SERIKAT KUPU-KUPU HITAM
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode:
Serikat Kupu-kupu Hitam
SATU
Suasana pagi cerah. Udara sejuk. Di kejauhan
nampak pegunungan yang indah seakan menyambut
cahaya mentari yang baru muncul. Keadaan seperti di
bawah sadar. Begitu indah dan mempesona.
Burung-burung berkicau, bersahutan terbang kian-
kemari. Suara geresek dedaunan di hembus angin pagi
terdengar merdu di telinga.
Di tengah keheningan pagi dan keindahan panora-
ma, terdengar suara seperti orang membentak keras,
dari bangunan besar yang dikelilingi tembok. Bangu-
nan itu mirip seperti sebuah istana. Halamannya luas.
Dan dari halaman itu terdengar suara seperti memben-
tak tadi.
"Yah... coba kalian ulangi lagi gerakan yang aku
ajarkan tadi!" kata seorang wanita yang kira-kira beru-
sia 37 tahun. Wajah wanita itu masih kencang. Kenta-
ra sekali kalau dia waktu remajanya cantik jelita. Se-
karang pun bias kecantikannya masih nampak.
Wanita itu berdiri di hadapan berpuluh orang yang
berpakaian hitam-hitam dengan mengenakan topeng
berwarna hitam pula. Di tangan orang-orang itu terda-
pat sepasang pedang. Begitu pula di tangan wanita ta-
di. Hanya bedanya wanita itu tidak mengenakan pa-
kaian berwarna hitam dan tidak mengenakan topeng
berwarna hitam pula.
Dia mengenakan pakaian berwarna putih yang
ringkas dengan celana sebatas lutut yang ringkas pula.
Rambutnya yang tergerai panjang dikucir ekor kuda.
Dan di keningnya ada sebuah ikatan berwarna biru.
Nampak sekali kalau wanita itu sedang mengajar-
kan sebuah jurus ilmu pedang. Dan jelas sekali kalau
orang-orang yang berpakaian hitam-hitam dan menge
nakan topeng hitam itu adalah murid-muridnya.
Sebenarnya siapakah wanita itu? Dia tak lain ada-
lah Ratih Ningrum, istri dari Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan Sukma. Seperti biasanya setiap
pagi murid-murid Perguruan Topeng Hitam berlatih il-
mu pedang, karena itu merupakan ciri khas dari Per-
guruan Topeng Hitam.
Dulu Perguruan Topeng Hitam diketuai oleh Paksi
Uludara atau yang berjuluk si Dewa Pedang. Namun
ketika dia tewas di tangan Nindia, sebelum ajalnya dia
menyerahkan sebuah amanat kepada Madewa Gumi-
lang alias Pendekar Bayangan Sukma untuk meme-
gang tampuk ketua dan meneruskan cita-citanya (Ba-
ca: Dewi Cantik Penyebar Maut).
Dan amanat itu dipegang dan dijalankan oleh Ma-
dewa Gumilang sampai sekarang. Tetapi biarpun de-
mikian, dia tak pernah mempunyai keinginan untuk
mengubah ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam yang
bersenjatakan sepasang pedang. Makanya dia dan is-
trinya hanya menurunkan dan mengajarkan kepada
murid-muridnya akan ilmu-ilmu pedang. Bahkan seka-
lipun Madewa tidak pernah menurunkan ilmu yang
dimilikinya.
Pagi ini dia sendiri sedang bersemedi di ruang khu-
sus.
Di halaman kembali lagi terdengar suara Ratih Nin-
grum, "Kalian ulangi kembali, gerakan yang telah ku-
lakukan tadi! Mulai!"
Serentak para muridnya pun bergerak. Mengikuti
apa yang telah dicontohkan tadi.
Ratih Ningrum mengangguk-anggukkan kepalanya,
merasa puas karena murid-muridnya dengan cepat te-
lah menangkap apa yang telah diajarkannya.
Tiba-tiba terdengar suara terkikik.
Kepala Ratih Ningrum cepat menoleh. Begitu pula
dengan para muridnya. Mereka melihat ada empat
orang gadis berwajah cantik berdiri tegap di atas tem-
bok yang mengelilingi Perguruan Topeng Hitam. Keem-
pat gadis itu berpakaian ringkas berwarna hitam. Di
pinggang mereka pun melilit sebuah selendang ber-
warna hitam pula.
Ratih Ningrum mendesah dalam hati. Dia sampai
tidak mendengar keempat gadis itu mendekat Pergu-
ruan Topeng Hitam dan telah berdiri tegap di tembok.
Ini menandakan bahwa keempat gadis itu bukanlah
gadis-gadis sembarangan adanya.
Ratih Ningrum menjadi berhati-hati. Dia lalu berka-
ta, "Sebagai tamu yang sopan dan menghormati tuan
rumah, agaknya Ni sanak sekalian berkenan untuk tu-
run daripada berdiri di tembok itu," kata Ratih Nin-
grum dengan suara bersahabat.
Empat tubuh berpakaian hitam itu bersalto dengan
ringannya dan hinggap di tanah. Keempatnya menam-
pakkan wajah tidak bersahabat.
Salah seorang berkata pada Ratih Ningrum, "Salam
kenal dari kami, Nyonya Ketua... Kami dari Serikat
Kupu-Kupu Hitam... menyampaikan amanat dari guru
kami yang bernama Dewi Komalaputih..."
Ratih Ningrum yang sudah mencium maksud keda-
tangan mereka yang membawa itikad tidak baik berka-
ta, tetap dengan nada bersahabat, "Salam kenal kem-
bali dariku, untuk Guru kalian Dewi Komalaputih.
Amanat apakah yang hendak Ni sanak sekalian sam-
paikan?"
"Hanya amanat kecil yang mungkin tak punya arti
bagimu...."
"Katakanlah...."
"Nyonya Ketua.... nama Perguruan Topeng Hitam te-
lah terdengar sampai ke langit ke tujuh. Begitu pula
dengan pimpinannya yang bernama Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma. Namun saat ini, ka-
mi semua meminta kepadamu dan kepada suamimu,
untuk tunduk berada di bawah kekuasaan kami..."
Mendengar kata-kata itu wajah Ratih Ningrum pias.
Amarah sudah berkecamuk di dadanya. Rasanya ingin
dia segera menghantam mulut yang lancang itu. Begitu
pula dengan para muridnya yang nampak mulai tidak
senang dengan kedatangan orang-orang itu. Namun
mereka tak berani melangkah sebelum ada perintah.
Mereka masih tetap berdiri di tempat masing-
masing dan menahan kegeraman yang ada di hati.
Ratih Ningrum sendiri masih mencoba untuk ber-
sabar.
"Aku belum mengerti apa maksud dari Guru kalian,
Ni sanak?"
Gadis yang berkata tadi mendengus. "Ratih Nin-
grum... jangan berlagak pilon. Kau pasti sudah jelas
maksud kami, yang meminta pada Perguruan Topeng
Hitam untuk tunduk di bawah kekuasaan Serikat Ku-
pu-Kupu Hitam... Camkan itu!"
Ratih Ningrum mendengus pula. Kali ini kemara-
hannya mulai naik melihat sikap keempat gadis itu be-
gitu sombong dan pongah.
"Bagaimana bila kami menolak?"
"Itu berarti menantang Serikat Kupu-Kupu Hitam,
Nyonya Ketua..."
"Tak ada jalan lain!"
"Memang tak ada jalan lain selain untuk menyerah
saja!"
"Bukan itu maksudku!"
Wajah gadis itu memerah. Matanya meradang ber-
bahaya.
"Nyonya Ketua... setiap kali kami menjalankan misi
dari guru kami, tak sekali pun kami pernah berbuat
salah dan mengalah! Katakan sekali lagi yang kau
maksudkan itu..."
Ratih Ningrum tersenyum. Namun di balik senyu-
mannya tersirat kemarahan yang menggelegak.
"Kali ini kalian yang berpura-pura bodoh! Kalian
tentu sudah tahu maksudku, bukan?"
"Ratih Ningrum... bila itu maumu, Perguruan To-
peng Hitam akan rata dengan tanah! Seperti Perguruan
Sutra Emas. Perguruan Cakra Buana. Dan perguruan
yang lainnya...."
"Tetapi Perguruan Topeng Hitam tidak seperti per-
guruan-perguruan lain yang kau sebutkan itu!"
"Bagus! Kami pun sudah tidak sabar untuk menga-
du kesaktian denganmu! Hhh! Aku beritahu dulu na-
maku, Ratih Ningrum. Bila kau sudah mampus nanti,
nama kami akan kau bawa ke liang kubur! Namaku
Priatsih! Teman-temanku, Priyanti, Prikasih dan Prila-
stri!"
"Hhh! Priatsih... majulah bila kau benar-benar ingin
merasakan ilmu dari Perguruan Topeng Hitam!"
"Baik! Lihat serangan!"
Sehabis berkata begitu, Priatsih menderu maju den-
gan serangan yang cukup berbahaya. Ratih Ningrum
sendiri telah menyarungkan kembali sepasang pedang
kembarnya warisan gurunya yang bernama Mukti.
Dia pun bergerak maju. Karena Priatsih bertangan
kosong, dia pun mengimbanginya dengan tangan ko-
song.
Priatsih yang melancarkan serangan dengan puku-
lan lurus ke wajah Ratih Ningrum, harus terkejut keti-
ka Ratih Ningrum tiba-tiba maju menyerang dengan
pukulan lurus pula ke wajah Priatsih. Serentak Priat-
sih menarik tangannya untuk menangkis serangan Ra-
tih Ningrum.
"Des!"
Terjadi benturan yang cukup lumayan. Dan kedua
nya bersalto ke belakang. Masing-masing dapat men-
gukur tenaga dalam lawan. Ratih Ningrum merasa te-
naga dalam lawan berada sedikit di bawahnya.
"Ayo seranglah aku kembali, Priatsih!" tantangnya
yang sudah bersiap kembali.
Priatsih pun menerjang kembali. Kali ini lebih cepat.
Lebih hebat dan lebih berbahaya. Ratih Ningrum sen-
diri sudah mengeluarkan jurus Pukulan Tangan Seri-
bunya warisan dari gurunya yang bernama Tek Jien.
Kedua wanita itu pun saling serang dengan hebat.
Saling menangkis.
Saling membalas.
Keduanya bagaikan dua ekor elang yang saling me-
nyerang dengan hebat di angkasa.
Telah lima belas jurus keduanya lewati, namun be-
lum kelihatan ada yang terdesak. Hingga suatu ketika
Ratih Ningrum memekik sambil bersalto. Dia bergerak
dengan pukulan Tangan Seribunya. Yang nampak be-
rubah menjadi seribu. Dan pukulan itu pun mengan-
cam bagian-bagian tubuh berbahaya dari Priatsih.
Priatsih sendiri terkejut melihat satu pertunjukkan
yang diperlihatkan Ratih Ningrum. Dalam keadaan
bersalto ke arahnya, Ratih Ningrum masih bisa pula
menyerang.
Sebisanya Priatsih mencoba menangkis.
Satu dua pukulan berhasil ditangkisnya.
Tetapi tangan yang berubah seolah menjadi seribu
itu sulit untuk dibendung lagi.
"Des!"
"Des!"
Dua pukulan bersarang telak di dada Priatsih yang
terhuyung ke belakang. Dia merasakan dadanya nyeri
sekali. Sementara Ratih Ningrum sudah bersalto kem-
bali ke belakang dan hinggap kembali di tanah dengan
ringannya.
Dia tersenyum.
"Itukah ilmu Serikat Kupu-Kupu Hitam yang kau
banggakan dan andalkan?!" serunya dengan nada
mengejek.
Kata-kata itu membuat wajah Priatsih memerah.
Begitu pula dengan ketiga temannya. Ketiganya siap
untuk maju menyerang Ratih Ningrum. Tetapi tangan
Priatsih menghalanginya.
"Biar aku yang selesaikan masalah ini!" katanya.
Lalu dia berkata pada Ratih Ningrum, "Nyonya Ke-
tua.... jangan berbangga dulu karena kau bisa memu-
kulku. Nah, sekarang terimalah satu pertunjukkan da-
riku!"
Sehabis berkata begitu, Priatsih menguraikan se-
lendang hitamnya yang melilit di pinggangnya. Ru-
panya selendang itu adalah senjata andalannya.
Dia pun mulai menggerak-gerakkan selendang itu.
Dan menyeringai pada Ratih Ningrum, "Nah....
Nyonya Ketua... kembali kita harus bermain-main lagi!
Kau lihatlah senjata andalan dari Serikat Kupu-Kupu
Hitam ini!"
"Majulah, Priatsih!" sahut Ratih Ningrum tenang.
Dia pun menggeser kaki kanannya sedikit, hingga ter-
buka. Sikapnya sigap dan waspada.
Priatsih tidak mau membuang waktu lagi. Dengan
menjerit keras dia menyerang dengan selendang hi-
tamnya. Hebat. Sungguh hebat permainan selendang
yang dipertunjukkan oleh Priatsih.
Hebat!
Amat hebat!
Selendang itu bisa berubah menjadi tongkat yang
amat kuat. Dan kadang-kadang berubah menjadi se-
buah cemeti.
Saat selendang itu bergerak, menimbulkan desiran
angin yang cukup dingin dirasakan oleh Ratih Nin
grum. Dan suara celetar yang cukup kuat.
"Hahaha.... mengapa kau hanya bisa menghindar
saja, Nyonya Ketua?!" ejek Priatsih karena Ratih Nin-
grum harus kalang kabut menghindari serangan-
serangan selendang hitam itu.
Dia mengerahkan segenap ilmu meringankan tu-
buhnya. Dan satu ketika selendang itu mendadak be-
rubah menjadi sebuah tombak dan siap untuk menu-
suk Ratih Ningrum yang sedang bersalto di udara.
"Awas serangan!" seru Priatsih.
Tubuh Ratih Ningrum yang masih bersalto di udara,
kayaknya amat menyusahkan dirinya untuk menghin-
dar. Apalagi selendang yang telah berubah menjadi
tombak itu telah dekat jaraknya!
***
DUA
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam hanya bisa
menahan nafas tegang karena merasa tak ada jalan
lain bagi Nyonya guru mereka untuk meloloskan diri
atau pun menghindar. Karena sepertinya jalan itu su-
dah tertutup.
Begitulah dengan Priatsih yang merasa akan meme-
nangi pertarungan ini. Hhh, ternyata hanya begitu saja
kepandaian yang dimiliki oleh Ratih Ningrum!
Namun satu kehebatan diperlihatkan oleh Ratih
Ningrum.
Dan membuat semua mata terbelalak, seakan tak
percaya dengan apa yang terjadi.
Ratih Ningrum yang tengah bersalto di udara, den-
gan satu gerakan yang sungguh teramat cepat, menca-
but sepasang pedang kembarnya. Dan mengibaskan-
nya pada selendang yang telah berubah menjadi tombak itu.
"Trak!"
Pedang itu telah menyambar patah tombak yang be-
rasal dari selendang. Dan mendadak saja tombak itu
terkulai.
Priatsih terkejut.
Belum lagi hilang keterkejutannya, sebuah tendan-
gan yang dilancarkan Ratih Ningrum telah mengenai
dadanya.
"Des!"
Tubuh itu meluncur dengan deras ke belakang dan
ambruk dengan muntah darah.
Ketiga temannya terkejut melihat hal itu. Langsung
mereka memburu kepada Priatsih. Lalu dua orang
berdiri dengan tatapan beringas dan bernafsu untuk
membunuh dan membalas dendam.
Keduanya Priyanti dan Prilastri.
"Ratih Ningrum...." seru Priyanti dengan tatapan
yang berbahaya. "Kau telah membuat harga diri kami
jatuh atas ulahmu ini! Dan kami meminta agar kau
menyerahkan diri sekarang juga!"
Tetapi kata-kata yang mengandung ancaman itu
disambut dengan tersenyum oleh Ratih Ningrum.
Lalu dengan ringannya dia berucap, "Apakah kalian
masih ingin nekat menghadapiku? Bukankah kawan
kalian yang telah jatuh itu sudah menjadi sebagai buk-
ti, bahwa kalian tak akan sanggup untuk mengalahkan
aku?!"
Prilastri menggeram. "Sombong! Aku ingin melihat
sampai di mana kehebatanmu, Ratih Ningrum!"
"Majulah! Dan kupikir, kalian berbarengan saja
menghadapiku, biar urusan ini selesai! Dan katakan
pada Guru kalian, jangan coba-coba mengganggu ke-
tentraman kami! Dan jangan coba-coba menyebarkan
teror ke perguruan lainnya yang terdapat di rimba persilatan ini!"
Wajah Priyanti dan Prilastri memerah karena ma-
rah. Keduanya saling lirik. Dan seperti sudah disepa-
kati, tiba-tiba saja keduanya bergerak menderu ke de-
pan.
Ratih Ningrum yang sudah bersiap sejak tadi pun
segera menyambut serangan keduanya dengan sepa-
sang pedang kembarnya.
Berbahaya.
"Wuuuttt!"
"Wuuuttt!"
Kedua pedang itu berkelebat ke arah Priyanti dan
Prilastri yang menderu menyerang. Dan secara seren-
tak pula keduanya bersalto ke belakang untuk meng-
hindarkan diri dari pedang Ratih Ningrum.
"Sialan!" maki Prilastri. Kali ini dia bergerak maju
dengan cepat, mendahului Priyanti. Dan sambil men-
deru ke depan dia menguraikan selendang hitam yang
melilit di pinggangnya. "Tahan seranganku, Nyonya Ke-
tua! Awaaaasss!"
Ratih Ningrum pun segera menyambut dengan se-
pasang pedang kembarnya. Jurus-jurus pedang kem-
barnya pun segera mengimbangi permainan selendang
hitam dari Prilastri.
Melihat kawannya sudah maju menyerang dan
menguraikan senjata, Priyanti pun bergerak memban-
tu dan menguraikan selendangnya pula. Kali ini Ratih
Ningrum diserang dari dua jurusan.
Sungguh amat berbahaya.
Mematikan.
Dan kejam.
Selendang itu telah dialiri tenaga dalam yang cukup
kuat. Dan kadang-kadang menjadi tombak yang ber-
bahaya. Kadang memukul. Menusuk. Menotok. Kadang
secara tiba-tiba tombak itu berubah kembali menjadi
selendang yang bergerak bagai sebuah cemeti.
"Tar!"
"Tar!"
Ratih Ningrum menjadi agak kewalahan dengan se-
rangan-serangan yang datang bertubi-tubi. Sebisanya
dia mencoba untuk membalas dan menghindar.
Dan secara tiba-tiba kedua pedangnya bergerak be-
gitu cepat hingga menimbulkan suara angin yang ber-
gemuruh. Ratih Ningrum telah memadukan permainan
pedangnya dengan Pukulan Tangan Seribunya, hingga
pedang-pedang itu berubah menjadi seribu.
Setelah memadukan permainan pedangnya dengan
jurus Pukulan Tangan Seribunya, nampaklah Ratih
Ningrum bisa mengimbangi permainan selendang ke-
dua gadis itu.
Kini nampak kedua gadis itu yang terdesak. Mereka
nampak cukup terkejut pula menyaksikan permainan
pedang yang diperlihatkan Ratih Ningrum.
"Wanita keparat!" geram Priyanti sambil berusaha
menangkis dengan selendangnya yang berubah menja-
di sebatang tongkat.
"Mengapa hanya bisa memaki dan menghindar saja,
hah?!" ejek Ratih Ningrum dan terus mencecar dengan
hebat.
Sepasang pedang kembarnya yang dipadukan den-
gan jurus Pukulan Tangan Seribu, ternyata menjadi
begitu dahsyat. Mampu membuat kedua lawannya
tunggang langgang kewalahan.
Para murid Perguruan Topeng Hitam berdecak ka-
gum melihat Nyonya Guru mereka ternyata masih
memiliki ilmu pedang yang dahsyat. Mereka tidak tahu
kalau itu adalah jurus perpaduan.
Prikasih yang tengah berusaha mengalirkan tenaga
dalamnya pada Priatsih, menjadi terkejut melihat ke-
dua kawannya terdesak.
Begitu pula dengan Priatsih yang telah membuka
matanya. Dia merasa cukup pulih sekarang.
"Kasih... bantulah mereka.." desisnya lemah. Meski-
pun telah pulih tetapi dia merasa tubuhnya masih
agak lemah.
"Baik. Bagaimana keadaanmu?"
"Agak lumayan. Cepat, kedua pedang Ratih Nin-
grum kulihat seperti mempunyai mata!"
"Baik!"
Sehabis berkata begitu, Prikasih berdiri. Dia lang-
sung menguraikan selendang hitamnya yang melilit di
pinggangnya. Sambil memekik keras, dia pun meli-
batkan dirinya dalam pertarungan itu.
"Awas serangan!" serunya dan mengibaskan selen-
dang yang telah dialiri tenaga dalam itu.
Ratih Ningrum yang tengah mencecar kedua lawan-
nya, merasakan sambaran angin yang cukup kuat da-
tang dari belakangnya. Dengan sigap dia bersalto ke
belakang. Dan hinggap di tanah dengan manisnya da-
lam keadaan siap siaga dan waspada.
"Bagus! Mengapa tidak sejak tadi kau ikut berga-
bung dalam pertarungan ini, hah?!" seru Ratih Nin-
grum sambil secara diam-diam mengatur jalan perna-
fasannya.
Dan serangan dari Prikasih pun datang kembali.
Melihat datangnya bantuan, Priyanti dan Prilastri
pun segera menyerang kembali.
Kali ini Ratih Ningrum diserang dari tiga jurusan
yang cukup berbahaya.
Dia pun mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk menghindari sambaran-sambaran selendang
berwarna hitam dari ketiganya.
Hingga suatu ketika, salah sebuah pedangnya ber-
hasil dilibat oleh selendang hitam milik Prilastri. Ratih
Ningrum berusaha untuk melepaskan pedangnya. Na
mun adu tenaga itu ternyata seimbang, dikarenakan
Prilastri memegang selendangnya dengan kedua tan-
gannya. Bila sama-sama satu tangan, jelas Prilastri
akan kalah tenaga oleh Ratih Ningrum.
Dan si saat tarik menarik itu terjadi, Priyanti dan
Prikasih segera mengibaskan selendang hitamnya ke
arah Ratih Ningrum.
Dua buah senjata andalan itu pun menderu dengan
hebat ke arah istri Madewa Gumilang. Ratih Ningrum
terkejut bukan kepalang. Namun mendadak tubuhnya
mengempos ke arah Prilastri. Prilastri yang sedang
mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik pe-
dang Ratih Ningrum terkejut karena tiba-tiba dia se-
perti menarik angin. Dan tubuhnya menjadi hilang ke-
seimbangan. Dia pun terhuyung.
Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi, pedang
di kanan Ratih Ningrum telah membabat selendangnya
hingga putus. Membuat tubuh Prilastri kini ambruk ke
tanah. Dan dengan satu gerakan salto yang manis, Ra-
tih Ningrum bergerak ke arahnya. Dan mengayunkan
pedangnya kembali.
"Craaasss!"
"Aaaaaaakhhhh!"
Terdengar jeritan dari Prilastri ketika pedang Ratih
Ningrum membabat dadanya. Darah segar pun segera
menyembur keluar. Pedang itu menggores sampai jan-
tungnya.
Mampuslah Prilastri dengan luka yang mengerikan.
Sementara dua serangan yang dilancarkan oleh
Priyanti dan Prikasih mengenai angin. Dan mereka
amat terkejut melihat Prilastri telah mati dengan men-
gerikan.
Dua pasang mata itu pun bersinar berbahaya pada
Ratih Ningrum yang telah berdiri tegap kembali.
"Bangsat! Kau harus membayar nyawa teman ka
mi!" bentak Prikasih marah.
Ratih Ningrum hanya tersenyum sambil mengatur
jalan pernafasannya.
"Maaf., salah dia sendiri yang tidak menyadari da-
tangnya bahaya."
"Persetan dengan ucapanmu!" geram Prikasih. "Kau
harus membayar semua ini!"
"Hmm... kalian datang dengan cara yang tidak ber-
sahabat! Dan maksud kedatangan kalian pun tidak
menggembirakan! Kalian telah membuat onar di Pergu-
ruan Topeng Hitam! Lalu apakah aku harus diam saja
melihat semua perbuatan kalian yang sombong, mau
menang sendiri dan durjana? Tidak, sampai kapan
pun aku akan menentang semua perbuatan kalian!
Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum ada nyawa
lagi yang terlepas dari jasad!"
"Hhh! Kau pikir kami takut dengan ancamanmu itu,
Nyonya Ketua?!"
"Tidak, karena kalian adalah pengawal-pengawal
yang patuh pada ketua atau guru kalian!"
"Nah, mengapa kau tidak menyerah saja?!"
"Demi kebenaran aku rela bertaruh nyawa!"
"Anjing buduk! Nyonya Ketua... sejengkalpun kami
tak akan mundur dari hadapanmu!"
"Bagus! Dan nyawa pun akan terlepas lagi dari ja-
sadnya!"
"Hal itu akan terjadi padamu, Nyonya Ketua!" geram
Priyanti marah. Dan setelah berkata begitu dia pun
menderu kembali menyerang dengan selendang hitam-
nya.
Melihat kawannya sudah menyerang, Prikasih pun
turut pula membantu. Namun Ratih Ningrum yang su-
dah melihat gelagat yang susah untuk dihindarkan, te-
lah bersiap sejak tadi. Dia pun sudah dapat memperhi-
tungkan sampai di mana kehebatan dari para penye
rangnya.
Dia pun segera menyongsong serangan keduanya
dengan sepasang pedang kembarnya.
Kembali terjadi pertarungan yang hebat antara me-
reka. Serangan demi serangan saling berbalasan. Sal-
ing mencari kelemahan lawan.
Namun suatu ketika, terdengar jeritan Ratih Nin-
grum yang kuat. Dan tubuhnya pun bersalto ke arah
keduanya, yang saat itu sedang melancarkan serangan
mereka.
Dahsyat!
Hebat.
Berbahaya.
Namun penuh perhitungan.
Tubuh Ratih Ningrum pun menerobos kedua selen-
dang hitam yang sedang mengarah padanya.
"Crass!"
"Crass!"
Dengan satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata,
kedua selendang itu pun terbabat putus setengah oleh
sepasang pedang kembar milik Ratih Ningrum. Dan
sepasang pedang kembar itu pun terus memburu ke
arah lawan.
Priyanti dan Prikasih terkesiap. Serentak keduanya
bergulingan menghindar.
Ratih Ningrum yang tidak ingin mencabut nyawa la-
gi, segera menghentikan serangannya. Dia pun bersal-
to ke belakang.
"Hahh! Sudah kukatakan sejak tadi, tinggalkan
tempat ini!" serunya berwibawa.
Priyanti yang telah bangkit dari bergulingnya men-
dengus. Wajahnya jelas nampak pucat dan terkejut.
Dia amat tidak menyangka Ratih Ningrum berani me-
nyongsong serangan yang dilancarkan olehnya dan
Prikasih.
Begitu pula dengan Prikasih.
Dia pun telah berdiri di samping Priyanti.
Ratih Ningrum berkata lagi. "Bukankah lebih baik
kalian pergi dari sini? Aku tak ingin lagi menurunkan
tangan telengas pada kalian! Cepat, jangan sampai aku
berubah pikiran!"
Priyanti mendengus.
"Nyonya Ketua... sampai kapan pun akan kami in-
gat kejadian di hari ini! Dan ini telah membangkitkan
dan membakar dendam kami!"
"Hhh! Pergilah dari sini secara baik-baik! Ingat, se-
mua ini kalian yang memulai!"
"Ya! Kami tak akan pernah menerima semua ini,
Nyonya Ketua!"
"Kalau itu maunya kalian, terserah! Tetapi perlu di-
ingat, Perguruan Topeng Hitam tak akan mudah tak-
luk pada siapa pun untuk jalan kejahatan!"
Priyanti membopong mayat temannya, Prilastri. Se-
dangkan Prikasih menuntun Priatsih yang masih le-
mah.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Priyanti berkata
lagi dengan mengancam, "Ingat, Ratih Ningrum... kami
akan datang lagi untuk menuntut balas!"
"Kalian bisa datang sebagai tamuku kapan saja!"
Lalu keempat gadis berpakaian hitam itu pun me-
ninggalkan tempat itu. Membawa seorang yang telah
menjadi mayat, dan seorang lagi yang dalam keadaan
terluka.
Ratih Ningrum mendesah. Perlahan-lahan dia me-
nengadah menatap langit.
Oh, mengapa masih begitu banyaknya orang-orang
yang sok jago dan mengandalkan kepandaiannya un-
tuk menindas orang lain, desahnya dalam hati pilu.
Lalu dia kembali kepada murid-muridnya yang ma-
sih tetap berdiri di tempatnya. Masih setia dan menu
ruti perintahnya.
Kemudian dia berkata, "Murid-muridku... kalian te-
lah mendengar sendiri tadi, kalau orang-orang dari Se-
rikat Kupu-Kupu Hitam akan kembali lagi ke sini. Pin-
taku, kalian harus bersiap siaga kapan pun juga. Dan
satu lagi, jangan kalian memberitahukan hal ini kepa-
da Ketua. Karena dia tengah menjalankan semedinya!
Biarlah semua ini kita yang mengetahuinya saja. Aku
tak mau konsentrasinya terganggu!"
Para muridnya mengangguk. Dan menyahut dengan
serempak, "Kami akan menuruti semua perintah dari
Nyonya Ketua!"
"Bagus! Teruskan kalian berlatih! Aku hendak ma-
suk ke dalam!"
Para muridnya menjura hormat pada Ratih Ningrum
sebelum wanita itu melangkah. Lalu mereka pun me-
lanjutkan latihan tadi.
***
TIGA
Malam pekat. Rembulan bersembunyi di balik awan
hitam. Nampak mega-mega itu bergerak pekat. Ber-
gumpal. Angin berhembus kencang. Dingin sampai ke
tulang sumsum.
Sebentar lagi nampak hujan akan turun.
Suasana di hutan itu nampak begitu menyeramkan.
Binatang malam yang biasanya berkeliaran, kali ini tak
nampak seekor pun. Mereka seolah menyadari kalau
malam ini nampak lain dengan malam-malam sebe-
lumnya.
Di hutan kecil itu nampak terdapat sebuah danau.
Danau yang dikelilingi oleh pepohonan besar, kini
nampak pula dikelilingi oleh kabut yang cukup tebal.
Danau itu sungguh mengerikan. Konon di danau itu
banyak terdapat siluman.
Itulah sebabnya danau itu dikenal sebagai Danau
Siluman.
Dan nampak samar-samar tiga sosok tubuh berke-
lebat ke arah danau itu. Ketiga sosok itu berpakaian
hitam pekat. Bila diperhatikan lebih seksama, salah
seorang dari tiga sosok tubuh itu nampak tertatih-tatih
disanggah oleh temannya. Dan yang seorang lagi,
nampak sedang membopong sosok tubuh yang terkulai
tak berdaya. Nampaknya sosok yang dibopong itu telah
menjadi mayat.
Mereka tak lain adalah empat gadis anggota Serikat
Kupu-Kupu Hitam yang telah dikalahkan oleh Ratih
Ningrum.
Mereka sedang menuju kembali ke markas mereka.
Rupanya tak jauh dari Danau Siluman terdapat se-
buah bangunan yang cukup besar yang dikelilingi oleh
tembok yang lumayan tinggi.
Di pintu gerbang untuk masuk ke bangunan itu,
terlihat dua sosok tubuh berpakaian hitam pula se-
dang menjaga.
Keduanya terkejut begitu melihat orang-orang itu
datang. Keduanya segera menyongsong.
"Priyanti! Apa yang telah terjadi?" tanya salah seo-
rang.
Priyanti yang membopong mayat Prilastri menyahut
sambil memasuki halaman bangunan itu.
"Prilaksmi, di mana Ketua?!"
"Ada di ruang khususnya!"
"Hei, kau belum mengatakan apa yang telah terja-
di?" tanya yang seorang lagi.
Prikasih yang menyahut, "Kami gagal membuat Per-
guruan Topeng Hitam untuk tunduk kepada kita!"
"Hei, kau tahu sendiri apa akibatnya?!" seru teman
nya lagi.
"Benar, Priyuni! Tetapi kami telah siap untuk mene-
rima resikonya!"
"Kalau begitu sebaiknya kalian cepat menghadap
Ketua! Jangan sampai terlambat, bila tak ingin kepala
kalian lepas dari leher!" seru Priyuni agak beriba. Ka-
rena dia tahu apa hukumannya bila tugas yang telah
diberikan gagal dilaksanakan.
Kepala taruhannya!
Sambil memapah Priatsih, Prikasih menyusul
Priyanti yang telah masuk duluan sambil membopong
mayat Prilastri.
Mereka telah siap untuk menerima resiko apa pun.
Karena bagi mereka, biarpun melarikan diri, tak akan
bisa lepas dari tangan Dewi Komalaputih.
Ruang khusus yang disebut Prilaksmi tadi adalah
ruangan pribadi Dewi Komalaputih. Di ruangan itu dia
sering menggunakan untuk memperdalam ilmu silat-
nya. Juga untuk melampiaskan hawa nafsunya dari je-
jaka-jejaka yang diculiknya. Setelah nafsunya terpua-
skan, maka jejaka-jejaka itu akan dibunuhnya.
Saat ini Dewi Komalaputih pun sedang berada da-
lam puncak birahinya bersama dengan Ki Prodana, ke-
tua dari Perguruan Sutra Emas yang telah berhasil di-
taklukannya dan menjadi pengikutnya.
Bagi Dewi Komalaputih, dia tak mengenal apakah
laki-laki yang dimauinya itu seorang jejaka ataukah
seorang yang telah lanjut. Yang penting baginya seo-
rang laki-laki!
Dan laki-laki itu memenuhi seleranya.
Begitu pula halnya dengan Ki Prodana. Dia dikenal
sebagai orang dari golongan putih. Usianya kira-kira
53 tahun. Namun penampilannya masih gagah perka-
sa. Dia berjuluk si Gagak Hitam. Namun hawa naf-
sunya, telah mengalahkan akal sehatnya. Karena dia
telah menjadi pengikut Dewi Komalaputih.
Keduanya tengah bergelut dengan penuh birahi.
Hawa mesum memenuhi ruangan yang cukup besar
itu. Di dalam ruangan itu terdapat bermacam senjata
yang dimiliki oleh Dewi Komalaputih.
Tak lama kemudian terdengar desahan panjang dari
keduanya. Disusul dengan jeritan kecil dari mulut De-
wi Komalaputih.
Karena yang menjadi teman tidurnya orang yang te-
lah ditaklukannya dan menjadi abdinya, sudah tentu
Dewi Komalaputih tidak menurunkan tangan telengas-
nya pada Ki Prodana.
Kini keduanya terlentang dengan mata terpejam.
Tiba-tiba Dewi Komalaputih berdiri dan berseru,
"Kalian yang berada di luar, cepat masuk!"
Lalu dia pun mengenakan pakaiannya yang berwar-
na hitam pula. Hanya bedanya dia memakai jubah
yang berwarna hitam.
Lalu dia pun melilitkan selendang hitamnya yang
terbuat dari sutra.
Begitu pula dengan Ki Prodana yang telah memakai
pakaiannya kembali.
Perlahan-lahan pintu ruangan itu terbuka.
Priyanti, Prikasih dan Priatsih langsung masuk dan
menjatuhkan diri di hadapan Dewi Komalaputih yang
tengah berdiri. Di sampingnya Ki Prodana.
"Salam hormat kami kepada Guru!" berkata keti-
ganya secara bersamaan.
Dewi Komalaputih mendengus.
"Hhhh! Mana Prilastri?!" tanyanya dengan suara
yang dingin.
Ketiganya bangkit perlahan-lahan. Namun masih
duduk di lantai. Ketiganya melihat sepasang mata itu
bersinar begitu dingin dan menakutkan. Secara tak
sadar bulu kuduk ketiganya meremang mengingat hu
kuman apa yang akan dijatuhkan oleh Dewi Komala-
putih bila mereka gagal dalam menjalankan tugas.
Priyanti berkata perlahan, "Maafkan kami Guru...
Kami gagal dalam menjalankan tugas Guru kali ini..."
Sepasang mata itu pun semakin dingin bersinar.
Dan terselip getaran berbahaya.
"Lalu apa yang terjadi dengan Prilastri?"
"Maafkan kami, Guru.... Prilastri... tewas di tangan
istri Madewa Gumilang..." kata Priyanti sambil menun-
dukkan kepalanya.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Terdengar dengusan dari guru mereka.
"Bagus! Aku suka sekali dengan kerja kalian? Dan
kalian tahu bukan, apa hukumannya bila kalian gagal
melaksanakan tugas ini?"
"Kami mengerti, Guru," sahut ketiganya berbaren-
gan. Seperti mengeluh.
"Dan kalian menerimanya?"
"Tak ada jalan lain bagi kami untuk menerimanya,
Guru."
"Bagus! Kalian adalah pengawal dan muridku yang
setia! Nah, mengapa kalian tidak melakukannya seka-
rang, hah?!"
Ketika gadis itu berpandangan dengan wajah pucat.
Lalu terlihat Prikasih perlahan-lahan mengangkat ke-
palanya.
Menatap sang Guru.
"Guru... kali ini... bukannya kami ingin menentang
perintah Guru. Kami rela membunuh diri di hadapan
Guru. Tetapi izinkanlah kami sekali lagi untuk menye-
rang ke Perguruan Topeng Hitam... kami hendak me-
nuntut balas pada Ratih Ningrum atas kematian Prila-
stri, Guru.... Maafkan kami..." Lalu Prikasih menun-
duk kembali. Hatinya berdebar kencang.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Dewi Komalaputih terdiam. Sebenarnya dia kagum
dengan keberanian Prikasih mengemukakan perintah-
nya. Lagi pula dia ingat, biasanya keempat murid pili-
hannya ini tak pernah gagal dalam menjalankan tugas.
Sekarang mereka meminta padanya untuk menun-
tut balas pada Ratih Ningrum atas kematian Prilastri.
Bukankah ini suatu persahabatan dan persaudaraan
yang sejati?
Terdengar desahan Dewi Komalaputih.
"Kalau itu tekad kalian, baiklah. Kalian kuizinkan
untuk menuntut balas atas kematian Prilastri. Tetapi
dengan satu syarat, kalian harus berhasil membunuh
Ratih Ningrum dan membawa kepalanya kepadaku.
Mengerti?"
"Terima kasih, Guru..." kata ketiganya bersamaan.
"Cepat kalian keluar dari sini! Dan ceburkan mayat
Prilastri ke Danau Siluman!"
"Kami mohon pamit, Guru!"
Lalu masih duduk di lantai ketiganya perlahan-
lahan beringsut keluar dari ruangan itu. Di luar keti-
ganya mendesah lega. Dan dendam semakin membara
di hati mereka pada Ratih Ningrum.
"Sebaiknya kita urus dulu mayat Prilastri ini," kata
Priyanti.
"Baik, kita ceburkan ke Danau Siluman!" kata Pri-
kasih sambil membopong mayat Prilastri.
Lalu ketiganya pun segera membawa mayat itu ke
Danau Siluman. Memang, mayat-mayat para jejaka
yang dibunuh oleh Dewi Komalaputih dan mayat-
mayat murid yang gagal dalam menjalankan tugas, di-
buang dan dibenamkan ke dalam Danau Siluman.
Namun yang membuat heran, dari danau itu tidak
tercium bau busuk yang menyengat. Malah setiap kali
mayat itu diceburkan ke sana, menguar bau harum
dari danau itu.
Sehingga mereka percaya kalau danau itu ditunggui
oleh para siluman.
Prilaksmi dan Priyuni heran begitu melihat mereka
keluar lagi dalam keadaan selamat.
"Guru memaafkan kalian?" tanya Prilaksmi tergesa
karena baru kali ini ada kejadian murid yang gagal da-
lam menjalankan tugasnya dimaafkan oleh guru mere-
ka.
"Ya! Kami akan menuntut balas pada Ratih Nin-
grum!" sahut Prikasih.
"Kalau begitu, ajaklah kami pula. Karena kami pun
mendendam melihat kematian Prilastri..." kata Priyuni
sambil melirik Prilaksmi yang langsung mengangguk.
"Itu bagaimana keputusan Guru nanti!"
Lalu mereka pun bergerak menuju ke Danau Silu-
man. Dan tanpa terasa ketiganya meneteskan air mata
mengingat mayat Prilastri yang telah menjadi saudara
mereka harus dibenamkan ke Danau Siluman.
"Maafkan aku, Prilastri..." kata Prikasih sambil ber-
linang air mata. "Tetapi dendammu akan kami balas..."
"Tenanglah kamu di sana, Prilastri..." kata Priyanti.
"Yah... damailah jasadmu di sana..." sambung Priat-
sih sambil mengusap air matanya. "Kami berjanji, akan
menuntut balas atas kematianmu ini..."
Lalu dengan hati-hati dan perasaan berat, mereka
pun menceburkan tubuh Prilastri ke Danau Siluman
yang pekat tertutup kabut.
Terdengar suara "byur" lalu disusul tubuh Prilastri
yang perlahan-lahan terbenam. Ketiga gadis itu masih
terisak menyaksikan mayat itu perlahan-lahan meng-
hilang ditelan Danau Siluman.
Dan begitu mayat Prilastri menghilang tertelan Da-
nau Siluman, mendadak menguar bau harum dari da-
nau itu.
Begitu wangi.
Mempesona.
Ketika gadis itu pun menghirup bau wangi itu da-
lam-dalam. Seolah hendak menyatukan bau wangi itu
pada diri mereka.
Dan amat tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, telinga me-
reka menangkap suara Prilastri yang berat seperti
mengandung kepiluan dan kesedihan yang teramat
sangat.
Menyayat.
"Kawan-kawan... bunuhlah Ratih Ningrum untuk
menemaniku di alam sana... Bunuhlah dia... bunuh-
lah... bunuhlah..."
Suara itu perlahan-lahan mengecil dan menghilang.
Ketiganya tersentak. Dan secara bersamaan pun
berseru.
"Prilastri!"
Namun tak ada bayangan Prilastri.
Begitu pula dengan suara yang terdengar tadi.
Lenyap
Danau Siluman kembali sunyi dan pekat.
Namun di hati ketiganya, bergejolak dendam dan
amarah yang teramat sangat pada Ratih Ningrum.
Membuat mereka tak sabar lagi untuk segera membu-
nuhnya.
Apalagi sura Prilastri itu menandakan dia masih be-
gitu mendendam. Dan membawa dendamnya ke alam
akhirat.
Ketiga gadis itu pun berpandangan. Dan secara se-
rempak mereka mematahkan jari keliling tangan kiri
mereka. Lalu meludahi jari yang telah putus itu secara
bersamaan.
Terdengar suara Priyanti yang diikuti oleh kedua
temannya, "Demi langit dan bumi... kami bersumpah
akan membunuh Ratih Ningrum untukmu, Prilastri!
Bila kami melanggar sumpah ini, biarlah Gusti Allah
yang akan menghukum kami! Kami tak akan mem-
biarkan kau menderita di alam sana! Dan kami tak in-
gin pula kau mati secara penasaran, Prilastri!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh petir yang keras
di angkasa.
Dan hujan secara mendadak turun dengan deras
membasahi bumi.
Berarti sumpah ketiganya didengar oleh Yang Maha
Kuasa.
Sumpah yang mengerikan.
Sumpah demi seorang sahabat.
Dan secara bersamaan mereka pun melemparkan
jari kelingking yang telah putus itu ke Danau Siluman.
Seolah sudah sepakat dan yakin, jari kelingking mere-
ka itulah yang akan menemani arwah Prilastri di alam
sana.
Sedangkan bau wangi yang menguar Danau Silu-
man itulah yang akan mengikuti dan menemani mere-
ka. Seolah antara mereka dengan Prilastri tak ada lagi
perbedaan alam.
Telah menyatu.
Namun tiba-tiba ketiganya menjerit, karena baru
merasakan sakit di kelingking mereka yang putus dan
masih mengeluarkan darah.
Secara serempak ketiganya menotok urat darah
yang terdapat di pergelangan tangan mereka, sehingga
darah pun berhenti mengalir.
Terdengar suara Priyanti berkata, "Sebaiknya kita
harus segera mencari Ratih Ningrum dan membunuh-
nya."
Usul itu ditanggapi setuju oleh kedua temannya.
Prikasih berkata, "Dan sebaiknya pula, kita harus
memulihkan kembali tenaga kita. Terutama kau Priat-
sih. Kau harus bersemedi selama seminggu untuk
mengembalikan hawa murnimu yang telah banyak terbuang."
Priatsih mengangguk.
"Yah... aku sendiri sudah tidak sabar untuk mem-
balas kekalahan dari Ratih Ningrum dan menuntut ba-
las atas kematian Prilastri..."
Lalu ketiganya pun kembali ke bangunan besar itu,
di mana Serikat Kupu-kupu Hitam berkumpul.
***
EMPAT
Matahari nampak baru saja bangun dari peraduan-
nya. Sinarnya cerah. Menerangi bumi yang dua malam
berturut-turut dibasahi oleh hujan yang turun terus
menerus.
Bau tanah basah yang bercampur dengan embun
pagi tercium. Bau rerumputan yang nampak segar pun
berhembus ditiup angin.
Nampak dua ekor kuda tengah melintasi jalan seta-
pak yang becek itu. Penunggangnya adalah sepasang
remaja. Yang pemuda berwajah tampan dan bertubuh
tegap. Di punggungnya terdapat busur beserta anak
panah. Sedangkan yang pemudi berwajah jelita dengan
rambut terurai panjang yang diikat ekor kuda. Sepa-
sang matanya bersinar cerah dan jenaka. Menandakan
dia seorang gadis yang riang dan manja. Di punggung
gadis itu terdapat sebilah pedang yang sarungnya ter-
buat dari kulit harimau.
Keduanya sudah seminggu melakukan perjalanan
dari desa mereka. Keduanya adalah murid dari Pergu-
ruan Cakra Buana yang meminta izin pulang untuk
menengok kedua orang tua mereka yang sedang sakit.
Keduanya kakak beradik.
Si kakak bernama Perwira, sedangkan adiknya ber
nama Ratih Ayu.
"Masih lamakah jalan yang harus kita tempuh un-
tuk mencapai perguruan, Kakang Perwira?" bertanya
Ratih Ayu pada kakaknya.
Kalau melihat dari wajahnya saat ini, nampak wa-
jahnya tengah dirundung duka. Dan letih pun tersirat
di wajah yang cantik itu.
"Kira-kira satu hari lagi, Rayi Ratih Ayu... Apakah
kau sudah lelah?"
"Ya, Kakang... seluruh tubuhku penat dan lelah,"
kata Ratih Ayu.
Perwira tahu mengapa adiknya cepat menjadi lelah,
karena adiknya masih dirundung duka. Orang tua me-
reka yang sakit tak dapat tertolong lagi. Mereka me-
ninggal akibat wabah kolera yang melanda desa mere-
ka.
Perwira menghentikan jalan kudanya.
"Sebaiknya kita beristirahat saja di sini, Rayi..." ka-
ta Perwira mengusulkan.
"Itu lebih baik, Kakang..." kata Ratih Ayu sambil
melompat dari kudanya. Lalu mengikat kudanya di se-
buah batang pohon.
Begitu pula dengan Perwira.
Lalu dia membuka bekal yang mereka bawa.
Di atas rerumputan yang masih basah, keduanya
pun menikmati sarapan pagi mereka.
Setelah menikmati sarapan dan merasa cukup be-
ristirahat keduanya pun kembali memacu kuda mere-
ka.
Satu hari satu malam mereka berpacu. Kali ini tan-
pa beristirahat. Beberapa saat kemudian, mereka pun
tiba di depan sebuah bangunan besar. Di pintu ger-
bang bangunan itu biasanya terdapat sebuah bendera
lambang dari Perguruan Cakra Buana.
Tetapi mereka tidak melihat bendera itu.
Bahkan biasanya di pagi seperti ini, murid-murid
dari Perguruan Cakra Buana sedang berlatih. Tetapi
mengapa bangunan itu nampak sepi? Bahkan seper-
tinya tak ada tanda-tanda kehidupan.
Keduanya saling berpandangan heran.
"Mengapa sepi sekali, Kakang?" tanya Ratih Ayu tak
bisa menahan rasa herannya lagi.
"Entah, Rayi... mungkin sedang diadakan rapat di
dalam..."
"Tetapi mengapa tidak ada yang menjaga, Kakang?
Bendera perguruan kita pun tak terpasang?"
"Aku juga tidak tahu, Rayi... sebaiknya kita masuk
sekarang..."
Keduanya pun segera menjalankan kuda mereka
memasuki gerbang Perguruan Cakra Buana. Dan be-
tapa terkejutnya mereka begitu melihat mayat-mayat
bergelimpangan di sana sini.
Bau amis darah tercium.
Bau mayat terhembus dibawa angin.
Ratih Ayu muntah karena mencium bau yang tera-
mat busuk. Buru-buru dia mengerahkan hawa mur-
ninya untuk menutup bau yang busuk itu.
"Kakang! Apa yang telah terjadi?!" desisnya terkejut.
"Aku pun tidak tahu, Rayi!" kata Perwira tak kalah
terkejutnya.
"Kakang... sepertinya di tempat ini telah terjadi per-
tempuran yang amat hebat."
"Betul, Rayi.. sepertinya Perguruan kita telah dis-
erang oleh orang-orang jahat..."
"Kakang!" memekik Ratih Ayu. "Bagaimana dengan
Guru?!"
Serentak keduanya melompat dari kuda mereka dan
berlari ke dalam bangunan itu. Di dalam pun terdapat
banyak mayat dari murid Perguruan Cakra Buana.
Kali ini mereka tak ambil perduli. Keduanya pun
berlari ke ruangan guru mereka biasa berada.
Pintu ruangan itu telah hancur berantakan. Seper-
tinya dihantam oleh sebuah buldozer. Di dalam ruan-
gan itu pun terdapat banyak mayat.
"Guru!" seru Ratih Ayu cemas. Duka yang telah di-
alaminya seolah telah lenyap dan berganti dengan ke-
cemasan terhadap guru mereka, Ki Borgawa Darsa.
Suaranya menggema di ruangan itu.
Tak ada bayangan Ki Borgawa Darsa muncul.
Perwira pun berseru, "Guru! Di mana Guru bera-
da?!"
Kembali hanya gema suaranya yang terdengar.
Perlahan-lahan keduanya tersadar, kalau guru me-
reka tak ada di tempat itu. Serentak keduanya pun
mencari mayat guru mereka.
Tetapi tidak ditemukan!
"Kakang... mengapa mayat Guru tidak ditemukan
andaikata dia juga mati?" tanya Ratih Ayu cemas.
"Entahlah. Tetapi bila mayat Guru tidak ada, berarti
Guru belum mati."
"Kalau belum mati di mana dia berada?"
"Aku pun tidak tahu, Rayi... hanya dugaanku, Guru
ditahan oleh para penyerang Perguruan Cakra Buana
ini."
"Siapa mereka, Kakang?"
"Akupun tidak tahu, Rayi... Sayang, kita tidak bisa
mencari keterangan dari semua kejadian ini...."
"Kakang Perwira... Mbakyu Ratih..." terdengar suara
pelan di belakang mereka.
Keduanya menoleh. Seraut wajah jelek muncul di
ambang pintu.
"Bunto!" seru Perwira sambil berlari mendekati wa-
jah jelek itu.
Begitu pula dengan Ratih Ayu yang mendekat pula
dan bertanya dengan nada tidak sabar, "Bunto... apa
yang telah terjadi? Di mana Guru?"
Bunto mendesah. Nampak di matanya tersirat duka
yang amat sangat. Wajah Bunto sangat buruk. Ma-
tanya terbuka lebar dengan luka bekas luka di kedua
pelupuknya. Pipinya sebelah kanan tumbuh benjolan.
Rambutnya agak botak. Dan tubuhnya bungkuk.
Di Perguruan Cakra Buana ini dia bertugas menjaga
kuda dan mengurusnya.
Karena Bunto diam saja, Ratih Ayu berkata lagi,
"Bunto... katakan apa yang telah terjadi? Siapa yang
menyerang perguruan kita?"
"Tenang, Rayi.. tenanglah," kata Perwira yang meli-
hat Bunto nampak sedang menahan kesedihan di ha-
tinya. Lalu setelah melihat Bunto agak tenang, dia pun
bertanya perlahan, "Bunto... apa yang telah terjadi se-
peninggal kami di sini? Ceritakanlah..."
Bunto menatap keduanya dengan sepasang ma-
tanya yang menakutkan namun bersinar lembut. Mata
itu bercahaya duka.
"Mengerikan..." desisnya pelan.
"Apanya yang mengerikan..."
"Orang-orang itu menyerang ke sini..."
"Siapa mereka?"
"Para gadis..."
"Maksudmu?" tanya Perwira. Sebenarnya dia pena-
saran karena Bunto memenggal-menggal jawabannya.
Tetapi Perwira maklum sepertinya Bunto tengah men-
galami tekanan jiwa yang hebat. Boleh dikatakan dia
melihat sendiri kejadian yang mengerikan di Perguruan
Cakra Buana.
"Gadis-gadis itu..."
"Gadis-gadis yang menyerang ke sini?"
"Ya."
"Siapa mereka?"
"Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam., mereka me
nyerang perguruan ini dengan ganas dan kejam. Mere-
ka membunuh siapa saja.."
"Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam?"
"Ya, mereka berjumlah empat orang."
"Empat orang?" ulang Perwira tak percaya. Empat
orang gadis menyerang ke sini dan berhasil membu-
nuh semua murid-murid Perguruan Cakra Buana? Se-
pertinya sukar untuk dipercaya.
Lalu terdengar lagi jawaban Bunto, "Ya, empat
orang. Mereka cantik. Tadi kejam..."
"Apa maksud kedatangan mereka?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana dengan Guru?"
"Guru dibawa mereka."
"Ke mana?"
Bunto menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu."
"Bunto... katakan sekali lagi, yang menyerang per-
guruan kita berjumlah empat orang?"
"Ya."
"Para gadis?"
"Ya."
"Berpakaian hitam-hitam?"
"Ya."
"Senjata apa yang mereka gunakan untuk membu-
nuh dan menyerang kita?"
"Cuma selendang yang biasa dipakai seperti punya
istriku."
"Selendang?"
"Ya. Tapi hebat."
Perwira mendesah. Jawaban-jawaban Bunto begitu
lambat dan terputus-putus. Dia tidak puas dengan ja-
waban yang diberikan Bunto.
Tetapi bila dia menekan atau memaksa, sepertinya
dia akan tetap menerima jawaban seperti itu. Perwira
bermaksud membiarkan Bunto secara lengkap.
"Ya," sahut Bunto dengan tatapan kosong. Lalu
dengan terbungkuk dia mendahului Perwira dan Ratih
Ayu melangkah.
Ratih Ayu menatap kakaknya. "Kakang... sepertinya
sulit dipercaya empat orang gadis menyerang ke sini
dan membuat segala kacau balau."
"Ya, aku pun demikian. Tetapi itu sudah menanda-
kan bahwa mereka adalah gadis-gadis yang sakti. En-
tah dari golongan mana mereka. Dan sebab apa mere-
ka menyerang dan membunuhi kawan-kawan kita ini."
"Aku sudah tidak sabar untuk mendengarkan cerita
Bunto, Kakang. Sebaiknya kita segera menyusul."
"Baik, Rayi."
Lalu keduanya berlari ke kuda mereka dan menga-
rah menuju rumah Bunto yang tak jauh dari Pergu-
ruan Cakra Buana.
***
LIMA
Seperti biasa pagi itu murid-murid Perguruan Cakra
Buana tengah berlatih. Senjata dari Perguruan Cakra
Buana adalah sebuah cakra bergerigi. Yang dapat di-
mainkan seperti sebilah keris. Dapat pula dilempar
dan berbalik kembali kepada pemiliknya.
Ki Borgawa Darsa saat ini tengah berada di ruan-
gannya. Dia tengah bersemedi. Laki-laki yang berusia
50 tahun itu adalah dari golongan putih. Dan telah la-
ma mengasingkan diri dari dunia persilatan. Dan ilmu
pun mulai diturunkan kepada para muridnya.
Tiba-tiba di halaman terjadi keributan.
Dua orang murid yang menjaga pintu gerbang ter-
pental dari tempatnya dan ambruk dalam keadaan
menjadi mayat di depan teman-temannya yang berla-
tih.
Seta Angseta yang tengah melatih dan merupakan
salah seorang murid terlama menjadi terkejut. Dia se-
gera menghentikan melatihnya.
Dan memeriksa kedua murid itu yang telah menjadi
mayat. Wajah kedua mayat itu membiru. Sepertinya
leher mereka dicekik hingga kehabisan nafas.
Belum lagi Seta Angseta berkata, tiba-tiba melompat
empat sosok tubuh berpakaian hitam-hitam di hada-
pan mereka. Wajah keempat sosok tubuh itu jelita.
Dan mereka merupakan gadis-gadis belia.
"Salam perkenalan kami, orang-orang Perguruan
Cakra Buana!" berseru salah seorang yang tak lain
Priatsih.
Seta Angseta menjadi waspada. Dia dapat menduga
bahwa gadis-gadis inilah yang telah menghabisi nyawa
kedua temannya.
"Salam kembali dari kami, Gadis-gadis berbaju hi-
tam," balas Seta Angseta mencoba bersahabat.
Priatsih tertawa. "Hahaha... rupanya orang-orang
Perguruan Cakra Buana orang-orang yang dapat
menghormati tamunya..."
"Tamu adalah orang yang kami hormati..." kata Seta
Angseta dengan mata menyelidik. "Tetapi... tentunya
kalian adalah tamu-tamu yang sopan? Namun menga-
pa kalian begitu telengas membunuh dua teman kami
ini?"
"Hahaha... itulah tanda perkenalan dari kami.
Orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam..."
Mendengar ucapan yang sombong dan angkuh itu,
Seta Angseta menjadi geram.
"Kami rasa... kamu tak punya silang sengketa den-
gan Orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam..."
"Memang tidak."
"Tetapi mengapa kalian begitu telengas membunuh
kawan-kawan kami ini?"
"Karena itu tanda untuk siapa saja yang membang-
kang kemauan dan perintah kami."
"Apa kemauan kalian?!" seru Seta Angseta semakin
waspada. Dia yakin, keempat gadis ini bermaksud ti-
dak baik mengingat cara mereka datang dengan mem-
bunuh dua murid Perguruan Cakra Buana.
"Kemauan kami... agar orang-orang Perguruan Ca-
kra Buana mau tunduk di bawah Serikat Kupu-Kupu
Hitam..."
"Hhh! Permainan apa pula ini?! Sepertinya kalian
begitu mudah meminta pada kami agar kami tunduk
pada kalian!"
"Ini bukan sebuah permainan! Tapi ini sebuah per-
mintaan!"
"Bagaimana bila kami menolak permintaan kalian?!"
"Nasib kalian akan sama dengan dua orang yang te-
lah menjadi mayat itu!"
"Bangsat! Langkahi dulu mayat kami, bila kalian in-
gin membuat kami menunduk dan mengikuti segala
kemauan kalian!"
"Bagus! Aku pun sudah tidak sabar ingin membu-
mihanguskan Perguruan Cakra Buana!"
Sehabis berkata begitu, empat orang gadis itu pun
saling menjaga jarak. Posisi mereka mantap.
Seta Angseta mengangkat tangannya.
Secara serentak murid-murid Perguruan Cakra Bu-
ana mengurung keempat gadis itu.
"Hhh! Kalian tak akan bisa lari dari sini!" seru Seta
Angseta.
"Bagus!" bentak Priatsih. "Akan kita lihat siapa yang
masih bisa menghirup udara segar esok pagi!"
"Seraaaang! Dan tangkap mereka!" seru Seta Angse-
ta.
Dan secara serempak murid-murid yang menge-
pung itu pun bergerak melancarkan serangan.
Serentak pula di halaman Perguruan Cakra Buana
terjadi keributan yang hebat. Empat gadis yang dike-
royok itu ternyata begitu lincah dan hebat menghindari
setiap serangan para pengeroyoknya.
Murid-murid Perguruan Cakra Buana mengepung
keempat gadis itu dengan dua lingkaran. Lingkaran
pertama berada di dekat gadis-gadis itu. Lingkaran ke-
dua melingkari lingkaran pertama.
Dan begitu lingkaran pertama merangsek maju,
lingkaran kedua menutup jalan keluar bagi keempat
gadis itu. Serangan-serangan yang mereka lancarkan
secara bergantian.
Begitu ada yang terkena pukul, dia akan mundur.
Dan orang yang berada di lingkaran kedua maju untuk
menyerang.
Begitu seterusnya.
Nampak sekali kalau serangan itu sulit untuk di-
elakkan. Dan sepertinya tak ada jalan keluar bagi
keempat gadis itu.
Namun begitu keempatnya menguraikan selendang
yang melilit pinggang mereka, barulah nampak jalan
terbuka.
Selendang itu kadang bisa berubah menjadi tom-
bak. Yang dengan hebatnya mengamuk. Kadang pula
bisa menjadi cemeti. Dan bagi yang terkena, langsung
mampus. Karena selendang itu telah dialiri tenaga da-
lam yang cukup kuat.
Sebentar saja sudah terdengar jeritan kematian dari
murid-murid Perguruan Cakra Buana. Dan barisan
melingkar itu pun terbuka. Dua orang gadis berpa-
kaian hitam bersalto melewati barisan itu dan masih
bersalto mengibaskan selendang mereka.
Dua jeritan terdengar.
Disusul dengan tubuh ambruk menjadi mayat.
"Hhh! Itulah ganjaran bagi yang membangkang!" se-
ru Prikasih dan mengelebatkan kembali selendangnya.
Kembali pula seorang ambruk dengan kepala hampir
putus.
Barisan itu pun menjadi kacau balau.
Seta Angseta menjadi terkejut karena tak menyang-
ka selendang yang melilit di pinggang keempat gadis
itu bisa menjadi senjata yang mengerikan dan ampuh.
Dia sendiri pun mencabut senjata cakranya. Dan
menyerang dengan menggenggam lobang cakra itu. Se-
rangannya ganas dan berbahaya.
Setiap kali tangannya bergerak, terdengar desingan
angin yang cukup kuat.
Dan langsung mengancam bagian-bagian yang ber-
bahaya dari lawan-lawannya.
Priyanti yang melihat hal itu segera menyongsong
laju serangan Seta Angseta dengan selendang hitam-
nya.
Keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran
yang hebat dan dahsyat.
Saling serang.
Saling menghindar.
Saling balas.
Sementara ketiga temannya telah membuat kacau
balau murid-murid yang lain. Satu per satu pun mu-
rid-murid itu mati. Bila tidak tubuhnya hancur, leher-
nya yang hampir putus.
Belum lagi ketika selendang yang berada di tangan
ketiga gadis itu berubah menjadi tombak. Dapat me-
nangkis jatuh cakra yang dilemparkan oleh murid-
murid Perguruan Cakra Buana.
Bahkan bisa membalikkan kepada pemiliknya den-
gan satu sentakan keras hingga pemiliknya sukar un-
tuk menangkapnya kembali. Dan tanpa ampun lagi
menancap di tubuhnya sendiri.
Hanya sebentar saja murid-murid Perguruan Cakra
Buana yang berjumlah 25 orang itu telah mati berka-
lang tanah.
Sementara Seta Angseta dengan gigih menahan se-
rangan-serangan selendang hitam dari Priyanti.
"Kau tak akan bisa lari, Pemuda sombong!" geram
Priyanti sambil menyerang. Dan tiba-tiba selendangnya
yang nampak lemah itu berubah menjadi tombak. Dan
siap untuk menusuk jantung Seta Angseta.
Seta Angseta sendiri terkejut. Dia cepat bersalto ke
belakang. Namun tiba-tiba tiga buah selendang telah
menjerat tubuhnya dan menariknya jatuh ke bumi.
Dia memekik kesakitan.
Dan sulit baginya untuk meloloskan diri.
Priyanti terbahak. Dia mendekati Seta Angseta yang
telungkup di tanah.
Kakinya mengangkat dagu pemuda itu hingga me-
natapnya.
Priyanti meludahi wajah itu.
"Hhh! Jangan banyak lagak di hadapan kami! Nah,
kau sendiri yang meminta kepada kami untuk melang-
kahi mayatmu! Sebentar lagi akan kami lakukan, bu-
kan?!"
"Perempuan jahanam!" maki pemuda itu. "Kau tak
ubahnya seperti iblis yang haus darah!"
"Yah, aku memang iblis yang haus darahmu!"
"Bunuhlah aku, Perempuan Iblis!"
"Sebentar lagi kami akan membunuhmu! Hhh,
mengapa kita tidak main-main sejenak?!"
Seta Angseta mendengus.
"Permainan apa lagi yang akan kau perlihatkan,
hah?!"
"Sabarlah... nah, kau lihatlah permainan apa yang
kami perlihatkan! Hmm... sebenarnya kau cukup tam
pan, Anak muda... Seharusnya kau kami serahkan ke-
pada Guru kami, tetapi entah kenapa aku mendadak
saja menyukaimu. Hmm... kau pasti menyukai per-
mainan yang akan kusuguhkan ini..."
Secara tiba-tiba tubuh Seta Angseta terangkat. Dan
berdiri dengan tubuh melilit tiga buah selendang.
Priyanti berdiri di hadapannya.
"Permainan ini segera dimulai, Anak muda..." desis-
nya tiba-tiba. Suaranya parau. Di tenggorokan. Seta
Angseta mencium hawa mesum yang mulai menguar.
Dan secara perlahan-lahan tubuh Priyanti meliuk-
liuk di depannya dengan erotis. Gerakannya mengan-
dung birahi yang memabukkan. Dan secara perlahan-
lahan pula dia membuka sedikit pakaian bagian dada.
Nampak pula di mata Seta Angseta bagian atas dari
buah dada gadis itu. Lalu perlahan-lahan pula Priyanti
membuka pakaiannya.
Akhirnya dia pun telanjang bulat di depan Seta
Angseta. Tubuhnya semakin meliuk-liuk dengan erotis.
Seta Angseta tiba-tiba merasakan tubuhnya bergetar.
Dia berusaha menutup kedua matanya. Namun tangan
Prilastri telah menotok urat matanya hingga kedua ma-
ta itu nyalang terbuka.
"Nikmatilah permainan ini, Anak muda..." desisnya.
Seta Angseta semakin merasakan gemetar di selu-
ruh tubuhnya melihat pemandangan di depannya. Wa-
jahnya mendadak memerah. Dia pun telah terundang
birahi yang mendesak.
Secara tiba-tiba dia berontak untuk menjangkau
tubuh Priyanti.
Tetapi lilitan tiga buah selendang itu semakin kuat
mengikatnya. Membuat Seta Angseta menjerit-jerit un-
tuk mendekati tubuh Priyanti.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dari ambang pintu
bangunan Perguruan Cakra Buana.
"Hai! Lepaskan!" seru orang yang berdiri di sana.
Lalu pemuda-pemuda yang berdiri di dekatnya segera
berlarian mengurung keempat gadis itu.
Priyanti menghentikan tariannya. Dia menebar se-
nyum yang memabukkan kepada pemuda-pemuda itu,
yang menjadi terdiam karena melihat suatu peman-
dangan yang jarang sekali mereka saksikan.
Sementara Seta Angseta masih meronta-ronta un-
tuk menjangkau tubuh Priyanti. Begitu hebat siksaan
birahi yang melandanya.
"Apakah kalian datang untuk menikmati keindahan
tubuhku pula?!" desis Priyanti.
Para murid-murid Perguruan Cakra Buana menjadi
salah tingkah dan serba salah. Tetapi begitu melihat
betapa banyaknya teman-teman mereka yang mati,
mereka mencoba mengusir pemandangan yang mema-
bukkan itu dengan menekan hawa murninya dan me-
nyebarkan ke seluruh tubuh.
"Teman-teman..." berseru salah seorang. "Jangan
sampai terpengaruh oleh birahi!" desisnya lagi.
Dan teman-temannya pun semakin mengerahkan
hawa murni mereka. Mendadak salah seorang segera
bergerak menyerang, semata untuk menyadarkan te-
man-temannya yang tengah terpesona oleh pemandan-
gan itu.
Mendengar jeritan yang keras, mereka menjadi ter-
gugah. Dan tersadar. Serentak pula mereka menye-
rang.
Priyanti yang menjadi sasaran mereka.
Tetapi gadis itu dengan mudahnya menghindari se-
rangan dari pemuda-pemuda itu. Dia bersalto ke bela-
kang, melewati tubuh Seta Angseta yang masih meron-
ta-ronta karena dimabuk birahi. Tiba-tiba saja tangan
kanan gadis itu bergerak dengan cepat menghantam
kepala Seta Angseta.
"Traaakkk!"
Tinju yang keras itu menghantam hancur Seta Ang-
seta. Lalu tubuh itu pun ambruk tanpa bisa menjerit
lagi.
Secara serempak tiga buah selendang yang melilit-
nya, terurai dan terlepas. Priyanti sendiri segera me-
makai pakaiannya. Dan kini selendang hitamnya telah
siap pula untuk menjalankan tugas.
Mendadak terdengar seruan dan satu sosok tubuh
melenting ke arah mereka. Ki Borgawa Darsa, Ketua
dari Perguruan Cakra Buana telah berdiri di hadapan
mereka. Membelakangi murid-muridnya.
"Gadis-gadis berbaju hitam... ada masalah dan
maksud apa kalian membuat teror di sini?" tanyanya
dengan suara berwibawa. Usianya yang telah menem-
panya menjadi bersikap demikian. Meskipun hatinya
geram menyaksikan pembantaian ini, namun dia ma-
sih berusaha untuk menahan diri.
"Hhh! Rupanya kami tengah berhadapan dengan Ki
Borgawa Darsa, bukan?!" berkata Priatsih.
"Benar, akulah yang bernama Ki Borgawa Darsa.
Nah, katakan sebab apa kalian menurunkan tangan
telengas kepada murid-muridku?"
"Ki Borgawa... kamu membawa amanat dari guru
kami, Dewi Komalaputih untukmu..."
"Amanat apa gerangan?"
"Meminta kepada seluruh murid dan ketua Pergu-
ruan Cakra Buana untuk tunduk di bawah pimpinan
kami, Serikat Kupu-Kupu Hitam!"
Secara diam-diam Ki Borgawa Darsa sudah dapat
menangkap sebab apa gadis-gadis itu datang dan me-
nyebar teror.
Dia tersenyum. Namun di balik senyum itu terdapat
kegeraman yang luar biasa.
"Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kau akan mengalami nasib seperti murid-muridmu
itu!"
"Agaknya aku lebih memilih mengikuti jejak murid-
muridku yang perkasa!"
"Bagus!" kata Priatsih. "Nah, bersiaplah untuk me-
nerima kematianmu!"
Setelah berkata begitu, Priatsih pun segera menye-
rang ke depan. Namun murid-murid yang berada di be-
lakang tubuh Ki Borgawa Darsa segera berkelebat me-
nyongsong serangan Priatsih pada guru mereka.
Priatsih terkejut. Namun dengan sigap dia kembali
bersalto. Dan bersamaan dengan itu Ki Borgawa Darsa
sudah merangsek maju.
Keempat gadis itu pun menyebar dengan sigap. Ki
Borgawa Darsa dilayani oleh Priatsih. Sementara tiga
temannya menghadapi keroyokan para murid yang
berjumlah dua puluh orang.
Biarpun mereka berjumlah dua puluh orang, na-
mun yang mereka hadapi adalah gadis-gadis sakti mu-
rid dari Dewi Komalaputih. Sebentar saja mereka su-
dah kocar-kacir. Ada yang mati di tempat. Ada yang
mencoba berlari ke dalam.
Namun gadis-gadis itu tidak mau setengah-
setengah dalam melakukan pekerjaannya. Mereka pun
bergerak cepat menyusul. Dan di dalam Perguruan
Cakra Buana, pembantaian itu pun terjadi kembali.
Pekik dan jeritan bersatu dengan darah yang ber-
simbah.
Sementara di luar, Ki Borgawa Darsa sudah menge-
luarkan senjata cakranya. Tiga buah. Dan senjata-
senjata itu pun bergerak menyerang Priatsih yang ha-
rus bersalto ke sana kemari menghindar.
Namun cakra itu seakan mempunyai mata. Dan su-
sul menyusul datangnya. Begitu bergerak, dia akan
kembali lagi kepada pemiliknya.
Priatsih menjadi kewalahan.
Hingga suatu saat tiga buah cakra yang bergerak
susul menyusul itu dengan hebat menyerbu ke arah
Priatsih yang susah payah bersalto.
Namun sebelum tiga senjata itu mengenai sasaran-
nya, tiga buah selendang berwarna hitam telah me-
nyambarnya dan mengikatnya.
Ki Borgawa Darsa terkejut, karena dia tidak me-
nyangka tiga buah selendang itu akan mampu mena-
han senjata cakranya.
Kini sadarlah dia siapa yang tengah dihadapi. Ga-
dis-gadis perkasa yang memiliki tenaga dalam cukup
hebat.
Namun dia tak mau menyerah begitu saja. Bahkan
dia merelakan nyawanya putus daripada harus tunduk
pada perintah ketua Serikat Kupu-Kupu Hitam.
Maka dengan nekat dia pun segera menyerang den-
gan hebat. Membabi buta.
Tetapi gadis-gadis itu dengan mudahnya menghin-
dari serangan Ki Borgawa Darsa.
Pada saat itu, sosok tubuh bongkok dengan wajah
yang sangat jelek, baru saja kembali dari membawa
kuda-kuda milik Perguruan Cakra Buana di padang
rumput.
Sosok tubuh itu adalah Bunto. Dan dia amat terke-
jut melihat perkelahian itu. Dia semakin terkejut begi-
tu melihat mayat murid-murid Perguruan Cakra Bua-
na yang bergelimpangan di bumi.
"Oh... apa yang telah terjadi?" desisnya gugup. Dan
ketakutan pun menyerangnya, hingga laki-laki bong-
kok itu hanya terpaku di tempatnya yang cukup ter-
sembunyi.
Dia melihat Ki Borgawa Darsa tengah dikeroyok oleh
empat gadis berpakaian hitam. Ki Borgawa Darsa tak
bisa berbuat banyak.
Dia pun merasa sia-sia dengan segala serangannya.
Namun dia masih tak mau mengalah.
Memang tak ada jalan lain selain menyambung
nyawa dengan gadis-gadis ini.
Dia masih mencoba untuk menyerang dengan se-
kuat tenaga. Tetapi hanya sia-sia belaka dan mem-
buang tenaga saja.
Secara tiba-tiba empat buah selendang hitam itu
membelit tubuhnya dan menariknya hingga ambruk ke
bumi.
"Hhh! Sudah kukatakan, kau akan sia-sia belaka,
Ki Borgawa Darsa!" mendengus Priatsih.
"Bunuhlah aku! Bunuh saja aku!"
"Membunuhmu tak sulit, Ki!"
"Bunuh saja aku! Lebih baik aku mati daripada ha-
rus menjadi pengikut serikatmu yang kejam itu!"
Kata-kata Ki Borgawa Darsa disambut tawa oleh
keempat gadis itu.
"Tak sulit, Ki... tak sulit...." kata Prikasih.
"Semudah membalikkan telapak tangan, Ki," sam-
bung Prilastri.
"Tetapi itu terlalu mudah, Ki... Kau harus mengala-
mi satu siksaan dulu," lanjut Priyanti.
"Dan kau akan menikmatinya nanti," kata Priatsih
sambil terkikik yang disambut oleh teman-temannya.
Wajah Ki Borgawa Darsa begitu geram sekali. Na-
mun dia sudah tak berdaya. Sudah tak mampu ber-
buat apa-apa.
Dia cuma bisa mendesah.
Sementara Bunto yang memperhatikan semua itu,
menjadi semakin tegang. Dia kuatir Ki Borgawa Darsa
akan dibunuh. Karena dia sudah tak melihat seorang
pun murid dari Perguruan Cakra Buana yang masih
hidup.
Bunto merasa bersyukur karena tugasnya setiap
pagi dan sore membawa kuda-kuda milik Perguruan
Cakra Buana ke padang rumput.
Dia melihat keempat gadis itu masih terkikik.
"Sebaliknya kau menurut saja apa yang menjadi
kehendak Ketua kami, Ki!" kata Prikasih.
"Ya... kau akan mendapatkan pelayanan tak ubah-
nya seorang raja," sambung Prilastri.
"Seperti Ki Prodana, ketua dari Perguruan Sutra
Emas yang mendapat perlakuan sangat istimewa dari
guru kami dan kami semua," lanjut Priyanti.
"Bukankah itu sesuatu yang sangat nikmat, Ki?" ka-
ta Priatsih.
"Hhh! Sampai kapan pun aku tak akan pernah mau
menurut di bawah perintah Serikat Kupu-Kupu Hi-
tam!" kata Ki Borgawa Darsa tegas meskipun dia yakin
dirinya tak akan bisa lolos.
"Bagus! Itu terserah oleh Ketua kami! Bawa dia!" ka-
ta Priatsih.
Lalu dengan selendang yang masih melilit di tubuh
Ki Borgawa Darsa, keempatnya berlari melesat mem-
bawa tubuh itu. Ki Borgawa Darsa merasa tubuhnya
bagai terbang belaka.
Bunto menunggu beberapa saat sebelum keluar dari
persembunyian. Setelah yakin orang-orang tidak da-
tang lagi, lalu dia pun keluar dari persembunyiannya.
Laki-laki bongkok itu hanya bisa menahan pilu me-
lihat kenyataan yang terjadi di depan matanya. Dia
melihat semua murid Perguruan Cakra Buana telah
tewas menjadi mayat.
"Gusti Allah... kesalahan apa yang telah orang-
orang ini perbuat?" desisnya dan tak terasa air ma-
tanya menggenang. Dia telah merasa sebagian dari
Perguruan Cakra Buana. Kalau tidak Ki Borgawa Dar-
sa yang mengambilnya sebagai pekerja, entah siapa la-
gi yang akan mau memanfaatkan tenaganya?
Bunto merasa berhutang budi pada Ki Borgawa
Darsa. Baginya, meskipun upah yang dia dapatkan se-
dikit, tetapi dapat mengganjal perut istri dan dua
orang anaknya yang masih kecil.
Dan sekarang dia melihat Ki Borgawa Darsa dibawa
oleh gadis-gadis berpakaian hitam itu. Dia tak bisa
berbuat apa-apa.
Sungguh pilu hatinya.
Dia merasa kecil sekali.
Tiba-tiba Bunto teringat pada Perwira dan Ratih
Ayu. Kalau tidak salah ingat, dua hari yang lalu kakak
beradik itu berpamitan padanya untuk menjenguk
ibunya yang sedang sakit.
Dan entah kenapa Bunto begitu menaruh harap pa-
da keduanya.
Siang dan malam Bunto menunggu dan mengintip
apakah kedua orang itu telah datang. Dia tak mengen-
al lelah. Karena baginya, hanya merekalah yang tersisa
sebagai murid Perguruan Cakra Buana.
***
Bunto mendesah panjang.
Perwira dan Ratih Ayu yang mendengarkan ceri-
tanya menggeram gemas terhadap gadis-gadis itu. Me-
reka merasa bersyukur karena ternyata guru mereka
masih hidup.
"Kau tahu ke mana mereka pergi?" tanya Perwira.
Bunto mendesah.
"Tahu."
"Ke mana?"
Sekali lagi terdengar desahan dari mulut Bunto.
Perwira dapat melihat duka yang teramat sangat ter-
pancar dari mata yang terbuka melotot itu.
"Setelah kejadian itu... saya mencari tahu tentang
gadis-gadis berpakaian hitam-hitam itu."
"Lalu?"
"Ada yang mengetahui, gadis-gadis itu berasal dari
Serikat Kupu-Kupu Hitam. Dan bermukim dekat Da-
nau Siluman."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari temanku."
"Siapa?"
"Rengga. Desanya diserang oleh para gadis-gadis
itu. Dan beberapa perjaka tampan diculik entah untuk
apa!"
Perwira menatap adiknya, seolah meminta penda-
patnya apakah mereka akan pergi sekarang atau ti-
dak?
Seperti mengetahui apa yang tersirat di mata ka-
kaknya, Ratih Ayu berkata.
"Terima kasih, Bunto.... sebaiknya kami permisi sa-
ja sekarang. Menurut hemat kami, sebaiknya kami le-
bih cepat mencari Guru."
"Benar, Bunto... kami kuatir terjadi hal-hal yang ti-
dak diinginkan pada Guru..."
"Terserah kalian, aku hanya bisa berdoa semoga ka-
lian selamat, begitu dengan majikan..."
Istri Bunto keluar dari dapur dengan membawa be-
berapa gelas kopi dan singkong rebus. Dia menghi-
dangkan pada mereka.
"Mari Kangmas, Nimas... dicicipi... hanya ada ini sa-
ja..."
"Tidak usah repot-repot, Mbakyu.." kata Ratih Ayu.
Dan menjadi tidak enak untuk pergi sekarang.
Keduanya pun mencicipi hidangan itu terlebih da-
hulu. Dan baru terasa kalau perut mereka lapar, kare-
na mereka dapat menghabiskan tiga potong singkong
rebus.
Setelah merasa cukup menikmati hidangan itu, ke-
duanya pun berpamitan.
Bunto dan istrinya mengantar sampai ke halaman
rumahnya yang tidak begitu luas.
"Hati-hati Kakang Perwira... Mbakyu Ratih..." kata
Bunto.
Perwira tersenyum.
"Terima kasih atas kesetiaanmu pada Guru, Bun-
to..." katanya.
Lalu segera memacu kudanya. Disusul dengan Ra-
tih Ayu.
Bunto mendesah. Menatap senja yang mulai datang.
Dia berkata pada istrinya, "Mari kita berdoa di dalam,
Ni... semoga keduanya berada dalam lindungan Gusti
Allah.."
"Mari, Kang Bunto..."
Lalu keduanya pun masuk ke dalam.
***
ENAM
Ratih Ningrum sekali lagi menatap suaminya. Dia
ada perasaan berat untuk ditinggal suaminya. Madewa
mendesah.
"Aku hanya beberapa hari saja, Dinda.... Tidak la-
ma... Setelah urusanku selesai dengan Eyang Naga
Langit., aku akan segera kembali..."
Sebenarnya bukan itu yang dicemaskan Ratih Nin-
grum. Dia tahu suaminya punya urusan dengan Eyang
Naga Langit, kakek sakti yang bermukim di Gunung
Slamet. Tetapi dia kuatir gadis-gadis dari Serikat Ku-
pu-Kupu Hitam akan muncul lagi. Sebenarnya Ratih
Ningrum tidak gentar menghadapi mereka, namun
yang dikuatirkannya, dia tak sanggup untuk melawan
lagi.
Sampai hari ini Madewa memang tidak tahu kejadian yang telah menimpa Perguruan Topeng Hitam.
Ratih Ningrum memang sengaja merahasiakannya. Dia
diam-diam kagum dengan para muridnya yang juga ti-
dak membicarakan soal itu.
"Pergilah, Kanda... Aku tidak apa-apa. Sampaikan
salamku pada Eyang Naga Langit dan Nini Arum Sari,"
kata Ratih Ningrum.
Lalu laki-laki yang selalu tersenyum arif bijaksana
dan selalu mengenakan jubah berwarna putih itu pun
melangkah.
Langkahnya tegap, tak ada keraguan sedikit pun.
Sepeninggal suaminya, Ratih Ningrum segera me-
manggil beberapa murid pilihannya. Dia segera men-
gadakan rapat.
"Kalian tahu bukan, beberapa minggu yang lalu
orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam menyerang ki-
ta. Dan kupikir... mereka akan datang lagi untuk me-
nuntut balas. Nah, kalian harus bersiap siaga..."
"Maksud Nyonya Ketua... kita harus memasang per-
tahanan?" tanya Bayuloda.
"Benar, Bayu. Kita harus bersiap siaga. Jadi kumin-
ta, kalian beserta beberapa orang menjaga di empat
penjuru. Khusus pintu gerbang lipat gandakan dari
penjagaan semula..."
"Baik, Nyonya Ketua."
"Kalian mengerti?"
"Kami mengerti!" sahut sepuluh orang murid pilihan
yang dipanggil menghadap oleh Ratih Ningrum.
"Bagus! Mulai sekarang... buka mata kalian lebar-
lebar dan bersiaga."
Lalu sepuluh murid itu pun berdiri. Dan menjura.
Lalu mereka memasang topeng hitam yang menutupi
wajah mereka sebelum keluar dari ruangan itu.
Ratih Ningrum mendesah panjang.
Malam pertama dan malam kedua kepergian suaminya, tidak terjadi apa-apa. Nampak tenang seperti
biasa.
Tetapi pada malam ketiga, terdengar suara ribut-
ribut di pintu gerbang. Disusul dengan empat sosok
tubuh yang terpental dan tewas dengan leher berda-
rah.
Bayuloda yang sedang berputar terkejut melihat
empat murid Perguruan Topeng Hitam yang menjaga di
pintu gerbang telah menjadi mayat.
Dia menjadi siaga, "Menyebar!" serunya pada mu-
rid-murid yang lain!
Serentak mereka menyebar. Dan masing-masing
menjaga pintu masuk menuju bangunan utama. Mu-
rid-murid yang menjaga di tiga penjuru pun segera
berdatangan.
Tiba-tiba masuk lima sosok tubuh berpakaian hi-
tam-hitam. Bulan di atas sedang purnama. Langit ce-
rah.
Lima sosok tubuh yang datang itu adalah Priatsih
dan kawan-kawannya. Priyuni dan Prilaksmi pun ikut
serta, karena mereka juga ingin membalas dendam pa-
da Ratih Ningrum yang telah menyebabkan kematian
Prilastri.
Bayuloda berkata dengan gagah, "Gadis-gadis ber-
pakaian hitam-hitam... agaknya kalian masih belum
puas membuat kerusuhan!"
"Ahhh! Jangan banyak bacot!" bentak Priatsih.
"Panggil Nyonya gurumu ke mari, katakan, kami hen-
dak membuat perhitungan dengannya!"
"Kalian boleh menemui Nyonya Ketua, bila telah me-
lewati barisan di hadapan kalian ini!"
"Banyak bacot! Mampuslah kau!" bentak Priatsih
dan dengan cepat menguraikan selendang hitamnya
yang langsung menyerang ke arah Bayuloda.
Bayuloda yang sejak tadi sudah bersiaga, menghindar ke kiri. Begitu pula dengan teman-temannya yang
berada di belakangnya.
Priatsih menarik pulang selendangnya. Dan tanpa
dikomando lagi teman-temannya pun menguraikan se-
lendang mereka.
Bayuloda berseru, "Gunakan jurus Penutup Bari-
san!"
Serentak murid-murid yang berjumlah sekitar 40
orang itu berjajar ke belakang dua-dua. Dan masing-
masing telah memegang sepasang pedang di kedua
tangan mereka.
Bayuloda yang berdiri di depan berkata, "Majulah
kalian semua!"
Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam itu saling pan-
dang. Lalu serentak mereka menyerang. Priatsih,
Priyanti dan Prikasih menyerang dari depan. Sementa-
ra Priyuni dan Prilaksmi mencoba menerobos dari ka-
nan dan kiri mereka.
Namun di luar dugaan mereka, barisan yang menja-
jar ke belakang itu, berubah menjadi horizontal. Dan
pedang-pedang pun menyambar dengan ganas.
Serentak keduanya bersalto ke belakang. Begitu pu-
la yang dialami Priatsih, Priyuni dan Prilaksmi. Mereka
tidak menyangka ketika barisan itu membentuk segiti-
ga. Semuanya serba cepat dan hebat.
"Baik, kami tidak akan main-main lagi!" mendengus
Priatsih setelah bersalto dan hinggap di bumi.
Lalu dia pun mencoba menyerang dari jauh dengan
ayunan selendangnya, begitu pula dengan keempat
temannya.
Bayuloda berseru, "Gunakan senjata Rahasia, Lem-
paran ke Arah Rembulan!"
Dan serentak 40 buah senjata rahasia yang berben-
tuk topeng itu melesat cepat ke arah kelima gadis itu
yang harus jungkir balik menghindar. Belum lagi me
reka bisa bernafas, kembali 40 buah senjata rahasia
melesat.
"Awas!" seru Priatsih dan jungkir balik lagi.
Namun malang bagi Priyuni, dua buah senjata ra-
hasia itu menancap deras di dada dan lehernya. Tanpa
sempat menjerit, tubuhnya ambruk ke bumi bersim-
bah darah.
Keempat temannya terkejut.
Mereka menjadi murka seketika.
Dan dengan nekat mereka menerjang, mencoba
menerobos barisan itu.
Namun kembali usaha itu sia-sia belaka, karena ba-
risan itu terlalu rapat. Dan sulit untuk diterobos.
"Lebih baik kalian kembali pulang dan bawa mayat
teman kalian itu!" kata Bayuloda.
Tetapi gadis-gadis yang telah bersumpah untuk
membunuh Ratih Ningrum mendengus.
"Sejengkal pun kami tak akan mundur!"
"Bagus! Berarti kalian akan mampus di tempat ini!"
seru Bayuloda pula.
"Atau... kau yang akan mampus!" seru Priatsih dan
menyerang Bayuloda. Bayuloda terkejut, dia serentak
mundur dan beberapa temannya maju. Namun Priat-
sih terus mencecar Bayuloda. Begitu pula dengan te-
man-temannya.
Kini mereka tahu kelemahan dari jurus Penutup
Barisan itu. Serang dan cecar bagian depan. Itulah
kuncinya karena bila yang terdepan telah jatuh, maka
yang lainnya akan kocar-kacir.
Benar juga dugaan mereka itu, karena tak tahan di
serang secara beruntun, Bayuloda keluar dari barisan.
Dan serentak barisan itupun pecah.
Hal ini memudahkan gadis-gadis itu untuk memba-
las dan menyerang.
Sebentar saja terdengar jeritan dan pekik kematian
dari murid-murid Perguruan Topeng Hitam.
"Jangan mundur! Bantu kembali jurus Penutup Ba-
risan!" seru Bayuloda membangkitkan semangat te-
man-temannya.
Namun sekarang sudah sulit untuk membentuk
kembali. Karena gadis-gadis itu telah menyerang den-
gan hebat, dan memisahkan diri dalam menyerang.
Membuat murid-murid yang lain menjadi terpisah-
pisah.
Dari dalam, Ratih Ningrum dapat melihat kesulitan
yang tengah dihadapi para muridnya. Dia tak mau da-
rah bersimbah kembali ke bumi.
Maka dengan mantap dia pun keluar dari bangunan
itu.
Dan berseru lantang, "Hentikan pertarungan ini!"
Pertarungan itu segera terhenti. Keempat gadis itu
bersalto saling mendekat.
Melihat siapa yang berseru, Priyanti mendengus,
"Ratih Ningrum... kau harus membayar kematian te-
man kami dengan nyawamu!"
Ratih Ningrum perlahan-lahan mendekat. Dia
memberi isyarat pada para muridnya untuk mundur.
"Priyanti... hidup, mati dan rezeki berada di tangan
Gusti Allah. Bila aku dikehendaki oleh-Nya untuk mati
sekarang, maka aku pun akan mati. Tapi bila belum,
maka aku akan tetap hidup.."
"Hhh! Ratih Ningrum, kamilah malaikat pencabut
nyawa yang dikirim oleh-Nya untuk mencabut nyawa-
mu!"
"Jangan sombong dengan kata-kata itu, Priyanti!"
"Perempuan keparat! Terimalah kematianmu!" ber-
seru Prikasih menyela kata-kata Priyanti. Dan dia sen-
diri sudah menderu menyerang dengan selendangnya
yang berubah menjadi tongkat.
Ratih Ningrum melompat ke kiri, namun serangan
itu datang kembali. Menderu ke arah kakinya. Lang-
sung dia bersalto ke belakang. Dan begitu hinggap di
bumi, sepasang pedang kembarnya sudah berada di
tangan.
"Baiklah... kita akan bermain-main kembali! Maju-
lah kalian!" seru Ratih Ningrum.
Prikasih yang sudah tahu kehebatan ilmu silat yang
dimiliki Ratih Ningrum memberi isyarat pada teman-
temannya untuk maju sekaligus keempatnya pun sege-
ra mengurung.
Ratih Ningrum melihat beberapa muridnya untuk
membantu, namun dia memberi isyarat agar mereka
diam di tempat.
"Bagus!" desisnya pada keempat gadis itu dengan
mata waspada.
"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!" berseru Prikasih
dan mengelebatkan selendangnya. Begitu pula dengan
teman-temannya.
Empat buah selendang berwarna hitam itu menderu
ke arah Ratih Ningrum tak ubahnya seperti sebuah
cambuk. Ratih Ningrum mengempos tubuhnya ke atas.
Bagai seekor burung, tubuh itu melenting ke udara.
Namun empat buah selendang itu kembali menge-
jar. Kali ini Ratih Ningrum langsung memadukan ju-
rusnya. Jurus Pedang kembar dan Pukulan Tangan
Seribu. Sehingga pedangnya terlihat menjadi banyak.
Pedang-pedang itu pun menyambar selendang-
selendang yang mengarah padanya.
Namun secepat kilat selendang-selendang itu ditarik
pulang pemiliknya dan menderu kembali kali ini men-
jadi sebatang tombak.
Ratih Ningrum kembali mengempos tubuhnya, dan
menghindari tombak-tombak itu. Dia bersalto ke de-
pan. Namun keempat gadis yang tengah dilanda den-
dam itu tak mau melewatkan dan memberi kesempatan buat Ratih Ningrum bernafas.
Mereka terus mencecar.
"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!"
Ratih Ningrum sendiri tak mau dirinya dijadikan
sasaran senjata mereka. Dia pun segera memapakinya.
"Trok!"
"Trokk!"
Dua tombak berhasil ditangkisnya, dan dua seran-
gan tombak lainnya dihindarinya dengan bersalto.
Ratih Ningrum yang merasa bila dia terus menerus
hanya menghindar bisa terkena pula, maka dia pun
mulai membalas.
Pedang-pedangnya pun berkelebat dengan hebat.
Namun keempat gadis itu pun tak mau kalah. Mereka
pun serentak memapakinya.
Ini membahayakan Ratih Ningrum. Apalagi selen-
dang Priyanti dan Prikasih telah membelit pedangnya.
Sukar untuk dilepaskan.
Dan Priatsih dan Prilaksmi telah menderu maju ke
depan dengan selendang yang telah berubah menjadi
tombak. Tombak Priatsih berhasil dihindarnya dengan
mengempos tubuhnya ke atas. Namun tubuh itu terta-
rik lagi ke bawah karena Priyanti dan Prikasih menyen-
takkan selendang mereka.
Dan tubuh Prilaksmi telah meluncur deras ke arah
Ratih Ningrum!
Para murid Perguruan Topeng Hitam memekik me-
nahan nafas.
Tegang.
Ratih Ningrum hanya memiliki waktu beberapa de-
tik. Dan waktu yang amat sedikit itu dipergunakannya
semaksimal mungkin.
Dengan cepat dia melepaskan kedua pedangnya dan
menjatuhkan diri di bumi. Tusukan selendang yang te-
lah menjadi tombak milik Prilaksmi meluncur deras
beberapa detik dari tubuhnya.
Dan dengan cepat pula, Ratih Ningrum menggerak-
kan kaki kanannya. Menghantam pinggul Prilaksmi
hingga gadis itu terhuyung.
Sungguh di luar dugaan, tubuh Ratih Ningrum tiba-
tiba bersalto ke arah Prilaksmi. Dan mendudukinya
hingga gadis itu telungkup.
Kala orang-orang yang menyaksikan membuka ma-
ta, terlihatlah sebilah keris menancap di punggung Pri-
laksmi.
Keris pemberian dari gurunya yang bernama Patidi-
na, telah ditancapkan ke punggung gadis itu.
Ratih Ningrum pun berdiri dengan sigap.
Kini di tangannya terdapat sebilah keris.
Tiga gadis berpakaian hitam-hitam yang tersisa, ti-
dak menyangka kalau Ratih Ningrum masih memiliki
senjata. Dari keterkejutan itu berubah menjadi kema-
rahan.
Ketiganya pun menggeram murka.
"Dua nyawa hari ini telah kau renggut, Ratih Nin-
grum!" bergetar suara Priatsih menahan amarah. "Dan
kami telah siap untuk menyambung nyawa dengan-
mu!"
"Hhh! Majulah kalian!"
Tiba-tiba Prikasih menggerakkan selendangnya
yang di ujungnya masih membelit pedang Ratih Nin-
grum.
Dan pedang itu meluncur deras ke arah Ratih Nin-
grum.
Dengan sigap Ratih Ningrum menghindar ke kiri.
Pedang itu pun menancap di tembok tinggi yang men-
gelilingi Perguruan Topeng Hitam hingga setengah. Itu
menandakan kemarahan yang telah melanda Prikasih
begitu dalam.
Lalu disusul dengan tubuh gadis itu yang mener
jang. Begitu pula dengan Priatsih dan Priyanti. Kini ke-
tiganya bertekad untuk menyambung nyawa!
Sesuai sumpah yang telah mereka ucapkan!
Menghadapi ketiga lawannya yang nampak beringas
dan penuh amarah, membuat Ratih Ningrum agak ke-
walahan. Apalagi karena senjata di tangannya hanya
sebilah keris. Yang lebih pendek dari sepasang pe-
dangnya.
Namun jurus-jurus ilmu keris yang pernah dipelaja-
ri dari gurunya yang bernama Patidina, membuatnya
mampu untuk bertahan.
Tetapi ketiga gadis itu demikian gencar menyerang.
Hingga suatu saat sulit bagi Ratih Ningrum untuk
menghindar. Selendang-selendang itu telah siap untuk
mencabut nyawanya.
Ratih Ningrum sendiri merasa ajalnya telah tiba. Te-
tapi dia masih berusaha untuk menyelamatkan ji-
wanya.
Namun ketiga selendang itu telah semakin dekat
dan mengurungnya.
"Mampuslah kau, Ratih!"
"Nyawamu akan menemani teman-teman kami yang
telah mati!"
"Selamat jalan, Ratih Ningrum!"
Tiga selendang itu menderu.
Menimbulkan suara bergemuruh.
Mendesing.
Menebarkan hawa kematian.
Tetapi mendadak terdengar tiga jeritan sekaligus
yang keras. Bagaikan lolongan srigala di tengah malam
buta.
Dan tiba tubuh berpakaian hitam-hitam itu pun
ambruk ke bumi bersimbah darah. Beberapa buah
senjata rahasia milik Perguruan Topeng Hitam menan-
cap di bagian punggung ketiganya.
Nyawa mereka pun melayang.
Bayuloda, Renggapati dan Argamulyo yang telah
melemparkan senjata rahasia demi menolong nyawa is-
tri gurunya berlari mendekati Ratih Ningrum.
Dan mereka langsung menjatuhkan diri.
"Maafkan kami, Nyonya Ketua... kami telah lancang
melanggar perintah!" kata Bayuloda.
Ratih Ningrum terharu melihat kepatuhan para mu-
ridnya. Padahal ketiga muridnya itulah yang baru saja
menyelamatkan nyawanya.
"Bangunlah kalian... terima kasih, kalian telah me-
nyelamatkan nyawaku..." kata Ratih Ningrum.
"Hukumlah kami, Nyonya Ketua... karena kami lan-
cang tidak mematuhi perintah..." kata Argamulyo.
"Bangunlah kalian... Kalian tidak berbuat salah....
Sekali lagi kuucapkan terima kasih..." kata Ratih Nin-
grum masih terharu.
Itulah yang membuat murid-murid Perguruan To-
peng Hitam sangat mematuhi perintah guru mereka.
Karena selain mengajarkan kedisiplinan yang tinggi,
guru mereka pun kadang bertindak sebagai seorang
sahabat.
Belum lagi dengan ilmu-ilmu silat yang diajarkan.
Itu susah membuat mereka amat berterima kasih. Dan
wejangan-wejangan bermanfaat yang diberikan, baik
oleh Ratih Ningrum sendiri, maupun oleh suaminya,
Madewa Gumilang.
Dan mereka pun terharu dengan ucapan terima ka-
sih yang dikatakan Ratih Ningrum. Mereka dapat me-
nangkap nada tulus dari suara itu.
Inilah yang mereka anggap sebagai sahabat, bukan
layaknya seorang guru pada muridnya.
Perlahan-lahan ketiganya bangkit. Masih menun-
dukkan kepala yang tertutup topeng hitam.
Ratih Ningrum dapat mengenali mereka dari suara
mereka.
"Kalian kuburlah teman-teman kalian yang mati.
Dan kuburkan pula kelima mayat gadis dari Serikat
Kupu-Kupu Hitam itu..."
Menjelang pagi, mayat-mayat itu telah dimandikan.
Lalu dengan upacara kecil yang dipimpin oleh Ratih
Ningrum sendiri, mayat-mayat itu pun dikebumikan.
Setelah itu dia menyuruh Bayuloda, Renggapati dan
Argamulyo untuk mengikutinya.
Di ruang khusus, ketiganya duduk bersila di hada-
pan Ratih Ningrum yang duduk di sebuah kursi.
"Kalian tahu mengapa kalian kusuruh menghadap,
padahal kalian belum beristirahat?"
Ketiganya berpandangan. Topeng hitam yang menu-
tupi wajah mereka telah dibuka.
Berkata Bayuloda, "Maafkan saya, Nyonya Ketua...
mungkin ada hubungannya dengan kedatangan Seri-
kat Kupu-Kupu Hitam."
"Benar, menurut informasi yang kudapat, mereka
bermarkas dekat Danau Siluman. Senja nanti, kalian
bertiga ikut bersamaku ke sana."
"Baik, Nyonya Ketua..."
"Kita akan hancurkan markas mereka!"
"Kita bumiratakan!"
Ratih Ningrum tersenyum. Lalu menyuruh keti-
ganya beristirahat.
***
TUJUH
Danau Siluman pagi hari.
Dua ekor kuda berhenti di dekat danau itu. Kedua
penunggangnya memperhatikan sekitarnya dengan
mata waspada.
Suasana begitu sunyi.
Padahal matahari sudah sepenggalah.
"Mungkin di bangunan besar itulah markas dari Se-
rikat Kupu-Kupu Hitam, Kakang..."
"Benar, Rayi Ratih...."
"Kita sebaiknya segera ke sana, kakang Perwira...
aku kuatir dengan nasib guru."
"Baik!"
Lalu keduanya pun menghentakkan tali kekang ku-
da mereka dan segera menuju ke markas Serikat Ku-
pu-Kupu Hitam.
Sementara itu keadaan Ki Borgawa Darsa begitu
menyedihkan. Karena dia tak mau menurut pada pe-
rintah Dewi Komalaputih, dia disiksa sampai setengah
mati. Keadaannya begitu memilukan.
Tiba-tiba pintu ruangan di mana dia disekap dan
disiksa terbuka.
Muncul sosok tubuh berwajah cantik dengan pa-
kaian yang tipis dan berjubah hitam. Di sampingnya
satu sosok setengah baya.
Dewi Komalaputih tersenyum.
"Ki Borgawa... apakah kau masih akan menolak pe-
rintahku?"
Ki Borgawa mendengus dan meludah.
"Ciih! Sejengkal pun aku tak akan mundur, Dewi!"
"Hihihi... bagus, Ki Borgawa.. aku tak akan segan-
segan lagi membunuhmu..."
"Borgawa..." kata Ki Prodana. "Mengapa kau begitu
keras kepala, hah? Bukankah kau lihat aku? Hidupku
senang dan bebas di samping Dewi Komalaputih..."
Ki Borgawa Darsa meludah. Dan tatapannya menge-
jek pada Ki Prodana.
"Prodana... kau memang bangsat keparat! Kau
membiarkan seluruh muridmu mati, sementara kau
sendiri menikmati hidup yang kotor seperti ini! Kau
manusia busuk, Prodana!"
"Bangsat kau, Borgawa!" desis Ki Prodana sambil
menghantamkan kakinya ke dagu Ki Borgawa, yang
langsung terjengkang ke belakang.
Tetapi matanya tetap menyalang tajam.
"Hhh! Dewi...biar manusia ini aku yang bunuh!" de-
sis Ki Prodana.
"Silahkan... tapi beri dia kesempatan untuk menik-
mati matinya secara perlahan..."
"Baik!"
Tetapi sebelum Ki Prodana menjalankan maksud-
nya, di luar terjadi keributan. Keduanya berpandan-
gan. Dan cepat melihat apa yang terjadi di halaman.
Rupanya Perwira dan Ratih Ayu yang mengamuk.
Perwira sudah melepaskan anak panahnya dan me-
renggut beberapa orang anggota dari Serikat Kupu-
Kupu Hitam.
Begitu pula dengan adiknya, yang telah menerjang
dengan pedangnya.
Dewi Komalaputih yang menyaksikan hal itu berse-
ru,
"Tahan!"
Anak buahnya segera mundur.
Begitu pula dengan Perwira dan Ratih Ayu. Kedua-
nya saling beradu punggung dengan waspada.
"Kisanak dan Nisanak... maksud apa kalian mem-
buat onar di sini?" tanya Dewi Komalaputih.
"Hhh! Rupanya kau yang bernama Dewi Komalapu-
tih? Bagus, namaku Perwira dan ini adikku, Ratih Ayu!
Kami datang untuk membebaskan guru kami, Ki Bor-
gawa Darsa!" seru Perwira.
Dewi Komalaputih terkikik.
"Rupanya kalian murid-murid Perguruan Cakra Bu-
ana yang telah selamat dari teror anak buahku. Bagus!
Hmmm... kalian punya nyali juga rupanya untuk da
tang ke sini!"
"Bebaskan guru kami, Perempuan Iblis!"
"Kalian berani jual bacot di sini! Baik, majulah ka-
lian!"
Kakak beradik itu berpandangan. Lalu terlihat ke-
duanya saling mengangguk. Dan serentak keduanya
menyerang Dewi Komalaputih yang dengan mudahnya
menghindari serangan keduanya.
Bahkan kedua tangan Dewi Komalaputih dengan
cepat memukul tangan kedua penyerangnya, hingga
bagaikan remuk tulang tangan keduanya. Keduanya
segera bersalto.
"Sungguh hebat tenaga dalamnya, Rayi Ratih..." bi-
sik Perwira.
"Iya, Kakang... tapi aku kuatir akan nasib Guru! Ki-
ta serang lagi!"
Kembali keduanya menyerang. Namun lagi-lagi ber-
hasil dipatahkan oleh Dewi Komalaputih. Bahkan sen-
jata keduanya pun terlepas.
"Hihihi... cepat kalian bersujud di depanku, niscaya
nyawa kalian akan kuampuni!"
"Perempuan iblis, kami tidak takut mati! Tahan se-
rangan!" seru Ratih Ayu dan melemparkan cakra yang
terselip di pinggangnya.
"Siiingg!"
Senjata itu mengarah pada Dewi Komalaputih. Na-
mun sungguh di luar dugaan, senjata itu berhasil di-
tangkap olehnya dan lemparkan kembali pada Ratih
Ayu.
"Awas, Rayiiii!" seru Perwira.
Namun lemparan Dewi Komalaputih lebih cepat da-
tangnya. Tetapi mendadak terdengar suara, "Criiingg!"
Cakra itu jatuh ke tanah dibentur oleh sebuah sen-
jata lain. Begitu benda yang membentur jatuh, terlihat
tiga buah senjata rahasia berbentuk topeng hitam.
"Bangsat! Siapa yang membuat ulah ini?!" memben-
tak Dewi Komalaputih.
Lalu terlihat di hadapannya empat sosok tubuh
berdiri gagah. Seorang wanita gagah perkasa dengan
dua buah pedang berselempang di punggung. Dan di
belakangnya berdiri tiga sosok tubuh berpakaian hi-
tam-hitam dengan wajah yang tertutup topeng hitam.
Dan di punggung masing-masing terdapat dua buah
pedang pula.
Dewi Komalaputih mendengus.
"Hhh! Rupanya Ratih Ningrum yang datang!" desis-
nya namun sedikit terkejut. Bukankah lima anak
buahnya telah pergi untuk membunuh wanita ini? Ka-
lau begitu, pasti mereka telah berhasil dikalahkan wa-
nita itu. Atau mungkin juga telah dibunuhnya.
Perwira segera memburu adiknya yang baru saja di
selamatkan Ratih Ningrum.
"Dewi Komalaputih... sebaiknya kau pergi dari sini,
dan jangan membuat onar lagi," berkata Ratih Nin-
grum.
"Hihihi... omongan apa pula ini, Ratih? Aku telah
lama berniat untuk menjajal ilmumu. Hmm... di mana
suamimu Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan
Sukma berada? Apakah dia bersembunyi seperti anak
kecil hingga menyuruhmu mengantarkan nyawa?"
Wajah Ratih Ningrum merah padam.
"Bangsat hina! Majulah, jangan membuang waktu
lagi!"
Ratih Ningrum pun meloloskan kedua pedangnya.
Ki Prodana yang sejak tadi terdiam, maju ke depan.
"Ratih Ningrum... bila kau ingin mati, biar aku yang
mengirimmu ke akhirat..."
"Gagak Hitam... rupanya kau telah menjadi pengi-
kut dari wanita iblis itu... Hhh, kau tak ubahnya se-
perti anjing!"
Wajah Ki Prodana memerah. Lalu tanpa banyak ca-
kap lagi dia maju menyerang. Tetapi tiga murid Pergu-
ruan Topeng Hitam segera meloncat ke depan.
"Hadapi kami, Manusia busuk!" berseru Bayuloda.
Dan segera menyongsong serangan dari Ki Prodana.
Lalu laki-laki setengah baya itu pun dikeroyok oleh tiga
murid utama Perguruan Topeng Hitam.
Sementara Ratih Ningrum telah berhadapan kemba-
li dengan Dewi Komalaputih.
"Majulah, Dewi..."
"Bagus! Bersiaplah, Ratih!"
Lalu keduanya pun segera terlibat dalam pertarun-
gan yang hebat. Masing-masing mengeluarkan seluruh
kepandaian yang mereka miliki. Jurus demi jurus ber-
lalu. Keduanya saling mencecar lawan dan bertekad
untuk menjatuhkan.
Anak buah Dewi Komalaputih yang tinggal dua
orang itu pun segera melayani serangan-serangan dari
Perwira dan Ratih Ayu.
Satu ketika, Perwira berhasil memukul jatuh la-
wannya. Dan menancapkan anak panahnya ke dada
lawan. Dia berseru pada adiknya, "Ratih... kau pergi
mencari Guru! Biar lawanmu ini aku hadapi!"
"Baik, Kakang!"
Lalu Ratih Ayu pun melesat ke dalam bangunan be-
sar itu.
Di halaman, masih terjadi pertempuran yang hebat.
Ki Prodana meskipun dikeroyok oleh tiga orang, na-
mun berada di atas angin. Ilmu Gagak Hitamnya begi-
tu tangguh untuk mereka
Dan jari-jarinya yang telah membentuk seperti pa-
ruh gagak, telah menghantam ketiganya hingga ter-
huyung.
Begitu pula halnya dengan Ratih Ningrum. Dia su-
dah cukup terdesak oleh Dewi Komalaputih. Bahkan
sebuah pedangnya telah lepas. Dan dengan satu sen-
takan pula, pedang itu yang satunya pun terlepas.
"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!" seru Dewi Koma-
laputih sambil menyerang lagi. Ratih Ningrum pun
menghadapinya dengan jurus Pukulan Tangan Seribu.
Namun itu pun tak berarti banyak.
Karena satu tonjokan telah mengenai dadanya.
Dia terhuyung. Lalu mengusap darah yang keluar
dari mulutnya. Matanya nyalang.
Dewi Komalaputih terkikik. Dan perlahan-lahan
menguraikan selendang hitam yang melilit di ping-
gangnya.
"Aku ingin melihat kau mati tergantung oleh selen-
dang ini. Ratih!" desisnya dan segera menyerang lagi
dari tempatnya.
Selendang itu bergerak dengan cepat. Ratih Nin-
grum jungkir balik menghindar. Dua kali dia terkena
ayunan selendang yang telah dialiri tenaga dalam. Ka-
lau bukan Ratih Ningrum yang telah memiliki tenaga
dalam cukup sempurna, niscaya orang itu akan mati
dengan tubuh hancur seketika.
"Hihihi... kini terimalah ajalmu, Ratih!" desis Dewi
Komalaputih sambil memutar-mutar selendangnya di
udara. Dan tiba-tiba selendang itu seperti menjadi
tombak. Lalu digerakkannya ke arah Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum hanya memejamkan matanya karena
dia merasa tak mampu lagi untuk menghindar.
Tiba-tiba terdengar seruan kesakitan dari Dewi Ko-
malaputih. Dan tubuhnya terpelanting ke kanan kare-
na dihantam oleh sebuah pukulan keras.
"Bangsat! Siapa yang berani berbuat curang seperti
ini?!" makinya seraya bangkit kembali.
Dan di hadapannya kini telah berdiri satu sosok
berjubah putih yang tersenyum arif bijaksana.
Ratih Ningrum yang telah membuka matanya berse
ru melihat sosok itu,
"Kanda!"
Sosok yang ternyata Madewa Gumilang tersenyum.
"Bagaimana keadaanmu, Dinda?"
"Aku tidak apa-apa, Kanda..."
"Menyingkirlah..."
Dewi Komalaputih mendengus melihat siapa yang
datang.
"Hhh! Rupanya nama besar Pendekar Bayangan
Sukma hanyalah orang pengecut belaka! Beraninya
hanya membokong saja!"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.
"Dewi... maafkan atas ulahku tadi..."
"Jangan jual lagak di depanku, Madewa! Hhh!
Mampuslah kau, Pendekar Bayangan Sukma!" dengus
Dewi Komalaputih sambil menyerang dengan selen-
dangnya.
Madewa cuma tersenyum. Masih tersenyum dia
menghindari serangan selendang itu. Dengan jurus
Ular Meloloskan Diri, Madewa berada di atas angin. Se-
lendang itu tak sekali pun mengenai sasarannya.
Hal ini membuat Dewi Komalaputih menggeram ma-
rah, karena mereka merasa dipermainkan. Lalu dia
mengubah selendangnya menjadi seperti tombak. Dan
memainkannya dengan jurus Tombak Memecah Om-
bak!
Serangannya semakin ganas dan membahayakan.
Madewa sendiri semakin meningkatkan jurus meng-
hindarnya, Ular Meloloskan Diri. Lalu dia pun mengi-
rimkan satu pukulan lurus ke depan, pukulan Tembok
Menghalau Badai.
"Des!" pukulan itu telah mengenai sasarannya. Na-
mun Dewi Komalaputih telah berdiri tegak kembali,
seolah tidak merasakan pukulan tadi.
"Hhh! Hanya begitu saja tenaga yang kau miliki,
Madewa! Inilah ilmu kebalku, Menahan Sejuta Topan
Badai!" desisnya sambil terkikik.
"Sayang... ilmu kesaktian yang kau miliki itu kau
gunakan di jalan yang salah, Dewi..."
"Jangan berkhotbah, Madewa!" desis Dewi Komala-
putih geram. Lalu maju menyerang lagi.
Madewa pun mengimbanginya dengan jurus Ular
Mematuk Katak. Namun ilmu kebal yang dimiliki Dewi
Komalaputih seolah tembok berlapis seribu begitu Ma-
dewa menghantamkan pukulannya.
Sementara Ki Prodana yang melihat Dewi Komala-
putih bertarung, segera menerjunkan diri. Dia pun me-
rasa tiga lawannya sudah tak bisa bangun lagi karena
pukulannya.
"Bagus!" desis Madewa. "Prodana... tak kusangka
kau akan seperti ini!"
"Diam, Madewa! Nikmatilah ajalmu yang hampir ti-
ba ini!" seru Ki Prodana sambil menyerang dengan ju-
rus Gagak Hitamnya.
Madewa pun kembali menggunakan jurus meng-
hindarnya. Serangan berbahaya kedua orang itu lolos.
Tak satu pun yang mengenainya.
Mendadak Dewi Komalaputih menebarkan selen-
dangnya. Dan selendang itu pun membelit tubuh Ma-
dewa.
"Hihihi... kini mampuslah kau, Madewa Gumilang!"
desisnya.
Dan Ki Prodana telah meluncur dengan satu puku-
lannya. Pukulan itu pun mengenai dada Madewa Gu-
milang!
Tubuh Madewa terhuyung.
"Hahaha.. hanya begitu saja kehebatan dari Pende-
kar Bayangan Sukma yang sering dijuluki Manusia Se-
tengah Dewa!"
Mata Madewa menyalang. Kemarahannya mulai
naik. Mendadak dia terdiam. Dan tiba-tiba dari kedua
tangannya yang terikat rapat di tubuhnya mengepul-
kan asap putih. Dan mendadak saja selendang yang
membelit tubuhnya putus!
Rupanya dia tengah mengeluarkan pukulan anda-
lannya, Pukulan Bayangan Sukma!
Dewi Komalaputih tahu akan pukulan itu, maka
terdengar seruannya, "Pukulan Bayangan Sukma!"
Madewa tersenyum. Namun matanya bersinar ber-
bahaya. "Tak ada jalan lain, Dewi... Prodana... Manusia
seperti kalian tak layak untuk hidup!"
"Hhh! Kau lupa, Madewa! Aku memiliki ilmu kebal
yang tak akan mempan oleh pukulan macam apa pun!
Termasuk Pukulan Bayangan Sukma!"
"Baik, kita buktikan!"
Dewi Komalaputih melirik Ki Prodana. Lalu kedua-
nya pun bersiap menyerang. Dan dengan diiringi peki-
kan keduanya, kedua tubuh itu pun melesat.
Madewa hanya terdiam di tempat, di kedua tangan-
nya telah terangkum Pukulan Bayangan Sukma.
Dan benturan pun tak dapat dihindarkan lagi.
"Des!"
"Des!"
Tubuh Dewi Komalaputih dan Ki Prodana terlempar
ke belakang, diiringi jeritan Ki Prodana yang memilu-
kan. Lalu terlihat tubuhnya menggeliat dan ambruk
dengan tubuh hancur. Nyawanya telah melayang.
Sementara Dewi Komalaputih telah bangkit lagi. Dia
terkikik. "Kau lihat Madewa... tak satu pun pukulan
yang mampu mengalahkan aku. Hihihi.... tak akhh...
aakhh... AAAKKKHHHH!"
Terdengar jeritan Dewi Komalaputih memilukan.
Tubuhnya pun ambruk hancur ke bumi.
Madewa mendesah. Sementara Perwira pun telah
berhasil menjatuhkan lawannya.
Ratih Ningrum berlari mendekati suaminya. "Kan-
da... mengapa kau bisa berada di sini?"
"Eyang Naga Langit tak ada di tempatnya, Dinda...
Ketika hendak pulang, kulihat kau dan para murid
lainnya menunggang kuda seperti tergesa-gesa. Lalu
aku menyusul."
Madewa menghampiri tiga muridnya. Setelah dioba-
ti, ketiganya pun bisa bangkit kembali. Dari ambang
pintu bangunan itu, muncul Ratih Ayu menyangga Ki
Borgawa Darsa yang lemah sekali. Madewa pun segera
mengobatinya, memulihkan kembali tenaga Ki Borga-
wa Darsa.
Lalu dengan istri dan murid-muridnya, mereka pun
kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Ki Borgawa ber-
kata pada kedua muridnya, "Kuharap... kalian bisa se-
perti orang-orang perkasa itu..."
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar