..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE UPACARA MAUT

Upacara Maut

 

UPACARA MAUT

oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting : Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir dalam episode: 

Upacara Maut

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Udara siang ini terasa begitu panas. Saat itu 

matahari tepat berada di atas kepala. Cahayanya yang 

terik menyengat seluruh makhluk yang berada di ba-

wahnya.

Namun di tengah panas yang menyengat itu, 

tampak dua sosok tubuh berkelebat cepat menerobos 

padang rumput yang cukup luas. Sosok-sosok itu sea-

kan tidak mempedulikan panas matahari. Mereka pun 

berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang 

cukup tinggi.

"Kau kelihatan bernafsu sekali, Kak," ujar gadis 

cantik berpakaian hijau seraya melambatkan larinya.

Gadis cantik berpakaian ungu yang bernama 

Laras Nini pun melambatkan larinya, dan menoleh pa-

da gadis di sebelahnya.

"Aku ingin tugas ini cepat selesai, Dewi," jawab 

Laras Nini, kembali menaikkan tempo larinya.

"Apa kau pikir semudah itu?" tanya Laras Dewi, 

membuat lari Laras Nini terhenti.

Gadis cantik berpakaian ungu itu menatap le-

kat wajah Laras Dewi.

"Kau tak yakin dengan kemampuan kita, De-

wi?" selidik Laras Nini dengan raut muka sedikit kesal.

"Tentu saja yakin," jawab Laras Dewi dengan 

senyum sedikit terkembang, gadis itu maklum dengan 

perangai kakaknya yang cepat naik pitam.

"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Laras 

Nini dengan nada tinggi.

"Sekadar mengingatkan, agar jangan meremeh-

kan kemampuan orang lain, "jawab Laras Dewi kemba-

li menggenjot larinya.



"Aku tidak meremehkan pimpinan Perguruan 

Seribu Bunga, namun keyakinanku cukup beralasan 

dapat meruntuhkan Nyai Dinda Dahlia. Bukankah se-

lama ini kita tak pernah dikalahkan oleh tokoh sakti 

sekalipun?" sangkal Laras Nini.

"Aku juga berharap demikian. Agar Ki Kustara 

lebih yakin bahwa kita mampu berdiri sejajar dengan 

Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak, bahkan 

dirinya sendiri."

Laras Nini tak menanggapi ucapan Laras Dewi 

yang rupanya cukup berkenan di hati. Gadis cantik 

berpakaian ungu itu terus mempercepat lari. Mereka 

yang berjuluk Dewi Racun Kembar melesat cepat tanpa 

menghiraukan sengatan sinar matahari yang cukup te-

rik

Sepeminum teh lamanya Dewi Racun Kembar 

mengerahkan ilmu lari cepat. Mereka baru berhenti di 

depan sebuah bangunan yang cukup megah. Pada ba-

gian muka terpampang sebuah papan nama Perguruan 

Seribu Bunga.

"Nampaknya Nyai Dinda Dahlia tidak menjaga 

ketat wilayah perguruannya, Kak," ujar Laras Dewi me-

lihat pintu gerbang hanya dijaga dua perempuan ber-

pakaian putih, keduanya nampak sedang membicara-

kan sesuatu.

"Kelihatannya begitu, Dewi," jawab Laras Nini.

"Nampaknya mereka memandang sebelah mala 

surat permintaan yang ditandatangani lima tokoh sak-

ti. Atau... mungkin ini sebuah perangkap," duga Laras 

Dewi.

Memang sebelum keduanya mendatangi Pergu-

ruan Seribu Bunga. Mereka telah lebih dulu mengirim 

surat permintaan yang ditandatangani Setan Rimba 

Bangkai, Pangeran Kala Hitam, Siluman Hutan Dadak,


Laras Nini juga Laras Dewi yang sesungguhnya berju-

luk Dewi Racun Kembar.

"Mungkin dugaanmu benar, tapi kita tak perlu 

khawatir, seberapa besar kekuatan mereka dapat me-

nandingi kita," timpal Laras Nini begitu yakin.

Kedua gadis yang berjuluk Dewi Racun Kembar 

lalu melangkah mendekati pintu gerbang, dan berhenti 

di depannya.

"Antarkan kami menghadap pimpinan kalian," 

ujar Laras Nini mantap.

Sinar matanya menatap tajam dua perempuan 

seperempat abad, yang bertugas menjaga pintu ger-

bang Perguruan Seribu Bunga.

"Siapa Nisanak berdua, dan ada keperluan apa 

ingin bertemu pimpinan kami?" tanya penjaga berwa-

jah bulat. Tatapan matanya menunjukkan kecurigaan 

pada dua gadis yang berdiri di hadapannya.

Dewi Racun Kembar tersenyum mendengar 

ucapan yang kurang bersahabat Dari senyum yang 

nampak samar-samar, kemudian berkembang menjadi 

tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga da-

lam cukup tinggi.

"Ha ha ha...!"

Kedua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu 

Bunga tentu saja terkejut menyaksikan tingkah dua 

gadis yang berpakaian ungu dan hijau. Dua penjaga 

itu seketika merasakan telinganya berdengung hebat, 

kaki mereka pun bergetar keras. Namun kejadian itu 

tidak berlangsung lama karena Dewi Racun Kembar 

segera menghentikan tawa.

"Terlalu picik pengetahuan kalian, hingga tak 

mengenal siapa kami!" ucap Laras Nini keras.

"Ya. Dengar baik-baik dan catat di kepala ka-

lian, kami adalah dua gadis yang berjuluk Dewi Racun


Kembar!" tegas Laras Dewi.

Dua penjaga pintu gerbang Perguruan Seribu 

Bunga agaknya memang tidak mengenal siapa Dewi 

Racun Kembar. Keduanya tidak kelihatan terkejut se-

dikit pun ketika julukan yang cukup tersohor itu di-

dengarnya.

"Siapa pun kalian jika datang ke perguruan ini 

tidak menunjukkan tata krama yang baik, kami akan 

menolaknya, bahkan mengusirnya!" ucap penjaga yang 

lain tegas. Sikapnya nampak sedikit lebih tenang.

Laras Nini tersentak mendengar ucapan yang 

begitu meremehkan. Seketika itu juga, gadis itu me-

layangkan tamparan tangan kanannya ke muka penja-

ga Perguruan Seribu Bunga.

"Mulutmu tak pantas bicara seperti itu, Nisa-

nak!"

Plak! Plak!

Begitu cepatnya tamparan tangan Laras Nini, 

hingga gadis penjaga pintu gerbang itu tak mampu 

menghindar. Dan gadis penjaga pintu gerbang yang 

berwajah pucat itu, seketika ambruk ke tanah dengan 

kepala remuk terkena tamparan keras Laras Nini

Kejadian itu sangat mengejutkan penjaga pintu 

gerbang yang berwajah bulat, perempuan seperempat 

abad itu segera mencabut senjata.

Srat!

"Kurang ajar! Kalian harus mengganti nyawa 

temanku itu! Hiat!"

Dengan mengandalkan pedangnya, penjaga 

Perguruan Seribu Bunga merangsek maju. Tebasan 

senjatanya mengarah ke bagian tubuh Laras Nini yang 

mematikan, dilancarkan dengan pengerahan tenaga 

dalam penuh.

Laras Nini menyaksikan kekalapan penjaga


Perguruan Seribu Bunga tetap berdiri tenang. Sikap-

nya seperti tak mau menghindari sambaran senjata 

lawan. Akan tetapi, ketika beberapa rambut lagi senja-

ta penjaga Perguruan Seribu Bunga menggores kulit-

nya, Laras Nini bergerak cepat memiringkan tubuh. 

Sementara tangan kanannya dengan jari terbuka be-

kerja cepat, mencekal pergelangan tangan gadis penja-

ga. 

"Hih!" 

Krack! 

"Aaa...."

Penjaga Perguruan Seribu Bunga terpekik keti-

ka tangannya yang dicekal kuat diputar keras, hingga 

sambungan tangannya terlepas. Dan Laras Nini tidak 

berhenti sampai di situ, tanpa mempedulikan lenguh 

kesakitan lawan segera digedornya punggung gadis itu.

Blak!

"Aaa...!"

Lengking keras menyayat terdengar dari mulut 

gadis berpakaian putih, seiring dengan itu tubuhnya 

terpental dan ambruk di tanah tanpa nyawa.

Seringai dingin seketika nampak di wajah Laras 

Nini, apa lagi ketika dari dalam bangunan bermuncu-

lan beberapa murid perguruan itu.

"Mana pimpinan kalian? Kenapa bersembunyi 

seperti tikus comberan!" hardik Laras Nini pada murid-

murid perguruan yang terperangah menyaksikan dua 

mayat temannya tergeletak mengerikan.

"Dewi Racun Kembar! Mulutmu terlalu busuk 

dan tindakanmu tak ubahnya seperti iblis! Kenapa ka-

lian bunuh saudaraku?" bentak murid utama Pergu-

ruan Seribu Bunga, wajahnya merah menahan marah.

"Aku tak membunuhnya, Nisanak! Mereka yang 

meminta ku untuk segera mengirim nyawanya ke akhi


rat!" jawab Laras Nini tenang, di wajahnya masih nam-

pak seringai dingin.

"Kurang ajar!"

"Hati-hati, Kak Warti," ucap murid utama Per-

guruan Seribu Bunga yang lain.

Wajahnya nampak tegang memandang dua ga-

dis muda di hadapannya. Dewi Racun Kembar ikut 

menandatangani surat permintaan yang ditujukan pa-

da ketua Perguruan Seribu Bunga.

"Tentu saja, Adik Nila. Mereka sebenarnya bu-

kan tandingan kita, tapi kita harus mencegah keingi-

nan gilanya," jawab gadis yang dipanggil Warti.

"Cepat! Suruh keluar pimpinan kalian! Jangan 

tunggu kesabaranku habis!" bentak Laras Dewi keras.

"Guruku tak ada di tempat!" balas Nila tak ka-

lah keras.

"Hmmm.... Ternyata Nyai Dinda Dahlia seorang 

pengecut, Kakak Laras," ujar Laras Dewi pada Laras 

Nini.

"Tidak ada istilah pengecut bagi guru dan mu-

rid-murid Perguruan Seribu Bunga, Dewi Racun Kem-

bar!" bentak Warti sengit.

"Lalu kenapa guru kalian tak mau keluar?"

"Telingamu ternyata sudah tuli! Sudah kukata-

kan, guruku tak ada di tempat!" ejek Nila.

Merah padam wajah Laras Dewi mendengar 

ucapan Nila. Langkahnya hampir terayun kalau saja 

Laras Nini tidak segera menahan.

"Sabar, Dewi," cegah Laras Nini merentangkan 

tangan.

Laras Dewi hanya bisa menggertakkan gigi me-

nahan kegeraman.

"Nisanak! Kalau guru kalian tak juga berkenan

keluar karena gentar menghadapi kami, kami tak akan


memaksa. Tapi tolong bawa ke hadapanku putri tung-

galnya. Kami membutuhkannya sebagai persembahan 

upacara maut!"

"Dewi Racun Kembar! Ketahuilah, surat kalian 

yang disampaikan secara keji itu sedikit pun belum 

tersentuh tangan guru kami. Jadi kami tak sudi me-

layani permintaan sintingmu!" tukas Warti tidak mau 

kalah.

Dewi Racun Kembar sangat marah mendengar 

ucapan itu. Tanpa pikir panjang keduanya langsung 

menyerang dua murid utama Perguruan Seribu Bunga.

"Heaaa!" 

Uts!

"Heaaa!"

Serangan gencar dilakukan Dewi Racun Kem-

bar ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Kedua-

nya belum mengeluarkan jurus-jurus andalan hingga 

murid-murid perguruan yang dipimpin Nyai Dinda 

Dahlia masih bisa menghindari serangan-serangannya.

Memasuki jurus ke sebelas Dewi Racun Kembar 

tak mau membuang tenaga percuma, keduanya segera 

meningkatkan tempo serangan.

Suasana di halaman Perguruan Seribu Bunga 

jadi lebih riuh. Denting senjata dan teriakan kegera-

man tak henti-henti terdengar. Bunga api kerap me-

mercik karena beradunya dua senjata dengan penge-

rahan tenaga dalam tinggi.

Trang!

"Aaakh!"

Pekik kesakitan Nila terdengar seiring dengan 

tubuhnya yang terjajar sejauh satu tombak, tangan 

kanannya yang digunakan memapaki tebasan senjata 

Laras Dewi bergetar hebat. Nila merasakan kelumpu-

han pada tangan kanannya, itu menandakan tenaga


dalam Laras Dewi jauh berada di atasnya.

"Kau harus mampus sekarang juga! Hiaaa...!"

Laras Dewi kembali berkelebat mengejar tubuh 

Nila yang tak jejak berdiri. Kelebatan pedangnya yang 

cepat dan terarah mengeluarkan bunyi gaung, mem-

buat hati Nila tercekat sesaat

Wuuut!

"Ih!"

Nila melempar tubuhnya ke kanan ketika pe-

dang Laras Dewi menghujam lambung. Seraya bergu-

lingan di tanah berumput halus, mata gadis itu tak le-

pas memperhatikan serangan-serangan Laras Dewi 

yang cepat bagai kilat. Dan ketika Nila merasakan tak 

ada lagi ruang gerak untuk menghindar, dengan san-

gat terpaksa tangan kirinya disilangkan untuk mema-

paki tusukan senjata lawan.

Trang!

"Aaakh!"

Kembali Nila terpekik ketika benturan keras 

terjadi. Tangan kirinya merasakan kelumpuhan seperti 

yang kanan.

"Sekarang kau tidak bisa menghindar, Nisanak! 

Jemputlah kematianmu!"

Laras Dewi kembali mengangkat pedang tinggi-

tinggi. Dengan wajah yang menyiratkan kebengisan, 

matanya menatap tajam sekujur tubuh Nila yang ter-

pojok tak berdaya.

Diiringi lengkingan nyaring, tubuh sintal Laras 

Dewi berkelebat dengan senjata terhunus. Sementara 

Nila murid utama Perguruan Seribu Bunga sudah pa-

srah menghadapi ajal yang sebentar lagi datang me-

renggut, kedua kelopak matanya terpejam. 

Siiing! Siiing! Siiing! 

Nila kembali membuka kelopak mata ketika su


ara berdesing itu tertangkap pendengarannya. Sedang 

Laras Dewi yang hampir mendekati tubuh korbannya 

terpaksa menolehkan kepala ketika mendengar desing 

senjata yang berasal dari belakang tubuh.

"Huh!"

Dengan kegeraman yang luar biasa, gadis itu 

segera mengurungkan niatnya melenyapkan nyawa Ni-

la. Pedangnya diputar cepat memapaki kedatangan tiga 

batang pedang yang meluncur deras ke arah tubuh-

nya.

Wuuut..!

Trang! Trang! Trang!

Tiga batang pedang yang dilempar tiga murid 

Perguruan Seribu Bunga berpentalan ke berbagai arah. 

Laras Dewi tersenyum dingin, menatap tiga murid Per-

guruan Seribu Bunga yang kini tanpa senjata.

Dengan kegeraman yang memuncak, tubuh La-

ras Dewi melesat ke arah tiga sosok tubuh yang masih 

terpaku melihat gerakannya yang begitu cepat

"Hiaaa...!" 

Bret! Bret! Bret! 

"Aaa...!"

Tiga lengkingan menyayat terdengar susul-

menyusul membumbung ke langit, disertai ambruknya 

tiga sosok tubuh murid Perguruan Seribu Bunga ke 

tanah. Begitu menyedihkan keadaan mereka, luka di 

bagian perut menganga lebar dan usus terburai keluar.

"Biadab!" maki Nila yang sudah mampu men-

guasai diri.

Makian Nila terdengar Laras Dewi sehingga 

membuat gadis itu berniat kembali menghilangkan 

nyawa Nila. Untuk melakukannya Laras Dewi harus 

lebih dulu menyingkirkan empat gadis yang berdiri di 

kiri kanan Nila dengan senjata terhunus.


"Kali ini kau tak akan bisa lolos, Nisanak!" ben-

tak Laras Dewi.

Tubuhnya kembali bergerak cepat, senjatanya 

diputar-putar hingga menimbulkan bunyi dengung 

yang memekakkan telinga. 

Nguuung...! 

"Hiaaa!" 

Trang! Trang!

Bunyi denting senjata diiringi pekik kesakitan 

kembali terdengar. Dua tubuh murid Perguruan Seribu 

Bunga terlihat limbung ke belakang, mereka merasa-

kan getaran hebat pada tangannya, seperti terkena 

sengatan ribuan lebah.

Laras Dewi yang memang ingin membinasakan 

seluruh penghuni Perguruan Seribu Bunga, segera 

mengejar dua murid perguruan yang tengah merasa-

kan nyeri.

"Hiaaa!"

Track! Track!

Begitu derasnya hantaman pedang Laras Dewi 

ke kepala mereka, hingga dua gadis berpakaian putih 

itu menggelepar di tanah dengan kepala terbelah dua. 

Darah bercampur otak terlihat bermuncratan memba-

sahi pakaian dan rerumputan halus.

Sementara pertarungan sengit pun terjadi anta-

ra Warti yang dibantu murid-murid Perguruan Seribu 

Bunga yang lain, menghadapi Laras Nini yang sudah 

menghunus senjata.

Korban banyak berjatuhan dari pihak murid-

murid Perguruan Seribu Bunga, yang rata-rata memi-

liki kemampuan ilmu bela diri di bawah Laras Nini. 

Wajar jika setiap gerakan yang dilakukan gadis berju-

luk Dewi Racun Kembar, disertai pekik kesakitan dan 

ambruknya tubuh dengan bersimbah darah dari luka


tebasan senjata gadis itu.

Semakin lama pertarungan berlangsung, sema-

kin banyak korban berjatuhan. Warti yang dipercaya 

menjaga Perguruan Seribu Bunga selama kepergian 

Nyai Dinda Dahlia... memenuhi undangan sahabatnya 

yang merayakan hari jadi kelima perguruannya, mere-

ka ngeri atas kebengisan Dewi Racun Kembar. Kalau 

pertarungan ini terus dilanjutkan, bukan tidak mung-

kin seluruh penghuni perguruan ini binasa, tidak ter-

kecuali dirinya.

Namun untuk menyerahkan putri tunggal Nyai 

Dinda Dahlia, juga suatu hal yang mustahil. Maka 

dengan berat hati, Warti mengambil keputusan tetap 

melanjutkan pertempuran yang semakin berat sebelah.

Puluhan murid Perguruan Seribu Bunga telah 

bergeletakan tanpa nyawa, sementara Laras Nini dan 

Laras Dewi semakin mempertajam serangan-

serangannya.

"Hiaaa! Hiaaa!"

Bret!

"Aaa...!"

Korban kembali jatuh di pihak murid-murid 

Perguruan Seribu Bunga. Nila dan Warti sekilas saling 

berpandangan, mereka merasakan saat-saat keruntu-

han perguruan sudah semakin dekat.

"Dewi Racun Kembar! Mengapa kalian bernafsu 

sekali memusnahkan penghuni perguruan ini? Sedang 

setahuku, kita tak pernah punya urusan!"

Ucapan yang keluar dari mulut Warti sebenar-

nya lebih mirip hardikan, namun hanya ditanggapi 

dengan senyum dingin oleh Dewi Racun Kembar.

"Kedatanganku ke perguruan ini bukan untuk 

memusnahkan seluruh penghuninya, Nisanak! Tetapi 

hanya untuk seorang putri tunggal pimpinan kalian,


yang akan ku persembahkan dalam upacara maut 

nanti!" bantah Laras Nini dengan sorot mata tajam.

"Keinginanmu itu sama saja dengan menantang 

perguruan kami Dewi Racun Kembar!" balas Nila ge-

ram.

"Itulah kesalahan kalian. Kalau saja kalian ber-

sedia menyerahkan gadis itu pada kami, niscaya banjir 

darah seperti sekarang ini tidak akan terjadi," sangkal 

Laras Dewi dengan sorot mata tajam menusuk. "Dan 

kehancuran Perguruan Seribu Bunga bukan keinginan 

Dewi Racun Kembar, tapi keinginan kalian sendiri!"

"Bangsat licik!" hardik Nila dan bergerak me-

nerjang Laras Dewi.

Pertempuran kembali berlanjut, kali ini dalam 

tempo lebih cepat dan seru. Dua murid utama Pergu-

ruan Seribu Bunga tak lagi memikirkan keselamatan 

diri. Dengan senjata terhunus keduanya bergerak ce-

pat. Tebasan dan tusukan pedang mereka terarah ke 

bagian-bagian mematikan pada tubuh Dewi Racun 

Kembar. Begitu pula yang dilakukan sisa-sisa murid 

kelas dua perguruan itu yang jumlahnya jauh menyu-

sut. Mereka rela mempertaruhkan nyawa demi menja-

ga kewibawaan perguruan.

Namun apa yang telah dilakukan murid-murid 

Perguruan Seribu Bunga, bukan rintangan yang berar-

ti bagi dua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun 

Kembar.

Tanpa rasa gentar sedikit pun, Laras Nini dan 

Laras Dewi melayani serangan murid-murid Perguruan 

Seribu Bunga yang tengah berada pada puncak kege-

ramannya.

Sebenarnya keadaan murid-murid Perguruan 

Seribu Bunga yang seperti itu, memberikan keuntun-

gan yang tidak sedikit bagi Dewi Racun Kembar. Ter


bukti dengan gerakan ringan dan sampokan tangan 

yang terlihat seadanya, Dewi Racun Kembar mampu 

membuat murid-murid Perguruan Seribu Bunga ka-

lang kabut menghindar.

Prak!

"Akh!"

Lengking kematian kembali terdengar ketika ge-

rakan tangan Laras Nini menemui sasaran. Seorang 

gadis bertubuh agak gempal menggelepar di lantai, 

dengan kepala remuk terhajar kepalan tangan yang di-

aliri tenaga dalam tinggi. Untuk sesaat lamanya gadis 

itu mengerang, lalu erangan itu sirna seiring dengan 

nyawanya yang meninggalkan raga.

"Nengsih!"

Nila terpekik melihat kematian gadis yang begi-

tu dekat dengannya. Geram bukan main hati Nila me-

nyaksikan kenyataan yang membentang di hadapan-

nya.

Tanpa pikir panjang Nila menerjang Laras Nini, 

sedang Laras Dewi dibiarkan bertempur dengan murid-

murid Perguruan Seribu Bunga yang lain.

"Iblis Keparat! Mampus kau. Hih!"

"Uts!"

Tebasan senjata Nila yang mengarah ke bagian 

lambung Laras Nini hanya membentur tempat kosong, 

namun Nila tetap berkeras hati untuk dapat meroboh-

kan lawan. Pedangnya yang semula berada sejengkal di 

depan lambung lawan, dihentakkan ke atas dan ke-

mudian diluncurkan dengan keras ke ubun-ubun La-

ras Nini yang tak terlindung.

"Hiyaaa...!"

Wryuuut...!

Tersedak perasaan Nila melihat serangannya 

berhasil dielakkan Laras Nini hanya dengan sebuah


gerakan yang terlihat begitu sembarangan, bahkan se-

rangan balasan yang tak terduga sama sekali menjadi 

pil pahit bagi Nila.

"Ups!"

Nila segera menarik mundur tubuhnya bebera-

pa langkah ke belakang, tetapi Laras Nini tak mem-

biarkan lawannya menghindar. Dengan gerakan cepat, 

Laras Nini kembali menggedor tubuh Nila dengan ten-

dangan menyilang ke arah leher.

"Mampus kau!"

Weees!

Nila tercekat sesaat menyaksikan tendangan ki-

lat lawan. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindar, 

namun kesempatan untuk menangkis serangan masih 

ada. Tanpa berpikir dua kali, Nila segera mengangkat 

tangan kirinya menahan laju tendangan menyilang La-

ras Nini.

Blakh!

"Ukh!"

Tubuh Nila terhuyung enam langkah ke bela-

kang ketika tendangan keras Laras Nini menghantam 

pergelangan tangannya. Gadis itu merasa tangannya 

seperti remuk. Tak terbayangkan seandainya tendan-

gan itu menghantam lehernya yang jenjang.

Menyaksikan tubuh Nila sempoyongan, keben-

gisan Laras Dewi semakin menjadi-jadi. Dengan pe-

dang terhunus, tubuhnya kembali melesat memburu 

lawan yang berada dalam keadaan tidak menguntung-

kan.

"Mampus kau!"

"Hih!"

"Brooolll...!"

Pedang Laras Nini ternyata tidak mengecewa-

kan pemiliknya. Ujungnya yang berkilat tertimpa sinar


matahari berhasil merobek dan mengeluarkan isi perut 

lawan.

Mata Nila mendelik menahan rasa sakit yang 

sangat, sementara kedua telapak tangannya diguna-

kan untuk mendekap perut yang ususnya terburai. 

Darah segar merembes dari jari-jari tangannya yang 

indah.

Hanya beberapa saat Nila mampu bertahan, se-

dikit kemudian tubuhnya tergeletak kaku. Laras Nini 

nampak tersenyum puas menyaksikan kematian la-

wannya.

***

"Kurang ajar! Iblis terkutuk!" maki seseorang 

dengan lantang.

Pertarungan seketika terhenti saat suara hardi-

kan itu mengumandang, terlebih ketika sosok ramping 

berpakaian jingga berkelebat cepat dan mendarat den-

gan manis.

Kehadiran gadis cantik berpakaian jingga 

membuat Warti terkejut bukan main. Tidak disangka 

putri gurunya kembali hari ini, meleset dari rencana 

semula yang baru akan kembali dua hari lagi.

"Siapa Iblis-Iblis Betina itu, Kak Warti? Apa 

maunya mereka mengacau perguruan kita?" tanya ga-

dis cantik berpakaian jingga seraya meraba hulu pe-

dangnya.

"Wulan Sari.... Bukankah rencanamu masih 

dua hari lagi tinggal bersama Bibi Nurita?" tanya Warti 

tanpa menjawab pertanyaan putri gurunya.

"Perasaanku tak enak, Kak. Dan kenyataan-

nya.... Hei! Iblis keparat! Apa maumu membuat keona-

ran di tempatku?" tukas gadis cantik yang dipanggil


Wulan Sari.

"Kau pasti putri tunggal Nyai Dinda Dahlia."

Mantap suara yang keluar dari bibir Laras Nini, 

lalu gadis itu tersenyum dingin menusuk.

"Apa pedulimu, Iblis! Kau harus menebus den-

gan nyawa untuk kekacauan yang telah kalian laku-

kan!"

Marah Wulan Sari. Matanya menatap tajam ke-

dua gadis cantik yang berjuluk Dewi Racun Kembar.

Srat!

"Wulan! Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini, 

biar aku yang menahan Dewi Racun Kembar keparat 

itu!" saran Warti khawatir.

Wulan Sari terkejut mendengar ucapan murid 

utama ibunya, matanya menatap Warti tak mengerti.

"Apa maksudmu, Kak?" tanya Wulan Sari pe-

lan.

"Aku memerlukanmu, Wulan. Tapi Kak Warti-

mu tidak mengizinkan aku membawamu pergi," selak 

Laras Nini datar.

"Untuk apa kalian membawaku, aku tidak ken-

al dengan kalian," bantah Wulan Sari keras.

Jari-jari tangannya yang memegang hulu pe-

dang nampak menegang kaku.

"Untuk sebuah upacara maut, Wulan," jawab 

Laras Dewi sambil mengembangkan senyum.

"Upacara gila! Aku tak sudi ikut dengan kalian!"

"Sebaiknya kau pergi, Wulan. Kepandaian Dewi 

Racun Kembar begitu tinggi, kita tak akan mampu 

mengalahkannya. Pergilah, biar aku yang menghalan-

gi," perintah Warti.

"Tidak, Kak! Kita harus sama-sama mengusir 

iblis betina liar itu dan mereka harus membayar nyawa 

teman-teman kita," tolak Wulan Sari sambil melang


kah.

"Jangan Wulan...."

"Hiaaa!"

Bet! Bet!

"Hiaaa!"

Wulan Sari tak lagi mendengar teriakan Warti. 

Dengan perasaan marah tubuhnya berkelebatan cepat, 

pedang di tangannya berdesing-desing mencari sasa-

ran. Wulan Sari langsung memainkan jurus inti Pergu-

ruan Seribu Bunga untuk melumpuhkan lawan.

"Hiaaa! Kau harus mampus, Iblis!"

Trak!

"Aaa...!"

Tubuh Wulan Sari terjajar sejauh enam lang-

kah ketika tebasan senjatanya dipapak tangan kosong 

Laras Nini. Bibir gadis cantik itu menyeringai menahan 

sakit, dan merasakan tangannya bergetar hebat akibat 

benturan itu, menandakan tenaga dalam Laras Nini 

jauh berada di atasnya.

"Iblis!"

Wulan Sari baru saja ingin kembali menyerang, 

ketika Warti memburu dan melarangnya.

"Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini, Wulan," 

pinta Warti penuh harap.

Wulan Sari tak membantah, gadis itu baru sa-

dar dengan siapa dirinya berhadapan. Tapi untuk pergi 

begitu saja, rasanya tidak mungkin. Dewi Racun Kem-

bar tak akan membiarkannya lolos.

"Aku yang akan menghalangi mereka, Wulan," 

ujar Warti melihat Wulan Sari belum juga mau beran-

jak.

"Apa kau mampu menghalangiku?" selak Laras

Dewi dengan tatapan mata penuh ejekan. 

"Iblis sombong!"


"Tutup mulutmu!" hardik Laras Dewi jengkel.

Tanpa mempedulikan Laras Nini, gadis itu ber-

gerak cepat ke arah Warti yang berada jauh dari Wulan 

Sari. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Laras Dewi. 

Angin menderu mengiringi serangan Laras Dewi. Den-

gan tangan-tangan yang membentuk cakar harimau, 

nampak ada kekuatan lain yang mengiringi serangan 

itu.

"Hiyaaa...!"

Bret!

"Iiikh!"

Warti tercekat ketika serangan yang dilakukan 

Laras Dewi menyerempet punggung, padahal gadis itu 

sudah berusaha kuat mengerahkan kecepatan gerak-

nya untuk menghindari serangan. Tapi kenyataan-

nya....?

"Kau memang harus mampus, Warti. Kau terla-

lu lancang menghalangi maksud suci ku!" 

"Hiyaaa...!" 

Wuuut! 

"Uts!"

Laras Dewi membuang tubuhnya ke kanan 

menghindari serangan Warti yang di luar dugaan. Be-

berapa kali Laras Dewi bergulingan di tanah, tapi se-

bentar kemudian tubuhnya sudah mencelat ke atas 

dan mendarat dengan manis.

Laras Dewi kembali mencelat hendak mener-

jang Warti, namun gerakannya terhambat oleh hadan-

gan murid-murid Perguruan Seribu Bunga yang masih 

bertahan.

"Setan jelek! Kalian harus lebih dulu mampus! 

Hih!"

Wuuut! Wuuut!

Bret! Bret!


"Aaa...."

Lengking kematian terdengar susul-menyusul 

ketika Laras Dewi bergerak cepat mempergunakan sen-

jata. Beberapa murid jatuh bergelimang darah hanya 

dalam satu gebrakan saja.

Bukan main marah Warti dan Wulan Sari. Tan-

pa pilar lagi tubuh keduanya melesat menerjang Laras 

Dewi, tapi sayang, keinginan kedua gadis itu terhalang 

Laras Nini yang berdiri menghadang.

"Sebaiknya kalian hadapi aku, jangan ganggu 

mereka," papar Laras Nini dingin.

"Huh!"

Tanpa membantah ucapan Laras Nini, Wulan 

Sari segera menerjang dengan ganas. Tebasan dan tu-

sukan pedangnya berkali-kali dilancarkan dengan pen-

gerahan tenaga dalam penuh, tak heran jika bunyi 

yang mengiringi serangan membuat telinga sakit.

"Hiyaaa!"

Wuuut!

Bet!

Lima belas jurus telah digelar Wulan Sari, na-

mun sejauh itu ujung pedangnya tak mampu sedikit 

pun menggores kulit Laras Nini yang hanya bergerak 

menghindar, tanpa memberikan serangan balasan.

Namun tidak bagi Warti, murid utama Pergu-

ruan Seribu Bunga itu berkali-kali kena hantaman ka-

ki dan tangan Laras Nini yang bergerak cepat dan su-

kar diikuti arahnya.

"Hiyaaa...!"

Blaaagkh!

"Aaa...."

Tubuh Warti terlontar sejauh dua tombak keti-

ka tendangan menggeledek mendarat telak di perut-

nya. Tubuh sintal yang terbalut pakaian putih nampak


terkulai di tanah. Dari mulutnya mengalir cairan me-

rah.

"Hoeeekh...!"

Darah segar seketika dimuntahkan Warti, ma-

tanya berputar-putar dan kulit wajahnya berubah pu-

cat laksana mayat

Bersamaan dengan terbujurnya tubuh Warti ke 

tanah, di lain tempat Laras Dewi berhasil melumpuh-

kan lawan terakhirnya. Lengkap sudah kematian selu-

ruh murid-murid Perguruan Seribu Bunga.

"Kau masih belum bersedia ikut dengan kami, 

Wulan?" desak Laras Dewi setelah membersihkan pe-

dangnya dari noda darah.

Wulan Sari, putri tunggal ketua Perguruan Se-

ribu Bunga hanya menatap tajam Dewi Racun Kembar, 

lalu beralih pada mayat-mayat yang bergelimpangan 

mengenaskan. Mayat murid-murid Perguruan Seribu 

Bunga yang begitu setia mempertahankan kewibawaan 

perguruan dari rongrongan pihak luar. 

Kembali Wulan Sari menatap Dewi Racun Kem-

bar, gambaran kegeraman tersirat pada wajah Wulan 

Sari.

"Kalian Iblis betina keji, aku tak sudi ikut ber-

sama kalian! Lebih baik aku matt menyusul mereka!" 

hardik Wulan Sari sambil mengacungkan pedang yang 

tergenggam erat

"Hmmm.... Jadi kau tak takut mati, Wulan?" 

ejek Laras Nini seraya menyungging senyum.

"Aku tak pernah menolak kedatangan maut, 

seperti halnya aku tak pernah menolak ajakan mu ber-

tarung!" jawab Wulan Sari. 

"Baiklah. Jangan menyesal!" Selesai dengan 

ucapannya Laras Nini segera bergerak maju. Tanpa 

mempergunakan senjata gadis itu menerjang Wulan


Sari yang menghunus pedang.

Sebuah pukulan keras Laras Nini yang terarah 

ke dada lawan tak menjumpai sasaran. Wulan Sari 

tanpa telengas menebaskan senjatanya ke tangan La-

ras Nini. Karuan saja Laras Nini menarik pulang tan-

gannya. Laras Nini segera menotolkan kakinya ke ta-

nah, tubuhnya seketika mencelat ke atas dan meluruk 

cepat dengan tangan membentuk cakar harimau, tera-

rah ke ubun-ubun Wulan Sari.

Dan Wulan Sari tidak mampu berbuat banyak, 

karena dari depan Laras Dewi melancarkan serangan 

yang cukup mengerikan. Pedang dara cantik itu berge-

rak mencecar lambungnya.

Merasa tak mampu lagi mengelakkan serangan, 

Wulan Sari nekat memapaki serangan Laras Nini den-

gan tangan kosong, sedangkan tusukan pedang Wulan 

Sari dipapaki dengan pedang. 

"Hih!"

Wuuut! Tuk! Tuk!

Wulan Sari terpekik ketika tubuhnya terkena 

totokan yang dilancarkan Laras Nini dan Laras Dewi. 

Tubuh Wulan Sari seketika tak mampu digerakkan. 

Sungguh dirinya tak menyangka serangan dahsyat 

yang dilancarkan Dewi Racun Kembar hanya tipuan 

belaka.

"Hahaha.... Saat kematianmu belum datang, 

Wulan. Kami membutuhkan mu untuk upacara maut 

nanti, jadi mana mungkin kami membunuhmu," papar 

Laras Nini sambil mendekati Wulan Sari yang terkulai 

terkena totokan.

"Sebaiknya kita lekas pergi dari sini, Kak Nini. 

Aku khawatir ada orang yang melihat perbuatan kita. 

Hanya akan menimbulkan persoalan baru yang dapat 

memperlambat rencana kita saja," ujar Laras Dewi ke


tika melihat Laras Nini masih ingin bermain-main den-

gan Wulan Sari.

"Sebaiknya memang begitu, Dewi. Ayo, hup!"

"Hup!"

Dewi Racun Kembar segera melesat meninggal-

kan halaman Perguruan Seribu Bunga yang berubah 

menjadi arena mayat. Laras Nini bergerak dengan rin-

gan meski dibahunya terpanggul Wulan Sari.


DUA



Angin panas berhembus keras menerpa tubuh 

pemuda berpakaian kuning keemasan. Pemuda itu tak 

mempedulikan sengatan matahari yang bersinar sedi-

kit garang. Tiba-tiba kepalanya ditelengkan. Pendenga-

rannya yang tajam sayup-sayup mendengar rintihan 

kesakitan yang memilukan.

"Sepertinya dari arah selatan," kata pemuda itu 

dalam hati.

Pemuda berwajah tampan itu mencoba meya-

kinkan hatinya, sebentar kemudian tubuhnya melesat 

cepat menuju tempat rintihan yang didengarnya.

"Biadab!" hardik pemuda yang tak lain Jaka 

Sembada yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai 

Raja Petir. 

"Siapa yang telah melakukan perbuatan terku-

tuk ini? Akh!"

Jaka Sembada segera menghampiri sosok tu-

buh yang tiba-tiba saja menggeliat.

"Tolong selamatkan Wulan, Anak Muda. Oh, ia 

dilarikan ke arah sana," kata sosok tubuh yang ternyata Warti.


Meskipun keadaan tubuhnya terluka parah, 

murid utama Perguruan Seribu Bunga itu berusaha 

mengangkat tangan dan menunjuk ke utara.

"Siapa Wulan?" tanya Jaka Sembada tak men-

gerti.

"Putri guru kami. Tolong selamatkan Wulan, 

Anak Muda," ucap Warti tersendat

Tanpa bertanya lagi Jaka Sembada langsung 

melesat ke arah yang ditunjuk murid utama Perguruan 

Seribu Bunga. Begitu cepatnya kelebatan tubuh Jaka 

Sembada hingga sekejap mata menghilang dari hada-

pan Warti.

Warti yang tadi bertarung dengan Laras Nini 

ternyata tidak mati. Memang gadis itu terluka parah 

terkena hajaran Dewi Racun Kembar. Laras Nini salah 

ketika menyangka Warti ambruk ke tanah karena te-

was, sesungguhnya gadis itu hanya pingsan. Dan sa-

dar kembali ketika Dewi Racun Kembar membawa lari 

Wulan Sari.

Jaka Sembada mengerahkan ilmu meringankan 

tubuh untuk mengejar orang yang telah melarikan Wu-

lan. Tetapi telah jauh pemuda itu berlari, belum juga 

dijumpai tanda-tanda sosok yang dicarinya.

"Orang itu pasti memiliki kepandaian yang cu-

kup tinggi," bisik Jaka Sembada sambil mengedarkan 

pandangan ke sekeliling. Pemuda itu berharap mene-

mukan penculik gadis yang bernama Wulan.

Cukup lama Jaka Sembada mengedarkan pan-

dangan tetapi tidak juga menemukan tanda-tanda 

yang dapat dijadikan pegangan. Akhirnya pemuda itu 

memutuskan kembali menjumpai gadis murid Pergu-

ruan Seribu Bunga.

Jaka Sembada melesat cepat mempergunakan 

ilmu lari cepatnya yang sudah mencapai taraf kesem


purnaan, tak heran jika tak berapa lama kemudian 

sampai tujuan. Tetapi betapa terkejutnya Jaka Semba-

da melihat gadis berpakaian putih yang tadi ditemu-

kannya masih hidup sudah tidak ada lagi.

Keheranan Jaka Sembada segera membawa ta-

tapan matanya ke pintu perguruan yang tertutup. Da-

lam hatinya Jaka Sembada menduga seseorang telah 

menolong gadis yang terluka parah itu dan memba-

wanya masuk ke bangunan Perguruan Seribu Bunga. 

Keinginan Jaka Sembada untuk mengetahui kejadian 

yang sesungguhnya, membuat pemuda itu melangkah-

kan kaki melewati pintu utama Perguruan Seribu Bun-

ga.

"Mungkin pemuda itu iblisnya, Tari! Kita harus 

meringkus dan meminta tanggungjawabnya atas per-

buatan keji ini!"

Dua sosok tubuh tiba-tiba mendarat tak jauh 

dari hadapan Jaka Sembada. Sosok-sosok tubuh itu 

ternyata dua gadis berpakaian putih. Mereka meman-

dang tajam ke Jaka Sembada.

"Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-

tan kejimu, Kisanak!" hardik perempuan berusia seki-

tar dua puluh delapan tahun yang bernama Tari.

Mendengar ucapan bernada tuduhan seperti 

itu, Jaka Sembada hanya bisa memamerkan sesungg-

ing senyum menawan.

"Perbuatan keji? Ah! Rasanya aku tak melaku-

kannya, Nisanak" kilah Jaka Sembada kemudian den-

gan sikap tenang.

"Pendusta! Sudah ketahuan masih juga tak 

mau mengaku, aku akan memaksamu agar mengakui!" 

bentak Tari keras.

Tubuhnya yang berdiri satu setengah tombak di 

hadapan Jaka Sembada segera berkelebat cepat. Pe


dang yang berada di tangan gadis murid utama Pergu-

ruan Seribu Bunga itu berkelebat cepat ke arah leher 

Jaka Sembada. Ketika pembantaian yang dilakukan 

Dewi Racun Kembar terjadi, Tari tak ada. Gadis itu tu-

rut pergi bersama gurunya.

Dengan ketenangan tinggi Jaka Sembada me-

nyaksikan gerakan menebas yang dilakukan Tari.

"Heaaa...!"

Begitu bernafsu Tari ingin membunuh Jaka 

Sembada. Dapat dilihat dari deru angin yang mengirin-

gi setiap gerakannya yang disertai pengerahan tenaga 

dalam tinggi.

Utsss!

Hanya dengan memiringkan badannya sedikit, 

serangan yang dilancarkan Tari lewat beberapa rambut 

dari leher Jaka Sembada. Tentu saja Tari marah bukan 

main melihat serangannya dengan begitu mudah dipa-

tahkan.

Tanpa merubah kedudukan, Tari kembali men-

gibaskan pedang ke lambung pemuda itu yang kali ini 

menghindar dengan menotolkan kaki ke tanah. Ringan 

saja totolan yang dilakukan Jaka Sembada, tubuhnya 

melambung ke udara seraya berputaran dua kali dan 

menjejak kembali di tanah dengan manis.

"Sudah kubilang bukan aku yang melakukan-

nya, Nisanak," ucap Jaka Sembada mencoba mereda-

kan kesalahpahaman ini.

"Dasar pengecut!" bentak gadis berwajah ce-

kung yang sejak tadi hanya menyaksikan temannya 

menyerang Jaka Sembada.

"Bukti kuat telah menyatakan kau sebagai 

pembunuh keji, cuma kau yang berada di antara 

mayat-mayat saudara seperguruanku, lalu siapa lagi 

yang akan ku salahkan selain kau, Kisanak! Mengaku


lah, dosamu sudah terlalu besar!"

"Nisanak, keberadaanku di tempat ini hanya 

kebetulan. Aku tak mungkin berada di tempat ini 

seandainya tidak mendengar jeritan dan erangan lirih," 

sangkal Jaka Sembada

"Pengecut busuk!" hardik gadis berwajah ce-

kung keras. "Ayo kita ringkus lelaki ini, Tari!" 

"Ayo, Suti!"

Kedua gadis itu merangsek maju dengan senja-

ta terhunus. Dari serangan yang dilancarkan, Jaka 

Sembada dapat mengukur sampai di mana kemam-

puan mereka memainkan senjata. Makanya dengan ke-

tenangan luar biasa, pemuda itu menghindari terjan-

gan senjata tanpa melukai pemiliknya.

"Heaaa...!"

"Heaaa...!"

"Ups!"

Dengan bergerak ringan ke kiri dan ke kanan, 

kemudian melompat dan merunduk, Jaka Sembada 

menghindari serangan yang dilakukan Tari dan Suti.

Apa yang dilakukan Jaka Sembada bukan 

membuat kedua murid Perguruan Seribu Bunga sadar, 

mereka malah semakin yakin kalau lelaki tampan in-

ilah yang membuat petaka di perguruan mereka. Maka 

serangan-serangan yang dilakukan kedua gadis itu 

semakin ganas.

Lelaki tampan berpakaian kuning keemasan 

berpikir keras, bagaimana membuat kedua gadis itu 

mempercayai pengakuannya. Maka ketika serangan itu 

kembali memburu, Jaka Sembada segera mengalirkan 

kekuatan tenaga dalamnya ke seluruh permukaan ku-

lit. Pemuda itu berharap dengan cara ini kedua gadis 

itu dapat mengerti, bahwa dirinya bukan lelaki yang 

gampang menurunkan tangan besi.


"Heaaa! Heaaa!"

Trak! Trak!

"Aaakh....!"

Tari dan Suti terpekik ketika merasakan senjata 

mereka seperti membentur logam keras, kedua tangan 

bergetar dan tubuh mereka terhuyung limbung lima 

langkah ke belakang.

Pekikan kuat yang keluar dari bibir kedua gadis 

membuat seseorang melesat keluar dari dalam bangu-

nan Perguruan Seribu Bunga. Sosok berpakaian jingga 

itu menghentikan gerakannya di sisi Suti dan Tari 

yang terduduk di tanah menahan getaran hebat yang 

masih dirasakan.

"Guruuu...." Panggil Tari dan Suti bersamaan. 

Perempuan berpakaian jingga dengan ikat pinggang 

putih memandang kedua muridnya, dan sesaat kemu-

dian mengalihkan pandangan pada Jaka Sembada. 

Cukup lama perempuan setengah baya yang disebut 

guru itu memandangi Jaka Sembada.

"Ciri-ciri yang kau miliki mirip seperti yang 

pernah kudengar dari sahabat-sahabatku dan orang-

orang kalangan persilatan. Kalau aku tidak salah, 

kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya perempuan 

itu dengan sikap penuh hormat

"Namaku Jaka Sembada, Nyai," jawab Jaka 

Sembada mantap yang lebih suka dipanggil nama da-

ripada julukannya.

"Akh!" tersedak perempuan berpakaian jingga 

mendengar pengakuan Jaka Sembada, raut mukanya 

nampak sedikit berubah. "Maafkan kelakuan kedua 

muridku, Jaka Sembada."

"Ah, tak mengapa Nyai. Aku maklum karena 

saat ini mereka sedang berduka," kilah Jaka.

Perempuan separuh baya yang menjadi Ketua


Perguruan Seribu Bunga tersenyum.

"O ya, Nyai. Apakah Nyai yang telah memin-

dahkan gadis yang terluka parah? Belum lama aku 

melihatnya di tempat ini," tanya Jaka Sembada.

"Yang kau maksudkan pasti Warti," jawab pe-

rempuan setengah baya. "Ia ada di dalam, tapi sayang 

aku tak bisa menyelamatkan nyawanya. Luka-luka ter-

lalu parah."

Jaka Sembada tersentak mendengarnya.

"Apakah Nyai sudah mendapat keterangan?"

Ketua Perguruan Seribu Bunga menatap wajah 

Jaka Sembada.

"Sebaiknya kita bicara di dalam saja, Jaka 

Sembada."

"Apa tidak sebaiknya kita mengubur mayat-

mayat ini lebih dahulu?" usul Jaka Sembada. 

"Ya. Sebaiknya memang begitu, Raja Petir." 

***

Hujan rintik-rintik telah reda seiring dengan se-

lesainya Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia, diban-

tu Tari dan Suti menguburkan jenazah murid-murid 

Perguruan Seribu Bunga. Peluh membasahi dahi Jaka 

Sembada meski angin dingin berhembus.... Dan Nyai 

Dinda Dahlia nampak sangat berduka atas kematian 

murid-muridnya. Kini hanya tinggal Tari dan Suti yang 

dimilikinya.

"Siapa yang telah melakukan pembantaian ini, 

Nyai?" tanya Jaka Sembada setelah mereka duduk di 

ruang dalam perguruan.

Nyai Dinda Dahlia tidak menjawab. Namun dari 

gerakan tangan yang menyelinap ke balik pakaiannya, 

Jaka Sembada mengerti maksud pimpinan Perguruan


Seribu Bunga ingin menunjukkan sesuatu.

"Bacalah," ujar Nyai Dinda Dahlia sambil me-

nyodorkan benda berwarna coklat yang tergulung.

Dari bentuknya, benda yang disodorkan Nyai 

Dinda Dahlia merupakan sebuah surat yang ditulis di 

atas kulit kayu.

Dengan perasaan sedikit terkejut Jaka Semba-

da menerima benda itu. Dibacanya isi surat, beberapa 

saat kemudian diserahkan kembali pada Nyai Dinda 

Dahlia.

"Aku juga memiliki surat yang sama, Nyai." Dan 

Jaka Sembada menyodorkan segulungan kulit kayu ke 

hadapan Nyai Dinda Dahlia.

Kini Nyai Dinda Dahlia yang terkejut, melihat 

benda yang sama disodorkan Jaka Sembada. Bunyi 

surat itu:

Ki Jatitama.

Aku membutuhkan kedua putri mu untuk per-

sembahan upacara maut. Kuharap kau sudi memenuhi 

permintaanku jika tak ingin melihat perguruanmu me-

nyatu dengan tanah.

Tertanda; Setan Rimba Bangkai, Siluman Hutan 

Dadak, Pangeran Kala Hitam dan Dewi Racun Kembar.

"Kalau saja aku yang menerima langsung surat 

permintaan gila ini, mungkin kejadiannya tak akan se-

buruk ini," sesal Nyai Dinda Dahlia seraya menyerah-

kan kembali surat untuk Ki Jatirama Ketua Perguruan 

Saka Jati, pada Jaka Sembada.

"Jadi Nyai baru tahu, surat itu untuk Nyai?"

Nyai Dinda Dahlia mengangguk.

"Mungkin sewaktu aku ke rumah sahabatku, 

surat itu datang. Entah bagaimana caranya. Dugaan



ku, disampaikan dengan jalan kekerasan."

"Nyai kenal orang-orang yang menandatanga-

ni?"

"Hanya Ki Kustara yang berjuluk Setan Rimba 

Bangkai dan Kindang Supa dengan julukan Pangeran 

Kala Hitam."

"Apa Nyai juga tahu tujuan upacara maut itu?"

Nyai Dinda Dahlia menggelengkan kepala. Se-

bagai orang yang bergelut dikalangan dunia persilatan, 

Nyai Dinda Dahlia sering menemukan keinginan-

keinginan aneh dari tokoh-tokoh persilatan. Khusus-

nya tokoh golongan hitam, namun untuk mengetahui 

tujuan mereka memang harus mengikuti keinginan 

mereka sampai akhir.

"Apa hubunganmu dengan Ki Jatirama, Raja 

Petir?" tanya Nyai Dinda Dahlia.

"Aku tak punya hubungan apa-apa dengan ke-

tua Perguruan Saka Jati, Nyai. Kenal namanya pun 

melalui surat ini," jawab Jaka Sembada.

"Lalu dari mana kau dapatkan surat itu?" 

"Dari paman ku, Nyai. Beliau menugaskan aku 

agar membantu Ketua Perguruan Saka Jati," jelas Jaka 

Sembada.

Nyai Dinda Dahlia mengangguk angguk kepala 

mendengar penjelasan lelaki tampan berpakaian kun-

ing keemasan.

"Maaf, Nyai. Aku harus pergi ke Perguruan Sa-

ka Jati, sekarang juga. Aku khawatir datang terlam-

bat," pamit Jaka Sembada.

"Aku juga akan ke Perguruan Saka Jati, Jaka. 

Barangkali di sana aku akan mendapat kabar di mana 

putri ku disembunyikan," ujar Nyai Dinda Dahlia.

"Oh, jadi Wulan putri mu, Nyai?" Nyai Dinda 

Dahlia menganggukkan kepala.


Baiklah, kalau begitu. Kita sama-sama ke Per-

guruan Saka Jati, setelah itu kita cari putri tunggalmu, 

Nyai," ajak Jaka Sembada lalu melangkah keluar. Di-

ikuti Nyai Dinda Dahlia, setelah memberi perintah pa-

da Tari dan Suti agar tetap tinggal di perguruan selama 

kepergiannya.

***

Matahari tepat berada di atas kepala, sinarnya 

yang menyirami mayapada terasa begitu menyengat. 

Namun sengatan matahari tidak menghambat perjala-

nan dua sosok tubuh yang tak lain Raja Petir dan Nyai 

Dinda Dahlia.

"Kurasa ada maksud-maksud tak baik dalam 

upacara maut, tidak jelas dalam rangka apa mereka 

mengadakan upacara itu," gumam Nyai Dinda Dahlia 

pada diri sendiri.

Jaka Sembada bukan tidak mendengar ucapan 

yang lebih pantas disebut bisikan, pemuda itu me-

nanggapi ucapan Nyai Dinda Dahlia karena mendengar 

kelanjutannya.

"Aku sangat mengkhawatirkan keselamatan pu-

tri ku. Raja Petir," lanjut Nyai Dinda Dahlia, kali ini 

dengan ucapan yang terdengar jelas.

"Kurasa upacara maut itu belum dimulai, Nyai," 

hibur Jaka Sembada. "Berdasarkan surat yang dikirim 

ke lain perguruan, aku berkesimpulan, tidak hanya 

seorang gadis yang dibutuhkan sebagai kelengkapan 

upacara gila itu."

"Aku sependapat denganmu, Raja Petir. Tapi 

perlu kau ingat, tokoh-tokoh yang menandatangani su-

rat terkutuk itu adalah tokoh golongan hitam. Bukan 

hal yang mustahil mereka menghalalkan segala cara


untuk memuaskan diri," bantah Nyai Dinda Dahlia.

"Aku tak menyangkal kecemasanmu, Nyai. Se-

panjang pengalamanku, sebuah upacara bersifat sa-

kral, jika dilaksanakan untuk memuja dewa atau se-

suatu yang dianggap patut dijunjung tinggi dan dihor-

mati keberadaannya. Upacara itu akan didukung oleh 

sesuatu yang masih utuh sifatnya. Kalau sesuatu itu 

berwujud seorang gadis, maka gadis itu adalah gadis 

pilihan, gadis yang kesuciannya tidak diragukan lagi, 

gadis baik-baik, bahkan kalau mungkin gadis yang 

memiliki kemampuan ilmu silat," papar Jaka Sembada 

sambil mempercepat ayunan kakinya.

"Sebaiknya kita mempercepat perjalanan ini, 

Nyai," lanjut Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia tanpa membantah segera 

merubah langkahnya, menjadi sebuah lari dengan 

menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jaka Semba-

da mengikuti apa yang dilakukan perempuan setengah 

baya yang mengenakan pakaian longgar warna jingga. 

Pemuda itu memaklumi kecemasan yang menggelayuti

hati Ketua Perguruan Seribu Bunga.

Wrrrt...

Dengan sekali sentak Jaka Sembada mampu 

menyejajarkan diri dengan Nyai Dinda Dahlia yang ber-

lari lebih dahulu. Keduanya berlari dengan mengguna-

kan ilmu lari cepat. Namun....

"Uts!"

"Ups!"

Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dahlia sama-

sama menotolkan kakinya ke tanah dengan cepat dan 

keras. Tubuh keduanya melambung, dan dengan me-

lakukan salto dua kali keduanya mendarat dengan 

manis.

"Ah, kenapa kalian berlari seperti orang dikejar


setan, Nisanak? Hampir saja kita berbenturan," ujar 

Nyai Dinda Dahlia dengan nada agak ditekan.

"Ah, eh... ma... maafkan kami, Nyai," jawab ga-

dis cantik berpakaian kuning gading, usianya tak lebih 

dari tujuh belas tahun.

"Apa ada yang mengejarmu, Anak Manis." Lem-

but pertanyaan Nyai Dinda Dahlia setelah menyadari 

ketakutan gadis cantik di hadapannya.

"Ya, kami sedang dikejar lelaki yang memiliki 

kepandaian jauh di atas kami, Nyai," jawab lelaki mu-

da yang menyertai gadis cantik berpakaian kuning 

gading. "Kami tak mampu menghadapinya, karena itu 

kami lari. Aku mengkhawatirkan keselamatan Adik 

Perwari."

"Apa kalian punya kesalahan, hingga dikejar-

kejar seperti ini?" tanya Nyai Dinda Dahlia pada gadis 

yang bernama Perwari.

"Tidak, Nyai. Lelaki itu telah memporak-

porandakan perguruan kami dan membinasakan 

ayahku,"

Perwari menundukkan kepala, teringat kembali 

kematian ayahnya yang mengerikan.

"Apa kau tahu tujuan lelaki itu mengacau per-

guruan...."

"Wesi Wening," selak lelaki yang berdiri di sebe-

lah Perwari.

"Wesi Wening?" ulang Nyai Dinda Dahlia. "Jadi, 

kalian anaknya murid Ki Wujang Kanta?"

"Nyai, mengenal ayahku?" tanya Perwari sambil 

menatap mata Ketua Perguruan Seribu Bunga.

"Mengenal secara mendalam memang tidak. 

Tapi Nyai pernah berbincang-bincang dengan beliau 

beberapa bulan yang lalu, bahkan bersama-sama men-

cegah kekacauan di Kampung Segu," jelas Nyai Dinda


Dahlia.

"Maaf, apa Dik Perwari dan...."

"Primaka."

"Ya. Apa kalian mengenal lelaki yang mengejar 

kalian?" selak Jaka Sembada setelah beberapa saat 

lamanya menjadi pendengar.

"Lelaki itu berjuluk Siluman Hutan Dadak," ja-

wab Primaka.

"Siluman Hutan Dadak?" ulang Jaka Sembada 

dan Nyai Dinda Dahlia bersamaan, lalu mereka saling 

memandang.

"Apa yang diinginkannya dari Ki Wujang Kan-

ta?" selidik Jaka Sembada.

"Aku," jawab Perwari.

"Kau? Oh, Siluman Hutan Dadak ingin mempe-

ristri mu, begitu?" pancing Nyai Dinda Dahlia.

"Siluman Hutan Dadak menginginkan diriku 

untuk dipersembahkan dalam upacara maut," jelas 

Perwari.

"Nasibmu sama dengan anakku Wulan Sari," 

berat suara yang keluar dari bibir Ketua Perguruan Se-

ribu Bunga. "Namun nasib baik tak menyertainya, Wu-

lan Sari berhasil dilarikan orang yang menyelenggara-

kan upacara gila itu,"

"Ha ha ha.... Itu bukan upacara gila, Nyai!"

Keempat orang itu terperangah mendengar sa-

hutan yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga 

dalam tinggi, menunjukkan orang itu memiliki kepan-

daian tinggi.

Sekejap kemudian, sosok yang berbicara itu 

menampakkan diri.

"Ha ha ha.... Kau mau lari ke mana, Perwari? 

Ke ujung dunia pun akan kukejar."

"Aku akan menghalangimu, Siluman Laknat!"


bentak Nyai Dinda Dahlia tegas.

"Ow! Apa kau mampu, Nyai?" tanya lelaki ber-

pakaian merah menyala dengan sorot mata meremeh-

kan.

"Jangan besar kepala, Siluman Hutan Dadak!" 

bentak Nyai Dinda Dahlia geram.

"Hei! Di mana kita pernah berkenalan, Nyai? 

Atau... nama besarku yang membuatmu mengenalku?"

"Aku mengetahui namamu dari secarik surat 

sinting yang kau tandatangani," beber Nyai Dinda Dah-

lia.

"Ow! Siapa kau sebenarnya, Nyai?"

"Tak perlu tahu siapa aku, Siluman Laknat! 

Yang jelas kau harus ku enyahkan dari muka bumi, 

karena persekongkolan mu menculik putri tunggalku."

"Ha ha ha.... Aku mengerti sekarang. Ha ha 

ha..., kaukah yang bernama Nyai Dinda Dahlia?"

"Jangan banyak bicara! Sekarang juga kau ha-

rus mampus di tanganku!"

Diiringi pekikan nyaring, Nyai Dinda Dahlia 

menerjang sosok berpakaian merah menyala. Gera-

kannya cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, 

menandakan serangan yang dilancarkan tidak main-

main.

Angin menderu yang mengiringi serangan Ketua 

Perguruan Seribu Bunga membuat Siluman Hutan 

Dadak bersikap hati-hati. Meski belum mengetahui 

dengan pasti kekuatan tenaga dalam lawan, namun di-

rinya tak berani memapaki serangan yang datang.

Wesss....

"Uts!"

Siluman Hutan Dadak yang sesungguhnya ber-

nama Liku Grada segera memiringkan badan ketika 

sampokan tangan Nyai Dinda Dahlia mengarah deras


ke ulu hati. Seraya menggeser kaki kanan, Liku Grada 

bergerak cepat, namun kecepatan gerak Nyai Dinda 

Dahlia sempat membuatnya terkejut. Begitu cepat ge-

rakan tangan Nyai Dinda Dahlia berputar, hingga 

mendadak sudah berada beberapa rambut di depan 

wajah Siluman Hutan Dadak.

"Heh...?"

Cepat-cepat Liku Grada melempar tubuh ketika 

dirasakan percuma memiringkan kepala, dilihatnya se-

rangan-serangan Ketua Perguruan Seribu Bunga begi-

tu cepat berpindah sasaran.

Melihat serangannya berhasil dielakkan lawan, 

Nyai Dinda Dahlia tidak menghentikan serangan. Tu-

buh perempuan itu kembali melesat, mengejar Silu-

man Hutan Dadak yang sudah kembali tegak.

"Hiaaa...!"

Track!

Tak ada pekik kesakitan ketika dua tangan 

yang dialiri kekuatan tenaga dalam beradu keras, yang 

terdengar hanya suara benturan keras seperti bera-

dunya dua batang logam.

Tubuh Nyai Dinda Dahlia terhuyung sejauh 

dua tombak. Di wajah perempuan usia setengah abad 

lebih itu terlihat seringai kesakitan, dan sebelah tan-

gannya memijat pergelangan tangan yang terasa linu.

Demikian juga Siluman Hutan Dadak, lelaki 

penyelenggara upacara maut itu tak menyangka keku-

atan tenaga dalam Nyai Dinda Dahlia tak berbeda jauh 

dengan tenaga dalam yang tadi dikeluarkan hanya se-

perempat bagian saja.

"Dahlia! Kusarankan padamu jangan meng-

ganggu acara ku. Pantang bagiku mendiamkan orang-

orang yang ingin menggagalkan rencanaku!" hardik Li-

ku Grada si Siluman Hutan Dadak.


"Walaupun kau tak melibatkan putri ku dalam 

upacara gila itu, aku akan tetap menghalangi niat ke-

jimu, Siluman Laknat! Pantang bagiku mendiamkan 

kejahatan berlangsung di muka bumi ini!" jawab Nyai 

Dinda Dahlia tegas, membuat kemarahan Siluman Hu-

tan Dadak memuncak.

"Hmmm.... Rupanya kau tergolong manusia si-

luman, Dahlia! Aku jadi tak peduli denganmu. Aku 

memang sedang memberantas orang-orang yang suka 

mencampuri urusan orang lain, seperti kau!"

"Lakukanlah kalau kau mampu, Siluman Gila!" 

bentak Nyai Dinda Dahlia keras.

Wajah Siluman Hutan Dadak langsung berubah 

tegang, mendengar hinaan yang dilontarkan Nyai Din-

da Dahlia

"Kurang ajar! Kau mampus, Perempuan Lak-

nat!"

Selesai dengan ucapannya, tubuh Liku Grada 

bergerak bagai kilat. Senjatanya yang berupa tongkat 

dengan bagian ujung terdapat logam keras berbentuk 

bulan sabit mulai mengambil peranan. Tongkat itu di-

kibaskan keras ke leher Ketua Perguruan Seribu Bun-

ga.

Jaka Sembada menyaksikan serangan dahsyat 

yang dilakukan Siluman Hutan Dadak sedikit terke-

siap, ada sedikit keinginan untuk mengambil alih per-

tarungan. Namun keinginan itu segera diurungkan me-

lihat Nyai Dinda Dahlia sudah siap menghadapi seran-

gan Liku Grada. Lagi pula pemuda itu tak ingin Nyai 

Dinda Dahlia merasa direndahkan karena perbuatan-

nya.

"Hati-hati, Nyai," pesan Jaka Sembada. Nyai 

Dinda Dahlia tak sempat menjawab. Tubuhnya yang 

terbalut pakaian jingga dengan ikat pinggang putih se


ketika bergerak cepat menghindari terjangan tongkat 

lawan. 

"Hiaaa!" 

"Utzs!"

Nyai Dinda Dahlia menghentakkan kaki kuat-

kuat saat tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak 

mencecar pahanya. Dengan melakukan hentakan me-

nyilang, tubuh ketua Perguruan Seribu Bunga mence-

lat dan berputar dua kali di udara kemudian mendarat 

dengan manis. Nampak di depan dada Nyai Dinda 

Dahlia telah menyilang sebatang pedang yang mem-

biaskan sinar keperakan.

Siluman Hutan Dadak agaknya menganggap 

remeh senjata yang membentengi dada Nyai Dinda 

Dahlia, Liku Grada tersenyum mengejek.

"Kau andalkan senjata mainan anak-anak, 

Dahlia? He he he...! Kuharap kau tidak menyesal jika 

hari ini nyawamu melayang."

"Jangan sombong, Siluman Sesat!"

"Akan kubuktikan sekarang! Hiaaa...!"

Siluman Hutan Dadak kembali mencelat den-

gan senjata tongkat bulan sabitnya yang terayun di 

udara. Sementara Nyai Dinda Dahlia sudah mengambil 

keputusan untuk memapaki kibasan tongkat bulan 

sabit Liku Grada.

"Hiaaa...!"

Trang!

"Aaa...!"

Nyai Dinda Dahlia memekik tertahan ketika te-

basan tongkat bulan sabit Siluman Hutan Dadak be-

radu dengan pedangnya.

Tubuh Ketua Perguruan Seribu Bunga seketika

terhuyung sejauh dua tombak. Wajahnya menyeringai 

merasakan nyeri di tangannya. Nyai Dinda Dahlia me


rasakan sebuah kekuatan telah menelusup melalui 

tangannya, menebarkan hawa dingin menusuk.

"Ha ha ha.... Sudah kubilang, simpan saja mai-

nan anak-anak itu. Jangan kau gunakan untuk mena-

kut-nakuti orang, Dahlia!" ejek Siluman Hutan Dadak.

Ketua Perguruan Seribu Bunga hanya menden-

gus marah mendengar ejekan yang menyakitkan. Nyai 

Dinda Dahlia tak mau membalas ejekan itu, karena 

sedang berusaha mengatasi hawa dingin yang menelu-

sup semakin jauh ke tulang sumsum. 

"Kau harus mampus, Dahlia. Bersiaplah!" 

Tanpa mempedulikan kenyerian yang dialami 

Ketua Perguruan Seribu Bunga, Siluman Hutan Dadak 

melesat, menerjang Nyai Dinda Dahlia dengan tongkat

bulan sabit yang mengarah ke batok kepala.

"Hiaaa...!"


TIGA



Sosok pemuda berpakaian kuning keemasan 

yang sejak tadi hanya menjadi penonton, menampak-

kan wajah cemas. Jaka Sembada yang berjuluk Raja 

Petir, sejak menyaksikan terdesaknya Ketua Perguruan 

Seribu Bunga sebenarnya ingin mengambil alih perta-

rungan. Tapi diurungkan melihat Nyai Dinda Dahlia 

masih dapat melakukan perlawanan, meski berulang-

kali direpotkan oleh serangan-serangan dahsyat Silu-

man Hutan Dadak.

Namun sekarang? Jaka Sembada segera mele-

sat cepat melihat Ketua Perguruan Seribu Bunga tak 

lagi mampu menghindari serangan Liku Grada. Pada 

saat-saat kritis seperti itu apa yang dilakukan Raja Pe-

tir cukup tepat. Dengan sekali hentakan kaki, tubuh


nya telah berada di depan Nyai Dinda Dahlia seraya 

melakukan gerakan menyampok pergelangan tangan 

Siluman Hutan Dadak.

"Hiyaaa!"

Plak!

"Aaa...!"

Liku Grada memekik tertahan saat sebuah ke-

kuatan dahsyat membentur pergelangan tangannya. 

Dorongan tenaga yang menghantamnya membuat tu-

buhnya tak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Si-

luman Hutan Dadak terhuyung empat langkah ke be-

lakang.

Dengan tatapan mata membara dan sebelah 

tangan mengelus pergelangan tangan lain karena rasa 

nyeri, Siluman Hutan Dadak mendengus kesal. Dari 

sela bibirnya keluar desisan berat.

"Hhhsss.... Bocah Edan! Berani benar kau 

mencampuri urusanku?" sentak Liku Grada, matanya 

tajam mencorong mencoba menembus kekuatan batin 

Raja Petir.

"Maaf, kukira persoalan ini bukan lagi urusan-

mu, Siluman Hutan Dadak. Kalau kau melakukan ke-

laliman, kau harus berurusan dengan sekelompok 

orang yang tak suka kelaliman. Termasuk aku!" ban-

tah Jaka Sembada mantap.

"Ngrrrh.... Bicaramu seperti orang bijak yang 

sebenarnya tak mengenal kebijakan, Anak Setan! Yang 

kau lakukan tadi sebuah kelancangan, tahu! Dan ke-

lancangan itu harus kau tebus dengan nyawamu!"

"Kurasa tidak begitu, Liku Grada. Aku tak me-

rasa telah melancangi mu. Yang kulakukan tadi hanya 

kewajiban. Apa aku harus berpangku tangan melihat 

orang lain ketakutan, membiarkan nyawanya teran-

cam?" tandas Jaka Sembada.


Kalap hati Siluman Hutan Dadak mendengar 

ucapan pemuda itu, otot-ototnya seketika menegang 

kaku. Dan mulutnya mengeluarkan desisan kemur-

kaan.

"Akrrrkh...!"

Liku Grada meraung geram seraya melejit kuat 

menuju Jaka Sembada. Tangan kiri Siluman Hutan 

Dadak membentuk cakar kuat. Sementara tangan ka-

nannya yang menggenggam tongkat bulan sabit te-

rangkat ke atas, terayun keras ke batok kepala Raja 

Petir.

"Hiaaa...!"

Bet! Wruuut!

"Ups!"

Terkejut juga hari Jaka Sembada merasakan 

sambaran angin yang melintas lima rambut dari kulit 

tubuhnya, sebentuk angin dingin yang begitu menu-

suk menerpa. Raja Petir segera mengerahkan hawa 

murni untuk mencegah kebekuan otot-otot tubuhnya. 

Setelah itu melompat ke belakang, mengambil jarak.

"Liku Grada. Aku tak ingin berurusan dengan-

mu. Asalkan kau mau merubah kebiasaanmu, terma-

suk penyelenggaraan upacara maut. Kuharap kau mau 

menghentikannya, demi kebaikan kita semua. Kalau 

kau setuju, kita tak perlu bertarung," bujuk Jaka 

Sembada.

"Hhh...! Ternyata kau tak sejantan dan sehebat 

yang kudengar selama ini, Raja Petir. Baru Siluman 

Hutan Dadak yang kau hadapi, kau sudah khawatir 

kehilangan nyawa, tanggalkan saja julukanmu itu!" 

ejek Liku Grada tak sopan.

Raja Petir tidak merasa risih dengan ejekannya 

yang hanya untuk memancing kemarahan. Dan Jaka 

Sembada telah menyiapkan balasan yang lebih meme


rahkan telinga.

"Siluman Hutan Dadak! Kuakui kau memang 

hebat, namun sayang, kehebatanmu kau rundukkan 

ke bawah. Kau tak mengakui bahwa di atas langit ma-

sih ada langit dan langit. Grada! Kalau kau mampu 

menundukkan Nyai Dinda Dahlia, bukan berarti kau 

mampu menundukkan ku. Kemampuanku jauh berada 

di atasmu, Siluman Hutan Dadak. Kepalaku lebih ting-

gi kedudukannya darimu," ejek Jaka Sembada.

"Ngrrrhhh...! Bocah besar kepala. Kau telan sa-

ja ucapanmu, aku akan menguburmu sekarang juga!"

Siluman Hutan Dadak mencelat cepat, kali ini 

tenaganya dilipatgandakan untuk menghancurkan ke-

pala Jaka Sembada.

Angin bersiutan menghantar terjangan tongkat 

bulan sabit Liku Grada, yang dilancarkan dengan pen-

gerahan tenaga dalam penuh. Begitu dahsyat ayunan 

tongkat hingga menimbulkan seberkas sinar putih 

yang meluruk deras ke arah Raja Petir. 

Hhhmmm....

Setelah mengukur kekuatan serangan lawan. 

Raja Petir segera menghindari terjangan senjata Liku 

Grada. Ringan saja gerakan tokoh muda yang memiliki 

ilmu kesaktian cukup tinggi itu. Sekali bergerak Jaka 

Sembada mampu mengambil jarak tiga tombak. Na-

mun tubuhnya kembali dilempar ke kanan ketika sinar 

putih yang keluar dari logam di ujung tombak Liku 

Grada meluncur deras ke arahnya.

Jaka Sembada melompat seraya bersalto. Dan 

pada saat itu, Liku Grada dengan cepat meluruk maju, 

melancarkan pukulan keras ke punggung Jaka Sem-

bada.

"Hiaaa!"

Blagkh!


"Ugkh!"

Raja Petir terhuyung ketika pukulan keras Si-

luman Hutan Dadak menerjang punggung. Nyai Dinda 

Dahlia, Perwari dan Primaka tercekat menyaksikan 

kenyataan itu. Jaka Sembada mampu berdiri tegak 

kembali.

Hati Nyai Dinda Dahlia, Primaka dan Perwari 

kagum melihat ilmu yang kini disuguhkan Raja Petir. 

Sebuah ajian yang bernama 'Aji Bayang-Bayang'.

Berbeda dengan Siluman Hutan Dadak melihat 

ilmu yang diperlihatkan Raja Petir. Lelaki berpakaian 

hitam yang berusia setengah abad lebih itu berdiri te-

gang. Matanya tak berkedip menatap sosok Jaka Sem-

bada yang kini menjadi lima kali lipat banyaknya. Le-

laki yang berjuluk Siluman Hutan Dadak itu tengah 

memilih, mana wujud Jaka Sembada sesungguhnya.

Pada saat itulah, kelima sosok Jaka Sembada 

meluruk maju bersamaan dengan tangan terkepal, 

menyerang ulu hati Siluman Hutan Dadak.

Kebingungan seketika melanda hati Liku Gra-

da, karena belum bisa memastikan sosok lawan yang 

sesungguhnya. Akhirnya, dengan sebisanya lelaki ber-

pakaian hitam dengan senjata tongkat bulan sabit 

memapaki serangan lawan.

"Hih!"

Plasss!

"Heh?"

Terkejut bukan main Liku Grada, melihat pa-

pakannya hanya membentur bayangan. Dan kesempa-

tan itu dipergunakan Jaka Sembada untuk melancar-

kan sodokan tangan yang mendarat telak di ulu hati.

Des!

"Uuugkhhh...!"

Tubuh Siluman Hutan Dadak terdorong deras.


Isi perutnya dirasakannya ingin keluar. Mual dan ke-

palanya berkunang-kunang.

"Hoeeekh!"

Cairan darah seketika membasahi pakaian Si-

luman Hutan Dadak yang terjerembab di tanah, wa-

jahnya terlihat pucat.

Sebenarnya mudah bagi Raja Petir untuk kem-

bali melancarkan serangan mematikan ke arah Silu-

man Hutan Dadak, namun tidak dilakukan Jaka Sem-

bada karena Liku Grada tidak siap tempur. Beberapa 

saat lamanya Jaka Sembada membiarkan Liku Grada 

memulihkan diri.

"Kau memang hebat, Raja Petir," ujar Siluman 

Hutan Dadak parau. "Tapi hanya saat ini, karena aku 

akan membuat perhitungan denganmu," lanjut Liku 

Graha.

"Tidak ada yang hebat di muka bumi ini, Liku 

Grada. Semua makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa 

pasti akan mati. Kalau sekarang kau kalah, bukan be-

rarti aku hebat, tapi semata karena Yang Maha Kuasa 

tak mengizinkan perbuatanmu yang di luar batas ke-

manusiaan. Untuk apa upacara sesat itu kalian laku-

kan? Kalau untuk memuja sesuatu yang kau anggap 

sakral, kurasa masih banyak cara lain untuk menga-

gungkannya."

Bijak perkataan yang keluar dari bibir anak 

muda berpakaian kuning keemasan.

"Aku tak perlu khotbah mu!" bantah Siluman 

Hutan Dadak sambil bangkit "Ingat baik-baik, Raja Pe-

tir! Aku akan membuat perhitungan atas kekalahan ku

ini," lanjut Siluman Hutan Dadak seraya menatap ta-

jam Jaka Sembada.

Dan Jaka Sembada tak membiarkan tatapan 

penuh bara dendam itu, seraya membalas tatapannya


sesungging senyum disuguhkan pada Liku Grada yang 

kemudian melempar pandangannya pada Nyai Dinda 

Dahlia, Perwari dan Primaka.

"Kalian juga akan mampus nanti!" ancam Silu-

man Hutan Dadak.

Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka tidak 

menanggapi ancaman Siluman Hutan Dadak yang di-

ucapkan dengan dendam membara. Ketiga orang yang 

telah diselamatkan Raja Petir hanya menatap Liku 

Grada. Beberapa saat kemudian, Siluman Hutan Da-

dak bergerak pergi.

"Ingat! Kalian pasti akan kubuat mampus!"

Kembali ancaman Siluman Hutan Dadak ter-

dengar.


EMPAT



Sore nampak semakin senja, dan warna jingga 

menyemburat di kaki langit. Angin yang berhembus 

dingin seolah memperingatkan Raja Petir dan Nyai 

Dinda Dahlia mengenai rencana mereka.

"Tak perlu dipikirkan sekali ancaman itu, Nyai," 

ujar Raja Petir setelah beberapa saat tubuh Siluman 

Hutan Dadak lenyap.

"Aku sedang memikirkan keselamatan Wulan 

Sari, Jaka," kilah Nyai Dinda Dahlia.

"Upacara maut tidak akan dilaksanakan tanpa 

kelengkapan persyaratan yang diperlukan. Menurutku, 

orang-orang gila yang melaksanakan upacara itu be-

lum berhasil mendapatkan semua gadis yang diperlu-

kan. Buktinya, Perwari belum di tangan mereka. Mu-

dah-mudahan begitu juga dengan putri Ki Jatirama," 

hibur Jaka Sembada.


"Ah...."

Nyai Dinda Dahlia seperti dikejutkan dengan 

sesuatu.

"Apa kita akan meneruskan perjalanan malam 

ini, Jaka?"

"Malam baru saja datang, Nyai. Kita masih 

mempunyai kesempatan datang ke Perguruan Sakajati. 

Kurasa perguruan itu tak begitu jauh dari sini," jawab 

Jaka Sembada.

"Lalu bagaimana dengan Perwari dan Primaka?" 

tanya Nyai Dinda Dahlia.

"Kami ikut Nyai dan Raja Petir," jawab Perwari 

mendahului. "Barangkali tenaga kami diperlukan, se-

lain itu kami juga ingin ikut serta mencegah pelaksa-

naan upacara maut"

"Baiklah kalau begitu. Tapi kita harus menge-

luarkan tenaga lebih agar cepat sampai di Perguruan 

Sakajati," ujar Jaka Sembada.

"Aku mengerti," sahut Nyai Dinda Dahlia, "Ayo, 

Hup!"

Perempuan setengah baya itu menghentakkan 

kaki. Begitu sederhana gerakan Ketua Perguruan Seri-

bu Bunga, namun membawanya melesat cepat me-

ninggalkan Jaka Sembada, Perwari dan Primaka.

"Ayo Perwari, Primaka," ajak Jaka Sembada se-

raya bergerak menyusul Nyai Dinda Dahlia yang bera-

da tujuh tombak di depan.

Perwari dan Primaka tak mau ketinggalan, den-

gan ringan keduanya berkelebat menyusul Nyai Dinda 

Dahlia dan Raja Petir.

***

Suasana terang-benderang terlihat dari jarak


puluhan tombak. Jaka Sembada dan Nyai Dinda Dah-

lia segera menghentikan langkahnya. Dan wajah cemas 

Nyai Dinda Dahlia ditujukan pada Jaka Sembada, be-

gitu juga Primaka dan Perwari.

"Ah! Kita terlambat, Nyai," sesal Jaka Sembada 

seraya memandang Nyai Dinda Dahlia.

Perempuan itu menatap langit yang menyem-

burat merah karena kobaran api.

"Kau yakin kobaran api itu berasal dari bangu-

nan Perguruan Sakajati?"

"Aku yakin sekali, menurut Paman Gumai Gu-

marang letak Perguruan Sakajati memang di situ. Ayo 

kita ke sana, barangkali masih ada nyawa yang bisa ki-

ta selamatkan," ajak Jaka Sembada lalu bergerak me-

langkah.

Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan Primaka men-

gikuti dari belakang.

Braaakkk!

"Ikh!"

Jaka Sembada menggereng kesal seiring den-

gan runtuhnya bangunan utama Perguruan Sakajati. 

Namun kekesalan tidak membuatnya terpaku, me-

mandangi Perguruan Sakajati yang porak-poranda di-

makan api. Jaka Sembada bergerak cepat menembus 

kobaran api yang sudah agak reda. Api menjilati sisa-

sisa bangunan yang mudah terbakar.

Pemuda itu coba mengamati mayat-mayat yang 

bergeletakan, mereka adalah murid-murid Perguruan 

Sakajati. 

"Ukh!"

Kembali Jaka Sembada menggeram marah 

mendapatkan tubuh-tubuh yang tak bernyawa. Betapa 

keji perbuatan ini, bisik pemuda itu dalam hati. Jaka 

Sembada menduga yang melakukan kekejian ini ada


lah orang-orang yang bermaksud melaksanakan upa-

cara maut. Dugaannya itu didasarkan pada kenyataan 

bahwa Ketua Perguruan Sakajati menerima surat dari 

mereka. 

"Akh!"

Jaka Sembada tersentak mendengar suara dari 

selatan bangunan Perguruan Sakajati. Bergegas Raja 

Petir mendatangi tempat suara itu datang. Dan pemu-

da itu terdiam tak mengerti, melihat Nyai Dinda Dahlia 

membiarkan lelaki tua berpakaian putih tergeletak 

dengan tubuh penuh luka, di beberapa bagian tubuh-

nya terdapat bercak-bercak hitam.

"Akh! Kaukah, Ki Jatirama?" tanya Jaka Sem-

bada sambil mendekati lelaki tua berpakaian putih.

Di luar dugaan, lelaki yang memang Ki Jatira-

ma ketua Perguruan Sakajati mengangkat tangan den-

gan telapak tidak terbuka penuh.

Jaka Sembada dapat membaca isyarat Ki Jati-

rama, langkahnya segera terhenti.

"Jangan sentuh aku, Anak Muda," terbata uca-

pan yang keluar dari mulut Ki Jatirama.

"Apakah yang melakukan semua ini orang-

orang gila yang hendak melaksanakan upacara maut 

Ki?"

Agak terbelalak mata ketua Perguruan Sakajati 

mendengar pertanyaan Jaka Sembada. Namun hanya 

sesaat, kemudian selang setegukan teh, mata Ki Jati-

rama menatap redup Jaka Sembada.

"Ciri-ciri mu mirip dengan yang kudengar dari 

orang-orang persilatan, Anak Muda. Apakah kau yang 

berjuluk Raja Petir?" dengan susah payah Ketua Per-

guruan Saka Jati bertanya pada Jaka Sembada.

"Ah, namaku Jaka Sembada, Ki. Apakah kau, 

Ki Jatirama?"


"Dari siapa kau tahu namaku, Raja Petir?" seli-

dik ketua Perguruan Sakajati.

"Dari Paman Gumai Gumarang."

Kembali mata Ki Jatirama terbelalak.

"Adi Gumai Gumarang?" ulang Ki Jatirama, 

"Apa hubunganmu dengannya?"

"Sebaiknya kita urusi luka-lukamu lebih dahu-

lu, Ki. Barangkali aku bisa mengobatinya," usul Jaka 

Sembada.

"Aku terkena pukulan 'Bisa Kala Hitam' milik 

Pangeran Kala Hitam, Raja Petir. Tanpa ku telan anti 

pukulan beracun itu, mustahil bagiku dapat melihat 

dunia sampai esok matahari terbit," jawab Ki Jatirama.

Ki Jatirama tidak bermaksud menolak niat baik 

Jaka Sembada, laki-laki berusia lebih enam puluh ta-

hun itu hanya khawatir jika racun ganas yang ada di 

tubuhnya menjalar ke tubuh anak muda berpakaian 

kuning keemasan yang dikenal dengan julukan Raja 

Petir.

"Maaf, Ki Jatirama. Menurutku, tidak ada seo-

rang manusia pun yang mampu mendahului kodrat 

sang Pencipta Jagat Semesta, termasuk Pangeran Kala 

Hitam. Meski menurutnya racun itu tidak akan mem-

buat manusia bertahan hidup, namun itu bukan hal 

yang mustahil bagi Dia yang memiliki roh abadi. Asal-

kan kita mau berusaha dan tidak melupakan kebesa-

ranNya. Aku menolongmu, bukan karena merasa 

mampu melakukan, tapi karena mengharap kebesaran 

sang Pencipta Alam Raya," ucap Jaka Sembada dengan 

tatapan yang tak lepas dari wajah Ki Jatirama.

Ki Jatirama tidak pernah menduga ucapan se-

perti itu keluar dari lelaki yang begitu muda usia, lela-

ki berjuluk Raja Petir yang belakangan ini sering dis-

ebut-sebut tokoh persilatan.


Dalam hati lelaki itu menyesali diri, karena 

termakan ucapan Pangeran Kala Hitam akan kegana-

san pukulan 'Bisa Kala Hitam'. Ki Jatirama pun me-

nyesali kepasrahannya pada keadaan, tanpa berusaha 

mencari jalan keluar.

"Bersiaplah, Ki. Mudah-mudahan aku dapat 

menjinakkan racun ganas yang berada di tubuhmu," 

ujar Raja Petir membangunkan Ki Jatirama dari pe-

nyesalannya.

Ki Jatirama menggerakkan badan sedikit men-

dengar ucapan Jaka Sembada. Dengan tatapan mata 

lurus ke depan, laki-laki tua pemimpin Perguruan Sa-

kajati memperhatikan tindakan Jaka Sembada.

Ki Jatirama terkejut melihat perubahan pada 

diri pemuda di hadapannya. Seluruh kepala hingga 

dada terbalut sinar kurang keemasan, begitu pula dari 

lutut hingga ujung kakinya. Cukup membuat Ki Jati-

rama semakin terperangah. Dan ketika selarik sinar 

kuning meluncur dari rentangan tangan Raja Petir, Ki 

Jatirama terlonjak. 

"Aaakh...!"

Selarik sinar kuning keemasan yang keluar dari 

rentangan tangan Raja Petit membungkus tubuh tua 

Ki Jatirama. Lelaki itu tidak mampu berbuat apa-apa, 

selain berteriak menahan rasa sakit yang sangat

Yang barusan dilakukan Raja Petir adalah se-

rangkaian ajian 'Kukuh Karang'. Ajian itu berfungsi 

untuk melumpuhkan berbagai jenis racun ganas.

Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan Primaka me-

mandang kagum aji 'Kukuh Karang' Jaka Sembada. 

Dengan mata terus tertuju ke tubuh Ki Jatirama keti-

ganya menunggu kejadian selanjutnya. 

"Aaa...!" 

"Hoeeekh!"


Seiring dengan lenyapnya sinar kuning yang 

membalut tubuh Ki Jatirama, jeritan menyayat dan 

muntahan darah kental kehitaman keluar dari mulut 

lelaki itu. Membuat Nyai Dinda Dahlia, Perwari, dan 

Primaka terkejut sekaligus khawatir dengan keselama-

tan Ki Jatirama.

Lain halnya dengan Jaka Sembada. Pemuda 

yang berjuluk Raja Petir itu bersyukur pada sang Pen-

cipta Jagat Semesta yang telah mengabulkan permo-

honannya.

"Sebaiknya Ki Jatirama kita bawa ke rumahmu, 

Nyai," usul Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia tidak segera menyahut Ketua 

Perguruan Seribu Bunga itu masih terpaku meman-

dangi tubuh Ki Jatirama yang tergeletak diam.

"Ki Jatirama hanya pingsan, Nyai," ujar Jaka 

Sembada.

Nyai Dinda Dahlia segera menatap wajah Jaka 

Sembada dengan penuh kekaguman.

"Sebaiknya memang begitu, Jaka Sembada. 

Mudah-mudahan luka luar yang diderita Ki Jatirama 

bisa sembuh dalam waktu singkat. Agar dapat mem-

bantu kita memerangi orang-orang yang ingin melak-

sanakan upacara maut"

"Semoga Ki Jatirama cepat sembuh dan dapat 

membantu kita, Nyai. Aku yakin, kebatilan tidak akan 

seterusnya menang."


LIMA



Pagi di kaki Gunung Kumborang nampak 

sunyi. Kabut yang turun samar-samar, menebar hawa

dingin menusuk kulit. Namun kesunyian itu terusik 

oleh teriakan dua gadis, yang berada di pundak dua le-

laki berpakaian merah dan hitam.

"Lepaskan aku, Lelaki Setan! Lepaskan aku!" 

teriak gadis berpakaian biru muda yang dipanggul le-

laki berpakaian merah.

Berkali-kali gadis muda itu berteriak-teriak lan-

tang menggiriskan hari, tapi sia-sia saja teriakannya. 

Laki-laki yang memanggulnya, Ki Kustara, hanya me-

nanggapi teriakan itu dengan kekehan yang terputus-

putus.

"Hik hik hik...! Aku akan melepaskanmu sete-

lah kita berada di puncak Gunung Kumborang, Anak 

Manis. Bersabarlah sedikit," ujar Ki Kustara yang dika-

langan rimba persilatan berjuluk Setan Rimba Bang-

kai.

Gadis muda yang tak lain Seriti terus berteriak-

teriak. Cucu Ketua Perguruan Sakajati itu sedikit pun 

tak mampu menggerakkan tubuhnya yang tertotok.

Perbuatan Seriti dilakukan juga oleh saudara 

kembarnya. Dengan tubuh yang tak mampu digerak-

kan Ratih berteriak-teriak.

Seperti Setan Rimba Bangkai, Kindang Supa 

pun tidak menurunkan gadis yang dipanggulnya. Lela-

ki yang berjuluk Pangeran Kala Hitam menimpahnya 

dengan tawa kegirangan sambil sesekali menepuk 

pinggul Ratih.

"Ha... ha... ha.... Sabar Dara Kemayu, sabar. 

Kau akan kuturunkan setelah berada di puncak nan-

ti," kata Kindang Supa sambil melirik ke arah Ki Kus-

tara.

Ki Kustara membalas isyaratnya dengan meng-

hentakkan kaki kuat-kuat, lalu melenting indah bebe-

rapa kali. Setan Rimba Bangkai kembali menotolkan


kaki saat menjejak perut Gunung Kumborang. Berkali-

kali gerakan-gerakan lincah itu dilakukan Ki Kustara, 

hingga dirinya nampak seperti segumpal kapas yang 

diterbangkan angin.

Seriti yang ada di panggulan Ki Kustara tentu 

saja merasakan kengerian yang sangat, cucu Ki Jati-

rama itu hanya dapat memejamkan mata. Tak dapat 

dibayangkan jika dirinya terhempas dari ketinggian 

Gunung Kumborang.

Begitu juga yang dialami Ratih. Dengan meme-

jamkan mata dan menguatkan hati, Ratih memasrah-

kan diri.

"Ha ha ha, sekarang bukalah matamu, Anak 

Manis. Kita sudah berada di puncak gunung, kau tak 

perlu takut," ucap Ki Kustara.

Ki Kustara segera menurunkan gadis yang di-

panggulnya, begitu juga Kindang Supa. Namun kedua 

lelaki itu belum melepas totokannya.

"Mengapa kalian membawa kami ke sini?" tanya 

Seriti marah.

"Kami memerlukan kalian, Anak Manis," jawab 

Kindang Supa.

"Ya. Dan kami sudah minta izin pada kakek ka-

lian, Ki Jatirama," tambah Ki Kustara.

"Kalian, Iblis Keji!" maid Ratih lantang, matanya 

memandang tajam ke Kindang Supa dan Ki Kustara 

berganti-ganti.

"Sebenarnya kami tak bermaksud membunuh 

kakek kalian, Ki Jatirama menginginkan kematiannya. 

Kalian berdua tahu aku minta secara baik-baik, tapi Ki 

Jatirama menghinaku. Tentu saja aku marah, apa ka-

lian mau dikatakan orang kurang waras?" dalih Kin-

dang Supa.

"Kalian memang orang sinting!" jawab Ratih ke


tus, "Kalau kalian waras, untuk apa melaksanakan 

upacara gila?"

"Kau tidak mengerti arti penting upacara maut, 

Anak Manis," ujar Ki Kustara.

"Di situlah letak kesintingan kalian!" 

"Jangan membuatku marah, Seriti!" bentak 

Kindang Supa tak sabar.

Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Pange-

ran Kala Hitam menatap tajam wajah Seriti.

"Aku bisa membunuhmu sekarang juga, jika 

aku mau!" ancam Pangeran Kala Hitam.

"Lakukanlah! Kurasa itu lebih baik," tantang 

Ratih.

Kindang Supa hanya dapat menggeretakkan gi-

gi mendengar ucapan Ratih, apalagi setelah dilihat Ki 

Kustara menatapnya tajam.

"Sabarlah, Kindang. Biarlah gadis-gadis itu 

berkata seenak perutnya. Mereka kini berada dalam 

kekuasaan kita, berarti pelaksanaan upacara maut 

tinggal menunggu waktu saja," tahan Setan Rimba 

Bangkai.

"Sekarang kita temui Laras Nini, Laras Dewi, 

dan Liku Grada. Barangkali mereka sudah berhasil 

menjalankan tugas."

Lelaki berpakaian merah dengan senjata pe-

dang tumpul tertera menyilang di dada, segera melesat 

menyambar tubuh Seriti. Demikian juga Kindang Su-

pa. Keduanya berlari ke utara puncak Gunung Kumbo-

rang dengan memanggul dua korbannya.

***

"Apa?! Raja Petir berhasil menggagalkan usa-

hamu?"


Keras pertanyaan Setan Rimba Bangkai setelah 

meletakkan tubuh gadis kembar cucu Ki Jatirama.

Wajah Ki Kustara nampak merah padam me-

nahan marah.

Siluman Hutan Dadak tidak segera menjawab. 

Liku Grada tengah membayangkan wajah lelaki muda 

berpakaian kuning keemasan, lelaki yang berjuluk Ra-

ja Petir yang telah menggagalkan usahanya.

"Kau bukan anak kemarin sore, Siluman Hutan 

Dadak," perlahan ucapan yang keluar dari mulut Setan 

Rimba Bangkai "Aku tak habis pikir, kau menyerah di 

tangan anak ingusan macam Raja Petir," lanjut Ki Kus-

tara dengan tatapan menusuk mata.

"Semula aku menganggapnya demikian, Ki," 

bantah Liku Grada. "Namun ternyata pemuda itu me-

miliki kesaktian cukup tinggi, seperti cerita yang per-

nah kudengar dari tokoh-tokoh kalangan persilatan."

"Hmmm...."

"Apa yang dialami Kakang Liku Grada mungkin 

saja, Ki. Kudengar Raja Petir memang memiliki ilmu 

kesaktian yang cukup tinggi. Ah! Aku jadi makin pena-

saran untuk menjajal kemampuannya," timpal Laras 

Nini seraya mengacungkan kepalanya tinggi-tinggi.

"Aku juga pernah mendengar kehebatan pemu-

da itu, Nini. Tapi untuk mengalahkan Liku Grada tidak 

semudah membalik telapak tangan," sangkal Ki Kusta-

ra.

"Kenyataannya Kakang Liku Grada berhasil di-

lumpuhkan. Cukup sebagai bukti kesaktian Raja Petir 

di atas Kakang Liku Grada. Sebaiknya kita bereskan 

dulu pemuda usil itu, Ki," usul Laras Dewi.

"Raja Petir...?" gumam Ki Kustara perlahan. 

"Bagaimana menurutmu, Kindang?"

Pangeran Kala Hitam tidak segera menjawab.


Mata lelaki itu menatap wajah Dewi Racun Kembar 

dan Liku Grada bergantian.

"Menurutku, lebih baik kita mencari pengganti 

gadis yang gagal dibawa Adi Grada, Ki," jawab Pange-

ran Kala Hitam.

"Alasanmu?"

"Jika persyaratan upacara maut sudah terpe-

nuhi, kita bisa segera melaksanakan upacara, Ki. Men-

genai Raja Petir, kalau ia memang tidak suka pasti 

akan datang menemui kita untuk membebaskan dara-

dara persembahan. Sementara gadis-gadis itu sudah 

kita korbankan sebagai sesaji," papar Pangeran Kala 

Hitam.

"Menurutku saran Kakang Kindang bagus, Ki. 

Biar aku yang mencari gadis pengganti. Kali ini aku 

harus berhasil!" ujar Siluman Hutan Dadak memberi 

pendapat.

"Bagaimana jika Raja Petir kembali menghalan-

gi maksudmu, Liku Grada?" tanya Ki Kustara malah 

balik bertanya.

Liku Grada, alias Siluman Hutan Dadak marah 

mendengar pertanyaan yang bernada meremehkan itu. 

Tangan lelaki yang memegang tongkat bulat sabit 

nampak menegang.

"Jangan meremehkan ku, Ki," ketus ucapan Li-

ku Grada. "Jika kemarin aku berhasil dikalahkan, bu-

kan berarti sekarang aku harus kalah lagi. Kekalahan

ku kemarin karena aku meremehkannya, tapi seka-

rang.... Dengar Ki Kustara! Aku akan mempertaruhkan 

nyawa untuk mendapatkan gadis pengganti putri Wu-

jang Kanta."

"Kupegang ucapanmu, Siluman Hutan Dadak," 

ujar Ki Kustara. "Carilah gadis pengganti yang urung 

kau dapatkan itu!"


"Tentu, Ki! Aku tak akan kembali ke puncak 

Gunung Kumborang sebelum mendapatkan gadis 

pengganti. Aku berangkat sekarang!"

Tanpa menunggu perintah Setan Rimba Bang-

kai, Liku Grada melesat cepat menuruni puncak Gu-

nung Kumborang. Berkat ketinggian ilmu meringankan 

tubuh, lelaki bertubuh sedang itu tak menemui kesuli-

tan mencapai kaki gunung dalam waktu singkat.

Sementara pagi sudah berganti siang. Ki Kusta-

ra, Kindang Supa, dan Dewi Racun Kembar meman-

dangi gadis-gadis yang akan dijadikan persembahan 

dalam upacara maut Gadis-gadis putri tokoh-tokoh 

persilatan golongan putih yang berwajah cantik-cantik.

"Sekarang kalian akan kubebaskan dari toto-

kanku, Anak Manis. Bergabunglah dengan teman-

temanmu," ucap Ki Kustara.

Lelaki tua berusia enam puluh tahun lebih itu 

tiba-tiba bergerak cepat Dan....

Tuk! Tuk!

"Aaa...!"

Teriakan kaget terdengar saling susul. Ratih 

dan Seriti menggelinjang sesaat. Pada saat berikutnya 

mereka sudah mampu bangkit berdiri.

"Nah! Sekarang lakukan, apa yang ingin kalian 

lakukan. Melampiaskan kekecewaan, kekesalan, den-

dam atau yang lainnya. Silakan lakukan, jangan sung-

kan-sungkan," ujar Ki Kustara.

Kedua gadis itu hanya menatap tajam Setan 

Rimba Bangkai.

"Jangan menatap ku seperti itu, Anak Manis. 

Bukankah aku telah memberi kebebasan pada kalian?"

"Kau memang iblis! Untuk apa kami dikumpul-

kan seperti ini?" sentak Seriti keras.

Ki Kustara tersenyum mendengar pertanyaan


itu. Setan Rimba Bangkai hanya menatap Seriti dan 

Ratih berganti-ganti.

"Sebenarnya tak ada maksud tersembunyi dari 

upacara maut yang sebentar lagi dilaksanakan, Anak 

Manis," Jawab Ki Kustara. "Terus terang kukatakan 

maksud upacara itu hanya untuk merongrong kete-

nangan tokoh-tokoh persilatan golongan putih, tokoh-

tokoh yang senang bicara soal kesucian dan kebena-

ran."

"Kau tidak berhak merongrong ketenangan hi-

dup mereka, Setan Tua!" bentak Ratih.

"Siapa bilang? Aku punya hak merongrong me-

reka, seperti juga mereka suka mengusik kesenangan 

kami," bantah Setan Rimba Bangkai.

"Mereka mengusik karena merasa terusik!" ba-

las Seriti.

"Ah! Kau tahu apa, Bocah Ingusan. Aku lebih 

tahu dari kalian, bagaimana orang-orang golongan pu-

tih yang berlagak suci itu, coba-coba jadi pahlawan 

dengan memerangi kebatilan. Padahal diri mereka sen-

diri dipenuhi nafsu serakah. Aku dendam karena me-

reka telah melenyapkan seluruh keluargaku. Itulah 

persoalannya!"

"Tapi kenapa kau bawa-bawa kami, yang tak 

tahu apa-apa?" tanya Ratih.

"Sudah kubilang, aku hanya ingin merongrong 

ketenangan hidup tokoh-tokoh golongan putih!" bentak 

Ki Kustara keras.

"Kalian bukan hanya merongrong, tapi telah 

melakukan pembantaian pada Perguruan Sakajati!" 

balas Seriti tak kalah keras.

"Itu karena Ki Jatirama tak mengindahkan 

keinginanku," kilah Ki Kustara.

"Karena kau orang gila, Kustara!"


"Jangan kurang ajar padaku!"

Tubuh Ratih terjajar empat langkah ketika tan-

gan Setan Rimba Bangkai menghajar raut wajahnya.

"Ayo! Bicaralah seenakmu, biar kupenggal ke-

palamu sekarang juga!" hardik Setan Rimba Bangkai.

Wajah Ratih memerah, sedang Seriti hanya me-

nahan kegeraman melihat tingkah Ki Kustara yang te-

lah meloloskan pedang tumpul dari warangka yang 

menyilang di dadanya.

"Nini, Dewi! Ikat kedua gadis kurang ajar itu, 

satukan dengan yang lain!" perintah Ki Kustara pada 

Dewi Racun Kembar.

Dewi Racun Kembar dengan sigap menjalankan 

perintah Setan Rimba Bangkai. Sekali saja Laras Nini 

dan Laras Dewi menghentak kaki, tubuh keduanya 

melesat ke arah Seriti dan Ratih.

Tuk! Tuk!

"Akh!"

Kedua gadis itu terjungkal seketika, terkena to-

tokan Dewi Racun Kembar. Tubuh cucu Ki Jatirama 

tak dapat berbuat apa-apa ketika Dewi Racun Kembar 

membopongnya, dan memasukkan ke kerangkeng yang 

telah dihuni dua gadis cantik seusia mereka.

"Keluarkan aku, Setan!" teriak Ratih. Namun 

teriakannya sia-sia saja karena Dewi Racun Kembar 

pergi meninggalkannya.


ENAM



Suasana sore nampak begitu indah. Angin ber-

tiup semilir ditingkahi suara burung-burung kecil ber-

cericit, berlompatan dari dahan ke dahan.


Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh tengah 

menikmati udara sore. Mereka adalah seorang gadis 

muda yang cantik jelita dan dua lelaki bertubuh tinggi 

tegap yang bisa dipastikan pengawal gadis cantik ber-

pakaian merah muda.

"Seekor kijang muda dan lima ekor kelinci 

membuatku sangat bahagia hari ini, Kakang Prasena," 

kata gadis cantik seraya mengangkat seekor kelinci.

"Aku pun begitu, Paraswari," timpal lelaki yang 

dipanggil Prasena. "Namun aku lebih bahagia lagi me-

lihat kemajuan kepandaian memanah mu," tambah 

Prasena dengan senyum terkembang.

"Ah! Itu berkat Kakang Prasena dan Kakang Ni-

lunja," kilah Paraswari sambil menoleh pada lelaki te-

gap yang berdiri di kiri Prasena.

"Bukan karena kami, Paraswari. Tapi karena 

kau punya bakat kuat dan ketekunan dalam mempela-

jari ilmu panah," bantah Nilunja.

Paraswari tersenyum mendengar pujian Nilun-

ja. Namun senyum Paraswari terhenti oleh kedatangan 

lelaki berpakaian hitam yang memegang tongkat ber-

kepala bulan sabit. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan 

Liku Grada alias Siluman Hutan Dadak.

Kehadiran Liku Grada dengan tawa yang diser-

tai pengerahan tenaga dalam, membuat Paraswari dan 

kedua pengawalnya menutup telinga. Beruntung tawa 

Liku Grada tak berlangsung lama, hingga mereka ter-

bebas dari suara yang membuat gendang telinga ber-

dengung hebat

"Siapa kau, Kisanak? Mengapa kau mengusik 

kebahagiaan kami?" tanya Prasena dengan tatapan 

mata tajam menusuk, wajahnya nampak tegang per-

tanda kemarahan yang ditahan.

"Aku Liku Grada, tapi aku lebih senang dipang


gil Siluman Hutan Dadak," jawab Liku Grada tenang, 

tatapan matanya menelusuri sekujur tubuh Paraswari.

"Hmmm.... Kau cantik sekali," ucap Siluman 

Hutan Dadak tertuju pada Paraswari.

"Maaf, Liku Grada. Aku tak punya banyak wak-

tu berbincang-bincang denganmu, terimakasih atas 

pujian mu," balas Paraswari sambil memberi isyarat 

pada Prasena dan Nilunja untuk meninggalkan Liku 

Grada.

"Eit, tunggu dulu, Nisanak," tahan Siluman Hu-

tan Dadak. "Aku belum mengenal kalian, kenapa ka-

lian pergi begitu saja dari hadapanku?"

"Sudah kubilang, aku tak punya banyak wak-

tu," tolak Paraswari.

"Jangan sombong begitu, Nisanak."

Siluman Hutan Dadak mencoba mencekal tan-

gan Paraswari, tapi gadis berpakaian merah muda itu 

lebih dahulu menghindar.

"Kuperingatkan kau, Liku Grada! Jangan ber-

buat kurang ajar pada putri majikanku!" ancam Nilun-

ja seraya menuding wajah Siluman Hutan Dadak.

Liku Grada terkekeh mendengar ancaman itu.

"Terhadap majikanmu pun aku berani berbuat 

kurang ajar, Kisanak," kilah Liku Grada mantap.

Nilunja tersentak mendengar ucapan Liku Gra-

da. Dengan wajah memerah, Nilunja kembali mempe-

ringatkan Liku Grada.

"Kalau kau masih bicara tidak sopan, jangan 

salahkan jika kurobek mulutmu!"

"Heh?! Apa kau bisa melakukan itu padaku?" 

ejek Siluman Hutan Dadak dengan mencibirkan bibir.

"Kurang ajar! Ku sobek mulutmu!"

Seiring dengan ucapannya, tubuh Nilunja ber-

gerak cepat mengirimkan serangan. Tangan terkepal


kuat terarah ke mulut Siluman Hutan Dadak.

Melihat Nilunja merangsek maju, Liku Grada 

segera mengambil sikap hati-hati karena belum dapat 

mengukur kekuatan tenaga dalam lawan.

Wuuut!

"Eits!"

Liku Grada segera menarik kepalanya ke bela-

kang menghindari tonjokan Nilunja. Dari angin keras 

yang mengibarkan rambutnya, Siluman Hutan Dadak 

dapat mengukur kekuatan tenaga dalam lawan. Maka 

ketika serangan kembali datang, Liku Grada menang-

kis dengan tangan kiri.

Trak!

Siluman Hutan Dadak terjajar selangkah sete-

lah benturan keras terjadi, sedikit rasa linu menjalari 

tangan kirinya.

Sementara Nilunja terjajar lima langkah. Tan-

gannya yang membentur tangan Liku Grada rasanya 

seperti lumpuh. Cukup memberi gambaran tenaga da-

lam Nilunja di bawah Siluman Hutan Dadak.

Prasena yang menyaksikan kejadian itu menja-

di terkejut. Pemuda itu tak menyangka Nilunja kalah 

dalam mengadu tenaga dalam, padahal Prasena tahu. 

Nilunja memiliki tenaga dalam yang patut diperhitung-

kan.

"Liku Grada, kurasa antara kita tak ada permu-

suhan, lalu kenapa kau berlaku seperti itu pada ka-

mi?" tanya Prasena dengan setenang mungkin.

"Antara kita memang tidak ada satu urusan, 

Kisanak. Namun sekarang aku mempunyai keperluan 

dengan kalian, terutama dengan gadis cantik itu," ja-

wab Liku Grada sambil menunjuk Paraswari.

"Keperluan apakah itu, Liku Grada?" tanya Pra-

sena.


"Aku ingin membawa putri majikanmu ke pun-

cak Gunung Kumborang," jawab Liku Grada.

Prasena, Paraswari, dan Nilunja tentu saja ter-

kejut mendengar jawaban Siluman Hutan Dadak. Den-

gan wajah tegang mereka menatap wajah Liku Grada.

"Mau apa kau membawaku ke puncak Gunung 

Kumborang?" selidik Paraswari.

"Nanti kau akan mengetahuinya, Nisanak," ja-

wab Liku Grada.

"Kalau kau tidak mau menyebutkan tujuanmu 

membawaku ke Gunung Kumborang, aku tak akan 

meluluskan permintaanmu," tekan Paraswari.

"Setelah kukatakan, apakah kau mau ikut den-

ganku?"

"Tergantung kepentinganmu, Liku Grada. Aku 

akan mempertimbangkan kewajarannya."

"Baiklah," putus Liku Grada. "Di puncak Gu-

nung Kumborang kami akan melaksanakan upacara 

maut. Sebagai persembahannya, kami membutuhkan 

gadis seperti kau, Nisanak."

Bagai tersengat ribuan lebah Paraswari, Prase-

na, dan Nilunja mendengar jawaban Liku Grada.

Mereka saling berpandangan heran.

"Itu permintaan gila, Liku Grada!" bantah Pra-

sena.

"Ya, itu keinginan gila. Aku tak mungkin me-

menuhinya," tambah Paraswari.

"Bagaimana kalau aku tetap memaksa?" tawar 

Liku Grada.

"Kau langkahi dulu mayat kami," jawab Prasena 

dan Nilunja bersamaan.

"Baik," ujar Liku Grada. "Aku tidak hanya akan 

melangkahi mayat kalian, lebih dari itu pun aku bisa."

"Sombong!" sahut Nilunja.


"Bersiaplah!"

Siluman Hutan Dadak segera mengambil an-

cang-ancang melakukan serangan. Kedua kakinya 

membentuk kuda-kuda rendah kokoh berpijak. Maka 

ketika kaki belakang dihentakkan kuat-kuat, tubuh 

Liku Grada melesat dengan jari-jari tangan terbuka 

mengancam pelipis Prasena dan Nilunja.

Melihat gerakan Liku Grada yang cukup berba-

haya, Prasena dan Nilunja segera berpencar. Gerakan 

menghindar yang tak kalah cepat, dilakukan kedua 

pengawal Paraswari. Karuan saja serangan yang dila-

kukan Siluman Hutan Dadak menemui tempat kosong. 

Namun gerakan Siluman Hutan Dadak yang cepat dan 

tak terduga kembali dilakukan, kali ini Prasena yang 

menjadi sasaran.

Untuk menghindari pukulan Liku Grada, den-

gan terpaksa Prasena membanting tubuh ke kanan 

dan melakukan totolan melalui tangan. Tubuh Prasena 

melenting dan melakukan putaran dua kali.

Siluman Hutan Dadak yang melihat titik lemah 

Prasena kembali bergerak cepat. Dengan melakukan 

jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa' Siluman Hutan 

Dadak mengejar tubuh lawannya.

"Hiaaa...!"

Bret!

"Aaakh!"

Tubuh Prasena terdorong keras dihantam ter-

kaman lurus jurus 'Raja Hutan Menerkam Mangsa'. 

Tubuh yang terbungkus pakaian hijau itu kemudian 

terbanting di tanah dengan luka di perut yang mengu-

curkan darah.

"Hahaha.... Rupanya hanya sampai di situ ke-

mampuan yang kau miliki, Kisanak. Aku akan menun-

jukkan kemampuanku yang lebih dahsyat dapat men


gantar nyawamu lebih cepat menemui malaikat maut" 

kata Liku Grada.

Laki-laki itu memang tidak main-main dengan 

ucapannya. Meski tahu Prasena terluka parah, Silu-

man Hutan Dadak tetap berkelebat dengan senjata 

tongkat bulan sabit yang terayun di atas kepala.

Paraswari dan Nilunja terkejut menyaksikan 

tindakan Liku Grada. Maka tanpa membuang waktu 

lagi Paraswari segera membidikkan anak panahnya ke 

tubuh Siluman Hutan Dadak yang tengah melayang ke 

arah Prasena.

"Hih!"

Twiiing..!

Anak panah yang terlepas dengan kekuatan ta-

rikan penuh, meluruk deras mengancam tubuh Liku 

Grada. Namun kepekaan Siluman Hutan Dadak mem-

beritahu bahaya yang mengancam dari belakang.

Liku Grada tentu saja tak ingin mati konyol 

terkena panah Paraswari, maka diputuskannya tidak 

menangkis luncuran anak panah itu Liku Grada memi-

lih menghindar dengan melempar tubuhnya ke arah 

yang berlawanan, lalu dengan gerakan ringan menotol 

tanah seraya melakukan lentingan dua kali.

"Setan!" maki Liku Grada geram. 

Ditatapnya wajah Paraswari dengan pandangan 

menusuk.

"Kali ini aku tidak main-main! Kalian harus 

mampus. Dan kau, Nisanak! Akan kubawa ke puncak 

Gunung Kumborang!"

Liku Grada kembali mengangkat tombak yang 

di bagian ujungnya terdapat sebuah logam berbentuk 

bulan sabit Seluruh otot Siluman Hutan Dadak mene-

gang. Dan giginya bergeletukan.

Paraswari dan Nilunja bersiap-siap menghadapi


serangan yang mungkin lebih dahsyat. 

"Hiyaaa...!" 

Wruuut! Wusss!

Tanpa menggeser letak kaki Siluman Hutan 

Dadak mengebutkan tongkat bulan sabit hingga tercip-

ta selarik sinar putih yang meluruk deras ke arah Ni-

lunja dan Prasena.

Sinar putih yang menebarkan hawa panas itu 

meluruk dengan kecepatan yang sukar dilihat mata bi-

asa. Paraswari dan Nilunja yang mengetahui hal itu 

terkejut bukan main.

Nilunja segera menghentakkan kaki dan berpu-

taran di udara dua kali untuk menghindar. Tetapi ti-

dak dengan Prasena, lelaki yang terluka parah itu tak 

lagi mampu menghindar.

Brasss...!

"Aaakh!"

Jerit kematian terdengar bersamaan dengan 

terpentalnya Prasena dengan wajah terbakar. Prasena 

hanya mampu menggeliat sebentar lalu nyawanya ter-

pisah dari raga.

Nilunja menyaksikan kematian Prasena murka 

bukan main. Tanpa mempedulikan keselamatannya, 

Nilunja meluruk maju menerjang Siluman Hutan Da-

dak dengan senjata terhunus.

"Mampus kau, Siluman Gila!" bentak Nilunja 

sambil membabatkan senjata ke leher Liku Grada.

Liku Grada tidak menganggap remeh serangan 

lawan. Dengan cepat ditariknya leher ke belakang. 

Wuuut!

Serangan Nilunja lewat beberapa rambut dari 

tenggorokan Liku Grada. Pada saat itulah kejelian Si-

luman Hutan Dadak memegang peranan. Ketika dili-

hatnya pertahanan Nilunja kosong, lelaki itu mengge


dor keras dada lawan. Akibatnya....

Blaaagkh!

"Huaaak!"

Gedoran keras Liku Grada mendarat persis di 

dada Nilunja. Tak urung tubuh pengawal Paraswari 

terpental sejauh dua tombak. Darah segar muncrat da-

ri mulutnya.

"Kakang Nilunja!" pekik Paraswari.

"Ha ha ha...!"

Liku Grada terkekeh menyaksikan tubuh lawan 

tidak mampu bangkit.

"Tak perlu diratapi orang yang sudah mati, Ni-

sanak. Lebih baik kau ikut bersamaku ke puncak Gu-

nung Kumborang," pinta Liku Grada setelah tawanya 

lenyap.

Paraswari menoleh, matanya jalang merayapi 

wajah Liku Grada.

"Lelaki Keparat!" maid Paraswari. "Kau telah 

membunuh orang kepercayaan ku, maka kau harus 

menebusnya dengan nyawamu!"

"Ha ha ha...! Kamu tak akan bisa membuktikan 

perkataan mu, Nisanak. Daripada kau buang-buang 

tenaga percuma, bukankah lebih dari kau menuruti 

keinginanku," tukas Liku Grada dengan mata mengerl-

ing genit.

"Cuh! Aku tak rela menuruti keinginan gilamu. 

Aku akan membunuhmu!"

Paraswari segera meraih anak panah yang ma-

sih tersisa. Dengan cepat anak panah itu diselipkan, 

kemudian dilepas kuat-kuat ke tubuh Siluman Hutan 

Dadak. Lelaki itu siap menyambut kedatangan anak 

panah dengan putaran tongkatnya.

Twiiing,..!

Wuuuk! Wuuuk!


Trak!

Satu anak panah dengan mudah dapat dipa-

tahkan, begitu juga anak panah yang lain. Paraswari 

merasa perbuatannya sia-sia, maka tanpa mempeduli-

kan keadaan, gadis cantik putri saudagar kaya dari 

Desa Sindang Aru itu bergerak maju dengan pedang 

terhunus.

"Lelaki Bejat! Kau harus mampus!" bentak Pa-

raswari seraya menebaskan pedangnya ke tubuh Silu-

man Hutan Dadak.

Liku Grada yang sudah dapat mengukur keku-

atan tenaga dalam Paraswari, tak bergeming sedikit 

pun dari tempatnya. Hanya dengan mengerahkan te-

naga dalamnya yang berada jauh di atas Paraswari, Si-

luman Hutan Dadak membiarkan tubuhnya terhajar 

senjata lawan. Akibatnya.... 

Trak! 

"Aaa!"

Tubuh Paraswari terpental ketika tebasan sen-

jatanya membentur tubuh Liku Grada yang seperti lo-

gam keras. Paraswari merasa tangannya linu, sedang 

senjatanya terpental jauh.

"Ha ha ha....! Sudah kubilang, apa yang kau la-

kukan hanya membuang tenaga percuma, Nisanak. 

Kusarankan agar kau mau pergi bersamaku ke puncak 

Gunung Kumborang tanpa ku paksa."

"Cih! Pergilah kau sendiri, aku tak sudi ikut 

denganmu," tentang Paraswari, tangannya masih me-

rasakan linu yang menyengat.

"Baik kalau begitu! Aku yang akan memaksa-

mu," ujar Siluman Hutan Dadak.

Tanpa menunggu jawaban Paraswari, Liku 

Grada melesat. Dua jarinya teracung ke tubuh putri 

saudagar kaya dari Desa Sindang Aru. Liku Grada me


lakukan totokan agar Paraswari mau menuruti keingi-

nannya.

"Hih!" 

Tuk! Tuk! 

"Aaa...!"


TUJUH



Tubuh Paraswari menggelinjang sesaat ketika 

totokan keras Siluman Hutan Dadak tepat mengenai 

sasaran. Tubuh gadis itu tergeletak diam, hanya ma-

tanya saja yang menatap marah Liku Grada.

"Kau memaksaku melakukan ini, Nisanak," ka-

ta Liku Grada dengan tatapan mata yang tak lepas me-

rayapi sekujur tubuh sintal Paraswari.

"Kau memang lelaki setan!" maki Paraswari ge-

ram.

Liku Grada alias Siluman Hutan Dadak terse-

nyum mendengar makian gadis cantik di hadapannya. 

Kaki laki-laki berpakaian hitam itu terayun selangkah 

demi selangkah mendekati tubuh Paraswari yang ter-

golek tak berdaya.

Paraswari melihat langkah kaki Liku Grada se-

makin dekat ketakutan bukan main. Apakah lelaki itu 

akan berbuat yang tidak senonoh terhadapnya? Perta-

nyaan itu tiba-tiba membersit di benak Paraswari. Ke-

ringat sebesar butiran jagung bermunculan di kulit-

nya. Paraswari merasakan tubuhnya bergetar hebat 

saat satu langkah lagi Liku Grada dapat merengkuh-

nya.

"Jangan lakukan yang tak pantas pada diriku, 

Liku Grada," pinta Paraswari pada puncak ketakutan-

nya.


Liku Grada menghentikan langkah mendengar 

ucapan Paraswari. Lelaki berpakaian hitam dengan 

tongkat yang bagian ujungnya terdapat logam keras 

berbentuk bulan sabit segera menatap wajah cantik 

Paraswari.

"Kau pikir aku sebejat itu?" tanya Liku Grada 

tegas.

Sedikit lega hati Paraswari mendengar perta-

nyaan Siluman Hutan Dadak.

"Dengar, Nisanak. Dalam hal melenyapkan 

nyawa orang, aku memang tak pernah berpikir dua 

kali untuk melakukannya. Tapi dengan tuduhanmu 

tadi? Huh! Aku akan berpikir seribu kali untuk mela-

kukannya. Pantang bagiku merusak kehormatan seo-

rang gadis!" tegas dan jelas ucapan Liku Grada.

"Apa kau ingin membunuhku juga?" tanya Pa-

raswari.

Siluman Hutan Dadak menggelengkan kepala.

"Kau kubutuhkan untuk pelaksanaan upacara 

maut, Nisanak. Jadi aku tak mungkin membunuhmu."

"Kau akan tetap membawaku ke puncak Gu-

nung Kumborang?" tanya Paraswari mencoba mengu-

lur waktu.

Gadis itu berharap ada orang lewat di tempat 

ini dan memberikan pertolongan padanya.

"Tentu, Nisanak. Sekarang juga, aku tak punya 

banyak waktu." 

"Hup!"

Siluman Hutan Dadak segera menotol kakinya 

di tanah, sementara tangannya dengan cepat menyam-

bar tubuh Paraswari. Begitu cepatnya sambaran tan-

gan Liku Grada hingga Paraswari tahu-tahu sudah be-

rada dalam pondongannya.

Dengan gerakan ringan dan karena mengerah


kan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Siluman 

Hutan Dadak melesat cepat hingga tak berapa lama 

kemudian tubuhnya sudah menghilang di balik pohon-

pohon besar yang berjajar.

Sore mendekati senja. Udara dingin mulai me-

nyergap kulit. Sementara langit sedikit menyisakan ro-

na jingga, memberi tanda malam sebentar lagi akan 

menjelang.

Di kaki Gunung Kumborang nampak sosok 

bayangan hitam bergerak ringan dan cepat. Sosok itu 

begitu lincah mencelat dari gundukan batu gunung 

yang satu ke batu yang lain.

Sosok berpakaian hitam yang tak lain Siluman 

Hutan Dadak terus bergerak menaiki Gunung Kumbo-

rang. Sosok itu tak mempedulikan ketakutan gadis 

yang berada dalam pondongannya.

Paraswari memang takut bukan main, sedikit 

pun tak berani membuka mata melihat keadaan di se-

kitarnya.

"Hup!" 

"Yeaaah!"

Sekali lagi Siluman Hutan Dadak melakukan 

totolan pada batu Gunung Kumborang, maka lentin-

gan terakhir yang manis diselesaikannya.

"Sekarang bukalah matamu, Paraswari. Pe-

mandangan indah dapat kau lihat di sini," ujar Liku 

Grada sebelum menurunkan Paraswari.

Gadis cantik itu tidak menuruti ucapan Liku 

Grada. Meski orang yang memondongnya tidak lagi 

melakukan lentingan-lentingan berbahaya, Paraswari 

tetap memejamkan mata. Gadis ini tidak ingin melihat 

jurang menganga di bawah sana.

"Kalau kau tak percaya kita sudah sampai di 

puncak Gunung Kumborang, aku akan menurunkan

mu sekarang," ucap Liku Grada walaupun ia mema-

hami ketakutan gadis di pondongannya. 

"Jangan!" larang Paraswari. 

"Ha ha ha.... Rupanya kau masih betah berada 

dalam pelukanku, Paraswari," sindir Siluman Hutan 

Dadak.

Paraswari tentu saja malu mendengar ejekan 

itu, seketika itu juga membuka matanya dan dilihat-

nya puncak Gunung Kumborang.

"Aku tidak membohongi mu, bukan?" ujar Liku 

Grada sambil menurunkan tubuh Paraswari.

Paraswari tak menjawab ucapan Liku Grada, 

bola matanya yang hitam pekat mengelilingi seluruh 

sudut puncak Gunung Kumborang.

"Kita tak boleh berlama-lama di sini, Paraswari. 

Kita harus cepat-cepat menemui Ki Kustara," ucap Li-

ku Grada seraya meraih tubuh Paraswari.

"Hup!"

***

"Hik... hik... hik... Memang tak ku sangsikan

janjimu, Liku Grada," sambut Ki Kustara ketika Silu-

man Hutan Dadak menjumpainya dengan membawa 

seorang gadis cantik putri saudagar kaya Desa Sin-

dang Ayu.

"Satukan gadis itu dengan yang lain lalu kau 

cepat kembali ke sini," perintah Ki Kustara alias Setan 

Rimba Bangkai.

Siluman Hutan Dadak tidak menunggu perin-

tah Ki Kustara dua kali, dibawanya Paraswari untuk 

disatukan dengan gadis-gadis yang sudah ada dalam 

kerangkeng. Sebelumnya Liku Grada telah membe-

baskan Paraswari dari pengaruh totokan.


Paraswari terkejut mendapatkan empat gadis 

seusianya berada dalam kerangkeng yang cukup besar. 

Dirinya semakin tak mengerti dengan ucapan Liku 

Grada dan Ki Kustara.

Paraswari memandangi gadis-gadis dalam ke-

rangkeng satu-persatu. Putri saudagar kaya Desa Sin-

dang Ayu tidak tahu yang bersamanya adalah putri 

tunggal tokoh-tokoh golongan putih. Mereka adalah 

Wulan Sari, putri tunggal Ketua Perguruan Seribu 

Bunga. Narita, putri Ketua Perguruan Kumbang Jan-

tan dan Seriti serta Ratih, cucu Ki Jatirama Ketua Per-

guruan Sakajati.

Paraswari tenggelam dalam kebingungan. Dan 

Siluman Hutan Dadak bergegas melangkah menuju Ki 

Kustara, Dewi Racun Kembar dan Pangeran Kala Hi-

tam yang menunggunya.

Siluman Hutan Dadak segera mengambil tem-

pat di sebelah Pangeran Kala Hitam ketika berada di 

hadapan Ki Kustara. Lelaki berpakaian hitam itu me-

narik napas dalam-dalam.

"Kita harus segera mengambil kepastian men-

genai rencana kita," ujar Ki Kustara setelah tiga tegu-

kan teh kehadiran Liku Grada.

Sejenak mata Dewi Racun Kembar, Pangeran 

Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak merayapi Setan 

Rimba Bangkai. Mereka menunggu keputusan apa 

yang akan dikeluarkan lelaki tua, yang selama ini di-

anggap orang yang patut dipegang perkataannya.

"Kita majukan upacara maut lebih awal satu 

hari," usul Ki Kustara mantap.

"Aku setuju, Ki," dukung Laras Nini.

"Ya. Menurutku juga begitu, Ki. Dengan dima-

jukannya pelaksanaan upacara maut, maka pekerjaan 

kita akan cepat selesai. Tinggal menghadapi Raja Petir



atau yang lain, jika mereka menuntut perhitungan," 

timpal Laras Dewi.

"Aku pun begitu, Ki," sahut Kindang Supa si 

Pangeran Kala Hitam.

"Aku setuju," tambah Liku Grada.

"Jika memang demikian, berarti tinggal dua ha-

ri lagi pelaksanaan upacara maut. Sekali lagi, tujuan 

upacara maut adalah melampiaskan dendam dan me-

nebar keonaran pada kalangan persilatan golongan pu-

tih. Mulai hari ini, penjagaan dilipatgandakan teruta-

ma di puncak dan kaki gunung. Waspadai semua 

orang yang mencoba mendekati kaki Gunung Kumbo-

rang. Dan kirim nyawa mereka ke neraka jika tak mau 

menjauh dari tempat itu," putus Ki Kustara.

Dewi Racun Kembar, Pangeran Kala Hitam dan 

Siluman Hutan Dadak mengangguk-angguk tanda se-

tuju dengan keputusan Setan Rimba Bangkai. Dengan 

begitu, upacara akan dilaksanakan pada purnama ke-

tiga hari kedua.

***

Sementara Ki Kustara alias Setan Rimba Bang-

kai melipatgandakan penjagaan di sekitar Gunung 

Kumborang, lain halnya dengan Jaka Sembada dan 

Nyai Dinda Dahlia.

Tokoh-tokoh sakti golongan putih itu tak lagi 

mencemaskan Ki Jatirama yang sudah bebas dari ra-

cun ganas pukulan 'Bisa Kala Hitam'.

Ki Jatirama kini dapat berdiri tegak, meski di 

tubuhnya nampak balutan-balutan.

"Mendengar ceritamu tadi, kurasa Ki Kustara 

akan memajukan rencana pelaksanaan upacara maut," 

ucap Ki Jatirama dengan tatapan mata kosong ke luar


jendela.

"Kenapa demikian, Kakang Jatirama?" tanya 

Nyai Dinda Dahlia.

Ketua Perguruan Sakajati menatap Nyai Dinda 

Dahlia. Ki Jatirama memaklumi kekhawatiran Ketua 

Perguruan Seribu Bunga karena putri tunggalnya be-

rada dalam tawanan Ki Kustara.

"Kegagalan Siluman Hutan Dadak menda-

patkan Perwari memberitahukan mereka bahwa tokoh-

tokoh golongan putih tidak setuju dengan upacara itu. 

Di antara tokoh-tokoh itu seorang muda yang kesak-

tiannya tak dapat diragukan lagi yaitu Raja Petir yang 

sekarang berada di hadapan kita."

"Hhh...."

Jaka Sembada menarik napas panjang men-

dengar ucapan Ki Jatirama. Sebenarnya pemuda itu 

tak suka dengan puji-pujian semacam itu, hanya akan 

membuat dirinya terlena dan besar kepala!

"Diriku tak ada artinya tanpa bantuan kalian," 

kilah Jaka Sembada menghilangkan kerisihan.

Ki Jatirama tersenyum mendengar ucapan Raja 

Petir.

"Begitu santunnya ucapanmu, Raja Petir. Na-

mun perlu kau ketahui, kehadiranmu di tengah-tengah 

kami jadi penghalang bagi pelaksanaan upacara maut. 

Itu pula salah satu alasan Ki Kustara memajukan wak-

tu pelaksanaan upacara maut.

"Kapan kira-kira upacara itu akan dilaksana-

kan, Kakang Jatirama?"

Masih dipenuhi kekhawatiran pertanyaan Nyai 

Dinda Dahlia.

"Jika dugaanku benar, akan dilaksanakan pada 

hari kedua purnama ketiga," jawab Ki Jatirama sambil 

mempermainkan jenggotnya yang putih.


"Kita tidak punya banyak waktu lagi kalau begi-

tu," ujar Raja Petir seraya menatap wajah cemas Nyai 

Dinda Dahlia.

"Apakah sekarang juga kita mendatangi puncak 

Gunung Kumborang?" tanya Nyai Dinda Dahlia yang 

ditujukan entah pada siapa.

"Perjalanan menuju wilayah Gunung Kumbo-

rang memerlukan waktu satu hari penuh. Jika kita ti-

dak terlambat, sekarang waktu yang tepat untuk da-

tang ke puncak Gunung Kumborang. Itu pun harus 

menggunakan ilmu lari cepat" jelas Ketua Perguruan 

Sakajati.

Karena khawatir keselamatan putrinya, Nyai 

Dinda Dahlia melangkah lebih dulu. Namun langkah 

Ketua Perguruan Seribu Bunga tertahan oleh ucapan 

Raja Petir.

"Tunggu sebentar, Nyai," cegah Jaka Sembada.

Nyai Dinda Dahlia menghentikan langkah dan 

matanya tak berkedip memandang Jaka Sembada.

"Kita harus memikirkan keadaan Ki Jatirama," 

ucap Jaka Sembada melihat wajah Nyai Dinda Dahlia 

menyimpan tanya.

"Ah! Aku tidak apa-apa, Raja Petir. Aku sudah 

sehat," sanggah Ki Jatirama tak enak, apalagi melihat 

ketidaksabaran Ketua Perguruan Seribu Bunga.

"Kurasa gerakanku tidak akan mengganggu lu-

ka-lukaku, aku pun sanggup bertarung dengan Ki 

Kustara," lanjut Ki Jatirama.

"Kalau begitu, kita berangkat sekarang," putus 

Jaka Sembada.

Ketua Perguruan Seribu Bunga lebih dahulu 

mengangkat kaki dan menghentak kuat ke tanah. Tu-

buh perempuan berpakaian jingga dengan ikat ping-

gang putih segera melesat. Ki Jatirama, Perwari, Pri


maka, dan Jaka Sembada menyusul dengan tak kalah 

cepat.

Sebentar tubuh mereka nampak saling berkeja-

ran, namun kemudian menghilang di balik kegelapan 

malam yang dingin menusuk.


DELAPAN



Semilir angin pagi ditingkahi hujan rintik-rintik 

membuat suasana bertambah dingin. Suasana itu 

membuat orang-orang enggan beranjak dari pembarin-

gan. Hawa dingin yang menusuk kulit membuat mere-

ka semakin merapatkan selimut

Namun tidak bagi puluhan orang yang berjaga-

jaga di kaki Gunung Kumborang. Puluhan lelaki ber-

wajah kasar dan bengis nampak berkeliling di kaki 

Gunung Kumborang, mereka tidak mempedulikan hu-

jan yang membasahi kepalanya.

"Untung hanya hujan rintik-rintik," kata seo-

rang lelaki berpakaian hitam berambut sedikit "Coba 

kalau hujan deras, kita basah kuyup."

"Sebentar lagi hujan pasti berhenti, Niruda. Ta-

pi kita tetap waspada dan mencurigai setiap orang 

yang melintas di kaki gunung ini," balas lelaki yang 

lain.

"Kau benar, Kilar. Kita harus waspada kalau ti-

dak ingin kepala kita terpisah dengan badan," sahut le-

laki yang bernama Niruda.

Kilar mengangguk-angguk mendengar perka-

taan Niruda. Keduanya melanjutkan tugas, berkeliling 

mengawasi setiap sudut kaki Gunung Kumborang.

Sementara di lain tempat, di balik semak belukar yang rimbun, Jaka Sembada, Ki Jatirama, Nyai 

Dinda Dahlia serta Perwari dan Primaka tengah men-

gintai kegiatan puluhan lelaki yang berjaga-jaga di kaki 

Gunung Kumborang.

"Penjagaannya sangat ketat," bisik Nyai Dinda 

Dahlia.

"Ya. Kita harus mencari cara untuk mengelabui 

mereka," ujar Ki Jatirama.

"Biar aku yang menghampiri, Ki Jatirama. Aku 

akan berpura-pura menanyakan letak Gunung Kum-

borang," usul Jaka Sembada.

Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia saling ber-

pandangan, begitu pula Perwari dan Primaka. Mereka 

tidak menyangsikan usul Raja Petir, hanya sedikit ter-

haru atas usul yang cukup bijaksana itu.

"Usulmu cukup bagus, Jaka," ujar Ki Jatirama. 

"Tapi kau harus hati-hati,"

"Tentu, Ki," jawab Jaka Sembada.

Selesai dengan ucapannya, lelaki berpakaian 

kuning keemasan menghentakkan kaki ke tanah. Dan 

tubuhnya melesat cepat Ki Jatirama dan Nyai Dinda 

Dahlia kagum melihat ilmu lari cepat dan ilmu merin-

gankan tubuh Raja Petir.

"Berhenti!" bentak seorang penjaga kaki Gu-

nung Kumborang ketika melihat Jaka Sembada berja-

lan mendekati.

Jaka Sembada mematuhi bentakan itu.

"Mau ke mana pagi-pagi sekali melintasi daerah 

ini?" tanya lelaki yang bernama Niruda.

"Aku seorang pengembara yang mencari Gu-

nung Kumborang," jawab Jaka Sembada tenang.

"Hmmm.... Mau apa kau mencari Gunung 

Kumborang?" selidik Kilar.

Jaka Sembada menatap wajah lelaki berpa


kaian hitam yang berkumis tipis.

"Aku ingin bertemu Ki Kustara."

"Ingin bertemu, Ki Kustara?" ulang Niruda.

"Ya."

"Lebih baik kau kembali, Anak Muda. Ki Kusta-

ra sedang ada urusan penting, beliau tidak ingin di-

ganggu," cegah Kilar.

"Ah! Namaku Jaka Sembada, Kisanak. Aku ada 

urusan penting dengan beliau," desak Jaka Sembada.

"Aku tak bisa mengizinkan mu, Jaka Sembada. 

Ki Kustara tidak ingin bertemu siapa pun hari ini," to-

lak Kilar sedikit keras.

"Tolonglah, Kisanak."

"Tidak bisa!" bentak Niruda keras.

Jaka Sembada berpura-pura terkejut menden-

gar bentakan Niruda.

"Tolong antarkan aku menemui Ki Kustara, Ki-

sanak. Atau aku akan menemui sendiri jika kalian ta-

kut kena marah," desak Jaka Sembada.

Niruda dan Kilar terperangah mendengar uca-

pan pemuda berpakaian kuning keemasan yang dira-

sanya sangat lancang.

"Lancang benar mulutmu, Anak Muda!" maid 

Niruda. "Sekali lagi kau berani berkata seperti itu, aku 

tak akan segan-segan memenggal kepalamu!"

"Jangan menakut-nakutiku, Kisanak," tukas 

Jaka Sembada memancing kemarahan Niruda dan Ki-

lar. "Kalau kalian tidak mengizinkan ku menemui Ki 

Kustara, tidak apalah. Tapi tolong beritahu, apa yang 

dilakukan Ki Kustara di puncak Gunung Kumborang."

"Heh!? Rupanya kepalamu minta dipenggal!" 

hardik Niruda seraya meloloskan golok dari pinggang.

Jaka Sembada pura-pura takut, kakinya mun-

dur satu langkah.


"Tolong beritahu, Kisanak. Setelah itu aku akan 

pergi dari sini," desak Jaka Sembada.

Niruda semakin geram mendengar permintaan 

itu. Dengan diiringi teriakan nyaring, lelaki berambut 

tipis itu menebaskan goloknya ke leher Jaka Sembada.

"Hiyaaa...!"

Bet!

"Eits!"

Jaka Sembada berkelit ketika golok Niruda 

mengancam leher. Serangan ganas Niruda yang dilan-

carkan dengan kekuatan tenaga penuh membentur 

tempat kosong. Membuat darah penjaga kaki Gunung 

Kumborang naik ke ubun-ubun.

Niruda dengan kemarahan menggelegak kem-

bali menerjang Jaka Sembada. Tebasan-tebasannya 

kali ini disertai tenaga dalam, mencecar bagian-bagian 

mematikan tubuh Raja Petir.

Bagi Raja Petir yang memiliki ilmu silat jauh le-

bih tinggi, mudah saja mengelakkan serangan yang 

bagaimanapun tajamnya. Terbukti, dengan mengge-

rakkan sedikit saja bagian tubuhnya yang menjadi sa-

saran senjata lawan, maka senjata itu akan menemui 

tempat kosong. Dan untuk memberi pelajaran pada le-

laki sombong bernama Niruda, Raja Petir menotok 

punggung tangannya. 

"Hih!" 

Tuk! 

"Aaa!"

Golok dalam genggaman Niruda terlepas dan 

pemiliknya merasa tangannya sukar digerakkan, rasa 

linu begitu kuat menggigit-gigit.

Kilar melihat temannya dapat dipecundangi 

dengan mudah segera berteriak memanggil teman-

temannya. Maka seluruh penjaga kaki Gunung Kum


borang menghampiri dan mengurung Jaka Sembada 

dengan senjata terhunus.

Jaka Sembada meneliti orang-orang yang men-

gurungnya. Kurang lebih lima puluh lelaki bersenjata 

golok dan pedang siap merejamnya, namun pemuda 

itu sedikit pun tak gentar. 

"Serang...!"

Lima orang lelaki bersenjata golok berlompatan. 

Laki-laki yang rata-rata berwajah bengis segera me-

rangsek Jaka Sembada dengan tebasan dan tusukan 

yang mematikan

Tetapi kelima lelaki itu tidak tahu dengan siapa 

mereka berhadapan, seorang pemuda yang namanya

melambung di antara tokoh-tokoh sakti rimba persila-

tan. Siapa lagi kalau bukan Raja Petir, yang dengan 

mudah menghindari setiap terjangan senjata maupun 

kepalan lawan.

"Hiyaaa!"

Bet! Bet!

"Uts!"

Jaka Sembada mencondongkan tubuhnya ke 

belakang ketika golok lawan mencoba merobek perut-

nya. Tapi belum lagi pemuda itu menegakkan diri, se-

buah bokongan mencecar punggungnya.

Angin berdesir kuat menandakan pembokong-

nya sungguh-sungguh ingin membunuh Raja Petir.

Namun bukan Raja Petir, jika harus tunduk 

pada anak buah Ki Kustara. Dengan mengerahkan se-

dikit tenaga dalam, pembokong itu merasakan akibat-

nya.

"Hiyaaa...!"

Takh! 

"Aaa...!"

Lelaki itu terpental ke belakang ketika golok


yang diayunkan ke punggung Raja Petir seolah mem-

bentur logam keras. Dan merasakan nyeri pada perge-

langan tangan. Sementara golok yang tadi digunakan 

menghantam punggung Jaka Sembada terlempar en-

tah ke mana.

Ki Jatirama, Nyai Dinda Dahlia, Perwari dan 

Primaka tentu saja tak ingin membiarkan Jaka Sem-

bada dikeroyok puluhan laki-laki dengan senjata ter-

hunus. Setelah diputuskan matang-matang, Ki Jatira-

ma dan Nyai Dinda Dahlia melesat cepat, menerjang le-

laki pengeroyok Raja Petir. Demikian juga Perwari dan 

Primaka.

Pertarungan terpecah menjadi tiga bagian. Sua-

ra dentang senjata yang beradu, pekik kegeraman dan 

jeritan menyayat yang mengiringi kematian mewarnai 

pertempuran yang tak seimbang.

Meski penjaga kaki Gunung Kumborang sepu-

luh kali lipat, namun tidak berarti apa-apa bagi Raja 

Petir, Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia, karena ke-

pandaian lawan berada jauh di bawah mereka. Tapi ti-

dak demikian dengan Perwari dan Primaka.

Gadis putri tunggal ketua Perguruan Wesi Wen-

ing dan kekasihnya kerepotan menghadapi keroyokan 

penjaga kaki Gunung Kumborang, meski keduanya 

memiliki ilmu silat setingkat di atas lawan-lawannya. 

Hingga suatu saat... 

"Hiyaaa...!" 

Blagkh! 

"Ukh!"

Tubuh Primaka terjengkang ketika sebuah ten-

dangan menggeledek menghajar dada, darah nampak 

merembes keluar dari sela-sela bibir.

"Kakang Prima!" teriak Perwari panik.

Gadis itu ingin menghampiri Primaka, namun


sebuah serangan mengancamnya. Sebatang pedang 

yang berkilat tertimpa matahari mengancam pelipis-

nya.

Perwari terkesiap menyaksikan sambaran pe-

dang yang begitu deras. Sebenarnya masih ada kesem-

patan bagi Perwari untuk membuang tubuh ke kanan, 

tapi dari sisi kanan tampak seorang lelaki meluruk 

dengan golok teracung di atas kepala.

Perwari tak dapat berbuat apa-apa kecuali me-

nunggu ajal datang menjemput. Dan pada saat yang 

genting, sesosok tubuh berpakaian kuning melesat ce-

pat ke arah penyerang Perwari. Sosok tubuh yang tak 

lain Raja Petir langsung mengirimkan pukulan keras 

berturut-turut

"Hiaaa!"

Des! Des!

"Aaa!"

Lengkingan menyayat terdengar berturut-turut 

mengiringi dua sosok tubuh yang terpental deras dan 

jatuh berdebum ke tanah. 

Brak! Brak!

Dua penjaga kaki Gunung Kumborang tewas 

seketika.

***

Sementara di kaki Gunung Kumborang terjadi 

pertarungan sengit, sebuah upacara tengah dilaksana-

kan di puncak Gunung Kumborang.

Suasana menyeramkan dan menegangkan ter-

jadi di puncak gunung, di mana perayaan upacara 

maut tengah berlangsung. Puluhan lelaki berseragam 

hitam longgar mengelilingi api unggun yang berkobar-

kobar. Dan di atas kobaran api tergantung sebuah ke


rangkeng besi berisi seorang dara cantik bernama Wu-

lan Sari.

Korban ketiga upacara maut meronta-ronta da-

lam kerangkeng besi. Tubuh Wulan Sari bersimbah pe-

luh, pakaiannya basah oleh keringat. Sementara lima 

sosok tubuh berjubah merah yang tak lain Ki Kustara 

si Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun Kembar, Pange-

ran Kala Hitam dan Siluman Hutan Dadak tersenyum 

menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kelima 

sosok berjubah merah begitu menikmati geliatan dan 

teriakan-teriakan Wulan Sari yang menyayat.

"Turunkan lagi kerangkeng itu!" perintah Setan 

Rimba Bangkai lantang.

Empat lelaki kekar pengendali rantai kerang-

keng segera mengulur rantai sepanjang seperempat 

tombak. Wulan Sari semakin memekik keras, lengkin-

gannya seperti hendak meruntuhkan gunung, namun 

bagi Ki Kustara suatu kenikmatan tersendiri. Lelaki itu 

tersenyum menyaksikan gadis dalam kerangkeng 

menggeliat kepanasan.

Pada saat gadis dalam kerangkeng besi tidak 

lagi mampu bertahan, sesosok bayangan kuning tiba-

tiba berkelebat cepat, menyambar kerangkeng besi 

dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

Setan Rimba Bangkai terperangah menyaksikan 

kejadian itu, terlebih ketika melihat keempat pengen-

dali rantai tercebur ke dalam kobaran api unggun.

Dan Setan Rimba Bangkai makin terperangah 

melihat kemunculan Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dah-

lia.

"Hmmm.... Tak kusangka kau mampu bertahan 

hidup, Jatirama," ejek Ki Kustara.

"Tentu saja, Kustara! Aku datang menuntut 

kematian murid-muridku dan musnahnya bangunan


perguruan yang ku bangun dengan susah payah," har-

dik Ki Jatirama geram.

"Hmmm.... Kau tidak menuntut kematian cu-

cumu?"

"Apa!?"

Tersedak Ki Jatirama mendengar pertanyaan 

Setan Rimba Bangkai, wajahnya seketika berubah me-

rah padam. Tangannya menegang kaku dan nafasnya

memburu.

"Keparat kau, Kustara!" Dengan kemarahan 

meluap-luap Ki Jatirama menerjang lelaki berjubah 

merah yang berjuluk Setan Rimba Bangkai. Angin 

menderu mengiringi terjangan Ketua Perguruan Saka-

jati yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Sementara di tempat lain, Jaka Sembada ber-

hadapan dengan Kindang Supa yang berjuluk Pange-

ran Kala Hitam dan Liku Grada si Siluman Hutan Da-

dak.

Pangeran Kala Hitam dan Siluman Hutan Da-

dak melakukan serangan bersamaan dari berbagai 

arah, memaksa Raja Petir mengeluarkan jurus 

'Pukulan Pengacau Arah'. Jaka Sembada ingin menye-

lesaikan pertarungan secepatnya! Pemuda itu tidak in-

gin melihat Ki Jatirama dan Nyai Dinda Dahlia menjadi 

korban keganasan Setan Rimba Bangkai, Dewi Racun 

Kembar dan puluhan lelaki yang tadi mengelilingi api 

unggun. 

"Hiyaaa...!" 

Wusss! 

"Uts!"

Kindang Supa dan Liku Grada segera mem-

buang tubuh ke arah yang berlawanan ketika melihat 

Raja Petir kembali melancarkan jurus 'Pukulan Penga-

cau Arah'. Tapi mereka tidak mengetahui Jaka Semba


da melakukan pukulannya dengan kecepatan dua kali 

lipat.

Ketika Kindang Supa dan Liku Grada bergulin-

gan, berturut-turut Raja Petir melepas jurus 'Pukulan 

Pengacau Arah'

"Hiyaaa...!"

Wrrr... Wrrr!

Dua gelombang angin bergulung-gulung melu-

ruk tubuh Siluman Hutan Dadak dan Pangeran Kala 

Hitam. Gelombang angin itu bagai sebuah pusaran 

yang dahsyat, hingga ketika tubuh lawan terhajar, dua 

lengkingan menyayat pun segera membumbung tinggi.

"Wuaaa...!"

"Aaakh...!"

Tubuh Liku Grada dan Kindang Supa terlihat 

melayang bagai segumpal kapas terlanda angin. Pada 

saat itu pula nyawanya meninggalkan raga. Dan ketika 

jasadnya jatuh berdebum ke bumi, tubuh keduanya 

langsung menegang kaku.

Selesai menghabisi Pangeran Kala Hitam dan 

Siluman Hutan Dadak, Raja Petir segera melesat ke 

tengah pertarungan Nyai Dinda Dahlia dan Dewi Ra-

cun Kembar.

"Akulah lawanmu, Dewi Racun Kembar!" teriak 

Jaka Sembada mengambil alih pertarungan.

Sementara Ketua Perguruan Seribu Bunga 

menghadapi para pengikut Ki Kustara.

"Huh! Jangan sombong, Raja Petir. Aku sudah 

sejak tadi menunggu bertarung denganmu, tapi kau 

memilih dua lelaki yang bukan tandingan mu!" balas 

Laras Nini.

"Majulah kalian bersama, aku tidak segan-

segan mengirim kalian ke lubang kubur," timpal Jaka 

Sembada.


"Kurang ajar!" maki Laras Dewi. 

"Sebaiknya lelaki sombong sepertinya jangan 

diberi hati, Kak."

"Ya, Nyawanya akan kita cabut sekarang juga," 

sahut Laras Nini.

Kedua gadis cantik berjuluk Dewi Racun Kem-

bar segera meraba hulu pedang. Tak lama kemudian....

Srat!

Srat!

Laras Nini dan Laras Dewi meloloskan senja-

tanya dan menyilangkan di depan dada.

"Hmmm.... Jangan menyesal jika nyawamu me-

layang di tempat ini. Raja Petir!"

"Buktikan ucapanmu, Gadis Angkuh!" tantang 

Raja Petir.

Hati Dewi Racun Kembar terbakar mendengar 

ucapan Jaka Sembada. Tanpa banyak cakap lagi dan 

disertai lengkingan keras, Dewi Racun Kembar me-

rangsek maju bersamaan.

"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Bet! Bet!

Dua kali Jaka Sembada melentingkan tubuh-

nya. Sangat manis gerakan lelaki yang berjuluk Raja 

Petir itu. Lejitan-lejitannya sangat ringan, menandakan 

ketinggian ilmu meringankan tubuhnya.

Dewi Racun Kembar semakin geram melihat se-

rangan mereka dapat digagalkan dengan mudah.

"Gerakanmu memang lincah, Raja Petir!" ejek 

Laras Nini. "Tapi kau tidak akan mampu menghindari 

serbuk maut Dewi Racun Kembar!"

Selesai dengan perkataannya, Laras Nini men-

gerling pada Laras Dewi. Kemudian keduanya bergerak 

cepat memasukkan tangan ke balik pakaian.

"Hih!"

"Hih!"

Werrr! Werrr!

Serbuk berwarna merah seketika menyambar 

ke wajah Jaka Sembada. Begitu cepatnya serbuk ber-

bau amis itu menyebar hingga Raja Petir tak sempat 

mengelak. Dengan segenap kemampuan pemuda itu 

mencoba meredam bau anyir serbuk beracun Dewi Ra-

cun Kembar. Walaupun begitu Jaka Sembada merasa-

kan keganasan serbuk maut Dewi Racun Kembar. Raja 

Petir merasakan sekujur tubuhnya gatal-gatal.

Dan dengan liciknya, Dewi Racun Kembar me-

manfaatkan kelemahan Raja Petir yang sibuk menga-

tasi pengaruh serbuk mautnya. Dua tendangan meng-

geledek berturut-turut dilancarkan ke tubuh Jaka 

Sembada.

"Hiyaaa!"

Diegkh! Diegkh!

"Aaa...!"

Jaka Sembada memekik tertahan saat dua ten-

dangan keras mendarat di punggung dan pinggulnya. 

Tubuhnya langsung terhempas sejauh satu tombak. 

Darah nampak keluar dari sela-sela bibirnya.

"Ha ha ha...! Nyawamu ada di ujung pedangku, 

Raja Petir! Bersiaplah menuju alam baka!" ucap Laras 

Nini.

"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

***

Melihat Laras Mini dan Laras Dewi menerjang 

bersamaan dengan senjata terhunus, tak ada jalan lain 

bagi Jaka Sembada selain membuka sabuk kuning



yang melilit pinggangnya.

Sinar kuning menyilaukan seketika berpendar-

pendar dari sabuk kuning keemasan yang tergenggam 

di tangan Raja Petir. Bersamaan dengan lolosnya sa-

buk kuning, rasa gatal akibat serbuk maut Dewi Ra-

cun Kembar lenyap.

Dan ketika serangan Dewi Racun Kembar da-

tang, Jaka Sembada memutar pergelangan tangan.

"Hiyaaa!"

Ctar! Ctar!

Glaaarrr! Glaaarrr!

Bunyi gemuruh terdengar seiring bergeraknya 

pergelangan tangan Raja Petir, yang memainkan sabuk 

petirnya dalam jurus 'Petir Membelah Malam'. Seber-

kas sinar keperakan menyambar laksana petir.

Laras Nini dan Laras Dewi yang berada di uda-

ra, tak mampu berbuat banyak menghindari serangan 

Jaka Sembada yang datang mendadak dan begitu ce-

pat. Tubuh mereka terhempas deras diiringi lengkin-

gan kematian yang menyayat. Tubuh kedua gadis itu 

hangus seperti terhajar petir.

"Aaa...!"

Terkejut Jaka Sembada mendengar jeritan me-

lengking yang datang dari belakang. Pemuda itu segera 

membalikkan badan. Raja Petir melihat Nyai Dinda 

Dahlia limbung, terhajar serangan lawan. Sementara 

dari arah lain tiga lelaki pengikut Setan Rimba Bangkai 

menyongsong dengan senjata teracung ke udara.

Raja Petir segera melesat menuju Ketua Pergu-

ruan Seribu Bunga dan menghalau penyerang Nyai 

Dinda Dahlia dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'

Tiga lelaki dengan golok terhunus terpental, di-

hajar angin bergulung yang keluar dari telapak tangan 

Jaka Sembada. Begitu deras terjangan angin pusaran


itu, hingga tubuh lawan-lawannya rebah tak bernyawa.

Belum selesai Jaka Sembada merubah letak 

berdirinya, empat lelaki menyongsong ke arahnya. Kali 

ini Raja Petir tidak meladeni dengan jurus yang sama. 

Tubuhnya berkelit menghindari tebasan dan tusukan 

senjata lawan, sambil melancarkan totokan.

"Hih!"

Tuk! Tuk!

Tubuh keempat penyerangnya tergolek tidak 

berdaya, terkena totokan Jaka Sembada yang datang-

nya tidak terlihat mata.

Sementara pertarungan antara Ki Kustara dan 

Ki Jatirama nampak mulai tidak seimbang. Ki Jatira-

ma terdesak hebat Berkali-kali pukulan Setan Rimba 

Bangkai menghajar tubuh ketua Perguruan Sakajati. 

Darah mengalir dari sela-sela bibir Ki Jatirama.

"Kau hadapi anak buah Ki Kustara yang tinggal 

sedikit itu, Nyai. Aku akan membantu Ki Jatirama," 

ujar Jaka Sembada.

"Baik, Raja Petir," sahut Nyai Dinda Dahlia.

Jaka Sembada berkelebat tepat pada saat pe-

dang tumpul Ki Kustara hendak membelah batok ke-

pala Ki Jatirama. Tangan Jaka Sembada bergerak ce-

pat memapak pergelangan tangan Ki Kustara.

Trak!

"Aaa...!"

Ki Kustara terkejut bukan main melihat seran-

gannya berhasil dipapaki seseorang. Tubuhnya terjajar 

tiga langkah dan tangannya bergetar hebat

Mata Ki Kustara menatap Jaka Sembada tajam, 

giginya bergemeratakan menandakan kegeramannya 

yang memuncak atas perbuatan pemuda berpakaian 

kuning keemasan di hadapannya.

"Hmmm.... Kau pasti, Raja Petir. Tenaga da


lammu cukup tinggi. Tapi ketahuilah, Setan Rimba 

Bangkai akan menguburmu sekarang juga!" lantang 

ucapan lelaki tua itu. "Bersiaplah, Raja Petir!"

Laki-laki tua yang berjuluk Setan Rimba Bang-

kai segera merubah kuda-kudanya. Kaki lelaki itu te-

rangkat dua langkah ke belakang membentuk kuda-

kuda gantung. Kedua tangannya beradu dan diusap-

usap cepat. Dan asap putih kehitaman mengepul dari 

gosokan dua telapak tangan Ki Kustara. Lelaki beru-

mur enam puluh tahun lebih itu sedang mengerahkan 

ajian 'Lebur Jasad'.

"Grrrrkkk...!"

Cerrrsss...!

Asap putih kehitaman tiba-tiba meluruk cepat 

ke arah Jaka Sembada yang sudah siap menghalau 

dengan 'Pukulan Pengacau Arah'. Dan....

"Hiaaa!"

Wrrr!

Tercekat hati Raja Petir melihat segulungan an-

gin deras yang keluar dari telapak tangannya tidak 

mampu menghalau asap putih kehitaman yang melun-

cur ke arahnya. Jaka Sembada segera membuang tu-

buhnya ke kanan menghindari terjangan asap putih 

kehitaman yang mengandung hawa panas menyengat.

Sambil melompat, tangan pemuda itu menotol 

tanah kuat-kuat Tubuhnya melenting dan berputaran 

dua kali.

"Ups!"

Raja Petir mendarat dengan manis pada jarak 

tiga tombak, namun serangan-serangan Ki Kustara 

masih tetap mengancam. Asap putih kehitaman kem-

bali meluruk deras ke arahnya.

"Sungguh aneh ajian Ki Kustara. Aku harus 

mencari titik lemahnya," bisik Jaka Sembada sambil


berpikir mencari jalan keluar.

"Haruskah ku kerahkan jurus 'Serbuk Petir Pe-

lebur Raga'? Atau...."

Dengan perkiraan yang tepat. Raja Petir segera 

menyambut aji 'Lebur jasad' ciptaan Ki Kustara dengan 

aji 'Kukuh Karang' miliknya.

Seluruh kepala hingga dadanya terbalut sinar 

kuning keemasan, begitu juga lutut hingga ujung kaki. 

Sinar kuning keemasan yang membungkus bagian-

bagian tubuh Raja Petir terus berpendar dan ketika si-

nar putih kehitaman menerjang, maka....

Pruf!

Sinar putih kehitaman itu seperti tertelan tu-

buh Jaka Sembada, sementara tubuh pemuda itu se-

dikit pun tidak terpengaruh hawa panas yang menyen-

gat

Kenyataan itu membuat Setan Rimba Bangkai 

tidak percaya. Tak seorang pun mampu menahan 

ajiannya selama ini, namun terhadap Raja Petir...?

Dengan kegeraman yang meluap-luap, Setan 

Rimba Bangkai melesat cepat bagai kilat. Ki Kustara 

mencoba menembus sinar kuning keemasan di tubuh 

Jaka Sembada, dengan pedang tumpulnya yang sangat 

dibanggakan.

"Hiyaaa...!"

Trak!

Sleps!

Senjata Ki Kustara yang menghantam tubuh 

Jaka Sembada tidak dapat ditarik pulang. Lelaki tua 

itu coba mempertahankan senjatanya yang tersedot 

tenaga Raja Petir. Tapi makin kuat Ki Kustara menge-

rahkan tenaga, semakin kuat pula sedotan tenaga Ja-

ka Sembada.

Kesempatan, itu dipergunakan Jaka Sembada.


Dengan sekali gerak, tangan kanan Raja Petir meng-

gendor dada Ki Kustara.

"Hih!"

Blagkh!

"Aaa...!"

Lengking kematian menyayat, membumbung ke 

langit Tubuh Ki Kustara terpental deras dengan tulang 

dada hancur. Suara berderak terdengar ketika tubuh 

lelaki tua yang berjuluk Setan Rimba Bangkai jatuh ke 

bumi, saat itu juga tubuhnya menjadi bangkai.

Di tempat lain Ketua Perguruan Seribu Bunga 

tengah menyelesaikan lawan terakhirnya. Perempuan 

berpakaian jingga itu menebaskan senjata ke perut 

pengikut Ki Kustara, maka....

"Hiaaa!"

Bret!

"Akh!"

Tubuh lelaki berpakaian hitam seketika lim-

bung, dengan darah mengucur deras dari perutnya 

yang terluka cukup dalam. Lelaki itu hanya mampu 

bertahan beberapa saat, lalu tubuhnya meregang ka-

ku.

Seiring dengan kematian lawan terakhirnya, 

Nyai Dinda Dahlia melesat menghampiri tubuh pu-

trinya, yang tergeletak tak jauh dari api unggun yang 

masih menyala.

"Wulan, Wulan Sari!" panggil Nyai Dinda Dahlia 

keras sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya.

Setelah berkali-kali perempuan setengah baya 

itu berbuat demikian, baru disadarinya anaknya sudah 

tiada.

"Wulaaannn...!" pekik keras seketika melam-

bung tinggi, Gunung Kumborang seperti hendak run-

tuh.


"Sudahlah, Nyai. Tak perlu disesali apa yang te-

lah ditentukan Gusti Pencipta Alam Semesta," bujuk Ki 

Jatirama sambil membopong mayat Ratih.

Dan di sisi Ki Jatirama berdiri Seriti, saudara 

kembar Ratih, dengan isak tangis tertahan.

"Cucu yang sangat kukasihi juga menghadap-

Nya, Nyai. Tapi aku berusaha tabah dan menerima ke-

tentuan sang Pencipta," lanjut Ki Jatirama sambil me-

nahan kesedihan yang sangat

"Betul, Nyai. Kita memang harus menerima dan 

merelakan semua yang telah digariskan-Nya," ujar Ja-

ka Sembada mencoba membesarkan hati Nyai Dinda 

Dahlia. "Sekarang sebaiknya kita turun gunung untuk 

segera mengurus jenazah Wulan Sari dan yang lain-

nya."

Sesaat Nyai Dinda Dahlia menatap wajah Jaka 

Sembada dan Ki Jatirama bergantian. Kemudian tan-

gannya bergerak membopong jenazah anaknya dan 

berjalan gontai turun Gunung Kumborang.

Angin bertiup semilir mengiringi kepergian me-

reka, seolah memberi lambaian selamat jalan. Dan 

puncak Gunung Kumborang kembali sunyi.



                           SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar