..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE KITAB PEMBAWA BENCANA

Kitab Pembawa Bencana

 KITAB PEMBAWA BENCANA

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Kitab Pembawa Bencana

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Kitab Banyu Geni yang diberikan oleh ka-

kek gurunya melalui perantara Resi Wisang Geni, 

menjadi incaran para kaum persilatan, yang ingin 

memiliki sekaligus ingin mempelajarinya. Para 

pendekar telah mengetahui bahwa Kitab Banyu 

Geni kini telah lenyap dari tempatnya. Sudahkah 

anda baca Episode Bocah Kembaran Setan? Di si-

tu telah dikatakan bahwa para pendekar banyak 

yang mati manakala menuju ke Lembah Bangkai 

untuk mencari Kitab Banyu Geni, sebab kitab ter-

sebut ternyata dalam penjagaan prajurit Resi Wi-

sang Geni yang terdiri dari para Jin.

Para pendekar dari dua golongan di dunia 

persilatan tidak tahu siapa sebenarnya yang telah 

mendapatkan kitab sakti dan dahsyat tersebut.

Mereka hanya tahu bahwa kitab tersebut 

telah lenyap dari Lembah Bangkai. Di lingkaran 

kematian yang biasanya ada batu tegak sebagai 

tonggak telah roboh batu itu.

Jaladri dan Jaladru, dua orang kakak be-

radik kembar dari perguruan Cakar Naga telah 

datang ke tempat tersebut. Keduanya juga ber-

maksud mencari kitab tersebut, sekaligus untuk 

melihat Bocah Kembaran Setan. Namun sesam-

painya di Lembah Bangkai, mereka berdua hanya 

menemukan tulang belulang bekas manusia mati.

"Mungkin ini sisa-sisa tulang para prajurit 

dari beberapa perguruan yang datang untuk 

memperebutkan Bocah Kembaran Setan terse


but," kata Jaladri, matanya memandang dengan 

menyipit pada tulang belulang yang berserakan.

"Ya! Mungkin," jawab Jaladru.

"Kalau begitu sungguh dahsyat pertempu-

ran itu, Jaladru."

"Mungkin, Kakang."

"Sayang kita terlambat datang, Adikku."

"Benar. Kalau saja kita sudah sampai di si-

ni," Jaladru menggumam. "Tapi kita juga untung, 

Kakang."

"Mengapa kau berkata begitu, Adik?"

"Ya! Coba saja kalau kita sampai di sini 

saat Bocah Kembaran Setan masih merajalela, 

bukankah kita juga akan menerima nasib seperti 

mereka?" Jaladru menunjuk tulang-tulang yang 

berserakan, lalu gumamnya kemudian. "Sungguh 

dahsyat bocah itu. Ia mampu membinasakan 

orang sebanyak ini yang terdiri dari para kaum 

persilatan. Dan mungkin di sini ada terdapat to-

koh persilatan dari Perserikatan Iblis yang na-

manya di dunia persilatan sangat kondang."

"Benar juga katamu, Adik," Jaladri me-

nambahkan. "Ah, sudahlah. Bukankah kita ke si-

ni untuk mencari Kitab Banyu Geni!?" 

"Benar! Ayo, kita turun." Dengan segera 

kedua pendekar kakak beradik tersebut menuruni 

Lembah Bangkai menuju tempat yang dinamakan 

Lingkaran Kematian. Keduanya sejenak terpaku, 

manakala melihat apa yang terjadi. Ternyata me-

reka tak merasakan apa yang dikatakan oleh 

orang-orang. Mereka tak mendapatkan halangan 

atau pun kematian yang seperti dirasakan oleh


orang-orang lain sebelum mereka. "Aneh, Ka-

kang." 

"Ya!" jawab Jaladri pendek. "Bukankah ka-

ta para pendekar, bahwa siapa saja yang mema-

suki Lingkaran Maut ini akan mati?" tanya Jala-

dru. 

"Tetapi mengapa kita tidak mengalaminya?"

Jaladri dan Jaladru terheran-heran sendiri, 

sehingga keduanya nampak terdiam untuk bebe-

rapa saat mematung dengan mata mereka men-

gawasi tempat tersebut. Ada sebuah batu panjang 

besar dengan tengah-tengah berlubang tergeletak. 

Sepertinya batu tersebut dicabut dari tanah. Dan 

memang benar, batu tersebut dicabut dari tanah.

"Lihat, Kakang! Apakah bukan batu ini 

yang untuk menyimpan Kitab Banyu Geni?" Jala-

dru berseru seraya hampiri batu tersebut, diikuti 

oleh Jaladri yang juga merasa tertarik dengan se-

ruan adiknya. Keduanya jongkok, mengawasi lu-

bang yang terdapat di tengah-tengah batu terse-

but.

"Benar! Batu inilah tempat kitab tersebut," 

Jaladri bergumam setelah memperhatikan dengan 

teliti keadaan batu tersebut. "Kalau begitu kita te-

lah kedahuluan oleh orang lain, Adikku."

"Sia-sia kita dari jauh datang kemari, Ka-

kang."

"Kita jangan putus asa dulu, Adik. Kita be-

lum gagal sepenuhnya," Jaladri mencoba menghi-

bur diri, juga adiknya yang nampak kecewa. "Bu-

kankah yang telah mendapatkan kitab tersebut 

seorang manusia?"


"Ya!" jawab Jaladru pendek, nadanya putus 

asa.

"Nah, untuk apa kita diberi bekal oleh guru 

kalau kita tidak dapat merebut kitab tersebut?" 

Jaladri kembali menghibur, menjadikan Jaladru 

manggut-manggut. "Kita diberi bekal ilmu tinggi, 

percuma kalau kita harus putus asa."

"Benar juga, Kakang. Mari kita cari orang 

tersebut."

Dengan sekali lompat, kedua kakak bera-

dik kembar itu segera keluar dari lingkaran maut, 

Kedua kakak beradik kembar tersebut bermaksud 

meninggalkan Lembah Bangkai, manakala ter-

dengar seruan seseorang yang menghentikan me-

reka.

"Ki Sanak sekalian, tunggu!"

"Hem, siapa yang berteriak itu, Kakang?"

"Entahlah, Adik."

Seorang lelaki tua setengah baya nampak 

berlari menuju ke arah mereka. Wajah orang itu 

nampak tidak baik-baik, menggambarkan bahwa 

orang tersebut bukan orang yang bertujuan baik 

pula. Kedua kakak beradik kembar itu tetap ber-

diri, menunggu kedatangan orang tersebut.

"Ki Sanak memanggil kami?" tanya Jaladri.

"Ya!" jawab orang itu pendek. "Namaku Ta-

kasita. Aku berasal dari negeri Nippon."

"Kami tahu. Dari cara pakaianmu, kami 

tahu kalau Ki Sanak bukan orang pribumi. Yang 

kami tanyakan, ada keperluan apakah Ki Sanak 

menghentikan langkah kami?" tanya Jaladru agak 

jengkel.


"Ki Sanak berdua dari Lembah Bangkai?"

"Ya!" jawab Jaladri. "Memang kami dari 

Lembah Bangkai."

"Ah, kebetulan!" Takasita nampak terse-

nyum, menjadikan kedua kakak beradik kembar 

tersebut kerutkan kening. "Kebetulan sekali, jadi 

aku tak susah-susah mencari-carinya."

"Hai, apa yang kau maksud, Ki Sanak?" Ja-

ladri kembali menanya, bingung tak mengerti 

dengan ucapan Takasita.

"Bukankah Ki Sanak berdua dari Lembah 

Bangkai?" kembali Takasita mengulang tanya, se-

pertinya hendak memastikan jawaban kedua 

orang yang ditanya.

"Benar! Ki Sanak ini mau mengapa? Kata-

kanlah! Jangan sampai kami naik darah!" Jaladru 

nampak sewot. Darah mudanya membludak, se-

akan ingin muncrat dari ubun-ubun.

"Oh, janganlah Ki Sanak berdua begitu se-

wotnya," Takasita nampak tenang, seakan mere-

mehkan kakak beradik kembar di hadapannya. 

"Aku hanya mau meminta pada kalian apa yang 

telah kalian bawa dari Lembah Bangkai."

Terbelalak mata kedua kakak beradik 

kembar mendengar ucapan Takasita. Mereka bu-

kannya takut bertarung dengan pendekar dari 

negeri Nippon ini, tetapi mereka saja tidak dapat 

apa-apa, eh malah disangka telah mendapatkan 

kitab tersebut. Bagaimana pun, jelas kedua kakak 

beradik kembar Jaladri dan Jaladru tersinggung.

"Kurang ajar, orang ini!" gumam hati Jalandri.


"Bangsat! Rupanya orang-orang Nippon ju-

ga telah mendengar mengenai kitab tersebut. 

Hem...." Jaladru menggumam dalam hati.

"Bagaimana, Ki Sanak berdua?" Takasita 

kembali menanya, menjadikan kedua kakak be-

radik kembar tersebut makin menjadi-jadi ama-

rahnya. "Kalian serahkanlah pada kami, tentu ka-

lian akan mendapatkan kemuliaan dari Sang Sin-

to."

"Setan Belang! Kau kira kami apa!" Jaladru 

menggeretak marah. Harga dirinya sebagai seo-

rang anak Pribumi seakan diinjak oleh bangsa 

lain. "Jangan kira kau akan semudah itu, orang 

asing!"

"Tenang, Adikku."

"Dia sudah keterlaluan, Kakang."

"Kuharap, tenang dulu, biarkan ia hendak 

bagaimana," Jaladri terus mencoba menenangkan 

kemarahan adiknya. Di pandanginya Takasita, 

seakan ingin mengorek segala apa yang ada pada 

pendekar negeri Nippon. Jaladri mencoba terse-

nyum ramah, lalu katanya kemudian: "Ki Sanak, 

kami harap engkau janganlah mengharapkan apa 

yang tidak ada pada diri kami. Kami memang dari 

Lembah Bangkai, tapi kami tak mendapatkan 

apa-apa."

"He, he, he...! Kau jangan berdusta, Ki Sa-

nak," Takasita masih tak mau percaya. Matanya 

yang sipit terus memandang dengan jalang dan 

liar ke arah dua kakak beradik kembar yang juga 

memandang ke arahnya. "Ki Sanak, jangan sam-

pai aku marah, dan menurunkan tangan jahat


pada kalian."

"Edan! Kau berani mengancam pada kami, 

orang asing!" Jaladru membentak marah. "Kau ki-

ra kami takut dengan gertakanmu. Huh! Jangan 

harap kami akan mundur dengan orang seperti 

dirimu!"

"Kau menantangku, Ki Sanak?"

"Huh, mesti takut apa aku padamu!" Jala-

dru benar-benar sudah tak dapat menahan emo-

sinya. Matanya nampak merah, membara bagai-

kan menyalakan api.

"Jadi kalian tak mau menyerahkan kitab 

tersebut!" Jaladri tersenyum.

"Kalau pun kitab tersebut ada berada di 

tangan kami, jelas kami tak akan menyerahkan-

nya padamu. Apalagi kini kami tidak menda-

patkannya," Jaladri berkata tenang, tidak seperti 

adiknya.

Takasita mendengus, lalu dengan cepat 

menghunus samurainya dari sarung. "Srang...!" 

Mata Takasita melotot, sepertinya samurai di ta-

ngannya menghendaki agar dirinya segera meng-

adakan penyerangan terhadap dua orang pribumi 

tersebut. Tangan yang menggenggam Samurai 

nampak bergetar, ada kekuatan yang menyeret-

nya untuk melakukan tindakan. Dan...!

"Kalian akan menyesal, hiat...!"

Takasita berkelebat dengan samurainya 

menyerang ke arah dua orang kakak beradik 

kembar. Samurai di tangannya berkelebat ganas, 

seakan mempunyai mata. Samurai mengkilap pu-

tih perak itu terus mencerca kedua kakak beradik


kembar yang segera mengelakkannya.

"Bedebah! Rupanya kau mencari mati, 

orang asing!" maki Jaladru.

"Srang...!" Jaladru pun hunus pedang,

"Kakang, orang ini memang mencari gara-

gara!" 

"Memang, Adik. Lakukan apa yang kau 

mampu! Beri pelajaran padanya agar tahu siapa 

kita!" Jaladri memberi dorongan pada adiknya 

yang dengan segera kembali melompat memapaki 

serangan Takasita.

"Ayo orang asing, kita main-main!"

"Huah! Kau tak akan mampu, hiat...!"

Dua pendekar dari dua negara itu berkele-

bat dengan pedang di tangan masing-masing. 

Samurai di tangan Takasita terus mencerca ke 

arah Jaladru, namun Jaladru yang sudah mem-

punyai pengalaman tak mau dengan begitu saja 

mengalah. Jaladru pun dengan pedangnya berge-

rak cepat balik menyerang.

"Trang...!"

Terdengar dua buah benda baja beradu, 

manakala keduanya saling tebaskan pedang. Dua 

buah pedang saling beradu, menempel lekat ba-

gaikan ada lemnya. Sebenarnya mereka kini ten-

gah mengadu tenaga dalam yang disalurkan pada 

pedang mereka masing-masing. Tangan keduanya 

nampak bergetar, mata keduanya melotot marah. 

Dari pedang yang menempel keluar asap menge-

pul.

"Hiat...!" Takasita memekik.

"Hiat...!"


Dua orang itu kembali melompat ke bela-

kang dengan tangan masih memegang pedang. 

Takasita tersenyum kecut, pedang samurai me-

nyilang di mukanya. Sementara Jaladru nampak 

menggambarkan wajahnya dengan bengis. Pe-

dangnya dimiringkan ke kanan, seolah-olah 

memberikan tanda bahwa dirinya telah siap un-

tuk menentukan hidup atau mati. Mata keduanya 

saling pandang, dengan mulut mengatup rapat 

tak ada yang bicara. Napas keduanya mendengus, 

lalu dengan kembali memekik keduanya berkele-

bat menyerang.

"Hiat...!"

"Hiaaaaattt...!"

"Trang! Trang! Trang!"

Pedang mereka saling adu, melompat kem-

bali, lalu balik menyerang dengan tebasan-

tebasan pedang. Pertarungan keduanya nampak 

seru. Keduanya sama-sama mahir dalam meng-

gunakan pedang, sama-sama lincah dan gesit. 

Kini tubuh keduanya tak kentara lagi, hilang ter-

gulung oleh sinar pedang mereka yang bergerak 

dengan cepatnya.

Sementara Jaladru bertarung, Jaladri pun 

terus mengawasi adiknya. Jaladri pun nampak te-

lah siaga penuh, siap membantu bila adiknya ter-

nyata tak mampu mengalahkan pendekar dari 

negeri Nippon tersebut. Mata Jaladri membeliak, 

tak percaya bahwa adiknya telah mampu men-

gimbangi jurus-jurus yang dilancarkan oleh pen-

dekar Nippon tersebut.

"Hem, sungguh pesat kemajuan adikku,"


gumam Jaladri.

Pertarungan kedua pendekar dengan senja-

ta pedang terus berjalan. Tebasan-tebasan pedang 

mereka, menjadikan suara berdesir keras menja-

dikan angin yang menggelegar.

"Wuuuut! Wuuuut! Wuuu!"

Jaladru tebaskan pedangnya ke segenap 

penjuru tubuh lawan. Pedangnya nampak berin-

gas, seakan ingin menghabisi apa yang ada di tu-

buh Takasita. Tersentak juga Takasita melihat il-

mu pedang yang digunakan oleh lawannya. Belum 

pernah ia melihat ilmu pedang yang dahsyat, se-

perti yang kini ia lihat. Tetapi sebagai seorang 

pendekar yang dipercaya oleh kaisar untuk me-

nunaikan tugas, jelas Takasita tak mau mengalah 

begitu saja. Percuma kalau ia mengalah atau gen-

tar dengan orang-orang pribumi, kalau harus 

jauh-jauh ia datang ke mari.

"Wuut...!"

Takasita balik menyerang, disertai dengan 

lompatan tubuhnya yang bergerak ringan. Gera-

kan tubuh Takasita bagaikan gerakan seekor rase 

yang lincah, sehingga setiap tebasan pedang Ja-

ladru tak ada sebuah pun yang mengena sasar-

annya. 

Perlahan namun pasti, Takasita salurkan 

tenaganya ke pedang samurainya. Nampak samu-

rai itu kini memerah laksana menyala, menjadi-

kan Jaladru seketika terkesima melompat mun-

dur berseru kaget.

"Ilmu Iblis!" 

"He, he, he...! Kau telah tahu siapa aku,


bukan?" Takasita tertawa bergelak, sepertinya 

merasa telah menang menghadapi pendekar ta-

nah Jawa yang sudah kesohor. "Aku harap kalian 

mengakui kekalahannya."

"Adikku, minggirlah! Biar aku yang bergan-

ti!" Jaladri yang melihat bahwa adiknya nampak 

tersentak kaget melihat ilmu lawan segera berse-

ru. "Minggirlah! Biar aku mencobanya!"

Jaladri segera melompat menghadang pen-

dekar dari Nippon itu. Kini Jaladri benar-benar 

hendak mencoba sampai seberapa ilmu yang di-

miliki oleh pendekar tersebut. Sengaja Jaladri pu-

satkan tenaga dalam tingkat tingginya pada tan-

gan kanan, dimana tangan itu kini memegang pe-

dang.

"Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak cang-

gung-canggung memberikan pelajaran padaku," 

Jaladri berkata merendah, sebenarnya dalam ka-

ta-kata itu tersimpan sebuah kesombongan. Na-

mun dikarenakan pendekar dari Nippon tersebut 

telah mampu membuat adiknya tersentak, Jaladri 

berkata tidak terus terang, tapi dengan sindiran 

halus. "He, he, he...! Memang itu yang aku mau! 

Jangankan memberi pelajaran padamu, menjadi 

ketuamu pun aku sanggup!"

"Sombong!" dengus Jaladri dalam hati. 

"Hem, baiklah, Ki Sanak. Kalau engkau memang 

mampu memberikan pelajaran padaku, maka aku 

akan mau dan sudi menjadi anak buahmu. Tetapi 

jika kau yang kalah, maka aku harap kau ming-

gat dari tanah Jawa ini." 

"He, he, he...! Kita mulai...?"


"Terserah padamu, Ki Sanak." 

"Bersiaplah!"

Takasita memandangkan mata tajam, 

menghunjam dengan penuh kesombongan. Begitu 

pula dengan Jaladri, matanya nampak memancar 

penuh kebengisan. Memang Jaladri dan adiknya 

dididik oleh seorang tokoh keras, yang pikirannya 

sedikit miring. Tokoh tersebut pernah merajai du-

nia persilatan selama dua kali dasa warsa. Tokoh 

tersebut bernama Jalakumba atau Pendekar Sint-

ing dari gunung Kidul. Setelah sepuluh tahun 

menghilang entah kemana, tiba-tiba Pendekar 

Sinting itu muncul kembali dengan mendirikan 

sebuah perguruan Cakar Naga. Dan dua orang 

kakak beradik kembar tersebutlah muridnya.

"Hiat...!" Takasita memekik, lalu berba-

rengan dengan pekikannya Takasita berkelebat 

dengan samurainya menyerang. Jaladri yang te-

lah tahu kehebatan samurai tersebut, dengan pe-

nuh kewaspadaan balik menyerang. 

"Wuuut! Wuuut! Wuuuut...!" 

Pedang di tangan Jaladri berkelebat, mem-

babat ke arah pedang samurai sekaligus menang-

kisnya. Dua buah pedang tersebut saling beradu.

"Trang...!" Percikan api keluar dari bera-

dunya dua pedang, menjadikan keduanya tersen-

tak kaget. Mata Takasita melotot, tak percaya pa-

da kenyataan yang ada, bahwa musuhnya kini 

bukanlah orang sembarangan. Terbukti tangan-

nya nampak kesemutan manakala pedang mereka 

beradu. Walau di bibir Takasita tersenyum, na-

mun senyum itu hanya berupa menutupi kekage


tannya.

Takasita segera melompat mundur, dan 

seperti biasanya ia silangkan samurainya di mu-

ka.

Sementara Jaladri yang sudah tahu sebe-

rapa ilmu lawan, nampak tenang. Disilangkannya 

tangan ke muka, sehingga pedang miring ke 

samping kiri tubuhnya. Walau ia telah tahu sam-

pai seberapa ilmu lawan, namun Jaladri tak mau 

merendahkan begitu saja. Jaladri masih terngiang 

kata-kata gurunya, bahwa orang-orang sombong 

akan selalu lengah. 

"Hiattt...!" Takasita memekik, lalu dengan 

cepat berkelebat dengan Samurainya menyerang. 

"Hiiaaattt...!" Jaladri segera memapakinya. 

Dua tubuh itu segera melesat laksana terbang. 

Keduanya dengan pedang siap menentukan sega-

la-galanya. Pedang-pedang di tangan keduanya 

berkelebat, cepat bagaikan tebasan-tebasan pe-

nuh tenaga. Jaladri lemparkan tubuh ke samping, 

lalu dengan kebat dihentakkan tangan kanannya.

Tersentak Takasita melihat musuhnya. Ge-

rakan musuhnya begitu aneh dan sulit untuk di-

lakukan bagi orang biasa. Bagaimana mungkin 

orang bergerak membaliki serangan? Kalau bukan 

orang berilmu tinggi, tentunya gerakan yang dila-

kukan Jaladri adalah gerakan bunuh diri. Sebab 

dengan mudah, musuh akan segera menjadikan 

dirinya perkedel.

"Wuuut...!"

Takasita mencoba menyerang, babatkan 

pedang ke tubuh Jaladri yang membalik. Namun


secepat kilat Jaladri rundukkan tubuh dan tusu-

kan pedang ke arah Takasita. Takasita yang tidak 

menyangka bakal musuhnya berbuat demikian, 

tanpa ampun lagi tertusuk matanya oleh ujung 

pedang.

"Aaah...!" Takasita memekik, tubuhnya se-

ketika goyah dan doyong ke belakang. Darah me-

leleh dari mata kirinya, yang pecah akibat tusu-

kan pedang Jaladri.

Melihat Takasita terkapar dengan berle-

potkan darah, seketika Jaladru hendak mengak-

hirinya dengan pedang. Namun secepatnya Jala-

dri melarangnya seraya berkata: "Biarkan ia hi-

dup untuk bukti pada pimpinannya bahwa susah 

untuk orang asing macam-macam di tanah Jawa."

"Tapi, Kakang...?"

"Maksudmu dia akan menuntut balas?" 

tanya Jaladri pada adiknya, yang mengangguk 

mengiyakan. Jaladri tersenyum, lalu kembali ber-

kata. "Kalaulah mereka ingin membalas dendam, 

tentunya mereka harus berpikir seribu kali untuk 

berbuat itu."

Takasita masih kelojotan menahan sakit. 

Darah masih meleleh dari mata kirinya yang han-

cur.

Dengan tertatih-tatih Takasita bangkit.

"Kenapa engkau tak membunuhku?"

Jaladri tersenyum, lalu katanya: "Aku tak 

mau melumuri tanganku dengan darah kematian. 

Nah, kau telah kalah, maka aku minta kau sece-

patnya minggat angkat kaki dari tanah Jawa!"

"Akan aku balas semuanya ini!" Takasita


segera berkelebat pergi dengan mata kiri yang 

hancur, meninggalkan Jaladri dan Jaladru yang 

hanya memandang kepergiannya. Tak berapa la-

ma kemudian setelah Takasita pergi, kedua kakak 

beradik kembar itu pun berkelebat meninggalkan 

Lembah Bangkai yang kembali sepi. Bercakan da-

rah yang keluar dari mata Takasita, kini meng-

gambar di situ, sepertinya memberi bukti bahwa 

di tempat tersebutlah awal dari segalanya. Apa 

yang bakal terjadi dengan Takasita? Dan apa yang 

akan melanda tanah Jawa nantinya? Tunggulah 

kisah Jaka Ndableg selanjutnya dalam Judul 

DENDAM NINJA MERAH DARI NIPPON.


DUA



Lelaki tua itu berjalan agak bongkok. Kaki-

kakinya yang kecil, seakan tak kuat membawa 

beban tubuhnya. Mungkin karena ketuaan, yang 

menjadikan jalannya harus tertatih-tatih. Di 

punggungnya, sebuah buntelan yang terbuat dari 

kain putih nampak bergayut. Mata tuanya me-

mandang pada samping kanan dan kiri jalannya, 

yang terbentang dua dataran tinggi. Dan memang 

dataran tinggi tersebut membentang dari Barat 

sampai ke Timur, seakan menjadi pagar jalanan 

setapak yang sedang ia lalui.

Lelaki tua itu berjalan dengan santai, sea-

kan ia tengah menikmati keindahan alam yang di-

laluinya. Terkadang matanya memandang, lalu 

mengecap-ngecap bagaikan ngantuk. Lelaki tua


itu bernama Sumping Tindik. Dan memang kalau 

kita melihat pada telinganya dengan cermat, kita 

akan melihat sebuah sumping* (Anting yang 

hanya batangnya saja) melekat di bawah telin-

ganya. Orang boleh mengatakan ia genit, dan 

memang dia genit. Dia seorang pendekar tua go-

longan hitam yang suka usilan dengan pemuda 

ganteng. Dia adalah wadam atau bencong.

Sampai seusianya, Sumping Tindik tidak 

nikah. Hal itu dikarenakan dia tidak menyukai 

wanita, tetapi ia menyukai sesamanya yaitu kaum 

lelaki.

"He, he, he...! Dengan aku membawa bung-

kusan ini, aku yakin banyak orang-orang yang 

mengira akulah pemilik Kitab Banyu Geni. He, he, 

he...!" Sumping Tindik tertawa terkekeh. "Hem, 

aneh benar orang-orang. Kitab yang mereka be-

lum tahu di mana adanya mereka buru."

Sumping Tindik terus berjalan, mengelok 

jalanan, lalu terus lurus entah ke mana. Lang-

kahnya tertatih, namun bila dilihat dengan cer-

mat, Sumping Tindik bukannya berjalan biasa. 

Kakinya bagaikan tak menginjak tanah, ngam-

bang. Jelas ia tengah menunjukkan betapa ting-

ginya ilmu meringankan tubuhnya. Ilmu merin-

gankan tubuh yang sudah tinggi, sukar untuk 

melakukan bila orang tersebut belum benar-benar 

sempurna lahir dan batinnya. Ilmu tersebut ber-

nama Larian Bayang Setan. Sebuah ilmu langka 

yang hanya dimiliki oleh tokoh persilatan dari 

perguruan Semeru saja. Dan yang memilikinya 

hanya terdiri dari lima orang yang di antaranya


Sumping Tindik sendiri.

"Aku yakin, dengan cara demikian aku 

akan mampu mendapatkan keterangan siapa 

adanya orang pemilik Kitab Banyu Geni. Sebab 

bukan tidak mungkin, orang tersebut akan men-

cak-mencak bila geger aku memiliki kitab terse-

but. He, he, he.,.!" kembali Sumping Tindik berka-

ta sendiri, tertawa terkekeh sendiri membayang-

kan segala apa khayalannya bakal terlaksana.

Tengah Sumping Tindik berjalan sambil 

tersenyum-senyum, nampak dari arah Timur se-

seorang berjalan berlawanan dengan arah yang 

ditujunya. Wajah orang itu nampak menggambar-

kan tergesa-gesa, sehingga ia seakan tak hirau-

kan dengan Sumping Tindik manakala berlalu 

melewatinya. 

Jarak antara orang tersebut dengan Sump-

ing Tindik makin jauh, manakala orang setengah 

baya itu terhenti langkahnya seakan tercenung 

sendiri. Orang itu membalikkan tubuhnya, me-

mandang pada arah Timur di mana Sumping Tin-

dik berjalan terus melangkah. Namun Sumping 

Tindik telah menghilang di kelokan, menjadikan 

orang tersebut kerutkan kening.

"Hem, ke mana lelaki tua renta itu?" gu-

mamnya. "Aku lihat tadi di pundaknya ada se-

buah bungkusan. Apakah tidak mungkin bung-

kusan tersebut adalah Kitab Banyu Geni...? 

Orang itu datang dari wilayah Kulon, berarti dari 

arah Lembah Bangkai. Hem, aku harus menge-

jarnya, siapa tahu memang dia membawa kitab 

tersebut! Siapa tahu dia yang memang beruntung


mendapatkan kitab tersebut, lalu disembunyi-

kannya dahulu di sebuah tempat, dan kemudian 

baru diambilnya setelah keadaan sudah tenang... 

hem, ya! Aku akan mengejarnya!"

Merasa yakin bahwa dugaannya benar, se-

gera orang tersebut berlari mengejar ke arah di 

mana Sumping Tindik menuju. Dengan ilmu la-

rinya, orang tersebut berkelebat cepat hingga da-

lam sekejap saja ia telah mampu menyusul.

"Orang tua... tunggu...!" ia berteriak.

Sumping Tindik hentikan langkah, paling-

kan muka sesaat, lalu bagaikan tak acuh Sump-

ing Tindik kembali melangkah meninggalkan tem-

patnya. Hal itu menjadikan lelaki setengah baya 

yang mengejar mangkel. Dengan agak dongkol le-

laki tersebut kembali berlari mengejar. Hatinya 

keki melihat tingkah laku si kakek; seolah-olah 

kakek itu menyepelekannya. Maka dengan sekali 

kebat saja, tiba-tiba lelaki setengah baya itu telah 

menghadang langkah Sumping Tindik yang cen-

gar-cengir bagaikan orang linglung. 

"He, he, he...! Ada apa kau nguber-nguber 

aku? Apakah kau demen padaku?" Sumping Tin-

dik cekikikan, mengedipkan mata dengan genit-

nya. "Ganteng bukan mukaku?"

Lelaki setengah baya itu jengkel bukan 

alang kepalang, mendengar ucapan kakek terse-

but. Merah mukanya, matanya, sepertinya lelaki 

setengah baya itu telah membludak amarahnya 

yang sudah tidak terbendung lagi.

"Cih! Aku bukan mengejarmu karena tergi-

la-gila padamu, Sumping Tindik!" maki lelaki se


tengah baya. "Jangankan aku, kakek-kakek se-

pertimu juga tak akan mau dengan dirimu, orang 

norak!"

"He, he, he...!" Sumping Tindik tertawa. 

"Lalu apa yang menjadikan kau mengejar-ngejar 

diriku, Krenggil?" Sumping Tindik bagaikan tak 

marah dihina sedemikian rupa. Malah dengan 

masih cengegesan ia berkata. 

"Aku membutuhkan apa yang kau bawa."

"He, he, he...! Sudah aku duga," Sumping 

Tindik berkata dengan nada kebencong-

bencongannya, sembar dan merendahkan pada 

Krenggil. "Memang orang-orang akan mengejar-

ngejarku kalau mereka tahu bahwa aku telah 

mendapatkan apa yang mereka cari-cari selama 

ini."

"Jadi benar apa yang aku katakan."

"Kau berkata apa?" Sumping Tindik berka-

ta sinis, cibirkan bibirnya. "Enak saja kau yang 

ngomong!"

Krenggil sebenarnya sudah tak tahan meli-

hat tingkah laku bencong tua ini. Namun karena 

ada hal yang dimaksud, menjadikan Krenggil ha-

rus menahan amarahnya. Krenggil menghendaki 

kakek angin-anginan ini akan mau memberikan 

kitab Banyu Geni yang ada dalam bungkusannya 

dengan baik-baik. Bukankah itu akan memudah-

kannya? Tak perlu lagi Krenggil bersusah payah 

mencari, atau pun harus bertempur dengan ka-

kek bencong ini.

"Sumping Tindik, aku mohon kau mau 

memberikan kitab tersebut."


"Kitab apa...?" tanya Sumping Tindik, se-

pertinya ia tak mengerti saja maksud ucapan 

Krenggil

"Kau jangan pura-pura, Sumping!" bentak 

Krenggil marah. 

"Aku tidak berpura-pura. Kaulah yang 

mungkin berpura-pura saja."

Mengerut alis mata Krenggil mendengar 

ucapan Sumping Tindik. Hatinya panas, mele-

dak-ledak bagaikan letupan api yang tak dapat di-

tahan lagi. Napasnya mendengus besar, meng-

gambarkan bahwa Krenggil benar-benar sudah 

muak dengan tingkah laku si kakek bencong ini.

"Kau mau menyerahkan tidak, Sumping!" 

dengus Krenggil.

"Apa yang mesti aku serahkan, orang tolol!" 

balas Sumping Tindik tak kalah kerasnya, menja-

dikan dengungan di telinga Krenggil. "Kalau kau 

mau mengambilnya, mengapa mesti meminta-

minta padaku?!"

"Jadi kau tak mau menyerahkan kitab 

itu?!"

"Heh, sudah aku bilang, aku tak perduli 

denganmu!"

"Kurang ajar!" geretak Krenggil.

"Kau yang kurang ajar!"

"Setan!"

"Kau yang setan!"

Dua orang dari aliran sama itu saling adu 

mulut. Keduanya saling bentak saling maki den-

gan segala kemarahan. Sepertinya kedua orang 

tersebut tak ada yang mau mengalah. Dan pun


cak dari segalanya, keduanya saling tantang me-

nantang untuk meneruskan pada adu ilmu mere-

ka

"Aku lumatkan tubuh tuamu yang lapuk 

itu, Sumping!" 

Sumping Tindik sunggingkan senyum, sinis 

dan berkata dengan nada mengejek "Lakukan bila 

engkau mampu, Krenggil!"

"Bujang lapuk!"

Bukan alang kepalang kemarahan Sump-

ing Tindik mendengar ucapan Krenggil yang men-

gatakan dirinya bujang lapuk. Maka dengan mata 

melotot disertai dengan napas memburu liar, 

Sumping Tindik balik membentak: "Bangsat! Kau 

telah menghinaku. Kau harus mati! Kau harus 

mati, hu, hu...."

Dengan menangis Sumping Tindik berkele-

bat menyerang Krenggil. Segera Krenggil yang ti-

dak mau dirinya jadi korban cakaran kuku si ka-

kek lompatkan tubuh mengelak.

"Wuuuttt...!"

Sumping Tindik sabetkan tangannya den-

gan kuku-kuku panjang hitam ke arah Krenggil. 

Angin pukulannya menderu, menjadikan Krenggil 

tersentak kaget, buang mukanya dan kirim ten-

dangan ke arah perut Sumping Tindik yang men-

dalam karena Sumping Tindik doyongkan tubuh 

ke muka. Namun ternyata segala serangan yang 

dilancarkan Sumping Tindik hanyalah tipuan be-

laka. Dan manakala kaki Krenggil hendak sampai, 

segera Sumping Tindik ulurkan tangan ke bawah 

menangkap. Gerakan ini terkenal dengan jurus


Kera Gila Menyelamkan Buaya. Sebuah gerakan 

yang cepat dan dilandasi dengan tenaga yang be-

sar, mirip dengan tenaga orang gila.

Tersentak Krenggil melihat gerakan lawan. 

Maka dengan segera ia tarik kembali kakinya, dan 

ajukan jotosan ke arah muka musuh dengan ju-

rus Gada Laksa Dewa Brahma. Dari jotosan itu 

anginnya saja nampak begitu panas membara, 

apalagi bila bogem mentah itu menerpa muka, 

sungguh tidak dapat dibayangkan. Tetapi bukan-

lah Sumping Tindik kalau harus mengalah begitu 

saja pada musuh. Melihat musuhnya mengelua-

rkan jurus inti, Sumping Tindik tertawa gelak, la-

lu dengan cepat ia rubah gerakan tangan dan ka-

kinya. Gerakan tangan dan kakinya sungguh 

aneh, tak lajimnya digunakan oleh orang persila-

tan. Setiap tangan Krenggil maju yang kanan, 

maka Sumping Tindik ajukan kaki sebelah kiri 

dengan tangan kanan menyiku, lalu siku itu 

menghantam dekat ke arah muka lawan. Itulah 

jurus Belah Gelombang, sebuah jurus yang mam-

pu menjadikan musuh harus menarik diri dari ja-

raknya. Kalau tidak, maka mukanya akan remuk 

tersiku

"Uut...!" Krenggil memekik, lemparkan ke-

palanya ke samping, hindari sikutan tersebut. 

"Rupanya kau makin hebat saja, Sumping?"

"He, he, he...! Dari dulu kau tahu bahwa 

aku memang hebat, bukan?" ucap Sumping Tin-

dik sombong. "Kalau aku tidak hebat, manalah 

mungkin aku mendapat sebutan pendekar? Dan 

mana mungkin aku mampu merajai dunia persi


latan? He, he, he..."

"Kau boleh berbangga dengan apa yang te-

lah engkau dapatkan dulu, namun kini kau harus 

tunduk padaku."

"Et! Tidak bisa, sobat." Mendengus Krenggil 

mendengar ucapan si kakek. Ia memang tahu 

bahwa ilmu kakek ini sungguh tinggi. Namun ia 

tak ingin segalanya gagal. Ia harus mampu mere-

but apa yang ada di punggung si kakek, yang ten-

tunya adalah barang yang ia cari.

"Sumping, bagaimana jika kita damai sa-

ja?"

"Maksudmu...?" tanya Sumping Tindik de-

mi mendengar ucapan Krenggil yang baginya 

aneh. Jelas aneh, sebab keduanya memang dari 

dulu walau sealiran selalu saja ada perselisihan. 

Dan kalau memang keduanya bersahabat, jelas 

itu tidak mungkin mereka lakukan. Keduanya ba-

gaikan anjing dan kucing, walau tidak pernah sal-

ing menjatuhkan, tetapi cara mereka bersaing be-

nar-benar merupakan permusuhan secara tidak 

langsung.

Krenggil yang yakin kalau dalam bungku-

san itu tak lain hanyalah kitab Banyu Geni terse-

nyum, mencoba ramah. Ia berharap si kakek mau 

luluh juga hatinya. Walau pun mereka selalu ber-

saing untuk mendapatkan nama di dunia persila-

tan, tetapi mereka bukankah masih satu golon-

gan? Siapa tahu persaingan keduanya dapat ter-

selesaikan dengan adanya kitab tersebut. Tapi di 

hati Krenggil sungguh lain. Bukan harapan itu 

yang ada, melainkan sebuah kelicikan.


"Hem, kalau aku mampu mengelabuhinya, 

urusan dirinya bukanlah masalah. Apakah tidak 

mudah melenyapkannya?" kata hati Krenggil.

"Heh, mengapa engkau terdiam? Kalau 

engkau sudah kapok, segeralah minggat dari ha-

dapanku!" bentak Sumping Tindik tak sabar me-

lihat Krenggil masih terdiam.

"Tunggu! Bagaimana kalau kitab tersebut 

kita pelajari berdua? Bukankah dengan kita ber-

dua menjadi satu maka aliran kita akan menjadi 

kokoh?" Krenggil mencoba merayu, dengan hara-

pan hati Sumping Tindik mau menerimanya. Dan 

memang Sumping Tindik nampak terdiam, seper-

tinya tengah menimbang apa yang menjadi saran 

Krenggil.

"Dasar licik! Disangkanya aku tidak tahu 

maksud busuknya!" umpat hati Sumping Tindik. 

"Jangan kira aku akan menerima akal busukmu 

walau kitab itu sebenarnya tidak berada di tan-

ganku!"

"Tidak...!"

"Sumping... Kau menolaknya!?"

"Ya!" jawab Sumping Tindik tenang.

"Kau menginginkan mati, Sumping!" 

Sumping Tindik tersenyum mendengar 

ucapan Krenggil. Dirasakannya ucapan Krenggil 

tak ubahnya hanya ucapan orang gendeng yang 

tengah menghayal. "Mati...? Heh, kau bilang aku 

mencari kematian. Itu memang, Krenggil! Nah, 

kalau kau memang mampu membuatku mati, 

maka aku akan menyerahkan kitab yang aku ba-

wa ini untukmu!"


"Edan! Kau benar-benar edan, Sumping!"

"Kau yang edan! Kau yang berteriak-teriak 

kaya orang edan!"

"Bangsat! Dasar, bujang lapuk!"

"Bedebah! Kau telah menghinaku dua kali, 

maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak 

kelewatan padamu. Hiat...!"

Tak dapat lagi kemarahan Sumping Tindik 

dicegah demi mendengar sindiran yang baginya 

terasa menghantam dahsyat dilontarkan oleh 

Krenggil untuk kedua kalinya. Kakek bencong itu 

kini bagaikan banteng ketaton berkelebat menye-

rang membabi buta. Dan sungguh dahsyat han-

tamannya. Karena hantamannya, seketika pe-

pohonan yang ada di situ tumbang. Bebatuan 

yang menjadi pagar bergemuruh runtuh ke ba-

wah.

Terbelalak mata Krenggil menyaksikan hal 

itu. Hatinya kini diliputi rasa takut. Tak ia sangka 

kalau ilmu kakek tua bencong ini makin bertam-

bah saja. Namun untuk menghindar, jelas ia tidak 

akan mampu. Maka hanya melompat ke sana 

kemari saja yang dapat ia lakukan mengelakkan 

serangan si kakek.

"Aku bunuh kau, Krenggil! Aku bunuh! Hu, 

hu, hu...!"

Dengan menangis Sumping Tindik terus 

lancarkan serangan ganasnya mencerca Krenggil. 

Tak ada kesempatan bagi Krenggil untuk menge-

lakkannya dan pergi. Krenggil hanya mampu 

mengelakkan di tempat tersebut, sebuah tempat 

yang sangat tidak membuatnya leluasa bergerak.


"Edan! Kalau begini aku tak akan selamat!" 

Krenggil menggerutu dalam hatinya yang ciut.

"Wuuut...!"

Segelombang angin berkelebat mengarah 

ke arahnya, menjadikan Krenggil tersentak. Den-

gan gugup Krenggil yang sudah dalam keadaan 

terdesak balik menyerang dengan pukulannya.

"Wuuut...!"

"Bledar...!" Ledakan seketika terdengar, 

manakala dua kekuatan tersebut bertemu. Akibat 

dari beradunya dua kekuatan tersebut, tak ayal 

kedua orang yang melontarkannya pun terdorong 

ke belakang. Krenggil terhempas jatuh ke tanah 

dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya, se-

mentara si kakek tubuhnya tergontai-gontai. Na-

mun si kakek masih mampu berdiri, memandang 

dengan senyum mengulas di bibirnya.

Krenggil yang sudah merasa tak bakalan 

ungkulan, serta merta dengan masih memegangi 

badannya yang sesak tinggalkan tempat tersebut 

sebelum si kakek melihatnya. Dan tinggallah si 

kakek terlonglong bengong melihat musuhnya te-

lah tak ada di tempat tersebut. Merasa yakin 

bahwa musuhnya tentunya melarikan diri, segera 

si kakek pun berkelebat menyusul.


TIGA



Kitab Banyu Geni yang telah hilang dari 

tempat asalnya yaitu Lembah Bangkai, kini be-

nar-benar menjadi ajang rebutan yang membawa


petaka bagi dunia persilatan. Semua tokoh-tokoh 

persilatan kini mengalihkan perhatiannya pada 

Sumping Tindik yang menurut kabar telah memi-

liki kitab tersebut.

Sungguh-sungguh kitab pembawa benca-

na, sebab belum tentu mereka mendapatkan ki-

tab tersebut, tetapi mereka telah rela membuang 

nyawa sia-sia.

Dari kejauhan nampak sebuah kereta 

agung yang ditarik oleh empat ekor kuda melaju 

dengan cepatnya menyusuri jalanan berbatu. Ke-

reta itu datangnya dari arah Timur, melaju menu-

ju ke arah Barat. Setelah mendapatkan tikungan 

pertama, kereta itu rubah haluan, melaju menuju 

ke arah Utara. Penunggang kereta tersebut nam-

pak dua orang, ditambah dengan kusir dan dua 

pengawal.

Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan 

oleh mereka, jelas mereka adalah orang-orang 

tingkat ksatria atau dengan kata lain orang-orang 

dalem istana. Dan memang mereka terdiri dari 

orang kalangan istana yang ditugaskan untuk 

mencari kitab yang telah meresahkan dunia persi-

latan. Salah seorang penunggangnya tak lain 

pangeran Salendra Wangsa, yang didampingi oleh 

adiknya pangeran Sangkar Samudra. Dua orang 

pangeran muda tersebut sengaja hendak mencari 

Kitab Banyu Geni dikarenakan keduanya diutus 

oleh guru-guru mereka untuk mencari kitab ter-

sebut.

Disamping keduanya langsung mencari, 

juga telah disebar pengumuman mengenai penca


rian kitab tersebut. Isi pengumuman tersebut 

adalah:

"Barang siapa yang dapat menyerahkan ki-

tab tersebut pada kerajaan, maka orang tersebut 

akan diangkat menjadi prajurit atau panglima 

prajurit di Kerajaan."

"Paman Klower, apa tak dapat kuda diper-

cepat larinya?" yang berkata pangeran Salendra 

Wangsa. "Usahakanlah kuda-kuda ini dipercepat, 

sebab hari sebentar lagi akan beranjak menjadi 

malam. Bisa-bisa kita perangkap di tengah jalan."

"Daulat, Pangeran," jawab Klower, lalu 

dengan segera digebahnya lari sang kuda. "Hia, 

hia, hia...!"

Kuda-kuda tersebutpun bagaikan kegira-

san berlari dengan cepatnya, menerobos hutan 

untuk mencari jalan yang pintas. Namun mana-

kala mereka benar-benar berada di tengah hutan, 

tiba-tiba kuda-kuda penarik kereta meringkik ke-

ras, hentikan larinya. Hal itu menjadikan kedua 

pangeran tersebut tersentak kaget, bertanya pada 

kusirnya.

"Ada apa, Klower?" yang bertanya pangeran 

Sangkar Samudra seraya longokkan kepala ke-

luar. "Mengapa kuda-kuda itu?"

"Entahlah, Pangeran."

"Suyud, kau keluarlah. Mengapa kuda-

kuda itu?" Salendra Wangsa memerintah, yang 

dengan segera dilaksanakan oleh prajuritnya yang 

bernama Suyud. Suyud segera keluar, melangkah 

ke depan sambil mencari-cari gerangan apa hing-

ga kuda-kuda tersebut berhenti.


"Ada apa, Suyud?" tanya Sangkar Samu-

dra.

Suyud nampak masih berusaha mencari 

apa penyebab hingga kuda-kuda penarik kereta 

menghentikan larinya? Suyud makin masuk ke 

dalam, melangkah dengan hati-hati. Suyud terus 

melangkah dengan golok siap tergenggam di tan-

gan, masuk merambah semak belukar dalam hu-

tan.

Semua yang ada di kereta tegang, seakan 

langkah-langkah Suyud adalah langkah-langkah 

yang memastikan mereka. Sementara gelap mulai 

agak merambah, menjadikan bayang-bayang hi-

tam bagi mereka. 

"Aaah...!"

"Suyud...!" Pangeran Saledra Wangsa me-

mekik, manakala terdengar pekikan Suyud dari 

dalam hutan. Dengan sigap sang pangeran ber-

sama adiknya dan seorang pengawalnya melom-

pat menuju ke tempat di mana Suyud memekik. 

Lari mereka begitu cepat, sehingga ketiganya ba-

gaikan terbang melesat.

"Suyud...!" 

Mata ketiganya mendelik, manakala meli-

hat apa yang ada di hadapan mereka. Tubuh 

Suyud, tergeletak bermandikan darah di tanah 

dengan nyawa telah melayang. Kedua pangeran 

itu seketika nampak liar, menyapu gelapnya ma-

lam dalam hutan itu. Mata keduanya begitu bera-

pi, seakan hendak membakar apa saja yang ada 

di situ.

"Kalian yang ada di sini, keluarlah! Hadapi


aku, Sangkar Segara!" Sangkar Segara menggere-

tak marah, sehingga tanpa ada rasa takut ia ber-

teriak. "Anjing, Monyet, Iblis, Dedemit! Kalau ka-

lian memang manusia atau apapun, tunjukkan 

muka-muka kalian! Cepat...!"

Tak ada jawaban, dan hanya desah angin

malam yang menerpa mereka.

"Kita rambah hutan ini, Kakang."

"Baiklah," Salendra Wangsa menyetujui. 

Namun segera ia teringat pada kusirnya yang me-

reka tinggalkan. "Tunggu dinda, apakah mang 

Klower kita tinggal?"

"Ah, benar!" Sangkar Samudra mendesah, 

manakala ingat bahwa di antara mereka ternyata 

masih ada orang lain. "Ayo, Kakang. Kita jangan 

sampai kedahuluan oleh orang lain."

Dengan segera ketiga orang tersebut kem-

bali menuju ke tempat di mana kereta berada. 

Dan betapa mereka kembali terbengong-bengong 

dengan mata melotot kaget disertai amarah yang 

meluap-luap. Apa yang mereka saksikan, sung-

guh-sungguh membuat darah kedua pangeran 

dan seorang prajuritnya mendidih. Mereka me-

nyaksikan tubuh mang Klower sudah tak bernya-

wa lagi, mati dengan mata mendelik. Ada tali 

mengikat lehernya.

"Bangsat rendah! Rupanya mereka hendak 

main-main dengan kita, Kakang?!"

"Memang benar! Mereka sengaja memecah 

kita. Maka itu, kalian berdua jangan jauh-jauh 

dariku."

Ketiga orang dari istana itu melangkah per


lahan, meninggalkan kembali kereta yang masih 

terdiam dengan sesosok mayat teman mereka.

"Kresek...!"

Terdengar suara daun kering diinjak, men-

jadikan mata ketiganya membelalak dan meman-

dang ke arah suara gemereseknya daun kering 

tersebut.

"Hati-hati, musuh telah dekat," Pangeran 

Salendra Wangsa berbisik memperingatkan adik 

dan prajuritnya.

Mereka terus melangkah dengan hati-hati, 

makin merambah ke tengah hutan yang makin 

gelap. Makin lama-makin ke dalam saja mereka 

melangkah. Namun sejauh itu, belum ada tanda-

tanda bahwa mereka akan menemukan jejak-jejak 

orang yang telah membunuh prajurit dan tukang 

kusirnya.

"Hem, kemana mereka? Apakah mereka 

bukan manusia?" tanya Sangkar Segara yang su-

dah tak sabar nampak menggeretak. Tangannya 

telah siap dengan pedang terhunus. Dengan seka-

li kebat saja Sangkar Segara telah mendahului 

kakak dan prajuritnya memburu ke depan. Dan 

bagaikan orang gila saja, Sangkar Segara te-

baskan pedangnya membabat segala apa saja 

yang ada. Mulutnya tiada henti memaki dan men-

gumpat-umpat. "Bangsat! Keluar kalian jika ka-

lian memang laki-laki! Keluar! Hadapi aku Sang-

kar Segara!"

Sangkar Segara terus mengumbar amarah-

nya, babatkan pedang dengan liar dan jalang. Tak 

dipikirkan olehnya segala apa yang bakal ia tang


gung. Kemarahannya benar-benar tak terkendali, 

membara bagaikan nyala api yang siap membakar 

segalanya. Salendra Wangsa dan seorang praju-

ritnya tak dapat berkata apa-apa. Keduanya 

hanya mengikuti langkah adiknya menuju makin 

ke dalam hutan yang makin menyeramkan. Se-

mentara Sangkar Samudra masih terus berteriak-

teriak dengan segala amarahnya. Pedang di tan-

gannya masih berkelebat membabat segala apa 

saja.

* * *

Makin ketiganya masuk ke dalam, seketika 

terdengar kembali suara lolongan anjing hutan 

yang panjang. Mungkin kalau manusia biasa 

akan mengira bahwa lolongan itu benar-benar lo-

longan anjing hutan. Tapi bagi mereka, jelas bah-

wa lolongan tersebut tak lain sebuah isyarat dari 

seseorang. Demi mendengar hal tersebut, segera 

ketiganya bersiap dengan senjata mereka. Salen-

dra Wangsa cabut keris pusakanya, sementara 

seorang prajuritnya cabut golok.

"Aauuuuuunngggg...!" kembali terdengar 

lolongan.

"Hati-hati, adik. Ini sebuah isyarat."

Dan benar juga apa yang dikatakan oleh 

Salendra Wangsa adanya. Belum saja mereka ber-

tindak lebih jauh, tiba-tiba berkelebat beberapa 

sosok tubuh hitam-hitam menghadang mereka 

dengan pedang putih mengkilap siap menyerang. 

Ketiga orang tersebut tersentak, mundur tiga tin


dak.

"Ninja...!" pekik Suroso, prajurit.

"Heh, rupanya orang-orang Nippon telah 

menjarah tanah Jawa," Sangkar Segara turut

menggumam. "Apa yang kalian cari di negeri ka-

mi, hah!"

Tak ada jawaban dari mereka. Hanya mata 

mereka yang nampak saja yang memandang den-

gan tajam tanpa kedip. Napas mereka mende-

ngus. Lalu dengan cepat mereka berkelebat me-

nyerang ke arah ketiganya.

"Hiat...!"

"Edan! Mereka tak mengenal kompromi ru-

panya," dengus Sangkar Segara. "Awas, Ka-

kang...!"

Salendra Wangsa dengan sigap elakkan 

babatan samurai di tangan mereka, lalu dengan 

sebat dia pun balik menyerang dengan menusuk 

ke arah lawan. Pertarungan tiga dikeroyok oleh 

puluhan orang itu pun tak dapat dihindarkan. 

Mereka bergerak dalam gelapnya malam. Dan 

hanya sinar-sinar pedang mereka yang nampak 

berkelebat-kelebat saling serang, tusuk, dan elak.

"Hiat...!" Sangkar Segara yang sudah ma-

rah terus mengamuk, babatkan pedangnya. 

Sungguh dahsyat babatan pedang murid Resi 

Rama Kreta ini. Setiap babatannya, tak ayal lagi 

membawa pekikan kematian bagi musuh.

Namun musuh-musuhnya bukanlah orang-

orang sembarangan. Mereka tak lain murid-murid 

dari perguruan Samurai Merah yang sudah terla-

tih dengan segala keberaniannya dan siap untuk


menghadapi segala kemungkinan. Dua orang mati 

di tangan Sangkar Segara, tidak menjadikan yang 

lainnya surut, bahkan dengan beringas lainnya 

merangsek.

"Wuuut...!"

Sebuah samurai berkelebat membabat ke 

arah Sangkar Segara, yang dengan segera elakkan 

serangan, melompat ke belakang. Namun ternyata 

para ninja itu tak mau membiarkan lawannya da-

pat leluasa bergerak. Segera mereka kembali me-

rangsek. Samurai di tangan mereka terus mem-

babat, menjadikan Sangkar Segara harus meng-

gunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk 

mengimbangi gerakkan mereka yang gesit dan ce-

pat tersebut.

"Wuut! Wuut! Wuuuutt...!" 

"Sret...!"

Tersentak Sangkar Segara dengan mata 

membeliak bercampur marah. Bagaimana tidak, 

kini pipinya tergores oleh senjata para ninja. 

Goresan tersebut menjadikan darah meleleh 

membasahi pipinya sebelah kiri. Sangkar Segara 

menggeram laksana harimau kelaparan, dan den-

gan cepat babatkan pedangnya.

"Kalian harus minggat dari sini! Hiat...!"

"Wuut...!"

Gerakan pedang Sangkar Segara begitu ce-

pat, makin lama iramanya makin cepat. Tubuh 

Sangkar Segara tiba-tiba menghilang, lenyap di-

gulung oleh sinar pedangnya yang bergulung-

gulung bagaikan gangsing. 

Terbelalak para ninja yang mengeroyoknya,


manakala melihat musuhnya mampu melakukan 

sebuah gerakan yang sukar untuk ditentukan ke-

beradaannya. Sinar gulungan pedang Sangkar 

Segara terus bergerak menyerang mereka, yang 

hanya mampu menyurut mundur, tidak dapat la-

gi dengan seenaknya balas menyerang.

"Aaaaaaahhh...!"

Tiga kali berturut-turut terdengar lolongan 

panjang, manakala pedang di tangan Sangkar Se-

gara membabat cepat. Tiga sosok tertutup kain 

hitam roboh bermandikan darah, ambruk, sesaat 

mengejang hingga akhirnya tergeletak dengan 

nyawa putus. Namun seperti semula, para ninja 

itu tak hiraukan kematian teman-teman mereka. 

Para ninja yang masih hidup kembali merangsek, 

malah mereka nampak makin beringas saja me-

nyerang.

Di pihak lain, nampak Salendra Wangsa 

dengan kerisnya terus menyerang. Begitu juga 

dengan prajuritnya yang bersenjatakan golok. Ke-

duanya nampak tak lagi memberikan kesempatan 

pada para ninja untuk mengatur posisi mereka. 

Keduanya terus memberikan tekanan-tekanan 

yang sangat sukar untuk dilepaskan oleh para 

ninja. Keris di tangan Wangsa terus mencerca, 

menusuk-nusuk ke arah dada lawan, menjadikan 

lawan harus hati-hati sekali menghadapi keris 

pusaka tersebut. Sambaran keris pusakanya saja 

mampu mengundang hawa panas yang teramat 

sangat. Mata para Ninja membeliak tak percaya, 

sebab baru kali ini mereka melihat senjata aneh. 

Sebuah senjata pendek yang mampu menggetar


kan hati mereka.

Pertarungan tiga melawan puluhan Ninja 

itu terus berlangsung. Korban di pihak para Ninja 

terus berjatuhan. Namun demikian, para Ninja 

merah sepertinya tak mengenal rasa takut. Sekali 

teman mereka tergeletak mati, maka yang lainnya 

kembali merangsek.

"Sungguh kalian mencari mati, berani ber-

keliaran di tanah Jawa ini!" bentak Salendra 

Wangsa, yang terus merangsek dengan kerisnya. 

Tubuh Salendra Wangsa kini berkelebat dengan 

cepat, terbang dengan keris menusuk-nusuk dari 

atas menghunjam ke kepala para Ninja.

Para Ninja tersebut tersentak kaget, tak ki-

ra kalau musuhnya mampu melakukan gerakan 

seperti yang mereka kadang lakukan. Dan mana-

kala mereka dalam kekagetan, tiba-tiba Salendra 

Wangsa telah menukik turun. Tangannya terjurus 

lurus ke bawah, siap hujamkan keris pusaka.

"Hiat...!"

"Cros! Cros! Cros...!"

Keris di tangan Salendra Wangsa bergerak 

bagaikan mempunyai mata. Keris itu bergerak ce-

pat, menusuk-nusuk kepala lawan, menjadikan 

pekikan-pekikan kematian. Sebanyak lima orang 

Ninja seketika meregang nyawa, memekik sesaat, 

lalu akhirnya terkulai lemas dengan nyawa me-

layang. Namun keberhasilan kedua pangeran ter-

sebut, tidak diikuti oleh prajuritnya. Dalam seke-

jap, tubuh prajurit itu tercincang habis oleh teba-

san-tebasan samurai di tangan para Ninja.

"Aaaaaaaaaaa.....!"


Tak ayal lagi, dalam sekejap saja tubuh 

prajurit tersebut borat-baret dengan luka-luka 

yang menganga mengeluarkan darah segar. Se-

saat tubuh prajurit itu meregang, lalu ambruk 

dengan tubuh hancur dan mata melotot, mati.

Tak alang kepalang lagi betapa gusar dan 

marahnya kedua pangeran itu melihat sisa pen-

gawalnya telah kembali menemui kematian. Mata 

keduanya menyorot memendam hawa bengis pe-

nuh kematian.

"Bangsat-bangsat Nippon! Kalian harus 

enyah dari bumi ini, hiat...!" Sangkar Segara 

menggeretak marah. Kini dirinya nampak makin 

beringas dan penuh nafsu untuk menyarangkan 

pedangnya ke tubuh musuh-musuhnya. Dan 

memang benar, setiap kali kelebatan pedangnya, 

menyusul pekikan kematian para Ninja yang ter-

babat dengan puntung kepala mereka. Kini giliran 

para Ninja lainnya yang membeliak kaget. Sung-

guh di luar dugaan mereka, kalau pangeran dari 

tanah Jawa ini mampu berbuat yang di luar du-

gaan mereka.

"Hati-hati, Adikku...!" Salendra Wangsa 

memperingatkan. Dirinya juga kini bagaikan se-

ekor burung Rajawali yang ganas, siap mematuk 

kepala musuh dengan keris pusaka di tangannya. 

Sungguh-sungguh gerakan kedua pangeran Jawa 

itu buas, liar dan penuh mengarah pada kema-

tian. Dan rupanya memang begitu akibatnya. Da-

lam beberapa gebrakan saja, para Ninja itu di-

biarkan tidak berdaya sama sekali. Mereka hanya 

mampu bertahan, lalu akhirnya menjerit dan ro


boh dengan tubuh terbeset atau kepala bolong 

tertusuk-tusuk oleh keris Salendra Wangsa.

Melihat teman-temannya binasa, tiba-tiba 

salah seorang Ninja kembali mengaung: "Aaaau-

ung...!"

Bersamaan dengan aungan tersebut, ninja-

ninja yang lainnya tiba-tiba menghilang menero-

bos ke bumi. Semua Ninja yang masih hidup be-

nar-benar menghilang, masuk ke dalam bumi se-

telah terlebih dahulu meledakkan sebuah benda 

kecil ke arah kedua pangeran Jawa.

Terbelalak mata Salendra Wangsa dan 

Sangkar Segara melihat hal tersebut. Belum per-

nah keduanya melihat sebuah kejadian aneh, 

layaknya seperti yang sekarang mereka hadapi. 

Mata kedua pangeran Jawa itu membeliak, berpu-

tar memandang ke arah di mana para Ninja ter-

sebut menghilang. Keduanya nampak waspada, 

takut kalau-kalau para Ninja itu muncul kembali. 

Dan rupanya dugaan keduanya benar. Ninja-ninja 

tersebut kembali muncul, bertambah banyak sa-

ja.

"Edan! Rupanya mereka mengundang te-

man-teman mereka!" menggeretak Sangkar Sa-

mudra. Melompat ke belakang, manakala kakinya 

tiba-tiba hendak dibetot ke bawah. "Kurang ajar, 

hiat...!"

Pertarungan para Ninja dan kedua pange-

ran Jawa itu kembali terjadi. Para Ninja itu kini 

makin bertambah banyak, berterbangan dari atas 

pohon, serta nongol dari bawah tanah. Kini kedua 

pangeran itu benar-benar harus menguras tenaga


mereka untuk menghadapi para Ninja yang makin 

bertambah banyak. Kini kedua pangeran Jawa 

tersebut tidak lagi harus memandang para Ninja. 

Keduanya benar-benar harus menutup mata un-

tuk mampu menghalau serangan. Dalam hati me-

reka hanya ada dua pilihan, membunuh atau di-

bunuh oleh para Ninja dari negeri Nippon yang 

terkenal berangasan dan kejam.

"Pangeran Jawa, lebih baik kalian menye-

rahlah!" terdengar seruan seseorang, manakala 

kedua pangeran itu tengah terus berkelebat me-

nyerang.

"Bangsat! Keluar dirimu! Jangan bisanya 

hanya ngomong di belakang!" balik membentak 

Salendra Wangsa. "Kalau kau ingin kami menye-

rah, maka langkahi dulu mayat kami! Keluarlah 

kau, kalau kau benar-benar seorang lelaki!"

"Kunyuk! Kau kira aku apa, hah!" Sangkar 

Segara tak kalah marahnya. Sambil tebaskan pe-

dang yang membawa kematian bagi musuhnya ia 

terus menggeretak marah. "Kalau kau memang 

ketuanya Ninja-ninja dungu ini, keluarlah! Hada-

pi kami, Monyet!" 

"Hua, ha, ha...! Tak perlu aku keluar. 

Tunggulah, pasti kalian berdua akan menda-

patkan hal yang sekiranya kalian belum pernah 

merasakannya."

"Bangsat! Akan aku leburkan semua anak 

buahmu ini, hiat!"

Sangkar Segara benar-benar sudah tak da-

pat menahan amarah. Tubuhnya berkelebat den-

gan cepat. Pedang di tangannya, laksana Dewa


kematian yang setiap kebasannya menjadikan pa-

ra musuh harus mengerang sesaat dan akhirnya 

tergeletak tanpa nyawa.

Sangkar Segara benar-benar tak mengenal 

kompromi, terus mencerca seakan tak memberi-

kan peluang sedikit pun bagi para Ninja. Kebatan 

pedangnya mampu menjadikan mata para Ninja 

membeliak, menahan napas. Hampir semua Nin-

ja-ninja itu terpupus di tangan kedua pangeran 

Jawa yang makin beringas dan lapar oleh korban, 

manakala sebuah bayangan merah berkelebat, 

menghadang keduanya.

"Siapa kau!" bentak kedua pangeran Jawa 

itu bareng.

"Hua, ha, ha...! Aku Ninja Merah dari nege-

ri Nippon. Aku sengaja datang kemari semata-

mata ingin menyerukan pada orang-orang tanah 

Jawa untuk menyerah, lalu menjadi pengikutku!"

"Bangsat! Jangan kira kau akan mampu, 

Monyet!" Sangkar Segara menggeretak, lalu den-

gan cepat berkelebat menyerang ke arah si Ninja

Merah yang dengan sigap bagaikan tak berarti se-

rangan Sangkar Segara mengelakkannya.

Melihat musuhnya mampu mengelak, 

Sangkar Segara yang sudah dibakar amarah terus 

berusaha merangsek. Sementara Salendra Wang-

sa terus mencerca para Ninja yang terbengong di-

am, menjadikan mereka harus menerima segala 

resiko. Tanpa ampun lagi, dalam sekejap saja tu-

buh-tubuh mereka terbabat cepat oleh keris di 

tangan Salendra Wangsa. Betapa gusarnya Ninja 

yang lain menyaksikan hal tersebut. Bagaikan


banteng ketaton mereka kembali merangsek, 

mengeroyok Salendra Wangsa dengan tebasan-

tebasan Samurai bergantian.

"Wuuut...!"

"Ihh...!" Salendra Wangsa memekik terta-

han. Hampir saja dirinya menjadi mangsa empuk 

samurai di tangan mereka yang tajam, kalau saja 

ia tidak segera berkelebat mengelakkannya. Sam-

bil menggeretak marah, Salendra Wangsa kembali 

menyerang mereka gencar. "Kalian harus mam-

pus, hiat...!"

Mungkin karena dirasuki oleh amarah yang 

meluap-luap, menjadikan Salendran Wangsa 

nampak merah matanya. Tangannya bergerak ce-

pat, babatkan dan tusukan keris dengan cepat. 

Keris di tangannya nampak menyala merah, se-

pertinya membersitkan api yang membara.

Pertarungan terus berlanjut, mereka nam-

paknya tak akan mau ada yang mengalah. Satu 

tujuan mereka, hidup untuk menang atau mati 

kalah. Kelebatan-kelebatan mereka, menjadikan 

sebuah bayang-bayang warna pakaian mereka 

memecah malam. Jurus demi jurus terus terlalui, 

seakan mereka tak akan ada yang mau mengalah 

atau menang.

Enam puluh jurus sudah terlampaui, na-

mun nampaknya mereka tak merasakan capai 

atau penat. Rupanya dalam pertarungan itu 

hanya keberuntungan yang mampu berbicara. 

Maka sudah dapat dipastikan. Barang siapa yang 

nasibnya baik, tentunya akan menang. Dan ba-

rang siapa yang nasibnya buruk, dialah yang


akan mengalami kehancuran.

Tatkala kedua pangeran itu terdesak hebat 

oleh serangan-serangan para Ninja pimpinan Nin-

ja Merah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat 

hantamkan pukulan ke arah para ninja tersebut.

"Wuuuttt...!" 

"Duar!"

Sebuah ledakan seketika menggema, ma-

nakala pukulan yang dilontarkan dari jarak jauh 

itu menghantamkan tubuh Ninja Merah. Tak ayal 

lagi, Ninja Merah seketika terpental ke belakang, 

melayang sesaat dan akhirnya jatuh terkulai di 

atas tanah. Dari cadar yang dipakainya, nampak 

meleleh darah segar.

Tidak hanya Ninja Merah yang menjadi sa-

saran hantaman orang yang baru datang, tetapi 

juga, semua yang ada di tempat tersebut. Tanpa 

ayal lagi, anak buah Ninja Merah pun terhantam, 

berhamburan laksana tertiup badai. Tubuh mere-

ka mencelat, lalu menjerit sesaat dan akhirnya

mati. Sementara Ninja Merah yang merasa tak 

bakalan ungkulan melawan orang tersebut, tiba-

tiba lenyap menghilang dengan didahului oleh se-

buah ledakan.

Tinggallah kini kedua pangeran kakak be-

radik yang masih terbengong-bengong sendiri. 

Keduanya tak tahu siapa yang telah berbuat me-

nyelamatkan diri mereka dari keroyokan Ninja-

ninja tersebut. Keduanya berusaha mencari, na-

mun orang yang dicari tak ada di situ atau di se-

keliling tempat tersebut. Bayangan merah saja 

yang berkelebat bagaikan terbang, meninggalkan


hutan tersebut.

"Siapakah orang berpakaian merah itu, 

Kakang?"

"Entahlah. Yang pasti ia telah menolong ki-

ta," jawab Salendra Wangsa. "Mari kita teruskan 

perjalanan."

Kedua kakak beradik pangeran tersebut 

dengan hati bertanya-tanya siapa adanya bayan-

gan berpakaian merah terus melangkah kembali 

untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dan ma-

lam pun kian larut, menyelimuti bumi yang nam-

pak sunyi-senyap. Malam itu sebagai saksi, bah-

wa di hutan tersebut adalah awal dari segala yang 

kelak bakal terjadi. Siapakah bayangan berpa-

kaian merah yang telah menolong kedua pange-

ran Jawa itu? Para pembaca dapat mengetahui 

dalam episode "Dendam Ninja Merah dari Nip-

pon."


EMPAT



Sementara di dunia persilatan semua tokoh 

dan para pendekar disibukan dengan mencari Ki-

tab Banyu Geni, yang telah hilang dari tempatnya 

dan entah kemana mereka tak tahu hingga mere-

ka selalu saling tuduh, sampai-sampai dari negeri 

Nippon pun tak mau ketinggalan mendatangkan 

pasukan ninjanya dengan tujuan yang sama yaitu 

mencari kitab tersebut. Di balik segala bencana 

yang di timbulkan oleh Kitab Banyu Geni, Jaka 

Ndableg sebagai pewarisnya saat itu belum mengetahui apa yang kini melanda dunia persilatan. 

Dan karena kitab tersebut mendatangkan benca-

na, sehingga orang-orang persilatan menamakan-

nya Kitab Pembawa Bencana.

Pagi itu nampak Jaka Ndableg tengah te-

kun membaca kitab yang saat ini menjadi rebut 

an para pendekar. Kitab tersebut tidak lain Kitab 

Banyu Geni. Saking tekunnya Jaka mempelajari 

kitab tersebut, sampai-sampai kedatangan seseo-

rang ke arahnya tidak diketahui.

Lelaki tua renta berjanggut putih dengan 

pakaian ala resi berdiri di belakang Jaka yang 

duduk bersila dengan mata tak henti memandang 

tulisan dan gambar-gambar yang ada dalam buku 

tersebut. Buku yang terbuat dari lembaran-

lembaran kulit hewan, ditata sedemikian rupa.

Lelaki tua itu tampak tak bermaksud 

mengganggu ketenangan Jaka mempelajari kitab 

tersebut. Ia hanya memandang dengan mata 

mengerut, lalu kembali tersenyum. Jaka sendiri 

tak mendengar kedatangannya. Mungkin karena 

terlalu asyik dengan kitab yang dipelajarinya, 

atau karena segala konsentrasinya berada pada 

kitab tersebut. Dan memang konsentrasi Jaka 

ada pada kitab tersebut, sehingga tanpa sadar 

Jaka menggerakkan tangannya sesuai dengan tu-

lisan dan gambar-gambar yang berada di kitab.

"Wuuus...!"

"Wut, wut, wut...!"

Tangan Jaka bergerak cepat, hingga men-

jadikan lelaki tua yang ada berdiri di belakangnya 

tersentak melotot sambil melompat mundur. Ma


tanya tak berkedip ke arah Jaka yang tangannya 

masih bergerak cepat, dan makin lama makin ce-

pat.

"Wut, wut, wut!"

"Inti Geni, hiat...!"

Tersentak lelaki tua renta yang menyaksi-

kannya, manakala melihat apa yang terjadi tatka-

la Jaka mengucapkan nama jurus tersebut. Dari 

tangan Jaka nampak keluar jilatan-jilatan api 

yang makin lama-makin banyak, bergulung-

gulung. Api tersebut bagaikan menyalak, seperti 

hendak mencari sasaran. Dengan segera Jaka 

hentakan api yang menyala di tangannya ke arah 

pepohonan yang dekat dengan tempatnya berla-

tih.

"Hiat...!"

"Wuuss...!"

"Dum...!"

Ledakan dahsyat menggema, lalu diikuti 

dengan tumbangnya pohon tersebut. Mata Jaka 

membelalak kaget, manakala melihat apa yang te-

lah terjadi. Pohon tersebut seketika hitam legam 

kering kerontang, hangus terbakar sampai daun-

daunnya.

"Sungguh dahsyat!"

Jaka palingkan kepala memandang ke asal 

suara yang menggumam. Di sana, di belakangnya 

tak jauh dari dirinya duduk seorang lelaki tua 

renta yang sudah ia kenal benar bernama Ki As-

watama tersenyum acungkan jempol sambil 

manggut-manggutkan kepala.

"Baru jurus pertama sudah begitu dahsyat


nya, apalagi bila jurus-jurus selanjutnya," Ki As-

watama kembali bergumam.

"Ah, kau terlalu merendah, Ki."

"Tidak, Jaka." Ki Aswatama berjalan meng-

hampiri Jaka, lalu duduk di samping Jaka. "Du-

nia persilatan dibuat kalang kabut saling tuduh 

menuduh untuk mendapatkan kitab ini. Berun-

tung kau Jaka."

Jaka terdiam mendengar penuturan orang 

tua renta yang telah makan asam garam kehidu-

pan tersebut. Di helanya napas panjang, meman-

dang terpaku pada apa yang telah diperbuat. Api 

masih menjalar menyelimuti pohon yang tum-

bang.

"Aku harus secepatnya menyelesaikan ki-

tab, ini," gumam Jaka seraya kembali meman-

dang Ki Aswatama. "Kalau aku lama memendam 

diri, jelas dunia akan mudah terguncang oleh 

orang-orang yang mencari kesempatan."

"Memang, Jaka. Sekarang saja, selama tiga 

bulan kau berada di sini, dunia persilatan digun-

cang oleh gegernya kitab yang kini berada di ta-

nganmu."

"Hem..." Jaka kembali menggumam. "Apa-

kah mereka bermaksud mencarinya?"

"Ya!" jawab Ki Aswatama. "Sejak dua pen-

dekar kakak beradik kembar mendatangi Lembah 

Bangkai dan keduanya menemukan bahwa Lem-

bah Bangkai kini sudah tak ada yang ditakuti, 

hampir semua orang persilatan datang berbon-

dong-bondong ke tempat tersebut."

"Untuk apa...?" tanya Jaka tak mengerti.


Ki Aswatama menarik napas panjang, lem-

parkan pandangannya ke arah kayu yang kini 

menjadi arang terhantam oleh pukulan yang di-

lontarkan Jaka. Sebuah pukulan dahsyat dari ki-

tab Banyu Geni, bernama Inti Geni.

"Sungguh sebuah kitab yang berisikan 

ajian-ajian dan jurus-jurus membahayakan. Aku 

rasa, tak akan ada dalam abad sekarang yang 

mampu menandingi isi Kitab Banyu Geni ini," Ki 

Aswatama berkata. "Banyu Geni. Banyu artinya 

air, sedang Geni artinya api. Jadi Banyu Geni ar-

tinya Air dan Api. Sifat dari ilmu-ilmu yang ada di 

kitab ini adalah panas tapi dingin. Panas bila 

menghadapi musuh, tapi juga dingin dan dapat 

menyembuhkan orang yang dianggap teman."

Jaka Ndableg tersentak mendengar penu-

turan Ki Aswatama yang terasa mengena. Sung-

guh orang tua ini sangat bijak dan paningal da-

lam segalanya. Mampu menganalisa apa yang

ada, tahu persis apa yang akan apa yang terjadi.

"Heh, rupanya Ki Aswatama tahu benar 

akan isi kitab ini," Jaka terbelalak kaget. "Apakah 

Ki Aswatama telah membacanya?"

Orang tua itu gelengkan kepala, lalu ka-

tanya: "Aku mendengar penuturan kakekmu du-

lu. Aku dan kakekmu adalah teman karib yang 

sukar untuk dipisahkan. Dan ketahuilah olehmu, 

bahwa sebelum kakekmu mencipta kitab ini, ia 

terlebih dahulu mengutarakannya padaku. Apa 

isinya, juga apa kegunaannya."

"Kalau begitu, Ki Aswatama dapat mem-

bantuku?"


"Sedikit, Jaka."

"Oh, terimakasih, Ki. Aku harap, Ki Aswa-

tama mau membantu diriku agar dapat dengan 

cepat mempelajari isi kitab ini."

"Akan aku usahakan, Jaka. Semoga den-

gan aku membantu kau akan segera dapat kem-

bali muncul di dunia persilatan dan berjalan 

kembali sebagai roda penggiling penumpas keja-

hatan dan kebatilan."

"Akan aku usahakan, Ki," Jaka tersenyum, 

lalu dengan segera Jaka kembali menekuni isi ki-

tab tersebut. Kini Jaka dibantu oleh Ki Aswatama. 

Segala apa yang sekiranya sangat susah bagi di-

rinya, tak segan-segan Jaka menanyakan-nya pa-

da Ki Aswatama.

* * *

Hari demi hari Jaka lalui dengan belajar 

dan belajar. Sepertinya tak ada istilah lelah atau 

capai Jaka mempelajari isi Kitab Banyu Geni. 

Dengan bimbingan Ki Aswatama, Jaka terus me-

lalap satu persatu segala isi yang terkandung da-

lam Kitab Banyu Geni.

Pagi itu adalah yang keseratus hari, berarti 

telah tiga bulan lebih sepuluh hari Jaka menghi-

lang dari dunia persilatan. Menghilangkan segala 

macam persoalan dunia persilatan semenjak ia 

mempelajari Kitab Banyu Geni.

Atas bimbingan Ki Aswatama, dalam sepu-

luh hari ini saja, Jaka telah mampu menelan dua 

jurus dahsyat lanjutan dari jurus pertama. Saat


itu Jaka nampak duduk bersila, kaki saling tindih 

dengan kedua tangan menyatu telapaknya. Mata 

Jaka terpejam, mulut membisu diam.

Ki Aswatama nampak duduk di samping-

nya. Seperti halnya dengan Jaka, Ki Aswatama 

pun kini tengah melakukan hal yang sama. Mata 

terpejam, kaki disilangkan saling tindih dengan 

tangan telapaknya saling katup. Namun Ki Aswa-

tama tidak tengah benar-benar melakukan medi-

tasi, Ki Aswatama hanya memberikan contoh ba-

gaimana cara meditasi menyalurkan hawa murni 

yang baik dan benar, agar dalam melakukan lati-

han isi Kitab Banyu Geni benar-benar tidak salah 

kaprah. Sebab bila salah, maka nyawalah sebagai 

penggantinya.

Napas Jaka perlahan mengendur, teratur 

sedikit demi sedikit. Tangan masih saling katup, 

perlahan tangan itu bergerak, lalu berubah cepat. 

Tangan Jaka kini bagaikan kitiran, berputar-

putar laksana gasing. Dari putaran tersebut, se-

ketika timbul api menyala-nyala menyelimuti tan-

gannya. Itulah jurus Inti Geni, sebuah jurus per-

tama yang ada di dalam Kitab Banyu Geni. Sete-

lah tangannya berapi, segera Jaka membuka ma-

ta.

Mata itu melotot tak berkedip. Lama kela-

maan, matanya terasa perih, makin lama makin 

perih hingga mengeluarkan api. Ya, mata Jaka 

kini mengeluarkan api.

"Hiat...! Mata Malaikat, hiat...!"

Bareng dengan pekikan Jaka, segera ma-

tanya dipentang lebar-lebar. Dan dari pentangan


mata tersebut, seketika membersit dua larik sinar 

merah membara ke arah pandangannya.

"Sroooot...!"

"Buuum...!" 

Api menyala-nyala, membakar rumput 

yang ada di atas tanah yang terpandang oleh ma-

ta Jaka. Rumput tersebut seketika mengering, la-

lu terbakar dengan api menyala-nyala.

"Hebat! Hebat! Sungguh-sungguh ilmu 

yang tiada duanya!" Ki Aswatama menggumam 

sendiri. Belalakkan mata, memandang terpaku 

pada rerumputan yang tadinya menghijau kini te-

lah terbakar oleh api yang keluar dari sorotan ma-

ta Jaka. "Kini engkau telah dapat disejajarkan 

dengan Dewa Api. Dan memang engkaulah yang 

akan menjadi Dewa Api, Jaka. Setelah kau me-

rampungkan isi buku tersebut, kau akan berubah 

menjadi Dewa Api. Dua dari lima ajian telah eng-

kau kuasai."

Jaka hanya terdiam, tundukkan kepala 

mendengar petuah Ki Aswatama. Hatinya masgul, 

berbaur dengan kegembiraan yang teramat san-

gat. Sungguh karena bantuan Ki Aswatamalah 

hingga ia mampu mempelajari isi kitab tersebut 

dalam waktu yang relatip singkat. Dalam seratus 

hari saja, Jaka telah mampu menguasai dua dari 

lima ilmu yang terkandung dalam Kitab Banyu 

Geni.

* * *

Kita tinggalkan Jaka yang tengah dibimb


ing oleh Ki Aswatama mempelajari isi Kitab Banyu 

Geni yang sangat dahsyat tersebut. Marilah kita 

tengok di dunia luar, di mana para pendekar ma-

sih terus mencari-cari keberadaan kitab tersebut.

Dua orang penunggang kuda yang telah ki-

ta kenal sebagai dua kakak beradik kembar Jala-

dri dan Jaladru, nampak memacu kuda-kuda me-

reka menuju ke arah Barat. Rupanya keduanya 

masih penasaran dengan apa yang mereka da-

patkan waktu setahun yang lalu, di mana mereka 

menemukan kegagalan mendapatkan Kitab 

Banyu Geni.

Mereka berdua kembali memacu kuda me-

reka, sepertinya tak ingin di dahului oleh sore ha-

ri. Tengah keduanya memacu kuda-kuda mereka, 

tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan suara leng-

kingan tinggi yang mirip dengan lengkingan anj-

ing hutan.

"Aaaauuuuuunnnngggg...!"

"Heh, suara apakah itu, Kakang?"

"Entahlah, Adik. Aku rasa itu suara anjing 

hutan."

"Ah, biasanya anjing hutan berbunyi bila 

hari telah malam, Kakang."

Jaladri terdiam mendengar keterangan 

adiknya. Memang benar apa yang dikatakan oleh 

Jaladru, bahwa anjing hutan akan melolong bila 

hari telah malam, Dan biasanya mereka melolong 

karena ada sesuatu yang mereka takutkan. Tapi 

kini anjing hutan itu melolong-lolong bukan pada 

saatnya. Hari masih senja, dan matahari masih 

nampak bersinar. Jaladri kerutkan kening, sepertinya menyangsikan suara anjing hutan tersebut. 

Matanya jalang memandang ke muka, di mana 

suara tersebut berasal.

"Kresek...!"

"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.

"Ada apa rupanya, Kakang?" 

"Kau tidak mendengar adanya suara lang-

kah kaki?"

Jaladru segera pusatkan pendengarannya. 

Dan memang ia kini mendengar suara langkah 

kaki ringan, lalu terdengar pula kebatan orang 

melompat ke atas dan hinggap di sebuah batang 

pohon.

"Benar! Rupanya mereka banyak jumlah-

nya, Kakang."

"Ya! Kita harus hati-hati."

Keduanya segera melompat dari kuda, ber-

jalan perlahan. Tangan kedua pendekar kakak be-

radik kembar itu segera mencabut pedang-pedang 

yang tergantung di pundak mereka. Dan dengan 

pedang di tangan, keduanya kembali melangkah 

menyelusuri jalanan tengah hutan yang makin ke 

dalam makin sempit karena tertutup oleh semak 

belukar.

Mata kedua pendekar kakak beradik itu 

liar, memandang pada sekelilingnya. Mata mereka 

bagaikan mata seekor burung rajawali yang ten-

gah mengintai mangsa. Kaki mereka bagaikan tak 

berbeban, sehingga tak terdengar suara tapaknya 

melangkah.

"Kita makin dekat, Adik."

"Ya!" jawab Jaladru setengah berbisik.


"Hati-hati, Adik. Pusatkan segala panca in-

dra."

Keduanya kembali diam, dan hanya gera-

kan-gerakan anggota tubuh kedua kakak beradik 

kembar itu saja yang bicara. Manakala kaki me-

reka makin masuk ke dalam, tiba-tiba dari dalam 

tanah dan atas pohon bermunculan orang-orang 

bercadar hitam menghadang mereka dengan sa-

murai siap mencerca tubuh keduanya.

"Hiat...!"

"Awas, Adik!" Jaladri memekik, sadarkan 

Jaladru yang segera melompat ke depan, lalu ba-

likkan tubuh membabat dengan pedang yang te-

lah siap.

"Wuuut...!"

Jaladru buang tubuhnya ke samping, hin-

dari babatan pedang, yang hampir saja menggores 

lehernya. Dengan geram Jaladru balik babatkan 

pedang di tangannya.

"Wuuut...!"

"Aaaaaaaaaaa...!"

Seorang Ninja hitam terkulai, meregang se-

jenak, lalu akhirnya mati. Dari mulutnya keluar 

darah meleleh, dengan perut tergores lebar.

Melihat rekannya terkena, secepat kilat 

ninja-ninja yang lain berkelebat menyerang. Jala-

dru tersentak, gulingkan tubuh hindari babatan 

ketiga Orang ninja yang tahu-tahu berada di de-

pannya. Jaladru buang tubuh ke samping, lalu 

dengan sekali lompat Jaladru lentingkan tubuh 

ke angkasa. Pedang di tangannya siap menghun-

jam.

.

"Hiiiiaaaaatttt...!"

Terbelalak mata ketiga ninja itu, seakan 

tercekam rasa takut yang teramat sangat. Segera 

ketiganya babatkan pedang di tangan, hingga 

menjadikan sebuah suara beradunya benda-

benda yang terbuat dari baja.

"Trang, trang, trang...!"

Jaladru babatkan pedang, dan seketika ke-

tiga pedang samurai di tangan tiga ninja tersebut 

puntung. Mata ketiga ninja itu sejenak membeliak 

kaget, lalu mereka menjerit manakala pedang di 

tangan Jaladru kembali berkelebat membabat ke 

arah tubuh mereka.

"Aaaaaaa....!"

Satu persatu dari ketiganya rubuh. Sesaat 

ketiganya mengejang, lalu tak begitu lama kemu-

dian tubuh ketiganya ambruk tanpa nyawa. Hal 

itu menjadikan bergidig juga bagi ninja-ninja 

lainnya. Kengerian seketika membayang di mata 

mereka, yang memandang dengan pandangan pu-

tus asa.

Di pihak lain, Jaladri yang ilmunya lebih 

tinggi dari ilmu adiknya nampak makin merajale-

la. Dalam beberapa gebrak saja tanpa menda-

patkan kesulitan Jaladri mampu menumbangkan 

sepuluh ninja. Pedang di tangannya bagaikan 

Dewa Kala, setiap kelebatannya menjadikan jeri-

tan kematian bagi ninja-ninja yang menghadang 

di depannya. Seperti saat itu juga, tangan Jaladri 

nampak berkelebat cepat. Tangan itu bagaikan 

berubah banyak, menyebatkan pedang.

"Wuuut! Wuuuut! Wuuuut...!"


"Crasss...! Craaasss!"

Darah muncrat dari tubuh para ninja. Se-

saat mereka memekik, lalu tubuh mereka doyong 

ke muka dan ambruk. Tubuh mereka sejenak 

mengejang, menggeliat dengan memegangi perut 

yang terluka, hingga akhirnya tergeletak tanpa 

nyawa.

"Siapa yang menyuruh kalian, hah!" Jaladri 

membentak.

"Katakan! Atau kalian ingin seperti teman-

teman kalian ini!" tambah Jaladru, tangannya 

memegang kepala seorang ninja yang telah di-

penggalnya. Darah mengucur dari leher yang 

puntung, menetes ke bawah. Sementara matanya 

nampak mendelik, menyatakan bahwa dirinya 

mungkin menderita yang teramat sangat manaka-

la pedang di tangan Jaladru memenggalnya. "Ayo 

jawab! Jangan sampai aku habis sabar!"

Bukannya jawaban kata-kata dari perta-

nyaan Jaladri, namun sebaliknya. Dengan bengis 

disertai hawa pembunuhan, sisa ninja tersebut 

berkelebat menyerang. Sepuluh ninja itu nampak 

tak mengalami ketakutan, ganas menyebatkan 

pedang-pedang di tangan mereka.

"Bangsat! Rupanya kalian memang mencari 

mampus!" Jaladru membentak seraya lemparkan 

tubuh hindari serangan kesepuluh ninja tersebut. 

"Jangan menyesal bila kalian seperti teman kalian 

ini." 

"Hiaaaaatttt...!"

Dengan terlebih dahulu melemparkan pun-

tungan kepala rekannya, ke arah ninja-ninja ter


sebut Jaladri segera balik menyerang. Pedangnya 

diputar dengan cepat, menyebat-nyebat segala 

apa yang ada di hadapannya. Menjadikan kesepu-

luh ninja itu seketika lompat ke belakang dengan 

mata membelalak kaget. Namun setelah melom-

pat, kembali kesepuluh ninja pengeroyok itu maju 

bareng menyerang. 

"Hiiiiaaaaaaattt...!"

"Huh! Kalian mencari mampus! Hiiiiiiaaaa-

aatttt!"

Jaladru tak mau kalah, segera kiblatkan 

pedang dan berlari memapaki kesepuluh ninja 

yang juga berlari ke arahnya dengan samurai 

mengkiblat ke arah Jaladru berada di depan mu-

ka mereka.

"Wuuut...!"

"Wuuuuuttt...!"

"Craaas...!"

"Aaaaahhh....!"

Satu orang dari sepuluh ninja itu menge-

rang, perutnya sobek terbeset pedang Jaladru. 

Pedang di tangan kesembilan ninja yang lainnya 

berkelebat, membabat tubuh Jaladru. Jaladru se-

gera lemparkan tubuh ke angkasa, lalu berputar 

salto sejenak dan merosok ke bawah dengan pe-

dang siap menghunjam.

Pedang di tangan Jaladru bergerak cepat, 

manakala jarak antaranya dengan kesembilan 

ninja itu makin dekat. Pedang itu bagaikan haus 

darah. Dan...!

"Wuuuutttt…!"

"Cras! Cras! Cras...!"



"Aaaaaaaaaaa...!"

Satu persatu mereka menjerit. Dan satu 

persatu dari kesembilan ninja itu puntung kepa-

lanya. Sejenak tubuh tanpa kepala itu tegak sem-

burkan darah, lalu perlahan satu persatu ambruk 

ke tanah dengan nyawa terbang dan kepala 

menggelinding entah ke mana.

Seperti halnya Jaladru, Jaladri pun tak 

mau kalah dalam membantai musuh-musuhnya. 

Namun Jaladri tidaklah sesadis adiknya. Kalau 

Jaladru sebagai tukang penggal kepala, Jaladri 

tak mau julukan tersebut melekat pada dirinya. 

Dan hanya dengan membeset perut-perut musuh 

sajalah yang ia lakukan,

Kelima ninja yang menyerang Jaladri te-

baskan samurainya, mengarah ke leher. Jaladri 

segera rundukkan tubuh, lalu dengan gerakan 

yang sukar di ikuti tangan Jaladri berkelebat ba-

batkan pedang ke perut lawan.

"Bret! Breeet...!"

Empat orang ninja melengking manakala 

perutnya terbobol pedang di tangan Jaladri. 

Keempatnya sejenak mendelik, dengan darah 

muncrat ke luar dari perut yang terbelah. Sejenak 

keempatnya terpatung gigit bibir menahan sakit, 

lalu ambruk sekarat mengejang dan akhirnya ma-

ti. Tinggal seorang ninja yang masih hidup. Ninja 

itu hendak melarikan diri, manakala dengan ce-

pat Jaladru menghalangi niatnya.

Betapa gusar dan marah ninja tersebut. 

melihat Jaladru menghadang langkahnya. Dengan 

penuh kemarahan ninja tersebut berkelebat tebaskan pedang menyerang. Namun Jaladru yang 

sudah waspada dengan cepat lemparkan tubuh 

mengelak, lalu dengan memekik dahsyat Jaladru 

berkelebat kembali balik menyerang.

"Hiiiiaaaaaattt...!"

"Hiiiiaaaaattt...!"

Dua orang itu berlari dengan pedang siap 

di hadapan muka masing-masing. Keduanya ber-

lari bagaikan kesetanan, lalu setelah dekat kedu-

anya segera tebaskan pedang ke arah lawan mas-

ing-masing.

"Wuuut...!"

"Wuuut...!"

Jaladru egoskan badan mengelak, lalu 

dengan melompat manakala samurai lawan men-

garah ke kakinya Jaladru tebaskan pedangnya.

Wuuuttt...!

Craaaas...!

"Aaaaaaaaaa....!" Ninja itu memekik, tan-

gan kanannya yang memegang samurai puntung, 

terbabat oleh pedang di tangan Jaladri. Ninja ter-

sebut tak mau putus asa. Dengan tangan kiri di-

ambilnya samurai, lalu dengan segera ia bermak-

sud melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang). 

Namun sebelum hal itu terlaksana, dengan cepat 

Jaladru kembali tebaskan pedang ke arah tangan 

yang hendak mengambil pedang.

Wuuut...!

Ninja itu membeliak, urungkan hiat. Ma-

tanya memandang dengan kosong ke arah Jala-

dru. Jaladru sunggingkan senyum, hampiri ninja 

tersebut.


"Katakan padaku, siapa yang telah menyu-

ruhmu?!"

"A-Aku... Aku bernama Ak-ki Koto. A... 

aku, di-pe-rin-tah o-leh Ninja Merah:"

"Ninja Merah...!" Jaladru dan Jaladri ter-

sentak, tak tahu siapa adanya Ninja Merah yang 

dikatakan oleh Aki Koto. Sejenak keduanya saling 

pandang, lalu ketika keduanya hendak kembali 

menanya...!

Mata Jaladri dan Jaladru seketika membe-

liak kaget, manakala melihat tubuh Aki Koto telah 

tak bernyawa lagi. Samurai telah menghunjam di 

dadanya. Dia telah mampu melakukan Harakiri. 

Sungguh tragis kematian para ninja. Mereka telah 

disumpah, menang dengan hasil atau kalah harus 

mati. Dan ternyata mereka nyatanya kalah hingga 

mereka pun sepantasnya mati.

Setelah sejenak memandang pada tubuh 

Aki Koto, kedua kakak beradik kembar itu kem-

bali melesat pergi tinggalkan hutan tersebut. Hu-

tan Lengkas Munyuk kembali sepi. Dua kali keja-

dian terjadi di hutan Lengkas Munyuk tersebut. 

Dan dua kali kegagalan di dapat para utusan ne-

geri Nippon.

5l

LIMA


"Lebur Geni... hiattt...!"

Tubuh Jaka Ndableg berjumpalitan di uda-

ra. Tangannya mengepal, dan kakinya menjejak 

pada angin. Bersamaan dengan tubuhnya mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg hantamkan tan-

gan yang terdapat jilatan-jilatan api ke arah beba-

tuan yang berada di hadapannya.

Duuuaaarrr...!

Batu-batu hitam itu hancur lebur menjadi 

serpihan tepung terhantam oleh api yang keluar 

dari tangan Jaka Ndableg. Leburan batu tersebut 

muncrat, menggelapkan pandangan mata, seakan 

menjadi kabut tebal menyelimuti udara.

"Hebat! Hebat, Jaka!" Ki Aswatama berseru 

girang melihat hasil yang diperoleh oleh Jaka 

Ndableg. "Nah, kau telah mampu menguasai ilmu 

semua yang ada di Kitab Banyu Geni. Sekarang 

lakukanlah ilmu pamungkasnya."

"Apakah itu perlu, Paman?" tanya Jaka se-

raya balikkan tubuh menghadap ke Ki Aswatama.

"Sangat perlu, Jaka."

"Untuk apa, Paman?"

Ki Aswatama tersenyum, lalu katanya: "Ka-

lau kau tidak mencobanya, manalah mungkin 

kau tahu hasil yang engkau peroleh?"

Jaka terdiam, ucapan Ki Aswatama me-

mang ada benarnya. Memang bila ia tak menco-

banya, manalah mungkin ia tahu hasil yang telah 

ia peroleh. Sejenak Jaka terdiam, matanya me-

mandang ke arah Ki Aswatama. Sepertinya Jaka 

ingin meyakinkan pada diri sendiri bahwa Ki As-

watama benar adanya berbicara.

"Lakukanlah, Jaka."

"Jadi aku harus mencoba dua ilmu pa-

mungkas, Paman?"

"Ya!" jawab Ki Aswatama. "Baiklah!"


Jaka terdiam hening, seolah-olah ia tengah 

melakukan meditasi memusatkan segala panca 

indranya. Dan memang benar, Jaka saat itu ten-

gah memusatkan segala panca indranya untuk 

melakukan pembuka ilmu Raga Geni. Ilmu yang 

merupakan inti dari ilmu-ilmu yang diajarkan 

oleh Kitab Banyu Geni. Tangan Jaka sedekap, bi-

bir mengucap mantra sesuai dengan petunjuk ki-

tab.

"Sukma Raga Geni... Sukma Raga Geni... 

Sukma Raga Geni!"

Berbarengan dengan suara Jaka meman-

jang menyebut ilmu tersebut, tiba-tiba hawa pa-

nas menyengat keluar dari tubuh Jaka Ndableg. 

Ki Aswatama tersentak, melompat mundur tak 

mampu menerima hawa panas yang keluar dari 

tubuh Jaka Ndableg.

Tubuh Jaka Ndableg seketika membara 

merah. Asap mengepul, bersamaan dengan makin 

memerahnya tubuh Jaka. Pakaian yang di kena-

kannya seketika turut terbakar. Beruntung cela-

nanya terbuat dari serat inti kayu yang kuat, ka-

lau tidak. Sungguh akan menjadikan pemandan-

gan yang mampu membelalakkan mata para 

pembaca atau penonton bila novel ini di filmkan.

"Hiiiaaaatt...!"

Suara Jaka menggema, laksana suara hali-

lintar tertimpa di bebatuan. Bersamaan dengan 

jeritan Jaka, tubuh Jaka Ndableg berkelebat. Tu-

buh itu terus berkelebat bagaikan terbang, berpu-

tar-putar di angkasa. Seketika angin di situ terasa 

panas menyengat, menjadikan daun-daun pohon


mengering dan kemudian berguguran.

Tubuh Jaka terus berputar cepat, lalu den-

gan kebat tubuh itu mencelat menuju ke sebuah 

telaga yang berisi air. Tubuh Jaka mencelat, me-

nyelam ke dalam air telaga. Seketika air telaga 

yang tadinya dingin menjadi mendidih. Hal terse-

but menjadikan mata Ki Aswatama membeliak 

kaget. Ikan-ikan yang berada di telaga berhambu-

ran, mencelat ke atas dan jatuh ke tanah dengan 

keadaan matang.

Ki Aswatama hanya mampu melongo, tak-

jub menyaksikan apa yang telah terjadi. Kini Ki 

Aswatama benar-benar terkejut bukan alang ke-

palang. Bagaimana pun, semua akan kaget me-

nyaksikan hal itu. Dan saking kagetnya, menjadi-

kan lelaki tua renta itu tak tahan menahan be-

sernya. Ki Aswatama pun seketika ngompol den-

gan tubuh bergetar gemetaran.

"Pyaar...!"

Air Telaga muncrat ke angkasa, mendidih 

bagaikan dimasak. Bersamaan dengan mucratnya 

air telaga, tubuh Jaka Ndableg melompat terbang 

dari dalamnya.

Untuk kedua kali Ki Aswatama seorang to-

koh persilatan yang sudah malang melintang di 

dunia persilatan harus membelalakkan mata. Tu-

buh Jaka terus terbang, lalu hinggap di atas se-

buah cabang pohon. Tanpa ampun lagi, pohon 

yang ditenggeri Jaka seketika kering kerontang.

"Sudah Jaka! Sudah!" 

"Bagaimana, Ki?" Jaka tersenyum.

"Hentikan dulu ilmumu, baru kau turun."


"Kenapa...?" tanya Jaka ngeledek.

"Apakah kau mau memanggang diriku?" Ki 

Aswatama nampak benar-benar ketakutan. Dan 

memang apa yang ditakuti Ki Aswatama benar. 

Kalau Jaka turun dalam keadaan masih menggu-

nakan ilmu Raga Geninya, niscaya tubuhnya da-

lam sekejap saja akan matang.

"Aku mau turun, Ki."

"Ah...!" Ki Aswatama terbelalak kaget. "Jan-

gan! Lihat! Ikan-ikan ini saja dalam sekejap ma-

sak, apalagi diriku yang sudah kering kerontang?"

Jaka tersenyum. 

"Tidak apa, Ki."

"Jangan...! Jangan, Jaka! Aku mohon, jan-

gan kau lakukan itu bila kau memang menyayan-

gi nyawa tuaku yang lapuk ini," Ki Aswatama me-

ratap. Dan kini Ki Aswatama benar-benar menan-

gis, takut kalau-kalau Jaka yang ndableg akan 

benar-benar melakukannya. "Aku mohon, ampu-

nilah nyawa tuaku."

Jaka tersenyum-senyum menyaksikan Ki 

Aswatama yang menangis mengiba-iba. Kemudian 

dengan masih bertengger di atas pohon tanpa hi-

raukan Ki Aswatama yang menangis, Jaka pun 

segera melakukan meditasi kembali untuk me-

nuntaskan ilmunya dari tubuh. Sekejap saja ma-

nakala Jaka telah membaca mantra, api yang 

menyala-nyala di tubuhnya lenyap dalam seketi-

ka.

"Hiiiaat...!"

"Aooohh...!" Ki Aswatama memekik, mana-

kala mendengar Jaka melompat turun. "Mati


aku!"

Ki Aswatama pejamkan mata. Ia siap untuk 

dibakar oleh api yang menyala-nyala di tubuh. 

Jaka. Namun dugaannya meleset. Sampai sejauh 

ia pejamkan mata, tak ada rasa panas sedikit pun 

yang dirasakannya. Perlahan dengan takut-takut 

Ki Aswatama kembali membuka matanya. Dan 

bengonglah Ki Aswatama seketika manakala Jaka 

telah nempel di dekatnya.

"Bagaimana, Ki?"

"Hebat! Hebat...!"

Jaka kerutkan kening, manakala hidung-

nya yang tajam mencium bau pesing yang teramat 

sangat.

"Hai! Rupanya Ki Aswatama ngompol!"

Ki Aswatama seketika tersipu-sipu, mana-

kala menyadari bahwa akibat gas cairnya tersebut 

menjadikan bau yang tidak sedap untuk diendus. 

Jaka gelengkan kepala, ada rasa kasihan menye-

limuti matanya. Sungguh kasihan memang, gara-

gara dirinya Ki Aswatama sampai terkencing-

kencing. 

"Ki, apakah aku harus membuktikan juga 

ajian pamungkas yang aku pelajari dari Kitab 

Banyu Geni?" Jaka kembali menggoda, mencoba 

menghibur Ki Aswatama yang nampak pucat ke-

takutan dan malu. 

Membeliak seketika mata Ki Aswatama 

mendengar ucapan Jaka. Kini Ki Aswatama be-

nar-benar didera rasa takut bila Jaka harus kem-

bali mengeluarkan ilmu pamungkas dari Kitab 

Banyu Geni. Baru pamungkas pertama saja telah


menjadikan dirinya terkencing-kencing, apalagi 

jika pamungkas yang terakhir? Bisa-bisa Ki Aswa-

tama terberak-berak.

"Nah Ki, menyingkirlah jauhan. Aku akan 

mencoba ilmu yang telah aku pelajari."

"Ah...!" Ki Aswatama memekik tertahan. 

"Jangan, Jaka."

"Kenapa? Bukankah bila aku tidak menco-

banya aku tidak akan tahu hasilnya?"

"Sungguh, hasilnya akan membahayakan 

dan menakutkan."

"Heh, mengapa Ki Aswatama sudah ber-

pendapat begitu?" Jaka kerutkan kening menden-

gar ucapan Ki Aswatama yang dilandasi oleh rasa 

takut.

"Aku mohon, janganlah engkau keluarkan 

pamungkas akhirnya, Jaka." Ki Aswatama mera-

tap. "Baru saja pamungkas pertama, sudah men-

jadikan diriku terkencing-kencing. Apalagi pa-

mungkas terakhir, bisa-bisa aku terberak-berak."

Mau tidak mau Jaka pun tersenyum juga 

mendengar penuturan Ki Aswatama. Digelengkan 

kepalanya, lalu dengan penuh perhatian seorang 

anak, Jaka segera membimbing tubuh tua Ki As-

watama menuju ke pondoknya.

* * *

Malam terasa dingin, menjadikan keadaan 

bagaikan tercekam sepi. Angin bertiup dengan 

kencang, laksana topan yang siap menerbangkan 

sesuatu. Ada sebuah keganjilan nampaknya, se


hingga tidak biasanya angin bertiup menderu-

deru. 

Jaka yang tengah bersantai dengan tiduran 

seketika tersentak bangun. Perlahan-lahan ia me-

langkah, hingga Ki Aswatama yang tidur di sebe-

lahnya tidak terjaga oleh langkahnya. Dengan 

mengendap-endap Jaka keluar dari pondok.

Angin makin lama makin kencang, mende-

ru-deru menerpa ke arahnya. Walau pun dingin 

menggigil, namun Jaka terus mencoba meredam 

dinginnya dengan menyalurkan hawa murni ke 

segenap tubuhnya. Namun nampaknya angin ter-

sebut sengaja menantangnya. Angin itu makin 

bertambah besar, hingga mampu menumbangkan 

pepohonan yang ada di tempat tersebut.

"Weeeerrrr...!"

"Dum!"

Ki Aswatama yang tengah tertidur, seketika 

terjaga demi mendengar bunyi pepohonan tum-

bang. Sejenak matanya didecapkan, lalu dengan 

tertatih-tatih lelaki tua renta yang bukan semba-

rangan tokoh itu keluar dari rumahnya. Dilihat-

nya Jaka tengah berdiri di situ, terdiam membisu.

"Jaka...!"

Jaka Ndableg palingkan kepala menghadap 

ke arah datangnya suara. Dan dilihatnya Ki Aswa-

tama tengah berjalan tertatih-tatih menghampi-

rinya.

"Ki...."

"Sedang apa kau, Jaka?"

"Tidakkah Ki Aswatama merasakan sesua-

tu keanehan dengan angin ini?" tanya Jaka, men



jadikan kerut di kening Ki Aswatama. "Cobalah 

Paman rasakan."

Ki Aswatama terpaku diam, merasakan 

dengan sukmanya.

"Benar, Jaka."

"Itulah, Paman. Aku rasa, ada orang atau 

siluman yang dengan sengaja menyerang ke 

arahku,"

"Dan ternyata tidak mempan," Ki Aswata-

ma terkekeh. "Itu semua karena kau telah men-

dapatkan segala isi Kitab Banyu Geni itu, Jaka."

Tengah keduanya terpaku diam, tiba-tiba 

terdengar suara gelak tawa yang tak menampak-

kan orangnya. Gelak tawa itu melengking pan-

jang, seakan hendak menakut-nakuti keduanya.

"Hua, ha, ha...! Haaaaaaa....! Haaaaaa...!"

"Apa itu, Jaka?" Ki Aswatama gemetaran.

"Tenanglah, Ki," ucap Jaka mencoba 

menghibur Ki Aswatama yang menggigil ketaku-

tan. "Tenanglah, bukankah ada aku?"

Angin bertiup makin kencang, menerpa se-

gala apa saja yang berada di situ. Jaka yang ber-

telanjang dada, nampak merasakan juga dingin-

nya terpaan angin yang menusuk-nusuk pori-pori 

kulitnya.

"Weeeeerrrr...!"

Angin kembali menderu, makin kencang 

dan kencang. "Dum!"

Sebuah pohon kelapa besar tumbang, 

hampir saja mengenai Jaka dan Ki Aswatama, ka-

lau saja tidak segera menggeret tangan Ki Aswa-

tama mencelat menghindar.


"Ki, menyingkirlah."

"Kau mau apa, Jaka?" tanya Ki Aswatama 

dengan ketakutan.

"Aku akan mencoba ilmu pamungkasku. 

Aku tahu, bahwa yang melakukan semua ini bu-

kanlah manusia, tetapi iblis yang sengaja meng-

gangguku."

Dengan masih ketakutan Ki Aswatama per-

lahan menyingkir menuju ke pondoknya kembali.

Sementara Jaka nampak masih terdiam, 

mematung dengan kedua mata terpejam rapat-

rapat. Jaka kini tengah melakukan meditasi, he-

ningkan cipta untuk memusatkan segala panca 

indranya.

"Dewa Api...! Dewa Api...! Dewa Api...."

Berbarengan dengan suara Jaka yang pan-

jang, dari tubuh Jaka Ndableg keluar api memba-

kar sekujur tubuhnya dari ujung rambutnya 

sampai ke ujung kaki. Kini tampang Jaka bukan-

lah tampang pemuda tampan lagi, tetapi tam-

pangnya kini tampang seorang dewasa yang me-

nyeramkan. Matanya menyala, mengandung api 

yang siap disorotkan. Juga mulutnya, nampak di 

dalam mulut Jaka bergumpal-gumpal api yang 

juga siap dilemparkan menyerang.

"Huuuaaar...!"

Jaka menggeretak, kibaskan rambut 

apinya ke arah datangnya musuh. Bersamaan 

dengan rambut api itu melejit, melemparkan bola-

bola api, dari mulut Dewa Api pun melesat pula 

api yang menyala-nyala. Hampir seluruh anggota 

badan Dewa Api mampu menjadikan kemusna


han.

"Aaaaaaaa...!" terdengar jeritan, namun tak 

juga nampak orangnya. Hanya api yang dilontar-

kan oleh Dewa Api saja yang nampak. Api terse-

but menyala terang, melekat pada sesuatu mah-

luk yang tidak nampak. Dan bareng dengan api 

yang dilontarkan Dewa Api membakar tubuh 

mahluk yang tampak tersebut, angin pun seketi-

ka menghilang. 

Dengan sekali kebat Dewa Api berkelebat 

menuju ke tempat di mana api menyala-nyala. 

Nampak kini olehnya, tumpukan debu-debu hi-

tam legam, mengumpul di situ membentuk ben-

tuk manusia.

Setelah yakin bahwa dirinya mampu men-

jadi Dewa Api, tiba-tiba Jaka yang masih dalam 

keadaan ujud Dewa Api mencelat ke dalam gubug 

Ki Aswatama. Namun ternyata gubug tersebut ti-

dak terbakar sama sekali. Entah apa yang dilaku-

kan Jaka, yang membuat Ki Aswatama ketakutan 

kembali. Dan benar apa yang dikatakan Ki Aswa-

tama benar-benar terberak-berak dibuat ketaku-

tan.

Jaka yang tengah menjadi Dewa Api tam-

pak tak hiraukan keadaan Ki Aswatama. Dia te-

rus menuju ke kamarnya, di mana Kitab Banyu 

Geni disimpan. Diambilnya kitab tersebut, lalu 

dengan segera dibawanya ke luar. Di sana, di ha-

laman pondok Kitab Banyu Geni sesuai dengan 

saran yang tertulis di bakar dengan api dari tu-

buhnya.

Mata Jaka mendelik, mengarah ke arah ki


tab tersebut. Dan saat itu juga, Kitab Banyu Geni 

pun terlalap api yang ke luar dari mata Dewa Api. 

Sejenak Ki Aswatama yang terkencing-kencing 

terpaku, dan hanya terdiam memandang dari 

jauh di mana Jaka berdiri.

"Ki Aswatama, terimakasih atas segala ja-

samu," Dewa Api berkata. "Kini sesuai dengan tu-

gas dari kakek, aku harus mengadakan perhitun-

gan dengan Dewa Laut. Nah, selamat tinggal! Jaga 

dirimu baik-baik, Ki...!"

Habis berucap begitu, Dewa Api berkelebat 

cepat meninggalkan Ki Aswatama. Kelebatannya 

bagaikan terbang, sehingga dalam sekejap saja 

tubuh Dewa Api lenyap entah ke mana. Yang Ki 

Aswatama tahu, Dewa Api berkelebat ke arah Ki-

dul.


ENAM



Di Negeri Nippon….

Betapa gusarnya Takasima mendapatkan 

kenyataan bahwa pasukan ninjanya dapat di ka-

lahkan oleh orang-orang tanah Jawa. Kegusaran-

nya menjadikan sebuah dendam, dendam yang 

akan menjadikan sebuah tragedi di tanah Jawa. 

Nah, bila para pembaca ingin melihat dan mengi-

kuti bagaimana dari dendam Takasima yang gu-

sar pada para pendekar tanah Jawa, silahkan 

tunggu dan ikuti kisah Jaka Ndableg Pendekar 

Pedang Siluman Darah dalam episode "DENDAM 

NINJA MERAH DARI NEGERI NIPPON."


"Bagero! Orang-orang Jawa keparat!" Se-

mua anak buahnya yang berwajah tertutup den-

gan kain merah dan hanya mata mereka saja 

yang nampak, terdiam tak ada yang berani mem-

buka suara. Semua ninja memang sudah disum-

pah dengan demikian. Mereka tak akan memban-

tah pada pimpinannya, walau mungkin nyawa 

mereka akan menjadi sasarannya. "Taka...!"

"Saya, Ketua," Taka menjawab. "Kau pim-

pin anak buahmu untuk menyerang tanah Jawa," 

Takasima memerintah. "Ingat! Jangan sekali-kali 

gagal! Kalau gagal, maka kaulah yang akan men-

dapatkan hukumannya!" 

"Baiklah! Demi Ninja Merah, aku siap!" Ta-

ka Mora, adalah adik dari ketua Ninja Merah Ta-

kasima. Namun dalam keninjaan, tidak ada ter-

dapat siapa adanya dia. Semua sama, semua ha-

rus menjunjung tinggi nama perserikatannya. 

Walau itu adik, kakak, atau pun orang tua mere-

ka. Bila mereka gagal, maka hanya ada dua pili-

han. Harakiri, atau dihukum pancung oleh yang 

lainnya.

Taka Mora berjalan meninggalkan ruang 

pertemuan, di mana kakaknya selaku ketua Ninja 

Merah nampak masih berbincang-bincang dengan 

beberapa tokoh samurai yang telah bergabung 

untuk bersama-sama membuat kerusuhan di ta-

nah Jawa Dwipa. Di situ nampak panglima Sani 

Shiba, Panglima Tukebu, juga pendekar negeri 

Nippon Takanata.

"Panglima Sani Shiba, bagaimana rencana 

tuan?" Takasima menanya, setelah sejenak ter


diam memandang kepergian adiknya untuk me-

mimpin Ninja Merah menuju ke Jawa.

"Seperti engkau ketahui, bahwa pendekar 

tanah Jawa merupakan pendekar-pendekar pilih 

tanding. Untuk itu, aku dan para prajuritku saat 

ini tengah menyusun rencana yang matang," Sani 

Shiba menerangkan.

"Apakah tidak terlalu lama?" tanya Taka-

sima. 

Sani Shiba tersenyum, melirik pada dua re-

kannya yang tidak lain Panglima Tukebu dan Ta-

kanata. Dua orang ini telah disewa oleh kerajaan 

untuk tugas tersebut. Tukebu yang dulunya bu-

kanlah seorang panglima, kini diangkat menjadi 

panglima ketiga.

"Bagi kami, lama tak menjadi apa, asalkan 

kemenangan," Takanata yang ngomong, nadanya 

mencerminkan keangkuhan. Mungkin dikarena-

kan dirinya sangat disegani di dataran Nippon, 

sebagai seorang pendekar yang pilih tanding.

Takasima angguk-anggukkan kepalanya 

mendengar jawaban Takanata. Ia maklum kalau 

Takanata menyombong, sebab ia sendiri tahu 

persis siapa Takanata. Takasima mengenal Taka-

nata sejak masih kecil. Keduanya merupakan sa-

tu keturunan, sehingga keduanya masih terikat 

oleh persaudaraan. Dan karena itulah, sehingga 

Takasima tak merasa harus takut-takut mengha-

dapi para musuh yang terdiri dari kalangan ista-

na.

Sebenarnya di kerajaan tengah terjadi per-

golakan. Pergolakan tersebut dilakukan oleh Ninja


Bersamurai Ular yang mengadakan pemberonta-

kan. Namun sejauh ini, Ninja Bersamurai Ular tak 

pernah mampu menggulingkan tampuk kekua-

saan kerajaan. Niatnya selalu terhalang oleh para 

Pendekar Samurai. Dan halangan itu makin tera-

sa berat saja, tatkala Takanata bergabung dengan 

kerajaan.

"Kapan Tuan Panglima mengadakan invan-

si ke tanah Jawa?"

"Itu belum bisa kami katakan," jawab Pan-

glima Sani Shiba.

"Kalau kami Invansi, apakah engkau akan 

turut?" Takanata bertanya.

"Mungkin! Sebab semuanya tergantung 

dengan keadaan."

"Maksudmu, Takasima?" tanya Takanata 

kembali.

"Kalau memang misi yang aku perintahkan 

melalui adikku gagal, maka aku akan secepatnya 

berangkat ke sana." Takasima tarik napas pan-

jang, lalu katanya meneruskan. "Takasita telah 

mendahului ke tanah Jawa. Dan sampai sekarang 

belum ada kabar beritanya."

"Hem, jadi pimpinan Ninja Hitam sudah 

mendahului kita?" 

"Bukan hanya Takasita saja, tetapi anak 

buahnya yang berjumlah seratus orang telah ter-

bantai."

"Apa...!" ketiga orang istana itu memekik 

kaget. "Ninja Hitam dapat dibantai?" 

"Ya! Itulah mengapa mereka meminta ban-

tuan pada kita."


Ketiga orang istana itu terdiam, sepertinya 

ada guratan ketidakpercayaan akan diri mereka 

sendiri. Mereka kini harus membayangkan ba-

gaimana diri mereka nantinya. Ninja Hitam yang 

merupakan serikat yang paling ditakuti pada ali-

ran hitam di Nippon saja dapat dengan mudah 

tertumpas.

"Hem, ternyata orang-orang tanah Jawa 

Dwipa memiliki ilmu beladiri tinggi," gumam Ta-

kanata takjub. "Tak aku sangka."

"Kabarnya mereka memiliki ilmu yang 

aneh," menambah Takasima, menjadikan keti-

ganya kembali terbelalak seraya bertanya tak 

mengerti.

"Ilmu aneh...?"

"Ilmu apakah?" Sani Shiba yang bertanya.

"Para pendekar tanah Jawa mampu menge-

luarkan angin puting beliung. Di samping itu ju-

ga, senjata mereka mampu memangkas samurai-

samurai yang kita miliki."

"Ah...!"

"Ya! Begitulah kabar yang aku terima dari 

Takasita."

Ketiga orang istana kembali terangguk-

angguk mengerti. Kini ketiganya benar-benar ha-

rus berpikir untuk yang kesekian kali bila hendak 

mengadakan Invansi ke tanah Jawa. Bukan mus-

tahil, ilmu mereka belum berarti bagi ilmu yang 

dimiliki oleh para pendekar tanah Jawa.

"Baiklah, Saudara Takasima, aku doakan 

misimu berhasil."

"Ya! Semoga kita mampu mengatasinya,"


Takanata berkata menambahkan ucapan Sani 

Shiba.

"Terimakasih! Trimakasih! Kami akan 

memberi kabar bila kami akan ke tanah Jawa."

Setelah ketiga orang istana menjura, yang 

dibalas juraan oleh Takasima, ketiganya segera 

berlalu meninggalkan perguruan Ninja Merah 

yang dipimpin oleh Takasima. Ketiganya kembali 

ke istana untuk mengadakan rencana. Dalam be-

nak mereka terselip sebuah rasa takut, juga tak 

yakin pada kemampuan mereka.

* * *

DITANAH JAWA DWIPA...

Jaka Ndableg yang tengah berlari dalam 

usahanya mencari musuh kakeknya, seketika 

hentikan larinya manakala terdengar suara seseo-

rang berkata.

"Hendak kemana engkau, Cucuku?"

Jaka Ndableg tersentak, palingkan muka 

mencari asal suara tersebut. Tak ada orang di 

tempat tersebut, menjadikan Jaka terheran-

heran. Jelas suara itu dekat benar dengan di-

rinya.

"Kau jangan kaget, Cucuku," kembali suara 

itu menggema.

"Siapakah engkau...?" 

"Aku kakekmu, Jaka. Aku Ki Paksi Anom, 

pemilik Kitab Banyu Geni."

Mendengar suara itu menyebut siapa di-

rinya, serta merta Jaka jatuhkan diri bersujud.


"Ampunkanlah cucumu yang tak tahu, 

Kek."

"Tidak mengapa, Jaka," kembali suara ter-

sebut menggema. "Kau hendak ke mana?"

"Bukankah menurut petunjuk di kitab cu-

cu diharuskan mengadakan perhitungan dengan 

Dewa Segara?" Jaka menjelaskan, menjadikan Ki 

Paksi Anom tertawa mengekeh. "Kenapa kakek 

tertawa?"

"Jaka cucuku. Dewa Segara sudah kau ka-

lahkan."

"Ah...! Kenapa kakek bercanda?"

"Aku tidak bercanda, Cucuku. Aku serius. 

Bukankah semalam kau telah membinasakan-

nya?"

Jaka kerutkan kening, mencoba mengin-

gat-ingat segala kejadian yang semalam ia alami. 

Semalam ia memang telah bertarung dengan se-

sosok mahluk tanpa ujud. Apakah mahluk terse-

but yang dimaksudkan kakeknya?

"Apakah sesosok mahluk yang terbakar itu, 

Kek?"

"Benar, Cucuku. Dialah Dewa Segara."

"Hem, kalau begitu ia telah tahu bahwa 

aku cucumu hingga ia datang menemui diriku."

"Memang. Nah, kini kau pulanglah kemba-

li. Kasihan Ki Aswatama. Dia adalah seorang te-

man baik. Dia rela berkorban demi sahabatnya. 

Kini dia dalam bahaya. Dia dalam penculikan oleh 

orang-orang asing."

"Benarkah itu, Kek?"

"Tak akan aku menjerumuskan dirimu,


Cucuku. Cepatlah kau pulang. Ki Aswatama kini 

dalam keadaan bahaya."

"Baiklah, Kek."

Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka 

kemudian berkelebat tinggalkan tempat lapangan 

ilalang tersebut, balik menuju di mana Ki Aswa-

tama tinggal. Saking angannya diburu oleh pera-

saan takut kalau-kalau Ki Aswatama benar-benar 

akan dicelakai oleh orang-orang asing yang dika-

takan kakeknya, menjadikan Jaka berlari bagai-

kan kilat. Dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka 

melesat laksana terbang.

* * *

Tengah Jaka berlari menuju kembali, tiba-

tiba langkahnya dihadang oleh puluhan orang-

orang berkerudung merah mengerudungi seluruh 

tubuhnya. Orang-orang berpakaian dan kerudung 

serba merah yang tak lain Ninja Merah, nampak 

dengan siaga menghadang langkahnya. Samurai 

mengkilap tergenggam di tangan mereka masing-

masing.

Jaka tersentak, hentikan langkah. Dipan-

danginya wajah di balik cadar merah tersebut sa-

tu-satu, seakan ingin menembuskan pandangan 

matanya ke mata mereka.

"Siapakah kalian adanya? Dan mengapa 

kalian menghadangku?"

Semua ninja tak ada yang berbicara, diam 

mematung dengan Samurai yang telah siap sedia 

di tangan mereka masing-masing. Samurai itu


menempel di muka mereka, lurus dengan mata 

menghadap ke arah Jaka.

"Hai, mengapa kalian diam?"

"Hiiiiiaaaat...!"

Itulah jawaban dari pertanyaan yang dilon-

tarkan Jaka Ndableg. Jawaban tersebut berupa 

serangan dari para Ninja Merah yang mendadak.

"Heh, mengapa kalian menyerangku...?" 

Jaka terheran-heran tak mengerti. "Apa salah...." 

Belum juga ucapan Jaka selesai, Samurai di tan-

gan mereka berkelebat membabat ke arah tubuh 

Jaka.

"Wuuut...!"

Jaka lemparkan tubuh ke samping, namun 

ternyata dari samping kirinya telah kembali seo-

rang ninja babatkan pedangnya dengan cepat.

"Wuuuttt...!"

Jaka kini ke samping kanan, doyongkan 

tubuh hingga Samurai di tangan Ninja itu melesat 

beberapa centi di hadapannya. Tapi belum juga 

Jaka terapkan kakinya, tiba-tiba dari arah bela-

kang berkelebat seorang Ninja dengan Samurai 

siap menghunjam ke tubuhnya.

"Wadauw...! Ampun, Oom... Mengapa ka-

lian mencercaku?"

Setelah menjerit begitu, segera Jaka run-

dukan kepala menghindar. Sikutnya bergerak, 

hingga...! 

"Dugk...!"

Orang yang terkena sikutannya seketika 

menjerit, berguling-guling menahan sakit. Mu-

kanya terasa remuk, tulang pipinya bagaikan


hancur terkena sikutan Jaka.

Melihat rekannya mampu dikalahkan, se-

gera Ninja yang lainnya berkelebat bareng menye-

rang Jaka. Mereka dengan pedang terhunus 

mengkiblat ke arahnya lari kencang hendak me-

nyerang. 

"Wuuut...!" 

Puluhan Samurai membabat ke tubuh Ja-

ka, yang dengan segera lentingkan tubuh ke ang-

kasa. Para Ninja Merah tersentak demi menyaksi-

kan gerakan Jaka. Sejenak mereka terpaku. Dan 

manakala Jaka kembali turun sambil jejakkan 

kaki, mereka tak mampu lagi menghindar.

"Dug, dug, dug...!"

Kaki Jaka dengan telak menghantam muka 

ketiga ninja yang berada tidak jauh darinya. Seke-

tika ketiga Ninja Merah tersebut memekik, bergul-

ing-guling dengan darah muncrat dari mulut dan 

hidungnya.

"Wadauw...!" Jaka kembali memekik, ge-

serkan tubuh miring ke kanan mengelakan teba-

san salah seorang Ninja Merah. "Kalian terlalu! 

Kalian orang-orang asing tak tahu etika!"

Ninja-ninja itu tak hiraukan dengan rungu-

tan Jaka. Mereka terus membabatkan samurai-

samurainya. Hal ini menjadikan Jaka harus ber-

juang mati-matian untuk menghindari babatan 

samurai mereka. Dan hanya dengan menghan-

dalkan ilmu meringan tubuh saja hal tersebut 

dapat dilakukan.

"Wuuut...!"

Jaka tersentak, lalu dengan segera doyong


kan tubuh ke muka elakkan serangan dari bela-

kang.

"Kurang ajar! Rupanya kalian persis bina-

tang! Beraninya membokong!" Jaka maki-maki 

sendiri, egoskan tubuh menghindari serangan 

samurai yang membabat ke arahnya. Beberapa 

senti saja samurai tersebut melesat. Kalau saja 

Jaka tidak segera cepat menghindar, niscaya tu-

buhnya akan menjadi daging cincang.

"Wuuut...!"

Jaka kembali lemparkan tubuh ke angka-

sa, manakala ninja-ninja tersebut kembali bareng 

membabatkan samurai mereka. Dan manakala 

turun, segera Jaka kepalkan tangannya. Tubuh 

Jaka kini merosot ke bawah, siap untuk mengha-

dapi samurai-samurai di tangan mereka. Samu-

rai-samurai tersebut kini mengarah ke arahnya, 

siap menjadikan diri Jaka sate.

Jaka terus melaju ke bawah dengan tangan 

masih mengepal. Dan manakala benar-benar di-

rasa tepat, tanpa buang-buang waktu lagi Jaka 

keluarkan ilmu yang dipelajari dari Kitab Banyu 

Geninya. Jurus itu tak lain jurus ilmu Inti Geni. 

Dan saat itu pula, dari tangan Jaka Ndableg ke-

luar api menyala-nyala menyelimuti tangannya.

Terkesiap para ninja itu demi melihat apa 

yang selama ini belum mereka ketahui. Hanya da-

lam dongeng saja hal itu mereka tahu. Tetapi di 

tanah Jawa kini mereka benar-benar melihat 

dengan mata kepala mereka, bukan hanya don-

geng.

"Inti Geni, hiaaaaaatttt...!"


Jaka lepaskan pukulan Inti Geninya. Dan 

api pun seketika membersit, lepas dari tangan-

nya. Bola api itu melesat cepat, mengarah pada 

para ninja. Dengan semampunya, para Ninja Me-

rah yang berjumlah hampir tiga puluh itu meme-

kik lemparkan tubuh mereka menghindar.

"Duuum...!"

Ledakan seketika terjadi, manakala api itu 

mengena ke salah seorang ninja. Dalam sekejap 

saja, tubuh orang tersebut terbakar Inti Api. 

Orang itu mengerang, lalu tak lama kemudian 

merenggang nyawa dan mati dengan tubuh, han-

gus terbakar. 

Betapa gusarnya teman-teman Ninja Merah 

lainnya melihat hal tersebut. Dengan nekad ninja 

lainnya berkelebat babatkan samurai ke arah Ja-

ka. Tersentak Jaka Ndableg, kibaskan tangan 

yang berapi. Seketika api muncrat dari tangan 

Jaka, mendesing menuju ke arah ninja-ninja ter-

sebut yang dengan segera lemparkan tubuh me-

reka menghindar. 

"Wuuut...!"

Sebuah samurai berkelebat, hampir mem-

babat putus leher Jaka kalau saja Jaka Ndableg 

tidak segera rundukkan kepala. Jaka egoskan tu-

buh, lalu dengan cepat tendangkan kaki ke bela-

kang.

Duuuk!

"Aaaaaaa...!"

Orang yang berada di belakangnya meme-

kik. Kaki Jaka menghantam tulang keringnya, 

hingga tulang kering tersebut bagaikan retak.


"Gawat kalau aku tidak dengan senjata," 

gumam Jaka dalam hati. Matanya masih meman-

dang tajam, menghunjam pada orang-orang yang 

beringas berdiri di hadapannya dengan samurai-

samurai siap menyerang.

"Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!"

Tersentak ninja-ninja merah menyaksikan 

hal yang aneh di mata mereka. Bagaimana mung-

kin tiba-tiba Jaka telah menggenggam sebuah pe-

dang bersinar-sinar kuning kemerah-merahan? 

Bagi mereka jelas hal itu suatu keanehan. Namun 

rupanya mereka tak mengenal rasa takut sedikit 

pun. Dengan menggeretak ninja-ninja merah itu 

berkelebat lari siap menyerang dengan samurai di 

tangan mereka. 

"Hiiaaaaaa....!"

"Hem, kalian mencari mati!" rungut Jaka. 

"Hiiiiaaaaattt...!"

"Wuuut...! Wuuuttt...!" 

"Wuuuttt!"

Samurai-samurai di tangan para ninja itu 

terus membabat ke arah Jaka. Jaka dengan en-

teng mengelakkannya, lalu dengan cepat ba-

batkan Pedang Siluman Darah ke arah samurai-

samurai di tangan ninja-ninja merah tersebut.

"Wuuutttt...!"

"Wuuut...!"'

"Traaaaangg.....!"

Membeliak mata ninja-ninja tersebut me-

nyaksikan samurai-samurai mereka telah pun-

tung hingga tinggal genggamannya. Rasa takut di 

hati mereka bukan alang kepalang. Kini mereka


sadar, bahwa senjata yang berada di tangan pe-

muda itu bukanlah sembarangan senjata.

"Aaaaaauuuuuunnnngggg...!"

Tengah mereka terpaku, tiba-tiba terdengar 

aungan panjang menggema. Secepat kilat ninja-

ninja tersebut berkelebat menghilang dari pan-

dangan Jaka setelah terlebih dahulu melempar-

kan bom-bom asap.

"Heh, kemana mereka?" Jaka tersentak, 

mencari-cari keberadaan mereka. "Aneh! Mereka 

dengan cepat menghilang!"

Dengan cepat setelah mengingat akan uca-

pan kakeknya Jaka berkelebat kembali menuju ke 

tempat Ki Aswatama. Larinya bagaikan terbang, 

karena dilandasi oleh ajian Angin Puyuh. Dan ka-

rena saking cepatnya, Jaka nampak bagaikan 

terbang, bukan berlari. Kakinya tidak menginjak 

rumput, melayang di angkasa.


TUJUH



Jaka Ndableg terus berlari menuju ke pon-

dok yang ia tempati bersama Ki Aswatama. Dan 

seketika itu mendidih marahlah Jaka Ndableg 

demi melihat tubuh Ki Aswatama tergeletak den-

gan luka-luka yang menyedihkan. 

"Biadab!" Jaka menggeretak marah. "Sung-

guh biadab yang melakukan ini semua."

Segera Jaka hampiri tubuh tergeletak itu, 

lalu dengan penuh kasih dibopongnya tubuh pe-

nuh luka-luka ke atas, di mana dipan tua berada.


Dibaringkan tubuh tua renta itu ke atas dipan, la-

lu setelah sejenak membaca mantra Jaka segera 

berkata-kata dengan sang Ratu Siluman Darah,

"Sri Ratu, orang ini perlu bantuanmu."

"Siapa dia, Jaka?" terdengar suara wanita 

berkata.

"Dia Ki Aswatama. Ayah mengenalnya," ja-

wab Jaka.

"Baiklah, Jaka. Kau telah menempuh sega-

la ujian yang telah aku berikan secara tidak lang-

sung padamu. Dengan adanya kau lulus ujian 

tersebut, maka sejak saat ini Pedang Siluman Da-

rah resmi menjadi milikmu. Terimalah pedang itu 

yang kini dengan sarungnya. Jaga pedang itu 

baik-baik, sebab pedang itu adalah nyawamu."

"Baik, Sri Ratu. Segala ucapanmu akan 

aku junjung tinggi," Jaka menjawab. "Tapi, apa-

kah Sri Ratu sejak saat ini tak membantuku la-

gi?" 

"Aku akan tetap membantumu, Jaka."

"Trimakasih, Sri Ratu."

"Nah, terimalah Pedang Siluman Darah. To-

longlah kakek tua itu."

Pedang Siluman Darah tiba-tiba tanpa se-

pengetahuan Jaka kini telah menempel di pung-

gungnya dengan lengkap sarung serta tali yang 

tahu-tahu mengikat di tubuh Jaka. Jaka tersen-

tak, melihat kenyataan tersebut.

Dengan segera di tariknya Pedang Siluman 

Darah yang berada di sarungnya. Nampak sinar 

kuning kemerah-merahan memancar, menyilau-

kan mata. Jaka tersenyum senang, lalu dengan


menjura ia berkata: "Oh, terimakasih, Sri Ratu. 

Terimakasih atas segala kepercayaanmu padaku."

"Nah, lakukan apa yang sebaiknya engkau 

lakukan. Tempelkan Pedang Siluman Darah itu 

ke tubuh tua tersebut."

Tanpa membantah, Jaka segera lakukan 

apa yang diperintah oleh Ratu Siluman Darah. Di 

tempelkannya batang pedang pada luka-luka di 

tubuh Ki Aswatama. Dan dalam sekejap saja lu-

ka-luka itu menghilang, kering dengan sendi-

rinya. Racun yang terdapat di dalam darah turut 

keluar, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.

Ki Aswatama menggeliat sadar, membuka 

matanya perlahan-lahan. Matanya nampak te-

rang, memandang sekelilingnya, lalu memandang 

pada Jaka Ndableg yang tersenyum dengan tan-

gan masih mengenggam Pedang Siluman Darah.

"Di mana aku, Jaka?" tanyanya. Jaka ma-

kin lebarkan senyum. "Paman berada di pondok 

paman," jawab Jaka.

Ki Aswatama tersentak mendengar ucapan 

Jaka. "Bukankah tadi aku dikeroyok oleh orang-

orang berpakaian dan cadar serba merah?" gu-

mamnya.

"Jadi benar Paman tadi dikeroyok oleh 

orang-orang asing?"

"Ya! Mereka menanyakan mengenai Kitab 

Banyu Geni."

Jaka terdiam mendengar jawaban Ki Aswa-

tama. Kini ia tahu mengapa orang-orang asing 

tersebut mengeroyoknya di jalan. Mungkin mere-

ka pun diperintah oleh pimpinannya untuk


menghadang dirinya yang dianggap membawa Ki-

tab Banyu Geni.

Mata Ki Aswatama tak lepas memandang 

pada pedang di tangan Jaka. Pedang aneh, yang 

mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan. 

Sebuah pedang yang mampu menggetarkan jan-

tung bagi yang melihatnya. Ki Aswatama memang 

telah mendengar senjata milik cucu sepupunya 

itu, namun melihat bentuknya ia baru kini meli-

hat.

"Tentunya itu Pedang Siluman Darah, Ja-

ka?" tanyanya.

"Ya! Kini pedang ini resmi menjadi milik-

ku."

"Ooh, betapa kau akan menjadi seorang 

pendekar yang tiada tanding, Jaka," Ki Aswatama 

menggumam. "Tapi kau harus ingat bahwa nya-

wamu berada di ujung pedang tersebut, Jaka. 

Kau harus terus menjaganya." 

"Benar katamu, Ki."

Tengah keduanya ngobrol, terdengar se-

ruan dari luar memanggil nama Ki Aswatama. 

"Aswatama, keluar kau!"

Terbelalak mata Jaka dan Ki Aswatama 

mendengar seruan tersebut. Jaka segera bangkit 

dari jongkoknya, berjalan dengan mantap keluar 

rumah di ikuti oleh Ki Aswatama di belakangnya 

yang telah pulih sehat bagaikan tiada pernah lu-

ka.

"Ki Aswatama, cepat keluar!"

"Apa yang membuatmu berteriak-teriak 

orang sinting!" Jaka memaki marah. "Apakah kau


kira kami tidak mendengar?"

"He, he, he...! Kebetulan! Kebetulan sekali!" 

orang tua renta berbadan agak bongkok yang ti-

dak lain Sumping Tindik terkekeh memandang 

pada Jaka. "Kebetulan, kau ada di sini, anak mu-

da."

Jaka tersenyum kecut. Melangkah mende-

kat ke arah Sumping Tindik. Pedang Siluman Da-

rah masih berada di sarungnya, belum layak Jaka 

mengeluarkannya. Mata Jaka memandang tajam 

ke arah Sumping Tindik. Dalam pandangannya 

terdapat tanda tanya, mengapa orang tua renta 

itu mengatakan kebetulan? Apakah orang tua 

bencong tersebut ada ganjelan dengannya?

"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka pada Ki 

Aswatama.

"Dialah yang bernama Sumping Tindik, Ja-

ka."

"Oohh... Jadi engkaulah yang bernama Nyi 

Sumping Tindik?" 

"Eeh, apa kau bilang, anak muda?" Sump-

ing Tindik pelototkan mata genit ke arah Jaka. 

"Kalau saja yang ngomong bukan pemuda gan-

teng sepertimu, mungkin mulutnya sudah kube-

jek."

Jaka tertawa bergelak mendengar ucapan 

Ki Sumping Tindik yang kebencong-bencongan. 

Sementara Ki Aswatama, nampak berusaha te-

nang, Ki Aswatama tetap berjalan dan berhenti di 

samping Jaka.

"Hati-hati, Jaka. Orang tua itu suka sekali 

bila melihat lelaki tampan."


"Aku tahu, Paman," jawab Jaka. "Sumping 

Tindik! Ada gerangan apa kau datang menemui Ki 

Aswatama?"

"Heee, heee, heeee..! Anak muda, aku da-

tang ke mari karena menyangkut masalah Kitab 

Banyu Geni yang berada di tangan Ki Aswatama."

"Hem, kalau benar, kau mau apa?" Tanya 

Jaka.

"Heee, heee, heee...!" Sumping Tindik ter-

senyum, leletkan lidah dengan mata tak henti-

hentinya memandang pada Jaka Ndableg yang 

tampan itu. "Aku tak akan mengungkit-ungkit ki-

tab tersebut asal kau mau melayani kemauanku, 

Anak muda."

"Edan!" maki Jaka dalam hati.

"Apa yang mesti aku lakukan, Nyi?" tanya 

Jaka berkelakar penuh ejekan. "Apakah aku ha-

rus memijitimu dengan senjataku ini?"

"He, he, he...! Kau jangan bercanda, Anak 

ganteng." Sumping Tindik nampak remehkan apa 

yang kini tengah di tarik oleh tangan Jaka Ndab-

leg dari sarungnya.

"Sraaang...!"

Melotot seketika mata Sumping Tindik me-

nyaksikan apa yang kini tergenggam di tangan 

Jaka. Sebuah pedang yang sudah dikenal di du-

nia persilatan dan telah mengguncangkan dunia 

persilatan sekarang-sekarang ini. Pedang tersebut 

menyiratkan sinar kuning kemerah-merahan, 

membersit menyilaukan mata. Dan yang lebih 

aneh, dari ujungnya keluar darah menetes mem-

basahi batang pedang. Sumping Tindik melompat


ke belakang, tersentak kaget seraya memekik ter-

tahan. "Pendekar Pedang Siluman Darah...! 

Kau...?! Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah 

atau Jaka Ndableg?"

"Ya! Akulah Jaka Ndableg, yang akan 

menggantung nyawa busukmu!" Jaka menggere-

tak. "Selama ini aku mencarimu, untuk menghu-

kummu. Tetapi rupanya nasib mujur tengah be-

rada di pihakmu, hingga aku tak tahu tempat 

persembunyianmu. Tapi kini kau datang sendiri 

setelah sepuluh tahun menghilang. Aku diperin-

tah oleh para pendekar untuk menghukummu, 

Sumping!"

Sumping Tindik tersentak, makin menyu-

rut mundur. Matanya kini bukan mata kebencon-

gan, tapi mata Sumping Tindik menyorot tajam, 

menghunjam penuh kebencian pada Jaka. Bibir-

nya tersungging senyum, lalu dengan mengekeh 

dia pun berkata. "He, he, he...! Apa yang akan 

kau perbuat, Jaka? Kau tak akan mampu,"

"Sombong!"

"He, he, he...! Kau terkejut, Jaka?!"

"Bedebah! Dasar Bujang Lapuk!"

Makin marah saja Sumping Tindik men-

dengar ucapan Jaka Ndableg yang mengatakan 

Bujang Lapuk padanya. Dan rupanya hanya uca-

pan itulah yang mampu membangkitkan amarah 

kakek tua renta bencong tersebut.

"Bangsat! Aku bunuh kau...! Hiaaaaattt...!"

Bagaikan seekor harimau lapar Sumping 

Tindik menerkam ke arah Jaka. Melihat Sumping 

Tindik menggunakan tangan kosong, Jaka pun


dengan segera menyarungkan Pedang Siluman 

Darahnya dan memapaki serangan dengan tan-

gan kosong pula.

"Kupecahkan batok kepalamu, Anak mu-

da!"

"Wuuut...!"

Tangan Sumping Tindik berdesing, meng-

hantam batok kepala Jaka Ndableg. Jaka segera 

rundukkan tubuhnya, sehingga tangan Sumping 

Tindik melesat di atas kepalanya beberapa mili.

Jaka kirimkan jotosan ke lambung Sump-

ing Tindik. Dengan cepat Sumping Tindik buang 

badannya ke belakang, hindari jotosan tangan 

Jaka lalu balik menyerang dengan tendangan ka-

ki kanannya membentuk sudut 45 derajat. Itulah 

jurus Kaki Kuda Menerpa Batu Karang.

"Wuuut...!"

Kaki Sumping Tindik menyerang dengan 

tendangan, mengarah ke kemaluan Jaka. Jaka 

tersentak kaget, lemparkan tubuh bersalto hinda-

ri tendangan yang mengarah ke barang miliknya. 

Belum juga Jaka mengetrapkan kakinya, Sump-

ing Tindik telah kembali mencercanya dengan pu-

kulan tangannya. 

"Wuuuttt...!"

"Ah...!" Jaka balas dengan tangan kirinya 

menangkis

"Deb!" Dua tangan itu saling beradu. Meli-

hat hal tersebut, Sumping Tindik kembali ten-

dangkan kakinya ke arah selangkangan Jaka. 

Namun dengan cepat Jaka balas dengan Jurus 

Kera Gila Menyapu Kaki Menghalang Tikus.


"Wuuut...!"

"Bletook...!" 

"Wadauaauuuuw...!" Sumping Tindik me-

mekik, manakala tulang kering kakinya beradu 

dengan tulang kering kaki Jaka yang masih mu-

da. Walau Sumping Tindik telah menyalurkan te-

naga dalamnya, namun Jaka pun tak diam begitu 

saja. Saat Sumping Tindik salurkan tenaga da-

lam, segera Jaka pun mengikutinya salurkan te-

naga dalam pula.

Sumping Tindik pegangi tulang kering ka-

kinya yang terasa remuk. Ia berputar-putar men-

coba hilangkan rasa sakit yang teramat sangat. 

Dan manakala tangannya lepas dari tulang ke-

ringnya, nampak tulang keringnya membengkak. 

Rasa panas teramat sangat menyengat pada 

bengkakan tersebut.

"Kurang ajar! Kau harus membalas semua 

ini!" Sumping Tindik ambil Kipas Hitamnya. Kipas 

tersebut adalah senjatanya. Kehebatan kipas itu 

sudah di uji manakala ia masih merajai dunia 

persilatan. Sumping Tindik kipaskan Kipas Hi-

tamnya. Angin puting beliung seketika keluar 

menerpa pada Jaka dan Ki Aswatama.

Jaka dan Ki Aswatama tersentak kaget, 

lompat ke belakang menghindar. Namun angin 

puting beliung itu terus saja menerpa tubuh me-

reka. Angin itu makin lama makin besar, dengan 

hawa yang mengandung rasa panas.

"Paman, menyingkirlah, biar aku yang 

menghadapi iblis ini."

Ki Aswatama tak membangkang, ia segera


berlalu kembali ke pondoknya, meninggalkan Ja-

ka yang masih menghadapi Sumping Tindik yang 

terkekeh-kekeh kipasan. Sumping Tindik me-

nyangka bahwa Jaka akan mampu ia jatuhkan.

"Sriiing...!"

Tersentak Jaka manakala dari Kipas Hitam 

di tangan Sumping Tindik keluarkan puluhan pi-

sau kecil mendesing ke arahnya. Dengan segera 

Jaka lemparkan tubuh menghindar, lalu dengan 

cepat tebaskan Pedang Siluman Darah ke arah 

pisau-pisau tersebut. Dalam sekali tebas saja pi-

sau-pisau itu luluh lantah, berantakan dengan 

keadaan terpotong-potong.

Mata Sumping Tindik melotot, melihat pi-

sau-pisau kecilnya dengan sekali kebat saja telah 

berantakan dibuatnya. Namun kegagalan pertama 

tidak menjadikan Sumping Tindik menyadari 

bahwa ilmu yang dimiliki oleh Jaka jauh berada 

di atasnya. Dan dengan nekad Sumping Tindik 

menggelegar menyerang.

"Hiiiiiaaaaaaattttt...!"

Jaka tersenyum melihat Sumping Tindik 

mencelat ke arahnya dengan maksud menyerang. 

Segera Jaka kiblatkan Pedang Siluman Darah ke 

arah datangnya Sumping Tindik dengan Kipas Hi-

tamnya.

"Hiiiiaaaaaaaaaattt...!"

Kedua tubuh itu terbang melayang di uda-

ra. Keduanya dengan senjata masing-masing 

nampak melayang, kiblatkan senjata mereka ke 

arah lawan.

"Swiiing...!"


"Wuuut...!"

Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, 

memapaki serangan pisau-pisau maut yang di-

lancarkan oleh Sumping Tindik.

"Trang...!"

"Aaaaaaaah...!" Sumping Tindik memekik, 

manakala salah sebuah pisaunya mencelat balik 

menyerang ke arahnya. Pisau maut itu menghun-

jam di jidatnya, menjadikan sebuah pemandan-

gan yang mengerikan. "Kau...! Awas kau, nanti 

aku akan membuat perhitungan denganmu!"

Setelah berkata begitu, dengan cepat tak 

hiraukan Jaka lagi Sumping Tindik berkelebat 

pergi. Pisau mautnya masih menghunjam di ken-

ing, tak dilepaskan. Pisau tersebut sengaja di-

biarkan menancap di keningnya. Dan kelak pisau 

tersebut akan sebagai bukti manakala ia hendak 

menuntut balas pada Jaka Ndableg.

Jaka hanya terpaku diam, memandang ke-

pergian Sumping Tindik. "Sungguh bencana! Ki-

tab tersebut kalau tidak segera aku bakar, nis-

caya akan terus membawa bencana."

* * *

"Jaka, Tooloooongg...!"

Jaka yang masih mematung diam tersen-

tak demi mendengar seruan Ki Aswatama. Den-

gan masih menggenggam Pedang Siluman Darah 

Jaka segera berkelebat menuju ke pondok di ma-

na Ki Aswatama berada. Baru saja Jaka sampai di 

tengah jalan, terdengar seruan memekik Ki Aswa


tama. 

"Aaahhhh...!"

"Bangsat!" Jaka merutuk marah, lalu den-

gan berkelebat terbang Jaka babatkan Pedang Si-

luman Darah. Tak ayal lagi, semua yang terkena 

hancur berantakan.

"Kalian orang-orang asing, Bangsat! Aku 

bunuh kalian!"

Jaka terus mencerca ninja-ninja merah itu 

dengan sabetan dan babatan pedangnya. Pedang 

Siluman Darah nampak membara laksana men-

gandung api. Kemarahan Jaka benar-benar sudah 

tidak dapat di bendung lagi.

"Wuuut...!"

"Awas...!" terdengar pimpinan Ninja Merah 

menyadarkan pada anak buahnya. Segera anak 

buahnya berkelebat menghindari tebasan pedang 

di tangan Jaka.

"Bagero! Orang Jawa keparat!"

"Bangsat! Kalianlah yang keparat!" Jaka 

memaki marah, mendengar makian pimpinan 

Ninja Merah. Dengan gusar terus mencerca mere-

ka dengan tebasan-tebasan pedangnya. 

"Wuuut...!"

"Aaahhhhhh....!" memekik seorang ninja, 

terbabat putus tubuhnya. Namun seketika mata 

ninja lainnya membeliak kaget, tatkala menyaksi-

kan keanehan di tubuh rekannya. Tubuh rekan-

nya yang terbabat tak mengeluarkan darah se-

tetes pun.

"Bagero! Serang...!"

"Wuuut! Wuuur! Wuuut!"


Samurai di tangan mereka berkelebat den-

gan ganas menyerang Jaka. Tersentak Jaka sege-

ra elakkan serangan yang datangnya berbarengan 

tersebut. Namun tak ayal, sebuah samurai mam-

pu menggores dadanya. Darah mengucur lewat 

goresan dada Jaka, menjadikan Jaka Ndableg 

nampak beringas. Matanya memandang dengan 

tajam, tubuhnya terpaku diam. Jaka kini benar-

benar marah, sehingga tanpa sadar ia keluarkan 

ilmu dari Kitab Banyu Geni. Ilmu tersebut tak lain 

ilmu intinya yang bernama Dewa Geni.

"Dewa Geniii...! Dewa Geniiii! Dewa Ge-

niiii...!"

Tubuh Jaka kini benar-benar telah beru-

bah menjadi Dewa Brahma atau Dewa Api. Di se-

genap tubuhnya kini tertutup api yang menyala-

nyala. Tak urung juga Pedang Siluman Darah Pe-

dang tersebut kini berubah menjadi sebilah pe-

dang api.

Tersentak semua ninja merah melihat hal 

tersebut. Namun dengan segera pimpinannya 

yang tak lain Taka Moro memberikan perintah. 

"Bagero! Serang siluman itu...!"

"Wuuut...!"

"Wuuut...!"

Samurai di tangan ninja-ninja merah ber-

kelebat membabat tubuh Jaka, namun bagaikan 

tak ada artinya samurai-samurai tersebut. Samu-

rai-samurai itu seketika meleleh, berbarengan 

dengan pemiliknya yang langsung terpanggang. 

Sekejap saja semua ninja merah habis dengan tu-

buh terbakar menghitam jadi arang.


"Huaaaaa... Huahaaa...!" Dewa Api tertawa 

bergelak, lalu perlahan berjalan mendekati Taka 

Moro yang ketakutan. "Kau tentunya pimpinan 

ninja-ninja ini, bukan?"

"Be-benar, tuan."

"Kau, aku bebaskan! Katakan pada yang 

menyuruhmu, bahwa di tanah Jawa tak akan ka-

lian mampu berbuat apa-apa. Katakan juga Dewa 

Api akan menghukum mereka jikalau berani ma-

cam-macam di tanah Jawa. Nah, pergilah!" 

Dengan penuh ketakutan Taka Moro men-

jura, lalu tanpa banyak kata lagi Taka Moro yang 

benar-benar tahu dan takut itu berkelebat pergi 

meninggalkan Jaka Ndableg si Dewa Api. Jaka 

tertawa gelak, lalu dengan segera hampiri tubuh 

Ki Aswatama yang tergeletak. Di sarungkannya 

kembali Pedang Siluman Darah, lalu dengan rin-

gan diangkatnya tubuh tua renta tanpa nyawa 

tersebut pergi ke luar. Tubuh tua renta itu bagai-

kan tak terbakar di tangan Jaka Ndableg yang te-

lah berubah menjadi Dewa Api.

Dengan langkah ringan Jaka terus menuju 

ke tempat di mana tubuh tua itu hendak diku-

burkan. Tempat di mana kakeknya dimakamkan.



                              TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar