..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE PERSEMBAHAN RAJA SETYAGARA

Persembahan Raja Setyagara


PERSEMBAHAN RAJA SETYAGARA

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Persembahan Raja Setyagara

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Suasana duka masih melingkupi Kerajaan 

Sutera Bayu, setelah mangkatnya sang Prabu 

Mulya Dewantara. Wajah-wajah mendung bukan 

saja masih tergambar pada masing-masing peng-

huni Istana Sutera Bayu. Tapi, juga pada pendu-

duk yang masih berada dalam wilayah kekuasaan 

Kerajaan Sutera Baya. Dan kini, tampuk kekua-

saan tertinggi kerajaan itu dipegang oleh Setyaga-

ra.

Dan ini sudah dua purnama Prabu Setya-

gara menduduki tahta, setelah kematian sang 

Prabu Mulya Dewantara yang terserang penyakit 

cukup aneh. Tak ada yang tahu, apa jenis penya-

kitnya. Jika penyakit itu datang, sang Prabu men-

jadi lupa pada orang-orang di sekitar istana. Baik 

pada permaisuri, maupun putra tunggalnya yang 

bernama Bintang Megantara. Yang lebih parah la-

gi, sang Prabu Mulya Dewantara lupa pada di-

rinya sendiri!

Baik tabib istana maupun tabib yang ting-

gal di wilayah Kerajaan Sutera Bayu telah pula 

berusaha mengobati penyakit aneh Yang Mulia 

Prabu Mulya Dewantara. Namun kedatangan me-

reka hanya sia-sia belaka. Penyakit aneh yang di-

derita Yang Mulia tetap saja tidak dapat disem-

buhkan. Begitu juga ketika tabib-tabib sakti yang 

tinggal di luar Kerajaan Sutera Bayu didatangkan. 

Hasil yang didapat juga sama nihil.


Akhirnya entah desas-desus dari mana 

timbul suatu kecurigaan, kalau patihnya sendiri-

lah yang telah melenyapkan nyawa Yang Mulia 

Prabu Mulya Dewantara. Benarkah patih itu yang 

melenyapkan nyawa sang Prabu?

***

"Patih Laksa!" panggil Prabu Mulya Dewan-

tara pada seorang patih kepercayaannya. Dia ber-

nama lengkap Patih Abadi Selaksa.

Patih Abadi Selaksa terkejut mendengar 

namanya disebut junjungannya. Padahal sudah 

hampir satu minggu, namanya selalu dipanggil 

dengan sebutan kata-kata kotor. Tapi sekarang....

"Hamba, Yang Mulia," sahut Patih Abadi 

Selaksa dengan kepala sedikit tertunduk.

Sungguh, patih setia itu senang menda-

patkan kenyataan bahwa junjungannya telah 

kembali pada ingatannya semula.

"Apa gerangan yang dapat hamba bantu, 

Yang Mulia?" lanjut Patih Abadi Selaksa, dengan 

tutur kata lembut

Prabu Mulya Dewantara tersenyum sebe-

lum menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa.

"Bisakah kau mengantarku ke Desa Batua-

pung?" pinta Prabu Mulya Dewantara.

"Hamba bersedia, Yang Mulia," jawab Patih 

Abadi Selaksa cepat

Namun tatapan mata patih yang berusia 

hampir enam puluh tahun itu terlihat menyimpan


ketidak-percayaan akan keinginan junjungannya 

untuk datang ke Desa Batuapung. Padahal, desa 

tandus itu hanya dihuni segelintir orang. Apalagi, 

desa itu juga dikelilingi jurang-jurang curam, 

bahkan bukanlah termasuk wilayah kekuasaan 

Kerajaan Sutera Bayu

"Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap Patih 

Abadi Selaksa setelah beberapa saat menatap wa-

jah Prabu Mulya Dewantara. "Kalau boleh hamba 

tahu, gerangan apakah yang membuat Yang Mu-

lia hendak berkunjung ke Desa Batuapung?"

"Ha ha ha...!"

Di luar dugaan Patih Abadi Selaksa, Prabu 

Mulya Dewantara terbahak keras. 

"Kau abdiku, Laksa!" tukas Prabu Mulya 

Dewantara keras dengan jari telunjuk menuding 

wajah Patih Abadi Selaksa.

Patih Abadi Selaksa terkejut mendengar 

suara keras junjungannya. Lelaki berwajah tirus 

dengan sorot mata masih nampak menyisakan 

kegagahan masa lalunya, kini hanya menunduk-

kan kepala menekuri lantai yang tertutup perma-

dani begitu indah.

"Kau tak perlu tahu, apa urusanku di sana, 

Laksa! Yang kutanyakan, apakah kau bersedia 

menemaniku ke sana! Jika tidak, kepalamulah 

yang kubawa, tanpa badanmu!" lanjut Prabu 

Mulya Dewantara, setelah tawanya yang mengge-

ma ke dinding-dinding istana lenyap.

"Hamba bersedia, Yang Mulia," tukas Patih 

Abadi Selaksa cepat. Kepalanya yang tertunduk,


semakin dalam menekuri permadani bercorak bu-

nga-bunga indah yang berwarna dasar kecokla-

tan.

"Ha ha ha.... Bagus! Kau memang betul-

betul abdiku, Laksa! Sekarang juga, kita berang-

kat," putus Prabu Mulya Dewantara diiringi ta-

wanya.

"Baik, Yang Mulia," jawab sang Patih.

Penguasa Kerajaan Sutera Bayu itu lalu 

segera bangkit dari singgasananya, diikuti Patih 

Abadi Selaksa.

"Aku boleh ikut. Ayah?" tanya seorang pe-

muda tampan berusia hampir tujuh belas tahun 

yang sejak tadi memang telah ada di situ.

Pemuda berpakaian warna kuning gading 

itu tak lain adalah Bintang Megantara, putra 

tunggal Prabu Mulya Dewantara. Sementara, pen-

guasa Kerajaan Sutera Bayu itu menghentikan 

langkahnya, begitu mendengar pertanyaan putra 

kesayangannya. Dan wajahnya pun seketika me-

noleh ke arah Bintang Megantara.

"Tak seorang pun kuperkenankan ikut, ter-

kecuali Patih Laksa," jawab Prabu Mulya Dewan-

tara.

Bintang Megantara sedikit terkejut men-

dengar jawaban tegas ayahandanya. Keinginan 

hatinya untuk turut serta kini benar-benar surut. 

Apalagi, setelah ibunda tercinta mengharuskan-

nya menuruti kata-kata ayahnya. Meski permai-

suri sang Prabu sendiri heran mendengar ucapan 

suaminya, namun berusaha memakluminya.


Mengingat, Prabu Mulya Dewantara tengah men-

derita suatu jenis penyakit aneh.

***

Langit kotaraja yang baru disirami sinar 

matahari pagi, seolah memberi semangat Prabu 

Mulya Dewantara untuk berangkat mengunjungi 

Desa Batuapung yang tandus dan dikelilingi ju-

rang-jurang terjal.

Beberapa pejabat tinggi kerajaan yang kini 

turut berdiri di pelataran Istana Sutera Bayu, ter-

lihat memandangi junjungannya yang telah du-

duk di atas kuda putih yang gagah. Di atas pung-

gung kuda coklat, Patih Abadi Selaksa dengan se-

tia menunggu perintah junjungannya yang ber-

kuda di sampingnya. Namun begitu, di benak pa-

tih yang sudah puluhan tahun menemani kehi-

dupan sang Prabu ini terpendam pertanyaan-

pertanyaan akan keinginan aneh Prabu Mulya 

Dewantara. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit di-

temukan jawabannya sampai tiba di Desa Batua-

pung.

"Ayo, Laksa!" sentak Prabu Mulya Dewan-

tara mengejutkan Patih Abadi Selaksa. Sang Pra-

bu seketika itu juga menggebah kuda tunggan-

gannya. "Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Patih Abadi Selaksa pun tak mau ketingga-

lan. Dengan teriakan keras, patih berpakaian pu-

tih bersih itu menggebah kuda coklat yang di


tungganginya.

Kuda putih dan coklat yang ditunggangi 

Prabu Mulya Dewantara dan Patih Abadi Selaksa 

sudah melesat cepat meninggalkan pelataran Is-

tana Sutera Bayu. Berpasang-pasang mata para 

pejabat-pejabat tinggi kerajaan mengiringi keper-

gian junjungannya dengan benak dipenuhi perta-

nyaan akan keanehan-keanehan yang ada. Demi-

kian pula sang Permaisuri dan sang Putra Mahko-

ta.

Dua sosok yang paling dekat dengan Prabu 

Mulya Dewantara itu mengiringi kepergian orang 

yang dicintai disertai kekhawatiran dan kecema-

san mendalam.

"Ahhh....!"

Terdengar helaan napas berat dari Permai-

suri Citra Laras saat Prabu Mulya Dewantara te-

lah lenyap di kelokan jalan.

***

Desa Batuapung yang terletak di luar wi-

layah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu kini mulai 

dimasuki oleh Prabu Mulya Dewantara dan Patih 

Abadi Selaksa. Hampir satu setengah hari untuk 

mencapai desa tandus yang berhawa panas ini. 

Nampak kelelahan menghiasi wajah sang Prabu 

yang tak terbiasa bepergian jauh dengan me-

nunggang kuda yang dikendalikannya sendiri.

Sebenarnya Patih Abadi Selaksa tak tega 

melihat junjungannya menderita keletihan seperti



itu. Terlebih, ketika sang Prabu memerintahkan 

melepas kuda-kuda yang ditunggangi seharian 

penuh dan mengajak menelusuri daerah yang di-

kelilingi jurang terjal dengan karang-karangnya 

yang runcing.

"Lebih baik kuda-kuda itu ditambatkan di 

tempat ini saja, Yang Mulia," saran Patih Abadi 

Selaksa, setelah mereka turun dari kuda masing-

masing. "Yang Mulia akan dapat menggunakan-

nya kembali jika diperlukan nanti."

"Kau mulai pandai membantah, Babi! Ka-

lau kukatakan lepas, lepaskanlah kuda-kuda itu! 

Biar mereka pergi!" bentak sang Prabu garang, 

mengganti panggilan Patih Abadi Selaksa dengan 

kata-kata kotor.

Lelaki berusia hampir enam puluh tahun 

yang dipanggil 'babi' itu terkejut bukan kepalang. 

Rasanya penyakit Prabu Mulya Dewantara mun-

cul kembali.

"Baik... Baik, Yang Mulia," ucap Patih Ab-

adi Selaksa seraya melepas kedua tali kekang ku-

da yang kini telah dipegang.

Sesaat kemudian patih itu memukul bo-

kong kedua kuda tunggangan mereka yang segera 

berlarian cepat, meninggalkan kepulan yang 

membumbung tinggi di udara.

"Ha ha ha...!

Prabu Mulya Dewantara tertawa sesaat ke-

pergian kuda-kuda itu.

"Ternyata kau bisa juga memenuhi perin-

tahku, Babi!" kata Prabu Mulya Dewantara me


nyakitkan hati Patih Abadi Selaksa.

"Tentu saja hamba akan selalu memenuhi 

perintah Yang Mulia," tutur Patih Abadi Selaksa, 

dengan kegeraman ditahan.

"Kalau begitu, mari kita susuri bibir jurang 

itu," ajak Prabu Mulya Dewantara seraya melang-

kah.

Ada perasaan khawatir yang tiba-tiba saja 

menyelinap di hati Patih Abadi Selaksa menden-

gar ajakan junjungannya. Namun patih ini tak 

tahu betul, apa makna kekhawatiran hatinya. 

Bahkan sampai-sampai ajakan sang Prabu tak 

mampu ditolaknya.

Langkah kaki sang Prabu yang menapaki 

bibir jurang Desa Batuapung diikuti Patih Abadi 

Selaksa. Beberapa penduduk desa yang tengah 

mencari batu-batu dan kebetulan berpapasan, 

berbaik hati memperingati dua orang dari Kera-

jaan Sutera Bayu.

"Hati-hati, Tuan. Tanah di bibir jurang itu 

amat gembur," jelas seorang penduduk Desa Ba-

tuapung yang berpapasan dengan sang Prabu dan 

Patih Abadi Selaksa ini.

"Terima kasih, Kisanak," jawab Patih Abadi 

Selaksa, menanggapi pemberitahuan itu.

Sementara Prabu Mulya Dewantara hanya 

memandangi lelaki bertubuh tinggi kurus yang 

membawa linggis dengan tatapan memancarkan 

ketidak-senangan.

"Sebaiknya Yang Mulia berjalan agak ke 

tengah," saran Patih Abadi Selaksa ketika penduduk Desa Batuapung itu sudah agak jauh dari 

mereka.

"Kurang ajar sekali kau, Anjing!" maki sang 

Prabu marah.

Patih Abadi Selaksa tak kuasa membiarkan 

perkataan junjungannya.

"Hamba mencemaskan Yang Mulia. Hamba 

takut, Yang Mulia tergelincir," ujar Patih Abadi 

Selaksa mencoba meredam kemarahan sang Pra-

bu.

"Monyet Hutan!" bentak sang Prabu geram.

Srat!

Terbelalak mata Patih Abadi Selaksa meli-

hat penguasa Kerajaan Sutera Bayu ini sudah 

meloloskan pedang dari warangka di pinggang se-

belah kiri.

"Yang Mulia...?" bergetar suara yang keluar 

dari mulut Patih Abadi Selaksa.

"Ha ha ha...!" Prabu Mulya Dewantara ter-

bahak menyaksikan kegentaran Patih Abadi Se-

laksa. "Sengaja aku mengajakmu ke tempat ini, 

Monyet! Aku ingin bertarung melawan Monyet 

Hutan macam kau! Aku ingin tahu, siapa yang ja-

go bermain pedang di antara kita. Dan aku juga 

ingin tahu, siapa di antara kita yang akan mati 

lebih dahulu."

Terhadap keinginan sang Prabu, Patih Ab-

adi Selaksa tak bisa memenuhinya. Pikirannya 

betul-betul kacau. Dia yakin ucapan sang Prabu 

bukanlah keluar dari keinginan hatinya. Tapi, ka-

rena penyakit yang tengah diderita. Penyakit yang


membuat sang Prabu lupa pada dirinya sendiri, 

dan juga pada orang terdekatnya.

"Yang Mulia...?"

Patih Abadi Selaksa masih berusaha me-

nyadarkan pikiran Prabu Mulya Dewantara. Na-

mun, apa yang didapat hanya keterkejutan yang 

semakin menjadi-jadi.

"Cabut senjatamu, Monyet!" sentak sang 

Prabu menggelegar.

Patih Abadi Selaksa tentu saja tak sudi 

menuruti perintah junjungannya yang di luar ba-

tas kewajaran sebagai abdi setia. Namun rupanya 

tindakan lelaki berpakaian putih dengan rambut 

panjang digelung ke atas itu, membuat kemara-

han Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara semakin 

naik ke ubun-ubun.

Dengan serta merta dan tanpa diduga sa-

ma sekali, Prabu Mulya Dewantara membabatkan 

senjatanya ke arah dada Patih Abadi Selaksa.

"Haaa...!"

Bettt!

Melihat sambaran pedang ini, Patih Abadi 

Selaksa berusaha menghindar dengan bergeser 

sedikit ke kiri, namun....

"Heh?!"

Srats!

Patih Abadi Selaksa terpekik kecil ketika 

sambaran pedang milik Prabu Mulya Dewantara 

berhasil menggores pangkal tangan sebelah ka-

nannya. Darah kontan mengucur dari luka di 

tangannya. Luka yang tidak seberapa besar, namun cukup membuat kekalutan pada pikirannya.

"Kalau kau tak ingin mampus, cabut segera 

senjatamu, Babi!" sentak sang Prabu, kasar.

Sesungguhnya sang Prabu tak pernah ber-

kata kasar seperti itu, sebelum penyakit aneh 

menguasai dirinya. Dia sebenarnya adalah seo-

rang raja yang arif dan bijaksana. Bahkan selalu 

bertutur kata lemah lembut. Namun sekarang?

Terhadap permintaan sang Prabu, tentu 

saja sang Patih tak pernah memenuhinya. Apala-

gi, dia terlalu menghormati dan mencintai ra-

janya. 

"Memang kau cari mampus, Monyet!"

"Hiyaaa...!"

Kembali Prabu Mulya Dewantara menge-

butkan pedangnya dengan gerakan cepat ke arah 

dada. 

"Uts!"

Kali ini, Patih Abadi Selaksa bergerak lin-

cah ke arah kanan, untuk menghindari sambaran 

pedang yang terlihat tidak main-main. Gerakan-

nya memang cukup tangkas. Terbukti, sambaran 

senjata Prabu Mulya Dewantara hanya menerpa 

angin kosong

"Bangsat kau!" maki sang Prabu semakin 

kalap.

Pedang di tangan Prabu Mulya Dewantara 

tiba-tiba diputar-putar cepat, hingga wujud as-

linya tak nampak. Kenyataan itu membuat Patih 

Abadi Selaksa terkejut. Sungguh dirinya tak tahu, 

dari mana Prabu Mulya Dewantara mendapatkan


ilmu permainan pedang seperti itu. Padahal, sebe-

lumnya dia tak pernah mempunyai kepandaian 

seperti itu. Namun dari gaya permainan pedang 

itu, Patih Abadi Selaksa sepertinya pernah men-

genalinya. Jelas gaya itu milik seorang tokoh per-

silatan golongan hitam, patih ini memang pernah 

melihatnya, namun tidak tahu jelas, siapa tokoh 

itu.

"Hiyaaat...!"

Di tengah-tengah pikiran Patih Abadi Se-

laksa yang tengah berkecamuk, Prabu Mulya De-

wantara kembali bergerak cepat dengan senjata 

masih berputar-putar di tangan kanan. Kini gera-

kannya lebih cepat daripada gerakan awal saat 

menyerang Patih Abadi Selaksa.

Tentu saja, apa yang dilakukan sang Prabu 

membuat Patih Abadi Selaksa tak kuasa berpikir

jernih. Maka ketika serangan itu semakin mende-

kat, serta merta Patih Abadi Selaksa mencabut 

senjatanya untuk melindungi diri.

Srat!

Trang!

"Aaa...!"

Pekik tertahan seketika terdengar, mana-

kala bunyi benturan senjata terdengar jelas, di-

iringi percik bunga api dan tergempur mundurnya

tubuh Prabu Mulya Dewantara.

"Setan!" hardik sang Prabu setelah mampu 

menguasai dirinya yang terhuyung. "Berani sekali 

kau melawanku, Monyet!"

Patih Abadi Selaksa tak menimpali caci


maki junjungannya. Kedudukannya kini pada 

keadaan yang serba salah. Kalau dirinya mem-

biarkan pedang sang Prabu berkelebat ke arah-

nya, maka dialah yang akan binasa. Namun jika 

mencoba-coba melindungi diri, dia dikatakan te-

lah lancang melawan rajanya.

"Hmmm.... Penyakit macam apa ini?" gu-

mam Patih Abadi Selaksa akhirnya.

Di hatinya, patih itu menduga-duga kalau 

sang Prabu mendapatkan penyakit akibat perbua-

tan seorang tokoh sakti yang dapat merubah jalan 

pikiran seseorang. Sehingga, orang yang dituju 

dapat dipermainkan sekehendak hatinya.

"Tapi siapa tokoh sesat itu...?" lanjut hati 

Patih Abadi Selaksa berkata-kata sendiri.

Patih Abadi Selaksa terpaku sejenak. Ke-

mudian, dia berniat menggunakan cara lain un-

tuk membujuk sang Prabu. Kepalanya sengaja di-

tundukkan serendah mungkin, sebagai pertanda 

kalau dirinya betul-betul menghormati. "Maafkan 

hamba, Yang Mulia," ucap sang Patih itu.

Namun sambutan sang Prabu itu di luar 

keinginan sang Patih.

"Ngrgmgrh...!"

Sang Prabu tiba-tiba saja menggereng ke-

ras. Matanya terbelalak lebar, memancarkan sorot 

yang mengandung nafsu membunuh tak terken-

dali.

"Hiyaaa...!"

Tubuh Prabu Mulya Dewantara tiba-tiba 

melesat cepat dengan pedang teracung di atas ke


pala.

Patih Abadi Selaksa belum mengambil ke-

putusan, apakah menangkis serangan itu atau 

malah menghindarinya. Hatinya sungguh-

sungguh dilanda kekalutan. Namun ketika se-

jengkal lagi ujung pedang milik Prabu Mulya De-

wantara menggorok lehernya, nalurinya untuk 

menyelamatkan diri tiba-tiba memberontak kuat. 

Serta merta, tubuh sang Patih ini bergerak cepat 

ke arah kanan. Langsung dihindarinya tebasan 

senjata miliki Prabu Mulya Dewantara.

Bets!

"Uts!"

"Aaa...!"

Prabu Mulya Dewantara seketika memekik 

keras! Begitu sambaran pedangnya berhasil di-

elakkan Patih Abadi Selaksa, namun tubuhnya 

tergelincir ke dalam jurang karena terdorong te-

naga tebasannya sendiri!

Patih Abadi Selaksa sendiri tersentak meli-

hat kenyataan yang sama sekali tidak diduga. 

Lengking kematian junjungannya bergema terus 

di telinganya.


DUA



Keadaan duka yang terlihat di dalam istana 

dan di luar Istana Sutera Bayu, terlihat pula di 

dalam tahanan bawah tanah istana ini. Sebuah 

ruangan pengap yang terbuat dari batu-batu ca


das kokoh, yang didalamnya terlihat sosok renta 

lelaki berusia enam puluh tahun tengah duduk 

berselonjor. Wajah tua dengan rambut hitam yang 

tersanggul ke atas itu nampak semakin cekung.

Kelopak matanya menjorok ke dalam, sementara 

pakaiannya yang putih nampak begitu kumal.

Di luar tahanan yang dijaga ketat enam le-

laki gagah berpakaian prajurit jaga Kerajaan Su-

tera Bayu, nampak seorang lelaki muda berusia 

tak lebih dari tujuh belas tahun tengah meme-

gangi terali tahanan yang terbuat dari logam ke-

ras bulat. Lelaki muda berpakaian warna kuning 

gading itu tak lain dari putra mahkota almarhum 

Prabu Mulya Dewantara, Bintang Megantra. Se-

dangkan di sebelahnya nampak Citra Laras ten-

gah memandangi tubuh ringkih Patih Abadi Se-

laksa.

"Ki...."

Citra Laras memanggil lembut Patih Abadi 

Selaksa yang kepalanya tengah tertunduk mene-

kuri lantai tahanan yang dingin.

"Paman...!" panggil Bintang Megantara 

mengikuti suara ibunya.

Perlahan Patih Abadi Selaksa mengangkat 

kepalanya, setelah mendengar namanya disebut 

dua kali. Dan matanya kontan terbelalak ketika 

menyaksikan siapa yang berada di hadapannya.

"Tuan Putri Citra Laras.... Raden Bintang 

Megantara...? Oh!"

Patih Abadi Selaksa tak kuasa melanjutkan 

ucapannya. Perasaan haru melihat kehadiran



orang-orang yang dicintainya, membuat napasnya 

seperti terhenti sesaat.

"Ya, kami datang menjengukmu, Ki?" ucap 

Citra Laras, dengan tatapan teduh ke wajah Patih 

Abadi Selaksa.

Peristiwa menyakitkan itu merangkak per-

lahan mencapai usia dua purnama. Dan selama 

itu pula, Patih Abadi Selaksa mendekam di ruang 

tahanan bawah tanah seumur hidup. Akibat ditu-

duh telah membunuh Prabu Mulya Dewantara. 

Sedangkan kedudukanya sebagai patih diambil 

alih oleh Ki Sodrasena. Sementara tampuk keku-

asaan dipegang oleh Yang Mulia Prabu Setyagara. 

Dalam silsilah kerajaan, dia adalah adik kandung 

mendiang Prabu Mulya Dewantara.

Sesungguhnya hati Citra Laras begitu iba 

melihat keadaan lelaki itu. Seorang laki-laki yang 

menjabat sebagai patih Kerajaan Sutera Bayu se-

lama puluhan tahun, namun harus lepas jaba-

tannya setelah dituduh sebagai pembunuh Prabu 

Mulya Dewantara.

Patih Abadi Selaksa memang tak mampu

mengelak tudingan dan tuduhan itu. Apalagi yang 

melancarkannya Ki Setyagara, adik kandung sang 

Prabu. Sulit untuk mengelaknya, karena memang 

dirinya sendirilah yang mengantar kepergian sang 

Prabu Mulya Dewantara ke Desa Batuapung. Dan 

di desa itu pulalah Raja Sutera Bayu itu menemui 

ajalnya. Jadi wajar kalau Patih Abadi Selaksa 

yang menjadi tumpuan kesalahan, dan harus 

mendekam dalam ruang tahanan seumur hidup.



"Tuan Putri... dan kau Raden. Terima kasih 

atas kedatangan kalian menjengukku. Oh. Aku 

bahagia sekali bisa melihatmu, Raden," ucap Pa-

tih Abadi Selaksa parau.

Citra Laras dan Bintang Megantara terharu 

dengan ucapan Patih Abadi Selaksa.

"Kami juga, Paman," balas Bintang Megan-

tara.

"Bagaimana perkembangan di luar? Apa-

kah Yang Mulia Setyagara memimpin kerajaan ini 

dengan adil dan bijak?" tanya Patih Abadi Selaksa 

menyelidik.

Sesungguhnya, laki-laki tua itu sudah tahu 

watak Yang Mulia Setyagara, namun tetap juga 

melemparkan pertanyaan itu. Dan ia memang in-

gin tahu langsung dari mulut Permaisuri Citra La-

ras dan Bintang Megantara tentang keadaan se-

karang.

Citra Laras dan Bintang Megantara tak se-

gera menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa. 

Tatapan matanya tertuju pada penjaga-penjaga 

yang memegang tombak.

"Mendekatlah kau, Ki," pinta Citra Laras.

Patih Abadi Selaksa menggeser duduknya 

perlahan. Keadaan tubuhnya yang nampak le-

mah, membuat bekas patih tersohor Kerajaan Su-

tera Bayu tak bisa bergerak bebas.

"Apa yang terjadi di luar, Tuan Putri?" 

tanya Patih Abadi Selaksa pelan.

"Setelah kematian suamiku, keadaan se-

makin panas saja. Dan sebetulnya aku tak percaya kalau kau membunuh Gusti Prabu Mulya 

Dewantara, mengingat penyakitnya yang kurasa 

juga aneh. Jelas, penyakit itu sengaja dibuat 

orang dengan maksud memang ingin menyingkir-

kan Gusti Prabu. Nyatanya, suamiku memang 

tersingkir, setelah pergi denganmu. Tapi setelah 

Adi Setyagara memerintah, aku semakin yakin, 

kau bukanlah seorang pembunuh. Aku berkesim-

pulan demikian karena atas dasar kecurigaanku 

melihat tindak-tanduk Adi Setyagara yang sema-

kin brutal saja. Untung saja belum terjadi pergo-

lakan di dalam istana dan kerajaan ini, Ki," jelas 

Citra Laras dengan nada suara ditekan serendah 

mungkin. "Namun naluriku mengatakan, bila Adi 

Setyagara dengan sikapnya yang demikian terus. 

Berkuasa, akan hancurlah Kerajaan Sutera 

Bayu."

Patih Abadi Selaksa membelalakkan mata 

mendengar penuturan bekas junjungannya.

"Maksud, Tuan Putri...?"

Patih Abadi Selaksa menghentikan kata-

katanya ketika Permaisuri Citra Laksa menem-

pelkan telunjuk di bibir.

"Kabar yang kudengar dari seorang telik 

sandi kepercayaan, Adi Setyagara akan mengada-

kan persembahan pada setiap bulan purnama da-

lam waktu dekat ini," jelas Permaisuri Citra Laras, 

seperti berbisik.

"Persembahan? Apa maksudnya?" tukas 

Patih Abadi Selaksa terheran-heran. "Dan untuk 

apa...?"


"Entahlah, Paman. Yang pasti, keinginan 

gila itu tercetus setelah masuknya orang luar ke 

dalam Istana Sutera Bayu," jelas Bintang Megan-

tara, membuat Patih Abadi Selaksa tersentak ka-

get

"Orang luar? Siapa, Raden?" tanya Patih 

Abadi Selaksa dengan keterkejutan yang semakin 

bertambah.

"Menurut telik sandiku, orang itu bernama 

Gandrawara," tambah Permaisuri Citra Laras.

"Gandrawara?" ulang Patih Abadi Selaksa.

Mata bekas patih ini menerawang pada 

langit-langit penjara sepertinya, dia tengah men-

gingat-ingat nama yang barusan diulanginya.

"Apakah telik sandimu memberitahukan 

nama lain dari Gandrawara?" tanya Patih Abadi 

Selaksa lagi.

"Ya, Paman. Nama lain dari Gandrawara 

adalah Kelabang Hitam," tukas Bintang Meganta-

ra memberi tahu.

"Kelabang Hitam?" wajah Patih Abadi Se-

laksa semakin pucat pasi, mendengar nama Kela-

bang Hitam disebut Bintang Megantara. "Benca-

na.... Bencana besar akan melanda Kerajaan Su-

tera Bayu."

Tak terdengar sepatah kata pun dari mulut 

Citra Laksa dan Bintang Megantara. Keduanya 

terdiam, karena merasa tercekam ketakutan 

mendengar perkataan lelaki berusia enam puluh 

tahun lebih ini. Kecemasan juga terasakan di hati 

Citra Laras dan Bintang Megantara, sesaat membayangkan bencana yang dimaksudkan Patih Ab-

adi Selaksa.

"Apakah Patih Sodrasena sejalan dengan Ki 

Setyagara?" tanya Patih Abadi Selaksa memecah-

kan keheningan.

"Ya, Paman, "jawab Bintang Megantara. 

"Bahkan Paman Setyagara sepemikiran dengan-

nya."

"Celaka tiga belas," gumam Patih Abadi Se-

laksa pelan. "Hati-hatilah kalian berdua," ujar Pa-

tih Abadi Selaksa memperingatkan Citra Laras 

dan Bintang Megantara.

"Paman kenal, siapa Ki Gandrawara itu?" 

tanya Bintang Megantara polos.

Patih Abadi Selaksa menganggukkan kepa-

la.

"Dia salah satu tokoh golongan hitam yang 

cukup sakti dan memiliki ilmu sihir yang ditakuti, 

apalagi lawan," jelas Patih Abadi Selaksa.

"Oh...!" keluhan tertahan terdengar dari 

mulut Citra Laras.

"Mulai saat ini, berhati-hatilah kalian ber-

kata, bercakap, dan berbuat. Dan bersatulah ka-

lian dengan orang-orang-sekitar istana yang kese-

tiaannya dapat dipercaya," kata Patih Abadi Se-

laksa memberi nasihat dengan kecemasan luar 

biasa.

"Baik, Ki," sambut Citra Laras.

"Doakan saja, Paman," Bintang Megantara 

menyentuh tangan Patih Abadi Selaksa dengan 

perasaan haru yang menyeruak.


Karena ikut merasakan kecemasan, lelaki 

tua yang berambut hitam tersanggul di atas ma-

lah meremas jemari tangan Raden Megantara.

"Seharusnya kau yang menggantikan ke-

dudukan ayahandamu, Raden," tukas Patih Abadi 

Selaksa parau.

Air bening tiba-tiba saja merembas dari ke-

lopak mata Patih Abadi Selaksa yang terpejam. 

Baru kali ini selama puluhan tahun dia mampu 

menangis.

"Sudahlah, Ki. Bila saatnya nanti, Jika 

sang Pencipta makhluk hidup menginginkan 

anakku menjadi raja, maka cita-cita yang sama-

sama kita inginkan akan terwujud," desah Citra 

Laras, mencoba menggugah keharuan yang ter-

cipta.

"Semoga begitu, Tuan Putri. Dan semoga 

ada tokoh sakti yang dikirim sang Pencipta untuk 

Kerajaan Sutera Bayu, agar bisa menandingi ke-

saktian Kelabang Hitam yang salah jalan. Juga, 

menghapuskan rencana persembahan gila itu," 

balas Patih Abadi Selaksa dengan mata tak lepas 

menatap wajah tampan Bintang Megantara.

"Semoga begitu, Paman," sambut Bintang 

Megantara.

Patih Abadi Selaksa tak menanggapi sam-

butan Bintang Megantra. Di matanya yang mere-

bak terlintas gambaran kekacauan yang akan ter-

jadi di Kerajaan Sutera Bayu, akibat masuknya 

orang luar yang memiliki kesaktian tinggi. Seo-

rang tokoh golongan hitam yang berjuluk Kela


bang Hitam!

"Hati-hatilah kalian. Terutama kau, Ra-

den," nasihat Patih Abadi Selaksa lagi.

"Baik, Paman," jawab Bintang Megantara. 

"Aku akan selalu mengingat segala peringatan 

yang kau berikan."

Patih Abadi Selaksa menganggukkan kepa-

la mendengar ucapan putra tunggal Prabu Mulya 

Dewantara.

"Tuan Putri, dan kau Raden. Kembalilah 

kalian ke istana. Jagalah hati Ki Setyagara. Jan-

gan sampai dia tak senang kalian berlama-lama di 

tempat ini," pinta Patih Abadi Selaksa dengan ta-

tapan mata berganti-ganti memandang wajah Ci-

tra Laras dan Bintang Megantara.

"Baik, Ki. Kami kembali sekarang," ujar Ci-

tra Laras memenuhi permintaan bekas Patih Ke-

rajaan Sutera Bayu.

"Aku pamit, Paman," ujar Bintang Megan-

tara. Kemudian dengan langkah perlahan, ka-

kinya bergerak menjajari langkah Citra Laras.

***

Matahari pagi yang baru saja muncul di 

langit kotaraja membiaskan kehangatan bagi se-

luruh makhluk yang berada di atas bumi. Kehan-

gatan itu juga menyeruak masuk ke dalam Istana 

Sutera Bayu, sampai ke dalam kamar pribadi Ci-

tra Laras yang tengah berbincang-bincang bersa-

ma putranya, Bintang Megantara.



"Nanti malam purnama akan muncul, Bu. 

Apakah Paman Setyagara akan melaksanakan 

acara persembahan itu?" tanya Bintang Meganta-

ra.

"Kelihatannya begitu, Bintang," jawab Citra 

Laras. "Sekarang ini, dia telah mengumpulkan 

orang kepercayaannya di ruang pertemuan sana. 

Pasti Adi Setyagara tengah memberikan tugas pa-

da orang-orangnya, untuk mencari sesaji persem-

bahan nanti malam. Entah, apa bentuk sesaji 

yang dimaksudkan? Ki Parawenang belum mem-

beri kabar padaku," jelas Citra Laras, menyebut 

nama pejabat tinggi Kerajaan Sutera Bayu. Ki Pa-

rawenang setelah mengangkatnya Prabu Mulya 

Dewantara, memang diangkat sebagai penasihat 

kerajaan.

"Ki Parawenang?" ulang Bintang Meganta-

ra.

Jelas anak muda itu terkejut, karena lelaki 

berusia lima puluh tahun itu selama ini selalu di-

lihatnya berada di samping Ki Sodrasena, patih 

yang menggantikan kedudukan Patih Abadi Se-

laksa.

"Ya. Ki Parawenang. Memangnya kenapa, 

Bintang?" tanya Citra Laras, begitu melihat raut 

wajah putranya seperti tak senang mendengar 

nama Ki Parawenang disebut-sebut

"Oh! Maafkan aku, Bu. Selama ini aku 

mencurigainya sebagai pengikut Paman Setyagara 

yang setia mendukung acara persembahan itu," 

kilah Bintang Megantara.


"Tidak, Anakku. Ki Parawenang sangat se-

tia pada mendiang ayahmu. Dan tentunya, juga 

pada kita dan Patih Abadi Selaksa. Sengaja dia 

kusuruh bersikap baik pada Paman Setyagara 

dan Patih Sodrasena, dan berpura-pura mendu-

kung rencana sesat itu. Padahal, sesungguhnya 

Ki Parawenang hanya kutugasi menyelidiki setiap 

rencana mereka yang didukung si Kelabang Hi-

tam. Ibumu mempercayai Ki Parawenang sepe-

nuhnya. Dan kuharap, kau pun begitu, Bintang," 

tutur Citra Laras.

"Tentu saja, Bu," jawab Bintang Megantara 

tegas. "Mana mungkin aku tidak mempercayai 

orang yang telah diberi kepercayaan oleh ibunya."

"Syukurlah," desah Citra Laras, seraya 

memeluk tubuh putra satu-satunya. "Semoga saja 

Ki Parawenang bisa mengetahui, bila suatu saat 

Paman Setyagara berhajat menyingkirkan kita. 

Dan mudah-mudahan kita akan segera menyela-

matkan diri dari kelaliman raja pengganti ayah-

mu, Bintang."

"Kuharap hal itu tidak terjadi, Bu. Ah! An-

dai saja dulu aku menuruti kata-kata ayah untuk 

bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu bela 

diri, mungkin akan dapat melindungi Ibu," keluh 

Bintang Megantara menyalahi dirinya. "Sekarang, 

kebisaan yang kumiliki hanya sedikit Aku ragu, 

apakah akan mampu menyelamatkan Ibu."

"Kita akan sama-sama berusaha menyela-

matkan diri, Bintang. Jika hal itu benar-benar 

terjadi," kilah Citra Laras, mencoba menenangkan


hati anaknya.

***

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di 

ruang pertemuan istana, nampak Prabu Setyaga-

ra yang didampingi Patih Sodrasena tengah mem-

bicarakan sesuatu yang teramat penting.

"Sampai menjelang sore nanti, kuharapkan 

kalian sudah dapat membawa sepasang anak le-

laki dan perempuan yang berusia sepuluh tahun 

untuk dipersembahkan pada dewa keselamatan 

dan kesejahteraan di Bukit Kelabang. Kalian 

mengerti?" ujar Prabu Setyagara keras.

"Mengerti, Yang Mulia," jawab seorang lela-

ki bertubuh tinggi besar.

Lelaki gagah berkedudukan sebagai pung-

gawa tak lain Guridala. Laki-laki tinggi besar itu 

membawahi sepuluh orang prajurit terlatih, un-

tuk mendapatkan sepasang bocah yang dimak-

sudkan Prabu Setyagara.

"Pergilah kalian ke desa yang terdekat dari 

kotaraja ini. Temui kepala desa setempat, dan 

sampaikan apa yang kutitahkan," ujar Prabu Se-

tyagara lagi.

"Hamba akan memenuhi segala titah Yang 

Mulia," sahut Punggawa Guridala dengan kepala 

tertunduk memberi hormat

"Berangkatlah kalian," kata Prabu Setyaga-

ra, memerintah. "Ingat! Jika gagal, maka kepala 

kalianlah yang menjadi penggantinya!"


"Hamba berangkat, Yang Mulia," Punggawa 

Guridaila menjura sebelum meninggalkan ruan-

gan pertemuan.

***

Siang di Desa Gandaras terasa begitu pa-

nas. Matahari yang berdiri tegak di atas ubun-

ubun, memancarkan sinarnya yang panas me-

nyengat. Di beberapa tempat di Desa Gandaras 

memang banyak pohon berdaun lebat. Namun te-

tap tak kuasa mengurangi panasnya sinar mata-

hari yang tercurah.

Bias sinar matahari yang cukup menyengat 

itu dirasakan juga oleh sebelah orang penunggang 

kuda yang bergerak menuju ke arah selatan Desa 

Gandaras. Mereka tak lain utusan Prabu Setyaga-

ra yang dipimpin Punggawa Guridala. Keseluruh 

penunggang kuda itu rata-rata menghunus sebi-

lah pedang yang menggantung di pinggang. Jelas, 

rombongan itu adalah pasukan berpedang yang 

dimiliki Kerajaan Sutera Bayu.

"Itu pasti kediaman Kepala Desa Ganda-

ras," tunjuk Punggawa Guridala pada bangunan 

kokoh yang berhalaman cukup luas.

"Rasanya memang benar, Kakang Gurida-

la," sambut seorang prajurit yang lain.

"Hiyaaa...!"

Punggawa Guridala segera saja menggebah 

kuda tunggangannya, agar segera sampai di ke-

diaman Kepala Desa Gandaras.


"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Kesepuluh penunggang kuda pengikut 

Punggawa Guridala pun sama-sama menggebah 

tali kekang tunggangannya.

Sementara itu, beberapa orang yang bertu-

gas menjaga kediaman Kepala Desa Gandaras se-

perti bingung menyaksikan sebelas ekor kuda 

yang berlari cepat ke arah kediaman majikannya. 

Apalagi setelah kuda-kuda itu mendekat. Kini me-

reka tahu kalau pengendara kuda itu adalah 

orang-orang dari Kerajaan Sutera Bayu. Maka se-

ketika itu juga penjaga kediaman Kepala Desa 

Gandaras menjura hormat

"Selamat datang, Tuan-tuan. Ada yang da-

pat kami bantu?" sambut lelaki penjaga kediaman 

Kepala Desa Gandaras yang bertubuh tegap dan 

berkumis tebal melintang.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Punggawa 

Guridala segera melompat dari atas kudanya. In-

dah sekali gerakannya, pertanda ilmunya bisa di-

andalkan.

"Hop!"

Jligkh!

Ringan sekali kaki Punggawa Guridala 

mendarat di tanah.

"Inikah kediaman kepala desa Gandaras?" 

tanya Punggawa Guridala agak ketus.

"Benar, Tuan," jawab penjaga yang bertu-

buh sedang, di dekat lelaki utusan Gusti Prabu 

Setyagara ini "Apakah tuan-tuan ingin berjumpa


Ki Amertagi?"

"Ya. Antar aku untuk menemuinya," jawab 

Punggawa Guridala pongah. "Baik, Tuan. Mari."

Lelaki penjaga bertubuh sedang itu mem-

persilakan Punggawa Guridala dan rombongan 

untuk masuk ke kediaman Ki Amertagi.

"Silakan duduk di sini, Tuan-tuan. Biar Ki 

Amertagi kupanggil untuk menghadap Tuan-

tuan," lelaki bertubuh sedang itu mempersilakan 

pada tamunya duduk di ruang tamu. Sementara, 

dirinya cepat berlalu ke kamar pribadi Kepala De-

sa Gandaras.

Hanya sesaat lamanya Punggawa Guridala 

dan rombongan menunggu, kini Ki Amertagi telah 

berdiri di hadapan mereka dengan sikap gugup 

dan kaku.

"Oh, Tuan Punggawa. Ada perlu apakah ki-

ranya, hingga Tuan berkenan mengunjungi ke-

diaman kami yang buruk ini?" tanya Ki Amertagi 

dengan wajah takut-takut

"Aku ingin meminta bantuanmu, Ki!" sahut 

Punggawa Guridala langsung.

"Bantuan apa, Tuan? Jika mampu pasti 

akan kupenuhi," sahut Kepala Desa Gadaras ini 

sambil sesekali menundukkan kepala.

"Carikan aku sepasang bocah berusia se-

puluh tahun," cetus Punggawa Guridala tanpa 

basa-basi

"Sepasang bocah umur sepuluh tahun? Oh! 

Aku tak mengerti maksud Tuan Punggawa," desah 

Ki Amertagi, betul-betul tak mengerti ucapan


Punggawa Guridala.

Utusan Prabu Setyagara pun segera menje-

laskan ketidakmengertian Kepala Desa Gandaras 

ini. Terutama tentang maksud persembahan yang 

akan dilaksanakan setiap bulan purnama, sepan-

jang seribu bulan purnama. Yakni, setelah men-

dapatkan seribu pasang bocah usia sepuluh ta-

hun.

"Setelah desa ini menyediakan sepasang 

bocah berusia sepuluh tahun, desa-desa lain pun 

juga harus menyediakan bocah-bocah itu selama 

sepuluh purnama berturut-turut," jelas Punggawa 

Guridala.

"Oh...!" Ki Amertagi berseru tertahan sete-

lah mendengar penjelasan Punggawa Guridala.

"Kau bersedia mencarikan sepasang bocah 

itu, Ki?!" tanya Punggawa Guridala, terdengar 

membentak.

Ki Amertagi tidak segera menjawab perta-

nyaan Punggawa Guridala. Wajahnya nampak 

pias. Sungguh dia tak tahu, harus menjawab apa.

"Kau cari mampus kalau begitu, Ki!" sentak 

Punggawa Guridala menambah kebingungan Ke-

pala Desa Gandaras ini.

"Oh, Tuhan.... Dosa apa yang telah kula-

kukan hingga kau menurunkan cobaan seberat 

ini?" keluh Ki Amertagi dalam hati.

Tubuh laki-laki setengah baya ini tiba-tiba 

seperti terserang demam. Menggigil, bahkan lu-

tutnya seperti tak mampu menahan berat tubuh-

nya.


Srat!

"Oh...!"

Kepala Desa Gandaras memekik perlahan 

menyaksikan punggawa meloloskan pedang dari 

warangka. Getaran di sekujur tubuhnya semakin 

membuat goyah lelaki Kepala Desa Gandaras da-

lam berdirinya.

"Cepat katakan! Bersedia atau tidak? Atau 

kupenggal sekarang juga kepalamu?" sentak 

Punggawa Guridala, membuat hati Ki Amertagi 

semakin kecut

"Baik. Baik, Tuan Punggawa," jawab Ki 

Amertagi terpaksa.

"Ha ha ha...! Punggawa Guridala tertawa.

Tawa Punggawa Guridala yang cukup ke-

ras, membuat istri Ki Amertagi muncul dari ruan-

gan dalam. Dan wanita itu langsung terkejut me-

nyaksikan punggawa dari Kerajaan Sutera Bayu 

itu tengah menepuk-nepuk dada suaminya den-

gan sedang dimiringkan.

"Kakang Amertagi.... Ada apa ini?" tanya 

Nyi Riwangni dengan langkah tergesa-gesa meng-

hampiri suaminya.

"Oh, Nyi. Eh.... Tidak apa-apa," jawab Ki 

Amertagi mendapati kemunculan istrinya.

"Kau tenanglah, Nyi! Raja Sutera Bayu 

membutuhkan jasa suamimu. Beruntunglah kau 

menjadi suaminya," tukas Punggawa Kerajaan 

Sutera Bayu. "Ayo kita berangkat, Ki! Tunjukkan 

rumah pendudukmu yang memiliki anak usia se-

puluh tahun. Kalau tidak ada, kepalamu dan ke


pala istrimu akan kubawa ke hadapan sang Prabu 

Setyagara."

"Kakang Amertagi...."

Nyi Riwangni memburu tubuh suaminya 

yang didorong ke depan dengan senjata telanjang 

milik Punggawa Guridala.

"Kau tunggu saja di sini, Perempuan Tua! 

Suamimu akan kukembalikan setelah menunai-

kan tugasnya!" sentak prajurit yang berada di de-

pan Nyi Riwangni.

Perempuan berpakaian biru muda yang be-

rusia lebih kurang empat puluh tahun segera me-

langkah mundur ketika mendapatkan tudingan 

dari salah seorang prajurit kerajaan.

"Kakang Amerta...," hanya ucapan itu yang 

mengiringi kepergian suaminya bersama pungga-

wa kerajaan dan sepuluh prajurit

***

Bergetar hati Ki Amertagi ketika mendatan-

gi rumah yang berdinding bilik serta beratap 

rumbia. Rumah itu memang tempat tinggal sua-

mi-istri Jagil dan Romanah. Mereka memiliki 

anak lelaki dan perempuan berusia sepuluh ta-

hun.

"Apakah Ki Jagil dan istrinya bersedia me-

nyerahkan anak kembarnya pada raja?" gumam 

hati Ki Amertagi dalam hati. Sementara, langkah-

nya terus terayun mendekati rumah Ki Jagil.

"Tuan Punggawa," panggil Ki Amertagi pada


Punggawa Guridala.

"Hm.... Ada apa, Ki?" tanya Punggawa Gu-

ridala.

"Kalau boleh, aku minta sedikit waktu un-

tuk membujuk orangtua dari anak kembar yang 

akan kau serahkan pada Prabu Setyagara," pinta 

Ki Amertagi hati-hati.

"Tentu saja, Ki. Lakukanlah dan kau harus 

berhasil," jawab Punggawa Guridala, menyetujui.

Mendengar jawaban Punggawa Kerajaan 

Sutera Bayu, Ki Amertagi segera melanjutkan 

langkahnya memasuki pekarangan rumah Ki Ja-

gil.

Sementara Ki Jagil dan istrinya yang kebe-

tulan hendak keluar rumah terkejut menyaksikan 

kedatangan kepala desanya yang didampingi be-

lasan lelaki berpakaian seragam Kerajaan Sutera 

Bayu. Di benak suami-istri itu seketika timbul 

pertanyaan-pertanyaan buruk yang akan menim-

pa keluarganya.

"Selamat datang di gubuk kami, Ki Amerta-

gi dan Tuan-tuan sekalian," sambut Ki Jagil sebi-

sa-bisanya. Padahal, hatinya dilanda kebingun-

gan yang teramat sangat, atas kedatangan Kepala 

Desa Gandaras dan orang-orang kerajaan itu.

"Ki Jagil. Aku ada keperluan denganmu. 

Juga dengan kau, Nyi," ucap Ki Amertagi seraya 

membawa tubuh Ki Jagi menjauhi Punggawa Gu-

ridala.

Nyi Romanah juga melangkahkan kakinya 

mengikuti ajakan Kepala Desa Gandaras itu.


"Sebelumnya aku minta maaf pada kalian 

berdua," Ki Amertagi membuka pembicaraan keti-

ka jaraknya sudah agak jauh dengan orang-orang 

kerajaan yang diutus Prabu Setyagara.

"Ah! Kenapa meski meminta maaf segala, 

Ki," kilah Ki Jagil dengan benak semakin banyak 

dihantui pertanyaan yang bukan-bukan.

"Permintaan maaf itu memang harus ku-

sampaikan pada kalian. Karena..., ah! Kuharap 

kau bisa memakluminya, Ki Jagil dan juga kau, 

Nyi Romanah," ucap Ki Amertagi semakin mem-

buat bingung sepasang suami-istri yang dikun-

junginya. Terlebih, ketika Ki Jagil dan istrinya 

menyaksikan wajah kepala desanya yang seperti 

ketakutan dan begitu pucat

"Katakanlah, Ki. Apa yang kau butuhkan 

dari kami?" tanya Nyi Romanah mendahului sua-

ra Ki Jagil yang hendak keluar.

Ki Amertagi tak segera menjawab. Hanya 

ditatapnya wajah perempuan berusia tiga puluh 

tahun itu dengan sorot mata iba.

"Katakan saja, Ki. Mudah-mudahan kami 

dapat membantu kebutuhanmu," tutur Ki Jagil 

Kemudian Ki Amertagi kemudian menceritakan 

apa yang diinginkan Prabu Setyagara yang dike-

tahuinya melalui mulut Punggawa Guridala. Dice-

ritakannya juga maksud dan tujuan persembahan 

yang akan dilaksanakan Prabu Setyagara pada 

setiap bulan purnama.

"Begitulah, Ki dan kau, Nyi. Maafkan, ka-

rena aku tak kuasa menentang keinginan gila itu.


Hampir saja punggawa kerajaan itu memenggal 

kepalaku kalau keinginan Prabu Setyagara tak 

kuturuti," ucap Ki Amertagi mengakhiri penjela-

sannya.

Ki Jagil dan Nyi Romanah tentu saja terke-

jut mendengar cerita kepala desanya.

"Permintaan gila!" rutuk Ki Jagil dengan ta-

tapan mata yang membara memandang wajah Ki 

Amertagi.

Kepala Desa Gandaras tak kuasa memba-

las tatapan kemarahan miliki Ki Jagil. Namun 

dimakluminya kemarahan itu.

"Kau juga gila, Ki Amertagi!" maki Ki Jagil 

keras. "Kalau kau menyayangi kepalamu, kami 

juga menyayangi anak kembar kami!" Ki Jagil ke-

ras.

Hardikan Ki Jagi membuat Punggawa Gu-

ridala dan prajurit pendampingnya menoleh. Na-

mun, mereka masih memberi kepercayaan pada 

Ki Amertagi untuk menangani kemarahan Ki Jagi.

"Pergi kau dari sini, Ki! Kami tak bisa me-

menuhi permintaan gila itu!" bentak Ki Jagil se-

raya mendorong tubuh Kepala Desa Gandaras. 

Padahal, Ki Amertagi selalu bijaksana dan welas 

asih pada penduduk desa yang dipimpinnya. Ka-

rena sifatnya itulah, ketika tubuhnya didorong 

kasar oleh Ki Jagil dia tak melawan.

"Tolonglah aku, Ki Jagil," tukas Ki Amertagi 

meratap.

"Gila! Kau juga gila, Ki Amertagi! Pergi kau 

dari sini!" bentak Ki Jagil bertambah keras. Dan


tiba-tiba saja tangannya melayang ke arah Ki 

Amertagi.

Bluk! 

"Akh!"

Ki Amertagi memekik tertahan ketika men-

dapat pukulan keras pada bagian wajahnya. Tu-

buhnya terhuyung ke belakang sejauh tiga lang-

kah. Darah nampak mengucur dari bibirnya yang 

pecah.

Punggawa Guridala yang menyaksikan ke-

jadian itu seketika meloncat cepat menghampiri 

Ki Jagil yang telah memukul wajah Kepala Desa 

Gandaras. Langsung tangannya berkelebat cepat, 

ke arah wajah Ki Jagil. 

Plak! Plak!

Tangan kanan Punggawa Guridala lang-

sung menghajar wajah Ki Jagil. Akibatnya lelaki 

berpakaian coklat itu terhuyung dan jatuh keras 

di tanah halaman rumahnya sendiri.

"Kurang ajar sekali kau, Bangsat!" maki 

Punggawa Guridala geram. "Tak tahukah dengan 

siapa berhadapan sekarang!"

"Kakang...."

Romanah memburu tubuh Ki Jagil. Wajah-

nya terlihat membiru dan bibirnya pecah mene-

teskan darah, akibat dihajar tangan punggawa 

itu.

"Cepat, katakan! Di mana anak kembarmu 

itu, heh! Aku harus segera kembali ke istana!" 

bentak Punggawa Guridala geram.

Ki Jagil dan Nyi Romanah tak menjawab


pertanyaan utusan Prabu Setyagara ini. Malah 

dengan berani, sepasang mata suami-istri mena-

tap tajam penuh dendam pada Punggawa Gurida-

la.

"Kalau kau tak bersedia menunjukkan, bi-

ar kugeledah rumahmu!" dengus Punggawa Guri-

dala seraya melangkah.

Namun baru tiga langkah kaki itu terayun, 

Nyi Romanah telah mendahului dan menghalangi 

Punggawa Guridala di ambang pintu.

"Jangan kau ambil anakku!" cegah Nyi Ro-

manah keras.

"Hm...," Punggawa Guridala mendengus 

kesal melihat sikap perempuan berusia tiga puluh

tahun yang menghalangi niatnya. Dan seketika 

itu juga....

Srat!

Punggawa Guridala langsung mencabut 

pedangnya. Lalu seketika itu juga dibabatkan ke 

arah Nyi Romanah. Sehingga....

Bret!

"Aaa...!"

Nyi Romanah terpekik keras ketika ujung 

pedang milik Punggawa Guridala menebas perut-

nya. Tubuh perempuan itu seketika ambruk ke 

tanah dengan luka menganga lebar pada bagian 

perut. Isi perut dan darah langsung berserakan di 

tanah.

"Nyi...!" teriak Ki Jagil yang menyaksikan, 

istrinya tengah menggelepar meregang nyawa. Tak 

lama, tubuh perempuan itu mengejang kaku dan


tewas!

"Kau?! Punggawa keparat!" maki Ki Jagil 

tak kuasa membendung kemarahannya.

Tubuh lelaki berpakaian coklat itu seketika 

melesat dengan tangan terkepal hendak mengha-

jar Punggawa Guridala yang telah membunuh is-

trinya.

"Hiyaaa...!"

Punggawa Guridala yang melihat Ki Jagil 

hendak menyerang, tanpa ada belas kasihan se-

gera menghunus pedangnya ke depan. Lalu, pe-

dangnya dibabatkan ke perut Ki Jagi yang melu-

ruk ke arahnya.

"Hih!"

Brets!

"Aaakh...!"


TIGA



Halaman rumah penduduk Desa Gandaras 

ini seketika dikotori lumuran darah pemiliknya 

yang tertebas pedang Punggawa Guridala pada 

perutnya. Sementara, Kepala Desa Gandaras ini 

tak mampu berbuat banyak. Dia hanya bisa me-

nyaksikan kematian Ki Jagil dan Nyi Romanah 

dengan hati sulit digambarkan.

"Biar kugeledah rumah ini!" dengus Pung-

gawa Guridala, setelah membersihkan pedangnya 

dari bercak darah, menggunakan pakaian yang 

melekat di tubuh Nyi Romanah.


"Aaa...!"

"Ibu...!"

Dua jerit ketakutan seketika terdengar, 

manakala pintu rumah Ki Jagil dibuka dengan 

kasar oleh Punggawa Guridala. Seorang anak pe-

rempuan dan seorang anak laki-laki berusia se-

puluh tahun ini tak lain anak kembar Ki Jagil. 

Mereka terlihat berdiri ketakutan di sudut ruan-

gan.

"Prajurit! Cepat angkat kedua anak itu!" 

perintah Punggawa Guridala pada prajurit-

prajurit kerajaan yang semenjak tadi hanya diam 

saja.

Tiga orang prajurit terdepan seketika itu 

juga bergerak cepat memasuki rumah kediaman 

Ki Jagil. Kemudian dengan sikap kasar tubuh 

anak kembar Ki Jagil ditenteng keluar rumah.

"Tidak mau!"

"Tidak mau! Ibu.... Ayah...!"

Anak kembar Ki Jagil meronta-ronta dalam 

dekapan prajurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu. 

Jeritan mereka begitu menyayat, membuat Ki 

Amertagi tak kuasa menyaksikannya. Kepala desa 

berusia lima puluh tahun itu hanya menunduk-

kan kepala saja.

"Kau urus-mayat-mayat itu, Ki!" perintah 

Punggawa Guridala kasar, seraya melompat ke 

punggung kudanya. "Beruntung kau tak kujadi-

kan mayat juga. Namun purnama depan, jika tak 

bisa menyediakan persembahan, maka nyawamu 

pun akan melayang seperti nyawa lelaki dan pe


rempuan itu!"

Kepala Desa Gandaras tak meladeni uca-

pan itu. Hanya ditatapinya kepergian punggawa 

dan prajurit kerajaan yang membawa anak kem-

bar Ki Jagil untuk dijadikan persembahan.

"Hiyaaa...!" 

"Hiyaaa...!"

Debu mengepul di udara, begitu kuda 

tunggangan Punggawa Guridala dan prajurit Ke-

rajaan Sutera Bayu berlalu dari tempat itu.

***

Sementara dari tikungan jalan, muncul se-

pasang anak muda berpakaian warna kuning 

keemasan dan warna jingga. Mereka masih sem-

pat pula melihat rombongan prajurit yang mem-

bawa dua bocah meninggalkan tempat ini.

"Hm.... Seperti punggawa dan prajurit-

prajurit kerajaan, Kakang Jaka," kata seorang da-

ra cantik jelita yang berambut panjang dikepang 

belakang.

Memang, pemuda tampan itu tak lain Jaka. 

Di kalangan dunia persilatan, dia terkenal berju-

luk Raja Petir. Sedangkan gadis teman intimnya 

tak lain si Dewi Payung Emas.

"Sepertinya begitu, Mayang," jawab Raja 

Petir. "Tapi kenapa mereka membawa serta dua 

orang anak kecil, Kakang?" tanya Mayang tak sa-

dar.

"Kau ini aneh, Mayang," kilah Jaka menya


darkan kekasihnya. "Mana mungkin aku tahu? 

Lha, memangnya kita saja yang baru tiba di tem-

pat ini."

"Oh, iya. Maaf, aku memang pelupa," kata 

Mayang.

Jaka dan Mayang kemudian sama-sama 

kembali berbalik. Sementara punggawa dan pra-

jurit kerajaan itu bergerak semakin jauh dan 

menghilang di tikungan jalan.

"Kakang? Kau lihat di depan sana. Di ru-

mah bambu itu," tunjuk Mayang pada salah satu 

rumah penduduk Desa Gandaras yang sudah di-

kerumuni orang. "Ada kejadian apa di sana?"

"Pertanyaanmu kembali bisa kujawab, 

Mayang. Namun.... Ayo kita ke sana," ajak Jaka 

seraya menambah kecepatan langkahnya.

Gadis cantik berpakaian jingga itu pun 

mengikuti langkah tokoh muda digdaya yang ber-

juluk Raja Petir.

Begitu mendekati rumah bambu yang dike-

rumuni orang banyak, Jaka dan Mayang seketika 

saja dapat menduga kalau baru saja terjadi pem-

bunuhan.

Di halaman rumah itu nampak tergeletak 

dua mayat lelaki dan perempuan. Bagian dada 

dan perut mereka tampak luka cukup dalam dan 

besar yang masih mengeluarkan darah.

Jaka segera saja mendekati seorang lelaki 

berusia setengah baya.

"Siapa yang melakukan pembunuhan itu, 

Ki," tanya Jaka, dengan suara dibuat selembut


dan sesopan mungkin.

Lelaki yang berkumis putih itu menoleh ke 

arah Jaka.

"Eh! Anu..., anu. Den," agak tergeragap le-

laki berpakaian hitam itu.

Jaka segera saja mengembangkan se-

nyumnya ketika melihat kegugupan lelaki tua 

yang ditanyai.

"Kisanak tak perlu takut Aku hanya seka-

dar bertanya saja," kata Jaka perlahan.

Lelaki tua berkumis putih itu menatap Ja-

ka dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dan 

nampaknya, dia terkesima melihat penampilan 

Jaka yang begitu rapi dan berpakaian layaknya 

anak seorang saudagar kaya.

"Anu, Den.... Mereka utusan raja," jawab 

lelaki itu takut-takut

"Utusan raja?" ulang Jaka dalam hati. 

"Apakah anak-anak kecil itu...?"

Jaka tak meneruskan dugaannya. Kini ma-

tanya sibuk menyaksikan seorang lelaki berpa-

kaian sutera putih bersih. Dia tengah memerintah 

orang-orang untuk membantu mengurus mayat 

suami-istri yang bernama Ki Jagil dan Nyi Roma-

nah itu.

Karena Jaka dan Mayang merasa sebagai 

pendatang di Desa Gandaras, maka hanya me-

nyaksikan saja penduduk desa yang bergotong-

royong menguburkan dua mayat itu dari kejau-

han. Namun tak lama kedua pendekar muda itu 

segera menghampiri lelaki yang tak lain Ki Amer


tagi, Kepala Desa Gandaras yang tengah melang-

kah meninggalkan upacara penguburan.

"Maaf, Kisanak. Kami mengganggu seben-

tar," ucap Jaka sopan seraya menjajari langkah 

lunglai Kepala Desa Gandaras.

Ki Amertagi seketika menghentikan lang-

kahnya. Dan tatapan kecurigaan pun langsung 

dilemparkan ke wajah Jaka.

"Namaku Jaka Sembada. Dan kawanku 

Mayang Sutera," kata Jaka memperkenalkan diri 

dengan sikap ramah.

"Aku Ki Amertagi kepala desa ini," ujar Ke-

pala Desa Gandaras memperkenalkan diri pula. 

Wajahnya menyiratkan ketidaksenangan. "Ada 

perlu apa Kisanak berdua, hingga mencegat perja-

lananku?"

"Kami hanya ingin tahu, siapa pembunuh 

dua orang yang baru saja dimakamkan itu. Dan 

juga tentang punggawa serta prajurit kerajaan 

yang membawa dua orang bocah kecil?" tanya Ja-

ka memancing jawaban Ki Amertagi.

"Untuk apa kau bertanya seperti itu?" 

tanya Ki Amertagi tanpa menjawab pertanyaan 

Jaka.

"Hanya sekadar ingin tahu, Ki Amertagi," 

jawab Jaka sabar.

"Percuma."

Ki Amertagi segera melangkah cepat me-

ninggalkan Jaka dan Mayang.

Mayang dan Jaka saling berpandangan se-

telah melihat sikap Ki Amertagi. Kemudian mereka sama-sama saling menganggukkan kepala, 

dan cepat mengejar Ki Amertagi.

"Ki," panggil Jaka setelah langkahnya kem-

bali sejajar dengan langkah Kepala Desa Ganda-

ras ini. "Dengan adanya pembunuhan terhadap 

dua orang yang baru saja dimakamkan, itu berar-

ti desa ini tengah terganggu ketenteramannya. 

Dan kalau boleh kusimpulkan, Ki Amertagi seba-

gai kepala desa justru ingin berbuat sesuatu yang 

terbaik untuk menangani masalah ini."

"Hhh...." Ki Amertagi menarik napas berat 

dengan langkah kaki terus terayun.

"Sebenarnya apa yang tengah terjadi di si-

ni, Ki?" desak Jaka penasaran.

Sementara, Mayang dengan sabar menanti 

jawaban lelaki berpakaian putih ini.

"Percuma saja bila ingin tahu persoalan 

yang terjadi di desa ini, Jaka," jawab Ki Amertagi 

pelan. "Kau tak akan mampu berbuat sesuatu un-

tuk menangani persoalannya."

"Sedemikian beratnyakah?" selidik Jaka le-

bih jauh.

"Hm...," Ki Amertagi menggumam tak jelas. 

"Aku sendiri sebagai Kepala Desa Gandaras hanya 

bisa pasrah menghadapi persoalan yang teramat 

berat ini. Entah, dosa apa yang telah kulakukan 

hingga sang Pencipta Alam ini mengazabku den-

gan persoalan ini."

"Kalau kami ingin meringankan bebanmu, 

apakah kau memperkenankannya, Ki?" kali ini 

Mayang yang melemparkan pertanyaan pada Kepala Desa Gandaras. 

Ki Amertagi menatap lurus ke wajah 

Mayang. Sepertinya, dia tak percaya mendengar 

pertanyaan yang baru saja dilontarkan gadis can-

tik berambut panjang dikepang ke belakang ini.

"Apakah yang bisa kalian lakukan untuk 

menghalangi keinginan Prabu Setyagara?" tukas 

Ki Amertagi, balik bertanya.

"Jadi persoalan yang tengah kau hadapi, 

berhubungan langsung dengan kerajaan, Ki?"

Mayang memang tak menjawab pertanyaan 

Kepala Desa Gandaras ini. Pertanyaan yang baru-

san dilontarkan hanya karena merasa senang da-

pat mengorek keterangan dari mulut Ki Amertagi.

"Ya.... Begitulah," desah Ki Amertagi.

"Kalau boleh tahu, apa yang telah diper-

buat lelaki-lelaki berkuda yang mengenakan pa-

kaian punggawa dan prajurit kerajaan itu, Ki?" 

selidik Mayang agak berani.

"Sudahlah, Nisanak. Lupakan saja keingin-

tahuanmu. Kalau kalian kuberitahu, kau tak 

akan dapat berbuat banyak untuk dapat menye-

lamatkan desa ini, dan desa-desa di wilayah ke-

kuasaan Kerajaan Sutera Bayu. Lebih baik, pergi-

lah dari desa ini. Dan, jangan cari penyakit den-

gan mencampuri urusan yang mengandung ba-

haya besar."

Kata-kata yang diucapkan Ki Amertagi, se-

sungguhnya membuat hati Mayang tersinggung. 

Wajah gadis cantik kekasih Raja Petir ini nampak 

bersemu merah, mendengar dirinya dan kekasih


nya direndahkan seperti itu.

"Ki," panggil Mayang. "Maaf, bukannya ka-

mi bermaksud sombong. Ketahuilah, Ki. Saha-

batku yang bernama Jaka ini di kalangan rimba 

persilatan dikenal dengan julukan Raja Petir."

Kata-kata itu sengaja dilontarkan Mayang, 

untuk menutupi kekesalannya. Maka seketika itu 

juga Ki Amertagi melempar pandangan ke arah 

wajah Jaka. Kemudian tatapannya merambat ke 

sekujur tubuh lelaki gagah dan tampan ini.

Sebenarnya bukan baru kali ini Ki Amerta-

gi mendengar julukan Raja Petir yang tersohor 

itu. Begitu juga kabar sepak terjang Raja Petir 

yang selalu membela orang-orang lemah dan 

mengusir segala bentuk kebatilan. Tapi untuknya 

bertatap muka secara langsung? Sungguh Ki 

Amertagi tak pernah membayangkannya.

"Kau.... Kau Ra...?" kata Ki Amertagi terga-

gap, seraya membungkuk hormat

"Ah, Ki. Jangan memanggilku dengan julu-

kan itu," selak Jaka melihat kegugupan Kepala 

Desa Gandaras ini. "Bukan maksud sahabatku 

menyombongkan diriku. Dia hanya ingin Ki Amer-

tagi mempercayai kami untuk membantu kemelut 

yang terjadi di desa ini."

Jaka segera mengulurkan tangan, men-

gangkat bahu Ki Amertagi yang membungkuk.

"Maafkan aku. Raja Petir," ujar Ki Amertagi 

setelah tegak kembali dengan wajah memerah. 

"Sungguh aku tak bermaksud meremehkan kalian 

barusan."


"Lupakan saja persoalan itu, Ki. Yang pasti, 

kami senang kalau kau memberi izin untuk ikut 

meringankan kemelut yang terjadi di desa ini," se-

lak Mayang lemah lembut

"Tentu saja, Mayang. Tentu," jawab Ki 

Amertagi cepat

"Terima kasih, Ki," ucap Mayang.

"Sebaiknya, kalian ikut saja ke rumahku. 

Di sana, nanti kuceritakan kejadian yang sebe-

narnya. Mari," ajak Ki Amertagi.

Langkah laki-laki setengah baya itu te-

rayun sedikit gagah. Dia menemukan kegembi-

raan karena ada orang lain yang bersedia mem-

bantu meringankan bebannya. Sementara Raja 

Petir dan Dewi Payung Emas tersenyum-senyum 

sambil melangkah mengiringi langkah kaki Ki 

Amertagi.

***

"Kakang...!"

Kedatangan Ki Amertagi disambut perem-

puan berusia empat puluh tahun dengan teriakan 

begitu penuh kegembiraan. Perempuan berpa-

kaian warna biru muda itu menghambur, kemu-

dian merangkul tubuh kepala desa ini. 

"Syukur kau selamat, Kakang...," ucap wa-

nita yang tak lain Nyi Riwangni perlahan. Air ma-

ta terlihat bergulir turun dari kelopak matanya.

"Sudahlah, Nyi. Kau lihat, kita kedatangan 

tamu besar," ujar Ki Amertagi dengan tangan be


rusaha melepaskan rangkulan istrinya. 

Nyi Riwangni melepaskan rangkulannya di 

tubuh Ki Amertagi. Kemudian tatapannya berpin-

dah ke wajah tampan Jaka dan wajah cantik 

Mayang. 

"Selamat datang Kisanak dan Nisanak," 

sambut Nyi Rawangni dengan kepala sedikit di-

tundukkan. 

"Panggil saja Jaka, Nyi. Dan sahabatku ini 

bernama Mayang," tukas Sembada memperkenal-

kan diri.

"Baik Jaka dan Mayang. Mari silakan ma-

suk," ujar Nyi Riwangni menyambut perkenalan 

Jaka.

Langkah perempuan berusia empat pulu-

han tahun itu bergerak mendahului langkah Ki 

Amertagi.

"Mari, Jaka, Mayang," ajak Ki Amertagi 

kemudian.

Jaka dan Mayang segera melangkah men-

gikuti Ki Amertagi memasuki rumah yang megah 

dan terawat rapi.

"Silakan duduk," ujar Ki Amertagi sesam-

painya Jaka dan Mayang di ruang tamu.

Sepasang pendekar muda itu segera duduk 

berdampingan. Sementara di seberang meja, du-

duk Ki Amertagi.

"Kami ingin secepatnya mengetahui persoa-

lan yang terjadi di desa ini. Paling tidak, agar bisa 

lebih cepat mengambil keputusan untuk berbuat 

sesuatu," Jaka membuka pembicaraan.


"Baik, Jaka," jawab Ki Amertagi menyetujui 

permintaan Raja Petir

Tatapan lelaki Kepala Desa Gandaras seke-

tika terlempar ke pekarangan rumahnya yang ba-

nyak ditumbuhi pohon jambe berduri. Kemudian 

dari mulutnya mengalir cerita tentang Prabu Se-

tyagara yang menginginkan seribu pasang bocah 

berusia sepuluh tahun untuk dijadikan persem-

bahan selama seribu purnama.

"Sepasang bocah yang dilarikan punggawa 

dan prajurit-prajurit kerajaan yang kau lihat itu, 

adalah anak kembar Ki Jagil yang tadi dikubur-

kan pendudukku. Dialah korban pertama dari 

persembahan gila yang direncanakan Raja Sutera 

Bayu," tutur Ki Amertagi, melanjutkan ceritanya.

"Sudah berapa lama Prabu Setyagara men-

jabat sebagai raja?" tanya Mayang ingin tahu.

"Baru dua bulan ini," jawab Ki Amertagi te-

gas. 

"Baru dua bulan? Hm...," Mayang mengu-

langi jawaban Ki Amertagi diiringi gumam tak je-

las. "Apakah Prabu Setyagara menduduki tampuk 

kekuasaan dengan merebut secara kasar, atau...." 

"Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara 

mangkat karena suatu penyakit aneh. Kabar pe-

nyakit aneh yang diidapnya memang tersebar ke 

seluruh pelosok desa yang berada di wilayah ke-

kuasaan Kerajaan Sutera Bayu," selak Ki Amerta-

gi.

"Apakah Prabu Mulya Dewantara tak me-

miliki seorang putra mahkota?" selidik Mayang la


gi.

"Punya. Usianya hampir.... Ah! Aku tak ta-

hu pasti. Mungkin sudah tujuh belas tahunan," 

jawab Ki Amertagi.

"Kenapa tidak dia yang menggantikan ke-

dudukan ayahandanya?" tanya Jaka, memancing 

cerita Ki Amertagi.

"Entahlah," jawab Ki Amertagi.

"Aneh," timpal Mayang.

"Lalu, apa hubungan keluarga Prabu Se-

tyagara dengan mendiang Prabu Mulya Dewanta-

ra?" tanya Jaka lagi.

"Adik kandung," jawab Ki Amertagi tegas.

"Sepertinya ada teka-teki di balik keinginan 

Prabu Setyagara, Kakang," ucap Mayang pada ke-

kasihnya.

"Apa teka-teki itu menurutmu, Mayang?" 

tanya Jaka ingin bukti dari ucapan kekasihnya 

yang juga dirasakannya.

"Pertama, mengenai keanehan penyakit 

Prabu Mulya Dewantara. Kedua, mengenai per-

sembahan gila yang tak pernah terjadi semasa 

kepemimpinan Prabu Mulya Dewantara," jelas 

Mayang gamblang.

"Kesimpulanmu?" cecar Jaka.

"Kematian sang Prabu Mulya Dewantara 

kuduga memang sudah direncanakan. Lewat pe-

rantara seorang tokoh sakti, Prabu Mulya Dewan-

tara disiksa melalui penyakit aneh itu. Dan ren-

cana itu didalangi Prabu Setyagara, adik kan-

dungnya sendiri, yang juga menginginkan kedudukan sebagai seorang raja. Dan persembahan gi-

la itu kusimpulkan bukanlah untuk memuja dewa 

keselamatan dan dewa kesejahteraan. Itu bohong! 

Jelas, itu hanya dalih untuk mengelabui pendu-

duk. Padahal, sesungguhnya persembahan itu di-

tujukan untuk si tokoh yang membantu Prabu 

Setyagara dalam rangka menyempurnakan ilmu-

ilmu sesatnya," jelas Mayang panjang lebar.

Jaka tentu saja merasa kagum mendengar 

kesimpulan cemerlang yang dipaparkan kekasih-

nya. Kesimpulan itu sungguh sesuai dengan apa 

yang ada di benaknya.

Sementara itu Ki Amertagi hanya melongo 

mendengar kesimpulan Mayang yang sama sekali 

tak terduga.

"Kakang...," panggil Mayang mengejutkan 

Jaka dan Ki Amertagi. "Bukankah nanti malam 

purnama akan muncul? Berarti...?"

"Acara persembahan itu akan dilaksanakan

nanti malam, Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.

Kepala Desa Gandaras mengangguk lemah.

"Oh," Mayang mendesah tertahan. "Sebaik-

nya kita ke kotaraja sekarang, Kakang. Kita harus 

mengikuti ke mana Prabu Setyagara mengirim 

korban persembahannya."

"Kau betul, Mayang. Namun, kita harus 

memperhitungkan apa bisa tiba di kotaraja ma-

lam ini?" ujar Jaka.

Mayang tak berkata-kata mendengar uca-

pan Jaka. Namun dibenarkan juga ucapan keka-

sihnya.


"Seberapa jauh jarak kotaraja dari desa ini, 

Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.

"Tidak begitu jauh, Jaka. Tidak sampai se-

tengah hari dalam perjalanan berkuda," jawab Ki 

Amertagi.

"Kalau begitu, izinkan kami berangkat ke 

kotaraja sekarang juga, Ki," putus Jaka setelah 

yakin mampu tiba di sana malam ini.

"Kalian...."

"Kami ingin tahu, apa yang akan dilakukan 

raja sesat itu, Ki. Doakan saja agar kami dapat 

mengatasi persembahan-persembahan sesat se-

lanjutnya," ujar Mayang, meyakinkan keputusan 

kekasihnya.

"Hati-hati kalian," ujar Ki Amertagi membe-

ri nasihat penuh keharuan.

"Kami pergi sekarang, Ki. Titip salam un-

tuk...."

"Hei! Kalian belum meminum air ini!" selak 

Nyi Riwangni yang baru muncul dari ruang dalam 

sambil membawa minuman dan penganan.

"Terima kasih, Nyi. Lain kali kami pasti tak 

menolak jamuanmu. Sekarang kami harus pergi 

untuk mengejar waktu," kata Mayang tegas. 

"Permisi, Nyi!"

Jaka dan Mayang segera saja berlalu cepat 

dari ruang tamu kediaman Ki Amertagi. Sepasang 

pendekar muda itu. kemudian menghentakkan 

kakinya kuat-kuat, setelah mencapai ambang pin-

tu.

"Hop!"


"Hip!"

Ki Amertagi dan Nyi Riwangni hanya me-

mandangi kepergian Jaka dan Mayang yang begi-

tu cepat

"Hhh.... Raja Petir! Kau memang pendekar 

digdaya," gumam Ki Amertagi.

"Kau menyebutnya sebagai Raja Petir, Ka-

kang?" tanya Nyi Riwangni mendengar gumaman 

suaminya.

"Pemuda tampan itulah yang berjuluk Raja 

Petir, Nyi," jelas Ki Amertagi.

"Heh?!" Nyi Riwangni terkejut


EMPAT



Langit di sebelah timur Desa Gandaras te-

lah menjelmakan warna jingga yang begitu me-

nawan. Matahari terlihat perlahan tenggelam 

kembali ke peraduannya. Alam di pedesaan ini 

memang menyajikan suasana yang begitu indah.

Dan pada saat menghilangnya sinar jingga 

yang membias, tiba-tiba berkelebat dua sosok 

bayangan dengan kecepatan luar biasa. Kedua 

bayangan itu menerobos masuk Hutan Gindang 

yang menjadi perbatasan antara Desa Gandaras 

dengan kotaraja.

Dua sosok bayangan yang melesat cepat itu 

tak lain sepasang pendekar muda yang sudah cu-

kup tersohor di kalangan rimba persilatan. Siapa 

lagi kalau bukan Raja Petir dan Dewi Payung


Emas.

"Kita akan tiba lebih cepat dari waktu yang 

telah direncanakan, Kakang," kata Mayang den-

gan napas yang sedikit memburu.

"Bagus kalau begitu, Mayang. Berarti bisa 

sedikit beristirahat sebelum melakukan penyelidi-

kan," balas Jaka dengan napas lebih teratur.

Dua anak berpakaian warna kuning kee-

masan dan jingga itu terus melanjutkan perjala-

nan, menerobos perut Hutan Gindang. Namun ti-

ba-tiba saja....

"Awaaas, Mayang!" teriak Jaka, ketika ma-

tanya melihat sebatang pohon besar tumbang ke 

arah kekasihnya.

Mayang yang mendengar teriakan peringa-

tan kekasihnya segera melompat cepat 

"Hop!"

Jaka pun melakukan hal yang sama.

"Hop!"

Grosakkk!

Pohon yang besar itu tumbang, ambruk ke 

tanah begitu Jaka dan Mayang berhasil melompat 

menghindar. Akan tetapi sebentuk bahaya yang 

lain harus dihadapi pasangan pendekar muda itu. 

Di depan mata mereka kini tengah berjejer sosok 

berpakaian seperti kera. Di tangan masing-

masing sosok yang berjumlah belasan orang itu 

tergenggam sebatang obor yang menyala cukup 

besar. Dugaan Jaka dan Mayang, mereka adalah 

para perampok yang memanfaatkan Hutan Gin-

dang sebagai markas.


"He he he...."

Salah satu sosok yang bertubuh tinggi be-

sar tertawa keras dengan kaki terangkat dua 

langkah ke belakang.

"Serahkan harta kalian kalau ingin selamat 

melintasi hutan ini!" bentak lelaki tinggi besar itu, 

keras. Nampaknya, dialah yang menjadi pimpinan 

begal ini.

Jaka tak membalas ucapan lelaki tinggi be-

sar yang di tangannya menggenggam sebilah tom-

bak berukuran besar.

"Tak perlu kita meladeni mereka, Mayang. 

Hanya membuang waktu saja," ujar Jaka, hampir 

mirip bisikan.

"Tentu saja, Kakang. Kita harus segera 

sampai di kotaraja," balas Mayang, menyetujui 

kata-kata kekasihnya.

"Kalau begitu bersiaplah. Biar kuberi pela-

jaran mereka," pinta Jaka. Dan tiba-tiba saja.... 

"Hiaaa...!" 

"Wusss...!"

Angin bergulung bagai pusaran angin seke-

tika melesat dari sepasang telapak tangan Raja 

Petir yang terhentak kuat. Angin yang tercipta 

berkat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' 

meluruk deras ke arah sosok-sosok yang meng-

genggam obor.

"Awaaas...!" pimpinan begal yang bertubuh 

tinggi besar itu berteriak memperingati teman-

temannya begitu melihat bahaya mengancam.

Maka belasan lelaki yang merintangi perja


lanan Raja Petir dan Mayang, seketika saja ber-

lompatan cepat ke arah kanan dan kiri untuk 

menghindari terjangan angin bergulung yang me-

nebarkan hawa panas menyengat. Dan.... Pada 

saat itulah kedua pendekar muda ini menghen-

takkan kakinya kuat-kuat

"Hop!"

"Hip!"

Tubuh Jaka dan Mayang berkelebat meng-

gunakan ilmu lari cepat tingkat tinggi, yang diba-

rengi pengerahan ilmu meringankan tubuh yang 

mencapai taraf kesempurnaan. Maka, barisan 

penghalang yang kini sudah longgar mudah sekali 

dilalui. Namun....

"Bangsat! Kejar mereka!" teriak pimpinan 

begal itu menyadari calon mangsanya lolos begitu 

saja.

Belasan lelaki berpakaian seperti kera yang 

memang anak buah lelaki tinggi besar itu segera 

saja bergerak mengejar Raja Petir dan Mayang. 

Namun sekuat-kuatnya mengejar, usaha yang di-

lakukannya hanya sia-sia saja.

Ilmu lari para begal tanggung itu memang 

belum seberapa jika dibanding ilmu lari sepasang 

pendekar muda yang kesaktiannya diperhitung-

kan tokoh-tokoh sakti golongan hitam maupun 

putih. Terbukti, jarak buruan mereka semakin 

jauh saja untuk dikejar.

"Bangsat!" rutuk lelaki tinggi besar itu keti-

ka menyadari pengejarannya hanya menemui ke-

kandasan saja.


Sementara, Mayang dan Jaka terus berlari 

mendekati wilayah kotaraja.

"Hm.... Mereka tak tahu dengan siapa ber-

hadapan, Kakang. Mereka pikir, kita gentar 

menghadapi. Padahal...."

"Kita belum tentu mampu mengalahkan-

nya, Mayang," selak Jaka dengan tatapan men-

gerling lucu ke wajah gadisnya.

"Kau selalu merendah," omel Mayang ber-

pura-pura cemberut

"Merendah adalah sikap bijaksana, 

Mayang," sahut Jaka.

"Kalau Kakang terlalu sering merendah, 

bukan kebijaksanaan yang akhirnya didapat. Tapi 

sikap meremehkan yang selalu mengundang sakit 

hati," sangkal Mayang yang kali ini dengan wajah 

dipasang sesungguh mungkin.

"Tidak begitu, Mayang. Kita harus melihat 

di mana sikap merendah itu harus ditonjolkan," 

tolak Jaka atas ucapan si Dewi Payung Emas 

yang terasa memang tidaklah salah.

"Sudahlah! Kakang memang selalu begi-

tu...." Mayang memasang wajah masam.

Meskipun dalam keadaan tengah berlari, 

Jaka masih sempat menyaksikan wajah kekasih-

nya.

"Kau jelek kalau cemberut begitu," ledek 

Jaka cukup jelas.

"Biar jelek, Kakang kan suka," gumam 

Mayang kesal.

"Hei! Lebih baik kita berhenti bertengkar.


Lihatlah, kita sudah memasuki wilayah kotaraja," 

tukas Jaka seraya menghentikan larinya. Kini Ra-

ja Petir melangkah pendek, diikuti Mayang.

***

Malam yang mulai diterangi cahaya bulan, 

mengiringi langkah kaki Raja Petir dan Dewi 

Payung Emas memasuki kotaraja yang juga dite-

rangi cahaya lampu dari rumah-rumah yang cu-

kup besar dan mewah.

"Masih ada kedai makan yang buka, Ka-

kang," kata Mayang seraya menunjuk sebuah ke-

dai. "Kita mampir dulu ke sana, Kakang."

"Pasti perutmu sudah merangsek minta di-

isi," tebak Jaka.

Dara cantik berambut panjang dikepang 

kelabang yang berjuluk si Dewi Payung Emas 

mengangguk dengan tatapan tertuju ke arah ban-

gunan rumah yang ramai dikunjungi orang.

"Ayolah kita ke sana, Mayang. Barangkali 

saja dapat diperoleh keterangan yang tak sengaja 

dari mulut orang-orang di dalam kedai yang bu-

kan mustahil memang penduduk kotaraja ini 

sendiri," ajak Jaka.

Kemudian mereka sama-sama melangkah 

mendekati kedai makan yang semakin ramai di-

kunjungi orang. Memang, mereka tak lain adalah 

penduduk kotaraja. 

Memasuki kedai makan ini, Mayang mera-

sakan kerisihan menyergap hatinya. Betapa ti


dak? Tatapan mata pengunjung kedai yang 

umumnya laki-laki langsung menusuk tajam ke 

arah wajahnya. Memang diakuinya, wajah gadis 

itu banyak mengundang minat lelaki untuk men-

genai lebih dekat dengannya.

Namun, justru sikap Jaka nampak biasa-

biasa saja. Sedikit pun tak merasa terganggu oleh 

cara pengunjung kedai makan yang menatap wa-

jah kekasihnya disertai rasa birahi. Malah, di ha-

tinya timbul sebentuk perasaan bangga, karena 

memiliki kekasih yang dikagumi banyak orang.

"Kita duduk di sini saja, Mayang," ajak Ja-

ka.

Raja Petir mengajak Mayang duduk di su-

dut kedai makan yang memang kosong dan pas 

untuk dua orang. Akan tetapi, di sebelah meja itu 

tengah bersantap empat lelaki berwajah garang. 

Bahkan cara duduk mereka pun terlihat kurang 

sopan.

"Di sana saja, Kakang," tunjuk Mayang, 

menolak ajakan kekasihnya.

"Ah! Lebih baik di sini saja, Mayang. Tem-

patnya pas untuk kita berdua saja. Sedangkan 

tempat yang kau tunjuk terdapat empat buah 

tempat duduk. Itu berarti kita harus bersantap 

bersama orang yang sama sekali tidak kita kenal, 

yang akan duduk di situ juga," tolak Jaka, mem-

beri alasan.

Mayang tentu saja tidak bisa mengelak lagi 

memang ingin bersantap nikmat tanpa harus ter-

ganggu oleh kehadiran orang lain yang mungkin


saja akan mengurangi selera makan.

Dan baru saja sepasang pendekar muda 

yang berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas 

meletakkan pantat masing-masing, seorang pe-

layan setengah tua menghampiri. Dia menanya-

kan, makanan apa yang akan dipesan kedua anak 

muda ini.

"Sediakan kami ayam panggang saja, Pa-

man, " kata Jaka sopan. "Dan nasi hangat"

Tatapan mata pemuda itu kemudian di-

lemparkan ke wajah kekasihnya. Maksudnya, ten-

tu saja agar Mayang memilih sendiri pesanannya.

"Buatkan saja hidangan yang sama, Pa-

man," ujar Mayang lembut.

Kelembutan ucapan Mayang tentu saja 

membuat empat lelaki bertampang angker meno-

leh serempak. 

"Busyet! Suaranya secantik wajahnya, Gor-

ba," kata salah seorang yang memiliki kumis tebal 

melintang.

"Kau tidak melihat kalau dia sudah punya 

pasangan, Narda?" tukas lelaki berwajah putih, 

namun berbintik-bintik hitam. Dia tadi dipanggil 

dengan nama Gorba.

Mayang bukannya tak dengar namanya 

tengah diperbincangkan. Tapi karena selera ma-

kannya tak ingin terganggu, makanya tak dipedu-

likannya empat lelaki angker itu.

"Alaaa...! Berapa susahnya sih, menying-

kirkan anak ingusan itu!" dengus Narda, sesum-

bar. "Sekarang juga, aku bisa mendapatkan gadis


itu."

Narda melemparkan tatapannya ke arah 

gadis cantik itu.

Mayang yang mendengar ucapan tak sopan 

dari lelaki berkumis tebal itu segera saja men-

gangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung 

menusuk tajam ke wajah lelaki bernama Narda.

"Jangan diladeni, Mayang," ujar Jaka, se-

raya menyentuh lembut punggung tangan keka-

sihnya.

Narda yang mendapatkan pelototan tajam 

dari Mayang, segera mengangkat kakinya hendak 

menghampiri. Namun cekalan tangan Gorba sem-

pat membuat lelaki berkumis tebal itu duduk 

kembali di kursinya.

"Jangan mengundang perkelahian, Narda. 

Bukankah tujuan kita datang ke kotaraja ini un-

tuk menyaksikan persembahan yang akan dilak-

sanakan malam nanti. Bagaimana jadinya kalau 

karena kita membuat keributan, prajurit-prajurit 

kerajaan menahan kita?" cegah Gorba, mencoba 

meredam kemarahan temannya.

Kata-kata yang diucapkan Gorba ternyata 

mengena juga. Terbukti kemarahan yang tergam-

bar di wajah Narda sedikit demi sedikit berku-

rang. Rupanya dia sadar, kalau tujuannya ke ko-

taraja hanya semata untuk menyaksikan persem-

bahan maut yang baru pertama kali dilakukan 

Raja Sutera Bayu. Buktinya, dua orang temannya 

juga tak menyetujui tindakan Narda.

Sepasang pendekar muda yang mendengar


kata-kata lelaki berwajah bopeng itu nampak ber-

pura-pura acuh saja. Padahal, mereka sangat 

mengharapkan pembicaraan itu kembali berlan-

jut.

Namun sampai hidangan di atas meja lu-

das, empat lelaki itu tak kunjung membicarakan 

tentang persembahan yang akan dilaksanakan 

Prabu Setyagara.

"Tak ada yang dapat kita peroleh keteran-

gan dari tempat ini, Kakang," kata Mayang setelah 

menyeka mulut dari sisa-sisa makanan yang me-

nempel di bibirnya yang merah merekah. 

"Trotet! Trotet! Trotet..!" 

Baru saja Jaka hendak menanggapi uca-

pan kekasihnya, sebuah suara sangkala terdengar 

cukup jelas. Dan bunyi yang terakhir tampaknya 

disertai pengaturan napas yang cukup panjang.

Para pengunjung kedai makan yang berada 

di dekat pintu masuk, segera terlihat beranjak ke-

luar.

"Rombongan kerajaan! Rombongan kera-

jaan!" teriak salah seorang cukup keras.

Semua orang yang berada di dalam kedai 

makan segera bangkit meninggalkan tempat du-

duk menuju keluar. Hanya Jaka dan Mayang 

yang masih tetap berada di tempatnya.

"Troteeettt...!"

Bunyi sangkala panjang kembali terdengar. 

Dan pada saat itulah Jaka dan Mayang bangkit 

dari depan meja santapannya.

"Hm.... Benar-benar rombongan kerajaan


yang lengkap, Mayang," gumam Jaka ketika me-

nyaksikan sebuah kereta kencana yang ditarik 

empat ekor kuda berwarna putih mengkilat

Di belakang kereta kencana yang diduga 

Jaka berisi Prabu Setyagara, melintas juga se-

buah kereta yang tak kalah indahnya. Kereta in-

dah itu ditarik dua ekor kuda putih mengkilat

Persis di bagian depan kereta yang ditarik 

dua ekor kuda, terlihat dua bocah umur sepuluh 

tahun tengah duduk dengan wajah yang terkesan 

kebingungan. Tatapan mata mereka menerawang 

jauh ke depan. Kosong, seperti telah terpengaruh 

oleh sebentuk kekuatan yang tak dapat terlihat. 

Di kiri dan kanan sepasang bocah yang tak lain 

anak kembar Ki Jagil dari Desa Gandaras, nam-

pak dua lelaki berpakaian prajurit bersenjata 

lengkap.

"Bocah itu pasti anak Ki Jagil, Kakang," bi-

sik Mayang.

"Ya, calon korban pertama dari persemba-

han gila itu," timpal Jaka dengan suara ditekan.

"Lalu apa rencana kita sekarang, Kakang," 

tanya Mayang.

"Kita ikut ke tempat persembahan itu, 

Mayang," jawab Jaka cukup tegas.

Mayang menyetujui keputusan yang diam-

bil Raja Petir. Namun untuk ikut ke tempat tu-

juan persembahan, Jaka harus menunggu bari-

san prajurit kerajaan yang mengiringi dua kereta 

yang mengangkut sang Prabu Setyagara, dan se-

pasang bocah kembar yang akan dijadikan kor


ban persembahan.

"Ayo, Kakang," ajak Mayang.

Memang saat itu iring-iringan prajurit Ke-

rajaan Sutera Bayu sudah berlalu dari hadapan-

nya. Yang ada kini hanyalah, penduduk kotaraja 

yang ingin menyaksikan persembahan itu.

"Ayo," sambut Jaka dengan langkah ber-

baur dengan orang-orang yang ingin menyaksikan 

persembahan.

"Hhh...!"

Tiba-tiba saja Mayang mendengus ketika 

menyadari kalau lelaki berwajah bopeng itu juga 

berjalan di sisi kanannya.

"Hrghhh...!"

Namun lelaki berwajah bopeng yang ber-

nama Narda juga mengeluarkan gerengan kesal,

melihat gadis cantik berpakaian jingga yang me-

melototinya di kedai makan barusan.

"Jangan cari mampus di sini, Narda," ujar 

Gorda mantap.

Kaki Gorda kemudian melangkah panjang-

panjang, mendahului langkah kaki sepasang pen-

dekar muda yang bergelar Raja Petir dan Dewi 

Payung Emas.

"Biarkan mereka mendahului kita, 

Mayang," tutur Jaka seraya mencekal pergelangan 

tangan kekasihnya.

"Kalau keadaannya tidak seperti ini, biar 

kubungkam mulut lancang itu dengan kepalanku, 

Kakang," dengus Mayang, melihat wajah jelek le-

laki bernama Narda.


"Troteeettt..!"

Bunyi sangkala yang ditiup seorang praju-

rit kerajaan kembali berkumandang. Dan pada 

saat itulah kereta kuda yang berada pada bagian 

depan bergerak lebih cepat, diikuti kereta kuda 

yang di belakangnya.

Penduduk kotaraja dan penduduk desa 

lain yang sengaja datang untuk menyaksikan per-

sembahan pun ikut bergerak dan berlari mem-

buntuti kereta-kereta kuda yang bergerak sema-

kin cepat

Malam merangkak perlahan. Sinar rembu-

lan yang terlihat semakin merata, menerangi jalan 

yang ditempuh serombongan orang menuju Bukit 

Kelabang. Sebuah bukit yang akan dijadikan 

tempat acara persembahan.


LIMA



Bukit Kelabang terlihat begitu angker. Dae-

rahnya berbatu-batu, dan ditumbuhi pohon-

pohon tinggi berdaun jarang yang berkesan ker-

ing, sehingga semakin nampak keangkerannya. 

Siraman sinar bulan purnama di seluruh wilayah 

Bukit Kelabang, juga cukup menampakkan se-

buah goa, yakni bernama Goa Persembahan.

Sebuah kereta kencana indah berwarna 

kuning keemasan yang berkilauan tertimpa sinar 

bulan, terlihat berhenti pada bagian paling depan 

Goa Persembahan.


Prabu Setyagara, tampak keluar dari dalam 

kereta kebesarannya. Seorang lelaki bertampang 

angker yang berpakaian hitam menghampiri sang 

Prabu dari Kerajaan Sutera Bayu ini, diikuti dua 

orang rekannya yang bertubuh tinggi ringkih dan 

tinggi kekar.

Lelaki berpakaian hitam yang pada bagian 

punggungnya tersampir sebuah senjata berupa 

pecut berbentuk seekor kelabang coklat kehita-

man tak lain adalah orang yang menuntut penye-

lenggaraan persembahan di Goa Persembahan

Bukit Kelabang. Dialah lelaki sakti dan memiliki 

ilmu sihir yang berjuluk Kelabang Sakti. Sedang-

kan laki-laki yang bertubuh tinggi ringkih berju-

luk Cengcorang Sakti Lembah Setan. Sementara 

yang bertubuh tinggi kekar berjuluk Gajah Maut 

Lereng Tandus. Kedua orang itu memang kaki 

tangan si Kelabang Sakti.

"Persembahan akan segera dimulai, Yang 

Mulia," ajak Kelabang Hitam dengan kepala sedi-

kit tertunduk, Cengcorang Sakti Lembah Setan 

dan Gajah Maut Lereng Tandus juga terlihat me-

nundukkan kepala. "Mudah-mudahan tak ada 

halangan yang membuat persembahan ini gagal 

dan tidak diterima oleh...." 

"Akan kuperintahkan seluruh prajurit ke-

rajaan bersiaga untuk menjaga segala kemungki-

nan, Grandawa," selak Prabu Setyagara. 

"Terima kasih, Yang Mulia," ucap lelaki 

yang sebenarnya bernama Grandawa.

Kini Kelabang Hitam membungkukkan tu


buhnya lebih rendah. Dan ketika tegak kembali, 

langsung diperintahkannya Cengcorang Lembah 

Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus untuk se-

gera menjemput sepasang bocah berusia sepuluh 

tahun yang akan menjadi persembahan pertama.

"Bawa bocah-bocah itu kemari, Marwa," pe-

rintah Kelabang Sakti pada Cengcorang Sakti 

Lembah Setan yang ternyata bernama asli Marwa.

Dua lelaki berpakaian hijau terang dan ke-

labu langsung bergerak ke arah kereta kencana 

yang ditempati bocah kembar anak Ki Jagil. Se-

mentara dua bocah kembar itu nampak begitu 

rapi bagai sepasang pengantin yang hendak di-

iringi ke pelaminan. Pakaiannya yang indah di-

hiasi bunga-bunga melati yang ditautkan benang 

sutera.

Sementara orang-orang yang turut me-

nyaksikan acara persembahan terlihat semakin 

jauh berkurang jumlahnya. Itu dikarenakan tak 

tahan mengikuti lari kereta kuda yang menempuh 

jarak ratusan pal. Yang mampu bertahan hingga 

bisa mencapai Bukit Kelabang hanyalah orang-

orang persilatan.

Dalam jejeran orang yang hendak menyak-

sikan acara persembahan, nampak Raja Petir dan 

Dewi Payung Emas. Kedua pendekar muda itu le-

bih memilih berdiri pada tempat yang sedikit ter-

sembunyi. Tak jauh dari tempat Jaka dan 

Mayang, terlihat juga empat lelaki berwajah ang-

ker yang hampir bertengkar dengan Mayang di 

kedai makan kotaraja. Mayang mengarahkan ta


tapannya ke empat lelaki itu. Begitu juga Jaka.

"Ternyata empat lelaki itu bukan orang 

sembarangan, Mayang," kata Jaka. "Terbukti dia 

bisa bertahan ikut sampai ke tempat persemba-

han ini."

"Kau betul, Kakang," timpal Mayang. "Apa 

yang harus kita lakukan di tempat ini, Kakang?"

"Kita saksikan dulu, apa yang akan mereka 

lakukan," jawab Jaka.

"Hhh.... Perbuatan gila," rutuk Mayang.

"Jangan keras-keras bicaramu, Mayang."

Mayang menatap wajah Jaka. Sungguh tak 

disadari ucapannya barusan.

***

Suasana Bukit Kelabang yang diterangi ca-

haya bulan purnama menjadi lebih hening ketika 

sepasang bocah yang didandani layak pengantin 

didirikan pada dua buah batu ceper sebesar tam-

pah.

"Hm...."

Mayang Sutera sepertinya tak sabar meli-

hat lelaki berpakaian hitam yang menjadi pimpi-

nan penyelenggara upacara persembahan.

Sementara itu, tatapan Jaka justru berke-

liaran menyaksikan prajurit kerajaan yang berja-

ga-jaga di sekitar Bukit Kelabang. Seolah Raja Pe-

tir tengah mengukur kekuatan orang-orang yang 

mendukung acara persembahan sesat Prabu Se-

tyagara.


"Mayang," bisik Jaka tiba-tiba.

"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.

"Bersiaplah untuk menghadapi segala ke-

mungkinan. Aku akan melakukan sesuatu untuk 

menyelamatkan anak kembar Ki Jagil itu," ujar 

Jaka.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"

Disadari, upacara persembahan itu diikuti 

tokoh-tokoh sakti golongan hitam, dan juga ratu-

san prajurit Kerajaan Sutera Bayu. Jelas, mereka 

berjaga-jaga dan dilengkapi persenjataan.

"Tunggu saja apa yang akan dilakukan le-

laki berpakaian hitam itu, Mayang," ujar Jaka 

tanpa memberi tahu pada kekasihnya, tindakan 

apa yang akan ditempuh.

Mayang tak melontarkan pertanyaan lagi. 

Terlebih ketika Jaka membungkukkan badan. 

Tampak tangan kanan Raja Petir meraih batu se-

besar kepalan perempuan dewasa.

Meski dalam hati Dewi Payung Emas mun-

cul berbagai macam pertanyaan, namun tetap

mencoba bersabar untuk menunggu apa yang di-

lakukan Jaka.

"Saudara-saudara sekalian!"

Tiba-tiba terdengar seruan keras yang dike-

luarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Suara 

itu seketika mengumandang dan bergema di su-

dut-sudut Bukit Kelabang. Kata-kata pembuka 

itu diucapkan Grandawa alias si Kelabang Hitam 

dengan tatapan berkeliling. Diperhatikannya 

orang-orang yang menyaksikan jalannya persem



bahan. 

"Tak lama lagi saudara-saudara akan me-

nyaksikan persembahan yang berguna untuk 

menjaga keutuhan Kerajaan Sutera Bayu. Per-

sembahan ini sekaligus untuk meminta restu pa-

da Dewa Penyelamat dan Dewa Pemelihara keda-

maian, agar kita semua selalu mendapat kesela-

matan dan kedamaian," kata Kelabang Hitam.

Tak ada suara sedikit pun yang menangga-

pi ucapan lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam 

ini. Dan suasana pun menjadi begitu sunyi.

Jaka dan Mayang pun hanya diam saja. 

Namun dalam hati Mayang merutuki kata-kata 

Kelabang Hitam.

"Semoga Yang Kuasa mengutuk ucapan-

mu!" 

"Saudara-saudara sekalian...!" kata Gran-

dawa lagi. "Di hadapan kita kini, berdiri Yang Mu-

lia Prabu Setyagara, untuk sama-sama menyaksi-

kan upacara persembahan. Perlu diketahui, sete-

lah dua kepala korban terpisah dari badannya, 

maka akan kulemparkan kepala bocah lelaki itu. 

Lalu, Yang Mulia akan melempar kepala bocah 

yang perempuan ke dalam Goa Kelabang. Jika 

pada lemparan kedua terdengar bunyi raungan 

dahsyat, saudara-saudara sekalian tak perlu ta-

kut. Karena itu hanya pertanda kalau persemba-

han diterima," tutur Grandawa.

Orang-orang yang mendengar ucapan lelaki 

berpakaian hitam hanya terdiam, tanpa sepatah 

kata pun yang terucap. Sepertinya semua orang



yang ada di Bukit Kelabang terpengaruh oleh 

ucapan-ucapan si Kelabang Hitam, yang memang 

memiliki kelebihan dalam hal ilmu sihir.

"Sekarang saksikanlah bagaimana aku 

memenggal kepala bocah lelaki ini," ujar si Kela-

bang Hitam seraya menyentuh anak lelaki Ki Jagil 

yang berada pada tangan Cengcorang Sakti Lem-

bah Setan. "Jika kepala bocah ini terpenggal tan-

pa mengucurkan darah, berarti persembahan di-

terima."

Puluhan pasang mata yang menyaksikan 

sikap Kelabang Hitam nampak tak berkedip. Ter-

lebih ketika Grandawa meminta sebilah golok be-

sar yang ada di tangan Gajah Maut Lereng Tan-

dus.

"Menyingkirlah kalian," perintah si Kela-

bang Hitam pada Cengcorang Sakti Lembah Setan 

dan Gajah Maut Lereng Tandus.

Maka kedua lelaki bertubuh tinggi kurus 

dan tinggi kekar itu bergerak meninggalkan bo-

cah-bocah persembahan yang berdiri di atas se-

bongkah batu ceper.

Sesaat lamanya ketegangan membalut hati 

orang-orang yang menyaksikan jalannya persem-

bahan. Dengan hati berdegup keras, mereka me-

nunggu apa yang akan dilakukan Kelabang Hi-

tam.

Seperti orang-orang lain, Mayang pun me-

rasakan keterpanaan pula. Hanya Jaka yang 

tampak lebih tenang, dengan telapak tangan 

menggenggam sebongkah batu sebesar kepalan


tangan perempuan dewasa. Namun di balik itu, 

siapa yang tahu kalau sesungguhnya tokoh tam-

pan yang berjuluk Raja Petir tengah memper-

siapkan sebuah ilmu andalan yang bernama aji 

'Kukuh Karang'.

"Haiaaa...!"

Keheningan yang dibungkus ketegangan, 

seketika terusik teriakan si Kelabang Hitam den-

gan sebilah golok besar yang terangkat hendak di-

tebaskan ke leher anak lelaki Ki Jagil. 

"Hmrh...!"

Jaka menggereng marah melihat tindakan 

Grandawa. Maka seketika itu juga.... 

Sing...!

Sebongkah batu yang berada dalam geng-

gaman tangan kanan Raja Petir meluruk deras 

mengiringi kelebatan golok besar yang hendak 

memenggal kepala putra Ki Jagil.

Trak!

"Akh!"

Terdengar pekik tertahan yang keluar dari 

mulut lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam. Tu-

buhnya pun terlihat terjajar dua langkah ke bela-

kang, sementara senjatanya yang berada dalam 

genggaman terpental dan patah dua.

Kejadian itu berlangsung begitu cepatnya. 

Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah Maut 

Lereng Tandus pun tak sempat menyaksikan ke-

lebatan sebongkah batu yang dilemparkan Raja 

Petir dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

Dan pada saat tergempurnya tubuh Kela


bang Hitam, sosok Raja Petir tiba-tiba melesat ba-

gai kilat

"Hops!" 

Sltas! 

Tap! Tap!

Dua sosok bocah berumur sepuluh tahun 

yang berdiri pada batu ceper seketika itu juga le-

nyap dari tempatnya. Raja Petir memang melari-

kannya disertai pengerahan ilmu 'Lejitan Lidah 

Petir' yang dipadukan ilmu meringankan tubuh 

dan ilmu cepat tingkat tinggi. Hingga manakala 

tubuh yang terbungkus pakaian warna kuning itu 

berkelebat, yang nampak hanya cahaya kuning 

yang melesat bagai kilat

Orang-orang yang menyaksikan ter-

huyungnya tubuh Grandawa dan lenyapnya tu-

buh sepasang bocah persembahan, nampak se-

perti terkesima. Mereka bengong melompong.

"Kejar! Jangan biarkan dia lolos!" teriak si 

Kelabang Hitam keras setelah sadar.

Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah 

Maut Lereng Tandus sama-sama menghentakkan 

kakinya ke tanah kuat-kuat untuk mengejar 

orang yang telah melarikan anak kembar Ki Jagil.

"Hop!"

"Hop!"


ENAM



Suasana di Bukit Kelabang mendadak

menjadi kacau balau. Prajurit-prajurit yang me-

nyadari perintah Yang Mulia Prabu Setyagara se-

gera bergerak, ikut mengejar ke arah melesatnya 

bayangan kuning keemasan yang telah menyela-

matkan dua anak Ki Jagil dari persembahan sesat 

yang telah dilakukan Raja Sutera Bayu. Sementa-

ra, orang-orang yang hanya bermaksud menyak-

sikan jalannya persembahan, kini kocar-kacir 

mencari tempat untuk menghindar dari serudu-

kan prajurit-prajurit yang bermaksud mengejar 

bayangan kuning tadi!

"Kakang...," desah Mayang, cemas. "Semo-

ga tokoh-tokoh sesat tak kuasa mengejarmu."

Hanya dalam waktu singkat, seluruh praju-

rit kerajaan yang bertugas menjaga Bukit Kela-

bang telah meninggalkan tempatnya. Hanya bebe-

rapa tokoh hitam saja yang mengiringi Prabu Se-

tyagara meninggalkan Bukit Kelabang. 

"Hhh...."

Sementara itu Mayang, setelah menarik 

napas berat segera saja melangkah meninggalkan

Bukit Kelabang. Langkahnya terayun ke arah sa-

ma dengan lari Jaka. Namun belum juga jauh me-

langkah....

"Hei! Hei.... Hei! Jangan pergi dulu, urusan 

kita belum diselesaikan," tiba-tiba sebuah suara 

yang ditujukan pada Mayang terdengar. 

Semula Mayang mencoba mengacuhkan. 

Namun ketika terdengar langkah kaki yang seper-

ti mengejar, langkahnya segera dihentikan.

"Gadis sombong! Sekarang kau tak punya


teman. Bagaimana kalau persoalan kita di kedai 

makan tadi diteruskan," tukas lelaki berkumis 

melintang yang tak lain Narda.

"Aku mendukungmu, Narda. Bukan begitu, 

Dirman, Sakim! Sekaranglah waktu yang tepat 

bagi kita untuk menyeret gadis cantik itu," timpal 

lelaki berwajah putih yang dikotori bopeng di wa-

jahnya. Dia tak lain Gorba. 

"Lantas, tunggu apa lagi?" kata orang ber-

nama Dirman. 

"Benar! Terlalu lama, tak enak rasanya," 

sambut orang yang bernama Sakim. 

"Aku tak punya urusan dengan kalian," ke-

tus ucapan Mayang. Langkah kakinya pun kem-

bali tergerak meninggalkan empat lelaki berwajah 

angker.

"Hop!"

"Hip!"

Narda dan Gorba yang melihat keketusan 

itu segera melesat mendahului langkah kaki ke-

kasih Jaka ini.

Mayang tentu saja jadi terbelalak geram, 

menyaksikan tingkah empat lelaki bertampang 

kasar yang telah menjengkelkannya sejak di kedai 

makan tadi.

"Hhh! Dasar lelaki hidung belang! Sudah 

kukatakan, aku tidak punya waktu untuk mela-

deni kalian. Menyingkirlah, jangan halangi jalan-

ku!" bentak Mayang, keras.

Dua lelaki yang berdiri di hadapan Mayang 

hanya cengar-cengir menimpali kemarahan


Mayang. Namun ketika tiba-tiba saja tangan gadis 

itu bergerak cepat, Narda dan Gorba kelimpungan 

untuk menghindarinya.

"Uts!"

"Hups!"

Narda dan Gorba segera melempar tubuh-

nya ke kiri dan kanan untuk menghindari samba-

ran tangan Mayang yang mengarah ke bagian wa-

jah.

"Hm.... Galak juga kau, Nisanak," gumam 

Narda, setelah bisa menguasai keterkejutannya.

"Aku bukan saja bisa berbuat galak. Tapi 

bisa membunuh kalian semua kalau tak cepat 

menyingkir dari hadapanku!" bentak Mayang, tak 

main-main.

"Aku ingin bukti, Nisanak," tantang Gorba 

dengan tangan memberi isyarat mengajak tiga 

temannya untuk mengurung gadis cantik yang 

berjuluk Dewi Payung Emas.

"Majulah! Kalau itu yang kalian inginkan!" 

sentak Mayang, membalas tantangan empat lelaki 

yang kini tengah mengurung dirinya.

Seperti baru menemukan wanita cantik, 

empat lelaki bertampang angker itu meluruk ber-

samaan menggunakan tangan kosong.

"Hiyaaa...!"

"Hiaa...!"

Mayang yang memang sudah muak melihat 

tampang-tampang kasar di hadapannya, segera 

saja menyambut serangan dengan jurus 'Menepak 

Laut Menggenggam Air'. Tubuh gadis itu bergerak


cepat dan terlihat begitu indah, seperti seorang 

gadis penari yang bergerak-gerak indah. Namun 

gerakan itu merupakan sebuah ancaman bagi 

keempat lelaki yang menjadi lawannya. Karena ti-

ba-tiba tangan gadis itu bergerak ke arah dua 

orang di depannya.

"Haaat...!"

Wuttt!

Plak!

Plak!

Dua lelaki yang bernama Dirman dan Sa-

kim kontan terjengkang ke tanah terkena samba-

ran tangan yang cukup keras pada bagian kepala. 

Mereka mengerang-erang kesakitan dengan tela-

pak tangan memegangi kepalan yang berdenyut 

sakit luar biasa. Rasanya, mereka tak mampu lagi 

melanjutkan pertarungan.

"Setan!"

"Keparat!"

Narda dan Gorba memaki penuh kegera-

man ketika melihat kedua teman mereka menda-

pat hajaran seperti itu. Kedua lelaki itu kini men-

cabut senjata masing-masing, berupa sebilah go-

lok bergagang panjang.

Srat!

Srat!

Rrrt..! 

Melihat kedua lawannya mencabut senjata, 

tak tanggung-tanggung Mayang segera mengem-

bangkan payung kecil dari logam berwarna kun-

ing keemasan. Dan kini sebuah jurus 'Benteng


Emas' kini tengah dipersiapkannya untuk me-

nandingi serangan Narda dan Gorba. 

"Hiyaaa...!"

"Hiaaa...!"

Narda dan Gorba melesat ke arah tubuh 

Mayang. Senjata mereka yang diputar-putar di 

samping kepala seketika itu juga diarahkan ke 

bagian kepala dan dada gadis itu.

Trang!

Trang!

Bunyi berdentang keras dari senjata-

senjata yang beradu seketika terdengar di malam 

yang diterangi cahaya bulan purnama. Percik 

bunga api pun berpijar dari logam-logam yang be-

radu dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.

Tubuh Narda dan Gorba nampak terjajar 

tiga langkah ke belakang. Sedangkan Mayang 

hanya satu langkah bergeser dari tempatnya ber-

pijak. Itu berarti, penguasaan tenaga dalam gadis 

cantik kekasih Raja Petir ini berada di atas kedua 

lawannya.

Mendapatkan keunggulan pada dirinya, 

Mayang segera mengambil tindakan cepat Mak-

sudnya, tak lain ingin memberi pelajaran pada 

kedua lawannya.

"Hiaaat..!"

Melihat kedua lawannya yang terhuyung, 

tubuh Dewi Payung Emas cepat mencelat. Kaki 

kanan yang dialiri kekuatan tenaga dalam, kini 

nampak hendak menendang bagian dada Gorba. 

Sedangkan sampokan tangannya, jelas terlihat di


tujukan ke kepala Narda.

"Mampus kalian!"

Bugkh!

Plak!

"Aaa...!"

Dua lengkingan kesakitan seketika terden-

gar berturut-turut, begitu tendangan dan sampo-

kan tangan yang dilancarkan Mayang tepat 

menghantam dada dan kepala Gorba dan Narda.

Bruk!

Bruk!

Tubuh Narda dan Gorba seketika ambruk 

ke tanah. Wajah lelaki itu nampak menyeringai 

menahan sakit. Sementara, Mayang hanya berdiri 

tegak memandang lawan-lawannya dengan se-

nyum mengejek sambil bertolak pinggang.

"Kalau aku mau, sekarang juga tubuh ka-

lian kubuat daging cincang dengan senjataku ini!" 

gertak Mayang sambil memamerkan senjatanya. 

Sayang aku tak punya urusan dengan kalian."

Empat lelaki berwajah kasar yang kini ter-

kulai di tanah berbatu-batu Bukit Kelabang tak 

membalas kata-kata yang dilontarkan Mayang. 

Bahkan ketika tubuh gadis itu melesat, mereka 

sedikit pun tak berniat mengejar. Sepertinya, me-

reka jera mendapati keunggulan yang diperli-

hatkan gadis cantik kekasih Raja Petir itu.

Sementara itu, Mayang terus melesat cepat 

ke arah yang diambil Jaka dalam menyelamatkan 

anak kembar Ki Jagil. Dan malam pun merang-

kak semakin jauh. Angin dingin yang berhembus


terus menusuk kulit. Namun Mayang tak berniat 

menghentikan larinya

"Hm.... Di mana harus kutemui, Kakang 

Jaka?" gumam Mayang. "Apakah aku harus ke 

Desa Gandaras? Hhh...."

Setelah menarik napas berat, Mayang ak-

hirnya berkeputusan untuk mencari penginapan 

terdekat. Baru menjelang fajar nanti, dia akan 

pergi ke rumah Ki Amertagi Kepala Desa Ganda-

ras. 

"Hips!"

Tubuh Mayang kembali bergerak dalam 

tengah malam yang dingin. Sebuah rumah pengi-

napan yang kini dicarinya.


TUJUH



Desa Jalarawa nampak begitu indah ma-

nakala sinar matahari nampak sedikit-sedikit 

menyirami pepohonan hijau kemuning. Di bela-

han timur desa yang terlihat damai, menghampar 

sawah dengan padi-padinya yang melambai-

lambai tertiup angin sepoi-sepoi sejuk.

Mayang yang tengah berada dalam sebuah 

kamar penginapan, terlihat berdiri di muka jende-

la yang terbuka lebar. Angin pagi dibiarkan me-

nerpa wajahnya. Sementara, tatapan matanya 

yang jernih dan indah menikmati keindahan alam 

Desa Jalarawa yang sebenarnya masih berada da-

lam kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu.

Sesungguhnya Mayang enggan pergi dari 

penginapan yang terletak pada sebuah desa yang 

indah. Namun tuntutan hatinya yang dipenuhi 

kecemasan tinggi, membuat dara manis yang ber-

juluk Dewi Payung Emas segera beranjak me-

ninggalkan kamarnya. Dia kemudian melangkah 

ke ruang depan. Begitu tiba, segera diselesaikan-

nya urusan sewa kamar selama semalaman.

"Kenapa begitu terburu-buru, Nisanak?" 

tanya penjaga penginapan yang masih berusia 

cukup muda.

"Masih ada urusan lain yang harus segera 

kuselesaikan, Kisanak. Lain kali, pasti aku mam-

pir lagi di penginapanmu yang resik ini," tukas 

Mayang.

Dan langkahnya segera terayun mening-

galkan pemilik penginapan. Pada sinar mata 

orang itu terpancar kekagumam akan kecantikan 

wajah yang dimiliki kekasih Raja Petir ini.

Dan Mayang sendiri bukannya tidak tahu 

kekaguman lelaki berusia tak lebih dari dua pu-

luh lima tahun ini. Makanya, agar lelaki itu tak 

semakin penasaran, segera saja kakinya melang-

kah cepat-cepat meninggalkan penginapan yang 

cukup mengena di hatinya.

***

Karena jarak antara Desa Jalarawa dengan 

Desa Gandaras tidak terlalu jauh, maka sebelum 

matahari bertengger tegak di atas kepala, Mayang


sudah menginjakkan kakinya di bumi Desa Gan-

daras. Dan dia langsung menuju rumah Kepala 

Desa Gandaras itu.

Namun, betapa terkejutnya dara cantik 

berpakaian warna jingga itu, ketika menyaksikan 

puluhan prajurit Kerajaan Sutera Bayu berada di 

pelataran rumah Ki Amertagi.

"Hm.... Pasti mereka menduga Kakang Ja-

ka membawa anak Ki Jagil ke tempat ini," kata 

batin Mayang. 

Memang, tak lama kemudian, gadis cantik 

kekasih Raja Petir ini menyaksikan tubuh lelaki 

berpakaian putih tampak terhuyung keluar dari 

dalam rumah. Di sela bibir orang yang tak lain 

Kepala Desa Gandaras itu nampak darah me-

rembes keluar. Di wajahnya pun terlihat warna 

biru bekas pukulan tangan.

"Kau pasti sengaja menyewa orang sakti 

untuk mengacaukan jalannya persembahan!" 

bentak lelaki berpakaian seorang punggawa ke-

ras.

"Ampunkan hamba, Tuan Punggawa. 

Sungguh hamba tak tahu-menahu akan hal itu," 

ratap Ki Amertagi.

"Dusta! Kau berani berdusta padaku, he?!" 

bentak lelaki bertubuh tinggi besar yang sesung-

guhnya bernama Guridala.

Kaki kanan punggawa Guridala kemudian 

terangkat, lalu meluncur deras ke bagian dada 

Kepala Desa Gandaras.

Dagkh!


"Akh!"

Pekik kesakitan keluar dari mulut Ki Amer-

tagi begitu tendangan keras mendera dadanya. 

Tubuhnya kontan terhuyung ke belakang, kemu-

dian ambruk ke tanah setelah sepasang kakinya 

tak kuasa menahan berat badannya.

"Ampunkan hamba, Tuan Punggawa," rin-

tih Ki Amertagi sambil memegangi dadanya yang 

berdenyut dengan sepasang telapak tangan.

Sementara Nyi Riwangni, istri Ki Amertagi 

tak bisa berbuat apa-apa melihat keadaan sua-

minya. Perempuan berpakaian biru muda itu tak 

berdaya apa-apa di bawah todongan tombak pra-

jurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu. Dia hanya bi-

sa menangis tanpa suara. Hatinya merintih iba 

melihat keadaan suaminya.

"Masih untung kau tak kubinasakan seka-

rang, Tua Bangka Pendusta. Kau akan kubawa ke 

hadapan Prabu Setyagara untuk mempertang-

gungjawabkan perbuatanmu. Setelah itu, kau 

akan mendapatkan hukuman gantung!" ancam 

Punggawa Guridala keras.

Mayang Sutera yang menyaksikan dan 

mendengar ucapan Punggawa dari Kerajaan Sute-

ra Bayu menjadi gemas. Perasaan kemanusiaan-

nya langsung tergetar untuk memberi pelajaran 

pada orang yang suka bertindak sewenang-

wenang. Namun untuk turun tangan langsung 

menyelamatkan Ki Amertagi, adalah merupakan 

pekerjaan konyol.

"Bangkit, Tua Bangka! Ikut aku!" sentak


Punggawa Guridala.

Ki Amertagi segera melaksanakan perintah 

Punggawa Guridala, meski rasa sakit masih cu-

kup kuat terasa di bagian dadanya. Dia berusaha 

sekuat tenaga untuk bangkit, kemudian berjalan 

tertatih-tatih mengikut langkah kaki Punggawa 

Guridala dari Kerajaan Sutera Bayu ini. Di bela-

kang Ki Amertagi, berjalan prajurit-prajurit yang 

mengiringi.

"Kakang Amertagi...!"

Nyi Riwangni menjerit menyayat menyaksi-

kan suaminya dibawa menuju Kerajaan Sutera 

Bayu. Harapannya seketika itu juga musnah un-

tuk dapat hidup bersama selamanya.

Sementara Mayang yang menyaksikan ra-

tapan Nyi Riwangni tak mampu berbuat apa-apa. 

Malahan gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung 

Emas itu membatalkan niatnya untuk mampir di 

kediaman Kepala Desa Gandaras.

"Hips!"

Tubuh Mayang seketika bergerak berbalik 

arah. Dia tak tahu lagi, di mana harus mencari 

Raja Petir. Rasa khawatir yang melanda hati 

membuatnya berlari tanpa tujuan pasti.

Jarak berpal-pal jauhnya kini sudah diam-

bil Mayang untuk mencari jejak kekasihnya. Na-

mun sedikit pun tak ditemui tanda-tanda akan di-

temukannya Raja Petir.

Di tengah-tengah keputusasaan yang ham-

pir melanda, tiba-tiba telinga Mayang yang sudah 

cukup terlatih, mendengar suara-suara pertarun


gan. Maka untuk meyakinkannya, pendengaran-

nya segera dipusatkan.

"Hiyaaa...!"

Ctarrr...!

Suara pertarungan itu kini semakin jelas 

tertangkap pendengarannya, maka tanpa buang 

waktu lagi, tubuh si Dewi Payung Emas itu lang-

sung mencelat ke arah suara pertarungan yang 

didengarnya.

"Kakang...?" Suara tertahan yang keluar 

dari mulut Mayang terdengar begitu sarat kece-

masan. Memang, saat itu Raja Petir tampak ten-

gah terkurung tiga lawan yang semuanya meng-

hunus senjata. Sementara, Jaka tak terlihat 

menggunakan senjata. Dan anehnya, Mayang tak 

menyaksikan keberadaan anak kembar Ki Jagi. 

"Di mana Kakang Jaka menyembunyikan 

anak kembar Ki Jagil?" kata hati Mayang ber-

tanya-tanya.

"Kalau kau tak mau menyerahkan bocah-

bocah itu padaku, maka kepalamu sebagai peng-

ganti untuk kupersembahkan pada Prabu Setya-

gara!" ancam lelaki berpakaian hitam yang tak 

lain si Kelabang Hitam. 

"Pilihan kedua yang kuingini, Kelabang Hi-

tam," balas Jaka menantang. "Namun, aku tak 

yakin melihat kemampuanmu."

Kata-kata itu membuat hati Kelabang Hi-

tam dan Cengcorang Sakti Lembah Setan serta 

Gajah Maut Lereng Tandus terbakar kemarahan.

"Bocah Laknat! Kau pikir nyawamu rang



kap heh?!" sentak Cengcorang Sakti Lembah Se-

tan geram. Langkahnya terangkat, menjajari Ke-

labang Hitam.

"Kalian yang terlalu berani berurusan den-

gan Raja Petir!" ledek Jaka.

Sengaja julukannya diucapkan keras-

keras, agar kemarahan tiga lawannya semakin 

terbakar. Dengan begitu, Jaka berharap seran-

gan-serangan yang akan dilakukan mereka tak 

lagi terkendali. Biasanya dalam keadaan seperti 

itu, setiap orang pasti akan melalaikan pertaha-

nannya.

"Sombong sekali kau. Raja Buduk! Tokoh-

tokoh lain boleh gentar mendengar julukanmu. 

Tapi Gajah Maut? Ha ha ha.... Jangan berharap 

kau bisa melihat matahari besok pagi jika sudah 

berurusan denganku!" gertak lelaki berpakaian 

warna kelabu itu dengan dada sedikit dibusung-

kan.

"Jangan banyak cakap, Gajah Bengkak! 

Buktikan ucapanmu!" balas Jaka tak kalah ger-

tak.

Wuttt!

"Eits!" Jaka segera menarik kepalanya keti-

ka sejengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Le-

reng Tandus hampir memenggal lehernya.

"Hiyaaa...!"

Begitu ucapan Jaka lenyap terbawa angin, 

tubuh Gajah Maut Lereng Tandus sudah melesat 

dengan senjata terkibas mengarah ke bagian leh-

er. Suara angin berdesing mengiringi kedatangan


serangannya. Goloknya yang berputar-putar ter-

dengar bercericitan tajam.

Wuttt!

"Eits!"

Jaka segera menarik lehernya ketika se-

jengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Lereng 

Tandus memenggal. Tindakan yang diambilnya 

memang cukup tepat. Terbukti serangan itu 

hanya mampu menebas angin. Bahkan sodokan 

tangan kiri Jaka membuat penyerangnya terpaksa 

melenting ke belakang.

Akan tetapi baru sekejapan bahaya lewat, 

kini Jaka sudah kembali terancam serangan yang 

dilancarkan Cengcorang Sakti Lembah Setan yang 

memainkan jurus 'Pedang Lembah Setan'.

"Hiaaa...!"

Bet! Bet! 

"Uts!"

Kali ini Jaka harus melenting berkali-kali 

untuk menghindari cecaran pedang panjang ber-

gerigi milik Cengcorang Sakti Lembah Setan yang 

cukup cepat dan memilih sasaran mematikan. 

Tusukan dan tebasan yang dilakukannya di 

samping cepat, juga sulit ditebak arahnya.

"Hm...."

Jaka bergumam pelan menyaksikan kece-

patan serangan Cengcorang Sakti Lembah Setan.

Wung!

"Its!"

Tubuh Raja Petir kembali melenting ke 

udara seraya memutar tubuhnya. Gerakannya


cukup indah dalam memperlihatkan kehebatan 

ilmu 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu semakin mem-

buat kemarahan lawannya menjadi-jadi.

Saat tubuh Cengcorang Sakti Lembah Se-

tan melesat memberi serangan susulan, tubuh 

Kelabang Hitam juga bergerak, malahan lesatan 

yang dilakukan lebih cepat datangnya. Jelas, ilmu 

yang dimiliki setingkat lebih tinggi dari rekannya.

"Hiyaaa...!" 

"Haaat...!"

Mayang yang menyaksikan keadaan keka-

sihnya terserang dari dua arah, segera saja 

menghentakkan kakinya. Sementara senjatanya 

berupa payung kecil dari logam juga sudah ter-

kembang dan siap dimainkan dalam jurus 

'Benteng Emas'.

"Hits!"

Mayang langsung memutar-mutar senja-

tanya memapak serangan Cengcorang Sakti Lem-

bah Setan yang tertuju ke arah Raja Petir. Maka 

akibatnya....

Blang...! 

"Ikh!"

Tubuh Cengcorang Sakti Lembah Setan 

kontan tergempur dua langkah ke belakang se-

saat sambaran pedang bergerigi miliknya, mem-

bentur payung logam warna kuning keemasan 

yang dipentangkan Mayang dalam jurus andalan 

'Benteng Emas'. Gadis cantik itu juga terjajar dua 

langkah ke belakang, malah tangannya juga me-

rasakan getaran hebat, hingga hampir saja ceka



lan tangan pada gagang senjatanya terlepas.

"Keparat!" maki Cengcorang Sakti Lembah 

Setan menyadari serangannya berhasil dihalau 

campur tangan orang lain.

Namun hati laki-laki tinggi kurus itu men-

jadi terkejut, begitu melihat kalau yang telah 

menggagalkannya ternyata seorang perempuan. 

Diyakini perempuan di hadapannya bukan orang 

perempuan sembarangan. Itu bisa dipastikan dari 

kekuatan tenaga dalamnya yang tak jauh berbe-

da.

Sementara itu Raja Petir juga telah berhasil 

menggagalkan serangan Kelabang Hitam dengan 

lentingan-lentingan indah, menghindari sambaran 

pecut berbentuk kelabang yang meledak-ledak.

"Terima kasih, Mayang!" ucap Jaka keras 

ketika melihat kekasihnya hadir untuk meringan-

kan bebannya.

"Hmrh...!" Gandrawara yang berjuluk Kela-

bang Hitam menggereng geram. "Ayo Gajah Maut! 

Kita habisi Raja Buduk itu. Biar Cengcorang Maut 

yang melumat tubuh gadis itu!" 

Gajah Maut Lembah Tandus bergerak cepat 

berdiri tegak di sisi kiri Kelabang Hitam.

"Keluarkan ajian andalanmu, Gajah Maut. 

Kita lumat tanpa ampun tubuh bocah gila itu!" 

dengus Kelabang Sakti lagi.

"Baik!" tegas Gajah Maut Lereng Tandus.

"Aji 'Selaksa Bisa Kelabang'!" sentak Gran-

dawa, mengucapkan ajian andalannya.

"Aji 'Belalai Maut'!" teriak Gajah Maut Le


reng Tandus tak kalah keras.

Kedua lelaki lawan Raja Petir kini sama-

sama memusatkan pikiran. Hanya sesaat saja, 

dan pada saat selanjutnya hawa dingin dan bau 

amis terasa menjalar terbawa angin. Dan ini ter-

cipta akibat pengerahan ajian 'Selaksa Bisa Kela-

bang' miliki si Kelabang Hitam. Sementara Gajah 

Maut Lereng Tandus menampakkan tangannya 

yang terulur semakin panjang ke arah Raja Petir.

"Hhh... Ilmu setan!" rutuk Jaka dalam hati.

Napas Jaka seketika terasakan sesak aki-

bat pengaruh ilmu Kelabang Hitam.

"Mayang! Menjauhlah dari tempat ini! Kau 

hadapi saja si Cengcorang Kurus itu!" teriak Jaka 

keras.

Raja Petir memang khawatir kalau-kalau

kekasihnya tak tahan menahan pengaruh yang 

ditimbulkan akibat ajian ‘Selaksa Bisa Kelabang’.

Gadis cantik berpakaian warna jingga itu 

rupanya mengerti apa yang diinginkan kekasih-

nya. Maka seketika itu juga tubuhnya melesat 

menjauhi arena pertarungan. Langsung digem-

purnya Cengcorang Sakti Lembah Setan.


DELAPAN



Jaka semakin merasakan sesak pada na

pasnya. Sementara tubuhnya menggigil akibat 

ajian 'Selaksa Bisa Kelabang' yang diciptakan si 

Kelabang Sakti. Pada saat yang gawat itu, tangan 

kanan Gajah Maut Lereng Tandus yang meng-

genggam golok besar semakin dekat terulur. 

"Heh?!"

Jaka tersentak, ketika tiba-tiba saja tubuh 

Kelabang Sakti lenyap perlahan-lahan seperti 

asap yang sirna terbawa angin. Namun, kini wu-

jud Grandawa berubah menjadi seekor kelabang 

raksasa yang cukup besar berwarna coklat kehi-

taman dengan taring-taring mirip taring serigala 

buas.

"Sihir...? Hm.... Terpaksa harus kugunakan 

Pedang Petir ini," gumam Jaka dengan tangan 

perlahan meraih gagang senjata pusaka yang ber-

nama Pedang Petir.

"Grzszs..."

Jelmaan kelabang hitam raksasa tiba-tiba 

mendesis keras. Bersamaan dengan melesat bina-

tang jelmaan itu melesat pula ilmu 'Aji Belalai 

Maut' milik si Gajah Maut Lereng Tandus yang 

bergerak cepat dengan golok besar tergenggam di 

tangan. 

"Hyaaarhhh...!"

Gajah Maut Lereng Tandus memekik ga-

rang. Senjatanya berkelebat dengan pengerahan 

tenaga dalam penuh.

Bwets!

"Uts!"

"Uts!"


Dua kali tubuh Jaka melenting ke udara. 

Karena pada saat yang bersamaan, Gajah Maut 

Lereng Tandus dan jelmaan kelabang raksasa me-

lakukan serangan.

Jliegkh!

Ketika tubuh Jaka mendarat ringan di ta-

nah, tangannya langsung terangkat lurus dengan 

telapak menggenggam hulu Pedang Petir. Maka....

Gldrgdrg...! Gldrgdrg...!

Suara guntur terdengar saling sahut-

menyahut, menggema dari jarak ratusan pal. Na-

mun ketika suara guntur itu terdengar semakin 

dekat, kilat pun terlihat menyambar-nyambar tu-

buh Pedang Petir dalam cuaca yang berubah men-

jadi gelap gulita.

Hanya sesaat saja keadaan gelap dan kila-

tan petir menyambar-nyambar tubuh pedang mi-

lik Raja Petir. Dan pada saat selanjutnya, kea-

daan berubah menjadi terang benderang. Maka 

saat itu juga, Jaka memekik keras seraya mengi-

baskan pedangnya.

"Khaaa...!"

Wung...!

Prats!

"Wauuu...!"

Tepat pada saat Jaka mengibaskan Pedang 

Petir, tangan Gajah Maut Lereng Tandus juga te-

rulur hendak membabat tubuh Raja Petir. Aki-

batnya, tangan lelaki berpakaian warna kelabu itu 

terputus terbabat Pedang Petir yang terangkum 

dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'.


Tubuh Gajah Maut Lereng Tandus kontan 

terpental tiga tombak ke belakang dengan tangan 

lepas sampai ke pangkalnya. Dan pengaruh ajian 

miliknya menyerang dirinya sendiri. Lelaki itu 

hanya sesaat saja menggelepar-gelepar layak 

ayam disembelih. Pada saat berikutnya? Nya-

wanya telah raib meninggalkan jasadnya. Bukan 

karena tangannya yang buntung, tapi akibat ter-

makan ajiannya sendiri.

Sementara kelabang raksasa jelmaan 

Grandawa yang mengalami nasib lebih baik. Dia 

hanya terpental beberapa langkah saja. Memang 

sungguh tak disangka kalau ajian 'Selaksa Bisa 

Kelabang' miliknya bisa luntur di hadapan Raja 

Petir. Kini wujud Kelabang Hitam Raksasa telah 

berubah menjadi wujud Grandawa yang wajar.

"Hhh...!"

Grandawa menarik napas berat. Sepertinya 

dia menyesal dengan apa yang didapatnya. Ajian 

'Selaksa Bisa Kelabang' memang bisa digunakan 

berulang-ulang jika lawan-lawannya ditaklukkan. 

Namun jika dia sendiri yang takluk? Maka ajian 

itu tak akan bermanfaat jika digunakan untuk 

yang kedua kalinya. Dengan begitu kekuatan ilmu 

yang dimilikinya berkurang jauh.

"Bagaimana, Kelabang Hitam? Seorang te-

manmu sudah menjadi bangkai sekarang! Apakah 

kau hendak menyusulnya?" tanya Jaka penuh 

ejekan.

"Hrhrh...!"

Grandawa menggereng mendengar perta


nyaan Jaka.

"Keparat kau. Raja Petir!" bentak si Kela-

bang Hitam murka. "Lebih baik mampus daripada 

aku harus menyerah di tangan bocah ingusan se-

pertimu!"

"Ha ha ha...!" Jaka terkekeh mendengar

ucapan lawannya. "Jangan takut mati seperti itu, 

Kelabang Hitam. Aku tak sekejam yang kau 

bayangkan. Aku bisa mengampunimu, kalau saja 

kau mau bertobat dari jalan yang sesat"

Dug!

Kelabang Hitam membanting kakinya keras 

menimpali perkataan Jaka.

"Tak sudi aku mendengar khotbahmu, Raja 

Sinting!" maki Grandawa berang. "Terimalah se-

ranganku!"

"Hiyaaa...!"

Jaka yang memang sudah mengalungkan 

lagi Pedang Petir di lehernya, segera saja bersiap 

menerima kedatangan serangan. Sementara Kela-

bang Hitam sudah mengangkat tangannya yang 

menggenggam pecut berbentuk kelabang.

Ctar! Ctar!

Raja Petir langsung melenting ke udara. 

Dan seketika tangannya bergerak lincah, me-

nangkap lidah pecut itu.

Tap!

Begitu mendarat, langsung ditariknya lidah 

pecut milik Kelabang Hitam. 

Bret! 

"Hops!"


Grandawa memang tak menyangka kalau 

lawannya berani menangkap pecut kelabangnya 

dengan tangan telanjang. Bahkan juga tak men-

duga akan mendapat betotan keras yang begitu 

cepat. Kini Kelabang Hitam berusaha sekuatnya 

untuk menahan betotan tenaga lawan yang hen-

dak merebut pecutnya.

"Hhh...!"

Keringat sebesar butir-butir jagung meleleh 

turun dari dahi Grandawa yang tengah menge-

rahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memper-

tahankan senjata. Seluruh urat dan otot tubuh-

nya terlihat menegang.

"Kau terima sekarang aji 'Kukuh Ka-

rang'ku, Kelabang Hitam," ucap Raja Petir tenang.

Maka seketika itu juga sinar kuning menyi-

laukan mata nampak membungkus Raja Petir da-

ri bagian dada hingga kepala, dan bagian lutut 

hingga ujung kaki.

Sinar kuning menyilaukan itu seketika ju-

ga menjalar, merambat lewat pecut berbentuk ke-

labang milik Grandawa. 

"Akh!"

Si Kelabang Hitam terpekik keras ketika 

merasakan hawa panas menjalari tubuhnya. Dan 

seketika itu juga, dirinya sudah terkurung sinar 

kuning kemilau yang tercipta akibat ajian 'Kukuh 

Karang'.

"Aaa...!"

Pada saat tubuh si Kelabang Hitam sudah 

betul-betul tanpa daya, sebuah pekik kematian


terdengar membubung tinggi ke langit. Tampak 

sosok lelaki berpakaian warna hijau mental ke be-

lakang dengan bagian leher koyak mengucurkan 

darah. Payung emas Mayang rupanya telah 

menghentikan perlawanan lelaki yang berjuluk 

Cengcorang Sakti Lembah Setan. Bahkan seketika 

itu juga sudah menjadi mayat dengan leher ber-

lumuran darah.

"Kakang! Jangan dibunuh!" teriak Mayang 

setelah menyelesaikan pertarungannya.

"Kenapa, Mayang?" tanya Jaka berpura-

pura. Padahal, memang dia tak berniat membu-

nuh si Kelabang Hitam.

"Kelabang Hitam bisa digunakan untuk 

menyelamatkan Ki Amertagi yang ditawan dan 

akan digantung pihak kerajaan," jelas Mayang.

"Baiklah, Mayang!" ucap Jaka.

Kemudian tangan Jaka bergerak cepat me-

notok bagian tubuh Grandawa yang tanpa daya 

lagi.

Tuk! Tuk!

"Aaa...!"

Kelabang Hitam terpekik mendapatkan to-

tokan pada tangannya. Seketika itu juga, urat-

urat tangannya terasa seperti mati.

"Sekarang kau ikut aku ke Kerajaan Sutera 

Bayu," tukas Jaka. "Kau harus memulihkan ke-

kacauan yang terjadi di sana."

"O, ya. Di mana anak kembar Ki Jagil, Ka-

kang?" tanya Mayang mengingat dua bocah yang 

telah diselamatkan kekasihnya.


"Dia ada di rumah penduduk Desa Bladar 

ini," jawab Jaka. "Apa perlu mereka kita bawa ser-

ta ke Kerajaan Sutera Bayu?"

"Rasanya tidak perlu, Kakang," jawab 

Mayang.

"Kalau begitu, sekarang juga kita bawa le-

laki ini ke Kerajaan Sutera Bayu," putus Jaka.

"Ayo, Kakang."

***

Puluhan prajurit Kerajaan Sutera Bayu 

langsung menghunus senjata melihat kedatangan 

sepasang pendekar muda yang membawa serta si 

Kelabang Hitam. Awalnya para punggawa mela-

rang mereka untuk menemui Prabu Setyagara. 

Namun karena Kelabang Hitam yang meminta, 

maka mereka tak kuasa menolak. Dan mereka 

pun segera melangkah memasuki Balai Sema 

Agung.

Sebentar saja, mereka telah berhadapan 

dengan Prabu Setyagara yang duduk di singgasa-

na dalam Balai Sema Agung.

"Yang Mulia," kata Jaka, begitu tiba di ha-

dapan sang Prabu. "Ketahuilah, akulah orang 

yang telah mengacaukan jalannya persembahan 

sesat yang kau lakukan. Aku tahu, kau melaku-

kannya atas perintah Kelabang Hitam yang meno-

longmu menduduki tahta kerajaan. Dan kau tak 

kuasa untuk menolak, mengingat kesaktiannya. 

Maka dengan dalih untuk kesejahteraan dan ke


selamatan rakyat mu, kau bersedia membantu 

Kelabang Hitam dalam mempelajari ilmu sesat."

Prabu Setyagara tak membantah ucapan 

Raja Petir. Meski tatapan matanya nampak tak 

senang melihat sikap tokoh muda yang tak mena-

ruh rasa hormat padanya.

"Sekarang, Kelabang Hitam telah kutun-

dukkan. Apakah kau akan menghilangkan acara 

persembahan sesat itu?" desak Raja Petir.

Seperti kerbau tercocok hidung, Prabu Se-

tyagara seketika menganggukkan kepala.

"Terimalah hormatku, Yang Mulia Prabu 

Setyagara," tiba-tiba saja Raja Petir membung-

kukkan tubuhnya. "Hamba minta, berlakulah se-

cara adil dan bijaksana untuk ketenteraman dan 

kedamaian rakyat mu."

Prabu Setyagara terharu menyaksikan si-

kap lelaki muda yang berjuluk Raja Petir.

"Aku berjanji akan merubah kekeliruanku. 

Raja Petir. Aku menyadari kekeliruanku yang me-

rebut tahta secara tidak sah. Aku berjanji, pada 

saatnya nanti kekuasaan ini akan kuserahkan 

kepada keponakan yang bernama Bintang Megan-

tara. Memang dialah yang berhak atas tahta ini. 

Dan setelah itu, aku akan menyerahkan diri, ka-

rena memang akulah yang menjadi dalang keka-

cauan di kerajaan ini.

"Terima kasih, Yang Mulia. Kuserahkan le-

laki tanpa daya ini, biar pengadilan kerajaan yang 

mengurusnya," ujar Jaka.

Tubuh Raja Petir lalu berbalik.


"Ayo, Mayang," ajak Jaka pada kekasihnya.

'Tinggallah kalian di istanaku," tahan Pra-

bu Setyagara, "Apakah besok pagi kalian tak ingin 

melihat upacara penyerahan kekuasaan?"

"Rasanya orang-orang di sini sudah cukup 

untuk menjadi saksi atas upacara yang mulia itu. 

Dan hamba menghaturkan terima kasih. Permisi."

Jaka dan Mayang bergerak meninggalkan 

Balai Serna Agung Kerajaan Sutera Bayu. Semen-

tara Prabu Setyagara hanya mampu menatap ke-

pergian sepasang pendekar muda dengan hati 

tergugah untuk kembali ke jalan yang benar.

"Bebaskan, Patih Abadi Selaksa dan Kepala 

Desa Gandaragi" perintah Prabu Setyagara pada 

prajuritnya. "Juga, panggilkan Bintang Megantara 

dan ibunya." 

Angin berhembus lembut di langit Kerajaan 

Sutera Bayu, seolah ingin membawa kabar akan 

kedamaian yang membias di Kerajaan Sutera 

Bayu. Sementara, sepasang pendekar muda yang 

tak lain Raja Petir dan Dewi Payung Emas terus 

bergerak menjauhi kerajaan yang telah terselamatkan dari kekacauan.


                             SELESAI




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar