KITAB PEMBAWA BENCANA
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Kitab Pembawa Bencana
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Kitab Banyu Geni yang diberikan oleh ka-
kek gurunya melalui perantara Resi Wisang Geni,
menjadi incaran para kaum persilatan, yang ingin
memiliki sekaligus ingin mempelajarinya. Para
pendekar telah mengetahui bahwa Kitab Banyu
Geni kini telah lenyap dari tempatnya. Sudahkah
anda baca Episode Bocah Kembaran Setan? Di si-
tu telah dikatakan bahwa para pendekar banyak
yang mati manakala menuju ke Lembah Bangkai
untuk mencari Kitab Banyu Geni, sebab kitab ter-
sebut ternyata dalam penjagaan prajurit Resi Wi-
sang Geni yang terdiri dari para Jin.
Para pendekar dari dua golongan di dunia
persilatan tidak tahu siapa sebenarnya yang telah
mendapatkan kitab sakti dan dahsyat tersebut.
Mereka hanya tahu bahwa kitab tersebut
telah lenyap dari Lembah Bangkai. Di lingkaran
kematian yang biasanya ada batu tegak sebagai
tonggak telah roboh batu itu.
Jaladri dan Jaladru, dua orang kakak be-
radik kembar dari perguruan Cakar Naga telah
datang ke tempat tersebut. Keduanya juga ber-
maksud mencari kitab tersebut, sekaligus untuk
melihat Bocah Kembaran Setan. Namun sesam-
painya di Lembah Bangkai, mereka berdua hanya
menemukan tulang belulang bekas manusia mati.
"Mungkin ini sisa-sisa tulang para prajurit
dari beberapa perguruan yang datang untuk
memperebutkan Bocah Kembaran Setan terse
but," kata Jaladri, matanya memandang dengan
menyipit pada tulang belulang yang berserakan.
"Ya! Mungkin," jawab Jaladru.
"Kalau begitu sungguh dahsyat pertempu-
ran itu, Jaladru."
"Mungkin, Kakang."
"Sayang kita terlambat datang, Adikku."
"Benar. Kalau saja kita sudah sampai di si-
ni," Jaladru menggumam. "Tapi kita juga untung,
Kakang."
"Mengapa kau berkata begitu, Adik?"
"Ya! Coba saja kalau kita sampai di sini
saat Bocah Kembaran Setan masih merajalela,
bukankah kita juga akan menerima nasib seperti
mereka?" Jaladru menunjuk tulang-tulang yang
berserakan, lalu gumamnya kemudian. "Sungguh
dahsyat bocah itu. Ia mampu membinasakan
orang sebanyak ini yang terdiri dari para kaum
persilatan. Dan mungkin di sini ada terdapat to-
koh persilatan dari Perserikatan Iblis yang na-
manya di dunia persilatan sangat kondang."
"Benar juga katamu, Adik," Jaladri me-
nambahkan. "Ah, sudahlah. Bukankah kita ke si-
ni untuk mencari Kitab Banyu Geni!?"
"Benar! Ayo, kita turun." Dengan segera
kedua pendekar kakak beradik tersebut menuruni
Lembah Bangkai menuju tempat yang dinamakan
Lingkaran Kematian. Keduanya sejenak terpaku,
manakala melihat apa yang terjadi. Ternyata me-
reka tak merasakan apa yang dikatakan oleh
orang-orang. Mereka tak mendapatkan halangan
atau pun kematian yang seperti dirasakan oleh
orang-orang lain sebelum mereka. "Aneh, Ka-
kang."
"Ya!" jawab Jaladri pendek. "Bukankah ka-
ta para pendekar, bahwa siapa saja yang mema-
suki Lingkaran Maut ini akan mati?" tanya Jala-
dru.
"Tetapi mengapa kita tidak mengalaminya?"
Jaladri dan Jaladru terheran-heran sendiri,
sehingga keduanya nampak terdiam untuk bebe-
rapa saat mematung dengan mata mereka men-
gawasi tempat tersebut. Ada sebuah batu panjang
besar dengan tengah-tengah berlubang tergeletak.
Sepertinya batu tersebut dicabut dari tanah. Dan
memang benar, batu tersebut dicabut dari tanah.
"Lihat, Kakang! Apakah bukan batu ini
yang untuk menyimpan Kitab Banyu Geni?" Jala-
dru berseru seraya hampiri batu tersebut, diikuti
oleh Jaladri yang juga merasa tertarik dengan se-
ruan adiknya. Keduanya jongkok, mengawasi lu-
bang yang terdapat di tengah-tengah batu terse-
but.
"Benar! Batu inilah tempat kitab tersebut,"
Jaladri bergumam setelah memperhatikan dengan
teliti keadaan batu tersebut. "Kalau begitu kita te-
lah kedahuluan oleh orang lain, Adikku."
"Sia-sia kita dari jauh datang kemari, Ka-
kang."
"Kita jangan putus asa dulu, Adik. Kita be-
lum gagal sepenuhnya," Jaladri mencoba menghi-
bur diri, juga adiknya yang nampak kecewa. "Bu-
kankah yang telah mendapatkan kitab tersebut
seorang manusia?"
"Ya!" jawab Jaladru pendek, nadanya putus
asa.
"Nah, untuk apa kita diberi bekal oleh guru
kalau kita tidak dapat merebut kitab tersebut?"
Jaladri kembali menghibur, menjadikan Jaladru
manggut-manggut. "Kita diberi bekal ilmu tinggi,
percuma kalau kita harus putus asa."
"Benar juga, Kakang. Mari kita cari orang
tersebut."
Dengan sekali lompat, kedua kakak bera-
dik kembar itu segera keluar dari lingkaran maut,
Kedua kakak beradik kembar tersebut bermaksud
meninggalkan Lembah Bangkai, manakala ter-
dengar seruan seseorang yang menghentikan me-
reka.
"Ki Sanak sekalian, tunggu!"
"Hem, siapa yang berteriak itu, Kakang?"
"Entahlah, Adik."
Seorang lelaki tua setengah baya nampak
berlari menuju ke arah mereka. Wajah orang itu
nampak tidak baik-baik, menggambarkan bahwa
orang tersebut bukan orang yang bertujuan baik
pula. Kedua kakak beradik kembar itu tetap ber-
diri, menunggu kedatangan orang tersebut.
"Ki Sanak memanggil kami?" tanya Jaladri.
"Ya!" jawab orang itu pendek. "Namaku Ta-
kasita. Aku berasal dari negeri Nippon."
"Kami tahu. Dari cara pakaianmu, kami
tahu kalau Ki Sanak bukan orang pribumi. Yang
kami tanyakan, ada keperluan apakah Ki Sanak
menghentikan langkah kami?" tanya Jaladru agak
jengkel.
"Ki Sanak berdua dari Lembah Bangkai?"
"Ya!" jawab Jaladri. "Memang kami dari
Lembah Bangkai."
"Ah, kebetulan!" Takasita nampak terse-
nyum, menjadikan kedua kakak beradik kembar
tersebut kerutkan kening. "Kebetulan sekali, jadi
aku tak susah-susah mencari-carinya."
"Hai, apa yang kau maksud, Ki Sanak?" Ja-
ladri kembali menanya, bingung tak mengerti
dengan ucapan Takasita.
"Bukankah Ki Sanak berdua dari Lembah
Bangkai?" kembali Takasita mengulang tanya, se-
pertinya hendak memastikan jawaban kedua
orang yang ditanya.
"Benar! Ki Sanak ini mau mengapa? Kata-
kanlah! Jangan sampai kami naik darah!" Jaladru
nampak sewot. Darah mudanya membludak, se-
akan ingin muncrat dari ubun-ubun.
"Oh, janganlah Ki Sanak berdua begitu se-
wotnya," Takasita nampak tenang, seakan mere-
mehkan kakak beradik kembar di hadapannya.
"Aku hanya mau meminta pada kalian apa yang
telah kalian bawa dari Lembah Bangkai."
Terbelalak mata kedua kakak beradik
kembar mendengar ucapan Takasita. Mereka bu-
kannya takut bertarung dengan pendekar dari
negeri Nippon ini, tetapi mereka saja tidak dapat
apa-apa, eh malah disangka telah mendapatkan
kitab tersebut. Bagaimana pun, jelas kedua kakak
beradik kembar Jaladri dan Jaladru tersinggung.
"Kurang ajar, orang ini!" gumam hati Jalandri.
"Bangsat! Rupanya orang-orang Nippon ju-
ga telah mendengar mengenai kitab tersebut.
Hem...." Jaladru menggumam dalam hati.
"Bagaimana, Ki Sanak berdua?" Takasita
kembali menanya, menjadikan kedua kakak be-
radik kembar tersebut makin menjadi-jadi ama-
rahnya. "Kalian serahkanlah pada kami, tentu ka-
lian akan mendapatkan kemuliaan dari Sang Sin-
to."
"Setan Belang! Kau kira kami apa!" Jaladru
menggeretak marah. Harga dirinya sebagai seo-
rang anak Pribumi seakan diinjak oleh bangsa
lain. "Jangan kira kau akan semudah itu, orang
asing!"
"Tenang, Adikku."
"Dia sudah keterlaluan, Kakang."
"Kuharap, tenang dulu, biarkan ia hendak
bagaimana," Jaladri terus mencoba menenangkan
kemarahan adiknya. Di pandanginya Takasita,
seakan ingin mengorek segala apa yang ada pada
pendekar negeri Nippon. Jaladri mencoba terse-
nyum ramah, lalu katanya kemudian: "Ki Sanak,
kami harap engkau janganlah mengharapkan apa
yang tidak ada pada diri kami. Kami memang dari
Lembah Bangkai, tapi kami tak mendapatkan
apa-apa."
"He, he, he...! Kau jangan berdusta, Ki Sa-
nak," Takasita masih tak mau percaya. Matanya
yang sipit terus memandang dengan jalang dan
liar ke arah dua kakak beradik kembar yang juga
memandang ke arahnya. "Ki Sanak, jangan sam-
pai aku marah, dan menurunkan tangan jahat
pada kalian."
"Edan! Kau berani mengancam pada kami,
orang asing!" Jaladru membentak marah. "Kau ki-
ra kami takut dengan gertakanmu. Huh! Jangan
harap kami akan mundur dengan orang seperti
dirimu!"
"Kau menantangku, Ki Sanak?"
"Huh, mesti takut apa aku padamu!" Jala-
dru benar-benar sudah tak dapat menahan emo-
sinya. Matanya nampak merah, membara bagai-
kan menyalakan api.
"Jadi kalian tak mau menyerahkan kitab
tersebut!" Jaladri tersenyum.
"Kalau pun kitab tersebut ada berada di
tangan kami, jelas kami tak akan menyerahkan-
nya padamu. Apalagi kini kami tidak menda-
patkannya," Jaladri berkata tenang, tidak seperti
adiknya.
Takasita mendengus, lalu dengan cepat
menghunus samurainya dari sarung. "Srang...!"
Mata Takasita melotot, sepertinya samurai di ta-
ngannya menghendaki agar dirinya segera meng-
adakan penyerangan terhadap dua orang pribumi
tersebut. Tangan yang menggenggam Samurai
nampak bergetar, ada kekuatan yang menyeret-
nya untuk melakukan tindakan. Dan...!
"Kalian akan menyesal, hiat...!"
Takasita berkelebat dengan samurainya
menyerang ke arah dua orang kakak beradik
kembar. Samurai di tangannya berkelebat ganas,
seakan mempunyai mata. Samurai mengkilap pu-
tih perak itu terus mencerca kedua kakak beradik
kembar yang segera mengelakkannya.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mati,
orang asing!" maki Jaladru.
"Srang...!" Jaladru pun hunus pedang,
"Kakang, orang ini memang mencari gara-
gara!"
"Memang, Adik. Lakukan apa yang kau
mampu! Beri pelajaran padanya agar tahu siapa
kita!" Jaladri memberi dorongan pada adiknya
yang dengan segera kembali melompat memapaki
serangan Takasita.
"Ayo orang asing, kita main-main!"
"Huah! Kau tak akan mampu, hiat...!"
Dua pendekar dari dua negara itu berkele-
bat dengan pedang di tangan masing-masing.
Samurai di tangan Takasita terus mencerca ke
arah Jaladru, namun Jaladru yang sudah mem-
punyai pengalaman tak mau dengan begitu saja
mengalah. Jaladru pun dengan pedangnya berge-
rak cepat balik menyerang.
"Trang...!"
Terdengar dua buah benda baja beradu,
manakala keduanya saling tebaskan pedang. Dua
buah pedang saling beradu, menempel lekat ba-
gaikan ada lemnya. Sebenarnya mereka kini ten-
gah mengadu tenaga dalam yang disalurkan pada
pedang mereka masing-masing. Tangan keduanya
nampak bergetar, mata keduanya melotot marah.
Dari pedang yang menempel keluar asap menge-
pul.
"Hiat...!" Takasita memekik.
"Hiat...!"
Dua orang itu kembali melompat ke bela-
kang dengan tangan masih memegang pedang.
Takasita tersenyum kecut, pedang samurai me-
nyilang di mukanya. Sementara Jaladru nampak
menggambarkan wajahnya dengan bengis. Pe-
dangnya dimiringkan ke kanan, seolah-olah
memberikan tanda bahwa dirinya telah siap un-
tuk menentukan hidup atau mati. Mata keduanya
saling pandang, dengan mulut mengatup rapat
tak ada yang bicara. Napas keduanya mendengus,
lalu dengan kembali memekik keduanya berkele-
bat menyerang.
"Hiat...!"
"Hiaaaaattt...!"
"Trang! Trang! Trang!"
Pedang mereka saling adu, melompat kem-
bali, lalu balik menyerang dengan tebasan-
tebasan pedang. Pertarungan keduanya nampak
seru. Keduanya sama-sama mahir dalam meng-
gunakan pedang, sama-sama lincah dan gesit.
Kini tubuh keduanya tak kentara lagi, hilang ter-
gulung oleh sinar pedang mereka yang bergerak
dengan cepatnya.
Sementara Jaladru bertarung, Jaladri pun
terus mengawasi adiknya. Jaladri pun nampak te-
lah siaga penuh, siap membantu bila adiknya ter-
nyata tak mampu mengalahkan pendekar dari
negeri Nippon tersebut. Mata Jaladri membeliak,
tak percaya bahwa adiknya telah mampu men-
gimbangi jurus-jurus yang dilancarkan oleh pen-
dekar Nippon tersebut.
"Hem, sungguh pesat kemajuan adikku,"
gumam Jaladri.
Pertarungan kedua pendekar dengan senja-
ta pedang terus berjalan. Tebasan-tebasan pedang
mereka, menjadikan suara berdesir keras menja-
dikan angin yang menggelegar.
"Wuuuut! Wuuuut! Wuuu!"
Jaladru tebaskan pedangnya ke segenap
penjuru tubuh lawan. Pedangnya nampak berin-
gas, seakan ingin menghabisi apa yang ada di tu-
buh Takasita. Tersentak juga Takasita melihat il-
mu pedang yang digunakan oleh lawannya. Belum
pernah ia melihat ilmu pedang yang dahsyat, se-
perti yang kini ia lihat. Tetapi sebagai seorang
pendekar yang dipercaya oleh kaisar untuk me-
nunaikan tugas, jelas Takasita tak mau mengalah
begitu saja. Percuma kalau ia mengalah atau gen-
tar dengan orang-orang pribumi, kalau harus
jauh-jauh ia datang ke mari.
"Wuut...!"
Takasita balik menyerang, disertai dengan
lompatan tubuhnya yang bergerak ringan. Gera-
kan tubuh Takasita bagaikan gerakan seekor rase
yang lincah, sehingga setiap tebasan pedang Ja-
ladru tak ada sebuah pun yang mengena sasar-
annya.
Perlahan namun pasti, Takasita salurkan
tenaganya ke pedang samurainya. Nampak samu-
rai itu kini memerah laksana menyala, menjadi-
kan Jaladru seketika terkesima melompat mun-
dur berseru kaget.
"Ilmu Iblis!"
"He, he, he...! Kau telah tahu siapa aku,
bukan?" Takasita tertawa bergelak, sepertinya
merasa telah menang menghadapi pendekar ta-
nah Jawa yang sudah kesohor. "Aku harap kalian
mengakui kekalahannya."
"Adikku, minggirlah! Biar aku yang bergan-
ti!" Jaladri yang melihat bahwa adiknya nampak
tersentak kaget melihat ilmu lawan segera berse-
ru. "Minggirlah! Biar aku mencobanya!"
Jaladri segera melompat menghadang pen-
dekar dari Nippon itu. Kini Jaladri benar-benar
hendak mencoba sampai seberapa ilmu yang di-
miliki oleh pendekar tersebut. Sengaja Jaladri pu-
satkan tenaga dalam tingkat tingginya pada tan-
gan kanan, dimana tangan itu kini memegang pe-
dang.
"Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak cang-
gung-canggung memberikan pelajaran padaku,"
Jaladri berkata merendah, sebenarnya dalam ka-
ta-kata itu tersimpan sebuah kesombongan. Na-
mun dikarenakan pendekar dari Nippon tersebut
telah mampu membuat adiknya tersentak, Jaladri
berkata tidak terus terang, tapi dengan sindiran
halus. "He, he, he...! Memang itu yang aku mau!
Jangankan memberi pelajaran padamu, menjadi
ketuamu pun aku sanggup!"
"Sombong!" dengus Jaladri dalam hati.
"Hem, baiklah, Ki Sanak. Kalau engkau memang
mampu memberikan pelajaran padaku, maka aku
akan mau dan sudi menjadi anak buahmu. Tetapi
jika kau yang kalah, maka aku harap kau ming-
gat dari tanah Jawa ini."
"He, he, he...! Kita mulai...?"
"Terserah padamu, Ki Sanak."
"Bersiaplah!"
Takasita memandangkan mata tajam,
menghunjam dengan penuh kesombongan. Begitu
pula dengan Jaladri, matanya nampak memancar
penuh kebengisan. Memang Jaladri dan adiknya
dididik oleh seorang tokoh keras, yang pikirannya
sedikit miring. Tokoh tersebut pernah merajai du-
nia persilatan selama dua kali dasa warsa. Tokoh
tersebut bernama Jalakumba atau Pendekar Sint-
ing dari gunung Kidul. Setelah sepuluh tahun
menghilang entah kemana, tiba-tiba Pendekar
Sinting itu muncul kembali dengan mendirikan
sebuah perguruan Cakar Naga. Dan dua orang
kakak beradik kembar tersebutlah muridnya.
"Hiat...!" Takasita memekik, lalu berba-
rengan dengan pekikannya Takasita berkelebat
dengan samurainya menyerang. Jaladri yang te-
lah tahu kehebatan samurai tersebut, dengan pe-
nuh kewaspadaan balik menyerang.
"Wuuut! Wuuut! Wuuuut...!"
Pedang di tangan Jaladri berkelebat, mem-
babat ke arah pedang samurai sekaligus menang-
kisnya. Dua buah pedang tersebut saling beradu.
"Trang...!" Percikan api keluar dari bera-
dunya dua pedang, menjadikan keduanya tersen-
tak kaget. Mata Takasita melotot, tak percaya pa-
da kenyataan yang ada, bahwa musuhnya kini
bukanlah orang sembarangan. Terbukti tangan-
nya nampak kesemutan manakala pedang mereka
beradu. Walau di bibir Takasita tersenyum, na-
mun senyum itu hanya berupa menutupi kekage
tannya.
Takasita segera melompat mundur, dan
seperti biasanya ia silangkan samurainya di mu-
ka.
Sementara Jaladri yang sudah tahu sebe-
rapa ilmu lawan, nampak tenang. Disilangkannya
tangan ke muka, sehingga pedang miring ke
samping kiri tubuhnya. Walau ia telah tahu sam-
pai seberapa ilmu lawan, namun Jaladri tak mau
merendahkan begitu saja. Jaladri masih terngiang
kata-kata gurunya, bahwa orang-orang sombong
akan selalu lengah.
"Hiattt...!" Takasita memekik, lalu dengan
cepat berkelebat dengan Samurainya menyerang.
"Hiiaaattt...!" Jaladri segera memapakinya.
Dua tubuh itu segera melesat laksana terbang.
Keduanya dengan pedang siap menentukan sega-
la-galanya. Pedang-pedang di tangan keduanya
berkelebat, cepat bagaikan tebasan-tebasan pe-
nuh tenaga. Jaladri lemparkan tubuh ke samping,
lalu dengan kebat dihentakkan tangan kanannya.
Tersentak Takasita melihat musuhnya. Ge-
rakan musuhnya begitu aneh dan sulit untuk di-
lakukan bagi orang biasa. Bagaimana mungkin
orang bergerak membaliki serangan? Kalau bukan
orang berilmu tinggi, tentunya gerakan yang dila-
kukan Jaladri adalah gerakan bunuh diri. Sebab
dengan mudah, musuh akan segera menjadikan
dirinya perkedel.
"Wuuut...!"
Takasita mencoba menyerang, babatkan
pedang ke tubuh Jaladri yang membalik. Namun
secepat kilat Jaladri rundukkan tubuh dan tusu-
kan pedang ke arah Takasita. Takasita yang tidak
menyangka bakal musuhnya berbuat demikian,
tanpa ampun lagi tertusuk matanya oleh ujung
pedang.
"Aaah...!" Takasita memekik, tubuhnya se-
ketika goyah dan doyong ke belakang. Darah me-
leleh dari mata kirinya, yang pecah akibat tusu-
kan pedang Jaladri.
Melihat Takasita terkapar dengan berle-
potkan darah, seketika Jaladru hendak mengak-
hirinya dengan pedang. Namun secepatnya Jala-
dri melarangnya seraya berkata: "Biarkan ia hi-
dup untuk bukti pada pimpinannya bahwa susah
untuk orang asing macam-macam di tanah Jawa."
"Tapi, Kakang...?"
"Maksudmu dia akan menuntut balas?"
tanya Jaladri pada adiknya, yang mengangguk
mengiyakan. Jaladri tersenyum, lalu kembali ber-
kata. "Kalaulah mereka ingin membalas dendam,
tentunya mereka harus berpikir seribu kali untuk
berbuat itu."
Takasita masih kelojotan menahan sakit.
Darah masih meleleh dari mata kirinya yang han-
cur.
Dengan tertatih-tatih Takasita bangkit.
"Kenapa engkau tak membunuhku?"
Jaladri tersenyum, lalu katanya: "Aku tak
mau melumuri tanganku dengan darah kematian.
Nah, kau telah kalah, maka aku minta kau sece-
patnya minggat angkat kaki dari tanah Jawa!"
"Akan aku balas semuanya ini!" Takasita
segera berkelebat pergi dengan mata kiri yang
hancur, meninggalkan Jaladri dan Jaladru yang
hanya memandang kepergiannya. Tak berapa la-
ma kemudian setelah Takasita pergi, kedua kakak
beradik kembar itu pun berkelebat meninggalkan
Lembah Bangkai yang kembali sepi. Bercakan da-
rah yang keluar dari mata Takasita, kini meng-
gambar di situ, sepertinya memberi bukti bahwa
di tempat tersebutlah awal dari segalanya. Apa
yang bakal terjadi dengan Takasita? Dan apa yang
akan melanda tanah Jawa nantinya? Tunggulah
kisah Jaka Ndableg selanjutnya dalam Judul
DENDAM NINJA MERAH DARI NIPPON.
DUA
Lelaki tua itu berjalan agak bongkok. Kaki-
kakinya yang kecil, seakan tak kuat membawa
beban tubuhnya. Mungkin karena ketuaan, yang
menjadikan jalannya harus tertatih-tatih. Di
punggungnya, sebuah buntelan yang terbuat dari
kain putih nampak bergayut. Mata tuanya me-
mandang pada samping kanan dan kiri jalannya,
yang terbentang dua dataran tinggi. Dan memang
dataran tinggi tersebut membentang dari Barat
sampai ke Timur, seakan menjadi pagar jalanan
setapak yang sedang ia lalui.
Lelaki tua itu berjalan dengan santai, sea-
kan ia tengah menikmati keindahan alam yang di-
laluinya. Terkadang matanya memandang, lalu
mengecap-ngecap bagaikan ngantuk. Lelaki tua
itu bernama Sumping Tindik. Dan memang kalau
kita melihat pada telinganya dengan cermat, kita
akan melihat sebuah sumping* (Anting yang
hanya batangnya saja) melekat di bawah telin-
ganya. Orang boleh mengatakan ia genit, dan
memang dia genit. Dia seorang pendekar tua go-
longan hitam yang suka usilan dengan pemuda
ganteng. Dia adalah wadam atau bencong.
Sampai seusianya, Sumping Tindik tidak
nikah. Hal itu dikarenakan dia tidak menyukai
wanita, tetapi ia menyukai sesamanya yaitu kaum
lelaki.
"He, he, he...! Dengan aku membawa bung-
kusan ini, aku yakin banyak orang-orang yang
mengira akulah pemilik Kitab Banyu Geni. He, he,
he...!" Sumping Tindik tertawa terkekeh. "Hem,
aneh benar orang-orang. Kitab yang mereka be-
lum tahu di mana adanya mereka buru."
Sumping Tindik terus berjalan, mengelok
jalanan, lalu terus lurus entah ke mana. Lang-
kahnya tertatih, namun bila dilihat dengan cer-
mat, Sumping Tindik bukannya berjalan biasa.
Kakinya bagaikan tak menginjak tanah, ngam-
bang. Jelas ia tengah menunjukkan betapa ting-
ginya ilmu meringankan tubuhnya. Ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah tinggi, sukar untuk
melakukan bila orang tersebut belum benar-benar
sempurna lahir dan batinnya. Ilmu tersebut ber-
nama Larian Bayang Setan. Sebuah ilmu langka
yang hanya dimiliki oleh tokoh persilatan dari
perguruan Semeru saja. Dan yang memilikinya
hanya terdiri dari lima orang yang di antaranya
Sumping Tindik sendiri.
"Aku yakin, dengan cara demikian aku
akan mampu mendapatkan keterangan siapa
adanya orang pemilik Kitab Banyu Geni. Sebab
bukan tidak mungkin, orang tersebut akan men-
cak-mencak bila geger aku memiliki kitab terse-
but. He, he, he.,.!" kembali Sumping Tindik berka-
ta sendiri, tertawa terkekeh sendiri membayang-
kan segala apa khayalannya bakal terlaksana.
Tengah Sumping Tindik berjalan sambil
tersenyum-senyum, nampak dari arah Timur se-
seorang berjalan berlawanan dengan arah yang
ditujunya. Wajah orang itu nampak menggambar-
kan tergesa-gesa, sehingga ia seakan tak hirau-
kan dengan Sumping Tindik manakala berlalu
melewatinya.
Jarak antara orang tersebut dengan Sump-
ing Tindik makin jauh, manakala orang setengah
baya itu terhenti langkahnya seakan tercenung
sendiri. Orang itu membalikkan tubuhnya, me-
mandang pada arah Timur di mana Sumping Tin-
dik berjalan terus melangkah. Namun Sumping
Tindik telah menghilang di kelokan, menjadikan
orang tersebut kerutkan kening.
"Hem, ke mana lelaki tua renta itu?" gu-
mamnya. "Aku lihat tadi di pundaknya ada se-
buah bungkusan. Apakah tidak mungkin bung-
kusan tersebut adalah Kitab Banyu Geni...?
Orang itu datang dari wilayah Kulon, berarti dari
arah Lembah Bangkai. Hem, aku harus menge-
jarnya, siapa tahu memang dia membawa kitab
tersebut! Siapa tahu dia yang memang beruntung
mendapatkan kitab tersebut, lalu disembunyi-
kannya dahulu di sebuah tempat, dan kemudian
baru diambilnya setelah keadaan sudah tenang...
hem, ya! Aku akan mengejarnya!"
Merasa yakin bahwa dugaannya benar, se-
gera orang tersebut berlari mengejar ke arah di
mana Sumping Tindik menuju. Dengan ilmu la-
rinya, orang tersebut berkelebat cepat hingga da-
lam sekejap saja ia telah mampu menyusul.
"Orang tua... tunggu...!" ia berteriak.
Sumping Tindik hentikan langkah, paling-
kan muka sesaat, lalu bagaikan tak acuh Sump-
ing Tindik kembali melangkah meninggalkan tem-
patnya. Hal itu menjadikan lelaki setengah baya
yang mengejar mangkel. Dengan agak dongkol le-
laki tersebut kembali berlari mengejar. Hatinya
keki melihat tingkah laku si kakek; seolah-olah
kakek itu menyepelekannya. Maka dengan sekali
kebat saja, tiba-tiba lelaki setengah baya itu telah
menghadang langkah Sumping Tindik yang cen-
gar-cengir bagaikan orang linglung.
"He, he, he...! Ada apa kau nguber-nguber
aku? Apakah kau demen padaku?" Sumping Tin-
dik cekikikan, mengedipkan mata dengan genit-
nya. "Ganteng bukan mukaku?"
Lelaki setengah baya itu jengkel bukan
alang kepalang, mendengar ucapan kakek terse-
but. Merah mukanya, matanya, sepertinya lelaki
setengah baya itu telah membludak amarahnya
yang sudah tidak terbendung lagi.
"Cih! Aku bukan mengejarmu karena tergi-
la-gila padamu, Sumping Tindik!" maki lelaki se
tengah baya. "Jangankan aku, kakek-kakek se-
pertimu juga tak akan mau dengan dirimu, orang
norak!"
"He, he, he...!" Sumping Tindik tertawa.
"Lalu apa yang menjadikan kau mengejar-ngejar
diriku, Krenggil?" Sumping Tindik bagaikan tak
marah dihina sedemikian rupa. Malah dengan
masih cengegesan ia berkata.
"Aku membutuhkan apa yang kau bawa."
"He, he, he...! Sudah aku duga," Sumping
Tindik berkata dengan nada kebencong-
bencongannya, sembar dan merendahkan pada
Krenggil. "Memang orang-orang akan mengejar-
ngejarku kalau mereka tahu bahwa aku telah
mendapatkan apa yang mereka cari-cari selama
ini."
"Jadi benar apa yang aku katakan."
"Kau berkata apa?" Sumping Tindik berka-
ta sinis, cibirkan bibirnya. "Enak saja kau yang
ngomong!"
Krenggil sebenarnya sudah tak tahan meli-
hat tingkah laku bencong tua ini. Namun karena
ada hal yang dimaksud, menjadikan Krenggil ha-
rus menahan amarahnya. Krenggil menghendaki
kakek angin-anginan ini akan mau memberikan
kitab Banyu Geni yang ada dalam bungkusannya
dengan baik-baik. Bukankah itu akan memudah-
kannya? Tak perlu lagi Krenggil bersusah payah
mencari, atau pun harus bertempur dengan ka-
kek bencong ini.
"Sumping Tindik, aku mohon kau mau
memberikan kitab tersebut."
"Kitab apa...?" tanya Sumping Tindik, se-
pertinya ia tak mengerti saja maksud ucapan
Krenggil
"Kau jangan pura-pura, Sumping!" bentak
Krenggil marah.
"Aku tidak berpura-pura. Kaulah yang
mungkin berpura-pura saja."
Mengerut alis mata Krenggil mendengar
ucapan Sumping Tindik. Hatinya panas, mele-
dak-ledak bagaikan letupan api yang tak dapat di-
tahan lagi. Napasnya mendengus besar, meng-
gambarkan bahwa Krenggil benar-benar sudah
muak dengan tingkah laku si kakek bencong ini.
"Kau mau menyerahkan tidak, Sumping!"
dengus Krenggil.
"Apa yang mesti aku serahkan, orang tolol!"
balas Sumping Tindik tak kalah kerasnya, menja-
dikan dengungan di telinga Krenggil. "Kalau kau
mau mengambilnya, mengapa mesti meminta-
minta padaku?!"
"Jadi kau tak mau menyerahkan kitab
itu?!"
"Heh, sudah aku bilang, aku tak perduli
denganmu!"
"Kurang ajar!" geretak Krenggil.
"Kau yang kurang ajar!"
"Setan!"
"Kau yang setan!"
Dua orang dari aliran sama itu saling adu
mulut. Keduanya saling bentak saling maki den-
gan segala kemarahan. Sepertinya kedua orang
tersebut tak ada yang mau mengalah. Dan pun
cak dari segalanya, keduanya saling tantang me-
nantang untuk meneruskan pada adu ilmu mere-
ka
"Aku lumatkan tubuh tuamu yang lapuk
itu, Sumping!"
Sumping Tindik sunggingkan senyum, sinis
dan berkata dengan nada mengejek "Lakukan bila
engkau mampu, Krenggil!"
"Bujang lapuk!"
Bukan alang kepalang kemarahan Sump-
ing Tindik mendengar ucapan Krenggil yang men-
gatakan dirinya bujang lapuk. Maka dengan mata
melotot disertai dengan napas memburu liar,
Sumping Tindik balik membentak: "Bangsat! Kau
telah menghinaku. Kau harus mati! Kau harus
mati, hu, hu...."
Dengan menangis Sumping Tindik berkele-
bat menyerang Krenggil. Segera Krenggil yang ti-
dak mau dirinya jadi korban cakaran kuku si ka-
kek lompatkan tubuh mengelak.
"Wuuuttt...!"
Sumping Tindik sabetkan tangannya den-
gan kuku-kuku panjang hitam ke arah Krenggil.
Angin pukulannya menderu, menjadikan Krenggil
tersentak kaget, buang mukanya dan kirim ten-
dangan ke arah perut Sumping Tindik yang men-
dalam karena Sumping Tindik doyongkan tubuh
ke muka. Namun ternyata segala serangan yang
dilancarkan Sumping Tindik hanyalah tipuan be-
laka. Dan manakala kaki Krenggil hendak sampai,
segera Sumping Tindik ulurkan tangan ke bawah
menangkap. Gerakan ini terkenal dengan jurus
Kera Gila Menyelamkan Buaya. Sebuah gerakan
yang cepat dan dilandasi dengan tenaga yang be-
sar, mirip dengan tenaga orang gila.
Tersentak Krenggil melihat gerakan lawan.
Maka dengan segera ia tarik kembali kakinya, dan
ajukan jotosan ke arah muka musuh dengan ju-
rus Gada Laksa Dewa Brahma. Dari jotosan itu
anginnya saja nampak begitu panas membara,
apalagi bila bogem mentah itu menerpa muka,
sungguh tidak dapat dibayangkan. Tetapi bukan-
lah Sumping Tindik kalau harus mengalah begitu
saja pada musuh. Melihat musuhnya mengelua-
rkan jurus inti, Sumping Tindik tertawa gelak, la-
lu dengan cepat ia rubah gerakan tangan dan ka-
kinya. Gerakan tangan dan kakinya sungguh
aneh, tak lajimnya digunakan oleh orang persila-
tan. Setiap tangan Krenggil maju yang kanan,
maka Sumping Tindik ajukan kaki sebelah kiri
dengan tangan kanan menyiku, lalu siku itu
menghantam dekat ke arah muka lawan. Itulah
jurus Belah Gelombang, sebuah jurus yang mam-
pu menjadikan musuh harus menarik diri dari ja-
raknya. Kalau tidak, maka mukanya akan remuk
tersiku
"Uut...!" Krenggil memekik, lemparkan ke-
palanya ke samping, hindari sikutan tersebut.
"Rupanya kau makin hebat saja, Sumping?"
"He, he, he...! Dari dulu kau tahu bahwa
aku memang hebat, bukan?" ucap Sumping Tin-
dik sombong. "Kalau aku tidak hebat, manalah
mungkin aku mendapat sebutan pendekar? Dan
mana mungkin aku mampu merajai dunia persi
latan? He, he, he..."
"Kau boleh berbangga dengan apa yang te-
lah engkau dapatkan dulu, namun kini kau harus
tunduk padaku."
"Et! Tidak bisa, sobat." Mendengus Krenggil
mendengar ucapan si kakek. Ia memang tahu
bahwa ilmu kakek ini sungguh tinggi. Namun ia
tak ingin segalanya gagal. Ia harus mampu mere-
but apa yang ada di punggung si kakek, yang ten-
tunya adalah barang yang ia cari.
"Sumping, bagaimana jika kita damai sa-
ja?"
"Maksudmu...?" tanya Sumping Tindik de-
mi mendengar ucapan Krenggil yang baginya
aneh. Jelas aneh, sebab keduanya memang dari
dulu walau sealiran selalu saja ada perselisihan.
Dan kalau memang keduanya bersahabat, jelas
itu tidak mungkin mereka lakukan. Keduanya ba-
gaikan anjing dan kucing, walau tidak pernah sal-
ing menjatuhkan, tetapi cara mereka bersaing be-
nar-benar merupakan permusuhan secara tidak
langsung.
Krenggil yang yakin kalau dalam bungku-
san itu tak lain hanyalah kitab Banyu Geni terse-
nyum, mencoba ramah. Ia berharap si kakek mau
luluh juga hatinya. Walau pun mereka selalu ber-
saing untuk mendapatkan nama di dunia persila-
tan, tetapi mereka bukankah masih satu golon-
gan? Siapa tahu persaingan keduanya dapat ter-
selesaikan dengan adanya kitab tersebut. Tapi di
hati Krenggil sungguh lain. Bukan harapan itu
yang ada, melainkan sebuah kelicikan.
"Hem, kalau aku mampu mengelabuhinya,
urusan dirinya bukanlah masalah. Apakah tidak
mudah melenyapkannya?" kata hati Krenggil.
"Heh, mengapa engkau terdiam? Kalau
engkau sudah kapok, segeralah minggat dari ha-
dapanku!" bentak Sumping Tindik tak sabar me-
lihat Krenggil masih terdiam.
"Tunggu! Bagaimana kalau kitab tersebut
kita pelajari berdua? Bukankah dengan kita ber-
dua menjadi satu maka aliran kita akan menjadi
kokoh?" Krenggil mencoba merayu, dengan hara-
pan hati Sumping Tindik mau menerimanya. Dan
memang Sumping Tindik nampak terdiam, seper-
tinya tengah menimbang apa yang menjadi saran
Krenggil.
"Dasar licik! Disangkanya aku tidak tahu
maksud busuknya!" umpat hati Sumping Tindik.
"Jangan kira aku akan menerima akal busukmu
walau kitab itu sebenarnya tidak berada di tan-
ganku!"
"Tidak...!"
"Sumping... Kau menolaknya!?"
"Ya!" jawab Sumping Tindik tenang.
"Kau menginginkan mati, Sumping!"
Sumping Tindik tersenyum mendengar
ucapan Krenggil. Dirasakannya ucapan Krenggil
tak ubahnya hanya ucapan orang gendeng yang
tengah menghayal. "Mati...? Heh, kau bilang aku
mencari kematian. Itu memang, Krenggil! Nah,
kalau kau memang mampu membuatku mati,
maka aku akan menyerahkan kitab yang aku ba-
wa ini untukmu!"
"Edan! Kau benar-benar edan, Sumping!"
"Kau yang edan! Kau yang berteriak-teriak
kaya orang edan!"
"Bangsat! Dasar, bujang lapuk!"
"Bedebah! Kau telah menghinaku dua kali,
maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak
kelewatan padamu. Hiat...!"
Tak dapat lagi kemarahan Sumping Tindik
dicegah demi mendengar sindiran yang baginya
terasa menghantam dahsyat dilontarkan oleh
Krenggil untuk kedua kalinya. Kakek bencong itu
kini bagaikan banteng ketaton berkelebat menye-
rang membabi buta. Dan sungguh dahsyat han-
tamannya. Karena hantamannya, seketika pe-
pohonan yang ada di situ tumbang. Bebatuan
yang menjadi pagar bergemuruh runtuh ke ba-
wah.
Terbelalak mata Krenggil menyaksikan hal
itu. Hatinya kini diliputi rasa takut. Tak ia sangka
kalau ilmu kakek tua bencong ini makin bertam-
bah saja. Namun untuk menghindar, jelas ia tidak
akan mampu. Maka hanya melompat ke sana
kemari saja yang dapat ia lakukan mengelakkan
serangan si kakek.
"Aku bunuh kau, Krenggil! Aku bunuh! Hu,
hu, hu...!"
Dengan menangis Sumping Tindik terus
lancarkan serangan ganasnya mencerca Krenggil.
Tak ada kesempatan bagi Krenggil untuk menge-
lakkannya dan pergi. Krenggil hanya mampu
mengelakkan di tempat tersebut, sebuah tempat
yang sangat tidak membuatnya leluasa bergerak.
"Edan! Kalau begini aku tak akan selamat!"
Krenggil menggerutu dalam hatinya yang ciut.
"Wuuut...!"
Segelombang angin berkelebat mengarah
ke arahnya, menjadikan Krenggil tersentak. Den-
gan gugup Krenggil yang sudah dalam keadaan
terdesak balik menyerang dengan pukulannya.
"Wuuut...!"
"Bledar...!" Ledakan seketika terdengar,
manakala dua kekuatan tersebut bertemu. Akibat
dari beradunya dua kekuatan tersebut, tak ayal
kedua orang yang melontarkannya pun terdorong
ke belakang. Krenggil terhempas jatuh ke tanah
dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya, se-
mentara si kakek tubuhnya tergontai-gontai. Na-
mun si kakek masih mampu berdiri, memandang
dengan senyum mengulas di bibirnya.
Krenggil yang sudah merasa tak bakalan
ungkulan, serta merta dengan masih memegangi
badannya yang sesak tinggalkan tempat tersebut
sebelum si kakek melihatnya. Dan tinggallah si
kakek terlonglong bengong melihat musuhnya te-
lah tak ada di tempat tersebut. Merasa yakin
bahwa musuhnya tentunya melarikan diri, segera
si kakek pun berkelebat menyusul.
TIGA
Kitab Banyu Geni yang telah hilang dari
tempat asalnya yaitu Lembah Bangkai, kini be-
nar-benar menjadi ajang rebutan yang membawa
petaka bagi dunia persilatan. Semua tokoh-tokoh
persilatan kini mengalihkan perhatiannya pada
Sumping Tindik yang menurut kabar telah memi-
liki kitab tersebut.
Sungguh-sungguh kitab pembawa benca-
na, sebab belum tentu mereka mendapatkan ki-
tab tersebut, tetapi mereka telah rela membuang
nyawa sia-sia.
Dari kejauhan nampak sebuah kereta
agung yang ditarik oleh empat ekor kuda melaju
dengan cepatnya menyusuri jalanan berbatu. Ke-
reta itu datangnya dari arah Timur, melaju menu-
ju ke arah Barat. Setelah mendapatkan tikungan
pertama, kereta itu rubah haluan, melaju menuju
ke arah Utara. Penunggang kereta tersebut nam-
pak dua orang, ditambah dengan kusir dan dua
pengawal.
Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan
oleh mereka, jelas mereka adalah orang-orang
tingkat ksatria atau dengan kata lain orang-orang
dalem istana. Dan memang mereka terdiri dari
orang kalangan istana yang ditugaskan untuk
mencari kitab yang telah meresahkan dunia persi-
latan. Salah seorang penunggangnya tak lain
pangeran Salendra Wangsa, yang didampingi oleh
adiknya pangeran Sangkar Samudra. Dua orang
pangeran muda tersebut sengaja hendak mencari
Kitab Banyu Geni dikarenakan keduanya diutus
oleh guru-guru mereka untuk mencari kitab ter-
sebut.
Disamping keduanya langsung mencari,
juga telah disebar pengumuman mengenai penca
rian kitab tersebut. Isi pengumuman tersebut
adalah:
"Barang siapa yang dapat menyerahkan ki-
tab tersebut pada kerajaan, maka orang tersebut
akan diangkat menjadi prajurit atau panglima
prajurit di Kerajaan."
"Paman Klower, apa tak dapat kuda diper-
cepat larinya?" yang berkata pangeran Salendra
Wangsa. "Usahakanlah kuda-kuda ini dipercepat,
sebab hari sebentar lagi akan beranjak menjadi
malam. Bisa-bisa kita perangkap di tengah jalan."
"Daulat, Pangeran," jawab Klower, lalu
dengan segera digebahnya lari sang kuda. "Hia,
hia, hia...!"
Kuda-kuda tersebutpun bagaikan kegira-
san berlari dengan cepatnya, menerobos hutan
untuk mencari jalan yang pintas. Namun mana-
kala mereka benar-benar berada di tengah hutan,
tiba-tiba kuda-kuda penarik kereta meringkik ke-
ras, hentikan larinya. Hal itu menjadikan kedua
pangeran tersebut tersentak kaget, bertanya pada
kusirnya.
"Ada apa, Klower?" yang bertanya pangeran
Sangkar Samudra seraya longokkan kepala ke-
luar. "Mengapa kuda-kuda itu?"
"Entahlah, Pangeran."
"Suyud, kau keluarlah. Mengapa kuda-
kuda itu?" Salendra Wangsa memerintah, yang
dengan segera dilaksanakan oleh prajuritnya yang
bernama Suyud. Suyud segera keluar, melangkah
ke depan sambil mencari-cari gerangan apa hing-
ga kuda-kuda tersebut berhenti.
"Ada apa, Suyud?" tanya Sangkar Samu-
dra.
Suyud nampak masih berusaha mencari
apa penyebab hingga kuda-kuda penarik kereta
menghentikan larinya? Suyud makin masuk ke
dalam, melangkah dengan hati-hati. Suyud terus
melangkah dengan golok siap tergenggam di tan-
gan, masuk merambah semak belukar dalam hu-
tan.
Semua yang ada di kereta tegang, seakan
langkah-langkah Suyud adalah langkah-langkah
yang memastikan mereka. Sementara gelap mulai
agak merambah, menjadikan bayang-bayang hi-
tam bagi mereka.
"Aaah...!"
"Suyud...!" Pangeran Saledra Wangsa me-
mekik, manakala terdengar pekikan Suyud dari
dalam hutan. Dengan sigap sang pangeran ber-
sama adiknya dan seorang pengawalnya melom-
pat menuju ke tempat di mana Suyud memekik.
Lari mereka begitu cepat, sehingga ketiganya ba-
gaikan terbang melesat.
"Suyud...!"
Mata ketiganya mendelik, manakala meli-
hat apa yang ada di hadapan mereka. Tubuh
Suyud, tergeletak bermandikan darah di tanah
dengan nyawa telah melayang. Kedua pangeran
itu seketika nampak liar, menyapu gelapnya ma-
lam dalam hutan itu. Mata keduanya begitu bera-
pi, seakan hendak membakar apa saja yang ada
di situ.
"Kalian yang ada di sini, keluarlah! Hadapi
aku, Sangkar Segara!" Sangkar Segara menggere-
tak marah, sehingga tanpa ada rasa takut ia ber-
teriak. "Anjing, Monyet, Iblis, Dedemit! Kalau ka-
lian memang manusia atau apapun, tunjukkan
muka-muka kalian! Cepat...!"
Tak ada jawaban, dan hanya desah angin
malam yang menerpa mereka.
"Kita rambah hutan ini, Kakang."
"Baiklah," Salendra Wangsa menyetujui.
Namun segera ia teringat pada kusirnya yang me-
reka tinggalkan. "Tunggu dinda, apakah mang
Klower kita tinggal?"
"Ah, benar!" Sangkar Samudra mendesah,
manakala ingat bahwa di antara mereka ternyata
masih ada orang lain. "Ayo, Kakang. Kita jangan
sampai kedahuluan oleh orang lain."
Dengan segera ketiga orang tersebut kem-
bali menuju ke tempat di mana kereta berada.
Dan betapa mereka kembali terbengong-bengong
dengan mata melotot kaget disertai amarah yang
meluap-luap. Apa yang mereka saksikan, sung-
guh-sungguh membuat darah kedua pangeran
dan seorang prajuritnya mendidih. Mereka me-
nyaksikan tubuh mang Klower sudah tak bernya-
wa lagi, mati dengan mata mendelik. Ada tali
mengikat lehernya.
"Bangsat rendah! Rupanya mereka hendak
main-main dengan kita, Kakang?!"
"Memang benar! Mereka sengaja memecah
kita. Maka itu, kalian berdua jangan jauh-jauh
dariku."
Ketiga orang dari istana itu melangkah per
lahan, meninggalkan kembali kereta yang masih
terdiam dengan sesosok mayat teman mereka.
"Kresek...!"
Terdengar suara daun kering diinjak, men-
jadikan mata ketiganya membelalak dan meman-
dang ke arah suara gemereseknya daun kering
tersebut.
"Hati-hati, musuh telah dekat," Pangeran
Salendra Wangsa berbisik memperingatkan adik
dan prajuritnya.
Mereka terus melangkah dengan hati-hati,
makin merambah ke tengah hutan yang makin
gelap. Makin lama-makin ke dalam saja mereka
melangkah. Namun sejauh itu, belum ada tanda-
tanda bahwa mereka akan menemukan jejak-jejak
orang yang telah membunuh prajurit dan tukang
kusirnya.
"Hem, kemana mereka? Apakah mereka
bukan manusia?" tanya Sangkar Segara yang su-
dah tak sabar nampak menggeretak. Tangannya
telah siap dengan pedang terhunus. Dengan seka-
li kebat saja Sangkar Segara telah mendahului
kakak dan prajuritnya memburu ke depan. Dan
bagaikan orang gila saja, Sangkar Segara te-
baskan pedangnya membabat segala apa saja
yang ada. Mulutnya tiada henti memaki dan men-
gumpat-umpat. "Bangsat! Keluar kalian jika ka-
lian memang laki-laki! Keluar! Hadapi aku Sang-
kar Segara!"
Sangkar Segara terus mengumbar amarah-
nya, babatkan pedang dengan liar dan jalang. Tak
dipikirkan olehnya segala apa yang bakal ia tang
gung. Kemarahannya benar-benar tak terkendali,
membara bagaikan nyala api yang siap membakar
segalanya. Salendra Wangsa dan seorang praju-
ritnya tak dapat berkata apa-apa. Keduanya
hanya mengikuti langkah adiknya menuju makin
ke dalam hutan yang makin menyeramkan. Se-
mentara Sangkar Samudra masih terus berteriak-
teriak dengan segala amarahnya. Pedang di tan-
gannya masih berkelebat membabat segala apa
saja.
* * *
Makin ketiganya masuk ke dalam, seketika
terdengar kembali suara lolongan anjing hutan
yang panjang. Mungkin kalau manusia biasa
akan mengira bahwa lolongan itu benar-benar lo-
longan anjing hutan. Tapi bagi mereka, jelas bah-
wa lolongan tersebut tak lain sebuah isyarat dari
seseorang. Demi mendengar hal tersebut, segera
ketiganya bersiap dengan senjata mereka. Salen-
dra Wangsa cabut keris pusakanya, sementara
seorang prajuritnya cabut golok.
"Aauuuuuunngggg...!" kembali terdengar
lolongan.
"Hati-hati, adik. Ini sebuah isyarat."
Dan benar juga apa yang dikatakan oleh
Salendra Wangsa adanya. Belum saja mereka ber-
tindak lebih jauh, tiba-tiba berkelebat beberapa
sosok tubuh hitam-hitam menghadang mereka
dengan pedang putih mengkilap siap menyerang.
Ketiga orang tersebut tersentak, mundur tiga tin
dak.
"Ninja...!" pekik Suroso, prajurit.
"Heh, rupanya orang-orang Nippon telah
menjarah tanah Jawa," Sangkar Segara turut
menggumam. "Apa yang kalian cari di negeri ka-
mi, hah!"
Tak ada jawaban dari mereka. Hanya mata
mereka yang nampak saja yang memandang den-
gan tajam tanpa kedip. Napas mereka mende-
ngus. Lalu dengan cepat mereka berkelebat me-
nyerang ke arah ketiganya.
"Hiat...!"
"Edan! Mereka tak mengenal kompromi ru-
panya," dengus Sangkar Segara. "Awas, Ka-
kang...!"
Salendra Wangsa dengan sigap elakkan
babatan samurai di tangan mereka, lalu dengan
sebat dia pun balik menyerang dengan menusuk
ke arah lawan. Pertarungan tiga dikeroyok oleh
puluhan orang itu pun tak dapat dihindarkan.
Mereka bergerak dalam gelapnya malam. Dan
hanya sinar-sinar pedang mereka yang nampak
berkelebat-kelebat saling serang, tusuk, dan elak.
"Hiat...!" Sangkar Segara yang sudah ma-
rah terus mengamuk, babatkan pedangnya.
Sungguh dahsyat babatan pedang murid Resi
Rama Kreta ini. Setiap babatannya, tak ayal lagi
membawa pekikan kematian bagi musuh.
Namun musuh-musuhnya bukanlah orang-
orang sembarangan. Mereka tak lain murid-murid
dari perguruan Samurai Merah yang sudah terla-
tih dengan segala keberaniannya dan siap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Dua orang mati
di tangan Sangkar Segara, tidak menjadikan yang
lainnya surut, bahkan dengan beringas lainnya
merangsek.
"Wuuut...!"
Sebuah samurai berkelebat membabat ke
arah Sangkar Segara, yang dengan segera elakkan
serangan, melompat ke belakang. Namun ternyata
para ninja itu tak mau membiarkan lawannya da-
pat leluasa bergerak. Segera mereka kembali me-
rangsek. Samurai di tangan mereka terus mem-
babat, menjadikan Sangkar Segara harus meng-
gunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengimbangi gerakkan mereka yang gesit dan ce-
pat tersebut.
"Wuut! Wuut! Wuuuutt...!"
"Sret...!"
Tersentak Sangkar Segara dengan mata
membeliak bercampur marah. Bagaimana tidak,
kini pipinya tergores oleh senjata para ninja.
Goresan tersebut menjadikan darah meleleh
membasahi pipinya sebelah kiri. Sangkar Segara
menggeram laksana harimau kelaparan, dan den-
gan cepat babatkan pedangnya.
"Kalian harus minggat dari sini! Hiat...!"
"Wuut...!"
Gerakan pedang Sangkar Segara begitu ce-
pat, makin lama iramanya makin cepat. Tubuh
Sangkar Segara tiba-tiba menghilang, lenyap di-
gulung oleh sinar pedangnya yang bergulung-
gulung bagaikan gangsing.
Terbelalak para ninja yang mengeroyoknya,
manakala melihat musuhnya mampu melakukan
sebuah gerakan yang sukar untuk ditentukan ke-
beradaannya. Sinar gulungan pedang Sangkar
Segara terus bergerak menyerang mereka, yang
hanya mampu menyurut mundur, tidak dapat la-
gi dengan seenaknya balas menyerang.
"Aaaaaaahhh...!"
Tiga kali berturut-turut terdengar lolongan
panjang, manakala pedang di tangan Sangkar Se-
gara membabat cepat. Tiga sosok tertutup kain
hitam roboh bermandikan darah, ambruk, sesaat
mengejang hingga akhirnya tergeletak dengan
nyawa putus. Namun seperti semula, para ninja
itu tak hiraukan kematian teman-teman mereka.
Para ninja yang masih hidup kembali merangsek,
malah mereka nampak makin beringas saja me-
nyerang.
Di pihak lain, nampak Salendra Wangsa
dengan kerisnya terus menyerang. Begitu juga
dengan prajuritnya yang bersenjatakan golok. Ke-
duanya nampak tak lagi memberikan kesempatan
pada para ninja untuk mengatur posisi mereka.
Keduanya terus memberikan tekanan-tekanan
yang sangat sukar untuk dilepaskan oleh para
ninja. Keris di tangan Wangsa terus mencerca,
menusuk-nusuk ke arah dada lawan, menjadikan
lawan harus hati-hati sekali menghadapi keris
pusaka tersebut. Sambaran keris pusakanya saja
mampu mengundang hawa panas yang teramat
sangat. Mata para Ninja membeliak tak percaya,
sebab baru kali ini mereka melihat senjata aneh.
Sebuah senjata pendek yang mampu menggetar
kan hati mereka.
Pertarungan tiga melawan puluhan Ninja
itu terus berlangsung. Korban di pihak para Ninja
terus berjatuhan. Namun demikian, para Ninja
merah sepertinya tak mengenal rasa takut. Sekali
teman mereka tergeletak mati, maka yang lainnya
kembali merangsek.
"Sungguh kalian mencari mati, berani ber-
keliaran di tanah Jawa ini!" bentak Salendra
Wangsa, yang terus merangsek dengan kerisnya.
Tubuh Salendra Wangsa kini berkelebat dengan
cepat, terbang dengan keris menusuk-nusuk dari
atas menghunjam ke kepala para Ninja.
Para Ninja tersebut tersentak kaget, tak ki-
ra kalau musuhnya mampu melakukan gerakan
seperti yang mereka kadang lakukan. Dan mana-
kala mereka dalam kekagetan, tiba-tiba Salendra
Wangsa telah menukik turun. Tangannya terjurus
lurus ke bawah, siap hujamkan keris pusaka.
"Hiat...!"
"Cros! Cros! Cros...!"
Keris di tangan Salendra Wangsa bergerak
bagaikan mempunyai mata. Keris itu bergerak ce-
pat, menusuk-nusuk kepala lawan, menjadikan
pekikan-pekikan kematian. Sebanyak lima orang
Ninja seketika meregang nyawa, memekik sesaat,
lalu akhirnya terkulai lemas dengan nyawa me-
layang. Namun keberhasilan kedua pangeran ter-
sebut, tidak diikuti oleh prajuritnya. Dalam seke-
jap, tubuh prajurit itu tercincang habis oleh teba-
san-tebasan samurai di tangan para Ninja.
"Aaaaaaaaaaa.....!"
Tak ayal lagi, dalam sekejap saja tubuh
prajurit tersebut borat-baret dengan luka-luka
yang menganga mengeluarkan darah segar. Se-
saat tubuh prajurit itu meregang, lalu ambruk
dengan tubuh hancur dan mata melotot, mati.
Tak alang kepalang lagi betapa gusar dan
marahnya kedua pangeran itu melihat sisa pen-
gawalnya telah kembali menemui kematian. Mata
keduanya menyorot memendam hawa bengis pe-
nuh kematian.
"Bangsat-bangsat Nippon! Kalian harus
enyah dari bumi ini, hiat...!" Sangkar Segara
menggeretak marah. Kini dirinya nampak makin
beringas dan penuh nafsu untuk menyarangkan
pedangnya ke tubuh musuh-musuhnya. Dan
memang benar, setiap kali kelebatan pedangnya,
menyusul pekikan kematian para Ninja yang ter-
babat dengan puntung kepala mereka. Kini giliran
para Ninja lainnya yang membeliak kaget. Sung-
guh di luar dugaan mereka, kalau pangeran dari
tanah Jawa ini mampu berbuat yang di luar du-
gaan mereka.
"Hati-hati, Adikku...!" Salendra Wangsa
memperingatkan. Dirinya juga kini bagaikan se-
ekor burung Rajawali yang ganas, siap mematuk
kepala musuh dengan keris pusaka di tangannya.
Sungguh-sungguh gerakan kedua pangeran Jawa
itu buas, liar dan penuh mengarah pada kema-
tian. Dan rupanya memang begitu akibatnya. Da-
lam beberapa gebrakan saja, para Ninja itu di-
biarkan tidak berdaya sama sekali. Mereka hanya
mampu bertahan, lalu akhirnya menjerit dan ro
boh dengan tubuh terbeset atau kepala bolong
tertusuk-tusuk oleh keris Salendra Wangsa.
Melihat teman-temannya binasa, tiba-tiba
salah seorang Ninja kembali mengaung: "Aaaau-
ung...!"
Bersamaan dengan aungan tersebut, ninja-
ninja yang lainnya tiba-tiba menghilang menero-
bos ke bumi. Semua Ninja yang masih hidup be-
nar-benar menghilang, masuk ke dalam bumi se-
telah terlebih dahulu meledakkan sebuah benda
kecil ke arah kedua pangeran Jawa.
Terbelalak mata Salendra Wangsa dan
Sangkar Segara melihat hal tersebut. Belum per-
nah keduanya melihat sebuah kejadian aneh,
layaknya seperti yang sekarang mereka hadapi.
Mata kedua pangeran Jawa itu membeliak, berpu-
tar memandang ke arah di mana para Ninja ter-
sebut menghilang. Keduanya nampak waspada,
takut kalau-kalau para Ninja itu muncul kembali.
Dan rupanya dugaan keduanya benar. Ninja-ninja
tersebut kembali muncul, bertambah banyak sa-
ja.
"Edan! Rupanya mereka mengundang te-
man-teman mereka!" menggeretak Sangkar Sa-
mudra. Melompat ke belakang, manakala kakinya
tiba-tiba hendak dibetot ke bawah. "Kurang ajar,
hiat...!"
Pertarungan para Ninja dan kedua pange-
ran Jawa itu kembali terjadi. Para Ninja itu kini
makin bertambah banyak, berterbangan dari atas
pohon, serta nongol dari bawah tanah. Kini kedua
pangeran itu benar-benar harus menguras tenaga
mereka untuk menghadapi para Ninja yang makin
bertambah banyak. Kini kedua pangeran Jawa
tersebut tidak lagi harus memandang para Ninja.
Keduanya benar-benar harus menutup mata un-
tuk mampu menghalau serangan. Dalam hati me-
reka hanya ada dua pilihan, membunuh atau di-
bunuh oleh para Ninja dari negeri Nippon yang
terkenal berangasan dan kejam.
"Pangeran Jawa, lebih baik kalian menye-
rahlah!" terdengar seruan seseorang, manakala
kedua pangeran itu tengah terus berkelebat me-
nyerang.
"Bangsat! Keluar dirimu! Jangan bisanya
hanya ngomong di belakang!" balik membentak
Salendra Wangsa. "Kalau kau ingin kami menye-
rah, maka langkahi dulu mayat kami! Keluarlah
kau, kalau kau benar-benar seorang lelaki!"
"Kunyuk! Kau kira aku apa, hah!" Sangkar
Segara tak kalah marahnya. Sambil tebaskan pe-
dang yang membawa kematian bagi musuhnya ia
terus menggeretak marah. "Kalau kau memang
ketuanya Ninja-ninja dungu ini, keluarlah! Hada-
pi kami, Monyet!"
"Hua, ha, ha...! Tak perlu aku keluar.
Tunggulah, pasti kalian berdua akan menda-
patkan hal yang sekiranya kalian belum pernah
merasakannya."
"Bangsat! Akan aku leburkan semua anak
buahmu ini, hiat!"
Sangkar Segara benar-benar sudah tak da-
pat menahan amarah. Tubuhnya berkelebat den-
gan cepat. Pedang di tangannya, laksana Dewa
kematian yang setiap kebasannya menjadikan pa-
ra musuh harus mengerang sesaat dan akhirnya
tergeletak tanpa nyawa.
Sangkar Segara benar-benar tak mengenal
kompromi, terus mencerca seakan tak memberi-
kan peluang sedikit pun bagi para Ninja. Kebatan
pedangnya mampu menjadikan mata para Ninja
membeliak, menahan napas. Hampir semua Nin-
ja-ninja itu terpupus di tangan kedua pangeran
Jawa yang makin beringas dan lapar oleh korban,
manakala sebuah bayangan merah berkelebat,
menghadang keduanya.
"Siapa kau!" bentak kedua pangeran Jawa
itu bareng.
"Hua, ha, ha...! Aku Ninja Merah dari nege-
ri Nippon. Aku sengaja datang kemari semata-
mata ingin menyerukan pada orang-orang tanah
Jawa untuk menyerah, lalu menjadi pengikutku!"
"Bangsat! Jangan kira kau akan mampu,
Monyet!" Sangkar Segara menggeretak, lalu den-
gan cepat berkelebat menyerang ke arah si Ninja
Merah yang dengan sigap bagaikan tak berarti se-
rangan Sangkar Segara mengelakkannya.
Melihat musuhnya mampu mengelak,
Sangkar Segara yang sudah dibakar amarah terus
berusaha merangsek. Sementara Salendra Wang-
sa terus mencerca para Ninja yang terbengong di-
am, menjadikan mereka harus menerima segala
resiko. Tanpa ampun lagi, dalam sekejap saja tu-
buh-tubuh mereka terbabat cepat oleh keris di
tangan Salendra Wangsa. Betapa gusarnya Ninja
yang lain menyaksikan hal tersebut. Bagaikan
banteng ketaton mereka kembali merangsek,
mengeroyok Salendra Wangsa dengan tebasan-
tebasan Samurai bergantian.
"Wuuut...!"
"Ihh...!" Salendra Wangsa memekik terta-
han. Hampir saja dirinya menjadi mangsa empuk
samurai di tangan mereka yang tajam, kalau saja
ia tidak segera berkelebat mengelakkannya. Sam-
bil menggeretak marah, Salendra Wangsa kembali
menyerang mereka gencar. "Kalian harus mam-
pus, hiat...!"
Mungkin karena dirasuki oleh amarah yang
meluap-luap, menjadikan Salendran Wangsa
nampak merah matanya. Tangannya bergerak ce-
pat, babatkan dan tusukan keris dengan cepat.
Keris di tangannya nampak menyala merah, se-
pertinya membersitkan api yang membara.
Pertarungan terus berlanjut, mereka nam-
paknya tak akan mau ada yang mengalah. Satu
tujuan mereka, hidup untuk menang atau mati
kalah. Kelebatan-kelebatan mereka, menjadikan
sebuah bayang-bayang warna pakaian mereka
memecah malam. Jurus demi jurus terus terlalui,
seakan mereka tak akan ada yang mau mengalah
atau menang.
Enam puluh jurus sudah terlampaui, na-
mun nampaknya mereka tak merasakan capai
atau penat. Rupanya dalam pertarungan itu
hanya keberuntungan yang mampu berbicara.
Maka sudah dapat dipastikan. Barang siapa yang
nasibnya baik, tentunya akan menang. Dan ba-
rang siapa yang nasibnya buruk, dialah yang
akan mengalami kehancuran.
Tatkala kedua pangeran itu terdesak hebat
oleh serangan-serangan para Ninja pimpinan Nin-
ja Merah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
hantamkan pukulan ke arah para ninja tersebut.
"Wuuuttt...!"
"Duar!"
Sebuah ledakan seketika menggema, ma-
nakala pukulan yang dilontarkan dari jarak jauh
itu menghantamkan tubuh Ninja Merah. Tak ayal
lagi, Ninja Merah seketika terpental ke belakang,
melayang sesaat dan akhirnya jatuh terkulai di
atas tanah. Dari cadar yang dipakainya, nampak
meleleh darah segar.
Tidak hanya Ninja Merah yang menjadi sa-
saran hantaman orang yang baru datang, tetapi
juga, semua yang ada di tempat tersebut. Tanpa
ayal lagi, anak buah Ninja Merah pun terhantam,
berhamburan laksana tertiup badai. Tubuh mere-
ka mencelat, lalu menjerit sesaat dan akhirnya
mati. Sementara Ninja Merah yang merasa tak
bakalan ungkulan melawan orang tersebut, tiba-
tiba lenyap menghilang dengan didahului oleh se-
buah ledakan.
Tinggallah kini kedua pangeran kakak be-
radik yang masih terbengong-bengong sendiri.
Keduanya tak tahu siapa yang telah berbuat me-
nyelamatkan diri mereka dari keroyokan Ninja-
ninja tersebut. Keduanya berusaha mencari, na-
mun orang yang dicari tak ada di situ atau di se-
keliling tempat tersebut. Bayangan merah saja
yang berkelebat bagaikan terbang, meninggalkan
hutan tersebut.
"Siapakah orang berpakaian merah itu,
Kakang?"
"Entahlah. Yang pasti ia telah menolong ki-
ta," jawab Salendra Wangsa. "Mari kita teruskan
perjalanan."
Kedua kakak beradik pangeran tersebut
dengan hati bertanya-tanya siapa adanya bayan-
gan berpakaian merah terus melangkah kembali
untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dan ma-
lam pun kian larut, menyelimuti bumi yang nam-
pak sunyi-senyap. Malam itu sebagai saksi, bah-
wa di hutan tersebut adalah awal dari segala yang
kelak bakal terjadi. Siapakah bayangan berpa-
kaian merah yang telah menolong kedua pange-
ran Jawa itu? Para pembaca dapat mengetahui
dalam episode "Dendam Ninja Merah dari Nip-
pon."
EMPAT
Sementara di dunia persilatan semua tokoh
dan para pendekar disibukan dengan mencari Ki-
tab Banyu Geni, yang telah hilang dari tempatnya
dan entah kemana mereka tak tahu hingga mere-
ka selalu saling tuduh, sampai-sampai dari negeri
Nippon pun tak mau ketinggalan mendatangkan
pasukan ninjanya dengan tujuan yang sama yaitu
mencari kitab tersebut. Di balik segala bencana
yang di timbulkan oleh Kitab Banyu Geni, Jaka
Ndableg sebagai pewarisnya saat itu belum mengetahui apa yang kini melanda dunia persilatan.
Dan karena kitab tersebut mendatangkan benca-
na, sehingga orang-orang persilatan menamakan-
nya Kitab Pembawa Bencana.
Pagi itu nampak Jaka Ndableg tengah te-
kun membaca kitab yang saat ini menjadi rebut
an para pendekar. Kitab tersebut tidak lain Kitab
Banyu Geni. Saking tekunnya Jaka mempelajari
kitab tersebut, sampai-sampai kedatangan seseo-
rang ke arahnya tidak diketahui.
Lelaki tua renta berjanggut putih dengan
pakaian ala resi berdiri di belakang Jaka yang
duduk bersila dengan mata tak henti memandang
tulisan dan gambar-gambar yang ada dalam buku
tersebut. Buku yang terbuat dari lembaran-
lembaran kulit hewan, ditata sedemikian rupa.
Lelaki tua itu tampak tak bermaksud
mengganggu ketenangan Jaka mempelajari kitab
tersebut. Ia hanya memandang dengan mata
mengerut, lalu kembali tersenyum. Jaka sendiri
tak mendengar kedatangannya. Mungkin karena
terlalu asyik dengan kitab yang dipelajarinya,
atau karena segala konsentrasinya berada pada
kitab tersebut. Dan memang konsentrasi Jaka
ada pada kitab tersebut, sehingga tanpa sadar
Jaka menggerakkan tangannya sesuai dengan tu-
lisan dan gambar-gambar yang berada di kitab.
"Wuuus...!"
"Wut, wut, wut...!"
Tangan Jaka bergerak cepat, hingga men-
jadikan lelaki tua yang ada berdiri di belakangnya
tersentak melotot sambil melompat mundur. Ma
tanya tak berkedip ke arah Jaka yang tangannya
masih bergerak cepat, dan makin lama makin ce-
pat.
"Wut, wut, wut!"
"Inti Geni, hiat...!"
Tersentak lelaki tua renta yang menyaksi-
kannya, manakala melihat apa yang terjadi tatka-
la Jaka mengucapkan nama jurus tersebut. Dari
tangan Jaka nampak keluar jilatan-jilatan api
yang makin lama-makin banyak, bergulung-
gulung. Api tersebut bagaikan menyalak, seperti
hendak mencari sasaran. Dengan segera Jaka
hentakan api yang menyala di tangannya ke arah
pepohonan yang dekat dengan tempatnya berla-
tih.
"Hiat...!"
"Wuuss...!"
"Dum...!"
Ledakan dahsyat menggema, lalu diikuti
dengan tumbangnya pohon tersebut. Mata Jaka
membelalak kaget, manakala melihat apa yang te-
lah terjadi. Pohon tersebut seketika hitam legam
kering kerontang, hangus terbakar sampai daun-
daunnya.
"Sungguh dahsyat!"
Jaka palingkan kepala memandang ke asal
suara yang menggumam. Di sana, di belakangnya
tak jauh dari dirinya duduk seorang lelaki tua
renta yang sudah ia kenal benar bernama Ki As-
watama tersenyum acungkan jempol sambil
manggut-manggutkan kepala.
"Baru jurus pertama sudah begitu dahsyat
nya, apalagi bila jurus-jurus selanjutnya," Ki As-
watama kembali bergumam.
"Ah, kau terlalu merendah, Ki."
"Tidak, Jaka." Ki Aswatama berjalan meng-
hampiri Jaka, lalu duduk di samping Jaka. "Du-
nia persilatan dibuat kalang kabut saling tuduh
menuduh untuk mendapatkan kitab ini. Berun-
tung kau Jaka."
Jaka terdiam mendengar penuturan orang
tua renta yang telah makan asam garam kehidu-
pan tersebut. Di helanya napas panjang, meman-
dang terpaku pada apa yang telah diperbuat. Api
masih menjalar menyelimuti pohon yang tum-
bang.
"Aku harus secepatnya menyelesaikan ki-
tab, ini," gumam Jaka seraya kembali meman-
dang Ki Aswatama. "Kalau aku lama memendam
diri, jelas dunia akan mudah terguncang oleh
orang-orang yang mencari kesempatan."
"Memang, Jaka. Sekarang saja, selama tiga
bulan kau berada di sini, dunia persilatan digun-
cang oleh gegernya kitab yang kini berada di ta-
nganmu."
"Hem..." Jaka kembali menggumam. "Apa-
kah mereka bermaksud mencarinya?"
"Ya!" jawab Ki Aswatama. "Sejak dua pen-
dekar kakak beradik kembar mendatangi Lembah
Bangkai dan keduanya menemukan bahwa Lem-
bah Bangkai kini sudah tak ada yang ditakuti,
hampir semua orang persilatan datang berbon-
dong-bondong ke tempat tersebut."
"Untuk apa...?" tanya Jaka tak mengerti.
Ki Aswatama menarik napas panjang, lem-
parkan pandangannya ke arah kayu yang kini
menjadi arang terhantam oleh pukulan yang di-
lontarkan Jaka. Sebuah pukulan dahsyat dari ki-
tab Banyu Geni, bernama Inti Geni.
"Sungguh sebuah kitab yang berisikan
ajian-ajian dan jurus-jurus membahayakan. Aku
rasa, tak akan ada dalam abad sekarang yang
mampu menandingi isi Kitab Banyu Geni ini," Ki
Aswatama berkata. "Banyu Geni. Banyu artinya
air, sedang Geni artinya api. Jadi Banyu Geni ar-
tinya Air dan Api. Sifat dari ilmu-ilmu yang ada di
kitab ini adalah panas tapi dingin. Panas bila
menghadapi musuh, tapi juga dingin dan dapat
menyembuhkan orang yang dianggap teman."
Jaka Ndableg tersentak mendengar penu-
turan Ki Aswatama yang terasa mengena. Sung-
guh orang tua ini sangat bijak dan paningal da-
lam segalanya. Mampu menganalisa apa yang
ada, tahu persis apa yang akan apa yang terjadi.
"Heh, rupanya Ki Aswatama tahu benar
akan isi kitab ini," Jaka terbelalak kaget. "Apakah
Ki Aswatama telah membacanya?"
Orang tua itu gelengkan kepala, lalu ka-
tanya: "Aku mendengar penuturan kakekmu du-
lu. Aku dan kakekmu adalah teman karib yang
sukar untuk dipisahkan. Dan ketahuilah olehmu,
bahwa sebelum kakekmu mencipta kitab ini, ia
terlebih dahulu mengutarakannya padaku. Apa
isinya, juga apa kegunaannya."
"Kalau begitu, Ki Aswatama dapat mem-
bantuku?"
"Sedikit, Jaka."
"Oh, terimakasih, Ki. Aku harap, Ki Aswa-
tama mau membantu diriku agar dapat dengan
cepat mempelajari isi kitab ini."
"Akan aku usahakan, Jaka. Semoga den-
gan aku membantu kau akan segera dapat kem-
bali muncul di dunia persilatan dan berjalan
kembali sebagai roda penggiling penumpas keja-
hatan dan kebatilan."
"Akan aku usahakan, Ki," Jaka tersenyum,
lalu dengan segera Jaka kembali menekuni isi ki-
tab tersebut. Kini Jaka dibantu oleh Ki Aswatama.
Segala apa yang sekiranya sangat susah bagi di-
rinya, tak segan-segan Jaka menanyakan-nya pa-
da Ki Aswatama.
* * *
Hari demi hari Jaka lalui dengan belajar
dan belajar. Sepertinya tak ada istilah lelah atau
capai Jaka mempelajari isi Kitab Banyu Geni.
Dengan bimbingan Ki Aswatama, Jaka terus me-
lalap satu persatu segala isi yang terkandung da-
lam Kitab Banyu Geni.
Pagi itu adalah yang keseratus hari, berarti
telah tiga bulan lebih sepuluh hari Jaka menghi-
lang dari dunia persilatan. Menghilangkan segala
macam persoalan dunia persilatan semenjak ia
mempelajari Kitab Banyu Geni.
Atas bimbingan Ki Aswatama, dalam sepu-
luh hari ini saja, Jaka telah mampu menelan dua
jurus dahsyat lanjutan dari jurus pertama. Saat
itu Jaka nampak duduk bersila, kaki saling tindih
dengan kedua tangan menyatu telapaknya. Mata
Jaka terpejam, mulut membisu diam.
Ki Aswatama nampak duduk di samping-
nya. Seperti halnya dengan Jaka, Ki Aswatama
pun kini tengah melakukan hal yang sama. Mata
terpejam, kaki disilangkan saling tindih dengan
tangan telapaknya saling katup. Namun Ki Aswa-
tama tidak tengah benar-benar melakukan medi-
tasi, Ki Aswatama hanya memberikan contoh ba-
gaimana cara meditasi menyalurkan hawa murni
yang baik dan benar, agar dalam melakukan lati-
han isi Kitab Banyu Geni benar-benar tidak salah
kaprah. Sebab bila salah, maka nyawalah sebagai
penggantinya.
Napas Jaka perlahan mengendur, teratur
sedikit demi sedikit. Tangan masih saling katup,
perlahan tangan itu bergerak, lalu berubah cepat.
Tangan Jaka kini bagaikan kitiran, berputar-
putar laksana gasing. Dari putaran tersebut, se-
ketika timbul api menyala-nyala menyelimuti tan-
gannya. Itulah jurus Inti Geni, sebuah jurus per-
tama yang ada di dalam Kitab Banyu Geni. Sete-
lah tangannya berapi, segera Jaka membuka ma-
ta.
Mata itu melotot tak berkedip. Lama kela-
maan, matanya terasa perih, makin lama makin
perih hingga mengeluarkan api. Ya, mata Jaka
kini mengeluarkan api.
"Hiat...! Mata Malaikat, hiat...!"
Bareng dengan pekikan Jaka, segera ma-
tanya dipentang lebar-lebar. Dan dari pentangan
mata tersebut, seketika membersit dua larik sinar
merah membara ke arah pandangannya.
"Sroooot...!"
"Buuum...!"
Api menyala-nyala, membakar rumput
yang ada di atas tanah yang terpandang oleh ma-
ta Jaka. Rumput tersebut seketika mengering, la-
lu terbakar dengan api menyala-nyala.
"Hebat! Hebat! Sungguh-sungguh ilmu
yang tiada duanya!" Ki Aswatama menggumam
sendiri. Belalakkan mata, memandang terpaku
pada rerumputan yang tadinya menghijau kini te-
lah terbakar oleh api yang keluar dari sorotan ma-
ta Jaka. "Kini engkau telah dapat disejajarkan
dengan Dewa Api. Dan memang engkaulah yang
akan menjadi Dewa Api, Jaka. Setelah kau me-
rampungkan isi buku tersebut, kau akan berubah
menjadi Dewa Api. Dua dari lima ajian telah eng-
kau kuasai."
Jaka hanya terdiam, tundukkan kepala
mendengar petuah Ki Aswatama. Hatinya masgul,
berbaur dengan kegembiraan yang teramat san-
gat. Sungguh karena bantuan Ki Aswatamalah
hingga ia mampu mempelajari isi kitab tersebut
dalam waktu yang relatip singkat. Dalam seratus
hari saja, Jaka telah mampu menguasai dua dari
lima ilmu yang terkandung dalam Kitab Banyu
Geni.
* * *
Kita tinggalkan Jaka yang tengah dibimb
ing oleh Ki Aswatama mempelajari isi Kitab Banyu
Geni yang sangat dahsyat tersebut. Marilah kita
tengok di dunia luar, di mana para pendekar ma-
sih terus mencari-cari keberadaan kitab tersebut.
Dua orang penunggang kuda yang telah ki-
ta kenal sebagai dua kakak beradik kembar Jala-
dri dan Jaladru, nampak memacu kuda-kuda me-
reka menuju ke arah Barat. Rupanya keduanya
masih penasaran dengan apa yang mereka da-
patkan waktu setahun yang lalu, di mana mereka
menemukan kegagalan mendapatkan Kitab
Banyu Geni.
Mereka berdua kembali memacu kuda me-
reka, sepertinya tak ingin di dahului oleh sore ha-
ri. Tengah keduanya memacu kuda-kuda mereka,
tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan suara leng-
kingan tinggi yang mirip dengan lengkingan anj-
ing hutan.
"Aaaauuuuuunnnngggg...!"
"Heh, suara apakah itu, Kakang?"
"Entahlah, Adik. Aku rasa itu suara anjing
hutan."
"Ah, biasanya anjing hutan berbunyi bila
hari telah malam, Kakang."
Jaladri terdiam mendengar keterangan
adiknya. Memang benar apa yang dikatakan oleh
Jaladru, bahwa anjing hutan akan melolong bila
hari telah malam, Dan biasanya mereka melolong
karena ada sesuatu yang mereka takutkan. Tapi
kini anjing hutan itu melolong-lolong bukan pada
saatnya. Hari masih senja, dan matahari masih
nampak bersinar. Jaladri kerutkan kening, sepertinya menyangsikan suara anjing hutan tersebut.
Matanya jalang memandang ke muka, di mana
suara tersebut berasal.
"Kresek...!"
"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.
"Ada apa rupanya, Kakang?"
"Kau tidak mendengar adanya suara lang-
kah kaki?"
Jaladru segera pusatkan pendengarannya.
Dan memang ia kini mendengar suara langkah
kaki ringan, lalu terdengar pula kebatan orang
melompat ke atas dan hinggap di sebuah batang
pohon.
"Benar! Rupanya mereka banyak jumlah-
nya, Kakang."
"Ya! Kita harus hati-hati."
Keduanya segera melompat dari kuda, ber-
jalan perlahan. Tangan kedua pendekar kakak be-
radik kembar itu segera mencabut pedang-pedang
yang tergantung di pundak mereka. Dan dengan
pedang di tangan, keduanya kembali melangkah
menyelusuri jalanan tengah hutan yang makin ke
dalam makin sempit karena tertutup oleh semak
belukar.
Mata kedua pendekar kakak beradik itu
liar, memandang pada sekelilingnya. Mata mereka
bagaikan mata seekor burung rajawali yang ten-
gah mengintai mangsa. Kaki mereka bagaikan tak
berbeban, sehingga tak terdengar suara tapaknya
melangkah.
"Kita makin dekat, Adik."
"Ya!" jawab Jaladru setengah berbisik.
"Hati-hati, Adik. Pusatkan segala panca in-
dra."
Keduanya kembali diam, dan hanya gera-
kan-gerakan anggota tubuh kedua kakak beradik
kembar itu saja yang bicara. Manakala kaki me-
reka makin masuk ke dalam, tiba-tiba dari dalam
tanah dan atas pohon bermunculan orang-orang
bercadar hitam menghadang mereka dengan sa-
murai siap mencerca tubuh keduanya.
"Hiat...!"
"Awas, Adik!" Jaladri memekik, sadarkan
Jaladru yang segera melompat ke depan, lalu ba-
likkan tubuh membabat dengan pedang yang te-
lah siap.
"Wuuut...!"
Jaladru buang tubuhnya ke samping, hin-
dari babatan pedang, yang hampir saja menggores
lehernya. Dengan geram Jaladru balik babatkan
pedang di tangannya.
"Wuuut...!"
"Aaaaaaaaaaa...!"
Seorang Ninja hitam terkulai, meregang se-
jenak, lalu akhirnya mati. Dari mulutnya keluar
darah meleleh, dengan perut tergores lebar.
Melihat rekannya terkena, secepat kilat
ninja-ninja yang lain berkelebat menyerang. Jala-
dru tersentak, gulingkan tubuh hindari babatan
ketiga Orang ninja yang tahu-tahu berada di de-
pannya. Jaladru buang tubuh ke samping, lalu
dengan sekali lompat Jaladru lentingkan tubuh
ke angkasa. Pedang di tangannya siap menghun-
jam.
.
"Hiiiiaaaaatttt...!"
Terbelalak mata ketiga ninja itu, seakan
tercekam rasa takut yang teramat sangat. Segera
ketiganya babatkan pedang di tangan, hingga
menjadikan sebuah suara beradunya benda-
benda yang terbuat dari baja.
"Trang, trang, trang...!"
Jaladru babatkan pedang, dan seketika ke-
tiga pedang samurai di tangan tiga ninja tersebut
puntung. Mata ketiga ninja itu sejenak membeliak
kaget, lalu mereka menjerit manakala pedang di
tangan Jaladru kembali berkelebat membabat ke
arah tubuh mereka.
"Aaaaaaa....!"
Satu persatu dari ketiganya rubuh. Sesaat
ketiganya mengejang, lalu tak begitu lama kemu-
dian tubuh ketiganya ambruk tanpa nyawa. Hal
itu menjadikan bergidig juga bagi ninja-ninja
lainnya. Kengerian seketika membayang di mata
mereka, yang memandang dengan pandangan pu-
tus asa.
Di pihak lain, Jaladri yang ilmunya lebih
tinggi dari ilmu adiknya nampak makin merajale-
la. Dalam beberapa gebrak saja tanpa menda-
patkan kesulitan Jaladri mampu menumbangkan
sepuluh ninja. Pedang di tangannya bagaikan
Dewa Kala, setiap kelebatannya menjadikan jeri-
tan kematian bagi ninja-ninja yang menghadang
di depannya. Seperti saat itu juga, tangan Jaladri
nampak berkelebat cepat. Tangan itu bagaikan
berubah banyak, menyebatkan pedang.
"Wuuut! Wuuuut! Wuuuut...!"
"Crasss...! Craaasss!"
Darah muncrat dari tubuh para ninja. Se-
saat mereka memekik, lalu tubuh mereka doyong
ke muka dan ambruk. Tubuh mereka sejenak
mengejang, menggeliat dengan memegangi perut
yang terluka, hingga akhirnya tergeletak tanpa
nyawa.
"Siapa yang menyuruh kalian, hah!" Jaladri
membentak.
"Katakan! Atau kalian ingin seperti teman-
teman kalian ini!" tambah Jaladru, tangannya
memegang kepala seorang ninja yang telah di-
penggalnya. Darah mengucur dari leher yang
puntung, menetes ke bawah. Sementara matanya
nampak mendelik, menyatakan bahwa dirinya
mungkin menderita yang teramat sangat manaka-
la pedang di tangan Jaladru memenggalnya. "Ayo
jawab! Jangan sampai aku habis sabar!"
Bukannya jawaban kata-kata dari perta-
nyaan Jaladri, namun sebaliknya. Dengan bengis
disertai hawa pembunuhan, sisa ninja tersebut
berkelebat menyerang. Sepuluh ninja itu nampak
tak mengalami ketakutan, ganas menyebatkan
pedang-pedang di tangan mereka.
"Bangsat! Rupanya kalian memang mencari
mampus!" Jaladru membentak seraya lemparkan
tubuh hindari serangan kesepuluh ninja tersebut.
"Jangan menyesal bila kalian seperti teman kalian
ini."
"Hiaaaaatttt...!"
Dengan terlebih dahulu melemparkan pun-
tungan kepala rekannya, ke arah ninja-ninja ter
sebut Jaladri segera balik menyerang. Pedangnya
diputar dengan cepat, menyebat-nyebat segala
apa yang ada di hadapannya. Menjadikan kesepu-
luh ninja itu seketika lompat ke belakang dengan
mata membelalak kaget. Namun setelah melom-
pat, kembali kesepuluh ninja pengeroyok itu maju
bareng menyerang.
"Hiiiiaaaaaaattt...!"
"Huh! Kalian mencari mampus! Hiiiiiiaaaa-
aatttt!"
Jaladru tak mau kalah, segera kiblatkan
pedang dan berlari memapaki kesepuluh ninja
yang juga berlari ke arahnya dengan samurai
mengkiblat ke arah Jaladru berada di depan mu-
ka mereka.
"Wuuut...!"
"Wuuuuuttt...!"
"Craaas...!"
"Aaaaahhh....!"
Satu orang dari sepuluh ninja itu menge-
rang, perutnya sobek terbeset pedang Jaladru.
Pedang di tangan kesembilan ninja yang lainnya
berkelebat, membabat tubuh Jaladru. Jaladru se-
gera lemparkan tubuh ke angkasa, lalu berputar
salto sejenak dan merosok ke bawah dengan pe-
dang siap menghunjam.
Pedang di tangan Jaladru bergerak cepat,
manakala jarak antaranya dengan kesembilan
ninja itu makin dekat. Pedang itu bagaikan haus
darah. Dan...!
"Wuuuutttt…!"
"Cras! Cras! Cras...!"
"Aaaaaaaaaaa...!"
Satu persatu mereka menjerit. Dan satu
persatu dari kesembilan ninja itu puntung kepa-
lanya. Sejenak tubuh tanpa kepala itu tegak sem-
burkan darah, lalu perlahan satu persatu ambruk
ke tanah dengan nyawa terbang dan kepala
menggelinding entah ke mana.
Seperti halnya Jaladru, Jaladri pun tak
mau kalah dalam membantai musuh-musuhnya.
Namun Jaladri tidaklah sesadis adiknya. Kalau
Jaladru sebagai tukang penggal kepala, Jaladri
tak mau julukan tersebut melekat pada dirinya.
Dan hanya dengan membeset perut-perut musuh
sajalah yang ia lakukan,
Kelima ninja yang menyerang Jaladri te-
baskan samurainya, mengarah ke leher. Jaladri
segera rundukkan tubuh, lalu dengan gerakan
yang sukar di ikuti tangan Jaladri berkelebat ba-
batkan pedang ke perut lawan.
"Bret! Breeet...!"
Empat orang ninja melengking manakala
perutnya terbobol pedang di tangan Jaladri.
Keempatnya sejenak mendelik, dengan darah
muncrat ke luar dari perut yang terbelah. Sejenak
keempatnya terpatung gigit bibir menahan sakit,
lalu ambruk sekarat mengejang dan akhirnya ma-
ti. Tinggal seorang ninja yang masih hidup. Ninja
itu hendak melarikan diri, manakala dengan ce-
pat Jaladru menghalangi niatnya.
Betapa gusar dan marah ninja tersebut.
melihat Jaladru menghadang langkahnya. Dengan
penuh kemarahan ninja tersebut berkelebat tebaskan pedang menyerang. Namun Jaladru yang
sudah waspada dengan cepat lemparkan tubuh
mengelak, lalu dengan memekik dahsyat Jaladru
berkelebat kembali balik menyerang.
"Hiiiiaaaaaattt...!"
"Hiiiiaaaaattt...!"
Dua orang itu berlari dengan pedang siap
di hadapan muka masing-masing. Keduanya ber-
lari bagaikan kesetanan, lalu setelah dekat kedu-
anya segera tebaskan pedang ke arah lawan mas-
ing-masing.
"Wuuut...!"
"Wuuut...!"
Jaladru egoskan badan mengelak, lalu
dengan melompat manakala samurai lawan men-
garah ke kakinya Jaladru tebaskan pedangnya.
Wuuuttt...!
Craaaas...!
"Aaaaaaaaaa....!" Ninja itu memekik, tan-
gan kanannya yang memegang samurai puntung,
terbabat oleh pedang di tangan Jaladri. Ninja ter-
sebut tak mau putus asa. Dengan tangan kiri di-
ambilnya samurai, lalu dengan segera ia bermak-
sud melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang).
Namun sebelum hal itu terlaksana, dengan cepat
Jaladru kembali tebaskan pedang ke arah tangan
yang hendak mengambil pedang.
Wuuut...!
Ninja itu membeliak, urungkan hiat. Ma-
tanya memandang dengan kosong ke arah Jala-
dru. Jaladru sunggingkan senyum, hampiri ninja
tersebut.
"Katakan padaku, siapa yang telah menyu-
ruhmu?!"
"A-Aku... Aku bernama Ak-ki Koto. A...
aku, di-pe-rin-tah o-leh Ninja Merah:"
"Ninja Merah...!" Jaladru dan Jaladri ter-
sentak, tak tahu siapa adanya Ninja Merah yang
dikatakan oleh Aki Koto. Sejenak keduanya saling
pandang, lalu ketika keduanya hendak kembali
menanya...!
Mata Jaladri dan Jaladru seketika membe-
liak kaget, manakala melihat tubuh Aki Koto telah
tak bernyawa lagi. Samurai telah menghunjam di
dadanya. Dia telah mampu melakukan Harakiri.
Sungguh tragis kematian para ninja. Mereka telah
disumpah, menang dengan hasil atau kalah harus
mati. Dan ternyata mereka nyatanya kalah hingga
mereka pun sepantasnya mati.
Setelah sejenak memandang pada tubuh
Aki Koto, kedua kakak beradik kembar itu kem-
bali melesat pergi tinggalkan hutan tersebut. Hu-
tan Lengkas Munyuk kembali sepi. Dua kali keja-
dian terjadi di hutan Lengkas Munyuk tersebut.
Dan dua kali kegagalan di dapat para utusan ne-
geri Nippon.
5l
LIMA
"Lebur Geni... hiattt...!"
Tubuh Jaka Ndableg berjumpalitan di uda-
ra. Tangannya mengepal, dan kakinya menjejak
pada angin. Bersamaan dengan tubuhnya mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg hantamkan tan-
gan yang terdapat jilatan-jilatan api ke arah beba-
tuan yang berada di hadapannya.
Duuuaaarrr...!
Batu-batu hitam itu hancur lebur menjadi
serpihan tepung terhantam oleh api yang keluar
dari tangan Jaka Ndableg. Leburan batu tersebut
muncrat, menggelapkan pandangan mata, seakan
menjadi kabut tebal menyelimuti udara.
"Hebat! Hebat, Jaka!" Ki Aswatama berseru
girang melihat hasil yang diperoleh oleh Jaka
Ndableg. "Nah, kau telah mampu menguasai ilmu
semua yang ada di Kitab Banyu Geni. Sekarang
lakukanlah ilmu pamungkasnya."
"Apakah itu perlu, Paman?" tanya Jaka se-
raya balikkan tubuh menghadap ke Ki Aswatama.
"Sangat perlu, Jaka."
"Untuk apa, Paman?"
Ki Aswatama tersenyum, lalu katanya: "Ka-
lau kau tidak mencobanya, manalah mungkin
kau tahu hasil yang engkau peroleh?"
Jaka terdiam, ucapan Ki Aswatama me-
mang ada benarnya. Memang bila ia tak menco-
banya, manalah mungkin ia tahu hasil yang telah
ia peroleh. Sejenak Jaka terdiam, matanya me-
mandang ke arah Ki Aswatama. Sepertinya Jaka
ingin meyakinkan pada diri sendiri bahwa Ki As-
watama benar adanya berbicara.
"Lakukanlah, Jaka."
"Jadi aku harus mencoba dua ilmu pa-
mungkas, Paman?"
"Ya!" jawab Ki Aswatama. "Baiklah!"
Jaka terdiam hening, seolah-olah ia tengah
melakukan meditasi memusatkan segala panca
indranya. Dan memang benar, Jaka saat itu ten-
gah memusatkan segala panca indranya untuk
melakukan pembuka ilmu Raga Geni. Ilmu yang
merupakan inti dari ilmu-ilmu yang diajarkan
oleh Kitab Banyu Geni. Tangan Jaka sedekap, bi-
bir mengucap mantra sesuai dengan petunjuk ki-
tab.
"Sukma Raga Geni... Sukma Raga Geni...
Sukma Raga Geni!"
Berbarengan dengan suara Jaka meman-
jang menyebut ilmu tersebut, tiba-tiba hawa pa-
nas menyengat keluar dari tubuh Jaka Ndableg.
Ki Aswatama tersentak, melompat mundur tak
mampu menerima hawa panas yang keluar dari
tubuh Jaka Ndableg.
Tubuh Jaka Ndableg seketika membara
merah. Asap mengepul, bersamaan dengan makin
memerahnya tubuh Jaka. Pakaian yang di kena-
kannya seketika turut terbakar. Beruntung cela-
nanya terbuat dari serat inti kayu yang kuat, ka-
lau tidak. Sungguh akan menjadikan pemandan-
gan yang mampu membelalakkan mata para
pembaca atau penonton bila novel ini di filmkan.
"Hiiiaaaatt...!"
Suara Jaka menggema, laksana suara hali-
lintar tertimpa di bebatuan. Bersamaan dengan
jeritan Jaka, tubuh Jaka Ndableg berkelebat. Tu-
buh itu terus berkelebat bagaikan terbang, berpu-
tar-putar di angkasa. Seketika angin di situ terasa
panas menyengat, menjadikan daun-daun pohon
mengering dan kemudian berguguran.
Tubuh Jaka terus berputar cepat, lalu den-
gan kebat tubuh itu mencelat menuju ke sebuah
telaga yang berisi air. Tubuh Jaka mencelat, me-
nyelam ke dalam air telaga. Seketika air telaga
yang tadinya dingin menjadi mendidih. Hal terse-
but menjadikan mata Ki Aswatama membeliak
kaget. Ikan-ikan yang berada di telaga berhambu-
ran, mencelat ke atas dan jatuh ke tanah dengan
keadaan matang.
Ki Aswatama hanya mampu melongo, tak-
jub menyaksikan apa yang telah terjadi. Kini Ki
Aswatama benar-benar terkejut bukan alang ke-
palang. Bagaimana pun, semua akan kaget me-
nyaksikan hal itu. Dan saking kagetnya, menjadi-
kan lelaki tua renta itu tak tahan menahan be-
sernya. Ki Aswatama pun seketika ngompol den-
gan tubuh bergetar gemetaran.
"Pyaar...!"
Air Telaga muncrat ke angkasa, mendidih
bagaikan dimasak. Bersamaan dengan mucratnya
air telaga, tubuh Jaka Ndableg melompat terbang
dari dalamnya.
Untuk kedua kali Ki Aswatama seorang to-
koh persilatan yang sudah malang melintang di
dunia persilatan harus membelalakkan mata. Tu-
buh Jaka terus terbang, lalu hinggap di atas se-
buah cabang pohon. Tanpa ampun lagi, pohon
yang ditenggeri Jaka seketika kering kerontang.
"Sudah Jaka! Sudah!"
"Bagaimana, Ki?" Jaka tersenyum.
"Hentikan dulu ilmumu, baru kau turun."
"Kenapa...?" tanya Jaka ngeledek.
"Apakah kau mau memanggang diriku?" Ki
Aswatama nampak benar-benar ketakutan. Dan
memang apa yang ditakuti Ki Aswatama benar.
Kalau Jaka turun dalam keadaan masih menggu-
nakan ilmu Raga Geninya, niscaya tubuhnya da-
lam sekejap saja akan matang.
"Aku mau turun, Ki."
"Ah...!" Ki Aswatama terbelalak kaget. "Jan-
gan! Lihat! Ikan-ikan ini saja dalam sekejap ma-
sak, apalagi diriku yang sudah kering kerontang?"
Jaka tersenyum.
"Tidak apa, Ki."
"Jangan...! Jangan, Jaka! Aku mohon, jan-
gan kau lakukan itu bila kau memang menyayan-
gi nyawa tuaku yang lapuk ini," Ki Aswatama me-
ratap. Dan kini Ki Aswatama benar-benar menan-
gis, takut kalau-kalau Jaka yang ndableg akan
benar-benar melakukannya. "Aku mohon, ampu-
nilah nyawa tuaku."
Jaka tersenyum-senyum menyaksikan Ki
Aswatama yang menangis mengiba-iba. Kemudian
dengan masih bertengger di atas pohon tanpa hi-
raukan Ki Aswatama yang menangis, Jaka pun
segera melakukan meditasi kembali untuk me-
nuntaskan ilmunya dari tubuh. Sekejap saja ma-
nakala Jaka telah membaca mantra, api yang
menyala-nyala di tubuhnya lenyap dalam seketi-
ka.
"Hiiiaat...!"
"Aooohh...!" Ki Aswatama memekik, mana-
kala mendengar Jaka melompat turun. "Mati
aku!"
Ki Aswatama pejamkan mata. Ia siap untuk
dibakar oleh api yang menyala-nyala di tubuh.
Jaka. Namun dugaannya meleset. Sampai sejauh
ia pejamkan mata, tak ada rasa panas sedikit pun
yang dirasakannya. Perlahan dengan takut-takut
Ki Aswatama kembali membuka matanya. Dan
bengonglah Ki Aswatama seketika manakala Jaka
telah nempel di dekatnya.
"Bagaimana, Ki?"
"Hebat! Hebat...!"
Jaka kerutkan kening, manakala hidung-
nya yang tajam mencium bau pesing yang teramat
sangat.
"Hai! Rupanya Ki Aswatama ngompol!"
Ki Aswatama seketika tersipu-sipu, mana-
kala menyadari bahwa akibat gas cairnya tersebut
menjadikan bau yang tidak sedap untuk diendus.
Jaka gelengkan kepala, ada rasa kasihan menye-
limuti matanya. Sungguh kasihan memang, gara-
gara dirinya Ki Aswatama sampai terkencing-
kencing.
"Ki, apakah aku harus membuktikan juga
ajian pamungkas yang aku pelajari dari Kitab
Banyu Geni?" Jaka kembali menggoda, mencoba
menghibur Ki Aswatama yang nampak pucat ke-
takutan dan malu.
Membeliak seketika mata Ki Aswatama
mendengar ucapan Jaka. Kini Ki Aswatama be-
nar-benar didera rasa takut bila Jaka harus kem-
bali mengeluarkan ilmu pamungkas dari Kitab
Banyu Geni. Baru pamungkas pertama saja telah
menjadikan dirinya terkencing-kencing, apalagi
jika pamungkas yang terakhir? Bisa-bisa Ki Aswa-
tama terberak-berak.
"Nah Ki, menyingkirlah jauhan. Aku akan
mencoba ilmu yang telah aku pelajari."
"Ah...!" Ki Aswatama memekik tertahan.
"Jangan, Jaka."
"Kenapa? Bukankah bila aku tidak menco-
banya aku tidak akan tahu hasilnya?"
"Sungguh, hasilnya akan membahayakan
dan menakutkan."
"Heh, mengapa Ki Aswatama sudah ber-
pendapat begitu?" Jaka kerutkan kening menden-
gar ucapan Ki Aswatama yang dilandasi oleh rasa
takut.
"Aku mohon, janganlah engkau keluarkan
pamungkas akhirnya, Jaka." Ki Aswatama mera-
tap. "Baru saja pamungkas pertama, sudah men-
jadikan diriku terkencing-kencing. Apalagi pa-
mungkas terakhir, bisa-bisa aku terberak-berak."
Mau tidak mau Jaka pun tersenyum juga
mendengar penuturan Ki Aswatama. Digelengkan
kepalanya, lalu dengan penuh perhatian seorang
anak, Jaka segera membimbing tubuh tua Ki As-
watama menuju ke pondoknya.
* * *
Malam terasa dingin, menjadikan keadaan
bagaikan tercekam sepi. Angin bertiup dengan
kencang, laksana topan yang siap menerbangkan
sesuatu. Ada sebuah keganjilan nampaknya, se
hingga tidak biasanya angin bertiup menderu-
deru.
Jaka yang tengah bersantai dengan tiduran
seketika tersentak bangun. Perlahan-lahan ia me-
langkah, hingga Ki Aswatama yang tidur di sebe-
lahnya tidak terjaga oleh langkahnya. Dengan
mengendap-endap Jaka keluar dari pondok.
Angin makin lama makin kencang, mende-
ru-deru menerpa ke arahnya. Walau pun dingin
menggigil, namun Jaka terus mencoba meredam
dinginnya dengan menyalurkan hawa murni ke
segenap tubuhnya. Namun nampaknya angin ter-
sebut sengaja menantangnya. Angin itu makin
bertambah besar, hingga mampu menumbangkan
pepohonan yang ada di tempat tersebut.
"Weeeerrrr...!"
"Dum!"
Ki Aswatama yang tengah tertidur, seketika
terjaga demi mendengar bunyi pepohonan tum-
bang. Sejenak matanya didecapkan, lalu dengan
tertatih-tatih lelaki tua renta yang bukan semba-
rangan tokoh itu keluar dari rumahnya. Dilihat-
nya Jaka tengah berdiri di situ, terdiam membisu.
"Jaka...!"
Jaka Ndableg palingkan kepala menghadap
ke arah datangnya suara. Dan dilihatnya Ki Aswa-
tama tengah berjalan tertatih-tatih menghampi-
rinya.
"Ki...."
"Sedang apa kau, Jaka?"
"Tidakkah Ki Aswatama merasakan sesua-
tu keanehan dengan angin ini?" tanya Jaka, men
jadikan kerut di kening Ki Aswatama. "Cobalah
Paman rasakan."
Ki Aswatama terpaku diam, merasakan
dengan sukmanya.
"Benar, Jaka."
"Itulah, Paman. Aku rasa, ada orang atau
siluman yang dengan sengaja menyerang ke
arahku,"
"Dan ternyata tidak mempan," Ki Aswata-
ma terkekeh. "Itu semua karena kau telah men-
dapatkan segala isi Kitab Banyu Geni itu, Jaka."
Tengah keduanya terpaku diam, tiba-tiba
terdengar suara gelak tawa yang tak menampak-
kan orangnya. Gelak tawa itu melengking pan-
jang, seakan hendak menakut-nakuti keduanya.
"Hua, ha, ha...! Haaaaaaa....! Haaaaaa...!"
"Apa itu, Jaka?" Ki Aswatama gemetaran.
"Tenanglah, Ki," ucap Jaka mencoba
menghibur Ki Aswatama yang menggigil ketaku-
tan. "Tenanglah, bukankah ada aku?"
Angin bertiup makin kencang, menerpa se-
gala apa saja yang berada di situ. Jaka yang ber-
telanjang dada, nampak merasakan juga dingin-
nya terpaan angin yang menusuk-nusuk pori-pori
kulitnya.
"Weeeeerrrr...!"
Angin kembali menderu, makin kencang
dan kencang. "Dum!"
Sebuah pohon kelapa besar tumbang,
hampir saja mengenai Jaka dan Ki Aswatama, ka-
lau saja tidak segera menggeret tangan Ki Aswa-
tama mencelat menghindar.
"Ki, menyingkirlah."
"Kau mau apa, Jaka?" tanya Ki Aswatama
dengan ketakutan.
"Aku akan mencoba ilmu pamungkasku.
Aku tahu, bahwa yang melakukan semua ini bu-
kanlah manusia, tetapi iblis yang sengaja meng-
gangguku."
Dengan masih ketakutan Ki Aswatama per-
lahan menyingkir menuju ke pondoknya kembali.
Sementara Jaka nampak masih terdiam,
mematung dengan kedua mata terpejam rapat-
rapat. Jaka kini tengah melakukan meditasi, he-
ningkan cipta untuk memusatkan segala panca
indranya.
"Dewa Api...! Dewa Api...! Dewa Api...."
Berbarengan dengan suara Jaka yang pan-
jang, dari tubuh Jaka Ndableg keluar api memba-
kar sekujur tubuhnya dari ujung rambutnya
sampai ke ujung kaki. Kini tampang Jaka bukan-
lah tampang pemuda tampan lagi, tetapi tam-
pangnya kini tampang seorang dewasa yang me-
nyeramkan. Matanya menyala, mengandung api
yang siap disorotkan. Juga mulutnya, nampak di
dalam mulut Jaka bergumpal-gumpal api yang
juga siap dilemparkan menyerang.
"Huuuaaar...!"
Jaka menggeretak, kibaskan rambut
apinya ke arah datangnya musuh. Bersamaan
dengan rambut api itu melejit, melemparkan bola-
bola api, dari mulut Dewa Api pun melesat pula
api yang menyala-nyala. Hampir seluruh anggota
badan Dewa Api mampu menjadikan kemusna
han.
"Aaaaaaaa...!" terdengar jeritan, namun tak
juga nampak orangnya. Hanya api yang dilontar-
kan oleh Dewa Api saja yang nampak. Api terse-
but menyala terang, melekat pada sesuatu mah-
luk yang tidak nampak. Dan bareng dengan api
yang dilontarkan Dewa Api membakar tubuh
mahluk yang tampak tersebut, angin pun seketi-
ka menghilang.
Dengan sekali kebat Dewa Api berkelebat
menuju ke tempat di mana api menyala-nyala.
Nampak kini olehnya, tumpukan debu-debu hi-
tam legam, mengumpul di situ membentuk ben-
tuk manusia.
Setelah yakin bahwa dirinya mampu men-
jadi Dewa Api, tiba-tiba Jaka yang masih dalam
keadaan ujud Dewa Api mencelat ke dalam gubug
Ki Aswatama. Namun ternyata gubug tersebut ti-
dak terbakar sama sekali. Entah apa yang dilaku-
kan Jaka, yang membuat Ki Aswatama ketakutan
kembali. Dan benar apa yang dikatakan Ki Aswa-
tama benar-benar terberak-berak dibuat ketaku-
tan.
Jaka yang tengah menjadi Dewa Api tam-
pak tak hiraukan keadaan Ki Aswatama. Dia te-
rus menuju ke kamarnya, di mana Kitab Banyu
Geni disimpan. Diambilnya kitab tersebut, lalu
dengan segera dibawanya ke luar. Di sana, di ha-
laman pondok Kitab Banyu Geni sesuai dengan
saran yang tertulis di bakar dengan api dari tu-
buhnya.
Mata Jaka mendelik, mengarah ke arah ki
tab tersebut. Dan saat itu juga, Kitab Banyu Geni
pun terlalap api yang ke luar dari mata Dewa Api.
Sejenak Ki Aswatama yang terkencing-kencing
terpaku, dan hanya terdiam memandang dari
jauh di mana Jaka berdiri.
"Ki Aswatama, terimakasih atas segala ja-
samu," Dewa Api berkata. "Kini sesuai dengan tu-
gas dari kakek, aku harus mengadakan perhitun-
gan dengan Dewa Laut. Nah, selamat tinggal! Jaga
dirimu baik-baik, Ki...!"
Habis berucap begitu, Dewa Api berkelebat
cepat meninggalkan Ki Aswatama. Kelebatannya
bagaikan terbang, sehingga dalam sekejap saja
tubuh Dewa Api lenyap entah ke mana. Yang Ki
Aswatama tahu, Dewa Api berkelebat ke arah Ki-
dul.
ENAM
Di Negeri Nippon….
Betapa gusarnya Takasima mendapatkan
kenyataan bahwa pasukan ninjanya dapat di ka-
lahkan oleh orang-orang tanah Jawa. Kegusaran-
nya menjadikan sebuah dendam, dendam yang
akan menjadikan sebuah tragedi di tanah Jawa.
Nah, bila para pembaca ingin melihat dan mengi-
kuti bagaimana dari dendam Takasima yang gu-
sar pada para pendekar tanah Jawa, silahkan
tunggu dan ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar
Pedang Siluman Darah dalam episode "DENDAM
NINJA MERAH DARI NEGERI NIPPON."
"Bagero! Orang-orang Jawa keparat!" Se-
mua anak buahnya yang berwajah tertutup den-
gan kain merah dan hanya mata mereka saja
yang nampak, terdiam tak ada yang berani mem-
buka suara. Semua ninja memang sudah disum-
pah dengan demikian. Mereka tak akan memban-
tah pada pimpinannya, walau mungkin nyawa
mereka akan menjadi sasarannya. "Taka...!"
"Saya, Ketua," Taka menjawab. "Kau pim-
pin anak buahmu untuk menyerang tanah Jawa,"
Takasima memerintah. "Ingat! Jangan sekali-kali
gagal! Kalau gagal, maka kaulah yang akan men-
dapatkan hukumannya!"
"Baiklah! Demi Ninja Merah, aku siap!" Ta-
ka Mora, adalah adik dari ketua Ninja Merah Ta-
kasima. Namun dalam keninjaan, tidak ada ter-
dapat siapa adanya dia. Semua sama, semua ha-
rus menjunjung tinggi nama perserikatannya.
Walau itu adik, kakak, atau pun orang tua mere-
ka. Bila mereka gagal, maka hanya ada dua pili-
han. Harakiri, atau dihukum pancung oleh yang
lainnya.
Taka Mora berjalan meninggalkan ruang
pertemuan, di mana kakaknya selaku ketua Ninja
Merah nampak masih berbincang-bincang dengan
beberapa tokoh samurai yang telah bergabung
untuk bersama-sama membuat kerusuhan di ta-
nah Jawa Dwipa. Di situ nampak panglima Sani
Shiba, Panglima Tukebu, juga pendekar negeri
Nippon Takanata.
"Panglima Sani Shiba, bagaimana rencana
tuan?" Takasima menanya, setelah sejenak ter
diam memandang kepergian adiknya untuk me-
mimpin Ninja Merah menuju ke Jawa.
"Seperti engkau ketahui, bahwa pendekar
tanah Jawa merupakan pendekar-pendekar pilih
tanding. Untuk itu, aku dan para prajuritku saat
ini tengah menyusun rencana yang matang," Sani
Shiba menerangkan.
"Apakah tidak terlalu lama?" tanya Taka-
sima.
Sani Shiba tersenyum, melirik pada dua re-
kannya yang tidak lain Panglima Tukebu dan Ta-
kanata. Dua orang ini telah disewa oleh kerajaan
untuk tugas tersebut. Tukebu yang dulunya bu-
kanlah seorang panglima, kini diangkat menjadi
panglima ketiga.
"Bagi kami, lama tak menjadi apa, asalkan
kemenangan," Takanata yang ngomong, nadanya
mencerminkan keangkuhan. Mungkin dikarena-
kan dirinya sangat disegani di dataran Nippon,
sebagai seorang pendekar yang pilih tanding.
Takasima angguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban Takanata. Ia maklum kalau
Takanata menyombong, sebab ia sendiri tahu
persis siapa Takanata. Takasima mengenal Taka-
nata sejak masih kecil. Keduanya merupakan sa-
tu keturunan, sehingga keduanya masih terikat
oleh persaudaraan. Dan karena itulah, sehingga
Takasima tak merasa harus takut-takut mengha-
dapi para musuh yang terdiri dari kalangan ista-
na.
Sebenarnya di kerajaan tengah terjadi per-
golakan. Pergolakan tersebut dilakukan oleh Ninja
Bersamurai Ular yang mengadakan pemberonta-
kan. Namun sejauh ini, Ninja Bersamurai Ular tak
pernah mampu menggulingkan tampuk kekua-
saan kerajaan. Niatnya selalu terhalang oleh para
Pendekar Samurai. Dan halangan itu makin tera-
sa berat saja, tatkala Takanata bergabung dengan
kerajaan.
"Kapan Tuan Panglima mengadakan invan-
si ke tanah Jawa?"
"Itu belum bisa kami katakan," jawab Pan-
glima Sani Shiba.
"Kalau kami Invansi, apakah engkau akan
turut?" Takanata bertanya.
"Mungkin! Sebab semuanya tergantung
dengan keadaan."
"Maksudmu, Takasima?" tanya Takanata
kembali.
"Kalau memang misi yang aku perintahkan
melalui adikku gagal, maka aku akan secepatnya
berangkat ke sana." Takasima tarik napas pan-
jang, lalu katanya meneruskan. "Takasita telah
mendahului ke tanah Jawa. Dan sampai sekarang
belum ada kabar beritanya."
"Hem, jadi pimpinan Ninja Hitam sudah
mendahului kita?"
"Bukan hanya Takasita saja, tetapi anak
buahnya yang berjumlah seratus orang telah ter-
bantai."
"Apa...!" ketiga orang istana itu memekik
kaget. "Ninja Hitam dapat dibantai?"
"Ya! Itulah mengapa mereka meminta ban-
tuan pada kita."
Ketiga orang istana itu terdiam, sepertinya
ada guratan ketidakpercayaan akan diri mereka
sendiri. Mereka kini harus membayangkan ba-
gaimana diri mereka nantinya. Ninja Hitam yang
merupakan serikat yang paling ditakuti pada ali-
ran hitam di Nippon saja dapat dengan mudah
tertumpas.
"Hem, ternyata orang-orang tanah Jawa
Dwipa memiliki ilmu beladiri tinggi," gumam Ta-
kanata takjub. "Tak aku sangka."
"Kabarnya mereka memiliki ilmu yang
aneh," menambah Takasima, menjadikan keti-
ganya kembali terbelalak seraya bertanya tak
mengerti.
"Ilmu aneh...?"
"Ilmu apakah?" Sani Shiba yang bertanya.
"Para pendekar tanah Jawa mampu menge-
luarkan angin puting beliung. Di samping itu ju-
ga, senjata mereka mampu memangkas samurai-
samurai yang kita miliki."
"Ah...!"
"Ya! Begitulah kabar yang aku terima dari
Takasita."
Ketiga orang istana kembali terangguk-
angguk mengerti. Kini ketiganya benar-benar ha-
rus berpikir untuk yang kesekian kali bila hendak
mengadakan Invansi ke tanah Jawa. Bukan mus-
tahil, ilmu mereka belum berarti bagi ilmu yang
dimiliki oleh para pendekar tanah Jawa.
"Baiklah, Saudara Takasima, aku doakan
misimu berhasil."
"Ya! Semoga kita mampu mengatasinya,"
Takanata berkata menambahkan ucapan Sani
Shiba.
"Terimakasih! Trimakasih! Kami akan
memberi kabar bila kami akan ke tanah Jawa."
Setelah ketiga orang istana menjura, yang
dibalas juraan oleh Takasima, ketiganya segera
berlalu meninggalkan perguruan Ninja Merah
yang dipimpin oleh Takasima. Ketiganya kembali
ke istana untuk mengadakan rencana. Dalam be-
nak mereka terselip sebuah rasa takut, juga tak
yakin pada kemampuan mereka.
* * *
DITANAH JAWA DWIPA...
Jaka Ndableg yang tengah berlari dalam
usahanya mencari musuh kakeknya, seketika
hentikan larinya manakala terdengar suara seseo-
rang berkata.
"Hendak kemana engkau, Cucuku?"
Jaka Ndableg tersentak, palingkan muka
mencari asal suara tersebut. Tak ada orang di
tempat tersebut, menjadikan Jaka terheran-
heran. Jelas suara itu dekat benar dengan di-
rinya.
"Kau jangan kaget, Cucuku," kembali suara
itu menggema.
"Siapakah engkau...?"
"Aku kakekmu, Jaka. Aku Ki Paksi Anom,
pemilik Kitab Banyu Geni."
Mendengar suara itu menyebut siapa di-
rinya, serta merta Jaka jatuhkan diri bersujud.
"Ampunkanlah cucumu yang tak tahu,
Kek."
"Tidak mengapa, Jaka," kembali suara ter-
sebut menggema. "Kau hendak ke mana?"
"Bukankah menurut petunjuk di kitab cu-
cu diharuskan mengadakan perhitungan dengan
Dewa Segara?" Jaka menjelaskan, menjadikan Ki
Paksi Anom tertawa mengekeh. "Kenapa kakek
tertawa?"
"Jaka cucuku. Dewa Segara sudah kau ka-
lahkan."
"Ah...! Kenapa kakek bercanda?"
"Aku tidak bercanda, Cucuku. Aku serius.
Bukankah semalam kau telah membinasakan-
nya?"
Jaka kerutkan kening, mencoba mengin-
gat-ingat segala kejadian yang semalam ia alami.
Semalam ia memang telah bertarung dengan se-
sosok mahluk tanpa ujud. Apakah mahluk terse-
but yang dimaksudkan kakeknya?
"Apakah sesosok mahluk yang terbakar itu,
Kek?"
"Benar, Cucuku. Dialah Dewa Segara."
"Hem, kalau begitu ia telah tahu bahwa
aku cucumu hingga ia datang menemui diriku."
"Memang. Nah, kini kau pulanglah kemba-
li. Kasihan Ki Aswatama. Dia adalah seorang te-
man baik. Dia rela berkorban demi sahabatnya.
Kini dia dalam bahaya. Dia dalam penculikan oleh
orang-orang asing."
"Benarkah itu, Kek?"
"Tak akan aku menjerumuskan dirimu,
Cucuku. Cepatlah kau pulang. Ki Aswatama kini
dalam keadaan bahaya."
"Baiklah, Kek."
Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka
kemudian berkelebat tinggalkan tempat lapangan
ilalang tersebut, balik menuju di mana Ki Aswa-
tama tinggal. Saking angannya diburu oleh pera-
saan takut kalau-kalau Ki Aswatama benar-benar
akan dicelakai oleh orang-orang asing yang dika-
takan kakeknya, menjadikan Jaka berlari bagai-
kan kilat. Dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka
melesat laksana terbang.
* * *
Tengah Jaka berlari menuju kembali, tiba-
tiba langkahnya dihadang oleh puluhan orang-
orang berkerudung merah mengerudungi seluruh
tubuhnya. Orang-orang berpakaian dan kerudung
serba merah yang tak lain Ninja Merah, nampak
dengan siaga menghadang langkahnya. Samurai
mengkilap tergenggam di tangan mereka masing-
masing.
Jaka tersentak, hentikan langkah. Dipan-
danginya wajah di balik cadar merah tersebut sa-
tu-satu, seakan ingin menembuskan pandangan
matanya ke mata mereka.
"Siapakah kalian adanya? Dan mengapa
kalian menghadangku?"
Semua ninja tak ada yang berbicara, diam
mematung dengan Samurai yang telah siap sedia
di tangan mereka masing-masing. Samurai itu
menempel di muka mereka, lurus dengan mata
menghadap ke arah Jaka.
"Hai, mengapa kalian diam?"
"Hiiiiiaaaat...!"
Itulah jawaban dari pertanyaan yang dilon-
tarkan Jaka Ndableg. Jawaban tersebut berupa
serangan dari para Ninja Merah yang mendadak.
"Heh, mengapa kalian menyerangku...?"
Jaka terheran-heran tak mengerti. "Apa salah...."
Belum juga ucapan Jaka selesai, Samurai di tan-
gan mereka berkelebat membabat ke arah tubuh
Jaka.
"Wuuut...!"
Jaka lemparkan tubuh ke samping, namun
ternyata dari samping kirinya telah kembali seo-
rang ninja babatkan pedangnya dengan cepat.
"Wuuuttt...!"
Jaka kini ke samping kanan, doyongkan
tubuh hingga Samurai di tangan Ninja itu melesat
beberapa centi di hadapannya. Tapi belum juga
Jaka terapkan kakinya, tiba-tiba dari arah bela-
kang berkelebat seorang Ninja dengan Samurai
siap menghunjam ke tubuhnya.
"Wadauw...! Ampun, Oom... Mengapa ka-
lian mencercaku?"
Setelah menjerit begitu, segera Jaka run-
dukan kepala menghindar. Sikutnya bergerak,
hingga...!
"Dugk...!"
Orang yang terkena sikutannya seketika
menjerit, berguling-guling menahan sakit. Mu-
kanya terasa remuk, tulang pipinya bagaikan
hancur terkena sikutan Jaka.
Melihat rekannya mampu dikalahkan, se-
gera Ninja yang lainnya berkelebat bareng menye-
rang Jaka. Mereka dengan pedang terhunus
mengkiblat ke arahnya lari kencang hendak me-
nyerang.
"Wuuut...!"
Puluhan Samurai membabat ke tubuh Ja-
ka, yang dengan segera lentingkan tubuh ke ang-
kasa. Para Ninja Merah tersentak demi menyaksi-
kan gerakan Jaka. Sejenak mereka terpaku. Dan
manakala Jaka kembali turun sambil jejakkan
kaki, mereka tak mampu lagi menghindar.
"Dug, dug, dug...!"
Kaki Jaka dengan telak menghantam muka
ketiga ninja yang berada tidak jauh darinya. Seke-
tika ketiga Ninja Merah tersebut memekik, bergul-
ing-guling dengan darah muncrat dari mulut dan
hidungnya.
"Wadauw...!" Jaka kembali memekik, ge-
serkan tubuh miring ke kanan mengelakan teba-
san salah seorang Ninja Merah. "Kalian terlalu!
Kalian orang-orang asing tak tahu etika!"
Ninja-ninja itu tak hiraukan dengan rungu-
tan Jaka. Mereka terus membabatkan samurai-
samurainya. Hal ini menjadikan Jaka harus ber-
juang mati-matian untuk menghindari babatan
samurai mereka. Dan hanya dengan menghan-
dalkan ilmu meringan tubuh saja hal tersebut
dapat dilakukan.
"Wuuut...!"
Jaka tersentak, lalu dengan segera doyong
kan tubuh ke muka elakkan serangan dari bela-
kang.
"Kurang ajar! Rupanya kalian persis bina-
tang! Beraninya membokong!" Jaka maki-maki
sendiri, egoskan tubuh menghindari serangan
samurai yang membabat ke arahnya. Beberapa
senti saja samurai tersebut melesat. Kalau saja
Jaka tidak segera cepat menghindar, niscaya tu-
buhnya akan menjadi daging cincang.
"Wuuut...!"
Jaka kembali lemparkan tubuh ke angka-
sa, manakala ninja-ninja tersebut kembali bareng
membabatkan samurai mereka. Dan manakala
turun, segera Jaka kepalkan tangannya. Tubuh
Jaka kini merosot ke bawah, siap untuk mengha-
dapi samurai-samurai di tangan mereka. Samu-
rai-samurai tersebut kini mengarah ke arahnya,
siap menjadikan diri Jaka sate.
Jaka terus melaju ke bawah dengan tangan
masih mengepal. Dan manakala benar-benar di-
rasa tepat, tanpa buang-buang waktu lagi Jaka
keluarkan ilmu yang dipelajari dari Kitab Banyu
Geninya. Jurus itu tak lain jurus ilmu Inti Geni.
Dan saat itu pula, dari tangan Jaka Ndableg ke-
luar api menyala-nyala menyelimuti tangannya.
Terkesiap para ninja itu demi melihat apa
yang selama ini belum mereka ketahui. Hanya da-
lam dongeng saja hal itu mereka tahu. Tetapi di
tanah Jawa kini mereka benar-benar melihat
dengan mata kepala mereka, bukan hanya don-
geng.
"Inti Geni, hiaaaaaatttt...!"
Jaka lepaskan pukulan Inti Geninya. Dan
api pun seketika membersit, lepas dari tangan-
nya. Bola api itu melesat cepat, mengarah pada
para ninja. Dengan semampunya, para Ninja Me-
rah yang berjumlah hampir tiga puluh itu meme-
kik lemparkan tubuh mereka menghindar.
"Duuum...!"
Ledakan seketika terjadi, manakala api itu
mengena ke salah seorang ninja. Dalam sekejap
saja, tubuh orang tersebut terbakar Inti Api.
Orang itu mengerang, lalu tak lama kemudian
merenggang nyawa dan mati dengan tubuh, han-
gus terbakar.
Betapa gusarnya teman-teman Ninja Merah
lainnya melihat hal tersebut. Dengan nekad ninja
lainnya berkelebat babatkan samurai ke arah Ja-
ka. Tersentak Jaka Ndableg, kibaskan tangan
yang berapi. Seketika api muncrat dari tangan
Jaka, mendesing menuju ke arah ninja-ninja ter-
sebut yang dengan segera lemparkan tubuh me-
reka menghindar.
"Wuuut...!"
Sebuah samurai berkelebat, hampir mem-
babat putus leher Jaka kalau saja Jaka Ndableg
tidak segera rundukkan kepala. Jaka egoskan tu-
buh, lalu dengan cepat tendangkan kaki ke bela-
kang.
Duuuk!
"Aaaaaaa...!"
Orang yang berada di belakangnya meme-
kik. Kaki Jaka menghantam tulang keringnya,
hingga tulang kering tersebut bagaikan retak.
"Gawat kalau aku tidak dengan senjata,"
gumam Jaka dalam hati. Matanya masih meman-
dang tajam, menghunjam pada orang-orang yang
beringas berdiri di hadapannya dengan samurai-
samurai siap menyerang.
"Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!"
Tersentak ninja-ninja merah menyaksikan
hal yang aneh di mata mereka. Bagaimana mung-
kin tiba-tiba Jaka telah menggenggam sebuah pe-
dang bersinar-sinar kuning kemerah-merahan?
Bagi mereka jelas hal itu suatu keanehan. Namun
rupanya mereka tak mengenal rasa takut sedikit
pun. Dengan menggeretak ninja-ninja merah itu
berkelebat lari siap menyerang dengan samurai di
tangan mereka.
"Hiiaaaaaa....!"
"Hem, kalian mencari mati!" rungut Jaka.
"Hiiiiaaaaattt...!"
"Wuuut...! Wuuuttt...!"
"Wuuuttt!"
Samurai-samurai di tangan para ninja itu
terus membabat ke arah Jaka. Jaka dengan en-
teng mengelakkannya, lalu dengan cepat ba-
batkan Pedang Siluman Darah ke arah samurai-
samurai di tangan ninja-ninja merah tersebut.
"Wuuutttt...!"
"Wuuut...!"'
"Traaaaangg.....!"
Membeliak mata ninja-ninja tersebut me-
nyaksikan samurai-samurai mereka telah pun-
tung hingga tinggal genggamannya. Rasa takut di
hati mereka bukan alang kepalang. Kini mereka
sadar, bahwa senjata yang berada di tangan pe-
muda itu bukanlah sembarangan senjata.
"Aaaaaauuuuuunnnngggg...!"
Tengah mereka terpaku, tiba-tiba terdengar
aungan panjang menggema. Secepat kilat ninja-
ninja tersebut berkelebat menghilang dari pan-
dangan Jaka setelah terlebih dahulu melempar-
kan bom-bom asap.
"Heh, kemana mereka?" Jaka tersentak,
mencari-cari keberadaan mereka. "Aneh! Mereka
dengan cepat menghilang!"
Dengan cepat setelah mengingat akan uca-
pan kakeknya Jaka berkelebat kembali menuju ke
tempat Ki Aswatama. Larinya bagaikan terbang,
karena dilandasi oleh ajian Angin Puyuh. Dan ka-
rena saking cepatnya, Jaka nampak bagaikan
terbang, bukan berlari. Kakinya tidak menginjak
rumput, melayang di angkasa.
TUJUH
Jaka Ndableg terus berlari menuju ke pon-
dok yang ia tempati bersama Ki Aswatama. Dan
seketika itu mendidih marahlah Jaka Ndableg
demi melihat tubuh Ki Aswatama tergeletak den-
gan luka-luka yang menyedihkan.
"Biadab!" Jaka menggeretak marah. "Sung-
guh biadab yang melakukan ini semua."
Segera Jaka hampiri tubuh tergeletak itu,
lalu dengan penuh kasih dibopongnya tubuh pe-
nuh luka-luka ke atas, di mana dipan tua berada.
Dibaringkan tubuh tua renta itu ke atas dipan, la-
lu setelah sejenak membaca mantra Jaka segera
berkata-kata dengan sang Ratu Siluman Darah,
"Sri Ratu, orang ini perlu bantuanmu."
"Siapa dia, Jaka?" terdengar suara wanita
berkata.
"Dia Ki Aswatama. Ayah mengenalnya," ja-
wab Jaka.
"Baiklah, Jaka. Kau telah menempuh sega-
la ujian yang telah aku berikan secara tidak lang-
sung padamu. Dengan adanya kau lulus ujian
tersebut, maka sejak saat ini Pedang Siluman Da-
rah resmi menjadi milikmu. Terimalah pedang itu
yang kini dengan sarungnya. Jaga pedang itu
baik-baik, sebab pedang itu adalah nyawamu."
"Baik, Sri Ratu. Segala ucapanmu akan
aku junjung tinggi," Jaka menjawab. "Tapi, apa-
kah Sri Ratu sejak saat ini tak membantuku la-
gi?"
"Aku akan tetap membantumu, Jaka."
"Trimakasih, Sri Ratu."
"Nah, terimalah Pedang Siluman Darah. To-
longlah kakek tua itu."
Pedang Siluman Darah tiba-tiba tanpa se-
pengetahuan Jaka kini telah menempel di pung-
gungnya dengan lengkap sarung serta tali yang
tahu-tahu mengikat di tubuh Jaka. Jaka tersen-
tak, melihat kenyataan tersebut.
Dengan segera di tariknya Pedang Siluman
Darah yang berada di sarungnya. Nampak sinar
kuning kemerah-merahan memancar, menyilau-
kan mata. Jaka tersenyum senang, lalu dengan
menjura ia berkata: "Oh, terimakasih, Sri Ratu.
Terimakasih atas segala kepercayaanmu padaku."
"Nah, lakukan apa yang sebaiknya engkau
lakukan. Tempelkan Pedang Siluman Darah itu
ke tubuh tua tersebut."
Tanpa membantah, Jaka segera lakukan
apa yang diperintah oleh Ratu Siluman Darah. Di
tempelkannya batang pedang pada luka-luka di
tubuh Ki Aswatama. Dan dalam sekejap saja lu-
ka-luka itu menghilang, kering dengan sendi-
rinya. Racun yang terdapat di dalam darah turut
keluar, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Ki Aswatama menggeliat sadar, membuka
matanya perlahan-lahan. Matanya nampak te-
rang, memandang sekelilingnya, lalu memandang
pada Jaka Ndableg yang tersenyum dengan tan-
gan masih mengenggam Pedang Siluman Darah.
"Di mana aku, Jaka?" tanyanya. Jaka ma-
kin lebarkan senyum. "Paman berada di pondok
paman," jawab Jaka.
Ki Aswatama tersentak mendengar ucapan
Jaka. "Bukankah tadi aku dikeroyok oleh orang-
orang berpakaian dan cadar serba merah?" gu-
mamnya.
"Jadi benar Paman tadi dikeroyok oleh
orang-orang asing?"
"Ya! Mereka menanyakan mengenai Kitab
Banyu Geni."
Jaka terdiam mendengar jawaban Ki Aswa-
tama. Kini ia tahu mengapa orang-orang asing
tersebut mengeroyoknya di jalan. Mungkin mere-
ka pun diperintah oleh pimpinannya untuk
menghadang dirinya yang dianggap membawa Ki-
tab Banyu Geni.
Mata Ki Aswatama tak lepas memandang
pada pedang di tangan Jaka. Pedang aneh, yang
mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Sebuah pedang yang mampu menggetarkan jan-
tung bagi yang melihatnya. Ki Aswatama memang
telah mendengar senjata milik cucu sepupunya
itu, namun melihat bentuknya ia baru kini meli-
hat.
"Tentunya itu Pedang Siluman Darah, Ja-
ka?" tanyanya.
"Ya! Kini pedang ini resmi menjadi milik-
ku."
"Ooh, betapa kau akan menjadi seorang
pendekar yang tiada tanding, Jaka," Ki Aswatama
menggumam. "Tapi kau harus ingat bahwa nya-
wamu berada di ujung pedang tersebut, Jaka.
Kau harus terus menjaganya."
"Benar katamu, Ki."
Tengah keduanya ngobrol, terdengar se-
ruan dari luar memanggil nama Ki Aswatama.
"Aswatama, keluar kau!"
Terbelalak mata Jaka dan Ki Aswatama
mendengar seruan tersebut. Jaka segera bangkit
dari jongkoknya, berjalan dengan mantap keluar
rumah di ikuti oleh Ki Aswatama di belakangnya
yang telah pulih sehat bagaikan tiada pernah lu-
ka.
"Ki Aswatama, cepat keluar!"
"Apa yang membuatmu berteriak-teriak
orang sinting!" Jaka memaki marah. "Apakah kau
kira kami tidak mendengar?"
"He, he, he...! Kebetulan! Kebetulan sekali!"
orang tua renta berbadan agak bongkok yang ti-
dak lain Sumping Tindik terkekeh memandang
pada Jaka. "Kebetulan, kau ada di sini, anak mu-
da."
Jaka tersenyum kecut. Melangkah mende-
kat ke arah Sumping Tindik. Pedang Siluman Da-
rah masih berada di sarungnya, belum layak Jaka
mengeluarkannya. Mata Jaka memandang tajam
ke arah Sumping Tindik. Dalam pandangannya
terdapat tanda tanya, mengapa orang tua renta
itu mengatakan kebetulan? Apakah orang tua
bencong tersebut ada ganjelan dengannya?
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka pada Ki
Aswatama.
"Dialah yang bernama Sumping Tindik, Ja-
ka."
"Oohh... Jadi engkaulah yang bernama Nyi
Sumping Tindik?"
"Eeh, apa kau bilang, anak muda?" Sump-
ing Tindik pelototkan mata genit ke arah Jaka.
"Kalau saja yang ngomong bukan pemuda gan-
teng sepertimu, mungkin mulutnya sudah kube-
jek."
Jaka tertawa bergelak mendengar ucapan
Ki Sumping Tindik yang kebencong-bencongan.
Sementara Ki Aswatama, nampak berusaha te-
nang, Ki Aswatama tetap berjalan dan berhenti di
samping Jaka.
"Hati-hati, Jaka. Orang tua itu suka sekali
bila melihat lelaki tampan."
"Aku tahu, Paman," jawab Jaka. "Sumping
Tindik! Ada gerangan apa kau datang menemui Ki
Aswatama?"
"Heee, heee, heeee..! Anak muda, aku da-
tang ke mari karena menyangkut masalah Kitab
Banyu Geni yang berada di tangan Ki Aswatama."
"Hem, kalau benar, kau mau apa?" Tanya
Jaka.
"Heee, heee, heee...!" Sumping Tindik ter-
senyum, leletkan lidah dengan mata tak henti-
hentinya memandang pada Jaka Ndableg yang
tampan itu. "Aku tak akan mengungkit-ungkit ki-
tab tersebut asal kau mau melayani kemauanku,
Anak muda."
"Edan!" maki Jaka dalam hati.
"Apa yang mesti aku lakukan, Nyi?" tanya
Jaka berkelakar penuh ejekan. "Apakah aku ha-
rus memijitimu dengan senjataku ini?"
"He, he, he...! Kau jangan bercanda, Anak
ganteng." Sumping Tindik nampak remehkan apa
yang kini tengah di tarik oleh tangan Jaka Ndab-
leg dari sarungnya.
"Sraaang...!"
Melotot seketika mata Sumping Tindik me-
nyaksikan apa yang kini tergenggam di tangan
Jaka. Sebuah pedang yang sudah dikenal di du-
nia persilatan dan telah mengguncangkan dunia
persilatan sekarang-sekarang ini. Pedang tersebut
menyiratkan sinar kuning kemerah-merahan,
membersit menyilaukan mata. Dan yang lebih
aneh, dari ujungnya keluar darah menetes mem-
basahi batang pedang. Sumping Tindik melompat
ke belakang, tersentak kaget seraya memekik ter-
tahan. "Pendekar Pedang Siluman Darah...!
Kau...?! Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah
atau Jaka Ndableg?"
"Ya! Akulah Jaka Ndableg, yang akan
menggantung nyawa busukmu!" Jaka menggere-
tak. "Selama ini aku mencarimu, untuk menghu-
kummu. Tetapi rupanya nasib mujur tengah be-
rada di pihakmu, hingga aku tak tahu tempat
persembunyianmu. Tapi kini kau datang sendiri
setelah sepuluh tahun menghilang. Aku diperin-
tah oleh para pendekar untuk menghukummu,
Sumping!"
Sumping Tindik tersentak, makin menyu-
rut mundur. Matanya kini bukan mata kebencon-
gan, tapi mata Sumping Tindik menyorot tajam,
menghunjam penuh kebencian pada Jaka. Bibir-
nya tersungging senyum, lalu dengan mengekeh
dia pun berkata. "He, he, he...! Apa yang akan
kau perbuat, Jaka? Kau tak akan mampu,"
"Sombong!"
"He, he, he...! Kau terkejut, Jaka?!"
"Bedebah! Dasar Bujang Lapuk!"
Makin marah saja Sumping Tindik men-
dengar ucapan Jaka Ndableg yang mengatakan
Bujang Lapuk padanya. Dan rupanya hanya uca-
pan itulah yang mampu membangkitkan amarah
kakek tua renta bencong tersebut.
"Bangsat! Aku bunuh kau...! Hiaaaaattt...!"
Bagaikan seekor harimau lapar Sumping
Tindik menerkam ke arah Jaka. Melihat Sumping
Tindik menggunakan tangan kosong, Jaka pun
dengan segera menyarungkan Pedang Siluman
Darahnya dan memapaki serangan dengan tan-
gan kosong pula.
"Kupecahkan batok kepalamu, Anak mu-
da!"
"Wuuut...!"
Tangan Sumping Tindik berdesing, meng-
hantam batok kepala Jaka Ndableg. Jaka segera
rundukkan tubuhnya, sehingga tangan Sumping
Tindik melesat di atas kepalanya beberapa mili.
Jaka kirimkan jotosan ke lambung Sump-
ing Tindik. Dengan cepat Sumping Tindik buang
badannya ke belakang, hindari jotosan tangan
Jaka lalu balik menyerang dengan tendangan ka-
ki kanannya membentuk sudut 45 derajat. Itulah
jurus Kaki Kuda Menerpa Batu Karang.
"Wuuut...!"
Kaki Sumping Tindik menyerang dengan
tendangan, mengarah ke kemaluan Jaka. Jaka
tersentak kaget, lemparkan tubuh bersalto hinda-
ri tendangan yang mengarah ke barang miliknya.
Belum juga Jaka mengetrapkan kakinya, Sump-
ing Tindik telah kembali mencercanya dengan pu-
kulan tangannya.
"Wuuuttt...!"
"Ah...!" Jaka balas dengan tangan kirinya
menangkis
"Deb!" Dua tangan itu saling beradu. Meli-
hat hal tersebut, Sumping Tindik kembali ten-
dangkan kakinya ke arah selangkangan Jaka.
Namun dengan cepat Jaka balas dengan Jurus
Kera Gila Menyapu Kaki Menghalang Tikus.
"Wuuut...!"
"Bletook...!"
"Wadauaauuuuw...!" Sumping Tindik me-
mekik, manakala tulang kering kakinya beradu
dengan tulang kering kaki Jaka yang masih mu-
da. Walau Sumping Tindik telah menyalurkan te-
naga dalamnya, namun Jaka pun tak diam begitu
saja. Saat Sumping Tindik salurkan tenaga da-
lam, segera Jaka pun mengikutinya salurkan te-
naga dalam pula.
Sumping Tindik pegangi tulang kering ka-
kinya yang terasa remuk. Ia berputar-putar men-
coba hilangkan rasa sakit yang teramat sangat.
Dan manakala tangannya lepas dari tulang ke-
ringnya, nampak tulang keringnya membengkak.
Rasa panas teramat sangat menyengat pada
bengkakan tersebut.
"Kurang ajar! Kau harus membalas semua
ini!" Sumping Tindik ambil Kipas Hitamnya. Kipas
tersebut adalah senjatanya. Kehebatan kipas itu
sudah di uji manakala ia masih merajai dunia
persilatan. Sumping Tindik kipaskan Kipas Hi-
tamnya. Angin puting beliung seketika keluar
menerpa pada Jaka dan Ki Aswatama.
Jaka dan Ki Aswatama tersentak kaget,
lompat ke belakang menghindar. Namun angin
puting beliung itu terus saja menerpa tubuh me-
reka. Angin itu makin lama makin besar, dengan
hawa yang mengandung rasa panas.
"Paman, menyingkirlah, biar aku yang
menghadapi iblis ini."
Ki Aswatama tak membangkang, ia segera
berlalu kembali ke pondoknya, meninggalkan Ja-
ka yang masih menghadapi Sumping Tindik yang
terkekeh-kekeh kipasan. Sumping Tindik me-
nyangka bahwa Jaka akan mampu ia jatuhkan.
"Sriiing...!"
Tersentak Jaka manakala dari Kipas Hitam
di tangan Sumping Tindik keluarkan puluhan pi-
sau kecil mendesing ke arahnya. Dengan segera
Jaka lemparkan tubuh menghindar, lalu dengan
cepat tebaskan Pedang Siluman Darah ke arah
pisau-pisau tersebut. Dalam sekali tebas saja pi-
sau-pisau itu luluh lantah, berantakan dengan
keadaan terpotong-potong.
Mata Sumping Tindik melotot, melihat pi-
sau-pisau kecilnya dengan sekali kebat saja telah
berantakan dibuatnya. Namun kegagalan pertama
tidak menjadikan Sumping Tindik menyadari
bahwa ilmu yang dimiliki oleh Jaka jauh berada
di atasnya. Dan dengan nekad Sumping Tindik
menggelegar menyerang.
"Hiiiiiaaaaaaattttt...!"
Jaka tersenyum melihat Sumping Tindik
mencelat ke arahnya dengan maksud menyerang.
Segera Jaka kiblatkan Pedang Siluman Darah ke
arah datangnya Sumping Tindik dengan Kipas Hi-
tamnya.
"Hiiiiaaaaaaaaaattt...!"
Kedua tubuh itu terbang melayang di uda-
ra. Keduanya dengan senjata masing-masing
nampak melayang, kiblatkan senjata mereka ke
arah lawan.
"Swiiing...!"
"Wuuut...!"
Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah,
memapaki serangan pisau-pisau maut yang di-
lancarkan oleh Sumping Tindik.
"Trang...!"
"Aaaaaaaah...!" Sumping Tindik memekik,
manakala salah sebuah pisaunya mencelat balik
menyerang ke arahnya. Pisau maut itu menghun-
jam di jidatnya, menjadikan sebuah pemandan-
gan yang mengerikan. "Kau...! Awas kau, nanti
aku akan membuat perhitungan denganmu!"
Setelah berkata begitu, dengan cepat tak
hiraukan Jaka lagi Sumping Tindik berkelebat
pergi. Pisau mautnya masih menghunjam di ken-
ing, tak dilepaskan. Pisau tersebut sengaja di-
biarkan menancap di keningnya. Dan kelak pisau
tersebut akan sebagai bukti manakala ia hendak
menuntut balas pada Jaka Ndableg.
Jaka hanya terpaku diam, memandang ke-
pergian Sumping Tindik. "Sungguh bencana! Ki-
tab tersebut kalau tidak segera aku bakar, nis-
caya akan terus membawa bencana."
* * *
"Jaka, Tooloooongg...!"
Jaka yang masih mematung diam tersen-
tak demi mendengar seruan Ki Aswatama. Den-
gan masih menggenggam Pedang Siluman Darah
Jaka segera berkelebat menuju ke pondok di ma-
na Ki Aswatama berada. Baru saja Jaka sampai di
tengah jalan, terdengar seruan memekik Ki Aswa
tama.
"Aaahhhh...!"
"Bangsat!" Jaka merutuk marah, lalu den-
gan berkelebat terbang Jaka babatkan Pedang Si-
luman Darah. Tak ayal lagi, semua yang terkena
hancur berantakan.
"Kalian orang-orang asing, Bangsat! Aku
bunuh kalian!"
Jaka terus mencerca ninja-ninja merah itu
dengan sabetan dan babatan pedangnya. Pedang
Siluman Darah nampak membara laksana men-
gandung api. Kemarahan Jaka benar-benar sudah
tidak dapat di bendung lagi.
"Wuuut...!"
"Awas...!" terdengar pimpinan Ninja Merah
menyadarkan pada anak buahnya. Segera anak
buahnya berkelebat menghindari tebasan pedang
di tangan Jaka.
"Bagero! Orang Jawa keparat!"
"Bangsat! Kalianlah yang keparat!" Jaka
memaki marah, mendengar makian pimpinan
Ninja Merah. Dengan gusar terus mencerca mere-
ka dengan tebasan-tebasan pedangnya.
"Wuuut...!"
"Aaahhhhhh....!" memekik seorang ninja,
terbabat putus tubuhnya. Namun seketika mata
ninja lainnya membeliak kaget, tatkala menyaksi-
kan keanehan di tubuh rekannya. Tubuh rekan-
nya yang terbabat tak mengeluarkan darah se-
tetes pun.
"Bagero! Serang...!"
"Wuuut! Wuuur! Wuuut!"
Samurai di tangan mereka berkelebat den-
gan ganas menyerang Jaka. Tersentak Jaka sege-
ra elakkan serangan yang datangnya berbarengan
tersebut. Namun tak ayal, sebuah samurai mam-
pu menggores dadanya. Darah mengucur lewat
goresan dada Jaka, menjadikan Jaka Ndableg
nampak beringas. Matanya memandang dengan
tajam, tubuhnya terpaku diam. Jaka kini benar-
benar marah, sehingga tanpa sadar ia keluarkan
ilmu dari Kitab Banyu Geni. Ilmu tersebut tak lain
ilmu intinya yang bernama Dewa Geni.
"Dewa Geniii...! Dewa Geniiii! Dewa Ge-
niiii...!"
Tubuh Jaka kini benar-benar telah beru-
bah menjadi Dewa Brahma atau Dewa Api. Di se-
genap tubuhnya kini tertutup api yang menyala-
nyala. Tak urung juga Pedang Siluman Darah Pe-
dang tersebut kini berubah menjadi sebilah pe-
dang api.
Tersentak semua ninja merah melihat hal
tersebut. Namun dengan segera pimpinannya
yang tak lain Taka Moro memberikan perintah.
"Bagero! Serang siluman itu...!"
"Wuuut...!"
"Wuuut...!"
Samurai di tangan ninja-ninja merah ber-
kelebat membabat tubuh Jaka, namun bagaikan
tak ada artinya samurai-samurai tersebut. Samu-
rai-samurai itu seketika meleleh, berbarengan
dengan pemiliknya yang langsung terpanggang.
Sekejap saja semua ninja merah habis dengan tu-
buh terbakar menghitam jadi arang.
"Huaaaaa... Huahaaa...!" Dewa Api tertawa
bergelak, lalu perlahan berjalan mendekati Taka
Moro yang ketakutan. "Kau tentunya pimpinan
ninja-ninja ini, bukan?"
"Be-benar, tuan."
"Kau, aku bebaskan! Katakan pada yang
menyuruhmu, bahwa di tanah Jawa tak akan ka-
lian mampu berbuat apa-apa. Katakan juga Dewa
Api akan menghukum mereka jikalau berani ma-
cam-macam di tanah Jawa. Nah, pergilah!"
Dengan penuh ketakutan Taka Moro men-
jura, lalu tanpa banyak kata lagi Taka Moro yang
benar-benar tahu dan takut itu berkelebat pergi
meninggalkan Jaka Ndableg si Dewa Api. Jaka
tertawa gelak, lalu dengan segera hampiri tubuh
Ki Aswatama yang tergeletak. Di sarungkannya
kembali Pedang Siluman Darah, lalu dengan rin-
gan diangkatnya tubuh tua renta tanpa nyawa
tersebut pergi ke luar. Tubuh tua renta itu bagai-
kan tak terbakar di tangan Jaka Ndableg yang te-
lah berubah menjadi Dewa Api.
Dengan langkah ringan Jaka terus menuju
ke tempat di mana tubuh tua itu hendak diku-
burkan. Tempat di mana kakeknya dimakamkan.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar