PERSEMBAHAN RAJA SETYAGARA
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Persembahan Raja Setyagara
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Suasana duka masih melingkupi Kerajaan
Sutera Bayu, setelah mangkatnya sang Prabu
Mulya Dewantara. Wajah-wajah mendung bukan
saja masih tergambar pada masing-masing peng-
huni Istana Sutera Bayu. Tapi, juga pada pendu-
duk yang masih berada dalam wilayah kekuasaan
Kerajaan Sutera Baya. Dan kini, tampuk kekua-
saan tertinggi kerajaan itu dipegang oleh Setyaga-
ra.
Dan ini sudah dua purnama Prabu Setya-
gara menduduki tahta, setelah kematian sang
Prabu Mulya Dewantara yang terserang penyakit
cukup aneh. Tak ada yang tahu, apa jenis penya-
kitnya. Jika penyakit itu datang, sang Prabu men-
jadi lupa pada orang-orang di sekitar istana. Baik
pada permaisuri, maupun putra tunggalnya yang
bernama Bintang Megantara. Yang lebih parah la-
gi, sang Prabu Mulya Dewantara lupa pada di-
rinya sendiri!
Baik tabib istana maupun tabib yang ting-
gal di wilayah Kerajaan Sutera Bayu telah pula
berusaha mengobati penyakit aneh Yang Mulia
Prabu Mulya Dewantara. Namun kedatangan me-
reka hanya sia-sia belaka. Penyakit aneh yang di-
derita Yang Mulia tetap saja tidak dapat disem-
buhkan. Begitu juga ketika tabib-tabib sakti yang
tinggal di luar Kerajaan Sutera Bayu didatangkan.
Hasil yang didapat juga sama nihil.
Akhirnya entah desas-desus dari mana
timbul suatu kecurigaan, kalau patihnya sendiri-
lah yang telah melenyapkan nyawa Yang Mulia
Prabu Mulya Dewantara. Benarkah patih itu yang
melenyapkan nyawa sang Prabu?
***
"Patih Laksa!" panggil Prabu Mulya Dewan-
tara pada seorang patih kepercayaannya. Dia ber-
nama lengkap Patih Abadi Selaksa.
Patih Abadi Selaksa terkejut mendengar
namanya disebut junjungannya. Padahal sudah
hampir satu minggu, namanya selalu dipanggil
dengan sebutan kata-kata kotor. Tapi sekarang....
"Hamba, Yang Mulia," sahut Patih Abadi
Selaksa dengan kepala sedikit tertunduk.
Sungguh, patih setia itu senang menda-
patkan kenyataan bahwa junjungannya telah
kembali pada ingatannya semula.
"Apa gerangan yang dapat hamba bantu,
Yang Mulia?" lanjut Patih Abadi Selaksa, dengan
tutur kata lembut
Prabu Mulya Dewantara tersenyum sebe-
lum menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa.
"Bisakah kau mengantarku ke Desa Batua-
pung?" pinta Prabu Mulya Dewantara.
"Hamba bersedia, Yang Mulia," jawab Patih
Abadi Selaksa cepat
Namun tatapan mata patih yang berusia
hampir enam puluh tahun itu terlihat menyimpan
ketidak-percayaan akan keinginan junjungannya
untuk datang ke Desa Batuapung. Padahal, desa
tandus itu hanya dihuni segelintir orang. Apalagi,
desa itu juga dikelilingi jurang-jurang curam,
bahkan bukanlah termasuk wilayah kekuasaan
Kerajaan Sutera Bayu
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap Patih
Abadi Selaksa setelah beberapa saat menatap wa-
jah Prabu Mulya Dewantara. "Kalau boleh hamba
tahu, gerangan apakah yang membuat Yang Mu-
lia hendak berkunjung ke Desa Batuapung?"
"Ha ha ha...!"
Di luar dugaan Patih Abadi Selaksa, Prabu
Mulya Dewantara terbahak keras.
"Kau abdiku, Laksa!" tukas Prabu Mulya
Dewantara keras dengan jari telunjuk menuding
wajah Patih Abadi Selaksa.
Patih Abadi Selaksa terkejut mendengar
suara keras junjungannya. Lelaki berwajah tirus
dengan sorot mata masih nampak menyisakan
kegagahan masa lalunya, kini hanya menunduk-
kan kepala menekuri lantai yang tertutup perma-
dani begitu indah.
"Kau tak perlu tahu, apa urusanku di sana,
Laksa! Yang kutanyakan, apakah kau bersedia
menemaniku ke sana! Jika tidak, kepalamulah
yang kubawa, tanpa badanmu!" lanjut Prabu
Mulya Dewantara, setelah tawanya yang mengge-
ma ke dinding-dinding istana lenyap.
"Hamba bersedia, Yang Mulia," tukas Patih
Abadi Selaksa cepat. Kepalanya yang tertunduk,
semakin dalam menekuri permadani bercorak bu-
nga-bunga indah yang berwarna dasar kecokla-
tan.
"Ha ha ha.... Bagus! Kau memang betul-
betul abdiku, Laksa! Sekarang juga, kita berang-
kat," putus Prabu Mulya Dewantara diiringi ta-
wanya.
"Baik, Yang Mulia," jawab sang Patih.
Penguasa Kerajaan Sutera Bayu itu lalu
segera bangkit dari singgasananya, diikuti Patih
Abadi Selaksa.
"Aku boleh ikut. Ayah?" tanya seorang pe-
muda tampan berusia hampir tujuh belas tahun
yang sejak tadi memang telah ada di situ.
Pemuda berpakaian warna kuning gading
itu tak lain adalah Bintang Megantara, putra
tunggal Prabu Mulya Dewantara. Sementara, pen-
guasa Kerajaan Sutera Bayu itu menghentikan
langkahnya, begitu mendengar pertanyaan putra
kesayangannya. Dan wajahnya pun seketika me-
noleh ke arah Bintang Megantara.
"Tak seorang pun kuperkenankan ikut, ter-
kecuali Patih Laksa," jawab Prabu Mulya Dewan-
tara.
Bintang Megantara sedikit terkejut men-
dengar jawaban tegas ayahandanya. Keinginan
hatinya untuk turut serta kini benar-benar surut.
Apalagi, setelah ibunda tercinta mengharuskan-
nya menuruti kata-kata ayahnya. Meski permai-
suri sang Prabu sendiri heran mendengar ucapan
suaminya, namun berusaha memakluminya.
Mengingat, Prabu Mulya Dewantara tengah men-
derita suatu jenis penyakit aneh.
***
Langit kotaraja yang baru disirami sinar
matahari pagi, seolah memberi semangat Prabu
Mulya Dewantara untuk berangkat mengunjungi
Desa Batuapung yang tandus dan dikelilingi ju-
rang-jurang terjal.
Beberapa pejabat tinggi kerajaan yang kini
turut berdiri di pelataran Istana Sutera Bayu, ter-
lihat memandangi junjungannya yang telah du-
duk di atas kuda putih yang gagah. Di atas pung-
gung kuda coklat, Patih Abadi Selaksa dengan se-
tia menunggu perintah junjungannya yang ber-
kuda di sampingnya. Namun begitu, di benak pa-
tih yang sudah puluhan tahun menemani kehi-
dupan sang Prabu ini terpendam pertanyaan-
pertanyaan akan keinginan aneh Prabu Mulya
Dewantara. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit di-
temukan jawabannya sampai tiba di Desa Batua-
pung.
"Ayo, Laksa!" sentak Prabu Mulya Dewan-
tara mengejutkan Patih Abadi Selaksa. Sang Pra-
bu seketika itu juga menggebah kuda tunggan-
gannya. "Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Patih Abadi Selaksa pun tak mau ketingga-
lan. Dengan teriakan keras, patih berpakaian pu-
tih bersih itu menggebah kuda coklat yang di
tungganginya.
Kuda putih dan coklat yang ditunggangi
Prabu Mulya Dewantara dan Patih Abadi Selaksa
sudah melesat cepat meninggalkan pelataran Is-
tana Sutera Bayu. Berpasang-pasang mata para
pejabat-pejabat tinggi kerajaan mengiringi keper-
gian junjungannya dengan benak dipenuhi perta-
nyaan akan keanehan-keanehan yang ada. Demi-
kian pula sang Permaisuri dan sang Putra Mahko-
ta.
Dua sosok yang paling dekat dengan Prabu
Mulya Dewantara itu mengiringi kepergian orang
yang dicintai disertai kekhawatiran dan kecema-
san mendalam.
"Ahhh....!"
Terdengar helaan napas berat dari Permai-
suri Citra Laras saat Prabu Mulya Dewantara te-
lah lenyap di kelokan jalan.
***
Desa Batuapung yang terletak di luar wi-
layah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu kini mulai
dimasuki oleh Prabu Mulya Dewantara dan Patih
Abadi Selaksa. Hampir satu setengah hari untuk
mencapai desa tandus yang berhawa panas ini.
Nampak kelelahan menghiasi wajah sang Prabu
yang tak terbiasa bepergian jauh dengan me-
nunggang kuda yang dikendalikannya sendiri.
Sebenarnya Patih Abadi Selaksa tak tega
melihat junjungannya menderita keletihan seperti
itu. Terlebih, ketika sang Prabu memerintahkan
melepas kuda-kuda yang ditunggangi seharian
penuh dan mengajak menelusuri daerah yang di-
kelilingi jurang terjal dengan karang-karangnya
yang runcing.
"Lebih baik kuda-kuda itu ditambatkan di
tempat ini saja, Yang Mulia," saran Patih Abadi
Selaksa, setelah mereka turun dari kuda masing-
masing. "Yang Mulia akan dapat menggunakan-
nya kembali jika diperlukan nanti."
"Kau mulai pandai membantah, Babi! Ka-
lau kukatakan lepas, lepaskanlah kuda-kuda itu!
Biar mereka pergi!" bentak sang Prabu garang,
mengganti panggilan Patih Abadi Selaksa dengan
kata-kata kotor.
Lelaki berusia hampir enam puluh tahun
yang dipanggil 'babi' itu terkejut bukan kepalang.
Rasanya penyakit Prabu Mulya Dewantara mun-
cul kembali.
"Baik... Baik, Yang Mulia," ucap Patih Ab-
adi Selaksa seraya melepas kedua tali kekang ku-
da yang kini telah dipegang.
Sesaat kemudian patih itu memukul bo-
kong kedua kuda tunggangan mereka yang segera
berlarian cepat, meninggalkan kepulan yang
membumbung tinggi di udara.
"Ha ha ha...!
Prabu Mulya Dewantara tertawa sesaat ke-
pergian kuda-kuda itu.
"Ternyata kau bisa juga memenuhi perin-
tahku, Babi!" kata Prabu Mulya Dewantara me
nyakitkan hati Patih Abadi Selaksa.
"Tentu saja hamba akan selalu memenuhi
perintah Yang Mulia," tutur Patih Abadi Selaksa,
dengan kegeraman ditahan.
"Kalau begitu, mari kita susuri bibir jurang
itu," ajak Prabu Mulya Dewantara seraya melang-
kah.
Ada perasaan khawatir yang tiba-tiba saja
menyelinap di hati Patih Abadi Selaksa menden-
gar ajakan junjungannya. Namun patih ini tak
tahu betul, apa makna kekhawatiran hatinya.
Bahkan sampai-sampai ajakan sang Prabu tak
mampu ditolaknya.
Langkah kaki sang Prabu yang menapaki
bibir jurang Desa Batuapung diikuti Patih Abadi
Selaksa. Beberapa penduduk desa yang tengah
mencari batu-batu dan kebetulan berpapasan,
berbaik hati memperingati dua orang dari Kera-
jaan Sutera Bayu.
"Hati-hati, Tuan. Tanah di bibir jurang itu
amat gembur," jelas seorang penduduk Desa Ba-
tuapung yang berpapasan dengan sang Prabu dan
Patih Abadi Selaksa ini.
"Terima kasih, Kisanak," jawab Patih Abadi
Selaksa, menanggapi pemberitahuan itu.
Sementara Prabu Mulya Dewantara hanya
memandangi lelaki bertubuh tinggi kurus yang
membawa linggis dengan tatapan memancarkan
ketidak-senangan.
"Sebaiknya Yang Mulia berjalan agak ke
tengah," saran Patih Abadi Selaksa ketika penduduk Desa Batuapung itu sudah agak jauh dari
mereka.
"Kurang ajar sekali kau, Anjing!" maki sang
Prabu marah.
Patih Abadi Selaksa tak kuasa membiarkan
perkataan junjungannya.
"Hamba mencemaskan Yang Mulia. Hamba
takut, Yang Mulia tergelincir," ujar Patih Abadi
Selaksa mencoba meredam kemarahan sang Pra-
bu.
"Monyet Hutan!" bentak sang Prabu geram.
Srat!
Terbelalak mata Patih Abadi Selaksa meli-
hat penguasa Kerajaan Sutera Bayu ini sudah
meloloskan pedang dari warangka di pinggang se-
belah kiri.
"Yang Mulia...?" bergetar suara yang keluar
dari mulut Patih Abadi Selaksa.
"Ha ha ha...!" Prabu Mulya Dewantara ter-
bahak menyaksikan kegentaran Patih Abadi Se-
laksa. "Sengaja aku mengajakmu ke tempat ini,
Monyet! Aku ingin bertarung melawan Monyet
Hutan macam kau! Aku ingin tahu, siapa yang ja-
go bermain pedang di antara kita. Dan aku juga
ingin tahu, siapa di antara kita yang akan mati
lebih dahulu."
Terhadap keinginan sang Prabu, Patih Ab-
adi Selaksa tak bisa memenuhinya. Pikirannya
betul-betul kacau. Dia yakin ucapan sang Prabu
bukanlah keluar dari keinginan hatinya. Tapi, ka-
rena penyakit yang tengah diderita. Penyakit yang
membuat sang Prabu lupa pada dirinya sendiri,
dan juga pada orang terdekatnya.
"Yang Mulia...?"
Patih Abadi Selaksa masih berusaha me-
nyadarkan pikiran Prabu Mulya Dewantara. Na-
mun, apa yang didapat hanya keterkejutan yang
semakin menjadi-jadi.
"Cabut senjatamu, Monyet!" sentak sang
Prabu menggelegar.
Patih Abadi Selaksa tentu saja tak sudi
menuruti perintah junjungannya yang di luar ba-
tas kewajaran sebagai abdi setia. Namun rupanya
tindakan lelaki berpakaian putih dengan rambut
panjang digelung ke atas itu, membuat kemara-
han Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara semakin
naik ke ubun-ubun.
Dengan serta merta dan tanpa diduga sa-
ma sekali, Prabu Mulya Dewantara membabatkan
senjatanya ke arah dada Patih Abadi Selaksa.
"Haaa...!"
Bettt!
Melihat sambaran pedang ini, Patih Abadi
Selaksa berusaha menghindar dengan bergeser
sedikit ke kiri, namun....
"Heh?!"
Srats!
Patih Abadi Selaksa terpekik kecil ketika
sambaran pedang milik Prabu Mulya Dewantara
berhasil menggores pangkal tangan sebelah ka-
nannya. Darah kontan mengucur dari luka di
tangannya. Luka yang tidak seberapa besar, namun cukup membuat kekalutan pada pikirannya.
"Kalau kau tak ingin mampus, cabut segera
senjatamu, Babi!" sentak sang Prabu, kasar.
Sesungguhnya sang Prabu tak pernah ber-
kata kasar seperti itu, sebelum penyakit aneh
menguasai dirinya. Dia sebenarnya adalah seo-
rang raja yang arif dan bijaksana. Bahkan selalu
bertutur kata lemah lembut. Namun sekarang?
Terhadap permintaan sang Prabu, tentu
saja sang Patih tak pernah memenuhinya. Apala-
gi, dia terlalu menghormati dan mencintai ra-
janya.
"Memang kau cari mampus, Monyet!"
"Hiyaaa...!"
Kembali Prabu Mulya Dewantara menge-
butkan pedangnya dengan gerakan cepat ke arah
dada.
"Uts!"
Kali ini, Patih Abadi Selaksa bergerak lin-
cah ke arah kanan, untuk menghindari sambaran
pedang yang terlihat tidak main-main. Gerakan-
nya memang cukup tangkas. Terbukti, sambaran
senjata Prabu Mulya Dewantara hanya menerpa
angin kosong
"Bangsat kau!" maki sang Prabu semakin
kalap.
Pedang di tangan Prabu Mulya Dewantara
tiba-tiba diputar-putar cepat, hingga wujud as-
linya tak nampak. Kenyataan itu membuat Patih
Abadi Selaksa terkejut. Sungguh dirinya tak tahu,
dari mana Prabu Mulya Dewantara mendapatkan
ilmu permainan pedang seperti itu. Padahal, sebe-
lumnya dia tak pernah mempunyai kepandaian
seperti itu. Namun dari gaya permainan pedang
itu, Patih Abadi Selaksa sepertinya pernah men-
genalinya. Jelas gaya itu milik seorang tokoh per-
silatan golongan hitam, patih ini memang pernah
melihatnya, namun tidak tahu jelas, siapa tokoh
itu.
"Hiyaaat...!"
Di tengah-tengah pikiran Patih Abadi Se-
laksa yang tengah berkecamuk, Prabu Mulya De-
wantara kembali bergerak cepat dengan senjata
masih berputar-putar di tangan kanan. Kini gera-
kannya lebih cepat daripada gerakan awal saat
menyerang Patih Abadi Selaksa.
Tentu saja, apa yang dilakukan sang Prabu
membuat Patih Abadi Selaksa tak kuasa berpikir
jernih. Maka ketika serangan itu semakin mende-
kat, serta merta Patih Abadi Selaksa mencabut
senjatanya untuk melindungi diri.
Srat!
Trang!
"Aaa...!"
Pekik tertahan seketika terdengar, mana-
kala bunyi benturan senjata terdengar jelas, di-
iringi percik bunga api dan tergempur mundurnya
tubuh Prabu Mulya Dewantara.
"Setan!" hardik sang Prabu setelah mampu
menguasai dirinya yang terhuyung. "Berani sekali
kau melawanku, Monyet!"
Patih Abadi Selaksa tak menimpali caci
maki junjungannya. Kedudukannya kini pada
keadaan yang serba salah. Kalau dirinya mem-
biarkan pedang sang Prabu berkelebat ke arah-
nya, maka dialah yang akan binasa. Namun jika
mencoba-coba melindungi diri, dia dikatakan te-
lah lancang melawan rajanya.
"Hmmm.... Penyakit macam apa ini?" gu-
mam Patih Abadi Selaksa akhirnya.
Di hatinya, patih itu menduga-duga kalau
sang Prabu mendapatkan penyakit akibat perbua-
tan seorang tokoh sakti yang dapat merubah jalan
pikiran seseorang. Sehingga, orang yang dituju
dapat dipermainkan sekehendak hatinya.
"Tapi siapa tokoh sesat itu...?" lanjut hati
Patih Abadi Selaksa berkata-kata sendiri.
Patih Abadi Selaksa terpaku sejenak. Ke-
mudian, dia berniat menggunakan cara lain un-
tuk membujuk sang Prabu. Kepalanya sengaja di-
tundukkan serendah mungkin, sebagai pertanda
kalau dirinya betul-betul menghormati. "Maafkan
hamba, Yang Mulia," ucap sang Patih itu.
Namun sambutan sang Prabu itu di luar
keinginan sang Patih.
"Ngrgmgrh...!"
Sang Prabu tiba-tiba saja menggereng ke-
ras. Matanya terbelalak lebar, memancarkan sorot
yang mengandung nafsu membunuh tak terken-
dali.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Prabu Mulya Dewantara tiba-tiba
melesat cepat dengan pedang teracung di atas ke
pala.
Patih Abadi Selaksa belum mengambil ke-
putusan, apakah menangkis serangan itu atau
malah menghindarinya. Hatinya sungguh-
sungguh dilanda kekalutan. Namun ketika se-
jengkal lagi ujung pedang milik Prabu Mulya De-
wantara menggorok lehernya, nalurinya untuk
menyelamatkan diri tiba-tiba memberontak kuat.
Serta merta, tubuh sang Patih ini bergerak cepat
ke arah kanan. Langsung dihindarinya tebasan
senjata miliki Prabu Mulya Dewantara.
Bets!
"Uts!"
"Aaa...!"
Prabu Mulya Dewantara seketika memekik
keras! Begitu sambaran pedangnya berhasil di-
elakkan Patih Abadi Selaksa, namun tubuhnya
tergelincir ke dalam jurang karena terdorong te-
naga tebasannya sendiri!
Patih Abadi Selaksa sendiri tersentak meli-
hat kenyataan yang sama sekali tidak diduga.
Lengking kematian junjungannya bergema terus
di telinganya.
DUA
Keadaan duka yang terlihat di dalam istana
dan di luar Istana Sutera Bayu, terlihat pula di
dalam tahanan bawah tanah istana ini. Sebuah
ruangan pengap yang terbuat dari batu-batu ca
das kokoh, yang didalamnya terlihat sosok renta
lelaki berusia enam puluh tahun tengah duduk
berselonjor. Wajah tua dengan rambut hitam yang
tersanggul ke atas itu nampak semakin cekung.
Kelopak matanya menjorok ke dalam, sementara
pakaiannya yang putih nampak begitu kumal.
Di luar tahanan yang dijaga ketat enam le-
laki gagah berpakaian prajurit jaga Kerajaan Su-
tera Bayu, nampak seorang lelaki muda berusia
tak lebih dari tujuh belas tahun tengah meme-
gangi terali tahanan yang terbuat dari logam ke-
ras bulat. Lelaki muda berpakaian warna kuning
gading itu tak lain dari putra mahkota almarhum
Prabu Mulya Dewantara, Bintang Megantra. Se-
dangkan di sebelahnya nampak Citra Laras ten-
gah memandangi tubuh ringkih Patih Abadi Se-
laksa.
"Ki...."
Citra Laras memanggil lembut Patih Abadi
Selaksa yang kepalanya tengah tertunduk mene-
kuri lantai tahanan yang dingin.
"Paman...!" panggil Bintang Megantara
mengikuti suara ibunya.
Perlahan Patih Abadi Selaksa mengangkat
kepalanya, setelah mendengar namanya disebut
dua kali. Dan matanya kontan terbelalak ketika
menyaksikan siapa yang berada di hadapannya.
"Tuan Putri Citra Laras.... Raden Bintang
Megantara...? Oh!"
Patih Abadi Selaksa tak kuasa melanjutkan
ucapannya. Perasaan haru melihat kehadiran
orang-orang yang dicintainya, membuat napasnya
seperti terhenti sesaat.
"Ya, kami datang menjengukmu, Ki?" ucap
Citra Laras, dengan tatapan teduh ke wajah Patih
Abadi Selaksa.
Peristiwa menyakitkan itu merangkak per-
lahan mencapai usia dua purnama. Dan selama
itu pula, Patih Abadi Selaksa mendekam di ruang
tahanan bawah tanah seumur hidup. Akibat ditu-
duh telah membunuh Prabu Mulya Dewantara.
Sedangkan kedudukanya sebagai patih diambil
alih oleh Ki Sodrasena. Sementara tampuk keku-
asaan dipegang oleh Yang Mulia Prabu Setyagara.
Dalam silsilah kerajaan, dia adalah adik kandung
mendiang Prabu Mulya Dewantara.
Sesungguhnya hati Citra Laras begitu iba
melihat keadaan lelaki itu. Seorang laki-laki yang
menjabat sebagai patih Kerajaan Sutera Bayu se-
lama puluhan tahun, namun harus lepas jaba-
tannya setelah dituduh sebagai pembunuh Prabu
Mulya Dewantara.
Patih Abadi Selaksa memang tak mampu
mengelak tudingan dan tuduhan itu. Apalagi yang
melancarkannya Ki Setyagara, adik kandung sang
Prabu. Sulit untuk mengelaknya, karena memang
dirinya sendirilah yang mengantar kepergian sang
Prabu Mulya Dewantara ke Desa Batuapung. Dan
di desa itu pulalah Raja Sutera Bayu itu menemui
ajalnya. Jadi wajar kalau Patih Abadi Selaksa
yang menjadi tumpuan kesalahan, dan harus
mendekam dalam ruang tahanan seumur hidup.
"Tuan Putri... dan kau Raden. Terima kasih
atas kedatangan kalian menjengukku. Oh. Aku
bahagia sekali bisa melihatmu, Raden," ucap Pa-
tih Abadi Selaksa parau.
Citra Laras dan Bintang Megantara terharu
dengan ucapan Patih Abadi Selaksa.
"Kami juga, Paman," balas Bintang Megan-
tara.
"Bagaimana perkembangan di luar? Apa-
kah Yang Mulia Setyagara memimpin kerajaan ini
dengan adil dan bijak?" tanya Patih Abadi Selaksa
menyelidik.
Sesungguhnya, laki-laki tua itu sudah tahu
watak Yang Mulia Setyagara, namun tetap juga
melemparkan pertanyaan itu. Dan ia memang in-
gin tahu langsung dari mulut Permaisuri Citra La-
ras dan Bintang Megantara tentang keadaan se-
karang.
Citra Laras dan Bintang Megantara tak se-
gera menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa.
Tatapan matanya tertuju pada penjaga-penjaga
yang memegang tombak.
"Mendekatlah kau, Ki," pinta Citra Laras.
Patih Abadi Selaksa menggeser duduknya
perlahan. Keadaan tubuhnya yang nampak le-
mah, membuat bekas patih tersohor Kerajaan Su-
tera Bayu tak bisa bergerak bebas.
"Apa yang terjadi di luar, Tuan Putri?"
tanya Patih Abadi Selaksa pelan.
"Setelah kematian suamiku, keadaan se-
makin panas saja. Dan sebetulnya aku tak percaya kalau kau membunuh Gusti Prabu Mulya
Dewantara, mengingat penyakitnya yang kurasa
juga aneh. Jelas, penyakit itu sengaja dibuat
orang dengan maksud memang ingin menyingkir-
kan Gusti Prabu. Nyatanya, suamiku memang
tersingkir, setelah pergi denganmu. Tapi setelah
Adi Setyagara memerintah, aku semakin yakin,
kau bukanlah seorang pembunuh. Aku berkesim-
pulan demikian karena atas dasar kecurigaanku
melihat tindak-tanduk Adi Setyagara yang sema-
kin brutal saja. Untung saja belum terjadi pergo-
lakan di dalam istana dan kerajaan ini, Ki," jelas
Citra Laras dengan nada suara ditekan serendah
mungkin. "Namun naluriku mengatakan, bila Adi
Setyagara dengan sikapnya yang demikian terus.
Berkuasa, akan hancurlah Kerajaan Sutera
Bayu."
Patih Abadi Selaksa membelalakkan mata
mendengar penuturan bekas junjungannya.
"Maksud, Tuan Putri...?"
Patih Abadi Selaksa menghentikan kata-
katanya ketika Permaisuri Citra Laksa menem-
pelkan telunjuk di bibir.
"Kabar yang kudengar dari seorang telik
sandi kepercayaan, Adi Setyagara akan mengada-
kan persembahan pada setiap bulan purnama da-
lam waktu dekat ini," jelas Permaisuri Citra Laras,
seperti berbisik.
"Persembahan? Apa maksudnya?" tukas
Patih Abadi Selaksa terheran-heran. "Dan untuk
apa...?"
"Entahlah, Paman. Yang pasti, keinginan
gila itu tercetus setelah masuknya orang luar ke
dalam Istana Sutera Bayu," jelas Bintang Megan-
tara, membuat Patih Abadi Selaksa tersentak ka-
get
"Orang luar? Siapa, Raden?" tanya Patih
Abadi Selaksa dengan keterkejutan yang semakin
bertambah.
"Menurut telik sandiku, orang itu bernama
Gandrawara," tambah Permaisuri Citra Laras.
"Gandrawara?" ulang Patih Abadi Selaksa.
Mata bekas patih ini menerawang pada
langit-langit penjara sepertinya, dia tengah men-
gingat-ingat nama yang barusan diulanginya.
"Apakah telik sandimu memberitahukan
nama lain dari Gandrawara?" tanya Patih Abadi
Selaksa lagi.
"Ya, Paman. Nama lain dari Gandrawara
adalah Kelabang Hitam," tukas Bintang Meganta-
ra memberi tahu.
"Kelabang Hitam?" wajah Patih Abadi Se-
laksa semakin pucat pasi, mendengar nama Kela-
bang Hitam disebut Bintang Megantara. "Benca-
na.... Bencana besar akan melanda Kerajaan Su-
tera Bayu."
Tak terdengar sepatah kata pun dari mulut
Citra Laksa dan Bintang Megantara. Keduanya
terdiam, karena merasa tercekam ketakutan
mendengar perkataan lelaki berusia enam puluh
tahun lebih ini. Kecemasan juga terasakan di hati
Citra Laras dan Bintang Megantara, sesaat membayangkan bencana yang dimaksudkan Patih Ab-
adi Selaksa.
"Apakah Patih Sodrasena sejalan dengan Ki
Setyagara?" tanya Patih Abadi Selaksa memecah-
kan keheningan.
"Ya, Paman, "jawab Bintang Megantara.
"Bahkan Paman Setyagara sepemikiran dengan-
nya."
"Celaka tiga belas," gumam Patih Abadi Se-
laksa pelan. "Hati-hatilah kalian berdua," ujar Pa-
tih Abadi Selaksa memperingatkan Citra Laras
dan Bintang Megantara.
"Paman kenal, siapa Ki Gandrawara itu?"
tanya Bintang Megantara polos.
Patih Abadi Selaksa menganggukkan kepa-
la.
"Dia salah satu tokoh golongan hitam yang
cukup sakti dan memiliki ilmu sihir yang ditakuti,
apalagi lawan," jelas Patih Abadi Selaksa.
"Oh...!" keluhan tertahan terdengar dari
mulut Citra Laras.
"Mulai saat ini, berhati-hatilah kalian ber-
kata, bercakap, dan berbuat. Dan bersatulah ka-
lian dengan orang-orang-sekitar istana yang kese-
tiaannya dapat dipercaya," kata Patih Abadi Se-
laksa memberi nasihat dengan kecemasan luar
biasa.
"Baik, Ki," sambut Citra Laras.
"Doakan saja, Paman," Bintang Megantara
menyentuh tangan Patih Abadi Selaksa dengan
perasaan haru yang menyeruak.
Karena ikut merasakan kecemasan, lelaki
tua yang berambut hitam tersanggul di atas ma-
lah meremas jemari tangan Raden Megantara.
"Seharusnya kau yang menggantikan ke-
dudukan ayahandamu, Raden," tukas Patih Abadi
Selaksa parau.
Air bening tiba-tiba saja merembas dari ke-
lopak mata Patih Abadi Selaksa yang terpejam.
Baru kali ini selama puluhan tahun dia mampu
menangis.
"Sudahlah, Ki. Bila saatnya nanti, Jika
sang Pencipta makhluk hidup menginginkan
anakku menjadi raja, maka cita-cita yang sama-
sama kita inginkan akan terwujud," desah Citra
Laras, mencoba menggugah keharuan yang ter-
cipta.
"Semoga begitu, Tuan Putri. Dan semoga
ada tokoh sakti yang dikirim sang Pencipta untuk
Kerajaan Sutera Bayu, agar bisa menandingi ke-
saktian Kelabang Hitam yang salah jalan. Juga,
menghapuskan rencana persembahan gila itu,"
balas Patih Abadi Selaksa dengan mata tak lepas
menatap wajah tampan Bintang Megantara.
"Semoga begitu, Paman," sambut Bintang
Megantara.
Patih Abadi Selaksa tak menanggapi sam-
butan Bintang Megantra. Di matanya yang mere-
bak terlintas gambaran kekacauan yang akan ter-
jadi di Kerajaan Sutera Bayu, akibat masuknya
orang luar yang memiliki kesaktian tinggi. Seo-
rang tokoh golongan hitam yang berjuluk Kela
bang Hitam!
"Hati-hatilah kalian. Terutama kau, Ra-
den," nasihat Patih Abadi Selaksa lagi.
"Baik, Paman," jawab Bintang Megantara.
"Aku akan selalu mengingat segala peringatan
yang kau berikan."
Patih Abadi Selaksa menganggukkan kepa-
la mendengar ucapan putra tunggal Prabu Mulya
Dewantara.
"Tuan Putri, dan kau Raden. Kembalilah
kalian ke istana. Jagalah hati Ki Setyagara. Jan-
gan sampai dia tak senang kalian berlama-lama di
tempat ini," pinta Patih Abadi Selaksa dengan ta-
tapan mata berganti-ganti memandang wajah Ci-
tra Laras dan Bintang Megantara.
"Baik, Ki. Kami kembali sekarang," ujar Ci-
tra Laras memenuhi permintaan bekas Patih Ke-
rajaan Sutera Bayu.
"Aku pamit, Paman," ujar Bintang Megan-
tara. Kemudian dengan langkah perlahan, ka-
kinya bergerak menjajari langkah Citra Laras.
***
Matahari pagi yang baru saja muncul di
langit kotaraja membiaskan kehangatan bagi se-
luruh makhluk yang berada di atas bumi. Kehan-
gatan itu juga menyeruak masuk ke dalam Istana
Sutera Bayu, sampai ke dalam kamar pribadi Ci-
tra Laras yang tengah berbincang-bincang bersa-
ma putranya, Bintang Megantara.
"Nanti malam purnama akan muncul, Bu.
Apakah Paman Setyagara akan melaksanakan
acara persembahan itu?" tanya Bintang Meganta-
ra.
"Kelihatannya begitu, Bintang," jawab Citra
Laras. "Sekarang ini, dia telah mengumpulkan
orang kepercayaannya di ruang pertemuan sana.
Pasti Adi Setyagara tengah memberikan tugas pa-
da orang-orangnya, untuk mencari sesaji persem-
bahan nanti malam. Entah, apa bentuk sesaji
yang dimaksudkan? Ki Parawenang belum mem-
beri kabar padaku," jelas Citra Laras, menyebut
nama pejabat tinggi Kerajaan Sutera Bayu. Ki Pa-
rawenang setelah mengangkatnya Prabu Mulya
Dewantara, memang diangkat sebagai penasihat
kerajaan.
"Ki Parawenang?" ulang Bintang Meganta-
ra.
Jelas anak muda itu terkejut, karena lelaki
berusia lima puluh tahun itu selama ini selalu di-
lihatnya berada di samping Ki Sodrasena, patih
yang menggantikan kedudukan Patih Abadi Se-
laksa.
"Ya. Ki Parawenang. Memangnya kenapa,
Bintang?" tanya Citra Laras, begitu melihat raut
wajah putranya seperti tak senang mendengar
nama Ki Parawenang disebut-sebut
"Oh! Maafkan aku, Bu. Selama ini aku
mencurigainya sebagai pengikut Paman Setyagara
yang setia mendukung acara persembahan itu,"
kilah Bintang Megantara.
"Tidak, Anakku. Ki Parawenang sangat se-
tia pada mendiang ayahmu. Dan tentunya, juga
pada kita dan Patih Abadi Selaksa. Sengaja dia
kusuruh bersikap baik pada Paman Setyagara
dan Patih Sodrasena, dan berpura-pura mendu-
kung rencana sesat itu. Padahal, sesungguhnya
Ki Parawenang hanya kutugasi menyelidiki setiap
rencana mereka yang didukung si Kelabang Hi-
tam. Ibumu mempercayai Ki Parawenang sepe-
nuhnya. Dan kuharap, kau pun begitu, Bintang,"
tutur Citra Laras.
"Tentu saja, Bu," jawab Bintang Megantara
tegas. "Mana mungkin aku tidak mempercayai
orang yang telah diberi kepercayaan oleh ibunya."
"Syukurlah," desah Citra Laras, seraya
memeluk tubuh putra satu-satunya. "Semoga saja
Ki Parawenang bisa mengetahui, bila suatu saat
Paman Setyagara berhajat menyingkirkan kita.
Dan mudah-mudahan kita akan segera menyela-
matkan diri dari kelaliman raja pengganti ayah-
mu, Bintang."
"Kuharap hal itu tidak terjadi, Bu. Ah! An-
dai saja dulu aku menuruti kata-kata ayah untuk
bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu bela
diri, mungkin akan dapat melindungi Ibu," keluh
Bintang Megantara menyalahi dirinya. "Sekarang,
kebisaan yang kumiliki hanya sedikit Aku ragu,
apakah akan mampu menyelamatkan Ibu."
"Kita akan sama-sama berusaha menyela-
matkan diri, Bintang. Jika hal itu benar-benar
terjadi," kilah Citra Laras, mencoba menenangkan
hati anaknya.
***
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di
ruang pertemuan istana, nampak Prabu Setyaga-
ra yang didampingi Patih Sodrasena tengah mem-
bicarakan sesuatu yang teramat penting.
"Sampai menjelang sore nanti, kuharapkan
kalian sudah dapat membawa sepasang anak le-
laki dan perempuan yang berusia sepuluh tahun
untuk dipersembahkan pada dewa keselamatan
dan kesejahteraan di Bukit Kelabang. Kalian
mengerti?" ujar Prabu Setyagara keras.
"Mengerti, Yang Mulia," jawab seorang lela-
ki bertubuh tinggi besar.
Lelaki gagah berkedudukan sebagai pung-
gawa tak lain Guridala. Laki-laki tinggi besar itu
membawahi sepuluh orang prajurit terlatih, un-
tuk mendapatkan sepasang bocah yang dimak-
sudkan Prabu Setyagara.
"Pergilah kalian ke desa yang terdekat dari
kotaraja ini. Temui kepala desa setempat, dan
sampaikan apa yang kutitahkan," ujar Prabu Se-
tyagara lagi.
"Hamba akan memenuhi segala titah Yang
Mulia," sahut Punggawa Guridala dengan kepala
tertunduk memberi hormat
"Berangkatlah kalian," kata Prabu Setyaga-
ra, memerintah. "Ingat! Jika gagal, maka kepala
kalianlah yang menjadi penggantinya!"
"Hamba berangkat, Yang Mulia," Punggawa
Guridaila menjura sebelum meninggalkan ruan-
gan pertemuan.
***
Siang di Desa Gandaras terasa begitu pa-
nas. Matahari yang berdiri tegak di atas ubun-
ubun, memancarkan sinarnya yang panas me-
nyengat. Di beberapa tempat di Desa Gandaras
memang banyak pohon berdaun lebat. Namun te-
tap tak kuasa mengurangi panasnya sinar mata-
hari yang tercurah.
Bias sinar matahari yang cukup menyengat
itu dirasakan juga oleh sebelah orang penunggang
kuda yang bergerak menuju ke arah selatan Desa
Gandaras. Mereka tak lain utusan Prabu Setyaga-
ra yang dipimpin Punggawa Guridala. Keseluruh
penunggang kuda itu rata-rata menghunus sebi-
lah pedang yang menggantung di pinggang. Jelas,
rombongan itu adalah pasukan berpedang yang
dimiliki Kerajaan Sutera Bayu.
"Itu pasti kediaman Kepala Desa Ganda-
ras," tunjuk Punggawa Guridala pada bangunan
kokoh yang berhalaman cukup luas.
"Rasanya memang benar, Kakang Gurida-
la," sambut seorang prajurit yang lain.
"Hiyaaa...!"
Punggawa Guridala segera saja menggebah
kuda tunggangannya, agar segera sampai di ke-
diaman Kepala Desa Gandaras.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Kesepuluh penunggang kuda pengikut
Punggawa Guridala pun sama-sama menggebah
tali kekang tunggangannya.
Sementara itu, beberapa orang yang bertu-
gas menjaga kediaman Kepala Desa Gandaras se-
perti bingung menyaksikan sebelas ekor kuda
yang berlari cepat ke arah kediaman majikannya.
Apalagi setelah kuda-kuda itu mendekat. Kini me-
reka tahu kalau pengendara kuda itu adalah
orang-orang dari Kerajaan Sutera Bayu. Maka se-
ketika itu juga penjaga kediaman Kepala Desa
Gandaras menjura hormat
"Selamat datang, Tuan-tuan. Ada yang da-
pat kami bantu?" sambut lelaki penjaga kediaman
Kepala Desa Gandaras yang bertubuh tegap dan
berkumis tebal melintang.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Punggawa
Guridala segera melompat dari atas kudanya. In-
dah sekali gerakannya, pertanda ilmunya bisa di-
andalkan.
"Hop!"
Jligkh!
Ringan sekali kaki Punggawa Guridala
mendarat di tanah.
"Inikah kediaman kepala desa Gandaras?"
tanya Punggawa Guridala agak ketus.
"Benar, Tuan," jawab penjaga yang bertu-
buh sedang, di dekat lelaki utusan Gusti Prabu
Setyagara ini "Apakah tuan-tuan ingin berjumpa
Ki Amertagi?"
"Ya. Antar aku untuk menemuinya," jawab
Punggawa Guridala pongah. "Baik, Tuan. Mari."
Lelaki penjaga bertubuh sedang itu mem-
persilakan Punggawa Guridala dan rombongan
untuk masuk ke kediaman Ki Amertagi.
"Silakan duduk di sini, Tuan-tuan. Biar Ki
Amertagi kupanggil untuk menghadap Tuan-
tuan," lelaki bertubuh sedang itu mempersilakan
pada tamunya duduk di ruang tamu. Sementara,
dirinya cepat berlalu ke kamar pribadi Kepala De-
sa Gandaras.
Hanya sesaat lamanya Punggawa Guridala
dan rombongan menunggu, kini Ki Amertagi telah
berdiri di hadapan mereka dengan sikap gugup
dan kaku.
"Oh, Tuan Punggawa. Ada perlu apakah ki-
ranya, hingga Tuan berkenan mengunjungi ke-
diaman kami yang buruk ini?" tanya Ki Amertagi
dengan wajah takut-takut
"Aku ingin meminta bantuanmu, Ki!" sahut
Punggawa Guridala langsung.
"Bantuan apa, Tuan? Jika mampu pasti
akan kupenuhi," sahut Kepala Desa Gadaras ini
sambil sesekali menundukkan kepala.
"Carikan aku sepasang bocah berusia se-
puluh tahun," cetus Punggawa Guridala tanpa
basa-basi
"Sepasang bocah umur sepuluh tahun? Oh!
Aku tak mengerti maksud Tuan Punggawa," desah
Ki Amertagi, betul-betul tak mengerti ucapan
Punggawa Guridala.
Utusan Prabu Setyagara pun segera menje-
laskan ketidakmengertian Kepala Desa Gandaras
ini. Terutama tentang maksud persembahan yang
akan dilaksanakan setiap bulan purnama, sepan-
jang seribu bulan purnama. Yakni, setelah men-
dapatkan seribu pasang bocah usia sepuluh ta-
hun.
"Setelah desa ini menyediakan sepasang
bocah berusia sepuluh tahun, desa-desa lain pun
juga harus menyediakan bocah-bocah itu selama
sepuluh purnama berturut-turut," jelas Punggawa
Guridala.
"Oh...!" Ki Amertagi berseru tertahan sete-
lah mendengar penjelasan Punggawa Guridala.
"Kau bersedia mencarikan sepasang bocah
itu, Ki?!" tanya Punggawa Guridala, terdengar
membentak.
Ki Amertagi tidak segera menjawab perta-
nyaan Punggawa Guridala. Wajahnya nampak
pias. Sungguh dia tak tahu, harus menjawab apa.
"Kau cari mampus kalau begitu, Ki!" sentak
Punggawa Guridala menambah kebingungan Ke-
pala Desa Gandaras ini.
"Oh, Tuhan.... Dosa apa yang telah kula-
kukan hingga kau menurunkan cobaan seberat
ini?" keluh Ki Amertagi dalam hati.
Tubuh laki-laki setengah baya ini tiba-tiba
seperti terserang demam. Menggigil, bahkan lu-
tutnya seperti tak mampu menahan berat tubuh-
nya.
Srat!
"Oh...!"
Kepala Desa Gandaras memekik perlahan
menyaksikan punggawa meloloskan pedang dari
warangka. Getaran di sekujur tubuhnya semakin
membuat goyah lelaki Kepala Desa Gandaras da-
lam berdirinya.
"Cepat katakan! Bersedia atau tidak? Atau
kupenggal sekarang juga kepalamu?" sentak
Punggawa Guridala, membuat hati Ki Amertagi
semakin kecut
"Baik. Baik, Tuan Punggawa," jawab Ki
Amertagi terpaksa.
"Ha ha ha...! Punggawa Guridala tertawa.
Tawa Punggawa Guridala yang cukup ke-
ras, membuat istri Ki Amertagi muncul dari ruan-
gan dalam. Dan wanita itu langsung terkejut me-
nyaksikan punggawa dari Kerajaan Sutera Bayu
itu tengah menepuk-nepuk dada suaminya den-
gan sedang dimiringkan.
"Kakang Amertagi.... Ada apa ini?" tanya
Nyi Riwangni dengan langkah tergesa-gesa meng-
hampiri suaminya.
"Oh, Nyi. Eh.... Tidak apa-apa," jawab Ki
Amertagi mendapati kemunculan istrinya.
"Kau tenanglah, Nyi! Raja Sutera Bayu
membutuhkan jasa suamimu. Beruntunglah kau
menjadi suaminya," tukas Punggawa Kerajaan
Sutera Bayu. "Ayo kita berangkat, Ki! Tunjukkan
rumah pendudukmu yang memiliki anak usia se-
puluh tahun. Kalau tidak ada, kepalamu dan ke
pala istrimu akan kubawa ke hadapan sang Prabu
Setyagara."
"Kakang Amertagi...."
Nyi Riwangni memburu tubuh suaminya
yang didorong ke depan dengan senjata telanjang
milik Punggawa Guridala.
"Kau tunggu saja di sini, Perempuan Tua!
Suamimu akan kukembalikan setelah menunai-
kan tugasnya!" sentak prajurit yang berada di de-
pan Nyi Riwangni.
Perempuan berpakaian biru muda yang be-
rusia lebih kurang empat puluh tahun segera me-
langkah mundur ketika mendapatkan tudingan
dari salah seorang prajurit kerajaan.
"Kakang Amerta...," hanya ucapan itu yang
mengiringi kepergian suaminya bersama pungga-
wa kerajaan dan sepuluh prajurit
***
Bergetar hati Ki Amertagi ketika mendatan-
gi rumah yang berdinding bilik serta beratap
rumbia. Rumah itu memang tempat tinggal sua-
mi-istri Jagil dan Romanah. Mereka memiliki
anak lelaki dan perempuan berusia sepuluh ta-
hun.
"Apakah Ki Jagil dan istrinya bersedia me-
nyerahkan anak kembarnya pada raja?" gumam
hati Ki Amertagi dalam hati. Sementara, langkah-
nya terus terayun mendekati rumah Ki Jagil.
"Tuan Punggawa," panggil Ki Amertagi pada
Punggawa Guridala.
"Hm.... Ada apa, Ki?" tanya Punggawa Gu-
ridala.
"Kalau boleh, aku minta sedikit waktu un-
tuk membujuk orangtua dari anak kembar yang
akan kau serahkan pada Prabu Setyagara," pinta
Ki Amertagi hati-hati.
"Tentu saja, Ki. Lakukanlah dan kau harus
berhasil," jawab Punggawa Guridala, menyetujui.
Mendengar jawaban Punggawa Kerajaan
Sutera Bayu, Ki Amertagi segera melanjutkan
langkahnya memasuki pekarangan rumah Ki Ja-
gil.
Sementara Ki Jagil dan istrinya yang kebe-
tulan hendak keluar rumah terkejut menyaksikan
kedatangan kepala desanya yang didampingi be-
lasan lelaki berpakaian seragam Kerajaan Sutera
Bayu. Di benak suami-istri itu seketika timbul
pertanyaan-pertanyaan buruk yang akan menim-
pa keluarganya.
"Selamat datang di gubuk kami, Ki Amerta-
gi dan Tuan-tuan sekalian," sambut Ki Jagil sebi-
sa-bisanya. Padahal, hatinya dilanda kebingun-
gan yang teramat sangat, atas kedatangan Kepala
Desa Gandaras dan orang-orang kerajaan itu.
"Ki Jagil. Aku ada keperluan denganmu.
Juga dengan kau, Nyi," ucap Ki Amertagi seraya
membawa tubuh Ki Jagi menjauhi Punggawa Gu-
ridala.
Nyi Romanah juga melangkahkan kakinya
mengikuti ajakan Kepala Desa Gandaras itu.
"Sebelumnya aku minta maaf pada kalian
berdua," Ki Amertagi membuka pembicaraan keti-
ka jaraknya sudah agak jauh dengan orang-orang
kerajaan yang diutus Prabu Setyagara.
"Ah! Kenapa meski meminta maaf segala,
Ki," kilah Ki Jagil dengan benak semakin banyak
dihantui pertanyaan yang bukan-bukan.
"Permintaan maaf itu memang harus ku-
sampaikan pada kalian. Karena..., ah! Kuharap
kau bisa memakluminya, Ki Jagil dan juga kau,
Nyi Romanah," ucap Ki Amertagi semakin mem-
buat bingung sepasang suami-istri yang dikun-
junginya. Terlebih, ketika Ki Jagil dan istrinya
menyaksikan wajah kepala desanya yang seperti
ketakutan dan begitu pucat
"Katakanlah, Ki. Apa yang kau butuhkan
dari kami?" tanya Nyi Romanah mendahului sua-
ra Ki Jagil yang hendak keluar.
Ki Amertagi tak segera menjawab. Hanya
ditatapnya wajah perempuan berusia tiga puluh
tahun itu dengan sorot mata iba.
"Katakan saja, Ki. Mudah-mudahan kami
dapat membantu kebutuhanmu," tutur Ki Jagil
Kemudian Ki Amertagi kemudian menceritakan
apa yang diinginkan Prabu Setyagara yang dike-
tahuinya melalui mulut Punggawa Guridala. Dice-
ritakannya juga maksud dan tujuan persembahan
yang akan dilaksanakan Prabu Setyagara pada
setiap bulan purnama.
"Begitulah, Ki dan kau, Nyi. Maafkan, ka-
rena aku tak kuasa menentang keinginan gila itu.
Hampir saja punggawa kerajaan itu memenggal
kepalaku kalau keinginan Prabu Setyagara tak
kuturuti," ucap Ki Amertagi mengakhiri penjela-
sannya.
Ki Jagil dan Nyi Romanah tentu saja terke-
jut mendengar cerita kepala desanya.
"Permintaan gila!" rutuk Ki Jagil dengan ta-
tapan mata yang membara memandang wajah Ki
Amertagi.
Kepala Desa Gandaras tak kuasa memba-
las tatapan kemarahan miliki Ki Jagil. Namun
dimakluminya kemarahan itu.
"Kau juga gila, Ki Amertagi!" maki Ki Jagil
keras. "Kalau kau menyayangi kepalamu, kami
juga menyayangi anak kembar kami!" Ki Jagil ke-
ras.
Hardikan Ki Jagi membuat Punggawa Gu-
ridala dan prajurit pendampingnya menoleh. Na-
mun, mereka masih memberi kepercayaan pada
Ki Amertagi untuk menangani kemarahan Ki Jagi.
"Pergi kau dari sini, Ki! Kami tak bisa me-
menuhi permintaan gila itu!" bentak Ki Jagil se-
raya mendorong tubuh Kepala Desa Gandaras.
Padahal, Ki Amertagi selalu bijaksana dan welas
asih pada penduduk desa yang dipimpinnya. Ka-
rena sifatnya itulah, ketika tubuhnya didorong
kasar oleh Ki Jagil dia tak melawan.
"Tolonglah aku, Ki Jagil," tukas Ki Amertagi
meratap.
"Gila! Kau juga gila, Ki Amertagi! Pergi kau
dari sini!" bentak Ki Jagil bertambah keras. Dan
tiba-tiba saja tangannya melayang ke arah Ki
Amertagi.
Bluk!
"Akh!"
Ki Amertagi memekik tertahan ketika men-
dapat pukulan keras pada bagian wajahnya. Tu-
buhnya terhuyung ke belakang sejauh tiga lang-
kah. Darah nampak mengucur dari bibirnya yang
pecah.
Punggawa Guridala yang menyaksikan ke-
jadian itu seketika meloncat cepat menghampiri
Ki Jagil yang telah memukul wajah Kepala Desa
Gandaras. Langsung tangannya berkelebat cepat,
ke arah wajah Ki Jagil.
Plak! Plak!
Tangan kanan Punggawa Guridala lang-
sung menghajar wajah Ki Jagil. Akibatnya lelaki
berpakaian coklat itu terhuyung dan jatuh keras
di tanah halaman rumahnya sendiri.
"Kurang ajar sekali kau, Bangsat!" maki
Punggawa Guridala geram. "Tak tahukah dengan
siapa berhadapan sekarang!"
"Kakang...."
Romanah memburu tubuh Ki Jagil. Wajah-
nya terlihat membiru dan bibirnya pecah mene-
teskan darah, akibat dihajar tangan punggawa
itu.
"Cepat, katakan! Di mana anak kembarmu
itu, heh! Aku harus segera kembali ke istana!"
bentak Punggawa Guridala geram.
Ki Jagil dan Nyi Romanah tak menjawab
pertanyaan utusan Prabu Setyagara ini. Malah
dengan berani, sepasang mata suami-istri mena-
tap tajam penuh dendam pada Punggawa Gurida-
la.
"Kalau kau tak bersedia menunjukkan, bi-
ar kugeledah rumahmu!" dengus Punggawa Guri-
dala seraya melangkah.
Namun baru tiga langkah kaki itu terayun,
Nyi Romanah telah mendahului dan menghalangi
Punggawa Guridala di ambang pintu.
"Jangan kau ambil anakku!" cegah Nyi Ro-
manah keras.
"Hm...," Punggawa Guridala mendengus
kesal melihat sikap perempuan berusia tiga puluh
tahun yang menghalangi niatnya. Dan seketika
itu juga....
Srat!
Punggawa Guridala langsung mencabut
pedangnya. Lalu seketika itu juga dibabatkan ke
arah Nyi Romanah. Sehingga....
Bret!
"Aaa...!"
Nyi Romanah terpekik keras ketika ujung
pedang milik Punggawa Guridala menebas perut-
nya. Tubuh perempuan itu seketika ambruk ke
tanah dengan luka menganga lebar pada bagian
perut. Isi perut dan darah langsung berserakan di
tanah.
"Nyi...!" teriak Ki Jagil yang menyaksikan,
istrinya tengah menggelepar meregang nyawa. Tak
lama, tubuh perempuan itu mengejang kaku dan
tewas!
"Kau?! Punggawa keparat!" maki Ki Jagil
tak kuasa membendung kemarahannya.
Tubuh lelaki berpakaian coklat itu seketika
melesat dengan tangan terkepal hendak mengha-
jar Punggawa Guridala yang telah membunuh is-
trinya.
"Hiyaaa...!"
Punggawa Guridala yang melihat Ki Jagil
hendak menyerang, tanpa ada belas kasihan se-
gera menghunus pedangnya ke depan. Lalu, pe-
dangnya dibabatkan ke perut Ki Jagi yang melu-
ruk ke arahnya.
"Hih!"
Brets!
"Aaakh...!"
TIGA
Halaman rumah penduduk Desa Gandaras
ini seketika dikotori lumuran darah pemiliknya
yang tertebas pedang Punggawa Guridala pada
perutnya. Sementara, Kepala Desa Gandaras ini
tak mampu berbuat banyak. Dia hanya bisa me-
nyaksikan kematian Ki Jagil dan Nyi Romanah
dengan hati sulit digambarkan.
"Biar kugeledah rumah ini!" dengus Pung-
gawa Guridala, setelah membersihkan pedangnya
dari bercak darah, menggunakan pakaian yang
melekat di tubuh Nyi Romanah.
"Aaa...!"
"Ibu...!"
Dua jerit ketakutan seketika terdengar,
manakala pintu rumah Ki Jagil dibuka dengan
kasar oleh Punggawa Guridala. Seorang anak pe-
rempuan dan seorang anak laki-laki berusia se-
puluh tahun ini tak lain anak kembar Ki Jagil.
Mereka terlihat berdiri ketakutan di sudut ruan-
gan.
"Prajurit! Cepat angkat kedua anak itu!"
perintah Punggawa Guridala pada prajurit-
prajurit kerajaan yang semenjak tadi hanya diam
saja.
Tiga orang prajurit terdepan seketika itu
juga bergerak cepat memasuki rumah kediaman
Ki Jagil. Kemudian dengan sikap kasar tubuh
anak kembar Ki Jagil ditenteng keluar rumah.
"Tidak mau!"
"Tidak mau! Ibu.... Ayah...!"
Anak kembar Ki Jagil meronta-ronta dalam
dekapan prajurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu.
Jeritan mereka begitu menyayat, membuat Ki
Amertagi tak kuasa menyaksikannya. Kepala desa
berusia lima puluh tahun itu hanya menunduk-
kan kepala saja.
"Kau urus-mayat-mayat itu, Ki!" perintah
Punggawa Guridala kasar, seraya melompat ke
punggung kudanya. "Beruntung kau tak kujadi-
kan mayat juga. Namun purnama depan, jika tak
bisa menyediakan persembahan, maka nyawamu
pun akan melayang seperti nyawa lelaki dan pe
rempuan itu!"
Kepala Desa Gandaras tak meladeni uca-
pan itu. Hanya ditatapinya kepergian punggawa
dan prajurit kerajaan yang membawa anak kem-
bar Ki Jagil untuk dijadikan persembahan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Debu mengepul di udara, begitu kuda
tunggangan Punggawa Guridala dan prajurit Ke-
rajaan Sutera Bayu berlalu dari tempat itu.
***
Sementara dari tikungan jalan, muncul se-
pasang anak muda berpakaian warna kuning
keemasan dan warna jingga. Mereka masih sem-
pat pula melihat rombongan prajurit yang mem-
bawa dua bocah meninggalkan tempat ini.
"Hm.... Seperti punggawa dan prajurit-
prajurit kerajaan, Kakang Jaka," kata seorang da-
ra cantik jelita yang berambut panjang dikepang
belakang.
Memang, pemuda tampan itu tak lain Jaka.
Di kalangan dunia persilatan, dia terkenal berju-
luk Raja Petir. Sedangkan gadis teman intimnya
tak lain si Dewi Payung Emas.
"Sepertinya begitu, Mayang," jawab Raja
Petir. "Tapi kenapa mereka membawa serta dua
orang anak kecil, Kakang?" tanya Mayang tak sa-
dar.
"Kau ini aneh, Mayang," kilah Jaka menya
darkan kekasihnya. "Mana mungkin aku tahu?
Lha, memangnya kita saja yang baru tiba di tem-
pat ini."
"Oh, iya. Maaf, aku memang pelupa," kata
Mayang.
Jaka dan Mayang kemudian sama-sama
kembali berbalik. Sementara punggawa dan pra-
jurit kerajaan itu bergerak semakin jauh dan
menghilang di tikungan jalan.
"Kakang? Kau lihat di depan sana. Di ru-
mah bambu itu," tunjuk Mayang pada salah satu
rumah penduduk Desa Gandaras yang sudah di-
kerumuni orang. "Ada kejadian apa di sana?"
"Pertanyaanmu kembali bisa kujawab,
Mayang. Namun.... Ayo kita ke sana," ajak Jaka
seraya menambah kecepatan langkahnya.
Gadis cantik berpakaian jingga itu pun
mengikuti langkah tokoh muda digdaya yang ber-
juluk Raja Petir.
Begitu mendekati rumah bambu yang dike-
rumuni orang banyak, Jaka dan Mayang seketika
saja dapat menduga kalau baru saja terjadi pem-
bunuhan.
Di halaman rumah itu nampak tergeletak
dua mayat lelaki dan perempuan. Bagian dada
dan perut mereka tampak luka cukup dalam dan
besar yang masih mengeluarkan darah.
Jaka segera saja mendekati seorang lelaki
berusia setengah baya.
"Siapa yang melakukan pembunuhan itu,
Ki," tanya Jaka, dengan suara dibuat selembut
dan sesopan mungkin.
Lelaki yang berkumis putih itu menoleh ke
arah Jaka.
"Eh! Anu..., anu. Den," agak tergeragap le-
laki berpakaian hitam itu.
Jaka segera saja mengembangkan se-
nyumnya ketika melihat kegugupan lelaki tua
yang ditanyai.
"Kisanak tak perlu takut Aku hanya seka-
dar bertanya saja," kata Jaka perlahan.
Lelaki tua berkumis putih itu menatap Ja-
ka dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dan
nampaknya, dia terkesima melihat penampilan
Jaka yang begitu rapi dan berpakaian layaknya
anak seorang saudagar kaya.
"Anu, Den.... Mereka utusan raja," jawab
lelaki itu takut-takut
"Utusan raja?" ulang Jaka dalam hati.
"Apakah anak-anak kecil itu...?"
Jaka tak meneruskan dugaannya. Kini ma-
tanya sibuk menyaksikan seorang lelaki berpa-
kaian sutera putih bersih. Dia tengah memerintah
orang-orang untuk membantu mengurus mayat
suami-istri yang bernama Ki Jagil dan Nyi Roma-
nah itu.
Karena Jaka dan Mayang merasa sebagai
pendatang di Desa Gandaras, maka hanya me-
nyaksikan saja penduduk desa yang bergotong-
royong menguburkan dua mayat itu dari kejau-
han. Namun tak lama kedua pendekar muda itu
segera menghampiri lelaki yang tak lain Ki Amer
tagi, Kepala Desa Gandaras yang tengah melang-
kah meninggalkan upacara penguburan.
"Maaf, Kisanak. Kami mengganggu seben-
tar," ucap Jaka sopan seraya menjajari langkah
lunglai Kepala Desa Gandaras.
Ki Amertagi seketika menghentikan lang-
kahnya. Dan tatapan kecurigaan pun langsung
dilemparkan ke wajah Jaka.
"Namaku Jaka Sembada. Dan kawanku
Mayang Sutera," kata Jaka memperkenalkan diri
dengan sikap ramah.
"Aku Ki Amertagi kepala desa ini," ujar Ke-
pala Desa Gandaras memperkenalkan diri pula.
Wajahnya menyiratkan ketidaksenangan. "Ada
perlu apa Kisanak berdua, hingga mencegat perja-
lananku?"
"Kami hanya ingin tahu, siapa pembunuh
dua orang yang baru saja dimakamkan itu. Dan
juga tentang punggawa serta prajurit kerajaan
yang membawa dua orang bocah kecil?" tanya Ja-
ka memancing jawaban Ki Amertagi.
"Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
tanya Ki Amertagi tanpa menjawab pertanyaan
Jaka.
"Hanya sekadar ingin tahu, Ki Amertagi,"
jawab Jaka sabar.
"Percuma."
Ki Amertagi segera melangkah cepat me-
ninggalkan Jaka dan Mayang.
Mayang dan Jaka saling berpandangan se-
telah melihat sikap Ki Amertagi. Kemudian mereka sama-sama saling menganggukkan kepala,
dan cepat mengejar Ki Amertagi.
"Ki," panggil Jaka setelah langkahnya kem-
bali sejajar dengan langkah Kepala Desa Ganda-
ras ini. "Dengan adanya pembunuhan terhadap
dua orang yang baru saja dimakamkan, itu berar-
ti desa ini tengah terganggu ketenteramannya.
Dan kalau boleh kusimpulkan, Ki Amertagi seba-
gai kepala desa justru ingin berbuat sesuatu yang
terbaik untuk menangani masalah ini."
"Hhh...." Ki Amertagi menarik napas berat
dengan langkah kaki terus terayun.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi di si-
ni, Ki?" desak Jaka penasaran.
Sementara, Mayang dengan sabar menanti
jawaban lelaki berpakaian putih ini.
"Percuma saja bila ingin tahu persoalan
yang terjadi di desa ini, Jaka," jawab Ki Amertagi
pelan. "Kau tak akan mampu berbuat sesuatu un-
tuk menangani persoalannya."
"Sedemikian beratnyakah?" selidik Jaka le-
bih jauh.
"Hm...," Ki Amertagi menggumam tak jelas.
"Aku sendiri sebagai Kepala Desa Gandaras hanya
bisa pasrah menghadapi persoalan yang teramat
berat ini. Entah, dosa apa yang telah kulakukan
hingga sang Pencipta Alam ini mengazabku den-
gan persoalan ini."
"Kalau kami ingin meringankan bebanmu,
apakah kau memperkenankannya, Ki?" kali ini
Mayang yang melemparkan pertanyaan pada Kepala Desa Gandaras.
Ki Amertagi menatap lurus ke wajah
Mayang. Sepertinya, dia tak percaya mendengar
pertanyaan yang baru saja dilontarkan gadis can-
tik berambut panjang dikepang ke belakang ini.
"Apakah yang bisa kalian lakukan untuk
menghalangi keinginan Prabu Setyagara?" tukas
Ki Amertagi, balik bertanya.
"Jadi persoalan yang tengah kau hadapi,
berhubungan langsung dengan kerajaan, Ki?"
Mayang memang tak menjawab pertanyaan
Kepala Desa Gandaras ini. Pertanyaan yang baru-
san dilontarkan hanya karena merasa senang da-
pat mengorek keterangan dari mulut Ki Amertagi.
"Ya.... Begitulah," desah Ki Amertagi.
"Kalau boleh tahu, apa yang telah diper-
buat lelaki-lelaki berkuda yang mengenakan pa-
kaian punggawa dan prajurit kerajaan itu, Ki?"
selidik Mayang agak berani.
"Sudahlah, Nisanak. Lupakan saja keingin-
tahuanmu. Kalau kalian kuberitahu, kau tak
akan dapat berbuat banyak untuk dapat menye-
lamatkan desa ini, dan desa-desa di wilayah ke-
kuasaan Kerajaan Sutera Bayu. Lebih baik, pergi-
lah dari desa ini. Dan, jangan cari penyakit den-
gan mencampuri urusan yang mengandung ba-
haya besar."
Kata-kata yang diucapkan Ki Amertagi, se-
sungguhnya membuat hati Mayang tersinggung.
Wajah gadis cantik kekasih Raja Petir ini nampak
bersemu merah, mendengar dirinya dan kekasih
nya direndahkan seperti itu.
"Ki," panggil Mayang. "Maaf, bukannya ka-
mi bermaksud sombong. Ketahuilah, Ki. Saha-
batku yang bernama Jaka ini di kalangan rimba
persilatan dikenal dengan julukan Raja Petir."
Kata-kata itu sengaja dilontarkan Mayang,
untuk menutupi kekesalannya. Maka seketika itu
juga Ki Amertagi melempar pandangan ke arah
wajah Jaka. Kemudian tatapannya merambat ke
sekujur tubuh lelaki gagah dan tampan ini.
Sebenarnya bukan baru kali ini Ki Amerta-
gi mendengar julukan Raja Petir yang tersohor
itu. Begitu juga kabar sepak terjang Raja Petir
yang selalu membela orang-orang lemah dan
mengusir segala bentuk kebatilan. Tapi untuknya
bertatap muka secara langsung? Sungguh Ki
Amertagi tak pernah membayangkannya.
"Kau.... Kau Ra...?" kata Ki Amertagi terga-
gap, seraya membungkuk hormat
"Ah, Ki. Jangan memanggilku dengan julu-
kan itu," selak Jaka melihat kegugupan Kepala
Desa Gandaras ini. "Bukan maksud sahabatku
menyombongkan diriku. Dia hanya ingin Ki Amer-
tagi mempercayai kami untuk membantu kemelut
yang terjadi di desa ini."
Jaka segera mengulurkan tangan, men-
gangkat bahu Ki Amertagi yang membungkuk.
"Maafkan aku. Raja Petir," ujar Ki Amertagi
setelah tegak kembali dengan wajah memerah.
"Sungguh aku tak bermaksud meremehkan kalian
barusan."
"Lupakan saja persoalan itu, Ki. Yang pasti,
kami senang kalau kau memberi izin untuk ikut
meringankan kemelut yang terjadi di desa ini," se-
lak Mayang lemah lembut
"Tentu saja, Mayang. Tentu," jawab Ki
Amertagi cepat
"Terima kasih, Ki," ucap Mayang.
"Sebaiknya, kalian ikut saja ke rumahku.
Di sana, nanti kuceritakan kejadian yang sebe-
narnya. Mari," ajak Ki Amertagi.
Langkah laki-laki setengah baya itu te-
rayun sedikit gagah. Dia menemukan kegembi-
raan karena ada orang lain yang bersedia mem-
bantu meringankan bebannya. Sementara Raja
Petir dan Dewi Payung Emas tersenyum-senyum
sambil melangkah mengiringi langkah kaki Ki
Amertagi.
***
"Kakang...!"
Kedatangan Ki Amertagi disambut perem-
puan berusia empat puluh tahun dengan teriakan
begitu penuh kegembiraan. Perempuan berpa-
kaian warna biru muda itu menghambur, kemu-
dian merangkul tubuh kepala desa ini.
"Syukur kau selamat, Kakang...," ucap wa-
nita yang tak lain Nyi Riwangni perlahan. Air ma-
ta terlihat bergulir turun dari kelopak matanya.
"Sudahlah, Nyi. Kau lihat, kita kedatangan
tamu besar," ujar Ki Amertagi dengan tangan be
rusaha melepaskan rangkulan istrinya.
Nyi Riwangni melepaskan rangkulannya di
tubuh Ki Amertagi. Kemudian tatapannya berpin-
dah ke wajah tampan Jaka dan wajah cantik
Mayang.
"Selamat datang Kisanak dan Nisanak,"
sambut Nyi Rawangni dengan kepala sedikit di-
tundukkan.
"Panggil saja Jaka, Nyi. Dan sahabatku ini
bernama Mayang," tukas Sembada memperkenal-
kan diri.
"Baik Jaka dan Mayang. Mari silakan ma-
suk," ujar Nyi Riwangni menyambut perkenalan
Jaka.
Langkah perempuan berusia empat pulu-
han tahun itu bergerak mendahului langkah Ki
Amertagi.
"Mari, Jaka, Mayang," ajak Ki Amertagi
kemudian.
Jaka dan Mayang segera melangkah men-
gikuti Ki Amertagi memasuki rumah yang megah
dan terawat rapi.
"Silakan duduk," ujar Ki Amertagi sesam-
painya Jaka dan Mayang di ruang tamu.
Sepasang pendekar muda itu segera duduk
berdampingan. Sementara di seberang meja, du-
duk Ki Amertagi.
"Kami ingin secepatnya mengetahui persoa-
lan yang terjadi di desa ini. Paling tidak, agar bisa
lebih cepat mengambil keputusan untuk berbuat
sesuatu," Jaka membuka pembicaraan.
"Baik, Jaka," jawab Ki Amertagi menyetujui
permintaan Raja Petir
Tatapan lelaki Kepala Desa Gandaras seke-
tika terlempar ke pekarangan rumahnya yang ba-
nyak ditumbuhi pohon jambe berduri. Kemudian
dari mulutnya mengalir cerita tentang Prabu Se-
tyagara yang menginginkan seribu pasang bocah
berusia sepuluh tahun untuk dijadikan persem-
bahan selama seribu purnama.
"Sepasang bocah yang dilarikan punggawa
dan prajurit-prajurit kerajaan yang kau lihat itu,
adalah anak kembar Ki Jagil yang tadi dikubur-
kan pendudukku. Dialah korban pertama dari
persembahan gila yang direncanakan Raja Sutera
Bayu," tutur Ki Amertagi, melanjutkan ceritanya.
"Sudah berapa lama Prabu Setyagara men-
jabat sebagai raja?" tanya Mayang ingin tahu.
"Baru dua bulan ini," jawab Ki Amertagi te-
gas.
"Baru dua bulan? Hm...," Mayang mengu-
langi jawaban Ki Amertagi diiringi gumam tak je-
las. "Apakah Prabu Setyagara menduduki tampuk
kekuasaan dengan merebut secara kasar, atau...."
"Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara
mangkat karena suatu penyakit aneh. Kabar pe-
nyakit aneh yang diidapnya memang tersebar ke
seluruh pelosok desa yang berada di wilayah ke-
kuasaan Kerajaan Sutera Bayu," selak Ki Amerta-
gi.
"Apakah Prabu Mulya Dewantara tak me-
miliki seorang putra mahkota?" selidik Mayang la
gi.
"Punya. Usianya hampir.... Ah! Aku tak ta-
hu pasti. Mungkin sudah tujuh belas tahunan,"
jawab Ki Amertagi.
"Kenapa tidak dia yang menggantikan ke-
dudukan ayahandanya?" tanya Jaka, memancing
cerita Ki Amertagi.
"Entahlah," jawab Ki Amertagi.
"Aneh," timpal Mayang.
"Lalu, apa hubungan keluarga Prabu Se-
tyagara dengan mendiang Prabu Mulya Dewanta-
ra?" tanya Jaka lagi.
"Adik kandung," jawab Ki Amertagi tegas.
"Sepertinya ada teka-teki di balik keinginan
Prabu Setyagara, Kakang," ucap Mayang pada ke-
kasihnya.
"Apa teka-teki itu menurutmu, Mayang?"
tanya Jaka ingin bukti dari ucapan kekasihnya
yang juga dirasakannya.
"Pertama, mengenai keanehan penyakit
Prabu Mulya Dewantara. Kedua, mengenai per-
sembahan gila yang tak pernah terjadi semasa
kepemimpinan Prabu Mulya Dewantara," jelas
Mayang gamblang.
"Kesimpulanmu?" cecar Jaka.
"Kematian sang Prabu Mulya Dewantara
kuduga memang sudah direncanakan. Lewat pe-
rantara seorang tokoh sakti, Prabu Mulya Dewan-
tara disiksa melalui penyakit aneh itu. Dan ren-
cana itu didalangi Prabu Setyagara, adik kan-
dungnya sendiri, yang juga menginginkan kedudukan sebagai seorang raja. Dan persembahan gi-
la itu kusimpulkan bukanlah untuk memuja dewa
keselamatan dan dewa kesejahteraan. Itu bohong!
Jelas, itu hanya dalih untuk mengelabui pendu-
duk. Padahal, sesungguhnya persembahan itu di-
tujukan untuk si tokoh yang membantu Prabu
Setyagara dalam rangka menyempurnakan ilmu-
ilmu sesatnya," jelas Mayang panjang lebar.
Jaka tentu saja merasa kagum mendengar
kesimpulan cemerlang yang dipaparkan kekasih-
nya. Kesimpulan itu sungguh sesuai dengan apa
yang ada di benaknya.
Sementara itu Ki Amertagi hanya melongo
mendengar kesimpulan Mayang yang sama sekali
tak terduga.
"Kakang...," panggil Mayang mengejutkan
Jaka dan Ki Amertagi. "Bukankah nanti malam
purnama akan muncul? Berarti...?"
"Acara persembahan itu akan dilaksanakan
nanti malam, Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.
Kepala Desa Gandaras mengangguk lemah.
"Oh," Mayang mendesah tertahan. "Sebaik-
nya kita ke kotaraja sekarang, Kakang. Kita harus
mengikuti ke mana Prabu Setyagara mengirim
korban persembahannya."
"Kau betul, Mayang. Namun, kita harus
memperhitungkan apa bisa tiba di kotaraja ma-
lam ini?" ujar Jaka.
Mayang tak berkata-kata mendengar uca-
pan Jaka. Namun dibenarkan juga ucapan keka-
sihnya.
"Seberapa jauh jarak kotaraja dari desa ini,
Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.
"Tidak begitu jauh, Jaka. Tidak sampai se-
tengah hari dalam perjalanan berkuda," jawab Ki
Amertagi.
"Kalau begitu, izinkan kami berangkat ke
kotaraja sekarang juga, Ki," putus Jaka setelah
yakin mampu tiba di sana malam ini.
"Kalian...."
"Kami ingin tahu, apa yang akan dilakukan
raja sesat itu, Ki. Doakan saja agar kami dapat
mengatasi persembahan-persembahan sesat se-
lanjutnya," ujar Mayang, meyakinkan keputusan
kekasihnya.
"Hati-hati kalian," ujar Ki Amertagi membe-
ri nasihat penuh keharuan.
"Kami pergi sekarang, Ki. Titip salam un-
tuk...."
"Hei! Kalian belum meminum air ini!" selak
Nyi Riwangni yang baru muncul dari ruang dalam
sambil membawa minuman dan penganan.
"Terima kasih, Nyi. Lain kali kami pasti tak
menolak jamuanmu. Sekarang kami harus pergi
untuk mengejar waktu," kata Mayang tegas.
"Permisi, Nyi!"
Jaka dan Mayang segera saja berlalu cepat
dari ruang tamu kediaman Ki Amertagi. Sepasang
pendekar muda itu. kemudian menghentakkan
kakinya kuat-kuat, setelah mencapai ambang pin-
tu.
"Hop!"
"Hip!"
Ki Amertagi dan Nyi Riwangni hanya me-
mandangi kepergian Jaka dan Mayang yang begi-
tu cepat
"Hhh.... Raja Petir! Kau memang pendekar
digdaya," gumam Ki Amertagi.
"Kau menyebutnya sebagai Raja Petir, Ka-
kang?" tanya Nyi Riwangni mendengar gumaman
suaminya.
"Pemuda tampan itulah yang berjuluk Raja
Petir, Nyi," jelas Ki Amertagi.
"Heh?!" Nyi Riwangni terkejut
EMPAT
Langit di sebelah timur Desa Gandaras te-
lah menjelmakan warna jingga yang begitu me-
nawan. Matahari terlihat perlahan tenggelam
kembali ke peraduannya. Alam di pedesaan ini
memang menyajikan suasana yang begitu indah.
Dan pada saat menghilangnya sinar jingga
yang membias, tiba-tiba berkelebat dua sosok
bayangan dengan kecepatan luar biasa. Kedua
bayangan itu menerobos masuk Hutan Gindang
yang menjadi perbatasan antara Desa Gandaras
dengan kotaraja.
Dua sosok bayangan yang melesat cepat itu
tak lain sepasang pendekar muda yang sudah cu-
kup tersohor di kalangan rimba persilatan. Siapa
lagi kalau bukan Raja Petir dan Dewi Payung
Emas.
"Kita akan tiba lebih cepat dari waktu yang
telah direncanakan, Kakang," kata Mayang den-
gan napas yang sedikit memburu.
"Bagus kalau begitu, Mayang. Berarti bisa
sedikit beristirahat sebelum melakukan penyelidi-
kan," balas Jaka dengan napas lebih teratur.
Dua anak berpakaian warna kuning kee-
masan dan jingga itu terus melanjutkan perjala-
nan, menerobos perut Hutan Gindang. Namun ti-
ba-tiba saja....
"Awaaas, Mayang!" teriak Jaka, ketika ma-
tanya melihat sebatang pohon besar tumbang ke
arah kekasihnya.
Mayang yang mendengar teriakan peringa-
tan kekasihnya segera melompat cepat
"Hop!"
Jaka pun melakukan hal yang sama.
"Hop!"
Grosakkk!
Pohon yang besar itu tumbang, ambruk ke
tanah begitu Jaka dan Mayang berhasil melompat
menghindar. Akan tetapi sebentuk bahaya yang
lain harus dihadapi pasangan pendekar muda itu.
Di depan mata mereka kini tengah berjejer sosok
berpakaian seperti kera. Di tangan masing-
masing sosok yang berjumlah belasan orang itu
tergenggam sebatang obor yang menyala cukup
besar. Dugaan Jaka dan Mayang, mereka adalah
para perampok yang memanfaatkan Hutan Gin-
dang sebagai markas.
"He he he...."
Salah satu sosok yang bertubuh tinggi be-
sar tertawa keras dengan kaki terangkat dua
langkah ke belakang.
"Serahkan harta kalian kalau ingin selamat
melintasi hutan ini!" bentak lelaki tinggi besar itu,
keras. Nampaknya, dialah yang menjadi pimpinan
begal ini.
Jaka tak membalas ucapan lelaki tinggi be-
sar yang di tangannya menggenggam sebilah tom-
bak berukuran besar.
"Tak perlu kita meladeni mereka, Mayang.
Hanya membuang waktu saja," ujar Jaka, hampir
mirip bisikan.
"Tentu saja, Kakang. Kita harus segera
sampai di kotaraja," balas Mayang, menyetujui
kata-kata kekasihnya.
"Kalau begitu bersiaplah. Biar kuberi pela-
jaran mereka," pinta Jaka. Dan tiba-tiba saja....
"Hiaaa...!"
"Wusss...!"
Angin bergulung bagai pusaran angin seke-
tika melesat dari sepasang telapak tangan Raja
Petir yang terhentak kuat. Angin yang tercipta
berkat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah'
meluruk deras ke arah sosok-sosok yang meng-
genggam obor.
"Awaaas...!" pimpinan begal yang bertubuh
tinggi besar itu berteriak memperingati teman-
temannya begitu melihat bahaya mengancam.
Maka belasan lelaki yang merintangi perja
lanan Raja Petir dan Mayang, seketika saja ber-
lompatan cepat ke arah kanan dan kiri untuk
menghindari terjangan angin bergulung yang me-
nebarkan hawa panas menyengat. Dan.... Pada
saat itulah kedua pendekar muda ini menghen-
takkan kakinya kuat-kuat
"Hop!"
"Hip!"
Tubuh Jaka dan Mayang berkelebat meng-
gunakan ilmu lari cepat tingkat tinggi, yang diba-
rengi pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
mencapai taraf kesempurnaan. Maka, barisan
penghalang yang kini sudah longgar mudah sekali
dilalui. Namun....
"Bangsat! Kejar mereka!" teriak pimpinan
begal itu menyadari calon mangsanya lolos begitu
saja.
Belasan lelaki berpakaian seperti kera yang
memang anak buah lelaki tinggi besar itu segera
saja bergerak mengejar Raja Petir dan Mayang.
Namun sekuat-kuatnya mengejar, usaha yang di-
lakukannya hanya sia-sia saja.
Ilmu lari para begal tanggung itu memang
belum seberapa jika dibanding ilmu lari sepasang
pendekar muda yang kesaktiannya diperhitung-
kan tokoh-tokoh sakti golongan hitam maupun
putih. Terbukti, jarak buruan mereka semakin
jauh saja untuk dikejar.
"Bangsat!" rutuk lelaki tinggi besar itu keti-
ka menyadari pengejarannya hanya menemui ke-
kandasan saja.
Sementara, Mayang dan Jaka terus berlari
mendekati wilayah kotaraja.
"Hm.... Mereka tak tahu dengan siapa ber-
hadapan, Kakang. Mereka pikir, kita gentar
menghadapi. Padahal...."
"Kita belum tentu mampu mengalahkan-
nya, Mayang," selak Jaka dengan tatapan men-
gerling lucu ke wajah gadisnya.
"Kau selalu merendah," omel Mayang ber-
pura-pura cemberut
"Merendah adalah sikap bijaksana,
Mayang," sahut Jaka.
"Kalau Kakang terlalu sering merendah,
bukan kebijaksanaan yang akhirnya didapat. Tapi
sikap meremehkan yang selalu mengundang sakit
hati," sangkal Mayang yang kali ini dengan wajah
dipasang sesungguh mungkin.
"Tidak begitu, Mayang. Kita harus melihat
di mana sikap merendah itu harus ditonjolkan,"
tolak Jaka atas ucapan si Dewi Payung Emas
yang terasa memang tidaklah salah.
"Sudahlah! Kakang memang selalu begi-
tu...." Mayang memasang wajah masam.
Meskipun dalam keadaan tengah berlari,
Jaka masih sempat menyaksikan wajah kekasih-
nya.
"Kau jelek kalau cemberut begitu," ledek
Jaka cukup jelas.
"Biar jelek, Kakang kan suka," gumam
Mayang kesal.
"Hei! Lebih baik kita berhenti bertengkar.
Lihatlah, kita sudah memasuki wilayah kotaraja,"
tukas Jaka seraya menghentikan larinya. Kini Ra-
ja Petir melangkah pendek, diikuti Mayang.
***
Malam yang mulai diterangi cahaya bulan,
mengiringi langkah kaki Raja Petir dan Dewi
Payung Emas memasuki kotaraja yang juga dite-
rangi cahaya lampu dari rumah-rumah yang cu-
kup besar dan mewah.
"Masih ada kedai makan yang buka, Ka-
kang," kata Mayang seraya menunjuk sebuah ke-
dai. "Kita mampir dulu ke sana, Kakang."
"Pasti perutmu sudah merangsek minta di-
isi," tebak Jaka.
Dara cantik berambut panjang dikepang
kelabang yang berjuluk si Dewi Payung Emas
mengangguk dengan tatapan tertuju ke arah ban-
gunan rumah yang ramai dikunjungi orang.
"Ayolah kita ke sana, Mayang. Barangkali
saja dapat diperoleh keterangan yang tak sengaja
dari mulut orang-orang di dalam kedai yang bu-
kan mustahil memang penduduk kotaraja ini
sendiri," ajak Jaka.
Kemudian mereka sama-sama melangkah
mendekati kedai makan yang semakin ramai di-
kunjungi orang. Memang, mereka tak lain adalah
penduduk kotaraja.
Memasuki kedai makan ini, Mayang mera-
sakan kerisihan menyergap hatinya. Betapa ti
dak? Tatapan mata pengunjung kedai yang
umumnya laki-laki langsung menusuk tajam ke
arah wajahnya. Memang diakuinya, wajah gadis
itu banyak mengundang minat lelaki untuk men-
genai lebih dekat dengannya.
Namun, justru sikap Jaka nampak biasa-
biasa saja. Sedikit pun tak merasa terganggu oleh
cara pengunjung kedai makan yang menatap wa-
jah kekasihnya disertai rasa birahi. Malah, di ha-
tinya timbul sebentuk perasaan bangga, karena
memiliki kekasih yang dikagumi banyak orang.
"Kita duduk di sini saja, Mayang," ajak Ja-
ka.
Raja Petir mengajak Mayang duduk di su-
dut kedai makan yang memang kosong dan pas
untuk dua orang. Akan tetapi, di sebelah meja itu
tengah bersantap empat lelaki berwajah garang.
Bahkan cara duduk mereka pun terlihat kurang
sopan.
"Di sana saja, Kakang," tunjuk Mayang,
menolak ajakan kekasihnya.
"Ah! Lebih baik di sini saja, Mayang. Tem-
patnya pas untuk kita berdua saja. Sedangkan
tempat yang kau tunjuk terdapat empat buah
tempat duduk. Itu berarti kita harus bersantap
bersama orang yang sama sekali tidak kita kenal,
yang akan duduk di situ juga," tolak Jaka, mem-
beri alasan.
Mayang tentu saja tidak bisa mengelak lagi
memang ingin bersantap nikmat tanpa harus ter-
ganggu oleh kehadiran orang lain yang mungkin
saja akan mengurangi selera makan.
Dan baru saja sepasang pendekar muda
yang berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas
meletakkan pantat masing-masing, seorang pe-
layan setengah tua menghampiri. Dia menanya-
kan, makanan apa yang akan dipesan kedua anak
muda ini.
"Sediakan kami ayam panggang saja, Pa-
man, " kata Jaka sopan. "Dan nasi hangat"
Tatapan mata pemuda itu kemudian di-
lemparkan ke wajah kekasihnya. Maksudnya, ten-
tu saja agar Mayang memilih sendiri pesanannya.
"Buatkan saja hidangan yang sama, Pa-
man," ujar Mayang lembut.
Kelembutan ucapan Mayang tentu saja
membuat empat lelaki bertampang angker meno-
leh serempak.
"Busyet! Suaranya secantik wajahnya, Gor-
ba," kata salah seorang yang memiliki kumis tebal
melintang.
"Kau tidak melihat kalau dia sudah punya
pasangan, Narda?" tukas lelaki berwajah putih,
namun berbintik-bintik hitam. Dia tadi dipanggil
dengan nama Gorba.
Mayang bukannya tak dengar namanya
tengah diperbincangkan. Tapi karena selera ma-
kannya tak ingin terganggu, makanya tak dipedu-
likannya empat lelaki angker itu.
"Alaaa...! Berapa susahnya sih, menying-
kirkan anak ingusan itu!" dengus Narda, sesum-
bar. "Sekarang juga, aku bisa mendapatkan gadis
itu."
Narda melemparkan tatapannya ke arah
gadis cantik itu.
Mayang yang mendengar ucapan tak sopan
dari lelaki berkumis tebal itu segera saja men-
gangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung
menusuk tajam ke wajah lelaki bernama Narda.
"Jangan diladeni, Mayang," ujar Jaka, se-
raya menyentuh lembut punggung tangan keka-
sihnya.
Narda yang mendapatkan pelototan tajam
dari Mayang, segera mengangkat kakinya hendak
menghampiri. Namun cekalan tangan Gorba sem-
pat membuat lelaki berkumis tebal itu duduk
kembali di kursinya.
"Jangan mengundang perkelahian, Narda.
Bukankah tujuan kita datang ke kotaraja ini un-
tuk menyaksikan persembahan yang akan dilak-
sanakan malam nanti. Bagaimana jadinya kalau
karena kita membuat keributan, prajurit-prajurit
kerajaan menahan kita?" cegah Gorba, mencoba
meredam kemarahan temannya.
Kata-kata yang diucapkan Gorba ternyata
mengena juga. Terbukti kemarahan yang tergam-
bar di wajah Narda sedikit demi sedikit berku-
rang. Rupanya dia sadar, kalau tujuannya ke ko-
taraja hanya semata untuk menyaksikan persem-
bahan maut yang baru pertama kali dilakukan
Raja Sutera Bayu. Buktinya, dua orang temannya
juga tak menyetujui tindakan Narda.
Sepasang pendekar muda yang mendengar
kata-kata lelaki berwajah bopeng itu nampak ber-
pura-pura acuh saja. Padahal, mereka sangat
mengharapkan pembicaraan itu kembali berlan-
jut.
Namun sampai hidangan di atas meja lu-
das, empat lelaki itu tak kunjung membicarakan
tentang persembahan yang akan dilaksanakan
Prabu Setyagara.
"Tak ada yang dapat kita peroleh keteran-
gan dari tempat ini, Kakang," kata Mayang setelah
menyeka mulut dari sisa-sisa makanan yang me-
nempel di bibirnya yang merah merekah.
"Trotet! Trotet! Trotet..!"
Baru saja Jaka hendak menanggapi uca-
pan kekasihnya, sebuah suara sangkala terdengar
cukup jelas. Dan bunyi yang terakhir tampaknya
disertai pengaturan napas yang cukup panjang.
Para pengunjung kedai makan yang berada
di dekat pintu masuk, segera terlihat beranjak ke-
luar.
"Rombongan kerajaan! Rombongan kera-
jaan!" teriak salah seorang cukup keras.
Semua orang yang berada di dalam kedai
makan segera bangkit meninggalkan tempat du-
duk menuju keluar. Hanya Jaka dan Mayang
yang masih tetap berada di tempatnya.
"Troteeettt...!"
Bunyi sangkala panjang kembali terdengar.
Dan pada saat itulah Jaka dan Mayang bangkit
dari depan meja santapannya.
"Hm.... Benar-benar rombongan kerajaan
yang lengkap, Mayang," gumam Jaka ketika me-
nyaksikan sebuah kereta kencana yang ditarik
empat ekor kuda berwarna putih mengkilat
Di belakang kereta kencana yang diduga
Jaka berisi Prabu Setyagara, melintas juga se-
buah kereta yang tak kalah indahnya. Kereta in-
dah itu ditarik dua ekor kuda putih mengkilat
Persis di bagian depan kereta yang ditarik
dua ekor kuda, terlihat dua bocah umur sepuluh
tahun tengah duduk dengan wajah yang terkesan
kebingungan. Tatapan mata mereka menerawang
jauh ke depan. Kosong, seperti telah terpengaruh
oleh sebentuk kekuatan yang tak dapat terlihat.
Di kiri dan kanan sepasang bocah yang tak lain
anak kembar Ki Jagil dari Desa Gandaras, nam-
pak dua lelaki berpakaian prajurit bersenjata
lengkap.
"Bocah itu pasti anak Ki Jagil, Kakang," bi-
sik Mayang.
"Ya, calon korban pertama dari persemba-
han gila itu," timpal Jaka dengan suara ditekan.
"Lalu apa rencana kita sekarang, Kakang,"
tanya Mayang.
"Kita ikut ke tempat persembahan itu,
Mayang," jawab Jaka cukup tegas.
Mayang menyetujui keputusan yang diam-
bil Raja Petir. Namun untuk ikut ke tempat tu-
juan persembahan, Jaka harus menunggu bari-
san prajurit kerajaan yang mengiringi dua kereta
yang mengangkut sang Prabu Setyagara, dan se-
pasang bocah kembar yang akan dijadikan kor
ban persembahan.
"Ayo, Kakang," ajak Mayang.
Memang saat itu iring-iringan prajurit Ke-
rajaan Sutera Bayu sudah berlalu dari hadapan-
nya. Yang ada kini hanyalah, penduduk kotaraja
yang ingin menyaksikan persembahan itu.
"Ayo," sambut Jaka dengan langkah ber-
baur dengan orang-orang yang ingin menyaksikan
persembahan.
"Hhh...!"
Tiba-tiba saja Mayang mendengus ketika
menyadari kalau lelaki berwajah bopeng itu juga
berjalan di sisi kanannya.
"Hrghhh...!"
Namun lelaki berwajah bopeng yang ber-
nama Narda juga mengeluarkan gerengan kesal,
melihat gadis cantik berpakaian jingga yang me-
melototinya di kedai makan barusan.
"Jangan cari mampus di sini, Narda," ujar
Gorda mantap.
Kaki Gorda kemudian melangkah panjang-
panjang, mendahului langkah kaki sepasang pen-
dekar muda yang bergelar Raja Petir dan Dewi
Payung Emas.
"Biarkan mereka mendahului kita,
Mayang," tutur Jaka seraya mencekal pergelangan
tangan kekasihnya.
"Kalau keadaannya tidak seperti ini, biar
kubungkam mulut lancang itu dengan kepalanku,
Kakang," dengus Mayang, melihat wajah jelek le-
laki bernama Narda.
"Troteeettt..!"
Bunyi sangkala yang ditiup seorang praju-
rit kerajaan kembali berkumandang. Dan pada
saat itulah kereta kuda yang berada pada bagian
depan bergerak lebih cepat, diikuti kereta kuda
yang di belakangnya.
Penduduk kotaraja dan penduduk desa
lain yang sengaja datang untuk menyaksikan per-
sembahan pun ikut bergerak dan berlari mem-
buntuti kereta-kereta kuda yang bergerak sema-
kin cepat
Malam merangkak perlahan. Sinar rembu-
lan yang terlihat semakin merata, menerangi jalan
yang ditempuh serombongan orang menuju Bukit
Kelabang. Sebuah bukit yang akan dijadikan
tempat acara persembahan.
LIMA
Bukit Kelabang terlihat begitu angker. Dae-
rahnya berbatu-batu, dan ditumbuhi pohon-
pohon tinggi berdaun jarang yang berkesan ker-
ing, sehingga semakin nampak keangkerannya.
Siraman sinar bulan purnama di seluruh wilayah
Bukit Kelabang, juga cukup menampakkan se-
buah goa, yakni bernama Goa Persembahan.
Sebuah kereta kencana indah berwarna
kuning keemasan yang berkilauan tertimpa sinar
bulan, terlihat berhenti pada bagian paling depan
Goa Persembahan.
Prabu Setyagara, tampak keluar dari dalam
kereta kebesarannya. Seorang lelaki bertampang
angker yang berpakaian hitam menghampiri sang
Prabu dari Kerajaan Sutera Bayu ini, diikuti dua
orang rekannya yang bertubuh tinggi ringkih dan
tinggi kekar.
Lelaki berpakaian hitam yang pada bagian
punggungnya tersampir sebuah senjata berupa
pecut berbentuk seekor kelabang coklat kehita-
man tak lain adalah orang yang menuntut penye-
lenggaraan persembahan di Goa Persembahan
Bukit Kelabang. Dialah lelaki sakti dan memiliki
ilmu sihir yang berjuluk Kelabang Sakti. Sedang-
kan laki-laki yang bertubuh tinggi ringkih berju-
luk Cengcorang Sakti Lembah Setan. Sementara
yang bertubuh tinggi kekar berjuluk Gajah Maut
Lereng Tandus. Kedua orang itu memang kaki
tangan si Kelabang Sakti.
"Persembahan akan segera dimulai, Yang
Mulia," ajak Kelabang Hitam dengan kepala sedi-
kit tertunduk, Cengcorang Sakti Lembah Setan
dan Gajah Maut Lereng Tandus juga terlihat me-
nundukkan kepala. "Mudah-mudahan tak ada
halangan yang membuat persembahan ini gagal
dan tidak diterima oleh...."
"Akan kuperintahkan seluruh prajurit ke-
rajaan bersiaga untuk menjaga segala kemungki-
nan, Grandawa," selak Prabu Setyagara.
"Terima kasih, Yang Mulia," ucap lelaki
yang sebenarnya bernama Grandawa.
Kini Kelabang Hitam membungkukkan tu
buhnya lebih rendah. Dan ketika tegak kembali,
langsung diperintahkannya Cengcorang Lembah
Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus untuk se-
gera menjemput sepasang bocah berusia sepuluh
tahun yang akan menjadi persembahan pertama.
"Bawa bocah-bocah itu kemari, Marwa," pe-
rintah Kelabang Sakti pada Cengcorang Sakti
Lembah Setan yang ternyata bernama asli Marwa.
Dua lelaki berpakaian hijau terang dan ke-
labu langsung bergerak ke arah kereta kencana
yang ditempati bocah kembar anak Ki Jagil. Se-
mentara dua bocah kembar itu nampak begitu
rapi bagai sepasang pengantin yang hendak di-
iringi ke pelaminan. Pakaiannya yang indah di-
hiasi bunga-bunga melati yang ditautkan benang
sutera.
Sementara orang-orang yang turut me-
nyaksikan acara persembahan terlihat semakin
jauh berkurang jumlahnya. Itu dikarenakan tak
tahan mengikuti lari kereta kuda yang menempuh
jarak ratusan pal. Yang mampu bertahan hingga
bisa mencapai Bukit Kelabang hanyalah orang-
orang persilatan.
Dalam jejeran orang yang hendak menyak-
sikan acara persembahan, nampak Raja Petir dan
Dewi Payung Emas. Kedua pendekar muda itu le-
bih memilih berdiri pada tempat yang sedikit ter-
sembunyi. Tak jauh dari tempat Jaka dan
Mayang, terlihat juga empat lelaki berwajah ang-
ker yang hampir bertengkar dengan Mayang di
kedai makan kotaraja. Mayang mengarahkan ta
tapannya ke empat lelaki itu. Begitu juga Jaka.
"Ternyata empat lelaki itu bukan orang
sembarangan, Mayang," kata Jaka. "Terbukti dia
bisa bertahan ikut sampai ke tempat persemba-
han ini."
"Kau betul, Kakang," timpal Mayang. "Apa
yang harus kita lakukan di tempat ini, Kakang?"
"Kita saksikan dulu, apa yang akan mereka
lakukan," jawab Jaka.
"Hhh.... Perbuatan gila," rutuk Mayang.
"Jangan keras-keras bicaramu, Mayang."
Mayang menatap wajah Jaka. Sungguh tak
disadari ucapannya barusan.
***
Suasana Bukit Kelabang yang diterangi ca-
haya bulan purnama menjadi lebih hening ketika
sepasang bocah yang didandani layak pengantin
didirikan pada dua buah batu ceper sebesar tam-
pah.
"Hm...."
Mayang Sutera sepertinya tak sabar meli-
hat lelaki berpakaian hitam yang menjadi pimpi-
nan penyelenggara upacara persembahan.
Sementara itu, tatapan Jaka justru berke-
liaran menyaksikan prajurit kerajaan yang berja-
ga-jaga di sekitar Bukit Kelabang. Seolah Raja Pe-
tir tengah mengukur kekuatan orang-orang yang
mendukung acara persembahan sesat Prabu Se-
tyagara.
"Mayang," bisik Jaka tiba-tiba.
"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.
"Bersiaplah untuk menghadapi segala ke-
mungkinan. Aku akan melakukan sesuatu untuk
menyelamatkan anak kembar Ki Jagil itu," ujar
Jaka.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
Disadari, upacara persembahan itu diikuti
tokoh-tokoh sakti golongan hitam, dan juga ratu-
san prajurit Kerajaan Sutera Bayu. Jelas, mereka
berjaga-jaga dan dilengkapi persenjataan.
"Tunggu saja apa yang akan dilakukan le-
laki berpakaian hitam itu, Mayang," ujar Jaka
tanpa memberi tahu pada kekasihnya, tindakan
apa yang akan ditempuh.
Mayang tak melontarkan pertanyaan lagi.
Terlebih ketika Jaka membungkukkan badan.
Tampak tangan kanan Raja Petir meraih batu se-
besar kepalan perempuan dewasa.
Meski dalam hati Dewi Payung Emas mun-
cul berbagai macam pertanyaan, namun tetap
mencoba bersabar untuk menunggu apa yang di-
lakukan Jaka.
"Saudara-saudara sekalian!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras yang dike-
luarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Suara
itu seketika mengumandang dan bergema di su-
dut-sudut Bukit Kelabang. Kata-kata pembuka
itu diucapkan Grandawa alias si Kelabang Hitam
dengan tatapan berkeliling. Diperhatikannya
orang-orang yang menyaksikan jalannya persem
bahan.
"Tak lama lagi saudara-saudara akan me-
nyaksikan persembahan yang berguna untuk
menjaga keutuhan Kerajaan Sutera Bayu. Per-
sembahan ini sekaligus untuk meminta restu pa-
da Dewa Penyelamat dan Dewa Pemelihara keda-
maian, agar kita semua selalu mendapat kesela-
matan dan kedamaian," kata Kelabang Hitam.
Tak ada suara sedikit pun yang menangga-
pi ucapan lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam
ini. Dan suasana pun menjadi begitu sunyi.
Jaka dan Mayang pun hanya diam saja.
Namun dalam hati Mayang merutuki kata-kata
Kelabang Hitam.
"Semoga Yang Kuasa mengutuk ucapan-
mu!"
"Saudara-saudara sekalian...!" kata Gran-
dawa lagi. "Di hadapan kita kini, berdiri Yang Mu-
lia Prabu Setyagara, untuk sama-sama menyaksi-
kan upacara persembahan. Perlu diketahui, sete-
lah dua kepala korban terpisah dari badannya,
maka akan kulemparkan kepala bocah lelaki itu.
Lalu, Yang Mulia akan melempar kepala bocah
yang perempuan ke dalam Goa Kelabang. Jika
pada lemparan kedua terdengar bunyi raungan
dahsyat, saudara-saudara sekalian tak perlu ta-
kut. Karena itu hanya pertanda kalau persemba-
han diterima," tutur Grandawa.
Orang-orang yang mendengar ucapan lelaki
berpakaian hitam hanya terdiam, tanpa sepatah
kata pun yang terucap. Sepertinya semua orang
yang ada di Bukit Kelabang terpengaruh oleh
ucapan-ucapan si Kelabang Hitam, yang memang
memiliki kelebihan dalam hal ilmu sihir.
"Sekarang saksikanlah bagaimana aku
memenggal kepala bocah lelaki ini," ujar si Kela-
bang Hitam seraya menyentuh anak lelaki Ki Jagil
yang berada pada tangan Cengcorang Sakti Lem-
bah Setan. "Jika kepala bocah ini terpenggal tan-
pa mengucurkan darah, berarti persembahan di-
terima."
Puluhan pasang mata yang menyaksikan
sikap Kelabang Hitam nampak tak berkedip. Ter-
lebih ketika Grandawa meminta sebilah golok be-
sar yang ada di tangan Gajah Maut Lereng Tan-
dus.
"Menyingkirlah kalian," perintah si Kela-
bang Hitam pada Cengcorang Sakti Lembah Setan
dan Gajah Maut Lereng Tandus.
Maka kedua lelaki bertubuh tinggi kurus
dan tinggi kekar itu bergerak meninggalkan bo-
cah-bocah persembahan yang berdiri di atas se-
bongkah batu ceper.
Sesaat lamanya ketegangan membalut hati
orang-orang yang menyaksikan jalannya persem-
bahan. Dengan hati berdegup keras, mereka me-
nunggu apa yang akan dilakukan Kelabang Hi-
tam.
Seperti orang-orang lain, Mayang pun me-
rasakan keterpanaan pula. Hanya Jaka yang
tampak lebih tenang, dengan telapak tangan
menggenggam sebongkah batu sebesar kepalan
tangan perempuan dewasa. Namun di balik itu,
siapa yang tahu kalau sesungguhnya tokoh tam-
pan yang berjuluk Raja Petir tengah memper-
siapkan sebuah ilmu andalan yang bernama aji
'Kukuh Karang'.
"Haiaaa...!"
Keheningan yang dibungkus ketegangan,
seketika terusik teriakan si Kelabang Hitam den-
gan sebilah golok besar yang terangkat hendak di-
tebaskan ke leher anak lelaki Ki Jagil.
"Hmrh...!"
Jaka menggereng marah melihat tindakan
Grandawa. Maka seketika itu juga....
Sing...!
Sebongkah batu yang berada dalam geng-
gaman tangan kanan Raja Petir meluruk deras
mengiringi kelebatan golok besar yang hendak
memenggal kepala putra Ki Jagil.
Trak!
"Akh!"
Terdengar pekik tertahan yang keluar dari
mulut lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam. Tu-
buhnya pun terlihat terjajar dua langkah ke bela-
kang, sementara senjatanya yang berada dalam
genggaman terpental dan patah dua.
Kejadian itu berlangsung begitu cepatnya.
Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah Maut
Lereng Tandus pun tak sempat menyaksikan ke-
lebatan sebongkah batu yang dilemparkan Raja
Petir dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Dan pada saat tergempurnya tubuh Kela
bang Hitam, sosok Raja Petir tiba-tiba melesat ba-
gai kilat
"Hops!"
Sltas!
Tap! Tap!
Dua sosok bocah berumur sepuluh tahun
yang berdiri pada batu ceper seketika itu juga le-
nyap dari tempatnya. Raja Petir memang melari-
kannya disertai pengerahan ilmu 'Lejitan Lidah
Petir' yang dipadukan ilmu meringankan tubuh
dan ilmu cepat tingkat tinggi. Hingga manakala
tubuh yang terbungkus pakaian warna kuning itu
berkelebat, yang nampak hanya cahaya kuning
yang melesat bagai kilat
Orang-orang yang menyaksikan ter-
huyungnya tubuh Grandawa dan lenyapnya tu-
buh sepasang bocah persembahan, nampak se-
perti terkesima. Mereka bengong melompong.
"Kejar! Jangan biarkan dia lolos!" teriak si
Kelabang Hitam keras setelah sadar.
Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah
Maut Lereng Tandus sama-sama menghentakkan
kakinya ke tanah kuat-kuat untuk mengejar
orang yang telah melarikan anak kembar Ki Jagil.
"Hop!"
"Hop!"
ENAM
Suasana di Bukit Kelabang mendadak
menjadi kacau balau. Prajurit-prajurit yang me-
nyadari perintah Yang Mulia Prabu Setyagara se-
gera bergerak, ikut mengejar ke arah melesatnya
bayangan kuning keemasan yang telah menyela-
matkan dua anak Ki Jagil dari persembahan sesat
yang telah dilakukan Raja Sutera Bayu. Sementa-
ra, orang-orang yang hanya bermaksud menyak-
sikan jalannya persembahan, kini kocar-kacir
mencari tempat untuk menghindar dari serudu-
kan prajurit-prajurit yang bermaksud mengejar
bayangan kuning tadi!
"Kakang...," desah Mayang, cemas. "Semo-
ga tokoh-tokoh sesat tak kuasa mengejarmu."
Hanya dalam waktu singkat, seluruh praju-
rit kerajaan yang bertugas menjaga Bukit Kela-
bang telah meninggalkan tempatnya. Hanya bebe-
rapa tokoh hitam saja yang mengiringi Prabu Se-
tyagara meninggalkan Bukit Kelabang.
"Hhh...."
Sementara itu Mayang, setelah menarik
napas berat segera saja melangkah meninggalkan
Bukit Kelabang. Langkahnya terayun ke arah sa-
ma dengan lari Jaka. Namun belum juga jauh me-
langkah....
"Hei! Hei.... Hei! Jangan pergi dulu, urusan
kita belum diselesaikan," tiba-tiba sebuah suara
yang ditujukan pada Mayang terdengar.
Semula Mayang mencoba mengacuhkan.
Namun ketika terdengar langkah kaki yang seper-
ti mengejar, langkahnya segera dihentikan.
"Gadis sombong! Sekarang kau tak punya
teman. Bagaimana kalau persoalan kita di kedai
makan tadi diteruskan," tukas lelaki berkumis
melintang yang tak lain Narda.
"Aku mendukungmu, Narda. Bukan begitu,
Dirman, Sakim! Sekaranglah waktu yang tepat
bagi kita untuk menyeret gadis cantik itu," timpal
lelaki berwajah putih yang dikotori bopeng di wa-
jahnya. Dia tak lain Gorba.
"Lantas, tunggu apa lagi?" kata orang ber-
nama Dirman.
"Benar! Terlalu lama, tak enak rasanya,"
sambut orang yang bernama Sakim.
"Aku tak punya urusan dengan kalian," ke-
tus ucapan Mayang. Langkah kakinya pun kem-
bali tergerak meninggalkan empat lelaki berwajah
angker.
"Hop!"
"Hip!"
Narda dan Gorba yang melihat keketusan
itu segera melesat mendahului langkah kaki ke-
kasih Jaka ini.
Mayang tentu saja jadi terbelalak geram,
menyaksikan tingkah empat lelaki bertampang
kasar yang telah menjengkelkannya sejak di kedai
makan tadi.
"Hhh! Dasar lelaki hidung belang! Sudah
kukatakan, aku tidak punya waktu untuk mela-
deni kalian. Menyingkirlah, jangan halangi jalan-
ku!" bentak Mayang, keras.
Dua lelaki yang berdiri di hadapan Mayang
hanya cengar-cengir menimpali kemarahan
Mayang. Namun ketika tiba-tiba saja tangan gadis
itu bergerak cepat, Narda dan Gorba kelimpungan
untuk menghindarinya.
"Uts!"
"Hups!"
Narda dan Gorba segera melempar tubuh-
nya ke kiri dan kanan untuk menghindari samba-
ran tangan Mayang yang mengarah ke bagian wa-
jah.
"Hm.... Galak juga kau, Nisanak," gumam
Narda, setelah bisa menguasai keterkejutannya.
"Aku bukan saja bisa berbuat galak. Tapi
bisa membunuh kalian semua kalau tak cepat
menyingkir dari hadapanku!" bentak Mayang, tak
main-main.
"Aku ingin bukti, Nisanak," tantang Gorba
dengan tangan memberi isyarat mengajak tiga
temannya untuk mengurung gadis cantik yang
berjuluk Dewi Payung Emas.
"Majulah! Kalau itu yang kalian inginkan!"
sentak Mayang, membalas tantangan empat lelaki
yang kini tengah mengurung dirinya.
Seperti baru menemukan wanita cantik,
empat lelaki bertampang angker itu meluruk ber-
samaan menggunakan tangan kosong.
"Hiyaaa...!"
"Hiaa...!"
Mayang yang memang sudah muak melihat
tampang-tampang kasar di hadapannya, segera
saja menyambut serangan dengan jurus 'Menepak
Laut Menggenggam Air'. Tubuh gadis itu bergerak
cepat dan terlihat begitu indah, seperti seorang
gadis penari yang bergerak-gerak indah. Namun
gerakan itu merupakan sebuah ancaman bagi
keempat lelaki yang menjadi lawannya. Karena ti-
ba-tiba tangan gadis itu bergerak ke arah dua
orang di depannya.
"Haaat...!"
Wuttt!
Plak!
Plak!
Dua lelaki yang bernama Dirman dan Sa-
kim kontan terjengkang ke tanah terkena samba-
ran tangan yang cukup keras pada bagian kepala.
Mereka mengerang-erang kesakitan dengan tela-
pak tangan memegangi kepalan yang berdenyut
sakit luar biasa. Rasanya, mereka tak mampu lagi
melanjutkan pertarungan.
"Setan!"
"Keparat!"
Narda dan Gorba memaki penuh kegera-
man ketika melihat kedua teman mereka menda-
pat hajaran seperti itu. Kedua lelaki itu kini men-
cabut senjata masing-masing, berupa sebilah go-
lok bergagang panjang.
Srat!
Srat!
Rrrt..!
Melihat kedua lawannya mencabut senjata,
tak tanggung-tanggung Mayang segera mengem-
bangkan payung kecil dari logam berwarna kun-
ing keemasan. Dan kini sebuah jurus 'Benteng
Emas' kini tengah dipersiapkannya untuk me-
nandingi serangan Narda dan Gorba.
"Hiyaaa...!"
"Hiaaa...!"
Narda dan Gorba melesat ke arah tubuh
Mayang. Senjata mereka yang diputar-putar di
samping kepala seketika itu juga diarahkan ke
bagian kepala dan dada gadis itu.
Trang!
Trang!
Bunyi berdentang keras dari senjata-
senjata yang beradu seketika terdengar di malam
yang diterangi cahaya bulan purnama. Percik
bunga api pun berpijar dari logam-logam yang be-
radu dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Tubuh Narda dan Gorba nampak terjajar
tiga langkah ke belakang. Sedangkan Mayang
hanya satu langkah bergeser dari tempatnya ber-
pijak. Itu berarti, penguasaan tenaga dalam gadis
cantik kekasih Raja Petir ini berada di atas kedua
lawannya.
Mendapatkan keunggulan pada dirinya,
Mayang segera mengambil tindakan cepat Mak-
sudnya, tak lain ingin memberi pelajaran pada
kedua lawannya.
"Hiaaat..!"
Melihat kedua lawannya yang terhuyung,
tubuh Dewi Payung Emas cepat mencelat. Kaki
kanan yang dialiri kekuatan tenaga dalam, kini
nampak hendak menendang bagian dada Gorba.
Sedangkan sampokan tangannya, jelas terlihat di
tujukan ke kepala Narda.
"Mampus kalian!"
Bugkh!
Plak!
"Aaa...!"
Dua lengkingan kesakitan seketika terden-
gar berturut-turut, begitu tendangan dan sampo-
kan tangan yang dilancarkan Mayang tepat
menghantam dada dan kepala Gorba dan Narda.
Bruk!
Bruk!
Tubuh Narda dan Gorba seketika ambruk
ke tanah. Wajah lelaki itu nampak menyeringai
menahan sakit. Sementara, Mayang hanya berdiri
tegak memandang lawan-lawannya dengan se-
nyum mengejek sambil bertolak pinggang.
"Kalau aku mau, sekarang juga tubuh ka-
lian kubuat daging cincang dengan senjataku ini!"
gertak Mayang sambil memamerkan senjatanya.
Sayang aku tak punya urusan dengan kalian."
Empat lelaki berwajah kasar yang kini ter-
kulai di tanah berbatu-batu Bukit Kelabang tak
membalas kata-kata yang dilontarkan Mayang.
Bahkan ketika tubuh gadis itu melesat, mereka
sedikit pun tak berniat mengejar. Sepertinya, me-
reka jera mendapati keunggulan yang diperli-
hatkan gadis cantik kekasih Raja Petir itu.
Sementara itu, Mayang terus melesat cepat
ke arah yang diambil Jaka dalam menyelamatkan
anak kembar Ki Jagil. Dan malam pun merang-
kak semakin jauh. Angin dingin yang berhembus
terus menusuk kulit. Namun Mayang tak berniat
menghentikan larinya
"Hm.... Di mana harus kutemui, Kakang
Jaka?" gumam Mayang. "Apakah aku harus ke
Desa Gandaras? Hhh...."
Setelah menarik napas berat, Mayang ak-
hirnya berkeputusan untuk mencari penginapan
terdekat. Baru menjelang fajar nanti, dia akan
pergi ke rumah Ki Amertagi Kepala Desa Ganda-
ras.
"Hips!"
Tubuh Mayang kembali bergerak dalam
tengah malam yang dingin. Sebuah rumah pengi-
napan yang kini dicarinya.
TUJUH
Desa Jalarawa nampak begitu indah ma-
nakala sinar matahari nampak sedikit-sedikit
menyirami pepohonan hijau kemuning. Di bela-
han timur desa yang terlihat damai, menghampar
sawah dengan padi-padinya yang melambai-
lambai tertiup angin sepoi-sepoi sejuk.
Mayang yang tengah berada dalam sebuah
kamar penginapan, terlihat berdiri di muka jende-
la yang terbuka lebar. Angin pagi dibiarkan me-
nerpa wajahnya. Sementara, tatapan matanya
yang jernih dan indah menikmati keindahan alam
Desa Jalarawa yang sebenarnya masih berada da-
lam kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu.
Sesungguhnya Mayang enggan pergi dari
penginapan yang terletak pada sebuah desa yang
indah. Namun tuntutan hatinya yang dipenuhi
kecemasan tinggi, membuat dara manis yang ber-
juluk Dewi Payung Emas segera beranjak me-
ninggalkan kamarnya. Dia kemudian melangkah
ke ruang depan. Begitu tiba, segera diselesaikan-
nya urusan sewa kamar selama semalaman.
"Kenapa begitu terburu-buru, Nisanak?"
tanya penjaga penginapan yang masih berusia
cukup muda.
"Masih ada urusan lain yang harus segera
kuselesaikan, Kisanak. Lain kali, pasti aku mam-
pir lagi di penginapanmu yang resik ini," tukas
Mayang.
Dan langkahnya segera terayun mening-
galkan pemilik penginapan. Pada sinar mata
orang itu terpancar kekagumam akan kecantikan
wajah yang dimiliki kekasih Raja Petir ini.
Dan Mayang sendiri bukannya tidak tahu
kekaguman lelaki berusia tak lebih dari dua pu-
luh lima tahun ini. Makanya, agar lelaki itu tak
semakin penasaran, segera saja kakinya melang-
kah cepat-cepat meninggalkan penginapan yang
cukup mengena di hatinya.
***
Karena jarak antara Desa Jalarawa dengan
Desa Gandaras tidak terlalu jauh, maka sebelum
matahari bertengger tegak di atas kepala, Mayang
sudah menginjakkan kakinya di bumi Desa Gan-
daras. Dan dia langsung menuju rumah Kepala
Desa Gandaras itu.
Namun, betapa terkejutnya dara cantik
berpakaian warna jingga itu, ketika menyaksikan
puluhan prajurit Kerajaan Sutera Bayu berada di
pelataran rumah Ki Amertagi.
"Hm.... Pasti mereka menduga Kakang Ja-
ka membawa anak Ki Jagil ke tempat ini," kata
batin Mayang.
Memang, tak lama kemudian, gadis cantik
kekasih Raja Petir ini menyaksikan tubuh lelaki
berpakaian putih tampak terhuyung keluar dari
dalam rumah. Di sela bibir orang yang tak lain
Kepala Desa Gandaras itu nampak darah me-
rembes keluar. Di wajahnya pun terlihat warna
biru bekas pukulan tangan.
"Kau pasti sengaja menyewa orang sakti
untuk mengacaukan jalannya persembahan!"
bentak lelaki berpakaian seorang punggawa ke-
ras.
"Ampunkan hamba, Tuan Punggawa.
Sungguh hamba tak tahu-menahu akan hal itu,"
ratap Ki Amertagi.
"Dusta! Kau berani berdusta padaku, he?!"
bentak lelaki bertubuh tinggi besar yang sesung-
guhnya bernama Guridala.
Kaki kanan punggawa Guridala kemudian
terangkat, lalu meluncur deras ke bagian dada
Kepala Desa Gandaras.
Dagkh!
"Akh!"
Pekik kesakitan keluar dari mulut Ki Amer-
tagi begitu tendangan keras mendera dadanya.
Tubuhnya kontan terhuyung ke belakang, kemu-
dian ambruk ke tanah setelah sepasang kakinya
tak kuasa menahan berat badannya.
"Ampunkan hamba, Tuan Punggawa," rin-
tih Ki Amertagi sambil memegangi dadanya yang
berdenyut dengan sepasang telapak tangan.
Sementara Nyi Riwangni, istri Ki Amertagi
tak bisa berbuat apa-apa melihat keadaan sua-
minya. Perempuan berpakaian biru muda itu tak
berdaya apa-apa di bawah todongan tombak pra-
jurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu. Dia hanya bi-
sa menangis tanpa suara. Hatinya merintih iba
melihat keadaan suaminya.
"Masih untung kau tak kubinasakan seka-
rang, Tua Bangka Pendusta. Kau akan kubawa ke
hadapan Prabu Setyagara untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu. Setelah itu, kau
akan mendapatkan hukuman gantung!" ancam
Punggawa Guridala keras.
Mayang Sutera yang menyaksikan dan
mendengar ucapan Punggawa dari Kerajaan Sute-
ra Bayu menjadi gemas. Perasaan kemanusiaan-
nya langsung tergetar untuk memberi pelajaran
pada orang yang suka bertindak sewenang-
wenang. Namun untuk turun tangan langsung
menyelamatkan Ki Amertagi, adalah merupakan
pekerjaan konyol.
"Bangkit, Tua Bangka! Ikut aku!" sentak
Punggawa Guridala.
Ki Amertagi segera melaksanakan perintah
Punggawa Guridala, meski rasa sakit masih cu-
kup kuat terasa di bagian dadanya. Dia berusaha
sekuat tenaga untuk bangkit, kemudian berjalan
tertatih-tatih mengikut langkah kaki Punggawa
Guridala dari Kerajaan Sutera Bayu ini. Di bela-
kang Ki Amertagi, berjalan prajurit-prajurit yang
mengiringi.
"Kakang Amertagi...!"
Nyi Riwangni menjerit menyayat menyaksi-
kan suaminya dibawa menuju Kerajaan Sutera
Bayu. Harapannya seketika itu juga musnah un-
tuk dapat hidup bersama selamanya.
Sementara Mayang yang menyaksikan ra-
tapan Nyi Riwangni tak mampu berbuat apa-apa.
Malahan gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung
Emas itu membatalkan niatnya untuk mampir di
kediaman Kepala Desa Gandaras.
"Hips!"
Tubuh Mayang seketika bergerak berbalik
arah. Dia tak tahu lagi, di mana harus mencari
Raja Petir. Rasa khawatir yang melanda hati
membuatnya berlari tanpa tujuan pasti.
Jarak berpal-pal jauhnya kini sudah diam-
bil Mayang untuk mencari jejak kekasihnya. Na-
mun sedikit pun tak ditemui tanda-tanda akan di-
temukannya Raja Petir.
Di tengah-tengah keputusasaan yang ham-
pir melanda, tiba-tiba telinga Mayang yang sudah
cukup terlatih, mendengar suara-suara pertarun
gan. Maka untuk meyakinkannya, pendengaran-
nya segera dipusatkan.
"Hiyaaa...!"
Ctarrr...!
Suara pertarungan itu kini semakin jelas
tertangkap pendengarannya, maka tanpa buang
waktu lagi, tubuh si Dewi Payung Emas itu lang-
sung mencelat ke arah suara pertarungan yang
didengarnya.
"Kakang...?" Suara tertahan yang keluar
dari mulut Mayang terdengar begitu sarat kece-
masan. Memang, saat itu Raja Petir tampak ten-
gah terkurung tiga lawan yang semuanya meng-
hunus senjata. Sementara, Jaka tak terlihat
menggunakan senjata. Dan anehnya, Mayang tak
menyaksikan keberadaan anak kembar Ki Jagi.
"Di mana Kakang Jaka menyembunyikan
anak kembar Ki Jagil?" kata hati Mayang ber-
tanya-tanya.
"Kalau kau tak mau menyerahkan bocah-
bocah itu padaku, maka kepalamu sebagai peng-
ganti untuk kupersembahkan pada Prabu Setya-
gara!" ancam lelaki berpakaian hitam yang tak
lain si Kelabang Hitam.
"Pilihan kedua yang kuingini, Kelabang Hi-
tam," balas Jaka menantang. "Namun, aku tak
yakin melihat kemampuanmu."
Kata-kata itu membuat hati Kelabang Hi-
tam dan Cengcorang Sakti Lembah Setan serta
Gajah Maut Lereng Tandus terbakar kemarahan.
"Bocah Laknat! Kau pikir nyawamu rang
kap heh?!" sentak Cengcorang Sakti Lembah Se-
tan geram. Langkahnya terangkat, menjajari Ke-
labang Hitam.
"Kalian yang terlalu berani berurusan den-
gan Raja Petir!" ledek Jaka.
Sengaja julukannya diucapkan keras-
keras, agar kemarahan tiga lawannya semakin
terbakar. Dengan begitu, Jaka berharap seran-
gan-serangan yang akan dilakukan mereka tak
lagi terkendali. Biasanya dalam keadaan seperti
itu, setiap orang pasti akan melalaikan pertaha-
nannya.
"Sombong sekali kau. Raja Buduk! Tokoh-
tokoh lain boleh gentar mendengar julukanmu.
Tapi Gajah Maut? Ha ha ha.... Jangan berharap
kau bisa melihat matahari besok pagi jika sudah
berurusan denganku!" gertak lelaki berpakaian
warna kelabu itu dengan dada sedikit dibusung-
kan.
"Jangan banyak cakap, Gajah Bengkak!
Buktikan ucapanmu!" balas Jaka tak kalah ger-
tak.
Wuttt!
"Eits!" Jaka segera menarik kepalanya keti-
ka sejengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Le-
reng Tandus hampir memenggal lehernya.
"Hiyaaa...!"
Begitu ucapan Jaka lenyap terbawa angin,
tubuh Gajah Maut Lereng Tandus sudah melesat
dengan senjata terkibas mengarah ke bagian leh-
er. Suara angin berdesing mengiringi kedatangan
serangannya. Goloknya yang berputar-putar ter-
dengar bercericitan tajam.
Wuttt!
"Eits!"
Jaka segera menarik lehernya ketika se-
jengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Lereng
Tandus memenggal. Tindakan yang diambilnya
memang cukup tepat. Terbukti serangan itu
hanya mampu menebas angin. Bahkan sodokan
tangan kiri Jaka membuat penyerangnya terpaksa
melenting ke belakang.
Akan tetapi baru sekejapan bahaya lewat,
kini Jaka sudah kembali terancam serangan yang
dilancarkan Cengcorang Sakti Lembah Setan yang
memainkan jurus 'Pedang Lembah Setan'.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet!
"Uts!"
Kali ini Jaka harus melenting berkali-kali
untuk menghindari cecaran pedang panjang ber-
gerigi milik Cengcorang Sakti Lembah Setan yang
cukup cepat dan memilih sasaran mematikan.
Tusukan dan tebasan yang dilakukannya di
samping cepat, juga sulit ditebak arahnya.
"Hm...."
Jaka bergumam pelan menyaksikan kece-
patan serangan Cengcorang Sakti Lembah Setan.
Wung!
"Its!"
Tubuh Raja Petir kembali melenting ke
udara seraya memutar tubuhnya. Gerakannya
cukup indah dalam memperlihatkan kehebatan
ilmu 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu semakin mem-
buat kemarahan lawannya menjadi-jadi.
Saat tubuh Cengcorang Sakti Lembah Se-
tan melesat memberi serangan susulan, tubuh
Kelabang Hitam juga bergerak, malahan lesatan
yang dilakukan lebih cepat datangnya. Jelas, ilmu
yang dimiliki setingkat lebih tinggi dari rekannya.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Mayang yang menyaksikan keadaan keka-
sihnya terserang dari dua arah, segera saja
menghentakkan kakinya. Sementara senjatanya
berupa payung kecil dari logam juga sudah ter-
kembang dan siap dimainkan dalam jurus
'Benteng Emas'.
"Hits!"
Mayang langsung memutar-mutar senja-
tanya memapak serangan Cengcorang Sakti Lem-
bah Setan yang tertuju ke arah Raja Petir. Maka
akibatnya....
Blang...!
"Ikh!"
Tubuh Cengcorang Sakti Lembah Setan
kontan tergempur dua langkah ke belakang se-
saat sambaran pedang bergerigi miliknya, mem-
bentur payung logam warna kuning keemasan
yang dipentangkan Mayang dalam jurus andalan
'Benteng Emas'. Gadis cantik itu juga terjajar dua
langkah ke belakang, malah tangannya juga me-
rasakan getaran hebat, hingga hampir saja ceka
lan tangan pada gagang senjatanya terlepas.
"Keparat!" maki Cengcorang Sakti Lembah
Setan menyadari serangannya berhasil dihalau
campur tangan orang lain.
Namun hati laki-laki tinggi kurus itu men-
jadi terkejut, begitu melihat kalau yang telah
menggagalkannya ternyata seorang perempuan.
Diyakini perempuan di hadapannya bukan orang
perempuan sembarangan. Itu bisa dipastikan dari
kekuatan tenaga dalamnya yang tak jauh berbe-
da.
Sementara itu Raja Petir juga telah berhasil
menggagalkan serangan Kelabang Hitam dengan
lentingan-lentingan indah, menghindari sambaran
pecut berbentuk kelabang yang meledak-ledak.
"Terima kasih, Mayang!" ucap Jaka keras
ketika melihat kekasihnya hadir untuk meringan-
kan bebannya.
"Hmrh...!" Gandrawara yang berjuluk Kela-
bang Hitam menggereng geram. "Ayo Gajah Maut!
Kita habisi Raja Buduk itu. Biar Cengcorang Maut
yang melumat tubuh gadis itu!"
Gajah Maut Lembah Tandus bergerak cepat
berdiri tegak di sisi kiri Kelabang Hitam.
"Keluarkan ajian andalanmu, Gajah Maut.
Kita lumat tanpa ampun tubuh bocah gila itu!"
dengus Kelabang Sakti lagi.
"Baik!" tegas Gajah Maut Lereng Tandus.
"Aji 'Selaksa Bisa Kelabang'!" sentak Gran-
dawa, mengucapkan ajian andalannya.
"Aji 'Belalai Maut'!" teriak Gajah Maut Le
reng Tandus tak kalah keras.
Kedua lelaki lawan Raja Petir kini sama-
sama memusatkan pikiran. Hanya sesaat saja,
dan pada saat selanjutnya hawa dingin dan bau
amis terasa menjalar terbawa angin. Dan ini ter-
cipta akibat pengerahan ajian 'Selaksa Bisa Kela-
bang' miliki si Kelabang Hitam. Sementara Gajah
Maut Lereng Tandus menampakkan tangannya
yang terulur semakin panjang ke arah Raja Petir.
"Hhh... Ilmu setan!" rutuk Jaka dalam hati.
Napas Jaka seketika terasakan sesak aki-
bat pengaruh ilmu Kelabang Hitam.
"Mayang! Menjauhlah dari tempat ini! Kau
hadapi saja si Cengcorang Kurus itu!" teriak Jaka
keras.
Raja Petir memang khawatir kalau-kalau
kekasihnya tak tahan menahan pengaruh yang
ditimbulkan akibat ajian ‘Selaksa Bisa Kelabang’.
Gadis cantik berpakaian warna jingga itu
rupanya mengerti apa yang diinginkan kekasih-
nya. Maka seketika itu juga tubuhnya melesat
menjauhi arena pertarungan. Langsung digem-
purnya Cengcorang Sakti Lembah Setan.
DELAPAN
Jaka semakin merasakan sesak pada na
pasnya. Sementara tubuhnya menggigil akibat
ajian 'Selaksa Bisa Kelabang' yang diciptakan si
Kelabang Sakti. Pada saat yang gawat itu, tangan
kanan Gajah Maut Lereng Tandus yang meng-
genggam golok besar semakin dekat terulur.
"Heh?!"
Jaka tersentak, ketika tiba-tiba saja tubuh
Kelabang Sakti lenyap perlahan-lahan seperti
asap yang sirna terbawa angin. Namun, kini wu-
jud Grandawa berubah menjadi seekor kelabang
raksasa yang cukup besar berwarna coklat kehi-
taman dengan taring-taring mirip taring serigala
buas.
"Sihir...? Hm.... Terpaksa harus kugunakan
Pedang Petir ini," gumam Jaka dengan tangan
perlahan meraih gagang senjata pusaka yang ber-
nama Pedang Petir.
"Grzszs..."
Jelmaan kelabang hitam raksasa tiba-tiba
mendesis keras. Bersamaan dengan melesat bina-
tang jelmaan itu melesat pula ilmu 'Aji Belalai
Maut' milik si Gajah Maut Lereng Tandus yang
bergerak cepat dengan golok besar tergenggam di
tangan.
"Hyaaarhhh...!"
Gajah Maut Lereng Tandus memekik ga-
rang. Senjatanya berkelebat dengan pengerahan
tenaga dalam penuh.
Bwets!
"Uts!"
"Uts!"
Dua kali tubuh Jaka melenting ke udara.
Karena pada saat yang bersamaan, Gajah Maut
Lereng Tandus dan jelmaan kelabang raksasa me-
lakukan serangan.
Jliegkh!
Ketika tubuh Jaka mendarat ringan di ta-
nah, tangannya langsung terangkat lurus dengan
telapak menggenggam hulu Pedang Petir. Maka....
Gldrgdrg...! Gldrgdrg...!
Suara guntur terdengar saling sahut-
menyahut, menggema dari jarak ratusan pal. Na-
mun ketika suara guntur itu terdengar semakin
dekat, kilat pun terlihat menyambar-nyambar tu-
buh Pedang Petir dalam cuaca yang berubah men-
jadi gelap gulita.
Hanya sesaat saja keadaan gelap dan kila-
tan petir menyambar-nyambar tubuh pedang mi-
lik Raja Petir. Dan pada saat selanjutnya, kea-
daan berubah menjadi terang benderang. Maka
saat itu juga, Jaka memekik keras seraya mengi-
baskan pedangnya.
"Khaaa...!"
Wung...!
Prats!
"Wauuu...!"
Tepat pada saat Jaka mengibaskan Pedang
Petir, tangan Gajah Maut Lereng Tandus juga te-
rulur hendak membabat tubuh Raja Petir. Aki-
batnya, tangan lelaki berpakaian warna kelabu itu
terputus terbabat Pedang Petir yang terangkum
dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'.
Tubuh Gajah Maut Lereng Tandus kontan
terpental tiga tombak ke belakang dengan tangan
lepas sampai ke pangkalnya. Dan pengaruh ajian
miliknya menyerang dirinya sendiri. Lelaki itu
hanya sesaat saja menggelepar-gelepar layak
ayam disembelih. Pada saat berikutnya? Nya-
wanya telah raib meninggalkan jasadnya. Bukan
karena tangannya yang buntung, tapi akibat ter-
makan ajiannya sendiri.
Sementara kelabang raksasa jelmaan
Grandawa yang mengalami nasib lebih baik. Dia
hanya terpental beberapa langkah saja. Memang
sungguh tak disangka kalau ajian 'Selaksa Bisa
Kelabang' miliknya bisa luntur di hadapan Raja
Petir. Kini wujud Kelabang Hitam Raksasa telah
berubah menjadi wujud Grandawa yang wajar.
"Hhh...!"
Grandawa menarik napas berat. Sepertinya
dia menyesal dengan apa yang didapatnya. Ajian
'Selaksa Bisa Kelabang' memang bisa digunakan
berulang-ulang jika lawan-lawannya ditaklukkan.
Namun jika dia sendiri yang takluk? Maka ajian
itu tak akan bermanfaat jika digunakan untuk
yang kedua kalinya. Dengan begitu kekuatan ilmu
yang dimilikinya berkurang jauh.
"Bagaimana, Kelabang Hitam? Seorang te-
manmu sudah menjadi bangkai sekarang! Apakah
kau hendak menyusulnya?" tanya Jaka penuh
ejekan.
"Hrhrh...!"
Grandawa menggereng mendengar perta
nyaan Jaka.
"Keparat kau. Raja Petir!" bentak si Kela-
bang Hitam murka. "Lebih baik mampus daripada
aku harus menyerah di tangan bocah ingusan se-
pertimu!"
"Ha ha ha...!" Jaka terkekeh mendengar
ucapan lawannya. "Jangan takut mati seperti itu,
Kelabang Hitam. Aku tak sekejam yang kau
bayangkan. Aku bisa mengampunimu, kalau saja
kau mau bertobat dari jalan yang sesat"
Dug!
Kelabang Hitam membanting kakinya keras
menimpali perkataan Jaka.
"Tak sudi aku mendengar khotbahmu, Raja
Sinting!" maki Grandawa berang. "Terimalah se-
ranganku!"
"Hiyaaa...!"
Jaka yang memang sudah mengalungkan
lagi Pedang Petir di lehernya, segera saja bersiap
menerima kedatangan serangan. Sementara Kela-
bang Hitam sudah mengangkat tangannya yang
menggenggam pecut berbentuk kelabang.
Ctar! Ctar!
Raja Petir langsung melenting ke udara.
Dan seketika tangannya bergerak lincah, me-
nangkap lidah pecut itu.
Tap!
Begitu mendarat, langsung ditariknya lidah
pecut milik Kelabang Hitam.
Bret!
"Hops!"
Grandawa memang tak menyangka kalau
lawannya berani menangkap pecut kelabangnya
dengan tangan telanjang. Bahkan juga tak men-
duga akan mendapat betotan keras yang begitu
cepat. Kini Kelabang Hitam berusaha sekuatnya
untuk menahan betotan tenaga lawan yang hen-
dak merebut pecutnya.
"Hhh...!"
Keringat sebesar butir-butir jagung meleleh
turun dari dahi Grandawa yang tengah menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memper-
tahankan senjata. Seluruh urat dan otot tubuh-
nya terlihat menegang.
"Kau terima sekarang aji 'Kukuh Ka-
rang'ku, Kelabang Hitam," ucap Raja Petir tenang.
Maka seketika itu juga sinar kuning menyi-
laukan mata nampak membungkus Raja Petir da-
ri bagian dada hingga kepala, dan bagian lutut
hingga ujung kaki.
Sinar kuning menyilaukan itu seketika ju-
ga menjalar, merambat lewat pecut berbentuk ke-
labang milik Grandawa.
"Akh!"
Si Kelabang Hitam terpekik keras ketika
merasakan hawa panas menjalari tubuhnya. Dan
seketika itu juga, dirinya sudah terkurung sinar
kuning kemilau yang tercipta akibat ajian 'Kukuh
Karang'.
"Aaa...!"
Pada saat tubuh si Kelabang Hitam sudah
betul-betul tanpa daya, sebuah pekik kematian
terdengar membubung tinggi ke langit. Tampak
sosok lelaki berpakaian warna hijau mental ke be-
lakang dengan bagian leher koyak mengucurkan
darah. Payung emas Mayang rupanya telah
menghentikan perlawanan lelaki yang berjuluk
Cengcorang Sakti Lembah Setan. Bahkan seketika
itu juga sudah menjadi mayat dengan leher ber-
lumuran darah.
"Kakang! Jangan dibunuh!" teriak Mayang
setelah menyelesaikan pertarungannya.
"Kenapa, Mayang?" tanya Jaka berpura-
pura. Padahal, memang dia tak berniat membu-
nuh si Kelabang Hitam.
"Kelabang Hitam bisa digunakan untuk
menyelamatkan Ki Amertagi yang ditawan dan
akan digantung pihak kerajaan," jelas Mayang.
"Baiklah, Mayang!" ucap Jaka.
Kemudian tangan Jaka bergerak cepat me-
notok bagian tubuh Grandawa yang tanpa daya
lagi.
Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Kelabang Hitam terpekik mendapatkan to-
tokan pada tangannya. Seketika itu juga, urat-
urat tangannya terasa seperti mati.
"Sekarang kau ikut aku ke Kerajaan Sutera
Bayu," tukas Jaka. "Kau harus memulihkan ke-
kacauan yang terjadi di sana."
"O, ya. Di mana anak kembar Ki Jagil, Ka-
kang?" tanya Mayang mengingat dua bocah yang
telah diselamatkan kekasihnya.
"Dia ada di rumah penduduk Desa Bladar
ini," jawab Jaka. "Apa perlu mereka kita bawa ser-
ta ke Kerajaan Sutera Bayu?"
"Rasanya tidak perlu, Kakang," jawab
Mayang.
"Kalau begitu, sekarang juga kita bawa le-
laki ini ke Kerajaan Sutera Bayu," putus Jaka.
"Ayo, Kakang."
***
Puluhan prajurit Kerajaan Sutera Bayu
langsung menghunus senjata melihat kedatangan
sepasang pendekar muda yang membawa serta si
Kelabang Hitam. Awalnya para punggawa mela-
rang mereka untuk menemui Prabu Setyagara.
Namun karena Kelabang Hitam yang meminta,
maka mereka tak kuasa menolak. Dan mereka
pun segera melangkah memasuki Balai Sema
Agung.
Sebentar saja, mereka telah berhadapan
dengan Prabu Setyagara yang duduk di singgasa-
na dalam Balai Sema Agung.
"Yang Mulia," kata Jaka, begitu tiba di ha-
dapan sang Prabu. "Ketahuilah, akulah orang
yang telah mengacaukan jalannya persembahan
sesat yang kau lakukan. Aku tahu, kau melaku-
kannya atas perintah Kelabang Hitam yang meno-
longmu menduduki tahta kerajaan. Dan kau tak
kuasa untuk menolak, mengingat kesaktiannya.
Maka dengan dalih untuk kesejahteraan dan ke
selamatan rakyat mu, kau bersedia membantu
Kelabang Hitam dalam mempelajari ilmu sesat."
Prabu Setyagara tak membantah ucapan
Raja Petir. Meski tatapan matanya nampak tak
senang melihat sikap tokoh muda yang tak mena-
ruh rasa hormat padanya.
"Sekarang, Kelabang Hitam telah kutun-
dukkan. Apakah kau akan menghilangkan acara
persembahan sesat itu?" desak Raja Petir.
Seperti kerbau tercocok hidung, Prabu Se-
tyagara seketika menganggukkan kepala.
"Terimalah hormatku, Yang Mulia Prabu
Setyagara," tiba-tiba saja Raja Petir membung-
kukkan tubuhnya. "Hamba minta, berlakulah se-
cara adil dan bijaksana untuk ketenteraman dan
kedamaian rakyat mu."
Prabu Setyagara terharu menyaksikan si-
kap lelaki muda yang berjuluk Raja Petir.
"Aku berjanji akan merubah kekeliruanku.
Raja Petir. Aku menyadari kekeliruanku yang me-
rebut tahta secara tidak sah. Aku berjanji, pada
saatnya nanti kekuasaan ini akan kuserahkan
kepada keponakan yang bernama Bintang Megan-
tara. Memang dialah yang berhak atas tahta ini.
Dan setelah itu, aku akan menyerahkan diri, ka-
rena memang akulah yang menjadi dalang keka-
cauan di kerajaan ini.
"Terima kasih, Yang Mulia. Kuserahkan le-
laki tanpa daya ini, biar pengadilan kerajaan yang
mengurusnya," ujar Jaka.
Tubuh Raja Petir lalu berbalik.
"Ayo, Mayang," ajak Jaka pada kekasihnya.
'Tinggallah kalian di istanaku," tahan Pra-
bu Setyagara, "Apakah besok pagi kalian tak ingin
melihat upacara penyerahan kekuasaan?"
"Rasanya orang-orang di sini sudah cukup
untuk menjadi saksi atas upacara yang mulia itu.
Dan hamba menghaturkan terima kasih. Permisi."
Jaka dan Mayang bergerak meninggalkan
Balai Serna Agung Kerajaan Sutera Bayu. Semen-
tara Prabu Setyagara hanya mampu menatap ke-
pergian sepasang pendekar muda dengan hati
tergugah untuk kembali ke jalan yang benar.
"Bebaskan, Patih Abadi Selaksa dan Kepala
Desa Gandaragi" perintah Prabu Setyagara pada
prajuritnya. "Juga, panggilkan Bintang Megantara
dan ibunya."
Angin berhembus lembut di langit Kerajaan
Sutera Bayu, seolah ingin membawa kabar akan
kedamaian yang membias di Kerajaan Sutera
Bayu. Sementara, sepasang pendekar muda yang
tak lain Raja Petir dan Dewi Payung Emas terus
bergerak menjauhi kerajaan yang telah terselamatkan dari kekacauan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar