..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 28 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE SATRIA PENGGALI KUBUR

Satria Penggali Kubur

 

Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, 

tempat dan ide, hanya kebetulan belaka

SATRIA PENGGALI KUBUR

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69

Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Satria Penggali Kubur


SATU


Hujan deras yang turun sejak pagi membuat 

tanah di sepanjang jalan yang mereka lalui menjadi 

lembab dan becek di sana sini. Namun sejauh itu tan-

pa menghiraukan derasnya curahan air hujan yang te-

rus menggila, mereka tetap memacu kereta kuda yang 

berwarna hitam kecoklat-coklatan itu. Rombongan ke-

reta kuda itu tak lama kemudian telah membelok di 

sebuah tikungan jalan yang sangat sempit. Kuda-kuda 

itu terus dipacu, sementara gerobak di belakang me-

reka yang memuat dua peti jenazah nampak ter-

goyang-goyang. Ketika lewat sepemakan sirih, sampai-

lah mereka di sebuah makam yang sangat luas namun 

mengisyaratkan kesan angker.

Rombongan yang paling depan segera meng-

hentikan laju kuda mereka, kemudian diikuti pula oleh 

kawan-kawan mereka yang berada di belakangnya. Se-

saat setelahnya, beberapa orang di antara mereka 

nampak melompat dari punggung kudanya masing-

masing.

Setelah saling berpandangan sesamanya, tak 

lama kemudian salah seorang di antara mereka nam-

pak mengitarkan pandangan matanya ke segenap pen-

juru di sekitar makam tersebut. Tak seorang pun yang 

terlihat di sana, sejauh-jauh mata memandang. Hanya 

kerimbunan pohon kamboja yang sedang berbunga le-

bat saja adanya. Harum semerbak terasa menusuk 

penciuman rombongan itu.

Kini si Tinggi Tegap Muka Kunyit dan berpa-

kaian seragam bergambar Kala Hitam di dada kiri, 

kembali menoleh pada orang-orang yang berada tidak 

begitu jauh dari padanya. Kemudian sambil mengelus


elus jambangnya yang hitam lebat, maka dia pun ber-

kata:

"Hemm! Agaknya si Tapak Dewa, manusia 

penggali kubur itu tidak ada di tempat saat ini...!" 

ucapnya seperti pada dirinya sendiri.

"Kalau begitu kita harus menunggu sampai dia 

kembali, Kakang Inggil...!" kata salah seorang di antara 

mereka yang berwajah buruk dan berambut sebatas 

pinggang.

Mendapat jawaban seperti itu, mendadak si 

Tinggi Tegap Muka Kunyit yang bernama Inggil itu 

nampak kernyitkan alisnya. Wajahnya yang kuning 

dan pucat itu segera berubah bagai kulit bunglon. Dan 

tiba-tiba saja dia berkata tegas.

"Apa katamu, Adik Karsa? Menunggu...? Bagiku 

tidak ada waktu untuk menunggu. Jenazah eyang 

guru sudah empat hari dalam perjalanan, waktu yang 

empat hari itu sudah sangat menyiksa jasadnya. Be-

lum lagi jenazah Kakang Bonta yang sudah lima hari 

termasuk dalam perjalanan. Dua hari di depan jasad 

orang-orang yang paling kita hormati tentu sudah 

menjadi busuk...!"

"Aku tahu, tapi apa yang harus kita lakukan?" 

tanya Karsa dengan perasaan segan.

Si Tinggi Tegap Muka Kunyit nampak tercenung 

sesaat lamanya. Tetapi kemudian dia pun sudah ber-

kata lagi.

"Kalau Tapak Dewa tidak ada di tempat, apa sa-

lahnya kalau kita yang menggali kubur untuk orang-

orang yang kita hormati...?"

"Tapi kakang, mana mungkin kita boleh mela-

kukannya tanpa seizin Tapak Dewa?" Menyela Karsa 

dengan hati diliputi keraguan,

"Sungguhpun makam ini di bawah pengawasan


Tapak Dewa, namun bukankah eyang guru dan Ka-

kang Bonta juga merupakan orang-orang yang terhor-

mat. Sudah selayaknya kita menguburkannya di tem-

pat terhormat pula...!" tukas si Tinggi Tegap Muka 

Kunyi tegas.

"Kakang! Penjaga kubur ini seperti apa yang 

kudengar merupakan orang yang sangat sakti, dan 

makam ini juga berada dalam kekuasaannya. Bagai-

mana mungkin kita bisa berbuat sesuka hati kita...?" 

tanya Karsa, merasa tidak setuju dengan apa yang 

akan dilakukan oleh si Tinggi Tegap Muka Kunyit.

Diingatkan seperti itu, tiba-tiba laki-laki ber-

jambang lebat itu kertakkan rahang. Dia nampak tidak 

senang mendengar apa yang dikatakan oleh salah seo-

rang bawahannya yang juga masih merupakan adik 

seperguruannya.

"Perduli apa? Setan belang dari neraka sekali-

pun aku tak mau tahu. Sekarang suruh orang-orang 

kita mulai menggali dua kubur sekaligus...!" perintah 

Inggil tegas sekali.

"Tapi, Kakang...!" ucap Karsa ingin mengatakan 

sesuatu. Namun urung, karena dilihatnya orang yang 

menjadi wakil dari Perguruan Kala Hitam itu sudah 

menghitam parasnya. Dan secara tiba-tiba dia mem-

bentak;

"Kurang ajar...! Kau sudah mulai berani mem-

bantah perintah...?"

"Maa... maafkan aku yang bodoh ini, Kakang...!" 

kata Karsa terbata-bata.

"Kerjakan apa yang aku perintahkan!" 

"Baik, Kakang...!" jawab Karsa. Lalu tanpa 

buang waktu lagi dia pun segera memberi isyarat pada 

beberapa orang anak buahnya. Orang-orang itu nam-

pak berloncatan dari punggung kudanya masing


masing. Dua orang mengambil cangkul dan dua orang 

lainnya mengambil dua sekop yang berukuran besar. 

Lalu dengan diikuti oleh Inggil dan Karsa, kini mereka 

sudah memasuki pemakaman yang sangat luas itu. 

Kemudian tanpa menunggu perintah, empat orang mu-

rid Perguruan Kala Hitam itu pun mulai melakukan 

pekerjaannya. Begitu cangkul-cangkul yang mereka 

ayunkan itu menghempas tanah yang lembab, betapa 

terkejutnya murid maupun wakil ketua Perguruan Ka-

la Hitam. Sebab cangkul-cangkul itu bagai menggem-

pur lantai batu marmer saja layaknya. Terdengar bunyi 

berdenting begitu keras, orang-orang itu menjadi san-

gat penasaran sekali. Mereka mengulanginya! Tetapi 

tetap tanah yang mereka cangkul tetap tiada bergem-

ing. Bahkan seolah-olah tanah tersebut semakin mem-

batu.

Inggil dan Karsa saling berpandangan sesa-

manya, hati mereka diliputi rasa kejut dan tanda 

tanya. Tak lama setelahnya Inggil atau yang lebih di-

kenal dengan sebutan- si Muka Kunyit Tangan Baja 

terdengar bergumam.

"Seumur hidup, baru kali ini aku menyaksikan 

kejadian seaneh ini...!"

"Agaknya apa yang didesas desuskan oleh ka-

langan persilatan bahwa Tapak Dewa selalu melindun-

gi makam ini dengan Ajian Watu Pamiluto, inilah salah 

satu buktinya, Kakang...?" kata Karsa setengah ragu.

Inggil nampak tercenung untuk seketika la-

manya begitu mendengar kata-kata adik seperguruan-

nya. Wajahnya yang kuning kepucat-pucatan itu men-

dadak berubah memerah tetapi kemudian telah beru-

bah kembali.

"Tapak Dewa benar-benar manusia sirik, tak 

pernah kusangka kalau manusia yang mengaku seten


gah dewa itu kiranya merupakan orang yang berpiki-

ran picik...!" maki Inggil nampak gusar sekali.

"Sssst...! Kakang jangan keras-keras, kabarnya 

Tapak Dewa memiliki indera pendengar yang bisa me-

nembus sampai ke alam gaib...!"

"Kucing kurap... kau kira aku mau percaya be-

gitu saja dengan kabar yang tidak berketentuan itu. 

Puihh... sungguhpun Tapak Dewa memiliki indera se-

tajam mata pedang sekalipun, jangan kira aku mau 

percaya...!" tukas Inggil semakin bertambah marah.

Usai dengan ucapannya itu, mendadak Inggil 

nampak berdiri bagai sebuah arca, sepasang matanya 

menatap tajam pada tanah tempat di mana dia berpi-

jak. Sementara, bibirnya yang menyungging senyum 

sinis itu pun tampak berkemak kemik.

Tahulah Karsa maupun yang lain-lainnya bah-

wa saat itu Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam itu se-

dang merapal Ajian Tangan Baja. Seperti mereka keta-

hui, kemampuan Ajian Tangan Baja selama ini jangan-

kan hanya manusia biasa, sedangkan dinding karang 

sekalipun akan hancur berantakan dilanda ajian ter-

sebut. Jangankan hanya tanah biasa yang secara aneh 

telah berubah mengeras seperti lantai beton. Tentu ti-

dak ada apa-apanya.

Saat itu, setelah selesai merapal Ajian Tangan 

Baja, kedua tangan Inggil yang terkepal erat itu nam-

pak terayun deras mengarah ke tanah tempat di mana 

dia berpijak. Satu sambaran angin yang sangat keras 

menyertai melesatnya kedua tangan yang telah teraliri 

tenaga dalam tersebut.

"Hiaaa...!"

"Buk! Buk!"

Tanah tempat di mana mereka berpijak terasa 

bergetar hebat manakala kedua tangan Inggil memben


tur tanah kuburan itu. Namun betapa terkejutnya hati 

mereka karena ternyata tanah tersebut tidak bergem-

ing sedikitpun juga. Inggil sendiri merasakan dadanya 

sesak dan tergetar hebat. Tangan kesemutan bagai di-

tusuki ribuan jarum. Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-

tam itu mencaci maki panjang pendek.

Lalu cepat-cepat dia berdiri dan kembali pada 

posisi semula. Kini dikerahkannya hampir segenap 

kemampuan yang dimiliki, dengan suara bergetar dia 

merapal Ajian Tangan Baja keras-keras. Tentu saja hal 

ini di luar kebiasaan, dan orang-orang Kala Hitam me-

nyadari kalau wakil ketua mereka yang memiliki sifat 

angkuh ini sedang dalam keadaan marah besar.

Laki-laki bermuka kunyit itu terus melantun-

kan mantra-mantra Ajian Tangan Baja. Tak lama sete-

lahnya, dari kedua tangan yang terkepal itu mengepul-

lah uap putih yang menebarkan bau bunga tahi ayam. 

Sementara kedua tangannya telah memancar pula si-

nar merah menyala.

Sesaat tubuh Inggil tergetar, keringat menetes 

membasahi bajunya yang berwarna putih kecoklatan. 

Lalu setelah kedua tangan itu benar-benar telah beru-

bah warna bagai bara api, maka tanpa buang waktu 

lagi dengan diiringi satu jeritan tinggi melengking. In-

ggil langsung saja menghantamkan tinju kanan kirinya 

pada tanah dekat telapak kakinya.

"Bruaaak!"

Terdengar bunyi berdebum, manakala tangan 

itu mencapai sasaran. Bumi bagai dilanda selaksa 

gempa, beberapa orang anak buahnya sendiri terpental 

beberapa depa jauhnya. Sementara itu kuda-kuda pe-

narik kereta jenazah meringkik keras dengan kaki ter-

lonjak-lonjak ke atas. 

Sungguhpun begitu, tetapi nampaknya kali ini


usahanya benar-benar mendatangkan hasil. Sebab be-

gitu kedua tangannya dia sentakan kembali, nampak 

tanah tersebut melubang besar, bahkan muat untuk 

ukuran seorang jenazah. Inggil bangkit berdiri dengan 

sesungging senyum puas di bibirnya. Dari sorot ma-

tanya yang memancar tajam, nampak sekali kalau la-

ki-laki setengah baya dan berjambang sangat lebat itu 

semakin bertambah sombong saja. Sesaat dia melirik 

pada kawan-kawannya. Lalu dengan sikap yang pon-

gah dia pun segera berkata pada semua bawahannya.

"Kalian turunkan jenazah eyang guru dan Ka-

kang Bonta. Tak usah bersusah pa-yah membuang te-

naga. Sekejap aku mau membuat sebuah kubur lagi 

untuk Kakang Bonta...!" perintahnya dengan sikap 

yang dibuat-buat. Lalu tanpa berani membantah lagi, 

Karsa dan beberapa orang lainnya segera berjalan me-

nuju kereta jenazah.

Sesaat setelahnya, murid-murid dari Perguruan 

Kala Hitam itu pun telah kembali ke tanah pemaka-

man tempat di mana Inggil sedang bersiap-siap untuk 

melepaskan pukulan Tangan Baja yang terkenal dah-

syat itu. Bau bangkai mulai menyebar ke mana-mana, 

manakala dua peti jenazah itu mereka gotong mema-

suki halaman kuburan yang sepi dan angker.

Saat itu, tubuh Inggil nampak kembali tergetar, 

wajah semakin menegang. Seluruh pakaiannya basah 

kuyup oleh siraman air hujan dan keringatnya sendiri. 

Lagi-lagi dengan disertai jeritan menggeledek, laki-laki 

berewokan Muka Kunyit ini pun pukulkan tangan ka-

nannya.

"Hiaaat...!"

"Dieerr...!"

Tanah di sekitarnya kembali tergetar, bahkan 

hampir saja dua peti jenazah yang sedang dipikul oleh


para bawahan Inggil sendiri terlepas dari tangan para 

pengusungnya. Di lain pihak kembali terjadi keanehan 

yang membuat Inggil menjadi terperanjat bukan alang 

kepalang. Tanah yang dipukulnya tiada bergeming se-

dikitpun juga. Hal ini benar-benar di luar dugaan laki-

laki yang memiliki kesombongan selangit itu. Inggil 

nampak memerah parasnya, dia sangat gusar dalam 

kegagalannya sendiri. Tanpa sadar, sebagaimana ke-

biasaannya, maka sumpah serapah pun berhamburan 

dari mulut Wakil Perguruan Kala Hitam.

"Kakang, mungkin si empunya tempat tidak 

merestui kita berbuat sembarangan di dalam pemaka-

man ini...?" ujar Karsa mencoba menyadarkan laki-laki 

bermuka pucat itu.

Mendengar ucapan Karsa yang seolah-olah 

mengguruinya, semakin bertambah gusarlah Wakil 

Perguruan Kala Hitam dibuatnya. Serta merta, sepa-

sang matanya menatap tajam pada adik seperguruan-

nya, dengan suara ketus dia pun segera menyela;

"Adi Karsa...! Sejak kapan eyang guru mendidik 

murid-muridnya menjadi sepengecut engkau? Sudah 

kukatakan bahwa eyang guru dan Kakang Bonta me-

rupakan orang terhormat dan sudah selayaknya pula 

dikubur di tempat terhormat pula. Kita ini selalu bera-

da di pihak yang benar. Jadi menurut hematku, sung-

guhpun Tapak Dewa yang menjadi pemilik kubur ini 

tidak ada, apa salahnya kalau kita mengubur orang 

yang kita muliakan di tempat ini. Sungguhpun kita be-

lum mendapat izinnya. Pula soal itu bisa kita selesai-

kan kemudian...!" ucapnya marah.

Ucapan laki-laki Muka Kunyit itu, kiranya 

sungguh besar pengaruhnya bagi Karsa dan beberapa 

orang murid lainnya. Mereka menyadari andai saja 

Karsa berani membantah apa yang dikatakan oleh In


ggil yang sedang dalam keadaan marah besar, semua 

itu bisa berakibat tak baik bagi mereka semua. Inggil 

adalah seorang wakil ketua perguruan yang sangat 

angkuh dan keras kepala. Itu sebabnya setelah diben-

tak sedemikian rupa, baik Karsa maupun yang lainnya 

menjadi terdiam seribu bahasa.

Namun di luar dugaan, tiba-tiba terdengar sua-

ra derai tawa yang membuat bulu kuduk mereka me-

remang berdiri.

Seiring dengan derai tawa itu, nampak pula me-

lesat sosok tubuh dari halaman luar tanah pekuburan 

itu. Lalu dengan tanpa menimbulkan suara orang itu 

menjejakkan kakinya tidak begitu jauh dari tempat 

rombongan itu berdiri.

Laki-laki itu berusia berkisar enam puluh ta-

hun, mengenakan jubah warna kuning yang sudah 

sangat lusuh. Tubuh laki-laki itu secara hampir kese-

luruhan dipenuhi dengan bulu-bulu halus. Badannya 

sangat kekar berotot liat, sepasang matanya nampak 

mencorong tajam, tak ubahnya bagai mata burung 

hantu di kegelapan malam.

Sungguhpun orang-orang dari Perguruan Kala 

Hitam ini belum pernah bertemu dengan Tapak Dewa 

atau yang lebih dikenal dengan julukan Satria Penggali 

Kubur, namun dari penampilan yang mereka lihat, me-

reka sudah dapat menduga bahwa laki-laki itulah 

orangnya.

Ketika mereka sedang tenggelam dalam piki-

rannya masing-masing, saat itulah laki-laki berjubah 

kuning itu berkata, pelan, tetapi penuh teguran.

"Lancang sekali kalian begitu berani memasuki 

peristirahatan terakhir milikku. Sudahkah kalian 

mendapat ijin dariku...?"

Ucapan yang bernada tidak senang ini sudah


barang tentu membuat murid-murid Kala Hitam men-

jadi ciut nyalinya.

Seperti mereka ketahui, Tapak Dewa adalah 

seorang penggali kubur orang-orang terhormat. Tem-

pat itu masih merupakan wakaf dari leluhurnya. Lebih 

dari itu dia juga merupakan seorang tokoh sakti yang 

dikenal sebagai satria yang dapat mendengar pembica-

raan dari alam gaib. Dari kemampuan yang dimilikinya 

itu saja sudah merupakan satu bukti betapa kesaktian 

yang dimiliki oleh Tapak Dewa, sangat sulit untuk dija-

jaki. Namun nampaknya Inggil yang memiliki watak 

sombong yang berlebihan ini tidak mau perduli dengan 

apa yang didengarnya selama ini. Dengan pongahnya 

dia lalu menyela

"Saudara Tapak Dewa... sesungguhnya kami ti-

dak bermaksud demikian. Tetapi karena tadi anda ti-

dak berada di tempat, maka kami mengambil keputu-

san untuk membuat kubur buat eyang guru dan Ka-

kang Bonta di tempat yang anda tunggui selama ini...!"

Mendapat jawaban dari Wakil Kala Hitam, Ta-

pak Dewa nampak mendengus dengan wajah memerah 

karena tersinggung.

"Enak betul! Kubur ini bukan untuk nenek 

moyangnya siapa-siapa. Pekerjaanmu yang telah me-

langgar peraturan di sini saja sudah merupakan satu 

bukti bahwa kalian benar-benar tak pernah menghar-

gai milik orang lain...!"

"Tapi saudara Tapak Dewa, semua itu kami la-

kukan karena sangat terpaksa sekali. Mayat eyang 

guru dan Kakang Bonta sudah hampir lima hari dalam 

perjalanan. Kami tak mau orang-orang yang kami 

hormati merasa sangat tersiksa karena terlalu berla-

ma-lama dikuburkan. Karena kami sangat menghor-

matinya, apa salahnya kalau kami menguburkannya di


tempat yang terhormat pula...?" kata Wakil Kala Hitam 

nampak membantah. Sudah barang tentu hal ini 

membuat Tapak Dewa semakin bertambah gusar di-

buatnya.

"Siapa suruh bawa nenek moyangmu ke mari! 

Tokh yang namanya kuburan di mana-mana sama sa-

ja. Terhormat menurut ukuran manusia belum tentu 

terhormat di hadapan Sang Pencipta. Begitu juga seba-

liknya...!"

"Jadi menurutmu apakah eyang guru dan Ka-

kang Bonta bukanlah orang yang layak untuk dikubur 

di tempat ini...?" tanya Inggil dengan pandangan bera-

pi-api. Tapak Dewa menyungging seulas senyum, ke-

dua matanya menatap tajam pada Inggil. Sungguhpun 

selama ini dia sering dikenal sebagai orang misterius 

yang sangat jarang berkata-kata. Tetapi melihat ting-

kah Wakil Perguruan Kala Hitam, semakin lama dia 

merasa semakin tak sabar saja. Sesaat setelahnya 

dengan polos dia pun menyela;

"Manusia Muka Kunyit! Siapa pun boleh diku-

bur di makam ini, tetapi mereka harus minta ijin terle-

bih dulu denganku. Dalam penglihatanku eyang gu-

rumu meninggal secara wajar. Tetapi kakang mu yang 

bernama Bonta itu mampus karena keserakahannya 

dalam mempelajari pukulan-pukulan sakti...!" 

Ucapan Tapak Dewa benar-benar sungguh di 

luar dugaan mereka, Ingil memang tidak menyangkal 

bahwa eyang gurunya meninggal karena faktor usianya 

yang sudah sangat tua sekali. Dan sebaliknya dia pun 

tidak membantah bahwa Bonta tewas karena salah da-

lam menghimpun hawa murni. Tetapi sedikit pun dia 

tiada menyangka kalau Tapak Dewa dapat mengetahui 

secara persis semua kejadian itu. Sesaat laki-laki ber-

jambang lebat itu nampak diam membisu. Wajahnya


sebentar tertunduk dan di lain saat memandang pada 

Tapak Dewa dengan perasaan sangat penasaran sekali. 

Tak lama kemudian dia pun berkata:

"Lalu bagaimana...?"

"Aku hanya mengizinkan eyang gurumu saja 

yang pantas dikubur di peristirahatan milikku!" jawab 

Tapak Dewa tanpa ragu.

Mendengar keputusan Tapak Dewa, betapa ter-

peranjatnya semua murid-murid Perguruan Kala Hi-

tam dibuatnya. Sementara itu Inggil sudah tak dapat 

lagi membendung kesabarannya. Laki-laki Muka Ku-

nyit itu memerah parasnya. Tubuhnya nampak meng-

gigil karena menahan perasaan amarah yang sejak tadi 

dia pendam-pendam. Serta merta dia membentak.

"Tapak Dewa, lancang sekali mulutmu! Engkau 

benar-benar telah menghina kami! Jauh-jauh kami da-

ri Puncak Berkabut datang ke pemakaman mu ini, ki-

ranya sedikit pun engkau tak memandang muka pada 

Eyang Guru Anjasmoro...!"

"Weeeiii... sial betul engkau ini! Muka setan tak 

tahu adat... siapa suruh membawa-bawa bangkai 

sampai sejauh itu? Kolong langit masih sangat luas, 

aku sendiri tak pernah menyuruh kalian datang ke 

mari...!" tukas Tapak Dewa tak kalah gusarnya.

"Bangsat... engkau benar-benar telah membuat 

aku marah Tapak Dewa! Kalau kau tetap bersikeras ti-

dak mengijinkan jenazah Kakang Bonta dikubur di si-

ni. Kau benar-benar akan menyesal...!" ancam Wakil 

Ketua Perguruan Kala Hitam.

Tapak Dewa tersenyum pahit begitu mendengar 

ucapan Inggil, sebagai orang yang memiliki indra pen-

dengar yang mampu menembus alam gaib. Betapa dia 

teringat sangat banyak sekali manusia-manusia seperti 

Inggil itu, yang hingga pada akhirnya sampai hari ma


tinya tetap mengalami siksaan-siksaan yang tiada kun-

jung berakhir.

Begitu pun dia masih dapat bersikap lunak pa-

da laki-laki Muka Kunyit dari Perguruan Kala Hitam 

itu.

"Hemmm! Sungguh tak kusangka kalau Pergu-

ruan Kala Hitam yang begitu kondang ke seantero pen-

juru negeri, kiranya memiliki murid yang tidak pernah 

memandang muka pada orang lain...!" kata Tapak De-

wa, seraya geleng-gelengkan kepalanya.

"Tapak Dewa! Aku tak butuh khotbah mu, ka-

takan saja engkau memberi izin pada Kakang Bonta 

untuk dikubur di sini atau tidak...?" kata Inggil seten-

gah berteriak.

"Sebagaimana ucapanku tadi, semuanya tidak 

akan pernah ku rubah." jawab Tapak Dewa nampak 

tenang sekali.

"Sreeek...!"

Mendadak Inggil sudah menarik setengah ba-

dan senjata dari sarungnya. Dalam pada itu, Tapak 

Dewa cepat-cepat mencegah.

"Manusia Muka Kunyit! Kuperingatkan pada-

mu, sarungkan kembali Pedang Kala Hitam pada tem-

patnya. Andai tidak...!"

"Andai tidak kau bisa apa Tapak Dewa...?" tu-

kas Inggil menyela.

Laki-laki penggali kubur itu terdiam, sebaliknya 

tangan kanannya malah memilin-milin jenggotnya 

yang tidak seberapa lebat. Sementara itu, beberapa 

orang murid Kala Hitam lainnya nampak sangat cemas 

sekali. Sebab andai Inggil terlibat dalam pertarungan, 

sudah barang tentu mereka juga akan terbawa-bawa 

juga. Di lain pihak mereka sendiri belum mengetahui 

secara pasti betapa hebatnya Satria Penggali Kubur



yang bernama Tapak Dewa. Saat itu, dengan ketenan-

gan luar biasa dia menyambungi ucapannya yang 

sempat terhenti.

"Ah... di mana-mana manusia selalu sengsara 

karena tidak tahu siapa dirinya sendiri. Mereka sering 

bertanya-tanya, tentang siapa dirinya, tentang kebera-

daannya. Untuk apa dilahirkan. Menyesal datangnya 

selalu terlambat dan betapa pula mereka jarang yang 

tahu, kalau dosa itu selalu menyeret mereka dalam 

penderitaan yang teramat panjang...!" 

"Tutup khotbah mu, Gembel Penggali Kubur...!" 

maki Inggil sambil mencabut Pedang Kala Hitam yang 

berwarna hitam pula.

"Kau telah melanggar apa yang seharusnya ti-

dak kau lakukan, Muka Kunyit. Tidak kau dengarkan 

rintihan dan jerit di alam kubur sana? Mereka-mereka 

itu semasa di dunia mengaku dan diakui sebagai orang 

terhormat. Tetapi di alam kubur mereka tak menutupi 

segala perbuatan baik buruk. Kini mereka merasakan-

nya, aku mendengar apa yang tidak kalian dengar...!"

"Jahanam! Manusia sinting mampus-lah...!"

"Hiaaa...!"

Bersamaan dengan makian dan teriakan-

teriakannya, serentak Inggil langsung menyerang Ta-

pak Dewa. Sungguhpun mereka ini berasal dari golon-

gan lurus, namun dari sambaran angin yang ditimbul-

kan akibat babatan maupun tusukan pedang di ta-

ngannya, Tapak Dewa dapat merasakan adanya hawa 

keji yang menyertai serangan-serangan ganas tersebut.

Sejauh itu Tapak Dewa masih nampak tenang-

tenang saja. Begitu serangan yang bertubi-tubi itu 

menderu ke arahnya, dia geser kaki kanannya ke bela-

kang. Sementara badan nampak membungkuk seten-

gahnya.


Wakil Ketua dari Perguruan Kala Hitam itu 

nampak sangat penasaran sekali begitu serangannya 

yang pertama dapat dikelit oleh pihak lawan dengan 

begitu mudah. Lalu dengan mempergunakan jurus Pe-

dang Kala Hitam Menyengat Babi Hutan, dia kirimkan 

satu serangan susulan.

Pedang Kala Hitam kembali menderu dan ber-

kelebat mencecar pertahanan lawan dari berbagai pen-

juru. Tapak Dewa keluarkan suara tawa tertahan, dan 

seiring dengan suara tawanya itu tiba-tiba tubuhnya 

berkelebat lenyap. Hanya desiran-desiran angin yang 

begitu keras saja yang memberi tanda bahwa Satria 

Penggali Kubur yang sudah cukup berumur ini ada di 

sekitar laki-laki Muka Kunyit.

"Hiaaat...!"

Kembali terdengar pekikan Inggil, Pedang Kala 

Hitam membabat ke arah bayang-bayang tubuh Tapak 

Dewa. Pedang di tangan laki-laki sombong dari Pergu-

ruan Kala Hitam semakin bertambah sebat, hawa keji 

semakin terasa ganas memenuhi udara di sekitarnya. 

Tapi sejauh itu, pedang di tangan Inggil masih belum 

juga mampu menyentuh kulit tubuh lawannya. Bah-

kan Inggil sendiri merasakan, semakin cepat dia me-

nyerang Tapak Dewa, semakin bertambah gila pula ge-

rakan si Penggali Kubur dalam menghindar. Setelah 

pertarungan berlangsung belasan jurus, lama kela-

maan Inggil menjadi sangat jengkel sekali. Apalagi dia 

melihat orang yang menjadi lawannya bertarung tak 

pernah membalas serangannya. Sebaliknya malah cu-

ma mengelak dan menghindar. Maka dia pun sudah 

tak dapat menahan kesabarannya, sesaat kemudian 

dia membentak;

"Manusia siluman...! Nama besarmu melam-

bung setinggi langit, namun tak kusangka kalau hati


mu sepengecut tikus cecurut...?!"

"Jleeeeegk!" Lima langkah Tapak Dewa tepat 

berdiri dari hadapan Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-

tam. Sesaat dia memandang pada semua orang yang 

berada di sekelilingnya. Dan kiranya pada saat itu, 

baik Karsa maupun delapan orang murid lainnya telah 

diperintahkan oleh Inggil untuk mengepung Tapak 

Dewa.

"Sialan Muka Kunyit, kalau engkau ingin cari-

cari perkara denganku. Janganlah kau bawa-bawa 

orang lain...!"

"Hua ha ha.,.! Engkau takut! Itu makanya ada 

baiknya kalau kamu memberi izin kubur untuk Ka-

kang Bonta....!" rutuk Inggil dengan tawa mengejek.

"Tidak pernah. Tetapi aku malah takut pada di-

ri sendiri...!" 

Dengan sesungging seringai menjijikan, laki-

laki angkuh itu pun memberi aba-aba pada orang-

orangnya.

"Anak-anak mari kita cincang tikus kuburan ini 

beramai-ramai...!"

Usai dengan ucapannya itu, tanpa berani mem-

bantah murid-murid Perguruan Kala Hitam langsung 

menyerbu Tapak Dewa.

Tak dapat dihindari lagi, dalam waktu sekejap 

pertarungan sengit pun terjadi. Areal kuburan yang 

tadinya sunyi sepi, kini telah berubah menjadi hiruk 

pikuk suara teriakan dan denting beradunya senjata 

yang terus berkelebat tanpa ampun.

***


DUA


Tapak Dewa bergerak lebih cepat lagi, sung-

guhpun begitu orang-orang dari Perguruan Kala Hitam 

terus memburunya ke mana pun dia menghindar. Pe-

dang sejenis yang dipergunakan oleh murid-murid Ka-

la Hitam memang agak merepotkan Tapak Dewa. Se-

bab sungguhpun mereka hanya merupakan murid, 

namun mereka adalah murid-murid pilihan yang me-

miliki ilmu silat dan kepandaian yang sudah mencapai 

taraf sempurna.

Di lain pihak, Tapak Dewa sungguhpun seorang 

pendekar yang memiliki watak angin-anginan, namun 

selamanya dia belum pernah turun tangan secara keji. 

Apalagi dia menyadari bahwa murid-murid Kala Hitam 

itu hanyalah demi menjalankan perintah seorang ata-

san. Maka dia sudah memutuskan untuk melumpuh-

kan Manusia Muka Kunyit yang jadi biang keonaran di 

pekuburan yang dia jaga selama ini.

Beberapa jurus di depan, Tapak Dewa kelihatan 

mulai terdesak. Senjata di tangan laki-laki Muka Ku-

nyit, nyaris merobek bagian punggungnya. Sementara 

itu Karsa yang menyerang Tapak Dewa dari bagian de-

pan terus mendesaknya dengan babatan-babatan pe-

dang di tangannya.

"Hiaat...!"

Tubuh Tapak Dewa nampak melentik ke udara, 

bersamaan dengan itu Inggil telah pula melepas bebe-

rapa ekor kala berbisa menyusul melesatnya tubuh 

Tapak Dewa.

"Jiiit!"

Empat ekor kala hitam meluruk tubuh Tapak 

Dewa yang masih berjumpalitan di udara. Lesatan sen


jata rahasia yang berupa Kala Hitam itu sedemikian 

cepatnya. Masih untung saat itu yang mendapat se-

rangan mendadak itu Tapak Dewa adanya, andai tidak 

sudah dapat dipastikan orang yang mendapat seran-

gan Kala Hitam akan menemui ajalnya pada saat itu 

juga.

"Heeeeess!"

Tapak Dewa pergunakan ujung jubahnya untuk 

menangkis datangnya serangan kala-kala berbisa ter-

sebut.

Karena samplokan ujung jubahnya itu sengaja 

dialiri tenaga dalam yang cukup kuat. Akibatnya senja-

ta rahasia yang berupa kala hitam tersebut kandas di 

tengah jalan. Bahkan kala yang mengandung racun 

yang sangat mematikan itu berpentalan ke segala arah 

dengan keadaan mati.

Inggil memaki panjang pendek begitu mengeta-

hui serangan-serangan mautnya dapat dipatahkan 

oleh Tapak Dewa dengan cara yang sangat begitu mu-

dahnya. Dalam kemarahannya yang meledak-ledak itu, 

tiba-tiba dia sambitkan Pedang Kala Hitam yang bera-

da dalam genggamannya.

"Ziiing...!" 

Tapak Dewa yang baru saja menjejakkan ka-

kinya di atas permukaan tanah, nampak terkejut seka-

li. Namun itu hanya sekejaban saja, karena saat beri-

kutnya dengan tangkas sekali dia sudah berkelit.

"Creeep...!"

Alangkah terkejutnya Inggil dan murid-murid 

Kala Hitam lainnya begitu melihat kenyataan bahwa 

Tapak Dewa menangkap lesatan Pedang Kala Hitam 

dengan giginya.

Satu kelihaian yang sangat langka. Dan seumur 

hidup mereka belum pernah melihat kepandaian se


perti apa yang dimiliki oleh Tapak Dewa. Dalam keter-

tegunan mereka, tiba-tiba Satria Penggali Kubur sudah 

membentaknya:

"Bangsat Muka Kunyit! Kukira aku cukup ber-

sabar atas kesombonganmu, tetapi karena engkau se-

perti menghendaki nyawaku. Maka aku tak akan 

memberi hidup lebih lama lagi. Kini bersiap-siaplah 

engkau untuk mati. Hiiaaaa...!"

Seiring dengan teriakan yang serasa bagai me-

runtuhkan gendang-gendang telinga itu. Maka dengan 

mempergunakan Pedang Kala Hitam milik lawannya, 

Tapak Dewa langsung menerjang si Muka Kunyit yang 

sangat sombong itu. Selain Inggil seorang. Murid-

murid Kala Hitam tak ada yang berani turun tangan 

untuk membantu wakil ketua mereka.

Di lain pihak, saat itu juga Tapak Dewa dengan 

pedang terhunus milik lawannya, segera kirimkan se-

rangan-serangan yang sangat dahsyat. Karena laki-laki 

penggali kubur itu mempergunakan Jurus Bayangan 

Malaikat, maka sepuluh jurus kemudian, Inggil sudah 

nampak jatuh di bawah angin. Laki-laki berjambang 

lebat yang merupakan wakil dari Perguruan Kala Hi-

tam itu, berusaha mati-matian keluarkan segenap ke-

mampuannya. Jurus demi jurus silih berganti, namun 

semua itu tetap tidak merubah kedudukan. Hingga 

sampai pada akhirnya, sampailah dia pada puncak ke-

saktian yang dimilikinya. 

"Haiiitt...!"

Laki-laki Muka Kunyit bersalto beberapa kali, 

sengaja dia menjauhi gempuran-gempuran pedang Ta-

pak Dewa. Lalu, tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Inggil segera rangkapkan kedua tangannya. Sesaat 

kemudian terdengar bunyi mencicit bagai suara ribuan 

ekor tikus dari bibirnya. Tubuh bergemetaran, peluh


sekejap saja telah membasahi jubah hitam yang dike-

nakannya. Seiring dengan itu dari kedua tangannya 

yang menyatu di depan dada. Keluarlah uap hitam 

yang semakin lama semakin menebal, sehingga lama-

kelamaan menyelimuti dirinya sendiri.

Di lain pihak nampaknya murid-murid Pergu-

ruan Kala Hitam dan juga Karsa, menjadi terkesima. 

Mereka menyadari saat itu wakil ketua perguruan me-

reka sudah mengerahkan satu pukulan sakti yang di-

beri nama Raja Kala Merah yang di kolong langit ini 

tiada duanya. Pukulan itu terkenal sangat keji dan 

berbahaya sekali. Siapa pun yang terkena pukulan 

maut itu, sedetik pun nyawanya tidak bisa tertolong 

lagi. Dan seperti mereka ketahui pula, bahwa eyang 

gurunya dulu sempat berpesan. Siapa pun dari mereka 

sangat dilarang mempergunakan Pukulan Raja Kala 

Merah itu terkecuali bila dirinya merasa benar-benar 

berada di pihak yang benar. Tetapi kenyataannya kini 

wakil ketua mereka sengaja mempergunakannya, 

hanya demi sebuah kesombongan. Sungguhpun hati 

mereka merasa sangat tidak setuju dengan cara-cara 

yang ditempuh oleh Inggil. Tetapi untuk melarang me-

reka tiada memiliki keberanian.

Saat itu Tapak Dewa yang sudah menghentikan 

serangan, begitu mengetahui gelagat yang kurang baik, 

dia langsung membentak:

"Anak manusia yang bernama Inggil! Engkau 

tarik baliklah Pukulan Raja Kala Merah yang sangat 

keji itu. Andai tidak, engkau akan menjadi manusia 

yang paling merugi di liang kubur sana...!"

Saat itu, sungguhpun laki-laki Muka Kunyit itu 

terkejut hatinya karena dia tiada menyangka kalau la-

wannya dapat pula mengetahui pukulan yang akan di-

lepaskannya. Namun bibirnya tetap menyungging se..


nyum licik. Kemudian tanpa menghiraukan peringatan 

pihak lawannya. Dengan diawali satu jeritan keras dan 

sambung menyambung maka tubuhnya melesat lak-

sana kilat meluruk ke arah di mana posisi lawan ber-

ada. Satu sapuan gelombang hitam yang berhawa din-

gin luar biasa menderu tanpa dapat terbendung lagi. 

Tapak Dewa tidak tinggal diam. Dengan memperguna-

kan Ajian Mayat Arca dia nampak berdiri mematung. 

Seluruh pikirannya menyatu dengan hati, sedangkan 

sepasang matanya langsung terpejam.

Laki-laki Muka Kunyit mengira bahwa apa yang 

dilakukan oleh Tapak Dewa adalah sesuatu yang san-

gat sembrono. Bahkan dia sendiri sudah memastikan, 

sekali saja pukulan yang dilepaskannya menghantam 

pihak lawan. Maka akan tamatlah riwayat manusia 

yang berjuluk Ksatria Penggali Kubur itu.

Sedetik kemudian pukulan Raja Kala Merah 

yang dilepas oleh Wakil Ketua Perguruan Kala Hitam 

itu melabrak tanpa ampun.

"Praaangg...!"

Bukannya tubuh lawan yang hancur maupun 

tewas akibat pukulan yang sangat keji itu, sebaliknya 

malah tubuh Inggil terbanting di atas tanah. Sementa-

ra itu Tapak Dewa tetap tegak bagaikan arca.

Sungguhpun Wakil Ketua Perguruan Kala Hi-

tam, bagai remuk dadanya bahkan sempat muntah da-

rah kental akibat pukulannya membalik. Akan tetapi

begitu melihat lawannya tiada bergeming sedikitpun 

juga, maka dengan cepat dia bangkit kembali. Kedua 

tangannya langsung merangkap ke depan dada. Kini 

dia sudah bersiap-siap kembali melepas pukulan maut 

tersebut. Tubuh Inggil semakin tergetar hebat, wajah-

nya yang kuning kunyit itu kini berubah memerah, se-

pasang matanya tak kalah merahnya. Saat itu Tapak


Dewa masih tetap dengan posisinya. Detik selanjutnya, 

laki-laki Muka Kunyit itu dengan diawali satu benta-

kan bagai ribuan suara tikus kembali kirimkan satu 

pukulan yang lebih ganas lagi.

"Wuuut!"

"Krontaaang...!"

Tak ubahnya bagai membentur arca dewa saja 

layaknya, pukulan yang dilakukan oleh Inggil menca-

pai sasarannya. Tapak Dewa tiada berkedip sedikitpun 

juga, sebaliknya Inggil menerima akibat yang lebih pa-

rah lagi. Ajian Mayat Area benar-benar merupakan sa-

tu perisai yang benar-benar sangat luar biasa. Sebab 

ajian itu memiliki sifat mengembalikan serangan yang 

dilakukan oleh pihak lawannya. 

Kala itu Inggil yang terlempar sepuluh tombak 

jauhnya. Pada bagian kepalanya nampak remuk kare-

na membentur batu nisan kuburan. Tubuhnya membi-

ru akibat pukulan yang dilepaskan membalik dan me-

makan dirinya sendiri. Laki-laki angkuh yang memiliki 

jambang lebat itu kelihatan mengerang lirih, dengus 

napas terdengar bagai seekor kerbau yang disembelih. 

Sementara darah kental yang bergumpal-gumpal terus 

meleleh dari kuping hidung serta mulutnya.

Ketika itu Tapak Dewa seperti biasa saja, seolah 

merasa tak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Bebe-

rapa tindak dia melangkah, kemudian secara silih ber-

ganti dipandanginya tubuh Inggil yang sudah putus 

nyawanya.

Setelah itu dia berpaling pada murid-murid 

Perguruan Kala Hitam lainnya. Setelah itu, dengan su-

ara pelan namun berwibawa dia memberi perintah.

"Kuberi kesempatan pada kalian untuk mengu-

burkan jenazah eyang guru kalian di pemakaman ini. 

Tetapi aku tetap tidak memberi izin pada saudara ka


lian yang bernama Bonta itu, apalagi manusia som-

bong yang bernama Inggil...!"

"Lalu bagaimana dengan mayat kakang-kakang 

kami itu, Ki Sanak...?" tanya Karsa mencoba membe-

ranikan diri.

"Jenazah dua orang lainnya aku tak perduli! 

Aku muak mendengar lolongan orang-orang yang ber-

lumur dosa di dalam liang kubur sana...!" tukas Tapak 

Dewa tegas-tegas.

"Baiklah, Ki Sanak, kami berterima kasih atas 

kemurahanmu...!" 

"Kerjakan...!"

Jawaban Tapak Dewa sudah terdengar men-

jauh, bahkan begitu mereka menoleh, Satria Penggali 

Kubur itu telah lenyap dari pandangan mereka.

"Hemmm. Dia datang dan pergi bagai setan ku-

buran saja layaknya...!" gumam salah seorang di anta-

ra mereka.

"Ssst! Jaga mulutmu, dia mendengar apa saja 

yang kita bicarakan. Bisa-bisa kita mampus semua!" 

menyela Karsa dengan perasaan was-was.

Sesaat kemudian keadaan di sekitarnya menja-

di sepi kembali. Hanya sesekali saja terdengar bunyi 

cangkul mereka menghunjam ke dalam tanah.

Nampaknya mereka bekerja sangat cepat sekali, 

sebentar saja pekerjaan penggalian itu sudah selesai. 

Cepat-cepat mereka membuka peti mayat eyang gu-

runya. Bau bangkai menebar ke mana-mana saat peti 

jenazah itu terbuka, keadaan jenazah sudah mem-

bengkak di sana sini, bahkan pada bagian perut mayat 

tersebut sudah membusung sebesar tempayan. Den-

gan sangat berhati-hati mereka menggotong jenazah 

eyang guru mereka untuk dimasukkan ke liang lahat. 

Pekerjaan itu pun usai setelah lebih kurang setengah


jam kemudian.

Setelah memberi penghormatan yang terakhir, 

mereka pun segera memberesi mayat Wakil Ketua per-

guruan mereka yang masih tetap tersender di bibir ba-

tu nisan. Mayat laki-laki berjambang lebat itu kemu-

dian mereka masukkan ke dalam peti bekas dipakai 

eyang guru mereka.

Semuanya nampak berlalu begitu cepat, kereta 

kuda kembali berjalan menelusuri jalan yang sempit 

lagi becek. Sementara dua peti jenazah yang berada di 

belakang kereta kuda nampak terguncang-guncang di-

hempas batu-batu jalanan.


EMPAT



Dengan langkah tertatih-tatih, gadis itu dengan 

sabar dan ketabahan luar biasa, terus memapah pe-

muda tampan yang berada di sebelahnya. Sesekali si 

gadis terpaksa mengurungkan langkahnya, manakala 

pemuda yang bergelayut di bahu kanannya itu merin-

tih-rintih sambil memegangi dadanya yang terus ber-

denyut sakit luar biasa.

Pukulan Iblis Menembus Maut, yang bersumber 

dari tenaga inti murni itu memang berakibat sangat 

luar biasa bagi pemuda yang berjuluk Pendekar Hina 

Kelana ini. Bagaimana kan tidak, Buang Sengketa yang 

masih keturunan Raja Piton Utara yang berasal dari 

Negeri Bunian itu, sesungguhnya adalah seorang pen-

dekar tangguh yang memiliki kekebalan terhadap sega-

la jenis racun berbisa sekalipun.

Tetapi pukulan Iblis Menembus Maut yang per-

nah dilancarkan oleh si guru iblis (Dalam episode Sepasang Iblis Bermata Dewa) kiranya merupakan puku-

lan raja dari segala macam pukulan beracun pula.

Hal inilah yang tak pernah disadari oleh pemu-

da dari Negeri Bunian itu. Sehingga kini dia harus me-

nerima akibat yang sangat fatal sekali. Sungguhpun 

dia masih mempunyai harapan hidup sekitar dua pu-

luh hari lagi, namun untuk hidup selanjutnya dia ha-

rus berusaha keras untuk mencari seorang tabib yang 

benar-benar tahu bagaimana caranya menyembuhkan 

pukulan beracun yang kini sudah mulai menjalar ke 

segenap pembuluh darahnya.

Masih untung dalam keadaan begitu, Wanti Sa-

rati, yaitu gadis yang selama ini merindukan kehadiran 

si pemuda dapat bertemu dengan Pendekar Hina Kela-

na. Andai tidak, tentu memperjuangkan hidup seorang 

diri akan lebih sulit lagi.

Siang malam gadis bermata sendu ini selalu 

dengan setia merawat orang yang paling dia kagumi di 

dalam hidupnya. Gadis itu tidak pernah mengeluh, 

bahkan setiap saat dia selalu mengkhawatirkan kea-

daan si pemuda yang kian hari kian memburuk. Ber-

puluh-puluh tabib telah mereka temui, namun tak seo-

rang pun dari mereka yang mampu menyembuhkan 

pukulan beracun yang diderita oleh Pendekar Hina Ke-

lana.

Tubuh pemuda itu nampak semakin pucat, pa-

nas badannya selalu berubah-ubah. Terkadang tubuh-

nya panas luar biasa, namun di lain saat menjadi din-

gin bagai sudah tak bernyawa.

Keadaan seperti itu sudah barang tentu mem-

buat cemas hati si gadis. Dia nampak bingung. Bahkan 

sering tidak memperdulikan dirinya sendiri. Sungguh-

pun begitu Wanti Sarati kiranya bukanlah seorang ga-

dis yang kenal putus asa. Dia terus berusaha mencari



tabib yang mampu menyembuhkan racun yang dideri-

ta oleh pendekar yang sangat dikaguminya itu.

Langkah selalu membawanya untuk berusaha, 

tanpa sadar kini dia telah sampai di daerah Tanah Pu-

tih. Yaitu sebuah daerah yang hampir keseluruhan ta-

nahnya terdiri dari tanah batuan kapur. Setiap siang 

hari, daerah itu panasnya bukan main. 

Pendekar dari Negeri Bunian itu kembali merin-

tih, lalu memberi isyarat pada Wanti Sarati untuk be-

ristirahat.

Setelah sampai di sebuah pohon yang sangat 

rindang, maka si gadis segera menyandarkan tubuh 

Buang Sengketa di bawah sebatang pohon besar itu. 

Pendekar Hina Kelana menarik nafasnya yang agak 

tersengal-sengal. Sejenak setelahnya dia memandang 

pada si gadis dengan tatapan iba. Dia merasa sangat 

kasihan sekali pada gadis itu, sudah berhari-hari si 

gadis kurang tidur. Semua itu telah dilakukannya den-

gan sangat ikhlas, penuh kasih sayang bahkan, ah... 

pendekar itu mengeluh dalam hati. Sejenak dia mem-

buang gundah di hatinya jauh-jauh. Dia tak ingin me-

lihat Wanti Sarati menangisinya, apabila dia menutup 

mata nantinya. Sampai akhirnya dia pun berkata pe-

lan.

"Wanti...! Kecil sekali harapanku untuk dapat 

terbebas dari racun terkutuk ini. Aku merasa tak kuat 

untuk bertahan hidup lebih lama, bernapas pun ra-

sanya sangat sulit bagiku...!" rintih Pendekar Hina Ke-

lana. Sudah barang tentu ucapan si pemuda membuat 

pedih hati Wanti Sarati.

"Paman...! Paman tak boleh berkata begitu, kita 

akan terus berusaha, pula. Waktu yang ditentukan 

masih dua puluh hari lagi. Kita masih punya waktu 

dan kesempatan...!" Pendekar Hina Kelana nampak


tersenyum pias, begitu mendengar ucapan si gadis.

"Kau tak tahu, Nduk. Betapa pukulan beracun 

yang ku derita benar-benar sangat berbahaya sekali...!"

"Aku tahu paman, tapi sebagai manusia dalam 

keadaan bagaimana pun kita harus selalu berusaha 

untuk mencapai sesuatu...!" kata Wanti Sarati lirih se-

kali.

"Aurrgghk...!"

Mendadak Buang Sengketa menjerit keras 

sambil memegangi dadanya. Begitu dia terbatuk, maka 

menggelogoklah darah kental kehitam-hitaman dari 

mulutnya. Bersamaan dengan itu, maka tubuh pemu-

da berwajah tampan itu terkulai, Wanti Sarati menjerit 

histeris begitu melihat keadaan Buang Sengketa yang 

sangat mengenaskan ini. Si gadis segera meraba de-

nyut nadi si pemuda, sungguhpun denyut darah itu 

masih ada tetapi sangat lemah sekali. Bahkan kini se-

luruh tubuh si pemuda menjadi dingin luar biasa. Wa-

laupun Wanti Sarati merupakan seorang gadis yang 

sangat tabah, namun nalurinya sebagai wanita mem-

buat dia menangis demi melihat keadaan yang terjadi 

pada Buang Sengketa.

"Paman... Paman Kelana, jangan kau tinggalkan 

Wanti, Paman.... Paman...!" isak Wanti Sarati sambil 

memeluki tubuh Pendekar Hina Kelana.

Sementara pada saat itu di luar sepengetahuan 

Wanti Sarati kiranya ada dua pasang mata yang sejak 

tadi memandangi keadaan mereka berdua. Pemilik dua 

pasang mata itu terdiri dari seorang laki-laki dan seo-

rang perempuan berusia sudah sangat lanjut sekali. 

Baik laki-laki maupun perempuan berumur itu mas-

ing-masing berkepala botak. Berpakaian kembang-

kembang, sementara dari mulutnya terdengar bunyi 

mendesis bagai suara sempritan. Di tangan kedua


orang ini nampak pula tergenggam sebuah tasbih be-

rukuran besar. Sementara di bagian pinggang mereka 

nampak sebuah senjata berbentuk bulan sabit. Dunia 

persilatan mengenalnya sebagai si Pengumpul Barang 

Kuno dari Bangkalan. Selama malang melintang dalam 

dunia persilatan mereka dikenal dengan julukan Sepa-

sang Clurit Maut dari Bangkalan. Dua botak dari 

Bangkalan ini terkenal sebagai orang yang telengas 

dan sangat berangasan sekali.

Dan kalau hari itu dia sampai di Tanah Putih 

hal itu hanyalah demi ingin mengetahui lebih jelas ten-

tang sepak terjang seorang pendekar muda dengan Pu-

saka Maut Golok Buntungnya. Lebih dari itu mereka 

juga berhasrat ingin memiliki Pusaka Golok Buntung 

dan periuk bertuah yang saat ini juga berada di bagian 

bahu kiri si pemuda.

Dalam pada itu laki-laki botak sudah menoleh 

pada perempuan botak yang berdiri di sebelahnya. La-

lu dua orang bangkotan yang sudah bau tanah itu pun 

saling berbisik sesamanya.

"Istriku... agaknya pemuda yang dalam kea-

daan kelenger itulah yang akhir-akhir ini menggem-

parkan dunia persilatan di seantero negeri...!" ujar si 

laki-laki botak yang bernama Nanang.

"Hemm, dugaanku pun begitu suamiku... tetapi 

mengapa dia sampai bisa terkena pukulan beracun se-

perti itu. Bukankah menurut cerita yang kita dengar, 

bahwa pendekar muda yang berjuluk si Hina Kelana 

dengan senjata andalan Golok Buntung dan Cambuk 

Gelap Sayuto yang maha dahsyat itu merupakan pen-

dekar yang sangat kebal dengan segala macam puku-

lan beracun...?" jawab si nenek berkepala botak.

Dari nada pembicaraan mereka yang terdengar 

mesra dan akrab, nyata sekali kalau keduanya merupakan pasangan sejoli tua yang sangat serasi.

"Istriku, ada baiknya kalau kita turun tangan 

sekarang juga! Pemuda berpakaian gembel itu lagi se-

maput...!"

"Tetapi bagaimana dengan gadis yang menyer-

tainya itu...?" tanya si nenek berkepala botak, hampir-

hampir tak terdengar.

Si kakek botak tersenyum simpul, lalu tanpa 

menoleh dia pun menjawab.

"Itu persoalan yang gampang. Kita rebut dulu 

Pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto 

yang bikin gempar itu. Jika saja perempuan manis itu 

menghalangi maksud kita. Biar ku kepruk kepa-

lanya...!"

"Hemm! Ide yang cukup jitu. Engkau memang 

suami yang selalu berpikiran cerdas. Itu makanya dulu 

aku begitu tergila-gila padamu...!" ucap nenek berke-

pala botak sambil lirik-lirik mesra.

"Lha wong aku kok... he... he... he...!" Si kakek 

botak bangga, bahkan hidungnya yang mancung ke 

dalam itu sampai kembang kempis saking bungahnya. 

Bersamaan dengan ucapannya itu, maka kakek dan 

nenek berkepala botak nampak melesat ke luar dari 

tempat persembunyiannya.

Dari gerakan mereka yang lincah dan gesit itu 

saja sudah dapat diduga bahwa kedua orang ini memi-

liki ilmu mengentengi tubuh yang benar-benar sudah 

mencapai taraf kesempurnaan.

Hanya dalam waktu sekedipan mata, Sepasang 

Clurit Maut itu sudah menjejakkan kakinya tiga tindak 

di belakang Wanti Sarati.

Nampaknya gadis itu sangat terkejut sekali de-

mi melihat kehadiran kakek nenek berkepala botak ini. 

Dan kiranya dia menyadari bahwa kehadiran dua


orang manusia yang belum dikenalnya itu membawa 

maksud-maksud tak baik.

Tetapi belum lagi keraguan dalam hatinya ter-

jawabkan. Tiba-tiba si nenek berkepala botak sudah 

menghardiknya:

"Bocah! Pacaran di tempat yang sepi memang 

sungguh asyik sekali, berpeluk-pelukan mesra seperti 

itu. Hemmm... bukan main, tetapi ada baiknya kalau 

sekalian kau telanjangi saja pemuda itu, dia pemuda 

yang gagah dan tampan. Yang pasti engkau tak baka-

lan kecewa karenanya....!"

Bukan main gusar nya Wanti Sarati demi men-

dengar ucapan si nenek botak yang mesum dan sangat 

kurang ajar itu. Dia benar-benar merasa terhina, bah-

kan sebentar kemudian parasnya yang kuning langsat 

itu pun nampak menjadi merah padam. Lalu cepat-

cepat digesernya kepala Buang Sengketa yang tak sa-

darkan diri itu dari pangkuannya. Sekejap kemudian 

dia sudah bangkit berdiri. Sepasang matanya menco-

rong tajam dan memandang pada kedua orang yang 

berdiri di hadapannya. Dari ujung rambut hingga ke 

ujung kaki. Kakek botak dan nenek botak itu sedikit 

pun tiada dia kenal.

Karena nenek kepala botak itu telah bersikap 

kurang ajar padanya, maka kini Wanti Sarati tanpa 

menaruh sikap hormat sedikit pun pada orang itu 

langsung membentak si. nenek botak. 

"Weii... kutu kupret. Manusia tuyul berotak 

ngeres, berani sekali engkau menghinaku...!" tukas 

Wanti Sarati sambil bertolak pinggang.

"Hi... hi... hi...! Bocah kencur bau ingus, aku 

tak mau basa basi. Sekarang serahkan saja pemuda 

itu pada kami. Tokh engkau tak becus mencarikan ob-

at buatnya...!" kata si nenek botak menyahuti.


"Hemm. Tanpa tujuan yang pasti, tidak nan-

tinya paman ku kuserahkan pada siapa pun. Aku tahu 

kalian pasti punya maksud-maksud tertentu pada Pa-

man Kelana!"

"Bocah tolol! Pamanmu itu sudah terserang pu-

kulan beracun yang teramat parah. Dan satu-satunya 

orang yang bisa menyembuhkan luka dalam pamanmu 

itu hanyalah kami berdua. Mengapa kau harus curi-

ga...!" bujuk si kakek botak dengan sesungging se-

nyum penuh kelicikan.

"Kakek botak, siapa mau percaya dengan segala 

bualan mu. Kalian pasti menginginkan sesuatu dari 

Paman Kelana...!"

"Ho... ho... ho...! Tajam juga penglihatanmu bo-

cah. Aku tak mengingkari apa yang kau katakan itu." 

jawab si kakek botak terang-terangan.

"Untuk tidak membuat persoalan menjadi pan-

jang, sekarang serahkanlah Pusaka Golok Buntung, 

Cambuk Gelap Sayuto serta Priuk Mustika yang ada 

pada pamanmu itu...!" Nenek botak pun ikut-ikutan 

menimpali.

Mendengar ucapan mereka, maka sadarlah 

Wanti Sarati, bahwa keselamatan pamannya, kini be-

nar-benar dalam keadaan terancam. Maka tanpa ba-

nyak kata lagi, gadis cerdik dan pemberani itu segera 

melepaskan selendang merah yang melilit di pinggang-

nya. Sementara itu demi melihat gelagat, Sepasang 

Clurit Maut itu secara hampir bersamaan segera mem-

bentak:

"Bocah, kau mau apa dengan selendang itu...?"

Saat itu Wanti Sarati sudah bersiap-siap melin-

dungi Pendekar Hina Kelana dari segala kemungkinan.

"Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati 

berkalang tanah. Paman Kelana adalah orang yang pal


ing berarti dalam hidupku, maka aku tak akan mem-

biarkan walau seekor lalat sekalipun menyentuh-

nya....!" dengus Wanti Sarati tegas-tegas.

Demi mendengar ucapan si gadis, maka berde-

railah tawa Sepasang Clurit Maut ini.

"Mati muda adalah sia-sia, Bocah. Bahkan eng-

kau tak akan dapat merasakan bagaimana nikmatnya 

sorga dunia ini. Namun karena hal ini merupakan pili-

han mu, maka andai kepalamu menggelinding di ta-

nah. Jangan kau salahkan aku...!" ancam nenek botak 

sambil mendesis keluarkan bunyi bagai terompet 

maut.


LIMA



Namun kiranya Wanti Sarati sudah tak menghi-

raukan apapun yang dikatakan oleh si nenek botak. 

Sebaliknya dengan diawali satu lecutan selendang 

yang sekaligus merupakan senjata ampuhnya. Maka 

sekejap kemudian tubuhnya sudah berkelebat lenyap.

Tak pelak lagi, kini dia mulai mempergunakan 

jurus-jurus aneh yang sangat dahsyat yang pernah di-

ciptakan oleh Padri Agung Sindang Darah (Dalam epi-

sode Air Mata di Sindang Darah).

Tubuh Wanti Sarati bergerak lincah, berulang-

kali selendang merah di tangannya melecut ke segala 

arah. Dan sudah barang tentu hal ini membuat repot 

Sepasang Clurit Maut yang sebelumnya tiada menduga 

kalau gadis itu ternyata memiliki jurus-jurus silat yang 

sangat aneh dan cukup dahsyat. Bahkan terjangan 

kaki si gadis tak kalah dahsyatnya dengan lecutan se-

lendang yang bergerak cepat, meliuk-liuk bagaikan


seekor kepala seekor ular cobra.

Mendapat tekanan-tekanan dan serangan gen-

car seperti itu, nenek botak memberi isyarat pada si 

kakek botak. Kemudian pada gebrakan berikutnya 

dengan mempergunakan tasbih yang berukuran san-

gat besar, maka keduanya pun menyerang Wanti Sa-

rati tanpa malu-malu lagi.

"Bagus kalian memang sepasang tuyul yang 

sangat serasi. Majulah sekalian kalau perlu keluarkan 

sekalian clurit yang menggelantung di pinggang kalian 

itu...!"

"He... he... he...! Tak perlu kau perintah seben-

tar nanti juga Clurit Maut akan memenggal kepalamu!"

"Ciaaat!"

Tasbih di tangan si kakek botak mencecar ba-

gian dada lawannya. Sementara pada saat yang sama, 

tasbih di tangan si nenek menyambar ke bagian kaki 

Wanti Sarati. Si gadis melentik ke udara, begitu seran-

gan gencar itu terus memburunya. Maka Wanti Sarati 

terus melecutkan selendangnya.

Pertemuan dua senjata sakti sudah tidak dapat 

dihindari lagi. Maka tak pelak lagi benturan keras 

membahana menggelegar memekakkan gendang-

gendang telinga.

"Craas! Ctar...!"

Tubuh Wanti Sarati terjengkang tiga tombak, 

sementara si kakek dan nenek botak sungguhpun ti-

dak sampai terpelanting namun tubuh mereka nampak 

tergetar hebat. Sadarlah Sepasang Clurit Maut dari 

Bangkalan ini bahwa tenaga dalam si gadis tidak begi-

tu jauh di bawah mereka berdua. Bahkan andai tadi 

tidak menghadapi Wanti Sarati secara bersamaan, be-

lum tentu mereka masih tetap tegak pada posisinya. 

Gadis yang mereka hadapi itu masih begitu muda, te


tapi tenaga dalam dan ilmu silat yang dimilikinya su-

dah sedemikian tangguh. Hal ini saja sudah membuat 

Pengumpul Barang Langka dari Bangkalan itu menjadi 

penasaran sekali.

Kemudian dengan gusar, kakek botak meng-

hardik;

"Bocah, sungguh mengagumkan. Selama ini be-

lum pernah ada orang yang mampu menahan gempu-

ran Tasbih Kudungga milik kami. Tetapi kau mampu 

menahannya. Hemmm, siapakah gurumu...?"

"Tak usah tanya-tanya! Terimalah... hiaaa...!"

Tanpa perduli lagi, Wanti Sarati kembali mela-

kukan serangan-serangan gencar.

"Haiiit! Ctar.... ctaar...!" Selendang di tangan 

Wanti Sarati melecut. Tetapi kali ini Sepasang Clurit 

Maut itu sudah tak sabar lagi untuk cepat-cepat mem-

beresi, maka.

"Sriiingg! Sriiingg...!"

Kakek dan nenek berkepala botak secara seren-

tak sudah mencabut senjata mautnya yang berbentuk 

bulan sabit itu.

Begitu keduanya bergerak menyerang, maka 

tak dapat disangkal lagi senjata-senjata yang terkenal 

sangat berbahaya itu menderu dan bahkan timbulkan 

suara laksana raung seekor macan gembong yang ke-

laparan. Silih berganti, baik Tasbih Kudungga maupun 

Clurit yang sangat berbahaya itu mencecar Wanti Sa-

rati dari segala penjuru.

Tak pelak lagi pada jurus-jurus selanjutnya ga-

dis itu nampak mulai terdesak. Tiada kesempatan ba-

ginya untuk melaksanakan serangan-serangan bala-

san. Terpaksalah dia bertahan mati-matian.

"Bocah pentil. Lebih baik kau menyerah saja, 

kalau tidak dua jurus di muka kepalamu akan kami


buat menggelinding...!" teriak si kakek botak marah 

sekali.

"Tak semudah itu...!" bentak Wanti Sarati. Kali 

ini selendang di tangannya kembali melecut. Namun 

pada saat itu clurit di tangan si kakek lebih cepat lagi 

menyambar.

"Praaas...!"

Wanti Sarati terhuyung tiga langkah, selendang 

di tangannya berantakan dilanda clurit milik si kakek! 

Sungguhpun dia nampak sangat terkejut sekali, na-

mun dia sudah tak dapat berpikir panjang. Karena pa-

da saat itu kedua lawannya sudah memburunya den-

gan sabetan-sabetan senjata mautnya.

Gadis itu menjadi kalang kabut, secepatnya dia 

berusaha membebaskan diri dari gulungan senjata la-

wan yang mengurungnya. Pada saat itu sungguhpun 

dia dapat membebaskan diri dari terjangan senjata si 

kakek. Tetapi bokongan clurit si nenek botak di bagian 

belakangnya sudah tak dapat terhindarkan lagi.

"Brebet!"

Wanti Sarati mengeluh pendek. Bagian pung-

gungnya terobek sejengkal. Darah mengucur deras dari 

luka akibat sambaran clurit. Sungguhpun tidak begitu 

parah tetapi cukup membuat si gadis kehilangan ba-

nyak tenaga. 

Kakek dan nenek botak menyeringai dalam ke-

licikan, namun tiada sepatah kata pun yang terucap 

dari mulut mereka yang sudah tiada bergigi lagi.

"Ciaaat...!"

Tubuh kedua orang itu berkelebat lenyap, sen-

jata maut terus menderu dan mengancam pada ba-

gian-bagian tubuh yang sangat rawan.

Saat itu posisi si gadis memang benar-benar 

dalam keadaan yang sangat gawat sekali.



Nampaknya apa yang diucapkan oleh si kakek 

memang benar-benar segera terbukti. Namun dalam 

detik-detik yang sangat berbahaya itu, nampak pula 

berkelebat sosok bayangan yang sangat cepat. Bayan-

gan itu nampak menyambar tubuh Pendekar Hina Ke-

lana yang sedang tidak sadarkan diri.

Wanti Sarati sangat terkejut sekali, begitu juga 

halnya dengan si kakek dan nenek botak. Masing-

masing lawan jadi terkesima, kesempatan yang hanya 

sedetik itu tidak disia-siakan oleh si bayangan yang ti-

dak dikenal. Tangan kiri nampak merogoh sesuatu dari 

balik jubahnya. Laksana kilat tangan itu bergerak.

"Bummm! Bummm!"

Bersamaan dengan terdengarnya bunyi

ledakan, asap hitam segera memenuhi tempat sekitar 

itu. Wanti Sarati masih belum menyadari apa yang se-

dang terjadi, manakala bayangan tadi menyambar tu-

buhnya dengan cepat. Gadis itu merasakan badannya 

laksana terbang ketika bayangan tersebut terus mem-

bawanya berlari menjauhi tempat itu.

Sementara itu, kakek dan nenek botak terus 

terbatuk-batuk. Tubuhnya limbung dan lemas luar bi-

asa. Sambil mengebutkan jubahnya masing-masing, 

orang itu pun berteriak.

"Asap pembius... bangsat... siapakah orang 

itu...?"

"Menghindar...!"

Apes sekali nasib mereka hari itu, belum lagi 

mereka dapat keluar dari kepulan asap tersebut, Sepa-

sang Clurit dari Bangkalan itu sudah tak sadarkan di-

ri.

* * *


Saat itu laki-laki berbaju kuning, terus menge-

rahkan ilmu lari cepatnya. Tubuhnya berkelebat bagai 

tak pernah mengenal lelah. Padahal saat itu tubuh 

Wanti Sarati dan tubuh pendekar dari Negeri Bunian, 

membebani kedua pundaknya. Sungguh kemampuan 

yang sangat langka, dan tidak sembarang orang memi-

liki kemampuan seperti itu.

Lewat sepemakan sirih, sampailah orang itu di 

sebuah pemakaman yang sangat sunyi. Orang itu 

menghentikan ilmu lari cepatnya. Dengan langkah te-

gap, dia terus memasuki tanah pekuburan itu. Sema-

kin lama orang itu semakin menuju ke tengah-tengah 

makam tersebut. Sampai akhirnya dia berhenti di ba-

wah sebatang pohon kamboja yang sangat besar dan 

berbunga lebat.

Wanti Sarati tak tahu apa yang dilakukan oleh 

laki-laki berpakaian kuning ini. Sungguhpun dia be-

lum mengenal laki-laki berbulu itu, tetapi dia dapat 

mengerti bahwa orang itu bermaksud untuk menolong 

mereka.

Sementara itu laki-laki jubah kuning nampak 

mengetuk-ngetuk pohon kamboja tiga kali. Sesaat sete-

lah ketukan tersebut, maka tanah yang berada di de-

pannya nampak merekah dan menguak lebar. Terde-

ngar bunyi bergemuruh, manakala tanah tersebut 

membuka. Laki-laki berpakaian kuning segera me-

langkah, kemudian nampaklah anak tangga yang ter-

buat dari batu di bawah tanah tersebut.

Dengan masih memanggul tubuh Wanti Sarati 

dan Buang Sengketa, laki-laki itu segera menuruni 

anak tangga. Tak lama kemudian rengkahan tanah 

kuburan yang tak ubahnya bagai sebuah pintu rahasia 

itu pun menutup kembali. Ruangan bawah tanah itu 

tak ubahnya bagai sebuah ruangan rahasia untuk


tempat tinggal. Di sana sini terdapat lampu minyak 

yang menerangi segenap ruangan tersebut.

Orang tersebut segera membaringkan tubuh 

Buang Sengketa pada sebuah dipan yang terbuat dari 

batu pualam putih. Tak lama kemudian dia pun segera 

meletakkan tubuh Wanti Sarati pada sebuah dipan 

lainnya. Terdengar rintihan gadis itu, manakala luka di 

punggungnya bersentuhan dengan dipan pualam yang 

sangat dingin.

"Diamlah di sini. Aku harus melihat luka dalam 

yang diderita oleh pamanmu itu...!" kata laki-laki ber-

baju kuning, yang tak lain Tapak Dewa adanya.

Sebelum Wanti Sarati sempat menanyakan se-

suatu.

Tapak Dewa telah meninggalkannya.

Laki-laki itu kemudian duduk di sisi Pendekar 

Hina Kelana. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi 

dia segera membuka pakaian si pemuda pada bagian 

pinggang. Tapak Dewa atau yang lebih dikenal sebagai 

Satria Penggali Kubur nampak sangat terkejut sekali 

begitu melihat bekas telapak tangan menghitam di da-

da Buang.

Tapak Dewa kerutkan keningnya, dia berusaha 

untuk mengingat-ingat sesuatu. Seingatnya di dalam 

dunia persilatan tokoh sesat yang memiliki pukulan 

beracun yang bersumber dari tenaga inti murni hanya-

lah guru iblis yang bermukim di Kayu Agung, mung-

kinkah orang ini pernah sampai di daerah itu? Batin 

Tapak Dewa. Mengingat sampai ke situ, cepat-cepat 

Tapak Dewa meraba denyut nadi Buang Sengketa. De-

nyut nadi itu memang masih ada, namun sudah terla-

lu lemah sekali.

"Uuh... pukulan beracun Iblis Menembus Maut 

sudah menyatu dengan darahnya. Seandainya bocah


ini tidak memiliki hawa murni yang sangat sempurna, 

paling tidak dia sudah menemui ajal saat ini." gumam-

nya seorang diri. 

"Aku merasa tak mungkin mampu menyem-

buhkan luka dalam yang teramat parah ini. Sungguh 

malang sekali nasibmu bocah." batin Tapak Dewa.

Saat itu Wanti Sarati yang selalu mengkhawa-

tirkan keselamatan Pendekar Hina Kelana, nampak 

tertatih-tatih datang menghampiri. Dengan harap-

harap cemas dia pun bertanya.

"Kakek... bagaimanakah keadaan paman ku...?"

Tapak Dewa menoleh, dia melihat mata si gadis 

membersitkan kecemasan. Tetapi sebagai orang tua 

yang berjiwa polos, dia tak ingin menutup-nutupi ten-

tang keadaan Buang Sengketa.

"Maafkan aku, Nduk.... Kukira aku tak mampu 

menyembuhkannya. Pukulan beracun Iblis Menembus 

Maut di dunia ini tak ada obat pemunahnya. Hanya 

kebesaran Sang Hyang Widilah yang mampu merubah 

segala sesuatunya!" ucap Tapak Dewa dengan suara 

sangat lirih sekali.

Wanti Sarati nampak terpukul batinnya, sedih 

dan putus asa berbaur menjadi satu. Tanpa dia sadari 

air matanya bergulir menuruni kedua pipinya yang ha-

lus lembut.

"Kakek, tolong, lakukanlah sesuatu! Paman ku 

harus sembuh, dia sering menderita dalam hidupnya 

kek...! Kalau kakek mengenal jenis pukulan beracun 

itu, mustahil kakek tak tahu obat pemunahnya...?"

Tapak Dewa geleng-gelengkan kepala, sebentar 

wajahnya menunduk. Namun sekejap kemudian me-

mandang pada Buang Sengketa yang terbaring tiada 

daya.

"Guru iblis sendiri tak memiliki obat pemunah


pukulan beracun miliknya...!"

Kedua bola mata Wanti Sarati terbelalak lebar-

lebar. Seolah dia tak percaya dengan apa yang baru sa-

ja didengarnya.

"Dari mana kakek tahu semua itu...?"

"Dulu pun aku sendiri sempat melihat, betapa 

orang yang pernah terkena pukulan Iblis Menembus 

Maut. Tak seorang pun ada yang dapat diselamatkan. 

Bahkan ketika murid-murid si guru iblis terkena pu-

kulan itu. Manusia sesat itu pun tak pernah berhasil 

menyembuhkan muridnya....!" kata Tapak Dewa.


ENAM



Sesaat lamanya, Wanti Sarati nampak terdiam. 

Semakin sedih saja hatinya. Namun sebagai seorang 

gadis yang masih muda usia dan belum berpengala-

man banyak dalam dunia persilatan, dia tak tahu apa 

yang akan dilakukan untuk selanjutnya.

Tak lama kemudian gadis itu beringsut mende-

kati Buang Sengketa. Lalu dipandanginya wajah pe-

muda itu lama-lama. Wajah semakin pucat bagaikan 

kain kafan, sementara tubuhnya menjadi panas luar 

biasa.

Tapak Dewa yang mengetahui keadaan itu 

nampak sangat terkejut sekali.

"Hemmm. Pemuda ini nampaknya memiliki ke-

kuatan lain di luar kemampuan manusia. Lihatlah, 

badannya memberikan reaksi yang kuat terhadap ra-

cun yang nampak hampir menguasai pembuluh otak-

nya...!" kata Tapak Dewa. Dan mereka yang berada di 

situ menjadi lebih terkejut lagi ketika mereka melihat


dari tubuh si pemuda timbul bintik-bintik kecil yang 

menyerupai sisik seekor Ular Piton. Reaksi itu terus 

terjadi. Tanpa mereka sadari di luar ruangan bawah 

tanah, mendung tebal nampak bergulung-gulung. Petir 

dan halilintar saling sambung menyambung. Tak lama 

kemudian setelahnya hujan hebat pun turun bagai ter-

curah dari langit. Suasana di luar ruangan bawah ta-

nah dalam pekuburan itu mendadak menjadi gelap gu-

lita. Bersamaan dengan turunnya hujan lebat dan ge-

legar petir yang seakan menggoncang seisi bumi. Pada 

saat itu pula seberkas sinar pelangi bergerak cepat 

menuju ke tengah-tengah pekuburan tersebut. Sinar 

pelangi tersebut terus melesat bagaikan meteor. Sema-

kin lama semakin nyata ujudnya. Kalau sinar pelangi 

itu benar-benar diperhatikan lebih jelas, maka akan 

terlihatlah bahwa sebenarnya sinar yang bergerak ce-

pat itu sesungguhnya merupakan ujud dari seekor ular 

raksasa. Di atas kepala ular raksasa nampak pula ber-

tengger sebuah mahkota yang memancarkan cahaya 

kuning keemasan. Selarik cahaya pelangi yang berujud 

seekor ular itu terus melesat. Dalam waktu hanya se-

kedipan mata sinar pelangi itu telah pula sampai di 

tengah-tengah pekuburan itu. Sekejap sinar itu pun 

berputar-putar.

Sementara itu hujan dan guntur terdengar te-

rus berkepanjangan. Manakala kemudian terdengar 

gelegar halilintar, pada saat itu pula cahaya pelangi 

tersebut menembus ruangan bawah tanah.

Kejadian yang tak pernah terduga-duga itu, be-

nar-benar membuat Wanti Sarati maupun Tapak Dewa 

menjadi terkejut luar biasa. Terlebih-lebih Tapak Dewa 

yang masih merupakan keturunan para siluman. 

Nampaknya dia kenal betul dengan sinar pelangi yang 

berujud seekor ular raksasa itu. Raja Ular Piton Utara


dari Negeri Bunian! Siapa yang tak kenal, sebab Piton 

Utara masih merupakan junjungan yang sangat di-

hormati di negeri alam gaib dan juga di negerinya para 

siluman.

Cepat-cepat, Tapak Dewa menjatuhkan diri di 

lantai ruangan, lalu Satria Penggali Kubur itu mengha-

turkan sembah beberapa kali.

"Sinuhun yang mulia! Terimalah hormat hamba 

yang papa ini...!" ujar Tapak Dewa dengan suara geme-

taran.

"Hmm. Sembahmu kuterima wahai keturunan 

para siluman. Bangkitlah...!" kata Raja Ular Piton Uta-

ra yang saat itu telah berdiri tegak dalam ujudnya se-

bagai seekor Ular Piton yang tak terukur besarnya.

"Sinuhun yang mulia! Gerangan apakah yang 

membuat Sinuhun berkenan datang di ruangan bawah 

tanah tempat tinggal hamba ini...!" tanya Tapak Dewa 

dengan masih membungkuk hormat.

Raja Ular Piton Utara keluarkan bunyi mende-

sis yang sangat memekakkan gendang-gendang telin-

ga. Lalu terdengar pula suaranya yang serak dan berat.

"Tapak Dewa...! Bocah laki-laki yang kau tolong 

itu adalah titisan ku. Aku mau kau merawatnya den-

gan baik...!" kata Raja Ular Piton Utara begitu berwi-

bawa. Tapak Dewa sungguhpun sangat terkejut luar 

biasa, namun kembali membungkuk hormat.

"Sinuhun yang mulia. Hamba tidak memiliki 

kemampuan apa-apa, luka gusti pangeran teramat pa-

rah. Berilah hamba petunjuk apa yang harus hamba 

lakukan untuk menyelamatkan jiwa pangeran...!" kata 

Tapak Dewa dengan nada serendah-rendahnya.

"Ssssss...!" Raja Piton Utara keluarkan bunyi 

mendesis, dari dalam mulutnya keluar lidah api. Na-

mun tak lama kemudian api yang keluar dari mulut raja dari negeri alam gaib yang bernama Bunian itu pun 

padam. Dari dalam mulutnya, secara mengejutkan ke-

luar pula sebuah puntungan golok pusaka. Puntungan 

golok itu mengeluarkan sinar merah yang sangat te-

rang benderang.

Baik Wanti Sarati maupun Tapak Dewa, kedu-

anya memandang tiada berkedip.

"Tapak Dewa, kau ambillah puntungan golok 

yang berada di dalam mulutku ini. Kemudian satukan-

lah dengan golok buntung yang terletak di bagian 

pinggang putra ku. Setelah golok itu menyatu maka le-

katkanlah di bagian dadanya. Lakukanlah sekarang 

juga...!"

Tanpa membantah, dan dengan sikap hormat, 

Tapak Dewa segera melakukan apa yang diperintahkan 

oleh Raja Piton Utara. Setelah mengambil puntungan 

golok yang berada di bibir mulut Raja Piton Utara. Ma-

ka dengan sangat hati-hati dia menghampiri Pendekar 

Hina Kelana, yang kemudian diketahuinya sebagai pu-

tra raja dari negeri alam gaib. Tapak Dewa menyembah 

tiga kali sebelum mencabut pusaka golok puntung 

yang terselip di bagian pinggang Buang Sengketa.

Tak lama kemudian setelah puntungan golok 

tersebut saling didekatkan. Maka terdengar pula bunyi 

menggeledek bagai memecah langit-langit ruangan ba-

wah tanah. Hawa dingin segera menyebar memenuhi 

ruangan itu, sementara Tapak Dewa yang memegang 

golok yang sudah saling menyatu itu merasakan panas 

yang luar biasa. Golok yang sudah saling menyatu ini 

nampak sangat indah sekali. Pada badan golok terda-

pat ukiran seekor Ular Piton bermahkota. Sekejap Sa-

tria Penggali Kubur memandang takjub pada pusaka 

tersebut. Namun belum lagi hilang rasa kekaguman-

nya, mendadak terdengar perintah dari Raja Piton Uta


ra.

"Satria Penggali Kubur! Cepat-cepat engkau 

tempelkan golok itu di dada putra ku...!"

"Perintah hamba laksanakan, Yang mulia...!"

Usai dengan ucapannya, Tapak Dewa segera 

menempelkan golok itu tepat di dada Pendekar Hina 

Kelana. Begitu senjata pusaka itu menempel di dada si 

pemuda, nampak jelas tubuhnya tergetar hebat. Sinar 

merah yang terpancar dari pusaka itu meredup. Racun 

maut yang mengeram di tubuh Buang Sengketa nam-

pak tersedot mengikuti kekuatan dahsyat golok pusaka 

yang menghisapnya. Golok itu sendiri lama kelamaan 

berubah warnanya menjadi merah kehitam-hitaman. 

Setelah racun yang mengeram di tubuh si pemuda be-

nar-benar telah tersedot habis. Maka bagian ujung go-

lok yang menempel dengan sendirinya itu segera terle-

pas dari tubuh si pemuda.

Tetapi betapa terkejutnya hati Tapak Dewa 

maupun Wanti Sarati, karena tak lama kemudian go-

lok buntung yang sudah saling menyatu sesamanya 

ini. Secara tak terduga nampak memisah kembali.

"Criing!"

Satria Penggali Kubur terpana, pada saat itu 

Raja Piton Utara sudah berkata;

"Engkau tak perlu heran, titisan para siluman! 

Golok Buntung memang masih belum waktunya untuk 

menyatu. Ketahuilah, selama di atas dunia ini masih 

dipenuhi dengan berbagai kejahatan. Maka selama itu 

pula, golok buntung tidak akan pernah menyatu den-

gan puntungan yang berada bersamaku...!"

"Lalu bagaimanakah dengan luka dalam yang 

diderita oleh gusti pangeran?" tanya Tapak Dewa.

"Tak perlu engkau risaukan, racun ganas yang 

mengendap di dalam tubuhnya sudah hilang sama se


kali. Cuma perlu waktu satu purnama untuk menyem-

buhkannya. Dan kuminta selama itu engkau benar-be-

nar harus mengawasinya...!"

"Kepercayaan yang mulia Sinuhun, bagi hamba 

merupakan sebuah kehormatan yang benar-benar tia-

da disangka-sangka...!"

Tiada kata-kata yang terucap dari mulut Raja 

Piton Utara, hanya terdengar bunyi mendesis disertai 

jilatan lidah api. Dalam waktu yang bersamaan pula 

dari sepasang mata Raja Piton Utara keluar seberkas 

cahaya berwarna merah menyala.

Cahaya tersebut bergulung-gulung, tak lama 

kemudian nampak menyerap ke segenap pori-pori 

Buang Sengketa. Tanpa diketahui oleh siapa pun, ki-

ranya saat itu Piton Utara sedang menyalurkan tenaga 

saktinya kepada putra satu-satunya yang sampai saat 

itu masih belum sadarkan diri.

Tak sampai lima menit kemudian, Raja Piton 

Utara hentikan gerakannya. Lalu dia kembali meman-

dang pada Tapak Dewa dan Wanti Sarati secara ber-

gantian.

"Tapak Dewa! Kau kembalikanlah Pusaka Golok 

Buntung pada anakku. Sedang-kan bagian yang lain 

kau kembalikan pula padaku...!" perintah Raja Piton 

Utara.

"Baik, Sinuhun...!" kata Tapak Dewa. Sementa-

ra itu raja ular dari negeri alam gaib itu kini meman-

dang pada Wanti Sarati. Kemudian tanpa disangka-

sangka dia pun menyela:

"Engkau bocah baik, Bocah bagus. Aku tahu isi 

hatimu terhadap putra ku! Tapi janganlah kau berha-

rap terlalu banyak padanya. Dia orang yang sangat di-

butuhkan dalam membasmi bibit penyakit dari per-

mukaan bumi ini. Dan engkau sendiri aku berharap


agar mau menjadi murid Tapak Dewa. Bukankah eng-

kau mau melakukannya Tapak Dewa...?!" tanya Raja 

Piton Utara sambil menerima kembali sambungan go-

lok yang diangsurkan oleh Satria Penggali Kubur.

"Dengan sangat senang hati, Yang mulia...!" ja-

wab Tapak Dewa lalu bersujud memberi hormat pada 

Raja Piton Utara. Tak ketinggalan Wanti Sarati pun 

melakukan hal yang sama.

Sementara itu di luar ruangan dalam tanah, 

hujan lebat masih turun tiada henti-hentinya. Sesekali 

terdengar pula gelegar bunyi petir. Saat itu sinar pe-

langi yang menjadi ujud Raja Piton Utara berputar-

putar mengitari ruangan itu. Gelegar halilintar kembali 

terdengar. Sinar pelangi yang berujud seekor ular rak-

sasa itu semakin terang benderang.

"Keturunan para siluman...! Ku sudahi perte-

muan ini sampai di sini. Aku akan kembali ke perta-

paanku...!"

Bersamaan dengan ucapannya itu, sinar pelan-

gi yang merupakan ujud dari Piton Utara lenyap dari 

pandangan mereka. Angin ribut kembali menggila me-

nyertai kepergian Raja Piton Utara.

Keanehan pun kembali terjadi, hujan lebat yang 

turun sejak tadi nampak reda kembali. Tiada terdengar 

suara petir, tiada kilat. Langit terang resik tiada bera-

wan.

Sementara itu di dalam ruangan bawah tanah, 

Wanti Sarati dan Tapak Dewa nampak mendekati 

Buang Sengketa. Bintik-bintik kecil yang tadinya me-

nyerupai sisik seekor ular sekarang sudah tiada terli-

hat lagi. Namun sejauh itu Pendekar Hina Kelana be-

lum juga sadarkan diri.

"Kakek Tapak Dewa! Benarkah yang datang tadi 

benar-benar merupakan ayah kandung Paman Kela


na?"

"Benar...! Dan aku pun baru tahu, kalau pe-

muda ini sesungguhnya merupakan pangeran dari ne-

geri kami!" Tapak Dewa menyahuti.

"Jadi kakek pun benar keturunan seorang si-

luman?" tanya Wanti Sarati, terheran-heran.

"Ya... sebab ibuku juga berasal dari alam 

gaib...!"

"Benarkah...?"

"Begitulah menurut keterangan ayahku, sebe-

lum meninggal dulu. Dan secara tidak langsung, pe-

muda ini sesungguhnya merupakan pangeran yang di 

Negeri Bunian sangat dihormati oleh rakyatnya...!"

"Maksudmu negeri alam gaib...?"

"Ya... negeri itu memang benar-benar ada. Dia 

terletak di sebuah pesisir Pulau Andalas. Namun nege-

ri itu tak mungkin pernah dilihat oleh kasat mata...!" 

jelas Tapak Dewa lebih lanjut.

Mendengar penjelasan Satria Penggali Kubur, 

Wanti Sarati tercenung beberapa saat lamanya. Ba-

ginya terlalu sulit untuk mengerti akan arti dari semua 

apa yang dikatakan oleh Tapak Dewa. Walaupun ha-

tinya masih diliputi dengan berbagai tanda tanya, na-

mun dia merasa bersyukur bahwa Pendekar Hina Ke-

lana, pada akhirnya masih dapat diselamatkan ji-

wanya. Lalu sepintas dia memandang pada pemuda 

yang sangat dikasihinya itu. Kemudian dirabanya nadi 

di bagian pergelangan tangan. Denyut darah itu masih 

sangat lemah, namun sudah teratur. Hanya kesadaran 

yang masih belum ada.

"Kau tak perlu cemas, Nduk...! Tidak sampai 

satu purnama di depan, dia sudah pulih kembali. Oh, 

ya bagaimana dengan lukamu...?"

"Lukaku tidak seberapa, bukankah kakek tadi


juga sudah memeriksanya?"

"Hemm! Betul... tetapi ada baiknya kalian tetap 

tinggal di ruangan ini untuk beberapa waktu la-

manya...!"

"Kakek hendak ke mana?" tanya Wanti Sarati, 

begitu melihat Tapak Dewa sudah menaiki anak tangga 

menuju pintu keluar.

"Aku akan mencari bekal makanan untuk ka-

lian!" jawab Tapak Dewa, terus pergi.


TUJUH



Perguruan Jagad Kelanggengan adalah meru-

pakan sebuah perguruan yang sangat besar dan memi-

liki pengaruh yang sangat besar pula di kalangan rim-

ba persilatan. Perguruan itu terletak di puncak bukit 

yang bernama Puncak Perdamaian. Perguruan Jagad 

Kelanggengan yang sangat besar itu dipimpin oleh seo-

rang nenek tua renta, berusia berkisar tujuh puluh li-

ma tahun. Asmarini Sudra, demikianlah nama ketua 

perguruan yang memiliki pamor di segenap penjuru 

persilatan tersebut.

Sungguhpun dia seorang wanita, namun kesak-

tian dan ilmu silat yang dimilikinya tiada tanding. 

Bahkan dengan sepasang pedang kembarnya, Juluk 

Duka dia masih mampu mempersatukan beberapa 

perguruan kecil yang tersebar di berbagai daerah. Di 

antara perguruan silat yang dipersatukannya itu anta-

ra lain adalah Perguruan Kala Hitam, yang menempati 

daerah bernama Puncak Berkabut.

Itu sebabnya, kejadian apa pun yang berlang-

sung di perguruan-perguruan kecil yang dipersatu


kannya. Biasanya secepatnya, pula dapat dia ketahui. 

Sebagaimana berita duka tentang meninggalnya Eyang 

Guru Buris Genta, juga sudah dia ketahui. Bahkan dia 

pulalah yang memberi saran agar Eyang Guru Buris 

Genta dikuburkan di peristirahatan orang-orang ter-

hormat milik Tapak Dewa.

Tetapi betapa terperanjatnya Asmarini Sudra 

begitu mendapat laporan bahwa salah seorang murid 

Kala Hitam yang bernama Bonta tidak diijinkan diku-

bur di tempat itu. Bahkan si Muka Kunyit atau Inggil 

yang menjadi Wakil Perguruan Kala Hitam, tewas pula 

di tangan Tapak Dewa.

Bagi Asmarini Sudra, hal ini merupakan se-

buah penghinaan yang sangat memalukan sekali. Ta-

pak Dewa telah begitu berani membuat urusan dengan 

Perguruan Kala Hitam. Yang berarti juga telah me-

mancing kericuhan buat perguruan induk, Jagad Ke-

langgengan. Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Ter-

kecuali Tapak Dewa mau memohon maaf pada Jagad 

Kelanggengan.

Hari itu juga Ketua Perguruan Jagad Ke-

langgengan mengirim dua puluh utusan untuk mene-

mui Tapak Dewa.

Maka berangkatlah utusan dari Jagad Kelang-

gengan itu dengan disertai Karsa dari Perguruan Kala 

Hitam sebagai saksi.

Menjelang sore hari rombongan berkuda itu te-

lah sampai di sebuah tempat yang bernama Lembah 

Begundal Iblis. Karena perjalanan masih memakan 

waktu kurang lebih satu hari perjalanan berkuda. Ma-

ka dua puluh orang utusan itu berniat melewatkan 

malam di pinggiran Lembah Begundal Iblis.

Tenda-tenda darurat pun segera mereka ban-

gun, saat itu senja sudah berganti malam. Keadaan di



sekitarnya menjadi sepi mencekam. Di luar tenda be-

berapa orang murid Perguruan Jagad Kelanggengan 

dan murid dari Kala Hitam nampak sedang berjaga-

jaga. Sejauh itu, mereka masih belum menyadari kalau 

di sekitar tempat itu ada beberapa pasang mata yang 

terus mengawasi tenda mereka.

Kuda-kuda yang ditambat tak jauh dari tempat 

itu pun sudah mulai nampak resah. Agaknya naluri 

kehewanannya menyadari bahwa ada bahaya yang se-

dang mengintai keselamatan majikannya. Sesekali ter-

dengar ringkiknya yang memecah keheningan malam. 

Kegelisahan kuda-kuda itu sudah barang tentu mem-

buat curiga beberapa orang murid yang sedang berja-

ga-jaga di luar tenda. Lalu mereka pun saling pandang 

sesamanya.

"Njul... tidak biasanya kuda-kuda itu gelisah 

seperti itu. Ada apa ya...?" tanya seorang murid yang 

bernama Sukron pada kawannya.

Yang ditanya nampak menarik napas panjang-

panjang.

"Kita sekarang ini kan sedang berada di Lem-

bah Begundal Iblis. Mungkin saja, kuda-kuda itu meli-

hat setan-setan gentayangan...!" jawab Sukron seke-

nanya.

"Tapi aku merasakan seperti ada sesuatu yang 

sangat menakutkan. Lihatlah bulu kudukku pada me-

rinding semuanya....!"

"Bulu kudukku juga merinding...!" menyahuti 

salah seorang murid yang lain bernama Panut.

"Kalian benar-benar pengecut, selama ini baru 

kalian saja murid dari Jagad Kelanggengan yang se-

pengecut ini. Kalau sampai kedengaran kakang guru, 

kalian bisa-bisa dipecat sebagai murid."

"Kron... bicaramu jangan keras-keras. Lihatlah


kuda-kuda itu semakin bertambah gelisah...!" kata 

Panjul, menunjuk pada kuda-kuda itu.

Sekilas Sukron memperhatikan kuda-kuda 

yang tertambat pada beberapa batang pohon kecil. Su-

kron manggut-manggut.

"Benar juga! Jangan-jangan selain kita, masih 

ada orang lain di sekitar tempat ini!"

"Krosak!" Terdengar bunyi bergemerosak di se-

mak-semak. Serentak ketiga murid penjaga itu meno-

leh ke arah datangnya suara.

"Cepat bangunkan orang-orang yang berada di 

dalam tenda!" perintah Sukron pada Panjul dan Panut.

Namun baru saja mereka akan bergerak, bebe-

rapa buah senjata rahasia yang berbentuk bulan sabit 

telah menghunjam di dada Sukron. Salah seorang mu-

rid dari Perguruan Jagad Kelanggengan ini pun am-

bruk seketika itu juga.

Melihat keadaan kawannya, Panjul dan Panut 

cepat-cepat menyelinap ke dalam tenda. Kedua orang 

itu langsung berteriak-teriak membangunkan orang-

orang yang berada di dalamnya. 

Dari dalam tenda darurat itu, murid-murid Per-

guruan Jagad Kelanggengan berserabutan ke luar.

Begitu sampai di luar, mereka melihat seorang 

kakek dan seorang nenek berkepala botak. Sungguh-

pun murid-murid dari Perguruan Jagad Kelanggengan 

belum mengenal siapa gerangan orang yang berdiri di 

hadapan mereka itu. Namun melihat tasbih raksasa 

dan sebuah clurit yang menggelantung di pinggang 

orang tersebut. Tak dapat disangkal lagi, merekalah 

Sepasang Clurit dari Bangkalan.

Saat itu salah seorang dari Jagad Kelanggengan 

yang sering dipanggil kakang guru. Kelihatan menatap 

tajam pada kakek dan nenek botak. Mendadak laki


laki berbadan pendek namun berotot kekar itu pun 

sudah membentak.

"Orang tua, kesalahan apakah gerangan. Hing-

ga kalian telah begitu berani membunuh salah seorang 

dari rombongan kami...?"

Yang ditanya menyeringai dan menampakkan 

mulutnya yang sudah tiada bergigi lagi.

"Tikus ompong, cepat katakan apa kesalahan 

kawanku...!" teriak Panjul setengah takut-takut.

"Ha... ha... ha...! Membunuh apa susahnya, 

mengapa harus dicari-cari kesalahannya...!" menyahuti 

si kakek botak.

"Bangsat! Membunuh sewenang-wenang itu 

merupakan pekerjaan iblis. Kami sendiri merasa tidak 

pernah berurusan denganmu...!" maki kakang guru 

marah sekali.

Bibir si kakek botak kembali menyungging se-

nyum!

"Kalau kau merasa tidak pernah berurusan 

denganku, apa salahnya kalau kami mencari urusan 

dengan kalian...?"

"Sial betul kau, tikus ompong. Katakanlah apa 

yang kau inginkan dari kami...!"

"Hi... hi... hi...! Kami cuma ingin tahu apakah 

kalian melihat seorang bocah yang bernama Hina Ke-

lana atau tidak...!" kata si nenek botak ikut menyela.

"Cacing kurap! Kami tak tahu tentang orang 

yang kalian tanyakan itu." maki kakang guru semakin 

panas saja hatinya.

"Bohong! Kami melihat seseorang telah melari-

kan bocah laki-laki dan seorang perempuan yang me-

lintasi daerah ini. Mengaku sajalah...!"

"Jangan-jangan murid-murid kutu kupret in-

ilah yang telah menyembunyikan buruan kita, suami


ku...!" kata si nenek botak curiga.

Semakin mendidihlah darah kakang guru demi 

mendengar tuduhan yang sangat keji itu. Bahkan Kar-

sa yang menjadi murid Perguruan Kala Hitam telah pu-

la mencabut sebilah pedang, begitu pula dengan mu-

rid-murid dari Jagad Kelanggengan, mereka sudah se-

makin tak sabar saja.

"Kiranya kalian sepasang tikus yang lamur. Tak 

tahu membedakan mana yang salah dan mana pula 

yang benar! Kini setelah membunuh kawanku, coba-

coba berdalih pula...!" bentak Karsa sambil menimang-

nimang pedangnya.

"Karena kalian tidak mau mengaku, maka ka-

lian akan kubunuh semuanya!" teriak kakek dan ne-

nek botak tanpa menghiraukan kata-kata si Panjul.

Nampaknya murid-murid dari Perguruan Jagad 

Kelanggengan memang sudah tak punya pilihan lain 

lagi, apalagi saat itu kedua orang tua bangka sinting 

itu telah bergerak menyerang mereka dengan tasbih 

raksasanya. Lalu tanpa menunggu perintah dari ka-

kang guru, murid-murid itu pun langsung melakukan 

serangan-serangan gencar.

Denting beradunya senjata segera memecah 

keheningan malam, pekik riuh suara ketakutan dari 

monyet-monyet hutan berbaur menjadi satu. Sementa-

ra di langit sana bulan nampak bersembunyi di balik 

awan.

Pertempuran terus berlanjut, masing-masing 

pihak sama-sama memiliki ambisi untuk menjatuhkan 

lawan dengan waktu secepatnya.

Sungguhpun orang-orang dari Jagad Ke-

langgengan itu hanyalah merupakan murid. Namun 

mereka terdiri dari murid-murid pilihan yang sengaja 

diutus oleh Asmarini Sudra untuk mendengar kata


maaf dari Tapak Dewa. Bahkan seandainya Satria 

Penggali Kubur menolak apa yang dikehendaki oleh 

guru mereka. Mereka itu berkewajiban untuk menyeret 

orang itu ke Perguruan Jagad Kelanggengan. Maka tak 

salah bila beberapa jurus di muka, kakek dan nenek 

botak dari Bangkalan itu nampak mulai terdesak da-

lam menghadapi serangan-serangan gencar yang dila-

kukan oleh murid-murid Jagad Kelanggengan. Dua ju-

rus berikutnya bahkan pedang di tangan kakang guru 

berhasil menyambar bahu kiri si nenek botak.

"Brebet!"

"Uarrghh!" jerit si nenek botak sambil meme-

gangi bahu kirinya yang mengucurkan darah. Menge-

tahui pasangannya berhasil dilukai oleh pihak lawan, 

kakek botak marah sekali.

"Orang gendut kayak badut, kurang ajar kau. 

Berani sekali engkau melukai istriku yang tercinta...!"

"Ha... ha... ha... ha...! Istrimu sudah tua, peot 

dan tiada guna. Kubunuh dia dan kau boleh cari yang 

lebih muda!" tukas kakang guru, seraya kembali ki-

rimkan satu tusukan satu babatan.

Kakek botak yang sedang menghadapi keroyo-

kan sepuluh orang murid-murid pilihan, kelihatan 

sangat gusar sekali, maka dengan sekali melompat dia 

sudah menjauhi kepungan lawan-lawannya.

"Criiiing!"

Sekali dia sentakan clurit yang menggelantung 

di pinggangnya, maka senjata maut itu telah keluar 

dari sarungnya.

Lewat penerangan bulan yang samar-samar, 

senjata yang sangat berbahaya itu berkilat-kilat tanda 

tajam sekali.

Kakek botak keluarkan tawa mendesis, mulut-

nya yang sudah tiada bergigi lagi mendecap-decap ke



luarkan isyarat maut.

"He... he... he...! Dengan senjata maut ini, akan 

ku cabuti nyawa kalian semua...!" teriak kakek botak.

"Hiaaatt...!"

Sekali lagi dia menjejakkan kakinya, maka ter-

dengar dua jeritan lolong maut. Dua orang murid Ja-

gad Kelanggengan menggelinding kepalanya. Darah 

memancar dari luka pada bagian leher yang terkutung. 

Pakaian murid-murid itu basah bermandi darah. Se-

saat saja tubuh mereka terhuyung-huyung, lalu am-

bruk dengan jiwa melayang. Kakek botak tidak berhen-

ti sampai di situ saja, senjata di tangannya kembali 

berkelebat ganas.

Sementara itu si nenek botak yang akhirnya ju-

ga menyadari bahwa lawan yang dihadapinya benar-

benar tangguh. Akhir-nya sudah tak dapat lagi mena-

han gempur-an-gempuran dahsyat dari pihak lawan. 

Tak ayal dia pun mencabut clurit mautnya.

"Ngunggg!"

Senjata itu menderu, kakang guru nampak 

sangat terkejut sekali. Senjata di tangan si nenek be-

nar-benar sangat berbahaya. Maka tanpa sungkan-

sungkan lagi, dia segera pergunakan jurus Pedang 

Asmara. Saat itu juga gerakan-gerakan silat kakang 

guru segera berubah sama sekali. Terkadang senja-

tanya berputar sebat membentuk perisai, di lain saat 

senjata itu membabat pada bagian pertahanan yang 

agak rawan. Sungguhpun begitu, dia merasakan bah-

wa nenek botak dengan tasbih dan clurit di tangannya. 

Kini benar-benar telah berubah menjadi seorang lawan 

yang sangat tangguh dan sangat membahayakan. Se-

kali tasbih di tangan lawan menghantam ke bagian 

muka, pada saat yang hampir bersamaan menyusul 

pula serangan clurit yang tak kalah hebatnya.


DELAPAN


"Ihh!" Kakang guru nampak terkejut, lalu cepat-

cepat hantamkan pedangnya memapasi datangnya se-

rangan beruntun itu.

"Crak! Criiing!"

Tasbih di tangan si nenek hancur berantakan 

dilanda terjangan Pedang Jagad Kelanggengan milik 

kakang guru. Tapi begitu senjata itu membentur clurit 

di tangan si nenek. Terlihat percikan bunga api me-

mancar dari kedua senjata itu.

Pedang kakang guru rompal di beberapa ba-

gian, hal itu membuat kejut di hati wakil dari Pergu-

ruan Jagad Kelanggengan. Tetapi sungguhpun begitu, 

dia pantang mundur walau setapakpun juga, dia terus 

berusaha mendesak pihak lawannya.

Saat itu kakek botak dengan clurit di tangan-

nya terus mengganas. Lebih dari sepuluh orang murid 

dari Jagad Kelanggengan menemui ajal secara menge-

rikan. Saat itu murid Jagad Kelanggengan hanya ber-

sisa kira-kira enam orang lagi. Sepasang Clurit dari 

Bangkalan itu terus mengamuk bagai orang edan kera-

sukan iblis. Dan tentu saja tindakan si kakek yang 

sangat brutal dan beringas itu, lama kelamaan mem-

buat ciut nyali lawan-lawannya.

Mengetahui situasi yang sangat tidak mengun-

tungkan itu, kakang guru yang juga dalam keadaan 

terdesak itu nampak memberi aba-aba pada kawan-

kawannya.

"Panjul dan Panut! Cepat tinggalkan tempat ini. 

Kabarkan pada Ketua Asmarani Sudra, tentang tuyul-

tuyul gila itu...!" teriak kakang guru sambil terus ber-

tahan mati-matian.


"Tapi bagaimana dengan kau, Kakang...!"

"Jangan hiraukan aku, Guoblook...! Cepat per-

giii...!" 

Tanpa menunggu perintah, empat orang murid 

lainnya berusaha mendesak kakek botak, dengan 

maksud memberi kesempatan pada Panjul dan Panut 

untuk melarikan diri. Tapi pada saat yang sangat kritis 

itu, kakek botak sambil keluarkan tawa mengekeh. 

Langsung merogoh saku bajunya.

"Tak seekor monyet pun kubiarkan kabur...!"

"Weer!"

Senjata rahasia berbentuk bulan sabit itu pun 

melesat sedemikian cepatnya. Namun kiranya semua 

itu sudah berada dalam perhitungan kakang guru. Pa-

da saat yang sama, melesat pula serangkuman cahaya 

putih memapaki sambitan senjata rahasia si kakek.

"Breees!"

Senjata yang disambitkan oleh si kakek berpen-

talan ke berbagai arah, sementara Panjul dan Panut 

sudah menggebrak kuda tunggangan. Kuda-kuda itu 

melesat bagai anak panah, hingga dalam waktu seke-

jap saja mereka telah lenyap ditelan kegelapan malam.

Gusar sekali kakek botak demi melihat seran-

gan senjata rahasianya dapat digagalkan oleh lawan.

"Sialan, kubunuhi kalian semua...!"

Kakek botak memaki, kemudian langsung 

membabat lawan yang berada paling dekat dengan po-

sisinya. 

"Croook! Croook!"

Tanpa sempat melolong, dua orang lawan ter-

babat roboh. Clurit di tangannya kembali berkelebat. 

"Crook! Crook!"

Dua orang murid itu melolong setinggi langit. 

Kepala mereka pecah berantakan dihantam clurit di


tangan si kakek. Otak dan cairan yang berwarna putih 

kecoklat-coklatan berhamburan ke mana-mana. Kakek 

botak menyeringai puas dengan hasil perbuatannya.

Kini hanya tinggal Kakang guru berjuang mati-

matian seorang diri. Tetapi begitu kakek botak datang 

membantu si nenek. Maka keadaannya kemudian be-

nar-benar telah berubah. Kakang guru segera jatuh di 

bawah angin.

Kakek dan nenek botak menyerang kakang 

guru dari berbagai penjuru. Clurit di tangan mereka 

menderu bahkan menimbulkan sambaran angin 

menggiriskan.

"Ciaaat!"

"Hiaaat!"

Kakek dan nenek botak kirimkan satu sabetan 

secara berbareng. Keadaan ini benar-benar sangat me-

nyulitkan posisi kakang guru.

"Wuuut!"

"Craaang! Cresss!"

Satu babatan clurit si nenek dapat dia hindari, 

namun dia tak dapat mengelakkan sambaran clurit si 

kakek yang mengarah pada bagian perutnya.

Sambil menyeringai menahan sakit, kakang 

guru nampak mendekap perutnya yang terobek besar. 

Dengan langkah terhuyung-huyung dia masih berusa-

ha untuk mempertahankan diri. Darah yang merembes 

dari celah-celah tangannya sudah tidak dia perdulikan 

lagi.

"He... he... he...! Akhirnya kau mampus juga di 

tangan Sepasang Clurit Dari Bangkalan...!"

"Aku tak... ak... akan menyerah!" Kakang guru 

bermaksud menyambitkan Pedang Jagad Kelanggen-

gan di tangannya. Namun sudah tidak keburu lagi. Tak 

dapat dicegah, orang kedua dari Perguruan Besar Ja


gad Kelanggengan itu pun ambruk di atas tanah berba-

tu dengan jiwa melayang.

Dua orang tua dari Bangkalan menyeringai 

puas, lalu mereka saling berpandangan sesamanya.

"Bagaimana lukamu, Istriku...?" tanya si kakek.

"Hemmm. Hanya luka kecil, sebentar juga akan 

sembuh dengan sendirinya...!" jawab si nenek botak.

"Kita telah banyak buang-buang waktu! Orang-

orang sudah pada mampus, tapi kita masih belum da-

pat keterangan di mana bocah yang bergelar si Hina 

Kelana itu berada...!" 

"Jangan putus asa suamiku! Masih banyak 

waktu untuk menemukan barang-barang yang sangat 

berharga itu...!" Nenek botak mencoba menyabarkan.

"Kalau begitu mari kita pergi!"

Cepat sekali tubuh mereka berkelebat, tahu-

tahu kedua orang itu telah lenyap dari pinggiran Lem-

bah Begundal Iblis. Maka tinggallah mayat-mayat ber-

gelimpangan yang diam membeku dalam dinginnya 

udara malam.

* * *

Dalam ruangan bawah tanah, saat itu Wanti 

Sarati sedang sibuk menyuapi Buang Sengketa. Sejak 

dua hari yang lalu pemuda itu sudah sadarkan diri. 

Sungguhpun begitu dia masih belum dapat bergerak 

banyak, hanya Wanti Saratilah yang mengurusi Buang 

Sengketa dengan sangat telaten sekali. Sementara Ta-

pak Dewa, nampaknya sungkan dalam berhadapan 

dengan pendekar itu. Sungguh pun si pemuda sudah 

mengetahui segala-galanya dari Wanti Sarati, tetapi 

sebenarnya dia merasa tidak enak melihat sikap Tapak 

Dewa yang terlalu menghormat padanya. Apalagi mengingat Tapak Dewa pernah menyelamatkan jiwanya da-

ri ancaman Sepasang Clurit Maut dari Bangkalan.

"Apa yang paman pikirkan...?!" tanya Wanti Sa-

rati sambil menyuapi pemuda itu. Pendekar Hina Ke-

lana menarik napas panjang-panjang. Dipandanginya 

Wanti Sarati sejenak lamanya.

"Tentang Kakek Tapak Dewa. Aku kurang suka 

dengan sikapnya yang terlalu berlebihan itu!" jawab si 

pemuda polos.

"Tetapi rasanya apa yang dilakukannya itu, wa-

jar-wajar saja. Bukankah paman memang anak Raja 

Piton Utara. Layak saja kalau Kakek Tapak Dewa yang 

masih keturunan para siluman itu menaruh hormat 

pada putra rajanya!" Buang Sengketa tersenyum getir.

"Negeri Bunian bukanlah alam nyata. Negeri itu 

merupakan negaranya orang gaib. Sedangkan aku ha-

nyalah titisan, begitu pula halnya dengan Satria Peng-

gali Kubur itu. Di mataku, semua manusia sama, tiada 

yang lebih mulia, terkecuali kadar imannya pada Sang 

Hyang Widi. Untuk apa harus sungkan, sedangkan 

aku dan Kakek Tapak Dewa sama-sama berada di 

alam nyata...!" 

"Tapi, Paman...!"

"Tiada yang ditetapikan. Dulu aku pernah ber-

cerita padamu, bahwa aku sendiri sudah merasa ham-

pir bosan mencari tempat tapa ayahku. Terkadang aku 

sudah merasa bosan untuk mencarinya. Di hatiku, ka-

sih sayang itu hanya untuk orang tua yang mulia. Yai-

tu Kakek Bangkotan Koreng Seribu, tiada yang lain la-

gi. Ahk, entah bagaimana keadaan beliau saat ini, ma-

sih hidupkah, atau bahkan sudah mati!" kata Buang 

Sengketa mengeluh sedih.

Wanti Sarati menjadi iba karenanya.

"Paman jangan memikirkan yang bukan-bukan.


Kesehatan paman belum pulih benar, dan untuk se-

mentara lupakanlah segala sesuatunya...!"

"Kau bocah baik nduk. Aku tak tahu bagai-

mana harus membalas segala kebaikanmu...!" kata 

Buang Sengketa sambil membelai rambut Wanti Sarati.

"Sesungguhnya sayalah yang harus berterima 

kasih padamu paman...!" ucap Wanti Sarati pilu. Dan 

dalam hatinya berkata; "Paman, tak tahukah kau 

bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu? Tapi 

mengapa kau masih tetap memperlakukan aku seperti 

anak kecil!" batin si gadis.

"Eh, mengapa kau menangis! Apakah kata-kata 

paman ini terlalu kasar? Ah, maafkanlah...!"

Menyadari keadaannya, Wanti Sarati cepat-

cepat seka air matanya. Lalu dengan senyum yang 

sangat dipaksakan dia berucap lirih sekali.

"Apakah paman tidak merasakan seperti apa 

yang sedang aku rasakan...!" tanya si gadis malu-malu.

Sesungging senyum menghias di bibir pemuda 

yang sangat tampan itu. Dia sudah mulai dapat mera-

ba ke mana arah pembicaraan gadis yang masih baru 

menginjak ke masa remaja ini. Dulu pun dia pernah 

mengalami apa yang sedang terjadi pada diri Wanti Sa-

rati. Kepada Sri Pamuja dia pernah jatuh cinta, tetapi 

sejak gadis yang sangat dicintainya itu tewas di tangan 

si Jubah Hitam (Dalam episode Neraka Gunung Dieng). 

Rasa-rasanya rasa cinta itu telah pergi bersama Sri 

Pamuja yang sangat dia cinta.

Pada Wanti Sarati dia juga ada menaruh cinta, 

tetapi rasa cinta itu tak lebih dari perasaan cinta seo-

rang kakak terhadap adik kandungnya. Atau seorang 

paman dengan kemenakannya. Dia tak ingin menge-

cewakan gadis yang sangat baik itu, dan dia berniat 

untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya paling


tepat.

"Wanti... seandainya paman mengatakan sesua-

tu yang baik untukmu, maukah kau menurutinya...?" 

Si gadis menganggukkan kepala.

"Menurut ayahku, bukankah Kakek Tapak De-

wa sudah berkenan mengangkatmu sebagai murid-

nya?"

"Yaa...!"

"Cintakah kau pada pamanmu ini..."

Dengan wajah memerah, Wanti Sarati kembali 

menganggukkan kepalanya.

"Kalau kau sayang pada pamanmu ini! Paman 

berharap agar kau mau belajar sebaik mungkin pada 

Satria Penggali Kubur...!"

"Kalau itu semua sudah merupakan kehendak 

paman, maka aku tak dapat menolaknya..." jawab si 

gadis dalam keresahan.

"Apakah kau merasa terpaksa dan dipaksa?"

"Tidak paman... bahkan saya merasa sangat be-

runtung sekali mendapat seorang guru yang sangat 

sakti...!" Sebelum Buang Sengketa sempat berkata le-

bih lanjut, tiba-tiba pintu ruangan yang menghubung-

kan dunia luar dengan ruangan bawah tanah nampak 

terbuka. Begitu mereka menoleh, kiranya Tapak Dewa 

telah kembali dengan membawa berbagai perbekalan 

yang berupa buah-buahan hutan. Kakek berusia enam 

puluhan ini membungkuk dalam-dalam pada Buang 

Sengketa, seraya lalu berkata;

"Gusti pangeran, hanya inilah sekedar maka-

nan yang ku peroleh dari dalam hutan sana. Maafkan-

lah hamba...!" ucap Satria Penggali Kubur sambil mele-

takkan buah-buahan tersebut di sisi pembaringan 

Buang Sengketa. Diperlakukan seperti itu, Buang 

Sengketa merasa sangat jengah sekali. Lalu dengan



suara berat dia pun menegur.

"Kakek Tapak Dewa! Masihkah engkau meman-

dangku sebagai anak raja? Kalau kakek selalu menye-

butku dengan sebutan pangeran. Lebih baik lempar-

kan saja tubuhku ke dalam jurang yang paling dalam!"

"Tap... tapi, Pangeran...!"

"Sekali lagi kakek memanggilku dengan sebu-

tan pangeran. Lebih baik kau bunuh saja dengan pu-

kulan maut mu...!" kata si pemuda.


SEMBILAN



Mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana yang 

sangat berwibawa, namun penuh teguran itu. Tapak 

Dewa menjadi maklum!

"Namaku Buang Sengketa. Kakek cukup me-

manggilku Buang atau Kelana saja. Kakek Tapak De-

wa, aku ini cuma seorang gembel, aku merasa risih 

dengan panggilan seperti itu...!",

"Ba... baiklah Kelana! Maafkan atas ketololanku 

tadi...!"

"Sudahlah, tak ada yang harus dimaafkan. Oh 

ya. Apakah kakek sudah berjumpa dengan orang yang 

gila barang-barang langka itu...?" tanya si pemuda ma-

sih dengan keadaan terbaring.

"Keluar masuk hutan aku tiada jumpa! Tetapi 

pendengaranku merasakan seperti ada beberapa orang 

menuju ke tempat ini!"

"Hemmm, luka dalamku belum sembuh betul, 

tapi kukira kakek mampu mengatasi orang-orang itu!"

"Akan saya coba. Tetap sajalah kalian berada di 

dalam ruangan bawah tanah ini. Aku akan melihat ke



luar...!"

Selesai dengan ucapannya, Tapak Dewa segera 

menaiki anak tangga menuju pintu keluar. Sekejap 

pintu rahasia itu membuka. Setelah Satria Penggali 

Kubur berada di ruangan bawah tanah. Pintu itu pun 

menutup kembali. Tubuh Tapak Dewa segera melesat 

menjauhi pintu rahasia. Tidak begitu jauh dari kubu-

ran peristirahatan terakhir nampak seorang kakek dan 

nenek botak yang sangat dikenal oleh Tapak Dewa. 

Dua orang pemburu barang langka itu nampak mengi-

tarkan pandangannya ke segenap penjuru kuburan 

yang sangat sepi dan berkesan angker tersebut.

"Menurut keterangan tukang jagal babi hutan, 

di sinilah tempat kediaman Satria Penggali Kubur 

itu...!" ujar kakek berkepala botak.

"Tadi sudah ku acak-acak ke seluruh penjuru 

kuburan, tapi tak ku dapati laki-laki yang telah mela-

rikan buruan kita...!"

"Mungkin kau kurang teliti istriku...!"

Si nenek botak pelototkan matanya, nampak-

nya dia kurang senang dengan ucapan laki-laki di se-

belahnya.

"Kurang teliti dengkulmu amoh. Tadi sampai 

kukorek-korek batu nisan, bahkan sampai ke lubang 

semut pun sudah ku obrak abrik. Setan kuburan itu 

tidak nampak...!"

"Kalau begitu kita babat saja pohon kamboja 

itu, siapa tahu dia ada di atas pucuknya...!"

"Mari...!"

Dengan ucapannya itu, Sepasang Clurit Maut 

dari Bangkalan segera cabut cluritnya. Lalu bagai 

orang yang sedang kesurupan, mereka langsung me-

nebangi pohon kamboja yang sebesar kaki kerbau. Ka-

rena babatan-babatan clurit itu disertai dengan tenaga



dalam. Maka dalam waktu sekejap saja, pohon-pohon 

kamboja itu sudah pada berobohan.

Ketika pekerjaan itu hampir selesai, mendadak 

menderu satu gelombang angin kencang melanda tu-

buh mereka.

"Weeees! Weeer!"

"Setan alas kutu kampret! Iblis dari mana yang 

coba-coba berani lancang pada Sepasang Clurit 

Maut?!" maki kakek dan nenek berkepala botak sambil 

kibaskan cluritnya. Gelombang angin kencang itu 

buyar seketika, manakala bertemu dengan libasan clu-

rit di tangan mereka.

Belum lagi hilang keterkejutan di hati Sepasang 

Clurit Maut, pada saat itu nampak melesat sosok tu-

buh berpakaian kuning.

"Jiiing!" 

Tak salah lagi, dialah si Tapak Dewa alias Sa-

tria Penggali Kubur. Sepasang Clurit Maut menatap ta-

jam pada Tapak Dewa.

"Engkaukah kunyuknya yang berjuluk Satria 

Penggali Kubur?" tanya nenek botak merasa yakin.

"Sialan, seharusnya akulah yang bertanya. 

Mengapa pohon-pohon yang tiada berdosa itu kalian 

tebangi...!" maki Tapak Dewa dengan rahang bergeme-

letukkan menahan marah.

"Pohon tiada guna, tumbuh di atas kuburan 

orang gila hormat. Apa salahnya kalau kami tebang!"

"Bagus. Kalian benar-benar cari mampus telah 

merusak pekarangan orang lain!" Menggeram Tapak 

Dewa. 

"Suamiku, dialah Satria Penggali Kubur yang 

telah melarikan bocah itu!" Begitu mendengar ucapan 

si nenek botak, si kakek nampak kerutkan alisnya.

"Kau ke manakan bocah-bocah itu setan kuburan...?"

Tapak Dewa mendengus.

"Orang-orang sinting, milik orang lain kalian 

buru. Kalau orang-orang itu berada bersamaku, kalian 

bisa apa...?" 

"Cepat serahkan!"

"Tidak bisa, mereka masih, keluargaku...!"

"Jadi kau benar-benar tak mau memenuhi 

keinginan kami...?" bentak si kakek botak gusar.

"Sampai mampus pun tak akan kuserahkan...!"

"Mampuslah...!"

"Sriiiing! Sringgg!"

Clurit yang sangat tajam itu telah berada di da-

lam genggaman si kakek dan nenek botak. Sekejap 

kemudian mereka sudah menyerang Tapak Dewa den-

gan jurus-jurus clurit yang sangat ampuh. Menghadapi 

serangan-serangan yang sangat ganas itu, Tapak Dewa 

tak ingin bertarung dalam jarak yang sangat dekat.

Setiap saat dia senantiasa menjaga jarak, satu 

kesempatan dia pun kirimkan pukulan-pukulan jarak 

jauh yang diberi nama Berbangkit Dari Alam Kubur. 

Pukulan itu terkenal sangat ganas dan berba-

haya, apa pun yang sempat dilanda pukulan tersebut 

akan terbakar dan meleleh.

Walaupun begitu, Sepasang Clurit Maut adalah 

tokoh sesat yang telah banyak makan asam garam du-

nia persilatan. Mereka mengetahui betapa sangat ber-

bahaya pukulan yang dilancarkan oleh Tapak Dewa. 

Jalan satu-satunya adalah dengan tidak memberi ke-

sempatan pada lawan. Mendesak dalam jarak sedekat 

mungkin.

"Haiiii...!"

Clurit di tangan si kakek dan nenek botak 

menderu! Tapak Dewa yang sudah kirimkan satu sodokan mengarah pada bagian dada si nenek, cepat-

cepat tarik pulang tangannya. Sebagai gantinya dia ki-

rimkan satu sapuan mengarah pada bagian kaki. 

"Gasruuuk!"

Sabetan clurit si nenek bukan saja melenceng 

dari sasarannya, tetapi tubuhnya juga malah terbant-

ing mencium tanah.

"Wut!"

Sambaran clurit kakek botak menderu di ba-

gian punggung Tapak Dewa, lebih cepat lagi Satria 

Penggali Kubur, buang tubuhnya ke samping kiri. La-

ki-laki berbulu itu terus berguling-guling menghindari 

terjangan clurit si kakek yang terus memburunya. 

"Ciaaat!"

Tubuh Tapak Dewa melentik bagai seekor 

udang, kemudian berkelebat lenyap. Sehingga mem-

buat bingung pihak lawannya.

Saat itu si nenek botak telah bangkit kembali, 

dengan cepat pula dia kirimkan satu pukulan yang di-

beri nama Setan Bangkalan Menerkam Bidadari. Sela-

rik gelombang cahaya berwarna putih keperak-perakan 

menderu dahsyat mengarah pada bayang-bayang ber-

kelebatnya tubuh Tapak Dewa. Hal inilah yang dinanti-

nanti oleh Tapak Dewa.

Laksana kilat laki-laki itu kirimkan pula puku-

lan Berbangkit Dari Alam Kubur tingkat kedua.

"Wuuuus! Blaaaam!"

Dengan clurit di tangannya, tubuh nenek botak 

terbanting sejauh tiga tombak. Sementara tubuh Ta-

pak Dewa cuma terhuyung-huyung saja.

Dari pertemuan dua tenaga sakti tadi, nyatalah 

bahwa sesungguhnya tenaga dalam Tapak Dewa tiga 

tingkat di atas lawannya. Saat itu nenek botak setelah

seka darah kental yang mengalir dari celah-celah bibirnya, segera bangkit kembali. Sementara Tapak De-

wa sendiri sedang sibuk menghadapi serangan yang di-

lakukan oleh kakek botak.

Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, se-

jauh itu Sepasang Clurit Maut masih belum juga 

mampu mengatasi lawannya. Bahkan pasangannya 

sendiri nyaris menjadi korban kelihaian lawannya.

"Caaat!" Tapak Dewa memekik keras, sekali ini 

dia kirimkan satu pukulan Berbangkit Dari Kubur 

tingkat pamungkas. Satu gelombang pukulan yang 

berhawa sangat panas menderu bersamaan mengepul-

nya uap putih dari kedua tangannya yang terangkap 

menjadi satu.

Si kakek botak sangat terkejut sekali, dari 

sambaran angin itu saja dia merasakan tubuhnya pa-

nas laksana terbakar. Hal itu sudah cukup bagi si ka-

kek botak untuk memutar cluritnya membentuk peri-

sai diri.

"Brees!"

"Arrrggghk...!"

Pukulan Berbangkit Dari Kubur tanpa ampun 

melanda pertahanan si kakek botak, clurit di tangan-

nya meleleh bagaikan air. Tak sampai di situ saja, pu-

kulan tersebut terus melanda tubuh si kakek. Salah 

seorang dari Sepasang Clurit maut itu benar-benar 

mengalami nasib yang sangat mengenaskan.

Tubuhnya terbanting roboh dalam keadaan 

hangus dan sulit untuk dikenali. Bau daging terbakar 

dengan segera menyebar menusuk hidung.

Melihat nasib yang dialami oleh suaminya, si 

nenek botak meraung keras. Serta merta dia menu-

bruk suaminya yang sudah tiada bernyawa lagi, dia te-

rus menangis dan menangis, tetapi manakala dia te-

ringat akan sesuatu. Maka dengan penuh kebencian


dipandanginya Tapak Dewa yang masih tetap tegak di 

tempatnya.

"Kau... telah membunuh suamiku...!" tukasnya 

dengan tubuh gemetaran menahan amarah.

"Dia sudah selayaknya mati, begitu pun kau... 

dosa kalian sudah melebihi takaran. Perlu kau ingat, 

selama hidup belum pernah kulihat kalian berbuat ke-

baikan pada sesama manusia. Nafsu serakah dan ang-

kara murka itulah yang selalu memenuhi hati ka-

lian....!"

"Setan kuburan... kau harus membayar nyawa 

suamiku dengan nyawamu yang tiada berharga...!" 

maki nenek botak kalap. Tapak Dewa tersenyum ra-

wan

"Di dunia ini, tak seorang pun berkuasa atas 

orang lain. Sungguhpun manusia itu hanyalah seorang 

budak sekalipun...!"

"Setan cacingan. Aku tak butuh khotbah mu, 

hiaaa...!"

Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh si ne-

nek botak, maka senjata di tangannya pun menderu 

laksana terbang. Tetapi nampaknya kali ini Tapak De-

wa tiada mempunyai maksud untuk mengelak. Dia se-

gera merapal Ajian Arca Mayat.

Baru saja dia selesai merapal ajian tersebut, 

clurit di tangan si nenek botak telah menghajarnya.

"Craaak! Craak!"

Tubuh Tapak Dewa diam tiada bergeming. Clu-

rit di tangan si nenek rompal di beberapa bagian. Me-

rasa penasaran dia mengulang lagi.

"Crak! Croook!"

Keadaan tidak berubah, nenek botak kembali 

ayunkan cluritnya. Namun sebelum senjata itu men-

capai sasarannya. Tangan Tapak Dewa telah bergerak


lebih cepat lagi.

"Proook!"

Kepala si nenek botak rengkah dihantam puku-

lan tangan Tapak Dewa yang sudah teraliri tenaga da-

lam penuh. Darah dan otak memuncrat dari batok ke-

pala nenek tersebut. Tubuh si nenek terhuyung-

huyung. Kedua matanya melotot seolah memandang 

tak percaya pada apa yang dialaminya. Tak lama ke-

mudian tubuh itu pun limbung, lalu berkelojotan me-

regang ajal.

Tanpa menghiraukan keadaan, Tapak Dewa se-

gera melangkah menuju ruangan bawah tanah.


SEPULUH



Pagi itu Pendekar Hina Kelana, Wanti Sarati 

dan Tapak Dewa nampak sedang membersihkan Peris-

tirahatan Terakhir. Pohon kamboja yang roboh dan 

tumpang tindih tiada berketentuan segera mereka 

singkirkan dari tanah pekuburan itu. Tiada sepatah 

kata pun yang terucap dari bibir mereka. Masing-

masing tenggelam dalam kesibukannya.

Matahari mulai bersinar terik manakala mereka 

hampir selesai dengan pekerjaannya. Tetapi saat itu ti-

ba-tiba saja Tapak Dewa nampak mendongakkan ke-

palanya. Lalu sepasang matanya melirik pada satu 

arah. Dia geleng-gelengkan kepalanya sendiri, manaka-

la pendengarannya yang sangat tajam itu merasakan 

adanya derap langkah kuda menuju ke arah mereka.

Sudah barang tentu, segala ulah Tapak Dewa 

tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Lalu 

tanpa sungkan-sungkan lagi pemuda itu pun bertanya.


"Ada apa, Kek...?"

"Mereka menuju ke mari...!" jawab si Tapak 

Dewa tanpa menjelaskan lebih lanjut.

"Mereka siapa...?" tanya si pemuda merasa he-

ran sekali.

Tapak Dewa urungkan pekerjaannya, lalu dia 

segera duduk di sebuah batang kamboja yang roboh. 

Wanti Sarati dan Buang Sengketa mengikuti apa yang 

dilakukan oleh Tapak Dewa.

"Orang-orang itu mungkin berasal dari Pergu-

ruan Kala Hitam atau mungkin pula dari perguruan 

pusat, Jagad Kelanggengan...!"

"Apa mereka datang dengan membawa maksud 

yang kurang baik...?" tanya Wanti Sarati pula.

"Mungkin juga...!"

"Apa salah kakek pada mereka...?"

Tapak Dewa nampak terdiam, wajahnya ditun-

dukkan, lalu dia geleng-geleng kepala pelan.

"Aku pernah tidak memberi izin pada salah seo-

rang dari kerabat mereka untuk dikubur di sini...!" ja-

wab Tapak Dewa parau.

"Lho, itukan hak kakek... kuburan ini milik le-

luhur kakek...!" kata Wanti Sarati lugu.

"Ya, tapi mereka tak terima. Mereka berangga-

pan bahwa aku telah melakukan penghinaan terhadap 

perguruan mereka...!"

"Lalu apa yang kakek lakukan...?" tanya si pe-

muda.

"Salah seorang wakil mereka tewas di tangan-

ku. Tetapi itu pun karena kesombongannya sendiri!"

"Hemm. Orang-orang itu aneh sekali, di kolong 

langit ini kuburan bukan cuma di sini saja. Apakah 

karena mungkin mereka beranggapan bahwa tempat 

ini merupakan tempat yang terhormat...?" ucap Buang


Sengketa seperti pada dirinya sendiri.

"Mungkin juga begitu. Banyak manusia di du-

nia ini selalu gila pangkat dan gila hormat, padahal 

semua itu hanyalah sebuah nilai yang tersamar yang 

akhirnya hanya melahirkan sebuah kesombongan be-

laka...!"

"Menurutmu, apakah orang-orang yang diku-

bur di sini merupakan orang-orang yang terhormat...?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, Tapak Dewa 

tersenyum dikulum.

"Tidak juga...! Bagiku orang yang sering men-

gaku dirinya terhormat biasanya selalu melupakan ke-

salahannya. Padahal orang yang merasa dirinya bersa-

lah, justru itulah yang paling baik. Sebab dengan begi-

tu dia akan berpikir-pikir bila ingin melakukan kesala-

han kembali...!" ujar Tapak Dewa.

Saat itu derap langkah kuda terdengar semakin 

jelas, debu mengepul ke udara mengiringi laju kuda 

tersebut.

"Itu mereka datang.,.!" seru Wanti Sarati sambil 

menunjuk ke suatu tempat.

"Mari kita songsong mereka!"

"Untuk apa kek... bukankah mereka musuh 

kakek...!" bantah si gadis.

Kembali bibir Tapak Dewa menyunggingkan se-

nyum berwibawa.

"Sungguhpun mereka musuh, tetapi setiap ta-

mu yang datang, kita layak menghormatinya...!"

Tanpa berani membantah, maka berangkatlah 

ketiga orang itu menyambut kedatangan orang-orang 

penunggang kuda yang jumlahnya lebih dari tiga pu-

luh orang.

Orang-orang penunggang kuda itu langsung 

menghentikan laju kudanya begitu


sampai di depan Tapak Dewa. Melihat pakaian yang 

dikenakan mereka, agaknya Tapak Dewa mengenali 

siapa-siapa penunggang kuda tersebut. Dengan diikuti 

oleh Wanti Sarati dan Buang Sengketa. Tapak Dewa 

segera menjura hormat pada pendatang berkuda.

"Tak disangka hari ini Ketua Perguruan Besar 

Jagad Kelanggengan dan Ketua Perguruan Kala Hitam 

berkenan datang di tempat kediamanku. Ada keper-

luan apakah?" tanya Tapak Dewa berbasa basi.

"Manusia yang berjuluk Satria Penggali Kubur. 

Berani Sekali engkau menghina Perguruan Kala Hitam. 

Engkau benar-benar tak memandang muka pada Per-

guruan Jagad Kelanggengan...!"

"Ah, maafkan ketololanku, bisakah anda je-

laskan apa kesalahanku...?" tanya Tapak Dewa kemba-

li membungkuk hormat.

"Kura-kura dalam botol, semakin tua semakin 

tolol. Setelah kau tolak jenazah Bonta, kau bunuh pula 

Wakil Ketua Kala Hitam. Apakah hal itu bukan meru-

pakan penghinaan yang sangat sulit untuk dimaaf-

kan...?"

Tapak Dewa manggut-manggut begitu menden-

gar penjelasan Asmarani Sudra, yaitu Ketua Pergu-

ruan Jagad Kelanggengan. 

"Bonta memang aku rasa tidak layak dikubur-

kan di tempat ini. Sedangkan Inggil tewas, karena ter-

lalu memaksaku...!" jawab Tapak Dewa tegas.

"Kalau begitu, merangkaklah seperti seekor 

kucing kurap. Kemudian minta ampun pada kami ka-

lau ingin kami mengampunimu...!" perintah Ketua Per-

guruan Kala Hitam marah sekali. Sebaliknya Tapak 

Dewa pun menjadi berang. Sama sekali dia tak akan 

menuruti apa yang dikatakan oleh Subali, Ketua Per-

guruan Kala Hitam itu.


"Tunggu apa lagi, cepat lakukan...!"

"Aku tak akan pernah melakukannya...!" ban-

tah Tapak Dewa.

"Kalau begitu, kau benar-benar telah menyulut 

api kemarahan kami!" teriak Asmarani Sudra, lalu pe-

rempuan tua itu pun segera melompat dari punggung 

kudanya. Tak lama setelah itu menyusul pula yang 

lainnya.

"Kalian ini mengaku sebagai orang gagah, tetapi 

tak memiliki timbang rasa sedikitpun juga. Perguruan 

saja yang besar, tapi jalan pikiran kalian tak ada setahi 

kuku...!" kata Wanti Sarati begitu tiba-tiba.

Baik Ketua Perguruan Kala Hitam Subali mau-

pun Ketua Jagad Kelanggengan serentak menoleh pada 

si gadis.

"Eeh, Bocah pentil. Kau tak tahu urusan kami, 

jangan coba-coba campuri urusan orang tua. Menying-

kirlah...!" bentak Subali sambil memandang sinis pada 

Wanti Sarati. 

"Kurasa apa yang dikatakan oleh adikku benar 

adanya paman. Seandainya orang-orang Kala Hitam 

benar-benar mengaku sebagai manusia yang paling 

benar. Tidak nantinya orang yang bernama Inggil itu 

memaksakan kehendaknya!" tukas Pendekar Hina Ke-

lana ikut bicara.

"Kutu kupret, Gembel berperiuk. Melihat tam-

pangmu, kiranya kau juga merupakan seekor kunyuk 

yang paling suka mencampuri urusan orang lain...!" 

maki Asmarani Sudra dengan suara tergetar.

Buang Sengketa pencongkan mulut, sesungging 

senyum getir menghias di bibirnya yang agak pucat.

"Bukannya aku usil dengan segala urusan 

orang lain, tetapi melakukan fitnah terhadap orang 

yang tiada memiliki salah, dosa besar hukumnya....!"


"Gembel cacingan. Tutup mulutmu, kami 

tak butuh khotbah mu...!"

"Mengapa harus banyak bicara? Mereka sudah 

jelas-jelas menantang kita. Ser-Buuu...!" teriak Asma-

rani Sudra memberi aba-aba. 

Dalam waktu sekejap saja, meledaklah perta-

rungan besar-besaran. Tiga orang anak manusia dike-

royok oleh lebih dari empat puluh orang murid dan 

guru dari Perguruan Kala Hitam dan Jagad Kelanggen-

gan.

Suara teriakan dan denting beradunya senjata 

tajam bercampur baur menjadi satu. Tapak Dewa sege-

ra menyambar sebuah cangkul yang tak begitu jauh 

dari tempat dia berada. Sementara Buang Sengketa 

berhadapan dengan Subali. Wanti Sarati menghadapi 

murid-murid Jagad Kelanggengan dan Kala Hitam. Se-

dangkan Tapak Dewa berhadapan dengan Asmarani 

Sudra.

Tanah kuburan itu kini menjadi ajang perta-

rungan, tak dapat dihindari lagi. Korban pun mulai 

berjatuhan. Peristirahatan Terakhir mandi darah.

Saat itu dengan sebuah selendang baru yang 

terbuat dari sutera, Wanti Sarati berusaha memben-

dung terjangan-terjangan senjata-senjata murid Jagad 

Kelanggengan maupun Kala Hitam. Dua belas jurus 

aneh yang diwarisi dari Padri Agung Sindang Darah 

benar-benar sangat berperan banyak dalam mengha-

dapi serangan-serangan ganas lawannya.

Sekali waktu secara bertubi-tubi dia mele-

cutkan selendangnya, memapaki serangan-serangan 

pedang yang datangnya bertubi-tubi.

Selendang itu terus melecut, meliuk-liuk bagai 

seekor ular berbisa memburu mangsanya. Sementara 

tangan kirinya bergerak sebat melakukan pukulan bagi



semua lawan yang berani mendekat. Semakin menca-

pai tingkat lebih tinggi, maka gerakan silat si gadis te-

rasa semakin sulit untuk diduga-duga. Terkadang tu-

buh si gadis berkelebat lenyap dan di lain saat dari 

arah belakang dia melakukan tendangan-tendangan 

kilat. Terkadang masing-masing lawan saling bertu-

brukan sesamanya. Bahkan tak jarang senjata mereka 

menusuk kawannya sendiri. Tentu saja kejadian ini 

membuat suasana menjadi semakin kacau balau.

"Ciaaat... hi... hi... hi...!" Wanti Sarati keluarkan

tawa panjang-panjang. Kemudian ucapnya; "Orang-

orang sinting, mengapa malah kalian bunuhi kawan 

sendiri. Apakah kalian sudah pada gila...?" teriak Wan-

ti Sarati. Kata-katanya itu sengaja diucapkan keras-

keras dengan maksud untuk membuyarkan konsen-

trasi Subali dan Asmarani Sudra yang mudah naik da-

rah. Ternyata memang pancingan itu berpengaruh bagi 

Subali, namun tidak buat Asmarani Sudra. 

Ketua Perguruan Kala Hitam itu sangat marah 

sekali. Lalu sambil terus melakukan serangan-

serangan gencar, dia pun berteriak-teriak bagai orang 

yang sedang kesurupan.

"Murid-murid pada guoblok! Awas kalian se-

mua, ku hukum berat nanti...!"

"Subali. Biarkan muridmu yang tolol itu, nih te-

rimalah...!" geram Buang Sengketa pukulkan tangan 

kanannya ke depan. Tak ayal lagi selarik gelombang 

cahaya Ultra Violet melesat begitu cepatnya mengarah 

pada pertahanan Ketua Perguruan Kala Hitam. Tak sa-

lah lagi itulah satu di antara pukulan andalan yang 

dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Pukulan Empat 

Anasir Kehidupan yang menyebarkan hawa yang san-

gat panas itu pun menderu laksana badai. Murid-

murid Jagad Kelanggengan yang bertarung dekat den


gan Subali dan Buang Sengketa keluarkan seruan ter-

tahan. Hawa pukulan yang terasa panas membakar itu 

pun menyebar ke mana-mana.

Ketua Perguruan Kala Hitam ini pun tak kalah 

terkejutnya, sedikit pun dia tiada menyangka kalau 

pemuda itu memiliki pukulan yang dahsyat.

"Haiiit!"

Tubuh Subali melesat ke udara, pada saat itu 

juga dia sudah bersiap-siap melancarkan pukulan Raja 

Kala Merah yang sama dahsyatnya. 

"Jeb! Jeb!"

Serangkum gelombang sinar biru yang berhawa 

dingin luar biasa memapaki datangnya sinar Ultra Vio-

let yang berhawa sangat panas. Tak dapat dicegah lagi, 

dua pukulan bertenaga sakti itu pun bertemu di uda-

ra.

"Bumm! Bummm!"

Terdengar bunyi ledakan berturut-turut. Bumi 

laksana runtuh, tanah tempat mereka berpijak terasa 

bergetar hebat.

Tubuh Pendekar Hina Kelana terpelanting se-

puluh tombak. Dari celah bibir, hidung dan kupingnya 

meleleh darah segar. Pemuda itu merasakan dadanya 

sesak sekali. Begitu dia terbatuk, lalu menggelogoklah 

darah kental dari mulutnya. Sementara tubuh lawan-

nya nampak melesak ke dalam tanah. Wajah Ketua 

Perguruan Kala Hitam nampak putih pucat. Namun 

secepatnya dia bangkit. Lalu memburu Buang Sengke-

ta yang masih dalam posisi terlentang. 

Kejadian yang menimpa Buang Sengketa ki-

ranya tak luput dari perhatian Tapak Dewa dan Wanti 

Sarati. Tetapi Tapak Dewa yang sedang menghadapi 

lawan yang sangat tangguh tak mungkin mampu ber-

buat banyak.


"Paman awaaaas!" teriak Wanti Sarati. 


SEBELAS



Peringatan yang hanya sedetik itu bagi Buang 

Sengketa telah cukup menyadarkannya dari ancaman 

maut.

"Wus! Blaaam...!"

Masih untung Pendekar Hina Kelana masih 

sempat berguling-guling ke samping. Sehingga puku-

lan susulan yang dilancarkan oleh Subali menemui 

tempat yang kosong. Sambil terus berguling-guling 

pendekar ini mengerahkan pukulan pamungkas yang 

diberi nama si Hina Kelana Merana.

Sementara itu celaka bagi Wanti Sarati, kelen-

gahannya yang hanya sekejap membuat lawan-

lawannya yang tidak sedikit itu memiliki kesempatan 

untuk membabatkan senjatanya.

"Bet! Cres! Cres!"

Wanti Sarati mengeluh, bagian punggung dan 

pinggangnya terobek hampir sejengkal. Tetapi dia terus 

berusaha bertahan. Hal ini kiranya tak luput dari per-

hatian Buang, pemuda itu gusar sekali, cepat-cepat dia 

putar haluan. Dibatalkannya niat untuk memukul 

Subali. Lalu dengan kekuatan berlipat ganda diarah-

kannya pukulan si Hina Kelana Merana, mengarah pa-

da pengeroyok Wanti Sarati.

"Wanti... menghindar dari pukulanku...!" Buang 

Sengketa memperingatkan.

"Wuut! Wuut!"

Serangkum gelombang yang memancar-kan si-

nar merah menyala, menderu hingga timbulkan suara 

bergemuruh. Tubuh Wanti Sarati sudah melesat ke



atas. Sementara badai sinar merah tersebut melesat 

laksana meteor menghajar telak pada pengeroyok Wan-

ti Sarati.

"Blaar...!"

Teriakan-teriakan maut terdengar memekakkan 

telinga. Sepuluh pengeroyok Wanti Sarati berpelantin-

gan ke segala arah. Tubuh mereka hangus terbakar, 

berkelejat-kelejat kemudian terkapar mati. Dari sekian 

banyak murid-murid Jagad Kelanggengan dan Kala Hi-

tam, hanya murid-murid yang berkepandaian tinggi 

sajalah yang mempunyai nasib baik.

Saat itu tubuh Wanti Sarati nampak ter-

huyung-huyung. Luka babatan pedang yang mengan-

dung racun ganas itu terus mengalirkan darah. Ketika 

itu Buang Sengketa sambil terus melakukan pukulan-

pukulan gencar pada lawannya segera memperin-

gatkan.

"Wanti, cepat berlindunglah di ruangan bawah 

tanah. Biarkan kami berdua yang akan menghadapi 

orang-orang ini....!"

"Baik paman...!" jawab Wanti Sarati sambil me-

nyeringai menahan sakit.

"Wei... mau lari ke mana kau bocah...? Tinggal-

kan kepalamu...!" teriak murid-murid Perguruan Ke-

langgengan sambil berusaha memburu. Buang Sengke-

ta kembali pukulkan kedua tangannya dengan maksud 

memberi kesempatan pada Wanti untuk melarikan diri.

Kembali serangkum sinar merah meluruk ke 

arah para pengejar Wanti Sarati.

"Iiih...!" seru murid-murid Jagad Kelanggengan, 

mereka bermaksud bersurut langkah. Tetapi sudah ti-

dak keburu lagi

"Bummm...!" 

Lima orang murid Jagad Kelanggengan menjerit



roboh, Wanti Sarati sudah menghilang dari pandangan 

mereka. Kini murid-murid Asmarani Sudra hanya ting-

gal belasan orang saja. Melihat murid-muridnya tewas 

secara mengerikan di tangan si pemuda, Asmarani Su-

dra dan Subali menjadi semakin panas hatinya. Kini 

dengan dibantu oleh para muridnya, masing-masing 

ketua perguruan telah keluarkan jurus-jurus silat yang 

paling sangat mereka andalkan.

Sementara itu pertarungan antara Tapak Dewa 

dengan Asmarani Sudra, yaitu dedengkot ketua pergu-

ruan besar, sudah mencapai puncaknya. Kedua orang 

itu adalah merupakan dua lawan yang sangat tangguh 

yang memiliki kepandaian tiada ter-ukur. Dengan 

mempergunakan pedang pusaka Jagad Kelanggengan, 

Asmarani Sudra terus mencecar lawannya tanpa am-

pun. Sebaliknya dengan mempergunakan cangkul 

penggali kubur. Tapak Dewa terus bertahan sambil 

melakukan serangan-serangan balasan.

"Chaaa... mampus...!" teriak Asmarani Sudra, 

tubuhnya melentik lalu lenyap sekelebatan. Saat itu 

dedengkot Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu 

sudah, bersiap-siap dengan jurus Pedang Pembasmi 

Setan.

Bersamaan dengan melesatnya tubuh Asmarani 

Sudra, pedang di tangannya menderu mengarah pada 

bagian leher Tapak Dewa.

Satria Penggali Kubur, keluarkan seruan terta-

han. Laksana kilat dia pun ayunkan cangkulnya me-

mapasi datangnya serangan pedang yang menebarkan 

hawa beracun.

"Traang...!"

Terlihat percikan bunga api manakala dua sen-

jata yang telah teraliri tenaga dalam itu saling berte-

mu. Tubuh Tapak Dewa tergetar hebat, begitu pun



halnya dengan Asmarani Sudra. Namun di luar dugaan 

Tapak Dewa, Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu 

kirimkan satu pukulan ke bagian dada Tapak Dewa.

"Buuuk!"

"Auuughk...!"

Tubuh Satria Penggali Kubur terbanting keras, 

darah berwarna kehitam-hitaman menyembur dari 

mulutnya. Wajahnya nampak pucat sekali, namun dia 

cepat-cepat menghimpun hawa murni. Sehingga rasa 

sakit di dadanya menjadi berkurang.

Saat itu Asmarani Sudra sambil keluarkan tawa 

mengekeh kembali kirimkan satu pukulan susulan.

Tapak Dewa cepat bangkit lalu ayunkan cang-

kulnya, menebas ke arah tangan Ketua Perguruan Ja-

gad Kelanggengan.

"Uuh! Sialan...!" maki Asmarani Sudra sambil 

menarik balik tangannya. Tanpa menghiraukan ma-

kian Asmarani Sudra, Tapak Dewa terus menyerang 

perempuan itu. Kini dia sedang mencari sela untuk 

melan-carkan pukulan dahsyat yang diberi nama Pu-

kulan Mayat Sakti.

Begitu tangan Tapak Dewa terpentang ke uda-

ra, maka tak lama setelahnya, bagai sebuah gasing 

yang keluarkan bunyi berdengung-dengung. Tubuh 

Tapak Dewa berputar-putar. Semakin lama gerakan-

nya semakin cepat. Satu gelombang angin ribut me-

nyertai berputarnya tubuh Tapak Dewa itu. Tubuh Ta-

pak Dewa kaku laksana arca, tetapi tetap saja terus 

berputar bagai sebuah gasing. Dia bergerak ke mana 

pun Asmarani Sudra coba menghindar. Benda mau-

pun tumbuhan apa pun yang dilanggarnya menjadi 

hancur berantakan.

Asmarani Sudra sungguhpun seorang tokoh 

persilatan yang sudah banyak makan pengalaman


nampak bingung dan gugup. Dia memaki panjang 

pendek. Berulangkali dia membabat tubuh yang ber-

putar-putar itu, namun tubuh Tapak Dewa menjadi 

keras melebihi baja. Dia kembali babatkan pedangnya 

sambil kirimkan satu pukulan dahsyat yang diberi 

nama Dewa Gunung Membalik Bukit.

"Wuuus! Traaang!"

Babatan pedang pusakanya membalik bahkan 

pedang itu sendiri patah menjadi dua bagian. Hanya 

pukulan Dewa Gunung Membalik Bukitlah, yang sedi-

kit dapat menggoyahkan tubuh Tapak Dewa yang se-

dang berputar.

"Sialan, ilmu iblis...!"

"Wuuut!"

Dengan tenaga berlipat ganda, Asmarani Sudra 

kembali pukulkan Dewa Gunung Membalik Bukit. Be-

gitu pukulan yang berisi tiga perempat bagian tenaga 

dalam itu melanda tubuh Tapak Dewa yang sedang 

berputar cepat. Maka tak ayal lagi Tapak Dewa terpe-

lanting. Tetapi laki-laki berumur enam puluhan itu ce-

pat-cepat bangkit kembali. Bibirnya yang mengalirkan 

darah itu, menyunggingkan seulas senyum. Bersa-

maan dengan itu dia pun kirimkan satu pukulan yang 

lebih ganas lagi. Asmarani Sudra tertawa panjang pen-

dek.

Sementara itu Buang Sengketa yang sedang 

bertempur menghadapi Subali dan keroyokan murid-

murid Jagad Kelanggengan. Kini nampak mulai terde-

sak, beberapa jurus di depan dia semakin jatuh di ba-

wah angin. Jurus silat Membendung Gelombang Me-

nimba Samudra telah dia kerahkan, berlanjut dengan 

jurus si Gila Mengamuk. Namun sejauh itu jurus-jurus 

yang sangat ampuh itu masih belum juga mampu 

mengatasi serangan gencar yang dilakukan oleh- la



wan-lawannya. Nyatalah sudah bahwa sesungguhnya 

murid-murid Perguruan Jagad Kelanggengan merupa-

kan murid-murid yang cukup tangguh. Buang Sengke-

ta cepat-cepat merobah jurus silatnya. Sekejap saja 

tubuhnya telah lenyap bagai ditelan bumi. Baik Subali, 

Karsa maupun Panjul dan Panut nampak menjadi bin-

gung. Begitu melihat lawannya tiba-tiba saja lenyap 

bagaikan setan. Saat-saat begitu, tiba-tiba terdengar 

sebuah seruan.

"Aku di sini, Bangsat...!"

Begitu mereka menoleh, tahu-tahu Buang 

Sengketa sudah kirimkan satu jotos-an beruntun.

Dua orang murid Jagad Kelanggengan menjerit-

jerit sambil mendekap ke bagian matanya yang han-

cur.

"Kampret...! Mengapa harus main kucing-

kucingan...!" maki Subali.

"Bukan main kucing-kucingan, Tikus lamur! In-

ilah jurus si Jadah Terbuang!" tukas Buang Sengketa 

sambil menghindari serangan senjata lawan-lawannya.

Saat itu, Pendekar Hina Kelana semakin kesal 

saja hatinya, mendadak dia teringat sesuatu. Lalu se-

cara cepat dia menyurut sepuluh langkah, dari bibir-

nya keluarkan gumaman yang tidak jelas.

Mendadak dia keluarkan jeritan tinggi melengk-

ing. Tak salah lagi itulah jeritan dari Ilmu Pemenggal 

Roh yang terkenal dahsyat.

"Heiiighk!" teriaknya. Saat itu juga bumi seakan 

runtuh dan ranting-ranting kering berjatuhan ke bumi. 

Beberapa orang murid dari Perguruan Jagad Kelang-

gengan nampak berteriak-teriak panik sekali. Dari te-

linga mereka mengalirkan darah kental. Tak ayal 

orang-orang itu pun roboh ke atas tanah berpasir. Tu-

buh mereka nampak berkelejat-kelejat sesaat, lalu ter


diam untuk selama-lamanya. Lagi-lagi Ketua Perguru-

an Jagad Kelanggengan itu dibuat terbelalak tak per-

caya.

"Ilmu demit!" maki Subali menjadi panik, nya-

linya nampak mulai menciut. Sungguhpun begitu su-

dah tiada kesempatan lagi bagi Ketua Perguruan Kala 

Hitam itu. Sebab sekejap kemudian Pendekar Hina Ke-

lana sudah kirimkan satu pukulan andalan yang diberi 

nama si Hina Kelana Merana.

"Weer! Weer!"

Pukulan yang memancarkan sinar merah 

itu pun menderu mengarah, pada sisa-sisa murid dari 

Perguruan Jagad Kelanggengan dan murid Kala Hitam. 

Sejenak mereka jadi terperangah, begitu mereka ber-

usaha menghindar. Pukulan si Hina Kelana Merana 

sudah melanda tubuh mereka. 

"Bummm!"

"Arrrghk... tolong...!" jerit murid-murid Jagad 

Kelanggengan menyayat hati. Tak dapat dicegah lagi, 

tubuh mereka berpelantingan ke berbagai penjuru. 

Mengetahui kejadian yang sangat mengerikan itu, baik 

Subali maupun Asmarani Sudra berteriak marah.

"Bangsat gembel berperiuk! Kau telah membu-

nuhi semua murid-murid kami...! Kau harus melunasi 

hutang nyawa murid-muridku...!" teriak Asmarani Su-

dra.

"Tutuplah mulutmu nenek peot. Main-mainlah 

dulu dengan kakekku...!" kata Buang Sengketa dengan 

sesungging senyum sinis.

"Aku masih hidup guru...!" kata Panjul, tiba-

tiba bangkit dari pingsannya.

"Aku juga, Guru...!" Menyusul Panut, seraya be-

ringsut menjauhi pertarungan.

"Eeh, kalian mau merat ke mana...!" teriak As


marani Sudra.

"Aku takut, Guru...! Orang itu ilmunya sangat 

tinggi sekali! Lebih baik kami pulang kampung mengu-

rusi anak bini!" kata Panjul dan Panut hampir bersa-

maan. 

"Pulanglah...!" bentak Buang Sengketa. 

"Kalian membikin malu perguruan, lebih baik 

mampus saja...!" teriak Asmarani Sudra, lalu kirimkan 

satu pukulan gencar. Buang Sengketa tidak tinggal di-

am, dia pun kirimkan satu pukulan pula. Baik Panut 

maupun Panjul ketakutan setengah mati, masih un-

tung Buang Sengketa masih berkenan menyelamatkan 

mereka.

"Bruaaak!"

Asmarani Sudra dan Buang Sengketa sama-

sama terpental jauh. Namun cepat-cepat perempuan 

berusia lanjut itu bangkit kembali. Dia merasa sangat 

penasaran sekali, lalu bermaksud kirimkan satu puku-

lan yang lebih hebat.

"Eeiit! Permainan kita belum selesai, Ketua 

edan...!" kata Tapak Dewa menghadang Ketua Pergu-

ruan Jagad Kelanggengan.

"Sialan, kau pun harus ku mampusi...!" maki 

Asmarani Sudra sambil lancarkan satu tendangan.

Sementara itu Buang Sengketa setelah melihat 

Panjul dan Panut berlalu dari tempat itu, segera ber-

hadapan kembali dengan Subali. 

"Subali, semua kawanmu sudah pada mampus! 

Masihkah kau tak mau menyudahi persoalan ini...?" 

tanya Buang Sengketa dengan nada sedikit lunak.

"Puih, persoalan ini terlalu besar untuk diang-

gap selesai begitu saja! Murid-muridku tewas semua di 

tanganmu...!"

"Ha... ha... ha...! Tiada gunanya kau mengha


dapi aku, Sobat...!" kata Pendekar Dari Negeri Bunian 

itu sambil tergelak-gelak.

Subali kertakkan rahang.

"Jangan sombong dulu kunyuk! Aku belum ka-

lah, masih ada sesuatu yang belum pernah kau li-

hat...!"

"Keluarkanlah semuanya, kalau perlu nenek 

moyangmu suruh juga berhadapan denganku... "

"Sombong sekali mulutmu. Hiaaat...!" teriak 

Subali. Lalu tubuhnya melesat menjauhi Buang Seng-

keta. Dia nampak berdiri tegak bagai terpacak di bumi. 

Dari mulutnya keluar bunyi mencicit, lalu berkomat 

kamit membacakan mantra-mantra. Sekejap kemudian 

tubuhnya mengepulkan uap putih. Uap tersebut lalu 

berobah menjadi kabut yang sangat tebal. Kabut itu 

pun bergulung-gulung menyelimuti tubuh Subali. Tak 

lama setelahnya tubuh Subali tak terlihat sama sekali.

Pendekar Hina Kelana tercenung, sampai ak-

hirnya kedua matanya terbelalak. Dia melihat tubuh 

Subali yang terbungkus kabut itu berhamburan ratu-

san kala hitam dan kala merah. Kala-kala berbisa itu 

pun segera cepat menyerang Buang Sengketa. Buang 

Sengketa terlonjak-lonjak menghindari sengatan kala-

kala berbisa itu. Dia menghindar kian ke mari. Tetapi 

begitu dia menghindar, kala hitam dan kala merah itu 

terus mengejarnya. Nampaknya Buang Sengketa se-

makin kerepotan menghindari sengatan-sengatan kala-

kala itu. Tiada pilihan lain, pemuda dari Negeri Bunian 

itu pun segera mencabut Cambuk Gelap Sayuto yang 

melilit di pinggangnya. Bersamaan dengan itu, dia pun 

mencabut Pusaka Golok Buntung yang sangat meng-

gemparkan.

Bibir Buang Sengketa keluarkan bunyi mende-

sis, bagai seekor Ular Piton yang sedang marah. Sepa


sang matanya berubah merah saga, hawa membunuh 

mulai mendesak-desak memenuhi rongga dadanya.

Tak lama setelah itu, dengan diawali satu teria-

kan membahana, Buang Sengketa segera lecutkan 

cambuknya. Kala hitam dan kala merah yang jumlah-

nya mencapai ratusan itu, hancur berkeping-keping di-

landa cambuk tersebut. Cambuk itu terus melecut 

memperdengarkan bunyi yang sangat menyakitkan 

gendang-gendang telinga. Lalu bersamaan dengan be-

runtunnya lecutan cambuk di tangan si pemuda. Tiba-

tiba menderu angin kencang, gelegar petir di angkasa 

sambung menyambung. Langit menjadi hitam pekat, 

mendadak suasana di sekelilingnya menjadi gelap guli-

ta. Perubahan pun terjadi, tubuh Subali yang tadinya 

terbungkus kabut. Kini sudah terlihat kembali, bahkan 

kala hitam dan kala merah hilang raib entah ke mana.

Dalam kegelapan itu, mendadak Buang Sengke-

ta berkata lantang.

"Anak manusia yang bernama Subali! Telah 

kuperingatkan padamu untuk menyudahi urusan, 

namun kiranya kau jenis manusia yang keras hati, kini 

tiada pilihan lain bagimu, terkecuali mati...!"

Teriakan Buang Sengketa benar-benar sangat 

mengejutkan Asmarani Sudra, tak terkecuali Tapak 

Dewa. Gelegar petir dan suara gelap itu saja sudah 

membuat Asmarani Sudra mulai ciut nyalinya.



DUA BELAS



Semua kejadian itu jelas tergambar dari lecutan 

cambuk yang berada dalam genggaman Pendekar Hina 

Kelana.

Sementara itu Buang Sengketa sudah menye


rang Subali dengan lecutan cambuk dan golok di tan-

gan kanannya. Golok di tangan memancarkan sinar 

merah, sehingga menampakkan sebagian wajah Buang 

Sengketa yang nampak dingin. 

"Ctar! Ctar! Ctar!"

Cambuk Gelap Sayuto terus menyambar-

nyambar, sehingga membuat suasana semakin ber-

tambah gelap gulita.

Sementara Subali saat itu terus berusaha 

menghindari terjangan-terjangan golok yang menye-

barkan hawa maut tersebut. Namun Buang Sengketa 

nampaknya sudah tidak memberi kesempatan lagi bagi 

Subali. Dia terus mendesaknya. Golok Buntung di tan-

gannya berkelebat. Menyadari bahaya yang sedang 

mengancamnya. Ketua Perguruan Kala Hitam, segera 

kiblatkan Pedang Kala Hitam. 

"Trang!"

Pedang milik Subali hancur berkeping-keping 

dilanda pusaka Golok Buntung di tangan si pemuda. 

Ketua Perguruan Kala Hitam jadi terkesima, tetapi itu 

hanya sekejaban mata. Sebab tak lama setelahnya tu-

buh Pendekar Hina Kelana sudah berkelebat mende-

kat. Lalu secepatnya kirimkan satu tebasan mengarah 

pada bagian leher Subali.

"Creees!"

Tubuh Ketua Perguruan Kala Hitam, nampak 

terhuyung-huyung. Kedua tangan menekap pada ba-

gian leher. Tiada jeritan yang terdengar, selain Seperti 

suara kerbau disembelih. Tubuh yang sudah mulai 

kehabisan darah itu meliuk-liuk. Lalu tersungkur ba-

gaikan sebatang pohon yang roboh.

Pendekar Hina Kelana menarik napas pendek, 

Pusaka Golok Buntung segera masuk ke dalam sa-

rungnya. Secara perlahan kegelapan yang mendadak


itu pun sirna seketika, mendung hitam di langit hilang 

tiada berbekas.

Sementara itu, Asmarani Sudra sungguhpun 

masih tetap melanjutkan pertarungan dengan Tapak 

Dewa. Namun dia sudah tidak mampu lagi berbuat 

banyak. Agaknya kejadian yang baru saja dia lihat 

berpengaruh banyak dalam jiwanya. Bagaimana tidak! 

Hampir empat puluh orang mereka datang ke pema-

kaman itu, bahkan masing-masing dari mereka beril-

mu sangat tinggi, begitu pun dengan murid-muridnya. 

Tetapi semuanya tewas di tangan pemuda berpakaian 

kumuh itu. Satu kejadian yang belum pernah dia alami 

selama hidup.

"Nenek Peot! Masih jugakah kau berkeinginan 

melanjutkan pertarungan...?"

Terdengar teguran Pendekar Hina Kelana.

"Kau pikir dengan tewasnya orang-orang itu, 

aku terus menjadi takut?" maki Asmarani Sudra lalu 

meludah di tanah.

"Jadi kau benar-benar tak mau menyudahi per-

tarungan ini?"

"Puih. Aku malah jadi ingin menjajal keheba-

tanmu...!"

Buang Sengketa lalu melirik pada Tapak Dewa. 

"Kakek Tapak Dewa, lihatlah keadaan Wanti 

Sarati. Biar nenek bau ini menjadi bagianku...!" kata 

Buang Sengketa geram sekali. Tapak Dewa lalu bersu-

rut mundur, lalu berkelebat pergi meninggalkan tem-

pat itu. Seperginya Tapak Dewa, tanpa menunggu lebih 

lama lagi, Asmarani Sudra langsung menyerang Pen-

dekar Hina Kelana dengan pukulan-pukulan mautnya, 

terkadang pedang Jagad Kelanggengan yang putih 

mengkilat itu membabat dan menusuk pada bagian 

tubuh lawannya. Di lain saat dengan mempergunakan


pukulan Dewa Gunung Membalik Bukit. Dia kirimkan 

pukulan menggeledek;

Buang Sengketa sedikit banyaknya sudah men-

getahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh 

Asmarani Sudra. Baginya daripada harus mengumbar 

pukulan, selain hanya akan membuang-buang tenaga, 

juga hanya membuat Asmarani Sudra memiliki pe-

luang banyak dalam bertindak; Pendekar Hina Kelana 

segera raba bagian pinggangnya. 

"Cring!" 

Golok Buntung kembali tunjukkan keangke-

rannya. Sinar merah menyala memancar dari golok 

tersebut. Saat itu sungguhpun Asmarani Sudra nam-

pak terkejut. Tetapi dia sudah sangat kalap dan nekad. 

Ditendangnya Pendekar Hina Kelana dengan pedang 

terhunus. Buang Sengketa berkelit. Serangan yang di-

lancarkan oleh Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan 

itu pun luput. Tetapi tanpa putus asa dia segera laku-

kan serangan susulan yang berupa pukulan jarak 

jauh.

"Bet! Bet!"

"Weeer!"

Satu gelombang sinar berwarna biru, nampak 

menderu meluruk ke arah Buang Sengketa. Pemuda 

itu, segera kiblatkan golok di tangannya.

"Prang! Blaam!"

Buang Sengketa merasakan dadanya sesak dan 

sulit untuk bernapas, sebaliknya Asmarani Sudra ter-

pental tujuh tombak. Darah berlelehan dari hidung 

dan bibirnya. 

Keadaan Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan 

itu sudah nampak sangat payah sekali. Buang Sengke-

ta merasa kasihan karenanya. Lalu pemuda itu pun 

berseru memberi peringatan.


"Tua renta! Lebih baik sudahi saja pertarungan 

ini. Keadaanmu sudah sangat payah...!"

"Piuh. Aku tak butuh nasehatmu...!"

"Kuperingatkan masih ada kesempatan bagimu 

untuk menyingkir...!"

"Jahanam kau bocah gembel. Bagiku daripada 

hidup menanggung malu. Lebih baik aku mati menjadi 

bangkai...!" maki Asmarani Sudra marah sekali.

"Nenek tak tahu diuntung. Jangan kau salah-

kan aku...!"

"Caaat!"

Dengan nekad, Asmarani Sudra sambitkan pe-

dang pusakanya. Mungkin pada saat itu Ketua Pergu-

ruan Jagad Kelanggengan mungkin sudah merasa pu-

tus asa, sedangkan untuk menyingkir dari tempat itu 

dia merasa sangat malu.

"Ngungg!"

Pendekar ini kiblatkan golok pusakanya. 

"Trang!"

Pedang Jagad Kelangggengan jadi berantakan, 

manakala bertubrukan dengan Golok Buntung yang 

berada di tangan si pemuda.

Mengetahui kenekadan Ketua Perguruan Jagad 

Kelanggengan, pendekar dari Negeri Bunian itu nam-

pak sangat gusar sekali.

Tiba-tiba kedua bibirnya mengatup rapat, sepa-

sang matanya memandang tajam pada Asmarani Su-

dra.

"Kenekadan mu benar-benar membuat kesaba-

ranku habis. Mampuslah kau...!"

"Ngung...!"

Debu dan pasir beterbangan manakala Golok 

Buntung di tangan Pendekar Hina Kelana menyambar 

ke arah pertahanan lawannya. Tubuh si pemuda terus


berkelebat, bergerak mengejar ke mana saja Asmarani 

Sudra mencoba menghindar.

Ketua Perguruan Jagad Kelanggengan itu se-

makin terdesak hebat. Dalam keadaan seperti itu, dia 

mencoba melepaskan satu pukulan. Pada saat yang 

sama pula Pendekar Hina Kelana membabatkan Golok 

Buntung di tangannya.

"Cres! Crees!"

Asmarani Sudra melolong bagai serigala kelapa-

ran, kedua lengannya yang terkutung langsung saja 

memancarkan darah.

"Apakah engkau masih tidak mau menyudahi 

persoalan ini, Nenek sinting...?"

"Dendam ku akan kubawa sampai mati...!"

"Kalau begitu kau memang pantas mampus...!" 

teriak Buang Sengketa. Lalu kembali golok di tangan-

nya berkelebat kembali:

Saat itu pandangan Asmarani Sudra yang su-

dah mulai nanar karena kehabisan darah. Sudah tak 

melihat berkelebatnya golok di tangan si pemuda. Tan-

pa ampun.

"Craaas!"

Tubuh Asmarani Sudra yang sudah banyak ke-

habisan darah itu pun limbung sesaat. Lalu terbanting 

di atas sebuah batu nisan yang sangat runcing. Batu 

nisan itu pun amblas ke dalam tubuh Asmarani Sudra 

dengan keadaan yang sangat mengerikan.

Buang Sengketa menarik napas dalam-dalam, 

tubuhnya bermandikan keringat. Tak lama setelahnya 

dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan tak 

karuan itu. Tetapi dia hanya diam, dan pada saat itu 

pula terdengar teguran halus di belakangnya.

"Paman Kelana! Engkau benar-benar seorang 

pendekar yang tangguh!" kata Wanti Sarati. Lalu tanpa


menghiraukan Tapak Dewa, gadis itu langsung meng-

hambur ke dalam pelukan si pemuda.

"Bagaimana lukamu?" tanya Buang Sengketa 

sambil membelai rambut si gadis. Lembut sekali.

"Kakek Tapak Dewa telah mengobati-nya. Tak 

lama lagi juga sembuh...!"

"Anak baik! Bukankah kini kau sudah menjadi 

muridnya kakek Tapak Dewa?" tanyanya lagi. 

"Ya...!" jawab si gadis resah.

"Jadilah seorang murid yang baik. Kalau eng-

kau benar-benar sayang pada pamanmu ini. Kau ha-

rus patuh pada apa yang paman katakan...!"

Wanti Sarati hanya mengangguk.

"Bagus. Empat atau lima tahun lagi. Paman 

pasti akan menemuimu...!"

"Jadi paman mau pergi lagi...?" tanya si gadis, 

pilu hatinya.

"Paman adalah milik orang banyak!"

"Tapi aku masih rindu padamu, Paman...!" de-

sah Wanti Sarati tanpa dapat membendung air ma-

tanya lagi...!

"Cah baik. Suatu saat paman juga akan datang 

ke mari...!" kata Buang Sengketa. Lalu dibelainya pipi 

si gadis, kemudian diciumnya bagian kening Wanti Sa-

rati dengan lembut. Setelah melepaskan pelukan si ga-

dis, dia berpaling pada Tapak Dewa.

"Kutitipkan Wanti Sarati padamu, Kakek Tapak 

Dewa...!"

"Kepercayaan Pangeran, sungguh merupakan 

suatu kehormatan bagiku...!" kata Tapak Dewa lalu 

membungkuk hormat. Tetapi manakala dia meman-

dang kembali, Pendekar Hina Kelana sudah tak nam-

pak lagi.

"Dia pergi lagi, Kakek...!"


"Sudahlah, Nduk. Jangan bersedih, kakek akan 

tunjukkan sesuatu padamu...!" ujar Tapak Dewa sam-

bil menggandeng tangan Wanti Sarati. Sekejap kemu-

dian kedua orang itu pun telah melangkah pergi.



                               TAMAT





Share:

0 comments:

Posting Komentar