..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 12 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE NERAKA DI KERATON BARAT

 

Neraka Di Keraton Barat


1


Malam semakin membentang. Suasana begitu sunyi 

mencekam. Rembulan di angkasa tak mampu meng-

halangi timbunan awan hitam yang seperti enggan 

berpindah tempat. 

Sementara sebuah bangunan di bawah sinar 

rembulan yang tipis, kelihatan sunyi senyap. Bau anyir 

darah tercium. Suara burung gagak yang mengerikan 

berkaok-kaok, memecah keheningan malam. 

Bangunan itu adalah Keraton Kerajaan Pakuan 

yang kini semakin porak poranda saja. Sementara 

mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman 

keraton, bertumpuk tanpa dipedulikan. Rata-rata 

mereka berpakaian prajurit. Namun dilihat dari 

seragamnya, mereka memang para prajurit Kerajaan 

Labuan yang membantu Kerajaan Pakuan, yang saat 

ini dikuasai Tidar alias Raia Akherat. 

Kekejaman Tidar memang sangat mengerikan, 

iImunya pun sangat dahsyat. Di antara yang mati 

terlihat tiga sosok tubuh berpakaian putih, dan dua 

sosok tubuh berpakaian warna hitam. Kelimanya 

adalah prajurit-prajurit Kerajaan Labuan yang men-

coba menyerang Raja Akherat. Namun, akhirnya 

harus menerima ajal secara mengenaskan. (Baca 

serial Pendekar Slebor dalam episode: "Raja 

Akherat"). 

Sementara saat ini, Sari yang ikut dalam 

penyerbuan ke Keraton Pakuan masih dalam 

keadaan pingsan setelah bertarung melawan Raja

Akherat. Gadis ini kini terbaring di kamar Prabu 

Adiwarman. 

Pendekar Slebor yang bermaksud menyusup ke 

keraton itu, terpaksa harus menyusuri lorong bawah 

tanah dalam keadaan merangkak. Namun semakin 

jauh merangkak mulai disadari, kalau saat ini ia ter-

sesat. Setiap Andika mencari jalan tembus, tak 

pernah ketemu. Bahkan Andika merasakan kalau 

sudah terlalu lama berada di dalam lorong rahasia ini. 

Itu sebabnya, waktu Senapati Monoseta menunggu-

nunggu, Pendekar Slebor tak muncul-muncul. 

"Kutu kupret! Mengapa lorong ini jadi panjang 

sekali?" gerutu Pendekar Slebor. "Padahal menurut 

Prabu Adiwarman..., jaraknya tidak terlalu jauh. 

Tetapi, mengapa jadi begini?" 

Andika menghentikan merangkaknya. Dan kini 

pinggangnya terasa pegal-pegal. 

"Lebih baik aku kembali ke tempat semula. 

Barangkali saja aku memang tersesat...." 

Lalu dengan susah payah sambil menekuk tubuh-

nya ke dinding tanah yang pengap, Andika berbalik ke 

jalan yang dilaluinya tadi. Dan kembali dia harus 

merangkak. 

Tetapi lagi-lagi kening Pendekar Slebor harus 

berkerut. Karena justru dia merangkak bukan melalui 

jalan semula yang dilalui. 

"Kambing congek! Kenapa jadi begini?! Apa 

dikiranya aku ular tanah?!" rutuk Pendekar Slebor. 

"Apakah Prabu Adiwarman membohongiku? Kalau 

benar membohongiku, aku bersumpah akan kusunat 

lagi dia!" 

Dengan tekad bulat, Andika meneruskan 

rangkakannya. Tetapi sekian lama merangkak, tidak 

juga menemukan tempatnya tadi. Tubuhnya sudah

pegal bukan main. Rasanya linu sekali. Sebentar ia 

menghentikan rangkakannya, lalu duduk dengan cara 

menekuk kedua kakinya. 

"Ke mana lagi jalan yang harus kutempuh?" 

gumam Pendekar Slebor, "Aku tidak ingin mati konyol 

di sini...." 

Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat 

sesuatu, tiba-tiba saja matanya melihat sinar dari 

ujung sana. Maka cepat dia merangkak mendekati 

sinar itu. 

"Heran?! Mengapa sejak tadi aku tidak melihat 

sinar ini, ya?" kata Andika sambil memperhatikan 

sinar itu yang menerobos dari sebuah lubang kecil. 

Begitu sampai Andika cepat menggaruk lubang 

sebesar kepingan uang logam tempat sinar masuk. 

Beberapa tanah berguguran. Dan semakin lama 

menggaruk tanah, terlihatlah sebuah lubang yang 

cukup besar. 

Udara segar langsung menyergap indera 

pernapasan Pendekar Slebor. Andika bisa bernapas 

lega sekarang. Tidak dipedulikan lagi di mana harus 

keluar. Yang penting pindah dari tempat ini. 

Perlahan demi perlahan Andika menyusupkan 

kepalanya ke lubang yang telah dibuat. Matanya 

langsung beredar ke sekelilingnya. Alangkah ter-

kejutnya Pendekar Slebor ketika mendapati dirinya 

berada di sebuah dataran tinggi, penuh pepohonan 

dan bukit-bukit! 

Cepat Andika menarik kepala sambil menepuk-

nepuk dadanya. 

"Amit-amit! Kenapa aku berada di sini?" gumam 

Pendekar Slebor. 

Lalu perlahan-lahan Andika kembali menongolkan 

kepalanya. Tetap suasana yang sama yang

terpampang di matanya. 

"Gila, berada di manakah aku ini?" tanya Pendekar 

Slebor dalam hati. 

Lalu dengan sekali menghentakkan tubuhnya, 

Pendekar Slebor sudah keluar dari lorong rahasia 

yang pengap dan gelap! 

Begitu bangkit berdiri, Andika celingukan. Matanya 

memperhatikan sekitarnya dengan kening berkerut. 

Menurut perkiraan, seharusnya Pendekar Slebor 

berada di belakang keraton, tepat di istal kuda seperti 

yang dikatakan Prabu Adiwarman. Tetapi, mengapa 

berada di sini? 

Suasana sekelilingnya sunyi sekali. Bahkan Andika 

tidak mendengar suara binatang malam seperti 

biasanya yang banyak hidup di tempat seperti ini. 

Rembulan di atas sana tak nampak, mungkin tertutup 

awan tebal. 

Perlahan-lahan Andika melangkah menyusuri 

tempat itu. Gila! Semuanya semakin asing saja 

dirasakannya. Dan ini semakin membuat jantungnya 

berdebar-debar. 

"Oh, Gusti.... Tempat apakah ini?" tanya Andika 

dalam hati dengan sikap bingung. 

Tiba-tiba Pendekar Slebor teringat pada para 

prajurit Kerajaan Labuan yang tengah menyerang 

Raja Akherat. Apakah mereka berhasil mengalahkan-

nya? Ataukah malah tewas semuanya? Andika pun 

teringat pada Sari, gadis penunggang harimau yang 

jelita berpakaian dari kulit harimau. Bagaimana 

keadaannya? Dan Andika tetap tidak mengerti, 

mengapa akhir dari lorong rahasia yang dikatakan 

Prabu Adiwarman berakhir di sini? 

Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat 

apa....

"Anak muda..., selamat datang di Alam Sunyi...." 

Tiba-tiba terdengar suara bernada nyaring dan 

keras. 

Andika celingukan memandang sekitarnya. Mata-

nya tidak melihat siapa-siapa berada di sini, kecuali 

dirinya. Lalu, siapakah yang bersuara barusan? 

"Hei, kau yang bersuara tadi!" teriak Andika 

lantang. Suaranya menggema ke lima penjuru. "Kalau 

memang wajahmu tampan sepertiku, keluarlah! 

Kalau cuma pas-pasan, lebih baik sembunyi saja!" 

Tak ada sahutan apa-apa. Andika menunggu 

sesaat. Namun tetap tak ada suara apa-apa. Hatinya 

pun menjadi penasaran. 

"Apakah kau budek, hah?! Ataukah sebangsa 

siluman penghuni tempat ini yang kerjanya meng-

ganggu orang saja?" teriak Pendekar Slebor. 

"Ha... ha... ha...!" 

Kali ini terdengar tawa yang berat, bernada geli. 

"Kau memang telah lama ditunggu, Anak Muda. 

Seratus tahun aku menunggu kedatanganmu. Dan 

tak kusangka..., kau telah hadir di sini...," sahut suara 

tanpa wujud itu. 

"Menungguku seratus tahun lamanya?" seru 

Andika kaget. "Kasihan sekali.... Apa tak punya 

pekerjaan lain, kecuali menungguku? He he he... 

Kalau begitu berapa tahun usiamu?" 

"Kalau kau ingin tahu usiaku, kukatakan dengan 

jujur. Usiaku sekitar seratus tiga puluh tahun. Seratus 

tahun lamanya aku mendiami Alam Sunyi ini, tanpa 

tahu harus berbuat apa. Dan aku selalu berharap ada 

orang lain yang akan membawaku keluar dari sini...." 

Andika sebenarnya jengkel, karena sejak tadi 

sosok yang bersuara itu tidak muncul juga. Kakinya 

melangkah, hendak pergi.

"Kalau kau tidak mau muncul juga, aku pergi saja 

dari sini! Lagi pula, aku toh tidak ada urusannya 

denganmu!" kata Pendekar Slebor, sok ketus. 

"Ha ha ha...! Silakan, Anak Muda. Silakan. Seratus 

tahun lamanya aku mencari jalan keluar dari Alam 

Sunyi ini. Tetapi hingga kau datang, aku belum juga 

menemukan jalannya...," balas suara itu. 

Andika tersentak kaget, dan langsung meng-

hentikan langkahnya. Tangannya langsung meng-

garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

"Makanya, keluarlah!" teriak Pendekar Slebor. 

"Jawab dulu pertanyaanku, maukah kau membawa 

ku keluar dari Alam Sunyi ini?" 

"Enaknya! Aku sendiri belum mengenalmu!" 

"Kau pasti akan mengenalku, bila mau berjanji 

akan membawaku keluar dari sini!" 

"Aku saja bingung mengapa jalan rahasia yang..., 

Oh! Aku tahu sekarang!" seru Andika tiba-tiba. "Rupa-

nya kau keturunan manusia yang sengaja menjebak 

dan membuatku bingung dengan lorong rahasia itu!" 

""Ha... ha... ha...!" 

Suara tanpa wujud itu terbahak-bahak lagi. 

"Karena aku membutuhkan pertolonganmu." 

"Siapa sudi menolong orang jahat sepertimu! 

Kalau kau tidak iseng, aku kan tidak berada di sini!" 

kata Andika sewot. 

Apalagi bila Pendekar Slebor teringat akan nasib 

orang-orang segolongan dengannya yang menyerang 

Raja Akherat. Terutama, Sari. Semakin sewot saja 

dirinya. 

"Cepat kau keluar dari sini! Biar aku bisa melihat 

tampang pas-pasanmu!" teriak Pendekar Slebor, 

lantang. 

Tak ada suara apa-apa. Andika makin jengkel.

"Hei, Manusia Keturunan Lelembut! Cepat keluar!" 

teriak Andika. 

"Ha... ha... ha...! Sebelum kau berjanji untuk mem-

bawaku keluar dari Alam Sunyi ini, aku tak akan 

memperlihatkan diriku! Ingat, Anak Muda.... Kau akan 

tersesat dan terpendam di Alam Sunyi ini beratus-

ratus tahun lamanya!" sahut suara itu, bernada 

mengancam. 

"Iya, iya! Aku akan membawamu keluar dari sini, 

meskipun aku tidak tahu harus lewat mana!" kata 

Andika, meskipun penasaran bercampur kesal. 

"Bagus!" 

"Kalau begitu, keluarlah!" 

"Aku akan keluar. Tetapi jangan kau injak kakiku!" 

Mendengar kata-kata itu, Andika terperanjat. Cepat 

kedua kakinya terangkat dengan melompat dua 

tindak. Ketika matanya melihat apa yang diinjaknya 

tadi tak ada tanda-tanda yang aneh. Jelas sekali 

kalau kakinya hanya menginjak tanah berumput yang 

basah belaka. 

"Kau ini mau main-main denganku, ya?" kata 

Andika mendongkol. 

"Tidak, akan kuperlihatkan wujudku!" sahut suara 

itu. 

Mendadak saja tanah yang diinjak Andika tadi 

bergerak. Lalu, terlihatlah sebuah kepala yang 

perlahan-lahan bergerak naik. Kemudian terlihat 

badannya, lalu kakinya.... Dan kini sosok itu telah 

berdiri tegak. Sekujur tubuhnya ditutupi tanah. Andika 

sendiri sedikit terkejut melihatnya. 

"Kau..., kau ini sebangsa siluman tanah rupa-

nya...," kata Pendekar Slebor sambil memperhatikan 

sosok itu. 

"Goblok! Namaku Eyang Sasongko Murti!" bentak

sosok itu sambil mengusap wajahnya dengan kedua 

tangan. 

Perlahan-lahan nampaklah di mata Andika satu 

sosok tubuh yang sudah penuh keriput. Wajahnya 

sukar dipastikan, apakah tampan atau buruk. Jenggot 

putih yang banyak tumbuh di sekitar wajahnya, 

semakin sulit memastikan keadaan wajahnya. Yang 

terlihat hanyalah segaris cahaya yang keluar dari 

matanya yang menyipit 

Lalu tangan itu kembali mengusap seluruh tanah 

yang membaluri tubuhnya. Kini, terlihat kalau sosok 

aneh di depannya berpakaian hitam yang sudah 

compang-camping. Keriput di seluruh tubuhnya 

terutama di badannya, nampak sekali. Dan seperti 

sosok itu tak lebih dari mayat hidup belaka! 

"Nah! Apakah kau sekarang yakin, kalau wajahku 

tampan?" kata orang aneh yang mengaku bernama 

Eyang Sasongko Murti, bernada menyombong. 

"Ha... ha... ha...!" 

Andika terbahak-bahak mendengar kata-katanya. 

"Lucu, lucu sekali! Mana bisa wajah seperti mayat 

begitu dibilang tampan!" ejek Andika, ceplas-ceplos. 

"Jangan sembarangan omong, Anak Muda!" desis 

Eyang Sasongko Murti. 

"Heran! Orang bicara jujur, kok masih disalahkan?" 

sahut Andika tanpa merasa bersalah. "Apakah kau 

senang kalau aku tidak bicara jujur? Baiklah 

wajahmu...." 

Eyang Sasongko Murti mengulapkan tangannya. 

"Sudahlah.... Kini kau ikut aku!" 

"Hei? Katanya kau hendak kukeluarkan dari 

tempat ini?" seru Andika yang ikut-ikutan menjadi 

sedikit gila. Karena., ia sendiri saja tidak tahu., jalan 

mana yang harus ditempuh agar keluar dari tempat

sunyi ini. 

"Itu nanti! Kita harus menyusun rencana lebih 

dulu!" seru tokoh aneh dari dalam tanah sambil 

melangkah. 

Andika menggerutu panjang pendek. Heran! 

Mengapa tahu-tahu ia bisa berjumpa manusia aneh 

seperti itu? Tetapi mau tidak mau Andika pun meng-

ikuti langkah Eyang Sasongko Murti. 

Yang dituju tokoh aneh itu adalah sebuah gua yang 

berada sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka 

semula. Gua itu sangat besar. Banyak batu besar 

yang tinggi berada di dalamnya. Keadaannya gelap 

tak ada penerangan apa-apa. 

Andika mendengus sebal. 

"Tempat apa ini?" tanya Pendekar Slebor. 

"Inilah istanaku...," sahut Eyang Sasongko Murti 

sambil duduk di sebuah batu besar. Gerakannya 

sangat ringan, malah terlihat tidak seperti melompat. 

"Ha... ha... ha...!" 

Andika terbahak-bahak mendengarnya. 

"Apa pendengaranku sudah kurang sejak bertemu 

denganmu?" kata Andika, enteng. 

"Pendengaranmu tidak berkurang. Kau jelas 

mendengar kata-kataku tadi," sahut Eyang Sasongko 

Murti kalem. 

Mendapat jawaban yang bernada tak acuh itu, 

Andika mendengus. 

"Tempat begini kau sebut istana?!" cibir Andika. 

"Karena, tempat inilah satu-satunya yang paling 

aman di Alam Sunyi ini!" sahut Eyang Sasongko Murti, 

mantap. 

Andika duduk di batu besar, tepat di depan orang 

tua aneh itu. Gerakannya pun tak kalah ringan. 

Keduanya membisu. Tak ada suara apa-apa yang

terdengar. Bahkan angin pun tak terdengar suaranya. 

"Eyang..., saat ini aku sedang mengemban sebuah 

tugas yang sangat besar. Kalau di alamku sana...." 

"Hei! Di sana pun alamku!" potong Eyang Sasongko 

Murti jengkel. 

"Iya, ya!" sahut Andika jengkel pula. "Jangan main 

potong dulu! Pokoknya, saat ini ada sebuah kerajaan 

yang dikuasai tokoh sesat yang berjuluk Raja Akherat. 

Kejahatannya tidak bisa dibendung lagi! Dan 

sekarang, kawan-kawanku tengah menyerang 

Kerajaan Pakuan!" 

"Aku tahu." 

Andika terbelalak. "Kau tahu?" 

"Ya." 

"Lalu kalau tahu, mengapa kau sesatkan aku 

hingga ke sini, heh?!" dengus Andika. Jengkel juga dia 

mendapat jawaban Eyang Sasongko Murti yang 

enteng-enteng saja. 

"Karena aku juga membutuhkan pertolonganmu!" 

sahut Eyang Sasongko Murti kalem. 

"Manusia culas!" rungut Andika sambil melompat. 

Kakinya lantas melangkah meninggalkan Eyang 

Sasongko Murti yang tersenyum-senyum. 

"Heh?!" 

Dan mendadak, Andika merasa susah sekali 

mengangkat kedua kakinya untuk melangkah. Tenaga 

sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan langsung 

dikerahkan. Namun, hasilnya tidak ada. 

"Suittt!" 

"Suittt...!" 

Dan terdengar siulan Eyang Sasongko Murti yang 

aneh, bernada mengejek. 

Tahulah Andika. Jelas ini ulah Eyang Sasongko 

Murti.

"Hei! Lepaskan aku!" 

Eyang Sasongko Murti hanya bersiul-siul saja. 

"Hei! Lepaskan, manusia tanah. Kau pasti 

sebangsa tikus tanah yang suka mengganggu orang!" 

teriak Andika. 

"Kalau kau berjanji tidak akan pergi dari sini, maka 

akan kujelaskan!" sahut Eyang Sasongko Murti kalem. 

Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Andika kecuali 

menyetujui permintaan itu. Namun lagi-lagi terbayang 

di benaknya, bagaimana susah payahnya orang-orang 

yang sedang menghadapi Raja Akherat. Karena 

Andika tahu, kesaktian Raja Akherat tinggi sekali. 

"Iya, ya! Lepaskan sekarang juga!" seru Andika 

ngotot sambil mengerahkan tenaga sakti. Dan men-

dadak saja. 

"Heh?!" Andika terkejut setengah mati ketika 

tubuhnya terpental ke depan. Rupanya, Eyang 

Sasongko Murti sudah membebaskannya. Karena 

dorongan tenaga saktinya, maka tubuhnya jadi ter-

pental. 

"Sialan!" maki Pendekar Slebor bersungut-sungut. 

"Duduklah kembali ke tempatmu tadi! Aku akan 

memperlihatkan sesuatu kepadamu!" ujar Eyang 

Sasongko Murti. 

Andika yang berotak cerdas yakin, kalau tokoh 

aneh yang berada di sisinya adalah seorang yang 

sangat sakti. Makanya diturutinya permintaan itu. 

"Apa yang ingin kau perlihatkan kepadaku?" tanya 

Pendekar Slebor. 

"Pejamkan matamu!" 

"Apa lagi yang sedang kau mainkan ini? Aku 

hendak menolong... empph!" 

Mulut Andika mendadak terkatup rapat. Lalu 

perlahan-lahan matanya merapat pula. Andika

berusaha membebaskan diri. Namun semakin 

meronta semakin kuat dua alat inderanya mengatup. 

Perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti pun meng-

asupkan kedua tangannya di dada. Lalu dengan 

hembusan lembut, mulutnya meniup ke arah Andika. 

Dan mendadak saja, mata Pendekar Slebor seperti 

terbuka. Padahal dalam keadaan terpejam! 

Di depan Pendekar Slebor terbayang suasana di 

Kerajaan Pakuan yang dalam keadaan porak-

poranda. Bahkan Andika melihat mayat-mayat prajurit 

Kerajaan Labuan yang bergelimpangan. Termasuk 

juga, mayat dua prajurit pilihan kerajaan itu yang 

mengenakan pakaian hitam. 

Hati Andika kian tercekat. 

Lalu Pendekar Slebor melihat keadaan Sari yang 

masih pingsan. Sementara, tampak pula empat orang 

gadis cantik berpakaian menerawang, sedang meng-

ganti baju Sari. 

Tanpa sadar Andika memalingkan wajahnya. 

Tetapi pemandangan selanjutnya tetap terpampang 

di mata. Tampak bagaimana pakaian Sari yang dalam 

keadaan pingsan dibuka satu persatu. Lalu empat 

gadis berpakaian menerawang mengenakan pakaian 

pada tubuh Sari. Sebuah pakaian berwarna putih 

keemasan yang indah berkilau. 

Tatapan Andika mengedar kembali. Tampak Raja 

Akherat sedang terbahak-bahak sambil menuangkan 

air. Sejenak rasa amarahnya muncul. Andika kontan 

bergerak seperti hendak menyerang Raja Akherat. 

Tetapi lagi-lagi keanehan terjadi. Karena seolah 

tubuhnya tidak bisa digerakkan. Bahkan matanya 

hanya memandangi penuh kegeraman pada Raja 

Akherat yang sedang terbahak-bahak. 

Lalu tahu-tahu di depan Andika sudah terpampang

suasana di Jurang Setan. Tampak sepuluh prajurit 

Kerajaan Labuan yang dipimpin Tiroseta telah tiba di 

dasar Jurang Setan. Rupanya si Belang, harimau 

besar peliharaan Sari, berhasil menunjukkan jalan 

menuju ke dasar Jurang Setan. 

Andika ingin memanggil, untuk menceritakan 

dimana dirinya berada. Namun lagi-lagi mulutnya tak 

sanggup untuk bersuara. 

Andika juga melihat Danji yang sedang duduk 

termenung. Begitu pula Putri Permata Delima yang 

sedang mengelus-elus si Belang, yang sesekali 

mengaum pelan. Rupanya harimau itu merindukan 

tuannya. 

Lalu mendadak saja semuanya lenyap. Dan 

bersamaan dengan itu, sepasang mata dan mulut 

Andika pun membuka. Matanya langsung me-

mandang ke sekeliling, kini yang nampak hanyalah 

dataran tinggi penuh perbukitan yang memanjang, 

hanya diterangi sedikit sinar rembulan. 

Serentak Andika menoleh pada Eyang Sasongko 

Murti yang tersenyum-senyum. Semakin sadarlah 

Andika, kalau laki-laki yang mengaku sudah seratus 

tahun berada di Alam Sunyi ini adalah seorang tokoh 

sakti. 

***

2


"Eyang...!" panggil Pendekar Slebor. 

"Kau sudah melihat bagaimana keadaan teman-

temanmu itu, bukan?" tanya Eyang Sasongko Murti. 

"Termasuk gadis berpakaian dari kulit harimau, 

bukan? Bagaimana? Enak juga melihat tubuhnya?" 

Andika tertawa dalam hati, namun wajahnya 

terlihat tegang. 

"Sari membutuhkan pertolongan, Eyang. Kita harus 

menolongnya...," gumam Pendekar Slebor. 

"Kau betul," sahut Eyang Sasongko Murti, pendek. 

"Keluarkan aku dari sini!" 

Eyang Sasongko Murti melotot. 

"Enaknya kau ngomong! Aku saja bingung untuk 

keluar dari sini! Tetapi..., Andika...." 

"Eyang tahu namaku?" tanya Andika heran. 

Eyang Sasongko Murti terbahak-bahak lebar. 

Suaranya menggema keras. 

"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Namamu Andika, 

kau berjuluk Pendekar Slebor. Kau banyak disanjung 

orang-orang dari golongan putih. Dan kau dibenci 

orang-orang golongan hitam. Kau juga memiliki 

kemampuan tinggi, karena kau adalah buyut dari 

Pendekar Lembuh Kutukan. Cuma, sayang. Kau 

terkadang bego!" sahut Eyang Sasongko Murti 

seenaknya. 

Andika memaki-maki dalam hati. Kalau tak ingat 

kesaktian orang tua di depannya, ingin rasanya 

Andika mencabuti jenggotnya satu persatu. Kata 

terakhir yang diucapkan Eyang Sasongko Murti

memang membuatnya kesal bukan main. 

"Sudahlah, Eyang.... Bagaimana kita harus keluar 

sekarang?" potong Andika jemu. 

"Pertama, kita akan menyelamatkan gadis. Yang 

bernama Sari," jelas Eyang Sasongko Murti. 

"Bagaimana caranya?" kejar Andika. 

"Itu urusanku!" sahut Eyang Sasongko Murti, 

memotong. "Kedua, aku meminta bantuanmu, 

Andika." 

"Dalam soal apa?" tanya Pendekar Slebor. 

"Aku membutuhkan darahmu." 

Andika serentak berdiri dengan mata mendelik. 

"Enak saja! Nyamuk yang menghisap darahku saja, ku 

pencet sampai gepeng! Dan kau mau minta darahku!" 

sentak Pendekar Slebor. 

"Apakah kau tidak ingin keluar dari sini?" balas 

Eyang Sasongko Murti, galak. 

"Kalau pakai darah, tidak usah saja. Biar kita 

berdua berada di sini sampai mampus!" rutuk Andika. 

"Bagaimana dengan Sari? Bagaimana dengan 

Prabu Adiwarman yang sedang bersembunyi di Jurang 

Setan? Dan, apakah kau akan membiarkan Raja 

Akherat menguasai dunia persilatan dengan mem-

bunuhi para tokoh!" sergah Eyang Sasongko Murti 

keras. 

Agaknya kata-kata itu menyadarkan Pendekar 

Slebor. Memang, masih banyaknya tanggung jawab 

yang harus diembannya dan belum dituntaskan. 

Sebagai pewaris terakhir Pendekar Lembah Kutukan, 

pemuda berpakaian hijau-hijau dengan kain bercorak 

catur tersampir di bahu, memang telah mengemban 

tugas sangat berat. Yang terkadang juga meng-

haruskannya bertaruh nyawa! 

Kini Pendekar Slebor pun memahami kata-kata

Eyang Sasongko Murti, meskipun hatinya masih 

mendongkol. 

"Baik! Kalau tidak banyak darahku yang diperlukan 

aku akan memberinya!" sahut Pendekar Slebor, 

mengalah. 

"Bagus!" sambut Eyang Sasongko Murti, 

kegirangan. 

"Tetapi, mengapa harus memakai darahku, sih! 

Mengapa bukan darahmu saja?" 

Kali ini Eyang Sasongko Murti mendelik. "Bodoh! 

Setelah seratus tahun hidup seorang diri di Alam 

Sunyi ini, dengan hanya memakan dedaunan saja, 

seluruh darahku sudah beku begitu saja." 

"Membeku?" 

Andika mengerutkan keningnya. 

"Ya! Membeku!" 

"Bagaimana kau bisa hidup dengan darah yang 

sudah membeku begitu?" ejek Andika sinis. 

"Mana aku tahu?! Itu kan urusan Yang Maha 

Kuasa!" 

"Ha... ha... ha...!" 

Andika mendadak terbahak-bahak. 

"Kenapa tertawa, hah?!" bentak Eyang Sasongko 

Murti. 

"Jangan-jangan itu hanya alasanmu saja, sehingga 

kau menolak darahmu dikorbankan?" 

Eyang Sasongko Murti menggeram marah. Lalu 

tangan kirinya diangkat, dan digigit hingga 

menimbulkan luka cukup besar. 

"Lihat sendiri, Anak Bego! Apakah ada darah yang 

menetes?" ujar Eyang Sasongko Murti, jengkel. 

Kening Andika berkerut. Apa yang dikatakan 

manusia aneh itu memang benar. Karena Andika 

tidak melihat ada setetes darah pun yang keluar. Kini

hatinya yakin, kalau darah laki-laki tua itu memang 

sudah membeku. Tetapi lagi-lagi yang membuatnya 

heran, bagaimana Eyang Sasongko Murti masih bisa 

hidup tanpa darah yang mengalir pada tubuhnya? 

"Kau percaya sekarang, hah?! Puas?!" cecar Eyang 

Sasongko Murti mangkel. "Kalaupun darahku belum 

membeku, tak dapat pula kugunakan sebagai 

'penerang' untuk keluar dari sini. Nah, kau puas 

hah?!" 

Andika nyengit-nyengir kuda. Baru tahu rasa dia. 

Malu juga hatinya melihat kenyataan ini. 

"Jangan cepat marah. Nanti kau cepat tua. Eh! 

Bukankah kau sudah tua, ya. He he he.... Aku lupa!" 

Andika malah mengajak berseloroh. 

Eyang Sasongko Murti mendengus jengkel melihat 

tingkah Pendekar Slebor. 

"Sekarang, dengarkan penjelasanku. Dulu, aku 

adalah seorang pemuda yang banyak belajar ilmu. 

Baik ilmu siIat, maupun ilmu batin. Karena terlalu 

banyak yang kupelajari, aku tidak tahu kalau telah 

menganut ilmu sesat yang mengerikan," papar Eyang 

Sasongko Murti. 

"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pendekar Slebor. 

Kali ini Pendekar Slebor kelihatan lebih sungguh-

sungguh. 

"Diam dulu! Aku tidak suka dipotong begitu!" 

dengus Eyang Sasongko Murti. "Semula..., aku tidak 

tahu kalau ilmu yang kupelajari dari Hutan Waringin 

adalah ilmu sesat, ilmu pemuja setan. Hingga tanpa 

sadar, aku pun terjerat dalam lingkaran bangsa 

siluman yang kejam dan mengerikan. Aku baru 

tersadar, ketika suatu pagi hendak menolong seorang 

wanita yang hendak melahirkan, tetapi tak seorang 

pun yang berada di dekatnya. Dalam hatiku, aku

berniat menolongnya. Namun, alangkah terkejutnya 

aku, ketika tanpa sadar tanganku mengepruk kepala 

wanita itu hingga tewas. Dengan ganas perutnya 

kucabik-cabik, lalu bayi merah yang masih hidup 

kukeluarkan. Bayi merah yang masih berlumur darah 

itu kubawa ke Hutan Waringin. Dan tanpa sadar 

jantungnya kuambil dan kutelan." 

Eyang Sasongko Murti terdiam. Pandangannya 

melayang ke masa seratus tahun yang silam. 

"Saat itulah aku menyadari, kalau ilmu yang 

kuanut ternyata ilmu sesat. Baru pula kusadari, kalau 

guruku selama ini ternyata bangsa siluman. Aku pun 

memberontak dari mereka. Namun, siluman-siluman 

itu sangat kuat dan sakti. Aku pun dapat tertangkap. 

Akan tetapi, suatu malam, aku berhasil melarikan diri 

melalui penjara yang kugali. Hanya saja yang 

mengherankan, aku tiba-tiba muncul di Alam Sunyi 

ini, setelah melalui jalan yang sangat panjang sekali. 

Saat itulah aku menyadari sesuatu, kalau sebenarnya 

mereka mengetahui rencanaku melarikan diri, namun 

membiarkan saja," lanjut Eyang Sasongko Murti. 

"Jadi..., Alam Sunyi ini adalah penjara milik bangsa 

siluman?" tanya Andika terkejut. 

"Kau benar, Andika," sahut Eyang Sasongko Murti 

lirih. 

"Tetapi, mengapa hanya kau saja yang masih 

hidup di sini?" tanya Andika dengan kening berkerut. 

Eyang Sasongko Murti tersenyum. 

"Karena, memang akulah satu-satunya penghuni 

penjara ini! Akulah satu-satunya yang menganut ilmu 

dari Hutan Waringin yang memberontak dari para 

siluman itu!" papar laki-laki tua aneh itu. 

Andika manggut-manggut mengerti. 

"Lalu apa hubungannya denganku? Dan, mengapa

teganya kau membawaku ke sini?" cecar Pendekar 

Slebor. 

"Selama bertahun-tahun kulewati hidupku di sini, 

dngan memakan dedaunan belaka. Dan bertahun-

tahun aku menanti seseorang yang datang ke sini, 

hingga kulihat kau sedang merangkak melalui lorong 

rahasia yang terletak tak jauh dari Kerajaan Pakuan. 

Saat itu pula kulihat sebuah sinar keemasan yang 

sangat aneh sekali di kepalamu. Seolah sinar itu 

sebagai isyarat bagiku, bahwa kaulah yang akan bisa 

membebaskanku dari sini. Lalu dengan bantuan 

tenaga dan pandangan batinku, kugiring kau ke sini. 

Bahkan kau tidak akan pernah menemukan jalan 

tembus menuju istal kuda di belakang Keraton 

Pakuan," jelas Eyang Sasongko Murti. 

"Jahat!" 

"Kau lihat pohon besar itu, Andika?" 

Eyang Sasongko Murti tidak menghiraukan 

gerutuan Andika. 

"Sejak seratus tahun yang lalu, aku berada di sini. 

Dan pohon itu tetap tumbuh rindang hingga 

sekarang," lanjut laki-laki tua aneh itu. 

Andika mendesah panjang. Kini bisa disadari 

betapa tersiksanya orang tua yang berusia ratusan 

tahun ini disini. Yah! Sedikit banyak, Andika akan 

membantunya. Juga, berharap dapat keluar dari Alam 

Sunyi yang mengerikan ini! 

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya 

Pendekar Slebor. 

Eyang Sasongko Murti tak segera menjawab. 

***

Sementara itu di Keraton Pakuan, Sari yang masih 

dalam keadaan pingsan, sudah disalinkan baju oleh 

empat gadis manis yang diculik Raja Akherat. Gadis-

gadis yang dulu diculik Raja Akherat memang sudah 

seperti terbuang, setelah puas dan bosan digumuli 

tokoh sesat itu. Karena, kini Raja Akherat men-

dapatkan banyak gadis cantik yang berhasil diculik 

dan dapat digaulinya kapan saja mau. Apalagi 

sekarang, memang cukup lama juga Raja Akherat 

menghendaki Sari. Dan malam ini, segalanya yang 

telah lama terpendam akan dituntaskan! 

Keempat gadis manis itu mengangkat kepala 

begitu mendengar suara tawa Raja Akherat yang 

sangat keras. Mereka segera minggir, duduk ber-

simpuh sambil tetap menundukkan kepala. 

Raja Akherat mendekati Sari. Tatapannya berkilat-

kilat penuh birahi. 

"Ha ha ha.... Kini akhirnya kau menjadi milikku, 

Manis.... Kau tak akan bisa menolak lagi...." 

Lalu dengan buasnya, Raja Akherat menciumi 

wajah dan sekujur tubuh Sari. 

Keempat gadis yang bersimpuh tadi bermaksud 

hendak menyingkir. Mereka muak melihat perbuatan 

Raja Akherat, sekaligus kasihan melihat nasib Sari. 

Tetapi Raja Akherat yang melihat tindakan mereka 

segera mengangkat wajah. 

"Kalian jangan pergi! Tontonlah pemandangan 

yang mengasyikkan ini! Bila melanggar, berarti kalian 

ingin mati!" ujar Raja Akherat sambil membuka baju-

nya. Tubuhnya yang penuh bulu tampak terpampang 

sekarang. 

Lalu dengan buasnya, Raja Akherat kembali men-

ciumi sekujur tubuh Sari. Dan perlahan-lahan namun 

pasti, tangannya merobek pakaian di bagian dada.

Breeet! 

Seketika terlihat bagian dada Sari. Keempat gadis 

itu yang terpaksa mengangkat kepala karena takut 

Raja Akherat marah, hanya bisa menghela napas 

dalam-dalam. 

"Ha ha ha.... Montok, bagus, indah! Tidak sia-sia 

aku mengincarmu, Manis!" 

Lalu dengan gerakan kasar dan tatapan berkilat-

kilat, laki-laki ini bersiap menerkam dada yang 

montok. Tetapi, mendadak saja gerakannya terhenti. 

Sudah tentu hal ini mengejutkan keempat gadis 

yang sejak tadi sudah tegang. Mengapa Raja Akherat 

menghentikan perbuatannya? Namun diam-diam, 

mereka merasa bersyukur karena kehancuran tidak 

jadi menerpa diri gadis itu. 

Raja Akherat mendadak saja berdiri. Ada sesuatu 

yang merasuki otaknya. Dan tiba-tiba saja, nafsunya 

tak berselera pada gadis itu. Segera pakaiannya 

dikenakan dengan wajah geram, namun penuh 

keheranan. 

"Rapikan pakaian gadis itu! Tunggu sampai sadar 

dari pingsannya!" ujar Raja Akherat sambil melangkah 

keluar. 

Keempat gadis itu pun segera merapikan pakaian 

Sari. Meskipun telah menjadi budak nafsu Raja 

Akherat, mereka tidak iri dengan keberuntungan 

gadis itu. Bahkan mereka gembira, karena gadis yang 

pingsan ini tidak mengalami hal yang amat 

menggiriskan. 

Begitu tiba di luar, Raja Akherat menuang tuaknya 

ke mulut. Terdengar bunyi tegukan yang keras. Dalam 

hati, laki-laki ini merasa aneh. Karena, keinginannya 

untuk menggumuli tubuh gadis itu mendadak saja 

surut. Padahal, birahinya sudah begitu bergolak.

Bahkan hatinya yakin, saat itu seluruh gairahnya akan 

dituntaskannya. Tetapi, mengapa mendadak saja 

nafsunya surut? 

Karena kesalnya tidak jadi menyalurkan birahi, 

Raja Akherat mengangkat kedua tangan ke depan, 

lalu menyentaknya kuat-kuat. 

Werrr...! 

Seketika keluar angin dahsyat bergulung-gulung 

menyambar dan menerbangkan mayat-mayat yang 

bergeletakkan di sana. Jauh terpental dari keraton ini. 

"Bajingan! Mengapa aku jadi tidak menginginkan 

gadis itu, hah?!" maki Raja Akherat tidak mengerti. 

*** 

"Secepatnya kita harus keluar dari sini. Karena.., 

tepat seratus tahun ini, bangsa siluman akan datang 

ke sini untuk mencabut nyawaku! Apalagi, bila 

mereka mengetahui kalau aku telah mendapat 

seseorang berdarah suci yang dapat mengeluarkanku 

dari sini," ujar Eyang Sasongko Murti panjang lebar, 

setelah cukup lama terdiam. 

"Gusti! Kalau begitu, kita harus cepat, Eyang!" 

sentak Andika. 

"Bersabarlah, Andika.... Bahaya apa pun, kau tetap 

akan kujaga. Sekarang yang terpenting adalah, 

menolong gadis berbaju dari kulit harimau itu lebih 

dulu," ujar Eyang Sasongko Murti, bijaksana. 

Kali ini kening Andika berkerut lagi. Edan ini orang! 

Bagaimana caranya menolong Sari kalau kini mereka 

terperangkap di sini? Tetapi Andika kemudian sadar, 

kalau tokoh aneh ini memiliki ilmu batin yang hebat. 

Apalagi tadi diperlihatkan padanya, bagaimana 

keadaan Kerajaan Pakuan. Dan juga, Sari.

Andika menggaruk-garuk kepalanya. 

"Kalau begitu, lakukanlah, Eyang." 

"Sudah," sahut Eyang Sasongko Murti, singkat. 

"Sudah?" ulang Andika dengan mata melotot. 

"Ya, sudah kulakukan. Gadis itu aman-aman saja. 

Raja Akherat sudah kubuat tak berselera menyentuh-

nya!" papar Eyang Sasongko Murti. 

"Kapan kau melakukannya, Eyang?" cecar 

Pendekar Slebor. 

"Edan! Mengapa di dunia luar kau disegani orang-

orang rimba persilatan, tapi di sini ternyata begitu 

dungu?" gerutu Eyang Sasongko Murti. 

Andika nyengir saja. Sungguh, begitu banyak 

kejadian yang tak pernah diketahuinya. Seperti yang 

dialaminya sekarang ini. Pendekar Slebor yakin, 

Eyang Sasongko Murti tidak berbohong. Paling tidak, 

sudah menjaga Sari dari nafsu birahi Raja Akherat 

yang mengerikan. Entah bagaimana caranya, yang 

pasti hati Pendekar Slebor sedikit tenang. 

"Sekarang, kita akan bersiap-siap melarikan diri 

dari Alam Sunyi ini. Yah..., dengan darahmu yang 

belum pernah berhubungan badan dengan seorang 

wanita, akan menjadi penerang jalan untuk kita 

keluar dari tempat ini. Andika, ulurkan tangan 

kirimu...," ujar Eyang Sasonmgko Murti. 

Dengan keberanian dan keikhlasan yang dalam, 

Andika perlahan-lahan mengangsurkan tangan 

kirinya. Sementara Eyang Sasongko Murti merobek 

pakaiannya yang telah compang-camping, sehingga 

lebih menampakkan bagian tubuhnya yang penuh 

keriput. 

Dengan cepat, laki-laki tua aneh ini menotok urat 

di bawah lengan Pendekar Slebor, agar darah yang 

mengalir nanti terhenti. Lalu dengan ujung kukunya

yang kumal, digoresnya lengan Andika perlahan-

lahan. 

Andika tak merasakan perih. Bahkan merasa kalau 

kuku itu hanya berada di atas kulitnya saja. Meskipun 

halinya bergidik melihat betapa kotornya ujung kuku 

itu. 

Lalu dengan cepat Eyang Sasongko Murti 

menadahi darah yang keluar dengan kain kumal tadi. 

Setelah dua belas tetes, seperti gerakan pertama 

tadi, laki-laki tua ini menggores lagi lengan kiri Andika. 

Anehnya, luka yang menganga tadi itu terkatup 

kembali! 

Dengan gerakan cepat Eyang Sasongko Murti 

membuka totokan pada Andika. Untuk selanjutnya, 

Andika hanya memperhatikan saja, ketika Eyang 

Sasongko Murti membuntal darah dengan kain kumal 

tadi. Lalu digenggamnya kuat-kuat kain itu, 

sementara mulutnya komat-kamit. Matanya yang 

hanya segaris semakin menyipit saja. Rambutnya 

yang acak-acakan kelihatan semakin menambah 

keseraman sosok wajahnya. 

Andika yang memperhatikan jadi mengerutkan 

keningnya. 

"Kau sebenarnya tidur atau baca mantera, ya?" 

usik Pendekar Slebor. 

"Diam!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti membetak. 

"Eh, copot!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa. 

"Bagaimana, Eyang? Apakah kita bisa segera keluar 

dari sini?" 

Eyang Sasongko Murti menatap ke langit yang 

gelap. Tiba-tiba kepalanya menggeleng-geleng. 

"Andika..., bersiap-siaplah.... Tamu tak diundang 

sudah datang sekarang?" ujar Eyang Sasongko Murti 

dengan suara tegang.

"Hei, apa maksudmu?" seru Andika yang ikut-

ikutan menjadi tegang. 

***

3


Di Alam Sunyi, keadaan semakin mengerikan saja. 

Suasana yang dingin kini semakin menggigit. Andika 

melihat Eyang Sasongko Murti menegak. Sementara 

darahnya yang tadi ditampung di kain compang-

camping kini diikat di pinggangnya. Lalu perlahan-

lahan tubuh Eyang Sasongko Murti berdiri. 

"Andika..., bersiaplah.... Kita kedatangan tamu 

yang tak diundang...," ujar Eyang Sasongko Murti lagi 

dengan suara tenang. Ketenangannya pun terpancar 

dari wajahnya yang sukar dilukiskan. 

Andika pun ikut-ikutan berdiri. Matanya 

memandang ke sekeliling dengan mata kecut. Tak 

ada yang berubah, kecuali cuaca yang mendadak 

bertambah dingin, dan menimbulkan rasa ngeri yang 

menjadi-jadi. Kalau tadi hatinya sudah ngeri berada di 

tempat yang sepi dan seperti mati ini, kini lebih ngeri 

lagi melihat perubahan yang terjadi begitu tiba-tiba! 

"Eyang..., apakah siluman-siluman itu sudah 

datang?" tanya Pendekar Slebor sambil masih mem-

perhatikan sekelilingnya. 

"Bersiaplah, Andika...." 

Wesss...! 

Mendadak saja angin berhembus keras, dengan 

suara menderu-deru. Beberapa pohon yang tumbuh 

di sana pun tumbang. Daun-daunnya berguguran 

beterbangan. Andika cepat mengerahkan tenaga 

sakti warisan Pendekar Slebor yang dialirkan pada 

kaki dan kekuatan tubuhnya. Dia berusaha bertahan 

untuk menjaga agar tidak terhempas angin keras.

Sementara itu Pendekar Slebor pun memandang 

heran pada Eyang Sasongko Murti yang kelihatan 

tetap tenang. Bahkan tidak bergeming sedikit pun. 

Padahal angin tampak bergulung-gulung keras! 

Rambutnya yang acak-acakan semakin tak karuan. 

Pakaiannya yang compang-camping pun berkibaran 

seperti ingin tanggal satu persatu. 

"Andika..., ikuti setiap gerakanku...," ujar Eyang 

Sasongko Murti tiba-tiba. Sementara matanya 

menatap kejauhan, ke arah bukit-bukit yang tinggi itu. 

"Apa maksudmu, Eyang?!" tanya Andika setengah 

berteriak untuk mengalahkan suara deru angin yang 

keras menderu-deru. 

Mata Pendekar Slebor ikut-ikutan menatap ke arah 

perbukitan. Tidak ada yang aneh menurutnya. Bukit-

bukit itu tetap berdiri tegar, bagai menyimpan teka-

teki yang dalam. 

"Setiap kali aku bergerak, kau harus mengikutinya. 

Usahakan, agar kau bisa melakukannya sama dengan 

gerakanku...!" sahut Eyang Sasongko Murti, juga 

setengah berteriak. 

"Bagaimana kalau tidak sama, Eyang?" tanya 

Andika lagi. 

"Kau akan merasakan sendiri akibatnya...." 

"Eyang..., aku semakin tidak mengerti. Kau tidak 

bisa menyuruhku begitu saja? Memangnya aku 

muridmu yang sudah tahu siap langkahmu?" gerutu 

Andika. 

"Tidak ada lagi waktu untuk berdebat! Seperti kata 

ku tadi, kau harus berusaha untuk menyamakan 

gerakanmu dengan gerakanku, Andika!" 

"Bagaimana...?" 

"Ikuti langkahku, Andika!" ujar Eyang Sasongko 

Murti tiba-tiba, memotong kata-kata Andika.

Lalu tubuh laki-laki tua itu bergerak ke kiri dua 

tindak. Kemudian tubuhnya membungkuk dengan 

kaki kanan di tekuk, dan kedua tangan berada di 

dalam. 

Serentak Andika berbuat yang sama meskipun 

tidak mengerti mengapa harus berbuat seperti itu. 

"Jangan bicara!" ujar Eyang Sasongko Murti lagi. 

Andika hanya mendengus. Namun mendadak 

saja.... 

Blarrr...! 

Telinga Andika menangkap ledakan keras. Tampak 

kedua batu besar yang tadi mereka duduki meledak. 

Tidak terlihat suatu serangan apa pun di mata Andika. 

Hatinya heran, apa yang telah menerpa kedua batu 

besar itu? 

Tetapi kemudian, mata Pendekar Slebor pun 

melihat sesuatu yang aneh. Tampak sebuah angin 

bergulung keras, lalu berhenti di depan mereka yang 

masih dalam keadaan membungkuk dengan kedua 

tangan di depan dada. 

Wing...! Wing...! 

Terdengar suara desingan yang memekakkan 

telinga. Andika bermaksud menutup kedua telinganya 

dengan tangan, tetapi teringat akan perintah Eyang 

Sasangko Murti agar selalu mengikuti setiap 

gerakannya. 

"Seratus tahun lamanya kau kubiarkan hidup di 

sini, Sasongko! Tak kusangka, kau masih mampu 

bertahan hidup!" 

Tiba-tiba terdengar suara dari balik gulungan angin 

yang berdesir-desir di hadapan mereka. 

"Kini, setelah seratus tahun..., aku datang untuk 

menjemput nyawamu! Dan akan kujadikan kau salah 

seorang siluman penjaga Hutan Waringin!" lanjut

suara di balik angin. 

Sebelum Eyang Sasongko Murti menyahuti, 

mendadak.... 

"Hei, Siluman Kudis!" 

Andika sudah mendahului. Hatinya benar-benar 

jengkel karena jadi terlibat dalam masalah yang tidak 

di mengertinya. Yang dibayangkan saat ini adalah 

keadaan Sari dan Prabu Adiwarman yang menunggu 

di Jurang Setan. 

"Lebih baik kau pergi sebelum kuhancurkan 

sampai tunggang langgang!" dengus Pendekar Slebor. 

"Ha... ha... ha...!" 

Terdengar suara terbahak-bahak dari desingan 

putaran angin yang keras itu. 

"Sasongko! Rupanya kau sudah mendapatkan 

jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Hanya sayang, 

tumbalmu justru akan mampus hari ini juga!" kata 

suara itu. 

Eyang Sasongko Murti mendesah panjang, di 

samping jengkel karena Andika tidak menuruti kata-

katanya. 

"Siluman Hutan Waringin!" Urusan ini adalah 

urusan kau dan aku! Jangan libatkan pemuda itu!" 

sahut Eyang Sasongko Murti, mantap. 

"Dia akan menjadi jalan keluar untukmu, 

Sasongko. Berarti dia pun harus mampus!" 

Mendadak saja pusaran angin yang menggulung-

gulung menerjang ke arah mereka. Suaranya 

memekakkan telinga. Bahkan gulungan angin itu 

mampu menerbang kan bukit-bukit yang banyak 

berdiri tegar di Alam Sunyi. 

"Andika! Ikuti langkahku!" ujar Eyang Sasongko 

Murti berteriak. 

Laki-laki tua itu cepat melompat lima tindak

samping kanan. Kalau tadi kedua tangannya berada 

depan dada, kini mengibas ke arah pusaran angin. 

"Pusatkan tenaga dalammu di pusar. Lontarkan 

dengan hembusan napas! Mulai!" ujar Eyang 

Sasongko Murti. 

Bersamaan dengan itu, Andika pun menuruti 

perintah Eyang Sasongko Murti, walaupun tidak 

dimengerti sama sekali. Namun karena kecerdikan 

otaknya, Pendekar Slebor mampu mengikuti dan 

menyamakan gerakan Eyang Sasongko Murti. 

Werrr...! Werrr...! 

Dua rangkum tenaga dalam yang kuat keluar dari 

tangan Eyang Sasongko Murti dan Andika. 

Akan tetapi pusaran angin itu terus saja 

mengguIung, tanpa berhenti. Bahkan terasa semakin 

dahsyat, dengan suara bertambah keras. 

"Tahan napasmu sekuat tenaga! Jangan bergeser 

dari tempatmu! Maka, kau akan selamat!" terdengar 

lagi perintah Eyang Sasongko Murti. 

Lagi-lagi Andika melakukan perintah. Pusaran 

angin yang kuat itu memasuki tubuh mereka, 

mencoba mengangkat dan menerbangkan. Tetapi 

keduanya tetap tak bergeming. Hanya saja, Andika 

merasakan wajahnya sakit, bagai ditampar tangan 

raksasa yang besar. Namun semua itu ditahannya 

sekuat tenaga. Karena dia juga tidak ingin melanggar 

kata-kata Eyang Sasongko Murti. 

Pusaran angin terus berusaha menumbangkan. 

Dan sekuat tenaga, keduanya bertahan. Terutama 

yang dilakukan Andika. 

"Kita akan keluar dari pusaran angin ini!" teriak 

Eyang Sasongko Murti di antara suara pusaran angin 

yang keras. "Kali ini, pusatkan tenaga dalammu di 

dada. Tarik napas tiga kali ke perut. Lalu, melompat.

Ingat! Pada hitungan ketiga. Satu! Dua! Tigaaa!" 

Serentak tubuh mereka melompat keluar dari 

pusaran angin dalam keadaan merunduk, dengan 

sebelah tangan kanan menyentuh tanah. 

"Ha... ha... ha...!" 

Suara dalam pusaran angin itu terbahak-bahak 

lagi. 

"Kau memang pandai menjaga 'jalan keluar'mu, 

Sasongko! Hanya sayang, kau tak akan bisa 

melindunginya terus menerus!" kata suara itu lagi. 

"Seperti sudah kukatakan tadi, ini adalah 

urusanmu denganku! Jangan bawa-bawa dia!" sahut 

Eyang Sasongko Murti. 

"Ha... ha... ha...! Dengan begitu, kau akan 

mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, bukan? 

'Jalan keluar'mu pun harus mampus, Sasongko!" 

balas suara itu. 

"Kalau kau berjanji untuk membiarkannya hidup 

kita akan bertarung habis-habisan!" 

"Ha... ha... ha...! Kau terlalu bermimpi untuk dapat 

mengalahkan bangsa siluman, Sasongko! Meskipun 

kau banyak mendapatkan ajian sakti dari bangsa 

siluman namun tak akan bisa menghancurkan aku! 

Gurumu sendiri!" 

"Berjanjilah!" 

"Berkhianat adalah kerja bangsa siluman! 

Menghancurkan dunia adalah kegemaran bangsa 

siluman. Dan memusnahkan orang-orang seperti itu, 

adalah tujuan bangsa siluman! Tak akan kubiarkan 

kau dan 'jalan keluar'mu berhasil meloloskan diri!" 

Dan mendadak saja pusaran angin berhenti. Lalu 

perlahan-lahan, keluar asap putih tebal. Dan asap itu 

terus membubung, setinggi pohon kelapa. Ketika 

asap putih itu menghilang, terlihatlah sosok raksasa

mengerikan. Wajahnya bulat lonjong, dengan kedua 

telinga lebar berbentuk kerucut. Di bibirnya yang 

panjang, terdapat dua buah caling mengkilat. Sekujur 

tubuhnya ditumbuhi bulu yang mengerikan. Raksasa 

itu mengenakan sebuah cawat. Yang lebih 

mengerikan lagi, matanya yang hanya sebuah dan 

terletak tepat di kening, di atas hidung yang panjang 

seperti badi! 

Andika tercekat melihatnya. 

"Gila! Inikah bangsa siluman yang menjadi guru 

dari Eyang Sasongko Murti?" tanya Pendekar Slebor 

dalam hati. 

Lalu di depan mata Pendekar Slebor, terjadilah 

pertarungan dua raksasa yang sangat aneh. Setiap 

kali mereka bergerak, terdengar goncangan sangat 

hebat. Dan akibatnya, membuat perut Pendekar 

Slebor menjadi mual. 

Andika berusaha menahan agar tubuhnya tidak 

berpindah tempat. Dan dia juga berusaha agar 

kepalanya tidak terangkat, seperti yang diperintahkan 

Eyang Sasongko Murti. 

Biar bagaimanapun juga, yang ada di hadapan 

Pendekar Slebor ini adalah dua makhluk dari alam 

berbeda, namun merupakan murid dan guru yang 

sedang bertarung. 

Pertarungan berlangsung sengit. Kedua raksasa itu 

selain bertukar jurus, juga mengeluarkan suara 

memekakkan telinga. Bukan hanya pepohonan yang 

tumbang, tetapi perbukitan yang ada di sana pun 

menggugurkan tanahnya, hingga beterbangan. 

Diam-diam sambil menundukkan kepala, Andika 

mempergunakan tenaga batin untuk menghitung 

jurus yang telah berlalu. Namun sungguh tidak bisa 

dimengerti. Karena ilmu yang diperlihatkan kedua

raksasa mengerikan itu adalah ilmu bangsa siluman. 

Sehingga, sangat sulit bagi Andika untuk menghitung 

jumlah jurus yang telah digelar. 

Untuk mengetahui aba-aba yang akan dilakukan 

Eyang Sasongko Murti, Andika membuka kedua 

telinganya lebar-lebar. Tetapi seketika pendengaran-

nya ditutup dengan tenaga batinnya, karena gendang 

telinganya bagai hendak pecah mendengar seruan 

dan serangan yang ganas. 

Tiba-tiba Pendekar Slebor melihat tubuh Eyang 

Sasongko Murti yang menjelma menjadi raksasa 

terhuyung ke belakang, karena terkena hantaman tak 

terlihat yang dilakukan Siluman Hutan Waringin. 

Suaranya begitu keras sekali ketika jatuh ke tanah, 

menabrak sebuah pohon yang langsung tercabut, 

karena tak kuat menahan berat tubuh Eyang 

Sasongko Murti. 

Andika perlahan-lahan mengangkat kepalanya 

juga. Toh pikirnya, yang penting jangan sampai 

melihat mata satu dari Siluman Hutan Waringin. 

Tampak kini Siluman Hutan Waringin sedang 

mengejar tubuh Eyang Sasongko Murti dengan ganas. 

Sebelah kakinya siap menginjak remuk kepala tokoh 

aneh yang menjelma menjadi raksasa itu. 

Melihat hal itu, Andika bermaksud membantunya. 

Namun sekali lagi, dia teringat kata-kata Eyang 

Sasongko Murti, kalau tidak boleh berpindah tempat. 

Akan tetapi, hati kecilnya tidak menginginkan melihat 

Eyang Sasongko Murti harus mampus diinjak siluman 

mengerikan itu! 

"Hiaaa...!" 

Dengan mengerahkan tenaga sakti, mendadak 

saja Andika melesat ke atas, siap menghantam perut 

Siluman Hutan Waringin. Namun....

Wesss...! 

Desss...! 

"Aaakh...!" 

Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bagai 

seringan kapas, terhempas hingga ambruk ke tanah 

disertai keluhan tertahan. Andika merasakan 

dadanya bagai jebol. Dan dari mulutnya termuntah 

darah berkali-kali, sebelum pingsan. 

"Bodoh! Sudah kubilang jangan bergerak dari 

tempatmu!" dengus Eyang Sasongko Murti dengan 

suara keras menggelegar. 

Pada saat yang sama Eyang Sasongko Murti harus 

menangkis injakan kaki Siluman Hutan Waringin yang 

siap menghancurkan kepala dengan tangan. Lalu 

dicobanya untuk mendorong. Namun tenaga bangsa 

siluman sudah tentu sangat sulit ditandingi, meskipun 

Eyang Sasongko Murti menguasai pula ajian-ajian 

aneh bangsa siluman. 

Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti 

menyambar kain yang berisikan tetesan darah 

Andika. Cepat dilemparkannya buntalan kain kecil itu 

ke arah Siluman Hutan Waringin. 

Wuuut! 

Plak! 

"Aduhhh...!" 

Mendadak saja, Siluman Hutan Waringin menjerit-

jerit kesakitan. Rupanya, dia tidak tahan mencium 

bau darah pemuda suci yang memang milik Pendekar 

Slebor. 

Ketika Siluman Hutan Waringin termundur 

beberapa langkah, kesempatan itu dipergunakan 

Eyang Sasongko Murti untuk menendang. Duk! 

Laki-laki aneh ini memang dapat menendang 

siluman itu. Karena, sedikit banyak Eyang Sasongko

Murti bisa menguasai ajian bangsa siluman. Dan 

dengan gerakan cepat, disambarnya buntalan kecil 

berisi tetesan darah Pendekar Slebor, yang herannya 

tidak menjadi kering. 

Ketika Siluman Hutan Waringin terjajar, dengan 

cepat Eyang Sasongko Murti menyambar tangan 

Pendekar Slebor. Tepat ketika tangan itu dipegang 

tubuh raksasanya menciut kembali, menjelma pada 

ukuran semula. 

Eyang Sasongko Murti langsung memanggul tubuh 

Pendekar Slebor yang masih dalam keadaan pingsan 

lalu melompat ke atas. Seketika tubuhnya meluncur 

keras ke tanah, menembus masuk ke dalamnya. 

Laki-laki tua itu terus berlari di dalam lorong yang 

dengan mudah ditemukannya. Diangkatnya kain 

berisi tetesan darah Andika. Dan seketika, matanya 

melihat sebuah sinar bagaikan cahaya penolong yang 

menunjukkan jalan. 

Sekuat tenaga, Eyang Sasongko Murti melarikan 

diri. Hatinya yakin, Siluman Hutan Waringin tidak 

akan berani mengejarnya, karena tetesan darah milik 

Andika lah yang menjadi penghalang. Namun dia juga 

yakin Siluman Hutan Waringin tidak akan pernah 

melepaskannya. 

Apa yang diduga memang benar. Siluman Hutan 

Waringin yang menjelma menjadi raksasa tampak 

mengamuk dengan sengit. Tangannya menampar 

pepohonan yang tumbuh di sana, hingga tercabut 

sampai ke akar-akarnya. Lalu kakinya menendang 

perbukitan yang langsung ambrol dan menimbulkan 

suara keras. 

"Sasongko!" seru Siluman Hutan Waringin 

bergemuruh. "Kau tidak akan bisa melarikan diri dari 

Alam Sunyi ini! Tempatmu di sini. Dan kau harus

mampus sini, sebagai peringatan bahwa inilah akhir 

dari hidup orang yang berani mengkhianati bangsa 

siluman!" 

Lalu mendadak saja, tubuh yang besar itu 

menjelma menjadi pusaran angin kuat. Seperti 

datangnya yang tidak ketahuan tadi, menghilangnya 

pun tidak ketahuan pula. Entah, ke mana perginya! 

***

4


Di Jurang Setan, Prabu Adiwarman tengah menerima 

kedatangan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 

Labuan. Banyak sekali yang mereka telah bicarakan. 

Sambil berbincang-bincang, mereka juga menunggu 

kedatangan yang lainnya. Meskipun, di hati mereka 

sedikit cemas. Karena, sudah dua hari ini belum juga 

ada kabar berita. 

"Prabu..., izinkanlah hamba untuk melihat keadaan 

Keraton Pakuan. Menurut hemat hamba, telah terjadi 

sesuatu pada saudara-saudara hamba...," kata Tirose 

senapati dari Kerajaan Labuan. 

Prabu Adiwarman mendesah pendek. Sebenarnya 

ia pun memikirkan soal itu. Mengapa Pendekar Slebor 

belum datang juga? Padahal, Prabu Adiwarman 

sangat yakin akan kemampuan Pendekar Slebor. 

"Aku pun sebenarnya merisaukan soal itu. Tetapi 

biarlah kita tunggu sampai matahari tepat di atas 

kepala," sahut Prabu Adiwarman. 

Tiroseta tidak berani membantah. Rasa hormatnya 

pada Prabu Adiwarman penguasa Kerajaan Pakuan, 

sama besarnya dengan rasa hormatnya pada Prabu 

Srigiwarman, penguasa Kerajaan Labuan. Maka 

kepalanya pun hanya mengangguk. 

Sementara itu di atas Jurang Setan, Danji yang 

sejak tadi pagi menunggu kedatangan Pendekar 

Slebor bersama dua orang prajurit Kerajaan Labuan, 

diam-diam menghela napas panjang. Hatinya yakin, 

kalau telah terjadi sesuatu terhadap prajurit Kerajaan

Labuan. Bahkan mungkin, pada Pendekar Slebor 

sendiri! 

"Tunggal! Bagaimana bila kita secara sembunyi-

sembunyi melihat keadaan keraton Kerajaan 

Pakuan?" tanya Danji pada salah seorang prajurit 

Kerajaan Labuan yang bernama Tunggal. 

"Saudara Danji, keinginan itu ada di hatiku, dan 

Riaka. Tetapi kami tidak berani melakukannya, 

sebelum mendapat perintah dari Kakang Tiroseta. 

Juga, dari sang Mulia Prabu Adiwarman," sahut 

Tunggal, seorang laki-laki berwajah keras dengan 

tatapan tajam. Dari riak suaranya, Danji bisa melihat 

kalau prajurit itu pun berkeinginan untuk menyusul 

yang lain ke Keraton Kerajaan Pakuan. 

Tetapi, Danji pun mengerti. Sebagai seorang 

prajurit, Tunggal harus taat pada pimpinannya. 

"Kalau begitu, biarlah aku yang pergi ke sana," 

cetus Danji. 

"Saudara Danji, itu terlalu berbahaya," tukasnya. 

Danji menatap tajam pada Tunggal. 

"Tunggal, meskipun tidak menguasai ilmu olah 

kanugaran tinggi, tetapi aku tidak enak berpangku 

tangan saja di sini. Aku akan pergi secara diam-diam. 

Dan kau tidak perlu mengatakannya pada Prabu 

Adiwarman. Juga yang lainnya," tandas Danji, mantap. 

"Tetapi, Saudara Danji...." 

"Tidak apa-apa," potong Danji, disertai senyum 

manis. "Aku akan baik-baik saja. Setelah melihat 

keadaan Keraton, aku akan cepat kembali ke sini. 

Seperti kataku tadi, bila aku belum kembali, jangan 

beritahukan pada siapa pun juga...." 

Tunggal tidak bisa menghalangi niat Danji, meski-

pun sebenarnya ingin sekali ikut. 

"Baiklah kalau begitu," desah Tunggal.

"Bila lewat tengah hari aku belum kembali, barulah 

ceritakan soal kepergianku pada Prabu Adiwarman." 

tambah Danji. 

Tunggal mengangguk lagi. Sementara pengawal 

yang bernama Riaka, hanya memandang saja. 

Sebenarnya Riaka pun ingin ikut serta. Tetapi lagi-lagi, 

sebelum perintah ada, dia tidak berani melaku-

kannya. 

Mendadak saja sebelum Danji berlari meninggal-

kan tempat itu.... 

"Hauuum...!" 

Terdengar auman yang cukup keras yang disertai 

dengan munculnya si Belang dari jalan rahasia 

menuju dasar Jurang Setan. Dan binatang itu berjalan 

perlahan mendekati Danji. 

Danji yang semula takut pada harimau besar 

peliharaan Sari, kini telah bersikap biasa. Dia tahu, 

naluri hewan besar itu mengatakan bahwa dia adalah 

temannya. Lalu perlahan-lahan Danji membelai wajah 

si Belang yang menyeramkan. 

"Ada apa, Belang?" tanya Danji, lembut. 

Si Belang mengelus-eluskan wajahnya ke tubuh 

Danji. 

"Oh! Tidak, Belang. Kau tidak boleh ikut," kata 

Danji, yang seolah mengerti keinginan si Belang. 

Dan pemuda itu bisa melihat tatapan si Belang 

yang mendadak saja meredup. Hati Danji tercekat. 

Sungguh hewan ini sangat pandai bersikap. Entahlah, 

bagaimana pemiliknya mengajarkan binatang buas 

itu sedemikian rupa. 

"Belang..., aku mengerti betapa rindunya kau pada 

majikanmu. Tetapi, kedatanganku ke keraton sangat 

berbahaya. Dan aku tidak ingin ketahuan gara-gara 

kau," ujar Danji.


Si Belang kini menjilat-jilat tangan Danji. Sikapnya 

merajuk. Tubuhnya lantas direbahkan di sisi Danji. 

Danji mendesah pendek. 

"Belang..., kau berjagalah di sini. Dengan 

kehadiranmu, kekuatan kita akan bertambah, bila 

ada musuh yang menyerang. Ayolah, Belang.... 

Mengertilah...," bujuk Danji. 

Tetapi si Belang tetap menjilat-jilat tangan Danji. 

"Baiklah, kau boleh ikut. Tetapi, jangan sekali-

sekali menampakkan diri," kata Danji akhirnya. 

Kembali si Belang menjilat-jilat sebagai jawaban 

tetapi, kali ini dengan sinar mata cerah. Danji 

mendesah sekali lagi. 

"Heran, bagaimana pemilikmu bisa mengajarkan-

mu seperti itu, Belang?" tanya Danji, seraya berdiri. 

"Ayo, kita pergi sekarang!" 

Si Belang menegakkan tubuhnya, seolah 

menyuruh Danji menaiki punggungnya. Danji hanya 

tersenyum, lalu perlahan-perlahan dinaikinya 

punggung harimau besar itu. Dan.... 

Wuttt! 

Si Belang pun melesat dengan cepatnya, 

meninggalkan Tunggal dan Riaka yang hanya saling 

berpandangan. 

"Sebenarnya, aku ingin ikut dengan pemuda yang 

pemberani itu, Riaka...," kata Tunggal. 

"Begitu pula aku, Tunggal. Hanya saja, kita tidak 

bias melakukannya sebelum mendapatkan perintah 

dari Kakang Tiroseta," sahut Riaka. 

Lalu mereka pun melangkah ke rimbunnya semak 

untuk melihat-lihat keadaan. 

***

Di dasar Jurang Setan, kali ini tak ada yang suara. 

Putri Permata Delima yang baru saja memasak ayam 

hutan yang diburu Danji tadi, kini menghidangkannya 

untuk ayahandanya. 

"Ayahanda..., makanlah dulu.... Sejak semalam 

ayahanda tidak makan...," ujar gadis cantik ini dengan 

bibir tersenyum. 

Prabu Adiwarman pun tersenyum. Hatinya bangga 

melihat ketabahan putrinya yang dulu selalu di-

kelilingi kebahagiaan, kemewahan, dan kemudahan. 

Tetapi sekarang, di saat yang genting dan mencekam 

ini, bibirnya masih bisa mengulas senyum. 

Namun hal itu sebenarnya tidak terlalu meng-

herankan untuk Prabu Adiwarman. Karena putrinya; 

walaupun tumbuh dalam lingkungan keraton, tetapi 

sifatnya sangat merakyat. Dan hatinya bangga 

melihat Permata Delima yang tetap bersikap tabah, 

meskipun kini keadaan sangat memprihatinkan. 

Tiba-tiba saja Prabu Adiwarman merasakan lapar 

yang luar biasa. 

"Terima kasih, Permata...," kata Prabu Adiwarman 

sambil menyantap ayam hutan panggang itu. 

Putri Permata Delima pun menyediakan ayam 

panggang itu pada Tiroseta yang sedang mengangkat 

kepala, menatap sesuatu yang menarik perhatiannya 

di dinding Jurang Setan. 

"Kakang Tiroseta..., makanlah dulu...," ujar 

Permata Delima. 

"Oh! Terima kasih, Tuan Putri. Tidak perlu repot. 

Aku biasa tidak makan bila sedang dalam tugas...," 

sahut Tiroseta dengan wajah memerah. Senapati ini 

sebenarnya malu karena justru seorang putri seperti 

Permata Delima yang melayaninya. 

"Tetapi, ayam panggang ini sangat lezat sekali,

Kakang," bujuk Putri Permata Delima, membuat hati 

Tiroseta terenyuh. 

Memang, betapa bahagianya rakyat Kerajaan 

Pakuan memiliki seorang putri yang bisa dijadikan 

panutan. 

"Oh, ya... ya..., terima kasih, Putri." 

Tiroseta kembali menatap sesuatu yang menarik 

perhatiannya. Hingga kemudian, Putri Permata 

Delima pun mengikuti arah pandangan Tiroseta. 

Di dinding Jurang Setan, Putri Permata Delima 

melihat seekor burung hantu berwarna abu-abu 

dengan sepasang mata memerah menyalang. 

"Kenapa dengan burung hantu itu, Kakang?" tanya 

gadis itu kemudian, ingin mengetahui mengapa 

Tiroseta memandangi burung hantu itu dengan sikap 

penuh perhatian. 

"Tidak, tidak apa-apa," desah Tiroseta. 

"Kalau tidak apa-apa, mengapa begitu tertarik 

memperhatikannya?" cecar Putri Permata Delima. 

Tiroseta menyadari kesalahannya. Senapati ini 

memang telah mendengar tentang kecantikan Putri 

Permata Delima yang sangat jelita dan meng-

hanyutkan. Tetapi, ia kurang tahu kalau Putri Permata 

Delima mempunyai naluri ingin tahu yang tinggi. 

"Tuan Putri..., selama dua hari hamba berada di 

sini, hanya..., baru pagi ini melihat burung hantu itu. 

Tuan Putri sendiri bagaimana?" tanya Tiroseta. 

Putri Permata Delima terdiam. Ia mengingat-ingat. 

Yah, rasanya ia pun baru melihatnya. 

"Aku juga, Kakang. Sepertinya, aku memang baru 

melihat burung hantu itu. Memangnya kenapa?" kata 

Putri Permata Delima, balik bertanya. 

Putri Permata Delima melihat wajah Tiroseta 

terperanjat.

"Oh, Gusti Pangeran!" sentak Tiroseta. 

"Kenapa, Kakang?" tanya Putri Permata Delima 

dengan kening berkerut. 

"Tuan Putri..., sebelum lewat tengah hari, kita 

sudah harus pindah dari sini!" kata Tiroseta, sedikit 

waswas. Matanya tak lepas dari burung hantu itu. 

"Mengapa, Kakang? Bukankah ini tempat 

persembunyian yang aman bagi kita?" tanya Putri 

Permata Delima, tidak mengerti. "Lagi pula, bukankah 

rencana Kakang tadi, nanti siang hendak melihat 

keadaan keraton?" 

"Tuan Putri, burung hantu itu..., oh! Pasti itu burung 

hantu mata-mata...," kata Tiroseta dengan wajah 

tegang. 

"Maksudmu, dia memata-matai kita?" tanya Putri 

Permata Delima. 

"Kau benar, Tuan Putri. Jarang sekali hamba 

menjumpai burung hantu yang keluar bila ada sinar 

matahari. Biasanya, burung hantu selalu hanya keluar 

bila rembulan bersinar. Bukan matahari. Lagi pula, 

hanya baru kali ini melihat burung hantu di Jurang 

Setan," jelas senapati ini. 

"Apakah itu tidak kebetulan saja, Kakang?" tanya 

Putri Permata Delima, memberi dugaan lain. 

"Tuan Putri..., hamba telah banyak memakan asam 

garam di rimba persilatan. Hamba bisa membedakan 

mana burung hantu liar, burung hantu peliharaan, 

burung hantu yang dijadikan sebagai mata-mata. 

Hewan sejenis itu sangat kejam, Tuan Putri. Seperti 

burung hantu itu. Pasti, dia sedang memata-matai 

kita," sergap Tiroseta, memberi penjelasan. 

Sementara itu, burung hantu berwarna abu-abu itu 

sudah terbang sambil mengeluarkan suara 

menyeramkan.

Putri Permata Delima pun mengerti maksud dari 

Tiroseta. Tetapi, ia tidak ingin merisaukan 

ayahandanya. 

"Kakang..., setelah ayahanda selesai makan, 

barulah kita mengatakan padanya. Dan bila ayahanda 

setuju, kita pergi dari sini...." 

Tiroseta mengangguk. Lagi-lagi hatinya sangat 

kagum atas kebijaksanaan Putri Permata Delima. 

Lalu dilihatnya gadis itu tengah membagi-bagikan 

ayam panggang pada prajurit yang berada di sana. 

Dan mata senapati ini lantas menerawang. Kalau 

dugaannya tentang burung hantu itu memang benar, 

keadaan benar-benar gawat! 

*** 

Di Hutan Ringgis yang lebat, satu sosok tubuh 

kurus dengan pakaian compang-camping dan rambut 

acak-acakan menutupi wajahnya, berhenti berlari. Di 

punggungnya terdapat satu sosok tubuh yang terkulai 

pingsan. Sebentar matanya berkeliling memperhati-

kan. Sepi. 

"Hhh! Dasar pendekar bandel! Sudah kukatakan 

jangan bergerak, justru menyerang! Keterlaluan!" 

omel sosok yang tak lain Eyang Sasongko Murti. 

Memang setelah berhasil meloloskan diri dari 

tangan Siluman Hutan Waringin, Eyang Sasongko 

Murti itu berhasil keluar dari Alam Sunyi sambil 

membawa tubuh Pendekar Slebor yang pingsan. 

Sejenak tadi, bagaikan seorang anak kecil yang 

telah lama menginginkan sebutir gula-gula, Eyang 

Sasongko Murti melonjak-lonjak kegirangan begitu 

meyakinkan dirinya berada di alam luas yang indah. 

Cuping hidungnya sejak tadi tidak henti-hentinya

mencium udara yang segar di sini. Udara yang sangat 

berbeda dengan udara di Alam Sunyi, yang telah 

didiami selama seratus tahun! 

Eyang Sasongko Murti merasa beruntung bisa 

pergi dari Alam Sunyi, alam gaib yang sulit sekali 

diterima akal. Juga, beruntung bisa meloloskan diri 

dari tangan Siluman Hutan Waringin yang kejam, 

meskipun terpaksa mengorbankan waktu Andika. 

Itulah sebabnya, untuk membalas budi dari Andika 

yang telah menolongnya keluar dari Alam Sunyi, laki-

laki itu bersedia membantu Andika. 

Lalu perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti 

menurunkan tubuh Andika yang dibopongnya. 

Direbahkannya pemuda itu di atas rerumputan yang 

masih basah. Matahari tak mampu memasuki dasar 

Hutan Ringgis, karena terhalang tingginya pepohonan 

dan rimbunnya dedaunan. 

Kini laki-laki tua itu memeriksa sekujur tubuh 

Andika. Lalu, dibukanya pakaian pemuda itu yang 

berwarna hijau. Dan betapa terkejut Eyang Sasongko 

Murti ketika melihat sebuah garis silang di dada 

Pendekar Slebor yang masih pingsan! 

"Gila! Andika terkena aji siluman yang bernama 

'Ikatan Mambang Kahyangan'! Gawat kalau begini! Di 

dalam sepenanakan nasi bila tidak tertolong, ia akan 

menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin," sentak 

Eyang Sasongko Murti dengan suara bergetar. 

Dengan cepat laki-laki tua ini menempelkan 

telapak tangan di kening Andika. Lalu dengan 

mengerahkan mantera pengusir siluman, mulutnya 

merapal sambil mengerahkan tenaga dalam. Namun 

sekian lama bertindak demikian, tidak ada tanda-

tanda Andika siuman. Tetap tergolek lemah tak 

berdaya. Bahkan Eyang Sasongko Murti melihat tanda

silang di dada Andika berubah menjadi merah! 

"Kacau! Kacau! Kalau tanda silang itu berubah 

menjadi hitam, berantakan semuanya!" dengus laki-

laki tua ini sambil melepaskan kembali telapak 

tangannya pada kening Andika. 

Tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti memutar 

kedua tangannya di depan dada, lalu mengangkatnya 

di atas kepala sambil menengadah. Dihirupnya udara 

banyak-banyak. Tiba-tiba.... 

"Pukulan Dewa Matahari! Heaaa...!" 

Eyang Sasongko Murti menjerit keras sambil 

menyentak hawa murninya. Plashh...! 

Dan mendadak saja seberkas sinar berwarna 

keemasan meluncur dari atas, dan singgah di telapak 

tangan kanan Eyang Sasongko Murti. Setelah itu, 

tangan kirinya dikibaskan ke depan, dan kembali 

diangkat ke atas sambil mengembalikan hawa murni 

pada titik kekosongan. Titik mengosongkan diri. 

Pukulan Dewa Angin!" teriak Eyang Sasongko Murti 

lagi. 

Kembali seberkas sinar yang kali ini berwarna 

putih, jatuh ke telapak tangan kiri Eyang Sasongko 

Murti. 

Dan perlahan-lahan laki-laki tua ini membawanya 

ke dada Andika, lalu menempelkannya. Terlihat 

kemudian tubuh Andika mengejang hebat dan 

mengeluarkan keringat banyak! 

Luar biasa! Dalam keadaan pingsan, Andika 

mengeluarkan keringat. Karena, tenaga dua pukulan 

maut Eyang Sasongko Murti telah ditempelkan ke 

dadanya. 

Sementara itu, sekujur tubuh Eyang Sasongko 

Murti pun telah bersimbah keringat. Dan tubuhnya 

pun bergetar hebat!

"Andika..., kalau kau memang pendekar warisan 

Pendekar Lembah Kutukan, sadarlah! Sadarlah kalau 

bahaya sudah mendekatimu...," ujar Eyang Sasongko 

Murti dengan suara bergetar. 

Tetapi sosok Andika tidak juga siuman. Bahkan 

justru kelojotannya semakin keras. 

Eyang Sasongko Murti berusaha menahan dengan 

dua pukulan mautnya. Seluruh tenaga dalamnya di 

kerahkan untuk menyelamatkan Andika. Karena ia 

tahu bila gagal menyelamatkan Andika, berarti 

pemuda akan menjadi pengikut Siluman Hutan 

Waringin. 

Eyang Sasongko Murti adalah murid Siluman 

Hutan Waringin seratus tahun yang lalu. Maka tak 

heran bila dia sangat mengenal bahayanya pukulan 

'Ikatan Mambang Kahyangan'. Dan tak heran pula, 

dia juga memiliki ilmu itu. Hanya saja, tidak 

mempelajari cara memunahkannya! 

Kini Eyang Sasongko Murti telah pula menyalurkan 

hawa murninya. 

"Ayolah, Andika.... Kau kuat. Kau kuat...," desis laki-

laki tua ini dengan mulut bergetar hebat. Begitu pula 

sekujur tubuhnya yang bagaikan diguncang gempa 

sangat kuat. "Kau mampu, Andika.... Kau mampu 

mengalahkan ajian Siluman Hutan Waringin!" 

Eyang Sasongko Murti berusaha keras 

menyelamatkan Andika. Hatinya benar-benar 

khawatir. Bila gagal, maka pemuda tangguh dan 

gagah ini akan menjadi pengikut dari Siluman Hutan 

Waringin! Bukan hanya berbahaya. Eyang Sasongko 

Murti merasakan, kalau semua itu terjadi gara-gara 

dirinya. Dan sebelum kekhawatiran laki-laki itu 

lenyap… 

Tiba-tiba saja dari mulut Andika keluar teriakan

sangat keras, membedah seluruh Hutan Ringgis. 

Seketika wajah Eyang Sasongko Murti justru 

gembira. 

"Ayo, terus Andika! Terus, bangkitkan kesadaran-

mu! Kalahkan pukulan 'Ikatan Mambang 

Kahyangan'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil 

menambah seluruh tenaga dalamnya. 

"Aaa...!" 

Jeritan demi jeritan pun terdengar dari mulut 

Andika. Sangat keras, bersamaan dengan tubuhnya 

yang bergejolak hebat. 

Sementara tubuh Eyang Sasongko Murti kelihatan 

tegang sekali. Kedua tangannya pun bergetar, 

mengikuti semua perubahan getar tubuh Andika yang 

semakin kuat. 

Lalu mendadak saja Eyang Sasongko Murti 

mengangkat kedua tangannya dari dada Andika. Dan 

tiba-tiba dipukulnya kening Andika dengan keras. 

Plak! 

Seketika jeritan Andika berhenti. Juga getaran 

tubuhnya yang kelojotan tadi. 

"Maafkan aku, Andika.... Kau baru sadar bila 

matahari sudah turun nanti...," ucap Eyang Sasongko 

Murti mendesah lega. 

Kini Eyang Sasongko Murti melihat tanda silang 

memerah di dada Andika berangsur-angsur memutih, 

lalu perlahan-lahan menghilang. 

Eyang Sasongko Murti jatuh terduduk. Tubuhnya 

lemas, setelah seluruh tenaganya terkuras. 

"Kau hebat, Andika.... Kau hebat...," puji laki-laki 

tua ini. 

Sebentar kemudian Eyang Sasongko Murti ber-

semadi untuk memulihkan kembali seluruh tenaga-

nya.


5


Kekejaman Raja Akherat yang telah menguasai 

Kerajaan Pakuan membangkitkan kemarahan para 

tokoh persilatan golongan putih. Hati mereka teriris 

bila mendengar betapa gadis-gadis jelita dari 

berbagai desa diculik, demi memuaskan nafsu birahi 

Raja Akherat. Juga, penindasan dan pembunuhan 

yang dilakukan sewenang-wenang oleh Raja Lalim itu. 

Para tokoh dari golongan putih itu pun mendengar 

kabar kalau Raja Akherat berniat menguasai rimba 

persilatan. Sudah tentu tidak menghendaki. Karena 

mereka tahu, bila Raja Akherat berhasil mewujudkan 

keinginannya, keadaan rimba persilatan pasti berada 

di ambang kehancuran. 

Saat ini, di tepi Danau Abadi, telah berkumpul 

empat orang tokoh dunia persilatan golongan putih. 

Mereka sedang merencanakan untuk menghancur-

kan Raja Akherat. 

Mereka duduk bersila berbentuk lingkaran di tepi 

danau yang berudara sejuk, meskipun matahari 

sudah tepat di puncak kepala. 

"Kita tidak bisa membiarkan kekejaman Raja 

Akherat terus menerus. Karena, seluruh rimba 

persilatan termasuk Kerajaan Pakuan, akan hancur di 

tangannya!" kata tokoh persilatan yang berpakaian 

putih dengan sorban putih pula. Sementara tangan-

nya tak henti-hentinya mengelus-elus jenggotnya yang 

putih. 

Wajah lelaki bersorban ini begitu arif. Suaranya 

pun lembut. Orang-orang persilatan mengenalnya

sebagai Ki Pangsawada yang berjuluk, Imam Arif 

Penguasa Gunung Bontang. 

"Kau benar, Pangsawada!" Suara sahutan itu 

meluncur dari mulut seorang laki-laki yang usianya 

kira-kira enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari 

kulit harimau dan bersenjatakan sebuah tongkat 

berukir kepala harimau pada ujungnya. 

"Kita tidak bisa berpangku tangan saja. Kita pun 

tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan Raja 

Akherat!" tambah laki-laki yang tak lain Ki Wirayuda, 

Penguasa Harimau. Dialah ayah Sari. 

Sebenarnya saat ini, kemunculan Ki Wirayuda 

adalah untuk mencari Sari. Biasanya, gadis itu 

meninggalkan rumah hanya dalam waktu tiga hari. 

Tetapi sudah dua minggu lebih, Sari tidak muncul 

juga. Dan tidak disangka, Ki Wirayuda justru bertemu 

Ki Pangsawa yang segera menceritakan tentang Raja 

Akherat, yang saat ini menguasai Kerajaan Pakuan 

dan berkeinginan menguasai rimba persilatan. 

"Ya! Apa yang kalian omongkan memang benar." 

timpal seorang wanita berpakaian berwarna merah 

tua. 

Rambut perempuan tua itu digelung ke atas, dan 

diberi tusuk konde terbuat dari tulang. Usianya kira-

kira tak jauh berbeda dengan Ki Pangsawada dan Ki 

Wirayuda. Namanya, Nyai Selastri yang berjuluk Naga 

Gunung. 

"Tetapi, kita tidak tahu di mana saat ini Prabu 

Adiwarman berada. Karena menurutku, justru Prabu 

Adiwarman-lah yang harus diselamatkan lebih dulu," 

tambah si Naga Gunung. 

"Tetapi aku yakin, dia telah selamat, Nyai.... 

Meskipun, kita tidak tahu di mana Prabu Adiwarman 

berada saat ini," tegas seorang laki-laki berusia dua

puluh tahun. 

Tokoh ini satu-satunya yang termuda di antara 

kelompok itu. Namanya, Permadi. Dia memang belum 

mendapatkan julukan apa-apa dari orang persilatan. 

Bahkan, pemuda itu sendiri belum pula menjuluki diri. 

"Tetapi menurutku yang terpenting, aku harus 

membalas kematian guru yang tewas di tangan Raja 

Akherat!" tegas Permadi, mendesis. 

Ki Pangsawada melihat wajah Permadi memerah 

garang dengan suara menggeram. Ia tahu, betapa 

dendamnya pemuda itu pada Raja Akherat. Karena, 

Ki Kelana, guru Permadi telah tewas di tangan tokoh 

bejat itu. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode 

"Raja Akherat"). 

"Tetapi yang pasti sekarang ini, kita harus segera 

bergerak untuk menghancurkan Raja Akherat. 

Sebelum ia semakin bertindak sewenang-wenang." 

Tak ada yang bersuara lagi. Ketika Ki Pangsawada 

bangkit, yang lain pun bangkit. Lalu mereka berjalan 

beriringan menuju Kerajaan Pakuan. 

*** 

Saat ini, Raja Akherat yang mempunyai cita-cita 

menguasai rimba persilatan telah memanggil 

kerabatnya yang lain pula. Dan sudah tentu mereka 

bersedia membantu. Mereka adalah, Nyai Pamunti 

yang berwajah mengerikan. Hidungnya bengkok. 

Matanya sipit memerah. Julukannya, Wanita Burung 

Hantu. 

Orang kedua yang diajak bergabung Raja Akherat 

adalah seorang laki-laki berwajah pedok, alias masuk 

ke dalam. Begitu pula hidungnya. Wajahnya 

mengerikan sekali, tak ubahnya hantu di siang

bolong. Namanya, Kokorongko, yang berjuluk Dewa 

Muka Iblis. Senjata andalannya, sepasang gada 

besar. 

Sementara orang ketiga adalah laki-laki bermata 

picek. Rambutnya kemerah-merahan acak-acakan. 

Tubuh bertelanjang dada. Celananya berwarna hitam. 

Namanya, Anomdoro. Di kalangan tokoh hitam, dia di 

kenal sebagai Manusia Mata Picek, yang terkenal 

dengan permainan ilmu racunnya. 

Ketiga orang itu tadi pagi datang secara 

bersamaan. Padahal tempat tinggal masing-masing di 

daerah sepi dan berjauhan. Mereka telah dikirimi 

undangan melalui mimpi, dengan kekuatan ilmu milik 

Raja Akherat. 

Raja Akherat pun menyambut mereka dengan 

tangan lebar. Di atas meja, telah disediakan arak 

yang banyak dan makanan melimpah ruah. Bahkan 

enam orang gadis telah dipaksa menemani 

Kokorongko dan Anomdoro. Masing-masing, men-

dapatkan tiga orang. Sementara Nyai Pamunti hanya 

mendengus saja. 

Sebelumnya, Raja Akherat telah menyuruh Nyai 

Pamunti yang selalu membawa burung hantu untuk 

melacak jejak Prabu Adiwarman. 

Dan kini, burung hantu peliharaan perempuan tua 

itu telah datang. Nyai Pamunti pun bangkit sambil 

bersiul, burung hantu berwarna abu-abu dengan mata 

merah itu pun hinggap di lengannya yang terulur. 

"Bagaimana, Manis? Apakah kau menemukan 

jejak mereka?" tanya Wanita Burung Hantu. 

Burung itu berkaok-kaok dengan suara mengeri-

kan. 

"Bagus, bagus sekali," puji Nyai Pamunti, yang 

mengerti maksud peliharaannya itu. "Hm..., siapa saja

yang berada di sana?" 

Burung hantu itu berkaok-kaok lagi. 

"Bagus, bagus.... Hanya segitu saja? Hmmm..., 

apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian 

berwarna hijau, Manis?" 

Burung hantu itu kembali bersuara. 

"Tidak? Bagus! Sekarang..., kau boleh beristirahat! 

Nah, kau buru makananmu sendiri!" 

Burung hantu itu pun terbang entah ke mana. Yang 

pasti, akan segera datang pada majikannya. 

Wanita Burung Hantu duduk kembali. Sementara 

Raja Akherat tidak sabar ingin mengetahui, apa 

maksud bunyi burung hantu itu. 

"Apa yang didapat burung hantumu itu, Pamunti?" 

tanya Raja Akherat. 

Nyai Pamunti menenggak araknya, sebelum men-

jawab, 

"Raja Akherat..., apakah di sekitar daerah timur 

dari Keraton ini, ada sebuah jurang?" Nyai Pamunti 

justru balik bertanya. 

"Maksudmu?" 

"Menurut laporan si Manis..., dia menemukan 

Prabu Adiwarman, bersama dua puluh orang prajurit 

dan seorang dara jelita. Hmmm..., pasti dara itu tak 

lain dari Putri Permata Delima," papar Wanita Burung 

Hantu. 

Raja Akherat terdiam. 

"Jurang? Jurang..., hm.... Aku tidak tahu kalau di 

daerah scbelah timur sana ada jurang. Kalau begitu, 

kau dan Kokorongko, nanti malam menyatroni jurang 

itu dengan petunjuk burung hantu peliharaanmu," 

ujar Raja Akherat. 

"Ha... ha... ha..., jangan khawatir." 

"Bunuh Prabu Adiwarman!" tandas laki-laki bengis

itu. 

"Tugas mudah. Tugas mudah. Tetapi, Raja Akherat, 

menurut laporan si Manis..., ia tidak melihat seorang 

pemuda berpakaian hijau-hijau yang menurutmu 

Pendekar Slebor," jelas Nyai Pamunti. 

"Tidak ada?" 

"Ya." 

"Bangsat! Ke mana pendekar usil itu berada? Hhh! 

Tak sabar aku untuk melihat kematiannya!" geram 

Raja Akherat. 

Anomdoro tertawa dengan suara nyaring. "Aku 

belum mendapat tugas apa-apa darimu. Akan kucari 

pendekar keparat itu! Tak lama lagi, orang-orang 

rimba persilatan dari golongan putih akan menangisi 

kematiannya! Sementara, orang-orang rimba 

persilatan dari golongan hitam akan terbahak-bahak 

penuh kemenangan...," timpal laki-laki bermata picek 

itu. 

Mereka pun terbahak. Pesta itu dilanjutkan 

kembali. Lalu, Kokorongko dan Anomdoro meng-

gandeng tiga gadis yang hanya pasrah saja. 

Gadis-gadis itu ingin menangis dengan luka yang 

dalam. Mereka merasa, selama hidupnya hanya 

menjadi pemuas nafsu orang-orang biadab ini. 

Akankah pertolongan akan tiba? Tak ada yang tahu. 

Sedangkan Nyai Pamunti hanya mendengus saja. 

Mulutnya menenggak arak lagi, tidak bisa mengikuti 

pesta cabul yang sedang dilakukan teman-temannya. 

Sementara itu, Raja Akherat sendiri melangkah 

menuju kamar tempat Sari disekap. 

***

Sari menggeram begitu melihat sosok Raja Akherat 

muncul. 

"Manusia bejad! Lepaskan ikatanku ini! Kita 

bertarung sampai mati!" teriak Sari dengan muak. 

Sari berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk 

melepaskan tali yang mengikat kedua kaki dan 

tangannya. Namun sejak tadi ia gagal. Karena ikatan 

itu begitu kuat, karena tali itu telah dialiri tenaga 

dalam Raja Akherat yang sulit ditembus! 

Raja Akherat terbahak-bahak. "Aku suka sekali 

denganmu, Cah Ayu...," kata Raja Akherat sambil 

menyeringai. 

Laki-laki itu melangkah mendekat, dan duduk di 

sisi Sari yang telentang di ranjang lembut milik Prabu 

Adiwarman. Lalu tangannya dengan jahil mencolek 

pipi lembut gadis itu. 

Sari menolehkan kepala, menghindari rabaan 

tangan Raja Akherat. 

"Cih! Tangan busuk ini akan membuat kulitku 

menjadi busuk!" dengus Sari. 

"Tenanglah, Manis...," desis Raja Akherat yang 

mendadak saja kembali merasakan kehilangan 

birahi. 

Sungguh, laki-laki ini tidak mengerti sama sekali, 

Mengapa terjadi hal seperti itu. Padahal, keinginan 

untuk menggumuli gadis ini begitu menggebu-gebu. 

Memang Raja Akherat tidak tahu kalau di sekujur 

tubuh Sari telah ditamengi semacam sinar yang kasat 

mata. 

Tameng itu diciptakan Eyang Sasongko Murti lewat 

tenaga batin dengan ilmu yang dipelajari dari Siluman 

Hutan Waringin. Dan hanya Siluman Hutan Waringin 

lah yang mampu melihat sinar itu. Bahkan 

menyingkirkannya.

"Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" seru 

Sari kalap. Sementara sampai saat ini, gadis itu tidak 

mengerti, mengapa Andika belum muncul juga? 

Apakah pemuda itu termasuk pemuda pengecut? 

Yang hanya banyak bicara saja? Padahal, sesungguh-

nya melarikan diri melalui jalan rahasia itu? 

"Bertarung? Ha... ha... ha...! Apakah kau tidak 

sayang bila kulitmu yang mulus terluka, Cah Ayu?" 

ejek Raja Akherat. 

"Manusia keparat! Dosa-dosamu tak bisa diampuni 

lagi!" teriak Sari keras. 

Dan justru kata-kata Sari kembali membuat Raja 

Akherat terbahak-bahak. 

"Aku tak ingin dosa-dosaku diampuni, Cah Ayu.... 

Bahkan aku ingin membunuh semua pendekar dari 

golongan putih. Ketahuilah.... Tak lama lagi, aku akan 

menjadi penguasa rimba persilatan, menjadi orang 

nomor satu di rimba persilatan ini! Ha... ha... ha...! 

Dan kau akan menjadi permaisuriku, yang akan 

melahirkan seluruh keturunanku...," lanjut Raja 

Akherat. 

Sari mengkeret mendengar kata-kata Raja Akherat. 

Hatinya ngeri membayangkan bila Raja Akherat 

benar-benar melakukannya. Meskipun tidak meng-

harapkan manusia kejam itu melakukan perbuatan 

terkutuk padanya, tetapi Sari merasa heran. Karena 

selama dua hari ini, tubuhnya seperti dibiarkan saja. 

"Lebih baik aku bunuh diri daripada harus menjadi 

penerus keturunanmu!" dengus gadis itu sengit. 

"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak lakukan, 

hah?!' sahut Raja Akherat enteng. Wajah Sari 

memerah. 

"Baik! Lihatlah!" kata Sari, dengan suara tegar. 

Gadis itu kemudian bermaksud menggigit lidahnya

sendiri. Tetapi tangan Raja Akherat bergerak lebih 

cepat. Dan.... 

Tuk! Tuk! 

Raja Akherat menotok urat di bagian leher Sari, 

sehingga mulutnya sukar dikatupkan. 

"Sebelum melahirkan seluruh penerusku, kau 

takkan bisa mati, Manis.... Ha... ha... ha...," tegas Raja 

Akherat. 

Kini manusia bengis yang bertubuh tinggi besar 

menyeramkan itu pun bangkit meninggalkan Sari 

yang hanya bisa menatap dengan mata garang. 

Sementara, mulutnya sulit dikatupkan kembali. 

"Oh! Mengapa Andika belum muncul juga?" kata 

Sari, lirih. 

Gadis ini merasa lebih baik mati daripada menjadi 

ibu dari keturunan Raja Akherat. 

*** 

Dari sebuah pohon tinggi besar berdaun rimbun, 

sepasang mata memperhatikan suasana di Keraton 

Pakuan. Meskipun telinganya mendengar suara 

terbahak-bahak keras, tetapi sosok yang tak lain 

Danji tidak melihat siapa-siapa di sana. Berarti, orang-

orang itu berada di dalam keraton. 

Danji sendiri yakin, Raja Akherat kini mengundang 

sahabatnya kembali. Kalau begitu, keadaan semakin 

genting saja. Dan hal ini harus dilaporkan Prabu 

Adiwarman. 

Dan diam-diam Danji pun merasa yakin pula, kalau 

para prajurit Kerajaan Labuan telah berhasil 

dilumpuhkan Raja Akherat. Mungkin pula telah tewas. 

Mendadak saja Danji menundukkan kepala. Kalau 

begitu, apakah Andika telah tewas? Hati Danji

terenyuh memikirkan soal itu. Bila memang benar, 

ah...! Kasihan sekali nasib pemuda konyol itu. 

"Andika.... Kalau kau memang sudah mati, aku 

bersumpah! Aku akan mencari mayatmu sampai 

ketemu...," desah Danji, lirih. 

Danji pun bermaksud turun, untuk menyampaikan 

berita itu pada Prabu Adiwarman. Hanya, mendadak 

saja matanya tertumbuk pada satu sosok kecil yang 

menatapnya dengan mata memerah di salah satu 

cabang pohon. 

"Heran? Sejak tadi aku tidak melihat burung hantu 

itu!" gumam Danji. Lalu tanpa mempedulikan burung 

hantu itu, pemuda ini pun mulai menuruni pohon. 

Namun mendadak saja.... 

Siuuut! 

"Heh?!" 

Danji tersentak. Tiba-tiba saja burung hantu 

meluncur, dan menyerangnya dengan ganas. Dengan 

sebisanya, Danji menggerakkan tangan untuk 

menangkis. 

Crab! Tok!! 

Cakar dan patukan yang tajam dari burung hantu 

itu mampir di lengan Danji. Dan burung itu semakin 

gila menyerang. Danji menjadi kalang kabut, sambil 

berusaha turun dengan cepat. Dan dia juga harus 

berusaha untuk tidak terjatuh dari pohon tinggi itu. 

Burung hantu yang ternyata peliharaan dari Nyai 

Pamunti terus menyerang ganas. Rupanya, setelah 

selesai mencari makan, burung hantu itu kembali ke 

keraton tempat majikannya berada. Tetapi, burung 

hantu yang memang telah dilatih Nyai Pamunti untuk 

selalu berbuat jahat, melihat satu sosok tubuh yang 

menurutnya orang tak dikenal. 

Danji tidak mempedulikan serangan ganas dari

burung hantu itu. Dia terus saja turun dengan mem-

biarkan tubuhnya dicakar dan digigit. 

"Gila! Akan kubunuh kau nanti!" bentak Danji 

sambil terus menuruni pohon yang tinggi. 

Dan gerakan pemuda itu tidak bisa selincah ketika 

naik tadi, karena mendapatkan serangan ganas dari 

burung hantu itu. 

Danji pun melompat ke tanah ketika diperkirakan 

jaraknya sudah pendek dari tanah. Namun tubuhnya 

terus jatuh terguling, sementara burung hantu itu 

kembali menyerangnya. 

"Bangsat! Burung hantu setan rupanya!" 

Tangan Danji menyambar sebatang dahan pohon 

kering yang ada di dekatnya. Cepat diayun-ayunkan 

dahan itu pada burung hantu yang sedang terbang 

sambil menatap dengan mata memerah. 

"Ayo, ayo sini! Biar mampus kau kulumat kayu ini!" 

tantang Danji. 

Siuuttt...! 

Dan mendadak saja burung hantu itu menyerang-

nya kembali. Sementara Danji segera mengibaskan 

kayunya. 

Wuuut! 

Luput! Karena, burung hantu itu mampu meng-

hindari serangan dengan lincah. Hal ini membuat 

Danji makin marah dan penasaran. Kembali dahan 

kayu itu di ayunkan dengan kuat. Pikirnya, sekali ayun 

pasti burung hantu itu akan mampus. 

Wuuut...! 

Tetapi lagi-lagi serangan Danji gagal. Karena, 

burung hantu itu dengan lincah berkelit menghindar. 

Bahkan kini menyerangnya kembali dengan kedua 

cakarnya yang terbuka. Meskipun kuku-kukunya kecil, 

namunruncing luar biasa.

"Ayo, sini! Sini, Bangsat!" tantang Danji kalap. 

Ketika burung hantu itu menyerang lagi, Danji pun 

langsung mengayunkan dahan kayunya. Namun lagi-

lagi burung hantu itu mampu menghindar. 

"Suiiittt...!" 

Mendadak terdengar siulan keras sekali. Seketika 

burung hantu yang diperkirakan Danji akan 

menyerang kembali, terbang dan hinggap di pohon 

yang tadi dinaiki Danji. 

Sedikit banyak, kening Danji pun berkerut. Karena 

dahan kayunya sudah siap untuk diayunkan kembali. 

Dan belum lagi kening Danji yang berkerut tadi 

membalik kembali, tampak satu sosok tubuh ber-

kelebat ke arahnya. Begitu tiba, sosok itu menyeringai 

mengerikan dengan tatapan nyalang. 

"He... he... he.... Rupanya ada anak nakal yang 

nyasar kemari," kata sosok yang tak lain Nyai 

Pamunti. 

Danji sadar, kalau kini terjebak. Rupanya siulan 

tadi isyarat bagi burung hantu. Dan dirinya yang 

sedang sibuk melayani serangan-serangan menjadi 

tidak sadar kalau berada di sarang lawan. 

Tetapi Danji bukanlah orang yang pengecut. 

Meskipun tidak memiliki ilmu olah kanuragan, dia 

tetap tak hengkang dari tempat ini. 

"Hhh! Manusia busuk! Rupanya kau antek-antek 

dari Raja Akherat itu!" bentak Danji. 

Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Dan kau akan 

mampus hari ini juga, Anak Muda." 

"Mati ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bukan 

oleh tanganmu. Bila Yang Kuasa belum mengizinkan 

mati, maka aku tidak akan mati!" sahut Danji gagah. 

Nyai Pamunti sebenarnya adalah tokoh kejam. 

Makanya, tanpa banyak bicara lagi tubuhnya segera

melayang menyerang Danji. 

Danji yang menyadari hal itu, segera mengibaskan 

dahan kayunya. 

Wuuut! 

Prak! 

Dahan kayu itu kontan patah terhantam kerasnya 

tangan Nyai Pamunti yang berjuluk si Wanita Burung 

Hantu. 

"He... he... he.... Sudah kukatakan, kau akan 

mampus hari ini, Anak Muda!" ejek si Wanita Burung 

Hantu. 

Kembali Nyai Pamunti berkelebat menyerang lagi. 

Kali ini dengan satu keyakinan, ia akan menghabisi 

pemuda itu. 

Danji berusaha menghindar ke samping. Namun 

tanpa diduga, si Wanita Burung Hantu melenting ke 

atas, seraya melepaskan hantaman ke punggung. 

Desss...! 

"Aaakh...!" 

Danji terhuyung ke depan, dan seketika muntah 

darah. Pada saat yang sama Nyai Pamunti telah 

mendarat. Dan dia memang berniat menghabisi Danji. 

Maka seketika dia bergerak lagi dengan tangan telah 

tersalur tenaga dalam. Namun baru beberapa 

langkah.... 

"Hauuum...!" 

"Heh?!" 

Mendadak saja si Wanita Burung Hantu melompat 

ke belakang. Diiringi raungan keras, sebuah sosok 

tubuh berkaki empat tampak meluruk ke arahnya 

dengan ganas. 

"Bangsat!" bentak Nyai Pamunti. 

Mata perempuan itu kontan terbelalak melihat 

seekor harimau besar berdiri tegak di dekat Danji

dengan tatapan berkilat-kilat. 

Danji merasa bersyukur, karena si Belang muncul 

pada saat yang tepat. Memang sejak tadi harimau itu 

disuruh menunggu di balik rimbunnya semak, tanpa 

boleh bersuara. Dan Belang memang menuruti. Tetapi 

rupanya, penciumannya sangat tajam. Ia merasa, 

Danji adalah sahabat majikannya. Makanya binatang 

itu pun langsung keluar dan menyerang Nyai Pamunti 

yang sedang melayang untuk menghabisi nyawa 

Danji. 

Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. 

"Kalau tidak salah lihat, kau adalah peliharaan 

Wirayuda si Penguasa Harimau. Bagus! Di mana dia 

sekarang?!" bentak Wanita Burung Hantu. 

Si Belang ingin menyerang kembali. Tetapi Danji 

segera mendekatkan wajah ke telinga si Belang. 

"Tak ada gunanya melawan manusia terkutuk itu 

Belang! Lebih baik melarikan diri saja!" ujar Danji. 

Belang pun urung menyerang. Lalu tubuhnya 

merunduk dengan cepat. Dengan menahan rasa sakit 

di dada, Danji pun segera melompat ke atas 

punggung si Belang yang langsung berlari cepat. 

"Bangsat! Mau ke mana kau!" bentak Nyai Pamunti 

sambil mengibaskan tangannya, mengirimkan 

pukulan jarak jauh berkekuatan dahsyat. 

Wesss...! 

Tetapi si Belang memang hewan peliharaan 

tangguh dan mengerti. Serangan itu bisa dihindarinya 

dengan berlari secara melompat-lompat ke kanan 

dan kiri. 

Pukulan jarak jauh Nyai Pamunti pun luput, meng-

hantam sebuah pohon besar. 

Blarrr...! 

Krak!

Pohon itu langsung tumbang. 

"Manis! Ikuti mereka! Cari tahu, di mana mereka 

berada!" perintah Nyai Pamunti pada burung hantu 

peliharaannya. 

***

6


Malam kembali merebak. Begitulah hukum alam. 

Saat ini Eyang Sasongko Murti masih duduk terpekur. 

Sejak tadi, tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya. 

Matanya yang sipit dan tertutup rambut yang acak-

acakan, memandang pada sosok Pendekar Slebor 

yang masih dalam keadaan pingsan. 

Meskipun Andika belum juga siuman, tetapi Eyang 

Sasongko Murti sudah merasa sedikit tenang. 

Karena, tanda silang di dada Andika sudah meng-

hilang. Berarti, pengaruh dari pukulan 'Ikatan 

Mambang Kahyangan' telah berhasil dilumpuhkan. 

Meskipun, Eyang Sasongko Murti harus menguras 

tenaga dalam dan hawa murninya. Namun sekarang 

semua itu sudah berangsur-angsur kembali seperti 

semula berkat semadinya. 

Dan yang diam-diam dipikirkan laki-laki tua ini, 

jelas Siluman Hutan Waringin tidak akan mem-

biarkannya bebas begitu saja. Pasti siluman itu akan 

mencarinya. 

Kini malam telah datang. Suasana di Hutan 

Ringgis tetap menyeramkan. Dan ketika Eyang 

Sasongko Murti tengah mengantuk, tiba-tiba telinga-

nya menangkap erangan Andika. Pelan. 

"Oh! Kau sudah sembuh? Hei, bangun! Bangun! 

Jangan manja seperti itu!" ujar Eyang Sasongko Murti 

sambil mengguncang-guncang tubuh Andika. "Nakal! 

Bangun!" 

Perlahan-lahan erangan yang tadi terdengarnya 

pelan, kini semakin jelas. Disusul, goyangan kepala

Andika yang lembut. Pemuda itu kini sudah 

merasakan rasa sakit kembali. Kepalanya pusing tak 

karuan. Sekujur tubuhnya bagaikan kehilangan 

tenaga. 

"Ayo, jangan manja! Keterlaluan sekali kau ini!" 

dengus Eyang Sasongko Murti lagi sambil meng-

goyang-goyangkan tubuh Andika agak keras. 

Perlahan-lahan mata Pendekar Slebor membuka. 

Kesadarannya memang telah pulih. 

"Pelan-pelan! Sakit!" bentak Andika agak kesal. 

"Ha... ha... ha...!" 

Eyang Sasongko Murti hanya terbahak-bahak. 

Hatinya senang melihat pemuda yang gagah ini telah 

kembali sedia kala. 

"Bagus, bagus! Daya tahan tubuhmu memang 

hebat! Tidak perlu disangsikan lagi!" puji Eyang 

Sasongko Murti. 

Andika perlahan-lahan mengangkat tubuhnya. 

Sementara kakinya masih berselonjor. Sekujur tubuh-

nya masih terasa sangat lemah. Tetapi untuk mem-

balas selorohan Eyang Sasongko Murti, ia masih 

sanggup melakukannya. 

"Hebat ya, hebat! Tetapi di mana raksasa mata 

satu yang jelek itu?!" kata Andika sambil memandang 

ke sekelilingnya. 

"Hei? Tidak tahukah kau, kita berada di mana? Ini 

di alam bebas, Andika! Alam bebas merdeka! Bukan 

Alam Sunyi yang mengerikan!" seru Eyang Sasongko 

Murti sambil bersorak-sorak tak ubahnya anak kecil. 

Kegembiraan Eyang Sasongko Murti pertama, 

karena sudah melihat Andika terbebas dari pukulan 

Siluman Hutan Waringin. Kegembiraan kedua, karena 

kembali menyadari telah berada di alam yang 

dirindukan selama seratus tahun.

"Hmmm..., apakah kau tidak membedakan udara 

yang segar ini dengan udara dingin yang terdapat di 

Alam Sunyi?" tanya laki-laki tua aneh ini. 

Andika memonyongkan mulutnya. 

"Jangan sembarangan mengejek! Kau lihat sendiri 

hidungmu yang penyok kayak gitu! Pasti kau yang 

tidak bisa membedakan udara yang segar itu!" 

seloroh Andika sambil mendengus. "Kau iri ya, 

melihat hidungku yang mancung seperti ini?" 

"Ha... ha... ha...!" 

Eyang Sasongko Murti justru terbahak-bahak. "Aku 

menyukaimu, Andika," ujar Eyang Sasongko Murti. 

"Aku malah tidak! Gara-gara kau, aku terdampar di 

Alam Sunyi! Juga harus meninggalkan kewajibanku 

membela Kerajaan Pakuan Barat!" gerutu Andika. 

Dan kini Pendekar Slebor yakin kalau sudah tidak 

berada lagi di Alam Sunyi. Entah bagaimana Eyang 

Sasongko Murti membawanya keluar dari sana. 

"Jangan takut! Kita akan menyerang ke sana 

bersama-sama!" ujar Eyang Sasongko Murti masih 

terbahak-bahak. 

"Enaknya kau ngomong! Kesaktian Raja Akherat 

sulit ditandingi!" 

"Jangan meremehkan aku!" bentak Eyang 

Sasongko Murti, tiba-tiba. "Manusia setinggi apa pun 

ilmunya, tidak akan ada yang mampu menandingi 

kesaktianku!" 

"Sombong!" cibir Andika. 

"Kau akan melihat buktinya nanti! Akan kulumat 

orang yang berjuluk Raja Akherat itu!" tandas laki-laki 

tua aneh ini. 

"Jangan bisanya cuma ngomong!" sengat Andika 

lagi. 

Wajah Eyang Sasongko Murti mengkerut jengkel.

"Lihat saja nanti!" 

"Aku lapar!" seru Andika tiba-tiba. 

"Nah! Mengapa kau tidak mencari?" 

"Enaknya.... Tubuhku masih lemah begini!" 

Eyang Sasongko Murti menggaruk-garuk rambut-

nya yang semakin bertambah acak-acakan. 

"Kalau begitu, bersemadilah dulu. Aku akan segera 

mencari makanan!" 

Andika nyengir. "Itu lebih baik." 

"Hei! Kau mengakali aku yang lebih tua, ya?" 

"Sekali-sekali tidak apa-apa. Hitung-hitung kau 

sudah kubebaskan dari Alam Sunyi!" sahut Andika 

kalem. 

"Slompret!" Eyang Sasongko Murti bersungut-

sungut. 

"He... he... he.... Orang yang sudah bau tanah 

memang suka ngomel!" seloroh Andika. 

*** 

Seperti yang diperkirakan Tiroseta, akhirnya 

mereka pun meninggalkan Jurang Setan. Senapati ini 

menerangkan alasan, mengapa mereka harus pindah 

pada Prabu Adiwarman. Dan akhirnya penguasa 

Kerajaan Pakuan itu mau mengerti. Mungkin saja 

memang benar dugaan Tiroseta, kalau burung hantu 

itu adalah burung 'mata-mata'. Entah milik siapa. 

Kini berbondong-bondong mereka keluar dari 

dasar Jurang Setan. Menurut Putri Permata Delima, 

barangkali saja Danji masih mengetahui tempat 

rahasia yang tersembunyi. Tetapi, alangkah terkejut-

nya mereka ketika tidak melihat Danji. Juga si Belang. 

Sementara itu, Tunggal bergegas menghampiri 

bersama Riaka, begitu melihat rombongan itu muncul

dari jalan rahasia Jurang Setan. 

"Tunggal! Ke mana pemuda yang bernama Danji?" 

tanya Tiroseta. 

"Maafkan aku, Kakang.... Dia bersikeras untuk 

melihat keadaan keraton," sahut Tunggal, penuh 

hormat. 

"Gusti.... Kau mengizinkannya?" desah Tiroseta, 

terkejut. 

"Sangat sulit menghalangi keinginannya, Kakang." 

Tiroseta menggeram jengkel. Seharusnya, dia 

memikirkan kemungkinan itu tadi. 

"Bersama siapa perginya?" tanya Tiroseta lagi. 

"Dengan harimau besar itu, Kakang." 

Tiroseta mendesah lagi. 

"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata senapati 

ini. Dalam hati dia hanya berharap, Danji dan si 

Belang mampu menjaga diri. "Kalau begitu..., kau dan 

Riaka... berjalan semakin ke timur. Kita harus pindah 

dari Jurang Setan ini. Karena menurut perkiraanku, 

akan lebih berbahaya bila masih berada di sini...." 

Tanpa banyak tanya lagi, Tunggal segera men-

dahului bersama Riaka. Tetapi ada satu masalah lagi 

yang mendadak saja terjadi. 

"Aku ingin menunggu Kang Danji di sini!" kata Putri 

Permata Delima dengan suara cemas. 

"Tuan Putri..., keadaan sangat genting. Hamba 

yakin, burung hantu itu milik salah seorang kawan 

Raja Akherat. Kita bisa mati konyol bila terus menerus 

bertahan di sini," sergah Tiroseta. 

Tetapi Putri Permata Delima tetap menolak. 

Hatinya mendadak menjadi cemas akan nasib 

kekasihnya. 

Saat itulah diam-diam Prabu Adiwarman 

mengetahui, kalau putrinya mencintai Danji. Mungkin

pula tanpa sepengetahuannya, mereka telah lama 

memadu kasih. 

Sedikit banyaknya Prabu Adiwarman menyesal, 

karena telah mengadakan sayembara 'Mungut Mantu' 

yang akhirnya berakibat munculnya Raja Akherat, 

sekaligus menguasai keraton. Yang lebih membuat-

nya sedih, karena Putri Permata Delima tidak pernah 

ditanyakan pendapatnya tentang keputusan meng-

adakan sayembara. 

Putri Permata Delima telah menunjukkan sikap 

tegar. Bila Danji selamat, Prabu Adiwarman akan 

menanyakan kebenaran dugaannya. Tetapi yang 

terpenting sekarang ini, putrinya harus dibujuk untuk 

pindah dari Jurang Setan. 

"Permata Delima..., keadaan kita semakin gawat. 

Ancaman demi ancaman tanpa disadari telah ber-

kembang. Kita tidak bisa berdiam di sini terus 

menerus, Permata...," bujuk Prabu Adiwarman lembut 

sambil menatap putrinya. 

Putri Permata Delima menundukkan kepala. Gadis 

ini tak kuasa menatap mata ayahandanya. Dia 

khawatir hubungannya dengan Danji diketahui 

ayahnya, yang sudah tentu dapat melihat riak-riak 

kecemasan di matanya. 

Menurut perkiraan Putri Permata Delima, ayahnya 

akan marah besar bila mengetahui hubungannya 

dengan Danji. Terbukti, dengan diadakannya 

sayembara 'Mungut Mantu'. 

"Baiklah, Ayahanda.... Kita segera pindah dari 

sini...," desah Putri Permata Delima, perlahan. 

Prabu Adiwarman mendesah. Justru perasaannya 

terpukul mendengar kata-kata putrinya. 

"Permata.... Pasti Danji akan kembali kepadamu." 

hibur Prabu Adiwarman.

Seketika Putri Permata Delima mengangkat 

kepala. Hatinya tersentak mendengar kata-kata 

ayahandanya. 

"Ayah...." 

"Percayalah.... Karena ia seorang pemuda yang 

gagah dan berani...," tegas Prabu Adiwarman, 

meyakinkan. 

Putri Permata Delima tidak berani memperbesar 

keyakinannya, kalau sedikit banyak ayahnya 

mengetahui hubungannya dengan Danji. Dari kata-

katanya, dapat ditangkap kalau ayahnya merestui 

hubungannya dengan Danji. Tetapi, Putri Permata 

Delima tidak berani berharap banyak. 

"Baiklah, Ayahanda.... Aku menurut...," desah Putri 

Permata Delima. 

Kemudian rombongan itu pun melangkah 

meninggalkan Jurang Setan. Tiroseta melangkah 

sambil memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan 

waspada. Matanya mencari-cari burung hantu yang 

menurutnya 'mata-mata' Raja Akherat. Dan diam-diam 

keyakinannya terhadap saudara-saudaranya yang 

telah tewas semakin membesar saja. 

Sementara, Putri Permata Delima melangkah 

dengan kepala tertunduk. Hatinya sangat merisaukan 

nasib Danji. Ah! Bila saja rencana kekasihnya itu 

diketahui, sudah tentu ia tidak akan pernah 

mengizinkannya. 

*** 

Memang, apa yang diduga Tiroseta sangat benar. 

Karena keesokah harinya, Nyai Pamunti dan 

Kokorongko berhasil menemukan Jurang Setan. 

"Hhh! Pasti Prabu Adiwarman berada di sini,"

desah Kokorongko sambil memandang ke bawah. Tak 

terlihat apa-apa, karena jurang itu sangat dalam. 

"Kau benar, si Manis tidak pernah salah. Tetapi, 

dari manakah mereka masuk dan keluar?" tanya Nyai 

Pamunti. 

"Tentunya ada jalan rahasia. Kita tidak usah 

mencarinya! Akan kita timbun dasar Jurang Setan ini 

dengan batu-batu besar... ha ha ha! Biar Prabu 

Adiwarman mampus di sana, beserta para pengikut 

setianya!" kata Kokorongko. 

Lalu mereka pun mulai sibuk menggeser batu-batu 

besar yang ada di sana, dan digulingkan ke dasar 

Jurang Setan. Sehingga menimbulkan suara cukup 

keras. Bahkan tanah yang dipijak terasa bergoncang. 

Sambil terbahak-bahak dan membayangkan 

betapa orang-orang yang berada di dasar Jurang 

Setan itu kalang kabut, mereka terus secara 

membabibuta mendorong batu-batu besar. 

Tiga puluh batu besar sudah masuk ke perut 

Jurang Setan. Kini, mereka menghentikan tindakan-

nya. 

"Cukup! Aku yakin, mereka sudah menjadi daging 

cacah di sana!" ujar Kokorongko dengan suara puas. 

"Hhh! Apakah Pendekar Slebor juga berada 

disana?" tanya Nyai Pamunti. 

"Aku tidak tahu. Tetapi kalau memang berada di 

sana, namanya pun sudah tenggelam di antara 

puluhan batu yang kita lemparkan tadi." 

Nyai Pamunti terdiam sejenak. Kalau memang 

Pendekar Slebor yang namanya menghebohkan dunia 

persilatan memang berada di sana, alangkah 

mudahnya membunuh pendekar itu. Tetapi, apakah 

pendekar itu berada di sana? Nyai Pamunti masih 

meragukannya.

"Pamunti, kenapa kau terdiam?" tegur Kokorongko. 

"Alangkah mudahnya membunuh pendekar itu. 

Padahal, aku ingin sekali menjajaki kesaktiannya!" 

sahut Nyai Pamunti. 

"Ha... ha... ha.... Dan kini niatmu terkubur sudah. 

Tetapi, kau harus bangga. Karena di tanganmu 

jugalah Pendekar Slebor mampus! Kita kembali ke 

keraton," ajak Kokorongko, akhirnya. 

"Yah! Aku sendiri ingin tahu laporan dari si Manis 

tentang pemuda yang menunggang harimau itu!" 

***

7

Rombongan Prabu Adiwarman yang dipimpin Tiroseta 

telah tiba di sebuah hutan yang sangat lebat. 

Memang, tak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan 

tempat hunian. Menurut Tiroseta sendiri, tempat itu 

sudah cukup aman. Paling tidak, bisa jauh dari orang-

orang Raja Akherat. 

Mereka pun segera mendirikan tenda. Sementara 

persiapan darurat dilakukan secara mendadak dan 

cepat. Tiroseta mempersilakan Prabu Adiwarman dan 

Putri Permata Delima untuk beristirahat. Sementara 

dia sendiri berjaga-jaga. 

Sungguh, saat ini Tiroseta lebih ingin menyerang 

saja ke Keraton Pakuan. Bila menunggu yang lainnya 

saat ini belum kembali juga, Tiroseta yakin mereka 

sudah mati. Begitu pula dengan pasukan yang 

dipimpin Karnapati (Untuk mengetahui pasukan 

pertama Kerajaan Labuan yang dipimpin Karnapati, 

baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Raja 

Akherat"). 

Lagi-lagi yang dipikirkan Tiroseta adalah Monoseta 

dan Ardiseta. Mereka adalah dua orang saudaranya 

yang menyerang ke Keraton Pakuan. Apakah mereka 

selamat, berhasil menaklukkan Raja Akherat. Atau, 

malah hari itu menjadi kiamat untuk mereka? 

Tiroseta menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya 

juga merasa bingung dengan Pendekar Slebor. Telah 

lama dia mendengar nama Pendekar Slebor ramai 

dibicarakan orang banyak. Baik dari rimba persilatan, 

maupun orang awam. Tetapi sekarang, mengapa

tidak juga datang untuk memberi laporan? 

Sungguh, Tiroseta sangat sulit memperkirakan 

seala sesuatunya dalam keadaan seperti ini. Yang 

pasti sekarang, nyawa dan keselamatan Prabu 

Adiwarman dan Putri Permata Delima berada di 

tangannya. 

Dan malam pun semakin merayap perlahan-lahan. 

Suara nyanyian binatang malam mulai terdengar. 

Kesiagaan diperketat. Tiroseta berkali-kali memberi 

peringatan, agar seluruhnya bersiaga dalam 

kewaspadaan penuh. Karena besok pagi, mereka 

akan segera melanjutkan perjalanan kembali. Bahkan 

mungkin, dalam pikiran Tiroseta, akan membawa 

Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima ke 

Kerajaan Labuan. Jelas bila keduanya berada di sana, 

keamanan dan keselamatan terjamin. Dan sebelum 

lamunan Tiroseta lenyap.... 

"Hi... hi... hi...!" 

"Ha... ha... ha...!" 

Mendadak saja terdengar suara tawa yang keras 

sekali. Menilik suaranya, jelas tawa laki-laki dan 

perempuan. 

Serentak Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 

Labuan bersiaga. Sementara prajurit Kerajaan 

Pakuan, berusaha melindungi Prabu Adiwarman dan 

Putri Permata Delima yang berada di tenda dengan 

tombak di tangan. 

Belum habis keterkejutan mereka, mendadak 

berkelebat dua sosok tubuh lalu hinggap di hadapan 

mereka. Keduanya adalah sepasang manusia ber-

tampang mengerikan dengan tatapan mata licik yang 

kejam. 

"Hi... hi... hi...! Kau lihat sendiri, Kokorongko.... Aku 

tidak yakin kalau mereka masih berada di Jurang

Setan yang telah kita timbun batu itu? Nah, buktinya 

kau lihat sendiri, bukan?" kata sosok wanita yang 

ternyata Nyai Pamunti. 

Rupanya Wanita Burung Hantu itu mempunyai otak 

cerdik. Meskipun mempercayai laporan dari burung 

hantu peliharaannya, namun tidak bisa percaya bila 

belum melihat buktinya. Memang, Jurang Setan telah 

ditemukan. Dan mereka telah menggulingkan batu-

batu besar dalam jumlah yang sangat banyak. Tetapi 

Nyai Pamunti tidak puas. 

Ketika mereka hendak kembali ke Keraton 

Pakuan. Nyai Pamunti justru hendak kembali ke 

Jurang Setan. Meskipun bersungut-sungut, 

Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis menuruti 

saja. Dan mereka menemukan sebuah lubang yang 

tertindih batu besar. 

Dari sanalah mereka menuruni dasar Jurang 

Setan, melihat-lihat dan mengibaskan batu-batu 

besar yang digulingkan tadi. Namun tak satu mayat 

pun yang di temukan di sana. Berarti, dugaan Nyai 

Pamunti benar. Jelas, orang-orang itu sudah keluar 

dari sana. Berarti pula, apa yang dilakukan dengan 

mendorong batu-batu ke dasar Jurang Setan, adalah 

suatu kesia-siaan. 

Lalu, Nyai Pamunti pun mengajak Kokorongko 

untuk segera mencari saja rombongan. Hingga 

akhirnya mereka menemukan di sini. 

"Ha... ha... ha...!" 

"Tak kusangka kau mempunyai otak encer, 

Pamunti...," puji Dewa Muka Iblis sambil mem-

perhatikan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 

Labuan yang bersiaga. "Kalian manusia-manusia 

dungu! Cepat serahkan Prabu Adiwarman kepada 

kami!"

Tiroseta menggeram gagah. Dugaannya tentang 

burung hantu benar. Dan mereka sudah sebisanya 

untuk meninggalkan tempat itu, meskipun akhirnya 

dapat di temukan juga. 

"Hhh! Semudah itukah kalian memintanya, hah?!" 

balas Tiroseta membentak. 

"Jangan menantang!" dengus Kokorongko. 

"Justru kami ingin mengatakan, langkahi dulu 

mayat kami. Baru kalian boleh melakukan 

sekehendak hatimu!" seru Tiroseta dengan suara 

yang semakin gagah. Dadanya dibusungkan. Golok 

besar yang tersampir di pinggang telah dicabutnya. 

"Orang bodoh! Mau cari mampus rupanya!" seru 

Kokorongko. 

Mendadak saja Dewa Muka Iblis menerjang 

Tiroseta dengan tangan siap mencekik leher. , 

Tiroseta yang sudah bersiaga penuh, sudah tentu 

tidak menginginkan lehernya menjadi sasaran. Maka 

segera goloknya dikibaskan untuk menghalau 

serangan Kokorongko. 

Namun di luar dugaan, tangan Kokorongko mampu 

bergerak lebih cepat lagi. Dengan bantuan gerak 

tubuhnya, tangannya memutar bagai membentuk 

segitiga. Lalu disentaknya sedikit tangan Tiroseta 

dengan jari telunjuk. 

Plak! 

Kembali tangan Dewa Muka Iblis mengarah pada 

leher Tiroseta. 

Tetapi Tiroseta pun sudah memperhitungkannya. 

Dengan lincah kepalanya diputar dengan tubuh 

sedikit condong keluar. Lalu goloknya ditusukkan dari 

bagianbawah ke atas. 

Gerakan yang dilakukan dengan cepat dan tak 

disangka, membuat Kokorongko harus mendengus.

"Pantas kau berani bertingkah begitu, hah?!" 

"Karena aku akan membunuhmu, Manusia Busuk!" 

desis Tiroseta sambil mendahului menyerang. 

Kali ini senapati itu ingin menyerang lebih dulu. 

Dicobanya menekan dengan beberapa gebrakan yang 

mampu membuat lawannya menjadi keder. Tetapi 

yang dihadapi bukanlah anak bawang, melainkan 

seorang tokoh yang cukup disegani karena 

kekejamannya. 

Sementara itu, sepuluh prajurit Kerajaan Labuan 

segera menyerang Nyai Pamunti yang hanya 

terkekeh-kekeh saja, menyambut serbuan tombak-

tombak tajam dari berbagai penjuru. 

"Bagus, bagus! Kini kalian harus mampus 

semuanya!" 

Mendadak saja tubuh Wanita Burung Hantu ber-

gerak bagaikan terbang. Kedua tangannya mengibas, 

bagaikan seekor burung hantu yang sedang marah. 

Dan…. 

Prak! Brak! Crrott! 

"Aaa...!" 

Tiga prajurit Kerajaan Labuan menjerit menyayat 

dengan tubuh terhuyung. Kepala mereka pecah, 

menyemburkan darah. 

Sedangkan Tiroseta terus berusaha mendesak 

Kokorongko dengan gencar. Serangan-serangan 

goloknya sangat berbahaya. 

Kokorongko untuk sesaat memang kehilangan 

kendali. Namun lewat lima jurus berikut, ganti dia 

yang menguasai serangan-serangan. 

"Cukup sudah pertunjukan yang kau perlihatkan." 

desis Kokorongko. 

Tiba-tiba tubuh laki-laki berjuluk Dewa Muka lblis 

itu merunduk. Kakinya bergeser ke belakang dengan

tangan membuka bagaikan melentur. Itu jurus, 'Pukul 

Kupu-kupu' miliknya. Gerakannya bisa nampak pelan 

namun sangat berbahaya hasil pukulannya. 

Tiroseta pun dapat membaca kehebatan jurus itu. 

Hanya saja yang membuatnya sulit, gerakan 

Kokorongko benar-benar melentur. Sehingga susah 

dipastikan ke arah mana yang akan diserang. 

Maka dengan sebisanya Tiroseta menggerak-

gerakan goloknya bila serangan Kokorongko dilepas-

kan. Hanya saja, tenaganya menjadi lebih banyak 

yang terbuang percuma. Karena, senapati ini harus 

mengikuti arah gerak tangan Dewa Muka Iblis yang 

belum tentu menyerang. 

"Keparat! Jurus apa yang kau pakai itu, hah?!" 

bentak Tiroseta sengit. 

Kokorongko terkekeh-kekeh. 

"Kau akan mengetahuinya kalau sudah mampus!" 

Saat ini, Tiroseta mendesah pendek. Dia berpikir, 

bila saja di sini ada Monoseta dan Ardiseta, maka 

sudah tentu akan bisa membentuk gabungan jurus 

'Tiga Mata Golok Menguasai Angin'! Sayangnya, 

keduanya tidak berada di sana. Sehingga bila jurus itu 

dikeluarkan hanya merupakan satu gerak yang 

sangat mudah untuk dilumpuhkan. 

Sedangkan Nyai Pamunti sudah memukul roboh 

sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang menghalangi 

niatnya untuk membawa Prabu Adiwarman. 

Lalu perempuan tua itu pun melangkah ke arah 

sebuah tenda yang dijaga enam orang prajurit 

Kerajaan Pakuan. Matanya sempat melirik per-

tarungan antara Kokorongko dengan prajurit berbaju 

hitam yang menggunakan golok besar. 

Dengan sigap keenam orang prajurit Kerajaan 

Pakuan, mengelilinginya sambil menjaga pintu masuk

ke tenda. Nyai Pamunti melihat dua sosok tubuh 

berada di sana dalam keadaan berpelukan. Dia yakin, 

mereka adalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata 

Delima. 

"Kalian manusia-manusia tengik! Minggir! Atau 

kalian akan mampus, heh?!" 

"Wanita tua busuk! Kau seharusnya sadar, kalau 

nyawamu sudah di ambang pintu!" 

"Bangsat!" 

Mendadak saja Nyai Pamunti berkelebat begitu 

cepatnya sambil mengibaskan tangannya. 

Prak! Prak! 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!" 

Dan seketika itu pula, tiga sosok tubuh berpental 

dengan kepala pecah. 

Tetapi tiga orang sisa prajurit bukanlah bertambah 

jeri. Malah mereka semakin bernafsu untuk mem-

bunuh Nyai Pamunti. Sayang, mereka pun tak kuasa 

menahan kekejaman Wanita Burung Hantu. Karena 

hanya sekali gebrak saja, ketiganya pun segera 

menyusul yang lain akherat. 

Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Prabu Adiwarman 

dan Putri Permata Delima..., ayo keluar! Kita akan 

kembali ke keraton!" ujar perempuan tua itu dengan 

suara merayu. 

Tak ada sahutan. 

Nyai Pamunti atau si Wanita Burung Hantu masih 

terus membujuk. Tetapi lagi-lagi tetap tidak ada 

sahutan. Sehingga, membuatnya menjadi geram. 

"Kalau tidak keluar juga, akan kuseret kalian!" 

desis perempuan tua ini garang. 

Tetapi, tetap tak ada sahutan. 

Dengan kasar dan penuh amarah Nyai Pamunti

melesat seraya menyingkap pintu tenda. 

"Uts!" 

Dan mendadak saja tubuh perempuan tua itu 

melompat ke belakang, ketika dua buah tombak siap 

menghujam perutnya. Lalu, muncullah dua prajurit 

Kerajaan Pakuan yang membuat Nyai Pamunti makin 

geram. Karena, yang berada di dalam tenda sejak 

tadi bukan Prabu Adiwarman dan Putri Permata 

Delima. Tapi, kedua prajurit itu. 

Amarah Nyai Pamunti semakin membludak, 

karena merasa dipermainkan. Tentunya Prabu 

Adiwarman dan Putri Permata Delima sudah 

melarikan diri entah ke mana. 

Sebagai sasaran amarahnya, Wanita Burung Hantu 

ini segera berkelebat, langsung menghajar. Walau 

kedua prajurit itu melawan, namun lagi-lagi bukanlah 

lawan Nyai Pamunti. 

Prak! Prak! 

"Aaa..! Aaakh...!" 

Dengan sekali gebrak saja, tombak di tangan 

kedua prajurit itu patah. Dan ketika tangan Wanita 

Burung Hantu mengibas, kepala mereka kontan 

pecah. Kedua prajurit itu ambruk di tanah bersimbah 

darah. Mati. 

Setelah menatap mayat-mayat prajurit itu, Nyai 

Pamunti kembali pada Kokorongko yang sedang 

mendesak Tiroseta. Perempuan tua itu khawatir kalau 

Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima semakin 

jauh larikan diri. 

Mendadak saja Wanita Burung Hantu 

mengibaskan tangan kanan ke arah Tiroseta. 

Weeebbb! 

Meskipun sedang menghadapi serangan dari 

Kokorongko, Tiroseta dapat merasakan hawa panas

dan kencang menderu ke arahnya. Dengan sigap 

tubuhnya melenting ke samping. Sehingga serangan 

Nyai Pamunti pun luput. 

"Monyet!" maki Nyai Pamunti marah. Kali ini 

perempuan tua itu mengempos tubuhnya ke arah 

Tiroseta. Bersamaan dengan itu, Kokorongko pun 

menyerang dari arah yang berlawanan. 

Bukan main gugupnya Tiroseta. Sebisanya tubuh-

nya berguling ke sana kemari menghindari kedua 

serangan yang sama-sama dahsyat! Namun 

kelincahannya pun tak bisa dipertahankan lebih lama. 

Begitu dia bangkit berdiri, Nyai Pamunti sudah 

meluruk deras dengan sambaran kakinya. Dan.... 

Des! 

"Aaakh...!" 

Tubuh Tiroseta terpelanting ke belakang dan 

terguling-guling. Bersamaan dengan itu, Kokorongko 

telah meluncur melepaskan satu injakan. Demikian 

pula Nyai Pamunti. 

Ketika Tiroseta sudah merasa pasrah, dengan 

gerak bawah sadar tangannya menjumput tanah 

berpasir. Begitu kedua tokoh sesat itu dekat, Tiroseta 

melempar tangan berpasir. 

Pyurrr...! 

"Heh?!" 

Nyai Pamunti dan Kokorongko terkejut setengah 

mati. Dengan kelabakan mereka mengibaskan kedua 

tangan sambil melenting ke belakang. 

Mendapat kesempatan, Tiroseta segera mem-

pergunakannya. Sambil menahan rasa sakit laki-laki 

ini segera melarikan diri. 

"Bangsat!" geram Nyai Pamunti, setelah berhasil 

membebaskan diri dari tanah yang dilemparkan 

Tiroseta. Hatinya semakin geram tidak melihat

Tiroseta! 

Tetapi Kokorongko tidak lagi tertarik dengan 

Tiroseta. 

"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata 

Delima?" tanya Dewa Muka Iblis. 

"Aku ditipu permainan anak kecil yang dilakukan 

para prajurit itu! Keduanya sudah melarikan diri." 

desis Nyai Pamunti. 

"Bodoh! Ke mana larinya?" bentak Kokorongko. 

"Aku tidak tahu!" 

"Cepat cari mereka, sebelum menjauh!" 

Mereka lantas berkelebat cepat. 

***

8


Pagi kembali menjelang. Tidak seperti pagi-pagi yang 

lalu, kali ini suasana begitu kelabu. Sinar mentari 

menyapu lembut, menerpa empat sosok di halaman 

Keraton Pakuan. 

Keempat orang yang berdiri gagah itu tak lain dari 

Ki Wirayuda, Ki Pangsawada, Nyai Selastri, dan 

Permadi. Sikap keempat tokoh persilatan ini tampak 

waspada dengan sinar mata menahan kebencian. 

Terutama, yang diperlihatkan Permadi, karena guru-

nya menjadi korban keganasan Raja Akherat. 

"Raja Akherat! Keluar kau! Hadapi kami. Dan 

nyawamu akan melayang hari ini juga!" teriak Permadi 

yang sudah tidak sanggup menahan dendamnya lagi. 

Angin berhembus, menebarkan hawa kematian. 

Sejauh ini tak ada sahutan apa-apa. 

"Manusia keparat! Kau harus membayar nyawa 

guruku dengan nyawa setanmu itu!" teriak Permadi 

lagi. 

Baru saja gema suara Permadi hilang... 

"Ha... ha... ha...!" 

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras sekali. 

"Kiranya ada tamu yang tak diundang?! Tetapi 

sebagai tuan rumah, sudah selayaknyalah aku 

menyambut kedatangan kalian...," lanjut suara itu, 

yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. 

Kini tahu-tahu di hadapan mereka kira-kira tiga 

tombak jaraknya, telah berdiri sosok tinggi besar, 

dengan wajah sedikit menyeramkan. Siapa lagi kalau 

bukan Raja Akherat.

Mata tokoh sesat ini menyapu keempat tamu yang 

sejenak tertegun menyaksikan kemunculannya yang 

luar biasa itu. 

"Kiranya..., para tokoh persilatan sudah datang 

kesini. Ah! Sayang sekali..., kalian datang terlalu 

cepat. Padahal, aku baru saja hendak mengumum-

kan, kalau aku akan menjadi nomor satu di rimba 

persilatan ini.... Ha... ha... ha.... Kalian terlalu baik. 

Yah..., dengan bantuan kalianlah aku akan menjulang 

tinggi di antara barisan puncak!" kata Raja Akherat, 

sombong. 

Wajah keempat tokoh persilatan golongan putih ini 

seketika merah padam mendengar kata-kata Raja 

Akherat itu. Namun Ki Pangsawada lebih bisa 

mengendalikan amarahnya. 

"Hmmm..., Tidar! Lebih baik tinggalkan Keraton 

Pakuan. Kembalilah ke asalmu. Jangan sampai kau 

luluh lantak dihajar para tokoh dunia persilatan...," 

desis Ki Pangsawada, alias Imam Arif Penguasa 

Gunung Bontang. 

Raja Akherat terbahak-bahak. Padahal hatinya 

geram bukan main. Pertama, namanya sendiri sudah 

berusaha dilupakan. Tetapi barusan kembali disebut 

Ki Pangsawada. Kedua, alangkah enaknya menyuruh-

nya pergi dari sini. 

"Ha... ha... ha...!" 

Raja Akherat tertawa terbahak-bahak, sampai-

sampai perutnya berguncang. 

"Ki Pangsawada...! Namamu sebagai Imam Arif 

Penguasa Gunung Bontang telah lama sekali 

kudengar. Sehingga, telingaku pun menjadi gatal. Kini 

kau telah menghadap ke sini. Dan..., kalangan sudah 

terbuka. Mengapa tidak segera dimulai saja?" tantang 

Raja Akherat dengan suara merendahkan.

Justru Permadi yang tidak bisa menahan diri. Sejak 

pertama melihat Raja Akherat, dendamnya sudah 

sampai di ubun-ubun. Kematian gurunya harus 

dibalas. Akan dicabik-cabiknya Raja Akherat dengan 

keris pusaka pemberian Ki Kelana. Maka seketika 

kedua tangannya menghentak. 

"Hih...!" 

Wesss...! 

Angin yang meluruk kencang mudah sekali ditepis 

Raja Akherat dengan mengebutkan tangannya. Lalu 

tubuh tokoh sesat ini bergeser, ketika Permadi 

meluruk disertai sambaran tangan kiri yang cepat. 

"Ha... ha... ha.... Anak Muda! Aku menyukaimu… 

Cuma sayang, nyawamu hanya bertahan sampai hari 

ini saja...." 

Mendadak saja Raja Akherat mengembangkan ke 

dua tangannya, lalu membukanya bagai seekor 

burung merentangkan sayap. 

Werrr...! 

Serangkum angin kencang meluruk dari tangan 

Raja Akherat. Dada Permadi bergetar, begitu tiba 

terasa angin dingin menyusup hingga ke tulangnya. 

Dan hal itu pun membuatnya sadar, kalau lawan 

tengah menggunakan ilmu dahsyat. Tetapi sebagai 

murid tunggal Ki Kelana, Permadi sudah tentu tidak 

akan ciut nyalinya. 

Dengan membulatkan tekad, Permadi meng-

emposkan semangatnya. Lalu tubuhnya meluruk 

deras sambil mencabut keris yang terselip di 

pinggang bagian belakang. 

"Kau harus mampus, Raja Keparat!" bentak 

Permadi. 

Seketika pemuda itu mengibaskan kerisnya 

dengan gerakan cepat dan mengarah pada bagian

bagian berbahaya. 

Tetapi Raja Akherat yang memang ilmunya jauh 

lebih tinggi, dengan mudahnya menghindari seluruh 

serangan. Bahkan tiba-tiba tangan kanannya diangkat 

ke atas. Lalu.... 

Wesss...! 

Mendadak saja melesat serangkum angin kencang 

yang tak dapat dielakkan Permadi. 

Des! 

"Aaakh...!" 

Permadi terpekik ketika serangkum angin 

menghamtam dadanya. Tubuhnya kontan terpental 

sejauh beberapa tombak. 

Ki Pangsawada melompat dengan sigap, menahan 

tubuh Permadi yang hendak mencium tanah. Lalu 

dibimbingnya pemuda itu dan didudukkannya. 

"Anak Permadi..., beristirahatlah...," ujar si Imam 

Arif Penguasa Gunung Bontang. 

Sementara itu Raja Akherat terbahak-bahak. 

"Rupanya, anak muda itu hanya hendak dijadikan 

tumbal belaka? Mengapa kalian tidak segera angkat 

senjata untuk menghadapiku, hah?!" ejek Raja 

Akherat. 

Sedangkan si Naga Gunung sudah membuka 

jurusnya. Wajahnya geram sekali melihat perbuatan 

Raja Akherat pada Permadi. 

"Jangan berpikir kau akan lebih lama menikmati 

hidup ini, Raja Bongsor! Kini kau akan merasakan 

kehebatan Nyai Selastri, si Naga Gunung!" desis 

perempuan tua itu. 

"Ha... ha... ha...! Silakan, silakan...," tantang Raja 

Akherat. 

Begitu mendengar kata-kata Raja Akherat itu, Nyai 

Selastri yang berjuluk si Naga Gunung segera meluruk

tangan kosong yang dashyat. Setiap kali tangannya 

bergerak, menimbulkan getaran hebat. 

Wrrr! Zheb! 

Sejenak Raja Akherat terkejut juga melihatnya. 

Namun perasaan itu cepat ditekannya. 

"Hebat! Hanya sayang, kau tak akan lama lagi 

dapat hidup di muka bumi ini!" leceh Raja Akherat. 

"Takabur!" bentak si Naga Gunung. 

"Akan kubuktikan!" 

Begitu habis kata-katanya, mendadak Raja Akherat 

menyerang ganas, mengandung kekuatan tenaga 

dalam sangat tinggi. Bahkan udara mendadak 

berubah jadi berbau amis. 

Sadarlah Nyai Selastri, kalau pukulan Raja Akherat 

mengandung racun berbahaya. Namun si Naga 

Gunung yang sudah malang melintang di dunia 

persilatan ini, bukanlah anak kemarin sore. Serangan-

serangan keji Raja Akherat dapat dihindarinya dengan 

membuat gerakan-gerakan berputar pada tubuhnya. 

Bahkan begitu mendapat kesempatan diimbanginya 

serangan itu dengan tak kalah hebat. 

Zebbb! Weeeiit! 

Pertarungan dua tokoh itu terus berlangsung 

sengit. Si Naga Gunung sudah mempergunakan jurus 

andalannya, 'Naga Membalikkan Gunung'. Sebuah 

jurus serangan yang sangat dahsyat, mengandalkan 

kecepatan tangan dan kaki. 

Bila tangan si Naga Gunung bergerak, maka 

tenaga yang luar biasa akan keluar bagaikan 

terjangan badai dahsyat. Sementara kedua kakinya, 

seolah-olah berubah menjadi ekor naga besar yang 

sedang mengamuk dengan kekuatan penuh dan 

tinggi. 

Raja Akherat lagi-lagi terkejut melihat serangan

Nyai Selastri. 

"Tidak sia-sia kau berjuluk si Naga Gunung! Tetapi, 

sayang! Hari ini nama besar si Naga Gunung akan 

terpuruk ketindih gunungnya sendiri! Hiaaa...!" 

Mendadak saja Raja Akherat membuka kedua 

tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian 

kedua tangan itu menggebrak dari bawah ke atas. 

Sementara si Naga Gunung yang tidak pernah 

mengenal takut terus menyerang dengan cepat. 

Wuuutt! Zeebbb! 

Pada saat demikian, mendadak saja Raja Akherat 

mengibaskan tangan, untuk memapaki. Plak! Plak! 

Dua kali benturan berisi tenaga dalam tinggi 

terjadi. Tampak si Naga Gunung terhuyung ke 

belakang. Kedua tangannya terasa seakan mau 

patah. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan 

untuk memulihkan rasa sakitnya. 

Sementara Raja Akherat hanya terbahak-bahak. 

Kelihatannya dia tak kurang suatu apa. 

"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan tadi, nama si 

Naga Gunung akan tersungkur hari ini!" ejek Raja 

Akherat. 

"Keparat sombong!" 

Dengan gagahnya si Naga Gunung kembali 

menerjang. Maka pertarungan sengit pun terjadi 

kembali. Keduanya mencoba mencari kelemahan 

satu sama lain dan mencoba memasukkan serangan 

yang mematikan. Sementara Ki Pangsawada dan Ki 

Wirayuda hanya memperhatikan saja. Diam-diam Ki 

Pangsawada dapat melihat, jurus-jurus yang 

dipergunakan Raja Akherat jelas sangat berbahaya. 

Dan ia pun menebak, dalam lima jurus berikutnya, si 

Naga Gunung tidak akan mampu bertahan. 

"Hiaaat...!"

Ki Pangsawada pun segera menerjunkan diri 

dalam kancah pertarungan. 

"Bukan aku tidak jantan. Tetapi..., orang sepertimu 

memang sudah selayaknya untuk mampus!" teriak Ki 

Pangsawada. 

"Ha... ha... ha...! Mengapa tidak sekalian saja 

dengan si Penguasa Harimau?!" ejek Raja Akherat 

pada Ki Wirayuda yang tegak berdiri. "Ayo, masuk 

dalam pertarungan ini. Biar kalian cepat mampus!" 

Wajah Ki Wirayuda memerah mendengar kata-kata 

sombong Raja Akherat. Maka laki-laki tua ini segera 

mengempos tubuhnya ke arah Raja Akherat. Namun 

baru beberapa tindak bergerak.... 

Wesss...! 

Mendadak terdengar desir angin kencang ke arah 

Ki Wirayuda. Bergegas, laki-laki tua ini menghindar 

dengan membuang tubuhnya. 

"Anomdoro!" serunya ketika sudah melenting 

bangkit. 

Sementara si penyerang yang tak lain Anomdoro 

tampak terbahak-bahak. Sejak tadi, laki-laki ini 

memang tidak diizinkan Raja Akherat untuk 

membantu. Dan hanya memperhatikannya saja. 

Hanya saja keningnya pun berkerut. Matanya berkilat-

kilat ketika melihat Wirayuda. 

Memang, antara Anomdoro dan Ki Wirayuda 

merupakan musuh bebuyutan. Dulu, mereka terus 

menerus bertarung, untuk memperebutkan seorang 

wanita bernama Nimas Sutari. Dan kemenangan 

berpihak pada Wirayuda, hingga dapat mem-

persunting Nimas Sutari. Sementara tinggallah 

Anomdoro dengan dendam yang sampai sekarang 

masih sangat sulit dihapuskan! 

Maka ketika melihat Ki Wirayuda hendak

menyerang Raja Akherat, dendam Anomdoro bangkit 

kembali. Seketika itu pula tubuhnya melesat seraya 

mengirimkan serangan. 

"Tak kusangka..., delapan belas tahun kita tidak 

pernah bertemu. Akhirnya bertemu di sini." kata 

Anomdoro dengan tatapan ganas. "Wirayuda..., kini 

kau akan mampus!" 

Ki Wirayuda yang sebenarnya sangat yakin kalau 

Anomdoro mendendam padanya. Maka segera 

dilayaninya serangan-serangan ganas yang mengan-

dung racun milik Anomdoro. 

*** 

"Yang benar kau, Eyang?" kata Andika terbelalak 

kaget ketika Eyang Sasongko Murti menuturkan 

sesuatu yang membuatnya terkejut. 

Mereka kini sedang berada di tepi sungai dalam 

perjalanan menuju Keraton Pakuan. Suara gemuruh 

air sungai itu menderu-deru. Mereka baru saja selesai 

mencuci muka, ketika Eyang Sasongko Murti 

mengemukakan pikirannya. 

Eyang Sasongko Murti menganggukkan kepala. 

Matanya menatap air sungai yang mengalir cepat. 

"Firasatku mengatakan demikian, Andika. Siluman 

Hutan Waringin kini telah berada di alam nyata ini. 

Dan yang mengkhawatirkan..., bila dia akan menitis 

pada Raja Akherat. Berarti, akan sulit sekali bagi kita 

untuk memusnahkannya," papar laki-laki tua aneh ini 

dengan mata menerawang memikirkan kemungkinan 

itu. 

"Bukannya bagi kau?" kata Andika, membetulkan 

sambil nyengir. 

"Maksudmu?" tanya Eyang Sasongko Murti,

dengan kening berkerut. 

Andika tertawa. "Bukankah kau mengatakan 

sanggup untuk menundukkannya? Nah, mengapa kau 

katakan tadi itu untuk kita? He... he... he.... Tidak, ya!! 

Itu urusanmu, Eyang." 

"Iya! Tetapi saat itu, ilmu batin yang diajarkan 

negeri siluman belum bergetar di dadaku. Hingga aku 

belum tahu kalau Siluman Hutan Waringin akan 

menitis. Sekarang, ilmu batin negeri siluman itu 

sudah bergetar memberikan tanda akan kemunculan 

Siluman Hutan Waringin," tegas Eyang Sasongko 

Murti. 

"Mengapa kau begitu yakin kalau ia akan menitis 

pada Raja Akherat, Eyang?" tanya Andika yang tidak 

ingin meneruskan candanya lagi. 

"Karena ia tahu, saat ini Raja Akherat-lah yang 

menjadi lawanmu," jawab Eyang Sasongko Murti, 

sungguh-sungguh. 

"Gila! Kenapa aku yang jadi kena getahnya?" 

rungut Andika terbelalak dan mangkel. 

"Karena kaulah yang menjadi 'penerang' bagiku 

untuk melarikan diri dari Alam Sunyi." 

Andika bersungut-sungut. "Ini salahmu! Seharus-

nya kau yang bertanggung jawab! Bukan aku! Kenapa 

sih, kau justru menyesatkan aku dulu? Padahal 

begitu banyak tugasku yang harus diselesaikan? Kau 

tahu, Eyang. Aku merasa berdosa pada orang-orang 

Kerajaan Pakuan. Aku tidak tahu apa yang harus 

kuperbuat nanti, bila kuketahui semuanya sudah 

menjadi mayat!" 

"Jangan menyalahkan aku!' bentak Eyang 

Sasongko Murti. 

"Lalu, siapa lagi yang harus disalahkan, hah?! 

Siapa lagi?" seru Andika jengkel.

"Tetapi sekarang kita berdua yang harus 

memusnahkan Raja Akherat! Aku melawan Siluman 

Hutan Waringin, kau menghadapi Raja Akherat!" 

"Enaknya ngomong! Makanya, jangan dulu 

sesumbar seperti yang kau lakukan di Hutan Ringgis! 

Toh buktinya, kali malah kebingungan sekarang ini, 

kan?" cecar Andika. Dan.... 

Plak! 

Kening Pendekar Slebor digaplok Eyang Sasongko 

Murti yang kelihatannya gemas sekali. 

"Kupikir kau ini cerdik. Tidak tahunya bodoh! 

Pokoknya sekarang, kita harus cepat sampai di 

Keraton Pakuan, lalu membunuh manusia kejam itu 

sebelum sempat dititisi Siluman Hutan Waringin!" ujar 

Eyang Sasongko Murti. 

"Begitu juga boleh! Tetapi, aku tidak tahu jalan 

mana lagi yang harus kutempuh menuju Keraton 

Kerajaan Pakuan Barat," kata Andika akhirnya. 

Pendekar Slebor hanya berharap, agar tidak terjadi 

sesuatu yang mengerikan pada Prabu Adiwarman dan 

Putri Permata Delima. 

"Begitu pula denganku! Ala..., sudahlah! Kita 

merobos jalan mana saja!" 

"Kau juga sih, Eyang! Mengapa kau harus mencari 

jalan yang jauh sekali, ketika melarikan diri dari Alam 

Sunyi! Seharusnya ketika kita nongol di alam nyata ini 

aku telah berada di samping Keraton Pakuan!" 

"Enaknya ngomong! Kalau tidak tergesa-gesa 

untuk membawamu yang pingsan itu, mungkin aku 

masih bisa berpikir! Masihuntung kita selamat, 

daripada menjadi sasaran empuk Siluman Hutan 

Waringin! Kau juga memang bodoh! Sudah kubilang 

jangan bergerak, malah nekat! Bukan hanya ber-

gerak, malah justru menyerang Siluman Hutan

Waringin! Dasar otak udang!" 

"Habisnya, kulihat kau akan mampus diinjaknya." 

kilah Andika. 

"Itu siasat! Menghadapi siluman itu bukan 

menggunakan tenaga kasar! Tak ada hasilnya! Malah 

tenagamu yang akan terkuras perlahan-lahan 

diperasnya." 

"Jadi ketika kau roboh dan kedua kaki Siluman 

Setan Waringin siap menginjakmu, kau berpura-pura 

kalah?" tanya Pendekar Slebor. 

"Tolol! Aku sedang menghimpun tenaga halusku!" 

Tak ada yang bersuara lagi. Masing-masing 

terdiam dicekam pikiran yang datang membabi-buta. 

"Kita lari sekarang, Eyang!" kata Andika. 

"Baik! Aku juga ingin melihat ilmu lari Pendekar 

Lembah Kutukan yang kini dijuluki Pendekar Slebor. 

Ha... ha... ha... ha! Bor, Bor! Kau bisa apa melawan 

aku, hah?!" 

Andika menjadi ngotot. Saat itu juga, mereka lari 

dengan cepat menuju Keraton Pakuan. 

***

9


Pertarungan yang terjadi di halaman Keraton Keraton 

Pakuan Barat semakin seru dan menegangkan. Ki 

Pangsawada bersama Nyai Selastri berusaha sekuat 

tenaga memukul mundur Raja Akherat. Namun laki-

laki yang codet di pipi kirinya itu benar-benar memiliki 

kesaktian tinggi. Buktinya desakan yang dilakukan 

Imam Arif Penguasa Gunung Bontang dan si Naga 

Gunung dianggap sepi saja. 

Malah kemudian, Raja Akherat yang menguasai 

jaannya pertarungan sambil tertawa terbahak-bahak. 

"Mengapa kalian tidak memilih mampus saja 

dengan jalan bunuh diri?" leceh Raja Akherat. 

Ki Pangsawada menggeram dalam hati, meskipun 

diakui kesaktian laki-laki itu begitu tinggi. Namun hal 

itu semakin membuat Ki Pangsawada hendak 

bertekad untuk mengadu jiwa. Karena bila sampai 

Raja Akherat menguasai dunia persilatan, sudah bisa 

dipastikan segala sesuatunya akan hancur perlahan-

lahan di bawah kekuasaannya. 

Mendadak saja Ki Pangsawada memutar tubuhnya 

ke belakang, hingga jubahnya berkibar. 

"Raja Akherat...! Kuakui kau memiliki kepandaian 

sangat tinggi! Hanya saja, aku tidak akan pernah 

mundur sebelum melihatmu berkalang tanah!" desis 

laki-laki berjuluk Imam Arif Penguasa Gunung 

Bontang. 

Raja Akherat terbahak-bahak. Sementara si Naga 

Gunung sedang mengatur napasnya. Dua kali 

tubuhnya terkena hantaman keras Raja Akherat.

"Aku suka sekali mendengar kata-katamu itu, Ki! 

Hanya sayang, kau terlalu memandang rendah!" 

Ki Pangsawada menghela napas pendek. Lalu 

diam-diam mulutnya merapal ajian 'Tempur Nyawa', 

yang sangat dahsyat dan jarang sekali dipergunakan 

bila tidak terdesak. Namun sekarang, laki-laki tua itu 

berpikir kalau keadaan sudah benar-benar men-

desak. 

Memang tidak ada jalan lain. Ajian 'Tempur Nyawa' 

akan segera dipergunakan Ki Pangsawada. Men-

dadak saja kedua tangannya bergerak ke muka, 

membuat putaran dua kali dengan tubuh condong 

keluar. Dan seketika tangannya mengibas ke depan 

bersamaan hembusan napas perlahan-lahan. 

Si Naga Gunung tahu kalau Ki Pangsawada sedang 

mengerahkan ajian Tempur Nyawa'. Dan diam-diam 

pun dia merapal ajian 'Kemarau Tiga Musim'. Sebuah 

ajian yang sangat dahsyat sekali, sehingga mampu 

membuat lawan akan menderita kepanasan yang 

teramat sangat. 

Dan begitu melihat Ki Pangsawada sudah 

mengeluarkan jurus pamungkasnya, si Naga Gunung 

pun berbuat sama. 

Sedangkan Raja Akherat hanya terbahak-bahak 

saja. 

"Ha... ha... ha...! Mengapa kalian berdiam diri 

seperti itu, hah?!" ejek laki-laki kekar ini. "Apakah kini 

kalian menyadari kalau lebih baik bunuh diri saja, dan 

mengakui kalau si Raja Akherat adalah orang nomor 

satu di rimba persilatan?!" 

Ki Pangsawada merandek pendek. 

"Kau terlalu banyak sesumbar, Raja Akherat! 

Sejengkal pun aku tidak akan mundur. Bahkan tak 

pernah merelakan kau menjadi orang nomor satu di

rimba persilatan ini." 

Mendengar kata-kata itu, Raja Akherat hanya 

terhahak-bahak saja seolah merasa lucu men-

dengarnya. Dan mendadak saja jurusnya yang 

terdahsyat dibuka. Jurus 'Himpunan Surya-Bayu-

Tanah'! Sebuah jurus yang mengambil tenaga 

matahari, angin, dan tanah. 

Perlahan-lahan terlihat kedua tangan Raja Akherat 

berubah menjadi memerah. Dan semakin lama, 

berubah menjadi hitam legam. 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung pun sadar, 

kalau lawan telah mengeluarkan ajian terhebatnya 

pula. Tetapi tekad mereka sudah bulat untuk 

mengadu nyawa dengan manusia keji itu! 

"Hiaaa...!" 

Tiba-tiba, disertai bentakan keras secara 

bersamaan, Ki Pangsawada dan Nyai Selastri 

menyerang. Kedua tangan mereka menghentak ke 

arah Raja Akherat. 

Werrr...! 

Wesss...! 

Dua rangkum angin kencang meluruk, mengancam 

keselamatan Raja Akherat. Namun, laki-laki ini hanya 

terbahak-bahak saja. 

"Hiaaa...!" 

Mendadak, Raja Akherat mengempos tubuhnya 

sambil menghentakkan kedua tangannya. 

Sementara Permadi yang masih dalam keadaan 

terluka, hanya menghela napas panjang. 

*** 

Pertarungan Ki Wirayuda melawan Anomdoro terus 

berlangsung sengit. Racun-racun di kuku Anomdoro

terus berkelebatan, mendesak si Penguasa Harimau 

yang selalu berhasil menghalau dengan tongkat kayu-

nya yang berukir kepala harimau pada ujungnya. 

Serangan-serangan gagal semakin membuat 

Anomdoro bertambah penasaran. Maka segera 

kelincahannya diperlihatkan dalam menghindari 

setiap serangan Ki Wirayuda. Bahkan juga mem-

perlihatkan kehebatannya dalam memainkan ilmu 

racun. 

Dan ketika tongkat Ki Wirayuda menyambar kepala 

dengan cepat Anomdoro melompat ke kiri. 

Wuuuttt! 

Ki Wirayuda tidak berhenti sampai di situ saja. 

Kembali tongkatnya digerakkan dengan jurus 

'Pusaran Dewa Angin', yang membuat tongkatnya 

berubah menjadi seribu. 

Namun Anomdoro yang telah menambah 

kesaktian dan ilmu meringankan tubuhnya, berhasil 

menghindar darinya. Bahkan sekali-sekali kedua 

kukunya dijentikkan sehingga langsung terlontar 

racun-racun yang mematikan. Namun dalam keadaan 

saat ini, jentikan racun-racun itu sudah tidak berguna. 

Karena, angin yang keluar dari pusaran tongkat Ki 

Wirayuda dapat cepat menyingkirkannya. 

"Hebat! Permainan tongkatmu semakin hebat, 

Penguasa Harimau!" puji Anomdoro sambil mengubah 

jurus berikutnya. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Kaki 

kanannya ke depan dan kaki kiri condong ke samping 

kiri, agak mendekati tanah. 

Dalam sekali lihat, Ki Wirayuda bisa menebak 

kalau jurus itu adalah jurus tipuan. Karena menurut--

nya, tidak mungkin Anomdoro membuka jurus dengan 

kaki yang nampak lemah sekali. Mencondongkan kaki 

lebih ke bawah mendekati tanah, sangat menyulitkan

gerak kaki kanannya. 

"Hiaaah...!" 

Ki Wirayuda tidak menyerang bagian kaki kiri 

Anomdoro. Justru yang diserangnya bagian kaki 

kanannya! 

"Uts...!" 

Apa yang diperkirakan memang benar. Dengan 

cepat, Anomdoro merubah bentuk kuda-kudanya. 

Namun kali ini Ki Wirayuda harus kecele. Karena 

gerakan itu memang suatu pancingan belaka. Dan 

mendadak saja, Anomdoro yang kini mengubah kuda-

kudanya, menendang dengan keras ke arah wajah. 

Dengan sebisanya, Ki Wirayuda langsung menangkis 

dengan putaran tongkatnya! 

Plak! 

Begitu habis menangkis dengan gerakan aneh 

sekali, Anomdoro menelusup dengan satu tinju keras 

ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.... 

Des! 

"Aaakh...!" 

Tubuh Ki Wirayuda terhuyung ke belakang disertai 

keluhan tertahan. Saat itulah Anomdoro menderu 

maju dengan seluruh tangan telah dialiri racun 

mematikan. 

Ki Wirayuda tercekat melihat serangan yang tiba-

tiba. Dalam hati dia mendengus karena begitu 

mudahnya tertipu oleh gerakan Anomdoro. Maka 

sebisanya tongkatnya diputar tetap dengan jurus 

'Pusaran Angin Dewa'. 

Namun kali ini rupanya Anomdoro tidak mem-

pedulikan lagi. Serangannya tetap diteruskan! 

Menyadari kalau lawan merasa yakin akan mampu 

menanggulangi jurusnya, Ki Wirayuda pun akhirnya 

melompat untuk menghindari serangan mematikan

itu. 

"Hup!" 

"Ha... ha... ha...! Jangan bisanya menjadi topeng 

monyet saja kau, Wirayuda! Melompat-lompat seperti 

monyet. Lihat! Ini adalah pembalasanku yang kau 

lakukan beberapa tahun lalu!" kata Anomdoro, penuh 

semangat. 

Ki Wirayuda menggeram. Benar apa yang diduga. 

Manusia bermata picak itu memang masih 

menyimpan dendam. Bahkan kini telah menjadi 

pengikut Raja Akherat. Ki Wirayuda pun cukup 

terkejut melihat kemajuan kesaktian Anomdoro yang 

begitu pesat! 

Tetapi saat menghindari serangan, Ki Wirayuda 

kembali memutar tongkatnya. Rasanya hatinya masih 

penasaran karena ingin melihat kekuatan Anomdoro 

ketika kelihatan seperti hendak memapaki serangan-

nya. 

"Aku ingin lihat, apakah kau mampu menahan 

'Pusaran Dewa Angin'ku ini Anomdoro!" 

Lalu dengan menambah tenaga dalamnya, Ki 

Wirayuda mengejar Anomdoro. 

Seperti yang diduga tadi, ternyata Anomdoro 

hanyalah memancing dan menggertak belaka. 

Terbukti sekarang, laki-laki bermata satu itu 

menghindari serangan 'Pusaran Dewa Angin'nya. 

Ki Wirayuda menjadi jengkel dengan keputusannya 

tadi. Karena mau tak mau tadi sempat terdesak. 

Maka kini dia pun menyerang dengan ganas pula! 

*** 

Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima terus 

melarikan diri dengan langkah tersaruk-saruk. Ketika

Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis muncul 

sebenarnya Prabu Adiwarman tenang saja. Sebagai 

seorang raja, dia memang memiliki ketenangan luar 

biasa. Bahkan kesabarannya pun terlihat. Hanya saja, 

hatinya suka merasa sedih bila melihat putrinya harus 

menderita. 

Bagi Prabu Adiwarman, tidak akan menyerah 

begitu saja. Bahkan akan melawan sekuat tenaga 

terhadap dua manusia busuk itu. Namun di saat 

Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis sedang 

dihadang Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 

Pakuan, Mureksa, salah seorang prajurit Kerajaan 

Labuan membuat rencana menakjubkan. 

Prajurit itu menyuruh Prabu Adiwarman dan Putri 

Permata Delima melarikan diri, sementara di tenda 

itu segera diisi dua prajurit Kerajaan Pakuan. Hal ini 

dilakukan untuk mencegah dua manusia jahat itu 

mengejar Prabu Adiwarman dan Putri Permata 

Delima. Itu sebabnya, ayah dan anak itu kini 

terbebas, dan turut melarikan diri. 

Sudah cukup jauh mereka berlari. Kelelahan pun 

sudah sangat dirasakan. Prabu Adiwarman sekali lagi 

merasa sedih melihat nasib putrinya. Namun sikap 

Putri Permata Delima tetap tegar dan bersahaja. 

Bahkan selalu tersenyum. 

"Ayolah, Ayahanda.... Kita harus segera lari lebih 

jauh dari sini...," ujar Putri Permata Delima memberi 

semangat. 

Prabu Adiwarman tersenyum. 

"Kau benar, Permata. Ayo...." 

Tetapi sebelum mereka melangkah kembali.... 

"Hauuummm...!" 

Terdengar auman seekor harimau yang cukup 

keras, disusul melompatnya seekor hewan kaki

empat yang besar itu. Di punggungnya tampak 

seorang pemuda berwajah tampan sedang 

menungganginya. 

"Kang Danji!" seru Putri Permata Delima, begitu 

mengenali siapa yang menunggangi harimau. Gadis 

ini pun yakin kalau harimau itu adalah si Belang, 

hewan peliharaan Sari. 

Danji segera melompat dengan sigap. Sementara 

Belang yang telah mengenal ayah dan anak itu, 

menghampiri Prabu Adiwarman. Kepalanya langsung 

dielus-elus ke kaki laki-laki setengah baya itu, 

membuat Prabu Adiwarman tersenyum senang. 

Sementara Putri Permata Delima yang hatinya 

telah cemas dan merindukan kekasihnya, langsung 

merangkul. Begitu pula yang dilakukan Danji. 

Sebenarnya, sejak bertarung dengan burung hantu 

dan Nyai Pamunti, Danji segera melarikan diri 

bersama harimau itu. Si Belang memang sangat 

cerdik. Penciumannya sangat tajam. Setiap kali 

binatang ini kelihatan merasa aneh, dan memaksa 

Danji untuk segera menaiki punggungnya. 

Semula Danji kebingungan melihat sikapnya yang 

terkadang sulit dimengerti. Tetapi ketika si Belang 

menggeram ke sebuah dahan pohon, barulah Danji 

mengerti kalau burung hantu itu tengah mengikuti 

mereka. Lalu Danji pun segera menaiki punggung si 

Belang, dan meninggalkan tempat itu. 

Namun burung hantu tetap mengikutinya. Danji 

yang sudah khawatir kalau burung hantu itu tiba-tiba 

akan menyerang, harus bersabar menunggu. Karena, 

burung itu tidak berbuat apa-apa. Bahkan hanya 

memperhatikan dirinya dan si Belang. 

Hingga kemudian, sadarlah Danji. Ternyata burung 

hantu itu hanya memata-matainya saja. Makanya,

ketika si Belang mengajaknya meninggalkan tempat 

itu, Danji menolak. Bahkan tubuhnya dan tubuh si 

Belang dibiarkan saja nampak di mata burung hantu 

itu. 

Yang diduga Danji benar. Ternyata burung hantu 

itu akhirnya merasa yakin kalau di sinilah tempat 

tinggal Danji dan si Belang. Lalu ia pun segera 

terbang kembali untuk mengabarkan pada 

majikannya. 

Danji pun segera menaiki punggung si Belang lagi 

yang langsung melesat dan sesekali melihat-lihat 

sekelilingnya, karena khawatir burung hantu itu 

mendadak muncul kembali. Namun ternyata burung 

itu tidak muncul juga. 

Hingga akhirnya, Danji pun memutuskan untuk 

kembali ke Jurang Setan. Alangkah terkejutnya Danji 

ketika sampai di dasar jurang, tak seorang pun yang 

ditemui. Justru begitu banyak batu besar yang saling 

tumpuk berada di sana. Bila melihat keadaannya dan 

kemunculannya yang tiba-tiba, Danji yakin batu-batu 

itu pasti dijatuhkan dari atas. 

Tetapi melihat tak satu mayat pun yang ditemukan 

di sana, Danji yakin kalau Prabu Adiwarman dan yang 

lain sudah pindah dari sini. 

Segera Danji mengajak si Belang. Meskipun tidak 

tahu ke mana arah yang harus ditempuh, Danji 

meminta si Belang untuk mempercepat larinya. 

Danji lantas menemukan mayat-mayat yang ber-

eletakan yang dikenali di sebelah timur sana. Mayat 

para prajurit Kerajaan Labuan dan Kerajaan Pakuan. 

Tetapi, Kalau memang Prabu Adiwarman dan Putri 

Permata Delima telah tewas, di manakah mayatnya? 

Danji lantas mencari-cari mayat kedua junjungannya, 

dan dia juga tidak melihat mayat Tiroseta.

Danji lantas menyuruh si Belang berlari ke arah 

utara. Rupanya itu adalah jalan pintas. Dan apa yang 

diperkirakan Danji ternyata benar. Karena akhirnya, 

pemuda itu bertemu kedua junjungannya. Juga, 

melihat Tiroseta di antara mereka dalam keadaan 

penuh luka. Namun Senapati ini masih memper-

lihatkan kegagahannya. 

Rupanya, setelah melarikan diri dari serangan Nyai 

Pamunti dan Kokorongko, seperti yang telah di-

rencanakan, Prabu Adiwarman dan Putri Permata 

Delima akan menunggu Tiroseta di balik sebuah 

pohon trembesi yang besar. 

*** 

Prabu Adiwarman yang melihat kalau putrinya 

masih merangkul Danji dan begitu pula sebaliknya, 

hanya tersenyum saja. Hatinya terharu dan semakin 

yakin kalau keduanya secara diam-diam memang 

telah memadu kasih. Yah, sudah seharusnya laki-laki 

setengah baya ini mulai mengerti keadaan mereka 

yang sebenarnya. 

Meskipun Prabu Adiwarman tidak berbuat apa-apa 

untuk mengusik kedua remaja itu, tetapi akhirnya 

keduanya sadar. Mereka sama-sama melepaskan diri 

dan sama-sama menundukkan kepala. Kikuk. 

Prabu Adiwarman hanya tersenyum saja. 

"Dari mana saja kau, Danji?" tanya Prabu 

Adiwarman kemudian. 

"Maaf, Gusti Prabu.... Hamba..., hamba...." 

Danji tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena 

merasa malu akan sikapnya barusan terhadap Putri 

Permata Delima. 

"Sudahlah.... Kau bisa menceritakannya nanti.

Danji, akhirnya setelah kupikir, lebih baik kita kembali 

keraton...," kata Prabu Adiwarman tiba-tiba. 

"Ayahanda!" seru Putri Permata Delima terkejut. 

"Tidak ada jalan lain. Aku sudah bosan bermain 

kucing-kucingan seperti ini! Ah, Danji.... Untuk 

sementara kita bersembunyi lebih dulu. Kau tahu 

bukan, tempat persembunyian di daerah ini?" 

Danji hanya mengangguk. 

Sementara Tiroseta, memperhatikan sekeliling 

dengan mata waspada. 

***

10


Meskipun Ki Pangsawada dan Nyai Selastri alias 

Naga Gunung telah mempergunakan ajian 

pamungkas namun tetap saja Raja Akherat masih 

mampu bertahan. Ajian 'Tempur Nyawa' yang 

dilepaskan Ki Pangsawada sangat dahsyat. Suaranya 

bagaikan ledakan begitu tangannya bergerak. Begitu 

pula ajian 'Kemarau Tiga Musim' yang dilepaskan si 

Naga Gunung. Setiap kali tangannya berkelebat, 

terasa hawa panas menerpa ke arah Raja Akherat. 

Namun dengan ajian 'Himpunan Surya-Bayu-

Tanah', Raja Akherat membuat serangan kedua 

lawannya hampir-hampir tidak banyak membawa arti. 

Hal itu membuat Ki Pangsawada menjadi geram. 

Apalagi mengingat kalau Raja Akherat bermaksud 

menguasai rimba persilatan ini! 

Tiba-tiba saja Ki Pangsawada berputar bersalto ke 

belakang. Dan saat melayang, kedua pergelangan 

tangannya diadukan menjadi satu. 

Blarr! 

Mendadak saja terdengar suara yang begitu keras 

sekali, bagai petir menggelegar. 

"Ajian Tempur Nyawa' tingkat pertama!" seru Ki 

Pangsawada langsung meluruk ke arah Raja Akherat. 

Pada saat yang sama, tokoh sesat itu berusaha 

menahan. Sementara si Naga Gunung pun tengah 

menghimpun kekuatannya. 

Plak! Plak! 

Dua bentrokan antara Ki Pangsawada dengan Raja 

Akherat pun terjadi. Tampak Raja Akherat tersuruk ke

belakang dengan mulut berdarah. 

"Bangsat!" maki Raja Akherat murka. 

Seketika Raja Akherat merapal ajian 'Melayang 

Dua'nya yang sangat dahsyat. Maka saat itu juga 

tubuhnya pun bagai terpisah begitu saja, menjelma 

menjadi dua. 

"Ha... ha... ha...!" 

Dan kedua Raja Akherat terbahak-bahak. 

"Gila! Ilmu siluman rupanya!" desis Ki Pangsawada 

sambil bersiap. Begitu pula si Naga Gunung. 

Kini mereka akan menghadapi satu lawan satu, 

meskipun yang dilawan tetaplah Raja Akherat. 

"Hiaaa...!" 

Disertai bentakan keras, satu sama lain meluruk 

saling menyerang. 

Pertempuran sengit pun terjadi kembali. 

Dengan ajian 'Tempur Nyawa' tingkat pertama, Ki 

Pangsawada mencoba mendesak Raja Akherat 

dengan gencar. Serangan-serangannya sangat ber-

bahaya membuat Raja Akherat kelimpungan meng-

hadapinya. 

Sementara si Naga Gunung yang menghadapi Raja 

Akherat yang satunya lagi, justru terdesak hebat. 

Ajian 'Kemarau Tiga Musim'nya belum menjadi 

patokan untuk dapat melumpuhkan lawan ganasnya. 

Suatu keadaan mendadak saja terjadi. Saat itu, Ki 

Pangsawada sedang mencecar gencar Raja Akherat. 

Sementara, Raja Akherat yang satunya lagi sedang 

mendesak si Naga Gunung. Namun tiba-tiba saja, dua 

tubuh Raja Akherat kembali menjadi satu. Dan Raja 

Akherat pun jatuh terduduk bersila dengan kedua 

tangan bersatu di dada, 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memper-

hatikan dengan kening berkerut. Mereka yakin, kalau

lawan pasti tengah merapal ajian yang lebih tangguh 

lagi. Namun sebelum keduanya menyerang kembali, 

terlihat sebuah cahaya berwarna hitam berkelebat 

langsung menyusup ke tubuh Raja Akherat melalui 

ubun-ubun. 

Mendadak saja kedua mata Raja Akherat terbuka, 

memperlihatkan sinar amarah yang nyalang ber-

kilatan. Lalu dia berdiri tegak dengan gerakan kaku. 

"Ha... ha... ha...! Kalian akan sia-sia saja untuk 

mengalahkan aku, hah?! Akui aku sebagai orang 

nomor satu di rimba persilatan, maka kalian akan 

kubebaskan." kata Raja Akherat yang kelihatan aneh 

ini, jumawa. 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memper-

hatikan dengan kening berkerut. Semula mereka 

melihat betapa Raja Akherat dalam keadaan 

kelelahan karena tenaganya terkuras. Namun kini, dia 

tegak berdiri segar tak kurang suatu apa! 

Belum lagi mereka memikirkan apa yang tengah 

terjadi, tubuh Raja Akherat sudah meluruk deras de 

ngan pukulan beruntun. 

Zeb! Zeb! Zeb! 

Tiga buah serangan ganas mengandung tenaga 

tinggi dilepaskan dengan cepat. Ki Pangsawada dan 

Nyai Selastri kaget bukan main. Mereka merasa 

yakin, Raji Akherat sedang mengeluarkan ajian 

pamungkasnya. Maka dengan sebisanya mereka ber-

kelit ke samping kanan dan kiri, menghindari. 

Begitu pula Permadi yang masih memperhatikan. 

Namun mendadak pemuda itu menerjunkan diri 

dalam pertarungan. Kerisnya cepat berkelebat 

dengan ganas. 

"Ha... ha... ha...! Kalian akan mampus hari ini juga!" 

seru Raja Akherat sambil mengibaskan tangannya

menangkis keris Permadi. 

"Heh?!" 

Permadi terkejut setengah mati, melihat kerisnya 

patah! Sejenak pemuda itu tertegun. Namun keter-

tekunannya jelaslah suatu petaka. Tiba-tiba sebuah 

pukulan keras menerpa dadanya. 

Desss...! 

"Aaakh!" 

Permadi langsung terhuyung ke belakang disertai 

pekik kesakitan. Lalu tubuhnya ambruk setelah 

muntah darah berkali-kali. 

Melihat hal ini Ki Pangsawada dan si Naga Gunung 

terkejut setengah mati. Namun mereka pun harus 

kembali tunggang langgang menghindari serangan 

ganas Raja Akherat dengan teriakan-teriakan keji. 

Sementara itu, Ki Wirayuda akhirnya berhasil men-

desak Anomdoro, setelah tongkatnya berhasil 

menyabet kaki lawannya dua kali. Tepat ketika 

Anomdoro terpincang-pincang, tubuh si Penguasa 

Harimau berkelebat cepat dengan kaki lurus melepas 

tendangan. 

Anomdoro cepat mengegoskan tubuhnya ke kiri, 

sambil memapak. Namun di luar dugaan, Ki Wirayuda 

menarik pulang serangannya. Bahkan seketika 

tubuhnya berputar sambil mengebutkan tongkat 

kayunya. Dan.... 

Prakkk! 

"Aaakh...!" 

Dengan satu gerakan tipu yang manis sekali, Ki 

Wirayuda berhasil menggetok kepala Anomdoro. 

Setika itu juga kepala tokoh sesat ini pecah 

mengucurkan darah. Begitu ambruk, nyawanya pun 

melayang. 

Ki Wirayuda mendesah panjang sambil

memandangi mayat lawannya. Lega sudah, bisa 

menamatkan riwayat Anomdoro. Ketika kepalanya 

berpaling, tampak Ki Pangsawada dan Nyai Selastri 

terdesak hebat sekali, Keduanya bagai tersudut oleh 

serangan-serangan ganas yang dilakukan Raja 

Akherat. 

Saat itu juga Ki Wirayuda pun melesat membantu. 

Namun.... 

"Tolooong! Tolooong...!" 

Niat si Penguasa Harimau urung ketika telinganya 

mendengar jeritan keras. 

"Sari!" desis Ki Wirayuda. Saat itu juga laki-laki tua 

ini langsung melesat ke dalam. 

*** 

Raja Akherat terbahak-bahak melihat Ki 

Pangsawada dan Nyai Selastri kalang kabut seperti 

itu. Baginya kedua manusia itu harus mampus, 

karena tak mau mengakuinya sebagai orang nomor 

satu di rimba persilatan 

"Hiaaa...!" 

Dengan teriakan keras, Raja Akherat meluruk 

menerjang dengan sambaran-sambaran tangan yang 

bertenaga dalam penuh. 

Deb! Deb! 

Gemuruh suara pukulan Raja Akherat sangat keras 

terdengar, mampu menciutkan jantung yang diserang. 

Begitu pula yang dialami Ki Pangsawada dan Nyai 

Sulastri sekarang ini. Ajian 'Tempur Nyawa' tingkat 

pertama yang dilepaskan Ki Pangsawada tidak lagi 

membawa arti banyak. Demikian pula pukulan 

'Kemarau Tiga Musim' milik si Naga Gunung. 

Kedua tokoh golongan putih ini sangat heran,

mengapa tiba-tiba saja Raja Akherat menjadi begitu 

perkasa dan bertambah sakti? Apakah pengaruh dari 

cahaya hitam yang masuk ke tubuhnya tadi? 

Gempuran-gempuran Raja Akherat sangat 

mematikan, membuat Ki Pangsawada dan si Naga 

Gunung sudah yakin kalau saat inilah ajal menjemput 

mereka. 

Tepat ketika sambaran tangan Raja Akherat 

menemui sasaran, mendadak saja si Naga Gunung 

merasakan sesuatu menyambar dengan cepat. 

Sehingga, gempuran Raja Akherat pun luput. 

Sementara Ki Pangsawada pun merasa terkejut, 

ketika tidak merasakan sesuatu yang menghantam 

tubuhnya. Justru laki-laki tua ini melihat satu sosok 

tubuh berpakaian compang-camping berwajah tak 

karuan, sedang memapaki serangan Raja Akherat. 

"Andika! Bantulah aku untuk mengeluarkan 

Siluman Hutan Waringin dari tubuh Raja Akherat!" 

seru sosok berpakaian compang-camping yang tak 

lain Eyang Sasongko Murti sambil menghindari 

gempuran Raja Akherat. 

Dalam sekali lihat saja, Eyang Sasongko Murti 

sudah tahu kalau Siluman Hutan Waringin sudah 

menitis ke tubuh Raja Akherat. 

Memang, apa yang dikhawatirkan Eyang Sasongko 

Murti sudah terjadi. Cahaya hitam yang masuk ke 

ubun-ubun Raja Akherat adalah jelmaan dari Siluman 

Hutan Waringin. Siluman itu akhirnya menitis di tubuh 

Raja Akherat! Sudah tentu kesaktian Raja Akherat 

mendadak saja berlipat ganda, lebih hebat dari 

sebelumnya. Karna kini, ia dikendalikan tenaga 

Siluman Hutan Waringin! 

"Kalau Siluman Hutan Waringin tetap menyatu 

pada tubuh Raja Akherat, akan semakin sulit bagi kita

untuk menghancurkannya!" lanjut Eyang Sasongko 

Murti. 

Andika yang tadi menyelamatkan si Naga Gunung 

segera bersalto ke depan. Lalu diserangnya Raja 

Akherat dari bagian kiri. Sementara Eyang Sasongko 

Murti menyerang dari bagian kanan. 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung menghela 

napas panjang menyadari kalau umur mereka masih 

ada hingga saat ini. Mereka pun diam-diam merasa 

beruntung. Entah, siapa dua orang penolongnya itu? 

Yang satu kelihatan tua sekali dengan wajah sukar 

dilukiskan. Sementara kawannya adalah pemuda 

berwajah tampan dengan sepasang alis hitam seperti 

mata elang, mengenakan pakaian hijau. 

Ketika mendengar seruan dari yang tua itu 

sadarlah Ki Pangsawada dan si Naga Gunung, siapa 

sebenarnya pemuda itu. 

"Hei, Andika! Percuma kau dijuluki Pendekar 

Slebor kalau tak bisa membantuku mengeluarkan 

Siluman Hutan Waringin itu!" seru Eyang Sasongko 

Murti, seperti menanas-manasi. 

"Enaknya ngomong! Yang kuhadapi ini siluman." 

hardik Andika sambil melompat menghindari 

gempuran Raja Akherat yang kini dititisi Siluman 

Hutan Waringin. 

"Kau tinggal menggempur bagian ubun-ubun. 

Kalau dapat, ketok tiga kali dengan keras! Aku akan 

menghajar siluman itu, bila keluar dari tubuh Raja 

Akherat!" ujar Eyang Sasongko Murti. 

Andika segera menjalankan perintah. Namun, 

bukanlah pekerjaan mudah. Karena, Raja Akherat 

yang dikendalikan dan disatukan ilmunya oleh 

Siluman Hutan Waringin, justru kini menyerang 

dengan ganas.

Pendekar Slebor pun segera menggunakan tenaga 

petir warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sementara 

Eyang Sasongko Murti mengangkat kedua tangannya 

sehingga menimbulkan angin menderu-deru. 

Akan tetapi, kekuatan Siluman Hutan Waringin 

yang telah menggunakan tubuh Raja Akherat justru 

semakin bertambah saja. Selain ilmu siluman yang 

diperlihatkan, ia juga menggunakan kesaktian Raja 

Akherat yang tinggi. Sehingga, Andika dan Eyang 

Sasongko Murti harus tunggang langgang dibuatnya. 

"Ha... ha... ha...!" 

Raja Akherat terbahak-bahak. 

"Pendekar Slebor! Kalau waktu itu aku gagal mem-

bunuhmu, kini kau akan mampus di tanganku!" 

geram Raja Akherat. 

Begitu habis kata-katanya, Raja Akherat kembali 

menyerang. Sambaran tangannya bagaikan angin 

yang menderu keras. 

Pendekar Slebor dengan kelincahan yang didapat 

dari Lembah Kutukan, menghindari serangan. Lalu 

kain pusakanya yang bercorak catur di punggungnya 

disambarnya. Dan saat itu juga, kain pusaka warisan 

Ki Saptacakra dikebutkannya dengan kuat, 

menyambut sambaran tangan Raja Akherat. 

Wuuut! 

Braaat! 

Suara keras terdengar, begitu kain bercorak catur 

menyambar dan melilit tangan Raja Akherat. Sejenak 

terjadi dua kekuatan yang masing-masing dialiri 

tenaga dalam tinggi. 

"Heh!" 

Mendadak saja Andika melepaskan kainnya yang 

melilit di tangan Raja Akherat. Saat itu tangannya 

terasa panas yang luar biasa menyehgat.

Eyang Sasongko Murti menggeram. Segera 

diserangnya Raja Akherat dengan jurus-jurus siluman 

yang pernah dipelajarinya! 

"Sasongko! Kau memang bandel sekali! Dan tak 

akan kubiarkan kau untuk bertahan hidup lebih 

lama!" ancam Raja Akherat alias Siluman Hutan 

Waringin. 

"Siluman busuk! Keluarlah kau dari tubuh manusia 

laknat itu! Kita bertarung sampai mati! Dan, biarkan 

manusia busuk itu bertarung melawan Andika!" 

dengus Eyang Sasongko Murti. 

Laki-laki tua ini berusaha memanas-manasi 

Siluman Hutan Waringin. Karena menurutnya, akan 

lebih mudah menjatuhkan siluman itu daripada bila 

menitis pada tubuh seseorang. 

Namun tak ada sahutan. Yang ada hanyalah 

sambaran tenaga yang kuat sekali. 

Wesss...! 

"Ikatan Mambang Kahyangan!" seru Eyang 

Sasongko Murti. Segera kepalanya berpaling pada 

Andika. "Jangan gegabah! Bila kau terkena pukulan 

itu bisa mampus!" 

Andika mendengus. Diam-diam kini tenaga 'inti 

petir'nya disalurkan kembali pada kedua tangannya. 

Lalu diambilnya napas dalam-dalam dan ditahannya 

di perut. Sejenak dalam perutnya terasa ada sesuatu 

yang bergejolak dahsyat. 

Dan mendadak saja Pendekar Slebor memotong 

serangan Raja Akherat pada Eyang Sasongko Murti. 

"Guntur Selaksa tingkat satu!" teriak Pendekar 

Slebor, lantang. 

Seketika meluncurlah tubuh Andika yang telah 

dipenuhi kekuatan tenaga petir sangat dahsyat. 

Raja Akherat yang dititisi Siluman Hutan Waringin

dan sekarang sedang menyerang Eyang Sasongko 

Murti dapat membelokkan arah serangannya. Ia 

bermaksud memapaki serangan, namun tangan 

Andika yang telah merangkum tenaga 'Guntur 

Selaksa' lebih cepat mampir tubuhnya. Hingga.... 

Des! 

Blarrr! 

Terdengar ledakan keras bagai sambaran petir 

yang memekakkan telinga, menyambar tubuh Raja 

Akherat. Sementara Andika langsung bersalto ke 

belakang. Ia hanya melihat tubuh Raja Akherat 

menjadi agak hangus dengan rambut rontok. Namun 

keadaannya masih tetap tegar. Bahkan lebih garang 

lagi. 

"Bangsat! Mampuslah kau, Pendekar Slebor! Grrr!" 

Seketika tubuh Raja Akherat melesat kembali dan 

menyerbu dengan ganas. 

Pada saat yang sama, Eyang Sasongko Murti 

menerjang ke depan. Dengan ilmu dari negeri 

siluman, cepat ditangkap kedua tangan Raja Akherat. 

Tap! 

"Cepat pukul ubun-ubunnya tiga kali! Cepat, Bor!" 

ujar Eyang Sasongko Murti, tegang. 

Andika langsung melesat dan berputar dua kali di 

angkasa. Dan tiba-tiba tangannya cepat memukul 

ubun-bun Raja Akherat. 

Prak! Prak! 

Tepat ketika Pendekar Slebor memukul yang 

terakhir, Eyang Sasongko Murti melepaskan 

pegangannya. 

"Ghrrhh...!" 

Kini terdengar suara bagai raungan yang sangat 

kuat sekali. Sementara tubuh Raja Akherat berputar 

tak karuan.

"He... he... he...! Kau memang perjaka murni, Bor," 

ujar Eyang Sasongko Murti sambil terkekeh-kekeh. 

"Namaku Andika! Enaknya main panggil, 'Bor' 

saja!" rutuk Pendekar Slebor gemas sambil memper-

hatikan tubuh Raja Akherat yang kelojotan. 

"Kalau kau sudah bukan perjaka lagi, sulit untuk 

menyuruh keluar Siluman Hutan Waringin dari jasad 

Raja Akherat! Nah! Sebentar lagi, tubuh keduanya 

akan memisah! Kau hadapi Raja Akherat, sementara 

aku akan menghadapi Siluman Hutan Waringin!" ujar 

Eyai Sasongko Murti dengan wajah tegang. 

Andika dapat membaca ketegangan Eyang 

Sasongko Murti. 

"Eyang..., sanggupkah kau menghadapi siluman 

itu?" 

"Aku tidak tahu. Tetapi, satu-satunya yang mampu 

mengimbanginya adalah aku. Karena sedikit banyak-

nya aku menguasai ilmu negeri siluman. Jelek-jelek 

begini, aku pernah belajar sama siluman, kan?" sahut 

Eyang Sasongko Murti enteng. 

"Ya, lalu terdampar di Alam Sunyi selama seratus 

tahun!" balas Andika sambil terbahak-bahak. 

Eyang Sasongko Murti pun terbahak-bahak. 

Sedangkan Ki Pangsawada dan si Naga Gunung 

sedikit bingung memperhatikan. Bukannya Pendekar 

Slebor dan Eyang Sasongko Murti sungguh-sungguh 

menghadapi tokoh sesat itu, tapi malah tertawa 

terbahak-bahak. 

Dan mendadak saja mata Ki Pangsawada dan Nyai 

Selastri terbelalak, ketika melihat cahaya hitam 

keluar dari ubun-ubun Raja Akherat, lalu berubah 

menjadi sosok mengerikan bermata satu di 

keningnya. Kedua tangan dan kakinya agak bengkok 

bersirip. Kupingnya tinggi dengan lidah terjulur keluar

berbau busuk! 

Inikah yang disebut Siluman Hutan Waringin yang 

menitis di tubuh Raja Akherat? Desis mereka. 

Dan kedua tokoh itu melihat Eyang Sasongko Murti 

nampak bersiaga dengan kedua tangan membuka. 

"Heaaa...!" 

Dan mendadak saja Siluman Hutan Waringin 

menyerang Eyang Sasongko Murti yang memang 

sudah mempersiapkan diri dengan ilmu dari negeri 

siluman. 

Sementara Raja Akherat menggeram marah. 

Ketika dititisi Siluman Hutan Waringin, ingatannya 

sebenarnya sadar. Makanya, dia menggeram pada 

Pendekar Slebor. 

"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus kau datang ke sini, 

Pendekar Slebor! Ayo, bersujudlah. Dan, beri 

kesaksian kalau aku adalah Raja Nomor Satu di 

rimba persilatan ini!" 

"Jidatmu busuk!" balas Andika, sambil mem-

perhatikan sekujur tubuh Raja Akherat yang sudah 

menghitam akibat sambaran pukulan 'Guntur 

Selaksa' yang dilepaskannya tadi. "Kalau kau 

meminta padaku untuk mengakuimu sebagai raja 

monyet nomor satu, jelas saja aku setuju! Sejak tadi, 

sebenarnya aku ragu. Yang kuhadapi ini raja monyet, 

atau raja orang utan?" 

Wajah Raja Akherat merah padam. Maka 

mendadak saja mulutnya memekik keras. Lalu kedua 

tangannya merentang, menggelar jurus 'Himpunan 

Surya-Bayu-Tanah'. Dan seketika tubuhnya meluruk 

menderu dengan seruan sangat keras. Begitu tubuh 

Raja Akherat melesat ke arah Pendekar Slebor, Ki 

Pangsawada dan si Naga Gunung pun bersiap 

mengeroyok.

Namun keinginan mereka segera diurungkan, 

setelah melihat Nyai Pamunti alias Wanita Burung 

Hantu dan Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis 

muncul dengan tergesa-gesa. 

Dalam sekali pandang, mereka yakin kalau Nyai 

Pamunti dan Kokorongko telah bersekutu dengan 

Raja Akherat. 

Maka pertarungan pun segera terjadi dengan 

sengit. 

***

11


Di dalam Keraton Kerajaan Pakuan, tanpa kesulitan 

Ki Wirayuda menemukan sumber jeritan minta tolong 

tadi. Seperti yang diduga jeritan berasal dari mulut 

Sari. 

"Sari!" seru si Penguasa Harimau sambil bergegas 

mendekatinya. 

"Oh, Ayah.... Untung kau datang, Ayah...," desah 

Sari dengan suara tegar. Hatinya sudah tidak sabar 

untuk membalas perbuatan Raja Akherat. 

Ki Wirayuda bermaksud membuka ikatan Sari, 

namun.... 

"Oh! Gila! Rupanya tadi tali ini dialiri tenaga dalam 

yang langsung terkunci," pekik Ki Wirayuda. 

"Bisakah Ayah membebaskannya?" tanya Sari 

dengan suara tenang. 

Sari berteriak tadi, memang menginginkan agar 

yang berada di luar sana mengetahui dan mem-

bebaskannya agar bisa dengan segera membalas 

perbuatan Raja Akherat yang telah lama 

mengurungnya di sini. Sejak tadi Sari memang men-

dengar teriakan dan suara orang bertarung di luar. 

Dan sungguh tak disangka, justru ayahnya sendiri 

yang muncul. Sudah tentu ketenangan Sari semakin 

nampak. 

Ki Wirayuda terdiam sejenak, lalu kedua matanya 

terpejam. Cukup lama juga dia melakukan hal itu, 

karena memang harus memulihkan tenaga dalam 

dan hawa murni setelah bertarung dengan Anomdoro. 

Lalu perlahan-lahan mata si Penguasa Harimau

membuka. 

"Sari..., bantulah aku dengan tenaga dalammu juga 

untuk membuka ikatan itu," ujar Ki Wirayuda. 

"Baik, Ayah...." 

Lalu mulailah Ki Wirayuda menempelkan telapak 

tangan pada ikatan tali yang mengikat tangan Sari. 

Dan gadis itu pun segera mengalirkan tenaga 

dalamnya pula. 

Kini Sari sedikit tenang atas kehadiran bapaknya. 

Tetapi si Belang. Di manakah si Belang? 

*** 

Empat pertarungan di halaman Keraton Pakuan 

pun terjadi dengan sengit. Bahkan sangat 

mengerikan. Terutama pertarungan antara Eyang 

Sasongko Murti dengan Siluman Hutan Waringin. 

Juga tak kalah dahsyatnya pertarungan Andika 

melawan Raja Akherat. 

Gempuran-gempuran yang berbahaya terjadi di 

antara mereka. Ki Pangsawada sendiri menghadapi 

serangan-serangan gencar Kokorongko. Sementara si 

Naga Gunung harus mengimbangi kecepatan Wanita 

Burung Hantu. 

Setelah gagal menangkap Prabu Adiwarman dan 

Putri Permata Delima, Nyai Pamunti dan Kokorongko 

memang terus mencari. Namun sebelum kedua 

buruannya diketemukan, mendadak saja burung 

hantu peliharaan Nyai Pamunti datang, mengabarkan 

kalau telah mengetahui keberadaan Danji dan si 

Belang. Namun ada sesuatu yang lebih menarik lagi 

yang dapat diketahui Nyai Pamunti. 

Rupanya, burung hantu itu mencarinya di Kerajaan 

Pakuan. Tetapi, tidak ditemukan. Si Manis pun

melaporkan hal itu pada majikannya, yang segera 

mengurungkan niat untuk mencari Prabu Adiwarman 

dan Putri Permata Delima. Bersama Kokorongko, 

mereka berlari kencang, sementara si Manis terbang 

mengikutinya. 

Raja Akherat terus menggempur Andika dengan 

serangan maha dahsyat dan mengerikan. Namun 

Andika dengan mengandalkan kelincahan, dapat 

menghindarinya. Bahkan membuat Raja Akherat 

menggeram marah. 

Pertarungan yang sudah berlangsung puluhan 

jurus, semakin seru saja. Masing-masing ingin 

menguasai dan menjatuhkan. Andika sendiri merasa, 

lawan sangat tangguh. Berkali-kali ia harus meng-

hindar, bila tidak ingin terkena pukulan keras Raja 

Akherat. 

"Aku tidak suka bermain kucing-kucingan seperti 

ini! Lebih baik akui, aku ini orang nomor satu di rimba 

persilatan!" seru Raja Akherat. 

Sementara itu, Ki Pangsawada kini mencecar 

Kokorongko dengan cepat. Ajian 'Tempur Nyawa' 

tingkat pertama sudah dipergunakan. Sehingga, 

menyulitkan Kokorongko. Dan mendadak saja 

mereka bersalto ke belakang. Dan seketika mereka 

sama-sama menderu maju kencang dan sama-sama 

mengeluarkan tenaga dalam tinggi serta ajian maut. 

"Heaaattt!" 

"Teaaa!" 

Dua seruan keras itu pun terdengar bersama 

tubuh mereka yang saling menyongsong. Lalu.... 

Duaaarrr! 

Dua tenaga dahsyat itu menimbulkan ledakan 

keras menggelegar. Seketika di tempat mereka 

bertemu tenaga tadi, mengepul asap putih yang

cukup tebal. Sementara dedaunan semakin banyak 

yang gugur. Lalu terlihatlah dua sosok tubuh 

terhuyung ke belakang sambil sama-sama memegang 

dada. 

Ki Pangsawada berusaha menekan rasa sakit di 

dadanya, namun tak kuasa juga. Kepalanya 

mendadak menjadi pusing. Tenaganya banyak yang 

keluar. Akhirnya laki-laki itu pun ambruk jatuh 

pingsan. 

Sementara Kokorongko begitu jatuh ke tanah, 

berkelojotan hebat. Rupanya, dia terkena telak ajian 

'Tempur Nyawa'. Setelah sempoyongan beberapa 

saat, tubuhnya pun ambruk dan tak bernyawa lagi. 

Sementara itu si Naga Gunung terus melabrak Nyai 

Pamunti dengan hebatnya. Kini tampak Wanita 

Burung Hantu harus terdesak. 

"Suiiittt...!" 

Namun wanita sesat ini tak kehilangan akal. 

Dan mendadak saja terdengar siulan keras Nyai 

Pamunti, memanggil burung hantunya. Seketika 

burung peliharaan itu menyerang si Naga Gunung 

dengan ganasnya. 

Dan justru hal itulah yang membuat si Naga 

Gunung menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja 

dengan gerakan cepat, kakinya berputar. Pada saat 

yang sama burung hantu tengah meluruk 

menyerangnya. Sehingga.... 

Prakkk! 

"Krieekhh!" 

Burung hantu itu hancur berantakan, terkena 

tendangan berisi tenaga dalam penuh. Serpihan-

serpihan dagingnya berjatuhan di atas tanah. 

"Manisss...!" jerit Nyai Pamunti keras. 

Dengan kemarahan membludak, Wanita Burung

Hantu meluruk menyerang. 

Pada saat yang sama, Nyai Selastri juga meluruk 

dengan ajian pamungkas. Begitu kedua serangan itu 

bertemu.... 

Desss...! Desss...! 

"Aaakh...!" 

Wanita Burung Hantu termakan pukulan si Naga 

Gunung berkali-kali. Tubuhnya seketika terpental, dan 

ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Sementara 

si Naga Gunung sendiri harus terjajar ke belakang. 

Dada terasakan sesak. Agaknya, dengan matinya 

binatang ke-sayangannya, kekuatan Nyai Pamunti 

seolah sirna. 

Sementara itu Raja Akherat terus mendesak 

Andika dengan ganasnya. Kemarahannya semakin 

bertambah, setelah menyadari Andika sangat sulit 

ditaklukkan. Bahkan sekarang dia yang justru 

terdesak. 

"Keparat!" maki Raja Akherat. 

"Orang yang ingin menjadi nomor satu di rimba 

persilatan, mestinya bertampang ganteng. Tidak 

sepertimu!" ejek Andika. Serangan demi serangan 

yang semakin dahsyat dilancarkan Pendekar Slebor. 

Bahkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima warisan 

Pendekar Lembah Kutukan sudah digunakannya 

dengan gencar, membuat Raja Akherat kocar-kacir. 

Dan mendadak saja laki-laki sesat itu merangsek 

dengan gempuran sangat kuat. 

"Andika! Kita harus mampus bersama-sama!" seru 

Raja Akherat sambil menerjang deras. 

Andika terkejut melihat serangan yang nekat. 

Cepat Pendekar Slebor melompat ke atas seraya 

berputaran beberapa kali. Dan tiba-tiba tubuhnya 

meluruk dengan kedua kakinya menjejak kepala Raja

Akherat. 

Diegkh! 

Orang kejam itu kontan harus tersungkur di tanah. 

Sementara Andika yang merasa kesempatan sudah 

ada di depan matanya pun segera menghimpun 

kekuatan dahsyat. Begitu menjejak tanah, tubuhnya 

meluncur sambil menghujamkan tangan ke tubuh 

Raja Akherat yang tak berdaya. 

Desss! 

"Aaakh...!" 

Tubuh Raja Akherat pun perlahan-lahan melemah 

dengan tubuh terhuyung-huyung. Dia benar-benar 

sudah tidak mampu menahan dan melawan 

serangan-serangan Pendekar Slebor. 

Dan begitu sekali lagi Pendekar Slebor 

menghantam, tubuh Raja Akherat ambruk di tanah. 

Seketika Andika menginjak-injak jasad Raja Akherat 

yang telah menjadi mayat. 

Eyang Sasongko Murti sedang menggempur 

Siluman Hutan Waringin dengan dahsyat. Tampak 

berkali-kali tubuh laki-laki tua aneh itu harus terkena 

pukulan hebat dari Siluman Hutan Waringin. 

Seperti yang terjadi di Alam Sunyi, pertarungan 

nampak lebih mengerikan lagi. Bumi yang dipijak 

seakan bergoyang menerima getaran keduanya. Dan 

mendadak saja Eyang Sasongko Murti mengambil 

sesuatu dari balik bajunya yang compang-camping. 

Gumpalan kain berisi tetesan darah Andika! 

Seketika, Eyang Sasongko Murti melemparkan 

kain itu ke arah Siluman Hutan Waringin yang tak bisa 

menghindar lagi. 

"Aaagrrh...!" 

Mendadak saja Siluman Hutan Waringin menjerit-

jerit keras. Namun Eyang Sasongko Murti tidak ingin

membuang kesempatan lagi. Dan memang, siluman 

itu harus dimusnahkan. Dicecarnya siluman itu 

dengan gumpalan kain berisi tetesan darah Andika. 

Rupanya darah seorang perjaka suci membuat 

seluruh tubuh siluman itu kepanasan! 

Karena tak kuasa menahan derita, Siluman Hutan 

Waringin pun menghilang, berubah menjadi asap. 

"Sasongko! Aku akan datang lagi untuk 

mencarimu!" ancam suara dari balik asap, terdengar 

menggema. 

Eyang Sasongko Murti mendesah lega begitu asap 

itu sirna. Demikian pula Pendekar Slebor. Namun 

mereka yang berada di sana, termasuk Ki 

Pangsawada dan si Naga Gunung kontan terkejut 

ketika.... 

"Pendekar Slebor! Kali ini aku gagal 

membunuhmu. Juga, menguasai dunia persilatan. 

Tetapi, yakinlah. Kita pasti akan bertemu lagi!" 

terdengar suara dari atap Keraton Pakuan. 

Andika tercekat! 

"Raja Akherat!" 

Andika cepat berpaling untuk melihat mayat Raja 

Akherat yang tadi diinjak-injaknya dan telah menjadi 

mayat. Ternyata jasad tokoh sesat itu sudah tidak ada 

lagi. Sadarlah Andika, kalau manusia bangsat itu 

telah mempergunakan ilmu 'Melayang Dua'nya. 

Belum habis keterkejutan mereka, muncul dua 

sosok tubuh dari dalam keraton. Ki Wirayuda dan 

Sari. Rupanya, Ki Wirayuda berhasil membebaskan 

putrinya. Begitu melihat Andika, Sari melotot. 

"Pendekar Bego! Ke mana saja kau, hah?! Kau 

biarkan aku dan yang lain menanggung petaka!" caci 

Sari. 

Andika terdiam. Tidak berkata-kata. Pendekar

Slebor tidak tahu, siapa yang salah. Justru Eyang 

Sasongko Murti yang kemudian menjelaskan 

semuanya, sehingga membuat Sari tersipu malu. 

Suasana semakin bertambah lega, ketika muncul 

Prabu Adiwarman, Putri Permata Delima, Danji, dan si 

Belang yang langsung mendekati Sari, begitu 

melihatnya. 

Mulai hari ini, mulailah Prabu Adiwarman 

membangun kembali Kerajaan Pakuan dengan 

bantuan orang-orang perkasa yang telah 

menolongnya. Termasuk, Pendekar Slebor. 



                        SELESAI 


Serial Pendekar Slebor selanjutnya : 

MANUSIA PEMUJA BULAN







Share:

0 comments:

Posting Komentar