..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE UTUSAN IBLIS

Utusan Iblis

 

UTUSAN IBLIS

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-

lam episode:

Utusan Iblis

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Malam telah begitu larut dan dingin. Angin pe-

gunungan berhembus lembab, menciptakan embun 

pada dedauan. Sayup-sayup terdengar suara burung 

hantu, sebagai simbol burung malam.

Di sebuah rumah nampak lentera kecil menya-

la. Api lentera itu bergoyang-goyang diterpa angin. Dua 

orang suami istri nampak masih terjaga. Pikiran mere-

ka terhanyut dalam kehidupan yang tengah mereka 

alami. Sang suami yang bernama Rundanu, nampak 

tercenung. Tangannya menopang dagu, sepertinya ten-

gah melamuni kehidupan yang terjadi atas dirinya.

"Oh, bune, mengapa hidup kita hari demi hari 

selalu begini?" terdengar keluh Rundanu. Sang istri 

yang bernama Rumini terdiam, memandang dengan 

mata yang sepertinya turut merasakan kepedihan hi-

dupnya.

"Bosan rasanya aku hidup sengsara terus 

Bune?" kembali Rundanu mengeluh.

"Lalu harus bagaimana, Pakne?" sang is tri 

yang sedari tadi terdiam turut berkata. 

"Apakah kita akan begini terus?"

"Aku juga tak ingin, Pakne," menjawab si istri. 

"Namun, apalah yang dapat kita lakukan sebagai orang 

kere?"

"Bagaimana kalau nanti anak kita ada yang 

meminang?" 

"Ah, Pakne... Mengapa kau memikirkan hal 

yang tidak-tidak?" kembali sang Istri berkata. "Jan-

gankan orang melamar anak kita, mengenalpun 

mungkin enggan."

"Kau jangan terlalu pesimis, Bune


"Bagaimana aku tak pesimis, Pakne," mengeluh 

sang istri sepertinya telah putus asa. "Pakne tahu sen-

diri kita orang yang tak punya. Semua orang menghina 

kita, semua orang sepertinya enggan mengenal kita. 

Dasar nasib, Pakne."

Mendengar ucapan istrinya, seketika Rundanu 

tak dapat berkata-kata lagi, diam membisu. Napas ke-

duanya seakan berat, mendesah penuh risau. Kehe-

ningan malam kian mencekam. Layaknya kelambu hi-

tam penuh misteri menyelimuti hening malam.

Kedua suami istri hanya diam. Diam dan diam, 

tanpa banyak kata. Mata-mata kedua-nya menerawang 

hampa, menatap kosong tiada gairah. Angin malam te-

rus bertiup, menderu-deru bagaikan prahara. Tengah 

kedua suami istri itu terdiam merenungi nasibnya, ti-

ba-tiba mereka dikejutkan oleh gaung suara mengge-

ma. Seketika kedua Suami istri itu ketakutan, saling 

peluk dan gemetaran.

"Pakne, aku takut"

"Aku juga, Bune..."

Suara itu kembali menggaung-gaung bagaikan 

ledakan air bah yang hancur tanggulnya. Dibarengi 

dengan gaungan itu, terdengar gelak tawa mendirikan 

bulu kuduk.

"Hua, ha, ha!"

Kedua suami istri itu makin ketakutan, menge-

ratkan pelukan. Wajah kedua suami istri itu seketika 

memucat, bagaikan tak berdarah. Mata keduanya me-

lototi mencari-cari asal suara itu. Namun keduanya tak 

menemukan apa yang mereka cari. Yang ada hanya 

kebisuan dan kebisuan malam yang makin larut. Ke-

ringat dingin bagaikan lelehan air hujan yang deras, 

bercucuran membasahi pelipis keduanya.

Tengah keduanya makin ketakutan, kembali


terdengar suara erangan, layaknya orang yang tengah 

menerima siksa. Ya, erangan itu seperti erangan orang 

tersiksa. Habis erangan itu, terdengar suara berat seo-

rang lelaki berkata.

"Ki dan Nini Rundanu, janganlah kalian takut 

padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku ingin menolong 

kalian."

"Menolong kami?" tanya Ki Rundanu seperti in-

gin meyakinkan.

"Benar, Ki!" jawab suara itu dengan nada berat. 

Nafasnya yang berat seperti mendesau. "Janganlah ka-

lian bermurung durja karena kalian miskin. Kalian in-

gin kaya, ingin makmur? Juga kalian ingin menjadi 

orang yang sakti, Ki?"

"Be-benar!" menjawab Ki Rundanu terbata.

"Hua, ha, ha... gampang Ki. Gampang!"

"Ah, janganlah Ki Sanak membuat aku bin-

gung," keluh Ki Rundanu, sepertinya tak percaya pada 

ucapan suara itu. "Kami tengah bingung bagaimana

caranya untuk menjadi orang kaya sekaligus sakti."

Bergelak-gelak tawa suara itu, mendengar uca-

pan Ki Rundanu. Ki Rundanu dan istrinya yang tadi 

ketakutan, kini nampak agak tenang. Di bibir kedua-

nya terpoles senyum, walau senyum itu tak tahu ditu-

jukan pada siapa.

Habis tertawa bergelak-gelak, kembali suara itu 

merintih dan merintih. Rintihan itu makin lama makin 

seru, lalu makin menyayat. Ya, rintihan itu seperti rin-

tihan kesakitan, bahkan rintihan erangan. Kembali ke-

dua suami istri itu ketakutan, merinding bulu kuduk 

mereka.

"Pakne.."

"Ya, Bune...." menjawab Ki Rundanu dengan 

ketakutan pula.


"Ki.. Ki... aku dingin. Tolonglah aku, Ki. Tolon-

glah..."

Makin bertambah ketakutan saja kedua suami 

istri itu demi mendengar suara itu meminta tolong. Ke-

ringat dingin kembali deras membasahi kening kedua-

nya.

"Kenapa engkau terdiam, Ki. Kenapa?" kembali 

suara itu berkata merintih.

"Kau jangan menakut-nakuti kami, Ki Sanak. 

Kami takut," berkata Ki Rundanu dengan bibir geme-

tar. Sementara sang istri hanya terdiam, diam dalam 

kelu dan rasa takut.

"Bukankah kau ingin menjadi orang kaya?"

"Memang... Namun kenapa engkau menakuti 

aku dan istriku?" menjawab Ki Rundanu masih keta-

kutan. "Kalau kau mau bunuh kami, bunuhlah!"

"Tidak! Aku tak akan membunuh kalian. Aku 

ingin kalian menjadi sahabat-sahabatku. Kau menger-

ti, Ki? Tolonglah aku, Ki. Tolonglah!"

"Apa yang dapat aku bantu, Ki Sanak?" tanya 

Ki Rundanu tak mengerti. Sejenak ditatapnya wajah 

sang istri yang tampak memucat ketakutan. "Aku 

orang miskin. Aku orang tak punya apa-apa."

"Aku tak perlu materi, Ki. Aku tak perlu itu..."

"Lain, apa permintaanmu?" tanya Ki Rundanu. 

"Tolonglah diriku, Ki." 

"Ah,, apa yang dapat aku tolong?" balik ber-

tanya Ki Rundanu.

Sesaat suara itu terdiam. Diam pula kedua su-

ami istri Rundanu, sepertinya hendak mengikuti kebi-

suan malam yang kian melarut dan larut. Salak anjing 

liar terus menggema, sepertinya anjing-anjing itu ten-

gah menghadapi musuh bebuyutannya.

"Auuuuuuuungg...! Auuuunnggg!"


"Hud... hud...! Blukuk, blukuk. Huuddddd!"

"Keluarlah kau bersama istrimu, bawa oleh ka-

lian dupa."

"Untuk apa...?" bertanya Ki Rundanu tak men-

gerti. Wajahnya meredup. Matanya menatap tiada 

arah. Hanya langit-langit kamar tamu gubug rumah-

nya saja yang membisu, membalas tatapan ganjil dari 

sorot mata Ki Rundanu.

"Tak usahlah kau banyak tanya. Lakukan sega-

la apa yang aku katakan."

"Baiklah! Lalu bagaimana selanjutnya?" 

Akan aku beritahukan padamu nanti, Ki Run-

danu."

"Ah, apakah kau tak bercanda?"

Terdengar desah berat sesaat. Desah itu bagai-

kan sebuah angin kencang bertiup, menerpa wajah 

suami istri itu yang terdiam.

"Hua,ha,ha... aku tak bercanda, Ki. Nah, laku-

kanlah!" 

"Baik, kami akan melakukannya!" menjawab Ki 

Rundanu.

"Hua, ha, ha... itu memang bagus, Ki. Kalau 

aku sudah terbebas, apa yang kau inginkan akan aku 

kabulkan."

"Benarkah itu...?" tanya istri Rundanu girang.

"Benar, Nini... maka itu, lakukanlah segera!"

Dengan habisnya ucapan suara itu, terdengar 

kembali bunyi gemuruh bagaikan air bah. Dan kembali 

anjing hutan melengkingkan lolongan panjang, seakan 

ada sebuah misteri di balik semuanya.

* * *

Setelah mempersiapkan apa yang mesti diper


lukan, kedua suami istri itu dengan tertatih-tatih me-

langkah ke luar rumah. Kaki-kaki mereka yang tak be-

ralas, terasa dingin menapak tanah. Udara yang din-

gin, bagaikan tak terasa oleh mereka.

Tanpa banyak bicara, kedua orang suami istri 

itu terus berjalan dan berjalan menyusuri malam. Di 

wajah keduanya tergambar ketakutan. Tubuh kedua-

nya menggigil diterpa dingin malam. Lebih menggigil 

kala terdengar suara itu kembali bergema. Sampai-

sampai lutut keduanya terasa lemas bagai tak bertu-

lang. Keduanya menjeprok terduduk lesu.

"Kenapa kalian mesti takut?" bertanya suara itu 

manakala melihat kedua suami istri Rundanu ketaku-

tan. "Janganlah kalian takut. Percayalah, aku tak akan 

mengganggu kalian. Bahkan aku hendak menolong ka-

lian dari kemiskinan."

Mendengar ucapan suara itu, seketika Ki Run-

danu dan istrinya hilang rasa takut. Dengan hati yang 

diberani-beranikan, kedua orang suami istri itu kem-

bali melangkah tak tahu arah.

"Teruskan langkah kalian ke muka. Bila kalian 

menemukan sebuah pohon beringin, berhentilah ka-

lian di situ. Bakar dupa yang kalian bawa. Dan 

ucapkan kata-kata sebagai berikut. "Lening Uripe Kan-

jeng Baginda Penguasa Kegelapan, dengan ini kami 

persembahkan kunci pembuka kuburmu." Kalian pa-

ham...?"

"Paham," menjawab keduanya bareng.

"Coba kalian ucapkan lagi!" terdengar suara itu 

memerintah.

Sesaat kedua suami istri itu terdiam. Seper-

tinya kedua suami istri Rundanu tengah mengingat-

ingat kembali kata-kata yang diajarkan oleh Penguasa 

Puri Kegelapan. Kemudian dengan suara terputus


putus keduanya berkata.

"Lening... Urip Kanjeng...." Ki Rundanu dan is-

trinya terdiam tak dapat meneruskan kata-katanya, 

membuat Penguasa Puri Kegelapan kembali bertanya. 

"Kenapa, Ki?" 

"Aku lupa," menjawab Ki Rundanu.

Bergelak-gelak tawa Penguasa Puri Kegelapan, 

demi mendengar jawaban Ki Rundanu. Ki Rundanu 

seketika mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam 

hati, "Mengapa Iblis dapat bercanda?" 

"Tidak hanya manusia saja yang dapat bercan-

da, Ki"

Tersentak Ki Rundanu kaget, demi mendengar 

ucapan Penguasa Puri Kegelapan. Bagaimana tidak! 

Ucapan itu hanya ada di hatinya, namun ternyata Pen-

guasa Puri Kegelapan mengetahui. Lebih tersentak lagi 

Ki Rundanu, manakala Penguasa Puri Kegelapan kem-

bali berkata,

"Jangan kau bingung, Ki. Memang aku dapat 

mengetahui segala apa yang ada di hatimu. Maka itu, 

janganlah sekali-kali kata mendustai ku." 

"Baiklah, aku tak akan sekali-kali mendustai 

mu. Asalkan kita dapat mendapatkan apa yang aku 

harapkan," menjawab Ki Rundanu, menjadikan Pengu-

asa Puri Kegelapan seketika kembali tertawa bergelak-

gelak.

"Hua, ha, ha... Itu bagus, Ki. Dengan kau tak 

mendustai aku, maka segalanya akan berjalan dengan 

baik dan cepat. Kau akan menjadi orang kaya seketika 

dan sakti. Itu yang kau inginkan. Itu yang kau ingin-

kan, bukan?"

Karena didorong oleh rasa ingin mendapatkan 

kekayaan dan janji-janji muluk dari Penguasa Puri Ke-

gelapan, menjadikan Ki Rundanu dan istrinya bagai


kan melangkah di siang hari. Langkah mereka bak ada 

yang menuntun, tak ada ganjelan atau pun sandun-

gan.

"Percepat langkah kaki kalian. Percepat...." ter-

dengar suara Penguasa Puri Kegelapan berkata, me-

nyuruh mereka untuk mempercepat langkahnya. Hal 

itu menjadikan kedua suami istri Rundanu tersentak. 

Menurut perasaan mereka, mereka telah melangkah 

dengan cepat bahkan hampir berlari. Namun kenapa 

Penguasa Puri Kegelapan menyuruh mereka memper-

cepat langkahnya? Tak tahunya, waktu hampir menje-

lang pagi. Angin terasa bagaikan tetesan-tetesan es, 

dingin menyabik tulang.

Tanpa banyak kata, kedua suami istri itu ma-

kin mempercepat langkah kaki mereka. Kini keduanya 

bukan berjalan, namun berlari. Ya, keduanya berlari 

memburu waktu yang sesaat lagi akan berganti.

Tak berapa lama kemudian, kedua suami istri 

itu telah sampai pada apa yang ditunjukkan oleh Pen-

guasa Puri Kegelapan. Keduanya segera menyalakan 

dupa. Tengah keduanya tepekur menghadapi dupa 

yang mengepul menjadikan asap tebal bergulung, ter-

dengar suara Penguasa Puri Kegelapan kembali berka-

ta.

"Kau ingat ucapan yang aku ajarkan, Ki"

"Tidak," menjawab Ki Rundanu yang seketika 

menjadikan bentakan marah Penguasa Puri Kegelapan.

"Bodoh! Kenapa kau tak mengingatnya?" 

"Ampuni kami," meratap Ki Rundanu. 

Sementara sang istri nampak ketakutan men-

dengar bentakan itu. Wajahnya pucat, seputih kertas. 

Sepertinya, darah yang mengalir di tubuh kini tak ada 

lagi. Bibirnya membiru oleh dingin, oleh perasaan yang 

mencekam, juga oleh gelora hatinya yang entah ada


perasaan apa.

"Dengar baik-baik olehmu. 

"Lening Urip penguasa Puri Kegelapan, kubuka 

kuburmu." Mengerti...!" 

"Mengerti," menjawab Ki Rundanu. 

"Sekarang juga, ucapkan!" 

Dengan bibir gemetaran menahan perasaan 

dan hawa dingin yang menyayat tulang, Ki Rundanu 

berkata terputus-putus. 

"Lening Urip Penguasa Puri Kegelapan, kubuka 

kuburmu." 

Berbareng dengan habisnya suara Ki Rundanu, 

seketika dari bawah pohon beringin keluar asap putih 

kehitam-hitaman, bergulung-gulung membumbung ke 

angkasa. Bersama itu pula, pohon beringin itu seketika 

jebol, mencelat ke atas bagai didorong oleh tenaga rak-

sasa.

Melotot mata Ki Rundanu dan istrinya, melihat 

kejadian yang sukar untuk diterima akal mereka. Sak-

ing kagetnya, mereka seketika loncat dari duduknya. 

Mata mereka melotot, sedang mulut mereka bengong 

melompong. Keringat dingin keduanya seketika menga-

lir deras, lalu mereka ambruk dengan lutut bagai tak 

bertulang, ketika terdengar suara gelak tawa memba-

hana memecahkan malam yang sunyi. Bersamaan 

dengan itu, sesosok tubuh yang mengerikan keluar da-

ri dalam tanah. 

Pertama tangannya keluar. Tangan itu tak ber-

daging sedikit pun. Tulang-tulangnya nampak jelas ke-

lihatan. Bergidik kedua suami istri itu, sehingga kedu-

anya seketika surut mundur. Lebih-lebih ketika kepala 

mahluk itu nongol, mereka baikan hendak pingsan sa-

ja. Kepala mahluk itu, jelas-jelas kepala tengkorak. 

Matanya kosong tiada isi. Hidungnya bolong dengan


daging-daging membusuk bau.

Saking takutnya kedua suami istri itu, kedua-

nya hendak berkelebat pergi kalau saja tak terdengar 

seruan mahluk memanggil nama mereka.

"Ki Rundanu... kenapa kau hendak lari?"

Ki Rundanu seketika menghentikan larinya, di-

am terpaku pada tempat pijaknya. Lututnya naplok, 

bagaikan hendak patah layaknya. 

"Jangan takut, Ki. Aku telah kau tolong, maka 

aku hendak membalas jasa padamu" berkata tengko-

rak hidup itu lagi. "Dengar olehmu, aku akan membe-

rikan apa saja yang engkau inginkan. Asal... kalian 

mau selamanya menjadi pengikutku. Pengikut Pengua-

sa Puri Kegelapan. Bagaimana, Ki?"

Dengan rasa takut, Ki Rundanu mengangguk. 

Hal itu menjadikan mahluk tengkorak hidup itu kem-

bali tertawa bergelak-gelak, yang membuat tubuhnya 

ikut bergetar. Tubuh tengkorak yang bergetar, menja-

dikan bunyi bletok... bletok ketika tulang-belulangnya 

beradu.

"Sekarang juga, kalian akan menjadi orang 

kaya raya. Namun kalian mesti ingat! Kalian setiap 

malam Jum'at harus memberikan padaku seorang bayi 

merah. Kalian paham...?"

"Kami mengerti, Paduka Penguasa Puri Kegela-

pan," menjawab keduanya dengan ketakutan.

"Sekarang kalian kembalilah ke rumah. Ingat 

pesanku, kalian harus memberikan seorang bayi me-

rah setiap malam Jum'at. Nah, lihat oleh kalian, bahwa 

di bawah tikar kalian akan ada sekantong uang emas. 

Itu harta pertama untuk kalian. Bila kalian telah 

memberi seorang bayi, maka kalian akan mendapatkan 

sekantong uang emas lagi. Jangan sekali-kali kalian 

ingkar. Ingat, aku akan menghukum kalian bila in


gkar. Pulanglah!"

Dengan tanpa menengok-nengok lagi, kedua 

suami istri itu pun segera berlari pergi. Di hati kedua-

nya kini tertanam seribu macam pertanyaan. Benar-

kah apa yang diucapkan oleh Penguasa Puri Kegela-

pan? Ketika keduanya telah kembali ke rumah, dengan 

segera kedua suami istri itu membuktikannya.

"Ah..." membelalak mata kedua suami istri itu, 

manakala dilihatnya sekantong uang emas. Maka den-

gan menangis bahagia, kedua orang suami istri itu sal-

ing berangkulan.

Malam kian bergerak cepat, berubah dengan 

datangnya pagi. Sekali-kali kokok ayam jantan terden-

gar bersamaan dengan fajar yang datang menyingsing 

di ufuk Timur. Embun perlahan-lahan berlari, pergi te-

rusir sinar mentari.

***

DUA



Setelah bangkit dari kuburnya yang berada di 

bawah pohon beringin atas pertolongan kedua suami 

istri Rundanu, Penguasa Puri Kegelapan kini membikin 

teror. Bila malam telah datang, Penguasa Puri Kegela-

pan muncul untuk mencari orang-orang yang telah 

menghukumnya di bawah pohon beringin.

Siapakah Penguasa Puri Kegelapan itu? Agar 

supaya para pembaca tidak jengah dan bertanya-

tanya, marilah kita tilik kembali ke beberapa tahun 

yang silam. Di mana kita akan mengetahui siapa 

adanya Penguasa Puri Kegelapan, yang kini kembali 

bangkit untuk menuntut balas.


Lima puluh tahun yang silam, tersebutlah satu 

perguruan yang sudah terkenal. Perguruan itu berna-

ma "Perguruan Samudra Biru." Adapun pemimpin per-

guruan itu, adalah seorang Resi bernama Resi Wilma-

ka Suldra. Kesaktian Resi itu tiada tandingnya. Sam-

pai-sampai hampir semua tokoh persilatan takut dan 

jera padanya. 

Resi Walmaka mempunyai lima orang murid, 

yang terkenal dengan sebutan Panca Gumilang. Panca 

artinya lima, sedang Gumilang artinya kemenangan. 

Jadi Panca Gumilang berarti Lima Kemenangan. Mas-

ing-masing kelima muridnya itu memiliki kesaktian 

yang sama tinggi. Murid pertamanya bernama Boman-

tara. Yang kedua bernama Saislendra. Yang ketiga 

bernama Reksa Pati. Sedang yang keempat dan kelima, 

bernama Wanggada dan Waskita.

Berbeda dengan watak gurunya yang berbudi 

pekerti, kelima murid sang Resi mempunyai tabiat bu-

ruk. Murid pertama suka Mabok. Murid kedua suka 

Maling. Murid ketiga suka Main. Sedang murid keem-

pat dan kelima suka Madat dan Madon

Kesaktian yang mereka miliki itulah senjata 

mereka untuk mendapatkan segala apa yang mereka 

inginkan. Hingga saking seringnya mereka melakukan 

tindakan-tindakan itu, mereka pun mempunyai gelar 

apa yang sesuai dengan tindakan mereka. Si murid 

pertama bergelar Pendekar Sakti Dewa Mabok. Murid 

kedua bergelar Pendekar Raja Maling. Ketiga bergelar 

Pendekar Gila Judi. Dan keempat serta kelima bergelar 

Pendekar Kumbang dan Pendekar Candu.

Pada suatu hari, sang Resi memanggil kelima 

muridnya. Sang Resi sengaja memanggil mereka untuk 

memberikan kabar sesuatu. Walau mereka merupakan 

Pendekar-pendekar yang tindakannya tak sesuai den

gan tata susila, namun mereka selalu menjaga nama 

baik guru mereka yaitu Resi Walmaka. Mereka pun 

merupakan murid-murid yang patuh, yang tak sekali-

kali menentang ucapan gurunya.

Mereka segera menemui sang guru, yang telah 

menunggu kedatangan mereka berlima. Sang Resi 

tampak telah duduk di atas sebuah batu dengan 

agungnya. Mata sang Resi yang telah tua, sepertinya 

tak terhalang oleh kerabunan. Hingga mata tua itu, 

bagaikan sorot mata burung elang yang tajam.

Kelima murid-muridnya segera menyembah, la-

lu duduk dengan berderet. Wajah kelimanya menun-

duk, tak seorang pun yang berani menentang pandan-

gan sang guru. 

"Murid-muridku."

"Hamba, Guru," menjawab kelimanya menjura 

hormat.

"Kalian tahu mengapa aku mengundang ka-

lian?" bertanya sang Resi, menjadikan kelima murid-

nya makin tertunduk. Di hati kelimanya tersembul ra-

sa was-was, takut kalau-kalau gurunya mempunyai 

marah padanya.

"Kami tak tahu, Guru," kembali kelimanya 

menjawab.

"Ketahuilah, murid-muridku. Kini dunia persi-

latan telah digegerkan oleh berita hilangnya sebuah 

senjata milik kerajaan. Senjata itu merupakan senjata 

wasiat. Barang siapa yang mampu menemukan senjata 

tersebut, dirinya akan menjadi orang tersakti di dunia 

ini."

Sang Resi kembali terdiam. Matanya meman-

dang pada kelima murid-muridnya yang tampak masih 

terdiam, tak ada yang berkehendak bicara. Demi meli-

hat kelima muridnya hanya diam, kembali sang Resi


meneruskan ucapannya.

"Apakah kalian tak ingin mencari pusaka itu?"

"Ah, jadi guru hendak menyuruh kami turut 

serta mencari pusaka tersebut?" balik bertanya Sae-

lendra. 

"Benar, muridku." menjawab sang Resi, menja-

dikan kelima muridnya kembali terjengah. "Apakah Ka-

lian tak ada yang ingin menjadi pejabat kerajaan?"

"Untuk apa?" tanya Bomantara, sepertinya tak 

tertarik dengan segala ucapan gurunya. "Bukankah le-

bih baik menjadi seperti sekarang ini? Kerajaan terlalu 

banyak aturan-aturan, yang dapat membuat pusing di-

ri kita sendiri. Maaf, Guru, hamba tak berkenan."

"Tak mengapa, Bomantara," menjawab Resi 

Walmaka. "Yang lainnya, bagaimana?"

"Hamba juga tak berminat, guru," kini Saelen-

dra yang menjawab.

"Hem, dua orang sudah yang tak berminat," 

bergumam Resi Wanaka. "Yang lainnya...?" 

Seperti Bomantara dan Saelendra, murid ketiga 

pun menolak untuk mengikuti sayembara raja. Baru 

setelah murid keempat dan kelima, keduanya meneri-

ma tawaran itu.

"Bagus! Kalau hal itu sudah bulat di hati ka-

lian, maka kalian harus dapat melaksanakan tugas ka-

lian dengan baik. Ingat jangan sampai membuat malu 

perguruan."

"Hamba mengerti, Guru," menjawab. keduanya 

bareng.

Esok harinya dengan, diantar oleh sang Resi, 

kedua murid itu segera menuju ke Istana untuk men-

daftarkan diri mereka. Rupanya karena sang Raja 

mengenal siapa sang Resi Wilmaka adanya, tanpa 

mengalami kesulitan, kedua murid Resi Wanaka itu di


terima.

* * *

Hari itu juga Wanggada dan Waskita yang telah 

diterima sebagai anggota pencari pusaka yang hilang 

segera bekerja. Keduanya yang mendambakan bakal 

menjadi abdi dalem istana, berusaha sekuat tenaga 

mencari pusaka Gong Emas Sakti yang hilang dicuri 

orang.

Gong Emas Sakti, merupakan sebuah benda 

yang mempunyai "Ma'na." Bila gong itu ditabuh pada 

siang hari, maka sepanas apapun matahari akan re-

dup. Bila gong itu ditabuh dalam menghadapi musuh, 

maka seketika musuh akan lumpuh terkena getaran-

nya. Sungguh-sungguh merupakan benda langka 

dan sakti. Gong Emas Sakti itu merupakan pusaka tu-

run temurun kerajaan. Barang siapa yang memegang 

gong tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja 

di Kerajaan Tanjung Lor. Itulah kenapa baginda Raja 

Ruda Galuh sangat mengkhawatirkannya. Di samping 

gong tersebut dapat membawa bencana bagi kerajaan, 

juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan 

olehnya selaku raja.

Karena baginda Ruda Galuh merupakan adik 

seperguruan Resi Wilmaka, maka baginda pun memin-

ta bantuan pada sang Resi untuk mencarikan gong 

tersebut. Hingga akhirnya sang Resi memerintahkan 

pada kedua muridnya.

Kini kedua murid Resi Wilmaka telah menja-

lankan tugas, mencari pencuri gong tersebut yang be-

lum diketahui orangnya. Hal itu menjadikan kesulitan 

bagi keduanya. Jangankan menangkap pencurinya dan 

mengambil gong tersebut, mengetahui wajah pencu



rinya pun mereka belum tahu.

"Aku rasa, pencurinya bukan orang sembarang, 

Kakang."

"Benar ucapanmu, Adik Waskita," menjawab 

Wanggada.

"Susah..." mengeluh Waskita seraya memper-

lambat lari kudanya.

"Apa mungkin kita dapat melakukannya?" 

kembali Waskita mengeluh, sepertinya keluh itu ditu-

jukan pada diri sendiri. Wanggada hanya terdiam, ia 

nampaknya turut bimbang atas kemampuan diri sen-

diri. Bukannya apa, mereka memang belum tahu siapa 

orang yang telah mencuri gong tersebut.

"Apa tidak sebaiknya kita berpisah mencarinya, 

Kakang?"

"Terserah mu saja," menjawab Wanggada.

Setelah dicapai kata sepakat, dengan segera 

kedua kakak beradik itu berpisah. Wanggada men-

gambil jalan ke Barat, sementara Waskita segera men-

gambil jalan ke Timur

* * *

Sejak hilangnya gong Emas dari kerajaan, du-

nia persilatan seketika dibuat geger oleh seorang wani-

ta yang sakti. Wanita itu masih muda, dengan senjata 

saktinya berbentuk gong emas.

Semua tokoh persilatan dibuat kalang kabut, 

tak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Se-

bab di samping gong pusaka itu, si wanita juga memi-

liki ilmu yang tinggi.

Sejak itu, bantai membantai antar golongan 

persilatan terjadi. Semua hanya ada satu tujuan, men-

dapatkan gong pusaka dan menjadikan dirinya raja.


Korban demi korban berjatuhan, mati dalam usahanya 

merebut gong Emas tersebut.

Kabar itu juga terdengar oleh kedua murid Resi 

Wilmaka yang tengah diutus sang Raja untuk mencari 

pencurinya. Kedua murid resi Wilmaka pun segera 

memburu pencuri yang sudah diketahui siapa adanya.

Karena sudah mengetahui siapa adanya pencu-

ri tersebut, maka kedua kakak seperguruan dengan 

segera dapat menemukan pencuri tersebut. Pencuri itu 

adalah seorang gadis cantik jelita. Ia adalah anak raja 

terdahulu bernama Rara Sumbadra. Dengan dibantu 

Dirgantoro, Rara Sumbadra bermaksud merebut kem-

bali tahta Kerajaan yang telah direbut oleh Raja Ruda 

Galuh. 

"Rara Sumbadra, keluar kau!" berseru Anggada, 

manakala keduanya telah sampai di padepokan Rara 

Sumbadra. "Cepat keluar dan serahkan kembali gong 

Emas itu pada kami!"

"Setan! Siapa yang berani berteriak-teriak 

kayak kunyuk!"

Bersamaan dengan habisnya ucapan itu, seso-

sok tubuh wanita muda berkelebat ke luar. Senyum-

nya sinis mengulas di bibirnya. Matanya tajam meng-

hujam, memandang pada kedua kakak beradik di de-

pannya.

"Hem, rupanya kalian yang datang. Untuk apa 

kalian datang ke mari?"

"Rara Sumbadra... Kalau kau mau memberikan 

gong itu padaku, maka kau akan kami ampuni!" 

menggertak Waskita sengit. Sedangkan Anggada nam-

paknya hanya terdiam. Hatinya telah terpanah oleh 

ulasan senyum Rara Sumbadra, sehingga hatinya se-

ketika bergetar memandang Rara Sumbadra. Kini tu-

juannya berubah dari tujuan semula. Semula Anggada


bermaksud menangkap Rara Sumbadra, berubah men-

jadi ingin dapat bersanding dengan gadis jelita itu.

"Adik Waskita, bukankah lebih baik kita men-

gikutinya?"

"Kakang...!" terbelalak mata Waskita mendengar 

ucapan Anggada.

"Kenapa, Adik?"

"Apakah Kakang hendak melupakan tujuan ki-

ta?" balik bertanya Waskita terheran-heran dengan 

tingkah kakaknya. "Ingat kakang, guru akan marah bi-

la kau mengingkari tugas ini."

"Persetan dengan guru!"

"Kakang!" memekik Waskita.

Melihat kedua kakak beradik seperguruan itu 

bertengkar sendiri, Rara Sumbadra tampak tersenyum 

senang. Dan dengan genit, Rara Sumbadra yang telah 

tahu bahwa Anggada tertarik padanya segera berkata.

"Pendekar Kumbang, kalau kau mau memban-

tuku maka aku pun akan dengan senang menyerah-

kan diriku padamu. Bukankah kau memang mengha-

rapkan aku menjadi milikmu?"

Seketika hati Anggada yang telah terpanah oleh 

kecantikan Rara Sumbadra bimbang. Sesaat ditatap-

nya Waskita yang nampak terbelalak, lalu dengan se-

nyum mengembang Anggada kembali berkata.

"Baiklah, Rara Sumbadra, aku akan melindun-

gimu. Tapi jangan sekali-kali kau mengingkari. Bila 

kau kelak mengingkari, maka tak ada ampun untuk-

mu."

Rara Sumbadra makin melebarkan senyumnya.

"Percayalah padaku, Kumbang. Aku juga me-

nyintaimu, kok," merayu Rara Sumbadra, menjadi ser

hati Anggada. Dengan tanpa membuang-buang waktu, 

Anggada segera melompat dari kudanya dan berdiri di


samping Rara Sumbadra. Senyumnya kini sinis pada 

adik seperguruannya, yang melotot tajam menghujam.

"Kau... Kau kakang!" 

"Kenapa Waskita? Kalau kau ingin tenang, ikut-

lah kami," menjawab Anggada sinis. Sejenak ditatap-

nya Rara Sumbadra yang tersenyum, lalu dengan pe-

nuh permusuhan Anggada memandang tajam pada 

adik seperguruannya.

"Setan...! Aku tak akan mau mematuhi mengi-

kuti kalian!" menggertak marah Waskita. "Ingat Angga-

da, kau nantinya menyesal!"

"Tak ada kamus menyesal pada Anggada, 

Waskita."

"Baik, mulai sekarang kita bukan saudara se-

perguruan. Kita sekarang mempunyai tujuan masing-

masing!" Waskita berkata marah. Ia kecewa, ia gusar 

melihat kelakuan kakak seperguruannya yang telah 

mengingkari janjinya pada guru dan kerajaan. Tak di-

nyana, kalau tali persaudaraan yang selama ini dibina, 

harus hilang dengan begitu saja hanya karena tingkah 

Anggada yang tak dapat dimengerti.

"Kalau itu yang engkau mau, terserah. Nah, 

apakah kau akan menangkap kami?" bertanya Angga-

da, nadanya seperti mengejek.

Kegusaran hati Waskita kian menjadi. Maka 

dengan membentak, Waskita segera berkelebat menye-

rang dua musuhnya. Satu bekas kakak seperguruan-

nya yang telah murtad, satunya lagi orang yang me-

mang dicari-cari oleh kerajaan.

"Anggada murid murtad! Jangan kira aku takut 

pada kalian, hiaat...!"

Anggada yang sudah tahu kemampuan adik se-

perguruannya segera berkelebat mengelak, begitu juga 

Rara Sumbadra. Dengan beringas karena marah dan


kecewa, Waskita terus berusaha merangsek kedua 

musuhnya.

Pertarungan itu pun terjadi. Jurus demi jurus 

mereka keluarkan, dengan harapan dapat segera men-

jatuhkan musuhnya. Serangan Anggada dan Rara 

Sumbadra silih berganti, sepertinya mereka telah kom-

pak benar. Sekali Anggada menyerang, Sumbadra se-

gera melanjutkan.

"Menyerahlah, Waskita!"

"Pantang bagiku untuk menyerah pada kalian! 

Langkahi dulu mayatku, atau kalian berdua yang 

minggat dari bumi ini!" Waskita yang sudah marah, 

makin marah mendengar ucapan kakak seperguruan-

nya yang telah berhaluan pada musuh.

"Begitukah yang kau ingini, Waskita?"

"Ya, itu yang aku ingini!" menjawab Waskita. 

"Tak sudi aku menjadi adik seperguruanmu. Dan in-

gat, sejak saat ini perguruan bukan menjadi Panca 

Gumilang. Namun sekarang perguruan bernama Catur 

Gumilang. Jangan injak lagi perguruan!"

"Hua, ha, ha... Tak menginjak pun, aku akan 

hidup bahagia bersama Rara Sumbadra. Bukan begitu, 

Rara!" 

"Benar, Kakang. Kau akan bahagia bersamaku. 

Kau akan selalu merasakan keindahan-keindahan 

yang aku berikan," menjawab Rara Sumbadra genit. 

Senyumnya yang manis menghunjam di ulu hati Ang-

gada.

"Iblis! Kalian memang benar-benar Iblis! Maka 

kalian kelak tak akan mati sempurna!" menyumpah 

Waskita marah. Habis berkata begitu, Waskita kembali 

berkelebat menyerang.

Pertarungan terus berjalan dengan serunya, se-

pertinya mereka sama-sama tangguh, sama-sama


mumpuni. Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, 

tak terasa sudah jurus yang kelima puluh berlalu.

Tersentak Waskita, manakala selarik sinar me-

rah menyala ke luar dari tangan kakak seperguruan-

nya. Ia tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan ka-

kaknya. Kakaknya kini telah mengeluarkan ajian an-

dalannya, yang berupa larikan sinar merah panas 

membara. Ajian tersebut bernama, Serat Gumilang Ja-

ti, sebuah ajian yang telah guru mereka ajarkan. Serat 

Gumilang Jati terdiri dari sepuluh tahapan. Setiap ta-

hapan, selalu berubah-ubah penggunaan tenaganya 

juga kehebatannya. Tahap pertama, akan mampu 

membakar daun-daun kering. Tahapan kedua dan se-

lanjutnya sudah dapat dibayangkan, betapa akan lu-

luh lantak semua yang terkena. Kali ini Anggada 

menggunakan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keli-

ma, yang dapat menjadikan batu meleleh

"Tak pantas kau memakai ajian itu, Anggada!" 

membentak Waskita berang. "Kau bukan murid pergu-

ruan Gumilang."

"Itu bukan hakmu, Waskita!" balas menggertak 

Anggada. "Apakah kau takut!"

"Hem, jangan kira aku takut, Anggada. Aku 

pun memilikinya sepertimu. Lihat ini...!"

Seketika tangan Waskita berubah menjadi me-

rah membara, lebih merah dibandingkan tangan Ang-

gada. Anggada yang telah tahu tingkat berapa Waskita 

menggunakannya, tersentak melompat mundur. Dari 

mulutnya terbersit seruan kaget.

"Serat Gumilang Jati tingkat tujuh. Dari mana 

kau memperolehnya?"

"Hem, kenapa kau pucat, Anggada? Ayo kita 

mulai!"

Tanpa menunggu jawaban dari Anggada,


Waskita yang sudah marah dan kecewa pada kakak 

seperguruannya segera lepaskan ajian Serat Gumilan 

Jati tingkat tujuhnya.

Tersentak Anggada dan Rara Sembadra melom-

pat mundur, mengelakkan serangan ajian tersebut. 

Mata mereka melotot kaget, manakala melihat apa 

yang terjadi. Bukit di belakang mereka seketika runtuh 

dengan suara bergemuruh. Batu-batunya hancur men-

jadi abu, berterbangan menerpa keduanya.

"Bahaya, Kakang," menggumam Rara Semba-

dra.

"Tenanglah! Apakah kau mempunyai cermin?" 

bertanya Anggada.

"Untuk apa, Kakang?" Rara Sembadra kembali 

bertanya tak mengerti.

"Ambillah segera, biar aku menghalanginya."

Dengan segera, Sembadra berkelebat pergi me-

ninggalkan kedua kakak beradik yang tengah bertem-

pur. Waskita untuk kedua kalinya menghantamkan 

ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketujuhnya, mem-

buat Anggada harus berjumpalitan mengelakkan se-

rangan itu.

Melihat Anggada yang nampaknya keteter, 

Waskita yang telah marah terus mencecarnya dengan 

ajian Serat Gumilang Jati. Hal itu menjadikan Anggada 

harus menguras tenaga. Hanya dengan meringankan 

tubuh saja yang dapat ia lakukan, untuk mengelakkan 

serangan ajian ganas itu.

Ketika Anggada tengah benar-benar terdesak, 

secepat kilat Rara Sembadra yang telah dapatkan cer-

min berseru. Dilemparkannya cermin itu pada Anggada 

yang dengan segera menerimanya.

"Ini, Kakang!"

"Bagus! Hoop...!"


Waskita yang masih dilandasi amarah, terus 

mencecar Anggada dengan ajian tersebut. Secepat kilat 

kala Waskita kembali menyerang, Anggada kiblatkan

cermin memapaki serangan tersebut. Tak ayal lagi, 

ajian Serat Gumilan Jati balik terpantul menyerang 

tuannya. Waskita yang tak menyadari hal itu, tersen-

tak dan berusaha menghindar. Namun serangan balik 

ajiannya lebih cepat, dan menghantam tubuh Waskita. 

Seketika itu Waskita melolong panjang, tubuhnya ter-

pental jatuh ke dalam jurang.

Tersenyum senang keduanya, yang kemu-

dian berlari melihat ke bawah jurang di mana Waskita 

jatuh. Setelah dilihatnya Waskita tak tampak, kedua 

orang itu segera kembali ke pondok.

"Kini halangan tak ada lagi, Rara. Aku meminta 

janjimu."

"Dengan senang hati, Kakang," jawab Rara 

Sembadra. Senyumnya mengembang, sepertinya sen-

gaja menggoda. Anggada yang sudah terbakar naf-

sunya, segera memeluk tubuh Rara Sembadra. Bagai-

kan dua macan yang kelaparan, kedua orang itu ber-

gumul menyalurkan nafsu. Selang beberapa lama ke-

mudian, terdengar pekikan Rara Sembadra bersamaan 

dengan darah merah menetes dari miliknya yang san-

gat berharga. Demi cita-cita, segalanya dipasrahkan...

***

TIGA



Tersentak Resi Wilmaka dari semedinya. Seperti 

ada sesuatu tenaga penggerak yang sangat kuat, men-

gusiknya untuk bangun. Sejenak sang Resi terpekur



diam, dengan pikiran menerawang entah pada sugesti 

apa. Matanya yang terbuka, terkejap-kejap perlahan. 

Keningnya dikerutkan seperti tengah menerawang.

“Ada apakah dengan Waskita? Sepertinya dia 

dalam kesusahan.” Bergumam sang Resi dalam hati, 

“Kenapa Anggada tak segera memberi tahu padaku? Ke 

mana pula Anggada…?”

Tengah sang Resi tercenung diam, tiba-tiba ia 

dikejutkan oleh suara pintu Padepokan dibuka dengan 

paksa hingga menjadikan bunyi bergedubrak.

“Braak…!”

“Hai, siapa…?”

Tak ada jawaban, hanya terdengar suara eran-

gan kesakitan. Seketika sang Resi memburu ke muka. 

Betapa terbelalak mata Resi Wilmaka, manakala meli-

hat apa yang ada di hadapannya. Sesosok tubuh den-

gan luka-luka mengedubrak di balai-balai. Ketika sang 

Resi tahu siapa adanya orang itu, seketika memekiklah 

sang Resi.

“Waskita… Waskita! Kenapa kau, Nak?”

Waskita hanya diam tak menjawab, tubuhnya 

terkulai lemas.

Melihat muridnya begitu menderita, sang Resi 

tanpa banyak pikir panjang segera meraup tubuh pe-

nuh luka itu. Digendongnya dan dibawa ke dalam. 

Dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis, 

dibaringkan tubuh Waskita pada pembaringan.

Resi Wilmaka tampak sibuk sendiri, berjalan hi-

lir mudik ke depan dan ke dapur. Sampai-sampai ka-

rena pusingnya dan panik, sang Resi segera berseru 

memanggil ketiga muridnya.

“Bomantara… Saelendra… Reksa Pati…! Hai 

murid-murid gemblung, kalian pada ke mana? Apa ka-

lian tidak tahu adik kalian dalam keadaan teler?”


Tak berapa lama kemudian setelah sang Resi 

menjerit-jerit memanggil ketiga muridnya. Ketiga orang 

murid sang resi segera berdatangan menghampiri dan 

bertanya serempak.

“Ada apa, Guru? Sepertinya kebakaran saja.”

“Kebakaran-kebakaran kepala kalian! Apa ka-

lian tidak melihat adik kalian dalam keadaan mabok?”

“Mabok, Guru? Ah, guru jangan bercanda,”

berkata Bomantara.

“Eh-eh-eh, kalian tak percaya. Lihat itu…”

Sang Resi segera menunjuk di mana Waskita 

terbaring dengan luka-luka. Seketika memekiklah keti-

ga murid sang Resi demi melihat adik seperguruannya 

yang luka parah.

“Waskita…! Waskita, kenapa kau, Adikku?”

Waskita yang masih pingsan hanya terdiam, 

walau ketiga kakak seperguruannya mengguncang-

guncangkan tubuhnya. Ketiga kakak seperguruannya 

seketika menggeratak marah, manakala melihat adik 

seperguruannya dalam keadaan begitu.

“Siapa yang telah melakukannya, Guru?” tanya 

Bomantara.

“Entahlah, Bomantara. Aku sendiri belum men-

gerti siapa orang yang telah membuat dia luka-luka,”

menjawab Resi Wilmaka. Kepalanya menggeleng le-

mah, matanya berkaca-kaca seperti sedih melihat kea-

daan murid bungsunya.

Ketiga muridnya hanya diam membisu seribu 

kata. Mata mereka memandang tak berkedip penuh iba 

pada Waskita yang masih terbaring. Obat-obatan ra-

muan Resi Wilmaka, menutupi seluruh tubuhnya.

Tak lama kemudian, terdengar erangan Waskita 

yang siuman Serta merta, ketiga kakak seperguruan-

nya segera menghampiri. Ketiganya diam menunggu


apa yang bakal terjadi pada adik seperguruannya.

“Gu…ru…” berkata Waskita lemah.

“Ya, anakku, ada apa?” menjawab Resi Wilmaka 

trenyuh.

“Waskita, katakanlah pada kami siapa yang te-

lah membuatmu begitu?”

Waskita sejenak diam, memandang pada Bo-

mantara yang bicara. Kemudian matanya beralih me-

mandang pada kakak-kakak seperguruannya yang 

lain. Lalu dengan suara lemah, Waskita pun berkata.

“Kakang-kakang… Anggada telah mengkhianati

perguruan…”

“Apa…!”

Tersentak semua yang ada di situ mendengar 

penuturan Waskita yang tak terduga-duga.

“Ceritakanlah seluruhnya, Waskita,” meminta 

sang Resi.

Dengan suara tersendat-sendat, Waskita pun 

segera menceritakan apa yang dialami dari awal hingga 

akhir kejadian. Maka tak ayal lagi, ketiga kakak seper-

guruannya seketika marah besar. Mata mereka bagai-

kan memendam bola api, panas membara penuh ke-

marahan. Gigi mereka saling beradu, menimbulkan 

bunyi gemeretak.

“Murid durhaka!” memaki Resi Wilmaka gusar.

“Dia perlu dikasih pelajaran, Guru,” menyam-

bung Bomantara.

“Benar apa yang dikatakan kakang Bomanta-

ra,” menambah Saelendra.

“Biar aku yang menguruinya. Akan aku lu-

matkan tubuh si Anggada keparat itu!” tak kalah ma-

rahnya Reksa Pati.

“Jangan kalian bertindak sendiri-sendiri. Kalian 

harus melakukan pemikiran yang matang.”


“Tapi dia sudah keterlaluan, Guru.”

“Benar, Guru. Murid macam apa dia. Hanya ka-

rena seorang wanita dia langsung murtad. Bukan itu 

saja, tapi tindakannya melukai dan adik Waskita 

sungguh tak dapat dimaafkan.”

“Aku mengerti perasaan kalian semua. Tapi dia 

juga telah terkena sumpah Waskita. Dia kelak akan 

mati menderita. Walaupun untuk beberapa puluh ta-

hun dia akan hidup, namun dia akhirnya akan mati di 

tangan seorang pendekar yang memiliki senjata aneh,”

berkata sang Resi mencoba menenangkan hati ketiga 

muridnya. “Ketahuilah oleh kalian, Anggada tak akan 

dapat mati oleh kalian.”

“Ah… Kenapa mesti begitu, Guru?” bertanya 

Saelendra terkejut.

“Apakah ia sudah menjadi sekutu Iblis?” Bo-

mantara turut bertanya tak mengerti akan ucapan gu-

runya. 

“Benar, Murid-muridku. Walau kalian dapat 

mengalahkannya, namun karena ia telah menjadi ke-

kasih Iblis ia tak akan mati. Kecuali jika kalian mena-

namnya hidup-hidup di dalam sumur Jala Tunda”

“Kenapa harus di sumur Jala Tunda, Guru?”

bertanya Bomantara belum juga mengerti.

“Hanya di sumur itulah ia tak akan dapat ber-

gerak. Namun itu juga hanya sementara. Sebab kelak 

ada sepasang suami istri miskin yang akan memban-

tunya.”

Mendengar ucapan gurunya seketika semuanya 

terdiam. Hati mereka bimbang. Kalau dibiarkan, jelas 

dia akan merajalela. Namun kalau tidak dibiarkan, 

dengan cara apa mereka harus mengalahkannya? Se-

dangkan kodrat kematian Anggada hanya terletak pada 

tangan Pendekar Muda yang entah kapan tahu da


tangnya.

“Apakah kita akan tinggal diam, Guru?” kemba-

li Bomantara bertanya, yang menjadikan Resi Wilmaka 

makin terdiam dalam. “Kalau kita mendiamkannya je-

las semua tokoh persilatan akan memandang pada kita 

sebagai perguruan yang tak bertanggung jawab.”

Terpukul juga hati Resi Wilmaka mendengar 

ucapan Bomantra. Ia mendesah panjang, merenung 

penuh ketidakmengertian kenapa dulu ia mengangkat 

murid Anggada. Tapi penyesalan setelah terjadi tak ada 

gunanya, yang penting sekarang bagaimana menang-

gulangi murid durhaka itu. Setelah lama terhanyut da-

lam diam, Resi Wilmaka akhirnya berkata.

“Baiklah, Murid-muridku. Lakukanlah oleh ka-

lian apa yang sekiranya kalian anggap baik. Memang 

kalau didiamkan, Iblis yang telah merasuk di dalam 

tubuh adik seperguruan kalian akan merajalela. Nah, 

kalian berangkatlah. Cari oleh kalian murid sekutu se-

tan itu. Bila kalian telah mengalahkannya, kubur dia 

hidup-hidup di sumur Jala Tunda. Biarlah hal yang 

kelak akan terjadi terjadilah, sebab semuanya memang 

sudah kodrat Yang Wenang.”

“Daulat, Guru.”

“Doa dan restuku akan selalu mengiringi keper-

gian kalian.”

Setelah menjura hormat, ketiga orang murid 

Resi Wilmaka segera pamit mundur.

Setelah terlebih dahulu menengok adik seper-

guruannya yang masih terluka, ketiganya segera 

menggebah kuda-kuda mereka untuk berlari kencang. 

Sepertinya, ketiga murid Resi Wilmaka tak sabar lagi 

ingin segera bertemu dengan adik seperguruannya 

yang telah mencoreng aib di perguruan.

Apa yang dikatakan oleh Resi Wilmaka ternyata


benar adanya, bahwa Anggada memang telah berseku-

tu dengan Iblis. Kejadian persekutuan itu terjadi ma-

nakala bulan purnama ketiga, saat semua murid Pan-

ca Gumilang tengah mengadakan peningkatan ajian 

Serat Inti Gumilang. Hingga Anggada saja yang masih 

berada di tingkat tiga, bila dibandingkan dengan adik 

seperguruannya saja Anggada jauh tertinggal dalam 

ajian Serat Gumilang Jati. Hal itu dapat dimaklumi, 

karena memang Anggada tak mengikuti peningkatan 

ajian tersebut. Dia lebih mengutamakan persekutuan-

nya dengan Iblis, yang telah menjanjikan padanya se-

gala fasilitas yang menggiurkan berupa ia tak akan da-

pat mati walau tubuhnya telah hancur luluh. Kedua, ia 

tak akan dapat dikalahkan oleh manusia biasa, kecuali 

oleh orang yang berilmu siluman yang ilmunya jauh di 

atas dirinya.

Sebenarnya Resi Wilmaka telah waspada dan 

sidik keadaan. Namun sebagai seorang guru, ia tak 

mau muridnya merasa tersinggung. Maka dibiarkan-

nya sang murid untuk menentukan tindakannya. Sang 

Resi hanya memberikan peringatan. Mulanya sang 

murid menurutinya namun ini segala ketakutan itu 

terjadi…

Mau tak mau, sang Resi yang bijaksana hanya 

mampu memendam segala rasa dan perasaannya. Ha-

tinya sebenarnya menjerit, sakit bila mengingat dirinya 

tak mampu mengawasi kelima muridnya. Tapi selaku 

manusia ia tak dapat menyalahkan diri sendiri. Bu-

kankah manusia mempunyai segala kekurangan dan 

kesalahan? Hanya kata-kata itu yang mampu menghi-

bur hatinya.

Sang Resi duduk terpekur khidmat, melakukan

meditasi sebagai sarana penyerahan diri pada Yang 

Wenang yang mempunyai wewenang atas segala apa


yang terjadi di dunia. Manusia memang dapat beren-

cana, namun Yang Wenang jualah yang akan menen-

tukannya.

Tak dirasakan olehnya, air matanya meleleh de-

ras. Sang Resi menangis, ya menangis. Menangisi sega-

la kekurangannya, juga menangisi tindakan muridnya 

yang telah menyimpang dari kaedah yang telah ia ajar-

kan.

“Jagad Dewa Batara. Semoga kau berkenan 

mengampuni segala kesalahan dan kehilafanku. Juga 

atas segala penyelewengan dari jalan hidup yang telah 

Engkau gariskan oleh muridku,” berdoa sang Resi.

Tengah sang Resi terpekur dalam doanya, seke-

tika sebuah sinar putih berkelebat masuk ke ruangan-

nya. Lamat-lamat sinar itu membentuk sebuah ujud 

manusia, yang sungguh telah ia kenal. Manusia itu 

adalah Eyang gurunya, yang bernama Begawan Kis-

nenda.

Sang Resi segera jatuhkan diri bersujud. “Am-

punkanlah muridmu ini, Eyang Begawan.”

“Kenapa kau mesti bermuram durja, Cucuku?”

bertanya Begawan Kisnenda. “Bukankah semua jalur 

kehidupan telah ada yang menggariskan? Janganlah 

kau terlalu menyesali diri, itu tak baik. Pikirkanlah 

olehmu apa yang sepatutnya kau lakukan, bukan me-

mikirkan apa yang telah terjadi.”

Kembali Resi Wilmaka mendalamkan sujudnya. 

Dari kedua matanya, menetes air bening, ia menangis. 

Melihat Resi Wilmaka menangis, Eyang Begawan Kis-

nenda kembali berkata.

“Kenapa kau menangis, Cucuku?”

“Ampunkanlah segala kebodohan cucumu ini, 

Eyang,” menjawab Resi Wilmaka sedih. “Ternyata cucu 

tak mampu mendidik murid agar menjadi orang yang



baik. Semua murid cucu tak ada yang selaras dengan 

kaidahku. Yang lebih menyedihkan, salah seorang mu-

ridku ternyata telah bersekutu dengan setan.”

Mendengar penuturan cucu muridnya, bukan-

nya sang Begawan ikut bersedih dan prihatin. Bahkan 

dengan gelak tawa sang Begawan berkata tenang. Sua-

ranya yang berat menggema di setiap sudut ruangan 

menjadikan ruangan yang tadinya sunyi, berubah pe-

cah.

“Cucuku, tangis penyesalan bukanlah cara ter-

baik untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. 

Bahkan dengan ketenangan lahir dan batinlah segala 

persoalan dapat terselesaikan. Mengenai segala rupa 

bentuk murid-muridmu, itu merupakan suratan Yang 

Maha Kuasa. Terimalah dengan ketabahan. Hal itu 

memang sebagai ujian untukmu selaku guru.”

“Lalu bagaimana dengan muridku yang murtad 

itu, Eyang?”

“Hua, ha, ha… Kau lucu, Cucuku. Bukankah 

telah kukatakan tadi, bahwa segalanya telah ada yang 

mengatur. Muridmu yang murtad itu memang telah di-

garisan oleh Yang Maha Kuasa untuk memerani orang 

jahat, mengapa kau mesti terpusingkan?”

“Apakah tak ada yang mampu mengalahkan-

nya, Eyang?”

“Ada, Cucuku. Tapi bukan kini saatnya kema-

tian muridmu itu. Dia akan mati setelah kebangkitan-

nya yang kedua kali. Setelah dia dapat memuaskan 

dendamnya pada keempat cucu muridmu yang diang-

gap olehnya orang-orang yang perlu disingkirkan, ka-

rena merupakan murid-murid musuhnya yaitu mu-

ridmu yang empat orang lainnya.”

“Siapakah kira-kira yang mampu mengalah-

kannya, Eyang?” Wilmaka bertanya ingin tahu. Secer


cah cahaya ketenangan nampak berkilau dari pandan-

gan matanya. “Apakah dia juga manusia seperti kita, 

Eyang?”

“Ya, orang itu memang manusia. Pemuda itu 

memiliki senjata aneh. Senjata itu akan mengeluarkan 

darah bila telah menghadapi musuh berat. Karena ke-

hebatan pedang itu, ia dijuluki oleh para tokoh persila-

tan Pendekar Pedang Siluman Darah. Kau paham, Cu-

cuku? Semoga setelah kau aku jelaskan, kau akan te-

nang.”

Setelah berkata begitu, Begawan Kisnenda se-

ketika raib dari hadapan sang Resi. Sang resi tersentak 

bangun, ketika terdengar erangan muridnya. Dengan 

penuh perhatian, Resi Wilmaka segera mendatangi 

muridnya.

“Ada apa, Waskita?”

“Aku bermimpi buruk, Guru.”

“Tentang apa, Muridku?”

Waskita sesaat menarik napas panjang, sebe-

lum akhirnya berkata menerangkan mimpi yang telah 

dia alami.

Sebuah mimpi yang mampu membuatnya takut 

dan ngeri.

“Begitulah, Guru. Ia bangkit dari alam kegela-

pan. Dia membunuh anak-anak murid kami. Apakah 

arti mimpi itu, Guru?”

Ditanya begitu, sang Resi hanya mampu ter-

diam dan diam tanpa dapat menjawabnya. Ternyata 

apa yang telah diceritakan oleh eyang gurunya benar 

bahwa kelak ia akan bangkit dan menteror cucu-cucu 

muridnya.

Mengingat semua itu sang Resi yang penyabar 

dan tawakal hanya mampu menghela napas. Dipa-

srahkan segala apa yang bakal terjadi kelak pada Yang


Wenang, ya Yang Wenanglah yang akan mengatur se-

muanya. Bukan dirinya, juga bukan Iblis yang telah 

menyatu dengan diri muridnya Anggada.

***

EMPAT



Kerajaan Tanjung Lor yang biasanya tenang se-

ketika berubah menjadi beringas panas. Pekikan-

pekikan para prajurit yang tengah bertempur bagaikan 

pekikan-pekikan histeris. Telah banyak tubuh berge-

limpangan. Telah basah alun-alun kerajaan Tanjung 

Lor oleh darah para prajurit yang telah gugur. Namun 

begitu, rupanya para prajurit yang tengah bertempur 

tak mau menghiraukannya. Mereka bahkan lebih pa-

nas dan garang. Senjata-senjata yang ada di tangan 

mereka, layaknya Dewa Kematian.

Di pihak kerajaan dipimpin langsung oleh sang 

Raja. Sementara di pihak pemberontak dipimpin oleh 

Rara Sumbadra dan Anggada. Kedua tokoh sesat itu 

tampak beringas. Tangannya melayang telengas, mem-

bawa jerit kematian.

"Menyerahlah, Ruda Galuh! Kau bukan raja 

yang sah! Kau tak memiliki Gong Emas!" berseru Ang-

gada liar, sementara kaki dan tangannya terus beraksi 

menerjang dan menendang musuh-musuhnya.

"Murid murtad! Kau harus dihukum atas tin-

dakanmu yang telah mencoreng nama baik perguruan 

Panca Gumilang!"

Mendengar ucapan Ruda Galuh, seketika mele-

daklah tawa Anggada.


"Ruda Galuh! Jangan harap kau dan kambrat-

kambratmu yaitu Catur Gumilang mampu mengalah-

kan aku! Aku Anggada tak akan dapat kalian kalah-

kan. Akulah Penguasa Puri Kegelapan! Akulah Raja di-

raja para Iblis Marahkiyangan! Menyerahlah, Ruda Ga-

luh!"

"Cuih...! Jangan harap! Langkahi dulu 

mayatku. Hiaat...!"

Raja Ruda Galuh segera berkelebat memapaki 

amukan Anggada, yang telah banyak memakan korban 

prajuritnya. Kedua paman dan kemenakan sepergu-

ruan itu saling berhadap-hadapan. Mata keduanya ta-

jam menatap musuh, seperti hendak menusuk ulu ha-

ti. Maka dengan didahului pekikan, keduanya segera 

memulai membuka serangan. Keduanya merupakan 

cucu murid dan murid Begawan Kisnenda, maka ilmu-

ilmu yang keduanya miliki merupakan ilmu yang be-

rasal dari satu sumber. Namun betapa tersentaknya 

Raja Ruda Galuh, manakala melihat keanehan pada 

jurus-jurus kembangan yang dilakukan oleh kemena-

kan muridnya.

Jurus-jurus kembangan murid kakak sepergu-

ruannya sangat kaku dan tak beraturan. Walau pun 

begitu, gerakan Anggada sangat cepat, liar dan penuh 

perhitungan bagaikan terkontrol. Setiap tangan Ang-

gada bergerak, maka angin puting beliung keluar me-

nerpa dahsyat. Hampir saja tubuh Raja Ruda Galuh 

terpental diterpa angin pukulan yang dilancarkan Ang-

gada, kalau saja Ruda Galuh tidak segera mengguna-

kan ilmu peringan tubuhnya. Dengan mata melotot 

tersentak, Ruda Galuh loncat ke belakang. Hal ini 

menjadikan Anggada seketika lepas tawa, bagaikan 

menemukan kemenangan.

Anggada berjalan dengan melenggang meng


hampiri Ruda Galuh yang masih tercekat undur, tak 

percaya pada apa yang dilihatnya. Di dalam pengliha-

tannnya yang telah menggunakan mata batin, ternyata 

bukan Anggada yang tengah ia hadapi. Ia kini tengah 

menghadapi sesosok tubuh yang sangat menyeram-

kan, yaitu sesosok tubuh Iblis yang telah ia kenal dari 

gurunya bernama Wala Kuwara atau Penguasa Puri 

Kegelapan.

Saking kagetnya Ruda Galuh, sampai-sampai ia 

memekik.

"Wala Kuwara...!"

Anggada yang memang telah bersekutu dengan 

Iblis Penguasa Puri Kegelapan atau Wala Kuwala, ter-

tawa mendengar seruan kaget Ruda Galuh yang telah 

mengetahui siapa adanya dirinya.

"Ruda Galuh, menyerahlah. Tunduklah di ba-

wah kuasaku!"

Wala Kuwara yang menggunakan jasad Angga-

da terus melangkah mendekati Raja Rada Galuh. Ma-

tanya yang tadi hitam, kini berubah memerah berapi-

api. Gigi-giginya yang tadinya papak rata, seketika be-

rubah meruncing. Hidungnya seketika hilang menda-

lam, sementara mulutnya makin lama makin monyong 

keluar. Tak berapa lama kemudian, bentuk tubuh 

Anggada benar-benar berubah. Kini mukanya bukan 

muka manusia, melainkan muka kelelawar.

"Hua, ha, ha...! Ruda Galuh, menyerahlah dan 

tunduklah pada segala kuasaku!"

"Setan! Jangan kau bermimpi mampu mengger-

takku, Wala. Tak sudi aku tunduk padamu..."

"Hem, begitu, Ruda Galuh? Baik, bersiaplah...!"

Dengan terlebih dahulu mencicit layaknya kele-

lawar, Anggada secepat kilat berkelebat menyerang 

Ruda Galuh. Hal itu menjadikan Ruda Galuh tersentak


kaget dan berusaha mengelakkan serangan tersebut, 

namun sambaran tangan Anggada ternyata telah men-

dahului. Tak ayal lagi, muka Ruda Galuh terkena ca-

karan kuku-kuku Anggada yang tajam dan runcing. 

Beruntung kuku-kuku itu tak mengandung racun, se-

hingga mampu menjadikan Ruda Galuh bertahan dan 

hanya meringis menahan sakit saja.

"Iblis! Rupanya ia memang benar-benar telah 

menjadi Iblis!" Ruda Galuh membatin sembari lompat 

mundur manakala tangan Anggada hendak kembali 

menghantamnya. Merasa sasarannya terlepas, Angga-

da dengan mendengus marah kembali menyerang. Kali 

ini tidak tanggung-tanggung, menggunakan ilmu iblis-

nya.

Ruda Galuh yang telah marah, tak mau dirinya 

jadi bulan-bulanan musuhnya. Maka dengan mengge-

ram marah, Ruda Galuh lepaskan ajiannya.

"Serat Gumilang Jati pamungkas!"

"Sreeeeeeett...! Bletaar!"

Terdengar ledakan dahsyat membahana, ketika 

ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas meng-

hantam tubuh Anggada. Sinar merah menyala berkele-

bat cepat, menubruk tubuh Anggada. Sejenak Ruda 

Galuh agak tenang hatinya. Namun manakala dilihat-

nya Anggada tak apa-apa, hatinya tercekat juga.

"Edan! Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas 

tak berarti apa-apa pada tubuh-nya," keluh Ruda Ga-

luh. "Hem, rupanya memang dia tak akan mati. Ru-

panya Wala Kuwara benar-benar ingin kembali ke du-

nia manusia. Hem, bahaya, sungguh bahaya."

Ruda Galuh yang tengah terjengah, tak menya-

dari bahwa bahaya akan datang menerpanya. Maka 

ketika kembali tangan Anggada berkelebat, Ruda Ga-

luh tak sempat untuk menghindar. Tak ayal lagi, tu


buh Ruda Galuh seketika terpental bagaikan disapu 

topan, berguling-guling di tengah dengan tulang belu-

lang laksana remuk.

"Ruda Galuh, kenapa kau masih nekad. Apa-

kah kurang segala apa yang aku berikan padamu?"

"Iblis! Jangan kira kau akan mampu berbuat 

seenakmu," menjawab Ruda Galuh sengit. Ia segera 

bangkit dan siap menyerang kembali.

Melihat Ruda Galuh telah bersiap-siap menye-

rang, seperti orang tak mengerti saja Anggada hanya 

menyunggingkan senyum dan ketika Ruda Galuh me-

nyerangnya, Anggada hanya busungkan dada.

"Dug! Dug! Dug!"

Tiga kali pukulan yang dilampiri tenaga dalam 

tingkat tinggi yang dilancarkan Ruda Galuh menghan-

tam telak dada Anggada, namun bagaikan tak berasa 

apa-apa Anggada tersenyum menyeringai.

Bahkan Ruda Galuh sendiri yang mencelat ke 

belakang bagaikan terdorong kuat. Tubuh Ruda Galuh 

kembali berguling-guling, layaknya sebuah rol yang di-

putarkan dengan kencangnya. Tubuh Ruda Galuh 

berhenti, manakala tubuhnya mementok pohon.

Melihat musuhnya telah tak berdaya, bagaikan 

harimau kelaparan Anggada dengan menggerung me-

nyerang. Namun ketika tangannya sebentar lagi men-

jamah tubuh Ruda Galuh, tiba-tiba tiga larik sinar me-

rah membara menghantamnya. Tubuh Anggada seke-

tika terpental lima tombak ke belakang. Namun sung-

guh membuat ketiga orang penyerangnya terperanjat, 

manakala dengan senyum sinis Anggada bangkit.

"Jagad Dewa Batara, ilmu apa yang ia miliki?" 

bergumam Bomantara.

"Edan! Sepertinya ajian kita tak berarti ba-

ginya!" menggerutu Saelendra kaget seperti yang dira


sakan Bomantara.

"Lihat, Kakang! Iblis itu datang ke mari!" berse-

ru Reksa Pati, menjadikan kedua kakak seperguruan-

nya memperhatikan arah yang ditunjuknya.

"Apa daya kita," kembali Bomantra mengeluh.

"Jangan kita putus asa. Ayo kita hantam lagi 

dengan ajian Serat Gumilang Jati," mengajak Reksa 

Pati, yang dengan segera diikuti oleh kedua kakak se-

perguruannya. "Serat Gumilang Jati. Hiaat..!"

"Hiaaat...!" 

"Hiaaat...!"

Tiga larik sinar merah menyala kembali keluar 

dari tangan ketiga murid Resi Wilmaka. Mereka tak 

tanggung-tanggung lagi menggunakan ajian Serat Gu-

milang Jati tingkat pamungkas.

"Bletar! Duar! Duar! Duar!" 

"Hua, ha, ha...! Keluarkan oleh kalian apa yang 

kalian miliki. Aku, Penguasa Puri Kegelapan tak akan 

kalah oleh kalian murid-murid Resi Wilmaka dungu!"

"Setan! Kau berani menghina guruku!" mem-

bentak marah Bomantara atau Pendekar Mabok. "Ma-

na tuak putih! Biar aku yang akan menghajar Iblis bu-

jul buntung itu!"

Bomantara yang telah dibakar amarah, segera 

berkelebat dengan senjatanya Ciu Putih. Diminumnya 

Ciu Putih dan dikumurnya, lalu dengan berkelebat ba-

gaikan angin Bomantara menyerang Anggada. Anggada 

yang tak menyangka Bomantara bakal menyerang, se-

ketika tersentak dengan bibir masih tersenyum.

Kekesalan dan kemarahan Bomantara yang 

mendengar gurunya diejek begitu rupa tak dapat di-

bendung lagi. Maka setelah dirinya dekat, disem-

protkan Ciu Putih dari mulutnya ke muka Anggada. 

Seketika Anggada meraung-raung kesakitan, sambil


tangannya memegangi muka yang terasa perih. Tu-

buhnya berguling-guling di tanah, menerima siksaan 

yang tiada terkira.

Tengah tubuh Anggada kelojotan menahan pe-

rih, ketiga orang murid Resi Wilmaka segera bergerak 

cepat meringkus Anggada. Dan tanpa membuang-

buang waktu lagi, ketiga murid Resi Wilmaka segera 

membawa tubuh Anggada yang telah tak berdaya ke 

sumur Jala Tunda.

Dikuburnya tubuh Anggada yang telah tak ber-

daya itu di dalam sumur Jala Tunda, lalu dengan cara 

menguncinya ditumbuhi sumur itu sebatang pohon 

beringin.

Dengan dapat diringkusnya Anggada yang telah 

bersekutu dengan iblis, maka pihak kerajaan pun se-

gera dapat mendesak pihak pemberontak. Bahkan 

pimpinan pemberontak yaitu Rara Sumbadra dapat di-

tangkap dan dijeblosan ke tahanan bawah tanah.

***

LIMA



Kekayaan mendadak serta kesaktian yang dipe-

roleh oleh kedua suami istri Rundanu, tak luput men-

jadi pertanyaan oleh tetangga-tetangganya. Namun be-

gitu, mereka tak berani untuk menuduh sembarangan 

pada Rundanu.

Sebenarnya hasil yang diperoleh Rundanu san-

gat besar pengorbanannya. Pertama yang sangat di-

perhitungkan adalah istri dan anak gadisnya. Ya, bu-

kan tidak mungkin kalau Anggada atau Penguasa Puri 

Kegelapan yang dulunya bergelar Pendekar Kumbang,


akan meminta kepuasan batinnya.

Malam itu hujan rintik-rintik turun. Sekali-kali 

suara petir bergema. Hawa dingin karena siraman air 

hujan, makin terasa dingin di rumah Rundanu. Run-

danu yang terdiam membisu, bersama istrinya yang 

juga tenggelam dalam hening.

"Pakne, apa kau tak mencium bau sesuatu?"

"Ah, bukankah bau-bau itu memang seperti ha-

ri-hari biasanya, Bune?" menjawab Rundanu. Dihisap-

nya rokok kawung dalam-dalam, lalu dihempaskan 

asapnya. "Kita bersyukur, Bune. Kita dapat menikmati 

apa yang diberikan oleh Penguasa Puri Kegelapan pada 

kita, yang berupa uang dan kesaktian."

"Iya, ya, Pakne. Tapi kita jadi pencuri," berkata 

istrinya, yang seketika itu mengejutkan Rundanu.

"Kenapa kau berkata begitu, Bune?"

"Coba pakne pikir. Bukankah tiap malam 

Jum'at kita telah mencuri seorang bayi?"

Tengah kedua suami istri itu bercakap-cakap, 

seketika hawa dingin makin terasa dingin, menyelimuti 

ruang itu. Ruangan tamu seketika bagaikan diguyur 

air es, dingin bagaikan hendak membekukan. Dari ha-

wa dingin itu, sayup-sayup tergambar gulungan asap 

dari asap rokok Rundanu. Aneh, asap rokok Rundanu 

seketika berubah menjadi besar dan besar. Lama ke-

lamaan asap itu mengumpul, lalu membentuk ujud 

tubuh sosok manusia. Manusia yang belum mereka 

kenal, manusia yang hidup pada kurun waktu seabad 

yang lalu. Dialah Anggada, atau Penguasa Puri Kegela-

pan. Senyumnya mengembang, menjadikan kedua su-

ami istri itu terhenyak tak mengerti dan bertanya.

"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" tanya 

Rudanu.

Pemuda di hadapannya tersenyum, makin me


lebar. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah kedua 

suami istri, lalu duduk di hadapan mereka yang masih 

terjengah tak mengerti.

"Lupakah kalian padaku, Ki?" tanya pemuda 

itu, sepertinya telah mengenal kedua suami istri yang 

duduk di hadapannya. "Akulah Penguasa Puri Kegela-

pan."

Terperanjat kedua suami istri bagaikan digigit 

bangsat kepinding di pantatnya, mereka hampir saja 

terbangun dari duduknya. Mata kedua suami istri itu 

melotot tak percaya, memandang tak berkedip dari ka-

ki sampai ke ujung rambut pemuda yang duduk di ha-

dapannya.

"Kenapa, Ki? Sepertinya kau terkejut?"

"Be-benar," menjawab Ki Rundanu terbata.

"Benara, Tuan. Sepertinya kami tak dapat per-

caya," sambung istri Rundanu, yang membuat pemuda 

itu tersenyum. Senyumnya manis dengan sorot mata 

tajam, setajam mata burung rajawali.

"Inilah hasil dari kerja kalian."

"Maksud tuan?" Ki Rundanu masih belum 

mengerti. Dan memang tak akan mengerti akan apa 

yang dialami oleh Penguasa Puri Kegelapan atau Ang-

gada.

"Karena aku selalu meminum darah bayi, maka 

segala tubuhku pun kembali seperti seratus tahun 

yang silam."

"Apa...?"

Terlonglong-longlong Ki Rundanu dan istri, de-

mi mendengar penuturan pemuda yang duduk di ha-

dapannya. Untuk kesekian kalinya suami istri itu me-

mandang tak berkedip. Mulut mereka ternganga, se-

pertinya sukar untuk mempercayai bahwa pemuda di 

hadapannya telah berumur ratusan tahun.


"Jangan kaget, Ki. Kau dan istrimu pun akan 

dapat seperti aku, asalkan kalian berdua selalu mau 

menuruti segala apa yang aku katakan."

"Benarkan itu, Tuan?" tanya Ki Rundanu ingin 

memastikan.

"Apakah aku pernah berdusta pada kalian? Ka-

lian adalah hambaku, maka kalian tak akan pernah 

aku dustai," menjawab si pemuda dengan masih terse-

nyum. Matanya yang tadi hitam, seketika memerah 

bagai menyala. Mata itu menembus tajam pada mata 

Ki Rundanu, lalu berganti menembus istri Ki Runda-

nu.

"Cari olehmu sebuah perguruan Cawak Sakti," 

berkata Anggada.

Ditunjuknya Ki Rundanu yang kini telah ter-

pengaruh olehnya, sehingga Ki Rundanu kini bagaikan 

sebuah robot, menurut dan mematuhi setiap ucapan 

tuannya.

"Cari perguruan itu, bumi hanguskan!" kembali 

pemuda itu berseru memerintah.

"Malam ini juga...?" Ki Rundanu bertanya.

"Ya, malam ini juga!"

Tanpa banyak berkata lagi, Ki Rundanu segera 

berkelebat pergi untuk mencari perguruan yang di-

maksud tuannya. Tubuhnya berkelebat cepat, meram-

bah gelapnya malam.

Sementara Anggada yang tengah menunggu 

bersama istri Rundanu, perlahan segera pindah du-

duknya. Didekati tubuh istri Rundanu, lalu dibisikan 

kata-kata mesra.

Seperti suaminya, sang istri pun bagaikan robot 

saja menurut. Malah ia tersenyum, manakala Anggada 

mengajaknya berdiri dan berjalan memasuki kamar di 

mana biasanya ia dan Rundanu melakukannya. Satu


persatu pakaian istri Rundanu melayang, lepas dari 

tubuhnya. Hal itu menjadikan Anggada memburu na-

fasnya. Matanya menghujam tajam, memandang pada 

setiap liku-liku tubuh istri Rundanu yang kini memba-

ringkan tubuhnya di atas dipan. Tak lama kemudian, 

keadaan kamar itu hening hanya desah-desah napas 

jalang saja yang terdengar.

* * *

Surti Kanti yang tengah tertidur seketika teru-

sik bangun, kala terdengar suara ganjil di dalam ka-

mar sebelah. Kamar di mana biasanya untuk tidur ke-

dua orang tuanya. Surti Kanti seketika mengerutkan 

kening, bimbang untuk mengintip apa yang tengah ter-

jadi di kamar sebelah?

"Apakah bukan ayah?" tanya hati Surti Kanti. 

"Ah, bukan. Mana mungkin ayah bersuara begini ke-

rasnya? Dengkurnya begitu memekikkan telinga. Apa-

kah aku harus.. Ah, jangan-jangan..."

Hati Surti Rukanti diliputi kebimbangan, bin-

gung harus berbuat bagaimana. Mengintip, takut ka-

lau-kalau yang tengah berbuat adalah ayah dan 

ibunya. Tidak diintip, suara dengus lelaki itu sungguh 

aneh dan janggal.

Sesaat Surti Kanti menahan napas, bimbang 

dan ragu terus menyelimuti hatinya. Namun demi 

mendengar keganjilan itu, seperti layaknya manusia 

normal Surti Kanti pun ingin mengetahuinya. Dengan 

langkah perlahan, didekati bilik yang memisahkan 

kamarnya dengan kamar orang tuanya. Seketika mata 

Surti Kanti terbelalak, manakala melihat apa yang ter-

jadi di dalam kamar orang tuanya. Pemandangan itu, 

menjadikan lututnya bergetar gemetaran. Bagaimana


tidak, Surti Kanti yang benar-benar masih perawan be-

lum tahu apa-apa kini harus melihat dengan mata ke-

palanya sendiri kejadian itu. Nafasnya seketika mem-

buru, liar. Tangannya yang tadinya diam, seketika be-

roperasi sendiri, bagaikan latah pada pemandangan 

yang terpampang di hadapannya. Ketika ibunya men-

geluh panjang, Surti Kanti pun turut mengeluh. Dan 

ketika tangannya menyapu ke bawah dirasakan oleh-

nya cairan kental.

Ketika lelaki yang ia tahu bukan ayahnya ber-

paling ke arahnya, seketika terpekiklah Surti Kanti. Di-

lihatnya wajah lelaki itu bukan wajah manusia, namun 

wajah lelaki itu adalah wajah kelelawar. Tak dapat lagi 

Surti Kanti menahan ketakutan itu, sehingga ia pun 

jatuh terkulai lemas pingsan.

Lelaki itu menyeringai, menunjukkan gigi-

giginya yang runcing. Sorot matanya merah membara, 

bagaikan mengandung bara api. Setelah mencicit seje-

nak lelaki muda itu berkelebat pergi menghilang dite-

lan gelapnya malam.

* * *

Ki Rundanu yang telah terpengaruh oleh Ang-

gada atau Penguasa Puri Kegelapan, masih terus berla-

ri dalam usahanya mencari di mana perguruan Cawak 

Sakti berada. Tubuhnya berkelebat cepat, layaknya se-

buah bayangan hitam yang hilang lamat-lamat kala 

tertimpa sinar.

Tengah Ki Rundanu berlari, tiba-tiba terdengar 

olehnya seorang membentak.

"Berhenti! Siapa kau, malam-malam keluyu-

ran!" 

Ki Rundanu yang telah dipengaruhi ilmu Ang


gada segera menghentikan langkahnya. Dipalingkan 

mukanya menghadap pada orang yang membentaknya. 

Seketika ketiga lelaki yang ada di belakangnya tersen-

tak kaget, melihat wajah Ki Rundanu. Wajah itu bukan 

wajah manusia, tapi wajah seekor kelelawar. Mulut 

manusia kelelawar itu menyeringai, memperlihatkan 

gigi-giginya yang runcing. Sorot mata kelelawar hantu 

memerah bagai berapi, lalu dengan didahului cicitan 

manusia kelelawar itu menyerang ketiganya. Serta 

merta, ketiga orang itu cabut goloknya, babatkan ke 

tubuh manusia kelelawar.

"Wuuut...!" tangan manusia kelelawar bergerak 

menyerang. Jari-jarinya yang berkuku runcing dan ta-

jam, menyambar ke arah musuh-musuhnya. Seketika 

ketiga orang lelaki itu melompat, mengelakkan seran-

gan itu sembari tebaskan golok. Namun dengan cepat, 

manusia bermuka kelelawar tepiskan serangan itu. 

Matanya makin memerah, garang penuh rasa membu-

nuh.

"Setan!" memaki salah seorang dari ketiganya. 

"Rupanya dia iblis yang selalu menjarah kampung kita. 

Dialah yang telah mencuri keempat puluh bayi."

"Benar, memang kata orang-orang yang melihat 

pencuri bayi itu orang ini!" menambah temannya.

"Jangan kita biarkan ia lolos!"

Dengan penuh keberanian, ketiga orang yang 

merupakan keamanan kampung segera menyerang 

kembali. Golok di tangan mereka bergerak cepat, silih 

menyerang mahluk berkepala kelelawar yang kembali 

menyeringai menunjukkan gigi-giginya. Dengan suara 

serak berat, lelaki bermuka kelelawar itu membentak.

"Minggirlah kalian, jangan sampai aku berubah 

pikiran."

"Enak saja kau mengusir kami, Iblis!"


"Langkahi dulu kami, baru kau dapat seenak-

nya berkeliaran hidup!" membentak seorang lagi.

"Hem, kalian rupanya mencari mati. Bersiap-

lah!"

Habis berkata begitu, dengan mencicit terlebih 

dahulu mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat me-

nyerang. Tubuhnya berkelebat cepat, laksana seekor 

kelelawar yang tengah terbang. Jurus-jurusnya begitu 

aneh, kaku namun ganas. Jurusnya selalu mengarah 

pada tempat-tempat yang mematikan. 

Ketiga orang pengeroyoknya tersentak kaget, 

melihat jurus-jurus silat yang aneh. Ketiganya segera 

babatkan golok, manakala tangan manusia berkepala 

kelelawar hendak mencengkram mereka. Kuku-kuku 

yang hitam dan panjang itu, sungguh sangat berba-

haya bila mengenai sasaran.

Mata mahluk itu yang tadi memerah, makin 

bertambah membara manakala mendapatkan ketiga 

musuhnya dapat menghindar. Kembali dengan cici-

tannya yang melengking mahluk itu kembali menye-

rang. Kali ini jurusnya berubah, makin aneh dan kaku. 

Tapi dari kekakuan itu, keluar angin menderu bila 

tangannya dikibaskan.

"Gila! Rupanya ia memang benar-benar silu-

man!" memekik seseorang dari ketiganya, tatkala tan-

gan mahluk itu berhasil menjambret lengan bajunya 

hingga lengan baju itu koyak lebar.

Melihat salah seorang musuhnya dapat dipe-

cundangi, mahluk berkepala kelelawar itu makin te-

lengas. Matanya melotot tajam, merah membara. Tan-

gannya bergerak cepat, dan...!

"Bret! Bret...!" 

Dua kali terdengar besetan, manakala tangan 

mahluk itu berhasil mencakar muka salah seorang da


ri ketiganya. Orang yang terkena seketika memekik ke-

sakitan. Dari pipinya yang terbeset, keluar darah men-

gucur deras. Mata mahluk itu makin liar, ketika dili-

hatnya darah merah membanjiri muka salah seorang 

musuhnya. Dengan kembali men-cicit, mahluk itu 

kembali menyerang. Kali ini serangannya begitu berin-

gas, liar penuh nafsu membunuh.

"Kalian telah menyita waktuku. Kalian harus 

mati!"

Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelela-

war itu berkelebat cepat. Dengan liar dan ganas men-

gibaskan tangannya, sehingga seketika angin menderu 

keluar dari kibasan tangan.

Tersentak ketiganya berusaha menghindar, 

namun ternyata gerakan mahluk itu lebih cepat. Hing-

ga ketiganya tak dapat mengelakkan serangan terse-

but.

"Wut... Wut... Wut.." Ketiganya kibaskan golok 

menangkis, namun rupanya jurus itu hanya tipuan. 

Sedang yang sebenarnya, adalah gerakan tangan kiri 

mahluk berkepala kelelawar. Tak ayal lagi, jerit kesaki-

tan seketika membahana manakala tangan mahluk itu 

mengoyak muka mereka. Belum juga ketiganya tersa-

dar, tiba-tiba mahluk itu lepaskan sebuah pukulan 

yang mengeluarkan sinar merah membara dari tan-

gannya. Pukulan itu adalah ajian Serat Gumilang Jati. 

Ya, pukulan ajian Serat Gumilang Jati yang dimiliki 

oleh Panca Gumilang. Belum juga ketiga orang itu ter-

sadar, mereka tak dapat lagi mengelakkan pukulan 

ajian Gumilang Jati. Dan...!

"Bletar...! Bletar! Bletar...!"

Tiga kali ledakan itu bergema, dan tiga kali pula 

terdengar jeritan dari ketiga orang itu yang roboh den-

gan tubuh terbakar hangus. Melihat ketiganya telah


mati, mahluk berkepala kelelawar itu ambil langkah 

seribu.

***

ENAM



Wulu Gudug sangat gusar, manakala menden-

gar laporan anak buahnya yang mengatakan usaha 

mereka untuk beroperasi telah diporak-porandakan 

oleh seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka 

Ndableg. Wulu Gudug merupakan seorang pimpinan 

judi Koprok dan pelacuran yang beroperasi di desa 

Wulung Segara. Namun di samping pembuka judi dan 

pelacuran, juga melakukan perampokan dan pembega-

lan. Anak buahnya begitu banyak, hampir mencapai 

seratus orang.

"Setan...! Kenapa mesti dibocorkan? Siapa yang 

telah berlaku kurang ajar, hah?"

"Maaf, Ketua Wulu Gudug, saya rasa ada orang 

dalam yang berani berbuat culas ini."

"Maksudmu, Luragung?" tanya Wulu Gudug be-

lum mengerti.

"Tidakkah tetua mencurigai seseorang?"

"Ah, siapakah yang kau maksud, Luragung?" 

kembali Wulu Gudug bertanya. "Apakah yang kau 

maksud, anggota kita yang baru? Siapa namanya?"

"Benar, tetua. Itulah yang aku maksudkan," 

menjawab Luragung, yang menjadikan Wulu Gudug 

seketika melotot marah. Gigi-giginya saling beradu, 

mengeluarkan bunyi gemeretukan menahan emosi. 

Dengan amarah yang berapi-api Wulu Gudug berkata.

"Panggil kunyuk kupret itu ke mari. Bila perlu,


cincang dia!" 

"Baik, Tetua."

Setelah berkata begitu, Luragung segera berke-

lebat pergi untuk memanggil anggotanya yang baru 

yang mengaku-aku bernama Wulung Ampar. Namun 

sesampainya di barak anggota, betapa Luragung san-

gat terkejut. Betapa tidak, di situ tergeletak beberapa 

orang anggotanya yang mati dengan keadaan menye-

dihkan. Menggeram marah Luragung seketika, merasa 

telah dihina mentah-mentah oleh Wulung Ampar. Ma-

ka dengan berseru, Luragung memaki-maki sendiri.

"Wulung Ampar keparat, ke luar kau! Ke mana 

pun kau lari, aku tak akan membiarkannya! Ke luar 

kau Wulung!"

"Luragung, kenapa kau mesti berteriak-teriak 

kayak anak kecil? Kalau kau ingin menemui aku, ma-

suklah!" menjawab suara orang di dalam yang menja-

dikan Luragung geram. Dengan didahului bentakan, 

Luragung segera berkelebat masuk

"Wulung Ampar, jangan kira aku takut pada-

mu. Hiaaat...!"

Golok di tangannya lurus terjurus ke muka, se-

pertinya siap menghujam musuhnya. Namun betapa 

tersentaknya Luragung sekaligus mental tubuhnya, 

manakala sebuah hantaman telak mendarat di da-

danya. Tubuh Luragung mencelat ke luar dan jatuh 

terhempas ke tanah, dari mulutnya seketika meleleh 

darah segar. Walau begitu, Luragung tampak masih 

bertahan. Luragung segera bangkit dengan mata melo-

tot kaget manakala orang yang dari dalam bilik itu ke-

luar. Orang yang ia kenal sebagai Wulung Ampar, ter-

nyata kini telah berubah. Lelaki muda itu kini bukan 

Wulung Ampar, namun orang yang ia kenal sebagai 

seorang pendekar yang telah mengobrak-abrik markas


judinya.

"Kau... Kau Pendekar Jaka Ndableg!"

"Ya, kenapa kau kaget?" kembali bertanya Ja-

ka.

"Setan! Rupanya kau sengaja menelusup ke 

mari. Jangan salahkan kalau nantinya kau akan cela-

ka, Anak muda!" menggeretak marah Luragung, nafas-

nya mendengus liar, matanya memandang tajam 

menghujam pada Jaka Ndableg yang tampak masih 

tersenyum. Jaka melangkah perlahan, menghampiri 

Luragung yang kini telah berdiri.

"Katakan di mana pimpinanmu berada?"

"Jangan harap kau akan dapat seenaknya me-

nyuruhku!"

"Hem, kau yakin itu, Luragung?" bertanya Jaka 

sinis.

"Setan! Kau anggap aku apa, hah! Jangan kira 

aku takut mendengar nama dan julukanmu. Ayo, kita 

buktikan, hiaaat..!"

Luragung yang merasa mangkel dengan tingkah 

laku Jaka, tak lagi banyak berkata. Secepat kilat ia 

berkelebat, tebaskan golok di tangannya ke arah Jaka.

Diserang demikian, bukan menjadi Jaka kete-

ter. Bahkan dengan ketawa-tawa sendiri Jaka berkele-

bat mengelakkannya. Mulutnya yang suka usil, tak 

henti-hentinya berkata.

"Kurang tepat, Mang. Lihatlah, kau akan keca-

paian sendiri. Apakah kau tak melihat aku di sam-

pingmu?"

Ketika Luragung membalikkan tubuh ke samp-

ing, seketika sebuah tamparan tangan Jaka telak 

menghantam pipinya. Menjeritlah Luragung, pipinya 

merah tergurat bekas tangan Jaka. Kepalanya terasa 

pening, menjadikan Luragung sempoyongan dan jatuh.


Jaka tersenyum, dihampirinya tubuh Lura-

gung.

Luragung yang sudah panik tampak segera 

bangkit, golok di tangannya ia kiblatkan ke arah Jaka 

yang datang menghampiri. Ketika Jaka hampir sampai, 

Luragung tebaskan goloknya dengan memekik dah-

syat.

"Wuuuut... Wuuut... Wuuuut!"

"Kurang tepat, Mang!" seru Jaka bagaikan seo-

rang guru mengajari ilmu silat muridnya. "Begini ca-

ranya memegang golok, agar kau tak salah lagi. Sini 

aku pinjam sebentar."

Habis ucapan itu, tiba-tiba tangan Jaka berge-

rak cepat. Mata Luragung seketika melotot, manakala 

tangan Jaka tiba-tiba telah merampas golok di tangan-

nya.

Luragung lompatkan tubuh ke belakang, ber-

maksud elakan sambaran golok yang dilancarkan Ja-

ka. Namun ternyata samberan golok itu hanya tipuan, 

yang dilancarkan Jaka untuk memancing Luragung. 

Ketika Luragung lompat, maka tak ayal lagi kaki Jaka 

yang mengait terkait oleh kakinya tanpa disadari.

"Gedebug...!"

Tubuh Luragung terpelanting jatuh, manakala 

kakinya terkait kaki Jaka. Luragung meringis, dirasa-

kan Luragung pantatnya sakit sekali. Ketika pantatnya 

diraba, ternyata bisul yang besar telah pecah. Tak ke-

palang Luragung menjerit, menerima bisul kesayan-

gannya pecah berantakan. Maka dengan nekad Lura-

gung kembali bangkit menyerang.

Jaka yang masih tenang segera kelitkan tubuh-

nya ke samping, tatkala sebuah hantaman tangan ko-

song yang dilancarkan Luragung menuju ke arahnya.

"Mau nangkep kodok, Mang?"


Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Lu-

ragung seketika meluncur deras. Maka ketika kaki Ja-

ka mengait, tak ayal lagi tubuh Luragung kembali ter-

jerembab mencium tanah.

"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan 

aku! Jangan kira aku akan mengalah padamu, terima-

lah ini!"

Selesai berkata begitu, Luragung yang telah 

disakiti dengan cara mencium tanah dua kali lancar-

kan pukulan jarak jauhnya. Jaka tersentak melompat 

mundur, kibaskan tangan yang telah disaluri ajian 

menghantam balik serangan itu. Tak ayal lagi, seran-

gan yang dilancarkan Luragung balik menyerang 

tuannya.

Luragung tersentak dan berusaha menghindar, 

namun tak cepat. Larikan sinar dari serangannya, kini 

lebih cepat berbalik ke arahnya dan menghantam telak 

tubuh Luragung. Luragung seketika itu menjerit, am-

bruk menggelesor ke tanah. Sesaat tubuhnya kelojo-

tan, lalu diam dan mati.

Demi melihat apa yang terjadi pada diri Lura-

gung, bergidig juga Jaka. Di atas tubuh Luragung yang 

telah mati, seketika muncul anak-anak kalajengking 

yang cepat membesar menggerogoti tubuh Luragung. 

Saking kagetnya Jaka melihat hal itu, dari mulut Jaka 

memekik menyebut nama ajian yang digunakan Lura-

gung.

"Ajian Racun Kala! Hem, sungguh menggidikan. 

Kalau orang lain, niscaya akan seperti Luragung kea-

daannya. Ajian aneh!"

Setelah memandang sesaat pada mayat Lura-

gung, segera Jaka berkelebat loncat ke atas pohon 

manakala dirasa ada orang yang datang. Mata Jaka 

yang tajam, memandang pada bayangan seorang yang


menuju ke arahnya.

Orang itu yang tak lain dari Wulu Gudug, seke-

tika membelalakkan mata demi melihat tangan kanan-

nya telah mati terhantam oleh ajiannya sendiri. Gusar 

Wulu Gudug seketika itu, lalu dengan membabi buta 

dihantamnya apa yang ada di hutan itu dengan ajian-

nya yang bernama Jelentar Ungu. Dari telapak tangan 

Wulu Gudug keluar sinar ungu menghantam pepoho-

nan, seketika pepohonan yang ada di situ runtuh 

daun-daunnya dan tumbang. Tengah Wulu Gudug 

mengumbar amarah, terdengar gelak tawa seseorang 

mengejeknya.

"Wulu Gudug, kenapa kau kayak orang gila!"

"Keluar kau, Monyet!"

"Hua, ha, ha... kalau aku monyet, memang be-

nar. Namun kau lebih dari monyet. Kau adalah anjing 

gudigan! Bukan begitu, Wulu Gudug!"

"Setan! Tampakan ujud mu, jangan hanya be-

rani berkoar!"

"Aku di belakangmu, Wulu Gudug!"

Tersentak kaget Wulu Gudug, manakala ia me-

nengok ke belakang tampak olehnya seorang pemuda 

yang telah ia ketahui sebagai Pendekar Pedang Silu-

man Darah telah berdiri sembari tersenyum sinis pa-

danya.

"Kau...!"

"Ya, aku Wulu Gudug. Kenapa kau kaget? Bu-

kankah tadi kau menyuruhku untuk keluar!" berkata 

Jaka tenang. "Kini aku telah keluar... apa yang hendak 

kau lakukan padaku, Wulu Gudug?"

"Jangan kira aku takut mendengar namamu, 

Anak muda!" membentak Wulu Gudug marah. Ma-

tanya membara penuh permusuhan, menjadikan Wulu 

Gudug yang sudah garang tampak makin garang saja.


Maka tanpa berkata lagi, Wulu Gudug telah memekik 

menyerang Jaka.

"Heh, rupanya kau masih lancar mengeluarkan 

jurus-jurus ilmu silat, walau badanmu telah gemuk 

bagaikan kingkong. Hua, ha, ha..." 

"Setan! Terima ini, hiat....!"

Wulu Gudug yang sudah marah pada Jaka tak 

tanggung-tanggung lagi, hantamkan ajiannya yang 

bernama Jelentar Ungu. Dari tangan Wulu Gudug 

nampak larikan sinar ungu mengkiblat ke arah Jaka.

Jaka lemparkan tubuh ke samping, sehingga 

larikan sinar ungu itu melesat beberapa senti di samp-

ing tubuhnya, menghantam pepohonan yang seketika 

itu berguguran dan tumbang.

"Ilmu tingkat tinggi!" memekik Jaka dalam hati. 

"Aku tak boleh main-main. Baik, akan aku coba den-

gan Getih Saktiku."

Jaka kembali tersentak dari lamunannya, ma-

nakala tangan Wulu Gudug yang telah disaluri ajian 

Jelentar Ungu kembali mengkiblat ke arahnya. Merasa 

untuk mengelak sudah tak ada kesempatan, Jaka se-

gera hantamkan ajian Getih Saktinya.

"Ajian Jelantarr Ungu, hiaat...!"

"Getih Sakti, hiaat...!"

"Duar! Wessst... Pess..."

Terpental keduanya ke belakang, jatuh dengan 

tubuh terduduk Jaka tampak meringis, dadanya terasa 

sesak. Ternyata ajian Getih Saktinya belum dapat 

mengalahkan Jelentar Ungu. Darah meleleh dari sudut 

bibirnya, yang segera dilap oleh Jaka dengan tangan.

Sementara Wulu Gudug nampak tak mengala-

mi apa-apa, bahkan ia telah bangkit dan ganda tawa 

melihat Jaka meringis menahan sakit di dadanya.

"Hua, ha, ha..! Ternyata segitu kemampuan


Pendekar yang tengah menjadi buah bibir di kolong 

Langit. Hem, hari ini juga tamatlah riwayatmu," berka-

ta Wulu Gudug sinis. "Bersiaplah untuk akhir ke-

jayaan mu. Aku Wulu Gudug, akan mengirimmu ke 

akherat. Terimalah ini...! Ajian Jelentar Ungu, hiaat...!"

Wulu Gudug yang menyangka Jaka telah habis 

ilmunya, dengan garang hantamkan ajian Jelantar Un-

gu. Terbelalak Jaka melihat hal itu, belum sempat Ja-

ka berpikir untuk berbuat apa. Ketika sebentar lagi si-

nar ungu itu hendak menghantamnya, dengan speku-

lasi Jaka hantamkan ajian Petir Sewu.

"Petir Sewu, hiaat..!"

"Bletar... Bletar... Bletar...!"

"Aaaah..."

Melengking suara Wulu Gudug, tubuhnya ter-

hantam ajian Petir Sewu yang dilancarkan Jaka, ter-

pental jauh dan ambruk dengan tubuh hancur beran-

takan hangus bagaikan dipanggang.

Jaka terdiam sesaat, duduk bersila. Diaturnya 

napas perlahan, hingga benar-benar nafasnya telah 

sempurna. Ya, itulah meditasi cara mengatur jalan da-

rah yang diajarkan oleh keempat gurunya. Merasa te-

lah segar, Jaka segera kelebatkan dirinya pergi me-

ninggalkan tempat itu, yang kembali sepi dan hanya 

ada dua sosok tubuh pimpinan dan tangan kanannya 

yang mati mengerikan. Itulah Wulu Gudug pimpinan 

gerombolan dan Luragung tangan kanannya.

Angin berhembus sepoi, menerpa tubuh-tubuh 

keduanya yang tak lagi merasakan sejuknya hembu-

san angin. Daun-daun berguguran, bersama datang-

nya burung pemakan bangkai. Burung itu berteriak-

teriak, bagai berbahagia dapat mangsa yang lezat. Na-

mun sungguh aneh, burung-burung itu ternyata tak 

doyan memakan bangkai Wulu Gudug dan Luragung.



TUJUH


DI PERGURUAN CAWAK SAKTI... 

Hari itu langit tampak mendung, awan ber-

gumpal-gumpal menutup langit di atas Perguruan Ca-

wak Sakti. Perguruan Cawak Sakti dipimpin oleh mu-

rid dari Catur Gumilang yang bergelar Pendekar Mabok 

atau Bomantara. Sementara murid Bomantara yang 

kini memimpin Cawak Sakti, merupakan murid tung-

galnya bernama Suwarna Angresta. Suwarna Angresta, 

adalah anak seorang Raja. Dia merelakan tampuk ke-

rajaan pada adiknya dan dia sendiri mendalami ilmu-

ilmu kanuragan. Cita-citanya menjadi seorang pende-

kar, mendorongnya untuk mencari guru yang sakti 

dan benar-benar mumpuni. Maka ketika ia melihat 

Bomantara yang menurut pelatih silat istana adalah 

tokoh yang disegani, Suwarna Angresta segera berguru 

padanya. Beruntung, Bomantara ternyata mau menja-

dikannya murid. Segala ilmu yang dimiliki Bomantara 

atau Pendekar Mabok, diturunkannya pada sang mu-

rid tunggal. Maka setelah Bomantara wafat, Suwarna 

Angrestalah yang menggantikannya.

Hari itu Suwarna Angresta tampak tengah me-

latih murid-muridnya yang berjumlah seratus orang 

dengan berbagai macam ilmu silat. Murid yang ber-

jumlah seratus orang terbagi menjadi empat kelompok. 

Kelompok pertama, merupakan bagian yang tengah 

mempelajari tingkat dasar. Bagian yang kedua meru-

pakan bagian yang mempelajari segala ilmu silat biasa. 

Sedang yang ketiga, mereka mempelajari ajian Serat 

Gumilang Jati tingkat dasar, satu, dua, dan tiga. Dan 

yang terakhir, mereka mempelajari ajian Gumilang Jati 

tingkat empat, lima dan enam.


Suwarna Angresta tersenyum senang melihat 

keseratus muridnya yang tampak bersemangat mem-

pelajari apa yang ia turunkan. Ia melangkah perlahan, 

menghampiri murid-murid utamanya yang terdiri dari 

empat orang. Keempat orang murid utama itu, bergelar 

Catur Cawak Sakti. Mereka merupakan murid-murid 

yang patuh, setia dan mempunyai tata krama yang 

tinggi.

"Eka Cawak, bagaimana adik-adikmu berlatih?"

"Seperti Guru lihat," menjawab Eka Cawak de-

mi mendengar pertanyaan Gurunya.

Sang guru segera berlalu meninggalkan Eka 

Cawak yang kembali melatih menuju ke murid uta-

manya yang kedua, yang diberi nama Dwi Cawak dan 

bertanya.

"Dwi Cawak, bagaimana adik-adik yang engkau 

pimpin?"

"Seperti yang Guru saksikan," menjawab Dwi 

Cawak yang tengah memimpin adik-adiknya berlatih 

tingkat dasar. Setelah menanyai keempat murid uta-

manya, Suwarna Angresta segera kembali ke tempat-

nya yaitu sebuah kursi yang terletak di balai-balai. Di 

situ biasanya Suwarna Angresta duduk, memperhati-

kan murid-muridnya berlatih. Hatinya bangga, walau 

jauh dari kehidupan yang serba berkecukupan. Dilu-

pakannya kalangan istana, dipusatkan segala pikiran 

dan tenaga pada ilmu-ilmu silat. Jika ia ingat semua-

nya, ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Tengah mereka berlatih silat, tiba-tiba terden-

gar gelak tawa membahana berbarengan dengan berke-

lebatnya sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di 

hadapan Suwarna Angresta. Suwarna Angresta tersen-

tak, bangun dari duduknya.

"Siapa engkau, Ki Sanak?"


"Hua, ha, ha... akulah Anggada atau Penguasa 

Puri Kegelapan."

"Bohong! Paman Anggda telah mati. Juga ba-

danmu lain dengan apa yang diceritakan guru padaku, 

siapa kau sebenarnya?"

"Suwarna Angresta, memang jasad ini bukan 

milikku. Tapi rohku lah yang telah menggerakkannya 

untuk menuju ke mari. Nah, bersiaplah kau menerima 

pembalasanku."

"Kenapa paman guru memusuhiku? Bukankah 

aku tak tahu apa-apa?"

"Persetan... Eh, bukankah aku juga telah men-

jadi setan....?"

Belum habis kebingungan Rundanu, Suwarna 

Angresta telah mendahului berkata.

"Paman guru... Kalau benar engkau paman 

guru, maka terimalah sembah sujudku."

Suwarna Angresta hendak menyembah, ketika 

sebuah hantaman dari tangan Rundanu menjadikan-

nya membatalkan sujud. Suwarna Angresta loncatkan 

tubuh, melenting keluar. 

Melihat gurunya diserang oleh orang asing, se-

rentak keseratus muridnya tanpa diperintah segera 

berkelebat menghadang. Maka tak ayal lagi, keseratus 

murid Suwarna Angresta mengeroyok Rundanu.

Rundanu yang telah dikuasai oleh Anggada, 

nampaknya tidak gentar sedikitpun menghadapi pen-

geroyokan itu. Bahkan dengan ganda tawa, Rundanu 

berseru.

"Suwarna, rupanya kau memang kemenakan 

yang baik. Kau sambut kedatanganku dengan meriah. 

Baik, memang aku telah bersumpah ketika di sumur 

Jala Tunda, bahwa aku akan menghabiskan semua 

pewaris ilmu Resi Wilmaka. Nah, bersiaplah...!"


Tersentak semua murid Catur Cawak, manaka-

la melihat perubahan pada diri Rundanu. Muka Run-

danu seketika berubah menjadi muka kelelawar. Ma-

tanya memerah bagaikan menyala, dengan mulut me-

nyeringai menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Be-

lum sempat semuanya tersadar dari rasa kaget, Pen-

guasa Puri Kegelapan telah berkelebat menyerang me-

reka.

Namun sebagai seorang yang telah dididik den-

gan ilmu silat dan ilmu kanuragan, mereka tak gentar 

melihat hal itu. Maka dengan serentak keseratus anak 

murid Suwarna Angresta segera berbareng mengha-

dang mahluk berkepala kelelawar itu yang bermaksud 

menyerang guru mereka.

Pertarungan pun berjalan, membawa segala je-

rit-jerit kematian dan pekik-pekik kemarahan.

Melihat semuanya nampak terdesak oleh amu-

kan mahluk itu, serentak Catur Cawak berkelebat 

menghadang. Tanpa membuang-buang waktu, keem-

pat Catur Cawak segera menyerang dengan ajian Serat 

Gumilang Jati tingkat ketiga.

"Duar...!"

Ledakan itu terdengar membahana, manakala 

empat larik sinar merah membara menghantam tubuh 

mahluk berkepala kelelawar. Namun bagaikan tak be-

rarti, ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga, tak 

menjadikan mahluk berkepala kelelawar itu hancur, 

roboh pun tidak. Hal itu menjadikan rasa kaget ada 

keempat Catur Cawak, mereka tak yakin akan apa 

yang mereka lihat. Bagaimana tidak, ajian Serat Gumi-

lang Jati, merupakan ajian yang sangat ampuh. Jan-

gankan tingkat ketiga, tingkat pertama saja mampu 

membakar daun-daun kering. Namun mahluk itu, tak 

mengalami apa-apa.


Keempat Catur Cawak yang tengah terperangah 

segera lompat ke belakang, manakala mahluk itu me-

nyerang mereka. Tangan mahluk berkepala kelelawar 

itu menyabet dengan kuku-kukunya yang hitam dan 

panjang. Matanya merah penuh api kematian meman-

dang tak berkedip pada Catur Cawak.

"Kita jangan terpengaruh. Ayo, kita labrak mah-

luk itu dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat em-

pat."

"Benar apa yang dikatakan Kakang Eka Cawak. 

Ayo kita serang kembali mahluk itu..." menyambung 

Dwi Cawak berkata. 

Maka dengan tanpa banyak kata, karena kea-

daan sangat mendesak keempat Cawak Sakti itu sege-

ra hantamkan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keem-

pat pada tubuh mahluk itu. Namun untuk seperti se-

mula, keempatnya dibuat terperangah.

Tengah keempat Cawak Sakti itu terjengah, ter-

dengar suara mahluk itu berkata mengejek.

"Keluarkan semua ilmu kentut busuk yang ka-

lian miliki. Akupun mampu melakukannya, lihat...!"

Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelela-

war itu hantamkan tangannya yang telah dialiri ajian 

Serat Gumilang Jati tingkat kelima.

Tersentak keempat Cawak Sakti, manakala me-

lihat ajian yang mereka miliki juga dimiliki mahluk 

berkepala kelelawar itu. Belum juga mereka dapat 

mengendalikan kekagetannya, larikan sinar merah dari 

tangan mahluk menyeramkan itu menghantam ke arah 

mereka.

Cawak Eka dan Cawak Dwi mampu menghin-

darinya. Namun kedua Cawak yang lainnya, tak mam-

pu menghindar. Dengan nekad, kedua Cawak Sakti itu 

lepaskan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keenam


nya.

"Hiaaat...!"

"Hiaaattt...!"

"Duar....!"

Terdengar ledakan dahsyat, manakala tiga ajian 

yang sama jenisnya saling beradu. Tubuh kedua Ca-

wak Sakti terlempar jauh, lalu jatuh dengan mulut me-

leleh darah. Dua Cawak Sakti itu luka dalam, hingga 

keduanya pingsan.

Melihat kedua adik seperguruannya tergeletak, 

kedua Cawak Sakti lainnya dengan geram menyerang 

mahluk berkepala kelelawar yang masih tertawa berge-

lak-gelak melihat keduanya menyerang.

"Percuma kalian membuang-buang tenaga, me-

nyerahlah!"

"Setan! Jangan kira kami takut padamu. Bagi 

kami, lebih baik mati daripada menjadi hamba iblis. 

Ayo adik-adik, serang...!"

Mendengar seruan Eka Cawak, seketika semua 

anak murid Cawak Sakti bagaikan tak kenal takut me-

nyerang. Karena mereka dididik dengan cara ksatria, 

mereka bertarung pun memakai ala ksatria. Musuh 

tangan kosong, mereka pun tangan kosong pula.

"Bedebah! Rupanya kalian memilih mampus! 

Bersiaplah, tak akan aku biarkan pewaris ilmu Catur 

Gumilang hidup."

Habis berkata begitu, mahluk menyeramkan 

segera mengumbar kesaktiannya. 

Ajian-ajian iblis dikeluarkannya, menjadikan 

semua musuh tak mampu menyangkal. Hanya pimpi-

nan Cawak Sakti saja atau guru besar Cawak Sakti, 

yaitu Suwarna Angresta yang mampu menangkal.

Melihat anak muridnya tak mampu menghada-

pi ilmu iblis Rundanu, Suwarna Angresta segera berke


lebat menghadang.

"Paman guru, sungguh terlalu telengas paman 

guru tindakannya."

"Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu!" 

membentak Penguasa Puri Kegelapan. "Aku dan guru-

mu telah menjadi musuh. Gurumu lah dan paman gu-

rumu yang lain, yang telah mengubur ku hidup-hidup. 

Aku mendekam selama lima puluh tahun lebih di da-

lam sumur Jala Tunda, semua gara-gara tindakan 

guru dan paman-paman gurumu yang menamakan diri 

Catur Gumilang Sakti. Karena mereka telah tiada, ma-

ka aku melimpahkan segala dendam ku pada murid-

muridnya termasuk kau!"

"Baiklah! Kalau memang itu yang paman guru 

inginkan. Demi membela kebenaran dan keadilan, aku 

siap!"

Tertawa bergelak-gelak Penguasa Puri Kegela-

pan, mendengar ucapan Suwarna Angresta.

"Bersiaplah!"

"Aku sudah siap! Mati pun, aku rela demi men-

junjung tinggi kebenaran dan keadilan. Nah, silahkan 

apa yang akan paman guru lakukan padaku."

Dengan didahului mencicit, mahluk berkepala 

kelelawar itu segera menyerang. Suwarna Angresta 

yang telah siaga, segera memapakinya. Pertarungan 

dua paman dan murid perguruan itu berlangsung, 

tanpa banyak kata lagi.

Penguasa Puri Kegelapan yang telah tahu siapa 

orang musuhnya, tak segan-segan mengeluarkan sega-

la ilmu iblisnya. Mahluk itu menyerang bagaikan men-

cari kematian. Ya, memang mahluk berkepala kelela-

war itu telah bertekad untuk memusnahkan keturu-

nan Catur Gumilang.

Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya tak


terasa oleh kedua orang yang berkelahi itu. Namun bi-

la dilihat, tampaklah ilmu yang dimiliki Suwarna An-

gresta tiada arti sama sekali. Terbelalak mata Suwarna 

Angresta, melihat kenyataan itu. Kini hatinya diliputi 

kemarahan, dan kekesalan yang meledak-ledak.

"Terimalah ajian Serat Gumilang Jati tingkat 

pamungkas. Hiaat!"

"Keluarkan semua ilmu yang kau miliki, Su-

warna. Tak akan ada artinya sama sekali bagiku. 

Hiaaat...!"

Dua tubuh itu berkelebat bagaikan terbang, 

melayang di udara. Lalu keduanya pun bertemu, men-

gadu dua kekuatan sakti yang mereka miliki.

"Duar...!"

Tubuh keduanya terhenyak ke belakang, ter-

lempar beberapa tombak. Namun begitu, keduanya 

masih sama-sama tangguh. Keduanya kini telah siap 

siaga, siap untuk melakukan serangan. Mata kedua-

nya sejenak saling pandang, tajam menghunjam mele-

bihi tajamnya pedang. Keduanya seperti tengah menja-

jaki ilmu yang dimiliki musuh-musuhnya.

"Suwarna... Lebih baik kau mengakui kalah 

dan gorok lehermu sendiri."

"Bedebah! Jangan kira aku mau menuruti uca-

panmu. Aku belum kalah! Ayo, kita lanjutkan."

"Hua, ha, ha... Percuma kau sombongkan 

ajianmu, Suwarna. Tak ada artinya semua ajian wari-

san Resi Wilmaka bagi diriku."

"Jangan sombong, Anggada. Bersiaplah..."

Dengan segera, Suwarna Angresta kerahkan te-

naga dalam pada pusat kepalan tangannya. Kini ia 

tengah merapalkan ajian Pukulan Tangan Besinya. 

Tangan Suwarna seketika menghitam, legam bagaikan 

baja alami. Dengan didahului pekikkan, Suwarna sege


ra berkelebat menyerang.

"Hiaaaaat....!"

"Hem, ilmu apa pula yang hendak kau kelua-

rkan. Jangan kira kau akan mampu mengalahkan aku, 

hiaat...!"

Kembali keduanya berkelebat, saling serang 

dengan ilmu yang mereka miliki. Betapa tersentaknya 

Suwarna yang tengah melayang, ketika dilihat olehnya 

dari tangan Anggada keluar larikan hitam legam.

"Hem. kenapa dia memiliki ajian ganas itu? Ci-

laka...!"

Belum sempat Suwarna mengelak, Penguasa 

Puri Kegelapan telah mendahului menyerang. Mau tak 

mau, Suwarna segera hadang dengan ajian Pukulan 

Tangan Besi.

"Duar...!" 

"Aaaaaahhh..."

Suwarna Angresta memekik, tubuhnya me-

layang bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya 

seketika retak, lalu pecah-pecah laksana batu terhan-

tam martil raksasa. Tubuh itu ambruk, mati...

Melihat musuhnya telah mati, dengan gelak ta-

wa Penguasa Puri Kegelapan segera berkelebat pergi 

tinggalkan tempat itu. Mayat-mayat bergelimpangan, 

memenuhi lapangan perguruan Cawak Sakti. Satu ke-

turunan Resi Wilmaka hilang, mati di tangan Penguasa 

Puri Kegelapan. Dan rupanya benar apa yang dikata-

kan oleh Begawan Kisnenda...

***


DELAPAN


Korban demi korban dari keturunan Resi Wil-

maka berjatuhan. Sepertinya memang sudah diga-

riskan. Kodrat alam memang tak dapat dirubah, atau 

dihindari. Kodrat harus berjalan, sesuai dengan lari-

kan sang waktu.

Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-

rah yang konyol, nampak termangu melihat apa yang 

ada di hadapannya. Mayat-mayat bergelimpangan, se-

pertinya telah terjadi pertempuran. Namun bila dilihat, 

mana ada pertempuran hanya korban dari sepihak? 

Jelas semua yang melakukan adalah orang yang be-

rilmu tinggi.

"Hem, aneh. Kalau pertempuran, jelas tak se-

muanya hanya sepihak yang mati. Paling tidak ada 

orang musuhnya, tapi kenapa ini satu perguruan?" 

bergumam Jaka dalam hati. "Aku rasa ini merupakan 

sebuah pembalasan. Sungguh sangat disayangkan, 

Perguruan Cawak Sakti yang kondang dalam nama 

baik sebagai perguruan berhaluan lurus kini hilang 

bagaikan dilanda topan."

Tengah Jaka merenung bingung, sehingga ia 

seperti seorang yang benar-benar linglung terdengar 

suara seseorang merintih. Jaka segera mencari suara 

itu, dan tak begitu lama Jaka pun segera menemu-

kannya. Tersentak Jaka setelah tahu siapa adanya 

orang tersebut, yang tak lain Suwarna Angresta pimpi-

nan Cawak Sakti.

Tubuh Suwarna tampak retak-retak dengan da-

rah mengalir dari retakan-retakan tersebut. Ia tampak 

merangkak, menuju ke arah Jaka berada. Melihat hal 

itu, dengan segera Jaka memburu ke arahnya.


"Tuan Suwarna, apa yang telah terjadi?"

"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Suwar-

na matanya tak dapat melihat akibat tertutup darah.

"Aku Jaka, Jaka Ndableg."

Mendengar jawaban Jaka, tersentak kaget Su-

warna girang. Hingga ia bagaikan tak mengalami rasa 

sakit berseru. "Jaka..!! Kaukah Pendekar Pedang Silu-

man Darah yang tengah kesohor itu?"

"Benar, tapi aku tidak kesohor."

Dalam keadaan yang kalut seperti itu, Jaka 

masih juga sempat ngebanyol. Hal itu membuat Su-

warna Angresta yang tengah sekarat, bagaikan tak 

mengalami rasa sakit. Bibirnya terurai senyum. Ia tahu 

bahwa Pendekar ini memang suka macam-macam 

dengan tingkah lakunya yang dapat membuat ketawa 

temannya, namun dapat membuat marah musuh-

musuhnya. Pendekar ini banyak teman, tapi juga ba-

nyak lawan.

"Ah, kenapa engkau selalu merendah, Pende-

kar?"

"Sudahlah, Tuan. Tuan tak usah mendebatkan 

namaku atau julukan yang ada pada diriku. Kini tu-

buh tuan begitu lemah, ayo aku bantu."

Dengan segera, Jaka membopong tubuh Su-

warna Angresta yang penuh berlumuran darah menuju 

ke dalam pondoknya. Disapunya darah yang menutupi

muka Suwarna, sehingga bersih.

"Katakanlah, apa yang telah menimpa pergu-

ruan Cawak Sakti? Dan siapakah yang telah berbuat 

demikian telengasnya?"

Sejenak Suwarna terdiam. Diaturnya napas 

perlahan yang terasa berat menyesak. Mulutnya sekali-

kali meringis, menahan sakit yang mendera tubuhnya. 

Betapa tidak, tubuhnya telah begitu hancur.


"Ceritanya panjang, Tuan pendekar."

"Kau mampu untuk menuturkannya.?"

"Akan aku coba sebelum ajalku tiba."

Dengan suara pelan, Suwarna akhirnya mence-

ritakan apa yang telah dialami oleh perguruannya. Ju-

ga tak lupa akan siapa yang telah melakukannya. 

Mendengar penuturan cerita Suwarna, bagaikan orang 

terjaga dari tidur Jaka berseru kaget.

"Ah... Jadi Penguasa Puri Kegelapan yang aku 

dengar hidup pada seabad yang lalu itu muncul lagi? 

Dan ternyata ia adalah paman seperguruanmu?"

"Benar, Tuan," menjawab Suwarna. "Aku minta 

tuan Pendekar sudi menghentikannya. Dia sangat ber-

bahaya. Mungkin kini atau esok, dia akan menumpas 

perguruan adik Lumabang, lalu perguruan Sentana, 

dan perguruan Braja Muspita."

"Hem, akan aku coba. Demi kebenaran dan 

keadilan serta ketentraman dunia, akan aku coba 

menghentikan sepak terjangnya walau nyawaku seba-

gai taruhannya."

"Terima kasih, Tuan Pen-de-kar..."

Terkulai kepala Suwarna Angresta, mati.

Trenyuh Jaka melihat hal itu, ia hanya mampu 

menitikkan air mata. Jaka menangis, menangis karena 

sedih melihat kematian yang tragis. Kembali ingatan-

nya pada kedua orang tuannya, yang juga mati akibat 

ulah saudara seperguruannya.

"Semoga kau tenang di alam sana, Suwarna," 

keluh Jaka.

Hari itu juga, Jaka bekerja sendiri menggali lu-

bang untuk mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Hem, bodoh amat aku ini. Mana mungkin se-

hari selesai bila aku tak memakai akal. Akan aku gu-

nakan Pedang Siluman Darah," gumamnya membo


dohkan dirinya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datan-

glah!"

Seperti biasanya, Pedang Siluman Darah pun 

seketika muncul dan telah tergenggam di tangannya. 

Maka dengan Pedang Siluman Darah, Jaka dalam wak-

tu singkat dapat membuat seratus sepuluh lubang. 

Hanya dengan cara menancapkan pedang, akan terja-

dilah lubang-lubang yang pas untuk tubuh manusia.

Setelah tubuh-tubuh mereka masuk ke dalam 

lubang, kembali Jaka mengiblatkan ujung Pedang Si-

luman Darah pada lobang yang dengan sendirinya me-

nutup. Tanah-tanah yang semula membuka, berham-

buran menutupi lobang.

"Aku harus segera mencegah semua tindakan 

telengasnya. Kalau tidak... sungguh petaka bagi kehi-

dupan!"

Secepat kilat, Jaka berkelebat pergi meninggal-

kan Perguruan Cawak Sakti yang kini telah berubah 

menjadi pemakaman. Hari telah berganti, dari malam 

berubah menjadi pagi. Embun yang menari, perlahan 

menghilang tersapu angin yang datang....

* * *

Kerajaan Segara Anakan...

Raja Sri Baginda Damar Angkik adalah adik 

Suwarna Angresta. Sri Baginda Damar Angkik begitu 

gusarnya, mendengar kabar bahwa kakaknya mati ter-

bantai bersama murid-muridnya. Kemarahan sang Ra-

ja tak dapat dibendung, sehingga sang Raja yang bi-

asanya tenang dan sabar kini bagaikan macan yang 

kehilangan anaknya. Matanya merah, tangannya men-

gepal, nafasnya mendengus...

"Cari orang itu! Tangkap dia dan kita beri hu


kuman picis!"

"Daulat, Baginda yang mulia," menyembah sang 

Patih.

"Jangan kalian kembali, sebelum orang itu da-

pat kalian seret kemari. Penggal kepalanya...!"

"Daulat, Baginda!"

Setelah menjura menyembah, kedua patih ke-

rajaan itu segera pergi meninggalkan bangsal istana. 

Kedua patih itu pun turut gusar, mendengar kakak ra-

janya yang baik dan bijak mati terbunuh bersama mu-

rid-muridnya.

Dengan tanpa menyuruh hulubalangnya, kedua 

Patih yang bernama Rangket Ungu dan Singa Barong 

segera memacu kudanya untuk mencari orang yang te-

lah telengas membunuh kakak baginda rajanya.

Karena di hati kedua patih itu tergurat kema-

rahan pada orang yang telah membunuh kakak Ra-

janya, sehingga kedua patih itu memacu kuda bagai-

kan kesetanan. Kuda yang sudah berlari kencang, di-

gebahnya untuk dapat menambah larinya.

Kedua patih itu telah terkenal kesaktiannya. 

Keduanya disegani baik oleh patih kerajaan lain, atau-

pun oleh pengacau. Semenjak kedua patih itu menja-

bat patih di kerajaan Segara Anakan, kerajaan itu 

aman tentram.

"Ke mana kita harus mencarinya, Kakang 

Rangket Ungu?"

"Entahlah, Adik Singa Barong," menjawab 

Rangket Ungu.

"Bukankah kita lebih bebas bila menyamar se-

bagai pengelana?"

Rangket Ungu terdiam mendengar ucapan Sin-

ga Barong. Sejenak dipandangi Singa Barong, lalu den-

gan tersenyum ia pun berkata.


"Benar juga. Hem, bagus pendapatmu. Ayo, kita 

kembali ke rumah masing-masing untuk berganti den-

gan seragam perguruan."

Segera kedua patih yang memang saudara se-

perguruan bergegas menghalau kuda-kudanya menuju 

ke rumah masing-masing.

Kedua patih itu, sebelum menjabat patih mere-

ka adalah seorang pendekar yang sukar ditandingi pa-

da masanya. Mereka berdua berjuluk, Pendekar Jagad 

Kelana. Karena keduanya sepasang, orang menyebut-

nya "Sepasang Pendekar Jagad Kelana."

Tak lama setelah kedua patih itu kembali, tam-

pak dua orang manusia mengenakan pakaian merah 

menyala menunggang kuda berlalu dari pintu gerbang 

istana. Dua orang itu, tak lain adalah kedua patih yang 

telah mengganti pakaian mereka dengan pakaian per-

guruan.

"Kita menuju ke arah Selatan, Kakang?"

"Ya, sebab menurut dugaanku orang itu akan 

menuju ke Selatan," menjawab Rangket Ungu.

Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu 

segera kembali memacu kudanya menuju ke arah Sela-

tan.

* * *

Malam itu kembali rumah Rundanu hening. 

Seperti malam-malam sebelumnya, rumah Rundanu 

pun diselimuti tabir kegelapan dan misteri yang sukar 

untuk disibakkan. Walau semua penduduk di desa itu 

telah mengetahui siapa Rundanu, namun untuk berge-

rak mereka belum berani. Pertama kepala desa belum 

memerintahkan, kedua belum pasti kesalahan Runda-

nu.


Malam itu seperti biasanya Rundanu dan is-

trinya tengah duduk-duduk ngobrol. Sementara anak-

nya yang telah menginjak gadis telah tertidur.

Sebenarnya anak Rundanu yang bernama Surti 

Kanti tidak tidur, ia ingin membuktikan apa yang per-

nah ia lihat pada kejadian malam yang telah berlang-

sung seminggu yang lalu. Namun untuk menanyakan-

nya pada ibu atau bapaknya, ia tak berani.

Malam semakin larut, hawa dingin tiba-tiba te-

rasa menggigil. Mata Surti Kanti seketika bagai dibe-

bani batu puluhan kati, mengantuk berat. Namun te-

kadnya untuk membuktikan apa yang telah terjadi pa-

da keluarganya, menjadikan Surti Kanti berusaha te-

tap melek.

Ketika malam makin bertambah larut, terden-

gar suara deheman seseorang di ruang tamu di mana 

ayah dan ibunya tengah duduk. Perlahan Surti Kanti 

mengintip dari bilik kamarnya. Terbelalak kaget Surti 

Kanti, manakala dilihatnya ada seorang pemuda dian-

tar kedua orang tuanya.

"Siapakah pemuda itu?" bertanya hati Surti 

Kanti.

Kedua orang tuanya nampak tersenyum me-

nyambut kedatangan pemuda ganteng itu. Sepertinya, 

kedua orang tuanya tengah bercerita pada pemuda 

ganteng itu yang kini berbicara.

"Rundanu dan kau Rumini, malam ini kalian 

harus mampu menemukan dua perguruan silat yang 

dipimpin oleh murid Saelendra dan Reksa Pati."

"Apa nama perguruan itu, Tuan?"

"Naga Kuldu dan Maling Demang! Malam ini ju-

ga, kalian berangkatlah. Ingat, kalian harus segera 

kembali sebelum pagi datang, sebab aku akan memin-

jam jasadmu, Rundanu."


"Daulat, tuanku," menjawab kedua suami istri 

itu bareng.

Setelah menyembah, kedua suami istri itu sege-

ra pergi meninggalkan rumah, menjera malam yang ge-

lap. Walau malam begitu gelapnya, namun suami istri 

itu bagaikan tak mengalami kesulitan. Mereka bagai-

kan kelelawar berlari dengan kencangnya

Sementara di rumah...

Anggada yang telah mengetahui bahwa di situ 

ada anak Rundanu yang masih perawan tersenyum 

dan tak segera pergi. Hal itu menjadikan Surti Kanti 

seketika gemetar ketakutan. Keringat dingin seketika 

deras mengalir.

"Aoh...!" Surti Kanti menjerit tertahan, manaka-

la pintu kamarnya dibuka oleh si pemuda. "Kau...?"

Pemuda itu tak menjawab, namun tersenyum 

manis ke arahnya senyumnya begitu manis, menjadi-

kan Surti Kanti seketika hatinya terpanah. Dan mana-

kala tangan pemuda itu memegang janggutnya, Surti 

Kanti hanya dapat mendesah. Lalu setelah pemuda itu 

merebahkan tubuhnya ke atas dipan, Surti Kanti 

hanya mampu mendesah panjang. Lalu selanjutnya 

kedua muda-mudi itu diam. Hanya napas keduanya 

yang memburu liar. Surti Kanti terjengah, mengeluh 

panjang. "Aaaah....!"

Surti Kanti menjerit, manakala sesuatu telah 

membuat tubuhnya terasa lain. Darah menetes... Ber-

samaan dengan itu, seketika Surti Kanti menjerit panik 

manakala dilihatnya bentuk muka pemuda yang telah 

menyetubuhinya. Wajah pemuda yang tadinya gagah, 

kini berubah menjadi wajah kelelawar yang mencicit 

menyeramkan.

Saking paniknya, Surti Kanti pun akhirnya 

pingsan.



Dengan didahului dengan cicitan nyaring, mah-

luk berkepala kelelawar itu berkelebat pergi menghi-

lang di kegelapan malam, meninggalkan Surti Kanti 

yang masih tergeletak pingsan dengan keadaan tubuh 

telanjang.....

***

SEMBILAN



PERGURUAN MALING DEMANG.

Pertarungan antara Utusan Iblis-Penguasa Puri 

Kegelapan dikeroyok oleh murid-murid perguruan 

tampak berjalan dengan seru. Ternyata kedatangan 

Rundanu yang menjadi utusan Iblis Penguasa Puri Ke-

gelapan diketahui oleh murid-murid perguruan Maling 

Deman. Tanpa ayal lagi, pertarungan pun terjadi.

Namun walau dikeroyok oleh sebanyak murid 

perguruan Maling Deman, Rundanu yang telah mewa-

risi ilmu Penguasa Puri Kegelapan tak dapat dengan 

mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.

Tengah pertempuran itu terjadi, seorang pemu-

da yang kita kenal dengan nama Jaka Ndableg atau 

Pendekar Pedang Siluman Darah datang dan langsung 

menghadang sepak terjang orang berkepala kelelawar.

"Hem, ternyata kaulah cecunguknya yang telah 

membuat kerusuhan di Perguruan Cawak Sakti."

"Benar adanya. Siapa kau, Anak muda?"

"Aku yang bodoh dan ingin meminta sedikit il-

mu iblis padamu bernama Jaka Ndableg atau Pende-

kar Pedang Siluman Darah."

Mendengar penuturan Jaka, seketika semua 

yang ada di situ tersentak kaget. Mereka pada umum


nya telah mendengar nama pendekar muda yang ten-

gah menggoncangkan dunia persilatan. Namun meli-

hatnya, mereka baru kali ini.

"Apa urusanmu ikut campur, Anak muda!" 

membentak manusia berkepala kelelawar. Sengit.

Jaka hanya tersenyum sinis.

"Bedebah! Ditanya bukan menjawab, malah 

cengengesan. Apakah kau belum tahu siapa aku 

adanya?"

"Hem, aku rasa kau tak lebih hanya tuyul bau!"

"Slompret! Berani kau menghina Utusan Iblis!"

Tertawa bergelak-gelak Jaka seketika itu, demi 

mendengar manusia berkepala kelelawar menyebut 

namanya. Hal itu menjadikan manusia Utusan Iblis 

menggeram gusar.

"Hua, ha, ha... Kalau begitu, memang tepat du-

gaanku. Kaulah tuyul-tuyul bau tai!"

"Bangsat! Lancang mulutmu, Anak muda! Jan-

gan lengah, hiaat...!"

Manusia bermuka kelelawar itu secepat kilat 

berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang me-

mang suka membikin musuh marah hanya tertawa 

bergelak-gelak sembari elakan serangan. Hal itu men-

jadikan Utusan Iblis makin bertambah marah, lalu 

dengan mencicit terlebih dahulu Utusan Iblis melipat 

gandakan serangannya. Dikeluarkannya ajian Serat 

Gumilang Jati tingkat ketiga.

Tersentak Jaka dan semuanya melihat hal itu. 

Ketika tangan mahluk berkepala kelelawar menghan-

tam, secepat kilat Jaka berkelebat mengelak. Jaka ter-

bebas dari hantaman maut itu, namun murid-murid 

Maling Deman-lah yang menjadi sasarannya. Seketika 

puluhan murid perguruan Maling Deman mati dengan 

tubuh hangus.


"Ilmu Iblis!" memekik Jaka.

"Kenapa kau takut. Anak muda? Mana nama 

besarmu! Mana ilmu yang telah menggemparkan dunia 

persilatan, hua, ha, ha...!"

"Setan! Jangan tertawa dulu, lihat ini!"

Jaka segera keluarkan ajiannya yaitu Getih 

Sakti. Selarik sinar merah membara keluar dari tela-

pak tangan Jaka. Namun dengan segera ajian Getih 

Sakti pupus, manakala terhantam dengan ajian Serat 

Gumilang Jati.

Tersentak Jaka menerima kenyataan itu.

"Hua, ha, ha... Keluarkan segala kepandaian-

mu, Anak muda! Aku Utusan Iblis tak akan dapat kau 

kalahkan!"

"Sombong! Terimalah ini, hiaat...! Petir Sewu!"

"Hem, aku pun bisa. Iblis Geledeg, hiat....!" 

"Duar...!"

Dua kekuatan sakti itu beradu, menjadikan 

percikan api yang menyala terang. Tubuh keduanya 

terpental ke belakang beberapa tombak, jatuh dengan 

pantat menggusur tanah.

Kembali terdengar gelak tawa Utusan Iblis, se-

pertinya mengejek Jaka yang masih berusaha mene-

nangkan keadaan dirinya.

"Hua, ha, ha... Ternyata namamu akan berakhir 

sampai di sini, Anak muda!"

"Gusti Allah! Dia seperti mempunyai segala il-

mu tandingan yang aku miliki! Dengan apa lagi aku 

harus berbuat," mengeluh Jaka hampir putus asa. 

"Ooh, akan aku gunakan pedangku. Baik, akan aku 

panggil Ratu Siluman Darah. Semoga ia dapat mem-

bantuku. DENING RATU SILUMAN DARAH, 

DATANGLAH!"

Terbelalak mata Utusan Iblis, melihat sebilah


pedang yang memancarkan sinar kuning kemerah-

merahan telah tergenggam di tangan Jaka. Namun 

yang lebih mengejutkan Utusan Iblis, Pedang itu dari 

ujungnya melelehkan darah segar, membasahi batang-

nya.

Mata Utusan Iblis seketika bagaikan silau, ter-

pantul cahaya yang dikeluarkan oleh Pedang Siluman 

Darah. Maka ketika Utusan Iblis tengah terpengaruh 

oleh cahaya pedang, secepat kilat Jaka berkelebat te-

baskan Pedang Siluman Darah ke tubuh Utusan Iblis.

"Aaaaaahhhhhhhh...... Tobat...!"

Melengkinglah suara Utusan Iblis sesaat, sebe-

lum akhirnya mati dengan tubuh terbelah menjadi 

dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang 

Siluman Darah.

Melihat Utusan Iblis itu mati, Jaka segera ber-

kelebat pergi menuju ke tempat Perguruan Naga Kuldu 

untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Bagai-

kan terbang, Jaka berlari dengan ajian Angin Puyuh-

nya.

* * *

Dua patih kerajaan Segara Anakan tampak ten-

gah menghadapi seorang wanita. Dua patih itu merasa 

gusar, setelah melihat siapa adanya wanita yang telah 

mengobrak-abrik perguruan Naga Kuldu.

Setelah melihat dengan seksama bahwa wanita 

itu wajahnya bukan wajah manusia biasa, kedua patih 

kerajaan Segara Anakan pun segera dapat menerka 

siapa adanya wanita itu. Ya, wanita itu memang bukan 

wanita sembarangan. Ia diutus oleh Penguasa Puri Ke-

gelapan untuk maksudnya menumpas pewaris ilmu 

Resi Wilmaka.


"Iblis! Rupanya kaulah yang telah membuat 

keonaran di Perguruan Cawak Sakti. Untuk itu, kau 

harus mati!" membentak Singa Barong gusar. Tubuh 

Singa Barong seketika berkelebat cepat, menyerang 

Utusan Iblis.

Namun bagaikan seorang yang telah mengeta-

hui gerak-gerik dan jurus lawan, Utusan Iblis berkelit 

dengan entengnya. Bahkan dengan segera balik me-

nyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keti-

ga.

Tersentak kedua patih penyerang itu, manakala 

Iblis Wanita berkepala kelelawar itu mampu menggu-

nakan ajian Serat Gumilang Jati.

"Hi, hi, hi.... Terimalah kematian kalian! 

Hiat...!"

Tengah kedua patih itu terdesak dan nyawa ke-

duanya dalam bahaya, Jaka Ndableg yang telah sam-

pai di situ segera hantamkan ajian Petir Sewu me-

nangkis serangan tersebut.

Tersentak Utusan iblis, manakala ajian yang di-

lancarkannya hancur di tengah jalan. Dengan mengge-

ram marah, ia palingkan muka memandang pada pe-

muda yang baru datang.

"Siapa kau!"

"Hem, rupanya kalian suami istri manusia-

manusia serakah! Hanya untuk mencari kepuasan ba-

tin, kalian rela menjadi budak Iblis!" menggeretak Jaka 

marah. "Suamimu telah aku tenangkan, kini tinggal 

kau! Aku berbuat begitu, karena bila tidak dunia akan 

kalian bikin kotor dengan tingkah kalian."

Tertawa wanita Utusan Iblis mendengar ucapan 

Jaka.

"Hi, hi, hi... Anak muda, karena kau telah 

membunuh suamiku maka kau pun harus aku kirim


ke akherat, hiat...!"

Tanpa banyak kata lagi, Utusan Iblis bergerak 

cepat hantamkan ajiannya ke tubuh Jaka. Segera Jaka 

melompat, berkelit sembari tebaskan Pedang Siluman 

Darah.

Pukulan Utusan Iblis seketika musnah, terba-

bat oleh Pedang Siluman Darah. Mata utusan iblis 

membelalak kaget, manakala melihat apa yang tengah 

tergenggam di tangan Jaka. Bukan saja Utusan Iblis 

yang kaget, tapi kedua patih itu pun sama.

"Pendekar Pedang Siluman Darah! Ah, sungguh 

tak kami duga kalau kami akan menemui tuan Pende-

kar di sini," berkata keduanya sembari menjura hor-

mat.

"Ah, terimakasih, Tuan Patih. Aku mohon ka-

lian menyingkirlah terlebih dahulu. Dia bukan tandin-

gan kalian," meminta Jaka pada kedua patih yang se-

gera menurut menyingkir. Kedua patih itu tahu, bahwa 

diri mereka tak akan mampu menghadapi Utusan Iblis 

yang telah dikuasai oleh Penguasa Puri Kegelapan.

"Utusan Iblis. Agar kau tenang, kau harus aku 

singkirkan. Tempatmu bukan di dunia, tapi di neraka 

sana... Hiat...!"

"Jangan mengigau, Anak muda. Hiat...!"

Keduanya segera melompat bagaikan terbang. 

Tangan Utusan Iblis yang telah disaluri ajian lurus 

mengiblat ke arah Jaka. Sementara Jaka dengan Pe-

dang Siluman Darah, telah siaga mengkiblatkan pe-

dang itu ke arah Utusan Iblis. Keduanya bertemu di 

udara. Jaka segera babatkan Pedang Siluman Darah 

ke tubuh Utusan Iblis, yang seketika itu pula menjerit.

"Tobaaaaat....! Aaaaaah...!"

Dengan matinya Dua Utusan Iblis, apakah du-

nia persilatan akan tenang? Untuk menjawab perta


nyaan tersebut, silahkan ikuti terus petualangan Jaka 

Ndableg si PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH, da-

lam Judul. "PEMBALASAN SURTI KANTI"

Utusan iblis dua-duanya telah mati, hal itu 

menjadikan Penguasa Puri Kegelapan tak dapat bang-

kit lagi. Maka salah satunya jalan, ia harus mempen-

garuhi anak Rundanu yang bernama Surti Kanti untuk 

mau mengabdi padanya...

Nah, apakah Surti Kanti akan menuruti ke-

mauan Penguasa Puri Iblis yang telah menjerumuskan 

ayahnya? Apa yang hendak dilakukan oleh Surti Kanti

setelah mendengar kedua orang tuanya mati oleh Pen-

dekar Siluman Darah? Silahkan ikuti Episode Pende-

kar Pedang Siluman Darah dalam judul: Pembalasan 

Surti Kanti.





                              TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar