..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE MISTERI ARCA SINGA


 

MISTERI ARCA SINGA

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Misteri Arca Singa

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Desa Granggas nampak menyajikan kein-

dahan, saat matahari mengintip malu-malu sebe-

lum keluar dari peraduannya. Dan manakala ca-

hayanya yang bening menebar, suasana terlihat 

menjadi lebih jelas. Suasana pagi yang cerah ini, 

tiba-tiba ditingkahi oleh....

"Haiiit..!"

Terdengar pekik menggelegar di pagi yang 

baru saja disirami lembutnya cahaya matahari. 

Tampak seorang gadis cantik berusia tak lebih dari 

sembilan belas tahun tengah bergerak cepat Tu-

buhnya mencelat ke udara, sedangkan tangannya 

bersiap-siap melecutkan selendang warna merah 

dadu.

"Hiyaaa...!"

Glar!

Brak!

Sebatang pohon besar kontan tumbang ke-

tika ujung selendang merah dadu itu menghan-

tamnya. Memang cukup mengagumkan apa yang 

telah dilakukan gadis cantik berpakaian sutera pu-

tih mengkilat itu.

"Bagus! Bagus sekali ilmu yang kau kuasai 

itu, Nalar"

Kekaguman itu tak mampu disembunyikan 

oleh seorang lelaki berusia setengah baya yang se-

jak tadi memperhatikan gadis baju putih yang 

memperagakan kebolehannya. Nampak senyum-

nya tak putus memperhatikan gadis itu.


"Kau telah sempurna menguasai jurus 

'Pukulan Selendang Merah'," lanjut lelaki berpa-

kaian warna putih. Di pinggangnya nampak terse-

lip sebilah pedang cukup panjang bergagang kepa-

la singa. 

"Ah, Ayah," gadis cantik berwajah putih 

yang dipanggil Nalar itu tersipu malu mendengar 

pujian ayahnya. "Jangan terlalu membesar-

besarkan seperti itu. Ayah. Nanti kepala Nalar 

tambah besar."

Kemudian gadis yang bernama Dewi Nalar 

itu segera berlari kecil menghampiri ayahnya. Se-

mentara lelaki yang bernama asli Ki Sapartoga pun 

melakukan hal yang sama. Segera disambutnya 

keberhasilan putri tunggalnya.

"Ayah barusan tidak main-main, Nalar. Kau 

memang pantas untuk mendapatkan pujian itu. 

Ah! Kalau saja ibumu menyaksikannya sekarang, 

betapa bahagianya dia," desah Ki Sapartoga. Tata-

pan matanya tertuju lurus pada wajah cantik Dewi 

Nalar.

Dari tatapan mata yang seolah tak berkedip 

itu, rentetan peristiwa masa lalu tiba-tiba kembali 

terbayang. Ki Sapartoga teringat istrinya yang ber-

nama Nyi Istari, terbunuh di tangan Lima Jin Gu-

nung Sampa, melalui tangan Jamtana. Dan di tan-

gan Lima Jin Gunung Sampa juga Perguruan Sin-

ga Emas yang dipimpinnya runtuh.

Peristiwa menyakitkan itu terjadi pada sem-

bilan tahun silam, yakni ketika Dewi Nalar baru 

berusia sepuluh tahun. Pada malam itu, ketika 

purnama sedang memancarkan sinarnya yang pu


tih keperakan, lima sosok lelaki bertubuh besar 

tahu-tahu muncul dan mengamuk bagai banteng 

luka di Perguruan Singa Emas.

Seluruh murid Perguruan Singa Emas di-

bantai habis. Ki Sapartoga dan Nyi Istari pun tak 

tinggal diam. Ki Sapartoga yang banyak makan 

asam garam dunia persilatan, mencoba mengha-

dap Lima Jin Gunung Sampa dengan kelembutan 

tutur kata, meskipun murid-muridnya tewas ter-

bantai.

Namun setelah melihat kekurangajaran Li-

ma Jin Gunung Sampa yang merendahkan Ketua 

Perguruan Singa Emas, maka kemarahan Ki Sa-

partoga pun tak mampu terbendung. Apalagi sete-

lah orang tertua dari Lima Jin Gunung Sampa me-

nyinggung-nyinggung masalah Arca Singa Emas. 

Katanya, sebenarnya benda itu milik leluhur Lima 

Jin Gunung Sampa yang telah dicuri seorang to-

koh sakti yang tak lain dari Raja Rantai Emas, 

guru Ki Sapartoga sendiri. Dan setelah Raja Rantai 

Emas wafat, Arca itu diserahkan pada Ki Saparto-

ga.

Atas kemarahan Ki Sapartoga yang tak ter-

kuasai itulah, maka pertarungannya melawan Li-

ma Jin Gunung Sampa tak dapat dihindari. Dan 

nyatanya Lima Jin Gunung Sampa lebih unggul 

dalam segala hal.

Dalam pertarungan mempertahankan harga 

diri itu, Nyi Istari yang merupakan istri Ki Saparto-

ga tewas. Sedangkan Ki Sapartoga sendiri, setelah 

berpikir jernih demi kelangsungan dan kebaikan 

hidup Dewi Nalar yang baru berusia sepuluh tahun, berusaha melarikan diri. Dia membawa serta 

putrinya dan Arca Singa Emas yang tengah diincar 

Lima Jin Gunung Sampa.

"Kenapa Ayah melamun?" kata Dewi Nalar 

mengejutkan Ki Sapartoga.

"Eh, ah...."

Ki Sapartoga nampak gelagapan. Bayangan 

masa lalu yang melintas sesaat, kini lenyap.

"Ayah pasti tengah mengingat ibu," duga 

Dewi Nalar, menanggapi keterpakuan ayahnya.

Ki Sapartoga mengangguk pelan membe-

narkan dugaan anaknya.

"Kau begitu mirip ibumu, Nalar. Itulah yang 

membuatku tak kuasa melupakannya. Apalagi, 

melupakan kejadian menyakitkan itu," tukas Ki 

Sapartoga dengan suara terdengar sendu.

"Bukankah Ayah sering mengajarkan pada-

ku untuk melupakan peristiwa pahit itu?"

"Betul, Nalar," jawab Ki Sapartoga. "Tapi 

manusia kadang-kadang sulit melakukannya, 

meskipun kita sudah berusaha sebisanya. Ayah 

tahu, masa lalu adalah masa yang tak mungkin 

bisa terulang. Seperti kebersamaan kita dulu den-

gan ibumu. Sesungguhnya, ayah mendambakan 

hal itu terulang kembali. Tapi, mana mungkin?"

"Ah! Sebaiknya kita mencoba terus untuk 

melupakannya, Ayah. Kalau tidak, batin kita akan 

tersiksa terus-menerus," hibur Dewi Nalar sambil 

menggelayuti lengan ayahnya. "Sebaiknya, aku 

memperagakan ilmu-ilmu yang lain, ya Ayah?"

Sesaat Ki Sapartoga menatap wajah pu-

trinya.


"Ya. Lakukanlah dengan sungguh-

sungguh," ujar Ki Sapartoga dengan suara tegas 

dan berwibawa.

Gadis cantik berpakaian sutera putih 

mengkilat itu tersenyum, sebelum benar-benar 

memperagakan ilmu-ilmu silat yang telah dipelaja-

rinya. Hatinya gembira menyaksikan ketegaran 

kembali hinggap pada diri ayahnya.

"Hups!"

Dewi Nalar melompat pendek. Kakinya yang 

kembali menjejak tanah dengan kuda-kuda ren-

dah, begitu kokoh. Kemudian, mulai ditunjukkan-

nya jurus-jurus ampuh menggunakan tangan pada 

sikap menebas, menotok dan meninju.

Angin berdecit terdengar dari setiap gerakan 

menyerang yang dilakukan Dewi Nalar dalam 

penggunaan tenaga dalam tinggi.

"Hops!"

Tiba-tiba saja Dewi Nalar melompat ke uda-

ra, melakukan putaran tubuh dua kali. 

"Hup!" 

Plash!

Sebuah tendangan memutar saat kedua ka-

ki menyentuh tanah dilakukan Dewi Nalar. Begitu 

cepat dan keras tendangannya. Dua kali berturut-

turut tendangan memutar itu dilakukan. Dan keti-

ka berada satu langkah di depan sebatang pohon 

sebesar pelukan anak lelaki, maka tendangan lu-

rus disertai pengerahan kekuatan tenaga dalam 

penuh langsung dilepaskannya.

"Haaat..!"

Drugh!


Brakkk!

Pohon yang terhajar tendangan keras Dewa

Nalar ambruk seketika. Sedangkan gadis itu ber-

jumpalitan ke udara, menghindari pecahan batang 

pohon dan tanah yang terbongkar.

"Hops!"

Jliegkh!

"Bagus! Bagus sekali penguasaan ilmu me-

nyerang dengan kaki dan tanganmu, Nalar. Ayah 

senang sekali melihat perkembangan ilmumu yang 

begitu pesat," puji Ki Sapartoga.

"Aku pun senang dengan anakmu itu, Sa-

partoga!" sambut sebuah suara cukup keras.

"Heh?!"

***

Ki Sapartoga dan Dewi Nalar kontan meno-

leh ke arah datangnya suara. Pada saat itulah 

tampak sesosok tubuh keluar dari semak-semak, 

lalu mendarat ringan di hadapan Ki Sapartoga da-

lam jarak tiga batang tombak.

"Datuk Lingga Merah!" sebut Ki Sapartoga.

Seruan Ki Sapartoga keluar bersamaan 

dengan rasa keterkejutannya, menyaksikan keha-

diran tokoh sakti golongan hitam yang sama sekali 

tidak diduga.

"Bagus kalau kau masih ingat denganku, 

Sapartoga!"

Suara yang keluar dari mulut lelaki tinggi 

kekar yang di punggungnya tersandang sebuah 

senjata berupa tombak panjang bermata tiga itu


terdengar berat.

Ki Sapartoga mengembangkan senyum 

mendengar ucapan Datuk Lingga Merah, sebagai 

tanda kalau tengah berusaha tenang.

"Ah! Mana mungkin aku melupakanmu, Da-

tuk Lingga Merah. Ada keperluan apakah kiranya 

hingga kau jauh-jauh menemuiku?" kata Ki Sapar-

toga, dengan suara diatur sesopan mungkin.

Datuk Lingga Merah tak segera menjawab 

pertanyaan Ki Sapartoga. Tatapan matanya kini 

tertuju tepat ke seraut wajah cantik milik Dewi Na-

lar.

Sementara itu, Dewi Nalar hanya memegan-

gi tangan ayahnya. Memang, dia merasa kikuk di-

tatap sedemikian rupa oleh Datuk Lingga Merah.

"Persoalan sebelas tahun silam sebetulnya 

belum tuntas, Sapartoga," kata Datuk Lingga Me-

rah, seraya mengalihkan tatapannya ke wajah Ki 

Sapartoga. "Namun persoalan itu akan kuanggap 

selesai, jika Arca Singa Emas kau berikan padaku. 

Dan jangan lupa, perkenankan putrimu untuk 

ikut bersamaku."

"Tutup mulut busukmu itu, Tua Bangka!" 

bentak Dewi Nalar, membalas kekurangajaran Da-

tuk Lingga Merah.

Datuk Lingga Merah hanya tersenyum 

mendengar bentakan putri Ki Sapartoga itu.

"Kalau sedang marah seperti itu, aku sema-

kin menyukaimu, Nini," sahut Datuk Lingga Me-

rah, menimpali kemarahan Dewi Nalar.

"Tua bangka gendeng!" maki Dewi Nalar se-

raya mengangkat kaki kanannya hendak menye


rang Datuk Lingga Merah.

"Sabar, Nalar!"

Namun gerakan Dewi Nalar terhalang suara 

Ki Sapartoga yang tegas melarangnya. Ki Saparto-

ga segera meraih pergelangan tangan anaknya.

"Dia bukan tandinganmu," bisik laki-laki se-

tengah baya itu.

"Biarkan anakmu bermain-main sebentar 

denganku, Sapartoga," ucap Datuk Lingga Merah. 

"Anakmu jangan dikekang sedemikian rupa. Biar-

kan dia menikmati masa mudanya denganku!"

Seketika merah padam wajah Ki Sapartoga 

mendengar ucapan bernada kotor yang keluar dari 

mulut Datuk Lingga Merah.

"Semakin tua, ternyata kau semakin bejat 

saja, Datuk Gila!" maki Ki Sapartoga tak terkenda-

li. "Langkahi dulu mayatku kalau ingin bersenang-

senang dengan anakku dan menguasai Arca Singa 

Emas milik leluhurku!"

"Ha ha ha.... Nyalimu sekarang besar juga, 

Sapartoga. Aku suka itu. Tapi, apa kau mampu 

menghadapi datuk yang menguasai daerah sela-

tan?" ledek Datuk Lingga Merah dengan tawanya 

yang keras.

"Jangan sombong, Datuk Botak! Sepuluh le-

laki tua macam kau pun, aku tak gentar," balas Ki 

Sapartoga.

"Baik! Jangan menyesal kalau kau harus 

mampus saat ini juga. Dan putrimu bisa jadi istri-

ku. Demikian pula Arca itu! Ha ha ha.... Bersiap-

lah menjemput kematianmu, Sapartoga!"

Usai berkata demikian, Datuk Lingga Merah


membawa maju kakinya satu langkah ke depan.

Kemudian....

Prrok! Prok! Prok!

Telapak tangan datuk sesat dari selatan itu 

bergerak melakukan tepukan isyarat. Maka seketi-

ka berlompatan sosok-sosok berpakaian hitam. 

Dan ternyata enam lelaki berpakaian hitam satu 

persatu mendarat ringan di sisi kanan Datuk Ling-

ga Merah. Tatapan mata mereka langsung tertuju 

pada seraut wajah cantik milik Dewi Nalar.

"Kalian ringkus gadis cantik itu!" perintah 

Datuk Lingga Merah. "Tapi awas jangan sampai 

terluka."

Enam lelaki bertampang kasar berpakaian 

hitam dan bersenjatakan golok itu segera bergerak, 

memenuhi perintah junjungannya. Mereka segera 

menyebar, mengurung sosok cantik dan anggun 

Dewi Nalar.

Sementara itu, Datuk Lingga Merah sudah 

bergerak ke arah Ki Sapartoga.

"Kita mulai sekarang saja, Sapartoga!" tegas 

Datuk Lingga Merah.

"Hm...," Ki Sapartoga hanya bergumam tak 

jelas.

***

Pertarungan antara Ki Sapartoga mengha-

dapi Datuk Lingga Merah tak dapat dihindari lagi. 

Begitu juga dengan putri bekas Ketua Perguruan 

Singa Emas. Gadis itu kini harus berhadapan den-

gan enam lelaki berpakaian hitam-hitam yang ber


senjatakan golok terhunus. Tampak golok-golok 

mereka berkilatan tertimpa sinar matahari.

"Hiyaaa...!"

"Haaat..!"

Dua lelaki berpakaian hitam langsung me-

nyerbu dari samping kiri dan kanan. Golok yang 

teracung-acung di atas kepala menimbulkan bunyi 

menderu. Jelas serangan kedua lelaki itu disertai 

pengerahan tenaga dalam.

Akan tetapi, Dewi Nalar bukanlah gadis 

cantik yang berotak tumpul. Ingatannya yang kuat 

pada kata-kata Datuk Lingga Merah yang mela-

rang enam lelaki anak buahnya ini untuk tidak 

melukainya, membuat Dewi Nalar tak gentar 

menghadapi serangan itu. Gadis itu yakin, seran-

gan yang dilakukan dua lelaki ini hanyalah gertak 

sambal belaka.

Dan ketika serangan itu tiba, Dewi Nalar se-

gera bergerak lincah dan menyambut serangan 

dengan tangan kosong.

"Haiiit...!"

"Hih!"

Sodokan tangan Dewi Nalar mencoba ma-

suk ke rusuk kiri lawan yang berada di kiri. Se-

dangkan kaki kanannya bergerak menendang, 

mencecar bagian perut lawan yang menyerang dari 

samping kanan. Melihat hal itu, dua lelaki itu 

langsung mendoyongkan tubuhnya.

"Uts!"

Pertarungan antara Dewi Nalar menghadapi 

enam lelaki berpakaian hitam berlangsung kurang 

menarik. Namun, tidak bagi pertarungan antara Ki


Sapartoga menghadapi Datuk Lingga Merah.

Pertarungan hidup dan mati itu berlang-

sung cukup alot dengan tempo yang cepat.

"Mampus kau, Sapartoga!"

Wuttt!

"Uts!"

Tubuh Ki Sapartoga melenting ke belakang, 

ketika Datuk Lingga Merah menghunjamkan tom-

bak bermata tiga ke bagian dada. Indah dan cepat 

gerakan menghindar ayah kandung Dewi Nalar ini, 

sehingga dirinya terhindar dari incaran mata tom-

bak milik lelaki berkepala gundul sebelah yang 

berjubah loreng merah itu.

Jligkh!

Tubuh Ki Sapartoga kembali mendarat lu-

nak di tanah. Tatapan matanya langsung tertuju 

ke arah wajah Datuk Lingga Merah.

"Hm...," gumam Datuk Lingga Merah men-

dapatkan serangannya berhasil digagalkan lawan. 

"Itu baru serangan awal, Sapartoga. Jangan ber-

bangga hati dulu."

"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Datuk 

Sesat! Atau kau ingin mampus di tanganku!" balas 

Ki Sapartoga, tak kalah sengit.

"Keparat!" hardik Datuk Lingga Merah se-

raya menyilangkan senjata di depan dada. "Kau te-

rima jurus 'Menusuk Rembulan'-ku ini! Hiyaaa...!"

Tubuh Datuk Lingga Merah kembali melesat 

cepat ke arah Ki Sapartoga. Tombaknya yang ma-

sih tersilang di atas dada belum digeser sedikit 

pun. Namun dua langkah lagi tubuh Ki Sapartoga 

terjangkau, kaki Datuk Lingga Merah menghentak


ke arah kiri. Kemudian tombak bermata tiganya di-

lepas dengan kekuatan tenaga dalam tinggi, ter-

arah ke pelipis kanan Ki Sapartoga.

Siiing...!

Cepat bagai kilat tombak bermata tiga milik 

Datuk Lingga Merah meluncur. Namun Ki Sapar-

toga bukanlah orang yang baru kenal ilmu silat. 

Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya dileng-

kungkan ke belakang, hingga telapak tangannya 

menyentuh tanah.

Cara menghindar yang dilakukan Ki Sapar-

toga memang cukup tepat. Terbukti, senjata yang 

dilempar Datuk Lingga Merah tak menjumpai sa-

saran.

"Huh!"

"Hop!"

Datuk Lingga Merah yang menyaksikan se-

rangannya gagal, segera mengejar tombaknya yang 

terus meluncur. Cukup mengagumkan gerakan 

datuk sesat dari selatan ini. Tak heran kalau tom-

bak yang tengah meluncur cepat berhasil dikejar-

nya.

Tap!

Senjata berupa tombak bermata tiga itu 

kembali berada di genggaman tangan Datuk Ling-

ga Merah. Lalu kembali dihampirinya Ki Sapartoga 

yang sudah bersiap-siap menghadapi serangan be-

rikutnya.

"Tak kusangka kalau perkembangan ilmu 

silatmu cukup pesat, Sapartoga!" ucap Datuk 

Lingga Merah memuji. "Namun sebaiknya, kegaga-

lanku jangan dianggap remeh. Karena, serangan



seranganku barusan hanya sekadar menguji ke-

mampuanmu."

"Itu hanya cara untuk menutupi rasa malu 

atas kegagalanmu, Datuk Gundul!" timpal Ki Sa-

partoga meledek.

"Cabut pedangmu, Sapartoga!" bentak Da-

tuk Lingga Merah keras.

"Untuk apa?" tanya Ki Sapartoga meledek.

"Untuk memperlambat kematianmu! Aku 

tak sudi lawanku mati tanpa perlawanan berarti!"

"Tunjukkan dulu sesumbarmu, Datuk 

Edan!" tukas Ki Sapartoga.

"Setan alas! Rupanya kau memang betul-

betul sudah bosan hidup! Ayo, jaga ilmu 'Tombak 

Maut Datuk Sakti'" ujar Datuk Lingga Merah se-

raya mengangkat senjatanya sampai sebatas leher. 

Lalu senjata itu diputar-putar dengan kecepatan 

mengagumkan.

Wuk! Wuk!

Bunyi putaran tombak Datuk Lingga Merah 

cukup keras. Bahkan Ki Sapartoga yang menyak-

sikannya jadi bergetar hatinya.

"Hm.... Kali ini ilmunya benar-benar dike-

luarkan. Aku harus hati-hati," gumam Ki Saparto-

ga hati-hati. Diam-diam ilmunya juga disiapkan 

untuk menangkal serangan Datuk Lingga Merah.

"Hiyaaa...!"

Datuk Lingga Merah melompat cepat. Tong-

katnya yang berputaran dibabatkan miring ke arah 

lambung Ki Sapartoga. 

Wuuung...!

Bunyi seperti menggerung terdengar mengi


ringi kecepatan sambaran tombak bermata tiga mi-

lik Datuk Lingga Merah.

"Heh?!"

Terkejut bukan main Ki Sapartoga menyak-

sikan serangan Datuk Lingga Merah yang begitu 

cepat. Akan tetapi, keberuntungan masih berada 

di pihak Ki Sapartoga.

"Uts!"

Bret!

Buktinya tubuhnya masih sempat dibawa 

mundur ke belakang. Sehingga sambaran tombak 

bermata tiga milik Datuk Lingga Merah hanya 

sempat merobek pakaiannya saja.

"Sudah kubilang, jangan suka menganggap 

remeh! Ini, terima kembali seranganku!"

"Hiaaa...!"

Wuuuk!

Mata tombak Datuk Lingga Merah kembali 

bergerak cepat ke arah leher Ki Sapartoga.

Ki Sapartoga tentu saja tak ingin lehernya 

tertembus senjata lawan. Dengan kecepatan men-

gagumkan senjatanya yang tergantung di pinggang 

diloloskan. Langsung ditangkisnya sambaran tom-

bak bermata tiga milik Datuk Lingga Merah.

Srat!

Trang!

Bunyi berdentang dua logam keras beradu

seketika terdengar. Percikan bunga api terlihat je-

las, menandakan kalau mereka dalam menyerang 

dan menangkis menggunakan tenaga dalam tinggi

Namun dalam adu tenaga dalam, kiranya Ki 

Sapartoga harus mengakui keunggulan Datuk


Lingga Merah yang hanya terjajar dua langkah ke 

belakang. Sedangkan bekas Ketua Perguruan Sin-

ga Emas itu terjajar empat langkah ke belakang, 

dengan tangan terasa nyeri.

Mendapatkan kenyataan itu, Datuk Lingga 

Merah tak mau kehilangan kesempatan. Maka me-

lihat tubuh Ki Sapartoga dalam keadaan ter-

huyung, lelaki berkepala gundul sebelah itu kem-

bali melesat melakukan serangan susulan. Kaki 

kanannya langsung melepaskan tendangan lurus 

bertenaga dalam tinggi.

Sementara Ki Sapartoga yang tak menyang-

ka mendapat serangan susulan yang begitu cepat, 

segera menggerakkan tangannya ke depan dada.

Blakkk!

"Ukh...!"

Meski telah melindungi bagian dadanya 

yang menjadi incaran dengan tangan, tak urung Ki 

Sapartoga merasakan sesak juga. Tendangan Da-

tuk Lingga Merah memang terlampau keras, dan 

membuat tubuhnya terhuyung dan ambruk di ta-

nah.

"Ha ha ha.... Kiranya hanya sebegitu saja 

kepandaianmu, Sapartoga," ledek Datuk Lingga 

Merah. "Sekarang, terimalah kematianmu! 

Hiyaaa...!"


DUA



Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu 

sudah meluruk deras ke arah Ki Sapartoga yang

jatuh terduduk di tanah. Datuk Lingga Merah me-

nyerang dengan senjatanya yang terangkat di atas 

kepala, untuk menusuk kepala Ki Sapartoga dari 

atas.

Namun Ki Sapartoga yang meski dalam 

keadaan seperti itu ternyata masih mampu mem-

baca arah serangan lawan. Maka ketika sambaran 

senjata Datuk Lingga Merah semakin mendekat, 

cepat tubuhnya bergulingan di tanah, menghinda-

ri.

Blesss...!

"Setan belang!" rutuk Datuk Lingga Merah 

mendapatkan senjatanya hanya menusuk tanah 

tempat Ki Sapartoga terduduk tadi.

"Huh!"

Slebs!

Lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu 

mencabut tombaknya dengan kejengkelan me-

muncak. Dan seketika tubuhnya berbalik meng-

hadap Ki Sapartoga yang kini sudah kembali ber-

diri tegak.

"Kau harus kubuat mampus, Sapartoga!" 

dengus Datuk Lingga Merah dengan tatapan men-

corong tajam.

Sementara, Ki Sapartoga hanya menanggapi 

ancaman dengan membalas tatapan mata lawan-

nya. Namun di benaknya terencana sebuah siasat 

untuk menyelamatkan Dewi Nalar dan Arca Singa 

Emas.

"Hm.... Ada baiknya Nalar kusuruh pergi 

menghindari pertarungan ini. Sehingga dia bisa 

menyelamatkan diri sambil membawa serta Arca


Singa Emas yang sudah puluhan tahun menjadi 

miliknya," gumam Ki Sapartoga dalam hati. "Biar 

aku terus menghalangi Datuk Lingga Merah, wa-

laupun apa yang akan terjadi."

Ketika rencana di benak Ki Sapartoga ma-

tang, serangan Datuk Lingga Merah kembali da-

tang.

"Hiyaaa...!"

Kesempatan yang baik dilihat Ki Sapartoga. 

Saat itu Datuk Lingga Merah berlari ke arahnya. 

Sedangkan lelaki bekas Ketua Perguruan Singa 

Emas ini melakukan hal yang sama. Namun la-

rinya Ki Sapartoga tidaklah bermaksud memapak 

serangan Datuk Lingga Merah. Hal itu dilakukan 

karena ada yang direncanakannya. 

"Hiyaaa...!"

Wuuung! 

"Hops!"

Ketika tombak bermata tiga milik Datuk 

Lingga Merah berkelebat ke arah dada, Ki Saparto-

ga sekuat-kuatnya menghentakkan kaki ke tanah. 

Seketika itu juga tubuhnya melesat ke atas, mele-

wati kepala datuk dari selatan ini. Dan ketika ka-

kinya menyentuh tanah, langsung dihentakkan 

kembali Dan tubuhnya cepat melesat ke arah per-

tarungan Dewi Nalar yang menghadapi enam lelaki 

pengeroyoknya.

"Hop!"

Egkh! Bugkh!

"Akh!"

"Aaakh...!"

Dua pekikan keras seketika terdengar keti


ka Ki Sapartoga langsung mengirimkan tendangan 

keras ke arah lawan Dewi Nalar, begitu mendarat 

di tanah.

"Sebaiknya tinggalkan tempat itu, untuk 

menyelamatkan dirimu, Nalar. Dan, bawa serta Ar-

ca Singa Emas itu," perintah Ki Sapartoga, berbi-

sik.

Dewi Nalar tentu saja terkejut mendengar 

perintah ayahnya.

"Ayah...?" ucap Dewi Nalar tidak percaya.

"Jangan bantah perintahku, Nalar!" tegas Ki 

Sapartoga. "Cepat laksanakan! Biar ayah yang 

menghadang mereka!"

Semula Dewi Nalar ragu untuk memenuhi 

permintaan ayahnya. Namun ketika mendapatkan 

tatapan berharap dari ayahnya, tubuhnya segera 

melesat ke rumahnya.

"Hops!"

Datuk Lingga Merah yang menyaksikan ga-

dis cantik berbaju sutera warna putih mengkilat 

itu melarikan diri ke dalam rumahnya, seketika 

timbul kecurigaannya. Dia menduga gadis putra Ki 

Sapartoga itu akan melarikan Arca Singa Emas 

yang telah lama menjadi incarannya. Maka seketi-

ka itu juga tubuhnya bergerak hendak mencegah 

Dewi Nalar.

"Hiaaa...!"

"Yeaaa...!"

Ketika tubuh Datuk Lingga Merah bergerak, 

bersamaan dengan itu Ki Sapartoga juga bergerak 

ke arahnya. Bahkan disertai tebasan senjatanya ke 

arah laju gerak lelaki berkepala botak sebelah itu.


Wuuut!

"Hups!"

Datuk Lingga Merah terpaksa menghenti-

kan lesatannya, ketika mendapatkan sambaran 

pedang berkepala singa yang dilancarkan Ki Sa-

partoga ke arah lambung. Datuk dari wilayah sela-

tan itu segera menyelamatkan diri dengan melem-

par tubuh ke samping kanan.

Jlig! 

Ketika mendarat selamat di tanah, Datuk 

Lingga Merah langsung menyiapkan serangan ba-

lasan.

"Keparat kau, Sapartoga!" hardik Datuk 

Lingga Merah kesal.

Tatapan mata laki-laki botak setengah itu 

kini tertuju pada anak buahnya yang tak bertindak 

apa-apa.

"Kejar gadis itu! Bunuh saja!" perintah Da-

tuk Lingga Merah.

Lelaki-lelaki berpakaian hitam anak buah 

Datuk Lingga Merah seperti tersentak dari keter-

pakuannya. Seketika mereka semua bergerak ke 

arah rumah yang dimasuki Dewi Nalar.

Ki Sapartoga yang menyaksikan hal ini ten-

tu saja tak tinggal diam. Dengan teriakan nyaring, 

bekas Ketua Perguruan Singa Emas itu melesat 

dari tempatnya berpijak sambil mengibaskan pe-

dangnya.

"Hiaaa...!" 

Brets! Brets! 

"Akh!" 

"Aaa...!"


Dua orang anak buah Datuk Lingga Merah 

seketika terjungkal roboh berlumuran darah, ter-

sambar pedang berhulu singa milik Ki Sapartoga. 

Mereka kontan menggelepar dengan bagian teng-

kuk dan pinggang terkoyak, akibat ketajaman pe-

dang Ki Sapartoga yang disertai kekuatan tenaga 

dalam tinggi. Nyawa kedua anak buah Datuk Ling-

ga Merah seketika itu juga berpisah dari raga.

Datuk Lingga Merah yang menyaksikan ke-

jadian yang begitu cepat menjadi semakin murka.

"Kubunuh kau, Sapartoga!" teriak datuk se-

sat itu.

Tubuh lelaki berkepala botak setengah itu 

kini melesat memberi serangan menggunakan sen-

jata tombak bermata tiga. Angin menderu menga-

wali kedatangan serangannya yang disertai penge-

rahan tenaga dalam tinggi.

Wuuuts!

"Hits!"

Ki Sapartoga cepat mendoyongkan tubuh-

nya, menghindari serangan Datuk Lingga Merah 

yang mengarah ke bagian leher. Namun tanpa dis-

adari, dua anak buah datuk sesat itu memang te-

lah menunggunya. Seketika mereka menggerakkan 

tangannya, melepaskan serangan gelap. Sehing-

ga....

Crak!

"Aaa...!"

Ki Sapartoga kontan memekik tertahan, 

manakala dua senjata menghunjam bagian pung-

gung dan bahunya, yang langsung mengucurkan 

darah.


Dengan kemarahan meluap, bekas Ketua 

Perguruan Singa Emas ini berbalik sambil mengi-

baskan pedangnya ke arah dua lelaki yang telah 

melukai tubuhnya.

"Haaa...!"

Brets! Brets!

"Akh! Aaa...!"

Dua anak buah Datuk Lingga Merah kem-

bali terjungkal tertebas ujung pedang Ki Saparto-

ga. Namun, naas kembali dialami ayah kandung 

Dewi Nalar ini. Karena begitu berhasil merobohkan 

dua lawannya, serangan membokong cepat dilaku-

kan Datuk Lingga Merah.

"Haiiit..!"

Blugkh! 

"Hegkh!"

Ki Sapartoga kontan terhuyung ke depan, 

terhajar tendangan lurus berkekuatan tenaga da-

lam tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya am-

bruk ke tanah dan bergulingan.

"Sekarang saatnyalah kau mampus, Sapar-

toga!" bentak Datuk Lingga Merah, kembali me-

nyiapkan serangan susulan menggunakan senjata.

"Hiaaat..!"

Begitu tongkat Datuk Lingga Merah hampir 

menyentuh sasaran, tiba-tiba berkelebat bayangan 

kuning yang langsung memapak serangannya.

Trak!

"Heh?!"

***


Terkejut bukan kepalang datuk sesat dari 

wilayah selatan itu ketika serangannya kembali 

gagal. Bahkan tubuhnya sempat terhuyung tiga 

langkah ke belakang, ketika serangannya berhasil 

dipapak oleh orang lain.

"Setan usil!" bentak Datuk Lingga Merah.

Laki-laki berkepala botak setengah itu ge-

ram bukan kepalang, menyaksikan sosok muda 

nan tampan dan gagah berdiri tegak pada jarak 

empat batang tombak di depannya.

Pemuda berpakaian warna kuning keema-

san itu hanya tersenyum sedikit menanggapi har-

dikan lelaki berpakaian warna loreng merah ini.

"Maaf, Kisanak. Sungguh, aku tidak ber-

maksud mengusili seleramu," ucap pemuda gagah 

berpakaian kuning keemasan.

"Hmh...!"

Datuk Lingga Merah menggereng menden-

gar ucapan pemuda itu.

"Aku sebenarnya tak berminat mencampuri 

urusanmu. Tapi, aku kasihan sekali melihat Kisa-

nak itu," tambah pemuda ini sambil menunjuk ke 

arah Ki Sapartoga yang terkulai di tanah disertai 

erangan kesakitan.

"Keparat!" maki Datuk Lingga Merah. 

"Sayang, kali ini aku tak berselera adu tanding 

dengan mu. Tapi lain kali, jangan harap kau bisa 

melihat matahari esok pagi. Hm.... Sebutkan na-

mamu, agar aku mudah mencarimu!"

"Itu terserah, Kisanak. Catat saja. Namaku 

Jaka Sembada. Kau boleh mencariku sesuka ha-

timu," timpal pemuda yang tak lain Jaka Sembada.


Dan dia sebenarnya lebih dikenal sebagai Raja Pe-

tir.

"Hhh!" dengus Datuk Lingga Merah. "Ayo ki-

ta kejar gadis sial itu!"

Tatapan datuk dari selatan itu mengarah 

kepada dua anak buahnya yang masih tersisa. Se-

pertinya, dia memberi isyarat untuk tidak melade-

ni pemuda itu.

"Hops!"

Tubuh lelaki berkepala botak sebelah itu 

segera melesat cepat, diikuti dua orang anak 

buahnya yang berpakaian hitam.

Raja Petir sedikit pun tak bermaksud men-

cegah kepergian mereka. Langkahnya kini terayun 

menghampiri Ki Sapartoga.

"Ah! Luka-lukamu terlalu parah, Kisanak," 

desah Jaka, seraya berjongkok di hadapan Ki Sa-

partoga.

Ki Sapartoga tak menyahuti ucapan Raja 

Petir. Hanya wajahnya yang meringis menahan ra-

sa sakit Sementara, sepasang bola matanya meng-

hunjam ke wajah Jaka.

"Kenapa kau biarkan mereka pergi?" tanya 

Ki Sapartoga, bergetar.

Jaka tak menjawab ucapan Ki Sapartoga. 

Hanya ditatapnya wajah lelaki tua itu dengan pe-

rasaan iba.

"Kau telan pil ini dulu, Ki. Sekadar menghi-

langkan nyeri," tukas Jaka sambil menyerahkan 

pil warna merah darah yang diambil dari balik pa-

kaiannya.

Dengan wajah masih meringis, Ki Sapartoga


menelan pil pemberian Jaka. Hanya dalam bebe-

rapa saat saja, Ki Sapartoga merasakan perubahan 

pada dirinya. Rasa nyeri yang diderita akibat ben-

turan keras dan juga luka-luka pada tubuhnya te-

lah sedikit berkurang.

"Seharusnya jangan kau biarkan Datuk 

Lingga Merah mengejar putriku, Nak," keluh Ki 

Sapartoga, menyambung perkataannya yang tak 

dijawab Jaka.

"Apakah putrimu mengenakan pakaian su-

tera warna putih mengkilat, dan mengenakan se-

lendang merah?" Jaka balik bertanya.

Ki Sapartoga membetulkan pertanyaan Jaka 

dengan anggukan kepala.

"Kalau begitu, mudah-mudahan saja ka-

wanku bisa melindunginya, Ki," ujar Jaka.

Raja Petir langsung teringat pada Mayang 

Sutera yang tengah membuntuti gadis cantik ber-

pakaian putih yang tengah dikejar-kejar dua lelaki 

berpakaian warna hitam dan bersenjata golok

Tatapan mata Ki Sapartoga memancarkan 

keheranan mendengar ucapan Jaka. Namun ketika 

Raja Petir menjelaskan kalau kedatangannya tidak 

sendirian, Ki Sapartoga menjadi mengerti. Maka 

Jaka segera menceritakan apa yang dilihatnya ten-

tang Dewi Nalar kepada Ki Sapartoga.

***

"Begitulah ceritanya, Ki. Semoga saja 

Mayang bisa membantu putrimu," tukas Jaka 

mengakhiri penjelasannya.



Ki Sapartoga mengerang kembali, sesaat 

Jaka menyelesaikan ucapannya.

"Ki...?" 

Tubuh Ki Sapartoga diguncang tangan Ja-

ka.

"Sebenarnya apa yang tengah terjadi?" 

tanya Jaka agak mencemaskan keadaan lelaki be-

rusia setengah abad berpakaian putih ini.

"Siapa namamu, Nak?" Ki Sapartoga malah 

melempar pertanyaan.

"Panggil saja Jaka, Ki," jawab Jaka.

Mata Ki Sapartoga seketika itu juga terbela-

lak, setelah Jaka menyebutkan namanya.

"Kaukah Jaka Sembada?" tanya Ki Saparto-

ga ingin menegaskan, dengan nada keterkejutan 

yang kentara.

Jaka menganggukkan kepala pelan, sebagai 

jawabannya. Dan seketika itu juga, lelaki ayah 

kandung Dewi Nalar ini mengencangkan pegan-

gannya pada tangan Jaka.

"Raja Petir! Bantulah aku. Tolong sela-

matkan anakku dan juga Arca Singa Emas yang 

berada di tangannya," pinta Ki Sapartoga seperti 

merengek.

Sebenarnya Jaka risih juga ketika Ki Sapar-

toga menyebut julukannya.

"Arca Singa Emas?" batin Jaka.

"Aku rela kalau kau yang akhirnya yang 

menguasai Arca Singa Emas itu, Raja Petir. Karena 

aku yakin, kau akan mampu menjaganya dari in-

caran tokoh-tokoh berilmu tinggi golongan hitam. 

Lakukanlah itu untukku, Raja Petir. Selamatkan


anakku dan Arca Singa Emas itu," ujar Ki Sapar-

toga lagi meratap.

Jaka tak segera menyetujui ucapan Ki Sa-

partoga. Hatinya bertanya-tanya. Ada teka-teki 

apakah di balik Arca Singa Emas itu, sehingga to-

koh-tokoh sakti rimba persilatan golongan hitam 

memburunya

"Ki...?"

Jaka mengguncang tubuh Ki Sapartoga ke-

tika mata lelaki tua itu terpejam.

"Hhh...!" 

Ki Sapartoga hanya menarik napas panjang 

ketika bahunya diguncang Jaka. Dan pada saat itu 

pula, napasnya tak lagi ada di dadanya. Nyawa Ki 

Sapartoga telah pergi meninggalkan raga, karena 

terlalu banyak mengeluarkan darah.

"Ah! Kasihan sekali kau, Ki," desah Jaka 

sambil bangkit dari jongkoknya. "Dan maafkan 

aku kalau tak sempat menguburkan mayatmu. 

Aku harus memenuhi permintaan terakhirmu, un-

tuk menyelamatkan putrimu dan juga Arca Singa 

Emas itu."

Setelah menatap mayat Ki Sapartoga seben-

tar, Jaka segera berbalik. Dan dengan sekali hen-

tak, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan 

mayat Ki Sapartoga. Raja Petir berlari ke arah 

Mayang Sutera yang membuntuti putri Ki Saparto-

ga.

"Hops!"

***


Telah berpal-pal jauhnya Jaka berlari, na-

mun sudah sejauh itu tak juga menemui tanda-

tanda terlihatnya Mayang Sutera dan gadis cantik 

berpakaian warna putih mengkilat yang tengah di-

buntuti.

"Hm.... Pertigaan? Jalan mana yang harus 

kuambil?" gumam Jaka ketika menemui jalan yang 

terbelah dua ke kiri dan kanan.

Beberapa saat lamanya Raja Petir hanya 

berdiam diri. Namun pada saat selanjutnya, tu-

buhnya kembali bergerak cepat, yang dipilihnya 

adalah jalan sebelah kiri.

"Hops!"

Baru dua pal Jaka bergerak mengambil ja-

lan sebelah kiri Desa Granggas, tiba-tiba saja te-

linganya yang tajam mendengar suara pertarun-

gan. Seketika diperhatikannya suara itu dengan te-

liti. Dan Raja Petir berkesimpulan, suara memekik 

geram yang terdengar adalah milik perempuan.

Raja Petir tentu saja tak mau membuang-

buang waktu. Maka seketika itu juga, tempo la-

rinya dipercepat agar segera sampai di tempat per-

tempuran.

"Mayang...," ucap Jaka pelan ketika tiba di 

tempat pertempuran.

Raja Petir langsung menyaksikan kekasih-

nya telah bertarung melawan lelaki berkepala bo-

tak sebelah, yang tak lain Datuk Lingga Merah. 

Namun pemuda ini tak segera turun ke dalam 

kancah pertarungan. Sementara, putri Ki Saparto-

ga tengah bertarung melawan dua orang laki-laki 

berbaju hitam dan bersenjatakan golok. Jaka


hanya memperhatikan pertarungan dari jarak yang 

terjaga. Dan tampaknya pertarungan berjalan 

seimbang.

Dan ketika lelaki berpakaian warna merah 

loreng itu hendak melakukan kelicikan, maka Jaka 

segera bergerak sambil melancarkan 'Pukulan 

Pengacau Arah' yang didapat dari Eyang Putri Se-

lasih.

"Hiyaaa...!"

Wuusss!


TIGA



Pusaran angin yang keluar dari ilmu 

'Pukulan Pengacau Arah' dari Raja Petir bergulung 

deras ke arah jarum-jarum beracun, yang meluruk 

deras ke arah Mayang Sutera.

Pratps! Pratps!

Benturan keras pun seketika terjadi. Ja-

rum-jarum beracun milik Datuk Lingga Merah 

langsung berhamburan tak tentu arah. Bahkan 

sebagian berpatahan dan runtuh ke tanah.

Jligkh!

"Manusia licik!" maki Jaka ketika menda-

ratkan kakinya tak jauh dari tempat Mayang ber-

diri.

"Kakang...!" teriak Mayang, girang menyak-

sikan kemunculan kekasihnya.

"Raja Petir!" sentak Datuk Lingga Merah 

yang sudah mengenal, setelah pertemuan pertama 

mereka tadi. "Ternyata kau betul-betul ingin me-

nantangku!"


Jaka hanya menimpali bentakan itu dengan 

tatapan menusuk ke wajah kasar lelaki berkepala 

botak sebelah.

"Semula aku tak berselera bertarung mela-

wan bocah ingusan sepertimu! Tetapi karena ma-

sih lancang mencampuri urusan orang, maka ke-

matianlah yang pantas kau dapatkan!" lanjut Da-

tuk Lingga Merah lantang.

"Aku perlu bukti atas bacot besarmu itu," 

balas Jaka tenang.

"Hmh...! Garda, Maijan! Mainkan jurus 

'Menusuk Rembulan' untuk memanggang leher 

bocah angkuh itu!" teriak Datuk Lingga Merah pa-

da dua anak buahnya yang masih tersisa, disertai 

geraman keras.

Dua laki-laki yang dipanggil Garda dan Mar-

jan bergerak cepat dengan senjata tersilang di de-

pan dada.

Wuk! Wuk!

Mayang yang menyaksikan tiga orang hen-

dak mengeroyok Jaka, semula hendak ikut ambil 

bagian. Akan tetapi tangan Jaka yang terangkat 

membuat gadis cantik kekasih Raja Petir ini men-

gurungkan keinginannya.

"Seraaang...!"

Sekeras perintah yang keluar dari mulut 

Datuk Lingga Merah, sekeras itu pula teriakan 

Garda dan Marjan terdengar mengiringi tubuhnya 

yang berkelebat

"Hiyaaa...!"

"Yeaaat..!"

Wiiing! Wuuung!


Raja Petir cepat merunduk, menghindari 

terjangan dua bilah tombak lawan-lawannya. Dan 

tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya berge-

rak cepat

Tap! Tap!

Dua bilah tombak yang mencecar langsung 

tertangkap. Tombak milik Garda dan Marjan kini 

tercekal kuat di telapak tangan Raja Petir.

Kedua orang itu berusaha menarik pulang 

senjatanya. Namun, apakah arti tenaga dalam me-

reka yang masih berada jauh di bawah Raja Petir? 

Dan tentu saja usaha keduanya pun menjadi bela-

ka.

Melihat kedua anak buahnya tak kuasa 

menghadapi Raja Petir, Datuk Lingga Merah segera 

saja menerapkan kembali siasat liciknya.

Di tengah-tengah kedudukan Jaka yang 

tengah menahan betotan Garda dan Marjan, tiba-

tiba tubuh Datuk Lingga Merah melesat disertai 

pengerahan jurus 'Tombak Maut Datuk Sakti'.

"Haaat..!"

Jaka tentu saja sadar akan kelicikan lelaki 

berkepala botak sebelah itu. Dan dia tak tanggung-

tanggung lagi ingin memberi pelajaran padanya. 

Maka seketika itu juga, ajian 'Kukuh Karang' ter-

cipta. Tubuhnya kini terbungkus sinar warna kun-

ing menyilaukan.

Dan ketika tubuh Datuk Lingga Merah yang 

berada di udara tiba, maka....

Trak!

"Aaa...!" 

Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian lo



reng merah itu seketika terpental balik, ketika 

tombaknya menghantam tubuh Raja Petir. Bahkan 

pada saat bersamaan, Dewi Nalar mencelat deras 

sambil mengayunkan selendang merahnya disertai 

ilmu 'Selendang Merah'. 

"Mampus kau, Datuk Sesat Hiyaaa...!"

Tak ada kesempatan lagi bagi datuk sesat 

dari selatan itu untuk menghindar. Apalagi, tu-

buhnya tengah berada di udara. Sehingga....

Ctar!

Drak!

"Aaa...!"

Jeritan kedua terdengar dari mulut Datuk 

Lingga Merah begitu tersengat selendang merah 

milik Dewi Nalar. Tubuhnya kembali terpental ba-

lik ke belakang, agak bergeser sedikit ke arah ka-

nan.

Bruk!

Tubuh Datuk Lingga Merah langsung am-

bruk tanpa nyawa. Bagian dadanya yang tersam-

bar selendang milik Dewi Nalar nampak luka men-

ganga lebar.

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Sementara itu dua jeritan kematian kembali 

terdengar berturut-turut. Kali ini, keluar dari mu-

lut Garda dan Marjan akibat tak kuasa menerima 

sengatan panas dari aji 'Kukuh Karang' yang se-

sungguhnya ditujukan untuk Datuk Lingga Merah. 

Akibatnya, tubuh mereka pun menemui nasib sa-

ma dengan Datuk Lingga Merah.


***

Setelah kematian Datuk Lingga Merah dan 

kedua anak buahnya, gadis cantik berambut di-

kuncir sebahu itu segera menghampiri Mayang 

yang sudah bergabung dengan Jaka.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini," 

ucap Dewi Nalar, pelan. "Dan juga kau, Kisanak."

Dewi Nalar menatap wajah tampan Raja Pe-

tir. Jelas, tatapannya menyiratkan kekaguman.

"Ah! Tak perlu kau ucapkan itu," kilah 

Mayang mengalihkan tatapan mata Dewi Nalar 

yang terus-menerus menatap ketampanan wajah 

Raja Petir. "Oh, ya. Panggil aku Mayang. Dan, Ni-

sanak siapa?"

Mayang langsung menjulurkan telapak tan-

gannya. Sedangkan Dewi Nalar tersenyum sebelum

membalas uluran tangan Mayang. Dan ketika tan-

gannya menyambut tangan Mayang....

"Dewi Nalar...," sahut gadis berpakaian su-

tera putih ini, menyebutkan namanya.

Kini ganti Mayang yang tersenyum.

"Namamu bagus," puji Mayang terus terang. 

"Sebagus parasmu."

Dewi Nalar tersipu-sipu mendengar pujian 

Mayang. Padahal diakuinya sendiri, wajah Mayang 

tak kalah cantik.

"Oh, ya. Kawanku ini bernama Jaka," tukas 

Mayang kemudian memperkenalkan kekasihnya.

Dewi Nalar segera mengulurkan tangan, 

tanpa menyebutkan namanya lagi.

"Apakah nama lengkap Kakang adalah Jaka


Sembada?" tanya Dewi Nalar hati-hati.

Jaka menganggukkan kepala membenarkan 

pertanyaan gadis cantik di depannya.

"Berarti Kakang yang berjuluk Raja Petir?" 

desak Dewi Nalar kemudian, ingin menegaskan.

"Lupakan julukan kosong itu, Dewi," bantah 

Jaka merendah.

"Julukanmu tidak kosong, Kakang," sangkal

Dewi Nalar. "Ayahku...."

Dewi Nalar menghentikan ucapannya. Wa-

jahnya yang baru sesaat terlihat cerah, kini kem-

bali tersaput mendung.

"Eh! Aku..., aku harus menemui ayah dulu," 

ujar Dewi Nalar. Kemudian gadis itu hendak me-

langkahkan kakinya, meninggalkan Jaka dan 

Mayang.

"Tunggu dulu, Dewi," tahan Jaka dengan 

suara yang cukup tegas.

Apa yang dilakukan Jaka dengan menahan 

kepergian gadis cantik berambut dikuncir sebahu 

itu, tentu saja membuat Mayang heran. Rasa cem-

buru sepertinya nampak dari cara menatap wajah 

kekasihnya.

Dewi Nalar sendiri memang betul-betul 

mengurungkan niatnya. Bahkan tatapan matanya 

kini tertuju lurus ke wajah Jaka.

"Maafkan aku, Dewi. Aku gagal menyela-

matkan nyawa ayahmu. Yang Kuasa telah me-

manggilnya," ucap Jaka pelan.

"Akh!" 

Dewi Nalar memekik tertahan mendengar 

penjelasan Raja Petir. Mendung di wajahnya kini


berubah menjadi sebuah hujan derai air mata. Ba-

hu gadis itu tampak berguncang-guncang.

Mayang yang seolah ikut merasakan kedu-

kaan Dewi Nalar, segera saja mendekatinya. Lang-

sung dirangkulnya tubuh gadis berpakaian putih 

itu.

"Tabahkan hatimu, Dewi," hibur Mayang. 

"Segalanya telah diatur sang Pencipta. Setiap 

makhluk yang bernyawa, pasti akan menjumpai 

kematian. Dan kita semua bakalan menyusulnya, 

meski entah kapan."

Isak Dewi Nalar semakin jelas, setelah men-

dengar kata-kata gadis berjuluk Dewi Payung 

Emas itu. Sungguh! Dewi Nalar bukan saja men-

gingat kematian ayahnya. Tapi, juga bayangan 

ibunya yang tewas terbantai Lima Jin Gunung 

Sampa yang kembali melintas di pelupuk matanya. 

Dia kini seorang diri. Sebatang kara!

"Aku belum sempat menguburkannya, ka-

rena khawatir dengan keselamatan kalian berdua," 

tukas Jaka lagi, seraya mendekati Mayang yang 

tengah menghibur Dewi Nalar. "Kita bisa melaku-

kannya sekarang, Dewi. Mari...."

"Ayo, Dewi," ajak Mayang pula dengan tan-

gan merendeng tubuh putri tunggal almarhum Ki 

Sapartoga ini.

Apa yang dilakukan Jaka dan Mayang se-

makin membuat keterharuan di hati Dewi Nalar 

semakin terasa.

"Ah! Aku semakin menyusahkan kalian sa-

ja," desah Dewi Nalar. Nada suaranya jelas ter-

ganggu sisa isaknya.


"Jangan pikirkan itu, Dewi," kilah Mayang.

Angin berhembus semilir ketika Jaka, 

Mayang, dan Dewi Nalar bergerak menuju ujung 

Desa Granggas untuk menemui mayat Ki Saparto-

ga. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata 

pun yang terucap. Mereka terus berjalan dengan 

pikiran di benak masing-masing.

***

"Ayaaah...!"

Dewi Nalar memekik keras, langsung ber-

hambur cepat ke jasad ayahnya yang terbujur ka-

ku. Kemudian tubuhnya bersimpuh, seraya men-

ciumi wajah ayahnya.

"Ayaaah...!"

Kembali suara Dewi terdengar memanggil-

manggil dengan perasaan bergetar. Sementara, air 

matanya pun memburai membasahi pakaian Ki 

Sapartoga yang sudah ternodai bercak-bercak da-

rah.

"Ayah! Kenapa kau tinggalkan aku secepat 

ini. Aku masih membutuhkan perhatian dan bim-

binganmu. Ayah," ratap Dewi Nalar dengan telapak 

tangan meraba-raba wajah pucat pasi ayahnya.

Suasana haru seperti itu tentu saja mem-

buat Jaka dan Mayang ikut hanyut di dalamnya. 

Sehingga, akhirnya Mayang menghampiri gadis 

cantik putri almarhum Ki Sapartoga ini. 

"Sudahlah, Dewi. Jangan terlalu diratapi 

kepergian orangtuamu. Lebih baik, kita makamkan 

saja jenazahnya sekarang juga," hibur Mayang pe


lan.

Dewi Nalar menatap wajah Mayang.

"Memang sebaiknya begitu, Nini Mayang," 

sambut Dewi Nalar dengan suara terdengar agak

"Ayo, Kakang. Bantu mengangkat tubuh 

orangtua Dewi," ajak Mayang pada Jaka.

Raja Petir dengan gerak cepat segera me-

mondong tubuh Ki Sapartoga. Lalu, matanya me-

natap ke arah Dewi Nalar.

"Di mana tempat yang baik menurutmu, 

Dewi?" tanya Jaka sambil memondong mayat Ki 

Sapartoga.

Dewi Nalar tak segera menjawab. Sementara 

bola matanya yang indah terlihat bergerak-gerak, 

mencari tempat untuk menguburkan jasad ayah-

nya.

"Bagaimana kalau di kamar pribadi ayah sa-

ja, Kakang Jaka?" kata Dewi Nalar meminta pen-

dapat, ketika tak menemukan tempat yang cocok 

untuk mengubur mayat ayahnya.

"Terserah kau saja, Dewi," desah Jaka, me-

nyetujui usul putri almarhum Ki Sapartoga ini.

Bergegas Dewi Nalar bergerak lebih dulu ke 

rumahnya. Dibukanya pintu, dan ditunjukkannya 

letak kamar pribadi ayahnya. Sedangkan Jaka dan 

Mayang mengikuti langkah kaki Dewi Nalar.

"Di dekat lemari itu saja, Kakang Jaka," ujar 

Dewi Nalar sambil menunjuk arah utara kamar Ki 

Sapartoga yang cukup luas.

Jaka segera menurunkan mayat Ki Saparto-

ga yang berada dalam pondongannya. Kemudian, 

dia bergerak ke arah yang ditunjuk Dewi Nalar.


Dengan peralatan seadanya, Raja Petir 

menggali liang lahat untuk menguburkan mayat Ki 

Sapartoga. Hanya dalam waktu singkat, lubang itu 

sudah selesai digali.

Dewi Nalar tentu saja terkagum-kagum me-

nyaksikan kecepatan kerja tokoh muda yang ber-

juluk Raja Petir ini. Meski menggunakan peralatan 

seadanya, namun Jaka mampu bekerja cepat tan-

pa bersimbah peluh di tubuhnya.

Selesai menggali liang lahat, Jaka kembali 

mengangkat tubuh Ki Sapartoga. Lalu dibawanya 

mayat itu turun dan diletakkan dengan hati-hati di 

dasar lubang.

"Jangan ditimbun dulu, Kakang Jaka," pin-

ta Dewi Nalar, menahan gerakan Jaka yang hen-

dak menurunkan tanah bekas galian.

Jaka tentu saja segera menoleh dan mena-

tapi wajah Dewi Nalar.

"Ada apa, Dewi?" tanya Jaka pelan.

Dewi Nalar membiarkan pertanyaan Jaka 

beberapa saat, dengan tatapan tertuju ke mayat 

ayahnya yang sudah rebah di lubang kubur.

Sedangkan Jaka tak kembali bertanya, me-

lihat apa yang dilakukan gadis cantik putri Ki Sa-

partoga itu. Mungkin apa yang dilakukannya ada-

lah sesuatu yang bersifat penghormatan terhadap 

hari-hari terakhir melihat ayahnya.

"Sebaiknya benda ini dibenam saja bersama 

jasad ayah," ujar Dewi Nalar, seraya meraih sesua-

tu dari balik pakaiannya.

Tatapan mata Jaka dan Mayang terpaku, 

menyaksikan sebuah benda warna kuning keema


san berbentuk seekor singa di tangan Dewi Nalar. 

Sebuah benda yang besarnya tak melebihi seekor 

anak ayam.

"Itukah Arca Singa Emas, Dewi?" tanya Ja-

ka, melihat keberadaan benda yang pernah dis-

ebut-sebut Ki Sapartoga.

"Betul!" jawab Dewi Nalar, tegas. "Apakah 

Kakang tahu nama benda ini dari ayahku?"

"Ya," jawab Jaka, singkat.

"Maaf, Kakang. Apa saja yang dikatakan 

ayah tentang benda peninggalan leluhurku ini?" 

tanya Dewi Nalar lagi, ingin tahu.

"Tak banyak. Ayahmu hanya beramanat pa-

daku untuk menyelamatkan benda pusaka milik 

leluhurnya," sahut Jaka.

Dewi Nalar terdiam mendengar cerita Jaka. 

Sungguh hatinya bersyukur telah berjumpa den-

gan seorang tokoh muda yang memiliki kesaktian 

tinggi. Selama ini, dia hanya pernah mendengar 

cerita dari ayahnya, tentang kesaktian dan keren-

dahan hati Raja Petir.

Dan Dewi Nalar juga beranggapan kalau Ra-

ja Petir adalah seorang tokoh muda yang memiliki 

ketampanan seperti tokoh-tokoh yang dilihatnya. 

Dan kenyataannya?

Dewi Nalar melihat Jaka sebagai pemuda 

yang benar-benar memiliki daya tarik tersendiri. 

Bahkan hatinya terasa bergetar, saat beradu pan-

dang dengan Raja Petir Namun gadis putri Ki Sa-

partoga itu berusaha membunuh kekagumannya 

sendiri. Dia tak ingin pada akhirnya perasaan itu 

malah mencabik-cabik hatinya. Apalagi Dewi Nalar


juga tak ingin menyinggung hati perempuan yang 

sudah dipastikan sebagai kekasih Jaka.

"Tak ada yang lain yang diceritakan ayahku, 

Kakang?" ucap Dewi Nalar setelah sesaat lamanya 

terdiam.

"Ada. Ayahmu juga meminta agar aku me-

nyelamatkan dirimu dari orang-orang yang men-

gincar Arca Singa Emas itu," jelas Jaka sambil 

menunjuk benda warna kuning keemasan yang 

memang terbuat dari logam mulia.

Mayang hanya diam saja mendengarkan 

percakapan antara Jaka dan Dewi Nalar.

"Dewi.... Kalau kau ingin mengubur benda 

itu bersama jasad ayahmu, silakan saja. Mungkin 

itu lebih baik," ujar Jaka. 

"Ah...," desah Dewi Nalar tiba-tiba. 'Tidak" 

Mayang dan Jaka saling bertatapan, mendengar 

ucapan Dewi Nalar yang tak selesai.

"Aku harus mengikuti pesan ayah," ujar 

Dewi Nalar lagi. "Benda peninggalan leluhurku ini 

harus kuserahkan pada Kakang. Di tanganmu, 

benda ini pasti aman dan dunia peralatan tak 

akan kacau"

"Apa maksud ucapanmu, Dewi. Masak ka-

rena Arca itu berada di tanganku, lantas dunia pe-

ralatan tak akan kacau?" tanya Jaka menyelidiki 

teka-teki yang menyelimuti Arca Singa Emas itu.

"Nanti saja kujelaskan, Kakang. Sekarang, 

terimalah Arca ini," selak Dewi Nalar seraya me-

nyerahkan Arca Singa Emas pada Jaka. 

"Dewi...."

"Terimalah, Kakang."


"Ha ha ha...!"

Belum lagi Jaka menerima Arca Singa Emas 

yang disodorkan Dewi Nalar, sebuah tawa mengge-

legar terdengar jelas dari luar.

"Lebih baik, serahkan Arca itu padaku, Cah 

Ayu. Dan kau akan kuangkat jadi istriku," ujar su-

ara dari luar, disertai pengerahan tenaga dalam 

tinggi.

"Masukkan benda itu kembali, Dewi," ujar 

Jaka, memerintah.

Dewi Nalar segera menuruti ucapan Jaka. 

Kemudian ketiganya bergerak ke luar, menghampi-

ri pemilik suara lancang tadi.


EMPAT



Ketika keluar dari rumah yang sudah ber-

tahun-tahun ditempati, Dewi Nalar terkejut me-

nyaksikan kehadiran tiga lelaki bertubuh seperti 

badut dengan perut buncit. Mereka mengenakan 

pakaian warna-warni dengan wajah coreng-moreng 

merah, biru, dan hijau.

Keterkejutan Dewi Nalar ternyata dialami 

pula oleh tiga lelaki layak badut itu. Maka ketiga 

lelaki yang berjuluk Tiga Badut Pulau Angker ini 

sedikit terbelalak, mendapati kehadiran Raja Petir 

di hadapannya.

"Cah ayu! Cepat serahkan Arca Singa Emas 

itu padaku!" bentak lelaki berperut buncit yang 

rambutnya kemerahan. "Atau, kupukul pecah ke


pala mu!"

Tiba-tiba salah seorang dari Tiga Badut Pu-

lau Angker membentak kasar. Senjatanya yang be-

rupa gada hitam berduri berukuran besar, terang-

kat ke atas kepala.

"Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin 

memiliki benda leluhurku!" balas Dewi Nalar den-

gar keberanian luar biasa.

Jaka dan Mayang terkagum-kagum juga 

menyaksikan keberanian gadis cantik putri almar-

hum Ki Sapartoga ini. Begitu juga Tiga Badut Pu-

lau Angker yang tak menyangka mendapatkan ja-

waban galak seperti itu.

"Aku senang mendapatkan gadis galakmu! 

Namun sayang, hari ini aku lebih mementingkan 

Arca Singa Emas. Hop!"

Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker 

itu bergerak mendekati Dewi Nalar. Gerakannya 

terlihat cepat dan ringan.

"Hop!" Jaka pun beringsut mendekati Dewi 

Nalar. "Sabar, Nisanak."

"Hm.... Rupanya kau juga menginginkan 

benda itu. Raja Petir," gumam lelaki berambut ke-

merahan dengan tatapan tajam ke arah Jaka. "Da-

ri caramu itu lebih kotor, dengan merayu-rayu se-

perti hidung belang!"

'Tutup mulutmu, Badut Gila!" maki Mayang 

mendengar hinaan terhadap diri Jaka.

"Hi hi hi.... Kau juga galak, Nini. Hm.... Be-

rarti aku mempunyai kesempatan mendapatkan 

dua gadis galak untuk menjadi teman penghibur."

"Phuih!"


Berbarengan Mayang dan Dewi Nalar mem-

buang ludah ke tanah.

"Wajahmu saja tak sedap untuk dipandang, 

Badut Buruk! Mana mungkin ada gadis yang mau 

jadi penghibur dirimu?" tukas Dewi Nalar balas 

meledek

"Kita buktikan sekarang saja, Kakang Bali-

ga!" ujar orang kedua dari Tiga Badut Pulau Ang-

ker yang matanya tak beralis sedikit pun.

"Betul kata Kakang Baligu, Kakang," timpal 

lelaki yang berambut keriting halus. "Kita sikat 

habis saja mereka. Jangan kasih hati. Bukankah 

tujuan kita jauh-jauh mencari Arca keramat itu?"

"Ha ha ha.... Kalian berdua betul, Baligu 

dan Balguli. Ayo!"

Rrrrttt..!

Orang tertua dari Tiga Badut Pulau Angker 

yang bernama Baliga seketika itu juga menga-

cungkan gada berduri yang berwarna hitam tinggi-

tinggi. Gada berduri itu terangkat, disertai penge-

rahan tenaga dalam tinggi, hingga menimbulkan 

bunyi yang mengerikan.

Apa yang dilakukan lelaki berambut keme-

rahan itu juga dilakukan Baligu dan Balguli.

"Biar aku yang menghadapi Raja Petir," 

ucap Baliga seraya melompat ke arah Jaka. Se-

mentara Baligu lebih memilih Mayang. Sedangkan 

Dewi Nalar menjadi lawan Balguli.

Pertarungan seketika pecah menjadi tiga 

bagian. Putri almarhum Ki Sapartoga itu langsung 

menggunakan senjatanya yang berupa selendang 

warna merah darah untuk menghadapi Balguli.


"He he he.... Cah ayu, keluarkan seluruh 

ilmumu kalau kau tak ingin kupeluk," ledek Bal-

guli yang berambut keriting halus dengan serin-

gainya yang tak enak dilihat.

"Lakukanlah kalau kepalamu ingin pisah 

dari badan," sentak Dewi Nalar.

"Hiyaaa..!" 

Balguli yang berambut keriting ini bergerak 

sambil mengayunkan gada ke arah dada Dewi Na-

lar. Bunyi menderu terdengar mengiringi serangan 

orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker ini. 

Wurttt...!

"Heits!"

Dewi Nalar langsung berkelit ke belakang, 

manakala senjata milik Balguli memburu bagian 

dadanya. Dalam keadaan tubuh yang doyong ke 

belakang, kedua telapak tangannya dijatuhkan 

dengan melenturkan tubuh. Lalu dengan gerakan 

cukup memikat, gadis berpakaian putih mengkilat 

itu melenting rendah dan cepat.

"Hops!"

"Hup!"

Jarak antara Balguli dengan Dewi Nalar kini 

menjadi beberapa batang tombak. Namun laki-laki 

berambut keriting itu terkagum-kagum menyaksi-

kan keindahan dan kelenturan gerak lawannya. 

Sehingga, dia tak mengejar gerakan menghindar 

Dewi Nalar.

"Ayo serang lagi, Badut Jelek!" ledek Dewi 

Nalar memancing kemarahan Balguli yang berpa-

kaian warna-warni. Sementara wajahnya terlihat 

coreng-moreng oleh warna merah, hijau, dan biru.


"Ha ha ha.... Kau menantangku, Cah Ayu? 

Rasakanlah nanti pelukanku," ujar Balguli. Lang-

kah kakinya kembali terangkat menghampiri Dewi 

Nalar.

Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja 

bersiap-siap menghadapi serbuan lawannya. Se-

buah jurus yang didapat dari ayahnya akan digu-

nakan untuk menghadapi serangan Balguli.

"Hops!"

Dengan kuda-kuda rendah, Dewi Nalar ter-

lihat betul-betul telah siap memamerkan ilmu me-

nyerang yang dahsyat

"Hiyaaa...!"

"Haaat...!"

Dewi Nalar langsung menghentakkan kaki 

ketika badut berambut keriting itu kembali berge-

rak. Hentakan kakinya cukup kuat, sehingga tu-

buhnya sekonyong-konyong melesat ke udara den-

gan kaki hendak memberi tendangan dari atas 

mencecar pala.

Wurrrrt...!

"Eits!"

Gerakan Balguli yang hendak memotong la-

ju gerakan kaki Dewi Nalar, segera bisa terbaca. 

Putri almarhum Ki Sapartoga itu memindahkan 

kakinya. Lalu dengan kecepatan mengagumkan, 

tubuhnya kembali bergerak ke bagian leher lawan.

"Mampus kau!"

"Huts!"

Dengan gerakan lucu, seperti anak kecil ke-

takutan, dilakukan Balguli. Dan dengan gerakan 

itu, mampu menyelamatkannya dari serbuan kaki


kanan Dewi Nalar.

"He he he...!" Balguli kembali terkekeh. "Ru-

panya hanya sampai di gitu jurus menyerang yang 

kau miliki, Cah Ayu? Apa tak ada yang lebih dah-

syat?"

"Jangan sombong kau, Badut Jelek!" balas 

Dewi Nalar keras.

"Bukannya sombong, Cah Ayu. Kalau kau 

tak memiliki kepandaian, bagaimana akan menja-

tuhkan lawan?" ulas Balguli.

"Keluarkan ilmumu, Badut Jelek! Biar ku-

hadapi dengan selendangku ini!"

"He he he.... Ayolah! Kita adu antara selen-

dangmu yang lembut dengan gadaku yang kasar," 

tantang orang ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker 

ini.

Wurk! Wurk! Wurk!

Balguli tiba-tiba saja memutar-mutar gada 

yang berada di tangan kanannya. Bunyi berisik 

terdengar dari putaran gada berwarna hitam yang 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin 

bergulung pun keluar dari putaran gada yang begi-

tu cepat, sehingga menerbangkan batu-batu kerikil 

di sekitarnya.

Terkesiap juga hati Dewi Nalar menyaksikan 

keganasan perputaran senjata yang dilakukan la-

wannya. Namun hatinya yakin, kalau selendang 

merah yang akan dimainkan dalam jurus ilmu 

'Selendang Merah' akan mampu meredam kegana-

san gada berduri milik Balguli.

"Hiyaaa...!"

Wuuurk!


Balguli mengayunkan gadanya dalam kece-

patan dahsyat. 

Ctar!

Dewi Nalar tak kalah sigap. Cepat selen-

dangnya dikebutkan untuk memapak ayunan gada 

lawan. Sehingga....

Brrrrt...!

Selendang warna merah milik Dewi Nalar 

seketika bergulung di gerigi-gerigi gada milik Bal-

guli. Putri almarhum Ki Sapartoga ini tentu saja 

terkejut mendapat kenyataan seperti itu.

Seharusnya gada milik Balguli patah jadi 

dua saat ujung selendang merah Dewi Nalar 

menghantam keras. Namun nyatanya....

"Hm.... Hebat sekali dia," puji Dewi Nalar 

dalam hati.

"Ayo! Lepaskan senjatamu dari tubuh senja-

taku ini, Cah Ayu!" ejek Balguli pongah. 

Kelakuan laki-laki berperut buncit dan be-

rambut keriting itu tentu saja membuat Dewi Nalar 

naik darah. Segera saja tenaganya dikerahkan un-

tuk berputaran ke arah yang berlawanan dari se-

lendang yang membelit di gada berduri itu.

"Hih!"

"Eits!"

Balguli ternyata mampu membaca maksud 

Dewi Nalar yang hendak melepaskan selendang 

dengan cara memutar belitan dari arah berlawa-

nan. Maka lelaki berperut buncit itu juga ikut ber-

putaran. Akibatnya, Dewi Nalar tak kuasa mele-

paskan selendangnya yang membelit di gada hitam 

berduri.


"Hih!"

Kali ini Dewi Nalar berusaha menarik selen-

dangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. 

Tetapi sedikit pun lawannya tak terpengaruh.

"Jangan bodoh, Cah Ayu. Nanti selendang-

mu bisa rusak," ledek orang ketiga dari Tiga Badut 

Pulau Angker.

"Hhh...!"

Dewi Nalar tidak mempedulikan Balguli. 

Dan dengan sebisanya terus berusaha melepaskan 

selendangnya yang membelit di gada berduri laki-

laki berperut buncit dan berambut keriting ini

***

Sementara itu, pada pertarungan Mayang 

melawan Baligu yang merupakan orang kedua dari 

Tiga Badut Pulau Angker, berlangsung cukup seru 

dan cepat

"Hiyaaa...!"

Sebuah tendangan menggeledek yang te-

rangkum dalam jurus ‘Menepak Laut Menggeng-

gam Air’ dilakukan Mayang dengan sempurna. Ba-

ligu yang sama sekali tak menduga datangnya se-

rangan, tak kuasa menghindarinya. Apalagi ten-

dangan itu dilakukan cepat bagai kilat. Sehing-

ga.... 

Bugk! 

"Aaakh...!"

Telapak kaki gadis berjuluk Dewi Payung 

Emas ini menghantam tepat di dada laki-laki tan-

pa alis itu. Akibatnya, Baligu langsung terhuyung


huyung sambil menekap dadanya yang terasa se-

sak bukan kepalang.

Pada saat lawannya jatuh terjerembab, 

Mayang menyaksikan Dewi Nalar dalam keadaan 

genting. Gada bergerigi milik Balguli nampak se-

makin banyak menggulung selendang merah milik 

Dewi Nalar.

"Hiaaat..!" 

Wuk..!

Mayang langsung melesat ke arah Dewi Na-

lar yang tengah bertarung melawan orang termuda 

dari Tiga Badut Pulau Angker. Senjatanya yang be-

rupa payung besi warna kuning keemasan lang-

sung dimainkan dalam jurus 'Benteng Emas'. Ju-

rus ini memang berguna untuk menyerang dan 

bertahan.

Suara menderu nyaring kontan terdengar 

dari payung besi milik Dewi Payung Emas yang 

berputar cepat

"Lepaskan senjatanya, Badut!" sentak 

Mayang sambil mengarahkan senjatanya yang 

berputar ke arah leher lelaki berambut keriting itu.

Wrrruukh...!

"Heh!?"

"Uts!"

Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Ang-

ker ini tak menyangka kalau gadis yang menjadi 

lawan kakaknya kini meluruk dengan senjata ke 

arahnya. Maka sebisanya dia membuang diri, sete-

lah lebih dulu memutar gadanya ke arah yang ber-

lawanan untuk melepaskan selendang yang mem-

belit senjatanya.


Balguli berhasil menyelamatkan kepalanya 

dari incaran payung besi milik Mayang, setelah 

bergulingan beberapa kali. Kini sosoknya yang 

berperut buncit telah bangkit kembali, berjarak 

kurang lebih dua setengah batang tombak dari ke-

kasih Raja Petir ini.

"Hm...," gumam Balguli sambil menatap ta-

jam wajah Dewi Payung Emas. "Hebat juga kepan-

daianmu!"

"Memang harus hebat untuk bisa menun-

dukkan badut jelek itu!" balas Mayang sambil me-

nunjuk tubuh Baligu yang masih terduduk di ta-

nah dengan tangan memegangi dadanya yang se-

perti melesak. Darah tampak merembes dari sela 

bibir lelaki bermata sipit itu.

Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Ang-

ker ini mengikuti telunjuk Mayang yang menuding 

tubuh Baligu. Sungguh tak disangka kalau kakak-

nya mampu ditaklukkan gadis cantik macam 

Mayang.

"Hhh...!"

Balguli segera bergerak menghampiri lelaki 

yang ditaklukkan Mayang.

"Kakang..., kau...," ucap lelaki berambut ke-

riting itu sambil memegang bahu kakaknya.

"Gadis itu hebat sekali," desis Baligu dengan 

suara bergetar. "Sebaiknya kau bantu Kakang Ba-

liga menghadapi Raja Petir. Gunakan aji 'Racun 

Pulau Angker'. Karena kalau Kakang Baliga sendiri 

yang menggunakannya tak akan sempurna."

"Aku mengerti, Kakang," tukas Balguli. 

"Akan kucoba membantu Kakang Baliga. Hops!"



"Aaa...!"

Baru saja orang termuda dari Tiga Badut 

Pulau Angker itu meluruk ke arah pertarungan an-

tara Jaka dan Baliga, sebuah pekikan keras ter-

dengar mengiringi terpentalnya sesosok tubuh 

yang terbalut pakaian warna-warni.

Tubuh Baliga yang merupakan orang tertua 

dari Tiga Badut Pulau Angker tergempur mundur 

empat langkah ke belakang, setelah perutnya ter-

hantam tendangan keras Raja Petir lewat jurus 

'Petir Menyambar Elang'.

"Kakang.... Kau tidak apa-apa?" tanya Bal-

guli sambil memegangi tubuh Baliga yang ter-

huyung-huyung.

"Aku tidak apa-apa. Ayo, sama-sama kita 

hadapi dia dengan aji 'Racun Pulau Angker'," ajak 

Baliga kepada orang termuda dari Tiga Badut Pu-

lau Angker.

"Ayo, Kakang!" sambut Balguli.

Dua lelaki yang dandanannya mirip badut 

itu kemudian sama-sama bersila. Kedua telapak 

tangan masing-masing yang sudah mengepal dile-

takkan di atas paha yang sudah bersila. Kemudian 

salah satu telapak tangan yang terkepal di atas 

paha. Lalu kepalan itu dibawa ke depan dada, di-

iringi suara yang hampir mirip dengungan lebah. 

"Ngngng...!" 

"Ngngng...!" Suara mendengung yang keluar 

dari mulut Baliga dan Balguli semakin jelas ter-

dengar. Dan begitu suara dengung itu lenyap tiba-

tiba, mata Baliga terbelalak. Sepasang mata itu be-

rubah menjadi kemerahan.


"Ilmu setan," rutuk Jaka dalam hati, meli-

hat lawannya telah mengeluarkan ilmu andalan.

Namun pemuda berjuluk Raja Petir itu tak 

bergeming dari tempatnya. Diperhatikannya terus 

gerak-gerik lawannya yang tengah menyiapkan se-

buah ilmu kesaktian aneh. 

"Ngngng...!" 

"Ngngng...!" 

"Hih!"

Tiba-tiba saja tangan dua orang dari Tiga

Badut Pulau Angker itu menghentak kuat. Dan da-

ri telapak tangan mereka mencelat seberkas sinar 

berwarna kehijauan dengan kecepatan yang sangat 

luar biasa. 

Slats! Slats! 

"Heh?!"

Raja Petir tentu saja tak sudi menjadi sasa-

ran ajian lawan. Maka kakinya segera dihentakkan 

kuat-kuat. Setelah berputaran beberapa kali, dia 

mendarat manis di tanah.

Jlegk!

Namun baru saja Jaka mendarat, kembali 

dua sinar kehijauan meluruk ke arahnya. 

Slats! Slats!

Tak ada pilihan lain bagi Raja Petir, selain 

meladeni dengan pukulan jarak jauhnya. 

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak menggelegar. Raja Petir 

menghentakkan kedua tangannya. 

Wusss...!

Angin bergulung kontan keluar dari telapak 

tangan Jaka yang menggelar ilmu pukulan jarak



jauh, yang bernama 'Pukulan Pengacau Arah'. Pu-

kulan yang layaknya pusaran angin itu meluruk 

dengan deras, menyongsong ajian ‘Racun Pulau 

Angker’ milik dua orang dari Tiga Badut Pulau 

Angker. Maka ketika dua ilmu kesaktian itu saling 

berpapasan di udara....

Glarrr...!

"Akh!"

"Aaa...!"


LIMA



Tubuh Baliga dan Balguli kontan terpental 

ke belakang sejauh satu tombak, akibat benturan 

keras dari dua ilmu kesaktian yang mengandalkan 

kekuatan tenaga dalam itu. Namun berkat penga-

laman bertarung, mereka mampu mementahkan 

daya dorong yang cukup kuat.

Dengan gerakan indah, dua dari Tiga Badut 

Pulau Angker berputaran menggunakan telapak 

tangan yang dijadikan tumpuan ke tanah. Kemu-

dian luncuran mereka berhenti dengan suatu len-

tingan indah. Sebentar saja, mereka telah menotok 

kaki di tanah manis sekali.

"Kita coba sekali lagi ketangguhan anak 

muda itu," ujar Baliga setelah mampu menguasai 

kedudukannya. "Ilmu 'Selaksa Gada Memburu 

Nyawa' belum kita gelar."

"Napasku sesak, Kakang," keluh Balguli. 

"Aku tak tahu, bisa atau tidak memainkan Ilmu 

'Selaksa Gada Memburu Nyawa'."



"Salurkan hawa murnimu. Baru setelah se-

sakmu hilang, mainkan ilmu andalan kita dengan 

tingkat yang tinggi," perintah Baliga dengan kata-

kata tak terbantahkan.

"Baik, Kakang," sambut badut berambut ke-

riting itu dengan tarikan napas berat

Beberapa saat lamanya Balguli menyalur-

kan hawa murni untuk menghilangkan sesak na-

pasnya. Dan pada saat selanjutnya....

"Ayo, Kakang!" ajak Balguli tegas.

Baliga langsung mengangkat gada berduri 

berwarna hitam miliknya, begitu mendengar perse-

tujuan adiknya. Begitu juga Balguli yang belum 

sepenuhnya terbebas dari sesak napas akibat pu-

kulan jarak jauh Raja Petir yang terangkum dalam 

jurus 'Pukulan Pengacau Arah'. Mereka kemudian 

sama-sama mengayunkan gada berdurinya dengan 

kecepatan luar biasa. Sehingga, wujud senjata itu 

sendiri lenyap dari bentuk aslinya.

Bukan itu saja kehebatan ilmu 'Selaksa Ga-

da Memburu Nyawa'. Senjata warna hitam berduri 

yang semula wujudnya tak nampak, kini terlihat 

menjadi berlipat jumlahnya. Dan semuanya kini 

meluruk ke arah Raja Petir.

"Hm...."

Jaka bergumam pelan menyaksikan ilmu 

yang dipamerkan kedua lawannya. Sementara, 

Mayang menyaksikan saja dari kejauhan dengan 

sikap wajar. Sedangkan di pihak lain, Dewi Nalar 

begitu mencemaskan keadaan Jaka yang belum 

juga berbuat sesuatu untuk meladeni ilmu lawan-

lawannya. "Hrrrrgh...!"


Baliga dan Balguli sama-sama menggereng, 

mengiringi serbuan ke arah Jaka yang sudah ber-

siap mengerahkan aji 'Bayang-Bayang'.

Wuuung! Wuuung...!

Tubuh Jaka berkelebatan cepat, setelah 

jumlahnya menjadi lima kali lipat Aji 'Bayang-

Bayang' memang telah diciptakannya. Dan itu cu-

kup membuat kerepotan dua lawan. Tentu saja 

mereka tidak dapat mengarahkan senjata yang 

berjumlah berlipat-lipat pada sasarannya.

Wuk! Wuk..!

Berkali-kali Baliga dan Balguli memba-

batkan gada berduri ke arah yang mematikan pada 

tubuh Jaka. Namun acap kali senjata yang diha-

rapkan menjumpai sasaran, selalu membuat ge-

ram Baliga. Sambaran gada berdurinya selalu me-

nemui wujud semu Raja Petir

"Hrrrg..! Keparat kau. Raja Petir!" maki Bali-

ga geram. "Hiyaaa...!"

Pekik kemarahan betul-betul sepenuhnya 

keluar dari mulut Baliga. Tubuh badut yang ter-

bungkus pakaian warna-warni itu pun melesat, 

untuk menyalurkan kemarahan tanpa mempedu-

likan Balguli. Dia tak sadar kalau hal yang demi-

kian ini sesungguhnya yang diinginkan Jaka. Den-

gan kemarahan meluap, maka Baliga tak lagi 

mempedulikan pertahanannya.

Maka ketika sambaran gada berduri kemba-

li dielakkan Raja Petir, seketika itu juga Baliga me-

rasakan sesuatu yang sama sekali tak terduga.

Tubuh Baliga yang telah kehilangan ke-

seimbangan setelah mengayunkan gada berdu


rinya, menjadi sasaran empuk Raja Petir. Pemuda 

ini cepat melepaskan tendangan memutar yang be-

risi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya, 

sehingga....

Blakg!

"Hegkh!"

Tubuh Baliga kontan tersungkur, ketika 

tendangan memutar Raja Petir cepat dan tepat 

mengenai punggungnya.

Bruk!

Baru saja tubuh Baliga ambruk ke tanah, 

tiba-tiba Balguli bergerak cepat ke arah Raja Petir 

dengan menggunakan gadanya. "Mampus kau, Ra-

ja Petir!" 

Wuuut!

Menangkap adanya desir angin serangan 

dari belakang. Raja Petir segera melompat ke 

samping sambil menggerakkan tangannya. Dan.... 

Tap!

Terheran-heran hati Balguli ketika bokon-

gan gada berdurinya berhasil ditangkap Raja Petir 

tanpa harus terluka.

"Hhh...!"

Badut berambut keriting itu mencoba me-

narik pulang senjatanya yang dicekal kuat tangan 

Jaka. Maka, tarik-menarik pun tak terelakkan lagi. 

Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker itu 

mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimili-

kinya. Bahkan wajahnya kini berubah merah se-

perti kepiting rebus. Sementara urat-urat di perge-

langan tangan dan lehernya tampak bersembulan 

keluar.


Keadaan yang dialami Balguli ini ternyata 

tidak terjadi pada diri Raja Petir. Meski pemuda itu 

juga mengerahkan tenaga dalamnya untuk mena-

han tarikan lawan, namun urat-urat kasar tak

nampak bersembulan dari dalam tubuhnya.

Pada saat tarik-menarik itu terjadi, tiba-tiba 

Baligu yang sejak ditundukkan Mayang tak mam-

pu lagi melanjutkan pertarungan, melesat dari 

arah belakang Raja Petir. Senjata gada berdurinya 

nampak terayun-ayun mengarah ke bagian kepala 

pemuda itu.

"Heaaat..!"

Terkejut juga hati Mayang dan Dewi Nalar 

melihat serangan membokong yang tiba-tiba saja 

dilakukan badut bermata sipit ini. Karuan saja, 

Mayang dan Dewi Nalar sama-sama melompat ce-

pat, hendak memapak serangan membokong yang 

ditujukan pada Jaka.

"Hiyaaa...!"

"Haaat..!"

Tubuh Mayang dan Dewi Nalar sama-sama 

meluruk ke arah Baligu yang hendak mencelakai 

Jaka. Namun karena ilmu meringankan tubuh 

yang dimiliki Mayang lebih sempurna daripada 

Dewi Nalar, maka wajar saja kalau kekasih Raja 

Petir itu yang lebih dulu sampai untuk memapak 

serangan Baligu dengan payung besinya.

Blangng...! 

Bunyi benturan keras terdengar, manakala 

payung Mayang berhasil memapak sambaran gada 

Baligu.

Tubuh Mayang langsung tergempur mundur


dua langkah, begitu benturan keras disertai penge-

rahan tenaga dalam tinggi terjadi. Sementara per-

cikan bunga api tampak mengiringi terpentalnya 

sosok tubuh badut kedua dari Tiga Badut Pulau 

Angker sejauh dua langkah. Dan itu cukup mem-

berikan gambaran kalau penguasaan ilmu tenaga 

dalamnya setara dengan kekasih Raja Petir.

Dengan tergempurnya Baligu, Dewi Nalar 

yang tak sempat memapak serangan gelap itu se-

gera saja menghentakkan kakinya. Sebuah seran-

gan susulan kini dilakukan ke arah badut tanpa 

alis yang tengah terhuyung itu.

"Haiiit..!"

Pekik kemarahan langsung mengiringi lesa-

tan tubuh putri almarhum Ki Sapartoga ini dengan 

selendang merah yang sudah tergenggam di tan-

gan. Dan ketika selendang itu dihentakkan lewat 

ilmu 'Selendang Merah', maka.... 

"Hih!" 

Tak ada kesempatan lagi bagi Baligu untuk 

menghindar. Akibatnya.... 

Ctarrr!

"Akh!"

Tubuh Baligu kembali terpental, ketika 

ujung selendang Dewi Nalar membentur keras ke-

palanya. Sambil terhuyung-huyung tangannya 

langsung memegangi kepala yang terasa pecah.

Bruk!

"Ah!"

Ketika tubuh badut tanpa alis itu ambruk 

ke tanah, darah baru terlihat merembes dari kepa-

lanya yang rengat tersambar selendang milik Dewi



Nalar yang menggunakan jurus 'Selendang Merah'.

Beberapa saat lamanya Baligu menggeliat 

meregang nyawa. Dan pada saat selanjutnya, tu-

buhnya diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!

Sementara, Balguli yang sedang mengadu 

kekuatan tenaga dalam melawan Raja Petir, tak bi-

sa memusatkan pikirannya ketika mendengar pe-

kik kematian saudaranya. Namun kelicikannya se-

gera bekerja cepat. Dia bermaksud melepaskan ce-

kalannya pada gagang gada berduri, dengan hara-

pan tubuh Jaka akan terdorong oleh tenaganya 

sendiri.

"Hih!"

Siasat licik itu benar-benar dilaksanakan. 

Seketika cekalannya pada senjata yang dipegang 

dilepaskan. Namun, kiranya Jaka bukanlah orang 

kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Dan dia 

juga sering mempelajari sifat-sifat manusia selicik 

Balguli.

Sesungguhnya, pada saat tarik-menarik 

mempertahankan senjata milik lawan, Jaka hanya 

memusatkan tenaga dalam pada tangan saja. Jadi 

seluruh kekuatannya tertumpah di situ. Dan keti-

ka Balguli melancarkan siasat liciknya, maka tu-

buh Jaka tidak termakan tenaganya sendiri. Na-

mun karena Jaka ingin melihat kelanjutan dari 

siasat licik lawannya, sengaja tubuhnya dipental-

kan ke belakang seolah termakan tenaganya sendi-

ri.

"Hiyaaa...!"

Dalam keadaan Jaka yang berpura-pura se-

perti itu, Balguli melesat cepat. Kaki kanannya


nampak terayun lurus ke arah kepala Jaka.

"Mampus kau. Raja Petir!"

Dalam keadaan terjajar. Raja Petir cepat 

mengayunkan gada berduri yang telah direbut ke 

arah kaki Balguli. Tak ada kesempatan bagi orang 

ketiga dari Tiga Badut Pulau Angker itu untuk 

mengelak. Maka....

Wuuut!"

Pletak!

"Aaa...!"

Lengking kesakitan yang maha dahsyat ter-

dengar ketika gada berduri yang berada pada

genggaman tangan Jaka membentur keras tulang 

kering kaki kanan Balguli. Dan laki-laki berambut 

keriting itu terus mengerang-erang bagai orang ke-

surupan. Kakinya yang menjejak sebelah, terlihat 

berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan 

diberi mainan. Lalu.... 

Bruk!

Karena tak kuasa menahan sakit yang te-

ramat sangat, tubuh Balguli ambruk ke tanah. Da-

rah nampak bercucuran dari kaki yang terhantam 

senjata miliknya sendiri.

Sementara Baliga yang juga mengalami luka 

dalam dan luka pada wajahnya saat terhantam 

tendangan Jaka, tak lagi mampu berbuat apa-apa. 

Keberaniannya untuk meneruskan pertarungan, 

sedikit demi sedikit mulai luntur.

"Kisanak masih tetap ingin merebut Arca 

Singa Emas yang bukan milikmu?" tanya Jaka ke-

tika tak lagi didapati serangan dari lawan-

lawannya yang sudah terkulai di tanah.


"Tentu saja!" sambut Baliga keras. "Bahkan 

bukan saja Arca Singa Emas itu yang harus kure-

but. Tapi, juga nyawa kalian yang telah merenggut 

nyawa adikku!" 

"Sekarang?" tantang Jaka.

"Hhh...!"

Hanya tarikan napas kesal yang dilakukan 

Baliga dalam menanggapi pertanyaan Jaka.

"Sebaiknya, kalian enyah dari hadapan ka-

mi sebelum kawanku kehilangan kesabaran!" ger-

tak Mayang ingin tahu sisa keberanian Tiga Badut 

Pulau Angker yang kini tinggal dua orang. 

"Aku memang akan pergi dari sini! Tapi, in-

gat! Aku belum kalah! Dua dari Tiga Badut Pulau 

Angker yang masih hidup, akan terus mencari ka-

lian untuk menuntut balas," tegas Baliga lagi. 

"Silakan mengumbar mulutmu yang bau 

itu, Badut Tak Tahu Diri!" ledek Dewi Nalar sambil 

mengeluarkan Arca Singa Emas yang bersinar-

sinar. 

Melihat Arca Singa Emas, mata Baliga kon-

tan terbelalak. Keinginan hatinya memang amat 

kuat untuk mendapatkan benda yang menjadi in-

carannya. Namun ketika tatapan matanya mem-

bentur sosok Raja Petir, Baliga terpaksa untuk 

sementara mengubur keinginannya. 

"Sekarang aku memang gagal mendapatkan 

Arca Singa Emas itu, Gadis Liar! Tapi, tidak untuk 

lain kali," kilah Baliga dengan kemarahan yang tak 

terkendali. 

"Sampai kapan pun, kau akan tetap men-

dapatkan kegagalan, Badut Jelek!" balas Dewi Na


lar sambil menimang-nimang Arca Singa Emas 

yang berada dalam genggamannya. "Kau tahu, se-

karang juga Arca Singa Emas ini akan kuserahkan 

pada Raja Petir. Dan aku tahu, sampai kapan pun 

kau tak akan berhasil menundukkan Raja Petir."

Baliga semakin geram mendengar ucapan 

Dewi Nalar. Matanya nampak membelalak lebar.

"Terimalah Arca Singa Emas ini, Kakang 

Jaka," ujar Dewi Nalar.

Lalu, Arca Singa Emas itu segera disodor-

kan ke tangan Jaka. Dan Raja Petir sendiri me-

nanggapi pemberian itu dengan seulas senyum un-

tuk Baliga.

"Keparat!" maki Baliga geram. "Ayo, Balguli. 

Kita tinggalkan tempat ini! Hop!"

Baliga langsung melesat, setelah lebih dulu 

membopong mayat Baligu yang tewas di tangan 

Dewi Nalar. Sedangkan Balguli pun segera melesat 

dengan terpincang-pincang menyusul kakaknya 

yang telah melesat terlebih dahulu.

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya mena-

tapi kepergian mereka dengan senyum terkem-

bang.

"Kau harus menceritakan teka-teki Arca 

Singa Emas ini, Dewi. Biar aku tahu kenapa mere-

ka susah payah merebut benda ini," ujar Jaka ke-

mudian.

"Tentu saja, Kakang Jaka," timpal Dewi Na-

lar mantap.

***


ENAM



Sore berjalan begitu lambat. Angin yang 

berhembus semilir membelai-belai anak rambut 

Dewi Nalar dan Mayang Sutera. Sementara Jaka 

yang mengambil tempat duduk di sisi kekasihnya, 

nampak sudah bersiap-siap mendengarkan cerita 

tentang teka-teki di balik Arca Singa Emas.

"Kau harus memulainya sekarang, Dewi," 

ujar Mayang dengan telapak tangan memegang 

bahu Dewi Nalar.

"Sebenarnya Arca Singa Emas ini jatuh pa-

da ayahku sebagai keturunan yang ketiga. Berarti 

jauh di atas ayahku, benda ini pernah dikuasai 

kakekku dan buyutku. Konon menurut cerita, 

benda ini didapatkan dari seorang pertapa sakti 

yang bermukim di Goa Singa. Setelah Arca Singa 

Emas diberikan pada buyutku, pertapa sakti itu 

lenyap bersama-sama Goa Singa yang menjadi 

tempat tinggalnya," tutur Dewi Nalar, memulai ce-

ritanya.

Sebentar Dewi Nalar menghentikan ceri-

tanya, untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat. 

Matanya menerawang jauh, mencoba menembus

ingatannya.

"Konon goa itu banyak menyimpan benda 

pusaka bertuah dan kitab ilmu silat tingkat tinggi. 

Di samping, tentunya harta karun yang berupa 

permata dan benda bernilai tinggi lainnya," jelas 

Dewi Nalar, mengutip apa yang pernah diceritakan 

oleh Ki Sapartoga, ayahnya.


"Kalau boleh kusimpulkan. Arca Singa 

Emas itu sebagai kunci petunjuk untuk menda-

patkan keberadaan Goa Singa yang lenyap, sekali-

gus sebagai kunci pembuka pintu rahasia Goa 

Singa itu?" tanya Mayang, memberi dugaan akan 

kelanjutan cerita Dewi Nalar.

"Sok tahu kau, Mayang," selak Jaka me-

nanggapi kesimpulan kekasihnya.

Mayang melemparkan wajahnya yang cem-

berut ke arah Jaka. Kemudian dengan keman-

jaannya, diserbunya tangan Jaka dengan cubitan 

bertubi-tubi.

"Sejak kapan Kakang menjadi orang usil?" 

rungut Mayang cemberut.

"Sejak kau menjadi gadis sok tahu," ledek 

Jaka.

"Ih, Kakang!"

Mayang kembali mencubit tangan Jaka.

Sementara, Dewi Nalar merasa risih juga 

menyaksikan kemesraan dua tokoh muda yang 

memiliki kesaktian tinggi itu. Andai dirinya yang

merasakan kemesraan seperti itu....

"Betulkah kesimpulan yang diberikan 

Mayang, Dewi?" tanya Jaka, mencairkan kerisihan 

Dewi Nalar.

"Betul sekali, Kakang," jawab Dewi Nalar 

membenarkan kesimpulan Mayang.

"Nah! Betul kan, kesimpulanku?" kata 

Mayang berseri-seri.

"Ya, ya. Kau memang berbakat menjadi seo-

rang peramal," ledek Jaka lagi.

"Ih!" kembali cubitan dilancarkan Mayang.


"Memangnya kau bersedia mempunyai istri pera-

mal?"

"Apa salahnya? Apalagi, gadis peramal itu 

cantik," jawab Jaka seenaknya.

"Sudahlah! Lebih baik kita dengarkan lagi 

kelanjutan cerita Dewi," tukas Mayang, akhirnya 

mengalah.

"Apa lagi yang harus kuceritakan?" tanya 

Dewi Nalar.

"Apa, Kakang?" tanya Mayang pada Jaka.

"Kau kan peramal. Kenapa mesti tanya?" le-

dek Jaka lagi.

"Ih!" Mayang mendengus.

"Orangtua ku, kakekku, dan buyutku per-

nah berpesan agar Arca Singa Emas ini jangan 

sampai jatuh ke tangan tokoh sesat yang biasanya 

mengacaukan ketenteraman hidup manusia. Khu-

susnya, ketenteraman hidup orang-orang yang 

menggeluti dunia persilatan. Kami semuanya su-

dah mengusahakan pesan itu sebisanya, meski 

harus kehilangan orang-orang tercinta. Termasuk, 

aku harus rela kehilangan ibu yang tewas di tan-

gan Lima Jin Gunung Sampa, yang juga menghan-

curkan Perguruan Singa Emas yang dipimpin 

ayahku," papar Dewi Nalar dengan wajah berubah 

keruh.

Suasana jadi sepi sesaat setelah Dewi Nalar 

menghentikan ceritanya. Tak ada lagi canda yang 

dilakukan Jaka untuk menggoda kekasihnya.

"Dan terakhir, ayahkulah yang jadi korban 

demi Arca Singa Emas ini," lanjut Dewi Nalar. Kali 

ini kata-katanya diiringi isak tangisnya.


"Sudahlah, Dewi," tukas Mayang mencoba 

menghibur. "Pengorbanan orang-orang yang kau 

cintai tidaklah sia-sia. Mereka bukan saja telah 

mempertahankan Arca Singa Emas ini, tetapi juga 

ketenteraman hidup masyarakat banyak dan kete-

nangan dunia persilatan. Kau harus bangga meli-

hat pengorbanan mereka."

Isak tangis Dewi Nalar terhenti sejenak 

mendengar kebenaran ucapan Mayang.

"Aku kini tak punya siapa-siapa lagi, Kakak 

Mayang. Aku sebatang kara," keluh Dewi Nalar

"Saatnya nanti, kau pasti tak seorang diri, 

Dewi. Percayalah," timpal Jaka.

"Betul, Dewi," tambah Mayang. "Tiba saat-

nya nanti, kau pasti akan mendapatkan seseorang 

yang setia menemani hari-harimu."

"Tapi tidak untuk sekarang ini," kilah Dewi 

Nalar.

"Sekarang ini kan ada kami," bantah Jaka.

Dewi Nalar terdiam. Tak ada lagi kata yang 

diucapkannya untuk melukiskan kepedihan hati. 

Keadaan seperti itu berlanjut terus, sampai malam 

menjelang. Sementara suara binatang-binatang 

malam saling bersahut-sahutan menyambut sinar 

rembulan yang sedikit demi sedikit muncul, mene-

rangi persada. Dan malam pun bergerak semakin 

jauh.

***

Bulan bersinar penuh menerangi Desa 

Granggas. Bayang-bayang pohon yang tertimpa si


nar bulan, sesekali ikut bergoyang terkena hembu-

san angin. Dan goyangan bayang-bayang pohon 

itu semakin kentara, ketika tiba-tiba saja sesosok 

tubuh melompat dari balik kerimbunannya.

Lompatan sosok tubuh tinggi besar itu ter-

nyata diikuti pula deh sosok-sosok yang lain. Dan 

kini, jumlah mereka menjadi lima.

Sosok lelaki yang pertama kali muncul tiba-

tiba memberi aba-aba kepada rekan-rekannya un-

tuk berkumpul ke arahnya.

"Nyalakan obor-obor kalian dan lemparkan 

ke atas atap itu," perintah laki-laki tinggi besar ini.

Lima sosok yang tak lain Lima Jin Gunung 

Sampa seketika menyalakan obor di tangan mas-

ing-masing.

Maka malam di Desa Granggas yang sudah 

terang oleh sinar bulan, nampak semakin terang 

deh lima obor yang telah menyala. Terlebih, ketika 

Lima Jin Gunung Sampa melemparkan obor-obor 

itu ke atap sebuah rumah. Padahal di dalamnya 

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar tengah terlelap. 

Maka suasana seketika semakin terang benderang, 

manakala api dari obor yang dilempar Lima Jin 

Gunung Sampa membakar bangunan rumah milik 

almarhum Ki Sapartoga.

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar yang menya-

dari kebakaran pada rumah ini, segera saja bang-

kit dan bersiaga. Mereka sadar, kebakaran yang 

begitu tiba-tiba ini terasa kurang wajar.

Raja Petir segera beringsut dan bangkit. Dia 

lalu menuju Dewi Nalar tidur. Dan kedua gadis itu 

juga telah bangkit, seperti menunggu aba-aba dari


Raja Petir.

"Pasti ada seseorang yang sengaja memba-

kar rumah ini, Kakang," simpul Mayang.

"Benar, Kakang Jaka," sambut Dewi Nalar.

"Ya, ya. Aku juga menduga begitu," timpal 

Jaka. "Hati-hatilah kalian."

"Kita keluar sekarang, Kakang?" tanya 

Mayang.

Jaka mengangguk. Kemudian.... 

"Hops!"

Jaka melesat lebih dulu untuk membaca se-

rangan gelap yang mungkin dilancarkan orang-

orang yang membakar kediaman almarhum Ki Sa-

partoga ini.

"Hiyaaa...!" 

Wuuusss...!

Pratts! Pratts!

Dugaan Jaka ternyata tak meleset. Terbukti 

baru saja tubuhnya mencelat melewati pintu ru-

mah, dua senjata berbentuk lempengan logam te-

lah menyerbu. Untungnya Raja Petir sudah siap 

sejak tadi. Sehingga serangan gelap itu dapat di-

mentahkan dengan pengerahan ilmu 'Pukulan 

Pengacau Arah'.

Sementara Raja Petir berputaran di udara, 

lalu manis sekali mendarat di tanah.

Jligkh! 

Tepat ketika Jaka mendarat di tanah, dua 

bayangan berkelebat dan mendarat di sisinya. 

Jligkh! 

Jligkh! 

Rupanya, Mayang dan Dewi Nalar telah


berdiri di samping Jaka di luar rumah yang kini 

terbakar. Mereka kini sama-sama berdiri berhada-

pan dengan lima lelaki yang berjuluk Lima Jin 

Gunung Sampa.

Dan Dewi Nalar seketika terkejut menyaksi-

kan keberadaan lima lelaki yang dikenalinya seba-

gai orang-orang yang menghancurkan Perguruan

Singa Emas milik ayahnya, sekaligus membunuh 

ibunya. Dan gadis itu tak akan lupa dengan keja-

dian sembilan tahun yang lalu. Kejadian yang 

membuatnya terpaksa harus berpisah dengan 

ibunya.

"Kalian..!" suara Dewi Nalar tercekat karena 

kemarahannya yang meluap.

Keterkejutan Dewi Nalar ternyata juga di-

ikuti Lima Jin Gunung Sampa yang berseragam 

serba biru. Sungguh tak dikira kalau malam ini 

harus berhadapan dengan sosok pemuda yang be-

lakangan ini namanya sering disebut-sebut oleh 

kalangan rimba persilatan.

"Raja Petir! Ternyata kau menginginkan ju-

ga benda pusaka itu!" kata lelaki tinggi besar yang 

berwajah bopeng. Dialah orang tertua dari Lima 

Jin Gunung Sampa yang bernama Jaraga. "Orang 

setampan dan sejantanmu memang lebih gampang 

merayu gadis putri Ki Sapartoga itu!"

"Tutup bacot busukmu, Tua Bangka Bopen-

gan!" hardik Mayang. Telunjuknya langsung me-

nuding wajah Jaraga.

"Rasanya memang begitu, Nisanak. Setelah 

diberi kepuasan, maka putri Ki Sapartoga itu akan 

memberi Arca Singa Emas pada Raja Petir!" lanjut


lelaki bopeng itu tak mempedulikan hardikan 

Mayang.

"Keparat! Kuhancurkan bacot busukmu!" 

bentak Mayang.

Kemarahan gadis itu memang sudah tak 

terkendali. Kakinya sudah bergerak, hendak me-

nyerang Jaraga. 

"Tahan, Mayang," cegah Jaka, melihat tin-

dakan kekasihnya. "Biarkan saja dia berbicara se-

perti itu. Toh, aku tak seburuk apa yang dikata-

kannya."

Kemudian tatapan Jaka terarah pada lelaki 

berwajah bopeng itu. Dan tatapan tajam itu mem-

buat Jaraga merasakan kekuatan aneh yang tiba-

tiba menyelusup ke dalam hatinya. 

"Apa kau mampu mempertahankan Arca 

Singa Emas itu. Raja Petir? Lima Jin Gunung 

Sampa bukan tokoh kemarin sore!" tandas Jaraga.

Sesungguhnya ucapan Jaraga hanya seka-

dar untuk menutupi perasaan aneh, ketika beradu 

pandang dengan Jaka.

"Kalau kalian mendapatkannya dengan ja-

lan baik-baik, dan gadis pewaris Arca Singa Emas 

itu rela memberikannya, maka aku rela dan tak 

akan bisa mempertahankannya. Namun jika gadis 

itu tak rela, dan kalian juga ingin memaksa, maka 

Raja Petir tak akan tinggal diam!" panjang lebar 

jawaban Jaka.

Suasana malam sesaat menjadi hening. 

Nyala api yang terus berkobar menjilati rumah al-

marhum Ki Sapartoga, memperdengarkan gemeru-

tuk percik api yang membakar tiang-tiang rumah


yang mulai roboh.

"Bagaimana, Dewi. Apakah kau rela membe-

rikan Arca Singa Emas milikmu itu pada Lima Jin 

Gunung Sampa?" tanya Jaka kemudian.

"Aku tak akan pernah membiarkan benda 

yang sudah turun-temurun terpelihara ini jatuh ke 

tangan lima lelaki sesat seperti mereka, Kakang. 

Dan kalau mereka tetap mengingini, maka harus 

lebih dulu melangkahi mayatku," tegas Dewi Nalar.

Tatapan mata Jaka kembali menoleh ke wa-

jah Jaraga.

"Kalian dengar itu?!" tanya Jaka, pada Lima 

Jin Gunung Sampa.

"Sudahlah, Kakang Jaraga. Jangan dengar 

ocehan mereka. Kita langsung bantai saja. Arca itu 

harus segera didapat sebelum orang lain menda-

hului," ujar lelaki bertubuh bulat yang mata ka-

nannya picak.

"Kau benar, Malaba," sambut Jaraga atas 

usul orang yang bernama Malaba.

"Ayo!" sambut lelaki yang bertubuh kurus 

kering. Dia memegang senjata berupa pecut, dan 

bernama Ganggada.

'Tahan dulu!" cegah Jaka keras menyaksi-

kan orang ketiga yang bernama Ganggada itu su-

dah hendak membuka serangan. 

"Hm.... Apa maumu, Raja Petir. Apa kau ta-

kut menghadapi kami?" ujar Ganggada, sinis. 

"Bagaimana kalau kita atur pertarungan 

ini," usul Jaka. 

"Maksudmu?" tanya Jaraga, tak mengerti 

maksud Raja Petir


"Bagaimana kalau pertarungan hanya ber-

langsung antara aku dan kalian berlima," saran 

Jaka.

"Kakang...?" Mayang terkejut mendengar 

ucapan Jaka.

"Tenanglah, Mayang. Aku tak ingin kau ter-

lampau lelah menghadapi lelaki-lelaki yang tak ta-

hu malu ini. Jadilah kau penonton yang baik ber-

sama Dewi Nalar," tukas Jaka.

"Keparat kau. Raja Petir! Kau telah mere-

mehkan Lima Jin Gunung Sampa! Kau tahu, taru-

hannya adalah nyawamu!" hardik orang keempat 

dari Lima Jin Gunung Sampa. Laki-laki yang ber-

nama asli Guriwang itu menatap Jaka dengan bola 

mata hampir keluar.

"Ayo, Kakang Jaraga! Kita habisi saja mere-

ka dengan segera," ajak lelaki bertubuh gembur 

yang merupakan orang termuda dari Lima Jin Gu-

nung Sampa. Namanya, Sitinja.

"Sabar, Sitinja. Aku ingin tahu dulu, apa 

maksud kelanjutan ucapan Jaka. Barangkali saja 

bisa menguntungkan kita," cegah Jaraga penasa-

ran.

"Raja Petir, terangkan dengan jelas maksud 

perkataanmu dengan mengatur pertarungan itu," 

pinta Malaba.

"Tidak sulit," jawab Jaka. "Jika aku dapat 

dikalahkan, maka benda itu akan dapat kalian ku-

asai. Bahkan kami bersedia menjadi abdi kalian. 

Namun jika kalian yang kutundukkan, maka dosa-

dosa kalian kuampuni. Tapi, Arca Singa Emas itu 

harus dilupakan," jelas Jaka.


"Keparat kau, Raja Petir!" maki Malaba se-

wot

Jaka tak terpengaruh makian orang kedua 

dari Lima Jin Gunung Sampa itu. Tatapan ma-

tanya kini tertuju ke wajah Jaraga.

"Bagaimana, Jaraga?" tanya Jaka tenang.

"Aku setuju!" jawab Jaraga tegas.


TUJUH



Malam yang masih tetap diterangi cahaya 

sepotong bulan, menampakkan sosok enam lelaki 

gagah yang tengah bersitegang di atas bumi Desa 

Granggas. Sementara dua gadis cantik tengah me-

nyaksikan pertarungan yang bakal digelar dengan 

hati tercekat kecemasan.

"Ayo kita mulai!" kata Jaraga, memberi aba-

aba pada empat lelaki rekannya.

"Haaat...! Hiyaaa...!"

"Haiiit..!"

"Hops!"

Lima lelaki berpakaian biru pekat seketika 

berlompatan mengurung sosok lelaki muda yang 

berjuluk Raja Petir. Senjata-senjata mereka yang 

berupa pecut sudah setengah terangkat di atas 

pinggang.

Sementara, Raja Petir pun sudah siap men-

geluarkan jurus-jurus andalannya untuk memen-

tahkan keroyokan lima lawannya.

"Haaat..!"

"Hiyaaa...!"


Malaba dan Guriwang yang berangasan 

langsung meluruk ke arah Jaka. Rupa-rupanya 

dua orang itu ingin lebih dulu menjajal kemam-

puan tokoh muda yang namanya selalu disebut-

sebut dalam rimba persilatan. Malah, mereka tak 

menggunakan senjata untuk menyerang Jaka. Se-

rangan keduanya terangkum dalam jurus 'Badai 

Gunung Sampa'. Nampak Malaba dengan tangan 

terkepal meluruk cepat mengarahkan pukulan ke 

bagian kepala Raja Petir. Sementara, Guriwang 

menyerang dengan tendangan lurus kaki kanan, 

mencecar bagian ulu hati.

Bet! Bet!

"Hips!"

Jaka yang mampu membaca serangan ke-

dua lawannya, segera saja mengelak menggunakan 

jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Gerakannya yang ringan 

dan cepat bagai kilat, membuat serangan Malaba 

dan Guriwang mentah.

"Hm...."

Malaba bergumam pelan, menyaksikan ke-

cepatan gerak lawan dalam menghindari seran-

gannya. Dan seketika itu juga siasat serangannya 

dirubah.

"Haiiit..!" 

Wut! Wut!

Malaba segera saja memutar-mutar pecut-

nya. Dan sambil melompat, dia berteriak keras 

memainkan jurus 'Pecut Sakti Para Dewa'.

"Mampus kau. Raja Petir!"

Jaka tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya 

cepat melenting ke atas.


"Ops!"

Ctar! 

Kembali serangan pecut Malaba hanya me-

nemui tempat kosong. Dan ini membuat Malaba 

semakin murka. Maka senjatanya kembali diguna-

kan untuk memberi serangan susulan ke dada Ra-

ja Petir yang baru saja mendarat di tanah.

"Hiyaaa..:!" 

Tubuh Malaba kembali mencelat dengan 

pecut terangkat tinggi-tinggi. Sementara, Guriwang 

pun bertindak sama.

Serangan dari dua arah kini mengancam 

kedudukan Raja Petir. Namun pemuda tampan 

berpakaian kuning keemasan itu sedikit pun tak 

merasa kewalahan. Dan dengan ketenangannya, 

dinantinya serangan yang lebih dulu datang. Maka 

ketika pecut Malaba yang tiba lebih dulu menga-

rah ke batang lehernya, kekuatan tenaga dalam-

nya dialirkan pada telapak tangan kanan. Lalu, se-

gera saja disambutnya laju pecut Malaba itu.

"Hup!"

Trap!

"Heh?!"

Terkejut bukan main Malaba menyadari 

senjatanya dapat ditangkap Raja Petir dengan tan-

gan telanjang. Seketika senjatanya berusaha dibe-

tot. Namun....

"Heh?!"

Kembali Malaba tersentak kaget ketika tiba-

tiba saja tangan Jaka ikut membetot ke arah kiri. 

Dan pada saat itulah pecut Guriwang melesat ke 

arah dada Jaka.


Karuan saja Malaba kelabakan. Karena tu-

buhnya yang terbetot kekuatan Jaka, maka bukan 

mustahil pecut milik Guriwang akan membabat 

habis tubuhnya.

Dan keterkejutan yang sama juga dialami 

Guriwang. Orang keempat dari Lima Jin Gunung 

Sampa ini menyadari kalau tak mungkin lagi me-

narik pulang serangannya. Mau tak mau, senja-

tanya memang harus membentur tubuh kakak se-

perguruannya.

"Uts!"

Di luar dugaan, Malaba melenting setelah 

lebih dulu melepaskan cekalannya pada pegangan 

senjatanya.

"Hup!" 

"Hop!"

Di luar dugaan pula, Jaka mengikuti lentin-

gan tubuh Malaba. Dan dengan menggunakan pe-

cut milik lawannya yang berada di tangan, membe-

ri serangan balasan.

Ctar! Ctar!

Pecut milik Malaba yang berada di tangan 

Jaka meledak-ledak mencari sasaran. Sedangkan 

pemiliknya sendiri bersusah-payah menghindari 

lidah pecut yang mengincar bagian-bagian peka di 

tubuhnya.

"Ops! Hups...!"

Berkali-kali Malaba melenting ke udara, un-

tuk menghindari senjatanya sendiri yang dimain-

kan Jaka.

Melihat kenyataan itu, Jaraga, Ganggada, 

dan Sitinja sama-sama meluruk cepat, menyong

song tubuh Raja Petir yang tengah mencecar Ma-

laba dengan pecut di tangan. 

"Hiyaaa...!"

Teriakan bergema dilakukan tiga dari Lima 

Jin Gunung Sampa secara berbarengan. Senjata 

mereka pun sama-sama terangkat terarah ke ba-

gian tubuh Jaka.

"Hm...."

Jaka bergumam menyaksikan kedatangan 

serangan lawan-lawannya. Maka segera dis-

iapkannya jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk 

menyongsong serangan lawan.

Seketika itu juga Raja Petir memasang ku-

da-kuda kokoh. Lalu tangannya segera ditarik ke 

samping pinggang. Kemudian....

"Hih!" 

Wrrr...!

Serangkum angin bergulung seperti pusa-

ran angin meluruk dari telapak tangan Jaka yang 

menghentak kuat. Angin berhawa panas itu terus 

meluruk deras menyongsong tubuh Jaraga, Gang-

gada, dan Sitinja yang tengah berada di udara.

Tiga lelaki dari Lima Jin Gunung Sampa itu 

tentu saja terkejut mendapatkan serangan dahsyat 

ini. Maka seketika itu juga mereka sama-sama 

membuang tubuh ke arah yang berbeda, untuk 

menyelamatkan diri masing-masing.

"Keparat!"

"Mampus kau!"

"Hiyaaa...!"

Malaba yang sudah terbebas dari incaran 

senjatanya yang direbut Raja Petir, kini kembali


melesat memberi serangan tangan kosong. Dan 

dari arah kanan pun, Guriwang bergerak dengan 

pecut yang terangkat dalam jurus 'Pecut Sakti Para 

Dewa'.

"Hiyaaa...!"

Slrrrt..! 

Di luar dugaan. Raja Petir melempar pecut 

miliki Malaba ke arah Guriwang. Lemparan yang 

disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu senga-

ja ditujukan ke arah perut Guriwang yang tengah 

terayun ke atas.

Brrrrt..!

"Heh?!"

Bukan main terkejutnya Guriwang menda-

patkan pecutnya terbelit pecut milik Malaba yang 

dilempar Raja Petir. Akibatnya, tubuhnya yang 

tengah meluncur mendapat dorongan kuat

"Hop!"

Untuk mementahkan daya dorong, Guri-

wang cepat melenting indah dan mendarat lunak 

di tanah. 

Jligk!

Sementara itu, Raja Petir sendiri baru saja 

menghindari tinju Malaba yang terarah ke dada. 

Dia melompat ke belakang sejauh dua langkah, 

kemudian melancarkan serangan balasan yang ce-

pat dan tiba-tiba.

"Jaga seranganku!" teriak Jaka ketika 

menggelar jurus 'Petir Menyambar Elang'.

Tubuh pemuda berpakaian kuning keema-

san itu bergerak cepat dengan tangan terarah ke 

bagian dada Malaba.


"Hih!"

Begkh!

"Hegkh!"

Tak mampu Malaba melihat kecepatan ge-

rak Raja Petir. Karena tahu-tahu saja, telapak tan-

gan pemuda itu sudah berada di depan dada. Dan 

Malaba tak kuasa mengelak atau menangkis. Aki-

batnya, dadanya telak terhajar telapak tangan Raja 

Petir. Dan tubuhnya langsung tergempur mundur 

dua langkah ke belakang.

Jaraga yang baru terbebas dari segulungan 

angin akibat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau 

Arah' dari Raja Petir, geram bukan kepalang me-

nyaksikan nasib Malaba.

"Ganggada, Sitinja! Cepat kerahkan aji 

'Kawah Beracun'! Aku akan melakukannya bersa-

ma Guriwang," perintah Jaraga.

Memang salah satu keanehan ilmu aji 

'Kawan Beracun' harus dilakukan secara berpa-

sangan ilmu itu tak bermanfaat jika hanya dilaku-

kan seorang diri. Terkecuali, bagi orang yang su-

dah memiliki tenaga dalam tinggi dan mencapai ta-

raf kesempurnaan.

Ganggada dan Sitinja yang mendapatkan 

perintah segera saja bergabung. Kedua telapak 

tangan mereka segera ditempelkan satu sama lain.

Sementara, Jaraga dan Guriwang juga ber-

tindak sama. Beberapa saat lamanya empat lelaki 

itu mulai menggelar jurus-jurus awal dari ajian 

'Kawah Beracun'.

Kini, uap kehijauan tiba-tiba saja mengepul 

dari telapak tangan Jaraga dan Guriwang yang



menyatu. Begitu juga kenyataannya pada telapak 

tangan Ganggada dan Sitinja. Uap kehijauan itu 

terus mengepul semakin banyak. 

Sementara, Jaka yang tak melakukan apa-

apa atas lawan-lawannya hanya memandangi saja. 

Dan malam pun sudah merangkak semakin jauh. 

Kokok ayam hutan pun mulai terdengar.

Bersamaan dengan kokok ayam hutan itu-

lah, Jaraga dan kawan-kawannya serentak berte-

riak keras dengan tangan menghentak keras ke 

arah Raja Petir.

"Haaa...!"

Wrusss...!

Uap kehijauan yang mengepul di tangan 

empat dari Lima Jin Gunung Sampa meluruk de-

ras ke arah Raja Petir. Dan sebenarnya, pemuda 

itu memang sudah berencana meladeni ilmu la-

wan, dengan mengerahkan aji 'Kukuh Karang'. 

Dan ketika kekuatan tenaga dalamnya disalurkan 

ke seluruh tubuh, maka yang terjadi pun....

Presss! Presss!

Uap kehijauan milik empat dari Lima Jin 

Gunung Sampa tak kuasa membungkus tubuh 

Jaka yang sudah terlindungi sinar kuning keema-

san. Bahkan uap kehijauan itu tiba-tiba lenyap 

begitu saja, tanpa menimbulkan akibat yang berar-

ti bagi keselamatan Raja Petir.

"Heh?!"

Jaraga tentu saja heran bukan main. Begitu 

juga kawan-kawannya. Dan di tengah keheranan 

mereka, tiba-tiba saja.... 

"Ha ha ha...!"

"Ha ha ha...!"


DELAPAN



Semua orang langsung mengarahkan pan-

dangan pada sumber suara tawa tadi. Rupanya, 

yang datang adalah dua sosok lelaki berpakaian 

bergambar kerangka manusia seukuran tubuh 

mereka sendiri. Kedua lelaki berusia di atas lima 

puluh tahun itu terlihat begitu kurus. Tulang-

tulang rahangnya bersembulan keluar, sedangkan 

bola matanya menjorok ke dalam.

Dua lelaki yang di kalangan dunia persila-

tan dikenal sebagai Sepasang Tengkorak Cadas 

Keramat kini berdiri pongah di hadapan Raja Petir 

dan Lima Jin Gunung Sampa. Sementara, Mayang 

dan Dewi Nalar yang juga menyaksikan hanya di-

am saja. Dalam hati, Mayang bertanya-tanya. 

Bahkan berkesimpulan kalau dua lelaki itu ingin 

pula merebut Arca Singa Emas milik Dewi Nalar.

"Ha ha ha.... Lima Jin Gunung Sampa! Se-

harusnya kalian malu tak dapat menundukkan 

bocah ingusan macam dia," kata salah seorang da-

ri Sepasang Tengkorak Cadas Keramat diiringi ta-

wa menyakitkan.

"Betul, Kakang Punggi. Seharusnya mereka 

malu dengan julukan yang hebat itu," timpal lelaki 

lain yang juga mengenakan pakaian sama.

"Kau juga betul, Adi Sanggi. Lima Jin Gu-

nung Sampa sangat memerlukan bantuan kita," 

sahut lelaki bernama Punggi, dengan tatapan jatuh tepat pada wajah Jaraga.

Jaraga sebagai lelaki tertua dari Lima Jin 

Gunung Sampa murka bukan kepalang menden-

gar ucapan Punggi. Memang diakuinya, dua lelaki 

yang berwajah mirip tengkorak itu bukanlah tokoh 

sembarangan. Kesaktian mereka sudah diakui du-

nia persilatan. Namun untuk Lima Jin Gunung 

Sampa yang mendapatkan penghinaan, itu sama 

saja sebuah tantangan yang tak patut ditolak.

"Tengkorak Cadas Keramat! Seharusnya ka-

lian bisa jaga mulut, kalau masih ingin melihat 

matahari!" hardik Jaraga.

"Ha ha ha...!"

Kemarahan Jaraga ditimpali Punggi dengan 

tawa meremehkan.

"Kurasa kata-kata kami tak ada yang salah, 

Jin Gunung Samja," balas Punggi.

"Betul," timpal Sanggi. "Bukankah kalian ti-

dak mampu menundukkan bocah ingusan itu? 

Dan, salahkah kami jika ingin membantu me-

nyingkirkan bocah usilan itu?"

Mata Jaraga kontan terbelalak mendengar 

kata-kata orang kedua dari Sepasang Tengkorak 

Cadas Keramat. Sementara, Raja Petir hanya diam 

saja menyaksikan perselisihan dua belah pihak 

yang diyakininya akan menjadi lawan-lawannya.

"Jin Gunung Sampa! Bagaimana kalau se-

karang ini kita bekerja sama untuk melenyapkan 

Raja Petir yang kudengar selalu mau turut campur 

urusan orang lain. Terutama, urusan tokoh-tokoh 

golongan hitam. Setelah itu, baru kita tentukan, 

siapa yang pantas mendapatkan Arca Singa Emas


itu," ujar Punggi jelas.

Jaraga tak segera menjawab usulan itu. 

Namun hatinya membenarkan keinginan Punggi. 

Untuk menjatuhkan Raja Petir, memang bukan 

persoalan mudah. Dan memang tidak ada salah-

nya bila harus bergabung.

"Kalian setuju, Lima Jin Gunung Sampa?" 

tegas Punggi melihat lima lelaki yang menjadi la-

wan Jaka hanya diam saja.

"Baik! Biar aku yang mulai lebih dulu me-

nyerang bocah sombong itu. Dan kalau kalian mau 

turut membantu, rasanya itu akan lebih baik," 

Sanggi. Dan kakinya sudah terayun dua langkah 

ke arah Jaka.

"Bersiaplah untuk mampus. Raja Sombong!" 

maki Sanggi dengan kepalan tangan langsung naik 

ke atas dada.

Jaka tak menimpali. Hanya tatapan ma-

tanya saja yang menusuk tajam, dilayangkan pada 

wajah kurus milik lelaki yang menantangnya.

"Hwaaa...!"

Pekik melengking terdengar seiring melesat-

nya tubuh orang kedua dari Sepasang Tengkorak 

Cadas Keramat

Lesatan Sanggi cepat bukan main, hingga 

menimbulkan hembusan angin keras. Apalagi, ke-

tika pukulannya digerakkan ke arah kepala Jaka. 

Bunyi menderu langsung terdengar mengiringi ti-

banya kepalan maut bertenaga dalam tinggi.

Bets! 

"Ets!"

Jaka menggeser tubuhnya ke samping ka


nan menghindari pukulan tangan kanan Sanggi. 

Ringan saja gerakannya, namun mampu membuat 

keinginan Sanggi hanya tinggal impian kosong sa-

ja. Memang, serangannya lolos beberapa jengkal 

dari kepala Jaka.

Rasa penasaran rupanya telah menjerat hati 

orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Ke-

ramat ini. Diiringi pekikan keras, kembali tubuh-

nya meluruk menyerang Jaka.

"Haaat..!"

"Uts!"

Jaka berhasil menghindar dengan melenting 

ringan menggunakan jurus ‘Lejitan Lidah Petir’. 

Sehingga serangan Sanggi yang menggunakan ca-

kar untuk melukai lambung kembali gagal.

"Keparat kau. Raja Petir!" hardik Sanggi 

mendapatkan serangannya kembali gagal. Semen-

tara Raja Petir pun sudah mendarat di tanah.

Maka seketika itu juga....

Srat!

Sanggi langsung meloloskan senjata berupa 

kapak kecil bertangkai panjang. Senjata berwarna 

hitam sampai ke tangkai itu digenggamnya kuat-

kuat. Jelas tenaga dalamnya disalurkan pada ben-

da itu. Kemudian....

Wuk! Wuk..!

Kapak kecil bergagang panjang itu diputar-

putar keras. Bunyi menderu yang terdengar diirin-

gi pula oleh angin mendesis kuat. Sehingga, mam-

pu menerbangkan kerikil-kerikil kecil yang berada 

di sekitar tempat Sanggi berpijak.

"Hiaaa...!"


Orang kedua dari Sepasang Tengkorak Ca-

das Keramat kini betul-betul melesat dengan sen-

jata yang masih terayun di udara.

Bet! Bet!

"Uts!"

Kembali Raja Petir mengerahkan jurus 

'Lejitan Lidah Petir', untuk mengelakkan serangan. 

Namun kali ini Sanggi seolah mampu membaca ge-

rakannya. Maka ketika Jaka mencelat ke samping 

kanan, Sanggi juga bergerak ke kanan disertai ke-

lebatan kapaknya yang cepat, terarah ke pangkal 

paha.

Serangan Sanggi memang cukup berba-

haya. Namun orang yang dicecarnya kali ini adalah 

Jaka, yang sudah kenyang asam-garam pertarun-

gan. Maka hanya memutar tubuhnya saja, seran-

gan Sanggi sudah berhasil dielakkan. Sehingga, 

ujung kapak yang tajam itu hanya meleset sejeng-

kal dari pangkal paha. Bahkan gerakan Jaka yang 

memutar tanpa diduga-duga sama sekali berubah 

menjadi sebuah serangan balasan ke arah Sanggi.

"Awas!" sentak Jaka memperingati Sanggi.

Kedua tangan Raja Petir yang terentang, 

bergerak memainkan jurus 'Petir Menyambar 

Liang'. Gerakannya demikian cepat ke arah kepala 

dan dada, sehingga lelaki berpakaian gambar ke-

rangka manusia itu sesaat jadi gugup. Namun saat 

selanjutnya, sudah diputuskannya untuk mema-

pak serangan Raja Petir.

Plak! Plak!

"Aaakh...!"

Pekik tertahan seketika terdengar, manaka


la sepasang tangan saling berbenturan keras. Tu-

buh Sanggi terlihat tergempur mundur empat 

langkah ke belakang. Sedangkan Jaka hanya me-

rasakan sedikit getaran.

Ditilik dari keadaan yang seperti itu, jelas 

bisa dipastikan kalau kekuatan tenaga dalam Jaka 

berada di atas tenaga dalam Sanggi.

"Keparat kau. Raja Petir!" maki Sanggi sete-

lah mampu menguasai diri.

"Kakang Punggi! Kita keroyok saja bocah se-

tan itu!" teriak Sanggi kemudian.

Orang tertua dari Sepasang Tengkorak Ca-

das Keramat yang memang sudah gatal tangannya 

untuk melenyapkan Raja Petir, segera saja meng-

hentakkan kakinya ke tanah

"Hop!"

"Ayo, Adi Sanggi. Kita lumat tubuh Raja Pe-

tir! Biar dunia persilatan tahu, Sepasang Tengko-

rak Cadas Keramat bukanlah tokoh sembarangan," 

sambut Punggi, penuh semangat 

Srat!

Punggi meloloskan senjatanya yang berupa 

kapak kecil bertangkai panjang warna hitam pekat

"Mainkan jurus ‘Kapak Maut Cadas Kera-

mat’!" teriak Punggi sambil memutar-mutar senja-

tanya.

Sanggi yang mendengar ucapan kakaknya, 

segera melesat ke arah kanan Jaka. Sehingga ke-

dudukan Raja Petir kini tercegat dari kiri dan ka-

nan.

Wuk! Wuk..!

Bunyi menderu dari kapak bertangkai pan


jang yang dimainkan Sepasang Tengkorak Cadas 

Keramat membuat hati Dewi Nalar yang menyak-

sikan semakin tersiksa kecemasan. Namun pera-

saan itu tidak terjadi pada diri Mayang. Kekasih 

Raja Petir ini begitu yakin kalau Jaka mampu me-

nandingi kesaktian lawan-lawannya.

"Hiyaaa...!"

"Heaaat..!"

Sanggi dan Punggi melesat cepat. Sementa-

ra senjata masing-masing diarahkan ke bagian se-

langkangan Raja Petir dan bagian kepala.

Jaka yang sudah bersiap menghadapi sega-

la kemungkinan, langsung saja mengangkat kedua 

tangannya. Tangan tokoh muda digdaya itu seketi-

ka bergetar hebat. Jelas Raja Petir tengah melaku-

kan penyaluran tenaga dalam tinggi.

Bet! Bet!

Tap! Tap!

Di luar dugaan Sepasang Tengkorak Cadas 

Keramat, Jaka cepat menggerakkan kedua tan-

gannya. Lalu, cepat ditangkapnya tangkai kapak 

yang tengah berkelebat ke bagian tubuhnya.

Kapak milik Sanggi yang berkelebat mence-

car bagian bawah, nampak terangkat ke atas sete-

lah tercekal kuat tangan Jaka. Sedangkan kapak 

Punggi yang juga tertangkap, tetap berada di atas.

Adu kekuatan tenaga dalam pun tak terhin-

dari lagi. Otot-otot sepasang tangan Raja Petir yang 

mencekal senjata lawan-lawannya nampak menge-

ras di permukaan. Sementara itu Punggi dan 

Sanggi juga mengerahkan tenaga dalam untuk 

menarik senjata.


"Hrrrg...!"

"Hrghhh...!"

Gerengan-gerengan kemarahan keluar dari 

mulut Sepasang Tengkorak Cadas Keramat yang 

berusaha menarik pulang kapaknya. Namun walau 

sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada, ka-

pak yang dicekal Jaka tak juga berhasil ditarik

Kenyataan seperti itu segera saja diman-

faatkan orang pertama dan kedua dari Lima Jin 

Gunung Sampa. Dengan cara licik mereka tiba-

tiba melesat ke arah Jaka sambil mengayun-

ayunkan pecut ke udara.

"Hiaaa...!" 

"Yeaaat..!" 

Ctar! Ctar...!

Mayang dan Dewi Nalar yang menyaksikan 

kelicikan Jaraga dan Malaba geram bukan kepa-

lang. Maka tanpa membuang waktu, kedua gadis 

cantik itu melesat ke arah dua orang dari Lima Jin 

Gunung Sampa.

"Haiiit..!"

"Hiaaat..!"

Tubuh Dewi Payung Emas dan Dewi Nalar 

sama-sama berkelebat cepat, menyongsong pecut 

milik Jaraga dan Malaba dengan payung kecil dari 

logam dan selendang merah. Mayang yang berge-

rak menyongsong Jaraga, mengerahkan jurus 

'Benteng Emas'. Sedangkan Dewi Nalar menggelar 

ilmu 'Selendang Merah' ke arah Malaba.

Ctar!

Blangngng...!

Bunyi keras dua pasang senjata yang bera


du pun tak terelakkan. Dan seketika empat sosok 

tubuh juga sama-sama terdorong dua langkah ke 

belakang.

"Keparat kalian, Gadis-gadis Liar!" maki Ma-

laba mendapatkan niatnya untuk melenyapkan 

Jaka terhalang. "Akan kulumat tubuh kalian!"

"Ganggada, Guriwang, Sitinja!" panggil Ma-

laba pada tiga rekannya yang tidak ikut bertarung. 

"Ringkus gadis liar itu!"

Ganggada, Guriwang, dan Sitinja segera sa-

ja bergerak ke arah Mayang dan Dewi Nalar yang 

sudah siap menerima serangan dengan senjata 

masing-masing. Namun belum lagi niat tiga dari 

Lima Jin Gunung Sampa terlaksana, tiba-tiba saja 

melesat sesosok tubuh berpakaian putih yang ber-

gerak cepat bagai angin. Sosok itu lalu mendarat 

ringan di tanah bagai sehelai kapas.

"Laki-laki bejat moral!" umpat sosok berpa-

kaian putih yang ternyata sudah cukup tua.

Lelaki itu bertubuh tinggi kurus. Rambut, 

kumis, dan jenggotnya sudah berwarna putih. Ikat 

kepalanya juga berwarna putih.

"Untuk apa kalian ingin memperebutkan 

Arca Singa Emas itu?"

Pertanyaan yang dilemparkan kakek berpa-

kaian putih itu seperti terdengar dari jarak beribu-

ribu pal jauhnya. Bergema dan memantul-mantul.

Lima Jin Gunung Sampa yang menda-

patkan pertanyaan itu seperti tak kuasa menja-

wab.

"Kalau kalian menginginkan kekayaan, me-

mang Arca Singa Emas dapat memberi kekayaan.


Karena dari benda itu akan dapat ditemui letak 

Goa Singa yang banyak menyimpan benda berhar-

ga dan batu permata. Namun jika bertujuan men-

cari kitab-kitab dan senjata-senjata pusaka, maka 

kalian harus berhadapan denganku, pemilik sah 

benda-benda itu," lanjut kakek berpakaian putih 

bersih itu.

"Jangan-jangan, kau juga ingin memiliki Ar-

ca itu, Tua Bangka Bau Tanah!" hardik Jaraga 

mangkel.

Kakek berbaju putih itu tersenyum.

"Untuk apa merebut barang yang sesung-

guhnya aku yang punya? Jika aku mau, mudah 

sekali mendapatkannya. Karena, akulah Pertapa 

Goa Singa yang memiliki benda yang tengah kalian 

perebutkan. Namaku, Ki Ajisentanu," sangkal ka-

kek berpakaian putih ini, yang mengaku bernama 

Ki Ajisentanu.

"Serahkan Arca Singa Emas itu padaku, 

Dewi," pinta Ki Ajisentanu.

Orang tua itu lalu mengulurkan tangan pa-

da Dewi Nalar. Tatapan mata lembut Ki Ajisentanu 

membuat Dewi Nalar teringat tatapan mata ayah-

nya. Ada getaran aneh yang tiba-tiba saja dirasa-

kan Dewi Nalar. Dan nalurinya untuk menyerah-

kan Arca Singa Emas itu tiba-tiba saja menyemak. 

Lalu, terulurlah tangan Dewi Nalar, memberikan 

benda yang selama ini dijaganya dengan taruhan 

nyawa.

"Terima kasih, Cucuku," ucap Ki Ajisentanu 

saat menerima Arca Singa Emas dari Dewi Nalar

Dewi Nalar mengangguk disertai senyum



sedikit terkembang.

"Hentikan pertarungan itu!" sentak Ki Aji-

sentanu pada Punggi, Sanggi, dan Jaka yang ten-

gah saling mengadu kekuatan tenaga dalam.

Tubuh Sepasang Tengkorak Cadas Keramat 

itu tersentak, dan langsung tergempur mundur 

begitu bentakan Ki Ajisentanu terdengar mengge-

legar. Sehingga, kedua senjata itu tertinggal di ce-

kalan tangan Jaka yang hanya bergetar ketika 

bentakan Ki Ajisentanu terdengar. Dan kenyataan 

ini membuat pertapa sakti, pemilik sah Arca Singa 

Emas itu terkagum-kagum.

"Sungguh aku kagum melihat pendirianmu 

yang selalu berpihak pada orang-orang yang lemah 

dan benar. Raja Petir," ucap Ki Ajisentanu.

Jaka hanya tersenyum saja mendengar pu-

jian kakek berpakaian putih bersih itu.

"Kalian semua! Berkumpullah di situ!" pe-

rintah Ki Ajisentanu pada Lima Jin Gunung Sam-

pa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat.

Aneh! Tujuh tokoh yang berilmu tinggi ini 

menuruti saja perintah kakek berpakaian putih 

itu. Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Teng-

korak Cadas Keramat kini berkumpul di hadapan 

Ki Ajisentanu.

"Kalian saksikan keajaiban Arca Singa 

Emas ini," ujar Ki Ajisentanu seraya menggosok 

bagian kaki Arca Singa Emas yang sebesar anak 

ayam itu.

Maka, keanehan pun seketika nampak. Teb-

ing rendah yang berada tepat di belakang rumah 

Ki Sapartoga yang sudah rata dengan tanah, tiba


tiba saja bergetar. Sebentar kemudian, tanah teb-

ing itu bergeser membuka seperti pintu. Kini, ter-

ciptalah sebuah goa yang cukup besar, hampir mi-

rip dengan mulut seekor singa yang tengah men-

ganga. Itulah sebabnya, goa itu dinamakan Goa 

Singa. Dari dalamnya tampak memendar sinar ke-

kuningan.

Jaka, Mayang, dan semua yang menyaksi-

kan menjadi terheran-heran. Dengan tatapan mata 

tak berkedip, mereka menyaksikan keanehan Goa 

Singa yang gemerlapan dengan sinar kekuningan.

"Masuklah ke dalam goa itu. Ambillah apa 

yang kalian inginkan," perintah Ki Ajisentanu pada 

Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak 

Cadas Keramat

Seperti kerbau dicucuk hidung, Lima Jin 

Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas 

Keramat melangkah tergesa memasuki mulut Goa 

Singa.

Sementara mata Ki Ajisentanu kini beralih 

memandang wajah Dewi Nalar

"Cucuku. Biarlah Arca ini kubawa bersama 

orang-orang serakah itu. Biar dunia ini tak selalu 

dilanda keributan. Juga, biar arwah Satyagana, 

Bagura, juga Sapartoga ayahmu, damai di alam 

baka," lanjut Ki Ajisentanu.

Air mata Dewi Nalar langsung menetes 

mendengar perkataan kakek berpakaian putih 

yang menyebut-nyebut nama ayahnya itu.

"Dan untukmu, Raja Petir. Berdirilah yang 

tegar pada jalan kebenaran," ujar Ki Ajisentanu 

pada Jaka. "Aku kagum padamu. Permisi."


Ki Ajisentanu segera melangkah cepat me-

masuki mulut Goa Singa

Seiring masuknya tubuh Ki Ajisentanu yang 

membawa Arca Singa Emas ke mulut Goa Singa 

yang menyimpan teka-teki, maka seketika itu juga 

pintu goa menutup. Dan seketika itu pula, tebing 

rendah itu menjadi seperti sedia kala. Yang terlihat 

kini hanyalah setumpukan arang bekas bangunan 

rumah Ki Sapartoga yang terbakar, dengan latar 

belakang tebing indah yang ditumbuhi semak be-

lukar.

Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya ter-

menung menyaksikan keanehan yang baru saja 

berlalu. Sementara matahari di langit Desa Grang-

gas mulai menyengat

Tak ada yang tahu, apa yang bakal terjadi di 

dalam Goa Singa itu. Yang jelas, siapa pun yang 

masuk ke dalamnya, tak akan kembali lagi. Teru-

tama, bagi orang yang punya niat buruk.



                             SELESAI

B


Share:

0 comments:

Posting Komentar