..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 11 Juli 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PEROMPAK PEROMPAK LAUT CINA

Perompak perompak Laut Cina

 

PEROMPAK-

PEROMPAK 

LAUT CINA

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor : Puji S

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode :

Perompak-Perompak Laut Cina

128 hal.


1


Laut Merah. Bentangan samudera yang 

membelah bagian daratan Asia dengan Afrika, 

mencerminkan kekuasaan Tuhan Pencipta Alam 

Semesta. Alunnya terkadang jinak memainkan 

ombak yang bergulung lunak. Namun, tak jarang 

menjadi liar, dengan gelombang-gelombang yang 

besar.

Dari muara Sungai Nil, sebuah kapal layar 

besar memasuki kawasan Laut Merah. Dari lam-

bang di bentangan layarnya yang menjulang, me-

nandakan kalau kapal ini bagian dari armada pe-

rang Cina. Dengan tulisan huruf Cina besar berla-

tar belakang lukisan seekor naga. Bentuknya be-

gitu gagah. Berukuran lebih dari lima belas kali 

lima puluh lima tombak. 

Warna kapal itu masih cerah. Namun bu-

kan berarti belum lama dibuat. Justru kapal itu 

adalah kapal berusia cukup tua, dan memiliki se-

jarah sendiri bagi kerajaan yang diperkukuhnya. 

Bisa jadi kendaraan perang samudera itu telah 

mengalami pemugaran.

Jangan heran kalau kapal armada Cina ini 

memulai pelayaran dari kawasan bagian daratan 

Afrika. Jawaban yang pasti, karena para penum-

pangnya baru saja menghadiri sebuah misi dari 

Ratu Mesir. Putri Ying Lien salah satu dari ketu-

runan penguasa Cina beserta panglima perang-

nya, menjadi pimpinan perjalanan (Untuk mengetahui lebih jelasnya, bacalah episode: "Undangan 

Ratu Mesir").

Di antara para awak kapal, tampak seorang 

pemuda gagah berpakaian hijau pupus. Rambut-

nya panjang sebahu tak teratur. Dengan penam-

pilan begitu acuh, dia berdiri di satu sudut bibir 

geladak. Tamparan angin deras yang mengguliri 

permukaan samudera, ditentangnya dengan raut 

wajah tanpa gemik. Ketajaman sinar matanya se-

perti larut dalam nada persahabatan alam. Sese-

kali terdengar tarikan napasnya di kepungan ti-

upan bayu.

Anak muda perkasa itu tak lain dari Andi-

ka. Di dunia persilatan, dia amat tersohor sebagai 

Pendekar Slebor. Sebagai salah seorang undangan 

Ratu Mesir, Andika melakukan pelayaran bersa-

ma armada Cina.

"Apa yang sedang kau renungkan Andika?" 

sapa seseorang di belakang Andika.

Kebekuan pemuda itu kontan terusik. Ke-

palanya menoleh. Ditemukannya seorang pemuda 

sebaya berwajah tak kalah tampan, bermata sipit. 

Pakaiannya memperlihatkan kalau pemuda itu 

adalah seorang pembesar Kerajaan Cina.

"Ah, kau Chin Liong...," desah Andika se-

raya mengembalikan pandangan ke samudera be-

bas di depan sana.

"Kau belum jawab pertanyaanku...," sindir 

Chin Liong menanggapi keacuhan sahabatnya da-

ri tanah Jawa.

"Ada perlu? Rasanya, kau hanya berbasa

basi saja," tukas Andika.

Chin Liong tertawa. Harus diakui, saha-

batnya memang benar. Dan harus diakui pula, 

Andika memang memiliki pengamatan setajam 

mata pisau.

"Ya, aku memang hanya berbasa-basi. Ta-

pi, apa itu dosa?" canda pemuda bermata sipit itu 

seraya menjajarkan tubuh di sisi Pendekar Slebor.

"Aku hanya sedang merenungi hidup," kata 

Andika lagi.

Chin Liong menunggu.

"Kau lihat itu," sambung Andika seraya 

mengacungkan jari jauh ke samudera. "Hidup ti-

dak beda dengan napas samudera. Terkadang 

bergejolak buas terkadang sarat kedamaian. Kita 

terlalu sulit menduga, apa yang bakal terjadi. Le-

bih-lebih mendiktenya. Kau tahu, kenapa? Karena 

hanya ada satu-satunya Pendikte Hidup."

"Tuhan?"

"Yak!"

"Aku tak rugi bersahabat denganmu, Andi-

ka...," puji Chin Liong. "Kau bukan hanya sering 

membuatku tertawa, tapi juga kerap mengajakku 

berpikir bijak...."

"Dan aku justru merasa rugi bersahabat 

denganmu, kalau kau terus saja memujiku seper-

ti itu," seloroh Andika.

Mereka tertawa kecil. Saling menertawai di-

ri yang sering kali terhanyut kehidupan begitu sa-

ja. Jarang sekali ada kesempatan buat mereka 

untuk merenung seperti sekarang. Seperti jarang

nya mereka tertawa lepas bersama.

Tertawa lepas bersama? Andai setiap mak-

hluk bumi bisa berbagi suka seperti itu, tentu 

bumi ini bisa disulap menjadi sorga dalam seke-

jap. Bukan lagi tempat bagi si keji untuk mem-

bantai yang lain. Bukan tempat penguasa men-

gunyah yang lemah. Bukan neraka bersimbah da-

rah. Dan Andika pun merenung kembali.

"Bagaimana nasib kawan kita, Hiroto ya?" 

cetus Ching Liong, memberangus kebungkaman 

mereka di antara debur ombak yang menanduk 

lambung kapal.

"Itu yang kumaksud dengan ucapanku ta-

di. Bukankah hidup begitu sulit diduga? Mes-

tinya, orang sebaik Hiroto tak mengalami nasib 

buruk di piramida laknat itu," geram Andika ter-

dengar merutuk. "Sementara si Gila Petualang 

yang mestinya mendapat hukuman, lolos begitu 

saja entah ke mana!" (Untuk mengetahui seluk-

beluk kedua tokoh itu, bacalah episode: "Warisan 

ratu Mesir").

"Kau yakin Hiroto menemui ajal di sana?" 

tanya Chin Liong, seperti bertanya pada diri sen-

diri.

Seraya menghempas napas, Andika meng-

hela bahu.

"Cuma Tuhan yang tahu, bagaimana na-

sibnya," desah pemuda tampan itu. "Kasihan ke-

luarganya di Jepang...."

"Hm.... Aku tak tahu dia punya keluarga," 

gumam Chin Liong.

"Semula aku pun begitu. Sampai Kenjiro, 

sepupunya, bercerita padaku," ucap Andika.

Sementara itu, kapal terus membelah sa-

mudera.

Mentari senja menguning jauh di sana. Se-

tengah tubuhnya, seakan tercelup dalam garis ba-

tang kaki langit. Pantulan sinar lembut raja siang 

yang menjinak, memanjang di sepanjang gelom-

bang kecil.

Malam pun rebah. Hari berlari dan bergan-

ti.

Selama ini, pelayaran dengan tujuan tanah 

Jawa berjalan tanpa kendala. Sebagaimana ren-

cana sebelum meninggalkan negeri Mesir, kapal 

layar Kerajaan Cina milik Putri Ying Lien akan 

mengantarkan Andika serta si bangkotan Pende-

kar Dungu kembali ke tempat asal. Kalau Andika 

semula dijemput, sudah sepantasnya diantar pu-

lang. Begitu menurut Ying Lien kala itu (Tentang 

kisah awal keberangkatan mereka, bacalah epi-

sode: "Undangan Ratu Mesir").

Setelah berlabuh sejenak di bandar Sunda 

Kelapa, kapal itu akan meneruskan pelayaran ke 

negeri Cina.

Sayangnya, segala sesuatu tak selalu berja-

lan mulus hingga titik akhir. Ketika itu, sinar 

mentari menebar lembayung ke cakrawala. Senja 

telah menua pada hari kesekian. Kapal layar ang-

ker itu kini telah memasuki Laut Cina Selatan. 

Dan, terjadi peristiwa yang benar-benar tak diharapkan.

Pendekar Slebor, Chin Liong, Ying Lien, 

dan beberapa awak kehormatan lain ketika itu 

sedang mengulur perbincangan hangat. Sampai 

seluruh perbincangan mendadak terpancung te-

riakan nakhoda kapal dari geladak. 

"Tuan Panglima! Akan ada badai hebat dari 

barat laut! Kita tak bisa melanjutkan perjalanan, 

karena lintasan kapal membelah daerah itu!"

Chin Liong tak terlihat terlalu terkejut. 

Hanya raut wajahnya yang membersitkan keke-

cewaan. Bukan badai hebat yang disayangkan ha-

rus terjadi. Melainkan, menyayangkan kepulan-

gannya akan terlambat dihadang badai. Padahal, 

hatinya sudah begitu rindu kampung halaman.

"Bagaimana, Panglima?! Apakah kita akan 

tetap pada arah sekarang, atau memotong jalur?!" 

tanya nakhoda kembali, meminta keputusan Chin 

Liong selaku panglima perang kerajaan.

"Kita harus memotong jalur! Aku tak mau 

mempertaruhkan nyawa seluruh awak kapal!" pu-

tus Chin Liong, tegas.

"Siappp, Panglima!"

Selesai menyahuti perintah Chin Liong, 

nakhoda itu memberi aba-aba pada seorang juru 

mudi untuk memutar arah, menghindari bentro-

kan dengan badai hebat yang gejalanya terbaca 

nakoda tadi. Namun seperti penuturan Andika, 

alam memang sulit diduga. Selang sekian lama 

setelah arah pelayaran dibelokkan ke jalur lain, 

arakan awan hitam pekat sudah terlihat dari arah 

barat laut. Amat pekat!

Di kejauhan, arakan awan penjinjing badai 

itu seperti bergerak tenang. Namun di balik kete-

nangannya, sesungguhnya sedang bergerak amat 

cepat satu ancaman yang paling ditakuti setiap 

pelaut ulung sekalipun! Di antara kepungan awan 

legam pekat itu, berkali-kali terlontar kerjapan-

kerjapan lidah petir, menukik langsung ke per-

mukaan laut.

"Nakhoda! Apakah badai itu bergerak ke 

arah kita?!" tanya Chin Liong berteriak pada seo-

rang awak di menara tiang kapal.

"Benar, Panglima!"

"Apakah kita bisa menghindarinya?!"

"Kita sudah mencobanya, Panglima. Tapi, 

badai itu rupanya bergerak terlalu cepat di luar 

perhitungan!" 

"Jadi kita tak bisa menghindar lagi?!" tanya 

Chin Liong, meminta kepastian. Wajah berwiba-

wanya mulai terlihat tegang, meskipun sudah be-

rusaha setenang mungkin.

"Kita tidak bisa membelokkan arah kapal 

ini ke mana-mana lagi! Badai itu terlihat cepat da-

tang!"

"Apa saranmu, Nakhoda?!"

"Sebaiknya kita bersiap-siap! Kita harus 

bertahan sementara!" sahut nakhoda itu kembali.

"Ya, cepat laksanakan!"

Setelah itu, dari tiang kapal yang dijadikan 

sebagai menara pengawas, terdengar aba-aba ke-

ras si nakhoda.

"Turunkaaan layaaar!"

Sesaat berikutnya, sudah terdengar keri-

uhan layar besar diturunkan cepat, diimbangi hi-

ruk-pikuk para awak kapal yang bersiap-siap 

menghadapi serbuan badai hebat.

Riuh-rendah di luar, memancing Putri Ying 

Lien keluar dari ruang kehormatannya. Gadis bu-

ta ini berjalan dengan wajah terpaku ke depan, 

Putri Ying Lien pun segera mendekati tempat 

Chin Liong dan Pendekar Slebor berdiri.

"Akan ada badai," ucap Chin Liong, me-

nyambut kehadiran Ying Lien di dekatnya.

Tak tampak banyak perubahan pada wajah 

dara terhormat Cina itu. Dia tetap tenang, seakan 

tidak akan terjadi apa-apa. Kalaupun ada peru-

bahan, hanya sebatas kerutan tipis di antara ren-

tangan sepasang alis hitamnya.

"Apakah badai hebat?" tanya Ying Lien pa-

da nakhoda.

Lelaki berbadan kekar berpakaian prajurit 

laut Cina itu baru saja menuruni tangga tali yang 

menjulur sepanjang tiang layar.

"Menurut perkiraanku begitu, Tuan Putri," 

sahut si nakhoda hormat.

"Bisa dihindari?" susul Ying Lien, seperti 

mengulangi pertanyaan Chin Liong sebelumnya.

"Tidak, Tuan Putri."

"Tak ada lagi yang bisa kita perbuat seka-

rang ini, kecuali bertahan," tambah Chin Liong. 

"Sayang, kau tidak bisa melihat, Ying Lien.... Ba-

dai besar itu semakin deras menghampiri arah kita!"

"Aku bisa merasakannya," ucap Ying Lien, 

tanpa sedikit pun menganggap perkataan pangli-

ma perangnya yang sudah seperti saudara kan-

dung sendiri sebagai penghinaan.

"Sebaiknya kau masuk ke ruanganmu 

kembali, Ying Lien," saran Andika, turut buka su-

ara.

"Itu saranmu sebagai seorang sahabat, 

atau sebagai seorang tamu yang merasa harus 

menghormatiku?" gurau Ying Lien ringan, seolah 

hendak sedikit melekang ketegangan yang terus 

saja menanjak, mengiringi bergeraknya badai di 

kejauhan.

"Aku rasa, hanya karena kau tak pantas 

saja berada di sini," sahut Pendekar Slebor.

Baru saja setelah Ying Lien masuk ke 

ruang kehormatannya, badai pun unjuk gigi. An-

gin amat kencang menderu-deru seperti hendak 

menulikan telinga. Gelombang terus saja tumbuh 

membesar. Ayunannya mula-mula hanya meng-

goyang kapal besar armada Cina itu. Namun wak-

tu berikutnya, kapal mulai diombang-ambing, te-

rayun kian kemari. Tamparan demi tamparan gelombang menghantami lambung kapal. Dan ketika ombak kian menggila, kapal seperti hendak di-

telan begitu saja....


2


Apa yang bisa disombongkan manusia da-

lam menghadapi amukan alam seperti ini? Apala-

gi dalam genggaman gelegak badai samudera? Ke-

congkakan manusia tak berlaku di sana. Yang 

ada hanya rasa waswas atas jangkauan tangan-

tangan pencabut nyawa dari langit.... Begitulah 

cara Tuhan memperingati makhluknya yang terla-

lu rakus akan dosa.

Berbeda dengan seluruh tantangan yang 

pernah diladeni Pendekar Slebor, tantangan kali 

ini tampaknya terlalu berat. Bukan manusia bejat 

dengan kesaktian hebat yang harus dihadapinya. 

Lebih dari itu, Andika harus menghadapi anca-

man bahaya yang sesungguhnya tidak mungkin 

ditentang seorang pun. Badai laut maha dahsyat!

Begitu dengus sang badai memuncak, om-

bak pun menjelma bagai tangan-tangan raksasa 

yang siap menepak lebur kapal layar milik Putri 

Ying Lien. Kini segala kesan kegagahan dan 

keangkeran angkutan perang laut itu menjadi tak

berarti apa-apa.

Langit kelam tampak makin matang. Rapat 

sudah mega gelap membungkusnya. Di antara ge-

rak berduyun gerombolan awan menyeramkan

itu, terus terbersit gencar lidah-lidah petir.

Suasana terpuruk dalam keriuhan mening-

gi. Deru angin ribut menyerbu dalam arah sim-

pang-siur, bertarung dengan gelegar liar guntur 

pengiring kerjapan kilat. Belum lagi debur sehim-

pun gelombang raksasa yang bergolak. Belum pu-

la debam menggila, ketika lambung kapal ditan-

duk ombak.

Sesakti-saktinya manusia, Andika masih 

punya selaksa akal cerdik untuk dapat menak-

lukkannya. Namun dalam menghadapi amukan 

alam? Yang paling hebat bisa dilakukannya ber-

doa dalam kepasrahan memuncak! Alam memang 

selalu mewakili kehendak Rabbi. Kalau Sang Pen-

guasa telah berkehendak, daya apa lagi yang bisa 

diperbuat manusia selain berdoa dan pasrah?

Memang pemuda sakti dari tanah Jawa itu 

pernah pula menjajaki kemurkaan alam, dalam 

tahap penyempurnaan kesaktiannya di Lembah 

Kutukan. Kalaupun bisa selamat dari gempuran 

dahsyat sejuta lidah petir di sana, semata-mata 

bukan karena kesaktiannya. Melainkan, Tuhan 

telah berkehendak dirinya tetap hidup lalu ber-

juang menegakkan panji keadilan.

Namun begitu, Andika tahu pasti kalau ti-

dak boleh menyerah begitu saja pada keadaan. 

Ya, dia harus berjuang, seperti juga yang lain. Ini 

bukan masalah menentang kehendak Sang Pen-

guasa, melainkan berusaha mempertahankan 

nyawa sebagai titipan paling berharga dari-Nya.

Maka ketika segulung ombak raksasa me

nerjang tinggi menggapai langit yang seolah siap 

menanduk hancur tiang layar besar kapal, Pen-

dekar Slebor dipaksa menghadapinya.

"Andika! Ombak besar itu akan menghan-

curkan kapal kita!" teriak Chin Liong, yang saat 

itu sedang memeras tenaga mengendalikan ke-

mudi bersama Pendekar Slebor.

Tahu kapal akan menjadi lumpuh tanpa 

tiang layar, pendekar muda itu segera melepas 

pegangannya pada badan kemudi. Sekali bergerak 

dia telah melompat tangkas menyongsong terjan-

gan ombak. 

"Hiaaahhh!"

Dalam deru angin yang mengacaukan selu-

ruh pakaian dan rambut, tubuh Pendekar Slebor 

melayang deras tak kalah cepat dengan gerak 

tandukan ombak raksasa. Di udara, tangannya 

yang mengepal keras mengejang rapat di sisi da-

da. Otot-otot di sekujur tubuhnya bagai berubah 

menjadi kawat-kawat liat.

Andika memang sedang memompa tenaga 

sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dalam 

tubuhnya, hingga tingkat kesembilan belas.... Sa-

tu tingkatan tenaga sakti yang begitu disegani di 

seantero persilatan yang sanggup memporak-

porandakan bukit karang!

Sekejap selanjutnya....

"Hih!"

Deb!

Dari keadaan rapat di sisi rusuk, tangan 

pemuda itu mengembang singkat bersama gemeretak persendiannya. Telapak tangan yang semula 

terkepal, sekejap membuka. Saat yang sama, se-

himpun kekuatan tenaga dorongan terlepas sea-

rah hempasan tangannya. Tenaga dorongan itu 

bergerak gagah melebar, siap membuat benteng 

kasapmata untuk menahan tandukan ombak! 

Pyuar! 

Sungguh mengagumkan, ternyata ombak 

raksasa itu langsung tertahan sebelum sempat 

merejang tiang kapal. Ubun-ubun gelombang rak-

sasa itu malah terburai, menjadi cipratan halus, 

tak kalah halus dengan bulir-bulir hujan yang 

saat ini sedang berpesta.

Untuk hasil itu, Pendekar Slebor tidak lu-

put dari akibat tak ringan. Sesungguhnya penge-

rahan tenaga sakti warisan dari buyutnya hingga 

tingkat kesembilan belas, adalah tindakan amat 

berbahaya. Jika tubuhnya saat ini tidak siap di-

banjiri tenaga sakti taraf puncak, maka kekuatan 

itu malah bisa memakannya sendiri.

Hal yang ditakutkan Pendekar Slebor me-

mang tak terjadi. Namun, benturan dahsyat anta-

ra gelombang raksasa sebesar gunung dengan se-

bentuk kekuatan yang tak tanggung-tanggung, 

tentu saja sanggup menghempasnya amat jauh ke 

belakang.

Bagai seorang yang baru saja tersentak le-

dakan amat hebat, tubuh pemuda ksatria itu me-

luncur tajam ke belakang. Kalau semula ombak 

yang mengancam tiang kapal, kini justru tubuh 

Pendekar Slebor sendiri menjadi ancaman. Luncuran tubuhnya secara tak sengaja mengarah pa-

da tiang layar.... 

"Andika!" seru Chin Liong was-was. Dige-

bah kekhawatiran teramat sangat, pemuda Cina 

yang menjadi sahabat Pendekar Slebor itu mele-

pas pula pegangan pada kendali kapal. Tubuhnya 

menerjang ke muka, menyambut luncuran tubuh 

Andika.

Memang, bukan tiang kapal yang dikhawa-

tirkan Chin Liong saat itu. Andika bisa terluka 

parah akibat benturan hebat dengan tiang. Itu 

yang paling ditakutkannya.

"Heaaa!"

Berangkai teriakan tertahan Chin Liong, 

tubuh dua pemuda gagah itu bertumbukan di 

angkasa. 

Dugh!

"Akh!"

Terlalu besarnya tenaga dorong badan An-

dika, menyebabkan Chin Liong terhantam meski 

sudah mengerahkan sebisanya segenap kecepatan 

dan tenaga.

Usaha Chin Liong tak berarti banyak. Ka-

rena begitu tubuhnya terbentur, dia pun ikut me-

luncur menuju tiang kapal.

Dakh!

Seketika bokong Chin Liong terhantam ba-

dan tiang layar utama kapal. Dia rupanya rela 

menjadi tumbal pengganti yang seharusnya dite-

rima Andika, sahabatnya. Sungguh suatu pen-

gorbanan seorang ksatria muda sejati bagi sang

sahabat!

Tiang utama kapal selamat dari keruntu-

han. Tenaga dorongan telah melunak, setelah 

Chin Liong berusaha menahan luncuran tubuh 

Andika! Namun biar begitu, tetap tak cukup lu-

nak bagi bokong pemuda Cina ini. Bagian tubuh-

nya terasakan seperti baru saja dihajar tiga puluh 

tangan besar algojo-algojo.

Selang setelah dua pemuda itu tersuruk di 

lantai geladak, Chin Liong memuntahkan darah 

segar.

"Kau..., kau tid-dak apa-ap-pa, Andika?"

tanya Chin Liong tersendat.

Masih saja pemuda bermata sipit ini 

mengkhawatirkan keadaan sahabatnya, sementa-

ra dia sendiri terluka tak kalah parah.

Andika beringsut bangkit. Sedang Chin 

Liong terhimpit di belakangnya. Sambil berpegan-

gan pada tambang besar jangkar serta memegangi 

lengan Chin Liong agar tak berombang-ambing 

ayunan menggila kapal, Andika berbalik mengha-

dap pada sahabatnya.

"Mestinya aku yang bertanya begitu pada-

mu, Tolol! Kenapa kau jadi begitu bodoh me-

nyambut luncuran tubuhku? Apa kau sudah be-

gitu kasmaran padaku?" seloroh pemuda urakan 

ini masih dengan ringisan sakit di bibirnya.

Agak susah payah, Chin Liong menanggapi 

celotehan ngawur sahabatnya dengan senyum ra-

puh. Dadanya saja masih terasa remuk. Lantas, 

bagaimana dia bisa tersenyum lepas? Tapi sungguh mati, kalau pun begitu rasanya pemuda ber-

mata sipit ini memang harus sedikit geli dengan 

perkataan brengsek Andika. Bagaimana bisa pe-

muda tanah Jawa ini sempat bergurau dalam 

keadaan yang demikian genting seperti sekarang?

"Kau masih bisa bangkit atau tetap ngejo-

grok seperti kakek pikun salah makan?" sembur 

Andika lagi.

Chin Liong berusaha bangkit. Tapi luka 

yang diderita terlalu parah untuk membuatnya 

bisa bangkit.

"Ah, sudahlah.... Jangan kau paksakan! 

Kalau kau paksa-paksa, nanti malah berhembus 

keluar sesuatu yang tak diharapkan dari bela-

kangmu!" kata Andika lagi, dengan suara tinggi. 

Bicara kurang kuat sedikit saja, suaranya akan 

tertelan gemuruh badai.

"Kau tidak apa-apa, Panglima?" tanya seo-

rang prajurit yang bersusah-payah merayap men-

dekati tempat Andika dan Chin Liong.

"Sebaiknya, kau bawa panglimamu masuk! 

Dia harus dirawat segera!" tukas Andika, tepat di 

telinga si prajurit.

"Apa, Tuan?!" tanya prajurit berkumis tikus 

itu seraya menaikkan sebelah tangannya ke sisi 

telinga. Matanya menyipit. Sudut bibirnya terang-

kat. Tampaknya, telinganya memang tak menden-

gar ucapan Andika barusan.

"Bawa panglimamu masuk?! Dia butuh pe-

rawatan?!" ulang Andika lebih keras dan lebih de-

kat ke telinga prajurit tadi.

"Hah?! Apa?!"

Minta tobat! Andika menyumpah-nyumpah 

sendiri. Ini bukan lagi persoalan gemuruh badai 

yang menelan suaranya. Ini pasti perkara kuping 

si prajurit yang mampet! Dasar budek!

"Bawa panglimaaamuuu ke dalaaam!" 

ulang Andika sekali lagi. Kali ini dengan mata me-

lotot!

Mulut si prajurit yang sudah maju semakin 

menyorong ke depan.

"Baik-baik, Tuan!" lanjut prajurit ini sambil 

membantu Chin Liong berdiri.

Sementara badai terus saja mengamuk. 

Kapal layar mereka masih saja dijadikan bulan-

bulanan ombak. Sebentar terombang ke sini, se-

bentar terambing ke sana. Berkali-kali kendaraan 

samudera itu oleng begitu curam. Tandukan-

tandukan gencar gelombang setinggi sepuluh ka-

ki, terus saja menghujam lambung kapal.

Untung saja tak ada gelombang meraksasa 

seperti yang Andika papaki. Dan untung pula, 

kapal berusia tua itu ternyata masih mampu 

membuktikan keperkasaannya. Tidak karam, 

meski sudah demikian dipermainkan.

Para awak kapal yang bertanggung jawab 

pada pelayaran, terus berkutat menimba air laut 

yang berhasil masuk ke dalam lambung. Sebagian 

lain menguras tenaga untuk menarik tali kayu 

gulungan layar, agar tidak liar bergerak ke mana-

mana. Sementara yang lain pun berjuang dengan 

tugas lain pula.

Pendekar muda tanah Jawa bernama An-

dika, tetap bertahan bersama mereka. Sampai 

suatu ketika, Pendekar Slebor disentak suatu 

pemandangan aneh. Di antara gelegak tarian 

angker ombak raksasa, lamat-lamat terlihat se-

seorang bergerak cepat. Gerakannya demikian 

ringan, seakan sosok itu sedang berlari-lari di 

hamparan padang datar saja. Sesaat bayangan 

orang itu tertelan gapaian ombak. Dan kala gu-

lungan ombak melandai, sosok itu pun tersingkap 

kembali.

Andika mengerjap-ngerjapkan kelopak ma-

ta. Bukan karena tidak jelas melihat sosok itu 

melainkan kurang yakin apakah matanya sudah 

melihat khayalan? Atau, memang benar-benar 

menyaksikan peristiwa itu...?


3


"Benarkah aku telah melihat seseorang 

bergerak bagai hantu di antara sibakan-sibakan 

gelombang? Di antara amukan badai menggila? Di 

antara menggunungnya ombak yang mungkin se-

tinggi sekitar sembilan kaki itu?"

Pendekar Slebor jadi tak habis pikir. Sulit 

baginya untuk percaya. Dan itu sama sulitnya 

untuk meyakinkan kalau yang dilihatnya adalah 

manusia. Siapa tahu, itu hanya hantu laut gen-

tayangan. Kalau manusia, mau apa sendirian di 

tengah-tengah memuncaknya kemurkaan alam 

tanpa perahu atau sampan kecil sekalipun? Dan, 

bagaimana pula dia bisa menaklukkan badai dah-

syat seperti mempermainkannya...?

Guna meyakinkan penglihatannya, Pende-

kar Slebor lantas saja menarik kerah baju seorang 

awak kapal Kerajaan Cina. Kerasnya menarik, 

sampai-sampai mata si prajurit mendelik akibat 

tercekik.

"Adha apha, Tuan Pendehekhar..., ekh!"

rintih si prajurit mengenaskan.

Mata laki-laki yang meski bermata sipit itu 

makin mendelik saja, ketika agak terhuyung ka-

rena olengan kapal. Padahal tangannya masih 

mencengkeram leher bajunya, lidah si prajurit 

naas itu pun mulai menjulur-julur.

"Coba kau perhatikan ke sana!" perintah 

Andika. Ditunjukkannya alunan gelombang liar 

jauh di sana.

"Iya-iya, Tuan Pendekar...! Tapi, lepaskan 

dulu kerah bajuku," pinta prajurit tadi dengan 

suara memelas.

Andika sadar. Cepat dilepas cengkeraman-

nya.

"Sekarang kau perhatikan baik-baik. Tadi, 

aku melihat seseorang di sana...!" lanjut Andika.

Sambil berpegangan pada bibir geladak ka-

rena ngeri ditelan ombak raksasa, prajurit itu 

menatap mata Andika tajam-tajam. Sinar ma-

tanya diliputi kebingungan yang tak kalah dah-

syat dengan badai saat ini.

"Ah! Tuan Pendekar pasti sedang bergu-

rau!" seru prajurit ini keras untuk mengalahkan 

gemuruh ombak dan gelegar guntur.

Andika melotot.

"Apa kau melihat tampangku seperti se-

dang bercanda?!" bentak pendekar muda itu den-

gan nada dongkol.

Si prajurit meringis, jadi serba salah. Mau 

tidak menuruti, Andika adalah sahabat dekat 

panglimanya. Bahkan Tuan Putri junjungannya.

Salah-salah, bisa tidak dapat pesangon jika pen-

siun nanti. Dan kalau dituruti, dia bisa kelihatan 

sinting. Masa' di tengah-tengah amukan ombak 

segila itu, ada orang? Dan prajurit ini hanya bisa 

menggeleng pelan. Pelan sekali, agar Andika tak 

melihat. 

"Jangan melongo! Mending bacotmu bagus 

kalau sedang bengong begitu!" hardik Andika, 

mendapati si prajurit masih saja menatapnya ser-

ba salah. 

"Tapi, Tuan Pendekar.... He-he-he.... Gima-

na,"

"Malah cengengesan lagi!" Dengan terpak-

sa, akhirnya prajurit itu menuruti juga perintah 

Andika. Dan biar pun menggerutu sampai mulut-

nya berbusa, dia tak akan menang. 

"Tapi.... Ya, ampun...! Sementara orang lain 

kelimpungan, masa' memelototi ombak?!" gerutu 

prajurit ini lagi dalam hati. Maklum, pendekar 

sakti di sebelahnya masih mendelik habis-

habisan. Masih untung kalau hanya teriak-teriak. 

Kalau sampai mengamuk kan bisa berabe....

Sampai lama prajurit berbibir mancung itu 

mengamati arah yang ditunjuk Andika. Namun, 

tak juga dia menyaksikan orang yang dimaksud. 

Dalam hati, dia semakin yakin kalau pendekar di 

sebelahnya sedang sakit mata.

"Tuh, kan! Aku bilang juga apa...! Tidak 

ada, Tuan Pendekar...!" tukas prajurit ini membe-

ranikan diri, menyudahi perintah Andika. Ma-

tanya memang sudah berkunang-kunang menyaksikan ayunan ombak tak beraturan yang 

buasnya minta ampun.

"Aku belum tanya!" bentak Andika.

Wajah lelaki yang dibentak langsung saja 

memucat. Sudah perutnya terasa bagai hendak 

dikuras karena mual, mendapat bentakan telen-

gas pula. Bagaimana tidak pucat?

Sampai akhirnya, Andika menggeleng.

"Ah, sudahlah! Mungkin aku memang sa-

lah lihat!" kata Pendekar Slebor keras supaya bisa 

didengar prajurit tadi.

Si prajurit lega. Ditariknya napas dalam-

dalam. Setelah itu....

"Khoeeekh...!"

Prajurit ini muntah di tempat!

***

Menjelang pagi hari, badai baru mereda. 

Samudera ini bersahabat kembali. Bila sebelum-

nya penuh gejolak, kini tenang bagai hamparan 

kaca berwarna kebiruan yang disaput warna me-

rah saga dari pantulan ramah mentari muda. An-

gin segan-segan berhembus, menciptakan riak-

riak halus di permukaan laut.

Benarkah ancaman telah lalu? Sungguh-

kah bahaya telah terlintas? Tidak! Bagi kapal 

layar Kerajaan Cina, Laut Cina Selatan rupanya 

masih menyiapkan ancaman baru. Ancaman kali 

ini, bisa saja menuntut tumbal nyawa dan cucu-

ran darah!

Belum lagi layar utama ditarik sampai ke 

puncak oleh awak yang telah demikian lelah ber-

juang semalam suntuk....

"Laporkan pada Panglima Chin Liong! 

Tampaknya, kita akan dihadang kapal perompak"

Terdengar teriakan nakhoda yang berada di 

menara tiang utama, tentang adanya bahaya ba-

ru.

Syaraf para awak yang baru saja mengen-

dur menjadi tegang kembali. Layar yang belum 

sempat ditarik ke puncak tiang, dipaksa lebih ce-

pat mengembang. Entah, bagaimana ancaman 

seperti itu seperti memompa kekuatan mereka 

kembali. Beberapa awak yang menarik tali layar, 

mendadak memperlihatkan tenaga mereka kem-

bali. Bersama teriakan-teriakan berirama, layar 

berlambang naga itu pun mengembang.

Seorang prajurit segera memasuki ruang 

dalam kapal dengan langkah tergesa-gesa. Dan 

segera dimasukinya ruang kehormatan. Niatnya 

hendak menemui Chin Liong. Tapi orang yang 

dimaksud tidak ada di sana. Pemuda itu masih 

berada dalam ruang perawatan dalam pengawa-

san tabib istana.

"Ada apa, Prajurit?" tanya Putri Ying Lien 

yang saat itu berada di sana. Biarpun buta, pen-

dengarannya bisa membedakan seseorang dari 

helaan napas, langkah, atau gesekan pakaian se-

kalipun.

Merasa telah membuat terkejut junjungan-

nya, prajurit tadi segera menghaturkan maaf.

"Hamba hendak melaporkan keadaan daru-

rat pada Panglima, Tuan Putri," lapor prajurit itu. 

"Keadaan darurat apa?" tanya Ying Lien. 

"Kita berpapasan dengan kapal perompak, 

Tuan Putri."

Seketika Putri Ying Lien bangkit dari kursi 

kebesarannya. Begitu juga, empat perwira tinggi 

yang bersamanya.

"Perwira Naga! Cepat laporkan pada Pan-

glima Chin Liong," perintah Ying Lien, lugas dan 

tegas.

Perwira Naga yang diperintah ragu sejenak.

"Tapi, Tuan Putri.... Apakah tidak sebaik-

nya jika Panglima tidak diberitahu?" tutur Perwira 

Naga, ragu.

"Kenapa?" Ying Lien melengak. Kembali le-

laki yang berjuluk Perwira Naga itu ragu.

"Mohon maaf, Tuan Putri.... Sebenarnya 

hamba diperintah panglima agar merahasiakan 

hal ini," ucap Perwira Naga berusaha mengelak 

dari pertanyaan Ying Lien.

Setelah menimbang sejenak, Perwira Naga 

cepat memberitahukan tentang keadaan Chin 

Liong kepada junjungannya. Pada saat-saat gent-

ing seperti itu, keputusan yang lambat akan san-

gat berbahaya.

"Semalam ketika terjadi badai, Panglima 

Chin Liong mendapat cedera, Tuan Putri," lanjut 

Perwira Naga, memberitahukan.

Ying Lien menggeleng-geleng. Dia tahu 

maksud Chin Liong. Pemuda yang sudah seperti

saudara kandungnya itu tentu tak ingin mem-

buatnya khawatir.

"Sekarang beliau ada di ruang perawatan, 

Tuan Putri," tambah Perwira Naga cepat.

"Kalau begitu, jangan beritahu dia," putus 

Ying Lien. "Dan sebaiknya, kita cepat keluar kalau 

tak ingin didahului kawanan perompak itu!" Lalu 

mereka semua keluar tergesa. "Seberapa jauh ja-

rak mereka dengan kapal kita, Andika?" tanya 

Ying Lien pada Pendekar Slebor di atas geladak.

Pendekar muda tanah Jawa itu sedang 

berdiri waspada, memperhatikan kapal layar be-

sar dikejauhan.

"Cukup jauh. Aku sendiri belum jelas meli-

hat lambang di layar kapal itu," sahut Pendekar 

Slebor, tanpa menoleh.

"Nakhoda!" panggil Ying Lien. Tangannya 

memberi isyarat kecil, meminta nakhoda membe-

rikan teropong.

Teropong berpindah tangan. Dari nakhoda 

ke Ying Lien yang segera diteruskan pada Andika.

"Coba kau perhatikan, lambang apa yang 

ada di layar kapal itu," pinta Ying Lien pada Andi-

ka.

Sementara Andika sibuk mengintai dari lu-

bang teropong dengan satu mata menyipit, awak 

kapal yang lain menanti tegang. Tak satu pun 

yang berhasrat buka suara.

"Ular kepala dua...," kata Andika dengan 

teropong masih menempel.

"Apa?" usik Ying Lien.

Pendekar Slebor menurunkan teropong.

"Lambang pada layar kapal itu bergambar 

ular berkepala dua," ulang Andika, menegaskan.

Wajah beberapa prajurit langsung berubah, 

demi mendengar Andika menyebutkan lambang 

kapal yang dimaksud. Mereka sebenarnya para 

prajurit pilihan yang keberaniannya tak diragu-

kan lagi. Namun tak urung hati mereka bergetar 

mengetahui akan berhadapan dengan....

"Ular Laut Kepala Kembar...," gumam Per-

wira Naga yang berdiri tepat di belakang Andika.

"Benar, Perwira," sela nakhoda. "Semula 

aku pun tak percaya akan berhadapan dengan 

kawanan perompak yang paling ditakuti di Laut 

Cina Selatan ini, ketika melihat dari teropong di 

menara."

Perwira Naga menatap Ying Lien, menung-

gu keputusan junjungannya.

"Apa masih mungkin bagi kita untuk 

menghindar?" tanya Ying Lien.

Seperti juga Chin Liong, Ying Lien lebih 

mengkhawatirkan keselamatan penumpang ka-

palnya.

"Sudah tak mungkin, Tuan Putri," jawab 

nakhoda. "Arah angin tak mengizinkan kita untuk 

menghindar. Lagi pula, jarak antara kapal kita 

dengan kapal perompak sudah terbilang dekat..."

"Hei? Apa tak ada di antara kalian yang 

mau cerita padaku, ada apa ini sebenarnya? Ke-

napa kalian jadi demikian kaku? Apa di kapal ini 

ada upacara mengheningkan cipta untuk menghadapi perompak?" cerocos Andika, seenaknya.

Maklum saja bila Pendekar Slebor berbica-

ra seperti itu. Sebab dia belum pernah mendengar 

kabar angin tentang nama menggetarkan kawa-

nan perampok Ular Laut Kepala Kembar.

Empat perwira di dekat Andika saling me-

natap. Satu sama lain saling menimbang, siapa di 

antara mereka yang akan menceritakan tentang 

kawanan perompak paling ditakuti diseantero 

Laut Cina Selatan

"Biar aku yang menceritakan pada Tuan 

Pendekar," cetus seorang perwira berbadan tinggi 

besar.

Maka, mulailah lelaki itu menuturkan ceri-

tanya. Singkat dan padat.

***

Dalam bentangan maha luas Laut Cina Se-

latan, di antara pergantian kemurkaannya serta 

kejinakannya, puluhan kapal perompak berkelia-

ran. Masing-masing menjadi penguasa di wilayah 

perairan tertentu.

Bagi kapal-kapal dagang, Laut Cina Selatan 

dianggap amat rawan. Bahkan menjadi momok 

para pelaut yang sudah mengarungi tujuh samu-

dera sekalipun. Karena setiap saat, bisa saja di-

jegal kapal-kapal perompak.

Amat santer kekejian dan ketelengasan pa-

ra perompak Laut Cina Selatan. Berkali-kali telah 

terjadi pembantaian besar-besaran terhadap awak

kapal dagang yang mencoba mempertahankan 

harta dari jarahan. Dan bila sudah terlibat perang 

laut, biasanya perompak-perompak Laut Cina Se-

latan tak akan sudi membiarkan hidup korban-

nya barang seorangpun. Setiap korban akan men-

galami nasib demikian. Mati dengan dada terbe-

lah, leher terpenggal, atau tubuh direjang pulu-

han tombak.

Di antara semua kapal perompak, Ular 

Laut Kepala Kembar yang paling ditakuti. Mereka 

kawanan perompak terkeji di antara yang keji. 

Terkejam di antara yang kejam. Dan, terbiadab di 

antara yang biadab....

Kapal layar penyamun itu selalu terlihat 

seperti hantu laut. Tepatnya, seperti istana hantu 

laut.

Kalau ada nakhoda yang melihatnya untuk 

pertama kali, maka pasti akan mengira kalau 

kapal itu adalah kapal mati yang terkatung-

katung di lautan lepas. Layarnya masih tetap 

membentang, namun sudah kusam, penuh koya-

kan di sana-sini. Lambung kapal pun sudah di-

tumbuhi tumbuhan laut, serta gumpalan karang 

tak terawat. Tepi geladak pada beberapa bagian 

sudah terpatah-patah. Pondok di atas geladak 

diselimuti kabang-kabang dan sarang laba-laba. 

Warna kapal itu muram, menyiratkan kebisuan 

menggidikkan. Dan yang paling khas dari semua 

itu, kapal Ular Laut Kepala Kembar menebarkan 

bau bangkai menusuk yang merebak sampai 

amat jauh! Sehingga, membuat setiap orang yang

baru pertama kali melihat menjadi semakin yakin 

kalau kapal itu adalah kapal mati.

Namun yang lebih ganjil adalah awak ka-

palnya. Kapal sebesar dan seangker itu, nyatanya 

hanya ditempati tiga penghuni. Semuanya ganjil. 

Semuanya sulit dimengerti.

Orang pertama, dipanggil Ular Merah. Dis-

ebut begitu, karena seluruh kulitnya berwarna 

merah. Wajahnya buruk, sekaligus menjijikkan. 

Hidungnya besar dan membengkok ke kiri. Dari 

lubangnya selalu keluar lamban lendir yang tak 

pernah dibuangnya. Tidak juga dibersihkan. War-

na hijau kekuningan lendir dari hidungnya makin 

jelas terlihat, karena warna merah kulitnya. Mu-

lutnya lebar ke samping. Sedang matanya begitu 

cekung. Apalagi dengan kening yang terlalu mem-

bengkak.

Yang kedua, berjuluk Ular Belang. Kalau 

melihat kulitnya yang juga berwarna tak karuan, 

julukan Ular Belang memang pantas untuknya. 

Dibanding Ular Merah, orang satu ini bertubuh 

lebih kecil. Matanya picak dengan muka lebar. Di 

dahinya ada gambar ular yang memanjang hingga 

ke ubun-ubun kepalanya yang botak.

Yang terakhir adalah si Manusia Ular. Sulit 

sekali orang melihatnya. Dia terlalu tersembunyi, 

karena selalu tak bersama dua lelaki lainnya. 

Bahkan tak seorang pun tahu, bagaimana rupa si 

Manusia Ular. Baik penampilan, atau suaranya. 

* * *

Andika selesai mendengarkan penuturan 

perwira di dekatnya. Belum. Cerita belum lagi se-

lesai. Bagi si perwira, masih teramat banyak ceri-

ta tentang sekawanan perompak Ular Laut Kepala 

Kembar. Kalaupun penuturannya mesti terpeng-

gal, karena kapal penyamun yang dimaksud su-

dah kian dekat.

Diiringi gumpalan kabut tebal seputih ka-

pas pembalut mayat, kapal Ular Laut Kepala 

Kembar terus mendekati. Bentuknya bertambah 

jelas.

Sementara saat ini angin seperti mati. Tak 

ada hembusan yang membuat kapal layar itu ber-

gerak lebih cepat. Suasana makin penuh kenge-

rian, dalam laju lamban kabut.

Di kapal Kerajaan Cina, seluruh awak me-

matung tegang. Kalau bisa, napas pun mungkin 

akan ditahan. Bagi hampir seluruh awak dari Ke-

rajaan Cina, kapal perompak Ular Laut Kepala 

Kembar tak beda istana hantu laut. Banyak de-

sas-desus santer tentangnya. Tentang kekuatan 

aneh yang menyelubunginya. Tentang si Manusia 

Ular yang tak terlihat, yang sebenarnya sosok ka-

satmata yang belum jelas bentuknya. Tentang su-

ara-suara seram dan jeritan dari dalam kapal. 

Tentang....

"Kunyuk! Ini kapal orang, apa kapal se-

tan...?.'" rutuk Andika, memecah ketegangan. Ba-

rangkali hanya Pendekar Slebor satu-satunya 

orang di atas geladak yang masih saja acuh.

Sebenarnya, Andika pun merasa merind

ing. Tapi yang namanya Pendekar Slebor, paling 

benci kalau dirinya dikuasai perasaan-perasaan 

tak menentu seperti itu. Gerutuan tadi tentu saja 

sekadar untuk mengusir ketegangan yang menge-

pung dirinya sedemikian rupa.

Yang lain seperti tidak menanggapi geru-

tuan ngawurnya. Mereka masih terpaku pada 

kapal Ular Laut Kepala Kembar.

"Yang Mulia Tuan Putri, tampaknya kita 

kedatangan tamu lain," lapor seorang prajurit, ti-

ba-tiba.

Ying Lien cepat menoleh.

"Apa maksudmu?"

Prajurit tadi berbalik lalu menunjuk ke be-

lakang kapal. Jauh di sana, sudah terlihat sekitar 

lima belas kapal layar lain. Semuanya bergerak 

pada arah yang lama..., kapal Kerajaan Cina

"Siapa mereka?" tanya Perwira Naga, ter-

pancing.

"Menurut pengamatan hamba, mereka se-

mua para perompak Laut Cina Selatan..,?!"

"Gila! Bagaimana mereka bisa berada di si-

ni pada saat yang sama?!" maki perwira lain.

"Dan, tampaknya mereka menginginkan ki-

ta...," tambah Perwira Naga, mendesis. "Entah ke-

napa...?"


4


Ketegangan memuncak, manakala dari be-

lakang kapal Kerajaan Cina sekitar lima belas

kapal perompak lain mulai membentuk pagar me-

lingkar. Dalam jarak seratus depa, armada pe-

nyamun samudera itu mengepung.

Tak ada lagi jalan lolos. Hanya ada satu pi-

lihan bagi seluruh awak kapal Kerajaan Cina, 

yakni menghadapi mereka! Paling tidak, bertahan 

untuk tidak dibantai. Berjuang untuk harapan 

hidup yang begitu tipis. Seperti seekor banteng 

menghadapi belasan singa lapar. 

Sementara, Pendekar Dungu, sudah mun-

cul dari pintu lambung kapal. Geraknya lamban. 

Matanya yang sayu, masih dibebani tahi mata se-

besar ujung kelingking. Seraya menggeliat seperti 

seekor ular kadut tua yang baru saja terjaga dari 

tidur panjangnya, si keropos itu menguap lebar-

lebar seperti hendak menghirup seluruh udara di 

atas samudera. 

"Huaaahhhkkkhhh..?"

Ksatria lapuk ini melangkah terseret. Den-

gan malas-malas matanya dikucek. Usai menguap 

sekali lagi, dia mulai cengar-cengir.

"Hm... nyam-nyam-nyam.... Ada apa ini? 

Banyak kapal ngumpul, ya? Siapa yang suna-

tan...?"

Gumaman Pendekar Dungu berubah men-

jadi makian tak kentara, ketika....

"Apakah kalian orang-orang Kerajaan Ci-

na?!"

Mendadak, dari salah satu kapal penya-

mun terlontar teriakan membahana.

"Kualat kau! Sialan! Aku orang tua! Jan

tungku sudah soak! Jadi jangan berteriak-teriak 

seenaknya!" bentak Pendekar Dungu. Kaget bu-

kan main lelaki keropos ini. Sampai-sampai me-

rasa perlu mengurut dada kerempengnya.

"Hoiii! Kalian tuli semua?! Aku bertanya, 

apakah kalian orang-orang Kerajaan Cina?!"

Dari seberang sana, seorang pemimpin pe-

nyamun yang tak mendapatkan jawaban mengu-

lang teriakannya. Kali ini dibumbui kata-kata ka-

sar.

Andika jadi mengkelap juga, mendengar 

kekasaran barusan.

"Bukan! Kami orang-orang dari kerajaan 

antah berantah!" sahut Pendekar Slebor, diawali 

dengusan kesal.

"Jangan main-main dengan kami!"

Terlempar kembali seruan berang dari satu 

kapal. Tepatnya dari mulut seorang kepala pe-

nyamun berkepala klimis. Brewok kasar meme-

nuhi dahunya yang berbentuk persegi. Wajahnya 

tak kalah jelek dengan orang-orang paling jelek. 

Apalagi, juga dipenuhi sayatan-sayatan melebar.; 

Pakaian hitam-hitam besar menutupi tubuhnya 

yang besar. Lelaki berpenampilan garang itu ber-

diri di antara jajaran anak buahnya di tepi kapal.

Di kapal lain, para perompak yang berjum-

lah puluhan pun berdiri di pinggiran kapal mas-

ing-masing. Tak ada satu pun dari mereka yang 

memperlihatkan kelengahan. Seluruhnya siap 

dengan senjata di genggaman.

Suasana memang semakin membara.

"Siapa yang berkoar-koar tak sopan itu?! 

Tunjuk tangan!" sela Pendekar Dungu sewot.

Kemudian kepala lelaki berotak bebal itu 

menoleh pada Andika.

"Hey..., hey! Siapa namamu?!" tanya Pen-

dekar Dungu dengan jari ditempelkan ke kening.

Andika menoleh kecil.

"Bilang sama orang yang berkoar tadi! Ka-

lau tak berhenti berteriak, dia akan ku.... Akan 

ku..., akan kuapakan, ya? Buju buneng! Padahal, 

tadi aku ingat akan kuapakan dia!" oceh Pendekar 

Dungu.

"Bagaimana kalau kita jewer telinganya, 

Pak Tua?!" ledek Andika, menanggapi kesewotan 

Pendekar Dungu.

"Jangan! Lebih seru, kalau disunat saja!"

"Ha-ha-ha!" Andika kontan tergelak.

"He-he-he!" Pendekar Dungu menimpali 

dengan kekehan jeleknya. 

"Atau kita cabuti bulu anunya, eh! Mak-

sudku, bulu keteknya!"

"Hie-he-he...."

"Hush!"

Hanya dua lelaki beda usia itu yang tam-

pak meriah sendiri. Ya, hanya mereka. Sementa-

ra, yang lain hanya memperhatikan dengan pan-

dangan bingung. Apanya yang lucu dalam suasa-

na setegang ini? Pikir awak kapal dari Kerajaan 

Cina itu.

Selagi Andika dan Pendekar Dungu ramai 

dengan tawa mereka, mendadak saja merebak

lengking ganjil dari kapal Ular Laut Kepala Kem-

bar. Tak cukup disebut mirip jeritan, tak juga su-

ara dengking binatang.

Terdengar pendek saja lengkingan itu men-

desak udara. Tapi, cukup melabrak setiap telinga. 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!"

Ibarat malaikat maut yang menjelma dalam 

bentuk suara, beberapa orang di atas kapal ber-

beda langsung memekik kesakitan. Mereka men-

dekap telinga rapat-rapat. Sedang sebagian yang 

lain langsung menemui ajal. Tubuh mereka ter-

sentak sekejap, seakan dialiri tegangan amat 

tinggi. Dari lubang telinga tak henti-hentinya 

mengalir darah meski tubuh mereka sudah berge-

limpangan

Korban di kapal Kerajaan Cina milik Ying 

Lien jatuh empat orang. Semuanya prajurit. Andi-

ka yang tak siap akan serangan ini tak sempat 

melindungi para prajurit malang itu. Kalau saja 

bisa lebih cepat sedikit saja memapaki kekuatan 

suara barusan lewat tenaga saktinya di udara, 

tentu mereka tak perlu menjadi korban.

Pendekar Slebor sendiri harus menutup 

pendengarannya rapat-rapat dengan tangannya, 

itu pun ditambah pula dengan pengerahan hawa 

murni dari dalam. Sedikit terlambat saja, gendang 

telinganya bisa pecah!

Begitu juga Ying Lien, empat perwira Cina, 

dan beberapa orang lain yang cukup memiliki te-

naga dalam tinggi. Bahkan Pendekar Dungu yang

tergolong tokoh kawakan. 

"Jin botak mana yang nekat main-main 

denganku?!" sentak Pendekar Slebor kalap dan

agak pongah. Kulit mukanya memerah pertanda 

kegusaran hebat.

"Jadi itu tadi suara jin botak, ya?" tanya 

Pendekar Dungu, lugu. Mata lelaki keropos ini 

membesar seperti uang gobangan. Mungkin su-

dah banyak jin yang dilihatnya sepanjang umur 

yang demikian uzur. Tapi kalau jin botak?

"Ih! Kupikir tadi itu suara kentutmu, Anak 

Muda...," tambah si tua bangka lagi, pada Andika.

Pendekar Slebor seperti tak peduli pada ke-

tololan Pendekar Dungu. Mata anak muda ini je-

lalatan mengawasi kapal Ular Laut Kepala Kem-

bar yang melintang di depan kapal Kerajaan Cina. 

Belum ada sedikit pun tanda-tanda kehidupan di 

sana. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan 

seekor nyamuk pun!

Jadi, itu tadi suara apa? Atau suara siapa?

"Hoi...! Siapa pun kau, yang telah berteriak 

sembarangan! Tampakkan dirimu! Apa kau punya 

wajah yang terlalu jelek, hingga malu memperli-

hatkan?!" pancing Andika.

Belum juga ada perubahan.

Andika mulai merasa dipermainkan.

"Ini tak bisa didiamkan!" rutuk Pendekar 

Slebor seperti bicara sendiri.

"Sudah ada korban yang jatuh. Aku tak bi-

sa mendiamkan begitu saja...."

Kemudian Pendekar Slebor beranjak dari

tempatnya.

"Apa yang kau ingin lakukan, Andika?" 

tanya Ying Lien ketika mendengar langkah kaki 

Andika. 

"Kau lihat saja nanti. Kita akan tahu, apa-

kah penghuni kapal itu benar-benar punya nyali 

untuk berhadapan denganku secara ksatria!"

"Jadi kau ingin memasuki kapal itu, Andi-

ka?" tebak Ying Lien.

Andika tak menjawab. Terus saja kakinya 

melangkah ke hidung kapal layar.

"Andika! Ada apa ini?! Kenapa aku tak di-

beritahu sama sekali?"

Mendadak saja Chin Liong muncul dari 

pintu lambung kapal. Di belakangnya, dua praju-

rit dan seorang tabib Cina tua tergesa-gesa men-

gekorinya.

Andika menoleh. Tak disangka Chin Liong 

sudah tampak membaik.

"Maaf, Putri.... Aku sudah berusaha mena-

han Panglima Chin Liong agar tidak keluar dari 

kamarnya. Tapi...," lapor seorang prajurit yang 

mengikuti Chin Liong keluar dengan suara terpu-

tus. Namun, kata-kata itu segera disambut acun-

gan tangan oleh Ying Lien.

"Tidak apa-apa," kata Ying Lien.

"Aku mendengar suara aneh memekakkan 

tadi. Itu sebabnya aku merasa harus keluar. 

Lengkingan tadi bukan suara main-main. Itu se-

rangan hebat yang hanya bisa diberitahu?" cecar 

Chin Liong lagi

Pemuda bermata sipit ini merasa telah di-

acuhkan demikian rupa. Padahal, selaku pangli-

ma kerajaan, dia yang paling berwenang dalam 

mengatasi angkatan perang dan putrinya.

"Aku sengaja tak memberitahukanmu, se-

telah mengetahui kau mengalami luka cukup pa-

rah saat terjadi badai," sahut Ying Lien, memberi 

alasan.

"Kau menganggapku begitu lemah?" sengit 

Chin Liong, setengah berbisik.

Sekali lagi, Chin Liong harus tetap menjaga 

kehormatan putrinya yang sesungguhnya sudah 

seperti saudara kandung sendiri.

"Aku tidak bermaksud begitu," kilah Ying 

Lien tetap tenang.

"Tapi...."

Chin Liong masih ingin bersikeras. Sung-

guh mati hatinya tersinggung dengan perlakuan 

terhadap dirinya. Mana tanggung jawabnya seba-

gai seorang panglima kalau tak berada paling de-

pan, saat keadaan darurat seperti sekarang? Apa-

lagi ketika melihat dengan mata kepala sendiri

kapal-kapal perompak telah mengurung kapal 

mereka. Dan satu lagi, kapal Ular Laut Kepala 

Kembar benar-benar memaksanya terkesiap.

"Putri, Tuan Andika melompat ke laut. 

Tampaknya dia ingin menyatroni kapal Ular Laut 

Kepala Kembar!"

Pertengkaran kecil dua anak muda berpen-

garuh dari Kerajaan Cina itu terpenggal laporan 

Perwira Naga.

"Apa?!" Ying Lien dan Chin Liong berseru 

berbarengan.

Mereka berdua sudah kenal baik Andika 

sejak lama. Pemuda itu pula yang telah memban-

tu penumpasan pemberontak yang merongrong 

Kerajaan Cina, yang hendak direbut dari tangan 

ayah Ying Lien. Dan Pendekar Slebor sudah bagai 

pahlawan bagi keduanya. Khususnya, pahlawan 

di hati (Untuk lebih jelasnya, baca episode: "Pen-

gejaran Ke Cina").

Mereka juga cukup tahu, bagaimana sifat 

Pendekar Slebor. Ya, keras kepalanya. Ya, keacu-

hannya. Bahkan urakannya. Termasuk, keneka-

tannya yang kelewat batas.

Tapi yang akan disatroninya sekarang ada-

lah kapal Ular Laut Kepala Kembar! Satu-satunya 

cerita menggidikkan yang bertahan selama pulu-

han tahun menggerayangi kawasan Laut Cina Se-

latan!

"Aku tak percaya ini," desis Chin Liong. 

"Dulu, dia menantang terang-terangan Empat 

Penguasa Penjuru Angin yang menguasai napas 

dunia persilatan Daratan Cina. Kini, dia hendak 

mendatangi sarang manusia setengah siluman di

kapal itu?"

Chin Liong jadi bergidik menyadari betapa 

nekatnya Pendekar Slebor. Sewaktu menghadapi 

Empat Penguasa Penjuru Angin, Pendekar Slebor 

bertarung di daratan. Dan kalau sekarang, pemu-

da ini berada di atas wilayah kekuasaan Ular Laut 

Kepala Kembar. Padahal, segenap kekuatan gelap

dasar laut sahabatnya membentengi kapal hantu 

itu.

"Apa yang harus kita lakukan, Chin Liong?" 

tanya Ying Lien tertekan.

Wanita ini berusaha menguasai perasaan 

kacaunya. Jangan tanya, bagaimana khawatirnya 

Ying Lien terhadap pemuda yang telah menanam 

benih cinta teramat dalam pada relung batinnya.

Pandangan seluruh awak kapal Kerajaan 

Cina kini terpusat pada tubuh Andika. Tak hanya 

mereka. Namun, ratusan pasang mata lain dari 

kapal-kapal perompak pun mengawasi dengan 

takjub.

Sedang anak muda yang menjadi pusat 

perhatian meluncur mantap namun pasti, di atas 

kain pusaka bercorak caturnya. Dengan tangan 

bersilang di dada, tubuhnya mendekati tujuan 

perlahan. Entah, bagaimana caranya Pendekar 

Slebor membuat kain pusakanya meluncur di 

permukaan laut seperti itu,

Bagi para perompak, kapal Ular Laut Kepa-

la Kembar tak sekadar kapal penyamun. Penghu-

ninya adalah penguasa Laut Cina Selatan yang di-

liputi teka-teki tak pernah tersingkapkan. Mereka 

adalah orang-orang yang sulit diterka maksud-

nya. Manusia-manusia yang sudah dianggap se-

tengah siluman!

Sewaktu hendak mengepung armada Cina, 

para penyamun dari kapal-kapal lain itu sebenar-

nya dibuat terkesiap menyaksikan ada kapal Ular 

Laut Kepala Kembar telah menghadang di depan.

Itu sebabnya, sejak semula mereka hanya berani 

mengepung kapal armada Cina tanpa berniat me-

lakukan tindakan lebih lanjut.

"Aku...," Chin Liong kehabisan kata. "Je-

lasnya, Andika dalam ancaman maut! Dan aku 

tak ingin membiarkannya berjuang sendiri meng-

hadapi mereka!"

"Kau tidak akan menyusul Andika, bu-

kan?" tanya Ying Lien ragu.

Chin Liong menggeleng. Wajahnya kaku, 

berusaha membunuh rasa ngeri yang menyeruak 

di dalam dirinya.

"Aku memang akan menyusulnya," tandas 

pemuda Cina itu.


5


Selama hidup, Chin Liong tak pernah me-

nyangka akan mengalami pengalaman sehebat 

sekaligus mendebarkan seperti pernah dialaminya 

bersama Andika. Dengan kali ini, berarti dia dua 

kali sudah berurusan dengan tokoh-tokoh berke-

saktian tak terukur. Semuanya selalu pada saat 

bersama pendekar muda besar adat itu.

Apa ini semacam keberuntungan yang di-

bawa Andika, atau malah kesialan? Chin Liong ti-

dak tahu. Bahkan tidak mau tahu. Yang jelas, se-

karang dia harus bersiap-siap menghadapi maut. 

Kemungkinan dirinya akan tewas pasti sangat be-

sar meskipun bersama seorang pendekar muda 

besar yang bukan hanya kesaktiannya yang dapat 

diandalkan, tapi juga kecerdikannya.

"Andika, tunggu!" teriak Chin Liong, seraya 

melompat ke permukaan laut yang beriak kecil 

memainkan ketegangan yang terus saja berkeca-

muk.

Andika dipaksa menoleh ke belakang. Su-

dah pasti kenal betul suara yang memanggilnya. 

Dan dia pun tahu pasti keadaan Chin Liong saat 

ini. Pasti sahabatnya itu masih belum siap berta-

rung. Apalagi, ini menyangkut pertarungan luar 

biasa. Padahal kemarin malam Chin Liong baru 

saja terluka cukup parah.

"Hey? Aku tak pernah menyuruhmu men-

jadi sinting seperti aku!" bentak Andika ketika 

melihat sahabatnya mendarat pada perahu kecil 

yang sebelumnya telah diturunkan dua orang

prajurit dari sisi kapal. "Apa yang kau ingin laku-

kan?!"

Urat-urat leher Pendekar Slebor sampai 

menyembul keluar, karena terlalu keras berteriak. 

Sedangkan Chin Liong sendiri tak ingin menang-

gapi teriakan-teriakan Andika. Dikayuhnya pera-

hu, sambil berdiri. Dia bukanlah tokoh macam 

Andika yang mampu memanfaatkan benda-benda 

ringan untuk mengapung di atas permukaan air. 

Namun, jangan pernah meremehkan keberanian-

nya.

Perahu Chin Liong telah tersampir pedang 

pusaka terhebat dari Daratan Cina. Pedang Pusa-

ka Langit! Mungkin hanya itu satu-satunya anda-

lannya, selain harapan takdir dari Yang Maha 

Kuasa.

Dengan Pedang Pusaka Langit, pemuda Ci-

na ini mampu meningkatkan kekuatan tenaga da-

lamnya hingga sepuluh kali lebih kuat. Sementara 

pedang itu sendiri memiliki ketajaman melebihi 

logam-logam terunggul dari perut bumi. Tebasan-

nya akan berbentuk sinar berwarna merah bata, 

mengandung tenaga panas dari batuan bintang 

luar angkasa. Dan jika ditebaskan pada baja, ma-

ka niscaya sasarannya akan mudah terpotong 

layaknya lilin terbabat potongan besi membara! 

(Baca kisah pedang pusaka ini dalam episode: 

"Pusaka Langit" dan "Pengejaran Ke Cina").

"Aku tanya, apa yang hendak kau laku-

kan?!" ulang Andika sengit.

Karena dikayuh lewat pengerahan tenaga

dalam, perahu Chin Liong pun melaju cepat me-

nyusul.

"Kau lihat, aku seperti hendak melakukan 

apa?" kata Chin Liong balik bertanya, menanggapi 

pertanyaan dongkol Andika.

"Sial! Kau kan masih terluka dalam?!"

"Bukan alasan buatku untuk mundur!"

"Tapi, aku tidak mau kau mampus secara 

konyol di kapal itu, tahu?!"

"Aku akan mati sebagai pahlawan di sana!" 

timpal Chin Liong, terhadap kekasaran Andika. 

Dia tampaknya terpancing.

"Kau mau kembali, apa tidak?!" 

"Tidak! Sekali maju ke medan laga, aku tak 

berniat mundur!"

"Mau, apa tidak?!" 

"Jangan memaksaku, Andika!" 

"Jadi, kau tak mau kembali?!"

"Tidak!"

"Yaaa, sudah...."'

Andika meluncur lagi acuh tak acuh, se-

perti tak pernah terjadi apa-apa. Di lain sisi, Chin 

Liong masih terengah-engah mengatur napas. Ha-

tinya gusar bukan main. Kalau tengkorak kepa-

lanya dari kerupuk, sudah pasti ubun-ubunnya 

akan dibobol aliran darahnya!

Tak ada lagi tarikan napas, Andika sudah 

tiba dekat sisi lambung kapal Ular Laut Kepala 

Kembar. Tanpa suara berarti, tubuhnya melompat 

manis ke atas kapal seraya menyambar kain pu-

sakanya.

Tep! 

Ringan sekali pagar kapal dijadikan Andika 

sebagai tempat berpijak. Sambil menunggu Chin 

Liong tiba, dipasangnya kuda-kuda waspada. Ma-

tanya berkeliaran mengawasi setiap sudut kapal. 

Masih tetap bisu seperti sebelumnya. Debu di lan-

tai geladak, pecahan-pecahan papan kapal, ka-

bang-kabang, sarang laba-laba, tulang-tulang 

berserakan, noda-noda darah mengering.... Kapal 

itu benar-benar tak bedanya kapal hantu!

Tak begitu lama, Chin Liong tiba pula di si-

si yang sama. Lelaki sipit berwajah tampan ini 

melompat ringan ke sisi Andika berdiri.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya Chin 

Liong, tanpa menoleh.

Seperti dituntun naluri kependekaran da-

lam dirinya, mata pemuda itu turut berkeliaran 

ke segenap sudut kapal.

Andika menggeleng. "Belum ada satu ke-

coak pun kulihat," sahut Pendekar Slebor seenak 

dengkul.

"Apakah kita akan masuk ke dalam kapal?" 

tanya Chin Liong, meminta pendapat.

Andika seperti belum kenyang membuat 

Chin Liong gusar. Maka tanpa menjawab, dia su-

dah melompat menuju pintu ruang dalam kapal.

Sementara dalam hati, Chin Liong me-

nyumpah-nyumpah. Lalu segera disusulnya An-

dika.

* * *

Ada satu keganjilan dirasakan para awak 

kapal armada Kerajaan Cina. Ketika itu, mereka 

sedang menanti tegang Andika dan Chin Liong 

yang memasuki kapal Ular Laut Kepala Kembar. 

Dan kini dari kejauhan, salah seorang awak me-

laporkan adanya kapal baru yang terlihat.

Salah seorang perwira kemudian menga-

wasi melalui teropong. Dikira ada satu kapal pe-

rompak lagi yang muncul. Kalau benar, maka ha-

rapan untuk lolos akan semakin tipis. Ternyata, 

dugaannya meleset. Menurut pengamatannya, 

kapal itu ternyata adalah armada dagang dari Gu-

jarat.

Anehnya, tak ada satu kapal perompak 

pun berminat menghadangnya. Padahal, mereka 

bisa mengejarnya. Mengingat, kapal dari Gujarat 

itu berukuran lebih kecil dari kapal-kapal mereka.

Apa mungkin karena ukuran kapal itu tak 

mengundang selera? Tidak mungkin! Para perom-

pak itu tentu lebih tahu, ada lebih banyak benda-

benda berharga yang bisa didapatkan di sebuah 

kapal dagang, biarpun ukurannya tak seberapa 

besar.

"Lalu, kenapa mereka tak menggubris?" bi-

sik perwira yang masih memegang teropong.

Sampai kapal dagang Gujarat itu menjauh, 

seluruh kapal-kapal perompak di sekeliling kapal 

Kerajaan Cina itu tetap tak beranjak.

"Benar-benar aneh," tanggap Ying Lien, 

mendengar laporan perwira tadi. "Sepertinya mereka semua mengincar sesuatu di kapal kita...."

"Sesuatu yang sama-sama diinginkan," 

timpal Perwira Naga.

"Tapi, apa? Kita tak membawa emas per-

mata dalam perjalanan ini," tukas perwira lain.

"Apa kita tidak tahu sesuatu yang mereka 

ketahui?" gumam Ying Lien, bertanya. 

"Bagaimana, Putri?" tanya Perwira Naga.

"Entahlah. Aku sulit membaca maksud me-

reka...."

"Ya, terlalu sulit. Pada dasarnya, kita tak 

memiliki apa-apa untuk dibegal. Lalu apa lagi 

yang mereka inginkan?" desis Perwira Naga.

***

Sementara itu, Andika sudah mulai mena-

paki anak tangga menuju ruang dalam kapal Ular 

Laut Kepala Kembar. Suasana makin menegang. 

Degup jantungnya kian berdetak lebih kencang. 

Memasuki lambung kapal, kelengangan mering-

kus. Tak ada selintas bunyi apa pun. Sampai-

sampai, detak jantung Andika dapat terdengar.

Agar tak melahirkan bunyi mencurigakan, 

sengaja pendekar muda ini mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh sampai tingkat tertentu. 

Langkahnya menjadi demikian tinggi, tak akan 

melahirkan derit pada kayu keropos apa pun.

Beberapa anak tangga terlewati. Tubuhnya 

sudah masuk sepenuhnya ke perut kapal penuh 

teka-teki ini. Di belakangnya, Chin Liong menyu

sul. Ksatria Kerajaan Cina ini memang tak sehe-

bat Pendekar Slebor dalam menguasai berat tu-

buhnya. Namun, dia masih cukup mampu berja-

lan tanpa suara.

Keadaan di dalam sana remang-remang. 

Nyaris gelap. Bau menusuk hidung langsung 

menguak hidung mereka berdua. Bau bangkai 

yang menebar, membuat perut Andika dan Chin 

Liong sampai terasa diaduk-aduk. Mereka pasti 

muntah, kalau tak segera mengatur napas.

Ketika Andika menjejakkan kaki pada da-

sar ruangan, tiba-tiba saja bau bangkai busuk 

memupus. Selanjutnya, digantikan bau yang tak 

kalah menusuk. Sulit dipastikan, bau apa itu. 

Yang jelas, Chin Liong sampai tak bisa bertahan 

dari serangan memuakkan ini.

Segera pemuda sipit itu memburu keluar. 

Di luar, isi perutnya langsung dimuntahkan.

Andika sendiri berusaha bertahan. Bukan-

nya Pendekar Slebor tak merasakan hal yang sa-

ma seperti dialami Chin Liong. Hanya untuk hal 

bebauan, nampaknya Andika punya kelebihan. 

Dulu, dia memang gelandangan kotapraja yang 

sudah bersahabat akrab dengan segala jenis bau 

busuk. Entah bau kotoran parit kotapraja, atau 

bau ketiak setan belang!

Dengan sedikit pengaturan napas dan pe-

nyaluran hawa murni dalam paru-parunya, Pen-

dekar Slebor akhirnya bisa mengenyahkan rasa 

mual. Namun belum lagi lega, satu bayangan ber-

kelebat melintas amat cepat di hadapannya.

Andika terkesiap. Kuda-kuda siap tempur 

yang sejak semula dipersiapkan, segera dibentuk 

menjadi jurus pertahanan. Dan.... 

Wrrrsss!

Apa gerangan yang terjadi? Andika belum 

bisa memastikannya. Dia sendiri sama sekali be-

lum merasakan ada serangan. Telinganya hanya 

mendengar desisan sember dari arah kelebatan 

bayangan tadi.

Sampai akhirnya....


6


Mendadak pandangan Pendekar Slebor 

menjadi pekat sama sekali, tanpa dapat melihat 

apa-apa. Tak juga berkas sinar sekedip pun. Tak 

pula disadari, apa yang terjadi sesungguhnya. 

Sampai penglihatannya kembali jelas dengan tiba-

tiba, bersama rasa pedih di wajahnya.

Saat itulah Andika dengan jelas melihat 

kembali kelebatan bayangan tadi. Sosok itu bu-

kanlah seseorang, tapi seekor kelelawar besar hi-

tam seukuran elang yang berkelebat amat cepat.

Rupanya, kelelawar itu yang telah menyer-

gap wajahnya demikian cepat, manakala Pende-

kar Slebor sendiri belum benar-benar siap meng-

hindar. Wajahnya tertutup kelelawar besar itu, 

sehingga dia tak melihat apa-apa.

Kini Pendekar Slebor merasakan pedih 

yang merasuki wajah diakibatkan cakaran bina-

tang laknat itu!

"Binatang slompret!" maki Andika giris.

Tangan Andika segera mendekap luka di 

kedua pipinya yang memanjang. Amat pedih tera-

sa.

"Bagaimana binatang itu bisa bergerak de-

mikian cepat?!" desis Andika lebih lanjut. 

Hanya ada satu-satunya kemungkinan. Bi-

natang itu pasti peliharaan seseorang yang sudah 

terlatih. Kalau tidak, mana mungkin seorang

pendekar yang memiliki naluri begitu tajam seper-

ti Andika bisa terkecoh?

Ruang dalam pengap serta lembab itu diri-

cuhi kembali oleh kepak liar si kekelawar. Mak-

hluk buruk itu bergerak lincah dari satu sudut, 

ke sudut lain. Sebentar tubuhnya menggelantung 

di sudut dinding kayu buram kapal, sebentar ke-

mudian bergerak kembali. Suaranya memekik-

mekik ramai, seolah hendak mencoba menggertak 

tamu tak diundang yang baru saja berhasil dilu-

kainya....

"Aku bukan mencarimu, Slompret! Me-

mangnya aku bego! Suara lengkingan yang telah 

membunuh beberapa awak kapal sahabatku, pas-

ti bukan teriakanmu yang jelek itu!" sumpah se-

rapah Andika meluncur selincah gerak si kelela-

war. 

"Keiiikh!"

Si kelelawar menyahuti dengan pekikan-

nya. Memang bukan suara bertenaga luar biasa 

yang telah menyebabkan kematian beberapa awak 

kapal Kerajaan Cina.

Andika hendak melangkah. Berurusan 

dengan hewan tak berotak seperti itu malah akan 

membuang waktunya percuma. Tapi baru saja 

kakinya beranjak, binatang tadi menyambarnya 

kembali.

Dan terlalu tolol kalau Pendekar Slebor ha-

rus terkecoh dua kali oleh seekor kelelawar. Maka 

hanya dengan mencondongkan badan ke bela-

kang, tubuhnya sudah selamat dari cakaran hewan menjengkelkan itu.

"Pergi! Pergi kataku! Jangan coba mengha-

langi langkahku!" bentak Andika.

Pendekar Slebor ngotot hendak melangkah 

lagi. Dan lagi-lagi kelelawar itu melakukan sam-

baran cepat.

"Keuikh!" 

Wrrr!

"Eeh! Kepala batu juga kau, ya?!" dengus 

Pendekar Slebor.

Habis sudah kesabaran Andika. Wajahnya 

yang sudah tercakar, masih pula dihalang-

halangi.

Maka sewaktu si kelelawar besar mencoba 

mengoyak dada bidangnya, Andika bergerak ce-

pat. Jangankan binatang itu, kelebetan seekor 

walet pun tak akan luput dari gerak tangannya. 

Sehingga.... 

Prek!

Dengan sepasang tangan yang telapaknya 

terbuka lebar, Pendekar Slebor berhasil menge-

pruk binatang penggangu itu. 

"Rasakan! Biar jadi perkedel kau!" rutuk 

Pendekar Slebor ketika kelelawar masih dalam 

himpitan tangannya.

Puas! Andika puas. Pikirnya, binatang itu 

telah remuk menjadi setumpuk daging empuk. 

Namun, dugaannya justru meleset. Sewaktu tan-

gannya dibuka, binatang pengganggu yang ta-

dinya tak bergerak itu mendadak menggeliat. La-

lu....

"Wadau! Slompreeet!"

Andika berjingkat-jingkat seraya mengibas-

nyibakkan tangan, begitu kelelawar itu menggigit 

jari kelingkingnya! Kalau saja Andika terlambat, 

mengebutkan tangan, sudah pasti jari kelingking-

nya putus!

Sesudah berhasil mempecundangi, bina-

tang itu buron begitu saja. Masuk lebih dalam ke 

ruangan lambung kapal pengap bercahaya lamat.

"Kau baik-baik saja?!"

Tiba-tiba meluncur suara Chin Liong dari 

belakangnya. Pemuda sipit ini tadi masuk terge-

sa-gesa, setelah bersemadi sekian lama untuk 

mempersiapkan diri agar tidak dikalahkan bau 

memuakkan di dalam sana.

Andika meringis-ringis.

"Tidak apa-apa," kata Pendekar Slebor. 

"Ada binatang kurang kerjaan mengerjai aku!"

"Ha-ha-ha!" Chin Liong tertawa.

"Kenapa tertawa? Kau pikir lucu?"

"Tentu saja! Seumur-umur, tak pernah ter-

pikir olehku kalau pendekar besar sepertimu ma-

sih bisa kecolongan oleh seekor binatang...," selo-

roh Chin Liong.

"Ah! Itu sih bisa-bisaku saja...," hindar An-

dika, pura-pura.

Mereka lalu mulai memasuki ruang demi 

ruang di dalam kapal Ular Laut Kepala Kembar. 

Sejak peristiwa penyerangan si kelelawar, kedua

pemuda itu mulai bisa menguasai ketegangan. 

Saraf mereka agak mengendur, setelah menerta

wai kesialan Andika. Sewaktu mulai memeriksa 

setiap ruang dalam lorong kapal, ketegangan itu 

datang lagi. Bahkan, lebih parah daripada sebe-

lumnya.

Walau begitu, mereka tak lagi menemukan 

ancaman. Tak juga hadangan dari seekor kelela-

war buas tadi. Yang ditemukan hanya ruang-

ruang kosong tak terurus. Remang-remang dan 

pengap.

Jauh di luar gambaran sebuah kapal layar 

perompak paling ditakuti yang mestinya menim-

bun harta rampasan di beberapa ruangan, yang 

mereka temukan justru serakan tulang-belulang 

manusia di sana-sini. Debu tebal dimana-mana. 

Sementara jajahan sarang laba-laba tampak 

hampir memenuhi di setiap sudut.

Di mana pun dalam lambung kapal itu, 

bau bangkai busuk terus mengikuti kedua anak 

muda ini.

"Aku tak percaya ini," bisik Chin Liong se-

perti bergumam sendiri. "Bagaimana mungkin 

kapal itu dihuni perompak ulung. Bahkan paling 

ulung...."

Lain yang dipikirkan Chin Liong, lain pula 

Pendekar Slebor. Ada satu keganjilan yang terasa 

olehnya. Kalau tujuan mereka datang ke kapal 

adalah hendak menuntut keadilan pada awak 

kapal yang telah membuat beberapa orang tewas, 

lalu ke mana awak kapal itu? Benak Andika mulai 

mereka-reka.

"Kau yakin kita telah memeriksa seluruh

ruangan dalam kapal ini, Chin Liong?" tanya An-

dika, ragu. 

"Ya! Kenapa?"

"Apa kau temukan awaknya?" susul Andika 

lagi.

Chin Liong menggeleng. Otaknya mencoba 

meraba maksud pertanyaan sahabatnya. "Apa tak 

terasa aneh?"

Ya! Tentu saja Chin Liong merasakan pula 

keanehan itu. Itu pun setelah Andika mengajukan 

pertanyaannya.

"Benar," desis Chin Liong, menyadari satu 

kesalahan yang telah mereka buat. Kesalahan 

apa, dia sendiri masih sulit mengungkapnya. 

Hanya saja, terasa ada yang tidak beres.

"Ingat kelelawar yang menyerangku?" susul 

Andika.

Chin Liong mengangguk. 

"Kenapa dengan binatang itu, Andika?" 

tuntut Chin Liong, terburu-buru.

Pertanyaan penasaran Chin Liong tak 

mendapat jawaban. Karena, Andika lebih berge-

gas memburu ke pintu keluar. Bahkan dia sempat 

mendorong tubuh Chin Liong, karena begitu ter-

buru-buru.

"Andika! Ada apa sebenarnya?" seru Chin 

Liong begitu mereka hampir tiba di geladak.

Chin Liong yakin larinya Andika yang 

memburu bukan karena ketakutan. Bukan sifat 

pemuda itu untuk dikalahkan rasa takut sebesar 

apa pun. Tapi, apa?


"Bangsat!" damprat Andika ketika tiba di 

luar.

Mata Pendekar Slebor yang jalang meman-

dang ke arah kapal armada Cina Ying Lien. Di sa-

na, sedang terjadi pertarungan antara prajurit, 

perwira Kerajaan Cina dan Ying Lien, melawan 

dua lelaki berwajah buruk.

"Astaga! Bagaimana Dua Ular Laut itu bisa 

tiba di kapal kita?!" sentak Chin Liong terperan-

gah tak alang kepalang, begitu ikut menyaksikan 

apa yang terjadi.

Untuk kedua kalinya, pertanyaan pemuda 

Cina itu tak digubris Pendekar Slebor. Karena, 

pendekar muda tanah Jawa itu sudah melompat 

ke laut.

Chin Liong menyusul di belakang. Dengan 

cara yang sama seperti sebelumnya, mereka kem-

bali ke kapal armada Kerajaan Cina.

Bagaimana Andika bisa tahu kalau Dua 

Ular Laut telah menyeberang ke kapal mereka? 

Sederhana saja, menurut Andika. Dengan tidak 

ditemukannya penghuni kapal, berarti Dua Ular 

Laut telah pergi. Sewaktu Andika dan Chin Liong 

baru saja hendak memasuki ruang dalam kapal, 

kelelawar yang bisa dipastikan sebagai hewan pe-

liharaan Dua Ular Laut, mencoba menahan Andi-

ka. Jelas, maksudnya agar kedua tuannya sempat 

meninggalkan kapal. Andika menyadarinya, sete-

lah teringat pada kelelawar buas yang tiba-tiba 

saja meninggalkannya....

***

Kerusuhan maut berkobar telah cukup la-

ma, sampai Andika dan Chin Liong menyada-

rinya.

Di atas kapalnya, Ying Lien harus mengha-

dapi Ular Merah seorang diri. Di lain sisi, empat 

perwira serta para prajurit sungsang-sumbel 

menghadapi gempuran Ular Belang.

Kalau pertarungan Ular Belang dengan la-

wan-lawannya meledak dengan jurus-jurus keras, 

pertarungan Ying Lien melawan Ular Merah lain 

lagi. Ke-duanya mengadu kesaktian, tanpa sedikit 

pun melakukan gempuran jurus-jurus.

Ying lien yang memiliki pendengaran tera-

mat peka, dipaksa bertahan mati-matian didesak 

lengkingan demi lengkingan tinggi kelelawar besar 

yang menggelantung di lengan membentang si 

Ular Merah,

Rupanya kali ini Andika salah menduga 

tentang satu hal. Ternyata memang lengkingan 

kelelawar itu yang telah membunuh beberapa 

prajurit sebelumnya.

Dengan bantuan tenaga sakti tuannya, jeri-

tan kelelawar itu mampu mengoyak-ngoyak jarin-

gan otak seorang berilmu cetek! Itu sebabnya, 

Andika tak menyangka sama sekali bila si kelela-

war bisa menghasilkan lengkingan maut. Sebab, 

saat bertemu kelelawar itu tuannya tak ada di 

tempat 

"Keeeiiik!"

Entah untuk yang keberapa kali lengkin-

gan kelelawar besar di tangan Ular Merah terle-

pas. Setiap kali terdengar, Ying Lien langsung ter-

sentak hebat. Tubuhnya mengejang, seperti se-

seorang yang dilabrak petir.

Wajah gadis cantik itu sudah membiru, 

pertanda memaksakan seluruh tenaganya untuk 

melawan desakan lengkingan. Tangannya menu-

tup rapat-rapat telinga. Mungkin pengerahan te-

naga saja, terasa tak cukup baginya. Bahkan kini, 

matanya terpejam menahan sakit.

Pada lengkingan berikutnya, mengalir da-

rah kental kehitaman dari lubang hidung Ying 

Lien. Lalu dari sela-sela bibir tipisnya, cepat keti-

ka tubuhnya tersentak kembali.

Benteng pertahanan putri Cina itu kian 

merapuh. Kuda-kudanya mulai bergetar mele-

mah, lalu mulai pula tersimpuh.

Genting. Keadaannya semakin genting.

"Keeeiiikh!" 

"Ahhh...."

Pada sentakan terakhir, Ying lien pun ter-

puruk ke depan. Tubuhnya lunglai, tersujud di 

lantai geladak. Sekali lagi lengkingan menggebah, 

maka akan pecahlah gendang telinga gadis ini. 

Bisa-bisa indera pendengarannya yang selama ini 

sudah menjadi pengganti indera penglihatannya, 

akan hilang. Atau lebih parah lagi, dia bisa kehi-

langan satu-satunya yang dimiliki. Nyawa!

***

Betapa murkanya Pendekar Slebor. Begitu 

kakinya menjejak geladak, langsung disuguhkan

pemandangan mengenaskan. Tampak Ying Lien 

sudah terpuruk lunglai di lantai kayu geladak 

yang telah dinodai darahnya.

Kontan si pendekar kelotokan ini mencak-

mencak tak karuan. Disemburnya Ular Merah 

dengan makian paling kasar yang pernah diden-

gar manusia sepanjang zaman.

"Ying Lien!" seru Chin Liong di sisi Pende-

kar Slebor, setelah matanya pun menemukan tu-

buh gadis itu.

Kemudian Chin Liong menghambur ke 

arah Ying Lien. Disanggahnya tubuh lunglai gadis 

itu di dada bidangnya.

Ying Lien mengeluh lamat.

"Tenang, Ying Lien.... Kau akan selamat," 

bisik Chin Liong, terduduk di lantai geladak.

Napas pemuda sipit ini turun naik membu-

ru, diberontaki perasaan tak karuan. Murka, 

gundah, trenyuh, dan kegeraman. Semuanya 

campur-aduk. Kemudian, diletakkannya kepala 

putri Cina ini di lantai geladak. Hati-hati sekali.

"Akan kubunuh kau, Keparat!" geram Chin 

Liong kemudian kepada Ular Merah yang masih 

berdiri dingin sekitar tujuh depa di sisi kanannya.

Chin Liong bangkit bersama bara kemara-

han di segenap dada. Kedua telapak tangannya 

mengepal kuat-kuat, seakan hendak meremukkan 

jari-jemarinya sendiri. Diawali gemeletuk rahang

Betapa murkanya Pendekar Slebor. Begitu 

kakinya menjejak geladak, langsung disuguhkan

pemandangan mengenaskan. Tampak Ying Lien 

sudah terpuruk lunglai di lantai kayu geladak 

yang telah dinodai darahnya.

Kontan si pendekar kelotokan ini mencak-

mencak tak karuan. Disemburnya Ular Merah 

dengan makian paling kasar yang pernah diden-

gar manusia sepanjang zaman.

"Ying Lien!" seru Chin Liong di sisi Pende-

kar Slebor, setelah matanya pun menemukan tu-

buh gadis itu.

Kemudian Chin Liong menghambur ke 

arah Ying Lien. Disanggahnya tubuh lunglai gadis 

itu di dada bidangnya.

Ying Lien mengeluh lamat.

"Tenang, Ying Lien.... Kau akan selamat," 

bisik Chin Liong, terduduk di lantai geladak.

Napas pemuda sipit ini turun naik membu-

ru, diberontaki perasaan tak karuan. Murka, 

gundah, trenyuh, dan kegeraman. Semuanya 

campur-aduk. Kemudian, diletakkannya kepala 

putri Cina ini di lantai geladak. Hati-hati sekali.

"Akan kubunuh kau, Keparat!" geram Chin 

Liong kemudian kepada Ular Merah yang masih 

berdiri dingin sekitar tujuh depa di sisi kanannya.

Chin Liong bangkit bersama bara kemara-

han di segenap dada. Kedua telapak tangannya 

mengepal kuat-kuat, seakan hendak meremukkan 

jari-jemarinya sendiri. Diawali gemeletuk rahang

nya, diterkamnya Ular Merah dengan membabi 

buta.

"Chin Liong, tunggu!" Andika mencoba me-

nahan.

Sayang terlambat. Chin Liong sudah me-

luncur deras ke arah calon lawannya. Tubuhnya 

mengejang di udara, tak bedanya sebatang tom-

bak baja. Tangan kanannya mengacung lurus ke 

depan. Satu tangan yang lain merapat di dada. 

Dengan kepalan tangan kanan, hendak diremuk-

kannya kepala Ular Merah seketika.

"Kheeeaaa!"

Pendekar Slebor tersentak ngeri. Tindakan 

Chin Liong justru bisa berakibat buruk untuk di-

rinya sendiri. Dan Andika yakin itu. Dia ingin 

menyergap serangan Chin Liong, tapi sudah tak 

mungkin.

Wuhhh!

"Ugh!"

Benar saja. Dalam sekejap, terdengar sen-

takan napas Chin Liong di udara. Tubuhnya lan-

tas terlempar kembali ke belakang, satu depa se-

belum terjangannya tiba di kepala Ular Merah. 

Anak muda itu seperti baru saja melanggar ben-

teng liar tak terlihat! 

Di udara, mulut Chin Liong menyembur-

kan darah. Setelah melewati jarak delapan tom-

bak, tubuhnya siap berdebam di lantai geladak 

tempat tombak para prajurit.

Sementara, Andika tak mau kehilangan ke-

sempatan untuk kedua kalinya. Seketika tubuh

nya digenjot. Cepat bagai kilat, disusulnya luncu-

ran tubuh Chin Liong.

Tap!

Chin Liong berhasil disambar Andika. Ka-

lau tidak, pasti akan dipanggang tiga tombak be-

sar yang disusun terbalik.

"Bagaimana dia bisa melakukannya?" lirih 

Chin Liong dalam bopongan Andika. "Aku tak me-

lihatnya bergerak. Tapi, kenapa dia membuatku 

terpental balik?"

"Pelajaran buatmu, Chin Liong! Jangan se-

kali pun kau bertarung dengan amarah tak ter-

kendali."

Bukannya menjawab, Andika malah 

mengkhotbahi Chin Liong.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku da-

lam bahaya?" tanya Chin Liong lagi, sewaktu An-

dika menurunkan tubuhnya di lantai geladak.

Tangan Chin Liong memegangi dadanya 

yang terasa baru tertimpa godam ribuan kati.

"Kalau dia bisa memanfaatkan udara un-

tuk menyalurkan tenaga saktinya pada lengkin-

gan kelelawar, sudah pasti pula bisa meman-

faatkan udara untuk membuat benteng tenaga 

sakti di sekitar tubuhnya," papar Andika, pasti.

Chin Liong tersadar kini. Dalam hati, me-

muji lagi kecerdikan Andika.

"Kau tak apa-apa?" susul Andika.

Chin Liong menggeleng.

"Tidak," kata pemuda ini, lirih dan tersen-

dat.

"Akan kuberi pelajaran orang berkulit me-

rah itu seperti pinggiran koreng," janji Andika pa-

da Chin Liong. "Dan, hutangku padamu sudah 

lunas, bukan?"

Tentu saja maksud Andika adalah tindakan 

Chin Liong yang berusaha menolongnya pada saat 

terjadi badai.

Sebetulnya, Andika pun merasakan ke-

murkaan yang tak kalah menggelegak ketimbang 

Chin Liong. Bagaimana tidak murka? Ying Lien 

adalah salah seorang sahabat dekatnya, di samp-

ing Chin Liong. Inginnya Pendekar Slebor lang-

sung mengumbar kemarahannya pada si Ular Me-

rah. Tapi pengalamannya selama ini telah menga-

jarkan, bahwa mengikuti hawa nafsu tak terken-

dali hanya bakal merugikan diri sendiri. Hati bo-

leh terbakar. Tapi, kepala harus tetap sejernih te-

laga!

Sementara Ular Merah masih tetap mema-

tung dingin, Pendekar Slebor melangkah mende-

kat. Ketika jaraknya terpaut sekitar enam langkah 

lagi, Andika berhenti.

"Apa maumu sebenarnya?" tanya Andika, 

tetap menjaga ketenangan.

"Bukan urusanmu," desis Ular Merah sing-

kat.

"Jangan yakin dulu!"

"Kau bukan orang Kerajaan Cina. Lebih 

baik menyingkir!"

"Siapapun kau, apa pun katamu, bagaima-

napun warna kulit jelekmu, urusan mereka ada

lah urusanku!" tandas Andika, seraya menunjuk 

ke arah Ying Lien dan Chin Liong.

"Kau rupanya tak tahu sedang berhadapan 

dengan siapa...," cibir Ular Merah, pongah. Walau 

begitu, wajahnya tak berubah banyak. Tetap 

mempertahankan kebekuan yang membuat Andi-

ka jadi muak melihatnya.

"Kau tidak tahu, sedang berhadapan den-

gan siapa rupanya...," sahut Andika, membalik 

kata-kata Ular Merah.

"Jangan membuang-buang waktuku!"

"He-he-he...," Andika malah terkekeh. 

"Jangan membentak seperti itu. Wajahmu jadi le-

bih jelek daripada seekor anjing panu yang se-

dang menggonggong!"

"Aku Ular Merah, penguasa Laut Cina Sela-

tan!" gertak Ular Merah. Sepertinya, dia hendak 

mencoba menciutkan nyali Andika dengan me-

nyebut nama besarnya.

Sayang seribu kali sayang. Yang digertak 

bukan anak kemarin sore, tapi Andika. Seorang 

pendekar yang mungkin paling masa bodoh di an-

tara orang-orang yang paling acuh di jagat raya 

ini. Lagi pula, mana Andika peduli pada nama be-

sar yang sebenarnya baru kali ini didengarnya? 

Kalaupun pernah didengarnya, bisa saja tetap 

menganggap gertakan Ular Merah sekadar caci-

maki kecoa mabuk! 

"He-he-he...."

Pendekar Slebor terkekeh lagi.

"Kalau boleh menasihati, sebaiknya kau

cepat-cepat ganti nama. Nama Ular Merah tidak 

membawa keberuntungan bagimu. Sebaiknya pa-

kai saja nama Kunyuk Merah. Nyamuk Merah, 

Cacing Merah, atau...."

"Bangsat!" potong Ular Merah, membentak.

"A... Bangsat Merah juga bagus itu!"

Selesai mengombang-ambingkan kegusa-

ran Ular Merah, Andika mengulang kekehnya. 

Terdengar begitu meremehkan.

"Sebaiknya kau mampus!" geram Ular Me-

rah.

Selama mengobrak-abrik wilayah Laut Cina 

Selatan, baru kali ini Ular Merah menemukan se-

seorang yang begitu lancar menginjak-injak kepa-

lanya dengan seruntun ledekan. Jadi, bagaimana 

tidak gusar?

"Kau akan menyesal telah mengejekku!" 

desis Ular Merah mengancam, seraya membuka 

satu gerak.

Andika meringis. Sekaranglah gilirannya 

memberi pelajaran manusia pinggiran koreng ini. 

Begitu pikirnya.

Wuk-wuk-wuk-wukh!

Ular Merah memutar telapak tangannya. 

Ya, hanya telapak tangannya. Seperti seorang se-

dang mengaduk adonan tepung. Tampak tak ber-

tenaga. Bahkan kelelawar besar yang menggelan-

tung dilengannya sama sekali tidak terusik. Meski 

begitu, gerak yang terlihat ringan ternyata meng-

hasilkan bunyi seperti seratus bilah golok yang 

diayun berbareng!

Di lain pihak, Andika tak ingin meremeh-

kan calon lawannya. Namun bisa saja sikapnya 

seolah-olah memang ia meremehkan. Lalu saat 

memasuki pertarungan, semuanya harus dihada-

pi dengan perhitungan amat matang, sekaligus 

kecermatan paling tinggi. Sebab, ini perkara nya-

wa!

Begitu bunyi pertama gerak tangan Ular 

Merah lahir, Andika sudah memompa kekuatan 

tenaga saktinya ke sekujur badan. Dan menjelang 

pengerahan tenaga menuju puncak, akan dihasil-

kan satu selubung tenaga sakti warisan buyutnya 

yang kerap menjadi momok bagi tokoh-tokoh se-

sat tingkat atas!

Cara itu pula yang sering digunakan Andi-

ka untuk membentuk benteng pertahanan tem-

bus pandang, ketika harus berhadapan dengan 

beberapa datuk sesat. Termasuk juga, saat di-

rinya harus bertahan di Lembah Kutukan di anta-

ra hujan petir dalam menjalani penyempurnaan 

(Baca kisahnya pada episode perdana: "Lembah 

Kutukan").

Tak heran, Andika sempat mengendus sia-

sat tempur Ular Merah saat Chin Liong mencoba 

menerjangnya. 

Perlahan, membersit sinar keperakan la-

mat-lamat dari segenap pori-pori kulit Pendekar 

Slebor. Sinar lembut yang menyebar, membentuk 

selubung dalam jarak satu lengan dari tubuhnya.

Karena matahari siang sudah naik cukup 

tinggi, sinar keperakan itu jadi tak begitu kentara.

Dan justru hal itu yang diinginkan Andika. Ren-

cananya, dia akan memberi sedikit kejutan pada 

kepongahan si Ular Merah.

Dengan tangan bersilang di dada, Pendekar 

Slebor seperti menunggu dengan santai serangan

Ular Merah. Bibir tipisnya bahkan sempat-

sempatnya tersenyum tipis. Dibilang mencibir su-

lit. Disebut meringis, apalagi!

"Hih!"

Setelah mendengus, Ular Merah mengi-

baskan tangannya ke depan. 

Wesss!

Seketika serangkum angin pukulan berge-

rak kilat menuju Andika. Sekejap mata saja, an-

gin pukulan itu nyaris menyergap Pendekar Sle-

bor. Namun begitu sampai pada jarak satu lengan 

dari tubuhnya, angin pukulan itu tiba-tiba terta-

han. Lalu, secepatnya memantul balik ke arah 

tuannya.

Wusss!

Terperangah bukan main si Ular Merah 

mendapati kenyataan ini. Matanya kontan terbu-

ka lebar-lebar, lebih lebar daripada lubang hi-

dungnya yang besar. Mulutnya membuka. Nyaris 

saja, ingus yang malas dibersihkan di atas bibir-

nya menerjang masuk ke mulut.

"Eaaah!

Dengan berjumpalitan sungsang-sumbel, 

Ular Merah menghindari angin pukulannya sendi-

ri. Sialnya lagi, angin pukulan itu ternyata tak 

memupus bila belum menelan korban. Angin pukulan tadi terus meluncur ke satu arah pasti. 

Dan....

Brakh!

"Wuaaa!"

Satu kapal perompak yang kebetulan men-

gapung di sisi depan kapal Kerajaan Cina menjadi 

sasaran. Tepi geladak yang terbuat dari kayu pili-

han langsung luluh lantak bertebaran ke dalam 

laut. Beberapa perompak yang kebetulan pula 

berdiri di sana, tak ampun lagi berpentalan di 

udara setinggi delapan depa!

Sejak menyadari kalau Dua Ular Laut telah 

tiba di kapal Kerajaan Cina, para perompak itu 

tak berani berbuat macam-macam. Mereka hanya 

menunggu dan menunggu. Jika kebetulan bisa 

memanfaatkan keadaan, mereka akan segera me-

rebutnya. Ibarat memancing di air keruh, siapa 

tahu apa-apa yang diminati di kapal sasaran tan-

pa sengaja jatuh ke tangan mereka.

"Hue-he-heee, ngik! Terkejut? Apa tadinya 

dikira hanya kau saja yang bisa membuat ben-

teng tenaga sakti? Makanya jangan terlalu pon-

gah! Besar kepala akan membuatmu ketemu ba-

tunya!" ejek Pendekar Slebor.

Ular Merah mendengus amat gusar begitu 

mendarat di lantai kapal. Kelelawar di tangannya 

kini telah lenyap, terbang ketika Ular Merah ber-

jumpalitan. Dan binatang itu terus mengepakkan 

sayapnya, memasuki lambung kapal hantu.

Kini darah Ular Merah tak lagi berdesir, 

melainkan mendidih. Kulit wajahnya bertambah

memerah.

"Sekarang kulitmu tak lagi seperti pinggi-

ran koreng," ucap Andika, seperti menyesal kehi-

langan bahan ejekan. "Baguslah kalau begitu. Ku-

litmu sekarang lebih bagus. Setidak-tidaknya, 

masih mirip warna bibir banci kampung! Hee-he-

he!"

Bertambah dongkol saja Ular Merah.

"Burung nuri, terbang tinggi...," senandung 

Andika, sambil meliuk-liukkan tubuhnya meniru-

kan gaya seorang banci kesiangan.

Kini cuping hidung Ular Merah tampak 

mekar-kuncup diejek sedemikian rupa! Sebentar 

saja urat-urat lehernya menonjol. Sesaat lagi, ten-

tu teriakan geramnya akan merebak di angkasa.

Dan sebelum hal itu terjadi, laut tiba-tiba 

saja berubah. Sebentuk gelombang amat besar 

terlihat dikejauhan. Amat besar, seolah-olah ada 

gunung sedang menuju tempat kapal-kapal mere-

ka.

Gemuruh besar pun tiba. Kalau di kejau-

han saja suara gelombang itu sudah demikian 

bergemuruh, apalagi sudah tiba?

Padahal saat ini, tak ada badai terjadi. 

Bahkan cuaca cerah. Langit bersih, dengan awan 

putih berpilin halus. Kalau bukan badai, lalu 

apa...?



8


Perhatian semua mata dari semua awak 

kapal saat ini dipaksa beralih ke arah ombak be-

sar. Pertempuran panas di kapal armada Cina 

pun kontan terpancung. Tak ada yang tak terhe-

ran-heran dengan kejadian itu. Ombak besar tan-

pa badai?

Yang tak kalah mengejutkan adalah pe-

mandangan di satu bagian ubun-ubun ombak. 

Gulungan meraksasa air laut itu, ternyata sedang 

ditunggangi seseorang di atasnya! Belum jelas, 

bagaimana rupa atau penampilan orang itu. Yang 

pasti, sikapnya terlihat begitu santai. Berdiri rin-

gan, dan sesekali tubuhnya mencelat lincah dari 

satu bagian ke bagian lain. Ombak makin dekat 

bergulung. Makin dekat, makin jelas saja rupa 

penunggang ombak. Andika sendiri mulai menge-

nali, siapa orang itu. Lamat-lamat ingatannya bi-

sa membandingkan sosok orang yang kini dilihat-

nya dengan yang dilihat di malam hari ketika terjadi badai.

Ya! Memang dia orangnya! Dan Andika ya-

kin itu.

Sampai akhirnya, gulungan ombak menggi-

la tiba. Anehnya, begitu tak kurang dari seratus 

tombak sebelum benar-benar sampai, ombak be-

sar itu menyusut dan menyusut cepat. Hingga 

yang tersisa hanya riak-riak kecil mengusik kap-

al-kapal.

Kini, semua orang bisa melihat jelas sosok 

mengagumkan tadi. Ternyata, dia seorang tua 

bangka berkaki satu. Kulitnya bersisik seperti 

ikan. Termasuk, wajahnya yang selalu basah ber-

keriput.

Pakaian lelaki tua itu terbuat dari gang-

gang laut menjijikkan. Terlihat seperti jubah ba-

sah, berlumut yang tercabik-cabik.

Siapakah tokoh penuh teka-teki itu?

Dialah Setan Laut! Itulah julukan santer-

nya. Bagi petualang-petualang laut serta para pe-

rompak, namanya sudah tak asing lagi. Bahkan 

boleh dibilang, dialah satu-satunya tokoh papan 

puncak yang paling ditakuti di Laut Cina Selatan. 

Pamor perompak Ular Laut Kepala Kembar pun 

hanya seujung kuku, jika dibandingkan nama be-

sarnya

Setan Laut benar-benar sesuai julukannya. 

Di samping ditakuti karena kesaktian yang tak 

kepalang tanggung, juga karena sudah seperti 

penghuni samudera. Banyak kabar burung yang 

santer mengatakan bahwa, Setan Laut dapat menyelam amat lama di dasar laut, sampai kedala-

man yang sudah tak mungkin lagi dicapai manu-

sia. Kedalaman yang bisa membuat dada seorang 

penyelam kawakan pecah, ternyata biasa diarun-

ginya dengan mata terpejam!

Seperti layaknya penghuni laut, lelaki tua 

ini pun memangsa hewan-hewan laut untuk ma-

kanan sehari-hari. Jelasnya, dia hidup di dalam 

samudera! Hanya karena jarang sekali muncul, 

maka yang terdengar lebih santer justru nama pe-

rompak Ular Laut Kepala Kembar.

Demi mengetahui tokoh tua itu yang hadir, 

tanpa sadar para perompak beringsut mundur 

dari tempat berdiri masing-masing. Sementara 

Dua Ular Laut pun tak urung melakukan tinda-

kan sama.

"Hati-hati terhadap orang itu, Andika!" de-

sis Chin Liong, setelah bisa bangkit tertatih lalu 

menghampiri Pendekar Slebor. 

"Apa maksudmu?" tanya Andika setengah 

berbisik.

"Ular Laut Kepala Kembar mungkin saja 

begitu ditakuti para perompak lain. Tapi, lelaki ini 

bukan sekadar menjadi momok. Bisa dibilang, di-

alah yang sesungguhnya menggenggam wilayah 

Laut Cina Selatan. Itu selentingan yang pernah 

kudengar," papar Chin Liong tersendat, masih 

menahan rasa sakit di dadanya. Luka lama akibat 

benturan dengan tiang besar kapal saja belum 

pulih benar, sudah mendapat lagi luka dalam ba-

ru. Tentu saja hal ini menyebabkan rasa sakitnya

sulit ditekan.

Chin Liong sejenak terdiam. Dalam raut 

wajah menderita, dia mengingat-ingat.

"Setan Laut...," cetus pemuda sipit ini la-

mat. 

"Siapa yang kau maki?" tanya Andika he-

ran, tak menangkap maksud Chin Liong. 

"Maksudku, julukan lelaki tua itu..;." 

"Ooo.... Kukira, kau memakiku. Jadi julu-

kannya..., siapa tadi?"

"Setan Laut," ulang Chin Liong, susah 

payah. 

"Pantas rupanya pun tak jauh beda dengan 

dedemit," gumam pendekar muda tanah Jawa ini. 

Sepertinya, dia sudah siap menghidangkan 

'senjata pertama' dalam menghadapi setiap lawan. 

Ocehan-ocehan menjengkelkan!

* * *

Masih menjadi teka-teki bagi setiap awak 

kapal armada Kerajaan Cina, apa sesungguhnya 

yang diincar para perompak di kapal mereka. Pa-

dahal perompak Ular Laut Kepala Kembar sudah 

turut ambil bagian. Dan kini, datang pula datuk 

sesat Laut Cina Selatan!

Kalau mereka yakin tak ada barang ber-

harga di kapal, mungkin memang benar. Tapi ka-

lau barang tak ternilai harganya sudah pasti ada. 

Lantas, benda apa? Kalau emas permata, mereka 

tak mengangkutnya. Harta, biasanya menjadi incaran. Tapi begitu ada mangsa lebih empuk yang 

tak lain kapal dagang dari Gujarat kenapa di-

diamkan? 

Untuk mengetahui teka-teki di balik peng-

hadang orang-orang sesat dari laut Cina Selatan 

ini, memang harus mundur ke masa sekitar dua 

ratus tahun lalu....

Pada masa itu, hidup seorang panglima 

armada Laut Cina bernama Ju-Hai. Keperka-

saannya di lautan terkenal demikian angker. Dia 

gagah bagai naga. Gesit bagai elang. Lalu, terse-

matlah julukan Panglima Naga Samudera....

Selama menjadi panglima armada Laut Ci-

na, Ju-Hai memimpin pasukannya tanpa terka-

lahkan dalam pertempuran berkali-kali. Pengacau 

digasaknya. Pemberontak disapunya. Bajak laut 

dan perompak dibabat bersih.

Maka jadilah Ju-Hai seorang momok yang 

ditakuti lawan serta disegani kawan. Dengan du-

kungan pasukan lautnya yang menjunjung teguh 

nilai-nilai perjuangan, namanya kian melambung 

saja.

Selaku panglima, Ju-Hai nyatanya sulit di-

bedakan dengan para prajuritnya. Pakaiannya tak 

mencolok. Bahkan, boleh dibilang sederhana. Ma-

lah terkadang lebih mirip seorang prajurit, ketim-

bang perwira tinggi. Hanya satu kekhasan yang 

membedakan penampilannya dengan prajurit 

sendiri. Dia selalu membawa tameng kayu ber-

bentuk bulat, bergambar bayangan Naga Langit.

Dalam setiap medan pertarungan, dari

yang ringan sampai yang terberat, Ju-Hai tak 

pernah sekalipun melepas tameng itu. Sampai 

suatu hari, armadanya terlibat pertarungan me-

lawan armada perompak yang paling kuat di ma-

sa itu.

Entah bagaimana, tanpa sengaja Ju-Hai 

meninggalkan tameng Naga Langit itu di tempat 

peristirahatannya. Akibatnya pada puncak pergo-

lakan peperangan, Ju-Hai menjadi salah satu 

korban. Dia gugur sebagai perwira tinggi terhor-

mat dalam mempertahankan kehormatan negeri 

atas rongrongan para pengacau!

Kematian Ju-Hai lalu dihubung-

hubungkan dengan tameng yang ditinggalnya. 

Banyak orang kemudian menduga, keberuntun-

gan Ju-Hai dalam peperangan-peperangan sebe-

lumnya terletak pada tameng yang dibawanya.

Orang-orang negeri itu yang memang per-

caya, semakin yakin saja ketika tameng itu dicari 

di tempat peristirahatan Ju-Hai, tapi tak ditemu-

kan.

Sekian lama upaya pencarian dilakukan. 

Baik dari pihak kerajaan yang berniat menjadikan 

tameng itu sebagai prasasti tentang keperwiraan 

Ju-Hai, maupun pihak lain yang ingin memiliki 

'keberuntungan'.

Dan tameng itu memang tak pernah dite-

mukan. Sampai, seorang perwira yang dekat den-

gan Ju-Hai menemukan keanehan pada kapal pe-

rang yang dipakai Panglima Naga Samudera itu, 

beberapa tahun sejak kematiannya. Di situ bagian

lambung kanan kapal, terbentuk bayangan Naga 

Langit. Persis seperti gambar di tameng milik Ju-

Hai.

Maka, menyusul pula kepercayaan bahwa 

tameng Panglima Ju-Hai yang hilang, kini telah 

menyatu pada lambung kapal.

Si perwira tak menyebarkan tentang apa 

yang dilihatnya. Hanya ada satu orang yang kebe-

tulan turut mengetahui ketika si perwira tanpa 

sadar diawasi seorang musuh besar Ju-Hai. Dan 

perwira itu pun akhirnya terbunuh.

Kini, kapal itulah yang dipergunakan Ying 

Lien dan Chin Liong untuk melakukan pelayaran 

ke Mesir. Sedangkan musuh besarnya, pemimpin 

perompak yang telah mengalahkan Ju-Hai, men-

gerahkan anak buahnya untuk bisa membegal 

kapal tadi.

Jadi, rahasia itu selama ini hanya tersebar 

di kalangan perompak. Sementara, kalangan ista-

na tetap tak pernah tahu.

Siapa si pemimpin perompak? Lelaki itulah 

yang kini dikenal sebagai Setan Laut. Gembong 

dari segala gembong perompak Laut Cina Selatan 

yang sampai kini tetap hidup. Padahal, kisah itu 

terjadi dua ratus tahun yang lalu!

***

Siang makin jalang. Sinarnya menyengat 

garang.

Laut Cina Selatan tetap tenang. Hanya ge

lombang kecil tak berarti menimang-nimang kap-

al-kapal.

Di bawah sengatan sinar matahari, Setan 

Laut berdiri tegak sambil bersidekap. Biarpun 

usianya sudah begitu tua, tubuhnya tak terlihat 

keropos.

Melihat lelaki yang menggetarkan hati 

hampir semua orang di tempat itu, diam-diam 

Andika menjadi kagum juga. Kalau dibanding-

banding, ilmu meringankan tubuh pendekar mu-

da itu jauh di bawah Setan Laut.

Untuk meniti laut saja, Andika masih 

membutuhkan kain pusaka atau bilah kayu se-

perti pernah dilakukannya di Sungai Nil sewaktu 

ada serangan dari gerombolan Kuda Nil (Baca ki-

sahnya dalam episode: "Piramida Kematian"). Se-

dangkan Setan Laut hanya menggunakan alas

kaki, dari sejenis kulit ikan besar.

Kalau ilmu meringankan tubuhnya saja 

sudah sehebat itu, apalagi kesaktiannya yang 

lain?

"Kau, Ular Merah! Juga kau, Ular Belang! 

Menyingkirlah dari kapal itu!" hardik Setan Laut 

tiba-tiba. 

Suara tokoh amat tua ini mengguntur, le-

bih mengejutkan daripada salakan guntur saat 

badai. 

"Ha-ha-ha-haaa!"

Meledaklah tawa Setan Laut. Tak jelas, apa 

yang ditertawakan. Sampai akhirnya dia sendiri 

mengungkapkannya.

"Hanya aku yang berhak atas tameng itu? 

Hanya aku! Berpuluh-puluh tahun aku menanti 

saat seperti ini! Menanti kapal itu melintasi Laut 

Cina Selatan, setelah sekian lama hanya menjadi 

benda sejarah!"

Setan Laut mengangkat kedua tangannya 

dari dada. Saat tangannya bergerak, tersibak pu-

saran air laut di sekitar tempat berdirinya. Sung-

guh, kekuatan tenaga dalamnya telah demikian 

sempurna dan menyatu dengan dirinya! Sehingga, 

setiap gerakannya mengandung tenaga hebat 

meski tanpa disengaja.

"Kalian dengar. Hanya aku yang berhak 

memilikinya! Akulah yang telah membunuh Ju-

Hai dengan tanganku sendiri!" lanjut Setan Laut.

Wajah Setan Laut yang basah berlendir 

tampak mengeras. Matanya yang kelabu menyelu-

ruh, melempar tatapan beringas ke arah kapal 

armada Cina.

"Kenapa kalian belum juga beranjak dari 

sana?! Apa kalian tak mendengar perintahku?!" 

bentak Setan Laut murka. Sudah pasti bentakan-

nya ditujukan pada dua lelaki dari kapal Ular 

Laut Kepala Kembar. Saking kuatnya bentakan 

Setan Laut, kapal-kapal di sekitarnya menjadi 

terguncang beberapa kali ayunan. Malah, Dua 

Ular Laut ikut tersentak tiga tindak ke belakang. 

Telinga keduanya seperti baru disengat petir.

Dengan tangan mendekap telinga, tubuh 

mereka tertunduk ke depan. Mereka berusaha 

menguasai rasa sakit yang menyengat amat sangat pada pendengaran.

Anehnya, hanya mereka berdua yang me-

rasakannya. Sementara, puluhan orang lain di 

sekitar tempat itu sama sekali tidak merasakan 

sakit di telinga. Artinya, tenaga suara itu hanya 

dipusatkan ke arah Dua Ular Laut. Biar begitu, 

tak urung mampu membuat kapal-kapal ber-

goyang!

Makin kagum saja Pendekar Slebor pada 

kesaktian Setan Laut. Dalam hati, Andika ber-

tanya ragu. Sanggupkah meladeni kesaktian si 

tua itu?

"Kami tak akan menyingkir dari tempat ini 

Setan Laut," tandas Ular Merah, mengejutkan pu-

luhan perompak di sana. Apa dua lelaki itu sudah 

ingin pensiun menjadi begal? Membantah Setan 

Laut sama artinya mengundang si pencabut nya-

wa!

Wajah Setan Laut mengeras. Keriput basah 

wajahnya merapat. Sesaat kemudian....

"Ha-ha-haaa!"

Setan Laut tertawa lagi, lalu wajahnya 

mengeras kembali.

"Kalian memang ingin mati!" geram Setan 

Laut. Berat, terseret dan mengandung ancaman 

maut.

"Sejak kedatangan kami semula dengan 

niat untuk mendapatkan tameng itu pula! Kalau 

sudah melangkah, kami pantang mundur. Kami 

siap menanggung akibat apa pun, asal bisa men-

dapatkan tameng itu!" tegas Ular Belang yang selama ini tidak sepatah pun melepas ucapan.

"Mhhh.... Kalian siap bertaruh nyawa ru-

panya," desis Setan Laut.

Nada bicara lelaki tua itu melembut. Tapi, 

tetap dengan tekanan mengandung ancaman ter-

bahaya di kawasan samudera luas ini.

"Bagaimana dengan kalian?!"

Suara si tua meninggi kembali. Perta-

nyaannya kali ini ditujukan pada para perompak 

lain.

"Apa kalian telah siap bertarung nyawa se-

perti mereka berdua untuk mendapatkan tameng 

itu?!" lanjut Setan Laut.

Seperti segerombolan lalat terkena gebah, 

para perompak di kapal masing-masing langsung 

tersentak. Mereka tersadar dari keterpanaan me-

nyaksikan secara langsung tokoh yang selama ini 

hanya sempat didengar dari desas-desus. Seben-

tar saja, mereka serabutan tak karuan.

Satu persatu, jangkar kapal mereka te-

rangkat. Layar pun terkembang. Secara bergili-

ran, kapal-kapal mereka meninggalkan tempat. 

Sampai akhirnya, kepungan pada kapal armada 

Cina kini tak ada lagi. Kecuali, kapal Ular Laut 

Kepala Kembar.

Bayu membawa mereka menjauh. Men-

jauh..., dan menjauh. Sampai bentuk kapal mere-

ka hanya berbentuk titik-titik hitam di hamparan 

lautan.


9


Apa mau dikata? Jika orang-orang keras 

bertemu, maka yang cenderung lahir adalah keke-

rasan pula. Demikian pula halnya Setan Laut dan

Dua Ular Laut. Sementara Setan Laut bersikeras 

memerintahkan kedua saingannya pergi, Dua 

Ular Laut malah bersikeras tetap di sana!

Rupanya, mereka telah dikuasai nafsu un-

tuk memiliki tameng pusaka di lambung kapal 

armada Kerajaan Cina. Maka pertarungan pun 

sulit dihindari lagi. Apalagi ketika Setan Laut sen-

gaja hendak mempermainkan kedua saingannya.

Seperti hendak membuktikan kalau diri-

nyalah yang memiliki tenaga dalam paling tinggi. 

Setan Laut melakukan bentakan tanpa kata. 

Hanya erangan, tapi jauh lebih hebat daripada teriakan seratus raksasa langit! 

"Hrrr!"

Seketika Ular Merah dan Ular Belang yang 

masih di kapal armada Cina terangkat perlahan 

ke atas.

Selanjutnya, tubuh dua lelaki buruk rupa 

itu melayang menuju kapal mereka sendiri. Bu-

kan main! Rupanya, si tua itu hendak memulang-

kan kedua saingannya ke kapal mereka dengan 

cara tersendiri!

Bagi Dua Ular Laut, bukankah cara seperti 

itu tak lebih dari penghinaan besar-besaran? Ma-

ka di tengah jalan antara kapal armada Cina den-

gan kapal mereka, keduanya menggabungkan te-

naga suara bersama. Pada saat, tubuh mereka 

masih mengapung.

"Hum!"

Teriakan mengguntur Ular Merah dan Ular 

Belang terlepas dari kerongkongan. Bumi bagai 

digebah gempa. Suara erangan Setan Laut lang-

sung tertindih gabungan suara mereka.

Andika sendiri mulai geleng-geleng kepala 

menyaksikan tingkah mereka. Sejak beberapa 

saat lalu, Ular Merah juga telah menyombongkan 

kehebatannya dalam mengalirkan tenaga sakti di 

udara melalui suara. Dan lagi-lagi, kini kejadian 

serupa disuguhkannya. Apa orang-orang laut 

memang punya kebiasaan berteriak seperti camar 

kurang kerjaan? Pemuda itu hanya merutuk da-

lam hati.

Biar begitu, Andika bersyukur juga. Karena

dengan demikian, jadi punya waktu untuk meno-

long Chin Liong dan Ying Lien. Dan tampaknya, 

adu tenaga suara itu hanya ditujukan pada lawan 

masing-masing. Paling tidak, Pendekar Slebor bi-

sa mencari jarak yang aman dari medan adu te-

naga suara itu. Bergegas dipilihnya tempat ter-

jauh dari pertarungan. Dan hasilnya, hawa mur-

ninya pun mulai bisa disalurkan sekaligus ke tu-

buh Chin Liong dan Ying Lien....

Pada saat yang sama, adu kesaktian Dua 

Ular Laut dan Setan Laut semakin memanas.

Benturan tenaga suara Setan Laut dengan 

tenaga Dua Ular Laut menyebabkan tenaga mere-

ka lari ke tempat lain. Tanpa terlihat, benturan 

tenaga mereka terpantul ke permukaan laut. Dan, 

hal mengagumkan pun berlangsung....

Byarrr....!

Air laut beterbangan dalam gumpalan-

gumpalan raksasa yang lentur di udara. Tak 

hanya itu. Berpuluh-puluh ikan langsung mati, 

ikut terangkat bersamaan gumpalan air laut ke 

udara. Beberapa lama, seluruh gumpalan itu 

mengapung. Setelah kekuatan suara teriakan tadi 

menyusut, barulah semuanya berjatuhan kemba-

li, menciptakan semburat air ke mana-mana. 

Suatu pamer kesaktian yang cukup men-

gagumkan! Paling tidak, begitu menurut Andika. 

Anak muda itu baru saja selesai mengobati luka 

dalam dua sahabatnya.

Tapi, bukan berarti pemuda berselempang 

kain pusaka bercorak catur di bahunya ini menjadi bergetar.

"Andika...," panggil Chin Liong, di sisinya. 

Pendekar Slebor menoleh. Keasyikannya menon-

ton pertunjukan cuma-cuma terusik. 

"Ada apa?" tanya Pendekar Slebor.

Chin Liong melepas Pedang Pusaka Langit 

dari ikatan punggungnya. Diasungkannya benda 

sakti itu kepada sahabatnya.

Pendekar Slebor mengerutkan dahi, tak 

mengerti dengan semua itu.

"Apa maksudnya ini? Kau minta kusunat 

dengan pedang ini?" seloroh Pendekar Slebor.

Chin Liong menggeleng. Bibirnya meringis. 

Terkadang, sahabatnya yang berotak encer itu 

terkesan tolol sekali.

"Pegang pedang itu. Pergunakan kalau kau 

nanti harus bertarung melawan Setan Laut...," 

ujar Chin Liong.

Andika mendorong kembali sodoran pe-

dang dari sahabatnya.

"Kau lihat, aku belum berhadapan dengan 

buyutnya cumi-cumi itu, bukan?" tolak Andika 

halus.

Sebenarnya Andika tahu, benda itu bisa 

sangat berarti untuk Chin Liong, jika harus 

menghadapi keadaan genting.

"Tidak! Aku menyerahkan pedang ini bu-

kan hanya untuk menghadapi Setan Laut! Pedang 

ini menjadi milikmu sekarang," tutur Chin Liong, 

mantap. Tak terlihat rasa kehilangannya.

"He-he-he. Kau bergurau, ya?! Sahabat

slompret, kau ya!" tukas Andika.

"Dia sungguh-sungguh, Andika," sela Ying 

Lien, di sisi Chin Liong.

Andika terbengong. Ketampanannya jadi 

buron entah ke mana. Yang terlihat hanya ketolo-

lan di sekujur wajahnya.

"Tap..."

"Tak usah menolaknya kalau kau tak ingin 

mengecewakan kami!" terabas Ying Lien, seraya 

turun menyodorkan Pedang Pusaka Langit di tan-

gan Chin Liong.

"Tap..."

"Kau harus menerimanya, Andika! Kau le-

bih memerlukan ketimbang kami. Lagi pula, kera-

jaan kami sudah aman. Pedang ini tidak dibutuh-

kan lagi, kecuali jadi semacam mahkota tak ber-

guna," terabas Chin Liong, kali ini begitu ada ke-

sempatan.

"Tap..."

Kata-kata Andika belum selesai, ketika su-

ara pertarungan antara Dua Ular Laut dan Setan 

Laut kembali memecah angkasa.

Dan kini tampak tubuh Dua Ular Laut 

mendadak menukik. Mereka tentu tak mau men-

jadi bahan tertawaan siapa pun, jika harus dite-

lan air laut. Maka mereka cepat mengadu telapak 

tangan di udara. Lalu, dorongan yang diberikan 

masing-masing dimanfaatkan untuk berputar rin-

gan di udara.

Tep!

Begitu lembut keduanya hinggap di pinggi

ran geladak kapal Ular Laut Kepala Kembar, di-

iringi cibiran melecehkan di bibir Setan Laut.

"Permainan kalian cukup hebat. Tapi, be-

lum benar-benar hebat kalau hanya bisa melade-

ni tenaga suara main-mainku!"

Selesai berkata, sebelah kaki orang tua 

berpakaian ganggang laut itu menghentak keras 

ke permukaan laut. 

Pyar!

Seketika itu pula, air laut tersibak. Gulun-

gan besar ombak setinggi lebih dari enam kaki 

menerjang kapal Ular Laut Kepala Kembar. Jika 

tinggi badan kapal Ular Laut Kepala Kembar 

hanya empat kaki, maka yang akan terjadi tentu 

sudah bisa diduga. Ombak ciptaan Setan Laut 

akan menelan bulat-bulat kapal itu!

Wurrr!

Bagai tangan raksasa dari dasar lautan, 

ombak besar tadi siap menampar mentah-mentah 

sasarannya.

Sementara Dua Ular Laut tentu saja tak 

sudi kapal mereka dikoyak hantaman gelombang 

Setan Laut. Tepat ketika ombak besar tinggal me-

nelan kapal, mereka menunduk menjerit sekeras-

kerasnya. Bukan. Bukan jeritan ngeri yang diper-

dengarkan....

"Eiii...!"

Kemungkinan besar mereka menjerit seper-

ti itu karena sedang menggabungkan tenaga da-

lam. Tapi, nyatanya tidak. Mereka tidak bermak-

sud meladeni adu kesaktian Setan Laut lebih

jauh, karena sadar dengan lawan yang dihadapi. 

Seorang yang tidak hanya besar namanya, tapi 

juga memang sudah terbukti kesaktiannya sela-

ma ini. Melawan kekuatannya, seolah sama tolol-

nya untuk menghentikan amukan badai. Setan 

Laut laksana Nyai Roro Kidul dari Pantai Selatan 

Jawa. Laksana Neptunus pada dongeng Yunani 

Kuno!

Jadi, untuk apa mereka berteriak?

Jawaban segera mencuat, manakala dari 

badan kapal Ular Laut Kepala Kembar menyeruak 

seberkas bola api, tak selayaknya pijaran api. 

Warnanya terang menyilaukan, memanjang lurus 

menombak langit.

Ubun-ubun ombak raksasa di atas kapal 

Ular Laut Kepala Kembar pun ditembusnya. Se-

kerdip mata kemudian....

Pyar!

Seperti ditepis ekor berkekuatan seekor 

naga langit, ombak besar tadi langsung tersibak 

kembali. Jutaan gentong air menyembur liar di 

udara ke segenap penjuru, lalu menukik kembali 

ke samudera dalam bentuk bulir-bulir air tak 

berdaya. Hujan setempat seperti sedang meng-

guyur wilayah sekitarnya.

Setan Laut terperangah.

Andika, Ying Lien, dan Chin Liong tak ka-

lah terkejut.

Apa yang sesungguhnya telah terjadi? 

Tanya hati masing-masing. Apa yang telah dila-

kukan Dua Ular Laut, hingga mampu merontok

kan serangan dahsyat si Setan Laut?

Tidak! Mereka tidak melakukan apa pun, 

untuk memburaikan ombak raksasa tadi. Seseo-

rang lain yang telah melakukannya. Atau lebih 

tepatnya..., sesosok makhluk lain!

Sebab, seusai buliran air laut itu tuntas 

menyatu kembali ke samudera, muncul wujud 

baru dari bersitan sinar jingga menyilaukan tadi. 

Sosok besar bersisik perak setinggi dua kali ma-

nusia. Matanya sebengis ular. Lidahnya yang ber-

cabang, menjulur-julur cepat keluar. Di atas ke-

palanya yang berambut, menegak barisan sirip ta-

jam. Ketika mulutnya membuka, tampaklah tar-

ing yang juga sama persis dengan taring ular.

Sosok itu berdiri mengagumkan di atas 

permukaan laut. Tak satu pun pelampung, kecua-

li, dua pasang kaki berselaput.

Dialah ular laut ketiga yang selama ini 

menjadi teka-teki tak terjamah....

Demi menyaksikan wujud mengerikan yang 

baru saja muncul, tak alang-kepalang Setan Laut 

tersentak. Lelaki tua itu tersurut mundur dua de-

pa. Wajah berlendirnya berubah warna. Mata ke-

labunya membesar penuh! Sosok itu dikenalnya 

sebagai....

"Guru!" pekik Setan Laut tertahan.

Sekarang, ganti Dua Ular Laut terperan-

gah. Guru? Begitu bisik hati mereka....

"Kalian adalah murid paling bodoh yang 

pernah kumiliki!" hardik sosok mengerikan yang 

terkenal sebagai si Manusia Ular sangar, menggebah nyali siapa pun. "Bagaimana kalian saling 

baku hantam dengan saudara seperguruan sendi-

ri!"

"Ampun, Guru! Kami sungguh tidak me-

nyangka kalau lelaki itu adalah kakak sepergu-

ruan kami yang pernah Guru perintah untuk di-

cari," jawab Ular Merah tergagap dengan wajah 

memucat.

"Guru! Bagaimana kau bisa hidup kemba-

li?" selak Setan Laut, tak kalah tergagap.

Andika, Chin Liong, Ying Lien, serta awak 

lain di kapal armada Cina sana menjadi bergidik 

teramat sangat. Dua tokoh begal laut paling dita-

kuti, siap menyatu dengan lelaki sakti momok 

Laut Cina Selatan. Kalau begitu, bagaimana nasib 

mereka?


10


Si Manusia Ular sesungguhnya adalah seo-

rang lelaki penganut ilmu sesat yang telah mati. 

Ilmu sesatnya didapat dari sumber kekuatan hi-

tam Laut Cina Selatan. Dan akibatnya dia menja-

di manusia terkutuk. Kematiannya tidak berarti 

akhir hidupnya. Karena begitu jasadnya ditelan 

liang lahat, dia pun berubah wujud menjadi ma-

nusia setengah siluman ular.

Dari liang lahatnya, si Manusia Ular bang

kit kembali menuju sumber kekuatan hitam Laut 

Cina Selatan. Bersama kutukan, dia beradab-

abad terapung-apung dalam sekian juta daur ba-

dai. Terkatung-katung dalam ketidakpastian me-

nyiksa tentang hidupnya.

Kutukan atas dirinya harus dihentikan. 

Untuk itu, si Manusia Ular harus menemukan 

kekuatan lain yang mampu mengenyahkan jasad, 

sekaligus kesaktiannya. Ada satu-satunya benda 

untuk melaksanakan tujuannya, yakni tameng 

sakti naga terbang yang kini menyatu dengan 

kapal Kerajaan Cina.

Untuk mendapatkannya, ternyata tak 

mungkin bagi si Manusia Ular. Belenggu dua 

alam membuatnya tak lagi bebas seperti layaknya 

manusia biasa. Satu-satunya cara adalah men-

gangkat murid.

Maka, seorang pemuda murtad pun didi-

diknya. Beberapa tahun kemudian, pemuda itu 

lahir sebagai begal paling hebat di seantero Laut 

Cina Selatan. Dia pula yang telah meruntuhkan 

kebesaran armada Laut Cina di bawah pimpinan 

Ju-Hai.

Masa terus bergulir. Si pemuda yang ditu-

gasi gurunya untuk mendapatkan Tameng Naga 

Terbang, nyatanya belum juga berhasil mengem-

ban perintah gurunya. Si pemuda merasa bersa-

lah, karena itu langsung bersumpah tak akan 

meninggalkan samudera Cina Selatan sebelum 

tameng itu didapatkan.

Sementara itu, mengetahui murid perta

manya belum cukup mendapatkan Tameng Naga 

Terbang, Si Manusia Ular pun mengangkat dua 

murid lain.

Murid pertama kini dikenal sebagai Setan 

Laut. Sedang dua lainnya adalah Ular Merah dan 

Ular Belang....

"Aku memerintahkan kalian untuk menda-

patkan tameng itu. Bukan untuk saling hantam!" 

bentak si Manusia Ular, memancung sangkalan-

sangkalan memuakkan ketiga muridnya. "Seka-

rang, kalian telah melihat tameng itu di depan 

mata. Jadi, tinggal merebutnya dari mereka!"

Si Manusia Ular langsung mengacungkan 

tangan ke lambung bawah kapal armada Cina mi-

lik Ying Lien.

Selanjutnya sosok si Manusia Ular berubah 

kembali menjadi cahaya jingga benderang. Mem-

bersit di angkasa sejenak, lalu menyelinap kem-

bali ke kapal hantu.

"Sinting!" maki Andika, begitu meneliti ba-

gian kapal yang ditunjuk si Manusia Ular. 

"Apa maksudmu?" tanya Chin Liong, mem-

buru ke dekat Andika melongok.

"Lihat itu...," ujar Andika setengah terte-

kan. "Kalau diperhatikan baik-baik, kau akan 

menyaksikan adanya bentuk tameng bulat ber-

gambar bayangan naga terbang di bagian itu...."

"Lalu?"

"Ah! Jangan tolol, Chin Liong! Kalau mere-

ka menginginkan bagian itu, artinya mereka akan 

membelahnya. Bagaimana bisa berlayar mengarungi samudera seganas ini, kalau lambung kapal 

kita berlubang?"

"Astaga...!" desis Chin Liong bergidik.

Pemuda ini baru sadar kalau kini benar-

benar dihadapkan pada pembantaian keji. Mereka 

harus memilih mati untuk mempertahankan kap-

al, atau mati tenggelam di tengah-tengah laut!

"Terpaksa kita harus menghadapi mereka, 

Andika," desah Chin Liong digerayangi kekhawati-

ran terhadap keselamatan awak kapalnya.

Andika memukul tangannya sendiri geram-

geram.

"Keliru," sergah Pendekar Slebor, menge-

jutkan Chin Liong.

Ying lien dan yang lain di sekitarnya men-

jadi tak mengerti, apa maksud pemuda itu yang 

memang sering sulit diduga.

"Bagaimana yang terbaik menurutmu, An-

dika?" sela Ying Lien.

Pendekar Slebor, si pemuda gagah yang 

begitu dipuja-pujanya, bukan sekadar ksatria 

menawan hati. Dia juga sudah seperti panglima 

tertinggi yang kecemerlangan akalnya amat dibu-

tuhkan dalam memecahkan keadaan paling gent-

ing.

"Hanya aku saja yang akan menghadapi 

mereka!" tandas Andika, mantap. "Sementara ku-

hadapi mereka, kalian harus cepat menaikkan 

layar dan pergi dari tempat ini."

Sinar mata Pendekar Slebor berkilat. Sinar 

mata itu pernah dilihat Chin Liong ketika Andika

menghadapi momok paling menakutkan di negeri 

Cina yang berjuluk Empat Penguasa Penjuru An-

gin. Kilatan mata seorang yang siap memperta-

ruhkan nyawa!

"Aku tak setuju! Kau terlalu gila jika me-

nyangka kami sudi membiarkanmu berjuang seo-

rang diri menghadapi mereka!" terabas Ying Lien, 

seperti memekik.

Gadis ini begitu takut kehilangan satu-

satunya pemuda yang pernah menukikkan rindu 

ke dasar batinnya.

"Tak ada kata gila dalam kegentingan se-

perti ini, Ying Lien," desis Andika, tak bergeming 

dari keteguhan keputusannya.

"Andika..., bagaimana mungkin...."

"Kalian harus pergi!" ledak Andika, meng-

gidikkan.

Wajah Pendekar Slebor sudah sematang 

gejolak lahar. Tidak ada yang bisa memburaikan 

kekerasannya. Tak ada! Tak seorang pun. Satu si-

fat yang memang tak mungkin lepas dari kepriba-

dian si perjaka berhati baja.

"Kalau begitu, aku akan menemanimu," 

putus Chin Liong, agak tersedak.

Gadis ini begitu ragu, apakah usulannya 

diterima sahabatnya. Sementara Chin Liong bah-

kan tak sanggup menatap langsung mata terba-

kar Andika. Dia begitu kalut, gundah, dan entah 

apa lagi. Antara rasa kagum, serta rasa haru yang 

menyelinap diam-diam, menyadari sahabatnya 

bersedia sepenuh hati mengorbankan jiwa demikeselamatan mereka.

"Chin Liong, tatap aku...," ujar Andika ter-

seret. Matanya menghunus lurus ke mata Chin 

Liong.

Chin Liong meneguhkan hati, untuk mena-

tap Andika.

"Dengar aku baik-baik. Kalian harus pergi 

semua. Semua, termasuk kau. Dan kau tak perlu 

khawatir padaku. Percayalah pada Tuhan. Aku 

akan selamat...," tandas Pendekar Slebor satu-

satu. Kata-kata yang sepertinya terjejak langsung 

ke sanubari setiap awak kapal lain.

Diam-diam, Ying Lien membendung genan-

gan bening di matanya. Apa pun yang dikatakan 

Andika tentang keselamatannya, Ying Lien sadar 

kalau itu sekadar kata menghibur. Paling tidak 

agar mereka berbesar hati. Agar mereka rela kehi-

langan seorang sahabat. Begitu rusuh hati Ying 

Lien.

"Saat sekarang ini, aku tak mau seorang 

pun membantah. Kalau kau menemaniku, bagai-

mana Ying Lien jika dihadang kawanan perompak 

yang telah meninggalkan tempat ini? Bukankah 

kau sebagai panglima diperlukan untuk kesela-

matan putrimu dan para awakmu," tutur Andika 

lagi, mulai melamat. Seolah dia memohon penger-

tian yang sulit diterima.

Bagaimana Chin Liong sanggup menerima 

permohonan seorang sahabat yang ingin memper-

taruhkan nyawa demi mereka semua?

Tapi jangan seorang pun menolak kalimat

Andika saat itu. Akan percuma saja. Hatinya ba-

gai baja murni bernyawa. Tak lagi berubah, saat 

telah menemukan bentuknya. Dia juga permata 

hidup yang membersitkan kemilau mengagumkan 

meski harus tenggelam ke dasar samudera....

Ying Lien tak kuasa lagi menahan bendun-

gan rasa nyeri di dadanya. Sulit dipercaya kalau 

wanita sekokoh dia akhirnya kehilangan benteng 

diri ketika melangkah terbata. Dia ingin meng-

hambur, tapi kebutaannya tak memungkinkan. 

Dengan langkah tersuruk, dimasukinya ruang da-

lam kapal. Lamat-lamat, terdengar isak halus-

nya....

Andika bukan tak peduli. Dia hanya tak in-

gin peduli. Dalam keadaan yang menyangkut ba-

nyak nyawa, seluruh kecamuk perasaan harus di-

tinggalkannya.

Srang!

Dengan raut wajah sulit tergambarkan, 

Andika mengeluarkan Pedang Pusaka Langit yang 

baru saja diterima dari sarungnya. Sinar merah 

baranya membuncah, merayapi kekerasan wajah 

pemuda perkasa tanah Jawa saat ini,

"Apa pun yang terjadi, aku akan mengha-

dapi mereka!" desis Pendekar Slebor dengan tata-

pan terhujam di ujung pedang.

* * *

"Hadapi aku!" seru Pendekar Slebor.

Baru saja kaki Andika menyentuh permu

kaan laut dengan bantuan kain pusaka bercorak 

catur miliknya, di belakangnya kapal armada Ci-

na mulai bergerak lamban. Seolah begitu berat 

meninggalkan seorang sahabat. Dengan pandan-

gan sembab Ying Lien, dan dengan berpasang-

pasang mata sarat rasa kapal Kerajaan Cina itu 

terus bergerak lambat.

"Percuma kau menahanku! Aku tetap akan 

bisa mengejar kapal itu, Apa kau lupa, lautan ini 

adalah wilayah kekuasaanku?" leceh Setan Laut.

Andika tersenyum sinis.

"Kau tidak akan bisa mengejarnya..., kecu-

ali aku luput menggorok lehermu!" dengus Pende-

kar Slebor. 

"Sudahlah, Kak! Tak ada gunanya lagi ba-

nyak bicara dengan orang sok pahlawan ini!" seru 

Ular Merah di atas kapalnya.

Setan Laut melirik Ular Merah. Baru per-

tama kali itu bibirnya tersenyum tawar. Mungkin 

juga selama hidupnya....

"Kau benar...," tanggap Setan Laut. Lalu....

"Wet-deb-deb!"

Bunyi sekeras hembusan badai meledak-

ledak di antara sapuan-sapuan tangan Setan 

Laut. Untuk cepat menuntaskan tugasnya yang 

begitu lama tertunda, kesaktian pamungkasnya 

langsung dikerahkan. Kesaktian apalagi yang 

hendak dikerahkan? Sulit diduga!

Sementara, Andika memang sudah siap.

"Suing!"

Pedang Pusaka Langit di tangan teracung

di depan dada. Sinar mata Pendekar Slebor merah 

membara, menyapu wajah berlendir Setan Laut. 

Sehingga, wajah pemuda dari tanah Jawa terlihat 

demikian angker.

Begitu memperhatikan jelas-jelas pedang di 

tangan Pendekar Slebor, ketiga murid si Manusia 

Ular mendadak terpesona terhadap keindahan-

nya. Tak hanya bercahaya merah bara memukau 

yang tak dimiliki pedang lain, bentuknya pun de-

mikian memancing decak kagum. Gagangnya 

berbentuk naga. Sepuhannya dari emas. Sedang-

kan bentuk batangnya memiliki beberapa lekukan 

di ujung, bagai ekor naga.

"Hey? Bukankah itu Pedang Pusaka Langit 

yang menggegerkan dunia persilatan sekian abad 

lalu? Bagaimana bisa pedang itu di tangan pemu-

da ingusan ini?" desis Ular Merah, tak percaya 

raut wajahnya seperti seorang yang menyaksikan 

keindahan sorga.

Jika Setan Laut untuk sejenak menghenti-

kan pengerahan kesaktiannya, lain lagi dengan 

Pendekar Slebor. Dengan serta-merta, diterjang-

nya Setan Laut.

"Heaaa!"

Kain pusaka bercorak catur Pendekar Sle-

bor meluncur deras di permukaan laut. Di atas-

nya, berkelebat kilatan sinar pedang membentuk 

pola rumit menyilaukan.

Setan Laut sempat terkesiap. Tak pernah 

disangka kalau pemuda yang baru dikenalnya itu 

sanggup melakukan gerakan demikian sempurna.

Matanya yang jeli dapat menangkap kalau gerak 

pedang itu tak beraturan. Bahkan cenderung, 

ngawur. Namun di balik itu, terpendam keheba-

tan tak terukur!

Andika memang sedang mengerahkan ju-

rus-jurus sakti ciptaannya 'Mengubak Hujanan 

Petir Membabi-buta', jurus yang sulit diterka ke 

mana arahnya, dan apa yang diincarnya.

"Siapa anak muda ini?" bisik Setan Laut 

samar sebelum melipat tangan ke dada, hendak 

menghindari ayunan sinar merah bara dari Pe-

dang Pusaka Langit.

Swing! 

"Bangsat!"

Setan Laut terpaksa melempar tubuhnya 

ke belakang, ketika tiba-tiba saja gerak ayunan 

pedang itu berubah tak terduga ke lehernya. Pa-

dahal semula disangka tangannya saja yang te-

rancam.

"Kak! Kita harus membantunya! Aku mera-

sa anak muda ini sama sekali tidak bisa dianggap 

main-main. Lebih-lebih dengan Pedang Pusaka 

Langit di tangannya!" usul Ular Belang, di sisi 

lain.

"Ya! Aku pun berpikir begitu!" tanggap Ular 

Merah, sungguh-sungguh.

Maka, mereka segera meraih belahan kayu 

terbengkalai dari geladak kapal. Dengan kayu di 

masing-masing kaki, mereka meluncur menuju 

medan laga.

Setibanya di dekat Pendekar Slebor, mere

ka segera saja meruntunkan jurus tingkat tinggi. 

Sayang, kurungan kelebatan pedang Andika lang-

sung menghambat seketika.

Swing-swing-swing!

Berkali-kali ketiga murid si Manusia Ular 

mencoba menembus benteng merah bara yang 

berseliweran bagai kerjapan petir di siang bolong 

di sekujur tubuh Andika. Dan berkali-kali pula 

mereka gagal. Bahkan Pendekar Slebor sanggup 

menitipkan sabetan berbahaya yang sungsang-

sumbel dihindari ketiganya.

Menjelang sembilan puluh jurus, benteng 

itu belum lagi terjebol. Sementara, Setan Laut 

mulai khawatir kalau kapal akan pergi terlalu 

jauh. Kalau sekali ini luput lagi, bagaimana harus 

mempertanggungjawabkan pada sang guru?

"Jahanam! Bagaimana dia bisa bergerak 

secepat itu!" rutuk Setan Laut, murka bukan 

main.

Jika dihitung-hitung kembali, gerakan 

murka Pendekar Slebor mungkin amat sulit di-

tembus. Setan Laut sendiri kurang yakin dengan 

gerakannya, jika menilik setiap kelebatan pedang 

yang sanggup menyesakkan udara sekitarnya 

dengan hawa panas membakar.

"Jangan hadapi dia dengan jurus-jurus ka-

lian! Dia punya kehebatan lebih pada gerakan-

nya!" seru Setan Laut, memperingati kedua sau-

dara seperguruannya. "Kekuatan kita harus dis-

atukan, lalu gempur dia!"

Ketiga orang itu cepat mengambil sikap

masing-masing. Dikurungnya Andika dari tiga ju-

rusan berbeda. Sementara orang yang dikurung 

sudah tak peduli apa-apa lagi, mengamuk mem-

babi-buta. Tak peduli apakah akan menebas la-

wan atau sekadar angin! Sesaat berikutnya....

"Gempur!"

Slash!

Tiga berkas cahaya memanjang yang ber-

warna serupa langsung mencelat dari telapak 

tangan tiga lawan Pendekar Slebor. Dari tiga ju-

rusan berbeda, secara berbarengan berkas-berkas 

cahaya hitam keunguan tadi menerjang benteng 

kelebatan sinar pedang Pendekar Slebor.

Kekalapan Andika membuatnya tidak me-

nyadari bahaya. Hingga.... 

Desh!

Bagai tiga bunyi yang menyatu, terdengar 

suara keras ketika tiga cahaya itu melanda tubuh 

Pendekar Slebor.

Andika tersentak di tempat. Dia tak terpen-

tal, karena masing-masing sinar menekannya dari 

arah lain.

Gerak liar Pedang Pusaka Langit terhenti 

seketika. Kuda-kudanya limbung, wajahnya me-

mucat. Lamat-lamat, terdengar gemeletuk rahang. 

Tampaknya, Pendekar Slebor demikian tersiksa 

akibat serangan ketiga lawannya barusan. Dan ini 

membuat pandangannya kehilangan kekuatan. 

Alam mendadak gelap. Kalau datang serangan be-

rikutnya, Pendekar Slebor pasti tak tahu harus 

bergerak ke mana. Atau, bagaimana caranya berkelit. Seluruh tubuhnya seperti mati seketika, di-

berangus rasa tercabik-cabik.

Hanya keteguhan hati yang membuat Pen-

dekar Slebor masih bertahan pada kuda-kudanya.

Hal yang ditakutkan akhirnya terjadi juga. 

Untuk kedua kalinya, ketiga lawan Pendekar Sle-

bor mengirim kembali berkas-berkas cahaya hi-

tam keunguan....

Slash! 

Desh!

"Akh!" 

Andika hanya sempat memekik kecil. Sete-

lah itu tubuhnya semakin limbung. Tanpa dapat 

ditahan, dia tersurut ke permukaan laut. Dan 

samudera pun segera menelan tubuh pemuda itu 

bulat-bulat.

Sepi.... Angin mendesis-desis mengutuki ti-

ga manusia laknat yang masih berdiri dengan se-

nyum samar masing-masing.

"Tunggu apa lagi? Ayo kita segera menyu-

sul kapal itu!" cetus Ular Belang, meretakkan ke-

heningan.

Dua saudara seperguruannya mengang-

guk.

Baru saja Dua Ular Laut hendak melompat 

ke kapal, tiba-tiba saja...

"Aiii!"

Glar! 

Dengan mata kepala sendiri, Dua Ular Laut 

menyaksikan kapal hantu mereka lebur berkep-

ing-keping. Bilahan papannya berhamburan kesegala penjuru, jauh dari tempat semula. Tulang-

belulang di dalamnya ikut berpentalan. Kapal be-

sar itu seakan baru saja diledakkan mesiu berpe-

ti-peti.

Di antara hamburan pecahan papan, terli-

hat kelebatan seekor kelelawar hitam terbang ja-

lang ke angkasa. Geraknya seperti ketakutan.

Dalam selang yang teramat singkat, seso-

sok bayangan lain berkelebat dari dasar laut. Dan 

bayangan itu meluncur lurus menyusul gerak ke-

lelawar raksasa di udara.

"Heaaa!"

Crash! 

Bersama bentangan seberkas sinar merah 

bara, tubuh kelelawar tadi terbelah dua. Darah-

nya tersembur, dan jatuh tertelan keluasaan sa-

mudera. Disusul, dua potongan tubuhnya...,

Menjelang potongan bangkai kelelawar ter-

telan lautan, seberkas cahaya jingga menyilaukan 

terlepas dari tubuh binatang itu dikawal dengking 

amat santer yang mirip suara pembunuh para 

awak kapal sebelumnya. 

Detak-detak waktu selanjutnya, tiga mo-

mok Laut Selatan memperdengarkan dengkingan 

pula. Mereka bergelinjangan liar, bersama poton-

gan-potongan sinar hitam keunguan yang menye-

ruak dari seluruh pori-pori kulit. 

Plumb!

Suara lembut permukaan dasar laut men-

jadi pertanda tertelannya tubuh mereka ke dasar 

samudera. Dan mereka pasti akan menjadi santapan hewan-hewan laut pemangsa setelah men-

jadi pemangsa bengis terhadap sesama.

Di salah satu pecahan bangkai kapal, An-

dika terduduk kuyu tanpa gairah. Wajahnya tak 

bersinar, tapi memperlihatkan kelegaan teramat 

sangat.

Ketika serangan sinar ketiga lawannya, 

Pendekar Slebor memang telah kehilangan kesa-

daran sama sekali. Namun di dalam laut, sesuatu 

yang sama sekali tak disangka langsung terjadi. 

Pedang Pusaka Langit yang memiliki keampuhan 

melipatgandakan kehebatan seseorang menjadi 

sepuluh kali lipat, mendadak saja bergetar di 

genggaman tangan Andika.

Saat yang sama, tenaga sakti di tubuh pe-

muda itu bergejolak dan bergejolak, untuk meli-

patgandakan tenaga Pendekar Slebor. Pada pun-

caknya, Andika tersadar.

Sesaknya napas di dalam air, membuat 

Andika secepatnya menuju permukaan. Dan saat 

itulah Pendekar Slebor melihat sesuatu mencuri-

gakan pada bagian lambung kapal Ular Laut Ke-

pala Kembar. Andika melihat ada berkas-berkas 

sinar jingga menyilaukan yang bergerak-gerak di 

dalamnya.

Terbetik dugaan kuat, bahwa sinar yang 

diyakininya sebagai wujud manusia ular itulah 

yang telah memberi kesaktian pada tiga lawan-

nya.

Maka, Andika pun langsung menghantam 

kapal itu dengan puncak tenaga sakti yang kini

sudah menjadi berlipat sepuluh kali. Begitu han-

cur, berkas sinar yang ternyata berubah menjadi 

seekor kelelawar langsung menyerang.

Dugaan Pendekar Slebor tidak meleset. 

Dengan kematian sang kelelawar yang menjadi ja-

sad bersemayam nya si Manusia Ular, maka hu-

bungan antara alam kasar pun terputus. Dan, 

terputus pula kesaktian yang telah dilimpahkan 

pada ketiga muridnya....

Hal yang sama pernah dialami Andika keti-

ka berhadapan dengan Manusia Dari Pusat Bumi. 

Itu sebabnya, dia bisa begitu cepat menduga (Un-

tuk lebih jelas tentang hal itu, bacalah episode: 

"Manusia Dari Pusat Bumi", "Pengadilan Perut 

Bumi", dan "Bayang-bayang Gaib").

"Andika...."

Suara lembut menegurnya.

Andika menoleh kuyu. Tampak Chin Liong 

bersama Ying Lien tengah mengendarai perahu 

kecil. Wajah gadis Cina jelita itu sudah basah.

Ketika Andika naik ke perahu, Ying Lien 

menghambur ke dadanya. Tangis harunya kontan 

tertumpah di sana....


 

                        SELESAI


























Share:

0 comments:

Posting Komentar