Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
SATRIA PENGGALI KUBUR
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Satria Penggali Kubur
SATU
Hujan deras yang turun sejak pagi membuat
tanah di sepanjang jalan yang mereka lalui menjadi
lembab dan becek di sana sini. Namun sejauh itu tan-
pa menghiraukan derasnya curahan air hujan yang te-
rus menggila, mereka tetap memacu kereta kuda yang
berwarna hitam kecoklat-coklatan itu. Rombongan ke-
reta kuda itu tak lama kemudian telah membelok di
sebuah tikungan jalan yang sangat sempit. Kuda-kuda
itu terus dipacu, sementara gerobak di belakang me-
reka yang memuat dua peti jenazah nampak ter-
goyang-goyang. Ketika lewat sepemakan sirih, sampai-
lah mereka di sebuah makam yang sangat luas namun
mengisyaratkan kesan angker.
Rombongan yang paling depan segera meng-
hentikan laju kuda mereka, kemudian diikuti pula oleh
kawan-kawan mereka yang berada di belakangnya. Se-
saat setelahnya, beberapa orang di antara mereka
nampak melompat dari punggung kudanya masing-
masing.
Setelah saling berpandangan sesamanya, tak
lama kemudian salah seorang di antara mereka nam-
pak mengitarkan pandangan matanya ke segenap pen-
juru di sekitar makam tersebut. Tak seorang pun yang
terlihat di sana, sejauh-jauh mata memandang. Hanya
kerimbunan pohon kamboja yang sedang berbunga le-
bat saja adanya. Harum semerbak terasa menusuk
penciuman rombongan itu.
Kini si Tinggi Tegap Muka Kunyit dan berpa-
kaian seragam bergambar Kala Hitam di dada kiri,
kembali menoleh pada orang-orang yang berada tidak
begitu jauh dari padanya. Kemudian sambil mengelus
elus jambangnya yang hitam lebat, maka dia pun ber-
kata:
"Hemm! Agaknya si Tapak Dewa, manusia
penggali kubur itu tidak ada di tempat saat ini...!"
ucapnya seperti pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu kita harus menunggu sampai dia
kembali, Kakang Inggil...!" kata salah seorang di antara
mereka yang berwajah buruk dan berambut sebatas
pinggang.
Mendapat jawaban seperti itu, mendadak si
Tinggi Tegap Muka Kunyit yang bernama Inggil itu
nampak kernyitkan alisnya. Wajahnya yang kuning
dan pucat itu segera berubah bagai kulit bunglon. Dan
tiba-tiba saja dia berkata tegas.
"Apa katamu, Adik Karsa? Menunggu...? Bagiku
tidak ada waktu untuk menunggu. Jenazah eyang
guru sudah empat hari dalam perjalanan, waktu yang
empat hari itu sudah sangat menyiksa jasadnya. Be-
lum lagi jenazah Kakang Bonta yang sudah lima hari
termasuk dalam perjalanan. Dua hari di depan jasad
orang-orang yang paling kita hormati tentu sudah
menjadi busuk...!"
"Aku tahu, tapi apa yang harus kita lakukan?"
tanya Karsa dengan perasaan segan.
Si Tinggi Tegap Muka Kunyit nampak tercenung
sesaat lamanya. Tetapi kemudian dia pun sudah ber-
kata lagi.
"Kalau Tapak Dewa tidak ada di tempat, apa sa-
lahnya kalau kita yang menggali kubur untuk orang-
orang yang kita hormati...?"
"Tapi kakang, mana mungkin kita boleh mela-
kukannya tanpa seizin Tapak Dewa?" Menyela Karsa
dengan hati diliputi keraguan,
"Sungguhpun makam ini di bawah pengawasan
Tapak Dewa, namun bukankah eyang guru dan Ka-
kang Bonta juga merupakan orang-orang yang terhor-
mat. Sudah selayaknya kita menguburkannya di tem-
pat terhormat pula...!" tukas si Tinggi Tegap Muka
Kunyi tegas.
"Kakang! Penjaga kubur ini seperti apa yang
kudengar merupakan orang yang sangat sakti, dan
makam ini juga berada dalam kekuasaannya. Bagai-
mana mungkin kita bisa berbuat sesuka hati kita...?"
tanya Karsa, merasa tidak setuju dengan apa yang
akan dilakukan oleh si Tinggi Tegap Muka Kunyit.
Diingatkan seperti itu, tiba-tiba laki-laki ber-
jambang lebat itu kertakkan rahang. Dia nampak tidak
senang mendengar apa yang dikatakan oleh salah seo-
rang bawahannya yang juga masih merupakan adik
seperguruannya.
"Perduli apa? Setan belang dari neraka sekali-
pun aku tak mau tahu. Sekarang suruh orang-orang
kita mulai menggali dua kubur sekaligus...!" perintah
Inggil tegas sekali.
"Tapi, Kakang...!" ucap Karsa ingin mengatakan
sesuatu. Namun urung, karena dilihatnya orang yang
menjadi wakil dari Perguruan Kala Hitam itu sudah
menghitam parasnya. Dan secara tiba-tiba dia mem-
bentak;
"Kurang ajar...! Kau sudah mulai berani mem-
bantah perintah...?"
"Maa... maafkan aku yang bodoh ini, Kakang...!"
kata Karsa terbata-bata.
"Kerjakan apa yang aku perintahkan!"
"Baik, Kakang...!" jawab Karsa. Lalu tanpa
buang waktu lagi dia pun segera memberi isyarat pada
beberapa orang anak buahnya. Orang-orang itu nam-
pak berloncatan dari punggung kudanya masing
masing. Dua orang mengambil cangkul dan dua orang
lainnya mengambil dua sekop yang berukuran besar.
Lalu dengan diikuti oleh Inggil dan Karsa, kini mereka
sudah memasuki pemakaman yang sangat luas itu.
Kemudian tanpa menunggu perintah, empat orang mu-
rid Perguruan Kala Hitam itu pun mulai melakukan
pekerjaannya. Begitu cangkul-cangkul yang mereka
ayunkan itu menghempas tanah yang lembab, betapa
terkejutnya murid maupun wakil ketua Perguruan Ka-
la Hitam. Sebab cangkul-cangkul itu bagai menggem-
pur lantai batu marmer saja layaknya. Terdengar bunyi
berdenting begitu keras, orang-orang itu menjadi san-
gat penasaran sekali. Mereka mengulanginya! Tetapi
tetap tanah yang mereka cangkul tetap tiada bergem-
ing. Bahkan seolah-olah tanah tersebut semakin mem-
batu.
Inggil dan Karsa saling berpandangan sesa-
manya, hati mereka diliputi rasa kejut dan tanda
tanya. Tak lama setelahnya Inggil atau yang lebih di-
kenal dengan sebutan- si Muka Kunyit Tangan Baja
terdengar bergumam.
"Seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan
kejadian seaneh ini...!"
"Agaknya apa yang didesas desuskan oleh ka-
langan persilatan bahwa Tapak Dewa selalu melindun-
gi makam ini dengan Ajian Watu Pamiluto, inilah salah
satu buktinya, Kakang...?" kata Karsa setengah ragu.
Inggil nampak tercenung untuk seketika la-
manya begitu mendengar kata-kata adik seperguruan-
nya. Wajahnya yang kuning kepucat-pucatan itu men-
dadak berubah memerah tetapi kemudian telah beru-
bah kembali.
"Tapak Dewa benar-benar manusia sirik, tak
pernah kusangka kalau manusia yang mengaku seten
gah dewa itu kiranya merupakan orang yang berpiki-
ran picik...!" maki Inggil nampak gusar sekali.
"Sssst...! Kakang jangan keras-keras, kabarnya
Tapak Dewa memiliki indera pendengar yang bisa me-
nembus sampai ke alam gaib...!"
"Kucing kurap... kau kira aku mau percaya be-
gitu saja dengan kabar yang tidak berketentuan itu.
Puihh... sungguhpun Tapak Dewa memiliki indera se-
tajam mata pedang sekalipun, jangan kira aku mau
percaya...!" tukas Inggil semakin bertambah marah.
Usai dengan ucapannya itu, mendadak Inggil
nampak berdiri bagai sebuah arca, sepasang matanya
menatap tajam pada tanah tempat di mana dia berpi-
jak. Sementara, bibirnya yang menyungging senyum
sinis itu pun tampak berkemak kemik.
Tahulah Karsa maupun yang lain-lainnya bah-
wa saat itu Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam itu se-
dang merapal Ajian Tangan Baja. Seperti mereka keta-
hui, kemampuan Ajian Tangan Baja selama ini jangan-
kan hanya manusia biasa, sedangkan dinding karang
sekalipun akan hancur berantakan dilanda ajian ter-
sebut. Jangankan hanya tanah biasa yang secara aneh
telah berubah mengeras seperti lantai beton. Tentu ti-
dak ada apa-apanya.
Saat itu, setelah selesai merapal Ajian Tangan
Baja, kedua tangan Inggil yang terkepal erat itu nam-
pak terayun deras mengarah ke tanah tempat di mana
dia berpijak. Satu sambaran angin yang sangat keras
menyertai melesatnya kedua tangan yang telah teraliri
tenaga dalam tersebut.
"Hiaaa...!"
"Buk! Buk!"
Tanah tempat di mana mereka berpijak terasa
bergetar hebat manakala kedua tangan Inggil memben
tur tanah kuburan itu. Namun betapa terkejutnya hati
mereka karena ternyata tanah tersebut tidak bergem-
ing sedikitpun juga. Inggil sendiri merasakan dadanya
sesak dan tergetar hebat. Tangan kesemutan bagai di-
tusuki ribuan jarum. Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-
tam itu mencaci maki panjang pendek.
Lalu cepat-cepat dia berdiri dan kembali pada
posisi semula. Kini dikerahkannya hampir segenap
kemampuan yang dimiliki, dengan suara bergetar dia
merapal Ajian Tangan Baja keras-keras. Tentu saja hal
ini di luar kebiasaan, dan orang-orang Kala Hitam me-
nyadari kalau wakil ketua mereka yang memiliki sifat
angkuh ini sedang dalam keadaan marah besar.
Laki-laki bermuka kunyit itu terus melantun-
kan mantra-mantra Ajian Tangan Baja. Tak lama sete-
lahnya, dari kedua tangan yang terkepal itu mengepul-
lah uap putih yang menebarkan bau bunga tahi ayam.
Sementara kedua tangannya telah memancar pula si-
nar merah menyala.
Sesaat tubuh Inggil tergetar, keringat menetes
membasahi bajunya yang berwarna putih kecoklatan.
Lalu setelah kedua tangan itu benar-benar telah beru-
bah warna bagai bara api, maka tanpa buang waktu
lagi dengan diiringi satu jeritan tinggi melengking. In-
ggil langsung saja menghantamkan tinju kanan kirinya
pada tanah dekat telapak kakinya.
"Bruaaak!"
Terdengar bunyi berdebum, manakala tangan
itu mencapai sasaran. Bumi bagai dilanda selaksa
gempa, beberapa orang anak buahnya sendiri terpental
beberapa depa jauhnya. Sementara itu kuda-kuda pe-
narik kereta jenazah meringkik keras dengan kaki ter-
lonjak-lonjak ke atas.
Sungguhpun begitu, tetapi nampaknya kali ini
usahanya benar-benar mendatangkan hasil. Sebab be-
gitu kedua tangannya dia sentakan kembali, nampak
tanah tersebut melubang besar, bahkan muat untuk
ukuran seorang jenazah. Inggil bangkit berdiri dengan
sesungging senyum puas di bibirnya. Dari sorot ma-
tanya yang memancar tajam, nampak sekali kalau la-
ki-laki setengah baya dan berjambang sangat lebat itu
semakin bertambah sombong saja. Sesaat dia melirik
pada kawan-kawannya. Lalu dengan sikap yang pon-
gah dia pun segera berkata pada semua bawahannya.
"Kalian turunkan jenazah eyang guru dan Ka-
kang Bonta. Tak usah bersusah pa-yah membuang te-
naga. Sekejap aku mau membuat sebuah kubur lagi
untuk Kakang Bonta...!" perintahnya dengan sikap
yang dibuat-buat. Lalu tanpa berani membantah lagi,
Karsa dan beberapa orang lainnya segera berjalan me-
nuju kereta jenazah.
Sesaat setelahnya, murid-murid dari Perguruan
Kala Hitam itu pun telah kembali ke tanah pemaka-
man tempat di mana Inggil sedang bersiap-siap untuk
melepaskan pukulan Tangan Baja yang terkenal dah-
syat itu. Bau bangkai mulai menyebar ke mana-mana,
manakala dua peti jenazah itu mereka gotong mema-
suki halaman kuburan yang sepi dan angker.
Saat itu, tubuh Inggil nampak kembali tergetar,
wajah semakin menegang. Seluruh pakaiannya basah
kuyup oleh siraman air hujan dan keringatnya sendiri.
Lagi-lagi dengan disertai jeritan menggeledek, laki-laki
berewokan Muka Kunyit ini pun pukulkan tangan ka-
nannya.
"Hiaaat...!"
"Dieerr...!"
Tanah di sekitarnya kembali tergetar, bahkan
hampir saja dua peti jenazah yang sedang dipikul oleh
para bawahan Inggil sendiri terlepas dari tangan para
pengusungnya. Di lain pihak kembali terjadi keanehan
yang membuat Inggil menjadi terperanjat bukan alang
kepalang. Tanah yang dipukulnya tiada bergeming se-
dikitpun juga. Hal ini benar-benar di luar dugaan laki-
laki yang memiliki kesombongan selangit itu. Inggil
nampak memerah parasnya, dia sangat gusar dalam
kegagalannya sendiri. Tanpa sadar, sebagaimana ke-
biasaannya, maka sumpah serapah pun berhamburan
dari mulut Wakil Perguruan Kala Hitam.
"Kakang, mungkin si empunya tempat tidak
merestui kita berbuat sembarangan di dalam pemaka-
man ini...?" ujar Karsa mencoba menyadarkan laki-laki
bermuka pucat itu.
Mendengar ucapan Karsa yang seolah-olah
mengguruinya, semakin bertambah gusarlah Wakil
Perguruan Kala Hitam dibuatnya. Serta merta, sepa-
sang matanya menatap tajam pada adik seperguruan-
nya, dengan suara ketus dia pun segera menyela;
"Adi Karsa...! Sejak kapan eyang guru mendidik
murid-muridnya menjadi sepengecut engkau? Sudah
kukatakan bahwa eyang guru dan Kakang Bonta me-
rupakan orang terhormat dan sudah selayaknya pula
dikubur di tempat terhormat pula. Kita ini selalu bera-
da di pihak yang benar. Jadi menurut hematku, sung-
guhpun Tapak Dewa yang menjadi pemilik kubur ini
tidak ada, apa salahnya kalau kita mengubur orang
yang kita muliakan di tempat ini. Sungguhpun kita be-
lum mendapat izinnya. Pula soal itu bisa kita selesai-
kan kemudian...!" ucapnya marah.
Ucapan laki-laki Muka Kunyit itu, kiranya
sungguh besar pengaruhnya bagi Karsa dan beberapa
orang murid lainnya. Mereka menyadari andai saja
Karsa berani membantah apa yang dikatakan oleh In
ggil yang sedang dalam keadaan marah besar, semua
itu bisa berakibat tak baik bagi mereka semua. Inggil
adalah seorang wakil ketua perguruan yang sangat
angkuh dan keras kepala. Itu sebabnya setelah diben-
tak sedemikian rupa, baik Karsa maupun yang lainnya
menjadi terdiam seribu bahasa.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba terdengar sua-
ra derai tawa yang membuat bulu kuduk mereka me-
remang berdiri.
Seiring dengan derai tawa itu, nampak pula me-
lesat sosok tubuh dari halaman luar tanah pekuburan
itu. Lalu dengan tanpa menimbulkan suara orang itu
menjejakkan kakinya tidak begitu jauh dari tempat
rombongan itu berdiri.
Laki-laki itu berusia berkisar enam puluh ta-
hun, mengenakan jubah warna kuning yang sudah
sangat lusuh. Tubuh laki-laki itu secara hampir kese-
luruhan dipenuhi dengan bulu-bulu halus. Badannya
sangat kekar berotot liat, sepasang matanya nampak
mencorong tajam, tak ubahnya bagai mata burung
hantu di kegelapan malam.
Sungguhpun orang-orang dari Perguruan Kala
Hitam ini belum pernah bertemu dengan Tapak Dewa
atau yang lebih dikenal dengan julukan Satria Penggali
Kubur, namun dari penampilan yang mereka lihat, me-
reka sudah dapat menduga bahwa laki-laki itulah
orangnya.
Ketika mereka sedang tenggelam dalam piki-
rannya masing-masing, saat itulah laki-laki berjubah
kuning itu berkata, pelan, tetapi penuh teguran.
"Lancang sekali kalian begitu berani memasuki
peristirahatan terakhir milikku. Sudahkah kalian
mendapat ijin dariku...?"
Ucapan yang bernada tidak senang ini sudah
barang tentu membuat murid-murid Kala Hitam men-
jadi ciut nyalinya.
Seperti mereka ketahui, Tapak Dewa adalah
seorang penggali kubur orang-orang terhormat. Tem-
pat itu masih merupakan wakaf dari leluhurnya. Lebih
dari itu dia juga merupakan seorang tokoh sakti yang
dikenal sebagai satria yang dapat mendengar pembica-
raan dari alam gaib. Dari kemampuan yang dimilikinya
itu saja sudah merupakan satu bukti betapa kesaktian
yang dimiliki oleh Tapak Dewa, sangat sulit untuk dija-
jaki. Namun nampaknya Inggil yang memiliki watak
sombong yang berlebihan ini tidak mau perduli dengan
apa yang didengarnya selama ini. Dengan pongahnya
dia lalu menyela
"Saudara Tapak Dewa... sesungguhnya kami ti-
dak bermaksud demikian. Tetapi karena tadi anda ti-
dak berada di tempat, maka kami mengambil keputu-
san untuk membuat kubur buat eyang guru dan Ka-
kang Bonta di tempat yang anda tunggui selama ini...!"
Mendapat jawaban dari Wakil Kala Hitam, Ta-
pak Dewa nampak mendengus dengan wajah memerah
karena tersinggung.
"Enak betul! Kubur ini bukan untuk nenek
moyangnya siapa-siapa. Pekerjaanmu yang telah me-
langgar peraturan di sini saja sudah merupakan satu
bukti bahwa kalian benar-benar tak pernah menghar-
gai milik orang lain...!"
"Tapi saudara Tapak Dewa, semua itu kami la-
kukan karena sangat terpaksa sekali. Mayat eyang
guru dan Kakang Bonta sudah hampir lima hari dalam
perjalanan. Kami tak mau orang-orang yang kami
hormati merasa sangat tersiksa karena terlalu berla-
ma-lama dikuburkan. Karena kami sangat menghor-
matinya, apa salahnya kalau kami menguburkannya di
tempat yang terhormat pula...?" kata Wakil Kala Hitam
nampak membantah. Sudah barang tentu hal ini
membuat Tapak Dewa semakin bertambah gusar di-
buatnya.
"Siapa suruh bawa nenek moyangmu ke mari!
Tokh yang namanya kuburan di mana-mana sama sa-
ja. Terhormat menurut ukuran manusia belum tentu
terhormat di hadapan Sang Pencipta. Begitu juga seba-
liknya...!"
"Jadi menurutmu apakah eyang guru dan Ka-
kang Bonta bukanlah orang yang layak untuk dikubur
di tempat ini...?" tanya Inggil dengan pandangan bera-
pi-api. Tapak Dewa menyungging seulas senyum, ke-
dua matanya menatap tajam pada Inggil. Sungguhpun
selama ini dia sering dikenal sebagai orang misterius
yang sangat jarang berkata-kata. Tetapi melihat ting-
kah Wakil Perguruan Kala Hitam, semakin lama dia
merasa semakin tak sabar saja. Sesaat setelahnya
dengan polos dia pun menyela;
"Manusia Muka Kunyit! Siapa pun boleh diku-
bur di makam ini, tetapi mereka harus minta ijin terle-
bih dulu denganku. Dalam penglihatanku eyang gu-
rumu meninggal secara wajar. Tetapi kakang mu yang
bernama Bonta itu mampus karena keserakahannya
dalam mempelajari pukulan-pukulan sakti...!"
Ucapan Tapak Dewa benar-benar sungguh di
luar dugaan mereka, Ingil memang tidak menyangkal
bahwa eyang gurunya meninggal karena faktor usianya
yang sudah sangat tua sekali. Dan sebaliknya dia pun
tidak membantah bahwa Bonta tewas karena salah da-
lam menghimpun hawa murni. Tetapi sedikit pun dia
tiada menyangka kalau Tapak Dewa dapat mengetahui
secara persis semua kejadian itu. Sesaat laki-laki ber-
jambang lebat itu nampak diam membisu. Wajahnya
sebentar tertunduk dan di lain saat memandang pada
Tapak Dewa dengan perasaan sangat penasaran sekali.
Tak lama kemudian dia pun berkata:
"Lalu bagaimana...?"
"Aku hanya mengizinkan eyang gurumu saja
yang pantas dikubur di peristirahatan milikku!" jawab
Tapak Dewa tanpa ragu.
Mendengar keputusan Tapak Dewa, betapa ter-
peranjatnya semua murid-murid Perguruan Kala Hi-
tam dibuatnya. Sementara itu Inggil sudah tak dapat
lagi membendung kesabarannya. Laki-laki Muka Ku-
nyit itu memerah parasnya. Tubuhnya nampak meng-
gigil karena menahan perasaan amarah yang sejak tadi
dia pendam-pendam. Serta merta dia membentak.
"Tapak Dewa, lancang sekali mulutmu! Engkau
benar-benar telah menghina kami! Jauh-jauh kami da-
ri Puncak Berkabut datang ke pemakaman mu ini, ki-
ranya sedikit pun engkau tak memandang muka pada
Eyang Guru Anjasmoro...!"
"Weeeiii... sial betul engkau ini! Muka setan tak
tahu adat... siapa suruh membawa-bawa bangkai
sampai sejauh itu? Kolong langit masih sangat luas,
aku sendiri tak pernah menyuruh kalian datang ke
mari...!" tukas Tapak Dewa tak kalah gusarnya.
"Bangsat... engkau benar-benar telah membuat
aku marah Tapak Dewa! Kalau kau tetap bersikeras ti-
dak mengijinkan jenazah Kakang Bonta dikubur di si-
ni. Kau benar-benar akan menyesal...!" ancam Wakil
Ketua Perguruan Kala Hitam.
Tapak Dewa tersenyum pahit begitu mendengar
ucapan Inggil, sebagai orang yang memiliki indra pen-
dengar yang mampu menembus alam gaib. Betapa dia
teringat sangat banyak sekali manusia-manusia seperti
Inggil itu, yang hingga pada akhirnya sampai hari ma
tinya tetap mengalami siksaan-siksaan yang tiada kun-
jung berakhir.
Begitu pun dia masih dapat bersikap lunak pa-
da laki-laki Muka Kunyit dari Perguruan Kala Hitam
itu.
"Hemmm! Sungguh tak kusangka kalau Pergu-
ruan Kala Hitam yang begitu kondang ke seantero pen-
juru negeri, kiranya memiliki murid yang tidak pernah
memandang muka pada orang lain...!" kata Tapak De-
wa, seraya geleng-gelengkan kepalanya.
"Tapak Dewa! Aku tak butuh khotbah mu, ka-
takan saja engkau memberi izin pada Kakang Bonta
untuk dikubur di sini atau tidak...?" kata Inggil seten-
gah berteriak.
"Sebagaimana ucapanku tadi, semuanya tidak
akan pernah ku rubah." jawab Tapak Dewa nampak
tenang sekali.
"Sreeek...!"
Mendadak Inggil sudah menarik setengah ba-
dan senjata dari sarungnya. Dalam pada itu, Tapak
Dewa cepat-cepat mencegah.
"Manusia Muka Kunyit! Kuperingatkan pada-
mu, sarungkan kembali Pedang Kala Hitam pada tem-
patnya. Andai tidak...!"
"Andai tidak kau bisa apa Tapak Dewa...?" tu-
kas Inggil menyela.
Laki-laki penggali kubur itu terdiam, sebaliknya
tangan kanannya malah memilin-milin jenggotnya
yang tidak seberapa lebat. Sementara itu, beberapa
orang murid Kala Hitam lainnya nampak sangat cemas
sekali. Sebab andai Inggil terlibat dalam pertarungan,
sudah barang tentu mereka juga akan terbawa-bawa
juga. Di lain pihak mereka sendiri belum mengetahui
secara pasti betapa hebatnya Satria Penggali Kubur
yang bernama Tapak Dewa. Saat itu, dengan ketenan-
gan luar biasa dia menyambungi ucapannya yang
sempat terhenti.
"Ah... di mana-mana manusia selalu sengsara
karena tidak tahu siapa dirinya sendiri. Mereka sering
bertanya-tanya, tentang siapa dirinya, tentang kebera-
daannya. Untuk apa dilahirkan. Menyesal datangnya
selalu terlambat dan betapa pula mereka jarang yang
tahu, kalau dosa itu selalu menyeret mereka dalam
penderitaan yang teramat panjang...!"
"Tutup khotbah mu, Gembel Penggali Kubur...!"
maki Inggil sambil mencabut Pedang Kala Hitam yang
berwarna hitam pula.
"Kau telah melanggar apa yang seharusnya ti-
dak kau lakukan, Muka Kunyit. Tidak kau dengarkan
rintihan dan jerit di alam kubur sana? Mereka-mereka
itu semasa di dunia mengaku dan diakui sebagai orang
terhormat. Tetapi di alam kubur mereka tak menutupi
segala perbuatan baik buruk. Kini mereka merasakan-
nya, aku mendengar apa yang tidak kalian dengar...!"
"Jahanam! Manusia sinting mampus-lah...!"
"Hiaaa...!"
Bersamaan dengan makian dan teriakan-
teriakannya, serentak Inggil langsung menyerang Ta-
pak Dewa. Sungguhpun mereka ini berasal dari golon-
gan lurus, namun dari sambaran angin yang ditimbul-
kan akibat babatan maupun tusukan pedang di ta-
ngannya, Tapak Dewa dapat merasakan adanya hawa
keji yang menyertai serangan-serangan ganas tersebut.
Sejauh itu Tapak Dewa masih nampak tenang-
tenang saja. Begitu serangan yang bertubi-tubi itu
menderu ke arahnya, dia geser kaki kanannya ke bela-
kang. Sementara badan nampak membungkuk seten-
gahnya.
Wakil Ketua dari Perguruan Kala Hitam itu
nampak sangat penasaran sekali begitu serangannya
yang pertama dapat dikelit oleh pihak lawan dengan
begitu mudah. Lalu dengan mempergunakan jurus Pe-
dang Kala Hitam Menyengat Babi Hutan, dia kirimkan
satu serangan susulan.
Pedang Kala Hitam kembali menderu dan ber-
kelebat mencecar pertahanan lawan dari berbagai pen-
juru. Tapak Dewa keluarkan suara tawa tertahan, dan
seiring dengan suara tawanya itu tiba-tiba tubuhnya
berkelebat lenyap. Hanya desiran-desiran angin yang
begitu keras saja yang memberi tanda bahwa Satria
Penggali Kubur yang sudah cukup berumur ini ada di
sekitar laki-laki Muka Kunyit.
"Hiaaat...!"
Kembali terdengar pekikan Inggil, Pedang Kala
Hitam membabat ke arah bayang-bayang tubuh Tapak
Dewa. Pedang di tangan laki-laki sombong dari Pergu-
ruan Kala Hitam semakin bertambah sebat, hawa keji
semakin terasa ganas memenuhi udara di sekitarnya.
Tapi sejauh itu, pedang di tangan Inggil masih belum
juga mampu menyentuh kulit tubuh lawannya. Bah-
kan Inggil sendiri merasakan, semakin cepat dia me-
nyerang Tapak Dewa, semakin bertambah gila pula ge-
rakan si Penggali Kubur dalam menghindar. Setelah
pertarungan berlangsung belasan jurus, lama kela-
maan Inggil menjadi sangat jengkel sekali. Apalagi dia
melihat orang yang menjadi lawannya bertarung tak
pernah membalas serangannya. Sebaliknya malah cu-
ma mengelak dan menghindar. Maka dia pun sudah
tak dapat menahan kesabarannya, sesaat kemudian
dia membentak;
"Manusia siluman...! Nama besarmu melam-
bung setinggi langit, namun tak kusangka kalau hati
mu sepengecut tikus cecurut...?!"
"Jleeeeegk!" Lima langkah Tapak Dewa tepat
berdiri dari hadapan Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-
tam. Sesaat dia memandang pada semua orang yang
berada di sekelilingnya. Dan kiranya pada saat itu,
baik Karsa maupun delapan orang murid lainnya telah
diperintahkan oleh Inggil untuk mengepung Tapak
Dewa.
"Sialan Muka Kunyit, kalau engkau ingin cari-
cari perkara denganku. Janganlah kau bawa-bawa
orang lain...!"
"Hua ha ha.,.! Engkau takut! Itu makanya ada
baiknya kalau kamu memberi izin kubur untuk Ka-
kang Bonta....!" rutuk Inggil dengan tawa mengejek.
"Tidak pernah. Tetapi aku malah takut pada di-
ri sendiri...!"
Dengan sesungging seringai menjijikan, laki-
laki angkuh itu pun memberi aba-aba pada orang-
orangnya.
"Anak-anak mari kita cincang tikus kuburan ini
beramai-ramai...!"
Usai dengan ucapannya itu, tanpa berani mem-
bantah murid-murid Perguruan Kala Hitam langsung
menyerbu Tapak Dewa.
Tak dapat dihindari lagi, dalam waktu sekejap
pertarungan sengit pun terjadi. Areal kuburan yang
tadinya sunyi sepi, kini telah berubah menjadi hiruk
pikuk suara teriakan dan denting beradunya senjata
yang terus berkelebat tanpa ampun.
***
DUA
Tapak Dewa bergerak lebih cepat lagi, sung-
guhpun begitu orang-orang dari Perguruan Kala Hitam
terus memburunya ke mana pun dia menghindar. Pe-
dang sejenis yang dipergunakan oleh murid-murid Ka-
la Hitam memang agak merepotkan Tapak Dewa. Se-
bab sungguhpun mereka hanya merupakan murid,
namun mereka adalah murid-murid pilihan yang me-
miliki ilmu silat dan kepandaian yang sudah mencapai
taraf sempurna.
Di lain pihak, Tapak Dewa sungguhpun seorang
pendekar yang memiliki watak angin-anginan, namun
selamanya dia belum pernah turun tangan secara keji.
Apalagi dia menyadari bahwa murid-murid Kala Hitam
itu hanyalah demi menjalankan perintah seorang ata-
san. Maka dia sudah memutuskan untuk melumpuh-
kan Manusia Muka Kunyit yang jadi biang keonaran di
pekuburan yang dia jaga selama ini.
Beberapa jurus di depan, Tapak Dewa kelihatan
mulai terdesak. Senjata di tangan laki-laki Muka Ku-
nyit, nyaris merobek bagian punggungnya. Sementara
itu Karsa yang menyerang Tapak Dewa dari bagian de-
pan terus mendesaknya dengan babatan-babatan pe-
dang di tangannya.
"Hiaat...!"
Tubuh Tapak Dewa nampak melentik ke udara,
bersamaan dengan itu Inggil telah pula melepas bebe-
rapa ekor kala berbisa menyusul melesatnya tubuh
Tapak Dewa.
"Jiiit!"
Empat ekor kala hitam meluruk tubuh Tapak
Dewa yang masih berjumpalitan di udara. Lesatan sen
jata rahasia yang berupa Kala Hitam itu sedemikian
cepatnya. Masih untung saat itu yang mendapat se-
rangan mendadak itu Tapak Dewa adanya, andai tidak
sudah dapat dipastikan orang yang mendapat seran-
gan Kala Hitam akan menemui ajalnya pada saat itu
juga.
"Heeeeess!"
Tapak Dewa pergunakan ujung jubahnya untuk
menangkis datangnya serangan kala-kala berbisa ter-
sebut.
Karena samplokan ujung jubahnya itu sengaja
dialiri tenaga dalam yang cukup kuat. Akibatnya senja-
ta rahasia yang berupa kala hitam tersebut kandas di
tengah jalan. Bahkan kala yang mengandung racun
yang sangat mematikan itu berpentalan ke segala arah
dengan keadaan mati.
Inggil memaki panjang pendek begitu mengeta-
hui serangan-serangan mautnya dapat dipatahkan
oleh Tapak Dewa dengan cara yang sangat begitu mu-
dahnya. Dalam kemarahannya yang meledak-ledak itu,
tiba-tiba dia sambitkan Pedang Kala Hitam yang bera-
da dalam genggamannya.
"Ziiing...!"
Tapak Dewa yang baru saja menjejakkan ka-
kinya di atas permukaan tanah, nampak terkejut seka-
li. Namun itu hanya sekejaban saja, karena saat beri-
kutnya dengan tangkas sekali dia sudah berkelit.
"Creeep...!"
Alangkah terkejutnya Inggil dan murid-murid
Kala Hitam lainnya begitu melihat kenyataan bahwa
Tapak Dewa menangkap lesatan Pedang Kala Hitam
dengan giginya.
Satu kelihaian yang sangat langka. Dan seumur
hidup mereka belum pernah melihat kepandaian se
perti apa yang dimiliki oleh Tapak Dewa. Dalam keter-
tegunan mereka, tiba-tiba Satria Penggali Kubur sudah
membentaknya:
"Bangsat Muka Kunyit! Kukira aku cukup ber-
sabar atas kesombonganmu, tetapi karena engkau se-
perti menghendaki nyawaku. Maka aku tak akan
memberi hidup lebih lama lagi. Kini bersiap-siaplah
engkau untuk mati. Hiiaaaa...!"
Seiring dengan teriakan yang serasa bagai me-
runtuhkan gendang-gendang telinga itu. Maka dengan
mempergunakan Pedang Kala Hitam milik lawannya,
Tapak Dewa langsung menerjang si Muka Kunyit yang
sangat sombong itu. Selain Inggil seorang. Murid-
murid Kala Hitam tak ada yang berani turun tangan
untuk membantu wakil ketua mereka.
Di lain pihak, saat itu juga Tapak Dewa dengan
pedang terhunus milik lawannya, segera kirimkan se-
rangan-serangan yang sangat dahsyat. Karena laki-laki
penggali kubur itu mempergunakan Jurus Bayangan
Malaikat, maka sepuluh jurus kemudian, Inggil sudah
nampak jatuh di bawah angin. Laki-laki berjambang
lebat yang merupakan wakil dari Perguruan Kala Hi-
tam itu, berusaha mati-matian keluarkan segenap ke-
mampuannya. Jurus demi jurus silih berganti, namun
semua itu tetap tidak merubah kedudukan. Hingga
sampai pada akhirnya, sampailah dia pada puncak ke-
saktian yang dimilikinya.
"Haiiitt...!"
Laki-laki Muka Kunyit bersalto beberapa kali,
sengaja dia menjauhi gempuran-gempuran pedang Ta-
pak Dewa. Lalu, tanpa membuang-buang waktu lagi,
Inggil segera rangkapkan kedua tangannya. Sesaat
kemudian terdengar bunyi mencicit bagai suara ribuan
ekor tikus dari bibirnya. Tubuh bergemetaran, peluh
sekejap saja telah membasahi jubah hitam yang dike-
nakannya. Seiring dengan itu dari kedua tangannya
yang menyatu di depan dada. Keluarlah uap hitam
yang semakin lama semakin menebal, sehingga lama-
kelamaan menyelimuti dirinya sendiri.
Di lain pihak nampaknya murid-murid Pergu-
ruan Kala Hitam dan juga Karsa, menjadi terkesima.
Mereka menyadari saat itu wakil ketua perguruan me-
reka sudah mengerahkan satu pukulan sakti yang di-
beri nama Raja Kala Merah yang di kolong langit ini
tiada duanya. Pukulan itu terkenal sangat keji dan
berbahaya sekali. Siapa pun yang terkena pukulan
maut itu, sedetik pun nyawanya tidak bisa tertolong
lagi. Dan seperti mereka ketahui pula, bahwa eyang
gurunya dulu sempat berpesan. Siapa pun dari mereka
sangat dilarang mempergunakan Pukulan Raja Kala
Merah itu terkecuali bila dirinya merasa benar-benar
berada di pihak yang benar. Tetapi kenyataannya kini
wakil ketua mereka sengaja mempergunakannya,
hanya demi sebuah kesombongan. Sungguhpun hati
mereka merasa sangat tidak setuju dengan cara-cara
yang ditempuh oleh Inggil. Tetapi untuk melarang me-
reka tiada memiliki keberanian.
Saat itu Tapak Dewa yang sudah menghentikan
serangan, begitu mengetahui gelagat yang kurang baik,
dia langsung membentak:
"Anak manusia yang bernama Inggil! Engkau
tarik baliklah Pukulan Raja Kala Merah yang sangat
keji itu. Andai tidak, engkau akan menjadi manusia
yang paling merugi di liang kubur sana...!"
Saat itu, sungguhpun laki-laki Muka Kunyit itu
terkejut hatinya karena dia tiada menyangka kalau la-
wannya dapat pula mengetahui pukulan yang akan di-
lepaskannya. Namun bibirnya tetap menyungging se..
nyum licik. Kemudian tanpa menghiraukan peringatan
pihak lawannya. Dengan diawali satu jeritan keras dan
sambung menyambung maka tubuhnya melesat lak-
sana kilat meluruk ke arah di mana posisi lawan ber-
ada. Satu sapuan gelombang hitam yang berhawa din-
gin luar biasa menderu tanpa dapat terbendung lagi.
Tapak Dewa tidak tinggal diam. Dengan memperguna-
kan Ajian Mayat Arca dia nampak berdiri mematung.
Seluruh pikirannya menyatu dengan hati, sedangkan
sepasang matanya langsung terpejam.
Laki-laki Muka Kunyit mengira bahwa apa yang
dilakukan oleh Tapak Dewa adalah sesuatu yang san-
gat sembrono. Bahkan dia sendiri sudah memastikan,
sekali saja pukulan yang dilepaskannya menghantam
pihak lawan. Maka akan tamatlah riwayat manusia
yang berjuluk Ksatria Penggali Kubur itu.
Sedetik kemudian pukulan Raja Kala Merah
yang dilepas oleh Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam
itu melabrak tanpa ampun.
"Praaangg...!"
Bukannya tubuh lawan yang hancur maupun
tewas akibat pukulan yang sangat keji itu, sebaliknya
malah tubuh Inggil terbanting di atas tanah. Sementa-
ra itu Tapak Dewa tetap tegak bagaikan arca.
Sungguhpun Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-
tam, bagai remuk dadanya bahkan sempat muntah da-
rah kental akibat pukulannya membalik. Akan tetapi
begitu melihat lawannya tiada bergeming sedikitpun
juga, maka dengan cepat dia bangkit kembali. Kedua
tangannya langsung merangkap ke depan dada. Kini
dia sudah bersiap-siap kembali melepas pukulan maut
tersebut. Tubuh Inggil semakin tergetar hebat, wajah-
nya yang kuning kunyit itu kini berubah memerah, se-
pasang matanya tak kalah merahnya. Saat itu Tapak
Dewa masih tetap dengan posisinya. Detik selanjutnya,
laki-laki Muka Kunyit itu dengan diawali satu benta-
kan bagai ribuan suara tikus kembali kirimkan satu
pukulan yang lebih ganas lagi.
"Wuuut!"
"Krontaaang...!"
Tak ubahnya bagai membentur arca dewa saja
layaknya, pukulan yang dilakukan oleh Inggil menca-
pai sasarannya. Tapak Dewa tiada berkedip sedikitpun
juga, sebaliknya Inggil menerima akibat yang lebih pa-
rah lagi. Ajian Mayat Area benar-benar merupakan sa-
tu perisai yang benar-benar sangat luar biasa. Sebab
ajian itu memiliki sifat mengembalikan serangan yang
dilakukan oleh pihak lawannya.
Kala itu Inggil yang terlempar sepuluh tombak
jauhnya. Pada bagian kepalanya nampak remuk kare-
na membentur batu nisan kuburan. Tubuhnya membi-
ru akibat pukulan yang dilepaskan membalik dan me-
makan dirinya sendiri. Laki-laki angkuh yang memiliki
jambang lebat itu kelihatan mengerang lirih, dengus
napas terdengar bagai seekor kerbau yang disembelih.
Sementara darah kental yang bergumpal-gumpal terus
meleleh dari kuping hidung serta mulutnya.
Ketika itu Tapak Dewa seperti biasa saja, seolah
merasa tak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Bebe-
rapa tindak dia melangkah, kemudian secara silih ber-
ganti dipandanginya tubuh Inggil yang sudah putus
nyawanya.
Setelah itu dia berpaling pada murid-murid
Perguruan Kala Hitam lainnya. Setelah itu, dengan su-
ara pelan namun berwibawa dia memberi perintah.
"Kuberi kesempatan pada kalian untuk mengu-
burkan jenazah eyang guru kalian di pemakaman ini.
Tetapi aku tetap tidak memberi izin pada saudara ka
lian yang bernama Bonta itu, apalagi manusia som-
bong yang bernama Inggil...!"
"Lalu bagaimana dengan mayat kakang-kakang
kami itu, Ki Sanak...?" tanya Karsa mencoba membe-
ranikan diri.
"Jenazah dua orang lainnya aku tak perduli!
Aku muak mendengar lolongan orang-orang yang ber-
lumur dosa di dalam liang kubur sana...!" tukas Tapak
Dewa tegas-tegas.
"Baiklah, Ki Sanak, kami berterima kasih atas
kemurahanmu...!"
"Kerjakan...!"
Jawaban Tapak Dewa sudah terdengar men-
jauh, bahkan begitu mereka menoleh, Satria Penggali
Kubur itu telah lenyap dari pandangan mereka.
"Hemmm. Dia datang dan pergi bagai setan ku-
buran saja layaknya...!" gumam salah seorang di anta-
ra mereka.
"Ssst! Jaga mulutmu, dia mendengar apa saja
yang kita bicarakan. Bisa-bisa kita mampus semua!"
menyela Karsa dengan perasaan was-was.
Sesaat kemudian keadaan di sekitarnya menja-
di sepi kembali. Hanya sesekali saja terdengar bunyi
cangkul mereka menghunjam ke dalam tanah.
Nampaknya mereka bekerja sangat cepat sekali,
sebentar saja pekerjaan penggalian itu sudah selesai.
Cepat-cepat mereka membuka peti mayat eyang gu-
runya. Bau bangkai menebar ke mana-mana saat peti
jenazah itu terbuka, keadaan jenazah sudah mem-
bengkak di sana sini, bahkan pada bagian perut mayat
tersebut sudah membusung sebesar tempayan. Den-
gan sangat berhati-hati mereka menggotong jenazah
eyang guru mereka untuk dimasukkan ke liang lahat.
Pekerjaan itu pun usai setelah lebih kurang setengah
jam kemudian.
Setelah memberi penghormatan yang terakhir,
mereka pun segera memberesi mayat Wakil Ketua per-
guruan mereka yang masih tetap tersender di bibir ba-
tu nisan. Mayat laki-laki berjambang lebat itu kemu-
dian mereka masukkan ke dalam peti bekas dipakai
eyang guru mereka.
Semuanya nampak berlalu begitu cepat, kereta
kuda kembali berjalan menelusuri jalan yang sempit
lagi becek. Sementara dua peti jenazah yang berada di
belakang kereta kuda nampak terguncang-guncang di-
hempas batu-batu jalanan.
EMPAT
Dengan langkah tertatih-tatih, gadis itu dengan
sabar dan ketabahan luar biasa, terus memapah pe-
muda tampan yang berada di sebelahnya. Sesekali si
gadis terpaksa mengurungkan langkahnya, manakala
pemuda yang bergelayut di bahu kanannya itu merin-
tih-rintih sambil memegangi dadanya yang terus ber-
denyut sakit luar biasa.
Pukulan Iblis Menembus Maut, yang bersumber
dari tenaga inti murni itu memang berakibat sangat
luar biasa bagi pemuda yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana ini. Bagaimana kan tidak, Buang Sengketa yang
masih keturunan Raja Piton Utara yang berasal dari
Negeri Bunian itu, sesungguhnya adalah seorang pen-
dekar tangguh yang memiliki kekebalan terhadap sega-
la jenis racun berbisa sekalipun.
Tetapi pukulan Iblis Menembus Maut yang per-
nah dilancarkan oleh si guru iblis (Dalam episode Sepasang Iblis Bermata Dewa) kiranya merupakan puku-
lan raja dari segala macam pukulan beracun pula.
Hal inilah yang tak pernah disadari oleh pemu-
da dari Negeri Bunian itu. Sehingga kini dia harus me-
nerima akibat yang sangat fatal sekali. Sungguhpun
dia masih mempunyai harapan hidup sekitar dua pu-
luh hari lagi, namun untuk hidup selanjutnya dia ha-
rus berusaha keras untuk mencari seorang tabib yang
benar-benar tahu bagaimana caranya menyembuhkan
pukulan beracun yang kini sudah mulai menjalar ke
segenap pembuluh darahnya.
Masih untung dalam keadaan begitu, Wanti Sa-
rati, yaitu gadis yang selama ini merindukan kehadiran
si pemuda dapat bertemu dengan Pendekar Hina Kela-
na. Andai tidak, tentu memperjuangkan hidup seorang
diri akan lebih sulit lagi.
Siang malam gadis bermata sendu ini selalu
dengan setia merawat orang yang paling dia kagumi di
dalam hidupnya. Gadis itu tidak pernah mengeluh,
bahkan setiap saat dia selalu mengkhawatirkan kea-
daan si pemuda yang kian hari kian memburuk. Ber-
puluh-puluh tabib telah mereka temui, namun tak seo-
rang pun dari mereka yang mampu menyembuhkan
pukulan beracun yang diderita oleh Pendekar Hina Ke-
lana.
Tubuh pemuda itu nampak semakin pucat, pa-
nas badannya selalu berubah-ubah. Terkadang tubuh-
nya panas luar biasa, namun di lain saat menjadi din-
gin bagai sudah tak bernyawa.
Keadaan seperti itu sudah barang tentu mem-
buat cemas hati si gadis. Dia nampak bingung. Bahkan
sering tidak memperdulikan dirinya sendiri. Sungguh-
pun begitu Wanti Sarati kiranya bukanlah seorang ga-
dis yang kenal putus asa. Dia terus berusaha mencari
tabib yang mampu menyembuhkan racun yang dideri-
ta oleh pendekar yang sangat dikaguminya itu.
Langkah selalu membawanya untuk berusaha,
tanpa sadar kini dia telah sampai di daerah Tanah Pu-
tih. Yaitu sebuah daerah yang hampir keseluruhan ta-
nahnya terdiri dari tanah batuan kapur. Setiap siang
hari, daerah itu panasnya bukan main.
Pendekar dari Negeri Bunian itu kembali merin-
tih, lalu memberi isyarat pada Wanti Sarati untuk be-
ristirahat.
Setelah sampai di sebuah pohon yang sangat
rindang, maka si gadis segera menyandarkan tubuh
Buang Sengketa di bawah sebatang pohon besar itu.
Pendekar Hina Kelana menarik nafasnya yang agak
tersengal-sengal. Sejenak setelahnya dia memandang
pada si gadis dengan tatapan iba. Dia merasa sangat
kasihan sekali pada gadis itu, sudah berhari-hari si
gadis kurang tidur. Semua itu telah dilakukannya den-
gan sangat ikhlas, penuh kasih sayang bahkan, ah...
pendekar itu mengeluh dalam hati. Sejenak dia mem-
buang gundah di hatinya jauh-jauh. Dia tak ingin me-
lihat Wanti Sarati menangisinya, apabila dia menutup
mata nantinya. Sampai akhirnya dia pun berkata pe-
lan.
"Wanti...! Kecil sekali harapanku untuk dapat
terbebas dari racun terkutuk ini. Aku merasa tak kuat
untuk bertahan hidup lebih lama, bernapas pun ra-
sanya sangat sulit bagiku...!" rintih Pendekar Hina Ke-
lana. Sudah barang tentu ucapan si pemuda membuat
pedih hati Wanti Sarati.
"Paman...! Paman tak boleh berkata begitu, kita
akan terus berusaha, pula. Waktu yang ditentukan
masih dua puluh hari lagi. Kita masih punya waktu
dan kesempatan...!" Pendekar Hina Kelana nampak
tersenyum pias, begitu mendengar ucapan si gadis.
"Kau tak tahu, Nduk. Betapa pukulan beracun
yang ku derita benar-benar sangat berbahaya sekali...!"
"Aku tahu paman, tapi sebagai manusia dalam
keadaan bagaimana pun kita harus selalu berusaha
untuk mencapai sesuatu...!" kata Wanti Sarati lirih se-
kali.
"Aurrgghk...!"
Mendadak Buang Sengketa menjerit keras
sambil memegangi dadanya. Begitu dia terbatuk, maka
menggelogoklah darah kental kehitam-hitaman dari
mulutnya. Bersamaan dengan itu, maka tubuh pemu-
da berwajah tampan itu terkulai, Wanti Sarati menjerit
histeris begitu melihat keadaan Buang Sengketa yang
sangat mengenaskan ini. Si gadis segera meraba de-
nyut nadi si pemuda, sungguhpun denyut darah itu
masih ada tetapi sangat lemah sekali. Bahkan kini se-
luruh tubuh si pemuda menjadi dingin luar biasa. Wa-
laupun Wanti Sarati merupakan seorang gadis yang
sangat tabah, namun nalurinya sebagai wanita mem-
buat dia menangis demi melihat keadaan yang terjadi
pada Buang Sengketa.
"Paman... Paman Kelana, jangan kau tinggalkan
Wanti, Paman.... Paman...!" isak Wanti Sarati sambil
memeluki tubuh Pendekar Hina Kelana.
Sementara pada saat itu di luar sepengetahuan
Wanti Sarati kiranya ada dua pasang mata yang sejak
tadi memandangi keadaan mereka berdua. Pemilik dua
pasang mata itu terdiri dari seorang laki-laki dan seo-
rang perempuan berusia sudah sangat lanjut sekali.
Baik laki-laki maupun perempuan berumur itu mas-
ing-masing berkepala botak. Berpakaian kembang-
kembang, sementara dari mulutnya terdengar bunyi
mendesis bagai suara sempritan. Di tangan kedua
orang ini nampak pula tergenggam sebuah tasbih be-
rukuran besar. Sementara di bagian pinggang mereka
nampak sebuah senjata berbentuk bulan sabit. Dunia
persilatan mengenalnya sebagai si Pengumpul Barang
Kuno dari Bangkalan. Selama malang melintang dalam
dunia persilatan mereka dikenal dengan julukan Sepa-
sang Clurit Maut dari Bangkalan. Dua botak dari
Bangkalan ini terkenal sebagai orang yang telengas
dan sangat berangasan sekali.
Dan kalau hari itu dia sampai di Tanah Putih
hal itu hanyalah demi ingin mengetahui lebih jelas ten-
tang sepak terjang seorang pendekar muda dengan Pu-
saka Maut Golok Buntungnya. Lebih dari itu mereka
juga berhasrat ingin memiliki Pusaka Golok Buntung
dan periuk bertuah yang saat ini juga berada di bagian
bahu kiri si pemuda.
Dalam pada itu laki-laki botak sudah menoleh
pada perempuan botak yang berdiri di sebelahnya. La-
lu dua orang bangkotan yang sudah bau tanah itu pun
saling berbisik sesamanya.
"Istriku... agaknya pemuda yang dalam kea-
daan kelenger itulah yang akhir-akhir ini menggem-
parkan dunia persilatan di seantero negeri...!" ujar si
laki-laki botak yang bernama Nanang.
"Hemm, dugaanku pun begitu suamiku... tetapi
mengapa dia sampai bisa terkena pukulan beracun se-
perti itu. Bukankah menurut cerita yang kita dengar,
bahwa pendekar muda yang berjuluk si Hina Kelana
dengan senjata andalan Golok Buntung dan Cambuk
Gelap Sayuto yang maha dahsyat itu merupakan pen-
dekar yang sangat kebal dengan segala macam puku-
lan beracun...?" jawab si nenek berkepala botak.
Dari nada pembicaraan mereka yang terdengar
mesra dan akrab, nyata sekali kalau keduanya merupakan pasangan sejoli tua yang sangat serasi.
"Istriku, ada baiknya kalau kita turun tangan
sekarang juga! Pemuda berpakaian gembel itu lagi se-
maput...!"
"Tetapi bagaimana dengan gadis yang menyer-
tainya itu...?" tanya si nenek berkepala botak, hampir-
hampir tak terdengar.
Si kakek botak tersenyum simpul, lalu tanpa
menoleh dia pun menjawab.
"Itu persoalan yang gampang. Kita rebut dulu
Pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto
yang bikin gempar itu. Jika saja perempuan manis itu
menghalangi maksud kita. Biar ku kepruk kepa-
lanya...!"
"Hemm! Ide yang cukup jitu. Engkau memang
suami yang selalu berpikiran cerdas. Itu makanya dulu
aku begitu tergila-gila padamu...!" ucap nenek berke-
pala botak sambil lirik-lirik mesra.
"Lha wong aku kok... he... he... he...!" Si kakek
botak bangga, bahkan hidungnya yang mancung ke
dalam itu sampai kembang kempis saking bungahnya.
Bersamaan dengan ucapannya itu, maka kakek dan
nenek berkepala botak nampak melesat ke luar dari
tempat persembunyiannya.
Dari gerakan mereka yang lincah dan gesit itu
saja sudah dapat diduga bahwa kedua orang ini memi-
liki ilmu mengentengi tubuh yang benar-benar sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
Hanya dalam waktu sekedipan mata, Sepasang
Clurit Maut itu sudah menjejakkan kakinya tiga tindak
di belakang Wanti Sarati.
Nampaknya gadis itu sangat terkejut sekali de-
mi melihat kehadiran kakek nenek berkepala botak ini.
Dan kiranya dia menyadari bahwa kehadiran dua
orang manusia yang belum dikenalnya itu membawa
maksud-maksud tak baik.
Tetapi belum lagi keraguan dalam hatinya ter-
jawabkan. Tiba-tiba si nenek berkepala botak sudah
menghardiknya:
"Bocah! Pacaran di tempat yang sepi memang
sungguh asyik sekali, berpeluk-pelukan mesra seperti
itu. Hemmm... bukan main, tetapi ada baiknya kalau
sekalian kau telanjangi saja pemuda itu, dia pemuda
yang gagah dan tampan. Yang pasti engkau tak baka-
lan kecewa karenanya....!"
Bukan main gusar nya Wanti Sarati demi men-
dengar ucapan si nenek botak yang mesum dan sangat
kurang ajar itu. Dia benar-benar merasa terhina, bah-
kan sebentar kemudian parasnya yang kuning langsat
itu pun nampak menjadi merah padam. Lalu cepat-
cepat digesernya kepala Buang Sengketa yang tak sa-
darkan diri itu dari pangkuannya. Sekejap kemudian
dia sudah bangkit berdiri. Sepasang matanya menco-
rong tajam dan memandang pada kedua orang yang
berdiri di hadapannya. Dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki. Kakek botak dan nenek botak itu sedikit
pun tiada dia kenal.
Karena nenek kepala botak itu telah bersikap
kurang ajar padanya, maka kini Wanti Sarati tanpa
menaruh sikap hormat sedikit pun pada orang itu
langsung membentak si. nenek botak.
"Weii... kutu kupret. Manusia tuyul berotak
ngeres, berani sekali engkau menghinaku...!" tukas
Wanti Sarati sambil bertolak pinggang.
"Hi... hi... hi...! Bocah kencur bau ingus, aku
tak mau basa basi. Sekarang serahkan saja pemuda
itu pada kami. Tokh engkau tak becus mencarikan ob-
at buatnya...!" kata si nenek botak menyahuti.
"Hemm. Tanpa tujuan yang pasti, tidak nan-
tinya paman ku kuserahkan pada siapa pun. Aku tahu
kalian pasti punya maksud-maksud tertentu pada Pa-
man Kelana!"
"Bocah tolol! Pamanmu itu sudah terserang pu-
kulan beracun yang teramat parah. Dan satu-satunya
orang yang bisa menyembuhkan luka dalam pamanmu
itu hanyalah kami berdua. Mengapa kau harus curi-
ga...!" bujuk si kakek botak dengan sesungging se-
nyum penuh kelicikan.
"Kakek botak, siapa mau percaya dengan segala
bualan mu. Kalian pasti menginginkan sesuatu dari
Paman Kelana...!"
"Ho... ho... ho...! Tajam juga penglihatanmu bo-
cah. Aku tak mengingkari apa yang kau katakan itu."
jawab si kakek botak terang-terangan.
"Untuk tidak membuat persoalan menjadi pan-
jang, sekarang serahkanlah Pusaka Golok Buntung,
Cambuk Gelap Sayuto serta Priuk Mustika yang ada
pada pamanmu itu...!" Nenek botak pun ikut-ikutan
menimpali.
Mendengar ucapan mereka, maka sadarlah
Wanti Sarati, bahwa keselamatan pamannya, kini be-
nar-benar dalam keadaan terancam. Maka tanpa ba-
nyak kata lagi, gadis cerdik dan pemberani itu segera
melepaskan selendang merah yang melilit di pinggang-
nya. Sementara itu demi melihat gelagat, Sepasang
Clurit Maut itu secara hampir bersamaan segera mem-
bentak:
"Bocah, kau mau apa dengan selendang itu...?"
Saat itu Wanti Sarati sudah bersiap-siap melin-
dungi Pendekar Hina Kelana dari segala kemungkinan.
"Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati
berkalang tanah. Paman Kelana adalah orang yang pal
ing berarti dalam hidupku, maka aku tak akan mem-
biarkan walau seekor lalat sekalipun menyentuh-
nya....!" dengus Wanti Sarati tegas-tegas.
Demi mendengar ucapan si gadis, maka berde-
railah tawa Sepasang Clurit Maut ini.
"Mati muda adalah sia-sia, Bocah. Bahkan eng-
kau tak akan dapat merasakan bagaimana nikmatnya
sorga dunia ini. Namun karena hal ini merupakan pili-
han mu, maka andai kepalamu menggelinding di ta-
nah. Jangan kau salahkan aku...!" ancam nenek botak
sambil mendesis keluarkan bunyi bagai terompet
maut.
LIMA
Namun kiranya Wanti Sarati sudah tak menghi-
raukan apapun yang dikatakan oleh si nenek botak.
Sebaliknya dengan diawali satu lecutan selendang
yang sekaligus merupakan senjata ampuhnya. Maka
sekejap kemudian tubuhnya sudah berkelebat lenyap.
Tak pelak lagi, kini dia mulai mempergunakan
jurus-jurus aneh yang sangat dahsyat yang pernah di-
ciptakan oleh Padri Agung Sindang Darah (Dalam epi-
sode Air Mata di Sindang Darah).
Tubuh Wanti Sarati bergerak lincah, berulang-
kali selendang merah di tangannya melecut ke segala
arah. Dan sudah barang tentu hal ini membuat repot
Sepasang Clurit Maut yang sebelumnya tiada menduga
kalau gadis itu ternyata memiliki jurus-jurus silat yang
sangat aneh dan cukup dahsyat. Bahkan terjangan
kaki si gadis tak kalah dahsyatnya dengan lecutan se-
lendang yang bergerak cepat, meliuk-liuk bagaikan
seekor kepala seekor ular cobra.
Mendapat tekanan-tekanan dan serangan gen-
car seperti itu, nenek botak memberi isyarat pada si
kakek botak. Kemudian pada gebrakan berikutnya
dengan mempergunakan tasbih yang berukuran san-
gat besar, maka keduanya pun menyerang Wanti Sa-
rati tanpa malu-malu lagi.
"Bagus kalian memang sepasang tuyul yang
sangat serasi. Majulah sekalian kalau perlu keluarkan
sekalian clurit yang menggelantung di pinggang kalian
itu...!"
"He... he... he...! Tak perlu kau perintah seben-
tar nanti juga Clurit Maut akan memenggal kepalamu!"
"Ciaaat!"
Tasbih di tangan si kakek botak mencecar ba-
gian dada lawannya. Sementara pada saat yang sama,
tasbih di tangan si nenek menyambar ke bagian kaki
Wanti Sarati. Si gadis melentik ke udara, begitu seran-
gan gencar itu terus memburunya. Maka Wanti Sarati
terus melecutkan selendangnya.
Pertemuan dua senjata sakti sudah tidak dapat
dihindari lagi. Maka tak pelak lagi benturan keras
membahana menggelegar memekakkan gendang-
gendang telinga.
"Craas! Ctar...!"
Tubuh Wanti Sarati terjengkang tiga tombak,
sementara si kakek dan nenek botak sungguhpun ti-
dak sampai terpelanting namun tubuh mereka nampak
tergetar hebat. Sadarlah Sepasang Clurit Maut dari
Bangkalan ini bahwa tenaga dalam si gadis tidak begi-
tu jauh di bawah mereka berdua. Bahkan andai tadi
tidak menghadapi Wanti Sarati secara bersamaan, be-
lum tentu mereka masih tetap tegak pada posisinya.
Gadis yang mereka hadapi itu masih begitu muda, te
tapi tenaga dalam dan ilmu silat yang dimilikinya su-
dah sedemikian tangguh. Hal ini saja sudah membuat
Pengumpul Barang Langka dari Bangkalan itu menjadi
penasaran sekali.
Kemudian dengan gusar, kakek botak meng-
hardik;
"Bocah, sungguh mengagumkan. Selama ini be-
lum pernah ada orang yang mampu menahan gempu-
ran Tasbih Kudungga milik kami. Tetapi kau mampu
menahannya. Hemmm, siapakah gurumu...?"
"Tak usah tanya-tanya! Terimalah... hiaaa...!"
Tanpa perduli lagi, Wanti Sarati kembali mela-
kukan serangan-serangan gencar.
"Haiiit! Ctar.... ctaar...!" Selendang di tangan
Wanti Sarati melecut. Tetapi kali ini Sepasang Clurit
Maut itu sudah tak sabar lagi untuk cepat-cepat mem-
beresi, maka.
"Sriiingg! Sriiingg...!"
Kakek dan nenek berkepala botak secara seren-
tak sudah mencabut senjata mautnya yang berbentuk
bulan sabit itu.
Begitu keduanya bergerak menyerang, maka
tak dapat disangkal lagi senjata-senjata yang terkenal
sangat berbahaya itu menderu dan bahkan timbulkan
suara laksana raung seekor macan gembong yang ke-
laparan. Silih berganti, baik Tasbih Kudungga maupun
Clurit yang sangat berbahaya itu mencecar Wanti Sa-
rati dari segala penjuru.
Tak pelak lagi pada jurus-jurus selanjutnya ga-
dis itu nampak mulai terdesak. Tiada kesempatan ba-
ginya untuk melaksanakan serangan-serangan bala-
san. Terpaksalah dia bertahan mati-matian.
"Bocah pentil. Lebih baik kau menyerah saja,
kalau tidak dua jurus di muka kepalamu akan kami
buat menggelinding...!" teriak si kakek botak marah
sekali.
"Tak semudah itu...!" bentak Wanti Sarati. Kali
ini selendang di tangannya kembali melecut. Namun
pada saat itu clurit di tangan si kakek lebih cepat lagi
menyambar.
"Praaas...!"
Wanti Sarati terhuyung tiga langkah, selendang
di tangannya berantakan dilanda clurit milik si kakek!
Sungguhpun dia nampak sangat terkejut sekali, na-
mun dia sudah tak dapat berpikir panjang. Karena pa-
da saat itu kedua lawannya sudah memburunya den-
gan sabetan-sabetan senjata mautnya.
Gadis itu menjadi kalang kabut, secepatnya dia
berusaha membebaskan diri dari gulungan senjata la-
wan yang mengurungnya. Pada saat itu sungguhpun
dia dapat membebaskan diri dari terjangan senjata si
kakek. Tetapi bokongan clurit si nenek botak di bagian
belakangnya sudah tak dapat terhindarkan lagi.
"Brebet!"
Wanti Sarati mengeluh pendek. Bagian pung-
gungnya terobek sejengkal. Darah mengucur deras dari
luka akibat sambaran clurit. Sungguhpun tidak begitu
parah tetapi cukup membuat si gadis kehilangan ba-
nyak tenaga.
Kakek dan nenek botak menyeringai dalam ke-
licikan, namun tiada sepatah kata pun yang terucap
dari mulut mereka yang sudah tiada bergigi lagi.
"Ciaaat...!"
Tubuh kedua orang itu berkelebat lenyap, sen-
jata maut terus menderu dan mengancam pada ba-
gian-bagian tubuh yang sangat rawan.
Saat itu posisi si gadis memang benar-benar
dalam keadaan yang sangat gawat sekali.
Nampaknya apa yang diucapkan oleh si kakek
memang benar-benar segera terbukti. Namun dalam
detik-detik yang sangat berbahaya itu, nampak pula
berkelebat sosok bayangan yang sangat cepat. Bayan-
gan itu nampak menyambar tubuh Pendekar Hina Ke-
lana yang sedang tidak sadarkan diri.
Wanti Sarati sangat terkejut sekali, begitu juga
halnya dengan si kakek dan nenek botak. Masing-
masing lawan jadi terkesima, kesempatan yang hanya
sedetik itu tidak disia-siakan oleh si bayangan yang ti-
dak dikenal. Tangan kiri nampak merogoh sesuatu dari
balik jubahnya. Laksana kilat tangan itu bergerak.
"Bummm! Bummm!"
Bersamaan dengan terdengarnya bunyi
ledakan, asap hitam segera memenuhi tempat sekitar
itu. Wanti Sarati masih belum menyadari apa yang se-
dang terjadi, manakala bayangan tadi menyambar tu-
buhnya dengan cepat. Gadis itu merasakan badannya
laksana terbang ketika bayangan tersebut terus mem-
bawanya berlari menjauhi tempat itu.
Sementara itu, kakek dan nenek botak terus
terbatuk-batuk. Tubuhnya limbung dan lemas luar bi-
asa. Sambil mengebutkan jubahnya masing-masing,
orang itu pun berteriak.
"Asap pembius... bangsat... siapakah orang
itu...?"
"Menghindar...!"
Apes sekali nasib mereka hari itu, belum lagi
mereka dapat keluar dari kepulan asap tersebut, Sepa-
sang Clurit dari Bangkalan itu sudah tak sadarkan di-
ri.
* * *
Saat itu laki-laki berbaju kuning, terus menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Tubuhnya berkelebat bagai
tak pernah mengenal lelah. Padahal saat itu tubuh
Wanti Sarati dan tubuh pendekar dari Negeri Bunian,
membebani kedua pundaknya. Sungguh kemampuan
yang sangat langka, dan tidak sembarang orang memi-
liki kemampuan seperti itu.
Lewat sepemakan sirih, sampailah orang itu di
sebuah pemakaman yang sangat sunyi. Orang itu
menghentikan ilmu lari cepatnya. Dengan langkah te-
gap, dia terus memasuki tanah pekuburan itu. Sema-
kin lama orang itu semakin menuju ke tengah-tengah
makam tersebut. Sampai akhirnya dia berhenti di ba-
wah sebatang pohon kamboja yang sangat besar dan
berbunga lebat.
Wanti Sarati tak tahu apa yang dilakukan oleh
laki-laki berpakaian kuning ini. Sungguhpun dia be-
lum mengenal laki-laki berbulu itu, tetapi dia dapat
mengerti bahwa orang itu bermaksud untuk menolong
mereka.
Sementara itu laki-laki jubah kuning nampak
mengetuk-ngetuk pohon kamboja tiga kali. Sesaat sete-
lah ketukan tersebut, maka tanah yang berada di de-
pannya nampak merekah dan menguak lebar. Terde-
ngar bunyi bergemuruh, manakala tanah tersebut
membuka. Laki-laki berpakaian kuning segera me-
langkah, kemudian nampaklah anak tangga yang ter-
buat dari batu di bawah tanah tersebut.
Dengan masih memanggul tubuh Wanti Sarati
dan Buang Sengketa, laki-laki itu segera menuruni
anak tangga. Tak lama kemudian rengkahan tanah
kuburan yang tak ubahnya bagai sebuah pintu rahasia
itu pun menutup kembali. Ruangan bawah tanah itu
tak ubahnya bagai sebuah ruangan rahasia untuk
tempat tinggal. Di sana sini terdapat lampu minyak
yang menerangi segenap ruangan tersebut.
Orang tersebut segera membaringkan tubuh
Buang Sengketa pada sebuah dipan yang terbuat dari
batu pualam putih. Tak lama kemudian dia pun segera
meletakkan tubuh Wanti Sarati pada sebuah dipan
lainnya. Terdengar rintihan gadis itu, manakala luka di
punggungnya bersentuhan dengan dipan pualam yang
sangat dingin.
"Diamlah di sini. Aku harus melihat luka dalam
yang diderita oleh pamanmu itu...!" kata laki-laki ber-
baju kuning, yang tak lain Tapak Dewa adanya.
Sebelum Wanti Sarati sempat menanyakan se-
suatu.
Tapak Dewa telah meninggalkannya.
Laki-laki itu kemudian duduk di sisi Pendekar
Hina Kelana. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi
dia segera membuka pakaian si pemuda pada bagian
pinggang. Tapak Dewa atau yang lebih dikenal sebagai
Satria Penggali Kubur nampak sangat terkejut sekali
begitu melihat bekas telapak tangan menghitam di da-
da Buang.
Tapak Dewa kerutkan keningnya, dia berusaha
untuk mengingat-ingat sesuatu. Seingatnya di dalam
dunia persilatan tokoh sesat yang memiliki pukulan
beracun yang bersumber dari tenaga inti murni hanya-
lah guru iblis yang bermukim di Kayu Agung, mung-
kinkah orang ini pernah sampai di daerah itu? Batin
Tapak Dewa. Mengingat sampai ke situ, cepat-cepat
Tapak Dewa meraba denyut nadi Buang Sengketa. De-
nyut nadi itu memang masih ada, namun sudah terla-
lu lemah sekali.
"Uuh... pukulan beracun Iblis Menembus Maut
sudah menyatu dengan darahnya. Seandainya bocah
ini tidak memiliki hawa murni yang sangat sempurna,
paling tidak dia sudah menemui ajal saat ini." gumam-
nya seorang diri.
"Aku merasa tak mungkin mampu menyem-
buhkan luka dalam yang teramat parah ini. Sungguh
malang sekali nasibmu bocah." batin Tapak Dewa.
Saat itu Wanti Sarati yang selalu mengkhawa-
tirkan keselamatan Pendekar Hina Kelana, nampak
tertatih-tatih datang menghampiri. Dengan harap-
harap cemas dia pun bertanya.
"Kakek... bagaimanakah keadaan paman ku...?"
Tapak Dewa menoleh, dia melihat mata si gadis
membersitkan kecemasan. Tetapi sebagai orang tua
yang berjiwa polos, dia tak ingin menutup-nutupi ten-
tang keadaan Buang Sengketa.
"Maafkan aku, Nduk.... Kukira aku tak mampu
menyembuhkannya. Pukulan beracun Iblis Menembus
Maut di dunia ini tak ada obat pemunahnya. Hanya
kebesaran Sang Hyang Widilah yang mampu merubah
segala sesuatunya!" ucap Tapak Dewa dengan suara
sangat lirih sekali.
Wanti Sarati nampak terpukul batinnya, sedih
dan putus asa berbaur menjadi satu. Tanpa dia sadari
air matanya bergulir menuruni kedua pipinya yang ha-
lus lembut.
"Kakek, tolong, lakukanlah sesuatu! Paman ku
harus sembuh, dia sering menderita dalam hidupnya
kek...! Kalau kakek mengenal jenis pukulan beracun
itu, mustahil kakek tak tahu obat pemunahnya...?"
Tapak Dewa geleng-gelengkan kepala, sebentar
wajahnya menunduk. Namun sekejap kemudian me-
mandang pada Buang Sengketa yang terbaring tiada
daya.
"Guru iblis sendiri tak memiliki obat pemunah
pukulan beracun miliknya...!"
Kedua bola mata Wanti Sarati terbelalak lebar-
lebar. Seolah dia tak percaya dengan apa yang baru sa-
ja didengarnya.
"Dari mana kakek tahu semua itu...?"
"Dulu pun aku sendiri sempat melihat, betapa
orang yang pernah terkena pukulan Iblis Menembus
Maut. Tak seorang pun ada yang dapat diselamatkan.
Bahkan ketika murid-murid si guru iblis terkena pu-
kulan itu. Manusia sesat itu pun tak pernah berhasil
menyembuhkan muridnya....!" kata Tapak Dewa.
ENAM
Sesaat lamanya, Wanti Sarati nampak terdiam.
Semakin sedih saja hatinya. Namun sebagai seorang
gadis yang masih muda usia dan belum berpengala-
man banyak dalam dunia persilatan, dia tak tahu apa
yang akan dilakukan untuk selanjutnya.
Tak lama kemudian gadis itu beringsut mende-
kati Buang Sengketa. Lalu dipandanginya wajah pe-
muda itu lama-lama. Wajah semakin pucat bagaikan
kain kafan, sementara tubuhnya menjadi panas luar
biasa.
Tapak Dewa yang mengetahui keadaan itu
nampak sangat terkejut sekali.
"Hemmm. Pemuda ini nampaknya memiliki ke-
kuatan lain di luar kemampuan manusia. Lihatlah,
badannya memberikan reaksi yang kuat terhadap ra-
cun yang nampak hampir menguasai pembuluh otak-
nya...!" kata Tapak Dewa. Dan mereka yang berada di
situ menjadi lebih terkejut lagi ketika mereka melihat
dari tubuh si pemuda timbul bintik-bintik kecil yang
menyerupai sisik seekor Ular Piton. Reaksi itu terus
terjadi. Tanpa mereka sadari di luar ruangan bawah
tanah, mendung tebal nampak bergulung-gulung. Petir
dan halilintar saling sambung menyambung. Tak lama
kemudian setelahnya hujan hebat pun turun bagai ter-
curah dari langit. Suasana di luar ruangan bawah ta-
nah dalam pekuburan itu mendadak menjadi gelap gu-
lita. Bersamaan dengan turunnya hujan lebat dan ge-
legar petir yang seakan menggoncang seisi bumi. Pada
saat itu pula seberkas sinar pelangi bergerak cepat
menuju ke tengah-tengah pekuburan tersebut. Sinar
pelangi tersebut terus melesat bagaikan meteor. Sema-
kin lama semakin nyata ujudnya. Kalau sinar pelangi
itu benar-benar diperhatikan lebih jelas, maka akan
terlihatlah bahwa sebenarnya sinar yang bergerak ce-
pat itu sesungguhnya merupakan ujud dari seekor ular
raksasa. Di atas kepala ular raksasa nampak pula ber-
tengger sebuah mahkota yang memancarkan cahaya
kuning keemasan. Selarik cahaya pelangi yang berujud
seekor ular itu terus melesat. Dalam waktu hanya se-
kedipan mata sinar pelangi itu telah pula sampai di
tengah-tengah pekuburan itu. Sekejap sinar itu pun
berputar-putar.
Sementara itu hujan dan guntur terdengar te-
rus berkepanjangan. Manakala kemudian terdengar
gelegar halilintar, pada saat itu pula cahaya pelangi
tersebut menembus ruangan bawah tanah.
Kejadian yang tak pernah terduga-duga itu, be-
nar-benar membuat Wanti Sarati maupun Tapak Dewa
menjadi terkejut luar biasa. Terlebih-lebih Tapak Dewa
yang masih merupakan keturunan para siluman.
Nampaknya dia kenal betul dengan sinar pelangi yang
berujud seekor ular raksasa itu. Raja Ular Piton Utara
dari Negeri Bunian! Siapa yang tak kenal, sebab Piton
Utara masih merupakan junjungan yang sangat di-
hormati di negeri alam gaib dan juga di negerinya para
siluman.
Cepat-cepat, Tapak Dewa menjatuhkan diri di
lantai ruangan, lalu Satria Penggali Kubur itu mengha-
turkan sembah beberapa kali.
"Sinuhun yang mulia! Terimalah hormat hamba
yang papa ini...!" ujar Tapak Dewa dengan suara geme-
taran.
"Hmm. Sembahmu kuterima wahai keturunan
para siluman. Bangkitlah...!" kata Raja Ular Piton Uta-
ra yang saat itu telah berdiri tegak dalam ujudnya se-
bagai seekor Ular Piton yang tak terukur besarnya.
"Sinuhun yang mulia! Gerangan apakah yang
membuat Sinuhun berkenan datang di ruangan bawah
tanah tempat tinggal hamba ini...!" tanya Tapak Dewa
dengan masih membungkuk hormat.
Raja Ular Piton Utara keluarkan bunyi mende-
sis yang sangat memekakkan gendang-gendang telin-
ga. Lalu terdengar pula suaranya yang serak dan berat.
"Tapak Dewa...! Bocah laki-laki yang kau tolong
itu adalah titisan ku. Aku mau kau merawatnya den-
gan baik...!" kata Raja Ular Piton Utara begitu berwi-
bawa. Tapak Dewa sungguhpun sangat terkejut luar
biasa, namun kembali membungkuk hormat.
"Sinuhun yang mulia. Hamba tidak memiliki
kemampuan apa-apa, luka gusti pangeran teramat pa-
rah. Berilah hamba petunjuk apa yang harus hamba
lakukan untuk menyelamatkan jiwa pangeran...!" kata
Tapak Dewa dengan nada serendah-rendahnya.
"Ssssss...!" Raja Piton Utara keluarkan bunyi
mendesis, dari dalam mulutnya keluar lidah api. Na-
mun tak lama kemudian api yang keluar dari mulut raja dari negeri alam gaib yang bernama Bunian itu pun
padam. Dari dalam mulutnya, secara mengejutkan ke-
luar pula sebuah puntungan golok pusaka. Puntungan
golok itu mengeluarkan sinar merah yang sangat te-
rang benderang.
Baik Wanti Sarati maupun Tapak Dewa, kedu-
anya memandang tiada berkedip.
"Tapak Dewa, kau ambillah puntungan golok
yang berada di dalam mulutku ini. Kemudian satukan-
lah dengan golok buntung yang terletak di bagian
pinggang putra ku. Setelah golok itu menyatu maka le-
katkanlah di bagian dadanya. Lakukanlah sekarang
juga...!"
Tanpa membantah, dan dengan sikap hormat,
Tapak Dewa segera melakukan apa yang diperintahkan
oleh Raja Piton Utara. Setelah mengambil puntungan
golok yang berada di bibir mulut Raja Piton Utara. Ma-
ka dengan sangat hati-hati dia menghampiri Pendekar
Hina Kelana, yang kemudian diketahuinya sebagai pu-
tra raja dari negeri alam gaib. Tapak Dewa menyembah
tiga kali sebelum mencabut pusaka golok puntung
yang terselip di bagian pinggang Buang Sengketa.
Tak lama kemudian setelah puntungan golok
tersebut saling didekatkan. Maka terdengar pula bunyi
menggeledek bagai memecah langit-langit ruangan ba-
wah tanah. Hawa dingin segera menyebar memenuhi
ruangan itu, sementara Tapak Dewa yang memegang
golok yang sudah saling menyatu itu merasakan panas
yang luar biasa. Golok yang sudah saling menyatu ini
nampak sangat indah sekali. Pada badan golok terda-
pat ukiran seekor Ular Piton bermahkota. Sekejap Sa-
tria Penggali Kubur memandang takjub pada pusaka
tersebut. Namun belum lagi hilang rasa kekaguman-
nya, mendadak terdengar perintah dari Raja Piton Uta
ra.
"Satria Penggali Kubur! Cepat-cepat engkau
tempelkan golok itu di dada putra ku...!"
"Perintah hamba laksanakan, Yang mulia...!"
Usai dengan ucapannya, Tapak Dewa segera
menempelkan golok itu tepat di dada Pendekar Hina
Kelana. Begitu senjata pusaka itu menempel di dada si
pemuda, nampak jelas tubuhnya tergetar hebat. Sinar
merah yang terpancar dari pusaka itu meredup. Racun
maut yang mengeram di tubuh Buang Sengketa nam-
pak tersedot mengikuti kekuatan dahsyat golok pusaka
yang menghisapnya. Golok itu sendiri lama kelamaan
berubah warnanya menjadi merah kehitam-hitaman.
Setelah racun yang mengeram di tubuh si pemuda be-
nar-benar telah tersedot habis. Maka bagian ujung go-
lok yang menempel dengan sendirinya itu segera terle-
pas dari tubuh si pemuda.
Tetapi betapa terkejutnya hati Tapak Dewa
maupun Wanti Sarati, karena tak lama kemudian go-
lok buntung yang sudah saling menyatu sesamanya
ini. Secara tak terduga nampak memisah kembali.
"Criing!"
Satria Penggali Kubur terpana, pada saat itu
Raja Piton Utara sudah berkata;
"Engkau tak perlu heran, titisan para siluman!
Golok Buntung memang masih belum waktunya untuk
menyatu. Ketahuilah, selama di atas dunia ini masih
dipenuhi dengan berbagai kejahatan. Maka selama itu
pula, golok buntung tidak akan pernah menyatu den-
gan puntungan yang berada bersamaku...!"
"Lalu bagaimanakah dengan luka dalam yang
diderita oleh gusti pangeran?" tanya Tapak Dewa.
"Tak perlu engkau risaukan, racun ganas yang
mengendap di dalam tubuhnya sudah hilang sama se
kali. Cuma perlu waktu satu purnama untuk menyem-
buhkannya. Dan kuminta selama itu engkau benar-be-
nar harus mengawasinya...!"
"Kepercayaan yang mulia Sinuhun, bagi hamba
merupakan sebuah kehormatan yang benar-benar tia-
da disangka-sangka...!"
Tiada kata-kata yang terucap dari mulut Raja
Piton Utara, hanya terdengar bunyi mendesis disertai
jilatan lidah api. Dalam waktu yang bersamaan pula
dari sepasang mata Raja Piton Utara keluar seberkas
cahaya berwarna merah menyala.
Cahaya tersebut bergulung-gulung, tak lama
kemudian nampak menyerap ke segenap pori-pori
Buang Sengketa. Tanpa diketahui oleh siapa pun, ki-
ranya saat itu Piton Utara sedang menyalurkan tenaga
saktinya kepada putra satu-satunya yang sampai saat
itu masih belum sadarkan diri.
Tak sampai lima menit kemudian, Raja Piton
Utara hentikan gerakannya. Lalu dia kembali meman-
dang pada Tapak Dewa dan Wanti Sarati secara ber-
gantian.
"Tapak Dewa! Kau kembalikanlah Pusaka Golok
Buntung pada anakku. Sedang-kan bagian yang lain
kau kembalikan pula padaku...!" perintah Raja Piton
Utara.
"Baik, Sinuhun...!" kata Tapak Dewa. Sementa-
ra itu raja ular dari negeri alam gaib itu kini meman-
dang pada Wanti Sarati. Kemudian tanpa disangka-
sangka dia pun menyela:
"Engkau bocah baik, Bocah bagus. Aku tahu isi
hatimu terhadap putra ku! Tapi janganlah kau berha-
rap terlalu banyak padanya. Dia orang yang sangat di-
butuhkan dalam membasmi bibit penyakit dari per-
mukaan bumi ini. Dan engkau sendiri aku berharap
agar mau menjadi murid Tapak Dewa. Bukankah eng-
kau mau melakukannya Tapak Dewa...?!" tanya Raja
Piton Utara sambil menerima kembali sambungan go-
lok yang diangsurkan oleh Satria Penggali Kubur.
"Dengan sangat senang hati, Yang mulia...!" ja-
wab Tapak Dewa lalu bersujud memberi hormat pada
Raja Piton Utara. Tak ketinggalan Wanti Sarati pun
melakukan hal yang sama.
Sementara itu di luar ruangan dalam tanah,
hujan lebat masih turun tiada henti-hentinya. Sesekali
terdengar pula gelegar bunyi petir. Saat itu sinar pe-
langi yang menjadi ujud Raja Piton Utara berputar-
putar mengitari ruangan itu. Gelegar halilintar kembali
terdengar. Sinar pelangi yang berujud seekor ular rak-
sasa itu semakin terang benderang.
"Keturunan para siluman...! Ku sudahi perte-
muan ini sampai di sini. Aku akan kembali ke perta-
paanku...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu, sinar pelan-
gi yang merupakan ujud dari Piton Utara lenyap dari
pandangan mereka. Angin ribut kembali menggila me-
nyertai kepergian Raja Piton Utara.
Keanehan pun kembali terjadi, hujan lebat yang
turun sejak tadi nampak reda kembali. Tiada terdengar
suara petir, tiada kilat. Langit terang resik tiada bera-
wan.
Sementara itu di dalam ruangan bawah tanah,
Wanti Sarati dan Tapak Dewa nampak mendekati
Buang Sengketa. Bintik-bintik kecil yang tadinya me-
nyerupai sisik seekor ular sekarang sudah tiada terli-
hat lagi. Namun sejauh itu Pendekar Hina Kelana be-
lum juga sadarkan diri.
"Kakek Tapak Dewa! Benarkah yang datang tadi
benar-benar merupakan ayah kandung Paman Kela
na?"
"Benar...! Dan aku pun baru tahu, kalau pe-
muda ini sesungguhnya merupakan pangeran dari ne-
geri kami!" Tapak Dewa menyahuti.
"Jadi kakek pun benar keturunan seorang si-
luman?" tanya Wanti Sarati, terheran-heran.
"Ya... sebab ibuku juga berasal dari alam
gaib...!"
"Benarkah...?"
"Begitulah menurut keterangan ayahku, sebe-
lum meninggal dulu. Dan secara tidak langsung, pe-
muda ini sesungguhnya merupakan pangeran yang di
Negeri Bunian sangat dihormati oleh rakyatnya...!"
"Maksudmu negeri alam gaib...?"
"Ya... negeri itu memang benar-benar ada. Dia
terletak di sebuah pesisir Pulau Andalas. Namun nege-
ri itu tak mungkin pernah dilihat oleh kasat mata...!"
jelas Tapak Dewa lebih lanjut.
Mendengar penjelasan Satria Penggali Kubur,
Wanti Sarati tercenung beberapa saat lamanya. Ba-
ginya terlalu sulit untuk mengerti akan arti dari semua
apa yang dikatakan oleh Tapak Dewa. Walaupun ha-
tinya masih diliputi dengan berbagai tanda tanya, na-
mun dia merasa bersyukur bahwa Pendekar Hina Ke-
lana, pada akhirnya masih dapat diselamatkan ji-
wanya. Lalu sepintas dia memandang pada pemuda
yang sangat dikasihinya itu. Kemudian dirabanya nadi
di bagian pergelangan tangan. Denyut darah itu masih
sangat lemah, namun sudah teratur. Hanya kesadaran
yang masih belum ada.
"Kau tak perlu cemas, Nduk...! Tidak sampai
satu purnama di depan, dia sudah pulih kembali. Oh,
ya bagaimana dengan lukamu...?"
"Lukaku tidak seberapa, bukankah kakek tadi
juga sudah memeriksanya?"
"Hemm! Betul... tetapi ada baiknya kalian tetap
tinggal di ruangan ini untuk beberapa waktu la-
manya...!"
"Kakek hendak ke mana?" tanya Wanti Sarati,
begitu melihat Tapak Dewa sudah menaiki anak tangga
menuju pintu keluar.
"Aku akan mencari bekal makanan untuk ka-
lian!" jawab Tapak Dewa, terus pergi.
TUJUH
Perguruan Jagad Kelanggengan adalah meru-
pakan sebuah perguruan yang sangat besar dan memi-
liki pengaruh yang sangat besar pula di kalangan rim-
ba persilatan. Perguruan itu terletak di puncak bukit
yang bernama Puncak Perdamaian. Perguruan Jagad
Kelanggengan yang sangat besar itu dipimpin oleh seo-
rang nenek tua renta, berusia berkisar tujuh puluh li-
ma tahun. Asmarini Sudra, demikianlah nama ketua
perguruan yang memiliki pamor di segenap penjuru
persilatan tersebut.
Sungguhpun dia seorang wanita, namun kesak-
tian dan ilmu silat yang dimilikinya tiada tanding.
Bahkan dengan sepasang pedang kembarnya, Juluk
Duka dia masih mampu mempersatukan beberapa
perguruan kecil yang tersebar di berbagai daerah. Di
antara perguruan silat yang dipersatukannya itu anta-
ra lain adalah Perguruan Kala Hitam, yang menempati
daerah bernama Puncak Berkabut.
Itu sebabnya, kejadian apa pun yang berlang-
sung di perguruan-perguruan kecil yang dipersatu
kannya. Biasanya secepatnya, pula dapat dia ketahui.
Sebagaimana berita duka tentang meninggalnya Eyang
Guru Buris Genta, juga sudah dia ketahui. Bahkan dia
pulalah yang memberi saran agar Eyang Guru Buris
Genta dikuburkan di peristirahatan orang-orang ter-
hormat milik Tapak Dewa.
Tetapi betapa terperanjatnya Asmarini Sudra
begitu mendapat laporan bahwa salah seorang murid
Kala Hitam yang bernama Bonta tidak diijinkan diku-
bur di tempat itu. Bahkan si Muka Kunyit atau Inggil
yang menjadi Wakil Perguruan Kala Hitam, tewas pula
di tangan Tapak Dewa.
Bagi Asmarini Sudra, hal ini merupakan se-
buah penghinaan yang sangat memalukan sekali. Ta-
pak Dewa telah begitu berani membuat urusan dengan
Perguruan Kala Hitam. Yang berarti juga telah me-
mancing kericuhan buat perguruan induk, Jagad Ke-
langgengan. Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Ter-
kecuali Tapak Dewa mau memohon maaf pada Jagad
Kelanggengan.
Hari itu juga Ketua Perguruan Jagad Ke-
langgengan mengirim dua puluh utusan untuk mene-
mui Tapak Dewa.
Maka berangkatlah utusan dari Jagad Kelang-
gengan itu dengan disertai Karsa dari Perguruan Kala
Hitam sebagai saksi.
Menjelang sore hari rombongan berkuda itu te-
lah sampai di sebuah tempat yang bernama Lembah
Begundal Iblis. Karena perjalanan masih memakan
waktu kurang lebih satu hari perjalanan berkuda. Ma-
ka dua puluh orang utusan itu berniat melewatkan
malam di pinggiran Lembah Begundal Iblis.
Tenda-tenda darurat pun segera mereka ban-
gun, saat itu senja sudah berganti malam. Keadaan di
sekitarnya menjadi sepi mencekam. Di luar tenda be-
berapa orang murid Perguruan Jagad Kelanggengan
dan murid dari Kala Hitam nampak sedang berjaga-
jaga. Sejauh itu, mereka masih belum menyadari kalau
di sekitar tempat itu ada beberapa pasang mata yang
terus mengawasi tenda mereka.
Kuda-kuda yang ditambat tak jauh dari tempat
itu pun sudah mulai nampak resah. Agaknya naluri
kehewanannya menyadari bahwa ada bahaya yang se-
dang mengintai keselamatan majikannya. Sesekali ter-
dengar ringkiknya yang memecah keheningan malam.
Kegelisahan kuda-kuda itu sudah barang tentu mem-
buat curiga beberapa orang murid yang sedang berja-
ga-jaga di luar tenda. Lalu mereka pun saling pandang
sesamanya.
"Njul... tidak biasanya kuda-kuda itu gelisah
seperti itu. Ada apa ya...?" tanya seorang murid yang
bernama Sukron pada kawannya.
Yang ditanya nampak menarik napas panjang-
panjang.
"Kita sekarang ini kan sedang berada di Lem-
bah Begundal Iblis. Mungkin saja, kuda-kuda itu meli-
hat setan-setan gentayangan...!" jawab Sukron seke-
nanya.
"Tapi aku merasakan seperti ada sesuatu yang
sangat menakutkan. Lihatlah bulu kudukku pada me-
rinding semuanya....!"
"Bulu kudukku juga merinding...!" menyahuti
salah seorang murid yang lain bernama Panut.
"Kalian benar-benar pengecut, selama ini baru
kalian saja murid dari Jagad Kelanggengan yang se-
pengecut ini. Kalau sampai kedengaran kakang guru,
kalian bisa-bisa dipecat sebagai murid."
"Kron... bicaramu jangan keras-keras. Lihatlah
kuda-kuda itu semakin bertambah gelisah...!" kata
Panjul, menunjuk pada kuda-kuda itu.
Sekilas Sukron memperhatikan kuda-kuda
yang tertambat pada beberapa batang pohon kecil. Su-
kron manggut-manggut.
"Benar juga! Jangan-jangan selain kita, masih
ada orang lain di sekitar tempat ini!"
"Krosak!" Terdengar bunyi bergemerosak di se-
mak-semak. Serentak ketiga murid penjaga itu meno-
leh ke arah datangnya suara.
"Cepat bangunkan orang-orang yang berada di
dalam tenda!" perintah Sukron pada Panjul dan Panut.
Namun baru saja mereka akan bergerak, bebe-
rapa buah senjata rahasia yang berbentuk bulan sabit
telah menghunjam di dada Sukron. Salah seorang mu-
rid dari Perguruan Jagad Kelanggengan ini pun am-
bruk seketika itu juga.
Melihat keadaan kawannya, Panjul dan Panut
cepat-cepat menyelinap ke dalam tenda. Kedua orang
itu langsung berteriak-teriak membangunkan orang-
orang yang berada di dalamnya.
Dari dalam tenda darurat itu, murid-murid Per-
guruan Jagad Kelanggengan berserabutan ke luar.
Begitu sampai di luar, mereka melihat seorang
kakek dan seorang nenek berkepala botak. Sungguh-
pun murid-murid dari Perguruan Jagad Kelanggengan
belum mengenal siapa gerangan orang yang berdiri di
hadapan mereka itu. Namun melihat tasbih raksasa
dan sebuah clurit yang menggelantung di pinggang
orang tersebut. Tak dapat disangkal lagi, merekalah
Sepasang Clurit dari Bangkalan.
Saat itu salah seorang dari Jagad Kelanggengan
yang sering dipanggil kakang guru. Kelihatan menatap
tajam pada kakek dan nenek botak. Mendadak laki
laki berbadan pendek namun berotot kekar itu pun
sudah membentak.
"Orang tua, kesalahan apakah gerangan. Hing-
ga kalian telah begitu berani membunuh salah seorang
dari rombongan kami...?"
Yang ditanya menyeringai dan menampakkan
mulutnya yang sudah tiada bergigi lagi.
"Tikus ompong, cepat katakan apa kesalahan
kawanku...!" teriak Panjul setengah takut-takut.
"Ha... ha... ha...! Membunuh apa susahnya,
mengapa harus dicari-cari kesalahannya...!" menyahuti
si kakek botak.
"Bangsat! Membunuh sewenang-wenang itu
merupakan pekerjaan iblis. Kami sendiri merasa tidak
pernah berurusan denganmu...!" maki kakang guru
marah sekali.
Bibir si kakek botak kembali menyungging se-
nyum!
"Kalau kau merasa tidak pernah berurusan
denganku, apa salahnya kalau kami mencari urusan
dengan kalian...?"
"Sial betul kau, tikus ompong. Katakanlah apa
yang kau inginkan dari kami...!"
"Hi... hi... hi...! Kami cuma ingin tahu apakah
kalian melihat seorang bocah yang bernama Hina Ke-
lana atau tidak...!" kata si nenek botak ikut menyela.
"Cacing kurap! Kami tak tahu tentang orang
yang kalian tanyakan itu." maki kakang guru semakin
panas saja hatinya.
"Bohong! Kami melihat seseorang telah melari-
kan bocah laki-laki dan seorang perempuan yang me-
lintasi daerah ini. Mengaku sajalah...!"
"Jangan-jangan murid-murid kutu kupret in-
ilah yang telah menyembunyikan buruan kita, suami
ku...!" kata si nenek botak curiga.
Semakin mendidihlah darah kakang guru demi
mendengar tuduhan yang sangat keji itu. Bahkan Kar-
sa yang menjadi murid Perguruan Kala Hitam telah pu-
la mencabut sebilah pedang, begitu pula dengan mu-
rid-murid dari Jagad Kelanggengan, mereka sudah se-
makin tak sabar saja.
"Kiranya kalian sepasang tikus yang lamur. Tak
tahu membedakan mana yang salah dan mana pula
yang benar! Kini setelah membunuh kawanku, coba-
coba berdalih pula...!" bentak Karsa sambil menimang-
nimang pedangnya.
"Karena kalian tidak mau mengaku, maka ka-
lian akan kubunuh semuanya!" teriak kakek dan ne-
nek botak tanpa menghiraukan kata-kata si Panjul.
Nampaknya murid-murid dari Perguruan Jagad
Kelanggengan memang sudah tak punya pilihan lain
lagi, apalagi saat itu kedua orang tua bangka sinting
itu telah bergerak menyerang mereka dengan tasbih
raksasanya. Lalu tanpa menunggu perintah dari ka-
kang guru, murid-murid itu pun langsung melakukan
serangan-serangan gencar.
Denting beradunya senjata segera memecah
keheningan malam, pekik riuh suara ketakutan dari
monyet-monyet hutan berbaur menjadi satu. Sementa-
ra di langit sana bulan nampak bersembunyi di balik
awan.
Pertempuran terus berlanjut, masing-masing
pihak sama-sama memiliki ambisi untuk menjatuhkan
lawan dengan waktu secepatnya.
Sungguhpun orang-orang dari Jagad Ke-
langgengan itu hanyalah merupakan murid. Namun
mereka terdiri dari murid-murid pilihan yang sengaja
diutus oleh Asmarini Sudra untuk mendengar kata
maaf dari Tapak Dewa. Bahkan seandainya Satria
Penggali Kubur menolak apa yang dikehendaki oleh
guru mereka. Mereka itu berkewajiban untuk menyeret
orang itu ke Perguruan Jagad Kelanggengan. Maka tak
salah bila beberapa jurus di muka, kakek dan nenek
botak dari Bangkalan itu nampak mulai terdesak da-
lam menghadapi serangan-serangan gencar yang dila-
kukan oleh murid-murid Jagad Kelanggengan. Dua ju-
rus berikutnya bahkan pedang di tangan kakang guru
berhasil menyambar bahu kiri si nenek botak.
"Brebet!"
"Uarrghh!" jerit si nenek botak sambil meme-
gangi bahu kirinya yang mengucurkan darah. Menge-
tahui pasangannya berhasil dilukai oleh pihak lawan,
kakek botak marah sekali.
"Orang gendut kayak badut, kurang ajar kau.
Berani sekali engkau melukai istriku yang tercinta...!"
"Ha... ha... ha... ha...! Istrimu sudah tua, peot
dan tiada guna. Kubunuh dia dan kau boleh cari yang
lebih muda!" tukas kakang guru, seraya kembali ki-
rimkan satu tusukan satu babatan.
Kakek botak yang sedang menghadapi keroyo-
kan sepuluh orang murid-murid pilihan, kelihatan
sangat gusar sekali, maka dengan sekali melompat dia
sudah menjauhi kepungan lawan-lawannya.
"Criiiing!"
Sekali dia sentakan clurit yang menggelantung
di pinggangnya, maka senjata maut itu telah keluar
dari sarungnya.
Lewat penerangan bulan yang samar-samar,
senjata yang sangat berbahaya itu berkilat-kilat tanda
tajam sekali.
Kakek botak keluarkan tawa mendesis, mulut-
nya yang sudah tiada bergigi lagi mendecap-decap ke
luarkan isyarat maut.
"He... he... he...! Dengan senjata maut ini, akan
ku cabuti nyawa kalian semua...!" teriak kakek botak.
"Hiaaatt...!"
Sekali lagi dia menjejakkan kakinya, maka ter-
dengar dua jeritan lolong maut. Dua orang murid Ja-
gad Kelanggengan menggelinding kepalanya. Darah
memancar dari luka pada bagian leher yang terkutung.
Pakaian murid-murid itu basah bermandi darah. Se-
saat saja tubuh mereka terhuyung-huyung, lalu am-
bruk dengan jiwa melayang. Kakek botak tidak berhen-
ti sampai di situ saja, senjata di tangannya kembali
berkelebat ganas.
Sementara itu si nenek botak yang akhirnya ju-
ga menyadari bahwa lawan yang dihadapinya benar-
benar tangguh. Akhir-nya sudah tak dapat lagi mena-
han gempur-an-gempuran dahsyat dari pihak lawan.
Tak ayal dia pun mencabut clurit mautnya.
"Ngunggg!"
Senjata itu menderu, kakang guru nampak
sangat terkejut sekali. Senjata di tangan si nenek be-
nar-benar sangat berbahaya. Maka tanpa sungkan-
sungkan lagi, dia segera pergunakan jurus Pedang
Asmara. Saat itu juga gerakan-gerakan silat kakang
guru segera berubah sama sekali. Terkadang senja-
tanya berputar sebat membentuk perisai, di lain saat
senjata itu membabat pada bagian pertahanan yang
agak rawan. Sungguhpun begitu, dia merasakan bah-
wa nenek botak dengan tasbih dan clurit di tangannya.
Kini benar-benar telah berubah menjadi seorang lawan
yang sangat tangguh dan sangat membahayakan. Se-
kali tasbih di tangan lawan menghantam ke bagian
muka, pada saat yang hampir bersamaan menyusul
pula serangan clurit yang tak kalah hebatnya.
DELAPAN
"Ihh!" Kakang guru nampak terkejut, lalu cepat-
cepat hantamkan pedangnya memapasi datangnya se-
rangan beruntun itu.
"Crak! Criiing!"
Tasbih di tangan si nenek hancur berantakan
dilanda terjangan Pedang Jagad Kelanggengan milik
kakang guru. Tapi begitu senjata itu membentur clurit
di tangan si nenek. Terlihat percikan bunga api me-
mancar dari kedua senjata itu.
Pedang kakang guru rompal di beberapa ba-
gian, hal itu membuat kejut di hati wakil dari Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan. Tetapi sungguhpun begitu,
dia pantang mundur walau setapakpun juga, dia terus
berusaha mendesak pihak lawannya.
Saat itu kakek botak dengan clurit di tangan-
nya terus mengganas. Lebih dari sepuluh orang murid
dari Jagad Kelanggengan menemui ajal secara menge-
rikan. Saat itu murid Jagad Kelanggengan hanya ber-
sisa kira-kira enam orang lagi. Sepasang Clurit dari
Bangkalan itu terus mengamuk bagai orang edan kera-
sukan iblis. Dan tentu saja tindakan si kakek yang
sangat brutal dan beringas itu, lama kelamaan mem-
buat ciut nyali lawan-lawannya.
Mengetahui situasi yang sangat tidak mengun-
tungkan itu, kakang guru yang juga dalam keadaan
terdesak itu nampak memberi aba-aba pada kawan-
kawannya.
"Panjul dan Panut! Cepat tinggalkan tempat ini.
Kabarkan pada Ketua Asmarani Sudra, tentang tuyul-
tuyul gila itu...!" teriak kakang guru sambil terus ber-
tahan mati-matian.
"Tapi bagaimana dengan kau, Kakang...!"
"Jangan hiraukan aku, Guoblook...! Cepat per-
giii...!"
Tanpa menunggu perintah, empat orang murid
lainnya berusaha mendesak kakek botak, dengan
maksud memberi kesempatan pada Panjul dan Panut
untuk melarikan diri. Tapi pada saat yang sangat kritis
itu, kakek botak sambil keluarkan tawa mengekeh.
Langsung merogoh saku bajunya.
"Tak seekor monyet pun kubiarkan kabur...!"
"Weer!"
Senjata rahasia berbentuk bulan sabit itu pun
melesat sedemikian cepatnya. Namun kiranya semua
itu sudah berada dalam perhitungan kakang guru. Pa-
da saat yang sama, melesat pula serangkuman cahaya
putih memapaki sambitan senjata rahasia si kakek.
"Breees!"
Senjata yang disambitkan oleh si kakek berpen-
talan ke berbagai arah, sementara Panjul dan Panut
sudah menggebrak kuda tunggangan. Kuda-kuda itu
melesat bagai anak panah, hingga dalam waktu seke-
jap saja mereka telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Gusar sekali kakek botak demi melihat seran-
gan senjata rahasianya dapat digagalkan oleh lawan.
"Sialan, kubunuhi kalian semua...!"
Kakek botak memaki, kemudian langsung
membabat lawan yang berada paling dekat dengan po-
sisinya.
"Croook! Croook!"
Tanpa sempat melolong, dua orang lawan ter-
babat roboh. Clurit di tangannya kembali berkelebat.
"Crook! Crook!"
Dua orang murid itu melolong setinggi langit.
Kepala mereka pecah berantakan dihantam clurit di
tangan si kakek. Otak dan cairan yang berwarna putih
kecoklat-coklatan berhamburan ke mana-mana. Kakek
botak menyeringai puas dengan hasil perbuatannya.
Kini hanya tinggal Kakang guru berjuang mati-
matian seorang diri. Tetapi begitu kakek botak datang
membantu si nenek. Maka keadaannya kemudian be-
nar-benar telah berubah. Kakang guru segera jatuh di
bawah angin.
Kakek dan nenek botak menyerang kakang
guru dari berbagai penjuru. Clurit di tangan mereka
menderu bahkan menimbulkan sambaran angin
menggiriskan.
"Ciaaat!"
"Hiaaat!"
Kakek dan nenek botak kirimkan satu sabetan
secara berbareng. Keadaan ini benar-benar sangat me-
nyulitkan posisi kakang guru.
"Wuuut!"
"Craaang! Cresss!"
Satu babatan clurit si nenek dapat dia hindari,
namun dia tak dapat mengelakkan sambaran clurit si
kakek yang mengarah pada bagian perutnya.
Sambil menyeringai menahan sakit, kakang
guru nampak mendekap perutnya yang terobek besar.
Dengan langkah terhuyung-huyung dia masih berusa-
ha untuk mempertahankan diri. Darah yang merembes
dari celah-celah tangannya sudah tidak dia perdulikan
lagi.
"He... he... he...! Akhirnya kau mampus juga di
tangan Sepasang Clurit Dari Bangkalan...!"
"Aku tak... ak... akan menyerah!" Kakang guru
bermaksud menyambitkan Pedang Jagad Kelanggen-
gan di tangannya. Namun sudah tidak keburu lagi. Tak
dapat dicegah, orang kedua dari Perguruan Besar Ja
gad Kelanggengan itu pun ambruk di atas tanah berba-
tu dengan jiwa melayang.
Dua orang tua dari Bangkalan menyeringai
puas, lalu mereka saling berpandangan sesamanya.
"Bagaimana lukamu, Istriku...?" tanya si kakek.
"Hemmm. Hanya luka kecil, sebentar juga akan
sembuh dengan sendirinya...!" jawab si nenek botak.
"Kita telah banyak buang-buang waktu! Orang-
orang sudah pada mampus, tapi kita masih belum da-
pat keterangan di mana bocah yang bergelar si Hina
Kelana itu berada...!"
"Jangan putus asa suamiku! Masih banyak
waktu untuk menemukan barang-barang yang sangat
berharga itu...!" Nenek botak mencoba menyabarkan.
"Kalau begitu mari kita pergi!"
Cepat sekali tubuh mereka berkelebat, tahu-
tahu kedua orang itu telah lenyap dari pinggiran Lem-
bah Begundal Iblis. Maka tinggallah mayat-mayat ber-
gelimpangan yang diam membeku dalam dinginnya
udara malam.
* * *
Dalam ruangan bawah tanah, saat itu Wanti
Sarati sedang sibuk menyuapi Buang Sengketa. Sejak
dua hari yang lalu pemuda itu sudah sadarkan diri.
Sungguhpun begitu dia masih belum dapat bergerak
banyak, hanya Wanti Saratilah yang mengurusi Buang
Sengketa dengan sangat telaten sekali. Sementara Ta-
pak Dewa, nampaknya sungkan dalam berhadapan
dengan pendekar itu. Sungguh pun si pemuda sudah
mengetahui segala-galanya dari Wanti Sarati, tetapi
sebenarnya dia merasa tidak enak melihat sikap Tapak
Dewa yang terlalu menghormat padanya. Apalagi mengingat Tapak Dewa pernah menyelamatkan jiwanya da-
ri ancaman Sepasang Clurit Maut dari Bangkalan.
"Apa yang paman pikirkan...?!" tanya Wanti Sa-
rati sambil menyuapi pemuda itu. Pendekar Hina Ke-
lana menarik napas panjang-panjang. Dipandanginya
Wanti Sarati sejenak lamanya.
"Tentang Kakek Tapak Dewa. Aku kurang suka
dengan sikapnya yang terlalu berlebihan itu!" jawab si
pemuda polos.
"Tetapi rasanya apa yang dilakukannya itu, wa-
jar-wajar saja. Bukankah paman memang anak Raja
Piton Utara. Layak saja kalau Kakek Tapak Dewa yang
masih keturunan para siluman itu menaruh hormat
pada putra rajanya!" Buang Sengketa tersenyum getir.
"Negeri Bunian bukanlah alam nyata. Negeri itu
merupakan negaranya orang gaib. Sedangkan aku ha-
nyalah titisan, begitu pula halnya dengan Satria Peng-
gali Kubur itu. Di mataku, semua manusia sama, tiada
yang lebih mulia, terkecuali kadar imannya pada Sang
Hyang Widi. Untuk apa harus sungkan, sedangkan
aku dan Kakek Tapak Dewa sama-sama berada di
alam nyata...!"
"Tapi, Paman...!"
"Tiada yang ditetapikan. Dulu aku pernah ber-
cerita padamu, bahwa aku sendiri sudah merasa ham-
pir bosan mencari tempat tapa ayahku. Terkadang aku
sudah merasa bosan untuk mencarinya. Di hatiku, ka-
sih sayang itu hanya untuk orang tua yang mulia. Yai-
tu Kakek Bangkotan Koreng Seribu, tiada yang lain la-
gi. Ahk, entah bagaimana keadaan beliau saat ini, ma-
sih hidupkah, atau bahkan sudah mati!" kata Buang
Sengketa mengeluh sedih.
Wanti Sarati menjadi iba karenanya.
"Paman jangan memikirkan yang bukan-bukan.
Kesehatan paman belum pulih benar, dan untuk se-
mentara lupakanlah segala sesuatunya...!"
"Kau bocah baik nduk. Aku tak tahu bagai-
mana harus membalas segala kebaikanmu...!" kata
Buang Sengketa sambil membelai rambut Wanti Sarati.
"Sesungguhnya sayalah yang harus berterima
kasih padamu paman...!" ucap Wanti Sarati pilu. Dan
dalam hatinya berkata; "Paman, tak tahukah kau
bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu? Tapi
mengapa kau masih tetap memperlakukan aku seperti
anak kecil!" batin si gadis.
"Eh, mengapa kau menangis! Apakah kata-kata
paman ini terlalu kasar? Ah, maafkanlah...!"
Menyadari keadaannya, Wanti Sarati cepat-
cepat seka air matanya. Lalu dengan senyum yang
sangat dipaksakan dia berucap lirih sekali.
"Apakah paman tidak merasakan seperti apa
yang sedang aku rasakan...!" tanya si gadis malu-malu.
Sesungging senyum menghias di bibir pemuda
yang sangat tampan itu. Dia sudah mulai dapat mera-
ba ke mana arah pembicaraan gadis yang masih baru
menginjak ke masa remaja ini. Dulu pun dia pernah
mengalami apa yang sedang terjadi pada diri Wanti Sa-
rati. Kepada Sri Pamuja dia pernah jatuh cinta, tetapi
sejak gadis yang sangat dicintainya itu tewas di tangan
si Jubah Hitam (Dalam episode Neraka Gunung Dieng).
Rasa-rasanya rasa cinta itu telah pergi bersama Sri
Pamuja yang sangat dia cinta.
Pada Wanti Sarati dia juga ada menaruh cinta,
tetapi rasa cinta itu tak lebih dari perasaan cinta seo-
rang kakak terhadap adik kandungnya. Atau seorang
paman dengan kemenakannya. Dia tak ingin menge-
cewakan gadis yang sangat baik itu, dan dia berniat
untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya paling
tepat.
"Wanti... seandainya paman mengatakan sesua-
tu yang baik untukmu, maukah kau menurutinya...?"
Si gadis menganggukkan kepala.
"Menurut ayahku, bukankah Kakek Tapak De-
wa sudah berkenan mengangkatmu sebagai murid-
nya?"
"Yaa...!"
"Cintakah kau pada pamanmu ini..."
Dengan wajah memerah, Wanti Sarati kembali
menganggukkan kepalanya.
"Kalau kau sayang pada pamanmu ini! Paman
berharap agar kau mau belajar sebaik mungkin pada
Satria Penggali Kubur...!"
"Kalau itu semua sudah merupakan kehendak
paman, maka aku tak dapat menolaknya..." jawab si
gadis dalam keresahan.
"Apakah kau merasa terpaksa dan dipaksa?"
"Tidak paman... bahkan saya merasa sangat be-
runtung sekali mendapat seorang guru yang sangat
sakti...!" Sebelum Buang Sengketa sempat berkata le-
bih lanjut, tiba-tiba pintu ruangan yang menghubung-
kan dunia luar dengan ruangan bawah tanah nampak
terbuka. Begitu mereka menoleh, kiranya Tapak Dewa
telah kembali dengan membawa berbagai perbekalan
yang berupa buah-buahan hutan. Kakek berusia enam
puluhan ini membungkuk dalam-dalam pada Buang
Sengketa, seraya lalu berkata;
"Gusti pangeran, hanya inilah sekedar maka-
nan yang ku peroleh dari dalam hutan sana. Maafkan-
lah hamba...!" ucap Satria Penggali Kubur sambil mele-
takkan buah-buahan tersebut di sisi pembaringan
Buang Sengketa. Diperlakukan seperti itu, Buang
Sengketa merasa sangat jengah sekali. Lalu dengan
suara berat dia pun menegur.
"Kakek Tapak Dewa! Masihkah engkau meman-
dangku sebagai anak raja? Kalau kakek selalu menye-
butku dengan sebutan pangeran. Lebih baik lempar-
kan saja tubuhku ke dalam jurang yang paling dalam!"
"Tap... tapi, Pangeran...!"
"Sekali lagi kakek memanggilku dengan sebu-
tan pangeran. Lebih baik kau bunuh saja dengan pu-
kulan maut mu...!" kata si pemuda.
SEMBILAN
Mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang
sangat berwibawa, namun penuh teguran itu. Tapak
Dewa menjadi maklum!
"Namaku Buang Sengketa. Kakek cukup me-
manggilku Buang atau Kelana saja. Kakek Tapak De-
wa, aku ini cuma seorang gembel, aku merasa risih
dengan panggilan seperti itu...!",
"Ba... baiklah Kelana! Maafkan atas ketololanku
tadi...!"
"Sudahlah, tak ada yang harus dimaafkan. Oh
ya. Apakah kakek sudah berjumpa dengan orang yang
gila barang-barang langka itu...?" tanya si pemuda ma-
sih dengan keadaan terbaring.
"Keluar masuk hutan aku tiada jumpa! Tetapi
pendengaranku merasakan seperti ada beberapa orang
menuju ke tempat ini!"
"Hemmm, luka dalamku belum sembuh betul,
tapi kukira kakek mampu mengatasi orang-orang itu!"
"Akan saya coba. Tetap sajalah kalian berada di
dalam ruangan bawah tanah ini. Aku akan melihat ke
luar...!"
Selesai dengan ucapannya, Tapak Dewa segera
menaiki anak tangga menuju pintu keluar. Sekejap
pintu rahasia itu membuka. Setelah Satria Penggali
Kubur berada di ruangan bawah tanah. Pintu itu pun
menutup kembali. Tubuh Tapak Dewa segera melesat
menjauhi pintu rahasia. Tidak begitu jauh dari kubu-
ran peristirahatan terakhir nampak seorang kakek dan
nenek botak yang sangat dikenal oleh Tapak Dewa.
Dua orang pemburu barang langka itu nampak mengi-
tarkan pandangannya ke segenap penjuru kuburan
yang sangat sepi dan berkesan angker tersebut.
"Menurut keterangan tukang jagal babi hutan,
di sinilah tempat kediaman Satria Penggali Kubur
itu...!" ujar kakek berkepala botak.
"Tadi sudah ku acak-acak ke seluruh penjuru
kuburan, tapi tak ku dapati laki-laki yang telah mela-
rikan buruan kita...!"
"Mungkin kau kurang teliti istriku...!"
Si nenek botak pelototkan matanya, nampak-
nya dia kurang senang dengan ucapan laki-laki di se-
belahnya.
"Kurang teliti dengkulmu amoh. Tadi sampai
kukorek-korek batu nisan, bahkan sampai ke lubang
semut pun sudah ku obrak abrik. Setan kuburan itu
tidak nampak...!"
"Kalau begitu kita babat saja pohon kamboja
itu, siapa tahu dia ada di atas pucuknya...!"
"Mari...!"
Dengan ucapannya itu, Sepasang Clurit Maut
dari Bangkalan segera cabut cluritnya. Lalu bagai
orang yang sedang kesurupan, mereka langsung me-
nebangi pohon kamboja yang sebesar kaki kerbau. Ka-
rena babatan-babatan clurit itu disertai dengan tenaga
dalam. Maka dalam waktu sekejap saja, pohon-pohon
kamboja itu sudah pada berobohan.
Ketika pekerjaan itu hampir selesai, mendadak
menderu satu gelombang angin kencang melanda tu-
buh mereka.
"Weeees! Weeer!"
"Setan alas kutu kampret! Iblis dari mana yang
coba-coba berani lancang pada Sepasang Clurit
Maut?!" maki kakek dan nenek berkepala botak sambil
kibaskan cluritnya. Gelombang angin kencang itu
buyar seketika, manakala bertemu dengan libasan clu-
rit di tangan mereka.
Belum lagi hilang keterkejutan di hati Sepasang
Clurit Maut, pada saat itu nampak melesat sosok tu-
buh berpakaian kuning.
"Jiiing!"
Tak salah lagi, dialah si Tapak Dewa alias Sa-
tria Penggali Kubur. Sepasang Clurit Maut menatap ta-
jam pada Tapak Dewa.
"Engkaukah kunyuknya yang berjuluk Satria
Penggali Kubur?" tanya nenek botak merasa yakin.
"Sialan, seharusnya akulah yang bertanya.
Mengapa pohon-pohon yang tiada berdosa itu kalian
tebangi...!" maki Tapak Dewa dengan rahang bergeme-
letukkan menahan marah.
"Pohon tiada guna, tumbuh di atas kuburan
orang gila hormat. Apa salahnya kalau kami tebang!"
"Bagus. Kalian benar-benar cari mampus telah
merusak pekarangan orang lain!" Menggeram Tapak
Dewa.
"Suamiku, dialah Satria Penggali Kubur yang
telah melarikan bocah itu!" Begitu mendengar ucapan
si nenek botak, si kakek nampak kerutkan alisnya.
"Kau ke manakan bocah-bocah itu setan kuburan...?"
Tapak Dewa mendengus.
"Orang-orang sinting, milik orang lain kalian
buru. Kalau orang-orang itu berada bersamaku, kalian
bisa apa...?"
"Cepat serahkan!"
"Tidak bisa, mereka masih, keluargaku...!"
"Jadi kau benar-benar tak mau memenuhi
keinginan kami...?" bentak si kakek botak gusar.
"Sampai mampus pun tak akan kuserahkan...!"
"Mampuslah...!"
"Sriiiing! Sringgg!"
Clurit yang sangat tajam itu telah berada di da-
lam genggaman si kakek dan nenek botak. Sekejap
kemudian mereka sudah menyerang Tapak Dewa den-
gan jurus-jurus clurit yang sangat ampuh. Menghadapi
serangan-serangan yang sangat ganas itu, Tapak Dewa
tak ingin bertarung dalam jarak yang sangat dekat.
Setiap saat dia senantiasa menjaga jarak, satu
kesempatan dia pun kirimkan pukulan-pukulan jarak
jauh yang diberi nama Berbangkit Dari Alam Kubur.
Pukulan itu terkenal sangat ganas dan berba-
haya, apa pun yang sempat dilanda pukulan tersebut
akan terbakar dan meleleh.
Walaupun begitu, Sepasang Clurit Maut adalah
tokoh sesat yang telah banyak makan asam garam du-
nia persilatan. Mereka mengetahui betapa sangat ber-
bahaya pukulan yang dilancarkan oleh Tapak Dewa.
Jalan satu-satunya adalah dengan tidak memberi ke-
sempatan pada lawan. Mendesak dalam jarak sedekat
mungkin.
"Haiiii...!"
Clurit di tangan si kakek dan nenek botak
menderu! Tapak Dewa yang sudah kirimkan satu sodokan mengarah pada bagian dada si nenek, cepat-
cepat tarik pulang tangannya. Sebagai gantinya dia ki-
rimkan satu sapuan mengarah pada bagian kaki.
"Gasruuuk!"
Sabetan clurit si nenek bukan saja melenceng
dari sasarannya, tetapi tubuhnya juga malah terbant-
ing mencium tanah.
"Wut!"
Sambaran clurit kakek botak menderu di ba-
gian punggung Tapak Dewa, lebih cepat lagi Satria
Penggali Kubur, buang tubuhnya ke samping kiri. La-
ki-laki berbulu itu terus berguling-guling menghindari
terjangan clurit si kakek yang terus memburunya.
"Ciaaat!"
Tubuh Tapak Dewa melentik bagai seekor
udang, kemudian berkelebat lenyap. Sehingga mem-
buat bingung pihak lawannya.
Saat itu si nenek botak telah bangkit kembali,
dengan cepat pula dia kirimkan satu pukulan yang di-
beri nama Setan Bangkalan Menerkam Bidadari. Sela-
rik gelombang cahaya berwarna putih keperak-perakan
menderu dahsyat mengarah pada bayang-bayang ber-
kelebatnya tubuh Tapak Dewa. Hal inilah yang dinanti-
nanti oleh Tapak Dewa.
Laksana kilat laki-laki itu kirimkan pula puku-
lan Berbangkit Dari Alam Kubur tingkat kedua.
"Wuuuus! Blaaaam!"
Dengan clurit di tangannya, tubuh nenek botak
terbanting sejauh tiga tombak. Sementara tubuh Ta-
pak Dewa cuma terhuyung-huyung saja.
Dari pertemuan dua tenaga sakti tadi, nyatalah
bahwa sesungguhnya tenaga dalam Tapak Dewa tiga
tingkat di atas lawannya. Saat itu nenek botak setelah
seka darah kental yang mengalir dari celah-celah bibirnya, segera bangkit kembali. Sementara Tapak De-
wa sendiri sedang sibuk menghadapi serangan yang di-
lakukan oleh kakek botak.
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, se-
jauh itu Sepasang Clurit Maut masih belum juga
mampu mengatasi lawannya. Bahkan pasangannya
sendiri nyaris menjadi korban kelihaian lawannya.
"Caaat!" Tapak Dewa memekik keras, sekali ini
dia kirimkan satu pukulan Berbangkit Dari Kubur
tingkat pamungkas. Satu gelombang pukulan yang
berhawa sangat panas menderu bersamaan mengepul-
nya uap putih dari kedua tangannya yang terangkap
menjadi satu.
Si kakek botak sangat terkejut sekali, dari
sambaran angin itu saja dia merasakan tubuhnya pa-
nas laksana terbakar. Hal itu sudah cukup bagi si ka-
kek botak untuk memutar cluritnya membentuk peri-
sai diri.
"Brees!"
"Arrrggghk...!"
Pukulan Berbangkit Dari Kubur tanpa ampun
melanda pertahanan si kakek botak, clurit di tangan-
nya meleleh bagaikan air. Tak sampai di situ saja, pu-
kulan tersebut terus melanda tubuh si kakek. Salah
seorang dari Sepasang Clurit maut itu benar-benar
mengalami nasib yang sangat mengenaskan.
Tubuhnya terbanting roboh dalam keadaan
hangus dan sulit untuk dikenali. Bau daging terbakar
dengan segera menyebar menusuk hidung.
Melihat nasib yang dialami oleh suaminya, si
nenek botak meraung keras. Serta merta dia menu-
bruk suaminya yang sudah tiada bernyawa lagi, dia te-
rus menangis dan menangis, tetapi manakala dia te-
ringat akan sesuatu. Maka dengan penuh kebencian
dipandanginya Tapak Dewa yang masih tetap tegak di
tempatnya.
"Kau... telah membunuh suamiku...!" tukasnya
dengan tubuh gemetaran menahan amarah.
"Dia sudah selayaknya mati, begitu pun kau...
dosa kalian sudah melebihi takaran. Perlu kau ingat,
selama hidup belum pernah kulihat kalian berbuat ke-
baikan pada sesama manusia. Nafsu serakah dan ang-
kara murka itulah yang selalu memenuhi hati ka-
lian....!"
"Setan kuburan... kau harus membayar nyawa
suamiku dengan nyawamu yang tiada berharga...!"
maki nenek botak kalap. Tapak Dewa tersenyum ra-
wan
"Di dunia ini, tak seorang pun berkuasa atas
orang lain. Sungguhpun manusia itu hanyalah seorang
budak sekalipun...!"
"Setan cacingan. Aku tak butuh khotbah mu,
hiaaa...!"
Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh si ne-
nek botak, maka senjata di tangannya pun menderu
laksana terbang. Tetapi nampaknya kali ini Tapak De-
wa tiada mempunyai maksud untuk mengelak. Dia se-
gera merapal Ajian Arca Mayat.
Baru saja dia selesai merapal ajian tersebut,
clurit di tangan si nenek botak telah menghajarnya.
"Craaak! Craak!"
Tubuh Tapak Dewa diam tiada bergeming. Clu-
rit di tangan si nenek rompal di beberapa bagian. Me-
rasa penasaran dia mengulang lagi.
"Crak! Croook!"
Keadaan tidak berubah, nenek botak kembali
ayunkan cluritnya. Namun sebelum senjata itu men-
capai sasarannya. Tangan Tapak Dewa telah bergerak
lebih cepat lagi.
"Proook!"
Kepala si nenek botak rengkah dihantam puku-
lan tangan Tapak Dewa yang sudah teraliri tenaga da-
lam penuh. Darah dan otak memuncrat dari batok ke-
pala nenek tersebut. Tubuh si nenek terhuyung-
huyung. Kedua matanya melotot seolah memandang
tak percaya pada apa yang dialaminya. Tak lama ke-
mudian tubuh itu pun limbung, lalu berkelojotan me-
regang ajal.
Tanpa menghiraukan keadaan, Tapak Dewa se-
gera melangkah menuju ruangan bawah tanah.
SEPULUH
Pagi itu Pendekar Hina Kelana, Wanti Sarati
dan Tapak Dewa nampak sedang membersihkan Peris-
tirahatan Terakhir. Pohon kamboja yang roboh dan
tumpang tindih tiada berketentuan segera mereka
singkirkan dari tanah pekuburan itu. Tiada sepatah
kata pun yang terucap dari bibir mereka. Masing-
masing tenggelam dalam kesibukannya.
Matahari mulai bersinar terik manakala mereka
hampir selesai dengan pekerjaannya. Tetapi saat itu ti-
ba-tiba saja Tapak Dewa nampak mendongakkan ke-
palanya. Lalu sepasang matanya melirik pada satu
arah. Dia geleng-gelengkan kepalanya sendiri, manaka-
la pendengarannya yang sangat tajam itu merasakan
adanya derap langkah kuda menuju ke arah mereka.
Sudah barang tentu, segala ulah Tapak Dewa
tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Lalu
tanpa sungkan-sungkan lagi pemuda itu pun bertanya.
"Ada apa, Kek...?"
"Mereka menuju ke mari...!" jawab si Tapak
Dewa tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Mereka siapa...?" tanya si pemuda merasa he-
ran sekali.
Tapak Dewa urungkan pekerjaannya, lalu dia
segera duduk di sebuah batang kamboja yang roboh.
Wanti Sarati dan Buang Sengketa mengikuti apa yang
dilakukan oleh Tapak Dewa.
"Orang-orang itu mungkin berasal dari Pergu-
ruan Kala Hitam atau mungkin pula dari perguruan
pusat, Jagad Kelanggengan...!"
"Apa mereka datang dengan membawa maksud
yang kurang baik...?" tanya Wanti Sarati pula.
"Mungkin juga...!"
"Apa salah kakek pada mereka...?"
Tapak Dewa nampak terdiam, wajahnya ditun-
dukkan, lalu dia geleng-geleng kepala pelan.
"Aku pernah tidak memberi izin pada salah seo-
rang dari kerabat mereka untuk dikubur di sini...!" ja-
wab Tapak Dewa parau.
"Lho, itukan hak kakek... kuburan ini milik le-
luhur kakek...!" kata Wanti Sarati lugu.
"Ya, tapi mereka tak terima. Mereka berangga-
pan bahwa aku telah melakukan penghinaan terhadap
perguruan mereka...!"
"Lalu apa yang kakek lakukan...?" tanya si pe-
muda.
"Salah seorang wakil mereka tewas di tangan-
ku. Tetapi itu pun karena kesombongannya sendiri!"
"Hemm. Orang-orang itu aneh sekali, di kolong
langit ini kuburan bukan cuma di sini saja. Apakah
karena mungkin mereka beranggapan bahwa tempat
ini merupakan tempat yang terhormat...?" ucap Buang
Sengketa seperti pada dirinya sendiri.
"Mungkin juga begitu. Banyak manusia di du-
nia ini selalu gila pangkat dan gila hormat, padahal
semua itu hanyalah sebuah nilai yang tersamar yang
akhirnya hanya melahirkan sebuah kesombongan be-
laka...!"
"Menurutmu, apakah orang-orang yang diku-
bur di sini merupakan orang-orang yang terhormat...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Tapak Dewa
tersenyum dikulum.
"Tidak juga...! Bagiku orang yang sering men-
gaku dirinya terhormat biasanya selalu melupakan ke-
salahannya. Padahal orang yang merasa dirinya bersa-
lah, justru itulah yang paling baik. Sebab dengan begi-
tu dia akan berpikir-pikir bila ingin melakukan kesala-
han kembali...!" ujar Tapak Dewa.
Saat itu derap langkah kuda terdengar semakin
jelas, debu mengepul ke udara mengiringi laju kuda
tersebut.
"Itu mereka datang.,.!" seru Wanti Sarati sambil
menunjuk ke suatu tempat.
"Mari kita songsong mereka!"
"Untuk apa kek... bukankah mereka musuh
kakek...!" bantah si gadis.
Kembali bibir Tapak Dewa menyunggingkan se-
nyum berwibawa.
"Sungguhpun mereka musuh, tetapi setiap ta-
mu yang datang, kita layak menghormatinya...!"
Tanpa berani membantah, maka berangkatlah
ketiga orang itu menyambut kedatangan orang-orang
penunggang kuda yang jumlahnya lebih dari tiga pu-
luh orang.
Orang-orang penunggang kuda itu langsung
menghentikan laju kudanya begitu
sampai di depan Tapak Dewa. Melihat pakaian yang
dikenakan mereka, agaknya Tapak Dewa mengenali
siapa-siapa penunggang kuda tersebut. Dengan diikuti
oleh Wanti Sarati dan Buang Sengketa. Tapak Dewa
segera menjura hormat pada pendatang berkuda.
"Tak disangka hari ini Ketua Perguruan Besar
Jagad Kelanggengan dan Ketua Perguruan Kala Hitam
berkenan datang di tempat kediamanku. Ada keper-
luan apakah?" tanya Tapak Dewa berbasa basi.
"Manusia yang berjuluk Satria Penggali Kubur.
Berani Sekali engkau menghina Perguruan Kala Hitam.
Engkau benar-benar tak memandang muka pada Per-
guruan Jagad Kelanggengan...!"
"Ah, maafkan ketololanku, bisakah anda je-
laskan apa kesalahanku...?" tanya Tapak Dewa kemba-
li membungkuk hormat.
"Kura-kura dalam botol, semakin tua semakin
tolol. Setelah kau tolak jenazah Bonta, kau bunuh pula
Wakil Ketua Kala Hitam. Apakah hal itu bukan meru-
pakan penghinaan yang sangat sulit untuk dimaaf-
kan...?"
Tapak Dewa manggut-manggut begitu menden-
gar penjelasan Asmarani Sudra, yaitu Ketua Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan.
"Bonta memang aku rasa tidak layak dikubur-
kan di tempat ini. Sedangkan Inggil tewas, karena ter-
lalu memaksaku...!" jawab Tapak Dewa tegas.
"Kalau begitu, merangkaklah seperti seekor
kucing kurap. Kemudian minta ampun pada kami ka-
lau ingin kami mengampunimu...!" perintah Ketua Per-
guruan Kala Hitam marah sekali. Sebaliknya Tapak
Dewa pun menjadi berang. Sama sekali dia tak akan
menuruti apa yang dikatakan oleh Subali, Ketua Per-
guruan Kala Hitam itu.
"Tunggu apa lagi, cepat lakukan...!"
"Aku tak akan pernah melakukannya...!" ban-
tah Tapak Dewa.
"Kalau begitu, kau benar-benar telah menyulut
api kemarahan kami!" teriak Asmarani Sudra, lalu pe-
rempuan tua itu pun segera melompat dari punggung
kudanya. Tak lama setelah itu menyusul pula yang
lainnya.
"Kalian ini mengaku sebagai orang gagah, tetapi
tak memiliki timbang rasa sedikitpun juga. Perguruan
saja yang besar, tapi jalan pikiran kalian tak ada setahi
kuku...!" kata Wanti Sarati begitu tiba-tiba.
Baik Ketua Perguruan Kala Hitam Subali mau-
pun Ketua Jagad Kelanggengan serentak menoleh pada
si gadis.
"Eeh, Bocah pentil. Kau tak tahu urusan kami,
jangan coba-coba campuri urusan orang tua. Menying-
kirlah...!" bentak Subali sambil memandang sinis pada
Wanti Sarati.
"Kurasa apa yang dikatakan oleh adikku benar
adanya paman. Seandainya orang-orang Kala Hitam
benar-benar mengaku sebagai manusia yang paling
benar. Tidak nantinya orang yang bernama Inggil itu
memaksakan kehendaknya!" tukas Pendekar Hina Ke-
lana ikut bicara.
"Kutu kupret, Gembel berperiuk. Melihat tam-
pangmu, kiranya kau juga merupakan seekor kunyuk
yang paling suka mencampuri urusan orang lain...!"
maki Asmarani Sudra dengan suara tergetar.
Buang Sengketa pencongkan mulut, sesungging
senyum getir menghias di bibirnya yang agak pucat.
"Bukannya aku usil dengan segala urusan
orang lain, tetapi melakukan fitnah terhadap orang
yang tiada memiliki salah, dosa besar hukumnya....!"
"Gembel cacingan. Tutup mulutmu, kami
tak butuh khotbah mu...!"
"Mengapa harus banyak bicara? Mereka sudah
jelas-jelas menantang kita. Ser-Buuu...!" teriak Asma-
rani Sudra memberi aba-aba.
Dalam waktu sekejap saja, meledaklah perta-
rungan besar-besaran. Tiga orang anak manusia dike-
royok oleh lebih dari empat puluh orang murid dan
guru dari Perguruan Kala Hitam dan Jagad Kelanggen-
gan.
Suara teriakan dan denting beradunya senjata
tajam bercampur baur menjadi satu. Tapak Dewa sege-
ra menyambar sebuah cangkul yang tak begitu jauh
dari tempat dia berada. Sementara Buang Sengketa
berhadapan dengan Subali. Wanti Sarati menghadapi
murid-murid Jagad Kelanggengan dan Kala Hitam. Se-
dangkan Tapak Dewa berhadapan dengan Asmarani
Sudra.
Tanah kuburan itu kini menjadi ajang perta-
rungan, tak dapat dihindari lagi. Korban pun mulai
berjatuhan. Peristirahatan Terakhir mandi darah.
Saat itu dengan sebuah selendang baru yang
terbuat dari sutera, Wanti Sarati berusaha memben-
dung terjangan-terjangan senjata-senjata murid Jagad
Kelanggengan maupun Kala Hitam. Dua belas jurus
aneh yang diwarisi dari Padri Agung Sindang Darah
benar-benar sangat berperan banyak dalam mengha-
dapi serangan-serangan ganas lawannya.
Sekali waktu secara bertubi-tubi dia mele-
cutkan selendangnya, memapaki serangan-serangan
pedang yang datangnya bertubi-tubi.
Selendang itu terus melecut, meliuk-liuk bagai
seekor ular berbisa memburu mangsanya. Sementara
tangan kirinya bergerak sebat melakukan pukulan bagi
semua lawan yang berani mendekat. Semakin menca-
pai tingkat lebih tinggi, maka gerakan silat si gadis te-
rasa semakin sulit untuk diduga-duga. Terkadang tu-
buh si gadis berkelebat lenyap dan di lain saat dari
arah belakang dia melakukan tendangan-tendangan
kilat. Terkadang masing-masing lawan saling bertu-
brukan sesamanya. Bahkan tak jarang senjata mereka
menusuk kawannya sendiri. Tentu saja kejadian ini
membuat suasana menjadi semakin kacau balau.
"Ciaaat... hi... hi... hi...!" Wanti Sarati keluarkan
tawa panjang-panjang. Kemudian ucapnya; "Orang-
orang sinting, mengapa malah kalian bunuhi kawan
sendiri. Apakah kalian sudah pada gila...?" teriak Wan-
ti Sarati. Kata-katanya itu sengaja diucapkan keras-
keras dengan maksud untuk membuyarkan konsen-
trasi Subali dan Asmarani Sudra yang mudah naik da-
rah. Ternyata memang pancingan itu berpengaruh bagi
Subali, namun tidak buat Asmarani Sudra.
Ketua Perguruan Kala Hitam itu sangat marah
sekali. Lalu sambil terus melakukan serangan-
serangan gencar, dia pun berteriak-teriak bagai orang
yang sedang kesurupan.
"Murid-murid pada guoblok! Awas kalian se-
mua, ku hukum berat nanti...!"
"Subali. Biarkan muridmu yang tolol itu, nih te-
rimalah...!" geram Buang Sengketa pukulkan tangan
kanannya ke depan. Tak ayal lagi selarik gelombang
cahaya Ultra Violet melesat begitu cepatnya mengarah
pada pertahanan Ketua Perguruan Kala Hitam. Tak sa-
lah lagi itulah satu di antara pukulan andalan yang
dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang menyebarkan hawa yang san-
gat panas itu pun menderu laksana badai. Murid-
murid Jagad Kelanggengan yang bertarung dekat den
gan Subali dan Buang Sengketa keluarkan seruan ter-
tahan. Hawa pukulan yang terasa panas membakar itu
pun menyebar ke mana-mana.
Ketua Perguruan Kala Hitam ini pun tak kalah
terkejutnya, sedikit pun dia tiada menyangka kalau
pemuda itu memiliki pukulan yang dahsyat.
"Haiiit!"
Tubuh Subali melesat ke udara, pada saat itu
juga dia sudah bersiap-siap melancarkan pukulan Raja
Kala Merah yang sama dahsyatnya.
"Jeb! Jeb!"
Serangkum gelombang sinar biru yang berhawa
dingin luar biasa memapaki datangnya sinar Ultra Vio-
let yang berhawa sangat panas. Tak dapat dicegah lagi,
dua pukulan bertenaga sakti itu pun bertemu di uda-
ra.
"Bumm! Bummm!"
Terdengar bunyi ledakan berturut-turut. Bumi
laksana runtuh, tanah tempat mereka berpijak terasa
bergetar hebat.
Tubuh Pendekar Hina Kelana terpelanting se-
puluh tombak. Dari celah bibir, hidung dan kupingnya
meleleh darah segar. Pemuda itu merasakan dadanya
sesak sekali. Begitu dia terbatuk, lalu menggelogoklah
darah kental dari mulutnya. Sementara tubuh lawan-
nya nampak melesak ke dalam tanah. Wajah Ketua
Perguruan Kala Hitam nampak putih pucat. Namun
secepatnya dia bangkit. Lalu memburu Buang Sengke-
ta yang masih dalam posisi terlentang.
Kejadian yang menimpa Buang Sengketa ki-
ranya tak luput dari perhatian Tapak Dewa dan Wanti
Sarati. Tetapi Tapak Dewa yang sedang menghadapi
lawan yang sangat tangguh tak mungkin mampu ber-
buat banyak.
"Paman awaaaas!" teriak Wanti Sarati.
SEBELAS
Peringatan yang hanya sedetik itu bagi Buang
Sengketa telah cukup menyadarkannya dari ancaman
maut.
"Wus! Blaaam...!"
Masih untung Pendekar Hina Kelana masih
sempat berguling-guling ke samping. Sehingga puku-
lan susulan yang dilancarkan oleh Subali menemui
tempat yang kosong. Sambil terus berguling-guling
pendekar ini mengerahkan pukulan pamungkas yang
diberi nama si Hina Kelana Merana.
Sementara itu celaka bagi Wanti Sarati, kelen-
gahannya yang hanya sekejap membuat lawan-
lawannya yang tidak sedikit itu memiliki kesempatan
untuk membabatkan senjatanya.
"Bet! Cres! Cres!"
Wanti Sarati mengeluh, bagian punggung dan
pinggangnya terobek hampir sejengkal. Tetapi dia terus
berusaha bertahan. Hal ini kiranya tak luput dari per-
hatian Buang, pemuda itu gusar sekali, cepat-cepat dia
putar haluan. Dibatalkannya niat untuk memukul
Subali. Lalu dengan kekuatan berlipat ganda diarah-
kannya pukulan si Hina Kelana Merana, mengarah pa-
da pengeroyok Wanti Sarati.
"Wanti... menghindar dari pukulanku...!" Buang
Sengketa memperingatkan.
"Wuut! Wuut!"
Serangkum gelombang yang memancar-kan si-
nar merah menyala, menderu hingga timbulkan suara
bergemuruh. Tubuh Wanti Sarati sudah melesat ke
atas. Sementara badai sinar merah tersebut melesat
laksana meteor menghajar telak pada pengeroyok Wan-
ti Sarati.
"Blaar...!"
Teriakan-teriakan maut terdengar memekakkan
telinga. Sepuluh pengeroyok Wanti Sarati berpelantin-
gan ke segala arah. Tubuh mereka hangus terbakar,
berkelejat-kelejat kemudian terkapar mati. Dari sekian
banyak murid-murid Jagad Kelanggengan dan Kala Hi-
tam, hanya murid-murid yang berkepandaian tinggi
sajalah yang mempunyai nasib baik.
Saat itu tubuh Wanti Sarati nampak ter-
huyung-huyung. Luka babatan pedang yang mengan-
dung racun ganas itu terus mengalirkan darah. Ketika
itu Buang Sengketa sambil terus melakukan pukulan-
pukulan gencar pada lawannya segera memperin-
gatkan.
"Wanti, cepat berlindunglah di ruangan bawah
tanah. Biarkan kami berdua yang akan menghadapi
orang-orang ini....!"
"Baik paman...!" jawab Wanti Sarati sambil me-
nyeringai menahan sakit.
"Wei... mau lari ke mana kau bocah...? Tinggal-
kan kepalamu...!" teriak murid-murid Perguruan Ke-
langgengan sambil berusaha memburu. Buang Sengke-
ta kembali pukulkan kedua tangannya dengan maksud
memberi kesempatan pada Wanti untuk melarikan diri.
Kembali serangkum sinar merah meluruk ke
arah para pengejar Wanti Sarati.
"Iiih...!" seru murid-murid Jagad Kelanggengan,
mereka bermaksud bersurut langkah. Tetapi sudah ti-
dak keburu lagi
"Bummm...!"
Lima orang murid Jagad Kelanggengan menjerit
roboh, Wanti Sarati sudah menghilang dari pandangan
mereka. Kini murid-murid Asmarani Sudra hanya ting-
gal belasan orang saja. Melihat murid-muridnya tewas
secara mengerikan di tangan si pemuda, Asmarani Su-
dra dan Subali menjadi semakin panas hatinya. Kini
dengan dibantu oleh para muridnya, masing-masing
ketua perguruan telah keluarkan jurus-jurus silat yang
paling sangat mereka andalkan.
Sementara itu pertarungan antara Tapak Dewa
dengan Asmarani Sudra, yaitu dedengkot ketua pergu-
ruan besar, sudah mencapai puncaknya. Kedua orang
itu adalah merupakan dua lawan yang sangat tangguh
yang memiliki kepandaian tiada ter-ukur. Dengan
mempergunakan pedang pusaka Jagad Kelanggengan,
Asmarani Sudra terus mencecar lawannya tanpa am-
pun. Sebaliknya dengan mempergunakan cangkul
penggali kubur. Tapak Dewa terus bertahan sambil
melakukan serangan-serangan balasan.
"Chaaa... mampus...!" teriak Asmarani Sudra,
tubuhnya melentik lalu lenyap sekelebatan. Saat itu
dedengkot Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu
sudah, bersiap-siap dengan jurus Pedang Pembasmi
Setan.
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Asmarani
Sudra, pedang di tangannya menderu mengarah pada
bagian leher Tapak Dewa.
Satria Penggali Kubur, keluarkan seruan terta-
han. Laksana kilat dia pun ayunkan cangkulnya me-
mapasi datangnya serangan pedang yang menebarkan
hawa beracun.
"Traang...!"
Terlihat percikan bunga api manakala dua sen-
jata yang telah teraliri tenaga dalam itu saling berte-
mu. Tubuh Tapak Dewa tergetar hebat, begitu pun
halnya dengan Asmarani Sudra. Namun di luar dugaan
Tapak Dewa, Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu
kirimkan satu pukulan ke bagian dada Tapak Dewa.
"Buuuk!"
"Auuughk...!"
Tubuh Satria Penggali Kubur terbanting keras,
darah berwarna kehitam-hitaman menyembur dari
mulutnya. Wajahnya nampak pucat sekali, namun dia
cepat-cepat menghimpun hawa murni. Sehingga rasa
sakit di dadanya menjadi berkurang.
Saat itu Asmarani Sudra sambil keluarkan tawa
mengekeh kembali kirimkan satu pukulan susulan.
Tapak Dewa cepat bangkit lalu ayunkan cang-
kulnya, menebas ke arah tangan Ketua Perguruan Ja-
gad Kelanggengan.
"Uuh! Sialan...!" maki Asmarani Sudra sambil
menarik balik tangannya. Tanpa menghiraukan ma-
kian Asmarani Sudra, Tapak Dewa terus menyerang
perempuan itu. Kini dia sedang mencari sela untuk
melan-carkan pukulan dahsyat yang diberi nama Pu-
kulan Mayat Sakti.
Begitu tangan Tapak Dewa terpentang ke uda-
ra, maka tak lama setelahnya, bagai sebuah gasing
yang keluarkan bunyi berdengung-dengung. Tubuh
Tapak Dewa berputar-putar. Semakin lama gerakan-
nya semakin cepat. Satu gelombang angin ribut me-
nyertai berputarnya tubuh Tapak Dewa itu. Tubuh Ta-
pak Dewa kaku laksana arca, tetapi tetap saja terus
berputar bagai sebuah gasing. Dia bergerak ke mana
pun Asmarani Sudra coba menghindar. Benda mau-
pun tumbuhan apa pun yang dilanggarnya menjadi
hancur berantakan.
Asmarani Sudra sungguhpun seorang tokoh
persilatan yang sudah banyak makan pengalaman
nampak bingung dan gugup. Dia memaki panjang
pendek. Berulangkali dia membabat tubuh yang ber-
putar-putar itu, namun tubuh Tapak Dewa menjadi
keras melebihi baja. Dia kembali babatkan pedangnya
sambil kirimkan satu pukulan dahsyat yang diberi
nama Dewa Gunung Membalik Bukit.
"Wuuus! Traaang!"
Babatan pedang pusakanya membalik bahkan
pedang itu sendiri patah menjadi dua bagian. Hanya
pukulan Dewa Gunung Membalik Bukitlah, yang sedi-
kit dapat menggoyahkan tubuh Tapak Dewa yang se-
dang berputar.
"Sialan, ilmu iblis...!"
"Wuuut!"
Dengan tenaga berlipat ganda, Asmarani Sudra
kembali pukulkan Dewa Gunung Membalik Bukit. Be-
gitu pukulan yang berisi tiga perempat bagian tenaga
dalam itu melanda tubuh Tapak Dewa yang sedang
berputar cepat. Maka tak ayal lagi Tapak Dewa terpe-
lanting. Tetapi laki-laki berumur enam puluhan itu ce-
pat-cepat bangkit kembali. Bibirnya yang mengalirkan
darah itu, menyunggingkan seulas senyum. Bersa-
maan dengan itu dia pun kirimkan satu pukulan yang
lebih ganas lagi. Asmarani Sudra tertawa panjang pen-
dek.
Sementara itu Buang Sengketa yang sedang
bertempur menghadapi Subali dan keroyokan murid-
murid Jagad Kelanggengan. Kini nampak mulai terde-
sak, beberapa jurus di depan dia semakin jatuh di ba-
wah angin. Jurus silat Membendung Gelombang Me-
nimba Samudra telah dia kerahkan, berlanjut dengan
jurus si Gila Mengamuk. Namun sejauh itu jurus-jurus
yang sangat ampuh itu masih belum juga mampu
mengatasi serangan gencar yang dilakukan oleh- la
wan-lawannya. Nyatalah sudah bahwa sesungguhnya
murid-murid Perguruan Jagad Kelanggengan merupa-
kan murid-murid yang cukup tangguh. Buang Sengke-
ta cepat-cepat merobah jurus silatnya. Sekejap saja
tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi. Baik Subali,
Karsa maupun Panjul dan Panut nampak menjadi bin-
gung. Begitu melihat lawannya tiba-tiba saja lenyap
bagaikan setan. Saat-saat begitu, tiba-tiba terdengar
sebuah seruan.
"Aku di sini, Bangsat...!"
Begitu mereka menoleh, tahu-tahu Buang
Sengketa sudah kirimkan satu jotos-an beruntun.
Dua orang murid Jagad Kelanggengan menjerit-
jerit sambil mendekap ke bagian matanya yang han-
cur.
"Kampret...! Mengapa harus main kucing-
kucingan...!" maki Subali.
"Bukan main kucing-kucingan, Tikus lamur! In-
ilah jurus si Jadah Terbuang!" tukas Buang Sengketa
sambil menghindari serangan senjata lawan-lawannya.
Saat itu, Pendekar Hina Kelana semakin kesal
saja hatinya, mendadak dia teringat sesuatu. Lalu se-
cara cepat dia menyurut sepuluh langkah, dari bibir-
nya keluarkan gumaman yang tidak jelas.
Mendadak dia keluarkan jeritan tinggi melengk-
ing. Tak salah lagi itulah jeritan dari Ilmu Pemenggal
Roh yang terkenal dahsyat.
"Heiiighk!" teriaknya. Saat itu juga bumi seakan
runtuh dan ranting-ranting kering berjatuhan ke bumi.
Beberapa orang murid dari Perguruan Jagad Kelang-
gengan nampak berteriak-teriak panik sekali. Dari te-
linga mereka mengalirkan darah kental. Tak ayal
orang-orang itu pun roboh ke atas tanah berpasir. Tu-
buh mereka nampak berkelejat-kelejat sesaat, lalu ter
diam untuk selama-lamanya. Lagi-lagi Ketua Perguru-
an Jagad Kelanggengan itu dibuat terbelalak tak per-
caya.
"Ilmu demit!" maki Subali menjadi panik, nya-
linya nampak mulai menciut. Sungguhpun begitu su-
dah tiada kesempatan lagi bagi Ketua Perguruan Kala
Hitam itu. Sebab sekejap kemudian Pendekar Hina Ke-
lana sudah kirimkan satu pukulan andalan yang diberi
nama si Hina Kelana Merana.
"Weer! Weer!"
Pukulan yang memancarkan sinar merah
itu pun menderu mengarah, pada sisa-sisa murid dari
Perguruan Jagad Kelanggengan dan murid Kala Hitam.
Sejenak mereka jadi terperangah, begitu mereka ber-
usaha menghindar. Pukulan si Hina Kelana Merana
sudah melanda tubuh mereka.
"Bummm!"
"Arrrghk... tolong...!" jerit murid-murid Jagad
Kelanggengan menyayat hati. Tak dapat dicegah lagi,
tubuh mereka berpelantingan ke berbagai penjuru.
Mengetahui kejadian yang sangat mengerikan itu, baik
Subali maupun Asmarani Sudra berteriak marah.
"Bangsat gembel berperiuk! Kau telah membu-
nuhi semua murid-murid kami...! Kau harus melunasi
hutang nyawa murid-muridku...!" teriak Asmarani Su-
dra.
"Tutuplah mulutmu nenek peot. Main-mainlah
dulu dengan kakekku...!" kata Buang Sengketa dengan
sesungging senyum sinis.
"Aku masih hidup guru...!" kata Panjul, tiba-
tiba bangkit dari pingsannya.
"Aku juga, Guru...!" Menyusul Panut, seraya be-
ringsut menjauhi pertarungan.
"Eeh, kalian mau merat ke mana...!" teriak As
marani Sudra.
"Aku takut, Guru...! Orang itu ilmunya sangat
tinggi sekali! Lebih baik kami pulang kampung mengu-
rusi anak bini!" kata Panjul dan Panut hampir bersa-
maan.
"Pulanglah...!" bentak Buang Sengketa.
"Kalian membikin malu perguruan, lebih baik
mampus saja...!" teriak Asmarani Sudra, lalu kirimkan
satu pukulan gencar. Buang Sengketa tidak tinggal di-
am, dia pun kirimkan satu pukulan pula. Baik Panut
maupun Panjul ketakutan setengah mati, masih un-
tung Buang Sengketa masih berkenan menyelamatkan
mereka.
"Bruaaak!"
Asmarani Sudra dan Buang Sengketa sama-
sama terpental jauh. Namun cepat-cepat perempuan
berusia lanjut itu bangkit kembali. Dia merasa sangat
penasaran sekali, lalu bermaksud kirimkan satu puku-
lan yang lebih hebat.
"Eeiit! Permainan kita belum selesai, Ketua
edan...!" kata Tapak Dewa menghadang Ketua Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan.
"Sialan, kau pun harus ku mampusi...!" maki
Asmarani Sudra sambil lancarkan satu tendangan.
Sementara itu Buang Sengketa setelah melihat
Panjul dan Panut berlalu dari tempat itu, segera ber-
hadapan kembali dengan Subali.
"Subali, semua kawanmu sudah pada mampus!
Masihkah kau tak mau menyudahi persoalan ini...?"
tanya Buang Sengketa dengan nada sedikit lunak.
"Puih, persoalan ini terlalu besar untuk diang-
gap selesai begitu saja! Murid-muridku tewas semua di
tanganmu...!"
"Ha... ha... ha...! Tiada gunanya kau mengha
dapi aku, Sobat...!" kata Pendekar Dari Negeri Bunian
itu sambil tergelak-gelak.
Subali kertakkan rahang.
"Jangan sombong dulu kunyuk! Aku belum ka-
lah, masih ada sesuatu yang belum pernah kau li-
hat...!"
"Keluarkanlah semuanya, kalau perlu nenek
moyangmu suruh juga berhadapan denganku... "
"Sombong sekali mulutmu. Hiaaat...!" teriak
Subali. Lalu tubuhnya melesat menjauhi Buang Seng-
keta. Dia nampak berdiri tegak bagai terpacak di bumi.
Dari mulutnya keluar bunyi mencicit, lalu berkomat
kamit membacakan mantra-mantra. Sekejap kemudian
tubuhnya mengepulkan uap putih. Uap tersebut lalu
berobah menjadi kabut yang sangat tebal. Kabut itu
pun bergulung-gulung menyelimuti tubuh Subali. Tak
lama setelahnya tubuh Subali tak terlihat sama sekali.
Pendekar Hina Kelana tercenung, sampai ak-
hirnya kedua matanya terbelalak. Dia melihat tubuh
Subali yang terbungkus kabut itu berhamburan ratu-
san kala hitam dan kala merah. Kala-kala berbisa itu
pun segera cepat menyerang Buang Sengketa. Buang
Sengketa terlonjak-lonjak menghindari sengatan kala-
kala berbisa itu. Dia menghindar kian ke mari. Tetapi
begitu dia menghindar, kala hitam dan kala merah itu
terus mengejarnya. Nampaknya Buang Sengketa se-
makin kerepotan menghindari sengatan-sengatan kala-
kala itu. Tiada pilihan lain, pemuda dari Negeri Bunian
itu pun segera mencabut Cambuk Gelap Sayuto yang
melilit di pinggangnya. Bersamaan dengan itu, dia pun
mencabut Pusaka Golok Buntung yang sangat meng-
gemparkan.
Bibir Buang Sengketa keluarkan bunyi mende-
sis, bagai seekor Ular Piton yang sedang marah. Sepa
sang matanya berubah merah saga, hawa membunuh
mulai mendesak-desak memenuhi rongga dadanya.
Tak lama setelah itu, dengan diawali satu teria-
kan membahana, Buang Sengketa segera lecutkan
cambuknya. Kala hitam dan kala merah yang jumlah-
nya mencapai ratusan itu, hancur berkeping-keping di-
landa cambuk tersebut. Cambuk itu terus melecut
memperdengarkan bunyi yang sangat menyakitkan
gendang-gendang telinga. Lalu bersamaan dengan be-
runtunnya lecutan cambuk di tangan si pemuda. Tiba-
tiba menderu angin kencang, gelegar petir di angkasa
sambung menyambung. Langit menjadi hitam pekat,
mendadak suasana di sekelilingnya menjadi gelap guli-
ta. Perubahan pun terjadi, tubuh Subali yang tadinya
terbungkus kabut. Kini sudah terlihat kembali, bahkan
kala hitam dan kala merah hilang raib entah ke mana.
Dalam kegelapan itu, mendadak Buang Sengke-
ta berkata lantang.
"Anak manusia yang bernama Subali! Telah
kuperingatkan padamu untuk menyudahi urusan,
namun kiranya kau jenis manusia yang keras hati, kini
tiada pilihan lain bagimu, terkecuali mati...!"
Teriakan Buang Sengketa benar-benar sangat
mengejutkan Asmarani Sudra, tak terkecuali Tapak
Dewa. Gelegar petir dan suara gelap itu saja sudah
membuat Asmarani Sudra mulai ciut nyalinya.
DUA BELAS
Semua kejadian itu jelas tergambar dari lecutan
cambuk yang berada dalam genggaman Pendekar Hina
Kelana.
Sementara itu Buang Sengketa sudah menye
rang Subali dengan lecutan cambuk dan golok di tan-
gan kanannya. Golok di tangan memancarkan sinar
merah, sehingga menampakkan sebagian wajah Buang
Sengketa yang nampak dingin.
"Ctar! Ctar! Ctar!"
Cambuk Gelap Sayuto terus menyambar-
nyambar, sehingga membuat suasana semakin ber-
tambah gelap gulita.
Sementara Subali saat itu terus berusaha
menghindari terjangan-terjangan golok yang menye-
barkan hawa maut tersebut. Namun Buang Sengketa
nampaknya sudah tidak memberi kesempatan lagi bagi
Subali. Dia terus mendesaknya. Golok Buntung di tan-
gannya berkelebat. Menyadari bahaya yang sedang
mengancamnya. Ketua Perguruan Kala Hitam, segera
kiblatkan Pedang Kala Hitam.
"Trang!"
Pedang milik Subali hancur berkeping-keping
dilanda pusaka Golok Buntung di tangan si pemuda.
Ketua Perguruan Kala Hitam jadi terkesima, tetapi itu
hanya sekejaban mata. Sebab tak lama setelahnya tu-
buh Pendekar Hina Kelana sudah berkelebat mende-
kat. Lalu secepatnya kirimkan satu tebasan mengarah
pada bagian leher Subali.
"Creees!"
Tubuh Ketua Perguruan Kala Hitam, nampak
terhuyung-huyung. Kedua tangan menekap pada ba-
gian leher. Tiada jeritan yang terdengar, selain Seperti
suara kerbau disembelih. Tubuh yang sudah mulai
kehabisan darah itu meliuk-liuk. Lalu tersungkur ba-
gaikan sebatang pohon yang roboh.
Pendekar Hina Kelana menarik napas pendek,
Pusaka Golok Buntung segera masuk ke dalam sa-
rungnya. Secara perlahan kegelapan yang mendadak
itu pun sirna seketika, mendung hitam di langit hilang
tiada berbekas.
Sementara itu, Asmarani Sudra sungguhpun
masih tetap melanjutkan pertarungan dengan Tapak
Dewa. Namun dia sudah tidak mampu lagi berbuat
banyak. Agaknya kejadian yang baru saja dia lihat
berpengaruh banyak dalam jiwanya. Bagaimana tidak!
Hampir empat puluh orang mereka datang ke pema-
kaman itu, bahkan masing-masing dari mereka beril-
mu sangat tinggi, begitu pun dengan murid-muridnya.
Tetapi semuanya tewas di tangan pemuda berpakaian
kumuh itu. Satu kejadian yang belum pernah dia alami
selama hidup.
"Nenek Peot! Masih jugakah kau berkeinginan
melanjutkan pertarungan...?"
Terdengar teguran Pendekar Hina Kelana.
"Kau pikir dengan tewasnya orang-orang itu,
aku terus menjadi takut?" maki Asmarani Sudra lalu
meludah di tanah.
"Jadi kau benar-benar tak mau menyudahi per-
tarungan ini?"
"Puih. Aku malah jadi ingin menjajal keheba-
tanmu...!"
Buang Sengketa lalu melirik pada Tapak Dewa.
"Kakek Tapak Dewa, lihatlah keadaan Wanti
Sarati. Biar nenek bau ini menjadi bagianku...!" kata
Buang Sengketa geram sekali. Tapak Dewa lalu bersu-
rut mundur, lalu berkelebat pergi meninggalkan tem-
pat itu. Seperginya Tapak Dewa, tanpa menunggu lebih
lama lagi, Asmarani Sudra langsung menyerang Pen-
dekar Hina Kelana dengan pukulan-pukulan mautnya,
terkadang pedang Jagad Kelanggengan yang putih
mengkilat itu membabat dan menusuk pada bagian
tubuh lawannya. Di lain saat dengan mempergunakan
pukulan Dewa Gunung Membalik Bukit. Dia kirimkan
pukulan menggeledek;
Buang Sengketa sedikit banyaknya sudah men-
getahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh
Asmarani Sudra. Baginya daripada harus mengumbar
pukulan, selain hanya akan membuang-buang tenaga,
juga hanya membuat Asmarani Sudra memiliki pe-
luang banyak dalam bertindak; Pendekar Hina Kelana
segera raba bagian pinggangnya.
"Cring!"
Golok Buntung kembali tunjukkan keangke-
rannya. Sinar merah menyala memancar dari golok
tersebut. Saat itu sungguhpun Asmarani Sudra nam-
pak terkejut. Tetapi dia sudah sangat kalap dan nekad.
Ditendangnya Pendekar Hina Kelana dengan pedang
terhunus. Buang Sengketa berkelit. Serangan yang di-
lancarkan oleh Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan
itu pun luput. Tetapi tanpa putus asa dia segera laku-
kan serangan susulan yang berupa pukulan jarak
jauh.
"Bet! Bet!"
"Weeer!"
Satu gelombang sinar berwarna biru, nampak
menderu meluruk ke arah Buang Sengketa. Pemuda
itu, segera kiblatkan golok di tangannya.
"Prang! Blaam!"
Buang Sengketa merasakan dadanya sesak dan
sulit untuk bernapas, sebaliknya Asmarani Sudra ter-
pental tujuh tombak. Darah berlelehan dari hidung
dan bibirnya.
Keadaan Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan
itu sudah nampak sangat payah sekali. Buang Sengke-
ta merasa kasihan karenanya. Lalu pemuda itu pun
berseru memberi peringatan.
"Tua renta! Lebih baik sudahi saja pertarungan
ini. Keadaanmu sudah sangat payah...!"
"Piuh. Aku tak butuh nasehatmu...!"
"Kuperingatkan masih ada kesempatan bagimu
untuk menyingkir...!"
"Jahanam kau bocah gembel. Bagiku daripada
hidup menanggung malu. Lebih baik aku mati menjadi
bangkai...!" maki Asmarani Sudra marah sekali.
"Nenek tak tahu diuntung. Jangan kau salah-
kan aku...!"
"Caaat!"
Dengan nekad, Asmarani Sudra sambitkan pe-
dang pusakanya. Mungkin pada saat itu Ketua Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan mungkin sudah merasa pu-
tus asa, sedangkan untuk menyingkir dari tempat itu
dia merasa sangat malu.
"Ngungg!"
Pendekar ini kiblatkan golok pusakanya.
"Trang!"
Pedang Jagad Kelangggengan jadi berantakan,
manakala bertubrukan dengan Golok Buntung yang
berada di tangan si pemuda.
Mengetahui kenekadan Ketua Perguruan Jagad
Kelanggengan, pendekar dari Negeri Bunian itu nam-
pak sangat gusar sekali.
Tiba-tiba kedua bibirnya mengatup rapat, sepa-
sang matanya memandang tajam pada Asmarani Su-
dra.
"Kenekadan mu benar-benar membuat kesaba-
ranku habis. Mampuslah kau...!"
"Ngung...!"
Debu dan pasir beterbangan manakala Golok
Buntung di tangan Pendekar Hina Kelana menyambar
ke arah pertahanan lawannya. Tubuh si pemuda terus
berkelebat, bergerak mengejar ke mana saja Asmarani
Sudra mencoba menghindar.
Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu se-
makin terdesak hebat. Dalam keadaan seperti itu, dia
mencoba melepaskan satu pukulan. Pada saat yang
sama pula Pendekar Hina Kelana membabatkan Golok
Buntung di tangannya.
"Cres! Crees!"
Asmarani Sudra melolong bagai serigala kelapa-
ran, kedua lengannya yang terkutung langsung saja
memancarkan darah.
"Apakah engkau masih tidak mau menyudahi
persoalan ini, Nenek sinting...?"
"Dendam ku akan kubawa sampai mati...!"
"Kalau begitu kau memang pantas mampus...!"
teriak Buang Sengketa. Lalu kembali golok di tangan-
nya berkelebat kembali:
Saat itu pandangan Asmarani Sudra yang su-
dah mulai nanar karena kehabisan darah. Sudah tak
melihat berkelebatnya golok di tangan si pemuda. Tan-
pa ampun.
"Craaas!"
Tubuh Asmarani Sudra yang sudah banyak ke-
habisan darah itu pun limbung sesaat. Lalu terbanting
di atas sebuah batu nisan yang sangat runcing. Batu
nisan itu pun amblas ke dalam tubuh Asmarani Sudra
dengan keadaan yang sangat mengerikan.
Buang Sengketa menarik napas dalam-dalam,
tubuhnya bermandikan keringat. Tak lama setelahnya
dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan tak
karuan itu. Tetapi dia hanya diam, dan pada saat itu
pula terdengar teguran halus di belakangnya.
"Paman Kelana! Engkau benar-benar seorang
pendekar yang tangguh!" kata Wanti Sarati. Lalu tanpa
menghiraukan Tapak Dewa, gadis itu langsung meng-
hambur ke dalam pelukan si pemuda.
"Bagaimana lukamu?" tanya Buang Sengketa
sambil membelai rambut si gadis. Lembut sekali.
"Kakek Tapak Dewa telah mengobati-nya. Tak
lama lagi juga sembuh...!"
"Anak baik! Bukankah kini kau sudah menjadi
muridnya kakek Tapak Dewa?" tanyanya lagi.
"Ya...!" jawab si gadis resah.
"Jadilah seorang murid yang baik. Kalau eng-
kau benar-benar sayang pada pamanmu ini. Kau ha-
rus patuh pada apa yang paman katakan...!"
Wanti Sarati hanya mengangguk.
"Bagus. Empat atau lima tahun lagi. Paman
pasti akan menemuimu...!"
"Jadi paman mau pergi lagi...?" tanya si gadis,
pilu hatinya.
"Paman adalah milik orang banyak!"
"Tapi aku masih rindu padamu, Paman...!" de-
sah Wanti Sarati tanpa dapat membendung air ma-
tanya lagi...!
"Cah baik. Suatu saat paman juga akan datang
ke mari...!" kata Buang Sengketa. Lalu dibelainya pipi
si gadis, kemudian diciumnya bagian kening Wanti Sa-
rati dengan lembut. Setelah melepaskan pelukan si ga-
dis, dia berpaling pada Tapak Dewa.
"Kutitipkan Wanti Sarati padamu, Kakek Tapak
Dewa...!"
"Kepercayaan Pangeran, sungguh merupakan
suatu kehormatan bagiku...!" kata Tapak Dewa lalu
membungkuk hormat. Tetapi manakala dia meman-
dang kembali, Pendekar Hina Kelana sudah tak nam-
pak lagi.
"Dia pergi lagi, Kakek...!"
"Sudahlah, Nduk. Jangan bersedih, kakek akan
tunjukkan sesuatu padamu...!" ujar Tapak Dewa sam-
bil menggandeng tangan Wanti Sarati. Sekejap kemu-
dian kedua orang itu pun telah melangkah pergi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar