-

tahnya kemudian.

Abdi setia yang mendapatkan perintah itu 

langsung membopong tubuh Joko Galung Mata 

Tunggal ke rumah tahanan di bawah dan memasuk-

kannya menjadi satu dengan Nyi Paramesti Dewi 

yang tengah meringkih tak berdaya dan dua anak 

buah Kakek Rangsasana yang menyamar sebagai


Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.

Manakala prajurit kerajaan sudah berlalu dari 

ruang tahanan, Jaka langsung membuka matanya. 

Memang sesungguhnyalah Jaka sedikit pun tak ter-

pengaruh oleh air minum beracun yang disuguhkan 

Raja Paksa Dahana, cuma ketika dia meminum se-

tegukan, dan ketika kepalanya merasa pusing Jaka 

langsung bersiasat berlagak pingsan.

"Kita harus bergerak cepat, Tuan Putri. Se-

bentar kemudian kawan-kawanku akan menyerbu 

ke kerajaan ini. Kau harus segera dibebaskan," ucap 

Jaka setelah mendekati tubuh lemah Nyi Paramesti 

Dewi.

"Siapa kau?" tanya Nyi Paramesti Dewi terke-

jut.

"Nanti Tuan Putri akan tahu, sekarang apa-

kah Tuan Putri tahu adanya jalan rahasia di tempat 

ini?" tanya Jaka kemudian.

Meski benaknya dipenuhi keheranan, Nyi Pa-

ramesti Dewi menganggukkan kepalanya juga dan 

menunjukkan letak kunci pembuka pintu rahasia.

"Bagaimana cara membukanya, Tuan Putri?" 

tanya Jaka.

Nyi Paramesti Dewi memerintahkan Jaka un-

tuk menggoreskan jari telunjuknya secara menyilang 

sebanyak lima kali pada dinding. Jaka segera saja 

melakukannya. Hasilnya....

Dinding tebal itu sedikit demi sedikit berpu-

tar, dan Raja Petir langsung saja memerintahkan 

anak buah Kakek Rangsasana untuk membopong 

tubuh Nyi Paramesti Dewi keluar dari ruang taha-

nan yang begitu pengap, dan dinding tebal itu pun 

kembali tertutup ketika kaki Jaka telah menginjak


lorong rahasia.

"Berjalanlah lurus ke depan, lalu belok kanan 

dan terus ke kanan dan melakukan belokan ke ka-

nan sebanyak tiga kali, di situlah kita akan mene-

mukan dunia luar," beritahu Nyi Paramesti Dewi 

yang langsung diikuti oleh Jaka dan si Kembar Pal-

su.

"Aku yakin kawan-kawan sudah menunggu," 

ucap Jaka ketika sudah sampai pada belokan ketiga 

ke kanan. "Dan kau akan bertemu dengan anakmu 

yang asli, Tuan Putri," lanjut Jaka membuat Nyi Pa-

ramesti Dewi terperangah, namun permaisuri raja 

yang sah itu tak bertanya untuk menuntaskan keti-

dakmengertiannya.

"Kita sudah berada di luar," ucap salah seo-

rang murid Kakek Rangsasana.

"Ya, kita sudah berada di luar, sebaiknya kita 

melanjutkan perjalanan ke mana?" tanya Jaka pada 

Nyi Paramesti Dewi.

"Terus ke kanan," perintah Nyi Paramesti De-

wi. "Kita akan bertemu pada sebuah hutan yang be-

rada di luar perbatasan tembok kerajaan. Hutan Ja-

tilada," lanjut Nyi Paramesti Dewi memberitahu.

Tanpa membuang waktu Jaka langsung ber-

gerak ke arah kanan menuju hutan Jatilada. Dan 

bukan main gembiranya hati Jaka ketika dia me-

nyaksikan orang-orangnya tengah berkumpul di hu-

tan itu.

"Kakek Saroagung, Kakek Rangsasana!" ucap 

Jaka gembira.

"Jaka," sambut Kakek Tanpa Jari dan Kakek 

Rangsasana serempak.

"Bagaimana rencana selanjutnya?" tanya Jaka


kemudian.

"Orang-orang dalam kerajaan sudah ku hu-

bungi, mereka siap berpihak pada kita, mereka akan 

bergerak dari dalam, membungkam pasukan yang 

setia pada raja palsu itu! Dan sekarang bawa per-

maisuri ke tempat yang aman dengan dijaga bebera-

pa orang, sementara yang lainnya ikut menyerbu ke 

dalam," jelas Kakek Tanpa Jari.

Jaka menganggukkan kepalanya, kemudian 

tatapan matanya berkeliling memandangi orang-

orang yang mendukung penyerbuan ini. Jaka tak 

mengenal mereka, tapi Jaka yakin kalau mereka 

berkepandaian tinggi, itu dapat dilihat dai sorot ma-

ta mereka yang tak seperti sorot mata orang biasa.

Setelah Nyi Paramesti Dewi dibawa ke tempat 

yang aman, Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa 

Jari, juga Raja Petir, dan yang lainnya segera berge-

rak menyerbu Kerajaan Watu Sanjai.

Kedatangan rombongan yang hendak menyer-

bu terlihat oleh beberapa prajurit penjaga gerbang 

pembatas, mereka langsung melaporkan pada re-

kannya, namun ternyata tak semua mau menerima 

laporan itu, bahkan yang tak mau itu langsung 

memberikan serangan yang tiba-tiba.

Pada saat prajurit jaga yang berpihak pada 

tempat yang berbeda saling baku hantam, rombon-

gan Raja Petir langsung masuk setelah menghan-

curkan pintu gerbang.

Keadaan semakin bertambah kacau ketika 

sebagian pasukan panah yang berpihak pada Raja 

Paksa Dahana menghujani anak-anak panahnya ke 

arah rombongan yang bam saja datang, namun 

anak-anak panah itu tidak ada artinya bagi tokoh


tokoh berkepandaian tinggi.

Twang...! Twang...!

Berkali-kali panah-panah maut itu mengincar 

rombongan Kakek Rangsasana, namun itu bisa di-

halau hanya dengan menggerakkan tangan dengan 

cepat 

Pertarungan menjadi semakin sengit ketika 

pasukan-pasukan yang lain ikut membantu penye-

rangan. Di samping itu orang-orang sewaan Raja 

Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar sendiri sudah 

turun gelanggang pertarungan.

"Biar aku yang menghadapi si Bidadari Pe-

nyamar itu, kalian boleh mencari lawan yang lain," 

ucap Kakek Rangsasana pada Kakek Tanpa Jari, Ra-

ja Petir, dan beberapa orang tokoh persilatan saha-

bat Kakek Rangsasana.

Ucapan Kakek Rangsasana langsung dipatu-

hi. Dan Jaka langsung bergerak menghadapi dua le-

laki yang berjuluk Dua Naga Sisik Racun dengan 

senjatanya yang berupa pecut ular yang langsung 

meledak-ledak mencari sasaran di tubuh Raja Petir.

Cletar! Cletar!

"Ups!"

Jaka mengelakkan sambaran pecut itu den-

gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', namun 

kemudian dirinya menukik turun layak kilat dengan 

menggunakan jurus 'Petir Menyambar Elang' guna 

membalas serangan lawan.

Bet! Bet!

Dua kali sambaran tangan Jaka yang menga-

rah ke salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk 

Dua Naga Sisik Racun dapat dielakkan, namun keti-

ka Jaka bersalto seraya memberikan tendangan lu


rus mengarah dada, lelaki itu hanya terbengong me-

nanti serangan susulan Jaka yang datangnya cepat 

bagai kilat 

Blagkh!

Lelaki berkumis tipis itu mengerang kesakitan 

ketika tendangan keras Jaka mendarat tepat di ba-

gian dadanya. Tubuhnya langsung terpental sejauh 

tiga batang tombak. 

Kenyataan itu membuat kawannya naik pi-

tam, lalu dengan sengit menyerang Jaka dengan 

menggunakan pecut ularnya.

Cletar!

Traps!

Di luar dugaannya pecut itu ditangkap Jaka 

dengan tangan telanjang. Lelaki berkumis tebal yang 

berjuluk Naga Sisik Racun itu terkejut, lalu berusa-

ha mengerahkan tenaganya untuk menarik pulang 

senjatanya, akan tetap tenaga Jaka ternyata lebih 

kuat sehingga tubuh lelaki itu tersentak ke depan.

Bletak!

Lawan Jaka terpekik keras saat menerima 

pukulan yang mengenai rahangnya. Dia langsung 

terhempas ke tanah dan tak kuasa untuk bangkit.

Pada saat itu Jaka menyaksikan kelebatan 

seorang lelaki berpakaian kebesaran seorang raja 

yang hendak menghantamkan serangannya pada 

Setya Wangsakesuma yang sudah tergeletak di ta-

nah. 

Plak!

Hadangan tangan Jaka yang bergerak cepat 

membuat niat Raja Paksa Dahana yang hendak 

membinasakan Setya Wangsakesuma gagal. Raja 

gadungan itu murka bukan kepalang, seketika itu


juga serangan-serangan mautnya dilancarkan ke 

arah Jaka.

Bet! Bet! 

Pukulan-pukulan berkekuatan tenaga dalam 

tinggi dilancarkan Paksa Dahana, namun satu pun 

tak ada yang mendapatkan tempat di tubuh Raja Pe-

tir yang bergerak lincah menggunakan jurus 'Lejitan 

Lidah Petir'.

"Kau harus mampus di ujung senjataku ini!"

Srat!

Raja Paksa Dahana meloloskan senjatanya, 

bersamaan dengan itu tubuhnya langsung mencelat 

hendak menikam tubuh Jaka.

Wut...!

Jaka mengelakkan serangan dengan menarik 

tubuhnya ke samping kiri. Kemudian....

"Awaaas...!" sebuah perintah diteriakannya 

bersamaan sikutnya yang bergerak ke rusuk Raja 

Paksa Dahana, namun lelaki itu terlambat untuk 

mengelak.

Bletuk! 

Raja Paksa Dahana berteriak kesakitan, tu-

buhnya terhuyung ke belakang dua tindak, bersa-

maan dengan itu, sosok si Kembar berkelebat den-

gan pedangnya yang terayun ke udara. 

Tlas! Bret!

Pekik kematian seketika itu juga terdengar 

mengiringi ambruknya tubuh Raja Paksa Dahana 

dengan leher yang hampir terbabat putus dan perut 

yang terkoyak lebar hingga memburaikan ususnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, jerit ke-

matian susul-menyusul pun terdengar bergantian. 

Sosok orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa


Dahana satu persatu bertumbangan di tangan ka-

wan-kawan Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Ja-

ri. 

"Hentikan pertarungan ini! Dan lihatlah, raja 

gadungan yang kalian bela sudah mati, jadi untuk 

apa kalian bertarung!" 

Teriakan Jaka yang lantang membuat perta-

rungan seketika terhenti. Berpasang-pasang mata 

langsung terarah menatap mayat Raja Paksa Daha-

na.

"Kalau kalian mau menyerah, maka hukuman 

akan menjadi lebih ringan!" ucap Jaka lagi, dan ter-

nyata ucapan itu membawa hasil. Orang-orang yang 

berpihak pada Raja Paksa Dahana semuanya me-

lemparkan senjata ke tanah.

"Giring mereka ke dalam tahanan!" perintah 

Setya Wangsakesuma tegas.

Selagi prajurit-prajurit yang setia menggiring 

prajurit-prajurit yang salah jalan, Jaka sibuk men-

cari-cari Kakek Rangsasana dan Bidadari Penyamar.

"Ke mana Kakek Rangsasana?" tanya Jaka 

pada Kakek Tanpa Jari.

"Dia tengah mengejar Ganda Laras, saudara 

perguruannya yang menyamar sebagai permaisuri," 

jawab Kakek Saroagung. "Mungkin dia ingin menya-

darkan kekeliruan saudaranya itu," lanjutnya.

Jaka tak mengomentari lagi ucapan Kakek 

Saroagung, langsung kakinya kemudian terangkat 

menghampiri Setya Wangsakesuma dan Darma 

Wangsakesuma.

"Kemelut sudah berlalu, Setya, Darma. Aku 

gembira," ucap Jaka pada Setya Wangsakesuma dan 

Darma Wangsakesuma.


"Itu berkat jasamu, Kak," kilah Darma Wang-

sakesuma.

"Jika kau merasa aku ini berjasa, Kakak ha-

rap kau mau memberikan jasa pula untuk orang 

lain, untuk rakyatmu jika suatu saat kalian mendu-

duki jabatan sebagai pemimpin," tutur Jaka lemah 

lembut.

"Kami akan berusaha untuk itu, Kak," timpal 

Setya Wangsakesuma.

"Bagus! Dan sekarang Kakak permisi dulu, 

masih banyak pekerjaan lain yang harus Kakak se-

lesaikan," tandas Raja Petir.

"Kenapa begitu tergesa-gesa, Kak. Kami se-

nang kalau Kakak tinggal bersama kami dalam be-

berapa hari, atau selamanya di sini," tahan Darma 

Wangsakesuma. 

"Lain kali, jika ada waktu Kakak pasti singgah 

ke tempat ini, sekarang Kakak permisi dulu."

"Tunggu dulu, Kak. Bukankah kami telah di-

amanati oleh Kakek Suranggrati untuk menyerah-

kan panah dan busur emas?" ujar Setya Wangsake-

suma.

Jaka tersenyum mendengar ucapan itu.

"Pasti benda itu disimpan di kamar pribadi 

Paksa Dahana, biar kucari dulu, Kak," tukas Setya 

Wangsakesuma seraya bergerak masuk ke dalam is-

tana kemudian kembali dengan membawa benda 

yang dibungkus kain sutera putih.

"Aku hanya menemukan busurnya saja, Kak. 

Entah di mana anak panahnya," ucap Setya Wang-

sakesuma kecewa.

"Busurnya pun tak mengapa, Setya," ujar Ja-

ka menenteramkan hati Setya Wangsakesuma. "Jika


suatu saat anak panah itu diketemukan, simpanlah 

olehmu baik-baik," lanjutnya.

"Tentu, Kak," sahut Setya Wangsakesuma.

"Sekarang Kakak permisi."

Setelah berpamitan pada Kakek Tanpa Jari, 

Raja Petir langsung menghentakkan kakinya dan 

pergi berlalu dengan cepat diiringi dengan tatapan 

mata Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-

suma yang merasa berhutang budi.



                               SELESAI


















Share:

0 comments:

Posting Komentar