SATU
Sebuah benda berwarna putih
kehitaman melesat dari dalam lubang
kubur. Benda bulat lonjong itu lalu
melayang dan jatuh, menggelinding
dekat kaki kakek tua berblangkon dekil
yang berdiri berkacak pinggang dalam
keadaan kaku tertotok. Setelah
memperhatikan benda itu maka pucatlah
wajah si kakek berpipi cekung berwajah
tirus ini.
"Bangsat! Apa sebenarnya yang kau
cari di kubur tua ini? Mengapa
tengkorak sesepuh Pendekar Walet Putih
kau keluarkan dari dalam kuburnya?"
hardik si kakek juru kunci makam marah
bukan main.
Dari dalam kubur di mana tengko-
rak kepala manusia tadi melayang
terdengar gumaman tak jelas disertai
racau aneh. Lalu ada benda hitam tipis
besar berkelebat di dalam lubang
kubur.
Wing!
Crak! Crok!
Tanah pun lalu berhamburan keluar
dari dalam makam. Setelah itu bagian
tulang rusuk dan tulang belulang
lainnya ikut pula berhamburan. Seba-
gian menimpa blangkon butut si kakek.
Sebagian lagi mengenai dada, kaki
dan wajah.
"Kurang ajar. Kwalat... kau pasti
akan kwalat. Semua arwah yang berada
dalam kubur itu mengutuki dirimu."
"Sambar geledek. Tua bangka, jika
mulutmu tak mau diam aku akan
menyumpalnya dengan tengkorak yang
baru kulempar tadi. Kau mau?" terde-
ngar suara dari dalam makam menyahuti.
"Dulu aku juga pernah mengutuki orang
yang pernah membuat sengsara
kekasihku. Aku berdoa agar kekasihku
kembali kepadaku. Tapi apa yang
terjadi? Kurang ajar... orang itu
malah panjang umur dan kekasihku
hilang sampai kini. Doaku sia-sia,
Tuhan jauh dariku, bahkan setan pun
tak mendengar doa."
"Semua itu karena hatimu tidak
bersih, jiwamu kotor. Doamu tidak
iklas, kau pembohong, atau selama
hidup mungkin kau selalu memakan
barang-barang yang bukan menjadi
hakmu!" kata si kakek juru kunci
makam.
Dari dalam lubang kubur terdengar
suara gerengan marah. Tulang belulang
kembali melesat menghantam tubuh kaku
si kakek, termasuk juga menghantam
bibirnya hingga bengkak mengeluarkan
darah. Si kakek juru kunci Kubur Tua
menjerit kesakitan. Jeritan dibalas
dampratan. "Juru kunci sial. Sekali
lagi kau bicara yang mengusik hati dan
membuat darahku mendidih kurobek
mulutmu. Mana kau tahu hatiku bersih.
Mana kau tahu dulu aku tak pernah
bicara dusta. Semua yang kumakan
bersih semua. Satu hal yang kau tidak
tahu, bahwa sesungguhnya seseorang
yang dosanya selangit tembus selalu
panjang umur. Kau lihat orang jujur,
kebanyakan umurnya pendek. Tubuh kurus
kering. Sudahlah... aku harus
menemukan barang itu, jika tidak buat
apa aku menggali kubur keluarga
Pendekar siapa ini." dengus orang di
dalam lubang kubur. Yang ditanya diam
membisu.
Selanjutnya terdengar suara pacul
menghantam tanah keras diselingi
dengan melesatnya potongan tulang
belulang ke arah juru kunci Kubur Tua.
Setelah itu sepi sejenak, terdengar
suara tarikan nafas lelah.
"Sudah lima kubur yang kugali.
Aku hanya mendapatkan tengkorak dan
tulang belulang tak berguna. Jadi di
mana beradanya tiga benda yang kucari
itu?" batin orang yang berada di dalam
kubur. "Aku harus mencarinya di tempat
lain." pikirnya. Setelah itu orang
yang membongkar seluruh makam sesepuh
Pendekar Walet Putih melompat keluar.
Ternyata dia adalah seorang kakek tua
berambut putih berkepala botak di
sebelah kiri sampai ke bagian belakang
kepala. Sebagaimana kepalanya, maka
alis mata di sebelah kiri juga tidak
tumbuh barang sehelai pun. Selain
rambut dan alis, kumis serta
jenggotnya yang putih di sebelah kiri
juga tidak tumbuh. Tubuh orang ini
kurus kering. Jauh bertolak belakang
dengan pacul yang tersampir di
bahunya. Pacul itu besarnya bukan
main, dengan sisi tajam bergerigi.
Begitu dia berdiri di bibir kubur
dengan muka murung dan perasaan bosan
dia pandangi kakek juru kunci Kubur
Tua. Dari mulutnya keluar suara.
"Orang tua katakan siapa namamu?"
"Buat apa kau tanya namaku tua
bangka tak tahu kramat?" dengus juru
kunci makam sinis.
"Sekarang aku sudah letih dan
kesal. Kau memilih menjawab pertanyaan
atau pilih kukuburkan hidup-hidup di
lubang ini?" Sambil berkata si kakek
kurus bersenjata pacul besar menunjuk
ke lubang kubur. "Aku Pemacul Iblis
tak pernah ragu melakukan apa yang aku
mau. Hayo jawab!" hardik si kakek.
Sekali lompat dia telah sampai di
hadapan juru kunci Kubur Tua. Melihat
sikap Pemacul Iblis yang bersungguh-
sungguh, dengan perasaan kesal
akhirnya kakek itu terpaksa menjawab
juga. "Aku... namaku Ki Rekso Monggo
Jolodo Mbeo Ora Iso Ra Ketoro, putra
Raden Mas Inggil Langit cucu Priyayi
Bentet Mangku Burni dan...!"
Cukup! Namamu sepanjang jalan.
Penggalan nama kelak akan kutulis di
atas makammu. Sekarang aku berterima
kasih karena kau telah memberi izin
padaku menggali Kubur Tua. Sebelum aku
pergi dan lupa untuk mengingat,
sebenarnya makam keluarga siapa yang
kau jaga ini?" tanya Pemacul Iblis.
"Kau manusia durhaka yang tak
pernah menghormat arwah orang yang
sudah mati. Dengar... kau baru saja
menggali kubur keluarga Pendekar Walet
Putih!" jelas Ki Rekso Monggo Jolodo.
Dia berharap Pemacul Iblis jadi kaget
dan minta maaf atas kesalahan yang
telah dilakukannya. Tapi kenyataannya
wajah Pemacul Iblis tidak menunjukkan
perubahan apapun. Tetap tenang
bersikap seakan tak mengenal nama
besar Pendekar Walet Putih.
Dia kemudian berkata. "Walet itu
binatang yang kecil, aku bahkan pernah
membunuh seribu elang dan gagak hitam.
Nama besar, pangkat dan kedudukan
seseorang tidak pernah harus membuatku
berjalan dengan terbungkuk-bungkuk di
hadapannya. Apalagi dia sudah mati,
huh." dengus Pemacul Iblis. "Jika Tiga
Permata Langit tak kutemukan di sini,
aku akan mencarinya di kubur lain.
Selamat tinggal Ki Rekso Jolodo.
Semoga mulutmu lodo lumer benaran
karena terlalu banyak memaki dan
menyumpah! Ho... ho... ho!" Selesai
berkata sambil tertawa Pemacul Iblis
tinggalkan Ki Rekso Monggo Jolodo
begitu saja.
"Hei... bebaskan totokan ini.
Bagaimana pun aku harus menguburkan
tulang belulang itu kembali." seru si
kakek.
"Kelak ada setan yang akan
membebaskan totokanmu itu. Lagipula
kau tak mungkin bisa memisahkan tulang
yang sudah bercampur aduk." sahut
Pemacul Iblis sayup-sayup di kejauhan.
Mungkin benar apa yang dikatakan kakek
sinting Pemacul Iblis. Dia sendiri
sudah berusaha membebaskan totokan
dengan pengerahan tenaga dalam sejak
dirinya tertotok tadi. Namun usahanya
tak pernah berhasil. Di luar semua itu
dalam hati sesungguhnya juru kunci
Kubur Tua keluarga Pendekar Walet
Putih jadi kaget karena tidak mengira
kedatangan Pemacul Iblis kiranya
mencari Tiga Permata Langit.
"Entah untuk apa dia mencari
senjata maut Tiga Permata Langit itu.
Tapi aku merasa beruntung karena dia
tak bisa menemukannya!" batin Ki Rekso
Jolodo.
Baru saja juru kunci Kubur Tua
menarik nafas lega mendadak sontak
terdengar suara gelak tawa dan
sempritan seperti yang terbuat dari
batang padi.
"Ha... ha... ha. Hidungku mana
kena ditipu. Dia pernah datang ke
sini, penciumanku mengatakan semuanya
ada di sini!" Belum juga gema suara
orang lenyap di tempat itu muncul
seorang laki-laki berbadan pendek
setinggi pinggang. Wajah laki-laki
berbadan dan bertingkah laku seperti
bocah ini dipenuhi kerut merut. Bukit
hidungnya tinggi dan besar sekali.
Mulut kecil seperti mulut bocah.
Sedangkan di sudut bibir terselip
sempritan dari batang padi. Begitu
bocah berwajah orang tua ini jejakkan
kaki, dia nampak gelengkan kepala
berulang kali melihat begitu banyak
kubur tua di tempat itu dalam keadaan
menganga. Pada akhirnya dia tak mampu
menahan tawa begitu melihat Ki Rekso
Monggo Jolodo berdiri tegak dekat
gubuk buruk dalam keadaan kaku
tertotok.
Dengan langkah tergesa-gesa bocah
berwajah tua ini ayunkan kaki
mendatangi. Si bocah tua kerutkan
keningnya begitu melihat di bagian
leher si kakek digantungi selembar
kulit berisi pesan. Melihat tulisan
itu si bocah tua tersenyum lebar.
"Cacing kurus itu rupanya sudah
pula sampai ke sini." gumamnya.
Kemudian kulit yang bertali dan
digantungkan di leher juru kunci makam
disentakkan. Sekali dia meniup, semp-
ritan batang padi berbunyi, hidung
kembang kempis mengendus.
"Tidak salah. Pesan konyol
apalagi yang dia tinggalkan?" kata si
bocah tua seakan tak menghiraukan Ki
Rekso Monggo Jolodo. Kulit direntang,
untuk selanjutnya dia pun mulai
membaca.
Kepada Bocah Tua alias Hidung
Setan
Saat ini aku sedang mencari Tiga
Permata Langit. Aku tak tahu kau
berada di mana. Semula dengan
penciumanmu yang setajam penciuman
setan kuharapkan bantuanmu. Tapi aku
tak tahu kau sudah mampus atau masih
hidup. Jika kau temukan pesan ini
harap bantu aku mencari Tiga Permata
Langit. Kau tahu urusan besar yang
bakal kuhadapi di Tanah Kutukan.
Tanda Terima Kasih Sobatmu
Pemacul Iblis
"Ha... ha... ha. Dasar Iblis
linglung. Buat apa bersusah payah
menggali?" celetuk Si Bocah Tua alias
Hidung Setan. Lalu sempritan batang
padi ditiup. Setelah itu bocah pendek
berwajah tua pandangi kakek di
depannya. "Eeh... kakek. Mengapa kau
mau diperlakukan seperti ini oleh
Pemacul Iblis?" tanya si bocah sambil
kembang kempiskan cuping hidungnya
yang besar.
Yang ditanya tidak menjawab,
melainkan katupkan bibirnya sedangkan
kedua pipi menggembung besar. Si bocah
berwajah tua tersenyum begitu
melihatnya. "Aneh, pertanyaanku belum
lagi kau jawab. Sekarang kau sudah
unjukkan muka marah. Siapa yang hendak
kau marahi? Aku...?!" Bocah Tua
menunjuk dirinya sendiri.
"Siapa kau? Sahabatnya iblis
pembawa pacul laknat tadi? Lekas
minggat dari hadapanku jika tidak
ingin kubunuh!" hardik Ki Rekso Monggo
Jolodo berang.
"Walah galak amat kek. Apa kau
ingat membebaskan totokan saja dirimu
tak sanggup? Ha... ha... ha." kata
Bocah Tua. Dengan acuh dia kembali
meniup sempritan yang terselip di
bibirnya.
Semakin bertambah kesal saja juru
kunci Kubur Tua ini mendengar ucapan
si bocah. Apalagi ketika mendengar
Bocah Tua itu berkata. "Kau telah
ketitipan pesan dari Pemacul Iblis.
Pesan sudah diterima amanat harus
dijalankan. Kau tahu kek, Pemacul
Iblis tidak mungkin melakukan peker-
jaan sia-sia dengan menggali makam itu
jika tidak ada sesuatu yang amat
penting dicarinya."
Ki Rekso Monggo Jolodo delikkan
matanya.
"Apa maksudmu?" hardik kakek itu
sinis. Tapi diam-diam hatinya berdebar
gelisah.
Bocah Tua tersenyum. "Apakah
kakek tahu tentang Tiga Permata
Langit. Senjata maut yang dulu pernah
dipergunakan Pendekar Walet Putih
untuk menghancurkan musuhnya yang
hebat?" Terkejutlah juru kunci Kubur
Tua mendengar ucapan si bocah. Namun
dia cepat menukas. "Benda itu tak ada
di sini. Pemacul Iblis telah
mencarinya tapi dia tak menemukan.
Bahkan nama benda yang kau sebutkan
itu baru kali ini aku mendengarnya,
bocah berwajah kakek tua?!"
Bocah Tua terbahak-bahak.
"Pemacul Iblis manusia dungu, dia
tidak punya hidung sebagaimana
hidungku. Hidung Setan tak dapat
ditipu. Jika tadi sobatku membongkar
kubur, maka sekarang pondok burukmu
yang akan kubongkar! Aku mencium Tiga
Permata Langit ada di dalam sana.
Ha... ha... ha!" Sambil kembang
kempiskan cuping hidungnya Bocah Tua
berkelebat masuk ke arah gubuk.
Gusarlah Ki Rekso Monggo Jolodo
melihat apa yang akan dilakukan oleh
Si Bocah Tua. "Berani kau menghan-
curkan pondokku, kubunuh kau!"
"Boleh saja. Tapi nanti setelah
aku menemukan benda yang dicari oleh
sahabatku itu." sahut Si Bocah Tua.
Hanya beberapa saat kemudian juru
kunci Kubur Tua dikejutkan oleh suara
berderak dan hancurnya pondok. Ketika
Ki Rekso Monggo Jolodo memandang ke
arah pondok tinggalnya. Maka pondok
itu hancur, atapnya yang terbuat dari
ilalang berpelantingan. Bagian dinding
terbang ke arah timur, kayu pondok
mental ke arah barat.
Di tengah-tengah pondok yang
telah hancur Bocah Tua berdiri tegak
sambil mengapit sebuah kotak kayu batu
yang baru dibongkarnya dari bawah
lantai tanah. Dia mengacungkan kotak
berwarna coklat itu ke arah Ki Rekso
Monggo Jolodo. Melihat kotak si kakek
langsung menggerung.
"Setan alas. Kembalikan kotak
itu. Kembalikan...!!" teriak sang juru
kunci.
Priiiiiit!
Bocah Tua tiup sempritan batang
padinya hingga mengeluarkan suara aneh
melengking."Tidak usah gusar. Kelak
aku akan mengembalikan kotaknya
padamu. Sedangkan isinya terserah pada
sobatku Pemacul Iblis. Satu hal yang
kau patut ketahui orang tua. Saat ini
aku dan Pemacul Iblis sedang
menghadapi masalah besar. Dia punya
dendam berkarat pada seseorang. Jika
tidak diselesaikan, mana mungkin dia
dapat tidur dan mati dengan tenang.
Begitu juga halnya aku. Istriku
dikawin orang, bagaimana aku bisa enak
makan enak tertawa? Kau harus punya
rasa persaudaraan denganku! Ha...
ha... ha...!"
"Persetan dengan segala
urusanmu!" dengus Ki Rekso Monggo
Jolodo berang.
"Betul. Aku memang si Hidung
Setan. Ha... ha... ha!" sahut Si Bocah
Tua sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudahlah, kau tak usah marah-marah
begitu. Kemarahan hanya memperpendek
umur. Aku pinjam Tiga Mutiara Langit.
Kelak aku akan kembalikan padamu."
berkata begitu sambil berkelebat pergi
dia usap tengkuk si kakek penjaga
makam. Setelah itu Bocah Tua langsung
menghilang dari pandangan juru kunci
Kubur Tua.
Usapan yang dilakukan Bocah Tua
ternyata membuat Ki Rekso Monggo
Jolodo terbebas dari totokan Pemacul
Iblis. Tapi untuk melakukan pengejaran
rasanya sudah tak berguna. Karena dia
menyadari di samping ilmu kesaktian
Bocah Tua itu pasti memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat
sempurna.
Akhirnya dia hanya berlutut dan
menangis di depan tulang belulang yang
bertumpuk di hadapannya.
DUA
Setelah sekian lama berlari
menjauhkan diri dari Tabib Sesat
Timur, pemuda itu memperlambat lari-
nya. Sesekali dia menoleh ke belakang,
sedang mata jelalatan memandang ke
setiap sudut. Kemudian pemuda tampan
polos berambut gondrong itu pun
tersenyum sendiri. Dia membuka baju,
setelah itu baju diikatkan ke
pinggang.
Masih dengan tersenyum si pemuda
berkata. "Dia kira bisa memperlakukan
aku seperti dulu? Dulu aku dibuatnya
sengsara dengan kaki digantung di
ujung bambu. Siapa sudi? Jika dia
macam-macam kuikat tangan dan kakinya,
setelah itu kuseret dengan kuda.
Sekarang aku sudah aman. Sebaiknya aku
istirahat di bawah pohon ini!" Si
pemuda tampan yang bukan lain adalah
Gege alias Gento Guyon segera duduk
bersandar di batang kayu berdaun
lebat.
Selagi duduk tiba-tiba Gento
ingat pada gurunya. Waktu itu melihat
kehadiran Tabib Tapadara Gento memang
sangat takut sekali. Apalagi selama
ikut dengan tabib itu dia sering
mendapat perlakuan kasar dan disiksa
lahir batin.
Mengenai kekejaman Tabib
Tapadara, dapat diikuti dalam episode
'Tabib Setan'. Ketika dia berlari
menghindari Tabib Sesat Timur, Gento
tak tahu apakah gurunya si Gentong
Ketawa mengikutinya atau tidak. Yang
jelas kini setelah tidak melihat
gurunya si pemuda jadi celingukan
bingung sendiri.
"Ke mana perginya kakek gendut.
Mustahil dia tidak bisa mengikuti aku.
Biar badannya besar luar biasa,
biasanya dalam hal ilmu lari dia masih
lebih cepat dibandingkan diriku.,"
pikir Gento Guyon.
Selagi dia tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Dari pucuk pohon
yang terlindung daun-daun lebat
meluncur sebuah benda berwarna kuning.
Pluk! Benda itu jatuh di samping
Gento.
"Eeh, ada jambu. Bagaimana pohon
kokosan ini bisa berbuah jambu.
Daripada mubajir lebih baik kumakan
saja. Paling juga sisa kampret. Bau
kampret sedikit tidak mengapa!" Sambil
menyengir seorang diri setelah
celingak celinguk takut dilihat orang,
Gento memungut jambu itu. Diperhatikan
jambu tersebut ternyata masih bagus.
Baru saja dia hendak menggigit jambu
yang baru dipungutnya, mendadak.
Pluuk! Kali ini yang jatuh di samping
kanannya adalah buah rambutan hutan.
Melihat ini Gento Guyon tak dapat
menahan tawanya.
"Ha... ha... ha. Pohon ajaib,
atau mungkin di atas pohon ada kampret
ajaib? Tadi jambu yang jatuh, sekarang
aku diberi rambutan. Baik sekali. Tapi
bagaimana jika makanan ini ada
racunnya?" gumam Gento Guyon. Dia lalu
dongakkan kepala memandang ke atas
pohon, ternyata di atas pohon tak ada
siapapun.
"Ada kampret, kampret baik
rupanya yang bersembunyi di situ!"
kata Gento Guyon dengan suara sengaja
dikeraskan.
Belum lagi dia sempat berbuat
sesuatu di hadapannya berdiri tegak
seorang kakek tua berambut putih
berjenggot dan kumis serba putih.
Kakek itu memakai pakaian serba hitam,
di pinggangnya tergantung kantong
perbekalan dan obat-obatan. Melihat
kedatangan orang tua ini wajah si
pemuda berubah pucat.
"Tabib Setan...!" desis Gento
Guyon siap mengambil langkah seribu.
Namun Tabib Sesat Timur cepat angkat
tangan kanannya.
"Gento, kuharap kau tidak lari
lagi dariku. Percayalah, aku tidak
bermaksud jahat, aku sudah tobat.
Kuharap kau mau mengerti. Sejak kau
tidak bersamaku lagi aku merasa sangat
kehilangan. Huk... huk... huk." Si
kakek tabib menangis sesunggukkan. Air
matanya bergulir menuruni pipinya yang
keriput.
"Ternyata Tabib Setan ini kalau
lagi menangis mukanya jelek sekali."
batin Gento dalam hati. Tapi dia
kemudian mendengus. "Huh, air mata
buaya."
"Gento, aku datang kepadamu ingin
member-kan sesuatu yang sangat besar
artinya bagi dirimu." ujar si kakek
suaranya halus perlahan.
Gento Guyon delikkan matanya.
"Apa? Kau hendak mengajariku
bagaimana caranya meramu obat? Tanpa
kau ajari sekalipun aku sudah bisa.
Karena diam-diam semasa bersamamu dulu
aku mengintip bagaimana caranya meramu
obat."
Tabib Sesat Timur gelengkan
kepala.
"Bukan itu. Seperti yang pernah
kukatakan pada gurumu, aku berjanji
hendak menurunkan barang sejurus dua
jurus ilmu silat yang kumiliki.
Sebagai penebus rasa sesalku bukankah
sekarang waktunya yang tepat untuk
melakukannya?"
"Ha... ha... ha. Tabib Setan...!"
"Kumohon kau jangan lagi
memanggilku Tabib Setan. Aku malu
Gento!" sergah Tabib Tapadara sedih.
"Baik, bagaimana kalau kupanggil
kakek tabib gila?" tanya si pemuda
disertai senyum mencemooh.
"Tolong kata gilanya jangan ikut
disertakan."
Gento Guyon tersenyum sinis.
"Permintaanmu banyak amat, dulu
kau tak pernah memberiku kesempatan
untuk melepas lelah sama sekali. Tapi
baiklah, sekarang apa yang hendak kau
berikan padaku?"
"Pertama, aku akan menurunkan
jurus-jurus silat ampuh padamu. Jika
jurus yang kuturunkan ini sudah kau
kuasai, maka aku akan memberimu sebuah
senjata yang sangat hebat dan sangat
berguna bagimu." berkata si kakek
tabib dengan mimik bersungguh-sungguh.
"Senjata hebat belum tentu
berguna jika pemiliknya tidak hebat.
Apalagi kalau lawannya hebat-hebat
semua." kata Gento.
"Kau betul. Tapi... sebelum itu
apakah kau mau menunjukkan padaku
jurus apa saja yang telah diwariskan
kakek itu padamu? Kalau tidak
keberatan kau tentu boleh memperli-
hatkan salah satu di antaranya!"
"Tidak bisa. Apa yang diberikan
oleh guruku tidak boleh dilihat
olehmu, pula siapa yang berani
menjamin kau tak akan mencuri jurus-
jurus silatku. Lagipula aku sudah tahu
akal licikmu!" kata Gento Guyon dengan
mata berkedip-kedip.
"Ah, rupanya kau masih belum
percaya. Baiklah, sekarang sebaiknya
kau perhatikan baik-baik. Kau hanya
punya kesempatan sekali, makanya ingat
baik-baik. Aku tak pernah mengulang
apa yang telah kutunjukkan padamu!"
kata si kakek tabib.
Masih dengan tetap bersandar pada
batang pohon Gento Guyon pentang
matanya memandang pada si kakek. Di
depan sana Tabib Sesat Timur sudah
menarik kaki kirinya ke belakang.
Sedangkan kaki depan ditekuk. Tangan
kanan dikepal dan diangkat ke atas
sedangkan tangan kiri sambil melompat
ke udara dihantamkan ke depan.
Hawa dingin menderu disertai
berkiblatnya sinar hitam di udara.
Ketika sinar itu menghantam rumpun
semak belukar, Maka semak-semak yang
jadi sasaran langsung hangus menjadi
debu. Si kakek teruskan gerakannya
dengan berputar di udara. Setelah
berjumpalitan dia hantamkan tangan
kanannya yang terkepal. Begitu tangan
kanan membuka, maka dari telapak
tangan itu memancar sinar merah.
Sebagaimana tadi sinar maut itu
kembali menghantam semak belukar
menghijau. Begitu kena hantaman
terjadi ledakan berdentum. Si kakek
jejakkan kakinya dengan kedua tangan
ditadahkan. Di bawah pohon Gento
perhatikan semua itu dengan terkagum-
kagum. Bagaimana tidak? Semak belukar
yang terkena pukulan kedua daunnya
langsung rontok layu dan mengeriput,
begitu juga bagian batang yang terkena
pukulan. Tapi begitu melihat ke arah
si kakek tabib, dia tak dapat menahan
senyum. "Jurus apa itu tadi kakek
tabib? Buntutnya kok tangan menadah
seperti pengemis?"
Walaupun merasa ada ganjalan
mendengar Gento seakan mengejek jurus
hebat yang baru diperagakannya, namun
dengan sabar kakek tabib menjawab
juga. "Yang kau lihat tadi adalah
jurus Dewa Memandang Dari Menara
Langit. Siapapun yang menjadi sasaran
jurus tadi tubuhnya pasti seperti yang
kau lihat tadi."
"Hebat juga, tapi adakah yang
lebih hebat dari itu?" tanya si pemuda
lagi.
"Ada dan ini merupakan pukulan
satu-satunya yang pantas kuwariskan
padamu. Namanya Dewa Awan Mengejar
Iblis!" sahut Tabib Sesat Timur.
"Hem, rupanya di awan banyak
iblisnya. Coba kau perlihatkan padaku
kek!" pinta Gento Guyon.
Tabib Sesat Timur menyeringai.
"Kau lihatlah pohon di mana kau
berdiri." Sesuai dengan perintah si
kakek, maka Gento pun memandang ke
atas di mana jambu dan rambutan tadi
jatuh dari sana. Tabib Sesat Timur
kemudian genjot kakinya. Laksana kilat
tubuh si kakek berkelebat di udara.
Kemudian terdengar suara menderu
disertai gemeretaknya ranting dan
daun-daun laksana diterabas pedang.
Seiring dengan itu pula di atas ada
semburan hawa panas membakar. Ranting-
ranting dan daun berguguran.
"Hebat luar biasa. Aku bahkan
hampir tak dapat mengikuti gerakan
tubuh dan tangannya dengan mataku!
Ternyata dia bukan hanya sekedar
tabib, tapi orang sakti yang mempunyai
ilmu tinggi." memuji Gento Guyon
sambil berdecak kagum.
Belum lagi lenyap rasa takjubnya,
di bagian pucuk pohon yang rambas
gundul dan gosong hangus terdengar
suara mengaduh disertai melayangnya
satu sosok gemuk besar luar biasa
dalam keadaan kalang kabut.
"Celaka betul. Orang tidur kok
berani-beraninya mengganggu." Gerutu
orang tua berbadan gendut besar luar
biasa, berwajah bulat berkening lebar.
Belum lagi suara gerutuannya lenyap.
Bluuk! Bagai karung yang penuh berisi
padi jatuh terhempas di atas tumpukan
ranting dan daun. Melihat siapa yang
jatuh, maka pucatlah wajah Gento Guyon
seketika. Sekarang dia tahu orang yang
telah melemparnya dengan jambu dan
rambutan tadi pastilah si kakek
berbadan besar gendut luar biasa yang
bukan lain adalah Gentong Ketawa
gurunya.
"Bagaimana guru bisa bersembunyi
di atas sana tanpa kuketahui. Dia
pasti marah besar Tabib Tapadara telah
menghancurkan tempat ketidurannya."
batin Gento dengan perasaan ciut. Tapi
apa yang dikhawatirkannya itu ternyata
tidak terjadi. Karena begitu jatuh di
atas tumpukan ranting dan daun yang
berguguran akibat pukulan yang
dilepaskan Tabib Sesat Timur, maka si
kakek gendut besar tidur lagi.
"Untung saat ini dia sedang
mengantuk berat. Kalau tidak alamat
celaka diriku!" kata si pemuda.
"Kalau dia sampai terjaga akupun
jadi tidak enak telah menurunkan
ilmuku kepadamu. Itu sebabnya kuminta
kau merahasiakan semua ini!" satu
suara terdengar di belakang Gento
Guyon membuat pemuda ini cepat menoleh
dan jadi kaget ketika melihat si kakek
telah berdiri satu langkah di
belakangnya. Jika Tabib Sesat Timur
bermaksud jahat sebagaimana yang
disangkakannya tentu sejak tadi dia
sudah kena ditotok oleh kakek tabib
itu.
"Kau betul kek. Lalu apakah ada
lagi pukulan yang lebih hebat dari
yang kulihat tadi?" tanya Gento Guyon.
"Ha... ha... ha. Kau manusia
serakah. Apa yang telah kutunjukkan
tadi lebih dari cukup. Selagi gurumu
tidur, sekarang sebaiknya kau duduk di
hadapanku. Aku akan memindahkan tenaga
sakti yang kumiliki padamu agar kau
dapat mengamalkan jurus Dewa Memandang
Dari Langit dan juga ilmu pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis!"
"Ha... ha... ha. Bagaimana kalau
kau menipuku lagi? Atau menggantungku
di pucuk pohon yang telah kau gunduli
dengan ilmu anehmu itu?"
"Bocah goblok, tidak tahukah kau
selama ini aku teramat menyesal
mengenang apa yang telah kulakukan
terhadapmu dulu?" kata Tabib Sesat
Timur dengan wajah muram.
"Aku setengah percaya setengah
tidak dengan ucapanmu. Tapi jika kau
nantinya menipuku, aku tidak akan
mengampuni. Aku pasti membuat
perhitungan yang lebih menyakitkan!"
kata si pemuda. Dengan sikap waspada
Gento menuruti perintah Tabib Sesat
Timur. Dia duduk di hadapan si kakek
dengan kaki bersila, tangan ditum-
pangkan di atas lutut. Sedang matanya
melirik terus mengawasi gerak-gerik si
kakek tabib. Dan ternyata Tabib Sesat
Timur memang punya niat baik. Terbukti
setelah menempelkan kedua tangannya di
punggung Gento Guyon dia salurkan hawa
saktinya ke tubuh Gento. Mula-mula
pemuda itu menggigil kedinginan di
saat hawa sakti yang mengalir di
punggungnya menjalar ke sekujur tubuh
si pemuda. Gento Guyon menggigil,
sedangkan dari bagian ubun-ubunnya
mengepul kabut putih tipis yang
kemudian bergulung-gulung di udara.
Selanjutnya hawa dingin lenyap
berganti dengan hawa panas yang
membuat si pemuda mengerang dan
menggeliat.
"Oh, gila amat. Panas bukan main,
aku hampir tidak tahan. Tubuhku
seperti dibakar atas bawah luar
dalam." desis si pemuda.
"Diam! Jangan melakukan gerakan
yang bisa membuat kita berdua jadi
celaka!" gumam Tabib Sesat Timur
memberi ingat.
Gento menyadari apa yang
diucapkan kakek tabib itu memang ada
benarnya. Hingga dia tak berani
bergerak, bahkan bernafas pun
dilakukannya sangat perlahan sekali,
hingga ekspresi wajahnya nampak lucu
dan kaku.
TIGA
Setelah berlangsung kurang lebih
setengah jam lamanya. Tabib Sesat
Timur tarik kedua tangannya dari
punggung Gento Guyon, Si tampan
berwajah lugu, namun panjang akal ini
langsung memutar badan. Masih dalam
keadaan bersila dia tersenyum saat
dilihatnya pakaian maupun sekujur
tubuh si kakek basah bersimbah
keringat.
"Kek apakah tenaga dalam yang kau
salurkan tadi sewaktu-waktu tidak
berubah menjadi angin?" Tabib Sesat
Timur matanya mendelik. "Gento, aku
tahu kau suka bercanda. Mungkin lagak
dan tawamu yang membuat si gendut
besar memberimu nama Gento Guyon. Tapi
ingat! Apa yang hendak kuberikan
padamu ini bukan sesuatu yang dapat
kau jadikan barang mainan," tegas
orang tua yang ketika Gento masih
kecil selalu membuatnya menderita.
"Maksud kakek tabib, engkau
hendak memberiku senjata? Senjata apa?
Pedang, keris, tombak atau golok?
Kuharap bukan satu dari yang telah
kusebutkan itu. Karena aku pasti tak
mau menerimanya. Tolong katakan
senjatanya panjang atau pendek. Besar
atau kecil, tajam atau tumpul? Kalau
yang tumpul kurasa aku sudah tidak
butuh. Ha... ha... ha." Gento Guyon
tertawa tergelak-gelak.
"Bocah edan. Sejak tadi aku sudah
bicara apa padamu? Sekali seumur hidup
bertemu denganku kuharap kau bersikap
serius." hardik Tabib Sesat Timur
marah. Di atas tumpukan ranting dan
daun-daun, Gentong Ketawa nampak
komat-kamit. Namun matanya tidak juga
terbuka. Dia tetap tidur malah
terdengar suara dengkurannya.
"Baiklah. Sekarang katakan saja
apa yang hendak kakek sampaikan. Dua
telingaku siap mendengar." ujar si
pemuda.
Tabib Sesat Timur menarik nafas
pendek, memperbaiki posisi duduknya
baru kemudian berkata. "Aku punya
senjata sakti, namanya Penggada Bumi.
Senjata itu diciptakan oleh tiga tokoh
di masa ratusan tahun yang silam.
Senjata maut itu baru dapat kau
pergunakan dalam keadaan terdesak. Kau
baru tahu manfaatnya jika telah
menyalurkan tenaga dalammu ke hulu
senjata. Kekuatannya semakin bertambah
dahsyat bila kau memukulkannya ke
bumi. Ketika kau memukulkan Gada ke
bumi, kau cukup menyebut Tiga nama
Kebo. Pertama Kebo Ireng, Kebo Abang
dan Kebo Putih. Mereka inilah yang
menciptakan senjata Penggada Bumi.
Dengan menyebut namanya ketika kita
menggunakan senjata itu, berarti kita
mohon keberkahan serta doa restu
mereka!" jelas Tabib Tapadara.
Gento Guyon angkat telunjuknya.
"Tanya kek." ucap Gento. Tabib
Tapadara anggukkan kepala. "Bagaimana
seandainya aku gugup dan jadi salah
sebut?"
"Maksudmu?" Tabib Sesat Timur
kernyitkan alisnya.
"Misalnya aku menyebutnya begini.
Kebo budek, kebo lumpuh dan kebo
bogel?"
"Mudah-mudahan gada sakti itu
akan mengemplang kepalamu sendiri biar
otakmu yang sinting jadi benar." sahut
kakek tabib tak dapat menahan senyum.
Beberapa saat kemudian orang tua itu
lanjutkan ucapannya. "Tentu saja kau
tak boleh salah menyebut. Bagaimana
pun kau harus menghormati hasil
ciptaan mereka, walau kau tak pernah
berjumpa langsung dengan orangnya."
tegas si kakek.
"Kalau begitu aku akan menghapal-
nya." Sesaat kemudian mulut Gento
Guyon nampak komat-kamit seperti dukun
membaca mantra. Hidung kembang kempis
sedangkan mata tak hentinya berkedap-
kedip. Setelah itu dia buka telapak
tangan. Tangan ditiup lalu dikemp-
langkan ke bagian kening. Si kakek
jadi terheran-heran.
"Eeh, apa yang baru saja kau
lakukan?" Si pemuda menyengir.
"Dibaca, ditiupkan ke telapak tangan
baru diletakkan di kening supaya ingat
kek!"
Tabib Tapadara menghembuskan
nafas sambil geleng kepala melihat
tingkah laku Gento Guyon.
"Bertahun-tahun ikut bersamanya
kau bukan jadi orang benar, sebaliknya
malah bertambah edan nggak ketulu
ngan!" gerutu kakek tabib. "Tapi
baiklah. Waktuku tak begitu lama,
lagipula kau jangan bilang pada gendut
gurumu bahwa aku telah memberimu
senjata."
"Aku paling bisa menjaga rahasia.
Sekarang aku mau melihat mana senjata
itu?" Dalam hati Gento Guyon menduga
yang namanya gada pasti sangat besar
sekali. Seperti gada milik para
prajurit kraton. Namun kening si
pemuda berkerut tajam ketika melihat
Tabib Sesat Timur membuka kantong
perbekalan yang baru diambil dari
balik pakaiannya. Selanjutnya ikat
kantong dibuka. Ketika mulut kantong
dijungkirkan ke bawah, maka mengge-
lindinglah sebuah benda berwarna
kuning keemasan dan memancarkan cahaya
kemilau menyilaukan. Benda itu besar-
nya tidak lebih besar dari ibu jari
tangan. Panjang tak lebih dari dua
jengkal dengan ujung agak besar dan
hulu sebesar kelingking. Melihat
senjata itu Gento Guyon jadi lemas tak
bersemangat.
"Inikah barangnya kek?"
"Betul." menyahuti Tabib Sesat
Timur.
"Kalau yang ini dibandingkan
dengan punyaku pasti masih lebih besar
lagi aku punya!" gerutu si pemuda
bersungut-sungut
"Bocah edan. Sekali lagi kau
bicara ngaco, kupecahkan mulutmu!"
hardik Tabib Sesat Timur.
"Kalau itu kau lakukan aku pasti
minggat!" ancam Gento Guyon.
"Wah edan. Jadi pendekar itu
tidak boleh besar ngambeknya. Dari
tadi sudah kukatakan kau jangan bicara
apapun sebelum mendapat penjelasan
dariku." kata si kakek dengan suara
perlahan membujuk. "Seperti yang telah
kukatakan, kesaktian senjata ini baru
terlihat bila kau mengerahkan tenaga
dalammu ke bagian hulu senjata.
Penggada Bumi semakin bertambah
dahsyat bila kau memukulkannya ke atas
tanah. Mengerti?" tanya seorang tua
sambil pandangi wajah pemuda itu
lekat-lekat.
"Mengerti kek. Walau senjata ini
besarnya seperti alat untuk mengupil,
tapi aku masih punya kewarasan untuk
menghargai karya orang lain. Untuk itu
dengan senang hati aku menerimanya!"
kata Gento Guyon sambil menjura
hormat. Ini dilakukannya untuk pertama
kali, sehingga sedikit banyaknya Tabib
Sesat Timur merasa senang juga.
"Nah kau terimalah Penggada Bumi
ini. Simpan dia baik-baik, jangan
sampai ketahuan gurumu." pesan si
kakek, seraya memungut gada itu lalu
menyerahkannya pada Gento. Mengira
gada kecil itu ringan, enak saja dia
menanggapi. Namun diam-diam Gento
Guyon jadi kaget, karena gada yang
besarnya seibu jari dan sepanjang dua
jengkal tersebut beratnya hampir sama
dengan sembilan pedang baja. Lebih
aneh lagi, Gento merasakan tangannya
yang memegang Gada terasa bagai
tersengat gumpalan es.
Setelah menyimpan senjata
pemberian Tabib Sesat Timur di balik
pinggang celananya dia kembali
menjura.
"Kek apakah aku harus
memanggilmu guru juga?" tanya Gento
Guyon.
Si kakek gelengkan kepala.
"Tak usah. Cukup kau mengingatku
di dalam hati sebagai orang yang
pernah berbuat salah, namun menebus
kesalahan yang kulakukan dengan
penyesalan." sahut Tabib Sesat Timur
sambil berdiri. "Sekarang aku harus
pergi."
"Eeh, kau hendak pergi ke mana?"
tanya Gento Guyon kaget.
"Aku hendak menemui saudaraku
Sesat Barat dan Sesat Selatan."
"Ah, aku turut prihatin karena
ternyata banyak saudaramu yang ter-
sesat. Semoga setelah bertemu denganmu
mereka akan menemukan jalan yang
lurus!" ujar si pemuda.
"Kuharap begitu. Jika gurumu
terjaga sampaikan salamku padanya!"
pinta Tabib Sesat Timur. Selesai
berucap sang tabib memutar langkah dan
berkelebat pergi meninggalkan Gento
yang terpana seorang diri.
Hanya beberapa saat setelah Tabib
Sesat Timur pergi Gentong Ketawa
menggeliat. Mulutnya menguap lebar,
namun matanya masih terpejam.
"Huaaah... aku bermimpi melihat
kebo kurus dan kebo lumpuh. Kemudian
aku juga mimpi melihat ada Tabib Setan
yang konon sudah bertobat menemuimu.
Ahhh... klekerr... kleker...!" Sambil
bicara si kakek gendut malah mengorok.
Gento yang semula kaget menyangka
gurunya mengetahui bahwa Tabib
Tapadara telah menurunkan beberapa
jurus dan memberikan sebuah senjata
akhirnya jadi tersenyum sendiri.
"Kakek gemuk penidur. Hidupnya
seperti musang. Kalau sudah makan
kenyang dia bisa tidur seharian."
cibir si pemuda.
Dia sendiri kemudian bermaksud
meninggalkan gurunya seorang diri.
Tapi baru saja dia hendak melangkah
pergi, si kakek tiba-tiba menggeliat
dan membuka matanya. "Ah sudah siang
rupanya. Tapi eh... seingatku tadi aku
tidur di atas pohon. Mengapa kini
sudah pindah di bawah pohon.
Gentong Ketawa kemudian bangkit
berdiri. Ketika dia dongakkan kepala
ke atas, maka kagetlah orang tua ini
dibuatnya. Pohon berdaun lebat itu
kini telah gundul seperti dibabat
senjata. Selain itu pohonnya sendiri
hangus hitam seperti dibakar. Gentong
Ketawa gelengkan kepala.
"Hebat luar biasa. Ada penebang
pohon yang langsung membakar pohonnya.
Tapi sedikit pun dia tidak mengusik
tidurku, baik betul dia. Gege siapa
orang itu?"
"Eeh, apa maksud guru?" tanya si
pemuda pura-pura kaget.
"Apakah kau tak melihat siapa
adanya orang hebat yang melakukan
semua kegilaan ini?" tanya si kakek.
Dia kemudian menghampiri muridnya.
"Mana aku tahu. Ketika aku sampai
di sini sehabis makan jambu dan
rambutan aku langsung tidur di situ."
jawab si pemuda berlagak seperti orang
kaget.
"Jambu dan rambutan? Kalau tak
salah ingat bukankah aku yang
memberikannya padamu." ujar si kakek.
"Betul begitu. Semula kukira ada
kampret yang baik hati memberiku
makanan, tidak kusangka ternyata
kaulah orangnya. Ha... ha-ha."
"Bocah kurang ajar, berani kau
mengatakan aku kampret sekali lagi
tidak kujamin keselamatanmu." seru
Gentong Ketawa. Dia sendiri kemudian
tertawa terkekeh-kekeh.
"Apalagi yang ditertawakan oleh
gendut pesek ini?" batin si pemuda.
"Apakah dia hanya pura-pura tak tahu
kalau Tabib Sesat Timur sudah datang
ke mari?"
"Gege kau tahu mengapa aku
tertawa?" tanya si kakek gendut besar
kemudian.
"Aku tahu. Mungkin ada kerusakan
pada syaraf tawamu, hingga penyakit
gila guru sekarang kambuh lagi. Ha...
ha... ha!"
"Murid sialan. Enak betul kau
bicara. Perlu kau ketahui saat ini aku
sedang memikirkan Tabib Setan. Kurasa
sekarang ini dia tersesat di rumah
orang yang hendak melahirkan. Jadi dia
diminta pertolongannya oleh orang yang
punya hajat untuk menolong istrinya."
"Yang guru katakan masih lumayan,
bagaimana jika dia diminta membantu
sapi yang hendak beranak oleh bapak
sapi?"
Mendengar ucapan muridnya tawa
Gentong Ketawa makin bertambah keras.
"Kau termasuk beruntung karena
dia tak menemukanmu. Aku tahu kurasa
dia ingin menurunkan ilmunya padamu.
Kalau itu sampai terjadi aku sangat
tidak setuju sekali. Aku yakin ilmu
tabib itu selain jahat tentu jelek
sekali. Itulah sebabnya seumur hidup
kuminta kau jangan pernah menemuinya."
"Guru goblok. Bagaimana dia bisa
mengatakan ilmu tabib itu jelek. Aku
sendiri sudah melihat kedahsyatannya.
Bahkan jurus dan pukulan saktinya
sudah diturunkan padaku." kata Gento
dalam hati. Namun untuk menyenangkan
hati Gentong Ketawa, pemuda itu
berkata. "Apa yang guru katakan memang
benar. Aku pun tidak mau mempunyai
guru bekas orang jahat."
Gentong Ketawa tersenyum, merasa
senang mendengar ucapan muridnya. "Nah
seperti itu yang aku suka. Lagipula
seorang murid mempunyai dua guru itu
kurang bagus. Nanti salah satu gurunya
merasa diguru tirikan!"
"Ha... ha... ha, kau ada-ada saja
guru." kata Gento Guyon disertai tawa
terkekeh-kekeh.
"Sudahlah, sekarang sebaiknya
kita pergi!"
"Pergi ke mana?"
"Ke suatu tempat sesuai dengan
mimpiku!"
"Hah...!" Si pemuda tersentak
kaget mendengar ucapan gurunya. Tapi
dia lebih kaget lagi ketika hendak
ajukan pertanyaan ternyata gurunya
sudah tak berada di tempat itu lagi.
"Orang tua aneh, dia hendak
mendatangi tempat yang ada dalam
mimpinya?" gumam Gento Guyon sambil
EMPAT
Laki-laki itu tersenyum ketika
melihat lima gadis yang dalam keadaan
kaku tertotok selesai dibaringkan di
atas batu. Kelima gadis cantik itu
sama sekali tak mengetahui apa yang
bakal terjadi atas diri mereka.
Sementara suasana senja kini telah
berganti dengan kegelapan malam. Dan
di sekeliling lapangan pasir yang luas
itu sebagaimana biasanya kilat mulai
menyambar menyelingi kegelapan. Hal
ini sebenarnya merupakan sesuatu yang
aneh. Karena saat itu langit cerah
tanpa mendung dan cuaca dalam keadaan
baik.
Sementara itu diatas altar, laki-
laki berwajah angker berpakaian serba
merah dan berjubah putih nampak mulai
memeriksa kelima gadis yang menjadi
tawanannya.
"Selamat datang di Tanah Kutukan.
Bila telah sampai di sini tidak ada
kemungkinan bagi kalian untuk kembali
ke dunia luar. Karena aku akan
mengorbankan kalian semua di Tanah
Kutukan ini demi kesempurnaan ilmu
yang kumiliki." kata laki-laki itu
dengan suara dingin menusuk.
"Manusia iblis, apa maksud dari
ucapanmu?" tanya salah seorang dari
kelima gadis yang telah diberi pakaian
warna merah memberanikan diri.
"Maksudku sudah jelas. Hampir
setiap tiga purnama sekali aku harus
mencari gadis-gadis perawan untuk
kujadikan tumbal di tempat ini. Kelak
jika semua ilmu yang kumiliki sudah
mencapai tarap di atas sempurna
barulah aku akan meninggalkan Tanah
Kutukan ini untuk mencari Tiga Mutiara
Langit. Hanya senjata itu yang paling
kutakuti di dunia ini. Jika senjata
itu telah berada dalam genggamanku,
maka aku sudah dapat memastikan
kekuasaan dunia ini sudah pula berada
dalam genggamanku. Ha... ha... ha!"
"Terkutuk keji. Tindakanmu itu
sungguh akan mendapat ganjaran yang
setimpal dari Gusti Allah!" maki gadis
yang terbaring di ujung altar
persembahan.
Laki-laki yang rambut panjangnya
berdiri tegak ini berjingkrak kaget
mendengar ucapan si gadis. Sudah
berpuluh-puluh kali dia melakukan
korban persembahan. Namun baru kali
ini calon korbannya berani bicara
lantang. Kagum juga penasaran atas
keberanian si gadis maka laki-laki itu
datang menghampiri.
"Hebat luar biasa." berkata laki-
laki itu setelah dekat dan berjongkok
di depan si gadis. Sekilas dia
memperhatikan wajah gadis itu.
"Kau seorang gadis yang sangat
pemberani. Aku Braga Swara merasa
kagum padamu. Hem... aku ingat
sekarang. Aku menculikmu di sebuah
penginapan. Aku yakin kau bukan gadis
sembarangan, Kau memiliki ilmu dan
juga kepandaian silat. Siapa namamu?"
tanya laki-laki itu sinis.
"Buat apa kau tahu namaku?"
dengus si gadis. "Jika kau memang
bukan laki-laki pengecut cepat
bebaskan totokanku ini, mari kita
bertarung sampai seribu jurus!"
"Hebat. Tapi ketahuilah, sehebat
apapun ilmu yang kau miliki, jelas kau
bukan tandinganku. Aku sendiri
sebenarnya sangat menyukai gadis
pemberani sepertimu. Tapi sayang
waktuku sangat sempit." berkata begitu
Braga Swara dongakkan wajahnya ke
langit. Bulan sabit terlihat
mengambang di puncak bukit. Selebihnya
langit bertabur bintang. "Sekejap lagi
segala sesuatunya harus segera
dimulai. Aku harus menyalakan peiita
dan pendupaan. Nanti bila bulan sabit
telah bergerak meninggi, di saat itu
acara persembahan tumbal dimulai.
Setan dan roh gentayangan akan turut
menyaksikan sekaligus menjadi saksi
dari semua pengorbanan yang telah
kulakukan. Sekarang tenang sajalah
kalian semua di sini. Aku hendak
melakukan sesuatu di bawah sana. Ha...
ha... ha!" sambil tertawa-tawa Braga
Swara melompat dari altar batu tinggi
itu. Ketika kedua kakinya menyentuh
permukaan pasir, maka tubuhnya amblas
dan raib ke dalam tanah pasir itu.
Gadis di sudut altar melihat
semua keanehan ini. Dalam hati dia
sempat menjadi kaget ketika melihat
kenyataan yang terjadi.
"Apa yang dilakukannya? Mengapa
tubuh orang itu mendadak lenyap begitu
menyentuh tanah?" batin si gadis. Tak
lama kemudian setelah lelah memikirkan
keanehan itu namun tak menemukan
jawaban, si gadis akhirnya memandang
ke samping di mana empat gadis lainnya
dalam keadaan yang sama berada.
"Kalian semua dengar. Nasib kita akan
sama jika tidak melakukan sesuatu
secepatnya." berkata gadis itu.
Suaranya lirih namun dapat didengar
dengan jelas.
Sepi sejenak, lalu gadis yang
terbaring di sudut kiri altar
menyahuti. "Bagaimana kami harus
bersikap. Kami tak memiliki kepandaian
apapun. Kami hanya gadis desa biasa.
Seandainya saja kami dapat berbuat
sesuatu pasti sejak tadi kami sudah
meninggalkan tempat ini!" jawab gadis
itu mewakili tiga temannya.
"Aku Ararini merasa prihatin dan
tak kuasa membayangkan apa yang bakal
terjadi. Tapi aku akan berusaha
menolong kalian jika itu dapat
kulakukan!" kata si gadis. Diam-diam
Ararini kerahkan tenaga dalamnya untuk
membebaskan totokan Braga Swara yang
telah menculiknya. Namun akhirnya si
gadis jadi kaget ketika mendapat
kenyataan totokan yang dilakukan Braga
Swara ternyata sulit dimusnahkan.
"Celaka. Totokan ini saja sulit
kumusnahkan. Bagaimana aku bisa
menolong mereka?" batin si gadis dalam
hati. "Aku harus kembali ke
penginapan. Setelah itu aku akan
menemui guru. Sebelum Braga Swara
datang ke sini, aku harus menggunakan
ilmu Tapak Awan untuk meninggalkan
tempat ini!" Beberapa saat kemudian
bibir mungil si gadis nampak berkomat-
kamit. Sekujur tubuhnya bergetar,
kemudian dalam waktu yang tidak begitu
lama seluruh tubuh gadis itu telah
diselimuti asap putih. Bersamaan
dengan melesatnya asap putih di udara,
maka sosok Ararini ikut pula
terangkat. Satu keajaiban terjadi.
Begitu tubuhnya mengambang di udara
dia pun atas bantuan tabir kabut gaib
melesat pergi meninggalkan altar
persembahan.
"Hei... mengapa kau tinggalkan
kami. Katanya kau hendak menolong,
kenyataannya kau malah pergi seorang
diri!" teriak gadis yang terbaring di
sudut kiri alta
"Maafkan aku. Saat ini aku
sendiri tak mampu membebaskan totokan
ini. Bagaimana aku bisa menolong
kalian? Mungkin kelak aku akan kembali
bersama guruku...!" kata Ararini.
"Ha... ha... ha...! Saat itu kau
hanya menemukan tulang belulang gadis
ini!" Satu suara menyahuti. Di atas
altar satu sosok tubuh jejakkan
kakinya. Ternyata yang datang adalah
Braga Swara. Laki-laki itu sendiri
jauh di dalam hatinya jadi terkejut.
Dia ingat di rimba persilatan hanya
ada satu tokoh yang memiliki ilmu
ajian Telapak Awan. Sebuah ilmu langka
yang dapat dipergunakan apabila
pemilik ilmu itu dalam keadaan
terdesak.
"Dia masih hidup? Tidak mungkin.
Saat itu aku menghantamnya dengan
pukulan mematikan. Tubuhnya terperosok
ke dalam jurang, lagipula dia dalam
keadaan hamil besar. Pasti dia mampus
di dasar jurang Randu Blatung. Jahanam
betul, mengapa aku bisa kecolongan
seperti ini. Padahal tadi seharusnya
kutanyakan apakah dia muridnya Sari
Lukita atau bukan?" Sekali lagi Braga
Swara dongakkan wajahnya ke langit.
Ararini ternyata sudah tidak terlihat
lagi.
Laki-laki itu jadi geram dan
kepalkan tinjunya. Selanjutnya dia
bangkit berdiri. Satu demi satu calon
korban persembahan diperiksanya. Ke
empat gadis nampak ketakutan sekali.
"Sudah menjadi suratan nasib.
Kalian akan menjadi korban mahluk
iblis di sini. Ha... ha... ha. Namun
sebelum iblis muncul, saat ini aku
membutuhkan darah kalian!" kata Braga
Swara.
"Kumohon... kumohon lepaskan
kami." rintih salah satu dari ketiga
gadis dengan wajah tegang dan suara
memelas.
Braga Swara menyeringai.
"Sebentar lagi waktu pembebasan tiba.
Tunggu dan harap bersabar!" kata laki-
laki itu dingin.
Merasa yakin Braga Swara berniat
membebaskan mereka. Maka para gadis
itu nampak gembira sekali. Sementara
Braga Swara kini sudah mengelilingi
sebuah pendupaan yang baru saja
dinyalakan. Di atas pendupaan besar
berbentuk kerucut setinggi lutut
sebilah pedang kecil nampak mulai
menyala dikobari api.
Tidak seorangpun ada yang tahu
apa yang akan dilakukan oleh Braga
Swara. Yang jelas tidak berselang lama
laki-laki itu mulai menari berlenggang
lenggok mengelilingi pendupaan
sedangkan mulutnya berkomat-kamit
membaca mantra-mantra gaib.
"Cikalang tanah ilmuku, ilmu
iblis kekuatan sesat. Aku adalah
pemuja setan. Bumi sebagai tempatku
bernaung dan berlindung. Bila kekuatan
iblis sudah berkuasa dan menjadi
pelindungku. Aku tidur di atas api,
aku menari di atas awan. Kukencingi
laut, segara jadi asin. Lalu aku
gentayangan di atas bumi menebar
malapetaka. Wahai para lurah dan
penghulu kejahatan. Aku datang
menghadap. Malam ini ilmu Cikalang
Tanah harus kau sempurnakan. Korban
persembahan telah kusediakan. Kuhirup
darah mereka dan kau berhak atas jasad
yang tidak berguna!"
Sambil membaca mantra disertai
suara racau tak karuan, Braga Swara
terus menari. Tubuhnya melejang tak
karuan seperti orang yang kesurupan,
sedangkan sepasang matanya kini telah
berubah memerah, memancarkan cahaya
aneh dalam gelapnya altar. Kemudian
dari delapan penjuru arah terdengar
suara raungan aneh disertai langkah
yang menimbulkan getaran laksana
gempa.
Seiring dengan itu pula Braga
Swara menyambar pedang pendek yang
dipanggang di atas pendupaan. Pedang
yang telah berubah memerah laksana
bara itu dibolang-balingkannya di
udara. Kemudian sambil menggerung, dia
menyambar pedang yang berputar aneh di
udara. Selanjutnya Braga Swara
berkelebat ke arah empat gadis sambil
berteriak. "Sekarang saatnya kebebasan
itu!" Sinar merah berkelebat menyambar
leher mulus keempat gadis malang.
Tidak ada pekik atau jerit kesakitan.
Keempat gadis ini hanya mampu delikkan
mata saking kagetnya. Setelah itu
darah menyembur dari bagian leher yang
menganga tersambar mata pedang.
Dengan lahap Braga Swara menyedot
darah keempat gadis itu. Sebagian
darah itu bahkan sengaja dimandikan ke
sekujur tubuhnya. Begitu Braga Swara
selesai menghirup darah korbannya maka
dari sekujur tubuhnya memancarkan
cahaya merah berhawa panas bukan
kepalang. Laki-laki itu tertawa
terkekeh-kekeh. Empat gadis yang
bergeletakan tanpa nyawa dengan luka
mengerikan di lehernya tidak
dihiraukannya lagi. Sinar merah yang
memancar di tubuhnya lenyap. Dia pun
berjingkrak kegirangan.
"Ilmu aneh, kekuatan aneh. Aku
telah menguasai ilmu Cikalang Tanah.
Setiap saat aku bisa menyatu dengan
bumi. Mereka yang menyimpan dendam
padaku pasti akan menjadi kecewa
begitu mendapatkan kenyataan ini.
Ha... ha... ha." Braga Swara tertawa
terbahak-bahak. Dia kemudian duduk
berlutut setelah mengembalikan pedang
pendek di atas pendupaan. Setelah itu
kedua tangan dirangkapkan. Dia
bungkukkan badan menjura ke delapan
penjuru arah.
"Sahabatku. Aku kini percaya kau
telah menepati janji. Sekarang tiba
giliranku menepati janjiku. Telah
kusediakan empat mayat perawan. Kau
berhak memilikinya. Datanglah mendekat
ke mari. Di atas altar korban
persembahan hidangan telah menunggu!"
seru Braga Swara dengan suara
bergetar. Getaran keras kembali
terjadi. Tanah pasir di sekeliling
altar nampak bergerak aneh seperti ada
mahluk bergerak di dalamnya.
"Hrauuuugkh...!"
Lalu terdengar suara lengkingan
aneh. Dari empat penjuru sudut altar
muncul empat kepala berbentuk aneh
seperti kepala ular dengan leher
panjang seperti jerapah, namun
badannya sama sekali tak terlihat.
"Sahabat iblis terima kasih kau
akhirnya mau datang." kata Braga
Swara. Dia kemudian menunjuk ke arah
empat mayat gadis yang baru saja
dibunuhnya.
"Hrauuung...!" kembali terdengar
suara empat mahluk yang munculkan
kepalanya dari empat sudut altar itu.
Empat kepala terjulur dengan mulut
besarnya yang menganga lebar. Sekali
sentak empat mayat gadis itu jatuh di
atas pasir. Ketika empat kepala mahluk
iblis itu lenyap di bawah permukaan
pasir, maka masing-masing mayat yang
berada di bawah ke empat sudut altar
ikut pula lenyap terseret ke dalam
tanah.
Braga Swara tertawa dingin
menyeramkan.
Di atas langit sana bulan sabit
sudah tak terlihat lagi
LIMA
Dua pemuda berpakaian serba putih
berkepala botak mondar-mandir di dalam
kamar penginapan yang terdapat di
sebuah kota kecil Tawangharjo. Salah
seorang diantaranya yang membekal
golok besar di bagian punggung
kemudian nampak sibuk memeriksa
jendela serta langit-langit kamar yang
jebol. Sedangkan yang satunya lagi
setelah memeriksa senjata berupa roda-
roda kembar akhirnya buka suara.
"Senjata kakak Taktu Ararini,
tempat perbekalannya semua ada di
sini. Mana mungkin bertindak seperti
orang linglung dengan meninggalkan
senjatanya di sini."
"Kau betul adik Takga. Aku telah
melihat bagaimana langit-langit itu
jebol serta jendela yang rusak. Jelas
menurutku ada seseorang berkepandaian
tinggi menyelinap masuk ke tempat ini,
lalu menculik kakak Taktu. Aku
khawatir saat ini dia berada dalam
bahaya besar. Seperti yang dipesan
oleh guru Peri Tanpa Bayangan, musuh
besarnya yang bernama Braga Swara
adalah manusia licik berkepandaian
sangat tinggi yang saat ini sedang
mengamalkan ilmu keji. Salah satu
syarat untuk menguasai ilmu iblis itu
adalah dengan meminum darah
perawan...!"
"Maksudmu kakak Taktu diculik
oleh Braga Swara?" tanya Takga alias
botak ketiga.
"Tepat." jawab Takwa alias Botak
kedua serius.
"Tidak mungkin, Tanah Kutukan
masih sangat jauh dari sini. Menurutku
tidak mungkin Braga Swara berkeliaran
sampai sejauh ini." bantah Takga.
Botak kedua usap-usap kepalanya
yang plontos tanpa rambut.
Dia menyeringai di saat
ketegangan merayapi dirinya.
"Ada sesuatu yang kau lupa, adik
Takga. Pada waktu tertentu seperti
yang kita dengar tiga purnama sekali
Braga Swara gentayangan mencari calon
korban. Dia tidak mencari perawan
jelek korengan apalagi ingusan. Tapi
yang hendak dijadikan korbannya pasti
perawan cantik. Menurutmu apakah kakak
Takga tidak cantik?" tanya Takwa.
Yang ditanya tersenyum. "Waktu
kepalanya dibotaki oleh guru, dia
memang mirip laki-laki tampan seperti
kita. Tapi setelah rambutnya dibiarkan
tumbuh memanjang, ternyata dia sangat
cantik. Celakanya akibat mengamalkan
ilmu Rintihan Kematian dan ilmu
Melangkah Di Atas Mendung rambut di
kepala kita sejak dibotaki pertama
kali hingga sekarang tidak mau tumbuh
lagi. Sedangkan kakak Takwa karena
mengamalkan ilmu yang lain setelah
dewasa rambutnya bagus badannya juga
mulus. Maunya kakak Taktu Ararini jadi
istriku. Ha... ha... ha."
"Hus bicaramu ngawur suka mencla-
mencle. Kau harus ingat saat ini kakak
Taktu pasti berada dalam bahaya besar.
Kita harus melakukan sesuatu untuk
menolongnya." ujar pemuda berkepala
botak itu serius.
"Semua ini salahmu, coba kalau
kita tidak terlalu banyak bermain di
perjalanan, tentu kita sampai di
penginapan ini bersama-sama. Sekarang
kita hendak menuju ke Tanah Kutukan.
Jika betul kakak Taktu ada di sana itu
tak jadi soal, tapi jika ternyata
tidak. Berarti kita hanya membuang
tenaga sia-sia." sahut Takga.
"Lalu sekarang apa yang harus
kita lakukan? Menunggu sampai guru
menyusul ke mari menggebuk kita.
Atau...?" Belum lagi Takwa sempat
melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba
terdengar suara mengerang disertai
hancurnya bagian langit-langit. Satu
sosok melayang bersama hancurnya
langit-langit ruangan. Melihat siapa
yang jatuh, Takwa dan Takga berebut
menyelamatkan mereka. Tapi akibatnya
mereka bertubrukan satu sama lain
sehingga kepala mereka benjut benjol
sedangkan yang hendak ditolong malah
jatuh bergedebukan di atas lantai.
"Kakak Taktu... apa yang terjadi
denganmu?" seru Takwa dan Takga hampir
bersamaan.
Di atas lantai gadis cantik yang
pakaiannya telah diganti dengan
pakaian merah merintih.
Asap tebal yang menyelubungi diri
gadis itu kini berangsur lenyap dan
hilang sama sekali.
"Kau... Takwa dan adik Takga,
hampir saja kita tidak dapat bertemu
selamanya." kata si gadi yang bukan
lain adalah Ararini alias Taktu.
"Rupanya apa yang telah terjadi?"
tanya Takwa.
"Braga Swara menculikku di saat
aku menunggu kedatangan kalian di
sini. Untung aku punya ajian Tapak
Awan hingga aku dapat meloloskan diri.
Jika tidak, mungkin nasibku sam
seperti dengan keempat gadis malang
itu. Kemudian Taktu Ararini
menceritakan segal sesuatu yang
terjadi di Tanah Kutukan.
"Kurang ajar. Jadi benar seperti
yang dikatakan guru, Braga Swara saat
ini sedang mengamalkan ilmu sesat
dengan mengorbankan gadis perawan
sebagai tumbalnya?" desis Takga sambil
mengepalkan tinjunya.
"Apa yang dikatakan guru memang
benar. Aku sendiri bahkan hampir
menjadi korbannya" sahut Ararini yang
semasa kecil dikenal sebagai Taktu
alias botak kesatu. Untuk lebih jelas,
ikuti serial Gento Guyon episode
'Tabib Setan'.
"Sekarang sebaiknya kita pergi ke
Tanah Kutukan. Kita bertiga aku yakin
mampu membunuhnya!" ujar Takwa.
"Kita tidak bisa gegabah. Tanah
Kutukan merupakan tanah pasir yang
bagian dalamnya selalu bergerak. Tanah
itu tidak bisa kita pijak. Kita harus
menunggu perintah dari guru. Bagaimana
pun Braga Swara bukan manusia
sembarangan. Aku sendiri sampai
sekarang ini tak mampu membebaskan
totokannya."
"Hah... jadi kakak masih dalam
keadaan tertotok?" seru Takwa dan
Takga kaget.
"Kau pikir aku mau jatuh
sedemikian rupa?" dengus Ararini.
"Lalu bagian mana yang ditotok?"
tanya Takga.
"Bagian punggung dan leherku."
jawab Ararini.
"Itu sih gampang, biar aku yang
membebaskannya!" ujar Takga. Pemuda
beralis tebal ini lalu duduk di depan
si gadis. Setelah mengetahui di bagian
mana yang kena ditotok, maka Takga
dengan tangan kanannya segera
melakukan usapan beberapa kali. Tapi
betapa kagetnya pemuda berkepala botak
yang pitak di bagian belakang ini
ketika menyadari usahanya untuk
membebaskan totokan sama sekali tak
berhasil.
"Kakak Takwa, totokan yang
dilakukan iblis itu alot amat.
Sebaiknya kita gabungkan tenaga
dalammu dan tenaga dalamku untuk
menolong kakak Taktu." pinta Takga.
Sambil bersungut-sungut Takwa
datang menghampiri. Dia lalu duduk di
belakang adiknya. "Jadi orang jangan
sombong, mulut besar kemampuan tak
ada. Hayo sekarang lakukan!" berkata
begitu Takwa menempelkan kedua tangan
di bagian punggung adik seperguruannya
yang paling bungsu. Begitu Takga
merasa mendapat tenaga tambahan. Maka
dengan dua jari tangan dia menyentuh
leher dan punggung Taktu.
Plash!
Totokan itu lenyap. Begitu merasa
bebas Taktu melompat bangkit berdiri,
lalu meraih roda-roda terbangnya yang
tergeletak di atas balai tempat tidur.
Senjata diletakkan di bagian punggung.
Setelah itu dia pandangi kedua pemuda
di depannya.
"Kita tidak mungkin datang ke
sana bertiga, seperti yang kukatakan
tadi paling tidak kita harus menunggu
petunjuk guru." Sekali lagi Taktu
memberi penegasan.
"Apakah kita tidak dapat
mengambil keputusan sendiri. Apa-apa
minta petunjuk? Kalau tidak memalukan
kurasa mau buang hajat pun harus minta
petunjuk." kata Taktu tidak sabaran.
Taktu dan Takwa saling pandang,
lalu sama tersenyum.
"Satu hal yang membuatku heran
sampai kini, mengapa guru dan Braga
Swara itu bermusuhan? Kebenciannya
pada laki-laki itu tampaknya begitu
mendalam." sergah Takwa.
"Jadi kau belum tahu apa yang
membuat guru bersikap seperti itu?"
tanya Taktu alias Ararini.
Bukan hanya Takwa yang gelengkan
kepala, Takga juga ikut menggeleng.
"Jadi kakak Taktu tahu?" tanya
Takga.
Si gadis anggukkan kepala. Dia
lalu kerutkan keningnya, mencoba
mengingat segala sesuatu yang terjadi
beberapa tahun yang lalu. Sampai
kemudian Taktu berkata. "Malam itu
kulihat guru menangis, ketika aku
datang kulihat wajahnya begitu sedih.
Akupun lalu bertanya gerangan apa yang
telah terjadi." sampai di sini Taktu
hentikan ucapannya.
"Lalu bagaimana, kau ikut
menangis juga?" tanya Takwa tidak
sabaran.
Taktu gelengkan kepala.
"Katanya guru sangat bersedih
karena meninggalkan suaminya dan pergi
dengan pemuda lain. Entah mengapa dia
begitu tergila-gila dengan pemuda itu.
Mereka kemudian mengembara, hingga
guru hamil. Tapi pemuda mata keranjang
itu kemudian malah bermaksud
membunuhnya dengan memukul guru sampai
akhirnya masuk ke dalam jurang. Guru
selamat, namun anak dalam kandungannya
meninggal. Sedangkan pemuda itu
kemudian pergi dengan wanita lain.
Bertahun-tahun guru menyesali nasib.
Menyesal karena telah meninggalkan
suaminya. Dendamnya pada pemuda yang
tak bertanggung jawab itu begitu
mendalam. Di sisi lain dia juga merasa
dikejar-kejar dosa. Karena itu dia
kemudian membotaki kepalanya dan
menjadi seorang rahib. Namun rasa
penasaran membuatnya meninggalkan
biara, kemudian memperdalam ilmu
silatnya guna untuk membalas dendam.
Rupanya setelah melakukan penyelidikan
pemuda yang bernama Braga Swara
setelah malang melintang melakukan
berbagai kejahatan termasuk juga
menodai gadis-gadis serta istri orang.
Dia kemudian mengasingkan diri di
Tanah Kutukan untuk memperdalam ilmu
baru yang dimilikinya. Terbukti
kemudian dengan keyakinannya yang
menyesatkan dia banyak menculik para
gadis diambil darahnya kemudian mayat
gadis itu diberikan pada mahluk iblis
yang tinggal di bawah tanah pasir."
"Huk... huk... huk. Jahanam betul
laki-laki itu. Kasihan sekali guru.
Memangnya wajah suaminya jelek hingga
dia meninggalkannya begitu saja!"
tanya Takga sambil mengusap matanya
yang memerah.
"Entahlah, mungkin itu menyangkut
masalah yang sangat pribadi sekali.
Sekarang ini sebaiknya kita bersiap-
siap untuk berangkat." kata Taktu pada
kedua adik seperguruannya.
"Kita bertiga berangkat ke sana,
apakah itu namanya tidak membuang
nyawa sia-sia?" tanya Takwa sambil
memutar toya di tangannya.
"Apapun yang terjadi kita
tanggung bersama." jawab Taktu dan
Takga. Merasa tak punya pilihan lain,
akhirnya Takwa terpaksa mengikuti
kedua saudara seperguruannya.
ENAM
Sampai di satu tempat si gendut
besar luar biasa ini hentikan larinya.
Matanya yang sipit berputar memandang
jelalatan ke setiap sudut tanah
lapangan luas di hadapannya. Si kakek
monyongkan bibirnya. Wajahnya yang
keringatan perlihatkan rasa kecewa.
"Jelas bukan di sini tempat yang
kulihat dalam mimpiku itu. Dalam mimpi
aku melihat lapangan pasir yang sangat
luas. Di tengah lapangan itu terdapat
sebuah altar dari batu hitam.
Sedangkan lapangan ini dikelilingi
pohon besar, batu-batu cadas, sarang
landak dan juga beberapa jenis ular
berbisa. Hemm, aku datang ke alamat
yang salah." kata si kakek gendut
Gentong Ketawa.
Selagi si kakek dilanda kebi-
ngungan, maka pada saat itu pula
mendadak sontak dia mendengar suara
orang di belakangnya. "Inikah tempat
yang kau lihat dalam mimpimu guru.
Tempat seperti ini kadal buntung pun
kurasa tidak mau tinggal di sini!"
Mendengar suara yang sangat
dikenalnya, Gentong Ketawa langsung
menoleh. Dia jadi kaget begitu melihat
tahu-tahu Gento Guyon telah berdiri
tegak di belakangnya.
"Kau... bagaimana ilmu lari cepat
dan ilmu meringankan tubuhmu jadi
sehebat ini?" tanya Gentong Ketawa
dengan kening berkerut.
"Ha... ha... ha. Aku bukan
pemalas sepertimu guru. Setiap hari
aku berlatih, sedangkan kau enak-
enakan tidur. Sudahlah, jangan pula
sekarang kau hendak mengalihkan
perhatian. Menurutmu guru melihat
lapangan pasir yang luas. Di tengah
lapangan itu ada sebuah altar
pemujaan. Apakah tempat seperti ini
yang kau maksudkan?" tanya Gento.
Gentong Ketawa buru-buru
menjawab. "Bukan... tempatnya jelas
bukan seperti ini. Kita keliru lagi."
"Sudah sepuluh kali kita keliru.
Yang aku herankan kau percaya dengan
segala macam mimpi, sungguh edan.
Bagaimana jika sekarang kita pergi ke
tempat lain saja sambil melatih ilmu
yang baru."
"Mana boleh begitu. Kau dengar...
yang kulihat dalam tidurku bukan hanya
sekedar mimpi, tapi semacam petunjuk.
Aku melihat pembunuhan keji di sana.
Aku juga melihat mahluk aneh berleher
panjang berkepala empat. Semua ini
merupakan suatu bukti aku bukan hanya
sekedar mimpi." kata Gentong Ketawa
tetap bersikeras.
Gento Guyon gelengkan kepala.
Rasanya percuma saja dia memberi
pengertian pada gurunya. karena
bagaimana pun kakek itu tetap
bersikeras pada pendiriannya.
Tapi mungkin apa yang dikatakan
kakek Gentong Ketawa memang ada
benarnya. Kalau tidak mana mungkin
gurunya ngotot seperti itu.
"Sekarang apa? Setelah mendatangi
sarang kecoak ini selanjutnya kita ke
mana?" tanya si pemuda dengan mata
berkedip-kedip.
Si kakek jadi bingung dan merasa
pusing sendiri. Beberapa saat lamanya
dia terdiam. Berpikir sejenak namun
otaknya tidak menemukan suatu
kesimpulan apapun. Akhirnya Gentong
Ketawa jadi bicara sesuka hati
sendiri. "Tempat itu yang pasti masih
di sekitar tanah Jawa juga. Jika kita
mau menelusuri atau mencarinya secara
teliti lama kelamaan pasti akan kita
ketemukan juga. Ha... ha... ha."
Gento Guyon belalakkan mata dan
jadi kesal mendengar ucapan gurunya.
Dengan mulut terpencong dia keluarkan
suara. "Guru... berapa lama kita harus
melakukannya? Tanah Jawa ini luas. Dua
purnama kita melakukan pelesiran
perjalanan tak akan usai. Kurasa
sampai botak sariawan sekalipun kita
tidak menemukan tempat yang guru
maksud. Terkecuali kita berpindah
tempat."
"Eeh, apa maksudmu?! Pindah
tempat juga tak jadi apa asal kita
menemukan daerah yang kulihat dalam
mimpiku itu." ujar si kakek yang tidak
mengerti arah ucapan muridnya.
"Ha... ha... ha. Pasti akan
membuatku sangat repot dan aku sendiri
belum tentu bersedia melakukannya.
Karena tempat itu ada di akherat. Ha..
ha... ha." kata Gento Guyon disertai
tawa bergelak.
Mata sipit si kakek mendelik.
Pelipisnya bergerak-gerak, rahang
menggembung, sedangkan wajahnya yang
bulat nampak memerah. "Gege murid
edan. Mengapa kau tidak terus terang
mengatakan agar aku mati!"
"Hal itu sudah kukatakan tapi
dalam doa yang kupanjatkan! Ha...
ha... ha." sambil memegangi perutnya
si pemuda,kembali tertawa.
"Bocah edan anak kampret.
Kupecahkan batok kepalamu sekarang
juga!" hardik Gentong Ketawa. Lupa
bahwa di antara mereka adalah murid
dan guru yang mempunyai watak serta
sifat aneh. Dengan gerakan seringan
kapas secepat angin berhembus. Sosok
tinggi besar luar biasa ini melesat ke
arah si pemuda. Salah satu tangan
mencengkeram dada sedangkan tangannya
yang lain dihantamkan ke bagian kepala
muridnya.
"Bagus. Sintingnya lagi angot,
murid sendiri pun hendak dibunuhnya.
Ha... ha... ha!" Kemudian enak saja
Gento Guyon gerakkan tangan kanan
menangkis kedua tangan si kakek dengan
gerakan dari bawah ke atas.
Terjadi benturan yang membuat
Gento terhuyung. Namun cepat sekali
dia susupkan tangan kiri ke perut
gurunya. Jemari tangan menggelitik
hingga membuat si kakek tertawa
tergelak-gelak.
"Sudah... sudah. Aku paling tidak
tahan bila kau gelitiki." Tubuh besar
si kakek terhuyung-huyung, sedangkan
kedua tangan menekab bagian perutnya.
Gento surut, dia lalu membolak-balik
tangan yang memang membiru akibat
bentrok dengan tangan gurunya tadi.
Sebaliknya Gentong Ketawa sendiri
jadi heran. Rasanya dia merasa asing
dengan gerakan silat yang dilakukan
muridnya. "Kau tadi menggunakan jurus
apa. Rasanya aku belum pernah
mengajarkan jurus seaneh itu padamu?"
"Ah, mengapa aku berlaku ceroboh?
Mestinya tidak kuperlihatkan jurus
warisan Tabib Sesat Timur padanya."
batin si pemuda. Namun dasar otaknya
cerdik dan panjang akal. Tenang saja
dia menjawab. "Yang guru lihat tadi
jurus Belalang Mabuk yang kugabung
dengan jurus ciptaanku sendiri.
Hasilnya seperti yang guru lihat.
Ha... ha... ha." kata Gento disertai
tawa terkekeh-kekeh.
Si kakek terdiam, berpikir sesaat
lalu manggut-manggut. Walau kurang
yakin betul, namun dia percaya
muridnya mampu melakukan hal itu
mengingat muridnya memang cerdik dan
banyak akalnya.
"Kau memang lain dari yang lain.
Kelak aku yakin kau pasti lebih hebat
dariku." puji si kakek.
"Dasar pikun, apa yang kukatakan
langsung dipercaya begitu saja." batin
si pemuda merasa geli sendiri.
"Hu... hu... hu.. Hidup di dunia
lebih lama menunggu apa? Setiap
langkah penuh kesialan karena ulahku
sendiri. Suamiku... maafkanlah diriku
yang bodoh dan penuh dosa ini." Selagi
Gento dan gurunya saling pandang dan
tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Mereka dikejutkan dengan terdengarnya
suara tangis.
"Ada setan menangis?" desis
Gento.
"Bukan setan. Bangsa setan tak
pernah menangis. Suaranya datang dari
arah sana!" kata si kakek. Murid dan
guru ini kemudian berkelebat ke arah
datangnya suara. Mereka berdiri di
balik kerimbunan semak belukar,
mengintai dari balik semak-semak itu.
Tidak jauh di depan mereka tepat di
atas batang kayu yang roboh duduk
sosok nenek tua berpakaian serba putih
dan berkepala botak. Melihat kepala si
nenek, Gento langsung menyeringai,
sedangkan Gentong Ketawa nyaris tak
mampu menahan tawanya. Untung Gento
cepat bekap mulut gurunya. Kalau tidak
kehadiran mereka pasti diketahui oleh
nenek botak yang sedang menangis.
"Guru apa yang dilakukannya di
sini? Menangis bersedih-sedih seorang
diri. Jangan-jangan dia peri gundul."
bisik si pemuda dekat telinga gurunya.
"Bukan... kurasa dia neneknya
tuyul." sahut gurunya.
"Memangnya nenek tuyul gundul
begitu?" tanya Gento heran.
"Mana aku tahu dia nenek tuyul
apa emak tuyul. Melihat tuyul saja aku
belum pernah." jawab Gentong Ketawa.
Lagi-lagi dia hampir tak kuasa menahan
tawanya.
Gento Guyon terdiam, dia lalu
julurkan kepala memperhatikan nenek di
atas batang kayu dengan seksama.
Sejenak kemudian tangis si nenek
terdengar lagi. Kali ini lebih keras
tersendat-sendat.
"Dia menangis lagi guru. Kalau
tidak coba guru bujuk sana. Elus-elus
kepalanya agar dia merasa disayang.
Siapa tahu dia baru saja habis
ditinggal mati suaminya. Kalau kalian
berjodoh kurasa guru dan dia merupakan
pasangan yang serasi." kata Gento
sambil tersenyum.
"Serasi gigimu meletus." dengus
si kakek cemberut. "Enak saja kau
menyuruh dan menjodoh-jodohkan orang.
Biar jelek begini mencari gadis
perawan aku masih sanggup."
Gento Guyon tidak menanggapi
melainkan menyengir. Sementara nenek
itu sudah hentikan tangisnya. Mulutnya
berucap. "Braga Swara, Tanah Kutukan
bukan berarti apa-apa bagiku. Aku
pasti datang ke sana untuk menuntut
balas atas segala dosamu. Manusia
keparat, laki-laki durjana. Kau tak
akan lolos dari kematian!" Selesai
berkata begitu tanpa menghiraukan
kehadiran Gento dan gurunya si nenek
bangkit kemudian berkelebat pergi.
Gentong Ketawa tak kuasa lagi menahan
tawa yang ditahannya sejak tadi.
"Apa yang kau tertawakan guru.
Bukankah nenek itu ada menyebut Tanah
Kutukan. Kurasa lebih baik kita
mengikutinya. Mumpung bau keringatnya
masih tercium sehingga kita tidak
kehilangan jejak." ujar si pemuda. Si
kakek hentikan tawanya. "Perempuan itu
kurasa putus asa berat. Mungkin saja
dia bingung, kau lihat tadi kepalanya
jadi gundul begitu." kata si kakek.
"Aku jadi ingat tiga bocah botak
yang kita temukan dulu ketika aku
masih kecil. Mungkin mereka punya
hubungan tertentu dengan nenek itu.
Kurasa sebaiknya kita ikuti saja dia.
Siapa tahu kita bisa sampai ke tempat
yang ada dalam mimpimu!" ujar Gento.
Aku setuju. Mari kita pergi."
kata Gentong Ketawa.
TUJUH
Empat kubur yang berada di bawah
pohon rindang itu nampaknya baru saja
digali. Tiga dari kubur itu sama
sekali tidak diberi batu nisan.
Sedangkan yang terletak di sudut kanan
menancap tegak sebuah nisan yang di
atasnya bukan tertera nama orang yang
dikuburkan melainkan nama benda.
Pemacul Iblis mengamat-amati
keempat makam satu persatu, mulutnya
menyeringai ketika melihat makam yang
terletak di sudut kanannya.
"Di sini terkubur dengan damai
Tiga Permata Langit'."
Begitu bunyi tulisan di batu
nisan. Pemacul Iblis berdecak penuh
rasa kagum. Dia jatuhkan diri,
berlutut di samping makam sambil
mengelus-elus nisan kepala makam tidak
ada henti dia berucap. "Oh, dewa mana
yang begitu berbaik hati padaku. Susah
payah aku mencari Tiga Permata Langit.
Tidak tahunya dengan mudah kutemukan
di sini." Kata laki-laki berambut
botak, beralis licin berjenggot dan
berkumis licin tanpa rambut masing
masing di sebelah kiri ini sambil
berjingkrak girang.
Namun beberapa saat kemudian
keningnya berkerut tajam. Dia berpikir
mungkinkah semudah itu untuk
mendapatkan Tiga Permata Langit? Dia
sendiri telah mencari tiga senjata
maut itu di tempat pemiliknya, yaitu
Kubur Tua para keluarga Pendekar Walet
Putih. Seperti diketahui setelah
seluruh makam digali Pemacul Iblis
tidak mendapati benda yang dicarinya
berada di salah satu makam tersebut.
Jadi mungkinkah seseorang telah
memindahkan benda itu? Siapa? Juru
kunci makam?
Rasanya mustahil sekali. Pemacul
Iblis meninggalkan Ki Rekso Monggo
Jolodo dalam keadaan tubuh kaku
tertotok. Tidak mudah membebaskan
totokannya terkecuali orang itu
memiliki tenaga dalam lebih tinggi
dari tenaga dalam yang dimiliki oleh
Pemacul Iblis.
"Mengapa harus ragu? Keraguan
tidak pernah menyelesaikan semua
masalah. Sebaiknya kugali tiga makam
lainnya, baru setelah itu makam yang
ada nisannya." pikir kakek berbadan
kurus kering ini.
Pacul besar berwarna hitam
kemudian diturunkan. Dengan cepat dia
mulai menggali kubur pertama. Ternyata
kubur ini dalamnya cuma selutut.
Pemacul Iblis harus menelan keke-
cewaannya karena tidak menemukan apa-
apa di situ. Sambil mengerutu kesal
karena merasa tertipu, si kakek
berpindah ke makam yang satunya lagi.
Dengan kecepatan luar biasa Pemacul
Iblis mulai melanjutkan pekerjaannya
menggali. Hasilnya tetap kosong.
Begitulah yang terjadi di makam
ketiga.
"Bangsat kurang ajar siapa yang
berani menipuku?" maki Pemacul Iblis
dengan muka merah padam. Beberapa saat
lamanya si kakek memandang ke segenap
penjuru arah, kenyataan yang dia
hadapi membuat Pemacul Iblis rupanya
jadi curiga. Namun dia tidak melihat
ada tanda-tanda mencurigakan di tempat
itu. Kini perhatiannya beralih pada
makam satu-satunya yang belum digali.
"Di sini satu-satunya harapanku.
Jika tidak kutemukan Tiga Permata
Langit di sini entah ke mana lagi
harus kucari." kata kakek tua itu
seorang diri.
Dengan perasaan diliputi rasa
penasaran Pemacul Iblis kembali
mengayunkan pacul besarnya. Ketika
pacul itu melesat menghantam tanah
kubur, angin berkesiuran disertai
suara mendesing tajam pertanda si
kakek mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya.
Tanah berhamburan, sekejap makam
pun tergali cukup dalam. Sampai
akhirnya pacul si kakek membentur
sesuatu. Craak! Benturan keras yang
terjadi membuat hati Pemacul Iblis
berdebar keras. Dengan hati-hati dia
menggali sisa tanah dengan kedua
tangannya hingga kemudian dia melihat
sebuah kotak hitam berbentuk empat
persegi. Kotak diangkatnya. Si kakek
menyeringai.
"Akhirnya kudapatkan juga. Ha...
ha... ha." Pemacul Iblis melompat
keluar dari dalam lubang. Dia merasa
yakin sekali isi kotak bukan lain
adalah Tiga Permata Langit. Mungkin
inilah yang membuatnya tertawa.
Dengan sangat berhati-hati,
sambil duduk di bawah pohon Pemacul
Iblis mulai membuka kotak itu. Mulut
tersenyum, kumisnya yang cuma sebelah
berjingkrak. "Dasar kalau sudah
rejeki, terkadang tidak perlu mencari
dia akan datang sendiri. Ho… ho...
ho." kata si kakek. Lalu penutup kotak
dibukanya. Ketika penutup kotak dibuka
tercium bau busuk menyengat. Hidung si
kakek mengendus-endus, bau busuk
semakin menyengat. Meskipun mulai ragu
si kakek membuka penutup kotak yang
kedua.
Begitu terbuka seluruh kotak
dicampakkannya. Perut Pemacul Iblis
terasa mual.
"Kurang ajar keparat. Siapa yang
berani mempermainkan aku dengan
menaruh kotoran manusia ke dalam
kotak? Huek... huek...!" Pemacul Iblis
semburkan muntahan dari dalam
perutnya. Dalam kesempatan tu mendadak
sontak terdengar suara tawa cekikikan
dari balik gundukan batu yang terdapat
di belakang pohon. Pemacul Iblis yang
sudah sangat marah karena merasa
dipermainkan orang tekab mulutnya. Dia
memandang ke arah datangnya suara.
Tanpa bicara lagi sambil katupkan
bibirnya dia menghantam ke arah
gundukan batu. Sinar hijau berkiblat,
hawa panas menebar. Di balik gundukan
batu terdengar suara pekikan disertai
dengan berkelebatnya satu sosok
berbadan kecil pendek berpakaian
kuning. Di saat sosok itu melesat di
udara terdengar suara sempritan aneh.
Pukulan yang dilepaskan si kakek
menghantam pinggang gundukan batu.
Batu besar hancur berkeping-keping. Di
depan Pemacul Iblis kini berdiri satu
sosok dengan tinggi sepinggang
berhidung besar, bermulut kecil
sedangkan wajahnya dipenuhi keriput
seperti wajah seorang kakek tua.
"Bocah tua keparat. Kau rupanya
yang punya kerja. Kurang ajar! Kubunuh
kau!!" berkata begitu si kakek kurus
yang merasa tertipu ini sambar pacul
besarnya. Pacul diayunkan mengeluarkan
suara menderu, cahaya hitam berkelebat
menghantam ke bagian kepala si Bocah
Tua alias Hidung Setan. Jika tidak
menghindar secepat yang dapat
dilakukan bocah berwajah kakek renta
ini, pastilah kepalanya jadi terbelah.
Tapi sambil tertawa cekikikan enak
saja Bocah Tua menggeser tubuhnya ke
samping. Pacul besar amblas ke dalam
tanah tidak mengenai sasarannya.
Melihat serangannya gagal,
Pemacul Iblis menggerung marah. Sambil
mencabut pacul dia hantamkan tangan
kirinya ke arah si Bocah Tua. Serangan
ini bukan pukulan biasa. Karena
siapapun yang menjadi sasaran tubuhnya
akan hangus gosong dan tewas seketika.
"Tua bangka gila. Kau memukulku
dengan pukulan Petir Neraka?!" Si
Bocah Tua keluarkan seruan kaget.
Sadar betapa ganasnya pukulan yang
dilepaskan si kakek, maka Si Bocah Tua
gulingkan dirinya ke samping, lalu
berjumpalitan menjauh selamatkan diri.
Sinar merah bara menderu,
menghanguskan apa saja yang dilaluinya
sampai kemudian mengeluarkan suara
berdentum begitu menghantam pohon
besar di atas makam. Pohon hangus
menyala dan mengeluarkan suara
gemeretak mengerikan.
"Tobaaaat...!"
"Heem, lekaslah kau bertobat
sebelum aku memukulmu dengan pukulan
Halilintar Iblis!" seru Pemacul Iblis.
Kakek yang gampang naik darah dan
pernah gila akibat kekasihnya diculik
oleh Braga Swara ini angkat kedua
tangannya yang sudah berubah merah
kehitaman.
"Tobat jangan kau lakukan itu.
Aku... aku bisa mampus! Aku minta
maaf, sungguh aku mohon maaf." berkata
begitu Si Bocah Tua rangkapkan kedua
tangannya sambil membungkuk hormat.
Melihat sikap yang ditunjukkan oleh Si
Bocah Tua, kemarahan Pemacul Iblis
jadi surut. Perlahan dia turunkan
kedua tangannya. Dia lalu melangkah
maju sambil membentak.
"Katakan mengapa kau mengerjai
aku?"
"Aku... aku hanya bercanda.
Maafkanlah." ujar Si Bocah Tua jadi
salah tingkah.
"Jadi betul kau yang membuat
makam-makaman?"
"Benar."
"Kau juga yang telah membuang
hajat dalam kotak, kemudian
menguburkan kotak itu?!" bentak
Pemacul Iblis masih tak mampu memendam
rasa kesalnya.
"Iya. aku.... Semua itu karena
iseng. Kulihat setiap tempat yang kau
lalui pasti kau gali. Semua kubur kau
buat porak poranda. Jadi tiba-tiba
timbul keisenganku untuk mengerjaimu."
kata Si Bocah Tua.
"Kurang ajar betul. Tidak tahukah
kau bahwa sejak dulu aku punya
keinginan besar untuk membalas dendam
pada Braga Swara. Aku tak mau mati
konyol sebelum dendam terbalaskan
mengingat ilmu kesaktian yang dimiliki
oleh Braga Swara kini semakin
bertambah tinggi." tegas si kakek.
Si Bocah Tua gelengkan kepala.
Dia tersenyum, tapi wajahnya unjukkan
tampang sedih. "Kau baru kehilangan
kekasih, itupun sempat membuat
linglung selama bertahun-tahun.
Sedangkan aku! Huk... huk... huk.
Istriku malah dibawa kabur oleh Braga
Iblis. Dasar nasib, namun aku masih
dapat tertawa-tawa sebagaimana yang
kau lihat. Hi... hi... hi!"
"Jadi kau tidak punya rasa dendam
untuk membalas kepedihan hatimu?"
tanya Pemacul Iblis.
"Walau badanku pendek, tapi
dendamku pada Braga Swara setinggi
gunung. Saat ini kurasa kalau pun kita
bersatu tak mungkin dapat mengalahkan
laki-laki durjana itu. Namun harus kau
ingat, dengan Tiga Permata Langit ada
di tangan kita, kurasa dia tidak akan
luput dari maut!"
"Hah, jadi benda itu sekarang ada
padamu?" desis Pemacul Iblis dengan
mata mendelik saking kagetnya.
Si Bocah Tua anggukkan kepala.
Dia kemudian menceritakan bagaimana
Tiga Permata Langit itu dia dapatkan.
Setelah itu diapun kembali tertawa.
"Kurang ajar." dengus Pemacul
Iblis. "Kelebihanmu, walau badan kecil
tapi dikaruniai hidung besar oleh
Tuhan. Selain itu penciumanmu sangat
tajam. Jika aku punya penciuman
sepertimu, tentu aku tidak dapat kau
tipu. Sekarang coba tunjukkan
bagaimana rupa Tiga Permata Langit
itu?" pinta Pemacul Iblis. Nada
suaranya berubah pelan bersahabat.
"Benda itu sekarang ada dalam
mulutku."
"Hah apa? Cepat keluarkan, aku
mau melihatnya!" desak Pemacul Iblis
sambil melangkah mundur.
"Tiga Permata Langit tidak boleh
kau lihat sebelum kita sampai di Tanah
Kutukan." jawab Si Bocah Tua sambil
melangkah mundur.
"Aku hanya ingin melihat!"
berkata begitu Pemacul Iblis melompat.
Maksudnya hendak mencengkeram leher Si
Bocah Tua.
Tapi Bocah Tua membentak. "Kau
mencekikku? Bagaimana jika ketiga
Permata Iblis sampai tertelan? Dia
akan mendekam dalam perutku. Untuk
mengeluarkannya membutuhkan waktu satu
purnama. Itupun jika aku makan buah,
jika aku makan ubi yang keluar cuma
kentut melulu tanpa ampas. Bisa jadi
setahun kemudian kita baru dapat
membalas dendam. Saat itu mungkin kau
sudah mati karena digerogoti penyakit
dendam."
Mendengar ucapan Si Bocah Tua,
Pemacul Iblis urungkan niatnya. Dia
jadi ragu-ragu antara ingin memaksa
bocah itu memperlihatkan Tiga Permata
Langit atau urung. Karena tidak ingin
terjadi sesuatu di luar perhitungan
maka Pemacul Iblis akhirnya hentikan
gerakannya.
"Baiklah. Jika begitu katamu aku
tak berani memaksa. Sekarang kita
tunggu apalagi?"
"Maksudmu?" Si Bocah tak
mengerti.
"Kita harus pergi ke Tanah
Kutukan untuk mengadakan perhitungan
dengan Braga Swara, bagaimana
pendapatmu?"
"Hi... hi... hi. Perhitungan
memang sudah saatnya dilakukan. Tapi
kita tidak bisa datang menyatroni
begitu saja. Kita harus menyelidik
lebih dulu. Karena menurut yang
kudengar Tanah Kutukan sangat
berbahaya. Tak sembarang orang bisa
me|oloskan diri bila telah sampai di
sana!" kata Si Bocah Tua.
"Kau benar. Saranmu nanti akan
kupikirkan di tengah jalan." sahut
Pemacul Iblis.
Tanpa bicara lagi kedua orang
kemudian sama tinggalkan tempat itu.
DELAPAN
Mendekati tanah luas berpasir, di
balik grombol kayu putih Gento Guyon
dan Gentong Ketawa hentikan larinya.
Saat itu panas terik, matahari tepat
berada di atas kepala. Panas yang
menyengat terasa membakar batok
kepala, membuat si kakek gendut besar
luar biasa mengipas-ngipas wajahnya
dengan jemari tangan.
Dari balik kelebatan kayu itu
dengan jelas Gento dapat melihat
kilauan pasir yang memutih memancarkan
cahaya warna-warni akibat sengatan
matahari. Tapi ada sesuatu yang
menarik perhatian pemuda ini. Dia
melihat di tengah-tengah padang pasir
terdapat sesuatu berwarna hitam yang
cukup lebar dan berbentuk seperti
altar pemujaan.
"Guru lihat. Mungkin di sinilah
tempatnya yang guru lihat dalam
mimpimu itu." berkata si pemuda tanpa
mengalihkan perhatian dari lapangan
pasir di depannya.
Si kakek gendut hentikan gerakan
tangannya yang mengipas. Dia bangkit
lalu berjalan mendekati muridnya.
Sejenak lamanya dia memperhatikan
dengan kening berkerut. Senyum kakek
Gentong Ketawa mengembang.
"Tidak salah aku melihat, tempat
inilah yang kulihat dalam mimpiku.
Mungkin lapangan pasir ini yang
dimaksud nenek botak sebagai Tanah
Kutukan." seru si kakek sambil
berjingkrak kegirangan.
"Kalau benar ke mana perginya
nenek itu? Seharusnya dia sudah sampai
lebih awal di tempat ini dan kita.
kenyataannya kita tidak melihat ada
siapapun di sini."
"Aku juga heran. Aku malah
khawatir nenek itu membunuh diri di
tempat yang kita lalui tadi?" ujar
Gentong Ketawa.
"Ya, di sana memang ada jurang.
Tepat di sisi kiri jalan di balik
lamping batu. Kasihan sekali. Sudah
botak sengsara begitu membunuh diri
pula." celetuk Gento dengan mimik
serius.
"Jika dia mati sesat sungguh
sangat kusesalkan. Arwahnya pasti
tidak diterima bumi dan langit,
terkatung sengsara seumur-umur di atas
angin!" gumam si kakek.
"Memang kau suka padanya, guru?"
tanya si pemuda setengah menyindir.
"Murid geblek. Apalagi yang ada
di balik batok kepalamu itu?!" dengus
si kakek sengit. Si pemuda hendak
tertawa, namun gurunya kini malah
membekap mulutnya. Dia menempelkan
telunjuk tangan kirinya ke bibir
sendiri. "Ssst... jangan berisik. Kau
lihat kakinya tidak menjejak tanah
sama sekali. Aku jadi curiga bukan
mustahil lapangan pasir ini tidak
punya kekuatan untuk menahan berat
badan kita." ujar si kakek.
Si pemuda memandang ke depan
lebih teliti lagi. Dia tidak
memperhatikan bagaimana kaki sosok
berpakaian merah itu seakan mengambang
di atas tanah. Perhatiannya justru
tertuju pada sesuatu yang berada dalam
panggulan orang itu.
"Guru, melihat gerak geriknya
yang seperti sudah terbiasa berada di
tempat ini kurasa dialah orangnya yang
menjadi musuh nenek botak. Sekarang
coba perhatikan! Bukankah dia seperti
memanggul seorang perempuan." ujar
Gento.
Gentong Ketawa memperhatikan
sejenak lamanya, kemudian anggukkan
kepala. "Kau tidak salah melihat, dia
memang membawa seorang perempuan. Tapi
siapa perempuan itu? Tubuhnya kaku
seperti kayu, kurasa dia dalam keadaan
tertotok."
"Tanah Kutukan. Firasatku menga-
takan perempuan itu akan dijadikan
korban persembahan." kata si pemuda.
Gentong Ketawa diam tidak
menanggapi. Kini dia lebih banyak
mencurahkan perhatiannya ke tengah
lapangan pasir di mana sosok berpa-
kaian merah telah sampai di altar.
Dari kejauhan meskipun samar si kakek
melihat orang berpakaian dan berjubah
merah meletakkan perempuan yang
dipanggulnya tadi. Sekejab orang itu
nampak mengucapkan sesuatu, namun tak
terdengar jelas di telinga Gentong
Ketawa karena suara hembusan angin
menderu-deru melenyapkan suara orang
itu.
Tak berselang lama sosok
berpakaian merah kembali meninggalkan
altar juga perempuan yang dibawanya.
Dia berlari cepat ke arah mana tadi
pertama dia datang. Dari tempat
persembunyiannya, baik si kakek maupun
muridnya sama dapat melihat bahwa
orang berjubah dan berpakaian merah
itu bukan lain adalah seorang laki-
laki berwajah angker, wajahnya nyaris
tak terlihat karena tertutup cambang
bawuk lebat. Sedangkan rambutnya yang
panjang awut-awutan berwarna merah
diikat sehelai kain berwarna merah.
"Apa yang hendak dilakukannya?"
tanya Gento berbisik.
"Aku tak tahu. Bisa jadi dia
hendak menjemputku!" celetuk si kakek.
Gento Guyon cibirkan mulut. "Kau
kira dia suka manusia sejenis. Kau
sudah terlalu tua. Semuanya termasuk
perabotan sudah bulukan." sahut si
pemuda. Gentong Ketawa hanya
menyeringai. Sementara laki-laki
berpakaian merah sudah mendekati tepi
lapangan agak jauh di sebelah kanan
mereka. Kemudian orang ini lenyap di
balik kelebatan semak belukar.
"Bagaimana kalau kita
mengikutinya?" usul Gento Guyon sambil
memperhatikan ke arah lenyapnya laki-
laki tadi.
"Jangan!" sergah si kakek. "Jika
tempat tinggalnya di tengah lapangan
pasir ini, tentu dia akan kembali.
Sekarang sebaiknya kita tolong saja
gadis itu." kata si kakek. Walau pun
merasa agak kecewa Gento akhirnya
hanya mengikuti apa yang dikatakan
Gentong Ketawa. Mereka kemudian keluar
dari grombol kayu putih. Sebelum
sampai di tepi lapangan pasir si
pemuda memungut potongan kayu.
"Bagaimana apakah kita langsung
menuju ke tengah lapangan itu.
Segalanya harus dilakukan dengan cepat
jika tidak ingin ketahuan orang tadi."
kata si kakek begitu mereka berada di
tepi lapangan pasir.
"Memikirkan keselamatan orang
memang suatu perbuatan baik. Namun
kita juga harus memikirkan keselamatan
diri sendiri." ujar si pemuda sambil
tersenyum.
"Eeh, apa maksudmu?" tanya si
kakek gendut tak mengerti.
"Tadi kita melihat orang itu
berlari seperti mengambang di atas
pasir. Berarti di balik lapangan pasir
ini pasti ada apa-apanya." Tanpa
bicara lagi Gento Guyon lemparkan kayu
yang dibawanya ke atas pasir. Begitu
potongan kayu menyentuh permukaan
pasir. Di tengah lapangan terjadi
pergolakan hebat, sedangkan potongan
kayu itu sendiri secara perlahan
lenyap, masuk ke dalam seperti
tersedot oleh satu kekuatan yang tak
terlihat. Si kakek delikkan matanya,
mulut ternganga seakan tak percaya.
"Itu yang akan terjadi pada kita,
seandainya tadi guru berlaku ceroboh."
kata si pemuda.
"Pasir ini hidup?" desis si
kakek.
"Bisa jadi begitu, yang jelas
pasir di lapangan ini tak bisa menahan
berat badan kita, atau bisa jadi juga
di dalam pasir ini hidup mahluk aneh
pemakan bangkai."
Apa yang dikatakan muridnya
membuat si kakek diliputi ketegangan.
Wajah pucat, sedangkan tengkuknya
menjadi dingin. Tak terbayangkan
bagaimana seandainya tadi dia langsung
menuju ke tengah lapangan itu.
"Hmm, masih bagus kau berlaku
cerdik. Jika tidak nasibku entah
bagaimana." kata si kakek sambil
memandang muridnya dengan tatapan
penuh rasa terima kasih.
"Paling tidak nama depanmu dapat
tambahan almarhum guru. Kemudian aku
hidup seorang diri. Betapa hampa
rasanya." sahut Gento sambil tertawa.
"Kita harus melakukan sesuatu
agar bisa sampai ke sana."
"Caranya bagaimana guru?" tanya
si pemuda.
"Caranya sedang kupikirkan." kata
si kakek.
"Kalau begitu berpikirnya di
tempat persembunyian kita tadi, biar
tidak dilihat orang."
"Eeh iya, kau betul." menyahuti
si kakek sambil mengetuk keningnya
berulang kali. Melihat hal ini sambil
melangkah ke tempat semula Gento Guyon
berkata dalam hati.
"Dasar orang tua aneh. Mau
berpikir saja kepala diketuk-ketuk
segala."
SEMBILAN
Ketika laki-laki berpakaian dan
berjubah merah sampai di tepi lapangan
pasir. Dia tidak langsung pergi,
melainkan berdiri tegak di situ
sementara matanya berputar liar
mencari ke setiap sudut. Mulut laki-
laki itu membuka. Kata makian
terlontar. "Kurang ajar. Aku tadi
meletakannya di sini. Mustahil gadis
itu dapat menyelamatkan diri. Siapa
yang berani berbuat iseng di sarang
iblis?"
Ucapan laki-laki ini seakan
berlalu begitu saja. Dia kepalkan
tinjunya. Dia ingat betul, selama ini
tak ada yang mengusik bila dia
meletakkan calon korbannya di tepi
lapangan. Karena baginya tidak mungkin
membawa dua gadis culikan sekaligus ke
altar persembahan mengingat tanah di
lapangan itu mudah goyah. Jika dia
membawa beban terlalu berat, tentu
tanah jadi amblas dan dia pasti
terperosok tenggelam ke dalam pasir.
Tapi kini salah satu gadis yang
ditinggalkannya di tepi lapangan
mendadak lenyap. Mana mungkin hal itu
bisa terjadi jika tak orang yang
melakukannya. Ingat dirinya dipermain-
kan orang, maka laki-laki berpakaian
merah yang bukan lain adalah Braga
Swara menjadi sangat marah.
"Siapa yang berada di sekitar
Tanah Kutukan ini harap tunjukkan
diri!" Braga Swara keluarkan teriakan
lantang.
Teriakan laki-laki itu lenyap.
Sunyi sejenak, tapi beberapa saat
kemudian terdengar suara gelak tawa
yang disertai dengan berkelebatnya dua
bayangan putih ke arah laki-laki itu.
Hanya sekejap saja di hadapan
Braga Swara berdiri tegak dua orang
pemuda tampan berpakaian putih
berkepala botak. Kemudian di belakang
kedua pemuda itu datang menghampiri
seorang gadis cantik berpakaian putih
berambut panjang. Braga Swara tidak
mengenali siapa adanya kedua pemuda
bersenjata golok besar dan toya ini.
Namun dia tentu masih ingat siapa
gadis bersenjata roda kembar yang
berdiri di belakang dua pemuda yang
tak dikenalnya. Dia bukan lain Ararini
alias Taktu, gadis yang meloloskan
diri dari altar persembahan dengan
menggunakan ilmunya yang aneh.
"Ha... ha... ha! Beberapa waktu
yang lalu kau lolos dari tanganku.
Kini datang lagi bersama dua pemuda
ini. Apa sebenarnya yang hendak kau
lakukan di tempat ini?" tanya Braga
Swara.
Taktu melangkah maju, melewati
dua saudaranya yang berdiri tegak di
hadapannya. "Kami menginginkan
kepalamu!" dengus Taktu dingin.
Sepasang mata Braga Swara
membulat besar. Apa yang dikatakan
oleh gadis di depannya membuat dia tak
mampu menahan tawanya. "Kau hendak
memenggal kepalaku? Hal yang sama juga
diucapkan oleh orang-orang yang
mendahuluimu. Sayang sebelum mereka
sempat melampiaskan dendam kesumat,
nyawa mereka keburu terbang ke
neraka." sahut Braga Swara. "Kau gadis
yang cantik, sebenarnya aku merasa
tertarik dengamu. Suaramu lantang,
kurasa kau sangat hebat dalam hal
bercinta. Namun sebelum segalanya
berubah menjadi menyakitkan ada dua
pertanyaan yang ingin kuajukan!" kata
Braga Swara. Sepasang matanya
menjelajahi sekujur tubuh si gadis
seakan dia hendak menelan gadis itu
bulat-bulat. Memang harus diakuinya
sejak pertama kali dia menculik Taktu
alias Ararini dari penginapan. Braga
Swara sudah merasa tertarik pada
kecantikan si gadis. Apalagi Taktu
memiliki pinggul bagus serta bentuk
dada yang indah. Ditambah lagi dengan
kulitnya yang mulus. Keadaan fisik
Taktu sangat sesuai dengan seleranya.
Sebaliknya melihat pandangan
mesum Braga Swara, Taktu menjadi naik
darah. Dengan menahan kegeraman di
dada Taktu membentak. "Apa syaratmu
iblis keparat? Cepat katakan!"
"Pertama, apakah kalian orangnya
yang telah membebaskan gadis yang
kutinggalkan di sini?"
"Betul. Gadis itu bahkan mungkin
sudah berkumpul dengan keluarganya."
Yang menjawab adalah Takga. Si botak
dengan pitak di belakang kepala yang
dikenal sangat jujur, polos,
bersahaja.
"Bagus. Pertanyaanku kedua, meli-
hat ilmu Tapak Awan yang dipergunakan
gadis itu meloloskan diri dari altar
persembahan. Aku ingin tahu apa
hubungan kalian dengan Peri Tanpa
Bayangan?"
Taktu, Takwa dan Takga serentak
keluarkan tawa terbahak-bahak.
Sekarang mereka benar-benar merasa
yakin telah datang pada orang yang
tepat. Takwa melompat maju. Dengan
wajah merah padam mengingat kekejaman
yang dilakukan Braga Swara terhadap
gurunya dia berkata.
"Peri Tanpa Bayangan kuingat
beberapa tahun yang lalu dikelabui
oleh seorang laki-laki durjana.
Setelah dirinya hamil, kemudian laki-
laki bangsat itu bermaksud membunuhnya
secara keji. Mungkin kini dia masih
hidup, bisa jadi juga sudah mati jadi
arwah gentayangan yang ingin menuntut
balas. Sedangkan kami adalah hantu
gundul yang diutus untuk mencopoti
perabotanmu yang sudah banyak memakan
korban itu. Ha... ha... ha!"
Di samping rasa kaget mendengar
penjelasan Takwa, Braga Swara juga
menjadi sangat geram mendengar ucapan
pemuda itu. Hingga tanpa banyak bicara
lagi sepuluh jari tangannya ke depan
kemudian disibakkan ke kiri dengan
gerakan merobek. Angin deras
berkesiuran, sinar merah membersit
melabrak kedua pemuda dan gadis itu.
Taktu, Takwa dan Takga yang sudah
bersikap waspada langsung berlompatan
ke belakang selamatkan diri. Begitu
sinar maut menghantam tempat kosong
disertai ledakan tiga kali berturut-
turut. Maka Taktu memberi aba-aba
untuk melepaskan pukulan balasan. Tiga
pasang tangan didorong ke depan. Enam
larik sinar melesat, berkelebat dengan
kecepatan laksana kiiat menghantam
bagian kepala badan dan kaki Braga
Swara. Serangan yang dilakukan secara
bersamaan ini jelas sulit dihindari
oleh lawannya. Karena paling tidak
alah satu dari pukulan ini pasti
mengenai sasarannya juga. Kenyataan
ini disadari benar oleh lawannya.
Namun Braga Swara adalah seorang tokoh
dunia hitam yang sudah kenyang
pengalaman di samping licik pula.
Sehingga tanpa ayal lagi sambil
mendorongkan kedua tangan memapaki
enam serangan sekaligus dia melompat
ke udara.
Tas!
Bruum!
Enam ledakan terjadi secara
bersamaan. Ketiga lawan nampak
terdorong mundur. Saat itu Braga Swara
yang masih mengambang di udara sambil
berjumpalitan, begitu kakinya
menghadap bawah tanpa menjejak tanah
lebih dulu dia terus melesat. Satu
tangan menyambar ganas ke wajah Taktu,
sedangkan tangannya yang lain lakukan
gerakan menjebol dada Takga.
"Hem, benar-benar iblis!" gumam
Takwa sambil gerakkan toyanya menyabet
tangan Braga Swara dari atas ke bawah.
"Bagus telah kau tolongi kami
dari cengkeraman tangan menjijikkan
itu." celetuk Takga.
Sambil huyungkan tubuhnya ke kiri
dia cabut golok besarnya yang terbuat
dari kayu batu. Sementara Taktu
kembali melompat mundur. Sedangkan
Braga Swara sambil memaki terpaksa
batalkan serangan, tarik kedua
tangannya dari pentungan Toya. Toya
menghantam tanah hingga menimbulkan
letupan dan lubang besar. Dengan
tangan kiri bertumpu pada toyanya
Takwa jatuhkan diri, kaki kanan
menyambar kaki lawannya.
Dess!
Hantaman keras yang mendarat di
bagian kaki belakang Braga Swara
membuat laki-laki itu jatuh
menelungkup. Selagi laki-laki itu
berusaha bangkit sambil menggerung.
Kesempatan ini dipergunakan oleh
Takga. Dia melompat, lalu babatkan
golok besarnya ke bagian punggung
Braga Swara.
Lawan hanya sempat merasakan ada
hawa dingin menyambar punggungnya.
Untuk menghindar tentu akibatnya bisa
fatal, karena mata golok kayu batu
yang berat bukan main itu sudah sangat
dekat dengan pinggangnya. Karena itu
Braga Swara dengan gerakan kilat
balikkan badan. Setelah itu dia
hantamkan tangan kanannya ke perut
Takga.
"Adik awas!" Taktu berteriak
kaget melihat serangan balik lawan
yang tidak dapat diduga ini. Dia
sendiri langsung luncurkan salah satu
roda bergerigi membabat tangan Braga
Swara. Sedangkan Takwa dengan ujung
toya mendorong dada adik
seperguruannya guna menolong Takga.
Takga alias botak ketiga memang
tak mungkin dapat menghindari pukulan
lawannya, mengingat tubuhnya saat itu
meluncur mengikuti gerakan golok.
Dorongan toya yang dilakukan Takwa
setidaknya menyelamatkan bagian
perutnya dari pukulan maut lawan. Tapi
Braga Swara saat menyadari serangannya
luput tidak membiarkan lawannya lolos
begitu saja. Dengan tangan kiri dia
mencengkeram kaki Takga, sedangkan
tangan kanan dikibaskan ke arah roda
terbang yang dilayangkan Taktu.
Breet!
Ujung kaki celana Takga berderak
robek. Bukan hanya itu saja bagian
kakinya terluka. Empat bekas cakaran
kuku menimbulkan luka cukup dalam.
Namun Takga masih sanggup selamatkan
diri.
Sementara hantaman tangan kanan
Braga Swara ke arah roda terbang
menimbulkan pusaran angin keras yang
langsung menghantam senjata milik
Taktu. Sesaat di udara roda berhenti
berputar, selanjutnya berbalik ke arah
pemiliknya dengan kecepatan berlipat
ganda. Gadis ini keluarkan seruan
kaget. Dia tidak punya pilihan,
sedangkan Takwa yang melihat serangan
balik ini tak mungkin menolong
mengingat jarak di antara mereka
terpaut jauh. Di sebelah sana Taktu
jatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Roda terbang bergerigi setajam pedang
yang seharusnya membabat pinggang si
gadis kini mendesing di atas kepala
Taktu. Pada kesempatan itu si gadis
gerakkan roga terbang yang satunya
lagi. Sehingga terdengar suara
berdentringan ketika kedua roga
terbang itu saling berbenturan satu
sama lain. Dengan muka pucat bersimbah
keringat Taktu melompat bangkit.
Ketika dia melihat ke arah Takga,
dilihatnya Takwa sedang berupaya
menolong adik mereka.
Braga Swara yang berdiri tegak di
antara ketiga saudara kembar itu
keluarkan tawa tergelak-gelak.
"Adikmu tak akan selamat dalam
waktu satu malam di muka. Dia sudah
terkena racun Upas Bumi yang terdapat
di ujung kukuku! Ha... ha ... ha."
kata Braga Swara.
Taktu menjadi khawatir dan juga
geram mendengar ucapan lawannya. Namun
dia tak mungkin datang membantu,
mengingat lawannya bisa menghabisi
mereka pada saat yang tak terduga.
Sementara itu Takwa sudah menotok
nadi besar di kaki Takga untuk
mencegah agar racun Upas Bumi tidak
cepat menjalar ke sekujur tubuh
adiknya. Dia juga mengambil obat
sebesar telur puyuh sambil berkata.
"Telan. Racun itu tidak akan
berarti apa-apa jika kau menelan pilat
(pil bulat) sebesar ini!"
Sambil menyeringai menahan sakit
Takga buka mulutnya. Tak urung matanya
mendelik ketika berusaha menelan pil
yang mengandung hawa panas laksana
membakar tenggorokan dan perutnya itu.
Setelah mendelik-delik seperti
ayam yang tertelan karet, Takga
mengurut-urut tenggorokannya. Kemudian
dia mendamprat. "Sial betul. Aku
seperti menelan bara api. Apa tidak
ada lagi pil yang lebih besar dari
yang kau berikan tadi." sindir Taktu
sambil bersungut-sungut.
"Ada. Besarnya kurang lebih
seperti kelapa!" jawab Takwa.
"Kurang ajar. Dalam keadaan
seperti ini masih sempatnya kakak
Takwa bercanda."
"Dua botak memuakkan. Aku
inginkan saudara tua seperguruan
kalian. Jika beberapa hari kemarin aku
mau menjadikannya sebagai tumbal, maka
kini pikiranku berubah. Hari ini aku
ingin bersenang-senang dengannya. Tapi
sebelum itu terjadi. Aku harus
membunuh kalian berdua. Nantinya mayat
kalian akan kuberikan pada sahabat
iblis yang tinggal di dalam lapangan
pasir itu!" menukas Braga Swara tiba-
tiba
"Iblis tengik. Sebelum kau sentuh
kakak Taktu, kupotong kepalamu.
Sebelum kau bunuh kami. Kucincang dulu
tubuhmu!" hardik Takga yang kini sudah
berdiri tegak dengan golok
dilintangkan di depan dada.
Selanjutnya dengan cepat dia berkata
ditujukan pada dua saudaranya yang
lain. "Saatnya menggunakan jurus Maut
Dari Alam Roh!" kata Takga memberi
aba-aba.
"Maut Dari Alam Roh!" Takwa
menyahuti.
"Telah kurasakan kekuatan itu
datang!" seru Taktu. Sekonyong-konyong
Taktu putar tubuhnya. Dengan gerakan
yang aneh laksana kilat Taktu melesat
ke udara. Di lain kejap, dia telah
berdiri tegak dengan kaki berpijak
satu di bahu Takwa dan satunya lagi di
bagian bahu Taktu. Tangan tiga saudara
seperguruan itu berputar sebat,
menimbulkan angin bergulung-gulung.
Braga Swara nampak kaget sekali
melihat keanehan yang terjadi. Lebih
terkejut lagi ketika melihat masing
masing senjata di tangan ketiga
lawannya melesat menyerang dirinya.
SEPULUH
Toya yang melayang dengan
sendirinya milik Takwa berputar
mengemplang kepala dan punggung Braga
Swara, sedangkan golok hitam menderu
menghantam leher, sedangkan roda-roda
terbang milik Taktu menjebol dada
sedangkan satunya lagi mengincar
bagian di bawah perut.
Tiga serangan dahsyat yang
dilakukan melalui pengendalian tenaga
sakti ini memang bukan serangan
sembarangan. Seorang tokoh silat
tingkat tinggi sekalipun belum tentu
dapat menyelamatkan diri dari serangan
ganas mengerikan ini,
Begitu juga yang terjadi dengan
Braga Swara. Dalam kagetnya dia cepat
berkelit, melompat mundur sambil
menggoyangkan kepalanya menghindari
kemplangan toya dan sabetan golok.
Sementara tangan kanan kiri dipukulkan
ke arah dua roda terbang. Dua sinar
maut berwarna biru membersit
menghantam roda terbang milik Taktu.
Melihat hal ini Taktu yang berdiri di
atas bahu kedua adik seperguruannya
gerakkan tangan yang dibentang lurus
ke arah senjata ke atas. Sehingga roda
terbang melesat ke atas. Kedua sinar
biru menghantam tempat kosong,
sedangkan roda-roda terbang Taktu kini
menukik ke bawah menghantam bahu dan
dada Braga Swara.
"Jahanam keparat!" Laki-laki itu
lontarkan makian keras. Dia jatuhkan
diri selamatkan dadanya, tapi dengan
cepat sekali roda yang satunya lagi
menghantam bahunya.
Bress!
Terdengar suara pakaian robek
disertai daging yang tersayat. Braga
Swara meraung kesakitan. Darah
menyembur, namun sambil bergulingan
laki-laki itu masih sempat menghantam
ketiga lawan yang mengendalikan
senjata secara aneh dengan pukulan
'Pasir Merah'.
Begitu tangan dikibaskan, maka di
udara bertaburan ribuan cahaya merah
laksana kunang-kunang yang ditiup
topan. Hawa panas menghampar. Taktu,
Takwa dan Takga yang tengah memusatkan
hati dan pikiran dalam upaya mereka
mengerakkan senjata mereka dari jarak
yang jauh terkesiap kaget, namun
terlambat untuk menyelamat diri. Tak
ayal lagi ketiga saudara seperguruan
ini berpelantingan terkena hantaman
pukulan maut itu.
Jerit kesakitan keluar dari mulut
mereka. Ketiga saudara seperguruan itu
sama merasakan tubuh mereka laksana
ditancapi jarum yang membara. Dari
sekujur tubuh mereka ada darah yang
menetes. Tapi ternyata murid-murid
Peri Tanpa Bayangan ini ternyata
mempunyai daya tahan yang hebat.
Terbukti walau dalam keadaan terluka
mereka merayap bangkit.
Braga Swara sendiri begitu
senjata lawan berkerontangan jatuh dan
setelah melihat lawan-lawannya dalam
keadaan terluka. Meskipun dirinya saat
itu juga dalam keadaan terluka
bermaksud menghabisi lawan.
"Kecelakaan besar bagi kalian.
Terimalah ajalmu!" Braga Swara
mengakhiri ucapannya sambil mengadu
tangannya satu sama lain. Detik itu
juga dari telapak tangan yang saling
berbenturan itu mencuat lidah api yang
menjulang tinggi bagaikan ular naga
siap memangsa lawannya. Setelah sampai
pada ketinggian tertentu, lidah api
itu kemudian meliuk. Bagian ujungnya
melebar seperti selendang. Setelah itu
menukik ke bawah bergerak cepat
menggulung ketiga lawannya.
"Celaka! Cari selamat masing-
masing!" teriak Takga. Dan murid Peri
Tanpa Bayangan itu pun akhirnya
menghambur, berlarian mencari
perlindungan di balik pohon. Namun
lidah api yang telah melebar ini
secara aneh membelah menjadi tiga
bagian. Masing-masing bagian mengejar
ke arah Taktu, Takwa dan Takga.
"Tobat! Tobat! Matilah aku." seru
Takwa, begitu melihat lidah api yang
mengejarnya kini membakar pohon yang
dijadikan tempat perlindungan. Tak
sampai di situ saja. Dengan
terbakarnya pohon, secara aneh dari
seluruh permukaan tanah bermunculan
lidah api yang lain. Para pemuda itu
tentu saja kalang kabut. Bagaimana pun
mereka menjadi panik mendapat serangan
yang datang dari atas dan dari tanah
yang dipijaknya ini.
Selagi Braga Swara terbahak-bahak
dengan serangan mautnya itu. Selagi
Taktu, Takwa dan Takga yang mulai
terbakar pakaiannya ini kalang kabut
memadamkan api yang membakar. Maka
pada saat itu pula terdengar satu
seruan keras. "Berani mempermainkan
murid-muridku. Maka ajalmu semakin
menjadi sulit menyakitkan!" Seiring
dengan bentakan itu pula satu sosok
berpakaian putih melayang di udara.
Orang yang datang itu hantamkan
tangannya ke delapan arah. Secara aneh
hawa dingin laksana es menderu
memadamkan lidah api dan juga sumber
api yang bermunculan dari dalam
permukaan tanah. Melihat lidah api
dapat dipadamkan oleh orang yang baru
saja datang menyelamatkan lawan-
lawannya, kagetlah Braga Swara
dibuatnya. Dia lebih terkejut sekali
begitu melihat siapa yang munculkan
diri di tempat itu.
"Sari Lukita??" desisnya heran.
Dengan sikap acuh namun menyimpan
dendam perempuan berkepala botak
berpakaian serba putih itu memperha-
tikan ketiga muridnya. Ternyata mereka
menderita luka bakar di bagian
punggung dan juga kaki serta tangan.
Melihat hal ini semakin bertambah
marahlan Peri Tanpa Bayangan.
"Dengan ilmu Segoro Geni itu kau
hendak menghabisi mereka? Bangsat
durjana. Kejahatanmu selangit tembus,
jangankan manusia setan sekalipun
merinding melihat perbuatanmu!" hardik
Sari Lukita alias Peri Tanpa Bayangan
sangat gusar sekali. Terlintas dalam
pikirannya akan perbuatan yang
dilakukan Braga Swara di masa lalu.
Bujuk rayunya yang memabukkan. Serta
kekejiannya saat hendak membunuh Sari
Lukita di saat perempuan itu
mengatakan dirinya hamil. Semua ini
membuat perempuan setengah baya
tersebut jadi sangat marah.
"Kukira ajalmu sudah tidak akan
lama lagi. Aku pasti akan membunuhmu.
Akan kucincang tubuhmu sampai lumat!"
teriak Peri Tanpa Bayangan kalap.
Tak jauh di belakang perempuan
itu, murid-muridnya yang menderita
luka bakar meskipun dalam keadaan
terluka nampaknya siap untuk membantu
gurunya.
"Sari Lukita. Kau dengar, saat
ini aku sedang terluka. Jika kau
merasa punya kepentingan sebaiknya kau
datang di lapangan pasir Tanah
Kutukan. Maaf, aku harus pergi
sekarang. Ha-ha... ha!" berkata begitu
Braga Swara langsung putar tubuh dan
berlari meninggalkan perempuan itu.
"Iblis durjana hendak lari ke
mana kau!" seru Peri Tanpa Bayangan.
Tidak memberi kesempatan lagi dia
langsung menghantam dengan tangan
kanan. Sinar putih menderu, hawa
dingin menghampar. Namun Braga Swara
tanpa menoleh lagi sambil terus
berlari kibaskan tangannya pula ke
belakang.
Glaaar!
Dentuman keras menggelegar, Sari
Lukita terjajar. Debu dan pasir
bertaburan memenuhi udara hingga
membuat pemandangan perempuan itu jadi
terhalang. Ketika debu yang menutupi
udara sirna, maka Braga Swara sudah
tak berada lagi di tempat itu.
"Ke mana manusia durjana itu
melarikan diri!" tanya si perempuan
mencoba menindih amarahnya.
"Kami melihat dia menuju ke
lapangan pasir itu guru!" jawab Takwa
yang saat itu terduduk lesu sambil
memapah Taktu. Walau hati wanita ini
sangat penasaran melihat musuh
besarnya melarikan diri, namun
mendengar rintihan murid-muridnya Peri
Tanpa Bayangan jadi tidak tega
meninggalkan mereka. Dia pun lalu
menghampiri mereka. Kejut di hatinya
bukan olah-olah ketika melihat
kenyataan sesungguhnya. Takwa dan
Takga menderita luka bakar yang sangat
parah, walaupun memang bagian wajah
mereka tidak cidera sedikitpun.
Peri Tanpa Bayangan berlutut di
depan murid-muridnya. Dia mengeluarkan
serbuk obat-obatan dari balik
pakaiannya. "Taburkan serbuk ini ke
bagian luka kalian. Dalam waktu yang
tidak lama kukira luka itu pasti sudah
mengering." kata Sari Lukita. Takwa
dan Takga masing-masing satu bungkus
serbuk. Mereka saling bergantian
menaburkah ke bagian luka satu sama
lain. Sementara orang tua itu sendiri
menghampiri Taktu.
"Apa yang terjadi denganmu?"
tanya Sari Lukita. Dia memperhatikan
wajah muridnya. Ternyata wajah gadis
itu tampak membiru. "Kau... kau
terkena pukulan Tangan Pasir Merah.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Kami mengerahkan jurus Maut Dari
Alam Roh ketika Braga Swara melepaskan
pukulan Tangan Pasir Merah. Waktu itu
kami sebenarnya sudah berhasil
melukainya. Tapi kiranya kami kurang
beruntung." kata Taktu. Dia juga
kemudian menceritakan segala sesuatu
yang hampir terjadi pada dirinya
beberapa hari sebelum itu.
Mendengar penjelasan muridnya
geraham si nenek bergemeletukan,
pelipis bergerak-gerak. Sedangkan
kedua tangan dikepalkan. Akan tetapi
kepada muridnya dengan suara lembut
dia berkata. "Aku menyesal telah
melibatkan kalian semua. Tapi aku
berjanji jika urusan gila ini telah
selesai kalian boleh pergi ke mana
saja kalian sukai. Yang terpenting di
manapun kalian berada jangan melakukan
sesuatu yang membuat aku marah!"
"Tapi rasanya aku suka tinggal
bersama guru di Goa Cadas Angin." kata
si gadis.
"Kalau aku lebih suka
mengembara." menimpali Takwa.
"Aku ikut denganmu kakak Takwa."
ujar Takga pula.
"Sudahlah, kau boleh ikut dengan
siapa saja. Yang penting sembuhkan
lukamu dulu. Setelah itu kita sama-
sama pergi ke tengah lapangan pasir
bersama-sama." sergah Peri Tanpa
Bayangan. Selanjutnya si nenek
berpaling pada Taktu. "Kau menghadap
ke arah sana, aku akan menyembuhkan
luka dalammu melalui pengerahan tenaga
dalam. Mungkin tengah malam nanti kita
baru bisa bergerak ke tengah lapangan
pasir!" ujar perempuan itu. Taktu
membalikkan badan. Peri Tanpa Bayangan
segera salurkan tenaga dalamnya ke
punggung sang murid. Beberapa saat
kemudian dari sekujur tubuh gadis itu
tampak mengeluarkan asap tebal berbau
kulit terbakar. Taktu mengerang,
mengerang lagi sampai akhirnya tak
sadarkan diri
SEBELAS
Di sebelah utara lapangan pasir
dua sosok tubuh mendekam di balik
kerimbunan semak belukar. Saat itu
matahari baru saja tenggelam di upuk
barat. Kegelapan menyelimuti alam
sekitarnya. Di balik semak belukar di
mana dua sosok itu berada suasana
tempat ini terasa lebih gelap karena
terlindung pohon-pohon berdaun lebat.
"Kau yakin di sini bangsatnya
Braga Swara bersembunyi?" tanya sosok
pendek setinggi pinggang orang dewasa
yang mendekam di sebelah kakek kurus
kering yang bahunya digelantungi pacul
besar.
"Hal itu tak kuragukan. Sudah
lebih tiga kali aku menyelidik.
Hasilnya tidak perlu dirisaukan. Malam
ini Braga Swara harus melunasi semua
hutang berikut bunganya terhadapku!"
kata si kakek kurus berkepala botak,
beralis botak, berkumis dan berjanggut
botak masing-masing di sebelah kiri.
"Menurutmu, tanah pasir ini tidak
bisa kita pijak. Aku sendiri tak mau
terkubur hidup-hidup. Lalu bagaimana
kita bisa sampai ke tengah lapangan
itu?" tanya sosok pendek bertingkah
laku seperti bocah, namun memiliki
wajah seperti seorang kakek renta
ragu.
"Aku sudah memikirkannya. Dengan
ilmu meringankan tubuh aku akan
mempergunakan pacul ini untuk meluncur
melewati lapangan pasir ini. Sedangkan
kau bisa menggunakan papan kayu."
berkata begitu si kakek kurus berwajah
angker menarik papan kayu dari balik
semak, membersihkan kotoran yang
terdapat di papan kayu kemudian
menyerahkannya pada sosok pendek
berpakaian hitam yang tiada lain
adalah Si Bocah Tua.
"Bagaimana cara menggunakannya?"
tanya si bocah sambil mengamat-amati
kayu papan di tangannya.
Si kakek yang bukan lain adalah
Pemacul Iblis jadi kesal sekali.
"Bocah tua menyebalkan. Kecil tidak
mau mampus, sudah besar hanya bikin
pusing orang lain." dengus Pemacul
Iblis sinis. "Tentu kau bisa
mempergunakan kedua kakimu. Papan ini
kau pijak, ilmu meringankan tubuh kau
kerahkan sedangkan sebelah kakimu
mendayung."
Si pendek berhidung besar
bermulut mungil seperti bocah
tersenyum.
"Ternyata otakmu cukup cerdik
juga. Sekarang sebaiknya perjalanan
menyenangkan ini mulai kita lakukan."
kata Si Bocah Tua.
"Perjalanan menyenangkan?!
Mungkin kau betul, salah sedikit bukan
hanya badanmu, tapi juga kurasa
nyawamu ikut amblas! Ho... ho... ho."
sambil berkata Pemacul Iblis berdiri.
Mereka kemudian berjalan mendekati
lapangan pasir. Setelah sampai di
pinggir lapangan pasir Pemacul Iblis
turunkan pacul besarnya. Dia
berpegangan pada gagang pacul, salah
satu kaki diletakkan dia tas pacul
sedangkan kakinya yang lain bebas
untuk digerakkan. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Si Bocah Tua.
"Perjalanan dimulai...!" seru si
kakek kurus.
"Aku mengikut di belakang. Eeh...
tapi sebelum kasib aku ingin tahu kita
berhentinya di mana?" tanya Si Bocah
Tua.
"Di neraka. Tentu saja di atas
altar itu tolol?!" dengus Pemacul
Iblis. Bersamaan dengan ucapannya itu
si kakek melesat ke tengah lapangan
pasir dengan kecepatan laksana kilat.
Sesekali kaki mereka mendayung,
setiap kaki menyentuh permukaan pasir
maka di bawah permukaan tanah pasir
itu terjadi gejolak tidak ubahnya
seperti gelombang laut. Gejolak yang
terjadi semakin nyata ketika Pemacul
Iblis dan Si Bocah Tua hampir
mendekati altar di mana ada satu sosok
tubuh tergeletak diam di sana.
"Kurang ajar. Apakah kau tidak
merasakan ada sesuatu bergerak
mengikuti kita, sobat?" tanya Si Bocah
Tua yang mulai merasakan papan kayunya
yang dipergunakan untuk berpijak mulai
oleng.
"Yang aku tahu kau mengikutiku.
Jika kau merasa ada sesuatu yang
mengikutimu mungkin saja setan." sahut
Pemacul Iblis tanpa menoleh ke
belakang.
Si Bocah Tua baru saja hendak
membuka mulutnya kembali, ketika
dengan tiba-tiba saja dia merasakan
adanya satu gerakan hebat di bawah
papan kayu yang dipergunakan untuk
mengarungi lapangan pasir tersebut.
Belum lagi hilang kejut di hati Si
Bocah Tua mendadak dia merasakan
papannya seperti dihantam satu kepala
dari bawah. Si Bocah Tua terpelanting,
jungkir balik di udara sambil
menjerit. "Pemacul Iblis. Si keparat
itu ada di bawah kita!"
Pemacul Iblis melengak kaget. Dia
yang sudah hampir mencapai sisi altar
berpaling dan mendapati Si Bocah Tua
alias Hidung Setan berjumpalitan
melewati atas kepalanya selamatkan
diri.
Bruk!
Si Bocah Tua jatuh dengan
punggung di atas altar. Tanpa
menghiraukan rasa sakit yang mendera
punggungnya, si pendek berwajah kakek
renta memandang ke arah di mana tadi
papannya dihantam oleh sesuatu dari
bawah permukaan pasir. Dengan bantuan
cahaya bulan purnama sekelebatan dia
melihat satu sosok kepala lonjong
bermuiut runcing bermata seperti api.
Sekejap saja kepala itu melenyapkan
diri. Sementara itu Pemacul Iblis yang
baru saja jejakkan kakinya di atas
altar jadi terkesima melihat mata
sahabatnya nampak mendelik besar
seperti melihat setan.
"Mahluk itu. Dia hampir saja
menelanku." desis Si Bocah Tua, cuping
hidungnya kembang kempis dan
penciumannya yang tanjam mencium bau
amis menyengat dan busuknya bangkai.
"Hei, apa sebenarnya yang kau
lihat?" seru Pemacul Iblis heran. Mata
si kakek jelalatan memandang ke setiap
sudut altar. Di sudut kiri altar
matanya membentur satu sosok gadis
dalam keadaan polos tanpa selembar
benangpun. Tanpa menunggu jawaban Si
Bocah Tua, Pemacul Iblis segera
memeriksa gadis itu. Gadis berambut
panjang ini ditemukan si kakek dengan
leher menganga seperti bekas tusukan
pedang. Bila melihat ke arah bagian
tubuhnya yang lain. Pastilah si gadis
malang telah dinodai sebelum akhirnya
dibunuh secara keji.
Si kakek bergidik ngeri. Dengan
perasaan diselimuti ketegangan orang
tua itu sambar pakaian yang teronggok
dekat si mayat. Dengan mempergunakan
pakaian seadanya dia tutupi bagian
aurat mayat.
"Satu korban telah jatuh. Entah
siapa korban berikutnya?" desis
Pemacul Iblis sambil kitarkan pandang
ke segenap penjuru lapangan dengan
sikap waspada.
"Mungkin kita tak akan selamat
apalagi keluar dari tempat ini dalam
keadaan hidup-hidup. Aku telah
melihatnya, aku bahkan mencium
kehadirannya di sekitar kita!" desah
Si Bocah Tua tegang.
"Ada apa sebenarnya? Kau seperti
orang mengingau. Mahluk apa yang kau
lihat?!" hardik Pemacul Iblis merasa
tidak tenang.
"Hantu Singa Lodraya." dalam
takutnyaSi Bocah Tua menggumamkan satu
nama.
"Maksudmu mahluk ular berkepala
singa itu? Apakah mahluk iblis itu
benar-benar ada?" tanya Pemacul Iblis
heran
"Apa yang kukatakan tidak keliru.
Dulu Braga Swara pernah sesumbar
bersahabat dengan mahluk terkutuk dari
neraka itu. Mahluk ganas yang konon
tidak dapat dijinakkan. Nyatanya Braga
Swara tidak bohong. Dia tinggal di
Tanah Kutukan ini, berarti Hantu Singa
Lodraya telah menjadi sahabatnya."
"Bocah Tua, mengapa sekarang kau
berubah jadi sepengecut itu? Apakah
kau tidak ingat lagi bagaimana Sari
Lukita istrimu dilarikannya? Jika kau
bicara tentang segala hantu keparat,
sebaiknya kau ceburkan dirimu ke dalam
pasir itu. Buat apa kau hidup jika tak
punya kehormatan dan harga diri?"
hardik Pemacul Iblis yang merasa
sangat tidak senang mendengar ucapan
kawannya yang terlalu menganggap
tinggi kehebatan ilmu lawannya.
"Lalu apa yang akan kita lakukan.
Selain mayat gadis itu, keparat Braga
Swara tidak ada di sini. Ke mana kita
harus mencari?" tanya Si Bocah Tua
bingung.
"Kau pernah mendengar tentang
ilmu Cikalang Tanah?" tanpa
menghiraukan pertanyaan sang teman, Si
Bocah Tua ajukan pertanyaan pula.
"Apa maksudmu?"
"Ho... ho... ho. Bukan tubuhmu
saja yang pendek, ternyata otakmu juga
rupanya setolol kerbau. Kudengar Braga
Swara mengamalkan ilmu sesat itu.
Siapapun yang berhasil menguasai ilmu
tersebut dia bisa hidup di mana saja.
Dia juga bahkan dapat mendekam di
dalam tanah sampai seratus hari."
jelas si kakek.
"Tapi untuk mengamalkannya tidak
mudah. Kudengar hampir setiap bulan
sabit muncul di langit dia harus
melakukan korban persembahan dengan
meminum darah gadis yang masih
perawan! Jika betul mengapa aku tidak
melihat mayat mereka?" tanya Bocah
Tua.
Kembali Pemacul Iblis tertawa
tergelak-gelak. Dia menunjuk ke arah
lapangan pasir. "Andai kau kulemparkan
ke atas pasir itu apakah kau tidak
tenggelam? Kurasa mayat bekas korban
persembahan dibuang ke lapangan pasir
ini. Sudahlah... jangan ajukan
pertanyaan tolol lagi padaku. Aku akan
menunggu, jika Braga Swara tidak
muncul akan kupacul seluruh lapangan
pasir tanpa aku perdulikan seberapa
dalamnya!"
Si Bocah Tua bangkit berdiri.
Walau perasaannya jadi gelisah, namun
kini tidak ada lagi rasa takut
menyelimuti hatinya. Apalagi mengingat
di dalam mulutnya, di samping geraham
kanan dan sebelah kiri tersimpan Tiga
Permata Langit
"Braga Swara manusia laknat,
laki-laki durjana!" tiba-tiba
terdengar teriakan keras dari mulut si
kakek. "Aku Pemacul Iblis dan
sahabatku Hidung Setan datang
menyambangi ingin minta pertanggun-
jawabmu. Aku tahu kau berada di
sekitar lapangan ini, diam mendekam di
satu tempat di bawah tanah. Jika kau
bukan seorang pengecut, cepat datang
ke hadapan kami dan akui semua dosa
kejahatanmu, setelah itu baru membunuh
diri!"
Sepi! Suara teriakan Pemacul
Iblis lenyap begitu saja. Kemudian
angin menderu-deru, permukaan pasir
bergelombang bagaikan alunan air di
tengah lautan.
Di tepi lapangan pasir sebelah
timur si gondrong bertelanjang dada
yang baru saja keluar dari balik
rumpun kayu putih julurkan kepala dan
memandang lurus ke tengah lapangan.
"Orang gila mana lagi yang baru
saja berteriak." katanya perlahan.
Rupanya dia sempat mendengar suara
teriakan Pemacul Iblis yang sangat
keras bagaikan geluduk karena kakek
itu menyertakah tenaga dalam ketika
berteriak tadi. Si gendut besar luar
biasa kibaskan lembaran daun waru yang
sudah disatukannya menjadi tiga lapis,
Sekejap dia mengangkat daun waru itu,
kepala didongakkan sedangkan matanya
mulai memeriksa. Melalui cahaya bulan
dia dapat melihat daun waru itu tidak
ada yang berlubang sedikitpun.
Selanjutnya sambil tersenyum dia
melangkah mendekati muridnya.
"Gege... daun waru milikku tidak
ada yang berlubang. Sekarang sudah
malam, sebaiknya kita mulai menye-
berangi lapangan pasir ini."
"Tidakkah guru mendengar ada
orang yang baru saja berteriak tadi.
Dia memanggil Braga Swara." ujar
Gento.
"Itu adalah nama iblis jahat.
Nama yang sama juga pernah disebutkan
oleh nenek botak. Lalu buat apa kau
pikirkan segala macam suara yang aku
dengar? Di tempat seperti ini seribu
macam suara bisa saja terjadi.
Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-
bukan. Sekarang sudah saatnya bagi
kita untuk melakukan sesuatu."
"Guru... tidakkah kau merasa
telah mencampuri urusan orang lain?
Bagaimana jika kita berada di pihak
yang salah?"
"Salah bagaimana. Orang berpa-
kaian merah itu kejahatannya sudah
sering kudengar. Orang persilatan
menjulukinya dengan Iblis Pemetik
Bunga. Sekarang tidak ada waktu bagi
kita. Aku sendiri tidak mau melewatkan
tontonan yang menarik ini." ujar
Gentong Ketawa.
entong Ketawa tanpa menunggu
muridnya lagi langsung meletakkan
lembaran daun waru di atas pasir.
Begitu sebelah kakinya diletakkan di
atas daun waru. Maka kaki kirinya
lakukan gerakan seperti mengayuh di
atas permukaan pasir. Sungguh hebat
mengagumkan. Tubuh si kakek melesat
kencang di atas permukaan pasir.
Padahal berat badan orang tua ini
lebih dari dua ratus kati. Tapi aneh,
kaki yang cuma berpijak pada daun waru
ini sama sekali tidak amblas ke dalam
tanah.
Di tepi lapangan pasir muridnya
si Gento Guyon masih berdiri tegak di
situ sambil memandangi gurunya. Ada
sesuatu yang mengganjal dalam
pikirannya. Dia merasa yakin di dalam
tanah pasti ada mahluk yang mendekam
di sana. Entah mahluk apa, yang jelas
sangat berbahaya.
Seperti yang dilakukan oleh
gurunya, Gento juga meletakkan daun
waru di atas pasir. Setelah itu kaki
kiri diletakkan di atas daun waru.
Dengan kaki kanan digenjotkan di atas
permukaan pasir kejap kemudian
tubuhnya juga sudah ikut meluncur
sebagaimana yang terjadi pada gurunya.
DUA BELAS
Pemacul Iblis sebenarnya sudah
tidak sabar lagi menunggu jawaban yang
diinginkannya. Sedangkan Si Bocah Tua
nampak berjalan mondar-mandir di atas
altar dengan mata hampir tidak pernah
berhenti mengawasi setiap sudut yang
dianggapnya sangat mencurigakan.
Baru saja mulut Pemacul Iblis
hendak membuka kembali, pada saat itu
terjadi gejolak hebat di bagian
belakang altar.
"Pemacul Iblis, lihat!" Si Bocah
Tua keluarkan seruan keras. Dengan
cepat sekali si kakek tua balikkan
badan, lalu memandang ke arah yang
ditunjuk oleh Si Bocah Tua.
"Inilah jahanamnya yang kutunggu.
Sudah tak sabar rasanya aku memacul
remuk batok kepalanya!" gumam si kakek
geram.
Gejolak yang terjadi di permukaan
pasir terhenti. Di bagian lapangan
lainnya terjadi pula gejolak yang
lain. Sementara dari tempat terjadinya
gejolak yang pertama terdengar satu
suara yang amat keras menggeledek.
"Kalian menungguku! Ha... ha...
ha! Bekal apa yang kalian bawa ke
mari?"
"Aku membekal dendam kesumat juga
sebuah pacul besar untuk menghancurkan
isi kepalamu!" sahut Pemacul Iblis
lantang.
"Terima kasih. Kau baik amat.
Kematianmu akan kubuat semudah
mungkin. Lalu kalau boleh aku bertanya
apa yang membuatmu sangat menginginkan
diriku?" tanya suara dari balik tanah
pasir disertai tawa bergelak.
"Kau ingat gadis yang bernama
Minawati? Untuk membuka jalan
pikiranmu perlu kutegaskan. Dia
mempunyai tahi lalat di kening. Kau
menculiknya dari tempat tinggal orang
tua gadis itu. Keluarganya kau bunuh
semua, sedangkan gadis itu kau
perkosa. Kemudian mayatnya kau gantung
di atas kandang kambing."
"Minawati, sorga kenikmatan yang
tak kan pernah kulupakan seumur hidup.
Dia membuatku puas. Sayang aku cuma
berkenan memperistrinya satu malam
saja. Kau sendiri apanya?" tanya suara
itu lagi.
Dengan wajah memerah pipi
menggembung dan rahang bergemeletukan,
sambil menahan amarah Pemacul Iblis
menjawab. "Aku kekasihnya, dia calon
istriku!"
"Ha... ha... ha. Hanya calon, kau
hanya dapat menikmati malam pertama
dalam mimpi, kau tidur berpelukan
dengan angin. Minawati jadi arwah
pengantin penasaran sedangkan kau
sendiri sampai ubanan dan rambut
rontok sebelah tetap dalam kesen-
dirian. Kasihan...!"
Mendengar jawaban yang bernada
sangat meremehkan itu hilanglah sudah
kesabaran di hati si kakek. Dia
melompat mendekati bibir altar sambil
menghantam ke arah datangnya suara
dengan pukulan Petir Neraka. Sinar
merah kehitaman berkiblat, hawa panas
disertai angin ribut menghampar. Sinar
merah itu kemudian menghantam tanah
pasir di mana sumber suara suara
berasal. Dentuman keras menggelegar,
pasir yang merah menyala akibat
terkena pukulan muncrat di udara. Asap
hitam mengepul, bergulung-gulung di
udara dan lenyap.
"Tobat. Kau hendak menenggelamkan
altar ini!" bisik Si Bocah Tua yang
sempat jatuh terduduk akibat guncangan
keras yang terjadi.
Sejenak lamanya Pemacul Iblis
menunggu. Tanah pasir bergolak seakan
ada sesuatu di bawahnya yang berpindah
tempat. Kemudian terdengar suara tawa.
"Bukan diriku yang kau hantam,
bagaimana aku bisa mati!" seru suara
itu.
Pemacul Iblis melengak kaget,
begitu juga halnya dengan Si Bocah
Tua.
"Tidak usah gusar Pemacul Iblis.
Sekarang aku ingin ajukan pertanyaan
pada Si Bocah Tua."
"Jahanam keparat. Aku muak
mendengar suaramu, mengapa tidak kau
perlihatkan diri secepatnya!" hardik
Si Bocah Tua sewot.
"Itu adalah urusan nanti. Kau
dengar dulu. Apa tuntutanmu hingga kau
datang ke mari?"
"Hem, kau tentu tak akan lupa
dengan perempuan bernama Sari Lukita.
Dia istriku. Kau menggodanya. Apakah
kau sudah mengingatnya?!" hardik Si
Bocah Tua berang.
"Hemm, perempuan itu memang cukup
mengesankan. Keinginannya selalu
menggebu, cintanya panas bergelora.
Sayang dia perempuan lemah iman,
hingga mudah masuk dalam perangkap
bujuk rayu. Tapi itu salahmu sendiri.
Kau seorang laki-laki, tentu kau tahu
apa yang diinginkan wanita sebagai
istrimu. Sayang... kau tak dapat
memenuhinya. Padahal perempuan bukan
bantal guling yang cukup kau peluk dan
kau belai-belai. Ha... ha... ha...!"
Merasa ditelanjangi karena
kelemahannya dibuka oleh Braga Swara
maka Si Bocah Tua jadi kalang kabut.
Dia juga bermaksud menghajar Braga
Swara. Tapi apanya yang hendak
dihajar, sedangkan batang hidung laki-
laki durjana itu sendiri tak
kelihatan.
Akhirnya dia hanya mampu kepalkan
tinjunya, sedangkan matanya mencorong
marah.
"Jadi, kalian datang karena
wanita. Sungguh memalukan, padahal aku
sendiri kalau mau mampu mencari
sepuluh gadis cantik dalam sekedipan
mata. Huh... kukira kau dan temanmu
kakek kurus itu membawa kabar penting
apa. Namun aku bukanlah orang yang
tidak menghormati tamu. Setiap tamu
yang datang pasti akan kusambut dengan
segala keramahan. Lihat ke mari,
junjunganmu berkenan memperlihatkan
diri!" Baru saja suara orang itu
lenyap. Tanah pasir di mana suara
berasal berputar hebat membentuk
pusaran yang semakin dalam makin
melebar. Dari lubang pusaran pasir
yang tersibak melesat satu sosok
tubuh, berputar di udara,
berjumpalitan dengan gerakan yang
indah mengagumkan. Selanjutnya melesat
ke arah altar sambil lembaikan tangan
kirinya ke arah Pemacul Iblis dan Si
Bocah Tua tidak ubahnya seperti orang
yang melambaikan tangan pada sahabat
yang sudah lama bertemu.
Serangkum sinar merah menderu.
Pemacul Iblis memaki, dia tekuk kaki
kanan ke depan, sedangkan tangannya
dilambaikan pula ke arah si baju
merah. Si Bocah Tua juga tak tinggal
diam, sambil melompat ke atas hindari
serangan dia juga menghantam lawan
dengan pukulan Mendung Berputar Di
Atas Menara. Selarik sinar hitam
membersit dari telapak tangan Si Bocah
Tua, sedangkan dari tangan Pemacul
Iblis yang telah melepaskan pukulan
Petir Neraka melesat pula sinar merah
kehitaman disertai mengepulnya asap
hitam seperti awan berarak.
Tak terelakkan lagi masing-masing
pukulan itu saling berbenturan di
udara. Membuat Braga Swara tersentak
ke belakang dengan dada sesak dan
perut berdenyut sakit. Tapi dia masih
dapat melakukan gerakan berjumpalitan
di udara dan jejakkan kakinya pula di
sudut kiri altar. Pemacul Iblis jatuh
terduduk. Sedangkan Si Bocah Tua
nampak terkapar di lantai altar.
Nafasnya kembang kempis, menguik
seperti penderita sesak nafas,
menggeliat dan melompat bangkit dengan
wajah sepucat kapas. Cepat dia atur
jalan darahnya. Masih beruntung Tiga
Permata Langit yang tersimpan dalam
mulutnya tak sampai tertelan. Jika
tidak, alamat sendiri bakal celaka.
Dengan sigap Pemacul Iblis begitu
bangkit langsung melompat mendekati Si
Bocah Tua. Di depan mereka Braga Swara
menyeringai.
"Kalian tidak tahu aku berada di
rumah sendiri. Walaupun kalian berdua
aku sendiri, belum tentu kalian bisa
lolos dari tempat ini dalam keadaan
hidup. Apalagi jika aku menyuruh empat
sahabatku menyerang kalian. Jangankan
tulang, kentut kalian pun tak akan
tersisa!" dengus Braga Swara sinis.
"Manusia sombong. Apa kau
menyangka bakal lolos dari tangan
kami!" hardik Pemacul Iblis. Dia yang
sudah menyalurkan tenaga dalamnya ke
bagian tangan, sekonyong-konyong
melompat ke depan. Tangan kiri
menyambar bagian wajah sedangkan
tangan kanan menderu menjotos dada
Braga Swara.
"Aku inginkan barangnya!" teriak
Si Bocah Tua. Dengan sangat cepat luar
biasa, bocah berwajah kakek tua ini
bergulingan di lantai altar. Tubuhnya
terus menggelundung, kaki ditendangkan
ke bagian pinggang sedangkan kedua
tangan melesat terjulur dengan gerakan
meremas.
Dua serangan tokoh sakti yang
sama-sama dilamun dendam kesumat ini
jelas bukan serangan biasa. Setangguh
apapun lawannya paling tidak dia tidak
bakal sanggup menghindar dari salah
satu serangan ganas ini. Tapi di
sinilah Braga Swara yang belum sembuh
dari luka di bahu kirinya akibat
terkena sambaran roda terbang Taktu
membuktikan kehebatanya. Sambil
melompat ke samping, tangannya diki-
baskan dari atas ke bawah menangkis
serangan Pemacul Iblis. Sedangkan
kakinya menyapu kedua tangan Si Bocah
Tua yang mencengkeram bagian bawah
perutnya.
Plask! Plak!
Des!
Tiga pasang tangan saling beradu
keras. Dua serangan lawan dibuat
mentah terkecuali tendangan Si Bocah
Tua memang tak dapat dia hindari.
Braga Swara terhuyung, langkahnya
termiring-miring. Pinggang serasa
remuk, namun dia tak menghiraukannya.
Pemacul Iblis tampak tergetar.
Sedangkan Si Bocah Tua kini sudah
bangkit berdiri, menerjang ke depan
dengan satu lompatan tinggi, sedangkan
tangannya membabat ke arah leher.
Angin bersiuran menyertai berkele-
batnya tangan Si Bocah. Tapi pada saat
itu pula, Braga Swara sambil
menggereng sudah pula melompat. Begitu
tubuhnya mengambang di udara, dia
menghantam Si Bocah Tua dengan satu
pukulan jarak pendek yang ganas.
Hawa panas menyengat, sinar merah
berkiblat. Si Bocah Tua terkejut.
Tangannya yang semula membabat leher,
kini terpaksa ditarik dan didorongkan
ke depan. Tapi gerakannya kalah cepat,
karena pada saat itu pukulan yang
dilepaskan Braga Swara telah
menghantam dadanya.
Tidak ayal lagi tubuh Si Bocah
Tua mencelat sejauh dua tombak dan
terhempas di lapangan pasir. Sekejap
saja dalam keadaan terluka dalam dan
semburkan darah dari mulutnya sosok Si
Bocah Tua nampak mulai tenggelam
tersedot ke dalam pasir itu. Melihat
hal ini, Pemacul Iblis yang semula
sudah akan mempergunakan pacul mautnya
untuk menggempur lawan terpaksa
batalkan niat. Cepat sekali dia
melompat ke lapangan pasir untuk
menyelamatkan kawannya. Dengan kaki
bertumpu pada pacul, tangannya yang
lain menyambar Si Bocah Tua. Laksana
kilat dia mencoba melontarkan kawannya
ke atas altar. Tapi tiba-tiba Si Bocah
Tua menjerit. Dari bagian bawah pasir
kakinya seperti ada yang menarik.
"Jahanam keparat. Mahluk celaka
itu!" seru Pemacul Iblis. Tarik
menarik terjadi, Si Bocah Tua ayunkan
kakinya. Pada saat itulah di bagian
bawah pasir terjadi satu gerakan
hebat. Kemudian di sekeliling Pemacul
Iblis bermunculan tiga kepala aneh
berbentuk kepala singa namun leher dan
badan seperti ular berwarna hitam.
"Kalian tidak bakal Solos dari
mahluk-mahluk iblis itu! Dari sini aku
akan memendam kalian! Ha... ha... ha."
kata Braga Swara disertai tawa
tergelak-gelak. Braga Swara angkat
kedua tangannya yang telah berubah
merah laksana bara itu. Dalam keadaan
begitu rupa di mana Pemacul Iblis
sedang berusaha keras menyelamatkan
kawannya di samping juga menghadapi
serangan empat mahluk pemakan bangkai
yang dikenal dengan nama Hantu Singa
Lodraya tidak mungkin baginya
menghindari pukulan Braga Swara. Akan
tetapi pada saat itu satu sosok tinggi
besar luar biasa nampak berkelebat ke
arah altar. Bersamaan dengan
melesatnya sosok besar itu melesat
pula sinar putih disertai dengan
terdengarnya suara bergemuruh. Braga
Swara yang baru saja hendak
mendorongkan kedua tangannya ke arah
Pemacul Iblis dan Bocah Tua terkejut.
Dia cepat berbalik dan menangkis.
Sayang gerakannya kalah cepat.
Di lain kejap tahu-tahu dia
merasakan tubuhnya seperti ditindih
batu es, mencelat dan terhempas di
bawah altar. Sekejap saja laki-laki
itu lenyap tenggelam ke dalam pasir.
Di atas altar sosok besar gendut
yang baru jejakkan kaki tertawa
terkekeh-kekeh.
Pada saat yang bersamaan di mana
Pemacul iblis sedang menarik Si Bocah
Tua dan tengah menghadapi keroyokan
empat mahluk berkepala singa dan
berbadan ular. Berkelebat pula satu
bayangan lain yang langsung menghajar
ketiga mahluk aneh itu dari belakang
dengan satu pukulan beruntun. Tujuh
larik sinar pelangi menderu, disertai
dengan menebarnya hawa panas dan
dingin silih berganti. Tiga kepala
mahluk aneh seakan terdorong ke depan.
Namun dengan cepat sekali ketiga
kepala itu lenyapkan diri sebelum
tujuh larik sinar pelangi menghantam
mereka. Dengan begitu pukulan mengenai
tempat kosong melewati kepala Pemacul
Iblis. Terjadi dentuman tiga kali
berturut-turut.
"Tobaat biyung. Tobaaat...!" seru
Pemacul Iblis. Namun getaran hebat
yang terjadi membuatnya dapat menarik
Si Bocah Tua. Dia melontarkan Si Bocah
Tua ke atas altar. Tanpa menghiraukan
sengatan panas akibat pukulan
penolongnya, dia gerakkan paculnya
yang nyaris tenggelam. Wuuut! Dan
Pemacul Iblis melesat ke atas altar.
Di belakangnya menyusul pula sosok
pemuda berambut gondrong berbadan
tegak bertelanjang dada.
"Terima kasih... terima kasih kau
telah menyelamatkan kami!" berkata
kakek tua itu.
Si gondrong yang bukan lain
adalah Gento Guyon menyengir. Dia
nyaris tak mampu menahan tawa. Bukan
karena ucapan Pemacul Iblis, melainkan
karena melihat bagian kepala, alis
kumis dan jenggot si kakek yang serba
botak di sebelah kiri.
Ketika kakek kurus ini berpaling
ke samping kirinya dia jadi kaget saat
melihat seorang kakek tua berbadan
besar bukan main berdiri tegak tanpa
melepas senyumnya.
"Kalian ini siapa sebenarnya?"
tanpa Pemacul Iblis heran.
"Kami orang kesasar yang ingin
melihat bocah-bocah nakal bermain di
Tanah Kutukan ini." menyahuti si kakek
Gentong Ketawa.
"Arkh... ya Tuhan kakiku...!"
satu suara berseru kesakitan. Serentak
mereka menoleh. Maka pucatlah wajah
Pemacul Iblis. Dia melihat kedua kaki
Si Bocah Tua telah buntung hingga
sebatas betis.
Pemacul Iblis melompat
mendatangi. "Mahluk celaka itu
menggigit putus kedua kakimu?" desis
si kakek sambil kepalkan tinjunya.
Tiba-tiba dia berseru. "Tiga Permata
Langit lekas kau keluarkan!"
"Aku tahu ajalku tak akan lama.
Gigitan mahluk keparat itu sungguh
sangat beracun!! Hoeek...!" Sambil
berkata Si Bocah Tua muntahkan
sesuatu. Tiga buah benda sebesar ibu
jari memancarkan sinar biru berkilauan
tersembur dari mulutnya. Tanpa merasa
jijik Pemacul Iblis pungut ketiga
benda itu. Dia langsung memasukkan ke
dalam mulut, menyimpannya di bawah
lidah. Sejenak dia merasakan hawa
sejuk yang luar biasa. Namun si kakek
kurang menghiraukan semua itu. Karena
pada saat yang sama Si Bocah Tua sudah
terkulai dengan sekujur tubuh
menghitam dan mata tertutup rapat.
"Sahabatku... ah... jangan mati
dulu.... Sahabatku...!" Pemacul Iblis
menggerung bagaikan orang gila sambil
mengguncang tubuh Si Bocah yang diam
tak bergerak lagi.
"Mahluk itu sungguh sangat
berbahaya." desis Gentong Ketawa. Mata
si kakek tampak jelalatan memandang
kian ke mari. Di atas pasir tidak
terlihat gejolak apapun.
"Ke mana bangsat berpakaian merah
tadi?" tanya Gento Guyon yang turut
merasa sedih melihat kematian Si Bocah
Tua.
"Aku di sini. Bersama empat
kawanku yang siap membunuh kalian!"
satu suara menyahuti. Hanya sekejapan
mata sebelum kejut di hati Gento
lenyap. Tiba-tiba di empat tempat
tanah tersibak, pasir berhamburan di
udara. Empat kepala berupa kepala
singa dan berbadan ular hitam besar
munculkan diri. Begitu muncul mereka
mengeluarkan lengkingan aneh. Serentak
dengan itu pula mahluk aneh ini
langsung mengepung altar dari empat
sudut.
"Bunuh...!" Satu suara berseru
keras. Dari dalam pasir sosok Braga
Swara munculkan diri. Melesat ke
udara, berjumpalitan demikian rupa dan
begitu jejakkan diri di atas altar dia
langsung menyerang Gento Guyon dan
gurunya. Melihat serangan ganas yang
dilakukan lawan Gentong Ketawa tertawa
mengekeh.
"Ternyata dia bukan hanya besar
nafsu memperkosa gadis, tapi juga
besar kemauannya Gege!" kata si kakek
sambil menyambut tendangan aneh yang
dilepaskan Braga Swara.
Tubuh besar si kakek meliuk,
tendangan luput. Tapi kini tangan kiri
Braga Swara menghantam ke arah Gento
Guyon.
Sinar merah biru melesat dari
tangan laki-laki itu. Gento melompat
ke udara. Di udara tubuhnya berputar,
kepala mendongak ke langit, sedangkan
tangan dijulurkan. Dua larik sinar
membersit dari ujung jari telunjuknya.
Sinar itu mengejar ke arah Braga
Swara. Lawan kaget karena serangan
lawan mampu menembus pertahanan bahkan
memupus pukulan yang dilepaskannya.
Jdddddt!
Sinar biru terus memburu. Braga
Swara jatuhkan diri, berguling-guling
di atas altar. Tapi ke manapun dia
pergi sinar itu tetap memburunya.
Gento Guyon tertawa mengekeh. Braga
Swara tak punya pilihan lain. Dia
kembali menghantam dengan pukulan
Gempa Bumi. Dari tangan kiri yang
dikibaskannya dalam keadaan melentang
menderu suara aneh disertai goncangan
hebat di bagian altar. Dua kekuatan
sakti saling bertemu.
Bledum!
Ledakan berdentum bukan saja
membuat altar seperti diangkat dan
dibanting. Tapi juga membuat pasir
bermuncratan di udara, hingga peman-
dangan di sekeliling altar menjadi
gelap. Dua mayat di atas altar
bergoyang-goyang. Gentong Ketawa jatuh
duduk berlutut. Sedangkan Gento rebah
menelentang dengan nafas kembang
kempis. Braga Swara masih dapat
berdiri tegak meskipun sudut bibirnya
mengucurkan darah.
"Kau mempergunakan pukulan apa
tadi? Perasaan aku tak pernah
menurunkan ilmu seaneh itu!" tanya si
kakek dalam kejutnya.
Gento tersenyum. "Itu tadi
pukulan Gajah Menendang Kelinci. Ha...
ha... ha." Dalam hati si pemuda
berkata. "Guru gendeng, dalam keadaan
begini masih juga dia mempersoalkan
segala ilmu."
Sementara itu Braga Swara sendiri
sesungguhnya terkejut besar, tak
menyangka lawan yang masih semuda itu
tenaga dalam dan pukulan saktinya
sungguh hebat luar biasa.
TIGA BELAS
Di sudut lain masih di tempat
yang sama Pemacul Iblis nampaknya
sedang mengumbar kemarahan. Dia yang
merasa kehilangan sahabat akibat
keganasan Hantu Singa Lodraya. Kini
melampiaskan dendam kesumat dan
kemarahannya pada empat mahluk ganas
yang menyerang dari bibir altar. Pacul
besar di tangan kanannya menderu,
berkelebat menyambar, membabat atau
mengepruk kepala empat mahluk aneh
pemakan bangkai ini. Di samping itu
dengan tangan kiri hampir tak pernah
berhenti dia melepaskan pukulan Petir
Neraka dan Halilintar Iblis silih
berganti. Setiap kedua pukulan itu
menyambar kepala maupun leher mahluk
berkepala singa berbadan ular hitam
besar. Secara cepat mahluk ini
lenyapkan kepalanya di balik pasir,
untuk kemudian muncul kembali dan
lakukan serangan balasan.
"Setan kampret. Mereka sengaja
mengecohku!" desis si kakek menjadi
geram. Kini Pemacul Iblis tidak lagi
mengumbar dua pukulan ganasnya
melainkan cuma memutar pacul di
tangan. Angin menderu-deru, sinar
hitam berkelebatan. Empat mahluk
semakin mendekat dan membuka mulutnya
lebar-lebar. Pacul digerakkan ke arah
mahluk yang hendak menelannya. Mata
pacul menghantam moncong mahluk itu.
Tapi benturan yang keras hanya membuat
mahluk itu bergoyang tersentak ke
belakang. Tiga kepala lainnya dengan
mulut terbuka berserabutan menyerang
Pemacul Iblis. Tidak punya pilihan
lain, kakek itu terpaksa semburkan
salah satu Permata Langit dari
mulutnya.
"Puuuh!"
Plopp!
Byaaar!
Benda biru berkilauan melesat di
udara. Setelah bergesekan dengan udara
benda itu menyala terang, membesar dan
menghantam salah satu kepala Hantu
Singa Lodraya. Mahluk yang menjadi
sasaran mencoba berkelit. Tapi sebelum
kepalanya lenyap, bagian kepala itu
meledak menyemburkan darah berwarna
hitam. Tiga kawannya nampak menjadi
jerih, namun hanya sekejap. Karena
beberapa saat kemudian mereka telah
menyerang kembaii dengan kecepatan
berlipat ganda.
Karena mahluk-mahluk itu menjadi
marah melihat kematian kawannya. Maka
kini mereka semakin bertambah ganas
dan beringas sekali. Pemacul Iblis
jadi terdesak hebat, tak mampu
membalas serangan lawan terkecuali
hanya menghindar dan berkelit. Tapi
pada saat kakek tua ini terdesak
hebat. Pada saat itulah di udara
tampak ada empat sosok melayang
bagaikan datang dari langit. Empat
sosok yang melesat dengan cepat ke
arah altar itu kemudian sama hantamkan
kedua tangannya ke arah mahluk-mahluk
yang mengeroyok Pemacul Iblis.
Sinar putih, merah dan biru
menukik tajam ke bagian kepala ketiga
mahluk berkepala singa. Yang menjadi
sasaran keluarkan suara auman dan
desis panjang. Serentak mereka buka
mulutnya lebar-lebar. Tiga sinar maut
tersedot amblas ke dalam mulut tiga
Hantu Singa Lodraya.
Keempat sosok berpakai putih
berseru kaget. Tiga di antaranya
bahkan ikut tersedot dan meluncur ke
mulut ketiga mahluk ganas itu. Yang
satunya dengan gerakan cepat segera
melakukan langkah penyelamatan dengan
mendorong ketiga muridnya agar jangan
masuk ke mulut mahluk itu.
Bresss!
Dua pemuda berkepala botak jatuh
terhempas di atas pasir, begitu juga
dengan gadis yang satunya lagi.
"Selamatkan diri kalian!" teriak
perempuan tua berkepala botak yang
bukan lain adalah Peri Tanpa Bayangan.
Taktu, Takwa dan Takga mencoba berlari
ke arah altar yang luas. Tapi tiga
mahluk tadi kini telah menghadangnya.
Cepat sekali masih tetap sambil
berlari mereka serentak menghantam.
Pukulan yang sangat keras mengandung
angin dahsyat hanya membuat kepala
tiga mahluk yang munculkan diri
setengah badan bergoyang oleng bagai
pucuk cemara yang ditiup angin.
Setelah kembali menyerang disertai
gerungan panjang.
Gurunya tidak tinggal diam,
sedangkan Pemacul Iblis kembali
menyambitkan dua Permata Langit ke
bagian kepala mahluk-mahluk itu.
Begitu melesat di udara kedua benda
itu langsung membesar dan menghantam
dua di antara tiga mahluk ini. Kembali
kepala dua Hantu Singa Lodraya
meledak, Dengan kepala hancur tubuh
mahluk-mahluk ini amblas lenyap ke
dalam pasir lapangan. Yang satunya
lagi kembali menyerang Taktu, Takwa
dan Takga.
"Lari ke arah altar!" Kembali
Sari Lukita memberi peringatan.
"Biarkan kami yang mengha-
dapinya!" seru Pemacul Iblis. Kedua
pemuda dan gadis itu lari berserabutan
mendekati altar, sedangkan dari altar
si kakek dan Lukita Sari menghambur ke
arah Hantu Singa Lodraya. Kiranya
gerakan ketiga murid perempuan botak
itu tidak semulus yang mereka
bayangkan sebab mahluk ganas berkepala
singa itu tidak membiarkan mereka
lolos begitu saja. Dengan mulut
terbuka dia menyerang Takga yang
berada paling dengan dengannya.
"Wah gawat!" seru Takga sambil
hantamkan tangannya ke arah lawannya.
Hawa panas menghampar ditambah lagi
dengan pukulan Takwa dan Taktu yang
bermaksud menolong saudaranya membuat
udara semakin bertambah panas
menyengat. Hantu Singa Lodraya tarik
lehernya menjauh ke belakang. Justru
dari bagian belakang Pemacul Iblis
ayunkan senjatanya dengan disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Di
samping Pemacul Iblis, Sari Lukita
juga melepaskan pukulan ganas yang
dikenal dengan nama Menyepi Sendiri
Dalam Kubur. Hantu Singa Lodraya tak
sempat lagi menghindar ketika hawa
dingin menggiriskan serta mata pacul
besar menghantam kepala dan tubuhnya.
Praaak!
Glaar!
Mahluk itu meraung kesakitan.
Tubuhnya meliuk, kepala yang hancur
menukik tajam ke pasir. Sekejap saja
singa berkepala ular lenyap tersedot
ke dalam pasir.
Tanpa menghiraukan mahluk itu
lagi, Pemacul Iblis, Sari Lukita dan
juga Taktu, Takwa dan Takga kembali ke
altar. Sampai di sana mereka langsung
menyepung Braga Swara yang sedang
menghadapi gempuran Gentong Ketawa dan
Gento Guyon. Si kakek sendiri setelah
pertempuran berlangsung lebih dari
seratus lima puluh jurus nampak
terluka di bagian dalam. Sedangkan
Gento pipinya lebam membiru kena
dijotos lawan. Braga Swara pakaiannya
sudah pula compang-camping terkena
pukulan lawan yang bertubi-tubi.
Dia harus mengakui, menghadapi
dua manusia aneh itu saja dia sudah
sangat kewalahan. Walau pun ilmu Braga
Swara sangat tinggi mustahil dia
unggul menghadapi mereka semua.
"Orang tua gendut, aku inginkan
kepala Braga Swara!" teriak Sari
Lukita. Dia melompat ke kalangan
perkelahian. Tanpa banyak bicara
perempuan ini langsung kirimkan satu
pukulan menggeledek. Segulung angin
kencang menderu melabrak Braga Swara.
Laki-laki itu tertawa mengekeh. Sambil
melompat tinggi Braga Swara membentak.
"Perempuan bocah panjang umur pendek
pikiran. Suamimu sudah mampus di sudut
altar itu. Aku juga sudah tak berkenan
lagi dengan tubuh keriputmu. Sekarang
aku akan mengirimmu ke neraka dengan
pukulan Gempa Bumi!" Berkata begitu
Braga Swara yang semakin bertambah
hebat kekuatannya bila sudah mengapung
di udara segera hantamkan kedua
tangannya keempat penjuru arah.
"Menghindar!" teriak Gentong
Ketawa yang sudah merasakan kehebatan
pukulan maut lawannya. Taktu, Takwa
dan Takga begitu merasakan getaran dan
guncangan hebat langsung jatuhkan diri
menelungkup sama rata dengan lantai.
Sedangkan Pemacul Iblis kiblatkan
paculnya menangkis serangan lawan. Di
sudut kiri si kakek gendut besar
sambil duduk lepaskan pukulan Dewa
Menangis Iblis Tertawa. Agak di
sebelah kanannya Gento Guyon dengan
kaki ditekuk menghantam dengan pukulan
Dewa Awan Mengejar Iblis. Satu ilmu
dahsyat warisan Tabib Sesat Timur.
Sedangkan Lukitas Sari yang telah
menciptakan ilmu pamungkas Menggulung
Langit sudah pula kibaskan tangannya
ke arah Braga Swara.
Dari telapak tangan laki-laki itu
deru angin disertai melesatnya cahaya
merah tampak tiada putus-putusnya.
Dari tiga arah sinar putih, biru dan
ungu mengebubu menghantam Braga Swara.
Sehebat apapun kesaktian Braga Swara
menghadapi tiga gempuran dahsyat ini
dia tak bisa berbuat banyak.
Ledakan dahsyat bergema membuat
altar amblas terguncang. Pasir
berhaburan dari sekeliling altar.
Braga Swara terkapar dengan tubuh
tercabik-cabik bersimbah darah. Kakek
Gentong Ketawa rebah menelentang
dengan mulut meneteskan darah. Gento
Guyon jatuh dengan kaki berlutut,
wajah pucat dan dada bergetar.
Sedangkan Sari Lukita sempat
terhuyung. Di sudut sebelah kiri
Pemacul Iblis memaki-maki begitu
melihat pacul besarnya bolong sebesar
pangkal lidi akibat dipergunakan untuk
menangkis pukulan lawan.
"Kampret setan. Beruntung kau
datang Lukita Sari. Tapi suamimu Si
Bocah Tua kakinya buntung dimakan
mahluk setan. Hu... hu... hu." Pemacul
Iblis menangis terguguk-guguk seperti
anak kecil. Dia hampiri mayat Si Bocah
Tua sedangkan mayat gadis yang dia
lihat sejak awal kedatangan tadi tidak
terlihat hilang entah ke mana.
Lukita Sari alias Peri Tanpa
Bayangan jadi melengak kaget. Setengah
berlari sambil menangis dia hampiri
mayat Si Bocah Tua. Begitu berlutut di
samping mayat Si Bocah Tua, hatinya
terenyuh, perasaannya seperti diiris-
iris. Entah pedang macam apa yang
dipergunakan untuk mengiris jelas
sangat sakit dan sedih sekali. Dia
peluki mayat suaminya.
"Maafkan aku, kakang. Kebodohanku
membuat aku menyesal juga membuat
menderita seumur hidup. Maafkan aku
kakang. Aku tidak berguna. Hu... hu...
hu!" kata si nenek botak sambil
memeluki mayat Si Bocah Tua.
"Huk... huk... huk! Semuanya
sudah terjadi. Jangan kau tangisi dia.
Hu... hu... hu...." kata Pemacul
Iblis.
Di belakang mereka hanya diam
dengan wajah tertunduk. Sedangkan
Gento Guyon dan gurunya saling
pandang. "Pemacul Iblis itu manusia
sedeng agaknya. Dia melarang orang
menangis, tapi dia sendiri tetap
terguguk kucurkan air mata." gumam
Gento bersungut-sungut.
"Kau iri? Kalau mau ikutan
menangis membantu nenek botak itu
silahkan. Aku sendiri lebih baik pergi
daripada ikut terharu. Salah-
salah...!" Gentong Ketawa tidak
meneruskan ucapannya.
"Salah-salah kepala kita ikutan
jadi botak juga guru." kata si pemuda
tak dapat menahan tawa.
"Ha... ha... ha...!" Gentong
Ketawa sambil tergelak-gelak berke-
lebat pergi dengan menyambar tangan
muridnya. Taktu, Takwa dan Takga
melengak kaget.
"Kakek dan pemuda itu, rasanya
aku mengenal mereka!" desis Takga.
"Betul. Dia bocah yang dulu
kepalanya dijitaki tabib setan ketika
kalah melawanku!" menimpali Taktu
alias Ararini.
Di kejauhan sayup-sayup mereka
mendengar Gento Guyon berkata. "Gadis
cantik dan dua pemuda botak. Syukur
kalian masih ingat denganku. Aku masih
penasaran dengan permainan tempo hari.
Kapan waktu aku pasti akan menjitaki
kepala kalian."
Lalu terdengar suara si kakek.
"Perlu apa kau berkelahi dengan
mereka. Salah-salah rambutmu rontok
semuanya. Mending kalau cuma yang di
atas kalau yang di bawah ikutan rontok
bagaimana! Ha., ha... ha." Lalu
terdengar suara bekakakan yang semakin
menjauh sampai akhirnya lenyap sama
sekali. Taktu, Takwa dan Takga
gelengkan kepala sambil menahan
senyum. Sementara itu Sari Lukita dan
Pemacul Iblis begitu mendengar tawa
tersentak kaget. Mereka hentikan
tangisnya. Ketika mereka sama menoleh
ke arah si kakek dan pemuda gondrong
tadi berdiri. Ternyata kakek dan
pemuda aneh itu lenyap.
"Ke mana mereka?" tanya Peri
Tanpa Bayangan ditujukan pada
muridnya.
"Sudah pergi guru." menjawab
Takga.
"Kita belum sempat mengucapkan
terima kasih atas bantuan mereka!"
menimpali Pemacul Iblis.
"Orang-orang aneh berkepandaian
tinggi. Kelak aku pasti membalas jasa
baik mereka." gumam Sari Lukita yang
masih dirundung sesal dan kesedihan.
Tapi tanpa bicara lagi perempuan ini
mengangkat mayat Si Bocah Tua, dengan
diikuti oleh Pemacul Iblis dan
diiringi ketiga muridnya mereka
meninggalkan altar persembahan.
Tinggallah mayat Braga Swara yang
terkapar membeku didera angin
menjelang pagi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar