BIDADARI SELENDANG UNGU
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Bidadari Selendang Ungu
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Wanita bongkok itu berlari seperti Kancil, me-
lompat menuruni lembah dan mendaki bukit di Pegu-
nungan Penangunggungan yang letaknya di sebelah
Selatan kota Surabaya. Tongkat di tangan kanannya
merupakan sebuah tumpuan, mana kala ia hendak
melompat.
"Hoop, ya...!"
Tubuh bongkok itu dengan ringan melompat
dari tebing satu ke tebing lainnya. Hal itu menunjuk-
kan betapa ilmu meringankan tubuhnya telah menca-
pai tarap yang sempurna.
Di atas sebuah bukit ia berdiri memandang ke
sebuah kampung yang terpapar di muka. Kampung
itulah yang hendak ia tuju, bernama kampung Wates.
Manakala ia memandang kampung itu, seketika piki-
rannya melayang jauh. Tak terasa matanya berkaca-
kaca seperti hendak menangis.
Angannya kembali menyusut ke belakang pada
dua puluh lima tahun yang silam. Pada kejadian yang
sampai sekarang membekas di tubuhnya.
Kala itu seorang pemuda mengaku-aku sebagai
adik seperguruan datang ke gubugnya.
Pemuda itu sungguh tampan raut mukanya
hingga membuat bunga-bunga desa Wates banyak
yang senang. Mereka berusaha mengambil hati Loh
Gantra, namun sejauh itu Loh Gantra seperti berusaha
menolak.
Loh Gantra merupakan pemuda supel, ramah
tamah dan suka bergaul. Tak aneh jika Loh Gantra
banyak yang menyukai termasuk dirinya. Suatu hari
manakala mereka tengah berlatih ilmu silat, tiba-tiba
Loh Gantra bertanya: "Kakang ayu, bilakah kakang
ayu pernah jatuh cinta?"
Tersentak Sandi Antini mendengar pertanyaan
Loh Gantra hingga dengan segera ia menghentikan la-
tihannya.
"Apa maksud pertanyaanmu, Loh?"
"Tidak apa-apa, Kakang ayu. Aku hanya ber-
tanya," jawab Loh Gantra.
"Apakah kau tengah jatuh cinta, Loh?" Sejenak
Loh Gantra memandang ke arahnya dengan takut-
takut. Hal ini menjadikan Sandi Antini mengernyitkan
keningnya. Dan mana kala Loh Gantra mengangguk
lemah, Sandi Antini kembali bertanya.
"Bila kau merasakan cinta, apakah kau tahu
arti sesungguhnya dari cinta itu, Loh?"
Loh Gantra untuk kedua kalinya hanya me-
mandang pada Sandi Antini.
"Kenapa kau memandangku begitu, Loh? Apa-
kah kau baru sekali ini melihatku?"
Untuk ketiga kalinya Loh Gantra hanya terdiam
memandang tajam pada Sandi Antini, sepertinya Sandi
Antini merupakan orang asing di dalam benaknya. Hal
itu makin membuat Sandi Antini bingung.
"Loh, kau jangan membuat aku makin tak
mengerti. Kalau ada sesuatu yang ingin kau katakan
padaku, katakanlah!"
Mendengar ucapan Sandi Antini, seketika ke-
ringat dingin mengalir deras membasahi kedua peli-
pisnya. Matanya yang sedari tadi menatap tajam pada
Sandi Antini, seketika berubah redup. Dari sela-sela
sudut matanya, meleleh butiran-butiran kristal putih.
Trenyuh hati Sandi Antini melihat Loh Gantra
menangis, walau ia tak mengerti apa yang ditangisi
Loh Gantra, namun hatinya sebagai seorang wanita
mengerti apa yang dirasakan oleh adik seperguruan-
nya.
Dan oleh karena ia telah tahu hal sebenarnya
yang telah tersirat di hati Loh Gantra menjadikan pe-
rasaannya seketika menjerit. "Ampun Guru! Adakah
semua ini merupakan hukuman bagiku? Pantaskah,
kalau aku membiarkan adik seperguruanku menderita,
karena sesuatu yang kini berbunga di hatinya? Dan
apakah aku tak berdosa bila melayani cintanya?"
Walaupun hati kecilnya menjerit, namun seba-
gai seorang pendekar pantang baginya untuk menun-
jukkan hal sebenarnya. Maka dengan keteguhan prin-
sip, Sandi Antini pun kembali berkata.
"Katakanlah, Loh! Katakanlah! Siapakah bunga
yang telah menyentuh hatimu?"
Loh Gantra tak segera menjawabnya, malah
kembali ia memandang tajam pada Sandi Antini. Sete-
lah beberapa saat kedua kakak beradik seperguruan
itu saling pandang terdengarlah suara Loh Gantra le-
mah berkata: "Ampun, Kakang Ayu. Mungkin akulah
adik yang tak tahu diri. Kalau boleh adik berterus te-
rang, bunga yang telah menyentuh hatiku tak lain dan
tak bukan ayulah orangnya."
Bagai tersengat kala. Seketika Sandi Antini
membelalakkan matanya, walau ia sebenarnya telah
menyadari dari semula. Perasaannya sebagai seorang
wanita, menjadikannya merasa terharu. Kebimbangan,
terharu, senang, beraduk menjadi satu di hatinya. An-
tara perasaan di hatinya dengan, kenyataan, menjadi-
kan Sandi Antini bingung harus memilih. Maka hanya
dengan berlari pergi ke gubugnya yang dapat ia laku-
kan sebagai tumpuhannya.
Tercengang Loh Gantra melihat itu hingga ia
untuk sesaat hanya memandang dan memandang ke
pergian kakak seperguruannya. Setelah tersadar dari
ketidak mengertiannya, Loh Gantra segera mengikuti
langkah kakak seperguruannya, masuk ke dalam gu-
bug
Di dalam gubug ditemuinya Sandi Antini yang
tengah duduk merenung menunduk muka dan meno-
pang dagu. Perlahan Loh Gantra berjalan mendekat,
sampai-sampai tak terdengar langkah kakinya.
Dengan tangan yang agak bergetar karena ge-
metar, Loh Gantra lembut mengusap pundak Sandi
Antini. Namun begitu, usapan itu terasa juga oleh
Sandi Antini. Seketika Sandi Antini memandang ke
arah Loh Gantra yang tertunduk tak berani menantang
pandangannya.
"Kakang Ayu, apakah kakang ayu marah pada-
ku? Apakah salah bila aku mencintaimu, Kakang?"
tanya Loh Gantra perlahan, yang dijawab dengan ge-
lengan kepala oleh Sandi Antini. Perlahan namun pas-
ti, kedua kakak beradik seperguruan itu saling pan-
dang. Tak terasa benih cinta bertaburan di hati kedu-
anya. Walau hanya lewat tatapan mata, keduanya te-
lah mengerti segalanya. Mengerti apa dan untuk apa
mereka dipertemukan.
Lembayung senja telah merona, mengiringi la-
rian waktu bagaikan memburu. Meredup bayang-
bayang pepohonan, menyanyi riang burung pulang
kandang. Ketika perahu nelayan berlabuh, berlabuh
juga cinta di hati mereka.
* * *
Hari-hari mereka lalui bersama dengan segala
suka dan duka. Kesepian hati yang dulu mereka alami,
kini tak ada lagi, berubah menjadi tembang-tembang
dengan syair cinta.
Pagi itu keduanya tampak tengah berlatih silat,
maka kala terdengar suara suitan yang melengking ke-
ras. Suitan itu menggema di bebatuan, menjadikan
keduanya seketika menghentikan latihannya.
"Siapakah yang sepagi ini telah berbuat begitu,
Kakang Sandi?" tanya Loh Gantra, seraya matanya ta-
jam memandang pada arah asal suara itu.
"Entahlah... Tapi yang jelas orang itu hendak
berbuat jahat. Maka berhati-hatilah," jawab Sandi An-
tini, dengan siaga menghunus pedang dari sarungnya
yang tergantung di pinggang. "Hoi! Siapa Ki Sanak
yang sepagi ini telah bercanda?"
Tak ada jawaban yang terdengar, hanya desau
angin pagi saja yang bergesek dengan daun-daun
bambu. Membeliak mata Sandi Antini dan Loh Gantra,
demi tak ada jawaban dari orang yang bersuit.
"Suuiitt...!"
Untuk kedua kalinya terdengar suara suitan.
Loh Gantra yang berjiwa panas dengan penuh
kekesalan membentak: "Setan alas! Rupanya ia senga-
ja hendak mempermainkan kita!"
Srang!
Dihunusnya pedang. Dengan langkah mantap
bagaikan seorang prajurit perang yang gagah berani,
Loh Gantra bermaksud mendatangi asal suara itu ka-
lau saja Sandi Antini tak segera mencegahnya.
"Jangan, Loh!"
"Tapi mereka sangat keterlaluan, Kakang."
"Biarkan, apa yang hendak mereka mau."
"Keresek! Keresek!" Terdengar suara daun-daun
kering diinjak.
Sandi Antini seketika memasang telinganya ta-
jam-tajam mengintai. "Hem, ada sekitar sepuluh
orang," gumamnya dalam hati. Tangannya yang meng-
genggam pedang, senantiasa siap siaga
"Suuuiiittt!"
Suitan ketiga terdengar bersamaan dengan ber-
kelebatnya sosok-sosok tubuh dari balik semak-semak
yang langsung mengurung keduanya.
Terbelalak mata Sandi Antini dan Loh Gantra
mana kala melihat orang-orang bercadar seperti ninja.
Mata keduanya menatap tajam bagaikan hendak me-
nembus cadar-cadar yang menutupi wajah kesepuluh
orang yang mengurungnya.
"Siapa kalian!" membentak Sandi Antini.
Bukannya jawaban kata-kata yang diterima
Sandi Antini dari kesepuluh orang yang mengepung-
nya, namun jawaban dari pertanyaannya adalah kele-
batan babatan golok di tangan kesepuluh orang itu.
"Awas, Loh!" seru Sandi Antini, tatkala sebuah
golok berkelebat mengarah ke arah mereka. Dengan
gesit Loh Gantra segera berkelit menghindar. Namun
belum juga Loh Gantra menjejakkan kakinya di tanah,
orang yang tadi menebaskan golok kembali mencer-
canya. Dengan agak repot Loh Gantra berjumpalitan
mengandalkan saltonya untuk dapat menghindari se-
rangan itu.
Begitu ada kesempatan, Loh Gantra dengan se-
gera balik menyerang. Kaki dan tangannya berkelebat
dengan cepat, menghantam dan menendang musuh-
nya. Seketika terpentallah tubuh orang yang menye-
rang itu membentur pohon dengan kerasnya. Lalu mati
dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya.
Belum juga Loh Gantra dapat mengatur napas
seketika teman orang yang mati berkelebat dengan ce-
pat membabatkan golok ke arahnya.
Loh Gantra tersentak melototkan mata marah.
Hampir saja kepalanya tertebas golok, kalau saja Loh
Gantra tidak segera merunduk.
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mam-
pus!" memaki Loh Gantra setelah terlepas dari maut.
Bagaikan banteng ketaton, Loh Gantra melesat mener-
jang orang itu.
Sementara itu, Sandi Antini yang dikeroyok
tampak bagaikan tak kerepotan melayani serangan-
serangan musuhnya. Tubuhnya yang ramping berkele-
bat-kelebat menghindari serangan yang dilancarkan
oleh musuh-musuhnya.
"Siapa kalian! Jangan sampai kalian mati den-
gan tanpa nama!"
Namun seperti semula, bukannya kata-kata ja-
waban dari pertanyaannya, melainkan tebasan dan tu-
sukan golok. Kesabaran Sandi Antini seketika hilang,
berubah menjadi kegusaran merasa ucapannya tak di-
gubris oleh orang-orang bercadar itu. Dengan menden-
gus terlebih dahulu, Sandi Antini segera balik menye-
rang dengan Pedang Dewi di tangannya.
Bagaikan Dewi Kematian, setiap kelebatan pe-
dang di tangan Sandi Antini menjadikan jerit kematian
yang melolong panjang. Jurus-jurus Pedang Dewi yang
dimainkan Sandi Antini begitu cepat. Musuh-
musuhnya kelabakan bingung, manakala pedang di
tangan Sandi Antini bergulung cepat laksana kincir.
Sebuah sinar putih berkilauan keluar dari pedang yang
tertimpa sinar matahari, menyilaukan mata musuh-
musuhnya.
Tercengang orang-orang bercadar itu menyak-
sikan permainan pedang Sandi Antini. Hal itu tidak
disia-siakan oleh Sandi Antini yang dengan segera
membabatkan pedangnya. Maka seketika itu jerit ke-
matianpun kembali menggema.
"Aaaaahhhhhh!"
Dalam sekejap dua orang bercadar itu ambruk
dengan leher puntung dari tubuhnya, terbabat oleh
Pedang Dewi. Bergidik keempat orang bercadar lainnya
menyaksikan hal itu. Namun belum sempat mereka
berbuat apa-apa, pedang di tangan Sandi Antini kem-
bali berkelebat dan kembali meminta nyawa. Kembali
dua orang lainnya ambruk dengan keadaan seperti ke-
dua temannya yang terdahulu, putung kepalanya dan
mati.
Kedua orang yang masih hidup hendak melari-
kan diri, ketika dengan segera Sandi Antini merogoh
sesuatu dari balik bajunya. Secepat kilat dari tangan
Sandi Antini mendesing benda-benda kecil, memburu
dua orang yang tengah berlari.
"Aaaaaahhhh...!"
Ambruk seketika kedua orang itu dengan tubuh
membiru bagaikan kena racun, jarum-jarum kecil me-
nancap di pundak mereka. Tersenyum puas Sandi An-
tini melihat hasil yang diperolehnya, lalu dengan santai
dihampiri Loh Gantra yang juga telah membereskan
musuh-musuhnya.
"Siapa kira-kira mereka ini, Kakang?" tanya Loh
Gantra sembari menjejakkan kaki ke tubuh musuhnya
yang telah mati.
"Dilihat dari pakaian mereka adalah anak buah
Tongkat Putih. Tapi aku tak yakin kalau Tongkat Putih
yang melakukan ini semua," jawab Sandi Antini ragu,
menjadikan Loh Gantra seketika memandangnya den-
gan kening berkerut.
"Maksud, Kakang?"
"Aku rasa ada orang yang sengaja ingin menga-
du domba."
"Siapakah kira-kira orang tersebut, Kakang?"
"Entahlah. Setahuku, aku tak punya musuh.
Namun entah memang ada seseorang yang sengaja
memusuhiku dengan maksud-maksud tertentu."
"Mungkin ada orang yang tahu kalau kakang
Ayu memiliki kitab Selendang Ungu," berkata Loh Gan-
tra yang seketika itu membuat Sandi Antini membela-
lakkan mata kaget.
"Bagaimana mungkin Loh Gantra mengerti ka-
lau aku mempunyai kitab Selendang Ungu? Apakah
guru menceritakannya?" bertanya-tanya hati Sandi An-
tini. Matanya yang lentik dengan bulu mata panjang-
panjang, menatap tajam tak berkedip pada Loh Gantra
yang seketika tertunduk.
Merasa dipandang begitu rupa oleh Sandi Anti-
ni, Loh Gantra mengeluh dalam hati. "Ah, kenapa aku
mengatakannya? Sungguh bodohnya aku. Kalau Sandi
Antini mengerti bahwa aku sebenarnya bukan adik se-
perguruannya. Gagallah segala rencanaku untuk me-
rebut Kitab Selendang Ungu dari tangannya. Kenapa
Nyi Mayang Sari belum datang-datang?"
"Loh, apakah guru telah mengatakannya pada-
mu bahwa aku mempunyai kitab Selendang Ungu?"
Tersentak Loh Gantra ditanya seperti itu. Den-
gan mata terbelalak, Loh Gantra menjawab dengan
terbata-bata. "Be, benar."
"Hai! Kenapa kau, Loh? Sepertinya kau kaget?"
tanya Sandi Antini seraya menyipitkan mata, manaka-
la mendengar ucapan Loh Gantra yang tergagap seperti
ketakutan.
"Mati aku!" mengeluh Loh Gantra dalam hati,
namun dengan segera dicobanya untuk tenang. Den-
gan bibir mencoba tersenyum, Loh Gantra berkata:
"Ah, tidak! Aku hanya terpana dengan kecantikan ka-
kang ayu saja, hingga aku begitu gugup mana kala ka
kang ayu bertanya padaku."
"Ah! Kau bisa saja, Loh," mendesah Sandi Anti-
ni dengan bibir terurai senyum. Hal itu menjadikan
Loh Gantra tenang kembali hatinya. Maka dengan se-
gera, kembali Loh Gantra berucap menjadikan Sandi
Antini hanya mampu mengeluh. Tak kuasa mendengar
ucapan Loh Gantra yang begitu membuatnya terlena.
"Benar, Kakang Ayu. Sungguh aku berkata se-
benarnya Kakang ayu memang cantik jelita."
"Ah, Loh...!"
Bagaikan seorang anak kecil yang ditimang,
Sandi Antini segera mendekati Loh Gantra. Dan den-
gan penuh perasaan direbahkannya kepala di pundak
Loh Gantra yang menerimanya dengan bibir terse-
nyum, walau hatinya berkata lain. "Hem, masuklah
kau dalam perangkapku. Orang bodoh! Maka aku mau
denganmu yang janda?"
Dibimbingnya Sandi Antini, berjalan menuju ke
dalam gubug dengan bercanda ria keduanya saling
memadu kasih.
***
DUA
Ketika senja hari telah tiba dan bias merah
menggambar di langit sebelah barat, Loh Gantra berja-
lan mengendap-endap, pergi meninggalkan gubug yang
mereka tempati.
Setelah celingukan sesaat, Loh Gantra segera
berkelebat pergi dengan menggunakan ilmu larinya.
Sesekali ia kembali menengok ke belakang, lalu
kembali berlari mana kala dilihatnya tak ada orang
yang mengikutinya.
"Ku harap Sandi Antini tidak segera bangun,"
berkata Loh Gantra dalam hati sembari mempercepat
larinya. Selang tak beberapa lama kemudian, Loh Gan-
tra telah sampai pada sebuah gubug dekat kali yang
berada di dalam hutan Cemara Sundul.
"Sampurasun... Nyi!"
"Rampes! Kaukah itu, Loh?" terdengar suara
wanita menyahuti.
"Benar, Nyi," jawab Loh Gantra.
Tak berapa lama antaranya, seorang wanita se-
tengah baya nampak keluar dari gubug. Bibirnya teru-
rai senyum, memandang genit pada Loh Gantra.
"Ayo, masuk!" mengajak wanita yang bernama
Nyi Mayang Sari, diikuti oleh Loh Gantra di belakang-
nya. Lalu dengan segera ditutupnya pintu bilik yang
meninggalkan suara berderit.
"Apakah kau telah mengetahui, di mana ia me-
nyimpan kitab itu, Loh?" tanya Nyi Mayang Sari.
"Belum, Nyi."
"Bodoh! Kenapa kau begitu lama? Apa saja
yang kau kerjakan di sana? Apakah kau hanya berme-
sra-mesraan dengan dia saja hingga kau lupa pada tu-
gasmu?" mendengus Nyi Mayang Sari penuh kekece-
waan dan rasa cemburu.
"Ah, Nyi. Kenapa kau begitu cemburu?"
"Aku tidak cemburu, Loh. Tapi kalau kau terje-
rat olehnya, bagaimana mungkin kau akan menjalan-
kan rencana kita dengan baik? Kau mesti ingat, bahwa
dia masih begitu cantik walau usianya sama dengan-
ku. Aku khawatir kau lalai dengan tugasmu," berkata
Mayang Sari, menjadikan Loh Gantra tersenyum-
senyum sendiri. Di peluknya tubuh Mayang Sari, men-
jadikan Mayang Sari terdiam.
"Jangan khawatir, Nyi. Percayalah padaku,
bahwa aku hanya mencintaimu seorang," bisik Loh
Gantra di telinga Mayang Sari yang seketika menatap-
nya penuh arti. Tak berapa lama kemudian kedua
orang itu akhirnya terlarut dalam alunan cinta bersa-
ma dengan datangnya malam.
Entah apa yang keduanya lakukan yang pasti
hanya desah-desah, dan lenguhan Nyi Mayang Sari
memecah keheningan.
Tak berapa lama setelah keduanya hening, ter-
dengar kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Hati-hati,
Loh. Jangan kau sampai terperangkap olehnya. Ingat!
Rencana kita untuk mendapatkan Kitab Selendang
Ungu, harus berhasil."
"Baik, Nyi. Kapankah kau akan datang?" tanya
Loh Gantra yang tampak dengan terburu-buru membe-
tulkan celananya, hingga mau tak mau Nyi Mayang
Sari yang melihatnya tersenyum geli. "Aku pergi dulu,
Nyi."
"Ya... Aku akan datang ke tempatmu bila kau
telah mendapat keterangan mengenai Kitab tersebut,"
menjawab Nyi Mayang Sari.
Dengan segera Loh Gantra berkelebat pergi,
meninggalkan Nyi Mayang Sari yang mengikuti keper-
giannya dengan senyum mengembang di bibir.
Sandi Antini yang baru terjaga dari tidur ter-
sentak kaget mana kala dilihatnya Loh Gantra tak ada.
Dengan segera Sandi Antini bergegas bangkit dari ti-
durnya, berjalan menuju keluar mencari Loh Gantra.
Sesampainya di luar, dilihatnya Loh Gantra tengah
duduk-duduk melamun seorang diri dalam gelapnya
malam.
"Sedang apakah kau di luar malam begini,
Loh?" tanya Sandi Antini sembari berjalan menghampi
ri Loh Gantra.
Bagaikan tersentak kaget, Loh Gantra segera
menengok sembari lemparkan senyum. "Ah, rupanya
kakang ayu. Kaget aku dibuatnya. Sudah puaskah ti-
durnya?"
"Ooh... puas sekali, Loh," mendesah Sandi An-
tini. "Dari mana kau, Loh?"
"Dari tadi aku di sini, Kakang. Sengaja aku du-
duk-duduk di sini menunggui kakang ayu yang tengah
tidur. Aku khawatir kalau-kalau ada orang yang meng-
ganggu kakang ayu," berkelakar Loh Gantra menjadi-
kan Sandi Antini mesem tersipu-sipu.
"Apa yang kau takuti dengan diriku, Loh? Bu-
kankah aku sudah tua? Mana mungkin ada orang
yang mau mengusikku?" tanya Sandi Antini manja
dengan senyum makin melebar di bibirnya.
"Tidak demikian, Kakang. Aku rasa kakang ayu
masih begitu mempesona. Mungkin kalau orang yang
tak mengerti, akan menyangka kakang ayu masih be-
rusia belasan tahun."
Mendengar ucapan Loh Gantra yang men-
dayu-dayu, seketika merona merahlah kedua pipi San-
di Antini. Matanya berkaca-kaca dengan bibir mende-
cap-decap seakan sengaja dipermainkan. Dari mulut-
nya yang mendecap-decap terdengar desahannya yang
lembut. "Ooh, sungguh aku bagaikan hidup di Surga
mendengar ucapan-mu, Loh."
Tersenyum Loh Gantra dalam hati, melihat
Sandi Antini telah dapat ia ambil hatinya. Hati Loh
Gantra yang memang mempunyai maksud lain, berka-
ta sendiri penuh kebencian. "Hem, rupanya dengan ja-
lan begini kau dapat ditundukkan. Kau akan tahu
sendiri nanti, siapa aku se-benarnya"
"Aku rasa, ucapanku hanyalah pernyataan
yang ada di hatiku. Mungkin lelaki lainpun akan sama
mengatakannya seperti apa yang aku katakan," berka-
ta Loh Gantra, makin membuat Sandi Antini seketika
angannya melayang bagaikan terbang. Ia tak menyada-
ri siapa sebenarnya Loh Gantra, dan apa sebenarnya
yang dituju.
Karena terlalu mabuk oleh sanjungan, Sandi
Antini tak dapat lagi mengontrol dirinya. Dengan man-
ja direbahkannya kepala ke dada Loh Gantra yang
hanya dia menerimanya.
Meski di bibir terurai senyum, tapi mimik Loh
Gantra sebenarnya dapat dibaca kalau sebenarnya dia
memendam perasaan permusuhan. Senyumnya meru-
pakan senyum sinis yang sengaja dibuat-buat untuk
menutupi perasaan lain. Tatapan matanya. sebenarnya
tatapan mata melotot. Beruntung mata Loh Gantra
agak lebar hingga hal itu tidak dapat kentara. Dan
mana kala Sandi Antini memandang ke wajahnya, ce-
pat-cepat Loh Gantra segera membuang muka pura-
pura memandang ke langit di mana bulan terpampang
terang.
"Loh, sungguh indah malam ini. Apalagi bulan
bersinar terang."
"Ya, seterang dan secantik wajahmu, Kakang."
"Ah, kau Loh. Mana mungkin wajahku yang je-
lek ini disamakan dengan bulan? Bukankah Bulan itu
tanda kecantikan, Loh?" tanya Sandi Antini manja.
"Kenapa kau hanya memandang ke Angkasa? Apakah
kau tak senang melihat wajahku, Loh?"
Tersentak Loh Gantra seketika demi mendengar
pertanyaan Sandi Antini yang tak disangka-sangka.
Matanya sesaat membeliak, lalu dengan mencoba ter-
senyum, Loh Gantra berkata terbata-bata.
"Ah, ti-tidak! Aku suka memandang wajahmu,
Kakang. Tapi aku takut kalau-kalau kau marah."
"Ah, Loh," mendesah Sandi Antini sembari tan-
gannya dilingkarkan ke leher Loh Gantra. Mau tak
mau, akhirnya Loh Gantra harus menurut menatap
wajah Sandi Antini. Perlahan namun pasti, wajah ke-
duanya semakin dekat dan dekat yang akhirnya me-
nyatu.
Tengah keduanya melakukan ciuman, seketika
keduanya tersentak oleh suitan.
"Suiiiitttt...!"
Dengan seketika keduanya memandang ke re-
rumputan bambu yang berada di depannya, seraya
melepaskan pelukan mereka.
"Suiiiittt...!"
Kembali terdengar suitan untuk kedua kalinya
hingga membuat Sandi Antini segera bangkit dan me-
mandang tajam dengan pedang siap di tangannya.
Dengan mata memandang waspada pada re-
rumputan bambu, membentak Sandi Antini seketika
itu: "Siapa kau!"
"Ha, ha, ha...! Inikah pendekar wanita yang ke-
sohor dengan julukan Pendekar Pedang Dewi? Hem,
ternyata tak lebihnya dari seorang wanita liar yang su-
ka pada lelaki muda," mengejek suara wanita, bersa-
maan dengan berkelebat sesosok tubuh pemilik suara
tersebut. Di belakangnya lima belas orang lainnya
membuntuti.
Terbelalak Sandi Antini seketika, mana kala
melihat kehadiran orang-orang itu. Matanya meman-
dang tajam, sementara pedangnya telah tergenggam di
tangan. Ketika Sandi Antini menengok ke Loh Gantra,
betapa ia sangat kecewa, Loh Gantra yang mengaku-
aku sebagai adik seperguruannya dan telah merebut
hatinya, ternyata kini tersenyum sinis padanya. Den
gan geram, Sandi Antini pun memaki-maki.
"Iblis! Ternyata kau sengaja menjebakku, Loh!
Tak kusangka, kalau kau ternyata ular berbisa!"
Mata Sandi Antini melotot, nafasnya naik turun
menahan gejolak amarah. Bagaikan orang tak bersa-
lah, Loh Gantra seketika menderai tawa sembari ber-
kata mengejek. "Ha, ha, ha.... Sandi Antini. Sekarang
kau telah tahu siapa aku sebenarnya. Nah, katakanlah
di mana kau sembunyikan Kitab Selendang Ungu!"
"Setan alas! Jangan kalian kira aku mudah di-
gertak. Langkahi dulu mayatku, Hiat...!"
Tak terbendung lagi kemarahan Sandi Antini
yang dengan seketika berkelebat menyerang Loh Gan-
tra. Marah karena ternyata mereka menghendaki Kitab
Selendang Ungu, juga marah karena merasa telah diti-
pu mentah-mentah oleh Loh Gantra pria yang telah
dapat mengambil hatinya setelah kematian suaminya
si Pedang Dewa.
Loh Gantra yang sudah mengetahui kehebatan
ilmu pedang Dewi hatinya merasa gentar juga. Dengan
hati-hati sekali, Loh Gantra mengelakkan tusukan pe-
dang yang dilancarkan oleh Sandi Antini.
"Ut! hampir aku menjadi korban," mengeluh
Loh Gantra dalam hati.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya, Loh Gantra segera melompat mundur dan
berseru pada orang bercadar yang seketika menyerang
Sandi Antini. "Serang...!"
Berloncatan kelima belas orang bercadar men-
gepung Sandi Antini, yang kemarahannya telah me-
muncak tak dapat dibendung lagi. Sebelum kelima be-
las pengeroyoknya beraksi, Sandi Antini segera men-
dahuluinya. Pedang di tangannya berkelebat dengan
cepat menimbulkan desingan-desingan yang meme
kakkan telinga, membuyarkan konsentrasi penge-
royoknya. Maka tanpa ampun lagi, pedang di tangan
Sandi Antini bagaikan Malaikat pencabut nyawa. Se-
tiap kebatannya, mengundang pekik kematian yang
disusul dengan robohnya dua orang musuhnya. Kepala
kedua orang yang terbabat pedang di tangan Sandi An-
tini, menggelinding lepas dari tubuh mereka.
Terbelalak mata wanita yang berdiri berdam-
pingan dengan Loh Gantra, melihat kenyataan di ha-
dapan matanya. "Sungguh ilmu pedang yang sangat
dahsyat. Baru kali ini aku melihat ilmu pedang yang
begitu dahsyat. Sukar diikuti gerakannya karena sak-
ing cepat," membatin wanita itu.
"Percuma kita buang-buang waktu saja, Loh.
Aku rasa, mereka tak akan mampu menghadapinya,"
berkata wanita itu pada Loh Gantra yang tampaknya
juga tengah menghadapi keragu-raguan.
"Apa yang mesti kita lakukan?" tanya Loh Gan-
tra, demi mendengar ucapan Nyi Mayang Giri. Matanya
terus memandang pada perkelahian itu, seperti takjub
melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang dilakukan
Sandi Antini. Kebimbangan di hatinya kembali timbul,
manakala untuk kedua kalinya ia melihat kelebatan
cepat yang dilakukan oleh Sandi Antini.
Berbareng dengan habisnya pekikan Sandi An-
tini, kembali dua orang anak buahnya ambruk dengan
kepala puntung. Hal itu makin menjadikan rasa tak
percaya diri Loh Gantra, yang di hatinya telah berdesir
kebimbangan dan keragu-raguan.
"Mampukah aku menghadapinya? Ah, sungguh
luar biasa."
"Kita tak akan mampu mengalahkannya, Nyi!"
berkata Loh Gantra putus asa.
"Heh, kenapa kau begitu pesimis, Loh?" terhe
ran-heran Nyi Mayang Sari mendengar ucapan Loh
Gantra. Matanya memandang tajam pada Loh Gantra,
dengan kening tampak mengerut. "Kenapa kau ini,
Loh? Kau takut?"
Loh Gantra hanya mengangguk lemah bagaikan
tak bersemangat.
Matanya memandang pada Nyi Mayang Sari
seakan meminta pengertian. Namun Nyi Mayang Sari
sepertinya tak mau tahu.
"Kalau kau penakut, kenapa kau tak jadi banci
saja?"
"Nyi..." Loh Gantra hendak memprotes, ketika
Nyi Mayang Sari telah mendahului berkata lagi;
"Jangan banyak omong! Kalau kau memang ta-
kut menghadapinya, maka aku sendiri yang akan
menghadapinya." Tanpa dapat dicegah, Nyi Mayang
Sari telah berkelebat menyerang Sandi Antini. Mau tak
mau, Loh Gantra pun akhirnya turut menyerang Sandi
Antini.
"Bagus! Rupanya kalian masih memiliki rasa
belas kasihan hingga tak sia-sia anak buah kalian mati
di tanganku. Nah, karena kalian telah turun, maka ka-
lianlah sebagai pengganti mereka. Hiaatt...!" Berbareng
dengan habis ucapannya, Sandi Antini segera berkele-
bat dengan pedang di tangannya menyerang Loh Gan-
tra dan Nyi Mayang Sari.
"Ut...! Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra mempe-
ringatkan Nyi Mayang Sari yang dengan segera menge-
lakkan serangan Sandi Antini, sembari mendengus
marah.
"Huh, Setan alas! Hampir saja aku dibikin
sate!"
Belum juga keduanya dapat mengatur napas,
dengan segera Sandi Antini kembali menyerang. Pe
dang di tangannya bergerak dengan cepat berdesing-
desing mengarah pada kedua musuhnya yang dengan
segera berkelebat menghindar. Namun tak ayal, anak
buah merekalah yang menjadi penggantinya. Enam
orang yang tengah berdiri tertegun menyaksikan perta-
rungan itu, tak mampu mengelakkan serangan Sandi
Antini yang begitu cepat tanpa dapat diduga.
"Bedebah! Karena kau telah membunuh anak
buahku, maka sebagai balasannya kau harus mati!
Bersiaplah! Hiat...!" mendengus Nyi Mayang Sari ma-
rah, dengan segera berkelebat memapaki serangan
Sandi Antini dengan jurus-jurus Gagak Hitamnya.
Melihat, kambratnya telah menyerang, Loh
Gantra yang semula ragu segera berkelebat membantu
dengan jurus Lutungnya. Perpaduan jurus Gagak Hi-
tam Mematuk Cacing dengan jurus Lutung Memetik
Buah begitu serasinya. Gerakan-gerakan keduanya si-
lih berganti, membuat Sandi Antini nampak kebingun-
gan. Jurus-jurus pedangnya terkecoh, oleh gerakan-
gerakan kedua musuhnya yang begitu cepat dan keras.
"Ah...!" memekik Sandi Antini sembari melom-
pat mundur, mana kala dirasakannya samberan tan-
gan Nyi Mayang Sari ke arah perutnya.
Namun tak urung bajunya terobek pada bagian
perutnya. Sobekan kain itu begitu lebarnya, menjadi-
kan perut Sandi Antini nampak. Dengan berusaha me-
nutupi lobang bajunya, Sandi Antini membentak sem-
bari menyerang.
"Bedebah! Jangan harap kalian akan mampu
mendapatkan kitab itu. Hiat...!"
Dengan tangan kiri memegangi sobekan kain di
perutnya, Sandi Antini yang marah menyerang mem-
babi buta dengan pedang Dewinya. Hal itu menjadikan
serangan-serangannya ngawur dan tak terarah lagi
membuat kedua musuhnya dengan mudah mengecoh
serangannya, bahkan kini dia sendiri yang terdesak.
"Menyerahlah! Dan berikan kitab Selendang
Ungu itu pada kami, maka kami akan mengampuni-
mu!" berseru Loh Gantra nampak berani, setelah dapat
mendesak Sandi Antini.
"Benar! Serahkan kitab itu pada kami, maka
kami akan mengampuni nyawamu," menambahkan Nyi
Mayang Sari dengan senyum sinis, dan terus mende-
sak Sandi Antini yang makin mundur.
"Pantang bagiku untuk menyerah sebelum
menjadi mayat. Hiat...!"
Sandi Antini mencoba mendobrak desakan me-
reka, tapi bagaikan karang, keduanya nampak tak ter-
goyahkan. Bila Sandi Antini menyerang, keduanya se-
gera memencar hingga Sandi Antini hanya menusuk
angin belaka. Dan bila serang Sandi Antini telah berla-
lu, maka keduanya dengan bergantian balik menye-
rang.
"Iblis! Terpaksa aku harus mengadu jiwa den-
gan mereka" membatin Sandi Antini. Maka dengan pe-
nuh kenekadan dan spekulasi, Sandi Antini kembali
menyerang. Kali ini makin dipercepat jurus-jurusnya,
hingga pedang di tangannya bergerak begitu cepat
membentuk gulungan sinar putih menderu-deru me-
nyerang kedua musuhnya.
"Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra memperin-
gatkan pada kambratnya, yang hampir saja lengah
termakan serangan tipuan yang dilancarkan Sandi An-
tini.
Tersentak Nyi Mayang Sari manakala pedang
Sanci Antini berkelebat dengan cepat ke arahnya. Den-
gan segera diegoskan tubuhnya ke samping, pedang
itu dapat dielakkannya dan hanya berjarak sekuku jari
saja lewat di samping kirinya. Namun betapa terkejut
dan marahnya Nyi Mayang Sari seketika itu, ketika di-
rasakannya hawa dingin menyentak kulit perutnya.
Ketika ia melihat ke bagian perut, tampaklah pakaian-
nya robek lebar. Geramlah Nyi Mayang Sari seketika,
lalu dengan mendengus ia pun segera balik menye-
rang.
"Huh, perempuan tak tahu diri. Mampus saja
kau. Hiat...!"
Sandi Antini yang saat itu tengah mencecar Loh
Gantra, tak menyangka kalau Nyi Mayang Sari menye-
rangnya. Maka ketika dirasakan hembusan angin di
belakangnya, Sandi Antini segera tebaskan pedang ke
belakang. Namun hal itu menjadikan fatal baginya, se-
bab Loh Gantra yang telah mengetahui gerakannya se-
gera mendahului menyerang.
"Hiaaattt...!"
Tendangan Loh Gantra yang begitu cepat dan
keras, tak mampu lagi ditangkis atau dielakannya.
Maka tak ayal lagi, tubuh Sandi Antini seketika me-
layang jatuh ke dalam jurang yang telah menganga di
belakangnya dengan meninggalkan lengkingan pan-
jang.
"Aaaaahhhhh...!!!"
Tercenung keduanya memandang ke bawah ju-
rang yang dalam, yang telah menelan tubuh Sandi An-
tini. Setelah sesaat keduanya hanya terdiam, terdengar
kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Loh, apakah kau
tahu di mana ia menyimpan kitab itu?"
"Tidak, Nyi. Aku belum menanyakannya ketika
kau tiba-tiba datang." kata Loh Gantra, membuat Nyi
Mayang Sari tampak kecewa.
"Percuma usaha kita, Loh!"
"Belum, Nyi. Mari kita geledah gubugnya," ber
kata Loh Gantra mengajak, yang dengan segera diikuti
oleh Nyi Mayang Sari dan sisa-sisa anak buahnya yang
masih hidup. Mereka pun dengan segera menggeledah
setiap pelosok rumah itu, dengan harapan Kitab Se-
lendang Ungu berada di situ. Namun sejauh mereka
menggeledah, tak ditemukannya apa yang mereka cari.
Hingga dengan penuh kekecewaan, dibakarnya
gubug itu oleh mereka yang segera pergi meninggalkan
tempat itu dengan perasaan kecewa.
***
TIGA
PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH atau
Jaka Ndableg saat itu tengah berlari menuju ke arah
Timur, dalam usahanya memburu gerombolan Loreng
Ireng yang telah merajalela sejak kepergian sahabatnya
yaitu Sandi Antini yang bergelar Pendekar Pedang De-
wi.
"Hem, ke mana sebenarnya Sandi Antini? Apa-
kah mungkin ia sengaja menghilang? Ah, aku tak ya-
kin kalau dia menghilang, tentu ada apa-apa yang ter-
jadi," bergumam Jaka Ndableg sembari terus berlari.
Karena menggunakan ajian Angin Puyuh, Pendekar ki-
ta Jaka Ndableg tak begitu lama kemudian telah sam-
pailah di desa Wates. Dicarinya gubug yang dulu men-
jadi tempat kediaman Sandi Antini, namun kini gubug
itu telah tak ada.
"Hem, mungkin ini juga perbuatan orang-orang
Loreng Ireng. Sungguh perbuatan biadab!" menggera-
tak hati Jaka, demi dilihatnya pondok sahabatnya te-
lah rata dengan tanah habis terbakar.
Ketika Jaka tengah termenung sendirian den-
gan memandangi bekas gubug Sandi Antini, tiba-tiba
terdengar olehnya desingan anak panah mengarah ke
arahnya. Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa,
bersalto untuk menghindari serangan tersebut.
"Kupret! Rupanya ada tikus-tikus di sini. Hei...
Ke luar kalian!" membentak Jaka marah.
Namun jawaban dari bentakannya, adalah ke-
lebatan pukulan anak panah yang kembali menderu-
deru menyambut tubuh Jaka yang hendak injakkan
kaki di atas tanah. Hal itu menjadikan Jaka gusar dan
marah, "Monyet...! Ke luar kalian, atau aku bumi han-
guskan tempat kalian dengan api. Hah...!"
Mendengar bentakan Jaka, seketika lima belas
orang berkelebat ke luar dari semak-semak rumpun
bambu. Kelima belas orang itu mukanya tertutup ca-
dar, persis Ninja. Melihat hal itu, Jaka yang dasarnya
ndableg hanya tertawa seraya berkata:
"Wow... Rupanya aku mendapat sambutan dari
orang-orang yang sok ikut-ikutan kaya orang asing.
Apa kabar Ninja-ninja edan?"
"Slompret...! Rupanya kau pun ingin seperti
temanmu yang telah terjatuh ke dalam jurang," meng-
geretak pimpinan orang-orang bercadar, menjadikan
Jaka seketika melototkan mata bercampur marah demi
mendengar keterangan pimpinan orang bercadar itu.
"Setan alas, jadi kaliankah yang telah membuat
kerusuhan dan sekaligus membunuh sahabatku. Baik,
mari kita main-main sesaat! Bersiaplah. Hiat...!"
Jaka yang telah marah manakala mendengar
bahwa Sandi Antini telah diperdayai oleh mereka, me-
nyerang dengan tak memberi kesempatan sekalipun.
Darahnya sangat mendidih, laksana Kawah Chandra
Bilawa tempatnya memperoleh Pedang Siluman Darah.
"Serang...!" berseru pimpinan orang-orang ber-
cadar, yang seketika dijalani oleh keempat belas anak
buahnya. "Jangan biarkan Pendekar Edan ini lolos.
Bunuh bila perlu!"
"Enak saja kalian ngebacot! Apakah kalian ini
kue lezat? Nih, kue untukmu..." Jaka segera kibaskan
tangan yang menutup jari-jarinya ke arah salah seo-
rang pengeroyoknya.
Karena saking cepatnya gerakan Jaka, sampai-
sampai musuh yang dicerca tak mampu untuk menge-
lakkannya. Hal itu menjadikan tangan Jaka yang diali-
ri tenaga dalam, tepat menyodok mulutnya. Seketika
menjeritlah orang itu, mulutnya mengeluarkan darah
dengan gigi-giginya rontok.
"Siapa lagi yang mau kue molen?" berkata Jaka
ngebanyol.
"Setan! Kau harus membayar atas kematian sa-
lah seorang anak buahku!"
"Oh... Rupanya kau pimpinannya. Nah, untuk
kalian yang tinggal empat belas akan aku hadiahkan.
Ini...!" Bersamaan dengan ucapannya Jaka segera han-
tamkan bogem mentahnya. Semua musuh-musuhnya
tersentak dan berusaha tebaskan golok, namun sece-
pat itu pula Jaka tarik kembali tangannya dan sodok-
kan kakinya. Melengking tiga orang musuhnya, ter-
hantam anunya oleh kaki Jaka. Ketiga orang itu ber-
putar-putar, sembari memegangi telor mereka yang
bagaikan remuk.
"Aduhhh... Telorku pecah...!"
Jaka tertawa bergelak-gelak melihat ketiga
orang pengeroyoknya menggerung-gerung menahan
sakit, lalu ambruk pingsan. Orang-orang yang lainnya,
terbengong kaget. Melihat hal itu, Jaka tidak menyia-
nyiakan waktu. Dengan cepat dihantamnya kesebelas
musuhnya dengan tangan yang telah dialiri tenaga da-
lam membuat kesebelas musuhnya tersentak dan be-
rusaha mengelak. Namun ternyata serangan Jaka lebih
cepat hingga tak ayal lagi mereka seketika menjerit,
ambruk dengan darah meleleh dari sela-sela mulutnya.
Sesaat Jaka memandang tubuh-tubuh mereka,
lalu dengan segera Jaka pun berkelebat pergi mening-
galkan tempat itu untuk mencari keberadaan teman-
nya Sandi Antini yang kata mereka terjatuh ke dalam
jurang.
***
Setelah sekian lama pingsan dalam jurang,
Sandi Antini akhirnya sadar. Dibukanya mata lebar-
lebar dan tampaklah olehnya pemandangan yang tera-
sa asing.
"Oh, apakah aku telah mati?" tanya Sandi Anti-
ni dalam hati.
Kembali ia memandang sekelilingnya, yang
tampak hanyalah hamparan rumput menghijau. Di sisi
kanannya ia tergeletak, tampak sebuah telaga yang
jernih airnya.
"Di manakah aku? Apakah aku kini berada di
Surga?"
Dicubitnya lengan tangannya keras-keras.
"Ooh! Sakit. Berarti aku masih hidup." Dengan
merangkak-merangkak Sandi Antini berusaha mende-
kat ke telaga di sampingnya. Dicobanya untuk bangkit,
namun seketika itu ia menjerit karena punggungnya
terasa sakit. Hingga Sandi Antini pun akhirnya am-
bruk lagi.
"Ooh, kenapa dengan punggungku?"
Diraba punggungnya. Seketika itu pula Sandi
Antini menjerit manakala mendapatkan punggungnya
kini tak rata lagi.
"Tidak! Aku tidak mau bungkuk! Hu, hu, hu!"
Sandi Antini pun seketika itu menangis, meratapi di-
rinya. Mungkin karena lelah menangis atau karena te-
kanan jiwanya yang dahsyat akhirnya ia kembali ping-
san.
Ketika Sandi Antini kembali sadar dan membu-
ka matanya ia terkejut manakala mendapatkan dirinya
telah berada di sebuah gubug. Matanya yang bengkak
akibat terlalu banyak menangis memandang bingung
pada seluruh ruangan rumah gubug itu.
"Di mana pula aku ini?"
Ketika Sandi Antini tengah dilanda kebingun-
gan tentang di mana dirinya kini berada. Tampak seo-
rang lelaki tua berjalan masuk dan tersenyum ke
arahnya.
"Siapakah kakek ini?" tanya Sandi Antini, yang
dijawab dengan senyuman oleh si kakek. Lalu dengan
senyum masih melekat di bibirnya si kakek berjalan
menghampiri pembaringan Sandi Antini.
"Tiga hari tiga malam kau pingsan, Nak. Siapa-
kah dirimu? Dan kenapa kau berada di bawah ju-
rang?"
"Nama saya Sandi Antini, Kek. Saya terjatuh ke
jurang karena saya tak dapat menghindari serangan
musuh," menjawab Sandi Antini dengan air mata ber-
linang menjadikan kakek itu turut terharu, hingga ma-
ta tuanya yang sipit itu tampak berkaca-kaca.
"Kalau begitu kau habis berkelahi, Nak?"
"Benar, Kek," menjawab Sandi Antini. "Aku di-
keroyok oleh mereka, yang menginginkan kitab Selen-
dang Ungu. Mulanya aku mampu mengimbangi seran-
gan-serangan mereka. Namun ternyata mereka berilmu
cukup tinggi dan licik."
Kakek itu tampak mengangguk-anggukan kepa-
la memandang dengan mata berkaca-kaca. Dipan-
dangnya Sandi Antini yang nampak meringis menahan
sakit di punggungnya, hatinya membatin. "Kasihan
anak ini, ia akan cacat seumur hidupnya. Sungguh-
sungguh perbuatan yang keji."
"Nak, mungkin sudah menjadi suratan takdir
kalau kau harus menerima kenyataan ini. Ketahuilah
olehmu, bahwa kau akan menjadi bungkuk. Aku telah
berusaha mengobatinya namun ternyata tak mampu,"
berkata kakek itu dengan nada sedih, sepertinya ia
sendiri yang menanggung.
Sandi Antini hanya terdiam dengan mata mene-
teskan air mata. Ia menangis manakala teringat pada
Loh Gantra. Dendamnya mengalir bagai air bah. Kece-
wa dan marah beraduk menjadi satu, membuat Sandi
Antini menyesali kebodohannya. Kenapa dulu ia ter-
buai oleh rayuan-rayuan Loh Gantra yang ternyata
musuhnya? Bila ingat semua itu dendamnya makin
deras membara bagaikan bunga api yang siap memba-
kar.
"Sudahlah, Nak. Jangan terlampau risaukan
hal itu. Yang penting kau masih dikarunia umur pan-
jang. Meski cacat, kau tak usah berkecil hati," berkata
kakek tua itu mencoba menghibur.
"Sekarang beristirahatlah dahulu agar tubuh-
mu tidak begitu lemah. Oh, ya namaku yang bodoh ini
Wara Sumena."
Terbeliak Sandi Antini seketika, manakala
mendengar orang tua itu menyebutkan namanya.
Hingga saking kagetnya Sandi Antini seketika mende-
sah. "Ah, tak kusangka kalau akhirnya aku dapat ber-
temu dengan tokoh persilatan sepertimu. Terimalah
salam hormatku, Kek!"
"Ah, sudahlah. Kini kau istirahatlah dulu, aku
mau mencari makan untuk kita."
Tanpa menunggu jawaban dari Sandi Antini,
Wara Sumena segera berkelebat pergi untuk mencari
makanan. Sandi Antini merasa bersyukur dapat ber-
temu dengan orang aneh itu. Jarang tokoh silat yang
satu itu mau menolong orang lain kalau tidak atas ke-
mauannya sendiri. Karena tingkahnya yang aneh itu,
menjadikan orang-orang persilatan menyebutnya Pen-
dekar Linglung. Ilmunya yang tinggi dan wataknya
yang angin-anginan, menjadikan orang segan dengan-
nya. "Ah, sungguh beruntung aku. Tak kusangka ak-
hirnya aku dapat menjumpai tokoh silat yang aneh ini.
Sepertinya ia benar-benar ingin menolongku," berkata
Sandi Antini dalam hati dengan bibir tersenyum, sea-
kan sakitnya hilang seketika.
Sejak saat itu Sandi Antini berada di gubug
Pendekar Linglung. Ia diangkat murid oleh Pendekar
Linglung yang entah karena apa mau menjadikan di-
rinya murid. Hari-hari mereka lalui dengan latihan-
latihan memperdalam ilmu silat. Tampaknya Pendekar
Linglung ingin menjadikannya seorang pendekar yang
dapat disejajarkan dengan pendekar golongan atas.
Hingga dengan tanpa sungkan-sungkan Pendekar Lin-
glung memberikan segala ilmu yang dimilikinya pada
Sandi Antini.
Dua puluh lima tahun sudah Sandi Antini hi-
lang dari dunia persilatan, digembleng oleh Pendekar
Linglung yang menggemblengnya dengan penuh perha-
tian. Segala ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Linglung
telah seluruhnya dikuasai oleh Sandi Antini.
***
Dengan tubuhnya yang bengkak, Sandi Antini
bermaksud membalas kekalahan dua puluh lima ta-
hun yang lalu. Dengan modal ilmu yang diturunkan
oleh Pendekar Linglung, Sandi Antini segera mencari
dua musuh bebuyutan.
"Hem, dua puluh lima tahun aku menderita
oleh tingkah mereka. Kini saatnya aku akan memba-
laskan kekalahanku. Hiat...!"
Dihentakkan tongkatnya ke tanah, yang seketi-
ka itu melentingkan tubuhnya. Tubuh yang bongkok
itu tampak berkelebat, bersalto di udara dan akhirnya
turun dengan sempurna tanpa goyah sedikitpun.
Sesaat mata Sandi Antini celingukan, meman-
dang sekelilingnya. Ia tampak waspada kalau-kalau
anak buah Loh Gantra telah mengetahui kehadiran-
nya. Namun ketika ia ingat keadaan tubuhnya, Sandi
Antini hanya mesem menggerutu dalam hati. "Bodoh,
aku ini. Mana mungkin mereka mengenali diriku lagi?"
Dengan tenang Sandi Antini terus melangkah
memasuki perbatasan hutan Cemara Sundul. Ketika
Sandi Antini berjalan dengan santai seketika telin-
ganya mendengar suara bergemeresak. Segera Sandi
Antini menghentikan langkahnya dan memandang ta-
jam pada semak-semak di mana suara itu berasal.
"Kresek!"
Menyudut mata Sandi Antini memandang ke
tempat di sampingnya. Tongkatnya dengan segera di-
angkat, menuding ke arah semak-semak. "Satu... 2, 3,
4... Ah, ada 20 orang. Ternyata anak buah Loh Gantra
dan Mayang Sari makin banyak saja jumlahnya,
Hem..."
Dengan berkelebat cepat, Sandi Antini menyo-
dokkan tongkatnya ke arah semak-semak di hadapan
nya. Seketika terdengar suara jeritan melengking, ber-
samaan dengan ambruknya seseorang yang bersem-
bunyi. Dada orang itu tampak bolong dengan darah
menyembur deras. Rupanya tongkat Sandi Antini telah
menusuknya. Tubuh itu kelojotan sesaat, sebelum ak-
hirnya melayang nyawanya.
Melihat kenyataan itu, sembilan belas orang
lainnya dengan segera berkelebat bareng mengurung
Sandi Antini. Salah seorang yang rupanya pimpinan,
membentak dengan penuh amarah. "Siapa kau, Kunti-
lanak!"
"Hi, hi, hi! Kau telah tahu aku kuntilanak, ke-
napa kau tidak segera memerintah anak buahmu un-
tuk minggat!" jawab Sandi Antini tenang, bahkan ter-
senyum meringis yang menjadikan pimpinan orang-
orang bercadar itu melototkan mata.
"Kuntilanak! Rupanya kau belum tahu siapa
kami," mendengus marah pimpinan orang-orang ber-
cadar. Bagaikan melihat anak kecil saja, Sandi Antini
kembali tersenyum sembari berkata mengejek.
"Siapa kalian adanya, aku tak perduli. Aku
hanya ingin lewat, kenapa kalian mengganggu?"
"Sundel Belong! Katakan siapa dirimu adanya,
sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu yang buruk
itu!" membentak marah pimpinan orang bercadar den-
gan garangnya.
"Nama? Bukankah kau telah sedari tadi me-
nyebutkan namaku? Hi, hi, hi...!" tertawa Sandi Antini
mengejek menjadikan ketua orang-orang bercadar ma-
kin bertambah marah. Maka dengan geram, ia berusa-
ha memerintah pada kedelapan belas anak buahnya.
"Serang...!"
Mendengar komando itu seketika kedelapan be-
las orang anak buahnya berkelebat menyerang Sandi
Antini.
"Trang...!"
Terdengar suara beradunya benda yang terbuat
dari besi, mana kala tongkat di tangan Sandi Antini
berbenturan menangkis golok-golok di tangan musuh-
musuhnya.
Sandi Antini berkelebat dengan cepat sembari
memutar tongkatnya yang bergulung-gulung memben-
tuk suatu lingkaran. Terbelalak mata kesembilan belas
musuhnya manakala melihat hal itu.
Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja
oleh Sandi Antini, yang dengan segera menghantam-
kan pangkal tongkatnya yang berputar cepat pada mu-
suh-musuhnya. Seketika enam orang menjerit sembari
memegang kepalanya, lalu akhirnya ambruk dengan
kepala pecah.
Mata pimpinan orang-orang bercadar itu mem-
belalak, tersengat juga hatinya. Namun belum juga ia
mampu menguasai diri dari serangan yang dilancarkan
Sandi Antini, seketika ia dikejutkan oleh jeritan yang
melengking dari anak buahnya.
"Aaaaahhh...!"
Lima orang anak buahnya kembali bergelim-
pangan menemui ajalnya dengan perut robek, terbeset
ujung tongkat Sandi Antini. Kini anak buahnya tinggal
7 orang delapan dengannya.
Walau ia bergidig juga, tapi karena ia telah di-
percaya sebagai pimpinan mau tak mau ia harus dapat
menunjukkan sikap kepemimpinannya. Maka dengan
mendengus marah, pimpinan orang-orang bercadar itu
segera turut menyerang Sandi Antini yang tampak me-
nari-nari mengejar sembari menghindari serangan me-
reka.
"Sundel Bolong! Jangan kau bangga dulu, teri
malah kematianmu!"
Berkelebat-kelebat golok di tangan pimpinan
orang bercadar itu, mencoba mencerca tubuh Sandi
Antini. Namun bagaikan tak ada artinya, golok itu
hanya mendapatkan angin belaka.
Sandi Antini yang tak ingin membuang-buang
waktu, tanpa banyak bicara terus membalik menye-
rang mereka. Tongkatnya begitu cepat bergerak hingga
sukar untuk diikuti. Tongkatnya bergerak bagaikan
ular yang hidup, mematuk-matuk pangkal dan ujung
tongkat silih berganti. Hanya dalam waktu tiga puluh
jurus saja, ketujuh orang bercadar itu dapat dengan
segera dijatuhkannya.
Terbelalak mata pimpinannya menyaksikan hal
itu. Hatinya seketika mengkerut, hilang keberanian-
nya.
Pimpinan orang-orang bercadar hendak pergi
meninggalkan tempat itu, manakala Sandi Antini ber-
seru sembari melompat mengejar.
"Hai, mau lari ke mana kau, kampret!"
Pimpinan orang bercadar itu tersentak meng-
hentikan langkahnya, karena tiba-tiba Sandi Antini te-
lah berdiri menghadang.
Dengan tubuh gemetar, lelaki itu jatuhkan diri
bersujud meminta ampun.
"Ampunilah aku. Aku hanya diperintah," men-
giba lelaki itu dengan keringat dingin bercucuran
membasahi kedua keningnya. Tubuhnya gemetaran
bagaikan menghadapi Malaikat Almaut.
"Siapa yang memerintahmu!" membentak Sandi
Antini, menjadikan lelaki itu makin tambah ketakutan.
Dengan terbata-bata lelaki itu berkata menjawab.
"A-aku di-diperintah oleh pimpinanku."
"Siapa pimpinanmu? Dan apa maksud
pimpinanmu menyuruh kalian mencegatku?"
"Sebenarnya pimpinan menyuruh kami untuk
mencegat semua orang yang melewati hutan Cemara
Sundul. Kami tak mengenalmu dan itu tak penting ba-
gi kami. Kalau kau ingin tahu siapa pimpinan kami,
pimpinan kami bernama Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari atau bergelar Sepasang Iblis dari Cemara Sundul."
"Hem, benar juga dugaanku," berkata Sandi
Antini dalam hati.
"Nah, kau aku bebaskan. Siapa namamu?"
"Nama saya, Lontar," jawab Lontar dengan mi-
mik muka cerah, karena ternyata wanita bungkuk itu
mau mengampuni dirinya. Dengan terlebih dahulu
menjura hormat, Lontar hendak berkelebat pergi ma-
nakala Sandi Antini berseru memanggilnya. "Tunggu!"
Lontar dengan segera menghentikan langkah-
nya, diam di tempatnya.
Dengan terbungkuk-bungkuk, Sandi Antini se-
gera mendekati Lontar yang masih berdiri mematung
sembari berkata: "Katakan pada kedua pimpinanmu,
bahwa aku Sandi Antini menunggunya di Lembah Ber-
kala Darah."
"Lembah Berkala Darah? Di mana itu?" tanya
Lontar terheran-heran mendengar ucapan Sandi Anti-
ni. Setahunya, tak ada lembah di gunung Penanggun-
gan yang bernama begitu. "Apakah ini orang sinting?"
berkata Lontar dalam hatinya.
"Jangan banyak tanya! Katakan saja pada ke-
dua pimpinan kalian bahwa aku Sandi Antini menung-
gunya di Lembah Berkala Darah, mengerti!"
"Me-mengerti," jawabnya terbata. Dengan tanpa
banyak kata lagi Lontar segera berkelebat pergi meng-
hilang di antara pepohonan hutan Cemara Sundul,
meninggalkan Sandi Antini yang juga segera bergegas
pergi.
***
Lembah Berkala Darah merupakan lembah
yang terletak di sebelah Timur desa Wates. Seorang
wanita bungkuk yang tak lain Sandi Antini adanya
tengah duduk di sebuah batu. Matanya memandang
pada bekas-bekas rumahnya yang telah dibakar oleh
Loh Gantra dan Mayang Sari.
Di situ dulu ia tinggal, di situ juga kenangan
pahit dan manis ia dapati. Kenangan manis bersama
Loh Gantra yang pintar merayu hingga ia terlena. Ke-
nangan pahit setelah ia tahu siapa sebenarnya Loh
Gantra yang mengaku-aku adik seperguruannya.
"Loh Gantra! Betapa liciknya orang itu," mende-
sis Sandi Antini penuh kemarahan, tatkala mengenang
semua kejadian yang ia alami. Tak disadari, tongkat di
tangannya ditekan menghunjam masuk ke bumi, men-
jadikan lobang dalam manakala tongkat itu kembali
dicabut.
Selang beberapa lama kemudian manakala hari
telah berganti senja, tampak serombongan orang berja-
lan mendekat ke arahnya. Ketika orang-orang itu se-
makin dekat, jelas terlihat olehnya siapa orang yang
berjalan paling muka. Lelaki setengah baya dengan
rambut campur hitam dan putih, adalah Loh Gantra
adanya. Sementara wanita tua seumurnya yang berja-
lan di sisi Loh Gantra tak lain Nyi Mayang Sari.
"Hem, rupanya mereka datang juga," mendesah
Sandi Antini seraya bangkit dari duduknya. Matanya
memandang tajam pada Loh Gantra yang baginya me-
rupakan orang yang harus bertanggung jawab atas
semua yang terjadi pada dirinya.
Kedua orang yang berjalan paling muka, sesaat
memandang padanya, lalu tampak Loh Gantra menen-
gok ke belakang di mana Lontar berdiri sembari ber-
tanya: "Mana orang yang kau maksudkan, Lontar?"
"Itu dia orangnya, Pemimpin," menjawab Lontar
sembari menunjukkan telunjuknya pada Sandi Antini
yang tampak tersenyum sinis hingga menjadikan Loh
Gantra dan Nyi Mayang Sari seketika itu menyipitkan
mata tak percaya dan mendesah.
"Ah, kau jangan bercanda, Lontar!" bentak Nyi
Mayang Sari jengkel, tak percaya bahwa wanita bung-
kuk yang berdiri di hadapannya adalah Sandi Antini
adanya.
Belum juga keduanya percaya, terdengar seke-
tika suara Sandi Antini menyapa: "Selamat bertemu
kembali, Loh? Rupanya Yang Wenang masih memberi-
kan kemurahanNya hingga kita dapat bertemu kemba-
li. Kau mungkin tak mengenali diriku lagi, karena aku
kini berbeda dengan dua puluh lima tahun yang silam
ketika dengan liciknya kau berpura-pura mengaku
adik seperguruanku."
Terbelalak mata keduanya mendengar ucapan
Sandi Antini. Walaupun begitu, keduanya masih tam-
pak tak percaya. Maka dengan membentak, Lon Gan-
tra bertanya: "Siapa kau! Aku tak percaya kalau Sandi
Antini yang telah jatuh ke dalam jurang masih hidup!
Mungkin kau hanya ingin membuat persengketaan
dengan kami dan mengaku-aku Sandi Antini. Apa
maksudmu sebenarnya?!"
Dibentak begitu rupa Sandi Antini hanya terse-
nyum sinis. Dan dengan mencibirkan bibir Sandi Anti-
ni berkata: "Loh Gantra dan kau Nyi Mayang Sari, ma-
na keberanian kalian yang sudah tersohor itu? Tak
aku sangka, kalau kalian hanya omongnya saja yang
besar. Nyatanya, kalian hanya sebangsa kecoa busuk!"
Merah padam muka kedua pimpinan Loreng
Ireng mendengar kata-kata Sandi Antini yang terasa
pedas. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari membe-
lalak, melotot penuh kemarahan.
"Setan busuk! Kalau kau memang Sandi Antini,
harusnya kau menyadari bahwa kami masih berada di
atasmu dalam hal ilmu kanuragan. Nah, sekarang se-
rahkan kitab Selendang Ungu itu pada kami. Kalau ti-
dak...!"
"Kalau tidak, mau apa kau, Loh?" berkata San-
di Antini, memotong ucapan Loh Gantra. Bibirnya ma-
sih menyungging senyum sinis, menjadikan Loh Gan-
tra makin marah.
"Kalau tidak. Maka ini untukmu! Hiat...!"
Dengan seketika Loh Gantra berkelebat menye-
rang Sandi Antini, dibantu oleh Nyi Mayang Sari. Dis-
erang bersamaan oleh kedua tokoh Loreng Ireng, men-
jadikan Sandi Antini nampak agak kerepotan juga.
Dengan melentingkan tubuhnya ke angkasa, Sandi An-
tini melompat mundur menghindar dari serangan me-
reka sesaat. Lalu dengan segera, tongkat di tangannya
digerakkan dengan cepatnya. Hingga membuat suatu
gulungan besar, yang segera melindungi dirinya.
Terbelalak mata kedua pimpinan Loreng Ireng
menyaksikan permainan tongkat wanita bongkok itu.
Permainan tongkat wanita bongkok itu. Mengingatkan
mereka pada jurus Pedang Dewi. Kini mereka yakin,
kalau memang wanita bongkok itu tak lain dari Sandi
Antini adanya. Maka tak sungkan-sungkan lagi, kedu-
anya segera mengomando anak buahnya untuk turut
membantu. "Serang...!"
Bagaikan air bah, seketika itu anak buah Lo-
reng Ireng bersamaan menyerang Sandi Antini.
Repot juga Sandi Antini dibuatnya. Karena ter-
lalu banyaknya anak buah Loreng Ireng yang menge-
royoknya hingga perhatiannya yang semula pada dua
pimpinan Loreng Ireng kini terpencar. Meskipun begi-
tu, banyak juga korban berjatuhan dari pihak Loreng
Ireng tersambar tongkatnya yang meliuk-liuk bagaikan
hidup.
Karena terlalu repotnya Sandi Antini mengha-
dapi anak buah Loreng Ireng, membuatnya tak mem-
perhatikan kedua pimpinannya. Hingga manakala ke-
dua pimpinan Loreng Ireng menyerangnya berbarengan
Sandi Antini tak mampu mengelakkannya.
"Hah!" pekiknya dengan tubuh terhuyung-
huyung, sementara matanya memandang tajam pada
Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari yang tersenyum-
senyum mengejek.
"Menyerahlah, Sandi!" berkata Loh Gantra den-
gan senyum melekat di bibirnya. Menjadikan Sandi An-
tini makin merengkah marah merasa diremehkan. Ma-
ka dengan memekik keras, Sandi Antini berteriak sem-
bari menyerang.
"Bila aku dapat kalian kalahkan lagi, maka aku
bersumpah tidak akan mencampuri urusan persila-
tan!"
Bagaikan singa betina kehilangan anak-
anaknya, Sandi Antini menyerang kedua pimpinan Lo-
reng Ireng. Serangannya begitu cepat dan ganas, men-
jadikan Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari harus men-
guras tenaganya untuk mengelakkannya.
Meskipun keduanya mampu mengelakkan se-
rangan Sandi Antini. Namun tak urung anak buahnya
yang terkena. Enam orang seketika melengking, menje-
rit sesaat dan akhirnya ambruk ke tanah dengan ken-
ing bolong.
Melihat hal itu, Loh Gantra dan Nyi Mayang Sa-
ri mendengus marah. Bersamaan dengan dengusan-
nya, keduanya segera merapatkan kedua tangannya
menyilang di dada.
Kini gantian Sandi Antini yang terbelalak, ma-
nakala tahu ilmu apa yang tengah dikeluarkan oleh
kedua musuhnya. Saking kagetnya, sampai-sampai
dari mulut Sandi Antini membersit seruan menyebut
nama ilmu itu.
"Ilmu Gugur Gunung!"
Belum hilang rasa keterkejutannya. Tiba-tiba
Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari telah melepaskan
ajian Gugur Gunungnya. Beruntung Sandi Antini ma-
sih waspada dan dengan segera mengelit. Tercekam
hati Sandi Antini seketika manakala menyaksikan apa
yang terjadi di belakangnya.
Bukit di belakangnya seketika hancur rata den-
gan tanah. Terhantam ajian Gugur Gunung yang di-
lancarkan oleh kedua musuhnya. "Hem, tak mungkin
aku dapat mengalahkan mereka kalau begini. Aku ha-
rus mempelajari kitab Selendang Ungu terlebih dahu-
lu. Ya, hanya dengan ilmu Selendang Ungu saja yang
dapat mengalahkan ilmu Gugur Gunung mereka," ber-
kata Sandi Antini dalam hati.
"Aku belum kalah oleh kalian. Tunggulah dua
atau tiga tahun lagi, aku akan menemui kalian kemba-
li di sini," berkata Sandi Antini sembari berkelebat per-
gi, meninggalkan tempat itu tanpa dapat dicegah oleh
kedua musuhnya yang berusaha mengejar.
Walaupun yang dikejar orang berbadan bong-
kok, tapi karena ilmu lari dan ilmu meringankan tu-
buh keduanya masih di bawah Sandi Antini hingga ke-
duanya pun tak mampu mengejar dan kembali dengan
hampa.
***
EMPAT
Dibukanya peti berukir gambar-gambar wanita
memakai selendang yang diukir dengan rapi dan tera-
tur. Lukisan itu, sepertinya sebuah gambaran jurus-
jurus silat.
Dengan tangan sedikit gemetar, Sandi Antini
membuka peti itu. Tercengang Sandi Antini, sampai-
sampai matanya melotot dan mulutnya ternganga.
"Aaah...!" Ditutupi kedua matanya dengan tan-
gan, manakala sinar kuning menyilaukan yang keluar
dari kitab itu memancar terang menghantam matanya.
Dengan mata tertutup tangan, Sandi Antini be-
rusaha mengambil kitab dalam peti itu. Namun ketika
tangannya hendak menjamah dirasakan olehnya hawa
panas yang tak terkirakan melebihi bara api. Seketika
memekik Sandi Antini sembari menarik tangannya
kembali.
"Bodoh! Buku itu bukan jodohmu," terdengar
suara membentaknya yang ia kenal benar pemilik sua-
ra itu. Pemilik suara itu adalah Eyang gurunya yang
bernama Bagawan Bima Rengka. Maka tanpa banyak
membantah, Sandi Antini segera jatuhkan diri bersu-
jud.
"Ampun, Eyang Guru. Sungguh cucumu ini te-
lah bersalah berani membuka peti ini. Cucu siap un-
tuk menerima hukumannya," berkata Antini, menga-
kui kesalahannya.
"Tak mengapa, Cucuku. Memang kau berhak
membuka peti itu, karena kau yang dipercaya untuk
menjaganya. Namun perlu kau ketahui, bahwa Kitab
Selendang Ungu bukanlah jodohmu. Sebab bila Kitab
itu jodohmu, maka kau tak akan mengalami kesulitan
untuk mengambilnya. Aku tahu kalau kau tengah
mengalami kesulitan. Walaupun aku tak dapat me-
nampakkan diri ke dunia, namun dalam alamku aku
mendengar rintihan batinmu. Pergilah kau ke arah Ba-
rat. Di sana kau akan menemukan orang yang berjo-
doh dengan kitab Selendang Ungu. Angkatlah ia seba-
gai murid. Kelak, gadis itulah yang akan mendapatkan
ilmu dari Selendang Ungu. Dan perlu kau ingat. Ba-
rang siapa yang berjodoh dan mau mempelajari kitab
Selendang Ungu, maka kelak dialah yang akan menja-
di tokoh persilatan pilih tanding, sukar untuk dikalah-
kan."
"Baiklah, Eyang Guru. Cucu akan menjalankan
apa yang telah Eyang Guru sarankan. Cucu minta doa
restu," kata Sandi Antini sembari kembali sujud.
"Berangkatlah. Di samping kau mencari anak
tersebut, gunakanlah ilmu yang kau miliki untuk ke-
benaran dan keadilan. Bantulah mereka yang membu-
tuhkan pertolongan darimu, selamat jalan, cucuku."
"Terima kasih, Eyang."
Saat itu juga Sandi Antini segera berangkat
menuju arah yang ditunjukkan oleh Eyang Guru-nya,
setelah terlebih dahulu menyimpan kitab Selendang
Ungu di tempat yang tak mungkin dijamah oleh perha-
tian orang. Maka hari itu juga berangkatlah Sandi An-
tini menuju ke arah Barat. Entah di mana ia akan me-
nemukan gadis petunjuk Eyang Gurunya. Tekadnya
untuk mewariskan ilmu dan kitab Selendang Ungu mi-
liknya telah membulat dalam hatinya. Juga rasa kece-
wanya pada Loh Gantra yang telah menjadikannya ca-
cat, membuat Sandi Antini memantapkan tekadnya.
Dengan harapan, kelak muridnyalah yang akan meng-
hukum kedua orang yang telah membuat tubuhnya
cacat.
***
Mentari siang itu tampak begitu menyala hing-
ga terasa menyengat panasnya. Beruntung angin gu-
nung berhembus sepoi-sepoi, menjadikan hawa segar
alami.
Telah sehari lamanya Sandi Antini berjalan me-
nyusuri tepian sungai Brantas yang membentang pan-
jang, membelah dua desa. Sungai Brantas yang pan-
jang dan lebar, bagaikan liku-liku tubuh ular raksasa
bila dilihat dari kejauhan.
Tubuhnya yang bungkuk, tidak menjadi peng-
halang baginya untuk dapat melangkah dengan cepat.
Bagaikan kancil saja, tubuh Sandi Antini berkelebat
cepat, berlari menyusuri sungai Brantas.
Sesekali diusapnya keringat yang deras me-
netes di pelipisnya, dikarenakan oleh panasnya mata-
hari siang itu. Namun bagaikan tak mengenal lelah,
Sandi Antini terus berlari dan berlari tiada henti.
Tongkat di tangannya, seperti membantu mempercepat
larinya. Bila tongkat itu dihentakkan, melesatlah tu-
buh Sandi Antini bagaikan anak panah lepas dari bu-
surnya.
Tengah ia berlari, seketika langkahnya terhenti
manakala tampak tiga orang lelaki berdiri tegak seperti
sengaja menghadangnya. Salah seorang lelaki itu, tiba-
tiba membentaknya. "Berhenti!"
Menurut Sandi Antini berhenti, memandang ta-
jam pada ketiga lelaki di hadapannya yang tertawa
bergelak-gelak dan berkata dengan kata-kata menge
jek. "Ha, ha, ha...! Sangat disayangkan. Ternyata kita
mendapat kambing tua dan gembel, cepat minggat!"
Tanpa memandang sebelah mata pun pada
Sandi Antini, lelaki bermuka brewokan bermaksud
menyepak Sandi Antini. Dengan segera Sandi Antini
mengegoskan tubuhnya seraya mengayunkan tongkat
di tangannya.
"Bletuk!"
"Ah...!" menjerit lelaki berewokan itu sembari
memegangi tulang keringnya dengan tubuh berputar-
putar, dan mulut meringis menahan sakit.
Ternyata tongkat di tangan Sandi Antini, telah
menghantam kakinya manakala hendak menyepak.
Terbelalak kedua temannya melihat hal itu. Lalu den-
gan mendengus marah keduanya segera menyerang
Sandi Antini.
"Bungkuk jelek! Rupanya kau mempunyai sedi-
kit permainan hingga berani menyakiti salah seorang
dari tiga Begal Kali Brantas!" membentak Begal Panen-
gah.
Trenyuh hati Sandi Antini mendengar begal itu
memanggilnya dengan Bungkuk Jelek. Hatinya seketi-
ka menjerit. Hal itu dapat diketahui dari serangannya
yang begitu cepat tanpa mau memberi peluang sedikit-
pun pada dua orang penyerangnya.
"Kalian telah menghinaku dengan mengatakan
aku Bungkuk Jelek. Kini kalian harus menerima hu-
kuman dariku. Hu, hu, hu!" bagaikan anak kecil Sandi
Antini menangis sesenggukan. Tongkat di tangannya
bergerak dengan cepatnya, berputar-putar laksana bal-
ing-baling.
Pertarungan dua lawan satupun berjalan den-
gan serunya. Rupanya kedua begal itu bukan orang-
orang sembarangan yang mudah untuk di jatuhkan.
Mau tak mau, Sandi Antini harus menguras segala
kemampuannya untuk menghadapi keroyokan kedua-
nya.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepatnya. Tak
terasa oleh mereka, bahwa mereka telah melangkah
pada jurus yang keenam puluh. Saat itu si brewok te-
lah sembuh dari rasa sakitnya dan langsung memban-
tu kedua orang adik-adiknya hingga makin seru saja
perkelahian itu.
Tongkat di tangan Sandi Antini bergerak makin
cepat dengan menggunakan jurus Pedang Dewi. Bergu-
lung-gulung membentuk sinar hitam yang menutupi
tubuhnya hingga ketiga musuhnya terbelalak kaget.
Dan tiba-tiba ketiganya memekik tertahan sembari ba-
reng melompat mundur.
"Aah...!"
Manakala ketiganya meraba ke perut. Dirasa-
kannya baju yang mereka pakai telah koyak lebar. Se-
ketika menyurutlah keberanian mereka. Dengan penuh
rasa ngeri, ketiganya segera berkelebat pergi mening-
galkan Sandi Antini yang hanya tersenyum.
Tanpa menghiraukan ketiga musuhnya yang
sudah terbirit-birit lari ketakutan, Sandi Antini segera
melanjutkan perjalanannya untuk mencari gadis yang
telah disarankan oleh Eyang Gurunya.
***
Malam begitu gelapnya, tanpa bulan, tanpa bin-
tang yang bergayut di langit. Mendung telah bergayut
sejak sore tadi, menjadikan gumpalan-gumpalan
membentuk lukisan kegelapan di langit.
"Glegar! Glegar! Glegar!"
Berturut-turut petir menggema, memecahkan
keheningan malam menjadikan malam itu makin men-
cekam.
Kota Kabupaten yang biasanya ramai oleh lalu
lalang orang yang mengunjungi pasar malam juga para
pedagang malam, kini tampak sepi. Tak ada seorang
pedagang pun yang berjualan, tak ada seorang pun
yang berjalan seperti biasanya untuk melihat-lihat
atau mencuci mata. Hanya desah angin dan rintik air
hujan yang menggema disambung oleh ledakan-
ledakan petir sekali-kali.
Dalam gelap malam itu, tampak sesosok tubuh
wanita bungkuk berlari-lari menghindari air hujan.
Wanita yang tak lain Sandi Antini adanya tampak ber-
lari dengan cepatnya menuju ke sebuah gubug tak
jauh dari rumah kediaman Bupati
"Hujan sialan! Basahlah seluruh pakaianku,"
merengut hati Sandi Antini setelah berteduh. Matanya
memandang tajam pada rumah Bupati yang berada di
mukanya kira-kira dua ratus tombak. Firasatnya yang
tajam bagai ada yang menuntunnya. Menjadikan Sandi
Antini terus melekatkan pandangannya pada rumah
besar itu.
Entah oleh sebab apa, seketika hati Sandi Anti-
ni was-was. sepertinya ada kekhawatiran dalam ha-
tinya, manakala memandang pada rumah besar milik
Bupati itu.
"Heh, kenapa aku jadi was-was manakala aku
terus memperhatikan rumah Bupati itu?" bertanya-
tanya hati Sandi Antini, sementara matanya terus me-
mandang pada rumah itu. Semakin ia memandang
semakin besar rasa was-was melanda hatinya.
Belum juga ia dapat menenangkan hatinya
yang sedang gundah. Seketika Sandi Andini melo-
totkan matanya manakala dilihatnya lima orang lelaki
berkelebat dengan tubuh ringan berlari menuju ke ru-
mah Bupati.
"Aku rasa kelima orang itu tidak bermaksud
baik. Kalau memang dia bermaksud baik, maka tak
mungkin mereka datang malam-malam begini. Aku ki-
ra rasa was-was dalam hatiku cukup beralasan. Hem,
baik aku akan terus mengawasinya," berkata hati San-
di Antini kembali, lalu dengan menggunakan ilmu me-
ringankan tubuhnya Sandi Antini melompat menuju ke
rumah Bupati.
"Prang! Brak!"
Terdengar suara pecahnya daun jendela yang
tak lama kemudian diikuti oleh suara jeritan seorang
wanita.
"Tolong, Kakang!"
Mendengar suara jeritan istrinya, serta merta
Bupati Labean bangkit dari tidurnya. Dengan mata
masih agak ngantuk, Bupati Labean bergegas meng-
hunus keris pusakanya.
Tersentak Bupati Labean seketika itu, melihat
istrinya tengah dalam ancaman lima orang yang me-
makai kedok. Geram Bupati Labean, namun ia tak da-
pat berbuat apa-apa.
"Lepaskan istriku! Apapun yang kalian ingin
ambillah! Asal kalian mau melepaskan istriku," berkata
Bupati Labean menawarkan perdamaian pada kelima
tamu tak diundang yang tersenyum sinis sembari ber-
kata:
"Aku ingin nyawamu, Labean!"
Melotot mata Bupati Labean mendengar ucapan
salah seorang dari kelima tamunya yang tak diundang,
lalu dengan membentak Bupati Labean yang merasa
direndahkan berkata: "Monyet! Siapa kalian sebenar-
nya!"
"Kami adalah anak buah Suro Gonggong, bekas
abdimu yang telah kau singkirkan. Untuk itu, ia men-
gutus pada kami untuk menumpasmu, sekalian anak
keturunanmu."
Merah membara muka Bupati Labean marah,
mendengar ucapan tamunya yang ternyata anak buah
Suro Gonggong. Suro Gonggong dulunya adalah ketua
prajuritnya. Berhubung tindakan Suro Gonggong terla-
lu biadab dan telengas suka memeras penduduk ak-
hirnya ia dipecat oleh Bupati Labean.
Kini Suro Gonggong telah mengutus anak
buahnya untuk membunuh keluarga Bupati Labean
yang dianggapnya telah membuat dirinya jadi pen-
gangguran kembali. Di samping itu pula, ambisi Suro
Gonggong adalah ingin menjadikan dirinya Bupati
menggantikan Bupati Labean.
Bersamaan dengan pekikan Bupati Labean
yang hendak menyerang kelima anak buah Suro Gon-
gong, memekik pula istrinya. Tubuh istrinya limbung
dengan dada bolong tertancap keris yang di genggam
oleh salah seorang anak buah Suro Gonggong.
Makin bertambah marah Bupati Labean melihat
istrinya telah mati di tangan kelima orang anak buah
Suro Gonggong. Maka bagaikan banteng ketaton, Bu-
pati Labean segera menerjang kelimanya dengan keris
pusaka Cokro Jinggo di tangannya.
"Bedebah! Kalian harus membayar nyawa istri-
ku," memaki marah Bupati Labean, dibarengi dengan
sabetan keris Cokro Jinggo.
Seketika kelima anak buah Suro Gonggong ber-
lompatan, mengelakkan serangan yang dilancarkan
oleh Bupati Labean. Mereka tahu akan kehebatan keris
di tangan Bupati Labean dari Suro Gonggong yang te-
lah memesannya wanti-wanti agar mereka hati-hati
dengan keris itu.
Mendapatkan serangannya hanya mengenai
angin belaka, makin bertambah marahlah Bupati La-
bean. Maka dengan ditambah lipat gandakan seran-
gannya, Bupati Labean mencerca kelima musuhnya si-
lih berganti.
Mendengar keributan di ruang tamu, kedua
anak Bupati Labean seketika terjaga dari tidurnya. La-
lu dengan mata masih setengah mengantuk kedua ka-
kak beradik itu berjalan ke luar menuju ke asal suara
itu.
"Ibu...!" memekik kedua anak usia belasan ta-
hun itu, manakala melihat tubuh ibunya telah terkulai
di lantai dengan darah yang mengering berserakan di
sekelilingnya. Kedua bocah belasan tahun itu hendak
mendekat ke mayat ibunya, manakala sebuah tendan-
gan menghantam tubuh mereka hingga terpental.
Melihat kedua anaknya jatuh terkena tendan-
gan salah seorang anak buah Suro Gonggong, seketika
Bupati Labean makin marah. Dengan terlebih dahulu
berseru pada kedua anaknya, ia segera meningkatkan
serangannya.
"Tinggalkan rumah segera, Anak-anakku! Ce-
pat!"
Dengan menurut, kedua anak belasan tahun
kakak beradik itu segera hendak pergi meninggalkan
rumah manakala salah seorang dari kelima anak buah
Suro Gonggong telah mengejar dan menghadang mere-
ka.
Bagaikan tak mengenal belas kasihan, keris di
tangannya bergerak cepat menusuk ke arah dua bocah
itu. Bocah perempuan itu sempat menghindar hingga
luput dari tusukan keris itu. Namun anak laki-
lakinyalah yang terkena tusukan keris di tangan anak
buah Suro Gonggong yang mendarat tepat di mata ki-
rinya.
Seketika bocah laki-laki itu memekik kesakitan
dengan tangan mendekap mata kirinya yang hancur
akibat tusukan keris. Dengan menahan sakit yang tak
terhingga, bocah lelaki itu berlari dengan kencangnya
sembari menjerit-jerit kesaktian.
"Aaaaaaaaahhhhh....!"
"Kakang Rangga....!" turut menjerit bocah wani-
ta itu, demi melihat kakaknya melolong dengan mata
sebelah kiri hancur. Ketika ia hendak mengejar, tiba-
tiba orang yang tadi menusukkan kerisnya ke arah
mata kakaknya menendangnya hingga jatuh tengkurap
dengan muka mencium tanah.
Menangis bocah perempuan itu menahan sakit,
merintih tak dapat bangun kembali. Belum puas lelaki
itu melihat bocah perempuan itu jatuh tersungkur,
serta merta keris di tangannya terangkat dan...
"Mampuslah, kau! Hiat...!"
Hampir saja melayang nyawa bocah perempuan
yang tak berdosa itu di ujung kerisnya, manakala se-
buah bayangan berkelebat sembari menangkis keris
yang tinggal sekuku lagi menusuk tubuh bocah pe-
rempuan itu.
"Trang..!"
Gemetar tangan lelaki itu, sampai-sampai keris
yang digenggamnya terpental jauh. Matanya seketika
membeliak kaget manakala tubuh bocah perempuan di
hadapannya telah lenyap. Ketika ia menengok ke
samping kiri, dilihatnya seorang wanita bungkuk ber-
diri sembari tersenyum dengan pundak menggendong
bocah perempuan yang luput dari maut.
"Bedebah! Rupanya hanya seorang bungkuk je-
lek yang ingin mencari mati!" membentak lelaki itu, se
raya bangkit dan segera memburu orang bungkuk
yang tak lain Sandi Antini adanya.
Mata Sandi Antini seketika melotot marah, de-
mi mendengar ucapan lelaki itu yang mengejeknya
dengan sebutan Bungkuk Jelek. Amarahnya seketika
membakar hatinya yang tak rela dikatakan Bungkuk
Jelek. Bayangan Loh Gantra seketika melekat pada wa-
jah lelaki yang hendak menyerangnya. Maka dengan
menggeram marah, Sandi Antini segera memapaki se-
rangan orang tersebut. Diputarnya tongkat di tangan-
nya dengan kencang, menjadikan gumpalan-gumpalan
sinar yang menutupi tubuhnya.
"Kau yang harus mati, hiaat...!" memekik Sandi
Antini.
Tersentak lelaki itu seketika, lalu lelaki itu
bermaksud melompat mundur untuk menghindar.
Namun serangan Sandi Antini begitu cepatnya hingga
tak ayal lagi tongkat Sandi Antini menghantam batok
kepala lelaki itu yang memekik menahan sakit memu-
tar-mutar tubuh sembari mendekap kepalanya. Bebe-
rapa saat kemudian, lelaki itupun ambruk dengan ke-
pala bocor mengeluarkan darah dan mati.
Berbareng dengan itu, terdengar di dalam ru-
mah pekikan Bupati Labean. Tangannya yang meng-
genggam keris Cokro Jinggo putung terbabat pedang
lawan. Darah seketika menyembur deras, sederas pe-
kikan Bupati Labean yang menahan sakit.
Tanpa keris pusaka Cokro Jinggo di tangannya,
maka tak berarti apa-apa lagi Bupati Labean bagi
keempat anak buah Suro Gonggong, hingga saat itu
juga, jadilah Bupati Labean bulan-bulanan keempat
anak buah Suro Gonggong.
"Mampuslah kau, Bupati keparat!"
Berbareng dengan ucapan itu, salah seorang
dari keempatnya menghujamkan senjatanya yang ber-
bentuk clurit membeset perut Bupati Labean. Usus
Bupati Labean seketika mengurai, keluar dari sobekan
perut yang menganga. Walaupun sudah dalam kea-
daan begitu, namun Bupati Labean nampak masih
sanggup berdiri bahkan balik menyerang keempat
pengeroyoknya.
Terbelalak mata keempatnya menyaksikan ke-
nyataan di hadapannya, sampai-sampai mulut mereka
menganga saking kagetnya. Betapa tidak! Tubuh Bu-
pati Labean yang sudah terkoyak-koyak, ternyata ma-
sih mampu melanjutkan pertempuran.
"Aku rasa Bupati ini memiliki pegangan, Ka-
kang Kiranda," berkata Sugiri pada Kiranda yang men-
gangguk mengiyakan.
"Benar, Adik Sugiri. Coba kau ingat kata-kata
kakang Suro Gonggong manakala kita hendak menya-
troni Bupati ini."
"Ya, Kakang Suro Gonggong berkata bahwa Bu-
pati ini memiliki ajian Lampar Urip. Ia dapat mati jika
darahnya dihisap," berkata Sugiri.
"Hem, kalau begitu kita harus menghisap da-
rahnya."
Bergidig dua orang teman lainnya mendengar
ucapan Kiranda. Serta merta kedua orang itu berkata:
"Aku tak dapat."
"Tak apa. Biarlah aku yang akan menjalankan-
nya," berkata Kiranda sembari memandang sesaat pa-
da Sugiri yang mengangguk. Maka dengan segera Ki-
randa mengibaskan tangannya, mengomandokan keti-
ga temannya untuk menangkap Bupati Labean.
Setelah ketiganya saling pandang sesaat, den-
gan segera ketiganya berkelebat cepat merangsek Bu-
pati Labean. Ditangkapnya kaki dan tangan Bupati La
bean yang berusaha berontak.
Dengan segera tanpa membuang-buang waktu
lagi, Kiranda segera menyedot darah yang keluar dari
tangan kanan Bupati Labean. Memang benar apa yang
diduga oleh keempat anak buah Suro Gonggong. Ter-
bukti seketika itu pula tubuh Bupati Labean lemas dan
mati, setelah darahnya terminum oleh Kiranda.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" berseru Ki-
randa pada ketiga temannya setelah menyaksikan Bu-
pati Labean telah mati. "Hai! Ke mana Gento? Dari tadi
ia tidak nongol-nongol?" bertanya Kiranda kemudian
pada ketiga temannya yang seketika itu saling pan-
dang.
"Bukankah ia tadi mengejar kedua anak Bupa-
ti?" kembali Kiranda bertanya setelah melihat ketiga
temannya hanya terdiam.
"Benar!" menjawab Sugiri.
"Lalu ke mana, dia?" dua orang temannya ber-
tanya bareng, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pa-
da diri mereka sendiri.
"Ah, sudahlah. Nanti juga ia pulang. Ayo kita
pergi," mengajak Kiranda yang segera diikuti oleh keti-
ga temannya.
Maka dengan segera keempat orang itu keluar
dari rumah Bupati, dengan maksud hendak mening-
galkan rumah itu. Namun seketika keempatnya tersen-
tak kaget sembari menghentikan langkahnya, manaka-
la dilihat oleh mereka sesosok tubuh telah terbujur
kaku di halaman rumah Bupati Labean yang mereka
kenali sebagai teman mereka sendiri yang bernama
Gento.
Dengan segera keempatnya mendekati tubuh
Gento yang telah menjadi mayat dengan kepala pecah
hingga menjadikan keempat orang itu saling pandang
tak mengerti.
"Rupanya ada orang lain datang ke sini," berka-
ta Sugiri setelah sekian lama terdiam yang diangguki
oleh ketiga temannya.
"Cepat angkat mayatnya jangan sampai keta-
huan oleh orang karena hari sebentar lagi menjelang
pagi," memerintahkan Kiranda pada ketiga temannya
yang segera melaksanakan.
Diangkatnya tubuh Gento yang telah kaku, lalu
dengan segera keempatnya bergegas pergi meninggal-
kan, rumah Bupati Labean. Langkah mereka seperti
terburu, karena hari sebentar lagi akan menjelang pa-
gi.
Ke manakah perginya Sandi Anting yang mem-
bawa tubuh bocah perempuan dalam pundaknya? Ke
mana pula Rangga yang matanya tertusuk oleh keris
Gento? Hidup atau matikah dia?
***
Setelah menolong gadis cilik putri Bupati La-
bean, segera Sandi Antini bergegas pergi meninggalkan
rumah Bupati Labean dengan membopong tubuh gadis
kecil itu.
Dibawanya tubuh gadis kecil putri Bupati La-
bean yang pingsan karena kekerasan yang dilakukan
oleh salah seorang anggota anak buah Suro Gonggong,
menuju tempatnya tinggal.
Direbahkan tubuh gadis kecil itu di atas pem-
baringan, setelah tiba di tempatnya. Dipandangi sesaat
tubuh gadis kecil itu yang masih pingsan, seketika hati
Sandi Antini berkata: "Hem, perawakan gadis kecil ini
sungguh bagus. Tulang-tulangnya kokoh dan besar.
Aku rasa, gadis inilah yang Eyang Guru maksudkan."
Dengan segera Sandi Antini berkelebat pergi
meninggalkan gadis itu yang masih terbaring pingsan.
Tak lama kemudian, Sandi Antini datang kembali den-
gan membawa beberapa lembar dedaunan dan bebera-
pa batang akar-akaran untuk obat.
Diraciknya daun dan akar-akaran itu menjadi
obat, lalu setelah dicampur dengan air, segera dimi-
numkannya pada gadis kecil yang masih terbaring
pingsan.
Tak berapa lama kemudian, tampak gadis kecil
itu menggeliat bagaikan habis bangun tidur. Matanya
mengejap-ngejap sesaat, memandang sekelilingnya
dengan bingung dan bertanya pada Sandi Antini yang
duduk di sampingnya mengurai senyum.
"Di manakah aku, Nyai?"
Bagaikan tak ada rasa takut, mata gadis kecil
itu menatap lekat ke wajah Sandi Antini yang tampak
tersenyum senang sembari berkata menjawab perta-
nyaannya:
"Kau berada di gubugku, Tuan Putri."
"Ah, kenapa Nyai memanggilku Tuan Putri."
bertanya gadis kecil itu.
Makin senang Sandi Antini melihat kerendahan
hati gadis kecil ini. Tidak seperti anak bangsawan lain,
gadis ini tampak sederhana dan tidak sombong. Di wa-
jahnya tergurat rasa kemasyarakatan, hingga kulitnya
begitu hitam lain dengan anak bangsawan lainnya
yang berkulit putih.
"Kini aku sebatang kara, Nyai," berkata gadis
kecil itu tiba-tiba, menyentakkan lamunan Sandi Anti-
ni yang sedari tadi memandangnya. Ucapan gadis itu
yang disertai rasa putus asa, menjadikan Sandi Antini
turut terharu hingga tanpa dirasakannya, air matanya
meleleh jatuh ke pipinya.
"Tidak begitu, Tuan Putri."
"Ah, kenapa Nyai masih tetap memanggilku
Tuan Putri? Aku bukan anak raja. Aku anak orang ke-
banyakan yang mungkin nasibnya jauh lebih buruk
dibandingkan dengan nasib teman-temanku. Ibu mati
terbunuh oleh orang-orang itu, mungkin begitu juga
ayah. Sementara kakakku, entah ke mana? Oh, nasib,
Nyai," berkata gadis kecil itu seperti menyesali nasib-
nya.
"Sudahlah. Jangan terlalu... siapa namamu?"
bertanya Sandi Antini menghentikan ucapannya kare-
na ragu harus memanggil apa pada gadis kecil itu yang
tidak mau disebut Tuan Putri.
"Namaku, Dewi Miranti. Nyai boleh memanggil-
ku, Miranti," menjawab gadis kecil yang bernama Mi-
ranti itu dengan polos. Makin membuat Sandi Antini
senang, lalu ucapnya kemudian.
"Janganlah engkau terlalu memikirkan nasib-
mu, Miranti. Bukankah masih ada Nyai?"
Berseri wajah Miranti seketika mendengar uca-
pan Sandi Antini. Serta merta, Miranti bangkit dari ti-
durnya memeluk erat tubuh Sandi Antini yang mene-
rimanya dengan penuh rasa kasih sayang. Dibelainya
rambut Miranti yang panjang terurai dengan penuh
kasih. Tak terasa air matanya kembali meleleh mana-
kala dirasakannya Miranti menangis dalam pelukann-
nya.
"Sudahlah, Miranti. Janganlah kau terlalu ter-
bawa oleh perasaanmu. Kalau kau tak keberatan,
maukah kau menganggap aku ibumu?" bertanya Sandi
Antini setengah berbisik di telinga Miranti yang seketi-
ka itu memandang wajahnya sepertinya hendak men-
gatakan sesuatu. "Kau mau?" lanjut Sandi Antini ber-
tanya yang diangguki oleh Miranti dengan senyum
mengembang di bibirnya.
"Terima kasih, Ibu?" desah Miranti sembari
makin mengeratkan pelukannya ke tubuh Sandi Antini
yang dengan rasa bahagia membalas memeluk tubuh
Miranti erat. Sepertinya, kedua wanita itu telah saling
menyatu dan mengisi sejak lama.
***
LIMA
Kita tinggalkan Miranti yang sejak saat itu ting-
gal bersama Sandi Antini yang telah dianggapnya se-
bagai pengganti ibunya, sekaligus guru. Marilah kita
tengok, bagaimana nasib Rangga Wisnu Kakang Miran-
ti yang saat itu lari dengan menutup mata kirinya yang
hancur tertusuk keris Gento.
Dengan menahan rasa sakit yang teramat san-
gat akibat mata sebelah kirinya hancur, Rangga Wisnu
terus berlari meninggalkan rumahnya yang saat itu te-
lah terjadi pertumpahan darah. Tak didengarnya lagi
teriakan adiknya Dewi Miranti, dikarenakan rasa sakit
yang teramat sangat melanda mata sebelah kirinya.
Dengan tubuh sempoyongan akibat terlalu ba-
nyak mengeluarkan darah, Rangga Wisnu terus berlari
tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dalam gelap malam
Rangga Wisnu menyeruak hutan, menuruni sungai un-
tuk menghindari amukan orang-orang yang malam itu
mendatangi rumahnya.
Mungkin karena terlalu lelah berlari, juga kare-
na lemas akibat darah banyak keluar dari mata kirinya
menjadikan Rangga Wisnu akhirnya jatuh pingsan.
Manakala pagi telah datang, tampak dua orang
yang tengah berjalan menyusuri sungai terperanjat
melihat sesosok tubuh bocah belasan tahun tergeletak
di pinggir kali.
Kedua orang yang tak lain Loh Gantra dan Nyi
Mayang Sari, seketika berlari menuju ke tempat bocah
itu pingsan. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari se-
ketika membelalak, manakala melihat mata bocah itu
hancur satu.
"Sungguh biadab orang yang telah melakukan-
nya," dengus Nyi Mayang Sari melihat mata kiri bocah
itu hancur. "Kasihan bocah ini. Bagaimana kalau kita
bawa pulang saja?" lanjutnya bertanya pada Loh Gan-
tra.
"Aku rasa juga lebih baik begitu," menjawab
Loh Gantra, yang dengan segera membopong tubuh
Rangga Wisnu. Dibawanya Rangga Wisnu menuju ke
markasnya, Loreng Ireng.
"Dilihat dari pakaian yang dikenakan bocah ini,
aku rasa ia anak seorang Ningrat."
"Benar, apa yang kau katakan, Nyi, Bocah ini
sepertinya bukan anak orang sembarangan," menyam-
bungi Loh Gantra, sembari kembali memandang pada
bocah yang berada dalam bopongannya. "Anak siapa
kira-kira?" lanjutnya bergumam, seperti pertanyaan itu
ditujukan pada dirinya sendiri.
Perasaan kedua orang yang biasanya tak men-
genal belas kasih itu, berubah menjadi iba melihat
Rangga Wisnu yang mata kirinya hancur hingga ba-
nyak mengeluarkan darah. Dengan setengah berlari,
kedua orang yang bergelar Sepasang Iblis dari Hutan
Cemara Gundul melangkah membawa tubuh Rangga
menuju ke markasnya yang terletak di Hutan Cemara.
Tak berapa lama keduanya berlari, sampailah
keduanya pada markas mereka di Hutan Cemara. Ke
datangan mereka disambut hormat oleh anak buahnya
yang dipimpin Oleh Lontar. "Selamat datang, Pimpi-
nan?"
"Lontar, perintahkan pada anak buahmu untuk
mempersiapkan tempat tidur untuk anak ini," meme-
rintah Loh Gantra.
"Siapakah gerangan anak yang berada dalam
gendongan, Pemimpin?"
"Jangan banyak bertanya, Lontar! Kerjakan du-
lu apa yang tadi aku perintahkan!" membentak Loh
Gantra, membuat Lontar tak berani lagi berkata dan
segera berlalu pergi.
"Siapkan sebuah dipan untuk anak itu!" perin-
tah Lontar pada anak buahnya yang dengan segera
melaksanakan perintahnya. Dengan cepat, semua
anak buahnya segera membuat sebuah dipan dari
kayu. Karena dikerjakan bergotong royong oleh hampir
seratus orang, maka dalam waktu yang singkat dipan
itu telah jadi.
Segera Loh Gantra membaringkan tubuh Rang-
ga di atas dipan, lalu kembali ia berkata memerintah-
kan pada Lontar: "Ambilkan air dan obat-obatan, Lon-
tar!"
Dengan tanpa banyak tanya, Lontar segera
menjalankan tugasnya. Tak berapa lama, Lontar telah
kembali menemui Loh Gantra dengan membawa apa
yang dimaksudkan oleh pimpinannya.
"Ini, Pimpinan?"
"Ya, bawa kemari!"
Setelah menerima sebaskom air dan segenggam
obat-obatan, Loh Gantra segera mengelap darah yang
telah mengering pada mata kiri Rangga. Dilapnya den-
gan perlahan, hingga benar-benar bersih. Lalu setelah
itu, ditaburkan serbuk obat pada mata kiri Rangga.
Sesaat Rangga memekik, lalu terdiam lagi.
"Carikan sebuah batu pipih," berkata Loh Gan-
tra, memerintahkan pada Lontar dan anak buahnya
yang segera pergi mencari batu. Selang tak begitu lama
kemudian, Lontar bersama anak buahnya telah mem-
bawa batu yang dimaksud.
"Ingat oleh kalian. Anak ini telah kami angkat
menjadi anak kami," berkata Nyi Mayang Sari pada
anak buahnya, setelah sekian lama hanya terdiam
memandangi wajah Rangga dengan perasaan iba.
"Apakah hal itu sudah dipikirkan masak-
masak?" tanya Lontar.
"Maksudmu, Lontar?" balik bertanya Nyi
mayang Sari.
"Apakah Nyai pimpinan telah memikirkan dan
mempertimbangkannya sebelum mengangkat anak ter-
sebut? Apakah nantinya anak ini tidak akan mere-
potkan kita?"
Melotot mata Nyi Mayang Sari mendengar penu-
turan Lontar, yang dianggapnya hendak menentang-
nya. Maka dengan membentak marah, Nyi Mayang Sari
berkata: "Diam! Apakah kau hendak menentangku?
Lebih tahu mana kau denganku, Lontar?"
"Ampun, Nyi Pimpinan. Bukannya saya hendak
menentang. Namun saya semata-mata ingin supaya
Nyi Pimpinan mempertimbangkan masak-masak agar
nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita ingini."
"Aku tahu Lontar! Sekarang jangan banyak
tanya," berkata Nyi Mayang Sari, menjadikan Lontar
seketika itu diam tak berani lagi berkata.
"Hari ini juga, kalian harus menghormatinya.
Kalian perlu ingat, bahwa anak ini kelak akan menjadi
pimpinan kalian," lanjut Nyi Mayang Sari berkata.
"Baik, Nyi Pimpinan. Kami akan selalu menuru
ti apa yang menjadi keputusan Nyai," berkata serem-
pak keseratus anak buahnya sembari menjura hormat.
Sejak saat itu Rangga Wisnu resmi menjadi
anak angkat Mayang Sari dan Loh Gantra sekaligus
mewarisi segala ilmu yang bakal diturunkan padanya.
***
Hari masih begitu pagi, ketika terdengar suara
lengkingan seorang gadis memecahkan keheningan
pagi itu. Tampak seorang gadis meliuk-liukkan tubuh-
nya sembari melompat-lompat ke udara, sepertinya
gadis itu tengah menari. Namun bila kita memandang-
nya dengan seksama ternyata gadis itu sembarangan
menari, melainkan tengah berlatih ilmu silat.
"Bagus, Miranti!" terdengar suara wanita me-
mujinya.
"Bagaimana, ibu?" bertanya gadis itu yang ter-
nyata Miranti adanya pada wanita bungkuk yang du-
duk di atas batu, yang tak lain Sandi Antini yang kem-
bali berseru.
"Bagus, Miranti. Ternyata kau mampu mengua-
sai ilmu yang aku turunkan. Jurus itu bernama Tarian
Bidadari, yang merupakan dasar dari ilmu yang nan-
tinya bakal engkau pelajari. Nah sekarang berlatihlah
lagi."
Dengan penuh semangat, Miranti kembali ber-
latih. Tubuhnya yang ramping, meliuk-liuk bagaikan
menari-nari di angkasa. Sesekali tubuhnya melompat
sembari memekik, lalu turun kembali dengan sigap
sempurna dan siap mengembangkan jurus Tarian Bi-
dadari lainnya.
Bersamaan dengan itu, di Hutan Cemara tam-
pak seorang pemuda tengah digembleng ilmu-ilmu silat
oleh dua orang tokoh yang telah mengangkatnya seba-
gai anak mereka. Dua tokoh silat pimpinan Loreng
Ireng yang tak lain Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari,
dengan penuh kasih sayang dan perhatian membimb-
ing Rangga.
"Kurang cepat, Rangga! Usahakan kakimu ber-
gerak dipercepat. Kau tahu bagaimana lutung menye-
rang musuhnya? Nah, itulah yang harus engkau laku-
kan," berkata Loh Gantra, memberi semangat pada
anak angkatnya.
Dengan tanpa rasa lelah, Rangga Wisnu segera
mengulang Jurus Lutung-Menyerang disambung den-
gan Jurus Lutung Menangkap Ular Sanca. Gerakan-
gerakannya begitu cepat, menjadikan Loh Gantra ter-
senyum puas dan kembali berseru memuji. "Bagus,
Rangga!"
"Bagaimana, Ayah?" bertanya Rangga gembira
mendengar pujian Loh Gantra, ayah angkatnya.
"Bagus! Kau ternyata anak cerdas. Tak sia-sia
aku mendidikmu," berkata Loh Gantra kembali semba-
ri melirik Nyi Mayang Sari yang duduk di sampingnya
mengurai senyum.
Silih berganti keduanya mengajari ilmu-ilmu
yang mereka miliki pada Rangga. Walaupun begitu, se-
pertinya Rangga tak pernah bosan. Bahkan dengan ce-
pat, dilalapnya segala ilmu yang diajarkan oleh kedua
orang tua angkatnya.
Maka dalam waktu yang sangat singkat, segala
ilmu yang diajarkan oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari dapat dengan cepat dikuasainya. Maka jadilah
Rangga Wisnu seorang pemuda yang berilmu tinggi.
Tapi karena didikannya yang salah, jadilah
Rangga Wisnu pemuda yang urakan dan nakal.
Di pihak lain, Miranti yang telah tumbuh men
jadi gadis remaja nampak kecantikannya. Seperti hal-
nya Rangga Wisnu kakaknya, Miranti pun telah men-
jadi seorang gadis yang memiliki ilmu kedigdayaan
yang tinggi.
Berbeda dengan watak kakaknya Rangga Wisnu
yang beringasan, Miranti yang berwatak lemah lembut.
Mungkin karena Miranti dididik oleh Sandi Antini yang
menerapkan sifat rendah hati, hingga menjadikannya
seorang gadis yang memiliki etika.
Saat itu Miranti dengan ditemani oleh ibu ang-
katnya yang sekaligus gurunya tengah membuka peti
yang berisi Kitab Selendang Ungu. Terbelalak mata
Sandi Antini manakala melihat apa yang terjadi. Ter-
nyata Kitab Selendang Ungu memang berjodoh dengan
Miranti, terbukti dengan mudah Miranti menjamah Ki-
tab itu dan mengangkatnya keluar dari petinya.
"Ibu lihatlah! Ternyata di bawah kitab ini terda-
pat sebuah selendang berwarna ungu!" berseru Miranti
dengan mata terbelalak melihat apa yang ada di dalam
peti.
Sandi Antini yang berada disampingnya turut
terbelalak, manakala melihat bahwa di bawah kitab
terdapat sebuah selendang berwarna ungu.
"Pantas, kalau Kitab itu benar Kitab Selendang
Ungu," gumam Sandi Antini sembari mengangguk-
anggukan kepalanya. "Apakah kau akan mempelaja-
rinya hari ini juga, Miranti?" lanjutnya bertanya.
"Ya. Ibu. Miranti ingin sekali mengetahui apa
yang sebenarnya terkandung dalam Kitab Selendang
Ungu ini. Maukah Ibu menemani Miranti dan memberi
petunjuk?" bertanya Miranti yang dijawab dengan se-
nyuman kegembiraan dibibir Sandi Antini.
"Dengan senang. hati, Anakku," menjawab
Sandi Antini.
Maka dengan segera kedua anak ibu angkat itu
bergegas menuju ke belakang goa di mana terhampar
lapangan yang cukup luas dengan pohon-pohon bunga
yang tumbuh di sana.
"Di sini kau cukup aman berlatih," berkata
Sandi Antini.
Maka dengan duduk bersila, Miranti segera
mengheningkan cipta sesaat. Tujuannya meminta doa
restu pada pemilik dan penulis kitab Selendang Ungu,
yang hendak ia pelajari.
Tengah Miranti khusuk mengheningkan cipta
sembari berdoa, terdengar olehnya suara seseorang
berkata. "Cucuku! Memang kaulah yang berjodoh den-
gan Kitab Selendang Ungu, yang merupakan sebuah
Kitab sakti. Barang siapa yang berjodoh dengan kitab
itu dan mau mempelajarinya maka kelak orang itu
akan menjadi seorang pendekar yang mumpuni dan pi-
lih tanding. Maka jangan sekali-kali ilmu dari Kitab Se-
lendang Ungu digunakan untuk berbuat kejahatan. Bi-
la hal itu terjadi, akan hancurlah dunia persilatan.
Mintalah petunjuk ibumu, agar kau tidak salah mem-
pelajarinya. Selamat berlatih, Cucuku."
Bersama hilangnya suara orang tua itu, angin
seketika berhembus lambat menerpa rambut Miranti
yang berterbangan terurai melambai-lambai.
Perlahan Miranti membuka matanya, lalu me-
mandang pada Sandi Antini yang tampak tersenyum
padanya sembari berkata. "Kau memang jodohnya,
Anakku."
"Terimakasih, Ibu."
Dengan berlinang-linang, dipeluknya Sandi An-
tini.
Sesaat kedua ibu dan anak angkat itu saling
berpelukan, melepaskan rasa suka cita dan kasih
sayang. Air mata kegembiraan, menetes deras dipipi
keduanya. Lama keduanya saling berpelukan, hingga
akhirnya Sandi Antini berkata: "Berbahagialah kau,
Anakku. Aku akan selalu membimbingmu untuk
mempelajari Kitab itu."
"Terima kasih, Ibu. Hari ini juga, Miranti akan
mempelajarinya."
Habis berkata begitu, Miranti segera kembali
duduk bersilah. Dibukanya Kitab Selendang Ungu, lalu
dengan teliti dibaca dan dipelajarinya tulisan serta
gambar yang berada dalam lembaran-lembaran Kitab
itu.
Tekun sekali Miranti membaca dan menghayati
arti dari gambar-gambar yang berada dalam lembaran-
lembaran Kitab Selendang Ungu, sampai-sampai wak-
tu berlalu meninggalkannya tidak dihiraukannya. Dari
pagi hingga menjelang sore, Miranti dengan ditemani
oleh ibu yang juga gurunya mempelajari isi kitab itu.
Demikianlah yang dilakukan Miranti sepanjang
hari, tekun dan teliti ia terus mempelajari isi kitab itu.
Dengan ditemani Sandi Antini yang membimbingnya,
Miranti terus berlatih.
Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepat-
nya. Segala yang terdapat dalam kitab Selendang Un-
gu, telah mampu dihapal dan dipelajari oleh Miranti.
Seperti halnya pagi itu, tampak Miranti dengan
Sandi Antini sebagai pembimbing tengah berlatih
mempraktekkan apa yang ada di dalam kitab Selen-
dang Ungu.
Dikenakannya Selendang Ungu membelit pada
pinggangnya, lalu dengan mengikuti gambar yang ada
di dalam kitab serta tulisan-tulisan petunjuk, Miranti
melakukan jurus-jurus Selendang Ungu. Tubuhnya
meliuk-liuk bagai menari, lemah gemulai bak tak ber
tulang.
Saat itu Miranti tengah mempraktekkan jurus
pertama dari Selendang Ungu, yang bernama Jurus
Selendang Bidadari Menyibak Awan. Setiap kibasan
ujung selendangnya, menjadikan angin topan yang be-
sar yang mampu menerbangkan apa yang ada di seke-
lilingnya. Hingga Sandi Antini yang berdiri lima tombak
di sampingnya, harus mengerahkan tenaga dalam un-
tuk mampu mempertahankan tubuhnya agar tidak
terhempas oleh angin puting beliung yang keluar dari
sibakan ujung selendang. Namun karena kerasnya an-
gin yang berhembus, menjadikan tubuh Sandi Antini
oleng dan ambruk ke tanah mental tiga tombak.
Terbelalak mata Miranti melihat ibu angkatnya
terpental oleh angin yang keluar dari ujung selendang-
nya. Maka seketika itu Miranti segera menghentikan
latihannya dan bergegas menghampiri Sandi Antini.
"Ibu! Kau tak apa-apa?" tanyanya dengan nada
khawatir. Dipandangnya tubuh Sandi Antini keseluru-
han, khawatir kalau-kalau ibu angkatnya menderita
luka. Namun seketika Miranti kembali tenang, mana-
kala Sandi Antini menggelengkan kepala sembari ber-
kata.
"Aku tak apa-apa, anakku. Berlatihlah kembali,
ibu malah senang karena ternyata kau cepat mengua-
sai dan hapal segala yang ada di dalam kitab itu."
"Benarkah ibu tak apa-apa?" kembali Miranti
bertanya, sepertinya sangat mengkhawatirkan keadaan
ibu angkatnya. Sandi Antini hanya menggeleng semba-
ri tersenyum, yang menjadikan Miranti akhirnya te-
nang dan mempercayainya bahwa ia tak apa-apa.
Maka dengan ditemani Sandi Antini dari jarak
yang agak jauh, Miranti kembali mempraktekkan ju-
rus-jurus yang dipelajarinya dari Selendang Ungu.
Kembali tubuh Miranti meliuk-liuk bagai menari, den-
gan sekali-kali tangannya mengibaskan selendang
yang melilit di pinggang.
Setelah puas dengan jurus Bidadari Menyibak
Awan, Miranti segera melanjutkannya dengan jurus
Bidadari mengepak sayap menghantam karang. Tubuh
Miranti kembali meliuk-liuk, lalu dengan ringannya
tubuh Miranti melompat tinggi ke angkasa bagaikan
terbang. Dikepak-kepakkan selendang yang berada da-
lam genggaman tangannya, menjadikan angin besar
yang menderu-deru. Setelah tubuhnya dirasa telah
tinggi, dengan segera Miranti kembali turun. Bersa-
maan tubuhnya merosot turun, Miranti menghentak-
kan selendangnya ke samping. Seketika itu pula ter-
dengar ledakan dahsyat, "Jlegar! Jlegar!" Ujung-ujung
selendang itu menghantam pepohonan, yang seketika
itu hancur berkeping-keping.
Terbelalak mata Sandi Antini menyaksikan hal
itu, sampai-sampai matanya melotot, tak percaya pada
apa yang tengah dilihatnya. Seketika itu pula, dari mu-
lut Sandi Antini memekik seruan. "Jagad Dewa Batara!
Betapa dahsyatnya ilmu itu!"
Belum juga hilang kekagetannya, terdengar Mi-
ranti berseru sembari berlari menuju ke arahnya. "Ba-
gaimana, Ibu?"
Tersenyum seketika Sandi Antini, yang dengan
penuh bangga menyambut Miranti. "Kau hebat, anak-
ku. Kau hebat!" ucapnya bangga sembari memeluk tu-
buh Miranti, yang tertawa-tawa dengan riangnya.
Ketika senja telah datang, kedua anak dan ibu
angkat itu kembali beristrirahat. Di wajah mereka
tampak keceriaan, seperti tak pernah ada rasa cape
atau lelah. Dengan tertawa-tawa, kedua anak dan ibu
angkat itu kembali ke goa, di mana mereka tinggal.
Hari-hari dilalui Miranti dengan berlatih dan
berlatih jurus-jurus Selendang Ungu, tanpa mengenai
lelah ataupun bosan. Dari jurus pertama yaitu Bidada-
ri Menyibak Awan, Bidadari Mengepak Sayap Meng-
hantam Karang, Bidadari Membentang Selendang, Bi-
dadari Menyapu Mendung, hingga jurus terakhir Bida-
dari menghalau Angin Topan dengan cepat dapat diku-
asainya. Maka jadilah Miranti seorang pendekar wanita
yang dapat disejajarkan dengan pendekar-pendekar
Kelas Wahid, yang memiliki ilmu dan kepandaian ting-
kat tinggi.
***
ENAM
Setelah dirasa oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari bahwa Rangga Wisnu telah mampu, maka kedua-
nya sepakat hendak menyerahkan pimpinan Loreng
Ireng yang selama ini dipegang oleh keduanya pada
Rangga anak angkatnya.
Maka hari itu pula diundangnya Rangga berser-
ta keseratus anak buahnya untuk mengadakan pelan-
tikan itu. Tanpa ada yang membangkang seorang pun,
semuanya segera datang menemui Loh Gantra dan Nyi
Mayang Sari yang telah duduk menunggu kedatangan
mereka.
"Hamba menyampaikan hormat, Ayahanda dan
Ibunda," berkata Rangga Wisnu yang kini telah menja-
di seorang pemuda gagah dengan tubuh berisi. Da-
danya bidang berisi, sorot matanya tajam memandang
pada apa yang dilihatnya.
"Aku terima hormatmu, anakku. Duduklah!"
berkata Nyi Mayang Sari.
Dengan tanpa banyak kata Rangga Wisnu sege-
ra duduk di hadapan kedua orang tua angkatnya. Se-
mentara anak buahnya tampak pula datang dan segera
menjura hormat seraya berkata bareng.
"Hamba menyampaikan hormat, untuk junjun-
gan kita Sepasang Iblis Dari Hutan Cemara."
"Kami terima, penghormatan kalian. Duduk-
lah!"
Mendengar ucapan Loh Gantar, dengan segera
keseratus anak buahnya duduk mengapit Rangga Wis-
nu. Sesaat kesemuanya terdiam hening, lalu kemudian
terdengar suara Loh Gantra berkata memecah kesu-
nyian.
"Kalian sudah mengerti, mengapa kalian kami
undang?"
"Belum, Pimpinan!" menjawab bareng keseratus
anak buahnya.
"Baiklah! Dengarkan oleh kalian semua. Hari
ini, tampuk kepemimpinan kami serahkan sepenuhnya
pada anakku, Rangga. Maka dari itu, kiranya kalian
akan makin bersemangat di bawah kepemimpinannya.
Tingkatkan kegiatan kita. Kita harus menjadi perkum-
pulan besar, di bawah panji-panji Loreng Ireng!"
Bersamaan habisnya ucapan Loh Gantra, seke-
tika keseratus anak buahnya berseru mengelu-elukan
perkumpulannya dan pimpinannya yang baru.
"Hidup, Loreng Ireng! Hidup, Pimpinan baru!
Hidup, Rangga Wisnu!"
"Nah anakku, Rangga Wisnu. Bersiapkah kau
menjadi pimpinan?"
"Hamba siap, Ayah!" menjawab Rangga Wisnu
pasti.
Tersenyum senang Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari demi mendengar jawaban Rangga Wisnu. Maka
saat itu juga, Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpi-
nan Loreng Ireng.
***
Sejak Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpi-
nan perkumpulan Loreng Ireng, maka sepak terjang-
nya sungguh menjadikan rasa bangga Loh Gantra dan
Nyi Mayang Sari. Namun sebaliknya bagi tokoh-tokoh
persilatan yang berdiri di jalur lurus. Sepak terjang
Rangga Wisnu, merupakan tantangan yang harus me-
reka hadapi.
Sepak terjang Loreng Ireng makin ganas saja,
menteror penduduk. Merampok, menculik, membu-
nuh, dan tindakan-tindakan lainnya yang sangat sa-
dis.
Karena suka menculik gadis-gadis, maka nama
Rangga Wisnu mulai terkenal dengan julukan Culik
Bermata Satu. Hal itu dikarenakan mata Rangga Wis-
nu tinggal sebelah, sedang yang sebelahnya lagi tertu-
tup oleh batu.
"Malam nanti, Perguruan Teratai Emas. Apakah
kalian ada yang tidak setuju?" bertanya Rangga Wisnu
dengan mata yang tinggal sebelah memandang tajam
kepada keseratus anak buahnya yang tertunduk tak
berani menentang pandangannya.
Melihat keseratus anak buahnya hanya tertun-
duk Rangga Wisnu kembali berkata "Baiklah! Karena
semua setuju, maka malam nanti kita melaksanakan
rencana kita. Kita tundukkan Perguruan Teratai Emas!
Ingat Pimpinan Teratai Emas adalah bagianku, kalian
boleh memilih wanita lain yang kalian sukai."
"Baik, Pimpinan," menjawab semua anak
buahnya berbarengan sembari menjura hormat. Tak
seorang pun yang berani menentangnya. Disamping ia
merupakan anak angkat Loh Gantra dan Nyi Mayang
Sari, ia juga berilmu sangat tinggi dengan ajiannya
Gugur Gunung.
Malam harinya, apa yang telah direncanakan
pada siang hari segera dilaksanakan. Ketika hari men-
jelang tengah malam, mereka segera menyerang Pergu-
ruan Teratai Emas yang diketuai oleh seorang wanita
bergelar Teratai Putih.
Diserang begitu tiba-tiba, kalang kabutlah Per-
guruan Teratai Emas. Walau mereka berusaha mem-
bendung serangan Loreng Ireng, namun karena ku-
rangnya persiapan dengan mudah anak buah Loreng
Ireng dapat menerobosnya.
"Serbu...!" berseru Rangga Wisnu mengoman-
dokan anak buahnya.
Bagaikan air bah saja, keseratus anak buah Lo-
reng Ireng segera berhamburan masuk menyerbu Per-
guruan Teratai Emas. Dengan tergesa-gesa, anggota
perguruan Teratai Emas yang keseluruhannya wanita
berusaha menghadangnya. Hingga tanpa dapat dice-
gah, peperangan meletus di halaman perguruan Tera-
tai Emas.
Para sesepuh Perguruan Teratai Emas yang
mendengar keributan, dengan segera bergegas keluar.
Dan manakala dilihatnya telah terjadi peperangan an-
tara anggotanya melawan perkumpulan Loreng Ireng,
segera mereka yang terdiri dari lima wanita tua turun
membantu.
Dengan kehadiran kelima sesepuh Teratai
Emas, maka terdesaklah anak buah Loreng Ireng. Me-
lihat hal itu, dengan geram Rangga Wisnu segera ber-
kelebat menghadang kelima nenek-nenek itu seraya
membentak.
"Nenek-nenek centil! Selayaknya kalian telah
minggat dari muka bumi ini!"
"Hem. Kaukah yang bernama Rangga Wisnu
atau Culik Bermata Satu?" tanya nenek tertua.
"Ya, aku," menjawab Rangga kalem.
"Bagus! Kami ingin tahu, sampai di mana ilmu
orang yang saat ini tengah meresahkan dunia persila-
tan."
"Ha, ha, ha...! Kalau kalian ingin merasakan-
nya. Baik, terimalah ini! Hiat...!" Dengan didahului ta-
wa yang membahana, Rangga Wisnu segera berkelebat
menyerang kelima nenek sesepuh perguruan Teratai
Emas.
Tersentak kelima nenek tua itu seraya melom-
pat mundur menghindari serangan Rangga yang begitu
ganas dan cepatnya, lalu dengan segera, kelima nenek
itu balik menyerangnya.
Saat itu juga, Rangga Wisnu dikeroyok oleh li-
ma orang tokoh Perguruan Teratai Emas, yang rata-
rata berilmu tinggi hingga Rangga Wisnu harus berha-
ti-hati, tak dapat memandang remeh. Jurus-jurus ke-
lima nenek itu seragam, bergantian mereka menyerang
Rangga Wisnu.
Jurus demi jurus mereka lalui, sepertinya ilmu
yang mereka miliki seimbang. Susah untuk dapat me-
nerka siapa yang bakal menjadi pemenangnya. Apakah
Rangga Wisnu? Atau sebaliknya kelima nenek itu?"
Sementara di lain pihak, anak buah Loreng
Ireng yang tadinya mengendor ini tumbuh semangat-
nya manakala dilihatnya Rangga Wisnu telah terjun
menghadapi kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai
Emas.
Rangga Wisnu melentingkan tubuhnya ke uda-
ra, manakala menginjak jurus yang ke tujuh puluh.
Ketika tubuhnya hendak turun, dengan segera Rangga
Wisnu menghantamkan kedua tangannya ke lima
orang tua pengeroyoknya.
Memekik kelima nenek itu tertahan, tatkala
mengetahui ilmu yang dilancarkan oleh Rangga. "Ah!
Ajian Gugur Gunung!" Dengan segera, kelima nenek
itu berusaha menghindar. Namun tak urung, salah
seorang dari mereka terhantam juga.
"Aaah...!"
Lebur seketika tubuh nenek termuda di antara
kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai Emas; ter-
hantam Ajian Gugur Gunung yang dilancarkan oleh
Rangga Wisnu.
Tercekam hati keempat nenek lainnya, melihat
apa yang terjadi pada diri adiknya. Kemarahannya se-
ketika membludag, menjadikan keempatnya menye-
rang dengan membabi buta. Hingga tak memperhi-
tungkan lagi untung ruginya. Dan manakala Rangga
kembali menghantamkan ajian Gugur Gunungnya, tak
ayal lagi dua dari empat nenek itu menjerit sesaat lalu
diam dengan tubuh hancur.
"Menyerahlah kalian!" berseru Rangga Wisnu.
"Persetan! Pantang bagi kami menyerah sebe-
lum menemui ajal," menjawab nenek tertua, yang sege-
ra kembali menyerang dengan nekad dibantu oleh
adiknya.
"Hem. Rupanya kalian memilih mampus! Baik,
bersiaplah!"
Rangga Wisnu segera mengelakkan serangan
kedua nenek itu, lalu secepat itu pula ia balik menye-
rang dengan Ajian Gugur Gunungnya. Kembali terden-
gar pekikan bersama hancurnya salah seorang dari
kedua nenek yang menyerangnya.
"Setan alas! Aku akan mengadu jiwa dengan
mu, Bangsat!" memaki nenek tertua. Kemudian dengan
segera merapalkan ajiannya yang bernama Aji Anggada
Murka. Seketika itu, dari tangan nenek tertua tampak
selarik sinar merah menyala berkelebat-kelebat men-
garah pada Rangga.
Beruntung Rangga waspada, kalau tidak. Maka
akan melelehlah tubuhnya, bagaikan betonan tembok
yang menyangga balai-balai Perguruan Teratai Emas.
"Hem, ilmunya tinggi juga," membatin Rangga
Dengan Ajian Gugur Gunungnya, Rangga sege-
ra berkelebat cepat bermaksud menyerang nenek itu.
Namun ternyata nenek itupun kini telah berkelebat
menuju ke arahnya sama hendak menyerang. Maka
tak ayal lagi, keduanya bertemu di udara. "Duar....!"
Terdengar ledakan dahsyat akibat bertemunya dua
ajian yang dilancarkan oleh masing-masing pemilik-
nya.
Rangga terhuyung-huyung ke belakang dengan
pundak hangus terbakar. Sementara nenek tertua,
terduduk mengejuprak di tanah dengan mulut mele-
lehkan darah. Dari mulut yang melelehkan darah itu,
terdengar suaranya yang terputus-putus berkata:
"Kau-kau hebat anak muda. Aku mengaku kalah..."
ambruklah nenek tertua dengan nyawa melayang.
Dengan matinya kelima nenek sesepuh Pergu-
rauan Teratai Emas, lemah pula kekuatan Teratai
Emas. Maka dengan waktu relatif singkat. Loreng Ireng
pun dapat menguasainya.
Bagai orang yang baru pulang dari hutan saja
dan tak pernah melihat wanita, anak buah Loreng
Ireng segera memburu murid-murid Teratai Emas. Dan
dengan rakusnya, anak buah Loreng Ireng menyeret
gadis-gadis itu dipaksa untuk melayani nafsu bejad-
nya.
Lain dengan anak buahnya, Rangga tanpa
menggunakan kekerasan mendapatkan diri Anggrek
Putih pimpinan Perguruan Teratai Emas, rupanya Te-
ratai Putih pun mencintai Rangga, hingga tak bertepuk
sebelah tangan.
***
Dengan tindakannya menyerang Perguruan Te-
ratai Emas yang dapat ditaklukannya, makin menjadi
momok saja nama Rangga atau Culik Bermata Satu di
dunia persilatan.
Berita itu sampai juga ditelinga Bupati Suro
Gonggong, yang turut prihatin melihat rakyatnya ba-
nyak yang ketakutan. Maka segera dipanggilnya keem-
pat pengawalnya yaitu, Kiranda, Sugiri. Londun, dan
Kunco.
"Apakah kalian telah mendengar berita tentang
Culik Bermata Satu?"
"Sudah. Adakah sesuatu yang menarik?" ber-
tanya Kiranda.
"Kalian ingat kejadian lima belas tahun yang la-
lu?" kembali Bupati Suro Gonggong bertanya pada
keempat pengawalnya yang seketika itu mengernyitkan
kening.
"Apakah tidak mungkin anak tersebut adalah
anak Labean?" melanjutkan Suro gonggong bertanya.
"Kenapa kau begitu mengkhawatirkan, Kakang
Suro?" balik bertanya Kiranda demi mendengar ucapan
Suro Gonggong.
"Bagaimana mungkin bocah itu hidup? Padahal
matanya telah hancur oleh tusukan keris Gento."
"Tapi itu bisa terjadi, Kiranda. Bukankah kau
bilang, waktu itu ada orang lain yang telah membunuh
Gento? Apakah tidak mungkin kalau orang itu telah
menolong kedua anak Labean?"
Terdiam Kiranda mendengar ucapan Suro
Gonggong yang memang ada benarnya. Namun untuk
menghibur hati Suro Gonggong, Kiranda segera berka-
ta: "kalau memang mereka ingin membalas, kurasa
kami berempat akan sanggup menghadapinya."
"Sombong!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita mem-
bentak, dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemilik
suara itu yang seketika telah berdiri di tengah-tengah
mereka duduk hingga kelima orang itu seketika me-
lompat mundur.
"Siapa kau?" membentak Suro Gonggong, sete-
lah hilang kagetnya.
Gadis itu hanya tersenyum, membuat marah
Kiranda segera membentaknya: "Gadis sundel! Ditanya
bukannya menjawab, malah cengengesan!"
"Dengar oleh kalian baik-baik. Akulah anak
Bupati Labean, yang kalian bunuh lima belas tahun
yang lalu. Aku dengar kalian tak takut bila anak Bupa-
ti Labean menuntut balas. Sombong!" berkata Miranti
dengan senyum sinis.
"Oh, jadi kau anak Labean. Bagus! Pucuk dicin-
ta, Ulam tiba. Hingga kami tak usah mencari-carimu
mengubek jagad, karena kau ternyata datang sendiri
mengantarkan nyawa," berkata Kiranda, seperti tak
memandang sebelah matapun pada Miranti yang di-
anggapnya hanya seorang gadis biasa seperti gadis ke-
banyakan.
"Wow, rupanya kalian tengah menanti nyawa-
ku. Baiklah! Ambillah oleh kalian sendiri bila mampu."
Mendengar ucapan Miranti yang sepertinya
mengejek, marahlah kelima orang itu. Maka dengan
segera kelima orang itu, tanpa malu-malu mengeroyok
Miranti.
"Jangan menyesal, bila kami menurunkan tan-
gan jahat!" membentak Suro Gonggong.
Namun kembali Miranti hanya tersenyum, lalu
dengan setengah mengejek Miranti kembali berkata
sembari mengelakkan serangan kelima orang penge-
royoknya. "Tak usah kau bicara, Suro Gonggong! Dari
dulu memang tangan kalian jahat dan keji. Maka tan-
gan kalian yang telah berlumur dosa itu harus dibikin
putung."
Terbelalak mata kelimanya marah, demi men-
dengar ucapan Miranti. Maka dengan mendengus, ke-
lima orang itu segera mempercepat serangannya. Keli-
manya silih berganti menyerang Miranti yang tampak-
nya mengelakkan serangan kelima pengeroyoknya
dengan tubuh meliuk-liuk bagai menari. Padahal li-
ukan-liukan tubuh Mirantai, merupakan jurus-jurus
dari Selendang Ungu. Hingga semua serangan kelima
orang pengeroyoknya hanya menemui angin belaka.
Makin lama, makin kencang tarian tubuh Mi-
ranti. Tubuh Miranti meliuk-liuk dengan cepat, makin
memusingkan pandangan mata kelima pengeroyoknya.
Kepala mereka dibuat pening oleh gerak-gerakan Mi-
ranti yang mengajak mereka turut menari-nari. Itulah
Jurus Bidadari Menyebar Bius, hingga orang-orang di-
dekatnya akan terbius dan mengikuti setiap gerakan-
gerakannya yang tampaknya lembut namun ternyata
dapat menguras tenaga.
Dalam tiga puluh gerakan saja, kelima orang
pengeroyoknya dibuat lunglai bagai habis tenaganya.
Maka tanpa mengalami kesulitan, Miranti dengan mu-
dah menghajar kelimanya. Dikibaskannya ujung se-
lendaangnya ke arah tangan musuh-musuhnya yang
seketika itu memekik kesakitan dengan tangan pu-
tung, dua-duanya lepas dari pergelangan.
Tersenyum puas Miranti melihat musuh-musuh
ayahnya tidak bergelimpangan, lalu dengan mening-
galkan gelak tawa Miranti segera berkelebat pergi.
Selang beberapa menit kemudian, tampak seo-
rang pemuda yang sebelah matanya tertutup batu da-
tang ke tempat itu. Sesaat matanya memandang ke
arah kelima orang yang bergelimpangan dengan kedua
tangannya putung, sembari hatinya mendesah. "Hem,
rupanya ada orang yang telah mendahuluiku."
"Ayah, ibu! Semoga arwah kalian tenang di
alam sana. Lihatlah! Akan kupisahkan kepala orang-
orang ini dari tubuhnya!" berseru Rangga Wisnu se-
raya mendongakkan mukanya ke langit-langit. Lalu
dengan segera, tangannya bergerak cepat memenggal
kepala kelima orang itu yang hanya memekik sesaat
manakala tangan Rangga membetot kepalanya.
"Ha, ha, ha...! Kini puas sudah hatiku. Ha, ha,
ha...!"
Bagaikan orang gila, Rangga tertawa bergelak-
gelak. Tangannya menenteng kepala kelima orang mu-
suh ayahnya, yang dibawanya pergi entah kemana
sembari meninggalkan gelak tawa berkepanjangan.
***
TUJUH
Berita ditemukannya kepala lima orang musuh
Bupati Labean di markas Loreng Ireng, menjadikan
nama Culik bermata satu atau Rangga Wisnu, makin
menjadi momok di dunia persilatan. Hal itu mengun
dang tokoh-tokoh persilatan untuk menghentikan se-
pak terjang Rangga Wisnu yang kelewat telengas.
Tak urung juga Jaka, ia pun mendengar berita
ditemukannya kepala musuh Bupati Labean. Hari itu
juga, Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah ber-
maksud menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi di an-
tara pergolakan yang tengah melanda desa Wates.
"Aku jadi tak habis pikir, kenapa dulu keluarga
Bupati Labean dibantai! Dan sekarang... musuh-
musuhnya yang dibantai dengan sadis. Apakah ini se-
buah balas dendam dari anak Bupati Labean? Di mana
pula Sandi Antini yang biasanya menumpas kejaha-
tan? Pusing benar aku ini..." bergumam Jaka dalam
hati.
Jaka kembali berjalan, merenungi apa yang
tengah terjadi pada Kabupaten Wates. Kabupaten yang
dulu tentram, kini bergolak. Apalagi setelah muncul
Culik Bermata Satu Rangga Wisnu.
"Hem... Mungkin benar hal itu merupakan ba-
las dendam," kembali Jaka bergumam. Dengan berlari
bagaikan angin, Jaka seketika melesat menuju ke tem-
pat di mana markas gerombolan Loreng Ireng.
***
Sementara itu dilain tempat, tampak dua orang
wanita tengah duduk di dalam goa. Sepertinya, kedua
wanita itu tengah membicarakan sesuatu hal yang te-
ramat penting. Kedua wanita itu tak lain Sandi Antini
dengan muridnya Miranti si Bidadari Selendang Ungu.
"Sepak terjang Loreng Ireng makin menjadi-jadi,
anakku. Rupanya kedua orang itu belum sadar akan
segala tindakannya, bahkan malah sebaliknya setelah
anak angkatnya mulai menjadi dewasa. Aku harap sa
habatku Jaka Ndableg telah mendengarnya hingga
dengan segera dapat membereskan semua masalah di
Wates ini."
"Siapakah Jaka Ndableg itu, ibu?" tanya Miran-
ti.
"Dialah Pendekar yang saat ini menjadi buah
bibir dunia persilatan. Dia bergelar Pendekar Pedang
Siluman Darah, karena senjatanya yang berupa Pe-
dang mampu mengeluarkan Darah bila berhadapan
dengan musuh."
"Sungguh Miranti ingin mengenalnya, guru."
"Ah, nanti juga kau akan mengenalnya. Dia
adalah teman ibu. Orangnya tampan, namun tidak
sombong. Tingkahnya memang kelewatan Ndablegnya
sehingga orang-orang menjulukinya Jaka Ndableg."
Miranti mesem-mesem mendengar penuturan
Sandi Antini. Hal itu menjadikan Sandi Antini terse-
nyum, mengerti bahwa anak angkatnya yang sekaligus
muridnya tengah membayangkan keberadaan Jaka.
"Kenapa Miranti? Sepertinya kau melamun."
Tersentak Miranti seketika, demi mendengar
ucapan ibunya yang telah mengejutkan lamunannya.
Dengan mesem-mesem tersipu. Miranti mendesah le-
mah.
"Ah... ibu..."
"Kau melamunkan Jaka, anakku?"
Makin merona merah wajah Miranti mendengar
sergahan ibunya yang secara tiba-tiba. Hatinya yang
memang memendam perasaan sesuatu menjadikannya
tak dapat memungkiri.
"Tak usahlah kau malu-malu mengatakannya.
Ibu mengerti perasaanmu. Ibu juga pernah muda se-
pertimu, anakku," kata Sandi Antini membesarkan ha-
ti Miranti. "Kalau saja ibu masih sebayamu mungkin
ibu juga akan mencintainya."
Miranti kembali tersipu-sipu. Matanya membe-
liak redup dan lentik, menggambar hatinya yang ten-
gah tergetar sebuah perasaan yang sukar untuk di-
mengerti. Sandi Antini yang memahami segera menga-
lihkan pembicaraannya.
"Anakku, apakah kau akan diam saja melihat
segala perbuatan Loreng Ireng?"
"Ah..." mendesah Miranti tersentak.
"Bagaimana pendapatmu dengan segala tinda-
kan Loreng Ireng yang semakin hari semakin merajale-
la?" tanya Sandi Antini kembali.
Sejenak Miranti kembali terdiam, memandang
pada ibunya yang tersenyum. Kembali Miranti menun-
dukkan mukanya, seakan ada sesuatu yang hendak ia
sembunyikan.
"Kenapa anakku...?"
Miranti terjengah, entah bayangan apa yang
menggores di hati gadis muda itu. Apakah ia benar-
benar telah memendam rasa cinta? Atau perasaan
apa....? Sedang bertemu dengan Jaka saja ia belum
pernah. Setelah sesaat diam menenangkan hatinya,
Miranti pun menjawab pertanyaan sang ibu.
"Secepatnya harus kita cegah, Ibu. Kalau tidak,
aku khawatir mereka akan makin merajalela," menja-
wab Miranti.
"Benar! Kita sebagai seorang pendekar yang
berhaluan lurus, sepantasnyalah mencegah tindakan
mereka yang terlalu biadab dan telengas. Maka dari itu
aku hendak menyuruhmu untuk melakukan hal terse-
but. Bukannya untuk kepentinganku pribadi yang
mempunyai sengketa dengan kedua tokoh Loreng
Ireng, tapi demi ketenangan dan ketentraman masya-
rakat pada umumnya yang kini tengah gelisah oleh
tindakan mereka. Tumpas mereka sampai ke akar-
akarnya. Tapi ingat! di antara mereka ada kakakmu,"
berkata Sandi Antini yang seketika mengejutkan Mi-
ranti hingga karena kagetnya, Miranti menggumam.
"Kakakku?"
"Ya, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa orang
yang bergelar Culik Bermata Satu adalah Rangga Wis-
nu kakakmu. Dan dia juga yang telah memenggal ke-
pala kelima orang musuh-musuh ayahmu," menerang-
kan Sandi Antini, makin membuat Miranti membela-
lakkan matanya.
"Jadi..."
"Jangan ragu, anakku. Dalam agama diterang-
kan "Barang siapa yang berbuat tidak searah dan setu-
juan dengan dirimu maka dia bukanlah saudaramu,
meski ia adalah ayah atau ibumu." Jadi jelasnya, ka-
kakmu itu kini telah dikuasai oleh iblis dengan peran-
tara Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari," memotong San-
di Antini berkata.
"Apakah nantinya aku tidak berdosa, Ibu?"
"Tidak Anakku. Dosa akan datang bila kau ber-
buat melanggar ketentuan yang oleh digariskan oleh
Yang Wenang," kembali Sandi Antini berkata mene-
rangkan hingga Miranti akhirnya dapat mengerti, dan
berkata.
"Baiklah, Ibu. Aku akan berusaha mencegah
tindakan mereka. Aku memohon doa darimu."
"Kudoakan semoga kau selalu dalam lindungan
Yang Wenang. Berangkatlah dengan segenap ketegu-
han hati. Serahkan segala persoalan pada Yang We-
nang," berkata Sandi Antini sembari mencium kening
Miranti.
Hari itu juga, Miranti dengan diantar ke muka
goa oleh ibu angkatnya pergi untuk tugas mulia.
Menghentikan sepak terjang gerombolan Loreng Ireng
yang tindakannya terlalu biadab dan telengas. Dengan
mata berlinang, Sandi Antini melepaskan kepergian
anak angkatnya untuk berkelana menambah pengala-
man.
***
Tokoh-tokoh persilatan tampak tengah ber-
kumpul membahas masalah sepak terjang Culik Ber-
mata Satu yang berdiri di bawah panji-panji gerombo-
lan Loreng Ireng.
"Makin erat saja cengkeraman Loreng Ireng se-
telah pimpinannya dipegang oleh Culik Bermata Satu.
Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut tak ayal lagi am-
bisi Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari untuk menjadi
pemimpin di dunia persilatan akan benar-benar ter-
bukti," berkata Kebo Lanang, salah seorang tokoh per-
silatan dari perguruan Mahesa Gading.
"Benar apa yang dikatakan saudara Kebo La-
nang. Bila kita sebagai orang-orang yang berdiri di go-
longan lurus hanya diam saja sudah tentu kedudukan
kita akan makin terdesak. Maka sebelum didahului le-
bih baik kita mendahului," Suropati menambahkan.
Sesaat semua yang hadir terdiam, sepertinya
tengah mempertimbangkan ucapan kedua anggotanya.
Setelah sekian lama terdiam, terdengar pimpinan rapat
tokoh persilatan yaitu Ki Banyu Wangi berkata:
"Usul saudara Kebo Lanang dan Suropati san-
gat kami hargai. Namun kami masih bingung, bagai-
mana jalan yang baik untuk melaksanakannya? Sau-
dara-saudara tahu betapa tingginya ilmu yang dimiliki
oleh Culik Bermata Satu, bukan?"
Kembali semua terdiam, tak ada yang berkata
kata untuk sesaat. Mereka nampaknya kembali berpi-
kir, memutar otak, memeras pikiran untuk mencari ja-
lan bagaimana menghadapi gerombolan Loreng Ireng.
Namun sejauh itu, tak ada seorang pun yang dapat
memutuskan bagaimana cara untuk menghadapi Ge-
rombolan Loreng Ireng:
"Bagaimana, saudara-saudara?" kembali Ki
Banyu Wangi bertanya, setelah untuk beberapa saat
lamanya terdiam.
"Kita tetap harus mencegahnya!" berseru salah
seorang anggotanya yang spontanitas diikuti oleh yang
lainnya hingga seketika ramailah suasana rapat itu.
"Benar!"
"Akur...!"
"Setuju...!"
"Lebih baik kita mati demi membela kebenaran
dan keadilan, daripada kita hidup menuruti kemauan
iblis," berkata Kebo Lanang kembali penuh semangat,
yang untuk kedua kalinya disetujui oleh teman-teman
anggota rapat lainnya. Makin ramai saja suasana rapat
itu oleh teriakan-teriakan para anggota.
"Baiklah, baiklah! Hari ini juga kita berangkat
ke Hutan Cemara Sundul untuk menghentikan sepak
terjang Gerombolan Loreng Ireng, bagaimana?"
Akhirnya Ki Banyu Wangi menuruti apa yang
menjadi keputusan anggotanya.
Hari itu juga semua tokoh golongan lurus den-
gan dipimpin oleh Ki Banyu Wangi pergi menuju ke
Hutan Cemara Sundul untuk menemui Gerombolan
Loreng Ireng sekaligus mencegah tindakannya.
***
Demi melihat berpuluh-puluh orang datang
menuju ke Hutan Cemar Sundul, segera Lontar me-
nyuruh anak buahnya untuk siaga di tempatnya. Se-
mentara dia sendiri, segera bergegas pergi untuk mela-
porkan hal apa yang dilihatnya pada pimpinannya
Rangga atau Culik Bermata Satu.
"Ada apa, Lontar? Sepertinya ada sesuatu yang
penting hingga kau tampak begitu terburu-buru me-
nemuiku?" bertanya Rangga, demi melihat Lontar da-
tang menghadapnya dengan napas ngos-ngosan.
Setelah mengatur napas sesaat, Lontar pun
berkata: "Pimpinan. Orang-orang persilatan pada ber-
datangan menuju ke mari."
"Apa? Orang-orang persilatan datang ke mari?"
mengulang Rangga bertanya yang diangguki oleh Lon-
tar mengiyakan. "Apakah semua pasukan telah diper-
siapkan?"
"Sudah, Pimpinan. Mereka tinggal menunggu
perintah," menjawab Lontar.
"Serang mereka dengan panah bila mereka te-
lah masuk ke perbatasan!"
"Baik, Pimpinan."
Lontar segera bergegas pergi untuk menemui
anak buahnya kembali. Sementara Rangga dengan se-
gera menemui kedua orang tua angkatnya Loh Gantra
dan Nyi Mayang Sari. Kedua tokoh tua Loreng Ireng
nampak tersentak mendengar laporan anak angkatnya,
perihal berdatangannya tokoh-tokoh persilatan.
"Hadang mereka! Nanti kami datang," memerin-
tahkan Loh Gantra yang dengan segera dilaksanakan
oleh anak angkatnya, Rangga. Dengan segera Rangga
berlari menuju ke perbatasan Hutan Cemara sundul,
di mana semua anak buahnya telah berkumpul.
Memang benar apa yang dilaporkan Lontar pa-
danya, bahwa orang-orang persilatan datang menuju
ke Hutan Cemara Sundul. Dari kejauhan tampak ber-
puluh-puluh pendekar berjalan dengan tergesa-gesa
menuju ke Hutan Cemar Sundul. Sepertinya mereka
membawa suatu misi, entah apa misi itu.
"Bersiaplah!" terdengar perintah Rangga. Den-
gan segera semua anak buahnya bersiap-siap. Panah
tergenggam di tangan mereka masing-masing siap un-
tuk menghujani. Mata semua anak buah Loreng Ireng
tajam memandang pada orang-orang persilatan yang
berdatangan menuju ke arahnya.
"Serang dengan anak panah!" terdengar suara
Rangga memerintah manakala tampak olehnya orang-
orang persilatan telah dekat. Maka mendesinglah ratu-
san anak panah dari balik semak-semak, melesat
memburu ke orang-orang persilatan itu.
"Awas panah!" teriak Ki Banyu Wangi mempe-
ringatkan pada anak buahnya, sementara dirinya sen-
diri bersalto mengelakkan serangan anak panah. Tan-
gannya berkelebat cepat menangkap beberapa anak
panah, lalu dikembalikannya anak panah itu ke asal-
nya. Seketika terdengar lengkingan kematian dari balik
semak-semak. Rupanya anak panah yang dilemparkan
Ki Banyu Wangi telah mengenai beberapa orang penye-
rangnya.
"Serang lagi...!" Rangga kembali berseru meme-
rintah.
Seperti semula, ratusan anak panah pun ber-
desing-desing melesat menyerang pada orang-orang
persilatan di bawah pimpinan Ki Banyu Wangi.
"Puih! Percuma kalian membuang-buang anak
panah! Keluar, Kalian!" berseru Kebo Lanang dengan
marah sembari menangkapi beberapa batang anak pa-
nah yang melesat ke arahnya. Namun jawaban dari te-
riakannya, adalah desing ratusan anak panah lagi, me
lesat menyerang mereka.
Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pi-
hak hingga makin lama makin menyusut jumlah ang-
gota mereka. Bersamaan dengan ramainya pertempu-
ran antara Loreng Ireng melawan kumpulan tokoh-
tokoh persilatan, secepat kilat berkelebat dua sosok
tubuh bagaikan terbang seraya menghantamkan ajian
Gugur Gunung ke arah tokoh-tokoh persilatan.
Terbeliak mata Ki Banyu Wangi manakala meli-
hat anak buahnya banyak yang mati terhantam ajian
Gugur Gunung yang dilancarkan oleh kedua tokoh
utama Loreng Ireng, yaitu Loh Gantra dan Mayang Sa-
ri.
"Loh Gantra, ternyata dalam usiamu yang ma-
kin senja bukannya berbuat kebajikan malah menimba
dosa. Sungguh perbuatanmu benar-benar perbuatan
iblis," berkata Ki Banyu Wangi yang telah berhadap-
hadapan langsung dengan dua tokoh utama Gerombo-
lan Loreng Ireng itu.
Tertawa bergelak-gelak Loh Gantra mendengar
ucapan Ki Banyu Wangi, lalu dengan suaranya yang
serak, Loh Gantra berkata: "Ki Banyu Wangi. Jangan-
lah kau terlalu usil dengan apa yang kami lakukan ka-
lau kau ingin selamat. Ketahuilah olehmu, bahwa kami
akan menjadi pimpinan tertinggi dunia persilatan. Ha,
ha, ha...!"
"Sombong! Jangan harap semua khayalanmu
dapat terlaksana," mendengus Ki Banyu Wangi.
"Hem, kenapa tidak? Nanti kau akan melihat
dari alam baka sana," berkala Loh Gantra sembari me-
nyeringai, lalu dengan cepat berkelebat menyerang Ki
Banyu Wangi.
"Jangan kau bermimpi, Loh! Langkahi dulu
mayat kami! Hiat...!" berseru Ki Banyu Wangi sembari
memapaki serangan Loh Gantra.
Pertempuran makin bertambah seru dengan
datangnya tokoh utama Gerombolan Loreng Ireng yang
turut membantu. Korban telah banyak berjatuhan di
kedua belah pihak, namun sepertinya pertempuran itu
tak akan segera berakhir.
Pekikan-pekikan kematian menggema silih ber-
ganti hingga jumlah mereka semakin lama semakin
menyusut. Sementara di tempat yang agak terpisah,
tampak Loh Gantra dengan Ki Banyu Wangi tengah
bertarung. Keduanya merupakan tokoh-tokoh persila-
tan yang sudah malang-melintang di dunia. Nama-
nama mereka cukup terkenal dan disegani oleh kawan,
atau lawan mereka.
Kini kedua tokoh yang berbeda aliran itu ber-
temu saling serang dan saling elak untuk menunjuk-
kan siapa yang paling tinggi ilmunya. Walau mereka
telah berusia cukup tua namun gerakan-gerakan me-
reka nampak masih gesit dan lincah.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya ke-
dua tokoh persilatan itu tak akan ada yang menang
ataupun yang kalah. Keduanya masih saling rangsek,
mengelak, menangkis berganti-ganti.
Sementara di pihak lain, Rangga bersama ibu
angkatnya, Nyi Mayang Sari nampak mengganas. Se-
rangan-serangan keduanya begitu cepat, diselingi oleh
pukulan-pukulan yang didasari dengan ajian Gugur
Gunung. Tak ayal lagi, korban dari pihak tokoh-tokoh
persilatan makin banyak saja berjatuhan.
"Menyerahlah, kalian!" berseru Rangga dengan
angkuhnya. Tangannya yang berotot berkelebat-
kelebat menghantam ajian Gugur Gunung, yang dium-
bar begitu rupa. Harapan Rangga dapat segera menga-
lahkan tokoh-tokoh persilatan. Namun dugaannya ter
nyata meleset, karena tokoh-tokoh persilatan bukan-
nya menyerah bahkan sebaliknya. Dengan berprinsip
lebih baik mati daripada hidup dalam kangkangan ib-
lis, tokoh-tokoh persilatan makin tampak berani.
"Jangan harap kami mau menyerah begitu saja.
Pantang bagi kami menyerah pada iblis-iblis macam
kalian!" berseru Kebo Lanang dengan ajian Kilat Bua-
nanya memapaki serangan Rangga Wisnu.
"Duar...!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua
ajian itu beradu di udara. Nampak Kebo Lanang ter-
pental tiga tombak ke belakang dengan dada terasa se-
sak, sementara Rangga Wisnu tersenyum sinis me-
mandang padanya. Rangga Wisnu yang sudah kalap,
seketika berkelebat hendak kembali menyerang mana-
kala sebuah bayangan berkelebat memapakinya.
"Siapa kau!" membentak Rangga Wisnu sembari
menarik serangannya.
Pemuda di hadapannya tersenyum.
"Aku Jaka Ndableg, Pendekar Pedang Siluman
Darah!"
Tersentak Rangga Wisnu dan lainnya, manaka-
la mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Me-
reka telah mendengar kehebatan pemuda itu, namun
mereka baru melihat rupa si pemilik nama besar yang
tengah menggemparkan dunia persilatan.
"Rangga Wisnu, apakah kau tidak menyadari
siapa sebenarnya dirimu? Apakah kau hendak meng-
hancurkan nama baik kedua orang tuamu yang telah
membesarkanmu?"
"Setan! Apa perlumu ikut campur dengan ke-
luargaku. Aku tahu dan sering mendengar tentang ke-
hebatan namamu, namun jangan harap aku akan gen-
tar padamu."
"Aku tak menyuruhmu untuk gentar padaku.
Tapi aku hanya ingin kau sadar atas segala tindakan-
tindakanmu selama ini," menjawab Jaka tenang. "kau
telah diperbudak oleh iblis-iblis yang telah merasuki
hati kedua orang tua angkatmu."
"Bedebah...! Rupanya kau seorang pendekar ke-
las kroco yang bisanya hanya memberi saran, takut
untuk menghadapi musuh."
Habis berkata begitu, Rangga Wisnu segera
berkelebat menyerang Jaka. Jaka yang enggan untuk
meladeni anak Bupati Labean nampak hanya berusaha
menghindar. Ia tahu, bahwa Rangga sebenarnya hanya
terbawa oleh lingkungan dan perasaannya untuk
membakti pada kedua orang tuanya.
Tengah pertarungan berjalan dengan serunya,
terdengar suara seorang wanita berseru memberikan
semangat pada para tokoh persilatan.
"Jangan mundur, saudara-saudara! Lebih baik
kita mati di kolong tanah, daripada hidup dalam ke-
kangan para iblis."
Jaka yang tengah bertarung menghindari se-
rangan-serangan Rangga Wisnu tersentak, meman-
dang pada asal suara itu. Tampak di atas bukit seo-
rang gadis cantik berdiri tersenyum padanya. Kedua
mata pemuda-pemudi itu saling pandang. Sementara
hati mereka seketika berkata penuh bunga.
"Siapakah gadis itu...?" bergumam Jaka.
"Hem, diakah yang bernama Jaka atau Pende-
kar Pedang Siluman Darah..."
Tengah Jaka tersentak, Rangga Wisnu yang me-
lihatnya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Seketika
dihantamnya Jaka dengan pukulan Gugur Gunung.
Miranti yang melihat Jaka terpental dihantam
ajian Gugur Gunung seketika memekik sembari berke
lebat. "Aaah...!"
Miranti dengan cepat menangkap tubuh Jaka
yang terbang, terhantam ajian Gugur Gunung. Hal itu
menjadikan Jaka tersentak kaget, tersipu-sipu. Betapa
tidak, gadis itu tersenyum sembari menurunkan tubuh
Jaka. Pipinya merona merah, terbersit rasa malu. Tak
terasa, kepala Miranti tertunduk.
"Terimakasih atas pertolonganmu, Nona."
"Kau tidak terluka?" tanya Miranti, nadanya
khawatir.
"Tidak... siapa nama Nona?"
"Namaku Miranti," jawab Miranti masih tertun-
duk dengan bibir terurai senyuman.
Rangga Wisnu tersentak demi mendengar siapa
adanya gadis yang telah menolong Pendekar Pedang Si-
luman Darah. Hatinya seketika bimbang, mengakui
bahwa gadis itu memang benar-benar adiknya. Melihat
Rangga memandangnya tanpa berkedip, menjadikan
Miranti seketika itu tersentak dan balik memandang
pada Rangga dengan mulut membersitkan kata-kata.
"Kakang Rangga Wisnu, benarkah kau kakang
Rangga Wisnu?"
"Kau kenal dengan dia, Nona?" tanya Jaka yang
turut terbengong-bengong menyaksikan kedua kakak
beradik itu saling pandang bengong.
"Ya, dia kakakku," jawab Miranti yakin.
"Miranti adikku..."
Tengah kedua kakak beradik itu saling diam
membisu, tiba-tiba terdengar oleh Rangga seruan dari
Nyi Mayang Sari menyuruhnya untuk menyerang Jaka
Ndableg dan Miranti.
"Rangga, kenapa kau terbengong? Bunuh saja
pemuda dan gadis di hadapanmu...!"
Bimbang hati Rangga seketika itu untuk men
gambil keputusan. Antara hatinya yang mengakui
bahwa gadis di hadapannya adalah adiknya sendiri,
dengan tugasnya sebagai seorang anak yang harus
berbakti pada orang tuanya.
"Tidaaaaaaakkkk......'" menjerit Rangga dalam
bimbang.
Seketika itu pula, tubuh Rangga berkelebat
dengan cepat menyerang Nyi Mayang Sari yang tersen-
tak kaget.
"Rangga, kau.....!"
Rangga yang telah pusing dan marah tak per-
duli, menyerang ibu angkatnya. Nyi Mayang Sari sege-
ra mengelakkan, manakala tangan Rangga berkelebat
menghantam ke arahnya. Marahlah Nyi Mayang Sari
melihat hal itu yang dengan terlebih dahulu memaki
segera berkelebat menyerang.
"Anak dungu! Rupanya kau mencari mati!"
Rangga tak perduli lagi dengan caci maki ibu
angkatnya. Matanya gelap, sehingga ia bagaikan ben-
teng ketaton terus memburu.
"Siapakah namamu, Tuan?" tanya Miranti yang
seketika menyentakkan Jaka dari lamunan. "Apakah
engkau yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Si-
luman Darah...?"
"Ah, darimana kau mengetahui namaku, No-
na?" tanya Jaka.
Miranti hanya tersenyum manis, menjadikan
Jaka kembali terdiam bisu. Seperti hati Miranti, hati
Jaka pun telah tergores sebuah syair-syair cinta. Ke-
duanya hanya terdiam, dengan mata mereka saling be-
radu pandang.
"Ah, orang tua itu terdesak," mengeluh Miranti
demi melihat Ki Banyu Wangi terdesak hebat. Dengan
segera tanpa memperdulikan Jaka yang masih ter
diam, Miranti segera melompat sembari kibaskan se-
lendangnya.
Selendang Ungu seketika berkelebat menangkis
pukulan yang dilontarkan Loh Gantra, yang hampir
merenggut nyawa Ki Banyu Wangi.
"Hiat...!"
"Bletar...! Bletar...!"
Selendangnya menyerang Loh Gantra. Gera-
kannya begitu lembut bagaikan gerakan orang menari.
Namun dirasakan, betapa kerasnya angin kebutan se-
lendang itu sampai-sampai mampu menerbangkan apa
saja yang berada di dekatnya. Mau tak mau, Loh Gan-
tra harus berjumpalitan mengelakkannya.
Terbelalak mata Loh Gantra dengan muka pu-
cat, manakala dirasakannya sebatang selendang itu
begitu kerasnya bagaikan hantaman jutaan kati saja.
Kalau saja Loh Gantra tidak segera menarik mundur
tangannya maka tak dapat dibayangkan lagi tangan-
nya pasti putung. Dengan mata melotot karena marah,
Loh Gantra segera membentak bertanya.
"Kuntilanak! Siapa kau!"
"Aku....? Akulah Bidadari Selendang Ungu,"
menjawab Miranti yang seketika mengejutkan Loh
Gantra. Dengan mata kembali terbelalak, Loh Gantra
mendesah lemah.
"Ah, aku tak percaya kalau kau adalah pewaris
Kitab Selendang Ungu yang berada di tangan Sandi
Antini."
Tersenyum Miranti mendengar ucapan Loh
Gantra, lalu dengan tenang ia berkata: "Kalau kau tak
percaya, tak mengapa. Yang pasti, aku mengemban tu-
gas dari guruku yang sekaligus ibuku Sandi Antini un-
tuk melenyapkan kalian dari muka bumi ini."
Makin terbelalak kaget Loh Gantra setelah gadis di hadapannya mengenalkan siap dirinya. Hatinya
seketika menciut, karena ia tahu dan telah mendengar
kehebatan jurus-jurus Selendang Ungu.
"Ah, memang benar gadis ini yang berjodoh
dengan Kitab Selendang Ungu. Yaa, itu selendang yang
dipakainya mengingatkan aku pada cerita guru ten-
tang Nyi Molek Kencana atau Bidadari Selendang Un-
gu. Sungguh benar ramalan guru, bahwa Bidadari Se-
lendang Ungu akan muncul kembali lewat orang lain.
Tak diragukan," mendesah Loh Gantra mengeluh.
"Apakah kau sudah siap, Loh Gantra!"
Membelalak Loh Gantra dari lamunannya demi
mendengar seruan gadis di hadapannya. Matanya
membeliak menatap tajam pada Miranti yang terse-
nyum datar. Hatinya bimbang, untuk berbuat. Namun
rasa sombongnya seketika memberontak, menyuruh-
nya untuk menjawab ucapan Miranti si Bidadari Se-
lendang Ungu. Maka dengan lantang bagaikan tak
mengenai rasa takut, Loh Gantra berkata: "Jangan
sombong! Walaupun kau pewaris Selendang Ungu na-
mun aku tak akan mundur setapakpun. Akulah yang
akan menjadi Raja di raja dunia persilatan."
"Hem, rupanya iblis telah melekat di hatimu
hingga kau tak dapat lagi mengenal dan membedakan
mana yang baik dan benar. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, seketika Miranti meliuk-
liukan tubuhnya bagaikan menari menjadikan Loh
Gantra dan semua yang ada di situ terkesiap meman-
dangnya. Namun ketika ia sadar, dengan segera Loh
Gantra berkelebat mengelitkan hantaman ujung selen-
dang yang dikibaskan oleh Miranti. Loh Gantra telah
tahu kehebatan Ilmu Selendang Ungu, baik dari cerita
gurunya maupun dari apa yang barusan ia rasakan
manakala ujung selendang itu menangkis tangannya
yang hendak menghabisi nyawa Ki Banyu Wangi.
"Kunyuk!" memaki Loh Gantra seraya menge-
lakkan serangan ujung selendang yang dilancarkan
oleh Miranti. Belum juga Loh Gantra dapat mengatur
nafas, secepat kilat Miranti telah kembali mengibaskan
selendang.
"Gadis sundel! Rupanya kau hendak mencari
mampus!" kembali terdengar makian Loh Gantra, lalu
dengan nekad Loh Gantra memapaki serangan selen-
dang yang dilancarkan Miranti dengan ajian Gugur
Gunungnya.
"Hiaat...!"
Loh Gantra segera melompat, menyerang Mi-
ranti dengan ajian Gugur Gunung yang merupakan
ajian andalannya. Melihat hal itu, Miranti dengan sege-
ra kibaskan selendangnya sembari berseru memapa-
kinya.
"Hiaaatt...!"
"Bletar! Bletar!"
"Aaaah....!" menjerit Loh Gantra seketika, ma-
nakala ujung selendang Ungu menghantam deras
hingga tak mampu dielakkannya pada pergelangan ke-
dua tangannya. Kedua tangan Loh Gantra seketika itu
putung, mengeluarkan darah segar.
Bersamaan dengan itu, Rangga Wisnu pun te-
lah mengadu ajian Gugur Gunung dengan ibu angkat-
nya Nyi Mayang Sari yang juga menggunakan ajian
tersebut. Keduanya seketika mental jauh, dengan mu-
lut mengeluarkan darah segar.
"Kakang...!" menjerit Miranti dan segera mem-
buru ke tubuh Rangga yang tergeletak di tanah. Dide-
kapnya tubuh Rangga, yang lemah bagaikan tak berte-
naga. Tampak mata Rangga berkaca-kaca seperti hen-
dak menangis memandang ke arahnya. Dari mulutnya
yang melelehkan darah, terdengar suaranya yang ter-
putus-putus.
"Ma-af-kan, a-ku a-dik-ku. Ja-ngan-kau ber-
sedih. A-ku bang-ga me-li-hat kau te-lah-men-ja-di se-
orang pen-de-kar. Se-la-mat ting-gal..." Terkulai lemas
kepala Rangga bersamaan dengan nyawanya yang me-
layang meninggalkan tubuhnya. Seketika itu, Miranti
menjerit sembari mendekap erat tubuh kakaknya. "Ka-
kang...!"
Terharu semuanya yang ada di situ termasuk
Jaka Ndableg yang segera mendekati Miranti, dan ber-
kata lirih seperti berbisik.
"Sudahlah Nona, tak perlu kau tangisi, sebab
semuanya Yang Widilah yang telah menggariskannya.
Kami maklum akan perasaanmu. Kami juga turut ber-
duka walaupun dulu kakakmu adalah seorang penja-
hat, namun sebelum mati ia sempat menyadari kesa-
lahannya. Dia telah berkorban untuk kita."
Mendengar kata-kata Jaka Ndableg seketika
Miranti dapat tenang. Ditatapnya pemuda itu lekat-
lekat, seakan meminta petunjuk apa yang harus ia
perbuat dengan mayat kakaknya. Jaka Ndableg yang
tanggap dengan penuh rasa haru berkata: "Karena ka-
kakmu termasuk seorang pahlawan maka kami ingin
menyemayamkan tubuhnya dengan cara pendekar."
Hari itu juga tubuh Rangga Wisnu disemayam-
kan dengan tata cara seorang pendekar, yaitu diberi
penghormatan sebelum tubuhnya dikubur.
Suasana Hutan Cemara Sundul seketika hen-
ing oleh kebisuan dan kekusukan mereka yang tengah
membaca doa di depan makam Rangga Wisnu. Di sebe-
lah kiri makam berdiri Miranti dan Jaka Ndableg. Mi-
ranti terus menangis, menjadikan Jaka turut iba. Keti-
ka Miranti merebahkan kepala pada pundaknya, Jaka
hanya terdiam menerimanya. Dibelainya rambut Mi-
ranti yang panjang terurai, lembut bagaikan penuh ka-
sih. Ya, keduanya memang secara tak langsung telah
terpaut cinta di hatinya.
Senja telah tiba, manakala satu persatu dari
para hadirin yang turut serta memberikan penghorma-
tan terakhir pada Rangga, pergi meninggalkan ma-
kamnya.
Kini tinggal Miranti dengan seorang pemuda
yang tak lain Jaka Ndableg berdiri memandangi ma-
kam walau mentari telah tenggelam di balik bumi.
"Kakang Rangga, kenapa kita dipertemukan
hanya sesaat? Kenapa kau harus secepatnya mening-
galkan aku untuk selama-lamanya, Kakang? Kini aku
sebatang kara tak punya saudara lagi Kakang."
"Sudahlah, Nona. Tak perlu kau tangisi keper-
gian kakakmu, kita hanya dapat berdoa untuknya."
Miranti seketika terjengah, memandang pada
Jaka yang tersenyum sembari menganggukkan kepala.
Dengan penuh perasaan dipeluknya tubuh Miranti,
dan dibimbingnya pergi meninggalkan Lembah Berkala
Darah di Hutan Cemara Sundul.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar