..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE SERIKAT KUPU KUPU HITAM

Serikat Kupu Kupu Hitam

 

SERIKAT KUPU-KUPU HITAM

Oleh Fahri Asiza

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Serikat Kupu-kupu Hitam


SATU


Suasana pagi cerah. Udara sejuk. Di kejauhan 

nampak pegunungan yang indah seakan menyambut 

cahaya mentari yang baru muncul. Keadaan seperti di 

bawah sadar. Begitu indah dan mempesona.

Burung-burung berkicau, bersahutan terbang kian-

kemari. Suara geresek dedaunan di hembus angin pagi 

terdengar merdu di telinga.

Di tengah keheningan pagi dan keindahan panora-

ma, terdengar suara seperti orang membentak keras, 

dari bangunan besar yang dikelilingi tembok. Bangu-

nan itu mirip seperti sebuah istana. Halamannya luas. 

Dan dari halaman itu terdengar suara seperti memben-

tak tadi.

"Yah... coba kalian ulangi lagi gerakan yang aku 

ajarkan tadi!" kata seorang wanita yang kira-kira beru-

sia 37 tahun. Wajah wanita itu masih kencang. Kenta-

ra sekali kalau dia waktu remajanya cantik jelita. Se-

karang pun bias kecantikannya masih nampak.

Wanita itu berdiri di hadapan berpuluh orang yang 

berpakaian hitam-hitam dengan mengenakan topeng 

berwarna hitam pula. Di tangan orang-orang itu terda-

pat sepasang pedang. Begitu pula di tangan wanita ta-

di. Hanya bedanya wanita itu tidak mengenakan pa-

kaian berwarna hitam dan tidak mengenakan topeng 

berwarna hitam pula.

Dia mengenakan pakaian berwarna putih yang 

ringkas dengan celana sebatas lutut yang ringkas pula. 

Rambutnya yang tergerai panjang dikucir ekor kuda. 

Dan di keningnya ada sebuah ikatan berwarna biru.

Nampak sekali kalau wanita itu sedang mengajar-

kan sebuah jurus ilmu pedang. Dan jelas sekali kalau 

orang-orang yang berpakaian hitam-hitam dan menge


nakan topeng hitam itu adalah murid-muridnya.

Sebenarnya siapakah wanita itu? Dia tak lain ada-

lah Ratih Ningrum, istri dari Madewa Gumilang alias 

Pendekar Bayangan Sukma. Seperti biasanya setiap 

pagi murid-murid Perguruan Topeng Hitam berlatih il-

mu pedang, karena itu merupakan ciri khas dari Per-

guruan Topeng Hitam.

Dulu Perguruan Topeng Hitam diketuai oleh Paksi 

Uludara atau yang berjuluk si Dewa Pedang. Namun 

ketika dia tewas di tangan Nindia, sebelum ajalnya dia 

menyerahkan sebuah amanat kepada Madewa Gumi-

lang alias Pendekar Bayangan Sukma untuk meme-

gang tampuk ketua dan meneruskan cita-citanya (Ba-

ca: Dewi Cantik Penyebar Maut).

Dan amanat itu dipegang dan dijalankan oleh Ma-

dewa Gumilang sampai sekarang. Tetapi biarpun de-

mikian, dia tak pernah mempunyai keinginan untuk 

mengubah ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam yang 

bersenjatakan sepasang pedang. Makanya dia dan is-

trinya hanya menurunkan dan mengajarkan kepada 

murid-muridnya akan ilmu-ilmu pedang. Bahkan seka-

lipun Madewa tidak pernah menurunkan ilmu yang 

dimilikinya.

Pagi ini dia sendiri sedang bersemedi di ruang khu-

sus.

Di halaman kembali lagi terdengar suara Ratih Nin-

grum, "Kalian ulangi kembali, gerakan yang telah ku-

lakukan tadi! Mulai!"

Serentak para muridnya pun bergerak. Mengikuti 

apa yang telah dicontohkan tadi.

Ratih Ningrum mengangguk-anggukkan kepalanya, 

merasa puas karena murid-muridnya dengan cepat te-

lah menangkap apa yang telah diajarkannya.

Tiba-tiba terdengar suara terkikik.

Kepala Ratih Ningrum cepat menoleh. Begitu pula


dengan para muridnya. Mereka melihat ada empat 

orang gadis berwajah cantik berdiri tegap di atas tem-

bok yang mengelilingi Perguruan Topeng Hitam. Keem-

pat gadis itu berpakaian ringkas berwarna hitam. Di 

pinggang mereka pun melilit sebuah selendang ber-

warna hitam pula.

Ratih Ningrum mendesah dalam hati. Dia sampai 

tidak mendengar keempat gadis itu mendekat Pergu-

ruan Topeng Hitam dan telah berdiri tegap di tembok. 

Ini menandakan bahwa keempat gadis itu bukanlah 

gadis-gadis sembarangan adanya.

Ratih Ningrum menjadi berhati-hati. Dia lalu berka-

ta, "Sebagai tamu yang sopan dan menghormati tuan 

rumah, agaknya Ni sanak sekalian berkenan untuk tu-

run daripada berdiri di tembok itu," kata Ratih Nin-

grum dengan suara bersahabat.

Empat tubuh berpakaian hitam itu bersalto dengan 

ringannya dan hinggap di tanah. Keempatnya menam-

pakkan wajah tidak bersahabat.

Salah seorang berkata pada Ratih Ningrum, "Salam 

kenal dari kami, Nyonya Ketua... Kami dari Serikat 

Kupu-Kupu Hitam... menyampaikan amanat dari guru 

kami yang bernama Dewi Komalaputih..."

Ratih Ningrum yang sudah mencium maksud keda-

tangan mereka yang membawa itikad tidak baik berka-

ta, tetap dengan nada bersahabat, "Salam kenal kem-

bali dariku, untuk Guru kalian Dewi Komalaputih. 

Amanat apakah yang hendak Ni sanak sekalian sam-

paikan?"

"Hanya amanat kecil yang mungkin tak punya arti 

bagimu...."

"Katakanlah...."

"Nyonya Ketua.... nama Perguruan Topeng Hitam te-

lah terdengar sampai ke langit ke tujuh. Begitu pula 

dengan pimpinannya yang bernama Madewa Gumilang


alias Pendekar Bayangan Sukma. Namun saat ini, ka-

mi semua meminta kepadamu dan kepada suamimu, 

untuk tunduk berada di bawah kekuasaan kami..."

Mendengar kata-kata itu wajah Ratih Ningrum pias. 

Amarah sudah berkecamuk di dadanya. Rasanya ingin 

dia segera menghantam mulut yang lancang itu. Begitu 

pula dengan para muridnya yang nampak mulai tidak 

senang dengan kedatangan orang-orang itu. Namun 

mereka tak berani melangkah sebelum ada perintah.

Mereka masih tetap berdiri di tempat masing-

masing dan menahan kegeraman yang ada di hati.

Ratih Ningrum sendiri masih mencoba untuk ber-

sabar.

"Aku belum mengerti apa maksud dari Guru kalian, 

Ni sanak?"

Gadis yang berkata tadi mendengus. "Ratih Nin-

grum... jangan berlagak pilon. Kau pasti sudah jelas 

maksud kami, yang meminta pada Perguruan Topeng 

Hitam untuk tunduk di bawah kekuasaan Serikat Ku-

pu-Kupu Hitam... Camkan itu!"

Ratih Ningrum mendengus pula. Kali ini kemara-

hannya mulai naik melihat sikap keempat gadis itu be-

gitu sombong dan pongah.

"Bagaimana bila kami menolak?"

"Itu berarti menantang Serikat Kupu-Kupu Hitam, 

Nyonya Ketua..."

"Tak ada jalan lain!"

"Memang tak ada jalan lain selain untuk menyerah 

saja!"

"Bukan itu maksudku!"

Wajah gadis itu memerah. Matanya meradang ber-

bahaya.

"Nyonya Ketua... setiap kali kami menjalankan misi 

dari guru kami, tak sekali pun kami pernah berbuat 

salah dan mengalah! Katakan sekali lagi yang kau


maksudkan itu..."

Ratih Ningrum tersenyum. Namun di balik senyu-

mannya tersirat kemarahan yang menggelegak.

"Kali ini kalian yang berpura-pura bodoh! Kalian 

tentu sudah tahu maksudku, bukan?"

"Ratih Ningrum... bila itu maumu, Perguruan To-

peng Hitam akan rata dengan tanah! Seperti Perguruan 

Sutra Emas. Perguruan Cakra Buana. Dan perguruan 

yang lainnya...."

"Tetapi Perguruan Topeng Hitam tidak seperti per-

guruan-perguruan lain yang kau sebutkan itu!"

"Bagus! Kami pun sudah tidak sabar untuk menga-

du kesaktian denganmu! Hhh! Aku beritahu dulu na-

maku, Ratih Ningrum. Bila kau sudah mampus nanti, 

nama kami akan kau bawa ke liang kubur! Namaku 

Priatsih! Teman-temanku, Priyanti, Prikasih dan Prila-

stri!"

"Hhh! Priatsih... majulah bila kau benar-benar ingin 

merasakan ilmu dari Perguruan Topeng Hitam!"

"Baik! Lihat serangan!"

Sehabis berkata begitu, Priatsih menderu maju den-

gan serangan yang cukup berbahaya. Ratih Ningrum 

sendiri telah menyarungkan kembali sepasang pedang 

kembarnya warisan gurunya yang bernama Mukti.

Dia pun bergerak maju. Karena Priatsih bertangan 

kosong, dia pun mengimbanginya dengan tangan ko-

song.

Priatsih yang melancarkan serangan dengan puku-

lan lurus ke wajah Ratih Ningrum, harus terkejut keti-

ka Ratih Ningrum tiba-tiba maju menyerang dengan 

pukulan lurus pula ke wajah Priatsih. Serentak Priat-

sih menarik tangannya untuk menangkis serangan Ra-

tih Ningrum.

"Des!"

Terjadi benturan yang cukup lumayan. Dan kedua


nya bersalto ke belakang. Masing-masing dapat men-

gukur tenaga dalam lawan. Ratih Ningrum merasa te-

naga dalam lawan berada sedikit di bawahnya.

"Ayo seranglah aku kembali, Priatsih!" tantangnya 

yang sudah bersiap kembali.

Priatsih pun menerjang kembali. Kali ini lebih cepat. 

Lebih hebat dan lebih berbahaya. Ratih Ningrum sen-

diri sudah mengeluarkan jurus Pukulan Tangan Seri-

bunya warisan dari gurunya yang bernama Tek Jien.

Kedua wanita itu pun saling serang dengan hebat.

Saling menangkis.

Saling membalas.

Keduanya bagaikan dua ekor elang yang saling me-

nyerang dengan hebat di angkasa.

Telah lima belas jurus keduanya lewati, namun be-

lum kelihatan ada yang terdesak. Hingga suatu ketika 

Ratih Ningrum memekik sambil bersalto. Dia bergerak 

dengan pukulan Tangan Seribunya. Yang nampak be-

rubah menjadi seribu. Dan pukulan itu pun mengan-

cam bagian-bagian tubuh berbahaya dari Priatsih.

Priatsih sendiri terkejut melihat satu pertunjukkan 

yang diperlihatkan Ratih Ningrum. Dalam keadaan 

bersalto ke arahnya, Ratih Ningrum masih bisa pula 

menyerang.

Sebisanya Priatsih mencoba menangkis.

Satu dua pukulan berhasil ditangkisnya.

Tetapi tangan yang berubah seolah menjadi seribu 

itu sulit untuk dibendung lagi.

"Des!"

"Des!"

Dua pukulan bersarang telak di dada Priatsih yang 

terhuyung ke belakang. Dia merasakan dadanya nyeri 

sekali. Sementara Ratih Ningrum sudah bersalto kem-

bali ke belakang dan hinggap kembali di tanah dengan 

ringannya.


Dia tersenyum.

"Itukah ilmu Serikat Kupu-Kupu Hitam yang kau

banggakan dan andalkan?!" serunya dengan nada 

mengejek.

Kata-kata itu membuat wajah Priatsih memerah. 

Begitu pula dengan ketiga temannya. Ketiganya siap 

untuk maju menyerang Ratih Ningrum. Tetapi tangan 

Priatsih menghalanginya.

"Biar aku yang selesaikan masalah ini!" katanya. 

Lalu dia berkata pada Ratih Ningrum, "Nyonya Ke-

tua.... jangan berbangga dulu karena kau bisa memu-

kulku. Nah, sekarang terimalah satu pertunjukkan da-

riku!"

Sehabis berkata begitu, Priatsih menguraikan se-

lendang hitamnya yang melilit di pinggangnya. Ru-

panya selendang itu adalah senjata andalannya.

Dia pun mulai menggerak-gerakkan selendang itu.

Dan menyeringai pada Ratih Ningrum, "Nah.... 

Nyonya Ketua... kembali kita harus bermain-main lagi! 

Kau lihatlah senjata andalan dari Serikat Kupu-Kupu 

Hitam ini!"

"Majulah, Priatsih!" sahut Ratih Ningrum tenang. 

Dia pun menggeser kaki kanannya sedikit, hingga ter-

buka. Sikapnya sigap dan waspada.

Priatsih tidak mau membuang waktu lagi. Dengan 

menjerit keras dia menyerang dengan selendang hi-

tamnya. Hebat. Sungguh hebat permainan selendang 

yang dipertunjukkan oleh Priatsih.

Hebat!

Amat hebat!

Selendang itu bisa berubah menjadi tongkat yang 

amat kuat. Dan kadang-kadang berubah menjadi se-

buah cemeti.

Saat selendang itu bergerak, menimbulkan desiran 

angin yang cukup dingin dirasakan oleh Ratih Nin


grum. Dan suara celetar yang cukup kuat.

"Hahaha.... mengapa kau hanya bisa menghindar 

saja, Nyonya Ketua?!" ejek Priatsih karena Ratih Nin-

grum harus kalang kabut menghindari serangan-

serangan selendang hitam itu.

Dia mengerahkan segenap ilmu meringankan tu-

buhnya. Dan satu ketika selendang itu mendadak be-

rubah menjadi sebuah tombak dan siap untuk menu-

suk Ratih Ningrum yang sedang bersalto di udara.

"Awas serangan!" seru Priatsih.

Tubuh Ratih Ningrum yang masih bersalto di udara, 

kayaknya amat menyusahkan dirinya untuk menghin-

dar. Apalagi selendang yang telah berubah menjadi 

tombak itu telah dekat jaraknya!

***

DUA



Murid-murid Perguruan Topeng Hitam hanya bisa 

menahan nafas tegang karena merasa tak ada jalan 

lain bagi Nyonya guru mereka untuk meloloskan diri 

atau pun menghindar. Karena sepertinya jalan itu su-

dah tertutup.

Begitulah dengan Priatsih yang merasa akan meme-

nangi pertarungan ini. Hhh, ternyata hanya begitu saja 

kepandaian yang dimiliki oleh Ratih Ningrum!

Namun satu kehebatan diperlihatkan oleh Ratih 

Ningrum.

Dan membuat semua mata terbelalak, seakan tak 

percaya dengan apa yang terjadi.

Ratih Ningrum yang tengah bersalto di udara, den-

gan satu gerakan yang sungguh teramat cepat, menca-

but sepasang pedang kembarnya. Dan mengibaskan-

nya pada selendang yang telah berubah menjadi tombak itu.

"Trak!"

Pedang itu telah menyambar patah tombak yang be-

rasal dari selendang. Dan mendadak saja tombak itu 

terkulai.

Priatsih terkejut.

Belum lagi hilang keterkejutannya, sebuah tendan-

gan yang dilancarkan Ratih Ningrum telah mengenai 

dadanya.

"Des!"

Tubuh itu meluncur dengan deras ke belakang dan 

ambruk dengan muntah darah.

Ketiga temannya terkejut melihat hal itu. Langsung 

mereka memburu kepada Priatsih. Lalu dua orang 

berdiri dengan tatapan beringas dan bernafsu untuk 

membunuh dan membalas dendam.

Keduanya Priyanti dan Prilastri.

"Ratih Ningrum...." seru Priyanti dengan tatapan 

yang berbahaya. "Kau telah membuat harga diri kami 

jatuh atas ulahmu ini! Dan kami meminta agar kau 

menyerahkan diri sekarang juga!"

Tetapi kata-kata yang mengandung ancaman itu 

disambut dengan tersenyum oleh Ratih Ningrum.

Lalu dengan ringannya dia berucap, "Apakah kalian 

masih ingin nekat menghadapiku? Bukankah kawan 

kalian yang telah jatuh itu sudah menjadi sebagai buk-

ti, bahwa kalian tak akan sanggup untuk mengalahkan 

aku?!"

Prilastri menggeram. "Sombong! Aku ingin melihat 

sampai di mana kehebatanmu, Ratih Ningrum!"

"Majulah! Dan kupikir, kalian berbarengan saja 

menghadapiku, biar urusan ini selesai! Dan katakan 

pada Guru kalian, jangan coba-coba mengganggu ke-

tentraman kami! Dan jangan coba-coba menyebarkan 

teror ke perguruan lainnya yang terdapat di rimba persilatan ini!"

Wajah Priyanti dan Prilastri memerah karena ma-

rah. Keduanya saling lirik. Dan seperti sudah disepa-

kati, tiba-tiba saja keduanya bergerak menderu ke de-

pan.

Ratih Ningrum yang sudah bersiap sejak tadi pun 

segera menyambut serangan keduanya dengan sepa-

sang pedang kembarnya.

Berbahaya.

"Wuuuttt!"

"Wuuuttt!"

Kedua pedang itu berkelebat ke arah Priyanti dan 

Prilastri yang menderu menyerang. Dan secara seren-

tak pula keduanya bersalto ke belakang untuk meng-

hindarkan diri dari pedang Ratih Ningrum.

"Sialan!" maki Prilastri. Kali ini dia bergerak maju 

dengan cepat, mendahului Priyanti. Dan sambil men-

deru ke depan dia menguraikan selendang hitam yang 

melilit di pinggangnya. "Tahan seranganku, Nyonya Ke-

tua! Awaaaasss!"

Ratih Ningrum pun segera menyambut dengan se-

pasang pedang kembarnya. Jurus-jurus pedang kem-

barnya pun segera mengimbangi permainan selendang 

hitam dari Prilastri.

Melihat kawannya sudah maju menyerang dan 

menguraikan senjata, Priyanti pun bergerak memban-

tu dan menguraikan selendangnya pula. Kali ini Ratih 

Ningrum diserang dari dua jurusan.

Sungguh amat berbahaya.

Mematikan.

Dan kejam.

Selendang itu telah dialiri tenaga dalam yang cukup 

kuat. Dan kadang-kadang menjadi tombak yang ber-

bahaya. Kadang memukul. Menusuk. Menotok. Kadang 

secara tiba-tiba tombak itu berubah kembali menjadi


selendang yang bergerak bagai sebuah cemeti.

"Tar!"

"Tar!"

Ratih Ningrum menjadi agak kewalahan dengan se-

rangan-serangan yang datang bertubi-tubi. Sebisanya 

dia mencoba untuk membalas dan menghindar.

Dan secara tiba-tiba kedua pedangnya bergerak be-

gitu cepat hingga menimbulkan suara angin yang ber-

gemuruh. Ratih Ningrum telah memadukan permainan 

pedangnya dengan Pukulan Tangan Seribunya, hingga 

pedang-pedang itu berubah menjadi seribu.

Setelah memadukan permainan pedangnya dengan 

jurus Pukulan Tangan Seribunya, nampaklah Ratih 

Ningrum bisa mengimbangi permainan selendang ke-

dua gadis itu.

Kini nampak kedua gadis itu yang terdesak. Mereka 

nampak cukup terkejut pula menyaksikan permainan 

pedang yang diperlihatkan Ratih Ningrum.

"Wanita keparat!" geram Priyanti sambil berusaha 

menangkis dengan selendangnya yang berubah menja-

di sebatang tongkat.

"Mengapa hanya bisa memaki dan menghindar saja, 

hah?!" ejek Ratih Ningrum dan terus mencecar dengan 

hebat.

Sepasang pedang kembarnya yang dipadukan den-

gan jurus Pukulan Tangan Seribu, ternyata menjadi 

begitu dahsyat. Mampu membuat kedua lawannya 

tunggang langgang kewalahan.

Para murid Perguruan Topeng Hitam berdecak ka-

gum melihat Nyonya Guru mereka ternyata masih 

memiliki ilmu pedang yang dahsyat. Mereka tidak tahu 

kalau itu adalah jurus perpaduan.

Prikasih yang tengah berusaha mengalirkan tenaga 

dalamnya pada Priatsih, menjadi terkejut melihat ke-

dua kawannya terdesak.


Begitu pula dengan Priatsih yang telah membuka 

matanya. Dia merasa cukup pulih sekarang.

"Kasih... bantulah mereka.." desisnya lemah. Meski-

pun telah pulih tetapi dia merasa tubuhnya masih 

agak lemah.

"Baik. Bagaimana keadaanmu?"

"Agak lumayan. Cepat, kedua pedang Ratih Nin-

grum kulihat seperti mempunyai mata!"

"Baik!"

Sehabis berkata begitu, Prikasih berdiri. Dia lang-

sung menguraikan selendang hitamnya yang melilit di 

pinggangnya. Sambil memekik keras, dia pun meli-

batkan dirinya dalam pertarungan itu.

"Awas serangan!" serunya dan mengibaskan selen-

dang yang telah dialiri tenaga dalam itu.

Ratih Ningrum yang tengah mencecar kedua lawan-

nya, merasakan sambaran angin yang cukup kuat da-

tang dari belakangnya. Dengan sigap dia bersalto ke 

belakang. Dan hinggap di tanah dengan manisnya da-

lam keadaan siap siaga dan waspada.

"Bagus! Mengapa tidak sejak tadi kau ikut berga-

bung dalam pertarungan ini, hah?!" seru Ratih Nin-

grum sambil secara diam-diam mengatur jalan perna-

fasannya.

Dan serangan dari Prikasih pun datang kembali.

Melihat datangnya bantuan, Priyanti dan Prilastri 

pun segera menyerang kembali.

Kali ini Ratih Ningrum diserang dari tiga jurusan 

yang cukup berbahaya.

Dia pun mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

untuk menghindari sambaran-sambaran selendang 

berwarna hitam dari ketiganya.

Hingga suatu ketika, salah sebuah pedangnya ber-

hasil dilibat oleh selendang hitam milik Prilastri. Ratih 

Ningrum berusaha untuk melepaskan pedangnya. Na


mun adu tenaga itu ternyata seimbang, dikarenakan 

Prilastri memegang selendangnya dengan kedua tan-

gannya. Bila sama-sama satu tangan, jelas Prilastri 

akan kalah tenaga oleh Ratih Ningrum.

Dan si saat tarik menarik itu terjadi, Priyanti dan 

Prikasih segera mengibaskan selendang hitamnya ke 

arah Ratih Ningrum.

Dua buah senjata andalan itu pun menderu dengan 

hebat ke arah istri Madewa Gumilang. Ratih Ningrum 

terkejut bukan kepalang. Namun mendadak tubuhnya 

mengempos ke arah Prilastri. Prilastri yang sedang 

mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik pe-

dang Ratih Ningrum terkejut karena tiba-tiba dia se-

perti menarik angin. Dan tubuhnya menjadi hilang ke-

seimbangan. Dia pun terhuyung.

Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi, pedang 

di kanan Ratih Ningrum telah membabat selendangnya 

hingga putus. Membuat tubuh Prilastri kini ambruk ke 

tanah. Dan dengan satu gerakan salto yang manis, Ra-

tih Ningrum bergerak ke arahnya. Dan mengayunkan 

pedangnya kembali.

"Craaasss!"

"Aaaaaaakhhhh!"

Terdengar jeritan dari Prilastri ketika pedang Ratih 

Ningrum membabat dadanya. Darah segar pun segera 

menyembur keluar. Pedang itu menggores sampai jan-

tungnya.

Mampuslah Prilastri dengan luka yang mengerikan.

Sementara dua serangan yang dilancarkan oleh 

Priyanti dan Prikasih mengenai angin. Dan mereka 

amat terkejut melihat Prilastri telah mati dengan men-

gerikan.

Dua pasang mata itu pun bersinar berbahaya pada 

Ratih Ningrum yang telah berdiri tegap kembali.

"Bangsat! Kau harus membayar nyawa teman ka


mi!" bentak Prikasih marah.

Ratih Ningrum hanya tersenyum sambil mengatur 

jalan pernafasannya.

"Maaf., salah dia sendiri yang tidak menyadari da-

tangnya bahaya."

"Persetan dengan ucapanmu!" geram Prikasih. "Kau 

harus membayar semua ini!"

"Hmm... kalian datang dengan cara yang tidak ber-

sahabat! Dan maksud kedatangan kalian pun tidak 

menggembirakan! Kalian telah membuat onar di Pergu-

ruan Topeng Hitam! Lalu apakah aku harus diam saja 

melihat semua perbuatan kalian yang sombong, mau 

menang sendiri dan durjana? Tidak, sampai kapan 

pun aku akan menentang semua perbuatan kalian! 

Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum ada nyawa 

lagi yang terlepas dari jasad!"

"Hhh! Kau pikir kami takut dengan ancamanmu itu, 

Nyonya Ketua?!"

"Tidak, karena kalian adalah pengawal-pengawal 

yang patuh pada ketua atau guru kalian!"

"Nah, mengapa kau tidak menyerah saja?!"

"Demi kebenaran aku rela bertaruh nyawa!"

"Anjing buduk! Nyonya Ketua... sejengkalpun kami 

tak akan mundur dari hadapanmu!"

"Bagus! Dan nyawa pun akan terlepas lagi dari ja-

sadnya!"

"Hal itu akan terjadi padamu, Nyonya Ketua!" geram 

Priyanti marah. Dan setelah berkata begitu dia pun 

menderu kembali menyerang dengan selendang hitam-

nya.

Melihat kawannya sudah menyerang, Prikasih pun 

turut pula membantu. Namun Ratih Ningrum yang su-

dah melihat gelagat yang susah untuk dihindarkan, te-

lah bersiap sejak tadi. Dia pun sudah dapat memperhi-

tungkan sampai di mana kehebatan dari para penye


rangnya.

Dia pun segera menyongsong serangan keduanya 

dengan sepasang pedang kembarnya.

Kembali terjadi pertarungan yang hebat antara me-

reka. Serangan demi serangan saling berbalasan. Sal-

ing mencari kelemahan lawan.

Namun suatu ketika, terdengar jeritan Ratih Nin-

grum yang kuat. Dan tubuhnya pun bersalto ke arah 

keduanya, yang saat itu sedang melancarkan serangan 

mereka.

Dahsyat!

Hebat.

Berbahaya.

Namun penuh perhitungan.

Tubuh Ratih Ningrum pun menerobos kedua selen-

dang hitam yang sedang mengarah padanya.

"Crass!"

"Crass!"

Dengan satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata, 

kedua selendang itu pun terbabat putus setengah oleh 

sepasang pedang kembar milik Ratih Ningrum. Dan 

sepasang pedang kembar itu pun terus memburu ke 

arah lawan.

Priyanti dan Prikasih terkesiap. Serentak keduanya 

bergulingan menghindar.

Ratih Ningrum yang tidak ingin mencabut nyawa la-

gi, segera menghentikan serangannya. Dia pun bersal-

to ke belakang.

"Hahh! Sudah kukatakan sejak tadi, tinggalkan 

tempat ini!" serunya berwibawa.

Priyanti yang telah bangkit dari bergulingnya men-

dengus. Wajahnya jelas nampak pucat dan terkejut. 

Dia amat tidak menyangka Ratih Ningrum berani me-

nyongsong serangan yang dilancarkan olehnya dan 

Prikasih.


Begitu pula dengan Prikasih.

Dia pun telah berdiri di samping Priyanti.

Ratih Ningrum berkata lagi. "Bukankah lebih baik 

kalian pergi dari sini? Aku tak ingin lagi menurunkan 

tangan telengas pada kalian! Cepat, jangan sampai aku 

berubah pikiran!"

Priyanti mendengus.

"Nyonya Ketua... sampai kapan pun akan kami in-

gat kejadian di hari ini! Dan ini telah membangkitkan 

dan membakar dendam kami!"

"Hhh! Pergilah dari sini secara baik-baik! Ingat, se-

mua ini kalian yang memulai!"

"Ya! Kami tak akan pernah menerima semua ini, 

Nyonya Ketua!"

"Kalau itu maunya kalian, terserah! Tetapi perlu di-

ingat, Perguruan Topeng Hitam tak akan mudah tak-

luk pada siapa pun untuk jalan kejahatan!"

Priyanti membopong mayat temannya, Prilastri. Se-

dangkan Prikasih menuntun Priatsih yang masih le-

mah.

Sebelum meninggalkan tempat itu, Priyanti berkata 

lagi dengan mengancam, "Ingat, Ratih Ningrum... kami 

akan datang lagi untuk menuntut balas!"

"Kalian bisa datang sebagai tamuku kapan saja!"

Lalu keempat gadis berpakaian hitam itu pun me-

ninggalkan tempat itu. Membawa seorang yang telah 

menjadi mayat, dan seorang lagi yang dalam keadaan 

terluka.

Ratih Ningrum mendesah. Perlahan-lahan dia me-

nengadah menatap langit.

Oh, mengapa masih begitu banyaknya orang-orang 

yang sok jago dan mengandalkan kepandaiannya un-

tuk menindas orang lain, desahnya dalam hati pilu.

Lalu dia kembali kepada murid-muridnya yang ma-

sih tetap berdiri di tempatnya. Masih setia dan menu


ruti perintahnya.

Kemudian dia berkata, "Murid-muridku... kalian te-

lah mendengar sendiri tadi, kalau orang-orang dari Se-

rikat Kupu-Kupu Hitam akan kembali lagi ke sini. Pin-

taku, kalian harus bersiap siaga kapan pun juga. Dan 

satu lagi, jangan kalian memberitahukan hal ini kepa-

da Ketua. Karena dia tengah menjalankan semedinya! 

Biarlah semua ini kita yang mengetahuinya saja. Aku 

tak mau konsentrasinya terganggu!"

Para muridnya mengangguk. Dan menyahut dengan 

serempak, "Kami akan menuruti semua perintah dari 

Nyonya Ketua!"

"Bagus! Teruskan kalian berlatih! Aku hendak ma-

suk ke dalam!"

Para muridnya menjura hormat pada Ratih Ningrum 

sebelum wanita itu melangkah. Lalu mereka pun me-

lanjutkan latihan tadi.

***

TIGA



Malam pekat. Rembulan bersembunyi di balik awan 

hitam. Nampak mega-mega itu bergerak pekat. Ber-

gumpal. Angin berhembus kencang. Dingin sampai ke 

tulang sumsum.

Sebentar lagi nampak hujan akan turun.

Suasana di hutan itu nampak begitu menyeramkan. 

Binatang malam yang biasanya berkeliaran, kali ini tak 

nampak seekor pun. Mereka seolah menyadari kalau 

malam ini nampak lain dengan malam-malam sebe-

lumnya.

Di hutan kecil itu nampak terdapat sebuah danau. 

Danau yang dikelilingi oleh pepohonan besar, kini 

nampak pula dikelilingi oleh kabut yang cukup tebal.



Danau itu sungguh mengerikan. Konon di danau itu 

banyak terdapat siluman.

Itulah sebabnya danau itu dikenal sebagai Danau 

Siluman.

Dan nampak samar-samar tiga sosok tubuh berke-

lebat ke arah danau itu. Ketiga sosok itu berpakaian 

hitam pekat. Bila diperhatikan lebih seksama, salah 

seorang dari tiga sosok tubuh itu nampak tertatih-tatih 

disanggah oleh temannya. Dan yang seorang lagi, 

nampak sedang membopong sosok tubuh yang terkulai 

tak berdaya. Nampaknya sosok yang dibopong itu telah 

menjadi mayat.

Mereka tak lain adalah empat gadis anggota Serikat 

Kupu-Kupu Hitam yang telah dikalahkan oleh Ratih 

Ningrum.

Mereka sedang menuju kembali ke markas mereka. 

Rupanya tak jauh dari Danau Siluman terdapat se-

buah bangunan yang cukup besar yang dikelilingi oleh 

tembok yang lumayan tinggi.

Di pintu gerbang untuk masuk ke bangunan itu, 

terlihat dua sosok tubuh berpakaian hitam pula se-

dang menjaga.

Keduanya terkejut begitu melihat orang-orang itu 

datang. Keduanya segera menyongsong.

"Priyanti! Apa yang telah terjadi?" tanya salah seo-

rang.

Priyanti yang membopong mayat Prilastri menyahut 

sambil memasuki halaman bangunan itu.

"Prilaksmi, di mana Ketua?!"

"Ada di ruang khususnya!"

"Hei, kau belum mengatakan apa yang telah terja-

di?" tanya yang seorang lagi.

Prikasih yang menyahut, "Kami gagal membuat Per-

guruan Topeng Hitam untuk tunduk kepada kita!"

"Hei, kau tahu sendiri apa akibatnya?!" seru teman


nya lagi.

"Benar, Priyuni! Tetapi kami telah siap untuk mene-

rima resikonya!"

"Kalau begitu sebaiknya kalian cepat menghadap 

Ketua! Jangan sampai terlambat, bila tak ingin kepala 

kalian lepas dari leher!" seru Priyuni agak beriba. Ka-

rena dia tahu apa hukumannya bila tugas yang telah 

diberikan gagal dilaksanakan.

Kepala taruhannya!

Sambil memapah Priatsih, Prikasih menyusul 

Priyanti yang telah masuk duluan sambil membopong 

mayat Prilastri.

Mereka telah siap untuk menerima resiko apa pun. 

Karena bagi mereka, biarpun melarikan diri, tak akan 

bisa lepas dari tangan Dewi Komalaputih.

Ruang khusus yang disebut Prilaksmi tadi adalah 

ruangan pribadi Dewi Komalaputih. Di ruangan itu dia 

sering menggunakan untuk memperdalam ilmu silat-

nya. Juga untuk melampiaskan hawa nafsunya dari je-

jaka-jejaka yang diculiknya. Setelah nafsunya terpua-

skan, maka jejaka-jejaka itu akan dibunuhnya.

Saat ini Dewi Komalaputih pun sedang berada da-

lam puncak birahinya bersama dengan Ki Prodana, ke-

tua dari Perguruan Sutra Emas yang telah berhasil di-

taklukannya dan menjadi pengikutnya.

Bagi Dewi Komalaputih, dia tak mengenal apakah 

laki-laki yang dimauinya itu seorang jejaka ataukah 

seorang yang telah lanjut. Yang penting baginya seo-

rang laki-laki!

Dan laki-laki itu memenuhi seleranya.

Begitu pula halnya dengan Ki Prodana. Dia dikenal 

sebagai orang dari golongan putih. Usianya kira-kira 

53 tahun. Namun penampilannya masih gagah perka-

sa. Dia berjuluk si Gagak Hitam. Namun hawa naf-

sunya, telah mengalahkan akal sehatnya. Karena dia


telah menjadi pengikut Dewi Komalaputih.

Keduanya tengah bergelut dengan penuh birahi. 

Hawa mesum memenuhi ruangan yang cukup besar 

itu. Di dalam ruangan itu terdapat bermacam senjata 

yang dimiliki oleh Dewi Komalaputih.

Tak lama kemudian terdengar desahan panjang dari 

keduanya. Disusul dengan jeritan kecil dari mulut De-

wi Komalaputih.

Karena yang menjadi teman tidurnya orang yang te-

lah ditaklukannya dan menjadi abdinya, sudah tentu 

Dewi Komalaputih tidak menurunkan tangan telengas-

nya pada Ki Prodana.

Kini keduanya terlentang dengan mata terpejam.

Tiba-tiba Dewi Komalaputih berdiri dan berseru, 

"Kalian yang berada di luar, cepat masuk!"

Lalu dia pun mengenakan pakaiannya yang berwar-

na hitam pula. Hanya bedanya dia memakai jubah 

yang berwarna hitam.

Lalu dia pun melilitkan selendang hitamnya yang 

terbuat dari sutra.

Begitu pula dengan Ki Prodana yang telah memakai 

pakaiannya kembali.

Perlahan-lahan pintu ruangan itu terbuka.

Priyanti, Prikasih dan Priatsih langsung masuk dan 

menjatuhkan diri di hadapan Dewi Komalaputih yang 

tengah berdiri. Di sampingnya Ki Prodana.

"Salam hormat kami kepada Guru!" berkata keti-

ganya secara bersamaan.

Dewi Komalaputih mendengus.

"Hhhh! Mana Prilastri?!" tanyanya dengan suara 

yang dingin.

Ketiganya bangkit perlahan-lahan. Namun masih 

duduk di lantai. Ketiganya melihat sepasang mata itu 

bersinar begitu dingin dan menakutkan. Secara tak 

sadar bulu kuduk ketiganya meremang mengingat hu


kuman apa yang akan dijatuhkan oleh Dewi Komala-

putih bila mereka gagal dalam menjalankan tugas.

Priyanti berkata perlahan, "Maafkan kami Guru... 

Kami gagal dalam menjalankan tugas Guru kali ini..."

Sepasang mata itu pun semakin dingin bersinar. 

Dan terselip getaran berbahaya.

"Lalu apa yang terjadi dengan Prilastri?"

"Maafkan kami, Guru.... Prilastri... tewas di tangan 

istri Madewa Gumilang..." kata Priyanti sambil menun-

dukkan kepalanya.

Begitu pula dengan kedua temannya.

Terdengar dengusan dari guru mereka.

"Bagus! Aku suka sekali dengan kerja kalian? Dan 

kalian tahu bukan, apa hukumannya bila kalian gagal 

melaksanakan tugas ini?"

"Kami mengerti, Guru," sahut ketiganya berbaren-

gan. Seperti mengeluh.

"Dan kalian menerimanya?"

"Tak ada jalan lain bagi kami untuk menerimanya, 

Guru."

"Bagus! Kalian adalah pengawal dan muridku yang 

setia! Nah, mengapa kalian tidak melakukannya seka-

rang, hah?!"

Ketika gadis itu berpandangan dengan wajah pucat. 

Lalu terlihat Prikasih perlahan-lahan mengangkat ke-

palanya.

Menatap sang Guru.

"Guru... kali ini... bukannya kami ingin menentang 

perintah Guru. Kami rela membunuh diri di hadapan 

Guru. Tetapi izinkanlah kami sekali lagi untuk menye-

rang ke Perguruan Topeng Hitam... kami hendak me-

nuntut balas pada Ratih Ningrum atas kematian Prila-

stri, Guru.... Maafkan kami..." Lalu Prikasih menun-

duk kembali. Hatinya berdebar kencang.

Begitu pula dengan kedua temannya.


Dewi Komalaputih terdiam. Sebenarnya dia kagum 

dengan keberanian Prikasih mengemukakan perintah-

nya. Lagi pula dia ingat, biasanya keempat murid pili-

hannya ini tak pernah gagal dalam menjalankan tugas.

Sekarang mereka meminta padanya untuk menun-

tut balas pada Ratih Ningrum atas kematian Prilastri. 

Bukankah ini suatu persahabatan dan persaudaraan 

yang sejati?

Terdengar desahan Dewi Komalaputih.

"Kalau itu tekad kalian, baiklah. Kalian kuizinkan 

untuk menuntut balas atas kematian Prilastri. Tetapi 

dengan satu syarat, kalian harus berhasil membunuh 

Ratih Ningrum dan membawa kepalanya kepadaku. 

Mengerti?"

"Terima kasih, Guru..." kata ketiganya bersamaan.

"Cepat kalian keluar dari sini! Dan ceburkan mayat 

Prilastri ke Danau Siluman!"

"Kami mohon pamit, Guru!"

Lalu masih duduk di lantai ketiganya perlahan-

lahan beringsut keluar dari ruangan itu. Di luar keti-

ganya mendesah lega. Dan dendam semakin membara 

di hati mereka pada Ratih Ningrum.

"Sebaiknya kita urus dulu mayat Prilastri ini," kata 

Priyanti.

"Baik, kita ceburkan ke Danau Siluman!" kata Pri-

kasih sambil membopong mayat Prilastri.

Lalu ketiganya pun segera membawa mayat itu ke 

Danau Siluman. Memang, mayat-mayat para jejaka 

yang dibunuh oleh Dewi Komalaputih dan mayat-

mayat murid yang gagal dalam menjalankan tugas, di-

buang dan dibenamkan ke dalam Danau Siluman.

Namun yang membuat heran, dari danau itu tidak 

tercium bau busuk yang menyengat. Malah setiap kali 

mayat itu diceburkan ke sana, menguar bau harum 

dari danau itu.


Sehingga mereka percaya kalau danau itu ditunggui 

oleh para siluman.

Prilaksmi dan Priyuni heran begitu melihat mereka 

keluar lagi dalam keadaan selamat.

"Guru memaafkan kalian?" tanya Prilaksmi tergesa 

karena baru kali ini ada kejadian murid yang gagal da-

lam menjalankan tugasnya dimaafkan oleh guru mere-

ka.

"Ya! Kami akan menuntut balas pada Ratih Nin-

grum!" sahut Prikasih.

"Kalau begitu, ajaklah kami pula. Karena kami pun 

mendendam melihat kematian Prilastri..." kata Priyuni 

sambil melirik Prilaksmi yang langsung mengangguk.

"Itu bagaimana keputusan Guru nanti!"

Lalu mereka pun bergerak menuju ke Danau Silu-

man. Dan tanpa terasa ketiganya meneteskan air mata 

mengingat mayat Prilastri yang telah menjadi saudara 

mereka harus dibenamkan ke Danau Siluman.

"Maafkan aku, Prilastri..." kata Prikasih sambil ber-

linang air mata. "Tetapi dendammu akan kami balas..."

"Tenanglah kamu di sana, Prilastri..." kata Priyanti.

"Yah... damailah jasadmu di sana..." sambung Priat-

sih sambil mengusap air matanya. "Kami berjanji, akan 

menuntut balas atas kematianmu ini..."

Lalu dengan hati-hati dan perasaan berat, mereka 

pun menceburkan tubuh Prilastri ke Danau Siluman 

yang pekat tertutup kabut.

Terdengar suara "byur" lalu disusul tubuh Prilastri 

yang perlahan-lahan terbenam. Ketiga gadis itu masih 

terisak menyaksikan mayat itu perlahan-lahan meng-

hilang ditelan Danau Siluman.

Dan begitu mayat Prilastri menghilang tertelan Da-

nau Siluman, mendadak menguar bau harum dari da-

nau itu.

Begitu wangi.


Mempesona.

Ketika gadis itu pun menghirup bau wangi itu da-

lam-dalam. Seolah hendak menyatukan bau wangi itu 

pada diri mereka.

Dan amat tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, telinga me-

reka menangkap suara Prilastri yang berat seperti 

mengandung kepiluan dan kesedihan yang teramat 

sangat.

Menyayat.

"Kawan-kawan... bunuhlah Ratih Ningrum untuk 

menemaniku di alam sana... Bunuhlah dia... bunuh-

lah... bunuhlah..."

Suara itu perlahan-lahan mengecil dan menghilang.

Ketiganya tersentak. Dan secara bersamaan pun 

berseru.

"Prilastri!"

Namun tak ada bayangan Prilastri.

Begitu pula dengan suara yang terdengar tadi.

Lenyap

Danau Siluman kembali sunyi dan pekat.

Namun di hati ketiganya, bergejolak dendam dan 

amarah yang teramat sangat pada Ratih Ningrum. 

Membuat mereka tak sabar lagi untuk segera membu-

nuhnya.

Apalagi sura Prilastri itu menandakan dia masih be-

gitu mendendam. Dan membawa dendamnya ke alam 

akhirat.

Ketiga gadis itu pun berpandangan. Dan secara se-

rempak mereka mematahkan jari keliling tangan kiri 

mereka. Lalu meludahi jari yang telah putus itu secara 

bersamaan.

Terdengar suara Priyanti yang diikuti oleh kedua 

temannya, "Demi langit dan bumi... kami bersumpah 

akan membunuh Ratih Ningrum untukmu, Prilastri! 

Bila kami melanggar sumpah ini, biarlah Gusti Allah


yang akan menghukum kami! Kami tak akan mem-

biarkan kau menderita di alam sana! Dan kami tak in-

gin pula kau mati secara penasaran, Prilastri!"

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh petir yang keras 

di angkasa.

Dan hujan secara mendadak turun dengan deras 

membasahi bumi.

Berarti sumpah ketiganya didengar oleh Yang Maha 

Kuasa.

Sumpah yang mengerikan.

Sumpah demi seorang sahabat.

Dan secara bersamaan mereka pun melemparkan 

jari kelingking yang telah putus itu ke Danau Siluman. 

Seolah sudah sepakat dan yakin, jari kelingking mere-

ka itulah yang akan menemani arwah Prilastri di alam 

sana.

Sedangkan bau wangi yang menguar Danau Silu-

man itulah yang akan mengikuti dan menemani mere-

ka. Seolah antara mereka dengan Prilastri tak ada lagi 

perbedaan alam.

Telah menyatu.

Namun tiba-tiba ketiganya menjerit, karena baru 

merasakan sakit di kelingking mereka yang putus dan 

masih mengeluarkan darah.

Secara serempak ketiganya menotok urat darah 

yang terdapat di pergelangan tangan mereka, sehingga 

darah pun berhenti mengalir.

Terdengar suara Priyanti berkata, "Sebaiknya kita 

harus segera mencari Ratih Ningrum dan membunuh-

nya."

Usul itu ditanggapi setuju oleh kedua temannya.

Prikasih berkata, "Dan sebaiknya pula, kita harus 

memulihkan kembali tenaga kita. Terutama kau Priat-

sih. Kau harus bersemedi selama seminggu untuk 

mengembalikan hawa murnimu yang telah banyak terbuang."

Priatsih mengangguk.

"Yah... aku sendiri sudah tidak sabar untuk mem-

balas kekalahan dari Ratih Ningrum dan menuntut ba-

las atas kematian Prilastri..."

Lalu ketiganya pun kembali ke bangunan besar itu, 

di mana Serikat Kupu-kupu Hitam berkumpul.

***

EMPAT



Matahari nampak baru saja bangun dari peraduan-

nya. Sinarnya cerah. Menerangi bumi yang dua malam 

berturut-turut dibasahi oleh hujan yang turun terus 

menerus.

Bau tanah basah yang bercampur dengan embun 

pagi tercium. Bau rerumputan yang nampak segar pun 

berhembus ditiup angin.

Nampak dua ekor kuda tengah melintasi jalan seta-

pak yang becek itu. Penunggangnya adalah sepasang 

remaja. Yang pemuda berwajah tampan dan bertubuh 

tegap. Di punggungnya terdapat busur beserta anak 

panah. Sedangkan yang pemudi berwajah jelita dengan 

rambut terurai panjang yang diikat ekor kuda. Sepa-

sang matanya bersinar cerah dan jenaka. Menandakan 

dia seorang gadis yang riang dan manja. Di punggung 

gadis itu terdapat sebilah pedang yang sarungnya ter-

buat dari kulit harimau.

Keduanya sudah seminggu melakukan perjalanan 

dari desa mereka. Keduanya adalah murid dari Pergu-

ruan Cakra Buana yang meminta izin pulang untuk 

menengok kedua orang tua mereka yang sedang sakit.

Keduanya kakak beradik.

Si kakak bernama Perwira, sedangkan adiknya ber


nama Ratih Ayu.

"Masih lamakah jalan yang harus kita tempuh un-

tuk mencapai perguruan, Kakang Perwira?" bertanya 

Ratih Ayu pada kakaknya.

Kalau melihat dari wajahnya saat ini, nampak wa-

jahnya tengah dirundung duka. Dan letih pun tersirat 

di wajah yang cantik itu.

"Kira-kira satu hari lagi, Rayi Ratih Ayu... Apakah 

kau sudah lelah?"

"Ya, Kakang... seluruh tubuhku penat dan lelah," 

kata Ratih Ayu.

Perwira tahu mengapa adiknya cepat menjadi lelah, 

karena adiknya masih dirundung duka. Orang tua me-

reka yang sakit tak dapat tertolong lagi. Mereka me-

ninggal akibat wabah kolera yang melanda desa mere-

ka.

Perwira menghentikan jalan kudanya.

"Sebaiknya kita beristirahat saja di sini, Rayi..." ka-

ta Perwira mengusulkan.

"Itu lebih baik, Kakang..." kata Ratih Ayu sambil 

melompat dari kudanya. Lalu mengikat kudanya di se-

buah batang pohon.

Begitu pula dengan Perwira.

Lalu dia membuka bekal yang mereka bawa.

Di atas rerumputan yang masih basah, keduanya 

pun menikmati sarapan pagi mereka.

Setelah menikmati sarapan dan merasa cukup be-

ristirahat keduanya pun kembali memacu kuda mere-

ka.

Satu hari satu malam mereka berpacu. Kali ini tan-

pa beristirahat. Beberapa saat kemudian, mereka pun 

tiba di depan sebuah bangunan besar. Di pintu ger-

bang bangunan itu biasanya terdapat sebuah bendera 

lambang dari Perguruan Cakra Buana.

Tetapi mereka tidak melihat bendera itu.



Bahkan biasanya di pagi seperti ini, murid-murid 

dari Perguruan Cakra Buana sedang berlatih. Tetapi 

mengapa bangunan itu nampak sepi? Bahkan seper-

tinya tak ada tanda-tanda kehidupan.

Keduanya saling berpandangan heran.

"Mengapa sepi sekali, Kakang?" tanya Ratih Ayu tak 

bisa menahan rasa herannya lagi.

"Entah, Rayi... mungkin sedang diadakan rapat di 

dalam..."

"Tetapi mengapa tidak ada yang menjaga, Kakang? 

Bendera perguruan kita pun tak terpasang?"

"Aku juga tidak tahu, Rayi... sebaiknya kita masuk 

sekarang..."

Keduanya pun segera menjalankan kuda mereka 

memasuki gerbang Perguruan Cakra Buana. Dan be-

tapa terkejutnya mereka begitu melihat mayat-mayat 

bergelimpangan di sana sini.

Bau amis darah tercium.

Bau mayat terhembus dibawa angin.

Ratih Ayu muntah karena mencium bau yang tera-

mat busuk. Buru-buru dia mengerahkan hawa mur-

ninya untuk menutup bau yang busuk itu.

"Kakang! Apa yang telah terjadi?!" desisnya terkejut.

"Aku pun tidak tahu, Rayi!" kata Perwira tak kalah 

terkejutnya.

"Kakang... sepertinya di tempat ini telah terjadi per-

tempuran yang amat hebat."

"Betul, Rayi.. sepertinya Perguruan kita telah dis-

erang oleh orang-orang jahat..."

"Kakang!" memekik Ratih Ayu. "Bagaimana dengan 

Guru?!"

Serentak keduanya melompat dari kuda mereka dan 

berlari ke dalam bangunan itu. Di dalam pun terdapat 

banyak mayat dari murid Perguruan Cakra Buana.

Kali ini mereka tak ambil perduli. Keduanya pun


berlari ke ruangan guru mereka biasa berada.

Pintu ruangan itu telah hancur berantakan. Seper-

tinya dihantam oleh sebuah buldozer. Di dalam ruan-

gan itu pun terdapat banyak mayat.

"Guru!" seru Ratih Ayu cemas. Duka yang telah di-

alaminya seolah telah lenyap dan berganti dengan ke-

cemasan terhadap guru mereka, Ki Borgawa Darsa.

Suaranya menggema di ruangan itu.

Tak ada bayangan Ki Borgawa Darsa muncul.

Perwira pun berseru, "Guru! Di mana Guru bera-

da?!"

Kembali hanya gema suaranya yang terdengar.

Perlahan-lahan keduanya tersadar, kalau guru me-

reka tak ada di tempat itu. Serentak keduanya pun 

mencari mayat guru mereka.

Tetapi tidak ditemukan!

"Kakang... mengapa mayat Guru tidak ditemukan 

andaikata dia juga mati?" tanya Ratih Ayu cemas.

"Entahlah. Tetapi bila mayat Guru tidak ada, berarti 

Guru belum mati."

"Kalau belum mati di mana dia berada?"

"Aku pun tidak tahu, Rayi... hanya dugaanku, Guru 

ditahan oleh para penyerang Perguruan Cakra Buana 

ini."

"Siapa mereka, Kakang?"

"Akupun tidak tahu, Rayi... Sayang, kita tidak bisa 

mencari keterangan dari semua kejadian ini...."

"Kakang Perwira... Mbakyu Ratih..." terdengar suara 

pelan di belakang mereka.

Keduanya menoleh. Seraut wajah jelek muncul di 

ambang pintu.

"Bunto!" seru Perwira sambil berlari mendekati wa-

jah jelek itu.

Begitu pula dengan Ratih Ayu yang mendekat pula 

dan bertanya dengan nada tidak sabar, "Bunto... apa


yang telah terjadi? Di mana Guru?"

Bunto mendesah. Nampak di matanya tersirat duka 

yang amat sangat. Wajah Bunto sangat buruk. Ma-

tanya terbuka lebar dengan luka bekas luka di kedua 

pelupuknya. Pipinya sebelah kanan tumbuh benjolan. 

Rambutnya agak botak. Dan tubuhnya bungkuk.

Di Perguruan Cakra Buana ini dia bertugas menjaga 

kuda dan mengurusnya.

Karena Bunto diam saja, Ratih Ayu berkata lagi, 

"Bunto... katakan apa yang telah terjadi? Siapa yang 

menyerang perguruan kita?"

"Tenang, Rayi.. tenanglah," kata Perwira yang meli-

hat Bunto nampak sedang menahan kesedihan di ha-

tinya. Lalu setelah melihat Bunto agak tenang, dia pun 

bertanya perlahan, "Bunto... apa yang telah terjadi se-

peninggal kami di sini? Ceritakanlah..."

Bunto menatap keduanya dengan sepasang ma-

tanya yang menakutkan namun bersinar lembut. Mata 

itu bercahaya duka.

"Mengerikan..." desisnya pelan.

"Apanya yang mengerikan..."

"Orang-orang itu menyerang ke sini..."

"Siapa mereka?"

"Para gadis..."

"Maksudmu?" tanya Perwira. Sebenarnya dia pena-

saran karena Bunto memenggal-menggal jawabannya. 

Tetapi Perwira maklum sepertinya Bunto tengah men-

galami tekanan jiwa yang hebat. Boleh dikatakan dia 

melihat sendiri kejadian yang mengerikan di Perguruan 

Cakra Buana.

"Gadis-gadis itu..."

"Gadis-gadis yang menyerang ke sini?"

"Ya."

"Siapa mereka?"

"Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam., mereka me


nyerang perguruan ini dengan ganas dan kejam. Mere-

ka membunuh siapa saja.."

"Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam?"

"Ya, mereka berjumlah empat orang."

"Empat orang?" ulang Perwira tak percaya. Empat 

orang gadis menyerang ke sini dan berhasil membu-

nuh semua murid-murid Perguruan Cakra Buana? Se-

pertinya sukar untuk dipercaya.

Lalu terdengar lagi jawaban Bunto, "Ya, empat 

orang. Mereka cantik. Tadi kejam..."

"Apa maksud kedatangan mereka?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana dengan Guru?"

"Guru dibawa mereka."

"Ke mana?"

Bunto menggelengkan kepala.

"Aku tidak tahu."

"Bunto... katakan sekali lagi, yang menyerang per-

guruan kita berjumlah empat orang?"

"Ya."

"Para gadis?"

"Ya."

"Berpakaian hitam-hitam?"

"Ya."

"Senjata apa yang mereka gunakan untuk membu-

nuh dan menyerang kita?"

"Cuma selendang yang biasa dipakai seperti punya 

istriku."

"Selendang?"

"Ya. Tapi hebat."

Perwira mendesah. Jawaban-jawaban Bunto begitu 

lambat dan terputus-putus. Dia tidak puas dengan ja-

waban yang diberikan Bunto.

Tetapi bila dia menekan atau memaksa, sepertinya 

dia akan tetap menerima jawaban seperti itu. Perwira


bermaksud membiarkan Bunto secara lengkap.

"Ya," sahut Bunto dengan tatapan kosong. Lalu 

dengan terbungkuk dia mendahului Perwira dan Ratih 

Ayu melangkah.

Ratih Ayu menatap kakaknya. "Kakang... sepertinya 

sulit dipercaya empat orang gadis menyerang ke sini 

dan membuat segala kacau balau."

"Ya, aku pun demikian. Tetapi itu sudah menanda-

kan bahwa mereka adalah gadis-gadis yang sakti. En-

tah dari golongan mana mereka. Dan sebab apa mere-

ka menyerang dan membunuhi kawan-kawan kita ini."

"Aku sudah tidak sabar untuk mendengarkan cerita 

Bunto, Kakang. Sebaiknya kita segera menyusul."

"Baik, Rayi."

Lalu keduanya berlari ke kuda mereka dan menga-

rah menuju rumah Bunto yang tak jauh dari Pergu-

ruan Cakra Buana.

***

LIMA



Seperti biasa pagi itu murid-murid Perguruan Cakra 

Buana tengah berlatih. Senjata dari Perguruan Cakra 

Buana adalah sebuah cakra bergerigi. Yang dapat di-

mainkan seperti sebilah keris. Dapat pula dilempar 

dan berbalik kembali kepada pemiliknya.

Ki Borgawa Darsa saat ini tengah berada di ruan-

gannya. Dia tengah bersemedi. Laki-laki yang berusia 

50 tahun itu adalah dari golongan putih. Dan telah la-

ma mengasingkan diri dari dunia persilatan. Dan ilmu 

pun mulai diturunkan kepada para muridnya.

Tiba-tiba di halaman terjadi keributan.

Dua orang murid yang menjaga pintu gerbang ter-

pental dari tempatnya dan ambruk dalam keadaan


menjadi mayat di depan teman-temannya yang berla-

tih.

Seta Angseta yang tengah melatih dan merupakan 

salah seorang murid terlama menjadi terkejut. Dia se-

gera menghentikan melatihnya.

Dan memeriksa kedua murid itu yang telah menjadi 

mayat. Wajah kedua mayat itu membiru. Sepertinya 

leher mereka dicekik hingga kehabisan nafas.

Belum lagi Seta Angseta berkata, tiba-tiba melompat 

empat sosok tubuh berpakaian hitam-hitam di hada-

pan mereka. Wajah keempat sosok tubuh itu jelita. 

Dan mereka merupakan gadis-gadis belia.

"Salam perkenalan kami, orang-orang Perguruan 

Cakra Buana!" berseru salah seorang yang tak lain 

Priatsih.

Seta Angseta menjadi waspada. Dia dapat menduga 

bahwa gadis-gadis inilah yang telah menghabisi nyawa 

kedua temannya.

"Salam kembali dari kami, Gadis-gadis berbaju hi-

tam," balas Seta Angseta mencoba bersahabat.

Priatsih tertawa. "Hahaha... rupanya orang-orang 

Perguruan Cakra Buana orang-orang yang dapat 

menghormati tamunya..."

"Tamu adalah orang yang kami hormati..." kata Seta 

Angseta dengan mata menyelidik. "Tetapi... tentunya 

kalian adalah tamu-tamu yang sopan? Namun menga-

pa kalian begitu telengas membunuh dua teman kami 

ini?"

"Hahaha... itulah tanda perkenalan dari kami. 

Orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam..."

Mendengar ucapan yang sombong dan angkuh itu, 

Seta Angseta menjadi geram.

"Kami rasa... kamu tak punya silang sengketa den-

gan Orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam..."

"Memang tidak."

"Tetapi mengapa kalian begitu telengas membunuh 

kawan-kawan kami ini?"

"Karena itu tanda untuk siapa saja yang membang-

kang kemauan dan perintah kami."

"Apa kemauan kalian?!" seru Seta Angseta semakin 

waspada. Dia yakin, keempat gadis ini bermaksud ti-

dak baik mengingat cara mereka datang dengan mem-

bunuh dua murid Perguruan Cakra Buana.

"Kemauan kami... agar orang-orang Perguruan Ca-

kra Buana mau tunduk di bawah Serikat Kupu-Kupu 

Hitam..."

"Hhh! Permainan apa pula ini?! Sepertinya kalian 

begitu mudah meminta pada kami agar kami tunduk 

pada kalian!"

"Ini bukan sebuah permainan! Tapi ini sebuah per-

mintaan!"

"Bagaimana bila kami menolak permintaan kalian?!"

"Nasib kalian akan sama dengan dua orang yang te-

lah menjadi mayat itu!"

"Bangsat! Langkahi dulu mayat kami, bila kalian in-

gin membuat kami menunduk dan mengikuti segala 

kemauan kalian!"

"Bagus! Aku pun sudah tidak sabar ingin membu-

mihanguskan Perguruan Cakra Buana!"

Sehabis berkata begitu, empat orang gadis itu pun 

saling menjaga jarak. Posisi mereka mantap.

Seta Angseta mengangkat tangannya.

Secara serentak murid-murid Perguruan Cakra Bu-

ana mengurung keempat gadis itu.

"Hhh! Kalian tak akan bisa lari dari sini!" seru Seta 

Angseta.

"Bagus!" bentak Priatsih. "Akan kita lihat siapa yang 

masih bisa menghirup udara segar esok pagi!"

"Seraaaang! Dan tangkap mereka!" seru Seta Angse-

ta.


Dan secara serempak murid-murid yang menge-

pung itu pun bergerak melancarkan serangan.

Serentak pula di halaman Perguruan Cakra Buana 

terjadi keributan yang hebat. Empat gadis yang dike-

royok itu ternyata begitu lincah dan hebat menghindari 

setiap serangan para pengeroyoknya.

Murid-murid Perguruan Cakra Buana mengepung 

keempat gadis itu dengan dua lingkaran. Lingkaran 

pertama berada di dekat gadis-gadis itu. Lingkaran ke-

dua melingkari lingkaran pertama.

Dan begitu lingkaran pertama merangsek maju, 

lingkaran kedua menutup jalan keluar bagi keempat 

gadis itu. Serangan-serangan yang mereka lancarkan 

secara bergantian.

Begitu ada yang terkena pukul, dia akan mundur. 

Dan orang yang berada di lingkaran kedua maju untuk 

menyerang.

Begitu seterusnya.

Nampak sekali kalau serangan itu sulit untuk di-

elakkan. Dan sepertinya tak ada jalan keluar bagi 

keempat gadis itu.

Namun begitu keempatnya menguraikan selendang 

yang melilit pinggang mereka, barulah nampak jalan 

terbuka.

Selendang itu kadang bisa berubah menjadi tom-

bak. Yang dengan hebatnya mengamuk. Kadang pula 

bisa menjadi cemeti. Dan bagi yang terkena, langsung 

mampus. Karena selendang itu telah dialiri tenaga da-

lam yang cukup kuat.

Sebentar saja sudah terdengar jeritan kematian dari 

murid-murid Perguruan Cakra Buana. Dan barisan 

melingkar itu pun terbuka. Dua orang gadis berpa-

kaian hitam bersalto melewati barisan itu dan masih 

bersalto mengibaskan selendang mereka.

Dua jeritan terdengar.


Disusul dengan tubuh ambruk menjadi mayat.

"Hhh! Itulah ganjaran bagi yang membangkang!" se-

ru Prikasih dan mengelebatkan kembali selendangnya. 

Kembali pula seorang ambruk dengan kepala hampir 

putus.

Barisan itu pun menjadi kacau balau.

Seta Angseta menjadi terkejut karena tak menyang-

ka selendang yang melilit di pinggang keempat gadis 

itu bisa menjadi senjata yang mengerikan dan ampuh.

Dia sendiri pun mencabut senjata cakranya. Dan 

menyerang dengan menggenggam lobang cakra itu. Se-

rangannya ganas dan berbahaya.

Setiap kali tangannya bergerak, terdengar desingan 

angin yang cukup kuat.

Dan langsung mengancam bagian-bagian yang ber-

bahaya dari lawan-lawannya.

Priyanti yang melihat hal itu segera menyongsong 

laju serangan Seta Angseta dengan selendang hitam-

nya.

Keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran 

yang hebat dan dahsyat.

Saling serang.

Saling menghindar.

Saling balas.

Sementara ketiga temannya telah membuat kacau 

balau murid-murid yang lain. Satu per satu pun mu-

rid-murid itu mati. Bila tidak tubuhnya hancur, leher-

nya yang hampir putus.

Belum lagi ketika selendang yang berada di tangan 

ketiga gadis itu berubah menjadi tombak. Dapat me-

nangkis jatuh cakra yang dilemparkan oleh murid-

murid Perguruan Cakra Buana.

Bahkan bisa membalikkan kepada pemiliknya den-

gan satu sentakan keras hingga pemiliknya sukar un-

tuk menangkapnya kembali. Dan tanpa ampun lagi


menancap di tubuhnya sendiri.

Hanya sebentar saja murid-murid Perguruan Cakra 

Buana yang berjumlah 25 orang itu telah mati berka-

lang tanah.

Sementara Seta Angseta dengan gigih menahan se-

rangan-serangan selendang hitam dari Priyanti.

"Kau tak akan bisa lari, Pemuda sombong!" geram 

Priyanti sambil menyerang. Dan tiba-tiba selendangnya 

yang nampak lemah itu berubah menjadi tombak. Dan 

siap untuk menusuk jantung Seta Angseta.

Seta Angseta sendiri terkejut. Dia cepat bersalto ke 

belakang. Namun tiba-tiba tiga buah selendang telah 

menjerat tubuhnya dan menariknya jatuh ke bumi.

Dia memekik kesakitan.

Dan sulit baginya untuk meloloskan diri.

Priyanti terbahak. Dia mendekati Seta Angseta yang 

telungkup di tanah.

Kakinya mengangkat dagu pemuda itu hingga me-

natapnya.

Priyanti meludahi wajah itu.

"Hhh! Jangan banyak lagak di hadapan kami! Nah, 

kau sendiri yang meminta kepada kami untuk melang-

kahi mayatmu! Sebentar lagi akan kami lakukan, bu-

kan?!"

"Perempuan jahanam!" maki pemuda itu. "Kau tak 

ubahnya seperti iblis yang haus darah!"

"Yah, aku memang iblis yang haus darahmu!"

"Bunuhlah aku, Perempuan Iblis!"

"Sebentar lagi kami akan membunuhmu! Hhh, 

mengapa kita tidak main-main sejenak?!"

Seta Angseta mendengus.

"Permainan apa lagi yang akan kau perlihatkan, 

hah?!"

"Sabarlah... nah, kau lihatlah permainan apa yang 

kami perlihatkan! Hmm... sebenarnya kau cukup tam


pan, Anak muda... Seharusnya kau kami serahkan ke-

pada Guru kami, tetapi entah kenapa aku mendadak 

saja menyukaimu. Hmm... kau pasti menyukai per-

mainan yang akan kusuguhkan ini..."

Secara tiba-tiba tubuh Seta Angseta terangkat. Dan 

berdiri dengan tubuh melilit tiga buah selendang. 

Priyanti berdiri di hadapannya.

"Permainan ini segera dimulai, Anak muda..." desis-

nya tiba-tiba. Suaranya parau. Di tenggorokan. Seta 

Angseta mencium hawa mesum yang mulai menguar.

Dan secara perlahan-lahan tubuh Priyanti meliuk-

liuk di depannya dengan erotis. Gerakannya mengan-

dung birahi yang memabukkan. Dan secara perlahan-

lahan pula dia membuka sedikit pakaian bagian dada. 

Nampak pula di mata Seta Angseta bagian atas dari 

buah dada gadis itu. Lalu perlahan-lahan pula Priyanti 

membuka pakaiannya.

Akhirnya dia pun telanjang bulat di depan Seta 

Angseta. Tubuhnya semakin meliuk-liuk dengan erotis. 

Seta Angseta tiba-tiba merasakan tubuhnya bergetar. 

Dia berusaha menutup kedua matanya. Namun tangan 

Prilastri telah menotok urat matanya hingga kedua ma-

ta itu nyalang terbuka.

"Nikmatilah permainan ini, Anak muda..." desisnya.

Seta Angseta semakin merasakan gemetar di selu-

ruh tubuhnya melihat pemandangan di depannya. Wa-

jahnya mendadak memerah. Dia pun telah terundang 

birahi yang mendesak.

Secara tiba-tiba dia berontak untuk menjangkau 

tubuh Priyanti.

Tetapi lilitan tiga buah selendang itu semakin kuat 

mengikatnya. Membuat Seta Angseta menjerit-jerit un-

tuk mendekati tubuh Priyanti.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dari ambang pintu 

bangunan Perguruan Cakra Buana.


"Hai! Lepaskan!" seru orang yang berdiri di sana. 

Lalu pemuda-pemuda yang berdiri di dekatnya segera 

berlarian mengurung keempat gadis itu.

Priyanti menghentikan tariannya. Dia menebar se-

nyum yang memabukkan kepada pemuda-pemuda itu, 

yang menjadi terdiam karena melihat suatu peman-

dangan yang jarang sekali mereka saksikan.

Sementara Seta Angseta masih meronta-ronta un-

tuk menjangkau tubuh Priyanti. Begitu hebat siksaan 

birahi yang melandanya.

"Apakah kalian datang untuk menikmati keindahan 

tubuhku pula?!" desis Priyanti.

Para murid-murid Perguruan Cakra Buana menjadi 

salah tingkah dan serba salah. Tetapi begitu melihat 

betapa banyaknya teman-teman mereka yang mati, 

mereka mencoba mengusir pemandangan yang mema-

bukkan itu dengan menekan hawa murninya dan me-

nyebarkan ke seluruh tubuh.

"Teman-teman..." berseru salah seorang. "Jangan 

sampai terpengaruh oleh birahi!" desisnya lagi.

Dan teman-temannya pun semakin mengerahkan 

hawa murni mereka. Mendadak salah seorang segera 

bergerak menyerang, semata untuk menyadarkan te-

man-temannya yang tengah terpesona oleh pemandan-

gan itu.

Mendengar jeritan yang keras, mereka menjadi ter-

gugah. Dan tersadar. Serentak pula mereka menye-

rang.

Priyanti yang menjadi sasaran mereka.

Tetapi gadis itu dengan mudahnya menghindari se-

rangan dari pemuda-pemuda itu. Dia bersalto ke bela-

kang, melewati tubuh Seta Angseta yang masih meron-

ta-ronta karena dimabuk birahi. Tiba-tiba saja tangan 

kanan gadis itu bergerak dengan cepat menghantam 

kepala Seta Angseta.


"Traaakkk!"

Tinju yang keras itu menghantam hancur Seta Ang-

seta. Lalu tubuh itu pun ambruk tanpa bisa menjerit 

lagi.

Secara serempak tiga buah selendang yang melilit-

nya, terurai dan terlepas. Priyanti sendiri segera me-

makai pakaiannya. Dan kini selendang hitamnya telah 

siap pula untuk menjalankan tugas.

Mendadak terdengar seruan dan satu sosok tubuh 

melenting ke arah mereka. Ki Borgawa Darsa, Ketua 

dari Perguruan Cakra Buana telah berdiri di hadapan 

mereka. Membelakangi murid-muridnya.

"Gadis-gadis berbaju hitam... ada masalah dan 

maksud apa kalian membuat teror di sini?" tanyanya 

dengan suara berwibawa. Usianya yang telah menem-

panya menjadi bersikap demikian. Meskipun hatinya 

geram menyaksikan pembantaian ini, namun dia ma-

sih berusaha untuk menahan diri.

"Hhh! Rupanya kami tengah berhadapan dengan Ki 

Borgawa Darsa, bukan?!" berkata Priatsih.

"Benar, akulah yang bernama Ki Borgawa Darsa. 

Nah, katakan sebab apa kalian menurunkan tangan 

telengas kepada murid-muridku?"

"Ki Borgawa... kamu membawa amanat dari guru 

kami, Dewi Komalaputih untukmu..."

"Amanat apa gerangan?"

"Meminta kepada seluruh murid dan ketua Pergu-

ruan Cakra Buana untuk tunduk di bawah pimpinan 

kami, Serikat Kupu-Kupu Hitam!"

Secara diam-diam Ki Borgawa Darsa sudah dapat 

menangkap sebab apa gadis-gadis itu datang dan me-

nyebar teror.

Dia tersenyum. Namun di balik senyum itu terdapat 

kegeraman yang luar biasa.

"Bagaimana kalau aku menolak?"


"Kau akan mengalami nasib seperti murid-muridmu 

itu!"

"Agaknya aku lebih memilih mengikuti jejak murid-

muridku yang perkasa!"

"Bagus!" kata Priatsih. "Nah, bersiaplah untuk me-

nerima kematianmu!"

Setelah berkata begitu, Priatsih pun segera menye-

rang ke depan. Namun murid-murid yang berada di be-

lakang tubuh Ki Borgawa Darsa segera berkelebat me-

nyongsong serangan Priatsih pada guru mereka.

Priatsih terkejut. Namun dengan sigap dia kembali 

bersalto. Dan bersamaan dengan itu Ki Borgawa Darsa 

sudah merangsek maju.

Keempat gadis itu pun menyebar dengan sigap. Ki 

Borgawa Darsa dilayani oleh Priatsih. Sementara tiga 

temannya menghadapi keroyokan para murid yang 

berjumlah dua puluh orang.

Biarpun mereka berjumlah dua puluh orang, na-

mun yang mereka hadapi adalah gadis-gadis sakti mu-

rid dari Dewi Komalaputih. Sebentar saja mereka su-

dah kocar-kacir. Ada yang mati di tempat. Ada yang 

mencoba berlari ke dalam.

Namun gadis-gadis itu tidak mau setengah-

setengah dalam melakukan pekerjaannya. Mereka pun 

bergerak cepat menyusul. Dan di dalam Perguruan 

Cakra Buana, pembantaian itu pun terjadi kembali.

Pekik dan jeritan bersatu dengan darah yang ber-

simbah.

Sementara di luar, Ki Borgawa Darsa sudah menge-

luarkan senjata cakranya. Tiga buah. Dan senjata-

senjata itu pun bergerak menyerang Priatsih yang ha-

rus bersalto ke sana kemari menghindar.

Namun cakra itu seakan mempunyai mata. Dan su-

sul menyusul datangnya. Begitu bergerak, dia akan 

kembali lagi kepada pemiliknya.


Priatsih menjadi kewalahan.

Hingga suatu saat tiga buah cakra yang bergerak 

susul menyusul itu dengan hebat menyerbu ke arah 

Priatsih yang susah payah bersalto.

Namun sebelum tiga senjata itu mengenai sasaran-

nya, tiga buah selendang berwarna hitam telah me-

nyambarnya dan mengikatnya.

Ki Borgawa Darsa terkejut, karena dia tidak me-

nyangka tiga buah selendang itu akan mampu mena-

han senjata cakranya.

Kini sadarlah dia siapa yang tengah dihadapi. Ga-

dis-gadis perkasa yang memiliki tenaga dalam cukup 

hebat.

Namun dia tak mau menyerah begitu saja. Bahkan 

dia merelakan nyawanya putus daripada harus tunduk 

pada perintah ketua Serikat Kupu-Kupu Hitam.

Maka dengan nekat dia pun segera menyerang den-

gan hebat. Membabi buta.

Tetapi gadis-gadis itu dengan mudahnya menghin-

dari serangan Ki Borgawa Darsa.

Pada saat itu, sosok tubuh bongkok dengan wajah 

yang sangat jelek, baru saja kembali dari membawa 

kuda-kuda milik Perguruan Cakra Buana di padang 

rumput.

Sosok tubuh itu adalah Bunto. Dan dia amat terke-

jut melihat perkelahian itu. Dia semakin terkejut begi-

tu melihat mayat murid-murid Perguruan Cakra Bua-

na yang bergelimpangan di bumi.

"Oh... apa yang telah terjadi?" desisnya gugup. Dan 

ketakutan pun menyerangnya, hingga laki-laki bong-

kok itu hanya terpaku di tempatnya yang cukup ter-

sembunyi.

Dia melihat Ki Borgawa Darsa tengah dikeroyok oleh 

empat gadis berpakaian hitam. Ki Borgawa Darsa tak 

bisa berbuat banyak.


Dia pun merasa sia-sia dengan segala serangannya.

Namun dia masih tak mau mengalah.

Memang tak ada jalan lain selain menyambung 

nyawa dengan gadis-gadis ini.

Dia masih mencoba untuk menyerang dengan se-

kuat tenaga. Tetapi hanya sia-sia belaka dan mem-

buang tenaga saja.

Secara tiba-tiba empat buah selendang hitam itu 

membelit tubuhnya dan menariknya hingga ambruk ke 

bumi.

"Hhh! Sudah kukatakan, kau akan sia-sia belaka, 

Ki Borgawa Darsa!" mendengus Priatsih.

"Bunuhlah aku! Bunuh saja aku!"

"Membunuhmu tak sulit, Ki!"

"Bunuh saja aku! Lebih baik aku mati daripada ha-

rus menjadi pengikut serikatmu yang kejam itu!"

Kata-kata Ki Borgawa Darsa disambut tawa oleh 

keempat gadis itu.

"Tak sulit, Ki... tak sulit...." kata Prikasih.

"Semudah membalikkan telapak tangan, Ki," sam-

bung Prilastri.

"Tetapi itu terlalu mudah, Ki... Kau harus mengala-

mi satu siksaan dulu," lanjut Priyanti.

"Dan kau akan menikmatinya nanti," kata Priatsih 

sambil terkikik yang disambut oleh teman-temannya.

Wajah Ki Borgawa Darsa begitu geram sekali. Na-

mun dia sudah tak berdaya. Sudah tak mampu ber-

buat apa-apa.

Dia cuma bisa mendesah.

Sementara Bunto yang memperhatikan semua itu, 

menjadi semakin tegang. Dia kuatir Ki Borgawa Darsa 

akan dibunuh. Karena dia sudah tak melihat seorang 

pun murid dari Perguruan Cakra Buana yang masih 

hidup.

Bunto merasa bersyukur karena tugasnya setiap


pagi dan sore membawa kuda-kuda milik Perguruan 

Cakra Buana ke padang rumput.

Dia melihat keempat gadis itu masih terkikik.

"Sebaliknya kau menurut saja apa yang menjadi 

kehendak Ketua kami, Ki!" kata Prikasih.

"Ya... kau akan mendapatkan pelayanan tak ubah-

nya seorang raja," sambung Prilastri.

"Seperti Ki Prodana, ketua dari Perguruan Sutra 

Emas yang mendapat perlakuan sangat istimewa dari 

guru kami dan kami semua," lanjut Priyanti.

"Bukankah itu sesuatu yang sangat nikmat, Ki?" ka-

ta Priatsih.

"Hhh! Sampai kapan pun aku tak akan pernah mau 

menurut di bawah perintah Serikat Kupu-Kupu Hi-

tam!" kata Ki Borgawa Darsa tegas meskipun dia yakin 

dirinya tak akan bisa lolos.

"Bagus! Itu terserah oleh Ketua kami! Bawa dia!" ka-

ta Priatsih.

Lalu dengan selendang yang masih melilit di tubuh 

Ki Borgawa Darsa, keempatnya berlari melesat mem-

bawa tubuh itu. Ki Borgawa Darsa merasa tubuhnya 

bagai terbang belaka.

Bunto menunggu beberapa saat sebelum keluar dari 

persembunyian. Setelah yakin orang-orang tidak da-

tang lagi, lalu dia pun keluar dari persembunyiannya.

Laki-laki bongkok itu hanya bisa menahan pilu me-

lihat kenyataan yang terjadi di depan matanya. Dia 

melihat semua murid Perguruan Cakra Buana telah 

tewas menjadi mayat.

"Gusti Allah... kesalahan apa yang telah orang-

orang ini perbuat?" desisnya dan tak terasa air ma-

tanya menggenang. Dia telah merasa sebagian dari 

Perguruan Cakra Buana. Kalau tidak Ki Borgawa Dar-

sa yang mengambilnya sebagai pekerja, entah siapa la-

gi yang akan mau memanfaatkan tenaganya?


Bunto merasa berhutang budi pada Ki Borgawa 

Darsa. Baginya, meskipun upah yang dia dapatkan se-

dikit, tetapi dapat mengganjal perut istri dan dua 

orang anaknya yang masih kecil.

Dan sekarang dia melihat Ki Borgawa Darsa dibawa 

oleh gadis-gadis berpakaian hitam itu. Dia tak bisa 

berbuat apa-apa.

Sungguh pilu hatinya.

Dia merasa kecil sekali.

Tiba-tiba Bunto teringat pada Perwira dan Ratih 

Ayu. Kalau tidak salah ingat, dua hari yang lalu kakak 

beradik itu berpamitan padanya untuk menjenguk 

ibunya yang sedang sakit.

Dan entah kenapa Bunto begitu menaruh harap pa-

da keduanya.

Siang dan malam Bunto menunggu dan mengintip 

apakah kedua orang itu telah datang. Dia tak mengen-

al lelah. Karena baginya, hanya merekalah yang tersisa 

sebagai murid Perguruan Cakra Buana.

***

Bunto mendesah panjang.

Perwira dan Ratih Ayu yang mendengarkan ceri-

tanya menggeram gemas terhadap gadis-gadis itu. Me-

reka merasa bersyukur karena ternyata guru mereka 

masih hidup.

"Kau tahu ke mana mereka pergi?" tanya Perwira.

Bunto mendesah.

"Tahu."

"Ke mana?"

Sekali lagi terdengar desahan dari mulut Bunto. 

Perwira dapat melihat duka yang teramat sangat ter-

pancar dari mata yang terbuka melotot itu.

"Setelah kejadian itu... saya mencari tahu tentang 

gadis-gadis berpakaian hitam-hitam itu."


"Lalu?"

"Ada yang mengetahui, gadis-gadis itu berasal dari 

Serikat Kupu-Kupu Hitam. Dan bermukim dekat Da-

nau Siluman."

"Dari mana kau tahu?"

"Dari temanku."

"Siapa?"

"Rengga. Desanya diserang oleh para gadis-gadis 

itu. Dan beberapa perjaka tampan diculik entah untuk 

apa!"

Perwira menatap adiknya, seolah meminta penda-

patnya apakah mereka akan pergi sekarang atau ti-

dak?

Seperti mengetahui apa yang tersirat di mata ka-

kaknya, Ratih Ayu berkata.

"Terima kasih, Bunto.... sebaiknya kami permisi sa-

ja sekarang. Menurut hemat kami, sebaiknya kami le-

bih cepat mencari Guru."

"Benar, Bunto... kami kuatir terjadi hal-hal yang ti-

dak diinginkan pada Guru..."

"Terserah kalian, aku hanya bisa berdoa semoga ka-

lian selamat, begitu dengan majikan..."

Istri Bunto keluar dari dapur dengan membawa be-

berapa gelas kopi dan singkong rebus. Dia menghi-

dangkan pada mereka.

"Mari Kangmas, Nimas... dicicipi... hanya ada ini sa-

ja..."

"Tidak usah repot-repot, Mbakyu.." kata Ratih Ayu. 

Dan menjadi tidak enak untuk pergi sekarang.

Keduanya pun mencicipi hidangan itu terlebih da-

hulu. Dan baru terasa kalau perut mereka lapar, kare-

na mereka dapat menghabiskan tiga potong singkong 

rebus.

Setelah merasa cukup menikmati hidangan itu, ke-

duanya pun berpamitan.


Bunto dan istrinya mengantar sampai ke halaman 

rumahnya yang tidak begitu luas.

"Hati-hati Kakang Perwira... Mbakyu Ratih..." kata 

Bunto.

Perwira tersenyum.

"Terima kasih atas kesetiaanmu pada Guru, Bun-

to..." katanya.

Lalu segera memacu kudanya. Disusul dengan Ra-

tih Ayu.

Bunto mendesah. Menatap senja yang mulai datang. 

Dia berkata pada istrinya, "Mari kita berdoa di dalam, 

Ni... semoga keduanya berada dalam lindungan Gusti 

Allah.."

"Mari, Kang Bunto..."

Lalu keduanya pun masuk ke dalam.

***

ENAM



Ratih Ningrum sekali lagi menatap suaminya. Dia 

ada perasaan berat untuk ditinggal suaminya. Madewa 

mendesah.

"Aku hanya beberapa hari saja, Dinda.... Tidak la-

ma... Setelah urusanku selesai dengan Eyang Naga 

Langit., aku akan segera kembali..."

Sebenarnya bukan itu yang dicemaskan Ratih Nin-

grum. Dia tahu suaminya punya urusan dengan Eyang 

Naga Langit, kakek sakti yang bermukim di Gunung 

Slamet. Tetapi dia kuatir gadis-gadis dari Serikat Ku-

pu-Kupu Hitam akan muncul lagi. Sebenarnya Ratih 

Ningrum tidak gentar menghadapi mereka, namun 

yang dikuatirkannya, dia tak sanggup untuk melawan 

lagi.

Sampai hari ini Madewa memang tidak tahu kejadian yang telah menimpa Perguruan Topeng Hitam. 

Ratih Ningrum memang sengaja merahasiakannya. Dia 

diam-diam kagum dengan para muridnya yang juga ti-

dak membicarakan soal itu.

"Pergilah, Kanda... Aku tidak apa-apa. Sampaikan 

salamku pada Eyang Naga Langit dan Nini Arum Sari," 

kata Ratih Ningrum.

Lalu laki-laki yang selalu tersenyum arif bijaksana 

dan selalu mengenakan jubah berwarna putih itu pun 

melangkah.

Langkahnya tegap, tak ada keraguan sedikit pun.

Sepeninggal suaminya, Ratih Ningrum segera me-

manggil beberapa murid pilihannya. Dia segera men-

gadakan rapat.

"Kalian tahu bukan, beberapa minggu yang lalu 

orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam menyerang ki-

ta. Dan kupikir... mereka akan datang lagi untuk me-

nuntut balas. Nah, kalian harus bersiap siaga..."

"Maksud Nyonya Ketua... kita harus memasang per-

tahanan?" tanya Bayuloda.

"Benar, Bayu. Kita harus bersiap siaga. Jadi kumin-

ta, kalian beserta beberapa orang menjaga di empat 

penjuru. Khusus pintu gerbang lipat gandakan dari 

penjagaan semula..."

"Baik, Nyonya Ketua."

"Kalian mengerti?"

"Kami mengerti!" sahut sepuluh orang murid pilihan

yang dipanggil menghadap oleh Ratih Ningrum.

"Bagus! Mulai sekarang... buka mata kalian lebar-

lebar dan bersiaga."

Lalu sepuluh murid itu pun berdiri. Dan menjura. 

Lalu mereka memasang topeng hitam yang menutupi 

wajah mereka sebelum keluar dari ruangan itu.

Ratih Ningrum mendesah panjang.

Malam pertama dan malam kedua kepergian suaminya, tidak terjadi apa-apa. Nampak tenang seperti 

biasa.

Tetapi pada malam ketiga, terdengar suara ribut-

ribut di pintu gerbang. Disusul dengan empat sosok 

tubuh yang terpental dan tewas dengan leher berda-

rah.

Bayuloda yang sedang berputar terkejut melihat 

empat murid Perguruan Topeng Hitam yang menjaga di 

pintu gerbang telah menjadi mayat.

Dia menjadi siaga, "Menyebar!" serunya pada mu-

rid-murid yang lain!

Serentak mereka menyebar. Dan masing-masing 

menjaga pintu masuk menuju bangunan utama. Mu-

rid-murid yang menjaga di tiga penjuru pun segera 

berdatangan.

Tiba-tiba masuk lima sosok tubuh berpakaian hi-

tam-hitam. Bulan di atas sedang purnama. Langit ce-

rah.

Lima sosok tubuh yang datang itu adalah Priatsih 

dan kawan-kawannya. Priyuni dan Prilaksmi pun ikut 

serta, karena mereka juga ingin membalas dendam pa-

da Ratih Ningrum yang telah menyebabkan kematian 

Prilastri.

Bayuloda berkata dengan gagah, "Gadis-gadis ber-

pakaian hitam-hitam... agaknya kalian masih belum 

puas membuat kerusuhan!"

"Ahhh! Jangan banyak bacot!" bentak Priatsih. 

"Panggil Nyonya gurumu ke mari, katakan, kami hen-

dak membuat perhitungan dengannya!"

"Kalian boleh menemui Nyonya Ketua, bila telah me-

lewati barisan di hadapan kalian ini!"

"Banyak bacot! Mampuslah kau!" bentak Priatsih 

dan dengan cepat menguraikan selendang hitamnya 

yang langsung menyerang ke arah Bayuloda.

Bayuloda yang sejak tadi sudah bersiaga, menghindar ke kiri. Begitu pula dengan teman-temannya yang 

berada di belakangnya.

Priatsih menarik pulang selendangnya. Dan tanpa 

dikomando lagi teman-temannya pun menguraikan se-

lendang mereka.

Bayuloda berseru, "Gunakan jurus Penutup Bari-

san!"

Serentak murid-murid yang berjumlah sekitar 40 

orang itu berjajar ke belakang dua-dua. Dan masing-

masing telah memegang sepasang pedang di kedua 

tangan mereka.

Bayuloda yang berdiri di depan berkata, "Majulah 

kalian semua!"

Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam itu saling pan-

dang. Lalu serentak mereka menyerang. Priatsih, 

Priyanti dan Prikasih menyerang dari depan. Sementa-

ra Priyuni dan Prilaksmi mencoba menerobos dari ka-

nan dan kiri mereka.

Namun di luar dugaan mereka, barisan yang menja-

jar ke belakang itu, berubah menjadi horizontal. Dan 

pedang-pedang pun menyambar dengan ganas.

Serentak keduanya bersalto ke belakang. Begitu pu-

la yang dialami Priatsih, Priyuni dan Prilaksmi. Mereka 

tidak menyangka ketika barisan itu membentuk segiti-

ga. Semuanya serba cepat dan hebat.

"Baik, kami tidak akan main-main lagi!" mendengus 

Priatsih setelah bersalto dan hinggap di bumi.

Lalu dia pun mencoba menyerang dari jauh dengan 

ayunan selendangnya, begitu pula dengan keempat 

temannya.

Bayuloda berseru, "Gunakan senjata Rahasia, Lem-

paran ke Arah Rembulan!"

Dan serentak 40 buah senjata rahasia yang berben-

tuk topeng itu melesat cepat ke arah kelima gadis itu 

yang harus jungkir balik menghindar. Belum lagi me


reka bisa bernafas, kembali 40 buah senjata rahasia 

melesat.

"Awas!" seru Priatsih dan jungkir balik lagi.

Namun malang bagi Priyuni, dua buah senjata ra-

hasia itu menancap deras di dada dan lehernya. Tanpa 

sempat menjerit, tubuhnya ambruk ke bumi bersim-

bah darah.

Keempat temannya terkejut.

Mereka menjadi murka seketika.

Dan dengan nekat mereka menerjang, mencoba 

menerobos barisan itu.

Namun kembali usaha itu sia-sia belaka, karena ba-

risan itu terlalu rapat. Dan sulit untuk diterobos.

"Lebih baik kalian kembali pulang dan bawa mayat 

teman kalian itu!" kata Bayuloda.

Tetapi gadis-gadis yang telah bersumpah untuk 

membunuh Ratih Ningrum mendengus.

"Sejengkal pun kami tak akan mundur!"

"Bagus! Berarti kalian akan mampus di tempat ini!" 

seru Bayuloda pula.

"Atau... kau yang akan mampus!" seru Priatsih dan 

menyerang Bayuloda. Bayuloda terkejut, dia serentak 

mundur dan beberapa temannya maju. Namun Priat-

sih terus mencecar Bayuloda. Begitu pula dengan te-

man-temannya.

Kini mereka tahu kelemahan dari jurus Penutup 

Barisan itu. Serang dan cecar bagian depan. Itulah 

kuncinya karena bila yang terdepan telah jatuh, maka 

yang lainnya akan kocar-kacir.

Benar juga dugaan mereka itu, karena tak tahan di 

serang secara beruntun, Bayuloda keluar dari barisan. 

Dan serentak barisan itupun pecah.

Hal ini memudahkan gadis-gadis itu untuk memba-

las dan menyerang.

Sebentar saja terdengar jeritan dan pekik kematian


dari murid-murid Perguruan Topeng Hitam.

"Jangan mundur! Bantu kembali jurus Penutup Ba-

risan!" seru Bayuloda membangkitkan semangat te-

man-temannya.

Namun sekarang sudah sulit untuk membentuk 

kembali. Karena gadis-gadis itu telah menyerang den-

gan hebat, dan memisahkan diri dalam menyerang.

Membuat murid-murid yang lain menjadi terpisah-

pisah.

Dari dalam, Ratih Ningrum dapat melihat kesulitan 

yang tengah dihadapi para muridnya. Dia tak mau da-

rah bersimbah kembali ke bumi.

Maka dengan mantap dia pun keluar dari bangunan 

itu.

Dan berseru lantang, "Hentikan pertarungan ini!"

Pertarungan itu segera terhenti. Keempat gadis itu 

bersalto saling mendekat.

Melihat siapa yang berseru, Priyanti mendengus, 

"Ratih Ningrum... kau harus membayar kematian te-

man kami dengan nyawamu!"

Ratih Ningrum perlahan-lahan mendekat. Dia 

memberi isyarat pada para muridnya untuk mundur.

"Priyanti... hidup, mati dan rezeki berada di tangan 

Gusti Allah. Bila aku dikehendaki oleh-Nya untuk mati 

sekarang, maka aku pun akan mati. Tapi bila belum, 

maka aku akan tetap hidup.."

"Hhh! Ratih Ningrum, kamilah malaikat pencabut 

nyawa yang dikirim oleh-Nya untuk mencabut nyawa-

mu!"

"Jangan sombong dengan kata-kata itu, Priyanti!"

"Perempuan keparat! Terimalah kematianmu!" ber-

seru Prikasih menyela kata-kata Priyanti. Dan dia sen-

diri sudah menderu menyerang dengan selendangnya 

yang berubah menjadi tongkat.

Ratih Ningrum melompat ke kiri, namun serangan


itu datang kembali. Menderu ke arah kakinya. Lang-

sung dia bersalto ke belakang. Dan begitu hinggap di 

bumi, sepasang pedang kembarnya sudah berada di 

tangan.

"Baiklah... kita akan bermain-main kembali! Maju-

lah kalian!" seru Ratih Ningrum.

Prikasih yang sudah tahu kehebatan ilmu silat yang 

dimiliki Ratih Ningrum memberi isyarat pada teman-

temannya untuk maju sekaligus keempatnya pun sege-

ra mengurung.

Ratih Ningrum melihat beberapa muridnya untuk 

membantu, namun dia memberi isyarat agar mereka 

diam di tempat.

"Bagus!" desisnya pada keempat gadis itu dengan 

mata waspada.

"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!" berseru Prikasih 

dan mengelebatkan selendangnya. Begitu pula dengan 

teman-temannya.

Empat buah selendang berwarna hitam itu menderu 

ke arah Ratih Ningrum tak ubahnya seperti sebuah 

cambuk. Ratih Ningrum mengempos tubuhnya ke atas. 

Bagai seekor burung, tubuh itu melenting ke udara.

Namun empat buah selendang itu kembali menge-

jar. Kali ini Ratih Ningrum langsung memadukan ju-

rusnya. Jurus Pedang kembar dan Pukulan Tangan 

Seribu. Sehingga pedangnya terlihat menjadi banyak.

Pedang-pedang itu pun menyambar selendang-

selendang yang mengarah padanya.

Namun secepat kilat selendang-selendang itu ditarik 

pulang pemiliknya dan menderu kembali kali ini men-

jadi sebatang tombak.

Ratih Ningrum kembali mengempos tubuhnya, dan 

menghindari tombak-tombak itu. Dia bersalto ke de-

pan. Namun keempat gadis yang tengah dilanda den-

dam itu tak mau melewatkan dan memberi kesempatan buat Ratih Ningrum bernafas.

Mereka terus mencecar.

"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!"

Ratih Ningrum sendiri tak mau dirinya dijadikan 

sasaran senjata mereka. Dia pun segera memapakinya.

"Trok!"

"Trokk!"

Dua tombak berhasil ditangkisnya, dan dua seran-

gan tombak lainnya dihindarinya dengan bersalto.

Ratih Ningrum yang merasa bila dia terus menerus 

hanya menghindar bisa terkena pula, maka dia pun 

mulai membalas.

Pedang-pedangnya pun berkelebat dengan hebat. 

Namun keempat gadis itu pun tak mau kalah. Mereka 

pun serentak memapakinya.

Ini membahayakan Ratih Ningrum. Apalagi selen-

dang Priyanti dan Prikasih telah membelit pedangnya. 

Sukar untuk dilepaskan.

Dan Priatsih dan Prilaksmi telah menderu maju ke 

depan dengan selendang yang telah berubah menjadi 

tombak. Tombak Priatsih berhasil dihindarnya dengan 

mengempos tubuhnya ke atas. Namun tubuh itu terta-

rik lagi ke bawah karena Priyanti dan Prikasih menyen-

takkan selendang mereka.

Dan tubuh Prilaksmi telah meluncur deras ke arah 

Ratih Ningrum!

Para murid Perguruan Topeng Hitam memekik me-

nahan nafas.

Tegang.

Ratih Ningrum hanya memiliki waktu beberapa de-

tik. Dan waktu yang amat sedikit itu dipergunakannya 

semaksimal mungkin.

Dengan cepat dia melepaskan kedua pedangnya dan 

menjatuhkan diri di bumi. Tusukan selendang yang te-

lah menjadi tombak milik Prilaksmi meluncur deras


beberapa detik dari tubuhnya.

Dan dengan cepat pula, Ratih Ningrum menggerak-

kan kaki kanannya. Menghantam pinggul Prilaksmi 

hingga gadis itu terhuyung.

Sungguh di luar dugaan, tubuh Ratih Ningrum tiba-

tiba bersalto ke arah Prilaksmi. Dan mendudukinya 

hingga gadis itu telungkup.

Kala orang-orang yang menyaksikan membuka ma-

ta, terlihatlah sebilah keris menancap di punggung Pri-

laksmi.

Keris pemberian dari gurunya yang bernama Patidi-

na, telah ditancapkan ke punggung gadis itu.

Ratih Ningrum pun berdiri dengan sigap.

Kini di tangannya terdapat sebilah keris.

Tiga gadis berpakaian hitam-hitam yang tersisa, ti-

dak menyangka kalau Ratih Ningrum masih memiliki 

senjata. Dari keterkejutan itu berubah menjadi kema-

rahan.

Ketiganya pun menggeram murka.

"Dua nyawa hari ini telah kau renggut, Ratih Nin-

grum!" bergetar suara Priatsih menahan amarah. "Dan 

kami telah siap untuk menyambung nyawa dengan-

mu!"

"Hhh! Majulah kalian!"

Tiba-tiba Prikasih menggerakkan selendangnya 

yang di ujungnya masih membelit pedang Ratih Nin-

grum.

Dan pedang itu meluncur deras ke arah Ratih Nin-

grum.

Dengan sigap Ratih Ningrum menghindar ke kiri. 

Pedang itu pun menancap di tembok tinggi yang men-

gelilingi Perguruan Topeng Hitam hingga setengah. Itu 

menandakan kemarahan yang telah melanda Prikasih 

begitu dalam.

Lalu disusul dengan tubuh gadis itu yang mener


jang. Begitu pula dengan Priatsih dan Priyanti. Kini ke-

tiganya bertekad untuk menyambung nyawa!

Sesuai sumpah yang telah mereka ucapkan!

Menghadapi ketiga lawannya yang nampak beringas 

dan penuh amarah, membuat Ratih Ningrum agak ke-

walahan. Apalagi karena senjata di tangannya hanya 

sebilah keris. Yang lebih pendek dari sepasang pe-

dangnya.

Namun jurus-jurus ilmu keris yang pernah dipelaja-

ri dari gurunya yang bernama Patidina, membuatnya 

mampu untuk bertahan.

Tetapi ketiga gadis itu demikian gencar menyerang. 

Hingga suatu saat sulit bagi Ratih Ningrum untuk 

menghindar. Selendang-selendang itu telah siap untuk 

mencabut nyawanya.

Ratih Ningrum sendiri merasa ajalnya telah tiba. Te-

tapi dia masih berusaha untuk menyelamatkan ji-

wanya.

Namun ketiga selendang itu telah semakin dekat 

dan mengurungnya.

"Mampuslah kau, Ratih!"

"Nyawamu akan menemani teman-teman kami yang 

telah mati!"

"Selamat jalan, Ratih Ningrum!"

Tiga selendang itu menderu.

Menimbulkan suara bergemuruh.

Mendesing.

Menebarkan hawa kematian.

Tetapi mendadak terdengar tiga jeritan sekaligus 

yang keras. Bagaikan lolongan srigala di tengah malam

buta.

Dan tiba tubuh berpakaian hitam-hitam itu pun 

ambruk ke bumi bersimbah darah. Beberapa buah 

senjata rahasia milik Perguruan Topeng Hitam menan-

cap di bagian punggung ketiganya.


Nyawa mereka pun melayang.

Bayuloda, Renggapati dan Argamulyo yang telah 

melemparkan senjata rahasia demi menolong nyawa is-

tri gurunya berlari mendekati Ratih Ningrum.

Dan mereka langsung menjatuhkan diri.

"Maafkan kami, Nyonya Ketua... kami telah lancang 

melanggar perintah!" kata Bayuloda.

Ratih Ningrum terharu melihat kepatuhan para mu-

ridnya. Padahal ketiga muridnya itulah yang baru saja 

menyelamatkan nyawanya.

"Bangunlah kalian... terima kasih, kalian telah me-

nyelamatkan nyawaku..." kata Ratih Ningrum.

"Hukumlah kami, Nyonya Ketua... karena kami lan-

cang tidak mematuhi perintah..." kata Argamulyo.

"Bangunlah kalian... Kalian tidak berbuat salah.... 

Sekali lagi kuucapkan terima kasih..." kata Ratih Nin-

grum masih terharu.

Itulah yang membuat murid-murid Perguruan To-

peng Hitam sangat mematuhi perintah guru mereka. 

Karena selain mengajarkan kedisiplinan yang tinggi, 

guru mereka pun kadang bertindak sebagai seorang 

sahabat.

Belum lagi dengan ilmu-ilmu silat yang diajarkan. 

Itu susah membuat mereka amat berterima kasih. Dan 

wejangan-wejangan bermanfaat yang diberikan, baik 

oleh Ratih Ningrum sendiri, maupun oleh suaminya, 

Madewa Gumilang.

Dan mereka pun terharu dengan ucapan terima ka-

sih yang dikatakan Ratih Ningrum. Mereka dapat me-

nangkap nada tulus dari suara itu.

Inilah yang mereka anggap sebagai sahabat, bukan 

layaknya seorang guru pada muridnya.

Perlahan-lahan ketiganya bangkit. Masih menun-

dukkan kepala yang tertutup topeng hitam.

Ratih Ningrum dapat mengenali mereka dari suara


mereka.

"Kalian kuburlah teman-teman kalian yang mati. 

Dan kuburkan pula kelima mayat gadis dari Serikat 

Kupu-Kupu Hitam itu..."

Menjelang pagi, mayat-mayat itu telah dimandikan. 

Lalu dengan upacara kecil yang dipimpin oleh Ratih 

Ningrum sendiri, mayat-mayat itu pun dikebumikan.

Setelah itu dia menyuruh Bayuloda, Renggapati dan 

Argamulyo untuk mengikutinya.

Di ruang khusus, ketiganya duduk bersila di hada-

pan Ratih Ningrum yang duduk di sebuah kursi.

"Kalian tahu mengapa kalian kusuruh menghadap, 

padahal kalian belum beristirahat?"

Ketiganya berpandangan. Topeng hitam yang menu-

tupi wajah mereka telah dibuka.

Berkata Bayuloda, "Maafkan saya, Nyonya Ketua... 

mungkin ada hubungannya dengan kedatangan Seri-

kat Kupu-Kupu Hitam."

"Benar, menurut informasi yang kudapat, mereka 

bermarkas dekat Danau Siluman. Senja nanti, kalian 

bertiga ikut bersamaku ke sana."

"Baik, Nyonya Ketua..." 

"Kita akan hancurkan markas mereka!"

"Kita bumiratakan!"

Ratih Ningrum tersenyum. Lalu menyuruh keti-

ganya beristirahat.

***

TUJUH



Danau Siluman pagi hari.

Dua ekor kuda berhenti di dekat danau itu. Kedua 

penunggangnya memperhatikan sekitarnya dengan 

mata waspada.



Suasana begitu sunyi.

Padahal matahari sudah sepenggalah.

"Mungkin di bangunan besar itulah markas dari Se-

rikat Kupu-Kupu Hitam, Kakang..."

"Benar, Rayi Ratih...."

"Kita sebaiknya segera ke sana, kakang Perwira... 

aku kuatir dengan nasib guru."

"Baik!"

Lalu keduanya pun menghentakkan tali kekang ku-

da mereka dan segera menuju ke markas Serikat Ku-

pu-Kupu Hitam.

Sementara itu keadaan Ki Borgawa Darsa begitu 

menyedihkan. Karena dia tak mau menurut pada pe-

rintah Dewi Komalaputih, dia disiksa sampai setengah 

mati. Keadaannya begitu memilukan.

Tiba-tiba pintu ruangan di mana dia disekap dan 

disiksa terbuka.

Muncul sosok tubuh berwajah cantik dengan pa-

kaian yang tipis dan berjubah hitam. Di sampingnya 

satu sosok setengah baya.

Dewi Komalaputih tersenyum.

"Ki Borgawa... apakah kau masih akan menolak pe-

rintahku?"

Ki Borgawa mendengus dan meludah.

"Ciih! Sejengkal pun aku tak akan mundur, Dewi!"

"Hihihi... bagus, Ki Borgawa.. aku tak akan segan-

segan lagi membunuhmu..."

"Borgawa..." kata Ki Prodana. "Mengapa kau begitu 

keras kepala, hah? Bukankah kau lihat aku? Hidupku 

senang dan bebas di samping Dewi Komalaputih..."

Ki Borgawa Darsa meludah. Dan tatapannya menge-

jek pada Ki Prodana.

"Prodana... kau memang bangsat keparat! Kau 

membiarkan seluruh muridmu mati, sementara kau 

sendiri menikmati hidup yang kotor seperti ini! Kau



manusia busuk, Prodana!"

"Bangsat kau, Borgawa!" desis Ki Prodana sambil 

menghantamkan kakinya ke dagu Ki Borgawa, yang 

langsung terjengkang ke belakang.

Tetapi matanya tetap menyalang tajam.

"Hhh! Dewi...biar manusia ini aku yang bunuh!" de-

sis Ki Prodana.

"Silahkan... tapi beri dia kesempatan untuk menik-

mati matinya secara perlahan..."

"Baik!"

Tetapi sebelum Ki Prodana menjalankan maksud-

nya, di luar terjadi keributan. Keduanya berpandan-

gan. Dan cepat melihat apa yang terjadi di halaman.

Rupanya Perwira dan Ratih Ayu yang mengamuk. 

Perwira sudah melepaskan anak panahnya dan me-

renggut beberapa orang anggota dari Serikat Kupu-

Kupu Hitam.

Begitu pula dengan adiknya, yang telah menerjang 

dengan pedangnya.

Dewi Komalaputih yang menyaksikan hal itu berse-

ru, 

"Tahan!"

Anak buahnya segera mundur.

Begitu pula dengan Perwira dan Ratih Ayu. Kedua-

nya saling beradu punggung dengan waspada.

"Kisanak dan Nisanak... maksud apa kalian mem-

buat onar di sini?" tanya Dewi Komalaputih.

"Hhh! Rupanya kau yang bernama Dewi Komalapu-

tih? Bagus, namaku Perwira dan ini adikku, Ratih Ayu! 

Kami datang untuk membebaskan guru kami, Ki Bor-

gawa Darsa!" seru Perwira.

Dewi Komalaputih terkikik.

"Rupanya kalian murid-murid Perguruan Cakra Bu-

ana yang telah selamat dari teror anak buahku. Bagus! 

Hmmm... kalian punya nyali juga rupanya untuk da


tang ke sini!"

"Bebaskan guru kami, Perempuan Iblis!"

"Kalian berani jual bacot di sini! Baik, majulah ka-

lian!"

Kakak beradik itu berpandangan. Lalu terlihat ke-

duanya saling mengangguk. Dan serentak keduanya 

menyerang Dewi Komalaputih yang dengan mudahnya 

menghindari serangan keduanya.

Bahkan kedua tangan Dewi Komalaputih dengan 

cepat memukul tangan kedua penyerangnya, hingga 

bagaikan remuk tulang tangan keduanya. Keduanya 

segera bersalto.

"Sungguh hebat tenaga dalamnya, Rayi Ratih..." bi-

sik Perwira.

"Iya, Kakang... tapi aku kuatir akan nasib Guru! Ki-

ta serang lagi!"

Kembali keduanya menyerang. Namun lagi-lagi ber-

hasil dipatahkan oleh Dewi Komalaputih. Bahkan sen-

jata keduanya pun terlepas.

"Hihihi... cepat kalian bersujud di depanku, niscaya 

nyawa kalian akan kuampuni!"

"Perempuan iblis, kami tidak takut mati! Tahan se-

rangan!" seru Ratih Ayu dan melemparkan cakra yang 

terselip di pinggangnya.

"Siiingg!"

Senjata itu mengarah pada Dewi Komalaputih. Na-

mun sungguh di luar dugaan, senjata itu berhasil di-

tangkap olehnya dan lemparkan kembali pada Ratih 

Ayu.

"Awas, Rayiiii!" seru Perwira.

Namun lemparan Dewi Komalaputih lebih cepat da-

tangnya. Tetapi mendadak terdengar suara, "Criiingg!"

Cakra itu jatuh ke tanah dibentur oleh sebuah sen-

jata lain. Begitu benda yang membentur jatuh, terlihat 

tiga buah senjata rahasia berbentuk topeng hitam.


"Bangsat! Siapa yang membuat ulah ini?!" memben-

tak Dewi Komalaputih.

Lalu terlihat di hadapannya empat sosok tubuh 

berdiri gagah. Seorang wanita gagah perkasa dengan 

dua buah pedang berselempang di punggung. Dan di 

belakangnya berdiri tiga sosok tubuh berpakaian hi-

tam-hitam dengan wajah yang tertutup topeng hitam. 

Dan di punggung masing-masing terdapat dua buah 

pedang pula.

Dewi Komalaputih mendengus.

"Hhh! Rupanya Ratih Ningrum yang datang!" desis-

nya namun sedikit terkejut. Bukankah lima anak 

buahnya telah pergi untuk membunuh wanita ini? Ka-

lau begitu, pasti mereka telah berhasil dikalahkan wa-

nita itu. Atau mungkin juga telah dibunuhnya.

Perwira segera memburu adiknya yang baru saja di 

selamatkan Ratih Ningrum.

"Dewi Komalaputih... sebaiknya kau pergi dari sini, 

dan jangan membuat onar lagi," berkata Ratih Nin-

grum.

"Hihihi... omongan apa pula ini, Ratih? Aku telah 

lama berniat untuk menjajal ilmumu. Hmm... di mana 

suamimu Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan 

Sukma berada? Apakah dia bersembunyi seperti anak 

kecil hingga menyuruhmu mengantarkan nyawa?"

Wajah Ratih Ningrum merah padam.

"Bangsat hina! Majulah, jangan membuang waktu 

lagi!"

Ratih Ningrum pun meloloskan kedua pedangnya.

Ki Prodana yang sejak tadi terdiam, maju ke depan.

"Ratih Ningrum... bila kau ingin mati, biar aku yang 

mengirimmu ke akhirat..."

"Gagak Hitam... rupanya kau telah menjadi pengi-

kut dari wanita iblis itu... Hhh, kau tak ubahnya se-

perti anjing!"


Wajah Ki Prodana memerah. Lalu tanpa banyak ca-

kap lagi dia maju menyerang. Tetapi tiga murid Pergu-

ruan Topeng Hitam segera meloncat ke depan.

"Hadapi kami, Manusia busuk!" berseru Bayuloda.

Dan segera menyongsong serangan dari Ki Prodana. 

Lalu laki-laki setengah baya itu pun dikeroyok oleh tiga 

murid utama Perguruan Topeng Hitam.

Sementara Ratih Ningrum telah berhadapan kemba-

li dengan Dewi Komalaputih.

"Majulah, Dewi..."

"Bagus! Bersiaplah, Ratih!"

Lalu keduanya pun segera terlibat dalam pertarun-

gan yang hebat. Masing-masing mengeluarkan seluruh 

kepandaian yang mereka miliki. Jurus demi jurus ber-

lalu. Keduanya saling mencecar lawan dan bertekad 

untuk menjatuhkan.

Anak buah Dewi Komalaputih yang tinggal dua 

orang itu pun segera melayani serangan-serangan dari 

Perwira dan Ratih Ayu.

Satu ketika, Perwira berhasil memukul jatuh la-

wannya. Dan menancapkan anak panahnya ke dada 

lawan. Dia berseru pada adiknya, "Ratih... kau pergi 

mencari Guru! Biar lawanmu ini aku hadapi!"

"Baik, Kakang!"

Lalu Ratih Ayu pun melesat ke dalam bangunan be-

sar itu.

Di halaman, masih terjadi pertempuran yang hebat. 

Ki Prodana meskipun dikeroyok oleh tiga orang, na-

mun berada di atas angin. Ilmu Gagak Hitamnya begi-

tu tangguh untuk mereka

Dan jari-jarinya yang telah membentuk seperti pa-

ruh gagak, telah menghantam ketiganya hingga ter-

huyung.

Begitu pula halnya dengan Ratih Ningrum. Dia su-

dah cukup terdesak oleh Dewi Komalaputih. Bahkan


sebuah pedangnya telah lepas. Dan dengan satu sen-

takan pula, pedang itu yang satunya pun terlepas.

"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!" seru Dewi Koma-

laputih sambil menyerang lagi. Ratih Ningrum pun 

menghadapinya dengan jurus Pukulan Tangan Seribu. 

Namun itu pun tak berarti banyak.

Karena satu tonjokan telah mengenai dadanya.

Dia terhuyung. Lalu mengusap darah yang keluar 

dari mulutnya. Matanya nyalang.

Dewi Komalaputih terkikik. Dan perlahan-lahan 

menguraikan selendang hitam yang melilit di ping-

gangnya.

"Aku ingin melihat kau mati tergantung oleh selen-

dang ini. Ratih!" desisnya dan segera menyerang lagi 

dari tempatnya.

Selendang itu bergerak dengan cepat. Ratih Nin-

grum jungkir balik menghindar. Dua kali dia terkena 

ayunan selendang yang telah dialiri tenaga dalam. Ka-

lau bukan Ratih Ningrum yang telah memiliki tenaga 

dalam cukup sempurna, niscaya orang itu akan mati 

dengan tubuh hancur seketika.

"Hihihi... kini terimalah ajalmu, Ratih!" desis Dewi 

Komalaputih sambil memutar-mutar selendangnya di 

udara. Dan tiba-tiba selendang itu seperti menjadi 

tombak. Lalu digerakkannya ke arah Ratih Ningrum.

Ratih Ningrum hanya memejamkan matanya karena 

dia merasa tak mampu lagi untuk menghindar.

Tiba-tiba terdengar seruan kesakitan dari Dewi Ko-

malaputih. Dan tubuhnya terpelanting ke kanan kare-

na dihantam oleh sebuah pukulan keras.

"Bangsat! Siapa yang berani berbuat curang seperti 

ini?!" makinya seraya bangkit kembali.

Dan di hadapannya kini telah berdiri satu sosok 

berjubah putih yang tersenyum arif bijaksana.

Ratih Ningrum yang telah membuka matanya berse


ru melihat sosok itu, 

"Kanda!"

Sosok yang ternyata Madewa Gumilang tersenyum.

"Bagaimana keadaanmu, Dinda?"

"Aku tidak apa-apa, Kanda..."

"Menyingkirlah..."

Dewi Komalaputih mendengus melihat siapa yang 

datang.

"Hhh! Rupanya nama besar Pendekar Bayangan 

Sukma hanyalah orang pengecut belaka! Beraninya 

hanya membokong saja!"

Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.

"Dewi... maafkan atas ulahku tadi..."

"Jangan jual lagak di depanku, Madewa! Hhh! 

Mampuslah kau, Pendekar Bayangan Sukma!" dengus 

Dewi Komalaputih sambil menyerang dengan selen-

dangnya.

Madewa cuma tersenyum. Masih tersenyum dia 

menghindari serangan selendang itu. Dengan jurus 

Ular Meloloskan Diri, Madewa berada di atas angin. Se-

lendang itu tak sekali pun mengenai sasarannya.

Hal ini membuat Dewi Komalaputih menggeram ma-

rah, karena mereka merasa dipermainkan. Lalu dia 

mengubah selendangnya menjadi seperti tombak. Dan 

memainkannya dengan jurus Tombak Memecah Om-

bak!

Serangannya semakin ganas dan membahayakan. 

Madewa sendiri semakin meningkatkan jurus meng-

hindarnya, Ular Meloloskan Diri. Lalu dia pun mengi-

rimkan satu pukulan lurus ke depan, pukulan Tembok 

Menghalau Badai.

"Des!" pukulan itu telah mengenai sasarannya. Na-

mun Dewi Komalaputih telah berdiri tegak kembali, 

seolah tidak merasakan pukulan tadi.

"Hhh! Hanya begitu saja tenaga yang kau miliki,


Madewa! Inilah ilmu kebalku, Menahan Sejuta Topan 

Badai!" desisnya sambil terkikik.

"Sayang... ilmu kesaktian yang kau miliki itu kau 

gunakan di jalan yang salah, Dewi..."

"Jangan berkhotbah, Madewa!" desis Dewi Komala-

putih geram. Lalu maju menyerang lagi.

Madewa pun mengimbanginya dengan jurus Ular 

Mematuk Katak. Namun ilmu kebal yang dimiliki Dewi 

Komalaputih seolah tembok berlapis seribu begitu Ma-

dewa menghantamkan pukulannya.

Sementara Ki Prodana yang melihat Dewi Komala-

putih bertarung, segera menerjunkan diri. Dia pun me-

rasa tiga lawannya sudah tak bisa bangun lagi karena 

pukulannya.

"Bagus!" desis Madewa. "Prodana... tak kusangka 

kau akan seperti ini!"

"Diam, Madewa! Nikmatilah ajalmu yang hampir ti-

ba ini!" seru Ki Prodana sambil menyerang dengan ju-

rus Gagak Hitamnya.

Madewa pun kembali menggunakan jurus meng-

hindarnya. Serangan berbahaya kedua orang itu lolos. 

Tak satu pun yang mengenainya.

Mendadak Dewi Komalaputih menebarkan selen-

dangnya. Dan selendang itu pun membelit tubuh Ma-

dewa.

"Hihihi... kini mampuslah kau, Madewa Gumilang!" 

desisnya.

Dan Ki Prodana telah meluncur dengan satu puku-

lannya. Pukulan itu pun mengenai dada Madewa Gu-

milang!

Tubuh Madewa terhuyung.

"Hahaha.. hanya begitu saja kehebatan dari Pende-

kar Bayangan Sukma yang sering dijuluki Manusia Se-

tengah Dewa!"

Mata Madewa menyalang. Kemarahannya mulai


naik. Mendadak dia terdiam. Dan tiba-tiba dari kedua 

tangannya yang terikat rapat di tubuhnya mengepul-

kan asap putih. Dan mendadak saja selendang yang 

membelit tubuhnya putus!

Rupanya dia tengah mengeluarkan pukulan anda-

lannya, Pukulan Bayangan Sukma!

Dewi Komalaputih tahu akan pukulan itu, maka 

terdengar seruannya, "Pukulan Bayangan Sukma!"

Madewa tersenyum. Namun matanya bersinar ber-

bahaya. "Tak ada jalan lain, Dewi... Prodana... Manusia 

seperti kalian tak layak untuk hidup!"

"Hhh! Kau lupa, Madewa! Aku memiliki ilmu kebal 

yang tak akan mempan oleh pukulan macam apa pun! 

Termasuk Pukulan Bayangan Sukma!"

"Baik, kita buktikan!"

Dewi Komalaputih melirik Ki Prodana. Lalu kedua-

nya pun bersiap menyerang. Dan dengan diiringi peki-

kan keduanya, kedua tubuh itu pun melesat.

Madewa hanya terdiam di tempat, di kedua tangan-

nya telah terangkum Pukulan Bayangan Sukma.

Dan benturan pun tak dapat dihindarkan lagi.

"Des!"

"Des!"

Tubuh Dewi Komalaputih dan Ki Prodana terlempar 

ke belakang, diiringi jeritan Ki Prodana yang memilu-

kan. Lalu terlihat tubuhnya menggeliat dan ambruk 

dengan tubuh hancur. Nyawanya telah melayang.

Sementara Dewi Komalaputih telah bangkit lagi. Dia 

terkikik. "Kau lihat Madewa... tak satu pun pukulan 

yang mampu mengalahkan aku. Hihihi.... tak akhh... 

aakhh... AAAKKKHHHH!"

Terdengar jeritan Dewi Komalaputih memilukan. 

Tubuhnya pun ambruk hancur ke bumi.

Madewa mendesah. Sementara Perwira pun telah 

berhasil menjatuhkan lawannya.


Ratih Ningrum berlari mendekati suaminya. "Kan-

da... mengapa kau bisa berada di sini?"

"Eyang Naga Langit tak ada di tempatnya, Dinda... 

Ketika hendak pulang, kulihat kau dan para murid 

lainnya menunggang kuda seperti tergesa-gesa. Lalu 

aku menyusul."

Madewa menghampiri tiga muridnya. Setelah dioba-

ti, ketiganya pun bisa bangkit kembali. Dari ambang 

pintu bangunan itu, muncul Ratih Ayu menyangga Ki 

Borgawa Darsa yang lemah sekali. Madewa pun segera 

mengobatinya, memulihkan kembali tenaga Ki Borga-

wa Darsa.

Lalu dengan istri dan murid-muridnya, mereka pun 

kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Ki Borgawa ber-

kata pada kedua muridnya, "Kuharap... kalian bisa se-

perti orang-orang perkasa itu..."



                     SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive