..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 17 Januari 2025

DEWA LINGLUNG EPISODE SILUMAN GILA GULING

matjenuh

 

SATU

MUNCULNYA MANUSIA IBLIS yang 

menimbulkan tragedi berdarah disekitar 

wilayah utara kerajaan GIRIJAYA sebuah 

kerajaan yang cukup besar pengaruhnya 

di pesisir pantai utara Pulau Jawa 

membuat resah Adipati GANTRA. Sebagai 

orang yang dikuasai untuk membina 

kesejahteraan diwilayahnya, Adipati 

Gantra merasa bertanggung jawab atas 

kejadian itu. Bukan mustahil suatu 

ketika diri dan keluarganya lah yang 

akan menjadi korban.

Selama tiga pekan belakangan ini 

telah terjadi tiga peristiwa yang 

mengejutkan. Tiga peristiwa yang 

meminta korban jiwa. Yaitu terbunuhnya 

Tumenggung Penjali beserta keluarganya 

yang dibantai habis seluruh keluarga-

nya, termasuk istri dan anaknya juga 

para pembantu. Belum lagi korban para 

prajurit yang sedikitnya ada belasan 

orang. Kematian mereka secara aneh. 

Karena menurut saksi mata dari salah 

seorang korban yang masih hidup, si 

pembunuh itu hampir sukar sekali 

dilihat sosok tubuhnya. Karena 

berkelebat begitu cepat bagaikan 

bayangan hantu. 

Kejadian terjadi dimalam hari 

dikala para prajurit Tumenggung tengah 

beristirahat sambil berjaga. Ketika 

tahu-tahu bayangan putih berkelebat


keluar dari dalam pendopo setelah 

beberapa saat sebelumnya terdengar 

suara jeritan dari kamar Tumenggung 

PENJALI.

Para pengawal cepat bertindak 

mengejar dengan senjata-senjata ter-

hunus. Akan tetapi bayangan itu tahu-

tahu lenyap. Dan muncul dibelakang 

mereka. Selanjutnya yang terdengar 

adalah suara jerit para pengawal yang 

roboh tersungkur dengan berlumuran

darah. Dari salah seorang pengawal 

yang masih hidup itulah didapat kete-

rangan, yang didapati dalam keadaan 

luka hampir mati oleh seorang utusan 

dari Kedipatian dipagi harinya.

Tumenggung PENJALI beserta anak 

dan istrinya mati terbunuh. Setelah 

memaparkan apa yang dilihatnya, si 

prajurit itupun tewas tak tertolong 

jiwanya

Kejadian kedua adalah terbunuh-

nya seorang bangsawan, yang juga bekas 

abdi kerajaan, bernama Wongso Kumitir. 

Laki-laki itu tak mempunyai anak, 

kecuali belasan pembantu. Kedapatan 

mati terbunuh dengan isi perut 

terburai diatas tempat tidur. Sedang 

istrinya tewas dalam keadaan ter-

gantung ditiang penglari.

Kejadian ketiga, pembunuhan 

ketiga terjadi pada seorang carik desa 

yang merangkap sebagai guru silat, 

berada di wilayah perbatasan sebelah



timur. Carik desa itu tewas dalam 

keadaan mengerikan. Kedua tangan dan 

kedua kakinya putus, isi perutnya juga 

terbuai keluar. Tubuh laki-laki 

berusia setengah abad itu digantung 

ditiang depan gedung tempat 

tinggalnya.

Tak seorangpun dari para murid 

dan anak buahnya mengetahui. Karena 

kejadian itu mungkin dilakukan dimalam 

hari. Semua anak buah dan para 

muridnya malam itu tertidur pulas 

seperti kena pengaruh ilmu sihir. 

Ketika menjelang pagi, mereka ter-

peranjat mengetahui darah berceceran 

dari kamar keluar ruangan. Dan 

dijumpai mayat carik desa bernama Loh 

Jento tergantung ditiang depan gedung 

dengan keadaan kaki dan tangannya 

putus, serta isi perut yang memburai 

mengerikan.

Hal kejadian itulah yang membuat 

Adipati Gantra tak tenang hatinya. 

Laki-laki berusia tiga puluh lima 

tahun ini mondar-mandir diruangan 

pendopo. Jari-jari tangannya menarik-

narik jenggotnya yang lebat dan 

meremasnya dengan perasaan tak 

menentu.

"Apakah yang harus aku lakukan?" 

berdesis suara laki-laki ini. 

"Kejadian ini tak boleh dibiarkan. 

Sebelum aku mengirim laporan kepada 

Raja sebaiknya kuselidiki dahulu siapa


gerangan manusia iblis yang telah 

berbuat keji itu!" berkata Adipati 

dalam hati. Sementara otaknya bekerja 

keras untuk menyingkap tabir 

pembunuhan itu yang di duga pasti ada 

penyebabnya.

"Loh Jento adalah seorang yang 

berkepandaian tinggi. Tapi dia bisa 

tewas dalam keadaan demikian 

mengerikan tanpa seorang prajuritpun 

mengetahuinya sungguh kejadian aneh! 

Bukan mustahil si pembunuh itu seorang 

tokoh yang luar biasa tinggi ilmunya, 

disamping menguasai ilmu Aji 

PENYIEREP..!" Entah siapa gerangan 

manusia sadis itu!?" bergumam Adipati 

Gantra dengan memijit-mijit keningnya. 

Sementara keringat dingin telah turun 

merembes didahi laki-laki itu yang 

telah banyak berkerut.

Setelah merenung agak lama, 

Adipati Gantra bangun dari duduknya 

yang dalam keadaan gelisah. Lalu 

beranjak masuk ke dalam ruangan. Dua 

orang penjaga sejak tadi cuma 

memperhatikan tingkah laku junjungan-

nya yang seperti amat gelisah sebentar 

berdiri sebentar duduk, tanpa berkata-

kata. Melihat junjungannya masuk ke 

ruang dalam dua penjaga ini saling 

mendekati.

"Gusti Adipati sepertinya sedang 

kacau pikirannya!" bisik penjaga yang 

satu. "Benar! kukira peristiwa


peristiwa yang terjadi belakangan ini 

yang tengah dipikirkan..."

"Apa pendapatmu dengan pembu-

nuhan yang telah meminta korban jiwa 

sangat mengerikan itu?" bertanya 

kawannya.

"Kukira itu bukan perbuatan 

manusia!" sahut sang kawan yang 

bertubuh pendek.

"Ngaco! jadi perbuatan siapa? 

perbuatan setan?! Mana mungkin setan 

membunuh seperti itu! bahkan bisa 

menggantung orang yang dibunuhnya 

sedemikian rupa!"

"Maksudku... bukan perbuatan 

manusia yang wajar! Tentu saja 

manusia, tapi manusia yang telah 

kemasukan roh iblis! hingga dia bisa 

melakukan pembunuhan yang begitu 

keji!" si pendek cepat-cepat menjawab.

"Ya, ya... pendapatmu bisa masuk 

akal...!" sang kawan manggut-manggut 

membenarkan.

"Tetapi maksudku, apakah pemb.. 

b.." pengawal ini tak meneruskan kata-

katanya ketika terdengar langkah kaki 

di belakang mendekati. Belum sempat 

dia menoleh, bahunya telah ditepuk 

orang. Dan terdengar suara 

ditelinganya.

"Maksudmu apakah si pembunuh itu 

punya dasar dendam pada para korbannya 

hingga dia melakukan pembunuhan-

pembunuhan keji itu? bukankah begitu


maksudmu?"

"Beb .. Benar! Hah? siapakah 

no., nona? dari mana kau masuk?" 

tergagap pengawal yang bernama Prono 

ini ketika melihat tahu-tahu di 

hadapannya, telah berdiri seorang 

wanita cantik yang masih muda 

berpakaian sehelai kain warna hijau 

yang cuma menutupi tubuhnya dari betis 

sampai ke dada. Begitu juga mata si 

pengawal pendek. Sepasang matanya 

membelalak tak berkedip menatap 

manusia dihadapannya, yang tahu-tahu 

muncul tanpa diketahui dari mana 

munculnya.

"Hihihi... sejak tadi aku di 

ruangan ini!" menjawab wanita itu 

dengan tertawa menampakkan lesung 

pipit dikedua belah pipinya.

"Ha? aneh? mengapa aku tak 

melihatnya? Siapakah kau? Dan. a... 

ada urusan apa memasuki gedung pendopo 

kedipatian? Siapa yang memberimu izin 

masuk kemari?" bertanya Prono dengan 

terheran. Sementara dalam hati sungguh 

mati dia tak mempercayai kata-kata si 

wanita itu. Rasanya mustahil, karena 

tahu-tahu wanita itu muncul secara 

mendadak dari arah belakang sesaat 

setelah Adipati Gantra masuk ke 

ruangan dalam di mana saat itu dia 

baru bercakap-cakap dengan si pendek.

Mendadak sepasang mata wanita 

yang tadinya jeli itu telah berubah


menjadi nyalang menyeramkan bagai mata 

serigala. Senyumnya lenyap dalam 

sekejap mata.

"Hm, akulah si PEMBUNUH yang 

tengah kau percakapkan barusan! Kalian 

tak perlu mengetahui siapa aku. Akan 

tetapi yang perlu kau ketahui adalah, 

hari ini aku akan mengambil nyawa 

adipatimu, termasuk nyawa kalian 

berdua para pengawal bodoh!"

Selesai berkata mendadak lengan 

wanita itu bergerak cepat sekali. Dan 

tahu-tahu kedua tubuh pengawal itu 

berdiri dengan tubuh kaku dan mata 

mendelik. Namun dari lehernya telah 

mengalir darah hitam kental yang 

memancur ke dada. Sebuah lubang 

sebesar jari-jari tangan terlihat di 

bagian tenggorokan kedua orang 

pengawal itu. Tak bisa dipungkiri lagi 

kedua pengawal yang bernasib naas itu 

telah tewas seketika dalam keadaan 

berdiri.

DUA

NANJAR yang sedang dalam 

perjalanan memasuki batas Kota Raja 

terkejut ketika melihat beberapa orang 

penduduk berlarian dengan berteriak-

teriak.

"Kanjeng Adipati tewas dibunuh 

penjahat!" "Kanjeng Adipati tewas 

mengerikan sekali dibunuh manusia


iblis!" Desa yang cukup ramai itu 

serentak menjadi gaduh dengan 

seketika. Beberapa orang yang sedang 

duduk-duduk di warung makanan 

berlompatan memburu tiga orang laki-

laki yang membawa berita itu. 

Sementara Nanjar terpaku berdiri di 

sisi jalan tak bergeming. 

"Dari mana kalian tahu hal itu?" 

"Apa beritamu benar?"

"Hei!? katakan! apakah kalian 

melihat dengan mata kepala sendiri?" 

Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan 

bertubi-tubi kepada tiga penduduk desa 

yang berdiri terengah-engah dengan 

wajah pucat bagai mayat.

"Kami lihat di halaman gedung 

Kedipatian banyak para prajurit 

berkerumun. Kami penasaran ingin tahu. 

Ketika kami melihat kesana, ternyata 

... ah, sungguh mengerikan! Hiii... 

Kanjeng Adipati mati tergantung di 

tiang pendopo. Keadaan mayatnya 

sungguh mengerikan se.. sekali..." 

Salah seorang memberi penjelasan 

dengan tersengal-sengal.

"Benar! kami melihat sendiri! 

Kami lalu cepat-cepat berlari kemari 

untuk memberitahukan berita ini!" 

tegaskan pula kawannya. Pucatlah 

seketika wajah sekelompok laki-laki 

yang merubung ketiga laki-laki pembawa 

berita itu.

"Ha!? ini tentu perbuatan


manusia iblis itu!"

"Benar! aku yakin ini perbuatan 

manusia iblis yang telah membunuh 

Tumenggung Penjali dan Carik desa 

diperbatasan timur!"

Sebentar saja ketiga laki-laki 

itu telah dikerumuni penduduk yang 

memadati tempat itu. Namun tak lama 

mereka bubar untuk kembali pulang ke 

masing-masing rumahnya. Mereka 

khawatir manusia iblis yang ditakuti 

itu menyatroni rumahnya dan mengganggu 

keluarga mereka.

Ginanjar yang berada diantara 

kerumunan orang itu tersentak kaget. 

Dia termangu-mangu sambil berpikir. 

"Manusia iblis? Yang telah membunuh 

beberapa orang penting di wilayah ini? 

Haiih! lagi-lagi aku harus menjumpai 

kerusuhan. Padahal kedatanganku kemari 

untuk menyelidiki asal-usulku, disam-

ping mencari tahu siapa dan dimana 

kedua orang tuaku..."

Nanjar yang tengah terlongong 

itu seperti bingung mengambil 

keputusan. Apakah dia tak ambil peduli 

dengan kejadian itu, ataukah dia pergi 

ke gedung Kedipatian untuk melihat 

mayat sang Adipati? Ketika tengah 

berpikir, demikian tiba-tiba Nanjar 

tersentak kaget dan merasa aneh.

Karena disaat para penduduk 

gaduh berlarian kesana-kemari, justru 

ada seorang laki-laki tua yang


berpakaian lusuh penuh tambalan 

berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. 

Bahkan orang ini berjingkrakan sambil 

menari-nari.

"Hahaha... hehe... hahaha.. 

syukur! syukur! Biar adipati keparat 

itu mampus! Biarkan para cecunguk-

cecunguk rakus itu mampus dilumat si 

manusia iblis! Hahaha... hehehe... 

kalau tidak punya dosa masakan dibunuh 

si manusia iblis? Kalau tidak punya 

dosa masakan dicincang sampai 

mengerikan? Hahaha... hahaha…!"

Tentu saja kata-kata serta sikap 

laki-laki tua berbaju lusuh itu 

membuat Nanjar jadi bengong 

terlongong. 

"Siapa kakek tua ini? apakah dia 

gila?" guman Nanjar dengan alis

dikerutkan. Sementara si orang tua itu 

terus berteriak-teriak sambil tertawa-

tawa. Ditangannya menggenggam sebuah 

buli-buli berisi minuman arak yang 

sebentar-sebentar ditenggaknya. 

Sedangkan mulutnya tak hentinya 

berceloteh.

Saat itu serombongan laki-laki 

yang masih berada ditempat itu telah 

berlompatan mendekati si kakek tua 

kumal yang ngoceh tak karuan itu.

"Hei! tua bangka pemabukan! Apa 

katamu barusan? Kau malah menyumpahi 

kematian Kanjeng Adipati! Jangan-

jangan kau bersekongkol dengan



pembunuh terkutuk itu!" Bentak salah

seorang laki-laki dari rombongan 

pemuda-pemuda itu justru membuat 

tertawa si kakek kumal berbaju 

tambalan ini semakin mengakak geli 

hingga terpingkal-pingkal.

"Hehehe... hahaha... kalian tahu 

apa bocah-bocah bau bawang mentah? 

Orang-orang yang diberi kekuasaan oleh 

kerajaan itu banyak dosa, makanya 

mampus dicincang si manusia iblis! 

Kalian tukang-tukang penagih pajak 

liar berlidah busuk! Hehehe... lidah 

kalian berulat. Juga hati kalian! 

Kalian tak tahu dikala kalian masih 

bocah banyak peristiwa yang tidak 

enak! Ya, ya... banyak yang tidak 

enaknya, kecuali arak inilah yang 

enak! hahaha... hehehe..."

Si kakek kumal mirip orang 

suiting itu mengoceh, dan kembali 

menenggak araknya hingga sampai 

berpuncratan membasahi bajunya. 

Mendengar kata-kata si kakek sinting

itu seketika wajah laki-laki yang 

rata-rata masih berusia muda dan 

bertambang sangar-sangar itu seketika 

berubah merah padam.

"Sialan! kau menghina kami, tua 

bangka!" membentak kasar seorang laki-

laki yang brewok.

Lengannya bergerak mencengkeram 

kedada si kakek. Akan tetapi seperti 

secara kebetulan saja tubuh si laki


laki tua kumal itu seperti terhuyung 

ke belakang mau jatuh. Tentu saja 

cengkeraman laki-laki brewok itu 

lolos.

Melihat cengkeramannya luput, si 

brewok ini naik pitam. Dia tak 

membuang tempo lagi untuk bertindak 

mengumbar emosinya. Lengannya mengayun 

ke arah dada si kakek. Tinjunya yang 

besar itu meluncur kearah dada si 

kakek tua yang tulang iganya 

bertonjolan. Dapat dibayangkan kalau 

tinju yang besar dan kuat itu jika 

diadu dengan tulang tipis si kakek tua 

apa jadinya.

Akan tetapi saat itu sikakek 

terbatuk-batuk. Agaknya arak yang 

ditenggaknya terselak ditenggorokan. 

Didetik yang gawat itu justru kembali 

tubuh si kakek setengah sinting itu 

terhuyung ke samping. Hal mana 

ternyata telah membuat jotosan si 

brewok kembali luput!

Nanjar yang memperhatikan semua 

kejadian itu di depan mata, tak terasa 

memuji. "Haiih! jurus mengelak yang 

hebat! Seperti jurus Tarian Bidadari 

Mabuk Kepayangnya Roro Centil!"

Melihat serangan yang kedua 

kalinya mengalami kegagalan, semakin 

merah padam muka si brewok. Akan 

tetapi kali ini kedua kawannya telah 

siap membantu.

"He! biar kubantu menghajar


kakek dan ini, Jabrig!" teriak salah 

seorang dari dua pemuda itu. Dan dua 

bayangan berkelebat menerjang dari 

kiri dan kanan. Lagi-lagi Nanjar 

berseru kagum, karena dengan tubuh 

terhuyung-huyung si orang tua sinting 

itu berhasil lolos dari dua sambaran 

pukulan kedua pemuda itu.

Sementara itu si brewok telah 

mencabut goloknya yang terselip 

dipinggang.

"Mundur kalian! Biar kuhabisi 

saja nyawa kakek sinting pemabukan 

ini" berkata demikian si brewok 

melompat kearah si kakek. Goloknya 

menabas kearah pinggang, sementara di 

sebelah lengannya tergenggam tiga buah 

senjata rahasia. Serangan itu lolos. 

Tubuh si kakek meliuk kebelakang 

seperti terjengkang. Dan loloslah 

serangan maut barusan. Akan tetapi hal 

seperti ini sudah diduga oleh si 

brewok. Saat itu sebelah lengannya 

secepat kilat melontarkan tiga buah 

paku yang terjepit diantara jari-jari 

tangannya.

Dapat dibayangkan sudah kalau 

kali ini si Kakek takkan mampu 

mengelak. Namun didetik itu juga si 

kakek seperti terbatuk dan semburkan 

arah di mulutnya.

"Frrruuh!"

Menjerit seketika si brewok. 

Tubuhnya terjungkal roboh. Dua orang



kawannya tersentak kaget melihat si 

brewok berkelojotan seperti ayam 

disembelih. Ketika sesaat kemudian 

tubuh laki-laki garang itu berhenti 

tak berkutik. Dua pemuda itu memburu. 

Ketika memeriksanya, terlihat tiga 

buah paku senjata rahasia milik si 

brewok itu telah menancap di leher, 

kening dan dadanya.

"Orang tua keparat! kubunuh 

kau!" membentak salah seorang seraya 

berbalik dengan mencabut senjatanya. 

Betapa gusarnya dia melihat kematian 

si brewok. Akan tetapi mulutnya 

ternganga dengan, sepasang mata 

mendelong. Karena tubuh si kakek 

sinting itu telah lenyap entah 

kemana....

TIGA

Tubuh Nanjar berkelebat mengejar 

kearah berkelebatnya tubuh si kakek 

sinting. Gerakan melompat si kakek itu 

sungguh mengagumkan. Tubuhnya membuat 

tiga kali letikan di udara hingga 

beberapa kejap saja dia, telah mele-

wati puncak-puncak pohon dan lenyap 

dibalik hutan.

Tentu saja Nanjar tak kalah 

sebat untuk mengejar. Tubuhnya melom-

pat ke udara setinggi enam tombak. 

Sepasang kakinya menjejak dahan pohon. 

Dan melesatlah tubuhnya bagaikan anak


panah lepas dari busur ke arah 

berkelebatnya sosok tubuh tua renta 

itu,

Dengan ringan bagaikan seekor 

bangau yang hinggap di tanah, Nanjar 

mendarat di balik hutan itu. Sepasang 

matanya menatap ke beberapa arah untuk 

mencari dimana gerangan orang yang 

dikejarnya. Akan tetapi terheran dia, 

karena jejak si kakek sinting itu 

lenyap tak berbekas

"Aneh!? begitu cepatnya dia 

lenyap. Padahal barusan saja kulihat 

dia melompat ke sini...,!" membatin

Nanjar. Sementara Nanjar celingak-

celinguk ke beberapa arah yang juga 

tak dapat diketahui di mana 

sembunyinya si kakek, Nanjar diam-diam 

berfikir. "Kakek itu berilmu tinggi! 

Entah siapa gerangan dia adanya. Aku 

perlu mengorek keterangan dari dia, 

mengenai si manusia iblis! Kuyakin dia 

tidak gila!"

Sementara itu Nanjar diam-diam 

juga mengagumi kepandaian si kakek 

yang tadi melompat dengan menggunakan 

buli-bulinya sebagai injakan kakinya 

untuk membuat letikan dua kali 

diudara. Buli-buli itu terikat oleh 

seutas tali, dimana ketika si kakek 

melepaskan buli-bulinya seraya menotol 

dengan ujung kakinya. Disaat itu 

tubuhnyapun melesat lagi dengan 

kekuatan tenaga totokan tersebut.


Selanjutnya dia telah menangkap lagi 

buli-bulinya, dan mengulangnya seperti 

tadi, hingga dalam beberapa kejap dia 

telah lenyap dibalik hutan. 

Gerakan demikian kalau bukan 

dilakukan oleh seorang yang telah

mencapai tingkat ilmu meringankan 

tubuh yang telah sempurna sukar 

dilakukan oleh orang biasa, baik yang 

telah mendalami ilmu silat sekalipun. 

Sementara Nanjar mengagumi orang 

lain dia sendiri dikagumi pula oleh 

orang. Siapa lagi kalau bukan si kakek 

sinting itu. Sejak tadi si kakek 

sinting itu ongkang-ongkang kaki, 

duduk didahan pohon. Akan tetapi 

Nanjar tak melihatnya. Tentu saja, 

karena si kakek kumal itu berada di 

atas Najar, tanpa bergeming 

sedikitpun.

Si kakek sinting itu tiba-tiba 

tersenyum menyeringai. Entah ada hal 

apa yang membuatnya lucu. Ketika 

pelahan-lahan dia membuka tali 

celananya.

Dan.....

Serrrrr....!

Terkejut Nanjar bukan kepalang 

ketika tahu-tahu pundaknya basah 

terkena guyuran air. "He? Air memancur 

dari atas? Aneh!" Baru dia menggumam,

seraya menggeser berdirinya, terdengar 

suara tertawa terkekeh-kekeh. Terkejut 

Nanjar seraya mendongak ke atas pohon.


Mendelik mata Nanjar melihat si 

kakek sinting yang dicarinya berada di 

puncak pohon. Duduk di dahan dengan 

celana terbuka yang mengucurkan air 

bagai pancuran kecil.

"Hah!? Sialan! aku dikencingi 

setan tua itu!" memaki Nanjar. Dan 

serta merta dia telah mengendus bau 

pesing yang membuat dia kaget setengah 

mati. 

"Hei! setan tua gila! turunlah 

kau!" teriak Nanjar. Betapa 

mendongkolnya tak dapat dibayangkan 

Nanjar mengetahui tubuhnya kena 

diguyur air kencing si kakek kumal 

itu.

Akan tetapi diam-diam dia 

terkejut, karena tak mengetahui kalau 

orang yang dicarinya berada diatas 

pohon. 

"Hehehe... hahaha... lucu! lucu! 

ada monyet kecil mandi air kencing! 

Hahaha... hehehe... hehehe.." 

tertawa terpingkal-pingkal si kakek 

hingga dahan pohon itu berguncangan. 

Merah dan panaslah rasanya wajah

Nanjar.

"Sialan kau setan tua! kalau kau 

tak mau turun biarlah aku yang akan 

menarik kakimu agar kau turun!" 

Selesai berkata tubuh Nanjar membuat 

lompatan dengan jejakkan kakinya 

ke tanah.

Tubuhnya meluncur ke atas. Dan



selanjutnya Nanjar melompat-lompat 

dengan gerakan cepat sekali, bagaikan 

kera yang memanjat pohon.

Tentu saja hal demikian membuat 

si kakek terkejut karena dia belum 

lagi sempat membenarkan tali, 

celananya, sedangkan tahu-tahu Nanjar 

telah julurkan tangan untuk membetot 

kakinya. Akan tetapi kakek ini tak 

kalah gesit. Tubuhnya telah melompat 

pindah ke lain dahan sebelum lengan 

Nanjar berhasil menangkap pergelangan 

kakinya.

"Setan tua! aku takkan melepas-

kanmu sebelum aku balas mengencingi 

kau!" teriak Nanjar. Tubuhnya telah 

berkelebatan melompat untuk mengejar,

"Hehehehe.... ayo kejarlah aku 

monyet kecil!" teriak si kakek dengan 

tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya ber-

kelebat cepat sekali melompat dari 

puncak pohon ke puncak pohon. Akan 

tetapi Nanjar selalu berada di 

belakangnya yang juga melompat dengan 

gerakan cepat mengejar si kakek. 

Terjadilah kejar-kejaran di puncak-

puncak pohon itu. Sepintas dari jauh 

sepertinya dua kera saja yang saling 

berkejar-kejaran menimbulkan suara 

berkerosakan.

***


Kita tinggalkan dulu keadaan 

Nanjar yang mengejar si kakek sinting, 

yang telah mengencingi tubuhnya. Dua-

duanya boleh dikatakan manusia-manusia 

yang juga sinting. Karena Nanjar mana 

mau berhenti mengejar kalau belum 

membalas mengencingi si orang tua 

misterius yang berkepandaian tinggi 

itu.

Sementara keadaan di wilayah 

Kota Raja kerajaan Giri Jaya dilanda 

kekisruhan dengan ulah si pembunuh 

keji yang terakhir telah merenggut 

nyawa Adipata Gantra itu, kita beralih 

ke lain tempat.

Di sebuah ngarai terjal yang 

diapit oleh dua buah bukit diantara 

deretan perbukitan dipegunungan Dieng, 

tampak suatu pemandangan aneh terlihat 

di udara. Sekelompok burung elang yang 

terbang memutari lembah itu, tiba-tiba 

perdengarkan suara memekik terkejut. 

Kelompok burung elang itu terbang 

membuyar. Apakah gerangan yang 

terjadi? Kiranya segelombang angin 

yang berputar keras telah mengganggu 

kelompok burung elang itu yang muncul 

dari dasar lembah. Pusaran angin yang 

hebat itu agaknya tak mampu membuat 

kawanan burung elang untuk menghindari 

diri dari bahaya.

Dalam beberapa kejap saja tubuh 

mereka terbawa pusaran angin dahsyat 

itu dan telah menghisapnya masuk ke



celah dua bukit tersebut. Seperti 

ditelan bumi saja layaknya belasan 

kawanan burung elang itu lenyap... 

Ternyata angin puting-beliung itu 

berasal dari mulut sebuah goa yang 

berada di dinding tebing di dasar 

lembah. Sekejapan saja elang-elang itu 

telah lenyap meluncur masuk kedalam 

mulut goa itu.

Sukar untuk dipercaya karena 

dalam goa itu duduk di atas batu 

seorang kakek yang memejamkan matanya. 

Kakek ini memakai jubah hitam yang 

membungkus seluruh tubuhnya. Dan 

ternyata belasan ekor burung elang itu 

telah berada dihadapannya dalam 

keadaan lemas tak berdaya.

Gelombang angin dahsyat itu 

telah lenyap sirna. Kakek tua renta 

yang berperawakan gemuk berambut putih 

yang bergelung diatas kepala itu 

tampak membuka sepasang matanya.

EMPAT

Hehehe... bagus! aku telah 

berhasil menguasai ilmu tenaga dalam 

gaib dengan mempergunakan ilmu batin. 

Ilmu ini kunamakan ilmu ANGIN DEWA 

PRAHARA! Dua belas tahun aku mendekam 

di goa ini akhirnya aku berhasil 

menguasai ilmu-ilmu gaib yang dapat 

kupergunakan kelak untuk menghancurkan


kerajaan Giri Jaya! Tak akan puas 

hatiku sebelum aku turun tangan 

sendiri membunuh manusia-manusia 

binatang yang telah membuat aku 

menderita tanpa daksa!" menggumam si 

kakek. Kelihatannya kakek ini berwajah 

ramah, namun dihatinya tersimpan 

dendam yang luar biasa yang selama ini 

tetap berkobar di dadanya.

Dia menetap ke arah belasan ekor 

burung elang yang dalam keadaan lemas 

tak berdaya dihadapannya. Tampak 

bibirnya berkomat-kamit seperti mem-

baca mantera-mantera. Sementara

sepasang matanya tetap menatap tak 

berkedip pada binatang-binatang itu. 

Tiba-tiba terjadilah keanehan. Ketika 

si kakek membuka mulutnya belasan ekor 

elang itu berkelojotan sekarat ketika 

hawa panas keluar dari rongga mulut 

kakek. Dalam beberapa kejap saja 

bulu-bulu burung elang itu rontok-

rontok hangus!

Hawa panas itu lenyap ketika si 

kakek mengatupkan bibirnya. Namun tak 

lama itupun angin halus menerpa bulu-

bulu itu hingga bertaburan lenyap, 

ketika si kakek monyongkan sedikit 

bibirnya untuk meniup.

Tak lama dia telah ngangakan 

lagi mulutnya. Dan hawa panas kembali 

menerpa ke tubuh-tubuh belasan elang 

yang sudah bersih terkuliti bulu-

bulunya. Beberapa saat kira-kira


sepemanggangan, maka terciumlah bau 

wangi sedapnya panggang daging burung. 

Barulah si kakek katupkan lagi 

mulutnya. Bibirnya tersenyum menye-

ringai.

"Hahaha... perutku lapar ! 

Sebelas ekor panggang burung elang ini 

cukup untuk menangsal perutku sambil 

menunggu kedatangan si Cantrik..."

Kelihatannya memang aneh, karena 

kakek ini makan tanpa mempergunakan 

tangan. Tentu saja, karena sepasang 

lengannya kutung sebatas pangkal 

lengan. Entah bagaimana seekor 

panggang burung seperti terhisap 

melompat ke arahnya, dan dengan sigap 

sepasang lengan buntung itu 

menangkapnya. Dengan mempergunakan 

lengannya yang buntung itulah dia 

menyantap makanan enak itu.

Siapakah gerangan kakek aneh 

yang bukan saja sepasang lengannya 

buntung, akan tetapi juga sepasang 

kakinyapun buntung sebatas paha.

Siapakah gerangan kakek aneh 

yang berilmu batin tinggi serta 

memiliki kekuatan tenaga gaib yang 

amat luar biasa itu? Segera anda akan 

mengetahui, karena pada saat tiga ekor 

burung elang masuk ke perut kakek ini, 

tiba-tiba kakek ini mengendengus. 

Wajahnya berubah tak sedap dipandang. 

Dan... "Frruuuh! dia telah 

menyemburkan sisa kunyahan daging di


mulutnya.

Matanya menatap ke arah mulut 

goa. Bibirnya bergerak mengeluarkan 

suara desisan.

"Heh! agaknya hari ini aku akan 

kedatangan tetamu-tetamu..! siapa 

gerangan mereka? Hm, sejak selama dua 

belas tahun tempat ini tak pernah 

dijamah manusia. Tapi hari ini ada 

empat manusia berdatangan ke tempatku! 

Ya, empat orang! Apakah di antaranya 

ada si Cantrik anak gadisku?"

Dengan berdesis demikian si 

kakek tampak miringkan telinga seperti 

meneliti melalui pendengarannya.

Pada saat itulah terdengar suara 

dari luar goa.

"Heeiii! SILUMAN GILA GULING!."

"Betul dugaanku! Si Cantrik sari 

ada diantara mereka, dan telah 

tertawan! kurang ajar!" berkata 

pelahan si kakek.

"Silahkan kalian masuk, orang-

orang gagah! Aku sedang malas untuk 

menyambut kedatangan tetamu! Sebutkan 

diri kalian! Kalian telah menjadi 

tetamu pertamaku! Akan tetapi bocah 

perempuan itu jangan kalian pakai 

untuk menjadi sandera, karena aku tak 

akan memperdulikan mampus atau tidak!" 

Suasana kembali hening. Tak ada 

sahutan dari luar. Setelah beberapa 

saat tak ada suara maupun reaksi dari 

para "tetamu"nya untuk memasuki


ruangan goa, si kakek perdengarkan 

suara tertawa terkekeh-keheh.

Sementara itu keadaan di luar 

goa, terlihat tiga orang laki-laki 

berusia hampir rata-rata setengah abad 

berdiri tegak menghadap ke arah mulut 

goa.

Pandangan mata mereka seperti 

tegang. Ternyata mereka adalah tokoh-

tokoh dunia Rimba Hijau yang punya 

nama cukup besar. Diantaranya adalah 

si KAPAK SETAN seorang yang bertubuh 

pendek memakai jubah kuning. 

Dipinggangnya terselip dua belas 

kapak. Laki-laki ini mengenakan kalung 

yang berbandulan kepala tengkorak 

berukuran kecil.

Laki-laki kedua adalah seorang 

yang bertubuh jangkung kurus. Kumisnya 

panjang menjuntai hampir sejengkal. 

Wajahnya lonjong, berkulit muka hitam. 

Memakai jubah kuning. Lengannya 

mencekal sebuah tongkat berduri. 

Dialah si Iblis Tongkat Racun! 

Sedangkan orang ketiga adalah seorang 

laki-laki bertubuh tegap. Otot-ototnya 

bertonjolan. Dadanya bidang dan 

ditumbuhi bulu lebat. Kulit mukanya 

kasar. Matanya cuma melek sebelah. 

Orang ini tak mengenakan baju bagian 

atas, kecuali celana pangsi yang 

berwarna hitam. Dialah si KEBAL PICAK. 

Orang kuat yang kulitnya sekeras besi!

Orang keempat adalah seorang



wanita yang kepalanya terbungkus kain 

hitam. Wanita itu kedua tangannya 

terikat, dan dalam keadaan menekuk 

lutut didekat kaki si Kebal Picak.

Ketiga orang ini seperti ragu 

untuk memasuki goa, Mereka, khawatir 

kena jebakan musuh. Sedangkan kata-

kata si Siluman Gila Guling telah 

membuat mereka jadi terpaku, karena 

jelaslah kalau adanya tawanan ditangan 

mereka tak berarti sama sekali.

Tiba-tiba segelombang angin 

menerpa ketiga laki-laki itu. 

Terkesiap ketiganya karena angin itu 

keluar dari mulut goa. Dan lebih-lebih 

terkejutnya mereka karena tubuh mereka 

seperti tersedot oleh hisapan angin 

itu yang merangkum mereka untuk 

menarik masuk ke dalam mulut goa.

Akan halnya si wanita yang 

tertutup kepalanya oleh kain hitam 

itu, tak ampun lagi sudah tersedot 

masuk kedalam goa. 

Tinggallah ketiga laki-laki itu 

yang tampak bertahan sekuat tenaga 

menahan hisapan gelombang angin itu. 

Si Iblis Tongkat Racun tancapkan 

tongkatnya dalam-dalam ke tanah. Dan 

dia segera cepat berpegangan pada 

tongkat agar tak terhisap angin. 

Sedangkan si Kebal Picak. gunakan ilmu 

kekuatan tenaga dalamnya untuk 

memberatkan tubuh. Sedangkan si Kapak 

Setan melompat untuk batang pohon.


Saat itulah terdengar suara 

tertawa terkekeh-kekeh dari dalam goa.

"Heheheh... heheh... cukuplah 

kau merasai kehebatan ilmu yang 

kupertunjukkan! Segera kalian 

kembalilah pulang! Aku tak memerlukan 

keterangan apa-apa, karena muridku 

akan menceritakan siapa kalian! Akan 

tetapi lain hari jangan menyangka aku 

akan memberi hidup nyawa kalian!"

Selesai berkata mendadak 

gelombang angin dahsyat itu lenyap 

sirna.

Suasana di luar goa kembali 

tenang seperti sediakala.

Ketiga laki-laki itu menghela 

napas lega. Wajah-wajah mereka tampak 

pucat bagai mayat. Ketiganya saling 

pandang seperti kebingungan. Akan 

meneruskan melabrak si Siluman Gila 

Guling ataukah kembali pulang dengan 

membawa kesialan? karena sedianya 

wanita tawanan itu akan dipergunakan 

untuk menyandera tapi telah lepas dari 

tangan mereka. Kehebatan ilmu si 

Siluman Gila Guling sukar untuk 

dijajagi. Jangan-jangan justru mereka 

akan kehilangan nyawa sia-sia. Memikir 

demikian, ketiganya sama mengangguk 

untuk tak menyia-nyiakan kesempatan 

emas dengan diberinya peluang hidup 

pada mereka.

"Mari kita pergi!" berdesis si 

Iblis Tongkat Racun.


Sekejap ketiganya telah 

berkelebatan pergi meninggalkan lembah 

itu.

Suasana disekitar tempat sunyi 

yang tempat angker dan misterius 

itupun kembali lengang, seolah tak ada 

tanda-tanda kehidupan.

LIMA

TUBUH si wanita yang meluncur 

masuk ke dalam goa terhisap angin 

dahsyat ciptaan si kakek Siluman Gila 

Guling itu telah berada di hadapan 

dengan si kakek keadaan masih 

berlutut.

Kekuatan tenaga gaib si kakek 

membuat tubuh wanita itu melayang 

turun pelahan di hadapannya tanpa 

cidera.

Bukan itu saja, karena tutup 

kepala kain hitam yang menyembunyikan 

wajah wanita itu kini telah terbuka. 

Wajahnyapun segera tampak nyawa kalau 

dia seorang wanita berparas cantik 

berusia antara sembilan belas tahun. 

Wanita ini ternyata wanita yang muncul 

di gedung Kedipatian.

"Cah ayu... Cantrik! ceritakan 

sejujurnya mengapa hal ini bisa 

terjadi? Tak seharusnya kau tertawan 

oleh tiga "tetamu" kurang ajar itu! 

Mereka telah mengetahui tempat


tinggalku! tentu kau yang menjadi 

penunjuk jalan! katakan, siapakah 

mereka? dan ceritakan juga apakah kau 

telah melaksanakan tugas-tugas yang 

kuberikan padamu?" berkata si kakek.

Gadis ini tak segera menjawab

selain menundukkan kepalanya. Semen-

tara kedua pergelangan tangannya masih 

terikat tali kulit di belakang 

punggung.

"Hm..! mendengus si kakek. 

Sepasang matanya menatap si gadis. 

"Membaliklah kebelakang!" ujarnya. 

Gadis ini tak ayal segera turutkan 

perintah si kakek. Sepasang Mata kakek 

ini menatap tajam ke arah tali 

pengikat yang membelenggu kedua lengan 

dara itu. Aneh, cuma sekejapan saja 

tali kulit yang atot itu telah putus, 

dan terbuka ikatannya, ketika secercah 

sinar biru menyambar tali-temali itu.

Cepat gadis itu balikkan 

tubuhnya, lalu menjura di hadapan sang 

kakek dengan bersujud. "Maafkan aku, 

ayah! aku tak segera menjawab 

pertanyaanmu. Terima kasih atas 

pertolongan ayah..." berkata dia.

"Nah! segera kau ceritakan apa 

yang terjadi sebenarnya, dan siapa 

adanya ketiga "tetamu" kurang ajar 

itu? Dan bagaimana dengan tugas-

tugasmu?"

Tanpa diperintah untuk kedua 

kali, segera dara bernama Cantrik Sari


ini tuturkan kejadian dari awal hingga 

akhir.

Ketika digedung kedipatian 

tengah terjadi keributan dengan 

terbunuhnya Adipati Gantra yang 

mayatnya tergantung di tiang pendopo 

dengan keadaan mengerikan, sesosok 

tubuh berkelebat cepat melintasi 

perbatasan Kota Raja,

Dialah wanita yang telah mem-

bunuh dua orang pengawal kedipatian.

Setengah hari melakukan perja-

lanan, gadis ini diam-diam telah 

dikuntit oleh tiga sosok tubuh yang 

terus membuntuti langkahnya.

Naluri dara ini agaknya cukup 

tajam karena dia merasa ada yang 

mengekor di belakangnya. Tapi ter-

lambat sudah, karena ketika dia ber-

henti untuk memperhatikan telah 

terdengar bentakan keras. Dan tiga 

sosok tubuh telah berkelebatan mengu-

rungnya.

Mereka tak lain dari tiga orang 

laki-laki kaum Rimba Hijau yang 

menyatroni tempat tinggal gurunya dan 

yang telah menawannya seperti 

diceritakan dibagian depan. Yaitu si 

Kebal Picak si Iblis Tongkat Racun dan 

si Kapak Setan!

"Kurang asem! kiranya yang 

selama ini dijuluki si manusia iblis 

dan telah membunuhi orang-orang 

kerajaan secara sadis adalah kau


seorang gadis cantik!?" membentak si 

Raja Tongkat Racun dengan mata 

mendelik.

"Siapa kalian?" berkata lantang 

dara ini. Matanya tajam menatap ketiga

laki-laki yang mengurungnya.

"Hehehe... aku dijuluki si Iblis 

Tongkat Racun! Untuk wilayah 

pegunungan Kendeng orang telah tahu 

siapa diriku! Dan kedua kawanku ini 

adalah si Kapak Setan dan seorang lagi 

adalah si Kebal Picak!" menyahut si 

Iblis Tongkat Racun seraya menunjuk 

pada kedua laki-laki kawannya.

"Hm, dengan dalih apa kalian 

menuduh aku yang telah melakukan 

perbuatan seperti yang kau tuduhkan 

padaku?"

"Hen! mengakulah saja kau bocah

ayu! Selama ini aku dan kedua kawanku 

ini telah menyelidiki setiap terjadi 

pembunuhan secara sadis itu. Kali 

terakhir aku dengan mata kepala 

sendiri telah menyaksikan perbuatanmu 

membunuh dua orang pengawal kedipaten 

dan membunuh Adipati Gantra serta 

menggantungnya di tiang pendopo gedung 

kedipatian! Apakah kau masih mau 

mungkir?" berkata si Iblis Tongkat 

Racun dengan menyeringai.

Gadis ini merah seketika 

wajahnya. Tapi dia mendengus seraya 

meludah.

"Cuih! baik, aku mengaku! memang


aku yang melakukan semua pembunuhan. 

Lalu apa maksud kalian mencampuri 

urusanku? bukankah kalian sendiri 

adalah tokoh-tokoh golongan sesat?" 

berkata si gadis. Dara ini memang 

telah mendengar nama ketiga tokoh 

hitam Rimba Hijau itu dari si Kakek.

"Benar kami dari golongan kaum 

sesat. Tapi tak tahukah kau bahwa 

orang-orang yang kau bunuh itu ada 

hubungannya dengan kami? Kecuali guru 

silat bernama LOH JENTO itu yang 

lainnya adalah orang-orang yang punya 

hubungan erat dengan kami, termasuk 

Adipati Gantra!" berkata si Iblis 

Tongkat Racun.

Gadis ini kerutkan keningnya. 

Sepasang alisnya terjungkit. Tampaknya 

dia agak terheran mendengar jawaban si 

Iblis Tongkat Racun.

Akan tetapi dia tak mau banyak 

bertanya. Segera dia berkata ketus. 

"Aku tak peduli! apakah mereka 

konco-konco atau bukan. Yang jelas apa 

yang kulakukan adalah berdasarkan 

perintah guruku!"

"Bagus! Siapakah gurumu?" 

bertanya si Iblis Tongkat Racun.

"Ya! katakan siapa adanya 

manusia yang menitahkan kau membantai 

orang-orang abdi kerajaan itu?" si 

Kapak Setan yang sedari tadi diam saja 

ikut pentang mulut buka suara.

"Hm, baiklah! kukira aku tak


perlu merahasiakan lagi. Guruku 

bergelar SILUMAN GILA GULING!" 

menyahut lantang si gadis.

Mendengar nama gelar demikian 

ketiga laki-laki itu sama saling 

pandang dengan kawannya. Mereka baru 

pernah mendengarnya.

"Siluman Gila Guling? aku belum 

pernah mendengar? Dari golongan 

manakah gurumu itu? Apakah dia 

sebangsa siluman atau manusia?" 

bertanya si Iblis Tongkat Racun dengan 

terperangah.

"Hihihi... Dikatakan golongan 

siluman masuk akal, tapi dimasukkan 

golongan manusia juga tidak salah!" 

tertawa lucu dara ini, akan tetapi 

sepasang matanya tampak berubah 

nyalang, hingga menampakkan wajah yang 

sadis.

"Kalian tak perlu banyak tahu 

tentang guruku, Seperti juga orang-

orang abdi kerajaan yang sudah mampus 

itu. Itulah perintah guruku. Kalian 

telah mengetahui julukan guruku, maka 

terpaksa aku harus membunuh kalian, 

karena kalian termasuk konco-konconya 

orang yang diperintahkan guruku untuk 

membunuhnya!" berkata tandas wanita 

ini sebelum tiga laki-laki itu buka 

suara.

Mendengar kata-kata gadis ini 

ketiga laki-laki itu saling pandang 

dengan kawannya.


"He? dengarkah kau apa katanya? 

Bocah perempuan manusia Iblis ini mau 

membunuh kita! Apakah kalian akan 

biarkan isi perutmu dikeluarkan dan 

kaki tanganmu dibuntungi seperti 

korban-korban yang telah dibunuh dia?" 

bertanya si Iblis Tongkat Racun seraya 

menatap pada dua kawannya.

"Hahaha... kalau dia mampu 

mengupas kulit perutku, aku rela isi 

perutku akan kuberikan padanya!" 

berkata jumawa si Kebal Picak. "Justru 

aku mau menangkapmu, gadis cantik! 

Ingin kutahu apakah kau mampu berbuat 

seperti korban-korbanmu terhadapku?"

Selesai berkata si Kebal Picak 

melompat kehadapan dara ini.

"Gadis semontokmu tak seharusnya 

melakukan pekerjaan sadis, sebaiknya 

kau menemani aku tidur! hahaha..." 

Lengan si Kebal Puncak meluncur ke 

arah dada untuk mencengkeram buah dada 

gadis ini yang membuat matanya 

membinar. Sementara lengannya yang 

satu lagi bergerak cepat untuk menotok 

ke arah jalan darah ditubuh sang 

gadis.

"Kurang ajar!" memaki dara ini 

seraya dengan cepat miringkan tubuh 

menghindari serangan. Sebelah 

lengannya digunakan untuk menangkis.

Akan tetapi dengan gerakan cepat 

si Kebal Picak robah serangan. Kedua 

lengannya digunakan untuk menangkap



pergelangan tangan dara ini.

Terkejut si gadis. Namun apa 

yang dilakukan dara ini membuat si 

Kebal Picak membuang tubuhnya ke 

samping, karena detik itu si gadis 

telah mengirim serangan kilat ke arah 

perut.

Buk! 

Terhuyung laki-laki ini. Kalau 

dia tak berilmu kebal, tentu akan 

dapat merasai akibat pukulan 

mengandung tenaga dalam itu. Namun tak 

urung si Kebal Pucat rasakan perutnya 

mual.

"He? kalian mengapa cuma jadi 

penonton saja? Hayo bantu aku 

menangkapnya!" teriak si Kebal Picak 

seraya berpaling pada si Iblis Tongkat 

Racun dan si Kapak Setan.

Tanpa menunggu lebih lama lagi 

kedua laki-laki ini telah berlompatan 

untuk membantu.

Menghadapi keroyokan dari ketiga 

laki-laki golongan hitam sudah 

berpengalaman didunia Rimba Hijau ini 

agaknya si gadis harus keluarkan 

seluruh kelihaiannya. Bahkan setelah 

lewat dua puluh jurus dia nampak 

terdesak.

Hal tersebut menggembirakan 

ketiganya. Dengan saling bantu-

membantu akhirnya tongkat si Raja 

Racun berhasil menotok urut jalan 

darah di tubuh gadis itu. Dan lengan


si Kebal Picak berhasil menangkap 

pergelangan sang dara ini yang 

langsung memuntirnya ke belakang.

Saat itu kapak maut si Kapak 

Setan meluncur deras kearah kepala si 

gadis.

"Kubikin mampus saja sekalian!" 

teriak laki-laki ini. Akan tetapi 

terdengar bentakan keras. 

"Tahan!" Kalau saja lengan si 

Kebal Picak tak menangkap mata kapak 

itu nyaris akan terbelahlah kepala si 

gadis yang saat itu telah terkulai tak 

berdaya.

"Bodoh!" memaki si Kebal Picak. 

"Kalau kau membunuhnya berarti 

selamanya kau tak akan tahu dimana 

adanya dan siapa sebenarnya si Siluman 

Gila Guling itu. Gadis ini bisa 

menunjukkan tempat tinggal siluman 

itu. Dan... hampir aku kehilangan 

tubuh empuk yang masih menggiurkan 

ini!"

Demikianlah, dengan keadaan 

tertotok dan tak berdaya gadis ini 

berada dalam cengkeraman ketiga laki-

laki itu.

Si Kebal Picak yang tampaknya 

sangat bernafsu melihat kemontokan

tubuh si dara. Tak dapat menahan 

kesabarannya untuk segera memondongnya 

dan membaringkan tubuh dara itu di 

rumput yang tebal.

"Eh, kalian menyingkirlah dulu.


Kalau kalian juga mengingini 

kehangatan tubuh si cantik ini, 

nantilah setelah aku!" berkata si 

Kebal Picak.

"Wah! ini tidak adil! Kita 

meringkusnya bertiga tapi kau yang 

mengangkangi duluan!" sungut si Iblis 

Tongkat Racun.

"Benar! seharusnya diundi! siapa 

yang menang dialah yang duluan!" si 

Kapak Setan itu bicara.

"Baik! dengan cara undian 

bagaimana yang kalian inginkan?" 

berkata si Kebal Picak seraya bangkit 

berdiri. Sebenarnya hatinya mendongkol 

karena usul si Kapak Setan. Padahal 

kalau tak ditangkapnya mata kapak yang 

sedianya membelah kepala gadis itu, 

tentulah gadis cantik ini telah tewas.

Entah cara bagaimana mereka 

melakukan undian, tapi yang jelas 

ternyata si Kebal Picak berhasil 

memenangkan undian, dan dia tetap yang 

berhak paling dulu menggarap korban.

Dengan nafsu yang bergejolak si 

laki-laki berkulit kebal ini membukai 

pakaian gadis itu, sementara kedua 

kawannya menyingkir pergi.

Demikianlah! tak dapat ditawar 

lagi lenyaplah kehormatan sang gadis, 

oleh si Kebal Picak. Yang selanjutnya 

secara bergiliran si Iblis Tongkat 

Racun dan si Kapak Setan pun 

mendapatkan gilirannya.

Selesai dengan urusannya mereka 

mengikat tangan gadis itu, lalu 

membuka totokan dan memaksanya 

menunjukkan tempat tinggal si Siluman 

Gila Guling. Dengan menahan air mata 

serta kebencian yang sedalam lautan si 

gadis yang dijuluki si manusia iblis 

itu menggangguk.

"Baik! aku bersedia mengantar 

kalian ke tempat guruku!" sedangkan 

dalam hati dia memaki. "Tunggulah saat 

kematian kalian kelak! Aku akan 

membunuh kalian dengan cara yang lebih 

sadis lagi! Akan kubuat kematian 

kalian secara perlahan-lahan!"

Demikianlah! si dara cantik ini 

paparkan semua kejadian yang 

dialaminya, juga diceritakan mengenai 

keberhasilan tugas-tugasnya membunuh 

orang-orang abdi kerajaan termasuk 

yang terakhir adalah Adipati Gantra.

"Bagus! anakku! selesailah sudah 

tugasmu! Kini kau bebas menentukan 

nasibmu sendiri! Pengorbananmu cukup 

besar, Cantrik Sari. Hingga kau harus 

kehilangan nasib kehormatanmu. Haiih! 

andai aku tahu ketiga cecungkuk itu 

telah memperkosamu, tentu aku tak 

membiarkan mereka minggat dalam 

keadaan masih bernyawa!" berkata si 

kakek.

Sementara itu terlihat sepasang 

mata dara cantik itu basah bersimbah

air mata. Akan tetapi kesedihan itu


ditahannya dengan menggigit bibir.

Gadis ini telah banyak menderita 

dan selama ini dia hidup dalam 

kekerasan dalam gemblengan seorang 

kakek tanpa daksa yang menyimpan 

dendam sedalam lautan terhadap orang-

orang kerajaan Giri Jaya. Kepedihan 

hatinya mendadak lenyap mendengar 

kata-kata kakek itu yang seperti 

menyuruhnya pergi, bahkan dia bebas 

untuk menentukan nasib sendiri.

"Ayah... kau mengusirku, apakah 

aku sudah tak berguna lagi? Sebagai 

seorang anak, aku bertanya... Apakah 

kau memutuskan hubungan darah antara 

kita? Lalu kita tak akan bertemu 

lagi?"

ENAM

"Kau bukan anakku!" berkata 

pendek si kakek Siluman Gila Guling.

"Hah!? aku bukan anakmu? lalu 

anak siapakah aku? Siapa ayahku dan 

siapa ibuku?" tersentak kaget Cantrik 

Sari.

Sejurus laki-laki tua ini 

terdiam, seperti mengingat akan 

peristiwa belasan tahun yang silam. 

Dan dia menghela napas. Lalu berkata.

"Cah ayu Cantrik Sari! Kau 

adalah seorang gadis yang bernasib

malang. Akan tetapi aku juga seorang



yang lebih malang dari kau! Carilah 

seorang laki-laki tua bernama Kebo 

Layung. Dia bekas seorang tukang kuda 

di istana kerajaan Giri Jaya sebelum 

dirajai oleh raja yang sekarang ini. 

Dia akan membeberkan anak siapa 

sebenarnya kau. Tapi kau harus katakan 

bahwa selama ini kau dibesarkan dan 

dididik ilmu-ilmu kedigjayaan oleh 

aku. Namun kau jangan katakan aku si 

Siluman Gila Guling. Karena dia takkan 

mengenalnya. Katakan bahwa kau selama 

ini bersama Panembahan "BROMO REKSO!"

Mendengar kata-kata itu si gadis 

tercenung menyimak kata-kata si kakek.

"Dimana aku harus mencari orang 

bernama KEBO LAYUNG itu, ah., ayah?" 

Agak ragu Cantrik Sari memanggil laki-

laki tua tanpa daksa itu dengan kata-

kata ‘ayah’. Karena si kakek telah 

mengatakan dia bukanlah anak 

kandungnya.

"Panggillah aku Kakek penambahan 

Bromo Rekso!" berkata si kakek.

"Ya, kakek panembahan Bromo 

Rekso..!" ucap Cantrik Sari. Terasa 

lidahnya kaku mengucapkan kata-kata 

itu.

"Ya, ya..! mengenai orang yang 

bernama Kebo Layung itu aku tak 

mengetahui dimana adanya. Kau carilah 

disekitar wilayah kota Raja! Mungkin 

dia masih tinggal disalah satu desa 

sekitar wilayah Kota Raja itu!" ujar



Siluman Gila Guling alias Ki Bromo 

Rekso.

"Apakah masih ada pesan kakek 

penambahan yang lain?" bertanya 

Cantrik Sari.

"Kukira tidak! Nah, pergilah! 

mumpung hari masing siang!" ujar orang 

tua tanpa daksa ini seperti ingin agar 

si gadis cepat-cepat berlalu.

Merasa dirinya sudah tak perlu 

berdiam lebih lama lagi ditempat itu, 

apalagi dia memang sudah merasa jemu 

untuk terus tinggal didalam goa. Saat-

saat dia keluar goa untuk menjalankan 

tugas baginya amat menyenangkan. 

Karena dia bisa melihat keadaan 

ditempat keramaian.

Tugas itu kini telah selesai. 

Dan dia bebas menentukan cara hidupnya 

sendiri. Apalagi telah diizinkan 

bahkan diperintah oleh si Siluman Gila 

Guling untuk dia pergi. Maka segeralah 

dia mohon diri.

Tak banyak berkata-kata, si 

kakek hanya mengangguk. "Pergilah! 

Semoga Tuhan melindungi setiap 

langkahmu, dan semoga kau bisa 

mengetahui siapa ayah ibumu serta 

bertemu dengan orang yang bernama Kebo 

Layung itu!"

Cantrik Sari mengangguk, lalu 

balikkan tubuh. Dan... dia segera 

melangkah lunglai keluar dari goa. Di 

depan mulut goa dia berhenti sejenak.


Terdengar suara helaan napasnya. Namun 

sesaat kemudian dia telah berkelebatan 

pergi, dan lenyap di ujung jalan di 

lembah lengang itu.

****

Kita beralih lagi pada kedua 

orang yang tengah berkejaran, yaitu si 

kakek sinting pemabukan yang dikejar 

terus-terusan oleh Nanjar.

Gara-gara Nanjar kena dikencingi 

tubuhnya oleh kakek sinting itu, dia 

mendongkol setengah mati. Hingga dia 

terus mengejar. Bahkan Nanjar belum 

puas bila belum membalas mengencingi 

mulut si kakek konyol itu.

"Tunggu pembalasanku kau kakek 

sinting!" memaki Nanjar dalam hati.

"Heei! mengapa kau berhenti 

mengejar?" teriakan si kakek menggema 

di lembah itu. Dia telah berdiri di 

atas lamping batu, melihat kepada 

Nanjar yang berdiri sembulkan kepala 

di puncak pohon.

Nanjar memang sedang berpikir 

mencari akal untuk membalas perlakuan 

si kakek. Justru si kakek itu berhenti 

melompat dan berdiri di atas batu.

"Kakek tua, sudahlah! aku 

menyerah kalah! ilmu melompatmu 

sungguh membuat aku kagum. Bolehkah 

aku mengetahui siapa nama dan 

julukanmu?" bertanya Nanjar seraya


melompat keatas batu tak jauh dari si 

kakek.

"Hehehe..." si kakek tak 

menjawab. Dia julurkan lengannya untuk 

meraih buli-buli di pinggangnya. Lalu 

menenggak araknya tanpa memperdulikan 

pertanyaan orang.

Saat itulah Nanjar cepat 

menjumput sepotong ranting. "Sialan! 

ditanya malah minum arak. Ini 

kesempatan yang baik!" berkata Nanjar. 

Dan dengan gerakan kilat ranting di 

tangannya telah meluncur ke arah si 

kakek.

Tentu saja si kakek ini terkejut 

merasai sambaran benda ke arahnya. 

Seraya berteriak, "Aaiiiyaa..!" dia 

melompat ke belakang untuk 

menghindar.

Nanjar sudah menduga akan hal 

itu. Pada saat itulah tubuhnya 

berkelebat cepat dan lengannya 

bergerak menyambar buli-buli.

Dan... Nanjar berhasil merampas 

buli-buli itu dari tangan si kakek. 

Akan tetapi Nanjar lupa kalau buli-

buli itu terikat seutas tali yang 

terbelit di pinggang kakek itu. 

Tubuhnya tersentak tali, dan buli-buli 

itu nyaris terlepas lagi.

"Celaka!" pikir Nanjar! Akan 

Tetapi dia tak kehilangan akal. Segera 

dia melompat dan gubatkan tali di 

sebatang pohon. Di balik batang pohon


itulah Nanjar dengan cepat membuka 

tali celananya. Dan... Serrrrrr! Suara 

berdesirnya air yang memancur dari 

tengah pangkal pahanya itu dibarengi 

dengan suara tertawa Nanjar yang 

mengakak terbahak-bahak. Bahkan sampai 

terbatuk-batuk.

Sementara dengan terheran si 

kakek memandang ke arah Nanjar yang 

berada di belakang pohon dimana tali 

buli-bulinya terentang.

"He! monyet kecil! apa yang kau 

lakukan di situ?" teriaknya. Dia tak 

berani melompat untuk mendekati karena 

khawatir kena serangan gelap yang 

dilakukan Nanjar. Namun dia lebih 

menghkawatirkan isi buli-bulinya

Justru pada saat itu Nanjar 

muncul dari balik pohon dengan tertawa 

nyengir. "Hehe... hahaha... arakmu 

baik sekali, setan tua! Terima kasih 

atas kebaikanmu!" berkata Nanjar 

sambil menyeka mulutnya.

"Monyet kecil! kurang ajar! apa 

kau telah menghabiskannya?" mendelik 

mata si kakek.

"Hahaha... jangan khawatir. Aku 

tak serakah untuk meludaskannya. Aku 

hanya sekedar menghilangkan hausku 

karena mengejarmu...!" Ujar Nanjar 

seraya lemparkan buli-buli kepada si 

kakek.

Tak ayal lengan si kakek segera 

menyambar kearah buli-bulinya.


Lalu digerak-gerakkan untuk 

mengetahui apakah masih ada isinya.

"Heh! aku main serobot seenakmu 

dan menenggak arakku tanpa sopan-

santun, monyet kecil? Haiih! kau tak 

tahu arak ini adalah bagian dari 

hidupku! Aku tak dapat hidup tanpa 

arak. Dan selamanya arak akan tetap 

menjadi minumanku. Sesuai dengan 

gelarku si Gila Pemabukan!" Selesai 

berkata dia telah menenggak araknya 

dengan rakus dan sampai tandas!

Saat itulah Nanjar tak dapat 

menahan rasa gelinya. Dan dia tertawa 

terbahak-bahak hingga terpingkal-

pingkal.

Sementara si kakek seperti baru 

menyadari kalau ada sesuatu yang 

ganjil dengan arak yang diminumnya. 

Bau pesing yang menyambar di hidung 

itulah yang cepat menyadarkan dia. 

Tapi arak sudah terlanjur tertelan.

"PRRUAAH!" Tak ayal dia telah 

menyemburkan araknya lagi, dan muntah-

muntah karena tak tahan dengan bau dan 

rasa mual di perut.

"Sialaaaan!" memaki si kakek 

dengan wajah merah padam. "Kau monyet 

kecil sialan! Kau berani kencingi 

buli-buliku? Kuhajar kau!"

Bentakan si kakek menggeledek 

yang dibarengi dengan menerjangnya si 

kakek untuk melakukan hantaman ke arah 

kepala Nanjar. Serangan hebat itu


membuat Nanjar tersentak kaget. 

Untunglah dia masih mampu mengelakkan 

diri dengan melompat ke kiri. Apa yang 

dilakukan Nanjar adalah dia memanjat 

pohon dengan cepat bagai kera yang 

naik ke pohon. Sekejap saja sudah 

berada dipuncaknya. 

"Kurang ajar!" terdengar 

bentakan si kakek. Dan...BRRAAKKK! 

Batang pohon itu hancur kena hantaman 

pukulan si kakek yang murka.

Dengan suara berkrotakan pohon 

besar itu roboh.

Namun Nanjar telah melompat 

turun ke arah lain dengan gerakan 

"terbang"nya dan hinggap di atas 

dataran berbatu-batu cadas.

TUJUH

Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk! 

Buli-buli si kakek menyambar 

deras ke arah Nanjar yang dibarengi 

dengan hantaman-hantaman pukulan 

dahsyat. Akan tetapi dengan gerakan 

lincah Nanjar berhasil menghindari. 

Bahkan dengan tertawa-tawa dia 

berkata.

"Hahaha... setan tua! mengapa 

kau marah? Bukankah kini hutangmu 

sudah impas? Kau telah mengencingiku 

dari atas pohon. Dan kini kau ganti 

yang meminum air kencingku! Kau sudah



tak punya hutang apa-apa lagi padaku. 

Bahkan kau telah membayar dengan 

bunganya sekalian! hahaha...haha...,"

Mendengar kata-kata itu sejenak 

si kakek terpaku, dan berhenti 

menyerang. Bila dinilai kata-kata 

pemuda di hadapannya itu benar juga. 

Akan tetapi sungguh keterlaluan kalau 

sampai dia meminum air kencing orang. 

Terlalu dan sungguh memalukan.

"Kau bocah licik siapakah 

namamu?" membentak si kakek.

"Waduh! aku lupa lagi namaku, 

kek! Entah siapa namaku. Bahkan ayah 

ibuku sendiripun aku tak mengetahui!"

"Bocah linglung! Baru aku 

menjumpai orang yang lupa namanya 

sendiri. Bahkan nama ayah ibumu pun

kau tak mengetahui. Apakah kau 

dilahirkan keluar dari liang batu?"

"Haha...mungkin juga! Kau sebut 

sajalah aku si Dewa linglung!" berkata 

Nanjar.

Dia memang tak mau menyebutkan 

namanya. "Mengenai aku dilahirkan dari 

liang batupun aku tak mengetahui. 

Liku-liku hidupku aneh. Sejak kecil 

aku telah dipelihara oleh seorang 

kakek bernama Ki BAYU SETHA yang 

bergelar si Pendekar Bayangan. Namun 

sampai matinya guruku tak pernah 

menyebutkan anak siapa aku?"

"Bocah konyol! eh!? siapa? kau 

mengatakan Ki BAYU SETHA? bertanya si


kakek dengan tertegun. Nyatalah kalau 

kakek ini sebenarnya tidak sinting. 

Karena dia mampu mengingat nama orang 

yang sudah puluhan tahun lewat.

"Ya! apakah kau mengenal guruku 

itu?" bertanya Nanjar.

"Ya, ya! aku pernah mendengar 

namanya pada lebih dari dua puluh 

tahun yang silam. Dialah seorang 

pendekar yang agung. Penjunjung tinggi 

kebenaran dan pembela keadilan. Banyak 

orang mengagumi kebesaran namanya pada 

waktu itu!" bertutur si kakek.

"Kau mengatakan sampai matinya 

dia tak menceritakan siapa kedua orang 

tuamu. Apakah dia sudah tak ada di 

dunia ini?" berkata si kakek.

"Benar, kematiannya oleh seorang 

tokoh golongan hitam yang bergelar si 

Dewa Tengkorak!" ujar Nanjar. "Akan 

tetapi si Dewa Tengkorak sendiripun 

tewas membunuh diri diakhir 

pertarungan dengan Ki Bayu Setha!" 

tutur Nanjar.

"Hm. dari mana kau peroleh 

keterangan? Apakah kau melihatnya 

sendiri?"

"Seorang perempuan yang pertama 

menjadi saudara seperguruanku sendiri 

yang menyaksikan pertarungan beliau 

dengan si Dewa Tengkorak!" jawab 

Nanjar.

"Dia bernama roro. Lengkapnya 

RORO CENTIL!" sambungnya.


Mendengar disebutnya nama itu 

alis si kakek terjungkit naik.

"Bukankah dia si Pendekar Wanita 

Pantai Selatan yang tersohor itu?" 

tanyanya heran.

"Tidak salah! He? kau tampaknya 

banyak tahu kek? apakah kau juga 

mengetahui dimana adanya dia saat 

ini?" bertanya Nanjar. Entah mengapa 

dia ingin sekali berjumpa dengan 

pendekar perkasa yang masih saudara 

seperguruannya itu dan yang pernah 

digandrunginya setengah mati.

"Hahaha... baru kuingat kini! 

baru kuingat! Ya,ya! aku baru ingat!" 

Tiba-tiba si kakek tertawa terkekeh-

kekeh. Sejak tadi dia selalu memper-

hatikan Nanjar dikala bicara. Bahkan 

pertanyaan Nanjar yang menanyakan 

dimana adanya Roro Centil pun tak 

didengarnya. Karena kakek ini rasakan 

jantungnya berdebar. Bayangan masa 

lalu terbayang dipelupuk matanya.

"Apa maksudmu, kek? apakah 

yang kau ingat?" tanya Nanjar 

terheran.

Tapi yang ditanya diam seperti 

arca. Matanya mendelong menatap ke 

depan. Namun tak tahu apa yang tengah 

diperhatikannya. Ternyata dia 

terkenang pada masa yang silam.

Wajah seorang wanita terbayang 

di pelupuk matanya. Wanita yang cantik 

berkulit putih. Wanita yang lugu



dengan ciri khas kedesaannya. Juga 

seorang wanita yang setia pada seorang 

suami. Dialah istriya. Kejadian dimasa 

pemberontakan pada masa yang lalu, 

pada masa Kerajaan MEDANG, terkuak di 

depan matanya lagi.

Kerusuhan yang dimana-mana 

dimasa yang sedang gawat itu, dia 

masih berusia tiga puluh lima tahun. 

Istrinya bernama GINARSIH. Dan dia 

sendiri bernama ANJAR SUBRATA. Disaat 

mengungsi dari Kota Raja akibat 

kerusuhan yang melanda kerajaan Medang 

dengan terjadinya pemberontakan itu, 

sang Istri melahirkan. Ya! 

kelahiran yang tak diduganya sama 

sekali. Ginarsih melahirkan bayi laki-

laki yang montok dan sehat. Akan 

tetapi sesaat setelah kelahiran sang 

jabang bayi, Ginarsih menghembuskan 

napas yang penghabisan. Goncangan-

goncangan hati didalam kekalutan itu 

serta kekhawatiran pada sang jabang 

bayi dalam perutnya membuat daya 

tubuhnya melemah. Hingga sesaat 

berselang setelah melahirkan, sang 

istri menghembuskan nafasnya.

Masih terngiang ditelinganya 

kata-kata terakhir Ginarsih sesaat 

sebelum berpulang. Yang menyuruhnya 

menjaga sang jabang bayi dengan baik, 

dan mendidiknya agar menjadi seorang 

pendekar pembela kebenaran, serta 

berbakti pada kerajaan Medang.


Tentu saja dia berjanji untuk 

mewujudkan apa, yang menjadi keinginan 

istrinya yang amat dikasihinya itu. 

Suasana kekacauan masih belum reda. 

Sang jabang bayi segera diberinya nama 

seusai pemakaman sang istri. Akan 

tetapi bayi itu perlu perawatan. 

Terutama perlunya air susu ibu. Dari 

mana dia mendapatkannya?

Tak ada jalan lain selain 

menyerahkan sang jabang bayi untuk 

dirawat sementara oleh seorang 

penduduk dikaki gunung BISMO. 

Sementara dia sendiri terlibat dalam 

suasana kekacauan yang berada dimana-

mana. Penjahat dan perampok juga kaum 

golongan sesat yang memanfaatkan 

kekeruhan itu mencari mangsa untuk 

kepentingan dirinya.

Terpaksa Anjar Subrata berpin-

dah-pindah tempat untuk menghindari 

penjahat-penjahat itu. Hatinya berduka 

dan dia menyesali akan kebodohannya 

yang tak punya kepandaian. Hingga dia 

tak mampu berbuat apa-apa. Sementara 

tuntutan sang istri memenuhi benaknya. 

Dia harus berkepandaian, demi cita-

cita itu! Dia harus ikut berjuang 

menegakkan kebenaran membela Kerajaan 

Medang.

Pergilah dia ke tempat sunyi. 

Disana dia tafakur memencilkan diri 

serta memuji kebesaran Tuhan, bahwa 

dirinya masih bisa selamat. Dia memang


punya kepandaian. Tapi sedikit 

kepandaian itu tak berarti apa-apa. 

Untuk menghadapi kekuatan para 

penjahat yang merajalela memeras 

rakyat dia tak berkemampuan apa-apa.

Bahkan nyaris dia tewas ketika 

membela penduduk dari tindasan kaum 

pemberontak yang menguasai beberapa 

buah desa. Dia bersyukur karena 

kejadian itu tak berada di wilayah 

lereng gunung Bismo. Gunung Bismo 

terlalu jauh dari tempat kerusuhan 

itu. Dan di lereng gunung itu cuma ada 

sebuah desa kecil. Tak nantinya kaum 

penjahat menyatroni ke sana.

Demikianlah! dengan memencilkan 

diri itu, Anjar Subrata memperdalam 

ilmunya seorang diri. Dia menciptakan 

ilmu kepandaian dengan ciptaan 

sendiri.

Keuletan dan kesabaran serta 

kemauan keras membuat dia berhasil 

menguasai ilmu-ilmu kepandaian tanpa 

guru.

Lebih dari lima tahun dia 

menyekap diri dalam hutan. Dan 

akhirnya setelah dia merasa cukup 

dengan ilmu yang dimilikinya, 

dibulatkan hatinya untuk turun gunung 

keluar dari tempat tersembunyi itu.

Tujuan utamanya adalah untuk 

menemui anaknya si bayi mungil yang 

dititipkan pada seorang desa di lereng 

gunung BISMO.


Terasa lega hatinya karena 

kekacauan tampaknya sudah mereda.

Kejahatan memang tak bisa sirna, 

dan tetap ada dimana-mana. Dia tak 

mengetahui tentang keadaan aman atau 

tidaknya keadaan kerajaan. Rasa rindu 

untuk menjumpai sang anak semakin 

menggebu. Berangkatlah Anjar Subrata 

menuju ke lereng gunung Bismo.

Akan tetapi yang dijumpai 

membuat hatinya tersentak. Karena desa 

dimana dia menitipkan bayinya telah 

rusak binasa. Tak ada tanda-tanda 

kehidupan disana. Hutan di lereng 

gunung Bismo seperti baru dilanda 

kebakaran hebat. Pohon-pohon mati 

gersang. Rumput kering dan tanah yang 

tandus. Dimana-mana yang tampak adalah 

serpihan arang dan debu hitam.

O, betapa hancurnya hati Anjar 

Subrata. Betapa pilunya hati seorang 

ayah yang tak mengetahui dimana dan 

bagaimana nasib sang anak.

Sejak saat itulah dia tak 

mendengar lagi tentang anaknya itu. 

Dan sampai saat ini. Kejadian itu 

membuat dia tertekan batinnya. Hingga 

dia mengalihkan kegoncangan jiwanya 

pada minuman arak. Sejak itulah arak 

menjadi sebahagian dari hidupnya.

Namun nama anak itu masih tetap 

diingatnya. Dan tetap terukir 

dibenaknya, walau sampai mati 

sekalipun.!


"Ya! anakku kuberi nama 

GINANJAR! aku masih mengingatnya dan 

takkan pernah aku melupakannya!" 

berkata kakek ini dalam hati.

"He! bocah! sebutkan siapa 

namamu!" tiba-tiba si kakek ajukan 

pertanyaan dengan mata memandang tajam 

pada Nanjar. Sejak tadi Nanjar melihat 

pada orang tua di hadapannya dengan

rasa aneh! Kini mendadak kakek itu 

menanyakan namanya. Nanjar tertawa 

ketika ingat bahwa si kakek ini rada-

rada sinting. Dia tertawa seraya 

menyahut.

"Hahaha... bukankah sejak tadi 

sudah kukatakan aku tak ingat namaku 

lagi. Kau sebut sajalah aku si Dewa 

Linglung!"

"Baik! baik! Dewa Linglung! 

Apakah kau merahasiakan namamu ataukah 

kau memang benar-benar lupa. Akan 

tetapi ketahuilah! Aku pernah punya 

anak laki-laki pada dua puluh tahun 

lebih yang silam. Bocah laki-laki itu 

kutinggalan dilereng gunung BISMO pada 

seorang penduduk desa, karena aku tak 

bisa merawatnya. Orang yang kutitipi 

anakku itu mempunyai seorang bayi 

perempuan, hingga anakku bisa 

menumpang menyusu padanya. Kutitipkan 

anakku padanya karena ibunya telah 

mati! Kalau dia hidup, saat ini tentu 

seusia denganmu!" berkata si kakek 

dengan wajah murung


"Siapakah nama anakmu itu, kek?" 

tiba-tiba Nanjar ajukan pertanyaan. 

Wajahnya berubah serius, dan olok-

oloknya lenyap seketika yang tadinya 

dia berniat menggoda orang.

"Dia kuberi nama Ginanjar!" 

sahut si kakek.

Tersentak kaget Nanjar mendengar 

jawaban si kakek. "Benarkah itu?" 

pekik dihatinya.

"Ba... bagaimana ciri-ciri 

anakmu itu? apakah kau masih 

mengingatnya?" Penasaran Nanjar 

kembali ajukan pertanyaan. Walau 

hatinya terasa kaget dan girang bukan 

main, tapi dia tak bisa menerima 

begitu saja si kakek ini ayah 

kandungnya. Didunia ini banyak nama-

yang sama.

"Anakku aku ingat betul ciri-

ciri pada tubuhnya. Dia mempunyai 

tanda hitam sebesar ibu jari 

dipantatnya!" menyahut si kakek dengan 

wajah sungguh-sungguh.

"Ha? ti... tidak salahkah, kek?" 

tanya Nanjar tergagap. Tanda itu ada 

padanya. Bahkan Roro sering 

mentertawakan kalah dia sedang mandi 

melihat tanda hitam sebesar ibu jari 

tangan yang ada di pantatnya.

"Aku... aku mempunyai tanda yang 

kau sebutkan itu, kek! kau lihatlah!" 

berkata Nanjar setengah berteriak. Dan 

tak ayal lagi, dia segera buka


celananya. Kemudian tunggingkan pantat 

dihadapan si kakek.

Membelalak mata si kakek melihat 

tanda itu. Penasaran dia menghampiri 

dan memperhatikan dengan teliti. 

"Benar! tak salah lagi kau... 

kau benar anakku!" tergetar suara si 

kakek. Sepasang matanya menatap Nanjar 

dengan membelalak.

Nanjar tak sempat untuk 

kancingkan celananya lagi karena 

seketika si kakek telah memeluk dengan 

erat, seraya berteriak girang.

"GINANJAR! Oh, Ginanjar! kau... 

kau benar anakku! kau benar bayi yang 

kutitipkan dua puluh tahun lebih yang 

lalu! Oooh, anakku...!"

Nanjar tak dapat membendung 

perasaannya lagi, diapun mendekap 

tubuh si kakek dengan teriak-isak.

"Ah., ayah! ayah...! Oh, kau... 

kau ternyata ayahku! Betapa aku amat 

merindukanmu, ayah!" Suara Nanjar 

tergetar bercampur isak. Air matanya 

meleleh membasahi pipinya. begitupun 

si kakek. Kedua matanya berkaca-kaca 

penuh genangan air mata. "Maafkan aku 

ayah, aku telah berlaku kurang ajar 

padamu...!" berkata Nanjar menyesali 

perbuatannya.

"Tak apa anakku, tak aku yang 

bikin gara-gara" Tukas Ki Anjar 

Subrata dengan tertawa.

Betapa girang dan bahagianya



hati kedua insan yang baru saling 

berjumpa dan saling mengenali itu 

sukar untuk diceritakan...

DELAPAN

Nanjar duduk diatas batu di tepi 

sungai berair jernih dipagi yang sejuk 

itu. Matahari baru saja sembulkan 

dirinya dari ufuk timur. Sementara Ki 

Anjar Subrata baru saja selesai 

bercerita mengenai pengalamannya 

seusai tadi malam menceritakan tentang 

riwayat Nanjar.

Nanjarpun telah menceritakan 

pengalaman hidupnya yang mempunyai 

beberapa orang guru. Hingga yang 

terakhir dia menjadi murid Raja 

Siluman Kera, Raja Siluman Ular, Raja 

Siluman Biawak dan Raja Siluman 

Harimau serta yang terakhir adalah 

Raja Siluman Naga. Secara tidak 

langsung Nanjar telah menjadi pewaris 

ilmu tokoh persilatan golongan hitam 

yang bergelar si Enam Iblis Pulau 

Kambangan.

Kakek tua yang bernama Ki Anjar 

Subrata itu tercenggang mendengar 

penuturan Nanjar.

"Jadi terakhir guru-gurumu 

adalah tokoh-tokoh golongan sesat?" 

"Benar, ayah! Akan tetapi jangan 

khawatir! Anakku tak akan menjadi

orang sesat. Aku hanya memetik ilmunya


saja yang akan kupergunakan untuk 

bekal langkah-langkahku selanjutnya. 

Aku bercita-cita menjadi seorang 

pendekar tulen. Dan ilmu-ilmu kepan-

daian yang kumiliki akan kupergunakan 

untuk membela kebenaran dan menghan-

curkan kebatilan!" sahut Nanjar dengan 

suara gagah.

Ki Anjar Subrata manggut-

manggut. Dia tampak amat girang 

sekali. Sungguh tak disangka dia akan 

dapat berjumpa dan berjodoh untuk 

kembali bertemu dengan sang anak.

"Sukurlah, kalau demikian 

anakku, Nanjar! Tak ada kebahagiaan 

lain bagiku selain melihat anaknya 

berhasil menjadi seorang pendekar yang 

gagah!" ujar Ki Anjar Subrata.

"Tak sia-sia almarhum ibumu 

mengharapkan kau menjadi seorang yang 

berkepandaian tinggi. Semoga kau dapat 

gunakan ilmu-ilmu yang kau miliki 

untuk membela yang lemah dan menindak 

yang jahat! Terutama sekali kau bisa 

membela dan menjaga keutuhan dan 

ketenteraman kerajaan Mataram dari 

para pemberontak!" tutur ki Anjar 

Subrata selanjutnya. 

"Terima kasih, ayah! Kelak suatu 

saat akupun akan menghambakan diri 

pada Kerajaan Mataram. Akan tetapi 

saat ini aku masih senang mengembara. 

Aku ingin banyak pengalaman di dunia 

Rimba Hijau. Juga masih banyak


penindasan, kekerasan dimana-mana. Hal 

itu menjadi tugasku untuk turun tangan 

menyumbangkan tenaga membela yang 

tertindas!" ujar Nanjar tegas.

Ki Anjar Subrata manggut-

manggut. "Aku tak dapat menghalangimu, 

anakku. Dimasa muda akupun senang 

mengembara ... akan tetapi aku tak 

sehebat kau ...! Ilmu meringankan 

tubuhmu luar biasa! Aku sungguh kagum 

melihat kemampuanmu mengejarku, juga 

mengelakkan serangan-seranganku yang 

mengandung maut!" berkata laki-laki 

tua itu.

"Ah, ayah dibandingkan kau, aku 

bukan apa-apa..." tukas Nanjar 

merendah. Akan tetapi dia tampak 

senang sekali dipuji oleh ayahnya.

Dalam pembicaraan itu tiba-tiba 

Nanjar teringat pada kejadian 

pembunuhan yang baru saja kemarin 

terjadi. Juga kejadian-kejadian 

pembunuhan oleh orang yang disebut si 

manusia iblis itu.

"Ayah! apakah kau mengetahui 

siapa manusianya yang melakukan 

serangkaian pembunuhan-pembunuhan keji 

belakangan ini? Termasuk juga pembu-

nuhan seorang Adipati kemarin ini?" 

bertanya Nanjar. Teringat Nanjar 

ketika ayahnya tertawa sambil mabuk 

yang justru menyumpahi orang-orang 

kerajaan yang terbunuh.

Ki Anjar Subrata diam sejurus.


Lalu menghela napas sesaat, dan 

ujarnya.

"Sebenarnya aku tak mengetahui 

sama sekali siapa adanya pembunuh 

misterius itu. Akan tetapi orang-orang 

kerajaan Giri Jaya yang terbunuh itu 

adalah orang-orang yang bekerja sama 

dengan para penjahat. Mereka adalah 

orang-orang Munafik yang bekerja 

dibelakang kekuasaan Raja akan tetapi 

diam-diam memeras dan menindas rakyat 

serta mencari keuntungan pribadi 

memperluas kekuasaan. Aku khawatir 

suatu ketika mereka justru menjadi 

pemberontak-pemberontak kerajaan! 

Dibalik kejadian-kejadian itu tentu 

ada sebab-sebabnya. Akan tetapi 

pemhunuh itu memang terlalu keji dalam 

melakukan pembunuhan!" ujar Ki Anjar 

Subrata.

"Ayah! aku berniat menyelidiki 

siapa si pembunuh misterius itu. 

Dendam kesumat apakah hingga si 

pembunuh misterius itu melakukan 

pembantaian!" berkata Nanjar seraya 

bangkit berdiri. Nanjar manggut-

manggut. "Dari mana ayah mengetahui 

para abdi kerajaan Giri Jaya itu 

bersengkongkol dengan para penjahat?" 

tanyanya.

"Hm, tiga orang tokoh hitam yang 

bergabung dan bekerja sama dengan 

abdi-abdi kerajaan itu aku mengeta-

huinya. Dialah si Iblis Tongkat


Racun, si Kebal Picak dan si Kapak 

Setan!!" sahut Ki Anjar Subrata.

"Ayah! aku berniat menyelidiki 

si pembunuh misterius itu, juga 

mencari ketiga manusia yang ayah 

sebutkan itu! Dimanakah ayah berdiam 

selama ini? kelak aku akan 

mengunjungimu bila telah kuselesaikan 

urusanku!" berkata Nanjar. Disebut-

kannya nama-nama ketiga tokoh itu 

telah membuat Nanjar tersentak kaget. 

Karena ketiga tokoh itulah yang tengah 

dicarinya. Kejadian beberapa pekan 

yang lain disaat dia melakukan 

perjalanan ke utara Nanjar telah 

memergoki kejadian mengenaskan. Yaitu

terbunuhnya puluhan manusia, yang 

terdiri dari anak-anak buah sebuah 

perguruan silat yang bernama perguruan 

Elang Suci. Bahkan ketua dan wakilnya 

serta terlihat diantaranya seorang 

pendeta terbunuh tewas.

Dari keterangan yang dipero-

lehnya pembantaian itu dilakukan oleh 

tiga orang yang masing-masing bergelar 

si Kapak Setan, si Iblis Tongkat Racun 

dan si Kebal Picak. Namun mengenai hal 

tersebut Nanjar tak mau menceritakan 

pada sang ayah.

Setelah termenung sejurus, ki 

Anjar Subrata berkata. 

"Aku tak dapat menghalang-

halangi niatmu! Memang tugas seorang 

pendekar adalah melenyapkan kebatilan.


Kau sudah mengetahui bahwa ketiga 

manusia yang kusebutkan itu adalah 

tokoh-tokoh hitam yang diam-diam 

merongrong kewibawaan kerajaan Giri 

Jaya. Sedikit banyaknya kau mengetahui 

perbuatan mereka diluar! Akan tetapi 

hati-hatilah! Menurut yang kudengar 

ketiganya berilmu tinggi!" 

"Jangan Khawatir, ayah! hidup 

dan mati berada ditangan Tuhan. 

Disamping itu ingin kuselidiki apakah 

si manusia iblis yang melakukan 

pembunuhan-pembunuhan itu punya dendam 

tersendiri, ataukah dia justru orang 

yang akan menghancurkan kerajaan Giri 

Jaya!"

"Benar, anakku! akupun mengkha-

watirkan hai itu!" tukas Ki Anjar 

Subrata. "Sebaiknya kau berangkatlah 

sekarang. Sebenarnya aku mau turut 

membantumu, akan tetap saat ini aku 

merasa tenaga dalamku jauh berkurang, 

dan sedikit ada luka dalam di tubuhku. 

Aku hanya menunggu berita darimu saja. 

Temuilah aku di lereng bukit Karang 

Luhur, dilereng gunung itu!" ujar Ki 

Anjar Subrata sambil menunjuk.

"Baiklah, ayah! Kukira aku tak 

berlama-lama lagi. Nah, selamat 

tinggal ayah. Sampai ketemu lagi!" 

ujar Nanjar seraya balikkan tubuh dan 

beranjak melangkah.

"Selamat jalan anakku, Nanjar! 

semoga Tuhan melindungimu ..." sahut


Ki Anjar Subrata. Nanjar mengangguk. 

Dan sekejap Nanjar alias si Dewa 

Linglung telah berkelebat lenyap.

"Bocah hebat! sungguh tak 

kusangka anakku telah menjadi seorang 

yang berilmu tinggi. Dengan ilmu-ilmu 

yang dimilikinya kukira dia cukup 

mandiri untuk melakukan tugas 

kependekarannya..." berkata pelahan 

laki-laki tua ini. Hatinya; merasa 

bangga. Sesaat setelah menghela napas, 

kakek pemabukan ini meraih buli-

bulinya. Ditatapnya sejenak benda 

terbuat dari besi itu. Sekali renggut 

putuslah tali pengikat buli-buli. Dan 

dilemparkannya benda itu dengan 

berteriak, "Selamanya aku tak akan 

mempergunakan kau lagi untuk minum 

arak!" Kemudian laki-laki tua itupun 

berkelebat pergi dari tempat itu ....

SEMBILAN

CANTRIK SARI meninggalkan lembah 

sunyi itu dengan hati lega. Udara 

cerah siang hari itu. Arah yang kini 

tengah ditujunya adalah Kota Raja.

"Aku harus cari orang yang 

bernama KEBO LAYUNG itu. Apakah aku 

akan berhasil menjumpainya dalam waktu 

dekat ataukah sampai kapan, aku tak 

mengetahui. Tapi yang jelas disamping 

mencari orang tua itu aku perlu


melacak jejak ketiga manusia keparat 

yang telah merusak kehormatanku!" 

berpikir Cantrik Sari.

Gadis ini memang tak dapat tidak 

harus membunuh ketiga manusia yang 

telah menggagahinya. Yaitu si Iblis 

Tongkat Racun, si Kapak Setan dan si 

Kebal Picak. Mengingat akan nasibnya 

dara ini kembali air matanya 

menggenang.

"Tunggulah kalian manusia-

manusia laknat! Aku, akan membunuh 

kalian dengan kematian yang lebih 

sadis, agar kalian rasakan penderita-

annya!" mendesis Cantrik Sari. Dan 

wajahnya seketika menjadi beringas. 

Matanya berubah nyalang bagai mata 

serigala. Tubuh dara inipun berkelebat 

melesat ke arah utara ...

****

Sementara itu kita beralih pada 

tiga manusia yang gagal menyandera 

Cantrik Sari untuk membunuh si Siluman 

Gila Guling. Bahkan mereka lari 

tunggang-langgang meninggalkan lembah 

angker itu.

Ketika tokoh Rimba Hijau 

golongan hitam ini melangkah cepat ke 

arah lereng gunung setelah melewati 

hutan lebat. Malam tadi mereka 

menginap di dalam hutan sambil menyu-

sun rencana mereka selanjutnya.


Dalam perjalanan itu mereka 

bercakap-cakap.

"Kau tetap pada pendirianmu 

untuk meninggalkan Kola Raja, sobat 

Iblis Tongkat Racun?" bertanya si 

Kebal Picak.

"Ya! aku punya firasat tidak 

enak! Jangan-jangan setelah orang-

orang pihak kerajaan itu yang 

dibunuhnya, nyawaku pula yang diancam 

oleh si manusia Siluman Gila Guling. 

Bukan mustahil, kalau dia tak turun 

tangan sendiri untuk membantai kita. 

Apakah kalian tak mengkhawatirkan hal 

itu?" menjawab si Iblis Tongkat Racun.

"Hehehe... siapapun akan 

mengkhawatirkan kehilangan nyawanya. 

Akan tetapi aku tak setolol kau. 

Manusia Siluman Gila Guling itu bisa 

kita hadapi bersama-sama dengan orang-

orang kerajaan. Tak mungkin pihak 

kerajaan berdiam diri. Setidaknya 

mereka akan mencari bantuan untuk 

membunuh manusia lembah itu: Bila 

berhasil, tentunya jabatan tinggi 

telah menunggu kita!" berkata si Kebal 

Picak. Sedangkan si Kapak Setan 

mangut-manggut membenarkan.

"Benar, sobat Iblis Tongkat 

Racun. Mengapa kau tak terus bergabung 

membantu kami? Apakah kau tak mengiler

dengan jabatan tinggi di kerajaan. 

Dengan modal memberitahukan dimana 

adanya si Manusia Iblis penyebar maut


itu pada Raja, kita sudah punya jasa 

pada Kerajaan! Dan bila kita berhasil 

menjadi orang-orang kerajaan, 

perempuan cantik mana yang bisa 

menolak kalau kau melamarnya? hehehe 

... hahaha ..."

Si Kapak Setan tertawa gelak-

gelak. Tentu saja tujuannya adalah 

membujuk si Iblis Tongkat Racun agar 

tetap bergabung bersamanya. Karena 

walau bagaimana mereka merasa khawatir 

merasa banyak musuh disebabkan 

banyaknya perbuatan jahat yang mereka 

lakukan. 

"Tidak! sekali aku bilang tidak, 

tetap tidak! Aku tak bodoh untuk 

mengambil resiko besar yang telah 

kupikirkan masak-masak. Makanya aku 

tak mau unjukkan diri di Kota Raja!" 

sahut si Iblis Tongkat Racun dengan 

tegas. Pada saat mereka saling berebut 

omong itulah, sesosok tubuh diam-diam 

menguntit mereka dan mendengarkan 

pembicaraan. Siapa adanya penguntit 

itu ternyata tak lain dari Nanjar 

alias si Dewa Linglung.

"Tidak salah! ketiga orang ini 

tak lain dari si Iblis Tongkat Racun, 

si Kebal Picak dan si Kapak Setan! 

Bagus, aku tak payah-payah mencari 

mereka!" berkata Nanjar dalam hati. 

Nanjar terus mengikuti percakapan 

ketiga orang itu yang bersitegang. 

Ternyata si Iblis Tongkat Racun tetap


pada pendiriannya.

Akhirnya kedua kawannya tak 

dapat menghalangi. Akan tetapi baru 

saja si Iblis Tongkat Racun mau 

beranjak pergi mendadak terdengar 

suara bentakan,

"Manusia-manusia keparat! Jangan 

harap kau bisa tinggalkan tempat ini 

dalam keadaan masih bernyawa!"

Diiringi kata-kata itu 

berkelebat sesosok tubuh. Siapa adanya 

pendatang ini? Tak lain dari Cantrik 

Sari.

Tersentak kaget si Iblis Tongkat 

Racun maupun kedua orang kawan laki-

laki ini. Namun melihat siapa yang 

datang, si Kebal Picak tertawa gelak-

gelak.

"Hahaha... kukira siapa! Tak 

tahunya nona..! Sudah kuduga kau pasti 

akan mencari kami. Tentunya kau 

merasakan nikmatnya berada dalam 

pelukanku. Apakah kau ingin aku 

mengulangnya? Kita-kita sih bersedia 

saja tak menolak. Bukankah begitu 

sobat Kapak Setan?". berkata si Kebal 

Picak dengan cengar-cengir. Akan 

tetapi si Kapak Setan cepat-cepat 

berbisik.

"Sssst! jangan sembrono. Aku 

khawatir dia datang bersama gurunya si 

Siluman Gila Guling!" Seketika wajah 

si Kebal Picakpun berubah agak pucat. 

Matanya menatap jelalatan ke sekitar


tempat. Lalu berpaling lagi dengan 

cepat menatap wanita dihadapannya.

"Eh, apakah kau datang bersama 

gurumu si Siluman Gila Guling?" 

bertanya dia.

"Tak perlu kau menanyakan guruku 

bersamaku atau tidak. Yang jelas aku 

datang untuk mengirim nyawa-nyawa 

kalian ke liang Akhirat!" menjawab 

ketus Cantrik Sari.

Sementara itu Nanjar ditempat 

persembunyian merasa heran dengan 

kedatangan gadis ini. "Siapakah si 

Siluman Gila Guling itu? Sebuah nama 

gelar yang aneh!" membatin Nanjar 

dalam hati. Saat itu Cantrik Sari 

dengan membentak nyaring telah 

menerjang kedua orang dihadapannya. 

Terutama yang ditujunya adalah si 

Kebal Picak. Karena manusia itulah 

orang yang pertama kali memperkosanya.

Serangan-serangan gencar yang 

dilakukan gadis itu untuk merangsak 

lawan mendapat sambutan kedua orang 

itu yang segera berkelit kesana 

kemari. Berbeda dengan pertarungan 

tempo hari yang dengan mudah Cantrik 

Sari dapat dirobohkan. Akan tetapi 

kali ini si dara merangsak hebat 

dengan cengkeraman-cengkeraman yang 

berbahaya. Apalagi Cantrik Sari 

menyimpan dendam sedalam lautan pada 

lawan-lawannya.

Sementara itu si Iblis Tongkat

Racun tak ikut ambil bagian untuk 

turut membantu bertarung. Justru 

disaat pertarungan terjadi dia cepat 

berkelebat untuk angkat kaki...

Namun baru saja dia menyelinap 

ke balik tikungan jalan disisi bukit, 

mendadak sesosok tubuh berkelebat 

menghadang.

"Tunggu, sobat Iblis Tongkat 

Racun!" Sekejap Nanjar telah berdiri 

menghalangi di hadapannya. Melihat 

seorang laki-laki muda berambut 

gondrong berbaju kumal menghalangi 

jalan di depannya, si Iblis Tongkat 

Racun membentak di samping terkejut.

"Siapa kau!?"

"Ahaha ... sebut saja aku si 

DEWA LINGLUNG!" sahut Nanjar dengan 

menepuk-nepuk tanah dengan ujung 

kakinya. Tingkahnya yang jumawa itu 

membuat si Iblis Tongkat Racun jadi 

mendongkol. Apa lagi mendengar julukan 

yang disebutkan barusan baru 

didengarnya.

"Apa maumu menghadangku?!" 

bentak lagi laki-laki setengah abad 

ini.

"Hm, apakah kau yang bergelar si 

Iblis Tongkat Racun?" bertanya Nanjar.

"Kalau benar apa yang kau 

inginkan dariku?" tukasnya kasar.

"Hahaha ... aku ingin kau 

serahkan dirimu untuk jadi tawananku. 

Aku akan membawamu menghadap Raja


Kerajaan Giri Jaya untuk kau 

mempertanggung jawabkan perbuatanmu. 

Bukankah kau telah bersengkongkol 

dengan Adipati Gantra dan orang-orang 

hamba kerajaan yang diam-diam menindas 

rakyat. Bahkan sudah kudengar 

kejahatanmu termasuk kedua koncomu itu 

yang telah tidak sedikit membuat onar. 

Terakhir aku mendengar kalian 

membantai orang-orang perguruan Elang 

Suci, termasuk seorang pendeta!" 

berkata Nanjar sambil menyengir.

"Kurang ajar! apa urusannya 

dengan kau?" membentak si Iblis 

Tongkat Racun. Namun diam-diam dia 

terkejut. Seorang pemuda telah berani 

menghadangnya berarti tak mungkin 

kalau pemuda ini tak berkepandaian 

tinggi!

SEPULUH

Namun sebagai seorang yang sudah 

berkecimpung lama didunia Rimba Hijau 

menghadapi seorang yang dapat 

dikatakan masih bocah ingusan, dia tak 

dapat digertak begitu saja. Walaupun 

pemuda itu mengetahui rahasia hubu-

ngannya dengan Adipati Gandra.

"Bocah keparat! siapakah gurumu? 

Kau berani berkata begitu sombong 

didepan mataku?" membentak si Iblis 

Tongkat Racun.


"Walah...! kalau mau tahu siapa 

guruku, kakek buyut gurumu yang 

menurunkan ilmu silat pada murid-

muridnya dan terakhir adalah kau 

sendiri itulah salah satu dari 

keroconya guruku!" sahut Nanjar seenak 

perutnya.

Merah padam seketika wajah si 

Iblis Tongkat Racun. Betapa 

menghinanya bocah kemarin sore itu 

padanya. Kemarahannya meluap sampai ke 

ubun-ubun. Dengan membentak keras 

laki-laki ini telah gerakkan tongkat-

nya untuk menusuk ke arah leher 

Nanjar. Bukan itu saja sebelah 

lengannya yang telah diisi dengan 

tenaga dalam membarengi menghantam 

batok kepala pemuda kita.

Akan tetapi dengan doyongkan 

tubuh lalu jungkir balik bersalto, 

serangan maut itu luput. Bahkan kem-

bali pemuda dihadapannya itu cengar-

cengir persis kera.

"Hehe.. haha.. nguk! nguk! jurus 

pukulan Mencolek Terasi macam itu dan 

jurus Menusuk Tahu yang kau pergunakan 

sebaiknya kau gunakan bertarung dengan 

binimu di rumah! Mengapa kau 

pergunakan untuk menyerang aku? 

haha..haha.." Nanjar tertawa bergelak-

gelak. Tentu saja semakin gusar si 

Iblis Tongkat Racun. Diujung 

Tongkatnya itu terdapat sebuah lubang 

kecil yang jika alat yang terdapat


dekat gagangnya digunakan tentu akan 

mengeluarkan racun bila dia 

menghendaki membinasakan lawan dengan 

cepat. Serangan barusan adalah menguji 

sampai dimana tingkat ilmu kepandaian 

pemuda itu.

Mengetahui lawan benar-benar 

memiliki ilmu kegesitan tubuh luar 

biasa. Iblis Tongkat Racun tak lagi 

main-main untuk menganggap remeh 

lawannya walaupun usia pemuda itu 

separoh dari umurnya.

Segera dia menyerang dengan 

jurus-jurus lainnya yang lebih hebat. 

Tongkatnya berkelebat menyambar-

nyambar. Suaranya berdesis bagaikan 

ratusan ular. Yang terlihat adalah 

bayangan hitam yang berkelebatan 

mengancam jiwa Nanjar. Bahkan sesekali 

ujung tongkatnya menyemburkan uap 

racun.

Nanjar terkejut melihat peru-

bahan serangan lawan. Segera dia 

pasang inderanya dengan sungguh-

sungguh. Salah-salah jiwanya bisa 

melayang. Untuk itu Nanjar gunakan 

serangan-serangan balasan dari jurus 

Ular, warisan si Raja Siluman Ular 

gurunya.

Terkejut si Iblis Tongkat Racun 

melihat lawan mudanya mendadak rubah 

gerakan tubuhnya menjadi meliuk-liuk 

ular. Bahkan sepasang tangannya 

digunakan untuk mematuk kearah bagian


bagian tubuhnya yang berbahaya. Untuk 

melindungi tubuhnya, si Iblis Tongkat 

Racun segera putar tongkatnya 

sedemikian rupa. Hingga menderu angin 

berbau amis yang membuat Nanjar harus 

merenggangkan tubuh sambil menahan 

napas.

"Hahaha... mana kehebatanmu 

kunyuk kecil!?" tertawa Iblis Tongkat 

Racun menggertak dengan mengumbar 

tawa. Kini ganti dia yang merangsak 

hebat menerjang Nanjar. Hantaman-

hantaman pukulan tenaga dalamnya 

digunakan bertubi-tubi dengan jurus-

jurus maut yang lebih berbahaya.

Sepuluh jurus berlalu sudah. 

Namun sedikitpun Iblis Tongkat Racun 

tak mampu menyentuh sedikitpun kulit 

tubuh Nanjar. Ketika dia tengah 

berpikir keras untuk merobohkan lawan. 

Mendadak Nanjar berteriak.

"Awas senjata rahasia!"

Dibarengi teriakan itu sebelah 

lengan Nanjar bergerak mengibas. 

Tersentak laki-laki tua ini. Darahnya 

tersirap karena hal itu terjadi disaat 

posisi tubuhnya dalam keadaan tak 

menguntungkan. Secepat kilat dia buang 

tubuh ke samping untuk bergulingan.

Akan tetapi justru Nanjar telah 

mendahuluinya melompat ke arah itu. 

Lengannya bergerak menghantam dengan 

pukulan yang berhawa dingin. Tersentak 

kaget Iblis Tongkat Racun. Namun detik


itu dia telah gerakkan tongkatnya 

menusuk disertai memuncratnya cairan 

racun tepat ke arah muka Nanjar.

Bila hal itu tak terhindari maka 

akan butalah mata Nanjar. Kalau saja 

Nanjar tak cepat bertindak gesit 

menghindari diri tentu akan celakalah 

dia. Secepat kilat Nanjar menekuk 

lehernya hingga seperti lenyap dikedua 

pundak. Itulah ilmu warisan si Raja 

Siluman Biawak yang digunakan. 

Lengannya yang menghantam tetap tak 

terhalang.

BUK!

Hantaman keras itu mengenai 

sasarannya. Terlemparlah tubuh si 

Iblis Tongkat Racun bergulingan. 

Tongkatnya terlepas dari genggaman 

tangannya. Sementara Nanjar sehabis 

menghantam, kembali berdiri kukuh 

dengan sepasang kaki tegak di tanah. 

Menatap lawan yang menggelosor di 

tanah terbawa tenaga pukulan. Pukulan 

Nanjar ternyata tak menggunakan 

sepertiga bagianpun tenaga dalamnya. 

Karena dia cuma berniat merobohkan 

lawan tanpa membunuh. Hal itulah yang 

menyebabkan dengan cepat si Iblis 

Tongkat Racun dapat kembali melompat 

berdiri. Akan tetapi wajahnya menye-

ringai kesakitan. Tubuhnya tergetar 

seperti diserang demam. Ternyata hawa 

dingin telah menjalar di sekujur 

tubuh. Dan paru-parunya seperti


ditusuk-tusuk jarum.

"Hahaha... aku tak punya senjata 

rahasia apa-apa, sobat! Mengapa kau 

begitu ketakutan sekali menghindarkan 

diri?" berkata Nanjar sambil tertawa. 

Mendelik sepasang mata laki-laki tua 

ini.

"Setan keparat! kunyuk licik! 

aku akan adu jiwa denganmu!" membentak 

dia. Sekejap dia telah mampu mengusir 

hawa dingin dengan kekuatan tenaga 

dalam yang disalurkan dada. Dengan 

menggerung keras laki-laki ini 

menerjang Nanjar... Akan tetapi pada 

saat itu sebuah bayangan berkelebat 

disamping Nanjar. Tahu-tahu kejap 

berikutnya si Iblis Tongkat Racun 

menjerit panjang dengan teriakan 

parau. Tubuhnya berdiri terhuyung-

huyung. Sedangkan pada dadanya 

tertancap tongkat racun miliknya 

sendiri.

Di dekat tubuh yang limbung itu 

berdiri tegak seorang dara yang tak 

lain dari cantrik sari. 

"Kk..ka...kau ...?" terengah-

engah suara si Iblis Tongkat Racun. 

Namun sesaat tubuhnya telah ambruk ke 

tanah. Nyawanya telah melayang. Apa 

yang membuat Nanjar terlongong adalah 

dia melihat sesosok bayangan telah 

menyambar tongkat si laki-laki tua itu 

yang tertancap di tanah. Dan 

berkelebat memapaki tubuh lawan yang


tengah menerjang ke arahnya. Tak dapat 

dielakkan lagi amblaslah tongkat itu 

memanggang dada si Iblis Tongkat 

Racun.

SEBELAS

"Terima kasih atas bantuanmu 

membekuk si manusia ini, hingga aku 

dapat membunuhnya!" berkata Cantrik 

Sari seraya melompat menghampiri 

Nanjar.

"Ah, sayang sekali kau telah 

membunuhnya. Aku cuma mau menangkapnya 

hidup-hidup karena aku perlu 

keterangan darinya!" berkata Nanjar 

dengan garuk-garuk kepala.

"Keterangan apakah yang anda 

inginkan?" bertanya Cantrik Sari. 

Diam-diam dia memperhatikan Nanjar 

dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Banyak keterangan yang kuper-

lukan! Eh, apakah kau telah membunuh 

pula kedua kawan orang ini?"

"Marilah! kau bisa lihat 

sendiri!" sahut Cantrik Sari dengan 

angkuh, lalu berkelebat mendahului 

Nanjar.

Mendelik sepasang mata Nanjar, 

karena dihadapannya terlentang dua 

sosok tubuh si Kebal Picak dan si 

Kapak Setan dalam keadaan sekarat. Apa 

yang membuat mata Nanjar membelalak


adalah karena kedua laki-laki itu 

sekarat karena masing-masing alat 

vitalnya dalam keadaan hancur.

"Mengapa kau tak membunuhnya 

sekalian?" berkata Nanjar dengan wajah 

merah jengah berpaling menatap si 

gadis. Terasa kasihan Nanjar melihat 

keduanya yang sekarat meregang nyawa.

"Biarlah dia merasakan sakitnya 

dengan kematian secara perlahan itu. 

Kukira ganjaran itu sesuai untuk 

perbuatannya!" berkata ketus Cantrik 

Sari. Sementara dikedua pelupuk mata 

gadis ini mengenang air mata.

"Mereka telah memperkosamu?" 

tanya Nanjar yang segera menyadari, 

karena dia mendengar kata-kata si 

Kebal Picak, ketika gadis ini 

munculkan diri. Gadis ini tak 

menjawab. Tapi membuang muka menahan 

isak.

Rasa sedih, mendongkol, malu dan 

lain sebagainya terkumpul menjadi satu 

di hati Cantrik Sari, membuat dia tak 

mampu berkata-kata selain menahan 

isaknya yang tersendat di 

kerongkongan.

Dan detik itu juga dia telah 

balikkan tubuh dan berlari menutupi 

mukanya dengan terisak-isak.

"Heeeii! nona! tunggu dulu!" 

Nanjar berteriak seraya melompat 

mengejar. Akan tetapi gadis ini bahkan 

mempercepat larinya berkelebatan


meninggalkan tempat di sisi bukit itu. 

Nanjar tak mau biarkan dara itu hilang 

begitu saja dia perlu keterangan 

darinya mengenai si manusia iblis 

pembunuh misterius. Siapa tahu gadis 

itu mempunyai keterangan yang 

diperlukan.

Dengan gunakan ilmu melompat 

yang terkadang juga ilmu "terbang" 

nya, Nanjar berkelebat menyusul si 

gadis.

Sebentar saja kedua orang itu 

telah lenyap dari tempat yang sunyi 

itu, dimana satu nyawa telah melayang, 

dan dua nyawa dalam keadaan sekarat 

yang sebentar lagi akan dijemput oleh 

kematian.....

"Mau apa kau mengejarku!?" 

membentak Cantrik Sari. Sepasang 

matanya nyalang menatap Nanjar. Mata 

yang basah berair yang mengalirkan air 

mata membasahi kedua pipinya.

"Walah, walah…! habislah sudah 

bedakmu terguyur air mata. Sayang, 

wajah yang cantik kalau banyak 

menangis kulitnya cepat peot!" berkata 

Nanjar dengan menyengir.

"Peduli apa dengan kulit mukaku? 

mau peot seperti kulit ular atau 

biawak bukan urusanmu!" Berkata ketus 

Cantrik Sari.

"Hahaha... aku cuma mau memberi 

penjelasan!" berkata Nanjar.

"Penjelasan mengenai apa?"


"Mengenai... mengenai kulit 

muka! Kulit biawak peot masih bisa 

laku dijual, akan tetapi kulit muka 

yang peot?" sahut Nanjar yang ternyata

tujuan kata-katanya masih berkisar 

disitu.

"Kurang ajar! mengapa kau usil 

dengan urusan orang?" Mau menangis 

atau tertawa, peot atau tidak! Laki-

laki ceriwis!" Memaki Cantrik Sari 

tapi dalam hati dia tertawa geli.

Siapa gerangan pemuda gagah ini? 

Apakah laki-laki dihadapannya juga 

laki-laki buaya yang pandai menggoda 

orang tapi punya maksud jahat? 

Pikirnya dalam benak. Namun tak 

disangsikan lagi, diam-diam wajah dan 

perawakan Nanjar membuat dia merasa 

simpati menaksirnya.

"Kau ini siapakah? Mau apa 

sebenarnya?" bertanya Cantrik Sari 

seusai menghapus air matanya.

Merasa mendapat angin, Nanjar 

tertawa, seraya membungkuk menjura.

"Haiiih, aku sampai lupa 

memperkenalkan diri. Maafkan aku nona 

gagah yang cantik jelita!" ujarnya. 

"Namaku... eh, namaku siapa ya?" 

Nanjar pura-pura lupa dan berpikir 

sambil memijit-mijit keningnya. Sikap 

Nanjar yang aneh itu membuat mau tak 

mau si gadis tersenyum lucu.

"Aneh! Linglung! masakan namamu 

sendiri kau lupa?" tak tahan dia untuk


berkata.

"Ya...! tidak salah itulah 

namaku!" berjingkrak Nanjar setengah 

berteriak, membuat Cantrik Sari 

terlongong heran.

"Namamu Linglung?" tanyanya 

dengan membelalakkan mata.

"Betul! lengkapnya Dewa 

Linglung! ya, ya Dewa Linglung!" ulang 

Nanjar. "He? tapi itu,... julukanku. 

Namaku sendiri siapa ya?" berkata 

Nanjar tiba-tiba dengan menggoyang-

goyangkan tangannya. Dan setelah 

sejenak dia berpikir.

"Yah! sudahlah! aku tak mampu 

mengingatnya. Kau sebut sajalah aku si 

Dewa Linglung!" ujar Nanjar sambil 

garuk-garuk kepala.

Tentu saja senyum si gadis 

bernama Cantrik Sari itu semakin 

melebar.

"Pemuda aneh!" gumamnya. Lalu 

ujarnya. "Baiklah! kukira nama 

julukanmu itu sudah cukup untuk 

mengenalmu! Katakanlah apa yang kau 

ingin korek keterangan dariku?" 

Cantrik Sari segera teringat ketika 

pemuda ini menyesali dia membunuh si 

Iblis Tongkat Racun.

"Baiknya kau sebutkan dulu siapa 

namamu, nona? bukankah bisa lebih 

leluasa kita bicara. Disamping itu 

kita bisa saling mengenal. Kukira kau 

tak keberatan menceritakan pula


riwayat hidupmu!" berkata Nanjar.

Sejurus Cantrik Sari tercenung. 

Pandangan matanya mendelong menatap ke 

depan, dengan pandangan kosong. 

Sementara air matanya kembali meleleh 

ke pipi. Melihat demikian Nanjar jadi 

serba salah, dan garuk-garuk kepala 

tidak gatal.

"Aiiih, sudahlah nona, mengapa 

lagi-lagi kau menangis? Janganlah 

terlalu memikirkan nasib. Bukankah kau 

telah membalaskan sakit hatimu" 

berkata Nanjar membujuk.

"Aku...aku sudah terlalu banyak 

dosa, sobat! Ya, terlalu banyak! Entah 

dengan apa aku akan menebus dosaku, 

Mungkin dengan kematian agaknya yang 

layak" berkata Cantrik Sari dengan 

terisak-isak. Nanjar untuk sementara 

berdiam diri membiarkan dara itu 

mengumbar kesedihannya. Diam-diam 

benaknya berpikir dosa apakah yang 

telah dilakukan gadis ini sehingga dia 

merasa dosanya tak terampuni lagi?

Setelah reda kesedihannya, 

Cantrik Sari tanpa diminta segera 

tuturkan riwayat hidupnya pada Nanjar 

yang mendengarkan penuh perhatian.


DUA BELAS

Terkejutnya Nanjar tak dapat 

dikatakan lagi mendengar bahwa 

pembunuhan sadis yang selama ini 

terjadi adalah akibat perbuatan 

Cantrik Sari yang diperintah oleh 

gurunya yaitu si Siluman Gila Guling. 

Sejenak Nanjar menatap dara itu dengan 

terpukau.

"Dasar dendam apakah gurumu 

hingga menyuruhmu melakukan perbuatan 

demikian terhadap orang-orang 

kerajaan?" tanya Nanjar. Walaupun 

sebenarnya dia telah ketahui dari 

ayahnya tentang orang-orang kerajaan 

itu, namun dasar dendam hingga 

dibunuhinya orang aparat kerajaan itu 

perlu diketahui. 

"Aku kurang mengetahui tentang 

hal itu. Akan tetapi guruku adalah 

seorang laki-laki tanpa daksa yang tak 

mempunyai lengan dan kaki!" menyahut 

Cantrik Sari. 

"Ah..?" tersentak Nanjar. 

Sejurus kembali dia tercenung. "Pantas 

korban-korban yang dibunuh Cantrik 

Sari demikian sadis. Tentulah dendam 

kesumat orang yang menamakan dirinya 

si Siluman Gila Guling itu amat dalam 

sedalam lautan." Nanjar menghela 

napas....

"Kini apa yang tengah kuselidiki 

telah menjadi terang. Apakah langkah


selanjutnya yang akan kau tempuh?" 

bertanya Nanjar.

"Entahlah! aku sendiri tak 

mengetahui apa langkahku selanjutnya! 

Karena aku tak mengenal siapa kedua 

orang tuaku. Memang aku telah 

ditunjuki jalan untuk mencari tahu 

siapa adanya kedua orang tuaku oleh 

guruku, yaitu mencari orang tua yang 

bernama Kebo Layung. Akan tetapi aku 

seperti tak berhasrat lagi. 

Kedatanganku ke seputar wilayah Kota 

Raja untuk mencari orang itu hanya 

akan menambah pedihnya hatiku 

mengingat perbuatan-perbuatan yang 

telah kulakukan. Kukira....kukira 

jalan sebaiknya bagiku adalah 

kematian! Kau telah mengetahui akulah

penjahat yang kau cari-cari, sobat 

Dewa Linglung! Nah! tunggu apa lagi? 

Kau bunuh sajalah aku! Dengan demikian 

aku terbebas dari kekalutan dan 

kesedihan serta penyesalan yang 

menggerogoti jiwaku!" Kata-kata 

Cantrik Sari tersendat. Dan dia telah 

bangkit berdiri menatap Nanjar serta 

membusungkan dada menunggu keputusan 

Nanjar.

"Aiih! mengapa kau berkata 

begitu? Orang-orang yang kau bunuh itu 

kudengar adalah abdi-abdi kerajaan 

yang berhati busuk. Yang bekerja sama 

melakukan kejahatan dan perbuatan 

nista di belakang punggung Raja.


Pantaslah kalau mereka mati. Juga kau 

melakukan itu atas dasar menjalankan 

perintah gurumu. Kukira dosamu tak 

begitu besar!" ujar Nanjar.

Lalu sambungnya lagi. "Untuk 

masalah ini gurumulah yang bertanggung 

jawab. Bahkan dia bertanggung jawab 

juga atas dosamu! Oleh sebab itu 

jangan kau berputus asa. Jalan hidupmu 

masih panjang. Sebaiknya kau mencari 

orang yang bernama Kebo Layung itu 

untuk mendapat tahu siapa kedua orang 

tuamu!" Nanjar mengusulkan demikian 

karena khawatir si dara ini membunuh 

diri setelah dia memberi keterangan 

panjang lebar.

Tercenung beberapa saat Cantrik 

Sari. Tak lama terdengar dia menghela 

napas. Kesedihannya telah berkurang. 

Dara itu kembali duduk di atas batu.

"Pendapatmu baik juga, sobat 

Dewa Linglung. Terima kasih atas 

nasehat-nasehat yang kau berikan. Lalu 

apakah langkah yang akan kau lakukan?" 

bertanya Cantrik Sari.

Tentu saja aku harus menemui 

gurumu si Siluman Gila Guling alias Ki 

Bromo Rekso itu di lembah tanpa nama. 

Namun sebelum kau berangkat mencari 

Kebo Layung..."berkata Nanjar seraya 

bangkit mendekati.

"Kukira kau tak keberatan bukan? 

Kau cuma menunjukkan tempatnya saja, 

lalu kau boleh segera tinggalkan


pergi. Namun pesanku selama kau 

mencari jejak orang yang bernama Kebo 

Layung itu sebaiknya kau melakukan 

penyamaran!" Cantrik Sari manggut-

manggut. Wajahnya tampak cerah secerah 

matahari. Dia merasa baru keluar dari 

satu lembah yang menakutkan. Kata-kata 

Nanjar ibarat cahaya yang menerangi 

hidupnya. Tak terasa air matanya 

berlinang. Ditatapnya Nanjar dengan 

tertegun entah mengapa dia seperti 

enggan berpisah dengan pemuda aneh 

yang gagah namun berpandangan luas 

itu. Hatinya yang gersang seperti 

mendapatkan tempat bernaung disaat 

didalam jiwanya terselip beribu 

kekalutan!

Nanjarpun menatap tajam. Tatapan 

mata yang seolah ingin melihat isi 

hati dara ini apakah dapat mengerti 

kata-kata dan nasihatnya? Yang ditatap 

tertunduk dengan wajah merona merah. 

Entah mengapa dia merasa kulit mukanya 

menjadi panas. Darahnya tersirap dan 

degup jantungnya berdebaran cepat.

"Tidak! tidak! kau terlalu jauh 

berpikir," Cantrik Sari. "Kau tak 

mungkin mencintainya. Keadaanmu sudah 

lain, karena kau sudah tidak suci 

lagi.... Lagi pula keadaanmu sendiri 

masih kalut. Persoalan belum tuntas. 

Karena kau perlu mencari tahu siapa 

kedua orang tuamu sebenarnya...." 

berkata Cantrik Sari dalam hati


kecilnya yang memperingati hasrat 

kewanitaannya, yang menggeliat 

tergelitik apa yang bernama cinta....

"Kapan kau mengambil keputusan 

untuk berangkat?" bertanya Cantrik 

Sari memutus lamunannya yang melantur.

"Sekarang!" sahut Nanjar.

Cantrik Sari mengangguk. 

"Baiklah, mari kita berangkat!" 

ujarnya. akan tetapi baru saja Cantrik 

Sari selesai berkata mendadak ....

"Hehehe.... hehe.... tak usah 

mengunjungi lembah itu bocah-bocah 

muda! karena aku telah datang dan 

berada ditempat ini!"

Bukan main terkejutnya Nanjar 

dan Cantrik Sari tak terkirakan karena 

seusai suara tertawa dan kata-kata 

bernada parau itu, tampak terlihat 

angin menggebu bergulung-gulung di 

hadapan mereka. Keduanya terperangah 

memandang tak berkedip. Terutama 

Nanjar yang merasa keanehan ini baru 

dialami.

Mendadak angin lenyap sirna 

bagai ditelan bumi. Dan samar-samar di 

depan mereka tampak bayangan hitam 

sesosok tubuh manusia. Makin lama 

makin jelas. Dan kejap berikutnya 

segera terlihat sesosok tubuh seorang 

kakek bertubuh gemuk mengenakan jubah 

warna hitam. Berambut putih dengan 

kumis dan jenggot lebat.

Melihat siapa adanya orang ini,


Cantrik Sari mundur selangkah. 

Sedangkan Nanjar ternganga dengan 

membelalak. Sosok tubuh laki- laki itu

persis seperti apa yang diceritakan si 

gadis, dan memang dia bertujuan untuk 

menjumpai orang ini. Tak terasa dari 

bibirnya terluncur kata-kata kaget.

"Siluman Gila Guling...!?" be… 

benarkah kau orangnya...?"

Terdengar suara parau berat. 

Rahang kakek tanpa daksa itu bergerak-

gerak.

"Benar! Tidak salah! akulah si 

Siluman Gila Guling alias ki Bromo 

Rekso!" menyahut kakek ini.

"Bagus! bagus...! anda sungguh 

berbaik hati orang tua! Aku si Dewa 

Linglung memang mau menemui anda 

untuk menanyakan padamu apakah yang 

menjadi sebab anda membunuhi orang-

orang abdi kerajaan Giri Jaya? Kukira 

anda bisa menjelaskan! Lalu mengapa 

anda sekejam itu menyuruh murid anda 

yang melakukan, tanpa anda menyebutkan 

permasalahannya. Mengapa anda tak 

turun tangan sendiri?" 

"Heheheh... pertanyaanmu bagus 

sekali bocah muda! Julukanmu lucu dan 

orangnya pun juga gagah. Kau sepadan 

bila bersanding dengan muridku Cantrik 

Sari!" berkata Siluman Gila Guling 

dengan tertawa mengekeh. Lalu 

lanjutnya. "Kau menanyakan dendam 

apakah hingga aku membantai orang


orang abdi Kerajaan Giri Jaya? Hm, 

dendamku bukanlah sembarang dendam. 

Karena dalamnya lautan masih lebih 

dalam dendam kesumat yang mengeram 

dalam dadaku ini, yang telah kusimpan 

selama belasan tahun! Kau lihatlah 

keadaan anggota tubuhku ini. Aku telah

orang tanpa daksa yang tak berguna. 

Semua ini adalah akibat perbuatan 

manusia-manusia yang telah 

kuperintahkan Cantrik Sari menghabisi 

nyawanya. Bahkan memperlakukan dengan 

sadis seperti halnya mereka 

memperlakukan aku. Bahkan lebih sadis 

lagi!" berkata Siluman Gila Guling.

Tertegun Nanjar dan Cantrik Sari 

mendengar kata-kata si kakek.

"Tahukah kau apa sebabnya aku 

menamakan diriku dengan julukan 

Siluman Gila Guling? Heheheh... karena 

aku memang telah berbuat gila! Bahkan 

lebih gila lagi dari para abdi 

kerajaan yang telah mampus itu, 

sebagai pembalasan dendamku. Tahukah 

kau apa tujuanku? Aku takkan puas 

sebelum membunuh semua orang-orang 

Kerajaan Giri Jaya! Guling berarti aku 

akan menggulingkan kerajaan Giri Jaya. 

Menghancurkan! memusnahkan! agar 

ditanah Jawa ini tak akan pernah 

berdiri lagi kerajaan yang bernama 

Giri Jaya!" Suara kata-kata Siluman 

Gila Guling menggembor keras yang 

diucapkan dengan berapi-api. Betapa


begitu mendendamnya dia untuk 

menumbangkan kekuasaan Kerajaan Giri 

Jaya tidaklah terkatakan!

Nanjar terperangah mendengar 

kata-kata yang menggetarkan tanah itu. 

Keringat dingin menetes kedahinya. 

"Celaka!? kehancuran Kerajaan Giri 

Jaya harus dicegah. Manusia ini amat 

membahayakan, karena dendam telah 

merubah dirinya menjadi hawa napsu 

yang tak terkendali. Bahayanya akan 

menimpa pada rakyat jelata. Karena 

bukan mustahil kalau tindakan 

selanjutnya yang akan diambil olehnya 

mengumbar hawa nafsu semaunya?" 

berkata Nanjar dalam hati.

"Bolehkan, aku mengetahui 

siapakah sebenarnya anda?" tanya 

Nanjar yang tetap berlaku tenang.

"Aku adalah orang yang paling 

berhak atas kerajaan Giri Jaya, karena 

akulah orang yang paling banyak 

berjasa ketika mendirikan kerajaan!"

"Aku adalah bekas seorang kepala 

komplotan Bajak Laut dimasa perebutan 

kekuasaan merampas kerajaan kecil 

bernama Giri Langka, yang kemudian 

dirubah menjadi Giri Jaya! Tidaklah 

mudah menumbangkan kekuasaan kerajaan 

Giri Langka kalau tidak dengan 

kepandaian yang luar biasa. Akan 

tetapi setelah berhasil merebut 

kerajaan, dan berdiri megah kerajaan 

Giri Jaya, ternyata jerih payah


keringatku disia-siakan. Kawan-kawan 

seperjuanganku menganggap aku tak 

pantas menjadi raja. Dianggapnya aku 

tak akan mampu menjadi seorang raja 

yang harus memimpin rakyat. Padahal 

sebelumnya aku yang mereka andalkan 

untuk melakukan perebutan kekuasaan 

itu!" berkata keras dan berapi-api si 

Siluman Gila Guling lalu lanjutnya.

"Lalu apa yang dilakukan rekan-

rekanku? ternyata mereka tetap akan 

mengangkat raja kerajaan Giri Langka 

untuk menjadi raja. Akan tetapi 

dibawah pengaruh mereka. Aku tak 

menyetujui usul itu. Aku bersikeras 

untuk membunuh saja raja Giri Langka.

Akhirnya mereka mengeroyokku. 

Aku dapat mereka robohkan, akan tetapi 

aku tak dibunuh. Tapi aku telah 

dipotong semua anggota tubuhku seperti 

kau lihat sekarang ini! Hingga jadilah 

aku seorang tanpa daksa yang tak 

berguna! Sungguh menyakitkan sekali 

bukan? mengapa mereka tak membunuhku 

saja sekalian? Kukira itu lebih baik. 

Dapat kau bayangkan betapa penderitaan 

yang aku rasakan. Aku dibuang disatu 

lembah yang tak pernah dikunjungi 

manusia. Nyaris binatang buas 

menerkamku kalau aku tak 

beruntung bisa menyelamatkan diri.

Di goa tempat tinggalku selama 

belasan tahun itulah aku menggembleng 

diriku dengan ilmu-ilmu gaib dengan


dendam kesumat yang suatu saat akan 

kubalaskan! Tahukah kau siapa yang 

menemaniku selama ini?" Berkata 

demikian Siluman Gila Guling menatap 

pada Cantrik Sari.

"Muridku itulah yang menemaniku! 

Dia berada bersamaku sejak dia berusia 

tujuh tahun!" kakek ini menjawab 

sendiri pertanyaannya. Lalu dia 

menatap tajam pada Cantrik Sari 

"Cah ayu, Cantrik Sari muridku, 

mendekatlah kemari nak..!" berkata 

dia. Gadis ini yang sejak tadi 

mendengarkan dengan berdebar-debar 

seperti ditarik besi sembrani telah 

maju melangkah mendekati kakek itu.

"Bagus! kau memang seorang murid 

tiada duanya. Kau merawatku selama 

belasan tahun menemaniku tinggal dalam 

goa. Sebagai imbalan aku telah 

memberimu pelajaran ilmu silat, bahkan 

juga ilmu gaib! Walaupun tak seberapa 

tinggi namun kenyataannya kau telah 

berhasil menjalankan tugas yang 

kubebankan padamu!" kakek ini 

tersenyum menatap sang murid. Lalu 

sambungnya.

"Tahukah siapa yang telah 

mengantarkan kau ke tempatku untuk 

menemani aku?" bertanya Ki Bromo 

Rekso. Cantrik Sari menggeleng.

"Hehehe... heheh... kau tak 

dapat mengingatnya, karena usiamu 

masih terlalu kecil. Dialah yang



bernama. Kebo Layung! Dia adalah salah 

seorang anak buahku yang paling setia. 

Dialah yang hampir setiap saat datang 

ke lembah untuk membawa makanan. 

Sengaja dia tak pernah menampakkan 

diri padamu, karena aku yang melarang. 

Dan tahukah kau anak siapakah kau? 

Heheheh....kau adalah anak tumenggung 

Penjali yang telah kau bunuh itu! Kebo 

Layung telah kuperintahkan untuk 

menculiknya dan membawanya ke lembah 

itu!

Satu lagi yang belum kuceritakan 

padamu yaitu orang yang bernama Kebo 

Layung itu sebenarnya telah kubunuh, 

setelah aku berhasil menguasai ilmu-

ilmu dan dia sudah tak kuperlukan 

lagi. Hal itu sengaja kulakukan agar 

tak bocornya rahasia siapa adanya kau 

dan menutup mulut Kebo Layung!"

Sampai disini Ki Bromo Rekso 

alias Siluman Gila Guling menghentikah 

penuturannya. Dia menatap tajam pada 

Cantrik Sari yang diam seperti arca. 

Mulutnya ternganga, sepasang matanya 

membelalak lebar tak percaya apa yang 

diucapkan kakek itu.

"Jadi... jadi aku... aku telah 

membunuh kedua orang tuaku sendiri?" 

Tergetar kata-kata Cantrik Sari 

mengucapkan kata-kata itu.

"Benar karena aku menginginkan 

demikian, agar kau membunuh Tumenggung 

Penjali. Karena dialah manusia pertama


yang memutuskan sepasang lenganku!" 

Kata-kata Siluman Gila Guling begitu 

tegas. Seketika pucatlah air muka 

Cantrik Sari. Pandangan matanya 

berkunang-kunang. Dengan menjerit 

histeris lengannya bergerak menghantam 

batok kepalanya sendiri.

Terkejut Nanjar melihat apa yang 

terjadi didepan mata. Tak sempat lagi

dia bertindak menolong sedikitpun, 

karena gadis itu telah roboh ke tanah 

dengan batok kepala hancur 

berpuncratan darah dan otaknya.

Nanjar melompat kearah si 

Siluman Gila Guling dengan membentak 

keras. Lengannya menghantam dengan 

pukulan Inti Es.

"Manusia iblis! perbuatanmu 

sungguh bukan perbuatan manusia!"

WHUUUK,..! 

BLLLAARRR!

Terjadilah ledakan keras. Hawa 

dingin mengembara ke sekitar tempat, 

Batang-batang pohon di depan Nanjar 

berderak patah bertumbangan dan 

bergumpalan dengan lapisan es.

Akan tetapi si Siluman Gila 

Guling tak menampakkan bayangannya. 

"Iblis keparat keji! keluarlah 

kau! tampakkan dirimu pengecut!" 

teriakan Nanjar menggema berpantulan. 

Suasana lengang mencekam. Tak ada 

tanda-tanda kemana berkelebatnya si 

Siluman Gila Guling.


Dalam ketegangan yang mencekam 

itu tiba-tiba terdengar suara tertawa 

terkekeh-kekeh. Dan dihadapan Nanjar 

kembali muncul bayangan tubuh kakek 

itu. Muncul dengan aneh, seolah datang 

dari alam gaib.

"Hehehe.. heheheh... bocah 

hebat! kau takkan mampu membunuhku 

saat ini, karena aku akan tetap 

mewujudkan cita-citaku! Kau bocah 

hebat yang kuberikan kesempatan padamu 

untuk kau memperdalam ilmu kedigja-

yaanmu. Kelak aku akan menguji 

kekuatanmu. Saat ini kau bukanlah apa-

apa bocah linglung!" Selesai berkata, 

si kakek Siluman Gila Guling tertawa 

terkekeh-kekeh. Dan sekejap tubuhnya 

kembali lenyap sirna tak berbekas. 

Nanjar tertegun menatap tak 

bergeming. "Manusia atau hantukah 

dia?" pikir Nanjar. Mulutnya ter-

nganga. Sementara telinganya mendengar 

suara angin bergemuruh. Dibarengi 

suara angin yang mengguruh yang 

menerbangkan dedaunan itu lapat-lapat 

terdengar suara tertawa si Siluman 

Gila Guling yang semakin menjauh.... 

dan semakin jauh. Akhirnya deru 

anginpun lenyap. Suara tertawa itupun 

tak kedengaran lagi.

Lama Nanjar terpaku memandang. 

Lama dia berdiri bagai arca. Namun 

kemudian dia tersadar. Matahari sudah 

menggelincir ketika pemuda itu



perlahan-lahan beranjak meninggalkan 

tempat itu. Meninggalkan timbunan 

tanah yang telah digalinya untuk 

mengubur jenazah Cantrik Sari...



                               T A M A T

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive