..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 09 Desember 2024

GENTO GUYON EPISODE TANAH KUTUKAN

GENTO GUYON EPISODE TANAH KUTUKAN

 



SATU


Sebuah benda berwarna putih 

kehitaman melesat dari dalam lubang 

kubur. Benda bulat lonjong itu lalu 

melayang dan jatuh, menggelinding 

dekat kaki kakek tua berblangkon dekil 

yang berdiri berkacak pinggang dalam 

keadaan kaku tertotok. Setelah 

memperhatikan benda itu maka pucatlah 

wajah si kakek berpipi cekung berwajah 

tirus ini.

"Bangsat! Apa sebenarnya yang kau 

cari di kubur tua ini? Mengapa 

tengkorak sesepuh Pendekar Walet Putih 

kau keluarkan dari dalam kuburnya?" 

hardik si kakek juru kunci makam marah 

bukan main.

Dari dalam kubur di mana tengko-

rak kepala manusia tadi melayang 

terdengar gumaman tak jelas disertai 

racau aneh. Lalu ada benda hitam tipis 

besar berkelebat di dalam lubang 

kubur. 

Wing!

Crak! Crok!

Tanah pun lalu berhamburan keluar 

dari dalam makam. Setelah itu bagian 

tulang rusuk dan tulang belulang 

lainnya ikut pula berhamburan. Seba-

gian menimpa blangkon butut si kakek.

Sebagian lagi mengenai dada, kaki


dan wajah.

"Kurang ajar. Kwalat... kau pasti 

akan kwalat. Semua arwah yang berada 

dalam kubur itu mengutuki dirimu."

"Sambar geledek. Tua bangka, jika 

mulutmu tak mau diam aku akan 

menyumpalnya dengan tengkorak yang 

baru kulempar tadi. Kau mau?" terde-

ngar suara dari dalam makam menyahuti. 

"Dulu aku juga pernah mengutuki orang 

yang pernah membuat sengsara 

kekasihku. Aku berdoa agar kekasihku 

kembali kepadaku. Tapi apa yang 

terjadi? Kurang ajar... orang itu 

malah panjang umur dan kekasihku 

hilang sampai kini. Doaku sia-sia, 

Tuhan jauh dariku, bahkan setan pun 

tak mendengar doa."

"Semua itu karena hatimu tidak

bersih, jiwamu kotor. Doamu tidak 

iklas, kau pembohong, atau selama 

hidup mungkin kau selalu memakan 

barang-barang yang bukan menjadi 

hakmu!" kata si kakek juru kunci 

makam.

Dari dalam lubang kubur terdengar 

suara gerengan marah. Tulang belulang 

kembali melesat menghantam tubuh kaku 

si kakek, termasuk juga menghantam 

bibirnya hingga bengkak mengeluarkan 

darah. Si kakek juru kunci Kubur Tua 

menjerit kesakitan. Jeritan dibalas 

dampratan. "Juru kunci sial. Sekali 

lagi kau bicara yang mengusik hati dan


membuat darahku mendidih kurobek 

mulutmu. Mana kau tahu hatiku bersih. 

Mana kau tahu dulu aku tak pernah 

bicara dusta. Semua yang kumakan 

bersih semua. Satu hal yang kau tidak 

tahu, bahwa sesungguhnya seseorang 

yang dosanya selangit tembus selalu 

panjang umur. Kau lihat orang jujur, 

kebanyakan umurnya pendek. Tubuh kurus 

kering. Sudahlah... aku harus 

menemukan barang itu, jika tidak buat 

apa aku menggali kubur keluarga 

Pendekar siapa ini." dengus orang di 

dalam lubang kubur. Yang ditanya diam 

membisu.

Selanjutnya terdengar suara pacul 

menghantam tanah keras diselingi 

dengan melesatnya potongan tulang 

belulang ke arah juru kunci Kubur Tua. 

Setelah itu sepi sejenak, terdengar 

suara tarikan nafas lelah.

"Sudah lima kubur yang kugali. 

Aku hanya mendapatkan tengkorak dan 

tulang belulang tak berguna. Jadi di 

mana beradanya tiga benda yang kucari 

itu?" batin orang yang berada di dalam 

kubur. "Aku harus mencarinya di tempat 

lain." pikirnya. Setelah itu orang 

yang membongkar seluruh makam sesepuh 

Pendekar Walet Putih melompat keluar. 

Ternyata dia adalah seorang kakek tua 

berambut putih berkepala botak di 

sebelah kiri sampai ke bagian belakang 

kepala. Sebagaimana kepalanya, maka


alis mata di sebelah kiri juga tidak 

tumbuh barang sehelai pun. Selain 

rambut dan alis, kumis serta

jenggotnya yang putih di sebelah kiri 

juga tidak tumbuh. Tubuh orang ini 

kurus kering. Jauh bertolak belakang 

dengan pacul yang tersampir di 

bahunya. Pacul itu besarnya bukan 

main, dengan sisi tajam bergerigi. 

Begitu dia berdiri di bibir kubur 

dengan muka murung dan perasaan bosan 

dia pandangi kakek juru kunci Kubur 

Tua. Dari mulutnya keluar suara. 

"Orang tua katakan siapa namamu?"

"Buat apa kau tanya namaku tua 

bangka tak tahu kramat?" dengus juru 

kunci makam sinis.

"Sekarang aku sudah letih dan 

kesal. Kau memilih menjawab pertanyaan 

atau pilih kukuburkan hidup-hidup di 

lubang ini?" Sambil berkata si kakek 

kurus bersenjata pacul besar menunjuk 

ke lubang kubur. "Aku Pemacul Iblis 

tak pernah ragu melakukan apa yang aku 

mau. Hayo jawab!" hardik si kakek. 

Sekali lompat dia telah sampai di 

hadapan juru kunci Kubur Tua. Melihat 

sikap Pemacul Iblis yang bersungguh-

sungguh, dengan perasaan kesal 

akhirnya kakek itu terpaksa menjawab 

juga. "Aku... namaku Ki Rekso Monggo 

Jolodo Mbeo Ora Iso Ra Ketoro, putra 

Raden Mas Inggil Langit cucu Priyayi 

Bentet Mangku Burni dan...!"


Cukup! Namamu sepanjang jalan. 

Penggalan nama kelak akan kutulis di 

atas makammu. Sekarang aku berterima 

kasih karena kau telah memberi izin 

padaku menggali Kubur Tua. Sebelum aku 

pergi dan lupa untuk mengingat, 

sebenarnya makam keluarga siapa yang 

kau jaga ini?" tanya Pemacul Iblis.

"Kau manusia durhaka yang tak 

pernah menghormat arwah orang yang 

sudah mati. Dengar... kau baru saja 

menggali kubur keluarga Pendekar Walet 

Putih!" jelas Ki Rekso Monggo Jolodo. 

Dia berharap Pemacul Iblis jadi kaget 

dan minta maaf atas kesalahan yang 

telah dilakukannya. Tapi kenyataannya 

wajah Pemacul Iblis tidak menunjukkan 

perubahan apapun. Tetap tenang 

bersikap seakan tak mengenal nama 

besar Pendekar Walet Putih.

Dia kemudian berkata. "Walet itu 

binatang yang kecil, aku bahkan pernah 

membunuh seribu elang dan gagak hitam. 

Nama besar, pangkat dan kedudukan 

seseorang tidak pernah harus membuatku 

berjalan dengan terbungkuk-bungkuk di 

hadapannya. Apalagi dia sudah mati, 

huh." dengus Pemacul Iblis. "Jika Tiga 

Permata Langit tak kutemukan di sini, 

aku akan mencarinya di kubur lain. 

Selamat tinggal Ki Rekso Jolodo. 

Semoga mulutmu lodo lumer benaran 

karena terlalu banyak memaki dan 

menyumpah! Ho... ho... ho!" Selesai


berkata sambil tertawa Pemacul Iblis 

tinggalkan Ki Rekso Monggo Jolodo 

begitu saja.

"Hei... bebaskan totokan ini. 

Bagaimana pun aku harus menguburkan 

tulang belulang itu kembali." seru si 

kakek.

"Kelak ada setan yang akan 

membebaskan totokanmu itu. Lagipula 

kau tak mungkin bisa memisahkan tulang 

yang sudah bercampur aduk." sahut 

Pemacul Iblis sayup-sayup di kejauhan. 

Mungkin benar apa yang dikatakan kakek 

sinting Pemacul Iblis. Dia sendiri 

sudah berusaha membebaskan totokan 

dengan pengerahan tenaga dalam sejak 

dirinya tertotok tadi. Namun usahanya 

tak pernah berhasil. Di luar semua itu 

dalam hati sesungguhnya juru kunci 

Kubur Tua keluarga Pendekar Walet 

Putih jadi kaget karena tidak mengira 

kedatangan Pemacul Iblis kiranya 

mencari Tiga Permata Langit.

"Entah untuk apa dia mencari 

senjata maut Tiga Permata Langit itu. 

Tapi aku merasa beruntung karena dia 

tak bisa menemukannya!" batin Ki Rekso 

Jolodo.

Baru saja juru kunci Kubur Tua 

menarik nafas lega mendadak sontak 

terdengar suara gelak tawa dan 

sempritan seperti yang terbuat dari 

batang padi.

"Ha... ha... ha. Hidungku mana


kena ditipu. Dia pernah datang ke 

sini, penciumanku mengatakan semuanya 

ada di sini!" Belum juga gema suara 

orang lenyap di tempat itu muncul 

seorang laki-laki berbadan pendek 

setinggi pinggang. Wajah laki-laki 

berbadan dan bertingkah laku seperti 

bocah ini dipenuhi kerut merut. Bukit 

hidungnya tinggi dan besar sekali. 

Mulut kecil seperti mulut bocah. 

Sedangkan di sudut bibir terselip 

sempritan dari batang padi. Begitu 

bocah berwajah orang tua ini jejakkan 

kaki, dia nampak gelengkan kepala 

berulang kali melihat begitu banyak 

kubur tua di tempat itu dalam keadaan 

menganga. Pada akhirnya dia tak mampu 

menahan tawa begitu melihat Ki Rekso 

Monggo Jolodo berdiri tegak dekat 

gubuk buruk dalam keadaan kaku 

tertotok.

Dengan langkah tergesa-gesa bocah 

berwajah tua ini ayunkan kaki 

mendatangi. Si bocah tua kerutkan 

keningnya begitu melihat di bagian 

leher si kakek digantungi selembar 

kulit berisi pesan. Melihat tulisan 

itu si bocah tua tersenyum lebar.

"Cacing kurus itu rupanya sudah 

pula sampai ke sini." gumamnya. 

Kemudian kulit yang bertali dan 

digantungkan di leher juru kunci makam 

disentakkan. Sekali dia meniup, semp-

ritan batang padi berbunyi, hidung


kembang kempis mengendus.

"Tidak salah. Pesan konyol 

apalagi yang dia tinggalkan?" kata si 

bocah tua seakan tak menghiraukan Ki 

Rekso Monggo Jolodo. Kulit direntang, 

untuk selanjutnya dia pun mulai 

membaca.

Kepada Bocah Tua alias Hidung 

Setan

Saat ini aku sedang mencari Tiga 

Permata Langit. Aku tak tahu kau 

berada di mana. Semula dengan 

penciumanmu yang setajam penciuman 

setan kuharapkan bantuanmu. Tapi aku 

tak tahu kau sudah mampus atau masih 

hidup. Jika kau temukan pesan ini 

harap bantu aku mencari Tiga Permata 

Langit. Kau tahu urusan besar yang 

bakal kuhadapi di Tanah Kutukan.

Tanda Terima Kasih Sobatmu 

Pemacul Iblis

"Ha... ha... ha. Dasar Iblis 

linglung. Buat apa bersusah payah 

menggali?" celetuk Si Bocah Tua alias 

Hidung Setan. Lalu sempritan batang 

padi ditiup. Setelah itu bocah pendek 

berwajah tua pandangi kakek di 

depannya. "Eeh... kakek. Mengapa kau 

mau diperlakukan seperti ini oleh 

Pemacul Iblis?" tanya si bocah sambil 

kembang kempiskan cuping hidungnya 

yang besar.


Yang ditanya tidak menjawab, 

melainkan katupkan bibirnya sedangkan 

kedua pipi menggembung besar. Si bocah 

berwajah tua tersenyum begitu 

melihatnya. "Aneh, pertanyaanku belum 

lagi kau jawab. Sekarang kau sudah 

unjukkan muka marah. Siapa yang hendak 

kau marahi? Aku...?!" Bocah Tua 

menunjuk dirinya sendiri.

"Siapa kau? Sahabatnya iblis 

pembawa pacul laknat tadi? Lekas 

minggat dari hadapanku jika tidak 

ingin kubunuh!" hardik Ki Rekso Monggo 

Jolodo berang.

"Walah galak amat kek. Apa kau 

ingat membebaskan totokan saja dirimu 

tak sanggup? Ha... ha... ha." kata 

Bocah Tua. Dengan acuh dia kembali 

meniup sempritan yang terselip di 

bibirnya.

Semakin bertambah kesal saja juru 

kunci Kubur Tua ini mendengar ucapan 

si bocah. Apalagi ketika mendengar 

Bocah Tua itu berkata. "Kau telah 

ketitipan pesan dari Pemacul Iblis. 

Pesan sudah diterima amanat harus

dijalankan. Kau tahu kek, Pemacul 

Iblis tidak mungkin melakukan peker-

jaan sia-sia dengan menggali makam itu 

jika tidak ada sesuatu yang amat 

penting dicarinya."

Ki Rekso Monggo Jolodo delikkan 

matanya.

"Apa maksudmu?" hardik kakek itu


sinis. Tapi diam-diam hatinya berdebar 

gelisah.

Bocah Tua tersenyum. "Apakah 

kakek tahu tentang Tiga Permata 

Langit. Senjata maut yang dulu pernah 

dipergunakan Pendekar Walet Putih 

untuk menghancurkan musuhnya yang 

hebat?" Terkejutlah juru kunci Kubur 

Tua mendengar ucapan si bocah. Namun 

dia cepat menukas. "Benda itu tak ada 

di sini. Pemacul Iblis telah 

mencarinya tapi dia tak menemukan. 

Bahkan nama benda yang kau sebutkan 

itu baru kali ini aku mendengarnya, 

bocah berwajah kakek tua?!"

Bocah Tua terbahak-bahak. 

"Pemacul Iblis manusia dungu, dia 

tidak punya hidung sebagaimana 

hidungku. Hidung Setan tak dapat 

ditipu. Jika tadi sobatku membongkar 

kubur, maka sekarang pondok burukmu 

yang akan kubongkar! Aku mencium Tiga 

Permata Langit ada di dalam sana. 

Ha... ha... ha!" Sambil kembang 

kempiskan cuping hidungnya Bocah Tua 

berkelebat masuk ke arah gubuk.

Gusarlah Ki Rekso Monggo Jolodo 

melihat apa yang akan dilakukan oleh 

Si Bocah Tua. "Berani kau menghan-

curkan pondokku, kubunuh kau!"

"Boleh saja. Tapi nanti setelah 

aku menemukan benda yang dicari oleh 

sahabatku itu." sahut Si Bocah Tua. 

Hanya beberapa saat kemudian juru


kunci Kubur Tua dikejutkan oleh suara 

berderak dan hancurnya pondok. Ketika 

Ki Rekso Monggo Jolodo memandang ke 

arah pondok tinggalnya. Maka pondok 

itu hancur, atapnya yang terbuat dari 

ilalang berpelantingan. Bagian dinding 

terbang ke arah timur, kayu pondok 

mental ke arah barat.

Di tengah-tengah pondok yang 

telah hancur Bocah Tua berdiri tegak 

sambil mengapit sebuah kotak kayu batu 

yang baru dibongkarnya dari bawah 

lantai tanah. Dia mengacungkan kotak 

berwarna coklat itu ke arah Ki Rekso 

Monggo Jolodo. Melihat kotak si kakek 

langsung menggerung.

"Setan alas. Kembalikan kotak 

itu. Kembalikan...!!" teriak sang juru 

kunci. 

Priiiiiit!

Bocah Tua tiup sempritan batang 

padinya hingga mengeluarkan suara aneh 

melengking."Tidak usah gusar. Kelak 

aku akan mengembalikan kotaknya 

padamu. Sedangkan isinya terserah pada 

sobatku Pemacul Iblis. Satu hal yang 

kau patut ketahui orang tua. Saat ini 

aku dan Pemacul Iblis sedang 

menghadapi masalah besar. Dia punya 

dendam berkarat pada seseorang. Jika 

tidak diselesaikan, mana mungkin dia 

dapat tidur dan mati dengan tenang. 

Begitu juga halnya aku. Istriku 

dikawin orang, bagaimana aku bisa enak


makan enak tertawa? Kau harus punya 

rasa persaudaraan denganku! Ha... 

ha... ha...!"

"Persetan dengan segala 

urusanmu!" dengus Ki Rekso Monggo 

Jolodo berang.

"Betul. Aku memang si Hidung 

Setan. Ha... ha... ha!" sahut Si Bocah 

Tua sambil tertawa terpingkal-pingkal. 

"Sudahlah, kau tak usah marah-marah 

begitu. Kemarahan hanya memperpendek 

umur. Aku pinjam Tiga Mutiara Langit. 

Kelak aku akan kembalikan padamu." 

berkata begitu sambil berkelebat pergi 

dia usap tengkuk si kakek penjaga 

makam. Setelah itu Bocah Tua langsung 

menghilang dari pandangan juru kunci 

Kubur Tua.

Usapan yang dilakukan Bocah Tua 

ternyata membuat Ki Rekso Monggo 

Jolodo terbebas dari totokan Pemacul 

Iblis. Tapi untuk melakukan pengejaran 

rasanya sudah tak berguna. Karena dia 

menyadari di samping ilmu kesaktian 

Bocah Tua itu pasti memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang sudah sangat 

sempurna.

Akhirnya dia hanya berlutut dan 

menangis di depan tulang belulang yang 

bertumpuk di hadapannya.



DUA



Setelah sekian lama berlari 

menjauhkan diri dari Tabib Sesat 

Timur, pemuda itu memperlambat lari-

nya. Sesekali dia menoleh ke belakang, 

sedang mata jelalatan memandang ke 

setiap sudut. Kemudian pemuda tampan 

polos berambut gondrong itu pun 

tersenyum sendiri. Dia membuka baju, 

setelah itu baju diikatkan ke 

pinggang.

Masih dengan tersenyum si pemuda 

berkata. "Dia kira bisa memperlakukan 

aku seperti dulu? Dulu aku dibuatnya 

sengsara dengan kaki digantung di 

ujung bambu. Siapa sudi? Jika dia 

macam-macam kuikat tangan dan kakinya, 

setelah itu kuseret dengan kuda. 

Sekarang aku sudah aman. Sebaiknya aku 

istirahat di bawah pohon ini!" Si 

pemuda tampan yang bukan lain adalah 

Gege alias Gento Guyon segera duduk 

bersandar di batang kayu berdaun 

lebat.

Selagi duduk tiba-tiba Gento 

ingat pada gurunya. Waktu itu melihat 

kehadiran Tabib Tapadara Gento memang 

sangat takut sekali. Apalagi selama 

ikut dengan tabib itu dia sering 

mendapat perlakuan kasar dan disiksa 

lahir batin.


Mengenai kekejaman Tabib 

Tapadara, dapat diikuti dalam episode 

'Tabib Setan'. Ketika dia berlari 

menghindari Tabib Sesat Timur, Gento 

tak tahu apakah gurunya si Gentong 

Ketawa mengikutinya atau tidak. Yang 

jelas kini setelah tidak melihat 

gurunya si pemuda jadi celingukan 

bingung sendiri.

"Ke mana perginya kakek gendut. 

Mustahil dia tidak bisa mengikuti aku. 

Biar badannya besar luar biasa, 

biasanya dalam hal ilmu lari dia masih 

lebih cepat dibandingkan diriku.," 

pikir Gento Guyon.

Selagi dia tenggelam dalam 

pikirannya sendiri. Dari pucuk pohon 

yang terlindung daun-daun lebat 

meluncur sebuah benda berwarna kuning. 

Pluk! Benda itu jatuh di samping 

Gento.

"Eeh, ada jambu. Bagaimana pohon 

kokosan ini bisa berbuah jambu. 

Daripada mubajir lebih baik kumakan 

saja. Paling juga sisa kampret. Bau 

kampret sedikit tidak mengapa!" Sambil 

menyengir seorang diri setelah 

celingak celinguk takut dilihat orang, 

Gento memungut jambu itu. Diperhatikan 

jambu tersebut ternyata masih bagus. 

Baru saja dia hendak menggigit jambu 

yang baru dipungutnya, mendadak. 

Pluuk! Kali ini yang jatuh di samping 

kanannya adalah buah rambutan hutan.


Melihat ini Gento Guyon tak dapat 

menahan tawanya.

"Ha... ha... ha. Pohon ajaib, 

atau mungkin di atas pohon ada kampret 

ajaib? Tadi jambu yang jatuh, sekarang 

aku diberi rambutan. Baik sekali. Tapi 

bagaimana jika makanan ini ada 

racunnya?" gumam Gento Guyon. Dia lalu 

dongakkan kepala memandang ke atas 

pohon, ternyata di atas pohon tak ada 

siapapun.

"Ada kampret, kampret baik 

rupanya yang bersembunyi di situ!" 

kata Gento Guyon dengan suara sengaja 

dikeraskan.

Belum lagi dia sempat berbuat 

sesuatu di hadapannya berdiri tegak 

seorang kakek tua berambut putih 

berjenggot dan kumis serba putih. 

Kakek itu memakai pakaian serba hitam, 

di pinggangnya tergantung kantong 

perbekalan dan obat-obatan. Melihat 

kedatangan orang tua ini wajah si 

pemuda berubah pucat.

"Tabib Setan...!" desis Gento 

Guyon siap mengambil langkah seribu. 

Namun Tabib Sesat Timur cepat angkat 

tangan kanannya.

"Gento, kuharap kau tidak lari 

lagi dariku. Percayalah, aku tidak 

bermaksud jahat, aku sudah tobat. 

Kuharap kau mau mengerti. Sejak kau 

tidak bersamaku lagi aku merasa sangat 

kehilangan. Huk... huk... huk." Si


kakek tabib menangis sesunggukkan. Air 

matanya bergulir menuruni pipinya yang 

keriput.

"Ternyata Tabib Setan ini kalau 

lagi menangis mukanya jelek sekali." 

batin Gento dalam hati. Tapi dia 

kemudian mendengus. "Huh, air mata 

buaya."

"Gento, aku datang kepadamu ingin 

member-kan sesuatu yang sangat besar 

artinya bagi dirimu." ujar si kakek 

suaranya halus perlahan.

Gento Guyon delikkan matanya.

"Apa? Kau hendak mengajariku 

bagaimana caranya meramu obat? Tanpa 

kau ajari sekalipun aku sudah bisa.

Karena diam-diam semasa bersamamu dulu 

aku mengintip bagaimana caranya meramu 

obat."

Tabib Sesat Timur gelengkan 

kepala.

"Bukan itu. Seperti yang pernah 

kukatakan pada gurumu, aku berjanji 

hendak menurunkan barang sejurus dua 

jurus ilmu silat yang kumiliki. 

Sebagai penebus rasa sesalku bukankah 

sekarang waktunya yang tepat untuk 

melakukannya?" 

"Ha... ha... ha. Tabib Setan...!"

"Kumohon kau jangan lagi 

memanggilku Tabib Setan. Aku malu 

Gento!" sergah Tabib Tapadara sedih.

"Baik, bagaimana kalau kupanggil 

kakek tabib gila?" tanya si pemuda


disertai senyum mencemooh.

"Tolong kata gilanya jangan ikut 

disertakan."

Gento Guyon tersenyum sinis.

"Permintaanmu banyak amat, dulu 

kau tak pernah memberiku kesempatan 

untuk melepas lelah sama sekali. Tapi 

baiklah, sekarang apa yang hendak kau 

berikan padaku?"

"Pertama, aku akan menurunkan 

jurus-jurus silat ampuh padamu. Jika 

jurus yang kuturunkan ini sudah kau 

kuasai, maka aku akan memberimu sebuah 

senjata yang sangat hebat dan sangat 

berguna bagimu." berkata si kakek 

tabib dengan mimik bersungguh-sungguh.

"Senjata hebat belum tentu 

berguna jika pemiliknya tidak hebat. 

Apalagi kalau lawannya hebat-hebat 

semua." kata Gento.

"Kau betul. Tapi... sebelum itu 

apakah kau mau menunjukkan padaku 

jurus apa saja yang telah diwariskan 

kakek itu padamu? Kalau tidak 

keberatan kau tentu boleh memperli-

hatkan salah satu di antaranya!"

"Tidak bisa. Apa yang diberikan 

oleh guruku tidak boleh dilihat 

olehmu, pula siapa yang berani 

menjamin kau tak akan mencuri jurus-

jurus silatku. Lagipula aku sudah tahu 

akal licikmu!" kata Gento Guyon dengan 

mata berkedip-kedip.

"Ah, rupanya kau masih belum


percaya. Baiklah, sekarang sebaiknya 

kau perhatikan baik-baik. Kau hanya 

punya kesempatan sekali, makanya ingat 

baik-baik. Aku tak pernah mengulang 

apa yang telah kutunjukkan padamu!" 

kata si kakek tabib.

Masih dengan tetap bersandar pada 

batang pohon Gento Guyon pentang 

matanya memandang pada si kakek. Di 

depan sana Tabib Sesat Timur sudah 

menarik kaki kirinya ke belakang. 

Sedangkan kaki depan ditekuk. Tangan 

kanan dikepal dan diangkat ke atas 

sedangkan tangan kiri sambil melompat 

ke udara dihantamkan ke depan.

Hawa dingin menderu disertai 

berkiblatnya sinar hitam di udara. 

Ketika sinar itu menghantam rumpun 

semak belukar, Maka semak-semak yang 

jadi sasaran langsung hangus menjadi 

debu. Si kakek teruskan gerakannya 

dengan berputar di udara. Setelah 

berjumpalitan dia hantamkan tangan 

kanannya yang terkepal. Begitu tangan 

kanan membuka, maka dari telapak 

tangan itu memancar sinar merah. 

Sebagaimana tadi sinar maut itu 

kembali menghantam semak belukar 

menghijau. Begitu kena hantaman 

terjadi ledakan berdentum. Si kakek 

jejakkan kakinya dengan kedua tangan 

ditadahkan. Di bawah pohon Gento 

perhatikan semua itu dengan terkagum-

kagum. Bagaimana tidak? Semak belukar


yang terkena pukulan kedua daunnya 

langsung rontok layu dan mengeriput, 

begitu juga bagian batang yang terkena 

pukulan. Tapi begitu melihat ke arah 

si kakek tabib, dia tak dapat menahan 

senyum. "Jurus apa itu tadi kakek 

tabib? Buntutnya kok tangan menadah 

seperti pengemis?"

Walaupun merasa ada ganjalan 

mendengar Gento seakan mengejek jurus 

hebat yang baru diperagakannya, namun 

dengan sabar kakek tabib menjawab 

juga. "Yang kau lihat tadi adalah 

jurus Dewa Memandang Dari Menara 

Langit. Siapapun yang menjadi sasaran 

jurus tadi tubuhnya pasti seperti yang 

kau lihat tadi."

"Hebat juga, tapi adakah yang 

lebih hebat dari itu?" tanya si pemuda 

lagi.

"Ada dan ini merupakan pukulan 

satu-satunya yang pantas kuwariskan 

padamu. Namanya Dewa Awan Mengejar 

Iblis!" sahut Tabib Sesat Timur.

"Hem, rupanya di awan banyak 

iblisnya. Coba kau perlihatkan padaku 

kek!" pinta Gento Guyon.

Tabib Sesat Timur menyeringai. 

"Kau lihatlah pohon di mana kau 

berdiri." Sesuai dengan perintah si 

kakek, maka Gento pun memandang ke 

atas di mana jambu dan rambutan tadi 

jatuh dari sana. Tabib Sesat Timur 

kemudian genjot kakinya. Laksana kilat


tubuh si kakek berkelebat di udara. 

Kemudian terdengar suara menderu 

disertai gemeretaknya ranting dan 

daun-daun laksana diterabas pedang. 

Seiring dengan itu pula di atas ada 

semburan hawa panas membakar. Ranting-

ranting dan daun berguguran.

"Hebat luar biasa. Aku bahkan 

hampir tak dapat mengikuti gerakan 

tubuh dan tangannya dengan mataku! 

Ternyata dia bukan hanya sekedar 

tabib, tapi orang sakti yang mempunyai 

ilmu tinggi." memuji Gento Guyon 

sambil berdecak kagum.

Belum lagi lenyap rasa takjubnya, 

di bagian pucuk pohon yang rambas 

gundul dan gosong hangus terdengar 

suara mengaduh disertai melayangnya 

satu sosok gemuk besar luar biasa 

dalam keadaan kalang kabut.

"Celaka betul. Orang tidur kok 

berani-beraninya mengganggu." Gerutu 

orang tua berbadan gendut besar luar 

biasa, berwajah bulat berkening lebar. 

Belum lagi suara gerutuannya lenyap. 

Bluuk! Bagai karung yang penuh berisi 

padi jatuh terhempas di atas tumpukan 

ranting dan daun. Melihat siapa yang 

jatuh, maka pucatlah wajah Gento Guyon 

seketika. Sekarang dia tahu orang yang 

telah melemparnya dengan jambu dan 

rambutan tadi pastilah si kakek 

berbadan besar gendut luar biasa yang 

bukan lain adalah Gentong Ketawa


gurunya.

"Bagaimana guru bisa bersembunyi 

di atas sana tanpa kuketahui. Dia 

pasti marah besar Tabib Tapadara telah 

menghancurkan tempat ketidurannya." 

batin Gento dengan perasaan ciut. Tapi 

apa yang dikhawatirkannya itu ternyata 

tidak terjadi. Karena begitu jatuh di 

atas tumpukan ranting dan daun yang 

berguguran akibat pukulan yang 

dilepaskan Tabib Sesat Timur, maka si 

kakek gendut besar tidur lagi.

"Untung saat ini dia sedang 

mengantuk berat. Kalau tidak alamat 

celaka diriku!" kata si pemuda.

"Kalau dia sampai terjaga akupun 

jadi tidak enak telah menurunkan 

ilmuku kepadamu. Itu sebabnya kuminta 

kau merahasiakan semua ini!" satu 

suara terdengar di belakang Gento 

Guyon membuat pemuda ini cepat menoleh 

dan jadi kaget ketika melihat si kakek 

telah berdiri satu langkah di 

belakangnya. Jika Tabib Sesat Timur 

bermaksud jahat sebagaimana yang 

disangkakannya tentu sejak tadi dia 

sudah kena ditotok oleh kakek tabib 

itu.

"Kau betul kek. Lalu apakah ada 

lagi pukulan yang lebih hebat dari 

yang kulihat tadi?" tanya Gento Guyon.

"Ha... ha... ha. Kau manusia 

serakah. Apa yang telah kutunjukkan 

tadi lebih dari cukup. Selagi gurumu


tidur, sekarang sebaiknya kau duduk di 

hadapanku. Aku akan memindahkan tenaga 

sakti yang kumiliki padamu agar kau 

dapat mengamalkan jurus Dewa Memandang 

Dari Langit dan juga ilmu pukulan Dewa 

Awan Mengejar Iblis!"

"Ha... ha... ha. Bagaimana kalau 

kau menipuku lagi? Atau menggantungku 

di pucuk pohon yang telah kau gunduli 

dengan ilmu anehmu itu?" 

"Bocah goblok, tidak tahukah kau 

selama ini aku teramat menyesal 

mengenang apa yang telah kulakukan 

terhadapmu dulu?" kata Tabib Sesat 

Timur dengan wajah muram.

"Aku setengah percaya setengah 

tidak dengan ucapanmu. Tapi jika kau 

nantinya menipuku, aku tidak akan 

mengampuni. Aku pasti membuat 

perhitungan yang lebih menyakitkan!" 

kata si pemuda. Dengan sikap waspada 

Gento menuruti perintah Tabib Sesat 

Timur. Dia duduk di hadapan si kakek 

dengan kaki bersila, tangan ditum-

pangkan di atas lutut. Sedang matanya 

melirik terus mengawasi gerak-gerik si 

kakek tabib. Dan ternyata Tabib Sesat 

Timur memang punya niat baik. Terbukti 

setelah menempelkan kedua tangannya di 

punggung Gento Guyon dia salurkan hawa 

saktinya ke tubuh Gento. Mula-mula 

pemuda itu menggigil kedinginan di 

saat hawa sakti yang mengalir di 

punggungnya menjalar ke sekujur tubuh


si pemuda. Gento Guyon menggigil, 

sedangkan dari bagian ubun-ubunnya 

mengepul kabut putih tipis yang 

kemudian bergulung-gulung di udara. 

Selanjutnya hawa dingin lenyap 

berganti dengan hawa panas yang 

membuat si pemuda mengerang dan 

menggeliat.

"Oh, gila amat. Panas bukan main, 

aku hampir tidak tahan. Tubuhku 

seperti dibakar atas bawah luar 

dalam." desis si pemuda.

"Diam! Jangan melakukan gerakan 

yang bisa membuat kita berdua jadi 

celaka!" gumam Tabib Sesat Timur 

memberi ingat.

Gento menyadari apa yang 

diucapkan kakek tabib itu memang ada 

benarnya. Hingga dia tak berani 

bergerak, bahkan bernafas pun 

dilakukannya sangat perlahan sekali, 

hingga ekspresi wajahnya nampak lucu 

dan kaku.


TIGA


Setelah berlangsung kurang lebih 

setengah jam lamanya. Tabib Sesat 

Timur tarik kedua tangannya dari 

punggung Gento Guyon, Si tampan 

berwajah lugu, namun panjang akal ini 

langsung memutar badan. Masih dalam


keadaan bersila dia tersenyum saat 

dilihatnya pakaian maupun sekujur 

tubuh si kakek basah bersimbah 

keringat.

"Kek apakah tenaga dalam yang kau 

salurkan tadi sewaktu-waktu tidak 

berubah menjadi angin?" Tabib Sesat 

Timur matanya mendelik. "Gento, aku 

tahu kau suka bercanda. Mungkin lagak 

dan tawamu yang membuat si gendut 

besar memberimu nama Gento Guyon. Tapi 

ingat! Apa yang hendak kuberikan 

padamu ini bukan sesuatu yang dapat 

kau jadikan barang mainan," tegas 

orang tua yang ketika Gento masih 

kecil selalu membuatnya menderita.

"Maksud kakek tabib, engkau 

hendak memberiku senjata? Senjata apa? 

Pedang, keris, tombak atau golok? 

Kuharap bukan satu dari yang telah 

kusebutkan itu. Karena aku pasti tak 

mau menerimanya. Tolong katakan 

senjatanya panjang atau pendek. Besar 

atau kecil, tajam atau tumpul? Kalau 

yang tumpul kurasa aku sudah tidak 

butuh. Ha... ha... ha." Gento Guyon 

tertawa tergelak-gelak.

"Bocah edan. Sejak tadi aku sudah 

bicara apa padamu? Sekali seumur hidup 

bertemu denganku kuharap kau bersikap 

serius." hardik Tabib Sesat Timur 

marah. Di atas tumpukan ranting dan 

daun-daun, Gentong Ketawa nampak 

komat-kamit. Namun matanya tidak juga


terbuka. Dia tetap tidur malah 

terdengar suara dengkurannya.

"Baiklah. Sekarang katakan saja 

apa yang hendak kakek sampaikan. Dua 

telingaku siap mendengar." ujar si 

pemuda.

Tabib Sesat Timur menarik nafas 

pendek, memperbaiki posisi duduknya 

baru kemudian berkata. "Aku punya 

senjata sakti, namanya Penggada Bumi. 

Senjata itu diciptakan oleh tiga tokoh 

di masa ratusan tahun yang silam. 

Senjata maut itu baru dapat kau 

pergunakan dalam keadaan terdesak. Kau 

baru tahu manfaatnya jika telah 

menyalurkan tenaga dalammu ke hulu 

senjata. Kekuatannya semakin bertambah 

dahsyat bila kau memukulkannya ke 

bumi. Ketika kau memukulkan Gada ke 

bumi, kau cukup menyebut Tiga nama 

Kebo. Pertama Kebo Ireng, Kebo Abang 

dan Kebo Putih. Mereka inilah yang 

menciptakan senjata Penggada Bumi. 

Dengan menyebut namanya ketika kita 

menggunakan senjata itu, berarti kita 

mohon keberkahan serta doa restu 

mereka!" jelas Tabib Tapadara.

Gento Guyon angkat telunjuknya. 

"Tanya kek." ucap Gento. Tabib 

Tapadara anggukkan kepala. "Bagaimana 

seandainya aku gugup dan jadi salah 

sebut?"

"Maksudmu?" Tabib Sesat Timur 

kernyitkan alisnya.


"Misalnya aku menyebutnya begini. 

Kebo budek, kebo lumpuh dan kebo 

bogel?"

"Mudah-mudahan gada sakti itu 

akan mengemplang kepalamu sendiri biar 

otakmu yang sinting jadi benar." sahut 

kakek tabib tak dapat menahan senyum. 

Beberapa saat kemudian orang tua itu 

lanjutkan ucapannya. "Tentu saja kau 

tak boleh salah menyebut. Bagaimana 

pun kau harus menghormati hasil 

ciptaan mereka, walau kau tak pernah 

berjumpa langsung dengan orangnya." 

tegas si kakek.

"Kalau begitu aku akan menghapal-

nya." Sesaat kemudian mulut Gento 

Guyon nampak komat-kamit seperti dukun 

membaca mantra. Hidung kembang kempis 

sedangkan mata tak hentinya berkedap-

kedip. Setelah itu dia buka telapak 

tangan. Tangan ditiup lalu dikemp-

langkan ke bagian kening. Si kakek 

jadi terheran-heran.

"Eeh, apa yang baru saja kau 

lakukan?" Si pemuda menyengir. 

"Dibaca, ditiupkan ke telapak tangan 

baru diletakkan di kening supaya ingat 

kek!"

Tabib Tapadara menghembuskan 

nafas sambil geleng kepala melihat 

tingkah laku Gento Guyon.

"Bertahun-tahun ikut bersamanya 

kau bukan jadi orang benar, sebaliknya 

malah bertambah edan nggak ketulu


ngan!" gerutu kakek tabib. "Tapi 

baiklah. Waktuku tak begitu lama, 

lagipula kau jangan bilang pada gendut 

gurumu bahwa aku telah memberimu 

senjata."

"Aku paling bisa menjaga rahasia. 

Sekarang aku mau melihat mana senjata 

itu?" Dalam hati Gento Guyon menduga 

yang namanya gada pasti sangat besar 

sekali. Seperti gada milik para 

prajurit kraton. Namun kening si 

pemuda berkerut tajam ketika melihat 

Tabib Sesat Timur membuka kantong 

perbekalan yang baru diambil dari 

balik pakaiannya. Selanjutnya ikat 

kantong dibuka. Ketika mulut kantong 

dijungkirkan ke bawah, maka mengge-

lindinglah sebuah benda berwarna 

kuning keemasan dan memancarkan cahaya 

kemilau menyilaukan. Benda itu besar-

nya tidak lebih besar dari ibu jari 

tangan. Panjang tak lebih dari dua 

jengkal dengan ujung agak besar dan 

hulu sebesar kelingking. Melihat 

senjata itu Gento Guyon jadi lemas tak 

bersemangat.

"Inikah barangnya kek?"

"Betul." menyahuti Tabib Sesat 

Timur.

"Kalau yang ini dibandingkan 

dengan punyaku pasti masih lebih besar 

lagi aku punya!" gerutu si pemuda 

bersungut-sungut

"Bocah edan. Sekali lagi kau


bicara ngaco, kupecahkan mulutmu!" 

hardik Tabib Sesat Timur.

"Kalau itu kau lakukan aku pasti 

minggat!" ancam Gento Guyon.

"Wah edan. Jadi pendekar itu 

tidak boleh besar ngambeknya. Dari 

tadi sudah kukatakan kau jangan bicara 

apapun sebelum mendapat penjelasan 

dariku." kata si kakek dengan suara 

perlahan membujuk. "Seperti yang telah 

kukatakan, kesaktian senjata ini baru 

terlihat bila kau mengerahkan tenaga 

dalammu ke bagian hulu senjata. 

Penggada Bumi semakin bertambah 

dahsyat bila kau memukulkannya ke atas 

tanah. Mengerti?" tanya seorang tua 

sambil pandangi wajah pemuda itu 

lekat-lekat.

"Mengerti kek. Walau senjata ini 

besarnya seperti alat untuk mengupil, 

tapi aku masih punya kewarasan untuk 

menghargai karya orang lain. Untuk itu 

dengan senang hati aku menerimanya!" 

kata Gento Guyon sambil menjura 

hormat. Ini dilakukannya untuk pertama 

kali, sehingga sedikit banyaknya Tabib 

Sesat Timur merasa senang juga.

"Nah kau terimalah Penggada Bumi 

ini. Simpan dia baik-baik, jangan 

sampai ketahuan gurumu." pesan si 

kakek, seraya memungut gada itu lalu 

menyerahkannya pada Gento. Mengira 

gada kecil itu ringan, enak saja dia 

menanggapi. Namun diam-diam Gento


Guyon jadi kaget, karena gada yang 

besarnya seibu jari dan sepanjang dua 

jengkal tersebut beratnya hampir sama 

dengan sembilan pedang baja. Lebih 

aneh lagi, Gento merasakan tangannya 

yang memegang Gada terasa bagai 

tersengat gumpalan es. 

Setelah menyimpan senjata 

pemberian Tabib Sesat Timur di balik

pinggang celananya dia kembali 

menjura.

"Kek apakah aku harus 

memanggilmu guru juga?" tanya Gento 

Guyon.

Si kakek gelengkan kepala.

"Tak usah. Cukup kau mengingatku 

di dalam hati sebagai orang yang 

pernah berbuat salah, namun menebus 

kesalahan yang kulakukan dengan 

penyesalan." sahut Tabib Sesat Timur 

sambil berdiri. "Sekarang aku harus 

pergi."

"Eeh, kau hendak pergi ke mana?" 

tanya Gento Guyon kaget.

"Aku hendak menemui saudaraku 

Sesat Barat dan Sesat Selatan."

"Ah, aku turut prihatin karena 

ternyata banyak saudaramu yang ter-

sesat. Semoga setelah bertemu denganmu 

mereka akan menemukan jalan yang 

lurus!" ujar si pemuda.

"Kuharap begitu. Jika gurumu 

terjaga sampaikan salamku padanya!" 

pinta Tabib Sesat Timur. Selesai


berucap sang tabib memutar langkah dan 

berkelebat pergi meninggalkan Gento 

yang terpana seorang diri.

Hanya beberapa saat setelah Tabib 

Sesat Timur pergi Gentong Ketawa 

menggeliat. Mulutnya menguap lebar, 

namun matanya masih terpejam.

"Huaaah... aku bermimpi melihat 

kebo kurus dan kebo lumpuh. Kemudian 

aku juga mimpi melihat ada Tabib Setan 

yang konon sudah bertobat menemuimu. 

Ahhh... klekerr... kleker...!" Sambil 

bicara si kakek gendut malah mengorok. 

Gento yang semula kaget menyangka 

gurunya mengetahui bahwa Tabib 

Tapadara telah menurunkan beberapa 

jurus dan memberikan sebuah senjata 

akhirnya jadi tersenyum sendiri.

"Kakek gemuk penidur. Hidupnya 

seperti musang. Kalau sudah makan 

kenyang dia bisa tidur seharian." 

cibir si pemuda.

Dia sendiri kemudian bermaksud 

meninggalkan gurunya seorang diri. 

Tapi baru saja dia hendak melangkah 

pergi, si kakek tiba-tiba menggeliat 

dan membuka matanya. "Ah sudah siang 

rupanya. Tapi eh... seingatku tadi aku 

tidur di atas pohon. Mengapa kini 

sudah pindah di bawah pohon. 

Gentong Ketawa kemudian bangkit 

berdiri. Ketika dia dongakkan kepala 

ke atas, maka kagetlah orang tua ini 

dibuatnya. Pohon berdaun lebat itu


kini telah gundul seperti dibabat 

senjata. Selain itu pohonnya sendiri 

hangus hitam seperti dibakar. Gentong 

Ketawa gelengkan kepala.

"Hebat luar biasa. Ada penebang 

pohon yang langsung membakar pohonnya. 

Tapi sedikit pun dia tidak mengusik 

tidurku, baik betul dia. Gege siapa 

orang itu?"

"Eeh, apa maksud guru?" tanya si 

pemuda pura-pura kaget.

"Apakah kau tak melihat siapa 

adanya orang hebat yang melakukan 

semua kegilaan ini?" tanya si kakek. 

Dia kemudian menghampiri muridnya. 

"Mana aku tahu. Ketika aku sampai 

di sini sehabis makan jambu dan 

rambutan aku langsung tidur di situ." 

jawab si pemuda berlagak seperti orang

kaget.

"Jambu dan rambutan? Kalau tak 

salah ingat bukankah aku yang 

memberikannya padamu." ujar si kakek.

"Betul begitu. Semula kukira ada 

kampret yang baik hati memberiku 

makanan, tidak kusangka ternyata 

kaulah orangnya. Ha... ha-ha."

"Bocah kurang ajar, berani kau 

mengatakan aku kampret sekali lagi 

tidak kujamin keselamatanmu." seru 

Gentong Ketawa. Dia sendiri kemudian 

tertawa terkekeh-kekeh.

"Apalagi yang ditertawakan oleh 

gendut pesek ini?" batin si pemuda.


"Apakah dia hanya pura-pura tak tahu 

kalau Tabib Sesat Timur sudah datang 

ke mari?"

"Gege kau tahu mengapa aku 

tertawa?" tanya si kakek gendut besar 

kemudian.

"Aku tahu. Mungkin ada kerusakan 

pada syaraf tawamu, hingga penyakit 

gila guru sekarang kambuh lagi. Ha... 

ha... ha!"

"Murid sialan. Enak betul kau 

bicara. Perlu kau ketahui saat ini aku 

sedang memikirkan Tabib Setan. Kurasa 

sekarang ini dia tersesat di rumah 

orang yang hendak melahirkan. Jadi dia 

diminta pertolongannya oleh orang yang 

punya hajat untuk menolong istrinya."

"Yang guru katakan masih lumayan, 

bagaimana jika dia diminta membantu 

sapi yang hendak beranak oleh bapak 

sapi?"

Mendengar ucapan muridnya tawa 

Gentong Ketawa makin bertambah keras.

"Kau termasuk beruntung karena 

dia tak menemukanmu. Aku tahu kurasa 

dia ingin menurunkan ilmunya padamu. 

Kalau itu sampai terjadi aku sangat 

tidak setuju sekali. Aku yakin ilmu 

tabib itu selain jahat tentu jelek 

sekali. Itulah sebabnya seumur hidup 

kuminta kau jangan pernah menemuinya."

"Guru goblok. Bagaimana dia bisa 

mengatakan ilmu tabib itu jelek. Aku 

sendiri sudah melihat kedahsyatannya.


Bahkan jurus dan pukulan saktinya 

sudah diturunkan padaku." kata Gento 

dalam hati. Namun untuk menyenangkan 

hati Gentong Ketawa, pemuda itu 

berkata. "Apa yang guru katakan memang 

benar. Aku pun tidak mau mempunyai 

guru bekas orang jahat."

Gentong Ketawa tersenyum, merasa 

senang mendengar ucapan muridnya. "Nah 

seperti itu yang aku suka. Lagipula 

seorang murid mempunyai dua guru itu 

kurang bagus. Nanti salah satu gurunya 

merasa diguru tirikan!"

"Ha... ha... ha, kau ada-ada saja 

guru." kata Gento Guyon disertai tawa 

terkekeh-kekeh.

"Sudahlah, sekarang sebaiknya 

kita pergi!"

"Pergi ke mana?"

"Ke suatu tempat sesuai dengan 

mimpiku!" 

"Hah...!" Si pemuda tersentak 

kaget mendengar ucapan gurunya. Tapi 

dia lebih kaget lagi ketika hendak 

ajukan pertanyaan ternyata gurunya 

sudah tak berada di tempat itu lagi.

"Orang tua aneh, dia hendak 

mendatangi tempat yang ada dalam 

mimpinya?" gumam Gento Guyon sambil



EMPAT



Laki-laki itu tersenyum ketika 

melihat lima gadis yang dalam keadaan 

kaku tertotok selesai dibaringkan di 

atas batu. Kelima gadis cantik itu 

sama sekali tak mengetahui apa yang 

bakal terjadi atas diri mereka. 

Sementara suasana senja kini telah 

berganti dengan kegelapan malam. Dan 

di sekeliling lapangan pasir yang luas 

itu sebagaimana biasanya kilat mulai 

menyambar menyelingi kegelapan. Hal

ini sebenarnya merupakan sesuatu yang 

aneh. Karena saat itu langit cerah 

tanpa mendung dan cuaca dalam keadaan 

baik.

Sementara itu diatas altar, laki-

laki berwajah angker berpakaian serba 

merah dan berjubah putih nampak mulai 

memeriksa kelima gadis yang menjadi 

tawanannya.

"Selamat datang di Tanah Kutukan. 

Bila telah sampai di sini tidak ada 

kemungkinan bagi kalian untuk kembali 

ke dunia luar. Karena aku akan 

mengorbankan kalian semua di Tanah 

Kutukan ini demi kesempurnaan ilmu 

yang kumiliki." kata laki-laki itu 

dengan suara dingin menusuk.

"Manusia iblis, apa maksud dari 

ucapanmu?" tanya salah seorang dari


kelima gadis yang telah diberi pakaian 

warna merah memberanikan diri.

"Maksudku sudah jelas. Hampir 

setiap tiga purnama sekali aku harus 

mencari gadis-gadis perawan untuk 

kujadikan tumbal di tempat ini. Kelak 

jika semua ilmu yang kumiliki sudah 

mencapai tarap di atas sempurna 

barulah aku akan meninggalkan Tanah 

Kutukan ini untuk mencari Tiga Mutiara 

Langit. Hanya senjata itu yang paling 

kutakuti di dunia ini. Jika senjata 

itu telah berada dalam genggamanku, 

maka aku sudah dapat memastikan 

kekuasaan dunia ini sudah pula berada 

dalam genggamanku. Ha... ha... ha!"

"Terkutuk keji. Tindakanmu itu 

sungguh akan mendapat ganjaran yang 

setimpal dari Gusti Allah!" maki gadis 

yang terbaring di ujung altar 

persembahan.

Laki-laki yang rambut panjangnya 

berdiri tegak ini berjingkrak kaget 

mendengar ucapan si gadis. Sudah 

berpuluh-puluh kali dia melakukan 

korban persembahan. Namun baru kali 

ini calon korbannya berani bicara 

lantang. Kagum juga penasaran atas 

keberanian si gadis maka laki-laki itu 

datang menghampiri.

"Hebat luar biasa." berkata laki-

laki itu setelah dekat dan berjongkok 

di depan si gadis. Sekilas dia 

memperhatikan wajah gadis itu.


"Kau seorang gadis yang sangat 

pemberani. Aku Braga Swara merasa 

kagum padamu. Hem... aku ingat 

sekarang. Aku menculikmu di sebuah 

penginapan. Aku yakin kau bukan gadis 

sembarangan, Kau memiliki ilmu dan 

juga kepandaian silat. Siapa namamu?" 

tanya laki-laki itu sinis.

"Buat apa kau tahu namaku?" 

dengus si gadis. "Jika kau memang 

bukan laki-laki pengecut cepat 

bebaskan totokanku ini, mari kita 

bertarung sampai seribu jurus!"

"Hebat. Tapi ketahuilah, sehebat 

apapun ilmu yang kau miliki, jelas kau 

bukan tandinganku. Aku sendiri 

sebenarnya sangat menyukai gadis 

pemberani sepertimu. Tapi sayang 

waktuku sangat sempit." berkata begitu 

Braga Swara dongakkan wajahnya ke 

langit. Bulan sabit terlihat 

mengambang di puncak bukit. Selebihnya 

langit bertabur bintang. "Sekejap lagi 

segala sesuatunya harus segera 

dimulai. Aku harus menyalakan peiita 

dan pendupaan. Nanti bila bulan sabit 

telah bergerak meninggi, di saat itu 

acara persembahan tumbal dimulai. 

Setan dan roh gentayangan akan turut 

menyaksikan sekaligus menjadi saksi 

dari semua pengorbanan yang telah 

kulakukan. Sekarang tenang sajalah 

kalian semua di sini. Aku hendak 

melakukan sesuatu di bawah sana. Ha...


ha... ha!" sambil tertawa-tawa Braga 

Swara melompat dari altar batu tinggi 

itu. Ketika kedua kakinya menyentuh 

permukaan pasir, maka tubuhnya amblas 

dan raib ke dalam tanah pasir itu. 

Gadis di sudut altar melihat 

semua keanehan ini. Dalam hati dia 

sempat menjadi kaget ketika melihat 

kenyataan yang terjadi.

"Apa yang dilakukannya? Mengapa 

tubuh orang itu mendadak lenyap begitu 

menyentuh tanah?" batin si gadis. Tak 

lama kemudian setelah lelah memikirkan 

keanehan itu namun tak menemukan 

jawaban, si gadis akhirnya memandang 

ke samping di mana empat gadis lainnya 

dalam keadaan yang sama berada. 

"Kalian semua dengar. Nasib kita akan 

sama jika tidak melakukan sesuatu 

secepatnya." berkata gadis itu. 

Suaranya lirih namun dapat didengar 

dengan jelas.

Sepi sejenak, lalu gadis yang 

terbaring di sudut kiri altar 

menyahuti. "Bagaimana kami harus 

bersikap. Kami tak memiliki kepandaian 

apapun. Kami hanya gadis desa biasa. 

Seandainya saja kami dapat berbuat 

sesuatu pasti sejak tadi kami sudah 

meninggalkan tempat ini!" jawab gadis 

itu mewakili tiga temannya.

"Aku Ararini merasa prihatin dan 

tak kuasa membayangkan apa yang bakal 

terjadi. Tapi aku akan berusaha


menolong kalian jika itu dapat 

kulakukan!" kata si gadis. Diam-diam 

Ararini kerahkan tenaga dalamnya untuk 

membebaskan totokan Braga Swara yang 

telah menculiknya. Namun akhirnya si 

gadis jadi kaget ketika mendapat 

kenyataan totokan yang dilakukan Braga 

Swara ternyata sulit dimusnahkan.

"Celaka. Totokan ini saja sulit 

kumusnahkan. Bagaimana aku bisa 

menolong mereka?" batin si gadis dalam 

hati. "Aku harus kembali ke 

penginapan. Setelah itu aku akan 

menemui guru. Sebelum Braga Swara 

datang ke sini, aku harus menggunakan 

ilmu Tapak Awan untuk meninggalkan 

tempat ini!" Beberapa saat kemudian 

bibir mungil si gadis nampak berkomat-

kamit. Sekujur tubuhnya bergetar, 

kemudian dalam waktu yang tidak begitu 

lama seluruh tubuh gadis itu telah 

diselimuti asap putih. Bersamaan 

dengan melesatnya asap putih di udara, 

maka sosok Ararini ikut pula 

terangkat. Satu keajaiban terjadi. 

Begitu tubuhnya mengambang di udara 

dia pun atas bantuan tabir kabut gaib 

melesat pergi meninggalkan altar 

persembahan.

"Hei... mengapa kau tinggalkan 

kami. Katanya kau hendak menolong, 

kenyataannya kau malah pergi seorang 

diri!" teriak gadis yang terbaring di 

sudut kiri alta


"Maafkan aku. Saat ini aku 

sendiri tak mampu membebaskan totokan 

ini. Bagaimana aku bisa menolong 

kalian? Mungkin kelak aku akan kembali 

bersama guruku...!" kata Ararini.

"Ha... ha... ha...! Saat itu kau 

hanya menemukan tulang belulang gadis 

ini!" Satu suara menyahuti. Di atas 

altar satu sosok tubuh jejakkan 

kakinya. Ternyata yang datang adalah 

Braga Swara. Laki-laki itu sendiri 

jauh di dalam hatinya jadi terkejut. 

Dia ingat di rimba persilatan hanya 

ada satu tokoh yang memiliki ilmu 

ajian Telapak Awan. Sebuah ilmu langka 

yang dapat dipergunakan apabila 

pemilik ilmu itu dalam keadaan 

terdesak.

"Dia masih hidup? Tidak mungkin. 

Saat itu aku menghantamnya dengan 

pukulan mematikan. Tubuhnya terperosok 

ke dalam jurang, lagipula dia dalam 

keadaan hamil besar. Pasti dia mampus 

di dasar jurang Randu Blatung. Jahanam 

betul, mengapa aku bisa kecolongan 

seperti ini. Padahal tadi seharusnya 

kutanyakan apakah dia muridnya Sari 

Lukita atau bukan?" Sekali lagi Braga 

Swara dongakkan wajahnya ke langit. 

Ararini ternyata sudah tidak terlihat 

lagi.

Laki-laki itu jadi geram dan 

kepalkan tinjunya. Selanjutnya dia 

bangkit berdiri. Satu demi satu calon


korban persembahan diperiksanya. Ke 

empat gadis nampak ketakutan sekali.

"Sudah menjadi suratan nasib. 

Kalian akan menjadi korban mahluk 

iblis di sini. Ha... ha... ha. Namun 

sebelum iblis muncul, saat ini aku 

membutuhkan darah kalian!" kata Braga 

Swara.

"Kumohon... kumohon lepaskan 

kami." rintih salah satu dari ketiga 

gadis dengan wajah tegang dan suara 

memelas.

Braga Swara menyeringai. 

"Sebentar lagi waktu pembebasan tiba. 

Tunggu dan harap bersabar!" kata laki-

laki itu dingin.

Merasa yakin Braga Swara berniat 

membebaskan mereka. Maka para gadis 

itu nampak gembira sekali. Sementara 

Braga Swara kini sudah mengelilingi 

sebuah pendupaan yang baru saja 

dinyalakan. Di atas pendupaan besar 

berbentuk kerucut setinggi lutut 

sebilah pedang kecil nampak mulai 

menyala dikobari api.

Tidak seorangpun ada yang tahu 

apa yang akan dilakukan oleh Braga 

Swara. Yang jelas tidak berselang lama 

laki-laki itu mulai menari berlenggang 

lenggok mengelilingi pendupaan 

sedangkan mulutnya berkomat-kamit 

membaca mantra-mantra gaib.

"Cikalang tanah ilmuku, ilmu 

iblis kekuatan sesat. Aku adalah


pemuja setan. Bumi sebagai tempatku 

bernaung dan berlindung. Bila kekuatan 

iblis sudah berkuasa dan menjadi 

pelindungku. Aku tidur di atas api, 

aku menari di atas awan. Kukencingi 

laut, segara jadi asin. Lalu aku 

gentayangan di atas bumi menebar 

malapetaka. Wahai para lurah dan 

penghulu kejahatan. Aku datang 

menghadap. Malam ini ilmu Cikalang 

Tanah harus kau sempurnakan. Korban 

persembahan telah kusediakan. Kuhirup 

darah mereka dan kau berhak atas jasad 

yang tidak berguna!"

Sambil membaca mantra disertai 

suara racau tak karuan, Braga Swara 

terus menari. Tubuhnya melejang tak 

karuan seperti orang yang kesurupan, 

sedangkan sepasang matanya kini telah 

berubah memerah, memancarkan cahaya 

aneh dalam gelapnya altar. Kemudian 

dari delapan penjuru arah terdengar 

suara raungan aneh disertai langkah 

yang menimbulkan getaran laksana 

gempa.

Seiring dengan itu pula Braga 

Swara menyambar pedang pendek yang 

dipanggang di atas pendupaan. Pedang 

yang telah berubah memerah laksana 

bara itu dibolang-balingkannya di 

udara. Kemudian sambil menggerung, dia 

menyambar pedang yang berputar aneh di 

udara. Selanjutnya Braga Swara 

berkelebat ke arah empat gadis sambil


berteriak. "Sekarang saatnya kebebasan 

itu!" Sinar merah berkelebat menyambar 

leher mulus keempat gadis malang. 

Tidak ada pekik atau jerit kesakitan. 

Keempat gadis ini hanya mampu delikkan 

mata saking kagetnya. Setelah itu 

darah menyembur dari bagian leher yang 

menganga tersambar mata pedang.

Dengan lahap Braga Swara menyedot 

darah keempat gadis itu. Sebagian 

darah itu bahkan sengaja dimandikan ke 

sekujur tubuhnya. Begitu Braga Swara 

selesai menghirup darah korbannya maka 

dari sekujur tubuhnya memancarkan 

cahaya merah berhawa panas bukan 

kepalang. Laki-laki itu tertawa 

terkekeh-kekeh. Empat gadis yang 

bergeletakan tanpa nyawa dengan luka 

mengerikan di lehernya tidak 

dihiraukannya lagi. Sinar merah yang 

memancar di tubuhnya lenyap. Dia pun 

berjingkrak kegirangan.

"Ilmu aneh, kekuatan aneh. Aku 

telah menguasai ilmu Cikalang Tanah. 

Setiap saat aku bisa menyatu dengan 

bumi. Mereka yang menyimpan dendam 

padaku pasti akan menjadi kecewa 

begitu mendapatkan kenyataan ini. 

Ha... ha... ha." Braga Swara tertawa 

terbahak-bahak. Dia kemudian duduk 

berlutut setelah mengembalikan pedang 

pendek di atas pendupaan. Setelah itu 

kedua tangan dirangkapkan. Dia 

bungkukkan badan menjura ke delapan


penjuru arah.

"Sahabatku. Aku kini percaya kau 

telah menepati janji. Sekarang tiba 

giliranku menepati janjiku. Telah 

kusediakan empat mayat perawan. Kau 

berhak memilikinya. Datanglah mendekat 

ke mari. Di atas altar korban 

persembahan hidangan telah menunggu!" 

seru Braga Swara dengan suara 

bergetar. Getaran keras kembali 

terjadi. Tanah pasir di sekeliling 

altar nampak bergerak aneh seperti ada 

mahluk bergerak di dalamnya.

"Hrauuuugkh...!"

Lalu terdengar suara lengkingan 

aneh. Dari empat penjuru sudut altar 

muncul empat kepala berbentuk aneh 

seperti kepala ular dengan leher 

panjang seperti jerapah, namun 

badannya sama sekali tak terlihat.

"Sahabat iblis terima kasih kau 

akhirnya mau datang." kata Braga 

Swara. Dia kemudian menunjuk ke arah 

empat mayat gadis yang baru saja 

dibunuhnya.

"Hrauuung...!" kembali terdengar 

suara empat mahluk yang munculkan 

kepalanya dari empat sudut altar itu. 

Empat kepala terjulur dengan mulut 

besarnya yang menganga lebar. Sekali 

sentak empat mayat gadis itu jatuh di 

atas pasir. Ketika empat kepala mahluk 

iblis itu lenyap di bawah permukaan 

pasir, maka masing-masing mayat yang


berada di bawah ke empat sudut altar 

ikut pula lenyap terseret ke dalam 

tanah.

Braga Swara tertawa dingin 

menyeramkan. 

Di atas langit sana bulan sabit 

sudah tak terlihat lagi



LIMA



Dua pemuda berpakaian serba putih 

berkepala botak mondar-mandir di dalam 

kamar penginapan yang terdapat di 

sebuah kota kecil Tawangharjo. Salah 

seorang diantaranya yang membekal 

golok besar di bagian punggung 

kemudian nampak sibuk memeriksa 

jendela serta langit-langit kamar yang 

jebol. Sedangkan yang satunya lagi 

setelah memeriksa senjata berupa roda-

roda kembar akhirnya buka suara.

"Senjata kakak Taktu Ararini, 

tempat perbekalannya semua ada di 

sini. Mana mungkin bertindak seperti 

orang linglung dengan meninggalkan 

senjatanya di sini."

"Kau betul adik Takga. Aku telah 

melihat bagaimana langit-langit itu 

jebol serta jendela yang rusak. Jelas 

menurutku ada seseorang berkepandaian 

tinggi menyelinap masuk ke tempat ini, 

lalu menculik kakak Taktu. Aku


khawatir saat ini dia berada dalam 

bahaya besar. Seperti yang dipesan 

oleh guru Peri Tanpa Bayangan, musuh 

besarnya yang bernama Braga Swara 

adalah manusia licik berkepandaian 

sangat tinggi yang saat ini sedang 

mengamalkan ilmu keji. Salah satu 

syarat untuk menguasai ilmu iblis itu 

adalah dengan meminum darah 

perawan...!"

"Maksudmu kakak Taktu diculik 

oleh Braga Swara?" tanya Takga alias 

botak ketiga.

"Tepat." jawab Takwa alias Botak 

kedua serius.

"Tidak mungkin, Tanah Kutukan 

masih sangat jauh dari sini. Menurutku 

tidak mungkin Braga Swara berkeliaran 

sampai sejauh ini." bantah Takga.

Botak kedua usap-usap kepalanya 

yang plontos tanpa rambut.

Dia menyeringai di saat 

ketegangan merayapi dirinya.

"Ada sesuatu yang kau lupa, adik 

Takga. Pada waktu tertentu seperti 

yang kita dengar tiga purnama sekali 

Braga Swara gentayangan mencari calon 

korban. Dia tidak mencari perawan 

jelek korengan apalagi ingusan. Tapi 

yang hendak dijadikan korbannya pasti 

perawan cantik. Menurutmu apakah kakak 

Takga tidak cantik?" tanya Takwa.

Yang ditanya tersenyum. "Waktu 

kepalanya dibotaki oleh guru, dia


memang mirip laki-laki tampan seperti 

kita. Tapi setelah rambutnya dibiarkan 

tumbuh memanjang, ternyata dia sangat 

cantik. Celakanya akibat mengamalkan 

ilmu Rintihan Kematian dan ilmu 

Melangkah Di Atas Mendung rambut di 

kepala kita sejak dibotaki pertama 

kali hingga sekarang tidak mau tumbuh 

lagi. Sedangkan kakak Takwa karena 

mengamalkan ilmu yang lain setelah 

dewasa rambutnya bagus badannya juga 

mulus. Maunya kakak Taktu Ararini jadi 

istriku. Ha... ha... ha."

"Hus bicaramu ngawur suka mencla-

mencle. Kau harus ingat saat ini kakak 

Taktu pasti berada dalam bahaya besar. 

Kita harus melakukan sesuatu untuk 

menolongnya." ujar pemuda berkepala 

botak itu serius.

"Semua ini salahmu, coba kalau 

kita tidak terlalu banyak bermain di 

perjalanan, tentu kita sampai di 

penginapan ini bersama-sama. Sekarang 

kita hendak menuju ke Tanah Kutukan. 

Jika betul kakak Taktu ada di sana itu 

tak jadi soal, tapi jika ternyata 

tidak. Berarti kita hanya membuang 

tenaga sia-sia." sahut Takga.

"Lalu sekarang apa yang harus 

kita lakukan? Menunggu sampai guru 

menyusul ke mari menggebuk kita. 

Atau...?" Belum lagi Takwa sempat 

melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba 

terdengar suara mengerang disertai


hancurnya bagian langit-langit. Satu 

sosok melayang bersama hancurnya 

langit-langit ruangan. Melihat siapa 

yang jatuh, Takwa dan Takga berebut 

menyelamatkan mereka. Tapi akibatnya 

mereka bertubrukan satu sama lain 

sehingga kepala mereka benjut benjol 

sedangkan yang hendak ditolong malah 

jatuh bergedebukan di atas lantai.

"Kakak Taktu... apa yang terjadi 

denganmu?" seru Takwa dan Takga hampir 

bersamaan.

Di atas lantai gadis cantik yang 

pakaiannya telah diganti dengan 

pakaian merah merintih. 

Asap tebal yang menyelubungi diri 

gadis itu kini berangsur lenyap dan 

hilang sama sekali.

"Kau... Takwa dan adik Takga, 

hampir saja kita tidak dapat bertemu 

selamanya." kata si gadi yang bukan 

lain adalah Ararini alias Taktu.

"Rupanya apa yang telah terjadi?" 

tanya Takwa.

"Braga Swara menculikku di saat 

aku menunggu kedatangan kalian di 

sini. Untung aku punya ajian Tapak 

Awan hingga aku dapat meloloskan diri. 

Jika tidak, mungkin nasibku sam 

seperti dengan keempat gadis malang 

itu. Kemudian Taktu Ararini 

menceritakan segal sesuatu yang 

terjadi di Tanah Kutukan.

"Kurang ajar. Jadi benar seperti


yang dikatakan guru, Braga Swara saat 

ini sedang mengamalkan ilmu sesat 

dengan mengorbankan gadis perawan 

sebagai tumbalnya?" desis Takga sambil 

mengepalkan tinjunya.

"Apa yang dikatakan guru memang 

benar. Aku sendiri bahkan hampir 

menjadi korbannya" sahut Ararini yang 

semasa kecil dikenal sebagai Taktu 

alias botak kesatu. Untuk lebih jelas, 

ikuti serial Gento Guyon episode 

'Tabib Setan'.

"Sekarang sebaiknya kita pergi ke 

Tanah Kutukan. Kita bertiga aku yakin 

mampu membunuhnya!" ujar Takwa.

"Kita tidak bisa gegabah. Tanah 

Kutukan merupakan tanah pasir yang 

bagian dalamnya selalu bergerak. Tanah 

itu tidak bisa kita pijak. Kita harus 

menunggu perintah dari guru. Bagaimana 

pun Braga Swara bukan manusia 

sembarangan. Aku sendiri sampai 

sekarang ini tak mampu membebaskan 

totokannya."

"Hah... jadi kakak masih dalam 

keadaan tertotok?" seru Takwa dan 

Takga kaget.

"Kau pikir aku mau jatuh 

sedemikian rupa?" dengus Ararini.

"Lalu bagian mana yang ditotok?" 

tanya Takga.

"Bagian punggung dan leherku." 

jawab Ararini.

"Itu sih gampang, biar aku yang


membebaskannya!" ujar Takga. Pemuda 

beralis tebal ini lalu duduk di depan 

si gadis. Setelah mengetahui di bagian 

mana yang kena ditotok, maka Takga 

dengan tangan kanannya segera 

melakukan usapan beberapa kali. Tapi 

betapa kagetnya pemuda berkepala botak 

yang pitak di bagian belakang ini 

ketika menyadari usahanya untuk 

membebaskan totokan sama sekali tak 

berhasil.

"Kakak Takwa, totokan yang 

dilakukan iblis itu alot amat. 

Sebaiknya kita gabungkan tenaga 

dalammu dan tenaga dalamku untuk 

menolong kakak Taktu." pinta Takga. 

Sambil bersungut-sungut Takwa 

datang menghampiri. Dia lalu duduk di 

belakang adiknya. "Jadi orang jangan 

sombong, mulut besar kemampuan tak 

ada. Hayo sekarang lakukan!" berkata 

begitu Takwa menempelkan kedua tangan 

di bagian punggung adik seperguruannya 

yang paling bungsu. Begitu Takga 

merasa mendapat tenaga tambahan. Maka 

dengan dua jari tangan dia menyentuh 

leher dan punggung Taktu. 

Plash!

Totokan itu lenyap. Begitu merasa 

bebas Taktu melompat bangkit berdiri, 

lalu meraih roda-roda terbangnya yang 

tergeletak di atas balai tempat tidur. 

Senjata diletakkan di bagian punggung. 

Setelah itu dia pandangi kedua pemuda


di depannya.

"Kita tidak mungkin datang ke 

sana bertiga, seperti yang kukatakan 

tadi paling tidak kita harus menunggu 

petunjuk guru." Sekali lagi Taktu 

memberi penegasan.

"Apakah kita tidak dapat 

mengambil keputusan sendiri. Apa-apa 

minta petunjuk? Kalau tidak memalukan 

kurasa mau buang hajat pun harus minta 

petunjuk." kata Taktu tidak sabaran.

Taktu dan Takwa saling pandang, 

lalu sama tersenyum.

"Satu hal yang membuatku heran 

sampai kini, mengapa guru dan Braga 

Swara itu bermusuhan? Kebenciannya 

pada laki-laki itu tampaknya begitu 

mendalam." sergah Takwa.

"Jadi kau belum tahu apa yang 

membuat guru bersikap seperti itu?" 

tanya Taktu alias Ararini.

Bukan hanya Takwa yang gelengkan 

kepala, Takga juga ikut menggeleng.

"Jadi kakak Taktu tahu?" tanya 

Takga.

Si gadis anggukkan kepala. Dia 

lalu kerutkan keningnya, mencoba 

mengingat segala sesuatu yang terjadi 

beberapa tahun yang lalu. Sampai 

kemudian Taktu berkata. "Malam itu 

kulihat guru menangis, ketika aku 

datang kulihat wajahnya begitu sedih. 

Akupun lalu bertanya gerangan apa yang 

telah terjadi." sampai di sini Taktu


hentikan ucapannya.

"Lalu bagaimana, kau ikut 

menangis juga?" tanya Takwa tidak 

sabaran.

Taktu gelengkan kepala.

"Katanya guru sangat bersedih 

karena meninggalkan suaminya dan pergi 

dengan pemuda lain. Entah mengapa dia 

begitu tergila-gila dengan pemuda itu. 

Mereka kemudian mengembara, hingga 

guru hamil. Tapi pemuda mata keranjang 

itu kemudian malah bermaksud 

membunuhnya dengan memukul guru sampai 

akhirnya masuk ke dalam jurang. Guru 

selamat, namun anak dalam kandungannya 

meninggal. Sedangkan pemuda itu 

kemudian pergi dengan wanita lain. 

Bertahun-tahun guru menyesali nasib. 

Menyesal karena telah meninggalkan 

suaminya. Dendamnya pada pemuda yang 

tak bertanggung jawab itu begitu 

mendalam. Di sisi lain dia juga merasa 

dikejar-kejar dosa. Karena itu dia 

kemudian membotaki kepalanya dan 

menjadi seorang rahib. Namun rasa 

penasaran membuatnya meninggalkan 

biara, kemudian memperdalam ilmu 

silatnya guna untuk membalas dendam. 

Rupanya setelah melakukan penyelidikan 

pemuda yang bernama Braga Swara 

setelah malang melintang melakukan 

berbagai kejahatan termasuk juga 

menodai gadis-gadis serta istri orang. 

Dia kemudian mengasingkan diri di


Tanah Kutukan untuk memperdalam ilmu 

baru yang dimilikinya. Terbukti 

kemudian dengan keyakinannya yang 

menyesatkan dia banyak menculik para 

gadis diambil darahnya kemudian mayat 

gadis itu diberikan pada mahluk iblis 

yang tinggal di bawah tanah pasir."

"Huk... huk... huk. Jahanam betul 

laki-laki itu. Kasihan sekali guru. 

Memangnya wajah suaminya jelek hingga 

dia meninggalkannya begitu saja!" 

tanya Takga sambil mengusap matanya 

yang memerah.

"Entahlah, mungkin itu menyangkut 

masalah yang sangat pribadi sekali. 

Sekarang ini sebaiknya kita bersiap-

siap untuk berangkat." kata Taktu pada 

kedua adik seperguruannya.

"Kita bertiga berangkat ke sana, 

apakah itu namanya tidak membuang 

nyawa sia-sia?" tanya Takwa sambil 

memutar toya di tangannya.

"Apapun yang terjadi kita 

tanggung bersama." jawab Taktu dan 

Takga. Merasa tak punya pilihan lain, 

akhirnya Takwa terpaksa mengikuti 

kedua saudara seperguruannya.


ENAM


Sampai di satu tempat si gendut 

besar luar biasa ini hentikan larinya. 

Matanya yang sipit berputar memandang 

jelalatan ke setiap sudut tanah 

lapangan luas di hadapannya. Si kakek 

monyongkan bibirnya. Wajahnya yang 

keringatan perlihatkan rasa kecewa.

"Jelas bukan di sini tempat yang 

kulihat dalam mimpiku itu. Dalam mimpi 

aku melihat lapangan pasir yang sangat 

luas. Di tengah lapangan itu terdapat 

sebuah altar dari batu hitam. 

Sedangkan lapangan ini dikelilingi 

pohon besar, batu-batu cadas, sarang 

landak dan juga beberapa jenis ular 

berbisa. Hemm, aku datang ke alamat 

yang salah." kata si kakek gendut 

Gentong Ketawa.

Selagi si kakek dilanda kebi-

ngungan, maka pada saat itu pula 

mendadak sontak dia mendengar suara 

orang di belakangnya. "Inikah tempat 

yang kau lihat dalam mimpimu guru. 

Tempat seperti ini kadal buntung pun 

kurasa tidak mau tinggal di sini!"

Mendengar suara yang sangat 

dikenalnya, Gentong Ketawa langsung 

menoleh. Dia jadi kaget begitu melihat 

tahu-tahu Gento Guyon telah berdiri 

tegak di belakangnya.

"Kau... bagaimana ilmu lari cepat


dan ilmu meringankan tubuhmu jadi 

sehebat ini?" tanya Gentong Ketawa 

dengan kening berkerut.

"Ha... ha... ha. Aku bukan 

pemalas sepertimu guru. Setiap hari 

aku berlatih, sedangkan kau enak-

enakan tidur. Sudahlah, jangan pula 

sekarang kau hendak mengalihkan 

perhatian. Menurutmu guru melihat 

lapangan pasir yang luas. Di tengah 

lapangan itu ada sebuah altar 

pemujaan. Apakah tempat seperti ini 

yang kau maksudkan?" tanya Gento.

Gentong Ketawa buru-buru 

menjawab. "Bukan... tempatnya jelas 

bukan seperti ini. Kita keliru lagi."

"Sudah sepuluh kali kita keliru. 

Yang aku herankan kau percaya dengan 

segala macam mimpi, sungguh edan. 

Bagaimana jika sekarang kita pergi ke 

tempat lain saja sambil melatih ilmu 

yang baru."

"Mana boleh begitu. Kau dengar... 

yang kulihat dalam tidurku bukan hanya 

sekedar mimpi, tapi semacam petunjuk. 

Aku melihat pembunuhan keji di sana. 

Aku juga melihat mahluk aneh berleher 

panjang berkepala empat. Semua ini 

merupakan suatu bukti aku bukan hanya 

sekedar mimpi." kata Gentong Ketawa 

tetap bersikeras.

Gento Guyon gelengkan kepala. 

Rasanya percuma saja dia memberi 

pengertian pada gurunya. karena


bagaimana pun kakek itu tetap 

bersikeras pada pendiriannya.

Tapi mungkin apa yang dikatakan 

kakek Gentong Ketawa memang ada 

benarnya. Kalau tidak mana mungkin 

gurunya ngotot seperti itu.

"Sekarang apa? Setelah mendatangi 

sarang kecoak ini selanjutnya kita ke 

mana?" tanya si pemuda dengan mata 

berkedip-kedip.

Si kakek jadi bingung dan merasa 

pusing sendiri. Beberapa saat lamanya 

dia terdiam. Berpikir sejenak namun 

otaknya tidak menemukan suatu 

kesimpulan apapun. Akhirnya Gentong 

Ketawa jadi bicara sesuka hati 

sendiri. "Tempat itu yang pasti masih 

di sekitar tanah Jawa juga. Jika kita 

mau menelusuri atau mencarinya secara 

teliti lama kelamaan pasti akan kita 

ketemukan juga. Ha... ha... ha."

Gento Guyon belalakkan mata dan 

jadi kesal mendengar ucapan gurunya. 

Dengan mulut terpencong dia keluarkan 

suara. "Guru... berapa lama kita harus 

melakukannya? Tanah Jawa ini luas. Dua 

purnama kita melakukan pelesiran 

perjalanan tak akan usai. Kurasa 

sampai botak sariawan sekalipun kita 

tidak menemukan tempat yang guru 

maksud. Terkecuali kita berpindah 

tempat."

"Eeh, apa maksudmu?! Pindah 

tempat juga tak jadi apa asal kita


menemukan daerah yang kulihat dalam 

mimpiku itu." ujar si kakek yang tidak 

mengerti arah ucapan muridnya.

"Ha... ha... ha. Pasti akan 

membuatku sangat repot dan aku sendiri 

belum tentu bersedia melakukannya. 

Karena tempat itu ada di akherat. Ha.. 

ha... ha." kata Gento Guyon disertai 

tawa bergelak.

Mata sipit si kakek mendelik. 

Pelipisnya bergerak-gerak, rahang 

menggembung, sedangkan wajahnya yang 

bulat nampak memerah. "Gege murid 

edan. Mengapa kau tidak terus terang 

mengatakan agar aku mati!"

"Hal itu sudah kukatakan tapi 

dalam doa yang kupanjatkan! Ha... 

ha... ha." sambil memegangi perutnya 

si pemuda,kembali tertawa.

"Bocah edan anak kampret. 

Kupecahkan batok kepalamu sekarang 

juga!" hardik Gentong Ketawa. Lupa 

bahwa di antara mereka adalah murid 

dan guru yang mempunyai watak serta 

sifat aneh. Dengan gerakan seringan 

kapas secepat angin berhembus. Sosok 

tinggi besar luar biasa ini melesat ke 

arah si pemuda. Salah satu tangan 

mencengkeram dada sedangkan tangannya 

yang lain dihantamkan ke bagian kepala 

muridnya.

"Bagus. Sintingnya lagi angot, 

murid sendiri pun hendak dibunuhnya. 

Ha... ha... ha!" Kemudian enak saja


Gento Guyon gerakkan tangan kanan 

menangkis kedua tangan si kakek dengan 

gerakan dari bawah ke atas.

Terjadi benturan yang membuat 

Gento terhuyung. Namun cepat sekali 

dia susupkan tangan kiri ke perut 

gurunya. Jemari tangan menggelitik 

hingga membuat si kakek tertawa 

tergelak-gelak.

"Sudah... sudah. Aku paling tidak 

tahan bila kau gelitiki." Tubuh besar 

si kakek terhuyung-huyung, sedangkan 

kedua tangan menekab bagian perutnya. 

Gento surut, dia lalu membolak-balik 

tangan yang memang membiru akibat 

bentrok dengan tangan gurunya tadi.

Sebaliknya Gentong Ketawa sendiri 

jadi heran. Rasanya dia merasa asing 

dengan gerakan silat yang dilakukan 

muridnya. "Kau tadi menggunakan jurus 

apa. Rasanya aku belum pernah 

mengajarkan jurus seaneh itu padamu?"

"Ah, mengapa aku berlaku ceroboh? 

Mestinya tidak kuperlihatkan jurus 

warisan Tabib Sesat Timur padanya." 

batin si pemuda. Namun dasar otaknya 

cerdik dan panjang akal. Tenang saja 

dia menjawab. "Yang guru lihat tadi 

jurus Belalang Mabuk yang kugabung 

dengan jurus ciptaanku sendiri. 

Hasilnya seperti yang guru lihat. 

Ha... ha... ha." kata Gento disertai 

tawa terkekeh-kekeh.

Si kakek terdiam, berpikir sesaat


lalu manggut-manggut. Walau kurang 

yakin betul, namun dia percaya 

muridnya mampu melakukan hal itu 

mengingat muridnya memang cerdik dan 

banyak akalnya.

"Kau memang lain dari yang lain. 

Kelak aku yakin kau pasti lebih hebat 

dariku." puji si kakek.

"Dasar pikun, apa yang kukatakan 

langsung dipercaya begitu saja." batin 

si pemuda merasa geli sendiri.

"Hu... hu... hu.. Hidup di dunia 

lebih lama menunggu apa? Setiap 

langkah penuh kesialan karena ulahku 

sendiri. Suamiku... maafkanlah diriku 

yang bodoh dan penuh dosa ini." Selagi 

Gento dan gurunya saling pandang dan 

tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

Mereka dikejutkan dengan terdengarnya 

suara tangis.

"Ada setan menangis?" desis 

Gento.

"Bukan setan. Bangsa setan tak 

pernah menangis. Suaranya datang dari 

arah sana!" kata si kakek. Murid dan 

guru ini kemudian berkelebat ke arah 

datangnya suara. Mereka berdiri di 

balik kerimbunan semak belukar, 

mengintai dari balik semak-semak itu. 

Tidak jauh di depan mereka tepat di 

atas batang kayu yang roboh duduk 

sosok nenek tua berpakaian serba putih 

dan berkepala botak. Melihat kepala si 

nenek, Gento langsung menyeringai,


sedangkan Gentong Ketawa nyaris tak 

mampu menahan tawanya. Untung Gento 

cepat bekap mulut gurunya. Kalau tidak 

kehadiran mereka pasti diketahui oleh 

nenek botak yang sedang menangis.

"Guru apa yang dilakukannya di 

sini? Menangis bersedih-sedih seorang 

diri. Jangan-jangan dia peri gundul." 

bisik si pemuda dekat telinga gurunya.

"Bukan... kurasa dia neneknya 

tuyul." sahut gurunya.

"Memangnya nenek tuyul gundul

begitu?" tanya Gento heran.

"Mana aku tahu dia nenek tuyul 

apa emak tuyul. Melihat tuyul saja aku 

belum pernah." jawab Gentong Ketawa. 

Lagi-lagi dia hampir tak kuasa menahan 

tawanya.

Gento Guyon terdiam, dia lalu 

julurkan kepala memperhatikan nenek di 

atas batang kayu dengan seksama.

Sejenak kemudian tangis si nenek 

terdengar lagi. Kali ini lebih keras 

tersendat-sendat.

"Dia menangis lagi guru. Kalau 

tidak coba guru bujuk sana. Elus-elus 

kepalanya agar dia merasa disayang. 

Siapa tahu dia baru saja habis 

ditinggal mati suaminya. Kalau kalian 

berjodoh kurasa guru dan dia merupakan 

pasangan yang serasi." kata Gento 

sambil tersenyum.

"Serasi gigimu meletus." dengus 

si kakek cemberut. "Enak saja kau


menyuruh dan menjodoh-jodohkan orang. 

Biar jelek begini mencari gadis 

perawan aku masih sanggup."

Gento Guyon tidak menanggapi 

melainkan menyengir. Sementara nenek 

itu sudah hentikan tangisnya. Mulutnya 

berucap. "Braga Swara, Tanah Kutukan 

bukan berarti apa-apa bagiku. Aku 

pasti datang ke sana untuk menuntut 

balas atas segala dosamu. Manusia 

keparat, laki-laki durjana. Kau tak 

akan lolos dari kematian!" Selesai 

berkata begitu tanpa menghiraukan 

kehadiran Gento dan gurunya si nenek 

bangkit kemudian berkelebat pergi. 

Gentong Ketawa tak kuasa lagi menahan 

tawa yang ditahannya sejak tadi.

"Apa yang kau tertawakan guru. 

Bukankah nenek itu ada menyebut Tanah 

Kutukan. Kurasa lebih baik kita 

mengikutinya. Mumpung bau keringatnya 

masih tercium sehingga kita tidak 

kehilangan jejak." ujar si pemuda. Si 

kakek hentikan tawanya. "Perempuan itu 

kurasa putus asa berat. Mungkin saja 

dia bingung, kau lihat tadi kepalanya 

jadi gundul begitu." kata si kakek.

"Aku jadi ingat tiga bocah botak 

yang kita temukan dulu ketika aku 

masih kecil. Mungkin mereka punya 

hubungan tertentu dengan nenek itu. 

Kurasa sebaiknya kita ikuti saja dia. 

Siapa tahu kita bisa sampai ke tempat 

yang ada dalam mimpimu!" ujar Gento.

Aku setuju. Mari kita pergi." 

kata Gentong Ketawa.



TUJUH


Empat kubur yang berada di bawah 

pohon rindang itu nampaknya baru saja 

digali. Tiga dari kubur itu sama 

sekali tidak diberi batu nisan. 

Sedangkan yang terletak di sudut kanan 

menancap tegak sebuah nisan yang di 

atasnya bukan tertera nama orang yang 

dikuburkan melainkan nama benda.

Pemacul Iblis mengamat-amati 

keempat makam satu persatu, mulutnya 

menyeringai ketika melihat makam yang 

terletak di sudut kanannya.

"Di sini terkubur dengan damai 

Tiga Permata Langit'." 

Begitu bunyi tulisan di batu 

nisan. Pemacul Iblis berdecak penuh 

rasa kagum. Dia jatuhkan diri, 

berlutut di samping makam sambil 

mengelus-elus nisan kepala makam tidak 

ada henti dia berucap. "Oh, dewa mana 

yang begitu berbaik hati padaku. Susah 

payah aku mencari Tiga Permata Langit. 

Tidak tahunya dengan mudah kutemukan 

di sini." Kata laki-laki berambut 

botak, beralis licin berjenggot dan 

berkumis licin tanpa rambut masing


masing di sebelah kiri ini sambil 

berjingkrak girang.

Namun beberapa saat kemudian 

keningnya berkerut tajam. Dia berpikir 

mungkinkah semudah itu untuk 

mendapatkan Tiga Permata Langit? Dia 

sendiri telah mencari tiga senjata 

maut itu di tempat pemiliknya, yaitu 

Kubur Tua para keluarga Pendekar Walet 

Putih. Seperti diketahui setelah 

seluruh makam digali Pemacul Iblis 

tidak mendapati benda yang dicarinya 

berada di salah satu makam tersebut. 

Jadi mungkinkah seseorang telah 

memindahkan benda itu? Siapa? Juru 

kunci makam?

Rasanya mustahil sekali. Pemacul 

Iblis meninggalkan Ki Rekso Monggo 

Jolodo dalam keadaan tubuh kaku 

tertotok. Tidak mudah membebaskan 

totokannya terkecuali orang itu 

memiliki tenaga dalam lebih tinggi 

dari tenaga dalam yang dimiliki oleh 

Pemacul Iblis.

"Mengapa harus ragu? Keraguan 

tidak pernah menyelesaikan semua 

masalah. Sebaiknya kugali tiga makam 

lainnya, baru setelah itu makam yang 

ada nisannya." pikir kakek berbadan 

kurus kering ini.

Pacul besar berwarna hitam 

kemudian diturunkan. Dengan cepat dia 

mulai menggali kubur pertama. Ternyata 

kubur ini dalamnya cuma selutut.


Pemacul Iblis harus menelan keke-

cewaannya karena tidak menemukan apa-

apa di situ. Sambil mengerutu kesal 

karena merasa tertipu, si kakek 

berpindah ke makam yang satunya lagi. 

Dengan kecepatan luar biasa Pemacul 

Iblis mulai melanjutkan pekerjaannya 

menggali. Hasilnya tetap kosong. 

Begitulah yang terjadi di makam 

ketiga.

"Bangsat kurang ajar siapa yang 

berani menipuku?" maki Pemacul Iblis 

dengan muka merah padam. Beberapa saat 

lamanya si kakek memandang ke segenap 

penjuru arah, kenyataan yang dia 

hadapi membuat Pemacul Iblis rupanya 

jadi curiga. Namun dia tidak melihat 

ada tanda-tanda mencurigakan di tempat 

itu. Kini perhatiannya beralih pada 

makam satu-satunya yang belum digali.

"Di sini satu-satunya harapanku. 

Jika tidak kutemukan Tiga Permata 

Langit di sini entah ke mana lagi 

harus kucari." kata kakek tua itu 

seorang diri.

Dengan perasaan diliputi rasa 

penasaran Pemacul Iblis kembali 

mengayunkan pacul besarnya. Ketika 

pacul itu melesat menghantam tanah 

kubur, angin berkesiuran disertai 

suara mendesing tajam pertanda si 

kakek mengerahkan tenaga dalam yang 

dimilikinya.

Tanah berhamburan, sekejap makam


pun tergali cukup dalam. Sampai 

akhirnya pacul si kakek membentur 

sesuatu. Craak! Benturan keras yang 

terjadi membuat hati Pemacul Iblis 

berdebar keras. Dengan hati-hati dia 

menggali sisa tanah dengan kedua 

tangannya hingga kemudian dia melihat 

sebuah kotak hitam berbentuk empat 

persegi. Kotak diangkatnya. Si kakek 

menyeringai.

"Akhirnya kudapatkan juga. Ha... 

ha... ha." Pemacul Iblis melompat 

keluar dari dalam lubang. Dia merasa 

yakin sekali isi kotak bukan lain

adalah Tiga Permata Langit. Mungkin 

inilah yang membuatnya tertawa.

Dengan sangat berhati-hati, 

sambil duduk di bawah pohon Pemacul 

Iblis mulai membuka kotak itu. Mulut 

tersenyum, kumisnya yang cuma sebelah 

berjingkrak. "Dasar kalau sudah 

rejeki, terkadang tidak perlu mencari 

dia akan datang sendiri. Ho… ho... 

ho." kata si kakek. Lalu penutup kotak 

dibukanya. Ketika penutup kotak dibuka 

tercium bau busuk menyengat. Hidung si 

kakek mengendus-endus, bau busuk 

semakin menyengat. Meskipun mulai ragu 

si kakek membuka penutup kotak yang 

kedua.

Begitu terbuka seluruh kotak 

dicampakkannya. Perut Pemacul Iblis 

terasa mual.

"Kurang ajar keparat. Siapa yang


berani mempermainkan aku dengan 

menaruh kotoran manusia ke dalam 

kotak? Huek... huek...!" Pemacul Iblis 

semburkan muntahan dari dalam 

perutnya. Dalam kesempatan tu mendadak 

sontak terdengar suara tawa cekikikan 

dari balik gundukan batu yang terdapat 

di belakang pohon. Pemacul Iblis yang 

sudah sangat marah karena merasa 

dipermainkan orang tekab mulutnya. Dia 

memandang ke arah datangnya suara. 

Tanpa bicara lagi sambil katupkan 

bibirnya dia menghantam ke arah 

gundukan batu. Sinar hijau berkiblat, 

hawa panas menebar. Di balik gundukan 

batu terdengar suara pekikan disertai 

dengan berkelebatnya satu sosok 

berbadan kecil pendek berpakaian 

kuning. Di saat sosok itu melesat di

udara terdengar suara sempritan aneh. 

Pukulan yang dilepaskan si kakek 

menghantam pinggang gundukan batu. 

Batu besar hancur berkeping-keping. Di 

depan Pemacul Iblis kini berdiri satu 

sosok dengan tinggi sepinggang 

berhidung besar, bermulut kecil 

sedangkan wajahnya dipenuhi keriput 

seperti wajah seorang kakek tua.

"Bocah tua keparat. Kau rupanya 

yang punya kerja. Kurang ajar! Kubunuh 

kau!!" berkata begitu si kakek kurus 

yang merasa tertipu ini sambar pacul 

besarnya. Pacul diayunkan mengeluarkan 

suara menderu, cahaya hitam berkelebat


menghantam ke bagian kepala si Bocah 

Tua alias Hidung Setan. Jika tidak 

menghindar secepat yang dapat 

dilakukan bocah berwajah kakek renta 

ini, pastilah kepalanya jadi terbelah. 

Tapi sambil tertawa cekikikan enak 

saja Bocah Tua menggeser tubuhnya ke 

samping. Pacul besar amblas ke dalam 

tanah tidak mengenai sasarannya.

Melihat serangannya gagal, 

Pemacul Iblis menggerung marah. Sambil 

mencabut pacul dia hantamkan tangan 

kirinya ke arah si Bocah Tua. Serangan 

ini bukan pukulan biasa. Karena 

siapapun yang menjadi sasaran tubuhnya 

akan hangus gosong dan tewas seketika.

"Tua bangka gila. Kau memukulku 

dengan pukulan Petir Neraka?!" Si 

Bocah Tua keluarkan seruan kaget. 

Sadar betapa ganasnya pukulan yang 

dilepaskan si kakek, maka Si Bocah Tua 

gulingkan dirinya ke samping, lalu 

berjumpalitan menjauh selamatkan diri.

Sinar merah bara menderu, 

menghanguskan apa saja yang dilaluinya 

sampai kemudian mengeluarkan suara 

berdentum begitu menghantam pohon 

besar di atas makam. Pohon hangus 

menyala dan mengeluarkan suara 

gemeretak mengerikan.

"Tobaaaat...!"

"Heem, lekaslah kau bertobat 

sebelum aku memukulmu dengan pukulan 

Halilintar Iblis!" seru Pemacul Iblis.


Kakek yang gampang naik darah dan 

pernah gila akibat kekasihnya diculik 

oleh Braga Swara ini angkat kedua 

tangannya yang sudah berubah merah 

kehitaman.

"Tobat jangan kau lakukan itu. 

Aku... aku bisa mampus! Aku minta 

maaf, sungguh aku mohon maaf." berkata 

begitu Si Bocah Tua rangkapkan kedua 

tangannya sambil membungkuk hormat. 

Melihat sikap yang ditunjukkan oleh Si 

Bocah Tua, kemarahan Pemacul Iblis 

jadi surut. Perlahan dia turunkan 

kedua tangannya. Dia lalu melangkah 

maju sambil membentak.

"Katakan mengapa kau mengerjai 

aku?" 

"Aku... aku hanya bercanda. 

Maafkanlah." ujar Si Bocah Tua jadi 

salah tingkah.

"Jadi betul kau yang membuat 

makam-makaman?"

"Benar."

"Kau juga yang telah membuang 

hajat dalam kotak, kemudian 

menguburkan kotak itu?!" bentak 

Pemacul Iblis masih tak mampu memendam 

rasa kesalnya.

"Iya. aku.... Semua itu karena 

iseng. Kulihat setiap tempat yang kau 

lalui pasti kau gali. Semua kubur kau 

buat porak poranda. Jadi tiba-tiba 

timbul keisenganku untuk mengerjaimu." 

kata Si Bocah Tua.


"Kurang ajar betul. Tidak tahukah 

kau bahwa sejak dulu aku punya 

keinginan besar untuk membalas dendam 

pada Braga Swara. Aku tak mau mati 

konyol sebelum dendam terbalaskan 

mengingat ilmu kesaktian yang dimiliki 

oleh Braga Swara kini semakin 

bertambah tinggi." tegas si kakek.

Si Bocah Tua gelengkan kepala. 

Dia tersenyum, tapi wajahnya unjukkan 

tampang sedih. "Kau baru kehilangan 

kekasih, itupun sempat membuat 

linglung selama bertahun-tahun. 

Sedangkan aku! Huk... huk... huk. 

Istriku malah dibawa kabur oleh Braga 

Iblis. Dasar nasib, namun aku masih 

dapat tertawa-tawa sebagaimana yang 

kau lihat. Hi... hi... hi!"

"Jadi kau tidak punya rasa dendam 

untuk membalas kepedihan hatimu?" 

tanya Pemacul Iblis.

"Walau badanku pendek, tapi 

dendamku pada Braga Swara setinggi 

gunung. Saat ini kurasa kalau pun kita 

bersatu tak mungkin dapat mengalahkan 

laki-laki durjana itu. Namun harus kau 

ingat, dengan Tiga Permata Langit ada 

di tangan kita, kurasa dia tidak akan 

luput dari maut!"

"Hah, jadi benda itu sekarang ada 

padamu?" desis Pemacul Iblis dengan 

mata mendelik saking kagetnya.

Si Bocah Tua anggukkan kepala. 

Dia kemudian menceritakan bagaimana


Tiga Permata Langit itu dia dapatkan. 

Setelah itu diapun kembali tertawa.

"Kurang ajar." dengus Pemacul 

Iblis. "Kelebihanmu, walau badan kecil 

tapi dikaruniai hidung besar oleh 

Tuhan. Selain itu penciumanmu sangat 

tajam. Jika aku punya penciuman 

sepertimu, tentu aku tidak dapat kau 

tipu. Sekarang coba tunjukkan 

bagaimana rupa Tiga Permata Langit 

itu?" pinta Pemacul Iblis. Nada 

suaranya berubah pelan bersahabat.

"Benda itu sekarang ada dalam 

mulutku."

"Hah apa? Cepat keluarkan, aku 

mau melihatnya!" desak Pemacul Iblis 

sambil melangkah mundur.

"Tiga Permata Langit tidak boleh 

kau lihat sebelum kita sampai di Tanah 

Kutukan." jawab Si Bocah Tua sambil 

melangkah mundur.

"Aku hanya ingin melihat!" 

berkata begitu Pemacul Iblis melompat. 

Maksudnya hendak mencengkeram leher Si 

Bocah Tua.

Tapi Bocah Tua membentak. "Kau 

mencekikku? Bagaimana jika ketiga 

Permata Iblis sampai tertelan? Dia 

akan mendekam dalam perutku. Untuk 

mengeluarkannya membutuhkan waktu satu 

purnama. Itupun jika aku makan buah, 

jika aku makan ubi yang keluar cuma 

kentut melulu tanpa ampas. Bisa jadi 

setahun kemudian kita baru dapat


membalas dendam. Saat itu mungkin kau 

sudah mati karena digerogoti penyakit 

dendam."

Mendengar ucapan Si Bocah Tua, 

Pemacul Iblis urungkan niatnya. Dia 

jadi ragu-ragu antara ingin memaksa 

bocah itu memperlihatkan Tiga Permata 

Langit atau urung. Karena tidak ingin 

terjadi sesuatu di luar perhitungan 

maka Pemacul Iblis akhirnya hentikan 

gerakannya.

"Baiklah. Jika begitu katamu aku 

tak berani memaksa. Sekarang kita 

tunggu apalagi?"

"Maksudmu?" Si Bocah tak 

mengerti.

"Kita harus pergi ke Tanah 

Kutukan untuk mengadakan perhitungan 

dengan Braga Swara, bagaimana 

pendapatmu?"

"Hi... hi... hi. Perhitungan 

memang sudah saatnya dilakukan. Tapi 

kita tidak bisa datang menyatroni 

begitu saja. Kita harus menyelidik 

lebih dulu. Karena menurut yang 

kudengar Tanah Kutukan sangat 

berbahaya. Tak sembarang orang bisa 

me|oloskan diri bila telah sampai di 

sana!" kata Si Bocah Tua.

"Kau benar. Saranmu nanti akan 

kupikirkan di tengah jalan." sahut 

Pemacul Iblis.

Tanpa bicara lagi kedua orang 

kemudian sama tinggalkan tempat itu.


DELAPAN


Mendekati tanah luas berpasir, di 

balik grombol kayu putih Gento Guyon 

dan Gentong Ketawa hentikan larinya. 

Saat itu panas terik, matahari tepat 

berada di atas kepala. Panas yang 

menyengat terasa membakar batok 

kepala, membuat si kakek gendut besar 

luar biasa mengipas-ngipas wajahnya 

dengan jemari tangan.

Dari balik kelebatan kayu itu 

dengan jelas Gento dapat melihat 

kilauan pasir yang memutih memancarkan

cahaya warna-warni akibat sengatan 

matahari. Tapi ada sesuatu yang 

menarik perhatian pemuda ini. Dia 

melihat di tengah-tengah padang pasir 

terdapat sesuatu berwarna hitam yang 

cukup lebar dan berbentuk seperti 

altar pemujaan.

"Guru lihat. Mungkin di sinilah 

tempatnya yang guru lihat dalam 

mimpimu itu." berkata si pemuda tanpa 

mengalihkan perhatian dari lapangan 

pasir di depannya.

Si kakek gendut hentikan gerakan 

tangannya yang mengipas. Dia bangkit 

lalu berjalan mendekati muridnya. 

Sejenak lamanya dia memperhatikan 

dengan kening berkerut. Senyum kakek 

Gentong Ketawa mengembang.

"Tidak salah aku melihat, tempat

inilah yang kulihat dalam mimpiku. 

Mungkin lapangan pasir ini yang 

dimaksud nenek botak sebagai Tanah 

Kutukan." seru si kakek sambil 

berjingkrak kegirangan.

"Kalau benar ke mana perginya 

nenek itu? Seharusnya dia sudah sampai 

lebih awal di tempat ini dan kita. 

kenyataannya kita tidak melihat ada 

siapapun di sini."

"Aku juga heran. Aku malah 

khawatir nenek itu membunuh diri di 

tempat yang kita lalui tadi?" ujar 

Gentong Ketawa.

"Ya, di sana memang ada jurang. 

Tepat di sisi kiri jalan di balik 

lamping batu. Kasihan sekali. Sudah 

botak sengsara begitu membunuh diri 

pula." celetuk Gento dengan mimik 

serius.

"Jika dia mati sesat sungguh 

sangat kusesalkan. Arwahnya pasti 

tidak diterima bumi dan langit, 

terkatung sengsara seumur-umur di atas 

angin!" gumam si kakek.

"Memang kau suka padanya, guru?" 

tanya si pemuda setengah menyindir.

"Murid geblek. Apalagi yang ada 

di balik batok kepalamu itu?!" dengus 

si kakek sengit. Si pemuda hendak 

tertawa, namun gurunya kini malah 

membekap mulutnya. Dia menempelkan 

telunjuk tangan kirinya ke bibir 

sendiri. "Ssst... jangan berisik. Kau


lihat kakinya tidak menjejak tanah 

sama sekali. Aku jadi curiga bukan 

mustahil lapangan pasir ini tidak 

punya kekuatan untuk menahan berat 

badan kita." ujar si kakek.

Si pemuda memandang ke depan 

lebih teliti lagi. Dia tidak 

memperhatikan bagaimana kaki sosok 

berpakaian merah itu seakan mengambang 

di atas tanah. Perhatiannya justru 

tertuju pada sesuatu yang berada dalam 

panggulan orang itu.

"Guru, melihat gerak geriknya 

yang seperti sudah terbiasa berada di 

tempat ini kurasa dialah orangnya yang 

menjadi musuh nenek botak. Sekarang 

coba perhatikan! Bukankah dia seperti 

memanggul seorang perempuan." ujar 

Gento.

Gentong Ketawa memperhatikan 

sejenak lamanya, kemudian anggukkan 

kepala. "Kau tidak salah melihat, dia 

memang membawa seorang perempuan. Tapi 

siapa perempuan itu? Tubuhnya kaku 

seperti kayu, kurasa dia dalam keadaan 

tertotok."

"Tanah Kutukan. Firasatku menga-

takan perempuan itu akan dijadikan 

korban persembahan." kata si pemuda.

Gentong Ketawa diam tidak 

menanggapi. Kini dia lebih banyak 

mencurahkan perhatiannya ke tengah 

lapangan pasir di mana sosok berpa-

kaian merah telah sampai di altar.


Dari kejauhan meskipun samar si kakek 

melihat orang berpakaian dan berjubah 

merah meletakkan perempuan yang 

dipanggulnya tadi. Sekejab orang itu 

nampak mengucapkan sesuatu, namun tak 

terdengar jelas di telinga Gentong 

Ketawa karena suara hembusan angin 

menderu-deru melenyapkan suara orang 

itu.

Tak berselang lama sosok 

berpakaian merah kembali meninggalkan 

altar juga perempuan yang dibawanya. 

Dia berlari cepat ke arah mana tadi 

pertama dia datang. Dari tempat 

persembunyiannya, baik si kakek maupun 

muridnya sama dapat melihat bahwa 

orang berjubah dan berpakaian merah 

itu bukan lain adalah seorang laki-

laki berwajah angker, wajahnya nyaris 

tak terlihat karena tertutup cambang 

bawuk lebat. Sedangkan rambutnya yang 

panjang awut-awutan berwarna merah 

diikat sehelai kain berwarna merah.

"Apa yang hendak dilakukannya?" 

tanya Gento berbisik.

"Aku tak tahu. Bisa jadi dia 

hendak menjemputku!" celetuk si kakek.

Gento Guyon cibirkan mulut. "Kau 

kira dia suka manusia sejenis. Kau 

sudah terlalu tua. Semuanya termasuk 

perabotan sudah bulukan." sahut si 

pemuda. Gentong Ketawa hanya 

menyeringai. Sementara laki-laki 

berpakaian merah sudah mendekati tepi


lapangan agak jauh di sebelah kanan 

mereka. Kemudian orang ini lenyap di 

balik kelebatan semak belukar.

"Bagaimana kalau kita 

mengikutinya?" usul Gento Guyon sambil 

memperhatikan ke arah lenyapnya laki-

laki tadi.

"Jangan!" sergah si kakek. "Jika 

tempat tinggalnya di tengah lapangan 

pasir ini, tentu dia akan kembali. 

Sekarang sebaiknya kita tolong saja 

gadis itu." kata si kakek. Walau pun 

merasa agak kecewa Gento akhirnya 

hanya mengikuti apa yang dikatakan 

Gentong Ketawa. Mereka kemudian keluar 

dari grombol kayu putih. Sebelum 

sampai di tepi lapangan pasir si 

pemuda memungut potongan kayu.

"Bagaimana apakah kita langsung 

menuju ke tengah lapangan itu. 

Segalanya harus dilakukan dengan cepat 

jika tidak ingin ketahuan orang tadi." 

kata si kakek begitu mereka berada di 

tepi lapangan pasir.

"Memikirkan keselamatan orang 

memang suatu perbuatan baik. Namun 

kita juga harus memikirkan keselamatan 

diri sendiri." ujar si pemuda sambil 

tersenyum.

"Eeh, apa maksudmu?" tanya si 

kakek gendut tak mengerti.

"Tadi kita melihat orang itu 

berlari seperti mengambang di atas 

pasir. Berarti di balik lapangan pasir


ini pasti ada apa-apanya." Tanpa 

bicara lagi Gento Guyon lemparkan kayu 

yang dibawanya ke atas pasir. Begitu 

potongan kayu menyentuh permukaan 

pasir. Di tengah lapangan terjadi 

pergolakan hebat, sedangkan potongan 

kayu itu sendiri secara perlahan 

lenyap, masuk ke dalam seperti 

tersedot oleh satu kekuatan yang tak 

terlihat. Si kakek delikkan matanya, 

mulut ternganga seakan tak percaya.

"Itu yang akan terjadi pada kita, 

seandainya tadi guru berlaku ceroboh." 

kata si pemuda.

"Pasir ini hidup?" desis si 

kakek.

"Bisa jadi begitu, yang jelas 

pasir di lapangan ini tak bisa menahan 

berat badan kita, atau bisa jadi juga 

di dalam pasir ini hidup mahluk aneh 

pemakan bangkai."

Apa yang dikatakan muridnya 

membuat si kakek diliputi ketegangan. 

Wajah pucat, sedangkan tengkuknya 

menjadi dingin. Tak terbayangkan 

bagaimana seandainya tadi dia langsung 

menuju ke tengah lapangan itu.

"Hmm, masih bagus kau berlaku 

cerdik. Jika tidak nasibku entah 

bagaimana." kata si kakek sambil 

memandang muridnya dengan tatapan 

penuh rasa terima kasih.

"Paling tidak nama depanmu dapat 

tambahan almarhum guru. Kemudian aku


hidup seorang diri. Betapa hampa 

rasanya." sahut Gento sambil tertawa.

"Kita harus melakukan sesuatu 

agar bisa sampai ke sana."

"Caranya bagaimana guru?" tanya 

si pemuda.

"Caranya sedang kupikirkan." kata 

si kakek.

"Kalau begitu berpikirnya di 

tempat persembunyian kita tadi, biar 

tidak dilihat orang."

"Eeh iya, kau betul." menyahuti 

si kakek sambil mengetuk keningnya 

berulang kali. Melihat hal ini sambil 

melangkah ke tempat semula Gento Guyon 

berkata dalam hati.

"Dasar orang tua aneh. Mau 

berpikir saja kepala diketuk-ketuk 

segala."



SEMBILAN



Ketika laki-laki berpakaian dan 

berjubah merah sampai di tepi lapangan 

pasir. Dia tidak langsung pergi, 

melainkan berdiri tegak di situ 

sementara matanya berputar liar 

mencari ke setiap sudut. Mulut laki-

laki itu membuka. Kata makian 

terlontar. "Kurang ajar. Aku tadi 

meletakannya di sini. Mustahil gadis 

itu dapat menyelamatkan diri. Siapa 

yang berani berbuat iseng di sarang


iblis?"

Ucapan laki-laki ini seakan 

berlalu begitu saja. Dia kepalkan 

tinjunya. Dia ingat betul, selama ini 

tak ada yang mengusik bila dia 

meletakkan calon korbannya di tepi 

lapangan. Karena baginya tidak mungkin 

membawa dua gadis culikan sekaligus ke 

altar persembahan mengingat tanah di 

lapangan itu mudah goyah. Jika dia 

membawa beban terlalu berat, tentu 

tanah jadi amblas dan dia pasti 

terperosok tenggelam ke dalam pasir.

Tapi kini salah satu gadis yang 

ditinggalkannya di tepi lapangan 

mendadak lenyap. Mana mungkin hal itu 

bisa terjadi jika tak orang yang 

melakukannya. Ingat dirinya dipermain-

kan orang, maka laki-laki berpakaian 

merah yang bukan lain adalah Braga 

Swara menjadi sangat marah.

"Siapa yang berada di sekitar 

Tanah Kutukan ini harap tunjukkan 

diri!" Braga Swara keluarkan teriakan 

lantang.

Teriakan laki-laki itu lenyap. 

Sunyi sejenak, tapi beberapa saat 

kemudian terdengar suara gelak tawa 

yang disertai dengan berkelebatnya dua 

bayangan putih ke arah laki-laki itu.

Hanya sekejap saja di hadapan 

Braga Swara berdiri tegak dua orang 

pemuda tampan berpakaian putih 

berkepala botak. Kemudian di belakang


kedua pemuda itu datang menghampiri 

seorang gadis cantik berpakaian putih 

berambut panjang. Braga Swara tidak 

mengenali siapa adanya kedua pemuda 

bersenjata golok besar dan toya ini. 

Namun dia tentu masih ingat siapa 

gadis bersenjata roda kembar yang 

berdiri di belakang dua pemuda yang 

tak dikenalnya. Dia bukan lain Ararini 

alias Taktu, gadis yang meloloskan 

diri dari altar persembahan dengan 

menggunakan ilmunya yang aneh.

"Ha... ha... ha! Beberapa waktu 

yang lalu kau lolos dari tanganku. 

Kini datang lagi bersama dua pemuda 

ini. Apa sebenarnya yang hendak kau 

lakukan di tempat ini?" tanya Braga 

Swara.

Taktu melangkah maju, melewati 

dua saudaranya yang berdiri tegak di 

hadapannya. "Kami menginginkan 

kepalamu!" dengus Taktu dingin.

Sepasang mata Braga Swara 

membulat besar. Apa yang dikatakan 

oleh gadis di depannya membuat dia tak 

mampu menahan tawanya. "Kau hendak 

memenggal kepalaku? Hal yang sama juga 

diucapkan oleh orang-orang yang 

mendahuluimu. Sayang sebelum mereka 

sempat melampiaskan dendam kesumat, 

nyawa mereka keburu terbang ke 

neraka." sahut Braga Swara. "Kau gadis 

yang cantik, sebenarnya aku merasa 

tertarik dengamu. Suaramu lantang,


kurasa kau sangat hebat dalam hal 

bercinta. Namun sebelum segalanya 

berubah menjadi menyakitkan ada dua 

pertanyaan yang ingin kuajukan!" kata 

Braga Swara. Sepasang matanya 

menjelajahi sekujur tubuh si gadis 

seakan dia hendak menelan gadis itu 

bulat-bulat. Memang harus diakuinya 

sejak pertama kali dia menculik Taktu 

alias Ararini dari penginapan. Braga 

Swara sudah merasa tertarik pada 

kecantikan si gadis. Apalagi Taktu 

memiliki pinggul bagus serta bentuk 

dada yang indah. Ditambah lagi dengan 

kulitnya yang mulus. Keadaan fisik 

Taktu sangat sesuai dengan seleranya.

Sebaliknya melihat pandangan 

mesum Braga Swara, Taktu menjadi naik 

darah. Dengan menahan kegeraman di 

dada Taktu membentak. "Apa syaratmu 

iblis keparat? Cepat katakan!"

"Pertama, apakah kalian orangnya 

yang telah membebaskan gadis yang 

kutinggalkan di sini?" 

"Betul. Gadis itu bahkan mungkin 

sudah berkumpul dengan keluarganya." 

Yang menjawab adalah Takga. Si botak 

dengan pitak di belakang kepala yang 

dikenal sangat jujur, polos, 

bersahaja.

"Bagus. Pertanyaanku kedua, meli-

hat ilmu Tapak Awan yang dipergunakan 

gadis itu meloloskan diri dari altar 

persembahan. Aku ingin tahu apa


hubungan kalian dengan Peri Tanpa

Bayangan?"

Taktu, Takwa dan Takga serentak 

keluarkan tawa terbahak-bahak. 

Sekarang mereka benar-benar merasa 

yakin telah datang pada orang yang 

tepat. Takwa melompat maju. Dengan 

wajah merah padam mengingat kekejaman 

yang dilakukan Braga Swara terhadap 

gurunya dia berkata. 

"Peri Tanpa Bayangan kuingat 

beberapa tahun yang lalu dikelabui 

oleh seorang laki-laki durjana. 

Setelah dirinya hamil, kemudian laki-

laki bangsat itu bermaksud membunuhnya 

secara keji. Mungkin kini dia masih 

hidup, bisa jadi juga sudah mati jadi 

arwah gentayangan yang ingin menuntut 

balas. Sedangkan kami adalah hantu 

gundul yang diutus untuk mencopoti 

perabotanmu yang sudah banyak memakan 

korban itu. Ha... ha... ha!"

Di samping rasa kaget mendengar 

penjelasan Takwa, Braga Swara juga 

menjadi sangat geram mendengar ucapan 

pemuda itu. Hingga tanpa banyak bicara 

lagi sepuluh jari tangannya ke depan 

kemudian disibakkan ke kiri dengan 

gerakan merobek. Angin deras 

berkesiuran, sinar merah membersit 

melabrak kedua pemuda dan gadis itu.

Taktu, Takwa dan Takga yang sudah 

bersikap waspada langsung berlompatan 

ke belakang selamatkan diri. Begitu


sinar maut menghantam tempat kosong 

disertai ledakan tiga kali berturut-

turut. Maka Taktu memberi aba-aba 

untuk melepaskan pukulan balasan. Tiga 

pasang tangan didorong ke depan. Enam 

larik sinar melesat, berkelebat dengan 

kecepatan laksana kiiat menghantam 

bagian kepala badan dan kaki Braga 

Swara. Serangan yang dilakukan secara 

bersamaan ini jelas sulit dihindari 

oleh lawannya. Karena paling tidak 

alah satu dari pukulan ini pasti 

mengenai sasarannya juga. Kenyataan 

ini disadari benar oleh lawannya. 

Namun Braga Swara adalah seorang tokoh 

dunia hitam yang sudah kenyang 

pengalaman di samping licik pula. 

Sehingga tanpa ayal lagi sambil 

mendorongkan kedua tangan memapaki 

enam serangan sekaligus dia melompat 

ke udara.

Tas!

Bruum!

Enam ledakan terjadi secara 

bersamaan. Ketiga lawan nampak 

terdorong mundur. Saat itu Braga Swara 

yang masih mengambang di udara sambil 

berjumpalitan, begitu kakinya 

menghadap bawah tanpa menjejak tanah 

lebih dulu dia terus melesat. Satu 

tangan menyambar ganas ke wajah Taktu, 

sedangkan tangannya yang lain lakukan 

gerakan menjebol dada Takga.

"Hem, benar-benar iblis!" gumam


Takwa sambil gerakkan toyanya menyabet 

tangan Braga Swara dari atas ke bawah.

"Bagus telah kau tolongi kami 

dari cengkeraman tangan menjijikkan 

itu." celetuk Takga.

Sambil huyungkan tubuhnya ke kiri 

dia cabut golok besarnya yang terbuat 

dari kayu batu. Sementara Taktu 

kembali melompat mundur. Sedangkan 

Braga Swara sambil memaki terpaksa 

batalkan serangan, tarik kedua 

tangannya dari pentungan Toya. Toya 

menghantam tanah hingga menimbulkan 

letupan dan lubang besar. Dengan 

tangan kiri bertumpu pada toyanya 

Takwa jatuhkan diri, kaki kanan 

menyambar kaki lawannya. 

Dess!

Hantaman keras yang mendarat di 

bagian kaki belakang Braga Swara 

membuat laki-laki itu jatuh 

menelungkup. Selagi laki-laki itu 

berusaha bangkit sambil menggerung. 

Kesempatan ini dipergunakan oleh 

Takga. Dia melompat, lalu babatkan 

golok besarnya ke bagian punggung 

Braga Swara.

Lawan hanya sempat merasakan ada 

hawa dingin menyambar punggungnya. 

Untuk menghindar tentu akibatnya bisa 

fatal, karena mata golok kayu batu 

yang berat bukan main itu sudah sangat 

dekat dengan pinggangnya. Karena itu 

Braga Swara dengan gerakan kilat


balikkan badan. Setelah itu dia 

hantamkan tangan kanannya ke perut 

Takga.

"Adik awas!" Taktu berteriak 

kaget melihat serangan balik lawan 

yang tidak dapat diduga ini. Dia 

sendiri langsung luncurkan salah satu 

roda bergerigi membabat tangan Braga 

Swara. Sedangkan Takwa dengan ujung 

toya mendorong dada adik 

seperguruannya guna menolong Takga.

Takga alias botak ketiga memang 

tak mungkin dapat menghindari pukulan 

lawannya, mengingat tubuhnya saat itu 

meluncur mengikuti gerakan golok. 

Dorongan toya yang dilakukan Takwa 

setidaknya menyelamatkan bagian 

perutnya dari pukulan maut lawan. Tapi 

Braga Swara saat menyadari serangannya 

luput tidak membiarkan lawannya lolos 

begitu saja. Dengan tangan kiri dia 

mencengkeram kaki Takga, sedangkan 

tangan kanan dikibaskan ke arah roda 

terbang yang dilayangkan Taktu. 

Breet!

Ujung kaki celana Takga berderak 

robek. Bukan hanya itu saja bagian 

kakinya terluka. Empat bekas cakaran 

kuku menimbulkan luka cukup dalam. 

Namun Takga masih sanggup selamatkan 

diri.

Sementara hantaman tangan kanan 

Braga Swara ke arah roda terbang 

menimbulkan pusaran angin keras yang


langsung menghantam senjata milik 

Taktu. Sesaat di udara roda berhenti 

berputar, selanjutnya berbalik ke arah 

pemiliknya dengan kecepatan berlipat 

ganda. Gadis ini keluarkan seruan 

kaget. Dia tidak punya pilihan, 

sedangkan Takwa yang melihat serangan 

balik ini tak mungkin menolong 

mengingat jarak di antara mereka 

terpaut jauh. Di sebelah sana Taktu 

jatuhkan diri sama rata dengan tanah. 

Roda terbang bergerigi setajam pedang 

yang seharusnya membabat pinggang si 

gadis kini mendesing di atas kepala 

Taktu. Pada kesempatan itu si gadis 

gerakkan roga terbang yang satunya 

lagi. Sehingga terdengar suara 

berdentringan ketika kedua roga 

terbang itu saling berbenturan satu 

sama lain. Dengan muka pucat bersimbah 

keringat Taktu melompat bangkit. 

Ketika dia melihat ke arah Takga, 

dilihatnya Takwa sedang berupaya 

menolong adik mereka.

Braga Swara yang berdiri tegak di 

antara ketiga saudara kembar itu 

keluarkan tawa tergelak-gelak.

"Adikmu tak akan selamat dalam 

waktu satu malam di muka. Dia sudah 

terkena racun Upas Bumi yang terdapat 

di ujung kukuku! Ha... ha ... ha." 

kata Braga Swara.

Taktu menjadi khawatir dan juga 

geram mendengar ucapan lawannya. Namun


dia tak mungkin datang membantu, 

mengingat lawannya bisa menghabisi 

mereka pada saat yang tak terduga.

Sementara itu Takwa sudah menotok 

nadi besar di kaki Takga untuk 

mencegah agar racun Upas Bumi tidak 

cepat menjalar ke sekujur tubuh 

adiknya. Dia juga mengambil obat 

sebesar telur puyuh sambil berkata. 

"Telan. Racun itu tidak akan 

berarti apa-apa jika kau menelan pilat 

(pil bulat) sebesar ini!"

Sambil menyeringai menahan sakit 

Takga buka mulutnya. Tak urung matanya 

mendelik ketika berusaha menelan pil 

yang mengandung hawa panas laksana 

membakar tenggorokan dan perutnya itu.

Setelah mendelik-delik seperti 

ayam yang tertelan karet, Takga 

mengurut-urut tenggorokannya. Kemudian 

dia mendamprat. "Sial betul. Aku 

seperti menelan bara api. Apa tidak 

ada lagi pil yang lebih besar dari 

yang kau berikan tadi." sindir Taktu 

sambil bersungut-sungut.

"Ada. Besarnya kurang lebih 

seperti kelapa!" jawab Takwa.

"Kurang ajar. Dalam keadaan 

seperti ini masih sempatnya kakak 

Takwa bercanda."

"Dua botak memuakkan. Aku 

inginkan saudara tua seperguruan 

kalian. Jika beberapa hari kemarin aku 

mau menjadikannya sebagai tumbal, maka


kini pikiranku berubah. Hari ini aku 

ingin bersenang-senang dengannya. Tapi 

sebelum itu terjadi. Aku harus 

membunuh kalian berdua. Nantinya mayat 

kalian akan kuberikan pada sahabat 

iblis yang tinggal di dalam lapangan 

pasir itu!" menukas Braga Swara tiba-

tiba

"Iblis tengik. Sebelum kau sentuh

kakak Taktu, kupotong kepalamu. 

Sebelum kau bunuh kami. Kucincang dulu 

tubuhmu!" hardik Takga yang kini sudah 

berdiri tegak dengan golok 

dilintangkan di depan dada. 

Selanjutnya dengan cepat dia berkata 

ditujukan pada dua saudaranya yang 

lain. "Saatnya menggunakan jurus Maut 

Dari Alam Roh!" kata Takga memberi 

aba-aba.

"Maut Dari Alam Roh!" Takwa 

menyahuti.

"Telah kurasakan kekuatan itu 

datang!" seru Taktu. Sekonyong-konyong 

Taktu putar tubuhnya. Dengan gerakan 

yang aneh laksana kilat Taktu melesat 

ke udara. Di lain kejap, dia telah 

berdiri tegak dengan kaki berpijak 

satu di bahu Takwa dan satunya lagi di 

bagian bahu Taktu. Tangan tiga saudara 

seperguruan itu berputar sebat, 

menimbulkan angin bergulung-gulung. 

Braga Swara nampak kaget sekali 

melihat keanehan yang terjadi. Lebih 

terkejut lagi ketika melihat masing


masing senjata di tangan ketiga 

lawannya melesat menyerang dirinya.



SEPULUH



Toya yang melayang dengan 

sendirinya milik Takwa berputar 

mengemplang kepala dan punggung Braga 

Swara, sedangkan golok hitam menderu 

menghantam leher, sedangkan roda-roda 

terbang milik Taktu menjebol dada 

sedangkan satunya lagi mengincar 

bagian di bawah perut.

Tiga serangan dahsyat yang 

dilakukan melalui pengendalian tenaga 

sakti ini memang bukan serangan 

sembarangan. Seorang tokoh silat 

tingkat tinggi sekalipun belum tentu 

dapat menyelamatkan diri dari serangan 

ganas mengerikan ini,

Begitu juga yang terjadi dengan 

Braga Swara. Dalam kagetnya dia cepat 

berkelit, melompat mundur sambil 

menggoyangkan kepalanya menghindari 

kemplangan toya dan sabetan golok. 

Sementara tangan kanan kiri dipukulkan 

ke arah dua roda terbang. Dua sinar 

maut berwarna biru membersit 

menghantam roda terbang milik Taktu. 

Melihat hal ini Taktu yang berdiri di 

atas bahu kedua adik seperguruannya 

gerakkan tangan yang dibentang lurus


ke arah senjata ke atas. Sehingga roda 

terbang melesat ke atas. Kedua sinar 

biru menghantam tempat kosong, 

sedangkan roda-roda terbang Taktu kini 

menukik ke bawah menghantam bahu dan 

dada Braga Swara.

"Jahanam keparat!" Laki-laki itu 

lontarkan makian keras. Dia jatuhkan 

diri selamatkan dadanya, tapi dengan 

cepat sekali roda yang satunya lagi 

menghantam bahunya.

Bress!

Terdengar suara pakaian robek 

disertai daging yang tersayat. Braga 

Swara meraung kesakitan. Darah 

menyembur, namun sambil bergulingan 

laki-laki itu masih sempat menghantam 

ketiga lawan yang mengendalikan 

senjata secara aneh dengan pukulan 

'Pasir Merah'.

Begitu tangan dikibaskan, maka di 

udara bertaburan ribuan cahaya merah 

laksana kunang-kunang yang ditiup 

topan. Hawa panas menghampar. Taktu, 

Takwa dan Takga yang tengah memusatkan 

hati dan pikiran dalam upaya mereka 

mengerakkan senjata mereka dari jarak 

yang jauh terkesiap kaget, namun 

terlambat untuk menyelamat diri. Tak 

ayal lagi ketiga saudara seperguruan 

ini berpelantingan terkena hantaman 

pukulan maut itu.

Jerit kesakitan keluar dari mulut 

mereka. Ketiga saudara seperguruan itu


sama merasakan tubuh mereka laksana 

ditancapi jarum yang membara. Dari 

sekujur tubuh mereka ada darah yang 

menetes. Tapi ternyata murid-murid 

Peri Tanpa Bayangan ini ternyata 

mempunyai daya tahan yang hebat. 

Terbukti walau dalam keadaan terluka 

mereka merayap bangkit.

Braga Swara sendiri begitu 

senjata lawan berkerontangan jatuh dan 

setelah melihat lawan-lawannya dalam 

keadaan terluka. Meskipun dirinya saat 

itu juga dalam keadaan terluka 

bermaksud menghabisi lawan.

"Kecelakaan besar bagi kalian. 

Terimalah ajalmu!" Braga Swara 

mengakhiri ucapannya sambil mengadu 

tangannya satu sama lain. Detik itu 

juga dari telapak tangan yang saling 

berbenturan itu mencuat lidah api yang 

menjulang tinggi bagaikan ular naga 

siap memangsa lawannya. Setelah sampai 

pada ketinggian tertentu, lidah api 

itu kemudian meliuk. Bagian ujungnya 

melebar seperti selendang. Setelah itu 

menukik ke bawah bergerak cepat 

menggulung ketiga lawannya.

"Celaka! Cari selamat masing-

masing!" teriak Takga. Dan murid Peri 

Tanpa Bayangan itu pun akhirnya 

menghambur, berlarian mencari 

perlindungan di balik pohon. Namun 

lidah api yang telah melebar ini 

secara aneh membelah menjadi tiga


bagian. Masing-masing bagian mengejar 

ke arah Taktu, Takwa dan Takga.

"Tobat! Tobat! Matilah aku." seru 

Takwa, begitu melihat lidah api yang 

mengejarnya kini membakar pohon yang 

dijadikan tempat perlindungan. Tak 

sampai di situ saja. Dengan 

terbakarnya pohon, secara aneh dari 

seluruh permukaan tanah bermunculan 

lidah api yang lain. Para pemuda itu 

tentu saja kalang kabut. Bagaimana pun 

mereka menjadi panik mendapat serangan 

yang datang dari atas dan dari tanah 

yang dipijaknya ini.

Selagi Braga Swara terbahak-bahak 

dengan serangan mautnya itu. Selagi 

Taktu, Takwa dan Takga yang mulai 

terbakar pakaiannya ini kalang kabut 

memadamkan api yang membakar. Maka 

pada saat itu pula terdengar satu 

seruan keras. "Berani mempermainkan 

murid-muridku. Maka ajalmu semakin 

menjadi sulit menyakitkan!" Seiring 

dengan bentakan itu pula satu sosok 

berpakaian putih melayang di udara. 

Orang yang datang itu hantamkan 

tangannya ke delapan arah. Secara aneh 

hawa dingin laksana es menderu 

memadamkan lidah api dan juga sumber 

api yang bermunculan dari dalam 

permukaan tanah. Melihat lidah api 

dapat dipadamkan oleh orang yang baru 

saja datang menyelamatkan lawan-

lawannya, kagetlah Braga Swara


dibuatnya. Dia lebih terkejut sekali 

begitu melihat siapa yang munculkan 

diri di tempat itu.

"Sari Lukita??" desisnya heran.

Dengan sikap acuh namun menyimpan 

dendam perempuan berkepala botak 

berpakaian serba putih itu memperha-

tikan ketiga muridnya. Ternyata mereka 

menderita luka bakar di bagian 

punggung dan juga kaki serta tangan. 

Melihat hal ini semakin bertambah 

marahlan Peri Tanpa Bayangan.

"Dengan ilmu Segoro Geni itu kau 

hendak menghabisi mereka? Bangsat 

durjana. Kejahatanmu selangit tembus, 

jangankan manusia setan sekalipun 

merinding melihat perbuatanmu!" hardik 

Sari Lukita alias Peri Tanpa Bayangan 

sangat gusar sekali. Terlintas dalam 

pikirannya akan perbuatan yang 

dilakukan Braga Swara di masa lalu. 

Bujuk rayunya yang memabukkan. Serta 

kekejiannya saat hendak membunuh Sari 

Lukita di saat perempuan itu 

mengatakan dirinya hamil. Semua ini 

membuat perempuan setengah baya 

tersebut jadi sangat marah.

"Kukira ajalmu sudah tidak akan 

lama lagi. Aku pasti akan membunuhmu. 

Akan kucincang tubuhmu sampai lumat!" 

teriak Peri Tanpa Bayangan kalap.

Tak jauh di belakang perempuan 

itu, murid-muridnya yang menderita 

luka bakar meskipun dalam keadaan


terluka nampaknya siap untuk membantu 

gurunya.

"Sari Lukita. Kau dengar, saat 

ini aku sedang terluka. Jika kau 

merasa punya kepentingan sebaiknya kau 

datang di lapangan pasir Tanah 

Kutukan. Maaf, aku harus pergi 

sekarang. Ha-ha... ha!" berkata begitu 

Braga Swara langsung putar tubuh dan 

berlari meninggalkan perempuan itu.

"Iblis durjana hendak lari ke 

mana kau!" seru Peri Tanpa Bayangan. 

Tidak memberi kesempatan lagi dia 

langsung menghantam dengan tangan 

kanan. Sinar putih menderu, hawa 

dingin menghampar. Namun Braga Swara 

tanpa menoleh lagi sambil terus 

berlari kibaskan tangannya pula ke 

belakang. 

Glaaar!

Dentuman keras menggelegar, Sari 

Lukita terjajar. Debu dan pasir 

bertaburan memenuhi udara hingga 

membuat pemandangan perempuan itu jadi 

terhalang. Ketika debu yang menutupi 

udara sirna, maka Braga Swara sudah 

tak berada lagi di tempat itu.

"Ke mana manusia durjana itu 

melarikan diri!" tanya si perempuan 

mencoba menindih amarahnya.

"Kami melihat dia menuju ke 

lapangan pasir itu guru!" jawab Takwa 

yang saat itu terduduk lesu sambil 

memapah Taktu. Walau hati wanita ini


sangat penasaran melihat musuh 

besarnya melarikan diri, namun 

mendengar rintihan murid-muridnya Peri 

Tanpa Bayangan jadi tidak tega 

meninggalkan mereka. Dia pun lalu 

menghampiri mereka. Kejut di hatinya 

bukan olah-olah ketika melihat 

kenyataan sesungguhnya. Takwa dan 

Takga menderita luka bakar yang sangat 

parah, walaupun memang bagian wajah 

mereka tidak cidera sedikitpun.

Peri Tanpa Bayangan berlutut di 

depan murid-muridnya. Dia mengeluarkan 

serbuk obat-obatan dari balik 

pakaiannya. "Taburkan serbuk ini ke 

bagian luka kalian. Dalam waktu yang 

tidak lama kukira luka itu pasti sudah 

mengering." kata Sari Lukita. Takwa 

dan Takga masing-masing satu bungkus 

serbuk. Mereka saling bergantian 

menaburkah ke bagian luka satu sama 

lain. Sementara orang tua itu sendiri 

menghampiri Taktu.

"Apa yang terjadi denganmu?" 

tanya Sari Lukita. Dia memperhatikan 

wajah muridnya. Ternyata wajah gadis 

itu tampak membiru. "Kau... kau 

terkena pukulan Tangan Pasir Merah. 

Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

"Kami mengerahkan jurus Maut Dari 

Alam Roh ketika Braga Swara melepaskan 

pukulan Tangan Pasir Merah. Waktu itu 

kami sebenarnya sudah berhasil 

melukainya. Tapi kiranya kami kurang


beruntung." kata Taktu. Dia juga 

kemudian menceritakan segala sesuatu 

yang hampir terjadi pada dirinya 

beberapa hari sebelum itu.

Mendengar penjelasan muridnya 

geraham si nenek bergemeletukan, 

pelipis bergerak-gerak. Sedangkan 

kedua tangan dikepalkan. Akan tetapi 

kepada muridnya dengan suara lembut 

dia berkata. "Aku menyesal telah 

melibatkan kalian semua. Tapi aku 

berjanji jika urusan gila ini telah 

selesai kalian boleh pergi ke mana 

saja kalian sukai. Yang terpenting di 

manapun kalian berada jangan melakukan 

sesuatu yang membuat aku marah!"

"Tapi rasanya aku suka tinggal 

bersama guru di Goa Cadas Angin." kata 

si gadis.

"Kalau aku lebih suka 

mengembara." menimpali Takwa.

"Aku ikut denganmu kakak Takwa." 

ujar Takga pula.

"Sudahlah, kau boleh ikut dengan 

siapa saja. Yang penting sembuhkan 

lukamu dulu. Setelah itu kita sama-

sama pergi ke tengah lapangan pasir 

bersama-sama." sergah Peri Tanpa 

Bayangan. Selanjutnya si nenek 

berpaling pada Taktu. "Kau menghadap

ke arah sana, aku akan menyembuhkan 

luka dalammu melalui pengerahan tenaga 

dalam. Mungkin tengah malam nanti kita 

baru bisa bergerak ke tengah lapangan


pasir!" ujar perempuan itu. Taktu 

membalikkan badan. Peri Tanpa Bayangan 

segera salurkan tenaga dalamnya ke 

punggung sang murid. Beberapa saat 

kemudian dari sekujur tubuh gadis itu 

tampak mengeluarkan asap tebal berbau 

kulit terbakar. Taktu mengerang, 

mengerang lagi sampai akhirnya tak 

sadarkan diri



SEBELAS



Di sebelah utara lapangan pasir 

dua sosok tubuh mendekam di balik 

kerimbunan semak belukar. Saat itu 

matahari baru saja tenggelam di upuk 

barat. Kegelapan menyelimuti alam 

sekitarnya. Di balik semak belukar di 

mana dua sosok itu berada suasana 

tempat ini terasa lebih gelap karena 

terlindung pohon-pohon berdaun lebat.

"Kau yakin di sini bangsatnya 

Braga Swara bersembunyi?" tanya sosok 

pendek setinggi pinggang orang dewasa 

yang mendekam di sebelah kakek kurus 

kering yang bahunya digelantungi pacul 

besar.

"Hal itu tak kuragukan. Sudah 

lebih tiga kali aku menyelidik. 

Hasilnya tidak perlu dirisaukan. Malam 

ini Braga Swara harus melunasi semua

hutang berikut bunganya terhadapku!"


kata si kakek kurus berkepala botak, 

beralis botak, berkumis dan berjanggut 

botak masing-masing di sebelah kiri.

"Menurutmu, tanah pasir ini tidak 

bisa kita pijak. Aku sendiri tak mau 

terkubur hidup-hidup. Lalu bagaimana 

kita bisa sampai ke tengah lapangan 

itu?" tanya sosok pendek bertingkah 

laku seperti bocah, namun memiliki 

wajah seperti seorang kakek renta 

ragu.

"Aku sudah memikirkannya. Dengan 

ilmu meringankan tubuh aku akan 

mempergunakan pacul ini untuk meluncur 

melewati lapangan pasir ini. Sedangkan 

kau bisa menggunakan papan kayu." 

berkata begitu si kakek kurus berwajah 

angker menarik papan kayu dari balik 

semak, membersihkan kotoran yang 

terdapat di papan kayu kemudian 

menyerahkannya pada sosok pendek 

berpakaian hitam yang tiada lain 

adalah Si Bocah Tua.

"Bagaimana cara menggunakannya?" 

tanya si bocah sambil mengamat-amati 

kayu papan di tangannya.

Si kakek yang bukan lain adalah 

Pemacul Iblis jadi kesal sekali. 

"Bocah tua menyebalkan. Kecil tidak 

mau mampus, sudah besar hanya bikin 

pusing orang lain." dengus Pemacul 

Iblis sinis. "Tentu kau bisa 

mempergunakan kedua kakimu. Papan ini 

kau pijak, ilmu meringankan tubuh kau


kerahkan sedangkan sebelah kakimu 

mendayung."

Si pendek berhidung besar 

bermulut mungil seperti bocah 

tersenyum.

"Ternyata otakmu cukup cerdik 

juga. Sekarang sebaiknya perjalanan 

menyenangkan ini mulai kita lakukan." 

kata Si Bocah Tua.

"Perjalanan menyenangkan?! 

Mungkin kau betul, salah sedikit bukan 

hanya badanmu, tapi juga kurasa 

nyawamu ikut amblas! Ho... ho... ho." 

sambil berkata Pemacul Iblis berdiri. 

Mereka kemudian berjalan mendekati 

lapangan pasir. Setelah sampai di 

pinggir lapangan pasir Pemacul Iblis 

turunkan pacul besarnya. Dia 

berpegangan pada gagang pacul, salah 

satu kaki diletakkan dia tas pacul 

sedangkan kakinya yang lain bebas 

untuk digerakkan. Hal yang sama juga 

dilakukan oleh Si Bocah Tua.

"Perjalanan dimulai...!" seru si 

kakek kurus.

"Aku mengikut di belakang. Eeh... 

tapi sebelum kasib aku ingin tahu kita 

berhentinya di mana?" tanya Si Bocah 

Tua.

"Di neraka. Tentu saja di atas 

altar itu tolol?!" dengus Pemacul 

Iblis. Bersamaan dengan ucapannya itu 

si kakek melesat ke tengah lapangan 

pasir dengan kecepatan laksana kilat.


Sesekali kaki mereka mendayung, 

setiap kaki menyentuh permukaan pasir 

maka di bawah permukaan tanah pasir 

itu terjadi gejolak tidak ubahnya 

seperti gelombang laut. Gejolak yang 

terjadi semakin nyata ketika Pemacul 

Iblis dan Si Bocah Tua hampir 

mendekati altar di mana ada satu sosok 

tubuh tergeletak diam di sana.

"Kurang ajar. Apakah kau tidak 

merasakan ada sesuatu bergerak 

mengikuti kita, sobat?" tanya Si Bocah 

Tua yang mulai merasakan papan kayunya 

yang dipergunakan untuk berpijak mulai 

oleng.

"Yang aku tahu kau mengikutiku. 

Jika kau merasa ada sesuatu yang 

mengikutimu mungkin saja setan." sahut 

Pemacul Iblis tanpa menoleh ke 

belakang.

Si Bocah Tua baru saja hendak 

membuka mulutnya kembali, ketika 

dengan tiba-tiba saja dia merasakan 

adanya satu gerakan hebat di bawah 

papan kayu yang dipergunakan untuk 

mengarungi lapangan pasir tersebut. 

Belum lagi hilang kejut di hati Si 

Bocah Tua mendadak dia merasakan 

papannya seperti dihantam satu kepala 

dari bawah. Si Bocah Tua terpelanting, 

jungkir balik di udara sambil 

menjerit. "Pemacul Iblis. Si keparat 

itu ada di bawah kita!"

Pemacul Iblis melengak kaget. Dia


yang sudah hampir mencapai sisi altar 

berpaling dan mendapati Si Bocah Tua 

alias Hidung Setan berjumpalitan 

melewati atas kepalanya selamatkan 

diri.

Bruk!

Si Bocah Tua jatuh dengan 

punggung di atas altar. Tanpa 

menghiraukan rasa sakit yang mendera 

punggungnya, si pendek berwajah kakek 

renta memandang ke arah di mana tadi 

papannya dihantam oleh sesuatu dari 

bawah permukaan pasir. Dengan bantuan 

cahaya bulan purnama sekelebatan dia 

melihat satu sosok kepala lonjong 

bermuiut runcing bermata seperti api. 

Sekejap saja kepala itu melenyapkan 

diri. Sementara itu Pemacul Iblis yang 

baru saja jejakkan kakinya di atas 

altar jadi terkesima melihat mata 

sahabatnya nampak mendelik besar 

seperti melihat setan.

"Mahluk itu. Dia hampir saja 

menelanku." desis Si Bocah Tua, cuping 

hidungnya kembang kempis dan 

penciumannya yang tanjam mencium bau 

amis menyengat dan busuknya bangkai.

"Hei, apa sebenarnya yang kau 

lihat?" seru Pemacul Iblis heran. Mata 

si kakek jelalatan memandang ke setiap 

sudut altar. Di sudut kiri altar 

matanya membentur satu sosok gadis 

dalam keadaan polos tanpa selembar 

benangpun. Tanpa menunggu jawaban Si


Bocah Tua, Pemacul Iblis segera 

memeriksa gadis itu. Gadis berambut 

panjang ini ditemukan si kakek dengan 

leher menganga seperti bekas tusukan 

pedang. Bila melihat ke arah bagian 

tubuhnya yang lain. Pastilah si gadis 

malang telah dinodai sebelum akhirnya 

dibunuh secara keji.

Si kakek bergidik ngeri. Dengan 

perasaan diselimuti ketegangan orang 

tua itu sambar pakaian yang teronggok 

dekat si mayat. Dengan mempergunakan 

pakaian seadanya dia tutupi bagian 

aurat mayat.

"Satu korban telah jatuh. Entah 

siapa korban berikutnya?" desis 

Pemacul Iblis sambil kitarkan pandang 

ke segenap penjuru lapangan dengan 

sikap waspada.

"Mungkin kita tak akan selamat 

apalagi keluar dari tempat ini dalam 

keadaan hidup-hidup. Aku telah 

melihatnya, aku bahkan mencium 

kehadirannya di sekitar kita!" desah 

Si Bocah Tua tegang.

"Ada apa sebenarnya? Kau seperti 

orang mengingau. Mahluk apa yang kau 

lihat?!" hardik Pemacul Iblis merasa 

tidak tenang.

"Hantu Singa Lodraya." dalam 

takutnyaSi Bocah Tua menggumamkan satu 

nama.

"Maksudmu mahluk ular berkepala 

singa itu? Apakah mahluk iblis itu


benar-benar ada?" tanya Pemacul Iblis 

heran

"Apa yang kukatakan tidak keliru. 

Dulu Braga Swara pernah sesumbar 

bersahabat dengan mahluk terkutuk dari 

neraka itu. Mahluk ganas yang konon 

tidak dapat dijinakkan. Nyatanya Braga 

Swara tidak bohong. Dia tinggal di 

Tanah Kutukan ini, berarti Hantu Singa 

Lodraya telah menjadi sahabatnya."

"Bocah Tua, mengapa sekarang kau 

berubah jadi sepengecut itu? Apakah 

kau tidak ingat lagi bagaimana Sari 

Lukita istrimu dilarikannya? Jika kau 

bicara tentang segala hantu keparat, 

sebaiknya kau ceburkan dirimu ke dalam 

pasir itu. Buat apa kau hidup jika tak 

punya kehormatan dan harga diri?" 

hardik Pemacul Iblis yang merasa 

sangat tidak senang mendengar ucapan 

kawannya yang terlalu menganggap 

tinggi kehebatan ilmu lawannya.

"Lalu apa yang akan kita lakukan. 

Selain mayat gadis itu, keparat Braga 

Swara tidak ada di sini. Ke mana kita 

harus mencari?" tanya Si Bocah Tua 

bingung.

"Kau pernah mendengar tentang 

ilmu Cikalang Tanah?" tanpa 

menghiraukan pertanyaan sang teman, Si 

Bocah Tua ajukan pertanyaan pula.

"Apa maksudmu?"

"Ho... ho... ho. Bukan tubuhmu 

saja yang pendek, ternyata otakmu juga


rupanya setolol kerbau. Kudengar Braga 

Swara mengamalkan ilmu sesat itu. 

Siapapun yang berhasil menguasai ilmu 

tersebut dia bisa hidup di mana saja. 

Dia juga bahkan dapat mendekam di 

dalam tanah sampai seratus hari." 

jelas si kakek.

"Tapi untuk mengamalkannya tidak 

mudah. Kudengar hampir setiap bulan 

sabit muncul di langit dia harus 

melakukan korban persembahan dengan 

meminum darah gadis yang masih 

perawan! Jika betul mengapa aku tidak 

melihat mayat mereka?" tanya Bocah 

Tua.

Kembali Pemacul Iblis tertawa 

tergelak-gelak. Dia menunjuk ke arah 

lapangan pasir. "Andai kau kulemparkan 

ke atas pasir itu apakah kau tidak 

tenggelam? Kurasa mayat bekas korban 

persembahan dibuang ke lapangan pasir 

ini. Sudahlah... jangan ajukan 

pertanyaan tolol lagi padaku. Aku akan 

menunggu, jika Braga Swara tidak 

muncul akan kupacul seluruh lapangan 

pasir tanpa aku perdulikan seberapa 

dalamnya!"

Si Bocah Tua bangkit berdiri. 

Walau perasaannya jadi gelisah, namun 

kini tidak ada lagi rasa takut 

menyelimuti hatinya. Apalagi mengingat 

di dalam mulutnya, di samping geraham 

kanan dan sebelah kiri tersimpan Tiga 

Permata Langit


"Braga Swara manusia laknat, 

laki-laki durjana!" tiba-tiba 

terdengar teriakan keras dari mulut si 

kakek. "Aku Pemacul Iblis dan 

sahabatku Hidung Setan datang 

menyambangi ingin minta pertanggun-

jawabmu. Aku tahu kau berada di 

sekitar lapangan ini, diam mendekam di 

satu tempat di bawah tanah. Jika kau 

bukan seorang pengecut, cepat datang 

ke hadapan kami dan akui semua dosa 

kejahatanmu, setelah itu baru membunuh 

diri!"

Sepi! Suara teriakan Pemacul 

Iblis lenyap begitu saja. Kemudian 

angin menderu-deru, permukaan pasir 

bergelombang bagaikan alunan air di 

tengah lautan.

Di tepi lapangan pasir sebelah 

timur si gondrong bertelanjang dada 

yang baru saja keluar dari balik 

rumpun kayu putih julurkan kepala dan 

memandang lurus ke tengah lapangan.

"Orang gila mana lagi yang baru 

saja berteriak." katanya perlahan. 

Rupanya dia sempat mendengar suara 

teriakan Pemacul Iblis yang sangat 

keras bagaikan geluduk karena kakek 

itu menyertakah tenaga dalam ketika 

berteriak tadi. Si gendut besar luar 

biasa kibaskan lembaran daun waru yang 

sudah disatukannya menjadi tiga lapis, 

Sekejap dia mengangkat daun waru itu, 

kepala didongakkan sedangkan matanya


mulai memeriksa. Melalui cahaya bulan 

dia dapat melihat daun waru itu tidak 

ada yang berlubang sedikitpun.

Selanjutnya sambil tersenyum dia 

melangkah mendekati muridnya. 

"Gege... daun waru milikku tidak 

ada yang berlubang. Sekarang sudah 

malam, sebaiknya kita mulai menye-

berangi lapangan pasir ini."

"Tidakkah guru mendengar ada 

orang yang baru saja berteriak tadi. 

Dia memanggil Braga Swara." ujar 

Gento.

"Itu adalah nama iblis jahat. 

Nama yang sama juga pernah disebutkan 

oleh nenek botak. Lalu buat apa kau 

pikirkan segala macam suara yang aku 

dengar? Di tempat seperti ini seribu 

macam suara bisa saja terjadi. 

Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-

bukan. Sekarang sudah saatnya bagi 

kita untuk melakukan sesuatu."

"Guru... tidakkah kau merasa 

telah mencampuri urusan orang lain? 

Bagaimana jika kita berada di pihak 

yang salah?"

"Salah bagaimana. Orang berpa-

kaian merah itu kejahatannya sudah 

sering kudengar. Orang persilatan 

menjulukinya dengan Iblis Pemetik 

Bunga. Sekarang tidak ada waktu bagi 

kita. Aku sendiri tidak mau melewatkan 

tontonan yang menarik ini." ujar 

Gentong Ketawa.


entong Ketawa tanpa menunggu 

muridnya lagi langsung meletakkan 

lembaran daun waru di atas pasir. 

Begitu sebelah kakinya diletakkan di 

atas daun waru. Maka kaki kirinya 

lakukan gerakan seperti mengayuh di 

atas permukaan pasir. Sungguh hebat 

mengagumkan. Tubuh si kakek melesat 

kencang di atas permukaan pasir. 

Padahal berat badan orang tua ini 

lebih dari dua ratus kati. Tapi aneh, 

kaki yang cuma berpijak pada daun waru 

ini sama sekali tidak amblas ke dalam 

tanah.

Di tepi lapangan pasir muridnya 

si Gento Guyon masih berdiri tegak di 

situ sambil memandangi gurunya. Ada 

sesuatu yang mengganjal dalam 

pikirannya. Dia merasa yakin di dalam 

tanah pasti ada mahluk yang mendekam 

di sana. Entah mahluk apa, yang jelas 

sangat berbahaya.

Seperti yang dilakukan oleh 

gurunya, Gento juga meletakkan daun 

waru di atas pasir. Setelah itu kaki 

kiri diletakkan di atas daun waru. 

Dengan kaki kanan digenjotkan di atas 

permukaan pasir kejap kemudian 

tubuhnya juga sudah ikut meluncur 

sebagaimana yang terjadi pada gurunya.




DUA BELAS



Pemacul Iblis sebenarnya sudah 

tidak sabar lagi menunggu jawaban yang 

diinginkannya. Sedangkan Si Bocah Tua 

nampak berjalan mondar-mandir di atas 

altar dengan mata hampir tidak pernah 

berhenti mengawasi setiap sudut yang 

dianggapnya sangat mencurigakan.

Baru saja mulut Pemacul Iblis 

hendak membuka kembali, pada saat itu 

terjadi gejolak hebat di bagian 

belakang altar.

"Pemacul Iblis, lihat!" Si Bocah 

Tua keluarkan seruan keras. Dengan 

cepat sekali si kakek tua balikkan 

badan, lalu memandang ke arah yang 

ditunjuk oleh Si Bocah Tua.

"Inilah jahanamnya yang kutunggu. 

Sudah tak sabar rasanya aku memacul 

remuk batok kepalanya!" gumam si kakek 

geram.

Gejolak yang terjadi di permukaan 

pasir terhenti. Di bagian lapangan 

lainnya terjadi pula gejolak yang 

lain. Sementara dari tempat terjadinya 

gejolak yang pertama terdengar satu 

suara yang amat keras menggeledek. 

"Kalian menungguku! Ha... ha... 

ha! Bekal apa yang kalian bawa ke 

mari?"

"Aku membekal dendam kesumat juga


sebuah pacul besar untuk menghancurkan 

isi kepalamu!" sahut Pemacul Iblis 

lantang.

"Terima kasih. Kau baik amat. 

Kematianmu akan kubuat semudah 

mungkin. Lalu kalau boleh aku bertanya 

apa yang membuatmu sangat menginginkan 

diriku?" tanya suara dari balik tanah 

pasir disertai tawa bergelak.

"Kau ingat gadis yang bernama 

Minawati? Untuk membuka jalan 

pikiranmu perlu kutegaskan. Dia 

mempunyai tahi lalat di kening. Kau 

menculiknya dari tempat tinggal orang 

tua gadis itu. Keluarganya kau bunuh 

semua, sedangkan gadis itu kau 

perkosa. Kemudian mayatnya kau gantung 

di atas kandang kambing."

"Minawati, sorga kenikmatan yang 

tak kan pernah kulupakan seumur hidup. 

Dia membuatku puas. Sayang aku cuma 

berkenan memperistrinya satu malam 

saja. Kau sendiri apanya?" tanya suara 

itu lagi.

Dengan wajah memerah pipi 

menggembung dan rahang bergemeletukan, 

sambil menahan amarah Pemacul Iblis 

menjawab. "Aku kekasihnya, dia calon 

istriku!"

"Ha... ha... ha. Hanya calon, kau 

hanya dapat menikmati malam pertama 

dalam mimpi, kau tidur berpelukan 

dengan angin. Minawati jadi arwah 

pengantin penasaran sedangkan kau


sendiri sampai ubanan dan rambut 

rontok sebelah tetap dalam kesen-

dirian. Kasihan...!"

Mendengar jawaban yang bernada 

sangat meremehkan itu hilanglah sudah 

kesabaran di hati si kakek. Dia 

melompat mendekati bibir altar sambil 

menghantam ke arah datangnya suara 

dengan pukulan Petir Neraka. Sinar 

merah kehitaman berkiblat, hawa panas 

disertai angin ribut menghampar. Sinar 

merah itu kemudian menghantam tanah 

pasir di mana sumber suara suara 

berasal. Dentuman keras menggelegar, 

pasir yang merah menyala akibat 

terkena pukulan muncrat di udara. Asap 

hitam mengepul, bergulung-gulung di 

udara dan lenyap.

"Tobat. Kau hendak menenggelamkan 

altar ini!" bisik Si Bocah Tua yang 

sempat jatuh terduduk akibat guncangan 

keras yang terjadi.

Sejenak lamanya Pemacul Iblis 

menunggu. Tanah pasir bergolak seakan 

ada sesuatu di bawahnya yang berpindah 

tempat. Kemudian terdengar suara tawa. 

"Bukan diriku yang kau hantam, 

bagaimana aku bisa mati!" seru suara 

itu.

Pemacul Iblis melengak kaget, 

begitu juga halnya dengan Si Bocah 

Tua.

"Tidak usah gusar Pemacul Iblis. 

Sekarang aku ingin ajukan pertanyaan


pada Si Bocah Tua."

"Jahanam keparat. Aku muak 

mendengar suaramu, mengapa tidak kau 

perlihatkan diri secepatnya!" hardik 

Si Bocah Tua sewot.

"Itu adalah urusan nanti. Kau 

dengar dulu. Apa tuntutanmu hingga kau 

datang ke mari?"

"Hem, kau tentu tak akan lupa 

dengan perempuan bernama Sari Lukita. 

Dia istriku. Kau menggodanya. Apakah 

kau sudah mengingatnya?!" hardik Si 

Bocah Tua berang.

"Hemm, perempuan itu memang cukup 

mengesankan. Keinginannya selalu 

menggebu, cintanya panas bergelora. 

Sayang dia perempuan lemah iman, 

hingga mudah masuk dalam perangkap 

bujuk rayu. Tapi itu salahmu sendiri. 

Kau seorang laki-laki, tentu kau tahu 

apa yang diinginkan wanita sebagai 

istrimu. Sayang... kau tak dapat 

memenuhinya. Padahal perempuan bukan 

bantal guling yang cukup kau peluk dan 

kau belai-belai. Ha... ha... ha...!"

Merasa ditelanjangi karena 

kelemahannya dibuka oleh Braga Swara 

maka Si Bocah Tua jadi kalang kabut. 

Dia juga bermaksud menghajar Braga 

Swara. Tapi apanya yang hendak 

dihajar, sedangkan batang hidung laki-

laki durjana itu sendiri tak 

kelihatan.

Akhirnya dia hanya mampu kepalkan


tinjunya, sedangkan matanya mencorong 

marah.

"Jadi, kalian datang karena 

wanita. Sungguh memalukan, padahal aku 

sendiri kalau mau mampu mencari 

sepuluh gadis cantik dalam sekedipan 

mata. Huh... kukira kau dan temanmu 

kakek kurus itu membawa kabar penting 

apa. Namun aku bukanlah orang yang 

tidak menghormati tamu. Setiap tamu 

yang datang pasti akan kusambut dengan 

segala keramahan. Lihat ke mari, 

junjunganmu berkenan memperlihatkan 

diri!" Baru saja suara orang itu 

lenyap. Tanah pasir di mana suara 

berasal berputar hebat membentuk 

pusaran yang semakin dalam makin 

melebar. Dari lubang pusaran pasir 

yang tersibak melesat satu sosok 

tubuh, berputar di udara, 

berjumpalitan dengan gerakan yang 

indah mengagumkan. Selanjutnya melesat 

ke arah altar sambil lembaikan tangan 

kirinya ke arah Pemacul Iblis dan Si 

Bocah Tua tidak ubahnya seperti orang 

yang melambaikan tangan pada sahabat 

yang sudah lama bertemu.

Serangkum sinar merah menderu. 

Pemacul Iblis memaki, dia tekuk kaki 

kanan ke depan, sedangkan tangannya 

dilambaikan pula ke arah si baju 

merah. Si Bocah Tua juga tak tinggal 

diam, sambil melompat ke atas hindari 

serangan dia juga menghantam lawan


dengan pukulan Mendung Berputar Di 

Atas Menara. Selarik sinar hitam 

membersit dari telapak tangan Si Bocah 

Tua, sedangkan dari tangan Pemacul 

Iblis yang telah melepaskan pukulan 

Petir Neraka melesat pula sinar merah 

kehitaman disertai mengepulnya asap 

hitam seperti awan berarak.

Tak terelakkan lagi masing-masing 

pukulan itu saling berbenturan di 

udara. Membuat Braga Swara tersentak 

ke belakang dengan dada sesak dan 

perut berdenyut sakit. Tapi dia masih 

dapat melakukan gerakan berjumpalitan 

di udara dan jejakkan kakinya pula di 

sudut kiri altar. Pemacul Iblis jatuh 

terduduk. Sedangkan Si Bocah Tua 

nampak terkapar di lantai altar. 

Nafasnya kembang kempis, menguik 

seperti penderita sesak nafas, 

menggeliat dan melompat bangkit dengan 

wajah sepucat kapas. Cepat dia atur 

jalan darahnya. Masih beruntung Tiga 

Permata Langit yang tersimpan dalam 

mulutnya tak sampai tertelan. Jika 

tidak, alamat sendiri bakal celaka.

Dengan sigap Pemacul Iblis begitu 

bangkit langsung melompat mendekati Si 

Bocah Tua. Di depan mereka Braga Swara 

menyeringai.

"Kalian tidak tahu aku berada di 

rumah sendiri. Walaupun kalian berdua 

aku sendiri, belum tentu kalian bisa 

lolos dari tempat ini dalam keadaan


hidup. Apalagi jika aku menyuruh empat 

sahabatku menyerang kalian. Jangankan 

tulang, kentut kalian pun tak akan 

tersisa!" dengus Braga Swara sinis.

"Manusia sombong. Apa kau 

menyangka bakal lolos dari tangan 

kami!" hardik Pemacul Iblis. Dia yang 

sudah menyalurkan tenaga dalamnya ke 

bagian tangan, sekonyong-konyong 

melompat ke depan. Tangan kiri 

menyambar bagian wajah sedangkan 

tangan kanan menderu menjotos dada 

Braga Swara.

"Aku inginkan barangnya!" teriak 

Si Bocah Tua. Dengan sangat cepat luar 

biasa, bocah berwajah kakek tua ini 

bergulingan di lantai altar. Tubuhnya 

terus menggelundung, kaki ditendangkan 

ke bagian pinggang sedangkan kedua 

tangan melesat terjulur dengan gerakan 

meremas.

Dua serangan tokoh sakti yang 

sama-sama dilamun dendam kesumat ini 

jelas bukan serangan biasa. Setangguh 

apapun lawannya paling tidak dia tidak 

bakal sanggup menghindar dari salah 

satu serangan ganas ini. Tapi di 

sinilah Braga Swara yang belum sembuh 

dari luka di bahu kirinya akibat 

terkena sambaran roda terbang Taktu 

membuktikan kehebatanya. Sambil 

melompat ke samping, tangannya diki-

baskan dari atas ke bawah menangkis 

serangan Pemacul Iblis. Sedangkan


kakinya menyapu kedua tangan Si Bocah 

Tua yang mencengkeram bagian bawah 

perutnya.

Plask! Plak!

Des!

Tiga pasang tangan saling beradu 

keras. Dua serangan lawan dibuat 

mentah terkecuali tendangan Si Bocah 

Tua memang tak dapat dia hindari. 

Braga Swara terhuyung, langkahnya 

termiring-miring. Pinggang serasa 

remuk, namun dia tak menghiraukannya. 

Pemacul Iblis tampak tergetar. 

Sedangkan Si Bocah Tua kini sudah 

bangkit berdiri, menerjang ke depan 

dengan satu lompatan tinggi, sedangkan 

tangannya membabat ke arah leher. 

Angin bersiuran menyertai berkele-

batnya tangan Si Bocah. Tapi pada saat 

itu pula, Braga Swara sambil 

menggereng sudah pula melompat. Begitu 

tubuhnya mengambang di udara, dia 

menghantam Si Bocah Tua dengan satu 

pukulan jarak pendek yang ganas.

Hawa panas menyengat, sinar merah 

berkiblat. Si Bocah Tua terkejut. 

Tangannya yang semula membabat leher, 

kini terpaksa ditarik dan didorongkan 

ke depan. Tapi gerakannya kalah cepat, 

karena pada saat itu pukulan yang

dilepaskan Braga Swara telah 

menghantam dadanya.

Tidak ayal lagi tubuh Si Bocah 

Tua mencelat sejauh dua tombak dan


terhempas di lapangan pasir. Sekejap 

saja dalam keadaan terluka dalam dan 

semburkan darah dari mulutnya sosok Si 

Bocah Tua nampak mulai tenggelam 

tersedot ke dalam pasir itu. Melihat 

hal ini, Pemacul Iblis yang semula 

sudah akan mempergunakan pacul mautnya 

untuk menggempur lawan terpaksa 

batalkan niat. Cepat sekali dia 

melompat ke lapangan pasir untuk 

menyelamatkan kawannya. Dengan kaki 

bertumpu pada pacul, tangannya yang 

lain menyambar Si Bocah Tua. Laksana 

kilat dia mencoba melontarkan kawannya 

ke atas altar. Tapi tiba-tiba Si Bocah 

Tua menjerit. Dari bagian bawah pasir 

kakinya seperti ada yang menarik.

"Jahanam keparat. Mahluk celaka 

itu!" seru Pemacul Iblis. Tarik 

menarik terjadi, Si Bocah Tua ayunkan 

kakinya. Pada saat itulah di bagian 

bawah pasir terjadi satu gerakan 

hebat. Kemudian di sekeliling Pemacul 

Iblis bermunculan tiga kepala aneh 

berbentuk kepala singa namun leher dan 

badan seperti ular berwarna hitam.

"Kalian tidak bakal Solos dari 

mahluk-mahluk iblis itu! Dari sini aku 

akan memendam kalian! Ha... ha... ha." 

kata Braga Swara disertai tawa 

tergelak-gelak. Braga Swara angkat 

kedua tangannya yang telah berubah 

merah laksana bara itu. Dalam keadaan 

begitu rupa di mana Pemacul Iblis


sedang berusaha keras menyelamatkan 

kawannya di samping juga menghadapi 

serangan empat mahluk pemakan bangkai 

yang dikenal dengan nama Hantu Singa 

Lodraya tidak mungkin baginya 

menghindari pukulan Braga Swara. Akan 

tetapi pada saat itu satu sosok tinggi 

besar luar biasa nampak berkelebat ke 

arah altar. Bersamaan dengan 

melesatnya sosok besar itu melesat 

pula sinar putih disertai dengan 

terdengarnya suara bergemuruh. Braga 

Swara yang baru saja hendak 

mendorongkan kedua tangannya ke arah 

Pemacul Iblis dan Bocah Tua terkejut. 

Dia cepat berbalik dan menangkis. 

Sayang gerakannya kalah cepat.

Di lain kejap tahu-tahu dia 

merasakan tubuhnya seperti ditindih 

batu es, mencelat dan terhempas di 

bawah altar. Sekejap saja laki-laki 

itu lenyap tenggelam ke dalam pasir.

Di atas altar sosok besar gendut 

yang baru jejakkan kaki tertawa 

terkekeh-kekeh.

Pada saat yang bersamaan di mana 

Pemacul iblis sedang menarik Si Bocah 

Tua dan tengah menghadapi keroyokan 

empat mahluk berkepala singa dan 

berbadan ular. Berkelebat pula satu 

bayangan lain yang langsung menghajar 

ketiga mahluk aneh itu dari belakang 

dengan satu pukulan beruntun. Tujuh 

larik sinar pelangi menderu, disertai


dengan menebarnya hawa panas dan 

dingin silih berganti. Tiga kepala 

mahluk aneh seakan terdorong ke depan. 

Namun dengan cepat sekali ketiga 

kepala itu lenyapkan diri sebelum 

tujuh larik sinar pelangi menghantam 

mereka. Dengan begitu pukulan mengenai 

tempat kosong melewati kepala Pemacul 

Iblis. Terjadi dentuman tiga kali 

berturut-turut.

"Tobaat biyung. Tobaaat...!" seru 

Pemacul Iblis. Namun getaran hebat 

yang terjadi membuatnya dapat menarik 

Si Bocah Tua. Dia melontarkan Si Bocah 

Tua ke atas altar. Tanpa menghiraukan 

sengatan panas akibat pukulan 

penolongnya, dia gerakkan paculnya 

yang nyaris tenggelam. Wuuut! Dan 

Pemacul Iblis melesat ke atas altar. 

Di belakangnya menyusul pula sosok 

pemuda berambut gondrong berbadan 

tegak bertelanjang dada.

"Terima kasih... terima kasih kau 

telah menyelamatkan kami!" berkata 

kakek tua itu.

Si gondrong yang bukan lain 

adalah Gento Guyon menyengir. Dia 

nyaris tak mampu menahan tawa. Bukan 

karena ucapan Pemacul Iblis, melainkan 

karena melihat bagian kepala, alis 

kumis dan jenggot si kakek yang serba 

botak di sebelah kiri.

Ketika kakek kurus ini berpaling 

ke samping kirinya dia jadi kaget saat


melihat seorang kakek tua berbadan 

besar bukan main berdiri tegak tanpa 

melepas senyumnya.

"Kalian ini siapa sebenarnya?" 

tanpa Pemacul Iblis heran.

"Kami orang kesasar yang ingin 

melihat bocah-bocah nakal bermain di 

Tanah Kutukan ini." menyahuti si kakek 

Gentong Ketawa.

"Arkh... ya Tuhan kakiku...!" 

satu suara berseru kesakitan. Serentak 

mereka menoleh. Maka pucatlah wajah 

Pemacul Iblis. Dia melihat kedua kaki 

Si Bocah Tua telah buntung hingga 

sebatas betis.

Pemacul Iblis melompat 

mendatangi. "Mahluk celaka itu 

menggigit putus kedua kakimu?" desis 

si kakek sambil kepalkan tinjunya. 

Tiba-tiba dia berseru. "Tiga Permata 

Langit lekas kau keluarkan!"

"Aku tahu ajalku tak akan lama. 

Gigitan mahluk keparat itu sungguh 

sangat beracun!! Hoeek...!" Sambil 

berkata Si Bocah Tua muntahkan 

sesuatu. Tiga buah benda sebesar ibu 

jari memancarkan sinar biru berkilauan 

tersembur dari mulutnya. Tanpa merasa 

jijik Pemacul Iblis pungut ketiga 

benda itu. Dia langsung memasukkan ke 

dalam mulut, menyimpannya di bawah 

lidah. Sejenak dia merasakan hawa 

sejuk yang luar biasa. Namun si kakek 

kurang menghiraukan semua itu. Karena


pada saat yang sama Si Bocah Tua sudah 

terkulai dengan sekujur tubuh 

menghitam dan mata tertutup rapat.

"Sahabatku... ah... jangan mati 

dulu.... Sahabatku...!" Pemacul Iblis 

menggerung bagaikan orang gila sambil 

mengguncang tubuh Si Bocah yang diam 

tak bergerak lagi.

"Mahluk itu sungguh sangat 

berbahaya." desis Gentong Ketawa. Mata 

si kakek tampak jelalatan memandang 

kian ke mari. Di atas pasir tidak 

terlihat gejolak apapun.

"Ke mana bangsat berpakaian merah 

tadi?" tanya Gento Guyon yang turut 

merasa sedih melihat kematian Si Bocah 

Tua.

"Aku di sini. Bersama empat 

kawanku yang siap membunuh kalian!" 

satu suara menyahuti. Hanya sekejapan 

mata sebelum kejut di hati Gento 

lenyap. Tiba-tiba di empat tempat 

tanah tersibak, pasir berhamburan di 

udara. Empat kepala berupa kepala 

singa dan berbadan ular hitam besar 

munculkan diri. Begitu muncul mereka 

mengeluarkan lengkingan aneh. Serentak 

dengan itu pula mahluk aneh ini 

langsung mengepung altar dari empat 

sudut.

"Bunuh...!" Satu suara berseru 

keras. Dari dalam pasir sosok Braga 

Swara munculkan diri. Melesat ke 

udara, berjumpalitan demikian rupa dan


begitu jejakkan diri di atas altar dia 

langsung menyerang Gento Guyon dan 

gurunya. Melihat serangan ganas yang 

dilakukan lawan Gentong Ketawa tertawa 

mengekeh.

"Ternyata dia bukan hanya besar 

nafsu memperkosa gadis, tapi juga 

besar kemauannya Gege!" kata si kakek 

sambil menyambut tendangan aneh yang 

dilepaskan Braga Swara.

Tubuh besar si kakek meliuk, 

tendangan luput. Tapi kini tangan kiri 

Braga Swara menghantam ke arah Gento 

Guyon.

Sinar merah biru melesat dari 

tangan laki-laki itu. Gento melompat 

ke udara. Di udara tubuhnya berputar, 

kepala mendongak ke langit, sedangkan 

tangan dijulurkan. Dua larik sinar 

membersit dari ujung jari telunjuknya. 

Sinar itu mengejar ke arah Braga 

Swara. Lawan kaget karena serangan 

lawan mampu menembus pertahanan bahkan 

memupus pukulan yang dilepaskannya. 

Jdddddt!

Sinar biru terus memburu. Braga 

Swara jatuhkan diri, berguling-guling 

di atas altar. Tapi ke manapun dia 

pergi sinar itu tetap memburunya. 

Gento Guyon tertawa mengekeh. Braga 

Swara tak punya pilihan lain. Dia 

kembali menghantam dengan pukulan 

Gempa Bumi. Dari tangan kiri yang 

dikibaskannya dalam keadaan melentang


menderu suara aneh disertai goncangan 

hebat di bagian altar. Dua kekuatan 

sakti saling bertemu.

Bledum!

Ledakan berdentum bukan saja 

membuat altar seperti diangkat dan 

dibanting. Tapi juga membuat pasir 

bermuncratan di udara, hingga peman-

dangan di sekeliling altar menjadi 

gelap. Dua mayat di atas altar 

bergoyang-goyang. Gentong Ketawa jatuh 

duduk berlutut. Sedangkan Gento rebah 

menelentang dengan nafas kembang 

kempis. Braga Swara masih dapat 

berdiri tegak meskipun sudut bibirnya 

mengucurkan darah.

"Kau mempergunakan pukulan apa 

tadi? Perasaan aku tak pernah 

menurunkan ilmu seaneh itu!" tanya si 

kakek dalam kejutnya.

Gento tersenyum. "Itu tadi 

pukulan Gajah Menendang Kelinci. Ha... 

ha... ha." Dalam hati si pemuda 

berkata. "Guru gendeng, dalam keadaan 

begini masih juga dia mempersoalkan 

segala ilmu."

Sementara itu Braga Swara sendiri 

sesungguhnya terkejut besar, tak 

menyangka lawan yang masih semuda itu 

tenaga dalam dan pukulan saktinya 

sungguh hebat luar biasa.



TIGA BELAS



Di sudut lain masih di tempat 

yang sama Pemacul Iblis nampaknya 

sedang mengumbar kemarahan. Dia yang 

merasa kehilangan sahabat akibat 

keganasan Hantu Singa Lodraya. Kini 

melampiaskan dendam kesumat dan 

kemarahannya pada empat mahluk ganas 

yang menyerang dari bibir altar. Pacul 

besar di tangan kanannya menderu, 

berkelebat menyambar, membabat atau 

mengepruk kepala empat mahluk aneh 

pemakan bangkai ini. Di samping itu 

dengan tangan kiri hampir tak pernah 

berhenti dia melepaskan pukulan Petir 

Neraka dan Halilintar Iblis silih 

berganti. Setiap kedua pukulan itu 

menyambar kepala maupun leher mahluk 

berkepala singa berbadan ular hitam 

besar. Secara cepat mahluk ini 

lenyapkan kepalanya di balik pasir, 

untuk kemudian muncul kembali dan 

lakukan serangan balasan.

"Setan kampret. Mereka sengaja 

mengecohku!" desis si kakek menjadi 

geram. Kini Pemacul Iblis tidak lagi 

mengumbar dua pukulan ganasnya 

melainkan cuma memutar pacul di 

tangan. Angin menderu-deru, sinar 

hitam berkelebatan. Empat mahluk 

semakin mendekat dan membuka mulutnya 

lebar-lebar. Pacul digerakkan ke arah


mahluk yang hendak menelannya. Mata 

pacul menghantam moncong mahluk itu. 

Tapi benturan yang keras hanya membuat 

mahluk itu bergoyang tersentak ke 

belakang. Tiga kepala lainnya dengan 

mulut terbuka berserabutan menyerang 

Pemacul Iblis. Tidak punya pilihan 

lain, kakek itu terpaksa semburkan 

salah satu Permata Langit dari 

mulutnya.

"Puuuh!"

Plopp!

Byaaar!

Benda biru berkilauan melesat di 

udara. Setelah bergesekan dengan udara 

benda itu menyala terang, membesar dan 

menghantam salah satu kepala Hantu 

Singa Lodraya. Mahluk yang menjadi 

sasaran mencoba berkelit. Tapi sebelum 

kepalanya lenyap, bagian kepala itu 

meledak menyemburkan darah berwarna 

hitam. Tiga kawannya nampak menjadi 

jerih, namun hanya sekejap. Karena 

beberapa saat kemudian mereka telah 

menyerang kembaii dengan kecepatan 

berlipat ganda.

Karena mahluk-mahluk itu menjadi 

marah melihat kematian kawannya. Maka 

kini mereka semakin bertambah ganas 

dan beringas sekali. Pemacul Iblis 

jadi terdesak hebat, tak mampu 

membalas serangan lawan terkecuali 

hanya menghindar dan berkelit. Tapi 

pada saat kakek tua ini terdesak


hebat. Pada saat itulah di udara

tampak ada empat sosok melayang 

bagaikan datang dari langit. Empat 

sosok yang melesat dengan cepat ke 

arah altar itu kemudian sama hantamkan 

kedua tangannya ke arah mahluk-mahluk 

yang mengeroyok Pemacul Iblis.

Sinar putih, merah dan biru 

menukik tajam ke bagian kepala ketiga 

mahluk berkepala singa. Yang menjadi 

sasaran keluarkan suara auman dan 

desis panjang. Serentak mereka buka 

mulutnya lebar-lebar. Tiga sinar maut 

tersedot amblas ke dalam mulut tiga 

Hantu Singa Lodraya.

Keempat sosok berpakai putih 

berseru kaget. Tiga di antaranya 

bahkan ikut tersedot dan meluncur ke 

mulut ketiga mahluk ganas itu. Yang 

satunya dengan gerakan cepat segera 

melakukan langkah penyelamatan dengan 

mendorong ketiga muridnya agar jangan 

masuk ke mulut mahluk itu.

Bresss!

Dua pemuda berkepala botak jatuh 

terhempas di atas pasir, begitu juga 

dengan gadis yang satunya lagi.

"Selamatkan diri kalian!" teriak 

perempuan tua berkepala botak yang 

bukan lain adalah Peri Tanpa Bayangan. 

Taktu, Takwa dan Takga mencoba berlari 

ke arah altar yang luas. Tapi tiga 

mahluk tadi kini telah menghadangnya. 

Cepat sekali masih tetap sambil


berlari mereka serentak menghantam. 

Pukulan yang sangat keras mengandung 

angin dahsyat hanya membuat kepala 

tiga mahluk yang munculkan diri 

setengah badan bergoyang oleng bagai 

pucuk cemara yang ditiup angin. 

Setelah kembali menyerang disertai 

gerungan panjang.

Gurunya tidak tinggal diam, 

sedangkan Pemacul Iblis kembali 

menyambitkan dua Permata Langit ke 

bagian kepala mahluk-mahluk itu. 

Begitu melesat di udara kedua benda 

itu langsung membesar dan menghantam 

dua di antara tiga mahluk ini. Kembali 

kepala dua Hantu Singa Lodraya 

meledak, Dengan kepala hancur tubuh 

mahluk-mahluk ini amblas lenyap ke 

dalam pasir lapangan. Yang satunya 

lagi kembali menyerang Taktu, Takwa 

dan Takga.

"Lari ke arah altar!" Kembali 

Sari Lukita memberi peringatan.

"Biarkan kami yang mengha-

dapinya!" seru Pemacul Iblis. Kedua 

pemuda dan gadis itu lari berserabutan 

mendekati altar, sedangkan dari altar 

si kakek dan Lukita Sari menghambur ke 

arah Hantu Singa Lodraya. Kiranya 

gerakan ketiga murid perempuan botak 

itu tidak semulus yang mereka 

bayangkan sebab mahluk ganas berkepala 

singa itu tidak membiarkan mereka 

lolos begitu saja. Dengan mulut


terbuka dia menyerang Takga yang 

berada paling dengan dengannya.

"Wah gawat!" seru Takga sambil 

hantamkan tangannya ke arah lawannya. 

Hawa panas menghampar ditambah lagi 

dengan pukulan Takwa dan Taktu yang 

bermaksud menolong saudaranya membuat 

udara semakin bertambah panas 

menyengat. Hantu Singa Lodraya tarik

lehernya menjauh ke belakang. Justru 

dari bagian belakang Pemacul Iblis 

ayunkan senjatanya dengan disertai 

pengerahan tenaga dalam penuh. Di 

samping Pemacul Iblis, Sari Lukita 

juga melepaskan pukulan ganas yang 

dikenal dengan nama Menyepi Sendiri 

Dalam Kubur. Hantu Singa Lodraya tak 

sempat lagi menghindar ketika hawa 

dingin menggiriskan serta mata pacul 

besar menghantam kepala dan tubuhnya.

Praaak!

Glaar!

Mahluk itu meraung kesakitan. 

Tubuhnya meliuk, kepala yang hancur 

menukik tajam ke pasir. Sekejap saja 

singa berkepala ular lenyap tersedot 

ke dalam pasir.

Tanpa menghiraukan mahluk itu 

lagi, Pemacul Iblis, Sari Lukita dan 

juga Taktu, Takwa dan Takga kembali ke 

altar. Sampai di sana mereka langsung 

menyepung Braga Swara yang sedang 

menghadapi gempuran Gentong Ketawa dan 

Gento Guyon. Si kakek sendiri setelah


pertempuran berlangsung lebih dari 

seratus lima puluh jurus nampak 

terluka di bagian dalam. Sedangkan 

Gento pipinya lebam membiru kena 

dijotos lawan. Braga Swara pakaiannya 

sudah pula compang-camping terkena 

pukulan lawan yang bertubi-tubi.

Dia harus mengakui, menghadapi 

dua manusia aneh itu saja dia sudah 

sangat kewalahan. Walau pun ilmu Braga 

Swara sangat tinggi mustahil dia 

unggul menghadapi mereka semua.

"Orang tua gendut, aku inginkan 

kepala Braga Swara!" teriak Sari 

Lukita. Dia melompat ke kalangan 

perkelahian. Tanpa banyak bicara 

perempuan ini langsung kirimkan satu 

pukulan menggeledek. Segulung angin 

kencang menderu melabrak Braga Swara. 

Laki-laki itu tertawa mengekeh. Sambil 

melompat tinggi Braga Swara membentak. 

"Perempuan bocah panjang umur pendek 

pikiran. Suamimu sudah mampus di sudut 

altar itu. Aku juga sudah tak berkenan 

lagi dengan tubuh keriputmu. Sekarang 

aku akan mengirimmu ke neraka dengan 

pukulan Gempa Bumi!" Berkata begitu 

Braga Swara yang semakin bertambah 

hebat kekuatannya bila sudah mengapung 

di udara segera hantamkan kedua 

tangannya keempat penjuru arah.

"Menghindar!" teriak Gentong 

Ketawa yang sudah merasakan kehebatan 

pukulan maut lawannya. Taktu, Takwa


dan Takga begitu merasakan getaran dan 

guncangan hebat langsung jatuhkan diri 

menelungkup sama rata dengan lantai. 

Sedangkan Pemacul Iblis kiblatkan 

paculnya menangkis serangan lawan. Di 

sudut kiri si kakek gendut besar 

sambil duduk lepaskan pukulan Dewa 

Menangis Iblis Tertawa. Agak di 

sebelah kanannya Gento Guyon dengan 

kaki ditekuk menghantam dengan pukulan 

Dewa Awan Mengejar Iblis. Satu ilmu 

dahsyat warisan Tabib Sesat Timur. 

Sedangkan Lukitas Sari yang telah 

menciptakan ilmu pamungkas Menggulung 

Langit sudah pula kibaskan tangannya 

ke arah Braga Swara.

Dari telapak tangan laki-laki itu 

deru angin disertai melesatnya cahaya 

merah tampak tiada putus-putusnya. 

Dari tiga arah sinar putih, biru dan 

ungu mengebubu menghantam Braga Swara. 

Sehebat apapun kesaktian Braga Swara 

menghadapi tiga gempuran dahsyat ini 

dia tak bisa berbuat banyak.

Ledakan dahsyat bergema membuat 

altar amblas terguncang. Pasir 

berhaburan dari sekeliling altar. 

Braga Swara terkapar dengan tubuh 

tercabik-cabik bersimbah darah. Kakek 

Gentong Ketawa rebah menelentang 

dengan mulut meneteskan darah. Gento 

Guyon jatuh dengan kaki berlutut, 

wajah pucat dan dada bergetar.

Sedangkan Sari Lukita sempat


terhuyung. Di sudut sebelah kiri 

Pemacul Iblis memaki-maki begitu 

melihat pacul besarnya bolong sebesar 

pangkal lidi akibat dipergunakan untuk 

menangkis pukulan lawan.

"Kampret setan. Beruntung kau 

datang Lukita Sari. Tapi suamimu Si 

Bocah Tua kakinya buntung dimakan 

mahluk setan. Hu... hu... hu." Pemacul 

Iblis menangis terguguk-guguk seperti 

anak kecil. Dia hampiri mayat Si Bocah 

Tua sedangkan mayat gadis yang dia 

lihat sejak awal kedatangan tadi tidak 

terlihat hilang entah ke mana.

Lukita Sari alias Peri Tanpa 

Bayangan jadi melengak kaget. Setengah 

berlari sambil menangis dia hampiri 

mayat Si Bocah Tua. Begitu berlutut di 

samping mayat Si Bocah Tua, hatinya 

terenyuh, perasaannya seperti diiris-

iris. Entah pedang macam apa yang 

dipergunakan untuk mengiris jelas 

sangat sakit dan sedih sekali. Dia 

peluki mayat suaminya.

"Maafkan aku, kakang. Kebodohanku 

membuat aku menyesal juga membuat 

menderita seumur hidup. Maafkan aku 

kakang. Aku tidak berguna. Hu... hu... 

hu!" kata si nenek botak sambil 

memeluki mayat Si Bocah Tua.

"Huk... huk... huk! Semuanya 

sudah terjadi. Jangan kau tangisi dia. 

Hu... hu... hu...." kata Pemacul 

Iblis.


Di belakang mereka hanya diam 

dengan wajah tertunduk. Sedangkan 

Gento Guyon dan gurunya saling 

pandang. "Pemacul Iblis itu manusia 

sedeng agaknya. Dia melarang orang 

menangis, tapi dia sendiri tetap 

terguguk kucurkan air mata." gumam 

Gento bersungut-sungut.

"Kau iri? Kalau mau ikutan 

menangis membantu nenek botak itu 

silahkan. Aku sendiri lebih baik pergi 

daripada ikut terharu. Salah-

salah...!" Gentong Ketawa tidak 

meneruskan ucapannya.

"Salah-salah kepala kita ikutan 

jadi botak juga guru." kata si pemuda 

tak dapat menahan tawa.

"Ha... ha... ha...!" Gentong 

Ketawa sambil tergelak-gelak berke-

lebat pergi dengan menyambar tangan 

muridnya. Taktu, Takwa dan Takga 

melengak kaget.

"Kakek dan pemuda itu, rasanya 

aku mengenal mereka!" desis Takga.

"Betul. Dia bocah yang dulu 

kepalanya dijitaki tabib setan ketika 

kalah melawanku!" menimpali Taktu 

alias Ararini.

Di kejauhan sayup-sayup mereka 

mendengar Gento Guyon berkata. "Gadis 

cantik dan dua pemuda botak. Syukur 

kalian masih ingat denganku. Aku masih 

penasaran dengan permainan tempo hari. 

Kapan waktu aku pasti akan menjitaki


kepala kalian."

Lalu terdengar suara si kakek. 

"Perlu apa kau berkelahi dengan 

mereka. Salah-salah rambutmu rontok 

semuanya. Mending kalau cuma yang di 

atas kalau yang di bawah ikutan rontok 

bagaimana! Ha., ha... ha." Lalu 

terdengar suara bekakakan yang semakin 

menjauh sampai akhirnya lenyap sama 

sekali. Taktu, Takwa dan Takga 

gelengkan kepala sambil menahan 

senyum. Sementara itu Sari Lukita dan 

Pemacul Iblis begitu mendengar tawa 

tersentak kaget. Mereka hentikan 

tangisnya. Ketika mereka sama menoleh 

ke arah si kakek dan pemuda gondrong 

tadi berdiri. Ternyata kakek dan 

pemuda aneh itu lenyap.

"Ke mana mereka?" tanya Peri 

Tanpa Bayangan ditujukan pada 

muridnya.

"Sudah pergi guru." menjawab 

Takga.

"Kita belum sempat mengucapkan 

terima kasih atas bantuan mereka!" 

menimpali Pemacul Iblis.

"Orang-orang aneh berkepandaian 

tinggi. Kelak aku pasti membalas jasa 

baik mereka." gumam Sari Lukita yang 

masih dirundung sesal dan kesedihan. 

Tapi tanpa bicara lagi perempuan ini 

mengangkat mayat Si Bocah Tua, dengan 

diikuti oleh Pemacul Iblis dan 

diiringi ketiga muridnya mereka


meninggalkan altar persembahan.

Tinggallah mayat Braga Swara yang 

terkapar membeku didera angin 

menjelang pagi.



                         TAMAT







Share:

0 comments:

Posting Komentar