PERBURUAN BUSUR MAUT
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Perburuan Busur Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Matahari belum begitu lama terbangun dari
peraduannya, dan kini tengah mengintip malu-malu
persada raya dengan panoramanya yang begitu in-
dah.
Hutan Jati Selajar yang berada dalam wilayah
Desa Getar Jala mendapat bagian curahan sinar
lembut yang hanya kuasa mengintip dari celah de-
daunan. Sementara satu pal jauhnya dari mulut Hu-
tan Jati Selajar, lima lelaki bertampang kasar tengah
mengayunkan kakinya tergesa-gesa.
"Percepat langkah kalian!" ucap lelaki tinggi
besar berwajah pucat bagai mayat. Sepertinya lelaki
berambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu adalah
pimpinan empat lelaki lain yang berpakaian longgar
warna hitam mengkilat, terbukti perkataannya sege-
ra saja mendapat tanggapan dari empat lelaki yang
rata-rata bertubuh tinggi besar.
"Kurasa Hutan Jati Selajar tak berada jauh
dari tempat ini," tukas lelaki berwajah pucat lagi.
"Kurasa juga begitu, Kak," timpal lelaki bera-
lis sebelah. Dia nampak mengayun langkahnya lebih
cepat dari yang lainnya.
Kemudian, tanpa ada pembicaraan lagi kelima
lelaki bertampang kasar melanjutkan perjalanannya
menuju Hutan Jati Selajar.
Sementara itu, di dalam Hutan Jati Selajar, di
mana terdapat tujuh batang pohon jati yang tumbuh
seperti membuat lingkaran, menampakkan panora-
ma yang lain dari Hutan Jati Selajar. Agak aneh ke-
lihatannya, apalagi hanya tempat itu yang ditumbu
hi rumput halus. Memang, tempat itu sesungguh-
nyalah sebuah tempat rahasia. Merupakan sebuah
ruang bawah tanah yang didiami oleh lebih dari seo-
rang penghuni.
"Kurasa sekaranglah waktu yang tepat un-
tukmu menemui Kakek Saroagung yang bergelar
Kakek Tanpa Jari. Baru setelah itu, kalian berdua
bersama Kakek Saroagung mencari Raja Petir untuk
menyerahkan busur dan panah emas itu," ucap seo-
rang lelaki berusia lanjut, salah seorang penghuni
ruang bawah tanah itu. Kelanjutan usianya ditandai
dengan rambutnya yang sudah memutih semua dan
juga jenggot panjang berwarna putih. Namun mata
lelaki berpakaian serba putih itu masih memperli-
hatkan ketajamannya, setajam mata elang. Dan itu
cukup memberi gambaran bahwa dia bukanlah lela-
ki sembarangan.
"Lima tahun lamanya kalian kugembleng ilmu
bela diri, kurasa cukup bekalmu untuk menghadapi
orang-orang yang usil di perjalanan," lanjut kakek
berjenggot putih panjang yang sesungguhnya ber-
nama Suranggrati. "Dari mulut Kakek Tanpa Jari
kalian akan tahu siapa diri kalian sesungguhnya."
"Apakah Kakek Sura tak sudi menceritakan
sedikit saja perihal diri kami sesungguhnya, agar
kami tak penasaran?" pinta pemuda tampan berusia
tak lebih dari tiga belas tahun. Pakaiannya yang
berwarna merah darah terlihat begitu nyerap dengan
kulitnya yang berwarna putih bersih.
Pemuda lain yang seusia dan juga berpakaian
warna merah hanya menyetujui ucapan saudaranya
dengan bahasa isyarat, tatapan matanya yang tertu-
ju lurus ke wajah Kakek Suranggrati menandakan
kalau dirinya juga ingin mendengar jawaban dari
mulut lelaki tua yang telah hampir tiga belas tahun
merawat dan mendidiknya serta membekalinya ilmu
bela diri.
Sementara sikap Kakek Suranggrati hanya
tersenyum saja menanggapi keinginan dua pemuda
tampan yang sudah dianggapnya seperti cucu bah-
kan anak sendiri.
"Setya Wangsakesuma," panggil Kakek Su-
ranggrati kemudian seiring lenyap senyumnya. "Ka-
lau aku tahu hal ikhwal diri kalian berdua, untuk
apa kalian kusuruh menemui Kakek Tanpa Jari,"
lanjut Kakek Suranggrati.
"Ah, maafkan kami, Kek?" ucap pemuda yang
bernama Darma Wangsakesuma sambil menjura
memberi hormat.
"Tidak apa, Darma," sela Kakek Suranggrati
sambil menyentuh bahu saudara kembar Setya
Wangsakesuma yang bernama Darma Wangsakesu-
ma. Lelaki remaja berhidung lancip itu mendapatkan
tatapan teduh mata Kakek Suranggrati. "Justru Ka-
keklah yang harus minta maaf pada kalian, karena
Kakek tak dapat mengantar kalian untuk menemui
Kakek Tanpa Jari melainkan hanya sampai ambang
pintu nanti. Kakek memang sudah terlalu jenuh un-
tuk menggeluti dunia luar. Biarlah Kakek akan tetap
di tempat ini, berhubungan terus-menerus dengan
Allah, dengan Penguasa Jagad yang menciptakan
kehidupan dan kematian, yang memiliki kasih
sayang dan ampunan tak terhitung," lanjut Kakek
Suranggrati panjang lebar.
"Kami mengerti, Kek," ucap Setya Wangsake-
suma.
"Jika begitu, mari secepatnya kita keluar. Le-
bih cepat menjumpai Kakek Saroagung lebih baik,
begitu juga dengan Raja Petir. Kuyakin hanya dia
seorang yang mampu meredam tokoh-tokoh jahat
yang berhajat memiliki busur dan panah emas ini,"
tutur Kakek Suranggrati, "Darsa, Sapta! Kalian te-
mani Setya dan Darma sampai menjumpai Kakek
Saroagung dan Raja Petir," lanjut lelaki berusia lan-
jut sambil memerintah pada dua lelaki yang bertu-
buh kekar berpakaian hitam yang sejak tadi hanya
berdiri di belakangnya tanpa ikut menimpali pembi-
caraan.
"Baik, Kakek Suranggrati! Nyawa kami yang
jadi tameng hidup Adi Setya dan Adi Darma," jawab
lelaki berotot melingkar-lingkar karena pakaiannya
yang dikenakan cukup ketat membungkus tubuh.
Lelaki itu berwajah tampan dan kelimis, dialah yang
bernama Sapta.
"Tak kuragukan kesetiaan kalian, dan mari
kita keluar sekarang," ujar Kakek Suranggrati den-
gan ayunan kaki yang melewati sosok lelaki muda
kembar yang berpakaian warna serba merah.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma yang di bagian dada mereka terdapat benda
yang terbungkus kain putih sutera pun mengikuti
langkah kaki Kakek Suranggrati, baru kemudian
Darsa dan Sapta melakukan hal yang sama.
"Ha ha ha...! Pucuk di cinta ulam tiba!" ucap
sebuah suara cukup keras sesaat tapak kaki Kakek
Suranggrati dan orang-orangnya menjejak tanah be-
rumput Hutan Jati Selajar.
"Ternyata tak sesulit apa yang kukira untuk
mendapatkanmu, Suranggrati! Yang kucari malah
ikut mencariku," lanjut suara itu lagi sebelum Kakek
Suranggrati tahu siapa yang berbicara.
"Iblis Bengis Wajah Dingin!" sentak Kakek Su-
ranggrati sedikit terkejut menyaksikan lelaki tinggi
kekar yang mengenakan jubah longgar warna putih,
rambutnya yang gondrong sebahu tersibak angin
yang tiba-tiba saja datang. Di belakangnya berdiri
empat lelaki berpakaian hitam dan bertubuh tinggi
besar.
"Tanpa kuberitahu maksud kedatanganku
menemuimu, kurasa kau sudah lebih tahu, Su-
ranggrati!" tukas lelaki berjubah putih longgar yang
dipanggil Kakek Suranggrati sebagai Iblis Bengis
Wajah Dingin. "Untuk itu, demi selembar nyawamu
yang tak lama lagi berkalang tanah, serahkanlah
benda yang ada pada dua bocah itu secara baik-baik
padaku. Dengan demikian usiamu masih sempat
mendapatkan tempat di muka jagad ini, begitu juga
dengan dua bocah kembar pengikutmu yang lain
itu!" tunjuk Iblis Bengis Wajah Dingin pada dua bo-
cah berhidung lancip dan juga pada diri Darsa dan
Sapta.
Kakek Suranggrati hanya menimpali ucapan
Iblis Bengis Wajah Dingin dengan senyum samar
yang terkembang, namun tak lama berselang sang-
kalan pun segera terdengar keluar dari sepasang bi-
bir tipis lelaki berusia enam puluhan.
"Iblis Bengis Wajah Dingin," panggil Kakek
Suranggrati dengan suara yang sedikit pun tak tersi-
rat kegeraman, apalagi kegentaran berhadapan den-
gan lelaki yang sudah cukup punya nama di kalan-
gan rimba persilatan. "Aku cukup mengenal kau
yang memiliki kesaktian yang begitu tinggi, meski
kabar itu kuketahui dari mulut ke mulut, namun
kuyakini betul bahwa kau memiliki kesaktian yang
tinggi itu. Tapi kini sungguh tak terpikir olehku, ter-
nyata kau juga ingin memiliki benda yang kini bera-
da di tangan kedua cucuku itu. Aku heran, apakah
kau menjadi kurang sakti tanpa senjata yang berada
pada Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma?" sambung Kakek Suranggrati sambil melem-
par pertanyaan dengan nada sindiran halus namun
cukup menusuk hati Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hm.... Ternyata kau tak sayang dengan nya-
wamu yang hanya tinggal sedikit lagi mengenyam
nikmatnya kehidupan ini, Suranggrati! Kata-katamu
barusan yang kuanggap kelewat berani itu adalah
bumerang untuk sepenggal nyawamu!"
"Apa kau yang berhak untuk menentukan ke-
hidupan dan kematian seseorang, Iblis?" tanya Ka-
kek Suranggrati masih dengan sikap yang cukup te-
nang. Sementara Setya Wangsakesuma dan saudara
kembarnya sudah nampak berdiri gelisah, begitu ju-
ga dengan Darsa dan Sapta. Mereka menjadi tak te-
nang karena ingin menghajar mulut kurang ajar le-
laki yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Aku dan senjata mautku ini memang punya
hak untuk melenyapkan nyawa kalian!" jawab Iblis
Bengis Wajah Dingin.
"Iblis sombong!" maki Darma Wangsakesuma
keras.
"Iblis laknat!" timpal Setya Wangsakesuma
tak kuasa membendung emosinya. Dua lelaki kem-
bar berusia tiga belasan itu sama-sama melangkah-
kan kakinya bermaksud memberi pelajaran pada Ib-
lis Bengis Wajah Dingin, namun langkahnya terha
dang tangan kanan Kakek Suranggrati.
"Sabar, Cucuku," tahan Kakek Suranggrati
dengan suara yang tiba-tiba saja bergetar.
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma menjadi sedikit terkejut mendengar ucapan
Kakek Suranggrati yang bergetar itu.
"Kenapa, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma
polos.
Kakek Suranggrati menatap tepat bola mata
Darma Wangsakesuma, lalu ucapan yang cukup pe-
lan pun terdengar di telinga lelaki kembar yang be-
rusia tiga belas tahun itu.
"Kesaktiannya bukanlah tandingan kita, Cu-
cuku. Untuk itu Kakek sarankan sebaiknya kalian
berdua menyelamatkan diri dan segera menemui
Kakek Saroagung," ujar Kakek Suranggrati menja-
wab pertanyaan Darma Wangsakesuma. "Kakek...?"
"Pergilah, biar Kakek, juga Darsa dan Sapta
yang menghadapi mereka," tukas Kakek Suranggrati
lebih keras.
"Tapi, Kek...?"
"Pergi cepat kalau kau tak mau kuanggap se-
bagai Cucu yang tak tahu adab!" bentak Kakek Su-
ranggrati keras.
"Ha ha ha.... Ternyata nyalimu tak lebih besar
dari kedua cucumu itu, Suranggrati! Biarkan saja
mereka menunjukkan kebesaran nyalinya di hada-
panku," ejek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan ta-
wanya yang memantul-mantul ke sudut Hutan Jati
Selajar.
Kakek Suranggrati menolehkan wajahnya
yang merah ke arah wajah Iblis Bengis Wajah Din-
gin, tatapan penuh tantangan membias dari sepasang bola mata tuanya yang masih menyiratkan ke-
tajaman, namun tatapan itu hanya sebentar saja
mampir di wajah Iblis Bengis Wajah Dingin, karena
pada saat berikutnya tatapan Kakek Suranggrati su-
dah beralih kembali ke wajah cucu-cucunya.
"Cepat kalian pergi!" perintah Kakek Su-
ranggrati pada Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma.
Lelaki muda usia yang mengenakan pakaian
merah tahu kalau kata-kata Kakek Suranggrati tak
mungkin terbantah lagi, maka secara bersamaan
dua bocah kembar itu menghentakkan kaki mereka
kuat-kuat ke permukaan bumi. Tubuh keduanya
pun kemudian melesat cepat dengan menggunakan
ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang cukup
mendapat acungan jempol.
"Jangan pergi! Hops!" Ibis Bengis Wajah Din-
gin berteriak seraya menghentakkan kakinya mela-
kukan gerakan mengejar ke arah lari Darma Wang-
sakesuma dan Setya Wangsakesuma.
"Hops!" bersamaan dengan melesatnya sosok
Iblis Bengis Wajah Dingin, sosok Kakek Suranggrati
pun melesat menghadang.
"Hadapi aku dulu kalau kau ingin menda-
patkannya, Iblis Gila!" sentak Kakek Suranggrati.
Tendangan lurus mengarah ke ulu hati Iblis Bengis
Wajah Dingin langsung dilancarkannya, itu sengaja
dilakukannya untuk mencegah keinginan lelaki ber-
jubah putih mengkilat untuk mengejar Darma
Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.
Terhadap serangan Kakek Suranggrati yang
mengarah ke bagian tubuh pekanya, Iblis Bengis
Wajah Dingin tentu saja tak ingin mengambil resiko,
maka seketika itu juga, pada saat tubuhnya masih
berada di atas permukaan tanah, dibuang tubuhnya
ke arah kanan untuk menghindari sambaran kaki
tua milik Kakek Suranggrati.
Sungguh mengagumkan gerakan cepat yang
dilakukan oleh Iblis Bengis Wajah Dingin. Sesaat le-
laki berjubah putih melemparkan tubuhnya ke ka-
nan, dengan cepat ujung kakinya menotol permu-
kaan tanah dan dengan kecepatan yang luar biasa
memberikan serangan balasan dengan dua kepalan
tangan terarah ke batok kepala Kakek Suranggrati.
Bet! Bet!
Pemandangan yang tersaji malah menjadi ter-
balik, kini nampak Kakek Suranggrati yang kelaba-
kan menghindari serangan balasan yang dilancar-
kan Iblis Bengis Wajah Dingin yang mengandung
kekuatan tenaga dalam tinggi.
Namun patut dipuji juga gerakan lincah dari
si Kakek yang juga mengenakan pakaian warna pu-
tih, meskipun dengan susah payah dirinya berhasil
juga meluputkan serangan balasan lawan.
"Hm.... Kurasa hanya sampai di sini aku
mengeluarkan jurus perkenalanku, Kakek Bau Ta-
nah!" tukas Iblis Bengis Wajah Dingin yang seketika
itu juga menghentikan serangannya.
Kini, dalam jarak dua batang tombak nampak
dua lelaki berpakaian putih saling berhadapan den-
gan masing-masing kemarahan yang bergelora di
dada.
"Sudah kukatakan kalau nyawaku tidak be-
rada di genggamanmu, Iblis Kurap!" maki Kakek Su-
ranggrati.
"Hrgh...!" Iblis Bengis Wajah Dingin mengge
reng marah mendengar cercaan yang keluar dari
mulut Kakek Suranggrati, seketika itu juga tangan-
nya tergerak meraba senjata yang melilit di ping-
gangnya. Sebuah rantai baja yang panjangnya seki-
tar satu setengah batang tombak yang pada bagian
ujungnya terdapat bola-bola berduri masing-masing
tiga buah sebesar kepalan bayi berusia sembilan bu-
lan. Rantai baja berbandul bola berduri pun kini lo-
los dari pinggang Iblis Bengis Wajah Dingin, saat itu
juga kebengisan wajah lelaki iblis berjubah putih
mengkilat nampak menjadi dua kali lipat, bola ma-
tanya berubah menjadi berwarna kemerahan, layak
seperti mata seekor naga murka.
"Akan kubuktikan kalau aku mampu mem-
begal nyawamu, Kakek Sundel! Bersiaplah segera
untuk melayat ke liang lahat!"
Seiring dengan ucapannya itu, Iblis Bengis
Wajah Dingin mengangkat tangan kanannya yang
menggenggam bagian tengah dari rantai baja yang
ujungnya masing-masing terdapat tiga bandulan
berduri, lalu lelaki yang berusia empat puluh lima
tahun itu memutar-mutar senjatanya di atas kepala.
Wuk! Wukkk...!
Wrrr...!
Bunyi bergemuruh disertai dengan suara an-
gin yang cukup keras pun terdengar menyakitkan
telinga. Bebatuan kecil yang berada di sekitar tem-
pat di mana Iblis Bengis Wajah Dingin berpijak seke-
tika beterbangan ke berbagai arah. Daun-daun yang
merimbuni Hutan Jati Selajar berguguran ke tanah,
sementara orang-orang Iblis Bengis Wajah Dingin
dan Sapta juga Darsa menjauhi daerah yang seperti
terlanda angin topan. Sedangkan Kakek Suranggrati
masih tetap berpijak pada tempatnya, namun pada
tangan kakek berusia enam puluh tahun itu kini
tergenggam sebilah keris yang menebarkan hawa
dingin, keris itu sendiri memendar-mendarkan sinar
kebiruan.
Wukkk...!
Jledarrr...!
Sebuah pohon sebesar dua kali pelukan lelaki
dewasa tumbang saat Iblis Bengis Wajah Dingin
menghentakkan tangannya, dan tiga bandulan duri
yang melesat cepat mencecar kepala Kakek Su-
ranggrati membentur pohon itu hingga menimbul-
kan bunyi dahsyat. Pohon jati kokoh itu pun hangus
layak terbakar.
"Gila...!" desis Kakek Suranggrati dalam hati
menyadari kedahsyatan serangan yang dilancarkan
Iblis Bengis Wajah Dingin. Untung dia berhasil men-
celat dengan cepat menghindari terjangan tiga bun-
dalan berduri yang ternyata seperti mampu menge-
luarkan api, jika tidak? Huh! Tak terbayangkan akan
menjadi apa tubuhnya.
Di tengah-tengah usaha Kakek Suranggrati
menghindari serangan-serangan maut yang dilan-
carkan Iblis Bengis Wajah Dingin, dua lelaki ber-
nama Darsa dan Sapta pun tengah berjuang mati-
matian untuk menyelamatkan nyawanya dari sam-
baran senjata milik anak buah Iblis Bengis Wajah
Dingin.
Namun dikarenakan jumlah anak buah Iblis
Bengis Wajah Dingin lebih banyak dan lagi memiliki
kemampuan ilmu silat lebih tinggi dari Darsa dan
Sapta, maka dua lelaki anak buah Kakek Suranggra-
ti tak mampu berbuat banyak.
"Mampus kau, Gembel!" hardik lelaki berpa-
kaian hitam dengan kumis tipis di bagian pinggir.
Pada saat yang bersamaan lelaki anak buah
Iblis Bengis Wajah Dingin yang hanya memiliki sebe-
lah alis mata melesat cepat ke arah Darsa. Senja-
tanya yang berupa golok berukuran besar ikut ber-
kelebat mencecar kepala lelaki bertubuh kekar.
Brat!
Tlash!
Lengking panjang menyayat pun seketika ter-
dengar menggema saat Darsa mendapatkan samba-
ran dua senjata yang merobek perut dan bagian da-
da.
Lelaki berpakaian warna hijau lumut itu pun
ambruk ke tanah dengan darah yang bermuncratan
mengotori pakaian dan tanah di sekitar tubuhnya
ambruk, hanya sesaat tubuh Darsa mengejang-
ngejang menanti kedatangan maut dan untuk saat
selanjutnya tubuh itu menjadi kaku setelah nya-
wanya tak lagi mendiami jasadnya.
Bugkh! Bugkh!
Baru saja tubuh Darsa berubah menjadi
mayat, kini giliran Sapta yang menjadi incaran ke-
ganasan anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin. Lela-
ki berpakaian kelabu bernama Satpa dua kali mene-
rima hantaman di bagian dada dan perutnya. Kini
lelaki itu tengah terhuyung dengan telapak tangan
yang mendekap dada.
Sapta meringis menahan kesakitan. Pada saat
itulah lelaki beralis sebelah kembali melesat cepat
dengan golok besar yang terayun ke arah leher la-
wannya.
Tlash!
Tubuh Sapta terhempas sejauh dua langkah,
sementara kepalanya yang sudah terpisah dari tu-
buh menggelinding dan berhenti tepat di kaki Iblis
Bengis Wajah Dingin.
"Kepalamu pun akan mengalami nasib seperti
ini, Suranggrati!" ucap Iblis Bengis Wajah Dingin
dengan tangan kanan yang mengangkat kepala Sap-
ta tinggi-tinggi, sebagian darah yang belum mengen-
tal keluar dari daging yang terkoyak.
"Kau memang biadab! Kau betul-betul, Iblis
Neraka! Tapi dengar, tak semudah itu kau mem-
buktikan kata-katamu terhadap diriku!" sentak Ka-
kek Suranggrati dengan raut wajah yang tegang ter-
bungkus kemarahan yang tak terbendung.
"Hhh...! Tua bangka sombong, ujung kema-
tianmu sesaat lagi akan datang, berdoalah segera!"
ledek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangannya
yang melempar kepala Sapta ke arah wajah Kakek
Suranggrati.
Di luar dugaan Iblis Bengis Wajah Dingin,
Kakek Suranggrati tak mengelak lemparannya. Ma-
lahan lelaki tua berusia lanjut itu menangkap kepala
Sapta yang sesungguhnya sangat disayangi.
Tap!
"Maafkan aku, Sapta," ucap Kakek Su-
ranggrati dengan suara parau, air mata pun tiba-
tiba bergulir melalui kelopak matanya yang keriput.
"Demi membelaku kau rela mengorbankan kepala-
mu," lanjut Kakek Suranggrati yang kemudian mele-
takkan kepala anak muridnya dengan hati-hati.
Bola mata kakek berusia enam puluh tahun
yang berkilat-kilat penuh bara kemarahan terlihat
seperti hendak menelan wajah lawannya yang tengah berdiri dengan keangkuhannya.
"Kau harus membayar kematian kedua mu-
ridku dengan nyawamu, Iblis Laknat!" maki Kakek
Suranggrati dengan keris yang ditudingkan lurus ke
wajah Iblis Bengis Wajah Dingin.
Sebelum Kakek Suranggrati menurunkan
senjatanya yang digunakan untuk menuding wajah
lawannya, si Iblis Bengis Wajah Dingin sudah lebih
dulu memberi aba-aba pada empat anak buahnya.
"Lumat tubuh kakek tak tahu diri itu!" perin-
tah Iblis Bengis Wajah Dingin dengan suara lantang
menggelagar.
Seketika itu juga empat lelaki berpakaian hi-
tam yang dipimpin oleh lelaki beralis mata sebelah,
bergerak cepat melancarkan serangan ke arah Kakek
Suranggrati.
"Hiaaa...!"
"Haaat..!"
Empat anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin
bergerak lincah dengan senjatanya yang berupa go-
lok besar yang bercericit mencari sasaran di tubuh
Kakek Suranggrati.
Wut! Wut!
"Eits!"
Tubuh lelaki tua berjenggot putih panjang itu
bergerak-gerak cepat, melakukan lompatan bebera-
pa kali ke udara demi menghindari serangan-
serangan gencar yang rata-rata mempergunakan te-
naga dalam kelas tinggi.
Dari keberhasilan Kakek Suranggititi dalam
menggagalkan serangan keempat lawannya yang da-
tang silih berganti, jelas terlihat ketinggian ilmu si
Kakek yang berada beberapa tingkat di atas la
wannya, namun dikarenakan serangan yang dilaku-
kan lawan-lawannya cukup padu dan beragam, ma-
ka Kakek Suranggrati merasa kerepotan juga di-
buatnya.
"Hm.... Aku harus merobohkan lebih dulu sa-
lah satu di antara mereka, terutama lelaki beralis
mata sebelah itu," batin Kakek Suranggrati berenca-
na. Dan belum lagi gema rencana di kakek berpa-
kaian putih bersih itu hilang, sebuah teriakan mem-
bahana terdengar seiring dengan melesatnya sosok
lelaki beralis mata sebelah.
"Hm.... Ini kesempatan baik," kata hati Kakek
Suranggrati lagi, dia tak segera menyambut seran-
gan yang dilakukan lawannya akan tetapi menunggu
sampai serangan itu lebih mendekat dan....
Wung
Bret!
Lawan Kakek Suranggrati tiba-tiba memekik
keras manakala ujung keris telah merobek bagian
perutnya, sungguh dia tak menyana kalau di balik
gerakan mengelak yang dilakukan Kakek Suranggra-
ti disertai pula dengan serangan yang begitu mem-
bahayakan.
"Sagawan!" pekik Iblis Bengis Wajah Dingin
ketika menyaksikan robohnya lelaki beralis mata se-
belah dengan bagian perut yang terkoyak lebar dan
isi perut serta darah yang nampak saling berebutan
keluar.
"Keparat!" maki Iblis Bengis Wajah Dingin ge-
ram. "Seraaang...!" perintahnya lagi keras, sementa-
ra dirinya segera memutar-mutar senjata yang beru-
pa rantai baja panjang berbandul enam buah bola
berduri. Suara bergemuruh pun tak pelak lagi terdengar bising.
Wuk! Wuk!
Di tengah-tengah sepak terjang tiga anak
buahnya yang hendak merobohkan si Kakek berpa-
kaian putih, Iblis Bengis Wajah Dingin terus memu-
tar-mutar senjata yang semakin lama semakin ce-
pat, namun mata dan pikiran Iblis Bengis Wajah
Dingin tetap berkonsentrasi pada keadaan diri Ka-
kek Suranggrati itu untuk mengambil kesempatan
dalam kelengahan lawan, maka manakala kesempa-
tan itu terbaca mata Iblis Bengis Wajah Dingin, se-
ketika itu juga....
"Haiiit...!"
Tubuh Iblis Bengis Wajah Dingin melesat
dengan senjata yang terus berputar, namun kemu-
dian....
Sing!
Brttt..!
Rantai berbandul bola-bola berduri yang be-
rada di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin seketika
itu juga terlepas, dan tanpa disadari oleh Kakek Su-
ranggrati senjata lawan itu menjerat lehernya tanpa
dia mampu mengelak karena dari arah depan dan
belakang dua buah golok besar saling berdesing
memburu tubuhnya, dua buah golok besar yang ju-
ga dilepas bersama dengan Iblis Bengis Wajah Din-
gin melepas senjatanya.
Sesaat setelah melepas senjatanya, Iblis Ben-
gis Wajah Dingin pun melesat memburu ujung sen-
jatanya, sama halnya dengan yang dilakukan seo-
rang anak buahnya.
Tap! Tap!
Ujung senjata berbandul bola berduri itu kini
sama-sama tertangkap tangan Iblis Bengis Wajah
Dingin dan anak buahnya, sementara rantai bajanya
melilit di leher Kakek Suranggrati, dan ketika dua
tokoh jahat itu menarik bandulan berduri terdengar-
lah lenguhan kematian yang keluar dari mulut Ka-
kek Suranggrati dengan lidah yang menjulur keluar.
Bruk!
Tubuh Kakek Suranggrati ambruk ke tanah
ketika rantai baja yang melilit lehernya terlepas, li-
dahnya masih menjulur keluar.
"Ayo kita kejar, Bocah Kembar itu!" perintah
Iblis Bengis Wajah Dingin, tubuhnya pun kemudian
melesat lebih dahulu meninggalkan tiga anak buah-
nya yang tersisa.
Tiga lelaki berpakaian hitam anak buah Iblis
Bengis Wajah Dingin segera menghentak kakinya
kuat-kuat, mengikuti jejak sang Majikan.
DUA
Sinar matahari yang kini berada tegak di atas
ubun-ubun, hingga menghadirkan rasa panas yang
menyengat tak dipedulikan oleh dua bocah berpa-
kaian warna merah darah yang terus saja melang-
kahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Sudah pulu-
han pal jauhnya mereka meninggalkan Hutan Jati
Selajar. Entah ke mana tujuan mereka sekarang.
Namun, di depan mereka kini terbentang sebongkah
batu besar yang menandai kalau mereka telah me-
masuki wilayah Desa Karang Sedaya.
Dua bocah yang tak lain adalah si Kembar
yang masing-masing bernama Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma kini sama-sama meng-
hentikan langkah kaki mereka, tatapan matanya
pun sama-sama memperhatikan sebongkah batu
yang bertuliskan nama "Desa Karang Sedaya".
"Aku mengkhawatirkan keselamatan Kakek
Suranggrati, Darma," ucap Setya Wangsakesuma
pada saudaranya.
"Aku pun begitu, Setya," timpal Darma Wang-
sakesuma. "Tapi semoga saja Kakek Suranggrati da-
pat mengatasinya," lanjut Darma Wangsakesuma
"Ya. Semoga saja," sahut Setya Wangsakesu-
ma. "Sekarang apakah kita masuk saja ke Desa Ka-
rang Sedaya?" tanya Setya Wangsakesuma me-minta
pendapat
"Ke mana lagi? Barangkali saja di desa itu ki-
ta akan peroleh kabar tentang kediaman Kakek Tan-
pa Jari," papar Darma Wangsakesuma.
"Ayolah kalau begitu," setuju Setya Wangsa-
kesuma melangkahkan kaki terlebih dulu, diikuti
kemudian dengan langkah kaki Darma Wangsake-
suma yang mencoba mensejajari.
Namun baru beberapa langkah lelaki kembar
berusia tiga belas tahun mengayunkan kaki, sebuah
teguran lunak membuatnya berhenti meneruskan
perjalanannya.
"Hai, Bocah-bocah Tampan! Hendak ke ma-
nakah kalian?" tanya sebuah suara bernada enteng
dan terdengar seperti bersahabat.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma segera saja menolehkan kepalanya dan kemu-
dian sama-sama membalikkan tubuh menghadap
dua lelaki tampan berpakaian hijau yang berdiri tegak di hadapannya sejauh enam batang tombak.
Dua lelaki tampan yang berpakaian hijau itu
rata-rata menampakkan hulu senjata yang tersem-
bul dari balik punggungnya. Mereka tersenyum ma-
nis hingga memperlihatkan gigi-gigi putih mereka
yang tersusun rapi. Wajah mereka yang memang
tampan dengan mata bulat cemerlang serta kulit wa-
jah yang putih bening semakin menampakkan ke-
tampanan mereka, terlebih dengan rambut lurus
mereka yang terpotong begitu rapi dan apik. Dan
semuanya itu membuat Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma tak segan-segan membalas
senyuman itu dan menjawab pertanyaannya.
"Kami hendak ke Desa Karang Sedaya, Kak,"
jawab Setya Wangsakesuma dengan sikap sopan.
"Hm.... Kalian pasti punya urusan penting di
sana," ucap salah seorang dari lelaki tampan berpa-
kaian hijau lagi.
"Kira-kira begitulah, Kak," kali ini Darma
Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan itu.
"Hm...."
Dua lelaki tampan berpakaian hijau ini sama-
sama melangkahkan kakinya mendekati Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma hingga
berjarak satu setengah batang tombak.
"O, ya, namaku Ajiwana dan kawanku ini
bernama Lugawika," ucap lelaki tampan berkumis
lebih tipis yang mengaku bernama Ajiwana. "Boleh-
kah aku mengenal nama kalian?" lanjutnya sopan.
"Tentu saja," jawab Setya Wangsakesuma
tanpa merasa keberatan sedikit pun. "Namaku Setya
Wangsakesuma dan saudaraku ini punya nama
Darma Wangsakesuma," tambahnya memperkenal
kan diri.
"Kalian pasti anak kembar, betulkah?" selidik
Jiwana kemudian.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tak menjawab pertanyaan itu dengan segera,
dua bocah berusia tiga belas tahun itu kini terlibat
saling tatap satu sama lain.
"Kuyakini kalian sebagai anak kembar, wajah
kalian satu sama lain tak terlihat perbedaannya,"
ucap Lugawka. "Maaf, Darma, Setya. Kalau boleh
aku tahu kepentingan apakah yang membawa lang-
kah kaki kalian ke Desa Karang Sedaya?" tambah
Lugawnka.
Dua lelaki kembar berpakaian warna merah
darah sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang
terlontar dari mulut Lugawika, hingga jawabannya
pun tak keluar dari mulut mereka.
"Kalau kalian berkeberatan untuk menjawab,
tak usahlah dijawab," kilah Ajiwana.
"Maafkan kami, Kak. Kami memang berke-
baratan untuk memberitahukan," ujar Setya Wang-
sakesuma polos.
"Kalau aku menduga, bolehkah?" tanya Lu-
gawika berkesan mendesak.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tak menimpali pertanyaan itu, mereka sama-
sama diam dan sama-sama pula merasakan sesuatu
yang tak beres akan terjadi.
"Ah, maaf, Kak. Kami harus segera ke sana,"
ujar Darma Wangsakesuma dengan telunjuk yang
menuding mulut Desa Karang Sedaya.
"Tunggulah sebentar, aku belum meneruskan
dugaanku," tahan Lugawika. "Barusan aku mendengar nama Kakek Tanpa Jari kalian sebut-sebut,
apakah kalian akan menemuinya di Desa Karang
Sedaya sana?" tandas Lugawika membuat keyakinan
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma
akan hal yang tak beres semakin kuat. Itu kare-
nanya dua lelaki kembar tak menjawab pertanyaan
Lugawika.
"Kalian tak perlu takut untuk menjawab,"
ucap Ajiwana. "Kami berdua tahu persis di mana
kediaman si Kakek Tanpa Jari itu, dan untuk kalian
aku bersedia memberitahu," lanjut Ajiwana.
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma terpengaruh juga dengan ucapan lelaki lembut
yang keluar dari mulut Ajiwana, itu dapat dilihat da-
ri perubahan raut wajah dan tatapan bola mata
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
yang tak lagi tersirat kecurigaan.
"Betulkah Kakak berdua ingin menunjukkan
pada kami kediaman Kakek Tanpa Jari?" tanya
Setya Wangsakesuma terus terang.
"Tentu saja," jawab Lugawika mantap.
"Di manakah?" kejar Darma Wangsakesuma.
"Bukan di Desa Karang Sedaya," jawab Ajiwa-
na.
"Lalu di mana?" tanya Darma Wangsakesuma
dan Setya Wangsakesuma berbarengan.
"Ada persyaratan yang harus kalian penuhi
kalau ingin tahu kediaman si Kakek Tanpa Jari itu,"
kilah Lugawika dengan mata yang berkedip sebelah
kepada Ajiwana.
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma melihat apa yang dilakukan Lugawika, seketi-
ka itu juga kecurigaannya muncul kembali dan
keengganan untuk menanyakan persyaratan yang
dimaksud Lugawika membuat lelaki kembar berusia
tiga belas tahun itu bungkam seribu bahasa.
"Kalian tak ingin tahu apa persyaratan itu?"
tanya Ajiwana.
"Saya rasa tidak perlu, Kak. Kami berdua in-
gin mencarinya tanpa bantuan orang lain," jawab
Setya Wangsakesuma. "Ayo, Darma. Kita ke Karang
Sedaya sekarang," lanjutnya mengajak Darma
Wangsakesuma berjalan menuju mulut Desa Karang
Sedaya.
"Tunggu!" sentak Lugawika sedikit keras.
"Aku kecewa kalian tak bisa menghargai niat baik-
ku, padahal persyaratan yang kuajukan cukup gam-
pang dan tak akan menyulitkan kalian."
"Ya. Kami akan meminta benda yang kalian
bawa itu," sambung Ajiwana sambil menunjuk ben-
da yang berada di tangan Darma Wangsakesuma
dan Setya Wangsakesuma yang terbungkus kain su-
tera warna putih mengkilat.
"Apa?" tanya Darma Wangsakesuma dan
Setya Wangsakesuma terkejut. Wajah keduanya
langsung dibaluri rona merah sesaat mendengar
persyaratan yang diucapkan Ajiwana.
"Hanya itu, tak ada yang lain," kilah Lugawi-
ka.
"Maaf, kami tak bisa memenuhi persyaratan
itu," ujar Darma Wangsakesuma tandas. Sepertinya
jawaban itu tak bisa diubah lagi.
"Berarti kalian kehilangan kesempatan untuk
mengetahui rumah tinggal si Kakek Tanpa Jari."
"Tak apa. Kami bisa mencarinya," jawab Setya
Wangsakesuma.
"Kalau kami merebut benda yang kau bawa
secara paksa bagaimana? Apa kau sanggup mem-
pertahankannya?" tanya Lugeiwika mengajukan per-
timbangan untuk dipilih lelaki kembar berpakaian
merah.
"Kami akan mempertahankannya selama
nyawa kami masih berada di tempatnya," mantap
jawaban yang keluar dari mulut Setya Wangsake-
suma.
"Ternyata kalian punya nyali juga!" hardik
Lugawika yang berwatak agak panasan dibanding
dengan watak Ajiwana.
"Lima jurus kalian mampu mempertahankan
benda itu, maka persyaratan itu kucabut," sambung
Ajiwana. "Bersiaplah!"
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma membawa mundur kakinya satu langkah,
nampaknya kedua lelaki kembar yang masih muda
usia itu ingin menghadapi serangan yang pasti akan
dilakukan dua lelaki tampan yang menginginkan
panah dan busur emas yang dimilikinya.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Bocah!
Jangan anggap serangan Dua Pemuda Tampan Pen-
jenguk Maut main-main!" ucap Lugawika keras, ke-
mudian lelaki yang berwatak pemarah itu menghen-
takkan kakinya kuat-kuat di permukaan tanah, se-
ketika itu juga tubuhnya melesat ke arah Darma
Wangsakesuma.
Sebuah pukulan lurus yang terarah ke bagian
dada Darma Wangsakesuma dilancarkan Lugawika
dengan tanpa sungkan-sungkan, angin menderu
yang mengiringi kedatangan serangan itu menanda-
kan kalau Lugawika tak main-main.
Wuttt!
Diiringi teriakan menghindar, Darma Wang-
sakesuma melesat ke samping kanan menghindari
kepalan tangan lawannya yang menjurus ke bagian
dada. Tubuh lelaki berusia tiga belas tahun itu terli-
hat melenting ringan beberapa kali di udara. Terlihat
betapa luwes dan ringan cara Darma Wangsakesu-
ma bergerak dan itu cukup membuatnya terhindar
dari gempuran maut yang dilancarkan Lugawika.
Lugawika sendiri hanya tersenyum menyaksi-
kan kelincahan gerak lelaki yang berusia jauh lebih
muda darinya, kemudian dia pun mencoba menim-
pali dengan jurus pertama dari lima jurus yang telah
dijanjikan.
Tubuh Lugawika kembali melesat dengan
mengerahkan tendangan yang terangkum dalam ju-
rus 'Menggali Liang Lahat'. Tendangan maut yang di-
lancarkan Lugawika memperlihatkan kaki kanan
yang berputar-putar hebat hingga menimbulkan de-
ru angin yang cukup jelas terdengar telinga.
Wuttt!
Kembali Darma Wangsakesuma melenting
ringan menghindari luncuran kaki kanan Lugawika
yang berputar bagai baling-baling kapal, sambil me-
lakukan beberapa kali putaran ke samping kanan.
Namun kiranya hal seperti itulah yang dinan-
ti-nanti Lugawika, lelaki tampan berpakaian hijau
yang pada bagian punggungnya tersandar sebilah
pedang terlihat merubah serangannya. Kaki kanan
yang berputar di depan tiba-tiba terhenti bergerak,
kemudian dengan cepat kaki itu ditarik ke belakang,
menjejak ke tanah dengan cepat, lalu menghentak-
kannya kuat-kuat
Kini sosok Lugawika melayang deras dengan
dua kepalan tangan yang terarah ke bagian uluhati
dan kepala lawannya.
Plak!
Begkh!
Meskipun Darma Wangsakesuma berhasil
memapak sambaran tangan kanan Lugawika, na-
mun dirinya yang dalam hal penguasaan tenaga da-
lam masih berada di bawah lawannya tak kuasa un-
tuk menghindari keterhuyungan saat benturan tan-
gan terjadi. Pada saat itulah gerakan Lugawika yang
begitu cepat kembali mengirim serangan susulan
yang mendarat telak di dada.
"Hoekh...!"
Darma Wangsakesuma tergolek di tanah, se-
mentara dari mulutnya mengalir darah kental. Be-
rarti lelaki muda usia yang dianggap Kakek Su-
ranggrati sebagai cucunya tengah mengalami luka
dalam yang cukup parah.
"Darma...!"
Setya Wangsakesuma yang menyaksikan kea-
daan saudaranya sempat terpekik, namun pekikan-
nya itulah yang membuatnya menjadi lengah akan
serangan Ajiwana yang kembali datang.
"Aw... aw... aw... as Set... ya!" Darma Wangsa-
kesuma yang melihat bahaya mengancam sauda-
ranya berusaha memberitahu sebisanya, namun apa
yang dilakukannya tak membuat Setya Wangsake-
suma sadar dari kelengahannya. Baru ketika seran-
gan Ajiwana semakin mendekat Setya Wangsakesu-
ma menoleh, namun sudah terlambat untuk mela-
kukan gerakan menghindar, hingga....
Blagkh!
Meskipun Setya Wangsakesuma berusaha ke-
ras menggeser kedudukannya demi menghindari
sambaran kaki lawan, namun hal itu tak banyak
membantu. Bahu kanannya terhajar juga dengan te-
lak oleh telapak kaki Ajiwana, dan itu membuat ke-
dudukan Setya Wangsakesuma terhuyung empat
langkah ke belakang.
Pada saat tubuh Setya Wangsakesuma ter-
huyung dan kehilangan kendali, Ajiwana kembali
bergerak memberikan serangan tambahan dengan
kepalannya yang bergerak memutar mencecar ra-
hang lawannya. Serangannya yang terangkum dalam
jurus 'Menggali Liang Lahat' menjelmakan angin
menderu kuat.
Setya Wangsakesuma meskipun dalam kea-
daan kedudukan limbung, masih tetap berusaha
mengelakkan sambaran tangan kanan Ajiwana den-
gan melakukan gerakan memutar ke samping ka-
nan, akan tetapi gerakan Ajiwana yang berubah-
ubah dan demikian cepat membuat saudara kembar
Darma Wangsakesuma tak kuasa untuk mengelak
terus-menerus, suatu ketika pukulan tangan Ajiwa-
na mendarat dengan telak di punggungnya hingga
tubuh Setya Wangsakesuma mencium tanah.
"Ha ha ha.... Kami Dua Pemuda Tampan Pen-
jenguk Maut masih cukup punya moral untuk men-
jenguk nyawa kalian, karena kalian masih terlalu
kecil untuk mendapatkan perlakuan itu. Begitu juga
dengan merebut panah dan busur emas itu secara
paksa, kami tak ingin melakukannya. Kami ingin
kau menyerahkannya sendiri. Sekarang tinggal pilih,
kalian akan menyerahkan benda itu sendiri atau
aku yang mengambilnya setelah tubuh-tubuh kalian
berubah menjadi mayat!" sentak Lugawika tegas.
"Aku pilih yang kedua!" jawab Setya Wangsa-
kesuma tak kalah tegas, meski di tengah kedudu-
kannya yang terkulai di tanah dan merasakan sakit
yang teramat sangat mendera bagian punggungnya.
"Hm.... Bagus! Ternyata kau punya nyali yang
cukup besar, dan aku juga tak akan memberi kalian
pilihan untuk yang kedua kalinya. Sekarang ber-
siaplah untuk mampus!"
Tubuh Lugawika melesat dengan sebilah pe-
dang di tangan yang teracung di udara, nampaknya
lelaki berpakaian warna hijau itu hendak memenggal
kepala Setya Wangsakesuma.
Ternyata bukan hanya Lugawika yang melo-
loskan pedangnya untuk memenggal kepala Setya
Wangsakesuma, hal seperti itu juga dilakukan oleh
Ajiwana yang bergerak cepat ke arah Darma Wang-
sakesuma.
"Ha ha ha...!"
Belum lagi serangan Lugawika dan Ajiwana
berkelanjutan, sebuah suara membahana terdengar
dengan diiringi dua serangan jarak jauh yang me-
nimbulkan angin menderu cukup keras.
Wusss...!
"Setan!"
Lugawika memaki sengit mendapatkan seran-
gan yang mendadak, namun begitu, kegesitannya
bergerak membuat dirinya mampu meredam puku-
lan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga
dalam tinggi. Lugawika bergerak cepat bagai kilat
mengurungkan niatnya memenggal kepala salah
seorang dari bocah kembar berusia tiga belas tahun.
Kenyataan itu juga dilakukan oleh Ajiwana
untuk mengelakkan pukulan jarak jauh yang belum
jelas siapa orang yang melakukannya. Baru setelah
Lugawika dan Ajiwana mendarat dengan selamat,
disaksikannya seorang lelaki bertubuh tinggi kekar
mengenakan jubah warna putih mengkilat. Wajah le-
laki yang putih layak mayat membuat Lugawika dan
Ajiwana segera mengenali siapa dia adanya, serta ti-
ga orang anak buahnya yang rata-rata menggeng-
gam golok besar di tangan.
"Iblis Bengis Wajah Dingin!" ujar Lugawika
dan Ajiwana dengan nada yang menyimpan keterke-
jutan.
"Ha ha ha.... Terima kasih atas jasa kalian
berdua menghentikan dua bocah itu hingga aku tak
sukar-sukar mengejarnya," tukas lelaki berjubah pu-
tih yang memang ternyata si Iblis Bengis Wajah Din-
gin. Lelaki pemilik senjata bola berduri itu nampak
berdiri dengan kepongahan yang memuakkan hati
Lugawika dan Ajiwana. "Namun kusayangkan kena-
pa kalian hendak membinasakan bocah-bocah itu,"
lanjut Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hhh! Jangan banyak basa-basi, Iblis Dungu!
Kau telah lancang mencampuri urusan kami, itu be-
rarti mautlah yang pantas menjemput kelancan-
ganmu!" bentak Lugawika dengan tatapan mata
membara penuh kemarahan.
"Ha ha ha...!" Iblis Bengis Wajah Dingin ter-
bahak mendengar ucapan yang keluar dari mulut
Lugawika. "Katakan cepat! Apakah urusan mengi-
ngini panah dan busur emas hanya menjadi uru-
sanmu!"
"Tak ada seorang pun yang akan dapat memi-
liki panah dan busur emas itu kecuali Dua Pemuda
Tampan Penjenguk Maut!" sentak Ajiwana sengit
"Hm.... Jadi sekarang aku berhadapan dengan
Dua Pemuda Sok Tampan dan Sok Hebat? Ck, ck,
ck.... Bukan main, bukan main beraninya kalian
berdua ini, tapi sia-sia saja keberanian kalian kalau
sudah berhadapan dengan Iblis Bengis Wajah Din-
gin," ejek lelaki bertubuh kekar yang membawa serta
tiga anak buahnya.
"Hrgh!" Lugawika mendengus menimpali ke-
congkakan Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Lebih baik kalian pergi sekarang juga, dan
kubur keinginan untuk memiliki panah dan busur
emas yang tak pantas kalian miliki! Itu kalau kalian
masih ingin melihat matahari esok pagi!" balas Iblis
Bengis Wajah Dingin menimpali dengusan kesal Lu-
gawika.
"Iblis Tengik!" damprat Lugawika tak kuasa
meredam kemarahannya. "Akan kukubur kesom-
bonganmu sekarang juga! Hiyaaa...!"
Demi melampiaskan kejengkelannya, Lugawi-
ka menggenjot tubuhnya melancarkan serangan
berkekuatan tenaga dalam tinggi. Otot-otot tangan-
nya nampak mengejang kaku dengan jari-jari yang
terkepal kuat, angin berkesiutan pun meningkahi
serangan maut yang dilancarkan salah seorang dari
dua lelaki yang berjuluk Dua Pemuda Tampan Pen-
jenguk Maut.
Pertarungan pun tak dapat dielakkan ketika
Iblis Bengis Wajah Dingin menyambut serangan
yang dilancarkan Lugawika. Pertarungan pun mulai
merambat antara Ajiwana menghadapi tiga lelaki
bersenjata golok anak buah Iblis Bengis Wajah Din-
gin.
Sementara pertarungan memperebutkan pa-
nah dan busur emas terjadi dengan seru dan dengan
nafsu membunuh yang menggebu, Setya Wangsake-
suma segera mencari jalan selamat dengan mema-
pah tubuh Darma Wangsakesuma yang mengalami
luka dalam menjauhi tempat pertarungan sedikit
demi sedikit.
Sebenarnya Iblis Bengis Wajah Dingin dan
Lugawika bukannya tidak tahu kalau Setya Wang-
sakesuma dan Darma Wangsakesuma melarikan di-
ri. Keduanya sama-sama ingin mengejar bocah yang
diperebutkan, tapi hal itu dirasa tak mungkin. Me-
reka sama-sama ingin lebih dulu menyudahi per-
tempuran dengan binasanya salah satu di antara
mereka. Termasuk Ajiwana atau anak buah Iblis
Bengis Wajah Dingin.
"Biarkan bocah itu kabur!" sentak Lugawika.
"Kita tentukan dulu sampai mati siapa yang berhak
atas mereka dan senjatanya!"
"Aku setuju! Akan kubinasakan kau, juga te-
manmu yang tak pantas memiliki panah dan busur
emas itu!" timpal Iblis Bengis Wajah Dingin geram.
"Bacot besarmu terlalu bagus untuk dibiar-
kan!" bentak Lugawika. "Ajiwana! Bunuh habis me-
reka!" teriak Lugawika pada Ajiwana yang terus ber-
tempur menghadapi anak buah Iblis Bengis Wajah
Dingin.
"Hyaaat...!"
Pertempuran kembali berlanjut tanpa mem-
pedulikan lagi Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma yang bergerak diam-diam menjauhi
arena pertarungan.
"Ayo, Darma. Kuatkan dirimu, kita harus bisa
meninggalkan mereka untuk segera menemui Kakek
Saroagung," ajak Setya Wangsakesuma dengan me-
mapah tubuh saudara kembarnya, padahal dirinya
sendiri masih mengalami kesakitan pada bagian tu-
buhnya setelah mendapat serangan keras dari salah
seorang Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut.
"Mereka pasti akan mengejar kita setelah sa-
lah satu di antara mereka memenangkan pertarun-
gan," ucap Darma Wangsakesuma penuh kekhawati-
ran.
"Mudah-mudahan pertarungan mereka me-
minta banyak waktu, Darma. Aku yakin Dua Pemu-
da Tampan Penjenguk Maut bukanlah lawan yang
ringan bagi Iblis Bengis Wajah Dingin," kilah Setya
Wangsakesuma. "Dengan begitu kita memiliki ke-
sempatan untuk menghindarinya lebih jauh," lanjut
Setya Wangsakesuma memberi dorongan semangat
pada saudara kembarnya.
"Ehhhgk...."
Sebisanya Darma Wangsakesuma melang-
kahkan kakinya dengan dipapah oleh Setya Wang-
sakesuma, meski dia merasakan dadanya seperti di-
cucuk-cucuk ratusan jarum. Sedikit demi sedikit
dua lelaki kembar berpakaian warna merah darah
bisa menjauhi tempat pertarungan Iblis Bengis Wa-
jah Dingin dan Dua Pemuda Tampan Penjenguk
Maut yang masih terlibat pertarungan sengit.
***
TIGA
Angin sore mulai berhembus ketika langkah
kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma terseok-seok semakin jauh ke dalam Desa Ka-
rang Sedaya yang masih begitu jarang penduduk-
nya. Desa Karang Sedaya memang masih nampak
seperti sebuah hutan yang baru dibuka oleh bebera-
pa orang penduduk pendatang, terbukti rumah-
rumah di desa itu masih begitu berjauhan, masih
begitu jarang hingga meski sudah berpal-pal lang-
kah kaki dua lelaki kembar terayun, mereka belum
juga menemui sosok-sosok penduduk yang lalu-
lalang.
Namun ketika langkah kaki Setya Wangsake-
suma dan Darma Wangsakesuma terayun ke kelo-
kan jalan sebelah kanan, hampir saja tubuhnya di-
tabrak oleh seorang lelaki berpakaian warna kuning
keemasan yang tengah berlari cukup cepat.
"Ups!"
Untuk mencegah terjadinya tabrakan itu, le-
laki tampan segera menghentak kakinya kuat-kuat
hingga tubuhnya melenting ke udara dan berputa-
ran beberapa kali sebelum lelaki muda berpakaian
warna kuning keemasan mendarat dengan ringan di
tanah.
"Ah, maafkan aku, Dik. Hampir saja aku me-
langgar kalian," tukas lelaki tampan berpakaian
warna kuning keemasan yang tak lain adalah Jaka
Sembada. Ucapan yang keluar dari mulut Raja Petir
terkesan begitu tulus dengan tekanan suara yang
terdengar lembut dan sopan.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tak sempat menyahuti permintaan maaf Jaka,
kedua mata lelaki kembar itu kini tengah menatapi
sosok Raja Petir, tatapan mata mereka seperti terpa-
ku.
"Namaku Jaka, Dik. Ah, sepertinya kawanmu
tengah mengalami luka dalam," ucap Jaka sambil
melangkahkan kakinya dua tindak mendekati sosok
Setya Wangsakesuma yang tengah menyangga tu-
buh Darma Wangsakesuma.
"Apakah nama lengkap Kakak, Jaka Semba-
da?" sebuah pertanyaan balik tiba-tiba terlontar be-
gitu saja dari mulut Setya Wangsakesuma setelah
hampir setengah penanakan nasi menatapi kebera-
daan Raja Petir dari ujung kaki hingga ujung ram-
but.
Dengan anggukan mantap Jaka membenar-
kan pertanyaan Setya Wangsakesuma. Seketika itu
juga Jaka menangkap rona kegembiraan terpancar
dari wajah bola mata dua lelaki muda usia yang sa-
ma-sama mengenakan pakaian warna merah, den-
gan wajah hampir tiada perbedaan satu sama lain.
Seperti buah pinang dibelah dua.
"Kakak Raja Petir?! Ugkh...!" Ucapan kegembi-
raan yang keluar dari mulut Darma Wangsakesuma
membuat saudara kembar Setya Wangsakesuma itu
terbatuk, setitik darah nampak merembes dari ke-
dua sudut bibirnya.
Jaka yang sejak pertama sudah dapat men-
duga keadaan Darma Wangsakesuma tak mau ber-
tindak ayal, segera langkahnya terayun menyambar
tubuh Darma Wangsakesuma yang berada dalam
sanggahan saudara kembarnya, kemudian tanpa ra
gu-ragu dan dengan cepat Jaka meraih pil warna
merah dari balik saku pakaiannya, kemudian dima-
suk-kannya ke dalam mulut Darma Wangsakesuma.
Setelah itu Jaka membaringkan tubuh lemah lelaki
berusia tiga belas tahun itu berbantalkan akar po-
hon yang menyembul dari permukaan tanah.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi pada diri
kalian?" tanya Jaka setelah keadaan beranjak se-
saat.
"Namaku Setya Wangsakesuma dan saudara
kembarku bernama Darma Wangsakesuma," tukas
Setya Wangsakesuma belum menjawab pertanyaan
Raja Petir. "Sungguh kebetulan yang memberun-
tungkan kalau kita bisa berjumpa," lanjut Setya
Wangsakesuma dengan tatapan kegembiraan yang
terus melekat ke wajah Jaka.
Tatapan Setya Wangsakesuma yang seperti
itu mendapatkan sambutan yang berbantahan den-
gan tatapan mata Jaka yang bermakna sebuah ke-
heranan akan ucapan lelaki muda belia di hadapan-
nya.
"Apa maksud ucapanmu, Dik Setya?" tanya
Jaka menuntaskan keheranannya.
Tanpa keraguan sedikit pun Setya Wangsake-
suma menceritakan maksud dari ucapannya. Selu-
ruh ucapan yang diwasiatkan oleh Kakek Su-
ranggrati dipaparkannya tanpa satu kalimat pun
yang tertinggal.
"Siapa itu Kakek Saroagung yang bergelar Ka-
kek Tanpa Jari?"
"Aku sendiri tak pernah mengenalnya, Kak,"
jawab Setya Wangsakesuma atas pertanyaan Jaka.
"Kakek Saroagunglah yang jelas-jelas mengetahui
hal ikhwal diri kami berdua," lanjut Setya Wangsa-
kesuma.
"Kalau boleh Kakak tahu, kenapa Kakek Su-
ranggrati menugasi kalian untuk menyerahkan pa-
nah dan busur emas yang kalian katakan sebagai
senjata yang maha dahsyat pada Kakak dan akan
menjadi momok kegemparan bagi dunia persilatan
jika jatuh ke tangan yang salah?" tanya Jaka lagi
menyelidik.
"Kakek Suranggrati cuma bilang hanya Raja
Petir yang mampu meredam kekuatan tokoh-tokoh
hitam yang berhajat merebut panah dan busur emas
ini," jawab Setya Wangsakesuma polos.
"Kakek Suranggratimu terlalu berlebihan me-
nilai diriku, Dik Setya," kilah Jaka merendah.
"Kakek tak pernah bicara berlebihan yang di
luar kenyataan, Kak," bantah Setya Wangsakesuma.
"Ah, sayang.... Kakek Suranggrati mungkin te-
lah binasa di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin, yang
bisa kupastikan juga akan dapat membinasakan
Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang hampir
saja memenggal kepala kami," lanjut Setya Wangsa-
kesuma. Tiba-tiba saja sebutir air mata menggelind-
ing dari kelopak mata yang berkedip setelah mene-
rawang jauh beberapa saat.
"Sudahlah, Dik. Kalian sudah menunaikan
perintah Kakek Suranggrati dengan baik hingga sen-
jata berbahaya ini berada di tanganku. Sekarang
mari kita cari kediaman Kakek Saroagung. Biar ba-
gaimanapun kalian berdua harus tahu hal ikhwal
diri kalian, aku sendiri ingin mengetahuinya," ujar
Jaka mencoba mengalihkan suasana hati Setya
Wangsakesuma.
"Apakah tidak kita tunggu Darma siuman?"
tanya Setya Wangsakesuma bersemangat manakala
mendengar kesediaan Raja Petir membantunya me-
nemui Kakek Tanpa Jari.
"Obat yang kuberikan pada Darma memang
cukup keras untuk ukuran lelaki semuda kalian,
namun Darma bukanlah pemuda lemah, kuperhati-
kan otot-ototnya yang berisi dan tulang-tulangnya
yang cukup bagus. Sesaat lagi dia juga akan si-
uman," tukas Jaka kemudian.
Ternyata memang betul ucapan Raja Petir.
Belum lagi gema ucapannya sirna dari pendengaran
Setya Wangsakesuma, nampak Darma Wangsake-
suma sudah menggeliatkan tubuhnya dan kemudian
seperti tanpa terjadi sesuatu pada dirinya, Darma
Wangsakesuma mampu bangkit dari rebahnya tanpa
menemui kesulitan. Cuma dari wajahnya saja yang
masih menampakkan kepucatan.
"Sekarang kita berangkat, Kak?" tanya Setya
Wangsakesuma sambil menggamit lengan Darma
Wangsakesuma.
"Kapan lagi?"
* * *
Siang telah benar-benar menjelma menjadi
sore ketika tiga lelaki tampan yang tak lain adalah
Jaka dan dua bocah kembar berpakaian merah me-
langkahkan kakinya mencari seorang kakek yang
berjuluk Kakek Tanpa Jari.
Sementara di tempat lain, tepatnya di daerah
perbatasan Desa Karang Sedaya enam orang lelaki
bersenjata tengah terlibat pertarungan yang sengit.
Dari pertarungan itu bisa terlihat kalau dua lelaki
tampan yang mengenakan pakaian warna hijau ke-
teteran menghadapi serangan-serangan yang dila-
kukan lelaki berjubah putih berwajah pucat bagai
mayat bersama dengan tiga orang anak buahnya,
akan tetapi keadaan salah seorang pemuda tampan
berpakaian warna hijau tidaklah separah keadaan
kawannya.
Dalam kesempatan sempit, setelah dirinya
berhasil mengelakkan serangan salah seorang dari
tiga lelaki bersenjata golok besar, Ajiwana si Pemuda
Tampan itu berhasil memberikan serangan balasan
yang sempurna dengan pedang di tangan yang
membabat cepat membelah dada salah seorang lela-
ki berpakaian warna hitam.
"Mampus kau!"
Brat!
"Aaa...!"
Salah seorang anak buah lelaki berjubah pu-
tih yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin kini ter-
geletak tanpa nyawa dengan bagian dada terkoyak
lebar tersambar senjata milik Ajiwana. Kenyataan itu
tentu saja membuat dirinya marah, seketika itu juga
kegencaran serangannya terhadap Lugawika ditam-
bah lebih cepat. Senjata yang berupa rantai baja
berbandul enam bola-bola berduri pun telah dilo-
loskan.
"Nyawamu yang akan membayar kematian
anak buahku!" teriak Iblis Bengis Wajah Dingin ke-
ras, tangan kanannya seketika itu juga diputar-
putar.
Wuk, wuk....!
Bunyi bergemuruh terdengar keras. Bebatuan
kecil yang memang banyak terdapat di perbatasan
Desa Karang Sedaya berpentalan tak tentu arah.
Lugawika sendiri berkali-kali harus berlompa-
tan menghindari luncuran kerikil-kerikil yang tera-
rah ke tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Saat Lugawika melompat itulah Iblis Bengis
Wajah Dingin melepaskan bola-bola berdurinya yang
terarah ke batok kepala lawannya.
Serangan Iblis Bengis Wajah Dingin segera
disadari Lugawika. Sebentuk keberanian yang tak
terduga sama sekali oleh Iblis Bengis Wajah Dingin
dilakukan oleh Lugawika. Dengan beraninya lelaki
berwajah tampan itu menyambut luncuran senjata
lawannya.
"Hih!"
Taps!
Rantai baja milik Iblis Bengis Wajah Dingin
kini berada di genggaman tangan Lugawika. Lelaki
berjubah putih itu tentu saja terkejut bukan kepa-
lang menyaksikan keadaan itu, namun pengala-
mannya yang cukup matang telah mengajarkannya
untuk mengambil tindakan tepat dan cepat.
Seketika itu juga Iblis Bengis Wajah Dingin
melepaskan cekalan tangannya pada rantai yang di-
pegangnya dan melemparnya dengan kekuatan te-
naga dalam penuh ke arah Lugawika.
Lugawika sendiri tak menyana dengan apa
yang dilakukan oleh lawannya. Sebuah lemparan ke-
ras memutar membuat dirinya menjadi kebi-
ngungan, apalagi lemparan itu cukup cepat.
Swing...!
Rrt...!
"Hhh?!"
Bukan alang kepalang terkejutnya Lugawika
yang mendapatkan tubuhnya terlilit rantai baja mi-
lik lawan sebelum dia sempat melakukan gerakan
mengelak. Sedemikian cepatnya lemparan yang dila-
kukan musuhnya.
"Hiaaa...!"
Belum lagi Lugawika menemukan jalan keluar
untuk membebaskan diri dari belitan rantai milik Ib-
lis Bengis Wajah Dingin, lawannya yang memang
memiliki mutu ilmu silat yang lebih sempurna ter-
dengar berteriak lantang seraya mengibaskan dua
telapak tangannya.
Twing...! Twing...!
Lempengan berbentuk pipih dan bergerigi se-
ketika meluncur cepat ke arah Lugawika seiring
dengan kibasan tangan lelaki yang begitu cepat me-
nyelinap ke balik jubah kebesarannya. Hal itu tentu
saja semakin membuat Lugawika mati kutu. Otak-
nya betul-betul menjadi buntu untuk mencari jalan
keluar. Dan ketika dirinya memutuskan untuk me-
lompat ke arah kanan, hal itu ternyata sudah ter-
lambat.
Crab! Crab!
Dua buah benda pipih bergerigi sudah lebih
dulu mengenai sasaran pada bagian dada dan mata
kirinya.
Lugawika meraung dahsyat merasakan rasa
sakit yang teramat sangat, terutama pada bagian
matanya yang tentu saja sangat mengganggu pan-
dangannya. Kepalanya pun seketika berputar-putar.
Lelaki berjubah putih itu ternyata memang
berwatak telengas. Meski lawannya dalam keadaan
payah seperti itu dan tak mungkin dapat bertahan
lama, dia masih juga melancarkan serangan susulan
dengan tendangan kaki kanan lurus yang terarah ke
bagian perut Lugawika.
Bugkh!
Sosok lelaki tampan berpakaian warna hijau
seketika itu juga terlontar sejauh dua batang tom-
bak, dengan nyawanya yang langsung hijrah ke alam
lain.
Pada sisi yang lain, Ajiwana ternyata harus
menerima nasib yang sama. Dua lawannya yang
berkepandaian cukup tinggi berhasil membenamkan
golok-golok besarnya pada bagian-bagian mematikan
di tubuh Ajiwana. Jantung dan lehernya.
Kini dua lelaki berwajah tampan yang berju-
luk Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut sudah le-
nyap dari keramaian dunia persilatan. Nampak Iblis
Bengis Wajah Dingin tersenyum pongah dengan ta-
tapan mata yang tertuju bergantian pada mayat Lu-
gawika dan Ajiwana.
"Hhh! Banyak tokoh lain yang pasti mengin-
ginkan panah dan busur emas itu, kita harus segera
mengejar bocah-bocah keparat itu, jika berjumpa,
langsung saja kita penggal kepalanya. Ayo!"
Iblis Bengis Wajah Dingin langsung melesat
meninggalkan mayat Lugawika dan Ajiwana yang
sudah terbujur kaku. Dua anak buahnya pun mela-
kukan hal yang sama.
Langit di Perbatasan Desa karang Sedaya su-
dah nampak gelap, warna jingga yang mengiringi
tenggelamnya matahari ke peraduan menandakan
malam sudah menjelang, bunyi jangkrik pun samar-
samar mulai terdengar, mengiringi kelebatan tiga le
laki yang baru saja melenyapkan dua nyawa lelaki
berpakaian warna hijau, tiga lelaki yang kini sama-
sama berlari cepat memasuki Desa Karang Sedaya.
EMPAT
"Raja Petir!" bentak seorang lelaki berpakaian
warna hitam dengan setelan bawahan berwarna me-
rah darah. Lelaki bertubuh tegap dengan sebelah
mata yang ditutup dengan selembar kulit macan tu-
tul itu berdiri pongah di hadapan Jaka yang berdiri
bersisian dengan Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma. "Kau ternyata hanyalah seorang to-
koh penjilat yang patut segera dilenyapkan dari ke-
ramaian rimba persilatan. Kedudukanmu sebagai
seorang tokoh pembela kebenaran ternyata cuma
kedok belaka!" lanjut lelaki bermata picak yang se-
sungguhnya berjuluk Golok Darah Mata Tunggal.
Jaka yang mendapatkan caci maki seperti itu
hanya mencoba mengimbanginya dengan tatapan
mata lembut dan sesungging senyum yang meng-
gantung di wajahnya.
"Mereka pasti ingin memiliki busur dan panah
emas ini, Kak Jaka," bisik Setya Wangsakesuma.
Jaka tak mengomentari bisikan Setya Wang-
sakesuma, tatapannya tetap tertuju pada tiga lelaki
yang menghadang perjalanannya.
"Tuan-tuan yang gagah," ujar Jaka kemudian
dengan suara yang mengalun penuh tata krama.
"Sungguh aku tak mengerti akan makna dari kata-
kata yang barusan kudengar. Ah, sayang sekali ka-
lau kata-kata itu telah mengusik keindahan pagi
yang seharusnya sama-sama bisa kita nikmati," lan-
jut Jaka dengan ketenangan yang cukup membuat
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
terkagum-kagum.
Ucapan mata Jaka disambut dengan belala-
kan sebelah mata lelaki yang berjuluk Golok Darah
Mata Tunggal, kemudian lelaki picak itu mendengus
keras.
"Kau juga berlindung di balik kata-katamu
yang lembut! Padahal kau bajingan. Raja Edan!"
maki Golok Darah Mata Tunggal lagi. "Sekarang se-
rahkan kedua bocah ingusan itu, dan jangan coba-
coba ingin memiliki panah dan busur emas itu!"
sambung lelaki bermata sebelah, tangannya yang
kekar bergerak dengan telunjuk yang menuding wa-
jah tampan Jaka.
"Hei! Jadi kau menginginkan kawan-kawanku
ini? Hm.... Apakah dia kemenakanmu?" tanya Jaka
dengan sikap mengejek.
"Keparat! Kuhancurkan mulutmu!" bentak
Golok Darah Mata Tunggal dengan suara yang
menggelegar.
"Aku tak punya salah, kenapa Tuan ingin
menghancurkan mulutku?" tanya Jaka lagi. "Hen-
daknyalah Tuan pikirkan kembali keinginan itu."
"Burdawa! Jangan kau timpali Raja Edan
yang pintar bicara itu! Lenyapkan saja nyawanya se-
gera, juga kedua bocah itu!" ujar lelaki berperawa-
kan sedang pakaian putih dengan kain warna merah
yang berjuntai ke belakang. Dialah Semaga yang
berjuluk Walet Paruh Racun.
"Kau betul, Semaga," timpal Golok Darah Ma-
ta Tunggal yang ternyata bernama Burdawa. "Namun biarlah keinginan hatiku terpenuhi dulu, aku
ingin Raja Petir yang selalu disebut-sebut sebagai
tokoh pembasmi kejahatan mampus di tanganku,"
lanjut Burdawa dengan kepala yang tertunduk sedi-
kit memberi penghormatan pada Semaga.
"Silakan, Burdawa!" setuju Semaga. Burdawa
kemudian membawa langkah kakinya tiga tindak
mendekati Jaka, hingga jarak di antara mereka ting-
gal dua batang tombak saja.
"Kalau kau ingin menjajal kemampuanku, ada
satu hal yang harus kau ingat," pinta Jaka berbasa-
basi. "Saat kita bertarung, kuharap kawan-
kawanmu tak menjahili kawan-kawanku."
"Itu terserah kami. Raja Pengecut!" potong le-
laki berusia lebih dari lima puluh lima tahun. Lelaki
yang layak disebut kakek oleh Jaka itu mengenakan
pakaian warna biru terang, wajahnya yang keriput
dengan tatapan mata yang setajam mata elang me-
nandakan kalau dia lelaki yang matang segala ma-
cam pengalaman. Dialah lelaki yang berjuluk Kakek
Seribu Totokan.
"Itulah ciri-ciri kalian para tokoh bejat!" ucap
Jaka membuat telinga Kakek Seribu Totokan mema-
nas.
"Binasakan Raja Gila itu, Burdawa! Biar aku
menguliti tubuh bocah-bocah itu!" perintah Kakek
Seribu Totokan yang sesungguhnya bernama Niluh
Gardela.
Golok Darah Mata Tunggal tak menunggu
waktu lagi dengan ucapan Kakek Seribu Totokan,
namun sebelum serangannya sampai ke arah Jaka,
lelaki berjuluk Raja Petir itu telah lebih dulu melin-
dungi Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake
suma dengan 'Aji Kukuh Karang'. Hal itu dilakukan
Jaka untuk menghindari bahaya akan keganasan
tokoh-tokoh hitam yang berjuluk Walet Paruh Racun
dan Kakek Seribu Totokan.
Kini di sekujur tubuh Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma nampak sinar warna
kuning keemasan melingkar dan memendar-mendar.
"Hyaaa...!"
Brrrt!
Pada saat itu juga sebuah pukulan keras-
melayang ke arah kepala Jaka yang segera menim-
palinya dengan gerakan mengegos kakinya ke arah
kanan. Pukulan Golok Darah Mata Tunggal memang
melenceng ke lain arah, namun sambaran tangan
yang lain dengan cepat menyusul mencecar ulu hati
Raja Petir.
Plak!
Sebuah benturan keras terjadi ketika tangan
kiri Jaka bergerak melindungi ulu hatinya, sebuah
benturan berkekuatan tenaga dalam tinggi yang
membuat Raja Petir dan Golok Darah Mata Tunggal
terjajar dua langkah ke belakang menandakan kalau
kekuatan tenaga dalam mereka berimbang.
"Hm.... Baru kujumpai lawan yang memiliki
tenaga dalam setinggi kau. Raja Edan! Tapi jangan
bangga dulu, kehebatanmu akan kukubur sekarang
juga!" bentak Golok Darah Mata Tunggal, kemudian
tangan kanannya bergerak-gerak ke atas dan ke ba-
wah dengan kecepatan yang luar biasa. Itulah ilmu
'Pukulan Maut Tangan Kosong' yang pada puncak-
nya menjelmakan sinar kebiruan yang membungkus
tangan Burdawa. Sinar kebiruan yang menebarkan
hawa dingin.
"Hiaaa...!"
Sesaat menyiapkan ilmu pukulannya, kini
Burdawa melesat cepat ke arah Jaka. Tangan ka-
nannya yang terbalut sinar kebiruan terangkat sam-
pai ke batas kening, nampaknya si Golok Darah Ma-
ta Tunggal hendak menyarangkan pukulan mautnya
dengan dibarengi tenaga dalam yang tidak sedikit,
dan yang menjadi incarannya adalah bagian terle-
mah di tubuh Raja Petir.
Buet! Beut!
Tubuh Jaka bergeser cepat ke samping kanan
sebelum pukulan keras yang dilakukan Golok Darah
Mata Tunggal mematahkan batang lehernya.
Apa yang dilakukan Raja Petir memang ber-
hasil, terbukti serangan yang dilakukan lawannya
lolos beberapa jengkal dan hanya mampu menerpa
tempat kosong, namun keterkejutan seketika me-
landa hati Jaka. Meskipun batang lehernya tak ter-
kena pukulan Golok Darah Mata Tunggal, namun
angin pukulan dari lawannya membuat bagian le-
hernya seketika terasa kaku, ada hawa dingin yang
luar biasa menyengat menjalar dalam darah di ba-
gian lehernya.
Seketika itu juga Jaka merasakan kepalanya
sukar sekali untuk digerakkan, terlebih ketika dira-
sakannya hawa dingin itu mulai merambat ke ba-
gian dada.
Golok Darah Mata Tunggal yang menyaksikan
Raja Petir berdiri seperti orang kebingungan, segera
saja mengambil kesempatan yang dianggapnya men-
guntungkan. Tubuhnya seketika itu juga bergerak
dan bermaksud menghancurkan tubuh lawan den-
gan ilmu yang sama, 'Pukulan Maut Tangan Kosong'.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras yang dilakukan Burdawa
membuat tatapan mata Jaka tak bergeming meman-
dangi sosok yang tengah meluruk ke arahnya. Awal-
nya Jaka ingin menciptakan 'Aji Bayang-Bayang' un-
tuk menggagalkan serangan lawannya, namun kein-
ginan lain muncul, hingga Jaka memutuskan me-
nangkis saja serangan Golok Darah Mata Tunggal
dengan mengerahkan tenaga saktinya.
Plak! Tlak!
Pekik tertahan sama-sama terdengar melom-
pat dari mulut Raja Petir dan Golok Darah Mata
Tunggal, kedudukan kedua tokoh bertenaga dalam
tinggi itu pun terlihat kembali terjajar beberapa
langkah ke belakang, dan jarak yang memisahkan
itu segera digunakan Jaka untuk melepaskan diri
dari pengaruh pukulan sakti yang telah dilancarkan
Burdawa.
"Hhh...!"
Beberapa saat setelah menciptakan kekuatan
hawa murni untuk melenyapkan pengaruh dingin
yang diakibatkan dari 'Pukulan Maut Tangan Ko-
song' lawan, Raja Petir kembali siap untuk melan-
jutkan pertarungan.
"Ternyata kehebatanmu yang kudengar dari
tokoh-tokoh rimba persilatan bukanlah sekadar
bualan belaka, Raja Petir!" puji Golok Darah Mata
Tunggal setelah dirinya mampu mengatasi rasa nyeri
pada tangannya setelah berbenturan dengan kekua-
tan tangan Jaka. "Namun berhati-hatilah mengha-
dapi Golok Darahku ini, jika kau masih ingin men-
dengar pujian-pujian tokoh-tokoh rimba persilatan,
namun aku yakin pujian-pujian itu tak akan kau
dapatkan lagi!" lanjut Burdawa dengan suara dan
napas yang memburu.
Jaka memang mendengarkan kata-kata lelaki
berpakaian hitam dan merah, namun ekor matanya
tertuju pada kelakuan dua lelaki yang berjuluk Wa-
let Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan yang
tengah berusaha menggempur Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma yang berada dalam ling-
karan sinar kuning keemasan yang diciptakan Jaka
berkat 'Aji Kukuh Karang'.
"Sebenarnya aku tak suka dengan puji-pujian
yang Tuan maksudkan itu," ucap Jaka berusaha
berkilah. "Dan jika sekarang aku tak akan menda-
patkan pujian-pujian itu lagi, aku tak akan menyes-
al," tambahnya tenang.
"Baik! Jaga seranganku sekarang!" sentak Go-
lok Darah Mata Tunggal.
Sring...!
Bunyi gemerincing yang timbul ketika senjata
milik Burdawa keluar dari warangkanya, tajam ter-
dengar. Senjata yang berupa golok besar bergerigi
itu kini dipamerkan Burdawa dengan mengangkat-
nya sejajar dengan dahi.
Jaka yang melihat senjata milik lawannya
langsung berkesimpulan kalau senjata milik Burda-
wa bukanlah senjata sembarangan. Jaka merasakan
hawa panas yang menyergapnya saat senjata yang
memendarkan sinar samar kemerahan itu lolos dari
tempatnya.
"Haaat...!"
Sosok Burdawa kini betul-betul melesat ke
arah Jaka, Golok Darah Mata Tunggalnya pun sege-
ra diayunkan ke bagian dada lawan.
Wung! Wung!
Dua kali berturut-turut Golok Darah Mata
Tunggal berkelebat mencari sasaran, namun dua
kali itu pula apa yang dilakukan Burdawa menemui
kesia-siaan.
Jaka yang menjadi lawannya telah menghin-
dari serangan mautnya dengan mengerahkan ilmu
'Lejitan Lidah Petir' yang bertumpu pada kecepatan
gerak yang luar biasa. Tubuh Raja Petir dengan ce-
pat, layak petir, melesat dari tempat yang satu ke
tempat yang lain.
"Keparat kau, Raja Sinting! Kulumat tubuh-
mu! Hiaaa...!" kembali Golok Darah Mata Tunggal
memekik geram setelah mendapatkan serangannya
dikandaskan lawan, tubuhnya yang tinggi besar kini
meluruk dengan senjatanya yang terayun-ayun di
udara.
Wung...!
"Ups!"
Kembali Jaka bergerak lincah dan cepat den-
gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu
membuat dirinya terhindar dari senjata maut Bur-
dawa. Si Golok Darah Mata Tunggal kembali mene-
lan kemangkelan mendapatkan serangannya kemba-
li menerpa tempat kosong.
Kemangkelan yang tertahan di dada Burdawa
membuat lelaki bermata picak itu menghentikan se-
rangannya sesaat, dan kesempatan itu segera digu-
nakan Raja Petir untuk mengadakan serangan bala-
san. Jurus 'Petir Menyambar Elang' yang merupakan
paduan jurus 'Lejitan Lidah Petir' langsung digelar-
nya.
"Hiaaa...!"
Layak seekor elang yang hendak menerkam
ikan di dalam laut, sosok Jaka melesat ke arah Bur-
dawa. Gerakannya yang bagai kilat dengan dua tan-
gan terpentang lebar yang mengarah ke bagian dada
dan kepala dengan leluasa dilakukannya.
Bet! Bet!
Golok Darah Mata Tunggal yang menyadari
serangan balasan Raja Petir terkejut bukan kepa-
lang, akan tetapi gerakan tiba-tiba yang dilakukan-
nya telah cukup menyelamatkan diri dari sambaran
dua tangan Jaka.
Raja Petir sendiri kagum dengan kegesitan
dan cara mengelak yang dilakukan Burdawa, dan itu
membuatnya ingin mencoba memberikan serangan
susulan yang lebih cepat.
"Hiaaa...!"
Tubuh Jaka kembali melayang di udara den-
gan dua tangan yang terpentang layak seekor elang
terbang. Apa yang dilakukan Jaka terbaca oleh Bur-
dawa yang seketika itu juga menempatkan Golok
Darah Mata Tunggalnya menyilang di depan dada.
Rupanya Burdawa ingin menyambut serangan Raja
Petir dengan menggunakan senjatanya.
Betul saja!
Manakala serangan Jaka mendekat, Burdawa
langsung membabatkan Golok Darah Mata Tunggal-
nya ke depan.
Wung...!
Bunyi mengaung segera terdengar ditingkahi
dengan teriakan menghindar yang keluar dari mulut
Raja Petir.
Hops!
Tuk!
Tanpa disadari Golok Darah Mata Tunggal,
Jaka menggunakan senjata lawannya sebagai landa-
san untuk melakukan salto ke udara setelah tan-
gannya dengan cepat menekan batang Golok Darah
Mata Tunggal. Dan ketika sosok Raja Petir sudah be-
rada di belakang Burdawa, dengan cepat tubuhnya
bergerak memberikan tendangan yang mencecar ba-
gian punggung.
"Hiaaa...!"
Begkh!
"Hgkh...!"
Tubuh Burdawa langsung tersungkur mana-
kala tendangan keras yang dilancarkan Jaka men-
darat dengan tepat, namun patut dipuji daya tahan
tubuh si Golok Darah Mata Tunggal, meski pung-
gungnya mendapatkan hantaman yang keras dirinya
masih mampu bangkit dan berhajat kembali menye-
rang lawannya.
Namun belum lagi sosok Burdawa bergerak,
Semaga lelaki bertubuh sedang yang bergelar Walet
Paruh Racun telah lebih dulu melesat ke arah Jaka.
"Biar kubantu kau, Burdawa!" tukas Semaga
dengan tubuh yang terus meluruk memberikan se-
rangan ke arah Jaka.
Lurukan tubuh Semaga yang begitu cepat dan
lincah memang membuat dirinya pantas menyan-
dang julukan Walet Paruh Racun.
"Haaat...!"
Cwit!
"Heh?! Hips!"
Tercekat hati Jaka mendapatkan serangan
aneh yang dilancarkan laki-laki berjubah putih den-
gan kain warna merah yang menjuntai menutupi
punggung. Serangan yang dilakukan dengan gera-
kan menebas menggunakan telapak tangan yang te-
rentang menjelmakan serangkum angin yang mem-
bentuk lempengan setajam mata pisau. Untung saja
Jaka cepat bergerak, melejit ke udara seraya mela-
kukan jungkir balik beberapa kali.
"Hyaaa...!"
"Hiaaat...! Haaa...!"
Baru saja kaki Jaka menginjak permukaan
bumi, Walet Paruh Racun kembali melakukan pe-
nyerangan dengan berteriak lantang, akan tetapi
yang datang menyerang bukan hanya dia seorang.
Nampak Kakek Seribu Totokan dan Golok Darah
Mata Tunggal ikut menyerbu ke arah Jaka.
"Kakak! Bebaskan kami! Biar kami bantu
kau!" teriak Setya Wangsakesuma mencemaskan ke-
selamatan Raja Petir. Biar bagaimanapun juga dia
dan saudaranya tak ingin berdiam diri melihat Jaka
diserbu tiga lawan-lawannya yang cukup tangguh.
Namun keinginan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tidaklah tercapai. Raja Petir tak juga
membebaskannya dari lingkaran kuning keemasan
yang mengurungnya. Lelaki tampan murid tunggal
Nyi Selasih sibuk menghadapi serangan yang dilan-
carkan tiga lawannya.
"Hm.... Aku harus menggunakan 'Aji Bayang-
Bayang' untuk menanggulangi keganasan mereka,"
batin Jaka dalam hati.
Seketika itu juga, selesai dengan kata batin-
nya, sosok lelaki tampan yang mengenakan pakaian
warna kuning keemasan bertambah menjadi lima
kali lipat banyaknya.
Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Ra
cun dan Kakek Seribu Totokan seketika itu juga
menghentikan gerakannya. Sungguh mereka tak
percaya kalau Raja Petir memiliki ilmu yang begitu
tinggi hingga sosoknya bisa bertambah menjadi ber-
kali lima banyaknya.
"Salah satu sosoknya pastilah yang asli, kita
harus pandai-pandai memilih!" ujar Kakek Seribu
Totokan sambil memandang kedudukan lima tubuh
Raja Petir yang berdiri sejajar. "Burdawa, kau serang
wujudnya yang paling kanan dan kau Semaga, se-
ranglah sosoknya yang paling kiri, sedangkan aku
akan mengambil yang paling tengah," lanjut Kakek
Seribu Totokan mengatur siasat
Apa yang disiasatkan Kakek Seribu Totokan
memang benar adanya, cuma saja dirinya tak men-
dapatkan sasaran yang tepat. Justru Burdawalah
yang mendapatkan petunjuk untuk menyerang wu-
jud Raja Petir yang asli, namun ketika mereka sama-
sama bergerak melakukan penyerangan, Jaka sudah
merubah kedudukannya dengan menempatkan wu-
jud aslinya pada kedudukan nomor dua paling ka-
nan. Hingga ketika serangan ketiga lawannya sam-
pai, maka....
Bet! Bet!
Cuit!
Wrugkh!
Serangan-serangan yang dilakukan Golok Da-
rah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek
Seribu Totokan ternyata hanya membentur sosok
kosong Jaka.
"Keparat!" hardik Golok Darah Mata Tunggal.
"
"Sundel!"
Burdawa dan Semaga sama-sama memaki
jengkel karena kegagalan serangannya, cuma Kakek
Seribu Totokan yang diam mencari jalan untuk sege-
ra mungkin menaklukkan Raja Petir.
"Kita serang dia dengan cepat, dan berganti-
ganti pada semua wujudnya!" ucap Kakek Seribu To-
tokan lagi bersiasat.
"Kau benar! Ayo!" setuju Semaga. Sosoknya
melesat mendahului kedua sekutunya.
LIMA
Desa Karang Sedaya yang masih sepi pendu-
duknya, ternyata menjadi begitu bisingnya karena
teriakan-teriakan keras yang dibarengi nafsu mem-
bunuh yang meletup-letup di dada tiga tokoh sesat
yang bergelar Golok Darah Mata Tunggal, Walet Pa-
ruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan.
Keadaan Desa Karang Sedaya sendiri nampak
menjadi tak karuan. Di sana-sini mulai nampak ta-
nah yang berlubang-lubang karena pukulan yang
berkekuatan tenaga sakti salah arah, begitu juga
dengan pohon-pohon yang sebagian besar tumbuh
di Desa Karang Sedaya. Beberapa di antaranya ber-
tumbangan terkena pukulan yang luput dari sasa-
ran.
Kini ketiga tokoh hitam itu berbarengan melu-
ruk ke arah Raja Petir. Sesuai yang disiasati Kakek
Seribu Totokan, mereka melakukan penyerangan
dengan cepat mencecar lima sosok wujud Jaka.
Hal yang demikian itu tentu saja membuat
Raja Petir harus dengan cepat pula menggeser dan
mengubah-ubah letak kedudukannya.
Berkali-kali Burdawa menebas-nebaskan go-
loknya ke bagian-bagian tubuh Jaka yang memati-
kan, namun sejauh itu tak satu pun serangan Bur-
dawa yang mengenai sasaran. Begitu juga dengan
keadaan Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu To-
tokan yang tak juga berhasil menyarangkan tebasan
dan totokan tangan mereka yang mematikan.
"Pergunakan racun!" teriak Semaga tiba-tiba.
Tangan kanannya pun seketika itu juga menyelinap
cepat ke balik pakaiannya. Hal serupa juga dilaku-
kan oleh Burdawa dan Niluh Gardela.
Wurrr...!
Tiga tokoh sesat itu berbarengan melempar
senjata-senjata gelap mereka yang mengandung ra-
cun cukup ganas dan mematikan.
Asap warna kemerahan, kebiruan, dan kehi-
jauan yang dikeluarkan oleh masing-masing senjata
rahasia milik lawan-lawan Raja Petir mengepul ke
udara, dan mencoba mengurung kedudukan Jaka.
Akan halnya Raja Petir yang sudah terbiasa
menghadapi kelicikan lawan-lawannya, maka sedikit
pun tak timbul kegentaran menyaksikan racun-
racun yang mencoba mengurungnya, meski sesung-
guhnya dirinya tak akan terpengaruh oleh racun-
racun itu, namun serangan membokong lawanlah
yang menjadi perhitungan. Maka seketika itu juga
timbul hajat di hati Jaka untuk mengacaukan asap-
asap yang membentengi penglihatannya dengan
mengerahkan 'Pukulan Pengacau Arah'. Kedudukan
kaki dan kuda-kuda rendah pun diciptakan Jaka
dengan telapak tangan terbuka yang diletakkan di
pinggang, kemudian hentakan kuat pun dilakukan
nya.
Wrrr...!
Dua rangkum angin yang bergulung keluar
dari telapak tangan Raja Petir menghentak keras.
Angin yang bergerak layak pusaran itu terus melaju
menyongsong asap-asap beracun yang mengganggu
penglihatan Jaka.
Seketika itu juga perubahan nampak terlihat
asap-asap beracun yang mengganggu penglihatan-
nya seketika itu juga porak-poranda dan nampak
ketiga lawannya yang tengah bergerak bermaksud
melakukan serangan membokong.
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
Karena hatinya yang mulai dilanda kejengke-
lan, Jaka ikut berteriak keras, sementara kedua
tangannya kembali menghentak memberikan puku-
lan jarak jauh.
Wusss! Wusss!
Kembali dua angin bergulung-gulung me-
nyongsong kedatangan sosok-sosok tokoh sesat yang
berhajat membinasakan Raja Petir. Dan angin ber-
gulung yang keluar berkat ilmu 'Pukulan Pengacau
Arah' itu membuat Burdawa, Semaga, dan Niluh
Gardela mengurungkan niat jahatnya dan melem-
parkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk
mencari selamat
"Hm.... Ternyata mereka adalah orang-orang
keras kepala yang tak mengerti kata peringatan. Aku
harus mengalah saat ini, biarlah kutunda saja per-
tarungan ini dengan meninggalkan mereka," putus
Jaka dalam hati. Itu dilakukannya semata demi
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Di samping itu juga Jaka ingin cepat-cepat menge-
tahui rahasia jati diri dua lelaki kembar itu dan juga
hal ikhwal busur dan panah emas yang menjadi pe-
rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.
Maka ketika Golok Darah Mata Tunggal, Wa-
let Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan kembali
melakukan penyerangan, dengan sikap seolah-olah
hendak menyongsong serangan mereka, tubuh Jaka
mencelat seraya memberikan pukulan jarak jauh-
nya, maka....
Wusss...!
Serangkum angin bergulung kembali keluar
mengancam keselamatan lawan-lawannya, pada saat
itulah Jaka merubah arah lejitannya dan mengham-
piri dua bocah kembar yang terkurung lingkaran si-
nar kuning keemasan.
"Ayo kita tinggalkan mereka, Dik!" ajak Jaka
seraya membebaskan Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma dari kurungan sinar kundng
yang tercipta berkat 'Aji Kukuh Karang'.
Tanpa banyak tanya, Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma langsung berlari menuju
utara dengan menggunakan ilmu lari cepat yang di-
peroleh dari Kakek Suranggrati. Jaka sendiri kagum
menyaksikan ilmu lari lelaki yang baru berusia tiga
belas tahun itu, ilmu lari yang cukup tinggi untuk
ukuran lelaki muda usia seperti mereka.
Setelah menyaksikan lari dua lelaki kembar
hingga mencapai beberapa batang tombak di depan,
Jaka menolehkan wajahnya ke arah tiga tokoh sesat
yang tengah bersiap melakukan serangan, bahkan di
antara mereka ada yang bermaksud mengejar Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Untuk mencegah maksud jahat Golok Darah
Mata Tunggal beserta kawan-kawannya, Jaka segera
saja menggelar 'Pukulan Pengacau Arah' untuk me-
nahan langkah mereka.
Werrr! Werrr!
Dua kali dengan keras Jaka menghentakkan
tangan kiri dan kanannya, lebih dari tiga rangkum
angin bergulung layak pusaran kembali meluruk ce-
pat ke arah Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh
Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang langsung sa-
ja melemparkan tubuh masing-masing demi mencari
selamat dari hantaman angin pukulannya yang me-
nebarkan hawa panas menyengat.
Pada saat lawan-lawannya bergerak menghin-
dari serangannya, Jaka langsung menghentakkan
kakinya keras-keras. Seketika itu sosoknya yang
terbungkus pakaian warna kuning keemasan berke-
lebat bagai kilat meninggalkan lawan-lawannya dan
menyusuli Darma Wangsakesuma serta Setya Wang-
sakesuma yang telah menghindar lebih dulu.
* * *
Tiga lelaki muda usia terlihat menghentikan
lari mereka yang seperti dikejar-kejar setan. Dua le-
laki yang memakai pakaian warna sama memperli-
hatkan keringat yang mengucur pada dahi dan ke-
ningnya, sementara napasnya yang memburu me-
nandakan bahwa keduanya merasa terlalu lelah.
Sementara lelaki berpakaian warna kuning
keemasan terlihat biasa-biasa saja, hanya sejentik
keringat yang terlihat menggelantung di dahinya.
"Sebaiknya kita beristirahat dulu, Dik. Kalian
nampak begitu letih," ajak lelaki yang tak lain ada-
lah Jaka.
"Aku setuju, Kak," Setya Wangsakesuma yang
menjawab ajakan Raja Petir.
"Aku juga, Kak. Apalagi perutku terasa lapar
seperti ini," Darma Wangsakesuma memegang pe-
rutnya yang dirasakannya perih karena belum terisi
makanan semenjak pagi kemarin.
"Ah, kasihan sekali kalian ini," timpal Jaka.
"Mari kita cari tempat istirahat sekaligus tempat
mengi perut," ajak Jaka kemudian.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma kemudian mengikuti langkah kaki Raja Petir
yang perlahan dan berbelok ke arah kanan, tak jauh
dari kelokan jalan itulah, pada jarak kurang lebih
sepuluh batang tombak tatapan mata mereka ber-
benturan dengan sebuah bangunan yang layak dis-
ebut sebuah kedai makan.
"Kalian lihat di depan sana?" tanya Jaka pada
dua lelaki kembar yang kini jadi sahabatnya, telun-
juk kanannya menunjuk ke arah rumah yang bera-
tapkan rumbia.
"Ya," jawab Darma Wangsakesuma. "Semoga
saja itu rumah makan," tambahnya berharap.
"Aku yakin itu kedai makan, Darma," timpal
Setya Wangsakesuma seraya mengayunkan kakinya
cepat-cepat mendahului langkah kaki Jaka.
"Ayo, Kak. Aku sudah lapar sekali," ajak Setya
Wangsakesuma.
Tanpa ada ucapan lagi Raja Petir dan Darma
Wangsakesuma mengayunkan kaki mereka cepat-
cepat, sepertinya mereka sedang berlomba untuk le-
bih dulu sampai di bangunan yang dituju.
"Harapan kita terkabul," tukas Setya Wangsa-
kesuma memastikan, karena memang dialah yang
lebih dulu di depan kedai.
"Kalau begitu mari kita masuk," ajak Jaka.
Tiga lelaki tampan nan muda usia itu kini sama-
sama melangkah memasuki kedai makan yang ber-
tuliskan 'Kedai Makan Pak Kumis Desa Tretes Da-
lem'.
Setelah Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma dan juga Jaka mengambil tempat
duduk di sebelah pojok, seorang pelayan tua meng-
hampirinya dengan sikap yang penuh hormat.
"Tuan-tuan muda ingin makan apa?" tanya le-
laki berkumis dan berambut putih dengan suara
yang begitu sopan.
"Aku nasi putih dan panggang ayam, Kek,"
jawab Darma Wangsakesuma mendahului ucapan
Setya Wangsakesuma yang sudah menggantung di
bibir.
"Aku pesan yang serupa," pinta Setya Wang-
sakesuma. "Kak Raja Petir pesan apa?" tanyanya
pada Jaka.
Jaka tentu saja tersenyum disebut dengan
'Kak Raja Petir' oleh Setya Wangsakesuma, seketika
itu juga bibirnya didekatkan ke telinga bocah muda
usia yang masih begitu polos.
"Panggil saja Kak Jaka, jangan menyebut-
nyebut julukan itu lagi, ya," bisik Raja Petir di telin-
ga Setya Wangsakesuma.
Lelaki tampan yang saudara kembar Darma
Wangsakesuma menganggukkan kepala, lalu perta-
nyaan serupa kembali terucap olehnya: "Kak Jaka
pesan apa?"
"Kek, bawakan aku pesanan yang sama, ya,"
pinta Jaka pada lelaki tua penjaga kedai.
Lelaki penjaga kedai menganggukkan kepa-
lanya memenuhi pesanan pengunjungnya, tubuhnya
dengan cepat berbalik ke arah dapur dan tak lama
kemudian sudah kembali lagi dengan membawa ma-
kanan yang dipesan tiga lelaki tampan yang duduk
di sudut ruangan.
"Ayo kita serbu hidangan ini," ajak Jaka ber-
nada akrab.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tentu saja segera melahap hidangan yang
membuat terbit selera makannya, nasi putih dan
ayam panggang yang masih hangat membuatnya
menyantap dengan lahap makanan yang ada tanpa
menyisakan sedikit pun.
"Kalian mau nambah?" tanya Jaka kemudian
sesaat melihat hidangan sudah berpindah ke perut
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.
"Tidak, Kak. Nanti aku tak bisa jalan karena
kekenyangan," tolak Darma Wangsakesuma jujur.
Sementara Darma Wangsakesuma menjawab
pertanyaan Raja Petir, lain lagi yang dilakukan Setya
Wangsakesuma. Baru saja lelaki itu memperhatikan
seorang lelaki berusia lanjut yang duduk di bagian
sudut di sebelah barat kedai, langsung saja dia
mendapatkan isyarat yang berguna untuknya, sau-
daranya dan juga Jaka.
Setya Wangsakesuma melihat lelaki yang ber-
jubah warna tembaga itu mengeluarkan tangannya
yang semenjak tadi hanya tenggelam dalam kantung
jubahnya yang longgar, Setya Wangsakesuma sem-
pat terkejut menyaksikan lengan kakek berjubah
warna tembaga itu tidak memiliki jari.
"Diakah Kakek Saroagung si Kakek Tanpa Ja-
ri?" batin hati Setya Wangsakesuma bertanya-tanya
sendiri. "Aku yakin dia!" putusnya berkeyakinan.
"Kak, sebaiknya kita dekati kakek berjubah
warna tembaga itu," pinta Setya Wangsakesuma pa-
da Raja Petir.
"Kau punya keperluan dengannya? Ah, hati-
hatilah," ucap Jaka mengomentari permintaan Setya
Wangsakesuma.
"Aku kira kakek itulah yang berjuluk Kakek
Tanpa Jari yang kita cari-cari, Kak," ucap Setya
Wangsakesuma mengejutkan Darma Wangsakesuma
dan juga Raja Petir.
"Apa alasan keyakinanmu, Setya?" tanya
Darma Wangsakesuma penasaran.
"Barusan aku melihat tangannya yang tanpa
jari," jawab Setya Wangsakesuma tegas dan mantap.
"Kau tak salah lihat?" tanya Darma Wangsa-
kesuma lagi merasa kurang yakin.
"Untuk apa aku mengajak Kak Jaka mende-
kati kakek itu kalau aku tak menyaksikan tangan-
nya yang tanpa jari," debat Setya Wangsakesuma
sewot.
"Sebaiknya kita buktikan saja sekarang," tim-
pal Jaka menengahi, kemudian dengan langkah kaki
ringan meninggalkan mejanya menghampiri lelaki
berusia lanjut yang mengenakan jubah warna tem-
baga.
"Maaf, Kek," tutur Jaka sopan dengan berdiri
sedikit membungkukkan badan di hadapan lelaki
berambut panjang digelung ke atas. Setya Wangsa-
kesuma dan Darma Wangsakesuma pun melakukan
hal yang sama.
Kakek berpakaian warna tembaga itu sedikit
terkejut menghadapi Jaka dan dua lelaki kembar,
namun kemudian dengan sikap sopan dia memper-
silakan Jaka dan Setya Wangsakesuma, juga Darma
Wangsakesuma untuk duduk mengisi bangku yang
kosong.
"Apa yang bisa aku bantu, Nak?" tanya kakek
berjubah warna tembaga dengan lemah lembut sete-
lah Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wang-
sakesuma mengambil tempat duduk masing-masing.
"Maaf sebelumnya, Kek. Jika kami bertiga te-
lah membuat hati Kakek gusar nantinya," ucap Jaka
hati-hati. "Kami harap Kakek tidak tersinggung den-
gan pertanyaan kami," lanjut Jaka menjaga tata
krama bicaranya.
"Katakanlah, Nak. Aku ingin tahu pertanyaan
apa yang akan kalian ajukan," sahut kakek berjubah
warna tembaga berkesan sabar.
"Maaf, barusan kawan saya menyaksikan len-
gan Kakek yang tanpa jari. Betulkah begitu, Kek?"
tukas Jaka.
"Betul," jawab kakek yang duduk tenang di
hadapan Raja Petir.
"Keyakinan kawanku ini, Kakek adalah yang
bernama Kakek Saroagung, betulkah begitu, Kek?"
tanya Jaka lagi.
"Hei! Dari mana kalian tahu nama asliku?
Siapa kalian ini?" tanya kakek yang ternyata benar
si Kakek Saroagung. Lelaki berusia sekitar enam pu-
luh tahunan itu sedikit mengalami keterkejutan.
"Dari Kakek Suranggrati," Setya Wangsake-
suma yang menjawab pertanyaan Kakek Saroagung.
"Suranggrati...?!"
ENAM
Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa
Jari terkejut mendengar nama Kakek Suranggrati
disebut-sebut oleh lelaki muda usia yang mengena-
kan pakaian warna merah darah, ditatapinya wajah
Setya Wangsakesuma dengan tatapan penuh selidik.
Kemudian tatapannya berpindah ke wajah Darma
Wangsakesuma.
"Perkenalkan dirimu, Anak Muda. Dan kata-
kan apa hubunganmu dengan Suranggrati," pinta
Kakek Tanpa Jari pada Setya Wangsakesuma.
"Namaku Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma saudara kembarku," ucap Setya
Wangsakesuma memperkenalkan diri.
Kakek Saroagung mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar tutur kata Setya Wangsake-
suma. Hatinya memang sudah menduga kalau lelaki
berusia belasan tahun yang sama-sama mengena-
kan pakaian merah adalah sepasang anak kembar.
Ada kesimpulan sekilas di hatinya, kalau merekalah
cucu angkat Kakek Suranggrati.
"Kami sudah dianggap cucu oleh Kakek Su-
ranggrati, bahkan dianggap sebagai anak," ucap
Darma Wangsakesuma menambahkan.
"Sudah kuduga," jawab Kakek Saroagung.
"Sudah sedemikian besarnya kalian, gagah, dan
tampan," puji Kakek Tanpa Jari.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tertunduk mendengar pujian Kakek Saroa-
gung, sementara si Kakek yang memuji kini menancapkan pandangannya lurus ke wajah Raja Petir.
"Kalau aku boleh menduga," ucapnya kemu-
dian tertuju pada Jaka. "Kaukah lelaki muda yang
berjuluk Raja Petir?" lanjut Kakek Tanpa Jari.
"Orang-orang persilatan yang menggelariku
seperti itu, Kek. Namun aku lebih senang dipanggil
dengan sebutan Jaka," kilah Jaka merendah.
"Persis sekali dengan apa yang mereka kata-
kan, " bantah Kakek Saroagung. "Ternyata kau me-
mang seorang pemuda gagah yang tak sombong
dengan gelarmu yang hebat, kau seorang yang ren-
dah hati dan santun budi," puji Kakek Saroagung te-
rang-terangan.
Jaka hanya tertunduk mendengarkan pujian
itu, dia tak tahu harus membantah bagaimana.
"Apakah kalian bertiga atau tepatnya Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma memang
sengaja-sengaja mencari Kakek karena diutus oleh
Kakek Suranggrati?" tanya Kakek Saroagung pada
dua lelaki kembar.
"Betul sekali, Kek," jawab Darma Wangsake-
suma dan Setya Wangsakesuma bersamaan.
"Jika begitu, mari kita bicarakan saja segala
urusan ini di tempat tinggalku," putus Kakek Saroa-
gung, kemudian tangannya melambai ke arah penja-
ga kedai untuk menyelesaikan pembayaran atas hi-
dangan yang telah dinikmatinya, termasuk mem-
bayari hidangan yang telah lenyap ke perut Jaka,
Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma.
* * *
Rumah kediaman Kakek Saroagung yang ma
sih dalam wilayah Desa Tretes Dalem nampak begitu
hening. Maklum pada jarak ratusan meter tak nam-
pak rumah penduduk tetangga Kakek Tanpa Jari.
Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma
Wangsakesuma duduk di pendopo rumah yang di
bagian sudutnya terdapat guci warna coklat beruki-
ran ular naga yang tengah menjulur-julurkan lidah-
nya. Dari guci itu pula Kakek Saroagung menciduk
air minum untuk disediakan pada ketiga tamu mu-
danya.
"Air ini cukup enak untuk diminum, dingin
seperti air dari pegunungan," tukas Kakek Saroa-
gung seraya meletakkan air ke hadapan Jaka, Setya
Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma. "Sila-
kan diminum," lanjutnya mempersilakan.
Jaka dan dua lelaki kembar langsung mere-
guk air yang disediakan Kakek Saroagung, mereka
langsung merasakan kebenaran kata-kata si em-
punya rumah. Air yang diteguknya barusan begitu
dingin membuat tenggorokan terasa sejuk.
"Sekarang ceritakanlah dari awal, aku ingin
mendengarkannya," pinta Kakek Saroagung. "Terse-
rah Darma Wangsakesuma atau Setya Wangsake-
suma yang mewakili," lanjutnya menambahi.
"Tiga belas tahun kami hidup bersama Kakek
Suranggrati," ucap Setya Wangsakesuma mewakili
saudaranya bercerita. "Kami hidup bahagia meski-
pun kehidupan kami terkurung pada satu tempat
dan tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Men-
jelang usia kami yang ketiga belas tahun, Kakek Su-
ranggrati memperlihatkan sepasang benda yang cu-
kup bagus menurut kami, panah dan busur yang
terbuat dari logam emas. Kakek Suranggrati berwasiat agar benda yang menurutnya adalah milik sah
kami dan harus diserahkan pada Raja Petir untuk
diselamatkan, karena menurut Kakek Suranggrati,
hanya Raja Petirlah tokoh yang mampu menyela-
matkan panah dan busur emas dari tangan tokoh-
tokoh sesat yang juga mendambakannya untuk di-
miliki, namun sebelumnya kami harus menemui
Kakek Saroagung untuk mendapatkan petunjuk
akan jatidiri kami yang sesungguhnya baru kemu-
dian sama-sama mencari Raja Petir untuk menye-
rahkan panah dan busur emas, tapi kenyataannya
kami bertemu lebih dulu dengan Raja Petir," papar
Setya Wangsakesuma panjang lebar.
"Beruntung sekali kalian bertemu lebih dulu
dengan Raja Petir. Kalau tidak, senjata maut yang
berada di tangan kalian akan jatuh ke tangan orang-
orang yang tidak bertanggung jawab," sahut Kakek
Saroagung. "Terima kasih kuucapkan padamu, Ja-
ka," tambah Kakek Saroagung sambil menolehkan
kepalanya pada Jaka.
Jaka sempat tersipu menyaksikan apa yang
dilakukan lelaki tua yang berjuluk Kakek Tanpa Ja-
ri, hingga dirinya tak kuasa berkata apa-apa atas
ucapan terima kasih yang disampaikan Kakek Sa-
roagung.
"Sesungguhnya aku tak akan pernah tahu
akan hal ikhwal jatidiri kalian seandainya saja aku
tak diberitahu oleh Adik Pradipta," buka Kakek Sa-
roagung mengawali ceritanya. "Dari dialah aku tahu
kalau kau anak seorang raja dari Kerajaan Watu
Sanjai."
"Kami anak raja? Ah, kenapa Kakek Su-
ranggrati tak menceritakannya?" tanya Darma
Wangsakesuma lepas kendali.
"Tentu saja Suranggrati tak menceritakannya,
karena dia tak mengetahui," kilah Kakek Tanpa Jari
tenang.
Setya Wangsakesuma tertunduk malu.
"Pada waktu Adi Pradipta menyerahkan bayi
kembar yang baru berusia tiga bulan, dia memang
tak bercerita apa-apa pada Suranggrati. Adi Pradipta
hanya menyerahkan dua bayi kembar untuk dirawat
sebaik mungkin dan juga menyerahkan panah dan
busur emas untuk disimpan dan kemudian diserah-
kan pada si Bayi jika sudah besar. Setelah berpesan
seperti itu Adi Pradipta langsung kembali ke Kera-
jaan Watu Sanjai," sampai di situ Kakek Saroagung
menghentikan ceritanya, tatapan matanya tertuju ke
wajah Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma yang dengan begitu sungguh-sungguh men-
dengar ceritanya.
"Siapakah Pradipta itu? Mengapa menyerah-
kan kami pada Kakek Suranggrati? Dan apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam Kerajaan Watu San-
jai, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma cukup cer-
dik.
"Pradipta adalah abdi setia Raja Watu Sanjai,
dia dengan berani membawa kabur diri kalian kare-
na dia tak ingin kalian dipelihara oleh orang yang te-
lah melenyapkan rajanya sendiri, orang yang telah
membunuh ayahmu, Sunan Jagat Sena," jelas Ka-
kek Saroagung.
"Siapakah orangnya, Kek?" desak Darma
Wangsakesuma penasaran.
"Mahapatih Paksa Dahana. Orang keper-
cayaan ayahmu," jawab Kakek Saroagung mantap.
Seketika itu juga kegeraman melanda hati
Setya Wangsakesuma hingga tak sadar tinjunya
yang terkepal melayang ke udara.
"Kau memang wajib marah, Setya," ucap Ka-
kek Tanpa Jari.
Sementara Jaka yang mendengarkan penutu-
ran Kakek Saroagung yang panjang lebar tak mem-
berikan reaksi apa-apa, dirinya cuma bisa mengasi-
hani nasib Setya Wangsakesuma dan Darma Wang-
sakesuma, namun di hati Raja Petir terbersit keingi-
nan untuk membantu bocah kembar itu jika me-
mang mereka berminat merebut kembali mahkota
raja yang terlepas dari kepala ayahnya.
"Lalu apakah patih laknat itu yang kini men-
duduki jabatan sebagai Raja Watu Sanjai, Kek?"
tanya Darma Wangsakesuma setelah berhasil mere-
dakan amarahnya.
"Betul. Dan dia berkuasa dengan kesewenan-
gannya.
"Lalu apakah Ibu kami masih hidup?" tanya
Setya Wangsakesuma.
"Ya. Dalam tahanan bawah tanah," jelas Ka-
kek Saroagung.
"Patih laknat!" maki Darma Wangsakesuma
sewot
"Kenapa rakyat tidak memberontak manakala
rajanya dan permaisuri dilakukan sedemikian itu?"
"Rakyat tidak bisa berontak karena akal licik
Patih Paksa Dahana yang bekerja sama dengan seo-
rang perempuan cantik yang berjuluk Bidadari Pe-
nyamar. Bersamanya pembunuhan berencana ter-
hadap ayahmu terlaksana tanpa menimbulkan ke-
curigaan orang-orang yang setia pada rajanya. Pem
bunuhan itu dilaksanakan seolah-olah raja menga-
lami kecelakaan dengan kuda tunggangannya saat
mengunjungi rumah seorang sahabat karibnya, dan
si Bidadari Penyamar itu menggantikan kedudukan
Nyi Paramesti Dewi yang sampai saat ini masih
mendekam dalam ruang tahanan bawah tanah," tu-
kas Kakek Tanpa Jari berusaha menjelasi sejelas-
jelasnya.
Tangan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma sama-sama terkepal menahan ama-
rah yang meletup-letup, sementara wajah mereka
memerah karena usahanya menekan amarah sebisa
mungkin.
"Jika aku boleh ikut bicara, kiranya masih hi-
dupkah lelaki bernama Pradipta yang telah berjasa
menyelamatkan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma, Kek?" tutur Jaka ikut bicara.
"Pradipta telah tewas di tangan Bidadari Pe-
nyamar yang memiliki kesaktian cukup tinggi," ja-
wab Kakek Tanpa Jari.
Untuk sesaat suasana di pendopo kediaman
Kakek Saroagung menjadi hening, tak lagi terdengar
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Setya Wang-
sakesuma dan Darma Wangsakesuma pada lelaki
berusia lanjut yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.
"Apakah kalian berniat merebut kembali tahta
singgasana kerajaan yang kini diduduki oleh Patih
Paksa Dahana?" tanya Kakek Saroagung kemudian
memecah keheningan.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma sama-sama melemparkan pandangannya ke
wajah Kakek Saroagung, namun dari mulut mereka
tak keluar sepatah kata pun.
"Kakek akan membantu kalian untuk itu,"
ujar Kakek Saroagung dengan tatapan yang sebentar
kemudian beralih ke wajah Jaka. "Kakek rasa Raja
Petir pun dengan senang hati akan membantu ka-
lian," lanjutnya menambahkan.
"Aku ingin kita membebaskan ibu terlebih du-
lu, Kek. Kasihan dia tersiksa selama belasan tahun,
meringkuk dalam sel bawah tanah yang tak layak
bagi seorang permaisuri raja," ucap Saroagung tak
menjawab pertanyaan Kakek Tanpa Jari. "Setelah
Ibu terselamatkan, baru kita pertimbangkan kembali
pertanyaan Kakek barusan. Aku yakin banyak
orang-orang kerajaan, orang-orang istana yang ma-
sih memihak pada Ibu jika mereka tahu siapa se-
sungguhnya Nyi Paramesti Dewi yang kini menjadi
pendamping patih laknat itu, dan aku yakin pula ka-
lau mereka yang sesungguhnya setia pada raja dan
permaisuri yang sah akan membantu kita sepenuh
hati, meski nyawa yang menjadi taruhannya," lanjut
Setya Wangsakesuma dengan ucapan yang penuh
semangat.
Kakek Tanpa Jari mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Tentu saja, Setya. Yang pertama kali ha-
rus kita lakukan adalah menyelamatkan ibumu.
Dan untuk itu kita harus mengatur siasat secermat
dan setepat mungkin. Kakek pribadi akan meminta
bantuan pada sahabat-sahabat Kakek yang memiliki
ilmu silat tingkat tinggi, juga meminta bantuan
orang-orang dalam istana yang setia. Pradipta telah
menyebutkan nama-nama orang dalam istana jika
suatu saat aku ingin berbuat sesuatu untuk kepen-
tingan kalian berdua."
"Terima kasih, Kek," ucap Darma Wangsake
suma. Hatinya terasa gembira mengingat rencana
mereka untuk menyelamatkan ibu kandungnya.
"Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh golon-
gan hitam yang berniat memiliki panah dan busur
emas ini?" tanya Setya Wangsakesuma kemudian.
"Kita memang harus menghadapi mereka un-
tuk mempertahankan benda peninggalan orangtua
mu, Setya. Di antara tokoh-tokoh sesat itu, bukan
mustahil ada yang sengaja diutus Mahapatih Paksa
Dahana dan Bidadari Penyamar," papar Kakek Tan-
pa Jari menjelaskan.
"Berarti kita harus menyingkirkan mereka ter-
lebih dahulu, Kek," ujar Saroagung.
"Ya," mantap jawaban yang dilakukan Kakek
Saroagung. "Namun menyingkirkan bukan berarti
harus membinasakan mereka," lanjutnya menjelasi.
"Bukan begitu, Jaka?"
"Betul, Kek," jawab Jaka.
Kakek Saroagung tersenyum dengan jawaban
Raja Petir, lalu katanya kemudian, "Untuk hari ini,
beristirahatlah kalian hingga esok. Dan setelah fajar
menyingsing, baru sama-sama kita mendatangi ru-
mah kediaman Kakek Rangsasana, dia sahabatku
yang juga teman seperguruan Bidadari Penyamar.
Kakang Rangsasana juga ahli dalam penyamaran
dan menyamarkan orang lain, karenanya kita sangat
membutuhkan bantuannya."
"Kakek memanggil Kakek Rangsasana sebagai
'Kakang', itu berarti umur Kakek Rangsasana lebih
tua darimu. Dan beliau adalah teman seperguruan
si Bidadari Penyamar. Apakah si Bidadari Penyamar
itu adalah orang yang juga sudah lanjut usia?" tanya
Jaka.
"Betul. Usianya kurasa sebaya denganku," ja-
wab Kakek Saroagung. "Namun kurasa setiap lelaki
akan tergiur menyaksikan si Bidadari Penyamar
yang bertubuh bagus dan menantang, wajahnya
yang cantik layaknya perempuan yang berumur be-
lasan tahun. Entah ramuan apa yang diminumnya
hingga dirinya menjadi awet muda seperti itu," lan-
jut Kakek Tanpa Jari menjelaskan.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma yang mendengarkan ucapan Kakek Saroagung
terbelalak kaget, mana ada orang tua yang memiliki
para secantik perempuan umur belasan tahun, begi-
tu batin Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsa-
kesuma berkata-kata, namun tidak demikian halnya
bagi Jaka. Sepenuhnya dia tak meragukan penjela-
san Kakek Saroagung. Di kalangan dunia persilatan
banyak berkembang ilmu-ilmu dan ramuan-ramuan
yang membuat manusia-manusia menjadi awet mu-
da, bahkan Jaka pernah mendengar kalau ada seo-
rang tokoh persilatan yang memiliki 'Ramuan Kea-
badian'.
"Nah, manfaatkanlah waktu istirahat kalian
dengan baik agar besok kita dapat lebih siap meng-
hadapi orang-orang sesat maupun orang-orang su-
ruhan si Bidadari Penyamar. Jika kalian ingin tidur,
ada tiga kamar di bagian belakang yang selalu tera-
wat bersih," ujar Kakek Tanpa Jari.
"Kalau begitu kami ke belakang dulu, Kek,"
ujar Jaka.
"Kami juga, Kek," timpal Setya Wangsakesu-
ma dan Darma Wangsakesuma bersamaan.
Kini di pendopo hanya tinggal Kakek Tanpa
Jari yang memandang sosok Raja Petir dan dua lela
ki kembar putra dari Kerajaan Watu Sanjai.
TUJUH
Saat matahari terjaga dari peraduannya, ko-
kok ayam hutan pun bersahut-sahutan menyong-
song datangnya pagi. Saat itulah empat lelaki tengah
berjalan gagah ke arah Selatan, keluar dari desa
yang bernama Tretes Dalem. Nampaknya empat le-
laki itu tengah menuju sebuah daerah gunung batu
yang menjadi batas wilayah Desa Tretes Dalem den-
gan Desa Warakula.
"Masih jauhkah kediaman Kakek Rangsasana,
Kek?" tanya lelaki muda usia yang tak lain adalah
Darma Wangsakesuma. Memang terlihat kalau
Darma Wangsakesuma sudah tak sabaran untuk se-
gera tiba di tempat tujuan, maklum, dia ingin cepat-
cepat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
ibunya.
"Setengah hari perjalanan lagi, Nak," jawab
Kakek Tanpa Jari.
"Bagaimana kalau kita tempuh saja dengan
menggunakan ilmu lari cepat, biar lebih cepat sam-
pai," usul Setya Wangsakesuma yang juga mengala-
mi perasaan sama dengan saudara kembarnya.
"Kakek setuju saja. Bagaimana dengan kau,
Jaka?" lemparnya ke arah Jaka.
"Aku menurut saja apa yang Setya dan Darma
ingini," jawab Jaka.
"Jika begitu, mulailah kalian berlari," perintah
Kakek Saroagung pada dua lelaki kembar.
Tanpa menunggu lama Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma sudah melesat cepat
menggunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, Kakek
Saroagung dan Jaka hanya memandangi tingkah
anak kembar itu dengan sesungging senyum.
"Ayo, Jaka. Hops!" Kakek Saroagung meng-
hentakkan kakinya dengan keras, seketika itu juga
tubuhnya melayang deras, jelas lelaki berusia enam
puluh tahunan itu berlari dengan menggunakan il-
mu lari cepat yang dibarengi dengan ilmu meringan-
kan tubuh tingkat tinggi.
"Hups!"
Jaka pun melakukan hal yang sama, melesat
cepat menggunakan ilmu lari cepatnya.
Namun belum lagi setengah pal jarak yang di-
tempuh Jaka, dia melihat kalau Setya Wangsakesu-
ma dan Darma Wangsakesuma, juga Kakek Saroa-
gung menghentikan larinya. Di depannya nampak
menghadang dua orang lelaki bertubuh tegap yang
mengenakan pakaian rompi warna coklat, sementara
di belakang dua lelaki berkepala gundul itu nampak
belasan lelaki bersenjata golok.
"Kau kenal mereka, Kek?" tanya Raja Petir
pada Kakek Tanpa Jari.
Kakek Saroagung menganggukkan kepala.
"Dua lelaki itulah yang bergelar Dua Iblis Gunung
Batu, sedangkan belasan lelaki bersenjata golok itu,
pastilah anak buahnya," jelas Kakek Saroagung.
"Apakah mereka menginginkan juga panah
dan busur emas?"
"Dugaanku begitu," jawab Kakek Saroagung
dengan langkah kaki yang terayun mendahului ke-
dudukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsa-
kesuma.
"Tuan-tuan muda yang gagah, kami minta
dengan rendah hati, berilah kami sedikit jalan," ucap
Kakek Saroagung mantap dan berkesan tenang.
"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"
Ucapan Kakek Tanpa Jari dibalas dengan ta-
wa yang terkesan begitu merendahkan.
"Jika kau ingin berlalu dari tempat ini dengan
selamat, harap tinggalkan dua lelaki kembar itu!"
keras ucapan yang dilontarkan salah seorang dari
dua lelaki yang mengenakan rompi warna coklat. Le-
laki itu mengenakan anting-anting besar di telinga
bagian kiri. Tubuhnya yang tegap berisi menampak-
kan otot-otot yang melingkar-lingkar.
"Apa yang kalian inginkan dari kedua cucuku
ini?" tanya Kakek Saroagung sambil menyentuh ba-
hu Setya Wangsakesuma.
"Dirinya! Dan juga panah dan busur emas mi-
liknya," jawab lelaki lain yang mengenakan anting-
anting besar pada telinga bagian kanan.
"Permintaan kalian itu sungguh tak masuk di
akal! Mana mungkin aku mau menyerahkan cucuku
pada orang yang bejad seperti kalian, apalagi dengan
panah dan busur emas itu," bantah Kakek Saroa-
gung.
"Jika kalian ingin selamat cepat serahkan bo-
cah-bocah itu dan juga benda yang kumaksud!" ben-
tak lelaki beranting-anting besar di telinga kiri. "Aku
Junali tak akan segan-segan menurunkan tangan
maut!" lanjut lelaki yang mengaku bernama Junali.
"Ya. Cepat! Jangan tunggu Sunawi bertindak
kasar!" timpal temannya yang lain.
Kakek Saroagung menatap wajah Jaka sebe-
lum meladeni ucapan lelaki yang bernama Junali
dan Sunawi. "Apakah menurutmu yang pantas kita
lakukan untuk mereka, Jaka?!" tanya Kakek Tanpa
Jari.
"Bagaimana jika kutantang kedua lelaki itu
dalam beberapa jurus?" usul Jaka menimpali perta-
nyaan Kakek Tanpa Jari.
"Silakan, Jaka," setuju lelaki lanjut usia yang
mengenakan jubah warna tembaga.
Mendengar persetujuan Kakek Tanpa Jari,
tanpa menunggu waktu lama kaki Raja Petir lang-
sung terangkat beberapa tindak mendekati dua lela-
ki bertubuh tegap yang berjuluk Dua Iblis Gunung
Batu.
"Maaf tuan-tuan yang gagah berani," ujar Ja-
ka ketika langkahnya terhenti pada jarak kurang le-
bih tiga batang tombak dari hadapan orang-orang
yang menghadang perjalanannya. "Bukannya kami
tak ingin mengabulkan permintaan, namun ada satu
syarat yang harus kalian penuhi jika ingin menda-
patkan adik-adik kami dan juga panah dan busur
emas milik mereka," lanjut Jaka berujar.
"Apa syarat itu?!" tanya Junali bernada mem-
bentak.
"Kalian harus bisa menundukkanku hanya
dalam sepuluh jurus, lebih dari itu harap kalian su-
di merelakan kami pergi meninggalkan tempat ini,"
jawab Jaka tegas.
"Ha ha ha...!"
Persyaratan yang diajukan Jaka disambut ta-
wa meleceh yang keluar dari mulut Dua Iblis Gu-
nung Batu serta belasan pengikutnya.
"Dalam lima jurus pun kepalamu kurasa su-
dah terpisah dari badan, Anak Muda!" ledek Sunawi.
"Aku ingin bukti akan ucapanmu itu, Suna
wi!" tantang Jaka lantang.
Merah padam wajah Sunawi mendengar tan-
tangan itu, maka langkah kakinya pun segera tercip-
ta dua tindak.
"Ayo Junali, kita hancurkan bocah ingusan
yang tak tahu diri ini," ajak Sunawi pada Junali.
"Ayo," timpal Junali.
Dengan memasang kuda-kuda rendah, Suna-
wi dan Junali sama-sama mengambil ancang-ancang
untuk melakukan penyerangan. Nampak bagian
tangan dua lelaki yang berjuluk Dua Iblis Gunung
Batu menegang kaku, jelas terlihat kalau mereka
tengah menyalurkan tenaga dalamnya untuk menye-
rang Raja Petir.
"Yeaaah...!"
Tubuh Sunawi melesat lebih dulu daripada
Junali. Tangannya yang terkepal terangkat di sisi
kepala.
"Yeaaat...!"
Selang beberapa saat Junali melakukan hal
yang sama. Kini keduanya sama-sama bergerak me-
nyerang dari dua arah.
Bet! Bet!
Raja Petir bergerak-gerak lincah dengan
menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Tentu saja
gerakannya yang cepat itu membuat Dua Iblis Gu-
nung Batu menemui kesukaran untuk menyarang-
kan serangannya, kemarahannya pun mulai berko-
bar.
"Setan belang!" maki Junali kasar.
"Keparat!" hardik Sunawi geram.
"Jangan cuma bisa memaki, Tuan-tuan yang
gagah. Ayo keluarkan jurus andalan kalian," tantang
Jaka penuh ejekan.
"Sombong kau!" bentak Junali. "Belum per-
nah kau rasakan kehebatan jurus 'Dua Iblis Melebur
Gunung'," lanjut Junali seraya menyebutkan nama
jurus andalannya.
"Jurus 'Dua Iblis Mengaduk Comberan' pun
tak akan aku takuti," ledek Jaka lagi. Sengaja itu di-
lakukan Jaka untuk memancing kemarahan lawan
lebih jauh, karena dengan kemarahan lawan yang
menjadi-jadi, dengan sendirinya mereka tak mem-
perhatikan kekosongan pertahanannya, dengan be-
gitu Jaka tak akan menjumpai kesulitan untuk me-
nyarangkan serangan balasan.
Ternyata pancingan Jaka mendapat hasil.
Dengan tatapan mata membara bagai mata seekor
harimau, Dua Iblis Gunung Batu menggereng mur-
ka. "Hrghghg...! Kau memang harus dibinasakan,
Bocah! Yeaaat..!"
Dua lelaki bertubuh tinggi besar dan menge-
nakan rompi warna coklat melesat cepat menyerang
seorang pemuda tampan yang berjuluk Raja Petir.
Dua lelaki yang mengenakan sebelah anting itu kini
melakukan penyerangan tidak dengan tangan ko-
song. Junali dan Sunawi telah menghunus senja-
tanya yang berupa tombak tanggung kembar.
Wut! Wut!
Plak! Plak!
Sengaja Jaka tidak mengelakkan serangan
pertama yang datangnya melalui tangan Junali, dia
ingin tahu sejauh mana kekuatan tenaga dalam la-
wan, itu makanya Jaka hanya menangkis luncuran
dua mata tombak yang mengancam bagian dada dan
perutnya. Akibat dari tangkisan Jaka, sosok Junali
nampak terhuyung tiga langkah ke belakang, lelaki
itu merasakan tangannya linu seketika. Hal seperti
itu jelas menandakan tenaga dalamnya kalah di-
banding dengan tenaga dalam yang dimiliki Jaka.
Sunawi yang menyaksikan Junali terhuyung
mundur, seketika itu juga menambahkan kekuatan
tenaga dalamnya pada luncuran tombaknya yang te-
rarah ke bagian dada.
"Yeaaat..!"
Di luar dugaan Sunawi, Jaka tak bergeming
dari kedudukannya. Lelaki yang bergelar Raja Petir
seperti sengaja menyongsong kedatangan mata tom-
bak dengan dada dan perutnya yang tanpa dilindun-
gi apa-apa, akan tetapi....
Trak! Trak!
Sunawi terpental mundur saat senjatanya
menghujam keras bagian dada dan perut Jaka yang
telah dilindungi kekuatan tenaga dalam yang jauh di
atas kekuatan tenaga dalam lawan, maka bukan
hanya tubuh Sunawi yang terpental, tapi juga senja-
tanya yang jadi patah menjadi dua bagian.
Untuk memberikan peringatan pada lawan-
nya, tubuh Jaka melejit dengan cepat menggunakan
jurus 'Petir Menyambar Elang'.
Tuk! Tuk!
Dua kali totokan tangan Jaka mendarat di
bagian tubuh Sunawi, hingga lelaki berkepala gun-
dul itu ambruk di tanah dan tak mampu bangkit un-
tuk melanjutkan pertarungan karena tubuhnya su-
dah tertotok lumpuh.
"Bagaimana, Junali? Kawanmu ini sudah tak
punya daya apa-apa untuk melanjutkan pertarun-
gan, apakah kau akan menghadapiku seorang diri?"
tanya Jaka sambil menuding sosok Sunawi yang ter-
geletak tak berdaya.
"Hhh!" Junali mendengus marah, namun dia
tak segera melakukan sesuatu untuk membuktikan
kalau dirinya tak gentar untuk meneruskan perta-
rungan.
"Kalau kau takut melanjutkan pertarungan,
aku memberimu kebebasan untuk segera pergi dari
sini," ucap Jaka lagi.
"Hhhs!" Junali kembali mendengus. "Kali ini
aku mengaku kalah, tapi tidak untuk lain kali!" lan-
jutnya ketus.
"Lain kali aku yang mengalah, tuan yang ga-
gah. Karena kita tak pernah punya sengketa satu
sama lain," kilah Jaka. "Sekarang pergilah dan bawa
temanmu itu! Jangan tunggu kawan-kawanku ma-
rah!" tambah Jaka sambil melempar pandangan ke
arah Kakek Tanpa Jari dan Setya Wangsakesuma,
juga Darma Wangsakesuma yang semenjak tadi
hanya menjadi penonton.
Junali menggerakkan tangannya memberi
isyarat pada belasan lelaki bersenjata golok agar tiga
orang maju membopong tubuh Sunawi.
"Tak akan kami lupakan penghinaan ini!"
ucap Junali tegas. "Lain kali pasti kupenggal kepa-
lamu! Sekarang aku ingin kau menyebutkan nama
dan julukanmu?" pinta Junali sebelum berlalu dari
hadapan Jaka.
"Namaku, Jaka," ucap Jaka-memenuhi per-
mintaan Junali. "Orang-orang menjulukiku sebagai
Raja Petir," lanjutnya dengan suara datar.
"Raja Petir?!" ada nada keterkejutan yang te-
rucap dari penyebutan nama julukan Jaka. Mata
Junali pun nampak menyimpan keterkejutan yang
sama.
"Begitulah orang-orang memanggil julukan-
ku."
Tanpa berkomentar lagi Junali menghentak-
kan kakinya cukup keras dan berlalu begitu saja da-
ri hadapan Jaka. Tiga lelaki yang membopong tubuh
Sunawi pun melakukan hal yang sama, diikuti den-
gan belasan lelaki bersenjata golok yang juga berlalu
dari hadapan Jaka mengikuti ketua mereka.
"Ternyata hanya sebegitu nyali mereka," usik
Kakek Tanpa Jari setelah Dua Iblis Gunung Batu
dan belasan anak buahnya berlalu dari pandangan-
nya.
"Kak Jaka hebat," puji Setya Wangsakesuma
polos.
"Iya. Gerakan Kakak ringan dan cepat," timpal
Darma Wangsakesuma ikut-ikutan.
"Kalian terlalu mengada-ada," kilah Jaka me-
rendah. "Ah, ayo kita lanjutkan perjalanan ini," pin-
tanya kemudian.
DELAPAN
"Saroagung!" sambung lelaki berusia lanjut
ketika si Kakek Tanpa Jari, Raja Petir dan Setya
Wangsakesuma juga Darma Wangsakesuma bam sa-
ja melintasi tumpukan batu-batu sebesar perut ker-
bau yang mengapit jalan selebar dua batang tombak,
sebuah daerah yang masih masuk dalam kawasan
Desa Warakula.
"Kakang Rangsasana!" sambut Kakek Tanpa
Jari. Kemudian tangannya yang tak memiliki satu
jari pun digenggam erat jari-jari tangan Kakek Rang-
sasana.
"Aku butuh bantuanmu," tanpa basa-basi
Kakek Tanpa Jari langsung mengucapkan tujuan
kedatangannya.
"Jangan khawatir," timpal Kakek Rangsasana
seraya mempersilakan mereka masuk ke rumah
yang dikelilingi oleh bebatuan sebesar perut kerbau.
Kakek Tanpa Jari pun langsung membuka
percakapan dengan memperkenalkan diri Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berikut
kejadian yang dialami raja dari Kerajaan Watu San-
jai yang tak lain adalah ayah kandung Darma Wang-
sakesuma dan Setya Wangsakesuma. Kakek Saroa-
gung juga menceritakan cita-citanya untuk membe-
baskan permaisuri raja yang sampai saat ini masih
mendekam dalam tahanan bawah tanah, di samping
itu juga Kakek Saroagung memperkenalkan Raja Pe-
tir.
"Sungguh aku tak percaya kalau hari ini akan
kedatangan tamu yang namanya bergema di seluruh
persada persilatan. Sungguh suatu kebanggaan ba-
giku," ucap Kakek Rangsasana ketika tahu kalau
pemuda yang berpakaian warna kuning keemasan
adalah Raja Petir.
"Ah, jangan terlalu membesar-besarkan, Kek,"
kilah Jaka tak enak hati. "Yang jelas kedatanganku
bersama Kakek Saroagung adalah untuk meminta
bantuan," lanjut Jaka merendah.
"Kita sama-sama membantu Darma dan
Setya, " ujar Kakek Rangsasana masih tetap me-
ninggikan kedudukan Jaka.
"Tentu, Kek," sambut Jaka mantap.
"Setelah mendengar cerita kalian di benakku
langsung terselip sebuah rencana yang mudah-
mudahan bisa kalian setujui, namun sebelumnya
aku akan memberitahukan dulu pada Jaka, Darma
Wangsakesuma, dan Setya Wangsakesuma bahwa
orang yang menjabat sebagai permaisuri raja saat ini
adalah adik seperguruanku. Kalau saja Kakek Sa-
roagung tak menceritakan persoalan ini padaku,
mungkin sampai mati aku tak akan mengetahui di
mana Nyi Ganda Laras berada," ujar Kakek Rangsa-
sana menjelasi. "Ada satu masukan yang patut ka-
lian ketahui, termasuk oleh Adi Saroagung. Itu jika
kalian semua memang belum tahu," lanjut Kakek
Rangsasana.
"Apa itu, Kakang?" tanya Kakek Tanpa Jari
ingin tahu.
"Pihak kerajaan tengah mengadakan sayem-
bara," beritahu Kakek Rangsasana.
"Sayembara?" ulang Darma Wangsakesuma.
"Ya. Busur emas yang kalian milikilah yang sedang
disayembarakan pihak kerajaan, ini pasti keinginan
Patih Paksa Dahana dan Nyi Ganda Laras. Akan te-
tapi bukan hanya benda itu yang diingini, diri Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma juga
menjadi tujuan dari sayembara itu. Dalam isi pen-
gumuman sayembara yang disaksikan oleh dua
orang muridku mengatakan kalau dua lelaki kembar
berusia lebih kurang tiga belas tahu didapati memi-
liki panah dan busur emas, maka keduanya harus
dibawa serta ke kerajaan hidup-hidup," tandas Ka-
kek Rangsasana.
"Lalu apa rencana Kakek Rangsasana?" desak
Darma Wangsakesuma tak sabar.
"Salah satu di antara kalian harus ada yang
mengikuti sayembara itu," jawab lelaki bertubuh
tinggi dengan sorot mata yang masih memperli-
hatkan ketajamannya.
"Bagaimana kalau Jaka yang mengikuti," usul
Kakek Tanpa Jari. "Aku yakin Kakang bisa menya-
markannya menjadi seorang persilatan yang tak di-
kenal," lanjut Kakek Saroagung.
"Aku setuju dengan usulan Adi Saroagung,
bagaimana denganmu, Jaka?" lempar Kakek Rang-
sasana pada Raja Petir.
"Aku bersedia," sahut Jaka mantap. Menden-
gar kesanggupan Raja Petir, Kakek Rangsasana
langsung menyusun siasat, selain Jaka yang dis-
amarkan, dua muridnya juga disamarkan sebagai
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
dan dijadikan umpan untuk menghadap raja. Kakek
Rangsasana yakin kalau Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma tidak akan dibunuh setelah
diserahkan ke kerajaan akan tetapi akan dijebloskan
ke dalam tahanan menemani ibunya, agar semuanya
bisa merasakan betapa tidak enaknya hidup di ta-
hanan untuk selama-lamanya. Dia juga menjelaskan
dugaannya, kalau Jaka juga akan mendapatkan per-
lakuan yang tidak adil. Bukan hadiah besar yang
akan didapatkan Jaka, tetapi dirinyalah yang akan
dijebloskan ke dalam tahanan. "Jika siasat dan du-
gaanku benar, maka dalam tahanan itulah Jaka dan
juga kedua muridku merencanakan sebuah pelarian
menyelamatkan permaisuri. Keyakinanku juga men-
gatakan kalau di dalam tahanan itu juga sudah di-
bangun sebuah jalan rahasia yang cuma diketahui
oleh raja yang sah, yakni ayah Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma, dan orang kedua yang
tahu adalah istrinya. Hal seperti itu kurasa telah di-
pikirkan ayahmu yang berpikiran panjang akan
adanya pengkhianatan di suatu saat nanti, dan
seandainya mereka dipenjarakan, jalan keluar untuk
menyelamatkan diri sudah ada," papar Kakek Rang-
sasana panjang lebar, dan siasat itu sepertinya dis-
etujui orang-orang yang mendengarnya.
"Lalu mengapa ibuku tak menyelamatkan diri
melalui jalan rahasia itu?" tanya Setya Wangsake-
suma polos.
"Mungkin saja ibumu, meski berada di dalam
tahanan tapi juga ditambahkan dengan pemasungan
kakinya, atau mungkin juga seorang yang pintar te-
lah menotok anggota tubuh ibumu, hingga dirinya
tak kuasa bergerak sedikit pun dari kedudukannya,"
jelas Kakek Rangsasana.
"Laknat!" maki Setya Wangsakesuma geram.
Jaka sudah disamarkan sebagai tokoh yang
tak dikenal, yakni mengaku sebagai Joko Galung
Mata Tunggal, sedangkan dua murid Kakek Rangsa-
sana menyamar sebagai dua anak kembar dari Kera-
jaan Watu Sanjai. Mereka kini tengah bergerak ke
wilayah selatan menuju ke Kerajaan Watu Sanjai.
Untuk menghindari kecurigaan dari orang-orang
persilatan yang mengetahui akan adanya panah dan
busur emas, maka benda itu disembunyikan Raja
Petir di balik pakaian penyamarannya yang longgar.
Sementara Kakek Rangsasana menghubungi
teman-teman yang berilmu tinggi untuk membantu
penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai, Kakek Tanpa
Jari segera bekerja menyatroni orang-orang dalam
yang pernah disebutkan Pradipta, yang sebenarnya
teramat setia pada rajanya yang sah. Mereka adalah
para punggawa yang menangani pasukan berpedang
dan panah. Dan juga orang-orang dalam kerajaan
yang berpengaruh, yang kesetiaannya pada ayah
kandung Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsa-
kesuma tak lagi diragukan.
Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari
berharap penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai ber-
hasil baik dengan tidak banyak mengambil korban,
tapi kedua kakek berpengalaman itu yakin kalau
korban bisa ditekan sekecil mungkin mengingat ba-
nyak orang-orang kerajaan yang berpihak pada raja
yang sah, yang telah mati akibat kejahatan patih-
nya.
* * *
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Ra-
ja Petir yang menyamar sebagai Joko Galung Mata
Tunggal dan dua murid Kakek Rangsasana yang
menyaru sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma sudah tiba di depan tembok pemba-
tas kerajaan dengan dunia luar. Sesuai siasat mere-
ka, kedua murid Kakek Rangsasana diikat dengan
rantai baja yang sengaja dibawanya.
Selesai menyelesaikan sandiwaranya, Jaka
segera melangkahkan kakinya, membawa Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma palsu ke
muka pintu gerbang pembatas. Dua orang prajurit
jaga yang melihat kedatangannya langsung mende-
kat dan bertanya dengan ketus.
"Mau apa kau?" tanya seorang prajurit jaga
yang bercambang bauk tebal.
"Tolong pertemukan aku dengan Yang Mulia
Raja Paksa Dahana, katakan kalau aku Joko Galung
Mata Tunggal ingin menyerahkan hasil sayembara!"
ucap Jaka tegas.
Salah seorang prajurit jaga itu langsung
menghadap atasannya yang juga langsung mengha-
dap pada Yang Mulia Raja Paksa Dahana.
"Cepat bawa masuk orang itu ke hadapanku!"
perintah Yang Mulia Raja Paksa Dahana tegas.
Nampak keangkuhannya begitu nyata. Dia berdiri
begitu berwibawa di sisi Bidadari Penyamar yang di-
dampingi oleh tiga lelaki gagah perkasa yang mas-
ing-masing mengenakan pakaian hitam, putih, dan
merah. Merekalah tokoh-tokoh sesat berkepandaian
tinggi yang sengaja disewa untuk memperkuat ke-
dudukannya sebagai raja dan permaisuri.
Abdi setia raja yang diperintahkan membawa
Joko Galung Mata Tunggal datang menghadap ber-
sama Raja Petir yang menyamar. Raja Petir begitu
tiba di hadapan raja langsung berlutut memberi
hormat
"Maaf kalau hamba terlalu lancang berani
menghadap," ucap Jaka sopan.
Yang Mulia Raja Paksa Dahana hanya mem-
balas ucapan Jaka dengan senyuman yang lebih
pantas disebut sebagai cibiran.
"Aku sudah menyaksikan bocah kembar yang
kau bawa, sekarang perlihatkan benda yang kumak-
sud!" pinta Yang Mulia Raja Paksa Dahana.
Jaka langsung mengeluarkan panah dan bu-
sur emas dari balik pakaiannya dan menyerahkan-
nya dengan hikmat ke hadapan raja.
"Ha ha ha.... Kau memang hebat! Kau patut
mendapatkan hadiah!" ucap Yang Mulia Raja Paksa
Dahana setelah meneliti benda di tangannya. "Kau
lihat, Permaisuriku, betapa menakjubkannya benda
ini," lanjutnya seraya menyerahkan panah dan bu-
sur emas ke tangan Bidadari Penyamar.
"Kau memang hebat, Joko Galung," puji Bida-
dari Penyamar setelah mengamati benda di tangan-
nya. "Kau akan kujamu sekarang juga," lanjutnya,
kemudian dengan suara tegas dia memerintahkan
untuk menyiapkan jamuan buat Joko Galung Mata
Tunggal. Sementara Raja Paksa Dahana memerintah
yang lain untuk menjebloskan Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma ke dalam tahanan ba-
wah tanah disatukan dengan ibunya.
Ketika jamuan untuk Raja Petir sudah siap,
raja dan permaisuri langsung memerintahkan Joko
Galung Mata Tunggal untuk segera menikmatinya.
Akan tetap baru satu tegukan Jaka mereguk
air yang disediakan, kepalanya tiba-tiba merasakan
pusing yang luar biasa. Lantai kerajaan yang dipi-
jaknya seperti telah memutar tubuhnya hingga di-
rinya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
"Ha ha ha...!" Raja Paksa Dahana tertawa ke-
ras melihat Joko Galung Mata Tunggal ambruk. "Ku-
rung dia di tempat yang sama! Jadikan satu!" perin-
tahnya kemudian.
Abdi setia yang mendapatkan perintah itu
langsung membopong tubuh Joko Galung Mata
Tunggal ke rumah tahanan di bawah dan memasuk-
kannya menjadi satu dengan Nyi Paramesti Dewi
yang tengah meringkih tak berdaya dan dua anak
buah Kakek Rangsasana yang menyamar sebagai
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Manakala prajurit kerajaan sudah berlalu dari
ruang tahanan, Jaka langsung membuka matanya.
Memang sesungguhnyalah Jaka sedikit pun tak ter-
pengaruh oleh air minum beracun yang disuguhkan
Raja Paksa Dahana, cuma ketika dia meminum se-
tegukan, dan ketika kepalanya merasa pusing Jaka
langsung bersiasat berlagak pingsan.
"Kita harus bergerak cepat, Tuan Putri. Se-
bentar kemudian kawan-kawanku akan menyerbu
ke kerajaan ini. Kau harus segera dibebaskan," ucap
Jaka setelah mendekati tubuh lemah Nyi Paramesti
Dewi.
"Siapa kau?" tanya Nyi Paramesti Dewi terke-
jut.
"Nanti Tuan Putri akan tahu, sekarang apa-
kah Tuan Putri tahu adanya jalan rahasia di tempat
ini?" tanya Jaka kemudian.
Meski benaknya dipenuhi keheranan, Nyi Pa-
ramesti Dewi menganggukkan kepalanya juga dan
menunjukkan letak kunci pembuka pintu rahasia.
"Bagaimana cara membukanya, Tuan Putri?"
tanya Jaka.
Nyi Paramesti Dewi memerintahkan Jaka un-
tuk menggoreskan jari telunjuknya secara menyilang
sebanyak lima kali pada dinding. Jaka segera saja
melakukannya. Hasilnya....
Dinding tebal itu sedikit demi sedikit berpu-
tar, dan Raja Petir langsung saja memerintahkan
anak buah Kakek Rangsasana untuk membopong
tubuh Nyi Paramesti Dewi keluar dari ruang taha-
nan yang begitu pengap, dan dinding tebal itu pun
kembali tertutup ketika kaki Jaka telah menginjak
lorong rahasia.
"Berjalanlah lurus ke depan, lalu belok kanan
dan terus ke kanan dan melakukan belokan ke ka-
nan sebanyak tiga kali, di situlah kita akan mene-
mukan dunia luar," beritahu Nyi Paramesti Dewi
yang langsung diikuti oleh Jaka dan si Kembar Pal-
su.
"Aku yakin kawan-kawan sudah menunggu,"
ucap Jaka ketika sudah sampai pada belokan ketiga
ke kanan. "Dan kau akan bertemu dengan anakmu
yang asli, Tuan Putri," lanjut Jaka membuat Nyi Pa-
ramesti Dewi terperangah, namun permaisuri raja
yang sah itu tak bertanya untuk menuntaskan keti-
dakmengertiannya.
"Kita sudah berada di luar," ucap salah seo-
rang murid Kakek Rangsasana.
"Ya, kita sudah berada di luar, sebaiknya kita
melanjutkan perjalanan ke mana?" tanya Jaka pada
Nyi Paramesti Dewi.
"Terus ke kanan," perintah Nyi Paramesti De-
wi. "Kita akan bertemu pada sebuah hutan yang be-
rada di luar perbatasan tembok kerajaan. Hutan Ja-
tilada," lanjut Nyi Paramesti Dewi memberitahu.
Tanpa membuang waktu Jaka langsung ber-
gerak ke arah kanan menuju hutan Jatilada. Dan
bukan main gembiranya hati Jaka ketika dia me-
nyaksikan orang-orangnya tengah berkumpul di hu-
tan itu.
"Kakek Saroagung, Kakek Rangsasana!" ucap
Jaka gembira.
"Jaka," sambut Kakek Tanpa Jari dan Kakek
Rangsasana serempak.
"Bagaimana rencana selanjutnya?" tanya Jaka
kemudian.
"Orang-orang dalam kerajaan sudah ku hu-
bungi, mereka siap berpihak pada kita, mereka akan
bergerak dari dalam, membungkam pasukan yang
setia pada raja palsu itu! Dan sekarang bawa per-
maisuri ke tempat yang aman dengan dijaga bebera-
pa orang, sementara yang lainnya ikut menyerbu ke
dalam," jelas Kakek Tanpa Jari.
Jaka menganggukkan kepalanya, kemudian
tatapan matanya berkeliling memandangi orang-
orang yang mendukung penyerbuan ini. Jaka tak
mengenal mereka, tapi Jaka yakin kalau mereka
berkepandaian tinggi, itu dapat dilihat dai sorot ma-
ta mereka yang tak seperti sorot mata orang biasa.
Setelah Nyi Paramesti Dewi dibawa ke tempat
yang aman, Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa
Jari, juga Raja Petir, dan yang lainnya segera berge-
rak menyerbu Kerajaan Watu Sanjai.
Kedatangan rombongan yang hendak menyer-
bu terlihat oleh beberapa prajurit penjaga gerbang
pembatas, mereka langsung melaporkan pada re-
kannya, namun ternyata tak semua mau menerima
laporan itu, bahkan yang tak mau itu langsung
memberikan serangan yang tiba-tiba.
Pada saat prajurit jaga yang berpihak pada
tempat yang berbeda saling baku hantam, rombon-
gan Raja Petir langsung masuk setelah menghan-
curkan pintu gerbang.
Keadaan semakin bertambah kacau ketika
sebagian pasukan panah yang berpihak pada Raja
Paksa Dahana menghujani anak-anak panahnya ke
arah rombongan yang bam saja datang, namun
anak-anak panah itu tidak ada artinya bagi tokoh
tokoh berkepandaian tinggi.
Twang...! Twang...!
Berkali-kali panah-panah maut itu mengincar
rombongan Kakek Rangsasana, namun itu bisa di-
halau hanya dengan menggerakkan tangan dengan
cepat
Pertarungan menjadi semakin sengit ketika
pasukan-pasukan yang lain ikut membantu penye-
rangan. Di samping itu orang-orang sewaan Raja
Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar sendiri sudah
turun gelanggang pertarungan.
"Biar aku yang menghadapi si Bidadari Pe-
nyamar itu, kalian boleh mencari lawan yang lain,"
ucap Kakek Rangsasana pada Kakek Tanpa Jari, Ra-
ja Petir, dan beberapa orang tokoh persilatan saha-
bat Kakek Rangsasana.
Ucapan Kakek Rangsasana langsung dipatu-
hi. Dan Jaka langsung bergerak menghadapi dua le-
laki yang berjuluk Dua Naga Sisik Racun dengan
senjatanya yang berupa pecut ular yang langsung
meledak-ledak mencari sasaran di tubuh Raja Petir.
Cletar! Cletar!
"Ups!"
Jaka mengelakkan sambaran pecut itu den-
gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', namun
kemudian dirinya menukik turun layak kilat dengan
menggunakan jurus 'Petir Menyambar Elang' guna
membalas serangan lawan.
Bet! Bet!
Dua kali sambaran tangan Jaka yang menga-
rah ke salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk
Dua Naga Sisik Racun dapat dielakkan, namun keti-
ka Jaka bersalto seraya memberikan tendangan lu
rus mengarah dada, lelaki itu hanya terbengong me-
nanti serangan susulan Jaka yang datangnya cepat
bagai kilat
Blagkh!
Lelaki berkumis tipis itu mengerang kesakitan
ketika tendangan keras Jaka mendarat tepat di ba-
gian dadanya. Tubuhnya langsung terpental sejauh
tiga batang tombak.
Kenyataan itu membuat kawannya naik pi-
tam, lalu dengan sengit menyerang Jaka dengan
menggunakan pecut ularnya.
Cletar!
Traps!
Di luar dugaannya pecut itu ditangkap Jaka
dengan tangan telanjang. Lelaki berkumis tebal yang
berjuluk Naga Sisik Racun itu terkejut, lalu berusa-
ha mengerahkan tenaganya untuk menarik pulang
senjatanya, akan tetap tenaga Jaka ternyata lebih
kuat sehingga tubuh lelaki itu tersentak ke depan.
Bletak!
Lawan Jaka terpekik keras saat menerima
pukulan yang mengenai rahangnya. Dia langsung
terhempas ke tanah dan tak kuasa untuk bangkit.
Pada saat itu Jaka menyaksikan kelebatan
seorang lelaki berpakaian kebesaran seorang raja
yang hendak menghantamkan serangannya pada
Setya Wangsakesuma yang sudah tergeletak di ta-
nah.
Plak!
Hadangan tangan Jaka yang bergerak cepat
membuat niat Raja Paksa Dahana yang hendak
membinasakan Setya Wangsakesuma gagal. Raja
gadungan itu murka bukan kepalang, seketika itu
juga serangan-serangan mautnya dilancarkan ke
arah Jaka.
Bet! Bet!
Pukulan-pukulan berkekuatan tenaga dalam
tinggi dilancarkan Paksa Dahana, namun satu pun
tak ada yang mendapatkan tempat di tubuh Raja Pe-
tir yang bergerak lincah menggunakan jurus 'Lejitan
Lidah Petir'.
"Kau harus mampus di ujung senjataku ini!"
Srat!
Raja Paksa Dahana meloloskan senjatanya,
bersamaan dengan itu tubuhnya langsung mencelat
hendak menikam tubuh Jaka.
Wut...!
Jaka mengelakkan serangan dengan menarik
tubuhnya ke samping kiri. Kemudian....
"Awaaas...!" sebuah perintah diteriakannya
bersamaan sikutnya yang bergerak ke rusuk Raja
Paksa Dahana, namun lelaki itu terlambat untuk
mengelak.
Bletuk!
Raja Paksa Dahana berteriak kesakitan, tu-
buhnya terhuyung ke belakang dua tindak, bersa-
maan dengan itu, sosok si Kembar berkelebat den-
gan pedangnya yang terayun ke udara.
Tlas! Bret!
Pekik kematian seketika itu juga terdengar
mengiringi ambruknya tubuh Raja Paksa Dahana
dengan leher yang hampir terbabat putus dan perut
yang terkoyak lebar hingga memburaikan ususnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, jerit ke-
matian susul-menyusul pun terdengar bergantian.
Sosok orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa
Dahana satu persatu bertumbangan di tangan ka-
wan-kawan Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Ja-
ri.
"Hentikan pertarungan ini! Dan lihatlah, raja
gadungan yang kalian bela sudah mati, jadi untuk
apa kalian bertarung!"
Teriakan Jaka yang lantang membuat perta-
rungan seketika terhenti. Berpasang-pasang mata
langsung terarah menatap mayat Raja Paksa Daha-
na.
"Kalau kalian mau menyerah, maka hukuman
akan menjadi lebih ringan!" ucap Jaka lagi, dan ter-
nyata ucapan itu membawa hasil. Orang-orang yang
berpihak pada Raja Paksa Dahana semuanya me-
lemparkan senjata ke tanah.
"Giring mereka ke dalam tahanan!" perintah
Setya Wangsakesuma tegas.
Selagi prajurit-prajurit yang setia menggiring
prajurit-prajurit yang salah jalan, Jaka sibuk men-
cari-cari Kakek Rangsasana dan Bidadari Penyamar.
"Ke mana Kakek Rangsasana?" tanya Jaka
pada Kakek Tanpa Jari.
"Dia tengah mengejar Ganda Laras, saudara
perguruannya yang menyamar sebagai permaisuri,"
jawab Kakek Saroagung. "Mungkin dia ingin menya-
darkan kekeliruan saudaranya itu," lanjutnya.
Jaka tak mengomentari lagi ucapan Kakek
Saroagung, langsung kakinya kemudian terangkat
menghampiri Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma.
"Kemelut sudah berlalu, Setya, Darma. Aku
gembira," ucap Jaka pada Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma.
"Itu berkat jasamu, Kak," kilah Darma Wang-
sakesuma.
"Jika kau merasa aku ini berjasa, Kakak ha-
rap kau mau memberikan jasa pula untuk orang
lain, untuk rakyatmu jika suatu saat kalian mendu-
duki jabatan sebagai pemimpin," tutur Jaka lemah
lembut.
"Kami akan berusaha untuk itu, Kak," timpal
Setya Wangsakesuma.
"Bagus! Dan sekarang Kakak permisi dulu,
masih banyak pekerjaan lain yang harus Kakak se-
lesaikan," tandas Raja Petir.
"Kenapa begitu tergesa-gesa, Kak. Kami se-
nang kalau Kakak tinggal bersama kami dalam be-
berapa hari, atau selamanya di sini," tahan Darma
Wangsakesuma.
"Lain kali, jika ada waktu Kakak pasti singgah
ke tempat ini, sekarang Kakak permisi dulu."
"Tunggu dulu, Kak. Bukankah kami telah di-
amanati oleh Kakek Suranggrati untuk menyerah-
kan panah dan busur emas?" ujar Setya Wangsake-
suma.
Jaka tersenyum mendengar ucapan itu.
"Pasti benda itu disimpan di kamar pribadi
Paksa Dahana, biar kucari dulu, Kak," tukas Setya
Wangsakesuma seraya bergerak masuk ke dalam is-
tana kemudian kembali dengan membawa benda
yang dibungkus kain sutera putih.
"Aku hanya menemukan busurnya saja, Kak.
Entah di mana anak panahnya," ucap Setya Wang-
sakesuma kecewa.
"Busurnya pun tak mengapa, Setya," ujar Ja-
ka menenteramkan hati Setya Wangsakesuma. "Jika
suatu saat anak panah itu diketemukan, simpanlah
olehmu baik-baik," lanjutnya.
"Tentu, Kak," sahut Setya Wangsakesuma.
"Sekarang Kakak permisi."
Setelah berpamitan pada Kakek Tanpa Jari,
Raja Petir langsung menghentakkan kakinya dan
pergi berlalu dengan cepat diiringi dengan tatapan
mata Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma yang merasa berhutang budi.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar