..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE 9 BOCAH SAKTI

9 Bocah Sakti

 9 BOCAH SAKTI

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

9 Bocah Sakti

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Desa Liring Sedayu. Saat itu matahari 

hampir berdiri tegak di atas kepala, hingga 

bayang-bayang manusia hampir tenggelam pada 

wujudnya. Tapi hawa panas tidak terlalu menyen-

gat. Memang, di samping desa itu banyak ditum-

buhi pohon-pohon besar berdaun lebat, di sana 

pun terdapat sebuah telaga yang berair jernih. 

Hingga mampu menghadirkan rasa sejuk, meski 

hari beranjak telah siang.

"Ha ha ha... Hi hi hi.... Tra la la...!"

"Huuu! Ha hi! Haaa...!"

"Ulali.... Lilu! Lali lali...!"

Sembilan bocah kecil berusia tidak lebih 

dari tujuh tahun terlihat sedang menikmati jernih 

dan dinginnya air telaga. Mereka bersenandung 

lucu dengan tangan saling memercikkan air ke 

wajah rekan-rekannya. Gurauan kesembilan bo-

cah itu sesekali tergerai manakala wajah mereka 

terkena cipratan air.

"Awas, Ger!" teriak bocah bertelanjang dada 

yang mengenakan cawat hitam pekat. Tangan ka-

nannya sudah tenggelam di air telaga hendak 

menyiram temannya yang dipanggil Ger.

Bocah bernama Ger yang mengenakan ca-

wat merah hanya meleletkan lidahnya. 

"Weee...!"

Prats!

"Ha ha ha...!" Bla tertawa tergelak-gelak


melihat wajah Ger terkena air siramannya.

Prats! 

"Hi hi hi...!"

Ger juga tertawa melihat siramannya tepat 

mengenai wajah Bla. Kedua bocah bercawat hitam 

dan merah itu sama-sama tertawa.

Apa yang dilakukan Ger dan Bla ternyata 

dilakukan juga oleh bocah-bocah tujuh tahunan 

yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan 

air yang memuncrat-muncrat dari tangan yang 

satu ke wajah yang lain. Suasana di sekitar Tela-

ga Perak menjadi ramai oleh tawa yang sambung-

menyambung.

Hanya seorang di antara sembilan bocah 

itu yang tidak ikut bermain-main air. Bocah yang 

mengenakan cawat putih mengkilat itu merendam 

tubuhnya di air telaga yang bening. Tampaknya, 

dia tengah menikmati kesejukan yang ada. Seper-

tinya bocah yang satu itu tidak ingin diganggu 

teman-temannya.

"Awas, Jlak! Kena Kakak Gora nanti," ucap 

bocah bercawat biru yang bernama Sedu. Jari te-

lunjuknya menuding ke arah bocah bercawat pu-

tih yang tak mau diganggu.

"Kita menjauh sedikit, Sedu. Nanti Kakak 

Gora terganggu," timpal Jlak, bocah yang berca-

wat hijau.

"Ayo, ayo!"

Dua bocah bercawat hijau dan biru itu 

menjauhi bocah bercawat putih mengkilat yang 

sepertinya begitu dihormati, dan di depan na



manya pun diembeli dengan sebutan 'Kak'.

Siapakah gerangan bocah bercawat putih 

mengkilat itu? Dan siapa pula kedelapan bocah 

yang mengenakan sehelai cawat dengan warna 

berbeda?

***

Gora, bocah berusia tujuh tahun lebih se-

dikit itu tak lain adalah pemimpin dari delapan 

temannya. Mereka bernama Bla dan Dbo, yang 

mengenakan cawat berwarna hitam. Ger dan Jagu 

bercawat merah. Smas dan Sedu bercawat biru. 

Dan yang bercawat hijau bernama Jlak dan Watu.

Kesembilan bocah bercawat yang dipimpin 

oleh Gora itu adalah sosok-sosok yang berjuluk 

Sembilan Bocah Sakti, mereka menempati Desa 

Liring Sedayu setelah sebelumnya membantai se-

luruh keluarga kepala desa, dan sebagian warga 

desa yang mencoba mempertahankan desa yang 

subur dan memiliki telaga yang berair jernih itu. 

Sedangkan warga Liring Sedayu yang lain tidak 

ingin nyawanya hilang percuma. Mereka mening-

galkan desa setelah menyaksikan Sembilan Bocah 

Sakti yang bersenjata pedang yang memendarkan 

sinar kebiruan. Panjang pedang itu sama dengan 

tinggi tubuh bocah-bocah itu. Hingga sekilas ma-

ta memandang, terlihat kejanggalan ketika mere-

ka menggenggam senjatanya. Namun sesungguh-

nya, di tangan mereka pedang itu merupakan iblis 

pencabut nyawa yang tak kenal ampun.



Itu sebabnya di Desa Liring Sedayu hanya 

sembilan bocah bercawat itulah yang menempa-

tinya. Mereka tidak ingin ada orang lain ikut me-

nikmati kehidupan di desa yang kini dikuasai.

Prek! Prek! Prek!

Tiba-tiba tangan Gora menepuk-nepuk 

permukaan air tiga kali. Kedelapan rekannya yang 

sedang bercanda ria serempak memalingkan wa-

jah mereka menatap Gora.

"Ada apa, Kakak Gora?" tanya bocah ber-

cawat hitam bernama Bla.

"Coba pusatkan pendengaran kalian," tu-

kas Gora dengan suara yang terkesan mengan-

dung perbawa kuat.

Delapan bocah bercawat yang semenjak ta-

di bercanda kini menelengkan kepala untuk me-

musatkan pendengaran mereka.

"Hmmm... suara puluhan derap kaki kuda, 

Kakak Gora," ujar bocah bernama Watu.

"Benar, Kakak Gora. Sepertinya tengah 

menuju kemari," timpal Jagu.

"Yang lain bagaimana?" tanya Gora pada 

Bla, Dbo, Ger, Smas, Sedu dan Jlak.

Enam bocah yang ditanya Gora semua 

menganggukkan kepala sebagai pertanda me-

nyamakan pendapat mereka dengan ucapan Watu 

dan Jagu.

"Ha ha ha...! Kita akan pesta besar hari ini, 

Adik-adik! Kita akan pesta besar. Semoga mereka 

yang tengah menuju ke sini saudagar-saudagar 

kaya raya yang membawa kepingan-kepingan


emas serta makanan enak!" ucap Gora dengan 

mata belonya yang sebentar terpejam sebentar 

terbuka.

Delapan bocah yang lain juga menampak-

kan wajah keriangan yang teramat sangat. Mere-

ka melonjak-lonjak di air telaga yang memang ti-

dak begitu dalam. Namun di bagian tengah Telaga 

Perak kedalamanannya tak dapat diukur.

"Hop! Hop!"

"Horeee...!"

"Huraaa...!"

Suasana di sekitar Telaga Perak kembali 

riuh oleh teriakan-teriakan yang dilakukan bo-

cah-bocah bercawat

"Ya, ya, ya! Begitu. Begitulah! Berpura-

puralah kalian tidak tahu kedatangan mereka," 

tukas Gora, kemudian membenamkan kembali 

tubuhnya di air telaga.

Delapan bocah itu kini kembali bercanda. 

Sesekali diiringi dengan senda-gurau dan ejekan-

ejekan lucu. Hingga ketika dari arah selatan 

muncul dua puluh orang lelaki penunggang kuda, 

bocah-bocah itu hanya melirikkan mata.

"Hm... sepertinya bukan saudagar-

saudagar yang kita harapkan, Kakak Gora," ucap 

bocah bercawat merah.

"Sepertinya begitu, Ger," timpal Gora pelan. 

"Tampaknya, mereka orang-orang persilatan. Li-

hat senjata-senjata mereka yang tergantung di 

pinggang," lanjut Gora dengan tatapan mata yang 

tidak tertuju ke arah puluhan lelaki berkuda yang


menuju ke Telaga Perak.

"Mereka orang-orang persilatan, Kakak Go-

ra," tukas Smas memastikan. "Bukan saudagar," 

lanjutnya.

"Tak mengapa," jawab Gora. "Kita akan 

menjajal ilmu mereka."

"Tidak membinasakan mereka?" tanya Bla 

dengan mata tetap melirik ke arah puluhan lelaki 

berkuda.

'Tentu saja, Bla. Mereka terlalu lancang 

memasuki daerah kekuasaan kita," jawab Gora 

tegas. "Sudah! Sudah! Berpura-puralah kalian ti-

dak tahu kedatangan mereka," lanjut Gora meme-

rintahkan pada kawannya.

Sembilan Bocah Sakti kini betul-betul ber-

pura-pura tak mengetahui kehadiran puluhan le-

laki berkuda. Sembilan bocah itu kelihatan ten-

gah menikmati beningnya air telaga, tanpa mem-

pedulikan para penunggang kuda yang semakin 

dekat.

***

"Kakek Guru, alangkah nikmatnya kalau 

kita beristirahat di telaga berair bening itu, mele-

paskan lelah dan memberi minum kuda-kuda 

tunggangan kita," ucap lelaki muda berusia kira-

kira dua puluh lima tahun seraya memandang ke 

arah lelaki berusia lanjut yang mengenakan pa-

kaian putih. Jenggot dan rambutnya yang putih 

digulung ke atas memperlihatkan wibawanya.


"Lihatlah, Kakek Guru. Bocah-bocah kecil 

itu nampak kesenangan bermain-main di air tela-

ga yang jernih," lanjut pemuda berpakaian biru. 

Ujung jarinya menunjuk ke arah bocah-bocah 

yang tengah merendam tubuhnya sambil bercan-

da.

"Sebaiknya begitu. Guru," timpal lelaki 

berpakaian merah yang menunggang kuda di 

samping kiri lelaki yang disebut 'Kakek Guru'. 

"Kesejukan air telaga itu pasti akan menghilang-

kan keletihan kita," lanjutnya kemudian.

Lelaki berusia lanjut yang disebut kakek 

guru tidak menjawab permintaan pemuda berpa-

kaian biru dan lelaki berusia empat puluhan yang 

mengenakan pakaian merah. Kakek itu hanya 

menganggukkan kepala tanda menyetujui keingi-

nan cucu murid dan muridnya.

Memang patut dimaklumi keinginan mere-

ka. Sekembalinya dari berkunjung ke Perguruan 

Gagak Putih, kuda-kuda mereka terus digebah, 

tanpa sedikit pun ada waktu untuk istirahat. Se-

dangkan perjalanan pulang menuju Perguruan 

Gagak Loreng masih cukup lama.

"Ayo kita beristirahat dulu di telaga itu!" 

perintah lelaki berpakaian merah kepada kedela-

pan belas lelaki penunggang kuda lainnya.

Lelaki itu adalah orang kedua di Perguruan 

Gagak Loreng. Dia bernama Ki Wanabara. Se-

dangkan orang pertama di perguruan itu Resi Wi-

kalga. Dan lelaki berusia dua puluh limaan itu 

adalah orang ketiga. Dia juga adalah putra tung


gal Ki Wanabara. Namanya Bagatada.

Delapan belas penunggang kuda yang lain 

adalah murid-murid Perguruan Gagak Loreng. 

Mereka segera berloncatan turun. Langkah-

langkah mereka tertuju ke arah telaga yang berair 

jernih, mengikuti langkah Ki Wanabara dan Baga-

tada yang sudah terayun lebih dulu.

Prats!

Prats!

Baru saja Ki Wanabara dan Bagatada men-

jejakkan kaki di tepi telaga, dua percikan air su-

dah menghantam wajah mereka.

"Anak nakal!" omel Ki Wanabara tidak 

sungguh-sungguh. Ucapan itu keluar diselingi 

dengan tawanya. Tatapan Ki Wanabara tertuju 

kepada bocah bercawat hitam yang tak lain Dbo.

Sedangkan Bagatada hanya tersenyum-

senyum menanggapi ulah bocah bercawat hijau 

yang telah membasahi wajahnya dengan air telaga 

yang dingin.

"Siapa namamu, anak nakal?" tanya Baga-

tada. Jari telunjuk dan jempolnya diulurkan hen-

dak mencubit pipi bocah bernama Jlak.

Jlak yang memang ingin memancing kema-

rahan Bagatada, segera menggeser kepalanya ke 

belakang. Lalu dengan cepat melepaskan tinjunya 

ke wajah Bagatada yang sedikit rendah.

Wuttt!

Hugh!

"Heh?!"

Ki Wanabara terkejut menyaksikan tubuh


Bagatada tergeser dua langkah ke belakang, sete-

lah terkena pukulan bocah berusia tak lebih dari 

tujuh tahun.

"Bocah Setan!" maki Bagatada setelah 

mampu menguasai diri. Di celah bibirnya nampak 

meleleh darah segar.

"Kau yang setan!" balas Jlak di luar dugaan 

Ki Wanabara dan Bagatada.

"Kau telah lancang menginjak daerah ke-

kuasaan kami!" sentak Gora keras. Suaranya se-

perti terdengar dari jauh dan memantul-mantul 

sampai ke tengah telaga.

Terkejut Ki Wanabara dan Bagatada men-

dengar kalimat yang meluncur dari mulut bocah 

bercawat putih mengkilat. Begitu juga lelaki tua 

yang mengenakan pakaian putih. Resi Wikalga 

menatap tajam wajah bocah-bocah yang tengah 

berendam di kebeningan air telaga. Sementara pi-

kiran lelaki berjenggot dan berambut putih terge-

lung itu menerawang, mengingat-ingat siapa ge-

rangan bocah-bocah bercawat itu.

"Sembilan Bocah Sakti tidak akan mem-

biarkan kalian meninggalkan desa ini hidup-

hidup. Kalian harus meninggalkan nyawa karena 

kelancangan kalian!" lanjut Gora lantang.

"Sembilan Bocah Sakti...?" gumam Resi 

Wikalga mengulang julukan yang diucapkan bo-

cah bercawat putih mengkilat.

Gumaman itu dilakukan juga oleh Ki Wa-

nabara dan Bagatada, yang memang pernah 

mendengar julukan itu.


"Maafkan, kalau kami telah lancang mema-

suki wilayah kekuasaan kalian, Sembilan Bocah 

Sakti," ucap Resi Wikalga, mengejutkan Ki Wana-

bara dan Bagatada.

Ki Wanabara dan Begatada tidak menyang-

ka orang yang mereka hormati begitu merendah 

kepada bocah-bocah kecil yang mengaku berjuluk 

Sembilan Bocah Sakti. Apalagi, ucapan Resi Wi-

kalga dibarengi dengan tundukan kepala.

"Ha ha ha..., Tua Bangka! Rupanya kau ta-

kut setelah mendengar julukan kami!" lantang 

ejekan itu keluar dari mulut Gora.

Wajah Ki Wanabara dan Bagatada merah 

padam mendengar penghinaan itu. Begitu juga 

delapan belas murid Perguruan Gagak Loreng. 

Mereka menggemeretakkan gigi dan mengeraskan 

otot-otot ketika penghinaan itu terlontar dari mu-

lut bocah bercawat putih untuk lelaki yang mere-

ka panggil eyang guru.

"Kulumat mulut lancangmu, Bocah!" maki 

Bagatada seraya melangkah hendak menghajar 

mulut lancang Gora. Namun langkah kaki Baga-

tada tertahan oleh cegahan Resi Wikalga.

"Tahan amarahmu, Tada!" ucap Resi Wi-

kalga.

Bagatada tentu saja menuruti ucapan ka-

kek gurunya yang begitu dihormati. Langkah ka-

kinya pun kembali ditarik mundur.

"Tua Bangka Pengecut! Biar saja muridmu 

yang bernyali besar itu bermain-main denganku!" 

tukas Gora dengan nada tegas penuh ejekan.


"Atau kau yang ingin bermain-main denganku?"

Kini wajah Resi Wikalga yang bersemu me-

rah mendapatkan tantangan dari bocah kecil ber-

cawat putih. Resi Wikalga memang pernah men-

dengar kesaktian Sembilan Bocah Sakti yang te-

lah banyak membinasakan tokoh-tokoh persilatan 

tingkat tinggi. Kabar itu didengarnya ketika ten-

gah menikmati santapan pagi di Desa Patuna. Se-

saat setelah mengadakan pertemuan dengan Ke-

tua Perguruan Gagak Putih, yakni adik sepergu-

ruannya yang sama-sama pernah menimba ilmu 

di Perguruan Gagak Raksasa.

"Cepat Tua Bangka! Kenapa kau melamun 

seperti domba bodoh? Ayo kita bermain-main be-

berapa jurus! Atau kau ingin aku yang memu-

lainya?" tukas Gora memanasi wajah Resi Wikalga 

yang makin merah.

"Hiyaaa...!"


DUA


Tubuh Gora seketika melayang cepat ke 

arah Resi Wikalga. Lejitan yang dilakukannya 

membuat Ki Wanabara tidak percaya. Begitu ce-

pat, bagai angin yang berhembus keras.

Tangan bocah bercawat putih mengkilat itu 

mengepal kuat dan bergerak gesit ke arah kepala 

kakek pemilik Perguruan Gagak Loreng.

Wuttt!

"Eits!"


Resi Wikalga tentu saja tidak ingin pukulan 

bocah berusia tujuh tahun itu mengenai kepa-

lanya. Maka, segera saja dia menarik kepalanya 

ketika sejengkal lagi sambaran bertenaga kuat itu 

menghantam.

Serangan Gora berhasil dikandaskan Resi 

Wikalga. Namun tendangan susulan yang tak ter-

duga kecepatannya membuat kakek itu tidak me-

nemui jalan lain kecuali memapaki tendangan la-

wan dengan menyodokkan tangan kanannya.

Plakkk! 

"Aaakh...!"

Resi Wikalga memekik tertahan sesaat se-

telah benturan keras terjadi. Tubuh lelaki tua 

yang terbalut pakaian putih itu terhuyung mun-

dur tiga langkah. Sementara tangan yang diguna-

kan untuk menangkis tendangan Gora mengalami 

rasa sakit yang sangat kuat. Tulang-tulangnya te-

rasa ingin patah.

Namun, Resi Wikalga yang sudah kenyang 

makan asam garam pertarungan segera dapat 

mengatasi rasa sakit yang dirasakannya. Seka-

rang, kakek itu tengah bersiap menghadapi se-

rangan lawan yang memiliki tenaga dalam di 

atasnya. Sungguh Resi Wikalga tidak percaya. 

Bagaimana mungkin bocah sekecil Gora memiliki 

tenaga dalam yang demikian tinggi melebihi ke-

tinggian tenaga dalamnya yang dipelajari selama 

empat puluh tahun lebih?!

"Hyaaa...!"

Tubuh Gora kembali meluruk ke arah Resi


Wikalga. Sepasang tangannya memperlihatkan 

cakar-cakar dengan kuku-kuku yang runcing.

"Betul-betul bocah setan," gumam Resi Wi-

kalga yang menyaksikan perubahan tangan Gora.

Sementara itu, pertarungan di tempat lain 

pun telah berlangsung. Ki Wanabara terlihat sal-

ing gempur dengan bocah bercawat hitam berna-

ma Bla. Sedangkan Bagatada berhadapan dengan 

Smas, bocah yang mengenakan cawat biru.

Pertarungan yang dilakukan Ki Wanabara 

dan Bagatada berlangsung cukup cepat dan seru. 

Begitu juga pertarungan antara murid-murid Per-

guruan Gagak Loreng yang bersenjatakan golok 

panjang dengan Ger, Jagu, Sedu, Jlak, dan Watu.

"Hyaaa...!" 

Brettt!

"Aaa...!"

Lengking kematian yang menyayat terden-

gar ketika sambaran tangan Ger yang membentuk 

cakar membabat perut salah seorang murid Per-

guruan Gagak Loreng. Jari-jari tangan yang tiba-

tiba menjelmakan kuku-kuku runcing dan tajam 

amblas setengahnya.

Brrettt!

Manakala tangan Ger yang membenam di 

perut murid Perguruan Gagak Loreng tercabut, 

maka terlihatlah usus dan darah berebutan ke-

luar. Saat itu juga, nyawa lelaki bertubuh tinggi 

tegap itu pergi meninggalkan jasad.

"Aaa...!" 

"Aaakh...!"


Rupanya, bukan hanya bocah bercawat 

merah itu yang berhasil menghilangkan nyawa 

murid Perguruan Gagak Loreng. Jagu dan Sedu 

pun telah melakukan hal yang sama. Kedua kor-

ban itu menggelinjang sekarat dengan leher jebol 

bekas cakaran.

Agaknya, orang-orang Perguruan Gagak 

Loreng tidak kuasa meredam keganasan sembilan 

bocah bercawat yang memiliki gerakan cepat ba-

gai kilat. Kesembilan bocah itu memang langsung 

memainkan jurus andalan mereka untuk me-

nyingkirkan orang-orang Perguruan Gagak Lo-

reng, yakni jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.

Ki Wanabara yang berhadapan dengan bo-

cah bercawat hitam juga terlihat kewalahan. Ber-

kali-kali sodokan tangan Bla hampir menembus 

kulit Ki Wanabara. Sementara dirinya hanya 

mampu mengelak tanpa bisa memberikan seran-

gan balasan.

"Hiaaattt..!"

Wrettt!

Tlangngng!

"Heh...?!"

Terkejut bukan main Ki Wanabara. Ketika 

pedangnya ditebaskan dengan kuat ke arah per-

gelangan tangan Bla ia merasa seperti membentur 

lempengan baja yang sangat kuat. Kekuatan te-

naga dalamnya seperti berbalik. Ki Wanabara me-

rasakan tangannya bergetar linu.

Dan pada saat keterkejutan Ki Wanabara 

terjadi, sosok kecil Bla melesat dengan melancar


kan jurus 'Cakar Maut Empat Jari'.

"Hiaaattt...!"

Wettt!

"Its?!"

Ki Wanabara secepatnya menghindari ter-

kaman lawan yang melancarkan serangan dari 

atas. Serangan itu mencecar ubun-ubunnya. Tu-

buh Bla seperti seekor burung elang yang terbang 

menyambar anak itik. Namun ketika Ki Wanabara 

mampu mengelak, sambaran cakar Bla kembali 

berkelebat

"Hiaaattt...!"

Kali ini gerakan jurus 'Cakar Maut Empat 

Jari' dilakukan bocah bercawat hitam dengan 

menambah kecepatannya. Terarah ke ulu hati Ki 

Wanabara yang berada pada kedudukan kurang 

baik.

Bret!

"Ukh!"

Meski Ki Wanabara sudah menggerakkan 

tubuhnya secepat mungkin, namun gerakannya 

kalah cepat. Hingga, kulitnya harus tertembus 

cakar lawan yang berkuku tajam. Dari pakaian-

nya yang koyak tampak darah merembes keluar.

"Mampus kau! Hiaaattt..!"

Tubuh Bla kembali melesat bagai terbang, 

mengejar tubuh Ki Wanabara yang limbung sete-

lah terkena sambaran tangan jurus 'Cakar Maut 

Empat Jari'.

Blebert!

Krakkk!


Bunyi tulang berpatahan seketika terden-

gar ketika sepasang kaki bocah bercawat hitam 

itu membelit leher Ki Wanabara dengan menge-

rahkan ilmu 'Sepasang Kaki Maut Bocah Sakti'.

Ki Wanabara yang merasakan tulang le-

hernya berpatahan hanya mengikuti gerakan ka-

kinya yang limbung.

Brukkk!

Ketika ambruk ke bumi, tubuh Ki Wanaba-

ra sudah tidak lagi dihuni roh kehidupan. 

"Ayah...!"

Bagatada yang sempat melihat ayahnya ro-

boh berteriak keras. Namun perbuatannya itu se-

buah kesalahan yang paling besar. Pemuda beru-

sia dua puluh lima tahun itu melupakan pertaha-

nan dirinya.

"Hiaaattt...!"

Bocah sakti bernama Smas segera meman-

faatkan kelengahan anak Ki Wanabara itu. Seke-

tika itu juga tubuhnya melesat bagai terbang. 

Tangannya terangkat dengan jari-jari terkembang 

membentuk cakar harimau. Jurus 'Cakar Maut 

Empat Jari' masih dugunakannya untuk menye-

rang Bagatada.

Crabs!

"Aaaa...!"

Bagatada menjerit histeris ketika empat jari 

kokoh berkuku runcing Smas dengan tepat 

menghantam ubun-ubunnya. Namun patut dipuji 

daya tahan pemuda itu. Dalam keadaan kepala 

tertembus jari tangan lawan, ia masih sempat me


lancarkan sodokan ke dada Smas.

Blag!

Pukulan Bagatada yang tepat mengenai 

dada bocah bercawat biru itu tidak berpengaruh 

sedikit pun. Malahan, Smas menambah luka di 

leher Bagatada dengan membenamkan jari tangan 

kirinya.

"Aaa...!"

Pekik yang keluar dari mulut Bagatada kali 

ini adalah pekik kesakitan yang mengiringi ke-

luarnya nyawa dari dalam jasadnya.

"Heh!"

Smas menarik kedua tangannya yang me-

nembus kepala dan leher Bagatada.

Smas rupanya belum puas hanya dengan 

satu nyawa. Dia kini bergabung dengan teman-

temannya untuk membantai murid-murid Pergu-

ruan Gagak Loreng.

"Haiiittt..!"

***

Telaga Perak yang berair jernih kini me-

nampakkan warna kemerahan saat tubuh-tubuh 

murid Perguruan Gagak Loreng berpentalan ke 

dalamnya. Hanya beberapa orang saja yang mam-

pu mempertahankan diri. Tapi, mereka pun bu-

kan mustahil akan mengalami nasib yang sama 

dengan rekan-rekannya.

Lelaki berusia lanjut yang merupakan 

orang nomor satu di Perguruan Gagak Loreng pun


tampak semakin terdesak. Tenaga Resi Wikalga 

sudah berkurang seiring dengan luka-luka di tu-

buhnya akibat keganasan serangan bocah berca-

wat putih mengkilat itu, yang menjadi pimpinan 

Sembilan Bocah Sakti.

"Terima lagi ini, Tua Bangka!" pekik Gora. 

Bersamaan dengan teriakan itu tubuhnya kembali 

mencelat ke arah Resi Wikalga, yang terhuyung-

huyung setelah tendangan telak bocah itu keras 

menerpa dadanya.

Resi Wikalga hanya bisa membelalakkan 

mata menyaksikan kedatangan serangan susulan 

lawan. Hasrat hati sang Resi untuk menyela-

matkan diri dari sambaran tangan Gora membuat 

dia berusaha keras untuk mengelak. Akan teta-

pi....

"Hih!"

Brettt!

"Aaakh...!"

Pekik lebih keras keluar dari mulut Rea 

Wikalga. Kening sebelah kanannya tersambar ku-

ku-kuku runcing Gora yang berkelebat dengan ju-

rus 'Cakar Maut Empat Jari'. Darah mengucur tu-

run ke pipi keriput Resi Wikalga.

Tiga murid Perguruan Gagak Loreng yang 

tersisa pun mengalami nasib yang sama. Smas, 

Sedu, dan Jlak telah mengirim ketiganya ke air 

telaga dengan nyawa terlepas dari badan. 

"Hi hi hi.... Ha ha ha...!" Bocah bercawat 

tertawa bersamaan menyaksikan lawan-lawan 

terbantai dan mengambang di air telaga yang be


rubah kemerahan. Hanya Resi Wikalga yang tersi-

sa. Namun kakek itu pun sudah terkulai lemas di 

tanah dengan luka-luka yang membuat dirinya ti-

dak kuasa bangkit

"Tua Bangka! Tanpa kuserang kembali pun 

kau pasti sebentar lagi akan mampus! Untukmu, 

kuberi kesempatan pergi!" ucap Gora si bocah 

bercawat putih mengkilat "Ayo, pergi sekarang! 

Jangan coba-coba datang lagi ke dalam daerah 

kekuasaanku!" lanjut Gora dengan jari tangan se-

perti mengusir kucing kurap.

Resi Wikalga tidak membalas ucapan Gora. 

Wajah lelaki tua itu tampak mengejang menahan 

sakit yang sangat

"Cepat!" bentak Gora. "Ha ha ha... Hi hi 

hi...!" bocah bercawat putih mengkilat itu tertawa 

keras. 

"Ha ha ha...!" 

"Hi hi hi...!"

"Hu hu hu...!"

Bocah-bocah bercawat yang lain pun mem-

buka mulut mereka lebar-lebar. Tawa mereka le-

pas berderai-derai.

"Ayo, kita kembali menikmati beningnya air 

telaga. Biarkan saja si tua bangka itu mati den-

gan sendirinya," tukas Gora bernada memerintah.

Delapan bocah sakti yang mendengar uca-

pan Gora segera berlompatan ke air telaga yang 

perlahan kembali jernih.

Cburrr!

Byur! Byur!


"Ha ha ha... Hi hi hi...!"

***

Saat bocah-bocah sakti tengah hanyut 

dengan canda, Resi Wikalga berusaha pergi me-

ninggalkan daerah kekuasaan Sembilan Bocah 

Sakti. Meninggalkan mayat muridnya, cucu mu-

ridnya, dan delapan belas pengikutnya yang setia.

Meski dengan susah-payah, orang terpan-

dang di Perguruan Gagak Loreng itu berhasil 

menjauhi bocah-bocah sakti yang nampaknya 

berkeyakinan tak lama lagi Resi Wikalga akan 

menjumpai ajalnya.

Semakin jauh Resi Wikalga berjalan me-

ninggalkan Telaga Perak, semakin tak kuat dia 

menahan beban dirinya. Terlebih darah terlampau 

banyak keluar, membuat kepalanya seperti dipu-

tar-putar. Dan ketika hampir mencapai perbata-

san Desa Liring Sedayu.... 

Brukkk!

Resi Wikalga akhirnya tidak kuat bertahan. 

Kakek itu terjerembab ke tanah. Pingsan.

Pada saat yang hampir bersamaan dari ke-

lokan jalan yang membatasi Desa Liring Sedayu 

dengan Desa Warukunir muncul dua sosok tubuh 

berpakaian kuning keemasan dan jingga. Sepa-

sang muda-mudi yang berjalan dengan mesra itu 

segera melihat sesosok tubuh tergolek sejauh de-

lapan tombak di depannya.

"Kakang! Lihat di sana," tunjuk gadis ber


pakaian jingga. Tangan kiri gadis berwajah putih 

halus itu menggenggam sebatang payung berwar-

na kuning keemasan.

"Kita ke sana, Mayang!" sambung kawan-

nya, seorang lelaki muda berwajah tampan dan 

bertubuh kekar.

"Ayo, Kakang Jaka," ujar gadis cantik yang 

ternyata Dewi Payung Emas yang bernama asli 

Mayang Sutera. Dan kawannya sudah bisa dipas-

tikan. Siapa lagi kalau bukan Jaka Sembada yang 

berjuluk Raja Petir.

Sepasang pendekar muda itu berjalan ter-

gesa menghampiri sosok tubuh yang tergolek di 

tanah.

"Dia hanya pingsan, Mayang," ucap Jaka 

setelah meraba dan meneliti keadaan kakek yang 

tak lain Resi Wikalga.

"Tapi luka-lukanya, Kakang.... Apakah ka-

kek ini akan mampu bertahan?" tanya Mayang. 

Nada suaranya terdengar cemas.

"Aku akan memberi pil penawar rasa sakit, 

Mayang. Namun sebelumnya aku harus memban-

gunkan dari pingsannya," jawab Jaka.

"Lakukanlah, Kakang," pinta Mayang. Jaka 

segera membalikkan tubuh Resi Wikalga yang ter-

telungkup. Lalu dengan kepandaian yang dimili-

kinya, Jaka menyalurkan hawa murni ke tubuh 

kakek berpakaian putih yang telah dipenuhi ber-

cak-bercak darah. 

"Euhhh...!"

Beberapa saat kemudian Rea Wikalga men


gerang perlahan. Kakek itu menggerakkan tu-

buhnya dengan erangan yang memilukan.

"Dia sudah siuman, Kakang!" ujar Mayang. 

Wajah gadis cantik kekasih Jaka itu tampak gem-

bira.


TIGA



"Eh!" Resi Wikalga terkejut menyaksikan 

sepasang muda-mudi bersila di hadapannya di 

bawah pohon yang berdaun rindang.

"Siapa.... Siapa kalian?" tanya Resi Wikalga 

dengan suara parau yang tersendat-sendat

"Tenanglah, Ki," tukas Jaka lembut, "Aku, 

Jaka. Dan dia temanku, Mayang Sutera," lanjut 

tokoh muda yang julukannya banyak disebut-

sebut tokoh persilatan.

Resi Wikalga beringsut dengan tatapan tak 

lepas memandangi tubuh Jaka, seolah tengah 

mengingat-ingat siapa orang muda yang kini be-

rada di hadapannya.

"Kau... Kaukah Jaka Sembada?" tanya Resi 

Wikalga setelah beberapa saat terdiam. Patut di-

puji kejelian mata tua Resi Wikalga. Meski kea-

daan tubuhnya lemah, ia masih mampu menge-

nali Jaka.

"Benar, Ki. Nama lengkapku memang Jaka 

Sembada," tutur Jaka menjelaskan.

"Oooh...!"

Tiba-tiba Resi Wikalga mengerang lirih. Ka


kek itu bukan saja terkejut mendengar penga-

kuan Jaka, tapi rasa sakit pada luka-lukanya te-

rasa menyengat 

"Sebaiknya kau telan pil ini, Ki," pinta Ja-

ka.

Tangannya terjulur memberikan butiran 

obat penawar rasa sakit yang selalu dibawanya. 

Tujuannya tak lain untuk menolong orang-orang 

yang ditemuinya di jalan.

Resi Wikalga segera meraih pil yang dis-

odorkan Jaka, dan langsung menelan pil berwar-

na merah itu. Begitu pil pemberian Jaka melewati 

kerongkongannya, Resi Wikalga merasakan kha-

siat pil yang diminumnya. Rasa nyeri di tubuhnya 

berangsur-angsur hilang.

"Terima kasih. Raja Petir. Terima kasih. Be-

runtung sekali aku berjumpa dengan kalian," tu-

tur Resi Wikalga. Pandangannya beralih ke wajah 

cantik Mayang.

Gadis cantik dengan rambut dikepang itu 

membalas tatapan Resi Wikalga dengan senyum 

manis yang terkembang.

"Jangan panggil aku dengan julukan itu, 

Ki," cegah Jaka sungkan.

"Ah, kau memang pantas menyandang ju-

lukan hebat itu, Jaka. Aku sering mendengar se-

pak-terjangmu. Tentang kehebatan ilmu-ilmumu 

dari orang-orang persilatan yang kukenal, namun 

sayang baru sekarang ini aku sempat bertatapan 

muka dengan tokoh muda yang berpijak pada ja-

lan kebenaran itu," kilah Resi Wikalga.


"Lupakan itu, Ki," sangkal Jaka malu-

malu.

Mayang yang mendengar ucapan kekasih-

nya merasakan ucapan itu tidak dibuat-buat 

Mayang tahu kalau ucapan kekasihnya semata 

karena dirinya tidak suka disanjung terlalu berle-

bihan.

"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, 

Ki?" tanya Mayang mencoba menyingkap keka-

kuan itu.

Resi Wikalga menatap wajah Jaka dan 

Mayang bergantian. Hanya sesaat kemudian Resi 

Wikalga menceritakan kejadian yang menimpa 

rombongannya.

"Sembilan Bocah Sakti?!" gumam Jaka 

mengulang julukan yang disebut Resi Wikalga se-

bagai sumber petaka kejadian yang dialaminya.

"Pernah aku mendengar julukan itu, Ki," 

ucap Jaka kemudian.

"Aku pun demikian, Jaka," Jimpal Resi Wi-

kalga. "Namun ketika kami berjumpa dengan 

sembilan bocah yang hanya mengenakan pakaian 

mirip cawat itu, semula kami menganggap mereka 

hanya anak-anak kampung yang sedang bermain-

main di kebeningan air telaga. Namun ternya-

ta...," Resi Wikalga tidak melanjutkan ucapannya. 

Hatinya kembali terenyuh mengingat kematian Ki 

Wanabara dan Bagatada.

"Apakah kira-kira sembilan bocah itu ma-

sih berada di Telaga Perak Desa Liring Sedayu, 

Ki?" tanya Mayang.


"Entahlah," jawab Resi Wikalga.

"Kakang, apa kita datangi saja Telaga Perak 

itu?" tukas Mayang. "Rasanya aku mencium se-

suatu yang tak beres dengan keberadaan sembi-

lan bocah itu di Desa Liring Sedayu. Apalagi, me-

reka bilang tak seorang pun diizinkan menginjak 

Desa Liring Sedayu," lanjut Mayang mengulangi 

cerita Resi Wikalga.

"Kurasa tidak sekarang ini, Mayang," tolak 

Jaka dengan tatapan mata lembut.

Mayang tidak membantah ucapan Jaka. 

Hanya tatapan matanya membalas tatapan keka-

sihnya yang merasa keberatan kalau harus me-

ninggalkan Resi Wikalga yang membutuhkan per-

tolongan.

"Ki Wikalga," ucap Jaka pelan, "Ke mana 

sesungguhnya tujuanmu sekarang?"

Resi Wikalga tidak segera menjawab perta-

nyaan Jaka. Hingga tokoh muda yang berjuluk 

Raja Petir itu kembali berujar. "Kami dengan se-

nang hati akan mengantarkanmu, Ki."

"Eh! Terima kasih, Jaka. Aku telah mere-

potkanmu," Resi Wikalga merasa tidak enak den-

gan kebaikan yang disodorkan Jaka.

"Kami tidak merasa kerepotan, Ki. Kami 

merasa ini adalah sebagian dari kewajiban kami," 

tukas Mayang tegas.

"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ni-

sanak," ucap Resi Wikalga. Kepalanya tertunduk 

sedikit "Antarkan aku ke Perguruan Gagak Putih," 

pintanya kemudian.


"Sekarang juga kami akan mengantar kau 

ke sana, Ki," tukas Jaka seraya membawa bangkit 

tubuh Resi Wikalga yang masih lemah karena ba-

nyak mengeluarkan darah akibat luka-lukanya 

yang parah.

"Maaf, Ki. Agar perjalanan kita ke Pergu-

ruan Gagak Putih tidak memakan banyak waktu, 

sebaiknya tubuhmu kubopong saja," pinta Jaka 

sopan.

"Terserahlah, Jaka," ucap Resi Wikalga.

Jaka segera mengangkat tubuh Resi Wikal-

ga dalam bopongannya. Sementara matanya me-

natap wajah gadis cantik yang berjuluk Dewi 

Payung Emas.

"Ayo, Mayang!" ajak Jaka. Kakinya kemu-

dian menghentak kuat dan tubuhnya melesat 

membopong tubuh sesepuh Perguruan Gagak Lo-

reng.

"Hip!"

Gadis cantik berpakaian jingga pun segera 

melakukan hal yang sama, melesat pergi mening-

galkan perbatasan Desa Liring Sedayu menuju 

Perguruan Gagak Putih.

***

Perguruan Gagak Putih seketika menjadi 

gempar ketika Jaka dan Mayang datang memba-

wa Resi Wikalga yang terluka parah.

Ki Rayung Sadawa yang merupakan sauda-

ra seperguruan Resi Wikalga merasa terpukul bukan main. Wajah lelaki berusia hampir sama den-

gan Resi Wikalga itu nampak kemerahan mena-

han kemarahan yang meluap-luap. Mata pimpi-

nan Perguruan Gagak Putih membelalak tajam 

seperti macan hendak memangsa korbannya.

Setelah meletakkan tubuh Resi Wikalga da-

lam kamar khusus di Perguruan Gagak Putih, 

dengan seorang tabib perguruan yang dipercaya-

kan untuk menangani keadaan sesepuh Pergu-

ruan Gagak Loreng itu, Ki Rayung Sadawa segera 

kembali menemui Jaka dan Mayang.

"Terima kasih atas bantuan kalian mem-

bawa Kakang Wikalga kemari. Entah apa jadinya 

tanpa pertolongan kalian," ucap Ki Rayung Sada-

wa dengan hormatnya. Sesungguhnya, Ki Rayung 

Sadawa ingin Jaka-lah yang menangani keadaan 

Resi Wikalga. Karena Ki Rayung Sadawa yakin 

dengan kesaktian yang dimiliki tokoh muda dig-

daya itu. Tetapi Ki Rayung Sadawa merasa tak 

enak kalau kembali menyusahkan Jaka yang te-

lah menyelamatkan Resi Wikalga dan memba-

wanya ke Perguruan Gagak Putih.

"Itu hanya suatu kebetulan saja, Ki 

Rayung," kilah Jaka merendah. "Kami tidak sen-

gaja menemukan Ki Wikalga tergolek di perbata-

san Desa Liring Sedayu. Sebisanya aku menya-

darkannya dan membawanya ke sini sesuai den-

gan pemintaannya," lanjut Jaka.

"Sikap rendah hati itulah yang semakin 

membuat nama harum, Raja Petir," tukas Ki 

Rayung Sadawa memuji sikap pemuda itu. Memang, baru kali ini Ki Rayung Sadawa bertemu 

muka dengan tokoh muda digdaya yang namanya

telah menggemparkan dunia persilatan itu. Na-

mun mendengar dari mulut-mulut tokoh persila-

tan tentang kehebatan Raja Petir dan ciri-cirinya 

sudah lama diketahui.

Dan itu semakin membuat rasa kagum Ki 

Rayung Sadawa terhadap Raja Petir bertambah.

Jaka tidak bisa membantah ucapan lelaki 

berpakaian hijau muda itu, yang pada bagian 

pinggangnya tergantung sebilah pedang berga-

gang kepala burung gagak terbuat dari emas.

"Aku akan mencari bocah-bocah siluman 

itu! Mereka harus bertanggung jawab atas kema-

tian Adi Wanabara, Bagatada, dan delapan belas 

murid Perguruan Gagak Loreng. Aku khawatir 

perbuatan mereka merambat dengan membantai 

perguruan-perguruan lain," tukas Ki Rayung Sa-

dawa.

Seorang perempuan berusia empat puluh 

tahun melangkah cepat-cepat membawa nampan 

berisi air minum dan panganan. "Aku tidak me-

nyangka Kakang Wikalga dapat ditundukkan oleh 

bocah-bocah itu," tukasnya sambil meletakkan 

nampan.

Ki Rayung Sadawa tidak menimpali perka-

taan istrinya. Begitu juga Jaka dan Mayang.

"Kepandaian bocah-bocah itu berarti di 

atas kita, Kakang Rayung. Dan Kakang ingin 

mencari bocah-bocah itu untuk dimintai pertang-

gungjawaban. Apakah itu bukan suatu hal yang


mustahil. Kudengar Sembilan Bocah Sakti telah 

banyak menyingkirkan tokoh-tokoh tingkat tinggi 

dari golongan hitam dan putih," lanjut perempuan 

berpakaian putih itu.

Ki Rayung Sadawa tersentak juga menden-

gar perkataan wanita itu. Mata lelaki pimpinan 

Perguruan Gagak Putih menatap wajah istrinya.

"Tak salah dengarkah telingaku, Nyi?" 

tanya Ki Rayung Sadawa. "Kalau aku ingin men-

cari bocah-bocah siluman itu, berarti aku telah 

meletakkan tanggung jawab di pundakku sebagai 

tokoh persilatan. Apa kata orang terhadap diriku 

jika aku berpangku tangan dalam menghadapi 

persoalan ini? Siapa pun Sembilan Bocah Sakti 

itu aku harus tetap menghadapi mereka. Demi 

wibawaku dan perguruanku yang berkaitan den-

gan Kakang Wikalga dan Perguruan Gagak Lo-

reng," mantap ucapan Ki Rayung Sadawa.

Nyi Rayung Sadawa yang duduk di sisi su-

aminya tidak membantah ucapan itu. Nampak-

nya, dia merasa bersalah ucapannya telah me-

nyinggung perasaan suaminya.

"Ayo, cicipi hidangan yang seadanya ini, 

Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa mencairkan keka-

kuan suasana.

Jaka dan Mayang memenuhi ucapan Ketua 

Perguruan Gagak Putih.

"Kalau aku boleh tahu, apa yang hendak 

kau lakukan sekarang, Ki Rayung?" tanya Jaka 

setelah meminum teh hangat manis yang dis-

uguhkan Nyi Rayung Sadawa.


"Aku dan beberapa murid utamaku akan 

mencari bocah siluman itu, Jaka. Kuharap kalian 

berdua bersedia melakukan hal yang sama," ja-

wab Ki Rayung Sadawa.

"Ya," sambut Jaka memenuhi harapan Ki 

Rayung Sadawa.

"Jika begitu, kalian bergeraklah bersama-

sama," ucap Nyi Rayung Sadawa memberi saran. 

Sengaja saran itu dilontarkan Nyi Rayung Sada-

wa, karena jika Ki Rayung Sadawa bergerak ber-

sama-sama dengan Jaka, besar harapannya akan 

selamat mengingat kedigdayaan tokoh muda nan 

tampan itu belum menemui tandingannya.

"Masalah itu kuserahkan keputusannya 

padamu, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa menim-

pali keinginan istrinya.

Jaka tidak segera memberikan jawaban. 

Pemuda itu mampu membaca dari tekanan suara 

Ketua Perguruan Gagak Putih, kalau lelaki itu se-

benarnya ingin bergerak sendiri dalam mencari 

Sembilan Bocah Sakti yang telah membuat mala-

petaka bagi Perguruan Gagak Loreng.

"Bagaimana kalau kita berpencar saja da-

lam mencari bocah-bocah itu, Ki Rayung. Dengan 

begitu kita akan dapat cepat menemukan dan se-

cepatnya mengambil tindakan," usul Jaka hati-

hati. Dia tidak ingin menyinggung perasaan Nyi 

Rayung Sadawa.

"Aku juga berpikiran ke situ, Jaka," sam-

but Ki Rayung Sadawa mantap. Dengan berpen-

car pekerjaan kita menjadi lebih ringkas," lanjut


nya.

Nyi Rayung Sadawa tidak membantah uca-

pan suaminya.

"Tapi kau harus hati-hati, Kakang," ujar-

nya pelan. "Biar bagaimanapun, mereka adalah 

bocah-bocah sakti yang telah berhasil menun-

dukkan Kakang Wikalga, yang kepandaiannya je-

las di atas orang-orang di perguruan Gagak Putih 

ini," lanjut Nyi Rayung Sadawa penuh kekhawati-

ran.

"Kau bantulah dengan doa, Nyi. Aku pun 

akan bertindak hati-hati," tangan Ki Rayung Sa-

dawa merangkul pundak istrinya untuk meredam 

kecemasan yang tergambar di mata perempuan 

yang sangat dicintainya itu.

"Jika begitu, izinkanlah kami bergerak le-

bih dulu, Ki," pinta Mayang yang sejak kedatan-

gannya di Perguruan Gagak Putih tidak sepatah 

pun mengeluarkan perkataan.

"Ya. Kurasa lebih baik begitu, Ki Rayung," 

timpal Jaka.

Ki Rayung Sadawa menatap wajah Jaka 

dan Mayang bergantian. Pimpinan Perguruan Ga-

gak Putih itu merasa berhutang budi pada pasan-

gan pendekar muda itu.

"Ya. Berangkatlah kalian lebih dulu. Bebe-

rapa orang muridku akan kuutus untuk menga-

barkan berita buruk ini pada orang-orang Pergu-

ruan Gagak Loreng. Setelah itu, baru kami berge-

rak mencari bocah-bocah siluman itu," tukas Ki 

Rayung Sadawa.



"Kalau begitu kami pamit sekarang, Ki, 

Nyi," ucap Jaka seraya bangkit berdiri. Mayang 

segera mengikuti.

Ki Rayung Sadawa dan istrinya mengiringi 

langkah Jaka dan Mayang yang telah bergerak 

meninggalkan pendopo. Ketika sampai di luar 

pendopo Perguruan Gagak Putih, sekali lagi Jaka 

dan Mayang menatap wajah Ki Rayung Sadawa.

"Permisi, Ki, Nyi," ucap Jaka lagi.

"Hop!"

"Hip!"

Dua sosok tubuh pendekar muda itu seke-

tika melesat bagai angin berhembus. Gerakan me-

reka yang cepat begitu sedap dilihat. Tampaknya, 

ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu me-

ringankan tubuh mereka telah mencapai kesem-

purnaan.

Ki Rayung Sadawa dan istrinya hanya da-

pat memandangi kepergian Jaka dan Mayang 

dengan kekaguman yang tak sempat tercetus.

"Ah, semoga mereka berhasil, Kakang," 

ucap Nyi Rayung Sadawa tak kuasa menyembu-

nyikan harapannya.

***

Sebuah kedai yang terletak di Desa Nura-

barang terlihat begitu ramai oleh pengunjung. Ke-

dai itu memang selalu dipenuhi pengunjung. Me-

reka bukan hanya ingin menikmati hidangan 

yang sudah cukup tersohor kelezatannya. Tetapi


juga memandang dua gadis cantik anak-anak Ki 

Sandara pemilik kedai, yang selalu rajin memban-

tu melayani tamu-tamu ayahnya.

Dua gadis cantik berusia enam belas tahun 

itu adalah anak kembar Ki Sandara. Keduanya 

memiliki perangai yang sama. Sabar dan lemah 

lembut. Setiap tamu yang datang di kedai Ki San-

dara selalu disambutnya dengan sopan, bahkan 

tak jarang senyum manis terkembang. Hal seperti 

itu dilakukan mereka bukan karena anak-anak Ki 

Sandara perempuan genit, tetapi mereka berpen-

dapat kalau tamu harus disambut dengan kera-

mahan dan wajah yang manis. Tujuannya tentu 

saja agar tamu-tamu itu tidak segan-segan mam-

pir lagi jika suatu saat lewat di depan kedai.

"Silakan, Tuan nikmati dulu hidangan lezat 

ini. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan di 

dalam, " tolak seorang putri Ki Sandara yang se-

dang menjamu tamunya.

"Temanilah aku sebentar, Nini. Seleraku 

akan bertambah kalau kau mau duduk menema-

niku," rayu lelaki berusia tiga puluh tahun. Se-

mentara tangannya terus mencekal pergelangan 

tangan anak Ki Sandara yang mengenakan pa-

kaian biru cerah.

Gadis cantik bernama Yayuning itu tidak 

kuasa menolak ajakan lelaki berpakaian biru tua. 

Kepala gadis bermata bagus itu hanya menoleh ke 

arah ayahnya yang tengah menyiapkan makanan 

untuk pengunjung kedai yang lain.

"Maaf, Kisanak. Izinkan dulu anakku


membawakan makanan ini untuk tamu-tamu 

yang lain," ucap Ki Sandara cukup keras.

Lelaki berpakaian biru tua yang mencekal 

tangan Yayuning serta-merta melepaskan ceka-

lannya. Wajah lelaki itu bersemu merah menden-

gar ucapan pemilik kedai yang dirasanya begitu 

berani.

"Aku juga perlu pelayanannya, Kisanak!" 

bentaknya tak kalah keras.

"Aku tahu itu," kilah Ki Sandara cukup be-

rani, "Tapi hidangan ini perlu diantar untuk ta-

mu-tamu yang lain. Baru selesai itu permintaan-

mu bisa dipenuhi," lanjut Ki Sandara mantap.

Pengunjung kedai itu rupanya jenis lelaki 

yang tidak begitu sulit diberi pengertian. Terbukti, 

dia kembali duduk di tempatnya dan bersiap me-

nyantap hidangan yang barusan diantar Yayun-

ing. Suasana di dalam kedai kembali tenang. Para 

pengunjung yang semula cemas akan terjadi keri-

butan kembali menyantap hidangan yang terse-

dia.

Pada saat pengunjung kedai tengah me-

nikmati hidangannya, dua bocah berusia tujuh 

tahunan tiba-tiba masuk dan langsung menuju 

ke dapur tempat Ki Sandara dan kedua anak ga-

disnya tengah berkumpul.

"Hai! Anak Manis, ada perlu apa kalian ke 

sini?" tanya Yayuning beranjak mendekati dua 

anak lelaki kecil itu, yang hanya mengenakan se-

lembar cawat berwarna hitam.

Dua bocah bercawat hitam yang tak lain


Bla dan Dbo menatap tajam wajah Yayuning.

"Aku perlu kau!" ucap Bla keras dengan ja-

ri telunjuk menuding wajah anak Ki Sandara.

"Aku?" tanya Yayuning yang ditunjuk oleh 

Bla. "Ah, Ayah. Anak ini lucu sekali," ucap Yayun-

ing lagi.

Ki Sandara yang tidak melihat sosok Bla 

dan Dbo terpaksa memanjangkan lehernya untuk 

melihat bocah lucu yang disebut Yayuning.

"Kau perlu apa dengan Yayuning, Anak 

Manis?" tanya Ki Sandara.

Bocah bercawat hitam bernama Bla tidak 

menjawab pertanyaan Ki Sandara. Tatapan ta-

jamnya tetap tertuju ke wajah cantik Yayuning.

"Kemari kau!" keras ucapan Bla dengan jari 

kembali menuding wajah Yayuning.

Yayuning tanpa diminta sekali lagi segera 

saja menghampiri Bla. "Ada apa?" tanya Yayuning 

dengan kepala sedikit direndahkan.

Tak ada jawaban atas pertanyaan Yayun-

ing. Namun, tiba-tiba saja tangan Bla bergerak 

cepat ke bagian dada anak Ki Sandara itu. 

Brets! 

"Ekh!"

Yayuning terpekik keras mendapatkan apa 

yang dilakukan bocah kecil di hadapannya. Tu-

buhnya langsung melangkah mundur ketika da-

danya terasa perih dan pakaiannya yang tersam-

bar tangan Bla koyak.

Ki Sandara pun tak kalah terkejutnya me-

lihat perbuatan anak kecil bercawat hitam itu.


Langkahnya segera bergerak maju untuk mence-

gah perbuatan Bla yang hendak diulangi.

"Bocah Setan! Pergi kalian!" bentak Ki San-

dara mengusir.

Bla dan Dbo mendelik mendengar benta-

kan Ki Sandara. Kemudian, tubuh dua bocah ke-

cil yang tak lain dua dari Sembilan Bocah Sakti 

mencelat ke atas meja dapur. Dengan kecepatan 

yang luar biasa tangan Bla dan Dbo bersama-

sama bergerak ke wajah Ki Sahdara. 

Brets! 

Brets! 

"Aaa...!"

Ki Sandara memekik keras. Tubuhnya se-

ketika limbung dan jatuh berdebuk. Wajah Ki 

Sandara mengucurkan darah akibat cakaran dua 

bocah bercawat. Dari mulut pemilik kedai itu ter-

dengar erangan kesakitan.

Suara ribut-ribut di dapur membuat para 

pengunjung yang tengah menikmati hidangan se-

gera berdatangan. Mereka terkejut bukan main 

ketika menyaksikan tubuh Ki Sandara tergolek di 

tanah dengan wajah koyak bekas cakaran. Darah 

mengucur dari luka itu. 

"Tolooong...!"

Yayuning memekik ketakutan ketika Bla 

kembali hendak melayangkan cakarnya. Gadis 

cantik anak Ki Sandara itu sudah terpepet di su-

dut dapur.

"Bocah Setan! Apa yang hendak kau laku-

kan di sini, heh?!" bentak lelaki tiga puluhan yang


tadi minta ditemani Yayuning. Langkah lelaki 

berpakaian biru itu terayun hendak membopong 

tubuh Bla dari belakang. Namun....

"Mampus kau!"

Seraya membalikkan tubuh, tangan kanan 

Bla dengan jari yang ditumbuhi kuku-kuku runc-

ing berkelebat cepat ke arah leher lelaki berpa-

kaian biru tua.

Wrrrttt...! 

"Uts!"

Lelaki itu menarik tubuhnya ke belakang 

menghindari sambaran tangan Bla. Usaha itu 

memang berhasil menyelamatkannya. Namun te-

man Bla, yakni Dbo, bergerak memberi serangan 

susulan dengan loncatan cepat. Tendangannya te-

rarah ke dada lelaki berpakaian biru tua.

"Haaaiiit..!"

Blagkg!

"Aaa...!"

Brukkk!

Tubuh lelaki berpakaian biru tua mental 

keluar dapur dan jatuh di ruang makan menimpa 

meja salah seorang pengunjung. Hanya sesaat tu-

buh lelaki itu mengejang. Pada saat berikutnya 

tubuhnya telah terbujur kaku dengan nyawa ter-

lepas dari raga.

Kenyataan itu membuat orang-orang gagah 

yang berada di dalam kedai segera bergerak un-

tuk meringkus dua bocah aneh bercawat hitam 

yang telah menewaskan Ki Sandara dan seorang 

pengunjung kedai.


"Ringkus Bocah Setan itu! Jangan biarkan 

lolos!" keras ucapan seorang lelaki yang pada ba-

gian punggungnya menggelantung sebatang pe-

dang. Rupanya, lelaki itu adalah orang persilatan.

Bla dan Dbo yang mendengar ucapan itu 

hanya mendengus marah. Kemudian tubuh kedua 

bocah itu melesat keluar dari dapur kedai Ki San-

dara.

"Jangan biarkan bocah-bocah itu lolos!" 

ucap salah seorang pengunjung kedai. Tubuh le-

laki itu sendiri melesat cepat mengejar Bla dan 

Dbo yang sudah berada di luar kedai.

"Kami tidak akan kabur, Kisanak sekalian! 

Justru nyawa kalianlah yang akan lolos dari raga. 

Saat ini juga!" bentak Bla di luar perkiraan orang-

orang gagah yang menjadi pengunjung kedai.

"Bocah Setan! Ayo, tangkap mereka!" perin-

tah lelaki yang di punggungnya tersandang seba-

tang pedang.

"Ayooo...!" setuju yang lain.


EMPAT



Tujuh lelaki pengunjung kedai yang berpe-

nampilan seperti orang persilatan segera meluruk 

maju hendak meringkus Bla dan Dbo. Gerakan 

mereka seakan hendak menangkap anak kecil 

yang melarikan mainan adiknya. Kenyataan itu 

tentu saja membuat Bla dan Dbo semakin men-

ganggap rendah lawan-lawannya. Keduanya bergerak cepat dengan sambaran tangan dan kaki, 

membuat para pengeroyoknya kalang kabut 

menghindari cakaran dan sampokan kaki mereka 

yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi.

Wrrrttt!

Wughg!

"Heh...?!"

Lelaki yang pada bagian punggungnya ter-

dapat pedang panjang tampak terkejut. Sambaran 

tangan yang baru saja berhasil dielakkan berganti 

dengan sambaran kaki yang cukup keras, terarah 

ke batang lehernya.

Tubuh Dbo melayang bagai seekor burung 

terbang. 

Plak! 

"Aaakh!"

Ketika benturan keras terjadi karena lelaki 

itu memapaki dengan tangan, pekik kesakitan 

pun terdengar. Tubuh lelaki berpakaian merah itu 

terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara 

tubuh Dbo yang melancarkan tendangan cukup 

keras berdiri tegak di tanah. Tidak terlihat bocah 

kecil itu kalah dalam adu tenaga.

"Haaaiiit..!"

Belum lagi lawan Dbo berhasil memperbai-

ki kedudukan, bocah bercawat hitam itu telah 

melejit cepat dengan sepasang tangan bergerak 

mencecar leher.

Lelaki berpakaian merah yang telah mera-

sakan kehebatan lawan tidak ingin ambil akibat. 

Maka, meski dalam keadaan kaki kurang pas


menjejak tanah, disempatkannya juga untuk me-

loloskan pedang.

Srattt!

Namun baru saja pedang itu keluar dari 

warangkanya, dan belum lagi siap ditebaskan ke 

arah lawan, serangan Dbo yang begitu cepat telah 

datang lebih dulu.

Crattt! 

Crappp!

"Aaa...!"

Pekik membumbung tinggi ke langit pun 

seketika terdengar cukup keras. Tubuh lelaki 

berpakaian merah yang bagian leher kiri-

kanannya tertembus kuku-kuku runcing Dbo 

menggelinjang-gelinjang bagai ayam disembelih.

Wrrrttt!

Dan ketika jari-jari Dbo terlepas dari leher 

lawan, seketika itu juga tubuh lelaki berpakaian 

merah menggeloso di tanah dengan nyawa me-

layang pergi.

Apa yang dilakukan Dbo dapat disaksikan 

pula pada sepak-terjang Bla yang begitu menggi-

riskan. Bla tidak membiarkan lawan-lawannya 

mengambil napas. Tubuh Bla berkelebatan cepat 

bagai malaikat pencabut nyawa. Setiap gerakan 

yang dilakukannya sebuah nyawa menjadi taru-

hannya.

Seperti saat ini. Tubuh Bla kembali me-

layang di udara dengan cakar berkuku runcing 

yang hendak dibenamkan di tubuh lelaki berpa-

kaian hitam yang tengah terhuyung-huyung.


"Haaaiiit..!" 

Plakkk! 

"Eikh...?!"

***

Tubuh Bla terhuyung dua langkah ketika 

sambaran tangannya dipapaki sosok kuning kee-

masan yang bergerak cepat. Kini sosok bayangan 

kuning yang menyelamatkan lelaki berpakaian hi-

tam telah menjejakkan kakinya di tanah.

"Nghrg...!"

Bla mengerang marah melihat sosok lelaki 

berpakaian kuning keemasan berdiri di depan ca-

lon korbannya. Tatapan Bla yang membara bagai 

seekor serigala terluka merayapi sekujur tubuh 

lelaki berwajah tampan itu. Dan ketika tatapan 

matanya membentur gagang pedang yang meng-

gelantung di leher pemuda itu, mata Bla untuk 

sesaat terpejam. Ketika terbuka, tatapannya su-

dah terarah ke tempat lain.

Lelaki berpakaian kuning keemasan yang 

tak lain Jaka hanya membalas tatapan mata Bla 

dengan senyum terkembang. Namun, pikiran to-

koh muda yang berjuluk Raja Petir itu segera 

mengambil kesimpulan kalau bocah yang dihada-

pinya adalah dua dari Sembilan Bocah Sakti.

"Hm.... Aku harus meringkus dua bocah itu 

hidup-hidup, " gumam Raja Petir dalam hati.

"Kakang,... Bukankah bocah-bocah itu...?" 

Mayang yang baru tiba di tempat kejadian lang


sung menyatakan dugaannya.

"Kau benar, Mayang," timpal Jaka memo-

tong ucapan kekasihnya. "Hati-hatilah kau meng-

hadapinya. Jangan memandang remeh," lanjutnya 

menasihati.

Mayang tidak menimpali ucapan Jaka. Ta-

tapan matanya tertuju pada dua bocah kecil yang 

telapak tangan mereka penuh berlumuran darah.

"Kita harus menangkapnya hidup-hidup 

untuk mengorek keterangan di mana ketujuh re-

kannya yang lain. Sekaligus mengetahui tujuan 

mereka yang selalu membunuh setiap orang yang 

dijumpai," tukas Jaka dengan berbisik.

"Ya, Kakang. Kita memang harus segera 

meringkus bocah-bocah setan itu," timpal 

Mayang.

"Bersiaplah, Mayang. Nampaknya dua bo-

cah itu sudah tahu siapa kita sebenarnya. Lihat! 

Dua bocah itu tengah menyiapkan ilmunya yang 

bukan mustahil sangat berbahaya. Berhati-

hatilah, Mayang."

Belum selesai gema ucapan Jaka meman-

tul di sudut hati Mayang. Sosok tubuh dua bocah 

bercawat hitam itu sudah berkelebat cepat den-

gan tangan terentang kuat. Tangan itu telah be-

rubah menjadi kemerah-merahan. 

"Sepasang Tangan Bocah Sakti'!" teriak Bla 

menyebut nama ilmu yang akan dilancarkan un-

tuk menyerang Raja Petir dan Dewi Payung Emas. 

"Haaaiiit..!"

"Haiiit..!"

Jaka dan Mayang yang memang sudah 

bersiap segera mengerahkan jurus masing-masing 

untuk mematahkan serangan lawan. Raja Petir 

dengan jurus menghindarnya yang bernama 

'Lejitan Lidah Petir' segera berkelebat ketika se-

rangan Bla dengan cepat menyambar wajahnya.

Serangan pembuka yang dilancarkan Bla 

memang berhasil dikandaskan Jaka. Kenyataan 

itu membuat bocah bercawat hitam semakin 

murka. Dia kembali melancarkan serangan yang 

tak kalah cepat

"Hyaaa...!"

Wrrrttt!

Uts!

Jaka melentingkan tubuhnya ke udara ke-

tika serangan Bla terarah ke bagian bawah tu-

buhnya. Namun siapa sangka kalau setelah se-

rangannya gagal, Bla seperti udang di dalam 

tangguk. Tubuhnya meletik indah dengan tangan 

bergerak memberikan serangan susulan ke arah 

dagu Raja Petir.

Jaka yang sempat terkejut menyaksikan 

gerakan aneh lawan, segera menyadari kalau la-

wan betul-betul memiliki kepandaian tinggi. Maka 

untuk dapat mengandaskan serangan Bla, Raja 

Petir segera melintangkan tangannya memapaki 

serangan.

Plakkk!

"Heh...?!"

Jaka terkejut bukan main. Ketika benturan 

keras terjadi, dia merasakan hawa aneh menelusup masuk melalui persentuhan kulit. Hawa aneh 

yang dirasakan Jaka begitu cepat menelusup. Se-

ketika itu juga Jaka merasakan ulu hatinya mual, 

seperti ingin muntah. Kepalanya pun terasa ber-

denyut-denyut pening.

"Hati-hati, Mayang! Usahakan jangan ber-

sentuhan dengan lawanmu!" tukas Jaka lantang. 

Meski kepalanya dirasakan berputar hebat, dan 

rasa mual di ulu hatinya semakin menjadi-jadi. 

Rasa khawatirnya pada keselamatan Mayang 

membuat Jaka meneriakkan peringatan itu.

Peringatan Jaka yang keras memang di-

dengar oleh Mayang. Dara manis yang berjuluk 

Dewi Payung Emas segera mengembangkan senja-

ta andalannya yang berupa payung kecil dari lo-

gam keras berwarna kuning keemasan.

Sementara itu, Raja Petir yang tengah ter-

pengaruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' se-

gera mengatasinya dengan 'Aji Kukuh Karang'. 

Ajian itu berguna untuk mengusir pengaruh ber-

macam ilmu yang menelusup masuk ke tubuh-

nya.

Maka, sebentar kemudian tubuh Jaka ter-

bungkus sinar kuning menyilaukan mata pada 

bagian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung 

kaki. Agaknya 'Aji Kukuh Karang' tengah bekerja. 

Dan ketika tangan Jaka yang barusan berpapa-

kan dengan tangan Bla dihentakkan kuat-kuat, 

maka....

Slats! 

Sinar kemerahan yang merupakan penga


ruh ilmu 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' mencelat 

keluar mengejar tubuh pemiliknya sendiri.

"Hops!"

Bla yang tidak menyangka Jaka dapat me-

redam keampuhan ilmunya segera menghentak-

kan kaki keras-keras menghindari luncuran sinar 

kemerahan yang meluruk cepat ke arahnya. Tu-

buh bocah cilik yang terbungkus sehelai cawat 

berputaran indah di udara. Gerakannya bagai 

seekor burung walet menjumput air.

Jlieg!

Tubuh kecil itu mendarat di tanah dengan 

mantap. Sementara sinar kemerahan yang berha-

sil dielakkannya terus meluncur. Dan ketika me-

nabrak sebatang pohon besar, maka yang terja-

di....

Blarrr!

Brakkk!

Bunyi ledakan keras terdengar diiringi den-

gan ambruknya pohon sebesar pelukan lelaki de-

wasa. Batang pohon itu hangus terbakar. Jika si-

nar merah itu menerpa sosok manusia, tak ter-

bayangkan lagi akibat yang lebih mengerikan dari 

sebuah kematian.

"Hi hi hi...! Kau memang hebat, Raja Petir," 

ucap Bla mengenali sosok yang menjadi lawan-

nya.

Ucapan Bla tak mengejutkan Jaka. Malah 

hati, Jaka bertambah yakin kalau bocah cilik di 

hadapannya bukan bocah yang sewajarnya. Tapi 

merupakan jelmaan seorang tokoh sakti yang ke


hadirannya tidak ingin diketahui.

"Raja Petir! Hari ini nama harummu akan 

terkubur. Tantanglah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis 

Neraka Berkabung' jika kau ingin mempertahan-

kan nama harummu. Namun, jangan harap hal 

itu akan dapat kau lakukan!" tukas Bla mantap. 

Suaranya menggelegar meski terdengar nyaring 

bagai suara bocah tujuh tahun.

Sementara Raja Petir dengan tenang terus 

menyaksikan apa yang akan dilakukan lawannya. 

Pada saat itu lawannya belum menggenggam sen-

jata yang dikatakannya sebagai sebatang pedang.

Dan ketika Bla memejamkan matanya, se-

saat kemudian lewat ubun-ubunnya muncul 

ujung senjata yang dikatakannya sebagai pedang. 

Ujung pedang itu semakin lama semakin meman-

jang. Dan ketika mencapai ukurannya, Bla segera 

meraih senjatanya yang ternyata disimpan di da-

lam tubuh. "Bersiaplah, Raja Petir!" tukas Bla lan-

tang. Sementara itu, penghuni kedai yang hanya 

tinggal Yayuning, Partining, dan lelaki yang telah 

diselamatkan Jaka bersembunyi di balik meja 

yang berantakan. Mata mereka terus menyaksi-

kan pertarungan dengan hati berdebar cemas.

Jaka pun merasa cemas mengingat Mayang 

yang tengah berhadapan dengan Dbo. Bocah yang 

juga bercawat hitam itu pasti akan mengerahkan 

ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung', 

yang ketika muncul dari tubuh Bla dirasakan Ja-

ka kedahsyatan pamor pedang yang panjangnya 

sama dengan tinggi tubuh pemiliknya.


"Mudah-mudahan saja Mayang mampu 

menandingi ilmu setan itu," gumam Jaka dalam 

hati.

Pada saat kecemasan Jaka akan keselama-

tan kekasihnya berlangsung, Bla si bocah cilik 

bercawat hitam melesat dengan pekikan aneh. 

Pekikannya nyaris mirip suara anjing terjepit.

"Kaingngng...!"

Seperti gangsing, tubuh Bla berputar-putar 

di udara. Bunyi menderu pun seketika terdengar 

memekakkan telinga. Sekujur tubuh bocah ber-

cawat hitam itu terbungkus sinar kemerahan, se-

perti halnya pedang di tangannya.

Menghadapi ilmu aneh lawannya. Raja Pe-

tir segera mengerahkan 'Aji Bayang-Bayang'. So-

sok Raja Petir menjadi lima kali lipat banyaknya. 

Dan ketika tebasan pedang Bla mengarah ke tu-

buhnya....

Breberrrt..!

"Hops...!"

"Heh?!"


LIMA



Tubuh Raja Petir melenting cepat dengan 

hentakan kuat pada permukaan tanah. Sungguh 

Raja Petir tidak menyangka bocah bercawat hitam 

itu mampu membaca kelemahan ilmu yang dis-

uguhkan nya. Hampir saja tubuh Raja Petir dilu-

mat kedahsyatan sambaran senjata Bla yang menyebarkan hawa panas menyengat

Jlegkh!

Sosok Raja Petir mendarat dengan indah di 

tanah empat tombak jauhnya dari kedudukan la-

wan, setelah berputaran beberapa kali di udara.

"Ush!"

Raja Petir melepaskan napasnya yang tera-

sa sesak. Pemuda itu merasakan kulitnya bagai 

terpanggang bara.

"Apa perlu kukerahkan Sabuk Petir ini?" 

Raja Petir bergumam sendiri, sementara tatapan-

nya memandang sabuk hijau yang melilit ping-

gangnya, dengan tangan sudah memegang ujung 

Sabuk Petir.

Klangngng...! 

"Akh!"

Tercekat hati Raja Petir mendengar suara 

dentang senjata beradu dan pekik tertahan yang 

keluar dari mulut Mayang.

"Mayang...!" panggil Raja Petir mence-

maskan keadaan kekasihnya.

Bersamaan dengan kecemasannya yang 

menjadi-jadi, bocah cilik bercawat hitam yang 

menjadi lawan Raja Petir kembali melesat membe-

rikan serangan susulan. Pedangnya yang memen-

darkan sinar kemerahan terayun di udara.

"Kaingngng...!"

Wrrrr...!

Tubuh Bla melesat dan berputaran bagai 

gangsing. Warna kemerahan nampak bergulung-

gulung di udara, membuat kerikil-kerikil yang berada di sekitar arena pertarungan berpentalan. 

Dan daun-daun berguguran dengan warna yang 

berubah menjadi hitam. Hangus.

"Hmrh...!"

Jaka mendengus kesal melihat kebengisan 

lawan. Namun, ia harus cepat menolong kekasih-

nya menghadapi Dbo. Maka tanpa pikir panjang 

lagi tangan kanan Jaka segera menarik ujung Sa-

buk Petir. 

Rrrrttt!

Sinar kuning kemilau pun seketika ber-

pendar dari Sabuk Petir yang berwarna hijau, 

hingga suasana di sekitarnya menjadi terang. Dan 

ketika tebasan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka 

Berkabung' datang. Raja Petir segera mengimban-

ginya dengan ilmu 'Petir Membelah Malam'.

Cletar! 

Glarrr!

"Kaingngng...!"

Lidah Sabuk Petir yang terayun dalam ju-

rus 'Petir Membelah Malam' dengan tepat meng-

hantam segulungan sinar kemerahan yang tak 

lain wujud dari Pedang Iblis Neraka yang diputar 

dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh Bla 

tergempur mundur lima langkah. Sementara sen-

jata andalannya terpental lebih jauh dan patah 

dua. Namun senjata yang patah itu tiba-tiba raib, 

tinggal patahan bagian ujungnya saja yang masih 

terlihat menggeletak di tanah.

"Eugkh!" Bla mengerang kesakitan sesaat 

ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung'


mampu dilumpuhkan Jaka dengan jurus 'Petir 

Membelah Malam'.

Akan tetap patut dipuji kepandaian bocah 

bercawat hitam itu. Begitu juga dengan daya ta-

han tubuhnya. Seharusnya, orang yang terhan-

tam jurus 'Sabuk Petir Membelah Malam' sudah 

tergeletak menjadi bangkai dengan tubuh hangus 

bagai tersambar petir. Namun apa yang disaksi-

kan Jaka terhadap tubuh Bla? Sungguh Jaka ti-

dak habis pikir. Tubuh Bla sedikit pun tidak 

mengalami luka, apalagi hangus seperti luka ba-

kar. Yang terlihat hanya napas bocah bercawat 

hitam itu tersengal-sengal setelah terhantam ju-

rus 'Petir Membelah Malam'.

"Kaingngngh...!"

Di tengah keterpesonaan Jaka terhadap ke-

tangguhan lawan, sepasang mata pemuda itu 

menangkap kelebatan lawan Mayang tengah men-

gerahkan ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka Ber-

kabung'.

"Awaaas..., Mayang!" pekik Raja Petir 

memperingatkan kekasihnya akan kedahsyatan 

ilmu yang sedang dipamerkan lawan.

"Hops!"

Raja Petir menghentakkan kakinya kuat-

kuat. Tubuhnya melesat bagai kilat dengan Sabuk 

Petir tergenggam di tangan kanan, siap memain-

kan jurus 'Petir Membelah Malam'. 

"Hyaaattt...!"

Cletar...! 

Glarrrr...!


Ketika Sabuk Petir terayun dengan penge-

rahan tenaga dalam tinggi, seberkas sinar bagai 

lidah petir melesat cepat dan menghantam sinar 

merah yang bergulung di atas kepala Dbo.

Bocah cilik bercawat hitam yang menjadi 

lawan Dewi Payung Emas memekik keras. Tu-

buhnya tergempur mundur enam langkah. Se-

dang senjatanya yang bernama Pedang Iblis Nera-

ka terpental lebih jauh dengan keadaan yang ti-

dak utuh lagi. Patahannya yang masih menempel 

pada gagang seketika raib tak berbekas. Tetapi 

patahan ujungnya tergeletak di tanah dengan 

warna yang berubah menjadi hitam legam.

"Eugkh...!"

Seperti yang dialami rekannya, Dbo si bo-

cah bercawat hitam mengerang kesakitan. Malah, 

keadaannya lebih parah dari Bla yang menjadi 

lawan Jaka. Tubuh Dbo terkulai di tanah. Dari 

sudut bibirnya tampak cairan merah.

"Dbo...?!" teriak Bla mengkhawatirkan kea-

daan temannya. Dengan langkah terseok-seok Bla 

menghampiri Dbo. "Kau tak apa-apa Dbo? Hu hu 

hu...," tiba-tiba Bla menangis bagai anak kecil 

yang tidak kebagian kembang gula.

Dbo yang menyaksikan Bla menangis sedih 

dengan air mata bercucuran, ikut melakukan hal 

yang sama. Dbo malah menangis lebih keras.

"Huuu hu hu...!"

Jaka dan Mayang tentu saja tercengang 

melihat kelakuan aneh bocah-bocah sakti yang 

telah berhasil dilumpuhkannya. Begitu juga


Yayuning, Partining, dan lelaki berpakaian hitam 

yang diselamatkan Jaka. Ketiga orang itu keluar 

dari tempat persembunyiannya di balik meja ke-

dai. Mereka keheranan mendengar tangis dua bo-

cah sakti yang sepak-terjangnya sangat menggi-

riskan. Yayuning dan saudara kembarnya saling 

berpandangan dengan tidak mengerti.

"Dbo! Sekarang kita tidak punya apa-apa 

lagi. Kesaktian kita musnah karena Pedang Iblis 

Neraka sudah raib dari tubuh kita. Kita tak punya 

harga lagi di mata Kakang Gora. Hu hu hu...!" Bla 

kembali menangkis keras. Tangannya merangkul 

tubuh Dbo.

Jaka dan Mayang yang mendengar ucapan 

Bla menjadi mengerti mengapa mereka menangis. 

Rupanya, Pedang Iblis Neraka-lah yang menjadi 

sumber kekuatan mereka.

"Sebaiknya cepat kita ringkus bocah-bocah 

itu, Kakang," usul Mayang tak ingin buang waktu.

"Ya, Mayang. Kita memang harus segera 

mendapatkan keterangan dari bocah-bocah itu," 

timpal Jaka menyetujui usul kekasihnya.

Langkah Mayang terayun lebih dulu hen-

dak menangkap Bla dan Dbo yang masih berang-

kulan. Sementara Jaka mengikuti langkah keka-

sihnya. Tetapi.....

"Kak! Kak....kak!" tiba-tiba terdengar suara 

tawa yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga 

dalam tinggi. Bersamaan dengan itu melesat tiga 

sosok bayangan menuju Jaka dan Mayang yang 

tengah mengayunkan langkah menghampiri 


Dbodan Bla.

Jlig!

Jligk! Jligk!

Tiga sosok tubuh tinggi besar berpakaian 

seorang pendeta melesat cepat dan mendarat 

dengan ringan di samping kiri Raja Petir.

Tiga lelaki yang berambut merah panjang 

terurai itu berdiri pongah dengan tatapan mata 

setajam elang, tertuju lurus pada wajah Jaka dan 

Mayang. Ketiga sosok itu bersenjatakan tasbih 

merah. Mereka adalah tiga lelaki berambut pan-

jang yang berjuluk 'Tiga Pendeta Rambut Api'.

Orang pertama dari Tiga Pendeta Rambut 

Api bernama Ekalaya. Seperti kedua rekannya, 

tubuh Ekalaya tinggi besar dan berotot meling-

kar-lingkar. Yang membedakannya hanya pada 

matanya yang sipit seperti mata bangsa Tiongkok. 

Sedangkan orang kedua dan ketiga bernama So-

naga dan Burita. Keduanya memiliki perbedaan 

pada hidungnya yang besar nyaris mirip buah 

tomat, dan mulutnya yang monyong.

"Hi hi hi...! Sungguh tak kusangka tokoh 

sakti yang namanya harum semerbak bak bunga 

surgawi memiliki sifat berbau busuk bagai bunga 

comberan!" tukas Ekalaya dengan tawanya yang 

tergelak. Bola mata lelaki itu menjadi tak nam-

pak. Yang terlihat hanya sebaris garis memanjang 

di antara hidungnya yang melengkung.

Jaka dan Mayang sendiri tampak tenang-

tenang saja menyaksikan kemunculan tiga pende-

ta itu. Begitu juga ketika ucapan menghina keluar


dari mulut lelaki bermata sipit, sedikit pun tidak 

terdengar suara Jaka menentang ucapan itu.

Sebaliknya, Bla dan Dbo seperti mendapat 

kesempatan untuk menyelamatkan diri dengan 

munculnya Tiga Pendeta Rambut Api. Hati kedua 

bocah bercawat hitam itu merasa gembira. Itu ter-

lihat dari wajah mereka yang tidak lagi menun-

jukkan kecemasan.

"Raja Petir! Tak malukah kau hendak 

membunuh dua bocah tak berdaya itu?! Inikah 

yang dinamakan pendekar bijak dari golongan lu-

rus? Perbuatan serendah inikah yang dinamakan 

pengabdian untuk kaum lemah dan tak bersa-

lah?" sambut orang kedua dari Tiga Pendeta 

Rambut Api yang bernama Sonaga. Ucapannya 

tegas dan tajam menusuk.

"Kau harus menebus dengan nyawa akibat 

perbuatanmu ini. Raja Petir. Perbuatan rendah 

yang tak patut dilakukan tokoh digdaya seperti-

mu! Kami, Tiga Pendeta Rambut Api, akan meng-

hukum kalian sekarang juga! Bersiaplah untuk 

melayat ke lubang kubur!" sentak orang ketiga 

yang bernama Burita. Jari telunjuknya bergerak-

gerak menuding wajah Jaka dan Mayang.

"Hmmm...," Jaka bergumam tak jelas sebe-

lum menimpali ucapan Tiga Pendeta Rambut Api. 

"Kalian orang-orang sesat memang pandai bersilat 

lidah untuk melindungi kaum segolongan!" sentak 

Jaka dengan suara yang ditekan, hingga keluar 

dengan kewibawaan yang jelas dirasakan oleh Ti-

ga Pendeta Rambut Api. Seketika wajah mereka


bersemu merah.

"Ya. Kalian memang penjilat-penjilat koto-

ran anjing!" timpal Mayang semakin membuat wa-

jah Tiga Pendeta Rambut Api bagai panas ter-

panggang. "Silakan maju jika kalian memang mau 

menghukum Raja Petir dan Dewi Payung Emas," 

lanjut Mayang menantang.

"Betina Liar!" timpal Burita memaki. Lang-

kah kakinya terayun dua tindak.

"Bersiaplah untuk mampus, Betina Jelek!" 

hina Burita.

Srattt!

Mayang tidak terkejut menyaksikan lelaki 

tinggi besar bermulut monyong itu memamerkan 

butiran tasbih besar berwarna merah darah. Ma-

lah, tatapan Dewi Payung Emas dipertajam me-

melototi wajah Burita.

"Lelaki monyong bau kentut! Buang saja 

tasbih bututmu itu!" sentak Mayang menghina.

"Betina Gila! Kurancah mulutmu!" maki 

Burita dengan langkah panjang menghampiri so-

sok Mayang.

Jaka semula ingin melindungi kekasihnya. 

Namun Mayang melarangnya. "Biarkan kuberi pe-

lajaran lelaki bau tai itu, Kakang," pinta Mayang.

Jaka yang memang tidak mau menying-

gung perasaan kekasihnya segera menggeser tu-

buhnya.

"Seranglah aku!" tantang Mayang tegas

"Hmrh...!" Burita mendengus kesal.

"Hoaaa...!"


Teriakan Burita yang keras mengiringi 

mencelatnya tubuh besarnya dengan tasbih ber-

putar bagai baling-baling, hingga menimbulkan 

deru memekakkan telinga. Jelas, dalam serangan 

pembuka itu Burita telah mengeluarkan tenaga 

dalamnya.

Untuk menghadapi serangan lelaki bermu-

lut monyong itu, Dewi Payung Emas segera men-

gerahkan jurus 'Menepak Laut Menggenggam Air'. 

Sosok dara manis yang mengenakan pakaian 

jingga kini telah siap menyongsong serangan Bu-

rita.

Brrrtt! 

"Uts!" 

Tubuh Mayang mencelat menghindari 

sambaran tasbih Burita yang menimbulkan deru 

hebat. Tubuh dara berambut panjang dikepang 

itu berputaran dua kali di udara. Dan ketika tu-

buhnya mendarat di tanah, dengan ciri khas ju-

rus 'Menepak Laut Menggenggam Air', tubuhnya 

kembali melesat memberikan serangan balasan 

dengan sodokan ujung payung yang runcing ke 

arah leher lawan.

"Mampus kau, Monyong!" teriak Mayang 

dengan mengarahkan senjatanya.

Wuttt!

"Hits!"

Burita memiringkan tubuhnya ke samping 

kanan menghindari tusukan ujung payung 

Mayang. Namun gerakan itulah yang memang di-

tunggu-tunggu kekasih Raja Petir. Sesaat tubuh


Burita doyong ke kanan, sebuah tendangan me-

mutar yang cukup keras dilakukan Dewi Payung 

Emas.

"Hiaaattt...!"

Blugkh!

"Hegk!" 

Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke 

samping kiri. Tendangan memutar yang dilancar-

kan Dewi Payung Emas mendarat dengan telak di 

bahu kanannya.

Kenyataan itu membuat Ekalaya dan So-

naga terhenyak. Serta-merta mereka meluruk 

menyerang Dewi Payung Emas.

Di situlah letak perbedaan tokoh-tokoh ali-

ran sesat dengan tokoh yang berpijak di bumi ke-

benaran. Tokoh sesat aliran hitam tidak akan se-

gan-segan melakukan pengeroyokan terhadap la-

wan, meski dia seorang perempuan. Seperti yang 

dilakukan Ekalaya dan Sonaga sekarang ini.

"Biarkan temanmu bermain-main dengan 

temanku, Kisanak," cegah Jaka melompat meng-

hadang Ekalaya dan Sonaga. "Kalian berdua ada-

lah lawanku," ucapnya menantang.

"Setan Belang!" maki Ekalaya geram.

Dua tokoh yang berjuluk Pendeta Rambut 

Api segera merangsek tubuh Jaka dengan lang-

sung mengerahkan jurus andalan mereka yang 

bernama 'Tasbih Pemecah Karang'. Bunyi angin 

menderu terdengar mengiringi berputarnya tasbih 

besar di genggaman tangan Ekalaya dan Sonaga.

"Sudah lama aku hendak menjajal kemam


puanmu. Raja Petir. Hadapilah serangan mautku. 

Hiyaaa...!"

Breberr! Brebert! 

"Uts!"

Tubuh Raja Petir mencelat indah menghin-

dari serangan bersamaan yang dilancarkan orang 

pertama dan kedua Tiga Pendeta Rambut Api. Ju-

rus 'Lejitan Lidah Petir' memang cukup tepat dis-

ajikan Jaka untuk melumpuhkan serangan kedua 

lawannya. Terbukti, serangan maut yang dilan-

carkan Ekalaya dan Burita hanya menerpa angin 

kosong. Malah, keduanya harus jungkir balik 

menghindar ketika Jaka memadukan jurus 

'Lejitan Lidah Petir' dengan jurus 'Petir Menyam-

bar Liang'.

"Jangan lengah, Sobat!" ucap Jaka mempe-

ringatkan lawan. Sementara tangannya terus me-

luruk cepat ke dada Ekalaya dan kepala Burita.

"Hup!"

"Hup!"

Dua dari Tiga Pendeta Rambut Api berlom-

patan cepat menghindari serangan Jaka. Tubuh 

mereka berpencar ke dua arah.

Di tempat lain, nampak dua bocah berca-

wat yang bernama Bla dan Dbo bergerak perla-

han-lahan menjauhi arena pertarungan. Kedua-

nya berharap Raja Petir yang telah berhasil me-

lumpuhkannya tidak melihat perbuatan mereka. 

Kalau pun melihat, Bla dan Dbo berharap Raja 

Petir tidak mengejarnya.

Harapan dua bocah yang telah musnah ke


saktiannya itu memang terkabul. Jaka yang sibuk 

menghadapi gempuran-gempuran dahsyat Eka-

laya dan Sonaga tidak sempat memperhatikan 

perbuatan mereka. Hingga akhirnya tubuh Bla 

dan Dbo menghilang di balik rerimbunan belukar 

Desa Nurabarang.

Kembali ke arena pertarungan antara 

Mayang dan Burita, lelaki berpakaian pendeta itu 

terdesak hebat oleh jurus-jurus yang dikerahkan 

Dewi Payung Emas. Namun karena kekeraskepa-

laannya yang hendak menjatuhkan gadis cantik 

itu, Burita terus saja berusaha menggempur 

Mayang tanpa mempedulikan pertahanannya.

Mayang yang cerdik dan bertarung dengan 

ketenangannya yang luar biasa segera mampu 

membaca kelemahan pertahanan Burita. Maka 

ketika serangan Burita datang dengan pengera-

han jurus 'Tasbih Pemecah Karang', seketika itu 

juga Mayang mengembangkan senjatanya yang 

berupa payung kecil terbuat dari logam.

Rrrttt...!

Tlangngng!

Bunyi benturan keras pun terdengar ketika 

dua tenaga dalam yang tersalur lewat senjata Bu-

rita dan Mayang bertemu.

Tubuh Burita terhuyung tiga langkah ke 

belakang. Sedangkan tubuh Mayang hanya lim-

bung selangkah, kenyataan itu jelas menunjuk-

kan kalau kemampuan tenaga dalam Dewi 

Payung Emas berada beberapa tingkat di atas Bu-

rita.


Melihat peluang emas yang ada, Mayang 

segera mencelat hendak menyerang balik lawan-

nya dengan payung yang diputar cepat hingga 

menimbulkan deru angin dahsyat.

"Hiaaattt...!"

Burita yang belum siap menerima serangan 

susulan Mayang sebisanya mengelakkan samba-

ran payung berujung runcing yang terarah ke pa-

hanya. Namun, siapa yang menyangka kalau ge-

rakan menghindar yang dilakukan Burita meru-

pakan bencana bagi dirinya. Pada saat tubuhnya 

mencelat ke atas, payung Mayang yang terkem-

bang terangkat pula ke atas. Akibatnya....

Brets...! 

"Aaa...!"

Pekik melengking membumbung ke langit. 

Sosok Burita tampak melambung dan kemudian 

ambruk dengan perut terkoyak lebar. Darah men-

galir deras dari luka yang telah melenyapkan 

nyawa orang ketiga dari Tiga Pendeta Rambut Api.

Ekalaya yang menyaksikan kematian Buri-

ta menjadi kalap. Tak dihiraukannya lagi kebera-

daan Raja Petir. Tubuhnya langsung melesat 

memburu Mayang yang telah membunuh Burita. 

"Hiaaa...!"


ENAM



Dengan tewasnya Burita, pertarungan ber-

langsung semakin seru. Ekalaya yang meluruk

menerjang Mayang tidak sadar kalau Raja Petir 

tengah mengintainya untuk melindungi kekasih-

nya.

Pada saat butiran tasbih merah Ekalaya 

melayang dengan jurus ‘Tasbih Pemecah Karang’ 

menuju kepala gadis cantik berpakaian jingga. 

Raja Petir segera mengerahkan jurus 'Pukulan 

Pengacau Arah'.

"Hyaaa...!"

Wuttt! 

Wusss!

Serangkum angin bergulung melesat dari 

telapak tangan Raja Petir yang menghentak kuat. 

Angin bergulung bagai pusaran angin itu membu-

ru sosok Ekalaya yang tengah mencelat hendak 

melampiaskan nafsu membunuhnya pada 

Mayang. Ekalaya tidak lagi mempedulikan seran-

gan Jaka. Di hatinya telah tercetus niat untuk 

membalas kematian Burita.

Akibatnya.... 

Prets!

"Aaa...!" 

Ekalaya terpekik ketika serangkum angin 

bergulung yang tercipta dari jurus 'Pukulan Pen-

gacau Arah' menghantam dengan telak sepasang 

kakinya yang tengah melayang di udara. Saat itu 

juga tubuh lelaki tertua dari Tiga Pendeta Rambut 

Api melayang jatuh dengan kaki mengepulkan 

asap tipis, terkena pukulan jarak jauh Raja Petir 

yang mengandung hawa panas menyengat

Bruk!


"Akh!" 

Kembali Ekalaya terpekik ketika tubuhnya 

jatuh berdebuk ke bumi. Tulang pinggangnya te-

rasa patah. Lelaki tertua dari Tiga Pendeta Ram-

but Api itu hanya mampu mengerang kesakitan 

tanpa kembali bangkit menyerang. 

"Setan!" 

Sonaga yang masih segar-bugar memaki 

dengan segenap kemarahannya. Bola matanya 

membara bagai mata banteng luka.

"Kubunuh kau, Raja Gendeng!" hardik So-

naga dengan tangan terkepal keras. Giginya ge-

meretakan menahan kemarahan yang tak kuasa 

dibendung. 

"Hyaaa...."

Ekalaya memekik keras. Tubuhnya mence-

lat ke arah Jaka. Sonaga menyerang lawan den-

gan mengerahkan jurus 'Rambut Api Membakar 

Ilalang'. Tangannya yang mengepal berubah men-

jadi merah seperti bara. Rambutnya yang keme-

rahan dikibas-kibas ke kanan dan kiri.

Pret! Pret!

Slats!

Sungguh aneh memang ilmu 'Rambut Api 

Membakar Ilalang'. Dari sela-sela rambut panjang 

Sonaga meluncur selarik sinar merah. Dan ketika 

tangan Sonaga menghentak kuat, sinar merah 

yang tak kalah dahsyatnya keluar dengan deras. 

Kini tiga sinar kemerahan bersamaan meluruk ke 

arah Raja Petir.

Menghadapi ilmu lawan. Raja Petir menco


ba meladeninya dengan tetap mengerahkan 

'Pukulan Pengacau Arah'. Maka ketika telapak 

Raja Petir yang terbuka menghentak keras, se-

rangkum angin bergulung kembali tercipta, melu-

ruk menyongsong kedatangan tiga larik sinar ke-

merahan hasil olahan ilmu 'Rambut Api Memba-

kar Ilalang'.

Brefs! Brefs! 

Pret! 

Tiga larik sinar kemerahan ciptaan Sonaga 

terpental balik sesaat berbenturan dengan segu-

lungan angin berhawa panas bagai pusaran an-

gin. Sonaga sendiri harus berkali-kali berputaran 

di udara menghindari sinar kemerahan miliknya 

sendiri. 

Jlig! 

"Hmrh...!" Sonaga menggeram marah keti-

ka kakinya mendarat di bumi. Tatapannya masih 

tetap membara tertuju ke wajah Jaka yang mem-

balasnya dengan cibiran dingin. 

Sementara Mayang hanya mengulum se-

nyum melihat lelaki yang menjadi lawan kekasih-

nya mulai kehilangan kepercayaan diri. Kebera-

niannya sedikit demi sedikit luntur. 

"Jangan kau teruskan, Sonaga. Biarkan 

kali ini dia yang menang. Cukup Burita yang 

menjadi korban!" cegah Ekalaya yang telah mam-

pu menguasai rasa nyeri pada sepasang kakinya. 

"Hari ini Raja Petir bukan tandingan kita. Namun 

lain kali..." 

"Kau benar, Kakang Ekalaya. Lain kali kita


akan menguburnya!" sangkal Sonaga mantap.

Jaka tidak turut campur dalam pembica-

raan dua lawannya yang sudah kehilangan kebe-

ranian. 

"Kenapa kalian tidak tobat saja. Bukankah 

itu lebih baik daripada kalian menyimpan den-

dam percuma dan hanya akan merasakan kega-

galan kedua kalinya?" ejek Mayang dengan suara 

yang dibuat-buat

Mata Ekalaya dan Sonaga mendelik seperti 

hendak keluar. "Gadis Liar! Tak akan kami tobat 

sebelum mampu melenyapkan nyawa kalian ber-

dua. Kami bersumpah untuk itu!" tegas ucapan 

yang dikeluarkan Ekalaya.

Namun ketegasan ucapan itu hanya diba-

las dengan senyum ringan Jaka dan Mayang.

"Jadi sekarang kalian ingin pergi?" tanya

Jaka menggoda.

"Keparat!" maki Sonaga hendak kembali 

menyerang.

"Jangan Sonaga!" larang Ekalaya, "Lebih 

baik kita pergi sekarang. Ayo, bantu aku bangkit," 

pinta Ekalaya dengan suara yang sedikit menghi-

ba.

Sonaga tampak tertegun mendengar uca-

pan Ekalaya. Ya, Ekalaya yang mengalami luka 

bakar pada sepasang kakinya memang membu-

tuhkan pertolongan dengan segera. Di samping 

itu, Sonaga juga sadar dengan kemampuannya 

saat ini, percuma saja dia terus nekat menggem-

pur Raja Petir yang jelas-jelas berilmu lebih tinggi.


"Baiklah, Kakang Ekalaya. Kita memang 

harus pergi. Dan dikemudian hari kembali men-

cari Raja Gendeng itu!" tukas Sonaga dengan jari 

telunjuk menuding wajah Jaka. 

Jaka mencibir mendengar perkataan Sona-

ga. 

"Ayo, Kakang! Hop!" 

Tubuh Sonaga seketika bergerak membo-

pong tubuh orang tertua dari Tiga Pendeta Ram-

but Api. Hanya sesaat Jaka dan Mayang menyak-

sikan Sonaga berlari dengan membopong tubuh 

Ekalaya. Saat selanjutnya, pasangan pendekar itu 

sudah membalikkan tubuh mencari sosok bocah-

bocah bercawat yang telah mereka taklukkan. 

"Ke mana perginya bocah-bocah itu, Ka-

kang?" tanya Mayang perlahan. 

"Entahlah, Mayang. Namun menurutku le-

bih baik begitu. Dua bocah yang sudah hilang ke-

saktiannya itu pasti akan mengadu pada teman-

temannya. Dengan begitu, kita tak perlu susah-

susah mencari tujuh bocah sakti yang lain. Mere-

ka pasti akan mencari kita untuk membalas ke-

kalahan dua temannya," ujar Jaka.

"Kau benar, Kakang," tandas Mayang 

membenarkan kesimpulan Jaka. "Sekarang se-

baiknya kita ke mana, Kakang?" tanya Mayang. 

Tangan gadis itu bergelayut manja di punggung 

Jaka.

"Perutku sudah berbunyi, Mayang. Kau 

pasti tahu ke mana kita harus melangkah," jawab 

Jaka akan pertanyaan kekasihnya.


"Ke kedai makan tentunya, Kakang. Bukan 

ke sungai," seloroh Mayang.

"Bukankah itu rumah makan?" tunjuk Ja-

ka pada sebuah bangunan yang terletak delapan 

tombak di hadapan mereka.

"Betul, Kakang. Tapi mana pemiliknya?"

Tanpa menjawab pertanyaan Mayang, kaki 

Jaka segera terayun menuju kedai. Tiba-tiba pe-

muda itu ingat pada lelaki yang telah disela-

matkannya dari serangan bocah kecil bercawat 

hitam.

"Oh, terima kasih atas pertolonganmu. Raja 

Petir. Terima kasih," sambut seorang lelaki berpa-

kaian hitam.

"Jangan membungkuk seperti itu, Kisa-

nak," cegah Jaka ketika lelaki berpakaian hitam 

menjura hendak mencium lututnya.

Ketika lelaki berpakaian hitam menuruti 

perintahnya, Jaka segera masuk ke dalam kedai 

yang berantakan. Tampak dua orang gadis cantik 

tengah merayapi jasad ayahnya.

"Sudahlah, Nini," hibur Mayang yang juga 

ikut masuk ke dalam kedai. "Tak ada yang mam-

pu 'mencegah kedatangan takdir jika memang su-

dah waktunya datang. Ayahmu memang saat in-

ilah waktunya untuk menghadap Tuhan. Tuhan 

telah berkehendak. Tak baik kalau kalian menye-

sali kehendak Tuhan dengan isak tangismu. Ik-

hlaskan saja kepergian orangtua mu, agar beliau 

bisa tenang dalam perjalanannya menuju tempat 

yang abadi. Kewajibanmu sekarang adalah men


gurus jasadnya sebagai tanda penghormatan dan 

baktimu yang terakhir, di samping untuk me-

nyempurnakan keadaannya," Mayang berusaha 

meringankan penderitaan anak-anak Ki Sandara. 

"Kelak pasti kita akan menjumpai keadaan seperti 

ini."

Yayuning dan Partining menghentikan isak 

tangis mereka sesaat mendengar nasihat Mayang. 

Kemudian tatapan mereka tertuju lurus ke wajah 

Jaka, Mayang, dan lelaki berpakaian hitam.

"Kakak-kakak sekalian, apakah bersedia 

membantu kami menyempurnakan jenazah 

ayah?" tanya Yayuning dengan suara parau.

Jaka dan Mayang, dan lelaki berpakaian 

hitam serentak menganggukkan kepala mengiya-

kan.

***

Sore yang datang membawa angin seolah 

menebarkan kidung duka bagi anak-anak manu-

sia yang tengah menyempurnakan jasad-jasad tak 

bernyawa. Yayuning dan Partuning kembali teri-

sak memandangi segundukan tanah yang me-

nimbuni jasad ayahnya.

"Ikhlaskan kepergiannya, Nini," kali ini Ja-

ka yang mengucapkan kata-kata itu.


TUJUH


Gora sangat murka mendapatkan keadaan 

Bla dan Dbo yang sudah tidak lagi memiliki ke-

saktian. Pedang Iblis Neraka yang seharusnya te-

rus bersemayam di tubuh dua bocah bercawat hi-

tam itu kini telah lenyap. Padahal, di situlah letak 

kekuatan bocah-bocah sakti bercawat

Dengan punahnya kesaktian Bla dan Dbo, 

itu berarti ketajaman ilmu Sembilan Bocah Sakti 

tidak lagi sempurna. Sebuah jurus pamungkas 

yang hanya bisa dimainkan sembilan bocah seca-

ra serentak, terpaksa menjadi dangkal akibat hi-

langnya dua Pedang Iblis Neraka yang berada di 

tubuh Dbo dan Bla.

"Kalian bodoh!" maki Gora pada Bla dan 

Dbo yang menundukkan kepala dengan berurai 

air mata.

"Kami berdua siap menerima hukuman, 

Kakak Gora," ucap Bla takut-takut. Bocah berca-

wat hitam itu sedikit pun tidak berani mengang-

kat kepala.

"Menghukum kalian?! Cuh! Percuma saja. 

Tak ada keuntungan yang kita dapat dari huku-

man yang kalian jalani. Aku hanya menyesali hi-

langnya jurus pamungkas 'Pedang Iblis Jagat Se-

jati' yang telah lama kita kuasai. Kini jurus itu 

harus lenyap begitu saja! Kalian tahu apa arti dari 

kehilangan itu?!" sentak Gora dengan pertanyaan 

yang menggelegar.


Ger dan Jagu, bocah bercawat merah, 

Smas, dan Sedu yang bercawat biru. Dan Jlak 

serta Watu yang bercawat hijau tidak berani ber-

bicara. Enam bocah yang masih memiliki Pedang 

Iblis Neraka di dalam tubuh mereka hanya bisa 

menundukkan kepala. Seorang lain tak ada yang 

berani menyela ucapan bocah bercawat putih 

mengkilat yang menjadi pimpinan mereka.

"Aku menjadi ragu apakah kita akan ber-

hasil menguasai jagat persilatan tanpa adanya ju-

rus 'Pedang Iblis Jagat Sejati'. Duh! Kenapa jadi 

begini. Rasanya sia-sia saja kemunculan kita dari 

tempat pertapaan," lanjut Gora. Bocah bercawat 

putih mengkilat itu terduduk di sebuah batu se-

besar kepala kambing.

"Kita belum gagal untuk dapat menguasai 

jagat persilatan ini, Kakak Gora," ucap Ger si bo-

cah bercawat merah hati-hati. "Meski tanpa ilmu 

'Pedang Iblis Jagat Sejati', bukankah kita yang tu-

juh orang masih memiliki kesaktian yang bisa di-

andalkan. Kalau kita masih tetap bersatu, tokoh 

sakti mana pun, kurasa dapat kita atasi," lanjut 

Ger dengan bahasa yang disusun sebagus mung-

kin. 

Ucapan bocah bercawat merah itu ternyata 

Cukup berpengaruh pada Gora. Terbukti, bocah 

bercawat putih mengkilat itu mengangkat kepa-

lanya dan menatap wajah Ger dengan tatapan 

yang membersitkan sebuah harapan.

"Kau benar, Ger," ucap Gora pelan, "Kita 

tidak boleh menyerah! Biar bagaimanapun kita


masih memiliki banyak peluang untuk menguasai 

jagat persilatan ini," lanjut Gora dengan penuh 

semangat

"Aku setuju, Kakak Gora!" sambut Jlak si 

bocah bercawat hijau. Tangannya tiba-tiba te-

rangkat dengan kepalan yang digerakkan meninju 

angin. "Kita lumat Raja Petir yang telah menga-

lahkan Bla dan Dbo!" lanjut Jlak lantang.

"Ya. Raja Petir memang harus kita binasa-

kan. Dialah penghalang utama kita!" timpal Sedu 

berapi-api.

"Lalu di mana kita harus mencari Raja Pe-

tir?" tanya Jagu hati-hati. Ucapannya yang pelan 

menandakan dia takut Gora akan menyalahkan 

pertanyaannya.

"Kita pancing dia dengan mengacaukan 

perguruan-perguruan silat aliran putih," jawab 

Gora tegas.

"Setujuuu...!" teriak Sedu dan Watu bersa-

maan.

"Sekarang juga kita bergerak!" putus bocah 

bercawat putih mengkilat itu. "Setujuuu...! 

Ayooo!"

***

Bangunan Perguruan Tombak Perak yang 

terletak di Desa Watu Kambang tampak berdiri 

dengan megahnya. Bangunannya yang kokoh me-

nampakkan benteng pertahanan pada bagian 

mukanya, menjadikan Perguruan Tombak Perak


begitu angker dilihat. Sinar matahari pagi yang 

menyoroti bangunan megah itu seolah hendak 

memberitahukan keadaan perguruan itu.

Namun, keangkeran Perguruan Tombak 

Perak hanya dipandang sebelah mata oleh sembi-

lan bocah bercawat yang tak lain Sembilan Bocah 

Sakti. Gora yang memimpin delapan rekannya 

melangkah lebih dulu. Ketika kakinya selangkah 

lagi mencapai gerbang Perguruan Tombak Perak, 

seorang lelaki tinggi besar yang menggenggam se-

batang tombak putih menghadangnya.

"Hendak ke mana kalian?" tanya lelaki 

tinggi besar berkumis melintang.

Gora dan kawan-kawannya tidak menja-

wab pertanyaan itu. Sembilan Bocah Sakti hanya 

menatap wajah lelaki tinggi besar dengan tidak 

berkedip.

"Hayo pergi sana! Kalau mau bermain-main 

jangan di sini!" usir penjaga pintu gerbang itu se-

raya mendorong tubuh Gora yang berada di de-

pan dengan bagian tengah tombaknya.

"Hmrh...!"

Gora mendengus jengkel mendapat sambu-

tan demikian. Dengan cepat tangannya mencekal 

batang tombak kuat-kuat

"Hei, hei! Jangan main-main dengan senja-

ta itu," bentak lelaki tinggi besar.

Bettt!

Tanpa mengomentari ucapan lelaki itu, Go-

ra segera menarik pegangannya pada batang tom-

bak.


Karuan saja senjata itu terlepas dari tan-

gan lelaki tinggi besar. Lelaki itu terkejut bukan 

main merasakan tenaga kuat yang dimiliki bocah 

kecil di hadapannya.

"Cepat panggil guru besarmu!" bentak Gora 

dengan mengerahkan tenaga dalam. Suaranya 

terdengar menggelegar, membuat penjaga yang 

lain berhamburan mendekati penjaga berkumis 

melintang.

"Cepat kataku!" bentak Gora lagi.

"Heh, Bocah! Mau apa kau bertemu Ki Se-

tanureja? Pulang saja kalian! Pulang!" ucap lelaki 

bertubuh kerempeng yang baru datang.

"Keparat kau, Cacing Kurus! Hih!"

Singngng!

"Aaa...!"

Penjaga pintu gerbang Perguruan Tombak 

Perak itu memekik histeris. Lemparan tombak 

yang dilakukan Gora menancap tepat di tenggo-

rokannya. Lelaki itu sesaat menggelepar di tanah. 

Dan nyawanya kemudian terbang meninggalkan 

raga.

Menyaksikan temannya tewas dengan 

mengerikan, empat penjaga pintu gerbang yang 

lain serta-merta bergerak hendak menangkap bo-

cah bercawat putih mengkilat itu. Namun belum 

lagi maksud penjaga-penjaga itu tercapai, Ger, 

Jlak, Smas, dan Watu sudah bergerak cepat me-

nyerang mereka.

"Hiaaa...! Hiaaa...!"

Crat! Crat!


"Haiiit! Hait!"

Crets! Brats!

Empat lengkingan keras seketika terdengar 

berturut-turut. Diiringi dengan bertumbangannya 

tubuh-tubuh penjaga pintu gerbang Perguruan 

Tombak Perak dengan luka di leher yang mengu-

curkan darah segar.

Lengking kematian mereka rupanya me-

mancing orang-orang yang berada di dalam ban-

gunan perguruan. Beberapa lelaki berpakaian pu-

tih tampak melesat dari dalam perguruan. 

"Heh?!"

Terkejut lima lelaki berpakaian putih yang 

tak lain murid-murid kelas dua. Mereka tidak 

percaya bocah-bocah kecil itu mampu membina-

sakan kawan-kawan mereka yang kepandaiannya 

tidak bisa diragukan lagi.

"Kaliankah yang telah melakukan peker-

jaan ini?" tanya salah seorang murid Perguruan 

Tombak Perak.

"Ya. Kami," sahut Gora tegas.

"Hmmmh!" lelaki bermata sipit yang tadi 

melempar pertanyaan mendengus marah. "Kalian 

pasti bocah-bocah siluman!" sentak lelaki itu 

mengejutkan kawan-kawannya.

"Hmh!" Gora ikut mendengus, "Cepat suruh 

keluar Tua Bangka Setanureja!" pinta Gora den-

gan lancang.

"Bocah Laknat! Mau apa kau bertemu guru 

kami?" tanya murid Perguruan Tombak Perak 

yang bermata belo.


"Aku ingin mencabik-cabik wajahnya, Ku-

nyuk!" jawab Gora, membuat hati murid-murid 

Perguruan Tombak Perak terbakar kemarahan 

yang tak tertahan.

Murid Perguruan Tombak Perak yang dis-

ebut kunyuk oleh Gora segera melayangkan pu-

kulan dari atas ke bawah, mencecar dagu bocah 

cilik bercawat putih mengkilat itu.

Bettt!

"Huh!" hanya dengan memiringkan tubuh-

nya sedikit, pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu 

berhasil membuat serangan murid Perguruan 

Tombak Perak meninju angin.

Bahkan sebaliknya, serangan balasan Gora 

yang tak kalah cepatnya berhasil menemui sasa-

ran.

"Hih!"

Crattt!

"Aaakh!" 

Lelaki bermata belo itu seketika memekik 

keras. Tubuh Gora yang meletik bagai seekor 

udang telah mengarahkan cakarannya ke leher 

yang langsung koyak mengucurkan darah. 

Brukkk! 

Tubuh lelaki bermata belo langsung am-

bruk ke tanah, menggelepar sebentar dan kemu-

dian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.

Murid-murid Perguruan Tombak Perak ten-

tu saja tidak menyangka kejadiannya akan ber-

langsung begitu cepat. Enam orang teman mereka 

telah menggeletak menjadi mayat


"Ayo, kalian maju bersamaan! Biar cepat 

tubuh kalian jadi bangkai!" tukas Gora keras.

Empat murid Perguruan Tombak Perak tak 

lagi mampu membendung kemarahannya. Seketi-

ka itu juga tubuh mereka bergerak memberikan 

serangan ke arah bocah bercawat putih mengkilat

"Hyaaa...! Heaaa...!" 

"Haiiit! Hiaaa...!"

Gora si pemimpin Sembilan Bocah Sakti ti-

dak sendirian menyambut serangan empat murid 

Perguruan Tombak Perak. Ger, Smas, dan Jlak 

juga mengayunkan cakarannya memainkan jurus 

'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.

"Heaaa...!"

"Hiaaat..!"

"Berhenti!"

Sebuah bentakan menggelegar berkekua-

tan tenaga dalam seketika terdengar. Tampak se-

sosok tubuh berpakaian putih melesat keluar dari 

dalam bangunan perguruan.

Empat dari Sembilan Bocah Sakti yang 

bermaksud menghabisi lawan-lawannya segera 

menarik mundur langkah mereka. Tatapan Sem-

bilan Bocah Sakti kini tertuju pada sosok lelaki 

tua yang mereka perkirakan Ketua Perguruan 

Tombak Perak.

"Tua Bangka! Apakah kau yang menjabat 

sebagai pimpinan perguruan ini?!" tanya Gora 

dengan suara membentak.

Lelaki berusia enam puluhan yang berwa-

jah lonjong, berjenggot dan berambut putih hanya



memandangi wajah Gora dengan penuh selidik. 

Tangannya kemudian diangkat dan mengelus-elus 

kumis lebatnya yang berwarna hitam pekat.

Cukup lama juga lelaki berpakaian putih 

itu bersikap demikian. "Ya. Namaku Ki Setanure-

ja. Akulah Pemimpin Perguruan Tombak Perak," 

jawab lelaki berkumis hitam dengan suara dite-

kan hingga terdengar berwibawa.

"Bagus!" sambut bocah bercawat putih 

mengkilat menimpali ucapan Ki Setanureja. "Ka-

lau begitu, sekarang saja kita mulai pembantaian 

ini!" lanjut Gora pada enam rekannya yang masih 

memiliki kesaktian. Sedangkan Bla dan Dbo se-

lamanya harus jadi penonton.

"Hiaaat..!" Gora sudah bersiap dengan ku-

da-kudanya yang terlihat begitu lucu, seperti ku-

da-kuda tak sempurna seorang bocah tujuh ta-

hunan.

"Tunggu!" Ki Setanureja mengangkat tela-

pak tangan kanannya tinggi-tinggi.

"Hrghg...!" Gora mendengus melihat tinda-

kan Pimpinan Perguruan Tombak Perak.

"Aku tidak tahu siapa kalian. Dan rasanya 

aku juga tidak pernah bentrok, apalagi berurusan 

dengan kalian. Namun, kenapa kalian tiba-tiba 

membuat kekacauan di perguruan ini? Enam 

orang muridku telah pula binasa karena ulah ka-

lian. Apa salah mereka?" tanya Ki Setanureja 

dengan ketenangannya yang sungguh menga-

gumkan. Padahal, di balik dadanya ada gemuruh 

kemarahan akibat kelakuan bocah-bocah yang


sama sekali tidak dikenalnya itu.

"Tua Bangka!" sentak Gora kurang ajar, 

"Ketahuilah, kita memang tidak pernah bentrok. 

Tidak pernah berurusan satu sama lain. Kedatan-

ganku ke perguruan, ini semata hanya untuk 

menantangmu mengadu kepandaian. Tapi, murid-

muridmu telah membuat jengkel dengan tidak 

mau memanggilkanmu, Tua Bangka. Mungkin 

murid-muridmu tahu kalau pimpinannya tak be-

cus apa-apa," lanjut Gora dengan penghinaan 

yang cukup pedas.

"Hmmm...," Ki Setanureja hanya membalas 

penghinaan bocah bercawat putih mengkilat itu 

dengan dengusan tertahan.

"Kau berani menghadapi kami Sembilan 

Bocah Sakti, Tua Bangka?!" tanya Gora memben-

tak.

"Untuk apa kalian mengajakku mengadu 

kepandaian, Bocah-bocah Edan?!" suara Pimpi-

nan Perguruan Tombak Perak mulai meninggi. Je-

las, lelaki tua itu sudah tidak kuasa menahan ke-

jengkelannya.

"Untuk apa? Sudah lama kami bercita-cita 

ingin menguasai jagat persilatan ini. Dan yang 

pertama-tama kami basmi adalah tokoh-tokoh 

persilatan golongan putih, termasuk kau yang 

merasa berada pada golongan itu! Di samping itu, 

kami juga ingin membuat kekacauan untuk me-

mancing kemunculan Raja Petir yang telah me-

lumpuhkan ilmu kedua rekanku," lanjut Gora. 

Jari telunjuknya menuding wajah Bla dan Dbo.

Kedua bocah bercawat hitam itu tampak menun-

dukkan kepala.

"Hmmm...," Ki Setanureja kembali bergu-

mam. "Kalau kalian punya urusan dengan Raja 

Petir, kenapa harus membuat kekacauan di sini?"

"Jangan banyak bicara, Tua Bangka!" har-

dik Gora keras. "Kalau kau ingin mati terhormat 

sebagai seorang pendekar pembela kebenaran, 

ayo kita mulai pertarungan ini! Ayo!"

Gora mengangkat sebelah tangannya 

memberi isyarat pada enam temannya untuk se-

gera menyerang murid-murid Perguruan Tombak 

Perak, yang kini sudah berkumpul di pelataran 

perguruan dengan tombak terhunus.

"Ayooo...!" 

"Hiaaattt...!" 

"Haiiit...!"

Tubuh enam bocah sakti anak buah Gora 

merangsek maju menyerang murid-murid Pergu-

ruan Tombak Perak. Sementara Gora sendiri ber-

hadapan dengan sang Pemimpin perguruan.

"Ajalmu akan datang sekarang, Ki!" sentak 

Gora takabur.


DELAPAN



Suasana di pelataran Perguruan Tombak 

Perak sangat ramai. Suara teriakan garang dan 

pekik kematian terdengar silih berganti. Murid-

murid Perguruan Tombak Perak terus maju menyerang tak henti-henti bagai gelombang lautan. 

Tanpa rasa gentar sedikit pun mereka terus me-

nusukkan tombak di tangannya ke bagian yang 

mematikan pada tubuh bocah-bocah bercawat

Namun, bocah-bocah bercawat itu bagai 

malaikat pencabut nyawa. Setiap kali murid-

murid Perguruan Tombak Perak ingin melu-

kainya, tangan-tangan bocah bercawat bergerak 

memainkan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti', 

hingga para penyerangnya tak berdaya. Tubuh 

mereka bertumbangan dengan leher koyak men-

gucurkan darah.

"Bocah Setan!" maki seorang murid Pergu-

ruan Tombak Perak sambil menusukkan tombak-

nya ke leher bocah bercawat merah.

Wuttt!

"Hi hi hi...!" Ger tertawa melihat serangan 

lawan. Tubuhnya yang kecil meletik ke atas dan 

tahu-tahu sudah berdiri di mata tombak lawan.

"Cara menyerangmu salah, Tua Bangka!" 

ejek Ger. "Yang benar begini. Hiaaa...!"

Tubuh Ger mencelat dari mata tombak 

yang dipijaknya. Dan dengan cepat tangannya 

bergerak ke leher lawan.

"Hih!"

Brettt! Brettt! 

"Aaa...!"

Jerit menyayat hati langsung terdengar, se-

saat sepasang tangan Ger yang kukuh runcing 

membabat leher lawan dua kali berturut-turut

Tubuh murid Perguruan Tombak Perak itu


langsung ambruk kehilangan nyawa. Leher kiri 

dan kanannya koyak tersambar kuku-kuku runc-

ing Ger.

Sementara itu, pertarungan antara Ki Se-

tanureja yang menghadapi pimpinan Sembilan

Bocah Sakti mulai tampak tidak seimbang. Pim-

pinan Perguruan Tombak Perak berkali-kali men-

galami kesulitan membaca gerakan aneh lawan 

yang selalu berubah-ubah. Gerakan Gora yang 

memainkan ilmu 'Bocah Sakti Menari di Ujung 

Tanduk' membuat Ki Setanureja kehilangan cara 

untuk mengibanginya.

"Awas, Tua Bangka! Hiaaa...!"

Brettt!

"Ekh!"

Ki Setanureja tersentak kaget melihat ke-

cepatan gerak serangan yang dilancarkan Gora. 

Padahal, dia sudah menghindar dengan cepat. 

Namun, tak urung jubahnya koyak juga tersam-

bar kuku-kuku runcing lawan.

"Cabut senjatamu kalau tak ingin mati ko-

nyol!" tantang Gora sombong.

"Hmh!"

Ki Setanureja mendengus keras. Kemu-

dian, kedua tangannya meloloskan sepasang 

tombak pendek yang terbuat dari perak. Tombak-

tombak itu diambilnya dari sela pinggang yang di-

lilit sabuk warna biru tua.

"Bagus!" ejek Gora melihat lawannya melo-

loskan senjata. "Sekarang, jaga seranganku dalam 

jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti' yang berga


bung dengan jurus 'Bocah Sakti Menari di Ujung 

Tanduk' Hiaaattt...!"

Tubuh Gora kembali melesat ringan den-

gan melakukan gerakan aneh seperti bocah me-

nari. Sementara tangannya yang menegang kaku 

berkelebat cepat ke arah dada dan kepala Pimpi-

nan Perguruan Tombak Perak.

Wuttt!

Wuttt!

"Hops!"

Ki Setanureja melentingkan tubuhnya 

menghindari serangan lawan. Lelaki berumur 

enam puluh tahun itu berputaran dua kali di 

udara. Namun, gerakan itulah yang memang di-

nanti-nantikan Gora.

Pada saat Ki Setanureja berputaran di uda-

ra, seperti elang menyambar mangsa, tubuh Gora 

berkelebat dan segera melancarkan tendangan lu-

rus ke iga lawan.

"Haiiittt...!"

Blagkh!

"Uhugkh!"

Tubuh Ki Setanureja tergempur mundur. 

Sebisanya lelaki tua itu berusaha mematahkan 

daya dorong tendangan Gora.

Jligh!

"Akh!"

Tubuh Pimpinan Perguruan Tombak Perak 

limbung ketika mendaratkan kakinya di tanah. 

Sesak di dadanya yang membuat Ki Setanureja 

kehilangan keseimbangan.


Hampir saja tubuh Ki Setanureja ambruk 

di tanah, kalau saja dari luar pelataran Perguruan 

Tombak Perak tidak melesat sesosok bayangan hi-

jau yang langsung menyangga tubuhnya.

"Ki Rayung? Oh.... Kedatanganmu tepat 

sekali," ucap Ki Setanureja, ketika menyaksikan 

kedatangan lelaki berpakaian hijau yang dikenal-

nya sebagai ketua Perguruan Gagak Putih.

"Aku memang tengah mencari mereka, Ki 

Setanu. Hampir saja bocah-bocah itu mene-

waskan Ki Wikalga, kalau saja Raja Petir tidak da-

tang menolong," jelas Ki Rayung Sadawa.

"Hi hi hi! Bagus! Jadi, kau adalah sahabat 

Ki Wikalga. Kedatanganmu hanya mengantar 

nyawa saja," selak Gora sombong.

"Bocah Laknat!" maki Ki Rayung Sadawa, 

"Kau pikir cuma dirimu yang memiliki kesaktian? 

Cuh! Secuil pun aku tidak gentar menghadapi-

mu."

Srattt!

Ki Rayung Sadawa segera meloloskan sen-

jatanya, sebilah pedang yang memancarkan sinar 

kebiruan. Sengaja Ki Rayung Sadawa meloloskan 

pedangnya, karena dia tahu kehebatan ilmu bo-

cah cilik yang hampir menewaskan Resi Wikalga 

dan Ki Setanureja.

"Hi hi hi...!" Gora terkikik menyaksikan la-

wannya meloloskan senjata. "Ayo, serang aku!" 

ucapnya meledek.

"Hhh...!"

Ki Rayung Sadawa mendengus. Gengga


man tangannya pada hulu pedang semakin dipe-

rerat. Tampaknya Ketua Perguruan Gagak Putih 

itu tengah mengerahkan tenaga dalam.

"Hati-hati, Ki Rayung," ujar Ki Setanureja.

"Hiaaattt...!" 

Tanpa mempedulikan nasihat Ki Setanure-

ja, tubuh Ki Rayung Sadawa melesat dengan pe-

dang memendarkan sinar kebiruan. Pedang itu 

terayun-ayun di atas kepala memainkan jurus 

'Pedang Menyembelih Awan'.

Wungngng!

Wungngng!

Bunyi mendengung seperti suara ratusan 

lebah marah mengiringi ayunan pedang Ki 

Rayung Sadawa yang menebas tubuh lawan.

Tetapi bocah bercawat yang di hadapinya 

bukanlah bocah yang sewajarnya. Dengan kesak-

tiannya, Gora bergerak-gerak lincah menghindari 

sambaran pedang Ki Rayung Sadawa. Bahkan, 

dengan gerakannya yang aneh dan tak terbaca 

lawan, Gora mengerahkan serangan balasan den-

gan jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sakti'.

"Haiiittt...!"

Wrrrttt! Wrrrttt!

"Hups!"

Tubuh Ki Rayung Sadawa melejit-lejit rin-

gan menghindari serangan ganas Gora yang men-

gandung hawa panas menyengat. Namun, Gora 

adalah bocah sakti yang licik dan berhati iblis. 

Dengan menggabungkan jurus 'Sepasang Tangan 

Bocah Sakti' dan jurus 'Bocah Sakti Menari di


Ujung Tanduk' dia terus memburu tubuh Ki 

Rayung Sadawa.

Wrttt! Wrttt!

Tlangngng!

"Heh?!" Ki Rayung Sadawa tersentak men-

dapat kenyataan senjata yang begitu diandalkan-

nya tidak mampu menebas putus tangan bocah 

kecil itu. Padahal, pohon besar pun akan tum-

bang jika tertebas senjatanya yang bermain dalam 

jurus 'Pedang Menyembelih Awan'. Tapi kenya-

taannya...?

Tubuh Ki Rayung Sadawa malah terhuyung 

ke belakang empat langkah ketika benturan keras 

itu terjadi. Sedangkan Gora yang memapaki teba-

san pedangnya hanya mundur satu langkah. Ke-

nyataan itu menunjukkan tenaga dalam bocah 

bercawat putih mengkilat itu lebih tinggi daripada 

tenaga dalam Ki Rayung Sadawa.

"Sekarang giliranku yang memainkan sen-

jata!" ucap Gora tegas.

Ki Rayung Sadawa bingung dengan ucapan 

lawannya. Bocah itu jelas-jelas tidak memegang 

apa-apa. Tetapi ketika sebilah senjata keluar dari 

kepala Gora, barulah Ki Rayung Sadawa sadar 

kalau bocah yang menjadi lawannya bukanlah 

sembarang bocah. Rayung Sadawa menduga la-

wannya adalah jelmaan dari seorang tokoh sakti 

dari golongan sesat.

Suasana menjadi semakin panas saat sen-

jata Gora terlihat utuh. Pedang yang panjangnya 

sama dengan tubuh pemiliknya itu memendarkan


sinar kemerahan.

Sementara pada pertarungan lain, murid-

murid Perguruan Tombak Perak yang kini men-

dapat bantuan dari empat murid utama Pergu-

ruan Gagak Putih nampak berlangsung seru. Na-

mun belum terlihat mereka mampu mendesak 

enam bocah bercawat yang menjadi lawan mere-

ka. Malah kebalikan dari itu mulai nampak sete-

lah tumbangnya murid-murid Perguruan Tombak 

Perak.

"Jagalah ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka 

Berkabung'-ku, Tua Bangka!" sentak Gora marah. 

Pedangnya yang memendarkan sinar kemerahan 

terangkat ke atas kepala.

"Kaingngng...!"

Gora memekik keras. Suaranya bagai peki-

kan seekor serigala yang terjepit. Ketika pekikan 

itu lenyap, tubuh kecilnya melesat ke arah Ki 

Rayung Sadawa yang sudah siap menghadapi se-

gala kemungkinan.

Wrrr...!

Suara angin menderu terdengar mengiringi 

tibanya serangan Gora. 

Wungngng...! 

"Heh?! Hops!"

Ki Rayung Sadawa menghentakkan ka-

kinya kuat-kuat ke tanah. Seketika itu juga tu-

buhnya mencelat ke belakang menghindari teba-

san pedang lawan yang berhawa panas menyen-

gat

"Hi hi hi! Menghindarlah sebisamu, Tua


Bangka!" ucap Gora sambil terus mengejar tubuh 

lawan,

"Kaingngng...!"

Wungngng...!

Wesss!

"Heh?!"

Kali ini Gora yang tersentak kaget. Sebuah 

serangan tak terduga tiba-tiba meluncur datang. 

Secepatnya Gora melentingkan tubuh ke kanan 

beberapa kali, menghindari terjangan angin panas 

yang bergulung bagai pusaran angin.

"Kadal Buduk!" maki Gora jengkel.

Tatapan mata Gora tertuju pada wajah seo-

rang lelaki muda yang berdiri di sisi kiri Ki 

Rayung Sadawa. Lelaki tampan bertubuh kekar 

itu mengenakan pakaian kuning keemasan. Di 

sebelahnya berdiri seorang gadis cantik berambut 

kepang. Siapa lagi sepasang tokoh itu kalau bu-

kan Raja Petir dan kekasihnya yang berjuluk De-

wi Payung Emas.

"Selamat berjumpa denganku, Bocah Se-

sat," ucap Jaka menimpali kemarahan Gora yang 

terpancar dari bola matanya yang membara.

"Kaukah yang berjuluk Raja Petir?" tanya 

Gora dengan kemarahan yang ditahan.

"Kau takut dengan julukanku?" tanya Raja 

Petir menggoda.

"Cuh!" Gora membuang ludah dengan ka-

sar menanggapi pertanyaan Raja Petir. "Justru 

aku ingin mengubur nama harummu sekarang 

juga, Raja Gila!" lanjut Gora memaki.


Raja Petir mencibir mendengar ucapan Go-

ra, "Kalau begitu, jangan sembunyikan pedang 

dalam tubuhmu, Bocah Setan!" tambah Raja Petir 

memancing kemarahan Gora.

"Kau tidak akan mampu menandingi Pe-

dang Iblis Neraka milikku. Raja Gila!" balas Gora 

garang.

"Pasti aku mampu, Bocah Ingusan. Bu-

kankah senjatamu sama dengan yang dimiliki bo-

cah-bocah itu?" tuding Jaka pada Bla dan Dbo 

yang sudah dikalahkankannya.

"Huh! Tak akan kejadian itu terulang lagi," 

sangkal Gora. "Mari kita buktikan sekarang," tan-

tangnya kemudian sambil bersiap-siap memulai 

pertarungan.

Jaka tidak menimpali ucapan Gora. Tata-

pan matanya kini tertuju kepada Mayang dan Ki 

Rayung Sadawa yang gembira atas kedatangan 

Raja Petir, dan Ki Setanureja yang kini sudah 

bangkit untuk mengusir Sembilan Bocah Sakti 

yang bercita-cita menguasai jagat persilatan.

Raja Petir memejamkan kedua matanya. 

Pemuda itu tampaknya tengah memusatkan selu-

ruh kepekaan batinnya.

"Kurasakan kekuatan bocah-bocah itu ber-

tumpu pada bocah bercawat putih mengkilat itu. 

Kalau dia sudah dilumpuhkan, aku yakin yang 

lainnya akan mudah diringkus," gumam Raja Pe-

tir mengambil kesimpulan. Matanya kembali ter-

buka. Ditatapnya wajah Ki Setanureja, Ki Rayung 

Sadawa, dan Mayang.


"Kalian hadapilah bocah-bocah itu," pinta 

Raja Petir kemudian. Biar aku yang menghadapi 

bocah bercawat putih itu," lanjutnya seraya me-

nunjuk wajah Gora.

"Baik, Raja Petir," sambut Ki Rayung Sa-

dawa dan Ki Setanureja bersamaan.

Raja Petir segera beringsut untuk mengha-

dapi Gora. Sementara Ki Setanureja. Ki Rayung 

Sadawa, dan Mayang sudah bergerak ke arena 

pertarungan murid-murid Perguruan Tombak Pe-

rak yang tengah menghadapi enam bocah sakti 

anak buah Gora.

"Hiaaat..!" 

"Hiyaaa...!"

***

Perguruan Tombak Perak bagai medan per-

tarungan. Belasan sosok tubuh saling mencelat 

dengan serangan-serangan yang didorong kemur-

kaan hati. Iblis-iblis memang telah merasuki hati 

mereka. Nafsu saling membunuh terumbar. Tan-

pa bisa dicegah oleh akal sehat untuk dapat sal-

ing memahami, memaklumi, dan menyayangi an-

tara sesama mahluk ciptaan Tuhan. Itulah contoh 

segelintir manusia yang memiliki nafsu, yang bisa 

menjadi teman dan lawan.

Seorang pemuda digdaya yang selalu berpi-

jak pada kebenaran dan membela orang-orang 

lemah harus berhadapan dengan manusia-

manusia berwatak iblis. Orang-orang yang sesungguhnya tidak pantas menghuni bumi yang 

penuh keindahan dan kedamaian.

"Raja Petir!" panggil Gora keras, "Hari ini 

nama harummu akan kukubur. Bersiaplah 

menghadapi jurus 'Sepasang Tangan Bocah Sak-

ti'!"

"Lakukanlah!" sambut Jaka seraya mem-

persiapkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.

"Hiaaat..!"

Wrrrt...!

"Ops!"

Tubuh Jaka melenting di udara menghin-

dari serangan Gora. Tapi, bocah bercawat putih 

mengkilat itu bagai terbang saja. Tubuhnya terus 

mengejar ke mana pun sosok Raja Petir melejit

"Haiiittt...!"

Wurttt...!

Trakkk!

"Heh...?!"

"Hah...?!"

Gora dan Jaka tampak terkejut ketika tan-

gan mereka beradu di udara. Tubuh Jaka tergem-

pur dua langkah ke belakang. Begitu juga tubuh 

Gora. Jelas, bisa disimpulkan kalau keduanya 

memiliki tenaga dalam yang seimbang.

"Bocah Sakti Menari di Ujung Tanduk!" pe-

kik Gora menyebutkan jurus serangannya. Tu-

buhnya kembali melesat ke udara dengan gera-

kan-gerakan aneh.

Jaka segera menciptakan 'Aji Bayang-

Bayang' untuk mengetahui sejauh mana ilmu



yang disuguhkan Gora. Wujudnya kini menjadi 

lima kali lipat banyaknya.

"Haaattt...!"

Wurt!

"Eh?"

Jaka melentingkan tubuhnya yang asli ke-

tika sejengkal lagi sambaran tangan Gora yang 

berkuku runcing mencakar lehernya. Gora ter-

nyata mampu membaca kelemahan 'Aji Bayang-

Bayang' Jaka.

Sebaliknya, Gora bertambah marah ketika 

serangan-serangannya berhasil digagalkan Jaka. 

Maka seketika itu juga kakinya diangkat ke bela-

kang dua langkah. Matanya kemudian terpejam. 

Gora tengah mengambil senjata dari dalam tu-

buhnya. Senjata yang bernama Pedang Iblis Nera-

ka itu disimpannya di dalam tubuh. Dan ketika 

Pedang Iblis Neraka muncul dari kepalanya, Gora 

segera mengambilnya. Pedang itu memancarkan 

sinar kemerahan.

"Jaga ilmu 'Pedang Selaksa Iblis Neraka 

Berkabung' tingkat terakhir ini, Jaka!" sentak Go-

ra kemudian. "Ilmuku inilah yang akan mengubur 

kegagahanmu selama ini," lanjutnya.

Ada getar aneh dirasakan Jaka sesaat me-

nyaksikan perbawa dari Pedang Iblis Neraka. Se-

buah pedang pusaka yang mampu menyebarkan 

hawa panas menyengat dan memiliki daya sedot 

yang cukup kuat Jaka terpaksa mengerahkan te-

naga dalamnya untuk menahan daya sedot Pe-

dang Iblis Neraka.


"Haruskah kukeluarkan Pedang Petir?" 

gumam Jaka dalam hati ketika dirasakan hawa 

panas dan daya sedot senjata lawan semakin kuat 

mempengaruhi dirinya.

Ketika keputusan bulat telah diambil dan 

setelah mempertimbangkan keselamatan kawan-

kawannya, tangan Jaka bergerak meraih hulu Pe-

dang Petir.

Jaka segera mengangkat hulu pedang yang 

telah dicekalnya, dan membawa naik ke atas 

sampai melewati kepala. Seketika nampak suatu 

keanehan. Wujud pedang Jaka memendarkan si-

nar kemerahan. Pada saat itu pula langit di atas 

Perguruan Tombak Perak menjadi gelap. Suara 

gemuruh terdengar dari kejauhan, dan petir ber-

kelebat menyambar-nyambar tubuh dan batang 

Pedang Petir Jaka. Pertarungan antara orang-

orang Perguruan Tombak Perak yang mendapat 

bantuan dari Mayang sesaat terhenti.

Glarrr! Glarrr!

Langit kembali cerah ketika petir yang me-

nyambar raib begitu saja. Kini Raja Petir menjel-

ma menjadi sosok yang berkekuatan sempurna. 

Sebuah permainan pedang maut akan dikerah-

kannya dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyam-

bar'.

"Hiaaattt...!" Gora si Bocah Sakti segera 

berkelebat menebaskan senjatanya ke arah Raja 

Petir yang sudah siap siaga.

Wungngng!

Twangngng!


Glaaarrr!

Bunyi ledakan keras pun membahana keti-

ka dua senjata pusaka itu saling beradu di udara. 

Sosok Gora terpental dua tombak, sementara Ja-

ka hanya setengahnya.

Namun, akibat benturan itu orang-orang 

yang berada di sekitar tempat pertarungan men-

galami nasib yang mengerikan. Mereka yang tak 

kuat menahan bunyi ledakan bergelimpangan di 

tanah dengan darah keluar dari telinga dan hi-

dung. Kenyataan itu juga dialami oleh Ki Setanu-

reja, Ki Rayung Sadawa, dan Mayang. Namun ka-

rena tenaga dalam mereka lebih baik, mereka 

mampu menguasai keadaan. Begitu pula dengan 

enam bocah sakti yang menjadi lawan-lawan me-

reka. 

"Huaaa...!"

Raja Petir tiba-tiba berteriak keras. Tubuh-

nya melesat bagai kilat dengan Pedang Petir ber-

kelebat mencecar tubuh Gora yang terhuyung.

Trangngng!

Blugkh!

"Aaa...."

Dengan senjatanya, Gora memang mampu 

membendung serangan Jaka yang mengerahkan 

jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Namun se-

buah tendangan menggeledek yang kembali dike-

rahkan Jaka tidak dapat dielakkan Gora. Da-

danya terpaksa harus menerima hantaman keras 

kaki Jaka.

"Hoeeek..!"


Darah kental kehitaman muncrat dari mu-

lut Gora. Bocah bercawat putih mengkilat yang 

menjadi pimpinan Sembilan Bocah Sakti itu 

menggelepar di tanah. Hanya sesaat saja Gora 

bergelut dengan napas terakhirnya, untuk kemu-

dian terbujur kaku tanpa nyawa.

"Heh?!" Jaka terkejut menyaksikan sosok 

Gora yang sudah tak bernyawa. Sosok bocah ber-

cawat putih itu berubah menjadi kakek bertubuh 

kerdil. Dan, Jaka makin terpaku ketika menda-

patkan kenyataan delapan bocah bercawat yang 

lain bernasib serupa. Tubuh mereka terbujur ka-

ku tanpa nyawa dengan sosok yang berubah men-

jadi kakek-kakek kerdil.

"Hmmm.... Rupanya pusat kekuatan ilmu 

'Pedang Selaksa Iblis Neraka Berkabung' berada 

pada Gora. Jika dia mati, maka semuanya akan 

mengalami nasib serupa," gumam Jaka.

"Kakek Kerdil Penguasa Istana Neraka?!" 

ucap Ki Setanureja ketika mengenali sosok Sem-

bilan Bocah Sakti yang telah berubah wujud.

"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Raja Petir 

seraya mendekati Pimpinan Perguruan Tombak 

Perak.

"Ya. Pada waktu aku baru mulai mempela-

jari ilmu kanuragan, kira-kira tiga puluh tahun 

yang silam, kakek-kakek ini pernah menguasai 

rimba persilatan. Namun tiba-tiba mereka meng-

hilang begitu saja. Dan baru sekarang ini mereka 

muncul kembali," jelas Ki Setanureja.

"Aneh," gumam Jaka pelan.


"Biarlah keanehan itu raib bersama kema-

tian mereka, Jaka," ucap Ki Rayung Sadawa. 

"Yang jelas, rimba persilatan kini tidak jadi bergo-

lak. Semua karena kehebatanmu. Raja Petir," 

sambut Ki Rayung Sadawa.

Jaka tersenyum mendengar ucapan Ketua 

Perguruan Gagak Putih. "Semua ini bukan karena 

aku, Ki. Tapi karena kuasa Tuhan Pencipta Jagat 

Raya ini," kilah Jaka. "Oh ya, bagaimana keadaan 

Ki Wikalga?" tanya Jaka.

"Lukanya berangsur-angsur pulih," jawab 

Ki Rayung Sadawa.

"Syukurlah," ucap Jaka, "Sekarang izinkan 

kami pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus 

kuselesaikan," lanjut Jaka. Pemuda itu lalu me-

raih tangan Mayang.

"Oh, Silakan Jaka," sambut Ki Setanureja, 

"Terima kasih atas bantuanmu," lanjut Ki Setanu-

reja meski dengan berat hati.

Setelah memberi hormat pada orang-orang 

yang hadir di tempat itu, Raja Petir dan Mayang

segera berlalu. Diiringi pandangan banyak mata 

yang mengagumi kehebatan dan budi luhur Raja Petir. 


                              SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar