..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 13 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MANUSIA PEMUJA BULAN

Manusia pemuja bulan


 


MANUSIA PEMUJA BULAN

Serial Pendekar Slebor Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor .Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau Seluruh buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit


Serial Pendekar Slebor dalam Episode

Manusia Pemuja Bulan

128 Hal


1


Purnama sejak tadi sudah membedah alam ditemani

bintang-bintang yang bertaburan di langit cerah. Bulan

penuh saat ini tak ubahnya seorang ratu jelita yang

didampingi para dayang.

Di lereng Gunung Pengging, malam yang biasanya

sepi kini nampak ramai sekali. Penduduk yang hidup di

sekitar gunung itu berbondong-bondong mengunjungi

lereng. Mereka duduk bersila, membentuk lingkaran yang

di tengahnya terdapat sebuah api unggun.

Suasana nampak sepi, meskipun banyak sekali

penduduk yang baru saja hadir. Mereka pun tak bersuara,

bagaikan ada sesuatu pantangan yang melarang untuk

mengeluarkan suara. Semuanya menunduk, sementara api

unggun di tengah-tengah terus menyala.

Sekitar enam orang berpakaian merah yang

mengenakan topeng berwarna merah juga, tampak mulai

bergerak ke dekat api unggun. Kemudian mereka

menyebar, dan berlutut mengelilingi.

Baru saja berlutut, mendadak keenam orang itu

bertingkah seperti kesurupan. Dengan tubuh mengejang-

ngejang mereka menyembah ke arah rembulan.

Tak lama, muncul seorang laki-laki berjubah serba

hitam dari kegelapan. Kemunculannya memang tidak

terlihat. Tahu-tahu dia sudah menyisih jalan, dan berada di

dekat api yang menyala di kelilingi enam orang berpakaian

dan bertopeng merah yang masih bertingkah seperti orang

kesumpan.

Mata laki-laki berjubah hitam yang baru datang itu

tajam memandang ke sekitarnya, memperhatikan orang-

orang yang duduk bersila tetap dengan kepala tertunduk.

"Terima kasih atas kedatangan kalian, wahai para

pengikutku," ucap laki-laki berjubah hitam tiba-tiba dengan

suara berat.

Begitu laki-laki itu terkena jilatan cahaya api unggun

tampak jelas bentuk wajahnya yang berbentuk tirus.

Bibirnya tipis berlekuk ke atas, menampakkan kec ulasan.

Hidungnya agak panjang dan sedikit bengkok. Kedua

matanya tak ubahnya mata harimau yang mencorong

tajam. Begitu pula alisnya yang naik ke atas. Rambutnya

yang panjang tergerai, dipermainkan angin.

Kini, angkatlah wajah kalian. Lihatlah sesembahan

kita yang telah berdiri tegak di mata langit...," lanjut laki-laki

ini.

Perlahan-lahan orang-orang yang berada di tempat

ini mengangkat kepala, menatap rembulan yang tetap

bersinar.

"Hmmm.... Kalian adalah pengikut-pengikutku yang

setia.... Bagus! Karena Dewa Bulan akan marah bila kalian

tidak ikut dalam upacara ini...."

Laki-laki berjubah hitam yang oleh orang-orang itu

dikenal dengan nama Wedokmurko itu tersenyum puas.

"Upacara akan kita segerakan, mengingat korban

sudah didapatkan... Kini, mulailah kalian menyanyikan lagu

pujaan untuk Dewa Bulan," ujar Ki Wedokmurko.

Semua orang yang ada di situ tetap menatap

rembulan. Sementara kali ini mulut mereka komat-kamit

melantunkan senandung pelan yang telah diajarkan Ki

Wedokmurko. Dan suasana pun terasa menggiriskan, oleh

teriakan keras dan gerak limbung enam orang berpakaian

dan bertopeng merah.

Lalu entah dari mana datangnya tiba-tiba saja satu

sosok tubuh melayang dan jatuh di tengah-tengah

lingkaran. Sosok itu dalam keadaan pingsan, dibalut

pakaian berwarna hitam.

"Lihatlah.... Dewa Bulan telah merestui kita, karena

telah mengambil sesembahan itu...," kata Ki Wedokmurko

dengan suara mengeras.

Suara senandung itu semakin lama semakin keras

terdengar.

"Wahai, Dewa Bulan.... Kami berada di sini untuk

memujamu. Dalam hembusan angin dingin, dalam kabut

menebal yang perlahan-lahan membasahi sekujur tubuh

kami.... Namun, kami tidak mengenal diam, tidak me-

ngenal lupa. Kini, kami persembahkan seorang gadis yang

masih suci, agar menjadi temanmu di atas sana. Dewa

Bulan yang perkasa...., terimalah sesembahan kami ini....

Dengan harapan, agar kau jauhkan kami dari penderitaan

yang berkepanjangan. Dan, makmurkanlah hidup kami

ini...."

Lalu orang-orang itu menghentikan senandung. Dan

mereka melihat laki-laki berjubah hitam itu tengah

mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala

menengadah. Dari mulutnya meluncur kata-kata seperti

mantera. Semakin lama semakin mengeras. Dan tiba-tiba

saja gadis yang terkulai di atas tanah lenyap!

Sementara tubuh Ki Wedokmurko pun ambruk

dengan kedua tangan menyentuh tanah. Keringat

membanjir di seluruh tubuhnya, seperti orang habis

melakukan perjalanan sangat melelahkan.

Dan perlahan Ki Wedokmurko bangkit dan berdiri

tegak. Matanya memandang angker ke sekelilingnya.

"Dewa Bulan telah menerima sesembahan kita....

Dan percayalah, dia tak akan membiarkan kita hidup

dalam kesusahan. Wahai, pengikutku yang setia.... Setiap

malam J umat kit a akan tetap melaksanakan upacara me-

muja Dewa Bulan. Sekarang, katakanlah.... Apa keluhan

kalian...."

Serentak terlihat banyak orang-orang yang

mengacungkan tangan. Ki Wedokmurko menunjuk seorang

laki-laki tua kira-kira bcrusia tujuh puluh tahun yang segera

bangkit dituntun seorang gadis cantik jelita.

"Hmm.... Kenapa denganmu, Ki?" tanya Ki

Wedokmurko.

Sementara yang lain memperhatikan dengan rasa

tegang, juga tidak sabar menunggu giliran.

"Ketua Wedokmurko. Hamba bernama Mayang, se-

dang kakek hamba bernama Seta. Sudah lima tahun ini

kakek hamba menderita batuk yang berkepanjangan.

Kalau batuknya kambuh, sampai muntah darah...," jelas

gadis cantik berkain kemben batik yang mengaku bernama

Mayang.

"Itu soal mudah. Sangat mudah."

Seperti layaknya seorang tabib, Ki Wedokmurko

memeriksa tubuh Ki Seta yang sudah terbatuk-batuk.

Batuknya terdengar sangat keras dan memilukan.

"Hmm... rupanya, Dewa Bulan marah padanya,

Nini...," lanjut laki-laki berjubah hitam itu dengan suara

berat.

Wajah Mayang terperanjat

"Mengapa, Ketua?" tanya Mayang.

"Karena..., dia menyimpan banyak harta yang tidak

pernah dipersembahkan kepada Dewa Bulan..." Kali

ini Mayang menoleh pada kakeknya.

"Aki, benarkah yang dikatakan ketua?" tanya gadis

itu dengan kening berkerut.

Rasanya, Mayang tidak pernah mendengar tentang

harta milik kakeknya. Bagaimana mungkin kakeknya yang

diketahuinya miskin itu memiliki harta banyak? Harta apa?

Hidup mereka sudah pas-pasan. Masih untung kakeknya

memiliki sebidang tanah yang bisa ditanami umbi-umbian

dan dedaunan. Sehingga. cukuplah untuk makan sehari-

hari. Tetapi soal harta?

Ki Seta menganggukkan kepala sambil terbatuk.

Laki-laki tua ini kelihatan sangat menderita dengan

batuknya.

"Oh, harta apakah itu, Aki?" tanya Mayang semakin

tidak sabar.

Ki Seta menarik napas panjang. Kelihatannya, dia

enggan menceritakan soal harta yang telah lama

dirahasiakannya. Namun melihat wajah Mayang yang

begitu penasaran, apalagi Ketua Wedokmurko sudah

menekannya, maka mau tak mau dia harus

menceritakannya.

"Mayang... aku memang merahasiakan soal itu.

Karena tak baik bagimu untuk mengetahuinya.... Huk...

huk... huk..," kata Ki Seta dengan susah payah.

"Kenapa, Aki? Lebih baik Aki mengatakannya saja

daripada sakit batuk terus menerus...," ujar Mayang yang

kali ini kelihatan cemas bila memikirkan sakit batuk

kakeknya.

"Huk huk huk.... Ketua...," kata Ki Seta susah payah.

"Aku akan menyerahkan seluruh hartaku itu kepada Dewa

Bulan.... Tapi, sembuhkanlah penyakitku ini...."

"Ha... ha... ha...!"

Ki Wedokmurko terbahak-bahak. "Apakah kau tidak

percaya dengan ku, Ki? Hhh! Aku adalah utusan Dewa

Bulan, yang sudah tentu tidak akan menyelewengkan

amanat siapa pun untuknya...," lanjut Ki Wedokmurko.

"Bukan.... Bukan itu maksud Aki, Ketua...," sergah

Mayang dengan takut-takut. Ia ngeri melihat pancaran

mata Ketua Wedokmurko yang menakutkan. "Maksud

Aki..., dia akan segera menyerahkannya nanti...."

"Dengan kata lain, kakekmu tidak percaya?" tukas

Wedokmurko dengan suara keras.

Kali ini bukan hanya Mayang yang mendadak pias.

Tetapi, juga yang hadir di sana. Mereka tahu, apa akibat-

nya bila Ki Wedokmurko sudah marah. Dan itu berarti

sama saja dengan membangkitkan kemarahan Dewa

Bulan.

"Aki..., katakanlah...," ujar Mayang.

Tetapi wajah Ki Seta tetap tegar. Bibirnya hanya

mengulas senyum meskipun kelihatan sangat tersiksa

dengan batuknya.

"Ketua..., aku akan mengatakannya bila batukku

sudah diobati...," tegas laki-laki tua ini sekali lagi.

Memerahlah wajah Ki Wedokmurko mendengar

kata-kata Ki Seta. Sementara, Mayang makin kelihatan

ketakutan.

"Aki...."

"Grrr! Rupanya laki-laki tua ini tidak mempercayaiku

sebagai Manusia Pemuja Bulan. Dengan kata lain, dia juga

tidak percaya pada kalian ssmua yang telah memasrahkan

diri pada Dewa Bulan. Mungkin saat ini aku.... Grrr!

Akkgghhh! Grrr!"

Tiba-tiba tubuh Ki Wedokmurko limbung ke kanan

dan ke kiri. Wajahnya kelihatan semakin mengerikan.

Tangannya mengacung pada Ki Seta.

"KiSeta...," panggil Ki Wedokmurko. Suaranya

bergetar. "Dewa Bulan telah marah kepadamu.... Aku tidak

sanggup menahannya.... Cepat, katakan. Di mana harta itu

berada.... Kalau kau mengatakannya, niscaya Dewa Bulan

akan mengampuni semua kelancanganmu...."

Tetapi sikap Ki Seta tetap tegar. "Aku akan

mengatakannya, bila kau bisa menyembuhkan sakit

batukku ini...." Aki!" sentak Mayang.

"Kau diam, Mayang.... Huk... huk... huk.... Ini urus-

mku, biar aku yang menyelesaikannya.... Wedokmurko,

ketahuilah.... Akulah satu-satunya orang yang mungkin tak

percaya pada pemujaan terhadap Dewa Bulan ini. Kita

sejak lama diharuskan menyembah kepada Gusti Allah.

Tetapi mengapa kau.... Huk... huk... huk... menyuruh kami

menyembah Dewa Bulan?"

Sebentar Ki Seta menghentikan kata-katanya untuk

menarik napas dengan susah payah.

"Dulu, sebelum kedatanganmu:.., kami yang

menghuni lereng Gunung Pengging selalu hidup aman

penuh keakraban. Tetapi sejak kau datang, semuanya

menjadi sirna. Justru ketakutan yang diam-diam merayapi

hati kami...," lanjut Ki Seta.

"Aki!" sentak Mayang kaget sambil melirik wajah Ki

Wedokmurko yang semakih geram dengan tubuh masih

limbung ke kanan dan ke kiri

"Mayang..., ketahuilah.... Aku tidak percaya pada

manusia seperti ini. Sebelum kedatangannya, kita tidak

pernah mengorbankan nyawa dara perawan yang

mendadak saja lenyap begitu dia mengatakan kalau Dewa

Bulan menerima sesajen kita. Sudah berapa kali? Sudah

lima perawan dikorbankan. Apakah kita masih

mengorbankan yang lainnya, hah?! Mengapa harus

sesembahan seperti itu? Mengapa tidak dengan yanglainnya saja, hah?! Mengapa?" sergah Ki Seta dengan

suara semakin mengeras.

Kali ini laki-laki tua itu memandang ke sekeliling

kearah para penduduk yang berada di sana.

"Di samping itu..., kita juga harus..., aaakkhhh!"

Mendadak saja tubuh Ki Seta terhuyung ke belakang

dan ambruk. Dadanya sudah bolong. Tampak asap

mcngepul keluar dari sana. Seketika Mayang menubruk

tubuh kakeknya.

"Akiii...!" jerit gadis itu menangis.

Namun tubuh laki-laki tua itu sudah tak bergerak,

karena nyawanya sudah meninggalkan jasadnya. Dengan

mata basah oleh airmata, Mayang berbalik ke arah

Wedokmurko yang sudah tegak kembali. Sementara, enam

laki-laki berpakaian dan bertopeng merah itu tetap

bergerak dengan suara-suara mencekam, seakan

membuat suasana tambah mengcrikan.

"Ketua..., apakah Aki tidak bisa diampuni? Ampuni

dia, Ketua! Kembalikan lagi nyawanya!" pinta Mayang,

menjerit.

"Nini... Akimu telah berbuat kesalahan. Sehingga

Dewa Bulan menjadi murka.... Aku tidak dapat

mencegahnya...," kata Ki Wedokmurko dingin, sedingin

tatapannya.

"Mengapa kakekku tidak bisa diampuni? Mengapa?"

seru Mayang masih menangis.

"Karena..., dia telah berani melanggar perintah Dewa

Bulan...." Mayang menangis sambil merangkul kembali

tubuh kakeknya yang telah menjadi mayat. Sementara

yang hadir tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun diam-

diam mcnyalahi Ki Seta yang telah berani lancang

membantah perintah Dewa Bulan. Dan diam-diam pula,

mereka pun bertanya-tanya, harta apa yang dimaksudkan

Ketua Wedokmurko?

Wedokmurko lantas mengedarkan matanya

berkeliling.

"Ini adalah contoh orang yang berani membantah

perintah dari Dewa Bulan.... Orang yang tidak mempercayai

akan kesaktian dan kehebatannya. Hhh! Siapapun yang

membantahnya, maka akan mati. Kalian mengerti?!" jelas

Ki Wedokmurko, tajam.

"Mengertiii...!"

Terdengar sahutan secara serempak dari orang-

orang di sekeliling api unggun.

"Dan kalian akan tetap patuh padanya?" "Patuuuh...!"

Kembali sahutan terdengar.

"Bagus! Sekarang, kuburkan mayat itu! Nini...,

apakah kau mau agar Akimu diampuni?" tanya

Wedokmurko menatap tajam. Membuat siapa pun yang

melihatnya akan langsung mengkeret.

Mayang mengangguk tanpa menoleh. Matanya yang

berair menatap lekat pada kakeknya yang terbujur kaku.

Kepiluan sangat terasa di hatinya.

"Kalau begitu, malam Jumat yang akan datang..., kau

menjadi sesembahan dari Dewa Bulan! Upacara seIesai!"

lanjut Ki Wedokmurko, seraya mengibaskan jubahnya. Dan

mendadak saja, sosoknya lenyap seperti ketika datang

tadi.

Setelah Ki Wedokmurko menghilang, enam orang

berpakaian dan bertopeng merah pun perlahan-lahan

melangkah dari lingkaran orang-orang itu. Nyala api unggun

semakin tipis. Sebagian lenyap karena kayu-kayu yang

membakarnya sudah habis. Juga karena terkena angin

yang berhembus semakin dingin.

Gerakan enam orang itu tak ubahnya bagaikan robot

belaka, lalu perlahan-lahan lenyap dari pandangan.

Tepat ketika mereka semua tak terlihat lagi, barulah

orang-orang itu berlarian mendekati Mayang yang masih

menangisi mayat kakeknya.

Mereka melihat jasad Ki Seta dengan dada bolong.

Tak seorang pun yang melihat tenaga atau serangan apa

yang mengenai Ki Seta. Karena tahu-tahu, dia sudah

ambruk.

"Sudahlah, Mayang.... Akimu memang salah. Dia

telah berani membantah perintah Dewa Bulan...." hibur

salah seorang yang berkumis tebal.

Mayang hanya mengangguk-angguk. Beberapa

pemuda gagah segera mengangkat mayat Ki Seta, lalu

beramai-ramai membawanya turun dari lereng Gunung

Pengging.

Selebihnya sepi. Hanya angin yang berhembus

semilir.

***

Sebenarnya, sebagian penduduk yang mendatangi

lereng Gunung Pengging, ada juga yang membenarkan

kata-kata Ki Seta. Yah! Sebelum kedatangan Manusia

Pemuja Bulan, segala sesuatunya di desa dekat lereng

Gunung Pengging aman dan semuanya berjalan lancar.

Tetapi setelah kedatangan Manusia Pemuja Bulan

yang meminta dirinya disebut sebagai Ketua, keadaan

mulai berubah. Laki-laki yang selalu berjubah berwarna

hitam itu selalu mendatangi desa mereka, dan

mengatakan hukuman Dewa Bulan akan datang bila tidak

menyediakan sesajen.

Memang, pertama kalinya para penduduk di sana

tidak mau mengindahkan kata-kata laki-laki berjubah

hitam itu. Mereka tak acuh saja. Karena selama ini yang

ada di hati mereka, hanya Gusti Allah yang patut disembah.

Namun, malam-malam berikutnya, terjadilah sesuatu

yang mengerikan. Karena mendadak saja, api bagai

gulungan panjang, bergulung-gulung dari atap rumah satu

ke atap lainnya. Membakar apa saja. Hingga mereka

menjadi kalang kabut. Di sela-sela keributan dan

kesibukan memadamkan api, terdengar suara keras Ki

Wedokmurko yang mengatakan kalau itu adalah hukuman

dari Dewa Bulan karena para penduduk tidak

mengindahkan kata-katanya sebagai utusannya!

Lambat laun ketakutan mulai merayapi hati setiap

penduduk. Karena, bukan hanya bencana kebakaran saja

yang melanda. Bahkan angin topan pun datang bergulung-

gulung, menimpa mereka. Juga ditemukan pula beberapa

ekor ternak mati secara aneh.

Sejak itu, satu persatu para penduduk di sana pun

mulai mengikuti Ki Wedokmurko yang selalu mengadakan

upacara di lereng Gunung Pengging. Yang ikut itu selalu

aman, tanpa gangguan. Yang belum mengikuti jejaknya,

selalu saja mendapat gangguan yang dikatakan Ki

Wedokmurko sebagai hukuman Dewa Bulan.

Hingga kemudian, seluruh penduduk di desa itu pun

mengikuti jejak Manusia Pemuja Bulan karena tidak ingin

mendapatkan hukuman.

Tak seorang pun yang berani membantah ketika Ki

Wedokmurko meminta harta benda, makanan enak, juga

pakaian yang bagus. Bahkan setiap malam Jumat, para

penduduk yang mempunyai anak gadis harus

mengorbankannya kepada Dewa Bulan.

Ada rasa sedih yang tak terhingga sebenarnya di hati

mereka, mengorbankan anak gadis untuk Dewa Bulan

Seperti yang sudah-sudah, anak gadis mereka dalam

keadaan pingsan dalam upacara itu. Lalu kemudian, tahu-

tahu lenyap dari pandangan. Entah ke mana. Apa yang

terjadi terhadap mereka? Apa yang dialaminya?

Semua berjalan lancar selama tiga bulan. Dan

kejadian barusan di lereng Gunung Pengging itu,

sebenarnya membuka mata mereka pula, kalau yang

dikatakan Ki Seta memang benar. Tetapi, apakah mereka

berani melawan perintah Manusia Pemuja Bulan? Apakah

mereka akan membiarkan diri dan keluarga mendapatkan

hukuman dari Dewa Bulan?

***

2


Mayat Ki Seta dikuburkan keesokan harinya. Pelayat

yang datang sangat menyesali tindakan bodoh Ki Seta yang

berani menentang kehendak dan perintah Dewa Bulan.

Hingga akhirnya, dia menerima ajal yang mengerikan.

Dan hari-hati berikutnya yang justru sedih dan

merasa sepi adalah Mayang. Gadis ini tak mengerti,

mengapa Ketua Wedokmurko tidak memintakan ampunan

pada Dewa Bulan? Mengapa dia tidak menolong Aki?

Sungguh! Hati gadis itu sangat sedih.

Kini Mayang sebatang kara di dunia ini. Kedua orang

tuanya telah lama meninggal dunia. Sejak itu dia tinggal

bersama kakeknya yang telah menduda. Namun mcskipun

begitu, masih ada sesuatu yang menjadi perta-nyaannya.

Harta apakah yang disembunyikan Ki Seta? Di mana harta

itu disembunyikan? Mengapa kakeknya selama ini tidak

pernah memberitahukan soal harta itu. Harta apa?

Namun, kesedihan karena ditinggal mati kakeknya,

Mayang pun tak memikirkan soal harta itu lagi. Yang

dipikirkannya sekarang, malam J umat yang akan datang,

dia menjadi giliran sesembahan kepada Dewa Bulan.

Mayang bersedia saja melakukannya, karena itu

adalah jalan satu-satunyabagi kakeknya untuk diampuni

Dewa Bulan.

Mayang kini mulai merasakan sepi dalam

kesendiriannya. Dia masak seperti biasanya. Namun kali ini

untuk makan sendiri saja. Sungguh, jelas sekali

perbedaannya.

***

"Sampurasuuunnn!" Tiba-tiba terdengar suara orang

bersalam di depan pintu.

Mayang yang masih sibuk memasak air bergegas ke

depan setelah merapikan pakaiannya. Meskipun masih

sedih karena ditinggal kakeknya, namun sifatnya yang!

memang rajin tidak pemah ditinggalkannya.

"Rampeeesss!" sambut Mayang, sambil melangkah

menuju pintu.

Gadis berusia delapan belas tahun itu membuka

pintu untuk tamunya.

"Oh, Kang Medi," desah Mayang begitu pintu tetM

kuak. Dan gadis ini langsung mengenali tamunya.

"Silahkan masuk, Kang...."

Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima

tahun masuk. Dia duduk di kursi yang sudah agak rusak.

namun masih layak diduduki. Laki-laki ini cukup tampan,

dengan rahang kukuh dan sepasang mata memancarkan

sinar membara. Dari pakaiannya yang cukup bagus,

agaknya laki-laki bernama Medi ini cukup kaya.

Mayang pun sudah tahu tentang tabiat laki-laki ini

yang memang mata keranjang. Namun gadis ini bersikap

tenang saja. Karena toh pikirnya, Medi hanya bertamu

Mungkin pula sekali lagi menyampaikan bela sungkawa

atas kematian kakeknva.

"Bagaimana, Mayang. Apakah kau kesepian

sepeninggal kakekmu?" tanya Medi, begitu duduk di kursi

ruang tamu.

Begitulah, Kang.... Biasanya aku selalu ditemani

kakek, kini tinggal sendiri," sahut Mayang, juga duduk

menghadapi tamunya.

Bibir Medi tersenyum-senyum. Matanya semakin liar

memperhatikan sekujur tubuh Mayang bagaikan hendak

menelannya bulat-bulat.

"Mayang.... Sebenarnya, kakekmu itu memang telah

melakukan kesalahan. Seharusnya, kehendak Ketua

Wedokmurko yang menjadi Utusan Dewa Bulan tidak boleh

ditentang. Kedatangannya mengabarkan sesuatu yang

menggembirakan, kalau Dewa Bulanlah yang paling kuasa

di dunia ini," kata Medi. Mayang menundukkan kepalanya.

Bila teringat tentang kakeknya, hatinya sedih sekali.

"Kau benar, Kang... Aku sendiri tidak mengerti,

mengapa Aki berbuat seperti itu. Bahkan menentang.

kehendak Dewa Bulan," desah Mayang.

"Itulah yang kusesali. Sehingga.... kau akhirnya yang

akan menjadi korban...."

"Maksud Kang Medi?" tanya Mayang mengangkat

kepalanya, menatap Medi yang tersenyum-senyum.

"Bukankah malam Jumat depan adalah giliranmu

untuk dipersembahkan pada Dewa Bulan?"

"Ya! Karena menurut Ketua Wedokmurko.....bila aku

tidak berkenan atau bersedia, maka dosa-dosa kakekku

tidak akan diampuni Dewa Bulan...."

Medi mengusap-usap dagunya yang klimis. Matanya

yang liar semakin jelalatan. Menurut kata hatinya, sangat

sayang sekali gadis-gadis manis dan cantik itu dikorbankan

kepada Dewa Bulan. Gadis-gadis yang begitu dikorbankan,

mendadak lenyap entah ke mana. Menurut Medi, mungkin

mereka mati.

Dan sekarang, Mayang..., yang diam-diam dicintainya

itu akan dikorbankan. Hhh! Sayang sekali. Bukan kah lebih

baik dinikmati dulu baru dikorbankan?

Berpikir seperti itu, Medi pun memulai memasang

perangkapnya.

"Mayang..., apakah kau tidak sayang dengan wajah

dan tubuhmu?" tanya laki-laki ini sambil tersenyum.

Kening Mayang berkerut, merasa aneh dengan

pertanyaan Kang Medi. Karena, sepertinya, laki-laki ini pun

menentang Dewa Bulan. Padahal, Mayang sedang bersiap-

siap untuk menunggu malam Jumat depan untuk

mengorbankan diri kepada Dewa Bulan sebagai penebus

dosa-dosa kakeknya. Dan gadis ini merasa yakin kalau

Medi sudah memasang perangkapnya.

"Mengapa Kang Medi berkata begitu?" tanya

Mayang.

Medi tersenyum lagi. Matanya mengedip.

"Kau cantik, Mayang.... Kau ayu. Sayang bila untuk

dikorbankan kepada Dewa Bulan...."

"Aku tidak berani membantah perintah Manusia

Pemuja Bulan alias Ketua Wedokmurko," tukas Mayang.

"Apakah Kang Medi tidak tahu, bagaimana akibatnya kalau

berani menentang kehendaknya?"

"Kau benar, Mayang. Akan tetapi, mengapa kau

begitu merelakan tubuhmu dijadikan sesajen Dewa

Bulan?" tanya Medi.

"Karena..., aku menghendaki seluruh dosa-dosa Aki

dihapuskan Dewa Bulan.... Itulah sebabnya, aku bersedia

dijadikan sesajen, Kang Medi...."

Sepasang mata Medi yang liar semakin jelalatan.

Sayang sekali, sayang sekali. Lalu mendadak saja Medi

bangkit, pindah duduk di samping gadis itu. Sementara

Mayang hanya diam saja.

"Mayang...,"

Medi memulai niat busuknya. Kedatangannya ke kini

selain ingin melihat keadaan Mayang, juga ingin

mengambil kesempatan. Sudah lama dia menginginkan

Mayang.

"Tahukah kau..., kalau sesajen yang akan

dipersembahkan kepada Dewa Bulan tak akan pernah

kembali lagi?" lanjut Medi.

"Aku tahu, Kang."

"Tidak sayangkah kau dengan tubuh dan wajahmu

vang jelita ini?"

"Maksud Kang Medi?"

"Maksudku..., apakah tidak dimanfaatkan dulu

tubuhmu ini, Mayang?"

Mayang mengerutkan keningnya.

"Aku tidak mengerti, Kang..."

Medi mengembangkan senyumnya. Duduknya pun

semakin merapat.

"Kau paham akan maksudku, Mayang. Kau tahu,

karena kau sudah dewasa, bukan?"

Mayang terdiam seraya menundukkan kepala.

Sikapnya mencerminkan kepasrahan belaka.

Tiba-tiba Medi menyergap Mayang. Dan mereka

sama-sama terjerembab ke lantai. Lalu dengan buas laki

laki ini menciumi sekujur wajah dan meraba sekujur tubuh

gadis itu. Herannya, Mayang diam saja. Tidak berbuat apa-

apa. Meladeni tidak, berontak pun tidak.

Medi yang merasa mendapat angin. perlahan-lahan

melucuti pakaian Mayang satu persatu. Inilah kesempatan

yang sangat langka sekali. Sebuah kesempatan yang telah

lama ditunggu-tunggunya. Dan yang tak pernah

disangkanya, gadis itu hanya mandah saja. Diam-diam

Medi merasa sangat beruntung dengan datangnya I

Manusia Pemuja Bulan, sehingga ia mendapatkan apa

yang telah lama dicarinya.

"Kau cantik, Mayang.... Kau cantik...."

Napas laki-laki mala keranjang ini memburu dengan

suara bergetar. Tangannya meraba sekujur tubuh Mayang

dengan buas.

Namun sebelum sempat Medi membuka celananya

sendiri untuk merenggut milik Mayang yang paling

berharga, mendadak saja....

Brrr...!

Serangkum angin yang kuat menderu ke arah Medi

Dan.... Prakkk! "Aaa...!"

Medi kontan terlontar dengan kencangnya,

menabrak pintu rumah. Tubuhnya terbanting ke tanah

dengan keras, lalu menemui ajalnya setelah kelojotan

sejenak.

Sementara itu, seolah tidak mengalami suatu

kejadian yang mengerikan, Mayang mengenakan lagi

pakaiannya- Dia berdiri tegak, melihat sosok Medi yang

sudati menjadi mayat. Pandangannya dingin dan kaku,

ketika melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng

merah muncul dan mengangkat mayat Medi. Sebentar

kemudian sosok itu berkelebat entah ke mana.

***

"Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan

selembar kain bercorak catur, melanglah di jalan setapak.

Sikapnya riang sekali. Sepertinya dia sangat menikmati

udara pagi yang cerah.

Wajah pemuda ini tampan, meskipun rambutnya

gondrong takberaturan. Di atas matanya yang kelihatan

cerdik itu bertenggcr dua buah alis hitam legam laksana

seekor elang sedang mengarungi samudera luas.

Pemuda yang kelihatan gembira itu tiba-tiba

menghentikan langkahnya, ketika....

"Berhenti kau, Pemuda Busuk!"

Terdengar suara yang membuat pemuda ini menoleh

"Jangan kabur kau!"

"Bunuh saja dia!"

"Bikin mampus saja!"

Kening pemuda ini jadi berkerut melihat puluhan

laki-laki berduyun-duyun berlari mendekatinya. Di tangan

mereka terdapat bermacam senjata dengan wajah

beringas dan marah. Dan pemuda ini jadi semakin tak

mengerti.

"Tenang, Saudara-saudara.... Ada apa ini?" tanya

pemuda ini dengan suara tenang dan pandangan mata

jernih.

"Jangan banyak omong!" bentak salah seorang

pemuda yang berkumis tebal dengan rambut diikat. "Kau

harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu, heh?!"

Pemuda berbaju hijau pupus itu makin mengerutkan

keningnya lagi.

"Mempertanggung jawabkan perbuatanku? Aku

berbuat apa? Lihat, di tanganku tidak ada jemuranyang

kubawa. Tapi, ah tanggung kalau hanya jemuran!" tukas

pemuda ini, bukannya takut malah mengajak bercanda

"Bangsat! Rupanya kau pintar omong juga, hah?

bentak pemuda berkumis itu lagi sambil mendekatkatkan

lagi wajahnya ke muka pemuda ini. Kau harus

mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang telah

membunuh Medi.

Kali ini pemuda berbaju hijau pupus dengan kain

bercorak catur di bahu itu terjingkat. Bukan karena

tuduhan tadi, tapi karena bau mulut lelaki di depannya.

"Membunuh Medi? Siapa Medi? Kambing congek

peliharaanmu? Bagaimana mungkin? Aku baru saja tiba di

desa ini. Lalu, mengapa tiba-tiba kau menuduhku telah

membunuh kambing yang bernama Medi?"

"Guoblok! Medi itu adalah warga kami. Dan kami

menemukan mayatnya di tepi kali sebelah utara sana Dan

kau sendiri sebelumnya dilihat salah seorang dari kami

sedang mandi di sana juga, bukan?!" bentak laki-laki

berkumis itu, merasa kesal bukan main.

Pemuda itu terdiam, lalu mengangukkan kepalany!

"Temanmu benar. Aku memang mandi di sana.

Tetapi bukan berarti telah membunuh orang yang bernama

Medi. Kalian salah sangka...."

"Ala..., sudah Kang Sawedo. Jangan banyak

bercakap lagi! Dia harus mampus!" seru salah seorang

yang memegang parang tidak sabar.

"Ya, bunuh saja!" sambut yang lain.

"Bunuh!"

"Bunuh!'

Pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika alias

Pendekar Slebor itu melihat gelagat tidak menguntungkan.

Dia tadi memang mandi di kali sebelah utara sana, tetapi

tidak melihat ada mayat di sana. Jangankan

membunuhnya, melihatnya saja tidak. Pasti Orang-orang ini

salah sangka.

Sebelum orang orang itu bertindak, mendadak....

"Tahan semuanya! Jangan gegabah!"

Terdengar sebuah suara mencegah.!"

***

3


Dari balik kerumunan para penduduk, menyeruaj

seorang laki-laki berpakaian ringkas berwarna biru.

wajahnya kukuh dengan kumis tipis. Matanya

memancarkan sinar kesejukan. Rambutnya diikat secarik

kain keningnya.

"Hmmm.... Jangan bertindak sembarangan. Jangan

menuduh terlalu cepat!" ujar laki-laki ini di hadapan orang-

orang itu, langsung membelakangi Andika.

"Kakang Menggolo! Jangan halangi kami untuk

membunuhnya! Pemuda itu jelmaan setan! Dia harus

hadapkan pada Manusia Pemuja Bulan!" teriak laki-laki

berkumis tebal yang dipanggil Sawedo.

"Ya, benar! Dia harus dihukum oleh Dewa Bulan

"Kakang Menggolo.... Jangan memaksa kami untuk

berbuat yang tidak-tidak terhadap Kakang! Minggir! biarkan

pemuda itu mempertanggung jawab kan seluruh

perbuatannya!"

Seruan-seruan keras bernada menentang itu

terdengar, namun laki-laki berpakaian biru berusia kira-kira

tiga puluh dua tahun yang dipanggil Menggolo tetap tegar

berdiri. Wajahnya tetap tenang.

Sementara di belakangnya, kening Andika berkerut.

Siapakah Manusia Pemuja Bulan itu? Siapa pula Dewa

Bulan? Andika yang berotak encer itu pun diam-diam yakin,

kalau telah terjadi sesuatu yang aneh desa ini. Matanya

tanpa sadar melirik Gunung Pengging yang tertutup kabut.

"Saudara-saudaraku! Kita jangan main hakim

sendiri. Kita memang menemukan mayat Medi di tepi

sungai sebelah utara sana. Dan kebetulan, Maruko melihat

pemuda ini mandi di sana. Tetapi bukan berarti dia yang

telah membunuhnya. Karena menurut Maruko sendiri,

mayat Medi ditemukan di dekat sebatang pohon kelapa.

Sementara, dia melihat pemuda itu ketika hendak

melaporkan berita kematian Medi kepada kita. Apakah

tidak mungkin kita melakukan kesalahan?"

"Kakang, jangan menghalangi niat kami!" ujar

Sawedo.

"Sawedo!' bentak Menggolo dengan suara

menggelegar. "Jangan main hakim sendiri! Lebih baik tanya

dulu pada pemuda berbaju hijau pupus itu?!"

"Sudah bisa dipastikan, dia akan membantahnya.

Mana ada maling yang mau mengakui dirinya sebagai

maling, hah?!" seru Sawedo yang diiringi teriakan keras

yang lainnya.

Perlahan-lahan wajah Menggolo kelihatan memerah.

"Aku tidak ingin kita melakukan kesalahan...," kata

Menggolo datar.

"Baik!" kata Sawedo kemudian. "Kita akan menanyai

pemuda itu! Kakang Menggolo...! Bila dia mengatakan

tidak membunuh Medi. maka, harus mencari

pembunuhnya!"

Andika diam-diam menghela napas panjang.

Sementara Menggolo berbalik, menatap Pendekar Slebor

dalam-dalam.

"Apa yang kau ketahui, temang pembunuhan itu.

Anak Muda?" tanya Menggolo.

"Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, aku tidak

melihat mayatnya," kilah Andika.

"Anak muda..., siapakah namamu?" tanya Menggolo

yang diam-diam meyakini kata-kata pemuda itu.

Sejak tadi pun Menggolo sudah yakin kalau pemuda

itu tidak bersalah. Dia bisa melihat ketenangan dan sinar

kejujuran di mata Pendekar Slebor.

"Namaku Andika."

"Hmmm..., Andika.... Kau dengar sendiri, bukan?

Nyawamu saat ini dimaafkan..., tetapi kau harus mencari

siapa pembunuh Medi sebenarnya?" kata Menggolo,

tersenyum ramah.

Kalau mau mcnuruti kata hatinya, Andika ingin

mendengus keras-keras. Nyawanya saat ini dimaafkan?

Enak saja! Bukannya sombong, dengan sekali samber saja,

dia bisa memusnahkan mereka. Pendekar Slebor berpikir

demikian, karena merasa dikecilkan.

Tetapi Andika tidak menampakkan kesombongannya

saat ini, karena ingin mengetahui apa yang telah terjadi di

desa ini. Terutama, siapakah Manusia Pemuja Bulan itu?

"Baiklah, Kakang Menggolo.... Aku menuruti perintah

itu...," desah Pendekar Slebor memanggil Menggolo dengan

sebutan kakang, sambil menatap Sawedo yang tersenyum

puas. Sial! Ingin rasanya Andika menabok bibir yang

tersenyum melecehkan itu.

Menggolo berpaling pada yang lainnya lagi.

"Nah, kalian mendengar kata-katanya itu?"

Sawedo lagi-lagi mengambil alih pembicaraan.

"Bagus! Dan kami ingin membuktikan kebenaran

kata-katanya itu! Teman-teman. kita kembali untuk

menguburkan mayat Medi!"

Lalu orang-orang itu pun segera meninggalkan

tempat ini. Tinggal Menggolo yang hanya menghela napas

tanjang. Diam-diam, di hatinya mulai terusik sesuatu.

Sesuatu yang membangkitkan kesadarannya.

Terutama, kata-kata Ki Seta sebelum ajalnya.

***

"Kakang Menggolo.... Mengapa kau tidak berbuat

seperti mereka tadi?" tanya Pendekar Slebor kemudian.

Saat ini angin berhembus. Sinar matahari semakin panas,

menembus melalui rimbunnya pepohonan.

Menggolo berbalik. Matanya tepat menatap mata

Andika, lalu bibirnya tersenyum. "Tidak."

"Kenapa?"

"Karena, aku yakin..., bukan kaulah yang telah

melakukan perbuatan itu, Andika...," jelas Menggolo.

Andika tersenyum. "Terima kasih, Kakang." Menggolo

mengangkat kepalanya. "Sebenarnya, hendak ke manakah

kau ini?" tanya Menggolo.

"Aku? He he he.... Tidak ke mana-mana. Pekerjaanku

hanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Dari

satu negeri ke negeri lain," jelas Pendekar Slebor enteng.

"Ya! Tetapi..., aku yakin..., ah! Sudahlah. Kau tinggal

di mana di daerah ini, Andika?" tanya Menggolo. Dan

mendadak saja wajahnya kelihatan memucat.

Perubahan wajah Menggolo tidak luput dari

pandangan Andika yang diam-diam perasaannya semakin

yakin mengatakan, kalau telah terjadi sesuatu di daerah ini

Tetapi Pendekar Slebor berlagak tidak melihatnya.

"Aku? Wah! Hanya bumilah yang menjadi tempat

tinggalku," seloroh Andika.

Menggolo tidak menghiraukan selorohan. Tangannya

mendadak saja menarik tangan Andika.

"Kita pergi dari sini! Tinggal di rumahku saja!" ajak

Menggolo.

***

Di rumah Menggolo, Andika dijamu makan

sekedarnya. Istrinya yang berwajah cukup ayu itu yang

menyediakan. Andika yang memang sudah dari semalam

tidak makan, bagai menemukan harta karun. Memaka

lahap meskipun masih berusaha kelihatan sopan.

Lalu setelah kenyang, Pendekar Slebor bersama

menggolo duduk di beranda belakang, menghadap sepetak

ladang pisang. Segelas kopi pahit dan sepiring ubi rebus

telah dihidangkan oleh istri Menggolo yang bernama Narti.

Andika yang memang menunggu kesempatan untuk

bertanya tentang Manusia Pemuja Bulan, segera

menanyakannya. Namun bukannya menjawab, Menggalo

malah menghela napas berkali kali

"Andika..., lebih baik kau tidak usah menanyakan

soal itu," kata Menggolo kemudian.

"Kenapa? Takut kalau aku mengadu, ya?" canda

Andika.

"Bukan, bukan soal itu. Tetapi, keadaan akan

berbahaya bila kau banyak bertanya tentang Manusia

Pemuja Bulan," sergah Menggolo, kali ini suaranya agak

takut-takut.

"Kenapa? Apakah dia suka makan orang? Kalau soal

itu sih, tidak usah takut. Aku biasa menaklukkan binatangg

buas," seloroh Andika diiringi tawanya. Padahal hatinya

sangat penasaran ingin mengetahui tentang Manusia

Pemuja Bulan.

Diam-diam Andika pun memperhatikan lagi wajah

Menggolo, yang semakin tegang. Hmmm.... Kalau begitu...,

memang ada sesuatu yang telah terjadi di desa ini. Dan

Pendekar Slebor akan menyelidikinya.

Andika tidak lagi meneruskan pertanyaannya, karena

melihat wajah Mengolo semakin bertambah tegang saja.

Tetapi kemudian...

"Dia adalah manusia yang dipuja oleh orang-orang di

daerah ini. Termasuk aku dan istriku...," jelas Menggolo,

mengejutkan Andika.

"Siapa?" tanya Andika berlagak tidak mendengarnya.

Padahal dia ingin melihat perubahan wajah Menggolo.

Setelah dilihatnya Menggolo mengangkat kepalanya ia

berkata, "Jadi... Menusia Pemuja Bulan itu sangat dipuja?"

Menggolo menganggukkan kepala.

"Yah..., juga sangat ditakuti," desah Menggolo.

"Kenapa?" cecar Andika.

"Karena..., dia adalah utusan Dewa Bulan."

"Dewa Bulan? Siapa pula itu?"

"Andika..., jangan bertanya begitu enteng. Kau bisa

dikutuknya! Kau akan mendapat hukuman! Kesaktian

Dewa Bulan sangat tinggi. Dia bahkan bisa mengetahui

sesuatu yang belum terjadi. Dia juga akan mendengar kata-

katamu itu. Cepatlah minta amun, Andika.... Cepat!" seru

Menggolo dengan wajah bingung.

" Ampunkan aku, Dewa Bulan...," ucap Andika,

meskipun tidak mengerti. Dan itu hanya untuk

menenangkan Menggolo yang nampak ketakutan.

Kini Pendekar Slebor melihat Menggolo mendesah

lega.

"Ah! Kalau saja kau tidak minta ampun padanya

niscaya...."

Menggolo terdiam. Kata-katanya terputus. Lalu

mendadak dia mendengus sambil menggeleng-gelengkan

kepala.

"Tidak, tidak! Aku tidak percaya Manusia Pemuja

Bulan! Aku tidak percaya pada Dewa Bulan! Hhh! Apa yang

dikatakan Ki Seta benar! Semenjak kedatangan Manusia

Pemuja Bulan, keadaan desa ini menjadi kacau balau.

Tidak ada lagi kedamaian dan persaudaraan seperti itu....

Hhh! Ki Seta memang benar. Dia benar! Dan karena itulah

dia dibunuh! Tetapi siapa yang membunuhnya? Kalau

Manusia Pemuja Bulan yang bernama Wedokmurko itu

tidak mungkin. Karena, aku tidak melihat gerakannya kalau

dia membunuh Ki Seta. Ah! Pasti Dewa Bulan. Ya, Dewa

Bulan... Oh, ampunkan hamba, Dewa Bulan., ampunkan

hamba...."

Pendekar Slebor yang sejak tadi memperhatikan

laki-laki yang duduk di hadapannya mengerutkan

keningnya, melihat perubahan sikap Menggolo. Kalau tadi

begitu ketakutan dan menyuruhrrya meminta ampun pada

Dewa Bulan, kemudian sikapnya seperti seorang

penantang. Seseorang yang berani karena merasa yang

dilakukannya benar. Namun pada sikap yang terakhir,

justru berubah kembali menjadi ketakutan. Bahkan harus

menyembah seolah-olah yang ditakuti ada di hadapannya.

Perasaan Andika semakin kuat mengatakan, kalau

ada seseuatuyang terjadi di sini. Sesuatu yang

membuatnya ingin mengorek lebih dalam lagi.

"Kakang Menggolo...! Kenapa, Kakang?" tanya

Pendekar Slebor berlagak pilon.

Menggolo menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya

berkeringat.

"Ah! Aku tidak tahu, Andika.... Aku tidak tahu...."

"Kenapa, Kakang? Apakah kau lupa namamu sendiri?"

tanya Andika sambil nyengir. Menggolo tersenyum tipis.

"Aku tidak mengerti pada diriku sendiri, Andika."

"Kalau begitu. kau boleh bertanya pada istrimu. Dia

pasti tahu. Soalnya kan..., hanya dia yang bisa melihat

dirimu. Iya kan, Kang? Ayo, jangan bohong! Aku melihat

kok, kalian berdua saling tatap di atas ranjang kalau

malam. Nah! Kalau lupa bentuknya, tentunya istrimu ingat,

Kang. Kau bisa bertanya pada istrimu kalau memang kau

lupa...."

Gurauan Andika membuat Menggolo tersenyum.

Hatinya merasa senang pada pemuda tampan berpakaian

hijau pupus itu.

"Ah! Kau memang pandai menghibur, Andika. Kau

berusaha membuat orang lain senang," puji Menggolo.

"Karena, aku menyukai kegembiraan, Kang," sahut

Andika.

"Demikian pula aku. Juga orang-orng di daerah ini.

Juga, alam di sekitar sini. Tetapi, itu dulu. Dulu sekali,

sebelum kedatangan Manusia Pemuja Bulan. Yah!

Semuanya menjadi berantakan. Apa yang dikatakan Ki

Seta memang benar...," tutur Menggolo.

"Kang Mcnggolo..., sebenarnya apakah yang telah

terjadi di daerah ini?" tanya Andika, menggunakan

kesempatan.

Andika melihat Menggolo menghela napas panjang.

Ditunggunya sesaat, tidak ingin memotong pembicaraan.

Karena, sepertinya Menggolo sudah bisa menguasai

dirinya.

"Andika..., sungguh! Aku benar-benar tidak mengerti

dengan perasaanku sendiri. Di satu segi, aku takut. Takut

sekali. Di segi lain, sejak Ki Seta berani menentang

keputusan Manusia Pemuja Bulan, kesadaranku seolah

bangkit. Yah! Kuakui..., daerah ini sekarang sudah berada

di ambang kehancuran," tutur Menggolo lagi.

"Apakah sebabnya, Kang...?" cecar Andika.

"Manusia Pemuja Bulan. Yah.... Dialah penyebab

semua ini."

"Bagaimana sebenarnya, Kang?"

Lalu menggolo menceritakan tentang kejadian-

kejadian yang dialami daerah itu, hingga kejadian yang

menimpa Ki Seta.

"Jadi.... malam Jumat nanti, giliran Mayang cucu Ki

Seta yang akan menjadi korban?" tanya Andika kemudian.

"Kau benar, Andika. Sudah sepuluh perawan tak

berdosa yang dikorbankan untuk Dewa Bulan. Karena,

kalau kami tidak mau melaksanakan, akibatnya

kehancuran akan menimpa daerah ini seperti beberapa

waktu lalu...."

Andika terdiam. Otaknya yang cerdik dapat

menduga. kalau seseorang yang memiliki kesaktian telah

memanfaatkan orang-orang di daerah ini, yang begitu

ketakutan. Tetapi, seperti yang dikatakan Menggolo tadi,

ke manakah perginya gadis-gadis yang dijadikan tumbal?

Katanya, muncul begitu saja dalam keadaan

pingsan, lalu lenyap begitu saja. Menurut Manusia Pemuja

Bulan, gadis-gadis itu sudah berada di sisi Dewa Bulan.

Berarti, sesajen yang diberikan diterima.

"Kang Menggolo.... Di mana biasanya upacara itu

diadakan?" tanya Andika.

"Di lereng Gunung Pengging."

"Di manakah Manusia Pemuja Bulan itu tinggal?"

"Tak seorang pun yang tahu, Andika. Dia datang dan

muncul begitu saja."

"Kang Menggolo.... Kalau begitu, malam Jumat

depan, ajaklah aku bergabung dengan yang Iain untuk

mengikuti upacara itu," pinta Andika.

Menggolo hanya menganggukkan kepala.

Nampaknya hatinya lega setelah berhasil menguasai diri

dan mengatakan seluruh kejadian demi kejadian kepada

Andika.

"Satu lagi pintaku. Di manakah rumah Mayang?"

Menggolo menyebutkan di mana letak rumah Mayang.

Tiba-tiba saja kepalanya mendongak, menatap

Andika.

"Andika.... Bila melihat pakaianmu, sudah jelas kau

orang dari dunia persilatan. Benarkah dugaanku itu.

Andika?" tanya Menggolo.

Andika mengangguk.

"Ya."

"Oh, Tuhan.... Terima kasih. Hei!" Menggolo terkejut

sendiri. Andika memperhatikannya.

"Mengapa, Kang Menggolo?"

Menggolo memegang tangan Andika. Wajahnya

gembira.

"Andika.... Tidakkah kau tadi mendengar kalau aku

menyebutkan kata Tuhan?"

"Ya," sahut Andika, pendek.

"Oh! Kalau begitu..., aku masih mempercayaiNya.

Yah! Aku memang tidak mempercayai Dewa Bulan yang

dijadikan sesembahan," tegas Menggolo.

Andika tersenyum.

"Kang Menggolo.... Karena sebenarnya, di dasar

hatimu yang paling dalam, kau mengingkari kehendak

Manusia Pemuja Bulan untuk menyembah Dewa Bulan.

Karena sesungguhnya, nuranimu telah mengatakan yang

sebenarnya, kalau yang patut disembah hanyalah Gusti

Allah...," ujar Pendekar Slebor, sok memberi nasihat.

"Ya, ya.... Kau benar, Andika. Hmm.... Kalau kau

memang orang dunia persilatan, aku pernah mendengar

soerang pendekar muda yang arif bijaksana dan selalu

menolong orang lemah," kata Menggolo.

"Siapakah dia, Kang Menggolo?"

Menggolo terdiam, seperti berpikir.

"Kalau tidak salah dengar, pendekar itu berjuluk

Pendekar Slebor. Andika..., tahukah kau di mana dia?"

"Maksud Kang Menggolo, Pendekar Slebor?"

"Ya! Aku ingin meminta bantuan pendekar perkasa

itu. Kau tahu, di mana dia, Andika?"

Andika tersenyum.

"Kang Menggolo tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Karena

sekarang ini dia berada di hadapan Kakang."

"Apa...?!"

***

4


Seperti yang diberitahukan Menggolo, keesokan

paginya Andika mendatangi rumah Mayang. Rumah yang

terletak menyendiri di ujung desa hanya kecil saja, namun

berkesan apik dan rapi. Andika yakin, yang menghuni

adalah orang yang rajin menjaga kebersihan.

Tetapi yang membuat kening Andika berkerut, ketika

melihat kenyataan kalau di depan rumah itu berdiri tiga

orang lelaki berbadan tegap. Mereka mengenakan pakaian

dan topeng berwarna merah, menutupi seluruh kepala dan

wajah. Hanya matanya saja yang terlihat dan tampak

bersinar dingin.

"Ada perlu apa kau, Anak Muda?" tanya salah

seorang sambil bersedekap. Sikapnya seperti seorang

jagoan. Nada suaranya menyentak. Dengan sekali bentak,

dia mungkin ingin menggertak Andika.

Tetapi yang dihadapi adalah pendekar urakan yang

sudah tentu hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun,

otaknya berputar memikirkan siapa ketiga manusia itu.

"Hei, Orang Pakaian Merah! Aku ingin menemui

kekasihku! Nah! Sekarang katakan, apakah dia ada?!"

sahut Andika dengan suara menyentak pula. Bahkan sudah

memasang sikap tengil, dengan dagu terangkat dan bibir

mencibir.

Andika melihat sepasang mata itu bersinar merah.

"Apa yang kau katakan, hah?!" kata laki-laki itu

dengan suara ditekan. "Tidak ada kekasihmu di sini! Lebih

baik pergi saja dari sini, sebelum kemarahan kami naik!"

"Nah, nah.,.. Kok aneh? Jelas-jelas ini rumah

kekasihku. Nama kekasihku Mayang," kilah Andika, jengkel

melihat sikap ketiga orang itu. "O ya, kalau kau sendiri mau

apa? Oho! Aku tahu sekarang. Kalian bertiga ini pasti

orang-orang yang datang untuk menjaga kekasihku,

bukan? Bagus! Kalau begitu, minggirlah. Tuanmu berkenan

ke rumah itu."

Dari sikap bersedekapnya, orang yang bertanya tadi

menurunkan tangannya. Kakinya melangkah, menahan

langkah Andika. Sementara yang dua lagi, tetap dengan

kedua kaki terbuka dan tangan bersedekap di dada.

"Lho, Iho...? Kenapa ini? Minggir! Kalau tidak, nanti

aku tidak gaji, ya?" ejek Andika.

Sebenarnya, Pendekar Slebor paling tidak suka

melihat orang yang suka meremehkan orang lain seperti

ini. Apalagi sikapnya begitu memuakkan. Hanya yang

membuatnya merasa heran, apakah sebenarnya ketiganya

memang penjaga Mayang? Wah! Kalau begitu, tentunya

Mayang bukan gadis sembarangan.

Tetapi kata Menggolo, gadis itu kini sebatang kara.

Hidup dalam kemiskinan, meskipun mempunyai harta yang

dikatakan Ki Seta sebelum ajalnya. Tetapi, tak ada yang

mengetahui di mana harta itu berada.

Berpikir seperti itu, Andika yakin kalau ada sesuatu

yang semakin aneh saja di sini. Pertama, siapa ketiga

orang berpakaian dan bertopeng merah ini? Kedua, harta

apakah yang diributkan, sehingga Ki Seta

mempertahankannya dan menemui ajal secara

mengenaskan. Mata di balik topeng itu memancarkan sinar

amarah.

"Anak muda! Sudah kukatakan, lebih baik pergi dari

sini!"

Andika menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

"Wah! Ini bagaimana, sih? Aku hendak menemui

kekasihku, kok dilarang? Memangnya kamu bapaknya, ya?

Kalau bapaknya, mengapa mukamu ditutup seperti itu?

Aha! Aku tahu, aku tahu. Pasti ada bopengnya. kan?" ledek

Andika sambil nyengir.

Sebagai jawaban, orang bertopeng merah itu

melepas sebuah pukulan lurus ke wajah Andika. Wuttt!

"Uts...!"

Dalam sikap mengejek, Andika hanya memiringkan

kepala sedikit saja. Maka, pukulan itu meleset.

Melihat pukulannya meleset, orang bertopeng merah

itu semakin ganas. Kembali diserangnya Andika dengan

cepat.

"Heiiittt!" seru Andika, sambil melompat. "Kalem

saja. Bung! Aku tidak lari!"

Orang itu terus memburu Andika dengan serangan-

scrangan berbahaya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat

ke arah bagian tubuh Andika yang mematikan. Namun

pemuda yang mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu

dengan mudah menghindarinya. Sepintas saja sudah

terlihat, kalau. kesaktian orang bertopeng merah itu kalah

jauh dibanding Pendekar Slebor.

"Bangsat! Pantas kau berani bertingkah, Anak

Muda!" seru laki-laki itu geram sambil menyerang lagi.

Wuuuttt!

"Heaaa! Sabar, Bung.... Sabar! Kiamat masih jauh!"

ejek Andika sambil terus menghindari serangan. Namun

mendadak Pendekar Slebor menghentikan gerakannya.

Saat lawannya menyerang, dengan manis ditangkapnya

tangan itu, lalu dipuntirnya. Seketika Andika memukul

punggung laki-laki ini. Desss...! "Aaakh...!"

Laki-laki bertopeng merah tersungkur disertai jerit

kesakitan.

"He he he., lumayan juga kulitmu!" ejek Andika

sambil terkekeh.

Begitu bangkit, orang itu berbalik. Kedua tangannya

cepat dikibaskan dengan kegeraman menjadi-jadi. Lalu

dengan suara keras, tubuhnya meluruk menerjang.

"Heaaa! Mampuslah kau!"

"Uts...!"

Andika cukup memiringkan tubuhnya, menghindar.

Sehingga serangan yang penuh tenaga itu pun luput dari

sasaran

Sementara itu, dua orang berpakaian dan bertopeng

merah yangsejak tadi hanya tegak bersedekap, kini saling

berpandang. Mereka marah melihat kawan mereka

dipermainkan pemuda beralis seperti kepakan sayap elang

itu. Maka seperti mendapat aba-aba, keduanya maju ikut

menyerang Andika.


"Wah, ini kacau!" seru Andika berlagak kebingungan.

"Hei, Monyet-monyet Bertopeng! Aku Tuanmu, yang ingin

bertemu kekasihku!"

Tetapi ketiga orang bertopeng terus menyerang. Dan

yang paling ganas adalah orang yang pertama tadi, yang

sudah jengkel dipermainkan Andika.

Andika yang semakin yakin kalau ada sesuatu yang

terjadi, kali ini pun bertindak. Dia merasa sudah cukup

dipermainkan. Maka dengan kecepatan mengagumkan,

tubuhnya berkelebat sambil melepas pukulan dahsyat.

Des! Des! Des!

"Aaakh...!"

Dalam sekali gebrak saja, ketiga orang bertopeng itu

sudah ambruk dalam keadaan pingsan.

Andika mengangkat alisnya. Nyengir.

"Hanya begitu saja sudah sombong!" kata Andika

sambil menepuk-nepuk kedua tangannya. Lalu dia

menepuk-nepuk pakaiannya, seolah menyingkirkan debu.

Kini Pendekar Slebor melangkah ringan memasuki

rumah itu. Tepat pada saat itu pintu rumah Mayang

terbuka.

Andika melihat seraut wajah jelita, namun penuh

kedukaan berdiri di hadapannya. Tubuhnya nampak layu

dengan mata memancarkan kesedihan.

"Inikah Mayang?" desis Pendekar Slebor di hati.

"Kakang.... Aku tidak mengenalmu. Tetapi

kusarankan, agar meninggalkan rumah ini..." kata gadis

cantik yang memang Mayang.

Kening Andika berkerut. Sungguh tak pernah

disangka kalau sambutan Mayang seperti ini.

"Mayang..., aku atang untuk menolongmu...," jelas

Andika setelah berpikir.

"Untuk menolongku?"

Mayang mencibir, meskipun jelas sekali dalam

kedukaan.

"Ya."

Hanya itu yang bisa dikatakan Andika, karena tidaktahu harus berkata apa. Gadis itu menggeleng.

"Kakang..., tidak ada yang perlu ditolong.... Aku baik-

baik saja...," tegas Mayang.

"Tetapi...."

"Pergilah dari sini, Kakang...," potong Mayang.

Menghadapi gadis yang kaku tak ubahnya mayat

seperti ini, Andika yang biasanya lincah, kini mati kutu. Dia

tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi keingin tahuannya

tentang kesediaan Mayang yang hendak dijadikan lumbal

oleh Manusia Pemuja Bulan, semakin mendesaknya.

"Mayang..., aku datang ingin menolongmu," tegas

Pendekar Slebor sekali lagi. "Maaf, jangan dipotong dulu.

Apakah kau bersedia dijadikan tumbal oleh Manusia

Pemuja Bulan?"

"Kalau itu yang Kakang ingin ketahui..., yah! Aku

bersedia...."

"Namaku Andika...."

"Sekarang, tinggalkanlah tempal ini, Kang Andika...,"

ujar gadis ini.

"Mayang, mengapa kau bersedia melakukannya?

Apakah kau tidak tahu kalau Manusia Pemuja Bulan

hanyalah orang sesat yang memanfaatkan keluguan kalian

dengan kesaktiannya?"

Gadis itu tersenyum hambar.

"Jangan menghina Ketua Wedokmurko, Kang Andika.

Kau akan mengalami hal yang mengerikan sekali. Seperti

Aki," ujar Mayang.

"Kakekmu meninggal bukan karena amarah Dewa

Bulan, tetapi dibunuh Manusia Pemuja Bulan," tukas

Andika.

"Kang Andika salah. Dewa Bulan marah pada Aki,

karena tidak memberitahukan harta apa yang disembu-

nyikannya. Bukan Ketua Wedokmurko yang membunuh

Aki! Tetapi, Dewa Bulan yang marah pada Aki,"sergah

Mayang, mantap.

Kali ini Andika benar-benar mati kutu, tidak tahu

cara menghadapi gadis ini.

"Mayang..., seharusnya kau mengerti, bahwa aku"

Brakkk!

Kata-kata Andika terpotong, karena Mayang sudah

mcnutup pintu.

"Monyong!" sungut Pendekar Slebor. "Aku jadi

penasaran ingin mengetahui kayak apa sih Manusia

Pemuja Bulan itu?"

***

Andika kembali lagi ke rumah Menggolo, hendak

menanyakan tentang ketiga orang berpakaian dan

bertopeng merah di rumah Mayang tadi. Juga

memberitahukan sikap bulat Mayang yang tetap bersedia

menjadi korban Dewa Bulan.

Yang mengherankannya wajah Mayang begitu kaku,

tak ubahnya mayat hidup. Setiap kali berkata-kata tadi, tak

ada perubahan wajah sesuai kata-katanya. Tak lebih bila

dikatakan, Mayang seperti tengah menghafal kalimat-

kalimat saja sebagai jawaban.

Andika pun semakin bergegas ke rumah Menggolo.

Namun alangkah terkejutnya Andika, ketika dari

kejauhan terlihal kerumunan orang di rumah Menggolo.

Batinnya bergetar. Apakah sesuatu telah terjadi?

Bergegas Pendekar Slebor melangkahkan kakinya.

datang ke sana. Namun belum lagi ia berbuat apa-apa.

"Itu dia orangnya!"

Orang-orang itu kontan berbalik, menatap Andika

dengan wajah garang dan tatapan marah.

"Hhh! Sudah kukatakan kemarin, kalau pemuda

inilah yang membunuh Medi! Dan sekarang, dia

membunuh Kang Menggolo dan istrinya!"

Andika masih ingat, kalau yang membentak itu laki-

laki berkumis tebal yang dikenal bernama Sawedo.

"Saudara Sawedo..., sabar dulu. Ada apakah ini?

Apakah yang dialami Kang Menggolo dan istrinya?" tanya

Andika tanpa bisa menyembunyikan ketegangannya.

"Jangan banyak omong! Kau harus

mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah

membunuh Kang Menggolo dan istrinya!" dengus Sawedo.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Sawedo sudah maju

dengan golok besar di tangannya. Cepat dibabatkannya

golok itu.

"Hih!"

Bet...!

Andika berkelit. Kini Pendekar Slebor tahu, kalau ajal

telah menjemput Kang Menggolo dan istrinya. Oh, Tuhan...!

Siapakah yang telah membunuhnya? Apakah ini petaka

yang dikatakan Menggolo kctika bercerita tentang Manusia

Pemuja Bulan?

Namun Pendekar Slebor sudah tidak bisa berpikir

lagi. Karena sekarang bukan hanya Sawedo yang me-

nyerangnya. Berpuluh-puluh laki-laki dengan senjata di

tangan telah memburunya.

"Sabar! Sabar! Kita semakin salah paham!" ujar

Pendekar Slebor, sambil terus berkelit menghindari

serangan.

"Manusia hina!" maki Sawedo geram sambil

mengayunkan kembali golok besarnya. "Kau balas

pertolongan Kang Menggolo dengan mencabut nyawanya!"

"Kalian salah paham!" seru Andika. "Aku tidak

membunuh siapa-siapa!"

Namun tak seorang pun percaya akan kata-kata

Andika. Terutama, Sawedo. Dia sejak pertama memang

tidak mempercayai Andika. Namun karena merasa Kang

Menggolo yang bertanggung jawab, sesuai janji Andika

untuk menangkap pembunuh Medi, makanya Sawedo

membiarkan Andika dibebaskan. Tetapi sekarang, semua

kecurigaannya terbukti.

Andika sendiri mendengus melihat orang-orang itu

menyerang dengan ganas. Tak ada jalan lain kecuali

melarikan diri dari tempat itu. Dan Andika tahu, ini

hanyalah kesalah pahaman telah terjadi. Kalau dirinya

masih berada di sini, tidak mustahil orang-orang itu akan

bertambah kalap.

Maka begitu mendapat kesempatan, Pendekar

Slebor melenting tinggi ke udara, melewati kepala orang-

orang yang mengepungnya. Begitu menjejak tanah,

tubuhnya langsung berkelebat meninggalkan tempat ini.

Orang-orang itu pun langsung memburu Andika

dengan seruan-seruan keras. Namun sudah tentu mereka

lidak mampu mengejar Andika yang memiliki ilmu lari

secepat angin.

***

5


Tak seorang pun yang tahu kalau di bagian kanan

Gunung Pengging terdapat sebuah gua. Tempatnya gelap

dan sepi, terhalang tetumbuhan merambat. Letaknya

memang sulit dicapai, berada di sisi sebuah jurang.

Bahkan terhalang rimbunnya semak belukar.

Hanya Manusia Pemuja Bulan dan orang-orang

berpakaian dan bertopeng merah saja yang tahu kalau di

sana ada sebuah gua. Di sanalah tempat persembunyian

Wedokmurko, bersama pengikut-pengikutnya yang

berpakaian dan bertopeng merah.

Malam ini, suasana di sekitar gua itu tetap sunyi,

gelap, sekaligus menyeramkan. Di luar gua,berkeliaran

beberapa orang yang berpakaian dan bertopeng merah.

Sementara di salah satu bagian gua, teriihat sebuah api

unggun menyala, menerangi sekitarnya.

Di antara jilatan cahaya api unggun, laki-laki

berjubah hitam dan berwajah tirus sedang duduk berlutut,

di hadapan sebuah pilar batu. Di atas pilar terdapat satu

sosok tubuh yang tergolek lemah dalam keadaan telan-

jang bulat.

Mulut laki-laki yang tak Iain Ki Wedokmurko alias

Manusia Pemuja Bulan komat-kamit, membaca mantc-ra.

Lalu diambilnya dupa yang mengepulkan asap di antara

kedua kaki gadis itu.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba Ki Wedokmurko terbahak-bahak, suara-nya

menggema keras.

"Aku hanya membutuhkan empat orang perawan lagi

untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang

sedang kupelajari! Bila sudah selesai, dengan ajian

'Unggulan Dewa' ini aku akan menguasai dunia persilatan!

Ha ha ha...," lanjut laki-laki berwajah tirus ini.

Mata Ki Wedokmurko menatap tubuh gadis yang

terbujur tanpa busana itu. Lalu perlahan-lahan, dia bangkit

berdiri sambil melepas jubahnya. Kemudian kedua

tangannya dimasukkan ke dalam sebuah cawanyang berisi

cairan berwarna kuning. Seketika terlihat kedua tangannya

berwarna kuning pula.

Mulut laki-laki ini berkomat-kamit sambil meniup

kedua telapak tangannya berkali-kali. Lalu diusapnya wajah

dan sekujur tubuh gadis yang pingsan itu. Gerakannya

begitu perlahan. Sementara tubuhnya bergerak bagai

orang mabuk.

Bertepatan dengan itu, mulut Ki Wedokmurko

komat-kamit kembali. Suasana yang menggetarkan

sekaligus mengerikan, berubah menjadi suasana dalam

pengaruh sihir.

Mendadak saja teriihat sekujur tubuh Ki

Wedokmurko memerah dan bergetar hebat. Semakin lama

getarannya semakin mengencang.

Sementara gadis itu tetap dalam keadaan pingsan.

Setelah beberapa saat, getaran tubuhnya pun melemah,

seiring pudarnya warna merah yang menyelimuti tubuhnya.

"Ha ha ha.... Tak seorang pun yang akan mampu

menandingi kesaktianku ini!" kata Manusia Pemuja Bulan

pongah.

Lalu Ki Wedokmurko membuka kedua telapak

tangan, dan mengusapkannya satu sama lain. Mendadak

terlihat asap hitam mengepul dari sana. Semakin lama

semakin banyak.

Wedokmurko meniup-niup asap hitam itu, lalu

menariknya melalui napas. Berbondong-bondong asap itu

masuk ke mulutnya dalam satu tarikan napas.

Tiba-tiba Ki Wedokmurko mengibaskan kedua

tangannya ke muka, ke arah sebuah batu besar yang ada

di situ. Gerakannya teriihat sangat lambat. Bahkan seolah

tidak ada tenaga yang dihempaskan. Namun....

Duaaarrr!

Mendadak saja terdengar suara menggelegar keras.

Batu besar itu hancur seketika. "Ha ha ha...!"

Kembali Ki Wedokmurko terbahak-bahak penua

kepuasan. Wajahnya semringah dengan kedua mata terl

buka lebar.

"Ajian 'Unggulan Dewa' sebentar lagi akan ku kuasai

dengan sempurna! Ha ha ha.... Begitu mudah kudapatkan

tumbal untuk penyempurnaan ilmuku. Darah perawan

itulah yang akan menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'!

Ha ha ha...."

Tawa Ki Wedokmurko semakin menggema.

Ya! Hanya tinggal beberapa kali saja Manusia Pe-j

muja Bulan menyempurnakan ajian 'Unggulan DewaJ

Hanya tinggal empat kali lagi mengorbankan dara perawan.

Sementara itu, tubuh gadis malang yang telah

dikorbankan Ki Wedokmurko sebagai tumbal ilmunya

mendadak saja menyusut bagai nenek-nenek kurus kering.

Darahnya bagai kering tiba-tiba. Lalu, teriihat asap

mengepul dari sekujur tubuhnya. Dan perlahan-lahan

bagaikan ada sebuah aliran aneh, sekujur tubuhnya me

pelupas. Yang ada hanya tinggal tulang-belulang saja!

Ki Wedokmurko menggerakkan tangannya. Wuuuttt!

Mendadak saja tulang-belulang gadis itu lenyap dari

pandangan. Dan sinar kepuasan semakin membayang di

wajahnya yang menyeramkan.

"Hhh...!"

Tiba-tiba saja Manusia Pemuja Bulan mendengus.

"Mengapa manusia gembel itu belum datang juga

hingga saat ini? Apakah dia hendak mempermainkan aku?"

***

Seorang laki-laki tengah melangkah di jalan setapak.

Usianya kira-kira delapan puluh lima tahun. Tubuhnya

kurus, namun masih nampak gagah. Cara berpakaiannya

pun seperti seorang pendekar. Hanya mengenakan celana

pangsi berwarna hitam dengan rambut terurai panjang tak

beraturan. Kumis putihnya cukup le-hat. Dia tidak

mengenakan baju, sehingga memperlihatkan tubuhnya

yang kurus dan menampakkan tulang-tulang di tubuhnya.

Wajahnya yang kukuh dan keras, mencerminkan wataknya

sebagai seorang yang keras. Tetapi, juga patuh.

Tiba-tiba saja laki-laki tua itu menghentikan lang-

kahnya. Telinganya seperti menegak, mendengar sesuatu

yang menarik perhatiannya. Dan mendadak saja, dia

melompat ke sebuah dahan pohon tinggi tak jauh dari

tempatnya.

Wuuuttt!

Dari atas sana laki-laki tua ini melihat seorang

pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak

catur tersampir di bahu, sedang berlari. Tak lama, pemuda

itu berhenti tepat di bawah pohon yang diduduki laki-laki

tua itu.

Kening laki-laki tua ini berkerut. melihat dari mana

pemuda itu datang. Tak ada yang mengejarnya, tak ada

siapa-siapa di sana. Kenapa anak muda itu berlari seperti

dikejar setan?

Lalu tiba-tiba saja laki-laki tua ini melompat turun

tepat di depan pemuda berpakaian hijau pupus.

"Ops! Copot, copot!" Pemuda itu tersentak kaget.

Sementara laki-laki tua ini langsung menatap tajam

Biji matanya yang kelabu lekat ke bola mata pemuda itu

yang masih mengusap-ngusap dadanya seolah untuk

mengusir kekagetannya.

"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu

dengan suara sedikit angker.

"Aku? Namaku Andika. Kau sendiri?" kata pemuda

itu yang tak lain Andika, alias Pendekar Slebor.

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Belum

pernah seorang pun berani bertanya kepadanya seentang

itu.

"Anak muda! Kau punya nyali juga rupanya, hah?!'

kata laki-laki tua ini. Suaranya terdengar dingin.

Kening Andika berkerut. Dia agak heran kenapa laki-

laki tua di depannya seperti marah padanya? Andika pun

menyadari kesalahannya, karena terlalu enteng bertanya.

"Maatkan aku, Ki... Hmmm, siapakah namamu?"

ucap Pendekar Slebor.

"Ha ha ha...!"

Kali ini laki-laki tua itu terbahak-bahak. Dan Andika

pun membelalakkan matanya, mendengar suara tawa itu.

"Hei?! Apa kau sedang latihan nyanyi, Ki?" dengus

Andika kesal sambil mengalirkan tenaga dalam ke gendang

telinganya. "Kalau memang iya, suaramu hanya pantas

diadu dengan burung gagak!"

Laki-laki tua itu masih terbahak-bahak. Sampai urat-

urat di lehernya menegang. Dan mendadak saja,

tangannya melesat ke wajah Andika.

Wuuuttt! Brrr!

"Uts...!"

Angin dingin menerpa wajah. Namun Andika cepat

menarik kepalanya ke belakang. Lalu dengan gerakan

ringan tubuhnya melenting ke atas, sambil menangkis

scrangan berikut yang datang dengan cepat dengan

kakinya.

"Hei?! Aku belum tahu siapa kau, Orang Tua Keriput!

Kenapa tahu-tahu menyerangku, hah?!" seru Andika, begitu

mendarat di tanah.

Namun laki-laki bertelanjang ada itu kembali

menyerang Andika dengan gencarnya. Serangan-

serangannya sangat berbahaya. Bahkan teriihat kalau

bukan ingin menguji Andika, namun ingin membunuhnya!

Gerakan laki-laki tua ini demikian cepat, penuh

gerak tipu yang mematikan dan daya gempur yang dahsyat.

Kalau bukan Andika alias Pendekar Slebor, sudah bisa

dipastikan akan mapus dalam sekali gebrak saja. Tetapi

karena diserang terus menerus seperti itu, Andika

kerepotan juga akhirnya.

"Gila! Lama kelamaan aku bisa mampus juga, nih!"

dengus Andika dalam hatinya,

Lalu Pendekar Slebor bersalto dengan lincahnya

Namun Andika harus langsung melenting kembali, karena

serangan berikutnya datang. Kali ini Pendekar Slebor tidak

mau menghindar terus menerus, seperti monyet yang

dikejar buaya.

Begitu serangan berikut datang, mendadak saja

tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke arah laki-lakl tua

itu yang tengah menyerang.

"Heaaah...!"

Plak! Duk!

Benturan tangan terjadi. Andika terjajar beberapa

tindak. Tangannya langsung terasa bergetar. Bisa

dirasakan, betapa kuatnya tenaga dalam laki-laki

bertelanjang dada itu.

Sementara, laki-laki itu pun mundur beberapa

tindak. Wajahnya tidak menggambarkan apa-apa,

walaupun sebenarnya tangannya sangat nyeri. Justru

matanya terbelalak kaget.

"Hei! Kau?" seru laki-laki tua ini terperangah.

"Kenapa, hah?! Kau tahu tidak, benturan ini sangat

sakit! Enaknya saja main serang! Siapa sih, sebenarnyaj

kau ini? Sebangsa manusia yang iri karena kau jelek,,.

ataukah setan yang lagi menyamar?!" dengus Andika

mendongkol.

Tetapi lagi-lagi orang tua itu tidak menghiraukan

kata-kata Andika. Justru kembali diserangnya Andika

dengan ganas.

"Kutu busuk! Kadal buntet! Monyet pitak!"

Sumpah serapah Andika pun keluar karena harus

kembali melayani serangan-serangan yang aneh dan cepat

itu.

Setiap kali tangan laki-laki itu bergerak, maka hawa

dingin yang sangat kuat langsung menyergap. Untunglah

Andika sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ke tiga

puluh, sehingga tubihnya tidak menjadi kaku kedinginan.

Lalu dengan gerakan dan ilmu yang didapat dari

Iembah Kutukan, Pendekar Slebor tidak lagi hanya

menghindar. Bukan pula hanya mengimbangi Bahkan

mulai membalas.

"Bagus! Aku memang ingin melihat jurus-jurusmu!"

seru laki-laki tua itu sambil menyilangkan kedua tangan di

dada dan menyerang kembali.

Andika yang memang kali ini harus melawan pun

mengeluarkan jurus yang didapat dari Pendekar Lembah

Kutukan. Tenaganya yang mengandung petir pun

mcngimbangi pukulan dingin dari laki-laki tua itu.

Ketika Andika hendak mengeluarkan ajian 'Guntur

Selaksa', tiba-tiba saja laki-laki tua itu bersalto ke

belakang.

"Tahan!" seru laki-laki tua ini. Andika mendengus.

"Enaknya! kau sudah menyerangku! Sekarang,

giliranku! Ayo, bersiap!" seru Pendekar Slebor tak ubahnya

anak kecil yang sedang bermain sesuatu dan sekarang

mendapat giliran.

Tetapi laki-laki tua itu hanya menggelengkan kepala

saja. Andika melihat biji matanya yang kelabu yang Kcjak

tadi memancarkan sinar angker, kini nampak cerah.

"Aku tahu, aku tahu sekarang.... Anak Muda, kau kah

yang digembar-gemborkan orang rimba persilatan sebagai

pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan?" tanya laki-laki

tua ini tiba-tiba dengan tatapan cerah meminta jawaban.

Kening Andika berkerut. Kenapa lagi laki-laki ini?

Tadi menyerang begitu saja, kini justru bersikap baik.

"Kenapa memangnya?" tanya Andika yang sua

telanjur kesal.

"Jawab saja, Anak Muda. Apakah kau pewaris ilmu

Lembah Kutukan?"

"Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?. Aku tidak

punya urusan denganmu, Aki-aki Peot!" semprot Andika.

"Aku bertanya!" seru laki-laki tua itu keras.

"Kalau aku tidak mau jawab, kenapa?" balas Andika,

tidak kalah kerasnya.

Mata kelabu laki-laki itu kembali nyalang. Tetapi

kemudian meredup kembali.

"Baik! Kita tidak usah bertengkar. Jawablah

pertanyaanku tadi...," desah laki-laki tua ini kemudian.

Andika memalingkan wajahnya. Hatinya masih

jengkel melihat sikap laki-laki bertelanjang dada itu. I

"Kau benar. Aku memang pewaris ilmu Lembah

Kutukan. Buyutku Pendekar Lembah Kutukan."

"Oh, Tuhan! Gusti Allah.... Kau..., kau...."

Wajah laki-laki tua itu terperanjat. Dan tiba-tiba saja

dia menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di kaki Andika.

"Maafkan hamba...," ucap laki-laki tua ini.

"Hei"

Andika berjingkat kaget. Kenapa laki-laki ini? Gila?

Benar-benar tidak bisa dimengerti. Kalau tadi marah marah

bertanya, kini menyembah. Busyet! Mimpi apa pendekar

muda ini semalam kalau ada orang yang menyembah

kakinya yang baunya cukup lumayan.

"Orang tua..., bangunlah! Apa-apaan kau ini...," ujar

PendekarSlebor.

"Tuanku..., maafkan hamba...," ucap orang tua ini.

"Kenapa sih?" tanya Andika sambil menggaruk-ga-nik

kepala yang tidak gatal.

"Hamba bernama Tridarma, Tuanku. Hamba dulu

Pelayan di Lembah Kutukan. abdi setia Ki Saptacakra .,"

jelas laki-laki tua itu, tanpa mengangkat kepala yang

bersujud.

Andika mengerutkan keningnya. Abdi setia Ki

Saptacakra?

"Ki Tridarma..., bangunlah...."

"Ampunkan hamba, Tuanku.... Karena hamba telah

menyerang Tuanku.... Itu hamba lakukan, semata ingin

membuktikan dugaan hamba tadi, kalau yang hamba lihat

adalah jurus-jurus dari Lembah Kutukan...," ucap laki laki

tua yang mengaku bernama Tridarma.

Andika menggaruk-garuk kepala tidak mengerti. Mau

apa lagi ini?

"Sudahlah.... Kau kumaafkan. Bangunlah...."

"Begitulah, Tuanku.... Setelah Ki Saptacakra

melakukan tapa suci, hamba pun keluar meninggalkan

Lembah Kutukan," tutur Tridarma bercerita pada Andika.

Keduanya duduk di bawah rindangnya pohon. "Tetapi,

setelah keluar dari sana..., hamba justru ragu untuk

kembali ke Lembah Kutukan. Karena hamba tahu, Ki

Saptacakra sangat marah bila ada yang keluar dari

Lembah Kutukan tanpa izin. Apalagi, hamba sudah keluar

terlalu lama. Karena..., terus terang, dunia luar sangat

indah dan mengasyikkan. Sehingga hamba melupa untuk

kembali ke Lembah Kutukan. Setelah ingat har kembali,

justru ketakutan itulah yang mendera ham Karena rasa

takut itulah, akhirnya hamba memutus" untuk tidak

kembali ke sana. Dan sungguh, hamba ti tahu..., apakah

yang sekarang terjadi dengan Ki S tacakra..."

Andika mendesah pendek. Matanya lekat mena

Tridarma yang berkata-kata sambil menunduk" kepala.

"Ki Tridarma...."

"Jangan panggil hamba seperti itu, Tuanku. J-jungan

KiSaptacakra memanggil hamba dengan sell an nama

saja," tolak Tridarma, lagi-lagi tanpa me angkat kepala.

"Apa bedanya?"

"Jelas ada, Tuanku. tuanku adalah majikan ham Dan

hamba pelayan Tuanku.... Sehingga, Tuaku n mangil

hamba dengan sebutan apa pun, hamba me rimanya."

Andika tersenyum.

"Bagaimana kalau kau kusebut, Kebo Kurus?" ge

Andika.

"Hamba, Tuanku."

Andika mengulapkan tangannya. Ini orang kok gitu

patuhnya, ya?

"Sudahlah.... Kau akan kupanggil dengan nama saja.

Tridarma, ketahuilah.... Sampai saat ini, Ki Saptacakra

mungkin masih melakukan tapa suci. Aku tidak tahu

secara pasti. Tetapi ketika pertama kali aku berjumpa

dengannya, dia memang sedang melakukan tapa suci jelas

Andika. (Untuk mengetahui tentang Ki Saptacakra silakan

baca episode: "Dendam dan Asmara").

"Apakah.... Junjungan Ki Saptacakra menanyakan

hamba, Tuanku?" tanya Tridarma takut-takut.

"Tidak. Dia tidak bertanya apa-apa...." sahut Andika.

"Oh! Apakab dia marah kepada hamba?"

"Aku tidak tahu. Tetapi, sudahlah. Sekarang ini...,

kau hendak ke mana?"

"Ke mana?"

Tridarma mengangkat kepalanya. "Sudah tentu

hamba akan mengikuti Tuanku," tegas Tridarma

Kali ini ganti Andika yang membelalakkan matanya.

"Ikut denganku? Oh! Lebih baik jangan. Aku lebih suka

menyendiri...," tolak Andika.

"Tetapi, Tuanku. Hamba ingin menebus segala dosa

yang telah hamba perbuat pada Ki Saptacakra. Maka,

perkenankanlah hamba melakukannya pada Tuanku, vang

merupakan turunan terakhir dari Pendekar Lembah

Kutukan...," tegas Tridarma.

Andika menggeleng-geleng. "Ah! Aku tidak tahu,

apakah aku mengizinkan atau tidak," keluh Pendekar

Slebor.

"Tetapi untuk sekarang mi, bila kau memang ingin

mengikutiku..., silakan...-" Andika bangkit.

"Ke manakah Tuanku akan pergi?"

"Aku hendak kembali ke desa di lereng Gunung

Pengging"

"Apakah ada persoalan, Tuanku?" "Kuceritakan

sambil berjalan "

***

6


Malam Jumat.

Kembali orang-orang yang tinggal di sekitar gunung

Pengging mendatangi lerengnya, untuk mengikuti upacara

pemujaan Dewa Bulan dan penyerahan korban.

Seperti biasanya, sebelum malam Jumat, gadis yang

hendak dikorbankan sebagai tumbal mendadak saja

lenyap dari rumahnya. Orang-orang yang mengalami seperti

itu sudah tidak terkejut lagi, meskipun sedih bukan main.

Dan mereka hanya pasrah saja, sehingga rel

mengorbankan anak gadisnya. Apalagi menurut Ketua

Wedokmurko, justru dia telah memilih anak gadis mereka

untuk dijadikan teman di alam sana.

Kini mereka pun yakin, kalau Mayang sudah lenyap

dari rumahnya. Karena, biasanya memang begitu.

Seperti biasanya pula, orang-orang itu membentuk

sebuah lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat

sebuah api unggun besar. Lalu, muncullah enam orang

laki-laki berpakaian dan bertopeng merah. Mereka

bergerak bagaikan orang mabuk, menari mengelilingi api

unggun diiringi senandung para penduduk. Suasana sangat

mencekam, bagai di alam gaib. Susasana yang mencekam

itu dapat dirasakan pemuda berpakaian hijau pupus yang

bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon besar,

tak jauh dari tempat upacara dilaksanakan.

"Tuanku..., upacara apakah ini?" tanya seorang laki

laki tua bertelanjang dada. di sebelah pemuda yang tak

lain Pendekar Slebor.

"Mungkin, inilah upacara memuja Dewa Bulan yang

sebentar lagi akan dilaksanakan...," jawab Andika berbisik

di telinga laki-laki tua yang tak lain Tridarma.

Mereka melihat suasana mencekam dari tempat

ynng tak jauh. Suatu s uasana yang penuh kekuatan sihir

kuat sekali. Lalu, mendadak muncul satu sosok tubuh

berjubah hitam.

"Inikah Manusia Pemuja Bulan? Manusia laknat yang

mempergunakan kesaktian dan ilmu sihirnya untuk

mempengaruhi para penduduk...," desis Andika pcrlahan.

Sekali lagi, Andika melihat satu sosok tubuh bagai

melayang tiba di dekat api unggun itu.

"Gila! Tenaga dalam yang sangat kuat!" sentak

Andika tetap berbisik.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu

sudah banyak makan asam garam dalam dunia persilatan.

Sehingga dengan sekali lihat saja bisa tahu, kalau tubuh

yang melayang itu dikendalikan tenaga dalam yang luar

biasa tingginya.

"Saudara-saudaraku semua.... Kini sesajen akan kita

serahkan pada sesembahan kita, Yang Muha Dewa Bulan!"

Terdengar suara dari mulut laki-laki berjubah hitam.

"Gila! Itu pasti Mayang, gadis yang memasrahkan

dirinya dijadikan sesajen. Rupanya, ajaran menyembah

bulan yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan sudah

meresap di hati mereka. Hingga pengorbanan nyawa pun

dilakukan dengan suka rela...," kata Andika lagi, jengkel.

Andika memperhatikan apa yang terjadi kemudian.

Tampak kedua tangan Manusia Pemuja Bulan

terangkat ke atas. Dari mulutnya keluar kata-kata bagaikan

mantera. Lalu tubuhnya naik turun. Sementara senandung

dari mulut para penduduk terus terdengar, perlahan-lahan

dan menggema di sekitar lereng Gunui Pengging.

"Dewa Bulan yang kami cintai..., terimalah sesajen

yang kami berikan ini!" Wuuuttt!

Mendadak saja sosok tubuh yang berada di

hadapannya tadi itu lenyap dari pandangan"Hei, ke mana

gadis itu?" desis Tridarma kaget.

Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas, lalu

meminta orang-orang itu yang mempunyai keluhan untuk

datang kepadanya. Dan nyatanya satu persatu yang sakit

berhasil disembuhkan.

***

Setelah upacara selesai, Manusia Pemuja Bulan

langsung menuju gua persembunyiannya.

"Ha ha ha..., orang-orang bodoh yang memang

sangat mudah dibodohi! Sebentar lagi ilmuku akan

sempurna!" seru Wedokmurko sambil tertawa keras.

Lalu Manusia Pemuja Bulan berkelebat menuju ke

satu tempat yang berada di sisi sebelah kiri gua dengan

mempergunakan tenaga dalamnya, Wedokmurko menarik

keluar dan mengirimkan lagi korbannya ke tempat itu.

Sambil terbahak-bahak, Ki Wedokmurko membuka

sebuah pintu yang terbuat dari batu. Begitu masuk.

tawanya semakin menggema keras.

"Ha ha ha.... Manis.... Kau tidak akan kukorbankan

dulu untuk penyempurnaan ilmuku. Tetapi..., kau harus

memberitahukan di mana kakekmu menyimpan hartanya...

ha ha ha.... Harta itu kuperlukan untuk membangun

istanaku kelak, sebelum mengukuhkan diri menjadi orang

nomorsatu di rimba persilatan ini...," kata Manusia Pemuja

Bulan.

Dengan kasar, Manusia Pemuja Bulan menyibakkan

sebuah tirai berwarna hitam yang memagari tempat itu

dengan tempat gadis korbannya. Sinar matanya sudah

tidak sabar untuk melihat gadis itu kembali. Karena,

malam ini juga, dia akan mengorek keterangan dari mulut

Mayang tentang harta yang disembunyikan kakeknya.

Setelah itu, barulah darah perawannya dimanfaatkan

sebagai tumbal penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'

"Heh?!"

Alangkah terkejutnya Ki Wedokmurko ketika tidak

melihat sosok Mayang di sana.

"Manusia Pemuja Bulan celingukan, lalu memeriksa

sekelilingnya dengan cepat. Tetapi sosok Mayang tidak

berada di sana.

"Hm.... Apakah aku salah melemparkan tubuh

Mayang dengan menggunakan ajian 'Silap Mata' sehingga

tidak jatuh pada tempat yang biasanya?" tanya laki-laki

berwajah tirus ini dalam hati.

Tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin Manusia

Pemuja Bulan salah melakukan gerakan ajian 'Silap Mata'

yang sudah sangat tinggi kesempurnaannya.

Tiba-tiba Ki Wedokmurko menggeram keras.

Murkalah Manusia Pemuja Bulan setelah menyadari pasti

ada seseorang yang sakti telah menantangnya.

"Keparat busuk!" geram Manusia Pemuja Bulan

dengan kedua tangan terkepal.

"Siapa pun kau adanya aku tidak akan membiarkan

mu hidup lebih lama lagi!" dengus Ki Wedokmurko.

Manusia Pemuja Bulan lantas berkelebat, kembali

ke tempatnya semula. Sebentar saja, Ki Wedokmurko telah

sampai di tempat itu. Dia langsung duduk di sebuah batu

besar setelah mengambil cawan yang berisi cairan

berwarna kuning. Perlahan-lahan kedua tangannya

dijadikan menjadi satu, dan diusap-usapnya hingga

mengeluarkan asap berwarna hitam.

"Di mana pun kau berada, kau harus mampus!" desa

Manusia Pemuja Bulan.

"Gila! Ini kacau, Tuanku. Oh! Tuanku? Tuanku

Andika.... di manakah kau?" Tridarma jadi celingukan

ketika menoleh, Andika sudah tidak ada. Sementara

rombongan orang-orang itu semakin lama

semakinmenjauh dengan bersuara berbisik, seolah

pantang bagi mereka berbicara keras kalau masih berada

di lingkungan tempat pemujaan.

Laki-laki ini sama sekali tidak memperhatikan kalau

Andika mendadak saja lenyap. Tridarma menggeleng-

gelengkan kepala, mengagumi kesaktian pemuda yang

telah mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Ilmu yang

sangat sulit dicarikan tandingannya, kecuali memang para

tokoh yang teramat sakli.

Tridarma melompat bersalto dengan ringan ke

bawah. Kepalanya kembali celingukan. Tak ada siapa-siapa

di Sana. Rembulan mulai tersaput awan hitam, tidak lagi

sebulat tadi.

"Tuanku Andika.... Di mana kau? Di mana?" bisik laki

laki tua ini sambil menajamkan pandangan dan

pendengarannya.

Tetapi sosok Andika tidak muncul juga, membuat

Tridarma kebingungan. Dia mencari-cari lagi di sekitarnya

sambil memanggil-manggil. Tetapi, Andika tetap tidak ada.

"Oh! Ke manakah dia?" gumam Tridarma sambil

mengingat-ingat kejadian tadi.

Laki-laki tua ini memang terlalu asyik

memperhatikan upacara pemujaan bulan tadi. Tetapi,

diam-diam dia pun yakin akan kesaktian pemuda berbaju

hijau pupus yang di bahunya selalu terdapat kain bercorak

catur. Pasti Andika telah menggunakan ilmu meringankan

tubuh yang paling tinggi, sehingga Tridarma tidak

menyadari sama sekali.

Tridarma memutuskan untuk segera mencarinya.

***

Sebenarnya, apa yang dilakukan Andika tadi? Dari

mata yang tcrlatih dan pendengarannya yang tajam, Andika

merasa yakin kalau sosok Mayang tadi didatangkan

dengan menggunakan tenaga dalam tinggi.

Pendekar Slebor pun teringat cerita Menggolo

sebelum ajalnya, kalau sesajen yang akan diberikan

kepada Dewa Bulan akan lenyap mendadak. Katanya,

Dewa Bulan berkenan menerima sesajen yang diberikan.

Tcringat itu, semakin yakin di benak Andika, kalau

sosok Mayang akan kembali dilenyapkan menggunakan

tenaga dalam

Andika pun menunggu dengan hati berdebar. Dia

harus berlomba dengan waktu sebelum terlambat. Maka

begitu yakin Ki Wedokmurko akan kembali melenyapkan

Mayang, dengan cepat tubuhnya melesat mcnangkap

tubuh gadis itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat.

Namun sejenak tadi dia hampir saja terbawa lemparan

tenaga dalam tinggi. Untung saja, Andika sudah

mempersiapkan diri dengan tenaga dalam pula. Sehingga,

dia bisa menghentikan laju sosok gadis itu yang hendak

lenyap ke satu tempat.

Pendekar Slebor segera membawanya tubuh

Mayang yang terselimuti kain hitam ke sebuah tempat yang

cukup jauh. Di tepi sungai yang terdapat di hutan kecil kaki

Gunung Pengging, Pendekar Slebor berhenti.

Andika membaringkan tubuh gadis itu. Lalu dengan

cepat dialirkannya tenaga dalam dan hawa murni untuk

menyadarkan Mayang dari pingsan.

Sesaat Andika terkejut. Baru disadari kalau gadis itu

bukanlah pingsan akibat sesuatu yang wajar, melainkan

seperti terkena pengaruh sihir.

Andika segera membuka kain bercorak catur yang

tersampir di bahunya. Lalu kain pusaka itu direndam

dengan air sungai, dan diusapkan ke wajah gadis itu. Pada

saat yang sama kembali dialirkannya tenaga dalam.

Perlahan-lahan Pendekar Slebor membuka kain

hitam yang menyelimuti tubuh gadis itu, tetapi terburu-buru

segera membalutnya lagi. Karena di balik kain hitam itu,

Mayang tidak mengenakan pakaian penutup secarik pun!

Wajah Andika memerah.

"Bangsat kau. Manusia Pemuja Bulan! Perbuatanmu

sudah tidak bisa dimaafkan lagi!" rutuk Pendekar Slebor.

Tetapi kemudian Andika tersenyum, seperti geli

menyadari kalau dirinya telah melihat tubuh gadis itu.

"Untung tidak ada orang lain di sini. Kalau ada..., he

he he !Aku jadi malu juga, kan?"

Kembali Andika merendam kain pusakanya. Dan

dengan kain itu kembali dibasuhnya wajah Mayang. Lalu

disusurinya tubuh gadis itu. Dibiarkannya saja kain hitam

yang menyelimuti tubuh Mayang sampai basah.

Selanjutnya, Pendekar Slebor menekan kedua

jempol kaki gadis itu sambil mengalirkan hawa murninya.

Perbuatan itu dilakukan cukup lama juga, sampai

kemudian....

"Okh..., di mana aku ini?"

Terdengar suara dari mulut Mayang.

Andika mendesah panjang. Dia bersyukur karena

berhasil melepaskan pengaruh Manusia Pemuja Bulan

pada gadis itu.

"Mayang...," panggil Andika sambil memperhatikan

sepasang mata yang bergerak-gerak. "Tenanglah.... Kau

sudah aman sekarang...."

"Apakah aku berada di sorga? Ataukah di neraka?"

tanya gadis itu bingung. Dia merasakan kepalanya berat

sekali.

Andika mengangkat tangan kanan gadis itu, lalu

mencubitnya. Pelan.

"Sakitkah?" tanya Pendekar Slebor.

Gadis itu mengangguk-angguk.

"Kau tidak berada di sorga atau di neraka. Kau

masih memiliki rasa sakit. Berarti kau belum mati...," jelas

Andika.

"Tetapi aku di mana?" tanya Mayang sambil

mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Sementara kedua

kakinya masih dalam keadaan berselonjor.

Untungnya, tadi Andika mengikat kembali lipatan

kain itu ke dada Mayang. Sehingga ketika gadis iti

mengangkat tubuhnya, kain itu tidak melorot Dan Andika

pun terkekeh membayangkannya.

"Kau berada di satu tempat yang sungguh, aku

sendiri tidak tahu namanya," jawab Andika. "Tetapi, kau

aman. Kau jauh dari tangan Manusia Pemuja Bulan," jelas

Andika lagi.

Mata gadis itu membuka.

"Manusia Pemuja Bulan?" tanya Mayang.

"Ya. Kau ingat dia?"

Gadis itu terdiam.

"Ya, ya...," kata Mayang seperti masih merenung.

"Aku ingat. Tetapi, mengapa aku berada di sini? Bukankah

seharusnya malam Jumat aku akan dikorbankan untuk

Dewa Bulan?"

"Sekarang malam Jumat, Mayang."

"Malam Jumat? Oh! Seingatku masih satu hari lagi.

Bukan! Sekarang bukan malam Jumat. Aku harus kembali

ke rumah. Aku harus bersiap-siap untuk dijadikan sesajen.

Kasihan Aki. Kalau aku tidak melakukannya, maka dosa-

dosanya tidak akan diampuni.... Dia akan disiksa

sepanjang masa," keluh Mayang.

Andika mendesah panjang. Rupanya pengaruh

Manusia Pemuja Bulan itu sudah sangat kuat.

"Mayang! Dengarkan kata-kataku. Ini sudah malam

Jumat.... Dan kau baru saja akan dikorbankan oleh

Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Slebor. Mayang

terdiam. Matanya terpekur.

"Bukankah masih ada waktu satu hari lagi?" gumam

Mayang masih bingung.

Andika menangkap sesuatu yang asing pada gadis

ilu.

"Ceritakanlah, Mayang.... Apa yang kau alami?" pinta

Andika.

Mayang terdiam beberapa saat.

"Senja itu..., aku baru saja ingin mandi. Ya, kau

ingat.....Aku ingin mandi. Tetapi mendadak saja kurasakan

kepalaku sangat pusing. Rasanya begitu menyengat. Aku

ingin sekali berteriak, namun tak kuasa. Suaraku seolah

hilang. Lalu tubuhku terasa bagai melayang. Ingatanku

hilang. Dan aku tidak tahu, dibawa ke mana. Karena..., aku

tidak ingat sama sekali.... Yah! Hanya itu yang aku tahu.

Selebihnya tidak....," tutur Mayang.

Kini Andika yakin, kalau Manusia Pemuja Bulan

dengan kekuatan sihirnya, telah lebih dulu menculik

Mayang. Kini gilirannya untuk mengatakan kepada

Mayang, kalau Manusia Pemuja Bulan adalah tokoh sesat.

"Mayang..., kau telah kuselamatkan darmya...," jelas

Pendekar Slebor.

"Kau selamatkan? Oh, hei? Aku ingat...! Bukankah

kau pemuda yang datang ke rumahku tempo hari?"

"Benar.... Namaku Andika." "Aku pun ingat nama itu. Kang

Andika..., apa maksud dengan mengatakan kau telah

menyelamatkan aku?" tanya Mayang.

Andika mendesah pendek.

"Mayang..., ketahuilah... Manusia Pemuja Bulan itu

bukanlah orang baik-baik. Dia adalah orang sesat yang

menggunakan kesaktiannya untuk menipu kalian.

Termasuk, mengorbankan perawan sebagai sesajen untuk

Dewa Bulan," jelas Andika.

"Tetapi...."

"Mayang!" potong Andika. "Seluruh warga di sekitar

Gunung Pengging ini percaya dengan Manusia Pemuja

Bulan. Tetapi masih ingatkah kau, kalau kakekmu tidak

mempercayainya?"

Mayang mengangguk-angguk.

"Ya.... Aki menentangnya...," desah gadis itu.

"Kakekmu benar, Mayang. Dialah satu-satunya orang

yang tidak terpengaruh Manusia Pemuja Bulan. Entahlah,

bagaimana sebenarnya perasaannya. Yang jelas, meskipun

pernah terpengaruh, namun pada akhirnya dia sadar kalau

yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan...."

"Tetapi Dewa Bulan murka, sehingga kakek harus

menerima hukuman...," tukas Mayang.

"Ya! Tetapi bukan Dewa Bulan yang melakukannya,

karena tak ada Dewa Bulan yang patut disembah. Apalagi

orang yang datang bulan, he he he...!" kata Pendekar

Slebor, berseloroh.

"Oh! Siapa yang melakukannya?" tanya Mayang.

Andika jadi malu sendiri, karena selorohannya tak

ditanggapi. Namun dia segera mendesah pelan

"Seperti yang pernah kukatakan padamu tempo hari,

yang melakukannya adalah Manusia Pemuja Bulan," jelas

Andika, kembali sungguh-sungguh. Sebenarnya Pendekar

Slebor paling benci kalau berbincang-bincang tidak pakai

canda. Namun karena gadis itu tak bisa diajak bercanda,

akhirnya Andika jadi mengalah saja.

"Ketua Wedokmurko? Oh, tidak...! Kau salah, Kang

Andika. Dia adalah seorang laki-laki baik hati. Dialah yang

mampu menghadapi malapetaka yang seringkali datang

menimpa desa kami. Dia juga yangmemberi jalan keluar

bagi kami untuk menanggulangi bahaya-bahaya alam.

sehingga tidak pernah lagi terjadi bencana seperti itu,"

papar Mayang.

"Ya! Karena dia sendiri yang melakukannya!" desis

Andika dalam hati.

Memang sulit untuk menerangkan persoalan ini

pada Mayang. Tetapi, Andika tetap bertekad untuk me-

mulihkan kesadaran Mayang kembali.

"Percayalah kepadaku, Mayang.... Manusia Pemuja

Huian yang kalian sebut sebagai ketua itu, adalah manusia

sesat yang memantaatkan kesaktiannya. Ah, sudahlah.

Mayang..., aku ingin bertanya kepadamu.... Harta apakah

yang dimaksudkan kakekmu?"

Mayang menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu,

Kang Andika...," sahut Mayang, lirih.

"Kakekmu tidak pernah menceritakannya?"

"Tidak."

"Mayang, sekarang dengarkan aku. Manusia Pemuja

Bulan bukanlah orang baik-baik. Buanglah segala pikiran

kalau dia adalah laki-laki yang telah berbuat baik dengan

memberitahukan cara menanggulangi segala macam

bencana. Hu salah besar, Mayang... Karena, justru dia

sendirilah yang telah membuat bencana-bencana itu.

Mayang, sayangkah kau kepada kakekmu?" ujar Pendekar

Slebor.

Mayang mengangguk sambil menggigit bibirnya.

"Kalau begitu, taatilah dia. Kakekmu telah

menentang ajaran yang diberikan Manusia Pemuja Bulan.

Dan sudah seharusnya kau pun berbuat yang sama,

Mayang."

"Tetapi......"

"Hilangkanlah segala keyakinanmu tentang ajaran

sesat Manusia Pemuja Bulan yang mengorbankan perawan

untuk kepentingannya sendiri. Mayang! Mulai aat ini,

taatilah kata-kata terakhir kakekmu...," ujar Andika

menyudutkan gadis itu.

Mayang terdiam. Angin menghembus rambutnya.

Dingin begitu menusuk. Fajar hampir segera tiba di ufuk

timur. Tiba-tiba air mata gadis jelita itu menitik.

"Aki...," desis Mayang pelan.

Pendekar Slebor mendesah pendek. Sedikit

banyaknya, kata-katanya sudah meresap di hati Maya Lalu

dirangkulnya gadis itu erat-erat.

Mayang sendiri yang sudah cukp lama tidak

merasakan kasih sayang kecuali dari kakeknya, meresapi

rangkulan hangat Bahkan kepalanya disusupkan, membuat

kening Andika sejenak berkerut. Tetapi kemudian Andika

tak acuh saja. Toh tak ada maksud lain kecuali untuk

menenangkan gadis itu.

"Mayang..., lebih baik kita beristirahat saja dulu."

***

Andika datang membawa buah-buahan yang dipetik

dari pohon di sekitar kaki Gunung Pengging ini. Sejenak

Pendekar Slebor terkejut ketika tidak melihat Mayang di

tempat semula.

"Hei? Apa lagi yang terjadi?" desis Andika.

Diletakkannya buah-buahan itu, lalu mencari ke sekeliling.

Namun tak ada Mayang di sana. "Busyet! Kenapa jadi

begini sih?"

Tiba-tiba Pendekar Slebor menangkap suara air

berkecipak. Bergegas dia melompat mencari sumber suara

itu. Alangkah terkejutnya Andika ketika melihat Mayang

sedang mandi dalam keadaan tanpa busana.

Andika cepat memalingkan kepala. Wajahnya

bersemu merah.

"Ya, ampuuunnn.... Tapi, he he he... menyenang-

Karena merasa Mayang dalam keadaan aman, Andika

kembali ke tempat semula. Ditunggunya gadis itu nampai

muncul kembali.

"Makanlah buah-buahan ini dulu, Mayang," ujar

Pendekar Slebor.

"Kang Andika tidak mandi?" tanya gadis itu sambil

mengibaskan rambutnya yang bsah.

Andika menggelengkan kepala. Dia teringat lagi,

kalau telah dua kali melihat tubuh Mayang tanpa busana.

Pertama, ketika tak disengaja melihatnya saat hendak

mengobati gadis itu. Kedua, barusan tadi!

"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang, yang melihat

Andika jadi geli sendirian.

"Ah, tidak.... Makanlah dulu," kilah Pendekar Slebor.

Andika kini memperhatikan Mayang yang tengah

memakan buah-buahan yang tadi dipetiknya. Cantik.

Sayang sekali kalau sempat menjadi korban dari Manusia

Pemuja Bulan.

Mayang yang diam-diam sadar kalau diperhatikan

Andika, tersenyum senang. Dalam pertemuannya yang

kedua kalinya, entah mengapa di hatinya sudah tertanam

sesuatu yang sangat sulit ditebak.

Diperhatikan begitu rupa, lama kelamaan Mayang

tidak tahan juga. Tiba-tiba saja wajahnya diangkat,

memergoki Andika yang kontan gelagapan.

"Kenapa, Kang Andika? Apakah ada sesuatu yang

aneh?" tanya Mayang.

Andika makin blingsatan.

"Oh, tidak. Tidak...," kilah Pendekar Slebor. Sungguh

mati, baru kali ini Andika tersipu-sipu seperti itu.

"Kalau tidak apa-apa, mengapa Kang Andika tida

memakan buah-buahan ini?"

"Oh, ya, ya..."

Andika mengambil sebuah jambu segar dan

langsung menggigitnya. Tetapi seketika itu juga

disemprotnya keluar.

"Kenapa, Kang?" tanya Mayang dengan wajah ter

kejut.

"Semut!" sahut Andika.

Mayang terkikik melihatnya.

"Makanya, jangan terburu nafsu!"

Andika tersenyum. Hatinya senang melihat Mayan

sudah tidak tegang seperti tadi.

Setelah yakin Mayang sudah benar-benar tenang,

Pendekar Slebor pun mengajaknya untuk meninggalkan

tempat itu. Namun, sebelum menggandeng tangan

Mayang....

"Heh?!"

Betapa terkejutnya Pendekar Slebor ketika tiba-tiba

telah berlompatan enam orang berpakaian dan bertopeng

merah. Dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di hadapan

Pendekar Slebor dengan tatapan nyalang!

***

7


Andika mendengus. Dia yakin, mereka adalah para

pcngawal dari Manusia Pemuja Bulan. Buktinya, Andika

memang melihat mereka tadi saat upacara penyembahan

sesajen pada Dewa Bulan.

"Kang Andika...," desis Mayang ketakutan,

bersemnunyi di balik tubuh Andika

Melihat sikap Mayang ketakutan seperti itu, Andika

hanya nyengir. Sikapnya benar-benar tenang sekali,

meskipun tatapan matanya begitu membenci orang-orang

bertopeng merah yang mengurungnya.

"He he he..., tenang saja, Mayang. Enteng

menghadapi para topeng monyet ini...," ujar Andika.

"Mereka orang yang kejam, Kakang...," tukas

Mayang.

"Aku tahu, mereka juga yang telah menjaga

rumahmu waktu itu...."

"Ya, Kakang.... Mereka utusan Manusia Pemuja

Bulan yang menjagaku dengan ketat. Karena, dia khawatir

aku melarikan diri saat penyembahan sesajen untuk Dewa

Bulan...," jelas gadis itu.

Andika mendesah lega. Dari ucapan gadis itu, dia

yakin kalau sekarang Mayang sudah sadar akan

kesalahannya. Kalau tidak, mengapa berkata seperti itu?

"Tenanglah, Mayang.... Menghadapi yang beginian

sih, kecil. Kecil sekali!" ujar Andika sambil menjentikkan

ibu jarinya dengan jari kelingking. Lalu dia bertolak

pinggang, mengangkat dagunya. "Hei, orang bertopeng

yang mukanya bopeng! Mau apa sih, kalian?!"

Sementara Mayang makin menyembunyikan

tubuhnya di balik tubuh Andika.

"Kalau hanya mau berkenalan denganku yang

ganteng ini, tidak usah pakai tolak pinggang seperti itu!"

lanjut Andika.

"Serahkan gadis itu kepada kami!' bentak salah

seorang dengan suara ditekan. Tatapannya nyalang, geram

melihat tingkah Andika yang menjengkelkannya itu.

"Serahkan? Wooo..., aku mendapatkannya saja

susah, kok enaknya meminta begitu? Tidak usah, ya?"

Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan

bibir mencibir.

"Anak muda...! Kau sudah membuat kami pusing...!

Jadi, jangan banyak tingkah sekarang!"

"He he he.... Kalau pusing, mengapa tidak membeli

jamu godok saja? Jangan diminum, tetapi pupurkan di

matamu yang belo dan jelek itu!" ejek Andika. "He he he.....

Kontan bopeng-bopeng di wajahmu itu akan hilang!

Eh? Apa hubungannya, ya? Kok mata yang dikasi pupur,

bopengnya yang hilang? Wah, wah... salah! Maksudku...,

hidung kalian yang akan hilang!"

Andika semakin ngoceh tak karuan. Sedang Mayang

yang ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh

Andika, mau tak mau tersenyum juga melihat tingkah

Andika yang konyol. Namun gadis itu tetap saja ketakutan

melihat keenam orang bertopeng yang bermata sengit itu.

Sementara wajah di balik topeng merah itu

menggeram.

"Anak muda..., sayangilah nyawamu yang hanya

selembar itu...."

"Lho? Apa kau punya nyawa dua lembar?" balas

Andika. "Enak juga ya, kalau mampus digigit ular masih

bisa hidup lagi!"

"Jangan memancing kemarahan kami!" bentak orang

bertopeng itu.

Andika hanya nyengir.

"Habisnya, menyuruh kalian tertawa juga perc uma

Karena, gigi kalian tidak kelihatan! Jadinya, aku tidak tahu

apakah kalian bergigi ompong atau rata!"

Bukannya menjawab, keenam orang itu secara

serempak menyerang dengan hantaman telapak tangan.

Wuuuttt!

Srattt!

"Heeiiittt!"

Andika melenting sambil mendorong tubuh Mayang

ke samping. Sehingga, gadis itu jatuh terduduk. Namun

tidak terhempas, karena Andika sudah menggunakan

tenaga dalam pengendali beban yang memang jarang

sekali digunakan.

"Kalem saja! Aku akan melayani serangan kalian

yang kayak banci itu, kok!" kata Andika, mengejek.

Keenam orang bertopeng merah itu terus merangsek

dengan ganas. Serangan-serangan mereka sangat

berbahaya. Orang bertopeng yang melakukan gebrakan

pertama tadi, semakin marah saja melihat tingkah Andika

yang menjengkelkan.

"Bikin mampus manusia iseng ini!" bentak orang

bertopeng itu sambil mengirimkan pukulan kuat ke wajah

Andika, disusul yang lainnya. Wuuuttt!

"Heaaa!"

Andika cepat berkelit ke sana kemari. Namun

menghadapi serangan secara serempak yang bertujuan

untuk mematikan ruang geraknya, membuat Andika harus

mengeluarkan kecepatannya dalam menghindar. Gerakan

Pendekar Slebor pun semakin gencar saat menghindari

setiap serangan beruntun yang datang. Di samping itu

ketika tangannya berkelebat, terdengar bagai menyalak.

Memang pelan. Namun hasilnya sungguh mantap. Rupanya

Pendekar Slebor sudah mengalirkan tenaga 'inti petir'

tingkat ketiga puluh dua di tangannya Dengan tenaga dan

kecepatan itulah dicobanya untuk menghadapi setiap

serangan yang datang. "Heerri! Sabar, sabar! Ntar juga

kebagian!" seru Pendekar Slebor sambil berkelit dengan

menarik kepala.

Lalu Pendekar Slebor mengangkat sebelah kakinya

sambil berjumpalitan ke depan. Dan tiba-tiba kedua

tangannya dikibaskan ke samping, lalu meluruk ke salah

seorang lawan yang tengah bersiap menyerang.

Duuuk!

"Aaakh...!"

Pukulan itu tepat menghantam dada orang

bertopeng merah yang bersiap menyerang. Tubuh orang itu

terhempas ke belakang disertai pekik kesakitan. Setelah

muntah darah, dia meregang nyawa.

Melihat salah seorang kawannya mati, lima orang

yang lain semakin mempergencar serangan. Dan ini

membuat Andika semakin berhati-hati saat menghindar

dan membalas.

"Bentuk rangkaian 'Lima Iblis Membunuh Naga'l"

teriak salah seorang, keras.

Mendadaksaja kelima orang bertopeng itu membuat

gerakan melingkar, lalu saling mendekat. Satu orang

berada didepan, dua orang berada di tengah, dan dua

orang lainnya berada paling belakang. Masing-masing

membuat gerakan berlainan. Yang berdiri di depan

membuka kedua tangannya. Kaki kanannya membujur ke

bawah dan tubuh berlutut, bertopang pada kekuatan kaki

kiri. Sedangkan yang di tengah salah seorang melebarkan

kaki kirinya ke samping. Kaki kakannya di tekuk.

Sementara seorang lagi melebarkan kaki kanan ke

samping dengan kaki kiri ditekuk pula. Tangan mereka me-

ngembang bagaikan kepakan sayap rajawali. Yang berada

paling belakang berdiri tegap dengan kedua tangan

mengepal ke depan.

"Itulah jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'. Sebuah

jurus yang sangat ampuh dan hebat!

Andika yang tadi menganggap ringan lawannya, kini

harus mengerutkan keningnya. Dia yakin, jurus yang

diperlihatkan lawan-lawannya bukanlah jurus kosong

belaka. Suatu jurus yang tangguh dan sudah pasti sangat

hebat.

Tetapi bukan Andika yang berjuluk Pendekar Slebor

kalau dalam suasana seperti itu tidak mengejek.

"He he he..., apakah kalian ingin bermain dolanan

bocah yang kalau tak salah namanya dolanan ular tangga?

Wah, wah...! yang depan menjadi dadu, yang di belakang

menjadi ularnya, dan yang paling belakang menjadi tangga.

Aku peserta yang paling tangguh, pasti! Pialanya, sudah

tentu Mayang, bukan?" leceh Andika.

"Pemuda sinting! Serahkan gadis itu kepada kami.

Maka kau akan selamat!" bentak yang berada di depan.

"Lho, enak saja ngomong! Memangnya tape yang

bisa diserahkan begitu saja. Bilang saja, kalian iri kan?"

Lima wajah di balik topeng itu merah padam. "Sekali

lagi kuperingatkan, serahkan gadis itu!" desak salah

seorang.

"Baik! Aku akan menyerahkannya. Tetapi..., sudah

tentu kalau kalian sudah terkapar di tanah. Bagajmana?

Usul yang menarik, bukan?" balas Andika, enteng.

Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Karena orang

bertopeng yang berdiri paling depan sudah menyerbu

dengan gerakan berguling. ,

Andika terkejut menerima serangan semacam itu!

Karena tak mungkin dalam keadaan seperti itu, seseorang

bisa menggerakkan tubuhnya secara bergulingan. Lebih

terkejut lagi, ketika dua orang yang berada di tengah

menerjang bagaikan melunc ur! Kemudian disusul

serangan dari arah samping yang berlawanan oleh dua

orang paling belakang

Andika harus menghindar ke sana kemari sambil

memapak setiap serangan. Rupanya, di balik serangan

aneh yang dilakukan secara serempak itu. tenaga mereka

bisa terangkum menjadi satu.

Buktinya begitu Andika memapak salah satu

pukul¬n yang melesat ke arahnya, tidak lagi merasakan

tenaga | lembek dibandingkan tenaga miliknya. Tetapi,

suatu tenaga yang berlipat ganda!

"Kutu busuk! Hebat juga jurus kalian itu!"semprot

Andika sambil melenting.

"Sejak tadi kukatakan, jangan banyak tingkah!

Sekarang sudah terlambat, Anak Muda!"

"Terlambat, terlambat! Kok lucu, ya? Apanya yang

terlambat? O iya, aku ingat. Kalian bangun kesiangan, sih!

Makanya jangan jadi pemalas, dasar kebluk!" ejek

Pendekar Sleborsambil membalas serangan yang datang

beruntun itu. Tubuhnya berkelebat ke sana kemari dengan

cepatnya.

Namun seperti yang dialami tadi, setiap benturan

yang terjadi, bukannya membuat kelima lawannya mun-

dur, malah semakin ganas menyerang. Kini justru Andika

yang harus kalang kabut menghindari serangan-serangan

yang mematikan itu.

Sementara itu, Mayang hanya bisa menekuk kedua

lututnya ke dada sambil mendekap wajah. Gadis ini ngeri

melihat pertarungan yang mendebarkan itu. Kini, lambat

laun di hatinya timbul kesadaran, kalau yang dikatakan

Andika ternyata benar.' Manusia-manusia ini adalah

makhluk jahat!

"Oh, Aki.... Kau menjadi korban kejahatan mereka

pula!" desah gadis itu.

Sementara itu, Andika terus menerus menghindari

tanpa diberi kesempatan membalas. Karena setiap kali

hendak menyerang, kelima lawannya sudah menutup

ruang geraknya dengan cara mengirimkan serangan secara

serempak.

"Ini sih tidak boleh dibiarkan!" dengus Pendekar

Slebor.

Tiba-tiba Andika melenting ke belakang dua kali. Dan

ketika hinggap di tanah dengan ringan, Pendekar Slebor

sudah merangkum jurus 'Guntur Selaksa', salah satu jurus

dahsyat yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan.

"Ayo! Sampai di mana kehebatan jurus 'Monyet Bu-

duk Membunuh Nyamuk'!" tantang Pendekar Slebor.

Dan mendadak saja, Andika mengempos tubuhnya.

Pada saat yang sama, kelima lawannya menyerang secara

bersamaan dengan jurus berbeda, namun berada dalam

satu mata rantai jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'.

Plak! Des! Duk!

Tiga benturan keras terjadi. Namun kelima lawannya

hanya mundur selangkah, dan kembali menyerang dengan

ganas.

Andika mendengus lagi dalam hati. Dia tidak percaya

kalau jurus 'Guntur Selaksa' bisa lumpuh hanya sekali

gebrak. Maka kali ini tenaga dalamnya ditambah hingga

tingkat kedua puluh.

Dengan satu gerakan manis sekali, setelah

melenting ke kiri dan meluruk dengan satu gerak tipuan,

Aiw dika kembali memapak serangan lawannya.

Buk! Des! Plak!

Kalau tadi Andika merasa seimbang dalam soal

tenaga dalam dibanding kelima lawannya yang terangkai

menjadi satu, kini akibatnya menjadi lain. Karena, tiga dari

lima lawannya bukan hanya mundur satu tindak, tapi

segera terpelanting deras ke belakang tak bangun-bangun

lagi.

Andika yang melihat kesempatan untukmenghabisi]

lawan-lawannya, segera bergerak laksana kilat. Des! Duk!

"Aaakh...! Aaakh...!"

Dua pukulan Pendekar Slebor mampir di dua dada

yang tertutup pakaian berwarna merah. Seperti yang

dialami ketiga lawannya tadi, tubuh mereka pun terlon-tar

deras ke belakang. Yang satu menabrak pohon, yang satu

lagi tercebur ke sungai dan segera digulung arus yang

cukup deras.

***

Andika mendengus. Matanya melirik Mayang yang

masih menutup kedua mata dengan tangannya.

"Hhh! Masih cetek ilmu kalian!"

Sambil mengejek, Andika melangkah memeriksa

lawan-lawannya yang terkapar. Tiga orang telah menjadi

mayat. Namun yang seorang lagi masih bernapas dalam

rasa sakit yang luar biasa. Andika berjongkok di depan

sosok itu.

"Hei, Kutu Koreng! Katakan, di mana Manusia

Pemuja Bulan itu berada?" bentak Pendekar Slebor.

Bukannya jawaban yang didapatkan Andika, justru

pelototan marah.

"Wah, masih nekat! Padahal, kau sudah mau

mampus! Katakan di mana Manusia Pemuja Bulan?!" ulang

I'endekar Slebor.

Mata orang itu semakin memerah.

"Carilah dia di neraka!"

"Tempatnya memang pantas di neraka. Hei, hati-hati

kalau ngomong. Nanti didengar manusia bau tau itu, bisa

mampus kau dibuatnya!" desis Andika, memasang wajah

ketakutan. "Hiii! Memang, kalau yang s udah mau mampus

suka ngelantur!"

"Kau tak akan bisa menemuinya...."

Seperti kesalahan bicara, orang yang tengah

menahan rasa sakit itu berkata lagi.

"Eh! Nekat, ya?"

Mendadak saja Andika menunggingi laki-laki itu.

Dan.... Dut!

"He he he.... Makanlah uap beracun yang mematikan

itu!"

Orang itu nampak gelagapan. Dan gerakannya itu

justru menyakitkan napasnya yang sudah Senin-Kemis '

"Ayo, katakan di mana dia?!" desah Andika. Orang itu hanya

melotot dengan pancaran sinar kemarahan yang tinggi.

"Kau tak akan mampu mengalahkannya!" kau !

orang itu dengan suara ditekan meskipun

dikeluarkan susah payah.

"Eh! Kau menantang, ya? Sayangnya kau akan

mampus! Tetapi..., he he he.... Tunggu, kau pasti akan mau

mengatakan di mana manusia monyet itu berada," ujar

Andika yang mendapat akal paling mengasyikkan.

Andika berdiri dan menghampiri tanah yang

ditumbuhi rumput. Diambilnya sehelai, lalu dia melangkah

kembali lagi ke tempat orang yang sekarat itu berada

Namun ketika sampai, telah berdiri satu sosok tua tanpa

baju dengan wajah bengis menatap sosok berbaju

merahyang telah meregang nyawa.

"Hei! Apa yang kau lakukan itu, Tridarma?" seru

Andika terkejut.

Sosok yang berwajah bengis itu tiba-tiba menjunr

pada Andika.

"Maafkan hamba, Tuanku.... Manusia seperti itu

sudah selayaknya mampus," ucap Tridarma.

"Tetapi, aku membutuhkannya untuk mengetahui di

mana Manusia Pemuja Bulan berada!" sahut Andika

gemas.

"Maafkan hamba, Tuanku...," ucap Tridarma lagi.

Andika yang nampak jengkel kembali mendengus.

"Tridarma...! Lain kali, jangan sembarangan bertin| dak

sebelum kuperintahkan!"

"Hamba, Tuanku!"

Andika berbalik, menghampiri Mayang yang nampak

begitu ketakutan. Dirangkulnya gadis itu perlahan-lahan.

"Sudahlah, Mayang.... Kau sudah aman...," ujar Pen-

dekar Slebor, lembut.

"Kang Andika.... Kini aku sadar, mereka memang

manusia-manusia jahat...," kata Mayang sambil menangis

pelan di rangkulan Andika.

"Ya, kita akan membasmi Manusia Pemuja Bulan itu

hingga ke akar-akarnya..........."

"Oh! Aku menyesal mengapa aku mau saja dijadikan

sebagai korban untuk Dewa Bulan.... Kang Andika, bila saja

kau tidak berada di sini..., entah apa yang akan kualami...,"

desah gadis itu.

Andika membelai-belai rambut Mayang. Tiba-tiba

matanya melotot pada Tridarma yang sedang tersenyum-

senyum.

"Kenapa kau senyam-senyum begitu, hah?!" bentak

Andika yang membuat laki-laki tua tanpa baju itu tersentak.

"Oh, maaf, Tuanku...," ucap Tridarma. "Jangan

berpikir yang jorok, ya? Aku hanya menenangkan gadis ini

saja!" ujar Pendekar Slebor.

"Hamba, Tuanku...," sahut Tridama sambil menahan

geli.

"Masih nyengir kau?" bentak Andika lagi.

"Maaf, Tuanku...."

"Maaf, maaf! Cepat kuburkan mayat-mayat itu!”

***

Ki Wedokmurko yang melihat kejadian itu dari

pandangan batinnya melalui cawan yang berisi cairan

wama kuning, menggeram marah.

"Bangsat! Rupanya pemuda itu adalah Pendekar

Slebor! Pemuda pembuat onar yang telah banyak

menghancurkan orang-orang golonganku! Hhh! Kali ini kau

akan mendapat batunya, dan merasakan akibatnya dan

kelancanganmu itu!!'

Tangan Manusia Pemuja Bulan terangkat. Seketika

serangkum sinar berwarna putih melesat, menghantam

dinding gua.

Blarrr...!

Terdengar suara bagai ledakan yang cukup keras

Dan seketika dinding gua itu pun berantakan.

"Kau akan mampus, Pendekar Slebor! Kau akan

mampus!" desis Ki Wedokmurko.

Tiba-tiba Manusia Pemuja Bulan bangkit. Dengan

gerakan ringan kakinya melangkah menuju ke satu tempat

yang berada di sudut gua. Tiba di hadapan sebuah

keranjang yang bersusun dua. Dari dalam keranjang

terdengar suara mendengung yang ramai dan panjang.

"Ayo, Manis-manisku.... Kini tibalah saatnya bag!

kalian untuk bekerja...," kata Manusia Pemuja Bulan sambil

membuka pintu keranjang.

Lalu berkeluaranlah makhluk-makhluk kecil yan

ganas. Rupanya, ribuan tawon yang telah dipelihara

Manusia Pemuja Bulan.

"Datanglah kalian ke desa-desa. Buat onar di sana

Biar semua orang merasakan kepedihan kembali. Biar

Pendekar Slebor kelabakan, karena akan mendapatka

amukan dari mereka. Dan dia akan dituduh sebagai biang

keladi malapetaka ini! Ha ha ha..," ujar Manusia P muja

Bulan, tertawa girang.

Lalu tawon-tawon itu bergerak cepat, menimbulkan

suara mendengus yang sengau memekakkan telinga.

Suara yang mengandung kemarahan!

***

8


Mata Sawedo terbelalak begitu mendengar

penuturan seorang pemuda tanggung di depannya. Dia

sampai berdiri dari duduknya, dan memegang bahu

pemuda berusia sekitar enam belas tahun ini. Saat ini

senja baru saja datang. Angin berhembus sejuk.

"Benarkah yang kau katakan itu, Sawung?!" sentak

Sawedo.

"Beb..., benar, Kang.... Aku melihat Kak Mayang

tengah berjalan bersama seorang pemuda berpakaian

warna hijau," tegas pemuda tanggung bemama Sawung,

takut-takut. Dia ngeri melihat mata Sawedo yang

menatapnya nyalang begitu. "Juga..., seorang..., seorang

laki laki tua... yang tidak mengenakan baju...."

"Gila!" desis Sawedo. "Rupanya pemuda sialan itu

belum pergi dari sini! Bagus! Ini kesempatan kita untuk

membalas kematian Medi, Kang Menggolo, dan istrinya!"

"Tetapi, justru yang mengherankan tentang Mayang,"

kata pemuda lain yang bertubuh gempal dengan kening

berkerut.

Saat ini beberapa pemuda memang sedang

berkumpul di halaman depan rumah Sawedo,

membicarakan tentang Mayang yang dijadian korban

kepada Dewa Bulan.

"Mengapa Mayang bersamanya? Bukankah dia

sudah dikorbankan kepada Dewa Bulan?" lanjut pemuda

bertubuh gempal itu, seperti bertanya pada diri sendiri.

Kali ini bukan hanya para pemuda itu yang merasa

keheranan. Bahkan Sawedo sendiri harus terdiam

beberapa saat, mendengarkan penuturan pemuda

bertubuh gempal yang dikenal bernama Barojo.

Yah! Bukankah Mayang sudah dipersembahkan kepada

Dewa Bulan?

Ketika Sawedo hendak menanyakan lagi kebenaran

berita yang dibawa Sawung, anak tanggung itu sudah tidak

ada di tempatnya. Diam-diam dia telah minggat

meninggalkan pembicaraan tadi. Katanya, lebih baik pergi

dari pada harus dibentak-bentak begitu.

Mayang. Mayang bersama pemuda sialan itu?

Bagaimana mungkin? Jelas sekali diketahui kalau malam

Jumat kemarin Mayang dijadikan sebagai tumbal untuk

Dewa Bulan? Pertama, untuk keselamatan daerah ini.

Kedua, untuk menebus dosa-dosa Ki Seta. Tetapi yang

dikatakan Sawung tadi? Hm.... Apakah anak tanggung itu

hanya mengada-ada saja?

Tetapi kemudian, Sawedo mempunyai pikiran lain.

"Hmm.... Kini aku tahu. Aku tahu...," kata Sawedo

sambil berjalan mondar-mandir.

"Apa yang kau ketahui?" tanya seorang pemuda

bertubuh kurus sambil memperhatikannya.

Sawedo menghentikan langkahnya.

"Seperti yang kita ketahui, Mareko! Pemuda itu telah

membuat keonaran di daerah ini. Dia bukan hanya telah

membunuh saudara-saudara kita yang lain, tetapi juga

mengacaukan upacara sesembahan."

"Maksudmu?" tanya pemuda bertubuh kurus yang

dipanggil Mareko. Kali ini dia agak tegang.

"Pemuda itu memang harus diajar adat!"

"Mengapa?"

"Karena telah mengacaukan jalannya upacara,

Mungkin, dia mengambil tubuh Mayang selagi Ketua

Wedokmurko lengah."

"Tetapi bagaimana mungkin dia melakukannya!

Bukankah kita semua melihat, tubuh Mayang mendadak

saja lenyap dari hadapan Ketua Wedokmurko?" tukan

Mareko.

Kali ini Sawedo tidak tahu apa yang harus

dikatakannya. Pikirannya benar-benar bingung dengan

somua ini. Yah! Bagaimana mungin Mayang yang siap

dikorbankan kepada Dewa Bulan, ternyata masih segar

bugar seperti yang diberitahukan Sawung.

"Untuk meyakinkan kebenaran berita yang dibawa

Sawung, kita harus membuktikannya!" ujar Sawedo

"Maksudmu?" tanya Barojo.

"Kita harus melihat, apakah memang Mayang yang

bersama pemuda sialan itu," jelas Sawedo.

"Kalau ternyata bukan?"

"Pemuda itu tetap harus membayar nyawa saudara

saudara kita dengan nyawanya."

"Kalau ternyata iya?"

Sawedo merenung pelan.

"Berarti..., kita akan menghadapi bencana....

Tak ada yang bers uara Para pemuda itu kelihatan

sangat tegang. Mengacaukan jalannya upacara korban

untuk Dewa Bulan, sama saja menantang maut. Ya! Seperti

yang sudah-sudah, kalau belum ada korban yang dijadikan

sesajen untuk Dewa Bulan, maka desa ini selalu dicekam

ketakutan dan malapetaka.

Apa yang dikatakan oleh Sawedo kemungkinannya

memang bisa jadi kenyataan. Oh! Akankah bencana-

bencana lalu itu sekarang ini terjadi lagi?

Terlalu lancang pemuda itu. Tetapi, bagaimana

caranya Mayang sampai bisa diculik? Mengapa tahu-lahu

Mayang berada bersamanya? Seperti biasanya, mereka

akan melihat tumbal yang dipersembahkan kepada Dewa

Bulan akan lenyap begitu saja. Entah ke mana. Sampai

saat ini, belum ada yang tahu pasti. Tetapi cukup puas bila

Ketua Wedokmurko mengatakan kalau gadis yang

dijadikan sesajen sudah diterima Dewa Bulan.

Lalu, bagaimana tiba-tiba Mayang bersama pemuda

gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak

catur di bahunya? Apakah telah menculiknya dari Dewa

Bulan? Lho? Mengapa dia bisa melakukannya? Lalu,

siapakah sebenarnya yang membunuh Medi, Kang

Menggolo, dan istrinya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak

terjawab itu singgah di benak mereka.

"Pemuda itu memang biang keladi dari semua ini!

Dia justru membuat desa ini kembali tidak aman! Kalau

waktu itu membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya,

kini dia berani-beraninya menc ulik Mayang! Hhh! Ini bahaya

yang sangat besar untuk kita! Kita harus mengembalikan

Mayang pada Ketua Wedokmurko! Aku khawatir, bencana

akan datang lagi kepada kita! Pemuda itu memang harus

mampus! Ayo, Kawan-kawan.... Kita bersiap untuk mencari

mereka, dan membunuh pemuda keparat itu!" seru

Sawedo lantang, penuh kegeraman.

Namun sebelum mereka melangkah....

"Tolooong...! Ada ribuan tawon ganas menyerang

desa kita!"

Terdengar suara minta tolong, membuat mereka

tersentak kaget.

Tridarma menghentikan langkahnya. Kepalan

menegak, seolah ada sesuatu yang mengusik

pendengarannya. Andika sendiri juga sudah menghentikan

langkahnya. Melihat Tridarma berbuat seolah-olah ada

sesuatu yang mencurigakan, Pendekar Slebor ikut-ikut

menajamkan telinganya. Namun, tak mendengar scsuatu

yang menarik perhatiannya.

"Kenapa, Tridarma?" tanya Pendekar Slebor.

Sementara Mayang tampak sudah duduk di atas

batu.

"Tuan, nampaknya akan sangat berbahaya sekali

kalau kita mendatangi desa tempat tinggal gadis ini

sekarang," ujar Tridarma letap dengan sikap seperti

sedangmendengarkan sesuatu yang semakin menarik

perhatiannya.

Andika menajamkan telinganya. Namun lagi-lagi

tidak menangkap s uara yang mencurigakan. Dia tahu, dari

jarak mereka berada sekarang ini dengan desa itu masih

sangat jauh. Paling tidak masih membutuhkan waktu

empat kali menanak nasi.

Namun bila melihat kemampuan pendengarannyal

Tridarma yang tajam seperti itu, sungguh Andika menjadi

kagum pula. Padahal, Pendekar Slebor sudah

mengerahkan pendengarannya yang paling tajam!

"Apa yang menyebabkan kau berkata begitu?" tanya

Pendekar Slebor karena memang jadi penasaran.

Tuan..., hamba mendengar suara berdengung yang

sangat keras dan banyak sekali," lapor Tridarma. Kening

Andika berkerut

"Berdengung?" tanya Andika.

"Ya. Seperti..., ada ribuan lebah yang sedang

menyerang desa itu," jelas Tridarma.

"Oh.Tuhan! Tridarma! Benarkah yang kau katakan

itu?" seru Andika terperanjat.

"Kalau pendengaran hamba masih bekerja baik,

tcntunya tidak salah, Tuanku...," kata Tridarma merendah.

"Dan agaknya, yang hamba dengar itu berasal dari ribuan

tawon yang tcngah menyerang! Mereka berada dalam

puncak kemarahan! Bahkan siap membunuh siapa saja

yang berada di dekat mereka."

Andika menghela napas panjang. Apalagi yang

terjadi ini? Rasanya, terlalu banyak peristiwa mengerikan

yang dialaminya. Namun mendengar ribuan tawon

menyerang desa itu, lebih mengerikan lagi. Saat itu juga

bulu romanya berdiri karena membayangkan kengerian.

"Tridarma.... Dan kau juga, Mayang. Aku harus ke

sana. Ingat, Tridarma! Keselamatan Mayang menjadi

tanggung jawabmu. Aku tidak ingin ada sesuatu yang

mencelakakannya," ujar Pendekar Slebor.

"Baik, Tuanku," sahut Tridarma. Andika merasa kalau

harus mengusir tawon tawon yang menurut pendengaran

Tridarma sedang mengamuk di desa tempat Mayang

tinggal. Dari manakah sebenarnya datangnya binatang

kecil yang memiliki sengat yang mematikan itu?

Tanpa bcrpikir panjang lagi, Pendekar Slebor segera

berkelebat meninggalkan mereka. Dengan ilmu lari

cepatnya, sebentar saja Andika sudah tak tampak lagi

"Jangan tinggalkan aku, Kang Andika!" teriak Mayang,

namun sudah tak terdengar oleh Andika lagi.

Ribuan tawon menyerang ganas salah satu desa di

lereng Gunung Pengging. Sengatnya kecil, namun

mematikan. Saat itu juga terjadi kegemparan yang disertai

jerit kesakitan. Bukan hanya manusia yang menjadi

sasaran, tetapi hewan-hewan ternak pun tak luput dari

sengatan mematikan, ribuan tawon ganas itu.

Suasana tak ubahnya terjadi wabah penyakit yang

menyakitkan. Kali ini lebih mengerikan. Tawon-tawon itu

menyengat bagian-bagian yang mematikan. Tak terhitung

korban yang langsung jatuh dengan wajah memar. Bahkan

ada yang lebih mengerikan lagi. Mata beberapa korban ada

yang bolong!

Sawedo bersama beberapa oraug yang lain

mengibaskan pedangnya ke sana kemari dengan geram,

sambil berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya.

"Pergi kau, Bangsat-bangsat! Pergi dari sini! Heaaa!

Heaaa...!"

Namun tawon-tawon itu dengan ganas memburu ke

arah Sawedo yang menjadi kelabakan. Dari sudut matanya

dia sempat melihat Mareko sudah menjadi mayat dengan

tubuh penuh luka mengerikan. Begitu pula yang lainnya.

Meskipun mereka berusaha mengusir hewan-hewan

ganas itu, namun nampaknya sia-sia belaka.

Suasana sungguh menggiriskan, tak ubahnya bagai

datangnya kiamat. Dan tanpa sepengetahuan mereka, tiga

orang perawan telah lenyap dari tempatnya.

Jerit tangis dan orang yang berlarian bagai dikejar

maut menjadi pemandangan mengerikan pagi itu. Pagi

berdarah yang tak akan pernah terlupakan.

Ini gara-gara pemuda keparat itu yang telah

mencampuri urusan Ketua Wedokmurko! Ia harus dicari! Ia

harus merasakan penderitaan yang teramat pedih! Aaakh!"

teriak Sawedo, di sela-sela kesibukannya mengenyahkan

tawon-tawon ganas. Namun tak urung tangannya tersengat

pula.

Pemandangan mengerikan semakin nampak di

mata. Mayat-mayat bergelimpangan tak berdaya, dengan

sekujur tubuh penuh darah. Juga hewan-hewan ternak

yang berkeliaran, berlarian mengamuk menahan sakit, lalu

ambruk menimbulkan suara memilukan. Werrr...!

Di tengah-tengah kematian itu mendadak saja

serangkum angin keras menyerbu ke sana. Rupanya

Pendekar Slebor telah muncul dengan mengibaskan kain

pusakanya yang bercorak catur.

Melihat pemandangan yang menyedihkan dengan

jerit tangis yang keras dan tubuh yang perlahan-lahan

ambruk, hati Andika pun teriris. Dengan kegeraman luar

biasa, kain pusakanya dikibaskan ke sana kemari.

Wrrrttt!

Breeettt!

Setiap kali kain pusaka Andika mengibas,

menimbulkan suara cukup keras. Kemudian menyusul

sekelompok tawon tersambar dan mati. Terus menerus

Andika berbuat seperti itu sambil mempergunakan

kecepatannya, sekaligus harus menghindari serangan-

serangan sengat tawon yang mematikan.

"Pergilah kalian dari sini! Mampus semuanya!"

bentak Andika kerasnya.

Pendekar Slebor kini berusaha menolong orang-

orang yang tengah diserang tawon-tawon itu.

"Cepat kalian masuk! Masuk! Jangan ada yang

keluar! Tutup semua pintu dan jendela!" ujar Andika ke-ras.

Namun orang-orang itu bukannya masuk, malah

berlarian keluar. Karena bagi mereka, berada di dalam

rumah justru sulit keluar. Lebih baik berada di luar. Namun

akibatnya, nyawa mereka pun terbuang percuma.

Hal ini mcmbuat Andika semakin kalap.

"Masuk kalian! Masuk! Jangan membuang nyawa

percuma!

Brett! Werrtt!"

Kain pusaka Pendekar Slebor kembali mengibas ke

sana kemari dengan cepatnya, mengandung tenaga

semakin kuat. Namun jumlah tawon-tawon itu sangat

ba¬nyak.

"Masuk kalian ke rumah! Selamatkan nyawa anak

istri kalian! Cepat! Tawon-tawon ini sangat berbahaya!"

teriak Pendekar Slebor.

Sebisanya orang-orang itu berusaha masuk,

menyambar siapa saja yang berada di dekatnya untuk

menghindari sengatan tawon-tawon ganas.

Wuttt!

Brettt!

Andika terus mengibaskan kain pusakanya ke arah

tawon-tawon itu yang mendengung-dengung

mengancamnya. Dan mendadak saja tubuhnya berputar

setelah mcnyampirkan kain pusakanya. Dan ketika

putarannya bcrhenti, Andika berdiri tegak seperti

menantang.

"Ayo, kalian hewan-hewan bersengat! Sengat aku!

Kerubungi aku! Bunuh aku!" lantang Pendekar Slebor.

Seperti melihat kalau ada sasaran yang berani

menanlang maut, tawon-tawon itu menyerbu ke arah

Andika. Perlahan-lahan kini kedua kaki Pendekar Slebor

ludah dikerubungi ribuan tawon. Lalu, kedua tangannya

dan berlanjut ke sekujur tubuhnya. Bahkan kini wajahnya.

Hingga akhirnya, terlihatlah sebuah pemandangan

hagaikan sebuah patung yang dibuat dari ribuan tawon.

Hanya satu dua saja yang masih beterbangan, selebihnya

hinggap di tubuh Andika.

Orang-orang yang terluka dan masih bisa bergerak,

berusaha masuk ke rumah. Kali ini mereka menuruti kata-

kata Andika, setelah melihat tubuh pemuda itu kini

tertutupi ribuan tawon yang ganas.

Dari jendela mereka, para penduduk memperhatikan

pemuda yang masih dirubungi ribuan tawon. Mereka yakin,

dalam waktu beberapa hitungan saja, pemuda itu sudah

tewas seketika.

Sawedo yang semula geram begitu melihat

kedatangan Andika, kini harus menahan diri. Karena sejak

tadi, dia melihat kalau pemuda itu berusaha

menyelamatkan mereka dari serbuan tawon yang ganas.

Apalagi sekarang, pemuda itu seperti menyediakan

tubuhnya untuk dijadikan sasaran tawon-tawon itu, sebagai

pengalih perhatian dari sasaran yang lain.

"Gila! Siapakah dia sebenarnya?" desis Sawedo,

diam-diam kagum melihat pemuda itu yang seperti rela

berkorban." Dia pasti akan mampus dalam sekejap."

Namun tak seorang pun yang tahu, kalau Andika

sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh

untuk melindungi diri dari sengalan-sengatan tawon itu.

Tentu saja, Pendekar Slebor belum begitu tolol mau

mengorbankan diri. Padahal, pentolan dari semua

peristiwa ini belum dihancurkan.

Lagi pula, Andika masih suka makan nasi kebuli!

Setelah hampir seluruh tawon-tawon hinggap di

tubuhnya dan berusaha menusukkan sengatnya yang

paling berbahaya, diam-diam Andika memperkuat tenaga

'inti petir'nya. Sehingga yang dirasakan hanyalah sebuah

tusukan-tusukan pelan yang tak berarti.

Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bergetar

cukup kuat. Dan seketika terlihat pula beberapa ekor

tawon yang menempel di tubuhnya jatuh dan hancur.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, tawon-

tawon itu berusaha melepaskan diri dari tubuh Andika.

Namun Andika tidak akan membiarkannya begitu saja.

Pendekar Slebor akan menghancurkan seluruhnya!

Pendekar Slebor mengendalikan tenaga dalamnya yang

berpusat dari pusar ke seluruh tubuh, dan memainkannya

bagaikan berada dalam suatu gelombang. Lalu....tenaga

dalam itu dibawanya ke depan. "Phuih...!"

Bersamaan dengan itu Andika menghembuskan napasnya

perlahan-lahan. Sehingga tenaga dalam yang keluar

bagaikan sebuah perekat, yang membuat tawon-tawon itu

tidak bisa melepaskan diri.

Tubuh Andika semakin bergetar. Dan tawon itu

perlahan-lahan meluncur jatuh dan mati. Hingga kemudian,

seluruh tawon pun berjatuhan mati. Di bawah kaki Andika,

hewan-hewan pembunuh itu bergeletakan.

Orang-orang yang melihat kehebatan itu merasa

aneh sekali, menyaksikan seorang pemuda yang nampak

segar bugar. Padahal, habis dikerubungi tawon pembunuh

kejam, yang sudah tentu pasti telah menyengat salah satu

bagian tubuhnya.

Hal yang serupa pun singgah di benak Sawedo yang

diam-diam juga mcnaruh kagum pada pemuda itu. Kini dia

yakin, pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun

masih ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.

Mengapa pemuda itu membunuh Medi. Kang Menggolo,

dan istrinya?

Andika yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya

ke seluruh pakaian, mengangkat wajahnya. Dan

tatapannya membentur pada tatapan Sawedo yang masih

berdiri tegak di sana. Tampak kedua tangan Sawedo penuh

sengatan. Juga pakaian dan celana yang dikenakannya

telah koyak moyak.

Dalam sekali lihat saja, Andika bisa mengetahui

kalau Sawedo dalam keadaan luka parah.

"Saudara Sawedo.... Anda membutuhkan perto-

longan...," kata Pendekar Slebor, hati-hati. Sawedo

mengibaskan tangannya. "Tidak... Aku tidak apa-apa...,"

tolak laki-laki ini. Padahal Sawedo merasa sekujur

tubuhnya sangat panas. Tatapannya berkunang-kunang

dengan tubuh terasa limbung.

"Saudara.... Kalau Saudara tidak segera ditolong,

maka... okhhh!"

Andika cepat bergerak, menangkap tubuh Sawedo

yang hendak ambruk.

"Keterlaluan! Sudah dibilang terluka, masih berlagak

jago! Begini akibatnya!" dengus Andika. "Aku tidak apa-

apa," kata Sawedo lemah. "Lebih baik kau tidak usah

berkata-kata, karena hanya membuang tenaga saja. Saat

ini, tenagamu sangat diperlukan sekali untuk

mempertahankan hidupmu” ujar Pendekar Slebor.

Sementara orang-orang yang merasa sudah aman

itu pun segera keluar dari rumah.

"Tolong orang-orang yang masih hidup itu. Rawat

mereka!" seru Andika.

Tetapi Andika salah duga. Karena, orang-orang itu

justru mendekatinya. Wajah mereka..., begitu garang.

Penuh amarah dan siap membunuhnya!

***

9


Kening Andika berkerut ketika orang-orang itu

mengelilinginya. Matanya langsung melirik Sawedo yang

terkulai lemah dalam rangkulannya. Pemuda itu benar-

benar tak berdaya, merasakan hawa panas yang mengalir

di tubuhnya semakin kuat mengikat. Andika mendengus

dalam hati. Kalau Sawedo tidak segera diselamatkan,

maka nyawanya akan lepas percuma.

Pendekar Slebor kembali memperhatikan orang-

orang yang mengelilinginya dengan pandangan geram.

Sekali lihat saja Andika yakin, kemarahan orang -orang itu

ditujukan kepadanya.

"Pemuda setan! Gara-gara kaulah desa kami yang

damai ini diserang petaka!" dengus salah seorang laki-laki

yang tangannya nampak penuh sengatan tawon ganas tadi.

Bahkan beberapa diantara luka itu mengeluarkan darah.

"Tahan! Jangan salah pabam... ini semua...."

"Diaaamm!!" bentak laki-laki itu, membuat kata-kata

Pendekar Slebor terpenggal. Di tangannya terdapat sebuah

parang besar. "Kau telah mengacaukan upacara tumbal

untuk Dewa Bulan! Akibatnya, justru kamilah yang terkena

petaka akibat kemarahan Dewa Bulan!!"

Kini sadarlah Andika, kalau dirinya dituduh sebagai

biang keladi dari serangan tawon-tawon yang kini sudah

bergeletakan dengan jumlah sangat banyak.

"Sadarlah kalian," ujar Andika masih berusaha

menyadarkan mereka dari kekeliruannya. "Kalau selama ini

kalian telah diperalat dan dibodohi Manusia Pemuja Bulan.

Tidak ada Dewa Bulan. Manusia Pemuja Bulan hanya ingin

memanfaatkan kalian. Tentunya untuk tujuan kotor."

"Jangan banyak omong! Yang kini teriihat hanyalah

saudara-saudara kami yang telah menjadi mayat! Kalau

saja kau tidak mengacaukan upacara dengan menculik

Mayang, kami tidak akan mengalami hal yang mengerikan

seperti ini!"

Semakin sadar Andika, kalau mereka sudah tahu

tentang Mayang yang diculik ketika hendak dilenyapkan

Manusia Pemuja Bulan.

"Kalian seharus nya sadar, kalau selama ini dibodohi

Manusia Pemuja Bulan. Kalian telah dimanfaatkan untuk

kepentingannya. Ingatkah kalian akan kata-kata Ki Seta

sebelum ajalnya? Selama ini, kita hanya mempunyai satu

keyakinan. Hanya Gusti Allah yang patut disembah. Bukan

Dewa Bulan. Dan karena berani membantah itulah, maka

Ki Seta harus mati! Karena, Manusia Pemuja Bulan

tentunya akan takut bila kalian tidak lagi menjadi

pengikutnya!" papar Pendekar Slebor.

"Ki Seta memang patut mati, karena berani

membantah permintaan Manusia Pemuja Bulan. Ki

Wedokmurko adalah utusan dari Dewa Bulan yang harus

dihormati! Tetapi..., kedamaian yang selama ini kami

dapatkan harus kandas karena perbuatanmu!"

"Kedamaian?" balas Andika pula. Dia tahu,

kesalahpahaman nampaknya sudah di ambang mata.

"Apakah kalian menamakan semuanya ini kedamaian?

Kalian harus menyerahkan anak gadis kalian setiap malam

Jumat untuk dipersembahkan kepada Dewa Bulan? Kalian

harus menyediakan harta kalian untuk Dewa Bulan? Inikah

yang kalian namakan kedamaian? Justru kalian telah

melakukan suatu kebodohan. Kalian telah mengorbankan

nyawa gadis-gadis yang tak berdosa! Bukan untuk Dewa

Bulan, tapi untuk Manusia Pemuja Bulan yang tentunya

berbuat keji!"

"Kau memang pandai bicara!" dengus laki-laki ber-

senjata itu lagi.

Diam-diam laki-laki ini merasakan sekujur tubuhnya

menjadi panas. Sangat panasnya, sehingga justru harus

menahan getaran tubuhnya.

"Kau sakit, Saudara...," kata Andika yang dapat

melihat keadaan Sunjoyo.

"Tidak! Kau harus mati!" dengus laki-laki itu sambil

menyerang Andika dengan parangnya.

"Jangan lakukan itu, Sunjoyo...."

Terdengar seruan pelan dari mulut Sawedo yang

semakin melemah.

Tetapi laki-laki bernama Sunjoyo sudah menyerang.

Namun hanya selangkah saja mampu bergerak, selebihnya

sudah ambruk ke bumi. Dan nyawanya pun me-regang.

Kejadian ini membuat yang lainya menjadi

bertambah marah. Mereka siap menyerang Andika. Tetapi

baru saja mereka bergerak....

"Jangan..., jangan lakukan itu. Pemuda ini benar...

Kita memang sudah dibodohi Manusia Pemuja Bulan...."

Sawedo yang semakin lemah keadaannya mencegah

dengan suara pelan.

"Sawedo! Kau akan dikutuk Dewa Bulan!" bentak

seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dengan

geram. Wajahnya bulat dengan kumis baplang. Di lengan

kirinya pun terdapat tiga buah bekas sengatan tawon-

tawon kejam.

"Tidak.... Tidak ada Dewa Bulan seperti yang dika

takan Ketua Wedokmurko. Dia..., dia membohongi kita...,"

kata Sawedo.

"Sawedo! Mengapa kau mendadak saja berbalik

padanya? Apakah matamu mendadak menjadi buta, tidak

melihat betapa banyaknya mayat yang bergelimpangan

gara-gara ulah pemuda gondrong itu? Juga kau lihat sen-

diri, nasib Sunjoyo yang mencoba membela kebenaran

harus tewas di depan mata kita! Dan kau sendiri, seben-tar

lagi pun akan mati...," sergah laki-laki berkumis ini Sawedo

mengangkat kepalanya. Sementara tubuhnya masih

dipegang Andika.

"Tidak! Itu tidak benar. Sunjoyo mati bukan karena

membela kebenaran, tetapi bodoh. Sama seperti kita.

Hanya Ki Seta yang patut disebut sebagai pembela

kebenaran...," tandas Sawedo.

"Sawedo!"

"Paman Longgom.... Kini aku baru sadar, kalau kita

selama ini keliru.... Aku yakin, kalau yang mendatangkan

bencana ini adalah Manusia Pemuja Bulan..., yang telah

memaksa kita untuk menjadi pengikutnya...."

"Kau?" laki-laki berkumis yang bernama Longgom

menggeram marah.

"Paman Longgom! Selama ini kita telah

mengorbankan gadis-gadis tak berdosa sebagai tumbal

untuk Dewa Bulan. Yah! Aku yakin sekarang..., tentunya

Manusia Pemuja Bulan memiliki ilmu tinggi. Dengan

ilmunya itulah dia mendatangkan dan melenyapkan gadis-

gadis yang dikatakan dipilih dan telah diterima Dewa

Uulan...," tutur Sawedo.

"Mengapa kau berpikiran begitu, Sawedo? Rupanya

kau sudah gila berani menentang Dewa Bulan!" desis

Longgom.

"Paman Longgom...! Ada alasan yang sangat masuk

akal. Bila memang Dewa Bulan adalah sesuatu yang patut

disembah, yang mampu mendatangkan dan mengambil

gadis-gadis yang dipilihnya, mengapa pemuda ini..., mampu

mengambil Mayang kembali? Mengapa? Di mana kekuatan

terdahsyat yang dimiliki Dewa Bulan bila memang patut

dijadikan sesembahan? Pikirkanlah itu, Paman

Longgom...," ungkap Sawedo.

Longgom kelihatan serba salah sekarang. Hati

kecilnya yang terdalam pun membenarkan alasan itu.

Begitu pula yang lainnya. Tetapi Longgom belum puas

"Sawedo...! Bagaimana dengan Medi, Kang Meng-

golo dan istrinya yang mati dibunuh pemuda itu?"

Sawedo menggeleng-geleng lemah.

"Kini aku yakin, bukan pemuda itulah yang

membunuh mereka," jelas Sawedo semakin pelan.

"Lalu siapa?"

"Manusia Pemuja Bulan."

"Hhh! Mustahil. Dia justru datang memberi

perlindungan dari musibah-musibah yang mengerikan pada

wanita. Lantas bagaimana mungkin telah melakukan

pembunuhan itu?" sergah Longgom.

la juga telah membunuh Ki Seta, Paman Longgom...,"

tambah Sawedo.

Kali ini Longgom terdiam. Orang-orang yang marah

pada Andika pun menurunkan tangan yang memegang

berbagai senjala lajam.

Andika diam-diam mendesah lega. Dia sendiri tidak

menyangka kalau Sawedo akan membelanya. Bahkan

Sawedo berpihak kepadanya. Tetapi kini dia yakin, kalau

manusia-manusia ini masih memiliki kepercaya yang tulus

dan hati nurani yang dalam.

Mendadak saja Pendekar Slebor melihat orang-orang

itu menjerit-jerit kesakitan. Rupanya sengatan yang dialami

tadi, kini sudah mulai bekerja. Mereka memang tidak

segera mati, karena hanya menderita beberapa sengatan

saja. Namun, hawa panas itu mulai menjalari tubuh!

Termasuk Longgom!

Di tempat persembunyiannya, Wedokmurko alias

Manusia Pemuja Bulan tengah menyempurnakan ajian

'Unggulan Dewa'nya dengan mempergunakan darah tiga

perawan yang diculik. Sebenarnya dia sangat geram

terhadap Pendekar Slebor yang telah mengacaukan

seluruh rencananya.

Kalau tidak ingat pantangan ajian 'Unggulan Dewa'

yang sedang disempurnakannya, sudah tentu Pendekar

Slebor sudah diserangnya. Namun, selama berada dalam

tahap penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa' tenaga

dalamnya pantang dikeluarkan terlalu banyak Karena,

tanpa tenaga dalam kuat, maka ajian 'Unggulan Dewa'

tidak akan pernah berhasil disempurnakan.

Tetapi kelak, bila Manusia Pemuja Bulan berhasil

menguasai ajian 'Unggulan Dewa', tak seorang pun yang

akan bisa mengalahkannya. Tak seorang pun!

Ki Wedokmurko tersenyum puas membayangkan

sesuatu yang tak sabar dinantinya. Kini dengan kejamnya,

Manusia Pemuja Bulan menekan perut gadis-gadis itu kuat-

kuat, sehingga darah perawan mereka muncrat.

Setelah tiga pertanakan nasi Ki Wedokmurko

melakukan hal itu. namun bukan wajahnya menjadi gem-

bira, justru menggeram marah.

"Bangsat! Tinggal satu dara perawan lagi yang harus

kudapatkan. Maka, ilmuku akan sempurna! Hhh! Bila aku

terus menerus seperti ini, maka tenagaku untuk menculik

mereka akan hilang perc uma. Lain bila orang-orang bodoh

itu menyediakan gadis-gadis itu untukku! Sialnya, aku tak

menemukan lagi dara perawan di sana! Rata-rata masih

berusia di bawah dua belas tahun!" dengus Manusia

Pemuja Bulan. Dan tiba-tiba, matanya berbinar. "Hmm...,

Mayang. Ya..., tinggal dia saja perawan di desa itu! Ini

semua gara-gara Pendekar Slebor! Hhh! Pendekar Slebor....

Tunggu balasanku!"

Kali ini Andika sangat sibuk, bekerja mati-matian

untuk menyelamatkan tubuh-tubuh yang tengah menahan

sakit. Rasa letihnya tak dihiraukan lagi. Bahkan tenaganya

pun harus terkuras, karena hanya seorang diri bekerja.

Namun semuanya tak dipedulikannya lagi. Yang ada

dibenaknya, hanyalah menyelamatkan tubuh-tubuh itu.

Dengan mempergunakan kain pusaka yang bercorak

catur, Andika mengalirkan tenaga dalam dan

mengusapkannya pada dada si sakit. Hasilnya, hawa panas

yang mengaliri tubuh-tubuh itu mulai berkurang. Dan lama

kelamaan, menghilang. Namun karena begitu banyaknya

yang harus ditolong, beberapa orang tak sempat diberikan

bantuan. Sehingga, mereka pun mati

Pagi pun berjalan. Matahari sudah sepenggalah.

Sinarnya yang sejuk seharusnya membuat orang mampu

menikmati, dan mempergunakan untuk menjemur pakaian,

dan makanan. Bahkan sebagai tanda sudah waktunya

bekerja di sawah dan ladang.

Tetapi pagi ini, tak seorang pun yang mampu

menikmati pagi dan matahari. Tak seorang pun yang pergi

menuju sawah dan ladang. Karena, mereka harus berjuang

melawan maut. Sementara Pendekar Slebor terus

berusaha menyelamatkan mereka.

Ketika pekerjaannya selesai, barulah Andika

merasakan tenaganya sangat letih. Dia segera duduk

bersemadi untuk memulihkan tenaga dalam dan hawa

murni yang benar-benar terkuras.

Selama satu penanakan nasi Pendekar Slebor duduk

memejamkan matanya. Bila saja ada orang yang ingin

membunuhnya, maka akan sangat mudah dilakukan.

Karena Andika benar-benar sudah melepas semua

kesadarannya, membiarkan seluruh tubuhnya kosong dan

mengisinya dengan kesegaran.

Lalu Andika mendesah panjang dan berdiri kembali.

Dilihatnya sudah ada beberapa orang yang bisa bangun

dan merasakan hawa panas yang menyiksa tadi

menghilang. Namun tubuh mereka masih terasa lemah.

Sawedo yang tadi membujur di sisi Andika pun

sudah duduk. Ditatapnya Andika.

"Sobat..., lerima kasih atas pertolonganmu...," ucap

Sawedo tulus.

Andika tersenyum.

"Aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau

akhirnya mau mengerti segala peristiwa ini. Kalau kau

tidak membantah kata-kata mereka tadi, sudah tentu aku

tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi dari sini. Dan

akibatnya, akan banyak nyawa yang melayang percuma...."

Sawedo mengangguk-angguk.

"Sobat, siapakah namamu?" tanya Sawedo.

"Andika."

"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu,

Andika...," kata Sawedo lagi. Andika mengangguk.

"Untungnya, petaka itu bisa diselesaikan, meskipun

memakan korban yang sangat banyak. Hmm, Sawedo....

Kini kita tinggal menghadapi otak licik Manusia Pemuja

Bulan yang telah menimbulkan seluruh petaka ini," kata

Pendekar Slebor.

"Kau benar, Andika. Yah..., aku memang bodoh,"

kata Sawedo jujur. "Sebenarnya, aku tidak percaya pada

Manusia Pemuja Bulan. Hanya saja..., ah! Sudahlah....

Tidak baik mengingat kebodohan itu...."

"Kau benar. Tetapi, Sawedo. Tahukah kau, di mana

Manusia Pemuja Bulan tinggal?"

Sawedo menggeleng.

"Aku tidak tahu. Dia datang dan pergi begitusaja...."

Inilah yang sulit. Kalau dibiarkan saja, maka petaka demi

petaka akan menimpa masyarakat di sini.

Orang-orang pun sudah mulai bisa berdiri dan ber-

cakap-cakap. Juga terdengar tangis yang memilukan dari

beberapa orang ibu yang melihat anak dan suami mereka

telah menjadi korban sengatan tawon-tawon ganas. Saat

itulah Andika teringat Mayang.

"Sawedo...! Bila tenagamu sudah pulih kembali,

ajaklah penduduk di sekitar sini untuk mcmbangun desa

ini kembali. Sadarkanlah mereka, kalau selama ini telah

dibodohi Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Sic bor.

"Baik, Andika. Kau sendiri hendak ke mana?" Andika

nyengir.

"Apakah kau tidak ingin melihat Mayang?" Andika

malah balik bertanya.

"Oh! Ya, ya.... Aku sendiri ingin tahu, bagaimana

keadaannya dan apa yang dirasakannya...."

"Tunggulah di sini. Saat ini dia aman di satu tempal

bersama kawanku yang bisa dipercaya."

Sawedo mcngangguk.

Andika pun berkelebat cepat. Dan diam-diam

Sawedo menghela napas panjang.

"Ah! Siapakah sebenarnya Andika itu? Bila melihat

gerakan dan sikapnya, jelas sekali dia seorang pendekar

yang meskipun agak urakan tetap memiliki kebijaksanaan.

Kalau saja tidak ada Andika, sudah pasti kehidupan di

desa ini akan hanc ur. Karena tidak mustahil, akan selalu

berada di bawah pengaruh Manusia Pemuja Bulan!" kata

Sawedo dalam hati.

Sawedo semula merasa yakin kalau Andikalah yan

membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Namun

perlahan-lahan keyakinannya mulai sirna. Dia menangkap

sesuatu yang sangat sulit dilacak Namun hati kecilnya

mengatakan, Manusia Pemuja Bulan-lahyang telah

melakukannya. Entah mengapa, sampai saat ini dia belum

menemukan jawabannya.

Tetapi kayakinan yang lebih pasti, Ki Seta jelas

dibunuh Manusia Pemuja Bulan. Seharus nya, mendengar

kata Ki Seta yang menentang Manusia Pemuja Bulan,

mereka segera sadar. Segera mengerti bahwa yang

dilakukan selama ini adalah suatu kesalahan.

Namun, saat itu pikiran mereka telah menghitam,

penuh ajaran-ajaran yang diberikan Manusia Pemuja

Bulan. Hingga saat itu mereka mempunyai satu keyakinan,

kalau Ki Seta yang memang patut mati karena berani

menentang kehendak Dewa Bulan.

Diam-diam Sawedo mendesah panjang. "Hmm,

sebenarnya harta apa yang disembunyikan Ki Seta?

Kecuali Manusia Pemuja Bulan sampai saat ini tak seorang

pun yang tahu kalau Ki Seta menyimpan harta yang

tentunya sangat banyak.

Karena harta itulah Ki Seta harus mati! Lalu

perlahan-lahan Sawedo bangkit, berusaha menyadarkan

teman-temannya yang lain dari pengaruh Manusia Pemuja

Bulan.

"Pemuda berbaju hijau itulah yang patut kita sebut

dewa penolong! Dialah yang mencoba menyadarkan ke-

bodohan kita, meskipun semula harus dimus uhi karena

telah kita tuduh sebagai biang onar!"

***

Hari sudah siang. Matahari tepat di pusat kepala,

ketika Andika kembali ke tempat sebelumnya dia

meninggalkan Mayang dan Tridarma. Namun ternyata

Pendekar Slebor tidak menemukan mereka di sana.

"Hei? Ke mana mereka, ya?" tanya Pendekar Slebor

sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Seluruh tenaga dan hawa murni Pendekar Slebor

kini s udah kembali berjalan seperti biasa, Andika

mencari-cari di sekitar sana, tetapi tak ada tanda-tanda

keduanya berada.

"Edan! Berani-beraninya Tridarma melanggar

perintahku! Dibawa ke mana Mayang sebenarnya?" rutuk

Pendekar Slebor.

Andika menempelkan kedua tangannya di mulut

membentuk corong. Lalu....

"Tridarma! Mayaaang! Di mana kalian?!" teriak

Pendekar Slebor.

Tak ada sahutan. Angin semilir berhembus,

menggoyang dedaunan. Andika berteriak sekali lagi, tetapi

hasilnya sama.

"Brengsek Tridarma! Hhh! Tak heran aku kalau dia

berani meninggalkan Ki Saptacakra, ketika sedang

bersemadi!" dengus Andika.

Tetapi mendadak saja Pendekar Slebor terdiam. Ada

sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang seperti baru

menyadarkannya. Lalu dihelanya napas panjang, dan

berkelebat kembali ke desa tempat tinggal Sawedo.

***

10


Sebenarnya Andika cukup malu juga ketika kembali

ke desa tempat tinggal Sawedo tanpa Mayang. Apalagi tadi

Sawedo nampak menunggu kedatangannya.

"Maaf, Sawedo.... Mayang dan Tridarma tidak berada

di sana.... Mungkin, mereka meninggalkan tempat itu,"

ucap Pendekar Slebor, mau tak mau harus mengatakan

juga.

"Sudahlah, Andika. Lebih baik, beristirahat saja dulu.

Kulihat beberapa orang ibu sudah pulih dari kekagetan

mereka. Mereka nampak sudah bersedia menanak nasi,"

ujar Sawedo, sangat ramah.

Andika mendesah panjang. Dia menyesali, mengapa

hal itu harus terjadi? Berkali-kali Pendekar Slebor menotol-

notol kepala dengan telunjuknya. Dan sekarang, dia masih

menunggu kemunculan Tridarma dan Mayang.

Sawedo mendekati.

"Andika.... Nampaknya malam ini akan kita lewati

dengan aman...," desah Sawedo.

"Itu lebih baik. Apakah kau ingin kerusuhan terjadi

lagi?" tanya Andika sambil nyengir.

"Ya, tidak. Malah aku berkeinginan agar Manusia

Pemuja Bulan segera pergi dari sini."

"Ya, sayangnya tak seorang pun yang tahu di mana

manusia itu berada. Bahkan tadi pagi, aku sudah menda-

tangi dan mengelilingi Gunung Pengging. Namun tak satu

tempat pun yang bisa dijadikan tanda-tanda sebagai

tempat persembunyian Manusia Pemuja Bulan dan para

anak buahnya. Tetapi.., he he he.... Sudah tentu Manusia

Pemuja Bulan telah memagari persembunyiannya dengan

ajian yang tak bisa ditembus mata."

"Itu sudah pasti. Hhh! Kalau saja selama ini aku

tidak bodoh, tidak akan pernah ada korban perawan

berikutnya!" geram Sawedo. sekali lagi menyesali

kebodohannya.

"Sudahlah.... Tidak sudah dipermasalahkan lagi Yang

terpenting... hei!"

Andika tiba-tiba berdiri disertai rasa kagct. Segera"

dia melesat ke satu tempat.

Sawedo dan teman-temannya segera berlari ke

tempat Andika dengan senjata terhunus. Sementara

sebagian berjaga-jaga di tempat semula.

Begitu tiba, mereka melihat Andika sedang berlutut

memeriksa dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat

dengan leher hampir putus.

"Rupanya manusia itu telah menebarkan petaka

kembali!" desis Andika.

Sawedo menghela napas panjang. Hatinya teriris

melihat luka yang diderita dua pemuda yang ditugasi untuk

meronda. Luka yang teramat mengerikan.

"Andika..., siapakah yang telah melakukannya?"

tanya Sawedo geram.

"Hanya satu dugaanku, Manusia Pemuja Bulanlah

yang melakukannya. Rupanya, kini dia sendiri yang datang

menyerang. Bila melihat kelebatannya yang sangat cepat,

dugaanku jelas-jelas Manusia Pemuja Bulan. Karena,

berkali-kali aku bentrok dengan anak buahnya yang

berpakaian dan bertopeng merah. Namun tak seorang pun

yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi seperti

itu. Kita harus..., oh, Tuhan! Sawedo! Cepat kita kembali ke

desa!" sentak Pendekar Slebor.

Andika kembali berkelebat lebih dulu. Dia harus

berpacu dengan waktu. Dadanya bergetar cemas.

Begitu tiba di tengah desa yang ditakutkannya

Pendekar Slebor pun terjadi Tampak lima belas tubuh telah

meregang nyawa dengan leher hampir putus.

"Bangsat! Manusia busuk, keluar kauuu! Kita ber-

tarung sampai mampus!" semprot Andika keras dengan

kedua tangan mengepal keras.

Sawedo dan yang lainnya pun tiba di sana. Mereka

kontan terkejut melihat mayat-mayat itu.

"Andika!" serunya pada Andika yang tengah

menumpahkan kekesalannya.

"Sawedol Suruh semuanya masuk ke rumah! Jangan

ada yang keluar! Manusia Pemuja Bulan telah muncul di

sini!" ujar Andika berteriak.

"Andika..., mereka bisa menjaga diri. Aku lebih ingin

mengorbankan nyawaku untuk membantumu! Untuk

menghancurkan Manusia Pemuja Bulan yang telah

membodohiku selama ini! Lagi pula, Paman Longgom dan

beberapa orang yang lain kurasa sudah cukup untuk

menjaga keselamatan mereka."

Andika mengangkat bahu.

"Terserah kaulah. Tetapi kuperingat kan, hati-hati!"

Begitu mendengar Andika berkata hati-hati, Sawedo

dan temannya pun segera bersiaga. Mereka melihat

Pendekar Slebor nampak seperti terdiam. Namun mereka

yakin kalau Andika dalam siaga penuh.

Tiba-tiba saja, dari tempat yang gelap berloncatan

beberapa sosok tubuh berpakaian dan bertopeng merah

berjumlah sekitar sepuluh orang. Kalau biasanya mereka

tidak membawa senjata, kini di tangan masing-masing

tergenggam sebilah golok besar. Andika mendengus.

"Mana manusia kodok itu, hah?!" bentak Pendekai

Slebor. "Suruh dia keluar! Hadapi aku, Pendekar Slebor

yang menghancurkannya!

Sawedo menegakkan telinganya.

Pendekar Slebor? Oh, Tuhan...! Andika kah yang

berjuluk Pendekar Slebor?" gumam Sawedo, dalam hati

Selama ini sayup-sayup Sawedo memang pernah

mendengar tentang seorang pendekar bijaksana, namun

sedikit urakan. Dia dijuluki Pendekar Slebor. Lalu yang

dikatakan Andika tadi? Sungguh Sawedo tak pemah

menyangka kalau Pendekar Slebor yang begitu harum

namanya berada di dekatnya. Bahkan, sudah selama dua

minggu berada di dekatnya. Namun saat itu, kemarahan

dan kebencian masih membalut tubuhnya. Sehingga, dia

tidak tahu siapakah orang yang dibencinya.

Orang-orang di balik topeng merah itu menggeram,

Salah seorang mengangkat goloknya.

"Hhh! Pendekar Slebor...! Kau terlalu banyak

mencampuri urusan kami! Tetapi kini, kau akan membayar

semua perbuatanmu itu dengan nyawamu!"

Dalam keadaan sesulit dan setegang apa pun, naluri

urakan Andika tetap saja muncul.

"Wah, wah...! Bagaimana kalau kuganti dengan uang

dua ketip? Lalu, kubeli nyawa kalian seharga satu ketip?

Lumayan, kalian bisa membeli pecel di ujung pasar sana!"

kata Pendekar Slebor, seenak udelnya.

"Bangsat!"

Orang itu segera melesat dengan cepat ke arah

Andika.

"Lihat serangan! YeaaaF" Wuuuttt! "Uts...!"

Andika melenting ke atas dengan ringan. Dan secara

serempak, Sawedo dan kawan-kawannya segera

menyerang pula yang segera disambut sembilan orang

bertopeng merah yang lain.

Pertempuran sengit pun berlangsung seru. Sawedo

begitu geram. Dia bergerak dengan gesiL Rupanya pemuda

itu memiliki kepandaian yang cukup lumayan. Ge-rakannya

gesit dan ringan. Serangan parangnya mantap.

Trang! Trang! Trang!

Suara senjata beradu semakin ramai terdengar,

seolah menyemarakkan malam yang semakin berjalan.

Orang-orang yang berada di dalam rumah tak ada yang

berani melihat pertempuran. Mereka saling dekap dengan

anak, istri, atau suami.

Andika berkelebat ke sana kemari. Dan dia tidak

mau bertindak tanggung lagi. Tenaga 'inti petir'nya sudah

dipergunakan sampai tingkat kedua puluh lima. Blarrr!

Glarrr!

Terdengarlah suara bagai petir menyalak setiap kali

langan Andika berkelebat. Hasilnya, lima orang pun

terpental dengan tubuh muntah darah dan meregang

nyawa. Sisa lima orang lagi pun menjadi sasaran

kemarahan Sawedo dan teman-temannya yang tinggal

enam orang. Karena, dua orang sudah tewas.

Kalau saja Andika tidak membantu, maka akan sia-

sia saja perlawanan Sawedo dan teman-temannya. karena,

lawan mereka amat tangguh. Andika sudah kembali

berkelebat ke sana kemari dengan pukulan 'inti petir'nya.

Sementara itu, Longgom dan dua belas orang yang

menjaga keselamatan para penduduk harus menghadapi

pula serangan yang datang mendadak. Untungnya sejak

tadi mereka sigap, sehingga tidak sampai kecolongan.

Sebenarnya tadi mereka sudah ingin membantu

Andika, Sawedo dan yang lainnya. Namun, Longgom

menahan. Karena dia berpikir, barangkali saja nanti ada

lawan yang melakukan pembokongan. Lagi pula, tadi pun

telah didengar siapa Andika sebenarnya. Pendekar Slebor

yang kesohor!

Dan mereka pun perlahan-lahan melihat orang-orang

berpakaian dan bertopeng merah itu mulai terdesak, lalu

ambruk satu persatu.

Memang, perhitungan Longgom sangat mantap

Karena mendadak saja delapan orang berpakaian dan

bertopeng merah muncul dari balik semak dengan cara

melompat sambil mengayunkan golok besar di tangan.

"Ayo, Kawan-kawan! Kita musnahkan manusia-

manusia bangsat ini!" teriak Longgom yang kini sudah

sadar, kalau selama ini hanya diperalat Manusia Pemuja

Bulan. Pedang di tangannya pun terayun cepat ke sana

kemari.

Trang! Wuuuttt!

"Aaakkkhhh!"

Salah satu orang bertopeng menjerit sambil

mendekap tangan kirinya yang buntung akibat sabetan

pedang Longgom. Namun meskipun lebih sedikit, mereka

lebih tangguh dari kelompok Longgom. Karena, hanya

Longgom saja yang memiliki kepandaian. Sementara, yang

lainnya hanya mengandalkan semangat. Mereka harus

melampiaskan kemarahan, karena selama ini dibodohi.

Maka sebentar saja teriihat Longgom dan sisa

teman-temannya mulai terdesak, menghadapi gempuran

gempuran yang hebat dari lawannya.

Trang! Trang! Wuuuttt! "Aaakh!"

Satu orang teman Longgom ambruk meregang

nyawa. Namun Longgom terus memberi semangat pada ka-

wan-kawannya.

"Ayo, jangan mundur! Kita harus maju terus!

Hancurkan mereka! Hancurkan!" teriak Longgom.

Lalu dengan penuh kegeraman dan keberanian,

Longgom menyerang sekuat tenaga. Namun, dia pun harus

menghadapi tiga orang lawannya yang rata-rata memiliki

kepandaian tangguh.

Kali ini Longgom harus terdesak. Begitu pula teman-

temannya. Namun di saat yang gawat, melesat satu

bayangan hijau sambil mengibaskan tangan ke sana

kemari.

Desss...! Desss!

"Aaakh...!"

Orang-orang itu pun berpentalan disertai muntah

darah. Melihat sosok bayangan yang tak lain Andika, nyali

Longgom yang mulai menciut, kini mekar kembali. Maka

langsung diterjangnya lawan- lawannya.

Andika sendiri merasa harus menyelesaikan semua

ini dengan segera. Karena menurut perkiraannya, Manusia

Pemuja Bulan akan muncul sekarang juga.

Pendekar Slebor pun bergerak cepat sambil

mengibaskan pukulannya yang mengandung tenaga 'inti

petirl

"Mampuslah kalian semua!" bentak Andika.

"Sawedo! Kang Longgom, cepat tinggalkan tempat itu!

Kembali kalian ke rumah masing-masing! Karena menurut

perkiraanku, Manusia Pemuja Bulan akan muncul! Sekali

ini, turuti kata-kataku!"

Setelah berkata demikian, Andika bersalto ke depan.

Namun belum lagi hinggap di tanah....

Blarrr...!

"Aaa...!"

Terdengar ledakan dahsyat yang disertai jeritan

menyayat.

"Edan...!"

Andika merutuk melihat Longgom dan tiga orang

temannya telah tewas dengan tubuh pecah berantakan.

"Sawedo! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru

Pendekar Slebor sambil berbalik ke belakang. Matanya

bersiaga penuh, dengan kewaspadaan sangat tinggi.

Di atas sebuah pohon, Andika melihat satu sosok

berjubah hitam menatap nyalang kepadanya. Inikah

Manusia Pemuja Bulan? Serangan pertama yang

diperlihatkan tadi sungguh sangat hebat!

"Hei, Jubah Hitam Dekil! Turun sini, biar kulihat

mukamu itu! Apakah lebih dekil daripada jubahmu?!" seru

Pendekar Slebor sambil mengulapkan tangannya.

Sosok yang tak Iain Ki Wedokmurko menunjuk ke

wajah Andika.

"Kau terlalu banyak ikut campur, Pendekar Slebor!"

Werrr...!

Andika tertawa. Tetapi Pendekar Slebor segera

mengibaskan tangannya pula, ketika merasakan

serangkum angin menyambarnya. Rupanya, Manusia

Pemuja Bulan mencoba membokongnya, atau menjajaki

kekuatan tenaga dalamnya? Saat itu juga Andika mengalir-

kan kekuatan 'inti petir' ke sekujur tubuhnya.

Wusss...!

Ganti Ki Wedokmurko yang harus berjumpalitan

ketika merasakan sebuah dorongan angin besar yang

menderu ke arahnya.

"Luar biasa! Nama besar Pendekar Slebor memang

bukan omong kosong belaka!" sentak Manusia Pemuja

Bulan, begitu mendarat di tanah.

"He he he...! Siapa dulu dong orangnya?" seloroh

Andika.

"Hanya sayang, nama besar Pendekar Slebor hari ini

akan musnah bersama angin lalu!"

"He he he.;.! Boleh saja, boleh saja ngomong begitu.

Ngomong memang mudah, kok," sahut Andika, mengejek.

"Akan kubuktikan omonganmu!" desis Ki Wedok*.

murko sambil membuka jurusnya.

Kedua tangan Manusia Pemuja Bulan mengembang

ke muka. Kaki kirinya berada sedikit menyerong ke arah

kanan, sementara kaki kanan berada di belakang, sejajar

pinggul.

"He he he.... Jurus kedok buntet kau perlihatkan,

ya?"

Ejek Andika disambut gerakan menyusur tanah

sangat cepat sekali. Satu serbuan Manusia Pemuja Bulan

yang mampu membuat Andika menjadi kalang kabut tak

karuan. Karena, gerakan itu mengandung kekuatan penuh

dari satu jurus pembuka yang mematikan.

"Edan! Hebat juga jurusmu itu, Orang Jelek!" leceh

Pendekar Slebor sambil melenting dan berputar dua kali di

atas, dengan gerakan ringan manis sekali.

Mendadak saja Pendekar Slebor meluruk ke arah

Manusia Pemuja Bulan, dengan satu gerak tipu.

Namun gerakan Pendekar Slebor rupanya berhasil

digagalkan Ki Wedokmurko hanya dengan satu sontekan

kaki ke depan. Sehingga mau tak mau, Andika harus

mengubah jurusnya lagi. Bahkan menarik pulang dengan

satu hembusan napas.

"Gila!"

"Ha ha ha.... Kau akan merasakan, betapa bodohnya

malam ini, karena berani menantang dan mengusik

Manusia Pemuja Bulan!" seru Ki Wedokmurko sambil terus

menyerang gencar.

Wuuuttt!

Deb! Deb!

"Heiiittt! Boleh, boleh! Boleh saja kau ngomong

begitu! Tetapi sekarang kukatakan. Kalau kau merasa bo-

doh, ya jangan mengajak orang lain ikut bodoh, dong!" ejek

Andika.

Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor memulai

tubuhnya berkali-kali, bagai berlari menghindari serangan

Manusia Pemuja Bulan. Padahal, gerak yang dilakukannya

salah satu gerak tipuan yang telah dikembangkannya dari

jurus 'Memapak Petir Membabibuta'.

Bila lawan terbawa arus gerakannya, maka Pendekar

Slebor secara mendadak akan menghentikan langkahnya.

Tubuhnya cepat merunduk. Lalu dengan pencalan satu

kaki, dia melenting ke atas. Sementara tangannya siap

menghantam kepala.

Namun lagi-lagi gerak tipu itu tidak membawa arti.

Karena bukannya mengikuti gerakan Pendekar Slebor,

Manusia Pemuja Bulan justru memotong geraknya dalam

satu gerak lurus membentuk serangan berputar.

'Mampuslah kau!"

Deb!

"Heiiittt!"

Andika mengubah gerakannya dengan melompat

kekiri.

"Kutukupret! Kodok bantet!"omeI Andika jengkel.

"Ha ha ha...! Kau sudah merasakan ketangguhan

jurusku itu, bukan? Kini, bersiaplah menerima

kembangannya dari jurus 'Dewa Bulan Menebar Cahaya',"

ejek Ki Wedokmurko.

Andika tahu kalau jurus yang akan diperlihatkan

Manusia Pemuja Bulan merupakan jurus tangguh.

"Kasih lihat deh! Dan kau juga akan melihat jurusku

'Dewa Bulan Menebar Kentut'!"

Dalam keadaan demikian, masih sempat-sempatnya

Andika mengejek, membuat wajah Manusia Pemuja Bulan

memerah.

Tiba-tiba saja Ki Wedokmurko bergerak cepat, bagai

gerakan terjun ke sungai. Jubah hitamnya mengembang.

Kedua tangannya yang tadi mengatup menjadi satu, kini

membuka. Seolah dia sedang menebarkan sesuatu ke

bawah.

Benar saja! Pendekar Slebor merasakan getaran

cukup kuat, yang seolah mengalir dari kedua tangan

Manusia Pemuja Bulan. Dengan cepat tubuhnya berguling

ke kanan. Namun, Manusia Pemuja Bulan terus

mengejarnya.

"Edan! Aku bisa mampus kalau begini!" dengus

Andika.

Lalu mendadak saja Pendekar Slebor melompat ke

atas, setelah sebelumnya bergulingan sekali lagi

menghindari serangan. Begitu berdiri tegak, tatapannya

menyipit dengan wajah dingin. Tetapi tetap saja tidak

mengurangi kekonyolannya.

"Kalau begitu, baiklah.... Kini kau akan mendapat-

kan perlawanan yang hebat dariku! Tetapi..., he he he....

Asalkan kau tidak membalas, aku pasti menang,"

kata Pendekar Slebor sambil tertawa, karena merasa lucu

dengan ucapannya sendiri.

Dan mendadak saja, Andika memutar kedua

tangannya di atas. Kemudian perlahan-lahan dikerahkan-

nya ajian "Guntur Selaksa' yang diciptakannya sendiri di

Lembah Kutukan, dan secara tidak langsung adalah salah

satu jurus warisan dari Pendekar Lembah Kutukan. Terlihat

kalau sekujur tubuh Pendekar Slebor kini bagai dikelilingi

sinar berwarna putih keperakan.

"Manusia Pemuja Bulan! Kita lihat, siapa yang

digdaya!" bentak Pendekar Slebor, garang.

"Hhhh! Kau akan menyesali kenekatanmu ini,

Pendekar Slebor!"

Lalu dengan kecepatan penuh, Manusia Pemuja

Bulan menyerang. Begitu pula dengan Andika yang

mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'. Tubuhnya cepat

bergerak memapaki.

Orang-orang yang memperhatikan pertarungan itu

bergetar hatinya. Terutama, Sawedo yang kini sudah

merasa dekat dengan Andika yang dikenal sebagai

Pendekar Slebor.

Des! Des! Des!

"Aaakh...!"

"Aaakh...!"

Dua kali benturan terjadi, menyusui dua buah tubuh

yang terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan.

Tubuh Pendekar Slebor tampak menabrak sebuah po-on.

Begitu pula Ki Wedokmurko atau Manusia Pemuja Bulan.

Keduanya sama-sama merasakan rasa sakit di dada

masing-masing.

Namun seketika mereka sudah tegak kembali.

Masing-masing membuka jurusnya. Ki Wedokmurko diam-

diam menggeram dalam hati. Nama besar Pendekar Slebor

memang cukup lama dikenalnya, sebagai pendekar muda

yang memiliki kesaktian tinggi.

Akan tetapi, tokoh itu telah bertekad untuk

memusnahkan pemuda berpakaian hijau pupus ini. Dan

mendadak saja Manusia Pemuja Bulan duduk bersila,

dengan kedua tangan terkatup menjadi satu di dada.

Andika pun berbuat yang sama, sekaligus untuk

memulihkan rasa sakit yang diderita.

Pendekar Slebor melihat tubuh Manusia Pemuja

Bulan mengeluarkan asap. Dan mendadak saja, perlahan-

lahan sekujur wajah Ki Wedokmurko teriihat memerah.

Namun yang membuat kening Pendekar Slebor berkerut,

karena bagian bahu di lengan kanan Manusia Pemuja

Bulan tidak terlihat warna merah.

Rupanya' Manusia Pemuja Bulan telah

mengeluarkan ajian pamungkas yang belum sempurna

betul. Ajian 'Unggulan Dewa' memang masih membutuhkan

satu darah perawan lagi agar menjadi sempurna. Namun

Manusia Pemuja Bulan berpikir, menghadapi Pendekar

Slebor bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan bisa-bisa

nyawanya sendiri akan terancam.

Kesempatan itu pun dipergunakan Ki Wedokmurko

untuk memulihkan tenaga dalamnya. Karena dalam taraf

kurang sempurna, ajian 'Ungulan Dewa' akan kurang

kedahsyatannya. Meskipun, kepakan tangannya mampu

menumbangkan sebuah pohon. Lantas, bagaimana bila

sudah sangat sempurna? Cita-citanya untuk menjadi orang

nomor satu di dunia persilatan pasti akan tercapai!

Lalu masih dalam keadaan bersila, Manusia Pemuja

Bulan mengibaskan kedua tangannya ke muka.

Wesss...!

Andika merasakan hawa panas menderu kepada-

nya. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Brak!

Dan angin keras itu menghantam sebuah pohon

hingga langsung tumbang.

"Gila!" seru Andika terkejut.

Pendekar Slebor lebih terkejut lagi ketika bagian

tubuhnya bergerak, menimbulkan angin cukup keras.

Andika merasa kelabakan juga. Sudah dua kali

tubuhnya terdorong tenaga angin yang kuat, membuat

dadanya terasa sakit. Bisa dibayangkan, bagaimana bila

terkena pukulan atau tendangan itu secara langsung!

Namun mendadak saja Pendekar Slebor melayang

dengan jurus 'Guntur Selaksa' tingkat tinggi. Bertepatan

dengan itu, Ki Wedokmurko pun berbuat yang sama.

Dua tubuh tampak melenting ke depan, lalu beradu

dengan tenaga sakti penuh. Des! Duk! "Aaakh...!"

Dua benturan barusan menimbulkan sinar cukup

menyilaukan, meskipun sesaat.

Satu sosok tubuh terlontar cepat ke belakang.

Sedangkan satu lagi hanya mundur tiga tindak. Yang

terlontar ternyata Pendekar Slebor.

Sementara Manusia Pemuja Bulan hanya

menggeram kecil. Dia memang hanya berani memapak

dengan satu tangan saja. Karena, ajian 'Unggulan Dewa'

belum menyerap ke lengan kanan bagian atas. Namun,

hasilnya sungguh luar biasa! Tubuh Pendekar Slebor

melunc ur cukup jauh. Bisa dibayangkan kalau saja

Manusia Pemuja Bulan telah menyempurnakan ajian

'Ungulan Dewa' ini, niscaya tubuh Pendekar Slebor akan

hancur seketika.

Pendekar Slebor berusaha bangkit sambil menahan

rasa sakit yang luar bisa di dada. Tubuhnya sedikit

limbung. Ternyata ajian 'Guntur Selaksa' tak banyak

gunanya!

Namun Pendekar Slebor melihat Manusia Pemuja

Bulan memegang lengan kanan bagian atas. Nampaknya

laki-laki berjubah hitam itu tengah menahan sakit yang luar

biasa pula. Andika ingat. Sebelum terlontar tadi. kakinya

masih sempat menendang bahu itu.

Manusia Pemuja Bulan mendengus. Rupanya baru

kini dia merasakan sakit yang menyengat bahu kanannya.

Diam-diam Pendekar Slebor terus memperhatikan,

hingga tiba pada satu kesimpulan. Jelas bagian bahu

kanan atas Manusia Pemuja Bulan yang tak berwarna

merah seperti sekujur tubuhnya yang Iain adalah titik ke-

lemahan dari ilmunya yang sangat dahsyal.

Andika pun menghimpun lagi tenaga saktinya. Kini

dia siap memburu dan menggedor bahu bagian kanan

Manusia Pemuja Bulan. Dan....

"Heaaa! Kini mampuslah kau, Manusia Pemuja

Bulan!"

Disertai tcriakan keras, Pendekar Slebor menerjang

cepat ke depan. Namun sebelum sempat menyarangkan

pukulan sebuah bayangan berkelebat cepat

menghantamnya.

Des! Brak!

"Heigkhhh!"

Bukannya Manusia Pemuja Bulan yang menjerit,

justru Andika yang ambruk sebelum serangannya me-

ngenai sasaran. Pendekar Slebor kontan pingsan karena

mendapat bokongan keras.

"Ha ha ha...!"

Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.

"Kukira kau tidak akan munc ul, Gembel Tua!"

Sosok bayangan yang baru datang itu mendengus.

"Lebih baik dia kita bunuh saja, sebelum seluruh

rencana yang telah tersusun berantakan! Kau sudah

menemukan harta Ki Seta?" kata sosok itu.

"Belum.... Tetapi, tak lama lagi."

Para penduduk di sana terkejut melihat Pendekar

Slebor ambruk dan pingsan. Mereka pun berlarian keluar,

ketika tubuh Pendekar Slebor dibawa Manusia Pemuja

Bulan, diikuti temannya yang barusan membokong.

Siapa sebenarnya orang yang membokong Pendekar

Slebor? Harta apa yang disimpan Ki Seta? Di mana Mayang

dan Tridarma berada saat ini? Kali ini, nasib Pendekar

Slebor berada di ujung tanduk. Karena, kedua manusia keji

itu sudah merencanakan untuk membunuhnya!

Bagaimana nasib Pendekar Slebor akhirnya? Ikuti




kelanjutan kisah ini dalam episode:

CINCIN BERLUMUR DARAH



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive