PUSAKA PENEBUS DENDAM
Oleh D. Affandi
Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh : Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 006 :
Pusaka Penebus Dendam
SATU
Tubuh tumpang tindih berlumuran
darah, kaki, tangan, kepala terputus
dari badannya. Usus terburai, tua
muda, laki-laki perempuan bahkan
sampai pada anak-anak yang tiada
memiliki dosa apa-apa, semuanya tewas
terbantai. Mayat-mayat bergeletakan di
mana-mana, bau kotoran dan amis darah,
semuanya berbaur menjadi satu.
Pemandangan di daerah itu benar-benar
sangat mengerikan sekali bahkan
terlalu sulit untuk diungkapkan dengan
kata-kata. Hujan yang turun begitu
lebatnya sejak awal terjadinya
peristiwa pembantaian itu bahkan
hingga peristiwa pambantaian itu
berakhir, masih belum juga reda. Akan
tetapi guyuran hujan yang begitu
lebatnya tak mampu memadamkan kobaran
api yang membakar seluruh rumah yang
ada di desa itu. Bau daging terbakar
ke mana-mana. Sesungguhnya memang
begitu! Di antara korban-korban itu
memang ada yang tidak sempat keluar
dari rumahnya. Mereka ini langsung
dibunuh di tempat oleh serombongan
orang-orang berkuda yang jumlahnya
tidak lebih dari empat puluh orang!
Tidak begitu jauh dari tempat
malapetaka itu terjadi, tampak seorang
pemuda berlari cepat menuju daerah
yang kini sedang dilanda lautan api.
Gerakannya sangat ringan, tubuhnya
berkelebat di sela-sela pohon rumbia.
Dalam waktu sekejap sampailah dia
ditempat kejadian! Wajah pemuda ini
mendadak berubah pucat, jantung
berdetak cepat! Apa yang dia lihat
hanyalah tumpukan mayat di sana sini.
Mayat dari orang-orang yang sangat
dikenalnya bahkan mungkin orang-orang
yang sangat dicintainya. Pemuda ini
kemudian melangkah cepat pada bekas
sebuah rumah yang selama ini dia
tinggalkan, bahkan hampir empat tahun
lebih. Begitu sampai di depan rumah
yang kini hanya tinggal puing dan bara
menyala, sepasang matanya yang selalu
menatap hampa itu nampak liar
memandang ke sekelilingnya. Di halaman
samping, dia melihat sosok tubuh
bermandikan darah nampak tergeletak
tanpa daya. Dengan sekali lompat,
sampailah pemuda ini pada mayat se-
orang perempuan tua yang tak lain
merupakan ibu kandungnya sendiri.
Pemuda itu segera membalikkan tubuh
yang sudah dingin dan kaku ini. Begitu
tubuh itu terlentang dia berseru tanda
kaget luar biasa. Selain isi perutnya
yang terburai, wanita malang itu juga
mengalami luka pada bagian dada, dan
juga pangkal tenggorokan yang hampir
terputus. Lebih dari itu, pada bagian
kepala nampak cengkah bekas di pukul
benda tumpul sehingga otaknya yang
berwarna putih kecoklat-coklatan itu
berhamburan ke mana-mana. Pemuda ini
meraung setinggi langit! Suaranya
menyayat memilukan hati! Sambil
menangis itu dipelukinya tubuh ibunya
yang malang. Pemuda itu terus menangis
dan tiada henti-hentinya dia meratap,
bahkan menyesali dirinya sendiri.
Tangis yangberkepanjangan dan tiada
henti, dalam waktu sekejap saja telah
membuat kedua mata pemuda itu menjadi
merah dan membengkak. Akhirnya dia pun
sadar, meskipun tetesan air mata darah
sekalipun yang ke luar, hal itu tak
kan mungkin menghidupkan orang yang
sudah mati. Tiba-tiba dia seka kedua
kelopak matanya yang agak le-bar itu,
kedua bola matanya menatap hampa pada
orang yang paling sangat
dikasihaninya. Seorang ibu yang selama
hampir sembilan belas tahun telah
mengasuhnya dengan pengorbanan yang
tiada sedikit.
Lebih dari itu, siapakah yang
telah begitu tega membunuh ibunya yang
dikenal orang sebagai orang yang
sangat baik dan penyantun pada sesama
mahluk hidup. Sepanjang yang dia
ingat, ibunya yang bernama Pujita Sari
itu tidak mempunyai seorang musuh pun.
Terlepas dari semua itu, dia merupakan
seorang tokoh silat yang memiliki
kepandaian sangat tinggi. Kalau hanya
mendapat keroyokan tiga sampai sepuluh
orang belum tentu dia akan kalah,
lebih dari itu mengapa sampai desa itu
dibakar bahkan tak seorangpun dari
penduduknya yang dibiarkan hidup?
Perbuatan biadap sia- sehingga berani
turun tangan sampai sekeji itu?
Memandangi mayat ibunya! Lama-lama
pemuda itu berkata seorang diri.
"Aduh emak! Kalau aku tau akan
begini jadinya, tidak aku turuti
perintahmu untuk berguru pada eyang
Siku Panulu! Empat tahun adalah waktu
yang sangat lama! Engkau kutinggalkan
seorang disini, semua itu hanya karena
aku ingin disebut sebagai seorang anak
yang berbakti! Akan tetapi...!" Belum
lagi pemuda bertangan buntung itu
sempat melanjutkan kata-katanya,
mendadak tiga butir air matanya
menggelinding jatuh, dia teramat
sedih, hatinya benar-benar sangat
terpukul. Dengan masih tersendat dia
menyambung kembali," Emak! Belum lagi
aku dapat membalas semua kebaikanmu,
tiba-tiba engkau pergi dengan keadaan
yang sangat menyedihkan sekali! Oh!
Pada siapa kuharus bertanya tentang
semua ini...!" ujar si pemuda dengan
wajah semakin kuyu.
Lagi-lagi dia memandang pada
sekelilingnya, mayat-mayat
bergelimpangan, darah berceceran!
Secara tiba-tiba pemandangan seperti
itu membangkitkan amarahnya. Kedua
matanya mendadak bernbah liar dan
beringas, tubuh menegang, sementara
kedua bibirnya terkatup rapat-rapat.
"Mayat-mayat tak berdosa!
Pembunuh-pembunuh bangsat...! Iblis-
iblis berhati laknat...! Tak kan
kubiarkan semua ini berlalu begitu
saja. Kalian telah membunuh penduduk
desa yang tiada berdosa. Kalian telah
membunuh emaaaakkuuuu...!" Bagai orang
yang sedang kerasukan setan pemuda ini
berteriak-teriak memecah keheningan.
Si pemuda yang sedang mengalami
guncangan batin yang sangat hebat ini
tiba-tiba berubah bagai orang
linglung, sebentar dia menangis bagai
anak kecil di lain saat dia tertawa
tergelak-gelak sambil mengumbar
pukulan-pukulan yang sangat dahsyat,
di sekitar tempat itu menjadi porak
peranda. Tubuh-tubuh yang sudah tiada
bernyawa itu berpelantingan tak tentu
ujudnya. Agaknya dia sudah berubah
menjadi edan, karena tidak mampu
menahan guncangan batin yang maha
hebat. Sambil memanggul tubuh ibunya
yang sudah kaku dia berjingkrak-
jingkrak kesana ke mari.
Pada saat yang bersamaan tiba-
tiba terdengar gelak tawa yang sangat
memekakkan gendang-gendang telinga.
Begitu suara tawa menggelegar itu
terhenti, mendadak terdengar pula
ucapan mengejek dan mencaci maki:
"Budak tolol yang bernama Awang
Taruna! Kunyuk hina yang mengaku
sebagai anak cecurut golongan berhati
lurus! Bagimu kematian mungkin
sesuatu yang sangat mengerikan! He..,
he... he...!" kata suara itu sambil
terkekeh kembali. Akan tetapi
sesungguhnya kematian itu walau
bagaimana ujudnya merupakan sesuatu
yang pasti dan tak bisa ditawar-tawar
lagi. Mengapa harus menyesal, mengapa
engkau harus marah? Semua penduduk di
desa ini memang sudah selayaknya
mampus. Pula kematian ibumu yang
berkedok sebagai kaum yang lurus!
Membabat rumput memang harus tuntas
sampai ke akar-akarnya agar kelak tak
menjadi biang penyakit. Karena mereka
memang masih kurang begitu becus
membongkar akar! Maka kami akan
melanjutkan pekerjaan mereka yang
belum selesai...!" kata suara itu
dengan nada penuh ancaman.
Awang Taruna yang mulai detik itu
fikirannya memang sudah tak dapat
berjalan normal, malah nampak tertawa
panjang-panjang. Meskipun begitu,
keberingasan tetap terpancar dari
tatapan matanya yang memerah.
"Kematian... menyesal...
marah...! Agaknya engkau setan neraka
yang telah membunuhi mereka...!"
bentak Awang Taruna yang memang sudah
berubah setengah gila.
"Kalau memang benar engkau setan
neraka! Tunjukanlah mukamu...!" kata
Awang Taruna menyambung. Terdengar
kembali gelak tawa dari rerumpunan
pohon rumbia.
"Rupanya kematian ibumu benar-
benar telah membuatmu menjadi setengah
gila Bagus... membunuh orang gila
memang sama mudahnya dengan membunuh
seekor anjing kesurupan...!" Bersamaan
dengan ucapannya itu, tahu-tahu di
depan Awang Taruna telah berdiri dua
orang kakek bungkuk berkepala botak
berjanggut putih. Tubuh mereka
setengah telanjang dengan bercawatkan
kulit kambing. Mulut kedua orang ini
tak henti-hentinya berkomat-kamit.
Sedangkan hampir keseluruhan badan
mereka dipenuhi dengan gambar tatto
perempuan telanjang dengan berbagai
posisi. Orang-orang persilatan
mengenal mereka sebagai Dua Bangkotan
Pelalap Daun Muda berasal dari Pulau
Putri. Selama malang melintang dalam
rimba persilatan mereka ini terkenal
dengan segala kejahatannya dalam
menculik dan melarikan anak bini
orang. Ilmu kepandaian mereka,
golongan manapun belum ada yang mampu
menandinginya, telengas dan merupakan
dua orang pembunuh berdarah dingin. Di
kolong langit ini hanya ada seorang
tokoh yang membuat mereka jeri. Yaitu
dedengkot persilatan golohgan putih
yang telah hampir dua puluh tahun
mengasingkan diri di dasar air terjun
Sampuran Harimau. Siapa lagi kalau
bukan Eyang Wiku Panulu yang juga
masih merupakan guru Awang Taruna yang
sudah berubah setengah gila.
Kini ketiga orang itu sudah
saling berhadap-hadapan, kedua kakek
botak yang memiliki nama asal Datuk
Kwalat dan Datuk Kwali ini memandang
sinis pada Awang Taruna setengah gila.
Sesungging senyum sinis membangkitkan
dendam masa lalu mereka pada Pujita
Sari, yaitu ibu kandung Awang Taruna.
Tiba-tiba Datuk Kwalat menghardik:
"Hemmm! Engkau titisannya Bayu
Siliwara yang telah merampas Pujita
Sari dari genggaman kami! Wajahmu
benar-benar sangat mirip dengan Bayu
Siliwara yang telah mampus delapan
belas tahun yang lalu di tangan kami.
Meskipun si Bangsat itu telah mampus,
akan tetapi dendam kami tetap setinggi
langit! Pujita Sari yang kami cinta
telah berangkat pula ke akherat oleh
tangan-tangan si Kumbang Kencana. Kami
tak hendak bermusuhan mereka, karena
sesungguhnya Kumbang Kencana juga
terlibat hubungan cinta dengan emakmu
yang dulu sangat cantik menggiurkan
setiap laki-laki...!"
"Kupu-kupu malang itu kini telah
mampus! Sebagai keturunannya engkau
pun harus mampus pula...!" sambung
Datuk Kwali.
Sementara itu, Awang Taruna yang
kesadarannya sudah mulai hilang timbul
nampak terlongong-longong. Meskipun
begitu dia mempunyai anggapan bahwa
pastilah orang yang sedang berhadapan
dengan dirinya itu merupakan orang
yang menyebab malapetaka di desanya.
"Bangsat betul! Emakku yang sudah
tua engkau bilang kupu-kupu! Jadi
kalianlah monyetnya yang telah
membunuh orang-orang di sini...!"
bentak Awang Taruna tertawa sambil
marah. Baik Datuk Kwalat maupun Datuk
Kwali, nampak saling pandang
sesamanya, mereka geleng-gelengkan
kepala. Karena pada kenyataannya si
pemuda keturunan Bayu Siliwara itu
benar-benar sudah setengah gila.
"Bocah edan! Bukan kami yang
bunuh emakmu... tapi komplotan Kumbang
Kencanalah yang telah melakukannya!
Biarpun begitu, karena engkau monyet
keturunannya Bayu Siliwara, maka kami
pun akan membunuhmu...!" bentak Datuk
Kwali sangat marah. Awang Taruna
tergelak-gelak, digoyang-goyangkan
mayat ibunya yang menggelantung di
bahu kirinya. Sisa-sisa darah nampak
menetes lalu membasahi bajunya yang
berwarna kuning gading.
"Bagus... bagus...! Kalian memang
benar-behar seorang ksatria... sudah
membunuh orang banyak mau pula
mengakui perbuatannya. Cepat-cepatlah
kalian membunuh diri di depan mataku,
biar tak usah bersusah payah aku
mengotori tanganku dengan darah...!"
Demi mendengar jawaban si pemuda,
mendadak wajah Dua Bangkotan Pelalap
Daun Muda berubah menjadi kelam
membesi. Mereka memaki panjang pendek!
Cara berfikirnya Awang Taruna yang
sudah salah kaprah itu membuat kedua
orang ini menjadi sangat kesal
setengah mati.
"Kunyuk sinting! Kiranya kematian
emakmu, benar-benar telah membuatmu
jadi gila...!" bentak Datuk Kwalat
sangat murka sekali.
"Kalau begitu cepat kita gebuk
saja bocah gendeng ini kakang...!"
Datuk Kwali sudah tak sabaran lagi.
Dalam pada itu tanpa menghiraukan
ucapan kedua Bangkotan Pelalap Daun
Muda, Awang Taruna malah balas
membentak:
"Tua bangka muka tuyul...! Sedari
tadi kalian cuma ngoceh tak karuan!
Katanya mau bunuh diri, mana...! Cepat
lakukan...!"
"Kakang, bocah gemblung ini
mulutnya semakin kurang ajar saja...!"
ujar Datuk Kwali sambil perotkan
mulutnya.
"Engkaupun tolol! Sudah ketahuan
orang gila, masih juga kau ajak
ngomong! Tunggu apa lagi! Mari kita
gebuk beramai-ramai...!" Tanpa
berkata-kata lagi, kedua Datuk dari
Pulau Putri inipun langsung menyerang
Awang Taruna. Biarpun sudah setengah
gila, agaknya naluri kependekarannya
masih menyadari adanya bahaya yang
sedang mengancamnya, dengan sangat
mudah dia berkelit kemudian mundur
sepuluh langkah.
* * *
DUA
Dengan masih memanggul mayat ibu-
nya, pemuda linglung inipun membentak
marah pada kedua datuk ini: "Kurang
ajar! Kalian telah mengingkari janji
kalian sendiri! Kalian benar-benar
setan berkedok tuyul...! Setan tuyul
harus mampus!
"Malang sekali nasibmu bocah!
Sudah gila harus mampus pula...!"
berkata begitu Datuk Kwalat langsung
menerjang dengan serangan-serangan
ganas, Datuk Kwalipun tidak tinggal
diam, dengan jurus Menyibak Kuntum
Menghisap Madu, laki-laki berkepala
botak ini kirimkan pukulan-pukulan
yang sama hebatnya pada Awang Taruna.
Tangan dan kaki mereka berkelebat
sangat cepat, mencecar bagian tubuh
Awang Taruna yang nampak lemah dan
rawan. Inilah sifat dari jurus Dewa
Timbulkan Bencana yang pernah
diturunkan oleh gurunya Eyang Wiku
Panulu. Memancing lawan untuk memukul
atau lancarkan serangan pada bagian
yang sengaja dibiarkan terbuka setelah
lawan terpancing dan lancarkan
serangan maka dengan cepat kirimkan
pukulan yang mematikan.
Ternyata pancingan yang
dilancarkan oleh Awang Taruna yang
setengah edan itu nampaknya
mendatangkan hasil. Karena begitu
melihat pertahanan lawan nampak
terbuka di beberapa bagian, bagai
anjing yang hendak berebut tulang.
Kedua datuk bersaudara inipun langsung
kirimkan satu pukulan yang ganas
mengarah pada bagian perut, dada serta
leher lawannya. Pukulan ganas itupun
menderu dan timbulkan suara
menggemuruh bagaikan hujan lebat.
Hanya tinggal berjarak satu inci saja
pukulan itu mencapai sasarannya. Dalam
hati merekapun berharap, dengan satu
kali pukulan yang berisi tenaga dalam
itu segera meremukkan dada dan perut
lawannya. Akan tetapi sungguh di luar
dugaan kedua orang ini, secepat kilat
tubuh Awang Taruna melesat cepat ke
udara sambil hadiahkan dua pukulan
hebat yang oleh Eyang Wiku Panulu
diberi nama Menembus Kabut Memukul
Hantu pada kedua orang datuk ini. Baik
Datuk Kwalat maupun Datuk Kwali yang
tiada menyangka bahwa pukulan mereka
dapat dielakkan oleh lawannya yang
sudah setengah gila, nampak menjerit
keras. Kepala mereka yang botak
pelontos nampak memar membiru, terasa
sangat panas dan pusing luar biasa.
Lebih dari itu di samping pihak lawan
yang dapat mengkelit pukulan mereka,
bahkan hadiahkan dua pukulan
sekaligus. Celakanya pukulan mereka
malah saling bertubrukan sesamanya.
Kedua tangan yang saling berbenturan
sesamanya ini nampak membengkak dan
berubah kehitam-hitaman, berdenyut
sakit luar biasa. Kedua datuk ini
nampak menyurut beberapa langkah,
wajah mereka pucat pasi. Nafas ngos-
ngosan bagai habis diburu setan kubur.
Cepat-cepat mereka telan dua butir pil
penawar racun milik pukulan mereka
sendiri. Beberapa saat kemudian,
tangan yang menghitam itu sudah
berubah menjadi sediakala. Akan tetapi
hal itu tidak mengurangi kejut di hati
mereka begitu kedua Datuk ini saling
memandang sesamanya. Datuk Kwalat
dapat melihat betapa akibat pukulan
yang dilepaskan oleh si pemuda
setengah gila telah membuat kepala
kembratnya nampak benjol sebesar telur
angsa, begitupun kala dia meraba
kepalanya sendiri, keadaannya tidak
lebih baik dari kembratnya. Bukan
alang kepalang datuk ini malu
bercampur murka. Sepanjang sejarahnya
selama malang melintang dalam rimba
persilatan, belum pernah mereka
dipermalukan seperti ini! Kalaupun
mereka mendapat lawan tangguh ataupun
setingkat biasanya hanya dengan waktu
lima belas jurus saja mereka sudah
dapat merobohkannya atau bahkan
membunuhnya sekaligus. Tetapi kini se-
orang pemuda yang masih ingusan bahkan
terganggu pula jiwanya, mampu
mengelakkan pukulan-pukulan mereka
yang diberi nama Menyibak Pelangi
Merampas Bidadari, lebih dari itu
pemuda kurang waras inipun sempat
menghadiahkan dua pukulan yang mampu
membuat kepala mereka mendapat benjol
sebesar telur angsa. Hal ini sungguh
keterlaluan dan bahkan sangat
memalukan. Benar-benar gila!
Kedua datuk itu kemudian saling
pandang sesamanya, tak lama kemudian
dengan diawali jerit tinggi
melengking. Kedua orang ini langsung
saja kirimkan pukulan-pukulan jarak
jauh yang lebih hebat dari sebelumnya.
Awang Taruna nampaknya malah lebih
gila lagi dalam bergebrak, dengan
mengandalkan pukulan Membalik Air
Terjun Menendang Bayang-Bayang, dengan
sangat cepat dia memapaki pukulan-
pukulan yang dilancarkan oleh lawan-
lawannya. Pemuda gila ini mana perduli
lagi dengan keselamatan diri sendiri.
Masih merupakan keuntungan bagi
dirinya meskipun kesadarannya selalu
hilang timbul, akan tetapi gerakan-
gerakan silatnya yang sudah sangat
terlatih membuat tangan dan kaki
selalu melakukan gerakan-gerakan
reflek yang tiada dapat diduga-duga,
oleh lawannya. Satu saat datuk-datuk
dari pulau Putri ini lakukan pukulan
yang diberi nama Kumbang Jantan
Menendang Kuncup. Pukulan yang
terkenal ganas ini merupakan puncak
dari ilmu sesat yang mereka miliki.
Tangan-tangan mereka nampak terpentang
ke atas, beberapa saat kemudian tubuh
datuk-datuk ini tergetar dan tampak
menegang untuk beberapa saat lamanya.
Sampai kemudian dengan diawali jerit
melengking secara ber-samaan mereka
pukulkan kedua tangannya mengarah pada
si pemuda. Gelombang pukulan berwarana
merah menyala menderu dan timbulkan
suara bercuitan. Awang Taruna nampak
berjingkrak kaget begitu merasakan
hawa pukulan yang dilepaskan oleh
kedua orang Datuk dari Pulau Putri
ini. Secara refleks dia cabut pedang
yang terselip di bagian pinggangnya.
Cepat-cepat dia putar pedang untuk
melindungi diri. Tanpa ampun gelombang
pukulan yang dilancarkan oleh kedua
datuk inipun melabrak benteng
pertahanan Awang Taruna yang berupa
gulungan sinar pedang pemberian Eyang
Wiku Panulu itu. Dan pada saat itu
juga.
"Trang! Trang!"
Benturan yang sangat keras itupun
terjadi! Yang anehnya begitu pukulan
yang dilancarkan oleh Datuk Kwalat
maupun Datuk Kwali membentur gulungan
sinar pedang milik Awang Taruna,
nampak membalik dan menyerang tuannya
sendiri. Kalau saja kedua datuk dari
Pulau Putri ini tidak cepat-cepat
mengelak maka alamat binasalah kedua
orang ini. Dengan sangat cepatnya
pukulan Kumbang Jantan Menendang
Kuncup ini melesat dan melabrak
sebatang pohon di belakang mereka.
Pohon itu ambruk dan timbulkan suara
bergemuruh.
"Tobat!" rutuk Datuk Kwali
panjang pendek.
"Bocah gila itu kiranya punya
senjata dan pukulan yang membuat dunia
persilatan mentertawai kita...!" umpat
si Datuk Kwalat sambil terus berkomat
kamit. Mendadak Datuk Kwali yang sejak
tadi memperhatikan senjata yang
tergenggam di tangan lawannya, berseru
tertahan! Kedua matanya nampak melotot
bagai hendak meloncat ke luar.
"Kakang! Lihatlah bocah edan itu
menggenggam pedang milik Bangkotan
Wiku Panulu! Kita tak bakalan unggul
menghadapi bangsat ini kakang...!"
seru Datuk Kwali ciut nyalinya. Pada
saat itu Datuk Kwalat pun tak kalah
terperanjatnya. Mendadak wajahnya
berubah memucat. Kemudian dengan
terheran-heran dia bertanya pada
kambratnya.
"Dari mana dia peroleh pedang
yang hampir membuat kita celaka
beberapa tahun yang lalu itu ya
adik...?"
"Mungkin dia merupakan murid dari
si tua bangsat itu kakang...! Lihatlah
tadi juga dia memainkan jurus-jurus
yang pernah dimiliki oleh Wiku celaka
itu...!" ujar Datuk Kwali mereka-reka.
"Hhh! Benar juga katamu! Lalu
bagai-mana ini...?!" tanya Datuk
Kwalat bagai orang linglung.
"Tunggu apa lagi! Kalau kita tak
ingin mampus lebih baik kabur
saja...!"
"Kalau begitu kita hubungi kawan-
kawan kita!" Tanpa berfikir panjang
kedua orang inipun sebentar saja telah
berkelebat pergi dari tempat itu.
"Tuyul-tuyul bangsat! Mau kabur
ke mana... tinggalkan dulu kedua
gundulmu!" Celakanya begitu hendak
kiblatkan kedua tangannya, mendadak
sakit gilanya kumat. Beberapa saat
kemudian Awang Taruna nampak
kebingungan. Dasar orang gila! Musuh
minggat ke Barat, eeh! Dia malah merat
ke Timur!
* * *
Langit hitam, cakrawala hitam!
Senja terus bergulir tiada henti.
Sekejap pemuda berkuncir dengan sebuah
periuk besar yang tiada pernah
bergoyang walau dibawa berlari-lari
secepat apapun memandang ke angkasa
kelam! Dalam hati dia menggerutu
sendirian! Hujan. Panas. Semuanya
datang silih berganti. Tiada henti
tiada pula berkesudahan. Sebentar lagi
hujan lebat sudah akan mengguyur alam
sekitarnya. Kalau dugaannya ternyata
benar, sudah dapat dipastikan pula
tubuhnya menjadi basah kuyup. Lebih
celaka lagi kalau di kota yang dia
tuju itu tak terdapat sebuah
penginapan! Pendekar Hina Kelana belum
lagi usai dengan kata-katanya ketika
secara tiba-tiba hujan deras turun
bagai tercurah dari atas langit sana.
Dengan mempergunakan ajian Sapu Angin
begitu cepat tubuh pemuda itu
berkelebat. Dalam waktu sekejap saja
dia sudah sampai di jalan besar yang
menghubungkan tempat keramaian di kota
itu! Pemuda itu nampak celingukkan
begitu menginjakkan kakinya di tengah-
tengah kota itu. Begitu dia melihat
adanya sebuah warung yang merangkap
sebagai tempat penginapan langsung
saja dia mengayunkan langkahnya ke
sana! Tubuhnya yang kekar berotot
nampak menggigil kedinginan begitu dia
sampai di depan warung itu. Seorang
pelayan laki-laki dengan tergopoh-
gopoh tampak menghampiri si pemuda.
"Kisanak mencari siapa...?" tanya
pelayan tadi berlagak pilon. Ditanya
seperti itu, sudah barang tentu pemuda
ini nampak keheran-heranan.
"Bapak! Bukankah tempat ini
merupakan sebuah warung penjual
makanan?" tanyanya dengan pandangan
menyelidik. Laki-laki pelayan itu
kelihatan tergagap dan menoleh kenan
kiri bagai orang yang ketakutan.
"Tu... tuan! Tempat ini memang
sebuah warung. Akan tetapi dalam
keadaan hujan begini kami tidak terima
tamu! Dan lagi makanan memang sudah
habis sejak sore tadi...!"
Buang Sengketa tersenyum getir
begitu mendengar jawaban laki-laki
itu. Pelayan ini benar-benar mau
mengelabuhinya. Padahal tadi dia
sempat melihat makanan yang dipajang
di atas almari kaca. Kemudian dia
teringat pada dirinya sendiri yang
berpenampilan mirip seorang gembel!
"Bapak! Apakah engkau takut kalau
aku tak mampu membayar makanan?" tanya
si pemuda agak tersinggung. Sekejap
dia merogoh sakunya, lalu keluarkan
beberapa keping uang perak. Nampaknya
pelayan ini semakin ketakutan saja.
"Bukan... bukan begitu maksudku
Tuan! Makanan yang ada sudah di borong
semua oleh orang...!"
Biarpun Buang Sengketa sudah
mendongkol dalam hati, tapi dicobanya
juga untuk bersabar.
"Kalau engkau tak dapat
menyediakan makanan untukku! Apakah
engkau bersedia menunjukkan kamar
sebagai tempat aku menginap malam
ini...!" tanya pendekar Hina Kelana
sambil melirik pada laki-laki itu.
Paras pelayan itu semakin bertambah
memucat.
"Maaf Tuan! Di sini tidak ada
penginapan, silakan Tuan cari di
tempat lain saja...!" jawab laki-laki
itu pula. Dalam pada itu, tiba-tiba
terdengar suara teguran dari dalam
Kedai:
"Pelayan! Pekerjaanmu saja masih
belum beres, mengapa kau layani segala
macam kucing kurap? Cepat engkau usir
dia sebelum selera makanku benar-benar
terganggu”
Buang Sengketa meskipun sudah
sangat kesal, tadi dia sudah berniat
meninggalkan tempat itu untuk segera
mencari penginapan yang lainnya. Akan
tetapi mendengar sindiran dan bentakan
seperti itu, tentu saja dia tak mau
terima dan balik langkah kembali.
"Setan alas! Kiranya engkau telah
membohongiku pelayan! Kucing kurap
tidak engkau layani! Tapi Anjing buduk
malah engkau biarkan melahap seisi
warungmu...!" Buang Sengketa balas
menyindir. Sesungguhnya dia ingin
lihat macam apa tampangnya monyet yang
tak memiliki peradatan itu. Laki-laki
pelayan ini begitu mengetahui gelagat
yang tak baik, segera melangkah ke
dalam. Sesampainya di dalam dia lebih
terperanjat lagi, karena dilihatnya
laki-laki yang telah memberi perintah
itu sudah sangat marah. Sekali
cengkeram tubuh yang kurus itupun
sudah terangkat tinggi-tinggi. Pelayan
ini menggigil ketakutan.
"Maa... maafkan saya Tuan! Orang
itu benar-benar tidak mau tahu! Pula
aku sudah mencoba menasehatinya...!"
"Pelayan dungu! Pelayan goblok
tiada guna. Pergi sana...!" Laki-laki
berbadan ge-muk tinggi itu sekali saja
mengayunkan tangannya, tubuh pelayan
krempeng itu langsung melayang dan
menabrak dinding warung hingga bobol
berantakan.
* * *
TIGA
Tubuh pelayan itu tersungkur ke
luar dinding tembok dengan tulang
kepala remuk dan nyawa melayang
seketika itu juga. Mendidihlah darah
Pendekar Hina Kelana demi menyaksikan
kekejaman terjadi di depan matanya.
Begitu laki-laki berbadan tinggi ini
nampakkan wajah, pemuda ini untuk
sesaat lamanya dia mengawasi laki-laki
berkulit hitam macam arang ini dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Laki-laki berkumis melintang ini
nampak mengenakan pakaian hitam pula,
dengan simbol berbentuk seekor Kumbang
Kencana berwarna putih dan terletak di
bagian dada sebelah kiri. Di
pinggangnya yang gembrot kedodoran
tergantung pula sebuah golok besar
yang hampir-hampir terjuntai sampai ke
lantai. Di belakang laki-laki itu
berdiri pula beberapa orang berpakaian
sama. Menilik wajah mereka yang nampak
kemerah-merahan, Buang Sengketa dapat
menduga bahwa orang-orang itu sedang
dalam ke adaan mabuk.
"Iblis Hitam! Kejam sekali
pebuatanmu, benar-benar manusia
dajal...!" Mengetahui keadaan si
pemuda laki-laki kumis melintang ini
nampak mencemooh. Dengan suaranya yang
berat dan parau dia balas menghardik.
"Gembel hina! Lancang sekali
mulutmu, tidakkah engkau tahu dengan
siapa kau berhadapan...!" geram lali-
laki itu melotot.
"Huh! Yang kutahu aku sedang
berhadapan dengan manusia iblis pantat
kuali...!" Di ejek seperti itu,
gusarnya bukan main wakil ketua
Kumbang Kencana ini dibuatnya.
"Jahanam! Kau benar-benar ingin
cari perkara dengan kami...!" kata
laki-laki wakil ketua Kumbang Merah
dengan kemarahan yang alang kepalang.
Wajahnya yang hitam macam pantat
periuk itu nampak menegang, sebentar
kemudian telah berubah kelam membesi.
"Ha... ha... ha...! Sifatmu yang
serakah dan telengas saja sudah
terlalu sulit bagiku untuk
mengampunimu! Engkau jangan pura-pura
tak punya dosa...!" kata Buang
Sengketa sambil tertawa mengekeh.
"Cuih! Bangsat... gembel! Besar
juga nyalimu, berani turut campur
segala urusan Kumbang Kencana. Sebut
dulu namamu agar kami tak susah
menulis namamu di atas kuburanmu
nanti...!"
"Hak... hak... hak...! Sekali
engkau jual lagak di depan hidungku!
Tidak nantinya aku mengampuni jiwa
anjingmu...!"
"Kakang Projo! Lancang sekali
mulut bocah ini, sebainya kita gebuk
saja beramai-ramai...!" kata laki-laki
yang berdiri di samping si kumis
melintang nampak tak sabaran lagi.
"Benar sekali ucapanmu itu
Pariluwing! Kucing kurapan ini memang
pantas mendapat hukuman yang
setimpal...!"
"Tunggu apa lagi...! Anak-anak
sikat dia...!" perintah laki-laki muka
pantat kuali memberi komando. Buang
Sengketa tergelak-gelak kembali.
"Mengapa harus kepalang tanggung,
maju saja kalian semua...!"
"Sombong sekali mulutmu bocah!
Menghadapi anak buahku saja belum
tentu umurmu dapat bertahan sampai
lima jurus di depan...!" ucap laki-
laki kumis melintang memandang rendah
pada Pendekar Hina Kelana. Serentak
dengan usainya ucapan Projo sepuluh
orang anak buah sudah bergerak dan
mengepung Pendekar Hina Kelana. Pemuda
ini tersenyum getir. Dengan ucapan
seolah-olah ditujukan pada dirinya
sendiri dia berkata:
"Beratus-ratus orang telah mampus
karena kejahatannya! Mungkin kalian
juga orang berikutnya yang mempunyai
nasib tak lebih dari sekawanan domba
liar yang selalu diburu untuk kemudian
tersungkur dalam kematian yang
menyakitkan...!" tukas Pendekar Hina
Kelana dengan pandangan berapi-api.
Tanpa menghiraukan ucapan pemuda ini,
orang-orang bertampang beringas inipun
menyambut.
"Heaaa... Shaaat...!" Langsung
kesepuluh orang ini dengan berbagai
senjata terhunus menyerang dahsyat
pada Buang Sengketa. Dalam waktu
sekejap saja di dalam kedai itu
terjadilah pertarungan yang sangat
seru. Pedang dan golok di tangan
lawan-lawannya berkelebat ganas.
Membabat, menusuk dan bahkan bagai
sebuah rangkaian gelombang datang
bertubi-tubi tiada henti. Dengan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra
pendekar ini nampak bergerak cepat,
tubuhnya dengan gerakan sangat ringan
berkelebat-kelebat sehingga hanya
merupakan bayang-bayang saja. Sewaktu-
waktu tubuh pemuda ini bergerak
merapat bahkan hanya berjarai satu
jengkal saja dengan senjata lawan-
lawannya. Gerakan ini sesungguhnya
hanya merupakan sebuah tipuan belaka.
Sebab tak lama kemudian begitu,
pengeroyoknya menyerang dirinya dengan
diiringi teriakan-teriakkan membahana,
secepat kilat dia berkelit.
"Hiaaat... Mampuslah...!" teriak
beberapa orang lawannya.
"Wuut!" Buang Sengketa berkelit
lagi, lalu bermunculanlah kesempatan
yang benar-benar sangat dia nantikan.
Kaki kirinya menendang ke arah
selangkangan orang yang paling dekat
dengan dirinya.
"Jrot!" Laki-laki gendut yang
menyerangnya dengan sebilah pedang
pendek itupun melolong kesakitan bagai
kerbau disembelih, karena pusaka
keramatnya tertabrak kaki lawannya.
Tubuhnya langsung menggelupur dan
berguling-guling mirip bayi kehilangan
tetek ibunya. Tanpa menghiraukan laki-
laki gendut itu Buang Sengketa terus
bertindak.
"Tuk! Tuk! Tuk!" Tiga buah
jemarinya dengan gesit telah menotok
urat gerak ketiga orang lawannnya
sehingga tubuh mereka menjadi kaku dan
sangat sulit untuk digerakkan. Tak
lama setelah itu dengan gerakan lebih
cepat lagi, pemuda ini nampak
berjumplitan. Kemudian begitu tubuhnya
menukik, satu pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang terkenal sangat dahsyat
itu melesat cepat dari kedua telapak
tangannya. Selarik sinar yang hampir
tak terlihat oleh kasat mata itupun
menderu. Udara di sekitarnya menjadi
sangat panas luar biasa. Tak ampun
lagi pukulan yang terkena dahsyat
itupun melabrak enam orang lainnya.
Tubuh mereka berpelantingan beberapa
tombak. Ada yang menabrak dinding
hingga bobol, ada yang menabrak tempat
penyimpanan barang pecah belah dan
bahkan ada pula yang menabrak ketuanya
sendiri yang bernama Pronjo itu.
Tubuh-tubuh yang tersambar pukulan
maut itu nampak tewas seketika itu
juga. Sekujur badan mereka menjadi
gosong dan sudah sangat sulit untuk
dikenaIi lagi. Mengetahui anak buahnya
berantakan hanya dalam waktu yang
sangat singkat, bahkan beberapa orang
di antaranya tewas pula dalam keadaan
yang sangat menyedihkan. Pronjo wakil
ketua Kumbang Kencana ini nampak
sangat marah sekali. Di hatinya
sesungguhnya dia keder juga. Sepuluh
orang bawahannya itu bukanlah
sembarangan orang, Mereka merupakan
orang-orang pilihan yang sudah diuji
dan tak perlu diragukan akan kemampuan
mereka. Bahkan selama ini setiap ada
kejadian apapun, wakil ketua Kumbang
Kencana ini cukup mempercayakan pada
kesepuluh orang bawahannya ini saja.
Akan tetapi kini menghadapi
pemuda gembel yang menurut dugaannya
semula tidak memiliki kepandaian apa-
apa, ternyata hampir kojor semuanya.
Dengan kemarahan yang meluap-luap,
orang inipun membentak: "Kunyuk Hina!
Kiranya engkau memiliki kebisaan juga.
Pantas saja engkau berani bertingkah
di depan wakil ketua Kumbang
Kencana...!"
"Jangankan hanya terhadap wakil
ketua Kumbang Kencana bego! Terhadap
segala wakil setan belang sekalipun
kalau jumpa pasti kugebuk...!" kata
Pendekar Hina Kelana dengan tawa
mengekeh.
"Wah! Keparat betul! Nih
makanlah...!" Tanpa basa basi lagi
Pronjo hantamkan tangan kanannya
mengarah pada bagian kepaIa lawannya.
Selarik sinar hitam datang begitu
cepat, bergulung-gulung bagai awan di
langit lepas. Terhadap manusia
telengas seperti manusia muka pantat
kuali ini, mana mau Buang Sengketa
bertidak ayal-ayalan. Langsung saja
dia menyambuti dengan pukulan "Empat
Anasir Kehidupan." Selarik sinar ultar
violet yang hampir-hampir tak terlihat
oleh mata yang kasat, menderu dan
timbulkan suara bak auman ratusan ekor
serigala lapar.
"Blam!" Tubuh si kumis melintang
terjengkang sepuluh langkah dengan
menabrak beberapa meja yang berada di
belakangnya. Meja-meja itu hancur
berantakan. Dengan kepala benjol di
sana sini. Laki-laki bongsor muka
pantat kuali itupun kembali bangkit.
Akan tetapi betapa kagetnya hati
Pronjo begitu melihat pemuda tampan
berpakaian gembel ini masih tetap
berdiri pada tempatnya tanpa
kekurangan sesuatu apapun. Tiga kali
dia meludah ke lantai. Kemudian dia
berseru lantang.
"Bangsat tengik! Aku ingin
mengadu jiwa denganmu...!" tukasnya
marah bercampur malu. Berulang kali si
kumis melintang ini gelengkan
kepalanya yang masih terasa berdenyut-
denyut. Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana
tergelak-gelak.
"He... he... he...! Mengapa?
kepalamu puyeng ya...!" ucapnya
mencibir.
"Orang muda! Jangan sombong dulu!
Itu masih permulaan...!"
"Pada akhirnya kepalamu pasti
menggeIinding di lantai ini monyet
hitam...!" Tanpa menghiraukan ucapan
Buang Sengketa, diawali dengan satu
bentak nyaring dia langsung menyerbu
ke muka. Tubuhnya dalam waktu sekejap
hanya tinggal merupakan bayang-bayang!
Dua larik sinar Ultra Violet melanda
si kumis melintang. Masing-masing
pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat
empat dan tiga. Dua pukulan yang
dilepas oleh pemuda ini menderu dan
timbulkan nawa panas yang teramat
sangat. Semua orang yang masih berada
di tempat itu merasakan bagaimana
panasnya udara di sekitar itu.
Seketika lamanya laki-laki muka pantat
kuali terkesima, akan tetapi begitu
menyadari posisinya, diapun langsung
tertawa ganda.
Dua tangan terpentang ke depan,
dua larik sinar hitam laksana kilat
datang menggebu. Saat dua pukulan
dahsyat itu saling bertubrukan di
udara, Pendekar Hina Kelana meraung,
tubuhnya terpelanting dua tombak,
menabrak dinding dapur dan langsung
bobol. Dengan cepat dia segera
bangkit, dari sela-sela bibirnya
menetes darah, dada tersa sesak bagai
ditimpa palu godam, dengan segera dia
himpun hawa murninya. Sekejap kemudian
keadaannya sudah pulih seperti
sediakala. Mengetahui keadaan la-
wannya, si kumis melintang muka pantat
kuali tertawa tergelak-gelak.
"Ha... ha... ha...! Ha... hi...
hi...? Hu... hu... hu...!"
"Pukulan berikutnya engkau segera
tersungkur ke liang kubur! Budak
Hina...!" kata Pronjo penuh
kemenangan. Buang Sengketa mendengus,
matanya nampak memerah dan berubah
beringas. Kedua bibirnya kini sudah
keluarkan bunyi mendesis laksana
seekor ular Piton yang sedang marah.
Ketika muka pantat kuali datang lagi
dengan pukulan-pukulan menggeledek
dengan disertai pekik tawa kemenangan.
Pendekar dari Negeri Bunian yang sudah
dirasuki kemarahan segera menyambutnya
dengan pukulan Si Hina Kelana Merana,
kedua tangannya nampak berkelebat
lebih cepat lagi. Laksana kilat dia
hantamkan kedua tangannya ke muka,
satu gelombang sinar merah menyala,
bergulung-gulung. Laksana Badai topan
langsung memapaki gelombang hitam yang
bersumber dari pukulan manusia muka
pantat kuali. Sinar merah menyala yang
di lepaskan oleh si pemuda langsung
menyerang si kumis melintang. Andai
saja dia tidak cepat-cepat menghihdar
dan kirimkan satu pukulan lagi, sudah
dapat dipastikan nyawanya berangkat ke
neraka.
"Blaarr!" Terdengar satu letupan
yang sangat luar biasa dahsyatnya,
bumi tempat berpijak seakan runtuh.
Manusia muka pantat kuali terkejut
alang kepalang! Dada terasa menyesak,
sedang semua persendiannya bagai mau
copot. Dia lebih terkejut lagi begitu
memandang ke depannya. Di tangan
pemuda itu kini telah tergenggam
sebilah senjata yang berupa sebuah
golok buntung, yang lebih membuat
matanya terbelalak tak percaya adalah
kharisma golok buntung di tangan lawan
memancarkan sinar merah menyala ke
segala penjuru. Udara di sekitarnya
sontak berubah dingin, sampai-sam-pai
ketiga orang anak buah Pronjo yang ma-
sih dalam keadaan tertotok nampak
menggigil kedinginan.
Di lain pihak dia hampir-hampir
tak percaya dengan apa yang terjadi.
Pukulan Kumbang Kencana menyengat yang
dia lepaskan tadi sesungguhnya
merupakan puncak dari segala pukulan
yang dimilikinya.
* * *
EMPAT
Selama lima belas tahun malang
melintang dalam dunia persilatan, tak
satu lawan gagahpun yang sanggup
menghadapinya. Akan tetapi kini
seorang lawan berusia masih sangat
muda sekali dengan senjata Golok
Buntung berhasil mengatasi pukulannya
bahkan hampir pula membuatnya celaka.
Sementara itu Pendekar Hina Kelana
sudah bersiap-siap dengan golok di
tangannya, sesungging seringai maut
membias di bibirnya. Kedua bola
matanya yang memerah saga, memandang
liar pada muka pantat kuali.
Menggidikkan!
"Manusia muka pantat kuali!" ucap
pendekar Hina kelana. "Kudengar engkau
dan tiga puluh kawanmu yang lain telah
membunuh dan membantai habis penduduk
desa yang tiada berdosa! Karena dosa
dosamu sudah sangt menumpuk, maka hari
ini aku Si Hina Kelana, menagih hutang
nyawa mewakili mereka yang sudah mati!
Untuk itu kuberi kesempatan padamu
untuk membela diri. Akan tetapi cuma
satu jurus saja! Kalau kesempatan yang
kuberikan tidak engkau pergunakan
dengan baik! Lebih baik engkau minggat
saja ke neraka...!" kata Pendekar Hina
Kelana masih dengan seringai mautnya.
Akan halnya Pronjo. Begitu dia
mendengar pemuda ini menyebut-nyebut
dirinya sebagai si Hina Kelana, maka
semakin menciutlah nyalinya. Selama
ini dia hanya mendengar cerita tentang
kehadiran seorang tokoh yang masih
sangat muda yang memiliki kepandaian
sangat tinggi dengan tanda-tanda
tertentu, rambut dikuncir berpakaian
merah dengan senjata yang cukup
membuat gempar berbagai golongan kaum
persilatan. Sebuah Golok Buntung dan
Cambuk Gelap Sayuto. Tidak dinyana
hari ini malah dia langsung berhadapan
dengan pendekar yang sangat
menggemparkan itu. Dalam hati Pronjo
mengeluh!
"Hemm! Kiranya engkaulah orangnya
yang berjuluk Pendekar Hina Kelana
yang bikin lari tikus-tikus persilatan
itu...!?" Muka pantat kuali membentak
dan berusaha menutupi kekalutan
hatinya. Buang Sengketa tersenyum
getir:
"Kalau engkau sudah tahu siapa
adanya manusia yang berdiri di depanmu
ini! Tunggu apa lagi. Cepat merangkak
dan menyalaklah sepuluh kali! Mudah-
mudahan aku hanya membuntungi kaki dan
tanganmu saja...!" Seketika itu,
berubahlah paras Pronjo, wajahnya
semakin hitam kelam, dia langsung
kertakkan rahang dan balik menghardik!
"Budak jadah manusia sombong!
Jangan mengigau di siang bolong! Hari
ini gelar Pendekar Golok Buntung akan
aku hapus dari dunia persilatan!"
Bagai macan tua terluka, muka pantat
kuali langsung menyerobot ke muka dan
lancarkan serangan-serangan yang
sangat mematikan. Buang Sengketa
menyurut beberapa langkah, dengan
suara menggeram dia berteriak:
"Manusia sia! Kuberi kelonggaran
padamu! Tak dinyana engkau malah
menghendaki kematian yang menyakitkan!
Jangan salahkan aku...!" Pendekar Hina
Kelana tidak tinggal diam, begitu
pusaka Golok Buntung berkiblat dan
bergerak sebat, dalam waktu sekejap
saja sudah mengurung lawannya.
Sedangkan dari mulutnya keluar bunyi
mendesis bagaikan seekor Piton yang
sedang marah. Dalam keadaan terdesak
seperti itu, Pronjo masih sempat
keluarkan ucapan.
"Meskipun engkau penggal kepalaku
sekalipun! Tidak nantinya aku bertekuk
lutut di depan kakimu!?"
"Wow! Tobat pun sudah tidak
kuterima...!" Pendekar Hina Kelana
menyela. Golok di tangannya kembali
berkelebat begitu cepatnya.
"Ngung!" Pronjo berkelit ke
samping dan cepat-cepat banting
tubuhnya terus berguling-gulingan.
Tetapi Buang Sengketa tidak membiarkan
musuhnya lepas begitu saja, pemuda ini
langsung memburu, dan babatkan senjata
di tangannya. Manusia muka pantat
kuali terkejut bukan main begitu
merasakan angin sambaran golok masih
menderu ke arah lehernya. Dengan lebih
cepat lagi dia kembali berkelit
mengindar.
"Bet!" Serangan golok di tangan
pemuda kembali luput. Mendidih darah
Pendekar Hina Kelana dibuatnya.
Seumur-umur belum pernah ada lawan
yang dapat mengkelit serangan
goloknya.
"Kali ini nyawamu yang benar-
benar alot itu tak mungkin lepas lagi!
Bangsaaaat!" Tubuh Pendekar Hina
Kelana berkelebat lebih cepat lagi,
sambaran goloknya kembali menderu,
hingga membuat muka pantat kuali
menjadi kelabakan.
"Craaas!" Hampir putus senjata di
tangan Pendekar Hina Kelana membabat
pinggang Pronjo. Usus terburai
berserakan keluar, darah memancar
menganak sungai. Manusia muka pantat
kuali itu melolong setinggi langit.
Dengan pandangan mata melotot laki-
laki itu langsung tersungkur ke lantai
tanpa berkutik lagi.
"Manusia semacammu memang sudah
sepantasnya mampus...!" Setelah itu,
kini Pendekar Hina Kelana segera
menghampiri empat orang sisa anak buah
Pronjo. Tubuh mereka nampak menggigil
ketakutan demi menyaksikan wakil ketua
mereka.
"Tentu kalian juga ingin menyusul
kawanmu yang konyol itu bukan...!"
kata Buang Sengketa dengan tatapan
mata dingin. Pucatlah wajah mereka ini
demi mendengar kata-kata si pemuda.
Kemudian dengan terbata-bata salah
seorang di antara mereka menyela.
"Tuan janganlah tuan bunuh kami!
Istri saya bunting tua tuan! Kasihani
kami tuan...!"
"Saya juga tuan! Kami orang
miskin, anak kami juga banyak! Kalau
saya tuan bunuh mereka bisa mati
kelaparan...!" menyela yang lainnya.
"Puih! Kiranya kalian sebangsa
anjing penjilat yang takut mampus!
Tapi baiklah kalian akan kubebaskan,
dengan syarat kalian harus
meninggalkan pekerjaan sesat setelah
sebelumnya memberi tahu bekas ketua
kalian mengenai kejadian ini...!"
Bukan main gembira orang-orang itu,
setelah menyembah sepuluh kali, dengan
mengangkati mayat kawan-kawannya.
Orang-orang inipun segera bergegas
pergi. Setelah membayar segala
kerusakan yang di timbulkan, malam itu
pendekar Hina Kelana, atas kebaikan
pemilik warung dan penginapan bermalam
di rumah itu.
* * *
Kalau dilihat sepintas lalu,
sungguh kasihan sekali keadaan pemuda
yang sedang terganggu jiwanya ini.
Keadaan tubuhnya sudah nampak tak
karuan lagi. Sementara di pundaknya
menggelantung mayat ibunya yang sudah
tiga hari tak pernah dia turunkan dari
tempatnya. Bau bangkai menyebar ke
manapun dia pergi. Sementara lalat-
lalat hijau yang jumlahnya mencapai
ribuan ekor itu tiada henti-hentinya
terbang dan hinggap di tubuh wanita
malang ini. Tubuh mayat itu, kian
detik kian membusuk. Ulat-ulat kecil
terkadang berjatuhan dari bagian dalam
tubuh Nyi Pujita Sari. Akan tetapi
Awang Taruna yang ingatannya saja
hilang timbul, mana mau mengerti
tentang keadaan ini.
Sambil terus berlari-lari,
terdengar isakan tangisnya yang
menyayat hati, di lain saat terdengar
pula suara tawanya yang seram
menggidikkan. Apa yang masih melekat
di hatinya hanyalah rasa dendam
bercampur amarah. Celakalah bagi siapa
saja yang secara kebetulan berpapasan
dengan pemuda ini. Sebab tak segan-
segan dan tanpa mengingat lagi dia
langsung membabatkan pedangnya hingga
orang-orang malang itu menemui ajal
secara mengerikan. Demikianlah Awang
Taruna terus berlari-lari tanpa
mengenal lelah (namanya juga orang
gila). Hingga sampailah dia di
pinggiran jalan besar. Awang Taruna
hentikan langkah, tak lama kemudian
dia sudah duduk ngejeplok di atas
rerumputan ilalang. Orang-orang yang
lewat di tempat itu sudah barang tentu
merasa sangat keheranan begitu melihat
kehadiran seorang pemuda yang
bertampang awut-awutan yang kini
sedang duduk ngejeplok, sementara
sosok mayat yang sudah membusuk tampak
menggelantung di pundak kanan kirinya.
Mungkin banyak di antara orang yang
lalu lalang itu bisa memaklumi kalau
pemuda ini merupakan orang yang sedang
terganggu jiwanya. Akan tetapi dari
mana pula pemuda gila ini memperoleh
dan bahkan membawa-bawa mayat itu ke
mana-mana? Meskipun pada akhirnya
mereka terus berlalu sambil tutup
hidung rapat-rapat. Akan tetapi
meskipun mereka ini merupakan penduduk
desa biasa. Mau tak mau berbagai
pertanyaan timbul dalam benak mereka!
Dasar orang gemblung! Begitulah pada
akhirnya mereka berkesimpulan.
Tak lama setelah itu dari
kejauhan nampak pula beberapa orang
penunggang kuda. Mereka ini terdiri
dari seorang wanita setengah baya,
yang dalam dunia persilatan golongan
hitam dan dikenal sebagai Bidadari
Tangan Maut, bersifat telenggas dan
pemburu laki-laki. Biarpun usianya
sudah lebih dari setengah abad akan
tetapi masih kelihatan sangat cantik
dan muda. Konon semua itu berkat hasil
dari pekerjaan terkutuknya. Dalam
menyetubuhi setiap pemuda yang menjadi
korban rayuan mautnya. Wanita ini
selain memiliki berbagai senjata ra-
hasia, dia juga punya kepandaian silat
dan ilmu pukulan-pukulan dahsyat yang
membuat iri setiap lawan-lawannya. Dua
orang laki-laki berkuda yang berada di
sebelah perempuan itu merupakan dua
orang datuk sesat yang memiliki nama
julukan Dua Datuk Merah Dari Lembah
Dosa berilmu silat sangat tinggi dan
mempunyai jurus-jurus permainan pedang
ganda. Dua orang datuk berjenggot
kambing ini sesungguhnya merupakan
gendak-gendak dari Bidadari Tangan
Maut.
Kalau hari ini mereka turun ke
dunia ramai, hal ini mereka lakukan
semata-mata hanyalah karena sekedar
memenuhi undangan Giri Sora, yaitu
ketua Perkumpulan Kumbang Kencana.
Seperti diketahui, Giri Sora beserta
anak buahnya telah berhasil membumi
hanguskan desa tempat tinggal Pujita
Sari, yang dulunya merupakan gadis
tercantik yang pernah membuat Giri
Sora tergila-gila padanya. Akan tetapi
kiranya perjalanan nasib berkata lain.
Pujita Sari, gadis ayu rupawan itu
oleh gurunya, yaitu Eyang Wiku Panulu
telah dijodohkan dengan Bayu Siliwangi
yang sesungguhnya masih merupakan anak
kandung gurunya sendiri. Merasa kecewa
karena cintanya hanya bertepuk sebelah
tangan, Giri Sora pada satu saat
berusaha menculik Pujita Sari. Akan
tetapi kiranya gadis yang memiliki
kecantikan yang sangat luar biasa itu
memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi daripadanya. Pergilah Giri Sora
dengan membawa luka di hati. Bertahun-
tahun dia mengasingkan diri di sebuah
tempat yang bernama Lembah Sakti Hati.
Di tempat itulah selama bertahun-tahun
dia dengan sangat tekun mempelajari
berbagai ilmu sesat tingkat tinggi. Di
situ bertemu pula dengan Datuk Merah
Dari Lembah Dosa. Setahun setelah
kejadian itu bergabung pula Bidadari
Tangan Maut. Secara sepakat dia
mengikat tali persaudaraan dengan
ketiga orang ini.
Hampir lima belas tahun Giri Sora
mengasingkan diri di tempat yang
sangat terpencil itu. Setelah
segalanya dia rasa cukup, dua tahun
kemudian dia sudah membentuk sebuah
perkumpulan yang beranggotakan lebih
kurang empat puluh orang. Kiranya Giri
Sora kembali teringat pada penghinaan
yang pernah dilakukan oleh Pujita
Sari. Teringat pada perempuan yang
kini sudah hidup menjanda dan
mempunyai seorang anak yang sudah
dewasa! Teringat pula akan sebuah
Pedang Pusaka Penebus Dendam di tangan
Eyang Wiku Panulu yang terkenal akan
keampuhannya. Dendamnya pada keluarga
ini kembali berkobar. Sehingga
seminggu kemudian seperti telah
diketahui terjadilah pertumpahan darah
yang sangat mengerikan. Sesungguhnya
tujuan semula dia hanya bermaksud
membujuk Pujita Sari yang sudah
berumur empat puluh delapan tahun itu
mau menjadi istrinya dan sekaligus
meminta pada perempuan itu untuk
menyerahkan Pedang Penebus Dendam. Tak
dinyana kiranya selain menolak lamaran
Giri Sora, kiranya perempuan itu juga
menolak untuk memberi tahu di mana
sesungguhnya pedang pusaka yang sangat
menghebohkan itu di sembunyikan.
Dendam lama campur aduk dengan luka
baru, tak terelakkan lagi Giri Sora
langsung memerintahkan orang-orangnya
untuk membantai dan membakar rumah-
rumah penduduk di sekitarnya.
Sedangkan dia sendiri langsung
menyerang Pujita Sari.
Dengan kemenangan itu akhirnya
Giri Sora berencana untuk mengadakan
pesta besar-besaran. Di balik pesta
yang akan berlangsung dengan meriah,
sesungguhnya manusia yang sangat licik
ini sedang dalam usaha mencari bantuan
dari para kembrat-kembratnya untuk
mencari tempat tinggal Eyang Wiku
Panulu, dengan maksud merampas pedang
pusaka dari tangan si Bangkotan Sakti
itu. Andai saja rencana itu sudah
terlaksana, tak ada salahnya kalau dia
menyingkirkan para kembrat-kembratnya
ini. Dengan begitu sudah jelas dia
akan menjadi raja dalam dunia
persilatan.
* * *
EMPAT
Kita kembali pada ketiga orang
yang sedang melakukan perjalanan ini.
Ketika jarak mereka lebih kurang tiga
puluh tombak dengan tempat di mana
Awang Taruna berada. Tiba-tiba mereka
ini hentikan kudanya, mata mereka
memancang liar pada keadaan di
sekelilingnya. Penciuman mereka
mengendus bau sesuatu yang tak sedap.
Lalu orang-orang ini saling
berpandangan sesamanya. Dengan hati
penuh tanda tanya. Lain lagi halnya
dengan Datuk Merah berjenggot kambing
yang satunya lagi. Indra penciumannya
yang tumpul dan selalu suka ngawur
itu, sedang membaui masakan yang
sangat sedap. Buru-buru dia berkata
pada kedua orang lainnya.
"Hmm! Panas-panas begini! Mana
bau masakan yang sedap! Bikin perutku
berkruyukan saja...!" Kedua orang
lainnya ini pun buru-buru menoleh dan
memandang heran pada kembratnya.
Dengan tersenyum geli Bidadari Tangan
Maut inipun mencela
"Hi... hi... hi...! Kakang Senu
salah duga... ini bukan bau wangi
masakan! Akan tetapi bau busuk
bangkai...!"
"Yang ada dalam fikiran kakang
Senu memang cuma makanan melulu! Masak
bau bangkai dia bilang bau lezatnya
makanan..!" Datuk berjenggot yang
bernama Dugal itu pun ikut menimpali.
"Apa kalian kata! Benar-benar
guoblok, hidung budek... bau makanan
yang enak begini kok masih kalian
bilang bau bangkai...!" kata Datuk
Dugal membantah. Semakin bertambah
geli saja mereka ini, demi mengetahui
penciuman kembratnya semakin bertambah
rusak saja.
"Engkau salah kakang! Di sekitar
tempat ini seperti bau bangkai
manusia!" kata Datuk Senu tetawa
mengekeh.
"Kuya! Bukan bau bangkai, tapi
bau gulai kambing...!" sela Datuk Senu
tak mau kalah.
"Bangkai, kakang...!" Bidadari
Tangan Maut ikut menimpali. Datuk Senu
pelototkan matanya, dia nampak sangat
tersinggung.
"Ku bilang bau makanan
kesukaanku...!" Datuk Senu membentak.
"Bau bangkai! Kakang...!" Datuk
Dugalpun tak mau mengalah.
"Bangsat! Kalian kiranya benar-
benar telah menghinaku...!"
"Menghina bagaimana, sudah jelas-
jelas bau bangkai...!" bentak Datuk
Dugal tak kalah serunya.
"Kalau begitu engkau benar-benar
ingin kugebuk adik Dugal...!" tukas
Datuk Senu kertakkan geraham. Wajahnya
nampak merah padam dan beberapa saat
kemudian telah bersiap-siap lancarkan
satu pukulan pada kembratnya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Bidadari Tangan Maut berseru
membentak.
"Kakang-kakang semuanya! Kalau
kalian tetap melanjutkan pertengkaran,
aku akan tinggalkan kalian di sini!
Biar seorang diri aku berangkat ke
tempat kediaman Giri Sora...!" kata
Bidadari Tangan Maut mengancam.
Meskipun kedua datuk sesat ini me-
miliki peradatan yang keras, akan
tetapi begitu mendapat ancaman dari
orang yang sangat mereka cintai, mau
tak mau mereka hentikan pertengkaran.
Kemudian bagai kerbau di cucuk hidung,
kedua Datuk Merah ini langsung memacu
kuda-kuda mereka, menyusul Bidadari
Tangan Maut yang sudah terlebih dahulu
menggebrak kudanya. Kurang lebih
sepeminum teh, sampailah orang-orang
ini di depan Awang Taruna yang
sedang duduk terlongong-longong.
Alangkah terperanjatnya ketiga orang
dari lembah Dosa ini, begitu di
pinggir jalan tempat yang akan mereka
lalui seorang pemuda berpenampilan
nampak duduk sorang diri dengan
sesosok mayat yang sudah membusuk
menggelantung berjuntai di kedua
pundaknya. Bau bangkai yang sangat
menyengat segera memenuhi pori-pori
paru mereka, langsung saja perut
orang-orang ini bagai diaduk-aduk dan
terasa mual ingin muntah.
Seketika itu juga, Bidadari
Tangan Maut menoleh pada Datuk Senu,
yang tadi sempat bersitegang dengan
Datuk Dugal gara-gara bau yang tak
sedap ini.
"Kakang lihatlah! Bau busuk
inikah yang tadi sempat engkau sangka
sebagai bau makanan yang enak itu...!"
kata perempuan itu tersenyum dongkol.
Yang ditanya jadi gelagapan bercampur
malu.
"Huh! Aku memang salah! Kirain
bau makanan yang enak, nggak taunya
bau bangkai yang dibawa oleh si gembel
ini. Cuh. Benar-benar hidung celaka
tak tahu adat!" sela Datuk Senu,
seraya menampari hidungnya sendiri
hingga mengeluarkan darah. Dengan
buru-buru Datuk Dugal mencegah:
"Kakang hidungmu jangan kau
tampari begitu rupa. Kalau engkau tak
punya hidung malah lebih celaka
lagi...!" Agaknya Datuk Senu sadar
dengan perbuatannya.
"Ehh! Benar juga, kalau tak punya
hidung tambah celaka. He... he...
he...!" katanya meniru ucapan si Datuk
Dugal.
"Bangsat penyebar bau busuk! Mau
engkau buat apakah bangkai yang sudah
busuk itu kau bawa-bawa...?" bentak
Datuk Dugal nampak kurang senang. Yang
ditanya nampak diam seribu basa.
"Agaknya orang ini tak mendengar
apa yang engkau tanyakan, kakang...
kuatkan sedikit ngomongnya...!"
Bidadari Tangan Maut menimpali.
"Huh! Pakai tanya-tanya segala,
tendang saja!" kata Datuk Senu.
"Sabar dulu. Mungkin saja dia
perlu bantuan kita untuk mengubur
mayat itu bersama gembel ini...!" Tak
lama kemudian Bidadari Tangan Maut
ikut membentak pula: "Kunyuk. Tulikah
kupingmu...!" Awang Taruna masih tetap
diam tiada bergeming. Hanya pandangan
matanya saja yang menatap hampa pada
orang-orang ini. Saking kesalnya
ketiga orang inipun saling bentak-
bentakkan. Mungkin Awang Taruna yang
sakit ingatan ini entah terkejut atau
bagaimana. Tiba-tiba tubuhnya
terlonjak. Kemudian kedua matanya yang
selalu menatap hampa itupun mendadak
berobah beringas.
"Eeh! Kalian tadi nomong apa?!"
ucapnya pelan.
"Sialan! Ditanya malah balik
bertanya.!" bentak Datuk Senu,
langsung melompat turun dari atas
kudanya. Sejenak Awang Taruna
memandang berkeliling, dia nampak
kebingungan. Pada saat itu kiranya
kesadarannya timbul kembali. Diapun
memandang heran pada keadaannya
sendiri. Mendadak dia merasa telah
mencium bau yang hampir saja
membuatnya mau muntah. Tiba-tiba saja
dia meraba ke arah pundaknya.
Dia semakin jadi tak mengerti
begitu dia merasakan ada sesuatu yang
membebani pundaknya. Begitu dia
turunkan beban itu, maka terbelalaklah
kedua matanya memandang tak percaya.
"Emak... emakku telah mati!
Mereka membunuhmu, sedang aku tak
sempat menguburmu. Keadaanmu sudah
begini rupa! Emakkuuuuuu...!" Tanpa
kuasa membendung air matanya, pemuda
inipun menangis melolong-lolong.
Dipelukinya mayat ibunya yang sudah
tak karuan itu. Namun tiba-tiba saja
tangisnya terhenti, cepat-cepat
membalikkan badan dan meraba pada
bagian pinggangnya. Tatapan matanya
seketika itu juga menjadi beringas
dengan kobaran dendam yang meluap-
luap. Akhirnya diapun langsung
menghardik ketiga orang yang sedang
berada di depannya.
"Pengecut kalian semua! Kalian
telah membunuh emakku yang tiada
berdosaf" kata Awang Taruna sangat
marah sekali. Sementara itu tiga orang
dari Lembah Dosa ini yang tidak tahu
menahu tentang apa yang baru saja
dituduhkan oleh pemuda itu, tampak
sangat tersinggung. Datuk Senu yang
gampang naik darah, nampak maju dua
tindak, pada saat yang bersamaan dua
orang lainnya sudah meloncat dari
punggung kudanya masing-masing.
"Bocah sialan! Melihat tampangmu
saja baru kali ini. Lancang sekali
mulutmu telah menuduh kami yang bukan-
bukan!?" bentak Datuk Senu dengan
wajah merah padam. Awang Taruna
tertawa bagai orang menangis.
"Sialan betul! Kalian rupanya
tidak mau bertanggungjawab!" Kemudian
orang-orang ini saling berpandangan
sesamanya, tak lama setelah itu dengan
ilmu menyusupkan suara mereka saling
berbisik.
"Agaknya tengik konyol ini sedang
terganggu jiwanya kakang! Lihatlah
bukankah tadi dia tak tau dengan apa
yang diperbuat-ya sendiri...!" bisik
Bidadari Tangan Maut pada dua orang
Datuk Merah dari Lembah Dosa.
"Benar juga." ujar Datuk Senu
lalu menganggukkan kepala.
"Kalau begitu baiknya kita pergi
saja! Melayani orang gila, bukankah
kita lebih gila dari dia sendiri...!"
Datuk Dugal ikut menimpali. Kemudian
orang ini pun kembali membentak pada
Awang Taruna.
"Kunyuk sakit jiwa, karena kami
tidak mempunyai persoalan denganmu,
maka baiknya kami pergi saja...!" ujar
salah seorang di antara mereka. Baru
saja mereka hendak melompat ke
punggung kuda, tiba-tiba Awang Taruna
lambaikan tangannya. Saat itu juga
satu gelombang pukulan menyambar ke
arah tiga orang ini. Dan kalau saja
mereka tidak cepat-cepat mengelak
sudah barang tentu tiga orang ini
mengalami nasib yang konyol. Serta
merta mereka balikkan, badan, dari
paras mereka saja sudah dapat
dipastikan kalau mereka ini sedang
marah besar.
"Kurang asem! Orang gila ini
kiranya menantang kita kakang...!"
"Meskipun gila kiranya dia punya
kepandaian juga rupanya.:.!" rutuk
Bidadari Tangan Maut geram sekali.
Tanpa menghiraukan ocehan orang-
orang itu, Awang Taruna yang sedang
timbul kesadarannya langsung menyela.
"Setelah kalian bantai semua
penduduk desa yang tiada berdosa!
Setelah kalian bunuh emakku Pujita
Sari, begitu mudahkah kalian berlalu
begitu saja dari hadapanku?!" teriak
Awang Taruna marah luar biasa. Kini
barulah mereka mengerti duduk
persoalan yang sebenarnya. Kiranya
pemuda ini sedang mencari-cari siapa
sesungguhnya yang telah membunuh ibu
kandungnya. Biarpun dalam keadaan yang
sesungguhnya mereka memang mengetahui
bahwa Giri Soralah yang telah
membantai penduduk desa sekaligus
membunuh ibu pemuda yang punya sakit
ingatan ini. Sudah barang pasti mereka
tak akan memberi tahu pada bocah itu.
Giri Sora adalah sahabat baik mereka
sejak lama, lebih dari itu mereka
masing-masing punya ambisi yang sama,
yaitu ingin memiliki Pedang Pusaka
Penebus Dendam yang sangat
menghebohkan itu. Apalagi kini mereka
melihat bahwa pedang sakti yang men-
jadi incaran banyak tokoh itu nampak
berada di tangan pemuda sinting ini,
yang menurut taksiran mereka tidak
memiliki kepandaian yang cukup
berarti.
Dengan lagak berpura-pura, salah
seorang di antara mereka membuka suara
dengan nada penuh keramahan.
"Pemuda gagah! Maafkan kami yang
tak mengetahui betapa tingginya gunung
yang berdiri di hadapan kami! Engkau
harus percaya pada kami bahwa
sesungguhnya bukan kami yang telah
melakukan pembunuhan keji itu! Bahkan
kami ikut perihatin atas musibah itu.
Sekarang kami sedang berusaha mencari
tahu siapakah sebenarnya yang telah
bertanggung jawab atas semua kejadian
itu...!"
"Bukankah engkau yang bernama
Awang Taruna? Anak kandung dari
almarhumah yang mulia pendekar Pujita
Sari...!" Bidadari Tangan Maut dengan
merendah menyambung pula.
"Percayalah Awang Taruna. Ayah
ibumu merupakan sahabat karib kami,
untuk itu kami akan menuntut balas
atas kematiannya...!" Datuk Dugal ikut
menambahi pula. Demi mendengar ucapan
tiga orang ini, tiba-tiba pemuda yang
baru saja timbul ingatannya itu tampak
menjadi bimbang. Kiranya keadaan itu
tidak luput dari perhatian Datuk Senu
yang terkenal sangat pintar dalam
membaca situasi lawannya. Buru-buru
dia menambahi.
"Orang muda! Kalau engkau tak
percaya pada kami, engkau boleh turut
serta bersama kami dalam usaha mencari
pembunuh orang tuamu...!"
"Apalagi dengan pedang sakti di
tanganmu, engkau tak perlu ragu! Kita
pasti berada di pihak yang menang...!"
kata Bidadari Tangan Maut pula. Hampir
saja pemuda ini termakan dengan segala
macam rayuan tiga orang sesat dari
Lembah Dosa andai saja fikirannya yang
hilang timbul itu, tidak teringat pada
pesan-pesan gurunya, Eyang Wiku
Panulu. Seketika itu juga pemuda sakit
ingatan ini tergelak-gelak, tubuhnya
yang padat berisi nampak terguncang-
guncang. Tiga orang ini memandang
dengan berbagai tanda tanya.
* * *
ENAM
Saat kemudian Awang Taruna
mencabut pedangnya, maka bertambah
penasaranlah orang dari Lembah Dosa
ini dibuatnya. Pedang di tangan Awang
Taruna memancarkan sinar berwarna
keperak-perakan dan sangat menyilaukan
mata. Walaupun sesungguhnya ingin
secepatnya mereka ini ingin merampas
pedang di tangan pemuda yang sedang
terganggu jiwanya ini, akan tetapi
sedapatnya mereka berusaha meredam
nafsu serakah yang telah menyatu dalam
diri mereka. Sesungguhnya mereka ini
ingin mengetahui apa yang akan
diperbuat oleh pemuda sakit jiwa itu.
"Hi... hi... hi...! Ha... ha...
ha...! Hu... hu..< hu...!" tawa Awang
bagai orang yang sedang menangis. Tapi
matanya memandang buas pada Datuk
Merah Dari Lembah Dosa ini.
"Manusia berjenggot kambing...!
Kalian kira aku tak tahu kelicikanmu!
Tak perlu berpura-pura, sebab hari ini
juga sebagai bandot tua kalian akan
aku sembelih...!" berkata Awang
Taruna. Kejut hati ke tiga orang ini
bukan alang kepalang, mereka tak
mengira kalau pemuda sakit ingatan ini
tahu akal bulus mereka. Belum lagi
mereka-mereka ini sempat berkata
sesuatu apa, Awang Taruna dengan
diawali satu pekikan aneh telah
melabrak orang-orang dari Lembah Dosa
dengan pedang terhunus.
"Adik Dugal... Adi Putri!
Menyingkirlah kalian, aku ingin
menjajal sampai di mana sesungguhnya
kehebatan kunyuk gemblung ini...!"
perintah Datuk Senu. Tubuhnya nampak
berkelebat ringan, sehingga dalam
waktu sekejap saja telah terjadi
pertarungan yang sengit. Pertarungan
menjadi semakin seru, ketika Awang
Taruna sambil membabatkan pedangnya
juga melancarkan pukulan-pukulan jarak
jauh. Datuk Senu sampai detik itu
masih belum mempergunakan jurus-jurus
pedang kembarnya. Dengan jurus silat
tangan kosong dia berusaha mendesak
lawannya. Kedua tangan berkelebat sa-
ngat cepat. Kemudian lancarkan totokan
ke berbagai arah. Sementara Awang
Taruna dengan ilmu pedangnya yang
terkenal ganas, memutar pedangnya ke
berbagai penjuru. Gerakan pedang itu
begitu sebat, berkelebat dan pancarkan
cahaya putih yang sangat menyilaukan
mata. Satu saat Datuk Senu melihat
salah satu sisi pertahan lawan yang
nampak lemah. Dalam hati dia girangnya
bukan main, bahkan dia berharap dengan
sekali sentil, tiga buah jarinya sudah
dapat merobohkan lawan tanpa melukai.
Tak lama kemudian Datuk Senu memutar
tubuh empat puluh lima derajat, tangan
kanan bergerak cepat mengarah pada
bagian punggung. Awang Taruna,
meskipun ingatannya hilang timbul tapi
naluri kependekarannya masih bekerja
dengan sangat baik. Begitu dia
merasakan adanya serangan yang
sedemikian cepatnya dia mengkelit dan
putar tubuhnya setengah lingkaran.
Tanpa ampun dia putar pedang dan
membabat tangan kiri lawannya yang
hampir saja mencapai sasarannya. Datuk
Senu tergagap kemudian cepat-cepat
menarik balik serangannya. Datuk Senu
semakin habis-habisan.
Di lain pihak, Awang Taruna bagai
tak mendengar saja malah tertawa
tergelak-gelak. Kemudian sudah
menerjang si Datuk Senu sembari
berkata: "Bandot tua! Mengapa engkau
marah-marah, bagusnya engkau menangis
seperti aku...!" Berkata begitu
mendadak dia menghentikan serangannya
setengah jalan. Kemudian mengerang dan
menangis menyayat hati. Datuk Senu
yang baru saja bermaksud melancarkan
pukulan jarak jauhnya, seketika
urungkan maksud, beberapa saat Datuk
berjanggut kambing ini nampak
terlongong-longong memandangi Awang
taruna yang secara tiba-tiba kumat
penyakit gilanya. Awang Taruna
tanpa memperdulikan lawannya terus
menangis, "Emak... huuuuu...! Mengapa
engkau mati, emak... hiiiii...!" sedu
pemuda malang ini berkelesetan bagai
anak kecil.
Dalam pada itu, demi melihat
kembratnya malah berdiam diri. Datuk
Dugal dan Bidadari Tangan Maut, secara
hampir bersamaan mereka menyela.
"Kakang, mengapa kakang malah
bengong begitu! Penyakit syaraf kunyuk
gemblung itu sedang kumat. Cepat kau
pukul dia...!"
"Eeh... ehh iya! Penyakit
gendengnya lagi kumat. Biar kupukul
dia...!" Hanya beberapa saat
setelahnya, Datuk Senu telah
mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Melihat posisi anggota tubuhnya saja
sudah dapat ditebak kalau datuk ini
akan melepaskan pukulan Banteng Gila
Menyeruduk Serigala yang terkenal
sangat keji. Sementara itu, Awang
Taruna sudah hentikan tangis maupun
tawanya, tiba-tiba dia menoleh.
"Puih! Engkau mau apa-apaan
jenggot kambing? Mau memukulku ya...?"
kata Awang Taruna. Lalu bersamaan
dengan kata-katanya itu, dia langsung
pukulkan tangannya ke depan. Pada saat
itu pukulan yang dilancarkan oleh
Datuk Senu sudah sampai setengah
jalan. Angin menderu keras bersamaan
dengan bergulung-gulung-nya sinar
kuning yang melesat sedemikian
cepatnya dari tangan Datuk Senu. Pada
saat yang sama, pukulan yang
dilepaskan oleh Awang Taruna yang
diberi nama "Sibakkan Kabut Memukul
Hantu" malah meluruk lebih cepat lagi.
Tak ampun dua pukulan sakti itu saling
bertabrakan di udara.
"Brees!" Tubuh Datuk Senu
terpelanting dan langsung muntah
darah, wajahnya pucat pasi. Awang
Taruna nampak berdiri tegar di
tempatnya. Senyum, tawa dan tangisnya
datang silih berganti. Akan tetapi tak
lama kemudian dia sudah berubah
kembali secara total. Agaknya
kesadarannya pulih kembali, dendamnya
menggelegak, serta merta dia sambitkan
pedangnya pada Datuk Senu yang belum
siap pada posisinya. Karena pemuda
sakit jiwa itu mengerahkan seluruh
tenaganya, maka pedang itu melesat
sedemikian cepatnya, bahkan hampir-
hampir tak terlihat kasat mata.
Bidadari Tangan Maut demi melihat
bahaya mengancam Datuk Senu, yang juga
merupakan gendaknya sendiri, nampak
berseru memberi peringatan.
"Kakang! Awas...!" Terlambat Nasi
sudah menjadi bubur, pedang itu sudah
amblas pada bagian punggung Datuk
Senu, bahkan sampai menembus ke dada.
Salah seorang Datuk Merah Dari Lembah
Dosa menjerit bagai setan gila. Tak
tahan merasakan sakit yang teramat
sangat! Hanya beberapa saat
setelahnya, laki-laki yang sepanjang
hidupnya dilumuri dengan dosa-dosa
ambruk ke bumi. Awang Taruna yang
sudah dirasuki dendam, hanya dengan
beberapa kali lompatan saja telah
berada di sisi Datuk Senu yang sudah
menjadi mayat. Dia langsung cabut
pedang yang menancap di dada lawannya.
Di lain pihak, baik Datuk Dugal
maupun Bidadari Tangan Maut,
mengetahui kembratnya dapat dirobohkan
oleh seorang pemuda yang sedang
mengalami gangguan jiwa bahkan tewas
secara mengerikan, nampak sangat
terkejut. Sebab seperti mereka ketahui
selama ini Datuk Senu merupakan
seorang tokoh golongan hitam yang
memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Selama malang melintang dalam
dunia persilatan, belum pernah seorang
lawanpun yang berhasil mengatasi ilmu
pedang kembarnya. Akan tetapi kini,
dia malah tewas di tangan pemuda
gemblung yang tidak memiliki nama
besar. Lebih dari itu, kembratnya yang
satu itu belum sempat mempergunakan
permainan pedang kembarnya. Kemarahan
kedua orang ini sudah mencapai
puncaknya. Dua-duanya langsung
mengurung Awang Taruna, pemuda sinting
ini geleng-geleng kepala.
"Kiranya kalian juga ingin
mampus...!" bentak Awang Taruna
tersenyum-senyum. Bidadari Tangan Maut
menjadi berang dan langsung membentak
garang.
"Monyet gila! Engkau benar-benar
menyesal ke liang kubur karena
perbuatanmu sendiri...!" Dasar kurang
waras, mana dia perduli dengan
bentakan-bentakan itu. Sebagai jawaban
dia langsung babatkan pedang ke muka.
Datuk Dugal berseru kaget, begitu
melihat berkelebatnya mata pedang di
tangan lawan. Cepat-cepat dia
berkelit, akan tetapi serangan pedang
berikutnya segera menyusul. Lagi-lagi
Datuk Dugal terpekik lalu melompat-
lompat bagai seekor monyet pesakitan.
Bidadari Tangan Maut agaknya
mengetahui kalau lawannya sangat sulit
untuk dirobohkan begitu saja. Tak ayal
diapun langsung menerjang Awang Ta-
runa, sambil berseru lantang.
"Kakang Dugal! Mari kita satai
pemuda edan ini beramai-ramai...!"
Usai berkata begitu, Bidadari Tangan
Maut langsung umbar pukulan-pukulan
kejinya. Sementara Datuk Dugal yang
sudah mengetahui kehebatan lawan,
langsung saja mencabut pedang kem-
barnya. Melabrak dan kirimkan tusukan-
tusukan mematikan. Dalam waktu yang
singkat terjadilah pertarungan yang
sangat seru. Debu dan pasir
beterbangan dilanda pukulan-pukulan
mereka. Hanya dalam waktu sepemakan
sirih, pertarungan sudah mencapai
puluhan jurus. Datuk Dugal dengan pe-
dang. kembarnya mencecar pertahanan
Awang Taruna pada bagian belakang,
sementara dengan pukulan mautnya
Bidadari Tangan Maut menyerang dari
bagian depan. Berulangkali senjata
rahasia milik Bidadari Mata Keranjang
berupa jarum beracun nyaris membuat
celaka lawannya yang sakit ingatan
ini. Menghadapi kenyataan seperti itu,
tubuh Awang Taruna melesat ke udara.
Akan tetapi dia tetap saja tak bisa
luput dari desakan-desakan lawannya.
Di lain kesempatan Datuk Dugal
mendadak merobah jurus-jurus
pedangnya. Dia gerakkan pedang kembar
di tangannya dengan kecepatan luar
biasa. Pedang kembar itu, kemudian
membentuk rangkaian serangan yang
tiada putus-putusnya. Sementara itu
Bidadari Tangan Maut tak mau
ketinggalan dengan apa yang dilakukan
oleh kembratnya ini. Dengan
mempergunakan pukulan yang diberi nama
Badai Menerpa Gurun, dia kirimkan
pukulan-pukulan yang lebih dahsyat
pada Awang Taruna. Anak muda yang
sedang mengalami sakit ingatan itupun
dibuat kelabakan, pertarungan sudah
mencapai dua puluh jurus. Sungguhpun
Awang Taruna memiliki ilmu silat yang
sangat tinggi, dan menggenggam pedang
pusaka yang banyak diincar oleh
kalangan tokoh-tokoh sesat, akan
tetapi Datuk Dugal dan Bidadari Tangan
Maut inipun bukanlah orang
sembarangan. Lima belas tahun yang
lalu Bidadari Tangan Maut sempat
merajai rimba persilatan di bagian
Selatan. Sedangkan Datuk Dugal dan
seorang kembratnya yang telah kojor,
sampai saat kini tetap berkuasa di
Lembah Dosa. Lebih dari itu, mereka
ini adalah dedongkot persilatan
golongan hitam yang hingga sampai saat
itu tetap disegani oleh pihak kawan
maupun lawan.
Kini Awang Taruna sudah semakin
terdesak hebat, Datuk Dugal tertawa
mengekeh demi melihat Awang Taruna
terus kepepet dan bermandi peluh. Pada
saat kesempatan yang sangat baik,
Datuk Dugal kirimkan satu tusukan
mengarah ke lambung kiri lawannya.
Sedangkan satu tusukan lagi mengarah
pada bagian leher. Begitu cepat
datangnya serangan yang dilancarkan
oleh Datuk Merah dari Lembah Dosa ini,
sampai-sampai tipis sekali harapan
Awang Taruna untuk dapat meloloskan
diri dari ancaman pedang kembar di
tangan lawannya. Pada saat yang sama
pula Bidadari Tangan Maut sambil
menyambitkan jarum-jarum beracun,
kirimkan pukulan Badai Menerpa Gurun
yang terkenal sangat ganas itu. Mung-
kin nasib celaka sudah tak dapat
dihindari lagi oleh pemuda sakit
ingatan ini, kalau saja sepasang mata
yang sedari tadi mengawasi pertarungan
ini tidak cepat-cepat bertindak.
Hanya dalam sekedipan mata,
pedang lawan hampir pada tubuh Awang
Taruna. Pemuda sakit ingatan ini
cepat-cepat kiblatkan pedangnya.
"Trang! Trang!" Datuk Dugal
berseru kaget demi mengetahui bahwa
lawannya masih mampu menangkis
serangan pedang kembarnya mentah-
mentah. Lebih dari itu kedua tangannya
terasa sakit dan tergetar. Dalam pada
itu, Awang Taruna tidak menyadari
kalau pukulan yang dilancarkan oleh
Bidadari Tangan Maut telah begitu de-
kat dengannya, begitu pula sambitan
jarum-jarum beracunnya yang datang
hampir bersamaan. Dalam saat-saat yang
kritris itu, si pengintai ini pun
bertindak.
"Blaar!"
Tubuh Bidadari Tangan Maut
terguling-guling, dengan darah meleleh
dari bibirnya. Perempuan sundel ini
terkejut bukan alang kepalang.
Meskipun serangan itu dapat dipatahkan
oleh pengintainya, tak urung beberapa
batang jarum beracun sempat amblas ke
tubuh Awang Taruna.
* * *
TUJUH
Dasar orang gila! Nampaknya dia
tidak menghiraukan keadaan itu. Di
samping reaksi jarum beracun itu
memang lambat sekali. Bidadari Tangan
Maut cepat-cepat bangkit kembali!
Kemudian begitu dia menoleh, tahu-tahu
tidak jauh dari tempat Awang Taruna
berada, di sana telah berdiri pula
seorang pemuda berpakaian merah-merah.
Pemuda ini sangat tampan sekali, hing-
ga membuat jakun Bidadari Tangan Maut
turun naik. Dia begitu terpesona
dengan ketampanan yang dimiliki oleh
pemuda yang di pundaknya menggelantung
sebuah periuk berjelaga. Dari
kemarahan yang meledak-ledak, kini
telah berganti dengan kekaguman dan
sesungging senyum manis. Siapakah
pemuda ini? Kalau bukan Pendekar Hina
Kelana adanya. Sementara itu Datuk
Dugal yang merasa serangan dahsyat
yang dia lakukan dapat dipatahkan oleh
lawannya mentah-mentah tampak sangat
marah sekali. Dia sudah bersiap-siap
untuk menyerang Awang Taruna dengan
segenap kemampuannya, akhirnya
mengurungkan niatnya. Kehadiran pemuda
berpakaian dekil yang agaknya juga
memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, telah membuat hatinya menjadi
bimbang. Kemudian dia melangkah satu
tindakan menghampiri pemuda itu. Pada
saat yang sama pula, Awang Taruna
dengan meringis-ringis telah terlebih
dulu membentak Pendekar Hina Kelana:
"Engkau juga kiranya mau
mengeroyokku! Kurang ajar benar engkau
ini... bukan membantuku, tapi malah
berkomplot dengan pembunuh keji...!"
Mendengar ucapan seperti itu, pendekar
kita ini yang sesungguhnya belum
mengetahui tentang keadaan si Awang
Taruna yang sesungguhnya nampak sangat
tersinggung sekali.
"Hmm! Sialan tolol, kau tak bisa
membedakan mana kawan mana lawan.
Dibela malah menuduh yang bukan-bukan.
Sungguh nasib ini benar-benar
apek...!" Buang Sengketa menggerutu.
Sebaliknya Awang Taruna tanpa
memperdulikan ucapan Pendekar Hina
Kelana, terus nyerocos.
"Hah... bagus! Kalau engkau
benar-benar kawan sejati, tentu kau
mau bersamaku membantai iblis-iblis
yang telah membunuh emakku dan orang-
orang yang tiada berdosa itu...?" kata
Awang Taruna dengan tatapan mata
hampa.
"Wei... mau sekali. Apalagi
kudengar datuk dan betina dari lembah
sialan ini hendak merampas pedang
milikmu! Tentu aku sangat berkeinginan
sekali untuk menggulung komplotan
manusia cecurut ini...." jawab
Pendekar Hina Kelana pasti. Akan
tetapi demi mendengar ucapan Buang
Sengketa, pemuda sakit ingatan ini
tiba-tiba berubah parasnya. Dia nampak
marah sekali, agaknya fikiran sehatnya
yang selalu timbul tenggelam itu salah
tanggap akan apa yang baru saja
diucapkan oleh Pendekar Hina Kelana.
Dengan pedangnya dia menunjuk tepat-
tepat di dada pendekar ini:
"Bangsat! Bicaramu ngaco belo,
tadi kau mau membantuku... tapi kini
engkau malah berbalik inginkan
pedangku...!" bentak Awang Taruna
gusar.
Pendekar Hina Kelana sangat geram
sekali, dia benar-benar tidak berdaya
memberi penjelasan pada pemuda sakit
ingatan ini. Baru saja dia bermaksud
untuk melanjutkan ucapannya, tiba-tiba
terdengar tawa, kemudian terdengar
pula ucapan mencemooh: "Orang muda.
Sampai jagad ini terbalik tujuh,
engkau tak mungkin bisa mengajak
bicara orang gila ini dengan cara yang
waras! Mulanya juga kami bermaksud
baik padanya. Akan tetapi di luar
dugaan, kunyuk sinting ini malah
menuduhku yang bukan-bukan. Bahkan dia
telah begitu berani membunuh kawan
kami yang tiada memiliki kesalahan
apa-apa padanya. Bukankah itu sangat
keterlaluan sekali...." kata Bidadari
Tangan Maut secara tiba-tiba. Sesaat
lamanya pendekar Hina Kelana menatap
tajam pada Bidadari Tangan Maut.
Meskipun hanya sekilas dia
memperhatikan Bidadari genit ini, tapi
dia sudah dapat menduga kalau
perempuan maupun laki-laki tua
berpakaian merah ini merupakan orang
yang sangat sulit dipercaya.
Sebaliknya apabila dia memperhatikan
Awang Taruna, dia malah punya kesan
bahwa pemuda sakit ingatan ini
tentunya berada di pihak yang benar.
Hanya mungkin saja orang ini memiliki
kerapuhan jiwa. Sehingga batinnya
terlalu mudah tergoncang! Menimbang
sampai ke situ mendadak Pendekar Hina
Kelana tergelak-gelak.
"Bidadari Tangan Maut! Apa
untungmu memberi peringatan
padaku...?" tanya Pendekar Hina Kelana
dengan sesungging senyum dipaksakan.
"Hi... hi... hi...! Pemuda
tampan, sudah barang tentu aku sangat
tidak rela kalau wajahmu yang bagus
itu rusak di tangan bocah gendeng
ini." jawab Bidadari Tangan Maut. Di
matanya memancarkan gelora nafsu
birahi yang menggebu-gebu.
"Kalau aku merelakan mukaku
hancur tercabik-cabik mata pedangnya,
engkau bisa berbuat apa...?!" pancing
pendekar dari Negeri Bunian ini pula.
"Huh! Budak sakit syaraf itu
pasti aku cincang....
"Orang muda, kuminta engkau
minggirlah! Di antara kita tak ada
persoalan. Kami ingin secepatnya
mengirim kunyuk gila ini ke liang
kubur...." Tiba-tiba saja Datuk Dugal
yang sejak dari tadi hanya diam saja
ikut-ikutan menyela. Serta merta
pendekar Hina Kelana mendengus.
"Huh! Kalau persoalannya semudah
itu, sudah barang tentu hal ini
merupakan satu keberuntungan bagi
kalian berdua. Akan tetapi siapa sudi
menuruti perintahmu...."
Baik Bidadari Tangan Maut maupun
Datuk Dugal, nampak terkejut begitu
mendengar ucapan si pemuda. Sesaat
lamanya mereka saling berpandangan
sesamanya. Kemudian Bidadari Tangan
Maut yang tadinya sudah girang hatinya
karena akan mendapat korban baru guna
memenuhi hasrat birahinya, langsung
saja menyela.
"Pemuda tampan. Apakah maksud
dari semua ucapanmu itu...?" tanya
wanita jalang itu harap-harap cemas.
"Hak... hak... hak...! Engkau
jangan pura-pura tak tahu perempuan
budak nafsu. Bukankah kalian
mengingini pedang pusaka di tangan
orang gemblung ini? Mengapa harus
sungkan-sungkan menjelaskan maksud
kalian yang sesungguhnya...?" bentak
Buang Sengketa dengan senyum
mencemooh. Dan seketika itu juga wajah
ke dua dedengkot dari Lembah Dosa
inipun menjadi merah padam. Akan
tetapi agaknya Bidadari Tangan Maut
punya maksud yang sangat istimewa pada
Pendekar Hina Kelana. Terbukti
meskipun sudah dihina sedemikian rupa
dia masih dapat menahan diri. Lain
lagi dengan Datuk Dugal, dia merasa
tidak rela gendaknya dihina sedemikian
rupa, laki-laki tua jenggot kambing
ini sangat tersinggung sekali.
Kemudian dia maju satu tindak, matanya
nampak memerah dan menyungging senyum
ganas.
"Bocah gembel! Mulutmu dangat
keterlaluan sekali. Kiranya engkau
tidak lebih dari kunyuk berpenyakit
jiwa ini...!"
"Janggut kambing, mengapa harus
heran. Aku bahkan bisa lebih gila dari
orang-orang gila...!" kata Pendekar
Hina Kelana ketus sekali.
"Orang muda kuminta engkau tak
turut campur segala macam urusan kami!
Menyingkirlah, aku mau membereskan
orang sinting ini...!" pinta Bidadari
Tangan Maut masih berusaha menahan
kemarahannya.
"Adi putri. Mengapa harus
berbasa-basi. Manusia berperiuk ini
kiranya bapak moyangnya orang
gila...!" Datuk Dugal yang sudah
sangat marah itupun menyela dengan
perasaan cemburu yang meluap-luap.
Sebab walau bagaimanapun si janggut
kambing ini tahu, apa artinya lirikan
dan senyum yang selalu terlepas dari
bibir gendaknya ini. Tidak lain
hanyalah sebuah maksud kurang ajar.
"Hak... hak... hak...!" Pendekar
Hina Kelana mengekeh! Sesungging
seringai maut, mengawali bentakan
suaranya yang diiringi jeritan Ilmu
Pemenggal Roh.
"Heiiik...! Orang-orang celaka.
Agaknya kalian belum tahu bagaimana
adat si Hina Kelana...!" Terkesiap
darah Majikan Lembah Dosa, begitu juga
halnya dengan Awang Taruna yang sedang
mengalami gangguan jiwa ini. Mereka
yang hadir di situ semuanya menutup
telinga dengan tangannya masing-
masing. Meskipun begitu, tetap saja
pengaruh lengkingan Ilmu Pemenggal
Roh, masih terasa berpengaruh dan
menggetarkan jantung mereka. Baik
Datuk Dugal, Bidadari Tangan Maut,
maupun Awang Taruna. Masing-masing
dari telinga mereka mengalirkan darah.
Daun-daun yang masih hijau berguguran,
begitu juga ranting-ranting kering
yang berada di sekitarnya nampak luruh
terhempas ke bumi.
Sementara itu Awang Taruna yang
sedang terganggu jiwanya ini, begitu
suara itu menggaung di angkasa. Tanpa
menghiraukan mereka yang hadir di
situ, langsung saja lari tunggang
langgang. Buang Sengketa segera
hentikan jeritannya, dia nampak
memanggil-manggil Awang Taruna, tetapi
pemuda sakit ingatan itu tidak perduli
lagi, bahkan terus berlari, hingga
akhirnya tak terlihat lagi. Tinggallah
orang-orang dari Lembah Dosa ini yang
sudah nampak semakin pucat parasnya.
Tak lama setelah berlalunya Awang
Taruna, pendekar berwajah tampan ini
kembali memandangi Bidadari Tangan
Maut dan Datuk Dugal silih berganti.
Kedua bola mata pemuda itu tampak
memerah saga. Dari bibir pemuda itu
keluar bunyi mendesis bagai suara raja
ular Piton yang sedang mengamuk.
Kemudian sambil membentak dia
memandangi kedua orang itu silih
berganti.
"Kudengar kalian telah membantai
penduduk Desa Kajenar... dan membunuh
orang itu...?" kata Buang Sengketa
dengan pandangan berapi-api. Mendapat
tuduhan seperti itu, datuk-datuk dari
Lembah Dosa ini, meskipun nyali mereka
sudah kedodoran. Nampak kurang senang
sekali.
"Bocah! Hati-hati engkau bicara,
meskipun ilmu kepandaian setinggi
langit siapa takut...!" tukas Datuk
Dugal sangat gusar sekali
"Pemuda gagah. Engkau harus
percaya padaku, bahwa kami tidak tahu
menahu tentang pembantaian itu...!"
Bidadari Tangan Maut ikut menyela. Dan
agaknya dia pun menyadari sangat kecil
sekali harapannya untuk memiliki
pemuda yang sangat mendebarkan
jantungnya itu. Saat itu Pendekar dari
Negeri Bunian itu, demi mendengar
ucapan Bidadari Tangan Maut, tampak
tersenyum getir. Kemudian dia berkat
lagi:
"Bagaimana mungkin aku bisa
mempercayai omongan orang yang sangat
licik. Aku dengan pemuda sakit ingatan
ini mengatakan bahwa kalianlah yang
telah melakukan pembantaian itu. Mana
yang benar...?" tanya pendekar Hina
Kelana bersungut- sungut.
"Sial betul! Kiranya engkau lebih
percaya dengan omongan orang gila
daripada kata-kata kami." kata Datuk
Dugal berangnya bukan main. Pendekar
Hina Kelana nampak tersenyum kecut.
Dalam dia merasa geli sekali melihat
cara orang-orang dari Lembah Dosa ini
dalam meyakinkan dirinya.
"Terkadang omongan orang gila
lebih bisa dipercaya daripada ucapan
orang yang waras...!"
"Kurang ajar, kiranya engkau
benar-benar telah menuduh kami." Datuk
Dugal kertakkan rahang. Dia benar-
benar sangat tersinggung dengan apa
yang telah dituduhkan oleh pemuda itu.
Dalam pada itu, kiranya Bidadari
Tangan Maut menyadari kalau pemuda
yang berpenampilan gembel ini sudah
sangat sulit untuk diajak kompromi
lagi. Maka tiada pilihan kecuali
menggempur pemuda tampan ini sampai
titik darah yang terakhir. Beberapa
saat kemudian, pemuda ini menyela
pula.
"Lalu bagaimana pula dengan niat
kalian untuk memiliki pedang pusaka
milik si gila itu...?" tanyanya
mencemooh. Kata-kata pendekar Hina
Kelana yang sebelumnya tiada mereka
duga ini, benar-benar membuat Bidadari
Tanjgan Maut dan Datuk Dugal mati
kutu. Merah parasnya karena menahan
marah bercampur malu.
"Gembel terkutuk. Kiranya engkau
hanya ingin mencampuri segala urusan
orang lain. Mampuslah...!" Dengan
disertai jerit tinggi melengking,
Datuk Dugal yang sudah sangat kalap
itu menghunus pedang kembarnya. Saat
itu juga dia langsung menyerang
pendekar Hina Kelana dengan sangat
gencar sekali. Kedua pedang kembarnya
berkelebat cepat, sehingga dalam waktu
sekejap sudah berubah menjadi gulungan
gelombang sinar putih yang menderu-
deru bagai serbuan angin topan.
Mengetahui kembratnya sudah bergerak.
Maka Bidadari Tangan Maut tidak
tinggal diam! Tubuhnya melesat cepat
dan dengan ilmu mengentengi tubuh yang
sudah mencapai tingkat sempurna,
tubuhnya berkelebat-kelebat bagai
seekor burung walet. Perempuan budak
nafsu ini pun langsung lancarkan
pukulan-pukulan mautnya. Sekali dua
dia sambitkan senjata-senjata
rahasianya pula.
Pendekar Hina Kelana yang sedikit
banyaknya sempat melihat jurus-jurus
silat lawannya, dan sudah mengetahui
bahwa sesungguhnya pukulan-pukulan
maut Bidadari inilah yang lebih
berbahaya ketimbang permainan pedang
kembar Datuk Dugal. Cepat-cepat
memapaki setiap serangan-serangan
perempuan binal ini. Satu saat Datuk
Dugal melihat salah satu sisi
pertahanan Buang Sengketa nampak
terbuka.
* * *
DELAPAN
Datuk Dugal girangnya bukan alang
kepalang, dia langsung kirimkan satu
tusukan satu babatan. Pendekar Hina
Kelana dengan jurus Membendung
Gelombang Menimba Samudra, putar kedua
tangannya sehingga membentuk baling-
baling. Sekejap saja tubuhnya
berkelebat lenyap sehingga merupakan
bayang-bayang saja. Sesaat kemudian
Bidadari Tangan Maut kirimkan pukulan-
pukulan gencar. Satu rangkaian
gelombang pukulan yang berwarna kening
keemasan melesat begitu cepat mengarah
pada perta-hanan lawannya. Mengetahui
datangnya gelombang pukulan yang
saling susul menyusul itu, pendekar
Hina Kelana menggerung bagai harimau
terluka. Tubuhnya melesat laksana
kilat. Tusukkan maupun sabetan yang
dilancarkan oleh Datuk Dugal mencapai
tempat yang kosong. Datuk Dugal memaki
panjang pendek.
Sementara itu, pukulan-pukulan
Bidadari Tangan Maut, yang terkenal
sangat ganas yang diberi nama Sepuluh
Bidadari Menggoda Arjuna terus melesat
dan mengejar ke mana pun pendekar ini
menghindar. Pemuda dari Negeri Bunian
ini menjadi sangat marah. Bibir
keluarkan bunyi mendesis, bagai raja
Piton yang sedang marah. Tak lama
kemudian, dengan diiringi jerit me-
lengking tinggi. Pendekar Hina Kelana
sudah nampak bersiap-siap dengan
pukulan Empat Anasir Kehidupan yang
tak perlu lagi diragukan akan
kemampuannya. Lalu! Sekali saja
tangannya berkiblat ke depan, selarik
gelombang sinar Utra Violet menderu
lebih cepat hingga timbulkan suara
bercuit-an. Dua kekuatan berisi tenaga
sakti itu, tanpa dapat terelakkan lagi
saling bertu-brukkan di udara.
"Bum! Bum!"
Tubuh Bidadari Tangan Maut
tergetar hebat, dada terasa sesak dan
sakit sekali. Bagian kaki amblas
sebatas lutut. Sementara itu, pendekar
Hina Kelana yang pada saat memapaki
serangan lawannya, dalam posisi berada
di udara. Sudah barang tentu tubuhnya
terpelanting delapan tombak. Darah
meleleh dari celah bibir dan hidung.
Cepat-cepat dia himpun hawa murni,
sebentar kemudian wajahnya yang pucat
pasi itu pun berubah seperti
sediakala. Kini dia sudah bangkit
kembali. Bidadari Tangan Maut dan
Datuk Merah Dari Lembah Dosa, merasa
diatas angin. Tampak terus terkekeh-
kekeh. Perempuan budak nafsu itu
langsung menyela dengan nada
mencemeeh.
"Bocah! Kuberi engkau jalan ke
surga untuk bersenang-senang denganku.
Tak dinyana engkau malah memilih jalan
ke neraka....” kata Bidadari Tangan
Maut tersenyum-senyum penuh percaya
diri. Buang Sengketa meludah
melampiaskan rasa jijik. Kedua matanya
kini nampak kian memerah saga. Dia
kertakkan rahang! Kemudian dengan
bibir bergetar dia membentak.
"Betina hamba nafsu. Jangan
sombong dulu, aku belum kalah...!"
kata Pendekar Hina Kelana geram.
"Kalaupun engkau punya lima kaki
lima tangan. Engkau tak bakal ungkulan
menghadapi kami pendekar gembel."
cibir Datuk Dugal.
"Ha... ha... ha...! Kiranya
engkau terlalu sombong untuk bisa
melihat siapa yang engkau hadapi ini,
tua bangka janggut kambing...?!" Datuk
Dugal yang gampang naik darah itupun
demi mendengar penghinaan sedemikian
rupa tampak sangat marah sekali,
wajahnya yang sudah keriputan itu
berubah kelam membesi. Dia langsung
melompat dan saling berhadapan muka
dengan Pendekar Hina Kelana.
"Jahanam betul engkau ini!
Agaknya engkau ingin, agar aku cepat
cepat mengirimmu ke liang kubur...!"
Dan baru saja Datuk Dugal bermaksud
meliciki pendekar ini dengan
pedangnya. Tahu-tahu tangan Buang
Sengketa telah bergerak lebih cepat
lagi memukul bagian selangkangan
lawannya. Tak ampun lagi Datuk jenggot
kambing ini menjerit-jerit setinggi
langit, sambil berjingkrak-jingkrak
memegangi pusaka kramatnya yang kena
dipukul oleh Pendekar Hina Kelana.
Pemuda ini tersenyum dikulum.
"Enak saja engkau mau main
curang! Aku paling benci dengan sikap
pengecut seperti engkau. He... he...
he...! Sebilah pusaka kramatmu itu tak
mungkin dapat engkau gunakan untuk
menyerang musuh...!" kata Buang
Sengketa konyol. Pada saat itu juga di
luar sepengetahuan pendekar Hina Kela-
na. Bidadari Tangan Maut yang sudah
sangat gusar langsung bertindak:
"Ser! Ser!"
Senjata rahasia yang berupa jarum
beracun milik Bidadari Tangan Maut
meluncur cepat pada bagian punggung si
pemuda. Masih untung pendekar ini
benar-benar memiliki nalar yang peka.
Begitu dia merasakan adanya sambaran
angin pukulan, cepat dia mengelak dan
kiblatkan tangannya.
"Hwees!"
Jarum-jarum beracun yang
disambitkan lawannya, runtuh dan
berpentalan ke mana-mana. Bahkan
beberapa batang di antaranya sempat
membalik dan hampir saja memakan
pemiliknya sendiri. Bukan main
marahnya pendekar ini mendapat
bokongan seperti itu.
"Kunyuk betina sialan! Iblis
geblek tak tahu aturan, kiranya kalian
adalah iblis-iblis berhati
pengecut...."
"Untuk mencapai kemenangan dalam
satu pertarungan, bagi kami cara
apapun dapat kami lakukan...!" Datuk
Dugal menyela.
"Wah.., kalau begitu aku harus
memberimu pelajaran untuk dapat
berkata krama. Nih, makanlah...!"
Pendekar Hina Kelana kirimkan dua
pukulan berturut-turut pada Datuk
Dugal dan Bidadari Tangan Maut.
Secepat kilat, pukulan yang berisi
setengah tenaga dalam si pemuda itu
menderu. Baik Bidadari Tangan Maut dan
Datuk Jenggot Kambing yang tiada
menyangka bahwa datangnya pukulan bisa
secepat itu. Dengan tergagap segera
kiblatkan pedangnya.
"Trang! Brees!"
Pedang kembar di tangan Datuk
Dugal terpental dua-duanya, lebih dari
itu, gelombang pukulan itu terus
melanda tubuhnya hingga berpelantingan
beberapa tombak.
"Tobat!" jerit Datuk Dugal,
dengan badan hampir hangus dilanda
hawa panas yang sangat luar biasa.
Tubuh Datuk ini tersuruk di semak-
semak belukar, dengan luka sangat
parah. Sementara itu, di luar
sepengetahuan Buang Sengketa, Bidadari
Tangan Maut, begitu dapat
menyelamatkan diri dari pukulan
pendekar Hina Kelana cepat-cepat ambil
langkah seribu. Bukan main kesalnya
hati si pemuda demi melihat lawannya
telah kabur di luar sepengetahuan
matanya.
"Kurang ajar. Tak dinyana,
kiranya kalian hanyalah manusia yang
berjiwa binatang...!" maki pendekar
ini saking kesalnya. Kemudian dengan
langkah mantap, dia menghampiri Datuk
Dugal yang tergeletak tiada berdaya.
Penghuni Lembah Dosa yang sudah
sekarat itu nampak ketakutan sekali,
begitu melihat Pendekar Hina Kelana
berdiri persis di hadapannya.
"Ah, sayang sekali janggut
kambingmu habis terbakar. Kini
kembratmu sudah kabur meninggalkan
dirimu! He... he... he...." Buang
Sengketa mengekeh.
"Kiranya dia seorang gundik yang
tidak setia, datuk sial...! Persetan,
itu bukan urusanku. Sekarang katakan
saja, ke mana perginya Bidadari Tangan
Maut. Di mana pula tempat tinggalnya
Giri Sora, Ketua Kumbang Kencana
itu...?" Datuk Dugal yang sudah
sekarat itu tersenyum getir. Kemudian
gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Jadi engkau benar-benar tidak
mau kasih tau di mana sesungguhnya
markas Kumbang Kencana berada...?"
tanya pendekar Hina Kelana geram.
"Tuk! Tuk!"
Tiba-tiba pemuda ini menotok urat
syaraf tertentu, sehingga membuat
Datuk Dugal berteriak-teriak bagai
orang yang sedang kesurupan.
"Auuhhh... sakit... sakit
sekali...! Bangisat, engkau bunuh saja
aku...!" jerit Datuk Dugal menggeliat-
geliat bagai cacing kepanasan.
"Kematian bagimu tak mudah, kau
rasakanlah siksaan itu sampai mampus!
Aku hendak mengubur mayat orang
itu...!" kata Buang Sengketa. Seraya
membalikkan badan dan terus melangkah
meninggalkan Datuk Dugal yang masih
melolong-lolong bagai seekor anjing
pesakitan. Kira-kira sepuluh tindak
Pendekar dari Negeri Bunian ini me-
langkah, Datuk Dugal yang sudah tak
dapat menahan rasa sakit yang luar
biasa itu berteriak-teriak
memanggilnya:
"Bocah gembel. Lepaskan siksaan
ini, aku mau mengatakannya padamu...!"
sela Datuk Dugal kalang kabut.
Mendengar teriakkan Datuk Dugal Merah
dari Lembah Dosa itu si pemuda
hentikan langkahnya. Tanpa menoleh dia
berkata lirih.
"Walaupun engkau mau mengatakan
di mana tempat tinggal si Giri Sora,
akan tetapi karena engkau tak punya
peradatan dalam memanggilku! Aku jadi
batalkan niat untuk membebaskanmu.
Lagipula aku tak butuh keterangan...!"
ujar Buang Sengketa berpura-pura.
Pucatlah wajah Datuk Dugal, apalagi
perasaan sakit yang menyiksa, kian
lama kian bertambah hebat. Bahkan
datuk yang sudah berusia sangat lanjut
itu sampai terkencing-kencing di
celana. Saking tersiksanya! Bagaimana
pula kalau pemuda yang telah membuat
dirinya setengah mati itu tak bersedia
membebaskan totokannya? Kini dia
berteriak lagi.
"Orang muda, harusnya aku
memanggil apa padamu...?" tanya Datuk
Dugal dengan tubuh menggigil
ketakutan. Pendekar Hina Kelana
tertawa ganda, lalu buru-buru menyela,
"Kalau engkau ingin aku membebaskan
totokan itu...!" Sesaat Buang Sengketa
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Panggillah aku dengan sebutan Majikan
Besar... bagaimana, apakah engkau
setuju...?" tanya pendekar Hina
Kelana, sambil tertawa-tawa. Datuk
Dugal yang sudah tak tahan didera rasa
sakit itupun, cepat-cepat menjawab:
“Baiklah... baiklah majikan be-
sar! Sekarang engkau bebaskanlah
totokan ini majikan besar...!" kata
Datuk Dugal penuh permohonan. Si
pemuda tersenyum-senyum. Geli sendiri:
"Kurang asem, berani sekali
engkau memerintah majikanmu...!"
"Harusnya aku ngomong
bagaimana...?" tanya Datuk Dugal,
menahan rasa dongkol.
"Mana ada seorang majikan
diperintah oleh kacungnya. Sekarang
engkau ikuti dulu apa yang aku
katakan...." ujar pendekar Hina
Kelana.
"Busyet ini sudah sangat sakit
sekali majikan...!" Tanpa
memperdulikan protes datuk dari Lembah
Dosa itu, si pemuda segera berucap:
"Ikuti kata-kataku...!
"Baiklah... baiklah...." jawab
Datuk Dugal, semakin geram saja
hatinya.
"Aku ini si bandot tua...!" Datuk
Dugal langsung mengikuti, kata-kata
yang di ucapkan oleh si pemuda.
"Aku ini si bandot tua...!"
"Pekerjaan hanya menumpuk
dosa...!" ujar pendekar Hina Kelana.
"Perempuan mau juga...!"
"Sudah mau masuk liang kubur
belum tobat juga...." Datuk Dugal
lagi-lagi meniru.
"Sudah mau masuk liang kubur
belum tobat juga...!"
"Dasar celaka...!"
"Dasar celaka...!"
Lebih baik mampus saja...!" kata
Buang Sengketa mengekeh. Sementara
.Datuk Dugal nampak terperangah.
"Apakah engkau mau
membunuhku...?! Bukankah aku telah
mengikuti segala keinginanmu...!" kata
Datuk Dugal ketakutan sekali.
"Goblook! Siapa sudi bunuh
engkau, dosamu banyak...!"
"Tapi katanya engkau mau
membebaskan aku. Tolonglah
majikan...!" rintih Datuk Dugal
memelas sekali.
"Setelah bebas nanti, apakah
engkau mau tobat...?"
"Ya... aku akan tobat...." jawab
Datuk Merah Dari Lembah Dosa ini buru-
buru.
"Baik! Aku percaya padamu...."
Usai berkata begitu pendekar Hina
Kelana, melangkah. Kembali menghampiri
Datuk Dugal, kemudian dengan sekali
sentuh. Datuk dari Lembah Dosa itupun
sudah terbebas dari pengaruh totokan.
Beberapa saat setelahnya, tanpa
menghiraukan Datuk Dugal yang
tertatih-tatih meninggalkan tempat
itu. Buang Sengketa melangkah
menghampiri mayat wanita malang, ibu
kandung Awang Taruna. Pemuda ini
segera menggalikan kubur untuk mayat
yang telah membusuk itu. Sebentar saja
dia sudah menyelesaikan pekerjaannya,
kemudian setelah menguburkan mayat
itu, dengan mempergunakan ilmu ajian
Sapu Angin tubuh pendekar Hina Kelana
telah melesat pergi. Tapi dia sangat
kesal pada diri sendiri, karena sampai
Iupa menanyakan tempat tinggalnya Giri
Sora. Dasar tolol! Umpatnya dalam
hati.
* * *
SEMBILAN
Dengan sebuah tongkat yang
terbuat dari ukuran kayu cendana,
kakek tua ini terus melangkah dengan
pasti. Sesekali tubuhnya berkelebat
ringan di atas bebatuan yang sangat
licin menelusuri lereng-lereng Gunung
Bajul Buntung yang menjulang tinggi ke
angkasa. Dari segi usia, sesungguhnya
kakek tua ini sudah berumur kurang
lebih sembilan puluh lima tahun. Satu
masa yang boleh dikatakan sangat
lanjut. Walaupun umurnya sudah hampir
mencapai satu abad, kakek ini masih
kelihatan sangat lincah dan gesit.
Sudah hampir empat puluh tahun, kakek
tua ini mengasingkan diri dari dunia
ramai. Selama ini dia menetap di
wilayah air terjun Sampuran Harimau.
Kakek ini di kenal sebagai tokoh
beraliran putih yang memiliki berbagai
kepandaian, yang membuat jerih pihak
lawan maupun kawan. Dunia persilatan
mengenalnya sebagai Eyang Wiku Panulu.
Lalu apa yang menyebabkannya sampai
turun gunung di hari itu? Tak lain dan
tak bukan karena murid dan juga masih
terbilang cucunya, yaitu si Awang
Taruna masih juga belum kembali,
setelah hampir satu purnama dalam
usaha menjemput ibunya.
Seperti apa yang dijanjikan oleh
Awang Taruna pada Eyang Wiku Panulu.
Pemuda itu atas permintaan kakeknya
bermaksud memboyong orang tuanya ke
Lembah Sampuran Harimau. Lebih dari
itu, pemuda ini kiranya menyangsikan
keselamatan ibunya, yang oleh Eyang
Wiku Panulu disebut-sebut sebagai
seorang bekas tokoh yang mempunyai
banyak musuh. Itulah sebabnya, hari
itu setelah empat tahun Awang Taruna
diangkat menjadi murid oleh kakeknya
sendiri. Eyang Wiku Panulu memberi
ijin pada cucunya ini untuk membujuk
sekaligus memboyong ibunya ke Lembah
Sampuran Harimau. Kenyataannya setelah
beberapa hari kemudian, tunggu punya
tunggu. Awang Taruna masih juga belum
kembali ke Lembah Sampuran Harimau.
Tentu saja hal ini membuat kecurigaan
Eyang Wiku Panulu. Sebab seperti
kebiasaannya Awang Taruna selalu tepat
janji. Begitupun Eyang Wiku Panulu
masih menunggu hingga beberapa hari
lagi. Akan tetapi tetap saja Awang
Taruna tidak juga muncul hingga
akhirnya Eyang Wiku Panulu memutuskan
untuk menyusul pemuda itu.
Demikianlah dengan mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang sangat
sempurna, kakek yang sudah berusia
sangat lanjut ini pun nampak
berloncatan dari batu yang satu ke
batu yang lainnya. Satu saat dia
mendadak hentikan larinya, kedua
kelopak matanya yang sudah keriputan
dan cekung itu tampak semakin
menyipit. Di kejauhan sana dia melihat
dua titik, sedang berlari sangat cepat
menuju ke arah di mana dia sedang
berdiri saat itu. Semakin lama semakin
terlihat dengan jelas. Kakek tua
inipun nampak tersenyum-senyum penuh
arti. Agaknya dia mengenali siapa
adanya mereka yang sedang berlari-lari
ini. Dua orang kakek gundul,
berpakaian kulit kambing dan hanya
bercawat pula. Siapa lagi kalau bukan
Dua Datuk Sesat dari Pulau Putri.
Seperti diketahui, setelah kalah
bertarung dengan Awang Taruna. Kedua
orang ini langsung melarikan diri dan
bermaksud bergabung dengan Giri Sora
yaitu Ketua Perkumpulan Kumbang
Kencana. Akan tetapi di tengah jalan
maksudnya mendadak berubah. Mereka
bermaksud menemui kembrat-kembratnya
di Lembah Dosa. Tujuan mereka sudah
jelas. Yaitu ingin memberi tahukan
adanya pedang pusaka yang saat ini
berada di tangan si gila Awang Taruna.
Sebab seperti apa yang pernah
dikatakan oleh Penghuni Lembah Dosa.
Kedua Datuk Jenggot Kambing itu
mempunyai hasrat yang sangat besar
untuk memiliki Pedang Pusaka Penebus
Dendam. Tak pelak lagi sebagai kembrat
terdekat bila dibandingkan dengan Giri
Sora, yaitu Ketua Perkumpulan Kumbang
Kencana.
Akan tetapi alangkah kecewanya
hati datuk-datuk berkepala gundul ini
ketika sesampainya di Lembah Dosa,
kembrat-kembratnya sudah meninggalkan
tempat itu. Dengan membawa kecewa
akhirnya mereka ini memutuskan untuk
menyusul kembrat-kembratnya yang
sedang menghadiri undangan di tempat
kediaman Giri Sora. Baik Datuk Kwalat
maupun Datuk Kwali dari Pulau Putri
ini, tidak menyadari kalau ada
sepasang mata yang sejak tadi
memperhatikan gerak mereka. Hingga
ketikan jarak di antara mereka benar-
benar telah dekat sekali Eyang Wiku
Panulu membentak:
"Berhenti...!" Bentakan Wiku
Panulu sesungguhnya sangat pelan saja,
akan tetapi karena bentakan itu
disertai tenaga dalam yang sangat
sempurna, akibatnya sungguh sangat
terasa sekali bagi Datuk dari Pulau
Putri ini. Telinga mereka terasa sakit
tubuh tergetar untuk beberapa saat
lamanya. Seketika itu juga kedua orang
ini hentikan langkah, kemudian
memandang ke arah datangnya suara.
Belum lagi hilang kejut di hati datuk-
datuk ini, tiba-tiba saja dari puncak
bebatuan tinggi melayang sosok tubuh
yang nampak sangat ringan sekali.
Begitu melihat kehadiran kakek
tua bertongkat kayu Cendana ini,
bukan alang kepalang kejut di hati
mereka. Wajah datuk-datuk ini nampak
semakin memucat. Bahkan tanpa mereka
sadari, Datuk dari Pulau Putri ini
undur beberapa langkah. Wiku Panulu
yang memang masih mengenali siapa
adanya orang-orang berada di depannya
itu, untuk sesaat lamanya tampak
memandang tiada berkesip. Kemudian
dengan suara lirih namun mantap dia
berkata:
"Tak salah kiranya pandangan
mataku yang sudah lamur ini? Bukankah
aku yang lapuk ini sedang berhadapan
dengan Datuk Kwalat dan Datuk Kwali
dari Pulau Putri...?" Yang ditanya
nampak gelagapan.
"Ah! Orang tua yang terhormat.
Nama kami hanyalah nama kosong
belaka... tiada artinya bila
dibandingkan dengan anda...." sela
Datuk Kwalat merendah.
"Sudah puluhan tahun anda kami
dengar telah mengasingkan diri di air
terjun Sampuran Harimau. Akan tetapi
hari ini kami melihat anda sedang
melakukan perjalanan di dunia ramai.
Tentu ada hal-hal yang sangat penting
sehingga anda sampai keluar dari
pengasingan...!" tanya Datuk Kwali
pula. Ditanya seperti itu, untuk bebe-
rapa saat lamanya Wiku Panulu terdiam.
Hanya kedua alisnya yang sudah nampak
memutih itubergerak-gerak turun naik.
Tak lama kemudian:
"He... he... he...! Benar sekali
dugaan kalian itu, saat di ambang
menghadap Sang Hyang Kuasa, semestinya
kau harus memusatkan diri dan banyak
beramal padanya. Akan tetapi terkadang
urusan dunia yang sudah lama
kutinggalkan ini, memerlukan campur
tanganku untuk menyelesaikannya...!"
kata Wiku Panulu seperti pada dirinya
sendiri.
"Apakah maksud anda Wiku...!"
tanya kedua datuk itu hampir
bersamaan. Wiku Panulu tersenyum pias,
sesungguhnya dia tahu kalau datuk-
datuk dari Pulau Putri ini nampak
menyembunyikan sesuatu di hati mereka.
Untuk itu kemudian dia berkata terus
terang.
"Datuk Kwalat dan Datuk Kwali!
Aku ingin bertanya tentang sesuatu
pada kalian berdua. Karena
sesungguhnya aku tau, kalian pasti
mengetahui apa yang ingin aku tanyakan
ini. Dan kuharap kalian jangan coba-
coba untuk berbohong padaku yang sudah
gaek ini. Kalau itu tetap kalian
langgar, maka sekali ini aku tak akan
mengampuni jiwa kalian berdua...!"
kata Wiku Panulu mengancam.
"Wiku... mengapa anda bisa
berkata begitu...?" tanya Datuk Kwali
sudah dapat menduga-duga apa kiranya
yang bakal ditanyakan oleh Wiku
Panulu.
"Jangan engkau potong kata-kataku
Datuk Kwali...!" Sejenak Wiku Panulu
menarik nafas pendek, beberapa saat
kemudian dia melanjutkan ucapannya.
"Aku yakin kalian pernah
keluyuran di desa Tungging! Nah... aku
merasa sangat pasti kalau kalian
pernah jumpa dengan seorang pemuda
yang umurnya sekitar sembilan belas
tahun!" Bukan main terperanjatnya
kedua datuk ini begitu mendengar ucap-
an Wiku Panulu yang tidak pernah dia
duga sebelumnya. Dua Datuk dari Pulau
Putri ini nampak saling pandang
sesamanya, sorot mata mereka
membersitkan perasaan bimbang. Sebab
walau bagaimanapun Wiku Panulu yang
juga merupakan seorang yang ahli dalam
ilmu batin ini sudah barang tentu
tidak bisa dibohongi. Dari nada
ucapannya saja sudah dapat ditebak,
bahwa sedikit banyaknya Wiku Panulu
telah mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya.
Untuk berkata terus terang pun
bagi mereka ini rasanya tidak akan
menolong banyak. Secara langsung
mereka pernah bentrok dengan Awang
Taruna, bahkan pernah berniat
membunuhnya. karena semua itu,
akhirnya Datuk Kwalat coba berbohong.
"Wiku... anda jangan menuduh yang
bukan-bukan! Kami sungguh-sungguh
tidak pernah pergi ke sana...." Wiku
Panulu nampak menyeringai. Satu mimik
yang merupakan ciri khas dari kakek
sakti yang meragukan keterangan orang
ini.
"Pada orang tua yang sudah mau
masuk liang kubur saja kalian masih
begitu berani berbohong. Katakan
dengan jelas, atau kalian malah
mendahuluiku berangkat ke liang
kubur...!" kata Wiku Panulu dingin.
Terkesiaplah darah kedua datuk itu
demi mendengar ancaman Wiku Panulu
yang selama ini mereka ketahui sebagai
suatu hal yang tak pernah main-main.
Lebih dari itu, mereka juga cukup
maklum. Jangankan berhadapan dengan
kakek yang pernah mempecundangi
mereka, sedangkan berhadapan dengan
muridnya saja mereka sudah kalah.
Meskipun tanpa Pedang Pusaka Penebus
Dendam di tangan kakek ini, mereka
berdua masih merasa sangsi untuk dapat
mengalahkan Wiku Panulu.
"Jadi kalian benar-benar tak mau
mengakuinya.... bukankah kalian bahkan
sempat bertarung dengan muridku
itu...?!" sindir Wiku Panulu. Merasa
tak ada pilihan lain, pada akhirnya
Datuk Kwalat mengakui:
"Benar.... kami sempat bertarung
dengan muridmu itu...."
"Tapi semua itu dengan sangat
terpaksa kami lakukan karena dia telah
menuduh kami sebagai pembunuh orang
tua dan penduduk Desa Tongging...."
Datuk Kwali buru-buru menyela. Wiku
Panulu nampak sangat terkejut, hatinya
menjadi pedih bercampur gusar. Dia
tidak pernah menyangka kalau
kejadiannya malah lebih buruk dari
semua tafsir-tafsir yang pernah
diketahuinya.
"Jadi Pujita Sari, ibu kandung
muridku itu telah binasa? Cepat
katakan siapa yang telah bertanggung
jawab atas kematiannya...!" bentak
Wiku Panulu sangat marah sekali.
Meskipun dua orang Datuk dari Pulau
Putri ini tahu siapa sesungguhnya yang
telah melakukan pembantaian itu. Akan
tetapi mereka tetap konsekwen dalam
men-taati peraturan golongan hitam.
"Kami tak tahu siapa yang telah
melakukannya, Wiku...!" Maka semakin
bertambah gusarlah Wiku Panulu demi
mendengar ucapan Datuk Kwalat yang
sesungguhnya hanya merupakan kepura-
puraan saja.
"Bagus! Kalau kalian tak tau,
maka aku akan menggebukmu...." kata
Wiku Panulu dengan kemarahan yang
meluap-luap. Bersamaan dengan
ucapannya itu, Wiku Panulu pukulkan
tangannya ke depan. Meskipun pukulan
itu pada dasarnya hanya terlihat bagai
lambaian tangan saja, akan tetapi
berakibat sangat luar biasa. Satu
gelombang angin topan menderu dahsyat
mengarah pada kedua Datuk Pelalap Daun
Muda ini. Datuk Kwali terpekik kaget
serta merta tubuhnya melesat ke atas.
Meskipun begitu Datuk Kwali masih
merasakan adanya sambaran angin
pukulan yang terasa dingin luar biasa.
Tak dapat disangkal, karena Wiku
Panulu telah mempergunakan pukulan
Menyingkap Kabut Menangkap Bayang-
Bayang.
Sementara itu, Datuk Kwalat yang
mencoba memapaki pukulan yang
dilancarkan oleh Wiku Panulu padanya.
Begitu pukulan yang begitu cepat itu
saling berbenturan dengan pukulan
lawannya, tubuh Datuk Gundul dari
Pulau Putri ini nampak terlempar empat
tombak! Dada terasa nyeri luar biasa,
parut mual bagai diaduk-aduk. Kemudian
dia terbatuk-batuk bagai seekor kucmg
kurus terserang penyakit paru-paru.
Bersamaan dengan suara batuk itu,
darah kental kehitam-hitaman nampak
menggelogok ke luar. Cepat-cepat dia
menghimpun hawa murninya. Setelah itu
dia bangkit kembali dengan membawa
luapan kemarahan.
* * *
SEPULANG
Datuk Kwalat yang sedang dilanda
kemarahan itu menjadi gelap mata. Dia
sudah tidak lagi memikirkan bahwa Wiku
Panulu sesungguhnya bukanlah lawan
kedua datuk ini. Secara serentak kedua
orang ini mencabut golok tipis yang
terselip di pinggang mereka. Datuk
Kwalat dan Datuk Kwali langsung
mengurung Wiku Panulu dengan serangan-
serangan ganas. Golok tipis di tangan
lawan-lawannya menyambar cepat
berkelebat ke berbagai penjuru.
Walaupun sambaran golok itu terlihat
beberapa kali mengancam Wiku Panulu,
akan tetapi kakek renta ini sebaliknya
malah terkekeh sambil memutar
tongkatnya dengan sangat cepat sekali.
"Trang! Trang!" Percikan bunga
api berpijar ketika senjata-senjata
itu saling berbenturan, meskipun
tongkat di tangan Wiku Panulu,
hanyalah berasal dari oyot kayu
cendana. Akan tetapi karena pada saat
menangkis dengan tongkatnya, Wiku
Panulu mengerahkan sebagian tenaga
dalamnya, tak urung golok tipis di
tangan masing-masing lawannya menjadi
gompal di beberapa bagian. Semakin
lumerlah nyali orang orang ini. Satu
ketika tubuh Wiku Panulu berkelebat
lenyap. Dan dalam pada itu dia berseru
lantang.
"Tuyul-tuyul Pelalap Daun Muda!
Agak nya engkau lebih suka mati
ketimbang beri keterangan padaku!
Kalau memang itulah yang kalian ingini
maka jangan salahkan aku nantinya...!"
Datuk Kwalat dan Datuk Kwali sembari
mengirimkan pukulan-pukulan gencar
langsung menyela:
"Wiku Panulu! Sekalipun engkau
manusia dewa, tidak nantinya kami mau
kasih keterangan padamu...!" tukas
Datuk Kwali. Mendengar jawaban seperti
itu, Wiku panulu menggembor macam
banteng terluka, kemudian tubuhnya
melesat ke udara dan langsung
berputar-putar di atas kepala lawan-
lawannya. Kedua Datuk dari Pulau Putri
ini pun nampak semakin gugup dan
kebingungan. Saking geramnya mereka
ini karena merasa dipermainkan lawan.
Manusia tuyul berjenggot putih ini
pun, segera berteriak-te-riak: "Wiku
Panulu... manusia pengecut
Nampakkanlah dirimu, kami paling benci
menghadapi manusia sepengecut engkau!"
Masih berkelebat-kelebat, Wiku Panulu
tertawa ganda!
"Golok di tanganmu itu hanya
lebih pantas untuk menggorok leher
kalian sendiri...!" kata Wiku Panulu
mencemooh. Kemudian dengan sekali saja
dia gerakkan tongkatnya. Datuk Kwali,
yaitu orang yang berada paling dekat
dengannya. Nampak menjerit-jerit
sambil menakap bagian perutnya yang
terburai isi dalamnya. Kiranya di luar
sepengetahuan lawan-lawannya. Tongkat
di tangan Wiku Panulu, pada bagian
ujungnya bermata tajam yang sewaktu-
waktu dapat ditarik keluar masuk.
Tubuh Datuk Kwali nampak berguling-
guling di atas rerumputan, berkelejat-
kelejat untuk kemudian diam untuk
selama-lamanya. Menghadapi kenyataan
seperti ini, Datuk Kwalat kedernya bu-
kan alang kepalang, wajahnya pucat
pasi. Bibir bergerak-gerak, namun
tiada satu pun kata yang terucap.
Semua itu kiranya tak terlepas
dari perhatian Wiku Panulu. Kakek ini
berharap dengan kematian Datuk Kwali
semoga Datuk Kwalat mau memberi
keterangan padanya tentang Awang
Taruna. Mengingat sampai ke situ, Wiku
Panulu dari Sampuran Harimau ini pun
berkata: "Manusia yang menamakan
dirinya Kwalat! Cepat katakan di mana
adanya muridku itu...?"
"Aku tak tahu kakek peot." jawab
Datuk Kwalat tak kalah sengitnya. ,
"Rupanya engkau ingin nasibmu
seperti kembratmu itu, tuyul
busuk...?!" bentak Wiku Panulu semakin
bertambah gusar saja.
Tiba-tiba, dalam ketakutannya itu
Datuk Kwalat malah tertawa terbahak-
bahak. Begitu sinis matanya memandangi
Wiku Panulu yang dulunya juga pernah
mempecundanginya.
"Wiku Panulu manusia sial! Bagiku
lebih baik mati daripada harus
berkhianat pada kawan sendiri. Satu
saja yang harus kau tahu, bahwa
setelah kematian emaknya muridmu yang
berilmu sangat tinggi itu kini sudah
menjadi tak waras, dia sudah gila.
Sayang sekali Wiku... engkau merupakan
seorang dedengkot yang sangat sakti,
akan tetapi murid edan malah kau
urus...!" kata Datuk Kwalat dengan
sesungging senyum penuh kemenangan.
Wiku Panulu bagai mendengar petir di
siang bolong, nampak sangat terkejut
sekali. Bahkan dia hampir-hampir tak
percaya dengan apa yang di katakan
oleh Datuk dari Pulau Putri ini.
Wajahnya yang sudah keriput itu nampak
memerah karena menahan amarah
bercampur malu. tiba-tiba dia
membentak gusar.
"Tuyul bungkuk punggung unta..
jangan kau coba-coba mengelabuhiku.
Tak mungkin muridku itu secara tiba-
tiba berubah menjadi gila...." tukas
Wiku Panulu dengan hati bagai
terhempas.
"Huh! Aku tak perduli engkau mau
percaya atau tidak. Bukankah sejak
awal tadi telah kukatakan...."
"Kurang ajar! Rupanya engkau
benar-benar hendak mempermainkan aku,
tuyul bungkuk...?"
"He... he... he...! Kau boleh tak
usah percaya padaku Wiku dungu. Akan
tetapi begitulah kenyataan yang kau
lihat. Dunia persilatan pasti akan
mentertawaimu, seorang tokoh sakti
tapi mempunyai murid yang tidak
waras.!" Mendengar ucapan Datuk Kwalat
yang bernada mencemooh itu nampak
terdiam, hatinya sangat sedih.
Terpukul bukan karena kabar yang dia
terima itu, tapi demi teringat bahwa
cucunya itu sejak kecil belum pernah
merasakan hidup senang. Sebagai
eyangnya sejak Awang Taruna dilahirkan
sampai berumur lima belas tahun dia
sangat mengacuhkan cucunya ini. Sebab
selama itu dia beranggapan bahwa Awang
Taruna bukanlah titisan Bayu
Siliwangi. Seperti diketahui sebelum
menikah dengan putranya. Mantunya yang
juga merupakan muridnya yaitu Pujita
Sari sempat terlibat percintaan dengan
beberapa pemuda. Sungguh pun akhirnya
dia menyesali tindakannya yang telah
menjodohkan Pujita Sari dengan anaknya
boleh dibilang secara paksa. Akan
tetapi sejauh itu dia masih belum da-
pat mengakui kalau Awang Taruna
merupakan anak dari hubungan yang syah
antara Bayu Siliwangi dan Pujita Sari.
Lama setelah mengasingkan diri,
barulah Wiku Panulu menyadari kalau
semua yang telah dilakukannya kiranya
merupakan kepicikan dirinya yang sudah
tua bangka. Setelah menyadari akan
semua kesalahannya dia langsung
mendidik cucunya dengan berbagai ilmu
kanuragan. Baru empat tahun dia
berusaha menebus segala kesalahannya.
Akan tetapi kini...! Awang Taruna
sesungguhnya merupakan tanggung
jawabnya sejak kematian Bayu
Siliwangi. Yaitu ayah kandung pemuda
itu, kini ketika kesilapan itu belum
tertembus seluruhnya, tiba-tiba
malapetaka telah menimpa ibunya. Lebih
dari itu, sekarang cucunya malah sakit
ingatan. Tanpa sadar, dua butir air
mata menggelinding menuruni pipi Wiku
Panulu yang sudah keriputan di sana
sini. Melihat kenyataan itu, Datuk
Kwalat kembali tergelak-gelak. Ke
mudian dengan nada mengejek dia
berkata:
"Puh! Sungguh tak pernah
kusangka, kalau seorang tokoh
persilatan yang namanya kesohor di
mana-mana kiranya hanyalah merupakan
seorang yang sangat cengeng dan rapuh.
Berita ini akan kusebar di mana-mana,
agar semua orang tahu macam apa
kiranya tokoh yang namanya pernah
menggegerkan dunia persilatan itu...!"
Wiku Panulu merah parasnya, panas
hatinya. Kedua bibir terkatup rapat,
rahang mengeluarkan bunyi
bergemeletukan. Sementara kedua
matanya menatap tajam pada Datuk
Kwalat dari Pulau Putri ini. Kemudian
Wiku Panulu tertawa mengekeh. Akah
tetapi dari suara tawanya yang
terdengar sumbang itu siapapun dapat
menduga bahwa kakek keriputan ini
sesungguhnya sedang berusaha meredam
kepedihan jiwanya. Lalu ketika begitu
dia menghentikan tawanya, tiba-tiba
saja dia membentak garang.
"Datuk Kwalat! Sebelum
kesombonganmu itu melampaui batas,
sebelum mulutmu yang kotor itu
menyebarkan bau busuk di mana-mana.
Semuanya akan kuselesaikan hari ini
juga...!"
"He... he... he...! Engkau kira
akan semudah itu...?" kata Datuk
Kwalat mencibir.
"Hak, Ingin kulihat sampai di
mana kesetiaanmu terhadap orang-orang
segolonganmu...." menyela Wiku Panulu
dengan nada penuh ancaman. Menciut
juga nyali Datuk Kwalat mendengar
ancaman tokoh dari Lembah Sampuran
Harimau itu.
"Jangan coba-coba menggertakku,
sobat tua... aku tak akan takut!
Karena aku merasa tak punya salah
denganmu...!"
"Engkau memang tak punya salah
manusia tuyul punggung unta! Akan
tetapi gara-gara kembrat-kembratmulah
maka cucuku sampai mengalami kejadian
seperti itu!
"Kalau begitu aku akan mengadu
jiwa denganmu! Hiat...!" Datuk Kwalat
memburu dan langsung membabatkan
goloknya mengarah pada kepala Wiku
Panulu. Kakek peot ini adalah seorang
tokoh sakti yang mempunyai banyak
pengalaman, meskipun golok di tangan
lawannya hampir mencapai batok
kepalanya, dia masih kelihatan tenang
tenang saja. Kemudian dengan sedikit
berkelit, golok di tangan lawan
mencapai tempat yang kosong,
sebaliknya dia malah memberi satu
sodokan pada bagian yang rawan.
"Plok!" Datuk Kwalat berteriak
kesakitan, dia berjingkrak-jingkrak
bagai seekor anjing yang sedang
kencing. Datuk ini merasakan perutnya
mules luar biasa, tak heran karena
Wiku Panulu telah memukul bagian yang
sangat dikeramatkan. Datuk dari Pulau
Putri inipun memaki panjang pendek,
dia berubah menjadi semakin beringas.
"Kurang ajar! Tua bangka tak tahu
adat, engkau benar-benar telah
menghinaku." maki Datuk Kwalat dengan
mata melotot bagai hendak melompat ke
luar. Wiku Panulu tertawa rawan!
"Apanya yang kurang ajar!
Bukankah tadi engkau menyerangku...
kini engkau malah memakiku kurang
ajar...!"
"Kau telah memukul anuku...
manusia iblis...!"
"Wah! sial betul. Maling malah
berteriak maling...." Belum lagi usai
kata-katanya, mendadak Wiku Panulu
lambaikan tangannya ke depan. Satu
rangkaian gelombang sinar kuning ke
biru-biruan meluncur deras ke arah
Datuk Kwalat. Tentu saja Datuk Kwalat
yang sudah merasakan bagaimana
hebatnya pukulan tersebut tidak
tinggal diam. Secepat kilat dia
mengelak, tubuhnya berjumpalitan
ketika angin pukulan yang berhawa
sangat dingin itu hampir melanda
dirinya.
Akan tetapi, Wiku Panulu tidak
berhenti sampai di situ saja! Begitu
pukulan pertama yang dilancarkannya
luput, menyusul pula pukulan kedua,
ketiga dan seterusnya. Tentu saja,
walaupun Datuk Kwalat memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat
sempurna, sangat mustahil mengelak dan
berlompatan secara terus-menerus.
Begitupun pukulan demi pukulan terus
dia elakkan. Hingga tak begitu lama
kemudian gerakannya mulai lamban.
Akhirnya:
"Blammm!" Tanpa sempat menjerit
atau melolong, tubuh Datuk Kwalat
terpelanting roboh dan tewas seketika
itu juga. Wiku Panulu menarik nafas
pendek. Sekejap dia memandangi mayat
Datuk Kwali dan Datuk Kwalat silih
berganti. Tak lama setelahnya seperti
tidak pernah ada kejadian apapun kakek
penghuni Lembah Sampuran Harimau
itupun segera berlalu dari tempat itu.
***
SEBELAS
Panas matahari yang terasa begitu
teriknya tidak sedikitpun mengurangi
semangat Pendekar Hina Kelana untuk
melanjutkan niatnya mencari tempat
kediaman Giri Sora, yaitu Ketua
Perkumpulan Kumbang Kencana. Peluh
sudah mulai bercucuran membasahi
sekujur tubuh pemuda itu, rasa penat
sudah tidak dia hiraukan lagi.
Sementara tubuh Awang Taruna yang baru
saja ditolongnya nampak bergelantungan
di atas bahu kirinya. Sampai saat itu
pemuda yang sedang mengalami gangguan
jiwa itu masih belum juga sadarkan
diri. Seperti diketahui, Awang Taruna
melarikan diri karena rasa takutnya.
Ketika mendengar jeritan Ilmu
Pemenggal Roh. Buang Sengketa tidak
berhasil memanggil pemuda sakit jiwa
ini. Akan tetapi setelah dia berhasil
membunuh Datuk Dugal dan Datuk Senu
dan setelah pula menguburkan mayat
Pujita Sari yang sudah membusuk itu
Pendekar dari Negeri Bunian ini segera
mengejar ke arah larinya Awang Taruna.
Dia berpendapat walau bagaimanapun
pemuda sakit ingatan itu jelas-jelas
memerlukan pertolongannya. Seperti
yang dia ketahui, Awang Taruna telah
terkena bokongan jarum beracun milik
Bidadari Tangan Maut, yang secara
cepat atau lambat sudah barang tentu
akan mengancam keselamatan jiwanya.
Mengingat sampai ke situ,
pendekar penegak keadilan ini pun
segera menyusul Awang Taruna yang
telah merad terlebih dahulu. Dengan
menggunakan ajian Sapu Angin hanya
dalam waktu sepeminum teh, pemuda
sakit ingatan inipun sudah tersusul.
Akan tetapi pemuda edan itu justru ma-
lah lari tunggang langgang begitu
melihat kehadiran Buang Sengketa.
Agaknya pengaruh racun yang sudah
menjalar ke mana-mana. Tak lama
kemudian pemuda ini pun tersungkur dan
tak sadarkan diri. Demi mengetahui
keadaan Awang Taruna yang sudah
teramat parah, cepat-cepat Pendekar
Hina Kelana mengeluarkan jarum beracun
yang mengeram di tubuh pemuda itu.
Kemudian segera memberikan pertolongan
seperlunya. Begitu keadaan gawat itu
berlalu, kiranya Awang Taruna masih
belum sadar dari pingsannya, hingga
akhirnya dia memutuskan untuk mencari
tempat kediaman Giri Sora. Si manusia
durjana yang menjadi penyebab
malapetaka.
Demikianlah tanpa menghiraukan
rasa letih yang luar biasa, Pendekar
Hina kelana terus berlari-lari kecil
menelusuri rimba yang sepi. Satu saat
dia melihat kepulan asap bergulung-
gulung yang berasal dari dataran
rendah yang tidak begitu jauh lagi
jaraknya dari tempat dia berdiri.
Pemuda ini menghentikan langkah,
beberapa saat lamanya dia memandang ke
arah kepulan asap tersebut. Lalu dia
bergumam seorang diri: "Hemm! Kepulan
asap, mungkin daerah inilah yang
disebut-sebut sebagai daerah Seribu
Bangkai. Kalau begitu kepulan asap itu
berasal dari tempat kediaman Giri Sora
dan kembrat-kembratnya! Bukan tak
mungkin Bidadari Tangan Maut telah
sampai di sana pula." Berfikir sampai
di situ, Pendekar Hina Kelana sudah
bermaksud untuk meneruskan
perjalanannya kembali ketika secara
tiba-tiba terdengar suara bentakan dia
belakangnya:
"Berhenti...!" Mau tak mau Buang
Sengketa mengurungkan niatnya, ke-
mudian secara sepontan menoleh ke
belakang. Tahu-tahu seorang kakek
bertongkat kayu cendana telah berdiri
di belakangnya. Maka sadarlah pendekar
ini, bahwa siapapun adanya kakek tua
yang berdiri di belakangnya. Yang
jelas dia merupakan tokoh yang
memiliki kepandaian yang sangat ting-
gi. Beberapa saat lamanya Buang
Sengketa nampak meneliti si kakek
renta ini, begitu juga sebaliknya.
Dari cara kakek itu memandang maka
tahulah dia bahwa orang tua yang kini
telah berdiri di hadapannya,
sesungguhnya orang yang berasal dari
golongan lurus, untuk itu dia berkata
sopan.
"Ada keperluan apakah, hingga
anda menghentikan langkahku, orang
tua...?"
"Aku ingin bertanya sesuatu
padamu...!" ujar si kakek yang tak
lain adalah Wiku Panulu.
"Apa yang ingin kau tanyakan?
Katakan saja, waktuku tidak
banyak...." kata Buang Sengketa tidak
sabar.
"Baiklah... baiklah. Pernahkah
engkau pergi ke desa Tongging...?"
tanya Wiku Panulu menyelidiki. Pemuda
itu gelengkan kepala. Dalam hati dia
mulai curiga jangan-jangan kakek tua
ini juga ingin memiliki Pedang Pusaka
Penebus Dendam.
"Aku tak pernah ke sana...."
jawab Pendekar Hina Kelana mantap.
"Cobalah berkata jujur, orang
muda...!" sela Wiku Panulu.
"Aku sudah mengatakan yang
sebenarnya...!" kata pemuda ini agak
tersinggung dengan ucapan kakek ini.
Wiku Panulu menarik nafas pendek, dari
sinar matanya yang meredup, tahulah
pendekar ini bahwa sesungguhnya kakek
ini sedang dilanda kesedihan.
"Kalau begitu ke manakah perginya
cucuku...." ucap Wiku Panulu seperti
pada dirinya sendiri. Sedikit
banyaknya Buang Sengketa pada akhirnya
merasa lega, karena apa yang dia
takutkan sesungguhnya tidak beralasan.
"Apakah cucumu bernama Awang
Taruna...?" tanya Pendekar Hina
Kelana, tanpa ragu-ragu lagi. Mata
Wiku Panulu yang meredup itu, kini
agak membuka sedikit, dia agak
terkejut dengan pengakuan pemuda ini.
Lantas timbullah kecurigaannya tentang
seseorang yang berada di bahu kiri pe-
muda ini. Meskipun begitu dia tidak
ingin bertindak gegabah. Dia menyadari
bahwa pemuda yang belum dikenalnya itu
memiliki kepandaian yang sangat
tinggi.
"Engkau kenal dengan cucuku
itu...?"
"Aku kenal seseorang yang
memiliki nama itu. Akan tetapi orang
itu mempunyai sakit ingatan. Aku
kurang yakin kalau pemuda sakit jiwa
itu cucumu. Apakah cucumu seperti yang
kesebutkan tadi...?" Wiku Panulu
gelengkan kepala. Dalam hati dia mulai
percaya dengan apa yang dikatakan oleh
Datuk Sesat dari Pulau Putri. Cucunya
sakit ingatan! Teringat sampai di
situ, tiba-tiba saja dia berkata
lirih,
"Orang muda. Sungguhpun cucuku
saat meninggalkanku tidak sakit
seperti yang kau katakan tadi, tetapi
di dunia ini segalanya serba mungkin
terjadi bukan...?" ujar Wiku Panulu
bagai minta pendapat. Tanpa menjawab,
pemuda ini hanya mengangguk pelan.
"Coba engkau katakan padaku, di
mana adanya cucuku itu...!" kata Wiku
Panulu penuh harap.
"Dia selalu dekat dariku...!"
ujar Pendekar Hina Kelana konyol. Wiku
Panulu memandang berkeliling, matanya
mencari-cari, tak seorang pun berada
di sekitar tempat itu.
"Bocah! engkau jangan coba-coba
mempermainkan aku... dimana dia...?"
tanya Wiku Panulu gusar.
"Dia di sini. Di pundakku
ini...!" jawab Pendekar Hina Kelana
sembari menunjuk bahu kirinya. Wiku
Panulu nampak terperangah, dalam hati
dia bertanya-tanya. Apakah gerangan
yang telah terjadi, sehingga cucunya
sampai dalam keadaan tidak sadar
sedemikian rupa?
"Bocah, engkau apakan dia...?"
tanya Wiku Panulu. Buang Sengketa,
tanpa menghiraukan ucapan Wiku Panulu
segera menurunkan tubuh Awang Taruna
yang masih belum juga sadarkan diri.
Kemudian tanpa diminta dia segera
berucap.
"Dia terkena serangan jarum
beracun milik Bidadari Tangan Maut,
tapi aku sudah mengeluarkannya...!"
ujar pemuda itu masih dalam keadaan
berjongkok di sisi Awang Taruna. Wiku
Panulu langsung menghampiri Awang
Taruna yang masih tergeletak tanpa
daya. Kemudian dia segera memeriksa di
sana sini. Denyut nadinya masih ada.
Sebagai orang yang berpengalaman dia
tahu, bahwa kiranya pemuda di
hadapannya itu telah menyelamatkan
jiwa cucunya.
"Dia memerlukan perawatan lebih
lanjut kakek...!"
"Namaku Wiku Panulu, manusia
tiada guna...!" ujar kakek penghuni
Lembah Sampuran Harimau itu merendah.
"Ah! Engkau terlalu merendah
Wiku. Berbagai golongan persilatan
semuanya mengenalmu...." Tiba-tiba
Wiku Panulu menoleh dan langsung
memandangi si pemuda. Dia tampak
meneliti dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki. Priuk besar, rambut
dikuncir. Tak salah lagi, dia pernah
melihat pemuda super sakti ini di
dalam ramalannya. Tiba-tiba dia
tersentak, terkejut luar biasa.
"Ah... ah...! Sungguh mataku yang
sudah lamur ini tak tahu adat. Tidak
becus me-mandang betapa tingginya
gunung yang tegak di depan mata.
Keterlaluan... sungguh sangat
keterlaluan...! Bukankah engkau ini
Pendekar Hina Kelana, tokoh muda dari
Pantai Karang Tanjung Api...!" ujar
Wiku Panulu tertegun-tegun. Buang
Sengketa tersenyum ramah. Kemudian dia
berucap:
"Mungkin Wiku salah lihat." Wiku
Panulu mengekeh, kemudian langsung
menjawab,
"Tidak! Hanya mataku yang lamur
tapi batinku tidak. Engkaulah tokoh
muda yang memiliki kesaktian luar
biasa! Sungguh aku yang sudah mau
masuk liang kubur ini sangat beruntung
bahwa hari ini aku bertemu dengan
seorang pendekar penegak keadilan...!"
"Wah... engkau ngoco! Bertemu pun
baru kali ini bagaimana mungkin engkau
bisa mengenalku...?" ujar Buang
Sengketa mengelak. Lagi-lagi Wiku
Panulu mengekeh!
"Engkau tak mungkin berbohong
pada ku! Periuk itu, wajahmu, juga
pakaianmu yang dekil mirip manusia
hina. He... he... he...! Siapa lagi
yang punya tampang sepertimu, kalau
bukan si Hina Kelana...! Masihkah
engkau hendak mungkir...?" Kejut pen-
dekar ini bukan alang kepalang. Kakek
tua dengan tongkat kayu cendana,
bertemupun baru sekali ini, tetapi
mengapa bisa tahu tentang dirinya
sampai sejauh itu? Batinnya. Dan
agaknya Wiku Panulu mengetahui apa
yang sedang difikirkan oleh pemuda
ini. Maka diapun langsung menyela:
"Pendekar muda.,.."
"Wiku jangan menyebut-nyebutku
pendekar! Panggil saja Kelana...!"
protes pemuda itu.
"Ah... ah... kiranya selain
memiliki ilmu kepandaian tinggi,
kiranya engkau orang yang
berkepribadian tinggi pula. Tentu
gurumu orang yang sangat bijaksana.
Tapi baiklah Kelana... aku akan
berterus terang padamu, bahwa
sesungguhnya aku punya sedikit
kepandaian dalam meramal apa saja.
Untuk itu walaupun sesungguhnya engkau
belum pernah bertemu denganku akan
tetapi jauh sebelumnya aku pernah
melihat kehadiranmu." kata Wiku Panulu
yang panjang lebar.
"Hmm! Kiranya engkau merupakan
seorang tokoh yang punya banyak
keahlian!" gumam pendekar ini.
"Ya... tapi kepandaian picisan.
Ee... bagaimana engkau bisa bertemu
dengan cucuku ini...?" tanya Wiku
Panulu mengalihkan pembicaraan.
Kemudian secara singkat Pendekar
Hina Kelana menceritakan kejadian yang
sesungguhnya. Sampai kemudian dia
bertemu dengan Wiku Panulu. Mendengar
penjelasan pendekar Hina Kelana, Wiku
Panulu nampak menarik nafas pendek,
lalu dia mendesah.
"Lagi-lagi pedang inilah yang
menjadi penyebab timbulnya malapetaka,
ratusan tahun yang lalu pun satu
perguruan saling bunuh hanya karena
Pusaka Penebus Dendam ini, dan
sekarang malapetaka itu terjadi karena
sebab yang sama...!" ujar Wiku Panulu
dengan wajah tertunduk sedih.
"Agaknya pedang ini diciptakan
hanya untuk membalas dendam, Wiku...!"
"Mungkin juga! Tapi sudahlah, aku
sudah punya rencana tersendiri untuk
memusnahkan pusaka malapetaka ini
nantinya. Oh ya... jadi engkau benar-
benar hendak melanjutkan niatmu untuk
mengobrak-abrik sarangnya Kumbang
Kencana?"
"Ya! Aku harus menggantung Giri
Sora, atau bahkan memenggal kepalanya
atas kematian sekian banyak orang
orang desa Tongging...!" jawab pemuda
ini mantap.
"Kalau begitu aku harus ikut.
Giri Sora harus bertanggung jawab atas
kematian Pujita Sari mantuku...!"
"Kalau engkau sudah berniat
begitu, aku tidak bisa mencegah Wiku.
Mari kita berangkat." Usai berkata
begitu, Pendekar Hina Kelana kembali
memanggul tubuh Awang Taruna kemudian
dalam waktu sekejap saja kedua orang
inipun berkelebat pergi. Karena jarak
yang mareka tempuh tidaklah begitu
jauh benar, maka dalam waktu sekejap
mereka telah sampai di tempat kediaman
Giri Sora. Setelah menyembunyikan
Awang Taruna di tempat yang aman, maka
kedua orang ini langsung mendekati
tempat tinggalnya Giri Sora. Dari
tempat yang agak terlindung mereka
dengan jelas dapat melihat kesibukan
yang luar biasa.
"Agaknya Giri Sora sedang
mengadakan pesta besar-besaran,
Wiku...!" kata pendekar Hina kelana
hampir-hampir tak terdengar.
"Satu pesta kematian yang
sebentar lagi akan kita mulai...!"
jawab Wiku Panulu begitu dingin.
"Lihat! Penjaga-penjaga itu, kita
harus melumpuhkan mereka terlebih
dulu."
"Menurut perkiraanku mereka tidak
lebih dari empat puluh orang. Itupun
seperti yang aku dengar...!" kata Wiku
Panulu menimpali.
"Sepuluh di antaranya sudah pada
kojor di tanganku...!" menyela Buang
Sengketa tanpa suatu maksud. Wiku
Panulu memandang pada pemuda ini untuk
beberapa saat lamanya.
"Engkau benar-benar hebat...!"
kata Wiku Panulu memuji.
"Jangan menyanjungku setinggi
langit. Bisa-bisa aku tersungkur ke
dalam parit...."
"Engkau ini memang manusia lucu.
Tapi aku senang pada sifat-sifat yang
rendah hati...!" Tanpa menghiraukan
ucapan Wiku Panulu, Pendekar Hina
Kelana berseru,
"Wiku... cepat kita bereskan enam
orang penjaga di luar itu. Setelah itu
kita langsung menyerbut ke dalam! Aku
yakin Bidadari Tangan Maut juga ada di
sana...!"
"Membereskan tikus dapur apa
sulitnya!" Bersamaan dengan ucapannya
itu, Wiku Panulu merogoh kantong
jubahnya, kemudian laksana kilat,
tangannya berkelebat.
"Wut!"
Enam larik benda berwarna putih
bersih meluruk cepat mengarah pada
bagian yang sangat mematikan tubuh
penjaga itu. Agaknya mereka tidak
menyadari adanya bahaya maut yang
mengintai keselamatan jiwa mereka.
Tanpa satu rintangan apapun, benda-
benda ini melabrak tubuh penjaga-
penjaga itu.
"Jeb!"
Secara bersamaan suara seperti
itu terdengar enam kali berturut-
turut. Tanpa mampu mengeluarkan
jeritan apapun, tubuh mereka
berjatuhan bagai sebatang pohon yang
ditebang secara serampangan. Tubuh-
tubuh yang malang itu nampak
berkelojotan untuk beberapa saat
lamanya. Darah meleleh dari bagian
leher yang terkena sambitan senjata
rahasia yang berupa tulang ular Cobra
itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga-
penjaga itupun diam tiada berkutik,
nyawa melayang dengan tubuh membiru.
Kiranya semua kejadian itu sempat
menimbulkan kecurigaan pada orang-
orang yang berada di dalam rumah yang
mirip sebuah istana itu. Terbukti
hanya beberapa saat setelahnya, tampak
beberapa orang ke-luar dan sangat
terperanjat melihat kenyataan yang
terjadi.
* * *
DUA BELAS
Maka gegerlah orang-orang
perkumpulan Kumbang Kencana dibuatnya.
Kecut bercampur marah, semuanya
berbaur menjadi satu. Kemudian salah
seorang di antara mereka berteriak
lantang.
"Cepat beritahu ketua...!"
perintahnya. Tiga orang di antara
mereka segera bergegas pergi, tak lama
kemudian telah kembali lagi bersama
seorang laki-laki berbadan kurus
sedangkan di sisi kirinya menyertai
seorang perempuan yang sudah sangat
dikenal oleh Pendekar Hina Kelana.
Siapa lagi kalau bukan Bidadari Tangan
Maut. Di tempat persembunyiannya,
Buang Sengketa berbisik pada Wiku
Panulu.
"Wiku! Perempuan itulah yang
telah menciderai cucumu...!" jelasnya.
Wiku Panulu manggut-manggut kayak
burung platuk.
"Aku pernah mengenalnya, dan
kalau engkau ingin tahu bagaimana
tampangnya kunyuk Giri Sora, ya itu...
yang tinggi kurus itu...!" sela Wiku
Panulu.
"Apakah kita perlu turun tangan
sekarang juga?" tanya Pendekar Hina
Kelana sudah semakin tak sabaran.
"Sabar dulu! Aku ingin tahu apa
yang akan dilakukan oleh si Giri Sora
dan betina itu...!" jawab Wiku Panulu,
tanpa mengalihkan perhatiannya pada
orang-orang Kumbang Kencana yang
sedang menggotong mayat-mayat
kawannya.
Dalam pada itu, Giri Sora sangat
marah sekali demi melihat kematian
anak buahnya yang sampai sebanyak itu.
Dalam hati, siapapun adanya orang yang
telah menyambitkan senjata rahasianya.
Sudah dapat diduga setidak-tidaknya
orang itu berkepandaian tinggi. Dalam
kemarahannya itu dia berteriak
lantang:
"Bangsat pengecut! Kalian benar-
benar mencari penyakit, bagitu berani
menyantroni sarang macan! Keluar dari
tempat persembunyian atau aku harus
me-maksanya...!" Tiada reaksi. Di
tempat persembunyiannya Pendekar Hina
Kelana dan Wiku Panulu saling pandang.
Kembali terdengar suara bentakan.
"Bangsat rendah. Agaknya kalian
sebangsanya tikus pengecut...!" Untuk
sesaat lamanya kembali hening. Namun
hal itu tidak berlangsung lama, sebab
dengan disertai lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh yang terkenal sangat
dahsyat itu pendekar Hina Kelana kini
tertawa ganda.
"Huaa... ha... ha...! Giri Sora
macan ompong, hari ini engkau kiranya
telah membuat pesta kematianmu
sendiri. Kematian banyak warga desa,
memang sudah selayaknya engkau tebus.
Dosa-dosamu sudah kelewat
bertimbun...!" Bukan main
terperanjatnya Ketua Perkumpulan
Kumbang Kencana ini dibuatnya. Dia
melihat beberapa anggotanya roboh
seketika itu juga, kuping mereka
mengalirkan darah. Bahkan dia sendiri
sampai-sampai tergetar hebat,
begitupun Bidadari Tangan Maut.
Meskipun dua orang ini telah menutup
indra pendengaran mereka, akan tetapi
suara lengkingan tawa Pendekar Hina
Kelana masih berpengaruh banyak,
bahkan terasa menggetarkan jantung dan
membuat dada terasa sakit.
Dalam pada itu, dua sosok tubuh
melesat cepat ke arah Giri Sora dan
Bidadari Tangan Maut. Tanpa timbulkan
suara, tahu-tahu Pendekar Hina Kelana
telah menjejakkan kakinya persis di
depan Ketua Perkumpulan Kumbang
Kencana. Giri Sora semakin bertambah
terkejut, karena di samping pemuda
yang belum dikenalnya itu, hadir pula
Wiku Panulu. Yaitu majikan Lembah
Sampuran Harimau yang selama ini
merupakan orang yang sangat
dibencinya. Pucat wajah Bidadari
Tangan Maut begitu melihat kehadiran
pendekar ini, nyalinya menjadi ciut.
Menghadapi Wiku Panulu saja, mereka
beramai-ramai belum tentu bisa menang,
apalagi dengan hadirnya pendekar Hina
Kelana yang sudah dia ketahui akan
kehebatannya. Tanpa sadar perempuan
budak nafsu inipun mengeluh dalam
hati. Sementara itu dengan kemarahan
yang meluap-luap Giri Sora berseru
lantang.
"Wiku Panulu! Kesalahan lama saja
belum engkau tebus, kini engkau
membuat kesalahan baru pula...."
"Manusia setan. Jangan berdalih,
engkau kira, kau dapat menyelamatkan
diri setelah membunuh Pujita Sari dan
berusaha merampas Pusaka Penebus
Dendam?" sentak Wiku Panulu sangat
geramnya. Sebaliknya Giri Sora
tergelak-gelak!
"Betina seperti Pujita Sari itu
memang sudah selayaknya mampus! Tiada
guna, engkau perduli apa...!"
"Wiku! Mengapa harus berbantahan
dengan macan ompong ini. Kita babat
saja lehernya hingga mampus...!" kata
Pendekar Hina Kelana hilang
kesabarannya.
"Tidak semudah itu manusia
sombong!" Berkata begitu dia menoleh
pada orang-orang yang berada di
sekitarnya. Mereka ini jumlahnya hanya
tinggal lima belas orang saja. Tak
berapa lama kemudian dia menyambung:
"Anak-anak, ringkus dua ekor kunyuk
ini...!" perintah Giri Sora pada anak
buahnya. Mendapat perintah dari
atasan-nya, kelima belas orang inipun
serentak maju, dan langsung mengurung
mereka. Melihat pemandangan seperti
itu, Buang Sengketa tersenyum sinis.
"Giri Sora manusia keparat!
Mengapa hanya lima belas orang saja,
majulah engkau dan betina setan itu!
Memerintah orang-orangmu mereka hanya
mati sia-sia...!" kata Pendekar Hina
Kelana rawan.
"Puih! Manusia sombong. Engkau
tak bakalan menang menghadapi mereka!"
bentak Giri Sora penuh percaya diri.
Tanpa diketahui oleh lawan-lawannya,
kiranya Buang Sengketa telah bersiap-
siap dengan ilmu Pemenggal Roh tingkat
kedua. Agaknya Wiku Panulu sudah tahu
apa yang akan dilakukan oleh kawannya
ini, maka cepat-cepat dia tutup indra
pendengarannya.
Demikianlah begitu anak buah Giri
Sora meluruk dan menyerang mereka
dengan senjata terhunus. Maka pada
saat itu juga pendekar ini bertindak.
"Heeeiiiik! Ha... ha... ha...!"
Bumi bergetar hebat, seakan-akan
hendak runtuh, debu dan pasir
beterbangan, begitu juga dengan daun-
daun yang masih hijau. Suara lengking
dan tawa itu sambung menyambung tiada
henti. Seakan bagai rentetan suara
halilintar, bergemuruh dan
menghancurkan gendang-gendang telinga.
Anak buah Giri Sora berpelantingan
roboh, bahkan di antara mereka yang
masih bertahan hidup, menjerit-jerit
kesakitan. Mereka ini berlari ke
segala arah, tak ubahnya mirip orang-
orang yang sedang mengalami gangguan
jiwa. Sementara itu pendekar Hina
Kelana masih belum juga menghentikan
tawanya, anak buah Giri Sora yang
hanya tinggal beberapa gelintir itupun
tak mampu bertahan hidup, tubuh mereka
satu demi satu ambruk ke bumi, darah
mengalir dari berbagai tempat, pada
bagian tubuh mereka. Giri Sora yang
nampak berusaha memunahkan pengaruh
ilmu yang sangat mengerikan itu, sam-
pai beberapa saat berikutnya masih
belum dapat memusatkan fikirannya.
Akan tetapi beberapa saat kemudian
dengan mempergunakan ajian Iblis
Menghalau Setan. Diapun keluarkan
jeritan yang sama. Tubuh pendekar Hina
Kelana dan Giri Sora saling bergetar
hebat. Keringat dalam waktu sekejap
saja sudah mulai berlelehan di pipi
masing-masing lawannya. Baik Wiku
Panulu maupun Bidadari Tangan Maut
sama-sama tidak punya keberanian untuk
mengakhiri adu tenaga dalam tersebut.
Bidadari Tangan Maut hanya mampu
memandangi kawannya yang sedang adu
jiwa itu dengan harap-harap cemas.
Sementara Wiku Panulu yang sudah
kenyang makan asam garam dunia
persilatan nampak tersenyum-senyum.
Dia cukup tahu, sesungguhnya dalam adu
tenaga dalam ini, Giri Sora jauh
beberapa tingkat di bawah pendekar
Hina Kelana. Terbukti hanya dalam
waktu beberapa saat kemudian kedua
kaki Giri Sora mulai nampak amblas ke
bumi. Sementara Buang Sengketa masih
tetap dalam posisinya.
Agaknya Pendekar Hina Kelana
sudah tak sabar lagi dengan keadaan
seperti itu. Akhirnya dia memutuskan
untuk mempergunakan sepertiga dari
sisa tenaganya untuk memukul Giri Sora
yang nampak semakin kewalahan saja.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan,
pukulan inilah yang sekarang disiapkan
oleh Pendekar Hina Kelana. Dalam pada
itu, demi mengetahui kembratnya sudah
nampak kewalahan, Bidadari Tangan
Maut, dengan jarum-jarum beracunnya
bermaksud membokong pendekar ini dari
belakang. Masih untung semua itu tidak
terle-as dari perhatian Wiku Panulu
yang merasa sangat takjub melihat
kepandaian yang dimiliki oleh Buang
Sengketa. Wiku Panulu secara cepat
segera menghadang: "Mau ber-buat apa
engkau perempuan Sundal...?" bentak
kakek dari Lembah Sampuran Harimau itu
sangat marah sekali.
"Hi... Hi... Hi...! Bagus kalau
kau sudah mengetahui maksudku, aki
dungu...!"
"Engkau memang harus cepat-cepat
mampus, betina penumpuk dosa...!"
Belum lagi Wiku Panulu selesai dengan
kata-katanya, Bidadari Tangan Maut
sudah kirimkan pukulan berantai yang
diberi nama, Bidadari Menyergap
Mangsa. Begitu cepat pukulan yang
dilancarkan oleh perempuan itu. Lak-
sana kilat gelombang angin pukulan
yang dilepas oleh Bidadri Tangan Maut,
menerjang ke arah Wiku Panulu. Kakek
tua ini terkekeh-kekeh.
"Pukulan Bidadari Menyergap
Tikus” begini rupa, apa hebatnya...!"
cibir Wiku Panulu sambil kibaskan
tongkatnya. Pukulan tadi selain
melenceng sebagian sebaliknya sebagian
yang lain malah berbalik menggempur
pemiliknya sendiri. Bidadari Tangan
Maut mengelak tunggang langgang. Dia
memaki panjang pendek, sebaliknya Wiku
Panulu malah tergelak-gelak.
Sementara itu Pendekar Hina
Kelana yang sudah semakin tak sabaran
dalam adu tenaga dalam itu, beberapa
saat kemudian kiblatkan tangannya.
Selarik sinar yang hampir-hampir tak
terlihat oleh kasat mata, nampak
melesat begitu cepat. Giri Sora yang
masih dalam keadaan tertekan akibat
bentrok tenaga dalam dengan lawannya.
Tiada pernah menyangka, kalau dalam
keadaan seperti itu lawan masih bisa
kirimkan serangan lainnya. Ketua
perkumpulan Kumbang Kencana ini
menjadi gugup dan panik, tanpa kuasa
menangkis atau mengelak, satu sapuan
gelombang panas yang tiada terperikan
langsung menghajar tubuhnya yang
terbenam sebatas lutut.
"Braaak! Blaar!"
Tanpa ampun tubuh Giri Sora
terpelanting delapan tombak, tangan
kanannya patah, sedangkan dari celah
bibir dan hidungnya mengalir darah
kental kehitam-hitaman. Nyatalah bahwa
Giri Sora mengalam luka dalam yang
cukup hebat. Beberapa saat lamanya dia
mengatur jalan darah, kemudian setelah
menelan beberapa butir pil berwarna
kekuning-kuningan, wajah Ketua Per-
kumpulan Kumbang Kencana itupun
kembali berubah kemerah-merahan.
Anehnya seperti tidak pernah mengalami
kejadian apa-apa orang ini bangkit
kembali, kemudian mencabut sebilah
keris yang sangat tipis dan pendek.
Giri Sora mengeluarkan jerit histeris
bagai banteng terluka. Serta merta
laki-laki ini menyerang lawannya de-
ngan serangan-serangan ganas.
Pada saat itu, pertarungan antara
Wiku Panulu dan Bidadari Tangan Maut
sudah mencapai klimaknya. Bidadari
Tangan Maut telah keluarkan segala
kemampuannya baik dalam ilmu pukulan
ataupun sambitan-sambitan jarum
beracunnya. Sebaliknya Wiku Panulu
yang memang sengaja memberi angin pada
Bidadari Tangan Maut, sampai saat itu
masih saja terkekeh. Sampai akhirnya
dia membentak: "Perempuan sial! Cukup
sudah kesempatan yang telah kuberikan
untukmu. Sekarang tibalah giliranku."
"Sringr
Wiku Panulu kini telah melolos
pedangnya. Pucatlah muka Bidadari
Tangan Maut demi melihat pedang yang
tergenggam di tangan Wiku Panulu,
Pedang Penebus Dendam, yang
menggemparkan itu.
"Bidadari Tangan Maut! Engkau
merupakan korban terakhir, pedang
pembawa celaka ini. Sebab setelah itu,
pedang ini segera akan kuhancurkan!
Sekarang bersiap-siaplah untuk
menerima kematian!" Wiku Panulu
berseru lantang.
"Ciaaat!"
Pedang di tangan Wiku Panulu
langsung memburu, maka celakalah bagi
Bidadari Tangan Maut. Karena Wiku
Panulu, dalam bertidak sudah tidak
kepalang tanggung. Kakek keriputan ini
dalam menyerang langsung mempergunakan
jurus pedang yang dahsyat. Dan diberi
nama jurus Pedang Menipu Arah!
Bidadari Tangan Maut seketika itu juga
menjadi kelabakan.
Beberapa saat kemudian tubuh Wiku
Panulu berkelebat sedemikian cepatnya,
hingga beberapa gebrakan berikutnya,
Bidadari Tangan Matu sudah terdesak
hebat. Tanpa banyak membuang waktu,
pedang di tangan Wiku Panulu
berkelebat.
"Cras!"
Terdengar jerit melolong setinggi
langit, leher Bidadari Tangan Maut
hampir putus terbabat pedang di tangan
Wiku Panulu. Darah menyembur ke mana-
mana, tubuh perempuan itu nampak
limbung, untuk kemudian ambruk
bersimbah darah.
Semua itu sesungguhnya tak luput
dari pandangan Giri Sora, yang pada
saat yang sama sudah mulai jatuh di
bawah angin. Keris pusaka di tangan
ketua perkumpulan Kumbang Kencana
tidak dapat berbuat banyak, untuk
menghadapi sambaran-sambaran Golok
Buntung di tangan lawannya. Bahkan
tubuhnya kini sudah mulai menggigil
akibat pengaruh senjata di tangan
lawan. Sementara itu sinar merah yang
dipancarkan oleh golok di tangan Buang
Sengketa berkelebat-kelebat ke segala
penjuru. Lalu saat golok dan keris itu
saling berbenturau
"Trang! Trang!"
Giri Sora kagetnya bukan alang
kepalang demi mengetahui keris di
tangannya menjadi patah beberapa
bagian. Belum lagi hilang rasa
kejutnya. Golok Buntung di tangan
pendekar ini berkelebat mengarah ke
bagian leher lawannya.
"Craaat!"
Tiada lolong maupun rintih yang
terdengar, kepala Giri Sora nyaris
copot dari pangkal lehernya. Darah
memuncrat bahkan sebagian sempat
memercik ke wajah Pendekar Hina
Kelana. Lalu tubuh laki-laki itu
terhuyung-huyung, hingga pada akhirnya
ambruk ke bumi tanpa mampu berkutik
lagi. Tewaslah Ketua Perkumpulan Kum-
bang Kencana saat itu. Tak lama
kemudian Pendekar Hina Pelana menoleh,
tahu-tahu Wiku Panulu telah berdiri
disitu dengan memanggul tubuh Awang
Taruna yang masih belum sadar dari
pingsannya.
"Beberapa hari lagi dia akan
siuman Wiku! Semoga engkau dapat
merawatnya dengan baik .!" kata Buang
Sengketa menyarankan.
"Sudah tentu, karena dia murid
sekaligus cucuku...!"
"Aku yakin dia akan segera
sembuh!" ujar pendekar ini penuh
keyakinan.
"Tentu saja! Oh ya, terima kasih
atas segala bantuanmu orang gagah...!"
Buang Scngketa hanya tersenyum saja
demi mendengar ucapan Wiku Panulu.
"Engkau tak perlu berterima
kasih, tolong menolong itu sudah
selayaknya sebagai manusia...!"
"Hemm! Engkau pemuda yang berhati
luhur! Akan tetapi sebelum berpisah,
mau-kah engkau menyebutkan siapa
gurumu...?" Tak ada jawaban, begitu
kakek renta ini menoleh. Pendekar Hina
Kelana sudah tak berada di sisinya.
Kakek tua ini hanya geleng-gelengkan
kepalanya, hingga akhirnya dia pun
berkelebat pergi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar