MISTERI ARCA SINGA
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Misteri Arca Singa
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Desa Granggas nampak menyajikan kein-
dahan, saat matahari mengintip malu-malu sebe-
lum keluar dari peraduannya. Dan manakala ca-
hayanya yang bening menebar, suasana terlihat
menjadi lebih jelas. Suasana pagi yang cerah ini,
tiba-tiba ditingkahi oleh....
"Haiiit..!"
Terdengar pekik menggelegar di pagi yang
baru saja disirami lembutnya cahaya matahari.
Tampak seorang gadis cantik berusia tak lebih dari
sembilan belas tahun tengah bergerak cepat Tu-
buhnya mencelat ke udara, sedangkan tangannya
bersiap-siap melecutkan selendang warna merah
dadu.
"Hiyaaa...!"
Glar!
Brak!
Sebatang pohon besar kontan tumbang ke-
tika ujung selendang merah dadu itu menghan-
tamnya. Memang cukup mengagumkan apa yang
telah dilakukan gadis cantik berpakaian sutera pu-
tih mengkilat itu.
"Bagus! Bagus sekali ilmu yang kau kuasai
itu, Nalar"
Kekaguman itu tak mampu disembunyikan
oleh seorang lelaki berusia setengah baya yang se-
jak tadi memperhatikan gadis baju putih yang
memperagakan kebolehannya. Nampak senyum-
nya tak putus memperhatikan gadis itu.
"Kau telah sempurna menguasai jurus
'Pukulan Selendang Merah'," lanjut lelaki berpa-
kaian warna putih. Di pinggangnya nampak terse-
lip sebilah pedang cukup panjang bergagang kepa-
la singa.
"Ah, Ayah," gadis cantik berwajah putih
yang dipanggil Nalar itu tersipu malu mendengar
pujian ayahnya. "Jangan terlalu membesar-
besarkan seperti itu. Ayah. Nanti kepala Nalar
tambah besar."
Kemudian gadis yang bernama Dewi Nalar
itu segera berlari kecil menghampiri ayahnya. Se-
mentara lelaki yang bernama asli Ki Sapartoga pun
melakukan hal yang sama. Segera disambutnya
keberhasilan putri tunggalnya.
"Ayah barusan tidak main-main, Nalar. Kau
memang pantas untuk mendapatkan pujian itu.
Ah! Kalau saja ibumu menyaksikannya sekarang,
betapa bahagianya dia," desah Ki Sapartoga. Tata-
pan matanya tertuju lurus pada wajah cantik Dewi
Nalar.
Dari tatapan mata yang seolah tak berkedip
itu, rentetan peristiwa masa lalu tiba-tiba kembali
terbayang. Ki Sapartoga teringat istrinya yang ber-
nama Nyi Istari, terbunuh di tangan Lima Jin Gu-
nung Sampa, melalui tangan Jamtana. Dan di tan-
gan Lima Jin Gunung Sampa juga Perguruan Sin-
ga Emas yang dipimpinnya runtuh.
Peristiwa menyakitkan itu terjadi pada sem-
bilan tahun silam, yakni ketika Dewi Nalar baru
berusia sepuluh tahun. Pada malam itu, ketika
purnama sedang memancarkan sinarnya yang pu
tih keperakan, lima sosok lelaki bertubuh besar
tahu-tahu muncul dan mengamuk bagai banteng
luka di Perguruan Singa Emas.
Seluruh murid Perguruan Singa Emas di-
bantai habis. Ki Sapartoga dan Nyi Istari pun tak
tinggal diam. Ki Sapartoga yang banyak makan
asam garam dunia persilatan, mencoba mengha-
dap Lima Jin Gunung Sampa dengan kelembutan
tutur kata, meskipun murid-muridnya tewas ter-
bantai.
Namun setelah melihat kekurangajaran Li-
ma Jin Gunung Sampa yang merendahkan Ketua
Perguruan Singa Emas, maka kemarahan Ki Sa-
partoga pun tak mampu terbendung. Apalagi sete-
lah orang tertua dari Lima Jin Gunung Sampa me-
nyinggung-nyinggung masalah Arca Singa Emas.
Katanya, sebenarnya benda itu milik leluhur Lima
Jin Gunung Sampa yang telah dicuri seorang to-
koh sakti yang tak lain dari Raja Rantai Emas,
guru Ki Sapartoga sendiri. Dan setelah Raja Rantai
Emas wafat, Arca itu diserahkan pada Ki Saparto-
ga.
Atas kemarahan Ki Sapartoga yang tak ter-
kuasai itulah, maka pertarungannya melawan Li-
ma Jin Gunung Sampa tak dapat dihindari. Dan
nyatanya Lima Jin Gunung Sampa lebih unggul
dalam segala hal.
Dalam pertarungan mempertahankan harga
diri itu, Nyi Istari yang merupakan istri Ki Saparto-
ga tewas. Sedangkan Ki Sapartoga sendiri, setelah
berpikir jernih demi kelangsungan dan kebaikan
hidup Dewi Nalar yang baru berusia sepuluh tahun, berusaha melarikan diri. Dia membawa serta
putrinya dan Arca Singa Emas yang tengah diincar
Lima Jin Gunung Sampa.
"Kenapa Ayah melamun?" kata Dewi Nalar
mengejutkan Ki Sapartoga.
"Eh, ah...."
Ki Sapartoga nampak gelagapan. Bayangan
masa lalu yang melintas sesaat, kini lenyap.
"Ayah pasti tengah mengingat ibu," duga
Dewi Nalar, menanggapi keterpakuan ayahnya.
Ki Sapartoga mengangguk pelan membe-
narkan dugaan anaknya.
"Kau begitu mirip ibumu, Nalar. Itulah yang
membuatku tak kuasa melupakannya. Apalagi,
melupakan kejadian menyakitkan itu," tukas Ki
Sapartoga dengan suara terdengar sendu.
"Bukankah Ayah sering mengajarkan pada-
ku untuk melupakan peristiwa pahit itu?"
"Betul, Nalar," jawab Ki Sapartoga. "Tapi
manusia kadang-kadang sulit melakukannya,
meskipun kita sudah berusaha sebisanya. Ayah
tahu, masa lalu adalah masa yang tak mungkin
bisa terulang. Seperti kebersamaan kita dulu den-
gan ibumu. Sesungguhnya, ayah mendambakan
hal itu terulang kembali. Tapi, mana mungkin?"
"Ah! Sebaiknya kita mencoba terus untuk
melupakannya, Ayah. Kalau tidak, batin kita akan
tersiksa terus-menerus," hibur Dewi Nalar sambil
menggelayuti lengan ayahnya. "Sebaiknya, aku
memperagakan ilmu-ilmu yang lain, ya Ayah?"
Sesaat Ki Sapartoga menatap wajah pu-
trinya.
"Ya. Lakukanlah dengan sungguh-
sungguh," ujar Ki Sapartoga dengan suara tegas
dan berwibawa.
Gadis cantik berpakaian sutera putih
mengkilat itu tersenyum, sebelum benar-benar
memperagakan ilmu-ilmu silat yang telah dipelaja-
rinya. Hatinya gembira menyaksikan ketegaran
kembali hinggap pada diri ayahnya.
"Hups!"
Dewi Nalar melompat pendek. Kakinya yang
kembali menjejak tanah dengan kuda-kuda ren-
dah, begitu kokoh. Kemudian, mulai ditunjukkan-
nya jurus-jurus ampuh menggunakan tangan pada
sikap menebas, menotok dan meninju.
Angin berdecit terdengar dari setiap gerakan
menyerang yang dilakukan Dewi Nalar dalam
penggunaan tenaga dalam tinggi.
"Hops!"
Tiba-tiba saja Dewi Nalar melompat ke uda-
ra, melakukan putaran tubuh dua kali.
"Hup!"
Plash!
Sebuah tendangan memutar saat kedua ka-
ki menyentuh tanah dilakukan Dewi Nalar. Begitu
cepat dan keras tendangannya. Dua kali berturut-
turut tendangan memutar itu dilakukan. Dan keti-
ka berada satu langkah di depan sebatang pohon
sebesar pelukan anak lelaki, maka tendangan lu-
rus disertai pengerahan kekuatan tenaga dalam
penuh langsung dilepaskannya.
"Haaat..!"
Drugh!
Brakkk!
Pohon yang terhajar tendangan keras Dewa
Nalar ambruk seketika. Sedangkan gadis itu ber-
jumpalitan ke udara, menghindari pecahan batang
pohon dan tanah yang terbongkar.
"Hops!"
Jliegkh!
"Bagus! Bagus sekali penguasaan ilmu me-
nyerang dengan kaki dan tanganmu, Nalar. Ayah
senang sekali melihat perkembangan ilmumu yang
begitu pesat," puji Ki Sapartoga.
"Aku pun senang dengan anakmu itu, Sa-
partoga!" sambut sebuah suara cukup keras.
"Heh?!"
***
Ki Sapartoga dan Dewi Nalar kontan meno-
leh ke arah datangnya suara. Pada saat itulah
tampak sesosok tubuh keluar dari semak-semak,
lalu mendarat ringan di hadapan Ki Sapartoga da-
lam jarak tiga batang tombak.
"Datuk Lingga Merah!" sebut Ki Sapartoga.
Seruan Ki Sapartoga keluar bersamaan
dengan rasa keterkejutannya, menyaksikan keha-
diran tokoh sakti golongan hitam yang sama sekali
tidak diduga.
"Bagus kalau kau masih ingat denganku,
Sapartoga!"
Suara yang keluar dari mulut lelaki tinggi
kekar yang di punggungnya tersandang sebuah
senjata berupa tombak panjang bermata tiga itu
terdengar berat.
Ki Sapartoga mengembangkan senyum
mendengar ucapan Datuk Lingga Merah, sebagai
tanda kalau tengah berusaha tenang.
"Ah! Mana mungkin aku melupakanmu, Da-
tuk Lingga Merah. Ada keperluan apakah kiranya
hingga kau jauh-jauh menemuiku?" kata Ki Sapar-
toga, dengan suara diatur sesopan mungkin.
Datuk Lingga Merah tak segera menjawab
pertanyaan Ki Sapartoga. Tatapan matanya kini
tertuju tepat ke seraut wajah cantik milik Dewi Na-
lar.
Sementara itu, Dewi Nalar hanya memegan-
gi tangan ayahnya. Memang, dia merasa kikuk di-
tatap sedemikian rupa oleh Datuk Lingga Merah.
"Persoalan sebelas tahun silam sebetulnya
belum tuntas, Sapartoga," kata Datuk Lingga Me-
rah, seraya mengalihkan tatapannya ke wajah Ki
Sapartoga. "Namun persoalan itu akan kuanggap
selesai, jika Arca Singa Emas kau berikan padaku.
Dan jangan lupa, perkenankan putrimu untuk
ikut bersamaku."
"Tutup mulut busukmu itu, Tua Bangka!"
bentak Dewi Nalar, membalas kekurangajaran Da-
tuk Lingga Merah.
Datuk Lingga Merah hanya tersenyum
mendengar bentakan putri Ki Sapartoga itu.
"Kalau sedang marah seperti itu, aku sema-
kin menyukaimu, Nini," sahut Datuk Lingga Me-
rah, menimpali kemarahan Dewi Nalar.
"Tua bangka gendeng!" maki Dewi Nalar se-
raya mengangkat kaki kanannya hendak menye
rang Datuk Lingga Merah.
"Sabar, Nalar!"
Namun gerakan Dewi Nalar terhalang suara
Ki Sapartoga yang tegas melarangnya. Ki Saparto-
ga segera meraih pergelangan tangan anaknya.
"Dia bukan tandinganmu," bisik laki-laki se-
tengah baya itu.
"Biarkan anakmu bermain-main sebentar
denganku, Sapartoga," ucap Datuk Lingga Merah.
"Anakmu jangan dikekang sedemikian rupa. Biar-
kan dia menikmati masa mudanya denganku!"
Seketika merah padam wajah Ki Sapartoga
mendengar ucapan bernada kotor yang keluar dari
mulut Datuk Lingga Merah.
"Semakin tua, ternyata kau semakin bejat
saja, Datuk Gila!" maki Ki Sapartoga tak terkenda-
li. "Langkahi dulu mayatku kalau ingin bersenang-
senang dengan anakku dan menguasai Arca Singa
Emas milik leluhurku!"
"Ha ha ha.... Nyalimu sekarang besar juga,
Sapartoga. Aku suka itu. Tapi, apa kau mampu
menghadapi datuk yang menguasai daerah sela-
tan?" ledek Datuk Lingga Merah dengan tawanya
yang keras.
"Jangan sombong, Datuk Botak! Sepuluh le-
laki tua macam kau pun, aku tak gentar," balas Ki
Sapartoga.
"Baik! Jangan menyesal kalau kau harus
mampus saat ini juga. Dan putrimu bisa jadi istri-
ku. Demikian pula Arca itu! Ha ha ha.... Bersiap-
lah menjemput kematianmu, Sapartoga!"
Usai berkata demikian, Datuk Lingga Merah
membawa maju kakinya satu langkah ke depan.
Kemudian....
Prrok! Prok! Prok!
Telapak tangan datuk sesat dari selatan itu
bergerak melakukan tepukan isyarat. Maka seketi-
ka berlompatan sosok-sosok berpakaian hitam.
Dan ternyata enam lelaki berpakaian hitam satu
persatu mendarat ringan di sisi kanan Datuk Ling-
ga Merah. Tatapan mata mereka langsung tertuju
pada seraut wajah cantik milik Dewi Nalar.
"Kalian ringkus gadis cantik itu!" perintah
Datuk Lingga Merah. "Tapi awas jangan sampai
terluka."
Enam lelaki bertampang kasar berpakaian
hitam dan bersenjatakan golok itu segera bergerak,
memenuhi perintah junjungannya. Mereka segera
menyebar, mengurung sosok cantik dan anggun
Dewi Nalar.
Sementara itu, Datuk Lingga Merah sudah
bergerak ke arah Ki Sapartoga.
"Kita mulai sekarang saja, Sapartoga!" tegas
Datuk Lingga Merah.
"Hm...," Ki Sapartoga hanya bergumam tak
jelas.
***
Pertarungan antara Ki Sapartoga mengha-
dapi Datuk Lingga Merah tak dapat dihindari lagi.
Begitu juga dengan putri bekas Ketua Perguruan
Singa Emas. Gadis itu kini harus berhadapan den-
gan enam lelaki berpakaian hitam-hitam yang ber
senjatakan golok terhunus. Tampak golok-golok
mereka berkilatan tertimpa sinar matahari.
"Hiyaaa...!"
"Haaat..!"
Dua lelaki berpakaian hitam langsung me-
nyerbu dari samping kiri dan kanan. Golok yang
teracung-acung di atas kepala menimbulkan bunyi
menderu. Jelas serangan kedua lelaki itu disertai
pengerahan tenaga dalam.
Akan tetapi, Dewi Nalar bukanlah gadis
cantik yang berotak tumpul. Ingatannya yang kuat
pada kata-kata Datuk Lingga Merah yang mela-
rang enam lelaki anak buahnya ini untuk tidak
melukainya, membuat Dewi Nalar tak gentar
menghadapi serangan itu. Gadis itu yakin, seran-
gan yang dilakukan dua lelaki ini hanyalah gertak
sambal belaka.
Dan ketika serangan itu tiba, Dewi Nalar se-
gera bergerak lincah dan menyambut serangan
dengan tangan kosong.
"Haiiit...!"
"Hih!"
Sodokan tangan Dewi Nalar mencoba ma-
suk ke rusuk kiri lawan yang berada di kiri. Se-
dangkan kaki kanannya bergerak menendang,
mencecar bagian perut lawan yang menyerang dari
samping kanan. Melihat hal itu, dua lelaki itu
langsung mendoyongkan tubuhnya.
"Uts!"
Pertarungan antara Dewi Nalar menghadapi
enam lelaki berpakaian hitam berlangsung kurang
menarik. Namun, tidak bagi pertarungan antara Ki
Sapartoga menghadapi Datuk Lingga Merah.
Pertarungan hidup dan mati itu berlang-
sung cukup alot dengan tempo yang cepat.
"Mampus kau, Sapartoga!"
Wuttt!
"Uts!"
Tubuh Ki Sapartoga melenting ke belakang,
ketika Datuk Lingga Merah menghunjamkan tom-
bak bermata tiga ke bagian dada. Indah dan cepat
gerakan menghindar ayah kandung Dewi Nalar ini,
sehingga dirinya terhindar dari incaran mata tom-
bak milik lelaki berkepala gundul sebelah yang
berjubah loreng merah itu.
Jligkh!
Tubuh Ki Sapartoga kembali mendarat lu-
nak di tanah. Tatapan matanya langsung tertuju
ke arah wajah Datuk Lingga Merah.
"Hm...," gumam Datuk Lingga Merah men-
dapatkan serangannya berhasil digagalkan lawan.
"Itu baru serangan awal, Sapartoga. Jangan ber-
bangga hati dulu."
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Datuk
Sesat! Atau kau ingin mampus di tanganku!" balas
Ki Sapartoga, tak kalah sengit.
"Keparat!" hardik Datuk Lingga Merah se-
raya menyilangkan senjata di depan dada. "Kau te-
rima jurus 'Menusuk Rembulan'-ku ini! Hiyaaa...!"
Tubuh Datuk Lingga Merah kembali melesat
cepat ke arah Ki Sapartoga. Tombaknya yang ma-
sih tersilang di atas dada belum digeser sedikit
pun. Namun dua langkah lagi tubuh Ki Sapartoga
terjangkau, kaki Datuk Lingga Merah menghentak
ke arah kiri. Kemudian tombak bermata tiganya di-
lepas dengan kekuatan tenaga dalam tinggi, ter-
arah ke pelipis kanan Ki Sapartoga.
Siiing...!
Cepat bagai kilat tombak bermata tiga milik
Datuk Lingga Merah meluncur. Namun Ki Sapar-
toga bukanlah orang yang baru kenal ilmu silat.
Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya dileng-
kungkan ke belakang, hingga telapak tangannya
menyentuh tanah.
Cara menghindar yang dilakukan Ki Sapar-
toga memang cukup tepat. Terbukti, senjata yang
dilempar Datuk Lingga Merah tak menjumpai sa-
saran.
"Huh!"
"Hop!"
Datuk Lingga Merah yang menyaksikan se-
rangannya gagal, segera mengejar tombaknya yang
terus meluncur. Cukup mengagumkan gerakan
datuk sesat dari selatan ini. Tak heran kalau tom-
bak yang tengah meluncur cepat berhasil dikejar-
nya.
Tap!
Senjata berupa tombak bermata tiga itu
kembali berada di genggaman tangan Datuk Ling-
ga Merah. Lalu kembali dihampirinya Ki Sapartoga
yang sudah bersiap-siap menghadapi serangan be-
rikutnya.
"Tak kusangka kalau perkembangan ilmu
silatmu cukup pesat, Sapartoga!" ucap Datuk
Lingga Merah memuji. "Namun sebaiknya, kegaga-
lanku jangan dianggap remeh. Karena, serangan
seranganku barusan hanya sekadar menguji ke-
mampuanmu."
"Itu hanya cara untuk menutupi rasa malu
atas kegagalanmu, Datuk Gundul!" timpal Ki Sa-
partoga meledek.
"Cabut pedangmu, Sapartoga!" bentak Da-
tuk Lingga Merah keras.
"Untuk apa?" tanya Ki Sapartoga meledek.
"Untuk memperlambat kematianmu! Aku
tak sudi lawanku mati tanpa perlawanan berarti!"
"Tunjukkan dulu sesumbarmu, Datuk
Edan!" tukas Ki Sapartoga.
"Setan alas! Rupanya kau memang betul-
betul sudah bosan hidup! Ayo, jaga ilmu 'Tombak
Maut Datuk Sakti'" ujar Datuk Lingga Merah se-
raya mengangkat senjatanya sampai sebatas leher.
Lalu senjata itu diputar-putar dengan kecepatan
mengagumkan.
Wuk! Wuk!
Bunyi putaran tombak Datuk Lingga Merah
cukup keras. Bahkan Ki Sapartoga yang menyak-
sikannya jadi bergetar hatinya.
"Hm.... Kali ini ilmunya benar-benar dike-
luarkan. Aku harus hati-hati," gumam Ki Saparto-
ga hati-hati. Diam-diam ilmunya juga disiapkan
untuk menangkal serangan Datuk Lingga Merah.
"Hiyaaa...!"
Datuk Lingga Merah melompat cepat. Tong-
katnya yang berputaran dibabatkan miring ke arah
lambung Ki Sapartoga.
Wuuung...!
Bunyi seperti menggerung terdengar mengi
ringi kecepatan sambaran tombak bermata tiga mi-
lik Datuk Lingga Merah.
"Heh?!"
Terkejut bukan main Ki Sapartoga menyak-
sikan serangan Datuk Lingga Merah yang begitu
cepat. Akan tetapi, keberuntungan masih berada
di pihak Ki Sapartoga.
"Uts!"
Bret!
Buktinya tubuhnya masih sempat dibawa
mundur ke belakang. Sehingga sambaran tombak
bermata tiga milik Datuk Lingga Merah hanya
sempat merobek pakaiannya saja.
"Sudah kubilang, jangan suka menganggap
remeh! Ini, terima kembali seranganku!"
"Hiaaa...!"
Wuuuk!
Mata tombak Datuk Lingga Merah kembali
bergerak cepat ke arah leher Ki Sapartoga.
Ki Sapartoga tentu saja tak ingin lehernya
tertembus senjata lawan. Dengan kecepatan men-
gagumkan senjatanya yang tergantung di pinggang
diloloskan. Langsung ditangkisnya sambaran tom-
bak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah.
Srat!
Trang!
Bunyi berdentang dua logam keras beradu
seketika terdengar. Percikan bunga api terlihat je-
las, menandakan kalau mereka dalam menyerang
dan menangkis menggunakan tenaga dalam tinggi
Namun dalam adu tenaga dalam, kiranya Ki
Sapartoga harus mengakui keunggulan Datuk
Lingga Merah yang hanya terjajar dua langkah ke
belakang. Sedangkan bekas Ketua Perguruan Sin-
ga Emas itu terjajar empat langkah ke belakang,
dengan tangan terasa nyeri.
Mendapatkan kenyataan itu, Datuk Lingga
Merah tak mau kehilangan kesempatan. Maka me-
lihat tubuh Ki Sapartoga dalam keadaan ter-
huyung, lelaki berkepala gundul sebelah itu kem-
bali melesat melakukan serangan susulan. Kaki
kanannya langsung melepaskan tendangan lurus
bertenaga dalam tinggi.
Sementara Ki Sapartoga yang tak menyang-
ka mendapat serangan susulan yang begitu cepat,
segera menggerakkan tangannya ke depan dada.
Blakkk!
"Ukh...!"
Meski telah melindungi bagian dadanya
yang menjadi incaran dengan tangan, tak urung Ki
Sapartoga merasakan sesak juga. Tendangan Da-
tuk Lingga Merah memang terlampau keras, dan
membuat tubuhnya terhuyung dan ambruk di ta-
nah.
"Ha ha ha.... Kiranya hanya sebegitu saja
kepandaianmu, Sapartoga," ledek Datuk Lingga
Merah. "Sekarang, terimalah kematianmu!
Hiyaaa...!"
DUA
Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu
sudah meluruk deras ke arah Ki Sapartoga yang
jatuh terduduk di tanah. Datuk Lingga Merah me-
nyerang dengan senjatanya yang terangkat di atas
kepala, untuk menusuk kepala Ki Sapartoga dari
atas.
Namun Ki Sapartoga yang meski dalam
keadaan seperti itu ternyata masih mampu mem-
baca arah serangan lawan. Maka ketika sambaran
senjata Datuk Lingga Merah semakin mendekat,
cepat tubuhnya bergulingan di tanah, menghinda-
ri.
Blesss...!
"Setan belang!" rutuk Datuk Lingga Merah
mendapatkan senjatanya hanya menusuk tanah
tempat Ki Sapartoga terduduk tadi.
"Huh!"
Slebs!
Lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu
mencabut tombaknya dengan kejengkelan me-
muncak. Dan seketika tubuhnya berbalik meng-
hadap Ki Sapartoga yang kini sudah kembali ber-
diri tegak.
"Kau harus kubuat mampus, Sapartoga!"
dengus Datuk Lingga Merah dengan tatapan men-
corong tajam.
Sementara, Ki Sapartoga hanya menanggapi
ancaman dengan membalas tatapan mata lawan-
nya. Namun di benaknya terencana sebuah siasat
untuk menyelamatkan Dewi Nalar dan Arca Singa
Emas.
"Hm.... Ada baiknya Nalar kusuruh pergi
menghindari pertarungan ini. Sehingga dia bisa
menyelamatkan diri sambil membawa serta Arca
Singa Emas yang sudah puluhan tahun menjadi
miliknya," gumam Ki Sapartoga dalam hati. "Biar
aku terus menghalangi Datuk Lingga Merah, wa-
laupun apa yang akan terjadi."
Ketika rencana di benak Ki Sapartoga ma-
tang, serangan Datuk Lingga Merah kembali da-
tang.
"Hiyaaa...!"
Kesempatan yang baik dilihat Ki Sapartoga.
Saat itu Datuk Lingga Merah berlari ke arahnya.
Sedangkan lelaki bekas Ketua Perguruan Singa
Emas ini melakukan hal yang sama. Namun la-
rinya Ki Sapartoga tidaklah bermaksud memapak
serangan Datuk Lingga Merah. Hal itu dilakukan
karena ada yang direncanakannya.
"Hiyaaa...!"
Wuuung!
"Hops!"
Ketika tombak bermata tiga milik Datuk
Lingga Merah berkelebat ke arah dada, Ki Saparto-
ga sekuat-kuatnya menghentakkan kaki ke tanah.
Seketika itu juga tubuhnya melesat ke atas, mele-
wati kepala datuk dari selatan ini. Dan ketika ka-
kinya menyentuh tanah, langsung dihentakkan
kembali Dan tubuhnya cepat melesat ke arah per-
tarungan Dewi Nalar yang menghadapi enam lelaki
pengeroyoknya.
"Hop!"
Egkh! Bugkh!
"Akh!"
"Aaakh...!"
Dua pekikan keras seketika terdengar keti
ka Ki Sapartoga langsung mengirimkan tendangan
keras ke arah lawan Dewi Nalar, begitu mendarat
di tanah.
"Sebaiknya tinggalkan tempat itu, untuk
menyelamatkan dirimu, Nalar. Dan, bawa serta Ar-
ca Singa Emas itu," perintah Ki Sapartoga, berbi-
sik.
Dewi Nalar tentu saja terkejut mendengar
perintah ayahnya.
"Ayah...?" ucap Dewi Nalar tidak percaya.
"Jangan bantah perintahku, Nalar!" tegas Ki
Sapartoga. "Cepat laksanakan! Biar ayah yang
menghadang mereka!"
Semula Dewi Nalar ragu untuk memenuhi
permintaan ayahnya. Namun ketika mendapatkan
tatapan berharap dari ayahnya, tubuhnya segera
melesat ke rumahnya.
"Hops!"
Datuk Lingga Merah yang menyaksikan ga-
dis cantik berbaju sutera warna putih mengkilat
itu melarikan diri ke dalam rumahnya, seketika
timbul kecurigaannya. Dia menduga gadis putra Ki
Sapartoga itu akan melarikan Arca Singa Emas
yang telah lama menjadi incarannya. Maka seketi-
ka itu juga tubuhnya bergerak hendak mencegah
Dewi Nalar.
"Hiaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketika tubuh Datuk Lingga Merah bergerak,
bersamaan dengan itu Ki Sapartoga juga bergerak
ke arahnya. Bahkan disertai tebasan senjatanya ke
arah laju gerak lelaki berkepala botak sebelah itu.
Wuuut!
"Hups!"
Datuk Lingga Merah terpaksa menghenti-
kan lesatannya, ketika mendapatkan sambaran
pedang berkepala singa yang dilancarkan Ki Sa-
partoga ke arah lambung. Datuk dari wilayah sela-
tan itu segera menyelamatkan diri dengan melem-
par tubuh ke samping kanan.
Jlig!
Ketika mendarat selamat di tanah, Datuk
Lingga Merah langsung menyiapkan serangan ba-
lasan.
"Keparat kau, Sapartoga!" hardik Datuk
Lingga Merah kesal.
Tatapan mata laki-laki botak setengah itu
kini tertuju pada anak buahnya yang tak bertindak
apa-apa.
"Kejar gadis itu! Bunuh saja!" perintah Da-
tuk Lingga Merah.
Lelaki-lelaki berpakaian hitam anak buah
Datuk Lingga Merah seperti tersentak dari keter-
pakuannya. Seketika mereka semua bergerak ke
arah rumah yang dimasuki Dewi Nalar.
Ki Sapartoga yang menyaksikan hal ini ten-
tu saja tak tinggal diam. Dengan teriakan nyaring,
bekas Ketua Perguruan Singa Emas itu melesat
dari tempatnya berpijak sambil mengibaskan pe-
dangnya.
"Hiaaa...!"
Brets! Brets!
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua orang anak buah Datuk Lingga Merah
seketika terjungkal roboh berlumuran darah, ter-
sambar pedang berhulu singa milik Ki Sapartoga.
Mereka kontan menggelepar dengan bagian teng-
kuk dan pinggang terkoyak, akibat ketajaman pe-
dang Ki Sapartoga yang disertai kekuatan tenaga
dalam tinggi. Nyawa kedua anak buah Datuk Ling-
ga Merah seketika itu juga berpisah dari raga.
Datuk Lingga Merah yang menyaksikan ke-
jadian yang begitu cepat menjadi semakin murka.
"Kubunuh kau, Sapartoga!" teriak datuk se-
sat itu.
Tubuh lelaki berkepala botak setengah itu
kini melesat memberi serangan menggunakan sen-
jata tombak bermata tiga. Angin menderu menga-
wali kedatangan serangannya yang disertai penge-
rahan tenaga dalam tinggi.
Wuuuts!
"Hits!"
Ki Sapartoga cepat mendoyongkan tubuh-
nya, menghindari serangan Datuk Lingga Merah
yang mengarah ke bagian leher. Namun tanpa dis-
adari, dua anak buah datuk sesat itu memang te-
lah menunggunya. Seketika mereka menggerakkan
tangannya, melepaskan serangan gelap. Sehing-
ga....
Crak!
"Aaa...!"
Ki Sapartoga kontan memekik tertahan,
manakala dua senjata menghunjam bagian pung-
gung dan bahunya, yang langsung mengucurkan
darah.
Dengan kemarahan meluap, bekas Ketua
Perguruan Singa Emas ini berbalik sambil mengi-
baskan pedangnya ke arah dua lelaki yang telah
melukai tubuhnya.
"Haaa...!"
Brets! Brets!
"Akh! Aaa...!"
Dua anak buah Datuk Lingga Merah kem-
bali terjungkal tertebas ujung pedang Ki Saparto-
ga. Namun, naas kembali dialami ayah kandung
Dewi Nalar ini. Karena begitu berhasil merobohkan
dua lawannya, serangan membokong cepat dilaku-
kan Datuk Lingga Merah.
"Haiiit..!"
Blugkh!
"Hegkh!"
Ki Sapartoga kontan terhuyung ke depan,
terhajar tendangan lurus berkekuatan tenaga da-
lam tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya am-
bruk ke tanah dan bergulingan.
"Sekarang saatnyalah kau mampus, Sapar-
toga!" bentak Datuk Lingga Merah, kembali me-
nyiapkan serangan susulan menggunakan senjata.
"Hiaaat..!"
Begitu tongkat Datuk Lingga Merah hampir
menyentuh sasaran, tiba-tiba berkelebat bayangan
kuning yang langsung memapak serangannya.
Trak!
"Heh?!"
***
Terkejut bukan kepalang datuk sesat dari
wilayah selatan itu ketika serangannya kembali
gagal. Bahkan tubuhnya sempat terhuyung tiga
langkah ke belakang, ketika serangannya berhasil
dipapak oleh orang lain.
"Setan usil!" bentak Datuk Lingga Merah.
Laki-laki berkepala botak setengah itu ge-
ram bukan kepalang, menyaksikan sosok muda
nan tampan dan gagah berdiri tegak pada jarak
empat batang tombak di depannya.
Pemuda berpakaian warna kuning keema-
san itu hanya tersenyum sedikit menanggapi har-
dikan lelaki berpakaian warna loreng merah ini.
"Maaf, Kisanak. Sungguh, aku tidak ber-
maksud mengusili seleramu," ucap pemuda gagah
berpakaian kuning keemasan.
"Hmh...!"
Datuk Lingga Merah menggereng menden-
gar ucapan pemuda itu.
"Aku sebenarnya tak berminat mencampuri
urusanmu. Tapi, aku kasihan sekali melihat Kisa-
nak itu," tambah pemuda ini sambil menunjuk ke
arah Ki Sapartoga yang terkulai di tanah disertai
erangan kesakitan.
"Keparat!" maki Datuk Lingga Merah.
"Sayang, kali ini aku tak berselera adu tanding
dengan mu. Tapi lain kali, jangan harap kau bisa
melihat matahari esok pagi. Hm.... Sebutkan na-
mamu, agar aku mudah mencarimu!"
"Itu terserah, Kisanak. Catat saja. Namaku
Jaka Sembada. Kau boleh mencariku sesuka ha-
timu," timpal pemuda yang tak lain Jaka Sembada.
Dan dia sebenarnya lebih dikenal sebagai Raja Pe-
tir.
"Hhh!" dengus Datuk Lingga Merah. "Ayo ki-
ta kejar gadis sial itu!"
Tatapan datuk dari selatan itu mengarah
kepada dua anak buahnya yang masih tersisa. Se-
pertinya, dia memberi isyarat untuk tidak melade-
ni pemuda itu.
"Hops!"
Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu
segera melesat cepat, diikuti dua orang anak
buahnya yang berpakaian hitam.
Raja Petir sedikit pun tak bermaksud men-
cegah kepergian mereka. Langkahnya kini terayun
menghampiri Ki Sapartoga.
"Ah! Luka-lukamu terlalu parah, Kisanak,"
desah Jaka, seraya berjongkok di hadapan Ki Sa-
partoga.
Ki Sapartoga tak menyahuti ucapan Raja
Petir. Hanya wajahnya yang meringis menahan ra-
sa sakit Sementara, sepasang bola matanya meng-
hunjam ke wajah Jaka.
"Kenapa kau biarkan mereka pergi?" tanya
Ki Sapartoga, bergetar.
Jaka tak menjawab ucapan Ki Sapartoga.
Hanya ditatapnya wajah lelaki tua itu dengan pe-
rasaan iba.
"Kau telan pil ini dulu, Ki. Sekadar menghi-
langkan nyeri," tukas Jaka sambil menyerahkan
pil warna merah darah yang diambil dari balik pa-
kaiannya.
Dengan wajah masih meringis, Ki Sapartoga
menelan pil pemberian Jaka. Hanya dalam bebe-
rapa saat saja, Ki Sapartoga merasakan perubahan
pada dirinya. Rasa nyeri yang diderita akibat ben-
turan keras dan juga luka-luka pada tubuhnya te-
lah sedikit berkurang.
"Seharusnya jangan kau biarkan Datuk
Lingga Merah mengejar putriku, Nak," keluh Ki
Sapartoga, menyambung perkataannya yang tak
dijawab Jaka.
"Apakah putrimu mengenakan pakaian su-
tera warna putih mengkilat, dan mengenakan se-
lendang merah?" Jaka balik bertanya.
Ki Sapartoga membetulkan pertanyaan Jaka
dengan anggukan kepala.
"Kalau begitu, mudah-mudahan saja ka-
wanku bisa melindunginya, Ki," ujar Jaka.
Raja Petir langsung teringat pada Mayang
Sutera yang tengah membuntuti gadis cantik ber-
pakaian putih yang tengah dikejar-kejar dua lelaki
berpakaian warna hitam dan bersenjata golok
Tatapan mata Ki Sapartoga memancarkan
keheranan mendengar ucapan Jaka. Namun ketika
Raja Petir menjelaskan kalau kedatangannya tidak
sendirian, Ki Sapartoga menjadi mengerti. Maka
Jaka segera menceritakan apa yang dilihatnya ten-
tang Dewi Nalar kepada Ki Sapartoga.
***
"Begitulah ceritanya, Ki. Semoga saja
Mayang bisa membantu putrimu," tukas Jaka
mengakhiri penjelasannya.
Ki Sapartoga mengerang kembali, sesaat
Jaka menyelesaikan ucapannya.
"Ki...?"
Tubuh Ki Sapartoga diguncang tangan Ja-
ka.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi?"
tanya Jaka agak mencemaskan keadaan lelaki be-
rusia setengah abad berpakaian putih ini.
"Siapa namamu, Nak?" Ki Sapartoga malah
melempar pertanyaan.
"Panggil saja Jaka, Ki," jawab Jaka.
Mata Ki Sapartoga seketika itu juga terbela-
lak, setelah Jaka menyebutkan namanya.
"Kaukah Jaka Sembada?" tanya Ki Saparto-
ga ingin menegaskan, dengan nada keterkejutan
yang kentara.
Jaka menganggukkan kepala pelan, sebagai
jawabannya. Dan seketika itu juga, lelaki ayah
kandung Dewi Nalar ini mengencangkan pegan-
gannya pada tangan Jaka.
"Raja Petir! Bantulah aku. Tolong sela-
matkan anakku dan juga Arca Singa Emas yang
berada di tangannya," pinta Ki Sapartoga seperti
merengek.
Sebenarnya Jaka risih juga ketika Ki Sapar-
toga menyebut julukannya.
"Arca Singa Emas?" batin Jaka.
"Aku rela kalau kau yang akhirnya yang
menguasai Arca Singa Emas itu, Raja Petir. Karena
aku yakin, kau akan mampu menjaganya dari in-
caran tokoh-tokoh berilmu tinggi golongan hitam.
Lakukanlah itu untukku, Raja Petir. Selamatkan
anakku dan Arca Singa Emas itu," ujar Ki Sapar-
toga lagi meratap.
Jaka tak segera menyetujui ucapan Ki Sa-
partoga. Hatinya bertanya-tanya. Ada teka-teki
apakah di balik Arca Singa Emas itu, sehingga to-
koh-tokoh sakti rimba persilatan golongan hitam
memburunya
"Ki...?"
Jaka mengguncang tubuh Ki Sapartoga ke-
tika mata lelaki tua itu terpejam.
"Hhh...!"
Ki Sapartoga hanya menarik napas panjang
ketika bahunya diguncang Jaka. Dan pada saat itu
pula, napasnya tak lagi ada di dadanya. Nyawa Ki
Sapartoga telah pergi meninggalkan raga, karena
terlalu banyak mengeluarkan darah.
"Ah! Kasihan sekali kau, Ki," desah Jaka
sambil bangkit dari jongkoknya. "Dan maafkan
aku kalau tak sempat menguburkan mayatmu.
Aku harus memenuhi permintaan terakhirmu, un-
tuk menyelamatkan putrimu dan juga Arca Singa
Emas itu."
Setelah menatap mayat Ki Sapartoga seben-
tar, Jaka segera berbalik. Dan dengan sekali hen-
tak, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan
mayat Ki Sapartoga. Raja Petir berlari ke arah
Mayang Sutera yang membuntuti putri Ki Saparto-
ga.
"Hops!"
***
Telah berpal-pal jauhnya Jaka berlari, na-
mun sudah sejauh itu tak juga menemui tanda-
tanda terlihatnya Mayang Sutera dan gadis cantik
berpakaian warna putih mengkilat yang tengah di-
buntuti.
"Hm.... Pertigaan? Jalan mana yang harus
kuambil?" gumam Jaka ketika menemui jalan yang
terbelah dua ke kiri dan kanan.
Beberapa saat lamanya Raja Petir hanya
berdiam diri. Namun pada saat selanjutnya, tu-
buhnya kembali bergerak cepat, yang dipilihnya
adalah jalan sebelah kiri.
"Hops!"
Baru dua pal Jaka bergerak mengambil ja-
lan sebelah kiri Desa Granggas, tiba-tiba saja te-
linganya yang tajam mendengar suara pertarun-
gan. Seketika diperhatikannya suara itu dengan te-
liti. Dan Raja Petir berkesimpulan, suara memekik
geram yang terdengar adalah milik perempuan.
Raja Petir tentu saja tak mau membuang-
buang waktu. Maka seketika itu juga, tempo la-
rinya dipercepat agar segera sampai di tempat per-
tempuran.
"Mayang...," ucap Jaka pelan ketika tiba di
tempat pertempuran.
Raja Petir langsung menyaksikan kekasih-
nya telah bertarung melawan lelaki berkepala bo-
tak sebelah, yang tak lain Datuk Lingga Merah.
Namun pemuda ini tak segera turun ke dalam
kancah pertarungan. Sementara, putri Ki Saparto-
ga tengah bertarung melawan dua orang laki-laki
berbaju hitam dan bersenjatakan golok. Jaka
hanya memperhatikan pertarungan dari jarak yang
terjaga. Dan tampaknya pertarungan berjalan
seimbang.
Dan ketika lelaki berpakaian warna merah
loreng itu hendak melakukan kelicikan, maka Jaka
segera bergerak sambil melancarkan 'Pukulan
Pengacau Arah' yang didapat dari Eyang Putri Se-
lasih.
"Hiyaaa...!"
Wuusss!
TIGA
Pusaran angin yang keluar dari ilmu
'Pukulan Pengacau Arah' dari Raja Petir bergulung
deras ke arah jarum-jarum beracun, yang meluruk
deras ke arah Mayang Sutera.
Pratps! Pratps!
Benturan keras pun seketika terjadi. Ja-
rum-jarum beracun milik Datuk Lingga Merah
langsung berhamburan tak tentu arah. Bahkan
sebagian berpatahan dan runtuh ke tanah.
Jligkh!
"Manusia licik!" maki Jaka ketika menda-
ratkan kakinya tak jauh dari tempat Mayang ber-
diri.
"Kakang...!" teriak Mayang, girang menyak-
sikan kemunculan kekasihnya.
"Raja Petir!" sentak Datuk Lingga Merah
yang sudah mengenal, setelah pertemuan pertama
mereka tadi. "Ternyata kau betul-betul ingin me-
nantangku!"
Jaka hanya menimpali bentakan itu dengan
tatapan menusuk ke wajah kasar lelaki berkepala
botak sebelah.
"Semula aku tak berselera bertarung mela-
wan bocah ingusan sepertimu! Tetapi karena ma-
sih lancang mencampuri urusan orang, maka ke-
matianlah yang pantas kau dapatkan!" lanjut Da-
tuk Lingga Merah lantang.
"Aku perlu bukti atas bacot besarmu itu,"
balas Jaka tenang.
"Hmh...! Garda, Maijan! Mainkan jurus
'Menusuk Rembulan' untuk memanggang leher
bocah angkuh itu!" teriak Datuk Lingga Merah pa-
da dua anak buahnya yang masih tersisa, disertai
geraman keras.
Dua laki-laki yang dipanggil Garda dan Mar-
jan bergerak cepat dengan senjata tersilang di de-
pan dada.
Wuk! Wuk!
Mayang yang menyaksikan tiga orang hen-
dak mengeroyok Jaka, semula hendak ikut ambil
bagian. Akan tetapi tangan Jaka yang terangkat
membuat gadis cantik kekasih Raja Petir ini men-
gurungkan keinginannya.
"Seraaang...!"
Sekeras perintah yang keluar dari mulut
Datuk Lingga Merah, sekeras itu pula teriakan
Garda dan Marjan terdengar mengiringi tubuhnya
yang berkelebat
"Hiyaaa...!"
"Yeaaat..!"
Wiiing! Wuuung!
Raja Petir cepat merunduk, menghindari
terjangan dua bilah tombak lawan-lawannya. Dan
tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya berge-
rak cepat
Tap! Tap!
Dua bilah tombak yang mencecar langsung
tertangkap. Tombak milik Garda dan Marjan kini
tercekal kuat di telapak tangan Raja Petir.
Kedua orang itu berusaha menarik pulang
senjatanya. Namun, apakah arti tenaga dalam me-
reka yang masih berada jauh di bawah Raja Petir?
Dan tentu saja usaha keduanya pun menjadi bela-
ka.
Melihat kedua anak buahnya tak kuasa
menghadapi Raja Petir, Datuk Lingga Merah segera
saja menerapkan kembali siasat liciknya.
Di tengah-tengah kedudukan Jaka yang
tengah menahan betotan Garda dan Marjan, tiba-
tiba tubuh Datuk Lingga Merah melesat disertai
pengerahan jurus 'Tombak Maut Datuk Sakti'.
"Haaat..!"
Jaka tentu saja sadar akan kelicikan lelaki
berkepala botak sebelah itu. Dan dia tak tanggung-
tanggung lagi ingin memberi pelajaran padanya.
Maka seketika itu juga, ajian 'Kukuh Karang' ter-
cipta. Tubuhnya kini terbungkus sinar warna kun-
ing menyilaukan.
Dan ketika tubuh Datuk Lingga Merah yang
berada di udara tiba, maka....
Trak!
"Aaa...!"
Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian lo
reng merah itu seketika terpental balik, ketika
tombaknya menghantam tubuh Raja Petir. Bahkan
pada saat bersamaan, Dewi Nalar mencelat deras
sambil mengayunkan selendang merahnya disertai
ilmu 'Selendang Merah'.
"Mampus kau, Datuk Sesat Hiyaaa...!"
Tak ada kesempatan lagi bagi datuk sesat
dari selatan itu untuk menghindar. Apalagi, tu-
buhnya tengah berada di udara. Sehingga....
Ctar!
Drak!
"Aaa...!"
Jeritan kedua terdengar dari mulut Datuk
Lingga Merah begitu tersengat selendang merah
milik Dewi Nalar. Tubuhnya kembali terpental ba-
lik ke belakang, agak bergeser sedikit ke arah ka-
nan.
Bruk!
Tubuh Datuk Lingga Merah langsung am-
bruk tanpa nyawa. Bagian dadanya yang tersam-
bar selendang milik Dewi Nalar nampak luka men-
ganga lebar.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Sementara itu dua jeritan kematian kembali
terdengar berturut-turut. Kali ini, keluar dari mu-
lut Garda dan Marjan akibat tak kuasa menerima
sengatan panas dari aji 'Kukuh Karang' yang se-
sungguhnya ditujukan untuk Datuk Lingga Merah.
Akibatnya, tubuh mereka pun menemui nasib sa-
ma dengan Datuk Lingga Merah.
***
Setelah kematian Datuk Lingga Merah dan
kedua anak buahnya, gadis cantik berambut di-
kuncir sebahu itu segera menghampiri Mayang
yang sudah bergabung dengan Jaka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini,"
ucap Dewi Nalar, pelan. "Dan juga kau, Kisanak."
Dewi Nalar menatap wajah tampan Raja Pe-
tir. Jelas, tatapannya menyiratkan kekaguman.
"Ah! Tak perlu kau ucapkan itu," kilah
Mayang mengalihkan tatapan mata Dewi Nalar
yang terus-menerus menatap ketampanan wajah
Raja Petir. "Oh, ya. Panggil aku Mayang. Dan, Ni-
sanak siapa?"
Mayang langsung menjulurkan telapak tan-
gannya. Sedangkan Dewi Nalar tersenyum sebelum
membalas uluran tangan Mayang. Dan ketika tan-
gannya menyambut tangan Mayang....
"Dewi Nalar...," sahut gadis berpakaian su-
tera putih ini, menyebutkan namanya.
Kini ganti Mayang yang tersenyum.
"Namamu bagus," puji Mayang terus terang.
"Sebagus parasmu."
Dewi Nalar tersipu-sipu mendengar pujian
Mayang. Padahal diakuinya sendiri, wajah Mayang
tak kalah cantik.
"Oh, ya. Kawanku ini bernama Jaka," tukas
Mayang kemudian memperkenalkan kekasihnya.
Dewi Nalar segera mengulurkan tangan,
tanpa menyebutkan namanya lagi.
"Apakah nama lengkap Kakang adalah Jaka
Sembada?" tanya Dewi Nalar hati-hati.
Jaka menganggukkan kepala membenarkan
pertanyaan gadis cantik di depannya.
"Berarti Kakang yang berjuluk Raja Petir?"
desak Dewi Nalar kemudian, ingin menegaskan.
"Lupakan julukan kosong itu, Dewi," bantah
Jaka merendah.
"Julukanmu tidak kosong, Kakang," sangkal
Dewi Nalar. "Ayahku...."
Dewi Nalar menghentikan ucapannya. Wa-
jahnya yang baru sesaat terlihat cerah, kini kem-
bali tersaput mendung.
"Eh! Aku..., aku harus menemui ayah dulu,"
ujar Dewi Nalar. Kemudian gadis itu hendak me-
langkahkan kakinya, meninggalkan Jaka dan
Mayang.
"Tunggu dulu, Dewi," tahan Jaka dengan
suara yang cukup tegas.
Apa yang dilakukan Jaka dengan menahan
kepergian gadis cantik berambut dikuncir sebahu
itu, tentu saja membuat Mayang heran. Rasa cem-
buru sepertinya nampak dari cara menatap wajah
kekasihnya.
Dewi Nalar sendiri memang betul-betul
mengurungkan niatnya. Bahkan tatapan matanya
kini tertuju lurus ke wajah Jaka.
"Maafkan aku, Dewi. Aku gagal menyela-
matkan nyawa ayahmu. Yang Kuasa telah me-
manggilnya," ucap Jaka pelan.
"Akh!"
Dewi Nalar memekik tertahan mendengar
penjelasan Raja Petir. Mendung di wajahnya kini
berubah menjadi sebuah hujan derai air mata. Ba-
hu gadis itu tampak berguncang-guncang.
Mayang yang seolah ikut merasakan kedu-
kaan Dewi Nalar, segera saja mendekatinya. Lang-
sung dirangkulnya tubuh gadis berpakaian putih
itu.
"Tabahkan hatimu, Dewi," hibur Mayang.
"Segalanya telah diatur sang Pencipta. Setiap
makhluk yang bernyawa, pasti akan menjumpai
kematian. Dan kita semua bakalan menyusulnya,
meski entah kapan."
Isak Dewi Nalar semakin jelas, setelah men-
dengar kata-kata gadis berjuluk Dewi Payung
Emas itu. Sungguh! Dewi Nalar bukan saja men-
gingat kematian ayahnya. Tapi, juga bayangan
ibunya yang tewas terbantai Lima Jin Gunung
Sampa yang kembali melintas di pelupuk matanya.
Dia kini seorang diri. Sebatang kara!
"Aku belum sempat menguburkannya, ka-
rena khawatir dengan keselamatan kalian berdua,"
tukas Jaka lagi, seraya mendekati Mayang yang
tengah menghibur Dewi Nalar. "Kita bisa melaku-
kannya sekarang, Dewi. Mari...."
"Ayo, Dewi," ajak Mayang pula dengan tan-
gan merendeng tubuh putri tunggal almarhum Ki
Sapartoga ini.
Apa yang dilakukan Jaka dan Mayang se-
makin membuat keterharuan di hati Dewi Nalar
semakin terasa.
"Ah! Aku semakin menyusahkan kalian sa-
ja," desah Dewi Nalar. Nada suaranya jelas ter-
ganggu sisa isaknya.
"Jangan pikirkan itu, Dewi," kilah Mayang.
Angin berhembus semilir ketika Jaka,
Mayang, dan Dewi Nalar bergerak menuju ujung
Desa Granggas untuk menemui mayat Ki Saparto-
ga. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata
pun yang terucap. Mereka terus berjalan dengan
pikiran di benak masing-masing.
***
"Ayaaah...!"
Dewi Nalar memekik keras, langsung ber-
hambur cepat ke jasad ayahnya yang terbujur ka-
ku. Kemudian tubuhnya bersimpuh, seraya men-
ciumi wajah ayahnya.
"Ayaaah...!"
Kembali suara Dewi terdengar memanggil-
manggil dengan perasaan bergetar. Sementara, air
matanya pun memburai membasahi pakaian Ki
Sapartoga yang sudah ternodai bercak-bercak da-
rah.
"Ayah! Kenapa kau tinggalkan aku secepat
ini. Aku masih membutuhkan perhatian dan bim-
binganmu. Ayah," ratap Dewi Nalar dengan telapak
tangan meraba-raba wajah pucat pasi ayahnya.
Suasana haru seperti itu tentu saja mem-
buat Jaka dan Mayang ikut hanyut di dalamnya.
Sehingga, akhirnya Mayang menghampiri gadis
cantik putri almarhum Ki Sapartoga ini.
"Sudahlah, Dewi. Jangan terlalu diratapi
kepergian orangtuamu. Lebih baik, kita makamkan
saja jenazahnya sekarang juga," hibur Mayang pe
lan.
Dewi Nalar menatap wajah Mayang.
"Memang sebaiknya begitu, Nini Mayang,"
sambut Dewi Nalar dengan suara terdengar agak
"Ayo, Kakang. Bantu mengangkat tubuh
orangtua Dewi," ajak Mayang pada Jaka.
Raja Petir dengan gerak cepat segera me-
mondong tubuh Ki Sapartoga. Lalu, matanya me-
natap ke arah Dewi Nalar.
"Di mana tempat yang baik menurutmu,
Dewi?" tanya Jaka sambil memondong mayat Ki
Sapartoga.
Dewi Nalar tak segera menjawab. Sementara
bola matanya yang indah terlihat bergerak-gerak,
mencari tempat untuk menguburkan jasad ayah-
nya.
"Bagaimana kalau di kamar pribadi ayah sa-
ja, Kakang Jaka?" kata Dewi Nalar meminta pen-
dapat, ketika tak menemukan tempat yang cocok
untuk mengubur mayat ayahnya.
"Terserah kau saja, Dewi," desah Jaka, me-
nyetujui usul putri almarhum Ki Sapartoga ini.
Bergegas Dewi Nalar bergerak lebih dulu ke
rumahnya. Dibukanya pintu, dan ditunjukkannya
letak kamar pribadi ayahnya. Sedangkan Jaka dan
Mayang mengikuti langkah kaki Dewi Nalar.
"Di dekat lemari itu saja, Kakang Jaka," ujar
Dewi Nalar sambil menunjuk arah utara kamar Ki
Sapartoga yang cukup luas.
Jaka segera menurunkan mayat Ki Saparto-
ga yang berada dalam pondongannya. Kemudian,
dia bergerak ke arah yang ditunjuk Dewi Nalar.
Dengan peralatan seadanya, Raja Petir
menggali liang lahat untuk menguburkan mayat Ki
Sapartoga. Hanya dalam waktu singkat, lubang itu
sudah selesai digali.
Dewi Nalar tentu saja terkagum-kagum me-
nyaksikan kecepatan kerja tokoh muda yang ber-
juluk Raja Petir ini. Meski menggunakan peralatan
seadanya, namun Jaka mampu bekerja cepat tan-
pa bersimbah peluh di tubuhnya.
Selesai menggali liang lahat, Jaka kembali
mengangkat tubuh Ki Sapartoga. Lalu dibawanya
mayat itu turun dan diletakkan dengan hati-hati di
dasar lubang.
"Jangan ditimbun dulu, Kakang Jaka," pin-
ta Dewi Nalar, menahan gerakan Jaka yang hen-
dak menurunkan tanah bekas galian.
Jaka tentu saja segera menoleh dan mena-
tapi wajah Dewi Nalar.
"Ada apa, Dewi?" tanya Jaka pelan.
Dewi Nalar membiarkan pertanyaan Jaka
beberapa saat, dengan tatapan tertuju ke mayat
ayahnya yang sudah rebah di lubang kubur.
Sedangkan Jaka tak kembali bertanya, me-
lihat apa yang dilakukan gadis cantik putri Ki Sa-
partoga itu. Mungkin apa yang dilakukannya ada-
lah sesuatu yang bersifat penghormatan terhadap
hari-hari terakhir melihat ayahnya.
"Sebaiknya benda ini dibenam saja bersama
jasad ayah," ujar Dewi Nalar, seraya meraih sesua-
tu dari balik pakaiannya.
Tatapan mata Jaka dan Mayang terpaku,
menyaksikan sebuah benda warna kuning keema
san berbentuk seekor singa di tangan Dewi Nalar.
Sebuah benda yang besarnya tak melebihi seekor
anak ayam.
"Itukah Arca Singa Emas, Dewi?" tanya Ja-
ka, melihat keberadaan benda yang pernah dis-
ebut-sebut Ki Sapartoga.
"Betul!" jawab Dewi Nalar, tegas. "Apakah
Kakang tahu nama benda ini dari ayahku?"
"Ya," jawab Jaka, singkat.
"Maaf, Kakang. Apa saja yang dikatakan
ayah tentang benda peninggalan leluhurku ini?"
tanya Dewi Nalar lagi, ingin tahu.
"Tak banyak. Ayahmu hanya beramanat pa-
daku untuk menyelamatkan benda pusaka milik
leluhurnya," sahut Jaka.
Dewi Nalar terdiam mendengar cerita Jaka.
Sungguh hatinya bersyukur telah berjumpa den-
gan seorang tokoh muda yang memiliki kesaktian
tinggi. Selama ini, dia hanya pernah mendengar
cerita dari ayahnya, tentang kesaktian dan keren-
dahan hati Raja Petir.
Dan Dewi Nalar juga beranggapan kalau Ra-
ja Petir adalah seorang tokoh muda yang memiliki
ketampanan seperti tokoh-tokoh yang dilihatnya.
Dan kenyataannya?
Dewi Nalar melihat Jaka sebagai pemuda
yang benar-benar memiliki daya tarik tersendiri.
Bahkan hatinya terasa bergetar, saat beradu pan-
dang dengan Raja Petir Namun gadis putri Ki Sa-
partoga itu berusaha membunuh kekagumannya
sendiri. Dia tak ingin pada akhirnya perasaan itu
malah mencabik-cabik hatinya. Apalagi Dewi Nalar
juga tak ingin menyinggung hati perempuan yang
sudah dipastikan sebagai kekasih Jaka.
"Tak ada yang lain yang diceritakan ayahku,
Kakang?" ucap Dewi Nalar setelah sesaat lamanya
terdiam.
"Ada. Ayahmu juga meminta agar aku me-
nyelamatkan dirimu dari orang-orang yang men-
gincar Arca Singa Emas itu," jelas Jaka sambil
menunjuk benda warna kuning keemasan yang
memang terbuat dari logam mulia.
Mayang hanya diam saja mendengarkan
percakapan antara Jaka dan Dewi Nalar.
"Dewi.... Kalau kau ingin mengubur benda
itu bersama jasad ayahmu, silakan saja. Mungkin
itu lebih baik," ujar Jaka.
"Ah...," desah Dewi Nalar tiba-tiba. 'Tidak"
Mayang dan Jaka saling bertatapan, mendengar
ucapan Dewi Nalar yang tak selesai.
"Aku harus mengikuti pesan ayah," ujar
Dewi Nalar lagi. "Benda peninggalan leluhurku ini
harus kuserahkan pada Kakang. Di tanganmu,
benda ini pasti aman dan dunia peralatan tak
akan kacau"
"Apa maksud ucapanmu, Dewi. Masak ka-
rena Arca itu berada di tanganku, lantas dunia pe-
ralatan tak akan kacau?" tanya Jaka menyelidiki
teka-teki yang menyelimuti Arca Singa Emas itu.
"Nanti saja kujelaskan, Kakang. Sekarang,
terimalah Arca ini," selak Dewi Nalar seraya me-
nyerahkan Arca Singa Emas pada Jaka.
"Dewi...."
"Terimalah, Kakang."
"Ha ha ha...!"
Belum lagi Jaka menerima Arca Singa Emas
yang disodorkan Dewi Nalar, sebuah tawa mengge-
legar terdengar jelas dari luar.
"Lebih baik, serahkan Arca itu padaku, Cah
Ayu. Dan kau akan kuangkat jadi istriku," ujar su-
ara dari luar, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
"Masukkan benda itu kembali, Dewi," ujar
Jaka, memerintah.
Dewi Nalar segera menuruti ucapan Jaka.
Kemudian ketiganya bergerak ke luar, menghampi-
ri pemilik suara lancang tadi.
EMPAT
Ketika keluar dari rumah yang sudah ber-
tahun-tahun ditempati, Dewi Nalar terkejut me-
nyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh seperti
badut dengan perut buncit. Mereka mengenakan
pakaian warna-warni dengan wajah coreng-moreng
merah, biru, dan hijau.
Keterkejutan Dewi Nalar ternyata dialami
pula oleh tiga lelaki layak badut itu. Maka ketiga
lelaki yang berjuluk Tiga Badut Pulau Angker ini
sedikit terbelalak, mendapati kehadiran Raja Petir
di hadapannya.
"Cah ayu! Cepat serahkan Arca Singa Emas
itu padaku!" bentak lelaki berperut buncit yang
rambutnya kemerahan. "Atau, kupukul pecah ke
pala mu!"
Tiba-tiba salah seorang dari Tiga Badut Pu-
lau Angker membentak kasar. Senjatanya yang be-
rupa gada hitam berduri berukuran besar, terang-
kat ke atas kepala.
"Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin
memiliki benda leluhurku!" balas Dewi Nalar den-
gar keberanian luar biasa.
Jaka dan Mayang terkagum-kagum juga
menyaksikan keberanian gadis cantik putri almar-
hum Ki Sapartoga ini. Begitu juga Tiga Badut Pu-
lau Angker yang tak menyangka mendapatkan ja-
waban galak seperti itu.
"Aku senang mendapatkan gadis galakmu!
Namun sayang, hari ini aku lebih mementingkan
Arca Singa Emas. Hop!"
Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker
itu bergerak mendekati Dewi Nalar. Gerakannya
terlihat cepat dan ringan.
"Hop!" Jaka pun beringsut mendekati Dewi
Nalar. "Sabar, Nisanak."
"Hm.... Rupanya kau juga menginginkan
benda itu. Raja Petir," gumam lelaki berambut ke-
merahan dengan tatapan tajam ke arah Jaka. "Da-
ri caramu itu lebih kotor, dengan merayu-rayu se-
perti hidung belang!"
'Tutup mulutmu, Badut Gila!" maki Mayang
mendengar hinaan terhadap diri Jaka.
"Hi hi hi.... Kau juga galak, Nini. Hm.... Be-
rarti aku mempunyai kesempatan mendapatkan
dua gadis galak untuk menjadi teman penghibur."
"Phuih!"
Berbarengan Mayang dan Dewi Nalar mem-
buang ludah ke tanah.
"Wajahmu saja tak sedap untuk dipandang,
Badut Buruk! Mana mungkin ada gadis yang mau
jadi penghibur dirimu?" tukas Dewi Nalar balas
meledek
"Kita buktikan sekarang saja, Kakang Bali-
ga!" ujar orang kedua dari Tiga Badut Pulau Ang-
ker yang matanya tak beralis sedikit pun.
"Betul kata Kakang Baligu, Kakang," timpal
lelaki yang berambut keriting halus. "Kita sikat
habis saja mereka. Jangan kasih hati. Bukankah
tujuan kita jauh-jauh mencari Arca keramat itu?"
"Ha ha ha.... Kalian berdua betul, Baligu
dan Balguli. Ayo!"
Rrrrttt..!
Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker
yang bernama Baliga seketika itu juga menga-
cungkan gada berduri yang berwarna hitam tinggi-
tinggi. Gada berduri itu terangkat, disertai penge-
rahan tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan
bunyi yang mengerikan.
Apa yang dilakukan lelaki berambut keme-
rahan itu juga dilakukan Baligu dan Balguli.
"Biar aku yang menghadapi Raja Petir,"
ucap Baliga seraya melompat ke arah Jaka. Se-
mentara Baligu lebih memilih Mayang. Sedangkan
Dewi Nalar menjadi lawan Balguli.
Pertarungan seketika pecah menjadi tiga
bagian. Putri almarhum Ki Sapartoga itu langsung
menggunakan senjatanya yang berupa selendang
warna merah darah untuk menghadapi Balguli.
"He he he.... Cah ayu, keluarkan seluruh
ilmumu kalau kau tak ingin kupeluk," ledek Bal-
guli yang berambut keriting halus dengan serin-
gainya yang tak enak dilihat.
"Lakukanlah kalau kepalamu ingin pisah
dari badan," sentak Dewi Nalar.
"Hiyaaa..!"
Balguli yang berambut keriting ini bergerak
sambil mengayunkan gada ke arah dada Dewi Na-
lar. Bunyi menderu terdengar mengiringi serangan
orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker ini.
Wurttt...!
"Heits!"
Dewi Nalar langsung berkelit ke belakang,
manakala senjata milik Balguli memburu bagian
dadanya. Dalam keadaan tubuh yang doyong ke
belakang, kedua telapak tangannya dijatuhkan
dengan melenturkan tubuh. Lalu dengan gerakan
cukup memikat, gadis berpakaian putih mengkilat
itu melenting rendah dan cepat.
"Hops!"
"Hup!"
Jarak antara Balguli dengan Dewi Nalar kini
menjadi beberapa batang tombak. Namun laki-laki
berambut keriting itu terkagum-kagum menyaksi-
kan keindahan dan kelenturan gerak lawannya.
Sehingga, dia tak mengejar gerakan menghindar
Dewi Nalar.
"Ayo serang lagi, Badut Jelek!" ledek Dewi
Nalar memancing kemarahan Balguli yang berpa-
kaian warna-warni. Sementara wajahnya terlihat
coreng-moreng oleh warna merah, hijau, dan biru.
"Ha ha ha.... Kau menantangku, Cah Ayu?
Rasakanlah nanti pelukanku," ujar Balguli. Lang-
kah kakinya kembali terangkat menghampiri Dewi
Nalar.
Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja
bersiap-siap menghadapi serbuan lawannya. Se-
buah jurus yang didapat dari ayahnya akan digu-
nakan untuk menghadapi serangan Balguli.
"Hops!"
Dengan kuda-kuda rendah, Dewi Nalar ter-
lihat betul-betul telah siap memamerkan ilmu me-
nyerang yang dahsyat
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Dewi Nalar langsung menghentakkan kaki
ketika badut berambut keriting itu kembali berge-
rak. Hentakan kakinya cukup kuat, sehingga tu-
buhnya sekonyong-konyong melesat ke udara den-
gan kaki hendak memberi tendangan dari atas
mencecar pala.
Wurrrrt...!
"Eits!"
Gerakan Balguli yang hendak memotong la-
ju gerakan kaki Dewi Nalar, segera bisa terbaca.
Putri almarhum Ki Sapartoga itu memindahkan
kakinya. Lalu dengan kecepatan mengagumkan,
tubuhnya kembali bergerak ke bagian leher lawan.
"Mampus kau!"
"Huts!"
Dengan gerakan lucu, seperti anak kecil ke-
takutan, dilakukan Balguli. Dan dengan gerakan
itu, mampu menyelamatkannya dari serbuan kaki
kanan Dewi Nalar.
"He he he...!" Balguli kembali terkekeh. "Ru-
panya hanya sampai di gitu jurus menyerang yang
kau miliki, Cah Ayu? Apa tak ada yang lebih dah-
syat?"
"Jangan sombong kau, Badut Jelek!" balas
Dewi Nalar keras.
"Bukannya sombong, Cah Ayu. Kalau kau
tak memiliki kepandaian, bagaimana akan menja-
tuhkan lawan?" ulas Balguli.
"Keluarkan ilmumu, Badut Jelek! Biar ku-
hadapi dengan selendangku ini!"
"He he he.... Ayolah! Kita adu antara selen-
dangmu yang lembut dengan gadaku yang kasar,"
tantang orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker
ini.
Wurk! Wurk! Wurk!
Balguli tiba-tiba saja memutar-mutar gada
yang berada di tangan kanannya. Bunyi berisik
terdengar dari putaran gada berwarna hitam yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin
bergulung pun keluar dari putaran gada yang begi-
tu cepat, sehingga menerbangkan batu-batu kerikil
di sekitarnya.
Terkesiap juga hati Dewi Nalar menyaksikan
keganasan perputaran senjata yang dilakukan la-
wannya. Namun hatinya yakin, kalau selendang
merah yang akan dimainkan dalam jurus ilmu
'Selendang Merah' akan mampu meredam kegana-
san gada berduri milik Balguli.
"Hiyaaa...!"
Wuuurk!
Balguli mengayunkan gadanya dalam kece-
patan dahsyat.
Ctar!
Dewi Nalar tak kalah sigap. Cepat selen-
dangnya dikebutkan untuk memapak ayunan gada
lawan. Sehingga....
Brrrrt...!
Selendang warna merah milik Dewi Nalar
seketika bergulung di gerigi-gerigi gada milik Bal-
guli. Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja
terkejut mendapat kenyataan seperti itu.
Seharusnya gada milik Balguli patah jadi
dua saat ujung selendang merah Dewi Nalar
menghantam keras. Namun nyatanya....
"Hm.... Hebat sekali dia," puji Dewi Nalar
dalam hati.
"Ayo! Lepaskan senjatamu dari tubuh senja-
taku ini, Cah Ayu!" ejek Balguli pongah.
Kelakuan laki-laki berperut buncit dan be-
rambut keriting itu tentu saja membuat Dewi Nalar
naik darah. Segera saja tenaganya dikerahkan un-
tuk berputaran ke arah yang berlawanan dari se-
lendang yang membelit di gada berduri itu.
"Hih!"
"Eits!"
Balguli ternyata mampu membaca maksud
Dewi Nalar yang hendak melepaskan selendang
dengan cara memutar belitan dari arah berlawa-
nan. Maka lelaki berperut buncit itu juga ikut ber-
putaran. Akibatnya, Dewi Nalar tak kuasa mele-
paskan selendangnya yang membelit di gada hitam
berduri.
"Hih!"
Kali ini Dewi Nalar berusaha menarik selen-
dangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tetapi sedikit pun lawannya tak terpengaruh.
"Jangan bodoh, Cah Ayu. Nanti selendang-
mu bisa rusak," ledek orang ketiga dari Tiga Badut
Pulau Angker.
"Hhh...!"
Dewi Nalar tidak mempedulikan Balguli.
Dan dengan sebisanya terus berusaha melepaskan
selendangnya yang membelit di gada berduri laki-
laki berperut buncit dan berambut keriting ini
***
Sementara itu, pada pertarungan Mayang
melawan Baligu yang merupakan orang kedua dari
Tiga Badut Pulau Angker, berlangsung cukup seru
dan cepat
"Hiyaaa...!"
Sebuah tendangan menggeledek yang te-
rangkum dalam jurus ‘Menepak Laut Menggeng-
gam Air’ dilakukan Mayang dengan sempurna. Ba-
ligu yang sama sekali tak menduga datangnya se-
rangan, tak kuasa menghindarinya. Apalagi ten-
dangan itu dilakukan cepat bagai kilat. Sehing-
ga....
Bugk!
"Aaakh...!"
Telapak kaki gadis berjuluk Dewi Payung
Emas ini menghantam tepat di dada laki-laki tan-
pa alis itu. Akibatnya, Baligu langsung terhuyung
huyung sambil menekap dadanya yang terasa se-
sak bukan kepalang.
Pada saat lawannya jatuh terjerembab,
Mayang menyaksikan Dewi Nalar dalam keadaan
genting. Gada bergerigi milik Balguli nampak se-
makin banyak menggulung selendang merah milik
Dewi Nalar.
"Hiaaat..!"
Wuk..!
Mayang langsung melesat ke arah Dewi Na-
lar yang tengah bertarung melawan orang termuda
dari Tiga Badut Pulau Angker. Senjatanya yang be-
rupa payung besi warna kuning keemasan lang-
sung dimainkan dalam jurus 'Benteng Emas'. Ju-
rus ini memang berguna untuk menyerang dan
bertahan.
Suara menderu nyaring kontan terdengar
dari payung besi milik Dewi Payung Emas yang
berputar cepat
"Lepaskan senjatanya, Badut!" sentak
Mayang sambil mengarahkan senjatanya yang
berputar ke arah leher lelaki berambut keriting itu.
Wrrruukh...!
"Heh!?"
"Uts!"
Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Ang-
ker ini tak menyangka kalau gadis yang menjadi
lawan kakaknya kini meluruk dengan senjata ke
arahnya. Maka sebisanya dia membuang diri, sete-
lah lebih dulu memutar gadanya ke arah yang ber-
lawanan untuk melepaskan selendang yang mem-
belit senjatanya.
Balguli berhasil menyelamatkan kepalanya
dari incaran payung besi milik Mayang, setelah
bergulingan beberapa kali. Kini sosoknya yang
berperut buncit telah bangkit kembali, berjarak
kurang lebih dua setengah batang tombak dari ke-
kasih Raja Petir ini.
"Hm...," gumam Balguli sambil menatap ta-
jam wajah Dewi Payung Emas. "Hebat juga kepan-
daianmu!"
"Memang harus hebat untuk bisa menun-
dukkan badut jelek itu!" balas Mayang sambil me-
nunjuk tubuh Baligu yang masih terduduk di ta-
nah dengan tangan memegangi dadanya yang se-
perti melesak. Darah tampak merembes dari sela
bibir lelaki bermata sipit itu.
Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Ang-
ker ini mengikuti telunjuk Mayang yang menuding
tubuh Baligu. Sungguh tak disangka kalau kakak-
nya mampu ditaklukkan gadis cantik macam
Mayang.
"Hhh...!"
Balguli segera bergerak menghampiri lelaki
yang ditaklukkan Mayang.
"Kakang..., kau...," ucap lelaki berambut ke-
riting itu sambil memegang bahu kakaknya.
"Gadis itu hebat sekali," desis Baligu dengan
suara bergetar. "Sebaiknya kau bantu Kakang Ba-
liga menghadapi Raja Petir. Gunakan aji 'Racun
Pulau Angker'. Karena kalau Kakang Baliga sendiri
yang menggunakannya tak akan sempurna."
"Aku mengerti, Kakang," tukas Balguli.
"Akan kucoba membantu Kakang Baliga. Hops!"
"Aaa...!"
Baru saja orang termuda dari Tiga Badut
Pulau Angker itu meluruk ke arah pertarungan an-
tara Jaka dan Baliga, sebuah pekikan keras ter-
dengar mengiringi terpentalnya sesosok tubuh
yang terbalut pakaian warna-warni.
Tubuh Baliga yang merupakan orang tertua
dari Tiga Badut Pulau Angker tergempur mundur
empat langkah ke belakang, setelah perutnya ter-
hantam tendangan keras Raja Petir lewat jurus
'Petir Menyambar Elang'.
"Kakang.... Kau tidak apa-apa?" tanya Bal-
guli sambil memegangi tubuh Baliga yang ter-
huyung-huyung.
"Aku tidak apa-apa. Ayo, sama-sama kita
hadapi dia dengan aji 'Racun Pulau Angker'," ajak
Baliga kepada orang termuda dari Tiga Badut Pu-
lau Angker.
"Ayo, Kakang!" sambut Balguli.
Dua lelaki yang dandanannya mirip badut
itu kemudian sama-sama bersila. Kedua telapak
tangan masing-masing yang sudah mengepal dile-
takkan di atas paha yang sudah bersila. Kemudian
salah satu telapak tangan yang terkepal di atas
paha. Lalu kepalan itu dibawa ke depan dada, di-
iringi suara yang hampir mirip dengungan lebah.
"Ngngng...!"
"Ngngng...!" Suara mendengung yang keluar
dari mulut Baliga dan Balguli semakin jelas ter-
dengar. Dan begitu suara dengung itu lenyap tiba-
tiba, mata Baliga terbelalak. Sepasang mata itu be-
rubah menjadi kemerahan.
"Ilmu setan," rutuk Jaka dalam hati, meli-
hat lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan.
Namun pemuda berjuluk Raja Petir itu tak
bergeming dari tempatnya. Diperhatikannya terus
gerak-gerik lawannya yang tengah menyiapkan se-
buah ilmu kesaktian aneh.
"Ngngng...!"
"Ngngng...!"
"Hih!"
Tiba-tiba saja tangan dua orang dari Tiga
Badut Pulau Angker itu menghentak kuat. Dan da-
ri telapak tangan mereka mencelat seberkas sinar
berwarna kehijauan dengan kecepatan yang sangat
luar biasa.
Slats! Slats!
"Heh?!"
Raja Petir tentu saja tak sudi menjadi sasa-
ran ajian lawan. Maka kakinya segera dihentakkan
kuat-kuat. Setelah berputaran beberapa kali, dia
mendarat manis di tanah.
Jlegk!
Namun baru saja Jaka mendarat, kembali
dua sinar kehijauan meluruk ke arahnya.
Slats! Slats!
Tak ada pilihan lain bagi Raja Petir, selain
meladeni dengan pukulan jarak jauhnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak menggelegar. Raja Petir
menghentakkan kedua tangannya.
Wusss...!
Angin bergulung kontan keluar dari telapak
tangan Jaka yang menggelar ilmu pukulan jarak
jauh, yang bernama 'Pukulan Pengacau Arah'. Pu-
kulan yang layaknya pusaran angin itu meluruk
dengan deras, menyongsong ajian ‘Racun Pulau
Angker’ milik dua orang dari Tiga Badut Pulau
Angker. Maka ketika dua ilmu kesaktian itu saling
berpapasan di udara....
Glarrr...!
"Akh!"
"Aaa...!"
LIMA
Tubuh Baliga dan Balguli kontan terpental
ke belakang sejauh satu tombak, akibat benturan
keras dari dua ilmu kesaktian yang mengandalkan
kekuatan tenaga dalam itu. Namun berkat penga-
laman bertarung, mereka mampu mementahkan
daya dorong yang cukup kuat.
Dengan gerakan indah, dua dari Tiga Badut
Pulau Angker berputaran menggunakan telapak
tangan yang dijadikan tumpuan ke tanah. Kemu-
dian luncuran mereka berhenti dengan suatu len-
tingan indah. Sebentar saja, mereka telah menotok
kaki di tanah manis sekali.
"Kita coba sekali lagi ketangguhan anak
muda itu," ujar Baliga setelah mampu menguasai
kedudukannya. "Ilmu 'Selaksa Gada Memburu
Nyawa' belum kita gelar."
"Napasku sesak, Kakang," keluh Balguli.
"Aku tak tahu, bisa atau tidak memainkan Ilmu
'Selaksa Gada Memburu Nyawa'."
"Salurkan hawa murnimu. Baru setelah se-
sakmu hilang, mainkan ilmu andalan kita dengan
tingkat yang tinggi," perintah Baliga dengan kata-
kata tak terbantahkan.
"Baik, Kakang," sambut badut berambut ke-
riting itu dengan tarikan napas berat
Beberapa saat lamanya Balguli menyalur-
kan hawa murni untuk menghilangkan sesak na-
pasnya. Dan pada saat selanjutnya....
"Ayo, Kakang!" ajak Balguli tegas.
Baliga langsung mengangkat gada berduri
berwarna hitam miliknya, begitu mendengar perse-
tujuan adiknya. Begitu juga Balguli yang belum
sepenuhnya terbebas dari sesak napas akibat pu-
kulan jarak jauh Raja Petir yang terangkum dalam
jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Mereka kemudian
sama-sama mengayunkan gada berdurinya dengan
kecepatan luar biasa. Sehingga, wujud senjata itu
sendiri lenyap dari bentuk aslinya.
Bukan itu saja kehebatan ilmu 'Selaksa Ga-
da Memburu Nyawa'. Senjata warna hitam berduri
yang semula wujudnya tak nampak, kini terlihat
menjadi berlipat jumlahnya. Dan semuanya kini
meluruk ke arah Raja Petir.
"Hm...."
Jaka bergumam pelan menyaksikan ilmu
yang dipamerkan kedua lawannya. Sementara,
Mayang menyaksikan saja dari kejauhan dengan
sikap wajar. Sedangkan di pihak lain, Dewi Nalar
begitu mencemaskan keadaan Jaka yang belum
juga berbuat sesuatu untuk meladeni ilmu lawan-
lawannya. "Hrrrrgh...!"
Baliga dan Balguli sama-sama menggereng,
mengiringi serbuan ke arah Jaka yang sudah ber-
siap mengerahkan aji 'Bayang-Bayang'.
Wuuung! Wuuung...!
Tubuh Jaka berkelebatan cepat, setelah
jumlahnya menjadi lima kali lipat Aji 'Bayang-
Bayang' memang telah diciptakannya. Dan itu cu-
kup membuat kerepotan dua lawan. Tentu saja
mereka tidak dapat mengarahkan senjata yang
berjumlah berlipat-lipat pada sasarannya.
Wuk! Wuk..!
Berkali-kali Baliga dan Balguli memba-
batkan gada berduri ke arah yang mematikan pada
tubuh Jaka. Namun acap kali senjata yang diha-
rapkan menjumpai sasaran, selalu membuat ge-
ram Baliga. Sambaran gada berdurinya selalu me-
nemui wujud semu Raja Petir
"Hrrrg..! Keparat kau. Raja Petir!" maki Bali-
ga geram. "Hiyaaa...!"
Pekik kemarahan betul-betul sepenuhnya
keluar dari mulut Baliga. Tubuh badut yang ter-
bungkus pakaian warna-warni itu pun melesat,
untuk menyalurkan kemarahan tanpa mempedu-
likan Balguli. Dia tak sadar kalau hal yang demi-
kian ini sesungguhnya yang diinginkan Jaka. Den-
gan kemarahan meluap, maka Baliga tak lagi
mempedulikan pertahanannya.
Maka ketika sambaran gada berduri kemba-
li dielakkan Raja Petir, seketika itu juga Baliga me-
rasakan sesuatu yang sama sekali tak terduga.
Tubuh Baliga yang telah kehilangan ke-
seimbangan setelah mengayunkan gada berdu
rinya, menjadi sasaran empuk Raja Petir. Pemuda
ini cepat melepaskan tendangan memutar yang be-
risi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya,
sehingga....
Blakg!
"Hegkh!"
Tubuh Baliga kontan tersungkur, ketika
tendangan memutar Raja Petir cepat dan tepat
mengenai punggungnya.
Bruk!
Baru saja tubuh Baliga ambruk ke tanah,
tiba-tiba Balguli bergerak cepat ke arah Raja Petir
dengan menggunakan gadanya. "Mampus kau, Ra-
ja Petir!"
Wuuut!
Menangkap adanya desir angin serangan
dari belakang. Raja Petir segera melompat ke
samping sambil menggerakkan tangannya. Dan....
Tap!
Terheran-heran hati Balguli ketika bokon-
gan gada berdurinya berhasil ditangkap Raja Petir
tanpa harus terluka.
"Hhh...!"
Badut berambut keriting itu mencoba me-
narik pulang senjatanya yang dicekal kuat tangan
Jaka. Maka, tarik-menarik pun tak terelakkan lagi.
Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker itu
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimili-
kinya. Bahkan wajahnya kini berubah merah se-
perti kepiting rebus. Sementara urat-urat di perge-
langan tangan dan lehernya tampak bersembulan
keluar.
Keadaan yang dialami Balguli ini ternyata
tidak terjadi pada diri Raja Petir. Meski pemuda itu
juga mengerahkan tenaga dalamnya untuk mena-
han tarikan lawan, namun urat-urat kasar tak
nampak bersembulan dari dalam tubuhnya.
Pada saat tarik-menarik itu terjadi, tiba-tiba
Baligu yang sejak ditundukkan Mayang tak mam-
pu lagi melanjutkan pertarungan, melesat dari
arah belakang Raja Petir. Senjata gada berdurinya
nampak terayun-ayun mengarah ke bagian kepala
pemuda itu.
"Heaaat..!"
Terkejut juga hati Mayang dan Dewi Nalar
melihat serangan membokong yang tiba-tiba saja
dilakukan badut bermata sipit ini. Karuan saja,
Mayang dan Dewi Nalar sama-sama melompat ce-
pat, hendak memapak serangan membokong yang
ditujukan pada Jaka.
"Hiyaaa...!"
"Haaat..!"
Tubuh Mayang dan Dewi Nalar sama-sama
meluruk ke arah Baligu yang hendak mencelakai
Jaka. Namun karena ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Mayang lebih sempurna daripada
Dewi Nalar, maka wajar saja kalau kekasih Raja
Petir itu yang lebih dulu sampai untuk memapak
serangan Baligu dengan payung besinya.
Blangng...!
Bunyi benturan keras terdengar, manakala
payung Mayang berhasil memapak sambaran gada
Baligu.
Tubuh Mayang langsung tergempur mundur
dua langkah, begitu benturan keras disertai penge-
rahan tenaga dalam tinggi terjadi. Sementara per-
cikan bunga api tampak mengiringi terpentalnya
sosok tubuh badut kedua dari Tiga Badut Pulau
Angker sejauh dua langkah. Dan itu cukup mem-
berikan gambaran kalau penguasaan ilmu tenaga
dalamnya setara dengan kekasih Raja Petir.
Dengan tergempurnya Baligu, Dewi Nalar
yang tak sempat memapak serangan gelap itu se-
gera saja menghentakkan kakinya. Sebuah seran-
gan susulan kini dilakukan ke arah badut tanpa
alis yang tengah terhuyung itu.
"Haiiit..!"
Pekik kemarahan langsung mengiringi lesa-
tan tubuh putri almarhum Ki Sapartoga ini dengan
selendang merah yang sudah tergenggam di tan-
gan. Dan ketika selendang itu dihentakkan lewat
ilmu 'Selendang Merah', maka....
"Hih!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Baligu untuk
menghindar. Akibatnya....
Ctarrr!
"Akh!"
Tubuh Baligu kembali terpental, ketika
ujung selendang Dewi Nalar membentur keras ke-
palanya. Sambil terhuyung-huyung tangannya
langsung memegangi kepala yang terasa pecah.
Bruk!
"Ah!"
Ketika tubuh badut tanpa alis itu ambruk
ke tanah, darah baru terlihat merembes dari kepa-
lanya yang rengat tersambar selendang milik Dewi
Nalar yang menggunakan jurus 'Selendang Merah'.
Beberapa saat lamanya Baligu menggeliat
meregang nyawa. Dan pada saat selanjutnya, tu-
buhnya diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Sementara, Balguli yang sedang mengadu
kekuatan tenaga dalam melawan Raja Petir, tak bi-
sa memusatkan pikirannya ketika mendengar pe-
kik kematian saudaranya. Namun kelicikannya se-
gera bekerja cepat. Dia bermaksud melepaskan ce-
kalannya pada gagang gada berduri, dengan hara-
pan tubuh Jaka akan terdorong oleh tenaganya
sendiri.
"Hih!"
Siasat licik itu benar-benar dilaksanakan.
Seketika cekalannya pada senjata yang dipegang
dilepaskan. Namun, kiranya Jaka bukanlah orang
kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Dan dia
juga sering mempelajari sifat-sifat manusia selicik
Balguli.
Sesungguhnya, pada saat tarik-menarik
mempertahankan senjata milik lawan, Jaka hanya
memusatkan tenaga dalam pada tangan saja. Jadi
seluruh kekuatannya tertumpah di situ. Dan keti-
ka Balguli melancarkan siasat liciknya, maka tu-
buh Jaka tidak termakan tenaganya sendiri. Na-
mun karena Jaka ingin melihat kelanjutan dari
siasat licik lawannya, sengaja tubuhnya dipental-
kan ke belakang seolah termakan tenaganya sendi-
ri.
"Hiyaaa...!"
Dalam keadaan Jaka yang berpura-pura se-
perti itu, Balguli melesat cepat. Kaki kanannya
nampak terayun lurus ke arah kepala Jaka.
"Mampus kau. Raja Petir!"
Dalam keadaan terjajar. Raja Petir cepat
mengayunkan gada berduri yang telah direbut ke
arah kaki Balguli. Tak ada kesempatan bagi orang
ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker itu untuk
mengelak. Maka....
Wuuut!"
Pletak!
"Aaa...!"
Lengking kesakitan yang maha dahsyat ter-
dengar ketika gada berduri yang berada pada
genggaman tangan Jaka membentur keras tulang
kering kaki kanan Balguli. Dan laki-laki berambut
keriting itu terus mengerang-erang bagai orang ke-
surupan. Kakinya yang menjejak sebelah, terlihat
berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan
diberi mainan. Lalu....
Bruk!
Karena tak kuasa menahan sakit yang te-
ramat sangat, tubuh Balguli ambruk ke tanah. Da-
rah nampak bercucuran dari kaki yang terhantam
senjata miliknya sendiri.
Sementara Baliga yang juga mengalami luka
dalam dan luka pada wajahnya saat terhantam
tendangan Jaka, tak lagi mampu berbuat apa-apa.
Keberaniannya untuk meneruskan pertarungan,
sedikit demi sedikit mulai luntur.
"Kisanak masih tetap ingin merebut Arca
Singa Emas yang bukan milikmu?" tanya Jaka ke-
tika tak lagi didapati serangan dari lawan-
lawannya yang sudah terkulai di tanah.
"Tentu saja!" sambut Baliga keras. "Bahkan
bukan saja Arca Singa Emas itu yang harus kure-
but. Tapi, juga nyawa kalian yang telah merenggut
nyawa adikku!"
"Sekarang?" tantang Jaka.
"Hhh...!"
Hanya tarikan napas kesal yang dilakukan
Baliga dalam menanggapi pertanyaan Jaka.
"Sebaiknya, kalian enyah dari hadapan ka-
mi sebelum kawanku kehilangan kesabaran!" ger-
tak Mayang ingin tahu sisa keberanian Tiga Badut
Pulau Angker yang kini tinggal dua orang.
"Aku memang akan pergi dari sini! Tapi, in-
gat! Aku belum kalah! Dua dari Tiga Badut Pulau
Angker yang masih hidup, akan terus mencari ka-
lian untuk menuntut balas," tegas Baliga lagi.
"Silakan mengumbar mulutmu yang bau
itu, Badut Tak Tahu Diri!" ledek Dewi Nalar sambil
mengeluarkan Arca Singa Emas yang bersinar-
sinar.
Melihat Arca Singa Emas, mata Baliga kon-
tan terbelalak. Keinginan hatinya memang amat
kuat untuk mendapatkan benda yang menjadi in-
carannya. Namun ketika tatapan matanya mem-
bentur sosok Raja Petir, Baliga terpaksa untuk
sementara mengubur keinginannya.
"Sekarang aku memang gagal mendapatkan
Arca Singa Emas itu, Gadis Liar! Tapi, tidak untuk
lain kali," kilah Baliga dengan kemarahan yang tak
terkendali.
"Sampai kapan pun, kau akan tetap men-
dapatkan kegagalan, Badut Jelek!" balas Dewi Na
lar sambil menimang-nimang Arca Singa Emas
yang berada dalam genggamannya. "Kau tahu, se-
karang juga Arca Singa Emas ini akan kuserahkan
pada Raja Petir. Dan aku tahu, sampai kapan pun
kau tak akan berhasil menundukkan Raja Petir."
Baliga semakin geram mendengar ucapan
Dewi Nalar. Matanya nampak membelalak lebar.
"Terimalah Arca Singa Emas ini, Kakang
Jaka," ujar Dewi Nalar.
Lalu, Arca Singa Emas itu segera disodor-
kan ke tangan Jaka. Dan Raja Petir sendiri me-
nanggapi pemberian itu dengan seulas senyum un-
tuk Baliga.
"Keparat!" maki Baliga geram. "Ayo, Balguli.
Kita tinggalkan tempat ini! Hop!"
Baliga langsung melesat, setelah lebih dulu
membopong mayat Baligu yang tewas di tangan
Dewi Nalar. Sedangkan Balguli pun segera melesat
dengan terpincang-pincang menyusul kakaknya
yang telah melesat terlebih dahulu.
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya mena-
tapi kepergian mereka dengan senyum terkem-
bang.
"Kau harus menceritakan teka-teki Arca
Singa Emas ini, Dewi. Biar aku tahu kenapa mere-
ka susah payah merebut benda ini," ujar Jaka ke-
mudian.
"Tentu saja, Kakang Jaka," timpal Dewi Na-
lar mantap.
***
ENAM
Sore berjalan begitu lambat. Angin yang
berhembus semilir membelai-belai anak rambut
Dewi Nalar dan Mayang Sutera. Sementara Jaka
yang mengambil tempat duduk di sisi kekasihnya,
nampak sudah bersiap-siap mendengarkan cerita
tentang teka-teki di balik Arca Singa Emas.
"Kau harus memulainya sekarang, Dewi,"
ujar Mayang dengan telapak tangan memegang
bahu Dewi Nalar.
"Sebenarnya Arca Singa Emas ini jatuh pa-
da ayahku sebagai keturunan yang ketiga. Berarti
jauh di atas ayahku, benda ini pernah dikuasai
kakekku dan buyutku. Konon menurut cerita,
benda ini didapatkan dari seorang pertapa sakti
yang bermukim di Goa Singa. Setelah Arca Singa
Emas diberikan pada buyutku, pertapa sakti itu
lenyap bersama-sama Goa Singa yang menjadi
tempat tinggalnya," tutur Dewi Nalar, memulai ce-
ritanya.
Sebentar Dewi Nalar menghentikan ceri-
tanya, untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat.
Matanya menerawang jauh, mencoba menembus
ingatannya.
"Konon goa itu banyak menyimpan benda
pusaka bertuah dan kitab ilmu silat tingkat tinggi.
Di samping, tentunya harta karun yang berupa
permata dan benda bernilai tinggi lainnya," jelas
Dewi Nalar, mengutip apa yang pernah diceritakan
oleh Ki Sapartoga, ayahnya.
"Kalau boleh kusimpulkan. Arca Singa
Emas itu sebagai kunci petunjuk untuk menda-
patkan keberadaan Goa Singa yang lenyap, sekali-
gus sebagai kunci pembuka pintu rahasia Goa
Singa itu?" tanya Mayang, memberi dugaan akan
kelanjutan cerita Dewi Nalar.
"Sok tahu kau, Mayang," selak Jaka me-
nanggapi kesimpulan kekasihnya.
Mayang melemparkan wajahnya yang cem-
berut ke arah Jaka. Kemudian dengan keman-
jaannya, diserbunya tangan Jaka dengan cubitan
bertubi-tubi.
"Sejak kapan Kakang menjadi orang usil?"
rungut Mayang cemberut.
"Sejak kau menjadi gadis sok tahu," ledek
Jaka.
"Ih, Kakang!"
Mayang kembali mencubit tangan Jaka.
Sementara, Dewi Nalar merasa risih juga
menyaksikan kemesraan dua tokoh muda yang
memiliki kesaktian tinggi itu. Andai dirinya yang
merasakan kemesraan seperti itu....
"Betulkah kesimpulan yang diberikan
Mayang, Dewi?" tanya Jaka, mencairkan kerisihan
Dewi Nalar.
"Betul sekali, Kakang," jawab Dewi Nalar
membenarkan kesimpulan Mayang.
"Nah! Betul kan, kesimpulanku?" kata
Mayang berseri-seri.
"Ya, ya. Kau memang berbakat menjadi seo-
rang peramal," ledek Jaka lagi.
"Ih!" kembali cubitan dilancarkan Mayang.
"Memangnya kau bersedia mempunyai istri pera-
mal?"
"Apa salahnya? Apalagi, gadis peramal itu
cantik," jawab Jaka seenaknya.
"Sudahlah! Lebih baik kita dengarkan lagi
kelanjutan cerita Dewi," tukas Mayang, akhirnya
mengalah.
"Apa lagi yang harus kuceritakan?" tanya
Dewi Nalar.
"Apa, Kakang?" tanya Mayang pada Jaka.
"Kau kan peramal. Kenapa mesti tanya?" le-
dek Jaka lagi.
"Ih!" Mayang mendengus.
"Orangtua ku, kakekku, dan buyutku per-
nah berpesan agar Arca Singa Emas ini jangan
sampai jatuh ke tangan tokoh sesat yang biasanya
mengacaukan ketenteraman hidup manusia. Khu-
susnya, ketenteraman hidup orang-orang yang
menggeluti dunia persilatan. Kami semuanya su-
dah mengusahakan pesan itu sebisanya, meski
harus kehilangan orang-orang tercinta. Termasuk,
aku harus rela kehilangan ibu yang tewas di tan-
gan Lima Jin Gunung Sampa, yang juga menghan-
curkan Perguruan Singa Emas yang dipimpin
ayahku," papar Dewi Nalar dengan wajah berubah
keruh.
Suasana jadi sepi sesaat setelah Dewi Nalar
menghentikan ceritanya. Tak ada lagi canda yang
dilakukan Jaka untuk menggoda kekasihnya.
"Dan terakhir, ayahkulah yang jadi korban
demi Arca Singa Emas ini," lanjut Dewi Nalar. Kali
ini kata-katanya diiringi isak tangisnya.
"Sudahlah, Dewi," tukas Mayang mencoba
menghibur. "Pengorbanan orang-orang yang kau
cintai tidaklah sia-sia. Mereka bukan saja telah
mempertahankan Arca Singa Emas ini, tetapi juga
ketenteraman hidup masyarakat banyak dan kete-
nangan dunia persilatan. Kau harus bangga meli-
hat pengorbanan mereka."
Isak tangis Dewi Nalar terhenti sejenak
mendengar kebenaran ucapan Mayang.
"Aku kini tak punya siapa-siapa lagi, Kakak
Mayang. Aku sebatang kara," keluh Dewi Nalar
"Saatnya nanti, kau pasti tak seorang diri,
Dewi. Percayalah," timpal Jaka.
"Betul, Dewi," tambah Mayang. "Tiba saat-
nya nanti, kau pasti akan mendapatkan seseorang
yang setia menemani hari-harimu."
"Tapi tidak untuk sekarang ini," kilah Dewi
Nalar.
"Sekarang ini kan ada kami," bantah Jaka.
Dewi Nalar terdiam. Tak ada lagi kata yang
diucapkannya untuk melukiskan kepedihan hati.
Keadaan seperti itu berlanjut terus, sampai malam
menjelang. Sementara suara binatang-binatang
malam saling bersahut-sahutan menyambut sinar
rembulan yang sedikit demi sedikit muncul, mene-
rangi persada. Dan malam pun bergerak semakin
jauh.
***
Bulan bersinar penuh menerangi Desa
Granggas. Bayang-bayang pohon yang tertimpa si
nar bulan, sesekali ikut bergoyang terkena hembu-
san angin. Dan goyangan bayang-bayang pohon
itu semakin kentara, ketika tiba-tiba saja sesosok
tubuh melompat dari balik kerimbunannya.
Lompatan sosok tubuh tinggi besar itu ter-
nyata diikuti pula deh sosok-sosok yang lain. Dan
kini, jumlah mereka menjadi lima.
Sosok lelaki yang pertama kali muncul tiba-
tiba memberi aba-aba kepada rekan-rekannya un-
tuk berkumpul ke arahnya.
"Nyalakan obor-obor kalian dan lemparkan
ke atas atap itu," perintah laki-laki tinggi besar ini.
Lima sosok yang tak lain Lima Jin Gunung
Sampa seketika menyalakan obor di tangan mas-
ing-masing.
Maka malam di Desa Granggas yang sudah
terang oleh sinar bulan, nampak semakin terang
deh lima obor yang telah menyala. Terlebih, ketika
Lima Jin Gunung Sampa melemparkan obor-obor
itu ke atap sebuah rumah. Padahal di dalamnya
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar tengah terlelap.
Maka suasana seketika semakin terang benderang,
manakala api dari obor yang dilempar Lima Jin
Gunung Sampa membakar bangunan rumah milik
almarhum Ki Sapartoga.
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar yang menya-
dari kebakaran pada rumah ini, segera saja bang-
kit dan bersiaga. Mereka sadar, kebakaran yang
begitu tiba-tiba ini terasa kurang wajar.
Raja Petir segera beringsut dan bangkit. Dia
lalu menuju Dewi Nalar tidur. Dan kedua gadis itu
juga telah bangkit, seperti menunggu aba-aba dari
Raja Petir.
"Pasti ada seseorang yang sengaja memba-
kar rumah ini, Kakang," simpul Mayang.
"Benar, Kakang Jaka," sambut Dewi Nalar.
"Ya, ya. Aku juga menduga begitu," timpal
Jaka. "Hati-hatilah kalian."
"Kita keluar sekarang, Kakang?" tanya
Mayang.
Jaka mengangguk. Kemudian....
"Hops!"
Jaka melesat lebih dulu untuk membaca se-
rangan gelap yang mungkin dilancarkan orang-
orang yang membakar kediaman almarhum Ki Sa-
partoga ini.
"Hiyaaa...!"
Wuuusss...!
Pratts! Pratts!
Dugaan Jaka ternyata tak meleset. Terbukti
baru saja tubuhnya mencelat melewati pintu ru-
mah, dua senjata berbentuk lempengan logam te-
lah menyerbu. Untungnya Raja Petir sudah siap
sejak tadi. Sehingga serangan gelap itu dapat di-
mentahkan dengan pengerahan ilmu 'Pukulan
Pengacau Arah'.
Sementara Raja Petir berputaran di udara,
lalu manis sekali mendarat di tanah.
Jligkh!
Tepat ketika Jaka mendarat di tanah, dua
bayangan berkelebat dan mendarat di sisinya.
Jligkh!
Jligkh!
Rupanya, Mayang dan Dewi Nalar telah
berdiri di samping Jaka di luar rumah yang kini
terbakar. Mereka kini sama-sama berdiri berhada-
pan dengan lima lelaki yang berjuluk Lima Jin
Gunung Sampa.
Dan Dewi Nalar seketika terkejut menyaksi-
kan keberadaan lima lelaki yang dikenalinya seba-
gai orang-orang yang menghancurkan Perguruan
Singa Emas milik ayahnya, sekaligus membunuh
ibunya. Dan gadis itu tak akan lupa dengan keja-
dian sembilan tahun yang lalu. Kejadian yang
membuatnya terpaksa harus berpisah dengan
ibunya.
"Kalian..!" suara Dewi Nalar tercekat karena
kemarahannya yang meluap.
Keterkejutan Dewi Nalar ternyata juga di-
ikuti Lima Jin Gunung Sampa yang berseragam
serba biru. Sungguh tak dikira kalau malam ini
harus berhadapan dengan sosok pemuda yang be-
lakangan ini namanya sering disebut-sebut oleh
kalangan rimba persilatan.
"Raja Petir! Ternyata kau menginginkan ju-
ga benda pusaka itu!" kata lelaki tinggi besar yang
berwajah bopeng. Dialah orang tertua dari Lima
Jin Gunung Sampa yang bernama Jaraga. "Orang
setampan dan sejantanmu memang lebih gampang
merayu gadis putri Ki Sapartoga itu!"
"Tutup bacot busukmu, Tua Bangka Bopen-
gan!" hardik Mayang. Telunjuknya langsung me-
nuding wajah Jaraga.
"Rasanya memang begitu, Nisanak. Setelah
diberi kepuasan, maka putri Ki Sapartoga itu akan
memberi Arca Singa Emas pada Raja Petir!" lanjut
lelaki bopeng itu tak mempedulikan hardikan
Mayang.
"Keparat! Kuhancurkan bacot busukmu!"
bentak Mayang.
Kemarahan gadis itu memang sudah tak
terkendali. Kakinya sudah bergerak, hendak me-
nyerang Jaraga.
"Tahan, Mayang," cegah Jaka, melihat tin-
dakan kekasihnya. "Biarkan saja dia berbicara se-
perti itu. Toh, aku tak seburuk apa yang dikata-
kannya."
Kemudian tatapan Jaka terarah pada lelaki
berwajah bopeng itu. Dan tatapan tajam itu mem-
buat Jaraga merasakan kekuatan aneh yang tiba-
tiba menyelusup ke dalam hatinya.
"Apa kau mampu mempertahankan Arca
Singa Emas itu. Raja Petir? Lima Jin Gunung
Sampa bukan tokoh kemarin sore!" tandas Jaraga.
Sesungguhnya ucapan Jaraga hanya seka-
dar untuk menutupi perasaan aneh, ketika beradu
pandang dengan Jaka.
"Kalau kalian mendapatkannya dengan ja-
lan baik-baik, dan gadis pewaris Arca Singa Emas
itu rela memberikannya, maka aku rela dan tak
akan bisa mempertahankannya. Namun jika gadis
itu tak rela, dan kalian juga ingin memaksa, maka
Raja Petir tak akan tinggal diam!" panjang lebar
jawaban Jaka.
Suasana malam sesaat menjadi hening.
Nyala api yang terus berkobar menjilati rumah al-
marhum Ki Sapartoga, memperdengarkan gemeru-
tuk percik api yang membakar tiang-tiang rumah
yang mulai roboh.
"Bagaimana, Dewi. Apakah kau rela membe-
rikan Arca Singa Emas milikmu itu pada Lima Jin
Gunung Sampa?" tanya Jaka kemudian.
"Aku tak akan pernah membiarkan benda
yang sudah turun-temurun terpelihara ini jatuh ke
tangan lima lelaki sesat seperti mereka, Kakang.
Dan kalau mereka tetap mengingini, maka harus
lebih dulu melangkahi mayatku," tegas Dewi Nalar.
Tatapan mata Jaka kembali menoleh ke wa-
jah Jaraga.
"Kalian dengar itu?!" tanya Jaka, pada Lima
Jin Gunung Sampa.
"Sudahlah, Kakang Jaraga. Jangan dengar
ocehan mereka. Kita langsung bantai saja. Arca itu
harus segera didapat sebelum orang lain menda-
hului," ujar lelaki bertubuh bulat yang mata ka-
nannya picak.
"Kau benar, Malaba," sambut Jaraga atas
usul orang yang bernama Malaba.
"Ayo!" sambut lelaki yang bertubuh kurus
kering. Dia memegang senjata berupa pecut, dan
bernama Ganggada.
'Tahan dulu!" cegah Jaka keras menyaksi-
kan orang ketiga yang bernama Ganggada itu su-
dah hendak membuka serangan.
"Hm.... Apa maumu, Raja Petir. Apa kau ta-
kut menghadapi kami?" ujar Ganggada, sinis.
"Bagaimana kalau kita atur pertarungan
ini," usul Jaka.
"Maksudmu?" tanya Jaraga, tak mengerti
maksud Raja Petir
"Bagaimana kalau pertarungan hanya ber-
langsung antara aku dan kalian berlima," saran
Jaka.
"Kakang...?" Mayang terkejut mendengar
ucapan Jaka.
"Tenanglah, Mayang. Aku tak ingin kau ter-
lampau lelah menghadapi lelaki-lelaki yang tak ta-
hu malu ini. Jadilah kau penonton yang baik ber-
sama Dewi Nalar," tukas Jaka.
"Keparat kau. Raja Petir! Kau telah mere-
mehkan Lima Jin Gunung Sampa! Kau tahu, taru-
hannya adalah nyawamu!" hardik orang keempat
dari Lima Jin Gunung Sampa. Laki-laki yang ber-
nama asli Guriwang itu menatap Jaka dengan bola
mata hampir keluar.
"Ayo, Kakang Jaraga! Kita habisi saja mere-
ka dengan segera," ajak lelaki bertubuh gembur
yang merupakan orang termuda dari Lima Jin Gu-
nung Sampa. Namanya, Sitinja.
"Sabar, Sitinja. Aku ingin tahu dulu, apa
maksud kelanjutan ucapan Jaka. Barangkali saja
bisa menguntungkan kita," cegah Jaraga penasa-
ran.
"Raja Petir, terangkan dengan jelas maksud
perkataanmu dengan mengatur pertarungan itu,"
pinta Malaba.
"Tidak sulit," jawab Jaka. "Jika aku dapat
dikalahkan, maka benda itu akan dapat kalian ku-
asai. Bahkan kami bersedia menjadi abdi kalian.
Namun jika kalian yang kutundukkan, maka dosa-
dosa kalian kuampuni. Tapi, Arca Singa Emas itu
harus dilupakan," jelas Jaka.
"Keparat kau, Raja Petir!" maki Malaba se-
wot
Jaka tak terpengaruh makian orang kedua
dari Lima Jin Gunung Sampa itu. Tatapan ma-
tanya kini tertuju ke wajah Jaraga.
"Bagaimana, Jaraga?" tanya Jaka tenang.
"Aku setuju!" jawab Jaraga tegas.
TUJUH
Malam yang masih tetap diterangi cahaya
sepotong bulan, menampakkan sosok enam lelaki
gagah yang tengah bersitegang di atas bumi Desa
Granggas. Sementara dua gadis cantik tengah me-
nyaksikan pertarungan yang bakal digelar dengan
hati tercekat kecemasan.
"Ayo kita mulai!" kata Jaraga, memberi aba-
aba pada empat lelaki rekannya.
"Haaat...! Hiyaaa...!"
"Haiiit..!"
"Hops!"
Lima lelaki berpakaian biru pekat seketika
berlompatan mengurung sosok lelaki muda yang
berjuluk Raja Petir. Senjata-senjata mereka yang
berupa pecut sudah setengah terangkat di atas
pinggang.
Sementara, Raja Petir pun sudah siap men-
geluarkan jurus-jurus andalannya untuk memen-
tahkan keroyokan lima lawannya.
"Haaat..!"
"Hiyaaa...!"
Malaba dan Guriwang yang berangasan
langsung meluruk ke arah Jaka. Rupa-rupanya
dua orang itu ingin lebih dulu menjajal kemam-
puan tokoh muda yang namanya selalu disebut-
sebut dalam rimba persilatan. Malah, mereka tak
menggunakan senjata untuk menyerang Jaka. Se-
rangan keduanya terangkum dalam jurus 'Badai
Gunung Sampa'. Nampak Malaba dengan tangan
terkepal meluruk cepat mengarahkan pukulan ke
bagian kepala Raja Petir. Sementara, Guriwang
menyerang dengan tendangan lurus kaki kanan,
mencecar bagian ulu hati.
Bet! Bet!
"Hips!"
Jaka yang mampu membaca serangan ke-
dua lawannya, segera saja mengelak menggunakan
jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Gerakannya yang ringan
dan cepat bagai kilat, membuat serangan Malaba
dan Guriwang mentah.
"Hm...."
Malaba bergumam pelan, menyaksikan ke-
cepatan gerak lawan dalam menghindari seran-
gannya. Dan seketika itu juga siasat serangannya
dirubah.
"Haiiit..!"
Wut! Wut!
Malaba segera saja memutar-mutar pecut-
nya. Dan sambil melompat, dia berteriak keras
memainkan jurus 'Pecut Sakti Para Dewa'.
"Mampus kau. Raja Petir!"
Jaka tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya
cepat melenting ke atas.
"Ops!"
Ctar!
Kembali serangan pecut Malaba hanya me-
nemui tempat kosong. Dan ini membuat Malaba
semakin murka. Maka senjatanya kembali diguna-
kan untuk memberi serangan susulan ke dada Ra-
ja Petir yang baru saja mendarat di tanah.
"Hiyaaa..:!"
Tubuh Malaba kembali mencelat dengan
pecut terangkat tinggi-tinggi. Sementara, Guriwang
pun bertindak sama.
Serangan dari dua arah kini mengancam
kedudukan Raja Petir. Namun pemuda tampan
berpakaian kuning keemasan itu sedikit pun tak
merasa kewalahan. Dan dengan ketenangannya,
dinantinya serangan yang lebih dulu datang. Maka
ketika pecut Malaba yang tiba lebih dulu menga-
rah ke batang lehernya, kekuatan tenaga dalam-
nya dialirkan pada telapak tangan kanan. Lalu, se-
gera saja disambutnya laju pecut Malaba itu.
"Hup!"
Trap!
"Heh?!"
Terkejut bukan main Malaba menyadari
senjatanya dapat ditangkap Raja Petir dengan tan-
gan telanjang. Seketika senjatanya berusaha dibe-
tot. Namun....
"Heh?!"
Kembali Malaba tersentak kaget ketika tiba-
tiba saja tangan Jaka ikut membetot ke arah kiri.
Dan pada saat itulah pecut Guriwang melesat ke
arah dada Jaka.
Karuan saja Malaba kelabakan. Karena tu-
buhnya yang terbetot kekuatan Jaka, maka bukan
mustahil pecut milik Guriwang akan membabat
habis tubuhnya.
Dan keterkejutan yang sama juga dialami
Guriwang. Orang keempat dari Lima Jin Gunung
Sampa ini menyadari kalau tak mungkin lagi me-
narik pulang serangannya. Mau tak mau, senja-
tanya memang harus membentur tubuh kakak se-
perguruannya.
"Uts!"
Di luar dugaan, Malaba melenting setelah
lebih dulu melepaskan cekalannya pada pegangan
senjatanya.
"Hup!"
"Hop!"
Di luar dugaan pula, Jaka mengikuti lentin-
gan tubuh Malaba. Dan dengan menggunakan pe-
cut milik lawannya yang berada di tangan, membe-
ri serangan balasan.
Ctar! Ctar!
Pecut milik Malaba yang berada di tangan
Jaka meledak-ledak mencari sasaran. Sedangkan
pemiliknya sendiri bersusah-payah menghindari
lidah pecut yang mengincar bagian-bagian peka di
tubuhnya.
"Ops! Hups...!"
Berkali-kali Malaba melenting ke udara, un-
tuk menghindari senjatanya sendiri yang dimain-
kan Jaka.
Melihat kenyataan itu, Jaraga, Ganggada,
dan Sitinja sama-sama meluruk cepat, menyong
song tubuh Raja Petir yang tengah mencecar Ma-
laba dengan pecut di tangan.
"Hiyaaa...!"
Teriakan bergema dilakukan tiga dari Lima
Jin Gunung Sampa secara berbarengan. Senjata
mereka pun sama-sama terangkat terarah ke ba-
gian tubuh Jaka.
"Hm...."
Jaka bergumam menyaksikan kedatangan
serangan lawan-lawannya. Maka segera dis-
iapkannya jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk
menyongsong serangan lawan.
Seketika itu juga Raja Petir memasang ku-
da-kuda kokoh. Lalu tangannya segera ditarik ke
samping pinggang. Kemudian....
"Hih!"
Wrrr...!
Serangkum angin bergulung seperti pusa-
ran angin meluruk dari telapak tangan Jaka yang
menghentak kuat. Angin berhawa panas itu terus
meluruk deras menyongsong tubuh Jaraga, Gang-
gada, dan Sitinja yang tengah berada di udara.
Tiga lelaki dari Lima Jin Gunung Sampa itu
tentu saja terkejut mendapatkan serangan dahsyat
ini. Maka seketika itu juga mereka sama-sama
membuang tubuh ke arah yang berbeda, untuk
menyelamatkan diri masing-masing.
"Keparat!"
"Mampus kau!"
"Hiyaaa...!"
Malaba yang sudah terbebas dari incaran
senjatanya yang direbut Raja Petir, kini kembali
melesat memberi serangan tangan kosong. Dan
dari arah kanan pun, Guriwang bergerak dengan
pecut yang terangkat dalam jurus 'Pecut Sakti Para
Dewa'.
"Hiyaaa...!"
Slrrrt..!
Di luar dugaan. Raja Petir melempar pecut
miliki Malaba ke arah Guriwang. Lemparan yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu senga-
ja ditujukan ke arah perut Guriwang yang tengah
terayun ke atas.
Brrrrt..!
"Heh?!"
Bukan main terkejutnya Guriwang menda-
patkan pecutnya terbelit pecut milik Malaba yang
dilempar Raja Petir. Akibatnya, tubuhnya yang
tengah meluncur mendapat dorongan kuat
"Hop!"
Untuk mementahkan daya dorong, Guri-
wang cepat melenting indah dan mendarat lunak
di tanah.
Jligk!
Sementara itu, Raja Petir sendiri baru saja
menghindari tinju Malaba yang terarah ke dada.
Dia melompat ke belakang sejauh dua langkah,
kemudian melancarkan serangan balasan yang ce-
pat dan tiba-tiba.
"Jaga seranganku!" teriak Jaka ketika
menggelar jurus 'Petir Menyambar Elang'.
Tubuh pemuda berpakaian kuning keema-
san itu bergerak cepat dengan tangan terarah ke
bagian dada Malaba.
"Hih!"
Begkh!
"Hegkh!"
Tak mampu Malaba melihat kecepatan ge-
rak Raja Petir. Karena tahu-tahu saja, telapak tan-
gan pemuda itu sudah berada di depan dada. Dan
Malaba tak kuasa mengelak atau menangkis. Aki-
batnya, dadanya telak terhajar telapak tangan Raja
Petir. Dan tubuhnya langsung tergempur mundur
dua langkah ke belakang.
Jaraga yang baru terbebas dari segulungan
angin akibat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau
Arah' dari Raja Petir, geram bukan kepalang me-
nyaksikan nasib Malaba.
"Ganggada, Sitinja! Cepat kerahkan aji
'Kawah Beracun'! Aku akan melakukannya bersa-
ma Guriwang," perintah Jaraga.
Memang salah satu keanehan ilmu aji
'Kawan Beracun' harus dilakukan secara berpa-
sangan ilmu itu tak bermanfaat jika hanya dilaku-
kan seorang diri. Terkecuali, bagi orang yang su-
dah memiliki tenaga dalam tinggi dan mencapai ta-
raf kesempurnaan.
Ganggada dan Sitinja yang mendapatkan
perintah segera saja bergabung. Kedua telapak
tangan mereka segera ditempelkan satu sama lain.
Sementara, Jaraga dan Guriwang juga ber-
tindak sama. Beberapa saat lamanya empat lelaki
itu mulai menggelar jurus-jurus awal dari ajian
'Kawah Beracun'.
Kini, uap kehijauan tiba-tiba saja mengepul
dari telapak tangan Jaraga dan Guriwang yang
menyatu. Begitu juga kenyataannya pada telapak
tangan Ganggada dan Sitinja. Uap kehijauan itu
terus mengepul semakin banyak.
Sementara, Jaka yang tak melakukan apa-
apa atas lawan-lawannya hanya memandangi saja.
Dan malam pun sudah merangkak semakin jauh.
Kokok ayam hutan pun mulai terdengar.
Bersamaan dengan kokok ayam hutan itu-
lah, Jaraga dan kawan-kawannya serentak berte-
riak keras dengan tangan menghentak keras ke
arah Raja Petir.
"Haaa...!"
Wrusss...!
Uap kehijauan yang mengepul di tangan
empat dari Lima Jin Gunung Sampa meluruk de-
ras ke arah Raja Petir. Dan sebenarnya, pemuda
itu memang sudah berencana meladeni ilmu la-
wan, dengan mengerahkan aji 'Kukuh Karang'.
Dan ketika kekuatan tenaga dalamnya disalurkan
ke seluruh tubuh, maka yang terjadi pun....
Presss! Presss!
Uap kehijauan milik empat dari Lima Jin
Gunung Sampa tak kuasa membungkus tubuh
Jaka yang sudah terlindungi sinar kuning keema-
san. Bahkan uap kehijauan itu tiba-tiba lenyap
begitu saja, tanpa menimbulkan akibat yang berar-
ti bagi keselamatan Raja Petir.
"Heh?!"
Jaraga tentu saja heran bukan main. Begitu
juga kawan-kawannya. Dan di tengah keheranan
mereka, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
DELAPAN
Semua orang langsung mengarahkan pan-
dangan pada sumber suara tawa tadi. Rupanya,
yang datang adalah dua sosok lelaki berpakaian
bergambar kerangka manusia seukuran tubuh
mereka sendiri. Kedua lelaki berusia di atas lima
puluh tahun itu terlihat begitu kurus. Tulang-
tulang rahangnya bersembulan keluar, sedangkan
bola matanya menjorok ke dalam.
Dua lelaki yang di kalangan dunia persila-
tan dikenal sebagai Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat kini berdiri pongah di hadapan Raja Petir
dan Lima Jin Gunung Sampa. Sementara, Mayang
dan Dewi Nalar yang juga menyaksikan hanya di-
am saja. Dalam hati, Mayang bertanya-tanya.
Bahkan berkesimpulan kalau dua lelaki itu ingin
pula merebut Arca Singa Emas milik Dewi Nalar.
"Ha ha ha.... Lima Jin Gunung Sampa! Se-
harusnya kalian malu tak dapat menundukkan
bocah ingusan macam dia," kata salah seorang da-
ri Sepasang Tengkorak Cadas Keramat diiringi ta-
wa menyakitkan.
"Betul, Kakang Punggi. Seharusnya mereka
malu dengan julukan yang hebat itu," timpal lelaki
lain yang juga mengenakan pakaian sama.
"Kau juga betul, Adi Sanggi. Lima Jin Gu-
nung Sampa sangat memerlukan bantuan kita,"
sahut lelaki bernama Punggi, dengan tatapan jatuh tepat pada wajah Jaraga.
Jaraga sebagai lelaki tertua dari Lima Jin
Gunung Sampa murka bukan kepalang menden-
gar ucapan Punggi. Memang diakuinya, dua lelaki
yang berwajah mirip tengkorak itu bukanlah tokoh
sembarangan. Kesaktian mereka sudah diakui du-
nia persilatan. Namun untuk Lima Jin Gunung
Sampa yang mendapatkan penghinaan, itu sama
saja sebuah tantangan yang tak patut ditolak.
"Tengkorak Cadas Keramat! Seharusnya ka-
lian bisa jaga mulut, kalau masih ingin melihat
matahari!" hardik Jaraga.
"Ha ha ha...!"
Kemarahan Jaraga ditimpali Punggi dengan
tawa meremehkan.
"Kurasa kata-kata kami tak ada yang salah,
Jin Gunung Samja," balas Punggi.
"Betul," timpal Sanggi. "Bukankah kalian ti-
dak mampu menundukkan bocah ingusan itu?
Dan, salahkah kami jika ingin membantu me-
nyingkirkan bocah usilan itu?"
Mata Jaraga kontan terbelalak mendengar
kata-kata orang kedua dari Sepasang Tengkorak
Cadas Keramat. Sementara, Raja Petir hanya diam
saja menyaksikan perselisihan dua belah pihak
yang diyakininya akan menjadi lawan-lawannya.
"Jin Gunung Sampa! Bagaimana kalau se-
karang ini kita bekerja sama untuk melenyapkan
Raja Petir yang kudengar selalu mau turut campur
urusan orang lain. Terutama, urusan tokoh-tokoh
golongan hitam. Setelah itu, baru kita tentukan,
siapa yang pantas mendapatkan Arca Singa Emas
itu," ujar Punggi jelas.
Jaraga tak segera menjawab usulan itu.
Namun hatinya membenarkan keinginan Punggi.
Untuk menjatuhkan Raja Petir, memang bukan
persoalan mudah. Dan memang tidak ada salah-
nya bila harus bergabung.
"Kalian setuju, Lima Jin Gunung Sampa?"
tegas Punggi melihat lima lelaki yang menjadi la-
wan Jaka hanya diam saja.
"Baik! Biar aku yang mulai lebih dulu me-
nyerang bocah sombong itu. Dan kalau kalian mau
turut membantu, rasanya itu akan lebih baik,"
Sanggi. Dan kakinya sudah terayun dua langkah
ke arah Jaka.
"Bersiaplah untuk mampus. Raja Sombong!"
maki Sanggi dengan kepalan tangan langsung naik
ke atas dada.
Jaka tak menimpali. Hanya tatapan ma-
tanya saja yang menusuk tajam, dilayangkan pada
wajah kurus milik lelaki yang menantangnya.
"Hwaaa...!"
Pekik melengking terdengar seiring melesat-
nya tubuh orang kedua dari Sepasang Tengkorak
Cadas Keramat
Lesatan Sanggi cepat bukan main, hingga
menimbulkan hembusan angin keras. Apalagi, ke-
tika pukulannya digerakkan ke arah kepala Jaka.
Bunyi menderu langsung terdengar mengiringi ti-
banya kepalan maut bertenaga dalam tinggi.
Bets!
"Ets!"
Jaka menggeser tubuhnya ke samping ka
nan menghindari pukulan tangan kanan Sanggi.
Ringan saja gerakannya, namun mampu membuat
keinginan Sanggi hanya tinggal impian kosong sa-
ja. Memang, serangannya lolos beberapa jengkal
dari kepala Jaka.
Rasa penasaran rupanya telah menjerat hati
orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Ke-
ramat ini. Diiringi pekikan keras, kembali tubuh-
nya meluruk menyerang Jaka.
"Haaat..!"
"Uts!"
Jaka berhasil menghindar dengan melenting
ringan menggunakan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’.
Sehingga serangan Sanggi yang menggunakan ca-
kar untuk melukai lambung kembali gagal.
"Keparat kau. Raja Petir!" hardik Sanggi
mendapatkan serangannya kembali gagal. Semen-
tara Raja Petir pun sudah mendarat di tanah.
Maka seketika itu juga....
Srat!
Sanggi langsung meloloskan senjata berupa
kapak kecil bertangkai panjang. Senjata berwarna
hitam sampai ke tangkai itu digenggamnya kuat-
kuat. Jelas tenaga dalamnya disalurkan pada ben-
da itu. Kemudian....
Wuk! Wuk..!
Kapak kecil bergagang panjang itu diputar-
putar keras. Bunyi menderu yang terdengar diirin-
gi pula oleh angin mendesis kuat. Sehingga, mam-
pu menerbangkan kerikil-kerikil kecil yang berada
di sekitar tempat Sanggi berpijak.
"Hiaaa...!"
Orang kedua dari Sepasang Tengkorak Ca-
das Keramat kini betul-betul melesat dengan sen-
jata yang masih terayun di udara.
Bet! Bet!
"Uts!"
Kembali Raja Petir mengerahkan jurus
'Lejitan Lidah Petir', untuk mengelakkan serangan.
Namun kali ini Sanggi seolah mampu membaca ge-
rakannya. Maka ketika Jaka mencelat ke samping
kanan, Sanggi juga bergerak ke kanan disertai ke-
lebatan kapaknya yang cepat, terarah ke pangkal
paha.
Serangan Sanggi memang cukup berba-
haya. Namun orang yang dicecarnya kali ini adalah
Jaka, yang sudah kenyang asam-garam pertarun-
gan. Maka hanya memutar tubuhnya saja, seran-
gan Sanggi sudah berhasil dielakkan. Sehingga,
ujung kapak yang tajam itu hanya meleset sejeng-
kal dari pangkal paha. Bahkan gerakan Jaka yang
memutar tanpa diduga-duga sama sekali berubah
menjadi sebuah serangan balasan ke arah Sanggi.
"Awas!" sentak Jaka memperingati Sanggi.
Kedua tangan Raja Petir yang terentang,
bergerak memainkan jurus 'Petir Menyambar
Liang'. Gerakannya demikian cepat ke arah kepala
dan dada, sehingga lelaki berpakaian gambar ke-
rangka manusia itu sesaat jadi gugup. Namun saat
selanjutnya, sudah diputuskannya untuk mema-
pak serangan Raja Petir.
Plak! Plak!
"Aaakh...!"
Pekik tertahan seketika terdengar, manaka
la sepasang tangan saling berbenturan keras. Tu-
buh Sanggi terlihat tergempur mundur empat
langkah ke belakang. Sedangkan Jaka hanya me-
rasakan sedikit getaran.
Ditilik dari keadaan yang seperti itu, jelas
bisa dipastikan kalau kekuatan tenaga dalam Jaka
berada di atas tenaga dalam Sanggi.
"Keparat kau. Raja Petir!" maki Sanggi sete-
lah mampu menguasai diri.
"Kakang Punggi! Kita keroyok saja bocah se-
tan itu!" teriak Sanggi kemudian.
Orang tertua dari Sepasang Tengkorak Ca-
das Keramat yang memang sudah gatal tangannya
untuk melenyapkan Raja Petir, segera saja meng-
hentakkan kakinya ke tanah
"Hop!"
"Ayo, Adi Sanggi. Kita lumat tubuh Raja Pe-
tir! Biar dunia persilatan tahu, Sepasang Tengko-
rak Cadas Keramat bukanlah tokoh sembarangan,"
sambut Punggi, penuh semangat
Srat!
Punggi meloloskan senjatanya yang berupa
kapak kecil bertangkai panjang warna hitam pekat
"Mainkan jurus ‘Kapak Maut Cadas Kera-
mat’!" teriak Punggi sambil memutar-mutar senja-
tanya.
Sanggi yang mendengar ucapan kakaknya,
segera melesat ke arah kanan Jaka. Sehingga ke-
dudukan Raja Petir kini tercegat dari kiri dan ka-
nan.
Wuk! Wuk..!
Bunyi menderu dari kapak bertangkai pan
jang yang dimainkan Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat membuat hati Dewi Nalar yang menyak-
sikan semakin tersiksa kecemasan. Namun pera-
saan itu tidak terjadi pada diri Mayang. Kekasih
Raja Petir ini begitu yakin kalau Jaka mampu me-
nandingi kesaktian lawan-lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Heaaat..!"
Sanggi dan Punggi melesat cepat. Sementa-
ra senjata masing-masing diarahkan ke bagian se-
langkangan Raja Petir dan bagian kepala.
Jaka yang sudah bersiap menghadapi sega-
la kemungkinan, langsung saja mengangkat kedua
tangannya. Tangan tokoh muda digdaya itu seketi-
ka bergetar hebat. Jelas Raja Petir tengah melaku-
kan penyaluran tenaga dalam tinggi.
Bet! Bet!
Tap! Tap!
Di luar dugaan Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat, Jaka cepat menggerakkan kedua tan-
gannya. Lalu, cepat ditangkapnya tangkai kapak
yang tengah berkelebat ke bagian tubuhnya.
Kapak milik Sanggi yang berkelebat mence-
car bagian bawah, nampak terangkat ke atas sete-
lah tercekal kuat tangan Jaka. Sedangkan kapak
Punggi yang juga tertangkap, tetap berada di atas.
Adu kekuatan tenaga dalam pun tak terhin-
dari lagi. Otot-otot sepasang tangan Raja Petir yang
mencekal senjata lawan-lawannya nampak menge-
ras di permukaan. Sementara itu Punggi dan
Sanggi juga mengerahkan tenaga dalam untuk
menarik senjata.
"Hrrrg...!"
"Hrghhh...!"
Gerengan-gerengan kemarahan keluar dari
mulut Sepasang Tengkorak Cadas Keramat yang
berusaha menarik pulang kapaknya. Namun walau
sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada, ka-
pak yang dicekal Jaka tak juga berhasil ditarik
Kenyataan seperti itu segera saja diman-
faatkan orang pertama dan kedua dari Lima Jin
Gunung Sampa. Dengan cara licik mereka tiba-
tiba melesat ke arah Jaka sambil mengayun-
ayunkan pecut ke udara.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat..!"
Ctar! Ctar...!
Mayang dan Dewi Nalar yang menyaksikan
kelicikan Jaraga dan Malaba geram bukan kepa-
lang. Maka tanpa membuang waktu, kedua gadis
cantik itu melesat ke arah dua orang dari Lima Jin
Gunung Sampa.
"Haiiit..!"
"Hiaaat..!"
Tubuh Dewi Payung Emas dan Dewi Nalar
sama-sama berkelebat cepat, menyongsong pecut
milik Jaraga dan Malaba dengan payung kecil dari
logam dan selendang merah. Mayang yang berge-
rak menyongsong Jaraga, mengerahkan jurus
'Benteng Emas'. Sedangkan Dewi Nalar menggelar
ilmu 'Selendang Merah' ke arah Malaba.
Ctar!
Blangngng...!
Bunyi keras dua pasang senjata yang bera
du pun tak terelakkan. Dan seketika empat sosok
tubuh juga sama-sama terdorong dua langkah ke
belakang.
"Keparat kalian, Gadis-gadis Liar!" maki Ma-
laba mendapatkan niatnya untuk melenyapkan
Jaka terhalang. "Akan kulumat tubuh kalian!"
"Ganggada, Guriwang, Sitinja!" panggil Ma-
laba pada tiga rekannya yang tidak ikut bertarung.
"Ringkus gadis liar itu!"
Ganggada, Guriwang, dan Sitinja segera sa-
ja bergerak ke arah Mayang dan Dewi Nalar yang
sudah siap menerima serangan dengan senjata
masing-masing. Namun belum lagi niat tiga dari
Lima Jin Gunung Sampa terlaksana, tiba-tiba saja
melesat sesosok tubuh berpakaian putih yang ber-
gerak cepat bagai angin. Sosok itu lalu mendarat
ringan di tanah bagai sehelai kapas.
"Laki-laki bejat moral!" umpat sosok berpa-
kaian putih yang ternyata sudah cukup tua.
Lelaki itu bertubuh tinggi kurus. Rambut,
kumis, dan jenggotnya sudah berwarna putih. Ikat
kepalanya juga berwarna putih.
"Untuk apa kalian ingin memperebutkan
Arca Singa Emas itu?"
Pertanyaan yang dilemparkan kakek berpa-
kaian putih itu seperti terdengar dari jarak beribu-
ribu pal jauhnya. Bergema dan memantul-mantul.
Lima Jin Gunung Sampa yang menda-
patkan pertanyaan itu seperti tak kuasa menja-
wab.
"Kalau kalian menginginkan kekayaan, me-
mang Arca Singa Emas dapat memberi kekayaan.
Karena dari benda itu akan dapat ditemui letak
Goa Singa yang banyak menyimpan benda berhar-
ga dan batu permata. Namun jika bertujuan men-
cari kitab-kitab dan senjata-senjata pusaka, maka
kalian harus berhadapan denganku, pemilik sah
benda-benda itu," lanjut kakek berpakaian putih
bersih itu.
"Jangan-jangan, kau juga ingin memiliki Ar-
ca itu, Tua Bangka Bau Tanah!" hardik Jaraga
mangkel.
Kakek berbaju putih itu tersenyum.
"Untuk apa merebut barang yang sesung-
guhnya aku yang punya? Jika aku mau, mudah
sekali mendapatkannya. Karena, akulah Pertapa
Goa Singa yang memiliki benda yang tengah kalian
perebutkan. Namaku, Ki Ajisentanu," sangkal ka-
kek berpakaian putih ini, yang mengaku bernama
Ki Ajisentanu.
"Serahkan Arca Singa Emas itu padaku,
Dewi," pinta Ki Ajisentanu.
Orang tua itu lalu mengulurkan tangan pa-
da Dewi Nalar. Tatapan mata lembut Ki Ajisentanu
membuat Dewi Nalar teringat tatapan mata ayah-
nya. Ada getaran aneh yang tiba-tiba saja dirasa-
kan Dewi Nalar. Dan nalurinya untuk menyerah-
kan Arca Singa Emas itu tiba-tiba saja menyemak.
Lalu, terulurlah tangan Dewi Nalar, memberikan
benda yang selama ini dijaganya dengan taruhan
nyawa.
"Terima kasih, Cucuku," ucap Ki Ajisentanu
saat menerima Arca Singa Emas dari Dewi Nalar
Dewi Nalar mengangguk disertai senyum
sedikit terkembang.
"Hentikan pertarungan itu!" sentak Ki Aji-
sentanu pada Punggi, Sanggi, dan Jaka yang ten-
gah saling mengadu kekuatan tenaga dalam.
Tubuh Sepasang Tengkorak Cadas Keramat
itu tersentak, dan langsung tergempur mundur
begitu bentakan Ki Ajisentanu terdengar mengge-
legar. Sehingga, kedua senjata itu tertinggal di ce-
kalan tangan Jaka yang hanya bergetar ketika
bentakan Ki Ajisentanu terdengar. Dan kenyataan
ini membuat pertapa sakti, pemilik sah Arca Singa
Emas itu terkagum-kagum.
"Sungguh aku kagum melihat pendirianmu
yang selalu berpihak pada orang-orang yang lemah
dan benar. Raja Petir," ucap Ki Ajisentanu.
Jaka hanya tersenyum saja mendengar pu-
jian kakek berpakaian putih bersih itu.
"Kalian semua! Berkumpullah di situ!" pe-
rintah Ki Ajisentanu pada Lima Jin Gunung Sam-
pa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat.
Aneh! Tujuh tokoh yang berilmu tinggi ini
menuruti saja perintah kakek berpakaian putih
itu. Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Teng-
korak Cadas Keramat kini berkumpul di hadapan
Ki Ajisentanu.
"Kalian saksikan keajaiban Arca Singa
Emas ini," ujar Ki Ajisentanu seraya menggosok
bagian kaki Arca Singa Emas yang sebesar anak
ayam itu.
Maka, keanehan pun seketika nampak. Teb-
ing rendah yang berada tepat di belakang rumah
Ki Sapartoga yang sudah rata dengan tanah, tiba
tiba saja bergetar. Sebentar kemudian, tanah teb-
ing itu bergeser membuka seperti pintu. Kini, ter-
ciptalah sebuah goa yang cukup besar, hampir mi-
rip dengan mulut seekor singa yang tengah men-
ganga. Itulah sebabnya, goa itu dinamakan Goa
Singa. Dari dalamnya tampak memendar sinar ke-
kuningan.
Jaka, Mayang, dan semua yang menyaksi-
kan menjadi terheran-heran. Dengan tatapan mata
tak berkedip, mereka menyaksikan keanehan Goa
Singa yang gemerlapan dengan sinar kekuningan.
"Masuklah ke dalam goa itu. Ambillah apa
yang kalian inginkan," perintah Ki Ajisentanu pada
Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak
Cadas Keramat
Seperti kerbau dicucuk hidung, Lima Jin
Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat melangkah tergesa memasuki mulut Goa
Singa.
Sementara mata Ki Ajisentanu kini beralih
memandang wajah Dewi Nalar
"Cucuku. Biarlah Arca ini kubawa bersama
orang-orang serakah itu. Biar dunia ini tak selalu
dilanda keributan. Juga, biar arwah Satyagana,
Bagura, juga Sapartoga ayahmu, damai di alam
baka," lanjut Ki Ajisentanu.
Air mata Dewi Nalar langsung menetes
mendengar perkataan kakek berpakaian putih
yang menyebut-nyebut nama ayahnya itu.
"Dan untukmu, Raja Petir. Berdirilah yang
tegar pada jalan kebenaran," ujar Ki Ajisentanu
pada Jaka. "Aku kagum padamu. Permisi."
Ki Ajisentanu segera melangkah cepat me-
masuki mulut Goa Singa
Seiring masuknya tubuh Ki Ajisentanu yang
membawa Arca Singa Emas ke mulut Goa Singa
yang menyimpan teka-teki, maka seketika itu juga
pintu goa menutup. Dan seketika itu pula, tebing
rendah itu menjadi seperti sedia kala. Yang terlihat
kini hanyalah setumpukan arang bekas bangunan
rumah Ki Sapartoga yang terbakar, dengan latar
belakang tebing indah yang ditumbuhi semak be-
lukar.
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya ter-
menung menyaksikan keanehan yang baru saja
berlalu. Sementara matahari di langit Desa Grang-
gas mulai menyengat
Tak ada yang tahu, apa yang bakal terjadi di
dalam Goa Singa itu. Yang jelas, siapa pun yang
masuk ke dalamnya, tak akan kembali lagi. Teru-
tama, bagi orang yang punya niat buruk.
SELESAI
B
0 comments:
Posting Komentar