1
Kegelapan masih menyelimuti kawasan hu-
tan di kaki bukit. Di langit tak terlihat bintang,
sedangkan cahaya bulan yang sekejap tadi sem-
pat menerangi kawasan bukit juga sebuah kuil
yang berada di bagian puncaknya kini tertutup
sekelompok awan. Suasana di sekitar bukit dan
kuil terasa sunyi mencekam. Kesunyian tak ber-
langsung lama, mendadak sontak terdengar suara
ledakan berdentum yang disertai guncangan ke-
ras dan semburan api yang memporak-
porandakan kuil dan bukit itu. Dari salah satu le-
reng bukit di sebelah timur satu sosok terlempar
tinggi di udara akibat ledakan yang luar biasa he-
bat. Sosok serba hitam menjerit ketakutan. Tu-
buhnya jungkir balik, berputar tidak tentu arah,
kemudian jatuh menyangsang di atas cabang po-
hon berduri. Sekali lagi sosok yang hanya mema-
kai celana hitam ini menjerit saat tubuhnya ter-
hempas di atas duri. Sakitnya luar biasa, dia
menggeliat, meringis sedangkan matanya me-
mandang ke puncak bukit dimana Kuil Setan
yang porak poranda tampak dikobari api.
Sambil merintih tak berkeputusan sosok
hitam yang biasa dipanggil dengan sebutan Memedi Santap Segala berusaha menggapai cabang
lainnya. Ternyata tidak semudah yang dia
bayangkan. Karena cabang yang hendak diraih-
nya dan dijadikan tempat berpegangan juga dipe-
nuhi duri. Tapi dia juga merasa tak punya pilihan
lain. Sehingga dengan nekad dia meraih cabang di
atasnya.
Wuuuut! Sekali dia menggerakkan tubuh-
nya maka pemuda ini melayang dan jatuh di ba-
wah pohon. Pada saat dirinya jatuh dengan kaki
lebih dulu sampai di atas tanah inilah dia merasa
menginjak sesuatu.
"Astaga apa pula ini lembek-lembek?" batin
pemuda ini. Dalam kagetnya dia memandang ke
bawah. Wajah hitam Memedi Santap Segala lang-
sung berubah pucat ketika dia mendapatkan satu
kenyataan bahwa posisi jatuhnya persis di atas
punggung satu sosok berpakaian merah. Cepat
sekali dia melompat menjauhi punggung orang.
Tapi pada waktu yang bersamaan satu tangan
dengan gerakan tak terlihat menyambar ke arah
kaki kanannya. Di lain waktu kaki Memedi San-
tap Segala sudah kena dicekal orang. Sosok ber-
pakaian merah lakukan gerakan aneh pada tan-
gannya yang mencekal. Si pemuda merasakan tu-
buhnya seperti dilempar ke atas lalu dibanting ke
bawah.
Bruk!
Laksana dihempaskan Memedi Santap Se-
gala jatuh menelungkup. Si pemuda idiot meme-
lintir sambil dekap selangkangannya. "Aduh biyung, mengapa begini amat sakitnya. Oalah...
toobaat...!" rintihnya sambil memelintir dan
menggerung tak karuan.
Belum lagi Memedi Santap Segala sempat
berdiri tegak, si baju merah yang tadi mencekal
dan membantingnya kini sudah berdiri tegak di
hadapan pemuda itu. Ternyata dia adalah seorang
pemuda tampan berambut hitam lebat, beralis
tebal hidung mancung, dagu bersegi. Selain pa-
kaiannya yang serba merah, dia juga memakai
ikat kepala warna merah. Ketika memandang ke
arah Memedi Santap Segala, tatap matanya men-
corong tajam menyembunyikan kecongkakan se-
kaligus kelicikan.
"Tubuh ditumbuhi bulu, muka hitam, hi-
dung amblas ke dalam, perut buncit puser bo-
dong. Semua kejelekan yang ada di muka bumi
ini rupanya ada dalam dirimu. Manusia menyeru-
pai kunyuk hitam siapa dirimu ini? Apakah kau
turunan manusia atau turunan monyet? Jika
manusia mengapa begitu tak mengenal sopan ja-
tuhkan diri di punggung orang?" hardik pemuda
berpakaian merah penuh teguran.
Mendengar ucapan seperti itu, sebenarnya
Memedi Santap Segala jadi tersinggung juga ma-
rah, namun mengingat dirinya tadi memang ber-
salah maka dia menjawab. "Aku Memedi Santap
Segala. Aku mohon maaf, karena jatuh tak senga-
ja menginjak punggungmu. Semua itu bukan ke-
salahanku, tapi kesalahan bukit sialan disana.
Kalau dia meletus memberitahu sebelumnya tentu aku bisa menyelamatkan diri, tidak jatuh seng-
sara seperti tadi!"
Jika pemuda ini bicara seperti itu di depan
Gento atau orang lain, mungkin orang sudah ter-
tawa atau paling tidak tak kuasa menahan se-
nyum. Tapi kali ini sosok yang berada di depan-
nya adalah seorang pemuda angkuh, berjiwa
sombong, licik dan memandang orang lain lebih
rendah derajatnya. Sehingga dia merasa tidak
pantas untuk tersenyum jangankan lagi tertawa.
Malah setelah kaget mendengar Memedi Santap
Segala ada menyinggung tentang bukit meledak,
sepasang matanya membulat besar. Dia sendiri
yang saat itu berada di sebelah selatan puncak
bukit juga sempat terlempar dan jatuh di tempat
itu dalam keadaan menelungkup.
Dalam hati dia berpendapat tak mungkin
pemuda bermuka monyet itu berada di Kuil Setan
jika tidak punya satu kepentingan.
Si baju merah yang bukan lain adalah Lira
Watu Sasangka alias Panji Anom Penggetar Jagad
atau yang dikenal dengan julukan Baginda Bega-
wan Muda murid Begawan Panji Kwalat terse-
nyum dingin mendengar penjelasan Memedi San-
tap Segala.
"Monyet hitam, kau berada disana tentu ti-
dak secara kebetulan saja bukan. Kau pasti
mempunyai tujuan atau maksud maksud terten-
tu." Ujar Lira Watu Sasangka sambil memandang
dengan tatapan mata menyelidik.
"Jika kau sayangkan nyawamu sebaiknya
jangan mencoba menipu atau memberi jawaban
dusta."
Memedi Santap Segala terdiam sejenak,
berfikir sambil menduga-duga siapa adanya pe-
muda ini. Melihat pada tatapan mata dan caranya
bicara pemuda itu pastilah bukan orang yang
mempunyai tujuan baik. Karena itu dengan hati-
hati Memedi Santap Segala menjawab. "Aku pe-
muda yatim piatu. Orang tua tak punya rumah
apalagi. Waktu itu aku sedang berburu. Sejak pa-
gi hingga malam sampai paginya lagi aku tak
mendapatkan buruan terkecuali burung-burung
emprit. Karena terlalu kecil burung itu ku santap
dengan bulu-bulunya." kata Memedi Santap Sega-
la dengan serius.
Orang secerdik Lira Watu Sasangka mana
kena dibohongi. Dia menyeringai. Sekali tangan-
nya bergerak, maka rambut pemuda itu sudah
kena dijambaknya.
"Manusia kunyuk! Berani sekali kau meni-
puku? Apa kau kira aku kena dibohongi. Ha ha
ha! Katakan, apa yang kau cari di Kuil Setan? Be-
rani kau membohongi ku, kupatahkan batang le-
hermu." geram pemuda itu sambil mempererat
cekalannya hingga membuat Memedi Santap Se-
gala jadi meringis kesakitan.
"Cepat katakan! Jawab dengan sejujurnya
sekali lagi Lira Watu Sasangka alias Panji Anom
Penggetar Jagad dengan sikap mengancam. Men-
dapat ancaman seperti itu Memedi Santap Segala
tidak menjadi gentar. Malah keberaniannya seakan terbangkitkan kembali.
"Aku hanya mencari majikanku. Majikanku
hilang di tempat itu." jawab si pemuda.
Dessss!
Satu jotosan keras mendarat di perut bun-
cit Memedi Santap Segala. Dia menjerit keras, ka-
kinya terangkat, tubuhnya tersentak tapi tak
sempat terpelanting karena rambut panjangnya
masih berada dalam cengkeraman lawannya.
"Manusia jahanam! Inilah kesempatan te-
rakhir bagimu. Jika kau masih ingin panjang
umur sebaiknya cepat mengaku!" Seiring dengan
ucapannya itu, diam-diam Panji Anom kerahkan
tenaga dalamnya ke tangan kanan. Hawa panas
mengalir deras ke bagian telapak tangan pemuda
itu. Hanya dalam waktu sekedipan mata tangan
kanannya telah berubah menjadi merah kehita-
man. "Kau lihat tanganku? Dengan tangan ini aku
bisa membunuhmu semudah membalikkan tela-
pak tangan." Lalu Panji Anom Penggetar Jagad
angkat tangannya.
"Tunggu... jangan bunuh aku. Aku... aku
mau mengaku...!" kata Memedi Santap Segala
dengan suara terbata-bata. Panji Anom tersenyum
penuh kemenangan. Dia menunggu sejenak la-
manya, sampai kemudian Memedi Santap Segala
berucap.
"Aku dan majikanku Batuk Labalang da-
tang ke Kuil Setan untuk mencari satu senjata
hebat bernama Bintang Penebar Petaka. Tapi...
tapi kami terpisah karena aku terjebak dalam sebuah lubang. Sampai sekarang aku tak tahu ma-
jikanku berada dimana?"
"Mendengar logat bicaramu, juga sebutan
datuk pada nama depan majikanmu. Agaknya ka-
lian bukan orang sini." sergah Panji Anom.
"Benar. Kami bukan orang daerah sini.
Kami datang dan tanah Andalas" jelas Memedi
Santap Segala. Perlahan cekalan pada rambutnya
mengendur, tangan pemuda itu yang telah beru-
bah memerah juga diturunkan.
"Kau pendatang asing, tidak selayaknya
berkata dusta di hadapanku. Sekarang kau harus
berkata jujur padaku, dimana senjata Bintang
Penebar Petaka berada?" tanya si pemuda.
Mendengar pertanyaan seperti itu kagetlah
Memedi Santap Segala dibuatnya.
Dalam hati dia membatin. "Orang ini men-
cari senjata yang sama. Aku sudah tahu dia me-
miliki tenaga dalam yang tinggi. Aku yakin dia
bukan manusia sembarangan. Tak mungkin aku
mengatakan senjata itu berada di tanganku. Se-
perti Datuk Labalang, dia juga bukan manusia
yang dapat kupercaya. Tak akan kuserahkan sen-
jata ini padanya, tidak juga pada Datuk Labalang.
Terkecuali aku benar-benar bertemu dengan
orang yang tepat!" gumamnya. Setelah terdiam se-
jenak lamanya, Memedi Santap Segala kemudian
berucap. "Mengenai senjata yang kau tanyakan,
aku terus-terang belum menemukannya. Mung-
kin junjunganku Datuk Labalang yang menemukannya."
"Ha ha ha. Jika benar apa yang kau kata-
kan sekarang aku ingin tahu dimana junjungan-
mu si Datuk keparat itu?" tanya Panji Anom
Penggetar Jagad.
Memedi Santap Segala jadi terkesiap. "Itu
satu hal yang tak mungkin untuk kulakukan!" se-
ru si puser bodong tercekat.
"Keparat terkutuk. Kau mengatakan tak
mungkin, wajah monyetmu nampak ketakutan.
Pasti telah terjadi sesuatu antara kau dengannya.
Bukankah begitu?" dengus Panji Anom. Dia me-
mandang tajam pada pemuda di depannya. Tatap
matanya dingin menusuk. "Tiga kali kau berbo-
hong padaku. Sekarang tidak ada keampunan ba-
gimu." Selesai bicara begitu Panji Anom tuding-
kan jari telunjuknya ke arah Memedi Santap Se-
gala. Sambil tudingkan telunjuk, mulut berkomat-
kamit. Setelah itu dia berseru. "Berputarlah tu-
buhmu secepat gasing berputar!" seruan itu ter-
nyata bukanlah seruan biasa, karena pada detik
itu juga Memedi Santap Segala merasakan tu-
buhnya langsung berputar seakan ada satu keku-
atan yang tidak terlihat telah memutarnya. Tak
mau konyol dirinya terbawa pengaruh ucapan
orang, Memedi Santap Segala kerahkan tenaga
luar dalam untuk bertahan. Salah satu kakinya
dihentakkan di atas tanah. Hingga kaki itu am-
blas terbenam ke dalam tanah, walau pun begitu
tetap saja pemuda berkulit hitam ini tak dapat
berbuat banyak. Kini tubuhnya malah mulai te-
rangkat mengambang tidak menyentuh tanah. Di
saat satu kekuatan yang tidak terlihat itu mulai
memulas tubuh Memedi Santap Segala. Pada ke-
sempatan itu pula dia lepaskan satu pukulan
menggeledek ke arah lawannya.
"Seranganmu hanya mengenai angin. Kau
tetap berputar seperti gasing sesuai dengan apa
yang kuinginkan!" teriak Panji Anom Penggetar
Jagad. Kenyataannya memang itulah yang terjadi
kemudian. Pukulan yang dilepaskan oleh si pe-
muda, karena saat itu tubuhnya telah bergerak
laksana gasing, hingga arah pukulan jadi melen-
ceng.
"Wuakh.... pemuda tengik. Kau mengguna-
kan ilmu iblis untuk mencelakai orang lain.
Sungguh aku akan membalas segala apa yang
kau lakukan terhadapku ini!" teriak Memedi San-
tap Segala yang saat itu merasakan seolah dunia
ini ikut berputar dan kepalanya sakit berdenyut,
perut mual dan mata berkunang-kunang.
"Ha ha ha! Dalam keadaan begini, setiap
perkataanku adalah sabda. Perkataan iblis yang
mempunyai sambung rasa dengan lidah. Tidak
ada yang bakal selamat dari ilmu Kontak Suara
yang kumiliki, terkecuali mereka yang mau me-
matuhi perintah dan kehendakku!" dengus Panji
Anom sinis.
"Kau iblis laknat!" maki Memedi Santap Se-
gala. Dalam kesempatan itu dia mencoba masuk-
kan jari tangannya ke balik saku celana guna
mengambil Batu Rembulan. Tapi tangannya sea-
kan tak bertenaga sama sekali. Dalam keadaan
begitu rupa dia memang telah kehilangan keseim-
bangan tubuh tenaga juga kesadaran. Hanya ke-
beranian yang masih membara di hatinya. Itulah
sebabnya dia terus berusaha mengumpulkan se-
genap tenaga dan sisa kekuatan. Akan tetapi se-
gala keinginannya untuk melakukan satu tinda-
kan agaknya tak dapat terlaksana karena pada
waktu itu Panji Anom telah menggerakkan tan-
gannya ke arah sebatang pohon. "Hei tubuh bu-
ruk hina, hempaskanlah dirimu ke batang pohon
itu!" seru pemuda itu. Seiring dengan ucapannya
maka sosok Memedi Santap Segala yang tadinya
berputar di udara kini melesat ke arah pohon se-
suai dengan apa yang diucapkan oleh Panji Anom
Penggetar Jagad. Bersusah payah Memedi Santap
Segala mencoba mengendalikan diri. tapi daya
luncur tubuhnya yang demikian hebat tak dapat
dibendung. Tak ayal lagi laksana dihempaskan
tubuh pemuda itu menghantam pohon.
Braak!
Pohon hancur, tumbang disertai suara ber-
gemuruh berisik menyakitkan telinga. Si puser
bodong merintih, pinggangnya yang terhempas ke
pohon laksana remuk dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
2
Pemuda itu mencoba bangkit, tapi tak
mampu. Malah dari mulutnya menyembur darah
kental. Dalam hal ilmu kesaktian, Memedi Santap
Segala bukan manusia berkepandaian rendah. Ji-
ka dia dapat diperlakukan demikian rupa oleh la-
wan, berarti kekuatan yang dimiliki lawannya ti-
dak dapat dianggap main-main. Apalagi bila men-
gingat lawan memiliki ilmu Kontak Suara. Dengan
ilmunya yang aneh itu dia dapat melakukan apa
saja.
"Sekarang kau dalam keadaan hampir ti-
dak berdaya. Kini tiba giliran bagiku untuk mene-
lanjangi dirimu. Kau pasti menyembunyikan sen-
jata itu. Jika senjata memang tidak ada padamu,
akan kukorek jantung dan juga biji matamu...!"
dengus Panji Anom penuh ancaman.
Ancaman yang dilakukan murid Begawan
Panji Kwalat sama sekali tidak membuat Memedi
Santap Segala jadi khawatir apalagi takut. Yang
dia takutkan bagaimana jika lawan menemukan
senjata Bintang Penebar Petaka yang terselip di
dalam kantong bekal makanannya?
"Andai saja aku dapat mengambil Batu
Rembulan dari dalam saku celanaku, mungkin
keadaannya akan menjadi lain. Tapi bagaimana
aku bisa mengambil batu sakti itu, atau memper-
gunakan Bintang Penebar Petaka, sedangkan
menggerakkan tangan saja aku sudah tak sang
gup?" keluh pemuda itu. Satu-satunya usaha
yang dapat dilakukannya adalah menghimpun te-
naga dalam sedikit demi sedikit. Tapi pada waktu
yang bersamaan pula mendadak terdengar suara
menggelegar yang datang dari arah sebelah kiri
dimana Memedi Santap Segala tergeletak.
"Makhluk kunyuk pembantu sialan. Dicari
kemana-mana tidak tahunya kau ketiduran dis-
ini! Mana senjata itu? Jangan coba-coba membo-
hongi majikanmu ini lagi. Aku bisa membunuh-
mu!" kata satu suara keras penuh teguran.
"Satu lagi manusia edan datang kesini!" ke-
luh Memedi Santap Segala yang rupanya memang
mengenal suara itu.
Hanya beberapa saat setelah gema suara
lenyap. Di tempat itu muncul kakek angker den-
gan tubuh tinggi seperti galah. Berkulit hitam,
berdaster dan berkerudung hitam. Bila Memedi
Santap Segala tercekat melihat kehadiran kakek
tinggi berwajah angker ini maka sebaliknya Panji
Anom sempat dibuat terheran-heran. Seumur hi-
dup rasanya dia belum pernah melihat ada orang
memiliki badan setinggi itu. Sejenak dia memper-
hatikan si kakek dan sosok pemuda yang telah
dihempaskannya ke batang pohon. Nampak jelas
pemuda itu sangat ketakutan sekali.
"Aku yakin kakek ini orangnya yang di-
maksudkan oleh muka kunyuk itu. Jika senjata
ada ditangan orang tua ini tentu dia tidak mena-
nyakan senjata itu padanya. Gila! Berani benar
dia mendustai diriku." geram Panji Anom. "Dua
manusia bangsat itu akan ku sikat semuanya. Bi-
ar mereka tahu siapa aku yang sebenarnya?" gu-
mam si pemuda dalam hati.
Di depannya sana bersikap seakan tidak
menghiraukan si baju merah, si kakek setinggi
galah yang bukan lain adalah Datuk Labalang
melangkah cepat mendekati Memedi Santap Sega-
la.
Begitu sampai di depan pemuda, si kakek
langsung membungkukkan badan, tangannya
yang panjang terjulur. Sekali sentak Memedi San-
tap Segala yang sudah dalam keadaan terluka ini
terangkat naik. Matanya mendelik, nafasnya me-
gap-megap karena lehernya dalam keadaan terce-
kik.
"Anak setan, kecil ku besarkan. Sejak dulu
setiap ucapanmu selalu kupercaya. Kini, setelah
kau kubawa jauh mengarungi lautan mengapa ti-
ba-tiba otakmu jadi miring dan jalan fikiran mu
jadi berubah?" hardik Datuk Labalang. "Dimana
senjata itu kau sembunyikan? Cepat katakan pa-
daku!"
"Da... Datuk. Ku mohon lepaskan dulu ce-
kikan itu. Aku... aku bisa mati kehabisan nafas
Datuk." kata Memedi Santap Segala dengan lidah
terjulur, tangan menggapai udara dan kaki mele-
jang-lejang.
"Biarpun kau mampus disini, siapa yang
mau perduli." dengus sang Datuk, malah kini dia
semakin mempererat jepitannya di leher pemuda
itu. "Katakan cepat dimana senjata itu kau sembunyikan. Atau kau lebih suka aku membunuh-
mu sekarang ini?!"
"Lep... lepaskan dulu Datuk. Sebelum aku
terangkan padamu dimana senjata itu apakah
kau tidak merasa perlu mengusir orang itu. Dia
memaksaku untuk menyerahkan senjata hingga
aku dibuatnya begini rupa. Jika kau tak membu-
nuhnya bisa jadi dia akan merampas senjata yang
hendak kuberikan padamu!" ujar Memedi Santap
Segala.
Mendengar ucapan pemuda itu Datuk La-
balang menoleh ke arah Panji Anom. Sejak tadi
sebenarnya dia memang sudah melihat kehadiran
pemuda itu. Dia bahkan sempat melihat bagai-
mana Panji Anom membanting Memedi Santap
Segala ke batang pohon hanya dengan bicara dan
tudingkan jari telunjuknya.
Kini setelah melihat si baju merah masih
berdiri di tempatnya Datuk Labalang membentak.
"Mengapa kau tetap berada disini? Cepat me-
nyingkir!" perintah Datuk Labalang.
Panji Anom Penggetar Jagad tersenyum si-
nis.
Sejenak lamanya dia pandangi orang tua
itu. Sampai kemudian terdengar suara tawanya
yang melengking tinggi hingga membuat Datuk
Labalang diam-diam jadi kaget.
"Orang tua setinggi galah. Dirimu tak pan-
tas menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kehendakku. Dalam soal senjata,
engkau yang sudah tua bangka tidak pantas untuk memilikinya. Sebaiknya pergilah kau secara
tenang. Jika kau membangkang aku tidak akan
segan untuk mengirimmu ke neraka!" kata pemu-
da itu tegas.
Selama malang melintang di dunia persila-
tan belum pernah ada orang yang berani bicara
seperti itu di depan sang Datuk. Apa yang dikata-
kan Panji Anom membuat sang Datuk tersing-
gung. Wajah si kakek berubah menghitam, sepa-
sang mata mencorong tajam, sedangkan pelipis
bergerak-gerak.
"Berani kau bicara seperti itu pada Datu
Penguasa Tujuh Telaga. Tak ada keampunan ba-
gimu. Kau harus kubuat mampus detik ini juga."
teriak Datuk Tinggi. Sebelum gema suaranya le-
nyap di udara, tubuh jangkung sang Datuk mem-
bungkuk. Tangan kanan terjulur menggapai ke
arah kepala dengan gerakan mengemplang, se-
dangkan tangan kiri yang terkepal menjotos ke
bagian dada pemuda itu.
Mendapat serangan ganas dan sangat ber-
bahaya ini tentu Panji Anom tidak tinggal diam.
Apalagi dia mengetahui serangan itu selain
sangat cepat juga ganas sekali karena disertai su-
ara gemuruh angin dingin berbau busuk pertanda
dalam serangan itu terkandung racun yang amat
jahat. Tanpa fikir panjang Panji Anom melompat
ke samping. Sedangkan tangannya yang satu di-
gerakkan ke atas dan satunya lagi dihantamkan
sejajar ke arah tangan lawan yang menghantam
ke arah dada. Dari telapak tangan Panji Anom
membersit sinar hitam menggidikkan, mengan-
dung hawa panas luar biasa. Karena Panji Anom
memang berniat mengadu tenaga dalamnya den-
gan lawan. Maka bentrokan keras tak dapat di-
hindari lagi.
Plaak!
Plaak!
Dua kali benturan berturut-turut terjadi.
Panji Anom mengeluh tertahan, tubuhnya terdo-
rong mundur sejauh tiga langkah ke depan. Dua
tangannya yang sempat beradu dengan tangan
lawan terasa dingin luar biasa, menimbulkan sa-
kit berkepanjangan. Di depannya sana Datuk La-
balang sempat mengernyit, tubuhnya limbung
dan menghuyung, tangan seperti kesemutan.
"Hemm, ternyata dia memiliki tenaga dalam
yang sangat tinggi. Aku harus dapat menjatuh-
kannya secepat mungkin. Jika tidak aku sendiri
yang dibuatnya celaka!" pikir Datuk Labalang.
"Ha ha ha. Ternyata walaupun sudah mau
mampus tenagamu masih hebat juga tua bangka!
Sekarang terimalah balasan dariku!" teriak Panji
Anom. Seiring dengan teriakannya itu si pemuda
melompat ke depan, satu tendangan dilancarkan-
nya disusul dengan satu pukulan yang sangat ke-
ras mengarah ke bagian perut. Demikian cepat
serangan balasan yang dilakukan oleh pemuda
ini. Sehingga Datuk Labalang hanya dapat meng-
gerakkan tangannya untuk menangkis serangan
kaki lawan.
Buuk!
Satu hantaman yang keras membuat Da-
tuk Labalang terjajar. Bagian yang terkena puku-
lan terasa sakit bukan main. Bahkan daster hi-
tamnya tampak berlubang di bagian perut. Ini
pertanda serangan yang dilakukan Panji Anom
juga merupakan serangan yang sangat memati-
kan.
Sambil menahan rasa sakit yang mendera
perutnya, Datuk Labalang melirik ke arah daster-
nya. Betapa kaget orang tua ini dibuatnya ketika
melihat pakaiannya hangus. Rasa kaget bercam-
pur marah yang bergelora menyesakkan dada
membuat sang Datuk menjadi gelap mata. Den-
gan mata mendelik kakek ini berteriak. "Aku Da-
tuk Labalang, Datu Penguasa Tujuh Telaga. Jika
hari ini aku dapat dipencundangi oleh bocah in-
gusan sepertimu, alangkah sangat memalukan
sekali!"
"Lalu kau mau menunjukkan semua ke-
pandaianmu di hadapanku? Ha ha ha. Tidak
usah ragu. Aku baginda mu ini siap menghada-
pinya?" tentang Panji Anom dengan sikap jumawa
penuh kesombongan. Dia kemudian melanjutkan
ucapannya. "Sebelum kau melakukan sesuatu,
sekarang sebaiknya kau terbanglah dulu di uda-
ra. Bertingkah seperti burung yang baru bisa ter-
bang dan bantingkan diri di atas batu!" teriak
Panji Anom yang rupanya telah mengerahkan il-
mu Kontak Suara.
Bersamaan ucapan pemuda itu, Datuk La-
balang merasakan mendadak tubuhnya bergetar
hebat, kaki tangan serta bagian tubuh lainnya
seolah seperti disentakkan ke atas. Sang Datuk
sunggingkan satu seringai aneh. Dia kerahkan
tenaga dalam ke bagian kaki. Sehingga walaupun
Panji Anom mengulangi kata-katanya yang am-
puh itu lawan tetap tidak bergerak sebagaimana
yang dia inginkan. Murid Begawan Panji Kwalat
manusia yang selalu memandang orang lain lebih
rendah derajatnya itu tersentak kaget.
"Keparat jahanam, dia sama sekali tak ter-
pengaruh oleh Ilmu Kontak Suara ku. Kalau begi-
tu aku harus menghantamnya dengan pukulan
Kutukan Mendera Bumi!" batin si pemuda. Baru
saja Panji Anom memutar kedua tangannya di
depan dada, pada saat itu pula meledaklah tawa
Sang Datuk.
"Dengan ilmu iblis itu kau hendak mem-
permalukan aku sebagaimana halnya yang telah
kau lakukan pada pembantu tolol. Ilmu itu tak
bisa mempengaruhi diriku karena kau kalah tua
dan kalah dalam hal hawa murni. Kudengar ko-
non gurumu yang mewariskan ilmu keji itu pa-
damu. Heemm, seandainya gurumu saat ini bera-
da disini, sampai botak sekalipun dia tak akan
dapat mencelakai aku dengan cara seperti itu. Ha
ha ha...!" kata Datuk Labalang sambil tertawa ter-
gelak-gelak.
Tak menyangka lawan mengetahui siapa
gurunya, Panji Anom sempat dibuat tercekat. Be-
lum lagi hilang rasa kejutnya, di depan sana ter-
dengar suara menggemuruh laksana badai topan
yang melanda. Panji Anom memandang ke depan.
Pada saat itu dia melihat tujuh cahaya putih lak-
sana balok es berputar sebat ke arahnya. Ketujuh
cahaya putih itu berbentuk bulat seperti batang
kelapa nampak berputar menyerang Panji Anom
dari segala penjuru arah.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang digunakan
oleh tua bangka ini?" rutuk si pemuda. Tanpa
membuang waktu lagi dia segera hentakkan salah
satu kakinya. Seiring dengan itu tubuhnya mele-
sat ke depan. Serangan sinar putih berbentuk bu-
lat berhawa dingin luar biasa ini akhirnya saling
bentrok satu sama lain. Sedangkan salah satu di-
antaranya langsung melejit ke atas mengejar pemuda itu.
3
Satu ledakan berdentum menggema di
udara. Di atas sana Panji Anom menjerit keras ke-
tika pahanya kena dihantam pukulan Datuk La-
balang. Bagian ujung celananya sampai sebatas
pangkal paha hancur berkeping-keping, selain itu
kaki yang terkena hantaman lawannya nampak
melepuh menggembung besar. Panji Anom yang
merasakan kakinya laksana disiram air mendidih
jatuh dengan tubuh termiring-miring. Sakit yang
diakibatkan pukulan itu saja sudah sangat luar
biasa sekali. Tapi Panji Anom Penggetar Jagad le-
bih merasa sakit hati lagi ketika melihat bagaimana celananya jadi robek hancur seperti dica-
cah. Sambil menggerung bagaikan harimau kela-
paran, Panji Anom Penggetar Jagad himpun selu-
ruh tenaga dalamnya. Begitu seluruh tenaga dis-
alurkan ke bagian kedua tangan. Sekujur tubuh
pemuda ini, mulai dari wajah, kedua tangan hing-
ga ke ujung kaki langsung berubah menjadi me-
rah kebiru-biruan. Dua matanya yang juga telah
menjadi biru memandang tajam ke arah lawan.
Sepasang bibir sunggingkan senyum sinis meng-
gidikkan.
"Tiga Petaka Mendera Bumi.... satu ilmu
pukulan yang menurut guruku belum ada dua-
nya. Aku ingin tahu apakah Begawan Panji Kwa-
lat bicara yang sesungguhnya atau berkata dusta.
Kau calon korban pertama jika apa yang dikata-
kan guruku memang merupakan satu kenya-
taan!" ujar Panji Anom. Dengan penuh keponga-
han dan disertai satu teriakan menggeledek pe-
muda itu menerjang ke arah lawannya. Satu tan-
gan dihantamkan lurus ke arah lawan. Sedang-
kan tangan kirinya yang terkepal dihantamkan ke
bumi. Saat itu juga dari bagian bawah tanah ter-
dengar suara menggelegar laksana gejolak gu-
nung yang hendak meletus. Kemudian setelah itu
permukaan tanah nampak bergolak hebat menge-
rikan. Lalu terlihatlah satu belahan memanjang
yang mana dari bagian tanah yang terbelah itu
menyembur lidah api. Lidah api tidak langsung
menjilat tubuh lawan, begitu juga tanah yang
membelah tidak menelan tubuh sang Datuk.
Jilatan lidah api yang mencuat ke permu-
kaan langsung menyambar tubuh Panji Anom.
Dimulai dari kedua ujung kaki, terus merayap ke
sekujur tubuh, hingga ke ujung rambut dan tan-
gannya. Semua yang terjadi pada Panji Anom ber-
langsung sangat singkat sekali. Sehingga lidah api
yang menjalar disekujur tubuhnya menjadi satu
tenaga yang Maha dahsyat.
Datuk Labalang sempat terperangah, mata
mendelik mulut ternganga seakan tak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Namun karena
menyadari ilmu aneh yang digunakan lawannya
bukan ilmu yang dapat dianggap remeh, maka
laksana walet menyambar dia menghantam men-
dahului lawannya.
Hawa panas menyambar, sinar biru berkib-
lat, menderu ke arah Panji Anom dengan sangat
cepat sekali. Tapi pada detik itu pula dari bagian
tangan Panji Anom yang terkepal melesat bertu-
rut-turut lima larik sinar maut berwarna merah
berkelok-kelok laksana ular yang berlari cepat.
Des! Des!
Buuuuum!
Satu ledakan berdentum menggelegar di
udara. Datuk Labalang menjerit keras, namun
suara jeritannya seolah tenggelam ditelah gemu-
ruh suara ledakan tadi. Datuk Labalang untuk
sesaat lamanya lenyap, tenggelam dalam kobaran
api. Dia jatuhkan diri dan bergulingan di atas ta-
nah. Api yang membakar pakaiannya membuat
tubuhnya jadi menghitam. Masih beruntung tidak
jauh dari tempat terjadinya perkelahian hebat ini
terdapat sebuah sungai. Ke arah sungai itulah
sang Datuk selamatkan dirinya. Beberapa saat
tubuh sang Datuk timbul tenggelam diseret arus.
Panji Anom yang merasa berada dalam kemenan-
gan tidak membiarkan lawannya meloloskan diri
begitu saja. Dia langsung mengejar, siapkan satu
pukulan yang tak kalah hebatnya dari pukulan
Tiga Petaka Mendera Bumi. Tapi begitu dia sam-
pai di tebing kali sosok kakek setinggi galah le-
nyap tak kelihatan. Pemuda ini meskipun masih
merasa penasaran tapi tetap yakin jiwa sang Da-
tuk pasti tidak ketolongan mengingat sekujur tu-
buhnya mengalami luka bakar yang sangat parah.
Jika pun Datuk Labalang dapat bertahan hidup,
paling tidak dia akan menderita cacat seumur hi-
dup. Panji Anom begitu ingat dengan senjata Bin-
tang Penebar Petaka pada akhirnya bersikap tidak
perduli dengan lenyapnya Datuk Labalang yang
mungkin tenggelam ditelan derasnya arus sungai.
Dia kembali ke tempat terjadinya perkelahian he-
bat tadi. Saat itu tanah yang terbelah akibat me-
nyembur nya lidah api dari dalam bumi yang me-
rupakan salah satu pembangkit tenaga sakti pe-
muda ini sudah bertaut kembali. Yang terlihat
hanya sebuah garis menghitam selebar telapak
tangan berkelok sepanjang penglihatan mata.
Panji Anom sunggingkan satu seringai be-
gitu melihat bekas lintasan lidah api yang menjadi
sumber dari kekuatan saktinya. Akan tetapi tak
berapa lama kemudian dia cepat memandang kearah mana Memedi Santap Segala terbaring.
Mendadak sontak tubuh si pemuda bergetar, wa-
jahnya memucat, kedua alisnya yang tebal ber-
taut ketika menyadari Memedi Santap Segala te-
lah lenyap entah kemana. Dengan tatapan mata
liar dan nafas sesak karena menahan kegeraman
Panji Anom Penggetar Jagad memandang ke se-
tiap penjuru sudut. Sampai sejauh itu orang yang
dicarinya tidak terlihat. Semua ini membuat ke-
marahan Panji Anom semakin meluap-luap.
Dengan kedua tangan terkepal dia mengge-
ram. "Manusia kunyuk keparat. Dia rupanya sen-
gaja melarikan diri di saat aku berkelahi dengan
tua bangka tadi. Dia sudah terluka, tak mungkin
dapat melarikan diri dariku. Awas... jika sampai
kutemukan, akan kubeset kulitnya." desis Panji
Anom. Pemuda itu kemudian melampiaskan ke-
marahannya dengan melepaskan pukulan ke arah
semak belukar di samping pohon besar yang
tumbang. Sinar hitam berkiblat, semak belukar
rambas, lalu terdengar suara ledakan menggele-
gar. Debu pasir dan reranting pohon bertaburan
di udara dalam keadaan dikobari api. Untuk be-
berapa saat lamanya suasana di tempat itu beru-
bah menjadi gelap. Ketika kegagalan sirna dan
suasana menjadi terang kembali Panji Anom su-
dah tak terlihat lagi berada di situ.
***
Memedi Santap Segala memang sangat
menyadari, cepat atau lambat salah seorang dari
mereka yang terlibat perkelahian sengit itu pada
akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Sedang-
kan yang satunya jika tidak terbunuh paling tidak
terluka parah. Siapapun yang memenangkan per-
kelahian hebat itu bagi Memedi Santap Segala ti-
dak begitu penting karena masing-masing dari
mereka sama-sama ingin merebut senjata Bintang
Penebar Petaka dari tangannya.
Hal seperti itu tidak boleh terjadi. Senjata
maut itu tidak akan dibiarkannya jatuh di tangan
salah seorang diantara mereka. Karena itulah ke-
tika perkelahian sengit terjadi Memedi Santap Se-
gala yang mengalami luka dalam di bagian pung-
gung dengan segenap sisa kekuatan yang dia mi-
liki berusaha melarikan diri dari mereka. Akan te-
tapi pemuda ini tentu tidak dapat pergi jauh ka-
rena dia hanya dapat berjalan biasa tanpa mam-
pu mengerahkan ilmu lari cepatnya. Setelah se-
kian lama bersusah payah melarikan diri sekali-
gus menghindar dari tangan-tangan serakah yang
menghendaki senjata Bintang Penebar Petaka, dia
merasa kehabisan tenaga dan kelelahan sendiri.
Sampai di suatu tempat yang terlindung
dari kelebatan semak belukar dan reranting pe-
pohonan Memedi Santap Segala menyelinap dan
berdiam disitu, sambil mencoba mengatur nafas
dan berfikir apa yang harus dilakukan selanjut-
nya.
"Untuk menyerahkan senjata ini pada
orang yang berhak menerimanya, atau mungkin
orang yang pantas kutitipi senjata ini aku harus
benar-benar memiliki kekuatan yang penuh. Tu-
buhku harus sehat, tidak sakit sebagaimana se-
karang. Mungkin sekarang aku harus menyem-
buhkan luka dalamku melalui pengerahan tenaga
dalam. Jika itu dapat kulakukan dan hasilnya se-
suai dengan yang kuharapkan aku yakin bukan
saja dapat menemukan orang yang cocok untuk
kutitipi senjata ini, tapi aku juga pasti mampu
menghindar dari Datuk Labalang atau juga Panji
Anom." batin Memedi Santap Segala.
Akhirnya tanpa fikir panjang lagi Memedi
Santap Segala yang saat itu duduk bersila segera
pejamkan mata. Begitu mata terpejam dia mulai
kerahkan hawa murninya yang bersumber dari
bagian pusernya yang bodong. Puser yang menon-
jol keluar sepanjang ibu jari itu berkerut atau
bergoyang ke kanan ke kiri ke atas dan ke bawah.
Cukup lama juga si pemuda berusaha mengerah-
kan tenaga saktinya untuk disalurkan ke bagian
punggung. Namun semua usaha yang dilakukan-
nya tidak membawa hasil sebagaimana yang diha-
rapkan. Padahal saat itu sekujur tubuhnya telah
bersimbah keringat, nafas megap-megap dan se-
kujur tubuh telah pula bersimbah keringat.
Memedi Santap Segala gelengkan kepala.
"Aneh... mengapa aku tak bisa menggunakan te-
naga saktiku? Jangan-jangan Panji Anom telah
mengambil tenaga saktiku secara licik, atau ba-
rangkali sumber tenaga dalamku telah berubah
menjadi angin, menjadi kentut. Jika itu sampai
terjadi, aduh matilah aku." Memedi Santap Segala
tepuk keningnya sendiri. Sementara itu akibat
pengerahan tenaga dalam membuat luka di ba-
gian pinggangnya jadi semakin bertambah sakit.
Si pemuda meringis.
Dia terdiam sesaat, berfikir mencari jalan
keluar. Sampai kemudian terlintas sesuatu di da-
lam benaknya.
"Batu Rembulan... batu itu telah banyak
memberi bantuan ketika aku terperangkap di da-
lam lubang batu. Sekarang aku harus mengguna-
kan batu sakti itu." batin si pemuda. Tangannya
kemudian bergerak ke bagian saku celananya.
Dia meraba kian kemari, hatinya berdebar pera-
saan jadi cemas. Akhirnya dia merasa lega ketika
mendapati batu itu masih berada di tempatnya.
Batu putih sebesar dan berbentuk seperti
telur ayam dan menyimpan kekuatan sakti itu di-
ambilnya. Memedi Santap Segala memperhatikan
batu tersebut beberapa jenak. Setelah itu batu di-
genggamnya erat-erat. Mulut komat-kamit seben-
tar disertai desis aneh. Baru setelah suara desi-
san lenyap terdengar pemuda ini berucap. "Batu
Rembulan batu sakti, batu kesayanganku. Kepa-
damu aku mohon satu pertolongan sekali lagi.
Dengan kesaktian yang kau miliki, harap kau
bantu aku sembuhkan luka di bagian pinggang-
ku!" kata si pemuda. Sesaat dia menunggu, detik
demi detik berlalu. Tapi tidak terjadi reaksi atau
perubahan apapun. Batu dalam genggaman tan-
gannya tidak menghangat, juga tidak memancar-
kan cahaya putih ke kuning-kuningan. Melihat
kenyataan ini tentu saja Memedi Santap Segala
jadi terheran-heran. "Tak biasanya Batu Rembu-
lan ini tidak memberi reaksi atas semua perin-
tahku. Mengapa sekarang jadi begini? Mungkin
ada satu kesalahan, mungkin kesaktian batu ini
sedang tertidur hingga dia tidak mendengar aba-
aba dariku." Fikir Memedi Santap Segala.
Karena masih juga merasa penasaran, ma-
ka dia segera berucap kembali dengan suara ke-
ras, hingga jika ada orang disekitarnya tentu
orang itu dapat mendengarnya dengan jelas.
"Batu Rembulan batu sakti.... Bantulah
aku."
Selesai berkata Memedi Santap Segala
kembali menunggu. Seperti tadi batu sakti ditan-
gannya tidak menunjukkan perubahan apapun.
"Batu Rembulan batu sakti...!" Untuk yang
ketiga kalinya dia mengulangi, namun sebelum
dia sempat melanjutkan ucapannya mendadak
saja terdengar suara kentut besar yang kemudian
disusul dengan suara tawa yang seakan datang
dari atas langit.
Memedi Santap Segala jadi kaget bukan
main, wajah hitamnya sempat berubah memucat.
Tanpa sadar dia dongakkan kepala memandang
ke langit dimana suara tawa tadi terdengar.
"Mungkin dewakah yang mentertawaiku
tadi? Tobat... apa yang harus kulakukan?" desis
Memedi Santap Segala. Dia tiba-tiba merasa sa-
dar telah melakukan suatu kesalahan. Jika dia
membutuhkan satu pertolongan mengapa tidak
memintanya pada Tuhan? Mengapa harus pada
batu? Benda yang sesungguhnya merupakan ba-
gian terkecil dari sekian banyak ciptaan Tuhan.
Mungkin Tuhan jadi marah, hingga Dia mengam-
bil kekuatan yang dimiliki batu tersebut.
Ingat akan semua itu membuat Memedi
Santap Segala menggigil. Pada saat itu suara tawa
telah lenyap. Memedi Santap Segala tak berani
memandang ke langit. Dia jadi malu dan takut
pada Gusti Allah.
Di saat pemuda itu diliputi berbagai pera-
saan itulah satu suara terdengar mengguntur.
"Bocah yang kulitnya seperti pantat kuali.
Kau tak mungkin dapat sembuh dari luka itu.
Kau bisa lumpuh, menderita seumur hidup dan
bisa juga mati jadi roh gentayangan. Manusia sa-
lah kaprah kau harus melakukan sesuatu, ha-
rus...!"
Memedi Santap Segala jadi tertegun. Me-
nyangka yang baru saja bicara tadi dewa, maka
dia rangkapkan kedua tangan sambil menjura
hormat.
Suara yang seakan datang dari atas langit
perdengarkan suara tawa mengekeh.
"Ampun dewa. Sesungguhnya aku ini orang
bodoh...!"
"Kau memang tolol, lihat saja sendiri tam-
pangmu mirip sekali dengan monyet." sergah sua-
ra itu sambil tetap tertawa-tawa.
"I... iya, tampangku memang seperti mo-
nyet. Mengapa begini, apakah kau bisa mengganti
buruk rupaku dengan rupa yang lain?" tanya
Memedi Santap Segala polos.
"Hust, wajah yang seperti itu adalah wajah
langka. Kelak akan banyak orang yang mencari-
mu. Ha ha ha." sahut suara itu.
"Oh sedihnya diriku. Siapakah dirimu?
Apakah kau malaikat?" tanya Memedi Santap Se-
gala dengan suara bergetar dan wajah masih ter-
tunduk.
"Bukan...!" menyahuti suara itu sambil ter-
tawa-tawa.
"Mungkin kau dewa?"
"Juga bukan." sahut si suara.
"Apakah kau setan?" tanya Memedi Santap
Segala lagi.
"Ya, aku setan. Aku bapak setan. Ha ha
ha."
Si pemuda lugu yang memiliki daya fikir
rendah ini terbelalak dengan mulut menganga le-
bar.
"Sewan... eh, setan?! Aku paling takut pada
setan." desis Memedi Santap Segala alias Mak-
hluk Tangan rembulan.
"Manusia tolol, kau takut pada Setan, bu-
kan pada Tuhan. Sungguh aku akan memperce-
pat kematianmu sekarang juga!" bentak suara itu
sinis.
"Oh jangan, aku masih ingin hidup. Siapa-
pun adanya dirimu ini aku ingin kau mengatakan
padaku apa yang harus kulakukan!" ujar si pemuda.
"Ha ha ha. Kau ingin aku memberimu ja-
lan?"
"I... iya." jawab si pemuda tersendat.
"Kalau begitu sebaiknya kau membunuh
diri!" Laksana terbang nyawa Memedi Santap Se-
gala mendengar anjuran suara itu. Dia berfikir ji-
ka suara itu memang setan adanya, tentu dia ti-
dak salah memberi jalan menyesatkan. Karena
hal-hal seperti itu memang pekerjaan setan. Tapi
haruskah dia membantah?
"Kau ragu untuk menjawab, mulutmu ter-
katub diam membisu, ataukah kau punya usul
lain." sentak suara itu.
"Betul... aku ingin hidup, aku ingin sela-
mat!" jawab Memedi Santap Segala dengan terba-
ta-bata.
"Tidak ada jalan selamat bagimu terkecuali
kau mau menelan Batu Rembulan di tanganmu
dan menyerahkan Bintang Penebar Petaka yang
tersimpan di salah satu kantong perbekalan mu
padaku!" tegas suara itu.
4
Laksana disambar petir Memedi Santap
Segala langsung terkulai di tanah, tengkuk tidak
terasa seperti tengkuk lagi, tapi telah berubah
menjadi dingin laksana es. Apa yang dikatakan
oleh suara itu bagi Memedi Santap Segala dia
anggap sebagai suatu nasehat gila. Bagaimana
mungkin dia bisa menelan Batu Rembulan ke-
sayangannya. Sedangkan selain batu itu beruku-
ran cukup besar juga satu-satunya benda berhar-
ga yang dia miliki.
Masih dengan keadaan rebah di atas ta-
nah, Memedi Santap Segala ajukan pertanyaan.
"Apakah tidak ada cara lain untuk menyembuh-
kan diriku?"
"Manusia tolol, melihat pada tubuhmu kau
pantas mendapat julukan memedi, karena tu-
buhmu hitam legam. Lalu apa artinya santap se-
gala? Bukankah itu berarti kau memakan segala
sesuatunya. Apa saja kau sikat. Lalu apa artinya
jika harus menelan sebuah batu demi kesembu-
hanmu sendiri? Tapi semua terserah padamu, ji-
ka kau tak mau turuti. Kujamin tak sampai se-
tengah jam di depan nyawamu benar-benar am-
blas. Ha ha ha," kata suara itu disertai tawa ter-
kekeh-kekeh.
Takut apa yang dikatakan orang menjadi
kenyataan, Memedi Santap Segala buru-buru be-
rucap. "Aku... aku tak punya. pilihan lain. Tapi
seperti katamu, batu ini akan kutelan. Terus-
terang aku takut mati, karena mungkin aku ba-
nyak dosa. Tapi aku butuh air!" ujar si pemuda.
"Tidak ada air, apakah kau mau minum air
kencingku. Ha ha ha!" sahut suara itu sambil ke-
luarkan tawa membahak.
"Setan keparat, dia rupanya bangsanya se-
tan gila. Ada saja yang dikatakannya." rutuk Me-
medi Santap Segala. Sejenak dia menjadi ragu
apakah harus menelan Batu Rembulan atau ba-
talkan niatnya. Namun dia takut menjadi sesuatu
yang tidak diingini. Dalam kesempatan itu ter-
dengar suara lagi.
"Cepat lakukan!"
Memedi Santap Segala akhirnya patuhi apa
yang dikatakan suara tadi. Batu Rembulan dide-
katkan ke mulut, sedangkan mulut dibuka lebar-
lebar. Batu sebesar telur lalu dimasukkan ke da-
lam mulutnya. Setelah itu tenggorokan lakukan
gerakan menelan.
"Egkh...!" Memedi Santap Segala keluarkan
suara seperti tercekik. Matanya mendelik, tenggo-
rokannya naik turun berusaha menelan, tapi ka-
rena batu itu cukup besar, sehingga hampir tak
dapat melewati bagian tenggorokannya. Kini Me-
medi Santap Segala jadi sulit bernafas, tangannya
menggapai kian kemari, sedangkan kedua kaki
melejang-lejang seperti orang yang meregang ajal.
Penderitaan si pemuda tidak hanya sampai
disitu saja, karena begitu batu berada di dalam
tenggorokan, maka dibagian itu terasa panas se-
perti terbakar. Rasa panas menjalar ke sekujur
tubuh, menimbulkan mulas di perut dan rongga
dada laksana terbakar. Selagi Memedi Santap Se-
gala dalam keadaan tak mampu menelan atau
mengeluarkan Batu Rembulan dari dalam mulut-
nya, maka pada waktu itu pula satu bayangan
serba hitam berkelebat dari arah belakangnya.
Bayangan itu menyambar ke arah si pemuda. Di
lain waktu Memedi Santap Segala merasakan ada
tangan dingin menekan ubun-ubun, sedangkan
sarung tangan yang lainnya menghantam bagian
perut.
Kleer!
Hantaman dan pijitan membuat Batu
Rembulan amblas ke dalam perut si pemuda.
Akibatnya bagian perut terasa seperti diremas
dan dibakar dari bagian dalam.
"Uwalah, tobaaat...!" teriak si pemuda sam-
bil mengusap perutnya sambil julurkan lidah.
Di depan Memedi Santap Segala sosok
tinggi besar luar biasa berpakaian serba hitam
dengan dada tak terkancing, bermuka bulat, hi-
dung pesek berpipi tembem dengan kening lebar
tertawa terkekeh-kekeh. Perutnya yang besar ber-
goyang keras.
Memedi Santap Segala meskipun kaget me-
lihat kehadiran sosok tinggi besar ini namun te-
rus bergulingan di atas tanah.
"Setan alas. Walah... tubuhku, perutku se-
perti dipanggang. Batu Rembulan benar-benar
menyiksaku!" teriak si pemuda, marah, kesal juga
kebingungan.
"Apakah kau membutuhkan air untuk
membuat dingin perutmu?" tanya sosok gendut
besar yang bukan lain adalah kakek Gentong Ke-
tawa. Memedi Santap Segala sama sekali tidak
menyahut. Pemuda itu masih saja bergulingan.
Diam-diam si kakek gendut dengan bobot lebih
dari dua ratus kati ini memperhatikan Memedi
Santap Segala. Begitu pandangan matanya membentur sosok di depannya, si gendut jadi terke-
siap. Sosok yang tadinya hitam macam arang kini
telah mengalami perubahan hebat di sekujur tu-
buhnya. Memedi Santap Segala tidak lagi berkulit
hitam, melainkan sekujur tubuhnya telah beru-
bah menjadi merah kekuning-kuningan. Satu
proses aneh terus berlangsung pada dirinya. Tu-
buh yang semula berwarna kuning kini telah be-
rubah menjadi sebening kristal. Sehingga bagian
dalam tubuhnya terlihat dengan jelas. Mulai dari
tengkorak kepala yang terbalut kulit dan daging,
tenggorokan, pernafasan, lambung, hati dan isi
perut lainnya semua membayang. Seakan di da-
lam tubuh Memedi Santap Segala Batu Rembulan
memancarkan cahaya ke sekujur tubuhnya. Tapi
yang lebih hebat lagi dan sempat si kakek gendut
jadi terkagum-kagum kedua tangan Memedi San-
tap Segala memancarkan sinar terang laksana
bulan purnama.
"Hebat.... kini kau tidak ubahnya seperti
dewa yang menerangi kegelapan. Kau tak pantas
lagi mempunyai nama Memedi, kau lebih pantas
disebut Makhluk Tangan Rembulan. Kukatakan
makhluk karena ku sebut kau sebagai manusia
kurang cocok, bila kukatakan monyet juga tidak
pantas. Ha ha ha...! Sekarang lihatlah dirimu, kau
perhatikan baik-baik. Kini kau tampak lebih ga-
gah, lebih putih bahkan lebih bersinar. Tidak bu-
lukan, kusam sebagaimana tadi."
Memedi Santap Segala yang merasa bagian
dalam perutnya tidak terasa panas sebagaimana
tadi kini duduk dan perhatikan diri sendiri. Dia
terkejut melihat apa yang terjadi.
"Sungguh sulit kupercaya. Bagaimana tu-
buhku bisa berubah bening seperti ini?" desis si
pemuda. Heran juga puas melihat kedua tangan-
nya, kini dia memperhatikan dada dan perutnya.
Begitu melihat ke bagian itu dia langsung mende-
kap wajahnya.
"Bagian dalam perutku kini mengapa jadi
kelihatan. Aku... aku takut...!" rintih si pemuda.
"Manusia tolol, kini kau memiliki satu ke-
saktian hebat, mengapa jadi takut melihat perut
sendiri?" dengus si gendut Gentong Ketawa.
Orang tua itu kemudian melanjutkan. "Batu
Rembulan telah menyatu dalam dirimu, sekarang
apakah kau tidak hendak mengatakan padaku
untuk apa lagi kau membawa senjata Bintang Pe-
nebar Petaka yang menjadi incaran banyak
orang?" kata Gentong Ketawa.
Diam-diam Memedi Santap Segala jadi ter-
heran-heran juga terkejut mendengar ucapan
Gentong Ketawa.
"Bagaimana kau bisa mengetahui senjata
itu ada padaku, orang tua?" tanya Memedi Santap
Segala.
"Ha ha ha. Bukankah aku setan?" sahut si
kakek gendut. "Tapi terus-terang saja aku me-
mang mengikutimu, bahkan sejak kau mendapat
perlakuan bagus dari Panji Anom."
"Hah, kalau begitu kau juga melihat kakek
tinggi, Datuk Labalang junjunganku?" tanya sipemuda.
"Aku melihat hantu jelek berpakaian seper-
ti banci dimandikan dalam lautan api oleh Panji
Anom. Setelah puas mandi api, dia baru kemu-
dian berenang dalam sungai. Bagaimana nasib
kakek jelek itu selanjutnya aku tidak tahu!"
Memedi Santap Segala gelengkan kepala.
Dia sempat terdiam beberapa saat lamanya. Da-
tuk Labalang selama jadi majikannya memang tak
pernah menyakiti dirinya. Hanya orang tua itu
sering melakukan kejahatan pada orang lain. Dia
khawatir, jika orang tua itu sampai memiliki sen-
jata Bintang Penebar Petaka, kejahatan yang dila-
kukannya semakin menjadi-jadi. Karena alasan
inilah Memedi Santap Segala tidak bersedia mem-
berikan senjata yang telah ditemukannya.
"Anak muda, walaupun Batu Rembulan ki-
ni telah menyatu dengan dirimu, ini bukan berarti
kau sanggup menghadapi mereka. Setiap saat ji-
wamu terancam. Jika kau mau menuruti apa
yang aku sarankan kurasa aku bersedia memban-
tumu." ujar si gendut.
"Apa yang harus kulakukan. Apakah eng-
kau juga menginginkan senjata ini?" tanya si pe-
muda curiga, namun dia juga sempat berfikir se-
telah merasa dirinya ditolong mungkinkah orang
tua ini dapat dipercaya?
"Aku tidak kemaruk dengan segala macam
senjata. Kalau kau tak keberatan, mungkin kita
dapat menemui guruku untuk meminta petunjuknya." ujar si gendut.
"Aneh... orang setua dirimu masih punya
guru?" ucap Memedi Santap Segala heran.
Gentong Ketawa anggukkan kepala lalu ter-
tawa tergelak-gelak. "Guru aku punya, murid aku
juga punya. Mungkin anak istri yang tidak kumi-
liki! Ha ha ha."
Si pemuda yang kini tubuhnya telah beru-
bah sebening kaca dan tembus pandang ini ak-
hirnya mengangguk setuju.
"Baiklah, aku percaya padamu. Aku akan
ikut denganmu, jika kau ternyata menipuku. Aku
tak akan segan untuk membunuhmu!" ancam
Memedi Santap Segala.
Si kakek gendut menanggapinya dengan
tawa mengekeh. Bagaimanapun saat ini masih
cukup banyak persoalan yang harus diselesaikan
nya. Sejak terpisah dengan Gento Guyon di pun-
cak bukit sebelah timur Kuil Setan dia masih be-
lum bisa mengetahui bagaimana nasib muridnya.
Lalu bagaimana si kakek gendut yang semula be-
rada di dalam sebuah ruangan di Kuil Setan itu
kini bisa keluar dari Kuil Setan? Padahal saat itu
ketika puncak bukit meledak, Kuil Setan juga ikut
meledak.
***
Sejenak kita ikuti dulu apa yang terjadi be-
berapa saat sebelum terjadi ledakan dahsyat pada
bagian puncak bukit juga Kuil Setan. Ketika itu
Gentong Ketawa bersama gurunya si kakek pendek cebol Kuntet Mangku Bumi bergelar Dewa
Kincir Samudera sedang memeriksa kamar-kamar
maut yang jumlahnya cukup banyak. Di dalam
setiap ruangan mereka menemukan tulang belu-
lang serta tengkorak yang bergeletakan di setiap
sudut. Belasan ruangan telah mereka teliti, na-
mun Gentong Ketawa tidak menemukan murid-
nya berada di salah satu ruangan itu.
"Kita harus memeriksa ruangan yang di-
tempati oleh Iblis Berjubah Merah. Jika cucu mu-
ridku telah dicelakainya, aku bersumpah akan
membuat tulang belulang setan gentayangan itu
jadi debu." guman si kakek. Lalu orang tua ini
dengan tergesa-gesa memasuki sebuah ruangan
besar dimana di seberang ruangan terdapat se-
buah pintu batu berwarna merah.
"Apakah dia tinggal di sebelah sana?" tanya
si kakek gendut sambil memandang ke arah si
kakek berambut putih yang tingginya tak sampai
sebatas pinggang itu.
Si pendek cebol yang usianya lebih dari se-
ratus tahun ini anggukkan kepala. Tanpa bicara
lagi orang tua ini angkat tangan kanannya ke atas
kepala. Begitu diangkat tangan langsung menge-
pulkan asap tebal berwarna putih. Dibelakangnya
si kakek gendut besar tersenyum.
"Si cebol guruku ini rupanya hendak
menghancurkan pintu batu. Huh, apakah tidak
ada cara lain. Jika pintu hancur tidak mengapa,
tapi bagaimana jika seluruh ruangan ini ikut run-
tuh? Bukan hanya dia saja, akupun bisa ikut terkubur hidup-hidup disini." Fikir si gendut dalam
hati. Akan tetapi belum lagi Dewa Kincir Samude-
ra sempat melepaskan pukulan mautnya. Pada
saat itu terjadi satu guncangan keras yang diser-
tai dengan ledakan disana sini.
Gentong Ketawa tercekat, Dewa Kincir Sa-
mudera terkejut. Terlebih-lebih ketika merasakan
lantai yang dipijaknya menunjukkan tanda-tanda
hendak amblas ke bawah.
Lalu suara gemuruh terdengar dari segala
penjuru arah. Hawa di dalam ruangan dimana
mereka berada semakin bertambah panas.
Wuus! Wuus!
Api entah dari mana datangnya menyem-
bur menjilat-jilat dari setiap pintu yang terkuak
lebar.
"Gila tapi juga hebat, pukulan belum dile-
paskan tapi api sudah menyembur dari semua
arah. Ilmu apa yang guru pergunakan?" celetuk
Gentong Ketawa. Orang tua ini tertawa tergelak-
gelak, walau sesungguhnya jauh di lubuk hati si
gendut merasa kaget juga tegang menyaksikan
semua kejadian yang tak pernah disangka-sangka
ini.
"Tua bangka konyol, cepat kita tinggalkan
ruangan ini. Aku menaruh firasat darah murid
kesayangan Yang Agung alias Iblis Berjubah Me-
rah tertumpah membasahi puncak bukit ini. Se-
baiknya kita keluar, jika tidak kita bisa mampus."
teriak Dewa Kincir Angin. Kemudian dengan san-
gat cepat sekali si kakek pendek cebol memutar
langkah. Sekali berkelebat dengan diikuti Gentong
Ketawa mereka telah meninggalkan ruangan.
Ruangan demi ruangan mereka lewati, na-
mun baru saja mereka sampai di depan pintu
kuil. Pada waktu bersamaan terjadi ledakan ber-
dentum. Kuil Setan meledak dahsyat disertai sua-
ra gemuruh api dan terpentalnya batu-batu besar
ke segala penjuru arah. Gentong Ketawa dan gu-
runya ikut terlempar. Tubuh mereka melambung
tinggi. Karena tubuh si gendut lebih berat, maka
jatuhnya tak begitu jauh dari lembah bukit. Se-
dangkan Dewa Kincir Samudera karena tubuhnya
lebih kecil dan ringan maka dia terlempar jauh
dan jatuh entah kemana.
Ketika si gendut jatuh, jatuhnya tepat di
atas kerimbunan pohon, hingga membuat tubuh-
nya menyerangsang, lalu meluncur turun ke ba-
wah disertai suara bergedebukan saat si kakek ja-
tuh di atas batu. Batu amblas, si kakek mengge-
liat. Dalam kegelapan menjelang pagi dia mengge-
rutu. "Untung ada batu, jadi tubuhku yang terasa
pegal kini seperti diurut." Si kakek kemudian
bangkit berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya be-
berapa kali. Saat itu suasana telah mulai terang
tanah sedangkan udara dingin terasa demikian
mencucuk. Untuk pertama kalinya Gentong Ke-
tawa memandang ke arah bukit. Puncak bukit
sudah tidak nampak lagi, setelah meledak kini
bukit tersebut sudah hampir rata sama sekali.
"Mudah-mudahan guruku tak ketinggalan
di kuil itu. Aku tak tahu dia jatuh dimana? Perasaanku mengatakan dia dalam keadaan selamat.
Biarlah tubuhnya pendek asalkan umurnya pan-
jang." batin si gendut. Dia mengusap tengkuknya
yang terasa dingin. Selagi si gendut berfikir dan
teringat pada muridnya Gento Guyon. Pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara bentakan-
bentakan keras tak jauh dari tempat dimana dia
berada.
"Matahari belum lagi terlihat." berkata si
gendut sambil memandang ke langit sebelah ti-
mur. Saat itu yang terlihat hanya rona merah di-
mana matahari akan munculkan diri. "Orang-
orang gila mana lagi yang berkelahi di pagi buta
begini?"
Karena hati si kakek gendut dipenuhi rasa
ingin tahu, maka dia kemudian menyelinap diba-
lik semak belukar sampai akhirnya berhenti di sa-
tu tempat dan mengintai dari balik pohon besar.
Gentong Ketawa tertegun begitu melihat seorang
pemuda berpakaian serba merah berwajah tam-
pan gagah namun congkak tengah menyerang
seorang kakek tua berdaster dan berkerudung hi-
tam. Yang membuat orang tua ini jadi terheran-
heran adalah mengenai keadaan fisik si kakek
bertampang seram itu. Tubuh si daster hitam
tinggi bukan main, begitu tingginya sampai ham-
pir menyamai pohon-pohon yang terdapat di keli-
lingnya.
Melihat hebatnya serangan-serangan yang
dilancarkan oleh kedua belah pihak, si gendut
dapat memastikan mereka pastilah dua orang
yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi siapa pe-
muda berpakaian merah itu? Setiap pukulan yang
dilancarkannya mengandung hawa keji. Masih
sangat muda tapi ilmunya sangat tinggi. Si kakek
terdiam sambil berfikir. Dia lalu tepuk keningnya.
"Mungkin pemuda ini Lira Watu Sasangka,
alias Panji Anom Penggetar Jagad, murid kakek
lumpuh Begawan Panji Kwalat. Bocah keblinger
ini tentu mewarisi ilmu kesaktian dari gurunya."
batin si gendut.
Sementara perkelahian semakin bertambah
sengit dan menghebat, Gentong Ketawa alihkan
perhatiannya ke lain tempat masih disekitar tem-
pat terjadinya perkelahian.
"Astaga. Pemuda hitam rupa seperti ku-
nyuk itu siapa adanya. Kulihat dia dalam kea-
daan terluka. Aku tak salah mendengar, tadi aku
sempat mendengar ada orang menyebut-nyebut
tentang senjata Bintang Penebar Petaka. Semula
suara itu datang dari langit. Mana mungkin ada
dewa berebut senjata. Bisa jadi senjata yang dica-
ri selama ini ada di tangan pemuda hitam itu.
Eeeh... dia hendak pergi. Ternyata dia cukup cer-
dik. Mempergunakan kesempatan untuk menye-
lamatkan diri selagi orang sibuk berkelahi!" desis
si gendut. Dia tersenyum sambil mengusap-usap
keningnya. Pada waktu itu timbul keinginannya
untuk mengikuti Memedi Santap Segala, namun
pada waktu yang bersamaan Panji Anom menge-
rahkan ilmu pukulan Tiga Petaka Bumi. Gentong
Ketawa sempat tercekat ketika melihat bagaimana
bumi jadi rengkah terbelah. Di balik rengkahan
bunuh api menyembur dan langsung tersedot ke
dalam tubuh Panji Anom. Melalui tenaga yang be-
rasal dari semburan api dari dalam tanah inilah
dia menghabisi lawannya.
Ketika Datuk Labalang terbakar dan lang-
sung ceburkan diri ke dalam kali itulah Gentong
Ketawa tinggalkan tempat itu dengan perasaan
tegang bercampur ngeri.
"Pemuda tadi tak bisa dianggap remeh. Aku
harus memberi tahu apa yang kulihat di pagi ini
pada Gento, agar kelak dia dapat bersikap hati-
hati." guman si gendut, lalu dia mengejar ke arah
lenyapnya Memedi Santap Segala.
5
Udara di pagi itu terasa dingin mencucuk,
burung-burung berkicauan menyanyikan senan-
dung yang merdu. Kuil Setan yang berada di pun-
cak bukit tidak tampak lagi, lenyap sama rata
dengan tanah akibat ledakan dahsyat yang terjadi
malam tadi. Dari tempat pemuda itu terjatuh, dia
hanya melihat kepulan asap hitam, bergulung-
gulung menjulang tinggi menggapai angkasa. Si
gondrong tampan bertelanjang dada ini kerjabkan
matanya, otak berusaha berfikir, mengingat-ingat
segala sesuatu yang telah terjadi. Mendadak ke-
palanya jadi pening.
Si gondrong memijit keningnya, mata ter
pentang memandang ke sekeliling tempat itu. Kini
dia baru sadar dan ingat segala sesuatu yang te-
lah terjadi.
"Ledakan itu telah melemparkan aku se-
jauh ini? Kemana gadis cantik berpakaian dan
bertubuh serba hijau itu?" sambil berkata begitu
si pemuda tampan yang tiada lain adalah Gento
Guyon ini bangkit berdiri. Tubuhnya agak ter-
huyung, kepala terus mendenyut, sedangkan ba-
gian tubuhnya yang lain terasa sakit seperti re-
muk. Sekali lagi dia kitarkan pandangan ma-
tanya. Samar-samar murid Gentong Ketawa ini
melihat satu sosok tubuh dalam keadaan rebah
miring memunggungi dirinya. Pakaian tipisnya
yang berwarna hijau acak-acakan. Tak percaya
dengan penglihatannya sendiri Gento mengusap
matanya.
Sepasang matanya yang bulat kini terbela-
lak sedangkan, mulut membuka lebar. "Gila... tak
kusangka ledakan yang terjadi membuat aku dan
dia tercampak sampai ke sini. Apa yang terjadi
dengannya? Apa mungkin dia terluka karena le-
dakan itu?" Gento membatin dalam hati. Namun
dia cepat mendatangi. Dua tombak lagi dia sam-
pai di belakang si gadis, langkah Gento mendadak
terhenti. Dia mendengar suara batuk, bila me-
mandang ke depannya gadis itu menggeliat.
Karena gadis itu tak kunjung bangun, Gen-
to bermaksud memberikan satu pertolongan. Se-
kali lagi Gento jadi bimbang. Dia takut jika perto-
longan yang dilakukannya malah mengundang
kemarahan bagi gadis berwajah secantik bidadari
itu.
Sampai akhirnya si gadis berpakaian serba
hijau dan berkulit hijau ini bangkit sendiri. Bersi-
kap seperti tidak ada orang lain di tempat itu si
gadis yang bukan lain adalah Dwi Kemala Hijau
ini langsung bersila, mata terpejam dan nafas di-
hembuskan dengan teratur. Rupanya dia bermak-
sud menghimpun tenaga dalam dan mengatur pe-
redaran darahnya yang sempat menjadi kacau.
Beberapa saat berlalu, si gadis masih tetap
duduk bersila dengan mata terpejam. Gento ber-
diri tegak ditempatnya. Dalam hati dia berkata.
"Sejak pertama kali melihatku, dia memperli-
hatkan satu perhatian. Entah apa yang diingin-
kan oleh gadis berkulit hijau ini. Aku sebenarnya
merasa curiga, walaupun kulihat sikapnya begitu
baik kepadaku. Tapi siapa tahu hatinya menyim-
pan maksud jahat hendak mencelakai aku. Apa-
pun tujuannya aku tidak boleh lengah."
"Bagaimana keadaanmu Gento? Apapun
dugaanmu tentang diriku, semua itu tidak berala-
san sama sekali." suara si gadis yang merdu me-
mecahkan keheningan suasana hingga membuat
Gento jadi berjingkrak kaget.
"Bagaimana dia bisa mengetahui apa yang
ku fikirkan? Apakah mungkin dia seorang du-
kun?" kata Gento dalam hati.
"Nah, kau bicara lagi. Sudah kukatakan
semua dugaanmu tidak beralasan sedikitpun.
Aku bukan orang jahat," ujar Dwi Kemala Hijau
sambil buka matanya. Dia lalu memutar tubuh-
nya hingga kini menghadap ke arah Gento. Si ga-
dis julurkan kedua kaki, sedangkan punggungnya
disandarkan pada sebuah batu yang berada dis-
itu.
Cukup lama Dwi Kemala Hijau memperha-
tikan pemuda didepannya. Gento jadi salah ting-
kah, namun tetap sunggingkan senyum.
Beberapa saat kemudian si pemuda mem-
buka mulut, ajukan satu pertanyaan.
"Gadis hijau secantik bidadari. Siapa sebe-
narnya dirimu?"
Dwi Kemala Hijau sunggingkan seulas se-
nyum. Sungguh senyum itu membuat laki-laki
yang memandangnya tadi belingsatan.
"Aku sebenarnya seorang bidadari kayan-
gan." Menerangkan si gadis dengan suara merdu
dan enak didengar. Berlagak sok tahu Gento
Guyon yang sempat kaget mendengar jawaban si
gadis berkata. "Aku memang sudah menduga ga-
dis secantikmu pasti berasal dari Kayangan. Di
dunia ini mana ada gadis secantik dirimu. Tapi...
sebenarnya kayangan itu ada di mana?"
Mendengar pertanyaan Gento yang polos,
dengan tenang gadis cantik itu menjawab.
"Kayangan adalah suatu tempat yang sangat in-
dah. Belum pernah dilihat oleh seorang pun pen-
duduk bumi. Tempat itu penuh kedamaian. Tidak
ada sengketa, tidak ada darah yang tertumpah
disana akibat nafsu amarah. Hanya tempatnya
sangat jauh melewati laut menyeberangi awan.
Tak seorangpun yang sanggup mencapai tempat
itu. Terkecuali penduduk tetap di sana dan orang-
orang yang dikehendaki." jelas Dwi Kemala Hijau.
Murid Gentong Ketawa manggut-manggut.
Apapun dan dimanapun tempat itu Gento tidak
perduli. Karena saat itu dia tak mau dipusingkan
dengan segala sesuatu yang sulit diterima akal.
"Mungkin suatu saat aku bisa sampai ke
tempat itu. Aku akan menggunakan seribu bu-
rung merpati. Ha ha ha." kata si pemuda sambil
tertawa lebar. "Kemala Hijau, sebenarnya aku he-
ran mengapa Kuil Setan bisa meledak?" Gento
Guyon sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Meledaknya Kuil itu tentu ada sangkut
pautnya dengan kematian Maut Tanpa Suara...!"
"Bagaimana mungkin kematian pemuda itu
ada hubungannya dengan Kuil Setan?" potong
murid Gentong Ketawa terheran-heran.
Dwi Kemala Hijau tersenyum lagi. Dia me-
narik nafas perlahan, untuk kemudian meng-
hembuskannya kembali. Setelah itu dia mene-
rangkan. "Maut Tanpa Suara adalah murid ke-
sayangan Yang Agung atau yang lebih dikenal
dengan julukan Iblis Berjubah Merah. Maut Tan-
pa Suara adalah penerus dan orang yang kelak
diharapkan dapat menggantikan gurunya. Seba-
gai orang yang mewarisi kuil maut itu, darahnya
tidak boleh tertumpah di tempat yang akan men-
jadi singgasananya. Terkecuali darah orang lain.
Jika hal ini sampai terjadi, sebagaimana ikrar
sumpah pada saat Kuil Setan didirikan, maka
Kuil Setan akan runtuh." kata Dwi Kemala Hijau.
Gento sesungguhnya kurang begitu paham
dengan keterangan gadis itu. Akan tetapi baginya
kehancuran kuil setan merupakan sesuatu yang
sangat diharapkan. Dari pada kelak dikemudian
hari akan timbul bencana lagi di tempat itu. Kini
Gento teringat akan keberadaan si gadis di Kuil
Setan. Sehingga dengan tatapan curiga dia ajukan
pertanyaan. "Semua penjelasanmu yang ada hu-
bungannya dengan kematian Maut Tanpa Suara
dan kehancuran Kuil Setan, terus-terang memang
sulit kupercaya. Kau sendiri konon kudengar ma-
sih merupakan murid Yang Agung, lalu sebelum
tewas Maut Tanpa Suara ada mengatakan sesua-
tu. Matanya memandangku tidak senang, jika tak
mau kukatakan cemburu. Agaknya selain kalian
mempunyai hubungan sebagai saudara sepergu-
ruan mungkin diantara kalian sudah terikat da-
lam satu pertalian cinta kasih!" berkata begitu
murid si gendut Gentong Ketawa hendak sembur-
kan tawa. Tapi ketika dilihatnya wajah si gadis
berubah menjadi hijau tua sedangkan matanya
mendelik besar memandang penuh rasa marah
pada Gento, maka pemuda ini langsung dekap
mulutnya dengan tangan kanan.
"Aku bangsanya bidadari tidak pernah be-
rucap kasar apalagi memaki. Tapi jika kau bicara
sembarangan, aku tak akan segan menampar
mulutmu!" kata Dwi Kemala Hijau ketus.
"Ha ha ha. Gadis secantikmu jika sedang
marah ternyata membuat wajahmu semakin bertambah cantik. Jika kau sering marah-marah di-
depanku, bisa jadi lama-kelamaan aku jatuh cinta
padamu." celetuk Gento disertai tawa terbahak-
bahak.
Mendengar ucapan si pemuda Dwi Kemala
Hijau jadi tersipu dan cepat palingkan wajahnya
ke jurusan lain.
"Aku ingin membicarakan sesuatu yang
sangat penting padamu, pemuda konyol mata ke-
ranjang. Jika kau terus bergurau, aku akan pergi
dari sini!" kata Dwi Kemala Hijau. Selesai berkata
begitu si gadis jauhkan tubuhnya dari batu yang
dijadikan tempat bersandar. Tak lama kemudian
dia bangkit berdiri dan siap melangkah pergi.
"Ah tak kusangka selain cantik ternyata dia
besar ambeknya." batin Gento. Dia dengan cepat
julurkan tangan menangkap pergelangan gadis
itu. "Tunggu dulu, jangan marah begitu. Aku ter-
kadang memang suka usil. Tapi bukan berarti
aku tak bisa bersikap serius. Seandainya kau
punya sesuatu yang hendak kau bicarakan, bica-
ralah. Aku siap mendengarkannya." berkata Gen-
to beberapa saat kemudian, sementara cekalan-
nya pada lengan si gadis masih belum dile-
paskannya. Dan gadis jelita berpakaian tipis
menggoda ini sama sekali tidak marah. Dia mena-
rik tangannya perlahan, lalu duduk ditempatnya
kembali.
"Untuk kau ketahui, Maut Tanpa Suara se-
benarnya bukan saudara seperguruanku, dia juga
bukan kekasihku. Jika kemudian dia menaruh
rasa cinta kepadamu, itu salahnya sendiri. Dia
sesungguhnya pantas memanggil bibi kepadaku.
Karena aku yang merawatnya sejak dia kecil."
"Keteranganmu itu membuat aku yang bo-
doh ini menjadi semakin tolol. Eeh... apakah kau
tidak bisa menjelaskannya segamblang mungkin
kepadaku?" sergah Gento memotong ucapan Dwi
Kemala Hijau.
Gadis itu menganggukkan kepala. Dia ber-
fikir sejenak lamanya, baru kemudian berucap
kembali. "Aku sesungguhnya seorang utusan ke-
tua Bidadari dari Kayangan. Di tempat tinggalku
orang sering memanggilku dengan sebutan Bida-
dari Biru. Pada suatu saat, salah satu senjata
kami, yaitu Bintang Penebar Petaka raib dari
tempat penyimpanan senjata. Setelah dilakukan
penyelidikan ternyata ada seorang berkepandaian
tinggi menyusup ke Kayangan dan mencuri senja-
ta itu. Si pencuri itu bukan lain adalah Iblis Ber-
jubah Merah. Ketua para bidadari kemudian
mengutusku untuk mengambil senjata dan mem-
bunuh Iblis Berjubah Merah. Aku hampir dapat
menjalankan tugas dengan baik, manusia tengko-
rak itu kuhantam dengan satu pukulan sakti se-
hingga dia menderita cidera berat. Tapi dia me-
muslihati aku dengan berpura-pura menyerahkan
senjata yang dicurinya. Begitu aku mendekat, se-
cara pengecut dia memukulku dengan satu puku-
lan beracun yang membuat tubuhku berubah se-
bagaimana yang kau lihat. Aku bukan saja gagal
menjalankan tugas, tapi akhirnya aku menjadi
seorang pelayan bagi seorang bocah yang berna-
ma Maut Tanpa Suara." kata Dwi Kemala Hijau
sedih.
Gento merasa ikut terharu mendengar pen-
jelasan gadis itu. Iblis Berjubah Merah selama dia
ditawan di salah satu ruangan dalam Kuil Setan
sekalipun dia belum pernah berjumpa. Walaupun
begitu agaknya manusia yang satu itu harus dile-
nyapkan.
"Dwi... setiap saat kau punya kesempatan
untuk meloloskan diri. Kau pasti sudah mengeta-
hui seluk-beluk kuil itu, juga termasuk segala ra-
hasia yang tersimpan di dalamnya. Lalu mengapa
kau tetap tertahan di situ?" tanya Gento heran.
Mendengar pertanyaan Gento Guyon, Dwi
Kemala Hijau tersenyum sedih. "Apa yang kau ka-
takan memang tak dapat ku bantah. Hanya kau
harus ingat Gento. Aku tak mungkin dapat me-
ninggalkan Kuil Setan tanpa senjata itu. Lagipula
tubuhku dalam keadaan keracunan Iblis Berju-
bah Merah hanya memberiku kesembuhan sela-
ma satu hari dalam satu purnama. Selebihnya
aku dalam keadaan sakit, padahal untuk kembali
ke Kayangan membutuhkan waktu lebih dari satu
hari. Aku bisa tewas dalam perjalanan. Selain itu
aku tak mungkin kembali menghadap ketua para
bidadari dengan berhampa tangan. Kembali ke
sana tanpa senjata itu sama saja mempermalu-
kan diri sendiri." jelas Dwi Kemala Hijau seakan
mengadukan nasibnya pada Gento.
"Kalau begitu sampai sekarang kau masih
berada dalam ancaman racun?" tanya Gento.
"Kenyataannya memang begitu. Terkecuali
aku bisa merampas penawar racun yang tersim-
pan di dalam saku jubah manusia tengkorak itu."
"Kalau misalnya obat penawar bisa kita
dapatkan, apakah tubuhmu tetap hijau seperti
sekarang ini?" tanya si pemuda sambil mengulum
senyum.
"Kami para bidadari tidak ada yang berkulit
hijau. Kulit kami putih bersih."
"Lalu apakah setelah kesehatanmu pulih
kembali, kau segera kembali ke Kayangan?" tanya
Gento lagi.
"Tidak mungkin bisa kulakukan terkecuali
Bintang Penebar Petaka dapat kubawa serta. Pa-
dahal saat ini aku tidak tahu apakah ketika Kuil
Setan meledak senjata itu masih berada di satu
tempat penyimpanannya atau sudah di bawa oleh
seseorang."
"Masalahnya jika Bintang Penebar Petaka
berada di dalam kuil di saat kuil itu meledak. Be-
rarti kecil kemungkinannya bagimu untuk men-
dapatkannya. Akan tetapi jika memang dicuri oleh
seseorang, maka ada harapan bagi kita untuk
merebutnya dari tangan si pencuri." ujar Gento.
"Jika memang benar kau mau membantu-
ku dan berhasil mendapatkan senjata itu kemba-
li. Aku atas nama seluruh bidadari Kayangan pas-
ti sangat berterima kasih sekali." sahut Dwi Ke-
mala Hijau disertai seulas senyum.
"Aku lebih senang jika kau tidak kembali
ke Kayangan. Jadi kita bisa berteman selamanya.
Ha ha ha."
Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru tersi-
pu malu. "Keinginanmu akan kupertimbangkan
nanti. Tapi harap jangan salahkan aku jika nanti
ada seorang gadis lain yang marah padamu." ujar
Dwi Kemala Hijau sambil tersenyum.
"Eeh... gadis yang mana?" tanya Gento jadi
salah tingkah.
"Gadis yang berpakaian putih itu."
Gento Guyon tertawa lebar. "Dia hanya
seorang teman. Dia tidak akan marah tapi malah
menganjurkan agar aku memiliki banyak teman
wanita. Ha ha ha."
"Dasar pemuda buaya. Hayo kita pergi!" ka-
ta si gadis. Setelah bangkit berdiri dia langsung
melangkah menuju ke arah barat. Gento Guyon
masih dengan terkekeh-kekeh segera mengikuti.
6
Khawatir akan keselamatan muridnya, ka-
kek berwajah tirus berpipi cekung sekujur tu-
buhnya dibaluri kapur putih akhirnya meninggal-
kan bukit kapur yang terletak di tengah hutan
Banyubiru. Dengan Ilmu kesaktiannya yang ting-
gi, sosok kurus kering macam jerangkong dan
lumpuh kaki hanya dalam waktu setengah hari
telah sampai di sekitar kawasan Kuil Setan. Meli-
hat keadaan bukit dimana Kuil Setan berada yang
hancur berantakan, si kakek yang melakukan
perjalanan dengan tubuh mengambang di udara,
jadi terkejut bukan main.
Dia kemudian melambungkan tubuhnya
lebih tinggi, sehingga dari satu ketinggian dia da-
pat melihat keadaan Kuil yang telah porak poran-
da.
"Apa yang telah terjadi di tempat ini? Di
sekitar bukit ini seperti baru saja terjadi bencana
alam yang hebat. Huh... segala malapetaka apa-
pun yang menimpa dunia ini aku tak perduli.
Mengenai keselamatan muridku itu yang aku
khawatirkan. Apakah dia sudah mendapatkan
senjata itu. Atau dia belum mendapatkannya?" fi-
kir si kakek angker. Setelah berfikir sejenak la-
manya si kakek
berpakaian hitam yang sekujur tubuhnya diliputi
kapur akhirnya bergerak melayang ke bawah. Se-
jarak dua tombak diatas permukaan tanah, tu-
buhnya yang meluncur tadi kini seakan tertahan,
seolah ada satu kekuatan yang menahannya
hingga nampak mengambang begitu rupa.
"Tak ada tanda-tanda kehidupan kulihat
disini. Mungkinkah semua orang yang menghuni
Kuil Setan tewas?" fikir si kakek yang bukan lain
adalah Begawan Panji Kwalat. Dia lalu teringat
pada Si Tangan Sial. Si malang bertangan sakti
yang diperalatnya untuk mendapatkan senjata
Bintang Penebar Petaka. Beberapa waktu yang la-
lu dia kehilangan kontak sambung rasa dengan Si
Tangan Sial. Ini merupakan suatu pertanda bahwa jarum Penggendam Roh yang ditanam di tu-
buh Si Tangan Sial telah dilepaskan oleh seseo-
rang. Sedangkan kemungkinan lain Si Tangan Si-
al tewas terbunuh.
"Apapun yang terjadi dengannya aku tidak
perduli. Dia hanya merupakan alat bagiku untuk
mencapai tujuan. Seandainya gagal, kematiannya
tidak pernah merisaukan hatiku.!" kata Begawan
Panji Kwalat disertai senyum sinis. Tak lama ke-
mudian, si kakek tua segera berkelebat tinggalkan
tempat itu. Akan tetapi belum jauh dia bergerak
pada saat yang bersamaan dari arah sampingnya
menderu hawa dingin yang langsung menyambar
ke arah sang Begawan.
Wuues!
Hempasan yang keras bukan saja meng-
hantam tubuh si kakek, tapi juga mendera kekua-
tan tak terlihat yang mendukungnya kemanapun
dia pergi.
Dalam kagetnya walaupun dengan mudah
Begawan Panji Kwalat dapat menghindari seran-
gan gelap itu, namun kekuatan gaib yang mem-
buatnya mampu bergerak mengambang laksana
terbang jadi pupus. Tak ayal lagi orang tua ini ja-
tuh bergedebukan.
Rasa sakit akibat terjatuh tadi memang ti-
dak seberapa, yang membuatnya terkejut juga he-
ran, bagaimana orang bisa mengetahui bahkan
mampu menghancurkan sumber kekuatan gerak-
nya. Dalam hati Begawan Panji Kwalat merasa
yakin siapapun adanya penyerang itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi luar bi-
asa.
Dengan cepat sekali sang Begawan segera
putar kepala, memperhatikan setiap sudut se-
dangkan hatinya merutuk habis-habisan. Sunyi!
Tidak ada sesuatupun yang terlihat.
"Hemm, di siang bolong begini tidak mung-
kin ada hantu atau arwah gentayangan. Apa yang
terjadi padaku pasti karena ulah seseorang. Na-
mun sangat disayangkan dia begitu pengecut un-
tuk tunjukkan diri!" dengus Begawan Panji Kwalat
dengan suara sengaja dikeraskan.
"Kau mencari siapa, Begawan? Seorang Be-
gawan seharusnya berada di tempat-tempat suci,
menyepi mendekatkan diri pada sang Maha Pen-
cipta. Tidak seperti yang kau lakukan, bergen-
tayangan di delapan penjuru angin, menebar ke-
rusakan membuat angkara. Apa yang kau cari di
dunia ini? Jika hidup hanya untuk menumpuk
dosa, lebih baik membunuh diri saja!" kata satu
suara bernada ketus dan sinis hingga membuat
telinga Begawan Panji Kwalat jadi merah. Orang
itu sempat berjingkrak. Kedua tangan ditekankan
di atas tanah. Lalu...
Wuuus!
Mendadak sontak sosok Begawan itu me-
lambung di udara. Begitu berada di atas keting-
gian dia memutar tubuhnya, mata kembali me-
mandang ke sekeliling tempat itu. Rasa kaget si
Begawan bukan kepalang ketika dia melihat satu
sosok pendek cebol berpakaian serba putih duduk
bersila di atas sebuah batu dengan posisi me-
munggungi. Wajah sosok kerdil ini memang be-
lum terlihat oleh Begawan Panji Kwalat. Akan te-
tapi dia sudah dapat memperkirakan siapa
adanya orang yang satu ini.
"Kuntet Mangku Bumi, bergelar Dewa Kin-
cir Samudera. Konon dia telah mampus ditelan
hiu belasan tahun yang silam. Bagaimana seka-
rang dia bisa muncul di tempat ini?!" batin Bega-
wan Panji Kwalat. Dia menyadari tokoh sakti yang
satu ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sekali,
bahkan konon pukulan Kincir Samudera yang
dimilikinya mampu menghancurkan pulau ka-
rang, menimbulkan gelombang hebat juga men-
gundang badai. Tapi orang seperti Begawan Panji
Kwalat mana mengenai rasa takut apalagi jerih.
Sama seperti muridnya dia juga adalah orang
yang suka memandang rendah orang lain serta
menganggap orang tidak memiliki arti apapun di-
hadapannya.
"Orang tua laknat, kaukah tadi yang bica-
ra?" bentak si Jerangkong ketus.
Si pendek cebol di atas batu yang bukan
lain memang Dewa Kincir Samudera tertawa pen-
dek, namun terasa dingin angker.
"Di tempat ini hanya ada kita berdua. Jika
bukan aku yang bicara apakah kau menyangka
yang menyapamu tadi adalah setan laknat?!" sa-
hut si pendek cebol di atas batu.
Mendengar jawaban Dewa Kincir Samude-
ra, paras sang Begawan yang berselimut kapur
tebal nampak menegang. Sepasang matanya men-
corong merah menyala. Walaupun begitu dia ti-
dak langsung mengumbar amarahnya. Dalam
menghadapi manusia seperti Dewa Kincir Samu-
dera dia harus menggunakan akal jalankan mus-
lihat. Begawan Panji Kwalat kemudian tersenyum.
Senyumnya aneh, karena senyum itu seperti pe-
rempuan yang hendak melahirkan.
"Dewa Kincir Samudera, nama besarmu
bukan hanya melambung di delapan penjuru du-
nia persilatan. Namamu dikenal meluas sampai
ke empat penjuru lautan. Yang membuatku he-
ran, gerangan apa yang membuatmu sampai ke
tempat celaka ini? Apakah kau juga ikutan men-
gincar senjata Bintang Penebar Petaka. Ha ha
ha...." kata Begawan Panji Kwalat. Mendengar
ucapan Begawan Panji Kwalat, si kakek pendek
cebol tertawa tergelak-gelak. Sebagaimana tadi,
tawa si kakek langsung lenyap. Kini dia memba-
likkan badan, hingga langsung berhadap-hadapan
dengan sang Begawan.
Melihat Begawan itu dalam keadaan men-
gapung, Dewa Kincir Samudera sempat ker-
nyitkan keningnya.
"Kulihat ilmunya semakin maju pesat. Te-
rakhir aku mendengar kabar dia menciptakan il-
mu Kontak Suara. Satu ilmu aneh yang bisa
membuat lawannya jungkir balik dan celaka
hanya dengan melalui ucapan saja." pikir Dewa
Kincir Samudera. Setelah memperhatikan orang
tua lumpuh kaki itu sejenak, si kakek pendek cebol berkata. "Dalam usiaku yang sudah setua ini,
aku tak butuh dengan segala macam senjata. Ma-
lah melihat kemunculanmu aku jadi menduga
kau sendiri yang ingin mendapatkan senjata itu."
Tanpa malu-malu, Begawan Panji Kwalat
menjawab. "Penglihatanmu ternyata masih awas
juga. Sungguh tak kusangka. Terus-terang aku
memang mencari senjata itu untuk keperluan
muridku. Sayang ketika aku sampai disini, bukit
dan Kuil Setan telah runtuh. Apakah mungkin
keruntuhan itu ada hubungannya dengan kehadi-
ranmu disini?"
Wajah angker si kakek cebol nampak beru-
bah mengelam. Mulutnya terkatub, rahang berge-
rak mengeluarkan suara gemeletukan, sedangkan
kedua matanya mencorong memandang pada Be-
gawan Panji Kwalat,
"Begawan, pandai sekali kau mencari lantai
terjungkit. Melempar kesalahan pada orang yang
sudah tidak perduli dengan segala bentuk kese-
rakahan. Setelah kita bertemu disini, apakah ti-
dak sebaiknya kita cari kata sepakat untuk sama-
sama kembali ke tempat kediaman masing-
masing. Aku sudah rindu akan birunya laut dan
gemuruh suara ombak. Tunggu apa lagi, mari kita
pergi!" ujar Dewa Kincir Samudera. Apa yang di-
katakan orang tua itu sebenarnya hanya satu
sindiran saja. Akan tetapi manusia seperti Bega-
wan Panji Kwalat mana mau perduli. Dengan te-
nang dia berkata. "Aku baru saja sampai disini.
Aku rindu pada muridku, Panji Anom Penggetar
Jagad. Bagaimana mungkin aku bisa pergi jika
belum bertemu dengannya. Atau kau ingin aku
mengantarmu kembali ke laut lepas. Jika kau
berkehendaki begitu, sekarang juga aku bersedia
mengirimmu ke neraka!" kata Begawan Panji
Kwalat. Dewa Kincir Samudera tersenyum sinis.
Dia tetap duduk di tempatnya yaitu menjelepok di
atas batu. Pada saat itulah Begawan Panji Kwalat
keluarkan satu seruan.
"Duduk dengan baik dalam posisi me-
nungging!" kata si kakek lumpuh. Karena sang
Begawan mengerahkan ilmu Kontak Suara, begitu
dia selesai berkata maka tubuh si kakek pendek
cebol langsung terangkat. Di udara. Hanya yang
membuat sang Begawan jadi kaget batu besar
yang dijadikan tempat duduk Dewa Kincir Samu-
dera ikut pula terangkat, seakan batu yang berat-
nya ratusan kati itu menempel dengan punggung
orang tua itu.
Dalam keadaan terjungkir, Dewa Kincir
Samudera berucap. "Sungguh batu ini amat setia
padaku. Aku menungging dia ikut pula menungg-
ing. Padahal dia sama sekali tidak diperintah me-
lakukan seperti yang aku lakukan. Ha ha ha!" ka-
ta si kakek cebol disertai tawa tergelak-gelak.
Melihat kenyataan ini Begawan Panji Kwa-
lat jadi tertegun. Tapi kemudian terlintas sesuatu
didalam benaknya.
"Batu menempel di bokong bangsat cebol
itu. Dia pasti hendak mempermalukan aku. Seka-
rang apa salahnya aku pendam dia dengan batu
yang didudukinya mumpung posisinya dalam
keadaan terjungkir." fikir si kakek. Kini dia kem-
bali keluarkan satu seruan. "Batu setia, pendam
dia di dalam tanah.!"
Laksana kilat seakan ada satu kekuatan
dahsyat yang menekan dari bagian atas, batu me-
luncur deras ke bawah sementara Dewa Kincir
Samudera terus menempel di bagian bawah batu
dengan kepala menghadap ke tanah.
Wuuut!
Praak!
Batu meluncur deras ke bawah dan seba-
gian batu besar itu amblas terpendam di dalam
tanah. Bersamaan dengan jatuhnya batu terden-
gar pula suara berderak seperti hancurnya tulang
belulang yang tertindih batu. Siapapun orangnya
tak mungkin selamat tertimpa batu sebesar itu.
Apalagi orang tua kerdil pendek tadi. Begawan
Panji Kwalat tersenyum. "Tidak pernah kusangka
akan semudah itu untuk melenyapkan manusia
yang sangat ditakuti oleh kalangan dunia persila-
tan. Ilmu Kontak Suara yang kumiliki memang
sangat hebat tiada duanya. Dengan ilmu itu mu-
ridku pasti bisa menguasai dunia persilatan." ka-
ta si kakek.
Di luar sepengetahuannya, batu besar tadi
nampak bergerak-gerak. Setelah itu di atas batu
entah sejak kapan Dewa Kincir Samudera sudah
duduk diatasnya sambil uncang-uncang kaki.
Dengan sikap acuh dia menyeletuk. "Ilmu
Kontak Suara memang hebat. Tidak mengheran
kan bila si kuntet Dewa Kincir Samudera amblas
terpendam terhimpit batu jadi ikan pepes. Dan
kini tinggal arwahnya yang gentayangan, duduk
di atas batu sambil uncang-uncang kaki. Ha ha
ha!" kata si kakek cebol sambil tertawa.
Terkejutlah Begawan Panji Kwalat melihat
kenyataan ini. Sungguh dia tidak menyangka la-
wan masih sanggup meloloskan diri dari maut.
Tapi dia dengan jelas melihat Dewa Kincir
Samudera amblas ke dalam tanah terhimpit batu.
Bagaimana sekarang dia bisa duduk disana sea-
kan tidak ada satu kejadian apapun yang menim-
panya?
"Tak mungkin. Segalanya sangat sulit un-
tuk kupercaya!" desis kakek itu.
"Begawan, rupanya masa kecilmu tidak
bahagia sehingga setelah menjadi tua bangka se-
perti sekarang kau masih juga senang membuat
lelucon dengan ilmu sampah. Ha ha ha!" berkata
Dewa Kincir Segara sambil tertawa.
"Pendek cebol keparat, menyungkurlah su-
jud di hadapanku!" teriak Begawan Panji Kwalat
mencoba menjatuhkan lawan dengan ilmu Kontak
Suara, tapi kali ini lawannya tidak bergeming se-
dikitpun. Memang Dewa Kincir Samudera sempat
merasakan tubuhnya seperti dihempaskan ke de-
pan, tapi dia tetap bertahan. Malah dengan suara
lantang dia berkata. "Dudukmu masih belum be-
nar. Dengan mengambang di udara seperti itu
kau menyalahi aturan menyalahi kodrat. Aku si
tua kecil akan memberimu tempat dudukan batu,
anggap saja seperti kursi bagus yang ada di sing-
gasana raja.!" berkata begitu si kakek cebol laku-
kan gerakan jungkir balik menjauh dari batu. Be-
gitu sampai di belakang batu dia lalu meniup ba-
tu besar itu.
Puuuh!
Laksana kilat batu bulat sebesar kerbau
itu melesat deras ke arah Begawan Panji Kwalat.
Bukan meluncur ke bagian kaki, batu ini me-
layang menghantam kepala sang Begawan.
"Bangsat keparat!" maki kakek tua itu
sambil lakukan gerakan berjumpalitan sehingga
batu menghantam tempat kosong.
7
Kini setelah selamat dari hantaman batu,
dengan tubuh masih mengambang di atas tanah,
Begawan Panji Kwalat cepat balikkan badan. Be-
gitu dia menghadap ke arah lawan, tangan kiri
diputar diatas kepala sebanyak tiga kali. Begitu
diputar angin menderu dari jemari tangannya
mencuat tiga bola api sebesar kelapa.
"Ini bingkisan sebagai pengantar kema-
tianmu!" teriak Begawan Panji Kwalat sambil me-
lontarkan tangannya ke arah lawan. Setelah itu
dengan tangannya yang lain dia menghantam la-
wan dengan satu pukulan lain yang memancar-
kan sinar putih panjang laksana pedang.
Lima bola api berturut-turut menghantam,
kepala, dada, perut dan kedua kaki si kakek ce-
bol. Sedangkan pukulan kedua membabat ping-
gang dan dada orang tua ini. Mendapat serangan
ganas yang berlangsung cepat dan datang secara
berturut-turut itu, Dewa Kincir Samudera gerak-
kan tangan kirinya menepis sinar yang membabat
rusuk dan pinggangnya.
Tups! Tups!
Begitu terkena sambaran angin dari tangan
si kakek sinar putih tadi langsung hancur berpen-
talan ke segala penjuru arah. Sedangkan sebelum
itu mulut si kakek meniup bola-bola api yang me-
nyerang lima bagian tubuhnya.
Puuh!
Lima bola api berpentalan di udara. Bega-
wan Panji Kwalat lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Lalu mengarahkan bola api yang sempat te-
rombang-ambing di udara itu ke arah lawan. Se-
kali lagi bola-bola api meluncur deras ke arah si
kakek cebol dengan kecepatan berlipat ganda.
Di depan sana si kakek cebol guru si gen-
dut Gentong Ketawa menyeringai. Diam-diam dia
mengerahkan inti kekuatan yang mengandung
hawa dingin luar biasa sambil berkata. "Matahari
memang belum terlalu panas. Walaupun begitu
tubuhku sudah kepanasan. Kau orang gila dari
mana membuat bola api dengan panas begini ru-
pa. Rasanya aku tak terima, sebaiknya biar ku
padamkan saja!" teriak si kakek.
Begitu selesai bicara si cebol lambaikan
tangannya lima kali berturut-turut. Dari tangan si
kakek hawa dingin bercampur uap putih menderu
dan melabrak habis bola-bola api di depannya.
Blok!
Tess! Tess! Tess!
Lima bola api langsung padam. Masih pe-
nasaran dan tak percaya dengan kenyataan yang
terjadi Begawan Panji Kwalat kembali kirimkan
bola-bola api ke arah lawannya.
"Tua bangka edan, rupanya kau masih
mau main-main dengan api itu. Biar kutelan bola
panas itu sedangkan sisanya kukembalikan pa-
damu!" seru Dewa Kincir Samudera. Bersamaan
dengan itu orang tua pendek ini melesat di udara,
mulut dibuka lebar. Hingga dua bola api langsung
amblas ke dalam mulutnya, sedangkan tiga lain-
nya langsung disentil dengan telunjuk, hingga ki-
ni ketiga bola api itu berbalik dan meluncur cepat
ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat
ganda.
Begawan Panji Kwalat memang sempat di-
buat kaget, tapi dengan cepat dia berkelit meng-
hindar. Dua bola api berhasil dihindarinya, se-
dangkan yang satunya lagi begitu dihantam, ma-
lah melejit keras dan menyambar ke bagian wa-
jah. Jika si kakek yang mengambang di udara itu
tidak cepat miringkan tubuhnya sambil runduk-
kan kepala niscaya bagian kepalanya hangus di-
hantam bola api.
Tak urung walaupun dia dapat selamatkan
wajahnya, namun rambutnya yang dipenuhi ka-
pur sempat terbakar. Begawan Panji Kwalat sambil memaki-maki nampak sibuk memadamkan api
yang membakar rambutnya. Pada saat itu dua bo-
la yang luput mengenai sasaran kini menghantam
semak belukar hingga mengeluarkan suara leda-
kan keras.
Belum lagi sang Begawan sempat melaku-
kan sesuatu, kini lawannya menghantam orang
tua itu tepat di bagian kepala.
Sedapat mungkin si Begawan menepis se-
rangan lawan. Tapi secepat apapun tangkisan
yang dilakukannya ternyata dia kalah cepat.
Plaaak!
Begawan Panji Kwalat terpelanting ke bela-
kang. Tapi walaupun begitu dia tak sampai jatuh
ke tanah. Karena tubuhnya tetap mengambang.
Dalam keadaan rebah di udara sang Begawan le-
paskan pukulan sambil menendang lawannya
dengan kakinya yang lumpuh.
Wuuut! Wuuut! Dua pukulan kembali me-
labrak perut seru Dewa Kincir Samudera, se-
dangkan tendangan kaki si Begawan ternyata
mengandung satu kekuatan yang begitu me-
nyambar ke arah lawannya membuat orang tua
ini laksana diterpa badai. Tak pelak lagi Dewa
Kincir Samudera jatuh tunggang langgang. Si ka-
kek dekap perutnya yang terasa mulas bukan
main. Dia kemudian lakukan gerakan berputar,
dua tangan dihantamkan ke empat penjuru arah.
Angin kencang menderu-deru, hawa panas
menghampar hingga keadaan di sekitar tempat
itu berubah panas laksana di neraka.
Begawan Panji Kwalat keluarkan suara
menggerung. Dia melesat ke arah lawan, menero-
bos pertahanan, menembus sinar maut yang me-
mancar dari tangan lawan sedangkan kedua tan-
gan langsung dihantamkan ke tubuh seru Dewa
Kincir Samudera.
Satu benturan keras terjadi membuat dua
orang itu sama-sama terpental sejauh tiga tom-
bak. Begawan Panji Kwalat yang kali ini terpelant-
ing nampak megap-megap, nafasnya terasa me-
nyesal darah menyembur dari mulutnya. Di de-
pannya sana Dewa Kincir Samudera nampak ter-
huyung, wajahnya pucat laksana kapas.
"Ha ha ha, kau akhirnya duduk juga di
atas tanah. Kau lihatlah, dari mulutmu keluar
kecapnya. Begawan, menurutku lebih baik kau
kembali ke Banyubiru, sampai disana kau gali
sebuah kubur untuk dirimu sendiri!" kata Dewa
Kincir Samudera disertai tawa terkekeh-kekeh.
Kakek berbadan jerangkong di depan sana
menggerung marah. Dua tangannya langsung di-
letakkan ke tanah. Setelah itu tubuhnya kembali
melesat ke udara, mengambang seperti semula
dalam keadaan duduk.
"Dewa keparat, jangan kau merasa setelah
dapat menjatuhkan aku bahwa itu satu keme-
nangan bagimu. Kau lihatlah kenyataan yang ha-
rus kau hadapi!" teriak Begawan Panji Kwalat.
Bersamaan dengan teriakannya itu si kakek men-
gangkat tangannya lurus sejajar dengan kepala.
Tak lama kemudian tangan si kakek telah berubah membiru. Sinar terang memancar dari tela-
pak tangan si kakek. Setelah itu dia arahkan ke-
dua tangan yang terkepal itu pada lawannya.
"Tinju Langit Mendera Bumi!" desis Dewa
Kincir Samudera menyebut pukulan yang dile-
paskan oleh Begawan Panji Kwalat. Dalam kaget-
nya kakek cebol ini mendadak mendengar suara
bergemuruh dahsyat, belum lagi tinju lawannya
sempat melabrak tubuh si kakek, dia merasakan
hawa panas laksana memanggang tubuhnya. Si
kakek cebol lipat gandakan tenaga dalamnya yang
kemudian langsung dialirkan ke bagian kedua
tangan. Tubuh si kakek kemudian berputar, ber-
samaan dengan itu pula tangannya ikut diputar
pula. Angin dingin menderu-deru membentuk
lingkaran melingkupi tubuh si kakek. Angin ber-
campur awan putih yang mirip dengan buih om-
bak ini lalu melesat meninggalkan tubuh si ka-
kek, bergerak lurus menyambut serangan lawan
hingga akhirnya beradu di udara. Beberapa saat
berlangsung, terjadi adu tenaga sakti. Sosok Be-
gawan Panji Kwalat akibat tekanan hebat dari te-
naga lawannya kini tubuhnya bergerak turun
mendekati tanah. Di depan sana kedua kaki si
kakek mulai amblas ke dalam tanah sedikit demi
sedikit. Dari telapak kaki mengepul uap tipis ba-
gaikan es yang mencair terkena panas. Sedang-
kan tubuh pendeknya nampak bergetar hebat,
wajah tegang luar biasa. Tapi dia terus memutar
kedua tangan, sedikit demi sedikit. Hingga pada
akhirnya terjadi ledakan menggelegar. Begawan
Panji Kwalat terjungkat ke belakang sambil men-
jerit tertahan. Debu, pasir dan batu-batu ber-
hamburan di udara, hingga membuat suasana
menjadi gelap.
Dari jatuhnya si Begawan tadi, jelas orang
tua itu menderita luka dalam yang cukup parah.
Sedangkan Dewa Kincir Samudera yang baru saja
menggunakan jurus Kincir Berputar di atas laut
ini segera tarik kakinya yang amblas sampai se-
batas lutut. Begitu kedua kakinya dapat ditarik
keluar dari dalam tanah, dia segera siapkan pu-
kulan ditangan kanan untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang tidak diingini. Hanya dia jadi
sangat kecewa karena begitu suasana berubah
menjadi terang kembali, lawan telah lenyap entah
kemana.
Si kakek pendek cebol seka keringat yang
membasahi wajahnya. Dia melangkah mendekati
ke arah mana lawannya terjatuh tadi. Disana dia
melihat ceceran darah.
Dewa Kincir Samudera tengadahkan wajah
memandang ke langit. Mulutnya yang tertutup
kumis tebal berwarna putih berucap. "Bagaimana
pun ilmu Begawan salah kaprah itu sangat tinggi.
Tenaga dalamnya mungkin dua tingkat di bawah-
ku. Tapi jika dia menggunakan ilmu Kontak Sua-
ra, aku khawatir muridku Gentong Ketawa dan
cucu muridku Gento Guyon kena dikerjainya" fi-
kir si kakek. Beberapa saat lamanya dia terdiam.
Sejak Kuil Setan meledak dia tak tahu bagaimana
nasib muridnya si gendut Gentong Ketawa. Bagaimana pun sebelum meninggalkan tempat itu
dia ingin tahu bagaimana keadaan muridnya. Ka-
rena itu si kakek cebol berkata. "Sebaiknya kucari
tahu dulu bagaimana keadaan si gendut. Apakah
dia dalam keadaan selamat atau sudah konyol.
Aku tahu walaupun Begawan Panji Kwalat sudah
terluka, dia pasti tetap mencari senjata itu."
Tanpa menunggu lebih lama lagi Dewa Kin-
cir Samudera akhirnya tinggalkan tempat itu.
8
Malam itu cuaca demikian cerah. Bulan ke-
tiga belas nampak terang, memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan. Bintang-bintang
bertaburan di angkasa. Menambah keindahan di
suasana malam yang sejuk dan damai.
Di sebuah dangau yang sudah tidak terpa-
kai, Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru rebah
menelentang di atas balai-balai yang sudah tua
hanya dengan berbantalkan kedua lengannya
sendiri. Sepasang matanya yang bening meman-
carkan daya pesona memandang lurus ke langit
melalui atap dangau yang berlubang besar. Me-
mandang pada keindahan bulan dia jadi ingat
akan negerinya. Suatu negeri yang jauh, yaitu ne-
geri kayangan.
Biasanya pada malam bulan purnama se-
perti sekarang ini, bersama para bidadari lainnya
mereka bermain di taman bunga yang indah me-
nebarkan bau harum semerbak. Mereka bebas
bercengkerama, bergurau atau melakukan apa
saja dalam suasana yang damai.
Agaknya semua kebahagiaan itu hanya
akan menjadi kenangan selamanya. Karena sam-
pai saat ini dirinya masih terpuruk di tanah Jawa.
Dia tidak mungkin menempuh perjalanan pan-
jang mengarungi lautan awan, sementara dirinya
saat ini menderita keracunan. Selain itu Bintang
Penebar Penebar Petaka juga entah berada di tan-
gan siapa. Tanpa senjata itu bagaimana dia bera-
ni menghadap ketua para bidadari. Kembali ke
Kayangan adalah suatu hal yang memalukan jika
dia tidak dapat menjalankan tugas yang dibeban-
kan kepalanya dengan baik. Semua gadis-gadis
Kayangan pasti akan menjauhinya.
Ingat akan semua, Dwi Kemala Hijau tiba-
tiba menjadi amat sedih. Sekarang ini dia hidup
dalam kesunyian, di negeri asing dimana setiap
saat bahaya bisa muncul secepat angin berhem-
bus. Masih beruntung pada akhirnya dia bisa ber-
temu dengan Gento Guyon. Pemuda kocak yang
secara disadari atau tidak oleh pemuda itu selalu
menghiburnya dengan ucapan-ucapan yang lucu.
"Aku lebih senang jika kau tidak kembali
ke Kayangan. Jadi kita bisa berteman selamanya!"
Kata-kata yang diucapkan pemuda itu kini kem-
bali terngiang di telinganya. Dwi Kemala Hijau
tersenyum. Dia tak tahu apakah ucapan si pemu-
da hanya bermaksud iseng atau bersungguh
sungguh yang jelas sejak pertama kali bertemu
dengan Gento, dia merasa ada satu getaran aneh
di hatinya yang selama ini belum pernah dia ra-
sakan. Sejak melihat Gento pula timbul harapan
baginya untuk menyelamatkan diri dari cengke-
raman Yang Agung alias Iblis Berjubah Merah.
"Gento.... akupun tidak dapat memastikan
apakah aku dapat kembali ke negeriku. Pintu
Awan hanya terbuka sekali dalam setahun, aku
juga tidak bisa keluar masuk dari pintu itu sesu-
ka hati. Selain itu perjalanan ke sana membutuh-
kan tenaga yang cukup besar. Seandainya Bin-
tang Penebar Petaka bisa kudapatkan kembali,
keadaan tubuhku kurasa belum pulih benar. Aku
butuh waktu yang lama agar dapat sembuh total.
Karena aku yakin racun yang mendekam di tu-
buhku kini bukan saja hanya telah menyebar ke
seluruh pembuluh darah dan daging, tapi juga
sudah sampai meresap ke dalam tulang. Gento....
Gento Guyon.... mungkin aku ingin bersahabat
denganmu, bisa jadi lebih dari sekedar itu. Tapi
apakah masih ada kejujuran di negerimu yang
penuh dengan angkara murka ini?" guman Dwi
Kemala Hijau.
Bila fikiran seseorang larut dalam memi-
kirkan sesuatu, bukan hanya fikirannya saja yang
menerawang. Tapi kewaspadaannya juga jadi ber-
kurang. Hal seperti itu terjadi pada diri si gadis.
Dia sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi ada
sepasang mata yang terus mengintai, mengawa-
sinya dari jarak yang tidak begitu jauh dengan
rongga matanya yang merah seperti memancar-
kan api.
"Kucari kemana-mana, tak tahunya murid
murtad itu ada di sini!" satu suara menguman-
dang penuh rasa tidak senang.
Tak berapa lama menunggu, sosok berju-
bah merah itu akhirnya berkelebat meninggalkan
kegelapan di balik pohon. Laksana hembusan an-
gin sosok berjubah merah mendekati dangau.
Sampai di depan mulut dangau berlantai
tinggi, sosok serba merah dengan kepala tertutup
topi jubah hentikan langkah.
"Dia rupanya tidak sadar aku berada disini.
Entah apa yang difikirkannya. Barangkali dia ten-
gah berfikir hukuman apa gerangan yang akan
kujatuhkan kepadanya!" batin sosok ini.
Di dalam dangau entah sengaja atau tidak,
atau mungkin pula mengira orang yang ditunggu
telah kembali, Dwi Kemala Hijau palingkan wa-
jahnya ke arah pintu dangau yang terkuak lebar.
Mendadak si gadis jadi tercekat, jantungnya sea-
kan berhenti berdenyut, tengkuk terasa dingin,
mata mendelik besar sedangkan mulut ternganga
seperti melihat setan.
"Bagaimana iblis rongsokan ini bisa sampai
kemari? Aku tidak melihat tanda-tanda kehadi-
rannya. Apa yang harus kulakukan ini." batin Dwi
Kemala Hijau. Ingat dengan segala malapetaka
yang mungkin terjadi, si gadis jadi ingat pula pa-
da Gento. "Gento... dimana kau? Jika kau menca-
ri binatang buruan, seharusnya kau sudah kembali." keluh gadis itu sementara matanya tak per-
nah lepas dari memandang ke arah sosok berju-
bah merah yang hanya berupa tengkorak kepala
tanpa mata, tulang leher, rusuk, lengan juga tu-
lang kaki.
"Dwi Kemala Hijau, begitu aku memberi
nama karena tubuhmu berwarna hijau keracu-
nan." kata sosok yang tubuhnya hanya berupa tu-
lang belulang tanpa kulit tanpa daging. Kemudian
mulut yang tidak terbalut kulit ini membuka,
memperlihatkan gigi-giginya yang putih kehita-
man. Lalu terdengar satu suara sayup-sayup di-
kejauhan. "Tidak pernah ku menyangka kau ak-
hirnya mengkhianati diriku. Kau bukan saja
membiarkan murid kesayanganku Maut Tanpa
Suara tewas dibantai orang, tapi kau juga ikut
melepaskan satu pukulan hingga membuat pe-
muda itu menemui ajalnya. Padahal kau menge-
tahui antara Kuil Setan dan Maut Tanpa Suara
berada dalam satu jiwa, terikat dengan perjanjian,
jika salah satunya binasa atau hancur maka yang
lainnya juga akan mengalami hal yang sama. Se-
karang apa pertanggung jawabmu atas petaka
yang telah terjadi?!" tanya Yang Agung dingin.
Dwi Kemala Hijau cepat bangkit dari tem-
pat dia merebahkan diri. Dia sadar betul siapa
orang yang dihadapinya. Sosok tengkorak yang
memakai jubah merah ini bukan lagi dapat dis-
ebut sebagai manusia, tapi iblis yang mempergu-
nakan seperangkat tulang belulang sebagai alat
untuk melakukan apa yang dia inginkan. Selain
itu, bahaya lain yang mengancam jiwanya juga
harus difikirkan. Jika dia sanggup membunuh
Yang Agung, selama obat penawar racun tidak bi-
sa dia dapatkan, cepat atau lambat dirinya pasti
akan mengalami kebinasaan.
Karena itu dengan suara tenang dia men-
jawab. "Yang Agung, apapun yang terjadi pada ca-
lon pewarismu, semua itu sudah menjadi suratan
sang takdir. Jika takdir sudah berkehendak begi-
tu, tak seorang pun dapat menolaknya. Aku sen-
diri mungkin hanya sebagai alat kepanjangan
tangan Gusti Allah yang tanpa sadar harus mele-
paskan pukulan demi untuk membela diri!" kata
si gadis.
Tulang belulang dibalik jubah nampak ber-
getar, sedangkan gerahamnya yang hanya berupa
tulang bergemeletukan pertanda Yang Agung be-
rusaha menahan marah.
"Begitu mudahnya kau bicara memutar ba-
lik kenyataan bahkan membawa kebesaran Tu-
han. Padahal mengingat keadaanmu seharusnya
kau berada di pihakku, bukan malah membela
para keparat itu?!" hardik Yang Agung.
Dwi Kemala Hijau tundukkan kepala, na-
mun tetap tak kehilangan kewaspadaannya.
"Yang Agung, terus-terang aku tak dapat
tinggal di Kuil Setan. Sejak semula kau sudah ta-
hu, bahwa kedatanganku ke tanah Jawa karena
mengemban satu amanat. Ketua para bidadari
memberiku perintah agar aku mengambil senjata
milik kami yang kau curi. Apakah semua ini masih belum jelas juga bagimu, Yang Agung?" tanya
Dwi Kemala Hijau.
Jawaban yang diberikan gadis bidadari ini
tentu membuat kemarahan Yang Agung semakin
memuncak. Tetapi sebelum dia memutuskan se-
suatu, sosok yang hanya berupa tengkorak kepala
dan tulang belulang ini ajukan satu pertanyaan.
"Jika kau sudah bicara tentang pendirianmu,
apakah ini berarti kau telah mendapatkan senjata
Bintang Penebar Petaka dan kini siap untuk me-
larikannya?"
"Terus-terang senjata itu tidak ada padaku.
Pula aku tidak tahu dimana tempat penyimpa-
nannya." jawab Dwi Kemala Hijau.
Sepasang rongga mata menghitam tanpa
biji mata itu memandang ke arah Bidadari Biru.
Tak lama kemudian dia berkata.
"Aku percaya kau tidak berdusta. Inilah ke-
jujuran pertama yang kau tunjukkan padaku se-
telah Kuil Setan Hancur. Tapi apa yang kau kata-
kan sejak pertama tadi adalah suatu kedustaan
belaka. Mungkin aku masih bisa mengampuni di-
rimu jika kau ikut denganku. Bukan hanya itu
saja, aku berjanji akan memberikan obat pemu-
nah racun yang mendekam di tubuhmu!" ujar
Yang Agung.
Dwi Kemala Hijau tersenyum. "Iblis yang
satu ini mana bisa dipercaya. Apapun alasan ser-
ta janji yang dia katakan aku tetap pada pendi-
rianku. Kebetulan sekali Bintang Penebar Benca-
na tidak ada di tangannya, jadi sekarang aku
hanya tinggal menyelesaikan satu urusan yaitu
merampas obat penawar racun yang berada di
saku kanan jubahnya itu." batin si gadis bidadari.
"Bagaimana? Apa lagi yang kau fikirkan?
Lekas kau Ikut denganku!" teriak Yang Agung su-
dah tidak sabar lagi.
Dwi Kemala Hijau gelengkan kepala. "Aku
tak ingin lagi ikut denganmu Yang Agung." tegas
si gadis.
"Hmm, rupanya kau tak takut jiwamu akan
melayang dengan percuma? Ketahuilah, jika da-
lam waktu tiga puluh hari mendatang kau tidak
kuberi obat penawar, aku jamin kau akan mene-
mui ajal secara menggenaskan. Mula-mula tu-
buhmu yang bagus dan wajahmu yang cantik itu
akan mengalami kerusakan. Kerusakan disertai
dengan rasa sakit yang sangat luar biasa. Setelah
itu kulitmu yang mulus terkelupas, dagingmu
bertanggalan. Setelah daging terkikis habis baru
kau akan mati secara menggenaskan. Ha ha ha!"
Penjelasan Yang Agung membuat tengkuk
Dwi Kemala Hijau menjadi dingin. Apa yang dika-
takannya bukan gertakan belaka, si gadis bidada-
ri tahu betul akan kenyataan ini, karena dia sen-
diri pernah melihat beberapa tawanan menderita
hebat sebagaimana yang dikatakan oleh Yang
Agung. Hanya Dwi Kemala Hijau telah membu-
latkan tekadnya, dia tetap pada pendirian semula.
"Apapun yang terjadi pada diriku, aku siap
menanggung segala akibatnya. Jadi kuharap kau
tak usah memaksaku, Yang Agung." Pada akhir
nya Dwi Kemala Hijau menjawab tegas.
Lenyaplah sudah kesabaran iblis Berjubah
Merah ini. Tiba-tiba dia acungkan telunjuknya
sambil berteriak. "Kuajak baik-baik kau tak mau.
Rupanya kau mau aku mengirimmu ke neraka?"
Suara Yang Agung lenyap ditelan gemuruhnya
angin dingin yang langsung menyambar tubuh
Dwi Kemala Hijau. Dalam waktu tak sampai se-
kedipan mata saja, si gadis merasakan tubuhnya
terbetot ke depan seolah tertarik oleh satu kekua-
tan yang bukan saja menyedotnya ke depan tapi
juga membuat tubuhnya laksana beku. Hanya se-
saat saja Dwi Kemala Hijau kehilangan keseim-
bangan. Tak lama kemudian dengan kecepatan
sulit dipercaya gadis bidadari ini langsung kerah-
kan tenaga ke bagian kaki. Dia berteriak keras
sambil melompat ke samping, dalam keadaan me-
lompat si gadis pukulkan ke dua tangannya me-
mapaki serangan lawan.
Breees!
Satu benturan terjadi di udara, tapi aki-
batnya si gadis jadi memekik tertahan karena te-
naga serangan yang dilancarkan Dwi Kemala Hi-
jau berbalik menghantam dirinya sendiri. Jika
gadis itu tidak cepat jatuhkan diri hingga sama
rata dengan lantai dangau niscaya tubuhnya
hangus karena pukulan yang dia lepaskan men-
gandung hawa panas membakar.
Di depan sana Yang Agung keluarkan sua-
ra tawa aneh. Dwi Kemala Hijau dengan wajah
pucat berkeringat cepat bangkit. Di belakangnya
terdengar suara ledakan keras. Dinding dangau
dibelakang si gadis tenggelam dikobari api. Api
bahkan semakin membesar menjalar ke bagian
atap sampai akhirnya melumat habis seluruh
bangunan dangau. Tak mau terpanggang hidup-
hidup Dwi Kemala Hijau melompat keluar ting-
galkan dangau. Belum lagi kedua kakinya menje-
jak ke tanah dua larik sinar merah menyambar
perutnya. Melihat serangan maut ini, si gadis bi-
dadari langsung lakukan gerakan berjumpalitan
di udara. Sementara kedua tangannya langsung
dihantamkan ke arah Yang Agung.
Segulung angin menderu melabrak apa sa-
ja yang dilaluinya hingga membuat tempat itu jadi
porak poranda.
"Pukulan yang hebat. Tapi bagiku tak ada
artinya!" dengus Yang Agung. Sambil bicara sosok
berupa tulang belulang ini angkat telapak tan-
gannya yang berwarna putih tanpa daging. Puku-
lan yang dilepaskan Dwi kemudian tersedot am-
blas ke dalam telapak tangan Yang Agung.
"Masih ada lagi?" tanya Yang Agung penuh
tantangnya.
Untuk yang kesekian kalinya Dwi Kemala
Hijau dibuat tak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Dia gelengkan kepala dan bingung apa
hendak dilakukannya. Selagi dia tertegun menco-
ba mencari jalan untuk menjatuhkan lawan di
depan sana Yang Agung sudah berkelebat ke
arahnya dengan dua tangan tulang terpentang
siap meringkus. Di saat seperti itu si gadis jadi teringat akan selendang sakti yang selalu dipergu-
nakan untuk mengarungi udara. Tanpa fikir pan-
jang dia langsung menarik selendang biru yang
tersimpan di balik pakaian hijaunya. Tepat kedua
tangan lawan nyaris menyentuh tubuhnya, maka
pada saat itu pula si gadis kebutkan selendang
birunya.
Preet!
Selendang meluncur deras di udara, mem-
babat kedua tangan tulang lawan laksana mata
pedang. Yang Agung terkesiap, batalkan niat me-
ringkus si gadis, melompat mundur sambil me-
maki panjang pendek.
9
Angin dingin yang keluar dari sambaran
selendang membuat Yang Agung agak tergontai,
jubah merahnya berkibar. Tubuh yang hanya ter-
diri dari serangkaian tulang belulang itu berde-
rak-derak seperti hendak bertanggalan satu sama
lain.
Tengkorak berjubah ini tentu saja terkejut
bukan main dan selama ini tak pernah menyang-
ka gadis itu memiliki satu senjata berupa selen-
dang yang mampu menggoyahkan dirinya.
"Jika dia tidak cepat kutangkap, bisa jadi
aku yang dibuatnya celaka!" batin Yang Agung
alias Iblis Berjubah Merah.
Dia kemudian membentak keras, satu pu
kulan jarak jauh dilepaskannya. Begitu sinar biru
menderu di udara, si gadis langsung menyambut-
nya dengan kebutan selendang birunya. Ketika
ujung selendang membentur sinar biru itu, maka
terdengar satu ledakan menggelegar di udara, me-
robek kesunyian dan membuat Dwi Kemala Hijau
terhuyung. Rupanya pukulan yang dilepaskan
Yang Agung itu kiranya hanya tipuan belaka, ka-
rena ketika lawan kebutkan selendang birunya
dan tubuh si gadis terhuyung. Maka pada saat itu
pula Yang Agung melesat cepat ke arah lawan.
Jari-jari tulangnya menghantam ke dada si gadis.
Dwi Kemala Hijau jadi terkesiap melihat se-
rangan yang tidak disangka-sangka ini. Tapi dia
cepat miringkan tubuhnya, serangan yang dilan-
carkan ke arah dada tidak mengenai sasaran yang
diharapkan tapi menghantam bagian bahunya.
Dessss!
"Akh...!" Dwi Kemala Hijau menjerit terta-
han. Tubuhnya jatuh terhempas, bergulingan di
atas tanah. Bagian bahunya yang terkena tusu-
kan terasa sakit luar biasa dan seperti remuk di
bagian dalam. Termiring-miring dia bangun lagi,
selendang di tangan kanan kini dipindahkan ke
tangan kiri. Belum lagi gadis ini siap dengan posi-
sinya, kembali Yang Agung lakukan serangan ga-
nas dan cepat luar biasa. Dalam keadaan seperti
itu, dimana selain lawan menyerang dengan
mempergunakan kedua kaki dan juga tangan tu-
langnya. Tentu saja Dwi Kemala Hijau sangat ke-
repotan sekali. Dalam jarak sedekat itu dia tidak
lagi sempat mempergunakan selendang saktinya.
Untuk menangkis serangan ganas yang datang
secara berbarengan itu terlalu besar resiko yang
harus ditanggungnya, tak ada pilihan lain Dwi
Kemala Hijau gerakkan tangan ke belakang. Sete-
lah itu diapun berjumpalitan.
Hanya serangan tangan tulangnya saja
yang dapat dihindari si gadis. Sedangkan tendan-
gan kaki kiri Yang Agung tepat menghantam tu-
lang rusuk Dwi Kemala Hijau di sebelah kanan.
Sekali lagi gadis ini menjerit tertahan, tu-
buhnya terbanting, tulang rusuk seperti patah
dan terasa dingin laksana beku. Dalam keadaan
terbaring menelungkup gadis bidadari itu menge-
rang. Di depan sana Yang Agung tertawa tergelak-
gelak. "Kini siapa yang menjadi pelindung ku se-
lain diriku? Setelah kau dalam keadaan begini,
apakah sekarang kau masih tak mau ikut den-
ganku?" tanya Yang Agung.
"Aku tetap tidak ikut denganmu, apapun
yang terjadi!" tegas Dwi Kemala Hijau.
"Begitu? Ternyata kau manusia keras kepa-
la. Pengampunan dari kesalahan yang kau laku-
kan telah aku berikan. Kutawarkan obat pemu-
nah racun untukmu, namun rupanya kematian
bagimu lebih menyenangkan. Padahal orang tua
yang sudah lama terkubur saja kalau bisa masih
ingin meminta dihidupkan lagi. Ha ha ha... seka-
rang juga permintaanmu akan kululuskan!" seru
Yang Agung. Tengkorak kepala yang tertutup topi
jubah itu nampak bergoyang-goyang. Sepasang
rongga mata yang besar menghitam kemudian
memancarkan cahaya merah redup, sehingga
tampak angker menggidikkan. Rupanya Yang
Agung tengah menggunakan kekuatan rongga
matanya untuk menghabisi lawannya. Sementara
itu Dwi Kemala Hijau sendiri kini sudah memba-
likkan tubuh, namun tak sanggup untuk berdiri.
Ketika dia melihat rongga mata yang menghitam
itu kini telah memancarkan sinar merah, dia sa-
dar lawan hendak menghabisinya dengan serang-
kaian serangan Mata Iblis yang bersumber dari
kekuatan mata. Untuk itu si gadis berusaha se-
dapat mungkin untuk menjauh. Tapi jangankan
bangkit berdiri, sedangkan bergerak pun sulit bu-
kan main.
"Agaknya aku sudah ditakdirkan mati den-
gan cara seperti ini!" rintih Dwi Kemala Hijau.
Selagi gadis bidadari ini merasa tidak ber-
daya dan tak mampu melakukan apapun, pada
waktu itu pula dari rongga mata Yang Agung me-
lesat dua larik sinar merah pipih laksana mata
tombak. Sinar itu melesat laksana kilat ke arah
Dwi Kemala Hijau. Agaknya nasib buruk si gadis
benar-benar segera terjadi jika pada saat itu dari
balik kegelapan tidak muncul satu bayangan yang
langsung berkelebat sambil hantamkan tangan-
nya ke arah sinar itu.
Dari telapak tangan sosok yang baru da-
tang berturut-turut menderu sinar hitam dan me-
rah berhawa dingin bukan main. Dua pukulan
saling bertubrukan di udara.
Blaaar!
Satu ledakan berdentum laksana merobek
langit. Yang Agung terhuyung-huyung ke bela-
kang. Sosok baru datang yang ternyata Gento
Guyon adanya jatuh terduduk dengan kaki terli-
pat.
"Tobaaat...! Rongsokan tulang belulang itu
membuat nafasku jadi sesak dan kepala serasa
mau meledak." kata Gento yang di bahu kirinya
tergantung dua ekor ayam hutan hasil buruan.
Terseok-seok Gento Guyon berlari menda-
patkan Dwi Kemala Hijau. Sementara di sebelah
depannya sana Yang Agung nampak seperti terte-
gun. Sekujur tubuhnya yang hanya berupa tulang
belulang berderak keras. Seakan tak percaya den-
gan kenyataan yang terjadi dia berseru.
"Pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis, ada
hubungan apa kau dengan Tabib Setan?" tanya
Yang Agung.
Gento Guyon yang baru saja membawa si
gadis bidadari ke tempat yang aman segera mem-
balikkan badan menghadap langsung ke arah
Yang Agung. Begitu melihat keadaan Yang Agung,
Gento jadi melengak kaget. Tapi tak lama kemu-
dian dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Tak kusangka aku akan berhadapan den-
gan tulang belulang rongsokan begini rupa." kata
Gento "Eeh, kau tadi bertanya apa? Tentang Tabib
Edan jika tak salah aku mendengar. Hubungan
ku dengan tabib itu sebenarnya tidak ubahnya
seperti hubungan kucing dengan anjing. Aku kucing dia anjingnya. Sedangkan mengenai pukulan
itu memang aku dapat warisan darinya. Kau
punya hubungan apa pula dengan Tabib Setan
itu? Apakah dia masih terhitung saudaramu.
Atau kau ingin agar tabib itu mengobatimu hing-
ga tulang-tulangmu jadi gemuk? Ha ha ha."
"Aku tidak punya hubungan apapun den-
gan bangsat gila itu. Malah dia yang membuat di-
riku jadi begini rupa. Jika bertemu aku pasti
akan membunuhnya. Kebetulan sekali kau men-
gaku murid tabib edan itu. Jadi kalaupun saat ini
aku tidak dapat bertemu dengannya, kurasa den-
gan membunuhpun sudah menjadi kepuasan ba-
giku!" dengus Yang Agung.
"Ha ha ha. Tulang rongsokan, mungkin apa
yang kau katakan itu hanya mimpi belaka. Kau
harus tahu disekitar sini banyak serigala berke-
liaran. Aku punya satu rencana bagus untukmu!"
ujar Gento. Belum lagi dia sempat melanjutkan
ucapannya, Yang Agung yang sebenarnya me-
mang tidak mengerti akan maksud ucapan pemu-
da itu tanpa banyak bicara lagi segera berkelebat
ke arah lawannya. Serangkaian serangan ganas
dilancarkannya, sehingga setiap tangan tulang itu
menyambar deru angin yang ditimbulkannya
membuat Gento jadi terhuyung ke belakang. Be-
tapapun ganasnya serangan itu namun tak satu-
pun serangan lawan mengenai tubuh Gento. Den-
gan gerakan terhuyung-huyung, dan jemari dira-
patkan seperti tangan congcorang pemuda ini da-
pat menghindari setiap serangan yang datang.
Melihat serangan ganasnya selalu dapat
dihindari oleh lawannya, maka Yang Agung jadi
penasaran. Dia lalu merobah jurus serangannya.
Jika pertama tadi dia mengandalkan kedua tan-
gannya, maka sekarang Yang Agung juga pergu-
nakan kaki tulangnya. Mendapat serangan gencar
sedemikian rupa, maka Gento yang ketika itu
menggunakan jurus Congcorang Mabuk hanya
dalam waktu singkat mulai terdesak mundur.
"Huup...!"
Gento berkelit ke samping ketika satu ten-
dangan melesat menghantam pinggangnya. Ten-
dangan luput, tapi tangan tulang Yang Agung
meneruskannya dengan serangan susulan.
Dess!
Satu pukulan mendera di bagian dada
membuat pemuda ini jatuh terjengkang dengan
mulut menyemburkan darah. Dwi Kemala Hijau
yang dalam keadaan terluka menjadi cemas meli-
hat pemuda.
"Gento... hantam di bagian rongga ma-
tanya!" teriak gadis itu memberi aba-aba.
Walaupun pemuda gondrong ini menden-
gar teriakan Dwi Kemala Hijau, tapi dia tidak me-
nanggapi. Apalagi saat itu lawan memburunya
sambil melepaskan satu tendangan ke perut pe-
muda itu.
Murid si gendut Gentong Ketawa ini lang-
sung gulingkan diri ke samping. Tendangan lu-
put, terus menderu dan menghantam semak be-
lukar di belakang Gento.
Wuuus!
Byaaaaar!
Semak belukar rambas gosong, seperti di-
terabas pedang yang menyala. Lagi-lagi Yang
Agung dibuat tercengang melihat serangannya
gagal mengenai sasaran. Mempergunakan kesem-
patan itu, Gento yang sudah bangkit berdiri lang-
sung melesat ke depan. Satu tangannya dihan-
tamkan ke bagian tengkorak kepala, sedangkan
tangan yang satunya lagi berkelebat ke bagian
kantong jubah. Semua apa yang dilakukan Gento
ini berlangsung sangat cepat dan mustahil dapat
dilakukan oleh seorang pendekar biasa. Mendapat
serangan seperti itu, Yang Agung menyangka tan-
gan lawan hendak menghantam bagian rongga
matanya. Sehingga dia cepat menghindar dengan
menarik kepala ke belakang. Dia lupa akan mak-
sud tujuan Gento yang sebenarnya. Gento sendiri
kemudian melompat mundur sambil masukkan
sesuatu yang diambilnya dari jubah lawan ke da-
lam kantung celana hitamnya.
"Iblis Berjubah Merah!" hardik si pemuda
dengan bibir menyunggingkan senyum. "Nama
serta julukanmu bagus amat. Tapi aku lebih suka
memanggilmu tulang rongsokan santapan seriga-
la. Jika kau bermaksud melampiaskan dendam-
mu pada Tabib Setan, mengapa kau tidak cepat
membunuhku? Ha ha ha!"
"Hati-hati kau bicara, kau tak mungkin
menghancurkannya bila bulan di atas sana masih
menampakkan diri." satu suara seperti ngiangan
nyamuk terdengar ditelinga Gento. Tak perlu me-
noleh, murid si gendut ini tahu siapa yang bicara.
Pasti Dwi Kemala Hijau. Tanpa sadar Gento men-
dongak ke langit, saat itu dia melihat awan putih
berarak bergerak mendekati bulan. Sekali lagi
Gento Tersenyum
"Tak usah menunggu bulan tertutup awan.
Aku punya rencana lain untuknya!" batin Gento
dalam hati.
Di depannya sana Yang Agung ternyata
terpancing oleh ucapan Gento. Sambil keluarkan
suara menggerung dia berteriak menggeledek.
"Bocah keparat, rupanya kau ingin agar aku ce-
pat-cepat mengirimmu ke neraka? Baiklah kein-
ginanmu itu segera kukabulkan!" Usai bicara, se-
pasang tangan tulang Yang Agung diputar sebat
hingga menimbulkan suara angin menderu diser-
tai berkiblatnya hawa dingin yang amat sangat.
Melihat sambaran angin yang ditimbulkannya,
Gento sadar, lawan mempergunakan pukulannya
yang paling berbahaya disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi, itulah sebabnya dia tak mau berla-
ku ayal. Tanpa fikir panjang pemuda itu langsung
persiapkan dua pukulan sekaligus.
Tangan kiri melepaskan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis, sedangkan di tangan kanan
dia siapkan pukulan Selaksa Duka. Di depan sa-
na lawan berkelebat sambil hantamkan kedua
tangan sekaligus, Gento berteriak keras, lalu me-
lompat ke depan, tangan didorong ke depan. Tan-
gan kiri memancarkan cahaya merah hitam berhawa dingin, sedangkan dari tangan kanan men-
deru cahaya seputih perak berhawa panas luar
biasa. Hawa panas dan hawa dingin memenuhi
udara di sekitar tempat terjadinya perkelahian
hebat dan seru ini hingga membuat Dwi Kemala
Hijau yang berada di luar kalangan pertempuran
jadi menggigil.
Benturan keraspun tak dapat dihindari la-
gi. Suara jeritan dari kedua belah pihak yang sa-
ma-sama terpelanting ke belakang tenggelam oleh
suara gemuruh ledakan.
Ledakan itu menimbulkan akibat yang
sangat mengerikan sekali. Semak belukar diseke-
lilingnya hancur dan hangus. Pohon-pohon ber-
tumbangan, tanah dan batu berhamburan. Di ba-
lik rerumputan yang hangus Gento terkapar. Na-
fas megap-megap, tubuhnya laksana beku. Dari
sudut bibirnya darah kental menetes. Sungguh-
pun rasa sakit mendera di sekujur tubuhnya,
pemuda ini masih berusaha duduk. Ketika batu
dan debu yang bertaburan di udara lenyap, maka
pada saat itulah Gento melihat Yang Agung me-
langkah ke arahnya dengan langkah mengundang
maut.
Gento jadi tercekat, tak percaya seakan
Yang Agung tidak mengalami akibat apapun.
Hanya tulang tangan kirinya saja yang tanggal.
"Setan.... bagaimana dia bisa tetap berta-
han. Padahal akibat benturan tadi sudah mem-
buat tubuhku seperti tercerai berai. Edan...
mungkin sekaranglah saatnya!" berkata begitu
Gento telan pil mujarab pemberian Tabib Setan.
Setelah menelan pil itu dadanya terasa panas se-
perti terbakar. Tapi tak lama kemudian sekujur
tubuhnya terasa sejuk dan menjadi segar kemba-
li.
Tak menunggu lebih lama murid Gentong
Ketawa ini keluarkan suara teriakan keras.
Tidak lama setelah itu tanpa fikir panjang
lagi Gento segera himpun tenaga dan menyalur-
kannya ke arah kedua belah tangannya. Tangan
itu kemudian bergetar dan berubah memutih
sampai ke bagian pangkal lengan. Selanjutnya
dengan kecepatan laksana kilat Gento menyerbu
ke depan, dua tangan diarahkan ke bagian dada.
Serangan ini sebenarnya hanya tipuan saja kare-
na begitu tangannya yang tinggal hanya bagian
sebelah kanan itu menangkis, maka dua tangan
Gento segera dibelokkan ke atas ke arah dua
buah rongga mata lawannya.
Braaaak!
Buuum!
Terdengar suara tengkorak kepala berderak
disertai dengan ledakan menggeledek. Sosok Yang
Agung yang bagian tubuhnya terdiri dari tulang
belulang itu berpentalan ke seluruh penjuru arah.
Bagian kepala yang meledak hancur bertaburan
dikobari api. Sedangkan jubahnya terlepas me-
layang ditiup angin entah kemana. Gento menarik
nafas, dengan tubuh termiring-miring dia berlari
mendekati Dwi Kemala Hijau. Si gadis yang se-
dang terluka langsung dibawanya pergi menjauh dari tempat itu.
10
Di satu lapangan kecil Gento Guyon henti-
kan larinya. Nafas mengengah tapi tubuhnya yang
terluka sudah tidak terasa sakit lagi akibat obat
mujarab pemberian Tabib Setan yang mempunyai
daya sembuh yang sangat kuat sekali. "Hebat ju-
ga tabib itu, dia mewarisi aku obat yang bentuk-
nya seperti tahi kambing, tapi agak bau pesing.
Boleh jadi salah satu campuran ramuannya air
kencing tabib itu sendiri. Gila! Tapi walau bagai-
manapun aku harus berterima kasih." fikir Gento
sambil gelengkan kepala dan tersenyum sendiri.
Di bawah sebatang pohon di pinggir lapan-
gan pemuda ini kemudian menurunkan Dwi Ke-
mala Hijau. Diam-diam ketika berada dalam pon-
dongan si pemuda rupanya si gadis perhatikan
Gento yang tersenyum-senyum seperti orang ku-
rang waras, hingga membuatnya jadi tidak enak
sendiri.
"Gento apa yang kau tertawakan?" tanya
Dwi Kemala Hijau sambil memijit-mijit perutnya.
Si pemuda gelengkan kepala. "Aku hanya
ingat seorang sahabat, musuh juga guruku. Dia
memberiku obat hebat hingga luka dalam yang ku
derita dapat sembuh dengan cepat." jawab pemu-
da itu. Dia lalu menceritakan tentang hubungan-
nya dengan Tabib Setan. Mengenai riwayat Tabib
Setan dapat diikuti dalam Episode Tabib Setan.
"Sungguh dia manusia aneh, tapi memiliki
ilmu pengobatan yang sangat luar biasa. Obat
yang kau berikan padaku juga sudah begitu ba-
nyak membantu memulihkan kesehatan ku." ujar
si gadis dengan tatapan penuh rasa terima kasih.
"Oh ya, mengapa kau tadi membawa aku pergi,
padahal kita belum tahu apakah Yang Agung be-
nar-benar hancur atau malah sebaliknya dia tetap
hidup dengan kekuatannya yang baru!"
"Aku yakin dia tak dapat hidup lagi. Lagi-
pula banyak sekali kawanan serigala kelaparan
berkeliaran di sekitar tempat itu. Karena itu aku
terpaksa membawamu pergi karena aku sangat
khawatir sekali, kawanan serigala itu akan me-
nyerang kita begitu mereka selesai menyantap se-
luruh tulang-tulang polos tanpa darah dan dag-
ing. Ha ha ha." Gento menjawab sambil tertawa
terkekeh.
Ucapan Gento itu membuat Dwi Kemala
Hijau jadi tercekat. Semula dia menyangka Gento
tak sanggup menghadapi lawannya, tapi secara
tak terduga ternyata pemuda ini mampu meng-
hancurkan Yang Agung.
"Bagaimana keadaanmu sendiri Gento?"
tanya si gadis. "Rasanya aku hampir tak percaya
kau dapat melakukannya." kata Dwi Kemala
Tawa pemuda itu makin bertambah lebar.
Setelah tawanya terhenti dia berkata. "Segala se-
suatunya memang sangat kusangsikan, seperti
katamu aku percaya dia pasti memiliki satu kelemahan. Maka aku akhirnya menyatukan tenaga,
menggabungkan beberapa pukulan, lalu kuhan-
tam bagian titik kelemahan Yang Agung." jawab
Gento.
Diam-diam gadis bidadari itu semakin me-
rasa kagum melihat kelebihan serta kecerdasan
yang dimiliki Gento. Sekejap dia pandangi pemu-
da itu. Si gadis kemudian berkata dalam hati.
"Terkadang dia suka bertingkah konyol, sering ja-
hil, tapi aku sama sekali tak pernah menyangka
dibalik ulahnya dia memiliki kesaktian tinggi!"
"Adakah kau memikirkan sesuatu? Apa
mengenai racun yang mendekam dalam tubuh-
mu, atau kau memikirkan diriku?" tanya Gento
sambil tertawa.
Diingatkan akan racun yang berada dalam
tubuhnya, wajah Dwi Kemala Hijau mendadak ja-
di berubah.
"Celaka, obat pemunah racun itu ada pada
Yang Agung di bagian kantong jubahnya. Bagai-
mana ini kita harus mengambilnya!" kata si gadis
bingung.
Tenang saja Gento menjawab. "Jubah itu
kulihat entah terbang kemana, kalau mau dicari
tak tahu kemana aku harus mencarinya. Tapi kau
tak usah cemas karena aku punya obat yang
lain.!"
"Obat pemunah, obat penawar darimana
kau mendapatkannya?" tanya si gadis heran.
Gento Guyon merogoh saku celananya. La-
lu dari dalam celana dia keluarkan sesuatu yang
diambilnya dari jubah Yang Agung. Ketika telapak
tangan dibuka sepasang mata Gento terbelalak
lebar.
"Mustahil, tak dapat kupercaya. Bagaimana
obat bisa berubah menjadi gigi?!" desis si pemuda
bingung sekaligus kaget. "Ini pasti giginya Yang
agung bisa berada di dalam kantong jubah?" Tak
percaya Gento dengan mempergunakan tangan
kiri merogoh kantung celananya lagi. Dia pun jadi
tersenyum dan menarik nafas lega ketika dia me-
nemukan sebuah tabung kecil dari bambu. Gigi-
gigi yang ada ditelapak tangan kanannya lang-
sung dibuang. Tapi Dwi Kemala Hijau langsung
memungut tiga dari gigi yang dicampakkan.
Terheran-heran Gento ajukan pertanyaan.
"Buat apa kau ambil giginya iblis itu? Ini obat
pemunah racun yang sebenarnya!" kata Gento, la-
lu dia angsurkan tangannya serahkan tabung
bambu sebesar telunjuk pada si gadis. Dwi Kema-
la Hijau gelengkan kepala.
Sambil tersenyum dan telan dua benda
yang bentuknya seperti gigi si gadis menjawab.
"Obat yang tersimpan dalam tabung bambu itu
sesungguhnya adalah racun yang mematikan.
Aku tahu bagaimana akal licik Yang Agung. Dia
sengaja membuat obat dengan bentuk sedemikian
rupa untuk mengecoh orang. Sesuatu yang kita
anggap sebagai barang tak berguna, itulah obat
yang kita cari, begitu juga sebaliknya." kata Dwi
Kemala Hijau.
Gento terdiam, seakan tak percaya dengan
penjelasan si gadis bidadari. Pemuda ini kemu-
dian menatap seraut wajah yang memiliki kecan-
tikan sangat luar biasa itu. Tapi Gento kemudian
berjingrak kaget sambil berseru. "Kemala, wajah-
mu!"
"Hah, ada apa dengan wajahku?" tanya Dwi
Kemala Hijau. Saat itu dia merasakan tubuhnya
terasa dingin. Semakin lama hawa dingin menye-
rangnya dengan hebat.
"Kemala... kau... jangan-jangan kau salah
memakan obat?!" seru Gento ketika melihat tu-
buh Dwi Kemala Hijau tergelimpang meringkuk
seperti udang kering.
Dengan tubuh menggigil dan gigi bergeme-
letukan si gadis masih berusaha menjawab. "Yang
terjadi ini adalah reaksi antara racun dan obat
pemunahnya. Aku... aku tak akan apa-apa...!"
Walaupun Dwi Kemala Hijau sudah beru-
saha menjelaskan, namun Gento masih tetap tak
percaya. Apalagi ketika melihat tubuh si gadis
mulai kejang-kejang. Kini tumbuh dalam fikiran-
nya untuk membuka tabung bambu dan mema-
sukkan obat yang ada didalamnya ke dalam mu-
lut si gadis. Tapi dia meragu, andai isi tabung
memang obat pemunah racun, semuanya tidak
akan menjadi persoalan. Tapi jika racun memati-
kan sebagaimana yang dikatakan gadis bidadari
itu, tentu akibatnya semakin fatal bagi gadis itu
sendiri.
Selagi Gento diselimuti rasa bingung untuk
menentukan keputusan di saat yang sama terdengar suara tawa menggeledek bergema di uda-
ra. Suara tawa kemudian lenyap, selanjutnya ter-
dengar pula suara orang berkata. "Jika kau bin-
gung memikirkan nasib gadisnya, sedang yang sa-
tunya lagi menggelepar di atas tanah. Dari pada
bingung mengapa tidak diserahkan saja gadis se-
cantik bidadari itu kepadaku? Gadis secantik dia,
jangankan untuk mengobati, membawanya ke
sorga penuh nikmat aku sendiri sanggup. Ha ha
ha!"
"Sialan, siapa lagi kadal buntung yang be-
rani mencari penyakit itu?" rutuk Gento dalam
hati. Pemuda ini lalu kitarkan pandangan ma-
tanya ke segenap penjuru arah. Sementara itu sa-
tu perubahan besar telah terjadi pada diri Dwi
Kemala Hijau. Sekujur tubuhnya yang berwarna
hijau kini kembali ke warna aslinya. Putih halus
dan berkilauan. Bukan hanya itu saja, wajahnya
yang cantik mempesona kini semakin bertambah
memikat.
Karena orang yang tertawa dan bicara tadi
tidak kunjung munculkan diri, maka Gento kem-
bali pandangi Dwi Kemala Hijau. Gadis itu ternya-
ta sudah tidak merintih-rintih seperti tadi, yang
membuatnya terkejut sekujur tubuhnya yang hi-
jau sekarang telah berubah menjadi putih.
"Aku tak percaya jika tidak melihatnya
sendiri." batin murid si gendut Gentong Ketawa.
Baru saja dia hendak ajukan satu pertanyaan.
Pada saat itulah dia melihat satu bayangan merah
berkelebat ke arahnya.
Hanya dalam waktu yang singkat di depan
Gento kini telah berdiri seorang pemuda berpa-
kaian merah beralis tebal. Rambutnya yang gon-
drong diikat sehelai kain berwarna merah. Di ba-
gian dada bajunya terdapat sulaman bergambar
bumi dengan satu lintasan putih berkelok-kelok
seperti kilat yang menyambar. Di punggung ba-
junya juga terdapat gambar yang sama hanya
ukuran dan bentuknya lebih besar.
Gento Guyon sejenak lama memandang ke
depan. Saat itu cahaya bulan cukup terang. Se-
hingga Gento dapat melihat wajah pemuda itu
dengan jelas. Dia masih begitu muda, usianya
mungkin terpaut beberapa tahun dari Gento. Wa-
jahnya tampan, tapi menyimpan kelicikan dan
keangkuhan.
Memandang pemuda itu cukup lama, Gen-
to jadi ingat dengan Iblis Racun Hijau. Ciri-ciri
yang sama pernah dijelaskan orang tua itu ketika
dia dan gurunya bertemu dengan Iblis Racun Hi-
jau di telaga dekat kediaman manusia beracun
itu.
"Mungkin inilah orangnya yang bernama
Lira Watu Sasangka, bergelar Panji Anom Pengge-
tar Jagad alias Baginda Begawan Muda. Dia begi-
tu bernafsu untuk mendapatkan senjata Bintang
Penebar Petaka. Apakah senjata itu kini telah di-
dapatkannya?" fikir Gento.
"Yang satu bertelanjang dada, rambut gon-
drong, wajah konyol. Orang dengan ciri-ciri seper-
ti manusia edan ini aku tak mengenalnya. Kalau
yang satunya lagi pastilah Dwi Kemala Hijau. Tapi
mengapa wajah dan kulit tubuhnya kini berubah
putih? Jangan-jangan guru salah dalam memberi
penjelasan tentang penghuni Kuil Setan ini."
membatin pemuda berpakaian merah ini dalam
hati.
"Sudah puas kau memandang wajahku
yang cakep ini? Kalau sudah puas katakan apa
kepentinganmu datang kesini?" tanya Gento.
Si pemuda tersenyum mengejek. Dia ke-
mudian kembali alihkan pandangannya pada Dwi
Kemala Hijau yang kini sudah bangkit dan duduk
disamping Gento. Melihat sikap orang yang acuh
tak acuh bahkan terkesan memandang sebelah
mata Gento pun jadi kesal.
"Setan... pertanyaanku kutunjukkan pa-
damu. Rupanya kau tertarik pada gadis saha-
batku ini?" dengus Gento bersungut-sungut. Dia
kemudian menambahkan. "Jika kau tertarik pa-
danya, aku jamin sahabatku pasti mau... mau
muntah melihatmu? ha ha ha."
Sepasang mata yang penuh keangkuhan
dan angkara murka ini nampak berkilat tajam.
Mulut terkatup rapat, tapi Gento dapat mengeta-
hui kalau sesungguhnya si baju merah menjadi
tersinggung mendengar ucapannya.
"Pemuda edan salah kaprah, seribu gadis
cantik seperti dia dengan mudah dapat kucari.
Siapa bilang aku tertarik padanya. Jikapun aku
punya hasrat mungkin hanya sekedar untuk ber-
senang-senang. Setelah aku bosan pasti dia kubunuh!" sahut si pemuda yang bukan lain adalah
Lira Watu Sasangka alias Panji Anom Penggetar
Jagad.
Tawa Gento makin melebar. Dia melirik ke
arah Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru, sete-
lah itu baru alihkan perhatiannya pada Panji
Anom. Dengan senyum bermain dibibir seakan
tak menghiraukan ucapan Panji Anom mulutnya
berucap. "Aku percaya dengan semua ucapanmu.
Orang dengan tampang sepertimu tentu dengan
mudah mendapatkan perempuan, tapi aku jamin
bukan perempuan yang baik tapi pelacur mura-
han. Tampangmu saja sudah sama persis dengan
hidung belang.!"
Mengelam wajah pemuda itu mendengar
ucapan Gento. Bola matanya mendelik besar se-
perti hendak melompat keluar. Hawa amarah te-
lah membuat dada si pemuda terasa sesak. Hing-
ga tubuhnya jadi bergetar. Dengan suara lantang
dia menghardik. "Pemuda edan sinting, aku Panji
Anom paling pantang dihina. Agar kau tahu saat
ini aku tidak mencari perempuan...!"
"Mungkin kau mencari nenek tua yang su-
dah bau tanah, begitu!" celetuk Gento sengaja
membuat pemuda itu jadi marah.
"Keparat terkutuk. Kau buka telingamu,
pasang pendengaran dengan baik. Saat ini aku
sedang mencari senjata Bintang Penebar Petaka.!"
menerangkan Panji Anom dengan perasaan geram
sekali.
Mendengar ucapan Panji Anom Dwi Kemala
Hijau maupun Gento Guyon diam-diam jadi ka-
get. Tapi Gento sendiri malah manggut-manggut.
"Oh rupanya kau mencari senjata itu, aku
tahu dimana senjata yang kau cari itu berada."
"Kalau kau tahu lekas kau katakan pada
baginda mu ini!" perintah Panji Anom tak sabar.
"Konon menurut yang kudengar senjata itu
kini berada di satu tempat penyimpanan di nera-
ka. Jika kau mau aku bersedia mengantarmu ke
neraka. Hak hak ha!"
"Pemuda bangsat terkutuklah dirimu!" ma-
ki Panji Anom semakin gusar bukan main. Tak
menunggu lebih lama Panji Anom langsung ber-
niat melakukan serangkaian serangan ganas ke
arah Gento. Namun pada waktu itu terdengar sa-
tu suara dari sebelah kirinya. "Kau inginkan sen-
jata Bintang Penebar Bencana, Panji Anom? Sen-
jata itu sampai kini masih berada di tanganku."
Kemudian ada suara lain menimpali. "Baginda
kenapa jadi bingung? Kami mencari baginda ke-
mana-mana untuk serahkan senjata. Tak dinyana
kiranya Baginda juga sedang mencari kami. Ak-
hirnya kita jadi seperti orang linglung karena sa-
ma sibuk mencari-cari. Ha ha ha!"
Jika Gento tak mengenal suara orang yang
bicara pertama tadi, sebaliknya dia tentu saja
mengenali orang yang bicara kemudian. Pemuda
ini tersenyum.
"Gendut... kau pergi kemana saja? Apa si-
buk merubuhkan Kuil Setan. Atau malah gen-
tayangan mencari janda. Ha ha ha."
"Murid edan bicara seenaknya sendiri. Satu
janda saja sulit kucari apalagi, apalagi seribu ga-
dis seperti yang dikatakan murid si kakek lum-
puh Begawan Panji Kwalat. Ha ha ha."
"Mungkin yang dimaksudkannya kambing
perawan." kata suara yang bicara pertama tadi.
"Tak kusangka dia muridnya Begawan Pan-
ji Keparat...!" sahut Gento.
"Kau salah sebut bocah edan. Kwalat... bu-
kan keparat...!"
"Apa saja bagiku sama saja. Eeh... gendut
apakah kau tak mau kemari? Terus mendekam
disitu seperti ayam mau bertelur. Atau kau se-
dang memadu kasih dengan insan sejenis? Ha ha
ha!"
"Bocah edan, mulutmu perlu ku guyur
dengan air kencingku!" damprat suara itu. Walau
mulutnya mendamprat namun dia tetap tertawa
hehahehe. Sedetik kemudian dari sebelah kiri
Panji Anom berkelebat dua sosok bayangan. So-
sok yang satu dan berada paling depan sekujur
tubuhnya seperti bercahaya. Sedangkan kedua
tangannya lebih terang dari bagian badan. Se-
dangkan sosok yang berada di belakangnya ber-
badan tinggi besar bukan main. Walaupun tu-
buhnya besar luar biasa, namun ketika jejakkan
kaki di samping pemuda muka monyet yang ba-
gian dalam tubuhnya terpampang dengan jelas,
sama sekali kakinya tidak menimbulkan suara.
Jika Gento dan Dwi Kemala Hijau terheran-
heran juga merasa geli melihat pemuda berbadan
sebening kaca ini. Sebaliknya Panji Anom yang
mengenali pemuda itu sempat berjingkrak kaget
dan melompat mundur. Mulut ternganga mata di-
pentang. Bibirnya mendesis menggumamkan ka-
ta-kata yang tidak jelas.
"Sulit kupercaya, bagaimana manusia lu-
tung itu kini telah berubah seperti itu. Beberapa
hari yang lalu kulitnya hitam legam. Sekarang ba-
gaimana bisa menjadi putih sebening kaca?" fikir
Panji Anom. Dia lalu alihkan perhatiannya pada si
gendut. "Gendut besar ini memanggil murid pada
pemuda gondrong edan itu. Jadi mereka murid
dan guru. Selain tubuh, kulihat mereka banyak
memiliki persamaan. Gurunya sinting, muridnya
edan. Sungguh ini merupakan suatu kenyataan
yang menyedihkan!" batin Panji Anom disertai seringai sinis.
11
Di depan sana seakan tak menghiraukan
Panji Anom lagi si gendut Gentong Ketawa ajukan
satu pertanyaan pada sang murid. "Gento, bagai-
mana kau bisa mendapatkan gadis cantik ini?"
Yang ditanya mesem-mesem sambil men-
gusap keningnya yang keringatan. Sebentar dia
melirik pada Dwi Kemala Hijau, sebelah mata di-
kedipkan satu kali baru kemudian menjawab.
"Semua ini anugerah. Yang semula musuh bisa
kujadikan teman, mana cantik lagi. Dan kau sendiri bagaimana bisa bertemu dengan pemuda ber-
badan bagus seperti ini, ndut? Tubuhnya bening
isi bagian dalam kelihatan. Rupanya peruntun-
ganmu sedang bagus, ya?! Ha ha ha."
"Ha ha ha, kalau kau melihat sebelum ini.
Rasanya singkong bakar masih kalah gosong." ja-
wab Gentong Ketawa.
Setelah Gento memperkenalkan Dwi Kema-
la Hijau pada gurunya, kakek Gentong Ketawa
berkata. "Peruntunganmu rupanya sedang bagus.
Bisa berkenalan dengan gadis cantik dan seorang
bidadari pula. Tidak seperti aku!" kata si kakek
bersungut-sungut.
"Ya, peruntunganmu buruk sekali orang
tua. Apalagi jika kau tak mau menyerahkan sen-
jata itu padaku, bukan hanya kau dan muka ku-
nyuk itu saja yang akan kubunuh. Tapi muridmu
juga gadis itu tak akan lolos dari kematian!" Panji
Anom yang sedari tadi hanya diam saja kini ikut
bicara.
Kini Gento dan Dwi Kemala Hijau meman-
dang ke arah Gentong Ketawa. Merasa diperhati-
kan seperti itu, si kakek jadi salah tingkah. "Sen-
jata Bintang Penebar Petaka bukan ada padaku,
tapi dia yang memegangnya." sambil berkata begi-
tu dia menunjuk ke arah Memedi Santap Segala.
"Guru, bukan aku menuduh mu." ujar
Gento. "Tapi ketahuilah senjata itu milik Kayan-
gan. Bidadari Biru ditugaskan untuk mengambil-
nya kembali." tegas si pemuda. Lalu dia menceri-
takan tentang segala sesuatunya yang terjadi pada Dwi Kemala Hijau. Begitu Gento selesai menu-
turkan segala sesuatunya, maka Memedi Santap
Segala memberi jawaban.
"Jika senjata ini milik Kayangan dan kau
ditugaskan untuk mengambilnya, maka sekarang
juga aku bersedia menyerahkannya padamu. Aku
tidak kemaruk dengan segala macam senjata!" ka-
ta Memedi Santap Segala. Selesai bicara pemuda
ini lalu mengeluarkan senjata dari balik salah sa-
tu kantong perbekalannya. Begitu senjata berada
di tangannya, maka terlihatlah sebuah benda
berbentuk bintang empat sudut dengan delapan
sisi tajam, sementara di tengah-tengah bintang
itu terdapat sebuah lubang bulat. Selagi Gento
dan gurunya dibuat tercengang melihat senjata
yang diserahkan Memedi Santap Segala pada Dwi
Kemala Hijau, maka pada saat itu pula terdengar
satu teriakan.
"Senjata itu harus menjadi milikku. Dia tak
boleh berada di tangan siapapun!" Bersamaan
dengan itu pula terdengar suara deru angin dah-
syat yang langsung menyambar ke arah si gadis
bidadari. Menyadari ada serangan dahsyat men-
dera dirinya, Dwi Kemala Hijau yang telah meme-
gang senjata langsung melompat mundur sela-
matkan diri. Sedangkan Memedi Santap Segala ja-
tuhkan diri sambil bergulingan untuk menghin-
dari pukulan orang.
Gentong Ketawa dan muridnya walaupun
sempat kaget, namun cepat memandang ke bela-
kang. Begitu mengetahui yang menyerang Dwi Kemala Hijau tadi bukan lain adalah Panji Anom,
maka Gento berseru. "Manusia tidak bermalu, in-
gin mengangkangi milik orang. Lebih baik kau
bawa pulang oleh-oleh dariku ini!" berkata begitu
Gento hantamkan tangan kanannya melepaskan
pukulan Iblis Tertawa Dewa Menangis.
"Aku yang tua juga masih ingin berbaik ha-
ti untuk menambahkan bingkisan untukmu!"
Dengan sebat sambil tertawa-tawa, Gentong Ke-
tawa hantamkan dua tangannya yang besar seka-
ligus ke arah Panji Anom.
Sinar merah panas dan hawa dingin men-
deru di udara. Pukulan yang dilepaskan Gento sa-
ja sudah menimbulkan akibat yang sangat luar
biasa. Apalagi gurunya ikut pula melepaskan pu-
kulan mautnya. Akibat yang ditimbulkannya ten-
tu sangat hebat sekali. Angin menderu laksana
gemuruh suara ombak yang menyerang dari dua
arah menggulung Panji Anom hingga membuat
pemuda itu yang telah mencoba melepaskan pu-
kulan untuk menangkis serangan lawan jadi ja-
tuh terpelanting. Panji Anom terkapar, pakaian-
nya di bagian dada dan juga bagian celananya ro-
bek besar, Pemuda itu merasakan dadanya ber-
denyut hebat. Tapi tanpa menghiraukan bagian
kaki dan dadanya yang sakit luar biasa dia cepat
bangkit berdiri. Wajah murid Begawan Panji Kwa-
lat ini nampak merah kelam. Belum lagi dia sem-
pat bicara. Dwi Kemala Hijau sudah berucap.
"Menghadapi diriku, mungkin aku bukan tandin-
gan mu. Tapi kudengar kau menginginkan senjata
ini. Karena itu kau harus berusaha menda-
patkannya sendiri!" seru si gadis. Dia kemudian
berpaling pada Gento, juga gurunya si gendut
Gentong Ketawa dan Memedi Santap Segala. "Pa-
man, Gento dan kau si badan kaca. Sebaiknya
kalian menyingkir di tempat yang aman. Dia in-
ginkan senjata ini, karena itu dia berurusan lang-
sung dengan diriku!"
"Ha ha ha! Aku tak keberatan menonton
pertunjukan gratis." kata Gentong Ketawa sambil
tertawa-tawa dia melompat mundur, lalu duduk
menjelepok di pinggir lapangan.
"Aku sependapat dengan guruku. Tapi kau
harus hati-hati, Dwi Kemala." kata Gento pula.
Lalu dia ikutan duduk seperti gurunya, tapi tetap
bersikap waspada.
"Aku lebih baik berdiri disini. Terlalu lama
duduk pantatku bisa kapalan." celetuk Memedi
Santap Segala, hingga membuat Gento dan gu-
runya tak kuasa menahan tawa.
Di depan sana, si gadis telah lintangkan
senjata Bintang Penebar Bencana di depan dada.
Bibir gadis ini berkemak-kemik, seakan membaca
mantra. Beberapa saat setelah itu, senjata di tan-
gannya terlihat memancarkan sinar merah redup
disertai membersitnya hawa dingin yang bukan
alang kepalang.
"Siapapun dirimu, Panji Anom. Kau pasti
tak bakal sanggup menghadapi senjata ini,
meskipun kau memiliki ilmu setinggi langit." teriak Dwi Kemala Hijau.
Panji Anom Penggetar Jagad sunggingkan
senyum sinis. "Aku adalah orang yang tidak kena
digertak, tidak pula kena ditakut-takuti!" dengus
Panji Anom. Begitu selesai bicara pemuda ini pan-
tangkan kedua tangannya lurus ke depan. Setelah
itu tubuhnya melesat ke depan. Dalam satu se-
rangan kilat ini, Panji Anom bermaksud meram-
pas senjata di tangan si gadis. Tapi sejarak dua
tindak lagi tangan si pemuda hampir menyentuh
senjata Bintang Penebar Petaka. Tiba-tiba saja
seakan ada satu kekuatan dahsyat yang keluar
dari senjata itu menyambar ke arah Panji Anom,
mendorongnya dengan satu tenaga yang sangat
besar luar biasa.
Bruuk!
Panji Anom tak kuasa mengendalikan diri
menjaga keseimbangan, tubuhnya jatuh terbant-
ing. Gentong Ketawa tertawa mengekeh. Sedang-
kan Gentong Guyon langsung menyeletuk. "Ho-
hoho, senjata belum diambil kok sudah jatuh du-
luan. Memalukan!"
Mendengar ejekan Gento, kedua pipi Panji
Anom menggembung besar. Darahnya serasa
menggelegak. Dia segera bangkit berdiri, lepaskan
satu pukulan ke arah Gento, lalu laksana kilat
tubuhnya melesat kembali ke arah Dwi Kemala
Hijau.
Di sebelah sana murid dan guru bergulin-
gan dengan arah berlawanan untuk selamatkan
diri. Di tempat mereka duduk tadi terjadi satu le-
dakan menggelegar. Ketika murid dan guru ini
kembali duduk dalam jarak terpisah jauh, mereka
jadi melengak kaget begitu melihat bekas ledakan
menimbulkan satu lubang besar.
"Senjata harus menjadi milikku!" teriak
Panji Anom. Ketika itu Panji Anom sudah begitu
dekat dengan lawannya. Tapi tanpa terduga Dwi
Kemala Hijau putar senjata itu di bagian tengah-
nya yang berlubang, lalu melemparkannya di
udara.
Begitu terlempar senjata Bintang Penebar
Petaka langsung berputar laksana baling-baling,
mengeluarkan suara bergemuruh hebat disertai
deru hawa panas yang membuat tempat itu lak-
sana terbakar dilamun api.
Panji Anom terkesiap melihat kenyataan
ini, apalagi ketika melihat senjata itu mendadak
menukik ke bawah dan menyerang dirinya laksa-
na seekor elang yang menyambar.
Tak ada pilihan lain, pemuda ini langsung
jatuhkan diri. Begitu tubuhnya rebah hingga sa-
ma rata dengan tanah, maka dia melepaskan pu-
kulan Kutukan Mendera Bumi. Sinar biru berha-
wa panas berkiblat di udara menghantam senjata
maut yang terus menderu tajam ke arahnya. Satu
letusan disertai berpijarnya bunga api terjadi di
udara, hingga membuat suasana di sekitarnya
semakin terang benderang.
Benturan itu ternyata hanya membuat sen-
jata Bintang Penebar Petaka hanya bergetar saja,
selanjutnya terus meluncur menghantam ke arah
perut lawan.
"Senjata iblis keparat!" maki Panji Anom.
Diapun kemudian menggulingkan dirinya ke
samping. Tapi tak urung baju di bagian perut pe-
muda itu robek besar terkena sambaran senjata
Kayangan.
Sambil memaki, Panji Anom bangkit berdi-
ri. Wajahnya berubah pucat laksana mayat.
Otaknya berfikir keras bagaimana caranya agar
dia dapat menangkap senjata itu tanpa menim-
bulkan petaka bagi dirinya sendiri. Dalam kea-
daan seperti itu dia lalu ingat akan sesuatu. Tan-
pa menghiraukan Gento dan gurunya yang berte-
puk tangan sambil memuji kehebatan senjata
Kayangan, Panji Anom tiba-tiba jejakkan salah
satu kakinya hingga membuat tubuhnya melesat
tinggi di udara. Dalam keadaan seperti itu dia
bermaksud menangkap senjata dari arah atas.
Itulah sebabnya begitu sampai pada satu keting-
gian Panji Anom langsung meluncur ke bawah be-
rusaha menangkap bagian tengah senjata yang
terus berputar mendesing tak ada henti.
Apa yang terjadi kemudian membuat Panji
Anom terkejut. Tak ubahnya seperti memiliki ma-
ta dan perasaan saja senjata tiba-tiba berbalik
arah dan kini bagian sisinya menghadap ke atas
menerabas tangan Panji Anom.
"Jahanam terkutuk!" teriak Panji Anom
yang tangannya hampir saja putus terbabat sen-
jata. Gagal menangkap senjata, dia lakukan gera-
kan berjumpalitan dan jatuhkan diri di atas ta-
nah. Wajahnya seperti bukan wajah lagi. Akan tetapi telah berubah sepucat kertas. Belum lagi hi-
lang rasa kagetnya, senjata itu kini meluncur
berputar lalu menderu ke arah Panji Anom. Tak
mau mati konyol. Panji Anom lepaskan pukulan
Prahara Mendera Bumi.
Wuut! Wuuus!
Dua tangan langsung dihantamkan ke arah
senjata. Hawa dingin melesat laksana kilat dan
tepat mengenai senjata itu.
Traang!
Terdengar suara berdentrang. Senjata
hanya oleng sesaat, lalu kembali meluncur meng-
hantam dada Panji Anom. Karena jaraknya begitu
dekat, sementara pemuda ini sendiri seakan tak
percaya melihat kenyataan yang terjadi. Tak ayal
lagi dadanya kena disambar senjata itu.
Craas!
Panji Anom menjerit keras, baju di bagian
dada hancur, dadanya terluka cukup dalam, bah-
kan salah satu rusuknya nyaris putus. Sementara
dari arah belakang Bintang Penebar Petaka kem-
bali menderu membabat ke bagian pinggang. Pada
saat seperti itu, dimana dirinya merasa hampir
putus asa karena tak mampu menangkap. senjata
tersebut. Mendadak sontak satu bayangan berke-
lebat menyambar Panji Anom. Demikian cepatnya
hal itu terjadi sampai Gento dan gurunya tak
sempat melakukan sesuatu. Memedi Santap Sega-
la sambil berteriak keras sempat lepaskan salah
satu pukulannya.
"Hendak dibawa kemana dia?!" teriak pe
muda itu.
"Manusia-manusia calon celaka, suatu hari
kalian semua akan mendapat balasan dariku!"
kata satu suara di kejauhan.
Pukulan Memedi Santap Segala hanya
mengenai angin. Di sebelah kanan mereka Dwi
Kemala Hijau gerakkan tangannya ke arah senja-
ta, hingga senjata itu kini berputar menuju ke
arahnya.
Tep!
Dengan mudah senjata itu dapat ditangkap
kembali oleh si gadis bidadari. Sementara itu
Gento dan si gendut saling pandang. Wajah mere-
ka masih memperlihatkan rasa kagum, tapi juga
kecewa karena Panji Anom berhasil diselamatkan
oleh seseorang.
"Dia merupakan satu momok dan rintan-
gan besar bagimu dimasa yang akan datang!" gu-
man si gendut.
"Seharusnya kita tangkap dan pesiangi tu-
buhnya sejak tadi. Tapi aku sendiri jadi ragu, ta-
kut senjata itu malah salah sasaran dan melumat
habis diriku. Kalau engkau yang jadi korban,
mungkin aku cuma satu hari berduka cita, sete-
lah itu aku buat pesta, pukul beduk pukul gen-
dang. Agar lebih meriah dalam pesta ku gelar aca-
ra tarian. Ha ha ha."
"Murid setaaan!" damprat si gendut sambil
pelototkan mata dan kepalkan tinjunya.
"Gento, kuucapkan terima kasih besar pa-
da dirimu juga pada gurumu." kata Dwi Kemala
Hijau.
"Terlebih-lebih pada Memedi Santap Segala
yang mencuri senjata itu dari tempat penyimpa-
nan di Kuil Setan." kata Gentong Ketawa. Dia lalu
menunjuk ke arah pemuda bertubuh bening. Tapi
yang ditunjuk telah lenyap entah kemana. Sesaat
si gendut mencari-cari. Dia lalu geleng kepala.
"Ah sahabat kita itu agaknya tahu dia, dia
buru-buru pergi sebelum diusir. Ha ha ha." cele-
tuk si gendut sambil tertawa hingga membuat pe-
rut gendutnya terguncang keras.
"Maafkan guruku ini Dwi Kemala Hijau.
Dia memang begitu, bila di depan gadis suka jadi
salah tingkah jadi bicaranya suka melantur!" ujar
si pemuda. Dwi Kemala Hijau tersenyum. "Tidak
mengapa, tanpa kalian dan pemuda tadi tentu
senjata ini sulit kudapatkan. Aku akan mengingat
semua itu, mengenangnya dalam hati sampai ak-
hir hayatku!"
"Eeh, tapi apakah kau akan kembali ke
Kayangan?" tanya Gento dengan perasaan tidak
enak dilanda keresahan.
Sekali lagi si gadis tersenyum, hingga
membuat Gento jadi semakin tidak enak. "Aku
akan pergi ke suatu tempat. Pada waktunya aku
akan kembali ke Kayangan untuk mengembalikan
senjata ini pada ketua para bidadari." Dwi Kemala
Hijau dengan lembut. "Selamat tinggal Gento, se-
lamat tinggal paman." ujar si gadis. Sebelum pergi
dia masih menyempatkan diri melirik ke arah
Gento. Si pemuda kedipkan matanya.
Sekali berkelebat Dwi Kemala Hijau lenyap
dari pandangan mata. Gento tertegun meman-
dang ke arah lenyapnya si gadis. Satu tangan ke-
mudian menepuk bahunya.
"Dia memang cantik, tapi kurasa tak pan-
tas untukmu karena dirinya adalah seorang bida-
dari." kata Gentong Ketawa seakan mengerti pera-
saan muridnya.
Gento bukannya terkejut mengetahui si
gendut seolah tahu apa yang ada dalam pera-
saannya, dia tertawa panjang sambil berkelebat
tinggalkan tempat itu. Akan tetapi tawa itu begitu
sumbang dan mengandung rasa kehilangan.
"Murid edan, rupanya kau mulai kasma-
ran? Kencing saja belum lempang. Ha ha ha ha."
seru Gentong Ketawa, lalu segera mengejar muridnya.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA :
KI ANJENG LAKNAT
0 comments:
Posting Komentar