"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PUSAKA PENEBUS DENDAM

Pusaka Penebus Dendam

 

PUSAKA PENEBUS DENDAM 

Oleh D. Affandi 

Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh : Trias Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 006 :

Pusaka Penebus Dendam


SATU


Tubuh tumpang tindih berlumuran 

darah, kaki, tangan, kepala terputus 

dari badannya. Usus terburai, tua 

muda, laki-laki perempuan bahkan 

sampai pada anak-anak yang tiada 

memiliki dosa apa-apa, semuanya tewas

terbantai. Mayat-mayat bergeletakan di 

mana-mana, bau kotoran dan amis darah, 

semuanya berbaur menjadi satu. 

Pemandangan di daerah itu benar-benar 

sangat mengerikan sekali bahkan 

terlalu sulit untuk diungkapkan dengan 

kata-kata. Hujan yang turun begitu 

lebatnya sejak awal terjadinya 

peristiwa pembantaian itu bahkan 

hingga peristiwa pambantaian itu 

berakhir, masih belum juga reda. Akan 

tetapi guyuran hujan yang begitu 

lebatnya tak mampu memadamkan kobaran 

api yang membakar seluruh rumah yang 

ada di desa itu. Bau daging terbakar 

ke mana-mana. Sesungguhnya memang 

begitu! Di antara korban-korban itu 

memang ada yang tidak sempat keluar 

dari rumahnya. Mereka ini langsung

dibunuh di tempat oleh serombongan


orang-orang berkuda yang jumlahnya 

tidak lebih dari empat puluh orang!

Tidak begitu jauh dari tempat 

malapetaka itu terjadi, tampak seorang 

pemuda berlari cepat menuju daerah 

yang kini sedang dilanda lautan api. 

Gerakannya sangat ringan, tubuhnya 

berkelebat di sela-sela pohon rumbia. 

Dalam waktu sekejap sampailah dia 

ditempat kejadian! Wajah pemuda ini 

mendadak berubah pucat, jantung 

berdetak cepat! Apa yang dia lihat 

hanyalah tumpukan mayat di sana sini. 

Mayat dari orang-orang yang sangat 

dikenalnya bahkan mungkin orang-orang 

yang sangat dicintainya. Pemuda ini 

kemudian melangkah cepat pada bekas 

sebuah rumah yang selama ini dia 

tinggalkan, bahkan hampir empat tahun 

lebih. Begitu sampai di depan rumah 

yang kini hanya tinggal puing dan bara 

menyala, sepasang matanya yang selalu 

menatap hampa itu nampak liar 

memandang ke sekelilingnya. Di halaman 

samping, dia melihat sosok tubuh 

bermandikan darah nampak tergeletak 

tanpa daya. Dengan sekali lompat, 

sampailah pemuda ini pada mayat se-

orang perempuan tua yang tak lain 

merupakan ibu kandungnya sendiri.


Pemuda itu segera membalikkan tubuh 

yang sudah dingin dan kaku ini. Begitu 

tubuh itu terlentang dia berseru tanda 

kaget luar biasa. Selain isi perutnya 

yang terburai, wanita malang itu juga 

mengalami luka pada bagian dada, dan 

juga pangkal tenggorokan yang hampir 

terputus. Lebih dari itu, pada bagian 

kepala nampak cengkah bekas di pukul 

benda tumpul sehingga otaknya yang 

berwarna putih kecoklat-coklatan itu 

berhamburan ke mana-mana. Pemuda ini 

meraung setinggi langit! Suaranya 

menyayat memilukan hati! Sambil 

menangis itu dipelukinya tubuh ibunya 

yang malang. Pemuda itu terus menangis 

dan tiada henti-hentinya dia meratap, 

bahkan menyesali dirinya sendiri. 

Tangis yangberkepanjangan dan tiada 

henti, dalam waktu sekejap saja telah 

membuat kedua mata pemuda itu menjadi 

merah dan membengkak. Akhirnya dia pun 

sadar, meskipun tetesan air mata darah 

sekalipun yang ke luar, hal itu tak 

kan mungkin menghidupkan orang yang 

sudah mati. Tiba-tiba dia seka kedua 

kelopak matanya yang agak le-bar itu, 

kedua bola matanya menatap hampa pada 

orang yang paling sangat 

dikasihaninya. Seorang ibu yang selama


hampir sembilan belas tahun telah 

mengasuhnya dengan pengorbanan yang 

tiada sedikit.

Lebih dari itu, siapakah yang 

telah begitu tega membunuh ibunya yang 

dikenal orang sebagai orang yang 

sangat baik dan penyantun pada sesama 

mahluk hidup. Sepanjang yang dia 

ingat, ibunya yang bernama Pujita Sari 

itu tidak mempunyai seorang musuh pun. 

Terlepas dari semua itu, dia merupakan 

seorang tokoh silat yang memiliki 

kepandaian sangat tinggi. Kalau hanya 

mendapat keroyokan tiga sampai sepuluh 

orang belum tentu dia akan kalah, 

lebih dari itu mengapa sampai desa itu 

dibakar bahkan tak seorangpun dari 

penduduknya yang dibiarkan hidup? 

Perbuatan biadap sia- sehingga berani 

turun tangan sampai sekeji itu? 

Memandangi mayat ibunya! Lama-lama 

pemuda itu berkata seorang diri.

"Aduh emak! Kalau aku tau akan 

begini jadinya, tidak aku turuti 

perintahmu untuk berguru pada eyang 

Siku Panulu! Empat tahun adalah waktu 

yang sangat lama! Engkau kutinggalkan 

seorang disini, semua itu hanya karena 

aku ingin disebut sebagai seorang anak 

yang berbakti! Akan tetapi...!" Belum


lagi pemuda bertangan buntung itu 

sempat melanjutkan kata-katanya, 

mendadak tiga butir air matanya 

menggelinding jatuh, dia teramat 

sedih, hatinya benar-benar sangat 

terpukul. Dengan masih tersendat dia 

menyambung kembali," Emak! Belum lagi 

aku dapat membalas semua kebaikanmu, 

tiba-tiba engkau pergi dengan keadaan 

yang sangat menyedihkan sekali! Oh! 

Pada siapa kuharus bertanya tentang 

semua ini...!" ujar si pemuda dengan 

wajah semakin kuyu.

Lagi-lagi dia memandang pada 

sekelilingnya, mayat-mayat 

bergelimpangan, darah berceceran!

Secara tiba-tiba pemandangan seperti 

itu membangkitkan amarahnya. Kedua 

matanya mendadak bernbah liar dan 

beringas, tubuh menegang, sementara 

kedua bibirnya terkatup rapat-rapat.

"Mayat-mayat tak berdosa! 

Pembunuh-pembunuh bangsat...! Iblis-

iblis berhati laknat...! Tak kan 

kubiarkan semua ini berlalu begitu 

saja. Kalian telah membunuh penduduk 

desa yang tiada berdosa. Kalian telah 

membunuh emaaaakkuuuu...!" Bagai orang 

yang sedang kerasukan setan pemuda ini 

berteriak-teriak memecah keheningan.



Si pemuda yang sedang mengalami 

guncangan batin yang sangat hebat ini 

tiba-tiba berubah bagai orang 

linglung, sebentar dia menangis bagai 

anak kecil di lain saat dia tertawa 

tergelak-gelak sambil mengumbar 

pukulan-pukulan yang sangat dahsyat, 

di sekitar tempat itu menjadi porak 

peranda. Tubuh-tubuh yang sudah tiada 

bernyawa itu berpelantingan tak tentu 

ujudnya. Agaknya dia sudah berubah 

menjadi edan, karena tidak mampu 

menahan guncangan batin yang maha 

hebat. Sambil memanggul tubuh ibunya 

yang sudah kaku dia berjingkrak-

jingkrak kesana ke mari.

Pada saat yang bersamaan tiba-

tiba terdengar gelak tawa yang sangat 

memekakkan gendang-gendang telinga. 

Begitu suara tawa menggelegar itu 

terhenti, mendadak terdengar pula 

ucapan mengejek dan mencaci maki:

"Budak tolol yang bernama Awang 

Taruna! Kunyuk hina yang mengaku 

sebagai anak cecurut golongan berhati 

lurus! Bagimu kematian mungkin 

sesuatu yang sangat mengerikan! He.., 

he... he...!" kata suara itu sambil 

terkekeh kembali. Akan tetapi 

sesungguhnya kematian itu walau


bagaimana ujudnya merupakan sesuatu 

yang pasti dan tak bisa ditawar-tawar 

lagi. Mengapa harus menyesal, mengapa 

engkau harus marah? Semua penduduk di 

desa ini memang sudah selayaknya 

mampus. Pula kematian ibumu yang 

berkedok sebagai kaum yang lurus! 

Membabat rumput memang harus tuntas 

sampai ke akar-akarnya agar kelak tak 

menjadi biang penyakit. Karena mereka 

memang masih kurang begitu becus 

membongkar akar! Maka kami akan 

melanjutkan pekerjaan mereka yang 

belum selesai...!" kata suara itu 

dengan nada penuh ancaman.

Awang Taruna yang mulai detik itu 

fikirannya memang sudah tak dapat 

berjalan normal, malah nampak tertawa 

panjang-panjang. Meskipun begitu, 

keberingasan tetap terpancar dari 

tatapan matanya yang memerah.

"Kematian... menyesal... 

marah...! Agaknya engkau setan neraka 

yang telah membunuhi mereka...!" 

bentak Awang Taruna yang memang sudah 

berubah setengah gila.

"Kalau memang benar engkau setan 

neraka! Tunjukanlah mukamu...!" kata 

Awang Taruna menyambung. Terdengar


kembali gelak tawa dari rerumpunan 

pohon rumbia.

"Rupanya kematian ibumu benar-

benar telah membuatmu menjadi setengah 

gila Bagus... membunuh orang gila 

memang sama mudahnya dengan membunuh 

seekor anjing kesurupan...!" Bersamaan 

dengan ucapannya itu, tahu-tahu di 

depan Awang Taruna telah berdiri dua 

orang kakek bungkuk berkepala botak 

berjanggut putih. Tubuh mereka 

setengah telanjang dengan bercawatkan 

kulit kambing. Mulut kedua orang ini 

tak henti-hentinya berkomat-kamit. 

Sedangkan hampir keseluruhan badan 

mereka dipenuhi dengan gambar tatto 

perempuan telanjang dengan berbagai 

posisi. Orang-orang persilatan 

mengenal mereka sebagai Dua Bangkotan 

Pelalap Daun Muda berasal dari Pulau 

Putri. Selama malang melintang dalam 

rimba persilatan mereka ini terkenal 

dengan segala kejahatannya dalam 

menculik dan melarikan anak bini 

orang. Ilmu kepandaian mereka, 

golongan manapun belum ada yang mampu 

menandinginya, telengas dan merupakan 

dua orang pembunuh berdarah dingin. Di 

kolong langit ini hanya ada seorang 

tokoh yang membuat mereka jeri. Yaitu


dedengkot persilatan golohgan putih 

yang telah hampir dua puluh tahun 

mengasingkan diri di dasar air terjun 

Sampuran Harimau. Siapa lagi kalau 

bukan Eyang Wiku Panulu yang juga 

masih merupakan guru Awang Taruna yang 

sudah berubah setengah gila.

Kini ketiga orang itu sudah 

saling berhadap-hadapan, kedua kakek 

botak yang memiliki nama asal Datuk 

Kwalat dan Datuk Kwali ini memandang 

sinis pada Awang Taruna setengah gila. 

Sesungging senyum sinis membangkitkan 

dendam masa lalu mereka pada Pujita 

Sari, yaitu ibu kandung Awang Taruna. 

Tiba-tiba Datuk Kwalat menghardik: 

"Hemmm! Engkau titisannya Bayu 

Siliwara yang telah merampas Pujita 

Sari dari genggaman kami! Wajahmu 

benar-benar sangat mirip dengan Bayu 

Siliwara yang telah mampus delapan 

belas tahun yang lalu di tangan kami. 

Meskipun si Bangsat itu telah mampus, 

akan tetapi dendam kami tetap setinggi 

langit! Pujita Sari yang kami cinta 

telah berangkat pula ke akherat oleh 

tangan-tangan si Kumbang Kencana. Kami 

tak hendak bermusuhan mereka, karena 

sesungguhnya Kumbang Kencana juga 

terlibat hubungan cinta dengan emakmu


yang dulu sangat cantik menggiurkan 

setiap laki-laki...!"

"Kupu-kupu malang itu kini telah 

mampus! Sebagai keturunannya engkau 

pun harus mampus pula...!" sambung 

Datuk Kwali.

Sementara itu, Awang Taruna yang 

kesadarannya sudah mulai hilang timbul 

nampak terlongong-longong. Meskipun 

begitu dia mempunyai anggapan bahwa 

pastilah orang yang sedang berhadapan 

dengan dirinya itu merupakan orang 

yang menyebab malapetaka di desanya.

"Bangsat betul! Emakku yang sudah 

tua engkau bilang kupu-kupu! Jadi 

kalianlah monyetnya yang telah 

membunuh orang-orang di sini...!" 

bentak Awang Taruna tertawa sambil 

marah. Baik Datuk Kwalat maupun Datuk 

Kwali, nampak saling pandang 

sesamanya, mereka geleng-gelengkan 

kepala. Karena pada kenyataannya si 

pemuda keturunan Bayu Siliwara itu 

benar-benar sudah setengah gila.

"Bocah edan! Bukan kami yang 

bunuh emakmu... tapi komplotan Kumbang 

Kencanalah yang telah melakukannya! 

Biarpun begitu, karena engkau monyet 

keturunannya Bayu Siliwara, maka kami

pun akan membunuhmu...!" bentak Datuk


Kwali sangat marah. Awang Taruna 

tergelak-gelak, digoyang-goyangkan 

mayat ibunya yang menggelantung di 

bahu kirinya. Sisa-sisa darah nampak 

menetes lalu membasahi bajunya yang 

berwarna kuning gading.

"Bagus... bagus...! Kalian memang 

benar-behar seorang ksatria... sudah 

membunuh orang banyak mau pula 

mengakui perbuatannya. Cepat-cepatlah 

kalian membunuh diri di depan mataku, 

biar tak usah bersusah payah aku 

mengotori tanganku dengan darah...!"

Demi mendengar jawaban si pemuda, 

mendadak wajah Dua Bangkotan Pelalap 

Daun Muda berubah menjadi kelam 

membesi. Mereka memaki panjang pendek! 

Cara berfikirnya Awang Taruna yang 

sudah salah kaprah itu membuat kedua 

orang ini menjadi sangat kesal 

setengah mati.

"Kunyuk sinting! Kiranya kematian 

emakmu, benar-benar telah membuatmu 

jadi gila...!" bentak Datuk Kwalat 

sangat murka sekali.

"Kalau begitu cepat kita gebuk 

saja bocah gendeng ini kakang...!" 

Datuk Kwali sudah tak sabaran lagi. 

Dalam pada itu tanpa menghiraukan 

ucapan kedua Bangkotan Pelalap Daun


Muda, Awang Taruna malah balas 

membentak: 

"Tua bangka muka tuyul...! Sedari 

tadi kalian cuma ngoceh tak karuan! 

Katanya mau bunuh diri, mana...! Cepat 

lakukan...!"

"Kakang, bocah gemblung ini 

mulutnya semakin kurang ajar saja...!" 

ujar Datuk Kwali sambil perotkan 

mulutnya.

"Engkaupun tolol! Sudah ketahuan

orang gila, masih juga kau ajak

ngomong! Tunggu apa lagi! Mari kita 

gebuk beramai-ramai...!" Tanpa 

berkata-kata lagi, kedua Datuk dari 

Pulau Putri inipun langsung menyerang 

Awang Taruna. Biarpun sudah setengah 

gila, agaknya naluri kependekarannya 

masih menyadari adanya bahaya yang 

sedang mengancamnya, dengan sangat 

mudah dia berkelit kemudian mundur 

sepuluh langkah.

* * *

DUA



Dengan masih memanggul mayat ibu-

nya, pemuda linglung inipun membentak

marah pada kedua datuk ini: "Kurang 

ajar! Kalian telah mengingkari janji 

kalian sendiri! Kalian benar-benar 

setan berkedok tuyul...! Setan tuyul 

harus mampus!

"Malang sekali nasibmu bocah! 

Sudah gila harus mampus pula...!" 

berkata begitu Datuk Kwalat langsung 

menerjang dengan serangan-serangan 

ganas, Datuk Kwalipun tidak tinggal 

diam, dengan jurus Menyibak Kuntum 

Menghisap Madu, laki-laki berkepala 

botak ini kirimkan pukulan-pukulan 

yang sama hebatnya pada Awang Taruna. 

Tangan dan kaki mereka berkelebat 

sangat cepat, mencecar bagian tubuh 

Awang Taruna yang nampak lemah dan 

rawan. Inilah sifat dari jurus Dewa 

Timbulkan Bencana yang pernah 

diturunkan oleh gurunya Eyang Wiku 

Panulu. Memancing lawan untuk memukul 

atau lancarkan serangan pada bagian 

yang sengaja dibiarkan terbuka setelah 

lawan terpancing dan lancarkan 

serangan maka dengan cepat kirimkan 

pukulan yang mematikan.

Ternyata pancingan yang 

dilancarkan oleh Awang Taruna yang 

setengah edan itu nampaknya 

mendatangkan hasil. Karena begitu


melihat pertahanan lawan nampak 

terbuka di beberapa bagian, bagai 

anjing yang hendak berebut tulang. 

Kedua datuk bersaudara inipun langsung 

kirimkan satu pukulan yang ganas 

mengarah pada bagian perut, dada serta 

leher lawannya. Pukulan ganas itupun 

menderu dan timbulkan suara 

menggemuruh bagaikan hujan lebat. 

Hanya tinggal berjarak satu inci saja 

pukulan itu mencapai sasarannya. Dalam 

hati merekapun berharap, dengan satu 

kali pukulan yang berisi tenaga dalam 

itu segera meremukkan dada dan perut 

lawannya. Akan tetapi sungguh di luar 

dugaan kedua orang ini, secepat kilat 

tubuh Awang Taruna melesat cepat ke 

udara sambil hadiahkan dua pukulan 

hebat yang oleh Eyang Wiku Panulu 

diberi nama Menembus Kabut Memukul 

Hantu pada kedua orang datuk ini. Baik 

Datuk Kwalat maupun Datuk Kwali yang 

tiada menyangka bahwa pukulan mereka 

dapat dielakkan oleh lawannya yang 

sudah setengah gila, nampak menjerit 

keras. Kepala mereka yang botak 

pelontos nampak memar membiru, terasa 

sangat panas dan pusing luar biasa. 

Lebih dari itu di samping pihak lawan 

yang dapat mengkelit pukulan mereka,


bahkan hadiahkan dua pukulan 

sekaligus. Celakanya pukulan mereka 

malah saling bertubrukan sesamanya. 

Kedua tangan yang saling berbenturan 

sesamanya ini nampak membengkak dan 

berubah kehitam-hitaman, berdenyut 

sakit luar biasa. Kedua datuk ini 

nampak menyurut beberapa langkah, 

wajah mereka pucat pasi. Nafas ngos-

ngosan bagai habis diburu setan kubur. 

Cepat-cepat mereka telan dua butir pil 

penawar racun milik pukulan mereka 

sendiri. Beberapa saat kemudian, 

tangan yang menghitam itu sudah 

berubah menjadi sediakala. Akan tetapi 

hal itu tidak mengurangi kejut di hati 

mereka begitu kedua Datuk ini saling 

memandang sesamanya. Datuk Kwalat 

dapat melihat betapa akibat pukulan 

yang dilepaskan oleh si pemuda 

setengah gila telah membuat kepala 

kembratnya nampak benjol sebesar telur 

angsa, begitupun kala dia meraba 

kepalanya sendiri, keadaannya tidak 

lebih baik dari kembratnya. Bukan 

alang kepalang datuk ini malu 

bercampur murka. Sepanjang sejarahnya 

selama malang melintang dalam rimba 

persilatan, belum pernah mereka 

dipermalukan seperti ini! Kalaupun


mereka mendapat lawan tangguh ataupun 

setingkat biasanya hanya dengan waktu 

lima belas jurus saja mereka sudah 

dapat merobohkannya atau bahkan 

membunuhnya sekaligus. Tetapi kini se-

orang pemuda yang masih ingusan bahkan 

terganggu pula jiwanya, mampu 

mengelakkan pukulan-pukulan mereka 

yang diberi nama Menyibak Pelangi 

Merampas Bidadari, lebih dari itu 

pemuda kurang waras inipun sempat 

menghadiahkan dua pukulan yang mampu 

membuat kepala mereka mendapat benjol 

sebesar telur angsa. Hal ini sungguh 

keterlaluan dan bahkan sangat 

memalukan. Benar-benar gila!

Kedua datuk itu kemudian saling 

pandang sesamanya, tak lama kemudian 

dengan diawali jerit tinggi 

melengking. Kedua orang ini langsung 

saja kirimkan pukulan-pukulan jarak 

jauh yang lebih hebat dari sebelumnya. 

Awang Taruna nampaknya malah lebih 

gila lagi dalam bergebrak, dengan 

mengandalkan pukulan Membalik Air 

Terjun Menendang Bayang-Bayang, dengan 

sangat cepat dia memapaki pukulan-

pukulan yang dilancarkan oleh lawan-

lawannya. Pemuda gila ini mana perduli 

lagi dengan keselamatan diri sendiri.


Masih merupakan keuntungan bagi 

dirinya meskipun kesadarannya selalu 

hilang timbul, akan tetapi gerakan-

gerakan silatnya yang sudah sangat 

terlatih membuat tangan dan kaki 

selalu melakukan gerakan-gerakan 

reflek yang tiada dapat diduga-duga, 

oleh lawannya. Satu saat datuk-datuk 

dari pulau Putri ini lakukan pukulan 

yang diberi nama Kumbang Jantan 

Menendang Kuncup. Pukulan yang 

terkenal ganas ini merupakan puncak 

dari ilmu sesat yang mereka miliki. 

Tangan-tangan mereka nampak terpentang 

ke atas, beberapa saat kemudian tubuh 

datuk-datuk ini tergetar dan tampak 

menegang untuk beberapa saat lamanya. 

Sampai kemudian dengan diawali jerit 

melengking secara ber-samaan mereka 

pukulkan kedua tangannya mengarah pada 

si pemuda. Gelombang pukulan berwarana 

merah menyala menderu dan timbulkan 

suara bercuitan. Awang Taruna nampak 

berjingkrak kaget begitu merasakan 

hawa pukulan yang dilepaskan oleh 

kedua orang Datuk dari Pulau Putri 

ini. Secara refleks dia cabut pedang

yang terselip di bagian pinggangnya. 

Cepat-cepat dia putar pedang untuk 

melindungi diri. Tanpa ampun gelombang


pukulan yang dilancarkan oleh kedua 

datuk inipun melabrak benteng 

pertahanan Awang Taruna yang berupa 

gulungan sinar pedang pemberian Eyang 

Wiku Panulu itu. Dan pada saat itu 

juga. 

"Trang! Trang!"

Benturan yang sangat keras itupun 

terjadi! Yang anehnya begitu pukulan 

yang dilancarkan oleh Datuk Kwalat 

maupun Datuk Kwali membentur gulungan 

sinar pedang milik Awang Taruna, 

nampak membalik dan menyerang tuannya 

sendiri. Kalau saja kedua datuk dari 

Pulau Putri ini tidak cepat-cepat 

mengelak maka alamat binasalah kedua

orang ini. Dengan sangat cepatnya 

pukulan Kumbang Jantan Menendang 

Kuncup ini melesat dan melabrak 

sebatang pohon di belakang mereka. 

Pohon itu ambruk dan timbulkan suara 

bergemuruh.

"Tobat!" rutuk Datuk Kwali 

panjang pendek.

"Bocah gila itu kiranya punya 

senjata dan pukulan yang membuat dunia

persilatan mentertawai kita...!" umpat 

si Datuk Kwalat sambil terus berkomat 

kamit. Mendadak Datuk Kwali yang sejak 

tadi memperhatikan senjata yang


tergenggam di tangan lawannya, berseru 

tertahan! Kedua matanya nampak melotot 

bagai hendak meloncat ke luar.

"Kakang! Lihatlah bocah edan itu 

menggenggam pedang milik Bangkotan 

Wiku Panulu! Kita tak bakalan unggul 

menghadapi bangsat ini kakang...!" 

seru Datuk Kwali ciut nyalinya. Pada 

saat itu Datuk Kwalat pun tak kalah 

terperanjatnya. Mendadak wajahnya 

berubah memucat. Kemudian dengan 

terheran-heran dia bertanya pada 

kambratnya.

"Dari mana dia peroleh pedang 

yang hampir membuat kita celaka 

beberapa tahun yang lalu itu ya 

adik...?"

"Mungkin dia merupakan murid dari 

si tua bangsat itu kakang...! Lihatlah 

tadi juga dia memainkan jurus-jurus 

yang pernah dimiliki oleh Wiku celaka 

itu...!" ujar Datuk Kwali mereka-reka.

"Hhh! Benar juga katamu! Lalu 

bagai-mana ini...?!" tanya Datuk 

Kwalat bagai orang linglung.

"Tunggu apa lagi! Kalau kita tak 

ingin mampus lebih baik kabur 

saja...!"

"Kalau begitu kita hubungi kawan-

kawan kita!" Tanpa berfikir panjang


kedua orang inipun sebentar saja telah 

berkelebat pergi dari tempat itu.

"Tuyul-tuyul bangsat! Mau kabur 

ke mana... tinggalkan dulu kedua 

gundulmu!" Celakanya begitu hendak 

kiblatkan kedua tangannya, mendadak 

sakit gilanya kumat. Beberapa saat 

kemudian Awang Taruna nampak 

kebingungan. Dasar orang gila! Musuh 

minggat ke Barat, eeh! Dia malah merat 

ke Timur!

* * *

Langit hitam, cakrawala hitam! 

Senja terus bergulir tiada henti. 

Sekejap pemuda berkuncir dengan sebuah 

periuk besar yang tiada pernah 

bergoyang walau dibawa berlari-lari 

secepat apapun memandang ke angkasa 

kelam! Dalam hati dia menggerutu 

sendirian! Hujan. Panas. Semuanya 

datang silih berganti. Tiada henti 

tiada pula berkesudahan. Sebentar lagi 

hujan lebat sudah akan mengguyur alam 

sekitarnya. Kalau dugaannya ternyata 

benar, sudah dapat dipastikan pula 

tubuhnya menjadi basah kuyup. Lebih 

celaka lagi kalau di kota yang dia 

tuju itu tak terdapat sebuah


penginapan! Pendekar Hina Kelana belum 

lagi usai dengan kata-katanya ketika 

secara tiba-tiba hujan deras turun 

bagai tercurah dari atas langit sana. 

Dengan mempergunakan ajian Sapu Angin 

begitu cepat tubuh pemuda itu 

berkelebat. Dalam waktu sekejap saja 

dia sudah sampai di jalan besar yang 

menghubungkan tempat keramaian di kota 

itu! Pemuda itu nampak celingukkan 

begitu menginjakkan kakinya di tengah-

tengah kota itu. Begitu dia melihat 

adanya sebuah warung yang merangkap 

sebagai tempat penginapan langsung 

saja dia mengayunkan langkahnya ke 

sana! Tubuhnya yang kekar berotot 

nampak menggigil kedinginan begitu dia 

sampai di depan warung itu. Seorang 

pelayan laki-laki dengan tergopoh-

gopoh tampak menghampiri si pemuda.

"Kisanak mencari siapa...?" tanya 

pelayan tadi berlagak pilon. Ditanya 

seperti itu, sudah barang tentu pemuda 

ini nampak keheran-heranan.

"Bapak! Bukankah tempat ini 

merupakan sebuah warung penjual 

makanan?" tanyanya dengan pandangan 

menyelidik. Laki-laki pelayan itu 

kelihatan tergagap dan menoleh kenan 

kiri bagai orang yang ketakutan.


"Tu... tuan! Tempat ini memang 

sebuah warung. Akan tetapi dalam 

keadaan hujan begini kami tidak terima 

tamu! Dan lagi makanan memang sudah 

habis sejak sore tadi...!" 

Buang Sengketa tersenyum getir 

begitu mendengar jawaban laki-laki 

itu. Pelayan ini benar-benar mau 

mengelabuhinya. Padahal tadi dia 

sempat melihat makanan yang dipajang 

di atas almari kaca. Kemudian dia 

teringat pada dirinya sendiri yang 

berpenampilan mirip seorang gembel!

"Bapak! Apakah engkau takut kalau 

aku tak mampu membayar makanan?" tanya 

si pemuda agak tersinggung. Sekejap 

dia merogoh sakunya, lalu keluarkan 

beberapa keping uang perak. Nampaknya 

pelayan ini semakin ketakutan saja.

"Bukan... bukan begitu maksudku 

Tuan! Makanan yang ada sudah di borong 

semua oleh orang...!"

Biarpun Buang Sengketa sudah 

mendongkol dalam hati, tapi dicobanya 

juga untuk bersabar.

"Kalau engkau tak dapat 

menyediakan makanan untukku! Apakah 

engkau bersedia menunjukkan kamar 

sebagai tempat aku menginap malam 

ini...!" tanya pendekar Hina Kelana


sambil melirik pada laki-laki itu. 

Paras pelayan itu semakin bertambah 

memucat.

"Maaf Tuan! Di sini tidak ada 

penginapan, silakan Tuan cari di 

tempat lain saja...!" jawab laki-laki 

itu pula. Dalam pada itu, tiba-tiba 

terdengar suara teguran dari dalam 

Kedai: 

"Pelayan! Pekerjaanmu saja masih 

belum beres, mengapa kau layani segala 

macam kucing kurap? Cepat engkau usir 

dia sebelum selera makanku benar-benar 

terganggu”

Buang Sengketa meskipun sudah 

sangat kesal, tadi dia sudah berniat 

meninggalkan tempat itu untuk segera 

mencari penginapan yang lainnya. Akan 

tetapi mendengar sindiran dan bentakan 

seperti itu, tentu saja dia tak mau 

terima dan balik langkah kembali.

"Setan alas! Kiranya engkau telah 

membohongiku pelayan! Kucing kurap 

tidak engkau layani! Tapi Anjing buduk 

malah engkau biarkan melahap seisi 

warungmu...!" Buang Sengketa balas 

menyindir. Sesungguhnya dia ingin 

lihat macam apa tampangnya monyet yang 

tak memiliki peradatan itu. Laki-laki 

pelayan ini begitu mengetahui gelagat


yang tak baik, segera melangkah ke 

dalam. Sesampainya di dalam dia lebih 

terperanjat lagi, karena dilihatnya 

laki-laki yang telah memberi perintah 

itu sudah sangat marah. Sekali 

cengkeram tubuh yang kurus itupun 

sudah terangkat tinggi-tinggi. Pelayan 

ini menggigil ketakutan.

"Maa... maafkan saya Tuan! Orang 

itu benar-benar tidak mau tahu! Pula 

aku sudah mencoba menasehatinya...!"

"Pelayan dungu! Pelayan goblok 

tiada guna. Pergi sana...!" Laki-laki 

berbadan ge-muk tinggi itu sekali saja 

mengayunkan tangannya, tubuh pelayan 

krempeng itu langsung melayang dan 

menabrak dinding warung hingga bobol 

berantakan.

* * *

TIGA



Tubuh pelayan itu tersungkur ke 

luar dinding tembok dengan tulang 

kepala remuk dan nyawa melayang 

seketika itu juga. Mendidihlah darah 

Pendekar Hina Kelana demi menyaksikan


kekejaman terjadi di depan matanya. 

Begitu laki-laki berbadan tinggi ini 

nampakkan wajah, pemuda ini untuk 

sesaat lamanya dia mengawasi laki-laki 

berkulit hitam macam arang ini dari 

ujung rambut sampai ke ujung kaki. 

Laki-laki berkumis melintang ini 

nampak mengenakan pakaian hitam pula, 

dengan simbol berbentuk seekor Kumbang 

Kencana berwarna putih dan terletak di 

bagian dada sebelah kiri. Di 

pinggangnya yang gembrot kedodoran 

tergantung pula sebuah golok besar 

yang hampir-hampir terjuntai sampai ke 

lantai. Di belakang laki-laki itu 

berdiri pula beberapa orang berpakaian 

sama. Menilik wajah mereka yang nampak 

kemerah-merahan, Buang Sengketa dapat 

menduga bahwa orang-orang itu sedang 

dalam ke adaan mabuk.

"Iblis Hitam! Kejam sekali 

pebuatanmu, benar-benar manusia 

dajal...!" Mengetahui keadaan si 

pemuda laki-laki kumis melintang ini

nampak mencemooh. Dengan suaranya yang

berat dan parau dia balas menghardik.

"Gembel hina! Lancang sekali 

mulutmu, tidakkah engkau tahu dengan 

siapa kau berhadapan...!" geram lali-

laki itu melotot.


"Huh! Yang kutahu aku sedang 

berhadapan dengan manusia iblis pantat 

kuali...!" Di ejek seperti itu, 

gusarnya bukan main wakil ketua 

Kumbang Kencana ini dibuatnya. 

"Jahanam! Kau benar-benar ingin 

cari perkara dengan kami...!" kata 

laki-laki wakil ketua Kumbang Merah 

dengan kemarahan yang alang kepalang. 

Wajahnya yang hitam macam pantat 

periuk itu nampak menegang, sebentar 

kemudian telah berubah kelam membesi.

"Ha... ha... ha...! Sifatmu yang 

serakah dan telengas saja sudah 

terlalu sulit bagiku untuk

mengampunimu! Engkau jangan pura-pura 

tak punya dosa...!" kata Buang 

Sengketa sambil tertawa mengekeh.

"Cuih! Bangsat... gembel! Besar 

juga nyalimu, berani turut campur 

segala urusan Kumbang Kencana. Sebut 

dulu namamu agar kami tak susah 

menulis namamu di atas kuburanmu 

nanti...!"

"Hak... hak... hak...! Sekali 

engkau jual lagak di depan hidungku! 

Tidak nantinya aku mengampuni jiwa 

anjingmu...!"

"Kakang Projo! Lancang sekali 

mulut bocah ini, sebainya kita gebuk


saja beramai-ramai...!" kata laki-laki 

yang berdiri di samping si kumis 

melintang nampak tak sabaran lagi.

"Benar sekali ucapanmu itu 

Pariluwing! Kucing kurapan ini memang 

pantas mendapat hukuman yang 

setimpal...!"

"Tunggu apa lagi...! Anak-anak 

sikat dia...!" perintah laki-laki muka 

pantat kuali memberi komando. Buang 

Sengketa tergelak-gelak kembali.

"Mengapa harus kepalang tanggung, 

maju saja kalian semua...!"

"Sombong sekali mulutmu bocah! 

Menghadapi anak buahku saja belum 

tentu umurmu dapat bertahan sampai 

lima jurus di depan...!" ucap laki-

laki kumis melintang memandang rendah 

pada Pendekar Hina Kelana. Serentak 

dengan usainya ucapan Projo sepuluh 

orang anak buah sudah bergerak dan 

mengepung Pendekar Hina Kelana. Pemuda 

ini tersenyum getir. Dengan ucapan 

seolah-olah ditujukan pada dirinya 

sendiri dia berkata: 

"Beratus-ratus orang telah mampus 

karena kejahatannya! Mungkin kalian 

juga orang berikutnya yang mempunyai 

nasib tak lebih dari sekawanan domba 

liar yang selalu diburu untuk kemudian


tersungkur dalam kematian yang 

menyakitkan...!" tukas Pendekar Hina 

Kelana dengan pandangan berapi-api. 

Tanpa menghiraukan ucapan pemuda ini, 

orang-orang bertampang beringas inipun 

menyambut.

"Heaaa... Shaaat...!" Langsung 

kesepuluh orang ini dengan berbagai 

senjata terhunus menyerang dahsyat 

pada Buang Sengketa. Dalam waktu 

sekejap saja di dalam kedai itu 

terjadilah pertarungan yang sangat 

seru. Pedang dan golok di tangan 

lawan-lawannya berkelebat ganas. 

Membabat, menusuk dan bahkan bagai 

sebuah rangkaian gelombang datang 

bertubi-tubi tiada henti. Dengan jurus 

Membendung Gelombang Menimba Samudra 

pendekar ini nampak bergerak cepat, 

tubuhnya dengan gerakan sangat ringan 

berkelebat-kelebat sehingga hanya 

merupakan bayang-bayang saja. Sewaktu-

waktu tubuh pemuda ini bergerak 

merapat bahkan hanya berjarai satu 

jengkal saja dengan senjata lawan-

lawannya. Gerakan ini sesungguhnya 

hanya merupakan sebuah tipuan belaka. 

Sebab tak lama kemudian begitu, 

pengeroyoknya menyerang dirinya dengan



diiringi teriakan-teriakkan membahana, 

secepat kilat dia berkelit.

"Hiaaat... Mampuslah...!" teriak 

beberapa orang lawannya.

"Wuut!" Buang Sengketa berkelit 

lagi, lalu bermunculanlah kesempatan 

yang benar-benar sangat dia nantikan. 

Kaki kirinya menendang ke arah 

selangkangan orang yang paling dekat 

dengan dirinya.

"Jrot!" Laki-laki gendut yang 

menyerangnya dengan sebilah pedang 

pendek itupun melolong kesakitan bagai 

kerbau disembelih, karena pusaka 

keramatnya tertabrak kaki lawannya. 

Tubuhnya langsung menggelupur dan

berguling-guling mirip bayi kehilangan 

tetek ibunya. Tanpa menghiraukan laki-

laki gendut itu Buang Sengketa terus 

bertindak.

"Tuk! Tuk! Tuk!" Tiga buah 

jemarinya dengan gesit telah menotok 

urat gerak ketiga orang lawannnya 

sehingga tubuh mereka menjadi kaku dan 

sangat sulit untuk digerakkan. Tak 

lama setelah itu dengan gerakan lebih 

cepat lagi, pemuda ini nampak 

berjumplitan. Kemudian begitu tubuhnya 

menukik, satu pukulan Empat Anasir 

Kehidupan yang terkenal sangat dahsyat


itu melesat cepat dari kedua telapak 

tangannya. Selarik sinar yang hampir 

tak terlihat oleh kasat mata itupun 

menderu. Udara di sekitarnya menjadi 

sangat panas luar biasa. Tak ampun 

lagi pukulan yang terkena dahsyat 

itupun melabrak enam orang lainnya. 

Tubuh mereka berpelantingan beberapa 

tombak. Ada yang menabrak dinding 

hingga bobol, ada yang menabrak tempat 

penyimpanan barang pecah belah dan 

bahkan ada pula yang menabrak ketuanya 

sendiri yang bernama Pronjo itu. 

Tubuh-tubuh yang tersambar pukulan 

maut itu nampak tewas seketika itu 

juga. Sekujur badan mereka menjadi 

gosong dan sudah sangat sulit untuk 

dikenaIi lagi. Mengetahui anak buahnya 

berantakan hanya dalam waktu yang 

sangat singkat, bahkan beberapa orang 

di antaranya tewas pula dalam keadaan 

yang sangat menyedihkan. Pronjo wakil 

ketua Kumbang Kencana ini nampak 

sangat marah sekali. Di hatinya 

sesungguhnya dia keder juga. Sepuluh 

orang bawahannya itu bukanlah 

sembarangan orang, Mereka merupakan 

orang-orang pilihan yang sudah diuji 

dan tak perlu diragukan akan kemampuan 

mereka. Bahkan selama ini setiap ada


kejadian apapun, wakil ketua Kumbang 

Kencana ini cukup mempercayakan pada 

kesepuluh orang bawahannya ini saja.

Akan tetapi kini menghadapi 

pemuda gembel yang menurut dugaannya 

semula tidak memiliki kepandaian apa-

apa, ternyata hampir kojor semuanya. 

Dengan kemarahan yang meluap-luap, 

orang inipun membentak: "Kunyuk Hina! 

Kiranya engkau memiliki kebisaan juga. 

Pantas saja engkau berani bertingkah 

di depan wakil ketua Kumbang 

Kencana...!"

"Jangankan hanya terhadap wakil 

ketua Kumbang Kencana bego! Terhadap 

segala wakil setan belang sekalipun 

kalau jumpa pasti kugebuk...!" kata 

Pendekar Hina Kelana dengan tawa 

mengekeh.

"Wah! Keparat betul! Nih 

makanlah...!" Tanpa basa basi lagi 

Pronjo hantamkan tangan kanannya 

mengarah pada bagian kepaIa lawannya.

Selarik sinar hitam datang begitu 

cepat, bergulung-gulung bagai awan di 

langit lepas. Terhadap manusia 

telengas seperti manusia muka pantat 

kuali ini, mana mau Buang Sengketa 

bertidak ayal-ayalan. Langsung saja 

dia menyambuti dengan pukulan "Empat


Anasir Kehidupan." Selarik sinar ultar 

violet yang hampir-hampir tak terlihat 

oleh mata yang kasat, menderu dan 

timbulkan suara bak auman ratusan ekor 

serigala lapar.

"Blam!" Tubuh si kumis melintang 

terjengkang sepuluh langkah dengan 

menabrak beberapa meja yang berada di 

belakangnya. Meja-meja itu hancur 

berantakan. Dengan kepala benjol di 

sana sini. Laki-laki bongsor muka 

pantat kuali itupun kembali bangkit. 

Akan tetapi betapa kagetnya hati 

Pronjo begitu melihat pemuda tampan 

berpakaian gembel ini masih tetap 

berdiri pada tempatnya tanpa 

kekurangan sesuatu apapun. Tiga kali 

dia meludah ke lantai. Kemudian dia 

berseru lantang.

"Bangsat tengik! Aku ingin 

mengadu jiwa denganmu...!" tukasnya 

marah bercampur malu. Berulang kali si 

kumis melintang ini gelengkan 

kepalanya yang masih terasa berdenyut-

denyut. Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana 

tergelak-gelak.

"He... he... he...! Mengapa? 

kepalamu puyeng ya...!" ucapnya 

mencibir.


"Orang muda! Jangan sombong dulu! 

Itu masih permulaan...!"

"Pada akhirnya kepalamu pasti 

menggeIinding di lantai ini monyet 

hitam...!" Tanpa menghiraukan ucapan 

Buang Sengketa, diawali dengan satu 

bentak nyaring dia langsung menyerbu 

ke muka. Tubuhnya dalam waktu sekejap 

hanya tinggal merupakan bayang-bayang! 

Dua larik sinar Ultra Violet melanda 

si kumis melintang. Masing-masing 

pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat 

empat dan tiga. Dua pukulan yang 

dilepas oleh pemuda ini menderu dan 

timbulkan nawa panas yang teramat 

sangat. Semua orang yang masih berada 

di tempat itu merasakan bagaimana 

panasnya udara di sekitar itu. 

Seketika lamanya laki-laki muka pantat 

kuali terkesima, akan tetapi begitu 

menyadari posisinya, diapun langsung 

tertawa ganda.

Dua tangan terpentang ke depan, 

dua larik sinar hitam laksana kilat 

datang menggebu. Saat dua pukulan 

dahsyat itu saling bertubrukan di 

udara, Pendekar Hina Kelana meraung, 

tubuhnya terpelanting dua tombak, 

menabrak dinding dapur dan langsung 

bobol. Dengan cepat dia segera



bangkit, dari sela-sela bibirnya 

menetes darah, dada tersa sesak bagai 

ditimpa palu godam, dengan segera dia 

himpun hawa murninya. Sekejap kemudian 

keadaannya sudah pulih seperti 

sediakala. Mengetahui keadaan la-

wannya, si kumis melintang muka pantat 

kuali tertawa tergelak-gelak.

"Ha... ha... ha...! Ha... hi... 

hi...? Hu... hu... hu...!"

"Pukulan berikutnya engkau segera 

tersungkur ke liang kubur! Budak 

Hina...!" kata Pronjo penuh 

kemenangan. Buang Sengketa mendengus, 

matanya nampak memerah dan berubah 

beringas. Kedua bibirnya kini sudah 

keluarkan bunyi mendesis laksana 

seekor ular Piton yang sedang marah. 

Ketika muka pantat kuali datang lagi 

dengan pukulan-pukulan menggeledek 

dengan disertai pekik tawa kemenangan. 

Pendekar dari Negeri Bunian yang sudah 

dirasuki kemarahan segera menyambutnya 

dengan pukulan Si Hina Kelana Merana, 

kedua tangannya nampak berkelebat 

lebih cepat lagi. Laksana kilat dia 

hantamkan kedua tangannya ke muka, 

satu gelombang sinar merah menyala, 

bergulung-gulung. Laksana Badai topan 

langsung memapaki gelombang hitam yang


bersumber dari pukulan manusia muka 

pantat kuali. Sinar merah menyala yang 

di lepaskan oleh si pemuda langsung 

menyerang si kumis melintang. Andai 

saja dia tidak cepat-cepat menghihdar 

dan kirimkan satu pukulan lagi, sudah 

dapat dipastikan nyawanya berangkat ke 

neraka.

"Blaarr!" Terdengar satu letupan 

yang sangat luar biasa dahsyatnya, 

bumi tempat berpijak seakan runtuh. 

Manusia muka pantat kuali terkejut 

alang kepalang! Dada terasa menyesak, 

sedang semua persendiannya bagai mau 

copot. Dia lebih terkejut lagi begitu 

memandang ke depannya. Di tangan 

pemuda itu kini telah tergenggam 

sebilah senjata yang berupa sebuah 

golok buntung, yang lebih membuat 

matanya terbelalak tak percaya adalah 

kharisma golok buntung di tangan lawan 

memancarkan sinar merah menyala ke 

segala penjuru. Udara di sekitarnya 

sontak berubah dingin, sampai-sam-pai 

ketiga orang anak buah Pronjo yang ma-

sih dalam keadaan tertotok nampak 

menggigil kedinginan.

Di lain pihak dia hampir-hampir 

tak percaya dengan apa yang terjadi. 

Pukulan Kumbang Kencana menyengat yang

dia lepaskan tadi sesungguhnya 

merupakan puncak dari segala pukulan 

yang dimilikinya.

* * *

EMPAT



Selama lima belas tahun malang 

melintang dalam dunia persilatan, tak 

satu lawan gagahpun yang sanggup 

menghadapinya. Akan tetapi kini 

seorang lawan berusia masih sangat 

muda sekali dengan senjata Golok 

Buntung berhasil mengatasi pukulannya 

bahkan hampir pula membuatnya celaka. 

Sementara itu Pendekar Hina Kelana 

sudah bersiap-siap dengan golok di 

tangannya, sesungging seringai maut 

membias di bibirnya. Kedua bola 

matanya yang memerah saga, memandang 

liar pada muka pantat kuali. 

Menggidikkan!

"Manusia muka pantat kuali!" ucap 

pendekar Hina kelana. "Kudengar engkau 

dan tiga puluh kawanmu yang lain telah 

membunuh dan membantai habis penduduk 

desa yang tiada berdosa! Karena dosa



dosamu sudah sangt menumpuk, maka hari 

ini aku Si Hina Kelana, menagih hutang 

nyawa mewakili mereka yang sudah mati! 

Untuk itu kuberi kesempatan padamu 

untuk membela diri. Akan tetapi cuma 

satu jurus saja! Kalau kesempatan yang 

kuberikan tidak engkau pergunakan 

dengan baik! Lebih baik engkau minggat 

saja ke neraka...!" kata Pendekar Hina 

Kelana masih dengan seringai mautnya.

Akan halnya Pronjo. Begitu dia 

mendengar pemuda ini menyebut-nyebut 

dirinya sebagai si Hina Kelana, maka 

semakin menciutlah nyalinya. Selama 

ini dia hanya mendengar cerita tentang 

kehadiran seorang tokoh yang masih 

sangat muda yang memiliki kepandaian

sangat tinggi dengan tanda-tanda 

tertentu, rambut dikuncir berpakaian 

merah dengan senjata yang cukup 

membuat gempar berbagai golongan kaum 

persilatan. Sebuah Golok Buntung dan 

Cambuk Gelap Sayuto. Tidak dinyana 

hari ini malah dia langsung berhadapan 

dengan pendekar yang sangat 

menggemparkan itu. Dalam hati Pronjo 

mengeluh!

"Hemm! Kiranya engkaulah orangnya 

yang berjuluk Pendekar Hina Kelana 

yang bikin lari tikus-tikus persilatan


itu...!?" Muka pantat kuali membentak 

dan berusaha menutupi kekalutan 

hatinya. Buang Sengketa tersenyum 

getir: 

"Kalau engkau sudah tahu siapa 

adanya manusia yang berdiri di depanmu

ini! Tunggu apa lagi. Cepat merangkak 

dan menyalaklah sepuluh kali! Mudah-

mudahan aku hanya membuntungi kaki dan 

tanganmu saja...!" Seketika itu, 

berubahlah paras Pronjo, wajahnya 

semakin hitam kelam, dia langsung 

kertakkan rahang dan balik menghardik!

"Budak jadah manusia sombong! 

Jangan mengigau di siang bolong! Hari 

ini gelar Pendekar Golok Buntung akan 

aku hapus dari dunia persilatan!" 

Bagai macan tua terluka, muka pantat 

kuali langsung menyerobot ke muka dan 

lancarkan serangan-serangan yang 

sangat mematikan. Buang Sengketa 

menyurut beberapa langkah, dengan 

suara menggeram dia berteriak:

"Manusia sia! Kuberi kelonggaran 

padamu! Tak dinyana engkau malah 

menghendaki kematian yang menyakitkan! 

Jangan salahkan aku...!" Pendekar Hina 

Kelana tidak tinggal diam, begitu 

pusaka Golok Buntung berkiblat dan 

bergerak sebat, dalam waktu sekejap


saja sudah mengurung lawannya. 

Sedangkan dari mulutnya keluar bunyi 

mendesis bagaikan seekor Piton yang 

sedang marah. Dalam keadaan terdesak 

seperti itu, Pronjo masih sempat 

keluarkan ucapan.

"Meskipun engkau penggal kepalaku 

sekalipun! Tidak nantinya aku bertekuk 

lutut di depan kakimu!?"

"Wow! Tobat pun sudah tidak 

kuterima...!" Pendekar Hina Kelana 

menyela. Golok di tangannya kembali 

berkelebat begitu cepatnya.

"Ngung!" Pronjo berkelit ke 

samping dan cepat-cepat banting 

tubuhnya terus berguling-gulingan. 

Tetapi Buang Sengketa tidak membiarkan 

musuhnya lepas begitu saja, pemuda ini 

langsung memburu, dan babatkan senjata 

di tangannya. Manusia muka pantat 

kuali terkejut bukan main begitu 

merasakan angin sambaran golok masih 

menderu ke arah lehernya. Dengan lebih 

cepat lagi dia kembali berkelit 

mengindar.

"Bet!" Serangan golok di tangan 

pemuda kembali luput. Mendidih darah 

Pendekar Hina Kelana dibuatnya. 

Seumur-umur belum pernah ada lawan


yang dapat mengkelit serangan 

goloknya.

"Kali ini nyawamu yang benar-

benar alot itu tak mungkin lepas lagi! 

Bangsaaaat!" Tubuh Pendekar Hina 

Kelana berkelebat lebih cepat lagi, 

sambaran goloknya kembali menderu, 

hingga membuat muka pantat kuali 

menjadi kelabakan.

"Craaas!" Hampir putus senjata di 

tangan Pendekar Hina Kelana membabat 

pinggang Pronjo. Usus terburai 

berserakan keluar, darah memancar 

menganak sungai. Manusia muka pantat 

kuali itu melolong setinggi langit. 

Dengan pandangan mata melotot laki-

laki itu langsung tersungkur ke lantai 

tanpa berkutik lagi.

"Manusia semacammu memang sudah 

sepantasnya mampus...!" Setelah itu, 

kini Pendekar Hina Kelana segera 

menghampiri empat orang sisa anak buah 

Pronjo. Tubuh mereka nampak menggigil 

ketakutan demi menyaksikan wakil ketua 

mereka.

"Tentu kalian juga ingin menyusul 

kawanmu yang konyol itu bukan...!" 

kata Buang Sengketa dengan tatapan 

mata dingin. Pucatlah wajah mereka ini 

demi mendengar kata-kata si pemuda.


Kemudian dengan terbata-bata salah 

seorang di antara mereka menyela. 

"Tuan janganlah tuan bunuh kami! 

Istri saya bunting tua tuan! Kasihani 

kami tuan...!"

"Saya juga tuan! Kami orang 

miskin, anak kami juga banyak! Kalau 

saya tuan bunuh mereka bisa mati 

kelaparan...!" menyela yang lainnya.

"Puih! Kiranya kalian sebangsa 

anjing penjilat yang takut mampus! 

Tapi baiklah kalian akan kubebaskan, 

dengan syarat kalian harus 

meninggalkan pekerjaan sesat setelah 

sebelumnya memberi tahu bekas ketua 

kalian mengenai kejadian ini...!" 

Bukan main gembira orang-orang itu, 

setelah menyembah sepuluh kali, dengan 

mengangkati mayat kawan-kawannya. 

Orang-orang inipun segera bergegas 

pergi. Setelah membayar segala 

kerusakan yang di timbulkan, malam itu 

pendekar Hina Kelana, atas kebaikan 

pemilik warung dan penginapan bermalam 

di rumah itu.

* * *

Kalau dilihat sepintas lalu, 

sungguh kasihan sekali keadaan pemuda


yang sedang terganggu jiwanya ini. 

Keadaan tubuhnya sudah nampak tak 

karuan lagi. Sementara di pundaknya 

menggelantung mayat ibunya yang sudah

tiga hari tak pernah dia turunkan dari 

tempatnya. Bau bangkai menyebar ke 

manapun dia pergi. Sementara lalat-

lalat hijau yang jumlahnya mencapai 

ribuan ekor itu tiada henti-hentinya 

terbang dan hinggap di tubuh wanita 

malang ini. Tubuh mayat itu, kian 

detik kian membusuk. Ulat-ulat kecil 

terkadang berjatuhan dari bagian dalam 

tubuh Nyi Pujita Sari. Akan tetapi 

Awang Taruna yang ingatannya saja 

hilang timbul, mana mau mengerti 

tentang keadaan ini.

Sambil terus berlari-lari, 

terdengar isakan tangisnya yang 

menyayat hati, di lain saat terdengar 

pula suara tawanya yang seram 

menggidikkan. Apa yang masih melekat 

di hatinya hanyalah rasa dendam 

bercampur amarah. Celakalah bagi siapa 

saja yang secara kebetulan berpapasan 

dengan pemuda ini. Sebab tak segan-

segan dan tanpa mengingat lagi dia 

langsung membabatkan pedangnya hingga 

orang-orang malang itu menemui ajal 

secara mengerikan. Demikianlah Awang


Taruna terus berlari-lari tanpa 

mengenal lelah (namanya juga orang 

gila). Hingga sampailah dia di 

pinggiran jalan besar. Awang Taruna 

hentikan langkah, tak lama kemudian 

dia sudah duduk ngejeplok di atas 

rerumputan ilalang. Orang-orang yang 

lewat di tempat itu sudah barang tentu 

merasa sangat keheranan begitu melihat 

kehadiran seorang pemuda yang 

bertampang awut-awutan yang kini 

sedang duduk ngejeplok, sementara 

sosok mayat yang sudah membusuk tampak 

menggelantung di pundak kanan kirinya. 

Mungkin banyak di antara orang yang 

lalu lalang itu bisa memaklumi kalau 

pemuda ini merupakan orang yang sedang 

terganggu jiwanya. Akan tetapi dari 

mana pula pemuda gila ini memperoleh 

dan bahkan membawa-bawa mayat itu ke 

mana-mana? Meskipun pada akhirnya 

mereka terus berlalu sambil tutup 

hidung rapat-rapat. Akan tetapi 

meskipun mereka ini merupakan penduduk 

desa biasa. Mau tak mau berbagai 

pertanyaan timbul dalam benak mereka! 

Dasar orang gemblung! Begitulah pada 

akhirnya mereka berkesimpulan.

Tak lama setelah itu dari 

kejauhan nampak pula beberapa orang


penunggang kuda. Mereka ini terdiri 

dari seorang wanita setengah baya, 

yang dalam dunia persilatan golongan 

hitam dan dikenal sebagai Bidadari 

Tangan Maut, bersifat telenggas dan 

pemburu laki-laki. Biarpun usianya 

sudah lebih dari setengah abad akan 

tetapi masih kelihatan sangat cantik 

dan muda. Konon semua itu berkat hasil 

dari pekerjaan terkutuknya. Dalam 

menyetubuhi setiap pemuda yang menjadi 

korban rayuan mautnya. Wanita ini 

selain memiliki berbagai senjata ra-

hasia, dia juga punya kepandaian silat 

dan ilmu pukulan-pukulan dahsyat yang 

membuat iri setiap lawan-lawannya. Dua 

orang laki-laki berkuda yang berada di 

sebelah perempuan itu merupakan dua 

orang datuk sesat yang memiliki nama 

julukan Dua Datuk Merah Dari Lembah 

Dosa berilmu silat sangat tinggi dan 

mempunyai jurus-jurus permainan pedang 

ganda. Dua orang datuk berjenggot 

kambing ini sesungguhnya merupakan 

gendak-gendak dari Bidadari Tangan 

Maut.

Kalau hari ini mereka turun ke 

dunia ramai, hal ini mereka lakukan 

semata-mata hanyalah karena sekedar 

memenuhi undangan Giri Sora, yaitu


ketua Perkumpulan Kumbang Kencana. 

Seperti diketahui, Giri Sora beserta 

anak buahnya telah berhasil membumi

hanguskan desa tempat tinggal Pujita 

Sari, yang dulunya merupakan gadis 

tercantik yang pernah membuat Giri 

Sora tergila-gila padanya. Akan tetapi 

kiranya perjalanan nasib berkata lain. 

Pujita Sari, gadis ayu rupawan itu 

oleh gurunya, yaitu Eyang Wiku Panulu 

telah dijodohkan dengan Bayu Siliwangi 

yang sesungguhnya masih merupakan anak 

kandung gurunya sendiri. Merasa kecewa 

karena cintanya hanya bertepuk sebelah 

tangan, Giri Sora pada satu saat 

berusaha menculik Pujita Sari. Akan 

tetapi kiranya gadis yang memiliki 

kecantikan yang sangat luar biasa itu 

memiliki tingkat kepandaian lebih 

tinggi daripadanya. Pergilah Giri Sora 

dengan membawa luka di hati. Bertahun-

tahun dia mengasingkan diri di sebuah 

tempat yang bernama Lembah Sakti Hati. 

Di tempat itulah selama bertahun-tahun 

dia dengan sangat tekun mempelajari 

berbagai ilmu sesat tingkat tinggi. Di 

situ bertemu pula dengan Datuk Merah 

Dari Lembah Dosa. Setahun setelah 

kejadian itu bergabung pula Bidadari 

Tangan Maut. Secara sepakat dia


mengikat tali persaudaraan dengan 

ketiga orang ini.

Hampir lima belas tahun Giri Sora 

mengasingkan diri di tempat yang 

sangat terpencil itu. Setelah 

segalanya dia rasa cukup, dua tahun 

kemudian dia sudah membentuk sebuah 

perkumpulan yang beranggotakan lebih 

kurang empat puluh orang. Kiranya Giri 

Sora kembali teringat pada penghinaan 

yang pernah dilakukan oleh Pujita 

Sari. Teringat pada perempuan yang 

kini sudah hidup menjanda dan 

mempunyai seorang anak yang sudah 

dewasa! Teringat pula akan sebuah 

Pedang Pusaka Penebus Dendam di tangan 

Eyang Wiku Panulu yang terkenal akan 

keampuhannya. Dendamnya pada keluarga 

ini kembali berkobar. Sehingga 

seminggu kemudian seperti telah 

diketahui terjadilah pertumpahan darah 

yang sangat mengerikan. Sesungguhnya 

tujuan semula dia hanya bermaksud 

membujuk Pujita Sari yang sudah 

berumur empat puluh delapan tahun itu 

mau menjadi istrinya dan sekaligus

meminta pada perempuan itu untuk 

menyerahkan Pedang Penebus Dendam. Tak 

dinyana kiranya selain menolak lamaran 

Giri Sora, kiranya perempuan itu juga


menolak untuk memberi tahu di mana 

sesungguhnya pedang pusaka yang sangat 

menghebohkan itu di sembunyikan. 

Dendam lama campur aduk dengan luka 

baru, tak terelakkan lagi Giri Sora 

langsung memerintahkan orang-orangnya 

untuk membantai dan membakar rumah-

rumah penduduk di sekitarnya. 

Sedangkan dia sendiri langsung 

menyerang Pujita Sari.

Dengan kemenangan itu akhirnya 

Giri Sora berencana untuk mengadakan 

pesta besar-besaran. Di balik pesta 

yang akan berlangsung dengan meriah, 

sesungguhnya manusia yang sangat licik 

ini sedang dalam usaha mencari bantuan 

dari para kembrat-kembratnya untuk 

mencari tempat tinggal Eyang Wiku 

Panulu, dengan maksud merampas pedang 

pusaka dari tangan si Bangkotan Sakti 

itu. Andai saja rencana itu sudah 

terlaksana, tak ada salahnya kalau dia 

menyingkirkan para kembrat-kembratnya 

ini. Dengan begitu sudah jelas dia 

akan menjadi raja dalam dunia 

persilatan.

* * *

EMPAT


Kita kembali pada ketiga orang 

yang sedang melakukan perjalanan ini.

Ketika jarak mereka lebih kurang tiga 

puluh tombak dengan tempat di mana 

Awang Taruna berada. Tiba-tiba mereka 

ini hentikan kudanya, mata mereka 

memancang liar pada keadaan di 

sekelilingnya. Penciuman mereka 

mengendus bau sesuatu yang tak sedap. 

Lalu orang-orang ini saling 

berpandangan sesamanya. Dengan hati 

penuh tanda tanya. Lain lagi halnya 

dengan Datuk Merah berjenggot kambing 

yang satunya lagi. Indra penciumannya 

yang tumpul dan selalu suka ngawur 

itu, sedang membaui masakan yang 

sangat sedap. Buru-buru dia berkata 

pada kedua orang lainnya.

"Hmm! Panas-panas begini! Mana 

bau masakan yang sedap! Bikin perutku 

berkruyukan saja...!" Kedua orang 

lainnya ini pun buru-buru menoleh dan 

memandang heran pada kembratnya. 

Dengan tersenyum geli Bidadari Tangan 

Maut inipun mencela




"Hi... hi... hi...! Kakang Senu 

salah duga... ini bukan bau wangi 

masakan! Akan tetapi bau busuk 

bangkai...!"

"Yang ada dalam fikiran kakang 

Senu memang cuma makanan melulu! Masak 

bau bangkai dia bilang bau lezatnya 

makanan..!" Datuk berjenggot yang 

bernama Dugal itu pun ikut menimpali.

"Apa kalian kata! Benar-benar 

guoblok, hidung budek... bau makanan 

yang enak begini kok masih kalian 

bilang bau bangkai...!" kata Datuk 

Dugal membantah. Semakin bertambah 

geli saja mereka ini, demi mengetahui 

penciuman kembratnya semakin bertambah 

rusak saja.

"Engkau salah kakang! Di sekitar 

tempat ini seperti bau bangkai 

manusia!" kata Datuk Senu tetawa 

mengekeh.

"Kuya! Bukan bau bangkai, tapi 

bau gulai kambing...!" sela Datuk Senu 

tak mau kalah.

"Bangkai, kakang...!" Bidadari

Tangan Maut ikut menimpali. Datuk Senu 

pelototkan matanya, dia nampak sangat 

tersinggung.

"Ku bilang bau makanan 

kesukaanku...!" Datuk Senu membentak.


"Bau bangkai! Kakang...!" Datuk 

Dugalpun tak mau mengalah.

"Bangsat! Kalian kiranya benar-

benar telah menghinaku...!"

"Menghina bagaimana, sudah jelas-

jelas bau bangkai...!" bentak Datuk 

Dugal tak kalah serunya.

"Kalau begitu engkau benar-benar 

ingin kugebuk adik Dugal...!" tukas 

Datuk Senu kertakkan geraham. Wajahnya 

nampak merah padam dan beberapa saat 

kemudian telah bersiap-siap lancarkan 

satu pukulan pada kembratnya sendiri. 

Dalam pada itu, tiba-tiba saja 

Bidadari Tangan Maut berseru 

membentak.

"Kakang-kakang semuanya! Kalau 

kalian tetap melanjutkan pertengkaran, 

aku akan tinggalkan kalian di sini! 

Biar seorang diri aku berangkat ke 

tempat kediaman Giri Sora...!" kata 

Bidadari Tangan Maut mengancam. 

Meskipun kedua datuk sesat ini me-

miliki peradatan yang keras, akan 

tetapi begitu mendapat ancaman dari 

orang yang sangat mereka cintai, mau 

tak mau mereka hentikan pertengkaran. 

Kemudian bagai kerbau di cucuk hidung, 

kedua Datuk Merah ini langsung memacu 

kuda-kuda mereka, menyusul Bidadari


Tangan Maut yang sudah terlebih dahulu 

menggebrak kudanya. Kurang lebih 

sepeminum teh, sampailah orang-orang 

ini di depan Awang Taruna yang 

sedang duduk terlongong-longong. 

Alangkah terperanjatnya ketiga orang 

dari lembah Dosa ini, begitu di 

pinggir jalan tempat yang akan mereka 

lalui seorang pemuda berpenampilan 

nampak duduk sorang diri dengan 

sesosok mayat yang sudah membusuk 

menggelantung berjuntai di kedua 

pundaknya. Bau bangkai yang sangat 

menyengat segera memenuhi pori-pori 

paru mereka, langsung saja perut 

orang-orang ini bagai diaduk-aduk dan 

terasa mual ingin muntah.

Seketika itu juga, Bidadari 

Tangan Maut menoleh pada Datuk Senu, 

yang tadi sempat bersitegang dengan 

Datuk Dugal gara-gara bau yang tak 

sedap ini.

"Kakang lihatlah! Bau busuk 

inikah yang tadi sempat engkau sangka 

sebagai bau makanan yang enak itu...!" 

kata perempuan itu tersenyum dongkol. 

Yang ditanya jadi gelagapan bercampur 

malu.

"Huh! Aku memang salah! Kirain 

bau makanan yang enak, nggak taunya


bau bangkai yang dibawa oleh si gembel 

ini. Cuh. Benar-benar hidung celaka 

tak tahu adat!" sela Datuk Senu, 

seraya menampari hidungnya sendiri 

hingga mengeluarkan darah. Dengan 

buru-buru Datuk Dugal mencegah: 

"Kakang hidungmu jangan kau 

tampari begitu rupa. Kalau engkau tak 

punya hidung malah lebih celaka 

lagi...!" Agaknya Datuk Senu sadar 

dengan perbuatannya.

"Ehh! Benar juga, kalau tak punya 

hidung tambah celaka. He... he... 

he...!" katanya meniru ucapan si Datuk 

Dugal.

"Bangsat penyebar bau busuk! Mau 

engkau buat apakah bangkai yang sudah 

busuk itu kau bawa-bawa...?" bentak 

Datuk Dugal nampak kurang senang. Yang 

ditanya nampak diam seribu basa.

"Agaknya orang ini tak mendengar 

apa yang engkau tanyakan, kakang... 

kuatkan sedikit ngomongnya...!" 

Bidadari Tangan Maut menimpali.

"Huh! Pakai tanya-tanya segala, 

tendang saja!" kata Datuk Senu.

"Sabar dulu. Mungkin saja dia 

perlu bantuan kita untuk mengubur 

mayat itu bersama gembel ini...!" Tak 

lama kemudian Bidadari Tangan Maut


ikut membentak pula: "Kunyuk. Tulikah 

kupingmu...!" Awang Taruna masih tetap 

diam tiada bergeming. Hanya pandangan 

matanya saja yang menatap hampa pada 

orang-orang ini. Saking kesalnya 

ketiga orang inipun saling bentak-

bentakkan. Mungkin Awang Taruna yang 

sakit ingatan ini entah terkejut atau 

bagaimana. Tiba-tiba tubuhnya 

terlonjak. Kemudian kedua matanya yang 

selalu menatap hampa itupun mendadak 

berobah beringas.

"Eeh! Kalian tadi nomong apa?!" 

ucapnya pelan.

"Sialan! Ditanya malah balik 

bertanya.!" bentak Datuk Senu, 

langsung melompat turun dari atas 

kudanya. Sejenak Awang Taruna 

memandang berkeliling, dia nampak 

kebingungan. Pada saat itu kiranya 

kesadarannya timbul kembali. Diapun 

memandang heran pada keadaannya 

sendiri. Mendadak dia merasa telah 

mencium bau yang hampir saja 

membuatnya mau muntah. Tiba-tiba saja 

dia meraba ke arah pundaknya.

Dia semakin jadi tak mengerti 

begitu dia merasakan ada sesuatu yang 

membebani pundaknya. Begitu dia


turunkan beban itu, maka terbelalaklah 

kedua matanya memandang tak percaya.

"Emak... emakku telah mati! 

Mereka membunuhmu, sedang aku tak 

sempat menguburmu. Keadaanmu sudah 

begini rupa! Emakkuuuuuu...!" Tanpa 

kuasa membendung air matanya, pemuda 

inipun menangis melolong-lolong. 

Dipelukinya mayat ibunya yang sudah 

tak karuan itu. Namun tiba-tiba saja 

tangisnya terhenti, cepat-cepat 

membalikkan badan dan meraba pada 

bagian pinggangnya. Tatapan matanya 

seketika itu juga menjadi beringas 

dengan kobaran dendam yang meluap-

luap. Akhirnya diapun langsung 

menghardik ketiga orang yang sedang 

berada di depannya.

"Pengecut kalian semua! Kalian 

telah membunuh emakku yang tiada 

berdosaf" kata Awang Taruna sangat 

marah sekali. Sementara itu tiga orang 

dari Lembah Dosa ini yang tidak tahu 

menahu tentang apa yang baru saja 

dituduhkan oleh pemuda itu, tampak 

sangat tersinggung. Datuk Senu yang 

gampang naik darah, nampak maju dua 

tindak, pada saat yang bersamaan dua 

orang lainnya sudah meloncat dari 

punggung kudanya masing-masing.


"Bocah sialan! Melihat tampangmu 

saja baru kali ini. Lancang sekali 

mulutmu telah menuduh kami yang bukan-

bukan!?" bentak Datuk Senu dengan 

wajah merah padam. Awang Taruna 

tertawa bagai orang menangis.

"Sialan betul! Kalian rupanya 

tidak mau bertanggungjawab!" Kemudian 

orang-orang ini saling berpandangan 

sesamanya, tak lama setelah itu dengan 

ilmu menyusupkan suara mereka saling 

berbisik.

"Agaknya tengik konyol ini sedang 

terganggu jiwanya kakang! Lihatlah 

bukankah tadi dia tak tau dengan apa 

yang diperbuat-ya sendiri...!" bisik 

Bidadari Tangan Maut pada dua orang 

Datuk Merah dari Lembah Dosa.

"Benar juga." ujar Datuk Senu 

lalu menganggukkan kepala.

"Kalau begitu baiknya kita pergi 

saja! Melayani orang gila, bukankah 

kita lebih gila dari dia sendiri...!" 

Datuk Dugal ikut menimpali. Kemudian 

orang ini pun kembali membentak pada 

Awang Taruna.

"Kunyuk sakit jiwa, karena kami 

tidak mempunyai persoalan denganmu, 

maka baiknya kami pergi saja...!" ujar 

salah seorang di antara mereka. Baru


saja mereka hendak melompat ke 

punggung kuda, tiba-tiba Awang Taruna 

lambaikan tangannya. Saat itu juga 

satu gelombang pukulan menyambar ke 

arah tiga orang ini. Dan kalau saja 

mereka tidak cepat-cepat mengelak 

sudah barang tentu tiga orang ini 

mengalami nasib yang konyol. Serta 

merta mereka balikkan, badan, dari 

paras mereka saja sudah dapat 

dipastikan kalau mereka ini sedang 

marah besar.

"Kurang asem! Orang gila ini 

kiranya menantang kita kakang...!"

"Meskipun gila kiranya dia punya 

kepandaian juga rupanya.:.!" rutuk 

Bidadari Tangan Maut geram sekali.

Tanpa menghiraukan ocehan orang-

orang itu, Awang Taruna yang sedang 

timbul kesadarannya langsung menyela.

"Setelah kalian bantai semua 

penduduk desa yang tiada berdosa! 

Setelah kalian bunuh emakku Pujita 

Sari, begitu mudahkah kalian berlalu 

begitu saja dari hadapanku?!" teriak 

Awang Taruna marah luar biasa. Kini 

barulah mereka mengerti duduk 

persoalan yang sebenarnya. Kiranya 

pemuda ini sedang mencari-cari siapa 

sesungguhnya yang telah membunuh ibu


kandungnya. Biarpun dalam keadaan yang 

sesungguhnya mereka memang mengetahui 

bahwa Giri Soralah yang telah 

membantai penduduk desa sekaligus 

membunuh ibu pemuda yang punya sakit 

ingatan ini. Sudah barang pasti mereka 

tak akan memberi tahu pada bocah itu. 

Giri Sora adalah sahabat baik mereka 

sejak lama, lebih dari itu mereka 

masing-masing punya ambisi yang sama, 

yaitu ingin memiliki Pedang Pusaka 

Penebus Dendam yang sangat 

menghebohkan itu. Apalagi kini mereka 

melihat bahwa pedang sakti yang men-

jadi incaran banyak tokoh itu nampak 

berada di tangan pemuda sinting ini, 

yang menurut taksiran mereka tidak 

memiliki kepandaian yang cukup 

berarti.

Dengan lagak berpura-pura, salah 

seorang di antara mereka membuka suara 

dengan nada penuh keramahan.

"Pemuda gagah! Maafkan kami yang 

tak mengetahui betapa tingginya gunung 

yang berdiri di hadapan kami! Engkau 

harus percaya pada kami bahwa 

sesungguhnya bukan kami yang telah 

melakukan pembunuhan keji itu! Bahkan 

kami ikut perihatin atas musibah itu. 

Sekarang kami sedang berusaha mencari


tahu siapakah sebenarnya yang telah 

bertanggung jawab atas semua kejadian 

itu...!"

"Bukankah engkau yang bernama 

Awang Taruna? Anak kandung dari 

almarhumah yang mulia pendekar Pujita 

Sari...!" Bidadari Tangan Maut dengan 

merendah menyambung pula.

"Percayalah Awang Taruna. Ayah 

ibumu merupakan sahabat karib kami, 

untuk itu kami akan menuntut balas 

atas kematiannya...!" Datuk Dugal ikut 

menambahi pula. Demi mendengar ucapan 

tiga orang ini, tiba-tiba pemuda yang 

baru saja timbul ingatannya itu tampak 

menjadi bimbang. Kiranya keadaan itu 

tidak luput dari perhatian Datuk Senu 

yang terkenal sangat pintar dalam 

membaca situasi lawannya. Buru-buru 

dia menambahi.

"Orang muda! Kalau engkau tak 

percaya pada kami, engkau boleh turut 

serta bersama kami dalam usaha mencari 

pembunuh orang tuamu...!"

"Apalagi dengan pedang sakti di 

tanganmu, engkau tak perlu ragu! Kita 

pasti berada di pihak yang menang...!" 

kata Bidadari Tangan Maut pula. Hampir 

saja pemuda ini termakan dengan segala 

macam rayuan tiga orang sesat dari

Lembah Dosa andai saja fikirannya yang 

hilang timbul itu, tidak teringat pada 

pesan-pesan gurunya, Eyang Wiku 

Panulu. Seketika itu juga pemuda sakit 

ingatan ini tergelak-gelak, tubuhnya 

yang padat berisi nampak terguncang-

guncang. Tiga orang ini memandang 

dengan berbagai tanda tanya.

* * *

ENAM



Saat kemudian Awang Taruna 

mencabut pedangnya, maka bertambah 

penasaranlah orang dari Lembah Dosa 

ini dibuatnya. Pedang di tangan Awang 

Taruna memancarkan sinar berwarna 

keperak-perakan dan sangat menyilaukan 

mata. Walaupun sesungguhnya ingin 

secepatnya mereka ini ingin merampas 

pedang di tangan pemuda yang sedang 

terganggu jiwanya ini, akan tetapi 

sedapatnya mereka berusaha meredam 

nafsu serakah yang telah menyatu dalam 

diri mereka. Sesungguhnya mereka ini 

ingin mengetahui apa yang akan 

diperbuat oleh pemuda sakit jiwa itu.


"Hi... hi... hi...! Ha... ha... 

ha...! Hu... hu..< hu...!" tawa Awang 

bagai orang yang sedang menangis. Tapi 

matanya memandang buas pada Datuk 

Merah Dari Lembah Dosa ini.

"Manusia berjenggot kambing...! 

Kalian kira aku tak tahu kelicikanmu! 

Tak perlu berpura-pura, sebab hari ini 

juga sebagai bandot tua kalian akan 

aku sembelih...!" berkata Awang 

Taruna. Kejut hati ke tiga orang ini 

bukan alang kepalang, mereka tak 

mengira kalau pemuda sakit ingatan ini 

tahu akal bulus mereka. Belum lagi 

mereka-mereka ini sempat berkata 

sesuatu apa, Awang Taruna dengan 

diawali satu pekikan aneh telah 

melabrak orang-orang dari Lembah Dosa 

dengan pedang terhunus.

"Adik Dugal... Adi Putri! 

Menyingkirlah kalian, aku ingin 

menjajal sampai di mana sesungguhnya 

kehebatan kunyuk gemblung ini...!" 

perintah Datuk Senu. Tubuhnya nampak 

berkelebat ringan, sehingga dalam 

waktu sekejap saja telah terjadi 

pertarungan yang sengit. Pertarungan 

menjadi semakin seru, ketika Awang 

Taruna sambil membabatkan pedangnya 

juga melancarkan pukulan-pukulan jarak


jauh. Datuk Senu sampai detik itu 

masih belum mempergunakan jurus-jurus 

pedang kembarnya. Dengan jurus silat 

tangan kosong dia berusaha mendesak 

lawannya. Kedua tangan berkelebat sa-

ngat cepat. Kemudian lancarkan totokan 

ke berbagai arah. Sementara Awang 

Taruna dengan ilmu pedangnya yang 

terkenal ganas, memutar pedangnya ke 

berbagai penjuru. Gerakan pedang itu 

begitu sebat, berkelebat dan pancarkan 

cahaya putih yang sangat menyilaukan 

mata. Satu saat Datuk Senu melihat

salah satu sisi pertahan lawan yang 

nampak lemah. Dalam hati dia girangnya 

bukan main, bahkan dia berharap dengan 

sekali sentil, tiga buah jarinya sudah 

dapat merobohkan lawan tanpa melukai. 

Tak lama kemudian Datuk Senu memutar 

tubuh empat puluh lima derajat, tangan 

kanan bergerak cepat mengarah pada 

bagian punggung. Awang Taruna, 

meskipun ingatannya hilang timbul tapi 

naluri kependekarannya masih bekerja 

dengan sangat baik. Begitu dia 

merasakan adanya serangan yang 

sedemikian cepatnya dia mengkelit dan 

putar tubuhnya setengah lingkaran. 

Tanpa ampun dia putar pedang dan 

membabat tangan kiri lawannya yang


hampir saja mencapai sasarannya. Datuk 

Senu tergagap kemudian cepat-cepat 

menarik balik serangannya. Datuk Senu 

semakin habis-habisan.

Di lain pihak, Awang Taruna bagai 

tak mendengar saja malah tertawa 

tergelak-gelak. Kemudian sudah 

menerjang si Datuk Senu sembari 

berkata: "Bandot tua! Mengapa engkau 

marah-marah, bagusnya engkau menangis 

seperti aku...!" Berkata begitu 

mendadak dia menghentikan serangannya 

setengah jalan. Kemudian mengerang dan 

menangis menyayat hati. Datuk Senu 

yang baru saja bermaksud melancarkan 

pukulan jarak jauhnya, seketika 

urungkan maksud, beberapa saat Datuk 

berjanggut kambing ini nampak 

terlongong-longong memandangi Awang 

taruna yang secara tiba-tiba kumat 

penyakit gilanya. Awang Taruna 

tanpa memperdulikan lawannya terus 

menangis, "Emak... huuuuu...! Mengapa 

engkau mati, emak... hiiiii...!" sedu 

pemuda malang ini berkelesetan bagai 

anak kecil.

Dalam pada itu, demi melihat 

kembratnya malah berdiam diri. Datuk 

Dugal dan Bidadari Tangan Maut, secara 

hampir bersamaan mereka menyela.


"Kakang, mengapa kakang malah 

bengong begitu! Penyakit syaraf kunyuk 

gemblung itu sedang kumat. Cepat kau 

pukul dia...!"

"Eeh... ehh iya! Penyakit 

gendengnya lagi kumat. Biar kupukul 

dia...!" Hanya beberapa saat 

setelahnya, Datuk Senu telah 

mengangkat tangannya tinggi-tinggi. 

Melihat posisi anggota tubuhnya saja 

sudah dapat ditebak kalau datuk ini 

akan melepaskan pukulan Banteng Gila 

Menyeruduk Serigala yang terkenal 

sangat keji. Sementara itu, Awang 

Taruna sudah hentikan tangis maupun 

tawanya, tiba-tiba dia menoleh.

"Puih! Engkau mau apa-apaan 

jenggot kambing? Mau memukulku ya...?" 

kata Awang Taruna. Lalu bersamaan 

dengan kata-katanya itu, dia langsung 

pukulkan tangannya ke depan. Pada saat 

itu pukulan yang dilancarkan oleh 

Datuk Senu sudah sampai setengah 

jalan. Angin menderu keras bersamaan 

dengan bergulung-gulung-nya sinar 

kuning yang melesat sedemikian 

cepatnya dari tangan Datuk Senu. Pada 

saat yang sama, pukulan yang 

dilepaskan oleh Awang Taruna yang 

diberi nama "Sibakkan Kabut Memukul


Hantu" malah meluruk lebih cepat lagi. 

Tak ampun dua pukulan sakti itu saling 

bertabrakan di udara.

"Brees!" Tubuh Datuk Senu 

terpelanting dan langsung muntah 

darah, wajahnya pucat pasi. Awang 

Taruna nampak berdiri tegar di 

tempatnya. Senyum, tawa dan tangisnya 

datang silih berganti. Akan tetapi tak 

lama kemudian dia sudah berubah 

kembali secara total. Agaknya 

kesadarannya pulih kembali, dendamnya 

menggelegak, serta merta dia sambitkan 

pedangnya pada Datuk Senu yang belum 

siap pada posisinya. Karena pemuda 

sakit jiwa itu mengerahkan seluruh 

tenaganya, maka pedang itu melesat 

sedemikian cepatnya, bahkan hampir-

hampir tak terlihat kasat mata. 

Bidadari Tangan Maut demi melihat 

bahaya mengancam Datuk Senu, yang juga 

merupakan gendaknya sendiri, nampak 

berseru memberi peringatan.

"Kakang! Awas...!" Terlambat Nasi 

sudah menjadi bubur, pedang itu sudah 

amblas pada bagian punggung Datuk 

Senu, bahkan sampai menembus ke dada. 

Salah seorang Datuk Merah Dari Lembah 

Dosa menjerit bagai setan gila. Tak 

tahan merasakan sakit yang teramat


sangat! Hanya beberapa saat 

setelahnya, laki-laki yang sepanjang 

hidupnya dilumuri dengan dosa-dosa 

ambruk ke bumi. Awang Taruna yang 

sudah dirasuki dendam, hanya dengan 

beberapa kali lompatan saja telah 

berada di sisi Datuk Senu yang sudah 

menjadi mayat. Dia langsung cabut 

pedang yang menancap di dada lawannya.

Di lain pihak, baik Datuk Dugal 

maupun Bidadari Tangan Maut, 

mengetahui kembratnya dapat dirobohkan 

oleh seorang pemuda yang sedang 

mengalami gangguan jiwa bahkan tewas 

secara mengerikan, nampak sangat 

terkejut. Sebab seperti mereka ketahui 

selama ini Datuk Senu merupakan 

seorang tokoh golongan hitam yang 

memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi. Selama malang melintang dalam 

dunia persilatan, belum pernah seorang 

lawanpun yang berhasil mengatasi ilmu 

pedang kembarnya. Akan tetapi kini, 

dia malah tewas di tangan pemuda 

gemblung yang tidak memiliki nama 

besar. Lebih dari itu, kembratnya yang 

satu itu belum sempat mempergunakan 

permainan pedang kembarnya. Kemarahan 

kedua orang ini sudah mencapai 

puncaknya. Dua-duanya langsung


mengurung Awang Taruna, pemuda sinting 

ini geleng-geleng kepala.

"Kiranya kalian juga ingin 

mampus...!" bentak Awang Taruna 

tersenyum-senyum. Bidadari Tangan Maut 

menjadi berang dan langsung membentak 

garang.

"Monyet gila! Engkau benar-benar 

menyesal ke liang kubur karena 

perbuatanmu sendiri...!" Dasar kurang 

waras, mana dia perduli dengan 

bentakan-bentakan itu. Sebagai jawaban 

dia langsung babatkan pedang ke muka. 

Datuk Dugal berseru kaget, begitu 

melihat berkelebatnya mata pedang di 

tangan lawan. Cepat-cepat dia 

berkelit, akan tetapi serangan pedang 

berikutnya segera menyusul. Lagi-lagi 

Datuk Dugal terpekik lalu melompat-

lompat bagai seekor monyet pesakitan. 

Bidadari Tangan Maut agaknya 

mengetahui kalau lawannya sangat sulit 

untuk dirobohkan begitu saja. Tak ayal 

diapun langsung menerjang Awang Ta-

runa, sambil berseru lantang.

"Kakang Dugal! Mari kita satai 

pemuda edan ini beramai-ramai...!" 

Usai berkata begitu, Bidadari Tangan 

Maut langsung umbar pukulan-pukulan 

kejinya. Sementara Datuk Dugal yang

sudah mengetahui kehebatan lawan, 

langsung saja mencabut pedang kem-

barnya. Melabrak dan kirimkan tusukan-

tusukan mematikan. Dalam waktu yang 

singkat terjadilah pertarungan yang 

sangat seru. Debu dan pasir 

beterbangan dilanda pukulan-pukulan 

mereka. Hanya dalam waktu sepemakan 

sirih, pertarungan sudah mencapai 

puluhan jurus. Datuk Dugal dengan pe-

dang. kembarnya mencecar pertahanan 

Awang Taruna pada bagian belakang, 

sementara dengan pukulan mautnya 

Bidadari Tangan Maut menyerang dari 

bagian depan. Berulangkali senjata 

rahasia milik Bidadari Mata Keranjang 

berupa jarum beracun nyaris membuat 

celaka lawannya yang sakit ingatan 

ini. Menghadapi kenyataan seperti itu, 

tubuh Awang Taruna melesat ke udara. 

Akan tetapi dia tetap saja tak bisa 

luput dari desakan-desakan lawannya.

Di lain kesempatan Datuk Dugal 

mendadak merobah jurus-jurus 

pedangnya. Dia gerakkan pedang kembar 

di tangannya dengan kecepatan luar 

biasa. Pedang kembar itu, kemudian 

membentuk rangkaian serangan yang 

tiada putus-putusnya. Sementara itu 

Bidadari Tangan Maut tak mau


ketinggalan dengan apa yang dilakukan 

oleh kembratnya ini. Dengan 

mempergunakan pukulan yang diberi nama 

Badai Menerpa Gurun, dia kirimkan 

pukulan-pukulan yang lebih dahsyat 

pada Awang Taruna. Anak muda yang 

sedang mengalami sakit ingatan itupun 

dibuat kelabakan, pertarungan sudah 

mencapai dua puluh jurus. Sungguhpun 

Awang Taruna memiliki ilmu silat yang 

sangat tinggi, dan menggenggam pedang 

pusaka yang banyak diincar oleh 

kalangan tokoh-tokoh sesat, akan 

tetapi Datuk Dugal dan Bidadari Tangan 

Maut inipun bukanlah orang 

sembarangan. Lima belas tahun yang 

lalu Bidadari Tangan Maut sempat 

merajai rimba persilatan di bagian 

Selatan. Sedangkan Datuk Dugal dan 

seorang kembratnya yang telah kojor, 

sampai saat kini tetap berkuasa di 

Lembah Dosa. Lebih dari itu, mereka 

ini adalah dedongkot persilatan 

golongan hitam yang hingga sampai saat 

itu tetap disegani oleh pihak kawan 

maupun lawan.

Kini Awang Taruna sudah semakin 

terdesak hebat, Datuk Dugal tertawa 

mengekeh demi melihat Awang Taruna 

terus kepepet dan bermandi peluh. Pada


saat kesempatan yang sangat baik, 

Datuk Dugal kirimkan satu tusukan 

mengarah ke lambung kiri lawannya. 

Sedangkan satu tusukan lagi mengarah 

pada bagian leher. Begitu cepat 

datangnya serangan yang dilancarkan 

oleh Datuk Merah dari Lembah Dosa ini, 

sampai-sampai tipis sekali harapan 

Awang Taruna untuk dapat meloloskan 

diri dari ancaman pedang kembar di 

tangan lawannya. Pada saat yang sama 

pula Bidadari Tangan Maut sambil 

menyambitkan jarum-jarum beracun, 

kirimkan pukulan Badai Menerpa Gurun 

yang terkenal sangat ganas itu. Mung-

kin nasib celaka sudah tak dapat 

dihindari lagi oleh pemuda sakit 

ingatan ini, kalau saja sepasang mata 

yang sedari tadi mengawasi pertarungan 

ini tidak cepat-cepat bertindak.

Hanya dalam sekedipan mata, 

pedang lawan hampir pada tubuh Awang 

Taruna. Pemuda sakit ingatan ini 

cepat-cepat kiblatkan pedangnya.

"Trang! Trang!" Datuk Dugal 

berseru kaget demi mengetahui bahwa 

lawannya masih mampu menangkis 

serangan pedang kembarnya mentah-

mentah. Lebih dari itu kedua tangannya 

terasa sakit dan tergetar. Dalam pada


itu, Awang Taruna tidak menyadari 

kalau pukulan yang dilancarkan oleh 

Bidadari Tangan Maut telah begitu de-

kat dengannya, begitu pula sambitan 

jarum-jarum beracunnya yang datang 

hampir bersamaan. Dalam saat-saat yang 

kritris itu, si pengintai ini pun

bertindak. 

"Blaar!"

Tubuh Bidadari Tangan Maut 

terguling-guling, dengan darah meleleh 

dari bibirnya. Perempuan sundel ini 

terkejut bukan alang kepalang.

Meskipun serangan itu dapat dipatahkan 

oleh pengintainya, tak urung beberapa

batang jarum beracun sempat amblas ke 

tubuh Awang Taruna.

* * *

TUJUH



Dasar orang gila! Nampaknya dia 

tidak menghiraukan keadaan itu. Di 

samping reaksi jarum beracun itu 

memang lambat sekali. Bidadari Tangan 

Maut cepat-cepat bangkit kembali! 

Kemudian begitu dia menoleh, tahu-tahu 

tidak jauh dari tempat Awang Taruna


berada, di sana telah berdiri pula 

seorang pemuda berpakaian merah-merah. 

Pemuda ini sangat tampan sekali, hing-

ga membuat jakun Bidadari Tangan Maut 

turun naik. Dia begitu terpesona 

dengan ketampanan yang dimiliki oleh 

pemuda yang di pundaknya menggelantung 

sebuah periuk berjelaga. Dari 

kemarahan yang meledak-ledak, kini 

telah berganti dengan kekaguman dan 

sesungging senyum manis. Siapakah 

pemuda ini? Kalau bukan Pendekar Hina 

Kelana adanya. Sementara itu Datuk 

Dugal yang merasa serangan dahsyat 

yang dia lakukan dapat dipatahkan oleh 

lawannya mentah-mentah tampak sangat 

marah sekali. Dia sudah bersiap-siap 

untuk menyerang Awang Taruna dengan 

segenap kemampuannya, akhirnya 

mengurungkan niatnya. Kehadiran pemuda 

berpakaian dekil yang agaknya juga 

memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi, telah membuat hatinya menjadi 

bimbang. Kemudian dia melangkah satu 

tindakan menghampiri pemuda itu. Pada 

saat yang sama pula, Awang Taruna 

dengan meringis-ringis telah terlebih 

dulu membentak Pendekar Hina Kelana:

"Engkau juga kiranya mau 

mengeroyokku! Kurang ajar benar engkau



ini... bukan membantuku, tapi malah 

berkomplot dengan pembunuh keji...!" 

Mendengar ucapan seperti itu, pendekar 

kita ini yang sesungguhnya belum 

mengetahui tentang keadaan si Awang 

Taruna yang sesungguhnya nampak sangat 

tersinggung sekali.

"Hmm! Sialan tolol, kau tak bisa 

membedakan mana kawan mana lawan. 

Dibela malah menuduh yang bukan-bukan. 

Sungguh nasib ini benar-benar 

apek...!" Buang Sengketa menggerutu. 

Sebaliknya Awang Taruna tanpa 

memperdulikan ucapan Pendekar Hina 

Kelana, terus nyerocos.

"Hah... bagus! Kalau engkau 

benar-benar kawan sejati, tentu kau 

mau bersamaku membantai iblis-iblis 

yang telah membunuh emakku dan orang-

orang yang tiada berdosa itu...?" kata 

Awang Taruna dengan tatapan mata 

hampa.

"Wei... mau sekali. Apalagi 

kudengar datuk dan betina dari lembah 

sialan ini hendak merampas pedang 

milikmu! Tentu aku sangat berkeinginan 

sekali untuk menggulung komplotan 

manusia cecurut ini...." jawab 

Pendekar Hina Kelana pasti. Akan 

tetapi demi mendengar ucapan Buang


Sengketa, pemuda sakit ingatan ini 

tiba-tiba berubah parasnya. Dia nampak 

marah sekali, agaknya fikiran sehatnya 

yang selalu timbul tenggelam itu salah 

tanggap akan apa yang baru saja 

diucapkan oleh Pendekar Hina Kelana. 

Dengan pedangnya dia menunjuk tepat-

tepat di dada pendekar ini: 

"Bangsat! Bicaramu ngaco belo, 

tadi kau mau membantuku... tapi kini 

engkau malah berbalik inginkan 

pedangku...!" bentak Awang Taruna 

gusar.

Pendekar Hina Kelana sangat geram 

sekali, dia benar-benar tidak berdaya 

memberi penjelasan pada pemuda sakit 

ingatan ini. Baru saja dia bermaksud 

untuk melanjutkan ucapannya, tiba-tiba 

terdengar tawa, kemudian terdengar 

pula ucapan mencemooh: "Orang muda. 

Sampai jagad ini terbalik tujuh, 

engkau tak mungkin bisa mengajak 

bicara orang gila ini dengan cara yang 

waras! Mulanya juga kami bermaksud 

baik padanya. Akan tetapi di luar 

dugaan, kunyuk sinting ini malah 

menuduhku yang bukan-bukan. Bahkan dia 

telah begitu berani membunuh kawan 

kami yang tiada memiliki kesalahan 

apa-apa padanya. Bukankah itu sangat

keterlaluan sekali...." kata Bidadari 

Tangan Maut secara tiba-tiba. Sesaat 

lamanya pendekar Hina Kelana menatap 

tajam pada Bidadari Tangan Maut. 

Meskipun hanya sekilas dia 

memperhatikan Bidadari genit ini, tapi 

dia sudah dapat menduga kalau 

perempuan maupun laki-laki tua 

berpakaian merah ini merupakan orang 

yang sangat sulit dipercaya. 

Sebaliknya apabila dia memperhatikan 

Awang Taruna, dia malah punya kesan 

bahwa pemuda sakit ingatan ini 

tentunya berada di pihak yang benar. 

Hanya mungkin saja orang ini memiliki 

kerapuhan jiwa. Sehingga batinnya 

terlalu mudah tergoncang! Menimbang 

sampai ke situ mendadak Pendekar Hina 

Kelana tergelak-gelak.

"Bidadari Tangan Maut! Apa 

untungmu memberi peringatan 

padaku...?" tanya Pendekar Hina Kelana 

dengan sesungging senyum dipaksakan.

"Hi... hi... hi...! Pemuda 

tampan, sudah barang tentu aku sangat 

tidak rela kalau wajahmu yang bagus 

itu rusak di tangan bocah gendeng 

ini." jawab Bidadari Tangan Maut. Di 

matanya memancarkan gelora nafsu 

birahi yang menggebu-gebu.


"Kalau aku merelakan mukaku 

hancur tercabik-cabik mata pedangnya, 

engkau bisa berbuat apa...?!" pancing 

pendekar dari Negeri Bunian ini pula.

"Huh! Budak sakit syaraf itu 

pasti aku cincang....

"Orang muda, kuminta engkau 

minggirlah! Di antara kita tak ada 

persoalan. Kami ingin secepatnya 

mengirim kunyuk gila ini ke liang 

kubur...." Tiba-tiba saja Datuk Dugal 

yang sejak dari tadi hanya diam saja 

ikut-ikutan menyela. Serta merta 

pendekar Hina Kelana mendengus.

"Huh! Kalau persoalannya semudah 

itu, sudah barang tentu hal ini 

merupakan satu keberuntungan bagi 

kalian berdua. Akan tetapi siapa sudi 

menuruti perintahmu...."

Baik Bidadari Tangan Maut maupun 

Datuk Dugal, nampak terkejut begitu 

mendengar ucapan si pemuda. Sesaat 

lamanya mereka saling berpandangan 

sesamanya. Kemudian Bidadari Tangan 

Maut yang tadinya sudah girang hatinya 

karena akan mendapat korban baru guna 

memenuhi hasrat birahinya, langsung 

saja menyela.


"Pemuda tampan. Apakah maksud 

dari semua ucapanmu itu...?" tanya 

wanita jalang itu harap-harap cemas.

"Hak... hak... hak...! Engkau 

jangan pura-pura tak tahu perempuan 

budak nafsu. Bukankah kalian 

mengingini pedang pusaka di tangan 

orang gemblung ini? Mengapa harus 

sungkan-sungkan menjelaskan maksud 

kalian yang sesungguhnya...?" bentak 

Buang Sengketa dengan senyum 

mencemooh. Dan seketika itu juga wajah 

ke dua dedengkot dari Lembah Dosa 

inipun menjadi merah padam. Akan 

tetapi agaknya Bidadari Tangan Maut 

punya maksud yang sangat istimewa pada 

Pendekar Hina Kelana. Terbukti 

meskipun sudah dihina sedemikian rupa 

dia masih dapat menahan diri. Lain 

lagi dengan Datuk Dugal, dia merasa 

tidak rela gendaknya dihina sedemikian 

rupa, laki-laki tua jenggot kambing 

ini sangat tersinggung sekali. 

Kemudian dia maju satu tindak, matanya 

nampak memerah dan menyungging senyum 

ganas.

"Bocah gembel! Mulutmu dangat 

keterlaluan sekali. Kiranya engkau 

tidak lebih dari kunyuk berpenyakit 

jiwa ini...!"


"Janggut kambing, mengapa harus 

heran. Aku bahkan bisa lebih gila dari 

orang-orang gila...!" kata Pendekar 

Hina Kelana ketus sekali.

"Orang muda kuminta engkau tak 

turut campur segala macam urusan kami! 

Menyingkirlah, aku mau membereskan 

orang sinting ini...!" pinta Bidadari 

Tangan Maut masih berusaha menahan 

kemarahannya.

"Adi putri. Mengapa harus 

berbasa-basi. Manusia berperiuk ini 

kiranya bapak moyangnya orang 

gila...!" Datuk Dugal yang sudah 

sangat marah itupun menyela dengan 

perasaan cemburu yang meluap-luap. 

Sebab walau bagaimanapun si janggut 

kambing ini tahu, apa artinya lirikan 

dan senyum yang selalu terlepas dari 

bibir gendaknya ini. Tidak lain 

hanyalah sebuah maksud kurang ajar.

"Hak... hak... hak...!" Pendekar 

Hina Kelana mengekeh! Sesungging 

seringai maut, mengawali bentakan 

suaranya yang diiringi jeritan Ilmu 

Pemenggal Roh.

"Heiiik...! Orang-orang celaka. 

Agaknya kalian belum tahu bagaimana 

adat si Hina Kelana...!" Terkesiap 

darah Majikan Lembah Dosa, begitu juga


halnya dengan Awang Taruna yang sedang 

mengalami gangguan jiwa ini. Mereka 

yang hadir di situ semuanya menutup 

telinga dengan tangannya masing-

masing. Meskipun begitu, tetap saja 

pengaruh lengkingan Ilmu Pemenggal 

Roh, masih terasa berpengaruh dan 

menggetarkan jantung mereka. Baik 

Datuk Dugal, Bidadari Tangan Maut, 

maupun Awang Taruna. Masing-masing 

dari telinga mereka mengalirkan darah. 

Daun-daun yang masih hijau berguguran, 

begitu juga ranting-ranting kering 

yang berada di sekitarnya nampak luruh 

terhempas ke bumi.

Sementara itu Awang Taruna yang 

sedang terganggu jiwanya ini, begitu 

suara itu menggaung di angkasa. Tanpa 

menghiraukan mereka yang hadir di 

situ, langsung saja lari tunggang 

langgang. Buang Sengketa segera 

hentikan jeritannya, dia nampak 

memanggil-manggil Awang Taruna, tetapi 

pemuda sakit ingatan itu tidak perduli

lagi, bahkan terus berlari, hingga 

akhirnya tak terlihat lagi. Tinggallah 

orang-orang dari Lembah Dosa ini yang 

sudah nampak semakin pucat parasnya. 

Tak lama setelah berlalunya Awang 

Taruna, pendekar berwajah tampan ini


kembali memandangi Bidadari Tangan 

Maut dan Datuk Dugal silih berganti. 

Kedua bola mata pemuda itu tampak 

memerah saga. Dari bibir pemuda itu 

keluar bunyi mendesis bagai suara raja 

ular Piton yang sedang mengamuk. 

Kemudian sambil membentak dia 

memandangi kedua orang itu silih 

berganti.

"Kudengar kalian telah membantai 

penduduk Desa Kajenar... dan membunuh 

orang itu...?" kata Buang Sengketa 

dengan pandangan berapi-api. Mendapat 

tuduhan seperti itu, datuk-datuk dari 

Lembah Dosa ini, meskipun nyali mereka 

sudah kedodoran. Nampak kurang senang

sekali.

"Bocah! Hati-hati engkau bicara, 

meskipun ilmu kepandaian setinggi 

langit siapa takut...!" tukas Datuk 

Dugal sangat gusar sekali

"Pemuda gagah. Engkau harus 

percaya padaku, bahwa kami tidak tahu 

menahu tentang pembantaian itu...!" 

Bidadari Tangan Maut ikut menyela. Dan 

agaknya dia pun menyadari sangat kecil 

sekali harapannya untuk memiliki 

pemuda yang sangat mendebarkan 

jantungnya itu. Saat itu Pendekar dari 

Negeri Bunian itu, demi mendengar



ucapan Bidadari Tangan Maut, tampak 

tersenyum getir. Kemudian dia berkat 

lagi: 

"Bagaimana mungkin aku bisa 

mempercayai omongan orang yang sangat 

licik. Aku dengan pemuda sakit ingatan 

ini mengatakan bahwa kalianlah yang 

telah melakukan pembantaian itu. Mana 

yang benar...?" tanya pendekar Hina 

Kelana bersungut- sungut.

"Sial betul! Kiranya engkau lebih 

percaya dengan omongan orang gila 

daripada kata-kata kami." kata Datuk 

Dugal berangnya bukan main. Pendekar 

Hina Kelana nampak tersenyum kecut. 

Dalam dia merasa geli sekali melihat 

cara orang-orang dari Lembah Dosa ini 

dalam meyakinkan dirinya.

"Terkadang omongan orang gila 

lebih bisa dipercaya daripada ucapan 

orang yang waras...!"

"Kurang ajar, kiranya engkau 

benar-benar telah menuduh kami." Datuk 

Dugal kertakkan rahang. Dia benar-

benar sangat tersinggung dengan apa 

yang telah dituduhkan oleh pemuda itu. 

Dalam pada itu, kiranya Bidadari 

Tangan Maut menyadari kalau pemuda 

yang berpenampilan gembel ini sudah 

sangat sulit untuk diajak kompromi


lagi. Maka tiada pilihan kecuali 

menggempur pemuda tampan ini sampai 

titik darah yang terakhir. Beberapa 

saat kemudian, pemuda ini menyela 

pula. 

"Lalu bagaimana pula dengan niat 

kalian untuk memiliki pedang pusaka 

milik si gila itu...?" tanyanya 

mencemooh. Kata-kata pendekar Hina 

Kelana yang sebelumnya tiada mereka 

duga ini, benar-benar membuat Bidadari 

Tanjgan Maut dan Datuk Dugal mati 

kutu. Merah parasnya karena menahan 

marah bercampur malu.

"Gembel terkutuk. Kiranya engkau 

hanya ingin mencampuri segala urusan 

orang lain. Mampuslah...!" Dengan 

disertai jerit tinggi melengking, 

Datuk Dugal yang sudah sangat kalap 

itu menghunus pedang kembarnya. Saat 

itu juga dia langsung menyerang 

pendekar Hina Kelana dengan sangat 

gencar sekali. Kedua pedang kembarnya 

berkelebat cepat, sehingga dalam waktu 

sekejap sudah berubah menjadi gulungan 

gelombang sinar putih yang menderu-

deru bagai serbuan angin topan. 

Mengetahui kembratnya sudah bergerak. 

Maka Bidadari Tangan Maut tidak 

tinggal diam! Tubuhnya melesat cepat


dan dengan ilmu mengentengi tubuh yang 

sudah mencapai tingkat sempurna, 

tubuhnya berkelebat-kelebat bagai 

seekor burung walet. Perempuan budak 

nafsu ini pun langsung lancarkan 

pukulan-pukulan mautnya. Sekali dua 

dia sambitkan senjata-senjata 

rahasianya pula.

Pendekar Hina Kelana yang sedikit 

banyaknya sempat melihat jurus-jurus 

silat lawannya, dan sudah mengetahui 

bahwa sesungguhnya pukulan-pukulan 

maut Bidadari inilah yang lebih 

berbahaya ketimbang permainan pedang 

kembar Datuk Dugal. Cepat-cepat 

memapaki setiap serangan-serangan 

perempuan binal ini. Satu saat Datuk 

Dugal melihat salah satu sisi 

pertahanan Buang Sengketa nampak 

terbuka.

* * *

DELAPAN



Datuk Dugal girangnya bukan alang 

kepalang, dia langsung kirimkan satu 

tusukan satu babatan. Pendekar Hina


Kelana dengan jurus Membendung 

Gelombang Menimba Samudra, putar kedua 

tangannya sehingga membentuk baling-

baling. Sekejap saja tubuhnya 

berkelebat lenyap sehingga merupakan 

bayang-bayang saja. Sesaat kemudian 

Bidadari Tangan Maut kirimkan pukulan-

pukulan gencar. Satu rangkaian 

gelombang pukulan yang berwarna kening 

keemasan melesat begitu cepat mengarah 

pada perta-hanan lawannya. Mengetahui 

datangnya gelombang pukulan yang 

saling susul menyusul itu, pendekar 

Hina Kelana menggerung bagai harimau 

terluka. Tubuhnya melesat laksana 

kilat. Tusukkan maupun sabetan yang 

dilancarkan oleh Datuk Dugal mencapai 

tempat yang kosong. Datuk Dugal memaki 

panjang pendek.

Sementara itu, pukulan-pukulan 

Bidadari Tangan Maut, yang terkenal 

sangat ganas yang diberi nama Sepuluh 

Bidadari Menggoda Arjuna terus melesat 

dan mengejar ke mana pun pendekar ini 

menghindar. Pemuda dari Negeri Bunian 

ini menjadi sangat marah. Bibir 

keluarkan bunyi mendesis, bagai raja 

Piton yang sedang marah. Tak lama 

kemudian, dengan diiringi jerit me-

lengking tinggi. Pendekar Hina Kelana



sudah nampak bersiap-siap dengan 

pukulan Empat Anasir Kehidupan yang 

tak perlu lagi diragukan akan 

kemampuannya. Lalu! Sekali saja 

tangannya berkiblat ke depan, selarik 

gelombang sinar Utra Violet menderu 

lebih cepat hingga timbulkan suara 

bercuit-an. Dua kekuatan berisi tenaga 

sakti itu, tanpa dapat terelakkan lagi 

saling bertu-brukkan di udara. 

"Bum! Bum!"

Tubuh Bidadari Tangan Maut 

tergetar hebat, dada terasa sesak dan 

sakit sekali. Bagian kaki amblas 

sebatas lutut. Sementara itu, pendekar 

Hina Kelana yang pada saat memapaki 

serangan lawannya, dalam posisi berada 

di udara. Sudah barang tentu tubuhnya 

terpelanting delapan tombak. Darah 

meleleh dari celah bibir dan hidung. 

Cepat-cepat dia himpun hawa murni, 

sebentar kemudian wajahnya yang pucat 

pasi itu pun berubah seperti 

sediakala. Kini dia sudah bangkit 

kembali. Bidadari Tangan Maut dan 

Datuk Merah Dari Lembah Dosa, merasa 

diatas angin. Tampak terus terkekeh-

kekeh. Perempuan budak nafsu itu 

langsung menyela dengan nada 

mencemeeh.


"Bocah! Kuberi engkau jalan ke 

surga untuk bersenang-senang denganku. 

Tak dinyana engkau malah memilih jalan 

ke neraka....” kata Bidadari Tangan 

Maut tersenyum-senyum penuh percaya 

diri. Buang Sengketa meludah 

melampiaskan rasa jijik. Kedua matanya 

kini nampak kian memerah saga. Dia 

kertakkan rahang! Kemudian dengan 

bibir bergetar dia membentak.

"Betina hamba nafsu. Jangan 

sombong dulu, aku belum kalah...!" 

kata Pendekar Hina Kelana geram.

"Kalaupun engkau punya lima kaki 

lima tangan. Engkau tak bakal ungkulan 

menghadapi kami pendekar gembel." 

cibir Datuk Dugal.

"Ha... ha... ha...! Kiranya 

engkau terlalu sombong untuk bisa 

melihat siapa yang engkau hadapi ini, 

tua bangka janggut kambing...?!" Datuk 

Dugal yang gampang naik darah itupun 

demi mendengar penghinaan sedemikian 

rupa tampak sangat marah sekali, 

wajahnya yang sudah keriputan itu 

berubah kelam membesi. Dia langsung 

melompat dan saling berhadapan muka 

dengan Pendekar Hina Kelana.

"Jahanam betul engkau ini! 

Agaknya engkau ingin, agar aku cepat


cepat mengirimmu ke liang kubur...!" 

Dan baru saja Datuk Dugal bermaksud 

meliciki pendekar ini dengan 

pedangnya. Tahu-tahu tangan Buang 

Sengketa telah bergerak lebih cepat 

lagi memukul bagian selangkangan 

lawannya. Tak ampun lagi Datuk jenggot 

kambing ini menjerit-jerit setinggi 

langit, sambil berjingkrak-jingkrak 

memegangi pusaka kramatnya yang kena 

dipukul oleh Pendekar Hina Kelana. 

Pemuda ini tersenyum dikulum.

"Enak saja engkau mau main 

curang! Aku paling benci dengan sikap 

pengecut seperti engkau. He... he... 

he...! Sebilah pusaka kramatmu itu tak

mungkin dapat engkau gunakan untuk 

menyerang musuh...!" kata Buang 

Sengketa konyol. Pada saat itu juga di 

luar sepengetahuan pendekar Hina Kela-

na. Bidadari Tangan Maut yang sudah 

sangat gusar langsung bertindak:

"Ser! Ser!"

Senjata rahasia yang berupa jarum 

beracun milik Bidadari Tangan Maut 

meluncur cepat pada bagian punggung si 

pemuda. Masih untung pendekar ini 

benar-benar memiliki nalar yang peka. 

Begitu dia merasakan adanya sambaran


angin pukulan, cepat dia mengelak dan 

kiblatkan tangannya.

"Hwees!"

Jarum-jarum beracun yang 

disambitkan lawannya, runtuh dan 

berpentalan ke mana-mana. Bahkan 

beberapa batang di antaranya sempat 

membalik dan hampir saja memakan 

pemiliknya sendiri. Bukan main 

marahnya pendekar ini mendapat 

bokongan seperti itu.

"Kunyuk betina sialan! Iblis 

geblek tak tahu aturan, kiranya kalian 

adalah iblis-iblis berhati 

pengecut...."

"Untuk mencapai kemenangan dalam 

satu pertarungan, bagi kami cara 

apapun dapat kami lakukan...!" Datuk 

Dugal menyela.

"Wah.., kalau begitu aku harus 

memberimu pelajaran untuk dapat 

berkata krama. Nih, makanlah...!" 

Pendekar Hina Kelana kirimkan dua 

pukulan berturut-turut pada Datuk 

Dugal dan Bidadari Tangan Maut. 

Secepat kilat, pukulan yang berisi 

setengah tenaga dalam si pemuda itu 

menderu. Baik Bidadari Tangan Maut dan 

Datuk Jenggot Kambing yang tiada 

menyangka bahwa datangnya pukulan bisa


secepat itu. Dengan tergagap segera 

kiblatkan pedangnya.

"Trang! Brees!"

Pedang kembar di tangan Datuk 

Dugal terpental dua-duanya, lebih dari 

itu, gelombang pukulan itu terus 

melanda tubuhnya hingga berpelantingan 

beberapa tombak.

"Tobat!" jerit Datuk Dugal, 

dengan badan hampir hangus dilanda 

hawa panas yang sangat luar biasa. 

Tubuh Datuk ini tersuruk di semak-

semak belukar, dengan luka sangat 

parah. Sementara itu, di luar 

sepengetahuan Buang Sengketa, Bidadari 

Tangan Maut, begitu dapat 

menyelamatkan diri dari pukulan 

pendekar Hina Kelana cepat-cepat ambil 

langkah seribu. Bukan main kesalnya 

hati si pemuda demi melihat lawannya 

telah kabur di luar sepengetahuan 

matanya.

"Kurang ajar. Tak dinyana, 

kiranya kalian hanyalah manusia yang 

berjiwa binatang...!" maki pendekar 

ini saking kesalnya. Kemudian dengan 

langkah mantap, dia menghampiri Datuk 

Dugal yang tergeletak tiada berdaya. 

Penghuni Lembah Dosa yang sudah 

sekarat itu nampak ketakutan sekali,



begitu melihat Pendekar Hina Kelana 

berdiri persis di hadapannya.

"Ah, sayang sekali janggut 

kambingmu habis terbakar. Kini 

kembratmu sudah kabur meninggalkan 

dirimu! He... he... he...." Buang 

Sengketa mengekeh.

"Kiranya dia seorang gundik yang 

tidak setia, datuk sial...! Persetan, 

itu bukan urusanku. Sekarang katakan 

saja, ke mana perginya Bidadari Tangan 

Maut. Di mana pula tempat tinggalnya 

Giri Sora, Ketua Kumbang Kencana 

itu...?" Datuk Dugal yang sudah 

sekarat itu tersenyum getir. Kemudian 

gelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Jadi engkau benar-benar tidak 

mau kasih tau di mana sesungguhnya 

markas Kumbang Kencana berada...?" 

tanya pendekar Hina Kelana geram.

"Tuk! Tuk!"

Tiba-tiba pemuda ini menotok urat 

syaraf tertentu, sehingga membuat 

Datuk Dugal berteriak-teriak bagai 

orang yang sedang kesurupan.

"Auuhhh... sakit... sakit 

sekali...! Bangisat, engkau bunuh saja 

aku...!" jerit Datuk Dugal menggeliat-

geliat bagai cacing kepanasan.


"Kematian bagimu tak mudah, kau 

rasakanlah siksaan itu sampai mampus! 

Aku hendak mengubur mayat orang 

itu...!" kata Buang Sengketa. Seraya 

membalikkan badan dan terus melangkah 

meninggalkan Datuk Dugal yang masih 

melolong-lolong bagai seekor anjing 

pesakitan. Kira-kira sepuluh tindak 

Pendekar dari Negeri Bunian ini me-

langkah, Datuk Dugal yang sudah tak 

dapat menahan rasa sakit yang luar 

biasa itu berteriak-teriak 

memanggilnya:

"Bocah gembel. Lepaskan siksaan 

ini, aku mau mengatakannya padamu...!" 

sela Datuk Dugal kalang kabut. 

Mendengar teriakkan Datuk Dugal Merah 

dari Lembah Dosa itu si pemuda 

hentikan langkahnya. Tanpa menoleh dia 

berkata lirih.

"Walaupun engkau mau mengatakan 

di mana tempat tinggal si Giri Sora, 

akan tetapi karena engkau tak punya 

peradatan dalam memanggilku! Aku jadi 

batalkan niat untuk membebaskanmu. 

Lagipula aku tak butuh keterangan...!" 

ujar Buang Sengketa berpura-pura. 

Pucatlah wajah Datuk Dugal, apalagi 

perasaan sakit yang menyiksa, kian 

lama kian bertambah hebat. Bahkan


datuk yang sudah berusia sangat lanjut 

itu sampai terkencing-kencing di 

celana. Saking tersiksanya! Bagaimana 

pula kalau pemuda yang telah membuat 

dirinya setengah mati itu tak bersedia 

membebaskan totokannya? Kini dia 

berteriak lagi.

"Orang muda, harusnya aku 

memanggil apa padamu...?" tanya Datuk 

Dugal dengan tubuh menggigil 

ketakutan. Pendekar Hina Kelana 

tertawa ganda, lalu buru-buru menyela, 

"Kalau engkau ingin aku membebaskan 

totokan itu...!" Sesaat Buang Sengketa 

garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

"Panggillah aku dengan sebutan Majikan 

Besar... bagaimana, apakah engkau 

setuju...?" tanya pendekar Hina 

Kelana, sambil tertawa-tawa. Datuk 

Dugal yang sudah tak tahan didera rasa 

sakit itupun, cepat-cepat menjawab:

“Baiklah... baiklah majikan be-

sar! Sekarang engkau bebaskanlah 

totokan ini majikan besar...!" kata 

Datuk Dugal penuh permohonan. Si 

pemuda tersenyum-senyum. Geli sendiri: 

"Kurang asem, berani sekali 

engkau memerintah majikanmu...!"


"Harusnya aku ngomong 

bagaimana...?" tanya Datuk Dugal, 

menahan rasa dongkol.

"Mana ada seorang majikan 

diperintah oleh kacungnya. Sekarang 

engkau ikuti dulu apa yang aku 

katakan...." ujar pendekar Hina 

Kelana.

"Busyet ini sudah sangat sakit 

sekali majikan...!" Tanpa 

memperdulikan protes datuk dari Lembah 

Dosa itu, si pemuda segera berucap: 

"Ikuti kata-kataku...!

"Baiklah... baiklah...." jawab 

Datuk Dugal, semakin geram saja 

hatinya.

"Aku ini si bandot tua...!" Datuk 

Dugal langsung mengikuti, kata-kata 

yang di ucapkan oleh si pemuda.

"Aku ini si bandot tua...!"

"Pekerjaan hanya menumpuk 

dosa...!" ujar pendekar Hina Kelana.

"Perempuan mau juga...!"

"Sudah mau masuk liang kubur 

belum tobat juga...." Datuk Dugal 

lagi-lagi meniru.

"Sudah mau masuk liang kubur 

belum tobat juga...!"

"Dasar celaka...!"

"Dasar celaka...!"


Lebih baik mampus saja...!" kata 

Buang Sengketa mengekeh. Sementara 

.Datuk Dugal nampak terperangah.

"Apakah engkau mau 

membunuhku...?! Bukankah aku telah 

mengikuti segala keinginanmu...!" kata 

Datuk Dugal ketakutan sekali.

"Goblook! Siapa sudi bunuh 

engkau, dosamu banyak...!"

"Tapi katanya engkau mau 

membebaskan aku. Tolonglah 

majikan...!" rintih Datuk Dugal 

memelas sekali.

"Setelah bebas nanti, apakah 

engkau mau tobat...?"

"Ya... aku akan tobat...." jawab 

Datuk Merah Dari Lembah Dosa ini buru-

buru.

"Baik! Aku percaya padamu...." 

Usai berkata begitu pendekar Hina 

Kelana, melangkah. Kembali menghampiri 

Datuk Dugal, kemudian dengan sekali 

sentuh. Datuk dari Lembah Dosa itupun 

sudah terbebas dari pengaruh totokan. 

Beberapa saat setelahnya, tanpa 

menghiraukan Datuk Dugal yang 

tertatih-tatih meninggalkan tempat 

itu. Buang Sengketa melangkah 

menghampiri mayat wanita malang, ibu 

kandung Awang Taruna. Pemuda ini


segera menggalikan kubur untuk mayat 

yang telah membusuk itu. Sebentar saja 

dia sudah menyelesaikan pekerjaannya, 

kemudian setelah menguburkan mayat 

itu, dengan mempergunakan ilmu ajian 

Sapu Angin tubuh pendekar Hina Kelana 

telah melesat pergi. Tapi dia sangat 

kesal pada diri sendiri, karena sampai 

Iupa menanyakan tempat tinggalnya Giri 

Sora. Dasar tolol! Umpatnya dalam 

hati.

* * *

SEMBILAN



Dengan sebuah tongkat yang 

terbuat dari ukuran kayu cendana, 

kakek tua ini terus melangkah dengan 

pasti. Sesekali tubuhnya berkelebat 

ringan di atas bebatuan yang sangat 

licin menelusuri lereng-lereng Gunung 

Bajul Buntung yang menjulang tinggi ke 

angkasa. Dari segi usia, sesungguhnya 

kakek tua ini sudah berumur kurang 

lebih sembilan puluh lima tahun. Satu 

masa yang boleh dikatakan sangat 

lanjut. Walaupun umurnya sudah hampir 

mencapai satu abad, kakek ini masih 

kelihatan sangat lincah dan gesit. 

Sudah hampir empat puluh tahun, kakek


tua ini mengasingkan diri dari dunia 

ramai. Selama ini dia menetap di 

wilayah air terjun Sampuran Harimau. 

Kakek ini di kenal sebagai tokoh 

beraliran putih yang memiliki berbagai 

kepandaian, yang membuat jerih pihak 

lawan maupun kawan. Dunia persilatan 

mengenalnya sebagai Eyang Wiku Panulu. 

Lalu apa yang menyebabkannya sampai 

turun gunung di hari itu? Tak lain dan 

tak bukan karena murid dan juga masih 

terbilang cucunya, yaitu si Awang 

Taruna masih juga belum kembali, 

setelah hampir satu purnama dalam 

usaha menjemput ibunya.

Seperti apa yang dijanjikan oleh 

Awang Taruna pada Eyang Wiku Panulu. 

Pemuda itu atas permintaan kakeknya 

bermaksud memboyong orang tuanya ke 

Lembah Sampuran Harimau. Lebih dari 

itu, pemuda ini kiranya menyangsikan 

keselamatan ibunya, yang oleh Eyang 

Wiku Panulu disebut-sebut sebagai 

seorang bekas tokoh yang mempunyai 

banyak musuh. Itulah sebabnya, hari 

itu setelah empat tahun Awang Taruna 

diangkat menjadi murid oleh kakeknya 

sendiri. Eyang Wiku Panulu memberi 

ijin pada cucunya ini untuk membujuk 

sekaligus memboyong ibunya ke Lembah


Sampuran Harimau. Kenyataannya setelah 

beberapa hari kemudian, tunggu punya 

tunggu. Awang Taruna masih juga belum 

kembali ke Lembah Sampuran Harimau. 

Tentu saja hal ini membuat kecurigaan 

Eyang Wiku Panulu. Sebab seperti 

kebiasaannya Awang Taruna selalu tepat 

janji. Begitupun Eyang Wiku Panulu 

masih menunggu hingga beberapa hari 

lagi. Akan tetapi tetap saja Awang 

Taruna tidak juga muncul hingga 

akhirnya Eyang Wiku Panulu memutuskan 

untuk menyusul pemuda itu.

Demikianlah dengan mempergunakan 

ilmu meringankan tubuh yang sangat 

sempurna, kakek yang sudah berusia 

sangat lanjut ini pun nampak 

berloncatan dari batu yang satu ke 

batu yang lainnya. Satu saat dia 

mendadak hentikan larinya, kedua 

kelopak matanya yang sudah keriputan 

dan cekung itu tampak semakin 

menyipit. Di kejauhan sana dia melihat 

dua titik, sedang berlari sangat cepat 

menuju ke arah di mana dia sedang 

berdiri saat itu. Semakin lama semakin 

terlihat dengan jelas. Kakek tua 

inipun nampak tersenyum-senyum penuh 

arti. Agaknya dia mengenali siapa 

adanya mereka yang sedang berlari-lari


ini. Dua orang kakek gundul, 

berpakaian kulit kambing dan hanya 

bercawat pula. Siapa lagi kalau bukan 

Dua Datuk Sesat dari Pulau Putri.

Seperti diketahui, setelah kalah 

bertarung dengan Awang Taruna. Kedua 

orang ini langsung melarikan diri dan 

bermaksud bergabung dengan Giri Sora 

yaitu Ketua Perkumpulan Kumbang 

Kencana. Akan tetapi di tengah jalan 

maksudnya mendadak berubah. Mereka 

bermaksud menemui kembrat-kembratnya 

di Lembah Dosa. Tujuan mereka sudah 

jelas. Yaitu ingin memberi tahukan 

adanya pedang pusaka yang saat ini 

berada di tangan si gila Awang Taruna. 

Sebab seperti apa yang pernah 

dikatakan oleh Penghuni Lembah Dosa. 

Kedua Datuk Jenggot Kambing itu 

mempunyai hasrat yang sangat besar 

untuk memiliki Pedang Pusaka Penebus 

Dendam. Tak pelak lagi sebagai kembrat 

terdekat bila dibandingkan dengan Giri 

Sora, yaitu Ketua Perkumpulan Kumbang 

Kencana.

Akan tetapi alangkah kecewanya 

hati datuk-datuk berkepala gundul ini 

ketika sesampainya di Lembah Dosa, 

kembrat-kembratnya sudah meninggalkan 

tempat itu. Dengan membawa kecewa


akhirnya mereka ini memutuskan untuk 

menyusul kembrat-kembratnya yang 

sedang menghadiri undangan di tempat 

kediaman Giri Sora. Baik Datuk Kwalat 

maupun Datuk Kwali dari Pulau Putri 

ini, tidak menyadari kalau ada 

sepasang mata yang sejak tadi 

memperhatikan gerak mereka. Hingga 

ketikan jarak di antara mereka benar-

benar telah dekat sekali Eyang Wiku 

Panulu membentak:

"Berhenti...!" Bentakan Wiku 

Panulu sesungguhnya sangat pelan saja, 

akan tetapi karena bentakan itu 

disertai tenaga dalam yang sangat 

sempurna, akibatnya sungguh sangat 

terasa sekali bagi Datuk dari Pulau 

Putri ini. Telinga mereka terasa sakit 

tubuh tergetar untuk beberapa saat 

lamanya. Seketika itu juga kedua orang 

ini hentikan langkah, kemudian 

memandang ke arah datangnya suara. 

Belum lagi hilang kejut di hati datuk-

datuk ini, tiba-tiba saja dari puncak 

bebatuan tinggi melayang sosok tubuh 

yang nampak sangat ringan sekali.

Begitu melihat kehadiran kakek 

tua bertongkat kayu Cendana ini, 

bukan alang kepalang kejut di hati 

mereka. Wajah datuk-datuk ini nampak


semakin memucat. Bahkan tanpa mereka 

sadari, Datuk dari Pulau Putri ini 

undur beberapa langkah. Wiku Panulu 

yang memang masih mengenali siapa 

adanya orang-orang berada di depannya 

itu, untuk sesaat lamanya tampak 

memandang tiada berkesip. Kemudian 

dengan suara lirih namun mantap dia 

berkata:

"Tak salah kiranya pandangan 

mataku yang sudah lamur ini? Bukankah 

aku yang lapuk ini sedang berhadapan 

dengan Datuk Kwalat dan Datuk Kwali 

dari Pulau Putri...?" Yang ditanya 

nampak gelagapan.

"Ah! Orang tua yang terhormat. 

Nama kami hanyalah nama kosong 

belaka... tiada artinya bila 

dibandingkan dengan anda...." sela 

Datuk Kwalat merendah.

"Sudah puluhan tahun anda kami 

dengar telah mengasingkan diri di air 

terjun Sampuran Harimau. Akan tetapi 

hari ini kami melihat anda sedang 

melakukan perjalanan di dunia ramai. 

Tentu ada hal-hal yang sangat penting 

sehingga anda sampai keluar dari 

pengasingan...!" tanya Datuk Kwali 

pula. Ditanya seperti itu, untuk bebe-

rapa saat lamanya Wiku Panulu terdiam.


Hanya kedua alisnya yang sudah nampak 

memutih itubergerak-gerak turun naik. 

Tak lama kemudian: 

"He... he... he...! Benar sekali 

dugaan kalian itu, saat di ambang 

menghadap Sang Hyang Kuasa, semestinya 

kau harus memusatkan diri dan banyak 

beramal padanya. Akan tetapi terkadang 

urusan dunia yang sudah lama 

kutinggalkan ini, memerlukan campur 

tanganku untuk menyelesaikannya...!" 

kata Wiku Panulu seperti pada dirinya 

sendiri.

"Apakah maksud anda Wiku...!" 

tanya kedua datuk itu hampir 

bersamaan. Wiku Panulu tersenyum pias, 

sesungguhnya dia tahu kalau datuk-

datuk dari Pulau Putri ini nampak 

menyembunyikan sesuatu di hati mereka. 

Untuk itu kemudian dia berkata terus 

terang.

"Datuk Kwalat dan Datuk Kwali! 

Aku ingin bertanya tentang sesuatu 

pada kalian berdua. Karena 

sesungguhnya aku tau, kalian pasti 

mengetahui apa yang ingin aku tanyakan 

ini. Dan kuharap kalian jangan coba-

coba untuk berbohong padaku yang sudah 

gaek ini. Kalau itu tetap kalian 

langgar, maka sekali ini aku tak akan


mengampuni jiwa kalian berdua...!" 

kata Wiku Panulu mengancam.

"Wiku... mengapa anda bisa 

berkata begitu...?" tanya Datuk Kwali 

sudah dapat menduga-duga apa kiranya 

yang bakal ditanyakan oleh Wiku 

Panulu.

"Jangan engkau potong kata-kataku 

Datuk Kwali...!" Sejenak Wiku Panulu 

menarik nafas pendek, beberapa saat 

kemudian dia melanjutkan ucapannya.

"Aku yakin kalian pernah 

keluyuran di desa Tungging! Nah... aku 

merasa sangat pasti kalau kalian 

pernah jumpa dengan seorang pemuda 

yang umurnya sekitar sembilan belas

tahun!" Bukan main terperanjatnya 

kedua datuk ini begitu mendengar ucap-

an Wiku Panulu yang tidak pernah dia 

duga sebelumnya. Dua Datuk dari Pulau 

Putri ini nampak saling pandang 

sesamanya, sorot mata mereka 

membersitkan perasaan bimbang. Sebab 

walau bagaimanapun Wiku Panulu yang

juga merupakan seorang yang ahli dalam 

ilmu batin ini sudah barang tentu 

tidak bisa dibohongi. Dari nada 

ucapannya saja sudah dapat ditebak, 

bahwa sedikit banyaknya Wiku Panulu


telah mengetahui duduk persoalan yang 

sebenarnya.

Untuk berkata terus terang pun 

bagi mereka ini rasanya tidak akan 

menolong banyak. Secara langsung 

mereka pernah bentrok dengan Awang 

Taruna, bahkan pernah berniat 

membunuhnya. karena semua itu, 

akhirnya Datuk Kwalat coba berbohong.

"Wiku... anda jangan menuduh yang 

bukan-bukan! Kami sungguh-sungguh 

tidak pernah pergi ke sana...." Wiku 

Panulu nampak menyeringai. Satu mimik 

yang merupakan ciri khas dari kakek 

sakti yang meragukan keterangan orang 

ini.

"Pada orang tua yang sudah mau 

masuk liang kubur saja kalian masih 

begitu berani berbohong. Katakan 

dengan jelas, atau kalian malah 

mendahuluiku berangkat ke liang 

kubur...!" kata Wiku Panulu dingin. 

Terkesiaplah darah kedua datuk itu 

demi mendengar ancaman Wiku Panulu 

yang selama ini mereka ketahui sebagai 

suatu hal yang tak pernah main-main. 

Lebih dari itu, mereka juga cukup 

maklum. Jangankan berhadapan dengan 

kakek yang pernah mempecundangi 

mereka, sedangkan berhadapan dengan



muridnya saja mereka sudah kalah. 

Meskipun tanpa Pedang Pusaka Penebus 

Dendam di tangan kakek ini, mereka 

berdua masih merasa sangsi untuk dapat 

mengalahkan Wiku Panulu.

"Jadi kalian benar-benar tak mau 

mengakuinya.... bukankah kalian bahkan 

sempat bertarung dengan muridku 

itu...?!" sindir Wiku Panulu. Merasa 

tak ada pilihan lain, pada akhirnya 

Datuk Kwalat mengakui: 

"Benar.... kami sempat bertarung 

dengan muridmu itu...."

"Tapi semua itu dengan sangat 

terpaksa kami lakukan karena dia telah 

menuduh kami sebagai pembunuh orang 

tua dan penduduk Desa Tongging...." 

Datuk Kwali buru-buru menyela. Wiku 

Panulu nampak sangat terkejut, hatinya 

menjadi pedih bercampur gusar. Dia 

tidak pernah menyangka kalau 

kejadiannya malah lebih buruk dari 

semua tafsir-tafsir yang pernah 

diketahuinya.

"Jadi Pujita Sari, ibu kandung 

muridku itu telah binasa? Cepat 

katakan siapa yang telah bertanggung 

jawab atas kematiannya...!" bentak 

Wiku Panulu sangat marah sekali. 

Meskipun dua orang Datuk dari Pulau


Putri ini tahu siapa sesungguhnya yang 

telah melakukan pembantaian itu. Akan 

tetapi mereka tetap konsekwen dalam 

men-taati peraturan golongan hitam.

"Kami tak tahu siapa yang telah 

melakukannya, Wiku...!" Maka semakin 

bertambah gusarlah Wiku Panulu demi 

mendengar ucapan Datuk Kwalat yang 

sesungguhnya hanya merupakan kepura-

puraan saja.

"Bagus! Kalau kalian tak tau, 

maka aku akan menggebukmu...." kata 

Wiku Panulu dengan kemarahan yang 

meluap-luap. Bersamaan dengan 

ucapannya itu, Wiku Panulu pukulkan 

tangannya ke depan. Meskipun pukulan 

itu pada dasarnya hanya terlihat bagai 

lambaian tangan saja, akan tetapi 

berakibat sangat luar biasa. Satu 

gelombang angin topan menderu dahsyat 

mengarah pada kedua Datuk Pelalap Daun 

Muda ini. Datuk Kwali terpekik kaget 

serta merta tubuhnya melesat ke atas. 

Meskipun begitu Datuk Kwali masih 

merasakan adanya sambaran angin 

pukulan yang terasa dingin luar biasa. 

Tak dapat disangkal, karena Wiku 

Panulu telah mempergunakan pukulan 

Menyingkap Kabut Menangkap Bayang-

Bayang.


Sementara itu, Datuk Kwalat yang 

mencoba memapaki pukulan yang 

dilancarkan oleh Wiku Panulu padanya. 

Begitu pukulan yang begitu cepat itu 

saling berbenturan dengan pukulan 

lawannya, tubuh Datuk Gundul dari 

Pulau Putri ini nampak terlempar empat 

tombak! Dada terasa nyeri luar biasa, 

parut mual bagai diaduk-aduk. Kemudian 

dia terbatuk-batuk bagai seekor kucmg 

kurus terserang penyakit paru-paru. 

Bersamaan dengan suara batuk itu, 

darah kental kehitam-hitaman nampak 

menggelogok ke luar. Cepat-cepat dia 

menghimpun hawa murninya. Setelah itu 

dia bangkit kembali dengan membawa 

luapan kemarahan.

* * *

SEPULANG



Datuk Kwalat yang sedang dilanda 

kemarahan itu menjadi gelap mata. Dia 

sudah tidak lagi memikirkan bahwa Wiku 

Panulu sesungguhnya bukanlah lawan 

kedua datuk ini. Secara serentak kedua 

orang ini mencabut golok tipis yang 

terselip di pinggang mereka. Datuk


Kwalat dan Datuk Kwali langsung 

mengurung Wiku Panulu dengan serangan-

serangan ganas. Golok tipis di tangan 

lawan-lawannya menyambar cepat 

berkelebat ke berbagai penjuru. 

Walaupun sambaran golok itu terlihat 

beberapa kali mengancam Wiku Panulu, 

akan tetapi kakek renta ini sebaliknya 

malah terkekeh sambil memutar 

tongkatnya dengan sangat cepat sekali.

"Trang! Trang!" Percikan bunga 

api berpijar ketika senjata-senjata 

itu saling berbenturan, meskipun 

tongkat di tangan Wiku Panulu, 

hanyalah berasal dari oyot kayu 

cendana. Akan tetapi karena pada saat

menangkis dengan tongkatnya, Wiku 

Panulu mengerahkan sebagian tenaga 

dalamnya, tak urung golok tipis di 

tangan masing-masing lawannya menjadi 

gompal di beberapa bagian. Semakin 

lumerlah nyali orang orang ini. Satu 

ketika tubuh Wiku Panulu berkelebat 

lenyap. Dan dalam pada itu dia berseru 

lantang.

"Tuyul-tuyul Pelalap Daun Muda! 

Agak nya engkau lebih suka mati 

ketimbang beri keterangan padaku! 

Kalau memang itulah yang kalian ingini 

maka jangan salahkan aku nantinya...!"


Datuk Kwalat dan Datuk Kwali sembari 

mengirimkan pukulan-pukulan gencar

langsung menyela: 

"Wiku Panulu! Sekalipun engkau 

manusia dewa, tidak nantinya kami mau 

kasih keterangan padamu...!" tukas 

Datuk Kwali. Mendengar jawaban seperti 

itu, Wiku panulu menggembor macam 

banteng terluka, kemudian tubuhnya 

melesat ke udara dan langsung 

berputar-putar di atas kepala lawan-

lawannya. Kedua Datuk dari Pulau Putri 

ini pun nampak semakin gugup dan 

kebingungan. Saking geramnya mereka 

ini karena merasa dipermainkan lawan. 

Manusia tuyul berjenggot putih ini

pun, segera berteriak-te-riak: "Wiku 

Panulu... manusia pengecut 

Nampakkanlah dirimu, kami paling benci 

menghadapi manusia sepengecut engkau!" 

Masih berkelebat-kelebat, Wiku Panulu 

tertawa ganda!

"Golok di tanganmu itu hanya 

lebih pantas untuk menggorok leher 

kalian sendiri...!" kata Wiku Panulu 

mencemooh. Kemudian dengan sekali saja 

dia gerakkan tongkatnya. Datuk Kwali, 

yaitu orang yang berada paling dekat 

dengannya. Nampak menjerit-jerit 

sambil menakap bagian perutnya yang


terburai isi dalamnya. Kiranya di luar 

sepengetahuan lawan-lawannya. Tongkat 

di tangan Wiku Panulu, pada bagian 

ujungnya bermata tajam yang sewaktu-

waktu dapat ditarik keluar masuk. 

Tubuh Datuk Kwali nampak berguling-

guling di atas rerumputan, berkelejat-

kelejat untuk kemudian diam untuk 

selama-lamanya. Menghadapi kenyataan 

seperti ini, Datuk Kwalat kedernya bu-

kan alang kepalang, wajahnya pucat 

pasi. Bibir bergerak-gerak, namun 

tiada satu pun kata yang terucap.

Semua itu kiranya tak terlepas 

dari perhatian Wiku Panulu. Kakek ini 

berharap dengan kematian Datuk Kwali 

semoga Datuk Kwalat mau memberi 

keterangan padanya tentang Awang 

Taruna. Mengingat sampai ke situ, Wiku 

Panulu dari Sampuran Harimau ini pun 

berkata: "Manusia yang menamakan 

dirinya Kwalat! Cepat katakan di mana 

adanya muridku itu...?"

"Aku tak tahu kakek peot." jawab 

Datuk Kwalat tak kalah sengitnya. ,

"Rupanya engkau ingin nasibmu 

seperti kembratmu itu, tuyul 

busuk...?!" bentak Wiku Panulu semakin 

bertambah gusar saja.


Tiba-tiba, dalam ketakutannya itu 

Datuk Kwalat malah tertawa terbahak-

bahak. Begitu sinis matanya memandangi 

Wiku Panulu yang dulunya juga pernah 

mempecundanginya.

"Wiku Panulu manusia sial! Bagiku 

lebih baik mati daripada harus 

berkhianat pada kawan sendiri. Satu 

saja yang harus kau tahu, bahwa 

setelah kematian emaknya muridmu yang 

berilmu sangat tinggi itu kini sudah 

menjadi tak waras, dia sudah gila. 

Sayang sekali Wiku... engkau merupakan 

seorang dedengkot yang sangat sakti, 

akan tetapi murid edan malah kau 

urus...!" kata Datuk Kwalat dengan 

sesungging senyum penuh kemenangan. 

Wiku Panulu bagai mendengar petir di 

siang bolong, nampak sangat terkejut 

sekali. Bahkan dia hampir-hampir tak 

percaya dengan apa yang di katakan 

oleh Datuk dari Pulau Putri ini. 

Wajahnya yang sudah keriput itu nampak 

memerah karena menahan amarah 

bercampur malu. tiba-tiba dia 

membentak gusar.

"Tuyul bungkuk punggung unta.. 

jangan kau coba-coba mengelabuhiku. 

Tak mungkin muridku itu secara tiba-

tiba berubah menjadi gila...." tukas



Wiku Panulu dengan hati bagai 

terhempas.

"Huh! Aku tak perduli engkau mau 

percaya atau tidak. Bukankah sejak 

awal tadi telah kukatakan...."

"Kurang ajar! Rupanya engkau 

benar-benar hendak mempermainkan aku, 

tuyul bungkuk...?"

"He... he... he...! Kau boleh tak 

usah percaya padaku Wiku dungu. Akan 

tetapi begitulah kenyataan yang kau 

lihat. Dunia persilatan pasti akan 

mentertawaimu, seorang tokoh sakti 

tapi mempunyai murid yang tidak 

waras.!" Mendengar ucapan Datuk Kwalat 

yang bernada mencemooh itu nampak 

terdiam, hatinya sangat sedih. 

Terpukul bukan karena kabar yang dia 

terima itu, tapi demi teringat bahwa 

cucunya itu sejak kecil belum pernah 

merasakan hidup senang. Sebagai 

eyangnya sejak Awang Taruna dilahirkan 

sampai berumur lima belas tahun dia 

sangat mengacuhkan cucunya ini. Sebab 

selama itu dia beranggapan bahwa Awang 

Taruna bukanlah titisan Bayu 

Siliwangi. Seperti diketahui sebelum 

menikah dengan putranya. Mantunya yang 

juga merupakan muridnya yaitu Pujita 

Sari sempat terlibat percintaan dengan


beberapa pemuda. Sungguh pun akhirnya 

dia menyesali tindakannya yang telah 

menjodohkan Pujita Sari dengan anaknya 

boleh dibilang secara paksa. Akan 

tetapi sejauh itu dia masih belum da-

pat mengakui kalau Awang Taruna 

merupakan anak dari hubungan yang syah 

antara Bayu Siliwangi dan Pujita Sari. 

Lama setelah mengasingkan diri, 

barulah Wiku Panulu menyadari kalau 

semua yang telah dilakukannya kiranya 

merupakan kepicikan dirinya yang sudah 

tua bangka. Setelah menyadari akan 

semua kesalahannya dia langsung 

mendidik cucunya dengan berbagai ilmu 

kanuragan. Baru empat tahun dia 

berusaha menebus segala kesalahannya. 

Akan tetapi kini...! Awang Taruna 

sesungguhnya merupakan tanggung 

jawabnya sejak kematian Bayu 

Siliwangi. Yaitu ayah kandung pemuda 

itu, kini ketika kesilapan itu belum 

tertembus seluruhnya, tiba-tiba 

malapetaka telah menimpa ibunya. Lebih 

dari itu, sekarang cucunya malah sakit 

ingatan. Tanpa sadar, dua butir air 

mata menggelinding menuruni pipi Wiku 

Panulu yang sudah keriputan di sana 

sini. Melihat kenyataan itu, Datuk 

Kwalat kembali tergelak-gelak. Ke


mudian dengan nada mengejek dia 

berkata: 

"Puh! Sungguh tak pernah 

kusangka, kalau seorang tokoh 

persilatan yang namanya kesohor di 

mana-mana kiranya hanyalah merupakan 

seorang yang sangat cengeng dan rapuh. 

Berita ini akan kusebar di mana-mana, 

agar semua orang tahu macam apa 

kiranya tokoh yang namanya pernah 

menggegerkan dunia persilatan itu...!" 

Wiku Panulu merah parasnya, panas 

hatinya. Kedua bibir terkatup rapat, 

rahang mengeluarkan bunyi 

bergemeletukan. Sementara kedua 

matanya menatap tajam pada Datuk 

Kwalat dari Pulau Putri ini. Kemudian 

Wiku Panulu tertawa mengekeh. Akah 

tetapi dari suara tawanya yang 

terdengar sumbang itu siapapun dapat 

menduga bahwa kakek keriputan ini 

sesungguhnya sedang berusaha meredam 

kepedihan jiwanya. Lalu ketika begitu 

dia menghentikan tawanya, tiba-tiba 

saja dia membentak garang.

"Datuk Kwalat! Sebelum 

kesombonganmu itu melampaui batas, 

sebelum mulutmu yang kotor itu 

menyebarkan bau busuk di mana-mana.


Semuanya akan kuselesaikan hari ini 

juga...!"

"He... he... he...! Engkau kira 

akan semudah itu...?" kata Datuk 

Kwalat mencibir.

"Hak, Ingin kulihat sampai di 

mana kesetiaanmu terhadap orang-orang 

segolonganmu...." menyela Wiku Panulu 

dengan nada penuh ancaman. Menciut 

juga nyali Datuk Kwalat mendengar 

ancaman tokoh dari Lembah Sampuran 

Harimau itu.

"Jangan coba-coba menggertakku, 

sobat tua... aku tak akan takut! 

Karena aku merasa tak punya salah 

denganmu...!"

"Engkau memang tak punya salah 

manusia tuyul punggung unta! Akan 

tetapi gara-gara kembrat-kembratmulah 

maka cucuku sampai mengalami kejadian 

seperti itu!

"Kalau begitu aku akan mengadu 

jiwa denganmu! Hiat...!" Datuk Kwalat 

memburu dan langsung membabatkan 

goloknya mengarah pada kepala Wiku 

Panulu. Kakek peot ini adalah seorang 

tokoh sakti yang mempunyai banyak 

pengalaman, meskipun golok di tangan 

lawannya hampir mencapai batok 

kepalanya, dia masih kelihatan tenang


tenang saja. Kemudian dengan sedikit 

berkelit, golok di tangan lawan 

mencapai tempat yang kosong, 

sebaliknya dia malah memberi satu 

sodokan pada bagian yang rawan.

"Plok!" Datuk Kwalat berteriak 

kesakitan, dia berjingkrak-jingkrak 

bagai seekor anjing yang sedang 

kencing. Datuk ini merasakan perutnya 

mules luar biasa, tak heran karena 

Wiku Panulu telah memukul bagian yang 

sangat dikeramatkan. Datuk dari Pulau 

Putri inipun memaki panjang pendek, 

dia berubah menjadi semakin beringas.

"Kurang ajar! Tua bangka tak tahu 

adat, engkau benar-benar telah 

menghinaku." maki Datuk Kwalat dengan 

mata melotot bagai hendak melompat ke 

luar. Wiku Panulu tertawa rawan!

"Apanya yang kurang ajar! 

Bukankah tadi engkau menyerangku... 

kini engkau malah memakiku kurang 

ajar...!"

"Kau telah memukul anuku... 

manusia iblis...!"

"Wah! sial betul. Maling malah 

berteriak maling...." Belum lagi usai 

kata-katanya, mendadak Wiku Panulu 

lambaikan tangannya ke depan. Satu 

rangkaian gelombang sinar kuning ke


biru-biruan meluncur deras ke arah 

Datuk Kwalat. Tentu saja Datuk Kwalat 

yang sudah merasakan bagaimana 

hebatnya pukulan tersebut tidak 

tinggal diam. Secepat kilat dia 

mengelak, tubuhnya berjumpalitan 

ketika angin pukulan yang berhawa 

sangat dingin itu hampir melanda 

dirinya.

Akan tetapi, Wiku Panulu tidak 

berhenti sampai di situ saja! Begitu 

pukulan pertama yang dilancarkannya 

luput, menyusul pula pukulan kedua, 

ketiga dan seterusnya. Tentu saja, 

walaupun Datuk Kwalat memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang sudah sangat 

sempurna, sangat mustahil mengelak dan 

berlompatan secara terus-menerus. 

Begitupun pukulan demi pukulan terus 

dia elakkan. Hingga tak begitu lama 

kemudian gerakannya mulai lamban. 

Akhirnya:

"Blammm!" Tanpa sempat menjerit 

atau melolong, tubuh Datuk Kwalat 

terpelanting roboh dan tewas seketika 

itu juga. Wiku Panulu menarik nafas 

pendek. Sekejap dia memandangi mayat 

Datuk Kwali dan Datuk Kwalat silih 

berganti. Tak lama setelahnya seperti 

tidak pernah ada kejadian apapun kakek

penghuni Lembah Sampuran Harimau 

itupun segera berlalu dari tempat itu.

***

SEBELAS



Panas matahari yang terasa begitu 

teriknya tidak sedikitpun mengurangi 

semangat Pendekar Hina Kelana untuk 

melanjutkan niatnya mencari tempat 

kediaman Giri Sora, yaitu Ketua 

Perkumpulan Kumbang Kencana. Peluh 

sudah mulai bercucuran membasahi 

sekujur tubuh pemuda itu, rasa penat 

sudah tidak dia hiraukan lagi. 

Sementara tubuh Awang Taruna yang baru 

saja ditolongnya nampak bergelantungan 

di atas bahu kirinya. Sampai saat itu 

pemuda yang sedang mengalami gangguan 

jiwa itu masih belum juga sadarkan 

diri. Seperti diketahui, Awang Taruna 

melarikan diri karena rasa takutnya. 

Ketika mendengar jeritan Ilmu 

Pemenggal Roh. Buang Sengketa tidak 

berhasil memanggil pemuda sakit jiwa 

ini. Akan tetapi setelah dia berhasil 

membunuh Datuk Dugal dan Datuk Senu


dan setelah pula menguburkan mayat 

Pujita Sari yang sudah membusuk itu 

Pendekar dari Negeri Bunian ini segera 

mengejar ke arah larinya Awang Taruna. 

Dia berpendapat walau bagaimanapun 

pemuda sakit ingatan itu jelas-jelas 

memerlukan pertolongannya. Seperti 

yang dia ketahui, Awang Taruna telah 

terkena bokongan jarum beracun milik 

Bidadari Tangan Maut, yang secara 

cepat atau lambat sudah barang tentu 

akan mengancam keselamatan jiwanya.

Mengingat sampai ke situ, 

pendekar penegak keadilan ini pun 

segera menyusul Awang Taruna yang 

telah merad terlebih dahulu. Dengan 

menggunakan ajian Sapu Angin hanya 

dalam waktu sepeminum teh, pemuda 

sakit ingatan inipun sudah tersusul. 

Akan tetapi pemuda edan itu justru ma-

lah lari tunggang langgang begitu 

melihat kehadiran Buang Sengketa. 

Agaknya pengaruh racun yang sudah 

menjalar ke mana-mana. Tak lama 

kemudian pemuda ini pun tersungkur dan 

tak sadarkan diri. Demi mengetahui 

keadaan Awang Taruna yang sudah 

teramat parah, cepat-cepat Pendekar 

Hina Kelana mengeluarkan jarum beracun 

yang mengeram di tubuh pemuda itu.


Kemudian segera memberikan pertolongan 

seperlunya. Begitu keadaan gawat itu 

berlalu, kiranya Awang Taruna masih 

belum sadar dari pingsannya, hingga 

akhirnya dia memutuskan untuk mencari 

tempat kediaman Giri Sora. Si manusia 

durjana yang menjadi penyebab 

malapetaka.

Demikianlah tanpa menghiraukan 

rasa letih yang luar biasa, Pendekar 

Hina kelana terus berlari-lari kecil 

menelusuri rimba yang sepi. Satu saat 

dia melihat kepulan asap bergulung-

gulung yang berasal dari dataran

rendah yang tidak begitu jauh lagi 

jaraknya dari tempat dia berdiri. 

Pemuda ini menghentikan langkah, 

beberapa saat lamanya dia memandang ke 

arah kepulan asap tersebut. Lalu dia 

bergumam seorang diri: "Hemm! Kepulan 

asap, mungkin daerah inilah yang 

disebut-sebut sebagai daerah Seribu 

Bangkai. Kalau begitu kepulan asap itu 

berasal dari tempat kediaman Giri Sora 

dan kembrat-kembratnya! Bukan tak 

mungkin Bidadari Tangan Maut telah 

sampai di sana pula." Berfikir sampai 

di situ, Pendekar Hina Kelana sudah 

bermaksud untuk meneruskan 

perjalanannya kembali ketika secara


tiba-tiba terdengar suara bentakan dia 

belakangnya: 

"Berhenti...!" Mau tak mau Buang 

Sengketa mengurungkan niatnya, ke-

mudian secara sepontan menoleh ke 

belakang. Tahu-tahu seorang kakek 

bertongkat kayu cendana telah berdiri 

di belakangnya. Maka sadarlah pendekar 

ini, bahwa siapapun adanya kakek tua 

yang berdiri di belakangnya. Yang 

jelas dia merupakan tokoh yang 

memiliki kepandaian yang sangat ting-

gi. Beberapa saat lamanya Buang 

Sengketa nampak meneliti si kakek 

renta ini, begitu juga sebaliknya. 

Dari cara kakek itu memandang maka 

tahulah dia bahwa orang tua yang kini 

telah berdiri di hadapannya, 

sesungguhnya orang yang berasal dari 

golongan lurus, untuk itu dia berkata 

sopan.

"Ada keperluan apakah, hingga 

anda menghentikan langkahku, orang 

tua...?"

"Aku ingin bertanya sesuatu 

padamu...!" ujar si kakek yang tak 

lain adalah Wiku Panulu.

"Apa yang ingin kau tanyakan? 

Katakan saja, waktuku tidak


banyak...." kata Buang Sengketa tidak 

sabar.

"Baiklah... baiklah. Pernahkah 

engkau pergi ke desa Tongging...?" 

tanya Wiku Panulu menyelidiki. Pemuda 

itu gelengkan kepala. Dalam hati dia 

mulai curiga jangan-jangan kakek tua 

ini juga ingin memiliki Pedang Pusaka 

Penebus Dendam.

"Aku tak pernah ke sana...." 

jawab Pendekar Hina Kelana mantap.

"Cobalah berkata jujur, orang 

muda...!" sela Wiku Panulu.

"Aku sudah mengatakan yang 

sebenarnya...!" kata pemuda ini agak 

tersinggung dengan ucapan kakek ini. 

Wiku Panulu menarik nafas pendek, dari 

sinar matanya yang meredup, tahulah 

pendekar ini bahwa sesungguhnya kakek 

ini sedang dilanda kesedihan.

"Kalau begitu ke manakah perginya 

cucuku...." ucap Wiku Panulu seperti 

pada dirinya sendiri. Sedikit 

banyaknya Buang Sengketa pada akhirnya 

merasa lega, karena apa yang dia 

takutkan sesungguhnya tidak beralasan.

"Apakah cucumu bernama Awang 

Taruna...?" tanya Pendekar Hina 

Kelana, tanpa ragu-ragu lagi. Mata 

Wiku Panulu yang meredup itu, kini


agak membuka sedikit, dia agak 

terkejut dengan pengakuan pemuda ini. 

Lantas timbullah kecurigaannya tentang 

seseorang yang berada di bahu kiri pe-

muda ini. Meskipun begitu dia tidak 

ingin bertindak gegabah. Dia menyadari 

bahwa pemuda yang belum dikenalnya itu 

memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi.

"Engkau kenal dengan cucuku 

itu...?"

"Aku kenal seseorang yang 

memiliki nama itu. Akan tetapi orang 

itu mempunyai sakit ingatan. Aku 

kurang yakin kalau pemuda sakit jiwa 

itu cucumu. Apakah cucumu seperti yang 

kesebutkan tadi...?" Wiku Panulu 

gelengkan kepala. Dalam hati dia mulai 

percaya dengan apa yang dikatakan oleh 

Datuk Sesat dari Pulau Putri. Cucunya 

sakit ingatan! Teringat sampai di 

situ, tiba-tiba saja dia berkata 

lirih, 

"Orang muda. Sungguhpun cucuku 

saat meninggalkanku tidak sakit 

seperti yang kau katakan tadi, tetapi 

di dunia ini segalanya serba mungkin 

terjadi bukan...?" ujar Wiku Panulu 

bagai minta pendapat. Tanpa menjawab, 

pemuda ini hanya mengangguk pelan.



"Coba engkau katakan padaku, di 

mana adanya cucuku itu...!" kata Wiku 

Panulu penuh harap.

"Dia selalu dekat dariku...!" 

ujar Pendekar Hina Kelana konyol. Wiku 

Panulu memandang berkeliling, matanya 

mencari-cari, tak seorang pun berada 

di sekitar tempat itu.

"Bocah! engkau jangan coba-coba 

mempermainkan aku... dimana dia...?" 

tanya Wiku Panulu gusar.

"Dia di sini. Di pundakku 

ini...!" jawab Pendekar Hina Kelana 

sembari menunjuk bahu kirinya. Wiku 

Panulu nampak terperangah, dalam hati 

dia bertanya-tanya. Apakah gerangan 

yang telah terjadi, sehingga cucunya 

sampai dalam keadaan tidak sadar 

sedemikian rupa?

"Bocah, engkau apakan dia...?" 

tanya Wiku Panulu. Buang Sengketa, 

tanpa menghiraukan ucapan Wiku Panulu 

segera menurunkan tubuh Awang Taruna 

yang masih belum juga sadarkan diri. 

Kemudian tanpa diminta dia segera 

berucap.

"Dia terkena serangan jarum 

beracun milik Bidadari Tangan Maut, 

tapi aku sudah mengeluarkannya...!" 

ujar pemuda itu masih dalam keadaan


berjongkok di sisi Awang Taruna. Wiku 

Panulu langsung menghampiri Awang 

Taruna yang masih tergeletak tanpa 

daya. Kemudian dia segera memeriksa di 

sana sini. Denyut nadinya masih ada. 

Sebagai orang yang berpengalaman dia 

tahu, bahwa kiranya pemuda di 

hadapannya itu telah menyelamatkan 

jiwa cucunya.

"Dia memerlukan perawatan lebih 

lanjut kakek...!"

"Namaku Wiku Panulu, manusia 

tiada guna...!" ujar kakek penghuni 

Lembah Sampuran Harimau itu merendah.

"Ah! Engkau terlalu merendah 

Wiku. Berbagai golongan persilatan 

semuanya mengenalmu...." Tiba-tiba 

Wiku Panulu menoleh dan langsung 

memandangi si pemuda. Dia tampak 

meneliti dari ujung rambut hingga ke 

ujung kaki. Priuk besar, rambut 

dikuncir. Tak salah lagi, dia pernah 

melihat pemuda super sakti ini di 

dalam ramalannya. Tiba-tiba dia 

tersentak, terkejut luar biasa.

"Ah... ah...! Sungguh mataku yang 

sudah lamur ini tak tahu adat. Tidak 

becus me-mandang betapa tingginya 

gunung yang tegak di depan mata. 

Keterlaluan... sungguh sangat


keterlaluan...! Bukankah engkau ini 

Pendekar Hina Kelana, tokoh muda dari 

Pantai Karang Tanjung Api...!" ujar 

Wiku Panulu tertegun-tegun. Buang 

Sengketa tersenyum ramah. Kemudian dia 

berucap: 

"Mungkin Wiku salah lihat." Wiku 

Panulu mengekeh, kemudian langsung 

menjawab, 

"Tidak! Hanya mataku yang lamur 

tapi batinku tidak. Engkaulah tokoh 

muda yang memiliki kesaktian luar 

biasa! Sungguh aku yang sudah mau 

masuk liang kubur ini sangat beruntung 

bahwa hari ini aku bertemu dengan 

seorang pendekar penegak keadilan...!"

"Wah... engkau ngoco! Bertemu pun 

baru kali ini bagaimana mungkin engkau 

bisa mengenalku...?" ujar Buang 

Sengketa mengelak. Lagi-lagi Wiku 

Panulu mengekeh!

"Engkau tak mungkin berbohong 

pada ku! Periuk itu, wajahmu, juga 

pakaianmu yang dekil mirip manusia 

hina. He... he... he...! Siapa lagi 

yang punya tampang sepertimu, kalau

bukan si Hina Kelana...! Masihkah 

engkau hendak mungkir...?" Kejut pen-

dekar ini bukan alang kepalang. Kakek 

tua dengan tongkat kayu cendana,


bertemupun baru sekali ini, tetapi 

mengapa bisa tahu tentang dirinya 

sampai sejauh itu? Batinnya. Dan 

agaknya Wiku Panulu mengetahui apa 

yang sedang difikirkan oleh pemuda 

ini. Maka diapun langsung menyela: 

"Pendekar muda.,.."

"Wiku jangan menyebut-nyebutku 

pendekar! Panggil saja Kelana...!" 

protes pemuda itu.

"Ah... ah... kiranya selain 

memiliki ilmu kepandaian tinggi, 

kiranya engkau orang yang 

berkepribadian tinggi pula. Tentu 

gurumu orang yang sangat bijaksana. 

Tapi baiklah Kelana... aku akan 

berterus terang padamu, bahwa 

sesungguhnya aku punya sedikit 

kepandaian dalam meramal apa saja. 

Untuk itu walaupun sesungguhnya engkau 

belum pernah bertemu denganku akan 

tetapi jauh sebelumnya aku pernah 

melihat kehadiranmu." kata Wiku Panulu 

yang panjang lebar.

"Hmm! Kiranya engkau merupakan 

seorang tokoh yang punya banyak 

keahlian!" gumam pendekar ini.

"Ya... tapi kepandaian picisan. 

Ee... bagaimana engkau bisa bertemu


dengan cucuku ini...?" tanya Wiku 

Panulu mengalihkan pembicaraan.

Kemudian secara singkat Pendekar 

Hina Kelana menceritakan kejadian yang 

sesungguhnya. Sampai kemudian dia 

bertemu dengan Wiku Panulu. Mendengar 

penjelasan pendekar Hina Kelana, Wiku 

Panulu nampak menarik nafas pendek, 

lalu dia mendesah.

"Lagi-lagi pedang inilah yang 

menjadi penyebab timbulnya malapetaka, 

ratusan tahun yang lalu pun satu 

perguruan saling bunuh hanya karena 

Pusaka Penebus Dendam ini, dan 

sekarang malapetaka itu terjadi karena 

sebab yang sama...!" ujar Wiku Panulu 

dengan wajah tertunduk sedih.

"Agaknya pedang ini diciptakan 

hanya untuk membalas dendam, Wiku...!"

"Mungkin juga! Tapi sudahlah, aku 

sudah punya rencana tersendiri untuk 

memusnahkan pusaka malapetaka ini 

nantinya. Oh ya... jadi engkau benar-

benar hendak melanjutkan niatmu untuk 

mengobrak-abrik sarangnya Kumbang 

Kencana?"

"Ya! Aku harus menggantung Giri 

Sora, atau bahkan memenggal kepalanya 

atas kematian sekian banyak orang


orang desa Tongging...!" jawab pemuda 

ini mantap.

"Kalau begitu aku harus ikut. 

Giri Sora harus bertanggung jawab atas 

kematian Pujita Sari mantuku...!"

"Kalau engkau sudah berniat 

begitu, aku tidak bisa mencegah Wiku. 

Mari kita berangkat." Usai berkata 

begitu, Pendekar Hina Kelana kembali 

memanggul tubuh Awang Taruna kemudian 

dalam waktu sekejap saja kedua orang 

inipun berkelebat pergi. Karena jarak 

yang mareka tempuh tidaklah begitu 

jauh benar, maka dalam waktu sekejap 

mereka telah sampai di tempat kediaman

Giri Sora. Setelah menyembunyikan 

Awang Taruna di tempat yang aman, maka 

kedua orang ini langsung mendekati 

tempat tinggalnya Giri Sora. Dari 

tempat yang agak terlindung mereka 

dengan jelas dapat melihat kesibukan 

yang luar biasa.

"Agaknya Giri Sora sedang 

mengadakan pesta besar-besaran, 

Wiku...!" kata pendekar Hina kelana 

hampir-hampir tak terdengar.

"Satu pesta kematian yang 

sebentar lagi akan kita mulai...!" 

jawab Wiku Panulu begitu dingin.


"Lihat! Penjaga-penjaga itu, kita 

harus melumpuhkan mereka terlebih 

dulu."

"Menurut perkiraanku mereka tidak 

lebih dari empat puluh orang. Itupun 

seperti yang aku dengar...!" kata Wiku 

Panulu menimpali.

"Sepuluh di antaranya sudah pada 

kojor di tanganku...!" menyela Buang 

Sengketa tanpa suatu maksud. Wiku 

Panulu memandang pada pemuda ini untuk 

beberapa saat lamanya.

"Engkau benar-benar hebat...!" 

kata Wiku Panulu memuji.

"Jangan menyanjungku setinggi 

langit. Bisa-bisa aku tersungkur ke 

dalam parit...."

"Engkau ini memang manusia lucu. 

Tapi aku senang pada sifat-sifat yang 

rendah hati...!" Tanpa menghiraukan 

ucapan Wiku Panulu, Pendekar Hina 

Kelana berseru, 

"Wiku... cepat kita bereskan enam 

orang penjaga di luar itu. Setelah itu 

kita langsung menyerbut ke dalam! Aku 

yakin Bidadari Tangan Maut juga ada di 

sana...!"

"Membereskan tikus dapur apa 

sulitnya!" Bersamaan dengan ucapannya 

itu, Wiku Panulu merogoh kantong


jubahnya, kemudian laksana kilat, 

tangannya berkelebat.

"Wut!"

Enam larik benda berwarna putih 

bersih meluruk cepat mengarah pada 

bagian yang sangat mematikan tubuh 

penjaga itu. Agaknya mereka tidak 

menyadari adanya bahaya maut yang 

mengintai keselamatan jiwa mereka. 

Tanpa satu rintangan apapun, benda-

benda ini melabrak tubuh penjaga-

penjaga itu.

"Jeb!"

Secara bersamaan suara seperti 

itu terdengar enam kali berturut-

turut. Tanpa mampu mengeluarkan 

jeritan apapun, tubuh mereka 

berjatuhan bagai sebatang pohon yang 

ditebang secara serampangan. Tubuh-

tubuh yang malang itu nampak 

berkelojotan untuk beberapa saat 

lamanya. Darah meleleh dari bagian 

leher yang terkena sambitan senjata 

rahasia yang berupa tulang ular Cobra 

itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga-

penjaga itupun diam tiada berkutik, 

nyawa melayang dengan tubuh membiru.

Kiranya semua kejadian itu sempat 

menimbulkan kecurigaan pada orang-

orang yang berada di dalam rumah yang

mirip sebuah istana itu. Terbukti 

hanya beberapa saat setelahnya, tampak 

beberapa orang ke-luar dan sangat 

terperanjat melihat kenyataan yang 

terjadi.

* * *

DUA BELAS



Maka gegerlah orang-orang 

perkumpulan Kumbang Kencana dibuatnya.

Kecut bercampur marah, semuanya 

berbaur menjadi satu. Kemudian salah 

seorang di antara mereka berteriak 

lantang.

"Cepat beritahu ketua...!" 

perintahnya. Tiga orang di antara 

mereka segera bergegas pergi, tak lama 

kemudian telah kembali lagi bersama 

seorang laki-laki berbadan kurus 

sedangkan di sisi kirinya menyertai 

seorang perempuan yang sudah sangat 

dikenal oleh Pendekar Hina Kelana. 

Siapa lagi kalau bukan Bidadari Tangan


Maut. Di tempat persembunyiannya, 

Buang Sengketa berbisik pada Wiku 

Panulu.

"Wiku! Perempuan itulah yang 

telah menciderai cucumu...!" jelasnya. 

Wiku Panulu manggut-manggut kayak 

burung platuk.

"Aku pernah mengenalnya, dan 

kalau engkau ingin tahu bagaimana 

tampangnya kunyuk Giri Sora, ya itu... 

yang tinggi kurus itu...!" sela Wiku 

Panulu.

"Apakah kita perlu turun tangan 

sekarang juga?" tanya Pendekar Hina 

Kelana sudah semakin tak sabaran.

"Sabar dulu! Aku ingin tahu apa 

yang akan dilakukan oleh si Giri Sora 

dan betina itu...!" jawab Wiku Panulu, 

tanpa mengalihkan perhatiannya pada 

orang-orang Kumbang Kencana yang 

sedang menggotong mayat-mayat 

kawannya.

Dalam pada itu, Giri Sora sangat 

marah sekali demi melihat kematian 

anak buahnya yang sampai sebanyak itu. 

Dalam hati, siapapun adanya orang yang 

telah menyambitkan senjata rahasianya. 

Sudah dapat diduga setidak-tidaknya 

orang itu berkepandaian tinggi. Dalam


kemarahannya itu dia berteriak 

lantang: 

"Bangsat pengecut! Kalian benar-

benar mencari penyakit, bagitu berani 

menyantroni sarang macan! Keluar dari 

tempat persembunyian atau aku harus 

me-maksanya...!" Tiada reaksi. Di 

tempat persembunyiannya Pendekar Hina 

Kelana dan Wiku Panulu saling pandang. 

Kembali terdengar suara bentakan.

"Bangsat rendah. Agaknya kalian 

sebangsanya tikus pengecut...!" Untuk 

sesaat lamanya kembali hening. Namun 

hal itu tidak berlangsung lama, sebab 

dengan disertai lengkingan Ilmu 

Pemenggal Roh yang terkenal sangat 

dahsyat itu pendekar Hina Kelana kini 

tertawa ganda.

"Huaa... ha... ha...! Giri Sora 

macan ompong, hari ini engkau kiranya 

telah membuat pesta kematianmu 

sendiri. Kematian banyak warga desa, 

memang sudah selayaknya engkau tebus. 

Dosa-dosamu sudah kelewat 

bertimbun...!" Bukan main 

terperanjatnya Ketua Perkumpulan 

Kumbang Kencana ini dibuatnya. Dia 

melihat beberapa anggotanya roboh 

seketika itu juga, kuping mereka 

mengalirkan darah. Bahkan dia sendiri


sampai-sampai tergetar hebat, 

begitupun Bidadari Tangan Maut. 

Meskipun dua orang ini telah menutup 

indra pendengaran mereka, akan tetapi 

suara lengkingan tawa Pendekar Hina 

Kelana masih berpengaruh banyak, 

bahkan terasa menggetarkan jantung dan 

membuat dada terasa sakit.

Dalam pada itu, dua sosok tubuh 

melesat cepat ke arah Giri Sora dan 

Bidadari Tangan Maut. Tanpa timbulkan 

suara, tahu-tahu Pendekar Hina Kelana 

telah menjejakkan kakinya persis di 

depan Ketua Perkumpulan Kumbang

Kencana. Giri Sora semakin bertambah 

terkejut, karena di samping pemuda

yang belum dikenalnya itu, hadir pula 

Wiku Panulu. Yaitu majikan Lembah 

Sampuran Harimau yang selama ini 

merupakan orang yang sangat 

dibencinya. Pucat wajah Bidadari 

Tangan Maut begitu melihat kehadiran 

pendekar ini, nyalinya menjadi ciut. 

Menghadapi Wiku Panulu saja, mereka 

beramai-ramai belum tentu bisa menang, 

apalagi dengan hadirnya pendekar Hina 

Kelana yang sudah dia ketahui akan 

kehebatannya. Tanpa sadar perempuan 

budak nafsu inipun mengeluh dalam 

hati. Sementara itu dengan kemarahan


yang meluap-luap Giri Sora berseru 

lantang.

"Wiku Panulu! Kesalahan lama saja 

belum engkau tebus, kini engkau 

membuat kesalahan baru pula...."

"Manusia setan. Jangan berdalih, 

engkau kira, kau dapat menyelamatkan 

diri setelah membunuh Pujita Sari dan 

berusaha merampas Pusaka Penebus 

Dendam?" sentak Wiku Panulu sangat 

geramnya. Sebaliknya Giri Sora 

tergelak-gelak!

"Betina seperti Pujita Sari itu 

memang sudah selayaknya mampus! Tiada 

guna, engkau perduli apa...!"

"Wiku! Mengapa harus berbantahan 

dengan macan ompong ini. Kita babat 

saja lehernya hingga mampus...!" kata 

Pendekar Hina Kelana hilang 

kesabarannya.

"Tidak semudah itu manusia 

sombong!" Berkata begitu dia menoleh 

pada orang-orang yang berada di 

sekitarnya. Mereka ini jumlahnya hanya 

tinggal lima belas orang saja. Tak 

berapa lama kemudian dia menyambung: 

"Anak-anak, ringkus dua ekor kunyuk 

ini...!" perintah Giri Sora pada anak 

buahnya. Mendapat perintah dari 

atasan-nya, kelima belas orang inipun


serentak maju, dan langsung mengurung 

mereka. Melihat pemandangan seperti 

itu, Buang Sengketa tersenyum sinis.

"Giri Sora manusia keparat! 

Mengapa hanya lima belas orang saja, 

majulah engkau dan betina setan itu! 

Memerintah orang-orangmu mereka hanya 

mati sia-sia...!" kata Pendekar Hina 

Kelana rawan.

"Puih! Manusia sombong. Engkau 

tak bakalan menang menghadapi mereka!" 

bentak Giri Sora penuh percaya diri. 

Tanpa diketahui oleh lawan-lawannya, 

kiranya Buang Sengketa telah bersiap-

siap dengan ilmu Pemenggal Roh tingkat 

kedua. Agaknya Wiku Panulu sudah tahu 

apa yang akan dilakukan oleh kawannya 

ini, maka cepat-cepat dia tutup indra 

pendengarannya.

Demikianlah begitu anak buah Giri 

Sora meluruk dan menyerang mereka 

dengan senjata terhunus. Maka pada 

saat itu juga pendekar ini bertindak.

"Heeeiiiik! Ha... ha... ha...!" 

Bumi bergetar hebat, seakan-akan 

hendak runtuh, debu dan pasir 

beterbangan, begitu juga dengan daun-

daun yang masih hijau. Suara lengking 

dan tawa itu sambung menyambung tiada 

henti. Seakan bagai rentetan suara


halilintar, bergemuruh dan 

menghancurkan gendang-gendang telinga. 

Anak buah Giri Sora berpelantingan 

roboh, bahkan di antara mereka yang 

masih bertahan hidup, menjerit-jerit 

kesakitan. Mereka ini berlari ke 

segala arah, tak ubahnya mirip orang-

orang yang sedang mengalami gangguan 

jiwa. Sementara itu pendekar Hina 

Kelana masih belum juga menghentikan 

tawanya, anak buah Giri Sora yang 

hanya tinggal beberapa gelintir itupun 

tak mampu bertahan hidup, tubuh mereka 

satu demi satu ambruk ke bumi, darah 

mengalir dari berbagai tempat, pada 

bagian tubuh mereka. Giri Sora yang 

nampak berusaha memunahkan pengaruh 

ilmu yang sangat mengerikan itu, sam-

pai beberapa saat berikutnya masih 

belum dapat memusatkan fikirannya. 

Akan tetapi beberapa saat kemudian 

dengan mempergunakan ajian Iblis 

Menghalau Setan. Diapun keluarkan 

jeritan yang sama. Tubuh pendekar Hina 

Kelana dan Giri Sora saling bergetar 

hebat. Keringat dalam waktu sekejap 

saja sudah mulai berlelehan di pipi 

masing-masing lawannya. Baik Wiku 

Panulu maupun Bidadari Tangan Maut 

sama-sama tidak punya keberanian untuk


mengakhiri adu tenaga dalam tersebut. 

Bidadari Tangan Maut hanya mampu 

memandangi kawannya yang sedang adu 

jiwa itu dengan harap-harap cemas. 

Sementara Wiku Panulu yang sudah 

kenyang makan asam garam dunia 

persilatan nampak tersenyum-senyum. 

Dia cukup tahu, sesungguhnya dalam adu 

tenaga dalam ini, Giri Sora jauh 

beberapa tingkat di bawah pendekar 

Hina Kelana. Terbukti hanya dalam 

waktu beberapa saat kemudian kedua 

kaki Giri Sora mulai nampak amblas ke 

bumi. Sementara Buang Sengketa masih 

tetap dalam posisinya.

Agaknya Pendekar Hina Kelana 

sudah tak sabar lagi dengan keadaan 

seperti itu. Akhirnya dia memutuskan 

untuk mempergunakan sepertiga dari 

sisa tenaganya untuk memukul Giri Sora 

yang nampak semakin kewalahan saja. 

Pukulan Empat Anasir Kehidupan, 

pukulan inilah yang sekarang disiapkan 

oleh Pendekar Hina Kelana. Dalam pada 

itu, demi mengetahui kembratnya sudah 

nampak kewalahan, Bidadari Tangan 

Maut, dengan jarum-jarum beracunnya 

bermaksud membokong pendekar ini dari 

belakang. Masih untung semua itu tidak 

terle-as dari perhatian Wiku Panulu


yang merasa sangat takjub melihat 

kepandaian yang dimiliki oleh Buang 

Sengketa. Wiku Panulu secara cepat 

segera menghadang: "Mau ber-buat apa 

engkau perempuan Sundal...?" bentak 

kakek dari Lembah Sampuran Harimau itu 

sangat marah sekali.

"Hi... Hi... Hi...! Bagus kalau 

kau sudah mengetahui maksudku, aki 

dungu...!"

"Engkau memang harus cepat-cepat 

mampus, betina penumpuk dosa...!" 

Belum lagi Wiku Panulu selesai dengan 

kata-katanya, Bidadari Tangan Maut 

sudah kirimkan pukulan berantai yang 

diberi nama, Bidadari Menyergap 

Mangsa. Begitu cepat pukulan yang 

dilancarkan oleh perempuan itu. Lak-

sana kilat gelombang angin pukulan 

yang dilepas oleh Bidadri Tangan Maut, 

menerjang ke arah Wiku Panulu. Kakek 

tua ini terkekeh-kekeh.

"Pukulan Bidadari Menyergap 

Tikus” begini rupa, apa hebatnya...!" 

cibir Wiku Panulu sambil kibaskan 

tongkatnya. Pukulan tadi selain 

melenceng sebagian sebaliknya sebagian 

yang lain malah berbalik menggempur 

pemiliknya sendiri. Bidadari Tangan 

Maut mengelak tunggang langgang. Dia


memaki panjang pendek, sebaliknya Wiku 

Panulu malah tergelak-gelak.

Sementara itu Pendekar Hina 

Kelana yang sudah semakin tak sabaran 

dalam adu tenaga dalam itu, beberapa 

saat kemudian kiblatkan tangannya. 

Selarik sinar yang hampir-hampir tak 

terlihat oleh kasat mata, nampak 

melesat begitu cepat. Giri Sora yang 

masih dalam keadaan tertekan akibat 

bentrok tenaga dalam dengan lawannya. 

Tiada pernah menyangka, kalau dalam 

keadaan seperti itu lawan masih bisa 

kirimkan serangan lainnya. Ketua 

perkumpulan Kumbang Kencana ini 

menjadi gugup dan panik, tanpa kuasa 

menangkis atau mengelak, satu sapuan 

gelombang panas yang tiada terperikan 

langsung menghajar tubuhnya yang 

terbenam sebatas lutut.

"Braaak! Blaar!"

Tanpa ampun tubuh Giri Sora 

terpelanting delapan tombak, tangan 

kanannya patah, sedangkan dari celah 

bibir dan hidungnya mengalir darah 

kental kehitam-hitaman. Nyatalah bahwa 

Giri Sora mengalam luka dalam yang 

cukup hebat. Beberapa saat lamanya dia 

mengatur jalan darah, kemudian setelah 

menelan beberapa butir pil berwarna


kekuning-kuningan, wajah Ketua Per-

kumpulan Kumbang Kencana itupun 

kembali berubah kemerah-merahan. 

Anehnya seperti tidak pernah mengalami 

kejadian apa-apa orang ini bangkit 

kembali, kemudian mencabut sebilah 

keris yang sangat tipis dan pendek. 

Giri Sora mengeluarkan jerit histeris 

bagai banteng terluka. Serta merta 

laki-laki ini menyerang lawannya de-

ngan serangan-serangan ganas.

Pada saat itu, pertarungan antara 

Wiku Panulu dan Bidadari Tangan Maut 

sudah mencapai klimaknya. Bidadari 

Tangan Maut telah keluarkan segala 

kemampuannya baik dalam ilmu pukulan 

ataupun sambitan-sambitan jarum 

beracunnya. Sebaliknya Wiku Panulu 

yang memang sengaja memberi angin pada 

Bidadari Tangan Maut, sampai saat itu 

masih saja terkekeh. Sampai akhirnya 

dia membentak: "Perempuan sial! Cukup 

sudah kesempatan yang telah kuberikan 

untukmu. Sekarang tibalah giliranku."

"Sringr

Wiku Panulu kini telah melolos 

pedangnya. Pucatlah muka Bidadari 

Tangan Maut demi melihat pedang yang 

tergenggam di tangan Wiku Panulu,


Pedang Penebus Dendam, yang

menggemparkan itu.

"Bidadari Tangan Maut! Engkau 

merupakan korban terakhir, pedang 

pembawa celaka ini. Sebab setelah itu, 

pedang ini segera akan kuhancurkan! 

Sekarang bersiap-siaplah untuk 

menerima kematian!" Wiku Panulu 

berseru lantang.

"Ciaaat!"

Pedang di tangan Wiku Panulu 

langsung memburu, maka celakalah bagi 

Bidadari Tangan Maut. Karena Wiku 

Panulu, dalam bertidak sudah tidak 

kepalang tanggung. Kakek keriputan ini 

dalam menyerang langsung mempergunakan 

jurus pedang yang dahsyat. Dan diberi 

nama jurus Pedang Menipu Arah! 

Bidadari Tangan Maut seketika itu juga 

menjadi kelabakan.

Beberapa saat kemudian tubuh Wiku 

Panulu berkelebat sedemikian cepatnya, 

hingga beberapa gebrakan berikutnya, 

Bidadari Tangan Matu sudah terdesak 

hebat. Tanpa banyak membuang waktu, 

pedang di tangan Wiku Panulu 

berkelebat.

"Cras!"

Terdengar jerit melolong setinggi 

langit, leher Bidadari Tangan Maut


hampir putus terbabat pedang di tangan 

Wiku Panulu. Darah menyembur ke mana-

mana, tubuh perempuan itu nampak 

limbung, untuk kemudian ambruk 

bersimbah darah.

Semua itu sesungguhnya tak luput 

dari pandangan Giri Sora, yang pada 

saat yang sama sudah mulai jatuh di 

bawah angin. Keris pusaka di tangan 

ketua perkumpulan Kumbang Kencana 

tidak dapat berbuat banyak, untuk 

menghadapi sambaran-sambaran Golok 

Buntung di tangan lawannya. Bahkan 

tubuhnya kini sudah mulai menggigil 

akibat pengaruh senjata di tangan 

lawan. Sementara itu sinar merah yang 

dipancarkan oleh golok di tangan Buang 

Sengketa berkelebat-kelebat ke segala 

penjuru. Lalu saat golok dan keris itu 

saling berbenturau 

"Trang! Trang!"

Giri Sora kagetnya bukan alang 

kepalang demi mengetahui keris di 

tangannya menjadi patah beberapa 

bagian. Belum lagi hilang rasa 

kejutnya. Golok Buntung di tangan 

pendekar ini berkelebat mengarah ke 

bagian leher lawannya. 

"Craaat!"


Tiada lolong maupun rintih yang 

terdengar, kepala Giri Sora nyaris 

copot dari pangkal lehernya. Darah 

memuncrat bahkan sebagian sempat 

memercik ke wajah Pendekar Hina 

Kelana. Lalu tubuh laki-laki itu 

terhuyung-huyung, hingga pada akhirnya 

ambruk ke bumi tanpa mampu berkutik 

lagi. Tewaslah Ketua Perkumpulan Kum-

bang Kencana saat itu. Tak lama 

kemudian Pendekar Hina Pelana menoleh, 

tahu-tahu Wiku Panulu telah berdiri 

disitu dengan memanggul tubuh Awang 

Taruna yang masih belum sadar dari 

pingsannya.

"Beberapa hari lagi dia akan 

siuman Wiku! Semoga engkau dapat 

merawatnya dengan baik .!" kata Buang 

Sengketa menyarankan.

"Sudah tentu, karena dia murid 

sekaligus cucuku...!"

"Aku yakin dia akan segera 

sembuh!" ujar pendekar ini penuh 

keyakinan.

"Tentu saja! Oh ya, terima kasih 

atas segala bantuanmu orang gagah...!" 

Buang Scngketa hanya tersenyum saja 

demi mendengar ucapan Wiku Panulu.


"Engkau tak perlu berterima 

kasih, tolong menolong itu sudah 

selayaknya sebagai manusia...!"

"Hemm! Engkau pemuda yang berhati 

luhur! Akan tetapi sebelum berpisah, 

mau-kah engkau menyebutkan siapa 

gurumu...?" Tak ada jawaban, begitu 

kakek renta ini menoleh. Pendekar Hina 

Kelana sudah tak berada di sisinya. 

Kakek tua ini hanya geleng-gelengkan 

kepalanya, hingga akhirnya dia pun 

berkelebat pergi.


                           TAMAT




Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar