UPACARA MAUT
oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir dalam episode:
Upacara Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Udara siang ini terasa begitu panas. Saat itu
matahari tepat berada di atas kepala. Cahayanya yang
terik menyengat seluruh makhluk yang berada di ba-
wahnya.
Namun di tengah panas yang menyengat itu,
tampak dua sosok tubuh berkelebat cepat menerobos
padang rumput yang cukup luas. Sosok-sosok itu sea-
kan tidak mempedulikan panas matahari. Mereka pun
berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi.
"Kau kelihatan bernafsu sekali, Kak," ujar gadis
cantik berpakaian hijau seraya melambatkan larinya.
Gadis cantik berpakaian ungu yang bernama
Laras Nini pun melambatkan larinya, dan menoleh pa-
da gadis di sebelahnya.
"Aku ingin tugas ini cepat selesai, Dewi," jawab
Laras Nini, kembali menaikkan tempo larinya.
"Apa kau pikir semudah itu?" tanya Laras Dewi,
membuat lari Laras Nini terhenti.
Gadis cantik berpakaian ungu itu menatap le-
kat wajah Laras Dewi.
"Kau tak yakin dengan kemampuan kita, De-
wi?" selidik Laras Nini dengan raut muka sedikit kesal.
"Tentu saja yakin," jawab Laras Dewi dengan
senyum sedikit terkembang, gadis itu maklum dengan
perangai kakaknya yang cepat naik pitam.
"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Laras
Nini dengan nada tinggi.
"Sekadar mengingatkan, agar jangan meremeh-
kan kemampuan orang lain, "jawab Laras Dewi kemba-
li menggenjot larinya.
"Aku tidak meremehkan pimpinan Perguruan
Seribu Bunga, namun keyakinanku cukup beralasan
dapat meruntuhkan Nyai Dinda Dahlia. Bukankah se-
lama ini kita tak pernah dikalahkan oleh tokoh sakti
sekalipun?" sangkal Laras Nini.
"Aku juga berharap demikian. Agar Ki Kustara
lebih yakin bahwa kita mampu berdiri sejajar dengan
Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak, bahkan
dirinya sendiri."
Laras Nini tak menanggapi ucapan Laras Dewi
yang rupanya cukup berkenan di hati. Gadis cantik
berpakaian ungu itu terus mempercepat lari. Mereka
yang berjuluk Dewi Racun Kembar melesat cepat tanpa
menghiraukan sengatan sinar matahari yang cukup te-
rik
Sepeminum teh lamanya Dewi Racun Kembar
mengerahkan ilmu lari cepat. Mereka baru berhenti di
depan sebuah bangunan yang cukup megah. Pada ba-
gian muka terpampang sebuah papan nama Perguruan
Seribu Bunga.
"Nampaknya Nyai Dinda Dahlia tidak menjaga
ketat wilayah perguruannya, Kak," ujar Laras Dewi me-
lihat pintu gerbang hanya dijaga dua perempuan ber-
pakaian putih, keduanya nampak sedang membicara-
kan sesuatu.
"Kelihatannya begitu, Dewi," jawab Laras Nini.
"Nampaknya mereka memandang sebelah mala
surat permintaan yang ditandatangani lima tokoh sak-
ti. Atau... mungkin ini sebuah perangkap," duga Laras
Dewi.
Memang sebelum keduanya mendatangi Pergu-
ruan Seribu Bunga. Mereka telah lebih dulu mengirim
surat permintaan yang ditandatangani Setan Rimba
Bangkai, Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak,
Laras Nini juga Laras Dewi yang sesungguhnya berju-
luk Dewi Racun Kembar.
"Mungkin dugaanmu benar, tapi kita tak perlu
khawatir, seberapa besar kekuatan mereka dapat me-
nandingi kita," timpal Laras Nini begitu yakin.
Kedua gadis yang berjuluk Dewi Racun Kembar
lalu melangkah mendekati pintu gerbang, dan berhenti
di depannya.
"Antarkan kami menghadap pimpinan kalian,"
ujar Laras Nini mantap.
Sinar matanya menatap tajam dua perempuan
seperempat abad, yang bertugas menjaga pintu ger-
bang Perguruan Seribu Bunga.
"Siapa Nisanak berdua, dan ada keperluan apa
ingin bertemu pimpinan kami?" tanya penjaga berwa-
jah bulat. Tatapan matanya menunjukkan kecurigaan
pada dua gadis yang berdiri di hadapannya.
Dewi Racun Kembar tersenyum mendengar
ucapan yang kurang bersahabat Dari senyum yang
nampak samar-samar, kemudian berkembang menjadi
tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga da-
lam cukup tinggi.
"Ha ha ha...!"
Kedua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu
Bunga tentu saja terkejut menyaksikan tingkah dua
gadis yang berpakaian ungu dan hijau. Dua penjaga
itu seketika merasakan telinganya berdengung hebat,
kaki mereka pun bergetar keras. Namun kejadian itu
tidak berlangsung lama karena Dewi Racun Kembar
segera menghentikan tawa.
"Terlalu picik pengetahuan kalian, hingga tak
mengenal siapa kami!" ucap Laras Nini keras.
"Ya. Dengar baik-baik dan catat di kepala ka-
lian, kami adalah dua gadis yang berjuluk Dewi Racun
Kembar!" tegas Laras Dewi.
Dua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu
Bunga agaknya memang tidak mengenal siapa Dewi
Racun Kembar. Keduanya tidak kelihatan terkejut se-
dikit pun ketika julukan yang cukup tersohor itu di-
dengarnya.
"Siapa pun kalian jika datang ke perguruan ini
tidak menunjukkan tata krama yang baik, kami akan
menolaknya, bahkan mengusirnya!" ucap penjaga yang
lain tegas. Sikapnya nampak sedikit lebih tenang.
Laras Nini tersentak mendengar ucapan yang
begitu meremehkan. Seketika itu juga, gadis itu me-
layangkan tamparan tangan kanannya ke muka penja-
ga Perguruan Seribu Bunga.
"Mulutmu tak pantas bicara seperti itu, Nisa-
nak!"
Plak! Plak!
Begitu cepatnya tamparan tangan Laras Nini,
hingga gadis penjaga pintu gerbang itu tak mampu
menghindar. Dan gadis penjaga pintu gerbang yang
berwajah pucat itu, seketika ambruk ke tanah dengan
kepala remuk terkena tamparan keras Laras Nini
Kejadian itu sangat mengejutkan penjaga pintu
gerbang yang berwajah bulat, perempuan seperempat
abad itu segera mencabut senjata.
Srat!
"Kurang ajar! Kalian harus mengganti nyawa
temanku itu! Hiat!"
Dengan mengandalkan pedangnya, penjaga
Perguruan Seribu Bunga merangsek maju. Tebasan
senjatanya mengarah ke bagian tubuh Laras Nini yang
mematikan, dilancarkan dengan pengerahan tenaga
dalam penuh.
Laras Nini menyaksikan kekalapan penjaga
Perguruan Seribu Bunga tetap berdiri tenang. Sikap-
nya seperti tak mau menghindari sambaran senjata
lawan. Akan tetapi, ketika beberapa rambut lagi senja-
ta penjaga Perguruan Seribu Bunga menggores kulit-
nya, Laras Nini bergerak cepat memiringkan tubuh.
Sementara tangan kanannya dengan jari terbuka be-
kerja cepat, mencekal pergelangan tangan gadis penja-
ga.
"Hih!"
Krack!
"Aaa...."
Penjaga Perguruan Seribu Bunga terpekik keti-
ka tangannya yang dicekal kuat diputar keras, hingga
sambungan tangannya terlepas. Dan Laras Nini tidak
berhenti sampai di situ, tanpa mempedulikan lenguh
kesakitan lawan segera digedornya punggung gadis itu.
Blak!
"Aaa...!"
Lengking keras menyayat terdengar dari mulut
gadis berpakaian putih, seiring dengan itu tubuhnya
terpental dan ambruk di tanah tanpa nyawa.
Seringai dingin seketika nampak di wajah Laras
Nini, apa lagi ketika dari dalam bangunan bermuncu-
lan beberapa murid perguruan itu.
"Mana pimpinan kalian? Kenapa bersembunyi
seperti tikus comberan!" hardik Laras Nini pada murid-
murid perguruan yang terperangah menyaksikan dua
mayat temannya tergeletak mengerikan.
"Dewi Racun Kembar! Mulutmu terlalu busuk
dan tindakanmu tak ubahnya seperti iblis! Kenapa ka-
lian bunuh saudaraku?" bentak murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga, wajahnya merah menahan marah.
"Aku tak membunuhnya, Nisanak! Mereka yang
meminta ku untuk segera mengirim nyawanya ke akhi
rat!" jawab Laras Nini tenang, di wajahnya masih nam-
pak seringai dingin.
"Kurang ajar!"
"Hati-hati, Kak Warti," ucap murid utama Per-
guruan Seribu Bunga yang lain.
Wajahnya nampak tegang memandang dua ga-
dis muda di hadapannya. Dewi Racun Kembar ikut
menandatangani surat permintaan yang ditujukan pa-
da ketua Perguruan Seribu Bunga.
"Tentu saja, Adik Nila. Mereka sebenarnya bu-
kan tandingan kita, tapi kita harus mencegah keingi-
nan gilanya," jawab gadis yang dipanggil Warti.
"Cepat! Suruh keluar pimpinan kalian! Jangan
tunggu kesabaranku habis!" bentak Laras Dewi keras.
"Guruku tak ada di tempat!" balas Nila tak ka-
lah keras.
"Hmmm.... Ternyata Nyai Dinda Dahlia seorang
pengecut, Kakak Laras," ujar Laras Dewi pada Laras
Nini.
"Tidak ada istilah pengecut bagi guru dan mu-
rid-murid Perguruan Seribu Bunga, Dewi Racun Kem-
bar!" bentak Warti sengit.
"Lalu kenapa guru kalian tak mau keluar?"
"Telingamu ternyata sudah tuli! Sudah kukata-
kan, guruku tak ada di tempat!" ejek Nila.
Merah padam wajah Laras Dewi mendengar
ucapan Nila. Langkahnya hampir terayun kalau saja
Laras Nini tidak segera menahan.
"Sabar, Dewi," cegah Laras Nini merentangkan
tangan.
Laras Dewi hanya bisa menggertakkan gigi me-
nahan kegeraman.
"Nisanak! Kalau guru kalian tak juga berkenan
keluar karena gentar menghadapi kami, kami tak akan
memaksa. Tapi tolong bawa ke hadapanku putri tung-
galnya. Kami membutuhkannya sebagai persembahan
upacara maut!"
"Dewi Racun Kembar! Ketahuilah, surat kalian
yang disampaikan secara keji itu sedikit pun belum
tersentuh tangan guru kami. Jadi kami tak sudi me-
layani permintaan sintingmu!" tukas Warti tidak mau
kalah.
Dewi Racun Kembar sangat marah mendengar
ucapan itu. Tanpa pikir panjang keduanya langsung
menyerang dua murid utama Perguruan Seribu Bunga.
"Heaaa!"
Uts!
"Heaaa!"
Serangan gencar dilakukan Dewi Racun Kem-
bar ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Kedua-
nya belum mengeluarkan jurus-jurus andalan hingga
murid-murid perguruan yang dipimpin Nyai Dinda
Dahlia masih bisa menghindari serangan-serangannya.
Memasuki jurus ke sebelas Dewi Racun Kembar
tak mau membuang tenaga percuma, keduanya segera
meningkatkan tempo serangan.
Suasana di halaman Perguruan Seribu Bunga
jadi lebih riuh. Denting senjata dan teriakan kegera-
man tak henti-henti terdengar. Bunga api kerap me-
mercik karena beradunya dua senjata dengan penge-
rahan tenaga dalam tinggi.
Trang!
"Aaakh!"
Pekik kesakitan Nila terdengar seiring dengan
tubuhnya yang terjajar sejauh satu tombak, tangan
kanannya yang digunakan memapaki tebasan senjata
Laras Dewi bergetar hebat. Nila merasakan kelumpu-
han pada tangan kanannya, itu menandakan tenaga
dalam Laras Dewi jauh berada di atasnya.
"Kau harus mampus sekarang juga! Hiaaa...!"
Laras Dewi kembali berkelebat mengejar tubuh
Nila yang tak jejak berdiri. Kelebatan pedangnya yang
cepat dan terarah mengeluarkan bunyi gaung, mem-
buat hati Nila tercekat sesaat
Wuuut!
"Ih!"
Nila melempar tubuhnya ke kanan ketika pe-
dang Laras Dewi menghujam lambung. Seraya bergu-
lingan di tanah berumput halus, mata gadis itu tak le-
pas memperhatikan serangan-serangan Laras Dewi
yang cepat bagai kilat. Dan ketika Nila merasakan tak
ada lagi ruang gerak untuk menghindar, dengan san-
gat terpaksa tangan kirinya disilangkan untuk mema-
paki tusukan senjata lawan.
Trang!
"Aaakh!"
Kembali Nila terpekik ketika benturan keras
terjadi. Tangan kirinya merasakan kelumpuhan seperti
yang kanan.
"Sekarang kau tidak bisa menghindar, Nisanak!
Jemputlah kematianmu!"
Laras Dewi kembali mengangkat pedang tinggi-
tinggi. Dengan wajah yang menyiratkan kebengisan,
matanya menatap tajam sekujur tubuh Nila yang ter-
pojok tak berdaya.
Diiringi lengkingan nyaring, tubuh sintal Laras
Dewi berkelebat dengan senjata terhunus. Sementara
Nila murid utama Perguruan Seribu Bunga sudah pa-
srah menghadapi ajal yang sebentar lagi datang me-
renggut, kedua kelopak matanya terpejam.
Siiing! Siiing! Siiing!
Nila kembali membuka kelopak mata ketika su
ara berdesing itu tertangkap pendengarannya. Sedang
Laras Dewi yang hampir mendekati tubuh korbannya
terpaksa menolehkan kepala ketika mendengar desing
senjata yang berasal dari belakang tubuh.
"Huh!"
Dengan kegeraman yang luar biasa, gadis itu
segera mengurungkan niatnya melenyapkan nyawa Ni-
la. Pedangnya diputar cepat memapaki kedatangan tiga
batang pedang yang meluncur deras ke arah tubuh-
nya.
Wuuut..!
Trang! Trang! Trang!
Tiga batang pedang yang dilempar tiga murid
Perguruan Seribu Bunga berpentalan ke berbagai arah.
Laras Dewi tersenyum dingin, menatap tiga murid Per-
guruan Seribu Bunga yang kini tanpa senjata.
Dengan kegeraman yang memuncak, tubuh La-
ras Dewi melesat ke arah tiga sosok tubuh yang masih
terpaku melihat gerakannya yang begitu cepat
"Hiaaa...!"
Bret! Bret! Bret!
"Aaa...!"
Tiga lengkingan menyayat terdengar susul-
menyusul membumbung ke langit, disertai ambruknya
tiga sosok tubuh murid Perguruan Seribu Bunga ke
tanah. Begitu menyedihkan keadaan mereka, luka di
bagian perut menganga lebar dan usus terburai keluar.
"Biadab!" maki Nila yang sudah mampu men-
guasai diri.
Makian Nila terdengar Laras Dewi sehingga
membuat gadis itu berniat kembali menghilangkan
nyawa Nila. Untuk melakukannya Laras Dewi harus
lebih dulu menyingkirkan empat gadis yang berdiri di
kiri kanan Nila dengan senjata terhunus.
"Kali ini kau tak akan bisa lolos, Nisanak!" ben-
tak Laras Dewi.
Tubuhnya kembali bergerak cepat, senjatanya
diputar-putar hingga menimbulkan bunyi dengung
yang memekakkan telinga.
Nguuung...!
"Hiaaa!"
Trang! Trang!
Bunyi denting senjata diiringi pekik kesakitan
kembali terdengar. Dua tubuh murid Perguruan Seribu
Bunga terlihat limbung ke belakang, mereka merasa-
kan getaran hebat pada tangannya, seperti terkena
sengatan ribuan lebah.
Laras Dewi yang memang ingin membinasakan
seluruh penghuni Perguruan Seribu Bunga, segera
mengejar dua murid perguruan yang tengah merasa-
kan nyeri.
"Hiaaa!"
Track! Track!
Begitu derasnya hantaman pedang Laras Dewi
ke kepala mereka, hingga dua gadis berpakaian putih
itu menggelepar di tanah dengan kepala terbelah dua.
Darah bercampur otak terlihat bermuncratan memba-
sahi pakaian dan rerumputan halus.
Sementara pertarungan sengit pun terjadi anta-
ra Warti yang dibantu murid-murid Perguruan Seribu
Bunga yang lain, menghadapi Laras Nini yang sudah
menghunus senjata.
Korban banyak berjatuhan dari pihak murid-
murid Perguruan Seribu Bunga, yang rata-rata memi-
liki kemampuan ilmu bela diri di bawah Laras Nini.
Wajar jika setiap gerakan yang dilakukan gadis berju-
luk Dewi Racun Kembar, disertai pekik kesakitan dan
ambruknya tubuh dengan bersimbah darah dari luka
tebasan senjata gadis itu.
Semakin lama pertarungan berlangsung, sema-
kin banyak korban berjatuhan. Warti yang dipercaya
menjaga Perguruan Seribu Bunga selama kepergian
Nyai Dinda Dahlia... memenuhi undangan sahabatnya
yang merayakan hari jadi kelima perguruannya, mere-
ka ngeri atas kebengisan Dewi Racun Kembar. Kalau
pertarungan ini terus dilanjutkan, bukan tidak mung-
kin seluruh penghuni perguruan ini binasa, tidak ter-
kecuali dirinya.
Namun untuk menyerahkan putri tunggal Nyai
Dinda Dahlia, juga suatu hal yang mustahil. Maka
dengan berat hati, Warti mengambil keputusan tetap
melanjutkan pertempuran yang semakin berat sebelah.
Puluhan murid Perguruan Seribu Bunga telah
bergeletakan tanpa nyawa, sementara Laras Nini dan
Laras Dewi semakin mempertajam serangan-
serangannya.
"Hiaaa! Hiaaa!"
Bret!
"Aaa...!"
Korban kembali jatuh di pihak murid-murid
Perguruan Seribu Bunga. Nila dan Warti sekilas saling
berpandangan, mereka merasakan saat-saat keruntu-
han perguruan sudah semakin dekat.
"Dewi Racun Kembar! Mengapa kalian bernafsu
sekali memusnahkan penghuni perguruan ini? Sedang
setahuku, kita tak pernah punya urusan!"
Ucapan yang keluar dari mulut Warti sebenar-
nya lebih mirip hardikan, namun hanya ditanggapi
dengan senyum dingin oleh Dewi Racun Kembar.
"Kedatanganku ke perguruan ini bukan untuk
memusnahkan seluruh penghuninya, Nisanak! Tetapi
hanya untuk seorang putri tunggal pimpinan kalian,
yang akan ku persembahkan dalam upacara maut
nanti!" bantah Laras Nini dengan sorot mata tajam.
"Keinginanmu itu sama saja dengan menantang
perguruan kami Dewi Racun Kembar!" balas Nila ge-
ram.
"Itulah kesalahan kalian. Kalau saja kalian ber-
sedia menyerahkan gadis itu pada kami, niscaya banjir
darah seperti sekarang ini tidak akan terjadi," sangkal
Laras Dewi dengan sorot mata tajam menusuk. "Dan
kehancuran Perguruan Seribu Bunga bukan keinginan
Dewi Racun Kembar, tapi keinginan kalian sendiri!"
"Bangsat licik!" hardik Nila dan bergerak me-
nerjang Laras Dewi.
Pertempuran kembali berlanjut, kali ini dalam
tempo lebih cepat dan seru. Dua murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga tak lagi memikirkan keselamatan
diri. Dengan senjata terhunus keduanya bergerak ce-
pat. Tebasan dan tusukan pedang mereka terarah ke
bagian-bagian mematikan pada tubuh Dewi Racun
Kembar. Begitu pula yang dilakukan sisa-sisa murid
kelas dua perguruan itu yang jumlahnya jauh menyu-
sut. Mereka rela mempertaruhkan nyawa demi menja-
ga kewibawaan perguruan.
Namun apa yang telah dilakukan murid-murid
Perguruan Seribu Bunga, bukan rintangan yang berar-
ti bagi dua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun
Kembar.
Tanpa rasa gentar sedikit pun, Laras Nini dan
Laras Dewi melayani serangan murid-murid Perguruan
Seribu Bunga yang tengah berada pada puncak kege-
ramannya.
Sebenarnya keadaan murid-murid Perguruan
Seribu Bunga yang seperti itu, memberikan keuntun-
gan yang tidak sedikit bagi Dewi Racun Kembar. Ter
bukti dengan gerakan ringan dan sampokan tangan
yang terlihat seadanya, Dewi Racun Kembar mampu
membuat murid-murid Perguruan Seribu Bunga ka-
lang kabut menghindar.
Prak!
"Akh!"
Lengking kematian kembali terdengar ketika ge-
rakan tangan Laras Nini menemui sasaran. Seorang
gadis bertubuh agak gempal menggelepar di lantai,
dengan kepala remuk terhajar kepalan tangan yang di-
aliri tenaga dalam tinggi. Untuk sesaat lamanya gadis
itu mengerang, lalu erangan itu sirna seiring dengan
nyawanya yang meninggalkan raga.
"Nengsih!"
Nila terpekik melihat kematian gadis yang begi-
tu dekat dengannya. Geram bukan main hati Nila me-
nyaksikan kenyataan yang membentang di hadapan-
nya.
Tanpa pikir panjang Nila menerjang Laras Nini,
sedang Laras Dewi dibiarkan bertempur dengan murid-
murid Perguruan Seribu Bunga yang lain.
"Iblis Keparat! Mampus kau. Hih!"
"Uts!"
Tebasan senjata Nila yang mengarah ke bagian
lambung Laras Nini hanya membentur tempat kosong,
namun Nila tetap berkeras hati untuk dapat meroboh-
kan lawan. Pedangnya yang semula berada sejengkal di
depan lambung lawan, dihentakkan ke atas dan ke-
mudian diluncurkan dengan keras ke ubun-ubun La-
ras Nini yang tak terlindung.
"Hiyaaa...!"
Wryuuut...!
Tersedak perasaan Nila melihat serangannya
berhasil dielakkan Laras Nini hanya dengan sebuah
gerakan yang terlihat begitu sembarangan, bahkan se-
rangan balasan yang tak terduga sama sekali menjadi
pil pahit bagi Nila.
"Ups!"
Nila segera menarik mundur tubuhnya bebera-
pa langkah ke belakang, tetapi Laras Nini tak mem-
biarkan lawannya menghindar. Dengan gerakan cepat,
Laras Nini kembali menggedor tubuh Nila dengan ten-
dangan menyilang ke arah leher.
"Mampus kau!"
Weees!
Nila tercekat sesaat menyaksikan tendangan ki-
lat lawan. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindar,
namun kesempatan untuk menangkis serangan masih
ada. Tanpa berpikir dua kali, Nila segera mengangkat
tangan kirinya menahan laju tendangan menyilang La-
ras Nini.
Blakh!
"Ukh!"
Tubuh Nila terhuyung enam langkah ke bela-
kang ketika tendangan keras Laras Nini menghantam
pergelangan tangannya. Gadis itu merasa tangannya
seperti remuk. Tak terbayangkan seandainya tendan-
gan itu menghantam lehernya yang jenjang.
Menyaksikan tubuh Nila sempoyongan, keben-
gisan Laras Dewi semakin menjadi-jadi. Dengan pe-
dang terhunus, tubuhnya kembali melesat memburu
lawan yang berada dalam keadaan tidak menguntung-
kan.
"Mampus kau!"
"Hih!"
"Brooolll...!"
Pedang Laras Nini ternyata tidak mengecewa-
kan pemiliknya. Ujungnya yang berkilat tertimpa sinar
matahari berhasil merobek dan mengeluarkan isi perut
lawan.
Mata Nila mendelik menahan rasa sakit yang
sangat, sementara kedua telapak tangannya diguna-
kan untuk mendekap perut yang ususnya terburai.
Darah segar merembes dari jari-jari tangannya yang
indah.
Hanya beberapa saat Nila mampu bertahan, se-
dikit kemudian tubuhnya tergeletak kaku. Laras Nini
nampak tersenyum puas menyaksikan kematian la-
wannya.
***
"Kurang ajar! Iblis terkutuk!" maki seseorang
dengan lantang.
Pertarungan seketika terhenti saat suara hardi-
kan itu mengumandang, terlebih ketika sosok ramping
berpakaian jingga berkelebat cepat dan mendarat den-
gan manis.
Kehadiran gadis cantik berpakaian jingga
membuat Warti terkejut bukan main. Tidak disangka
putri gurunya kembali hari ini, meleset dari rencana
semula yang baru akan kembali dua hari lagi.
"Siapa Iblis-Iblis Betina itu, Kak Warti? Apa
maunya mereka mengacau perguruan kita?" tanya ga-
dis cantik berpakaian jingga seraya meraba hulu pe-
dangnya.
"Wulan Sari.... Bukankah rencanamu masih
dua hari lagi tinggal bersama Bibi Nurita?" tanya Warti
tanpa menjawab pertanyaan putri gurunya.
"Perasaanku tak enak, Kak. Dan kenyataan-
nya.... Hei! Iblis keparat! Apa maumu membuat keona-
ran di tempatku?" tukas gadis cantik yang dipanggil
Wulan Sari.
"Kau pasti putri tunggal Nyai Dinda Dahlia."
Mantap suara yang keluar dari bibir Laras Nini,
lalu gadis itu tersenyum dingin menusuk.
"Apa pedulimu, Iblis! Kau harus menebus den-
gan nyawa untuk kekacauan yang telah kalian laku-
kan!"
Marah Wulan Sari. Matanya menatap tajam ke-
dua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun Kembar.
Srat!
"Wulan! Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini,
biar aku yang menahan Dewi Racun Kembar keparat
itu!" saran Warti khawatir.
Wulan Sari terkejut mendengar ucapan murid
utama ibunya, matanya menatap Warti tak mengerti.
"Apa maksudmu, Kak?" tanya Wulan Sari pe-
lan.
"Aku memerlukanmu, Wulan. Tapi Kak Warti-
mu tidak mengizinkan aku membawamu pergi," selak
Laras Nini datar.
"Untuk apa kalian membawaku, aku tidak ken-
al dengan kalian," bantah Wulan Sari keras.
Jari-jari tangannya yang memegang hulu pe-
dang nampak menegang kaku.
"Untuk sebuah upacara maut, Wulan," jawab
Laras Dewi sambil mengembangkan senyum.
"Upacara gila! Aku tak sudi ikut dengan kalian!"
"Sebaiknya kau pergi, Wulan. Kepandaian Dewi
Racun Kembar begitu tinggi, kita tak akan mampu
mengalahkannya. Pergilah, biar aku yang menghalan-
gi," perintah Warti.
"Tidak, Kak! Kita harus sama-sama mengusir
iblis betina liar itu dan mereka harus membayar nyawa
teman-teman kita," tolak Wulan Sari sambil melang
kah.
"Jangan Wulan...."
"Hiaaa!"
Bet! Bet!
"Hiaaa!"
Wulan Sari tak lagi mendengar teriakan Warti.
Dengan perasaan marah tubuhnya berkelebatan cepat,
pedang di tangannya berdesing-desing mencari sasa-
ran. Wulan Sari langsung memainkan jurus inti Pergu-
ruan Seribu Bunga untuk melumpuhkan lawan.
"Hiaaa! Kau harus mampus, Iblis!"
Trak!
"Aaa...!"
Tubuh Wulan Sari terjajar sejauh enam lang-
kah ketika tebasan senjatanya dipapak tangan kosong
Laras Nini. Bibir gadis cantik itu menyeringai menahan
sakit, dan merasakan tangannya bergetar hebat akibat
benturan itu, menandakan tenaga dalam Laras Nini
jauh berada di atasnya.
"Iblis!"
Wulan Sari baru saja ingin kembali menyerang,
ketika Warti memburu dan melarangnya.
"Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini, Wulan,"
pinta Warti penuh harap.
Wulan Sari tak membantah, gadis itu baru sa-
dar dengan siapa dirinya berhadapan. Tapi untuk pergi
begitu saja, rasanya tidak mungkin. Dewi Racun Kem-
bar tak akan membiarkannya lolos.
"Aku yang akan menghalangi mereka, Wulan,"
ujar Warti melihat Wulan Sari belum juga mau beran-
jak.
"Apa kau mampu menghalangiku?" selak Laras
Dewi dengan tatapan mata penuh ejekan.
"Iblis sombong!"
"Tutup mulutmu!" hardik Laras Dewi jengkel.
Tanpa mempedulikan Laras Nini, gadis itu ber-
gerak cepat ke arah Warti yang berada jauh dari Wulan
Sari. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Laras Dewi.
Angin menderu mengiringi serangan Laras Dewi. Den-
gan tangan-tangan yang membentuk cakar harimau,
nampak ada kekuatan lain yang mengiringi serangan
itu.
"Hiyaaa...!"
Bret!
"Iiikh!"
Warti tercekat ketika serangan yang dilakukan
Laras Dewi menyerempet punggung, padahal gadis itu
sudah berusaha kuat mengerahkan kecepatan gerak-
nya untuk menghindari serangan. Tapi kenyataan-
nya....?
"Kau memang harus mampus, Warti. Kau terla-
lu lancang menghalangi maksud suci ku!"
"Hiyaaa...!"
Wuuut!
"Uts!"
Laras Dewi membuang tubuhnya ke kanan
menghindari serangan Warti yang di luar dugaan. Be-
berapa kali Laras Dewi bergulingan di tanah, tapi se-
bentar kemudian tubuhnya sudah mencelat ke atas
dan mendarat dengan manis.
Laras Dewi kembali mencelat hendak mener-
jang Warti, namun gerakannya terhambat oleh hadan-
gan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang masih
bertahan.
"Setan jelek! Kalian harus lebih dulu mampus!
Hih!"
Wuuut! Wuuut!
Bret! Bret!
"Aaa...."
Lengking kematian terdengar susul-menyusul
ketika Laras Dewi bergerak cepat mempergunakan sen-
jata. Beberapa murid jatuh bergelimang darah hanya
dalam satu gebrakan saja.
Bukan main marah Warti dan Wulan Sari. Tan-
pa pilar lagi tubuh keduanya melesat menerjang Laras
Dewi, tapi sayang, keinginan kedua gadis itu terhalang
Laras Nini yang berdiri menghadang.
"Sebaiknya kalian hadapi aku, jangan ganggu
mereka," papar Laras Nini dingin.
"Huh!"
Tanpa membantah ucapan Laras Nini, Wulan
Sari segera menerjang dengan ganas. Tebasan dan tu-
sukan pedangnya berkali-kali dilancarkan dengan pen-
gerahan tenaga dalam penuh, tak heran jika bunyi
yang mengiringi serangan membuat telinga sakit.
"Hiyaaa!"
Wuuut!
Bet!
Lima belas jurus telah digelar Wulan Sari, na-
mun sejauh itu ujung pedangnya tak mampu sedikit
pun menggores kulit Laras Nini yang hanya bergerak
menghindar, tanpa memberikan serangan balasan.
Namun tidak bagi Warti, murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga itu berkali-kali kena hantaman ka-
ki dan tangan Laras Nini yang bergerak cepat dan su-
kar diikuti arahnya.
"Hiyaaa...!"
Blaaagkh!
"Aaa...."
Tubuh Warti terlontar sejauh dua tombak keti-
ka tendangan menggeledek mendarat telak di perut-
nya. Tubuh sintal yang terbalut pakaian putih nampak
terkulai di tanah. Dari mulutnya mengalir cairan me-
rah.
"Hoeeekh...!"
Darah segar seketika dimuntahkan Warti, ma-
tanya berputar-putar dan kulit wajahnya berubah pu-
cat laksana mayat
Bersamaan dengan terbujurnya tubuh Warti ke
tanah, di lain tempat Laras Dewi berhasil melumpuh-
kan lawan terakhirnya. Lengkap sudah kematian selu-
ruh murid-murid Perguruan Seribu Bunga.
"Kau masih belum bersedia ikut dengan kami,
Wulan?" desak Laras Dewi setelah membersihkan pe-
dangnya dari noda darah.
Wulan Sari, putri tunggal ketua Perguruan Se-
ribu Bunga hanya menatap tajam Dewi Racun Kembar,
lalu beralih pada mayat-mayat yang bergelimpangan
mengenaskan. Mayat murid-murid Perguruan Seribu
Bunga yang begitu setia mempertahankan kewibawaan
perguruan dari rongrongan pihak luar.
Kembali Wulan Sari menatap Dewi Racun Kem-
bar, gambaran kegeraman tersirat pada wajah Wulan
Sari.
"Kalian Iblis betina keji, aku tak sudi ikut ber-
sama kalian! Lebih baik aku matt menyusul mereka!"
hardik Wulan Sari sambil mengacungkan pedang yang
tergenggam erat
"Hmmm.... Jadi kau tak takut mati, Wulan?"
ejek Laras Nini seraya menyungging senyum.
"Aku tak pernah menolak kedatangan maut,
seperti halnya aku tak pernah menolak ajakan mu ber-
tarung!" jawab Wulan Sari.
"Baiklah. Jangan menyesal!" Selesai dengan
ucapannya Laras Nini segera bergerak maju. Tanpa
mempergunakan senjata gadis itu menerjang Wulan
Sari yang menghunus pedang.
Sebuah pukulan keras Laras Nini yang terarah
ke dada lawan tak menjumpai sasaran. Wulan Sari
tanpa telengas menebaskan senjatanya ke tangan La-
ras Nini. Karuan saja Laras Nini menarik pulang tan-
gannya. Laras Nini segera menotolkan kakinya ke ta-
nah, tubuhnya seketika mencelat ke atas dan meluruk
cepat dengan tangan membentuk cakar harimau, tera-
rah ke ubun-ubun Wulan Sari.
Dan Wulan Sari tidak mampu berbuat banyak,
karena dari depan Laras Dewi melancarkan serangan
yang cukup mengerikan. Pedang dara cantik itu berge-
rak mencecar lambungnya.
Merasa tak mampu lagi mengelakkan serangan,
Wulan Sari nekat memapaki serangan Laras Nini den-
gan tangan kosong, sedangkan tusukan pedang Wulan
Sari dipapaki dengan pedang.
"Hih!"
Wuuut! Tuk! Tuk!
Wulan Sari terpekik ketika tubuhnya terkena
totokan yang dilancarkan Laras Nini dan Laras Dewi.
Tubuh Wulan Sari seketika tak mampu digerakkan.
Sungguh dirinya tak menyangka serangan dahsyat
yang dilancarkan Dewi Racun Kembar hanya tipuan
belaka.
"Hahaha.... Saat kematianmu belum datang,
Wulan. Kami membutuhkan mu untuk upacara maut
nanti, jadi mana mungkin kami membunuhmu," papar
Laras Nini sambil mendekati Wulan Sari yang terkulai
terkena totokan.
"Sebaiknya kita lekas pergi dari sini, Kak Nini.
Aku khawatir ada orang yang melihat perbuatan kita.
Hanya akan menimbulkan persoalan baru yang dapat
memperlambat rencana kita saja," ujar Laras Dewi ke
tika melihat Laras Nini masih ingin bermain-main den-
gan Wulan Sari.
"Sebaiknya memang begitu, Dewi. Ayo, hup!"
"Hup!"
Dewi Racun Kembar segera melesat meninggal-
kan halaman Perguruan Seribu Bunga yang berubah
menjadi arena mayat. Laras Nini bergerak dengan rin-
gan meski dibahunya terpanggul Wulan Sari.
DUA
Angin panas berhembus keras menerpa tubuh
pemuda berpakaian kuning keemasan. Pemuda itu tak
mempedulikan sengatan matahari yang bersinar sedi-
kit garang. Tiba-tiba kepalanya ditelengkan. Pendenga-
rannya yang tajam sayup-sayup mendengar rintihan
kesakitan yang memilukan.
"Sepertinya dari arah selatan," kata pemuda itu
dalam hati.
Pemuda berwajah tampan itu mencoba meya-
kinkan hatinya, sebentar kemudian tubuhnya melesat
cepat menuju tempat rintihan yang didengarnya.
"Biadab!" hardik pemuda yang tak lain Jaka
Sembada yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai
Raja Petir.
"Siapa yang telah melakukan perbuatan terku-
tuk ini? Akh!"
Jaka Sembada segera menghampiri sosok tu-
buh yang tiba-tiba saja menggeliat.
"Tolong selamatkan Wulan, Anak Muda. Oh, ia
dilarikan ke arah sana," kata sosok tubuh yang ternyata Warti.
Meskipun keadaan tubuhnya terluka parah,
murid utama Perguruan Seribu Bunga itu berusaha
mengangkat tangan dan menunjuk ke utara.
"Siapa Wulan?" tanya Jaka Sembada tak men-
gerti.
"Putri guru kami. Tolong selamatkan Wulan,
Anak Muda," ucap Warti tersendat
Tanpa bertanya lagi Jaka Sembada langsung
melesat ke arah yang ditunjuk murid utama Perguruan
Seribu Bunga. Begitu cepatnya kelebatan tubuh Jaka
Sembada hingga sekejap mata menghilang dari hada-
pan Warti.
Warti yang tadi bertarung dengan Laras Nini
ternyata tidak mati. Memang gadis itu terluka parah
terkena hajaran Dewi Racun Kembar. Laras Nini salah
ketika menyangka Warti ambruk ke tanah karena te-
was, sesungguhnya gadis itu hanya pingsan. Dan sa-
dar kembali ketika Dewi Racun Kembar membawa lari
Wulan Sari.
Jaka Sembada mengerahkan ilmu meringankan
tubuh untuk mengejar orang yang telah melarikan Wu-
lan. Tetapi telah jauh pemuda itu berlari, belum juga
dijumpai tanda-tanda sosok yang dicarinya.
"Orang itu pasti memiliki kepandaian yang cu-
kup tinggi," bisik Jaka Sembada sambil mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Pemuda itu berharap mene-
mukan penculik gadis yang bernama Wulan.
Cukup lama Jaka Sembada mengedarkan pan-
dangan tetapi tidak juga menemukan tanda-tanda
yang dapat dijadikan pegangan. Akhirnya pemuda itu
memutuskan kembali menjumpai gadis murid Pergu-
ruan Seribu Bunga.
Jaka Sembada melesat cepat mempergunakan
ilmu lari cepatnya yang sudah mencapai taraf kesem
purnaan, tak heran jika tak berapa lama kemudian
sampai tujuan. Tetapi betapa terkejutnya Jaka Semba-
da melihat gadis berpakaian putih yang tadi ditemu-
kannya masih hidup sudah tidak ada lagi.
Keheranan Jaka Sembada segera membawa ta-
tapan matanya ke pintu perguruan yang tertutup. Da-
lam hatinya Jaka Sembada menduga seseorang telah
menolong gadis yang terluka parah itu dan memba-
wanya masuk ke bangunan Perguruan Seribu Bunga.
Keinginan Jaka Sembada untuk mengetahui kejadian
yang sesungguhnya, membuat pemuda itu melangkah-
kan kaki melewati pintu utama Perguruan Seribu Bun-
ga.
"Mungkin pemuda itu iblisnya, Tari! Kita harus
meringkus dan meminta tanggungjawabnya atas per-
buatan keji ini!"
Dua sosok tubuh tiba-tiba mendarat tak jauh
dari hadapan Jaka Sembada. Sosok-sosok tubuh itu
ternyata dua gadis berpakaian putih. Mereka meman-
dang tajam ke Jaka Sembada.
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-
tan kejimu, Kisanak!" hardik perempuan berusia seki-
tar dua puluh delapan tahun yang bernama Tari.
Mendengar ucapan bernada tuduhan seperti
itu, Jaka Sembada hanya bisa memamerkan sesungg-
ing senyum menawan.
"Perbuatan keji? Ah! Rasanya aku tak melaku-
kannya, Nisanak" kilah Jaka Sembada kemudian den-
gan sikap tenang.
"Pendusta! Sudah ketahuan masih juga tak
mau mengaku, aku akan memaksamu agar mengakui!"
bentak Tari keras.
Tubuhnya yang berdiri satu setengah tombak di
hadapan Jaka Sembada segera berkelebat cepat. Pe
dang yang berada di tangan gadis murid utama Pergu-
ruan Seribu Bunga itu berkelebat cepat ke arah leher
Jaka Sembada. Ketika pembantaian yang dilakukan
Dewi Racun Kembar terjadi, Tari tak ada. Gadis itu tu-
rut pergi bersama gurunya.
Dengan ketenangan tinggi Jaka Sembada me-
nyaksikan gerakan menebas yang dilakukan Tari.
"Heaaa...!"
Begitu bernafsu Tari ingin membunuh Jaka
Sembada. Dapat dilihat dari deru angin yang mengirin-
gi setiap gerakannya yang disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Utsss!
Hanya dengan memiringkan badannya sedikit,
serangan yang dilancarkan Tari lewat beberapa rambut
dari leher Jaka Sembada. Tentu saja Tari marah bukan
main melihat serangannya dengan begitu mudah dipa-
tahkan.
Tanpa merubah kedudukan, Tari kembali men-
gibaskan pedang ke lambung pemuda itu yang kali ini
menghindar dengan menotolkan kaki ke tanah. Ringan
saja totolan yang dilakukan Jaka Sembada, tubuhnya
melambung ke udara seraya berputaran dua kali dan
menjejak kembali di tanah dengan manis.
"Sudah kubilang bukan aku yang melakukan-
nya, Nisanak," ucap Jaka Sembada mencoba mereda-
kan kesalahpahaman ini.
"Dasar pengecut!" bentak gadis berwajah ce-
kung yang sejak tadi hanya menyaksikan temannya
menyerang Jaka Sembada.
"Bukti kuat telah menyatakan kau sebagai
pembunuh keji, cuma kau yang berada di antara
mayat-mayat saudara seperguruanku, lalu siapa lagi
yang akan ku salahkan selain kau, Kisanak! Mengaku
lah, dosamu sudah terlalu besar!"
"Nisanak, keberadaanku di tempat ini hanya
kebetulan. Aku tak mungkin berada di tempat ini
seandainya tidak mendengar jeritan dan erangan lirih,"
sangkal Jaka Sembada
"Pengecut busuk!" hardik gadis berwajah ce-
kung keras. "Ayo kita ringkus lelaki ini, Tari!"
"Ayo, Suti!"
Kedua gadis itu merangsek maju dengan senja-
ta terhunus. Dari serangan yang dilancarkan, Jaka
Sembada dapat mengukur sampai di mana kemam-
puan mereka memainkan senjata. Makanya dengan ke-
tenangan luar biasa, pemuda itu menghindari terjan-
gan senjata tanpa melukai pemiliknya.
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
"Ups!"
Dengan bergerak ringan ke kiri dan ke kanan,
kemudian melompat dan merunduk, Jaka Sembada
menghindari serangan yang dilakukan Tari dan Suti.
Apa yang dilakukan Jaka Sembada bukan
membuat kedua murid Perguruan Seribu Bunga sadar,
mereka malah semakin yakin kalau lelaki tampan in-
ilah yang membuat petaka di perguruan mereka. Maka
serangan-serangan yang dilakukan kedua gadis itu
semakin ganas.
Lelaki tampan berpakaian kuning keemasan
berpikir keras, bagaimana membuat kedua gadis itu
mempercayai pengakuannya. Maka ketika serangan itu
kembali memburu, Jaka Sembada segera mengalirkan
kekuatan tenaga dalamnya ke seluruh permukaan ku-
lit. Pemuda itu berharap dengan cara ini kedua gadis
itu dapat mengerti, bahwa dirinya bukan lelaki yang
gampang menurunkan tangan besi.
"Heaaa! Heaaa!"
Trak! Trak!
"Aaakh....!"
Tari dan Suti terpekik ketika merasakan senjata
mereka seperti membentur logam keras, kedua tangan
bergetar dan tubuh mereka terhuyung limbung lima
langkah ke belakang.
Pekikan kuat yang keluar dari bibir kedua gadis
membuat seseorang melesat keluar dari dalam bangu-
nan Perguruan Seribu Bunga. Sosok berpakaian jingga
itu menghentikan gerakannya di sisi Suti dan Tari
yang terduduk di tanah menahan getaran hebat yang
masih dirasakan.
"Guruuu...." Panggil Tari dan Suti bersamaan.
Perempuan berpakaian jingga dengan ikat pinggang
putih memandang kedua muridnya, dan sesaat kemu-
dian mengalihkan pandangan pada Jaka Sembada.
Cukup lama perempuan setengah baya yang disebut
guru itu memandangi Jaka Sembada.
"Ciri-ciri yang kau miliki mirip seperti yang
pernah kudengar dari sahabat-sahabatku dan orang-
orang kalangan persilatan. Kalau aku tidak salah,
kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya perempuan
itu dengan sikap penuh hormat
"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab Jaka
Sembada mantap yang lebih suka dipanggil nama da-
ripada julukannya.
"Akh!" tersedak perempuan berpakaian jingga
mendengar pengakuan Jaka Sembada, raut mukanya
nampak sedikit berubah. "Maafkan kelakuan kedua
muridku, Jaka Sembada."
"Ah, tak mengapa Nyai. Aku maklum karena
saat ini mereka sedang berduka," kilah Jaka.
Perempuan separuh baya yang menjadi Ketua
Perguruan Seribu Bunga tersenyum.
"O ya, Nyai. Apakah Nyai yang telah memin-
dahkan gadis yang terluka parah? Belum lama aku
melihatnya di tempat ini," tanya Jaka Sembada.
"Yang kau maksudkan pasti Warti," jawab pe-
rempuan setengah baya. "Ia ada di dalam, tapi sayang
aku tak bisa menyelamatkan nyawanya. Luka-luka ter-
lalu parah."
Jaka Sembada tersentak mendengarnya.
"Apakah Nyai sudah mendapat keterangan?"
Ketua Perguruan Seribu Bunga menatap wajah
Jaka Sembada.
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja, Jaka
Sembada."
"Apa tidak sebaiknya kita mengubur mayat-
mayat ini lebih dahulu?" usul Jaka Sembada.
"Ya. Sebaiknya memang begitu, Raja Petir."
***
Hujan rintik-rintik telah reda seiring dengan se-
lesainya Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia, diban-
tu Tari dan Suti menguburkan jenazah murid-murid
Perguruan Seribu Bunga. Peluh membasahi dahi Jaka
Sembada meski angin dingin berhembus.... Dan Nyai
Dinda Dahlia nampak sangat berduka atas kematian
murid-muridnya. Kini hanya tinggal Tari dan Suti yang
dimilikinya.
"Siapa yang telah melakukan pembantaian ini,
Nyai?" tanya Jaka Sembada setelah mereka duduk di
ruang dalam perguruan.
Nyai Dinda Dahlia tidak menjawab. Namun dari
gerakan tangan yang menyelinap ke balik pakaiannya,
Jaka Sembada mengerti maksud pimpinan Perguruan
Seribu Bunga ingin menunjukkan sesuatu.
"Bacalah," ujar Nyai Dinda Dahlia sambil me-
nyodorkan benda berwarna coklat yang tergulung.
Dari bentuknya, benda yang disodorkan Nyai
Dinda Dahlia merupakan sebuah surat yang ditulis di
atas kulit kayu.
Dengan perasaan sedikit terkejut Jaka Semba-
da menerima benda itu. Dibacanya isi surat, beberapa
saat kemudian diserahkan kembali pada Nyai Dinda
Dahlia.
"Aku juga memiliki surat yang sama, Nyai." Dan
Jaka Sembada menyodorkan segulungan kulit kayu ke
hadapan Nyai Dinda Dahlia.
Kini Nyai Dinda Dahlia yang terkejut, melihat
benda yang sama disodorkan Jaka Sembada. Bunyi
surat itu:
Ki Jatitama.
Aku membutuhkan kedua putri mu untuk per-
sembahan upacara maut. Kuharap kau sudi memenuhi
permintaanku jika tak ingin melihat perguruanmu me-
nyatu dengan tanah.
Tertanda; Setan Rimba Bangkai, Siluman Hutan
Dadak, Pangeran Kala Hitam dan Dewi Racun Kembar.
"Kalau saja aku yang menerima langsung surat
permintaan gila ini, mungkin kejadiannya tak akan se-
buruk ini," sesal Nyai Dinda Dahlia seraya menyerah-
kan kembali surat untuk Ki Jatirama Ketua Perguruan
Saka Jati, pada Jaka Sembada.
"Jadi Nyai baru tahu, surat itu untuk Nyai?"
Nyai Dinda Dahlia mengangguk.
"Mungkin sewaktu aku ke rumah sahabatku,
surat itu datang. Entah bagaimana caranya. Dugaan
ku, disampaikan dengan jalan kekerasan."
"Nyai kenal orang-orang yang menandatanga-
ni?"
"Hanya Ki Kustara yang berjuluk Setan Rimba
Bangkai dan Kindang Supa dengan julukan Pangeran
Kala Hitam."
"Apa Nyai juga tahu tujuan upacara maut itu?"
Nyai Dinda Dahlia menggelengkan kepala. Se-
bagai orang yang bergelut dikalangan dunia persilatan,
Nyai Dinda Dahlia sering menemukan keinginan-
keinginan aneh dari tokoh-tokoh persilatan. Khusus-
nya tokoh golongan hitam, namun untuk mengetahui
tujuan mereka memang harus mengikuti keinginan
mereka sampai akhir.
"Apa hubunganmu dengan Ki Jatirama, Raja
Petir?" tanya Nyai Dinda Dahlia.
"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan ke-
tua Perguruan Saka Jati, Nyai. Kenal namanya pun
melalui surat ini," jawab Jaka Sembada.
"Lalu dari mana kau dapatkan surat itu?"
"Dari paman ku, Nyai. Beliau menugaskan aku
agar membantu Ketua Perguruan Saka Jati," jelas Jaka
Sembada.
Nyai Dinda Dahlia mengangguk angguk kepala
mendengar penjelasan lelaki tampan berpakaian kun-
ing keemasan.
"Maaf, Nyai. Aku harus pergi ke Perguruan Sa-
ka Jati, sekarang juga. Aku khawatir datang terlam-
bat," pamit Jaka Sembada.
"Aku juga akan ke Perguruan Saka Jati, Jaka.
Barangkali di sana aku akan mendapat kabar di mana
putri ku disembunyikan," ujar Nyai Dinda Dahlia.
"Oh, jadi Wulan putri mu, Nyai?" Nyai Dinda
Dahlia menganggukkan kepala.
Baiklah, kalau begitu. Kita sama-sama ke Per-
guruan Saka Jati, setelah itu kita cari putri tunggalmu,
Nyai," ajak Jaka Sembada lalu melangkah keluar. Di-
ikuti Nyai Dinda Dahlia, setelah memberi perintah pa-
da Tari dan Suti agar tetap tinggal di perguruan selama
kepergiannya.
***
Matahari tepat berada di atas kepala, sinarnya
yang menyirami mayapada terasa begitu menyengat.
Namun sengatan matahari tidak menghambat perjala-
nan dua sosok tubuh yang tak lain Raja Petir dan Nyai
Dinda Dahlia.
"Kurasa ada maksud-maksud tak baik dalam
upacara maut, tidak jelas dalam rangka apa mereka
mengadakan upacara itu," gumam Nyai Dinda Dahlia
pada diri sendiri.
Jaka Sembada bukan tidak mendengar ucapan
yang lebih pantas disebut bisikan, pemuda itu me-
nanggapi ucapan Nyai Dinda Dahlia karena mendengar
kelanjutannya.
"Aku sangat mengkhawatirkan keselamatan pu-
tri ku. Raja Petir," lanjut Nyai Dinda Dahlia, kali ini
dengan ucapan yang terdengar jelas.
"Kurasa upacara maut itu belum dimulai, Nyai,"
hibur Jaka Sembada. "Berdasarkan surat yang dikirim
ke lain perguruan, aku berkesimpulan, tidak hanya
seorang gadis yang dibutuhkan sebagai kelengkapan
upacara gila itu."
"Aku sependapat denganmu, Raja Petir. Tapi
perlu kau ingat, tokoh-tokoh yang menandatangani su-
rat terkutuk itu adalah tokoh golongan hitam. Bukan
hal yang mustahil mereka menghalalkan segala cara
untuk memuaskan diri," bantah Nyai Dinda Dahlia.
"Aku tak menyangkal kecemasanmu, Nyai. Se-
panjang pengalamanku, sebuah upacara bersifat sa-
kral, jika dilaksanakan untuk memuja dewa atau se-
suatu yang dianggap patut dijunjung tinggi dan dihor-
mati keberadaannya. Upacara itu akan didukung oleh
sesuatu yang masih utuh sifatnya. Kalau sesuatu itu
berwujud seorang gadis, maka gadis itu adalah gadis
pilihan, gadis yang kesuciannya tidak diragukan lagi,
gadis baik-baik, bahkan kalau mungkin gadis yang
memiliki kemampuan ilmu silat," papar Jaka Sembada
sambil mempercepat ayunan kakinya.
"Sebaiknya kita mempercepat perjalanan ini,
Nyai," lanjut Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia tanpa membantah segera
merubah langkahnya, menjadi sebuah lari dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jaka Semba-
da mengikuti apa yang dilakukan perempuan setengah
baya yang mengenakan pakaian longgar warna jingga.
Pemuda itu memaklumi kecemasan yang menggelayuti
hati Ketua Perguruan Seribu Bunga.
Wrrrt...
Dengan sekali sentak Jaka Sembada mampu
menyejajarkan diri dengan Nyai Dinda Dahlia yang ber-
lari lebih dahulu. Keduanya berlari dengan mengguna-
kan ilmu lari cepat. Namun....
"Uts!"
"Ups!"
Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia sama-
sama menotolkan kakinya ke tanah dengan cepat dan
keras. Tubuh keduanya melambung, dan dengan me-
lakukan salto dua kali keduanya mendarat dengan
manis.
"Ah, kenapa kalian berlari seperti orang dikejar
setan, Nisanak? Hampir saja kita berbenturan," ujar
Nyai Dinda Dahlia dengan nada agak ditekan.
"Ah, eh... ma... maafkan kami, Nyai," jawab ga-
dis cantik berpakaian kuning gading, usianya tak lebih
dari tujuh belas tahun.
"Apa ada yang mengejarmu, Anak Manis." Lem-
but pertanyaan Nyai Dinda Dahlia setelah menyadari
ketakutan gadis cantik di hadapannya.
"Ya, kami sedang dikejar lelaki yang memiliki
kepandaian jauh di atas kami, Nyai," jawab lelaki mu-
da yang menyertai gadis cantik berpakaian kuning
gading. "Kami tak mampu menghadapinya, karena itu
kami lari. Aku mengkhawatirkan keselamatan Adik
Perwari."
"Apa kalian punya kesalahan, hingga dikejar-
kejar seperti ini?" tanya Nyai Dinda Dahlia pada gadis
yang bernama Perwari.
"Tidak, Nyai. Lelaki itu telah memporak-
porandakan perguruan kami dan membinasakan
ayahku,"
Perwari menundukkan kepala, teringat kembali
kematian ayahnya yang mengerikan.
"Apa kau tahu tujuan lelaki itu mengacau per-
guruan...."
"Wesi Wening," selak lelaki yang berdiri di sebe-
lah Perwari.
"Wesi Wening?" ulang Nyai Dinda Dahlia. "Jadi,
kalian anaknya murid Ki Wujang Kanta?"
"Nyai, mengenal ayahku?" tanya Perwari sambil
menatap mata Ketua Perguruan Seribu Bunga.
"Mengenal secara mendalam memang tidak.
Tapi Nyai pernah berbincang-bincang dengan beliau
beberapa bulan yang lalu, bahkan bersama-sama men-
cegah kekacauan di Kampung Segu," jelas Nyai Dinda
Dahlia.
"Maaf, apa Dik Perwari dan...."
"Primaka."
"Ya. Apa kalian mengenal lelaki yang mengejar
kalian?" selak Jaka Sembada setelah beberapa saat
lamanya menjadi pendengar.
"Lelaki itu berjuluk Siluman Hutan Dadak," ja-
wab Primaka.
"Siluman Hutan Dadak?" ulang Jaka Sembada
dan Nyai Dinda Dahlia bersamaan, lalu mereka saling
memandang.
"Apa yang diinginkannya dari Ki Wujang Kan-
ta?" selidik Jaka Sembada.
"Aku," jawab Perwari.
"Kau? Oh, Siluman Hutan Dadak ingin mempe-
ristri mu, begitu?" pancing Nyai Dinda Dahlia.
"Siluman Hutan Dadak menginginkan diriku
untuk dipersembahkan dalam upacara maut," jelas
Perwari.
"Nasibmu sama dengan anakku Wulan Sari,"
berat suara yang keluar dari bibir Ketua Perguruan Se-
ribu Bunga. "Namun nasib baik tak menyertainya, Wu-
lan Sari berhasil dilarikan orang yang menyelenggara-
kan upacara gila itu,"
"Ha ha ha.... Itu bukan upacara gila, Nyai!"
Keempat orang itu terperangah mendengar sa-
hutan yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga
dalam tinggi, menunjukkan orang itu memiliki kepan-
daian tinggi.
Sekejap kemudian, sosok yang berbicara itu
menampakkan diri.
"Ha ha ha.... Kau mau lari ke mana, Perwari?
Ke ujung dunia pun akan kukejar."
"Aku akan menghalangimu, Siluman Laknat!"
bentak Nyai Dinda Dahlia tegas.
"Ow! Apa kau mampu, Nyai?" tanya lelaki ber-
pakaian merah menyala dengan sorot mata meremeh-
kan.
"Jangan besar kepala, Siluman Hutan Dadak!"
bentak Nyai Dinda Dahlia geram.
"Hei! Di mana kita pernah berkenalan, Nyai?
Atau... nama besarku yang membuatmu mengenalku?"
"Aku mengetahui namamu dari secarik surat
sinting yang kau tandatangani," beber Nyai Dinda Dah-
lia.
"Ow! Siapa kau sebenarnya, Nyai?"
"Tak perlu tahu siapa aku, Siluman Laknat!
Yang jelas kau harus ku enyahkan dari muka bumi,
karena persekongkolan mu menculik putri tunggalku."
"Ha ha ha.... Aku mengerti sekarang. Ha ha
ha..., kaukah yang bernama Nyai Dinda Dahlia?"
"Jangan banyak bicara! Sekarang juga kau ha-
rus mampus di tanganku!"
Diiringi pekikan nyaring, Nyai Dinda Dahlia
menerjang sosok berpakaian merah menyala. Gera-
kannya cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
menandakan serangan yang dilancarkan tidak main-
main.
Angin menderu yang mengiringi serangan Ketua
Perguruan Seribu Bunga membuat Siluman Hutan
Dadak bersikap hati-hati. Meski belum mengetahui
dengan pasti kekuatan tenaga dalam lawan, namun di-
rinya tak berani memapaki serangan yang datang.
Wesss....
"Uts!"
Siluman Hutan Dadak yang sesungguhnya ber-
nama Liku Grada segera memiringkan badan ketika
sampokan tangan Nyai Dinda Dahlia mengarah deras
ke ulu hati. Seraya menggeser kaki kanan, Liku Grada
bergerak cepat, namun kecepatan gerak Nyai Dinda
Dahlia sempat membuatnya terkejut. Begitu cepat ge-
rakan tangan Nyai Dinda Dahlia berputar, hingga
mendadak sudah berada beberapa rambut di depan
wajah Siluman Hutan Dadak.
"Heh...?"
Cepat-cepat Liku Grada melempar tubuh ketika
dirasakan percuma memiringkan kepala, dilihatnya se-
rangan-serangan Ketua Perguruan Seribu Bunga begi-
tu cepat berpindah sasaran.
Melihat serangannya berhasil dielakkan lawan,
Nyai Dinda Dahlia tidak menghentikan serangan. Tu-
buh perempuan itu kembali melesat, mengejar Silu-
man Hutan Dadak yang sudah kembali tegak.
"Hiaaa...!"
Track!
Tak ada pekik kesakitan ketika dua tangan
yang dialiri kekuatan tenaga dalam beradu keras, yang
terdengar hanya suara benturan keras seperti bera-
dunya dua batang logam.
Tubuh Nyai Dinda Dahlia terhuyung sejauh
dua tombak. Di wajah perempuan usia setengah abad
lebih itu terlihat seringai kesakitan, dan sebelah tan-
gannya memijat pergelangan tangan yang terasa linu.
Demikian juga Siluman Hutan Dadak, lelaki
penyelenggara upacara maut itu tak menyangka keku-
atan tenaga dalam Nyai Dinda Dahlia tak berbeda jauh
dengan tenaga dalam yang tadi dikeluarkan hanya se-
perempat bagian saja.
"Dahlia! Kusarankan padamu jangan meng-
ganggu acara ku. Pantang bagiku mendiamkan orang-
orang yang ingin menggagalkan rencanaku!" hardik Li-
ku Grada si Siluman Hutan Dadak.
"Walaupun kau tak melibatkan putri ku dalam
upacara gila itu, aku akan tetap menghalangi niat ke-
jimu, Siluman Laknat! Pantang bagiku mendiamkan
kejahatan berlangsung di muka bumi ini!" jawab Nyai
Dinda Dahlia tegas, membuat kemarahan Siluman Hu-
tan Dadak memuncak.
"Hmmm.... Rupanya kau tergolong manusia si-
luman, Dahlia! Aku jadi tak peduli denganmu. Aku
memang sedang memberantas orang-orang yang suka
mencampuri urusan orang lain, seperti kau!"
"Lakukanlah kalau kau mampu, Siluman Gila!"
bentak Nyai Dinda Dahlia keras.
Wajah Siluman Hutan Dadak langsung berubah
tegang, mendengar hinaan yang dilontarkan Nyai Din-
da Dahlia
"Kurang ajar! Kau mampus, Perempuan Lak-
nat!"
Selesai dengan ucapannya, tubuh Liku Grada
bergerak bagai kilat. Senjatanya yang berupa tongkat
dengan bagian ujung terdapat logam keras berbentuk
bulan sabit mulai mengambil peranan. Tongkat itu di-
kibaskan keras ke leher Ketua Perguruan Seribu Bun-
ga.
Jaka Sembada menyaksikan serangan dahsyat
yang dilakukan Siluman Hutan Dadak sedikit terke-
siap, ada sedikit keinginan untuk mengambil alih per-
tarungan. Namun keinginan itu segera diurungkan me-
lihat Nyai Dinda Dahlia sudah siap menghadapi seran-
gan Liku Grada. Lagi pula pemuda itu tak ingin Nyai
Dinda Dahlia merasa direndahkan karena perbuatan-
nya.
"Hati-hati, Nyai," pesan Jaka Sembada. Nyai
Dinda Dahlia tak sempat menjawab. Tubuhnya yang
terbalut pakaian jingga dengan ikat pinggang putih se
ketika bergerak cepat menghindari terjangan tongkat
lawan.
"Hiaaa!"
"Utzs!"
Nyai Dinda Dahlia menghentakkan kaki kuat-
kuat saat tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak
mencecar pahanya. Dengan melakukan hentakan me-
nyilang, tubuh ketua Perguruan Seribu Bunga mence-
lat dan berputar dua kali di udara kemudian mendarat
dengan manis. Nampak di depan dada Nyai Dinda
Dahlia telah menyilang sebatang pedang yang mem-
biaskan sinar keperakan.
Siluman Hutan Dadak agaknya menganggap
remeh senjata yang membentengi dada Nyai Dinda
Dahlia, Liku Grada tersenyum mengejek.
"Kau andalkan senjata mainan anak-anak,
Dahlia? He he he...! Kuharap kau tidak menyesal jika
hari ini nyawamu melayang."
"Jangan sombong, Siluman Sesat!"
"Akan kubuktikan sekarang! Hiaaa...!"
Siluman Hutan Dadak kembali mencelat den-
gan senjata tongkat bulan sabitnya yang terayun di
udara. Sementara Nyai Dinda Dahlia sudah mengambil
keputusan untuk memapaki kibasan tongkat bulan
sabit Liku Grada.
"Hiaaa...!"
Trang!
"Aaa...!"
Nyai Dinda Dahlia memekik tertahan ketika te-
basan tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak be-
radu dengan pedangnya.
Tubuh Ketua Perguruan Seribu Bunga seketika
terhuyung sejauh dua tombak. Wajahnya menyeringai
merasakan nyeri di tangannya. Nyai Dinda Dahlia me
rasakan sebuah kekuatan telah menelusup melalui
tangannya, menebarkan hawa dingin menusuk.
"Ha ha ha.... Sudah kubilang, simpan saja mai-
nan anak-anak itu. Jangan kau gunakan untuk mena-
kut-nakuti orang, Dahlia!" ejek Siluman Hutan Dadak.
Ketua Perguruan Seribu Bunga hanya menden-
gus marah mendengar ejekan yang menyakitkan. Nyai
Dinda Dahlia tak mau membalas ejekan itu, karena
sedang berusaha mengatasi hawa dingin yang menelu-
sup semakin jauh ke tulang sumsum.
"Kau harus mampus, Dahlia. Bersiaplah!"
Tanpa mempedulikan kenyerian yang dialami
Ketua Perguruan Seribu Bunga, Siluman Hutan Dadak
melesat, menerjang Nyai Dinda Dahlia dengan tongkat
bulan sabit yang mengarah ke batok kepala.
"Hiaaa...!"
TIGA
Sosok pemuda berpakaian kuning keemasan
yang sejak tadi hanya menjadi penonton, menampak-
kan wajah cemas. Jaka Sembada yang berjuluk Raja
Petir, sejak menyaksikan terdesaknya Ketua Perguruan
Seribu Bunga sebenarnya ingin mengambil alih perta-
rungan. Tapi diurungkan melihat Nyai Dinda Dahlia
masih dapat melakukan perlawanan, meski berulang-
kali direpotkan oleh serangan-serangan dahsyat Silu-
man Hutan Dadak.
Namun sekarang? Jaka Sembada segera mele-
sat cepat melihat Ketua Perguruan Seribu Bunga tak
lagi mampu menghindari serangan Liku Grada. Pada
saat-saat kritis seperti itu apa yang dilakukan Raja Pe-
tir cukup tepat. Dengan sekali hentakan kaki, tubuh
nya telah berada di depan Nyai Dinda Dahlia seraya
melakukan gerakan menyampok pergelangan tangan
Siluman Hutan Dadak.
"Hiyaaa!"
Plak!
"Aaa...!"
Liku Grada memekik tertahan saat sebuah ke-
kuatan dahsyat membentur pergelangan tangannya.
Dorongan tenaga yang menghantamnya membuat tu-
buhnya tak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Si-
luman Hutan Dadak terhuyung empat langkah ke be-
lakang.
Dengan tatapan mata membara dan sebelah
tangan mengelus pergelangan tangan lain karena rasa
nyeri, Siluman Hutan Dadak mendengus kesal. Dari
sela bibirnya keluar desisan berat.
"Hhhsss.... Bocah Edan! Berani benar kau
mencampuri urusanku?" sentak Liku Grada, matanya
tajam mencorong mencoba menembus kekuatan batin
Raja Petir.
"Maaf, kukira persoalan ini bukan lagi urusan-
mu, Siluman Hutan Dadak. Kalau kau melakukan ke-
laliman, kau harus berurusan dengan sekelompok
orang yang tak suka kelaliman. Termasuk aku!" ban-
tah Jaka Sembada mantap.
"Ngrrrh.... Bicaramu seperti orang bijak yang
sebenarnya tak mengenal kebijakan, Anak Setan! Yang
kau lakukan tadi sebuah kelancangan, tahu! Dan ke-
lancangan itu harus kau tebus dengan nyawamu!"
"Kurasa tidak begitu, Liku Grada. Aku tak me-
rasa telah melancangi mu. Yang kulakukan tadi hanya
kewajiban. Apa aku harus berpangku tangan melihat
orang lain ketakutan, membiarkan nyawanya teran-
cam?" tandas Jaka Sembada.
Kalap hati Siluman Hutan Dadak mendengar
ucapan pemuda itu, otot-ototnya seketika menegang
kaku. Dan mulutnya mengeluarkan desisan kemur-
kaan.
"Akrrrkh...!"
Liku Grada meraung geram seraya melejit kuat
menuju Jaka Sembada. Tangan kiri Siluman Hutan
Dadak membentuk cakar kuat. Sementara tangan ka-
nannya yang menggenggam tongkat bulan sabit te-
rangkat ke atas, terayun keras ke batok kepala Raja
Petir.
"Hiaaa...!"
Bet! Wruuut!
"Ups!"
Terkejut juga hari Jaka Sembada merasakan
sambaran angin yang melintas lima rambut dari kulit
tubuhnya, sebentuk angin dingin yang begitu menu-
suk menerpa. Raja Petir segera mengerahkan hawa
murni untuk mencegah kebekuan otot-otot tubuhnya.
Setelah itu melompat ke belakang, mengambil jarak.
"Liku Grada. Aku tak ingin berurusan dengan-
mu. Asalkan kau mau merubah kebiasaanmu, terma-
suk penyelenggaraan upacara maut. Kuharap kau mau
menghentikannya, demi kebaikan kita semua. Kalau
kau setuju, kita tak perlu bertarung," bujuk Jaka
Sembada.
"Hhh...! Ternyata kau tak sejantan dan sehebat
yang kudengar selama ini, Raja Petir. Baru Siluman
Hutan Dadak yang kau hadapi, kau sudah khawatir
kehilangan nyawa, tanggalkan saja julukanmu itu!"
ejek Liku Grada tak sopan.
Raja Petir tidak merasa risih dengan ejekannya
yang hanya untuk memancing kemarahan. Dan Jaka
Sembada telah menyiapkan balasan yang lebih meme
rahkan telinga.
"Siluman Hutan Dadak! Kuakui kau memang
hebat, namun sayang, kehebatanmu kau rundukkan
ke bawah. Kau tak mengakui bahwa di atas langit ma-
sih ada langit dan langit. Grada! Kalau kau mampu
menundukkan Nyai Dinda Dahlia, bukan berarti kau
mampu menundukkan ku. Kemampuanku jauh berada
di atasmu, Siluman Hutan Dadak. Kepalaku lebih ting-
gi kedudukannya darimu," ejek Jaka Sembada.
"Ngrrrhhh...! Bocah besar kepala. Kau telan sa-
ja ucapanmu, aku akan menguburmu sekarang juga!"
Siluman Hutan Dadak mencelat cepat, kali ini
tenaganya dilipatgandakan untuk menghancurkan ke-
pala Jaka Sembada.
Angin bersiutan menghantar terjangan tongkat
bulan sabit Liku Grada, yang dilancarkan dengan pen-
gerahan tenaga dalam penuh. Begitu dahsyat ayunan
tongkat hingga menimbulkan seberkas sinar putih
yang meluruk deras ke arah Raja Petir.
Hhhmmm....
Setelah mengukur kekuatan serangan lawan.
Raja Petir segera menghindari terjangan senjata Liku
Grada. Ringan saja gerakan tokoh muda yang memiliki
ilmu kesaktian cukup tinggi itu. Sekali bergerak Jaka
Sembada mampu mengambil jarak tiga tombak. Na-
mun tubuhnya kembali dilempar ke kanan ketika sinar
putih yang keluar dari logam di ujung tombak Liku
Grada meluncur deras ke arahnya.
Jaka Sembada melompat seraya bersalto. Dan
pada saat itu, Liku Grada dengan cepat meluruk maju,
melancarkan pukulan keras ke punggung Jaka Sem-
bada.
"Hiaaa!"
Blagkh!
"Ugkh!"
Raja Petir terhuyung ketika pukulan keras Si-
luman Hutan Dadak menerjang punggung. Nyai Dinda
Dahlia, Perwari dan Primaka tercekat menyaksikan
kenyataan itu. Jaka Sembada mampu berdiri tegak
kembali.
Hati Nyai Dinda Dahlia, Primaka dan Perwari
kagum melihat ilmu yang kini disuguhkan Raja Petir.
Sebuah ajian yang bernama 'Aji Bayang-Bayang'.
Berbeda dengan Siluman Hutan Dadak melihat
ilmu yang diperlihatkan Raja Petir. Lelaki berpakaian
hitam yang berusia setengah abad lebih itu berdiri te-
gang. Matanya tak berkedip menatap sosok Jaka Sem-
bada yang kini menjadi lima kali lipat banyaknya. Le-
laki yang berjuluk Siluman Hutan Dadak itu tengah
memilih, mana wujud Jaka Sembada sesungguhnya.
Pada saat itulah, kelima sosok Jaka Sembada
meluruk maju bersamaan dengan tangan terkepal,
menyerang ulu hati Siluman Hutan Dadak.
Kebingungan seketika melanda hati Liku Gra-
da, karena belum bisa memastikan sosok lawan yang
sesungguhnya. Akhirnya, dengan sebisanya lelaki ber-
pakaian hitam dengan senjata tongkat bulan sabit
memapaki serangan lawan.
"Hih!"
Plasss!
"Heh?"
Terkejut bukan main Liku Grada, melihat pa-
pakannya hanya membentur bayangan. Dan kesempa-
tan itu dipergunakan Jaka Sembada untuk melancar-
kan sodokan tangan yang mendarat telak di ulu hati.
Des!
"Uuugkhhh...!"
Tubuh Siluman Hutan Dadak terdorong deras.
Isi perutnya dirasakannya ingin keluar. Mual dan ke-
palanya berkunang-kunang.
"Hoeeekh!"
Cairan darah seketika membasahi pakaian Si-
luman Hutan Dadak yang terjerembab di tanah, wa-
jahnya terlihat pucat.
Sebenarnya mudah bagi Raja Petir untuk kem-
bali melancarkan serangan mematikan ke arah Silu-
man Hutan Dadak, namun tidak dilakukan Jaka Sem-
bada karena Liku Grada tidak siap tempur. Beberapa
saat lamanya Jaka Sembada membiarkan Liku Grada
memulihkan diri.
"Kau memang hebat, Raja Petir," ujar Siluman
Hutan Dadak parau. "Tapi hanya saat ini, karena aku
akan membuat perhitungan denganmu," lanjut Liku
Graha.
"Tidak ada yang hebat di muka bumi ini, Liku
Grada. Semua makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa
pasti akan mati. Kalau sekarang kau kalah, bukan be-
rarti aku hebat, tapi semata karena Yang Maha Kuasa
tak mengizinkan perbuatanmu yang di luar batas ke-
manusiaan. Untuk apa upacara sesat itu kalian laku-
kan? Kalau untuk memuja sesuatu yang kau anggap
sakral, kurasa masih banyak cara lain untuk menga-
gungkannya."
Bijak perkataan yang keluar dari bibir anak
muda berpakaian kuning keemasan.
"Aku tak perlu khotbah mu!" bantah Siluman
Hutan Dadak sambil bangkit "Ingat baik-baik, Raja Pe-
tir! Aku akan membuat perhitungan atas kekalahan ku
ini," lanjut Siluman Hutan Dadak seraya menatap ta-
jam Jaka Sembada.
Dan Jaka Sembada tak membiarkan tatapan
penuh bara dendam itu, seraya membalas tatapannya
sesungging senyum disuguhkan pada Liku Grada yang
kemudian melempar pandangannya pada Nyai Dinda
Dahlia, Perwari dan Primaka.
"Kalian juga akan mampus nanti!" ancam Silu-
man Hutan Dadak.
Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka tidak
menanggapi ancaman Siluman Hutan Dadak yang di-
ucapkan dengan dendam membara. Ketiga orang yang
telah diselamatkan Raja Petir hanya menatap Liku
Grada. Beberapa saat kemudian, Siluman Hutan Da-
dak bergerak pergi.
"Ingat! Kalian pasti akan kubuat mampus!"
Kembali ancaman Siluman Hutan Dadak ter-
dengar.
EMPAT
Sore nampak semakin senja, dan warna jingga
menyemburat di kaki langit. Angin yang berhembus
dingin seolah memperingatkan Raja Petir dan Nyai
Dinda Dahlia mengenai rencana mereka.
"Tak perlu dipikirkan sekali ancaman itu, Nyai,"
ujar Raja Petir setelah beberapa saat tubuh Siluman
Hutan Dadak lenyap.
"Aku sedang memikirkan keselamatan Wulan
Sari, Jaka," kilah Nyai Dinda Dahlia.
"Upacara maut tidak akan dilaksanakan tanpa
kelengkapan persyaratan yang diperlukan. Menurutku,
orang-orang gila yang melaksanakan upacara itu be-
lum berhasil mendapatkan semua gadis yang diperlu-
kan. Buktinya, Perwari belum di tangan mereka. Mu-
dah-mudahan begitu juga dengan putri Ki Jatirama,"
hibur Jaka Sembada.
"Ah...."
Nyai Dinda Dahlia seperti dikejutkan dengan
sesuatu.
"Apa kita akan meneruskan perjalanan malam
ini, Jaka?"
"Malam baru saja datang, Nyai. Kita masih
mempunyai kesempatan datang ke Perguruan Sakajati.
Kurasa perguruan itu tak begitu jauh dari sini," jawab
Jaka Sembada.
"Lalu bagaimana dengan Perwari dan Primaka?"
tanya Nyai Dinda Dahlia.
"Kami ikut Nyai dan Raja Petir," jawab Perwari
mendahului. "Barangkali tenaga kami diperlukan, se-
lain itu kami juga ingin ikut serta mencegah pelaksa-
naan upacara maut"
"Baiklah kalau begitu. Tapi kita harus menge-
luarkan tenaga lebih agar cepat sampai di Perguruan
Sakajati," ujar Jaka Sembada.
"Aku mengerti," sahut Nyai Dinda Dahlia, "Ayo,
Hup!"
Perempuan setengah baya itu menghentakkan
kaki. Begitu sederhana gerakan Ketua Perguruan Seri-
bu Bunga, namun membawanya melesat cepat me-
ninggalkan Jaka Sembada, Perwari dan Primaka.
"Ayo Perwari, Primaka," ajak Jaka Sembada se-
raya bergerak menyusul Nyai Dinda Dahlia yang bera-
da tujuh tombak di depan.
Perwari dan Primaka tak mau ketinggalan, den-
gan ringan keduanya berkelebat menyusul Nyai Dinda
Dahlia dan Raja Petir.
***
Suasana terang-benderang terlihat dari jarak
puluhan tombak. Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dah-
lia segera menghentikan langkahnya. Dan wajah cemas
Nyai Dinda Dahlia ditujukan pada Jaka Sembada, be-
gitu juga Primaka dan Perwari.
"Ah! Kita terlambat, Nyai," sesal Jaka Sembada
seraya memandang Nyai Dinda Dahlia.
Perempuan itu menatap langit yang menyem-
burat merah karena kobaran api.
"Kau yakin kobaran api itu berasal dari bangu-
nan Perguruan Sakajati?"
"Aku yakin sekali, menurut Paman Gumai Gu-
marang letak Perguruan Sakajati memang di situ. Ayo
kita ke sana, barangkali masih ada nyawa yang bisa ki-
ta selamatkan," ajak Jaka Sembada lalu bergerak me-
langkah.
Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka men-
gikuti dari belakang.
Braaakkk!
"Ikh!"
Jaka Sembada menggereng kesal seiring den-
gan runtuhnya bangunan utama Perguruan Sakajati.
Namun kekesalan tidak membuatnya terpaku, me-
mandangi Perguruan Sakajati yang porak-poranda di-
makan api. Jaka Sembada bergerak cepat menembus
kobaran api yang sudah agak reda. Api menjilati sisa-
sisa bangunan yang mudah terbakar.
Pemuda itu coba mengamati mayat-mayat yang
bergeletakan, mereka adalah murid-murid Perguruan
Sakajati.
"Ukh!"
Kembali Jaka Sembada menggeram marah
mendapatkan tubuh-tubuh yang tak bernyawa. Betapa
keji perbuatan ini, bisik pemuda itu dalam hati. Jaka
Sembada menduga yang melakukan kekejian ini ada
lah orang-orang yang bermaksud melaksanakan upa-
cara maut. Dugaannya itu didasarkan pada kenyataan
bahwa Ketua Perguruan Sakajati menerima surat dari
mereka.
"Akh!"
Jaka Sembada tersentak mendengar suara dari
selatan bangunan Perguruan Sakajati. Bergegas Raja
Petir mendatangi tempat suara itu datang. Dan pemu-
da itu terdiam tak mengerti, melihat Nyai Dinda Dahlia
membiarkan lelaki tua berpakaian putih tergeletak
dengan tubuh penuh luka, di beberapa bagian tubuh-
nya terdapat bercak-bercak hitam.
"Akh! Kaukah, Ki Jatirama?" tanya Jaka Sem-
bada sambil mendekati lelaki tua berpakaian putih.
Di luar dugaan, lelaki yang memang Ki Jatira-
ma ketua Perguruan Sakajati mengangkat tangan den-
gan telapak tidak terbuka penuh.
Jaka Sembada dapat membaca isyarat Ki Jati-
rama, langkahnya segera terhenti.
"Jangan sentuh aku, Anak Muda," terbata uca-
pan yang keluar dari mulut Ki Jatirama.
"Apakah yang melakukan semua ini orang-
orang gila yang hendak melaksanakan upacara maut
Ki?"
Agak terbelalak mata ketua Perguruan Sakajati
mendengar pertanyaan Jaka Sembada. Namun hanya
sesaat, kemudian selang setegukan teh, mata Ki Jati-
rama menatap redup Jaka Sembada.
"Ciri-ciri mu mirip dengan yang kudengar dari
orang-orang persilatan, Anak Muda. Apakah kau yang
berjuluk Raja Petir?" dengan susah payah Ketua Per-
guruan Saka Jati bertanya pada Jaka Sembada.
"Ah, namaku Jaka Sembada, Ki. Apakah kau,
Ki Jatirama?"
"Dari siapa kau tahu namaku, Raja Petir?" seli-
dik ketua Perguruan Sakajati.
"Dari Paman Gumai Gumarang."
Kembali mata Ki Jatirama terbelalak.
"Adi Gumai Gumarang?" ulang Ki Jatirama,
"Apa hubunganmu dengannya?"
"Sebaiknya kita urusi luka-lukamu lebih dahu-
lu, Ki. Barangkali aku bisa mengobatinya," usul Jaka
Sembada.
"Aku terkena pukulan 'Bisa Kala Hitam' milik
Pangeran Kala Hitam, Raja Petir. Tanpa ku telan anti
pukulan beracun itu, mustahil bagiku dapat melihat
dunia sampai esok matahari terbit," jawab Ki Jatirama.
Ki Jatirama tidak bermaksud menolak niat baik
Jaka Sembada, laki-laki berusia lebih enam puluh ta-
hun itu hanya khawatir jika racun ganas yang ada di
tubuhnya menjalar ke tubuh anak muda berpakaian
kuning keemasan yang dikenal dengan julukan Raja
Petir.
"Maaf, Ki Jatirama. Menurutku, tidak ada seo-
rang manusia pun yang mampu mendahului kodrat
sang Pencipta Jagat Semesta, termasuk Pangeran Kala
Hitam. Meski menurutnya racun itu tidak akan mem-
buat manusia bertahan hidup, namun itu bukan hal
yang mustahil bagi Dia yang memiliki roh abadi. Asal-
kan kita mau berusaha dan tidak melupakan kebesa-
ranNya. Aku menolongmu, bukan karena merasa
mampu melakukan, tapi karena mengharap kebesaran
sang Pencipta Alam Raya," ucap Jaka Sembada dengan
tatapan yang tak lepas dari wajah Ki Jatirama.
Ki Jatirama tidak pernah menduga ucapan se-
perti itu keluar dari lelaki yang begitu muda usia, lela-
ki berjuluk Raja Petir yang belakangan ini sering dis-
ebut-sebut tokoh persilatan.
Dalam hati lelaki itu menyesali diri, karena
termakan ucapan Pangeran Kala Hitam akan kegana-
san pukulan 'Bisa Kala Hitam'. Ki Jatirama pun me-
nyesali kepasrahannya pada keadaan, tanpa berusaha
mencari jalan keluar.
"Bersiaplah, Ki. Mudah-mudahan aku dapat
menjinakkan racun ganas yang berada di tubuhmu,"
ujar Raja Petir membangunkan Ki Jatirama dari pe-
nyesalannya.
Ki Jatirama menggerakkan badan sedikit men-
dengar ucapan Jaka Sembada. Dengan tatapan mata
lurus ke depan, laki-laki tua pemimpin Perguruan Sa-
kajati memperhatikan tindakan Jaka Sembada.
Ki Jatirama terkejut melihat perubahan pada
diri pemuda di hadapannya. Seluruh kepala hingga
dada terbalut sinar kurang keemasan, begitu pula dari
lutut hingga ujung kakinya. Cukup membuat Ki Jati-
rama semakin terperangah. Dan ketika selarik sinar
kuning meluncur dari rentangan tangan Raja Petir, Ki
Jatirama terlonjak.
"Aaakh...!"
Selarik sinar kuning keemasan yang keluar dari
rentangan tangan Raja Petit membungkus tubuh tua
Ki Jatirama. Lelaki itu tidak mampu berbuat apa-apa,
selain berteriak menahan rasa sakit yang sangat
Yang barusan dilakukan Raja Petir adalah se-
rangkaian ajian 'Kukuh Karang'. Ajian itu berfungsi
untuk melumpuhkan berbagai jenis racun ganas.
Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan Primaka me-
mandang kagum aji 'Kukuh Karang' Jaka Sembada.
Dengan mata terus tertuju ke tubuh Ki Jatirama keti-
ganya menunggu kejadian selanjutnya.
"Aaa...!"
"Hoeeekh!"
Seiring dengan lenyapnya sinar kuning yang
membalut tubuh Ki Jatirama, jeritan menyayat dan
muntahan darah kental kehitaman keluar dari mulut
lelaki itu. Membuat Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan
Primaka terkejut sekaligus khawatir dengan keselama-
tan Ki Jatirama.
Lain halnya dengan Jaka Sembada. Pemuda
yang berjuluk Raja Petir itu bersyukur pada sang Pen-
cipta Jagat Semesta yang telah mengabulkan permo-
honannya.
"Sebaiknya Ki Jatirama kita bawa ke rumahmu,
Nyai," usul Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia tidak segera menyahut Ketua
Perguruan Seribu Bunga itu masih terpaku meman-
dangi tubuh Ki Jatirama yang tergeletak diam.
"Ki Jatirama hanya pingsan, Nyai," ujar Jaka
Sembada.
Nyai Dinda Dahlia segera menatap wajah Jaka
Sembada dengan penuh kekaguman.
"Sebaiknya memang begitu, Jaka Sembada.
Mudah-mudahan luka luar yang diderita Ki Jatirama
bisa sembuh dalam waktu singkat. Agar dapat mem-
bantu kita memerangi orang-orang yang ingin melak-
sanakan upacara maut"
"Semoga Ki Jatirama cepat sembuh dan dapat
membantu kita, Nyai. Aku yakin, kebatilan tidak akan
seterusnya menang."
LIMA
Pagi di kaki Gunung Kumborang nampak
sunyi. Kabut yang turun samar-samar, menebar hawa
dingin menusuk kulit. Namun kesunyian itu terusik
oleh teriakan dua gadis, yang berada di pundak dua le-
laki berpakaian merah dan hitam.
"Lepaskan aku, Lelaki Setan! Lepaskan aku!"
teriak gadis berpakaian biru muda yang dipanggul le-
laki berpakaian merah.
Berkali-kali gadis muda itu berteriak-teriak lan-
tang menggiriskan hari, tapi sia-sia saja teriakannya.
Laki-laki yang memanggulnya, Ki Kustara, hanya me-
nanggapi teriakan itu dengan kekehan yang terputus-
putus.
"Hik hik hik...! Aku akan melepaskanmu sete-
lah kita berada di puncak Gunung Kumborang, Anak
Manis. Bersabarlah sedikit," ujar Ki Kustara yang dika-
langan rimba persilatan berjuluk Setan Rimba Bang-
kai.
Gadis muda yang tak lain Seriti terus berteriak-
teriak. Cucu Ketua Perguruan Sakajati itu sedikit pun
tak mampu menggerakkan tubuhnya yang tertotok.
Perbuatan Seriti dilakukan juga oleh saudara
kembarnya. Dengan tubuh yang tak mampu digerak-
kan Ratih berteriak-teriak.
Seperti Setan Rimba Bangkai, Kindang Supa
pun tidak menurunkan gadis yang dipanggulnya. Lela-
ki yang berjuluk Pangeran Kala Hitam menimpahnya
dengan tawa kegirangan sambil sesekali menepuk
pinggul Ratih.
"Ha... ha... ha.... Sabar Dara Kemayu, sabar.
Kau akan kuturunkan setelah berada di puncak nan-
ti," kata Kindang Supa sambil melirik ke arah Ki Kus-
tara.
Ki Kustara membalas isyaratnya dengan meng-
hentakkan kaki kuat-kuat, lalu melenting indah bebe-
rapa kali. Setan Rimba Bangkai kembali menotolkan
kaki saat menjejak perut Gunung Kumborang. Berkali-
kali gerakan-gerakan lincah itu dilakukan Ki Kustara,
hingga dirinya nampak seperti segumpal kapas yang
diterbangkan angin.
Seriti yang ada di panggulan Ki Kustara tentu
saja merasakan kengerian yang sangat, cucu Ki Jati-
rama itu hanya dapat memejamkan mata. Tak dapat
dibayangkan jika dirinya terhempas dari ketinggian
Gunung Kumborang.
Begitu juga yang dialami Ratih. Dengan meme-
jamkan mata dan menguatkan hati, Ratih memasrah-
kan diri.
"Ha ha ha, sekarang bukalah matamu, Anak
Manis. Kita sudah berada di puncak gunung, kau tak
perlu takut," ucap Ki Kustara.
Ki Kustara segera menurunkan gadis yang di-
panggulnya, begitu juga Kindang Supa. Namun kedua
lelaki itu belum melepas totokannya.
"Mengapa kalian membawa kami ke sini?" tanya
Seriti marah.
"Kami memerlukan kalian, Anak Manis," jawab
Kindang Supa.
"Ya. Dan kami sudah minta izin pada kakek ka-
lian, Ki Jatirama," tambah Ki Kustara.
"Kalian, Iblis Keji!" maid Ratih lantang, matanya
memandang tajam ke Kindang Supa dan Ki Kustara
berganti-ganti.
"Sebenarnya kami tak bermaksud membunuh
kakek kalian, Ki Jatirama menginginkan kematiannya.
Kalian berdua tahu aku minta secara baik-baik, tapi Ki
Jatirama menghinaku. Tentu saja aku marah, apa ka-
lian mau dikatakan orang kurang waras?" dalih Kin-
dang Supa.
"Kalian memang orang sinting!" jawab Ratih ke
tus, "Kalau kalian waras, untuk apa melaksanakan
upacara gila?"
"Kau tidak mengerti arti penting upacara maut,
Anak Manis," ujar Ki Kustara.
"Di situlah letak kesintingan kalian!"
"Jangan membuatku marah, Seriti!" bentak
Kindang Supa tak sabar.
Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Pange-
ran Kala Hitam menatap tajam wajah Seriti.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga, jika
aku mau!" ancam Pangeran Kala Hitam.
"Lakukanlah! Kurasa itu lebih baik," tantang
Ratih.
Kindang Supa hanya dapat menggeretakkan gi-
gi mendengar ucapan Ratih, apalagi setelah dilihat Ki
Kustara menatapnya tajam.
"Sabarlah, Kindang. Biarlah gadis-gadis itu
berkata seenak perutnya. Mereka kini berada dalam
kekuasaan kita, berarti pelaksanaan upacara maut
tinggal menunggu waktu saja," tahan Setan Rimba
Bangkai.
"Sekarang kita temui Laras Nini, Laras Dewi,
dan Liku Grada. Barangkali mereka sudah berhasil
menjalankan tugas."
Lelaki berpakaian merah dengan senjata pe-
dang tumpul tertera menyilang di dada, segera melesat
menyambar tubuh Seriti. Demikian juga Kindang Su-
pa. Keduanya berlari ke utara puncak Gunung Kumbo-
rang dengan memanggul dua korbannya.
***
"Apa?! Raja Petir berhasil menggagalkan usa-
hamu?"
Keras pertanyaan Setan Rimba Bangkai setelah
meletakkan tubuh gadis kembar cucu Ki Jatirama.
Wajah Ki Kustara nampak merah padam me-
nahan marah.
Siluman Hutan Dadak tidak segera menjawab.
Liku Grada tengah membayangkan wajah lelaki muda
berpakaian kuning keemasan, lelaki yang berjuluk Ra-
ja Petir yang telah menggagalkan usahanya.
"Kau bukan anak kemarin sore, Siluman Hutan
Dadak," perlahan ucapan yang keluar dari mulut Setan
Rimba Bangkai "Aku tak habis pikir, kau menyerah di
tangan anak ingusan macam Raja Petir," lanjut Ki Kus-
tara dengan tatapan menusuk mata.
"Semula aku menganggapnya demikian, Ki,"
bantah Liku Grada. "Namun ternyata pemuda itu me-
miliki kesaktian cukup tinggi, seperti cerita yang per-
nah kudengar dari tokoh-tokoh kalangan persilatan."
"Hmmm...."
"Apa yang dialami Kakang Liku Grada mungkin
saja, Ki. Kudengar Raja Petir memang memiliki ilmu
kesaktian yang cukup tinggi. Ah! Aku jadi makin pena-
saran untuk menjajal kemampuannya," timpal Laras
Nini seraya mengacungkan kepalanya tinggi-tinggi.
"Aku juga pernah mendengar kehebatan pemu-
da itu, Nini. Tapi untuk mengalahkan Liku Grada tidak
semudah membalik telapak tangan," sangkal Ki Kusta-
ra.
"Kenyataannya Kakang Liku Grada berhasil di-
lumpuhkan. Cukup sebagai bukti kesaktian Raja Petir
di atas Kakang Liku Grada. Sebaiknya kita bereskan
dulu pemuda usil itu, Ki," usul Laras Dewi.
"Raja Petir...?" gumam Ki Kustara perlahan.
"Bagaimana menurutmu, Kindang?"
Pangeran Kala Hitam tidak segera menjawab.
Mata lelaki itu menatap wajah Dewi Racun Kembar
dan Liku Grada bergantian.
"Menurutku, lebih baik kita mencari pengganti
gadis yang gagal dibawa Adi Grada, Ki," jawab Pange-
ran Kala Hitam.
"Alasanmu?"
"Jika persyaratan upacara maut sudah terpe-
nuhi, kita bisa segera melaksanakan upacara, Ki. Men-
genai Raja Petir, kalau ia memang tidak suka pasti
akan datang menemui kita untuk membebaskan dara-
dara persembahan. Sementara gadis-gadis itu sudah
kita korbankan sebagai sesaji," papar Pangeran Kala
Hitam.
"Menurutku saran Kakang Kindang bagus, Ki.
Biar aku yang mencari gadis pengganti. Kali ini aku
harus berhasil!" ujar Siluman Hutan Dadak memberi
pendapat.
"Bagaimana jika Raja Petir kembali menghalan-
gi maksudmu, Liku Grada?" tanya Ki Kustara malah
balik bertanya.
Liku Grada, alias Siluman Hutan Dadak marah
mendengar pertanyaan yang bernada meremehkan itu.
Tangan lelaki yang memegang tongkat bulat sabit
nampak menegang.
"Jangan meremehkan ku, Ki," ketus ucapan Li-
ku Grada. "Jika kemarin aku berhasil dikalahkan, bu-
kan berarti sekarang aku harus kalah lagi. Kekalahan
ku kemarin karena aku meremehkannya, tapi seka-
rang.... Dengar Ki Kustara! Aku akan mempertaruhkan
nyawa untuk mendapatkan gadis pengganti putri Wu-
jang Kanta."
"Kupegang ucapanmu, Siluman Hutan Dadak,"
ujar Ki Kustara. "Carilah gadis pengganti yang urung
kau dapatkan itu!"
"Tentu, Ki! Aku tak akan kembali ke puncak
Gunung Kumborang sebelum mendapatkan gadis
pengganti. Aku berangkat sekarang!"
Tanpa menunggu perintah Setan Rimba Bang-
kai, Liku Grada melesat cepat menuruni puncak Gu-
nung Kumborang. Berkat ketinggian ilmu meringankan
tubuh, lelaki bertubuh sedang itu tak menemui kesuli-
tan mencapai kaki gunung dalam waktu singkat.
Sementara pagi sudah berganti siang. Ki Kusta-
ra, Kindang Supa, dan Dewi Racun Kembar meman-
dangi gadis-gadis yang akan dijadikan persembahan
dalam upacara maut Gadis-gadis putri tokoh-tokoh
persilatan golongan putih yang berwajah cantik-cantik.
"Sekarang kalian akan kubebaskan dari toto-
kanku, Anak Manis. Bergabunglah dengan teman-
temanmu," ucap Ki Kustara.
Lelaki tua berusia enam puluh tahun lebih itu
tiba-tiba bergerak cepat Dan....
Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Teriakan kaget terdengar saling susul. Ratih
dan Seriti menggelinjang sesaat. Pada saat berikutnya
mereka sudah mampu bangkit berdiri.
"Nah! Sekarang lakukan, apa yang ingin kalian
lakukan. Melampiaskan kekecewaan, kekesalan, den-
dam atau yang lainnya. Silakan lakukan, jangan sung-
kan-sungkan," ujar Ki Kustara.
Kedua gadis itu hanya menatap tajam Setan
Rimba Bangkai.
"Jangan menatap ku seperti itu, Anak Manis.
Bukankah aku telah memberi kebebasan pada kalian?"
"Kau memang iblis! Untuk apa kami dikumpul-
kan seperti ini?" sentak Seriti keras.
Ki Kustara tersenyum mendengar pertanyaan
itu. Setan Rimba Bangkai hanya menatap Seriti dan
Ratih berganti-ganti.
"Sebenarnya tak ada maksud tersembunyi dari
upacara maut yang sebentar lagi dilaksanakan, Anak
Manis," Jawab Ki Kustara. "Terus terang kukatakan
maksud upacara itu hanya untuk merongrong kete-
nangan tokoh-tokoh persilatan golongan putih, tokoh-
tokoh yang senang bicara soal kesucian dan kebena-
ran."
"Kau tidak berhak merongrong ketenangan hi-
dup mereka, Setan Tua!" bentak Ratih.
"Siapa bilang? Aku punya hak merongrong me-
reka, seperti juga mereka suka mengusik kesenangan
kami," bantah Setan Rimba Bangkai.
"Mereka mengusik karena merasa terusik!" ba-
las Seriti.
"Ah! Kau tahu apa, Bocah Ingusan. Aku lebih
tahu dari kalian, bagaimana orang-orang golongan pu-
tih yang berlagak suci itu, coba-coba jadi pahlawan
dengan memerangi kebatilan. Padahal diri mereka sen-
diri dipenuhi nafsu serakah. Aku dendam karena me-
reka telah melenyapkan seluruh keluargaku. Itulah
persoalannya!"
"Tapi kenapa kau bawa-bawa kami, yang tak
tahu apa-apa?" tanya Ratih.
"Sudah kubilang, aku hanya ingin merongrong
ketenangan hidup tokoh-tokoh golongan putih!" bentak
Ki Kustara keras.
"Kalian bukan hanya merongrong, tapi telah
melakukan pembantaian pada Perguruan Sakajati!"
balas Seriti tak kalah keras.
"Itu karena Ki Jatirama tak mengindahkan
keinginanku," kilah Ki Kustara.
"Karena kau orang gila, Kustara!"
"Jangan kurang ajar padaku!"
Tubuh Ratih terjajar empat langkah ketika tan-
gan Setan Rimba Bangkai menghajar raut wajahnya.
"Ayo! Bicaralah seenakmu, biar kupenggal ke-
palamu sekarang juga!" hardik Setan Rimba Bangkai.
Wajah Ratih memerah, sedang Seriti hanya me-
nahan kegeraman melihat tingkah Ki Kustara yang te-
lah meloloskan pedang tumpul dari warangka yang
menyilang di dadanya.
"Nini, Dewi! Ikat kedua gadis kurang ajar itu,
satukan dengan yang lain!" perintah Ki Kustara pada
Dewi Racun Kembar.
Dewi Racun Kembar dengan sigap menjalankan
perintah Setan Rimba Bangkai. Sekali saja Laras Nini
dan Laras Dewi menghentak kaki, tubuh keduanya
melesat ke arah Seriti dan Ratih.
Tuk! Tuk!
"Akh!"
Kedua gadis itu terjungkal seketika, terkena to-
tokan Dewi Racun Kembar. Tubuh cucu Ki Jatirama
tak dapat berbuat apa-apa ketika Dewi Racun Kembar
membopongnya, dan memasukkan ke kerangkeng yang
telah dihuni dua gadis cantik seusia mereka.
"Keluarkan aku, Setan!" teriak Ratih. Namun
teriakannya sia-sia saja karena Dewi Racun Kembar
pergi meninggalkannya.
ENAM
Suasana sore nampak begitu indah. Angin ber-
tiup semilir ditingkahi suara burung-burung kecil ber-
cericit, berlompatan dari dahan ke dahan.
Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh tengah
menikmati udara sore. Mereka adalah seorang gadis
muda yang cantik jelita dan dua lelaki bertubuh tinggi
tegap yang bisa dipastikan pengawal gadis cantik ber-
pakaian merah muda.
"Seekor kijang muda dan lima ekor kelinci
membuatku sangat bahagia hari ini, Kakang Prasena,"
kata gadis cantik seraya mengangkat seekor kelinci.
"Aku pun begitu, Paraswari," timpal lelaki yang
dipanggil Prasena. "Namun aku lebih bahagia lagi me-
lihat kemajuan kepandaian memanah mu," tambah
Prasena dengan senyum terkembang.
"Ah! Itu berkat Kakang Prasena dan Kakang Ni-
lunja," kilah Paraswari sambil menoleh pada lelaki te-
gap yang berdiri di kiri Prasena.
"Bukan karena kami, Paraswari. Tapi karena
kau punya bakat kuat dan ketekunan dalam mempela-
jari ilmu panah," bantah Nilunja.
Paraswari tersenyum mendengar pujian Nilun-
ja. Namun senyum Paraswari terhenti oleh kedatangan
lelaki berpakaian hitam yang memegang tongkat ber-
kepala bulan sabit. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan
Liku Grada alias Siluman Hutan Dadak.
Kehadiran Liku Grada dengan tawa yang diser-
tai pengerahan tenaga dalam, membuat Paraswari dan
kedua pengawalnya menutup telinga. Beruntung tawa
Liku Grada tak berlangsung lama, hingga mereka ter-
bebas dari suara yang membuat gendang telinga ber-
dengung hebat
"Siapa kau, Kisanak? Mengapa kau mengusik
kebahagiaan kami?" tanya Prasena dengan tatapan
mata tajam menusuk, wajahnya nampak tegang per-
tanda kemarahan yang ditahan.
"Aku Liku Grada, tapi aku lebih senang dipang
gil Siluman Hutan Dadak," jawab Liku Grada tenang,
tatapan matanya menelusuri sekujur tubuh Paraswari.
"Hmmm.... Kau cantik sekali," ucap Siluman
Hutan Dadak tertuju pada Paraswari.
"Maaf, Liku Grada. Aku tak punya banyak wak-
tu berbincang-bincang denganmu, terimakasih atas
pujian mu," balas Paraswari sambil memberi isyarat
pada Prasena dan Nilunja untuk meninggalkan Liku
Grada.
"Eit, tunggu dulu, Nisanak," tahan Siluman Hu-
tan Dadak. "Aku belum mengenal kalian, kenapa ka-
lian pergi begitu saja dari hadapanku?"
"Sudah kubilang, aku tak punya banyak wak-
tu," tolak Paraswari.
"Jangan sombong begitu, Nisanak."
Siluman Hutan Dadak mencoba mencekal tan-
gan Paraswari, tapi gadis berpakaian merah muda itu
lebih dahulu menghindar.
"Kuperingatkan kau, Liku Grada! Jangan ber-
buat kurang ajar pada putri majikanku!" ancam Nilun-
ja seraya menuding wajah Siluman Hutan Dadak.
Liku Grada terkekeh mendengar ancaman itu.
"Terhadap majikanmu pun aku berani berbuat
kurang ajar, Kisanak," kilah Liku Grada mantap.
Nilunja tersentak mendengar ucapan Liku Gra-
da. Dengan wajah memerah, Nilunja kembali mempe-
ringatkan Liku Grada.
"Kalau kau masih bicara tidak sopan, jangan
salahkan jika kurobek mulutmu!"
"Heh?! Apa kau bisa melakukan itu padaku?"
ejek Siluman Hutan Dadak dengan mencibirkan bibir.
"Kurang ajar! Ku sobek mulutmu!"
Seiring dengan ucapannya, tubuh Nilunja ber-
gerak cepat mengirimkan serangan. Tangan terkepal
kuat terarah ke mulut Siluman Hutan Dadak.
Melihat Nilunja merangsek maju, Liku Grada
segera mengambil sikap hati-hati karena belum dapat
mengukur kekuatan tenaga dalam lawan.
Wuuut!
"Eits!"
Liku Grada segera menarik kepalanya ke bela-
kang menghindari tonjokan Nilunja. Dari angin keras
yang mengibarkan rambutnya, Siluman Hutan Dadak
dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lawan. Maka
ketika serangan kembali datang, Liku Grada menang-
kis dengan tangan kiri.
Trak!
Siluman Hutan Dadak terjajar selangkah sete-
lah benturan keras terjadi, sedikit rasa linu menjalari
tangan kirinya.
Sementara Nilunja terjajar lima langkah. Tan-
gannya yang membentur tangan Liku Grada rasanya
seperti lumpuh. Cukup memberi gambaran tenaga da-
lam Nilunja di bawah Siluman Hutan Dadak.
Prasena yang menyaksikan kejadian itu menja-
di terkejut. Pemuda itu tak menyangka Nilunja kalah
dalam mengadu tenaga dalam, padahal Prasena tahu.
Nilunja memiliki tenaga dalam yang patut diperhitung-
kan.
"Liku Grada, kurasa antara kita tak ada permu-
suhan, lalu kenapa kau berlaku seperti itu pada ka-
mi?" tanya Prasena dengan setenang mungkin.
"Antara kita memang tidak ada satu urusan,
Kisanak. Namun sekarang aku mempunyai keperluan
dengan kalian, terutama dengan gadis cantik itu," ja-
wab Liku Grada sambil menunjuk Paraswari.
"Keperluan apakah itu, Liku Grada?" tanya Pra-
sena.
"Aku ingin membawa putri majikanmu ke pun-
cak Gunung Kumborang," jawab Liku Grada.
Prasena, Paraswari, dan Nilunja tentu saja ter-
kejut mendengar jawaban Siluman Hutan Dadak. Den-
gan wajah tegang mereka menatap wajah Liku Grada.
"Mau apa kau membawaku ke puncak Gunung
Kumborang?" selidik Paraswari.
"Nanti kau akan mengetahuinya, Nisanak," ja-
wab Liku Grada.
"Kalau kau tidak mau menyebutkan tujuanmu
membawaku ke Gunung Kumborang, aku tak akan
meluluskan permintaanmu," tekan Paraswari.
"Setelah kukatakan, apakah kau mau ikut den-
ganku?"
"Tergantung kepentinganmu, Liku Grada. Aku
akan mempertimbangkan kewajarannya."
"Baiklah," putus Liku Grada. "Di puncak Gu-
nung Kumborang kami akan melaksanakan upacara
maut. Sebagai persembahannya, kami membutuhkan
gadis seperti kau, Nisanak."
Bagai tersengat ribuan lebah Paraswari, Prase-
na, dan Nilunja mendengar jawaban Liku Grada.
Mereka saling berpandangan heran.
"Itu permintaan gila, Liku Grada!" bantah Pra-
sena.
"Ya, itu keinginan gila. Aku tak mungkin me-
menuhinya," tambah Paraswari.
"Bagaimana kalau aku tetap memaksa?" tawar
Liku Grada.
"Kau langkahi dulu mayat kami," jawab Prasena
dan Nilunja bersamaan.
"Baik," ujar Liku Grada. "Aku tidak hanya akan
melangkahi mayat kalian, lebih dari itu pun aku bisa."
"Sombong!" sahut Nilunja.
"Bersiaplah!"
Siluman Hutan Dadak segera mengambil an-
cang-ancang melakukan serangan. Kedua kakinya
membentuk kuda-kuda rendah kokoh berpijak. Maka
ketika kaki belakang dihentakkan kuat-kuat, tubuh
Liku Grada melesat dengan jari-jari tangan terbuka
mengancam pelipis Prasena dan Nilunja.
Melihat gerakan Liku Grada yang cukup berba-
haya, Prasena dan Nilunja segera berpencar. Gerakan
menghindar yang tak kalah cepat, dilakukan kedua
pengawal Paraswari. Karuan saja serangan yang dila-
kukan Siluman Hutan Dadak menemui tempat kosong.
Namun gerakan Siluman Hutan Dadak yang cepat dan
tak terduga kembali dilakukan, kali ini Prasena yang
menjadi sasaran.
Untuk menghindari pukulan Liku Grada, den-
gan terpaksa Prasena membanting tubuh ke kanan
dan melakukan totolan melalui tangan. Tubuh Prasena
melenting dan melakukan putaran dua kali.
Siluman Hutan Dadak yang melihat titik lemah
Prasena kembali bergerak cepat. Dengan melakukan
jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa' Siluman Hutan
Dadak mengejar tubuh lawannya.
"Hiaaa...!"
Bret!
"Aaakh!"
Tubuh Prasena terdorong keras dihantam ter-
kaman lurus jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa'.
Tubuh yang terbungkus pakaian hijau itu kemudian
terbanting di tanah dengan luka di perut yang mengu-
curkan darah.
"Hahaha.... Rupanya hanya sampai di situ ke-
mampuan yang kau miliki, Kisanak. Aku akan menun-
jukkan kemampuanku yang lebih dahsyat dapat men
gantar nyawamu lebih cepat menemui malaikat maut"
kata Liku Grada.
Laki-laki itu memang tidak main-main dengan
ucapannya. Meski tahu Prasena terluka parah, Silu-
man Hutan Dadak tetap berkelebat dengan senjata
tongkat bulan sabit yang terayun di atas kepala.
Paraswari dan Nilunja terkejut menyaksikan
tindakan Liku Grada. Maka tanpa membuang waktu
lagi Paraswari segera membidikkan anak panahnya ke
tubuh Siluman Hutan Dadak yang tengah melayang ke
arah Prasena.
"Hih!"
Twiiing..!
Anak panah yang terlepas dengan kekuatan ta-
rikan penuh, meluruk deras mengancam tubuh Liku
Grada. Namun kepekaan Siluman Hutan Dadak mem-
beritahu bahaya yang mengancam dari belakang.
Liku Grada tentu saja tak ingin mati konyol
terkena panah Paraswari, maka diputuskannya tidak
menangkis luncuran anak panah itu Liku Grada memi-
lih menghindar dengan melempar tubuhnya ke arah
yang berlawanan, lalu dengan gerakan ringan menotol
tanah seraya melakukan lentingan dua kali.
"Setan!" maki Liku Grada geram.
Ditatapnya wajah Paraswari dengan pandangan
menusuk.
"Kali ini aku tidak main-main! Kalian harus
mampus. Dan kau, Nisanak! Akan kubawa ke puncak
Gunung Kumborang!"
Liku Grada kembali mengangkat tombak yang
di bagian ujungnya terdapat sebuah logam berbentuk
bulan sabit Seluruh otot Siluman Hutan Dadak mene-
gang. Dan giginya bergeletukan.
Paraswari dan Nilunja bersiap-siap menghadapi
serangan yang mungkin lebih dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Wruuut! Wusss!
Tanpa menggeser letak kaki Siluman Hutan
Dadak mengebutkan tongkat bulan sabit hingga tercip-
ta selarik sinar putih yang meluruk deras ke arah Ni-
lunja dan Prasena.
Sinar putih yang menebarkan hawa panas itu
meluruk dengan kecepatan yang sukar dilihat mata bi-
asa. Paraswari dan Nilunja yang mengetahui hal itu
terkejut bukan main.
Nilunja segera menghentakkan kaki dan berpu-
taran di udara dua kali untuk menghindar. Tetapi ti-
dak dengan Prasena, lelaki yang terluka parah itu tak
lagi mampu menghindar.
Brasss...!
"Aaakh!"
Jerit kematian terdengar bersamaan dengan
terpentalnya Prasena dengan wajah terbakar. Prasena
hanya mampu menggeliat sebentar lalu nyawanya ter-
pisah dari raga.
Nilunja menyaksikan kematian Prasena murka
bukan main. Tanpa mempedulikan keselamatannya,
Nilunja meluruk maju menerjang Siluman Hutan Da-
dak dengan senjata terhunus.
"Mampus kau, Siluman Gila!" bentak Nilunja
sambil membabatkan senjata ke leher Liku Grada.
Liku Grada tidak menganggap remeh serangan
lawan. Dengan cepat ditariknya leher ke belakang.
Wuuut!
Serangan Nilunja lewat beberapa rambut dari
tenggorokan Liku Grada. Pada saat itulah kejelian Si-
luman Hutan Dadak memegang peranan. Ketika dili-
hatnya pertahanan Nilunja kosong, lelaki itu mengge
dor keras dada lawan. Akibatnya....
Blaaagkh!
"Huaaak!"
Gedoran keras Liku Grada mendarat persis di
dada Nilunja. Tak urung tubuh pengawal Paraswari
terpental sejauh dua tombak. Darah segar muncrat da-
ri mulutnya.
"Kakang Nilunja!" pekik Paraswari.
"Ha ha ha...!"
Liku Grada terkekeh menyaksikan tubuh lawan
tidak mampu bangkit.
"Tak perlu diratapi orang yang sudah mati, Ni-
sanak. Lebih baik kau ikut bersamaku ke puncak Gu-
nung Kumborang," pinta Liku Grada setelah tawanya
lenyap.
Paraswari menoleh, matanya jalang merayapi
wajah Liku Grada.
"Lelaki Keparat!" maid Paraswari. "Kau telah
membunuh orang kepercayaan ku, maka kau harus
menebusnya dengan nyawamu!"
"Ha ha ha...! Kamu tak akan bisa membuktikan
perkataan mu, Nisanak. Daripada kau buang-buang
tenaga percuma, bukankah lebih dari kau menuruti
keinginanku," tukas Liku Grada dengan mata mengerl-
ing genit.
"Cuh! Aku tak rela menuruti keinginan gilamu.
Aku akan membunuhmu!"
Paraswari segera meraih anak panah yang ma-
sih tersisa. Dengan cepat anak panah itu diselipkan,
kemudian dilepas kuat-kuat ke tubuh Siluman Hutan
Dadak. Lelaki itu siap menyambut kedatangan anak
panah dengan putaran tongkatnya.
Twiiing,..!
Wuuuk! Wuuuk!
Trak!
Satu anak panah dengan mudah dapat dipa-
tahkan, begitu juga anak panah yang lain. Paraswari
merasa perbuatannya sia-sia, maka tanpa mempeduli-
kan keadaan, gadis cantik putri saudagar kaya dari
Desa Sindang Aru itu bergerak maju dengan pedang
terhunus.
"Lelaki Bejat! Kau harus mampus!" bentak Pa-
raswari seraya menebaskan pedangnya ke tubuh Silu-
man Hutan Dadak.
Liku Grada yang sudah dapat mengukur keku-
atan tenaga dalam Paraswari, tak bergeming sedikit
pun dari tempatnya. Hanya dengan mengerahkan te-
naga dalamnya yang berada jauh di atas Paraswari, Si-
luman Hutan Dadak membiarkan tubuhnya terhajar
senjata lawan. Akibatnya....
Trak!
"Aaa!"
Tubuh Paraswari terpental ketika tebasan sen-
jatanya membentur tubuh Liku Grada yang seperti lo-
gam keras. Paraswari merasa tangannya linu, sedang
senjatanya terpental jauh.
"Ha ha ha....! Sudah kubilang, apa yang kau la-
kukan hanya membuang tenaga percuma, Nisanak.
Kusarankan agar kau mau pergi bersamaku ke puncak
Gunung Kumborang tanpa ku paksa."
"Cih! Pergilah kau sendiri, aku tak sudi ikut
denganmu," tentang Paraswari, tangannya masih me-
rasakan linu yang menyengat.
"Baik kalau begitu! Aku yang akan memaksa-
mu," ujar Siluman Hutan Dadak.
Tanpa menunggu jawaban Paraswari, Liku
Grada melesat. Dua jarinya teracung ke tubuh putri
saudagar kaya dari Desa Sindang Aru. Liku Grada me
lakukan totokan agar Paraswari mau menuruti keingi-
nannya.
"Hih!"
Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
TUJUH
Tubuh Paraswari menggelinjang sesaat ketika
totokan keras Siluman Hutan Dadak tepat mengenai
sasaran. Tubuh gadis itu tergeletak diam, hanya ma-
tanya saja yang menatap marah Liku Grada.
"Kau memaksaku melakukan ini, Nisanak," ka-
ta Liku Grada dengan tatapan mata yang tak lepas me-
rayapi sekujur tubuh sintal Paraswari.
"Kau memang lelaki setan!" maki Paraswari ge-
ram.
Liku Grada alias Siluman Hutan Dadak terse-
nyum mendengar makian gadis cantik di hadapannya.
Kaki laki-laki berpakaian hitam itu terayun selangkah
demi selangkah mendekati tubuh Paraswari yang ter-
golek tak berdaya.
Paraswari melihat langkah kaki Liku Grada se-
makin dekat ketakutan bukan main. Apakah lelaki itu
akan berbuat yang tidak senonoh terhadapnya? Perta-
nyaan itu tiba-tiba membersit di benak Paraswari. Ke-
ringat sebesar butiran jagung bermunculan di kulit-
nya. Paraswari merasakan tubuhnya bergetar hebat
saat satu langkah lagi Liku Grada dapat merengkuh-
nya.
"Jangan lakukan yang tak pantas pada diriku,
Liku Grada," pinta Paraswari pada puncak ketakutan-
nya.
Liku Grada menghentikan langkah mendengar
ucapan Paraswari. Lelaki berpakaian hitam dengan
tongkat yang bagian ujungnya terdapat logam keras
berbentuk bulan sabit segera menatap wajah cantik
Paraswari.
"Kau pikir aku sebejat itu?" tanya Liku Grada
tegas.
Sedikit lega hati Paraswari mendengar perta-
nyaan Siluman Hutan Dadak.
"Dengar, Nisanak. Dalam hal melenyapkan
nyawa orang, aku memang tak pernah berpikir dua
kali untuk melakukannya. Tapi dengan tuduhanmu
tadi? Huh! Aku akan berpikir seribu kali untuk mela-
kukannya. Pantang bagiku merusak kehormatan seo-
rang gadis!" tegas dan jelas ucapan Liku Grada.
"Apa kau ingin membunuhku juga?" tanya Pa-
raswari.
Siluman Hutan Dadak menggelengkan kepala.
"Kau kubutuhkan untuk pelaksanaan upacara
maut, Nisanak. Jadi aku tak mungkin membunuhmu."
"Kau akan tetap membawaku ke puncak Gu-
nung Kumborang?" tanya Paraswari mencoba mengu-
lur waktu.
Gadis itu berharap ada orang lewat di tempat
ini dan memberikan pertolongan padanya.
"Tentu, Nisanak. Sekarang juga, aku tak punya
banyak waktu."
"Hup!"
Siluman Hutan Dadak segera menotol kakinya
di tanah, sementara tangannya dengan cepat menyam-
bar tubuh Paraswari. Begitu cepatnya sambaran tan-
gan Liku Grada hingga Paraswari tahu-tahu sudah be-
rada dalam pondongannya.
Dengan gerakan ringan dan karena mengerah
kan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Siluman
Hutan Dadak melesat cepat hingga tak berapa lama
kemudian tubuhnya sudah menghilang di balik pohon-
pohon besar yang berjajar.
Sore mendekati senja. Udara dingin mulai me-
nyergap kulit. Sementara langit sedikit menyisakan ro-
na jingga, memberi tanda malam sebentar lagi akan
menjelang.
Di kaki Gunung Kumborang nampak sosok
bayangan hitam bergerak ringan dan cepat. Sosok itu
begitu lincah mencelat dari gundukan batu gunung
yang satu ke batu yang lain.
Sosok berpakaian hitam yang tak lain Siluman
Hutan Dadak terus bergerak menaiki Gunung Kumbo-
rang. Sosok itu tak mempedulikan ketakutan gadis
yang berada dalam pondongannya.
Paraswari memang takut bukan main, sedikit
pun tak berani membuka mata melihat keadaan di se-
kitarnya.
"Hup!"
"Yeaaah!"
Sekali lagi Siluman Hutan Dadak melakukan
totolan pada batu Gunung Kumborang, maka lentin-
gan terakhir yang manis diselesaikannya.
"Sekarang bukalah matamu, Paraswari. Pe-
mandangan indah dapat kau lihat di sini," ujar Liku
Grada sebelum menurunkan Paraswari.
Gadis cantik itu tidak menuruti ucapan Liku
Grada. Meski orang yang memondongnya tidak lagi
melakukan lentingan-lentingan berbahaya, Paraswari
tetap memejamkan mata. Gadis ini tidak ingin melihat
jurang menganga di bawah sana.
"Kalau kau tak percaya kita sudah sampai di
puncak Gunung Kumborang, aku akan menurunkan
mu sekarang," ucap Liku Grada walaupun ia mema-
hami ketakutan gadis di pondongannya.
"Jangan!" larang Paraswari.
"Ha ha ha.... Rupanya kau masih betah berada
dalam pelukanku, Paraswari," sindir Siluman Hutan
Dadak.
Paraswari tentu saja malu mendengar ejekan
itu, seketika itu juga membuka matanya dan dilihat-
nya puncak Gunung Kumborang.
"Aku tidak membohongi mu, bukan?" ujar Liku
Grada sambil menurunkan tubuh Paraswari.
Paraswari tak menjawab ucapan Liku Grada,
bola matanya yang hitam pekat mengelilingi seluruh
sudut puncak Gunung Kumborang.
"Kita tak boleh berlama-lama di sini, Paraswari.
Kita harus cepat-cepat menemui Ki Kustara," ucap Li-
ku Grada seraya meraih tubuh Paraswari.
"Hup!"
***
"Hik... hik... hik... Memang tak ku sangsikan
janjimu, Liku Grada," sambut Ki Kustara ketika Silu-
man Hutan Dadak menjumpainya dengan membawa
seorang gadis cantik putri saudagar kaya Desa Sin-
dang Ayu.
"Satukan gadis itu dengan yang lain lalu kau
cepat kembali ke sini," perintah Ki Kustara alias Setan
Rimba Bangkai.
Siluman Hutan Dadak tidak menunggu perin-
tah Ki Kustara dua kali, dibawanya Paraswari untuk
disatukan dengan gadis-gadis yang sudah ada dalam
kerangkeng. Sebelumnya Liku Grada telah membe-
baskan Paraswari dari pengaruh totokan.
Paraswari terkejut mendapatkan empat gadis
seusianya berada dalam kerangkeng yang cukup besar.
Dirinya semakin tak mengerti dengan ucapan Liku
Grada dan Ki Kustara.
Paraswari memandangi gadis-gadis dalam ke-
rangkeng satu-persatu. Putri saudagar kaya Desa Sin-
dang Ayu tidak tahu yang bersamanya adalah putri
tunggal tokoh-tokoh golongan putih. Mereka adalah
Wulan Sari, putri tunggal Ketua Perguruan Seribu
Bunga. Narita, putri Ketua Perguruan Kumbang Jan-
tan dan Seriti serta Ratih, cucu Ki Jatirama Ketua Per-
guruan Sakajati.
Paraswari tenggelam dalam kebingungan. Dan
Siluman Hutan Dadak bergegas melangkah menuju Ki
Kustara, Dewi Racun Kembar dan Pangeran Kala Hi-
tam yang menunggunya.
Siluman Hutan Dadak segera mengambil tem-
pat di sebelah Pangeran Kala Hitam ketika berada di
hadapan Ki Kustara. Lelaki berpakaian hitam itu me-
narik napas dalam-dalam.
"Kita harus segera mengambil kepastian men-
genai rencana kita," ujar Ki Kustara setelah tiga tegu-
kan teh kehadiran Liku Grada.
Sejenak mata Dewi Racun Kembar, Pangeran
Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak merayapi Setan
Rimba Bangkai. Mereka menunggu keputusan apa
yang akan dikeluarkan lelaki tua, yang selama ini di-
anggap orang yang patut dipegang perkataannya.
"Kita majukan upacara maut lebih awal satu
hari," usul Ki Kustara mantap.
"Aku setuju, Ki," dukung Laras Nini.
"Ya. Menurutku juga begitu, Ki. Dengan dima-
jukannya pelaksanaan upacara maut, maka pekerjaan
kita akan cepat selesai. Tinggal menghadapi Raja Petir
atau yang lain, jika mereka menuntut perhitungan,"
timpal Laras Dewi.
"Aku pun begitu, Ki," sahut Kindang Supa si
Pangeran Kala Hitam.
"Aku setuju," tambah Liku Grada.
"Jika memang demikian, berarti tinggal dua ha-
ri lagi pelaksanaan upacara maut. Sekali lagi, tujuan
upacara maut adalah melampiaskan dendam dan me-
nebar keonaran pada kalangan persilatan golongan pu-
tih. Mulai hari ini, penjagaan dilipatgandakan teruta-
ma di puncak dan kaki gunung. Waspadai semua
orang yang mencoba mendekati kaki Gunung Kumbo-
rang. Dan kirim nyawa mereka ke neraka jika tak mau
menjauh dari tempat itu," putus Ki Kustara.
Dewi Racun Kembar, Pangeran Kala Hitam dan
Siluman Hutan Dadak mengangguk-angguk tanda se-
tuju dengan keputusan Setan Rimba Bangkai. Dengan
begitu, upacara akan dilaksanakan pada purnama ke-
tiga hari kedua.
***
Sementara Ki Kustara alias Setan Rimba Bang-
kai melipatgandakan penjagaan di sekitar Gunung
Kumborang, lain halnya dengan Jaka Sembada dan
Nyai Dinda Dahlia.
Tokoh-tokoh sakti golongan putih itu tak lagi
mencemaskan Ki Jatirama yang sudah bebas dari ra-
cun ganas pukulan 'Bisa Kala Hitam'.
Ki Jatirama kini dapat berdiri tegak, meski di
tubuhnya nampak balutan-balutan.
"Mendengar ceritamu tadi, kurasa Ki Kustara
akan memajukan rencana pelaksanaan upacara maut,"
ucap Ki Jatirama dengan tatapan mata kosong ke luar
jendela.
"Kenapa demikian, Kakang Jatirama?" tanya
Nyai Dinda Dahlia.
Ketua Perguruan Sakajati menatap Nyai Dinda
Dahlia. Ki Jatirama memaklumi kekhawatiran Ketua
Perguruan Seribu Bunga karena putri tunggalnya be-
rada dalam tawanan Ki Kustara.
"Kegagalan Siluman Hutan Dadak menda-
patkan Perwari memberitahukan mereka bahwa tokoh-
tokoh golongan putih tidak setuju dengan upacara itu.
Di antara tokoh-tokoh itu seorang muda yang kesak-
tiannya tak dapat diragukan lagi yaitu Raja Petir yang
sekarang berada di hadapan kita."
"Hhh...."
Jaka Sembada menarik napas panjang men-
dengar ucapan Ki Jatirama. Sebenarnya pemuda itu
tak suka dengan puji-pujian semacam itu, hanya akan
membuat dirinya terlena dan besar kepala!
"Diriku tak ada artinya tanpa bantuan kalian,"
kilah Jaka Sembada menghilangkan kerisihan.
Ki Jatirama tersenyum mendengar ucapan Raja
Petir.
"Begitu santunnya ucapanmu, Raja Petir. Na-
mun perlu kau ketahui, kehadiranmu di tengah-tengah
kami jadi penghalang bagi pelaksanaan upacara maut.
Itu pula salah satu alasan Ki Kustara memajukan wak-
tu pelaksanaan upacara maut.
"Kapan kira-kira upacara itu akan dilaksana-
kan, Kakang Jatirama?"
Masih dipenuhi kekhawatiran pertanyaan Nyai
Dinda Dahlia.
"Jika dugaanku benar, akan dilaksanakan pada
hari kedua purnama ketiga," jawab Ki Jatirama sambil
mempermainkan jenggotnya yang putih.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi kalau begi-
tu," ujar Raja Petir seraya menatap wajah cemas Nyai
Dinda Dahlia.
"Apakah sekarang juga kita mendatangi puncak
Gunung Kumborang?" tanya Nyai Dinda Dahlia yang
ditujukan entah pada siapa.
"Perjalanan menuju wilayah Gunung Kumbo-
rang memerlukan waktu satu hari penuh. Jika kita ti-
dak terlambat, sekarang waktu yang tepat untuk da-
tang ke puncak Gunung Kumborang. Itu pun harus
menggunakan ilmu lari cepat" jelas Ketua Perguruan
Sakajati.
Karena khawatir keselamatan putrinya, Nyai
Dinda Dahlia melangkah lebih dulu. Namun langkah
Ketua Perguruan Seribu Bunga tertahan oleh ucapan
Raja Petir.
"Tunggu sebentar, Nyai," cegah Jaka Sembada.
Nyai Dinda Dahlia menghentikan langkah dan
matanya tak berkedip memandang Jaka Sembada.
"Kita harus memikirkan keadaan Ki Jatirama,"
ucap Jaka Sembada melihat wajah Nyai Dinda Dahlia
menyimpan tanya.
"Ah! Aku tidak apa-apa, Raja Petir. Aku sudah
sehat," sanggah Ki Jatirama tak enak, apalagi melihat
ketidaksabaran Ketua Perguruan Seribu Bunga.
"Kurasa gerakanku tidak akan mengganggu lu-
ka-lukaku, aku pun sanggup bertarung dengan Ki
Kustara," lanjut Ki Jatirama.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang," putus
Jaka Sembada.
Ketua Perguruan Seribu Bunga lebih dahulu
mengangkat kaki dan menghentak kuat ke tanah. Tu-
buh perempuan berpakaian jingga dengan ikat ping-
gang putih segera melesat. Ki Jatirama, Perwari, Pri
maka, dan Jaka Sembada menyusul dengan tak kalah
cepat.
Sebentar tubuh mereka nampak saling berkeja-
ran, namun kemudian menghilang di balik kegelapan
malam yang dingin menusuk.
DELAPAN
Semilir angin pagi ditingkahi hujan rintik-rintik
membuat suasana bertambah dingin. Suasana itu
membuat orang-orang enggan beranjak dari pembarin-
gan. Hawa dingin yang menusuk kulit membuat mere-
ka semakin merapatkan selimut
Namun tidak bagi puluhan orang yang berjaga-
jaga di kaki Gunung Kumborang. Puluhan lelaki ber-
wajah kasar dan bengis nampak berkeliling di kaki
Gunung Kumborang, mereka tidak mempedulikan hu-
jan yang membasahi kepalanya.
"Untung hanya hujan rintik-rintik," kata seo-
rang lelaki berpakaian hitam berambut sedikit "Coba
kalau hujan deras, kita basah kuyup."
"Sebentar lagi hujan pasti berhenti, Niruda. Ta-
pi kita tetap waspada dan mencurigai setiap orang
yang melintas di kaki gunung ini," balas lelaki yang
lain.
"Kau benar, Kilar. Kita harus waspada kalau ti-
dak ingin kepala kita terpisah dengan badan," sahut le-
laki yang bernama Niruda.
Kilar mengangguk-angguk mendengar perka-
taan Niruda. Keduanya melanjutkan tugas, berkeliling
mengawasi setiap sudut kaki Gunung Kumborang.
Sementara di lain tempat, di balik semak belukar yang rimbun, Jaka Sembada, Ki Jatirama, Nyai
Dinda Dahlia serta Perwari dan Primaka tengah men-
gintai kegiatan puluhan lelaki yang berjaga-jaga di kaki
Gunung Kumborang.
"Penjagaannya sangat ketat," bisik Nyai Dinda
Dahlia.
"Ya. Kita harus mencari cara untuk mengelabui
mereka," ujar Ki Jatirama.
"Biar aku yang menghampiri, Ki Jatirama. Aku
akan berpura-pura menanyakan letak Gunung Kum-
borang," usul Jaka Sembada.
Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia saling ber-
pandangan, begitu pula Perwari dan Primaka. Mereka
tidak menyangsikan usul Raja Petir, hanya sedikit ter-
haru atas usul yang cukup bijaksana itu.
"Usulmu cukup bagus, Jaka," ujar Ki Jatirama.
"Tapi kau harus hati-hati,"
"Tentu, Ki," jawab Jaka Sembada.
Selesai dengan ucapannya, lelaki berpakaian
kuning keemasan menghentakkan kaki ke tanah. Dan
tubuhnya melesat cepat Ki Jatirama dan Nyai Dinda
Dahlia kagum melihat ilmu lari cepat dan ilmu merin-
gankan tubuh Raja Petir.
"Berhenti!" bentak seorang penjaga kaki Gu-
nung Kumborang ketika melihat Jaka Sembada berja-
lan mendekati.
Jaka Sembada mematuhi bentakan itu.
"Mau ke mana pagi-pagi sekali melintasi daerah
ini?" tanya lelaki yang bernama Niruda.
"Aku seorang pengembara yang mencari Gu-
nung Kumborang," jawab Jaka Sembada tenang.
"Hmmm.... Mau apa kau mencari Gunung
Kumborang?" selidik Kilar.
Jaka Sembada menatap wajah lelaki berpa
kaian hitam yang berkumis tipis.
"Aku ingin bertemu Ki Kustara."
"Ingin bertemu, Ki Kustara?" ulang Niruda.
"Ya."
"Lebih baik kau kembali, Anak Muda. Ki Kusta-
ra sedang ada urusan penting, beliau tidak ingin di-
ganggu," cegah Kilar.
"Ah! Namaku Jaka Sembada, Kisanak. Aku ada
urusan penting dengan beliau," desak Jaka Sembada.
"Aku tak bisa mengizinkan mu, Jaka Sembada.
Ki Kustara tidak ingin bertemu siapa pun hari ini," to-
lak Kilar sedikit keras.
"Tolonglah, Kisanak."
"Tidak bisa!" bentak Niruda keras.
Jaka Sembada berpura-pura terkejut menden-
gar bentakan Niruda.
"Tolong antarkan aku menemui Ki Kustara, Ki-
sanak. Atau aku akan menemui sendiri jika kalian ta-
kut kena marah," desak Jaka Sembada.
Niruda dan Kilar terperangah mendengar uca-
pan pemuda berpakaian kuning keemasan yang dira-
sanya sangat lancang.
"Lancang benar mulutmu, Anak Muda!" maid
Niruda. "Sekali lagi kau berani berkata seperti itu, aku
tak akan segan-segan memenggal kepalamu!"
"Jangan menakut-nakutiku, Kisanak," tukas
Jaka Sembada memancing kemarahan Niruda dan Ki-
lar. "Kalau kalian tidak mengizinkan ku menemui Ki
Kustara, tidak apalah. Tapi tolong beritahu, apa yang
dilakukan Ki Kustara di puncak Gunung Kumborang."
"Heh!? Rupanya kepalamu minta dipenggal!"
hardik Niruda seraya meloloskan golok dari pinggang.
Jaka Sembada pura-pura takut, kakinya mun-
dur satu langkah.
"Tolong beritahu, Kisanak. Setelah itu aku akan
pergi dari sini," desak Jaka Sembada.
Niruda semakin geram mendengar permintaan
itu. Dengan diiringi teriakan nyaring, lelaki berambut
tipis itu menebaskan goloknya ke leher Jaka Sembada.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Eits!"
Jaka Sembada berkelit ketika golok Niruda
mengancam leher. Serangan ganas Niruda yang dilan-
carkan dengan kekuatan tenaga penuh membentur
tempat kosong. Membuat darah penjaga kaki Gunung
Kumborang naik ke ubun-ubun.
Niruda dengan kemarahan menggelegak kem-
bali menerjang Jaka Sembada. Tebasan-tebasannya
kali ini disertai tenaga dalam, mencecar bagian-bagian
mematikan tubuh Raja Petir.
Bagi Raja Petir yang memiliki ilmu silat jauh le-
bih tinggi, mudah saja mengelakkan serangan yang
bagaimanapun tajamnya. Terbukti, dengan mengge-
rakkan sedikit saja bagian tubuhnya yang menjadi sa-
saran senjata lawan, maka senjata itu akan menemui
tempat kosong. Dan untuk memberi pelajaran pada le-
laki sombong bernama Niruda, Raja Petir menotok
punggung tangannya.
"Hih!"
Tuk!
"Aaa!"
Golok dalam genggaman Niruda terlepas dan
pemiliknya merasa tangannya sukar digerakkan, rasa
linu begitu kuat menggigit-gigit.
Kilar melihat temannya dapat dipecundangi
dengan mudah segera berteriak memanggil teman-
temannya. Maka seluruh penjaga kaki Gunung Kum
borang menghampiri dan mengurung Jaka Sembada
dengan senjata terhunus.
Jaka Sembada meneliti orang-orang yang men-
gurungnya. Kurang lebih lima puluh lelaki bersenjata
golok dan pedang siap merejamnya, namun pemuda
itu sedikit pun tak gentar.
"Serang...!"
Lima orang lelaki bersenjata golok berlompatan.
Laki-laki yang rata-rata berwajah bengis segera me-
rangsek Jaka Sembada dengan tebasan dan tusukan
yang mematikan
Tetapi kelima lelaki itu tidak tahu dengan siapa
mereka berhadapan, seorang pemuda yang namanya
melambung di antara tokoh-tokoh sakti rimba persila-
tan. Siapa lagi kalau bukan Raja Petir, yang dengan
mudah menghindari setiap terjangan senjata maupun
kepalan lawan.
"Hiyaaa!"
Bet! Bet!
"Uts!"
Jaka Sembada mencondongkan tubuhnya ke
belakang ketika golok lawan mencoba merobek perut-
nya. Tapi belum lagi pemuda itu menegakkan diri, se-
buah bokongan mencecar punggungnya.
Angin berdesir kuat menandakan pembokong-
nya sungguh-sungguh ingin membunuh Raja Petir.
Namun bukan Raja Petir, jika harus tunduk
pada anak buah Ki Kustara. Dengan mengerahkan se-
dikit tenaga dalam, pembokong itu merasakan akibat-
nya.
"Hiyaaa...!"
Takh!
"Aaa...!"
Lelaki itu terpental ke belakang ketika golok
yang diayunkan ke punggung Raja Petir seolah mem-
bentur logam keras. Dan merasakan nyeri pada perge-
langan tangan. Sementara golok yang tadi digunakan
menghantam punggung Jaka Sembada terlempar en-
tah ke mana.
Ki Jatirama, Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan
Primaka tentu saja tak ingin membiarkan Jaka Sem-
bada dikeroyok puluhan laki-laki dengan senjata ter-
hunus. Setelah diputuskan matang-matang, Ki Jatira-
ma dan Nyai Dinda Dahlia melesat cepat, menerjang le-
laki pengeroyok Raja Petir. Demikian juga Perwari dan
Primaka.
Pertarungan terpecah menjadi tiga bagian. Sua-
ra dentang senjata yang beradu, pekik kegeraman dan
jeritan menyayat yang mengiringi kematian mewarnai
pertempuran yang tak seimbang.
Meski penjaga kaki Gunung Kumborang sepu-
luh kali lipat, namun tidak berarti apa-apa bagi Raja
Petir, Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia, karena ke-
pandaian lawan berada jauh di bawah mereka. Tapi ti-
dak demikian dengan Perwari dan Primaka.
Gadis putri tunggal ketua Perguruan Wesi Wen-
ing dan kekasihnya kerepotan menghadapi keroyokan
penjaga kaki Gunung Kumborang, meski keduanya
memiliki ilmu silat setingkat di atas lawan-lawannya.
Hingga suatu saat...
"Hiyaaa...!"
Blagkh!
"Ukh!"
Tubuh Primaka terjengkang ketika sebuah ten-
dangan menggeledek menghajar dada, darah nampak
merembes keluar dari sela-sela bibir.
"Kakang Prima!" teriak Perwari panik.
Gadis itu ingin menghampiri Primaka, namun
sebuah serangan mengancamnya. Sebatang pedang
yang berkilat tertimpa matahari mengancam pelipis-
nya.
Perwari terkesiap menyaksikan sambaran pe-
dang yang begitu deras. Sebenarnya masih ada kesem-
patan bagi Perwari untuk membuang tubuh ke kanan,
tapi dari sisi kanan tampak seorang lelaki meluruk
dengan golok teracung di atas kepala.
Perwari tak dapat berbuat apa-apa kecuali me-
nunggu ajal datang menjemput. Dan pada saat yang
genting, sesosok tubuh berpakaian kuning melesat ce-
pat ke arah penyerang Perwari. Sosok tubuh yang tak
lain Raja Petir langsung mengirimkan pukulan keras
berturut-turut
"Hiaaa!"
Des! Des!
"Aaa!"
Lengkingan menyayat terdengar berturut-turut
mengiringi dua sosok tubuh yang terpental deras dan
jatuh berdebum ke tanah.
Brak! Brak!
Dua penjaga kaki Gunung Kumborang tewas
seketika.
***
Sementara di kaki Gunung Kumborang terjadi
pertarungan sengit, sebuah upacara tengah dilaksana-
kan di puncak Gunung Kumborang.
Suasana menyeramkan dan menegangkan ter-
jadi di puncak gunung, di mana perayaan upacara
maut tengah berlangsung. Puluhan lelaki berseragam
hitam longgar mengelilingi api unggun yang berkobar-
kobar. Dan di atas kobaran api tergantung sebuah ke
rangkeng besi berisi seorang dara cantik bernama Wu-
lan Sari.
Korban ketiga upacara maut meronta-ronta da-
lam kerangkeng besi. Tubuh Wulan Sari bersimbah pe-
luh, pakaiannya basah oleh keringat. Sementara lima
sosok tubuh berjubah merah yang tak lain Ki Kustara
si Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun Kembar, Pange-
ran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak tersenyum
menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kelima
sosok berjubah merah begitu menikmati geliatan dan
teriakan-teriakan Wulan Sari yang menyayat.
"Turunkan lagi kerangkeng itu!" perintah Setan
Rimba Bangkai lantang.
Empat lelaki kekar pengendali rantai kerang-
keng segera mengulur rantai sepanjang seperempat
tombak. Wulan Sari semakin memekik keras, lengkin-
gannya seperti hendak meruntuhkan gunung, namun
bagi Ki Kustara suatu kenikmatan tersendiri. Lelaki itu
tersenyum menyaksikan gadis dalam kerangkeng
menggeliat kepanasan.
Pada saat gadis dalam kerangkeng besi tidak
lagi mampu bertahan, sesosok bayangan kuning tiba-
tiba berkelebat cepat, menyambar kerangkeng besi
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Setan Rimba Bangkai terperangah menyaksikan
kejadian itu, terlebih ketika melihat keempat pengen-
dali rantai tercebur ke dalam kobaran api unggun.
Dan Setan Rimba Bangkai makin terperangah
melihat kemunculan Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dah-
lia.
"Hmmm.... Tak kusangka kau mampu bertahan
hidup, Jatirama," ejek Ki Kustara.
"Tentu saja, Kustara! Aku datang menuntut
kematian murid-muridku dan musnahnya bangunan
perguruan yang ku bangun dengan susah payah," har-
dik Ki Jatirama geram.
"Hmmm.... Kau tidak menuntut kematian cu-
cumu?"
"Apa!?"
Tersedak Ki Jatirama mendengar pertanyaan
Setan Rimba Bangkai, wajahnya seketika berubah me-
rah padam. Tangannya menegang kaku dan nafasnya
memburu.
"Keparat kau, Kustara!" Dengan kemarahan
meluap-luap Ki Jatirama menerjang lelaki berjubah
merah yang berjuluk Setan Rimba Bangkai. Angin
menderu mengiringi terjangan Ketua Perguruan Saka-
jati yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sementara di tempat lain, Jaka Sembada ber-
hadapan dengan Kindang Supa yang berjuluk Pange-
ran Kala Hitam dan Liku Grada si Siluman Hutan Da-
dak.
Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Da-
dak melakukan serangan bersamaan dari berbagai
arah, memaksa Raja Petir mengeluarkan jurus
'Pukulan Pengacau Arah'. Jaka Sembada ingin menye-
lesaikan pertarungan secepatnya! Pemuda itu tidak in-
gin melihat Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia menjadi
korban keganasan Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun
Kembar dan puluhan lelaki yang tadi mengelilingi api
unggun.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
"Uts!"
Kindang Supa dan Liku Grada segera mem-
buang tubuh ke arah yang berlawanan ketika melihat
Raja Petir kembali melancarkan jurus 'Pukulan Penga-
cau Arah'. Tapi mereka tidak mengetahui Jaka Semba
da melakukan pukulannya dengan kecepatan dua kali
lipat.
Ketika Kindang Supa dan Liku Grada bergulin-
gan, berturut-turut Raja Petir melepas jurus 'Pukulan
Pengacau Arah'
"Hiyaaa...!"
Wrrr... Wrrr!
Dua gelombang angin bergulung-gulung melu-
ruk tubuh Siluman Hutan Dadak dan Pangeran Kala
Hitam. Gelombang angin itu bagai sebuah pusaran
yang dahsyat, hingga ketika tubuh lawan terhajar, dua
lengkingan menyayat pun segera membumbung tinggi.
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Tubuh Liku Grada dan Kindang Supa terlihat
melayang bagai segumpal kapas terlanda angin. Pada
saat itu pula nyawanya meninggalkan raga. Dan ketika
jasadnya jatuh berdebum ke bumi, tubuh keduanya
langsung menegang kaku.
Selesai menghabisi Pangeran Kala Hitam dan
Siluman Hutan Dadak, Raja Petir segera melesat ke
tengah pertarungan Nyai Dinda Dahlia dan Dewi Ra-
cun Kembar.
"Akulah lawanmu, Dewi Racun Kembar!" teriak
Jaka Sembada mengambil alih pertarungan.
Sementara Ketua Perguruan Seribu Bunga
menghadapi para pengikut Ki Kustara.
"Huh! Jangan sombong, Raja Petir. Aku sudah
sejak tadi menunggu bertarung denganmu, tapi kau
memilih dua lelaki yang bukan tandingan mu!" balas
Laras Nini.
"Majulah kalian bersama, aku tidak segan-
segan mengirim kalian ke lubang kubur," timpal Jaka
Sembada.
"Kurang ajar!" maki Laras Dewi.
"Sebaiknya lelaki sombong sepertinya jangan
diberi hati, Kak."
"Ya, Nyawanya akan kita cabut sekarang juga,"
sahut Laras Nini.
Kedua gadis cantik berjuluk Dewi Racun Kem-
bar segera meraba hulu pedang. Tak lama kemudian....
Srat!
Srat!
Laras Nini dan Laras Dewi meloloskan senja-
tanya dan menyilangkan di depan dada.
"Hmmm.... Jangan menyesal jika nyawamu me-
layang di tempat ini. Raja Petir!"
"Buktikan ucapanmu, Gadis Angkuh!" tantang
Raja Petir.
Hati Dewi Racun Kembar terbakar mendengar
ucapan Jaka Sembada. Tanpa banyak cakap lagi dan
disertai lengkingan keras, Dewi Racun Kembar me-
rangsek maju bersamaan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
Dua kali Jaka Sembada melentingkan tubuh-
nya. Sangat manis gerakan lelaki yang berjuluk Raja
Petir itu. Lejitan-lejitannya sangat ringan, menandakan
ketinggian ilmu meringankan tubuhnya.
Dewi Racun Kembar semakin geram melihat se-
rangan mereka dapat digagalkan dengan mudah.
"Gerakanmu memang lincah, Raja Petir!" ejek
Laras Nini. "Tapi kau tidak akan mampu menghindari
serbuk maut Dewi Racun Kembar!"
Selesai dengan perkataannya, Laras Nini men-
gerling pada Laras Dewi. Kemudian keduanya bergerak
cepat memasukkan tangan ke balik pakaian.
"Hih!"
"Hih!"
Werrr! Werrr!
Serbuk berwarna merah seketika menyambar
ke wajah Jaka Sembada. Begitu cepatnya serbuk ber-
bau amis itu menyebar hingga Raja Petir tak sempat
mengelak. Dengan segenap kemampuan pemuda itu
mencoba meredam bau anyir serbuk beracun Dewi Ra-
cun Kembar. Walaupun begitu Jaka Sembada merasa-
kan keganasan serbuk maut Dewi Racun Kembar. Raja
Petir merasakan sekujur tubuhnya gatal-gatal.
Dan dengan liciknya, Dewi Racun Kembar me-
manfaatkan kelemahan Raja Petir yang sibuk menga-
tasi pengaruh serbuk mautnya. Dua tendangan meng-
geledek berturut-turut dilancarkan ke tubuh Jaka
Sembada.
"Hiyaaa!"
Diegkh! Diegkh!
"Aaa...!"
Jaka Sembada memekik tertahan saat dua ten-
dangan keras mendarat di punggung dan pinggulnya.
Tubuhnya langsung terhempas sejauh satu tombak.
Darah nampak keluar dari sela-sela bibirnya.
"Ha ha ha...! Nyawamu ada di ujung pedangku,
Raja Petir! Bersiaplah menuju alam baka!" ucap Laras
Nini.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
***
Melihat Laras Mini dan Laras Dewi menerjang
bersamaan dengan senjata terhunus, tak ada jalan lain
bagi Jaka Sembada selain membuka sabuk kuning
yang melilit pinggangnya.
Sinar kuning menyilaukan seketika berpendar-
pendar dari sabuk kuning keemasan yang tergenggam
di tangan Raja Petir. Bersamaan dengan lolosnya sa-
buk kuning, rasa gatal akibat serbuk maut Dewi Ra-
cun Kembar lenyap.
Dan ketika serangan Dewi Racun Kembar da-
tang, Jaka Sembada memutar pergelangan tangan.
"Hiyaaa!"
Ctar! Ctar!
Glaaarrr! Glaaarrr!
Bunyi gemuruh terdengar seiring bergeraknya
pergelangan tangan Raja Petir, yang memainkan sabuk
petirnya dalam jurus 'Petir Membelah Malam'. Seber-
kas sinar keperakan menyambar laksana petir.
Laras Nini dan Laras Dewi yang berada di uda-
ra, tak mampu berbuat banyak menghindari serangan
Jaka Sembada yang datang mendadak dan begitu ce-
pat. Tubuh mereka terhempas deras diiringi lengkin-
gan kematian yang menyayat. Tubuh kedua gadis itu
hangus seperti terhajar petir.
"Aaa...!"
Terkejut Jaka Sembada mendengar jeritan me-
lengking yang datang dari belakang. Pemuda itu segera
membalikkan badan. Raja Petir melihat Nyai Dinda
Dahlia limbung, terhajar serangan lawan. Sementara
dari arah lain tiga lelaki pengikut Setan Rimba Bangkai
menyongsong dengan senjata teracung ke udara.
Raja Petir segera melesat menuju Ketua Pergu-
ruan Seribu Bunga dan menghalau penyerang Nyai
Dinda Dahlia dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'
Tiga lelaki dengan golok terhunus terpental, di-
hajar angin bergulung yang keluar dari telapak tangan
Jaka Sembada. Begitu deras terjangan angin pusaran
itu, hingga tubuh lawan-lawannya rebah tak bernyawa.
Belum selesai Jaka Sembada merubah letak
berdirinya, empat lelaki menyongsong ke arahnya. Kali
ini Raja Petir tidak meladeni dengan jurus yang sama.
Tubuhnya berkelit menghindari tebasan dan tusukan
senjata lawan, sambil melancarkan totokan.
"Hih!"
Tuk! Tuk!
Tubuh keempat penyerangnya tergolek tidak
berdaya, terkena totokan Jaka Sembada yang datang-
nya tidak terlihat mata.
Sementara pertarungan antara Ki Kustara dan
Ki Jatirama nampak mulai tidak seimbang. Ki Jatira-
ma terdesak hebat Berkali-kali pukulan Setan Rimba
Bangkai menghajar tubuh ketua Perguruan Sakajati.
Darah mengalir dari sela-sela bibir Ki Jatirama.
"Kau hadapi anak buah Ki Kustara yang tinggal
sedikit itu, Nyai. Aku akan membantu Ki Jatirama,"
ujar Jaka Sembada.
"Baik, Raja Petir," sahut Nyai Dinda Dahlia.
Jaka Sembada berkelebat tepat pada saat pe-
dang tumpul Ki Kustara hendak membelah batok ke-
pala Ki Jatirama. Tangan Jaka Sembada bergerak ce-
pat memapak pergelangan tangan Ki Kustara.
Trak!
"Aaa...!"
Ki Kustara terkejut bukan main melihat seran-
gannya berhasil dipapaki seseorang. Tubuhnya terjajar
tiga langkah dan tangannya bergetar hebat
Mata Ki Kustara menatap Jaka Sembada tajam,
giginya bergemeratakan menandakan kegeramannya
yang memuncak atas perbuatan pemuda berpakaian
kuning keemasan di hadapannya.
"Hmmm.... Kau pasti, Raja Petir. Tenaga da
lammu cukup tinggi. Tapi ketahuilah, Setan Rimba
Bangkai akan menguburmu sekarang juga!" lantang
ucapan lelaki tua itu. "Bersiaplah, Raja Petir!"
Laki-laki tua yang berjuluk Setan Rimba Bang-
kai segera merubah kuda-kudanya. Kaki lelaki itu te-
rangkat dua langkah ke belakang membentuk kuda-
kuda gantung. Kedua tangannya beradu dan diusap-
usap cepat. Dan asap putih kehitaman mengepul dari
gosokan dua telapak tangan Ki Kustara. Lelaki beru-
mur enam puluh tahun lebih itu sedang mengerahkan
ajian 'Lebur Jasad'.
"Grrrrkkk...!"
Cerrrsss...!
Asap putih kehitaman tiba-tiba meluruk cepat
ke arah Jaka Sembada yang sudah siap menghalau
dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Dan....
"Hiaaa!"
Wrrr!
Tercekat hati Raja Petir melihat segulungan an-
gin deras yang keluar dari telapak tangannya tidak
mampu menghalau asap putih kehitaman yang melun-
cur ke arahnya. Jaka Sembada segera membuang tu-
buhnya ke kanan menghindari terjangan asap putih
kehitaman yang mengandung hawa panas menyengat.
Sambil melompat, tangan pemuda itu menotol
tanah kuat-kuat Tubuhnya melenting dan berputaran
dua kali.
"Ups!"
Raja Petir mendarat dengan manis pada jarak
tiga tombak, namun serangan-serangan Ki Kustara
masih tetap mengancam. Asap putih kehitaman kem-
bali meluruk deras ke arahnya.
"Sungguh aneh ajian Ki Kustara. Aku harus
mencari titik lemahnya," bisik Jaka Sembada sambil
berpikir mencari jalan keluar.
"Haruskah ku kerahkan jurus 'Serbuk Petir Pe-
lebur Raga'? Atau...."
Dengan perkiraan yang tepat. Raja Petir segera
menyambut aji 'Lebur jasad' ciptaan Ki Kustara dengan
aji 'Kukuh Karang' miliknya.
Seluruh kepala hingga dadanya terbalut sinar
kuning keemasan, begitu juga lutut hingga ujung kaki.
Sinar kuning keemasan yang membungkus bagian-
bagian tubuh Raja Petir terus berpendar dan ketika si-
nar putih kehitaman menerjang, maka....
Pruf!
Sinar putih kehitaman itu seperti tertelan tu-
buh Jaka Sembada, sementara tubuh pemuda itu se-
dikit pun tidak terpengaruh hawa panas yang menyen-
gat
Kenyataan itu membuat Setan Rimba Bangkai
tidak percaya. Tak seorang pun mampu menahan
ajiannya selama ini, namun terhadap Raja Petir...?
Dengan kegeraman yang meluap-luap, Setan
Rimba Bangkai melesat cepat bagai kilat. Ki Kustara
mencoba menembus sinar kuning keemasan di tubuh
Jaka Sembada, dengan pedang tumpulnya yang sangat
dibanggakan.
"Hiyaaa...!"
Trak!
Sleps!
Senjata Ki Kustara yang menghantam tubuh
Jaka Sembada tidak dapat ditarik pulang. Lelaki tua
itu coba mempertahankan senjatanya yang tersedot
tenaga Raja Petir. Tapi makin kuat Ki Kustara menge-
rahkan tenaga, semakin kuat pula sedotan tenaga Ja-
ka Sembada.
Kesempatan, itu dipergunakan Jaka Sembada.
Dengan sekali gerak, tangan kanan Raja Petir meng-
gendor dada Ki Kustara.
"Hih!"
Blagkh!
"Aaa...!"
Lengking kematian menyayat, membumbung ke
langit Tubuh Ki Kustara terpental deras dengan tulang
dada hancur. Suara berderak terdengar ketika tubuh
lelaki tua yang berjuluk Setan Rimba Bangkai jatuh ke
bumi, saat itu juga tubuhnya menjadi bangkai.
Di tempat lain Ketua Perguruan Seribu Bunga
tengah menyelesaikan lawan terakhirnya. Perempuan
berpakaian jingga itu menebaskan senjata ke perut
pengikut Ki Kustara, maka....
"Hiaaa!"
Bret!
"Akh!"
Tubuh lelaki berpakaian hitam seketika lim-
bung, dengan darah mengucur deras dari perutnya
yang terluka cukup dalam. Lelaki itu hanya mampu
bertahan beberapa saat, lalu tubuhnya meregang ka-
ku.
Seiring dengan kematian lawan terakhirnya,
Nyai Dinda Dahlia melesat menghampiri tubuh pu-
trinya, yang tergeletak tak jauh dari api unggun yang
masih menyala.
"Wulan, Wulan Sari!" panggil Nyai Dinda Dahlia
keras sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya.
Setelah berkali-kali perempuan setengah baya
itu berbuat demikian, baru disadarinya anaknya sudah
tiada.
"Wulaaannn...!" pekik keras seketika melam-
bung tinggi, Gunung Kumborang seperti hendak run-
tuh.
"Sudahlah, Nyai. Tak perlu disesali apa yang te-
lah ditentukan Gusti Pencipta Alam Semesta," bujuk Ki
Jatirama sambil membopong mayat Ratih.
Dan di sisi Ki Jatirama berdiri Seriti, saudara
kembar Ratih, dengan isak tangis tertahan.
"Cucu yang sangat kukasihi juga menghadap-
Nya, Nyai. Tapi aku berusaha tabah dan menerima ke-
tentuan sang Pencipta," lanjut Ki Jatirama sambil me-
nahan kesedihan yang sangat
"Betul, Nyai. Kita memang harus menerima dan
merelakan semua yang telah digariskan-Nya," ujar Ja-
ka Sembada mencoba membesarkan hati Nyai Dinda
Dahlia. "Sekarang sebaiknya kita turun gunung untuk
segera mengurus jenazah Wulan Sari dan yang lain-
nya."
Sesaat Nyai Dinda Dahlia menatap wajah Jaka
Sembada dan Ki Jatirama bergantian. Kemudian tan-
gannya bergerak membopong jenazah anaknya dan
berjalan gontai turun Gunung Kumborang.
Angin bertiup semilir mengiringi kepergian me-
reka, seolah memberi lambaian selamat jalan. Dan
puncak Gunung Kumborang kembali sunyi.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar