9 BOCAH SAKTI
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
9 Bocah Sakti
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Desa Liring Sedayu. Saat itu matahari
hampir berdiri tegak di atas kepala, hingga
bayang-bayang manusia hampir tenggelam pada
wujudnya. Tapi hawa panas tidak terlalu menyen-
gat. Memang, di samping desa itu banyak ditum-
buhi pohon-pohon besar berdaun lebat, di sana
pun terdapat sebuah telaga yang berair jernih.
Hingga mampu menghadirkan rasa sejuk, meski
hari beranjak telah siang.
"Ha ha ha... Hi hi hi.... Tra la la...!"
"Huuu! Ha hi! Haaa...!"
"Ulali.... Lilu! Lali lali...!"
Sembilan bocah kecil berusia tidak lebih
dari tujuh tahun terlihat sedang menikmati jernih
dan dinginnya air telaga. Mereka bersenandung
lucu dengan tangan saling memercikkan air ke
wajah rekan-rekannya. Gurauan kesembilan bo-
cah itu sesekali tergerai manakala wajah mereka
terkena cipratan air.
"Awas, Ger!" teriak bocah bertelanjang dada
yang mengenakan cawat hitam pekat. Tangan ka-
nannya sudah tenggelam di air telaga hendak
menyiram temannya yang dipanggil Ger.
Bocah bernama Ger yang mengenakan ca-
wat merah hanya meleletkan lidahnya.
"Weee...!"
Prats!
"Ha ha ha...!" Bla tertawa tergelak-gelak
melihat wajah Ger terkena air siramannya.
Prats!
"Hi hi hi...!"
Ger juga tertawa melihat siramannya tepat
mengenai wajah Bla. Kedua bocah bercawat hitam
dan merah itu sama-sama tertawa.
Apa yang dilakukan Ger dan Bla ternyata
dilakukan juga oleh bocah-bocah tujuh tahunan
yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan
air yang memuncrat-muncrat dari tangan yang
satu ke wajah yang lain. Suasana di sekitar Tela-
ga Perak menjadi ramai oleh tawa yang sambung-
menyambung.
Hanya seorang di antara sembilan bocah
itu yang tidak ikut bermain-main air. Bocah yang
mengenakan cawat putih mengkilat itu merendam
tubuhnya di air telaga yang bening. Tampaknya,
dia tengah menikmati kesejukan yang ada. Seper-
tinya bocah yang satu itu tidak ingin diganggu
teman-temannya.
"Awas, Jlak! Kena Kakak Gora nanti," ucap
bocah bercawat biru yang bernama Sedu. Jari te-
lunjuknya menuding ke arah bocah bercawat pu-
tih yang tak mau diganggu.
"Kita menjauh sedikit, Sedu. Nanti Kakak
Gora terganggu," timpal Jlak, bocah yang berca-
wat hijau.
"Ayo, ayo!"
Dua bocah bercawat hijau dan biru itu
menjauhi bocah bercawat putih mengkilat yang
sepertinya begitu dihormati, dan di depan na
manya pun diembeli dengan sebutan 'Kak'.
Siapakah gerangan bocah bercawat putih
mengkilat itu? Dan siapa pula kedelapan bocah
yang mengenakan sehelai cawat dengan warna
berbeda?
***
Gora, bocah berusia tujuh tahun lebih se-
dikit itu tak lain adalah pemimpin dari delapan
temannya. Mereka bernama Bla dan Dbo, yang
mengenakan cawat berwarna hitam. Ger dan Jagu
bercawat merah. Smas dan Sedu bercawat biru.
Dan yang bercawat hijau bernama Jlak dan Watu.
Kesembilan bocah bercawat yang dipimpin
oleh Gora itu adalah sosok-sosok yang berjuluk
Sembilan Bocah Sakti, mereka menempati Desa
Liring Sedayu setelah sebelumnya membantai se-
luruh keluarga kepala desa, dan sebagian warga
desa yang mencoba mempertahankan desa yang
subur dan memiliki telaga yang berair jernih itu.
Sedangkan warga Liring Sedayu yang lain tidak
ingin nyawanya hilang percuma. Mereka mening-
galkan desa setelah menyaksikan Sembilan Bocah
Sakti yang bersenjata pedang yang memendarkan
sinar kebiruan. Panjang pedang itu sama dengan
tinggi tubuh bocah-bocah itu. Hingga sekilas ma-
ta memandang, terlihat kejanggalan ketika mere-
ka menggenggam senjatanya. Namun sesungguh-
nya, di tangan mereka pedang itu merupakan iblis
pencabut nyawa yang tak kenal ampun.
Itu sebabnya di Desa Liring Sedayu hanya
sembilan bocah bercawat itulah yang menempa-
tinya. Mereka tidak ingin ada orang lain ikut me-
nikmati kehidupan di desa yang kini dikuasai.
Prek! Prek! Prek!
Tiba-tiba tangan Gora menepuk-nepuk
permukaan air tiga kali. Kedelapan rekannya yang
sedang bercanda ria serempak memalingkan wa-
jah mereka menatap Gora.
"Ada apa, Kakak Gora?" tanya bocah ber-
cawat hitam bernama Bla.
"Coba pusatkan pendengaran kalian," tu-
kas Gora dengan suara yang terkesan mengan-
dung perbawa kuat.
Delapan bocah bercawat yang semenjak ta-
di bercanda kini menelengkan kepala untuk me-
musatkan pendengaran mereka.
"Hmmm... suara puluhan derap kaki kuda,
Kakak Gora," ujar bocah bernama Watu.
"Benar, Kakak Gora. Sepertinya tengah
menuju kemari," timpal Jagu.
"Yang lain bagaimana?" tanya Gora pada
Bla, Dbo, Ger, Smas, Sedu dan Jlak.
Enam bocah yang ditanya Gora semua
menganggukkan kepala sebagai pertanda me-
nyamakan pendapat mereka dengan ucapan Watu
dan Jagu.
"Ha ha ha...! Kita akan pesta besar hari ini,
Adik-adik! Kita akan pesta besar. Semoga mereka
yang tengah menuju ke sini saudagar-saudagar
kaya raya yang membawa kepingan-kepingan
emas serta makanan enak!" ucap Gora dengan
mata belonya yang sebentar terpejam sebentar
terbuka.
Delapan bocah yang lain juga menampak-
kan wajah keriangan yang teramat sangat. Mere-
ka melonjak-lonjak di air telaga yang memang ti-
dak begitu dalam. Namun di bagian tengah Telaga
Perak kedalamanannya tak dapat diukur.
"Hop! Hop!"
"Horeee...!"
"Huraaa...!"
Suasana di sekitar Telaga Perak kembali
riuh oleh teriakan-teriakan yang dilakukan bo-
cah-bocah bercawat
"Ya, ya, ya! Begitu. Begitulah! Berpura-
puralah kalian tidak tahu kedatangan mereka,"
tukas Gora, kemudian membenamkan kembali
tubuhnya di air telaga.
Delapan bocah itu kini kembali bercanda.
Sesekali diiringi dengan senda-gurau dan ejekan-
ejekan lucu. Hingga ketika dari arah selatan
muncul dua puluh orang lelaki penunggang kuda,
bocah-bocah itu hanya melirikkan mata.
"Hm... sepertinya bukan saudagar-
saudagar yang kita harapkan, Kakak Gora," ucap
bocah bercawat merah.
"Sepertinya begitu, Ger," timpal Gora pelan.
"Tampaknya, mereka orang-orang persilatan. Li-
hat senjata-senjata mereka yang tergantung di
pinggang," lanjut Gora dengan tatapan mata yang
tidak tertuju ke arah puluhan lelaki berkuda yang
menuju ke Telaga Perak.
"Mereka orang-orang persilatan, Kakak Go-
ra," tukas Smas memastikan. "Bukan saudagar,"
lanjutnya.
"Tak mengapa," jawab Gora. "Kita akan
menjajal ilmu mereka."
"Tidak membinasakan mereka?" tanya Bla
dengan mata tetap melirik ke arah puluhan lelaki
berkuda.
'Tentu saja, Bla. Mereka terlalu lancang
memasuki daerah kekuasaan kita," jawab Gora
tegas. "Sudah! Sudah! Berpura-puralah kalian ti-
dak tahu kedatangan mereka," lanjut Gora meme-
rintahkan pada kawannya.
Sembilan Bocah Sakti kini betul-betul ber-
pura-pura tak mengetahui kehadiran puluhan le-
laki berkuda. Sembilan bocah itu kelihatan ten-
gah menikmati beningnya air telaga, tanpa mem-
pedulikan para penunggang kuda yang semakin
dekat.
***
"Kakek Guru, alangkah nikmatnya kalau
kita beristirahat di telaga berair bening itu, mele-
paskan lelah dan memberi minum kuda-kuda
tunggangan kita," ucap lelaki muda berusia kira-
kira dua puluh lima tahun seraya memandang ke
arah lelaki berusia lanjut yang mengenakan pa-
kaian putih. Jenggot dan rambutnya yang putih
digulung ke atas memperlihatkan wibawanya.
"Lihatlah, Kakek Guru. Bocah-bocah kecil
itu nampak kesenangan bermain-main di air tela-
ga yang jernih," lanjut pemuda berpakaian biru.
Ujung jarinya menunjuk ke arah bocah-bocah
yang tengah merendam tubuhnya sambil bercan-
da.
"Sebaiknya begitu. Guru," timpal lelaki
berpakaian merah yang menunggang kuda di
samping kiri lelaki yang disebut 'Kakek Guru'.
"Kesejukan air telaga itu pasti akan menghilang-
kan keletihan kita," lanjutnya kemudian.
Lelaki berusia lanjut yang disebut kakek
guru tidak menjawab permintaan pemuda berpa-
kaian biru dan lelaki berusia empat puluhan yang
mengenakan pakaian merah. Kakek itu hanya
menganggukkan kepala tanda menyetujui keingi-
nan cucu murid dan muridnya.
Memang patut dimaklumi keinginan mere-
ka. Sekembalinya dari berkunjung ke Perguruan
Gagak Putih, kuda-kuda mereka terus digebah,
tanpa sedikit pun ada waktu untuk istirahat. Se-
dangkan perjalanan pulang menuju Perguruan
Gagak Loreng masih cukup lama.
"Ayo kita beristirahat dulu di telaga itu!"
perintah lelaki berpakaian merah kepada kedela-
pan belas lelaki penunggang kuda lainnya.
Lelaki itu adalah orang kedua di Perguruan
Gagak Loreng. Dia bernama Ki Wanabara. Se-
dangkan orang pertama di perguruan itu Resi Wi-
kalga. Dan lelaki berusia dua puluh limaan itu
adalah orang ketiga. Dia juga adalah putra tung
gal Ki Wanabara. Namanya Bagatada.
Delapan belas penunggang kuda yang lain
adalah murid-murid Perguruan Gagak Loreng.
Mereka segera berloncatan turun. Langkah-
langkah mereka tertuju ke arah telaga yang berair
jernih, mengikuti langkah Ki Wanabara dan Baga-
tada yang sudah terayun lebih dulu.
Prats!
Prats!
Baru saja Ki Wanabara dan Bagatada men-
jejakkan kaki di tepi telaga, dua percikan air su-
dah menghantam wajah mereka.
"Anak nakal!" omel Ki Wanabara tidak
sungguh-sungguh. Ucapan itu keluar diselingi
dengan tawanya. Tatapan Ki Wanabara tertuju
kepada bocah bercawat hitam yang tak lain Dbo.
Sedangkan Bagatada hanya tersenyum-
senyum menanggapi ulah bocah bercawat hijau
yang telah membasahi wajahnya dengan air telaga
yang dingin.
"Siapa namamu, anak nakal?" tanya Baga-
tada. Jari telunjuk dan jempolnya diulurkan hen-
dak mencubit pipi bocah bernama Jlak.
Jlak yang memang ingin memancing kema-
rahan Bagatada, segera menggeser kepalanya ke
belakang. Lalu dengan cepat melepaskan tinjunya
ke wajah Bagatada yang sedikit rendah.
Wuttt!
Hugh!
"Heh?!"
Ki Wanabara terkejut menyaksikan tubuh
Bagatada tergeser dua langkah ke belakang, sete-
lah terkena pukulan bocah berusia tak lebih dari
tujuh tahun.
"Bocah Setan!" maki Bagatada setelah
mampu menguasai diri. Di celah bibirnya nampak
meleleh darah segar.
"Kau yang setan!" balas Jlak di luar dugaan
Ki Wanabara dan Bagatada.
"Kau telah lancang menginjak daerah ke-
kuasaan kami!" sentak Gora keras. Suaranya se-
perti terdengar dari jauh dan memantul-mantul
sampai ke tengah telaga.
Terkejut Ki Wanabara dan Bagatada men-
dengar kalimat yang meluncur dari mulut bocah
bercawat putih mengkilat. Begitu juga lelaki tua
yang mengenakan pakaian putih. Resi Wikalga
menatap tajam wajah bocah-bocah yang tengah
berendam di kebeningan air telaga. Sementara pi-
kiran lelaki berjenggot dan berambut putih terge-
lung itu menerawang, mengingat-ingat siapa ge-
rangan bocah-bocah bercawat itu.
"Sembilan Bocah Sakti tidak akan mem-
biarkan kalian meninggalkan desa ini hidup-
hidup. Kalian harus meninggalkan nyawa karena
kelancangan kalian!" lanjut Gora lantang.
"Sembilan Bocah Sakti...?" gumam Resi
Wikalga mengulang julukan yang diucapkan bo-
cah bercawat putih mengkilat.
Gumaman itu dilakukan juga oleh Ki Wa-
nabara dan Bagatada, yang memang pernah
mendengar julukan itu.
"Maafkan, kalau kami telah lancang mema-
suki wilayah kekuasaan kalian, Sembilan Bocah
Sakti," ucap Resi Wikalga, mengejutkan Ki Wana-
bara dan Bagatada.
Ki Wanabara dan Begatada tidak menyang-
ka orang yang mereka hormati begitu merendah
kepada bocah-bocah kecil yang mengaku berjuluk
Sembilan Bocah Sakti. Apalagi, ucapan Resi Wi-
kalga dibarengi dengan tundukan kepala.
"Ha ha ha..., Tua Bangka! Rupanya kau ta-
kut setelah mendengar julukan kami!" lantang
ejekan itu keluar dari mulut Gora.
Wajah Ki Wanabara dan Bagatada merah
padam mendengar penghinaan itu. Begitu juga
delapan belas murid Perguruan Gagak Loreng.
Mereka menggemeretakkan gigi dan mengeraskan
otot-otot ketika penghinaan itu terlontar dari mu-
lut bocah bercawat putih untuk lelaki yang mere-
ka panggil eyang guru.
"Kulumat mulut lancangmu, Bocah!" maki
Bagatada seraya melangkah hendak menghajar
mulut lancang Gora. Namun langkah kaki Baga-
tada tertahan oleh cegahan Resi Wikalga.
"Tahan amarahmu, Tada!" ucap Resi Wi-
kalga.
Bagatada tentu saja menuruti ucapan ka-
kek gurunya yang begitu dihormati. Langkah ka-
kinya pun kembali ditarik mundur.
"Tua Bangka Pengecut! Biar saja muridmu
yang bernyali besar itu bermain-main denganku!"
tukas Gora dengan nada tegas penuh ejekan.
"Atau kau yang ingin bermain-main denganku?"
Kini wajah Resi Wikalga yang bersemu me-
rah mendapatkan tantangan dari bocah kecil ber-
cawat putih. Resi Wikalga memang pernah men-
dengar kesaktian Sembilan Bocah Sakti yang te-
lah banyak membinasakan tokoh-tokoh persilatan
tingkat tinggi. Kabar itu didengarnya ketika ten-
gah menikmati santapan pagi di Desa Patuna. Se-
saat setelah mengadakan pertemuan dengan Ke-
tua Perguruan Gagak Putih, yakni adik sepergu-
ruannya yang sama-sama pernah menimba ilmu
di Perguruan Gagak Raksasa.
"Cepat Tua Bangka! Kenapa kau melamun
seperti domba bodoh? Ayo kita bermain-main be-
berapa jurus! Atau kau ingin aku yang memu-
lainya?" tukas Gora memanasi wajah Resi Wikalga
yang makin merah.
"Hiyaaa...!"
DUA
Tubuh Gora seketika melayang cepat ke
arah Resi Wikalga. Lejitan yang dilakukannya
membuat Ki Wanabara tidak percaya. Begitu ce-
pat, bagai angin yang berhembus keras.
Tangan bocah bercawat putih mengkilat itu
mengepal kuat dan bergerak gesit ke arah kepala
kakek pemilik Perguruan Gagak Loreng.
Wuttt!
"Eits!"
Resi Wikalga tentu saja tidak ingin pukulan
bocah berusia tujuh tahun itu mengenai kepa-
lanya. Maka, segera saja dia menarik kepalanya
ketika sejengkal lagi sambaran bertenaga kuat itu
menghantam.
Serangan Gora berhasil dikandaskan Resi
Wikalga. Namun tendangan susulan yang tak ter-
duga kecepatannya membuat kakek itu tidak me-
nemui jalan lain kecuali memapaki tendangan la-
wan dengan menyodokkan tangan kanannya.
Plakkk!
"Aaakh...!"
Resi Wikalga memekik tertahan sesaat se-
telah benturan keras terjadi. Tubuh lelaki tua
yang terbalut pakaian putih itu terhuyung mun-
dur tiga langkah. Sementara tangan yang diguna-
kan untuk menangkis tendangan Gora mengalami
rasa sakit yang sangat kuat. Tulang-tulangnya te-
rasa ingin patah.
Namun, Resi Wikalga yang sudah kenyang
makan asam garam pertarungan segera dapat
mengatasi rasa sakit yang dirasakannya. Seka-
rang, kakek itu tengah bersiap menghadapi se-
rangan lawan yang memiliki tenaga dalam di
atasnya. Sungguh Resi Wikalga tidak percaya.
Bagaimana mungkin bocah sekecil Gora memiliki
tenaga dalam yang demikian tinggi melebihi ke-
tinggian tenaga dalamnya yang dipelajari selama
empat puluh tahun lebih?!
"Hyaaa...!"
Tubuh Gora kembali meluruk ke arah Resi
Wikalga. Sepasang tangannya memperlihatkan
cakar-cakar dengan kuku-kuku yang runcing.
"Betul-betul bocah setan," gumam Resi Wi-
kalga yang menyaksikan perubahan tangan Gora.
Sementara itu, pertarungan di tempat lain
pun telah berlangsung. Ki Wanabara terlihat sal-
ing gempur dengan bocah bercawat hitam berna-
ma Bla. Sedangkan Bagatada berhadapan dengan
Smas, bocah yang mengenakan cawat biru.
Pertarungan yang dilakukan Ki Wanabara
dan Bagatada berlangsung cukup cepat dan seru.
Begitu juga pertarungan antara murid-murid Per-
guruan Gagak Loreng yang bersenjatakan golok
panjang dengan Ger, Jagu, Sedu, Jlak, dan Watu.
"Hyaaa...!"
Brettt!
"Aaa...!"
Lengking kematian yang menyayat terden-
gar ketika sambaran tangan Ger yang membentuk
cakar membabat perut salah seorang murid Per-
guruan Gagak Loreng. Jari-jari tangan yang tiba-
tiba menjelmakan kuku-kuku runcing dan tajam
amblas setengahnya.
Brrettt!
Manakala tangan Ger yang membenam di
perut murid Perguruan Gagak Loreng tercabut,
maka terlihatlah usus dan darah berebutan ke-
luar. Saat itu juga, nyawa lelaki bertubuh tinggi
tegap itu pergi meninggalkan jasad.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Rupanya, bukan hanya bocah bercawat
merah itu yang berhasil menghilangkan nyawa
murid Perguruan Gagak Loreng. Jagu dan Sedu
pun telah melakukan hal yang sama. Kedua kor-
ban itu menggelinjang sekarat dengan leher jebol
bekas cakaran.
Agaknya, orang-orang Perguruan Gagak
Loreng tidak kuasa meredam keganasan sembilan
bocah bercawat yang memiliki gerakan cepat ba-
gai kilat. Kesembilan bocah itu memang langsung
memainkan jurus andalan mereka untuk me-
nyingkirkan orang-orang Perguruan Gagak Lo-
reng, yakni jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.
Ki Wanabara yang berhadapan dengan bo-
cah bercawat hitam juga terlihat kewalahan. Ber-
kali-kali sodokan tangan Bla hampir menembus
kulit Ki Wanabara. Sementara dirinya hanya
mampu mengelak tanpa bisa memberikan seran-
gan balasan.
"Hiaaattt..!"
Wrettt!
Tlangngng!
"Heh...?!"
Terkejut bukan main Ki Wanabara. Ketika
pedangnya ditebaskan dengan kuat ke arah per-
gelangan tangan Bla ia merasa seperti membentur
lempengan baja yang sangat kuat. Kekuatan te-
naga dalamnya seperti berbalik. Ki Wanabara me-
rasakan tangannya bergetar linu.
Dan pada saat keterkejutan Ki Wanabara
terjadi, sosok kecil Bla melesat dengan melancar
kan jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.
"Hiaaattt...!"
Wettt!
"Its?!"
Ki Wanabara secepatnya menghindari ter-
kaman lawan yang melancarkan serangan dari
atas. Serangan itu mencecar ubun-ubunnya. Tu-
buh Bla seperti seekor burung elang yang terbang
menyambar anak itik. Namun ketika Ki Wanabara
mampu mengelak, sambaran cakar Bla kembali
berkelebat
"Hiaaattt...!"
Kali ini gerakan jurus 'Cakar Maut Empat
Jari' dilakukan bocah bercawat hitam dengan
menambah kecepatannya. Terarah ke ulu hati Ki
Wanabara yang berada pada kedudukan kurang
baik.
Bret!
"Ukh!"
Meski Ki Wanabara sudah menggerakkan
tubuhnya secepat mungkin, namun gerakannya
kalah cepat. Hingga, kulitnya harus tertembus
cakar lawan yang berkuku tajam. Dari pakaian-
nya yang koyak tampak darah merembes keluar.
"Mampus kau! Hiaaattt..!"
Tubuh Bla kembali melesat bagai terbang,
mengejar tubuh Ki Wanabara yang limbung sete-
lah terkena sambaran tangan jurus 'Cakar Maut
Empat Jari'.
Blebert!
Krakkk!
Bunyi tulang berpatahan seketika terden-
gar ketika sepasang kaki bocah bercawat hitam
itu membelit leher Ki Wanabara dengan menge-
rahkan ilmu 'Sepasang Kaki Maut Bocah Sakti'.
Ki Wanabara yang merasakan tulang le-
hernya berpatahan hanya mengikuti gerakan ka-
kinya yang limbung.
Brukkk!
Ketika ambruk ke bumi, tubuh Ki Wanaba-
ra sudah tidak lagi dihuni roh kehidupan.
"Ayah...!"
Bagatada yang sempat melihat ayahnya ro-
boh berteriak keras. Namun perbuatannya itu se-
buah kesalahan yang paling besar. Pemuda beru-
sia dua puluh lima tahun itu melupakan pertaha-
nan dirinya.
"Hiaaattt...!"
Bocah sakti bernama Smas segera meman-
faatkan kelengahan anak Ki Wanabara itu. Seke-
tika itu juga tubuhnya melesat bagai terbang.
Tangannya terangkat dengan jari-jari terkembang
membentuk cakar harimau. Jurus 'Cakar Maut
Empat Jari' masih dugunakannya untuk menye-
rang Bagatada.
Crabs!
"Aaaa...!"
Bagatada menjerit histeris ketika empat jari
kokoh berkuku runcing Smas dengan tepat
menghantam ubun-ubunnya. Namun patut dipuji
daya tahan pemuda itu. Dalam keadaan kepala
tertembus jari tangan lawan, ia masih sempat me
lancarkan sodokan ke dada Smas.
Blag!
Pukulan Bagatada yang tepat mengenai
dada bocah bercawat biru itu tidak berpengaruh
sedikit pun. Malahan, Smas menambah luka di
leher Bagatada dengan membenamkan jari tangan
kirinya.
"Aaa...!"
Pekik yang keluar dari mulut Bagatada kali
ini adalah pekik kesakitan yang mengiringi ke-
luarnya nyawa dari dalam jasadnya.
"Heh!"
Smas menarik kedua tangannya yang me-
nembus kepala dan leher Bagatada.
Smas rupanya belum puas hanya dengan
satu nyawa. Dia kini bergabung dengan teman-
temannya untuk membantai murid-murid Pergu-
ruan Gagak Loreng.
"Haiiittt..!"
***
Telaga Perak yang berair jernih kini me-
nampakkan warna kemerahan saat tubuh-tubuh
murid Perguruan Gagak Loreng berpentalan ke
dalamnya. Hanya beberapa orang saja yang mam-
pu mempertahankan diri. Tapi, mereka pun bu-
kan mustahil akan mengalami nasib yang sama
dengan rekan-rekannya.
Lelaki berusia lanjut yang merupakan
orang nomor satu di Perguruan Gagak Loreng pun
tampak semakin terdesak. Tenaga Resi Wikalga
sudah berkurang seiring dengan luka-luka di tu-
buhnya akibat keganasan serangan bocah berca-
wat putih mengkilat itu, yang menjadi pimpinan
Sembilan Bocah Sakti.
"Terima lagi ini, Tua Bangka!" pekik Gora.
Bersamaan dengan teriakan itu tubuhnya kembali
mencelat ke arah Resi Wikalga, yang terhuyung-
huyung setelah tendangan telak bocah itu keras
menerpa dadanya.
Resi Wikalga hanya bisa membelalakkan
mata menyaksikan kedatangan serangan susulan
lawan. Hasrat hati sang Resi untuk menyela-
matkan diri dari sambaran tangan Gora membuat
dia berusaha keras untuk mengelak. Akan teta-
pi....
"Hih!"
Brettt!
"Aaakh...!"
Pekik lebih keras keluar dari mulut Rea
Wikalga. Kening sebelah kanannya tersambar ku-
ku-kuku runcing Gora yang berkelebat dengan ju-
rus 'Cakar Maut Empat Jari'. Darah mengucur tu-
run ke pipi keriput Resi Wikalga.
Tiga murid Perguruan Gagak Loreng yang
tersisa pun mengalami nasib yang sama. Smas,
Sedu, dan Jlak telah mengirim ketiganya ke air
telaga dengan nyawa terlepas dari badan.
"Hi hi hi.... Ha ha ha...!" Bocah bercawat
tertawa bersamaan menyaksikan lawan-lawan
terbantai dan mengambang di air telaga yang be
rubah kemerahan. Hanya Resi Wikalga yang tersi-
sa. Namun kakek itu pun sudah terkulai lemas di
tanah dengan luka-luka yang membuat dirinya ti-
dak kuasa bangkit
"Tua Bangka! Tanpa kuserang kembali pun
kau pasti sebentar lagi akan mampus! Untukmu,
kuberi kesempatan pergi!" ucap Gora si bocah
bercawat putih mengkilat "Ayo, pergi sekarang!
Jangan coba-coba datang lagi ke dalam daerah
kekuasaanku!" lanjut Gora dengan jari tangan se-
perti mengusir kucing kurap.
Resi Wikalga tidak membalas ucapan Gora.
Wajah lelaki tua itu tampak mengejang menahan
sakit yang sangat
"Cepat!" bentak Gora. "Ha ha ha... Hi hi
hi...!" bocah bercawat putih mengkilat itu tertawa
keras.
"Ha ha ha...!"
"Hi hi hi...!"
"Hu hu hu...!"
Bocah-bocah bercawat yang lain pun mem-
buka mulut mereka lebar-lebar. Tawa mereka le-
pas berderai-derai.
"Ayo, kita kembali menikmati beningnya air
telaga. Biarkan saja si tua bangka itu mati den-
gan sendirinya," tukas Gora bernada memerintah.
Delapan bocah sakti yang mendengar uca-
pan Gora segera berlompatan ke air telaga yang
perlahan kembali jernih.
Cburrr!
Byur! Byur!
"Ha ha ha... Hi hi hi...!"
***
Saat bocah-bocah sakti tengah hanyut
dengan canda, Resi Wikalga berusaha pergi me-
ninggalkan daerah kekuasaan Sembilan Bocah
Sakti. Meninggalkan mayat muridnya, cucu mu-
ridnya, dan delapan belas pengikutnya yang setia.
Meski dengan susah-payah, orang terpan-
dang di Perguruan Gagak Loreng itu berhasil
menjauhi bocah-bocah sakti yang nampaknya
berkeyakinan tak lama lagi Resi Wikalga akan
menjumpai ajalnya.
Semakin jauh Resi Wikalga berjalan me-
ninggalkan Telaga Perak, semakin tak kuat dia
menahan beban dirinya. Terlebih darah terlampau
banyak keluar, membuat kepalanya seperti dipu-
tar-putar. Dan ketika hampir mencapai perbata-
san Desa Liring Sedayu....
Brukkk!
Resi Wikalga akhirnya tidak kuat bertahan.
Kakek itu terjerembab ke tanah. Pingsan.
Pada saat yang hampir bersamaan dari ke-
lokan jalan yang membatasi Desa Liring Sedayu
dengan Desa Warukunir muncul dua sosok tubuh
berpakaian kuning keemasan dan jingga. Sepa-
sang muda-mudi yang berjalan dengan mesra itu
segera melihat sesosok tubuh tergolek sejauh de-
lapan tombak di depannya.
"Kakang! Lihat di sana," tunjuk gadis ber
pakaian jingga. Tangan kiri gadis berwajah putih
halus itu menggenggam sebatang payung berwar-
na kuning keemasan.
"Kita ke sana, Mayang!" sambung kawan-
nya, seorang lelaki muda berwajah tampan dan
bertubuh kekar.
"Ayo, Kakang Jaka," ujar gadis cantik yang
ternyata Dewi Payung Emas yang bernama asli
Mayang Sutera. Dan kawannya sudah bisa dipas-
tikan. Siapa lagi kalau bukan Jaka Sembada yang
berjuluk Raja Petir.
Sepasang pendekar muda itu berjalan ter-
gesa menghampiri sosok tubuh yang tergolek di
tanah.
"Dia hanya pingsan, Mayang," ucap Jaka
setelah meraba dan meneliti keadaan kakek yang
tak lain Resi Wikalga.
"Tapi luka-lukanya, Kakang.... Apakah ka-
kek ini akan mampu bertahan?" tanya Mayang.
Nada suaranya terdengar cemas.
"Aku akan memberi pil penawar rasa sakit,
Mayang. Namun sebelumnya aku harus memban-
gunkan dari pingsannya," jawab Jaka.
"Lakukanlah, Kakang," pinta Mayang. Jaka
segera membalikkan tubuh Resi Wikalga yang ter-
telungkup. Lalu dengan kepandaian yang dimili-
kinya, Jaka menyalurkan hawa murni ke tubuh
kakek berpakaian putih yang telah dipenuhi ber-
cak-bercak darah.
"Euhhh...!"
Beberapa saat kemudian Rea Wikalga men
gerang perlahan. Kakek itu menggerakkan tu-
buhnya dengan erangan yang memilukan.
"Dia sudah siuman, Kakang!" ujar Mayang.
Wajah gadis cantik kekasih Jaka itu tampak gem-
bira.
TIGA
"Eh!" Resi Wikalga terkejut menyaksikan
sepasang muda-mudi bersila di hadapannya di
bawah pohon yang berdaun rindang.
"Siapa.... Siapa kalian?" tanya Resi Wikalga
dengan suara parau yang tersendat-sendat
"Tenanglah, Ki," tukas Jaka lembut, "Aku,
Jaka. Dan dia temanku, Mayang Sutera," lanjut
tokoh muda yang julukannya banyak disebut-
sebut tokoh persilatan.
Resi Wikalga beringsut dengan tatapan tak
lepas memandangi tubuh Jaka, seolah tengah
mengingat-ingat siapa orang muda yang kini be-
rada di hadapannya.
"Kau... Kaukah Jaka Sembada?" tanya Resi
Wikalga setelah beberapa saat terdiam. Patut di-
puji kejelian mata tua Resi Wikalga. Meski kea-
daan tubuhnya lemah, ia masih mampu menge-
nali Jaka.
"Benar, Ki. Nama lengkapku memang Jaka
Sembada," tutur Jaka menjelaskan.
"Oooh...!"
Tiba-tiba Resi Wikalga mengerang lirih. Ka
kek itu bukan saja terkejut mendengar penga-
kuan Jaka, tapi rasa sakit pada luka-lukanya te-
rasa menyengat
"Sebaiknya kau telan pil ini, Ki," pinta Ja-
ka.
Tangannya terjulur memberikan butiran
obat penawar rasa sakit yang selalu dibawanya.
Tujuannya tak lain untuk menolong orang-orang
yang ditemuinya di jalan.
Resi Wikalga segera meraih pil yang dis-
odorkan Jaka, dan langsung menelan pil berwar-
na merah itu. Begitu pil pemberian Jaka melewati
kerongkongannya, Resi Wikalga merasakan kha-
siat pil yang diminumnya. Rasa nyeri di tubuhnya
berangsur-angsur hilang.
"Terima kasih. Raja Petir. Terima kasih. Be-
runtung sekali aku berjumpa dengan kalian," tu-
tur Resi Wikalga. Pandangannya beralih ke wajah
cantik Mayang.
Gadis cantik dengan rambut dikepang itu
membalas tatapan Resi Wikalga dengan senyum
manis yang terkembang.
"Jangan panggil aku dengan julukan itu,
Ki," cegah Jaka sungkan.
"Ah, kau memang pantas menyandang ju-
lukan hebat itu, Jaka. Aku sering mendengar se-
pak-terjangmu. Tentang kehebatan ilmu-ilmumu
dari orang-orang persilatan yang kukenal, namun
sayang baru sekarang ini aku sempat bertatapan
muka dengan tokoh muda yang berpijak pada ja-
lan kebenaran itu," kilah Resi Wikalga.
"Lupakan itu, Ki," sangkal Jaka malu-
malu.
Mayang yang mendengar ucapan kekasih-
nya merasakan ucapan itu tidak dibuat-buat
Mayang tahu kalau ucapan kekasihnya semata
karena dirinya tidak suka disanjung terlalu berle-
bihan.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu,
Ki?" tanya Mayang mencoba menyingkap keka-
kuan itu.
Resi Wikalga menatap wajah Jaka dan
Mayang bergantian. Hanya sesaat kemudian Resi
Wikalga menceritakan kejadian yang menimpa
rombongannya.
"Sembilan Bocah Sakti?!" gumam Jaka
mengulang julukan yang disebut Resi Wikalga se-
bagai sumber petaka kejadian yang dialaminya.
"Pernah aku mendengar julukan itu, Ki,"
ucap Jaka kemudian.
"Aku pun demikian, Jaka," Jimpal Resi Wi-
kalga. "Namun ketika kami berjumpa dengan
sembilan bocah yang hanya mengenakan pakaian
mirip cawat itu, semula kami menganggap mereka
hanya anak-anak kampung yang sedang bermain-
main di kebeningan air telaga. Namun ternya-
ta...," Resi Wikalga tidak melanjutkan ucapannya.
Hatinya kembali terenyuh mengingat kematian Ki
Wanabara dan Bagatada.
"Apakah kira-kira sembilan bocah itu ma-
sih berada di Telaga Perak Desa Liring Sedayu,
Ki?" tanya Mayang.
"Entahlah," jawab Resi Wikalga.
"Kakang, apa kita datangi saja Telaga Perak
itu?" tukas Mayang. "Rasanya aku mencium se-
suatu yang tak beres dengan keberadaan sembi-
lan bocah itu di Desa Liring Sedayu. Apalagi, me-
reka bilang tak seorang pun diizinkan menginjak
Desa Liring Sedayu," lanjut Mayang mengulangi
cerita Resi Wikalga.
"Kurasa tidak sekarang ini, Mayang," tolak
Jaka dengan tatapan mata lembut.
Mayang tidak membantah ucapan Jaka.
Hanya tatapan matanya membalas tatapan keka-
sihnya yang merasa keberatan kalau harus me-
ninggalkan Resi Wikalga yang membutuhkan per-
tolongan.
"Ki Wikalga," ucap Jaka pelan, "Ke mana
sesungguhnya tujuanmu sekarang?"
Resi Wikalga tidak segera menjawab perta-
nyaan Jaka. Hingga tokoh muda yang berjuluk
Raja Petir itu kembali berujar. "Kami dengan se-
nang hati akan mengantarkanmu, Ki."
"Eh! Terima kasih, Jaka. Aku telah mere-
potkanmu," Resi Wikalga merasa tidak enak den-
gan kebaikan yang disodorkan Jaka.
"Kami tidak merasa kerepotan, Ki. Kami
merasa ini adalah sebagian dari kewajiban kami,"
tukas Mayang tegas.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ni-
sanak," ucap Resi Wikalga. Kepalanya tertunduk
sedikit "Antarkan aku ke Perguruan Gagak Putih,"
pintanya kemudian.
"Sekarang juga kami akan mengantar kau
ke sana, Ki," tukas Jaka seraya membawa bangkit
tubuh Resi Wikalga yang masih lemah karena ba-
nyak mengeluarkan darah akibat luka-lukanya
yang parah.
"Maaf, Ki. Agar perjalanan kita ke Pergu-
ruan Gagak Putih tidak memakan banyak waktu,
sebaiknya tubuhmu kubopong saja," pinta Jaka
sopan.
"Terserahlah, Jaka," ucap Resi Wikalga.
Jaka segera mengangkat tubuh Resi Wikal-
ga dalam bopongannya. Sementara matanya me-
natap wajah gadis cantik yang berjuluk Dewi
Payung Emas.
"Ayo, Mayang!" ajak Jaka. Kakinya kemu-
dian menghentak kuat dan tubuhnya melesat
membopong tubuh sesepuh Perguruan Gagak Lo-
reng.
"Hip!"
Gadis cantik berpakaian jingga pun segera
melakukan hal yang sama, melesat pergi mening-
galkan perbatasan Desa Liring Sedayu menuju
Perguruan Gagak Putih.
***
Perguruan Gagak Putih seketika menjadi
gempar ketika Jaka dan Mayang datang memba-
wa Resi Wikalga yang terluka parah.
Ki Rayung Sadawa yang merupakan sauda-
ra seperguruan Resi Wikalga merasa terpukul bukan main. Wajah lelaki berusia hampir sama den-
gan Resi Wikalga itu nampak kemerahan mena-
han kemarahan yang meluap-luap. Mata pimpi-
nan Perguruan Gagak Putih membelalak tajam
seperti macan hendak memangsa korbannya.
Setelah meletakkan tubuh Resi Wikalga da-
lam kamar khusus di Perguruan Gagak Putih,
dengan seorang tabib perguruan yang dipercaya-
kan untuk menangani keadaan sesepuh Pergu-
ruan Gagak Loreng itu, Ki Rayung Sadawa segera
kembali menemui Jaka dan Mayang.
"Terima kasih atas bantuan kalian mem-
bawa Kakang Wikalga kemari. Entah apa jadinya
tanpa pertolongan kalian," ucap Ki Rayung Sada-
wa dengan hormatnya. Sesungguhnya, Ki Rayung
Sadawa ingin Jaka-lah yang menangani keadaan
Resi Wikalga. Karena Ki Rayung Sadawa yakin
dengan kesaktian yang dimiliki tokoh muda dig-
daya itu. Tetapi Ki Rayung Sadawa merasa tak
enak kalau kembali menyusahkan Jaka yang te-
lah menyelamatkan Resi Wikalga dan memba-
wanya ke Perguruan Gagak Putih.
"Itu hanya suatu kebetulan saja, Ki
Rayung," kilah Jaka merendah. "Kami tidak sen-
gaja menemukan Ki Wikalga tergolek di perbata-
san Desa Liring Sedayu. Sebisanya aku menya-
darkannya dan membawanya ke sini sesuai den-
gan pemintaannya," lanjut Jaka.
"Sikap rendah hati itulah yang semakin
membuat nama harum, Raja Petir," tukas Ki
Rayung Sadawa memuji sikap pemuda itu. Memang, baru kali ini Ki Rayung Sadawa bertemu
muka dengan tokoh muda digdaya yang namanya
telah menggemparkan dunia persilatan itu. Na-
mun mendengar dari mulut-mulut tokoh persila-
tan tentang kehebatan Raja Petir dan ciri-cirinya
sudah lama diketahui.
Dan itu semakin membuat rasa kagum Ki
Rayung Sadawa terhadap Raja Petir bertambah.
Jaka tidak bisa membantah ucapan lelaki
berpakaian hijau muda itu, yang pada bagian
pinggangnya tergantung sebilah pedang berga-
gang kepala burung gagak terbuat dari emas.
"Aku akan mencari bocah-bocah siluman
itu! Mereka harus bertanggung jawab atas kema-
tian Adi Wanabara, Bagatada, dan delapan belas
murid Perguruan Gagak Loreng. Aku khawatir
perbuatan mereka merambat dengan membantai
perguruan-perguruan lain," tukas Ki Rayung Sa-
dawa.
Seorang perempuan berusia empat puluh
tahun melangkah cepat-cepat membawa nampan
berisi air minum dan panganan. "Aku tidak me-
nyangka Kakang Wikalga dapat ditundukkan oleh
bocah-bocah itu," tukasnya sambil meletakkan
nampan.
Ki Rayung Sadawa tidak menimpali perka-
taan istrinya. Begitu juga Jaka dan Mayang.
"Kepandaian bocah-bocah itu berarti di
atas kita, Kakang Rayung. Dan Kakang ingin
mencari bocah-bocah itu untuk dimintai pertang-
gungjawaban. Apakah itu bukan suatu hal yang
mustahil. Kudengar Sembilan Bocah Sakti telah
banyak menyingkirkan tokoh-tokoh tingkat tinggi
dari golongan hitam dan putih," lanjut perempuan
berpakaian putih itu.
Ki Rayung Sadawa tersentak juga menden-
gar perkataan wanita itu. Mata lelaki pimpinan
Perguruan Gagak Putih menatap wajah istrinya.
"Tak salah dengarkah telingaku, Nyi?"
tanya Ki Rayung Sadawa. "Kalau aku ingin men-
cari bocah-bocah siluman itu, berarti aku telah
meletakkan tanggung jawab di pundakku sebagai
tokoh persilatan. Apa kata orang terhadap diriku
jika aku berpangku tangan dalam menghadapi
persoalan ini? Siapa pun Sembilan Bocah Sakti
itu aku harus tetap menghadapi mereka. Demi
wibawaku dan perguruanku yang berkaitan den-
gan Kakang Wikalga dan Perguruan Gagak Lo-
reng," mantap ucapan Ki Rayung Sadawa.
Nyi Rayung Sadawa yang duduk di sisi su-
aminya tidak membantah ucapan itu. Nampak-
nya, dia merasa bersalah ucapannya telah me-
nyinggung perasaan suaminya.
"Ayo, cicipi hidangan yang seadanya ini,
Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa mencairkan keka-
kuan suasana.
Jaka dan Mayang memenuhi ucapan Ketua
Perguruan Gagak Putih.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang hendak
kau lakukan sekarang, Ki Rayung?" tanya Jaka
setelah meminum teh hangat manis yang dis-
uguhkan Nyi Rayung Sadawa.
"Aku dan beberapa murid utamaku akan
mencari bocah siluman itu, Jaka. Kuharap kalian
berdua bersedia melakukan hal yang sama," ja-
wab Ki Rayung Sadawa.
"Ya," sambut Jaka memenuhi harapan Ki
Rayung Sadawa.
"Jika begitu, kalian bergeraklah bersama-
sama," ucap Nyi Rayung Sadawa memberi saran.
Sengaja saran itu dilontarkan Nyi Rayung Sada-
wa, karena jika Ki Rayung Sadawa bergerak ber-
sama-sama dengan Jaka, besar harapannya akan
selamat mengingat kedigdayaan tokoh muda nan
tampan itu belum menemui tandingannya.
"Masalah itu kuserahkan keputusannya
padamu, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa menim-
pali keinginan istrinya.
Jaka tidak segera memberikan jawaban.
Pemuda itu mampu membaca dari tekanan suara
Ketua Perguruan Gagak Putih, kalau lelaki itu se-
benarnya ingin bergerak sendiri dalam mencari
Sembilan Bocah Sakti yang telah membuat mala-
petaka bagi Perguruan Gagak Loreng.
"Bagaimana kalau kita berpencar saja da-
lam mencari bocah-bocah itu, Ki Rayung. Dengan
begitu kita akan dapat cepat menemukan dan se-
cepatnya mengambil tindakan," usul Jaka hati-
hati. Dia tidak ingin menyinggung perasaan Nyi
Rayung Sadawa.
"Aku juga berpikiran ke situ, Jaka," sam-
but Ki Rayung Sadawa mantap. Dengan berpen-
car pekerjaan kita menjadi lebih ringkas," lanjut
nya.
Nyi Rayung Sadawa tidak membantah uca-
pan suaminya.
"Tapi kau harus hati-hati, Kakang," ujar-
nya pelan. "Biar bagaimanapun, mereka adalah
bocah-bocah sakti yang telah berhasil menun-
dukkan Kakang Wikalga, yang kepandaiannya je-
las di atas orang-orang di perguruan Gagak Putih
ini," lanjut Nyi Rayung Sadawa penuh kekhawati-
ran.
"Kau bantulah dengan doa, Nyi. Aku pun
akan bertindak hati-hati," tangan Ki Rayung Sa-
dawa merangkul pundak istrinya untuk meredam
kecemasan yang tergambar di mata perempuan
yang sangat dicintainya itu.
"Jika begitu, izinkanlah kami bergerak le-
bih dulu, Ki," pinta Mayang yang sejak kedatan-
gannya di Perguruan Gagak Putih tidak sepatah
pun mengeluarkan perkataan.
"Ya. Kurasa lebih baik begitu, Ki Rayung,"
timpal Jaka.
Ki Rayung Sadawa menatap wajah Jaka
dan Mayang bergantian. Pimpinan Perguruan Ga-
gak Putih itu merasa berhutang budi pada pasan-
gan pendekar muda itu.
"Ya. Berangkatlah kalian lebih dulu. Bebe-
rapa orang muridku akan kuutus untuk menga-
barkan berita buruk ini pada orang-orang Pergu-
ruan Gagak Loreng. Setelah itu, baru kami berge-
rak mencari bocah-bocah siluman itu," tukas Ki
Rayung Sadawa.
"Kalau begitu kami pamit sekarang, Ki,
Nyi," ucap Jaka seraya bangkit berdiri. Mayang
segera mengikuti.
Ki Rayung Sadawa dan istrinya mengiringi
langkah Jaka dan Mayang yang telah bergerak
meninggalkan pendopo. Ketika sampai di luar
pendopo Perguruan Gagak Putih, sekali lagi Jaka
dan Mayang menatap wajah Ki Rayung Sadawa.
"Permisi, Ki, Nyi," ucap Jaka lagi.
"Hop!"
"Hip!"
Dua sosok tubuh pendekar muda itu seke-
tika melesat bagai angin berhembus. Gerakan me-
reka yang cepat begitu sedap dilihat. Tampaknya,
ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu me-
ringankan tubuh mereka telah mencapai kesem-
purnaan.
Ki Rayung Sadawa dan istrinya hanya da-
pat memandangi kepergian Jaka dan Mayang
dengan kekaguman yang tak sempat tercetus.
"Ah, semoga mereka berhasil, Kakang,"
ucap Nyi Rayung Sadawa tak kuasa menyembu-
nyikan harapannya.
***
Sebuah kedai yang terletak di Desa Nura-
barang terlihat begitu ramai oleh pengunjung. Ke-
dai itu memang selalu dipenuhi pengunjung. Me-
reka bukan hanya ingin menikmati hidangan
yang sudah cukup tersohor kelezatannya. Tetapi
juga memandang dua gadis cantik anak-anak Ki
Sandara pemilik kedai, yang selalu rajin memban-
tu melayani tamu-tamu ayahnya.
Dua gadis cantik berusia enam belas tahun
itu adalah anak kembar Ki Sandara. Keduanya
memiliki perangai yang sama. Sabar dan lemah
lembut. Setiap tamu yang datang di kedai Ki San-
dara selalu disambutnya dengan sopan, bahkan
tak jarang senyum manis terkembang. Hal seperti
itu dilakukan mereka bukan karena anak-anak Ki
Sandara perempuan genit, tetapi mereka berpen-
dapat kalau tamu harus disambut dengan kera-
mahan dan wajah yang manis. Tujuannya tentu
saja agar tamu-tamu itu tidak segan-segan mam-
pir lagi jika suatu saat lewat di depan kedai.
"Silakan, Tuan nikmati dulu hidangan lezat
ini. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan di
dalam, " tolak seorang putri Ki Sandara yang se-
dang menjamu tamunya.
"Temanilah aku sebentar, Nini. Seleraku
akan bertambah kalau kau mau duduk menema-
niku," rayu lelaki berusia tiga puluh tahun. Se-
mentara tangannya terus mencekal pergelangan
tangan anak Ki Sandara yang mengenakan pa-
kaian biru cerah.
Gadis cantik bernama Yayuning itu tidak
kuasa menolak ajakan lelaki berpakaian biru tua.
Kepala gadis bermata bagus itu hanya menoleh ke
arah ayahnya yang tengah menyiapkan makanan
untuk pengunjung kedai yang lain.
"Maaf, Kisanak. Izinkan dulu anakku
membawakan makanan ini untuk tamu-tamu
yang lain," ucap Ki Sandara cukup keras.
Lelaki berpakaian biru tua yang mencekal
tangan Yayuning serta-merta melepaskan ceka-
lannya. Wajah lelaki itu bersemu merah menden-
gar ucapan pemilik kedai yang dirasanya begitu
berani.
"Aku juga perlu pelayanannya, Kisanak!"
bentaknya tak kalah keras.
"Aku tahu itu," kilah Ki Sandara cukup be-
rani, "Tapi hidangan ini perlu diantar untuk ta-
mu-tamu yang lain. Baru selesai itu permintaan-
mu bisa dipenuhi," lanjut Ki Sandara mantap.
Pengunjung kedai itu rupanya jenis lelaki
yang tidak begitu sulit diberi pengertian. Terbukti,
dia kembali duduk di tempatnya dan bersiap me-
nyantap hidangan yang barusan diantar Yayun-
ing. Suasana di dalam kedai kembali tenang. Para
pengunjung yang semula cemas akan terjadi keri-
butan kembali menyantap hidangan yang terse-
dia.
Pada saat pengunjung kedai tengah me-
nikmati hidangannya, dua bocah berusia tujuh
tahunan tiba-tiba masuk dan langsung menuju
ke dapur tempat Ki Sandara dan kedua anak ga-
disnya tengah berkumpul.
"Hai! Anak Manis, ada perlu apa kalian ke
sini?" tanya Yayuning beranjak mendekati dua
anak lelaki kecil itu, yang hanya mengenakan se-
lembar cawat berwarna hitam.
Dua bocah bercawat hitam yang tak lain
Bla dan Dbo menatap tajam wajah Yayuning.
"Aku perlu kau!" ucap Bla keras dengan ja-
ri telunjuk menuding wajah anak Ki Sandara.
"Aku?" tanya Yayuning yang ditunjuk oleh
Bla. "Ah, Ayah. Anak ini lucu sekali," ucap Yayun-
ing lagi.
Ki Sandara yang tidak melihat sosok Bla
dan Dbo terpaksa memanjangkan lehernya untuk
melihat bocah lucu yang disebut Yayuning.
"Kau perlu apa dengan Yayuning, Anak
Manis?" tanya Ki Sandara.
Bocah bercawat hitam bernama Bla tidak
menjawab pertanyaan Ki Sandara. Tatapan ta-
jamnya tetap tertuju ke wajah cantik Yayuning.
"Kemari kau!" keras ucapan Bla dengan jari
kembali menuding wajah Yayuning.
Yayuning tanpa diminta sekali lagi segera
saja menghampiri Bla. "Ada apa?" tanya Yayuning
dengan kepala sedikit direndahkan.
Tak ada jawaban atas pertanyaan Yayun-
ing. Namun, tiba-tiba saja tangan Bla bergerak
cepat ke bagian dada anak Ki Sandara itu.
Brets!
"Ekh!"
Yayuning terpekik keras mendapatkan apa
yang dilakukan bocah kecil di hadapannya. Tu-
buhnya langsung melangkah mundur ketika da-
danya terasa perih dan pakaiannya yang tersam-
bar tangan Bla koyak.
Ki Sandara pun tak kalah terkejutnya me-
lihat perbuatan anak kecil bercawat hitam itu.
Langkahnya segera bergerak maju untuk mence-
gah perbuatan Bla yang hendak diulangi.
"Bocah Setan! Pergi kalian!" bentak Ki San-
dara mengusir.
Bla dan Dbo mendelik mendengar benta-
kan Ki Sandara. Kemudian, tubuh dua bocah ke-
cil yang tak lain dua dari Sembilan Bocah Sakti
mencelat ke atas meja dapur. Dengan kecepatan
yang luar biasa tangan Bla dan Dbo bersama-
sama bergerak ke wajah Ki Sahdara.
Brets!
Brets!
"Aaa...!"
Ki Sandara memekik keras. Tubuhnya se-
ketika limbung dan jatuh berdebuk. Wajah Ki
Sandara mengucurkan darah akibat cakaran dua
bocah bercawat. Dari mulut pemilik kedai itu ter-
dengar erangan kesakitan.
Suara ribut-ribut di dapur membuat para
pengunjung yang tengah menikmati hidangan se-
gera berdatangan. Mereka terkejut bukan main
ketika menyaksikan tubuh Ki Sandara tergolek di
tanah dengan wajah koyak bekas cakaran. Darah
mengucur dari luka itu.
"Tolooong...!"
Yayuning memekik ketakutan ketika Bla
kembali hendak melayangkan cakarnya. Gadis
cantik anak Ki Sandara itu sudah terpepet di su-
dut dapur.
"Bocah Setan! Apa yang hendak kau laku-
kan di sini, heh?!" bentak lelaki tiga puluhan yang
tadi minta ditemani Yayuning. Langkah lelaki
berpakaian biru itu terayun hendak membopong
tubuh Bla dari belakang. Namun....
"Mampus kau!"
Seraya membalikkan tubuh, tangan kanan
Bla dengan jari yang ditumbuhi kuku-kuku runc-
ing berkelebat cepat ke arah leher lelaki berpa-
kaian biru tua.
Wrrrttt...!
"Uts!"
Lelaki itu menarik tubuhnya ke belakang
menghindari sambaran tangan Bla. Usaha itu
memang berhasil menyelamatkannya. Namun te-
man Bla, yakni Dbo, bergerak memberi serangan
susulan dengan loncatan cepat. Tendangannya te-
rarah ke dada lelaki berpakaian biru tua.
"Haaaiiit..!"
Blagkg!
"Aaa...!"
Brukkk!
Tubuh lelaki berpakaian biru tua mental
keluar dapur dan jatuh di ruang makan menimpa
meja salah seorang pengunjung. Hanya sesaat tu-
buh lelaki itu mengejang. Pada saat berikutnya
tubuhnya telah terbujur kaku dengan nyawa ter-
lepas dari raga.
Kenyataan itu membuat orang-orang gagah
yang berada di dalam kedai segera bergerak un-
tuk meringkus dua bocah aneh bercawat hitam
yang telah menewaskan Ki Sandara dan seorang
pengunjung kedai.
"Ringkus Bocah Setan itu! Jangan biarkan
lolos!" keras ucapan seorang lelaki yang pada ba-
gian punggungnya menggelantung sebatang pe-
dang. Rupanya, lelaki itu adalah orang persilatan.
Bla dan Dbo yang mendengar ucapan itu
hanya mendengus marah. Kemudian tubuh kedua
bocah itu melesat keluar dari dapur kedai Ki San-
dara.
"Jangan biarkan bocah-bocah itu lolos!"
ucap salah seorang pengunjung kedai. Tubuh le-
laki itu sendiri melesat cepat mengejar Bla dan
Dbo yang sudah berada di luar kedai.
"Kami tidak akan kabur, Kisanak sekalian!
Justru nyawa kalianlah yang akan lolos dari raga.
Saat ini juga!" bentak Bla di luar perkiraan orang-
orang gagah yang menjadi pengunjung kedai.
"Bocah Setan! Ayo, tangkap mereka!" perin-
tah lelaki yang di punggungnya tersandang seba-
tang pedang.
"Ayooo...!" setuju yang lain.
EMPAT
Tujuh lelaki pengunjung kedai yang berpe-
nampilan seperti orang persilatan segera meluruk
maju hendak meringkus Bla dan Dbo. Gerakan
mereka seakan hendak menangkap anak kecil
yang melarikan mainan adiknya. Kenyataan itu
tentu saja membuat Bla dan Dbo semakin men-
ganggap rendah lawan-lawannya. Keduanya bergerak cepat dengan sambaran tangan dan kaki,
membuat para pengeroyoknya kalang kabut
menghindari cakaran dan sampokan kaki mereka
yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi.
Wrrrttt!
Wughg!
"Heh...?!"
Lelaki yang pada bagian punggungnya ter-
dapat pedang panjang tampak terkejut. Sambaran
tangan yang baru saja berhasil dielakkan berganti
dengan sambaran kaki yang cukup keras, terarah
ke batang lehernya.
Tubuh Dbo melayang bagai seekor burung
terbang.
Plak!
"Aaakh!"
Ketika benturan keras terjadi karena lelaki
itu memapaki dengan tangan, pekik kesakitan
pun terdengar. Tubuh lelaki berpakaian merah itu
terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara
tubuh Dbo yang melancarkan tendangan cukup
keras berdiri tegak di tanah. Tidak terlihat bocah
kecil itu kalah dalam adu tenaga.
"Haaaiiit..!"
Belum lagi lawan Dbo berhasil memperbai-
ki kedudukan, bocah bercawat hitam itu telah
melejit cepat dengan sepasang tangan bergerak
mencecar leher.
Lelaki berpakaian merah yang telah mera-
sakan kehebatan lawan tidak ingin ambil akibat.
Maka, meski dalam keadaan kaki kurang pas
menjejak tanah, disempatkannya juga untuk me-
loloskan pedang.
Srattt!
Namun baru saja pedang itu keluar dari
warangkanya, dan belum lagi siap ditebaskan ke
arah lawan, serangan Dbo yang begitu cepat telah
datang lebih dulu.
Crattt!
Crappp!
"Aaa...!"
Pekik membumbung tinggi ke langit pun
seketika terdengar cukup keras. Tubuh lelaki
berpakaian merah yang bagian leher kiri-
kanannya tertembus kuku-kuku runcing Dbo
menggelinjang-gelinjang bagai ayam disembelih.
Wrrrttt!
Dan ketika jari-jari Dbo terlepas dari leher
lawan, seketika itu juga tubuh lelaki berpakaian
merah menggeloso di tanah dengan nyawa me-
layang pergi.
Apa yang dilakukan Dbo dapat disaksikan
pula pada sepak-terjang Bla yang begitu menggi-
riskan. Bla tidak membiarkan lawan-lawannya
mengambil napas. Tubuh Bla berkelebatan cepat
bagai malaikat pencabut nyawa. Setiap gerakan
yang dilakukannya sebuah nyawa menjadi taru-
hannya.
Seperti saat ini. Tubuh Bla kembali me-
layang di udara dengan cakar berkuku runcing
yang hendak dibenamkan di tubuh lelaki berpa-
kaian hitam yang tengah terhuyung-huyung.
"Haaaiiit..!"
Plakkk!
"Eikh...?!"
***
Tubuh Bla terhuyung dua langkah ketika
sambaran tangannya dipapaki sosok kuning kee-
masan yang bergerak cepat. Kini sosok bayangan
kuning yang menyelamatkan lelaki berpakaian hi-
tam telah menjejakkan kakinya di tanah.
"Nghrg...!"
Bla mengerang marah melihat sosok lelaki
berpakaian kuning keemasan berdiri di depan ca-
lon korbannya. Tatapan Bla yang membara bagai
seekor serigala terluka merayapi sekujur tubuh
lelaki berwajah tampan itu. Dan ketika tatapan
matanya membentur gagang pedang yang meng-
gelantung di leher pemuda itu, mata Bla untuk
sesaat terpejam. Ketika terbuka, tatapannya su-
dah terarah ke tempat lain.
Lelaki berpakaian kuning keemasan yang
tak lain Jaka hanya membalas tatapan mata Bla
dengan senyum terkembang. Namun, pikiran to-
koh muda yang berjuluk Raja Petir itu segera
mengambil kesimpulan kalau bocah yang dihada-
pinya adalah dua dari Sembilan Bocah Sakti.
"Hm.... Aku harus meringkus dua bocah itu
hidup-hidup, " gumam Raja Petir dalam hati.
"Kakang,... Bukankah bocah-bocah itu...?"
Mayang yang baru tiba di tempat kejadian lang
sung menyatakan dugaannya.
"Kau benar, Mayang," timpal Jaka memo-
tong ucapan kekasihnya. "Hati-hatilah kau meng-
hadapinya. Jangan memandang remeh," lanjutnya
menasihati.
Mayang tidak menimpali ucapan Jaka. Ta-
tapan matanya tertuju pada dua bocah kecil yang
telapak tangan mereka penuh berlumuran darah.
"Kita harus menangkapnya hidup-hidup
untuk mengorek keterangan di mana ketujuh re-
kannya yang lain. Sekaligus mengetahui tujuan
mereka yang selalu membunuh setiap orang yang
dijumpai," tukas Jaka dengan berbisik.
"Ya, Kakang. Kita memang harus segera
meringkus bocah-bocah setan itu," timpal
Mayang.
"Bersiaplah, Mayang. Nampaknya dua bo-
cah itu sudah tahu siapa kita sebenarnya. Lihat!
Dua bocah itu tengah menyiapkan ilmunya yang
bukan mustahil sangat berbahaya. Berhati-
hatilah, Mayang."
Belum selesai gema ucapan Jaka meman-
tul di sudut hati Mayang. Sosok tubuh dua bocah
bercawat hitam itu sudah berkelebat cepat den-
gan tangan terentang kuat. Tangan itu telah be-
rubah menjadi kemerah-merahan.
"Sepasang Tangan Bocah Sakti'!" teriak Bla
menyebut nama ilmu yang akan dilancarkan un-
tuk menyerang Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
"Haaaiiit..!"
"Haiiit..!"
Jaka dan Mayang yang memang sudah
bersiap segera mengerahkan jurus masing-masing
untuk mematahkan serangan lawan. Raja Petir
dengan jurus menghindarnya yang bernama
'Lejitan Lidah Petir' segera berkelebat ketika se-
rangan Bla dengan cepat menyambar wajahnya.
Serangan pembuka yang dilancarkan Bla
memang berhasil dikandaskan Jaka. Kenyataan
itu membuat bocah bercawat hitam semakin
murka. Dia kembali melancarkan serangan yang
tak kalah cepat
"Hyaaa...!"
Wrrrttt!
Uts!
Jaka melentingkan tubuhnya ke udara ke-
tika serangan Bla terarah ke bagian bawah tu-
buhnya. Namun siapa sangka kalau setelah se-
rangannya gagal, Bla seperti udang di dalam
tangguk. Tubuhnya meletik indah dengan tangan
bergerak memberikan serangan susulan ke arah
dagu Raja Petir.
Jaka yang sempat terkejut menyaksikan
gerakan aneh lawan, segera menyadari kalau la-
wan betul-betul memiliki kepandaian tinggi. Maka
untuk dapat mengandaskan serangan Bla, Raja
Petir segera melintangkan tangannya memapaki
serangan.
Plakkk!
"Heh...?!"
Jaka terkejut bukan main. Ketika benturan
keras terjadi, dia merasakan hawa aneh menelusup masuk melalui persentuhan kulit. Hawa aneh
yang dirasakan Jaka begitu cepat menelusup. Se-
ketika itu juga Jaka merasakan ulu hatinya mual,
seperti ingin muntah. Kepalanya pun terasa ber-
denyut-denyut pening.
"Hati-hati, Mayang! Usahakan jangan ber-
sentuhan dengan lawanmu!" tukas Jaka lantang.
Meski kepalanya dirasakan berputar hebat, dan
rasa mual di ulu hatinya semakin menjadi-jadi.
Rasa khawatirnya pada keselamatan Mayang
membuat Jaka meneriakkan peringatan itu.
Peringatan Jaka yang keras memang di-
dengar oleh Mayang. Dara manis yang berjuluk
Dewi Payung Emas segera mengembangkan senja-
ta andalannya yang berupa payung kecil dari lo-
gam keras berwarna kuning keemasan.
Sementara itu, Raja Petir yang tengah ter-
pengaruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' se-
gera mengatasinya dengan 'Aji Kukuh Karang'.
Ajian itu berguna untuk mengusir pengaruh ber-
macam ilmu yang menelusup masuk ke tubuh-
nya.
Maka, sebentar kemudian tubuh Jaka ter-
bungkus sinar kuning menyilaukan mata pada
bagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung
kaki. Agaknya 'Aji Kukuh Karang' tengah bekerja.
Dan ketika tangan Jaka yang barusan berpapa-
kan dengan tangan Bla dihentakkan kuat-kuat,
maka....
Slats!
Sinar kemerahan yang merupakan penga
ruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' mencelat
keluar mengejar tubuh pemiliknya sendiri.
"Hops!"
Bla yang tidak menyangka Jaka dapat me-
redam keampuhan ilmunya segera menghentak-
kan kaki keras-keras menghindari luncuran sinar
kemerahan yang meluruk cepat ke arahnya. Tu-
buh bocah cilik yang terbungkus sehelai cawat
berputaran indah di udara. Gerakannya bagai
seekor burung walet menjumput air.
Jlieg!
Tubuh kecil itu mendarat di tanah dengan
mantap. Sementara sinar kemerahan yang berha-
sil dielakkannya terus meluncur. Dan ketika me-
nabrak sebatang pohon besar, maka yang terja-
di....
Blarrr!
Brakkk!
Bunyi ledakan keras terdengar diiringi den-
gan ambruknya pohon sebesar pelukan lelaki de-
wasa. Batang pohon itu hangus terbakar. Jika si-
nar merah itu menerpa sosok manusia, tak ter-
bayangkan lagi akibat yang lebih mengerikan dari
sebuah kematian.
"Hi hi hi...! Kau memang hebat, Raja Petir,"
ucap Bla mengenali sosok yang menjadi lawan-
nya.
Ucapan Bla tak mengejutkan Jaka. Malah
hati, Jaka bertambah yakin kalau bocah cilik di
hadapannya bukan bocah yang sewajarnya. Tapi
merupakan jelmaan seorang tokoh sakti yang ke
hadirannya tidak ingin diketahui.
"Raja Petir! Hari ini nama harummu akan
terkubur. Tantanglah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis
Neraka Berkabung' jika kau ingin mempertahan-
kan nama harummu. Namun, jangan harap hal
itu akan dapat kau lakukan!" tukas Bla mantap.
Suaranya menggelegar meski terdengar nyaring
bagai suara bocah tujuh tahun.
Sementara Raja Petir dengan tenang terus
menyaksikan apa yang akan dilakukan lawannya.
Pada saat itu lawannya belum menggenggam sen-
jata yang dikatakannya sebagai sebatang pedang.
Dan ketika Bla memejamkan matanya, se-
saat kemudian lewat ubun-ubunnya muncul
ujung senjata yang dikatakannya sebagai pedang.
Ujung pedang itu semakin lama semakin meman-
jang. Dan ketika mencapai ukurannya, Bla segera
meraih senjatanya yang ternyata disimpan di da-
lam tubuh. "Bersiaplah, Raja Petir!" tukas Bla lan-
tang. Sementara itu, penghuni kedai yang hanya
tinggal Yayuning, Partining, dan lelaki yang telah
diselamatkan Jaka bersembunyi di balik meja
yang berantakan. Mata mereka terus menyaksi-
kan pertarungan dengan hati berdebar cemas.
Jaka pun merasa cemas mengingat Mayang
yang tengah berhadapan dengan Dbo. Bocah yang
juga bercawat hitam itu pasti akan mengerahkan
ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung',
yang ketika muncul dari tubuh Bla dirasakan Ja-
ka kedahsyatan pamor pedang yang panjangnya
sama dengan tinggi tubuh pemiliknya.
"Mudah-mudahan saja Mayang mampu
menandingi ilmu setan itu," gumam Jaka dalam
hati.
Pada saat kecemasan Jaka akan keselama-
tan kekasihnya berlangsung, Bla si bocah cilik
bercawat hitam melesat dengan pekikan aneh.
Pekikannya nyaris mirip suara anjing terjepit.
"Kaingngng...!"
Seperti gangsing, tubuh Bla berputar-putar
di udara. Bunyi menderu pun seketika terdengar
memekakkan telinga. Sekujur tubuh bocah ber-
cawat hitam itu terbungkus sinar kemerahan, se-
perti halnya pedang di tangannya.
Menghadapi ilmu aneh lawannya. Raja Pe-
tir segera mengerahkan 'Aji Bayang-Bayang'. So-
sok Raja Petir menjadi lima kali lipat banyaknya.
Dan ketika tebasan pedang Bla mengarah ke tu-
buhnya....
Breberrrt..!
"Hops...!"
"Heh?!"
LIMA
Tubuh Raja Petir melenting cepat dengan
hentakan kuat pada permukaan tanah. Sungguh
Raja Petir tidak menyangka bocah bercawat hitam
itu mampu membaca kelemahan ilmu yang dis-
uguhkan nya. Hampir saja tubuh Raja Petir dilu-
mat kedahsyatan sambaran senjata Bla yang menyebarkan hawa panas menyengat
Jlegkh!
Sosok Raja Petir mendarat dengan indah di
tanah empat tombak jauhnya dari kedudukan la-
wan, setelah berputaran beberapa kali di udara.
"Ush!"
Raja Petir melepaskan napasnya yang tera-
sa sesak. Pemuda itu merasakan kulitnya bagai
terpanggang bara.
"Apa perlu kukerahkan Sabuk Petir ini?"
Raja Petir bergumam sendiri, sementara tatapan-
nya memandang sabuk hijau yang melilit ping-
gangnya, dengan tangan sudah memegang ujung
Sabuk Petir.
Klangngng...!
"Akh!"
Tercekat hati Raja Petir mendengar suara
dentang senjata beradu dan pekik tertahan yang
keluar dari mulut Mayang.
"Mayang...!" panggil Raja Petir mence-
maskan keadaan kekasihnya.
Bersamaan dengan kecemasannya yang
menjadi-jadi, bocah cilik bercawat hitam yang
menjadi lawan Raja Petir kembali melesat membe-
rikan serangan susulan. Pedangnya yang memen-
darkan sinar kemerahan terayun di udara.
"Kaingngng...!"
Wrrrr...!
Tubuh Bla melesat dan berputaran bagai
gangsing. Warna kemerahan nampak bergulung-
gulung di udara, membuat kerikil-kerikil yang berada di sekitar arena pertarungan berpentalan.
Dan daun-daun berguguran dengan warna yang
berubah menjadi hitam. Hangus.
"Hmrh...!"
Jaka mendengus kesal melihat kebengisan
lawan. Namun, ia harus cepat menolong kekasih-
nya menghadapi Dbo. Maka tanpa pikir panjang
lagi tangan kanan Jaka segera menarik ujung Sa-
buk Petir.
Rrrrttt!
Sinar kuning kemilau pun seketika ber-
pendar dari Sabuk Petir yang berwarna hijau,
hingga suasana di sekitarnya menjadi terang. Dan
ketika tebasan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka
Berkabung' datang. Raja Petir segera mengimban-
ginya dengan ilmu 'Petir Membelah Malam'.
Cletar!
Glarrr!
"Kaingngng...!"
Lidah Sabuk Petir yang terayun dalam ju-
rus 'Petir Membelah Malam' dengan tepat meng-
hantam segulungan sinar kemerahan yang tak
lain wujud dari Pedang Iblis Neraka yang diputar
dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh Bla
tergempur mundur lima langkah. Sementara sen-
jata andalannya terpental lebih jauh dan patah
dua. Namun senjata yang patah itu tiba-tiba raib,
tinggal patahan bagian ujungnya saja yang masih
terlihat menggeletak di tanah.
"Eugkh!" Bla mengerang kesakitan sesaat
ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung'
mampu dilumpuhkan Jaka dengan jurus 'Petir
Membelah Malam'.
Akan tetap patut dipuji kepandaian bocah
bercawat hitam itu. Begitu juga dengan daya ta-
han tubuhnya. Seharusnya, orang yang terhan-
tam jurus 'Sabuk Petir Membelah Malam' sudah
tergeletak menjadi bangkai dengan tubuh hangus
bagai tersambar petir. Namun apa yang disaksi-
kan Jaka terhadap tubuh Bla? Sungguh Jaka ti-
dak habis pikir. Tubuh Bla sedikit pun tidak
mengalami luka, apalagi hangus seperti luka ba-
kar. Yang terlihat hanya napas bocah bercawat
hitam itu tersengal-sengal setelah terhantam ju-
rus 'Petir Membelah Malam'.
"Kaingngngh...!"
Di tengah keterpesonaan Jaka terhadap ke-
tangguhan lawan, sepasang mata pemuda itu
menangkap kelebatan lawan Mayang tengah men-
gerahkan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Ber-
kabung'.
"Awaaas..., Mayang!" pekik Raja Petir
memperingatkan kekasihnya akan kedahsyatan
ilmu yang sedang dipamerkan lawan.
"Hops!"
Raja Petir menghentakkan kakinya kuat-
kuat. Tubuhnya melesat bagai kilat dengan Sabuk
Petir tergenggam di tangan kanan, siap memain-
kan jurus 'Petir Membelah Malam'.
"Hyaaattt...!"
Cletar...!
Glarrrr...!
Ketika Sabuk Petir terayun dengan penge-
rahan tenaga dalam tinggi, seberkas sinar bagai
lidah petir melesat cepat dan menghantam sinar
merah yang bergulung di atas kepala Dbo.
Bocah cilik bercawat hitam yang menjadi
lawan Dewi Payung Emas memekik keras. Tu-
buhnya tergempur mundur enam langkah. Se-
dang senjatanya yang bernama Pedang Iblis Nera-
ka terpental lebih jauh dengan keadaan yang ti-
dak utuh lagi. Patahannya yang masih menempel
pada gagang seketika raib tak berbekas. Tetapi
patahan ujungnya tergeletak di tanah dengan
warna yang berubah menjadi hitam legam.
"Eugkh...!"
Seperti yang dialami rekannya, Dbo si bo-
cah bercawat hitam mengerang kesakitan. Malah,
keadaannya lebih parah dari Bla yang menjadi
lawan Jaka. Tubuh Dbo terkulai di tanah. Dari
sudut bibirnya tampak cairan merah.
"Dbo...?!" teriak Bla mengkhawatirkan kea-
daan temannya. Dengan langkah terseok-seok Bla
menghampiri Dbo. "Kau tak apa-apa Dbo? Hu hu
hu...," tiba-tiba Bla menangis bagai anak kecil
yang tidak kebagian kembang gula.
Dbo yang menyaksikan Bla menangis sedih
dengan air mata bercucuran, ikut melakukan hal
yang sama. Dbo malah menangis lebih keras.
"Huuu hu hu...!"
Jaka dan Mayang tentu saja tercengang
melihat kelakuan aneh bocah-bocah sakti yang
telah berhasil dilumpuhkannya. Begitu juga
Yayuning, Partining, dan lelaki berpakaian hitam
yang diselamatkan Jaka. Ketiga orang itu keluar
dari tempat persembunyiannya di balik meja ke-
dai. Mereka keheranan mendengar tangis dua bo-
cah sakti yang sepak-terjangnya sangat menggi-
riskan. Yayuning dan saudara kembarnya saling
berpandangan dengan tidak mengerti.
"Dbo! Sekarang kita tidak punya apa-apa
lagi. Kesaktian kita musnah karena Pedang Iblis
Neraka sudah raib dari tubuh kita. Kita tak punya
harga lagi di mata Kakang Gora. Hu hu hu...!" Bla
kembali menangkis keras. Tangannya merangkul
tubuh Dbo.
Jaka dan Mayang yang mendengar ucapan
Bla menjadi mengerti mengapa mereka menangis.
Rupanya, Pedang Iblis Neraka-lah yang menjadi
sumber kekuatan mereka.
"Sebaiknya cepat kita ringkus bocah-bocah
itu, Kakang," usul Mayang tak ingin buang waktu.
"Ya, Mayang. Kita memang harus segera
mendapatkan keterangan dari bocah-bocah itu,"
timpal Jaka menyetujui usul kekasihnya.
Langkah Mayang terayun lebih dulu hen-
dak menangkap Bla dan Dbo yang masih berang-
kulan. Sementara Jaka mengikuti langkah keka-
sihnya. Tetapi.....
"Kak! Kak....kak!" tiba-tiba terdengar suara
tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga
dalam tinggi. Bersamaan dengan itu melesat tiga
sosok bayangan menuju Jaka dan Mayang yang
tengah mengayunkan langkah menghampiri
Dbodan Bla.
Jlig!
Jligk! Jligk!
Tiga sosok tubuh tinggi besar berpakaian
seorang pendeta melesat cepat dan mendarat
dengan ringan di samping kiri Raja Petir.
Tiga lelaki yang berambut merah panjang
terurai itu berdiri pongah dengan tatapan mata
setajam elang, tertuju lurus pada wajah Jaka dan
Mayang. Ketiga sosok itu bersenjatakan tasbih
merah. Mereka adalah tiga lelaki berambut pan-
jang yang berjuluk 'Tiga Pendeta Rambut Api'.
Orang pertama dari Tiga Pendeta Rambut
Api bernama Ekalaya. Seperti kedua rekannya,
tubuh Ekalaya tinggi besar dan berotot meling-
kar-lingkar. Yang membedakannya hanya pada
matanya yang sipit seperti mata bangsa Tiongkok.
Sedangkan orang kedua dan ketiga bernama So-
naga dan Burita. Keduanya memiliki perbedaan
pada hidungnya yang besar nyaris mirip buah
tomat, dan mulutnya yang monyong.
"Hi hi hi...! Sungguh tak kusangka tokoh
sakti yang namanya harum semerbak bak bunga
surgawi memiliki sifat berbau busuk bagai bunga
comberan!" tukas Ekalaya dengan tawanya yang
tergelak. Bola mata lelaki itu menjadi tak nam-
pak. Yang terlihat hanya sebaris garis memanjang
di antara hidungnya yang melengkung.
Jaka dan Mayang sendiri tampak tenang-
tenang saja menyaksikan kemunculan tiga pende-
ta itu. Begitu juga ketika ucapan menghina keluar
dari mulut lelaki bermata sipit, sedikit pun tidak
terdengar suara Jaka menentang ucapan itu.
Sebaliknya, Bla dan Dbo seperti mendapat
kesempatan untuk menyelamatkan diri dengan
munculnya Tiga Pendeta Rambut Api. Hati kedua
bocah bercawat hitam itu merasa gembira. Itu ter-
lihat dari wajah mereka yang tidak lagi menun-
jukkan kecemasan.
"Raja Petir! Tak malukah kau hendak
membunuh dua bocah tak berdaya itu?! Inikah
yang dinamakan pendekar bijak dari golongan lu-
rus? Perbuatan serendah inikah yang dinamakan
pengabdian untuk kaum lemah dan tak bersa-
lah?" sambut orang kedua dari Tiga Pendeta
Rambut Api yang bernama Sonaga. Ucapannya
tegas dan tajam menusuk.
"Kau harus menebus dengan nyawa akibat
perbuatanmu ini. Raja Petir. Perbuatan rendah
yang tak patut dilakukan tokoh digdaya seperti-
mu! Kami, Tiga Pendeta Rambut Api, akan meng-
hukum kalian sekarang juga! Bersiaplah untuk
melayat ke lubang kubur!" sentak orang ketiga
yang bernama Burita. Jari telunjuknya bergerak-
gerak menuding wajah Jaka dan Mayang.
"Hmmm...," Jaka bergumam tak jelas sebe-
lum menimpali ucapan Tiga Pendeta Rambut Api.
"Kalian orang-orang sesat memang pandai bersilat
lidah untuk melindungi kaum segolongan!" sentak
Jaka dengan suara yang ditekan, hingga keluar
dengan kewibawaan yang jelas dirasakan oleh Ti-
ga Pendeta Rambut Api. Seketika wajah mereka
bersemu merah.
"Ya. Kalian memang penjilat-penjilat koto-
ran anjing!" timpal Mayang semakin membuat wa-
jah Tiga Pendeta Rambut Api bagai panas ter-
panggang. "Silakan maju jika kalian memang mau
menghukum Raja Petir dan Dewi Payung Emas,"
lanjut Mayang menantang.
"Betina Liar!" timpal Burita memaki. Lang-
kah kakinya terayun dua tindak.
"Bersiaplah untuk mampus, Betina Jelek!"
hina Burita.
Srattt!
Mayang tidak terkejut menyaksikan lelaki
tinggi besar bermulut monyong itu memamerkan
butiran tasbih besar berwarna merah darah. Ma-
lah, tatapan Dewi Payung Emas dipertajam me-
melototi wajah Burita.
"Lelaki monyong bau kentut! Buang saja
tasbih bututmu itu!" sentak Mayang menghina.
"Betina Gila! Kurancah mulutmu!" maki
Burita dengan langkah panjang menghampiri so-
sok Mayang.
Jaka semula ingin melindungi kekasihnya.
Namun Mayang melarangnya. "Biarkan kuberi pe-
lajaran lelaki bau tai itu, Kakang," pinta Mayang.
Jaka yang memang tidak mau menying-
gung perasaan kekasihnya segera menggeser tu-
buhnya.
"Seranglah aku!" tantang Mayang tegas
"Hmrh...!" Burita mendengus kesal.
"Hoaaa...!"
Teriakan Burita yang keras mengiringi
mencelatnya tubuh besarnya dengan tasbih ber-
putar bagai baling-baling, hingga menimbulkan
deru memekakkan telinga. Jelas, dalam serangan
pembuka itu Burita telah mengeluarkan tenaga
dalamnya.
Untuk menghadapi serangan lelaki bermu-
lut monyong itu, Dewi Payung Emas segera men-
gerahkan jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air'.
Sosok dara manis yang mengenakan pakaian
jingga kini telah siap menyongsong serangan Bu-
rita.
Brrrtt!
"Uts!"
Tubuh Mayang mencelat menghindari
sambaran tasbih Burita yang menimbulkan deru
hebat. Tubuh dara berambut panjang dikepang
itu berputaran dua kali di udara. Dan ketika tu-
buhnya mendarat di tanah, dengan ciri khas ju-
rus 'Menepak Laut Menggenggam Air', tubuhnya
kembali melesat memberikan serangan balasan
dengan sodokan ujung payung yang runcing ke
arah leher lawan.
"Mampus kau, Monyong!" teriak Mayang
dengan mengarahkan senjatanya.
Wuttt!
"Hits!"
Burita memiringkan tubuhnya ke samping
kanan menghindari tusukan ujung payung
Mayang. Namun gerakan itulah yang memang di-
tunggu-tunggu kekasih Raja Petir. Sesaat tubuh
Burita doyong ke kanan, sebuah tendangan me-
mutar yang cukup keras dilakukan Dewi Payung
Emas.
"Hiaaattt...!"
Blugkh!
"Hegk!"
Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke
samping kiri. Tendangan memutar yang dilancar-
kan Dewi Payung Emas mendarat dengan telak di
bahu kanannya.
Kenyataan itu membuat Ekalaya dan So-
naga terhenyak. Serta-merta mereka meluruk
menyerang Dewi Payung Emas.
Di situlah letak perbedaan tokoh-tokoh ali-
ran sesat dengan tokoh yang berpijak di bumi ke-
benaran. Tokoh sesat aliran hitam tidak akan se-
gan-segan melakukan pengeroyokan terhadap la-
wan, meski dia seorang perempuan. Seperti yang
dilakukan Ekalaya dan Sonaga sekarang ini.
"Biarkan temanmu bermain-main dengan
temanku, Kisanak," cegah Jaka melompat meng-
hadang Ekalaya dan Sonaga. "Kalian berdua ada-
lah lawanku," ucapnya menantang.
"Setan Belang!" maki Ekalaya geram.
Dua tokoh yang berjuluk Pendeta Rambut
Api segera merangsek tubuh Jaka dengan lang-
sung mengerahkan jurus andalan mereka yang
bernama 'Tasbih Pemecah Karang'. Bunyi angin
menderu terdengar mengiringi berputarnya tasbih
besar di genggaman tangan Ekalaya dan Sonaga.
"Sudah lama aku hendak menjajal kemam
puanmu. Raja Petir. Hadapilah serangan mautku.
Hiyaaa...!"
Breberr! Brebert!
"Uts!"
Tubuh Raja Petir mencelat indah menghin-
dari serangan bersamaan yang dilancarkan orang
pertama dan kedua Tiga Pendeta Rambut Api. Ju-
rus 'Lejitan Lidah Petir' memang cukup tepat dis-
ajikan Jaka untuk melumpuhkan serangan kedua
lawannya. Terbukti, serangan maut yang dilan-
carkan Ekalaya dan Burita hanya menerpa angin
kosong. Malah, keduanya harus jungkir balik
menghindar ketika Jaka memadukan jurus
'Lejitan Lidah Petir' dengan jurus 'Petir Menyam-
bar Liang'.
"Jangan lengah, Sobat!" ucap Jaka mempe-
ringatkan lawan. Sementara tangannya terus me-
luruk cepat ke dada Ekalaya dan kepala Burita.
"Hup!"
"Hup!"
Dua dari Tiga Pendeta Rambut Api berlom-
patan cepat menghindari serangan Jaka. Tubuh
mereka berpencar ke dua arah.
Di tempat lain, nampak dua bocah berca-
wat yang bernama Bla dan Dbo bergerak perla-
han-lahan menjauhi arena pertarungan. Kedua-
nya berharap Raja Petir yang telah berhasil me-
lumpuhkannya tidak melihat perbuatan mereka.
Kalau pun melihat, Bla dan Dbo berharap Raja
Petir tidak mengejarnya.
Harapan dua bocah yang telah musnah ke
saktiannya itu memang terkabul. Jaka yang sibuk
menghadapi gempuran-gempuran dahsyat Eka-
laya dan Sonaga tidak sempat memperhatikan
perbuatan mereka. Hingga akhirnya tubuh Bla
dan Dbo menghilang di balik rerimbunan belukar
Desa Nurabarang.
Kembali ke arena pertarungan antara
Mayang dan Burita, lelaki berpakaian pendeta itu
terdesak hebat oleh jurus-jurus yang dikerahkan
Dewi Payung Emas. Namun karena kekeraskepa-
laannya yang hendak menjatuhkan gadis cantik
itu, Burita terus saja berusaha menggempur
Mayang tanpa mempedulikan pertahanannya.
Mayang yang cerdik dan bertarung dengan
ketenangannya yang luar biasa segera mampu
membaca kelemahan pertahanan Burita. Maka
ketika serangan Burita datang dengan pengera-
han jurus 'Tasbih Pemecah Karang', seketika itu
juga Mayang mengembangkan senjatanya yang
berupa payung kecil terbuat dari logam.
Rrrttt...!
Tlangngng!
Bunyi benturan keras pun terdengar ketika
dua tenaga dalam yang tersalur lewat senjata Bu-
rita dan Mayang bertemu.
Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke
belakang. Sedangkan tubuh Mayang hanya lim-
bung selangkah, kenyataan itu jelas menunjuk-
kan kalau kemampuan tenaga dalam Dewi
Payung Emas berada beberapa tingkat di atas Bu-
rita.
Melihat peluang emas yang ada, Mayang
segera mencelat hendak menyerang balik lawan-
nya dengan payung yang diputar cepat hingga
menimbulkan deru angin dahsyat.
"Hiaaattt...!"
Burita yang belum siap menerima serangan
susulan Mayang sebisanya mengelakkan samba-
ran payung berujung runcing yang terarah ke pa-
hanya. Namun, siapa yang menyangka kalau ge-
rakan menghindar yang dilakukan Burita meru-
pakan bencana bagi dirinya. Pada saat tubuhnya
mencelat ke atas, payung Mayang yang terkem-
bang terangkat pula ke atas. Akibatnya....
Brets...!
"Aaa...!"
Pekik melengking membumbung ke langit.
Sosok Burita tampak melambung dan kemudian
ambruk dengan perut terkoyak lebar. Darah men-
galir deras dari luka yang telah melenyapkan
nyawa orang ketiga dari Tiga Pendeta Rambut Api.
Ekalaya yang menyaksikan kematian Buri-
ta menjadi kalap. Tak dihiraukannya lagi kebera-
daan Raja Petir. Tubuhnya langsung melesat
memburu Mayang yang telah membunuh Burita.
"Hiaaa...!"
ENAM
Dengan tewasnya Burita, pertarungan ber-
langsung semakin seru. Ekalaya yang meluruk
menerjang Mayang tidak sadar kalau Raja Petir
tengah mengintainya untuk melindungi kekasih-
nya.
Pada saat butiran tasbih merah Ekalaya
melayang dengan jurus ‘Tasbih Pemecah Karang’
menuju kepala gadis cantik berpakaian jingga.
Raja Petir segera mengerahkan jurus 'Pukulan
Pengacau Arah'.
"Hyaaa...!"
Wuttt!
Wusss!
Serangkum angin bergulung melesat dari
telapak tangan Raja Petir yang menghentak kuat.
Angin bergulung bagai pusaran angin itu membu-
ru sosok Ekalaya yang tengah mencelat hendak
melampiaskan nafsu membunuhnya pada
Mayang. Ekalaya tidak lagi mempedulikan seran-
gan Jaka. Di hatinya telah tercetus niat untuk
membalas kematian Burita.
Akibatnya....
Prets!
"Aaa...!"
Ekalaya terpekik ketika serangkum angin
bergulung yang tercipta dari jurus 'Pukulan Pen-
gacau Arah' menghantam dengan telak sepasang
kakinya yang tengah melayang di udara. Saat itu
juga tubuh lelaki tertua dari Tiga Pendeta Rambut
Api melayang jatuh dengan kaki mengepulkan
asap tipis, terkena pukulan jarak jauh Raja Petir
yang mengandung hawa panas menyengat
Bruk!
"Akh!"
Kembali Ekalaya terpekik ketika tubuhnya
jatuh berdebuk ke bumi. Tulang pinggangnya te-
rasa patah. Lelaki tertua dari Tiga Pendeta Ram-
but Api itu hanya mampu mengerang kesakitan
tanpa kembali bangkit menyerang.
"Setan!"
Sonaga yang masih segar-bugar memaki
dengan segenap kemarahannya. Bola matanya
membara bagai mata banteng luka.
"Kubunuh kau, Raja Gendeng!" hardik So-
naga dengan tangan terkepal keras. Giginya ge-
meretakan menahan kemarahan yang tak kuasa
dibendung.
"Hyaaa...."
Ekalaya memekik keras. Tubuhnya mence-
lat ke arah Jaka. Sonaga menyerang lawan den-
gan mengerahkan jurus 'Rambut Api Membakar
Ilalang'. Tangannya yang mengepal berubah men-
jadi merah seperti bara. Rambutnya yang keme-
rahan dikibas-kibas ke kanan dan kiri.
Pret! Pret!
Slats!
Sungguh aneh memang ilmu 'Rambut Api
Membakar Ilalang'. Dari sela-sela rambut panjang
Sonaga meluncur selarik sinar merah. Dan ketika
tangan Sonaga menghentak kuat, sinar merah
yang tak kalah dahsyatnya keluar dengan deras.
Kini tiga sinar kemerahan bersamaan meluruk ke
arah Raja Petir.
Menghadapi ilmu lawan. Raja Petir menco
ba meladeninya dengan tetap mengerahkan
'Pukulan Pengacau Arah'. Maka ketika telapak
Raja Petir yang terbuka menghentak keras, se-
rangkum angin bergulung kembali tercipta, melu-
ruk menyongsong kedatangan tiga larik sinar ke-
merahan hasil olahan ilmu 'Rambut Api Memba-
kar Ilalang'.
Brefs! Brefs!
Pret!
Tiga larik sinar kemerahan ciptaan Sonaga
terpental balik sesaat berbenturan dengan segu-
lungan angin berhawa panas bagai pusaran an-
gin. Sonaga sendiri harus berkali-kali berputaran
di udara menghindari sinar kemerahan miliknya
sendiri.
Jlig!
"Hmrh...!" Sonaga menggeram marah keti-
ka kakinya mendarat di bumi. Tatapannya masih
tetap membara tertuju ke wajah Jaka yang mem-
balasnya dengan cibiran dingin.
Sementara Mayang hanya mengulum se-
nyum melihat lelaki yang menjadi lawan kekasih-
nya mulai kehilangan kepercayaan diri. Kebera-
niannya sedikit demi sedikit luntur.
"Jangan kau teruskan, Sonaga. Biarkan
kali ini dia yang menang. Cukup Burita yang
menjadi korban!" cegah Ekalaya yang telah mam-
pu menguasai rasa nyeri pada sepasang kakinya.
"Hari ini Raja Petir bukan tandingan kita. Namun
lain kali..."
"Kau benar, Kakang Ekalaya. Lain kali kita
akan menguburnya!" sangkal Sonaga mantap.
Jaka tidak turut campur dalam pembica-
raan dua lawannya yang sudah kehilangan kebe-
ranian.
"Kenapa kalian tidak tobat saja. Bukankah
itu lebih baik daripada kalian menyimpan den-
dam percuma dan hanya akan merasakan kega-
galan kedua kalinya?" ejek Mayang dengan suara
yang dibuat-buat
Mata Ekalaya dan Sonaga mendelik seperti
hendak keluar. "Gadis Liar! Tak akan kami tobat
sebelum mampu melenyapkan nyawa kalian ber-
dua. Kami bersumpah untuk itu!" tegas ucapan
yang dikeluarkan Ekalaya.
Namun ketegasan ucapan itu hanya diba-
las dengan senyum ringan Jaka dan Mayang.
"Jadi sekarang kalian ingin pergi?" tanya
Jaka menggoda.
"Keparat!" maki Sonaga hendak kembali
menyerang.
"Jangan Sonaga!" larang Ekalaya, "Lebih
baik kita pergi sekarang. Ayo, bantu aku bangkit,"
pinta Ekalaya dengan suara yang sedikit menghi-
ba.
Sonaga tampak tertegun mendengar uca-
pan Ekalaya. Ya, Ekalaya yang mengalami luka
bakar pada sepasang kakinya memang membu-
tuhkan pertolongan dengan segera. Di samping
itu, Sonaga juga sadar dengan kemampuannya
saat ini, percuma saja dia terus nekat menggem-
pur Raja Petir yang jelas-jelas berilmu lebih tinggi.
"Baiklah, Kakang Ekalaya. Kita memang
harus pergi. Dan dikemudian hari kembali men-
cari Raja Gendeng itu!" tukas Sonaga dengan jari
telunjuk menuding wajah Jaka.
Jaka mencibir mendengar perkataan Sona-
ga.
"Ayo, Kakang! Hop!"
Tubuh Sonaga seketika bergerak membo-
pong tubuh orang tertua dari Tiga Pendeta Ram-
but Api. Hanya sesaat Jaka dan Mayang menyak-
sikan Sonaga berlari dengan membopong tubuh
Ekalaya. Saat selanjutnya, pasangan pendekar itu
sudah membalikkan tubuh mencari sosok bocah-
bocah bercawat yang telah mereka taklukkan.
"Ke mana perginya bocah-bocah itu, Ka-
kang?" tanya Mayang perlahan.
"Entahlah, Mayang. Namun menurutku le-
bih baik begitu. Dua bocah yang sudah hilang ke-
saktiannya itu pasti akan mengadu pada teman-
temannya. Dengan begitu, kita tak perlu susah-
susah mencari tujuh bocah sakti yang lain. Mere-
ka pasti akan mencari kita untuk membalas ke-
kalahan dua temannya," ujar Jaka.
"Kau benar, Kakang," tandas Mayang
membenarkan kesimpulan Jaka. "Sekarang se-
baiknya kita ke mana, Kakang?" tanya Mayang.
Tangan gadis itu bergelayut manja di punggung
Jaka.
"Perutku sudah berbunyi, Mayang. Kau
pasti tahu ke mana kita harus melangkah," jawab
Jaka akan pertanyaan kekasihnya.
"Ke kedai makan tentunya, Kakang. Bukan
ke sungai," seloroh Mayang.
"Bukankah itu rumah makan?" tunjuk Ja-
ka pada sebuah bangunan yang terletak delapan
tombak di hadapan mereka.
"Betul, Kakang. Tapi mana pemiliknya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Mayang, kaki
Jaka segera terayun menuju kedai. Tiba-tiba pe-
muda itu ingat pada lelaki yang telah disela-
matkannya dari serangan bocah kecil bercawat
hitam.
"Oh, terima kasih atas pertolonganmu. Raja
Petir. Terima kasih," sambut seorang lelaki berpa-
kaian hitam.
"Jangan membungkuk seperti itu, Kisa-
nak," cegah Jaka ketika lelaki berpakaian hitam
menjura hendak mencium lututnya.
Ketika lelaki berpakaian hitam menuruti
perintahnya, Jaka segera masuk ke dalam kedai
yang berantakan. Tampak dua orang gadis cantik
tengah merayapi jasad ayahnya.
"Sudahlah, Nini," hibur Mayang yang juga
ikut masuk ke dalam kedai. "Tak ada yang mam-
pu 'mencegah kedatangan takdir jika memang su-
dah waktunya datang. Ayahmu memang saat in-
ilah waktunya untuk menghadap Tuhan. Tuhan
telah berkehendak. Tak baik kalau kalian menye-
sali kehendak Tuhan dengan isak tangismu. Ik-
hlaskan saja kepergian orangtua mu, agar beliau
bisa tenang dalam perjalanannya menuju tempat
yang abadi. Kewajibanmu sekarang adalah men
gurus jasadnya sebagai tanda penghormatan dan
baktimu yang terakhir, di samping untuk me-
nyempurnakan keadaannya," Mayang berusaha
meringankan penderitaan anak-anak Ki Sandara.
"Kelak pasti kita akan menjumpai keadaan seperti
ini."
Yayuning dan Partining menghentikan isak
tangis mereka sesaat mendengar nasihat Mayang.
Kemudian tatapan mereka tertuju lurus ke wajah
Jaka, Mayang, dan lelaki berpakaian hitam.
"Kakak-kakak sekalian, apakah bersedia
membantu kami menyempurnakan jenazah
ayah?" tanya Yayuning dengan suara parau.
Jaka dan Mayang, dan lelaki berpakaian
hitam serentak menganggukkan kepala mengiya-
kan.
***
Sore yang datang membawa angin seolah
menebarkan kidung duka bagi anak-anak manu-
sia yang tengah menyempurnakan jasad-jasad tak
bernyawa. Yayuning dan Partuning kembali teri-
sak memandangi segundukan tanah yang me-
nimbuni jasad ayahnya.
"Ikhlaskan kepergiannya, Nini," kali ini Ja-
ka yang mengucapkan kata-kata itu.
TUJUH
Gora sangat murka mendapatkan keadaan
Bla dan Dbo yang sudah tidak lagi memiliki ke-
saktian. Pedang Iblis Neraka yang seharusnya te-
rus bersemayam di tubuh dua bocah bercawat hi-
tam itu kini telah lenyap. Padahal, di situlah letak
kekuatan bocah-bocah sakti bercawat
Dengan punahnya kesaktian Bla dan Dbo,
itu berarti ketajaman ilmu Sembilan Bocah Sakti
tidak lagi sempurna. Sebuah jurus pamungkas
yang hanya bisa dimainkan sembilan bocah seca-
ra serentak, terpaksa menjadi dangkal akibat hi-
langnya dua Pedang Iblis Neraka yang berada di
tubuh Dbo dan Bla.
"Kalian bodoh!" maki Gora pada Bla dan
Dbo yang menundukkan kepala dengan berurai
air mata.
"Kami berdua siap menerima hukuman,
Kakak Gora," ucap Bla takut-takut. Bocah berca-
wat hitam itu sedikit pun tidak berani mengang-
kat kepala.
"Menghukum kalian?! Cuh! Percuma saja.
Tak ada keuntungan yang kita dapat dari huku-
man yang kalian jalani. Aku hanya menyesali hi-
langnya jurus pamungkas 'Pedang Iblis Jagat Se-
jati' yang telah lama kita kuasai. Kini jurus itu
harus lenyap begitu saja! Kalian tahu apa arti dari
kehilangan itu?!" sentak Gora dengan pertanyaan
yang menggelegar.
Ger dan Jagu, bocah bercawat merah,
Smas, dan Sedu yang bercawat biru. Dan Jlak
serta Watu yang bercawat hijau tidak berani ber-
bicara. Enam bocah yang masih memiliki Pedang
Iblis Neraka di dalam tubuh mereka hanya bisa
menundukkan kepala. Seorang lain tak ada yang
berani menyela ucapan bocah bercawat putih
mengkilat yang menjadi pimpinan mereka.
"Aku menjadi ragu apakah kita akan ber-
hasil menguasai jagat persilatan tanpa adanya ju-
rus 'Pedang Iblis Jagat Sejati'. Duh! Kenapa jadi
begini. Rasanya sia-sia saja kemunculan kita dari
tempat pertapaan," lanjut Gora. Bocah bercawat
putih mengkilat itu terduduk di sebuah batu se-
besar kepala kambing.
"Kita belum gagal untuk dapat menguasai
jagat persilatan ini, Kakak Gora," ucap Ger si bo-
cah bercawat merah hati-hati. "Meski tanpa ilmu
'Pedang Iblis Jagat Sejati', bukankah kita yang tu-
juh orang masih memiliki kesaktian yang bisa di-
andalkan. Kalau kita masih tetap bersatu, tokoh
sakti mana pun, kurasa dapat kita atasi," lanjut
Ger dengan bahasa yang disusun sebagus mung-
kin.
Ucapan bocah bercawat merah itu ternyata
Cukup berpengaruh pada Gora. Terbukti, bocah
bercawat putih mengkilat itu mengangkat kepa-
lanya dan menatap wajah Ger dengan tatapan
yang membersitkan sebuah harapan.
"Kau benar, Ger," ucap Gora pelan, "Kita
tidak boleh menyerah! Biar bagaimanapun kita
masih memiliki banyak peluang untuk menguasai
jagat persilatan ini," lanjut Gora dengan penuh
semangat
"Aku setuju, Kakak Gora!" sambut Jlak si
bocah bercawat hijau. Tangannya tiba-tiba te-
rangkat dengan kepalan yang digerakkan meninju
angin. "Kita lumat Raja Petir yang telah menga-
lahkan Bla dan Dbo!" lanjut Jlak lantang.
"Ya. Raja Petir memang harus kita binasa-
kan. Dialah penghalang utama kita!" timpal Sedu
berapi-api.
"Lalu di mana kita harus mencari Raja Pe-
tir?" tanya Jagu hati-hati. Ucapannya yang pelan
menandakan dia takut Gora akan menyalahkan
pertanyaannya.
"Kita pancing dia dengan mengacaukan
perguruan-perguruan silat aliran putih," jawab
Gora tegas.
"Setujuuu...!" teriak Sedu dan Watu bersa-
maan.
"Sekarang juga kita bergerak!" putus bocah
bercawat putih mengkilat itu. "Setujuuu...!
Ayooo!"
***
Bangunan Perguruan Tombak Perak yang
terletak di Desa Watu Kambang tampak berdiri
dengan megahnya. Bangunannya yang kokoh me-
nampakkan benteng pertahanan pada bagian
mukanya, menjadikan Perguruan Tombak Perak
begitu angker dilihat. Sinar matahari pagi yang
menyoroti bangunan megah itu seolah hendak
memberitahukan keadaan perguruan itu.
Namun, keangkeran Perguruan Tombak
Perak hanya dipandang sebelah mata oleh sembi-
lan bocah bercawat yang tak lain Sembilan Bocah
Sakti. Gora yang memimpin delapan rekannya
melangkah lebih dulu. Ketika kakinya selangkah
lagi mencapai gerbang Perguruan Tombak Perak,
seorang lelaki tinggi besar yang menggenggam se-
batang tombak putih menghadangnya.
"Hendak ke mana kalian?" tanya lelaki
tinggi besar berkumis melintang.
Gora dan kawan-kawannya tidak menja-
wab pertanyaan itu. Sembilan Bocah Sakti hanya
menatap wajah lelaki tinggi besar dengan tidak
berkedip.
"Hayo pergi sana! Kalau mau bermain-main
jangan di sini!" usir penjaga pintu gerbang itu se-
raya mendorong tubuh Gora yang berada di de-
pan dengan bagian tengah tombaknya.
"Hmrh...!"
Gora mendengus jengkel mendapat sambu-
tan demikian. Dengan cepat tangannya mencekal
batang tombak kuat-kuat
"Hei, hei! Jangan main-main dengan senja-
ta itu," bentak lelaki tinggi besar.
Bettt!
Tanpa mengomentari ucapan lelaki itu, Go-
ra segera menarik pegangannya pada batang tom-
bak.
Karuan saja senjata itu terlepas dari tan-
gan lelaki tinggi besar. Lelaki itu terkejut bukan
main merasakan tenaga kuat yang dimiliki bocah
kecil di hadapannya.
"Cepat panggil guru besarmu!" bentak Gora
dengan mengerahkan tenaga dalam. Suaranya
terdengar menggelegar, membuat penjaga yang
lain berhamburan mendekati penjaga berkumis
melintang.
"Cepat kataku!" bentak Gora lagi.
"Heh, Bocah! Mau apa kau bertemu Ki Se-
tanureja? Pulang saja kalian! Pulang!" ucap lelaki
bertubuh kerempeng yang baru datang.
"Keparat kau, Cacing Kurus! Hih!"
Singngng!
"Aaa...!"
Penjaga pintu gerbang Perguruan Tombak
Perak itu memekik histeris. Lemparan tombak
yang dilakukan Gora menancap tepat di tenggo-
rokannya. Lelaki itu sesaat menggelepar di tanah.
Dan nyawanya kemudian terbang meninggalkan
raga.
Menyaksikan temannya tewas dengan
mengerikan, empat penjaga pintu gerbang yang
lain serta-merta bergerak hendak menangkap bo-
cah bercawat putih mengkilat itu. Namun belum
lagi maksud penjaga-penjaga itu tercapai, Ger,
Jlak, Smas, dan Watu sudah bergerak cepat me-
nyerang mereka.
"Hiaaa...! Hiaaa...!"
Crat! Crat!
"Haiiit! Hait!"
Crets! Brats!
Empat lengkingan keras seketika terdengar
berturut-turut. Diiringi dengan bertumbangannya
tubuh-tubuh penjaga pintu gerbang Perguruan
Tombak Perak dengan luka di leher yang mengu-
curkan darah segar.
Lengking kematian mereka rupanya me-
mancing orang-orang yang berada di dalam ban-
gunan perguruan. Beberapa lelaki berpakaian pu-
tih tampak melesat dari dalam perguruan.
"Heh?!"
Terkejut lima lelaki berpakaian putih yang
tak lain murid-murid kelas dua. Mereka tidak
percaya bocah-bocah kecil itu mampu membina-
sakan kawan-kawan mereka yang kepandaiannya
tidak bisa diragukan lagi.
"Kaliankah yang telah melakukan peker-
jaan ini?" tanya salah seorang murid Perguruan
Tombak Perak.
"Ya. Kami," sahut Gora tegas.
"Hmmmh!" lelaki bermata sipit yang tadi
melempar pertanyaan mendengus marah. "Kalian
pasti bocah-bocah siluman!" sentak lelaki itu
mengejutkan kawan-kawannya.
"Hmh!" Gora ikut mendengus, "Cepat suruh
keluar Tua Bangka Setanureja!" pinta Gora den-
gan lancang.
"Bocah Laknat! Mau apa kau bertemu guru
kami?" tanya murid Perguruan Tombak Perak
yang bermata belo.
"Aku ingin mencabik-cabik wajahnya, Ku-
nyuk!" jawab Gora, membuat hati murid-murid
Perguruan Tombak Perak terbakar kemarahan
yang tak tertahan.
Murid Perguruan Tombak Perak yang dis-
ebut kunyuk oleh Gora segera melayangkan pu-
kulan dari atas ke bawah, mencecar dagu bocah
cilik bercawat putih mengkilat itu.
Bettt!
"Huh!" hanya dengan memiringkan tubuh-
nya sedikit, pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu
berhasil membuat serangan murid Perguruan
Tombak Perak meninju angin.
Bahkan sebaliknya, serangan balasan Gora
yang tak kalah cepatnya berhasil menemui sasa-
ran.
"Hih!"
Crattt!
"Aaakh!"
Lelaki bermata belo itu seketika memekik
keras. Tubuh Gora yang meletik bagai seekor
udang telah mengarahkan cakarannya ke leher
yang langsung koyak mengucurkan darah.
Brukkk!
Tubuh lelaki bermata belo langsung am-
bruk ke tanah, menggelepar sebentar dan kemu-
dian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.
Murid-murid Perguruan Tombak Perak ten-
tu saja tidak menyangka kejadiannya akan ber-
langsung begitu cepat. Enam orang teman mereka
telah menggeletak menjadi mayat
"Ayo, kalian maju bersamaan! Biar cepat
tubuh kalian jadi bangkai!" tukas Gora keras.
Empat murid Perguruan Tombak Perak tak
lagi mampu membendung kemarahannya. Seketi-
ka itu juga tubuh mereka bergerak memberikan
serangan ke arah bocah bercawat putih mengkilat
"Hyaaa...! Heaaa...!"
"Haiiit! Hiaaa...!"
Gora si pemimpin Sembilan Bocah Sakti ti-
dak sendirian menyambut serangan empat murid
Perguruan Tombak Perak. Ger, Smas, dan Jlak
juga mengayunkan cakarannya memainkan jurus
'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.
"Heaaa...!"
"Hiaaat..!"
"Berhenti!"
Sebuah bentakan menggelegar berkekua-
tan tenaga dalam seketika terdengar. Tampak se-
sosok tubuh berpakaian putih melesat keluar dari
dalam bangunan perguruan.
Empat dari Sembilan Bocah Sakti yang
bermaksud menghabisi lawan-lawannya segera
menarik mundur langkah mereka. Tatapan Sem-
bilan Bocah Sakti kini tertuju pada sosok lelaki
tua yang mereka perkirakan Ketua Perguruan
Tombak Perak.
"Tua Bangka! Apakah kau yang menjabat
sebagai pimpinan perguruan ini?!" tanya Gora
dengan suara membentak.
Lelaki berusia enam puluhan yang berwa-
jah lonjong, berjenggot dan berambut putih hanya
memandangi wajah Gora dengan penuh selidik.
Tangannya kemudian diangkat dan mengelus-elus
kumis lebatnya yang berwarna hitam pekat.
Cukup lama juga lelaki berpakaian putih
itu bersikap demikian. "Ya. Namaku Ki Setanure-
ja. Akulah Pemimpin Perguruan Tombak Perak,"
jawab lelaki berkumis hitam dengan suara dite-
kan hingga terdengar berwibawa.
"Bagus!" sambut bocah bercawat putih
mengkilat menimpali ucapan Ki Setanureja. "Ka-
lau begitu, sekarang saja kita mulai pembantaian
ini!" lanjut Gora pada enam rekannya yang masih
memiliki kesaktian. Sedangkan Bla dan Dbo se-
lamanya harus jadi penonton.
"Hiaaat..!" Gora sudah bersiap dengan ku-
da-kudanya yang terlihat begitu lucu, seperti ku-
da-kuda tak sempurna seorang bocah tujuh ta-
hunan.
"Tunggu!" Ki Setanureja mengangkat tela-
pak tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Hrghg...!" Gora mendengus melihat tinda-
kan Pimpinan Perguruan Tombak Perak.
"Aku tidak tahu siapa kalian. Dan rasanya
aku juga tidak pernah bentrok, apalagi berurusan
dengan kalian. Namun, kenapa kalian tiba-tiba
membuat kekacauan di perguruan ini? Enam
orang muridku telah pula binasa karena ulah ka-
lian. Apa salah mereka?" tanya Ki Setanureja
dengan ketenangannya yang sungguh menga-
gumkan. Padahal, di balik dadanya ada gemuruh
kemarahan akibat kelakuan bocah-bocah yang
sama sekali tidak dikenalnya itu.
"Tua Bangka!" sentak Gora kurang ajar,
"Ketahuilah, kita memang tidak pernah bentrok.
Tidak pernah berurusan satu sama lain. Kedatan-
ganku ke perguruan, ini semata hanya untuk
menantangmu mengadu kepandaian. Tapi, murid-
muridmu telah membuat jengkel dengan tidak
mau memanggilkanmu, Tua Bangka. Mungkin
murid-muridmu tahu kalau pimpinannya tak be-
cus apa-apa," lanjut Gora dengan penghinaan
yang cukup pedas.
"Hmmm...," Ki Setanureja hanya membalas
penghinaan bocah bercawat putih mengkilat itu
dengan dengusan tertahan.
"Kau berani menghadapi kami Sembilan
Bocah Sakti, Tua Bangka?!" tanya Gora memben-
tak.
"Untuk apa kalian mengajakku mengadu
kepandaian, Bocah-bocah Edan?!" suara Pimpi-
nan Perguruan Tombak Perak mulai meninggi. Je-
las, lelaki tua itu sudah tidak kuasa menahan ke-
jengkelannya.
"Untuk apa? Sudah lama kami bercita-cita
ingin menguasai jagat persilatan ini. Dan yang
pertama-tama kami basmi adalah tokoh-tokoh
persilatan golongan putih, termasuk kau yang
merasa berada pada golongan itu! Di samping itu,
kami juga ingin membuat kekacauan untuk me-
mancing kemunculan Raja Petir yang telah me-
lumpuhkan ilmu kedua rekanku," lanjut Gora.
Jari telunjuknya menuding wajah Bla dan Dbo.
Kedua bocah bercawat hitam itu tampak menun-
dukkan kepala.
"Hmmm...," Ki Setanureja kembali bergu-
mam. "Kalau kalian punya urusan dengan Raja
Petir, kenapa harus membuat kekacauan di sini?"
"Jangan banyak bicara, Tua Bangka!" har-
dik Gora keras. "Kalau kau ingin mati terhormat
sebagai seorang pendekar pembela kebenaran,
ayo kita mulai pertarungan ini! Ayo!"
Gora mengangkat sebelah tangannya
memberi isyarat pada enam temannya untuk se-
gera menyerang murid-murid Perguruan Tombak
Perak, yang kini sudah berkumpul di pelataran
perguruan dengan tombak terhunus.
"Ayooo...!"
"Hiaaattt...!"
"Haiiit...!"
Tubuh enam bocah sakti anak buah Gora
merangsek maju menyerang murid-murid Pergu-
ruan Tombak Perak. Sementara Gora sendiri ber-
hadapan dengan sang Pemimpin perguruan.
"Ajalmu akan datang sekarang, Ki!" sentak
Gora takabur.
DELAPAN
Suasana di pelataran Perguruan Tombak
Perak sangat ramai. Suara teriakan garang dan
pekik kematian terdengar silih berganti. Murid-
murid Perguruan Tombak Perak terus maju menyerang tak henti-henti bagai gelombang lautan.
Tanpa rasa gentar sedikit pun mereka terus me-
nusukkan tombak di tangannya ke bagian yang
mematikan pada tubuh bocah-bocah bercawat
Namun, bocah-bocah bercawat itu bagai
malaikat pencabut nyawa. Setiap kali murid-
murid Perguruan Tombak Perak ingin melu-
kainya, tangan-tangan bocah bercawat bergerak
memainkan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti',
hingga para penyerangnya tak berdaya. Tubuh
mereka bertumbangan dengan leher koyak men-
gucurkan darah.
"Bocah Setan!" maki seorang murid Pergu-
ruan Tombak Perak sambil menusukkan tombak-
nya ke leher bocah bercawat merah.
Wuttt!
"Hi hi hi...!" Ger tertawa melihat serangan
lawan. Tubuhnya yang kecil meletik ke atas dan
tahu-tahu sudah berdiri di mata tombak lawan.
"Cara menyerangmu salah, Tua Bangka!"
ejek Ger. "Yang benar begini. Hiaaa...!"
Tubuh Ger mencelat dari mata tombak
yang dipijaknya. Dan dengan cepat tangannya
bergerak ke leher lawan.
"Hih!"
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Jerit menyayat hati langsung terdengar, se-
saat sepasang tangan Ger yang kukuh runcing
membabat leher lawan dua kali berturut-turut
Tubuh murid Perguruan Tombak Perak itu
langsung ambruk kehilangan nyawa. Leher kiri
dan kanannya koyak tersambar kuku-kuku runc-
ing Ger.
Sementara itu, pertarungan antara Ki Se-
tanureja yang menghadapi pimpinan Sembilan
Bocah Sakti mulai tampak tidak seimbang. Pim-
pinan Perguruan Tombak Perak berkali-kali men-
galami kesulitan membaca gerakan aneh lawan
yang selalu berubah-ubah. Gerakan Gora yang
memainkan ilmu 'Bocah Sakti Menari di Ujung
Tanduk' membuat Ki Setanureja kehilangan cara
untuk mengibanginya.
"Awas, Tua Bangka! Hiaaa...!"
Brettt!
"Ekh!"
Ki Setanureja tersentak kaget melihat ke-
cepatan gerak serangan yang dilancarkan Gora.
Padahal, dia sudah menghindar dengan cepat.
Namun, tak urung jubahnya koyak juga tersam-
bar kuku-kuku runcing lawan.
"Cabut senjatamu kalau tak ingin mati ko-
nyol!" tantang Gora sombong.
"Hmh!"
Ki Setanureja mendengus keras. Kemu-
dian, kedua tangannya meloloskan sepasang
tombak pendek yang terbuat dari perak. Tombak-
tombak itu diambilnya dari sela pinggang yang di-
lilit sabuk warna biru tua.
"Bagus!" ejek Gora melihat lawannya melo-
loskan senjata. "Sekarang, jaga seranganku dalam
jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' yang berga
bung dengan jurus 'Bocah Sakti Menari di Ujung
Tanduk' Hiaaattt...!"
Tubuh Gora kembali melesat ringan den-
gan melakukan gerakan aneh seperti bocah me-
nari. Sementara tangannya yang menegang kaku
berkelebat cepat ke arah dada dan kepala Pimpi-
nan Perguruan Tombak Perak.
Wuttt!
Wuttt!
"Hops!"
Ki Setanureja melentingkan tubuhnya
menghindari serangan lawan. Lelaki berumur
enam puluh tahun itu berputaran dua kali di
udara. Namun, gerakan itulah yang memang di-
nanti-nantikan Gora.
Pada saat Ki Setanureja berputaran di uda-
ra, seperti elang menyambar mangsa, tubuh Gora
berkelebat dan segera melancarkan tendangan lu-
rus ke iga lawan.
"Haiiittt...!"
Blagkh!
"Uhugkh!"
Tubuh Ki Setanureja tergempur mundur.
Sebisanya lelaki tua itu berusaha mematahkan
daya dorong tendangan Gora.
Jligh!
"Akh!"
Tubuh Pimpinan Perguruan Tombak Perak
limbung ketika mendaratkan kakinya di tanah.
Sesak di dadanya yang membuat Ki Setanureja
kehilangan keseimbangan.
Hampir saja tubuh Ki Setanureja ambruk
di tanah, kalau saja dari luar pelataran Perguruan
Tombak Perak tidak melesat sesosok bayangan hi-
jau yang langsung menyangga tubuhnya.
"Ki Rayung? Oh.... Kedatanganmu tepat
sekali," ucap Ki Setanureja, ketika menyaksikan
kedatangan lelaki berpakaian hijau yang dikenal-
nya sebagai ketua Perguruan Gagak Putih.
"Aku memang tengah mencari mereka, Ki
Setanu. Hampir saja bocah-bocah itu mene-
waskan Ki Wikalga, kalau saja Raja Petir tidak da-
tang menolong," jelas Ki Rayung Sadawa.
"Hi hi hi! Bagus! Jadi, kau adalah sahabat
Ki Wikalga. Kedatanganmu hanya mengantar
nyawa saja," selak Gora sombong.
"Bocah Laknat!" maki Ki Rayung Sadawa,
"Kau pikir cuma dirimu yang memiliki kesaktian?
Cuh! Secuil pun aku tidak gentar menghadapi-
mu."
Srattt!
Ki Rayung Sadawa segera meloloskan sen-
jatanya, sebilah pedang yang memancarkan sinar
kebiruan. Sengaja Ki Rayung Sadawa meloloskan
pedangnya, karena dia tahu kehebatan ilmu bo-
cah cilik yang hampir menewaskan Resi Wikalga
dan Ki Setanureja.
"Hi hi hi...!" Gora terkikik menyaksikan la-
wannya meloloskan senjata. "Ayo, serang aku!"
ucapnya meledek.
"Hhh...!"
Ki Rayung Sadawa mendengus. Gengga
man tangannya pada hulu pedang semakin dipe-
rerat. Tampaknya Ketua Perguruan Gagak Putih
itu tengah mengerahkan tenaga dalam.
"Hati-hati, Ki Rayung," ujar Ki Setanureja.
"Hiaaattt...!"
Tanpa mempedulikan nasihat Ki Setanure-
ja, tubuh Ki Rayung Sadawa melesat dengan pe-
dang memendarkan sinar kebiruan. Pedang itu
terayun-ayun di atas kepala memainkan jurus
'Pedang Menyembelih Awan'.
Wungngng!
Wungngng!
Bunyi mendengung seperti suara ratusan
lebah marah mengiringi ayunan pedang Ki
Rayung Sadawa yang menebas tubuh lawan.
Tetapi bocah bercawat yang di hadapinya
bukanlah bocah yang sewajarnya. Dengan kesak-
tiannya, Gora bergerak-gerak lincah menghindari
sambaran pedang Ki Rayung Sadawa. Bahkan,
dengan gerakannya yang aneh dan tak terbaca
lawan, Gora mengerahkan serangan balasan den-
gan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.
"Haiiittt...!"
Wrrrttt! Wrrrttt!
"Hups!"
Tubuh Ki Rayung Sadawa melejit-lejit rin-
gan menghindari serangan ganas Gora yang men-
gandung hawa panas menyengat. Namun, Gora
adalah bocah sakti yang licik dan berhati iblis.
Dengan menggabungkan jurus 'Sepasang Tangan
Bocah Sakti' dan jurus 'Bocah Sakti Menari di
Ujung Tanduk' dia terus memburu tubuh Ki
Rayung Sadawa.
Wrttt! Wrttt!
Tlangngng!
"Heh?!" Ki Rayung Sadawa tersentak men-
dapat kenyataan senjata yang begitu diandalkan-
nya tidak mampu menebas putus tangan bocah
kecil itu. Padahal, pohon besar pun akan tum-
bang jika tertebas senjatanya yang bermain dalam
jurus 'Pedang Menyembelih Awan'. Tapi kenya-
taannya...?
Tubuh Ki Rayung Sadawa malah terhuyung
ke belakang empat langkah ketika benturan keras
itu terjadi. Sedangkan Gora yang memapaki teba-
san pedangnya hanya mundur satu langkah. Ke-
nyataan itu menunjukkan tenaga dalam bocah
bercawat putih mengkilat itu lebih tinggi daripada
tenaga dalam Ki Rayung Sadawa.
"Sekarang giliranku yang memainkan sen-
jata!" ucap Gora tegas.
Ki Rayung Sadawa bingung dengan ucapan
lawannya. Bocah itu jelas-jelas tidak memegang
apa-apa. Tetapi ketika sebilah senjata keluar dari
kepala Gora, barulah Ki Rayung Sadawa sadar
kalau bocah yang menjadi lawannya bukanlah
sembarang bocah. Rayung Sadawa menduga la-
wannya adalah jelmaan dari seorang tokoh sakti
dari golongan sesat.
Suasana menjadi semakin panas saat sen-
jata Gora terlihat utuh. Pedang yang panjangnya
sama dengan tubuh pemiliknya itu memendarkan
sinar kemerahan.
Sementara pada pertarungan lain, murid-
murid Perguruan Tombak Perak yang kini men-
dapat bantuan dari empat murid utama Pergu-
ruan Gagak Putih nampak berlangsung seru. Na-
mun belum terlihat mereka mampu mendesak
enam bocah bercawat yang menjadi lawan mere-
ka. Malah kebalikan dari itu mulai nampak sete-
lah tumbangnya murid-murid Perguruan Tombak
Perak.
"Jagalah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka
Berkabung'-ku, Tua Bangka!" sentak Gora marah.
Pedangnya yang memendarkan sinar kemerahan
terangkat ke atas kepala.
"Kaingngng...!"
Gora memekik keras. Suaranya bagai peki-
kan seekor serigala yang terjepit. Ketika pekikan
itu lenyap, tubuh kecilnya melesat ke arah Ki
Rayung Sadawa yang sudah siap menghadapi se-
gala kemungkinan.
Wrrr...!
Suara angin menderu terdengar mengiringi
tibanya serangan Gora.
Wungngng...!
"Heh?! Hops!"
Ki Rayung Sadawa menghentakkan ka-
kinya kuat-kuat ke tanah. Seketika itu juga tu-
buhnya mencelat ke belakang menghindari teba-
san pedang lawan yang berhawa panas menyen-
gat
"Hi hi hi! Menghindarlah sebisamu, Tua
Bangka!" ucap Gora sambil terus mengejar tubuh
lawan,
"Kaingngng...!"
Wungngng...!
Wesss!
"Heh?!"
Kali ini Gora yang tersentak kaget. Sebuah
serangan tak terduga tiba-tiba meluncur datang.
Secepatnya Gora melentingkan tubuh ke kanan
beberapa kali, menghindari terjangan angin panas
yang bergulung bagai pusaran angin.
"Kadal Buduk!" maki Gora jengkel.
Tatapan mata Gora tertuju pada wajah seo-
rang lelaki muda yang berdiri di sisi kiri Ki
Rayung Sadawa. Lelaki tampan bertubuh kekar
itu mengenakan pakaian kuning keemasan. Di
sebelahnya berdiri seorang gadis cantik berambut
kepang. Siapa lagi sepasang tokoh itu kalau bu-
kan Raja Petir dan kekasihnya yang berjuluk De-
wi Payung Emas.
"Selamat berjumpa denganku, Bocah Se-
sat," ucap Jaka menimpali kemarahan Gora yang
terpancar dari bola matanya yang membara.
"Kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya
Gora dengan kemarahan yang ditahan.
"Kau takut dengan julukanku?" tanya Raja
Petir menggoda.
"Cuh!" Gora membuang ludah dengan ka-
sar menanggapi pertanyaan Raja Petir. "Justru
aku ingin mengubur nama harummu sekarang
juga, Raja Gila!" lanjut Gora memaki.
Raja Petir mencibir mendengar ucapan Go-
ra, "Kalau begitu, jangan sembunyikan pedang
dalam tubuhmu, Bocah Setan!" tambah Raja Petir
memancing kemarahan Gora.
"Kau tidak akan mampu menandingi Pe-
dang Iblis Neraka milikku. Raja Gila!" balas Gora
garang.
"Pasti aku mampu, Bocah Ingusan. Bu-
kankah senjatamu sama dengan yang dimiliki bo-
cah-bocah itu?" tuding Jaka pada Bla dan Dbo
yang sudah dikalahkankannya.
"Huh! Tak akan kejadian itu terulang lagi,"
sangkal Gora. "Mari kita buktikan sekarang," tan-
tangnya kemudian sambil bersiap-siap memulai
pertarungan.
Jaka tidak menimpali ucapan Gora. Tata-
pan matanya kini tertuju kepada Mayang dan Ki
Rayung Sadawa yang gembira atas kedatangan
Raja Petir, dan Ki Setanureja yang kini sudah
bangkit untuk mengusir Sembilan Bocah Sakti
yang bercita-cita menguasai jagat persilatan.
Raja Petir memejamkan kedua matanya.
Pemuda itu tampaknya tengah memusatkan selu-
ruh kepekaan batinnya.
"Kurasakan kekuatan bocah-bocah itu ber-
tumpu pada bocah bercawat putih mengkilat itu.
Kalau dia sudah dilumpuhkan, aku yakin yang
lainnya akan mudah diringkus," gumam Raja Pe-
tir mengambil kesimpulan. Matanya kembali ter-
buka. Ditatapnya wajah Ki Setanureja, Ki Rayung
Sadawa, dan Mayang.
"Kalian hadapilah bocah-bocah itu," pinta
Raja Petir kemudian. Biar aku yang menghadapi
bocah bercawat putih itu," lanjutnya seraya me-
nunjuk wajah Gora.
"Baik, Raja Petir," sambut Ki Rayung Sa-
dawa dan Ki Setanureja bersamaan.
Raja Petir segera beringsut untuk mengha-
dapi Gora. Sementara Ki Setanureja. Ki Rayung
Sadawa, dan Mayang sudah bergerak ke arena
pertarungan murid-murid Perguruan Tombak Pe-
rak yang tengah menghadapi enam bocah sakti
anak buah Gora.
"Hiaaat..!"
"Hiyaaa...!"
***
Perguruan Tombak Perak bagai medan per-
tarungan. Belasan sosok tubuh saling mencelat
dengan serangan-serangan yang didorong kemur-
kaan hati. Iblis-iblis memang telah merasuki hati
mereka. Nafsu saling membunuh terumbar. Tan-
pa bisa dicegah oleh akal sehat untuk dapat sal-
ing memahami, memaklumi, dan menyayangi an-
tara sesama mahluk ciptaan Tuhan. Itulah contoh
segelintir manusia yang memiliki nafsu, yang bisa
menjadi teman dan lawan.
Seorang pemuda digdaya yang selalu berpi-
jak pada kebenaran dan membela orang-orang
lemah harus berhadapan dengan manusia-
manusia berwatak iblis. Orang-orang yang sesungguhnya tidak pantas menghuni bumi yang
penuh keindahan dan kedamaian.
"Raja Petir!" panggil Gora keras, "Hari ini
nama harummu akan kukubur. Bersiaplah
menghadapi jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sak-
ti'!"
"Lakukanlah!" sambut Jaka seraya mem-
persiapkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hiaaat..!"
Wrrrt...!
"Ops!"
Tubuh Jaka melenting di udara menghin-
dari serangan Gora. Tapi, bocah bercawat putih
mengkilat itu bagai terbang saja. Tubuhnya terus
mengejar ke mana pun sosok Raja Petir melejit
"Haiiittt...!"
Wurttt...!
Trakkk!
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Gora dan Jaka tampak terkejut ketika tan-
gan mereka beradu di udara. Tubuh Jaka tergem-
pur dua langkah ke belakang. Begitu juga tubuh
Gora. Jelas, bisa disimpulkan kalau keduanya
memiliki tenaga dalam yang seimbang.
"Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk!" pe-
kik Gora menyebutkan jurus serangannya. Tu-
buhnya kembali melesat ke udara dengan gera-
kan-gerakan aneh.
Jaka segera menciptakan 'Aji Bayang-
Bayang' untuk mengetahui sejauh mana ilmu
yang disuguhkan Gora. Wujudnya kini menjadi
lima kali lipat banyaknya.
"Haaattt...!"
Wurt!
"Eh?"
Jaka melentingkan tubuhnya yang asli ke-
tika sejengkal lagi sambaran tangan Gora yang
berkuku runcing mencakar lehernya. Gora ter-
nyata mampu membaca kelemahan 'Aji Bayang-
Bayang' Jaka.
Sebaliknya, Gora bertambah marah ketika
serangan-serangannya berhasil digagalkan Jaka.
Maka seketika itu juga kakinya diangkat ke bela-
kang dua langkah. Matanya kemudian terpejam.
Gora tengah mengambil senjata dari dalam tu-
buhnya. Senjata yang bernama Pedang Iblis Nera-
ka itu disimpannya di dalam tubuh. Dan ketika
Pedang Iblis Neraka muncul dari kepalanya, Gora
segera mengambilnya. Pedang itu memancarkan
sinar kemerahan.
"Jaga ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka
Berkabung' tingkat terakhir ini, Jaka!" sentak Go-
ra kemudian. "Ilmuku inilah yang akan mengubur
kegagahanmu selama ini," lanjutnya.
Ada getar aneh dirasakan Jaka sesaat me-
nyaksikan perbawa dari Pedang Iblis Neraka. Se-
buah pedang pusaka yang mampu menyebarkan
hawa panas menyengat dan memiliki daya sedot
yang cukup kuat Jaka terpaksa mengerahkan te-
naga dalamnya untuk menahan daya sedot Pe-
dang Iblis Neraka.
"Haruskah kukeluarkan Pedang Petir?"
gumam Jaka dalam hati ketika dirasakan hawa
panas dan daya sedot senjata lawan semakin kuat
mempengaruhi dirinya.
Ketika keputusan bulat telah diambil dan
setelah mempertimbangkan keselamatan kawan-
kawannya, tangan Jaka bergerak meraih hulu Pe-
dang Petir.
Jaka segera mengangkat hulu pedang yang
telah dicekalnya, dan membawa naik ke atas
sampai melewati kepala. Seketika nampak suatu
keanehan. Wujud pedang Jaka memendarkan si-
nar kemerahan. Pada saat itu pula langit di atas
Perguruan Tombak Perak menjadi gelap. Suara
gemuruh terdengar dari kejauhan, dan petir ber-
kelebat menyambar-nyambar tubuh dan batang
Pedang Petir Jaka. Pertarungan antara orang-
orang Perguruan Tombak Perak yang mendapat
bantuan dari Mayang sesaat terhenti.
Glarrr! Glarrr!
Langit kembali cerah ketika petir yang me-
nyambar raib begitu saja. Kini Raja Petir menjel-
ma menjadi sosok yang berkekuatan sempurna.
Sebuah permainan pedang maut akan dikerah-
kannya dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyam-
bar'.
"Hiaaattt...!" Gora si Bocah Sakti segera
berkelebat menebaskan senjatanya ke arah Raja
Petir yang sudah siap siaga.
Wungngng!
Twangngng!
Glaaarrr!
Bunyi ledakan keras pun membahana keti-
ka dua senjata pusaka itu saling beradu di udara.
Sosok Gora terpental dua tombak, sementara Ja-
ka hanya setengahnya.
Namun, akibat benturan itu orang-orang
yang berada di sekitar tempat pertarungan men-
galami nasib yang mengerikan. Mereka yang tak
kuat menahan bunyi ledakan bergelimpangan di
tanah dengan darah keluar dari telinga dan hi-
dung. Kenyataan itu juga dialami oleh Ki Setanu-
reja, Ki Rayung Sadawa, dan Mayang. Namun ka-
rena tenaga dalam mereka lebih baik, mereka
mampu menguasai keadaan. Begitu pula dengan
enam bocah sakti yang menjadi lawan-lawan me-
reka.
"Huaaa...!"
Raja Petir tiba-tiba berteriak keras. Tubuh-
nya melesat bagai kilat dengan Pedang Petir ber-
kelebat mencecar tubuh Gora yang terhuyung.
Trangngng!
Blugkh!
"Aaa...."
Dengan senjatanya, Gora memang mampu
membendung serangan Jaka yang mengerahkan
jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Namun se-
buah tendangan menggeledek yang kembali dike-
rahkan Jaka tidak dapat dielakkan Gora. Da-
danya terpaksa harus menerima hantaman keras
kaki Jaka.
"Hoeeek..!"
Darah kental kehitaman muncrat dari mu-
lut Gora. Bocah bercawat putih mengkilat yang
menjadi pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu
menggelepar di tanah. Hanya sesaat saja Gora
bergelut dengan napas terakhirnya, untuk kemu-
dian terbujur kaku tanpa nyawa.
"Heh?!" Jaka terkejut menyaksikan sosok
Gora yang sudah tak bernyawa. Sosok bocah ber-
cawat putih itu berubah menjadi kakek bertubuh
kerdil. Dan, Jaka makin terpaku ketika menda-
patkan kenyataan delapan bocah bercawat yang
lain bernasib serupa. Tubuh mereka terbujur ka-
ku tanpa nyawa dengan sosok yang berubah men-
jadi kakek-kakek kerdil.
"Hmmm.... Rupanya pusat kekuatan ilmu
'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' berada
pada Gora. Jika dia mati, maka semuanya akan
mengalami nasib serupa," gumam Jaka.
"Kakek Kerdil Penguasa Istana Neraka?!"
ucap Ki Setanureja ketika mengenali sosok Sem-
bilan Bocah Sakti yang telah berubah wujud.
"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Raja Petir
seraya mendekati Pimpinan Perguruan Tombak
Perak.
"Ya. Pada waktu aku baru mulai mempela-
jari ilmu kanuragan, kira-kira tiga puluh tahun
yang silam, kakek-kakek ini pernah menguasai
rimba persilatan. Namun tiba-tiba mereka meng-
hilang begitu saja. Dan baru sekarang ini mereka
muncul kembali," jelas Ki Setanureja.
"Aneh," gumam Jaka pelan.
"Biarlah keanehan itu raib bersama kema-
tian mereka, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa.
"Yang jelas, rimba persilatan kini tidak jadi bergo-
lak. Semua karena kehebatanmu. Raja Petir,"
sambut Ki Rayung Sadawa.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Ketua
Perguruan Gagak Putih. "Semua ini bukan karena
aku, Ki. Tapi karena kuasa Tuhan Pencipta Jagat
Raya ini," kilah Jaka. "Oh ya, bagaimana keadaan
Ki Wikalga?" tanya Jaka.
"Lukanya berangsur-angsur pulih," jawab
Ki Rayung Sadawa.
"Syukurlah," ucap Jaka, "Sekarang izinkan
kami pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus
kuselesaikan," lanjut Jaka. Pemuda itu lalu me-
raih tangan Mayang.
"Oh, Silakan Jaka," sambut Ki Setanureja,
"Terima kasih atas bantuanmu," lanjut Ki Setanu-
reja meski dengan berat hati.
Setelah memberi hormat pada orang-orang
yang hadir di tempat itu, Raja Petir dan Mayang
segera berlalu. Diiringi pandangan banyak mata
yang mengagumi kehebatan dan budi luhur Raja Petir.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar