MAUT BUAT MADEWA GUMILANG
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang meng-
copy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma dalam episode:
Maut Buat Madewa Gumilang
SATU
Pagi itu, penduduk yang tinggal di sekitar Gunung
Merbabu seperti biasa pergi bertani dengan gembira.
Cuaca hari ini nampak cerah, lain seperti kemarin.
Pemandangan bila dilihat dari puncak Gunung Merba-
bu bukan main indahnya. Hamparan padi menguning
bagaikan emas yang bertaburan di bumi. Dan bukit-
bukit di sebelah Barat sana menghijau. Sungai kecil
melintang berkelok bagaikan ular.
Tetapi puncak Gunung Merbabu berdiri angkuh
seolah merasa besar. Puncak yang terasa begitu miste-
rius. Bahkan para penduduk di sekitar sana yakin, ka-
lau puncak itu kadang didiami oleh dedemit.
Para penduduk yang bekerja di sawah, bersiul gem-
bira. Bocah-bocah kecil yang sedang mandi di sungai,
berenang-berenang dengan tertawa.
Namun kegembiraan itu dikejutkan oleh suara
orang berseru-seru, disusul dengan derap langkah ku-
da yang cepat mendatangi desa yang ada di lereng gu-
nung itu.
"Masuk! Semua masuk ke rumah! Gerombolan Ma-
laikat Pencabut Nyawa datang!"
Seketika suasana yang tenang itu berubah menjadi
jerit ketakutan. Para penduduk yang bekerja di sawah
segera berlari pulang. Tak menghiraukan lagi alat-alat
yang mereka tinggalkan. Bocah-bocah kecil masih da-
lam keadaan bertelanjang pontang panting masuk ke
rumah.
Semua pintu dan jendela terlihat segera tertutup.
Keadaan menjadi tegang. Dan ketakutan.
Gerombolan para penunggang kuda yang berpa-
kaian hitam dengan celana merah itu, berhenti tepat di
tengah-tengah desa. Mereka terdiri dari tujuh orang
laki-laki berwajah bengis dan seram. Di pinggang me-
reka terselip sebatang golok besar.
Salah seorang yang bercambang dan berjanggut le-
bat, mendengus. Dia bernama Murko Wiroko, pimpi-
nan dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa.
"Hhh! Orang-orang bodoh! Keluar kalian!" serunya
seperti menebar hawa maut. "Keluaaaarrr! Bila tidak,
desa ini akan kami bumi hanguskan!"
Namun orang-orang yang sedang ketakutan itu, tak
satu pun yang ke luar. Mereka saling dekap dengan
anak istri mereka.
Murko Wiroko mendengus marah.
"Kuperingatkan pada kalian semua... bila tak ada
yang ke luar, akan kubakar seluruh desa ini!"
Makin ketakutan para penduduk yang berada di da-
lam rumah. Namun dari gorden yang mereka buka se-
dikit untuk mengintip, terlihat sebuah pintu rumah
terkuak. Satu sosok tubuh berjalan ke luar. Sementara
di ambang pintu rumah itu, terlihat seorang perem-
puan yang berusaha menahan dan berseru-seru, "Jan-
gan, Pak! Jangan! Mereka akan membunuhmu... hu-
huhu... pakkkk!"
Namun laki-laki yang berusia sekitar 45 tahun itu
terus melangkah dengan gagah menghampiri para pe-
nunggang kuda yang terbahak-bahak melihatnya
muncul.
Laki-laki itu kini berhadapan dengan para penung-
gang kuda itu. Dia adalah seorang laki-laki yang ber-
tubuh gagah. Tubuhnya tegap. Kumis tipisnya ber-
tengger di atas bibirnya yang mulai keriput.
Dia berkata dengan lantang, "Murko Wiroko... su-
dah berulangkali kau dan gerombolanmu membuat
onar di Desa Kaliwungu ini! Dan sikapmu begitu onar
dan mengerikan! Apakah kau tidak pernah merasa ka-
sihan dengan orang-orang yang tak berdosa yang kau
tindas ini?!"
Laki-laki yang ternyata Ki Lurah mendengus. Sua-
ranya tetap tegar.
"Mati di tangan Tuhan, Murko Wiroko... dan kezali-
man yang kau sebar ini tak bisa kuterima dan berlang-
sung Lurah?" terbahak-bahak Murko Wiroko.
"Aku mengajak kau bertanding, Murko Wiroko..."
"Hei, kau berani menantangku?!"
"Tak ada jalan lain... daripada aku mengorbankan
nyawa pendudukku..."
"Bagus, bagus sekali, Ki Lurah... aku menyukai sifat
jantanmu itu. Nah, bagaimana peraturannya?"
"Bila kau kalah... kalian tinggalkan tempat ini dan
jangan datang lagi..."
"Bagaimana bila kau sendiri yang kalah?"
"Kau boleh menghancurkan keluargaku... tapi jan-
gan penduduk yang lain!" kata Ki Lurah Jalu Prakoso
dengan suara seperti desahan. Sebenarnya dia berat
melakukan ini. Namun baginya, dia lebih rela mengor-
bankan diri dan keluarganya daripada nyawa para
penduduk.
"Bagus! Aku terima tantanganmu, Ki Lurah! Nah,
kau bersiaplah!" kata Murko Wiroko sambil melompat
dari kudanya.
Ki Lurah Jalu Prakoso pun bersiap. Terbayang wa-
jah istrinya yang bernama Srinti dan putranya yang
baru berusia 12 tahun, Bayu Menggolo. Saat nikah, Ki
Lurah Jalu Prakoso memang sudah berumur, saat
usianya 30 tahun. Sedangkan istrinya saat itu berusia
19 tahun. Namun cinta dan kesetiaan dari istrinya be-
gitu besar dilimpahkan kepada Ki Lurah Jalu Prakoso.
Dan kini Srinti sedang memperhatikan suaminya
yang nampak siap berlaga dengan Murko Wiroko. Ha-
tinya menjadi cemas bukan main. Dia berdoa seba-
nyak-banyaknya untuk keselamatan suaminya.
Begitu pula dengan para penduduk yang lain. Mere-
ka pun tak kalah tegangnya. Kengerian itu terus me-
rambat.
Perlahan.
Dan semakin mencekam.
"Ki Lurah... mengapa kau hanya diam saja? Ayo, se-
ranglah aku sebisamu... hahahaha!" terbahak Murko
Wiroko yang menganggap remeh Ki Lurah Jalu Prako-
so.
Jalu Prakoso diangkat sebagai Lurah, karena dia
memiliki ilmu silat. Dulu desa ini pun pernah diserang
oleh gerombolan, saat istrinya sedang mengandung
dua bulan. Kala itu Jalu Prakoso belum menjadi Lu-
rah. Dan berkat kegigihannya yang memimpin bebera-
pa pemuda dan orang tua, mereka berhasil mengusir
gerombolan itu.
Dari keberaniannya itulah dia diangkat sebagai Lu-
rah.
Penduduk desa Kaliwungu sebenarnya adalah
orang-orang yang pemberani dan suka bahu memba-
hu. Namun kira-kira dua bulan yang lalu, saat mereka
bahu membahu untuk mengusir Gerombolan Malaikat
Penyebar Maut, hanyalah merupakan pekerjaan yang
sia-sia belaka. Mereka banyak yang mati. Dan lawan
begitu ganas membunuh.
Itulah sebabnya mereka tak berani lagi untuk me-
nentang dan melawan Gerombolan Malaikat Pencabut
Nyawa, mengingat anak istri mereka yang banyak dan
masih kecil-kecil.
Ki Lurah Jalu Prakoso menyadari pula hal itu. Itu
pula sebabnya dia mencoba menantang Murko Wiroko
berhadapan satu-satu dengannya!
***
DUA
Ki Lurah menatap Murko Wiroko dengan pandan-
gan murka.
"Hhh! Kau tak ubahnya seperti anjing buduk yang
mengorek bangkai!"
Wajah Murko Wiroko melegam merah. Pipinya
menggelembung karena marah mendengar kata-kata
Ki Lurah Jalu Prakoso. Lalu dia pun menyerbu dengan
satu jotosan ke arah dada Ki Lurah!
Ki Lurah yang sudah bersiap sejak tadi, menyambut
jotosan itu dengan memiringkan tubuhnya. Lalu mem-
balas dengan satu tendangan ke arah kaki Murko Wi-
roko, yang buru-buru melompat.
Murko Wiroko yang menganggap remeh Ki Lurah
Jalu Prakoso tidak bisa main-main lagi, karena dia
menyadari kini kemampuan yang dimiliki Ki Lurah.
Kembali dia menyerang dengan jotosannya. Kali ini
beruntun disusul dengan satu tendangan. Ki Lurah
menghadapi semua itu dengan tenang. Tubuhnya ber-
gerak dengan cepat, mengelakkan serangan itu dengan
gesit. Namun dengan tiba-tiba saja tubuh Murko Wiro-
ko sudah berada di atas kepalanya, tinjunya siap di-
pukulkan ke kepala Ki Lurah.
Dengan sigap Ki Lurah menarik dirinya, namun pu-
kulan itu terus mencercanya. Mau tak mau membuat
Ki Lurah bergulingan di tanah. Bajunya seketika diko-
tori tanah yang sebentar lagi mungkin akan bersimbah
darah.
"Hahaha... kau tak akan bisa lari dariku, Ki Lurah!"
tertawa Murko Wiroko seraya menyerbu kembali.
Ki Lurah yang masih bergulingan di tanah dengan
sigap bangkit dan mencoba memapaki serangan dari
Murko Wiroko.
"Des!"
Dua tenaga berbenturan. Terlihat tubuh Ki Lurah
Jalu Prakoso terhuyung beberapa langkah. Bertanda
tenaga dalam Ki Lurah jauh berada di bawah tenaga
dalam yang dimiliki Murko Wiroko. Ki Lurah Jalu Pra-
koso mencoba mengimbangi tubuhnya agar tidak ja-
tuh.
Namun belum lagi dia dapat mengimbangi tubuh-
nya agar berada dalam posisi seimbang, sebuah ten-
dangan keras telah datang dan tepat mengenai da-
danya.
"Des!"
"Aaaakkkkhh!"
Tubuh Ki Lurah Jalu Prakoso terpental beberapa
tombak ke belakang. Dan jatuh tidak bangun-bangun
lagi. Nyawanya telah melayang.
Istrinya yang menyaksikan hal itu mendekap pu-
tranya erat-erat sambil menangis pilu. Dia melihat
mayat suaminya diinjak-injak oleh Gerombolan Malai-
kat Penyebar Maut.
"Cih! Mampuslah kau sana, Jalu!" mendengus Mur-
ko Wiroko.
"Kakang... apakah dengan begitu kau akan meme-
nuhi janjimu?" tanya salah seorang anak buahnya.
Murko Wiroko mendengus. "Apa maksudmu, hah?!"
"Bukankah kau tadi telah berjanji padanya, bila kau
dapat mengalahkannya kau hanya akan mengganggu
keluarganya saja?!"
"Hahaha... Garot... Garot... ternyata kau bodoh se-
kali!" terbahak-bahak Murko Wiroko mendengar penu-
turan anak buahnya yang paling muda. Sebenarnya
Garot bukanlah laki-laki yang kejam. Tetapi karena dia
telah lama bergaul dengan Gerombolan Penyebar
Maut, maka dia pun menjadi terpengaruh.
"Maksudmu, Kakang?"
"Mana mungkin aku akan memenuhi kata-kataku
itu! Tidak, desa ini beserta isinya harus menjadi milik-
ku! Dan aku ketua di sini! Siapa saja yang berani me-
nentangku, akan kubuat hancur lumat dengan tanah!"
kata Murko Wiroko sambil menepuk dadanya.
Teman-temannya tertawa. Begitu pula dengan Ga-
rot. Kehidupan garang telah menempanya menjadi be-
gitu kejam dan telengas.
Tiba-tiba terdengar suara Murko Wiroko, "Hhh! Ka-
lian bakar desa ini menjadi lautan api! Umumkan
bahwa akulah yang berkuasa di sini! Bunuh siapa saja
yang membangkang! Hahaha... aku sendiri akan men-
gurus istri dari Ki Lurah Jalu Prakoso. Tadi kulihat
wajahnya yang cantik mengintip dari balik gorden...
hahaha... masih hangat agaknya bila kupakai!"
Lalu Murko Wiroko menggebrak kudanya mendekat
rumah Ki Lurah Jalu Prakoso. Sementara anak buah-
nya mengamuk sambil tertawa-tawa. Bagi mereka, me-
lihat kesengsaraan penduduk merupakan suatu ke-
gembiraan yang mengasyikan.
Mereka membakar obor dan melemparinya ke atap-
atap rumah penduduk. Seketika di tempat itu seakan
menjadi lautan api. Terdengar jeritan memilukan dan
menyayat hati. Karena tak mau dimakan api yang
mengganas, akhirnya para penduduk pun berlarian ke
luar rumah.
Dan kesempatan itu digunakan oleh Gerombolan
Malaikat Penyebar Maut untuk membunuh siapa saja.
Dan mengambil anak gadis mereka.
Terdengar jeritan, tangisan dan pekikan.
Menderu.
Suasana desa seperti neraka.
Sementara itu, Murko Wiroko tengah mendobrak
pintu rumah Ki Lurah Jalu Prakoso yang tertutup.
Dengan sekali tendang pintu itu hancur berantakan.
Lalu sosok tinggi besar itu masuk ke dalam. Ma-
tanya celingukan. Bibirnya tak henti-hentinya menye-
ringai.
"Hai, Manis... di mana kau bersembunyi?"
Kepalanya celingukan mencari Srinti, istri dari Lu-
rah Jalu Prakoso.
"Manis... ayo keluar... Kakangmu datang?" berkata
lagi Murko Wiroko sambil mencari ke ruangan-ruangan
yang terdapat di rumah itu.
Namun setelah pelosok rumah ditelusuri, bayangan
Srinti dan putranya Bayu Menggolo tak nampak. Pena-
saran Murko Wiroko mencari sekali lagi. Namun hasil-
nya tetap nihil.
Murkalah dia menyadari wanita itu sudah melari-
kan diri bersama anaknya.
"Anjing buduk! Berani-beraninya kalian melarikan
diri dariku, hah?!" makinya berang sambil menghan-
tamkan tangan kanannya ke sebuah meja.
Meja itu berderak dan hancur seketika.
"Bangsat! Awas bila kalian ketemu! Akan kucincang
dan kukuliti kalian!" makinya lagi, lalu beranjak ke-
luar.
Di luar suasana makin kacau balau. Beberapa pen-
duduk yang mencoba melawan, harus tewas dengan
kepala pecah atau bagian tubuh yang hilang terkena
sabetan golok besar dari orang-orang itu.
Murko Wiroko tersenyum puas menyaksikan semu-
anya. Baginya, ini merupakan pembalasan atas jeng-
kelnya karena tidak menemukan Srinti dan putranya.
"Bunuh siapa yang mencoba melawan!" serunya
sambil mengambil sebuah obor dan melemparkannya
ke atap rumah Ki Lurah Jalu Prakoso.
Api pun cepat menyambar atap rumah yang terbuat
dari jerami itu. Menjalar dengan cepatnya. Percikan api
terbawa angin dan menyambar rumah yang lainnya
hingga ikut terbakar.
Dari sebuah rumah terlihat salah seorang anak
buah Murko Wiroko keluar sambil tertawa-tawa. Di
tangannya terbopong sebuah tubuh molek yang me-
ronta-ronta.
"Lepaskan, lepaskan aku!" rintih gadis itu. "Bapak...
tolong aku... tolong, Bapak...!"
Dari dalam rumah berlari seorang laki-laki setengah
baya. Keadaan laki-laki itu amat mengerikan. Sekujur
tubuhnya berdarah. Namun dia masih berusaha untuk
bertahan demi menolong anak gadisnya.
Di tangan laki-laki itu terpegang sebuah tombak.
"Lepaskan anakku, Manusia biadab!" makinya sam-
bil menyerbu.
Tetapi anak buah Murko Wiroko itu hanya tertawa.
Begitu tubuh laki-laki itu mendekat, masih dalam
membopong tubuh gadis itu, anak buah Murko Wiroko
yang bernama Menak Supo, mengayunkan kaki ka-
nannya.
"Des!"
Tendangan itu telah mengenai dada laki-laki seten-
gah baya itu. Hingga tubuhnya sempoyongan. Keseim-
bangannya pun hilang.
Dan tubuh itu pun ambruk.
Darah makin bersimbah di sekujur tubuhnya.
"Bapaaaaaa!" terdengar jeritan memilukan antara
kuatir dan ketakutan.
Mendengar suara putrinya yang menyayat, mem-
buat laki-laki itu mencoba untuk bangkit kembali. Dia
pun menyerbu lagi dengan sisa-sisa tenaganya.
Namun kali ini Menak Supo mendengus dan tak
mau memberi hidup lagi. Masih tetap membopong tu-
buh gadis itu, Menak Supo mencabut goloknya dan
menghantamkan ke leher laki-laki itu hingga putus.
Dan laki-laki itu pun ambruk setelah kelojotan se
jenak.
"Bapaaaaaaa!"
Pagi yang cerah, kini telah bersimbah darah.
***
TIGA
Wanita itu terus melangkahkan kakinya, meskipun
dia merasa sudah lelah sekali. Sementara bocah kecil
yang mengikutinya harus tertatih-tatih dan sekali-
sekali tersandung batu karena terlalu cepat mengikuti
langkah wanita itu.
Wanita itu tak lain istri dari Ki Lurah Jalu Prakoso
bersama anaknya, Bayu Menggolo. Setelah melihat su-
aminya ambruk bersimbah darah dan mati, Srinti
hanya bisa menahan pilu di dada. Dia tak pernah me-
nyangka suaminya akan mati dengan cara yang men-
gerikan. Dan di depan matanya!
Namun dia tersentak kala teringat akan ucapan su-
aminya sebelum mati. Dan diam-diam di hati wanita
itu begitu terharu akan kebesaran jiwa suaminya yang
rela berkorban dan mengorbankan keluarganya demi
orang banyak.
Namun Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa me-
mang tak bisa dipegang janjinya, karena begitu Jalu
Prakoso tewas, anak buah Murko Wiroko segera me-
nyerbu seisi desa.
Srinti sendiri segera menyadari bahaya yang men-
gancamnya. Dia pun bergerak cepat, mengambil bebe-
rapa perhiasan dan sejumlah uang. Kala dia mengintip
lagi dari gorden jendela, dilihatnya Murko Wiroko se-
dang berjalan ke arah rumahnya.
Bergegas Srinti menarik tangan putranya Bayu
Menggolo untuk meninggalkan rumah. Mereka melalui
pintu belakang. Lalu merambah semak belukar dan
rawa. Sementara Bayu Menggolo sendiri hanya mengi-
kutinya saja. Walaupun bocah itu sudah mengerti apa
yang terjadi terhadap ayahnya, namun dia tidak tahu
sebab apa ayahnya dibunuh orang.
Selama satu hari satu malam, Srinti membawa pu-
tranya berjalan kaki. Baginya, saat ini adalah menjauh
dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa.
Dendam telah membara di hati wanita itu.
"Bu... istirahat lagi..." keluh Bayu Menggolo yang
makin tertatih-tatih mengikuti langkah ibunya.
Semalam mereka memang beristirahat yang hanya
beberapa jam itu sangat sedikit sekali. Bocah itu jelas
sudah kelelahan sekali.
"Sebentar lagi, Bayu..." sahut Srinti, kali ini mem-
perlambat langkahnya.
"Sejak tadi Ibu bilang sebentar lagi. Tetapi belum
pula berhenti..." keluh anak itu lagi.
"Sebentar lagi kita akan tiba di desa Kali Anget,
Bayu..."
"Ibu bohong! Sejak tadi ibu pun berucap demikian.
Tapi buktinya kita terus berjalan saja. Bayu sudah le-
lah, Bu..."
"Ibu tahu, Bayu... tetapi kita tetap harus berjalan..."
kata Srinti.
"Istirahat dulu, Bu. Perut Bayu pun lapar."
"Nanti saja di desa Kali Anget, Bayu..."
"Sekarang saja, Bu..." rengek anak itu.
Srinti mendesah. Terbayang lagi kejadian dua hari
yang lalu. Ah, mengapa ajal begitu cepat menjemput
suaminya? Dan ingat itu, kegeramannya pada Gerom-
bolan Malaikat Pencabut Nyawa semakin menjadi-jadi.
Namun saat ini dendam itu dibaluri ketakutan yang
amat sangat. Srinti kuatir kalau-kalau orang-orang bi-
adab itu mengejar dan menemukannya.
Maka dia berkata pada putranya, "Bayu... bukan-
kah Bayu anak Ibu yang penurut?"
Mendengar suara yang lemah lembut itu membuat
anak itu terdiam.
"Iya kan, Bayu?"
"Iya, Bu..."
"Nah... turutilah kata-kata Ibu sekarang. Kita harus
terus berjalan, Bayu. Tujuan kita desa Kali Anget. Di
sana, kita akan mencari tempat penginapan. Juga ma-
kanan yang enak-enak."
"Makanan yang enak-enak, Bu?" wajah anak itu
menjadi cerah.
Srinti mengangguk. "Ya, kau bisa makan sepuas-
puasnya dan sekenyang-kenyangnya."
"Tapi masih lamakah kita sampai di sana, Bu?"
Kali ini Srinti mendesah. Desa Kali Anget masih
jauh sekali dari tempat mereka sekarang. Membutuh-
kan waktu sehari lamanya. Tetapi tentu saja di depan
putranya dia mengatakan lain.
"Tidak, Bayu. Desa Kali Anget sudah dekat sekali.
Nah, kau mau bukan melanjutkan perjalanan ini lagi?"
"Kalau nanti bisa makan sepuas-puasnya, Bayu
mau, Bu. Tapi, Bu..." anak itu mendadak terdiam.
"Kenapa, Bayu?"
"Kenapa kita harus meninggalkan rumah, Bu? Dan
mengapa ayah dibunuh orang seram itu?"
Pertanyaan itu sebenarnya begitu sederhana. Na-
mun bagi Srinti begitu menyengat sekali.
Dan kembali dia diingatkan bagaimana suaminya
tewas. Begitu mengenaskan.
Tiba-tiba Srinti menatap tajam putranya. Satu piki-
ran membayang di benaknya. Bukankah dia bisa
membalas dendam sakit hatinya melalui tangan anak-
nya? Mengapa dia begitu bodoh tidak berpikir ke sana.
Bayu risih ditatap seperti itu. Sangkanya ibunya
marah mendengar pertanyaannya. Buru-buru dia ber-
kata,
"Bu... kenapa Ibu menatap Bayu seperti itu? Ibu
marah?"
Srinti buru-buru tersenyum. Merasa bersalah kare-
na tatapannya tentu membuat putranya ketakutan.
Dia tersenyum.
"Tidak, Bayu..."
"Ibu tidak marah?"
Srinti menggeleng.
"Yah... di desa Kali Anget bila kita sudah menda-
patkan penginapan, Ibu akan menceritakan semuanya
padamu. Dan kita akan mencari guru silat."
"Guru silat, Bu?"
"Ya."
"Ibu ingin belajar silat?"
Srinti tersenyum sambil menggeleng.
"Untukmu, Bayu...."
"Untuk Bayu, Bu?" suara anak itu bercampur den-
gan nada gembira.
"Ya. Kau harus belajar ilmu silat setinggi-tingginya.
Dan kau harus membalaskan dendam ayah dan ibumu
ini pada Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa."
"Benar ya, Bu?" tanya anak itu lagi.
"Ya. Ayo, Bayu... kita lanjutkan perjalanan kita la-
gi," kata Srinti sambil menarik tangan putranya lagi
untuk melangkah.
Bayu Menggolo mengikutinya dengan hati riang.
Terbayang sudah dia memiliki ilmu silat. Ah, tentunya
aku akan seperti ayah nanti, desisnya dalam hati.
Namun baru saja lima tindak keduanya melangkah,
di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki ber-
wajah seram dengan tombak di tangan!
***
EMPAT
Srinti tercekat. Wajah ketiga orang itu jelas tidak
bersahabat. Tanpa disadarinya, Srinti menghentikan
langkahnya. Dipegangnya tangan putranya erat-erat.
Bayu Menggolo sendiri heran melihat ketiga orang itu
menghadang langkah mereka.
"Si... siapa Ki sanak sekalian?" tanya Srinti menco-
ba tenang dan membesarkan hati.
Salah seorang dari ketiga orang itu terbahak.
"Hahaha... rupanya wanita ini punya nyali juga un-
tuk bertanya...."
"Benar, Karto... tidak seperti kebanyakan wanita
lain yang langsung terbirit-birit begitu berjumpa den-
gan kita..." sahut temannya yang bernama Kuncoro.
"Hahaha... bukankah itu sesuatu permainan yang
mengasyikan. Kita ibarat tiga ekor kucing yang sedang
mengejar seekor tikus," sambung yang bernama Cako-
ro.
Srinti mendesah dalam hati. Dia menyesali menga-
pa terlalu lama dia berbincang-bincang dengan pu-
tranya. Bila tadi mereka langsung melanjutkan perja-
lanan, sudah tentu tidak akan berjumpa dengan ketiga
laki-laki ini.
Bagi Srinti, baru saja dia terlepas dari sarang
buaya, kini sudah masuk ke sarang harimau! Malah
yang ini nampak lebih buas! Tiga pasang mata itu liar
menatapi sekujur tubuhnya.
Srinti merinding ketakutan.
Tanpa sadar dia mundur sambil memegang tangan
putranya erat-erat.
"Hahah... rupanya dia pun tak lebih dari seekor ti-
kus betina," kata Karto.
"Dan kita akan mempunyai lagi suatu permainan
yang mengasyikan sebelum mengganyang habis tikus
itu..." tertawa Kuncoro.
Srinti makin ketakutan.
"Mau... mau apa kalian?" desisnya ketika ketiga
orang itu perlahan-lahan mendekat sambil terbahak-
bahak lebar.
"Mau apa?" tertawa Cakoro. "Sudah tentu ingin
mengajakmu bersenang-senang. Bukan begitu, kawan-
kawan?"
Kata-kata Cakoro disambut pula dengan tawa yang
lebar.
Pucat wajah Srinti.
Dan tiba-tiba dia berbalik melarikan diri sambil me-
narik tangan putranya. Bayu Menggolo hanya mengi-
kutinya sambil tertatih-tatih.
"Hahaha... kau tak akan bisa lari dari kami, Ma-
nis...."
Ketiga orang itu mengejar dan sebentar saja mereka
sudah mengurung Srinti dan putranya. Ketiganya me-
nyeringai menakutkan.
"Mengapa kau harus takut, Manis?" kata Kuncoro.
"Kami hendak mengajakmu bersenang-senang. Kau
malah aneh, ketakutan tak beralasan...."
"Tolong... tolong jangan ganggu aku..." desis Srinti.
"Siapa yang mengganggu?"
"Pergi... pergi kalian dari sini...."
"Hahaha... kami hanya mengajak kau bersenang-
senang. Bila kau tidak mau, tidak apa-apa..." kata
Kuncoro pula.
"Tapi... hahaha... kami akan memaksamu, Manis,"
sambung Karto sambil menyeringai. "Bahkan itu lebih
nikmat untuk kami daripada kau pasrah saja...."
Ketiga orang itu perlahan-lahan mendekat.
Srinti mencoba mundur. Namun ketiganya sudah
mengurungnya.
Dan tiba-tiba saja salah seorang bergerak, me-
nyambar tangan Srinti. Srinti terkejut karena tidak
menyangka hal itu.
Pegangan tangannya pada Bayu Menggolo terlepas.
"Ibuuuuuu!" pekik anak itu terkejut. Namun Bayu
Menggolo adalah seorang anak yang pemberani. Dia
tahu Ibunya dalam bahaya.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia maju memukul
Kuncoro yang tengah berusaha untuk mencium
ibunya.
"Lepaskan ibu! Kalau tidak kupukul kau?!" maki
Bayu Menggolo.
Kuncoro terkejut melihat anak itu membentaknya
dengan tangan siap memukul. Tetapi keterkejutannya
berubah menjadi tertawa begitu yakin hanya seorang
bocah yang membentaknya.
"Hahaha... mau apa kau, Bocah?"
"Lepaskan Ibu!"
"Kau bisa apa, Anak Manis?"
"Lepaskan Ibu! Kalau tidak kupukul kau?!"
"Hahaha... kau mau memukulku?"
"Ya! Cepat, lepaskan Ibu!"
Kuncoro terbahak lebar. Sementara Srinti ketaku-
tan melihat putranya nampak nekat untuk membe-
lanya. Namun hatinya terharu melihat keberanian bo-
cah itu. Tak ubahnya seperti suaminya. Ah, sayang
mengapa maut telah menjemput suaminya?
"Bocah!" membentak Cakoro. "Kau mau apa, heh?!"
Bayu Menggolo berbalik pada Cakoro. Tatapannya
nyalang menebarkan marah.
"Lepaskan Ibu!"
"Hahaha...."
Srinti tahu bahaya yang mengancam putranya. Dia
berseru, "Bayu... jangan nekat, Nak... biarkan ibu, bi-
arkan Ibu...."
"Tidak! Bayu harus menolong Ibu!" seru Bayu
Menggolo berani. Dia melangkah perlahan-lahan.
Srinti semakin ketakutan. Kali ini dia tidak memi-
kirkan nasibnya lagi. Nasib putranya lebih berguna da-
ripada nyawanya!
Siapa lagi yang akan membalaskan dendamnya
nanti?
"Bayu... larilah... lari dari sini!" serunya.
Tetapi bocah itu keras kepala.
"Tidak, Bu! Bayu harus menolong Ibu!"
Dan mendadak saja bocah itu menyerang ke arah
Kuncoro yang memegang Srinti atau ibunya erat-erat.
"Bayuuuuu!" seru Srinti ketakutan.
Kuncoro tertawa, ketika kedua kepalan kecil itu
memukul-mukul tubuhnya. Memang tidak terasa, na-
mun yang membuatnya kagum keberanian bocah itu
begitu besar untuk membela ibunya.
Namun lama kelamaan dia menjadi jengkel juga.
Kakinya pun mengayun.
"Des!"
Tubuh bocah itu seketika melayang.
Dan begitu jatuh ke tanah, dia langsung bangkit
kembali sambil mengusap darah yang mengalir dari
bibirnya. Terasa getir. Dia menyerang kembali.
"Lepaskan Ibu, orang jahat!"
Namun lagi-lagi kaki Kuncoro mengayun. Dan kali
ini bocah itu pingsan seketika merasakan sakit yang
luar biasa di dadanya.
Srinti menjerit, "Bayuuuu!" serunya sambil meron-
ta-ronta untuk mendapatkan putranya.
Namun cengkeraman kedua tangan Kuncoro sukar
untuk dilepaskannya. Dia meronta-ronta sambil men-
jerit-jerit sampai tenaganya sendiri lemah.
"Hahaha... mengapa harus menjerit-jerit, Manis...
ya, ya... benar, benar... sebentar lagi kau akan kubuat
menjerit-jerit kenikmatan..." terkekeh Kuncoro sambil
menyeret tubuh Srinti ke balik semak.
Srinti masih mencoba meronta dengan sisa-sisa te-
naganya. Namun tenaga yang dimilikinya seperti ter-
kuras, apalagi ketika tangan kanan Kuncoro menotok
tubuhnya hingga terkulai lemah.
"Hahaha... kawan-kawan, ayo kita berpesta untuk
menikmati tubuh yang menggairahkan ini..." kata
Kuncoro sambil merebahkan tubuh Srinti di balik se-
mak.
Kedua temannya terbahak.
"Ayo, ayo... kita potong ayam bulat ini bersama-
sama..." kata Karto.
"Cepat Kuncoro... aku sudah panas dingin menung-
gu bagianku," kata Cakoro.
"Sabar, sabar... kalian semua pun akan menikma-
tinya," kata Kuncoro sambil merobek baju bagian dada
Srinti yang hanya pasrah tak berdaya. Sepasang ma-
tanya bersorot lemah. Dan terlihat cairan bening men-
galir.
Betapa memilukannya nasib wanita ini.
"Hahaha... kalian lihat... betapa montoknya buah
dada wanita ini..." kata Kuncoro.
Kedua temannya berebut untuk melihat. Dan kedu-
anya terbahak-bahak.
"Hahaha... ayolah, Kuncoro... cepat kau ganyang
wanita itu... kami sudah tidak sabar menunggu gili-
ran..." kata Cakoro sambil menelan ludahnya.
"Cepat, Kuncoro!" sambung Karto.
"Sabar, sabar...."
"Hihihi... rupanya kalian tengah berpesta, ya?! Ta-
pi... mengapa wanita itu nampak tidak mau, hah?!"
terdengar suara bernada cempreng di belakang mere-
ka.
Serentak ketiganya menoleh. Dan di hadapan mere
ka telah berdiri seorang nenek bongkok dengan pa-
kaian yang bagus.
Pakaian itu berwarna ungu. Dan terbuat dari sutra.
Rambut nenek itu disanggul. Dengan dua buah tusuk
konde yang terbuat dari emas.
Ketika nenek itu menyeringai, terlihat lapisan gi-
ginya yang terbuat dari emas pula.
Dia berkesan genit, namun wajah nenek itu seperti
layaknya seorang nenek. Keriput.
Ketiga orang itu segera melompat mendekat. Mereka
seakan melupakan mangsa mereka yang sudah tak
berdaya.
Kuncoro yang merasa kesenangannya diganggu
orang lain membentak, "Siapa kau, Nenek jelek?!"
"Hihihi... apakah kau tidak berkaca sehingga kau
mengatakan aku jelek?" balas nenek itu sambil terkikik
geli.
Wajah Kuncoro merah padam. Legam.
"Katakan siapa kau adanya?!"
"Hihihi... bukankah saat ini aku sedang berhadapan
dengan komplotan perampok biadab yang menamakan
diri Tiga Tombak Setan?"
Mengetahui nenek ini tahu siapa mereka adanya,
ketiganya terbahak-bahak.
"Nah... mengapa kau tidak langsung bersujud di
hadapan kami, hah?!" membentak Cakoro.
"Hihihi... apakah kau tidak salah? Seharusnya ka-
lian yang langsung bersujud di depanku sebelum nya-
wa kalian kucabut!"
"Nenek peot!" membentak Karto. "Siapa kau sebe-
narnya?!"
"Hihihi... kalian kayaknya begitu penasaran untuk
mengetahui namaku. Baiklah... tentang namaku, aku
sendiri sudah lupa siapa namaku. Tetapi orang-orang
rimba persilatan menjulukiku Nenek Berbaju Sutra!"
Wajah ketiga orang itu nampak sedikit pucat men-
dengar nenek itu menyebutkan julukannya. Mereka
sudah seringkali mendengar sepak terjang Nenek Ber-
baju Sutra. Yang amat kejam dan tak pernah mele-
paskan lawannya bila belum mampus.
Namun Tiga Tombak Setan tidak takut mendengar-
nya. Malah mereka bermaksud untuk menjajal kesak-
tian yang dimiliki Nenek Berbaju Sutra.
"Hhhh! Rupanya hari ini kami sedang berhadapan
dengan Nenek Berbaju Sutra?" kata Kuncoro.
"Benar, Orang jelek. Nah... mengapa kalian tidak
langsung bersujud di depanku?" Nenek Berbaju Sutra
menyeringai, menampakkan deretan giginya yang rata
terbuat dari emas.
"Siapa sudi bersujud di depanmu, Nenek peot!" ma-
ki Kuncoro.
"Malah kami yang akan membuatmu terpaksa ber-
sujud di depan kami!" sambung Karto.
"Masa iya?"
"Nenek peot! Banyak omong pula kau! Kau tidak
menyadari dengan siapa sedang berhadapan?"
"Hihihi... tadi sudah kukatakan siapa kalian. Kalian
tak ubahnya seperti perampok-perampok hina dina
yang hanya bisa merampok orang-orang tak berdaya!
Hihihi... apa kalian sudah berganti nama sehingga kau
masih menanyakan pula?" terkikik Nenek Berbaju Su-
tra. "Bagus, bagus... kalau begitu biar aku yang mem-
beri nama pada kalian. Hm... apa ya? O iya... hihihi Ti-
ga Manusia Berwajah Jelek! Ya, ya... itu pantas untuk
kalian! Hihihi... Tiga Manusia Berwajah Jelek... hihihi!"
Wajah Tiga Tombak Setan memerah mendengar eje-
kan itu. Kemarahan pun membakar di dada. Tadi saja
mereka sudah jengkel karena kesenangan mereka ter-
ganggu. Dan sekarang mereka malah diejek dengan ju-
lukan yang jelek itu.
Ketiganya pun segera melompat mengurung Nenek
Berbaju Sutra dengan tiga buah tombak yang terhu-
nus, siap untuk menghunjam di tubuh Nenek Berbaju
Sutra.
"Mampuslah kau, Nenek peot!" geram Kuncoro dan
langsung menyerang dengan satu tusukan tombak lu-
rus ke dada Nenek Berbaju Sutra!
***
LIMA
Nenek Berbaju Sutra hanya terkikik. Masih terkikik
pula dia memiringkan tubuhnya ke kiri. Tusukan tom-
bak itu lewat beberapa senti dari tubuhnya.
"Wuuuut!"
Dan telapak tangan Nenek Berbaju Sutra bergerak
dengan cepat. Saat tombak itu melewati tubuhnya, te-
lapak tangan kanan Nenek Berbaju Sutra menepiskan
tombak itu. Lalu menyusul tangan kirinya, menggedor
dada Kuncoro.
Kuncoro terkejut karena serangannya berhasil den-
gan mudah dielakkan dan dia sendiri terkena hanta-
man.
Sepertinya ayunan telapak tangan Nenek Berbaju
Sutra begitu ringan dan tak bertenaga, namun yang di-
rasakan Kuncoro lain yang diduga. Dia merasa da-
danya bagai dihantam oleh sebuah godam yang cukup
besar.
Dan itu membuatnya terhuyung beberapa tindak.
Melihat temannya terkena hantaman dari Nenek
Berbaju Sutra, Karto dan Cakoro segera menyerbu
dengan tombak di tangan.
Kali ini Nenek Berbaju Sutra bersalto ke belakang,
karena tusukan kedua tombak itu datang begitu cepat.
Lalu kedua tombak itu pun bergerak susul menyusul.
Cepat.
Hebat.
Dan berbahaya.
Nenek Berbaju Sutra sendiri mengeluarkan ilmu pe-
ringan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan
yang datang.
"Hihihi... keluarkan semua kemampuan kalian!" se-
runya sambil mengelak ke sana ke mari.
Kedua penyerangnya menjadi geram karena tak sa-
tu serangan pun yang mengenai sasaran. Kuncoro
sendiri yang telah memulihkan dadanya sejenak, lang-
sung turun membantu setelah dirasakannya dadanya
sudah tidak begitu sakit.
Kini tiga buah tombak itu bergerak dengan cepat
seolah mempunyai mata. Ke mana tubuh Nenek Berba-
ju Sutra menghindar, ke sana pula tombak-tombak itu
menyambar.
Namun suatu ketika, tubuh Nenek Berbaju Sutra
melenting ke atas. Dan tangan Kuncoro dapat menge-
jar dengan melempar tombaknya ke arah tubuh Nenek
Berbaju Sutra.
"Wuuuttt!"
Tombak itu meluncur dengan deras ke arah Nenek
Berbaju Sutra yang masih berada di udara. Namun
suatu pertunjukkan ilmu meringankan tubuh yang
hebat diperlihatkan oleh Nenek Berbaju Sutra.
Masih berada di udara, dia bergulingan. Dan tom-
bak itu pun meluncur dengan deras. Namun satu ke-
hebatan lagi diperlihatkan, kala tombak itu meluncur
di bawah tubuhnya, Nenek Berbaju Sutra menjejakkan
kedua kakinya di atas batang tombak yang masih me-
layang.
Dia berdiri di atas tombak itu.
"Hihihi... kini mampuslah kau, Kuncoro!" terkikik
Nenek Berbaju Sutra sambil membalikkan arah tom-
bak itu. Lalu dengan satu dorongan tenaga dalamnya,
masih berdiri di atas tombak itu, Nenek Berbaju Sutra
meluncur bersama tombak itu ke arah Kuncoro.
Kuncoro terkejut.
Tidak menyangka hal itu bisa terjadi.
Dia mencoba menghindar, namun tombak itu telah
meluncur dengan deras, ke arahnya! Sementara Nenek
Berbaju Sutra sendiri telah bersalto dari atas tombak
itu.
Terdengar pekikan keras membelah langit.
"Aaaaaaakkkhhhh!"
Tubuhnya pun tertancap tombak miliknya sendiri.
Dan tubuh itu terhuyung beberapa tombak karena
tombak itu meluncur dengan tenaga dalam penuh
yang dialirkan Nenek Berbaju Sutra.
Lalu tubuh itu pun ambruk bersimbah darah. Tom-
bak telah menancap di dadanya. Sepasang mata Kun-
coro membeliak karena menahan rasa sakit dan ama-
rah yang sangat dalam.
Kedua temannya terkejut melihat kenyataan itu.
Berlari mereka mendapatkan tubuh Kuncoro yang te-
lah menjadi mayat!
"Kuncoro!" seru keduanya berbarengan.
"Hihihi..." terkikik Nenek Berbaju Sutra yang mem-
perhatikan. Dia geli sekali. "Hihihi... kalian bodoh, ma-
na mungkin mayat itu akan menjawab. Hei, lihat dia
sepertinya mau menjawab! Hihihi... iya, Karto dan Ca-
koro... aku telah mati... Hihihi... nenek itu begitu he-
bat, kalian kuminta untuk bersujud dan mencium te-
lapak kakinya... hihihi... penuhilah permintaanku ini...
ayo kalian cium telapak kaki nenek itu... hihihi..." Ne-
nek Berbaju Sutra terkikik geli.
Wajah Karto dan Cakoro memerah legam menahan
marah karena dipermainkan oleh Nenek Berbaju Su
tra. Serentak keduanya berdiri. Dua pasang mata itu
menatap nyalang penuh nafsu membunuh dan mem-
balas dendam pada Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra terkikik lagi, seolah tak mem-
perdulikan tatapan yang marah itu.
"Karto dan Cakoro... mengapa kalian tidak mengi-
kuti dan memenuhi permintaanku... aku teman kalian,
cepat bersujudlah pada nenek itu... dia begitu sakti,
Karto dan Cakoro... kalian tak akan mampu untuk me-
lawannya... ayo cepat ciumlah telapak kaki nenek itu...
Hihihi...."
"Nenek peot! Kami akan mengadu jiwa denganmu!"
maki Karto sambil maju menyerbu dengan tombaknya.
Begitu pula dengan Cakoro. Dia pun langsung me-
nyerbu. Kata-kata Nenek Berbaju Sutra yang mem-
permainkannya begitu membuatnya marah dan geram.
Dia pun menghunuskan tombaknya.
"Hihihi... mengapa kalian tidak mengikuti permin-
taan teman kalian itu? Hihihi... kalian mau mampus
rupanya!"
"Jangan banyak bacot, Nenek peot! Ayo, hadapi ka-
mi!" maki Karto sambil menggerakkan tombaknya ke
arah perut Nenek Berbaju Sutra.
"Wuuuut!"
Angin sambaran yang ditimbulkan tombak itu begi-
tu dingin. Bertanda Karto sudah mengeluarkan per-
mainan tombaknya yang hebat.
Begitu pula dengan Cakoro. Keduanya sudah men-
geluarkan jurus simpanan mereka.
Tetapi Nenek Berbaju Sutra dengan mudahnya
menghindari serangan keduanya. Namun pada gebra-
kan kedua, membuat dia harus tunggang langgang
menghindar.
"Bagus! Rupanya kalian masih punya ilmu simpa-
nan, hah?!"
"Dan bersiaplah untuk mampus, Nenek peot!" ge-
ram Cakoro murka.
"Hihihi... tidak mudah kayaknya! Hihihi... kalian be-
lum mengenal siapa aku kalau begitu!" sahut Nenek
Berbaju Sutra. Dan dalam satu kesempatan dia berha-
sil meloloskan diri dari serangan kedua tombak itu. La-
lu, dia pun maju menyerang dengan telapak tangan
yang terbuka. Itulah jurus Telapak Mengundang Maut
yang dimiliki Nenek Berbaju Sutra.
Kali ini keduanya yang kewalahan menghadapi ge-
rakan-gerakan yang dilakukan Nenek Berbaju Sutra.
Cepat dan hebat.
Namun keduanya berusaha untuk menangkis dan
membalas. Tetapi semua itu terasa sia-sia belaka, ka-
rena gebrakan yang dilakukan Nenek Berbaju Sutra
begitu cepat.
Mendadak dia berguling ke arah Cakoro yang men-
jadi terkejut. Buru-buru Cakoro mengempos tubuhnya
ke atas. Namun sungguh di luar dugaan, mendadak
saja tubuh Nenek Berbaju Sutra yang bergulingan itu
mengempos pula ke atas.
Telapak tangan kanannya bergerak lebih dulu, me-
nyusul tubuh Cakoro.
Dan tanpa ampun lagi tubuh Cakoro terkena tela-
pak tangan yang mengandung tenaga dalam.
Tubuh itu terhempas sebelumnya terpental ke bela-
kang beberapa tindak. Dan tubuh itu pun tak pernah
bangun lagi, karena jantungnya seketika copot!
Nenek Berbaju Sutra bersalto dan berdiri berhada-
pan dengan Karto yang nampak pias ketakutan. Na-
mun dia bukanlah laki-laki pengecut. Apalagi melihat
kedua temannya mati di depan matanya.
Ini membuatnya berang.
"Kau harus membayar kedua nyawa temanku, Ne-
nek jelek!"
"Hihihi... kau masih nekat pula, Karto... bukankah
lebih baik kau bersujud saja di hadapanku, hah?!" ter-
kikik Nenek Berbaju Sutra. "Jangan sangka aku kejam
dan telengas menurunkan tangan! Aku masih berbaik
hati bila kau sudah mencium telapak kakiku, hah?!"
"Rasanya tak mungkin aku melakukan hal itu, Ne-
nek peot!"
"Mengapa tidak? Nah, cepat lakukan sebelum aku
telengas menurunkan maut pada kau!"
"Hhh... aku akan mengadu jiwa denganmu, Nenek
peot!"
"Hihihi... Karto, kau begitu keras kepala! Baik bila
itu yang kau inginkan! Nah, majulah! Tapi... hihihi...
baik, kau akan kusiksa dulu sebelum kubunuh! Ayo,
maju!"
Karto menggeram marah.
Dia memutar tombaknya di atas kepalanya. Tombak
itu berputar bagai baling-baling belaka. Deru yang di-
timbulkannya begitu mendesing seperti angin keras.
Menebarkan hawa maut.
Dan siap mengundang nyawa untuk mati!
Lalu diiringi satu pekikan yang keras, Karto pun
menyerbu dengan hebat. Tombaknya yang berubah se-
perti baling-baling tiba-tiba bergerak menghunus ke
depan, tepat mengarah pada dada Nenek Berbaju Su-
tra!
Nenek Berbaju Sutra sendiri terkejut.
Kali ini dia menyadari serangan Karto begitu berba-
haya. Sebisanya dia menghindar. Namun mendadak
kembali tombak itu berputar bagaikan baling-baling.
"Mampuslah kau, Nenek Peot!"
Tombak itu terus mencerca tubuh Nenek Berbaju
Sutra dengan hebat. Dan kembali sekali-sekali tombak
itu terhunus mengancam nyawanya.
Bila Nenek itu mempunyai kesempatan untuk me
nyerang, mendadak saja tombak yang berubah baling-
baling itu berputar di depan tubuh Karto, menjadi ta-
meng dan membuat Nenek Berbaju Sutra menarik
kembali serangannya.
"Gila!" makinya
"Dan kau akan dibuat gila benaran setelah terkena
ujung tombak ini!" seru Karto sambil menyerang terus.
Karena merasa Nenek Berbaju Sutra sukar untuk me-
nembus pertahanan dan serangan tombaknya, kembali
dia mengeluarkan jurus Tombak Berputar. Dan me-
nyerang terus.
Nenek Berbaju Sutra sendiri memang sukar untuk
mendekati tubuh Karto yang seperti dilindungi oleh
putaran tombak itu.
Namun dia terus mencoba memasuki pusaran tom-
bak itu. Tetapi memang sukar sekali untuk bisa me-
nembus.
Dia pun berulang kali menghindari serangan itu.
"Hahaha... mau ke mana kau, Nenek peot! Kau tak
akan bisa lari dari tanganku! Hahaha... terimalah ke-
matianmu ini..." seru Karto sambil terus mencecar.
Sebisanya Nenek Berbaju Sutra untuk menghindari
serangan itu.
Sementara itu. Srinti yang sejak tadi memperhati-
kan pertarungan itu berdoa banyak-banyak untuk ke-
menangan Nenek Berbaju Sutra itu. Dia memang tidak
mengenal siapa adanya nenek itu, tetapi melihat nenek
itu seperti membelanya, membuatnya berpihak pada
nenek itu. Dan hati-hati dia membopong putranya
yang masih pingsan.
Kembali dia memperhatikan pertarungan yang sen-
git, hebat dan berbahaya itu. Kembali dia berdoa un-
tuk kemenangan Nenek Berbaju Sutra itu. Dan satu
pikiran telah ada di benaknya.
Kini dia tak perlu lagi mencari guru silat untuk pu
tranya guna membalas dendam pada Gerombolan Ma-
laikat Pencabut Nyawa. Bukankah dia bisa memohon
pada nenek itu untuk mengangkat dan mengajari pu-
tranya sebagai murid? Ya, dia akan berusaha untuk
memintanya.
Makin banyaklah doa yang keluar dari mulut pe-
rempuan yang tengah mendendam itu.
Sementara itu, Nenek Berbaju Sutra terus mencoba
untuk menghindari setiap serangan dari Karto. Namun
sampai sejauh ini dia belum berhasil sekali pun mem-
balas, karena pertahanan Karto begitu rapat.
"Hahaha... kau tak akan bisa meloloskan diri dari
tanganku, Nenek peot!" seru Karto yang merasa sudah
berada di atas angin.
"Jangan bermimpi, Karto!" seru Nenek Berbaju Su-
tra sambil menghindari serangan tombak di tangan
Karto yang begitu dahsyat.
"Apanya yang bermimpi, hah? Kau yang rupanya
tengah bermimpi untuk bisa meloloskan diri! Hahaha...
bermimpilah di siang bolong, Nenek peot!"
Memang sulit bagi Nenek Berbaju Sutra untuk me-
loloskan diri. Putaran tombak itu begitu dahsyat. Na-
mun dalam satu kesempatan, dia berhasil mengempos
tubuhnya dan hinggap di sebatang ranting. Bukan ca-
bang, tetapi ranting!
Itu menunjukkan tenaga dalam yang dimiliki dan
ilmu peringan tubuh nenek itu begitu sempurna.
"Turun kau, Nenek peot!" maki Karto.
"Hahaha... rupanya kelemahan jurusmu itu bila di-
lawan dengan bersalto. Baik, Karto! Kita akan mencoba
lagi!" seru Nenek Berbaju Sutra sambil meluncur tu-
run, dengan satu jotosan lurus ke dada Karto.
Namun dia harus lagi menarik tangannya karena
tombak itu siap mengancamnya. Dan dia pun mencoba
untuk bersalto sambil menyerang.
Berulang kali.
Benar dugaan Nenek Berbaju Sutra itu, kelemahan
putaran tombak yang dimiliki oleh Karto harus dilawan
sambil bersalto.
Karena berkali-kali Karto menjadi kelimpungan.
Dan Nenek Berbaju Sutra semakin mempercepat
saltonya hingga suatu saat dirinya lolos dari putaran
tombak itu.
Lalu telapak tangan kanannya pun terbuka dan
menghantam bagian punggung dari Karto.
"Des!"
Tubuh itu tersuruk ke depan. Belum lagi Karto
menguasai keseimbangannya, serangan dari Nenek
Berbaju Sutra menderu kembali.
"Des!"
Kali ini dia bukan hanya tersuruk, tetapi ambruk.
Wajahnya mencium tanah.
"Hihihi... tak ada gunanya kau menjual lagak di de-
panku, Karto!"
Karto bangkit perlahan-lahan. Dia merasa sakit di
bagian punggung tubuhnya.
Matanya nyalang.
Menebar nafsu membunuh.
Wajahnya belepotan tanah.
"Hihihi... kau berkacalah, Karto... pasti kau akan
melihat setan!" terkikik Nenek Berbaju Sutra.
"Anjing buduk! Mampuslah kau!" seru Karto sambil
menderu menyerbu dengan tombaknya.
Namun kali ini, Nenek Berbaju Sutra yang sudah
menemukan kelemahan ilmu tombak Karto dengan
mudahnya menghindari serangan itu. Dia bersalto, dan
saat berada di atas, tangan kanannya terbuka dan
menghantam kepala Karto.
Terdengar bunyi berderak keras, disusul dengan je-
rit kesakitan.
Lalu tubuh itu pun ambruk dengan kepala pecah!
Nenek Berbaju Sutra telah hinggap kembali di ta-
nah. Dia meludahi mayat Karto.
"Ciiih! Berlagak di depanku!" makinya
Nenek Berbaju Sutra melihat satu sosok tubuh ke-
luar dari balik semak sambil membopong seorang bo-
cah. Sosok tubuh yang tak lain Srinti itu langsung
menjatuhkan diri di hadapan Nenek Berbaju Sutra.
Srinti membungkuk.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih atas per-
tolongan Nenek...."
Nenek Berbaju Sutra terdiam. Mengulurkan tan-
gannya memegang kedua bahu Srinti.
"Bangunlah, Anakku... bahaya telah lewat. Dan kau
bisa meneruskan perjalanan kembali tanpa ada halan-
gan atau pun rintangan...."
"Maafkan saya, Nenek... saya tidak akan mene-
ruskan perjalanan ini lagi...."
"Hei... bukankah kau sepertinya tengah menuju sa-
tu tujuan?" tanya Nenek Berbaju Sutra heran.
"Benar, Nek. Tujuanku adalah desa Kali Anget..."
sahut Srinti.
"Hmm... desa yang cukup jauh dari sini."
"Benar, Nek."
"Lalu mau apa kau ke sana?"
"Sebenarnya... aku tidak tahu mau ke mana, tapi...
aku tengah mencari seorang guru silat untuk menga-
jarkan ilmunya pada anakku..." sahut Srinti sambil
mengangkat kepalanya, memandang Nenek Berbaju
Sutra.
Nenek Berbaju Sutra dapat melihat kalau sorot ma-
ta itu sarat dengan duka. Dan kalau tak salah tang-
kap, dia melihat ada kilatan dendam di sepasang mata
yang nampak lelah itu.
Dalam hati Nenek Berbaju Sutra bertanya, ada apa
gerangan dengan wanita ini?
"Anakku... untuk apa sebenarnya kau mencari guru
silat dan menginginkan putramu memiliki ilmu silat
darinya?" tanya Nenek Berbaju Sutra.
Lalu sambil tersendat, Srinti pun bercerita tentang
apa yang telah dialaminya. Dan maksud apa dia men-
ginginkan putranya pandai silat.
"Nek... maukah kau mengajarkan putraku ilmu
yang kau miliki?" desisnya penuh harap.
Nenek Berbaju Sutra mendesah. Kepedihan wanita
ini dapat dia rasakan. Dia pun pernah mendengar
akan sepak terjang dari Gerombolan Malaikat Penca-
but Nyawa, namun sampai saat ini belum sekali pun
dia berjumpa dengan mereka.
"Anakku... bila itu yang kau inginkan, baiklah... aku
akan mengajarkan semua ilmu silat pada anakmu...
selama lima tahun, aku yakin semua ilmu yang kumi-
liki akan terwaris oleh anakmu. Kulihat... tulang-
tulang anakmu begitu kukuh."
"Oh, terima kasih, Nenek..." desah Srinti gembira.
Dia menyembah berulang kali.
"Bangunlah, anakku... bila kau benar yakin anak-
mu dapat membalaskan sakit hatimu, ada baiknya se-
telah mendapat pelajaran dariku, anakmu akan kuba-
wa pada seorang manusia dewa yang bernama Madewa
Gumilang dan berjuluk Pendekar Bayangan Sukma...."
"Semua yang Nenek berikan, akan saya terima...."
"Bagus, kalau begitu... sekarang juga kita berangkat
ke tempat kediamanku, di Gunung Dieng...."
Lalu Srinti membopong kembali putranya yang ma-
sih pingsan. Dan mengikuti langkah nenek bongkok
itu.
***
ENAM
Lereng Gunung Dieng pagi hari.
Suasana di sekitar gunung itu cerah dan damai.
Bunga-bunga bermekaran menyambut pagi. Burung-
burung berterbangan, berkicau kian ke mari. Suasana
cerah. Langit begitu bersih. Di sebelah Timur gunung
itu terlihat sebuah pemandangan perbukitan yang in-
dah dan permai. Begitu pula dengan di sebelah Barat.
Alam begitu berseri.
Di puncak Gunung Dieng, kabut tebal menutupi
bagian puncaknya. Gunung itu berdiri dengan ang-
kuhnya, bagaikan raksasa yang sedang tidur.
Banyak menyimpan misteri.
Di salah satu bagian dari lereng itu, terdengar suara
membentak-bentak keras. Disusul dengan suara yang
berseru, "Bagus, Bayu! Coba mainkan lagi jurus Mene-
bar Jala Sutra!"
Dan kembali terdengar bentakan-bentakan keras.
Bila diperhatikan lebih dekat, nampaknya seorang pe-
muda gagah bertelanjang dada sedang memainkan ge-
rakan ilmu silat.
Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh bongkok ber-
pakaian terbuat dari sutra.
Mereka tak lain adalah Bayu Menggolo, putra men-
diang Ki Lurah Jalu Prakoso. Dan nenek bongkok yang
memperhatikan pemuda itu berlatih, tak lain Nenek
Berbaju Sutra.
Setelah diangkat menjadi murid oleh Nenek Berbaju
Sutra, kini perubahan jelas terlihat pada pemuda itu.
Kini tubuhnya tegap dan gagah. Dan tak terasa sudah
genap lima tahun Bayu Menggolo berguru pada Nenek
Berbaju Sutra.
Hampir setiap malam Bayu Menggolo mendengar
cerita dari ibunya tentang kematian ayahnya yang te-
was dibunuh Murko Wiroko ketua dari Gerombolan
Malaikat Penyebar Maut. Hal itulah yang membuat
Bayu Menggolo semakin giat berlatih.
Dia bertekad untuk membalas sakit hati ibunya dan
membunuh Murko Wiroko. Nenek Berbaju Sutra sendi-
ri kagum melihat kesungguhan dari Bayu Menggolo
berlatih. Dia pun menurunkan semua kepandaiannya
kepada Bayu Menggolo.
"Bagus, Bayu! Kau telah begitu sempurna memain-
kan semua jurus yang kuberikan!"
"Terima kasih, Nenek!" kata pemuda itu yang kini
berusia 17 tahun. Lalu dia mengambil nafas dan
menghembuskannya. Setelah itu berdiri tegap.
"Ke marilah, Bayu..." panggil Nenek Berbaju Sutra
sambil duduk di sebuah batu besar.
Bayu Menggolo mendekat dan duduk di hadapan
nenek itu.
"Ada apa, Nek?"
Nenek Berbaju Sutra mendesah. Dia menatap langit
sejenak. Langit bersih dan cerah. Lalu tatapannya di-
alihkan kepada pemuda yang kini duduk di depannya.
"Bayu... sudah lima tahun kau berlatih padaku, dan
semua ilmu kepandaian yang kumiliki telah kuturun-
kan padamu. Nah, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Aku senang dan bahagia, Nek... dan sepertinya aku
telah siap untuk membunuh Murko Wiroko dan me-
numpas Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa."
"Bagus! Namun kau belum tahu siapa sesungguh-
nya Murko Wiroko itu...."
"Oh, siapakah dia sesungguhnya, Nek? Bukankah
dia adalah orang jahat yang telah membunuh ayah-
ku?" tanya pemuda itu.
"Benar, Bayu... namun kau belum mengetahui sia-
pakah Murko Wiroko itu sebenarnya."
"Ceritakanlah padaku, Nek...."
"Ketahuilah Bayu... Murko Wiroko mempunyai ilmu
yang sangat tinggi dan hebat. Konon dia memiliki ajian
Tapak Badai yang sukar untuk ditandingi. Aku sendiri
merasa, belum tentu sanggup untuk menandingi ajian
Tapak Badai milik dari Murko Wiroko...."
"Oh, kalau begitu... aku sia-sia belaka berlatih se-
perti ini, Nek...."
"Jangan takut, Cucuku... Ajian Tapak Badai milik
Murko Wiroko hanya bisa ditandingi oleh Pukulan
Bayangan Sukma...."
"Mengapa Nenek tidak mengajarkan padaku?"
"Nenek memang tidak mengajarkannya padamu.
Karena Nenek tidak memiliki pukulan maha hebat
itu...."
"Lalu siapakah yang memiliki, Nek?"
"Di dunia ini, hanya seorang yang memiliki pukulan
maha dahsyat itu. Dia bernama Madewa Gumilang,
atau yang berjuluk Pendekar Bayangan Sukma...."
"Oh... kalau begitu, percuma saja aku berlatih..."
kata pemuda itu seperti mengeluh.
"Jangan takut dulu, Cucuku... Nenek akan mengi-
rimkan pada Pendekar Bayangan Sukma, untuk men-
gajarimu pukulan yang maha hebat itu...."
Wajah pemuda itu berseri. "Benarkah, Nek?"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum.
"Ya."
"Apakah dia mau mengajariku, Nek?"
"Pendekar Bayangan Sukma adalah sahabatku...
sudah tentu kalau aku yang memintanya, dia pasti
mau mengajarimu Pukulan Bayangan Sukma...."
"Kalau begitu... kapan kita akan menemuinya, Nek?
Aku sudah tidak sabar untuk mempelajarinya...."
"Besok kala matahari sudah sepenggalah, kita akan
pergi ke Selatan Gunung Slamet. Di sanalah berdiri
sebuah perguruan silat yang bernama Perguruan To-
peng Hitam, di mana Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma yang menjadi ketua bersama istrinya
yang bernama Ratih Ningrum...."
"Apakah aku harus menjadi murid dari Perguruan
Topeng Hitam, Nek?"
"Tidak, Bayu... Perguruan Topeng Hitam hanya ber-
senjatakan sepasang pedang dan permainan ilmu pe-
dang yang sangat hebat."
"Lho, apakah Pendekar Bayangan Sukma tidak per-
nah mengajarkan ilmu kepandaian yang dimilikinya?"
"Memang tidak, Bayu. Madewa Gumilang hanya
meneruskan perjuangan dan perguruan dari Paksi
Uludara yang berjuluk Dewa Pedang. Dia tidak mau
mengubah tradisi yang telah dipegang oleh Paksi Ulu-
dara. Itulah sebabnya Madewa Gumilang hanya menu-
runkan jurus-jurus pedang yang dimilikinya dan dicip-
takannya...."
"Oh, kalau begitu... aku siap untuk berangkat,
Nek...."
"Ya, besok saat matahari sudah sepenggalah, kita
semua juga Ibumu, akan pergi ke Perguruan Topeng
Hitam...."
Bayu Menggolo tersenyum.
Lalu Nenek Berbaju Sutra segera mengajaknya pu-
lang dengan berlari terlebih dahulu. Tubuhnya bagai-
kan melesat seperti angin. Dia memang sengaja ingin
menguji ilmu lari muridnya itu.
Bayu Menggolo pun tak mau kalah. Dia pun segera
mengeluarkan ilmu larinya, dan sebentar saja dia su-
dah bisa menjajari Nenek Berbaju Sutra.
Nenek itu tersenyum. Karena merasa tidak sia-sia
menurunkan ilmunya.
***
Dari pondok kecil yang terletak menyendiri di Le-
reng Gunung Dieng itu, keluar tiga sosok tubuh. Keti-
ganya masih berdiri menatap rumah kecil itu.
Lalu terdengar suara berkata, "Sebaiknya kita be-
rangkat saja sekarang, Bayu... Srinti...."
Bayu Menggolo dan ibunya, Srinti, segera mengang-
guk. Kini usia Srinti pun bertambah lima tahun. Tetapi
wajahnya masih kelihatan segar dan bercahaya.
Meskipun sepasang matanya masih belum bisa me-
nyembunyikan sinar dendam atas kematian suaminya.
Baginya, semua itu akan sirna bila dia telah melihat
Murko Wiroko mati di tangan putranya.
"Baik, Nek..." kata Srinti.
Bayu Menggolo sendiri mengambil beberapa bunta-
lan yang mereka bawa. Dan menyampirkannya di ba-
hunya.
Srinti tersenyum bahagia melihat putranya tumbuh
menjadi pemuda yang gagah. Dia berharap, kegagahan
pemuda itu tak jauh berbeda dengan mendiang sua-
minya.
Wanita itu pun penuh berterima kasih pada Nenek
Berbaju Sutra yang dengan suka rela membimbing
Bayu Menggolo akan ilmu kesaktian.
Bahkan kini dengan suka rela pula dia membawa
putranya untuk berguru kepada seorang sahabatnya
yang sering disebutnya sebagai manusia dewa.
Hal itu membuat Srinti tidak sabar lagi untuk meli-
hat kematian Murko Wiroko di tangan putranya.
Lalu ketiganya pun mulai melangkah, bersamaan
matahari yang telah sepenggalah.
***
TUJUH
Di perguruan Topeng Hitam, pagi itu seperti biasa
para muridnya tengah berlatih. Mereka semuanya
mengenakan pakaian hitam-hitam dan kain hitam
yang menutupi wajah mereka. Boleh dikatakan selu-
ruh tubuh mereka ditutupi oleh bahan berwarna hi-
tam.
Perguruan Topeng Hitam dulunya memang diketuai
oleh seorang yang dijuluki Dewa Pedang yang bernama
Paksi Uludara. Namun setelah Paksi Uludara tewas di
tangan Nindia, dia pun menyerahkan tampuk kekua-
saan atau pimpinan kepada Madewa Gumilang (Baca:
Dewi Cantik Penyebar Maut).
Saat ini Pendekar Bayangan sukma tengah berada
di ruang khususnya, dia tengah bercakap-cakap den-
gan istrinya, Ratih Ningrum.
"Kanda... aku sudah rindu sekali dengan putra kita
Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati," terdengar
suara Ratih Ningrum berkata pada suaminya.
Madewa Gumilang tersenyum. Senyum selalu
berkesan arif dan bijaksana. Dia duduk di depan is-
trinya. Jubah putihnya tergerai di belakang.
"Aku pun demikian, Dinda... Tetapi mau diapakan
lagi? Petualangan yang dilakukan putra kita dan is-
trinya, sama halnya seperti yang kita lakukan dulu,
bukan? Ada kalanya bila mereka sudah lelah, semua-
nya pun pasti akan kembali ke rumah...."
"Hampir satu tahun mereka sekali pun belum kem-
bali ke sini..." kata Ratih Ningrum lagi seperti keluhan.
"Dinda Ratih... tidak ingatkah Dinda... bahwa putra
kita dan istrinya mempunyai rumah di Laut Selatan?
Barangkali saja Pranata Kumala dan istrinya Ambar-
wati sudah tiba di sana?"
Madewa dapat merasakan kerinduan yang dalam
dari istrinya terhadap putra mereka. Namun Pranata
Kumala bukan lagi seorang bocah kecil. Kini dia telah
punya istri yang bernama Ambarwati, putra mendiang
Jedangmoro yang tewas di tangan Pranata Kumala
sendiri (Baca: Pendekar Kedok Putih).
"Baiklah, Dinda... dua bulan di muka, mudah-
mudahan kita bisa ke laut Selatan..." kata Madewa
Gumilang yang mencoba menghibur istrinya.
Ratih Ningrum tersenyum. Dia begitu sayang dan
cinta pada suaminya yang selalu melimpahkan kasih
sayang padanya. Sekali pun Ratih Ningrum tidak per-
nah melihat Madewa Gumilang marah padanya. Sejak
dulu Ratih Ningrum yakin siapa sesungguhnya Made-
wa Gumilang, yang dulu pernah bekerja pada ayahnya
sebagai penjaga kuda (Baca: Pedang Pusaka Dewa Ma-
tahari).
Kala itu Ratih Ningrum masih gadis remaja, dan hi-
dup dalam kekayaan yang berlimpah. Karena ayahnya
yang bernama Biparsena seorang yang kaya raya di
desa Bojongronggo, di mana Ratih Ningrum dilahirkan.
"Kau belum menjawab kata-kataku, Dinda Ratih..."
terdengar suara Madewa Gumilang berkata karena is-
trinya hanya tersenyum saja.
"Oh! Iya, Kanda... aku tengah membayangkan ba-
gaimana pertemuan kita dengan Pranata Kumala dan
Ambarwati nanti...."
"Mudah-mudahan tak akan ada halangan atau pun
rintangan...."
Tiba-tiba seorang murid Perguruan Topeng Hitam
masuk ke ruangan itu. Bagi Madewa Gumilang, me-
mang hal itu tidak mengherankan. Murid-murid Pergu-
ruan Topeng Hitam memang dapat masuk dengan mu-
dah dan seenaknya saja ke ruang khususnya. Madewa
tak pernah melarang. Namun dengan begitu justru
membuat murid-muridnya jadi bersikap berhati-hati.
Karena mereka tak mau membuat ketua mereka kece-
wa. Namun sampai sejauh ini, tak satu murid pun
yang berani dengan lancang memasuki ruangan itu.
Apalagi bila sang Ketua sedang bersemedi.
"Ada apa, Renggopati?" tanya Madewa pada murid
yang tengah menjatuhkan diri di hadapannya.
Meskipun sang murid mengenakan pakaian hitam-
hitam dan topeng hitam yang menutupi seluruh wa-
jahnya, Madewa dapat melihat siapa yang datang. Ma-
dewa memang memiliki ilmu Pandangan Menembus
Sukma. Bila ajian atau ilmu dikeluarkan, pandangan-
nya dapat menembus gunung tinggi dan jarak yang
cukup jauh!
Lain halnya dengan Ratih Ningrum, dia baru bisa
membedakan murid-muridnya dengan suara mereka
yang telah cukup dikenalnya.
"Maafkan saya, Ketua..." berkata Renggopati sambil
masih berlutut.
"Hmm... ada apakah?"
"Di luar... ada seorang Nenek Berbaju Sutra. Dia da-
tang dengan seorang wanita setengah baya yang ber-
nama Srinti, dan seorang pemuda yang bernama Bayu
Menggolo...."
Madewa mengangguk-anggukkan kepala. Sudah
lama dia tidak bertemu dengan nenek dari gunung Di-
eng itu. Lalu dia pun bangkit.
Mengajak istrinya keluar.
Di halaman, Nenek Berbaju Sutra tengah menunggu
bersama Srinti dan Bayu Menggolo. Bayu Menggolo
menjadi berhasrat sekali ketika melihat murid-murid
Perguruan Topeng Hitam berlatih.
Dari dalam bangunan besar itu, keluar Madewa
Gumilang bersama istrinya.
"Nenek Berbaju Sutra!" serunya. "Hahaha... lama ki
ta tidak jumpa, hah?!"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum.
Ratih Ningrum menyuruh murid-muridnya menyu-
dahi latihan dulu sejenak. Dan menyuruh berbaris.
Nenek Berbaju Sutra melangkah mendekat sambil
diikuti oleh Srinti dan Bayu Menggolo.
Dan sungguh tiba-tiba sekali tubuh nenek bongkok
itu melesat menyerbu Madewa Gumilang dengan puku-
lan lurus ke depan!
Orang-orang yang berada di sana tidak menyangka
akan hal itu. Beberapa murid Perguruan Topeng Hitam
serentak hendak maju, namun mereka melihat tangan
kanan Madewa Gumilang terangkat, bertanda tak bo-
leh satu pun yang bergerak.
Begitu pula dengan Srinti yang terkejut. Tak keting-
galan Bayu Menggolo yang memekik, "Nenek... menga-
pa kau menyerangnya?!"
Namun tubuh Nenek bongkok itu sudah melesat ke
arah Madewa!
***
DELAPAN
Madewa sendiri sepertinya sudah menduga Nenek
Berbaju Sutra akan menyerangnya. Dilihat dari posi-
sinya berdiri. Kaki kanan di depan, dan badan agak
condong ke muka.
Namun serangan seperti itu hanya dilewatkan begi-
tu saja oleh Madewa. Dan begitu pukulan tadi tinggal
beberapa senti saja di depan wajahnya, dengan sigap
Madewa bergerak ke kiri. Dan tangan kanannya meliuk
segera mematuk lambung dari Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra sendiri tidak menyangka Ma-
dewa akan membalas secepat itu. Makanya dia urung
memukul, dan menangkis serangan tadi. Sedangkan
Madewa kembali melancarkan pukulannya melalui
tangan kirinya yang berbentuk kepala ular.
"Wuuutt!"
Nenek Berbaju Sutra membuang tubuh ke kiri, dan
bergulingan. Setelah berdiri dia tidak menyerang lagi.
Malah terkikik.
"Hihihi... tak kusangka kau semakin hebat saja,
Pendekar Bayangan Sukma!"
"Hahaha... Nenek bongkok... sama seperti dulu kau
masih suka usil saja bila bertemu denganku?" balas
Madewa Gumilang.
"Hihihi... lain kali kau akan kuserang sampai mati,
Madewa...."
"Terserah kau, Nenek bongkok... itu pun bila kau
tidak menganggap lagi hubungan kita ini sebagai per-
saudaraan... Hahaha... mari, mari masuk!"
Orang-orang yang berada di sana mendesah nafas
lega. Rupanya begitu cara Nenek Berbaju Sutra me-
nyampaikan salam. Mereka dijamu oleh Madewa di
ruang tengah. Nenek Berbaju Sutra pun memperke-
nalkan Srinti dan putranya, Bayu Menggolo.
Dan dalam satu kesempatan, Nenek Berbaju Sutra
pun berkata, "Kedatanganku ini memang ada maksud-
nya, Sahabat. Dan kuharap kau jangan gusar...."
"Hahaha... katakanlah itu, Nenek...."
Lalu Nenek Berbaju Sutra pun menceritakan siapa
sesungguhnya Srinti dan putranya. Setelah itu dia pun
mengemukakan maksudnya untuk meminta kepada
Pendekar Bayangan Sukma untuk rela memungut
Bayu Menggolo sebagai muridnya.
"Sahabat..." kata Madewa. "Kau tahu bukan, bahwa
selama ini aku tak pernah mengajarkan jurus-jurus
Ular Saktiku? Apalagi Pukulan Bayangan Sukma. Aku
tidak dapat membayangkan bila pukulan dahsyat itu
dimiliki oleh orang jahat. Maksudku... oleh orang lain
yang terlalu sombong dan pongah...."
"Kau tidak percaya padaku, Sahabat?" tanya Nenek
Berbaju Sutra.
"Sejak dulu pun aku percaya padamu, Sahabat.
Namun agaknya... aku tidak bisa memenuhi permin-
taanmu kali ini..." kata Madewa Gumilang.
Srinti yang merasa usahanya dan usaha anaknya
nanti sia-sia belaka, menangis sesenggukan.
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar... Tolonglah... ar-
wah suamiku tak akan tenang bila Murko Wiroko be-
lum terbunuh... Tolonglah...."
"Nyonya... bukan maksudku untuk menolak putra-
mu tetapi... aku sepertinya belum bisa mengajarkan
pada putramu akan Pukulan Bayangan Sukma... Maaf,
bukannya aku tak percaya dengan putramu, tidak sa-
ma sekali. Tapi bila putramu ingin mempelajari ilmu-
ilmu pedang dari Perguruan Topeng Hitam, aku sama
sekali tidak keberatan. Siapa pun bisa mempelajarinya
di sini, asalkan mematuhi semua peraturan yang
ada...."
Wajah Srinti nampak sedih sekali. Sorot matanya
lemah tak berdaya. Sekilas Madewa dapat menangkap
kekecewaan yang terpancar dari kedua mata itu. Dan
nampak letih, sarat dengan duka.
"Apakah kau benar-benar tidak mau menolong ka-
mi, Tuan Pendekar?" katanya sedih.
"Nyonya... bukankah sebaiknya kau jelaskan pada
putramu... dendam tak usahlah dibalas... semakin
dendam dipendam, dia akan semakin kuat bertanam di
hati. Dan bila belum membalas, bisa terbawa sampai
mati. Bukankah ini mengerikan, Nyonya?"
Air mata Srinti berlinang. Dia menatap Madewa
Gumilang yang kukuh tengah duduk di hadapannya.
Wajah itu begitu bijaksana. Dan senyumannya berke
san arif sekali.
"Bila Tuan Pendekar berjiwa besar, tentulah Tuan
Pendekar mau menolong kami... dendam kami harus
terbalas. Perbuatan Gerombolan Malaikat Pencabut
Nyawa akan semakin menjadi-jadi bila tidak diberan-
tas? Lalu mengapa Tuan Pendekar tidak mau membe-
rikan bekal pada putraku untuk menumpas gerombo-
lan iblis itu? Mengapa? Bukankah dengan begitu be-
rarti Tuan Pendekar membiarkan keangkara-murkaan
merajalela di muka bumi ini? Dan di mana harga diri
Tuan Pendekar yang sering disebut sebagai Pendekar
Budiman? Di mana?" kata Srinti berapi-api. Dia nam-
pak kecewa sekali karena Madewa tidak mau menga-
jarkan putranya ilmu yang dahsyat itu.
Madewa terdiam. Biar bagaimana pun dia tidak
menghendaki putra dari wanita ini menjadi pembunuh
karena dendam. Bila dia menumpas Gerombolan Ma-
laikat Pencabut Nyawa tanpa dendam, saat ini pula
Madewa akan menerimanya sebagai murid.
Untuk mengenakan hati wanita itu, Madewa berka-
ta, "Baiklah Nyonya... aku akan memikirkannya dulu.
Sebaiknya kalian beristirahat saja...."
"Tolonglah kami, Tuan Pendekar... tolonglah..." kata
Srinti mengiba.
Madewa tersenyum.
"Sekarang beristirahatlah... tentunya kalian sangat
letih sekali karena harus berjalan kaki ke sini...."
Bersama putranya Srinti berjalan ke kamar yang te-
lah disediakan. Sementara Nenek Berbaju Sutra mena-
tap Madewa Gumilang.
"Sahabat... mengapa kau menolak permintaan dari
wanita yang sengsara itu? Bukankah bila kau meneri-
ma putranya menjadi muridmu, berarti ada yang
membantumu untuk menumpas kejahatan?" tanyanya.
Madewa tersenyum. "Nenek Bongkok... kau rupanya
belum mengenal aku, hah? Tentu saja aku tak main
terima saja. Biarlah satu malam ini aku akan menge-
cek siapa keduanya dan bagaimana sifat mereka...."
"Aku percaya padamu, Madewa...."
"Nenek Bongkok... beristirahatlah kau sekarang."
Nenek Berbaju Sutra menyeringai. "Hihihi... kau
sengaja mengusirku karena kau sudah ingin berdua
saja dengan istrimu, bukan?" katanya sambil mengerl-
ing pada Ratih Ningrum yang duduk di sebelah Made-
wa.
Madewa tersenyum.
"Hei, Nenek Bongkok... apa kau pikir kami masih
sepasang remaja, hah?"
"Remaja atau bukan, namun cinta kalian tetap ber-
semi sepanjang masa. Hihihi... baiklah, aku permisi
untuk pergi ke kamarku. Maaf kalau aku menggang-
gu...."
Lalu Nenek Berbaju Sutra pun melangkah ke kamar
yang disediakan untuknya.
Ratih Ningrum menatap suaminya.
"Kanda... apakah kau akan menurunkan Pukulan
Bayangan Sukma-mu pada Bayu Menggolo?" tanyanya.
"Dinda... aku sudah tahu siapa Murko Wiroko, pim-
pinan dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa. Dia
adalah seorang jahat yang sakti mandraguna. Memang
tepat bila Nenek Berbaju Sutra membawa Bayu Meng-
golo padaku. Karena satu-satunya pukulan yang bisa
menandingi dan mengalahkan Tapak Badai milik Mur-
ko Wiroko, hanyalah Pukulan Bayangan Sukma...."
"Dengan begitu, kau akan menurunkannya pada
Bayu Menggolo, Kanda?"
"Antara iya dan tidak."
"Mengapa demikian, Kanda?"
"Iya... karena aku setuju Bayu Menggolo menumpas
kejahatan. Tidak, karena dia tengah dilapisi dendam
yang amat sangat untuk menuntut kematian ayahnya.
Ini yang membuatku bingung, Dinda. Sebab apa? Ka-
rena bila dia menerjunkan diri untuk menumpas Mur-
ko Wiroko dan teman-temannya dalam keadaan men-
dendam, niscaya dia akan menjadi sombong dan telen-
gas. Ini sebenarnya yang membuat aku ragu, Dinda...."
Ratih Ningrum mengerti apa yang membuat sua-
minya ragu.
"Jadi keputusanmu bagaimana, Kanda?"
"Malam ini... aku akan memikirkannya. Mungkin
besok keputusan itu akan kita lihat," sahut Madewa
Gumilang sambil tersenyum pada istrinya.
***
Sehabis sarapan pagi keesokan harinya, Srinti
kembali bertanya dengan tidak sabar, "Bagaimana,
Tuan Pendekar? Apakah Tuan Pendekar mau meneri-
manya sebagai murid?"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.
"Nyonya... apakah kau sudah yakin anakmu akan
mampu menjaga dan mengamalkan ilmu yang akan
kuajarkan padanya?" tanya Madewa.
"Saya yakin, Tuan Pendekar...."
Madewa berpaling pada Bayu Menggolo yang sejak
tadi diam saja. Walaupun pemuda itu nampak kecewa,
namun dia bisa menyembunyikan perasaannya.
"Kau sendiri bagaimana, Bayu? Apakah kau dapat
menjaga dirimu dari semua kesombongan apabila kau
telah menguasai Pukulan Bayangan Sukma..."
"Semua kata-kata Ketua akan saya pegang teguh..."
kata Bayu Menggolo sambil menunduk.
"Bagus! Kalau kau bisa berjanji dan bertekad untuk
mengamalkan ilmu yang kuajarkan ini... mulai besok
pagi... kau sudah bisa belajar dariku...."
Kata-kata Madewa Gumilang membuat kepala yang
ada di sana menegak. Senyum gembira menebar di bi-
bir Srinti, Bayu Menggolo dan Nenek Berbaju Sutra.
Sementara Ratih Ningrum hanya tersenyum tipis.
"Sahabat... kau benar hendak mengambil Bayu
Menggolo sebagai muridmu juga?" tanya Nenek Berba-
ju Sutra tak dapat menutupi kegembiraannya dari su-
aranya.
Madewa tersenyum.
"Sahabat... karena kau telah mengambilnya sebagai
murid, tentu aku percaya apa yang telah kau lakukan
padanya. Dan aku percaya, bagaimana sesungguhnya
Bayu Menggolo, karena kau nampak begitu rela menu-
runkan semua ilmumu padanya. Bukan begitu?"
Nenek Berbaju Sutra tersenyum. "Sahabat... kau
tak akan merasa sia-sia menurunkan ilmumu pada
pemuda ini."
"Baiklah, Sahabat... mulai saat ini, kuterima Bayu
Menggolo menjadi muridku..."
Semua bibir tersenyum. Bayu Menggolo cepat-cepat
menjatuhkan diri di hadapan Madewa. Dari bibirnya
terucap pelan namun pasti, "Guru... saya akan men-
taati semua perintah Guru...."
***
SEMBILAN
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak
terasa tiga bulan telah lewat ke muka. Suasana di desa
Kaliwungu sangat menyedihkan sekali. Desa itu tak
ubahnya seperti neraka, dan Gerombolan Malaikat
Pencabut Nyawa yang menjadi penjaganya.
Siang dan malam seluruh penduduk semakin dice-
kam ketakutan. Nasib mereka tak ubahnya bagaikan
telur di ujung tanduk. Ke mana pun mereka melang-
kah, maut taruhannya.
Memang ada beberapa orang yang mencoba untuk
melawan, namun perlawanan itu hanyalah sia-sia be-
laka. Ada pula yang mencoba melarikan diri, namun
maut pun yang menghadang mereka.
Nasib kaum wanita lebih menyedihkan lagi. Mereka
dipermainkan, dioper sana sini dan diperkosa. Ada
yang mencoba melawan, namun gerombolan itu tak
segan-segan untuk membunuh. Dan yang mengingin-
kan nyawanya tetap hidup, membiarkan saja dirinya
diperkosa dan menanggung malu. Namun yang masih
mempertahankan harga dirinya, langsung bunuh diri
sebelum diperkosa. Dan ada pula yang sukarela dijadi-
kan gundik mereka.
Gerombolan Pencabut Nyawa pun sudah menyebar-
kan kekuasaan mereka ke desa Bojongjingga. Mereka
pun menghancurkan desa itu dan mendudukinya. Na-
sib penduduk Bojongjingga tak ubahnya seperti pen-
duduk di desa Kaliwungu.
Semua di bawah kekuasaan orang-orang biadab itu.
Hari ini, Gerombolan Pencabut Nyawa tengah bera-
da di desa Kaliwungu. Murko Wiroko sedang menggu-
muli seorang wanita muda yang dibawanya dari desa
Bojongjingga.
Wanita muda itu hanya bisa menahan sakit saat di-
rinya digumuli Murko Wiroko. Bagaikan dicabik-cabik
binatang buas.
Murko Wiroko mendesah puas setelah selesai. Lalu
dia pun mengenakan pakaiannya kembali.
"Bagus! Kau tak banyak berontak, bila itu kau la-
kukan, maka matilah sebagai ganjarannya!" katanya
pada wanita muda itu yang terkulai lemah di ranjang.
Namun dia tidak menjawab. Sepasang matanya ter-
tutup rapat. Terlihat air mata yang mengalir di pipi.
"Hei, jangan hanya menutup mulut! Ayo, jawab!"
bentak Murko Wiroko. "Kau mau menjadi gundikku
atau mati sekarang juga!"
Tetapi wanita itu tetap tidak menjawab.
Murko Wiroko menjadi geram karena merasa di-
permainkan. Dia mengguncang kaki wanita itu.
"Hei, Budak wanita! Jawab pertanyaanku, hah?!"
Namun wanita itu masih terdiam.
Murko Wiroko menjadi geram. Dia menekan perge-
langan kaki wanita itu. Dipikirnya wanita itu akan
menjerit kesakitan, namun tak ada suaranya.
"Hei!" Murko Wiroko menjadi heran. Lalu dihampi-
rinya wanita yang matanya tertutup itu. Dia melihat
ada darah yang mengalir dari mulut wanita itu. Seketi-
ka dia menggeram. "Anjing buduk!"
Ternyata wanita itu telah membunuh diri dengan
menggigit lidahnya sendiri.
Murko Wiroko mendengus. Geram dia melangkah
keluar dan menyuruh salah seorang anak buahnya un-
tuk membuang mayat gadis itu.
Setelah anak buahnya itu kembali, mendadak dia
melihat tiga sosok tubuh berdiri di ujung desa Kali-
wungu. Anak buah Murko Wiroko yang bernama Pati
Slomo berhenti melangkah. Dan memperhatikan tiga
sosok tubuh itu.
Samar dia seperti mengenal sosok tubuh wanita se-
tengah baya itu. Di samping kiri kanannya berdiri seo-
rang nenek bongkok dan seorang pemuda tegap berba-
ju putih.
"Hei... bukankah wanita itu istrinya Ki Lurah Jalu
Prakoso..." desisnya.
Tiga sosok tubuh yang tak lain dari Nenek Berbaju
Sutra, Srinti dan Bayu Menggolo, memperhatikan anak
buah dari Murko Wiroko. Srinti jelas mengenali laki-
laki itu.
Setelah merasa cukup apa yang telah diajarkan oleh
Madewa Gumilang, lalu Nenek Berbaju Sutra segera
berpamitan. Kini muridnya, Bayu Menggolo telah men-
guasai ilmu Pukulan Bayangan Sukma.
Lalu mereka pun segera berangkat menuju desa Ka-
liwungu.
Sementara itu Pati Slomo mendengus. Hhh, ru-
panya memang benar dugaannya. Dia istri dari men-
diang Ki Lurah Jalu Prakoso. Mau apa mereka ke ma-
ri? Hanya mengantarkan nyawa saja!
Pati Slomo pun mendekat dan berdiri di hadapan
ketiga orang itu. Wajah Srinti nampak memerah kare-
na menaruh dendam. Dan dia sudah tidak sabar un-
tuk membunuh laki-laki yang berdiri angkuh di hada-
pannya ini.
Pati Slomo membentak, "Hhh! Rupanya kau Srinti...
istri dari mendiang Ki Lurah Jalu Prakoso!"
"Orang biadab! Katakan pada pimpinanmu, aku da-
tang untuk membalas dendam dan menumpas kalian!"
seru Srinti lantang.
Mendengar kata-katanya itu Pati Slomo terbahak-
bahak.
"Hahaha... rupanya kau datang untuk mengantar-
kan nyawamu, Srinti!"
"Orang biadab... sebutkan namamu!"
"Bagus! Biar kau ingat dan kau bawa ke liang ku-
burmu! Namaku Pati Slomo... tak ada seorang pun
yang dapat menumpas gerombolan kami...."
"Jangan sombong!" geram Srinti.
"Hahaha... rupanya dengan dua orang teman yang
kau bawa itu kau yakin sekali akan bisa menumpas
kami!"
"Pati Slomo..." terdengar suara Bayu Menggolo yang
sejak tadi mencoba bersabar. Namun teringat akan
kematian ayahnya dan kesombongan laki-laki itu, ke-
marahannya pun mulai naik ke ubun-ubun. Wajahnya
memerah karena marah yang membludak. "Sebaiknya
kau lari dari sini dan laporkan pada pemimpinmu,
kami datang untuk membunuhnya!"
Pati Slomo memperhatikan Bayu Menggolo dengan
seksama. Lalu berkata mengejek, "Hhh! Siapa kau
anak muda?!"
"Apakah kau tidak mengenaliku, hah?!"
"Siapa kau?! Sebutkan namamu!"
"Baik... akulah putra tunggal dari Ki Lurah Jalu
Prakoso... namaku Bayu Menggolo!"
Mendengar siapa adanya pemuda itu, wajah Pati
Slomo berubah agak pias. Namun dia hanya menden-
gus dengan berani.
"Bagus! Sebentar lagi kau akan menyusul ayahmu,
Bayu Menggolo!"
"Jangan sombong, orang jelek! Buktikan bahwa kau
mampu mengalahkan aku!"
"Anjing kurap! Lihat serangan!" seru Pati Slomo ge-
ram, lalu dia pun menyerbu dengan dua pukulan yang
siap dilontarkan.
Namun Bayu Menggolo kini telah menjadi seorang
pemuda yang gagah perkasa. Dia memiliki ilmu yang
cukup tinggi.
Maka dengan mudah saja dia menggeser kaki ka-
nannya, dan memiringkan tubuhnya. Pukulan yang di-
lancarkan Pati Slomo lewat di dekat dadanya.
Namun Pati Slomo pun bukanlah orang sembaran-
gan. Dengan cepat pula tiba-tiba dia memutar dan
mengirimkan satu tendangan.
Bayu Menggolo cepat menggerakkan tangannya me-
nangkis.
"Des!"
Tubuh Pati Slomo terhuyung. Masih untung dia da-
pat menguasai keseimbangannya sehingga tidak jatuh.
Dan dirasakannya kakinya kesemutan. Ini cukup
membuatnya terkejut karena menyadari tenaga dalam
yang begitu besar dan kuat dari Bayu Menggolo.
"Hhh! Mengapa kau meringis, Pati Slomo! Ayo, kelu-
arkan semua kemampuanmu!" ejek Bayu Menggolo
yang berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.
Pati Slomo menggeram. Lalu melancarkan lagi se-
rangannya. Kali ini dengan hebat dan cepat. Bayu
Menggolo sendiri mengimbanginya dengan santai saja.
Bahkan berkali-kali dia bisa memukul Pati Slomo.
"Anak muda... aku akan mengadu jiwa denganmu!"
geram Pati Slomo sambil meloloskan golok besarnya.
Golok itu nampak bercahaya diterpa sinar matahari.
"Hahaha... majulah, Pati Slomo... jiwamu memang
sudah tidak pantas untuk hidup lagi!"
"Bangsaaaaat!" sambil menggeram Pati Slomo berge-
rak ke arah Bayu Menggolo. Goloknya berkelebat den-
gan hebat, mencecar bagian tubuh dari Bayu Menggo-
lo.
Bayu Menggolo pun mencoba ilmu meringankan tu-
buhnya. Dengan indah tubuh itu melenting, mengeles,
menghindar dan bersalto. Membuat Pati Slomo menja-
di geram karena merasa dipermainkan. Dia terus me-
nyerang membabi buta dengan hebat.
Bayu Menggolo memang sengaja untuk menguras
tenaga dari Pati Slomo. Dia membiarkan saja laki-laki
itu menyerangnya dengan ganas.
Dan benar saja, setelah agak lama Pati Slomo me-
nyerang, terlihat serangannya mulai melemah. Bayu
Menggolo pun segera merangsek maju. Dengan hebat.
Pati Slomo yang sudah kehabisan tenaga, sebisanya
mencoba bertahan. Namun serangan-serangan dari
Bayu Menggolo begitu hebat.
Bila diperhatikan lebih seksama, agaknya Bayu
Menggolo memang sengaja untuk mempermainkan Pati
Slomo. Melihat berkali-kali dia melepas ruang kosong
untuk menyerang habis.
Semula Pati Slomo tidak menyadari hal itu, dipikir-
nya memang kemampuan Bayu Menggolo hanya sam-
pai di situ saja. Tetapi perlahan-lahan akhirnya dia sa-
dar kalau dirinya tengah dipermainkan.
Maka dia menjadi sangat geram.
Lalu dia pun kembali menyerang. "Anjing kurap!
Mampus kau!" geramnya.
Namun tenaganya yang sudah terkuras, tidak me-
mungkinkannya untuk menyerang secara terus mene-
rus. Apalagi satu pukulan dari Bayu Menggolo meng-
gedor dadanya.
Membuatnya terhuyung menahan sakit.
Belum lagi dia bisa menguasai keseimbangannya,
Bayu Menggolo sudah maju merangsek. Dan dua buah
pukulannya pun secara beruntun menghantam kem-
bali dada Pati Slomo yang kali ini ambruk ke tanah.
Dari mulutnya mengeluarkan darah.
Sepasang matanya buas berbahaya.
"Bayu... untuk apa lagi kau bermain-main dengan
manusia semacam ini, hah?" terdengar Nenek Berbaju
Sutra bersuara karena merasa bosan. Bila dia yang
menyerang, sudah dipukulnya mampus manusia itu.
"Kalau memang itu maumu... baiklah, Nek! Nah, Pa-
ti Slomo... kau masih kuberi kesempatan untuk me-
nyerangku! Bila kau gagal dalam seranganmu kali ini,
maka nyawamu akan lepas dari jasadmu! Mengerti?!"
Merasa dirinya tak ada jalan lain lagi untuk meng-
hindar, Pati Slomo pun bergerak maju dengan pekikan
keras dan golok siap mengayun.
Bayu Menggolo sendiri hanya tersenyum. Dan begi-
tu Pati Slomo sudah dekat, dengan tiba-tiba dia bersal
to ke depan. Dan tangannya menghantam kepala Pati
Slomo.
Terdengar suara berderak dan pekikan keras.
"Aaaaaakkkhhhh!"
Tubuh Pati Slomo pun ambruk dengan kepala pe-
cah. Darah merah bercampur cairan putih mengalir
dari kepala itu.
Srinti merasa puas melihat salah seorang dari Ge-
rombolan Pencabut Nyawa mampus di tangan pu-
tranya.
"Bagus, Bayu... kau harus melakukan hal yang sa-
ma pada Murko Wiroko...."
"Sebentar lagi, Bu... tanganku pun sudah gatal un-
tuk menggepruk habis Murko Wiroko. Biar arwah ayah
tenang di sana...."
"Baiklah... kita segera saja mencari Murko Wiroko
dan anak buahnya yang lain," kata Nenek Berbaju Su-
tra. "Apakah kalian tidak bisa melihat, betapa sengsa-
ranya penduduk di desa ini...."
Bayu Menggolo mendesah panjang. Dia teringat
akan masa kecilnya. Di mana dia dilahirkan di desa
ini, desa yang permai dengan pemandangan yang in-
dah. Desa di mana para penduduknya menjalin kea-
kraban dan persaudaraan. Suasana yang makmur dan
sentosa.
Namun sejak kedatangan orang-orang jahat itu, su-
asana yang pernah dinikmatinya saat kecil, kini telah
berubah bagaikan neraka. Memang pantas orang-
orang itu menjuluki diri Malaikat Pencabut Nyawa. Ke-
kejaman mereka tak terhingga. Tiada maaf bagi siapa
saja. Dan tangan telengas mereka telah mencabut pu-
luhan nyawa manusia yang tak berdosa. Belum lagi
berapa banyak yang membunuh diri. Karena tidak ta-
han disiksa atau pun harus menanggung malu yang
tiada terhingga.
Mengingat itu, dada Bayu Menggolo seakan mau
meledak. Apalagi teringat bagaimana penderitaan
ibunya. Bagaimana dengan dendam ibunya. Hal ini,
membuat Bayu Menggolo tidak sabar lagi untuk mem-
bunuh Murko Wiroko. Dia ingin melihat sinar mata
ibunya cerah seperti dulu. Tidak dilapisi kepedihan,
kesengsaraan, duka yang dalam dan dendam yang
panjang.
Dia tidak ingin melihat hal itu lagi.
Lalu dia menghampiri mayat Pati Slomo. Dengan go-
lok milik Pati Slomo sendiri, dia memenggal kepala itu.
Darah menetes dari kepala yang kini berada di tan-
gannya.
"Mari, Nek... Ibu... kita cari Murko Wiroko!" katanya
dengan suara geram.
***
SEPULUH
Murko Wiroko merasa heran kepada Pati Slomo be-
lum kembali juga. Padahal sudah hampir tiga jam dia
pergi. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi.
Lalu dia memanggil seluruh anak buahnya. Kini
mereka menempati sebuah bangunan besar yang di-
bangun dari uang rakyat dan tenaga rakyat.
"Hari ini aku mencium hawa tidak enak," kata Mur-
ko Wiroko di kursinya.
"Maksud, Kakang?" tanya Menak Supo.
"Aku sendiri tidak tahu. Dan lagi yang membuatku
heran, mengapa Pati Slomo belum juga kembali dari
membuang mayat gadis yang membunuh diri itu."
Menak Supo terkekeh. "Kakaang... sudah tentu dia
langsung ke tempat gundiknya."
"Semula dugaanku pun demikian. Tapi hawa tidak
enak ini mengganggu perasaanku."
Anak buah Murko Wiroko merasa heran, karena
mereka tidak merasakan tanda-tanda bahaya akan da-
tang. Namun akhirnya mereka sadar, kalau ilmu yang
dimiliki Murko Wiroko cukup tinggi.
Mereka pun menjadi siaga bila bahaya mendadak
muncul.
"Hmm... sebaiknya kau Garot dan Ronggo, cari Pati
Slomo cepat. Katakan... aku sudah menunggunya!"
"Baik, Kakang!" sahut Garot. Lalu bersama Ronggo,
keduanya bangkit.
Namun belum lagi mereka melangkah, tiba-tiba se-
buah benda melayang jatuh tepat di hadapan Murko
Wiroko.
Orang-orang itu terkejut. Dan keterkejutan mereka
berubah menjadi pekikan ketika melihat benda apa
yang jatuh itu.
Kepala Pati Slomo yang pecah terpenggal!
"Anjing kurap! Siapa yang berbuat seperti ini?!" ben-
tak Murko Wiroko murka.
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari luar, "Orang-
orang yang berada di dalam... bila kalian ingin tahu
siapa yang membunuh ulah, cepat kalian keluar!"
Suara itu keras, karena disertai tenaga dalam yang
cukup kuat.
Serentak orang-orang itu berlarian keluar. Dan me-
reka melihat tiga sosok tubuh berdiri di hadapan me-
reka. Sepasang mata Murko Wiroko seolah tidak per-
caya melihat Srinti berdiri di antara orang-orang itu.
Tetapi kekagetannya itu hanya sejenak. Karena ke-
mudian terdengar tawanya, "Hahaha... rupanya kau
Dinda Srinti... ya, ya... aku yakin kau pun pasti akan
rindu padaku...."
"Cih!" Srinti meludah. "Murko Wiroko... hari ini aku
datang untuk mencabut nyawamu...."
"Hahaha... mengapa kau begitu garang sekali, Srin-
ti. Wajahmu tetap cantik. Hampir enam tahun kita ti-
dak bertemu... tetapi kau tetap cantik dan bisa mem-
bangkitkan birahiku...."
Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu terhadap
ibunya, Bayu Menggolo menggeram marah.
"Murko Wiroko... mau mampus kau masih bisa ber-
suara dan menjual lagak pula?!"
"Anak muda... siapa kau yang besar bacot itu,
hah?!" membentak pula Murko Wiroko.
"Hhh! Ketahuilah, Murko... aku Bayu Menggolo, pu-
tra mendiang Jalu Prakoso yang kau bunuh secara
pengecut!"
Wajah Murko Wiroko memerah. Dia terdiam mem-
perhatikan pemuda itu. Tetapi sedikit pun dia tidak
merasa takut.
"Anak muda... sebaiknya kau membunuh diri saja
sebelum kubunuh!"
"Besar bacot pula kau, hah?!"
"Hihihi..." terdengar tawa Nenek Berbaju Sutra.
"Bukankah kau yang sebaiknya membunuh diri, Mur-
ko..."
"Hmm... rupanya kali ini pun aku berhadapan den-
gan nenek bongkok yang bergelar Nenek Berbaju Su-
tra. Bagus, dengan begitu aku tidak perlu bersusah
payah untuk membunuh kalian!"
"Hhh! Mampuslah kau, Murko!" seru Bayu Menggolo
sambil maju menyerang. Serangannya begitu dahsyat,
disertai tenaga dalam yang kuat.
Namun masih tertawa Murko Wiroko menghindar
dan membalas menyerang. Keduanya pun terjadi se-
rang menyerang. Karena didasari dendam yang menya-
la-nyala Bayu Menggolo tak mau tanggung-tanggung
lagi. Dia langsung mengeluarkan jurus yang diajarkan
oleh Nenek Berbaju Sutra, Telapak Mengundang Maut!
Setiap kali telapak tangan itu berkelebat, menim-
bulkan angin yang dingin. Dirasakan bagaikan hawa
maut yang siap mengundang.
Bagi Murko Wiroko sendiri hal itu bukanlah sesuatu
yang menakutkan baginya. Namun lama kelamaan dia
merasa terdesak. Karena sambaran anginnya saja su-
dah membuat bulu romanya berdiri.
Lalu dia pun mengimbanginya dengan ajian, Bayu
Mengusir Mega. Dan jurus itu rupanya mampu me-
nandingi dan mengimbangi Telapak Mengundang Maut
milik Bayu Menggolo.
Namun karena pengalaman bertarung lebih banyak
dimiliki oleh Murko Wiroko dia dapat berkali-kali me-
nipu Bayu Menggolo dengan serangan-serangan ter-
sembunyi.
Melihat hal itu, Nenek Berbaju Sutra serentak men-
deru maju. Namun lima anak buah Murko Wiroko se-
gera mengurungnya.
"Mau ke mana kau, Nenek peot?!" geram Menak Su-
po menyeringai.
Nenek Berbaju Sutra mendengus. Dan tiba-tiba saja
dia menyerang dengan Telapak Mengundang Maut. Li-
ma orang itu pun kocar-kacir dibuatnya. Dan serentak
mereka mencabut golok masing-masing.
Melihat hal itu bukannya membuat nyali Nenek
Berbaju Sutra semakin ciut. Namun malah semakin
besar dan tegar.
"Hhh! Kalian mau mampus rupanya!"
"Jangan banyak omong, Nenek peot!" geram Menak
Supo. "Bunuh dia!"
Lima golok besar itu bergerak menyambar Nenek
Berbaju Sutra. Serangan mereka hebat dan cepat,
membuat Nenek Berbaju Sutra harus mengeluarkan
ilmu peringan tubuhnya semaksimal mungkin.
"Mau lari ke mana kau, Nenek peot!"
"Hhh... dikasihkan ke anjing pun tak mau mereka
memakan dagingmu, Nenek Bongkok!"
Mendengar ejekan-ejekan itu, membuat Nenek Ber-
baju Sutra menggeram hebat. Dia menyerang dengan
dahsyat sambil sekali-sekali menghindari serbuan go-
lok-golok itu.
Pengalaman yang dimilikinya kini membawa hasil
yang cukup memuaskan. Dua dari lima penyerangnya
harus memekik keras dan mampus terkena sambaran
telapak tangannya yang dahsyat.
Dada kedua orang itu jebol seketika, dan memun-
cratkan darah!
Melihat hal itu, tiga orang penyerangnya menghen-
tikan serangan mereka. Menak Supo menggeram ma-
rah.
Dia membentak, "Anjing kurap! Kubunuh kau?!"
Lalu dia menyerang kembali dengan ganas. Begitu
pula dengan Garot dan Ronggo. Ketiganya menyerang
dengan cepat dan hebat.
Sementara itu, pertarungan antara Bayu Menggolo
dan Murko Wiroko berlangsung dengan seru. Kedua-
nya kini saling meningkatkan tenaga dalam mereka.
Saling serang.
Saling tangkis.
Murko Wiroko sendiri merasa sudah bosan berta-
rung lama-lama. Apalagi setelah dia yakin ajian Bayu
Mengusir Mega-nya tak akan bisa mengalahkan Tela-
pak Mengundang Maut milik Bayu Menggolo.
Tiba-tiba dia bersalto.
Lalu hinggap dengan tatapan mata sedingin es.
"Bayu Menggolo... tak kusangka kau sudah menjadi
sedemikian hebat. Tapi kini kau hadapilah ajianku,
Tapak Badai!"
Setelah berkata begitu, kedua tangan Murko Wiroko
mengembang ke kanan kiri. Lalu dia membuka kedua
tapak tangannya. Dan mengayunkannya ke atas, lalu
ke bawah. Dari ayunan tangan itu terdengar suara se-
perti badai mengamuk. Dan siap untuk menghancur-
kan siapa saja yang menghalanginya.
"Nah, bersiaplah kau untuk mampus, anak muda!"
seru Murko Wiroko seraya menyerang Bayu Menggolo.
Kini ajian Tapak Badai berada di kedua tangannya.
Dan siap untuk memusnahkan Bayu Menggolo. Dari
jarak tiga meter saja, Bayu Menggolo sudah merasakan
desiran angin keras menerpanya. Dia menjadi insyaf,
kalau lawan kini telah mengeluarkan ajian pamung-
kasnya.
Sebisanya Bayu Menggolo menghindar, namun an-
gin besar yang ditimbulkan oleh dorongan kedua tapak
tangan itu telah menerpanya, membuatnya terpelant-
ing ke belakang.
"Bayuuuuu!" seru Srinti terkejut dan kuatir melihat
keadaan putranya.
Bayu Menggolo sigap berdiri tegak, dan bersalto dua
kali melompati tubuh Murko Wiroko yang terus menye-
rang. Begitu hinggap di bumi, dia segera merangkum
kedua tangannya di dada. Dan terlihat asap putih
mengepul dari kedua tangan itu.
Murko Wiroko memekik, "Pukulan Bayangan Suk-
ma! Hhh, ada hubungan apa kau dengan Pendekar
Bayangan Sukma, Anak Muda?!"
Bayu Menggolo tertawa. "Hahaha... rupanya kau jeri
melihat pukulanku ini. Nah, ketahuilah... bahwa Pen-
dekar Bayangan Sukma adalah guruku...."
"Anjing kurap!" maki Murko Wiroko dan mening-
katkan tenaga dalamnya.
"Bersiaplah untuk mampus kau, Murko Wiroko!" se-
ru Bayu Menggolo. Lalu dia berpaling pada Murko Wi-
roko. "Hhh, majulah kau!"
Murko Wiroko pun menggeram marah. Lalu dia pun
bergerak menderu. Begitu pula dengan Bayu Menggolo,
dia pun segera memapaki.
Dua buah tenaga dan ajian dahsyat bertemu. Ter-
dengar ledakan dahsyat bagai sebuah bom yang mele-
dak.
"DUAAARRRR!"
Debu-debu berterbangan. Daun-daun berguguran.
Dari kepulan debu itu, mencelat dua sosok tubuh
ke belakang. Dan dua sosok tubuh itu sama-sama ter-
hempas ke tanah.
Dan sama-sama muntah darah.
Namun terlihat perlahan-lahan Bayu Menggolo
bangkit dan berdiri tegak. Sementara Murko Wiroko
tak sanggup lagi untuk bangkit.
Sepasang mata Bayu Menggolo mengeluarkan sinar
berbahaya. Dan siap mencabut nyawa.
Melihat hal itu, Murko Wiroko terkesiap. Sadar ka-
lau nyawanya sudah di ambang pintu. Ternyata ajian
Tapak Badainya masih kalah oleh Pukulan Bayangan
Sukma.
Dia bergidik ngeri melihat Bayu Menggolo perlahan-
lahan mendekatinya, siap dengan Pukulan Bayangan
Sukma di tangan.
"Ampun... ampun... jangan cabut nyawaku... am-
pun..." rengek Murko Wiroko seraya beringsut. Da-
danya dirasakan sakit luar biasa. Jalan darahnya sea-
kan terhenti.
"Hhh! Murko Wiroko... nyawamu harus kucabut pu-
la hari ini!"
"Ampun... ampunkan aku... maaf, maafkan aku..."
rengek Murko Wiroko bagaikan rintihan belaka. "Am-
punkan, Anak muda... maafkan aku... aku berjanji...
tidak akan berbuat jahat lagi...."
Nenek Berbaju Sutra yang telah menghabisi lawan-
lawannya terkikik melihat Murko Wiroko ketakutan
bagai anak kecil.
Srinti sendiri tersenyum puas. "Bunuh dia, Bayu!
Bunuh dia... kau tak ingin melihat Ayahmu penasaran,
bukan?"
"Baik, Ibu! Aku memang akan membunuhnya!" ge-
ram Bayu Menggolo.
"Jangan... jangan... maaf, maafkan aku... jangan...
ampun... ampunkan aku, Anak muda..."
"Hhh! Ayahku akan penasaran bila kau tidak kubu-
nuh!"
"Ampun... ampunkan aku...."
"Hhh! Mampuslah kau, Murko!" seru Bayu Menggolo
siap untuk menurunkan tangannya pada Murko Wiro-
ko.
Namun belum lagi dia menurunkan tangannya, ter-
dengar suara, "Tahan, Bayu!"
Bayu Menggolo berhenti melangkah. Dan entah ka-
pan datangnya, di dekatnya telah berdiri satu sosok
berjubah putih yang tersenyum arif dan bijaksana.
"Guru...."
Madewa Gumilang tersenyum.
"Kau telah berhasil mengalahkannya, Bayu..."
"Ya, Guru... saya akan membunuhnya sekarang."
"Bayu..." masih tersenyum Madewa Gumilang me-
lanjutkan kata-katanya, "Apakah kau tidak merasa ka-
sihan melihat lawanmu telah kalah dan mohon am-
pun?"
"Tidak, Guru. Ayahku pun dulu dibunuhnya secara
keji...."
"Tetapi lawanmu sudah lemah sekali, Bayu. Sebagai
seorang pendekar... kau harus welas asih padanya...."
Bayu Menggolo terdiam. Tiba-tiba kepalanya mene-
gak, menatap Madewa Gumilang.
"Tidak, Guru... aku harus tetap membunuhnya...."
"Ingat, Bayu... lawanmu sudah tidak berdaya...."
"Tapi dia telah membunuh ayahku, Guru!"
"Aku mengerti, Bayu... namun bukankah dia sudah
berjanji tidak akan berbuat jahat lagi? Dan telah me-
mohon ampun padamu. Kau seharusnya bisa memaaf-
kannya..."
Tiba-tiba sepasang mata Bayu Menggolo meradang.
Mata itu sudah diliputi dendam yang membara.
"Tidak, aku tidak akan membebaskannya, Guru...."
"Meskipun aku yang memintanya, Bayu...."
"Ya, meskipun Guru yang meminta...."
Madewa tersenyum, meskipun terlihat wajahnya
tersaput kekecewaan karena Bayu Menggolo tak punya
rasa belas kasihan.
"Kau bukan berjiwa seorang pendekar, Bayu...."
"Persetan dengan semua omongan Guru!" seru Bayu
Menggolo keras. "Bila Guru melarang, aku akan mem-
bantah!"
"Aku melarangmu, Bayu!"
Bayu Menggolo mendengus. "Tak seorang pun yang
bisa melarangku, Guru...."
"Bayu...."
"Menyingkirlah dari sini, Guru...."
"Bayu... sadarlah...."
"Persetan dengan ucapan Guru!" seru Bayu Menggo-
lo. Dan tiba-tiba saja dia menyerbu ke arah Madewa
Gumilang dengan Pukulan Bayangan Sukma!
"Sadarlah, Bayu..." kata Madewa masih menenang-
kan. Namun pemuda itu telah menderu, Madewa pun
tak mau dirinya dijadikan sasaran Pukulan Bayangan
Sukma. Dia pun menghindar. Namun Bayu Menggolo
yang sudah kalap seperti kemasukan setan terus me-
nyerang.
Membuat Madewa menghindar. Lalu bersalto dua
kali. Dan dia pun merangkum Pukulan Bayangan
Sukma di tangannya.
"Sadarlah, Bayu... ini akan berakibat buruk untuk-
mu...."
"Perduli setan!" Lalu Bayu Menggolo pun menderu
maju. Tak ada jalan lain bagi Madewa, dia pun mema-
pakinya.
Kedua pukulan itu berbenturan.
Dahsyat.
Madewa yang masih setengah-setengah mengelua-
rkan Pukulan Bayangan Sukma harus terpental bebe-
rapa tombak ke belakang. Sementara Bayu Menggolo
hanya dua tindak.
Madewa muntah darah. Belum lagi dia bisa mengu-
asai keadaan, Bayu Menggolo sudah menerjang kem-
bali.
Hebat.
Madewa tidak bisa lagi untuk menghindar karena
serangan itu begitu cepat di samping dia sendiri mera-
sa sakit di dada.
Namun mendadak terdengar jeritan hebat dari Bayu
Menggolo. Tubuhnya terpental ke belakang, terhantam
oleh Pukulan Bayangan Sukmanya sendiri. Tubuh itu
hancur seketika dan mampus.
Ini kesalahan dari Bayu Menggolo. Dia tidak tahu
Madewa memiliki tenaga ajaib yang didapatnya secara
tidak sengaja dari sari rumput Kelangkamaksa. Bila
marahnya mereda, maka tenaga ajaib itu akan muncul
begitu saja. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Tiba-tiba terdengar jeritan pula. Murko Wiroko te-
was dengan kepala terpenggal. Di tangan Srinti terpe-
gang golok yang berlumuran darah. "Madewa... kini
puaslah hatiku menyaksikan manusia itu mati. Dan
aku akan segera menyusul putraku!" Lalu golok itu
pun dihunjamkannya ke dadanya.
Madewa mendesah. Nenek Berbaju Sutra menunduk pilu.
Langit mendadak berubah hitam.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar