SATU
MUNCULNYA MANUSIA IBLIS yang
menimbulkan tragedi berdarah disekitar
wilayah utara kerajaan GIRIJAYA sebuah
kerajaan yang cukup besar pengaruhnya
di pesisir pantai utara Pulau Jawa
membuat resah Adipati GANTRA. Sebagai
orang yang dikuasai untuk membina
kesejahteraan diwilayahnya, Adipati
Gantra merasa bertanggung jawab atas
kejadian itu. Bukan mustahil suatu
ketika diri dan keluarganya lah yang
akan menjadi korban.
Selama tiga pekan belakangan ini
telah terjadi tiga peristiwa yang
mengejutkan. Tiga peristiwa yang
meminta korban jiwa. Yaitu terbunuhnya
Tumenggung Penjali beserta keluarganya
yang dibantai habis seluruh keluarga-
nya, termasuk istri dan anaknya juga
para pembantu. Belum lagi korban para
prajurit yang sedikitnya ada belasan
orang. Kematian mereka secara aneh.
Karena menurut saksi mata dari salah
seorang korban yang masih hidup, si
pembunuh itu hampir sukar sekali
dilihat sosok tubuhnya. Karena
berkelebat begitu cepat bagaikan
bayangan hantu.
Kejadian terjadi dimalam hari
dikala para prajurit Tumenggung tengah
beristirahat sambil berjaga. Ketika
tahu-tahu bayangan putih berkelebat
keluar dari dalam pendopo setelah
beberapa saat sebelumnya terdengar
suara jeritan dari kamar Tumenggung
PENJALI.
Para pengawal cepat bertindak
mengejar dengan senjata-senjata ter-
hunus. Akan tetapi bayangan itu tahu-
tahu lenyap. Dan muncul dibelakang
mereka. Selanjutnya yang terdengar
adalah suara jerit para pengawal yang
roboh tersungkur dengan berlumuran
darah. Dari salah seorang pengawal
yang masih hidup itulah didapat kete-
rangan, yang didapati dalam keadaan
luka hampir mati oleh seorang utusan
dari Kedipatian dipagi harinya.
Tumenggung PENJALI beserta anak
dan istrinya mati terbunuh. Setelah
memaparkan apa yang dilihatnya, si
prajurit itupun tewas tak tertolong
jiwanya
Kejadian kedua adalah terbunuh-
nya seorang bangsawan, yang juga bekas
abdi kerajaan, bernama Wongso Kumitir.
Laki-laki itu tak mempunyai anak,
kecuali belasan pembantu. Kedapatan
mati terbunuh dengan isi perut
terburai diatas tempat tidur. Sedang
istrinya tewas dalam keadaan ter-
gantung ditiang penglari.
Kejadian ketiga, pembunuhan
ketiga terjadi pada seorang carik desa
yang merangkap sebagai guru silat,
berada di wilayah perbatasan sebelah
timur. Carik desa itu tewas dalam
keadaan mengerikan. Kedua tangan dan
kedua kakinya putus, isi perutnya juga
terbuai keluar. Tubuh laki-laki
berusia setengah abad itu digantung
ditiang depan gedung tempat
tinggalnya.
Tak seorangpun dari para murid
dan anak buahnya mengetahui. Karena
kejadian itu mungkin dilakukan dimalam
hari. Semua anak buah dan para
muridnya malam itu tertidur pulas
seperti kena pengaruh ilmu sihir.
Ketika menjelang pagi, mereka ter-
peranjat mengetahui darah berceceran
dari kamar keluar ruangan. Dan
dijumpai mayat carik desa bernama Loh
Jento tergantung ditiang depan gedung
dengan keadaan kaki dan tangannya
putus, serta isi perut yang memburai
mengerikan.
Hal kejadian itulah yang membuat
Adipati Gantra tak tenang hatinya.
Laki-laki berusia tiga puluh lima
tahun ini mondar-mandir diruangan
pendopo. Jari-jari tangannya menarik-
narik jenggotnya yang lebat dan
meremasnya dengan perasaan tak
menentu.
"Apakah yang harus aku lakukan?"
berdesis suara laki-laki ini.
"Kejadian ini tak boleh dibiarkan.
Sebelum aku mengirim laporan kepada
Raja sebaiknya kuselidiki dahulu siapa
gerangan manusia iblis yang telah
berbuat keji itu!" berkata Adipati
dalam hati. Sementara otaknya bekerja
keras untuk menyingkap tabir
pembunuhan itu yang di duga pasti ada
penyebabnya.
"Loh Jento adalah seorang yang
berkepandaian tinggi. Tapi dia bisa
tewas dalam keadaan demikian
mengerikan tanpa seorang prajuritpun
mengetahuinya sungguh kejadian aneh!
Bukan mustahil si pembunuh itu seorang
tokoh yang luar biasa tinggi ilmunya,
disamping menguasai ilmu Aji
PENYIEREP..!" Entah siapa gerangan
manusia sadis itu!?" bergumam Adipati
Gantra dengan memijit-mijit keningnya.
Sementara keringat dingin telah turun
merembes didahi laki-laki itu yang
telah banyak berkerut.
Setelah merenung agak lama,
Adipati Gantra bangun dari duduknya
yang dalam keadaan gelisah. Lalu
beranjak masuk ke dalam ruangan. Dua
orang penjaga sejak tadi cuma
memperhatikan tingkah laku junjungan-
nya yang seperti amat gelisah sebentar
berdiri sebentar duduk, tanpa berkata-
kata. Melihat junjungannya masuk ke
ruang dalam dua penjaga ini saling
mendekati.
"Gusti Adipati sepertinya sedang
kacau pikirannya!" bisik penjaga yang
satu. "Benar! kukira peristiwa
peristiwa yang terjadi belakangan ini
yang tengah dipikirkan..."
"Apa pendapatmu dengan pembu-
nuhan yang telah meminta korban jiwa
sangat mengerikan itu?" bertanya
kawannya.
"Kukira itu bukan perbuatan
manusia!" sahut sang kawan yang
bertubuh pendek.
"Ngaco! jadi perbuatan siapa?
perbuatan setan?! Mana mungkin setan
membunuh seperti itu! bahkan bisa
menggantung orang yang dibunuhnya
sedemikian rupa!"
"Maksudku... bukan perbuatan
manusia yang wajar! Tentu saja
manusia, tapi manusia yang telah
kemasukan roh iblis! hingga dia bisa
melakukan pembunuhan yang begitu
keji!" si pendek cepat-cepat menjawab.
"Ya, ya... pendapatmu bisa masuk
akal...!" sang kawan manggut-manggut
membenarkan.
"Tetapi maksudku, apakah pemb..
b.." pengawal ini tak meneruskan kata-
katanya ketika terdengar langkah kaki
di belakang mendekati. Belum sempat
dia menoleh, bahunya telah ditepuk
orang. Dan terdengar suara
ditelinganya.
"Maksudmu apakah si pembunuh itu
punya dasar dendam pada para korbannya
hingga dia melakukan pembunuhan-
pembunuhan keji itu? bukankah begitu
maksudmu?"
"Beb .. Benar! Hah? siapakah
no., nona? dari mana kau masuk?"
tergagap pengawal yang bernama Prono
ini ketika melihat tahu-tahu di
hadapannya, telah berdiri seorang
wanita cantik yang masih muda
berpakaian sehelai kain warna hijau
yang cuma menutupi tubuhnya dari betis
sampai ke dada. Begitu juga mata si
pengawal pendek. Sepasang matanya
membelalak tak berkedip menatap
manusia dihadapannya, yang tahu-tahu
muncul tanpa diketahui dari mana
munculnya.
"Hihihi... sejak tadi aku di
ruangan ini!" menjawab wanita itu
dengan tertawa menampakkan lesung
pipit dikedua belah pipinya.
"Ha? aneh? mengapa aku tak
melihatnya? Siapakah kau? Dan. a...
ada urusan apa memasuki gedung pendopo
kedipatian? Siapa yang memberimu izin
masuk kemari?" bertanya Prono dengan
terheran. Sementara dalam hati sungguh
mati dia tak mempercayai kata-kata si
wanita itu. Rasanya mustahil, karena
tahu-tahu wanita itu muncul secara
mendadak dari arah belakang sesaat
setelah Adipati Gantra masuk ke
ruangan dalam di mana saat itu dia
baru bercakap-cakap dengan si pendek.
Mendadak sepasang mata wanita
yang tadinya jeli itu telah berubah
menjadi nyalang menyeramkan bagai mata
serigala. Senyumnya lenyap dalam
sekejap mata.
"Hm, akulah si PEMBUNUH yang
tengah kau percakapkan barusan! Kalian
tak perlu mengetahui siapa aku. Akan
tetapi yang perlu kau ketahui adalah,
hari ini aku akan mengambil nyawa
adipatimu, termasuk nyawa kalian
berdua para pengawal bodoh!"
Selesai berkata mendadak lengan
wanita itu bergerak cepat sekali. Dan
tahu-tahu kedua tubuh pengawal itu
berdiri dengan tubuh kaku dan mata
mendelik. Namun dari lehernya telah
mengalir darah hitam kental yang
memancur ke dada. Sebuah lubang
sebesar jari-jari tangan terlihat di
bagian tenggorokan kedua orang
pengawal itu. Tak bisa dipungkiri lagi
kedua pengawal yang bernasib naas itu
telah tewas seketika dalam keadaan
berdiri.
DUA
NANJAR yang sedang dalam
perjalanan memasuki batas Kota Raja
terkejut ketika melihat beberapa orang
penduduk berlarian dengan berteriak-
teriak.
"Kanjeng Adipati tewas dibunuh
penjahat!" "Kanjeng Adipati tewas
mengerikan sekali dibunuh manusia
iblis!" Desa yang cukup ramai itu
serentak menjadi gaduh dengan
seketika. Beberapa orang yang sedang
duduk-duduk di warung makanan
berlompatan memburu tiga orang laki-
laki yang membawa berita itu.
Sementara Nanjar terpaku berdiri di
sisi jalan tak bergeming.
"Dari mana kalian tahu hal itu?"
"Apa beritamu benar?"
"Hei!? katakan! apakah kalian
melihat dengan mata kepala sendiri?"
Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan
bertubi-tubi kepada tiga penduduk desa
yang berdiri terengah-engah dengan
wajah pucat bagai mayat.
"Kami lihat di halaman gedung
Kedipatian banyak para prajurit
berkerumun. Kami penasaran ingin tahu.
Ketika kami melihat kesana, ternyata
... ah, sungguh mengerikan! Hiii...
Kanjeng Adipati mati tergantung di
tiang pendopo. Keadaan mayatnya
sungguh mengerikan se.. sekali..."
Salah seorang memberi penjelasan
dengan tersengal-sengal.
"Benar! kami melihat sendiri!
Kami lalu cepat-cepat berlari kemari
untuk memberitahukan berita ini!"
tegaskan pula kawannya. Pucatlah
seketika wajah sekelompok laki-laki
yang merubung ketiga laki-laki pembawa
berita itu.
"Ha!? ini tentu perbuatan
manusia iblis itu!"
"Benar! aku yakin ini perbuatan
manusia iblis yang telah membunuh
Tumenggung Penjali dan Carik desa
diperbatasan timur!"
Sebentar saja ketiga laki-laki
itu telah dikerumuni penduduk yang
memadati tempat itu. Namun tak lama
mereka bubar untuk kembali pulang ke
masing-masing rumahnya. Mereka
khawatir manusia iblis yang ditakuti
itu menyatroni rumahnya dan mengganggu
keluarga mereka.
Ginanjar yang berada diantara
kerumunan orang itu tersentak kaget.
Dia termangu-mangu sambil berpikir.
"Manusia iblis? Yang telah membunuh
beberapa orang penting di wilayah ini?
Haiih! lagi-lagi aku harus menjumpai
kerusuhan. Padahal kedatanganku kemari
untuk menyelidiki asal-usulku, disam-
ping mencari tahu siapa dan dimana
kedua orang tuaku..."
Nanjar yang tengah terlongong
itu seperti bingung mengambil
keputusan. Apakah dia tak ambil peduli
dengan kejadian itu, ataukah dia pergi
ke gedung Kedipatian untuk melihat
mayat sang Adipati? Ketika tengah
berpikir, demikian tiba-tiba Nanjar
tersentak kaget dan merasa aneh.
Karena disaat para penduduk
gaduh berlarian kesana-kemari, justru
ada seorang laki-laki tua yang
berpakaian lusuh penuh tambalan
berteriak-teriak sambil tertawa-tawa.
Bahkan orang ini berjingkrakan sambil
menari-nari.
"Hahaha... hehe... hahaha..
syukur! syukur! Biar adipati keparat
itu mampus! Biarkan para cecunguk-
cecunguk rakus itu mampus dilumat si
manusia iblis! Hahaha... hehehe...
kalau tidak punya dosa masakan dibunuh
si manusia iblis? Kalau tidak punya
dosa masakan dicincang sampai
mengerikan? Hahaha... hahaha…!"
Tentu saja kata-kata serta sikap
laki-laki tua berbaju lusuh itu
membuat Nanjar jadi bengong
terlongong.
"Siapa kakek tua ini? apakah dia
gila?" guman Nanjar dengan alis
dikerutkan. Sementara si orang tua itu
terus berteriak-teriak sambil tertawa-
tawa. Ditangannya menggenggam sebuah
buli-buli berisi minuman arak yang
sebentar-sebentar ditenggaknya.
Sedangkan mulutnya tak hentinya
berceloteh.
Saat itu serombongan laki-laki
yang masih berada ditempat itu telah
berlompatan mendekati si kakek tua
kumal yang ngoceh tak karuan itu.
"Hei! tua bangka pemabukan! Apa
katamu barusan? Kau malah menyumpahi
kematian Kanjeng Adipati! Jangan-
jangan kau bersekongkol dengan
pembunuh terkutuk itu!" Bentak salah
seorang laki-laki dari rombongan
pemuda-pemuda itu justru membuat
tertawa si kakek kumal berbaju
tambalan ini semakin mengakak geli
hingga terpingkal-pingkal.
"Hehehe... hahaha... kalian tahu
apa bocah-bocah bau bawang mentah?
Orang-orang yang diberi kekuasaan oleh
kerajaan itu banyak dosa, makanya
mampus dicincang si manusia iblis!
Kalian tukang-tukang penagih pajak
liar berlidah busuk! Hehehe... lidah
kalian berulat. Juga hati kalian!
Kalian tak tahu dikala kalian masih
bocah banyak peristiwa yang tidak
enak! Ya, ya... banyak yang tidak
enaknya, kecuali arak inilah yang
enak! hahaha... hehehe..."
Si kakek kumal mirip orang
suiting itu mengoceh, dan kembali
menenggak araknya hingga sampai
berpuncratan membasahi bajunya.
Mendengar kata-kata si kakek sinting
itu seketika wajah laki-laki yang
rata-rata masih berusia muda dan
bertambang sangar-sangar itu seketika
berubah merah padam.
"Sialan! kau menghina kami, tua
bangka!" membentak kasar seorang laki-
laki yang brewok.
Lengannya bergerak mencengkeram
kedada si kakek. Akan tetapi seperti
secara kebetulan saja tubuh si laki
laki tua kumal itu seperti terhuyung
ke belakang mau jatuh. Tentu saja
cengkeraman laki-laki brewok itu
lolos.
Melihat cengkeramannya luput, si
brewok ini naik pitam. Dia tak
membuang tempo lagi untuk bertindak
mengumbar emosinya. Lengannya mengayun
ke arah dada si kakek. Tinjunya yang
besar itu meluncur kearah dada si
kakek tua yang tulang iganya
bertonjolan. Dapat dibayangkan kalau
tinju yang besar dan kuat itu jika
diadu dengan tulang tipis si kakek tua
apa jadinya.
Akan tetapi saat itu sikakek
terbatuk-batuk. Agaknya arak yang
ditenggaknya terselak ditenggorokan.
Didetik yang gawat itu justru kembali
tubuh si kakek setengah sinting itu
terhuyung ke samping. Hal mana
ternyata telah membuat jotosan si
brewok kembali luput!
Nanjar yang memperhatikan semua
kejadian itu di depan mata, tak terasa
memuji. "Haiih! jurus mengelak yang
hebat! Seperti jurus Tarian Bidadari
Mabuk Kepayangnya Roro Centil!"
Melihat serangan yang kedua
kalinya mengalami kegagalan, semakin
merah padam muka si brewok. Akan
tetapi kali ini kedua kawannya telah
siap membantu.
"He! biar kubantu menghajar
kakek dan ini, Jabrig!" teriak salah
seorang dari dua pemuda itu. Dan dua
bayangan berkelebat menerjang dari
kiri dan kanan. Lagi-lagi Nanjar
berseru kagum, karena dengan tubuh
terhuyung-huyung si orang tua sinting
itu berhasil lolos dari dua sambaran
pukulan kedua pemuda itu.
Sementara itu si brewok telah
mencabut goloknya yang terselip
dipinggang.
"Mundur kalian! Biar kuhabisi
saja nyawa kakek sinting pemabukan
ini" berkata demikian si brewok
melompat kearah si kakek. Goloknya
menabas kearah pinggang, sementara di
sebelah lengannya tergenggam tiga buah
senjata rahasia. Serangan itu lolos.
Tubuh si kakek meliuk kebelakang
seperti terjengkang. Dan loloslah
serangan maut barusan. Akan tetapi hal
seperti ini sudah diduga oleh si
brewok. Saat itu sebelah lengannya
secepat kilat melontarkan tiga buah
paku yang terjepit diantara jari-jari
tangannya.
Dapat dibayangkan sudah kalau
kali ini si Kakek takkan mampu
mengelak. Namun didetik itu juga si
kakek seperti terbatuk dan semburkan
arah di mulutnya.
"Frrruuh!"
Menjerit seketika si brewok.
Tubuhnya terjungkal roboh. Dua orang
kawannya tersentak kaget melihat si
brewok berkelojotan seperti ayam
disembelih. Ketika sesaat kemudian
tubuh laki-laki garang itu berhenti
tak berkutik. Dua pemuda itu memburu.
Ketika memeriksanya, terlihat tiga
buah paku senjata rahasia milik si
brewok itu telah menancap di leher,
kening dan dadanya.
"Orang tua keparat! kubunuh
kau!" membentak salah seorang seraya
berbalik dengan mencabut senjatanya.
Betapa gusarnya dia melihat kematian
si brewok. Akan tetapi mulutnya
ternganga dengan, sepasang mata
mendelong. Karena tubuh si kakek
sinting itu telah lenyap entah
kemana....
TIGA
Tubuh Nanjar berkelebat mengejar
kearah berkelebatnya tubuh si kakek
sinting. Gerakan melompat si kakek itu
sungguh mengagumkan. Tubuhnya membuat
tiga kali letikan di udara hingga
beberapa kejap saja dia, telah mele-
wati puncak-puncak pohon dan lenyap
dibalik hutan.
Tentu saja Nanjar tak kalah
sebat untuk mengejar. Tubuhnya melom-
pat ke udara setinggi enam tombak.
Sepasang kakinya menjejak dahan pohon.
Dan melesatlah tubuhnya bagaikan anak
panah lepas dari busur ke arah
berkelebatnya sosok tubuh tua renta
itu,
Dengan ringan bagaikan seekor
bangau yang hinggap di tanah, Nanjar
mendarat di balik hutan itu. Sepasang
matanya menatap ke beberapa arah untuk
mencari dimana gerangan orang yang
dikejarnya. Akan tetapi terheran dia,
karena jejak si kakek sinting itu
lenyap tak berbekas
"Aneh!? begitu cepatnya dia
lenyap. Padahal barusan saja kulihat
dia melompat ke sini...,!" membatin
Nanjar. Sementara Nanjar celingak-
celinguk ke beberapa arah yang juga
tak dapat diketahui di mana
sembunyinya si kakek, Nanjar diam-diam
berfikir. "Kakek itu berilmu tinggi!
Entah siapa gerangan dia adanya. Aku
perlu mengorek keterangan dari dia,
mengenai si manusia iblis! Kuyakin dia
tidak gila!"
Sementara itu Nanjar diam-diam
juga mengagumi kepandaian si kakek
yang tadi melompat dengan menggunakan
buli-bulinya sebagai injakan kakinya
untuk membuat letikan dua kali
diudara. Buli-buli itu terikat oleh
seutas tali, dimana ketika si kakek
melepaskan buli-bulinya seraya menotol
dengan ujung kakinya. Disaat itu
tubuhnyapun melesat lagi dengan
kekuatan tenaga totokan tersebut.
Selanjutnya dia telah menangkap lagi
buli-bulinya, dan mengulangnya seperti
tadi, hingga dalam beberapa kejap dia
telah lenyap dibalik hutan.
Gerakan demikian kalau bukan
dilakukan oleh seorang yang telah
mencapai tingkat ilmu meringankan
tubuh yang telah sempurna sukar
dilakukan oleh orang biasa, baik yang
telah mendalami ilmu silat sekalipun.
Sementara Nanjar mengagumi orang
lain dia sendiri dikagumi pula oleh
orang. Siapa lagi kalau bukan si kakek
sinting itu. Sejak tadi si kakek
sinting itu ongkang-ongkang kaki,
duduk didahan pohon. Akan tetapi
Nanjar tak melihatnya. Tentu saja,
karena si kakek kumal itu berada di
atas Najar, tanpa bergeming
sedikitpun.
Si kakek sinting itu tiba-tiba
tersenyum menyeringai. Entah ada hal
apa yang membuatnya lucu. Ketika
pelahan-lahan dia membuka tali
celananya.
Dan.....
Serrrrr....!
Terkejut Nanjar bukan kepalang
ketika tahu-tahu pundaknya basah
terkena guyuran air. "He? Air memancur
dari atas? Aneh!" Baru dia menggumam,
seraya menggeser berdirinya, terdengar
suara tertawa terkekeh-kekeh. Terkejut
Nanjar seraya mendongak ke atas pohon.
Mendelik mata Nanjar melihat si
kakek sinting yang dicarinya berada di
puncak pohon. Duduk di dahan dengan
celana terbuka yang mengucurkan air
bagai pancuran kecil.
"Hah!? Sialan! aku dikencingi
setan tua itu!" memaki Nanjar. Dan
serta merta dia telah mengendus bau
pesing yang membuat dia kaget setengah
mati.
"Hei! setan tua gila! turunlah
kau!" teriak Nanjar. Betapa
mendongkolnya tak dapat dibayangkan
Nanjar mengetahui tubuhnya kena
diguyur air kencing si kakek kumal
itu.
Akan tetapi diam-diam dia
terkejut, karena tak mengetahui kalau
orang yang dicarinya berada diatas
pohon.
"Hehehe... hahaha... lucu! lucu!
ada monyet kecil mandi air kencing!
Hahaha... hehehe... hehehe.."
tertawa terpingkal-pingkal si kakek
hingga dahan pohon itu berguncangan.
Merah dan panaslah rasanya wajah
Nanjar.
"Sialan kau setan tua! kalau kau
tak mau turun biarlah aku yang akan
menarik kakimu agar kau turun!"
Selesai berkata tubuh Nanjar membuat
lompatan dengan jejakkan kakinya
ke tanah.
Tubuhnya meluncur ke atas. Dan
selanjutnya Nanjar melompat-lompat
dengan gerakan cepat sekali, bagaikan
kera yang memanjat pohon.
Tentu saja hal demikian membuat
si kakek terkejut karena dia belum
lagi sempat membenarkan tali,
celananya, sedangkan tahu-tahu Nanjar
telah julurkan tangan untuk membetot
kakinya. Akan tetapi kakek ini tak
kalah gesit. Tubuhnya telah melompat
pindah ke lain dahan sebelum lengan
Nanjar berhasil menangkap pergelangan
kakinya.
"Setan tua! aku takkan melepas-
kanmu sebelum aku balas mengencingi
kau!" teriak Nanjar. Tubuhnya telah
berkelebatan melompat untuk mengejar,
"Hehehehe.... ayo kejarlah aku
monyet kecil!" teriak si kakek dengan
tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya ber-
kelebat cepat sekali melompat dari
puncak pohon ke puncak pohon. Akan
tetapi Nanjar selalu berada di
belakangnya yang juga melompat dengan
gerakan cepat mengejar si kakek.
Terjadilah kejar-kejaran di puncak-
puncak pohon itu. Sepintas dari jauh
sepertinya dua kera saja yang saling
berkejar-kejaran menimbulkan suara
berkerosakan.
***
Kita tinggalkan dulu keadaan
Nanjar yang mengejar si kakek sinting,
yang telah mengencingi tubuhnya. Dua-
duanya boleh dikatakan manusia-manusia
yang juga sinting. Karena Nanjar mana
mau berhenti mengejar kalau belum
membalas mengencingi si orang tua
misterius yang berkepandaian tinggi
itu.
Sementara keadaan di wilayah
Kota Raja kerajaan Giri Jaya dilanda
kekisruhan dengan ulah si pembunuh
keji yang terakhir telah merenggut
nyawa Adipata Gantra itu, kita beralih
ke lain tempat.
Di sebuah ngarai terjal yang
diapit oleh dua buah bukit diantara
deretan perbukitan dipegunungan Dieng,
tampak suatu pemandangan aneh terlihat
di udara. Sekelompok burung elang yang
terbang memutari lembah itu, tiba-tiba
perdengarkan suara memekik terkejut.
Kelompok burung elang itu terbang
membuyar. Apakah gerangan yang
terjadi? Kiranya segelombang angin
yang berputar keras telah mengganggu
kelompok burung elang itu yang muncul
dari dasar lembah. Pusaran angin yang
hebat itu agaknya tak mampu membuat
kawanan burung elang untuk menghindari
diri dari bahaya.
Dalam beberapa kejap saja tubuh
mereka terbawa pusaran angin dahsyat
itu dan telah menghisapnya masuk ke
celah dua bukit tersebut. Seperti
ditelan bumi saja layaknya belasan
kawanan burung elang itu lenyap...
Ternyata angin puting-beliung itu
berasal dari mulut sebuah goa yang
berada di dinding tebing di dasar
lembah. Sekejapan saja elang-elang itu
telah lenyap meluncur masuk kedalam
mulut goa itu.
Sukar untuk dipercaya karena
dalam goa itu duduk di atas batu
seorang kakek yang memejamkan matanya.
Kakek ini memakai jubah hitam yang
membungkus seluruh tubuhnya. Dan
ternyata belasan ekor burung elang itu
telah berada dihadapannya dalam
keadaan lemas tak berdaya.
Gelombang angin dahsyat itu
telah lenyap sirna. Kakek tua renta
yang berperawakan gemuk berambut putih
yang bergelung diatas kepala itu
tampak membuka sepasang matanya.
EMPAT
Hehehe... bagus! aku telah
berhasil menguasai ilmu tenaga dalam
gaib dengan mempergunakan ilmu batin.
Ilmu ini kunamakan ilmu ANGIN DEWA
PRAHARA! Dua belas tahun aku mendekam
di goa ini akhirnya aku berhasil
menguasai ilmu-ilmu gaib yang dapat
kupergunakan kelak untuk menghancurkan
kerajaan Giri Jaya! Tak akan puas
hatiku sebelum aku turun tangan
sendiri membunuh manusia-manusia
binatang yang telah membuat aku
menderita tanpa daksa!" menggumam si
kakek. Kelihatannya kakek ini berwajah
ramah, namun dihatinya tersimpan
dendam yang luar biasa yang selama ini
tetap berkobar di dadanya.
Dia menetap ke arah belasan ekor
burung elang yang dalam keadaan lemas
tak berdaya dihadapannya. Tampak
bibirnya berkomat-kamit seperti mem-
baca mantera-mantera. Sementara
sepasang matanya tetap menatap tak
berkedip pada binatang-binatang itu.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Ketika
si kakek membuka mulutnya belasan ekor
elang itu berkelojotan sekarat ketika
hawa panas keluar dari rongga mulut
kakek. Dalam beberapa kejap saja
bulu-bulu burung elang itu rontok-
rontok hangus!
Hawa panas itu lenyap ketika si
kakek mengatupkan bibirnya. Namun tak
lama itupun angin halus menerpa bulu-
bulu itu hingga bertaburan lenyap,
ketika si kakek monyongkan sedikit
bibirnya untuk meniup.
Tak lama dia telah ngangakan
lagi mulutnya. Dan hawa panas kembali
menerpa ke tubuh-tubuh belasan elang
yang sudah bersih terkuliti bulu-
bulunya. Beberapa saat kira-kira
sepemanggangan, maka terciumlah bau
wangi sedapnya panggang daging burung.
Barulah si kakek katupkan lagi
mulutnya. Bibirnya tersenyum menye-
ringai.
"Hahaha... perutku lapar !
Sebelas ekor panggang burung elang ini
cukup untuk menangsal perutku sambil
menunggu kedatangan si Cantrik..."
Kelihatannya memang aneh, karena
kakek ini makan tanpa mempergunakan
tangan. Tentu saja, karena sepasang
lengannya kutung sebatas pangkal
lengan. Entah bagaimana seekor
panggang burung seperti terhisap
melompat ke arahnya, dan dengan sigap
sepasang lengan buntung itu
menangkapnya. Dengan mempergunakan
lengannya yang buntung itulah dia
menyantap makanan enak itu.
Siapakah gerangan kakek aneh
yang bukan saja sepasang lengannya
buntung, akan tetapi juga sepasang
kakinyapun buntung sebatas paha.
Siapakah gerangan kakek aneh
yang berilmu batin tinggi serta
memiliki kekuatan tenaga gaib yang
amat luar biasa itu? Segera anda akan
mengetahui, karena pada saat tiga ekor
burung elang masuk ke perut kakek ini,
tiba-tiba kakek ini mengendengus.
Wajahnya berubah tak sedap dipandang.
Dan... "Frruuuh! dia telah
menyemburkan sisa kunyahan daging di
mulutnya.
Matanya menatap ke arah mulut
goa. Bibirnya bergerak mengeluarkan
suara desisan.
"Heh! agaknya hari ini aku akan
kedatangan tetamu-tetamu..! siapa
gerangan mereka? Hm, sejak selama dua
belas tahun tempat ini tak pernah
dijamah manusia. Tapi hari ini ada
empat manusia berdatangan ke tempatku!
Ya, empat orang! Apakah di antaranya
ada si Cantrik anak gadisku?"
Dengan berdesis demikian si
kakek tampak miringkan telinga seperti
meneliti melalui pendengarannya.
Pada saat itulah terdengar suara
dari luar goa.
"Heeiii! SILUMAN GILA GULING!."
"Betul dugaanku! Si Cantrik sari
ada diantara mereka, dan telah
tertawan! kurang ajar!" berkata
pelahan si kakek.
"Silahkan kalian masuk, orang-
orang gagah! Aku sedang malas untuk
menyambut kedatangan tetamu! Sebutkan
diri kalian! Kalian telah menjadi
tetamu pertamaku! Akan tetapi bocah
perempuan itu jangan kalian pakai
untuk menjadi sandera, karena aku tak
akan memperdulikan mampus atau tidak!"
Suasana kembali hening. Tak ada
sahutan dari luar. Setelah beberapa
saat tak ada suara maupun reaksi dari
para "tetamu"nya untuk memasuki
ruangan goa, si kakek perdengarkan
suara tertawa terkekeh-keheh.
Sementara itu keadaan di luar
goa, terlihat tiga orang laki-laki
berusia hampir rata-rata setengah abad
berdiri tegak menghadap ke arah mulut
goa.
Pandangan mata mereka seperti
tegang. Ternyata mereka adalah tokoh-
tokoh dunia Rimba Hijau yang punya
nama cukup besar. Diantaranya adalah
si KAPAK SETAN seorang yang bertubuh
pendek memakai jubah kuning.
Dipinggangnya terselip dua belas
kapak. Laki-laki ini mengenakan kalung
yang berbandulan kepala tengkorak
berukuran kecil.
Laki-laki kedua adalah seorang
yang bertubuh jangkung kurus. Kumisnya
panjang menjuntai hampir sejengkal.
Wajahnya lonjong, berkulit muka hitam.
Memakai jubah kuning. Lengannya
mencekal sebuah tongkat berduri.
Dialah si Iblis Tongkat Racun!
Sedangkan orang ketiga adalah seorang
laki-laki bertubuh tegap. Otot-ototnya
bertonjolan. Dadanya bidang dan
ditumbuhi bulu lebat. Kulit mukanya
kasar. Matanya cuma melek sebelah.
Orang ini tak mengenakan baju bagian
atas, kecuali celana pangsi yang
berwarna hitam. Dialah si KEBAL PICAK.
Orang kuat yang kulitnya sekeras besi!
Orang keempat adalah seorang
wanita yang kepalanya terbungkus kain
hitam. Wanita itu kedua tangannya
terikat, dan dalam keadaan menekuk
lutut didekat kaki si Kebal Picak.
Ketiga orang ini seperti ragu
untuk memasuki goa, Mereka, khawatir
kena jebakan musuh. Sedangkan kata-
kata si Siluman Gila Guling telah
membuat mereka jadi terpaku, karena
jelaslah kalau adanya tawanan ditangan
mereka tak berarti sama sekali.
Tiba-tiba segelombang angin
menerpa ketiga laki-laki itu.
Terkesiap ketiganya karena angin itu
keluar dari mulut goa. Dan lebih-lebih
terkejutnya mereka karena tubuh mereka
seperti tersedot oleh hisapan angin
itu yang merangkum mereka untuk
menarik masuk ke dalam mulut goa.
Akan halnya si wanita yang
tertutup kepalanya oleh kain hitam
itu, tak ampun lagi sudah tersedot
masuk kedalam goa.
Tinggallah ketiga laki-laki itu
yang tampak bertahan sekuat tenaga
menahan hisapan gelombang angin itu.
Si Iblis Tongkat Racun tancapkan
tongkatnya dalam-dalam ke tanah. Dan
dia segera cepat berpegangan pada
tongkat agar tak terhisap angin.
Sedangkan si Kebal Picak. gunakan ilmu
kekuatan tenaga dalamnya untuk
memberatkan tubuh. Sedangkan si Kapak
Setan melompat untuk batang pohon.
Saat itulah terdengar suara
tertawa terkekeh-kekeh dari dalam goa.
"Heheheh... heheh... cukuplah
kau merasai kehebatan ilmu yang
kupertunjukkan! Segera kalian
kembalilah pulang! Aku tak memerlukan
keterangan apa-apa, karena muridku
akan menceritakan siapa kalian! Akan
tetapi lain hari jangan menyangka aku
akan memberi hidup nyawa kalian!"
Selesai berkata mendadak
gelombang angin dahsyat itu lenyap
sirna.
Suasana di luar goa kembali
tenang seperti sediakala.
Ketiga laki-laki itu menghela
napas lega. Wajah-wajah mereka tampak
pucat bagai mayat. Ketiganya saling
pandang seperti kebingungan. Akan
meneruskan melabrak si Siluman Gila
Guling ataukah kembali pulang dengan
membawa kesialan? karena sedianya
wanita tawanan itu akan dipergunakan
untuk menyandera tapi telah lepas dari
tangan mereka. Kehebatan ilmu si
Siluman Gila Guling sukar untuk
dijajagi. Jangan-jangan justru mereka
akan kehilangan nyawa sia-sia. Memikir
demikian, ketiganya sama mengangguk
untuk tak menyia-nyiakan kesempatan
emas dengan diberinya peluang hidup
pada mereka.
"Mari kita pergi!" berdesis si
Iblis Tongkat Racun.
Sekejap ketiganya telah
berkelebatan pergi meninggalkan lembah
itu.
Suasana disekitar tempat sunyi
yang tempat angker dan misterius
itupun kembali lengang, seolah tak ada
tanda-tanda kehidupan.
LIMA
TUBUH si wanita yang meluncur
masuk ke dalam goa terhisap angin
dahsyat ciptaan si kakek Siluman Gila
Guling itu telah berada di hadapan
dengan si kakek keadaan masih
berlutut.
Kekuatan tenaga gaib si kakek
membuat tubuh wanita itu melayang
turun pelahan di hadapannya tanpa
cidera.
Bukan itu saja, karena tutup
kepala kain hitam yang menyembunyikan
wajah wanita itu kini telah terbuka.
Wajahnyapun segera tampak nyawa kalau
dia seorang wanita berparas cantik
berusia antara sembilan belas tahun.
Wanita ini ternyata wanita yang muncul
di gedung Kedipatian.
"Cah ayu... Cantrik! ceritakan
sejujurnya mengapa hal ini bisa
terjadi? Tak seharusnya kau tertawan
oleh tiga "tetamu" kurang ajar itu!
Mereka telah mengetahui tempat
tinggalku! tentu kau yang menjadi
penunjuk jalan! katakan, siapakah
mereka? dan ceritakan juga apakah kau
telah melaksanakan tugas-tugas yang
kuberikan padamu?" berkata si kakek.
Gadis ini tak segera menjawab
selain menundukkan kepalanya. Semen-
tara kedua pergelangan tangannya masih
terikat tali kulit di belakang
punggung.
"Hm..! mendengus si kakek.
Sepasang matanya menatap si gadis.
"Membaliklah kebelakang!" ujarnya.
Gadis ini tak ayal segera turutkan
perintah si kakek. Sepasang Mata kakek
ini menatap tajam ke arah tali
pengikat yang membelenggu kedua lengan
dara itu. Aneh, cuma sekejapan saja
tali kulit yang atot itu telah putus,
dan terbuka ikatannya, ketika secercah
sinar biru menyambar tali-temali itu.
Cepat gadis itu balikkan
tubuhnya, lalu menjura di hadapan sang
kakek dengan bersujud. "Maafkan aku,
ayah! aku tak segera menjawab
pertanyaanmu. Terima kasih atas
pertolongan ayah..." berkata dia.
"Nah! segera kau ceritakan apa
yang terjadi sebenarnya, dan siapa
adanya ketiga "tetamu" kurang ajar
itu? Dan bagaimana dengan tugas-
tugasmu?"
Tanpa diperintah untuk kedua
kali, segera dara bernama Cantrik Sari
ini tuturkan kejadian dari awal hingga
akhir.
Ketika digedung kedipatian
tengah terjadi keributan dengan
terbunuhnya Adipati Gantra yang
mayatnya tergantung di tiang pendopo
dengan keadaan mengerikan, sesosok
tubuh berkelebat cepat melintasi
perbatasan Kota Raja,
Dialah wanita yang telah mem-
bunuh dua orang pengawal kedipatian.
Setengah hari melakukan perja-
lanan, gadis ini diam-diam telah
dikuntit oleh tiga sosok tubuh yang
terus membuntuti langkahnya.
Naluri dara ini agaknya cukup
tajam karena dia merasa ada yang
mengekor di belakangnya. Tapi ter-
lambat sudah, karena ketika dia ber-
henti untuk memperhatikan telah
terdengar bentakan keras. Dan tiga
sosok tubuh telah berkelebatan mengu-
rungnya.
Mereka tak lain dari tiga orang
laki-laki kaum Rimba Hijau yang
menyatroni tempat tinggal gurunya dan
yang telah menawannya seperti
diceritakan dibagian depan. Yaitu si
Kebal Picak si Iblis Tongkat Racun dan
si Kapak Setan!
"Kurang asem! kiranya yang
selama ini dijuluki si manusia iblis
dan telah membunuhi orang-orang
kerajaan secara sadis adalah kau
seorang gadis cantik!?" membentak si
Raja Tongkat Racun dengan mata
mendelik.
"Siapa kalian?" berkata lantang
dara ini. Matanya tajam menatap ketiga
laki-laki yang mengurungnya.
"Hehehe... aku dijuluki si Iblis
Tongkat Racun! Untuk wilayah
pegunungan Kendeng orang telah tahu
siapa diriku! Dan kedua kawanku ini
adalah si Kapak Setan dan seorang lagi
adalah si Kebal Picak!" menyahut si
Iblis Tongkat Racun seraya menunjuk
pada kedua laki-laki kawannya.
"Hm, dengan dalih apa kalian
menuduh aku yang telah melakukan
perbuatan seperti yang kau tuduhkan
padaku?"
"Hen! mengakulah saja kau bocah
ayu! Selama ini aku dan kedua kawanku
ini telah menyelidiki setiap terjadi
pembunuhan secara sadis itu. Kali
terakhir aku dengan mata kepala
sendiri telah menyaksikan perbuatanmu
membunuh dua orang pengawal kedipaten
dan membunuh Adipati Gantra serta
menggantungnya di tiang pendopo gedung
kedipatian! Apakah kau masih mau
mungkir?" berkata si Iblis Tongkat
Racun dengan menyeringai.
Gadis ini merah seketika
wajahnya. Tapi dia mendengus seraya
meludah.
"Cuih! baik, aku mengaku! memang
aku yang melakukan semua pembunuhan.
Lalu apa maksud kalian mencampuri
urusanku? bukankah kalian sendiri
adalah tokoh-tokoh golongan sesat?"
berkata si gadis. Dara ini memang
telah mendengar nama ketiga tokoh
hitam Rimba Hijau itu dari si Kakek.
"Benar kami dari golongan kaum
sesat. Tapi tak tahukah kau bahwa
orang-orang yang kau bunuh itu ada
hubungannya dengan kami? Kecuali guru
silat bernama LOH JENTO itu yang
lainnya adalah orang-orang yang punya
hubungan erat dengan kami, termasuk
Adipati Gantra!" berkata si Iblis
Tongkat Racun.
Gadis ini kerutkan keningnya.
Sepasang alisnya terjungkit. Tampaknya
dia agak terheran mendengar jawaban si
Iblis Tongkat Racun.
Akan tetapi dia tak mau banyak
bertanya. Segera dia berkata ketus.
"Aku tak peduli! apakah mereka
konco-konco atau bukan. Yang jelas apa
yang kulakukan adalah berdasarkan
perintah guruku!"
"Bagus! Siapakah gurumu?"
bertanya si Iblis Tongkat Racun.
"Ya! katakan siapa adanya
manusia yang menitahkan kau membantai
orang-orang abdi kerajaan itu?" si
Kapak Setan yang sedari tadi diam saja
ikut pentang mulut buka suara.
"Hm, baiklah! kukira aku tak
perlu merahasiakan lagi. Guruku
bergelar SILUMAN GILA GULING!"
menyahut lantang si gadis.
Mendengar nama gelar demikian
ketiga laki-laki itu sama saling
pandang dengan kawannya. Mereka baru
pernah mendengarnya.
"Siluman Gila Guling? aku belum
pernah mendengar? Dari golongan
manakah gurumu itu? Apakah dia
sebangsa siluman atau manusia?"
bertanya si Iblis Tongkat Racun dengan
terperangah.
"Hihihi... Dikatakan golongan
siluman masuk akal, tapi dimasukkan
golongan manusia juga tidak salah!"
tertawa lucu dara ini, akan tetapi
sepasang matanya tampak berubah
nyalang, hingga menampakkan wajah yang
sadis.
"Kalian tak perlu banyak tahu
tentang guruku, Seperti juga orang-
orang abdi kerajaan yang sudah mampus
itu. Itulah perintah guruku. Kalian
telah mengetahui julukan guruku, maka
terpaksa aku harus membunuh kalian,
karena kalian termasuk konco-konconya
orang yang diperintahkan guruku untuk
membunuhnya!" berkata tandas wanita
ini sebelum tiga laki-laki itu buka
suara.
Mendengar kata-kata gadis ini
ketiga laki-laki itu saling pandang
dengan kawannya.
"He? dengarkah kau apa katanya?
Bocah perempuan manusia Iblis ini mau
membunuh kita! Apakah kalian akan
biarkan isi perutmu dikeluarkan dan
kaki tanganmu dibuntungi seperti
korban-korban yang telah dibunuh dia?"
bertanya si Iblis Tongkat Racun seraya
menatap pada dua kawannya.
"Hahaha... kalau dia mampu
mengupas kulit perutku, aku rela isi
perutku akan kuberikan padanya!"
berkata jumawa si Kebal Picak. "Justru
aku mau menangkapmu, gadis cantik!
Ingin kutahu apakah kau mampu berbuat
seperti korban-korbanmu terhadapku?"
Selesai berkata si Kebal Picak
melompat kehadapan dara ini.
"Gadis semontokmu tak seharusnya
melakukan pekerjaan sadis, sebaiknya
kau menemani aku tidur! hahaha..."
Lengan si Kebal Puncak meluncur ke
arah dada untuk mencengkeram buah dada
gadis ini yang membuat matanya
membinar. Sementara lengannya yang
satu lagi bergerak cepat untuk menotok
ke arah jalan darah ditubuh sang
gadis.
"Kurang ajar!" memaki dara ini
seraya dengan cepat miringkan tubuh
menghindari serangan. Sebelah
lengannya digunakan untuk menangkis.
Akan tetapi dengan gerakan cepat
si Kebal Picak robah serangan. Kedua
lengannya digunakan untuk menangkap
pergelangan tangan dara ini.
Terkejut si gadis. Namun apa
yang dilakukan dara ini membuat si
Kebal Picak membuang tubuhnya ke
samping, karena detik itu si gadis
telah mengirim serangan kilat ke arah
perut.
Buk!
Terhuyung laki-laki ini. Kalau
dia tak berilmu kebal, tentu akan
dapat merasai akibat pukulan
mengandung tenaga dalam itu. Namun tak
urung si Kebal Pucat rasakan perutnya
mual.
"He? kalian mengapa cuma jadi
penonton saja? Hayo bantu aku
menangkapnya!" teriak si Kebal Picak
seraya berpaling pada si Iblis Tongkat
Racun dan si Kapak Setan.
Tanpa menunggu lebih lama lagi
kedua laki-laki ini telah berlompatan
untuk membantu.
Menghadapi keroyokan dari ketiga
laki-laki golongan hitam sudah
berpengalaman didunia Rimba Hijau ini
agaknya si gadis harus keluarkan
seluruh kelihaiannya. Bahkan setelah
lewat dua puluh jurus dia nampak
terdesak.
Hal tersebut menggembirakan
ketiganya. Dengan saling bantu-
membantu akhirnya tongkat si Raja
Racun berhasil menotok urut jalan
darah di tubuh gadis itu. Dan lengan
si Kebal Picak berhasil menangkap
pergelangan sang dara ini yang
langsung memuntirnya ke belakang.
Saat itu kapak maut si Kapak
Setan meluncur deras kearah kepala si
gadis.
"Kubikin mampus saja sekalian!"
teriak laki-laki ini. Akan tetapi
terdengar bentakan keras.
"Tahan!" Kalau saja lengan si
Kebal Picak tak menangkap mata kapak
itu nyaris akan terbelahlah kepala si
gadis yang saat itu telah terkulai tak
berdaya.
"Bodoh!" memaki si Kebal Picak.
"Kalau kau membunuhnya berarti
selamanya kau tak akan tahu dimana
adanya dan siapa sebenarnya si Siluman
Gila Guling itu. Gadis ini bisa
menunjukkan tempat tinggal siluman
itu. Dan... hampir aku kehilangan
tubuh empuk yang masih menggiurkan
ini!"
Demikianlah, dengan keadaan
tertotok dan tak berdaya gadis ini
berada dalam cengkeraman ketiga laki-
laki itu.
Si Kebal Picak yang tampaknya
sangat bernafsu melihat kemontokan
tubuh si dara. Tak dapat menahan
kesabarannya untuk segera memondongnya
dan membaringkan tubuh dara itu di
rumput yang tebal.
"Eh, kalian menyingkirlah dulu.
Kalau kalian juga mengingini
kehangatan tubuh si cantik ini,
nantilah setelah aku!" berkata si
Kebal Picak.
"Wah! ini tidak adil! Kita
meringkusnya bertiga tapi kau yang
mengangkangi duluan!" sungut si Iblis
Tongkat Racun.
"Benar! seharusnya diundi! siapa
yang menang dialah yang duluan!" si
Kapak Setan itu bicara.
"Baik! dengan cara undian
bagaimana yang kalian inginkan?"
berkata si Kebal Picak seraya bangkit
berdiri. Sebenarnya hatinya mendongkol
karena usul si Kapak Setan. Padahal
kalau tak ditangkapnya mata kapak yang
sedianya membelah kepala gadis itu,
tentulah gadis cantik ini telah tewas.
Entah cara bagaimana mereka
melakukan undian, tapi yang jelas
ternyata si Kebal Picak berhasil
memenangkan undian, dan dia tetap yang
berhak paling dulu menggarap korban.
Dengan nafsu yang bergejolak si
laki-laki berkulit kebal ini membukai
pakaian gadis itu, sementara kedua
kawannya menyingkir pergi.
Demikianlah! tak dapat ditawar
lagi lenyaplah kehormatan sang gadis,
oleh si Kebal Picak. Yang selanjutnya
secara bergiliran si Iblis Tongkat
Racun dan si Kapak Setan pun
mendapatkan gilirannya.
Selesai dengan urusannya mereka
mengikat tangan gadis itu, lalu
membuka totokan dan memaksanya
menunjukkan tempat tinggal si Siluman
Gila Guling. Dengan menahan air mata
serta kebencian yang sedalam lautan si
gadis yang dijuluki si manusia iblis
itu menggangguk.
"Baik! aku bersedia mengantar
kalian ke tempat guruku!" sedangkan
dalam hati dia memaki. "Tunggulah saat
kematian kalian kelak! Aku akan
membunuh kalian dengan cara yang lebih
sadis lagi! Akan kubuat kematian
kalian secara perlahan-lahan!"
Demikianlah! si dara cantik ini
paparkan semua kejadian yang
dialaminya, juga diceritakan mengenai
keberhasilan tugas-tugasnya membunuh
orang-orang abdi kerajaan termasuk
yang terakhir adalah Adipati Gantra.
"Bagus! anakku! selesailah sudah
tugasmu! Kini kau bebas menentukan
nasibmu sendiri! Pengorbananmu cukup
besar, Cantrik Sari. Hingga kau harus
kehilangan nasib kehormatanmu. Haiih!
andai aku tahu ketiga cecungkuk itu
telah memperkosamu, tentu aku tak
membiarkan mereka minggat dalam
keadaan masih bernyawa!" berkata si
kakek.
Sementara itu terlihat sepasang
mata dara cantik itu basah bersimbah
air mata. Akan tetapi kesedihan itu
ditahannya dengan menggigit bibir.
Gadis ini telah banyak menderita
dan selama ini dia hidup dalam
kekerasan dalam gemblengan seorang
kakek tanpa daksa yang menyimpan
dendam sedalam lautan terhadap orang-
orang kerajaan Giri Jaya. Kepedihan
hatinya mendadak lenyap mendengar
kata-kata kakek itu yang seperti
menyuruhnya pergi, bahkan dia bebas
untuk menentukan nasib sendiri.
"Ayah... kau mengusirku, apakah
aku sudah tak berguna lagi? Sebagai
seorang anak, aku bertanya... Apakah
kau memutuskan hubungan darah antara
kita? Lalu kita tak akan bertemu
lagi?"
ENAM
"Kau bukan anakku!" berkata
pendek si kakek Siluman Gila Guling.
"Hah!? aku bukan anakmu? lalu
anak siapakah aku? Siapa ayahku dan
siapa ibuku?" tersentak kaget Cantrik
Sari.
Sejurus laki-laki tua ini
terdiam, seperti mengingat akan
peristiwa belasan tahun yang silam.
Dan dia menghela napas. Lalu berkata.
"Cah ayu Cantrik Sari! Kau
adalah seorang gadis yang bernasib
malang. Akan tetapi aku juga seorang
yang lebih malang dari kau! Carilah
seorang laki-laki tua bernama Kebo
Layung. Dia bekas seorang tukang kuda
di istana kerajaan Giri Jaya sebelum
dirajai oleh raja yang sekarang ini.
Dia akan membeberkan anak siapa
sebenarnya kau. Tapi kau harus katakan
bahwa selama ini kau dibesarkan dan
dididik ilmu-ilmu kedigjayaan oleh
aku. Namun kau jangan katakan aku si
Siluman Gila Guling. Karena dia takkan
mengenalnya. Katakan bahwa kau selama
ini bersama Panembahan "BROMO REKSO!"
Mendengar kata-kata itu si gadis
tercenung menyimak kata-kata si kakek.
"Dimana aku harus mencari orang
bernama KEBO LAYUNG itu, ah., ayah?"
Agak ragu Cantrik Sari memanggil laki-
laki tua tanpa daksa itu dengan kata-
kata ‘ayah’. Karena si kakek telah
mengatakan dia bukanlah anak
kandungnya.
"Panggillah aku Kakek penambahan
Bromo Rekso!" berkata si kakek.
"Ya, kakek panembahan Bromo
Rekso..!" ucap Cantrik Sari. Terasa
lidahnya kaku mengucapkan kata-kata
itu.
"Ya, ya..! mengenai orang yang
bernama Kebo Layung itu aku tak
mengetahui dimana adanya. Kau carilah
disekitar wilayah kota Raja! Mungkin
dia masih tinggal disalah satu desa
sekitar wilayah Kota Raja itu!" ujar
Siluman Gila Guling alias Ki Bromo
Rekso.
"Apakah masih ada pesan kakek
penambahan yang lain?" bertanya
Cantrik Sari.
"Kukira tidak! Nah, pergilah!
mumpung hari masing siang!" ujar orang
tua tanpa daksa ini seperti ingin agar
si gadis cepat-cepat berlalu.
Merasa dirinya sudah tak perlu
berdiam lebih lama lagi ditempat itu,
apalagi dia memang sudah merasa jemu
untuk terus tinggal didalam goa. Saat-
saat dia keluar goa untuk menjalankan
tugas baginya amat menyenangkan.
Karena dia bisa melihat keadaan
ditempat keramaian.
Tugas itu kini telah selesai.
Dan dia bebas menentukan cara hidupnya
sendiri. Apalagi telah diizinkan
bahkan diperintah oleh si Siluman Gila
Guling untuk dia pergi. Maka segeralah
dia mohon diri.
Tak banyak berkata-kata, si
kakek hanya mengangguk. "Pergilah!
Semoga Tuhan melindungi setiap
langkahmu, dan semoga kau bisa
mengetahui siapa ayah ibumu serta
bertemu dengan orang yang bernama Kebo
Layung itu!"
Cantrik Sari mengangguk, lalu
balikkan tubuh. Dan... dia segera
melangkah lunglai keluar dari goa. Di
depan mulut goa dia berhenti sejenak.
Terdengar suara helaan napasnya. Namun
sesaat kemudian dia telah berkelebatan
pergi, dan lenyap di ujung jalan di
lembah lengang itu.
****
Kita beralih lagi pada kedua
orang yang tengah berkejaran, yaitu si
kakek sinting pemabukan yang dikejar
terus-terusan oleh Nanjar.
Gara-gara Nanjar kena dikencingi
tubuhnya oleh kakek sinting itu, dia
mendongkol setengah mati. Hingga dia
terus mengejar. Bahkan Nanjar belum
puas bila belum membalas mengencingi
mulut si kakek konyol itu.
"Tunggu pembalasanku kau kakek
sinting!" memaki Nanjar dalam hati.
"Heei! mengapa kau berhenti
mengejar?" teriakan si kakek menggema
di lembah itu. Dia telah berdiri di
atas lamping batu, melihat kepada
Nanjar yang berdiri sembulkan kepala
di puncak pohon.
Nanjar memang sedang berpikir
mencari akal untuk membalas perlakuan
si kakek. Justru si kakek itu berhenti
melompat dan berdiri di atas batu.
"Kakek tua, sudahlah! aku
menyerah kalah! ilmu melompatmu
sungguh membuat aku kagum. Bolehkah
aku mengetahui siapa nama dan
julukanmu?" bertanya Nanjar seraya
melompat keatas batu tak jauh dari si
kakek.
"Hehehe..." si kakek tak
menjawab. Dia julurkan lengannya untuk
meraih buli-buli di pinggangnya. Lalu
menenggak araknya tanpa memperdulikan
pertanyaan orang.
Saat itulah Nanjar cepat
menjumput sepotong ranting. "Sialan!
ditanya malah minum arak. Ini
kesempatan yang baik!" berkata Nanjar.
Dan dengan gerakan kilat ranting di
tangannya telah meluncur ke arah si
kakek.
Tentu saja si kakek ini terkejut
merasai sambaran benda ke arahnya.
Seraya berteriak, "Aaiiiyaa..!" dia
melompat ke belakang untuk
menghindar.
Nanjar sudah menduga akan hal
itu. Pada saat itulah tubuhnya
berkelebat cepat dan lengannya
bergerak menyambar buli-buli.
Dan... Nanjar berhasil merampas
buli-buli itu dari tangan si kakek.
Akan tetapi Nanjar lupa kalau buli-
buli itu terikat seutas tali yang
terbelit di pinggang kakek itu.
Tubuhnya tersentak tali, dan buli-buli
itu nyaris terlepas lagi.
"Celaka!" pikir Nanjar! Akan
Tetapi dia tak kehilangan akal. Segera
dia melompat dan gubatkan tali di
sebatang pohon. Di balik batang pohon
itulah Nanjar dengan cepat membuka
tali celananya. Dan... Serrrrrr! Suara
berdesirnya air yang memancur dari
tengah pangkal pahanya itu dibarengi
dengan suara tertawa Nanjar yang
mengakak terbahak-bahak. Bahkan sampai
terbatuk-batuk.
Sementara dengan terheran si
kakek memandang ke arah Nanjar yang
berada di belakang pohon dimana tali
buli-bulinya terentang.
"He! monyet kecil! apa yang kau
lakukan di situ?" teriaknya. Dia tak
berani melompat untuk mendekati karena
khawatir kena serangan gelap yang
dilakukan Nanjar. Namun dia lebih
menghkawatirkan isi buli-bulinya
Justru pada saat itu Nanjar
muncul dari balik pohon dengan tertawa
nyengir. "Hehe... hahaha... arakmu
baik sekali, setan tua! Terima kasih
atas kebaikanmu!" berkata Nanjar
sambil menyeka mulutnya.
"Monyet kecil! kurang ajar! apa
kau telah menghabiskannya?" mendelik
mata si kakek.
"Hahaha... jangan khawatir. Aku
tak serakah untuk meludaskannya. Aku
hanya sekedar menghilangkan hausku
karena mengejarmu...!" Ujar Nanjar
seraya lemparkan buli-buli kepada si
kakek.
Tak ayal lengan si kakek segera
menyambar kearah buli-bulinya.
Lalu digerak-gerakkan untuk
mengetahui apakah masih ada isinya.
"Heh! aku main serobot seenakmu
dan menenggak arakku tanpa sopan-
santun, monyet kecil? Haiih! kau tak
tahu arak ini adalah bagian dari
hidupku! Aku tak dapat hidup tanpa
arak. Dan selamanya arak akan tetap
menjadi minumanku. Sesuai dengan
gelarku si Gila Pemabukan!" Selesai
berkata dia telah menenggak araknya
dengan rakus dan sampai tandas!
Saat itulah Nanjar tak dapat
menahan rasa gelinya. Dan dia tertawa
terbahak-bahak hingga terpingkal-
pingkal.
Sementara si kakek seperti baru
menyadari kalau ada sesuatu yang
ganjil dengan arak yang diminumnya.
Bau pesing yang menyambar di hidung
itulah yang cepat menyadarkan dia.
Tapi arak sudah terlanjur tertelan.
"PRRUAAH!" Tak ayal dia telah
menyemburkan araknya lagi, dan muntah-
muntah karena tak tahan dengan bau dan
rasa mual di perut.
"Sialaaaan!" memaki si kakek
dengan wajah merah padam. "Kau monyet
kecil sialan! Kau berani kencingi
buli-buliku? Kuhajar kau!"
Bentakan si kakek menggeledek
yang dibarengi dengan menerjangnya si
kakek untuk melakukan hantaman ke arah
kepala Nanjar. Serangan hebat itu
membuat Nanjar tersentak kaget.
Untunglah dia masih mampu mengelakkan
diri dengan melompat ke kiri. Apa yang
dilakukan Nanjar adalah dia memanjat
pohon dengan cepat bagai kera yang
naik ke pohon. Sekejap saja sudah
berada dipuncaknya.
"Kurang ajar!" terdengar
bentakan si kakek. Dan...BRRAAKKK!
Batang pohon itu hancur kena hantaman
pukulan si kakek yang murka.
Dengan suara berkrotakan pohon
besar itu roboh.
Namun Nanjar telah melompat
turun ke arah lain dengan gerakan
"terbang"nya dan hinggap di atas
dataran berbatu-batu cadas.
TUJUH
Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk!
Buli-buli si kakek menyambar
deras ke arah Nanjar yang dibarengi
dengan hantaman-hantaman pukulan
dahsyat. Akan tetapi dengan gerakan
lincah Nanjar berhasil menghindari.
Bahkan dengan tertawa-tawa dia
berkata.
"Hahaha... setan tua! mengapa
kau marah? Bukankah kini hutangmu
sudah impas? Kau telah mengencingiku
dari atas pohon. Dan kini kau ganti
yang meminum air kencingku! Kau sudah
tak punya hutang apa-apa lagi padaku.
Bahkan kau telah membayar dengan
bunganya sekalian! hahaha...haha...,"
Mendengar kata-kata itu sejenak
si kakek terpaku, dan berhenti
menyerang. Bila dinilai kata-kata
pemuda di hadapannya itu benar juga.
Akan tetapi sungguh keterlaluan kalau
sampai dia meminum air kencing orang.
Terlalu dan sungguh memalukan.
"Kau bocah licik siapakah
namamu?" membentak si kakek.
"Waduh! aku lupa lagi namaku,
kek! Entah siapa namaku. Bahkan ayah
ibuku sendiripun aku tak mengetahui!"
"Bocah linglung! Baru aku
menjumpai orang yang lupa namanya
sendiri. Bahkan nama ayah ibumu pun
kau tak mengetahui. Apakah kau
dilahirkan keluar dari liang batu?"
"Haha...mungkin juga! Kau sebut
sajalah aku si Dewa linglung!" berkata
Nanjar.
Dia memang tak mau menyebutkan
namanya. "Mengenai aku dilahirkan dari
liang batupun aku tak mengetahui.
Liku-liku hidupku aneh. Sejak kecil
aku telah dipelihara oleh seorang
kakek bernama Ki BAYU SETHA yang
bergelar si Pendekar Bayangan. Namun
sampai matinya guruku tak pernah
menyebutkan anak siapa aku?"
"Bocah konyol! eh!? siapa? kau
mengatakan Ki BAYU SETHA? bertanya si
kakek dengan tertegun. Nyatalah kalau
kakek ini sebenarnya tidak sinting.
Karena dia mampu mengingat nama orang
yang sudah puluhan tahun lewat.
"Ya! apakah kau mengenal guruku
itu?" bertanya Nanjar.
"Ya, ya! aku pernah mendengar
namanya pada lebih dari dua puluh
tahun yang silam. Dialah seorang
pendekar yang agung. Penjunjung tinggi
kebenaran dan pembela keadilan. Banyak
orang mengagumi kebesaran namanya pada
waktu itu!" bertutur si kakek.
"Kau mengatakan sampai matinya
dia tak menceritakan siapa kedua orang
tuamu. Apakah dia sudah tak ada di
dunia ini?" berkata si kakek.
"Benar, kematiannya oleh seorang
tokoh golongan hitam yang bergelar si
Dewa Tengkorak!" ujar Nanjar. "Akan
tetapi si Dewa Tengkorak sendiripun
tewas membunuh diri diakhir
pertarungan dengan Ki Bayu Setha!"
tutur Nanjar.
"Hm. dari mana kau peroleh
keterangan? Apakah kau melihatnya
sendiri?"
"Seorang perempuan yang pertama
menjadi saudara seperguruanku sendiri
yang menyaksikan pertarungan beliau
dengan si Dewa Tengkorak!" jawab
Nanjar.
"Dia bernama roro. Lengkapnya
RORO CENTIL!" sambungnya.
Mendengar disebutnya nama itu
alis si kakek terjungkit naik.
"Bukankah dia si Pendekar Wanita
Pantai Selatan yang tersohor itu?"
tanyanya heran.
"Tidak salah! He? kau tampaknya
banyak tahu kek? apakah kau juga
mengetahui dimana adanya dia saat
ini?" bertanya Nanjar. Entah mengapa
dia ingin sekali berjumpa dengan
pendekar perkasa yang masih saudara
seperguruannya itu dan yang pernah
digandrunginya setengah mati.
"Hahaha... baru kuingat kini!
baru kuingat! Ya,ya! aku baru ingat!"
Tiba-tiba si kakek tertawa terkekeh-
kekeh. Sejak tadi dia selalu memper-
hatikan Nanjar dikala bicara. Bahkan
pertanyaan Nanjar yang menanyakan
dimana adanya Roro Centil pun tak
didengarnya. Karena kakek ini rasakan
jantungnya berdebar. Bayangan masa
lalu terbayang dipelupuk matanya.
"Apa maksudmu, kek? apakah
yang kau ingat?" tanya Nanjar
terheran.
Tapi yang ditanya diam seperti
arca. Matanya mendelong menatap ke
depan. Namun tak tahu apa yang tengah
diperhatikannya. Ternyata dia
terkenang pada masa yang silam.
Wajah seorang wanita terbayang
di pelupuk matanya. Wanita yang cantik
berkulit putih. Wanita yang lugu
dengan ciri khas kedesaannya. Juga
seorang wanita yang setia pada seorang
suami. Dialah istriya. Kejadian dimasa
pemberontakan pada masa yang lalu,
pada masa Kerajaan MEDANG, terkuak di
depan matanya lagi.
Kerusuhan yang dimana-mana
dimasa yang sedang gawat itu, dia
masih berusia tiga puluh lima tahun.
Istrinya bernama GINARSIH. Dan dia
sendiri bernama ANJAR SUBRATA. Disaat
mengungsi dari Kota Raja akibat
kerusuhan yang melanda kerajaan Medang
dengan terjadinya pemberontakan itu,
sang Istri melahirkan. Ya!
kelahiran yang tak diduganya sama
sekali. Ginarsih melahirkan bayi laki-
laki yang montok dan sehat. Akan
tetapi sesaat setelah kelahiran sang
jabang bayi, Ginarsih menghembuskan
napas yang penghabisan. Goncangan-
goncangan hati didalam kekalutan itu
serta kekhawatiran pada sang jabang
bayi dalam perutnya membuat daya
tubuhnya melemah. Hingga sesaat
berselang setelah melahirkan, sang
istri menghembuskan nafasnya.
Masih terngiang ditelinganya
kata-kata terakhir Ginarsih sesaat
sebelum berpulang. Yang menyuruhnya
menjaga sang jabang bayi dengan baik,
dan mendidiknya agar menjadi seorang
pendekar pembela kebenaran, serta
berbakti pada kerajaan Medang.
Tentu saja dia berjanji untuk
mewujudkan apa, yang menjadi keinginan
istrinya yang amat dikasihinya itu.
Suasana kekacauan masih belum reda.
Sang jabang bayi segera diberinya nama
seusai pemakaman sang istri. Akan
tetapi bayi itu perlu perawatan.
Terutama perlunya air susu ibu. Dari
mana dia mendapatkannya?
Tak ada jalan lain selain
menyerahkan sang jabang bayi untuk
dirawat sementara oleh seorang
penduduk dikaki gunung BISMO.
Sementara dia sendiri terlibat dalam
suasana kekacauan yang berada dimana-
mana. Penjahat dan perampok juga kaum
golongan sesat yang memanfaatkan
kekeruhan itu mencari mangsa untuk
kepentingan dirinya.
Terpaksa Anjar Subrata berpin-
dah-pindah tempat untuk menghindari
penjahat-penjahat itu. Hatinya berduka
dan dia menyesali akan kebodohannya
yang tak punya kepandaian. Hingga dia
tak mampu berbuat apa-apa. Sementara
tuntutan sang istri memenuhi benaknya.
Dia harus berkepandaian, demi cita-
cita itu! Dia harus ikut berjuang
menegakkan kebenaran membela Kerajaan
Medang.
Pergilah dia ke tempat sunyi.
Disana dia tafakur memencilkan diri
serta memuji kebesaran Tuhan, bahwa
dirinya masih bisa selamat. Dia memang
punya kepandaian. Tapi sedikit
kepandaian itu tak berarti apa-apa.
Untuk menghadapi kekuatan para
penjahat yang merajalela memeras
rakyat dia tak berkemampuan apa-apa.
Bahkan nyaris dia tewas ketika
membela penduduk dari tindasan kaum
pemberontak yang menguasai beberapa
buah desa. Dia bersyukur karena
kejadian itu tak berada di wilayah
lereng gunung Bismo. Gunung Bismo
terlalu jauh dari tempat kerusuhan
itu. Dan di lereng gunung itu cuma ada
sebuah desa kecil. Tak nantinya kaum
penjahat menyatroni ke sana.
Demikianlah! dengan memencilkan
diri itu, Anjar Subrata memperdalam
ilmunya seorang diri. Dia menciptakan
ilmu kepandaian dengan ciptaan
sendiri.
Keuletan dan kesabaran serta
kemauan keras membuat dia berhasil
menguasai ilmu-ilmu kepandaian tanpa
guru.
Lebih dari lima tahun dia
menyekap diri dalam hutan. Dan
akhirnya setelah dia merasa cukup
dengan ilmu yang dimilikinya,
dibulatkan hatinya untuk turun gunung
keluar dari tempat tersembunyi itu.
Tujuan utamanya adalah untuk
menemui anaknya si bayi mungil yang
dititipkan pada seorang desa di lereng
gunung BISMO.
Terasa lega hatinya karena
kekacauan tampaknya sudah mereda.
Kejahatan memang tak bisa sirna,
dan tetap ada dimana-mana. Dia tak
mengetahui tentang keadaan aman atau
tidaknya keadaan kerajaan. Rasa rindu
untuk menjumpai sang anak semakin
menggebu. Berangkatlah Anjar Subrata
menuju ke lereng gunung Bismo.
Akan tetapi yang dijumpai
membuat hatinya tersentak. Karena desa
dimana dia menitipkan bayinya telah
rusak binasa. Tak ada tanda-tanda
kehidupan disana. Hutan di lereng
gunung Bismo seperti baru dilanda
kebakaran hebat. Pohon-pohon mati
gersang. Rumput kering dan tanah yang
tandus. Dimana-mana yang tampak adalah
serpihan arang dan debu hitam.
O, betapa hancurnya hati Anjar
Subrata. Betapa pilunya hati seorang
ayah yang tak mengetahui dimana dan
bagaimana nasib sang anak.
Sejak saat itulah dia tak
mendengar lagi tentang anaknya itu.
Dan sampai saat ini. Kejadian itu
membuat dia tertekan batinnya. Hingga
dia mengalihkan kegoncangan jiwanya
pada minuman arak. Sejak itulah arak
menjadi sebahagian dari hidupnya.
Namun nama anak itu masih tetap
diingatnya. Dan tetap terukir
dibenaknya, walau sampai mati
sekalipun.!
"Ya! anakku kuberi nama
GINANJAR! aku masih mengingatnya dan
takkan pernah aku melupakannya!"
berkata kakek ini dalam hati.
"He! bocah! sebutkan siapa
namamu!" tiba-tiba si kakek ajukan
pertanyaan dengan mata memandang tajam
pada Nanjar. Sejak tadi Nanjar melihat
pada orang tua di hadapannya dengan
rasa aneh! Kini mendadak kakek itu
menanyakan namanya. Nanjar tertawa
ketika ingat bahwa si kakek ini rada-
rada sinting. Dia tertawa seraya
menyahut.
"Hahaha... bukankah sejak tadi
sudah kukatakan aku tak ingat namaku
lagi. Kau sebut sajalah aku si Dewa
Linglung!"
"Baik! baik! Dewa Linglung!
Apakah kau merahasiakan namamu ataukah
kau memang benar-benar lupa. Akan
tetapi ketahuilah! Aku pernah punya
anak laki-laki pada dua puluh tahun
lebih yang silam. Bocah laki-laki itu
kutinggalan dilereng gunung BISMO pada
seorang penduduk desa, karena aku tak
bisa merawatnya. Orang yang kutitipi
anakku itu mempunyai seorang bayi
perempuan, hingga anakku bisa
menumpang menyusu padanya. Kutitipkan
anakku padanya karena ibunya telah
mati! Kalau dia hidup, saat ini tentu
seusia denganmu!" berkata si kakek
dengan wajah murung
"Siapakah nama anakmu itu, kek?"
tiba-tiba Nanjar ajukan pertanyaan.
Wajahnya berubah serius, dan olok-
oloknya lenyap seketika yang tadinya
dia berniat menggoda orang.
"Dia kuberi nama Ginanjar!"
sahut si kakek.
Tersentak kaget Nanjar mendengar
jawaban si kakek. "Benarkah itu?"
pekik dihatinya.
"Ba... bagaimana ciri-ciri
anakmu itu? apakah kau masih
mengingatnya?" Penasaran Nanjar
kembali ajukan pertanyaan. Walau
hatinya terasa kaget dan girang bukan
main, tapi dia tak bisa menerima
begitu saja si kakek ini ayah
kandungnya. Didunia ini banyak nama-
yang sama.
"Anakku aku ingat betul ciri-
ciri pada tubuhnya. Dia mempunyai
tanda hitam sebesar ibu jari
dipantatnya!" menyahut si kakek dengan
wajah sungguh-sungguh.
"Ha? ti... tidak salahkah, kek?"
tanya Nanjar tergagap. Tanda itu ada
padanya. Bahkan Roro sering
mentertawakan kalah dia sedang mandi
melihat tanda hitam sebesar ibu jari
tangan yang ada di pantatnya.
"Aku... aku mempunyai tanda yang
kau sebutkan itu, kek! kau lihatlah!"
berkata Nanjar setengah berteriak. Dan
tak ayal lagi, dia segera buka
celananya. Kemudian tunggingkan pantat
dihadapan si kakek.
Membelalak mata si kakek melihat
tanda itu. Penasaran dia menghampiri
dan memperhatikan dengan teliti.
"Benar! tak salah lagi kau...
kau benar anakku!" tergetar suara si
kakek. Sepasang matanya menatap Nanjar
dengan membelalak.
Nanjar tak sempat untuk
kancingkan celananya lagi karena
seketika si kakek telah memeluk dengan
erat, seraya berteriak girang.
"GINANJAR! Oh, Ginanjar! kau...
kau benar anakku! kau benar bayi yang
kutitipkan dua puluh tahun lebih yang
lalu! Oooh, anakku...!"
Nanjar tak dapat membendung
perasaannya lagi, diapun mendekap
tubuh si kakek dengan teriak-isak.
"Ah., ayah! ayah...! Oh, kau...
kau ternyata ayahku! Betapa aku amat
merindukanmu, ayah!" Suara Nanjar
tergetar bercampur isak. Air matanya
meleleh membasahi pipinya. begitupun
si kakek. Kedua matanya berkaca-kaca
penuh genangan air mata. "Maafkan aku
ayah, aku telah berlaku kurang ajar
padamu...!" berkata Nanjar menyesali
perbuatannya.
"Tak apa anakku, tak aku yang
bikin gara-gara" Tukas Ki Anjar
Subrata dengan tertawa.
Betapa girang dan bahagianya
hati kedua insan yang baru saling
berjumpa dan saling mengenali itu
sukar untuk diceritakan...
DELAPAN
Nanjar duduk diatas batu di tepi
sungai berair jernih dipagi yang sejuk
itu. Matahari baru saja sembulkan
dirinya dari ufuk timur. Sementara Ki
Anjar Subrata baru saja selesai
bercerita mengenai pengalamannya
seusai tadi malam menceritakan tentang
riwayat Nanjar.
Nanjarpun telah menceritakan
pengalaman hidupnya yang mempunyai
beberapa orang guru. Hingga yang
terakhir dia menjadi murid Raja
Siluman Kera, Raja Siluman Ular, Raja
Siluman Biawak dan Raja Siluman
Harimau serta yang terakhir adalah
Raja Siluman Naga. Secara tidak
langsung Nanjar telah menjadi pewaris
ilmu tokoh persilatan golongan hitam
yang bergelar si Enam Iblis Pulau
Kambangan.
Kakek tua yang bernama Ki Anjar
Subrata itu tercenggang mendengar
penuturan Nanjar.
"Jadi terakhir guru-gurumu
adalah tokoh-tokoh golongan sesat?"
"Benar, ayah! Akan tetapi jangan
khawatir! Anakku tak akan menjadi
orang sesat. Aku hanya memetik ilmunya
saja yang akan kupergunakan untuk
bekal langkah-langkahku selanjutnya.
Aku bercita-cita menjadi seorang
pendekar tulen. Dan ilmu-ilmu kepan-
daian yang kumiliki akan kupergunakan
untuk membela kebenaran dan menghan-
curkan kebatilan!" sahut Nanjar dengan
suara gagah.
Ki Anjar Subrata manggut-
manggut. Dia tampak amat girang
sekali. Sungguh tak disangka dia akan
dapat berjumpa dan berjodoh untuk
kembali bertemu dengan sang anak.
"Sukurlah, kalau demikian
anakku, Nanjar! Tak ada kebahagiaan
lain bagiku selain melihat anaknya
berhasil menjadi seorang pendekar yang
gagah!" ujar Ki Anjar Subrata.
"Tak sia-sia almarhum ibumu
mengharapkan kau menjadi seorang yang
berkepandaian tinggi. Semoga kau dapat
gunakan ilmu-ilmu yang kau miliki
untuk membela yang lemah dan menindak
yang jahat! Terutama sekali kau bisa
membela dan menjaga keutuhan dan
ketenteraman kerajaan Mataram dari
para pemberontak!" tutur ki Anjar
Subrata selanjutnya.
"Terima kasih, ayah! Kelak suatu
saat akupun akan menghambakan diri
pada Kerajaan Mataram. Akan tetapi
saat ini aku masih senang mengembara.
Aku ingin banyak pengalaman di dunia
Rimba Hijau. Juga masih banyak
penindasan, kekerasan dimana-mana. Hal
itu menjadi tugasku untuk turun tangan
menyumbangkan tenaga membela yang
tertindas!" ujar Nanjar tegas.
Ki Anjar Subrata manggut-
manggut. "Aku tak dapat menghalangimu,
anakku. Dimasa muda akupun senang
mengembara ... akan tetapi aku tak
sehebat kau ...! Ilmu meringankan
tubuhmu luar biasa! Aku sungguh kagum
melihat kemampuanmu mengejarku, juga
mengelakkan serangan-seranganku yang
mengandung maut!" berkata laki-laki
tua itu.
"Ah, ayah dibandingkan kau, aku
bukan apa-apa..." tukas Nanjar
merendah. Akan tetapi dia tampak
senang sekali dipuji oleh ayahnya.
Dalam pembicaraan itu tiba-tiba
Nanjar teringat pada kejadian
pembunuhan yang baru saja kemarin
terjadi. Juga kejadian-kejadian
pembunuhan oleh orang yang disebut si
manusia iblis itu.
"Ayah! apakah kau mengetahui
siapa manusianya yang melakukan
serangkaian pembunuhan-pembunuhan keji
belakangan ini? Termasuk juga pembu-
nuhan seorang Adipati kemarin ini?"
bertanya Nanjar. Teringat Nanjar
ketika ayahnya tertawa sambil mabuk
yang justru menyumpahi orang-orang
kerajaan yang terbunuh.
Ki Anjar Subrata diam sejurus.
Lalu menghela napas sesaat, dan
ujarnya.
"Sebenarnya aku tak mengetahui
sama sekali siapa adanya pembunuh
misterius itu. Akan tetapi orang-orang
kerajaan Giri Jaya yang terbunuh itu
adalah orang-orang yang bekerja sama
dengan para penjahat. Mereka adalah
orang-orang Munafik yang bekerja
dibelakang kekuasaan Raja akan tetapi
diam-diam memeras dan menindas rakyat
serta mencari keuntungan pribadi
memperluas kekuasaan. Aku khawatir
suatu ketika mereka justru menjadi
pemberontak-pemberontak kerajaan!
Dibalik kejadian-kejadian itu tentu
ada sebab-sebabnya. Akan tetapi
pemhunuh itu memang terlalu keji dalam
melakukan pembunuhan!" ujar Ki Anjar
Subrata.
"Ayah! aku berniat menyelidiki
siapa si pembunuh misterius itu.
Dendam kesumat apakah hingga si
pembunuh misterius itu melakukan
pembantaian!" berkata Nanjar seraya
bangkit berdiri. Nanjar manggut-
manggut. "Dari mana ayah mengetahui
para abdi kerajaan Giri Jaya itu
bersengkongkol dengan para penjahat?"
tanyanya.
"Hm, tiga orang tokoh hitam yang
bergabung dan bekerja sama dengan
abdi-abdi kerajaan itu aku mengeta-
huinya. Dialah si Iblis Tongkat
Racun, si Kebal Picak dan si Kapak
Setan!!" sahut Ki Anjar Subrata.
"Ayah! aku berniat menyelidiki
si pembunuh misterius itu, juga
mencari ketiga manusia yang ayah
sebutkan itu! Dimanakah ayah berdiam
selama ini? kelak aku akan
mengunjungimu bila telah kuselesaikan
urusanku!" berkata Nanjar. Disebut-
kannya nama-nama ketiga tokoh itu
telah membuat Nanjar tersentak kaget.
Karena ketiga tokoh itulah yang tengah
dicarinya. Kejadian beberapa pekan
yang lain disaat dia melakukan
perjalanan ke utara Nanjar telah
memergoki kejadian mengenaskan. Yaitu
terbunuhnya puluhan manusia, yang
terdiri dari anak-anak buah sebuah
perguruan silat yang bernama perguruan
Elang Suci. Bahkan ketua dan wakilnya
serta terlihat diantaranya seorang
pendeta terbunuh tewas.
Dari keterangan yang dipero-
lehnya pembantaian itu dilakukan oleh
tiga orang yang masing-masing bergelar
si Kapak Setan, si Iblis Tongkat Racun
dan si Kebal Picak. Namun mengenai hal
tersebut Nanjar tak mau menceritakan
pada sang ayah.
Setelah termenung sejurus, ki
Anjar Subrata berkata.
"Aku tak dapat menghalang-
halangi niatmu! Memang tugas seorang
pendekar adalah melenyapkan kebatilan.
Kau sudah mengetahui bahwa ketiga
manusia yang kusebutkan itu adalah
tokoh-tokoh hitam yang diam-diam
merongrong kewibawaan kerajaan Giri
Jaya. Sedikit banyaknya kau mengetahui
perbuatan mereka diluar! Akan tetapi
hati-hatilah! Menurut yang kudengar
ketiganya berilmu tinggi!"
"Jangan Khawatir, ayah! hidup
dan mati berada ditangan Tuhan.
Disamping itu ingin kuselidiki apakah
si manusia iblis yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu punya dendam
tersendiri, ataukah dia justru orang
yang akan menghancurkan kerajaan Giri
Jaya!"
"Benar, anakku! akupun mengkha-
watirkan hai itu!" tukas Ki Anjar
Subrata. "Sebaiknya kau berangkatlah
sekarang. Sebenarnya aku mau turut
membantumu, akan tetap saat ini aku
merasa tenaga dalamku jauh berkurang,
dan sedikit ada luka dalam di tubuhku.
Aku hanya menunggu berita darimu saja.
Temuilah aku di lereng bukit Karang
Luhur, dilereng gunung itu!" ujar Ki
Anjar Subrata sambil menunjuk.
"Baiklah, ayah! Kukira aku tak
berlama-lama lagi. Nah, selamat
tinggal ayah. Sampai ketemu lagi!"
ujar Nanjar seraya balikkan tubuh dan
beranjak melangkah.
"Selamat jalan anakku, Nanjar!
semoga Tuhan melindungimu ..." sahut
Ki Anjar Subrata. Nanjar mengangguk.
Dan sekejap Nanjar alias si Dewa
Linglung telah berkelebat lenyap.
"Bocah hebat! sungguh tak
kusangka anakku telah menjadi seorang
yang berilmu tinggi. Dengan ilmu-ilmu
yang dimilikinya kukira dia cukup
mandiri untuk melakukan tugas
kependekarannya..." berkata pelahan
laki-laki tua ini. Hatinya; merasa
bangga. Sesaat setelah menghela napas,
kakek pemabukan ini meraih buli-
bulinya. Ditatapnya sejenak benda
terbuat dari besi itu. Sekali renggut
putuslah tali pengikat buli-buli. Dan
dilemparkannya benda itu dengan
berteriak, "Selamanya aku tak akan
mempergunakan kau lagi untuk minum
arak!" Kemudian laki-laki tua itupun
berkelebat pergi dari tempat itu ....
SEMBILAN
CANTRIK SARI meninggalkan lembah
sunyi itu dengan hati lega. Udara
cerah siang hari itu. Arah yang kini
tengah ditujunya adalah Kota Raja.
"Aku harus cari orang yang
bernama KEBO LAYUNG itu. Apakah aku
akan berhasil menjumpainya dalam waktu
dekat ataukah sampai kapan, aku tak
mengetahui. Tapi yang jelas disamping
mencari orang tua itu aku perlu
melacak jejak ketiga manusia keparat
yang telah merusak kehormatanku!"
berpikir Cantrik Sari.
Gadis ini memang tak dapat tidak
harus membunuh ketiga manusia yang
telah menggagahinya. Yaitu si Iblis
Tongkat Racun, si Kapak Setan dan si
Kebal Picak. Mengingat akan nasibnya
dara ini kembali air matanya
menggenang.
"Tunggulah kalian manusia-
manusia laknat! Aku, akan membunuh
kalian dengan kematian yang lebih
sadis, agar kalian rasakan penderita-
annya!" mendesis Cantrik Sari. Dan
wajahnya seketika menjadi beringas.
Matanya berubah nyalang bagai mata
serigala. Tubuh dara inipun berkelebat
melesat ke arah utara ...
****
Sementara itu kita beralih pada
tiga manusia yang gagal menyandera
Cantrik Sari untuk membunuh si Siluman
Gila Guling. Bahkan mereka lari
tunggang-langgang meninggalkan lembah
angker itu.
Ketika tokoh Rimba Hijau
golongan hitam ini melangkah cepat ke
arah lereng gunung setelah melewati
hutan lebat. Malam tadi mereka
menginap di dalam hutan sambil menyu-
sun rencana mereka selanjutnya.
Dalam perjalanan itu mereka
bercakap-cakap.
"Kau tetap pada pendirianmu
untuk meninggalkan Kola Raja, sobat
Iblis Tongkat Racun?" bertanya si
Kebal Picak.
"Ya! aku punya firasat tidak
enak! Jangan-jangan setelah orang-
orang pihak kerajaan itu yang
dibunuhnya, nyawaku pula yang diancam
oleh si manusia Siluman Gila Guling.
Bukan mustahil, kalau dia tak turun
tangan sendiri untuk membantai kita.
Apakah kalian tak mengkhawatirkan hal
itu?" menjawab si Iblis Tongkat Racun.
"Hehehe... siapapun akan
mengkhawatirkan kehilangan nyawanya.
Akan tetapi aku tak setolol kau.
Manusia Siluman Gila Guling itu bisa
kita hadapi bersama-sama dengan orang-
orang kerajaan. Tak mungkin pihak
kerajaan berdiam diri. Setidaknya
mereka akan mencari bantuan untuk
membunuh manusia lembah itu: Bila
berhasil, tentunya jabatan tinggi
telah menunggu kita!" berkata si Kebal
Picak. Sedangkan si Kapak Setan
mangut-manggut membenarkan.
"Benar, sobat Iblis Tongkat
Racun. Mengapa kau tak terus bergabung
membantu kami? Apakah kau tak mengiler
dengan jabatan tinggi di kerajaan.
Dengan modal memberitahukan dimana
adanya si Manusia Iblis penyebar maut
itu pada Raja, kita sudah punya jasa
pada Kerajaan! Dan bila kita berhasil
menjadi orang-orang kerajaan,
perempuan cantik mana yang bisa
menolak kalau kau melamarnya? hehehe
... hahaha ..."
Si Kapak Setan tertawa gelak-
gelak. Tentu saja tujuannya adalah
membujuk si Iblis Tongkat Racun agar
tetap bergabung bersamanya. Karena
walau bagaimana mereka merasa khawatir
merasa banyak musuh disebabkan
banyaknya perbuatan jahat yang mereka
lakukan.
"Tidak! sekali aku bilang tidak,
tetap tidak! Aku tak bodoh untuk
mengambil resiko besar yang telah
kupikirkan masak-masak. Makanya aku
tak mau unjukkan diri di Kota Raja!"
sahut si Iblis Tongkat Racun dengan
tegas. Pada saat mereka saling berebut
omong itulah, sesosok tubuh diam-diam
menguntit mereka dan mendengarkan
pembicaraan. Siapa adanya penguntit
itu ternyata tak lain dari Nanjar
alias si Dewa Linglung.
"Tidak salah! ketiga orang ini
tak lain dari si Iblis Tongkat Racun,
si Kebal Picak dan si Kapak Setan!
Bagus, aku tak payah-payah mencari
mereka!" berkata Nanjar dalam hati.
Nanjar terus mengikuti percakapan
ketiga orang itu yang bersitegang.
Ternyata si Iblis Tongkat Racun tetap
pada pendiriannya.
Akhirnya kedua kawannya tak
dapat menghalangi. Akan tetapi baru
saja si Iblis Tongkat Racun mau
beranjak pergi mendadak terdengar
suara bentakan,
"Manusia-manusia keparat! Jangan
harap kau bisa tinggalkan tempat ini
dalam keadaan masih bernyawa!"
Diiringi kata-kata itu
berkelebat sesosok tubuh. Siapa adanya
pendatang ini? Tak lain dari Cantrik
Sari.
Tersentak kaget si Iblis Tongkat
Racun maupun kedua orang kawan laki-
laki ini. Namun melihat siapa yang
datang, si Kebal Picak tertawa gelak-
gelak.
"Hahaha... kukira siapa! Tak
tahunya nona..! Sudah kuduga kau pasti
akan mencari kami. Tentunya kau
merasakan nikmatnya berada dalam
pelukanku. Apakah kau ingin aku
mengulangnya? Kita-kita sih bersedia
saja tak menolak. Bukankah begitu
sobat Kapak Setan?". berkata si Kebal
Picak dengan cengar-cengir. Akan
tetapi si Kapak Setan cepat-cepat
berbisik.
"Sssst! jangan sembrono. Aku
khawatir dia datang bersama gurunya si
Siluman Gila Guling!" Seketika wajah
si Kebal Picakpun berubah agak pucat.
Matanya menatap jelalatan ke sekitar
tempat. Lalu berpaling lagi dengan
cepat menatap wanita dihadapannya.
"Eh, apakah kau datang bersama
gurumu si Siluman Gila Guling?"
bertanya dia.
"Tak perlu kau menanyakan guruku
bersamaku atau tidak. Yang jelas aku
datang untuk mengirim nyawa-nyawa
kalian ke liang Akhirat!" menjawab
ketus Cantrik Sari.
Sementara itu Nanjar ditempat
persembunyian merasa heran dengan
kedatangan gadis ini. "Siapakah si
Siluman Gila Guling itu? Sebuah nama
gelar yang aneh!" membatin Nanjar
dalam hati. Saat itu Cantrik Sari
dengan membentak nyaring telah
menerjang kedua orang dihadapannya.
Terutama yang ditujunya adalah si
Kebal Picak. Karena manusia itulah
orang yang pertama kali memperkosanya.
Serangan-serangan gencar yang
dilakukan gadis itu untuk merangsak
lawan mendapat sambutan kedua orang
itu yang segera berkelit kesana
kemari. Berbeda dengan pertarungan
tempo hari yang dengan mudah Cantrik
Sari dapat dirobohkan. Akan tetapi
kali ini si dara merangsak hebat
dengan cengkeraman-cengkeraman yang
berbahaya. Apalagi Cantrik Sari
menyimpan dendam sedalam lautan pada
lawan-lawannya.
Sementara itu si Iblis Tongkat
Racun tak ikut ambil bagian untuk
turut membantu bertarung. Justru
disaat pertarungan terjadi dia cepat
berkelebat untuk angkat kaki...
Namun baru saja dia menyelinap
ke balik tikungan jalan disisi bukit,
mendadak sesosok tubuh berkelebat
menghadang.
"Tunggu, sobat Iblis Tongkat
Racun!" Sekejap Nanjar telah berdiri
menghalangi di hadapannya. Melihat
seorang laki-laki muda berambut
gondrong berbaju kumal menghalangi
jalan di depannya, si Iblis Tongkat
Racun membentak di samping terkejut.
"Siapa kau!?"
"Ahaha ... sebut saja aku si
DEWA LINGLUNG!" sahut Nanjar dengan
menepuk-nepuk tanah dengan ujung
kakinya. Tingkahnya yang jumawa itu
membuat si Iblis Tongkat Racun jadi
mendongkol. Apa lagi mendengar julukan
yang disebutkan barusan baru
didengarnya.
"Apa maumu menghadangku?!"
bentak lagi laki-laki setengah abad
ini.
"Hm, apakah kau yang bergelar si
Iblis Tongkat Racun?" bertanya Nanjar.
"Kalau benar apa yang kau
inginkan dariku?" tukasnya kasar.
"Hahaha ... aku ingin kau
serahkan dirimu untuk jadi tawananku.
Aku akan membawamu menghadap Raja
Kerajaan Giri Jaya untuk kau
mempertanggung jawabkan perbuatanmu.
Bukankah kau telah bersengkongkol
dengan Adipati Gantra dan orang-orang
hamba kerajaan yang diam-diam menindas
rakyat. Bahkan sudah kudengar
kejahatanmu termasuk kedua koncomu itu
yang telah tidak sedikit membuat onar.
Terakhir aku mendengar kalian
membantai orang-orang perguruan Elang
Suci, termasuk seorang pendeta!"
berkata Nanjar sambil menyengir.
"Kurang ajar! apa urusannya
dengan kau?" membentak si Iblis
Tongkat Racun. Namun diam-diam dia
terkejut. Seorang pemuda telah berani
menghadangnya berarti tak mungkin
kalau pemuda ini tak berkepandaian
tinggi!
SEPULUH
Namun sebagai seorang yang sudah
berkecimpung lama didunia Rimba Hijau
menghadapi seorang yang dapat
dikatakan masih bocah ingusan, dia tak
dapat digertak begitu saja. Walaupun
pemuda itu mengetahui rahasia hubu-
ngannya dengan Adipati Gandra.
"Bocah keparat! siapakah gurumu?
Kau berani berkata begitu sombong
didepan mataku?" membentak si Iblis
Tongkat Racun.
"Walah...! kalau mau tahu siapa
guruku, kakek buyut gurumu yang
menurunkan ilmu silat pada murid-
muridnya dan terakhir adalah kau
sendiri itulah salah satu dari
keroconya guruku!" sahut Nanjar seenak
perutnya.
Merah padam seketika wajah si
Iblis Tongkat Racun. Betapa
menghinanya bocah kemarin sore itu
padanya. Kemarahannya meluap sampai ke
ubun-ubun. Dengan membentak keras
laki-laki ini telah gerakkan tongkat-
nya untuk menusuk ke arah leher
Nanjar. Bukan itu saja sebelah
lengannya yang telah diisi dengan
tenaga dalam membarengi menghantam
batok kepala pemuda kita.
Akan tetapi dengan doyongkan
tubuh lalu jungkir balik bersalto,
serangan maut itu luput. Bahkan kem-
bali pemuda dihadapannya itu cengar-
cengir persis kera.
"Hehe.. haha.. nguk! nguk! jurus
pukulan Mencolek Terasi macam itu dan
jurus Menusuk Tahu yang kau pergunakan
sebaiknya kau gunakan bertarung dengan
binimu di rumah! Mengapa kau
pergunakan untuk menyerang aku?
haha..haha.." Nanjar tertawa bergelak-
gelak. Tentu saja semakin gusar si
Iblis Tongkat Racun. Diujung
Tongkatnya itu terdapat sebuah lubang
kecil yang jika alat yang terdapat
dekat gagangnya digunakan tentu akan
mengeluarkan racun bila dia
menghendaki membinasakan lawan dengan
cepat. Serangan barusan adalah menguji
sampai dimana tingkat ilmu kepandaian
pemuda itu.
Mengetahui lawan benar-benar
memiliki ilmu kegesitan tubuh luar
biasa. Iblis Tongkat Racun tak lagi
main-main untuk menganggap remeh
lawannya walaupun usia pemuda itu
separoh dari umurnya.
Segera dia menyerang dengan
jurus-jurus lainnya yang lebih hebat.
Tongkatnya berkelebat menyambar-
nyambar. Suaranya berdesis bagaikan
ratusan ular. Yang terlihat adalah
bayangan hitam yang berkelebatan
mengancam jiwa Nanjar. Bahkan sesekali
ujung tongkatnya menyemburkan uap
racun.
Nanjar terkejut melihat peru-
bahan serangan lawan. Segera dia
pasang inderanya dengan sungguh-
sungguh. Salah-salah jiwanya bisa
melayang. Untuk itu Nanjar gunakan
serangan-serangan balasan dari jurus
Ular, warisan si Raja Siluman Ular
gurunya.
Terkejut si Iblis Tongkat Racun
melihat lawan mudanya mendadak rubah
gerakan tubuhnya menjadi meliuk-liuk
ular. Bahkan sepasang tangannya
digunakan untuk mematuk kearah bagian
bagian tubuhnya yang berbahaya. Untuk
melindungi tubuhnya, si Iblis Tongkat
Racun segera putar tongkatnya
sedemikian rupa. Hingga menderu angin
berbau amis yang membuat Nanjar harus
merenggangkan tubuh sambil menahan
napas.
"Hahaha... mana kehebatanmu
kunyuk kecil!?" tertawa Iblis Tongkat
Racun menggertak dengan mengumbar
tawa. Kini ganti dia yang merangsak
hebat menerjang Nanjar. Hantaman-
hantaman pukulan tenaga dalamnya
digunakan bertubi-tubi dengan jurus-
jurus maut yang lebih berbahaya.
Sepuluh jurus berlalu sudah.
Namun sedikitpun Iblis Tongkat Racun
tak mampu menyentuh sedikitpun kulit
tubuh Nanjar. Ketika dia tengah
berpikir keras untuk merobohkan lawan.
Mendadak Nanjar berteriak.
"Awas senjata rahasia!"
Dibarengi teriakan itu sebelah
lengan Nanjar bergerak mengibas.
Tersentak laki-laki tua ini. Darahnya
tersirap karena hal itu terjadi disaat
posisi tubuhnya dalam keadaan tak
menguntungkan. Secepat kilat dia buang
tubuh ke samping untuk bergulingan.
Akan tetapi justru Nanjar telah
mendahuluinya melompat ke arah itu.
Lengannya bergerak menghantam dengan
pukulan yang berhawa dingin. Tersentak
kaget Iblis Tongkat Racun. Namun detik
itu dia telah gerakkan tongkatnya
menusuk disertai memuncratnya cairan
racun tepat ke arah muka Nanjar.
Bila hal itu tak terhindari maka
akan butalah mata Nanjar. Kalau saja
Nanjar tak cepat bertindak gesit
menghindari diri tentu akan celakalah
dia. Secepat kilat Nanjar menekuk
lehernya hingga seperti lenyap dikedua
pundak. Itulah ilmu warisan si Raja
Siluman Biawak yang digunakan.
Lengannya yang menghantam tetap tak
terhalang.
BUK!
Hantaman keras itu mengenai
sasarannya. Terlemparlah tubuh si
Iblis Tongkat Racun bergulingan.
Tongkatnya terlepas dari genggaman
tangannya. Sementara Nanjar sehabis
menghantam, kembali berdiri kukuh
dengan sepasang kaki tegak di tanah.
Menatap lawan yang menggelosor di
tanah terbawa tenaga pukulan. Pukulan
Nanjar ternyata tak menggunakan
sepertiga bagianpun tenaga dalamnya.
Karena dia cuma berniat merobohkan
lawan tanpa membunuh. Hal itulah yang
menyebabkan dengan cepat si Iblis
Tongkat Racun dapat kembali melompat
berdiri. Akan tetapi wajahnya menye-
ringai kesakitan. Tubuhnya tergetar
seperti diserang demam. Ternyata hawa
dingin telah menjalar di sekujur
tubuh. Dan paru-parunya seperti
ditusuk-tusuk jarum.
"Hahaha... aku tak punya senjata
rahasia apa-apa, sobat! Mengapa kau
begitu ketakutan sekali menghindarkan
diri?" berkata Nanjar sambil tertawa.
Mendelik sepasang mata laki-laki tua
ini.
"Setan keparat! kunyuk licik!
aku akan adu jiwa denganmu!" membentak
dia. Sekejap dia telah mampu mengusir
hawa dingin dengan kekuatan tenaga
dalam yang disalurkan dada. Dengan
menggerung keras laki-laki ini
menerjang Nanjar... Akan tetapi pada
saat itu sebuah bayangan berkelebat
disamping Nanjar. Tahu-tahu kejap
berikutnya si Iblis Tongkat Racun
menjerit panjang dengan teriakan
parau. Tubuhnya berdiri terhuyung-
huyung. Sedangkan pada dadanya
tertancap tongkat racun miliknya
sendiri.
Di dekat tubuh yang limbung itu
berdiri tegak seorang dara yang tak
lain dari cantrik sari.
"Kk..ka...kau ...?" terengah-
engah suara si Iblis Tongkat Racun.
Namun sesaat tubuhnya telah ambruk ke
tanah. Nyawanya telah melayang. Apa
yang membuat Nanjar terlongong adalah
dia melihat sesosok bayangan telah
menyambar tongkat si laki-laki tua itu
yang tertancap di tanah. Dan
berkelebat memapaki tubuh lawan yang
tengah menerjang ke arahnya. Tak dapat
dielakkan lagi amblaslah tongkat itu
memanggang dada si Iblis Tongkat
Racun.
SEBELAS
"Terima kasih atas bantuanmu
membekuk si manusia ini, hingga aku
dapat membunuhnya!" berkata Cantrik
Sari seraya melompat menghampiri
Nanjar.
"Ah, sayang sekali kau telah
membunuhnya. Aku cuma mau menangkapnya
hidup-hidup karena aku perlu
keterangan darinya!" berkata Nanjar
dengan garuk-garuk kepala.
"Keterangan apakah yang anda
inginkan?" bertanya Cantrik Sari.
Diam-diam dia memperhatikan Nanjar
dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Banyak keterangan yang kuper-
lukan! Eh, apakah kau telah membunuh
pula kedua kawan orang ini?"
"Marilah! kau bisa lihat
sendiri!" sahut Cantrik Sari dengan
angkuh, lalu berkelebat mendahului
Nanjar.
Mendelik sepasang mata Nanjar,
karena dihadapannya terlentang dua
sosok tubuh si Kebal Picak dan si
Kapak Setan dalam keadaan sekarat. Apa
yang membuat mata Nanjar membelalak
adalah karena kedua laki-laki itu
sekarat karena masing-masing alat
vitalnya dalam keadaan hancur.
"Mengapa kau tak membunuhnya
sekalian?" berkata Nanjar dengan wajah
merah jengah berpaling menatap si
gadis. Terasa kasihan Nanjar melihat
keduanya yang sekarat meregang nyawa.
"Biarlah dia merasakan sakitnya
dengan kematian secara perlahan itu.
Kukira ganjaran itu sesuai untuk
perbuatannya!" berkata ketus Cantrik
Sari. Sementara dikedua pelupuk mata
gadis ini mengenang air mata.
"Mereka telah memperkosamu?"
tanya Nanjar yang segera menyadari,
karena dia mendengar kata-kata si
Kebal Picak, ketika gadis ini
munculkan diri. Gadis ini tak
menjawab. Tapi membuang muka menahan
isak.
Rasa sedih, mendongkol, malu dan
lain sebagainya terkumpul menjadi satu
di hati Cantrik Sari, membuat dia tak
mampu berkata-kata selain menahan
isaknya yang tersendat di
kerongkongan.
Dan detik itu juga dia telah
balikkan tubuh dan berlari menutupi
mukanya dengan terisak-isak.
"Heeeii! nona! tunggu dulu!"
Nanjar berteriak seraya melompat
mengejar. Akan tetapi gadis ini bahkan
mempercepat larinya berkelebatan
meninggalkan tempat di sisi bukit itu.
Nanjar tak mau biarkan dara itu hilang
begitu saja dia perlu keterangan
darinya mengenai si manusia iblis
pembunuh misterius. Siapa tahu gadis
itu mempunyai keterangan yang
diperlukan.
Dengan gunakan ilmu melompat
yang terkadang juga ilmu "terbang"
nya, Nanjar berkelebat menyusul si
gadis.
Sebentar saja kedua orang itu
telah lenyap dari tempat yang sunyi
itu, dimana satu nyawa telah melayang,
dan dua nyawa dalam keadaan sekarat
yang sebentar lagi akan dijemput oleh
kematian.....
"Mau apa kau mengejarku!?"
membentak Cantrik Sari. Sepasang
matanya nyalang menatap Nanjar. Mata
yang basah berair yang mengalirkan air
mata membasahi kedua pipinya.
"Walah, walah…! habislah sudah
bedakmu terguyur air mata. Sayang,
wajah yang cantik kalau banyak
menangis kulitnya cepat peot!" berkata
Nanjar dengan menyengir.
"Peduli apa dengan kulit mukaku?
mau peot seperti kulit ular atau
biawak bukan urusanmu!" Berkata ketus
Cantrik Sari.
"Hahaha... aku cuma mau memberi
penjelasan!" berkata Nanjar.
"Penjelasan mengenai apa?"
"Mengenai... mengenai kulit
muka! Kulit biawak peot masih bisa
laku dijual, akan tetapi kulit muka
yang peot?" sahut Nanjar yang ternyata
tujuan kata-katanya masih berkisar
disitu.
"Kurang ajar! mengapa kau usil
dengan urusan orang?" Mau menangis
atau tertawa, peot atau tidak! Laki-
laki ceriwis!" Memaki Cantrik Sari
tapi dalam hati dia tertawa geli.
Siapa gerangan pemuda gagah ini?
Apakah laki-laki dihadapannya juga
laki-laki buaya yang pandai menggoda
orang tapi punya maksud jahat?
Pikirnya dalam benak. Namun tak
disangsikan lagi, diam-diam wajah dan
perawakan Nanjar membuat dia merasa
simpati menaksirnya.
"Kau ini siapakah? Mau apa
sebenarnya?" bertanya Cantrik Sari
seusai menghapus air matanya.
Merasa mendapat angin, Nanjar
tertawa, seraya membungkuk menjura.
"Haiiih, aku sampai lupa
memperkenalkan diri. Maafkan aku nona
gagah yang cantik jelita!" ujarnya.
"Namaku... eh, namaku siapa ya?"
Nanjar pura-pura lupa dan berpikir
sambil memijit-mijit keningnya. Sikap
Nanjar yang aneh itu membuat mau tak
mau si gadis tersenyum lucu.
"Aneh! Linglung! masakan namamu
sendiri kau lupa?" tak tahan dia untuk
berkata.
"Ya...! tidak salah itulah
namaku!" berjingkrak Nanjar setengah
berteriak, membuat Cantrik Sari
terlongong heran.
"Namamu Linglung?" tanyanya
dengan membelalakkan mata.
"Betul! lengkapnya Dewa
Linglung! ya, ya Dewa Linglung!" ulang
Nanjar. "He? tapi itu,... julukanku.
Namaku sendiri siapa ya?" berkata
Nanjar tiba-tiba dengan menggoyang-
goyangkan tangannya. Dan setelah
sejenak dia berpikir.
"Yah! sudahlah! aku tak mampu
mengingatnya. Kau sebut sajalah aku si
Dewa Linglung!" ujar Nanjar sambil
garuk-garuk kepala.
Tentu saja senyum si gadis
bernama Cantrik Sari itu semakin
melebar.
"Pemuda aneh!" gumamnya. Lalu
ujarnya. "Baiklah! kukira nama
julukanmu itu sudah cukup untuk
mengenalmu! Katakanlah apa yang kau
ingin korek keterangan dariku?"
Cantrik Sari segera teringat ketika
pemuda ini menyesali dia membunuh si
Iblis Tongkat Racun.
"Baiknya kau sebutkan dulu siapa
namamu, nona? bukankah bisa lebih
leluasa kita bicara. Disamping itu
kita bisa saling mengenal. Kukira kau
tak keberatan menceritakan pula
riwayat hidupmu!" berkata Nanjar.
Sejurus Cantrik Sari tercenung.
Pandangan matanya mendelong menatap ke
depan, dengan pandangan kosong.
Sementara air matanya kembali meleleh
ke pipi. Melihat demikian Nanjar jadi
serba salah, dan garuk-garuk kepala
tidak gatal.
"Aiiih, sudahlah nona, mengapa
lagi-lagi kau menangis? Janganlah
terlalu memikirkan nasib. Bukankah kau
telah membalaskan sakit hatimu"
berkata Nanjar membujuk.
"Aku...aku sudah terlalu banyak
dosa, sobat! Ya, terlalu banyak! Entah
dengan apa aku akan menebus dosaku,
Mungkin dengan kematian agaknya yang
layak" berkata Cantrik Sari dengan
terisak-isak. Nanjar untuk sementara
berdiam diri membiarkan dara itu
mengumbar kesedihannya. Diam-diam
benaknya berpikir dosa apakah yang
telah dilakukan gadis ini sehingga dia
merasa dosanya tak terampuni lagi?
Setelah reda kesedihannya,
Cantrik Sari tanpa diminta segera
tuturkan riwayat hidupnya pada Nanjar
yang mendengarkan penuh perhatian.
DUA BELAS
Terkejutnya Nanjar tak dapat
dikatakan lagi mendengar bahwa
pembunuhan sadis yang selama ini
terjadi adalah akibat perbuatan
Cantrik Sari yang diperintah oleh
gurunya yaitu si Siluman Gila Guling.
Sejenak Nanjar menatap dara itu dengan
terpukau.
"Dasar dendam apakah gurumu
hingga menyuruhmu melakukan perbuatan
demikian terhadap orang-orang
kerajaan?" tanya Nanjar. Walaupun
sebenarnya dia telah ketahui dari
ayahnya tentang orang-orang kerajaan
itu, namun dasar dendam hingga
dibunuhinya orang aparat kerajaan itu
perlu diketahui.
"Aku kurang mengetahui tentang
hal itu. Akan tetapi guruku adalah
seorang laki-laki tanpa daksa yang tak
mempunyai lengan dan kaki!" menyahut
Cantrik Sari.
"Ah..?" tersentak Nanjar.
Sejurus kembali dia tercenung. "Pantas
korban-korban yang dibunuh Cantrik
Sari demikian sadis. Tentulah dendam
kesumat orang yang menamakan dirinya
si Siluman Gila Guling itu amat dalam
sedalam lautan." Nanjar menghela
napas....
"Kini apa yang tengah kuselidiki
telah menjadi terang. Apakah langkah
selanjutnya yang akan kau tempuh?"
bertanya Nanjar.
"Entahlah! aku sendiri tak
mengetahui apa langkahku selanjutnya!
Karena aku tak mengenal siapa kedua
orang tuaku. Memang aku telah
ditunjuki jalan untuk mencari tahu
siapa adanya kedua orang tuaku oleh
guruku, yaitu mencari orang tua yang
bernama Kebo Layung. Akan tetapi aku
seperti tak berhasrat lagi.
Kedatanganku ke seputar wilayah Kota
Raja untuk mencari orang itu hanya
akan menambah pedihnya hatiku
mengingat perbuatan-perbuatan yang
telah kulakukan. Kukira....kukira
jalan sebaiknya bagiku adalah
kematian! Kau telah mengetahui akulah
penjahat yang kau cari-cari, sobat
Dewa Linglung! Nah! tunggu apa lagi?
Kau bunuh sajalah aku! Dengan demikian
aku terbebas dari kekalutan dan
kesedihan serta penyesalan yang
menggerogoti jiwaku!" Kata-kata
Cantrik Sari tersendat. Dan dia telah
bangkit berdiri menatap Nanjar serta
membusungkan dada menunggu keputusan
Nanjar.
"Aiih! mengapa kau berkata
begitu? Orang-orang yang kau bunuh itu
kudengar adalah abdi-abdi kerajaan
yang berhati busuk. Yang bekerja sama
melakukan kejahatan dan perbuatan
nista di belakang punggung Raja.
Pantaslah kalau mereka mati. Juga kau
melakukan itu atas dasar menjalankan
perintah gurumu. Kukira dosamu tak
begitu besar!" ujar Nanjar.
Lalu sambungnya lagi. "Untuk
masalah ini gurumulah yang bertanggung
jawab. Bahkan dia bertanggung jawab
juga atas dosamu! Oleh sebab itu
jangan kau berputus asa. Jalan hidupmu
masih panjang. Sebaiknya kau mencari
orang yang bernama Kebo Layung itu
untuk mendapat tahu siapa kedua orang
tuamu!" Nanjar mengusulkan demikian
karena khawatir si dara ini membunuh
diri setelah dia memberi keterangan
panjang lebar.
Tercenung beberapa saat Cantrik
Sari. Tak lama terdengar dia menghela
napas. Kesedihannya telah berkurang.
Dara itu kembali duduk di atas batu.
"Pendapatmu baik juga, sobat
Dewa Linglung. Terima kasih atas
nasehat-nasehat yang kau berikan. Lalu
apakah langkah yang akan kau lakukan?"
bertanya Cantrik Sari.
Tentu saja aku harus menemui
gurumu si Siluman Gila Guling alias Ki
Bromo Rekso itu di lembah tanpa nama.
Namun sebelum kau berangkat mencari
Kebo Layung..."berkata Nanjar seraya
bangkit mendekati.
"Kukira kau tak keberatan bukan?
Kau cuma menunjukkan tempatnya saja,
lalu kau boleh segera tinggalkan
pergi. Namun pesanku selama kau
mencari jejak orang yang bernama Kebo
Layung itu sebaiknya kau melakukan
penyamaran!" Cantrik Sari manggut-
manggut. Wajahnya tampak cerah secerah
matahari. Dia merasa baru keluar dari
satu lembah yang menakutkan. Kata-kata
Nanjar ibarat cahaya yang menerangi
hidupnya. Tak terasa air matanya
berlinang. Ditatapnya Nanjar dengan
tertegun entah mengapa dia seperti
enggan berpisah dengan pemuda aneh
yang gagah namun berpandangan luas
itu. Hatinya yang gersang seperti
mendapatkan tempat bernaung disaat
didalam jiwanya terselip beribu
kekalutan!
Nanjarpun menatap tajam. Tatapan
mata yang seolah ingin melihat isi
hati dara ini apakah dapat mengerti
kata-kata dan nasihatnya? Yang ditatap
tertunduk dengan wajah merona merah.
Entah mengapa dia merasa kulit mukanya
menjadi panas. Darahnya tersirap dan
degup jantungnya berdebaran cepat.
"Tidak! tidak! kau terlalu jauh
berpikir," Cantrik Sari. "Kau tak
mungkin mencintainya. Keadaanmu sudah
lain, karena kau sudah tidak suci
lagi.... Lagi pula keadaanmu sendiri
masih kalut. Persoalan belum tuntas.
Karena kau perlu mencari tahu siapa
kedua orang tuamu sebenarnya...."
berkata Cantrik Sari dalam hati
kecilnya yang memperingati hasrat
kewanitaannya, yang menggeliat
tergelitik apa yang bernama cinta....
"Kapan kau mengambil keputusan
untuk berangkat?" bertanya Cantrik
Sari memutus lamunannya yang melantur.
"Sekarang!" sahut Nanjar.
Cantrik Sari mengangguk.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
ujarnya. akan tetapi baru saja Cantrik
Sari selesai berkata mendadak ....
"Hehehe.... hehe.... tak usah
mengunjungi lembah itu bocah-bocah
muda! karena aku telah datang dan
berada ditempat ini!"
Bukan main terkejutnya Nanjar
dan Cantrik Sari tak terkirakan karena
seusai suara tertawa dan kata-kata
bernada parau itu, tampak terlihat
angin menggebu bergulung-gulung di
hadapan mereka. Keduanya terperangah
memandang tak berkedip. Terutama
Nanjar yang merasa keanehan ini baru
dialami.
Mendadak angin lenyap sirna
bagai ditelan bumi. Dan samar-samar di
depan mereka tampak bayangan hitam
sesosok tubuh manusia. Makin lama
makin jelas. Dan kejap berikutnya
segera terlihat sesosok tubuh seorang
kakek bertubuh gemuk mengenakan jubah
warna hitam. Berambut putih dengan
kumis dan jenggot lebat.
Melihat siapa adanya orang ini,
Cantrik Sari mundur selangkah.
Sedangkan Nanjar ternganga dengan
membelalak. Sosok tubuh laki- laki itu
persis seperti apa yang diceritakan si
gadis, dan memang dia bertujuan untuk
menjumpai orang ini. Tak terasa dari
bibirnya terluncur kata-kata kaget.
"Siluman Gila Guling...!?" be…
benarkah kau orangnya...?"
Terdengar suara parau berat.
Rahang kakek tanpa daksa itu bergerak-
gerak.
"Benar! Tidak salah! akulah si
Siluman Gila Guling alias ki Bromo
Rekso!" menyahut kakek ini.
"Bagus! bagus...! anda sungguh
berbaik hati orang tua! Aku si Dewa
Linglung memang mau menemui anda
untuk menanyakan padamu apakah yang
menjadi sebab anda membunuhi orang-
orang abdi kerajaan Giri Jaya? Kukira
anda bisa menjelaskan! Lalu mengapa
anda sekejam itu menyuruh murid anda
yang melakukan, tanpa anda menyebutkan
permasalahannya. Mengapa anda tak
turun tangan sendiri?"
"Heheheh... pertanyaanmu bagus
sekali bocah muda! Julukanmu lucu dan
orangnya pun juga gagah. Kau sepadan
bila bersanding dengan muridku Cantrik
Sari!" berkata Siluman Gila Guling
dengan tertawa mengekeh. Lalu
lanjutnya. "Kau menanyakan dendam
apakah hingga aku membantai orang
orang abdi Kerajaan Giri Jaya? Hm,
dendamku bukanlah sembarang dendam.
Karena dalamnya lautan masih lebih
dalam dendam kesumat yang mengeram
dalam dadaku ini, yang telah kusimpan
selama belasan tahun! Kau lihatlah
keadaan anggota tubuhku ini. Aku telah
orang tanpa daksa yang tak berguna.
Semua ini adalah akibat perbuatan
manusia-manusia yang telah
kuperintahkan Cantrik Sari menghabisi
nyawanya. Bahkan memperlakukan dengan
sadis seperti halnya mereka
memperlakukan aku. Bahkan lebih sadis
lagi!" berkata Siluman Gila Guling.
Tertegun Nanjar dan Cantrik Sari
mendengar kata-kata si kakek.
"Tahukah kau apa sebabnya aku
menamakan diriku dengan julukan
Siluman Gila Guling? Heheheh... karena
aku memang telah berbuat gila! Bahkan
lebih gila lagi dari para abdi
kerajaan yang telah mampus itu,
sebagai pembalasan dendamku. Tahukah
kau apa tujuanku? Aku takkan puas
sebelum membunuh semua orang-orang
Kerajaan Giri Jaya! Guling berarti aku
akan menggulingkan kerajaan Giri Jaya.
Menghancurkan! memusnahkan! agar
ditanah Jawa ini tak akan pernah
berdiri lagi kerajaan yang bernama
Giri Jaya!" Suara kata-kata Siluman
Gila Guling menggembor keras yang
diucapkan dengan berapi-api. Betapa
begitu mendendamnya dia untuk
menumbangkan kekuasaan Kerajaan Giri
Jaya tidaklah terkatakan!
Nanjar terperangah mendengar
kata-kata yang menggetarkan tanah itu.
Keringat dingin menetes kedahinya.
"Celaka!? kehancuran Kerajaan Giri
Jaya harus dicegah. Manusia ini amat
membahayakan, karena dendam telah
merubah dirinya menjadi hawa napsu
yang tak terkendali. Bahayanya akan
menimpa pada rakyat jelata. Karena
bukan mustahil kalau tindakan
selanjutnya yang akan diambil olehnya
mengumbar hawa nafsu semaunya?"
berkata Nanjar dalam hati.
"Bolehkan, aku mengetahui
siapakah sebenarnya anda?" tanya
Nanjar yang tetap berlaku tenang.
"Aku adalah orang yang paling
berhak atas kerajaan Giri Jaya, karena
akulah orang yang paling banyak
berjasa ketika mendirikan kerajaan!"
"Aku adalah bekas seorang kepala
komplotan Bajak Laut dimasa perebutan
kekuasaan merampas kerajaan kecil
bernama Giri Langka, yang kemudian
dirubah menjadi Giri Jaya! Tidaklah
mudah menumbangkan kekuasaan kerajaan
Giri Langka kalau tidak dengan
kepandaian yang luar biasa. Akan
tetapi setelah berhasil merebut
kerajaan, dan berdiri megah kerajaan
Giri Jaya, ternyata jerih payah
keringatku disia-siakan. Kawan-kawan
seperjuanganku menganggap aku tak
pantas menjadi raja. Dianggapnya aku
tak akan mampu menjadi seorang raja
yang harus memimpin rakyat. Padahal
sebelumnya aku yang mereka andalkan
untuk melakukan perebutan kekuasaan
itu!" berkata keras dan berapi-api si
Siluman Gila Guling lalu lanjutnya.
"Lalu apa yang dilakukan rekan-
rekanku? ternyata mereka tetap akan
mengangkat raja kerajaan Giri Langka
untuk menjadi raja. Akan tetapi
dibawah pengaruh mereka. Aku tak
menyetujui usul itu. Aku bersikeras
untuk membunuh saja raja Giri Langka.
Akhirnya mereka mengeroyokku.
Aku dapat mereka robohkan, akan tetapi
aku tak dibunuh. Tapi aku telah
dipotong semua anggota tubuhku seperti
kau lihat sekarang ini! Hingga jadilah
aku seorang tanpa daksa yang tak
berguna! Sungguh menyakitkan sekali
bukan? mengapa mereka tak membunuhku
saja sekalian? Kukira itu lebih baik.
Dapat kau bayangkan betapa penderitaan
yang aku rasakan. Aku dibuang disatu
lembah yang tak pernah dikunjungi
manusia. Nyaris binatang buas
menerkamku kalau aku tak
beruntung bisa menyelamatkan diri.
Di goa tempat tinggalku selama
belasan tahun itulah aku menggembleng
diriku dengan ilmu-ilmu gaib dengan
dendam kesumat yang suatu saat akan
kubalaskan! Tahukah kau siapa yang
menemaniku selama ini?" Berkata
demikian Siluman Gila Guling menatap
pada Cantrik Sari.
"Muridku itulah yang menemaniku!
Dia berada bersamaku sejak dia berusia
tujuh tahun!" kakek ini menjawab
sendiri pertanyaannya. Lalu dia
menatap tajam pada Cantrik Sari
"Cah ayu, Cantrik Sari muridku,
mendekatlah kemari nak..!" berkata
dia. Gadis ini yang sejak tadi
mendengarkan dengan berdebar-debar
seperti ditarik besi sembrani telah
maju melangkah mendekati kakek itu.
"Bagus! kau memang seorang murid
tiada duanya. Kau merawatku selama
belasan tahun menemaniku tinggal dalam
goa. Sebagai imbalan aku telah
memberimu pelajaran ilmu silat, bahkan
juga ilmu gaib! Walaupun tak seberapa
tinggi namun kenyataannya kau telah
berhasil menjalankan tugas yang
kubebankan padamu!" kakek ini
tersenyum menatap sang murid. Lalu
sambungnya.
"Tahukah siapa yang telah
mengantarkan kau ke tempatku untuk
menemani aku?" bertanya Ki Bromo
Rekso. Cantrik Sari menggeleng.
"Hehehe... heheh... kau tak
dapat mengingatnya, karena usiamu
masih terlalu kecil. Dialah yang
bernama. Kebo Layung! Dia adalah salah
seorang anak buahku yang paling setia.
Dialah yang hampir setiap saat datang
ke lembah untuk membawa makanan.
Sengaja dia tak pernah menampakkan
diri padamu, karena aku yang melarang.
Dan tahukah kau anak siapakah kau?
Heheheh....kau adalah anak tumenggung
Penjali yang telah kau bunuh itu! Kebo
Layung telah kuperintahkan untuk
menculiknya dan membawanya ke lembah
itu!
Satu lagi yang belum kuceritakan
padamu yaitu orang yang bernama Kebo
Layung itu sebenarnya telah kubunuh,
setelah aku berhasil menguasai ilmu-
ilmu dan dia sudah tak kuperlukan
lagi. Hal itu sengaja kulakukan agar
tak bocornya rahasia siapa adanya kau
dan menutup mulut Kebo Layung!"
Sampai disini Ki Bromo Rekso
alias Siluman Gila Guling menghentikah
penuturannya. Dia menatap tajam pada
Cantrik Sari yang diam seperti arca.
Mulutnya ternganga, sepasang matanya
membelalak lebar tak percaya apa yang
diucapkan kakek itu.
"Jadi... jadi aku... aku telah
membunuh kedua orang tuaku sendiri?"
Tergetar kata-kata Cantrik Sari
mengucapkan kata-kata itu.
"Benar karena aku menginginkan
demikian, agar kau membunuh Tumenggung
Penjali. Karena dialah manusia pertama
yang memutuskan sepasang lenganku!"
Kata-kata Siluman Gila Guling begitu
tegas. Seketika pucatlah air muka
Cantrik Sari. Pandangan matanya
berkunang-kunang. Dengan menjerit
histeris lengannya bergerak menghantam
batok kepalanya sendiri.
Terkejut Nanjar melihat apa yang
terjadi didepan mata. Tak sempat lagi
dia bertindak menolong sedikitpun,
karena gadis itu telah roboh ke tanah
dengan batok kepala hancur
berpuncratan darah dan otaknya.
Nanjar melompat kearah si
Siluman Gila Guling dengan membentak
keras. Lengannya menghantam dengan
pukulan Inti Es.
"Manusia iblis! perbuatanmu
sungguh bukan perbuatan manusia!"
WHUUUK,..!
BLLLAARRR!
Terjadilah ledakan keras. Hawa
dingin mengembara ke sekitar tempat,
Batang-batang pohon di depan Nanjar
berderak patah bertumbangan dan
bergumpalan dengan lapisan es.
Akan tetapi si Siluman Gila
Guling tak menampakkan bayangannya.
"Iblis keparat keji! keluarlah
kau! tampakkan dirimu pengecut!"
teriakan Nanjar menggema berpantulan.
Suasana lengang mencekam. Tak ada
tanda-tanda kemana berkelebatnya si
Siluman Gila Guling.
Dalam ketegangan yang mencekam
itu tiba-tiba terdengar suara tertawa
terkekeh-kekeh. Dan dihadapan Nanjar
kembali muncul bayangan tubuh kakek
itu. Muncul dengan aneh, seolah datang
dari alam gaib.
"Hehehe.. heheheh... bocah
hebat! kau takkan mampu membunuhku
saat ini, karena aku akan tetap
mewujudkan cita-citaku! Kau bocah
hebat yang kuberikan kesempatan padamu
untuk kau memperdalam ilmu kedigja-
yaanmu. Kelak aku akan menguji
kekuatanmu. Saat ini kau bukanlah apa-
apa bocah linglung!" Selesai berkata,
si kakek Siluman Gila Guling tertawa
terkekeh-kekeh. Dan sekejap tubuhnya
kembali lenyap sirna tak berbekas.
Nanjar tertegun menatap tak
bergeming. "Manusia atau hantukah
dia?" pikir Nanjar. Mulutnya ter-
nganga. Sementara telinganya mendengar
suara angin bergemuruh. Dibarengi
suara angin yang mengguruh yang
menerbangkan dedaunan itu lapat-lapat
terdengar suara tertawa si Siluman
Gila Guling yang semakin menjauh....
dan semakin jauh. Akhirnya deru
anginpun lenyap. Suara tertawa itupun
tak kedengaran lagi.
Lama Nanjar terpaku memandang.
Lama dia berdiri bagai arca. Namun
kemudian dia tersadar. Matahari sudah
menggelincir ketika pemuda itu
perlahan-lahan beranjak meninggalkan
tempat itu. Meninggalkan timbunan
tanah yang telah digalinya untuk
mengubur jenazah Cantrik Sari...
T A M A T
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar