..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE BIDADARI SELENDANG UNGU

Bidadari Selendang Ungu

 

BIDADARI SELENDANG UNGU

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Bidadari Selendang Ungu

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Wanita bongkok itu berlari seperti Kancil, me-

lompat menuruni lembah dan mendaki bukit di Pegu-

nungan Penangunggungan yang letaknya di sebelah 

Selatan kota Surabaya. Tongkat di tangan kanannya 

merupakan sebuah tumpuan, mana kala ia hendak 

melompat.

"Hoop, ya...!"

Tubuh bongkok itu dengan ringan melompat 

dari tebing satu ke tebing lainnya. Hal itu menunjuk-

kan betapa ilmu meringankan tubuhnya telah menca-

pai tarap yang sempurna.

Di atas sebuah bukit ia berdiri memandang ke 

sebuah kampung yang terpapar di muka. Kampung 

itulah yang hendak ia tuju, bernama kampung Wates. 

Manakala ia memandang kampung itu, seketika piki-

rannya melayang jauh. Tak terasa matanya berkaca-

kaca seperti hendak menangis.

Angannya kembali menyusut ke belakang pada 

dua puluh lima tahun yang silam. Pada kejadian yang 

sampai sekarang membekas di tubuhnya.

Kala itu seorang pemuda mengaku-aku sebagai 

adik seperguruan datang ke gubugnya.

Pemuda itu sungguh tampan raut mukanya 

hingga membuat bunga-bunga desa Wates banyak 

yang senang. Mereka berusaha mengambil hati Loh 

Gantra, namun sejauh itu Loh Gantra seperti berusaha 

menolak.

Loh Gantra merupakan pemuda supel, ramah 

tamah dan suka bergaul. Tak aneh jika Loh Gantra 

banyak yang menyukai termasuk dirinya. Suatu hari 

manakala mereka tengah berlatih ilmu silat, tiba-tiba


Loh Gantra bertanya: "Kakang ayu, bilakah kakang 

ayu pernah jatuh cinta?"

Tersentak Sandi Antini mendengar pertanyaan 

Loh Gantra hingga dengan segera ia menghentikan la-

tihannya.

"Apa maksud pertanyaanmu, Loh?" 

"Tidak apa-apa, Kakang ayu. Aku hanya ber-

tanya," jawab Loh Gantra.

"Apakah kau tengah jatuh cinta, Loh?" Sejenak 

Loh Gantra memandang ke arahnya dengan takut-

takut. Hal ini menjadikan Sandi Antini mengernyitkan 

keningnya. Dan mana kala Loh Gantra mengangguk

lemah, Sandi Antini kembali bertanya.

"Bila kau merasakan cinta, apakah kau tahu 

arti sesungguhnya dari cinta itu, Loh?"

Loh Gantra untuk kedua kalinya hanya me-

mandang pada Sandi Antini.

"Kenapa kau memandangku begitu, Loh? Apa-

kah kau baru sekali ini melihatku?"

Untuk ketiga kalinya Loh Gantra hanya terdiam 

memandang tajam pada Sandi Antini, sepertinya Sandi 

Antini merupakan orang asing di dalam benaknya. Hal 

itu makin membuat Sandi Antini bingung.

"Loh, kau jangan membuat aku makin tak 

mengerti. Kalau ada sesuatu yang ingin kau katakan 

padaku, katakanlah!"

Mendengar ucapan Sandi Antini, seketika ke-

ringat dingin mengalir deras membasahi kedua peli-

pisnya. Matanya yang sedari tadi menatap tajam pada 

Sandi Antini, seketika berubah redup. Dari sela-sela 

sudut matanya, meleleh butiran-butiran kristal putih. 

Trenyuh hati Sandi Antini melihat Loh Gantra 

menangis, walau ia tak mengerti apa yang ditangisi 

Loh Gantra, namun hatinya sebagai seorang wanita


mengerti apa yang dirasakan oleh adik seperguruan-

nya.

Dan oleh karena ia telah tahu hal sebenarnya 

yang telah tersirat di hati Loh Gantra menjadikan pe-

rasaannya seketika menjerit. "Ampun Guru! Adakah 

semua ini merupakan hukuman bagiku? Pantaskah,

kalau aku membiarkan adik seperguruanku menderita, 

karena sesuatu yang kini berbunga di hatinya? Dan 

apakah aku tak berdosa bila melayani cintanya?"

Walaupun hati kecilnya menjerit, namun seba-

gai seorang pendekar pantang baginya untuk menun-

jukkan hal sebenarnya. Maka dengan keteguhan prin-

sip, Sandi Antini pun kembali berkata.

"Katakanlah, Loh! Katakanlah! Siapakah bunga 

yang telah menyentuh hatimu?"

Loh Gantra tak segera menjawabnya, malah 

kembali ia memandang tajam pada Sandi Antini. Sete-

lah beberapa saat kedua kakak beradik seperguruan 

itu saling pandang terdengarlah suara Loh Gantra le-

mah berkata: "Ampun, Kakang Ayu. Mungkin akulah 

adik yang tak tahu diri. Kalau boleh adik berterus te-

rang, bunga yang telah menyentuh hatiku tak lain dan 

tak bukan ayulah orangnya."

Bagai tersengat kala. Seketika Sandi Antini 

membelalakkan matanya, walau ia sebenarnya telah 

menyadari dari semula. Perasaannya sebagai seorang 

wanita, menjadikannya merasa terharu. Kebimbangan, 

terharu, senang, beraduk menjadi satu di hatinya. An-

tara perasaan di hatinya dengan, kenyataan, menjadi-

kan Sandi Antini bingung harus memilih. Maka hanya 

dengan berlari pergi ke gubugnya yang dapat ia laku-

kan sebagai tumpuhannya.

Tercengang Loh Gantra melihat itu hingga ia 

untuk sesaat hanya memandang dan memandang ke


pergian kakak seperguruannya. Setelah tersadar dari 

ketidak mengertiannya, Loh Gantra segera mengikuti 

langkah kakak seperguruannya, masuk ke dalam gu-

bug

Di dalam gubug ditemuinya Sandi Antini yang 

tengah duduk merenung menunduk muka dan meno-

pang dagu. Perlahan Loh Gantra berjalan mendekat, 

sampai-sampai tak terdengar langkah kakinya. 

Dengan tangan yang agak bergetar karena ge-

metar, Loh Gantra lembut mengusap pundak Sandi 

Antini. Namun begitu, usapan itu terasa juga oleh 

Sandi Antini. Seketika Sandi Antini memandang ke 

arah Loh Gantra yang tertunduk tak berani menantang 

pandangannya.

"Kakang Ayu, apakah kakang ayu marah pada-

ku? Apakah salah bila aku mencintaimu, Kakang?" 

tanya Loh Gantra perlahan, yang dijawab dengan ge-

lengan kepala oleh Sandi Antini. Perlahan namun pas-

ti, kedua kakak beradik seperguruan itu saling pan-

dang. Tak terasa benih cinta bertaburan di hati kedu-

anya. Walau hanya lewat tatapan mata, keduanya te-

lah mengerti segalanya. Mengerti apa dan untuk apa 

mereka dipertemukan.

Lembayung senja telah merona, mengiringi la-

rian waktu bagaikan memburu. Meredup bayang-

bayang pepohonan, menyanyi riang burung pulang 

kandang. Ketika perahu nelayan berlabuh, berlabuh 

juga cinta di hati mereka.

* * *

Hari-hari mereka lalui bersama dengan segala 

suka dan duka. Kesepian hati yang dulu mereka alami, 

kini tak ada lagi, berubah menjadi tembang-tembang


dengan syair cinta.

Pagi itu keduanya tampak tengah berlatih silat, 

maka kala terdengar suara suitan yang melengking ke-

ras. Suitan itu menggema di bebatuan, menjadikan 

keduanya seketika menghentikan latihannya.

"Siapakah yang sepagi ini telah berbuat begitu, 

Kakang Sandi?" tanya Loh Gantra, seraya matanya ta-

jam memandang pada arah asal suara itu.

"Entahlah... Tapi yang jelas orang itu hendak 

berbuat jahat. Maka berhati-hatilah," jawab Sandi An-

tini, dengan siaga menghunus pedang dari sarungnya 

yang tergantung di pinggang. "Hoi! Siapa Ki Sanak 

yang sepagi ini telah bercanda?"

Tak ada jawaban yang terdengar, hanya desau 

angin pagi saja yang bergesek dengan daun-daun 

bambu. Membeliak mata Sandi Antini dan Loh Gantra, 

demi tak ada jawaban dari orang yang bersuit.

"Suuiitt...!"

Untuk kedua kalinya terdengar suara suitan.

Loh Gantra yang berjiwa panas dengan penuh 

kekesalan membentak: "Setan alas! Rupanya ia senga-

ja hendak mempermainkan kita!"

Srang! 

Dihunusnya pedang. Dengan langkah mantap 

bagaikan seorang prajurit perang yang gagah berani, 

Loh Gantra bermaksud mendatangi asal suara itu ka-

lau saja Sandi Antini tak segera mencegahnya. 

"Jangan, Loh!"

"Tapi mereka sangat keterlaluan, Kakang."

"Biarkan, apa yang hendak mereka mau."

"Keresek! Keresek!" Terdengar suara daun-daun 

kering diinjak.

Sandi Antini seketika memasang telinganya ta-

jam-tajam mengintai. "Hem, ada sekitar sepuluh


orang," gumamnya dalam hati. Tangannya yang meng-

genggam pedang, senantiasa siap siaga

"Suuuiiittt!"

Suitan ketiga terdengar bersamaan dengan ber-

kelebatnya sosok-sosok tubuh dari balik semak-semak 

yang langsung mengurung keduanya.

Terbelalak mata Sandi Antini dan Loh Gantra 

mana kala melihat orang-orang bercadar seperti ninja. 

Mata keduanya menatap tajam bagaikan hendak me-

nembus cadar-cadar yang menutupi wajah kesepuluh 

orang yang mengurungnya.

"Siapa kalian!" membentak Sandi Antini.

Bukannya jawaban kata-kata yang diterima 

Sandi Antini dari kesepuluh orang yang mengepung-

nya, namun jawaban dari pertanyaannya adalah kele-

batan babatan golok di tangan kesepuluh orang itu.

"Awas, Loh!" seru Sandi Antini, tatkala sebuah 

golok berkelebat mengarah ke arah mereka. Dengan 

gesit Loh Gantra segera berkelit menghindar. Namun 

belum juga Loh Gantra menjejakkan kakinya di tanah, 

orang yang tadi menebaskan golok kembali mencer-

canya. Dengan agak repot Loh Gantra berjumpalitan 

mengandalkan saltonya untuk dapat menghindari se-

rangan itu.

Begitu ada kesempatan, Loh Gantra dengan se-

gera balik menyerang. Kaki dan tangannya berkelebat 

dengan cepat, menghantam dan menendang musuh-

nya. Seketika terpentallah tubuh orang yang menye-

rang itu membentur pohon dengan kerasnya. Lalu mati 

dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya.

Belum juga Loh Gantra dapat mengatur napas 

seketika teman orang yang mati berkelebat dengan ce-

pat membabatkan golok ke arahnya.

Loh Gantra tersentak melototkan mata marah.


Hampir saja kepalanya tertebas golok, kalau saja Loh 

Gantra tidak segera merunduk.

"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mam-

pus!" memaki Loh Gantra setelah terlepas dari maut. 

Bagaikan banteng ketaton, Loh Gantra melesat mener-

jang orang itu.

Sementara itu, Sandi Antini yang dikeroyok 

tampak bagaikan tak kerepotan melayani serangan-

serangan musuhnya. Tubuhnya yang ramping berkele-

bat-kelebat menghindari serangan yang dilancarkan 

oleh musuh-musuhnya.

"Siapa kalian! Jangan sampai kalian mati den-

gan tanpa nama!"

Namun seperti semula, bukannya kata-kata ja-

waban dari pertanyaannya, melainkan tebasan dan tu-

sukan golok. Kesabaran Sandi Antini seketika hilang, 

berubah menjadi kegusaran merasa ucapannya tak di-

gubris oleh orang-orang bercadar itu. Dengan menden-

gus terlebih dahulu, Sandi Antini segera balik menye-

rang dengan Pedang Dewi di tangannya.

Bagaikan Dewi Kematian, setiap kelebatan pe-

dang di tangan Sandi Antini menjadikan jerit kematian 

yang melolong panjang. Jurus-jurus Pedang Dewi yang 

dimainkan Sandi Antini begitu cepat. Musuh-

musuhnya kelabakan bingung, manakala pedang di 

tangan Sandi Antini bergulung cepat laksana kincir. 

Sebuah sinar putih berkilauan keluar dari pedang yang 

tertimpa sinar matahari, menyilaukan mata musuh-

musuhnya.

Tercengang orang-orang bercadar itu menyak-

sikan permainan pedang Sandi Antini. Hal itu tidak 

disia-siakan oleh Sandi Antini yang dengan segera 

membabatkan pedangnya. Maka seketika itu jerit ke-

matianpun kembali menggema.


"Aaaaahhhhhh!"

Dalam sekejap dua orang bercadar itu ambruk 

dengan leher puntung dari tubuhnya, terbabat oleh 

Pedang Dewi. Bergidik keempat orang bercadar lainnya 

menyaksikan hal itu. Namun belum sempat mereka 

berbuat apa-apa, pedang di tangan Sandi Antini kem-

bali berkelebat dan kembali meminta nyawa. Kembali 

dua orang lainnya ambruk dengan keadaan seperti ke-

dua temannya yang terdahulu, putung kepalanya dan 

mati.

Kedua orang yang masih hidup hendak melari-

kan diri, ketika dengan segera Sandi Antini merogoh 

sesuatu dari balik bajunya. Secepat kilat dari tangan 

Sandi Antini mendesing benda-benda kecil, memburu 

dua orang yang tengah berlari.

"Aaaaaahhhh...!"

Ambruk seketika kedua orang itu dengan tubuh 

membiru bagaikan kena racun, jarum-jarum kecil me-

nancap di pundak mereka. Tersenyum puas Sandi An-

tini melihat hasil yang diperolehnya, lalu dengan santai 

dihampiri Loh Gantra yang juga telah membereskan 

musuh-musuhnya.

"Siapa kira-kira mereka ini, Kakang?" tanya Loh 

Gantra sembari menjejakkan kaki ke tubuh musuhnya 

yang telah mati.

"Dilihat dari pakaian mereka adalah anak buah 

Tongkat Putih. Tapi aku tak yakin kalau Tongkat Putih 

yang melakukan ini semua," jawab Sandi Antini ragu, 

menjadikan Loh Gantra seketika memandangnya den-

gan kening berkerut.

"Maksud, Kakang?"

"Aku rasa ada orang yang sengaja ingin menga-

du domba."

"Siapakah kira-kira orang tersebut, Kakang?"


"Entahlah. Setahuku, aku tak punya musuh. 

Namun entah memang ada seseorang yang sengaja 

memusuhiku dengan maksud-maksud tertentu."

"Mungkin ada orang yang tahu kalau kakang 

Ayu memiliki kitab Selendang Ungu," berkata Loh Gan-

tra yang seketika itu membuat Sandi Antini membela-

lakkan mata kaget.

"Bagaimana mungkin Loh Gantra mengerti ka-

lau aku mempunyai kitab Selendang Ungu? Apakah 

guru menceritakannya?" bertanya-tanya hati Sandi An-

tini. Matanya yang lentik dengan bulu mata panjang-

panjang, menatap tajam tak berkedip pada Loh Gantra 

yang seketika tertunduk.

Merasa dipandang begitu rupa oleh Sandi Anti-

ni, Loh Gantra mengeluh dalam hati. "Ah, kenapa aku 

mengatakannya? Sungguh bodohnya aku. Kalau Sandi 

Antini mengerti bahwa aku sebenarnya bukan adik se-

perguruannya. Gagallah segala rencanaku untuk me-

rebut Kitab Selendang Ungu dari tangannya. Kenapa 

Nyi Mayang Sari belum datang-datang?"

"Loh, apakah guru telah mengatakannya pada-

mu bahwa aku mempunyai kitab Selendang Ungu?"

Tersentak Loh Gantra ditanya seperti itu. Den-

gan mata terbelalak, Loh Gantra menjawab dengan 

terbata-bata. "Be, benar."

"Hai! Kenapa kau, Loh? Sepertinya kau kaget?" 

tanya Sandi Antini seraya menyipitkan mata, manaka-

la mendengar ucapan Loh Gantra yang tergagap seperti 

ketakutan.

"Mati aku!" mengeluh Loh Gantra dalam hati, 

namun dengan segera dicobanya untuk tenang. Den-

gan bibir mencoba tersenyum, Loh Gantra berkata: 

"Ah, tidak! Aku hanya terpana dengan kecantikan ka-

kang ayu saja, hingga aku begitu gugup mana kala ka


kang ayu bertanya padaku."

"Ah! Kau bisa saja, Loh," mendesah Sandi Anti-

ni dengan bibir terurai senyum. Hal itu menjadikan 

Loh Gantra tenang kembali hatinya. Maka dengan se-

gera, kembali Loh Gantra berucap menjadikan Sandi 

Antini hanya mampu mengeluh. Tak kuasa mendengar 

ucapan Loh Gantra yang begitu membuatnya terlena.

"Benar, Kakang Ayu. Sungguh aku berkata se-

benarnya Kakang ayu memang cantik jelita."

"Ah, Loh...!"

Bagaikan seorang anak kecil yang ditimang, 

Sandi Antini segera mendekati Loh Gantra. Dan den-

gan penuh perasaan direbahkannya kepala di pundak 

Loh Gantra yang menerimanya dengan bibir terse-

nyum, walau hatinya berkata lain. "Hem, masuklah 

kau dalam perangkapku. Orang bodoh! Maka aku mau 

denganmu yang janda?"

Dibimbingnya Sandi Antini, berjalan menuju ke 

dalam gubug dengan bercanda ria keduanya saling 

memadu kasih.

***

DUA



Ketika senja hari telah tiba dan bias merah 

menggambar di langit sebelah barat, Loh Gantra berja-

lan mengendap-endap, pergi meninggalkan gubug yang 

mereka tempati.

Setelah celingukan sesaat, Loh Gantra segera 

berkelebat pergi dengan menggunakan ilmu larinya.

Sesekali ia kembali menengok ke belakang, lalu 

kembali berlari mana kala dilihatnya tak ada orang


yang mengikutinya.

"Ku harap Sandi Antini tidak segera bangun," 

berkata Loh Gantra dalam hati sembari mempercepat 

larinya. Selang tak beberapa lama kemudian, Loh Gan-

tra telah sampai pada sebuah gubug dekat kali yang 

berada di dalam hutan Cemara Sundul.

"Sampurasun... Nyi!"

"Rampes! Kaukah itu, Loh?" terdengar suara 

wanita menyahuti.

"Benar, Nyi," jawab Loh Gantra.

Tak berapa lama antaranya, seorang wanita se-

tengah baya nampak keluar dari gubug. Bibirnya teru-

rai senyum, memandang genit pada Loh Gantra. 

"Ayo, masuk!" mengajak wanita yang bernama 

Nyi Mayang Sari, diikuti oleh Loh Gantra di belakang-

nya. Lalu dengan segera ditutupnya pintu bilik yang 

meninggalkan suara berderit.

"Apakah kau telah mengetahui, di mana ia me-

nyimpan kitab itu, Loh?" tanya Nyi Mayang Sari.

"Belum, Nyi."

"Bodoh! Kenapa kau begitu lama? Apa saja 

yang kau kerjakan di sana? Apakah kau hanya berme-

sra-mesraan dengan dia saja hingga kau lupa pada tu-

gasmu?" mendengus Nyi Mayang Sari penuh kekece-

waan dan rasa cemburu.

"Ah, Nyi. Kenapa kau begitu cemburu?"

"Aku tidak cemburu, Loh. Tapi kalau kau terje-

rat olehnya, bagaimana mungkin kau akan menjalan-

kan rencana kita dengan baik? Kau mesti ingat, bahwa 

dia masih begitu cantik walau usianya sama dengan-

ku. Aku khawatir kau lalai dengan tugasmu," berkata 

Mayang Sari, menjadikan Loh Gantra tersenyum-

senyum sendiri. Di peluknya tubuh Mayang Sari, men-

jadikan Mayang Sari terdiam.


"Jangan khawatir, Nyi. Percayalah padaku, 

bahwa aku hanya mencintaimu seorang," bisik Loh 

Gantra di telinga Mayang Sari yang seketika menatap-

nya penuh arti. Tak berapa lama kemudian kedua 

orang itu akhirnya terlarut dalam alunan cinta bersa-

ma dengan datangnya malam. 

Entah apa yang keduanya lakukan yang pasti 

hanya desah-desah, dan lenguhan Nyi Mayang Sari 

memecah keheningan.

Tak berapa lama setelah keduanya hening, ter-

dengar kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Hati-hati, 

Loh. Jangan kau sampai terperangkap olehnya. Ingat! 

Rencana kita untuk mendapatkan Kitab Selendang 

Ungu, harus berhasil."

"Baik, Nyi. Kapankah kau akan datang?" tanya 

Loh Gantra yang tampak dengan terburu-buru membe-

tulkan celananya, hingga mau tak mau Nyi Mayang 

Sari yang melihatnya tersenyum geli. "Aku pergi dulu, 

Nyi."

"Ya... Aku akan datang ke tempatmu bila kau 

telah mendapat keterangan mengenai Kitab tersebut," 

menjawab Nyi Mayang Sari.

Dengan segera Loh Gantra berkelebat pergi, 

meninggalkan Nyi Mayang Sari yang mengikuti keper-

giannya dengan senyum mengembang di bibir.

Sandi Antini yang baru terjaga dari tidur ter-

sentak kaget mana kala dilihatnya Loh Gantra tak ada. 

Dengan segera Sandi Antini bergegas bangkit dari ti-

durnya, berjalan menuju keluar mencari Loh Gantra. 

Sesampainya di luar, dilihatnya Loh Gantra tengah 

duduk-duduk melamun seorang diri dalam gelapnya 

malam.

"Sedang apakah kau di luar malam begini, 

Loh?" tanya Sandi Antini sembari berjalan menghampi


ri Loh Gantra.

Bagaikan tersentak kaget, Loh Gantra segera 

menengok sembari lemparkan senyum. "Ah, rupanya 

kakang ayu. Kaget aku dibuatnya. Sudah puaskah ti-

durnya?"

"Ooh... puas sekali, Loh," mendesah Sandi An-

tini. "Dari mana kau, Loh?"

"Dari tadi aku di sini, Kakang. Sengaja aku du-

duk-duduk di sini menunggui kakang ayu yang tengah 

tidur. Aku khawatir kalau-kalau ada orang yang meng-

ganggu kakang ayu," berkelakar Loh Gantra menjadi-

kan Sandi Antini mesem tersipu-sipu.

"Apa yang kau takuti dengan diriku, Loh? Bu-

kankah aku sudah tua? Mana mungkin ada orang 

yang mau mengusikku?" tanya Sandi Antini manja 

dengan senyum makin melebar di bibirnya.

"Tidak demikian, Kakang. Aku rasa kakang ayu 

masih begitu mempesona. Mungkin kalau orang yang 

tak mengerti, akan menyangka kakang ayu masih be-

rusia belasan tahun."

Mendengar ucapan Loh Gantra yang men-

dayu-dayu, seketika merona merahlah kedua pipi San-

di Antini. Matanya berkaca-kaca dengan bibir mende-

cap-decap seakan sengaja dipermainkan. Dari mulut-

nya yang mendecap-decap terdengar desahannya yang 

lembut. "Ooh, sungguh aku bagaikan hidup di Surga 

mendengar ucapan-mu, Loh."

Tersenyum Loh Gantra dalam hati, melihat 

Sandi Antini telah dapat ia ambil hatinya. Hati Loh 

Gantra yang memang mempunyai maksud lain, berka-

ta sendiri penuh kebencian. "Hem, rupanya dengan ja-

lan begini kau dapat ditundukkan. Kau akan tahu 

sendiri nanti, siapa aku se-benarnya"

"Aku rasa, ucapanku hanyalah pernyataan


yang ada di hatiku. Mungkin lelaki lainpun akan sama 

mengatakannya seperti apa yang aku katakan," berka-

ta Loh Gantra, makin membuat Sandi Antini seketika 

angannya melayang bagaikan terbang. Ia tak menyada-

ri siapa sebenarnya Loh Gantra, dan apa sebenarnya 

yang dituju.

Karena terlalu mabuk oleh sanjungan, Sandi 

Antini tak dapat lagi mengontrol dirinya. Dengan man-

ja direbahkannya kepala ke dada Loh Gantra yang 

hanya dia menerimanya.

Meski di bibir terurai senyum, tapi mimik Loh 

Gantra sebenarnya dapat dibaca kalau sebenarnya dia 

memendam perasaan permusuhan. Senyumnya meru-

pakan senyum sinis yang sengaja dibuat-buat untuk 

menutupi perasaan lain. Tatapan matanya. sebenarnya 

tatapan mata melotot. Beruntung mata Loh Gantra 

agak lebar hingga hal itu tidak dapat kentara. Dan 

mana kala Sandi Antini memandang ke wajahnya, ce-

pat-cepat Loh Gantra segera membuang muka pura-

pura memandang ke langit di mana bulan terpampang 

terang.

"Loh, sungguh indah malam ini. Apalagi bulan 

bersinar terang."

"Ya, seterang dan secantik wajahmu, Kakang."

"Ah, kau Loh. Mana mungkin wajahku yang je-

lek ini disamakan dengan bulan? Bukankah Bulan itu 

tanda kecantikan, Loh?" tanya Sandi Antini manja. 

"Kenapa kau hanya memandang ke Angkasa? Apakah 

kau tak senang melihat wajahku, Loh?"

Tersentak Loh Gantra seketika demi mendengar 

pertanyaan Sandi Antini yang tak disangka-sangka. 

Matanya sesaat membeliak, lalu dengan mencoba ter-

senyum, Loh Gantra berkata terbata-bata.

"Ah, ti-tidak! Aku suka memandang wajahmu,


Kakang. Tapi aku takut kalau-kalau kau marah."

"Ah, Loh," mendesah Sandi Antini sembari tan-

gannya dilingkarkan ke leher Loh Gantra. Mau tak 

mau, akhirnya Loh Gantra harus menurut menatap 

wajah Sandi Antini. Perlahan namun pasti, wajah ke-

duanya semakin dekat dan dekat yang akhirnya me-

nyatu.

Tengah keduanya melakukan ciuman, seketika 

keduanya tersentak oleh suitan.

"Suiiiitttt...!"

Dengan seketika keduanya memandang ke re-

rumputan bambu yang berada di depannya, seraya 

melepaskan pelukan mereka.

"Suiiiittt...!"

Kembali terdengar suitan untuk kedua kalinya 

hingga membuat Sandi Antini segera bangkit dan me-

mandang tajam dengan pedang siap di tangannya.

Dengan mata memandang waspada pada re-

rumputan bambu, membentak Sandi Antini seketika 

itu: "Siapa kau!"

"Ha, ha, ha...! Inikah pendekar wanita yang ke-

sohor dengan julukan Pendekar Pedang Dewi? Hem, 

ternyata tak lebihnya dari seorang wanita liar yang su-

ka pada lelaki muda," mengejek suara wanita, bersa-

maan dengan berkelebat sesosok tubuh pemilik suara

tersebut. Di belakangnya lima belas orang lainnya 

membuntuti.

Terbelalak Sandi Antini seketika, mana kala 

melihat kehadiran orang-orang itu. Matanya meman-

dang tajam, sementara pedangnya telah tergenggam di 

tangan. Ketika Sandi Antini menengok ke Loh Gantra, 

betapa ia sangat kecewa, Loh Gantra yang mengaku-

aku sebagai adik seperguruannya dan telah merebut 

hatinya, ternyata kini tersenyum sinis padanya. Den


gan geram, Sandi Antini pun memaki-maki.

"Iblis! Ternyata kau sengaja menjebakku, Loh! 

Tak kusangka, kalau kau ternyata ular berbisa!" 

Mata Sandi Antini melotot, nafasnya naik turun 

menahan gejolak amarah. Bagaikan orang tak bersa-

lah, Loh Gantra seketika menderai tawa sembari ber-

kata mengejek. "Ha, ha, ha.... Sandi Antini. Sekarang 

kau telah tahu siapa aku sebenarnya. Nah, katakanlah 

di mana kau sembunyikan Kitab Selendang Ungu!"

"Setan alas! Jangan kalian kira aku mudah di-

gertak. Langkahi dulu mayatku, Hiat...!"

Tak terbendung lagi kemarahan Sandi Antini 

yang dengan seketika berkelebat menyerang Loh Gan-

tra. Marah karena ternyata mereka menghendaki Kitab 

Selendang Ungu, juga marah karena merasa telah diti-

pu mentah-mentah oleh Loh Gantra pria yang telah 

dapat mengambil hatinya setelah kematian suaminya 

si Pedang Dewa.

Loh Gantra yang sudah mengetahui kehebatan 

ilmu pedang Dewi hatinya merasa gentar juga. Dengan 

hati-hati sekali, Loh Gantra mengelakkan tusukan pe-

dang yang dilancarkan oleh Sandi Antini.

"Ut! hampir aku menjadi korban," mengeluh 

Loh Gantra dalam hati.

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-

buhnya, Loh Gantra segera melompat mundur dan 

berseru pada orang bercadar yang seketika menyerang 

Sandi Antini. "Serang...!"

Berloncatan kelima belas orang bercadar men-

gepung Sandi Antini, yang kemarahannya telah me-

muncak tak dapat dibendung lagi. Sebelum kelima be-

las pengeroyoknya beraksi, Sandi Antini segera men-

dahuluinya. Pedang di tangannya berkelebat dengan 

cepat menimbulkan desingan-desingan yang meme


kakkan telinga, membuyarkan konsentrasi penge-

royoknya. Maka tanpa ampun lagi, pedang di tangan 

Sandi Antini bagaikan Malaikat pencabut nyawa. Se-

tiap kebatannya, mengundang pekik kematian yang 

disusul dengan robohnya dua orang musuhnya. Kepala 

kedua orang yang terbabat pedang di tangan Sandi An-

tini, menggelinding lepas dari tubuh mereka.

Terbelalak mata wanita yang berdiri berdam-

pingan dengan Loh Gantra, melihat kenyataan di ha-

dapan matanya. "Sungguh ilmu pedang yang sangat 

dahsyat. Baru kali ini aku melihat ilmu pedang yang 

begitu dahsyat. Sukar diikuti gerakannya karena sak-

ing cepat," membatin wanita itu.

"Percuma kita buang-buang waktu saja, Loh. 

Aku rasa, mereka tak akan mampu menghadapinya," 

berkata wanita itu pada Loh Gantra yang tampaknya 

juga tengah menghadapi keragu-raguan.

"Apa yang mesti kita lakukan?" tanya Loh Gan-

tra, demi mendengar ucapan Nyi Mayang Giri. Matanya 

terus memandang pada perkelahian itu, seperti takjub 

melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang dilakukan 

Sandi Antini. Kebimbangan di hatinya kembali timbul, 

manakala untuk kedua kalinya ia melihat kelebatan 

cepat yang dilakukan oleh Sandi Antini.

Berbareng dengan habisnya pekikan Sandi An-

tini, kembali dua orang anak buahnya ambruk dengan 

kepala puntung. Hal itu makin menjadikan rasa tak 

percaya diri Loh Gantra, yang di hatinya telah berdesir 

kebimbangan dan keragu-raguan.

"Mampukah aku menghadapinya? Ah, sungguh 

luar biasa."

"Kita tak akan mampu mengalahkannya, Nyi!" 

berkata Loh Gantra putus asa.

"Heh, kenapa kau begitu pesimis, Loh?" terhe



ran-heran Nyi Mayang Sari mendengar ucapan Loh 

Gantra. Matanya memandang tajam pada Loh Gantra, 

dengan kening tampak mengerut. "Kenapa kau ini, 

Loh? Kau takut?"

Loh Gantra hanya mengangguk lemah bagaikan 

tak bersemangat.

Matanya memandang pada Nyi Mayang Sari 

seakan meminta pengertian. Namun Nyi Mayang Sari 

sepertinya tak mau tahu.

"Kalau kau penakut, kenapa kau tak jadi banci 

saja?"

"Nyi..." Loh Gantra hendak memprotes, ketika 

Nyi Mayang Sari telah mendahului berkata lagi;

"Jangan banyak omong! Kalau kau memang ta-

kut menghadapinya, maka aku sendiri yang akan 

menghadapinya." Tanpa dapat dicegah, Nyi Mayang 

Sari telah berkelebat menyerang Sandi Antini. Mau tak 

mau, Loh Gantra pun akhirnya turut menyerang Sandi 

Antini.

"Bagus! Rupanya kalian masih memiliki rasa 

belas kasihan hingga tak sia-sia anak buah kalian mati 

di tanganku. Nah, karena kalian telah turun, maka ka-

lianlah sebagai pengganti mereka. Hiaatt...!" Berbareng 

dengan habis ucapannya, Sandi Antini segera berkele-

bat dengan pedang di tangannya menyerang Loh Gan-

tra dan Nyi Mayang Sari.

"Ut...! Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra mempe-

ringatkan Nyi Mayang Sari yang dengan segera menge-

lakkan serangan Sandi Antini, sembari mendengus 

marah.

"Huh, Setan alas! Hampir saja aku dibikin 

sate!" 

Belum juga keduanya dapat mengatur napas, 

dengan segera Sandi Antini kembali menyerang. Pe


dang di tangannya bergerak dengan cepat berdesing-

desing mengarah pada kedua musuhnya yang dengan 

segera berkelebat menghindar. Namun tak ayal, anak 

buah merekalah yang menjadi penggantinya. Enam 

orang yang tengah berdiri tertegun menyaksikan perta-

rungan itu, tak mampu mengelakkan serangan Sandi 

Antini yang begitu cepat tanpa dapat diduga.

"Bedebah! Karena kau telah membunuh anak 

buahku, maka sebagai balasannya kau harus mati! 

Bersiaplah! Hiat...!" mendengus Nyi Mayang Sari ma-

rah, dengan segera berkelebat memapaki serangan 

Sandi Antini dengan jurus-jurus Gagak Hitamnya.

Melihat, kambratnya telah menyerang, Loh 

Gantra yang semula ragu segera berkelebat membantu 

dengan jurus Lutungnya. Perpaduan jurus Gagak Hi-

tam Mematuk Cacing dengan jurus Lutung Memetik 

Buah begitu serasinya. Gerakan-gerakan keduanya si-

lih berganti, membuat Sandi Antini nampak kebingun-

gan. Jurus-jurus pedangnya terkecoh, oleh gerakan-

gerakan kedua musuhnya yang begitu cepat dan keras.

"Ah...!" memekik Sandi Antini sembari melom-

pat mundur, mana kala dirasakannya samberan tan-

gan Nyi Mayang Sari ke arah perutnya.

Namun tak urung bajunya terobek pada bagian 

perutnya. Sobekan kain itu begitu lebarnya, menjadi-

kan perut Sandi Antini nampak. Dengan berusaha me-

nutupi lobang bajunya, Sandi Antini membentak sem-

bari menyerang.

"Bedebah! Jangan harap kalian akan mampu 

mendapatkan kitab itu. Hiat...!"

Dengan tangan kiri memegangi sobekan kain di 

perutnya, Sandi Antini yang marah menyerang mem-

babi buta dengan pedang Dewinya. Hal itu menjadikan 

serangan-serangannya ngawur dan tak terarah lagi


membuat kedua musuhnya dengan mudah mengecoh 

serangannya, bahkan kini dia sendiri yang terdesak.

"Menyerahlah! Dan berikan kitab Selendang 

Ungu itu pada kami, maka kami akan mengampuni-

mu!" berseru Loh Gantra nampak berani, setelah dapat 

mendesak Sandi Antini.

"Benar! Serahkan kitab itu pada kami, maka 

kami akan mengampuni nyawamu," menambahkan Nyi 

Mayang Sari dengan senyum sinis, dan terus mende-

sak Sandi Antini yang makin mundur.

"Pantang bagiku untuk menyerah sebelum 

menjadi mayat. Hiat...!" 

Sandi Antini mencoba mendobrak desakan me-

reka, tapi bagaikan karang, keduanya nampak tak ter-

goyahkan. Bila Sandi Antini menyerang, keduanya se-

gera memencar hingga Sandi Antini hanya menusuk 

angin belaka. Dan bila serang Sandi Antini telah berla-

lu, maka keduanya dengan bergantian balik menye-

rang.

"Iblis! Terpaksa aku harus mengadu jiwa den-

gan mereka" membatin Sandi Antini. Maka dengan pe-

nuh kenekadan dan spekulasi, Sandi Antini kembali 

menyerang. Kali ini makin dipercepat jurus-jurusnya, 

hingga pedang di tangannya bergerak begitu cepat 

membentuk gulungan sinar putih menderu-deru me-

nyerang kedua musuhnya.

"Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra memperin-

gatkan pada kambratnya, yang hampir saja lengah 

termakan serangan tipuan yang dilancarkan Sandi An-

tini.

Tersentak Nyi Mayang Sari manakala pedang 

Sanci Antini berkelebat dengan cepat ke arahnya. Den-

gan segera diegoskan tubuhnya ke samping, pedang 

itu dapat dielakkannya dan hanya berjarak sekuku jari


saja lewat di samping kirinya. Namun betapa terkejut 

dan marahnya Nyi Mayang Sari seketika itu, ketika di-

rasakannya hawa dingin menyentak kulit perutnya. 

Ketika ia melihat ke bagian perut, tampaklah pakaian-

nya robek lebar. Geramlah Nyi Mayang Sari seketika, 

lalu dengan mendengus ia pun segera balik menye-

rang.

"Huh, perempuan tak tahu diri. Mampus saja 

kau. Hiat...!"

Sandi Antini yang saat itu tengah mencecar Loh 

Gantra, tak menyangka kalau Nyi Mayang Sari menye-

rangnya. Maka ketika dirasakan hembusan angin di 

belakangnya, Sandi Antini segera tebaskan pedang ke 

belakang. Namun hal itu menjadikan fatal baginya, se-

bab Loh Gantra yang telah mengetahui gerakannya se-

gera mendahului menyerang. 

"Hiaaattt...!"

Tendangan Loh Gantra yang begitu cepat dan 

keras, tak mampu lagi ditangkis atau dielakannya. 

Maka tak ayal lagi, tubuh Sandi Antini seketika me-

layang jatuh ke dalam jurang yang telah menganga di 

belakangnya dengan meninggalkan lengkingan pan-

jang. 

"Aaaaahhhhh...!!!" 

Tercenung keduanya memandang ke bawah ju-

rang yang dalam, yang telah menelan tubuh Sandi An-

tini. Setelah sesaat keduanya hanya terdiam, terdengar 

kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Loh, apakah kau 

tahu di mana ia menyimpan kitab itu?"

"Tidak, Nyi. Aku belum menanyakannya ketika 

kau tiba-tiba datang." kata Loh Gantra, membuat Nyi 

Mayang Sari tampak kecewa.

"Percuma usaha kita, Loh!"

"Belum, Nyi. Mari kita geledah gubugnya," ber


kata Loh Gantra mengajak, yang dengan segera diikuti 

oleh Nyi Mayang Sari dan sisa-sisa anak buahnya yang 

masih hidup. Mereka pun dengan segera menggeledah 

setiap pelosok rumah itu, dengan harapan Kitab Se-

lendang Ungu berada di situ. Namun sejauh mereka 

menggeledah, tak ditemukannya apa yang mereka cari.

Hingga dengan penuh kekecewaan, dibakarnya 

gubug itu oleh mereka yang segera pergi meninggalkan 

tempat itu dengan perasaan kecewa.

***

TIGA



PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH atau 

Jaka Ndableg saat itu tengah berlari menuju ke arah 

Timur, dalam usahanya memburu gerombolan Loreng 

Ireng yang telah merajalela sejak kepergian sahabatnya 

yaitu Sandi Antini yang bergelar Pendekar Pedang De-

wi.

"Hem, ke mana sebenarnya Sandi Antini? Apa-

kah mungkin ia sengaja menghilang? Ah, aku tak ya-

kin kalau dia menghilang, tentu ada apa-apa yang ter-

jadi," bergumam Jaka Ndableg sembari terus berlari. 

Karena menggunakan ajian Angin Puyuh, Pendekar ki-

ta Jaka Ndableg tak begitu lama kemudian telah sam-

pailah di desa Wates. Dicarinya gubug yang dulu men-

jadi tempat kediaman Sandi Antini, namun kini gubug 

itu telah tak ada.

"Hem, mungkin ini juga perbuatan orang-orang 

Loreng Ireng. Sungguh perbuatan biadab!" menggera-

tak hati Jaka, demi dilihatnya pondok sahabatnya te-

lah rata dengan tanah habis terbakar.


Ketika Jaka tengah termenung sendirian den-

gan memandangi bekas gubug Sandi Antini, tiba-tiba 

terdengar olehnya desingan anak panah mengarah ke 

arahnya. Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, 

bersalto untuk menghindari serangan tersebut.

"Kupret! Rupanya ada tikus-tikus di sini. Hei... 

Ke luar kalian!" membentak Jaka marah.

Namun jawaban dari bentakannya, adalah ke-

lebatan pukulan anak panah yang kembali menderu-

deru menyambut tubuh Jaka yang hendak injakkan 

kaki di atas tanah. Hal itu menjadikan Jaka gusar dan 

marah, "Monyet...! Ke luar kalian, atau aku bumi han-

guskan tempat kalian dengan api. Hah...!"

Mendengar bentakan Jaka, seketika lima belas 

orang berkelebat ke luar dari semak-semak rumpun 

bambu. Kelima belas orang itu mukanya tertutup ca-

dar, persis Ninja. Melihat hal itu, Jaka yang dasarnya 

ndableg hanya tertawa seraya berkata:

"Wow... Rupanya aku mendapat sambutan dari 

orang-orang yang sok ikut-ikutan kaya orang asing. 

Apa kabar Ninja-ninja edan?"

"Slompret...! Rupanya kau pun ingin seperti 

temanmu yang telah terjatuh ke dalam jurang," meng-

geretak pimpinan orang-orang bercadar, menjadikan 

Jaka seketika melototkan mata bercampur marah demi 

mendengar keterangan pimpinan orang bercadar itu.

"Setan alas, jadi kaliankah yang telah membuat 

kerusuhan dan sekaligus membunuh sahabatku. Baik, 

mari kita main-main sesaat! Bersiaplah. Hiat...!"

Jaka yang telah marah manakala mendengar 

bahwa Sandi Antini telah diperdayai oleh mereka, me-

nyerang dengan tak memberi kesempatan sekalipun. 

Darahnya sangat mendidih, laksana Kawah Chandra 

Bilawa tempatnya memperoleh Pedang Siluman Darah.


"Serang...!" berseru pimpinan orang-orang ber-

cadar, yang seketika dijalani oleh keempat belas anak 

buahnya. "Jangan biarkan Pendekar Edan ini lolos. 

Bunuh bila perlu!"

"Enak saja kalian ngebacot! Apakah kalian ini 

kue lezat? Nih, kue untukmu..." Jaka segera kibaskan 

tangan yang menutup jari-jarinya ke arah salah seo-

rang pengeroyoknya.

Karena saking cepatnya gerakan Jaka, sampai-

sampai musuh yang dicerca tak mampu untuk menge-

lakkannya. Hal itu menjadikan tangan Jaka yang diali-

ri tenaga dalam, tepat menyodok mulutnya. Seketika 

menjeritlah orang itu, mulutnya mengeluarkan darah 

dengan gigi-giginya rontok.

"Siapa lagi yang mau kue molen?" berkata Jaka 

ngebanyol.

"Setan! Kau harus membayar atas kematian sa-

lah seorang anak buahku!"

"Oh... Rupanya kau pimpinannya. Nah, untuk 

kalian yang tinggal empat belas akan aku hadiahkan. 

Ini...!" Bersamaan dengan ucapannya Jaka segera han-

tamkan bogem mentahnya. Semua musuh-musuhnya 

tersentak dan berusaha tebaskan golok, namun sece-

pat itu pula Jaka tarik kembali tangannya dan sodok-

kan kakinya. Melengking tiga orang musuhnya, ter-

hantam anunya oleh kaki Jaka. Ketiga orang itu ber-

putar-putar, sembari memegangi telor mereka yang 

bagaikan remuk.

"Aduhhh... Telorku pecah...!"

Jaka tertawa bergelak-gelak melihat ketiga 

orang pengeroyoknya menggerung-gerung menahan 

sakit, lalu ambruk pingsan. Orang-orang yang lainnya, 

terbengong kaget. Melihat hal itu, Jaka tidak menyia-

nyiakan waktu. Dengan cepat dihantamnya kesebelas


musuhnya dengan tangan yang telah dialiri tenaga da-

lam membuat kesebelas musuhnya tersentak dan be-

rusaha mengelak. Namun ternyata serangan Jaka lebih 

cepat hingga tak ayal lagi mereka seketika menjerit, 

ambruk dengan darah meleleh dari sela-sela mulutnya.

Sesaat Jaka memandang tubuh-tubuh mereka, 

lalu dengan segera Jaka pun berkelebat pergi mening-

galkan tempat itu untuk mencari keberadaan teman-

nya Sandi Antini yang kata mereka terjatuh ke dalam 

jurang.

***

Setelah sekian lama pingsan dalam jurang, 

Sandi Antini akhirnya sadar. Dibukanya mata lebar-

lebar dan tampaklah olehnya pemandangan yang tera-

sa asing.

"Oh, apakah aku telah mati?" tanya Sandi Anti-

ni dalam hati.

Kembali ia memandang sekelilingnya, yang 

tampak hanyalah hamparan rumput menghijau. Di sisi 

kanannya ia tergeletak, tampak sebuah telaga yang 

jernih airnya.

"Di manakah aku? Apakah aku kini berada di 

Surga?" 

Dicubitnya lengan tangannya keras-keras.

"Ooh! Sakit. Berarti aku masih hidup." Dengan 

merangkak-merangkak Sandi Antini berusaha mende-

kat ke telaga di sampingnya. Dicobanya untuk bangkit, 

namun seketika itu ia menjerit karena punggungnya 

terasa sakit. Hingga Sandi Antini pun akhirnya am-

bruk lagi.

"Ooh, kenapa dengan punggungku?"

Diraba punggungnya. Seketika itu pula Sandi


Antini menjerit manakala mendapatkan punggungnya 

kini tak rata lagi.

"Tidak! Aku tidak mau bungkuk! Hu, hu, hu!" 

Sandi Antini pun seketika itu menangis, meratapi di-

rinya. Mungkin karena lelah menangis atau karena te-

kanan jiwanya yang dahsyat akhirnya ia kembali ping-

san.

Ketika Sandi Antini kembali sadar dan membu-

ka matanya ia terkejut manakala mendapatkan dirinya 

telah berada di sebuah gubug. Matanya yang bengkak 

akibat terlalu banyak menangis memandang bingung 

pada seluruh ruangan rumah gubug itu.

"Di mana pula aku ini?"

Ketika Sandi Antini tengah dilanda kebingun-

gan tentang di mana dirinya kini berada. Tampak seo-

rang lelaki tua berjalan masuk dan tersenyum ke 

arahnya.

"Siapakah kakek ini?" tanya Sandi Antini, yang 

dijawab dengan senyuman oleh si kakek. Lalu dengan 

senyum masih melekat di bibirnya si kakek berjalan 

menghampiri pembaringan Sandi Antini. 

"Tiga hari tiga malam kau pingsan, Nak. Siapa-

kah dirimu? Dan kenapa kau berada di bawah ju-

rang?"

"Nama saya Sandi Antini, Kek. Saya terjatuh ke 

jurang karena saya tak dapat menghindari serangan 

musuh," menjawab Sandi Antini dengan air mata ber-

linang menjadikan kakek itu turut terharu, hingga ma-

ta tuanya yang sipit itu tampak berkaca-kaca.

"Kalau begitu kau habis berkelahi, Nak?"

"Benar, Kek," menjawab Sandi Antini. "Aku di-

keroyok oleh mereka, yang menginginkan kitab Selen-

dang Ungu. Mulanya aku mampu mengimbangi seran-

gan-serangan mereka. Namun ternyata mereka berilmu


cukup tinggi dan licik."

Kakek itu tampak mengangguk-anggukan kepa-

la memandang dengan mata berkaca-kaca. Dipan-

dangnya Sandi Antini yang nampak meringis menahan 

sakit di punggungnya, hatinya membatin. "Kasihan 

anak ini, ia akan cacat seumur hidupnya. Sungguh-

sungguh perbuatan yang keji."

"Nak, mungkin sudah menjadi suratan takdir 

kalau kau harus menerima kenyataan ini. Ketahuilah 

olehmu, bahwa kau akan menjadi bungkuk. Aku telah 

berusaha mengobatinya namun ternyata tak mampu," 

berkata kakek itu dengan nada sedih, sepertinya ia 

sendiri yang menanggung.

Sandi Antini hanya terdiam dengan mata mene-

teskan air mata. Ia menangis manakala teringat pada 

Loh Gantra. Dendamnya mengalir bagai air bah. Kece-

wa dan marah beraduk menjadi satu, membuat Sandi 

Antini menyesali kebodohannya. Kenapa dulu ia ter-

buai oleh rayuan-rayuan Loh Gantra yang ternyata 

musuhnya? Bila ingat semua itu dendamnya makin 

deras membara bagaikan bunga api yang siap memba-

kar. 

"Sudahlah, Nak. Jangan terlampau risaukan 

hal itu. Yang penting kau masih dikarunia umur pan-

jang. Meski cacat, kau tak usah berkecil hati," berkata 

kakek tua itu mencoba menghibur.

"Sekarang beristirahatlah dahulu agar tubuh-

mu tidak begitu lemah. Oh, ya namaku yang bodoh ini 

Wara Sumena."

Terbeliak Sandi Antini seketika, manakala 

mendengar orang tua itu menyebutkan namanya. 

Hingga saking kagetnya Sandi Antini seketika mende-

sah. "Ah, tak kusangka kalau akhirnya aku dapat ber-

temu dengan tokoh persilatan sepertimu. Terimalah


salam hormatku, Kek!"

"Ah, sudahlah. Kini kau istirahatlah dulu, aku 

mau mencari makan untuk kita."

Tanpa menunggu jawaban dari Sandi Antini, 

Wara Sumena segera berkelebat pergi untuk mencari 

makanan. Sandi Antini merasa bersyukur dapat ber-

temu dengan orang aneh itu. Jarang tokoh silat yang 

satu itu mau menolong orang lain kalau tidak atas ke-

mauannya sendiri. Karena tingkahnya yang aneh itu, 

menjadikan orang-orang persilatan menyebutnya Pen-

dekar Linglung. Ilmunya yang tinggi dan wataknya 

yang angin-anginan, menjadikan orang segan dengan-

nya. "Ah, sungguh beruntung aku. Tak kusangka ak-

hirnya aku dapat menjumpai tokoh silat yang aneh ini. 

Sepertinya ia benar-benar ingin menolongku," berkata 

Sandi Antini dalam hati dengan bibir tersenyum, sea-

kan sakitnya hilang seketika.

Sejak saat itu Sandi Antini berada di gubug 

Pendekar Linglung. Ia diangkat murid oleh Pendekar 

Linglung yang entah karena apa mau menjadikan di-

rinya murid. Hari-hari mereka lalui dengan latihan-

latihan memperdalam ilmu silat. Tampaknya Pendekar 

Linglung ingin menjadikannya seorang pendekar yang 

dapat disejajarkan dengan pendekar golongan atas. 

Hingga dengan tanpa sungkan-sungkan Pendekar Lin-

glung memberikan segala ilmu yang dimilikinya pada 

Sandi Antini.

Dua puluh lima tahun sudah Sandi Antini hi-

lang dari dunia persilatan, digembleng oleh Pendekar 

Linglung yang menggemblengnya dengan penuh perha-

tian. Segala ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Linglung 

telah seluruhnya dikuasai oleh Sandi Antini.

***


Dengan tubuhnya yang bengkak, Sandi Antini 

bermaksud membalas kekalahan dua puluh lima ta-

hun yang lalu. Dengan modal ilmu yang diturunkan 

oleh Pendekar Linglung, Sandi Antini segera mencari 

dua musuh bebuyutan.

"Hem, dua puluh lima tahun aku menderita 

oleh tingkah mereka. Kini saatnya aku akan memba-

laskan kekalahanku. Hiat...!"

Dihentakkan tongkatnya ke tanah, yang seketi-

ka itu melentingkan tubuhnya. Tubuh yang bongkok 

itu tampak berkelebat, bersalto di udara dan akhirnya 

turun dengan sempurna tanpa goyah sedikitpun.

Sesaat mata Sandi Antini celingukan, meman-

dang sekelilingnya. Ia tampak waspada kalau-kalau 

anak buah Loh Gantra telah mengetahui kehadiran-

nya. Namun ketika ia ingat keadaan tubuhnya, Sandi 

Antini hanya mesem menggerutu dalam hati. "Bodoh, 

aku ini. Mana mungkin mereka mengenali diriku lagi?"

Dengan tenang Sandi Antini terus melangkah 

memasuki perbatasan hutan Cemara Sundul. Ketika 

Sandi Antini berjalan dengan santai seketika telin-

ganya mendengar suara bergemeresak. Segera Sandi 

Antini menghentikan langkahnya dan memandang ta-

jam pada semak-semak di mana suara itu berasal.

"Kresek!"

Menyudut mata Sandi Antini memandang ke 

tempat di sampingnya. Tongkatnya dengan segera di-

angkat, menuding ke arah semak-semak. "Satu... 2, 3, 

4... Ah, ada 20 orang. Ternyata anak buah Loh Gantra 

dan Mayang Sari makin banyak saja jumlahnya, 

Hem..."

Dengan berkelebat cepat, Sandi Antini menyo-

dokkan tongkatnya ke arah semak-semak di hadapan


nya. Seketika terdengar suara jeritan melengking, ber-

samaan dengan ambruknya seseorang yang bersem-

bunyi. Dada orang itu tampak bolong dengan darah 

menyembur deras. Rupanya tongkat Sandi Antini telah 

menusuknya. Tubuh itu kelojotan sesaat, sebelum ak-

hirnya melayang nyawanya.

Melihat kenyataan itu, sembilan belas orang 

lainnya dengan segera berkelebat bareng mengurung 

Sandi Antini. Salah seorang yang rupanya pimpinan, 

membentak dengan penuh amarah. "Siapa kau, Kunti-

lanak!"

"Hi, hi, hi! Kau telah tahu aku kuntilanak, ke-

napa kau tidak segera memerintah anak buahmu un-

tuk minggat!" jawab Sandi Antini tenang, bahkan ter-

senyum meringis yang menjadikan pimpinan orang-

orang bercadar itu melototkan mata.

"Kuntilanak! Rupanya kau belum tahu siapa 

kami," mendengus marah pimpinan orang-orang ber-

cadar. Bagaikan melihat anak kecil saja, Sandi Antini 

kembali tersenyum sembari berkata mengejek. 

"Siapa kalian adanya, aku tak perduli. Aku 

hanya ingin lewat, kenapa kalian mengganggu?"

"Sundel Belong! Katakan siapa dirimu adanya, 

sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu yang buruk 

itu!" membentak marah pimpinan orang bercadar den-

gan garangnya.

"Nama? Bukankah kau telah sedari tadi me-

nyebutkan namaku? Hi, hi, hi...!" tertawa Sandi Antini 

mengejek menjadikan ketua orang-orang bercadar ma-

kin bertambah marah. Maka dengan geram, ia berusa-

ha memerintah pada kedelapan belas anak buahnya. 

"Serang...!"

Mendengar komando itu seketika kedelapan be-

las orang anak buahnya berkelebat menyerang Sandi


Antini.

"Trang...!"

Terdengar suara beradunya benda yang terbuat 

dari besi, mana kala tongkat di tangan Sandi Antini 

berbenturan menangkis golok-golok di tangan musuh-

musuhnya.

Sandi Antini berkelebat dengan cepat sembari 

memutar tongkatnya yang bergulung-gulung memben-

tuk suatu lingkaran. Terbelalak mata kesembilan belas 

musuhnya manakala melihat hal itu.

Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja 

oleh Sandi Antini, yang dengan segera menghantam-

kan pangkal tongkatnya yang berputar cepat pada mu-

suh-musuhnya. Seketika enam orang menjerit sembari 

memegang kepalanya, lalu akhirnya ambruk dengan 

kepala pecah.

Mata pimpinan orang-orang bercadar itu mem-

belalak, tersengat juga hatinya. Namun belum juga ia 

mampu menguasai diri dari serangan yang dilancarkan 

Sandi Antini, seketika ia dikejutkan oleh jeritan yang 

melengking dari anak buahnya.

"Aaaaahhh...!" 

Lima orang anak buahnya kembali bergelim-

pangan menemui ajalnya dengan perut robek, terbeset 

ujung tongkat Sandi Antini. Kini anak buahnya tinggal 

7 orang delapan dengannya.

Walau ia bergidig juga, tapi karena ia telah di-

percaya sebagai pimpinan mau tak mau ia harus dapat 

menunjukkan sikap kepemimpinannya. Maka dengan 

mendengus marah, pimpinan orang-orang bercadar itu 

segera turut menyerang Sandi Antini yang tampak me-

nari-nari mengejar sembari menghindari serangan me-

reka.

"Sundel Bolong! Jangan kau bangga dulu, teri


malah kematianmu!"

Berkelebat-kelebat golok di tangan pimpinan 

orang bercadar itu, mencoba mencerca tubuh Sandi 

Antini. Namun bagaikan tak ada artinya, golok itu 

hanya mendapatkan angin belaka.

Sandi Antini yang tak ingin membuang-buang 

waktu, tanpa banyak bicara terus membalik menye-

rang mereka. Tongkatnya begitu cepat bergerak hingga 

sukar untuk diikuti. Tongkatnya bergerak bagaikan 

ular yang hidup, mematuk-matuk pangkal dan ujung 

tongkat silih berganti. Hanya dalam waktu tiga puluh 

jurus saja, ketujuh orang bercadar itu dapat dengan 

segera dijatuhkannya.

Terbelalak mata pimpinannya menyaksikan hal 

itu. Hatinya seketika mengkerut, hilang keberanian-

nya.

Pimpinan orang-orang bercadar hendak pergi 

meninggalkan tempat itu, manakala Sandi Antini ber-

seru sembari melompat mengejar.

"Hai, mau lari ke mana kau, kampret!"

Pimpinan orang bercadar itu tersentak meng-

hentikan langkahnya, karena tiba-tiba Sandi Antini te-

lah berdiri menghadang.

Dengan tubuh gemetar, lelaki itu jatuhkan diri 

bersujud meminta ampun.

"Ampunilah aku. Aku hanya diperintah," men-

giba lelaki itu dengan keringat dingin bercucuran 

membasahi kedua keningnya. Tubuhnya gemetaran 

bagaikan menghadapi Malaikat Almaut.

"Siapa yang memerintahmu!" membentak Sandi 

Antini, menjadikan lelaki itu makin tambah ketakutan. 

Dengan terbata-bata lelaki itu berkata menjawab.

"A-aku di-diperintah oleh pimpinanku." 

"Siapa pimpinanmu? Dan apa maksud


pimpinanmu menyuruh kalian mencegatku?"

"Sebenarnya pimpinan menyuruh kami untuk 

mencegat semua orang yang melewati hutan Cemara 

Sundul. Kami tak mengenalmu dan itu tak penting ba-

gi kami. Kalau kau ingin tahu siapa pimpinan kami, 

pimpinan kami bernama Loh Gantra dan Nyi Mayang 

Sari atau bergelar Sepasang Iblis dari Cemara Sundul."

"Hem, benar juga dugaanku," berkata Sandi 

Antini dalam hati. 

"Nah, kau aku bebaskan. Siapa namamu?" 

"Nama saya, Lontar," jawab Lontar dengan mi-

mik muka cerah, karena ternyata wanita bungkuk itu 

mau mengampuni dirinya. Dengan terlebih dahulu 

menjura hormat, Lontar hendak berkelebat pergi ma-

nakala Sandi Antini berseru memanggilnya. "Tunggu!"

Lontar dengan segera menghentikan langkah-

nya, diam di tempatnya.

Dengan terbungkuk-bungkuk, Sandi Antini se-

gera mendekati Lontar yang masih berdiri mematung 

sembari berkata: "Katakan pada kedua pimpinanmu, 

bahwa aku Sandi Antini menunggunya di Lembah Ber-

kala Darah."

"Lembah Berkala Darah? Di mana itu?" tanya 

Lontar terheran-heran mendengar ucapan Sandi Anti-

ni. Setahunya, tak ada lembah di gunung Penanggun-

gan yang bernama begitu. "Apakah ini orang sinting?" 

berkata Lontar dalam hatinya.

"Jangan banyak tanya! Katakan saja pada ke-

dua pimpinan kalian bahwa aku Sandi Antini menung-

gunya di Lembah Berkala Darah, mengerti!"

"Me-mengerti," jawabnya terbata. Dengan tanpa 

banyak kata lagi Lontar segera berkelebat pergi meng-

hilang di antara pepohonan hutan Cemara Sundul, 

meninggalkan Sandi Antini yang juga segera bergegas


pergi.

***

Lembah Berkala Darah merupakan lembah 

yang terletak di sebelah Timur desa Wates. Seorang 

wanita bungkuk yang tak lain Sandi Antini adanya 

tengah duduk di sebuah batu. Matanya memandang 

pada bekas-bekas rumahnya yang telah dibakar oleh 

Loh Gantra dan Mayang Sari.

Di situ dulu ia tinggal, di situ juga kenangan 

pahit dan manis ia dapati. Kenangan manis bersama 

Loh Gantra yang pintar merayu hingga ia terlena. Ke-

nangan pahit setelah ia tahu siapa sebenarnya Loh 

Gantra yang mengaku-aku adik seperguruannya.

"Loh Gantra! Betapa liciknya orang itu," mende-

sis Sandi Antini penuh kemarahan, tatkala mengenang 

semua kejadian yang ia alami. Tak disadari, tongkat di 

tangannya ditekan menghunjam masuk ke bumi, men-

jadikan lobang dalam manakala tongkat itu kembali 

dicabut.

Selang beberapa lama kemudian manakala hari 

telah berganti senja, tampak serombongan orang berja-

lan mendekat ke arahnya. Ketika orang-orang itu se-

makin dekat, jelas terlihat olehnya siapa orang yang 

berjalan paling muka. Lelaki setengah baya dengan 

rambut campur hitam dan putih, adalah Loh Gantra 

adanya. Sementara wanita tua seumurnya yang berja-

lan di sisi Loh Gantra tak lain Nyi Mayang Sari.

"Hem, rupanya mereka datang juga," mendesah 

Sandi Antini seraya bangkit dari duduknya. Matanya 

memandang tajam pada Loh Gantra yang baginya me-

rupakan orang yang harus bertanggung jawab atas 

semua yang terjadi pada dirinya.


Kedua orang yang berjalan paling muka, sesaat 

memandang padanya, lalu tampak Loh Gantra menen-

gok ke belakang di mana Lontar berdiri sembari ber-

tanya: "Mana orang yang kau maksudkan, Lontar?"

"Itu dia orangnya, Pemimpin," menjawab Lontar 

sembari menunjukkan telunjuknya pada Sandi Antini 

yang tampak tersenyum sinis hingga menjadikan Loh 

Gantra dan Nyi Mayang Sari seketika itu menyipitkan 

mata tak percaya dan mendesah.

"Ah, kau jangan bercanda, Lontar!" bentak Nyi 

Mayang Sari jengkel, tak percaya bahwa wanita bung-

kuk yang berdiri di hadapannya adalah Sandi Antini 

adanya.

Belum juga keduanya percaya, terdengar seke-

tika suara Sandi Antini menyapa: "Selamat bertemu 

kembali, Loh? Rupanya Yang Wenang masih memberi-

kan kemurahanNya hingga kita dapat bertemu kemba-

li. Kau mungkin tak mengenali diriku lagi, karena aku 

kini berbeda dengan dua puluh lima tahun yang silam 

ketika dengan liciknya kau berpura-pura mengaku 

adik seperguruanku." 

Terbelalak mata keduanya mendengar ucapan 

Sandi Antini. Walaupun begitu, keduanya masih tam-

pak tak percaya. Maka dengan membentak, Lon Gan-

tra bertanya: "Siapa kau! Aku tak percaya kalau Sandi 

Antini yang telah jatuh ke dalam jurang masih hidup! 

Mungkin kau hanya ingin membuat persengketaan 

dengan kami dan mengaku-aku Sandi Antini. Apa 

maksudmu sebenarnya?!"

Dibentak begitu rupa Sandi Antini hanya terse-

nyum sinis. Dan dengan mencibirkan bibir Sandi Anti-

ni berkata: "Loh Gantra dan kau Nyi Mayang Sari, ma-

na keberanian kalian yang sudah tersohor itu? Tak 

aku sangka, kalau kalian hanya omongnya saja yang


besar. Nyatanya, kalian hanya sebangsa kecoa busuk!"

Merah padam muka kedua pimpinan Loreng 

Ireng mendengar kata-kata Sandi Antini yang terasa 

pedas. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari membe-

lalak, melotot penuh kemarahan.

"Setan busuk! Kalau kau memang Sandi Antini, 

harusnya kau menyadari bahwa kami masih berada di 

atasmu dalam hal ilmu kanuragan. Nah, sekarang se-

rahkan kitab Selendang Ungu itu pada kami. Kalau ti-

dak...!"

"Kalau tidak, mau apa kau, Loh?" berkata San-

di Antini, memotong ucapan Loh Gantra. Bibirnya ma-

sih menyungging senyum sinis, menjadikan Loh Gan-

tra makin marah.

"Kalau tidak. Maka ini untukmu! Hiat...!" 

Dengan seketika Loh Gantra berkelebat menye-

rang Sandi Antini, dibantu oleh Nyi Mayang Sari. Dis-

erang bersamaan oleh kedua tokoh Loreng Ireng, men-

jadikan Sandi Antini nampak agak kerepotan juga. 

Dengan melentingkan tubuhnya ke angkasa, Sandi An-

tini melompat mundur menghindar dari serangan me-

reka sesaat. Lalu dengan segera, tongkat di tangannya 

digerakkan dengan cepatnya. Hingga membuat suatu 

gulungan besar, yang segera melindungi dirinya.

Terbelalak mata kedua pimpinan Loreng Ireng 

menyaksikan permainan tongkat wanita bongkok itu. 

Permainan tongkat wanita bongkok itu. Mengingatkan 

mereka pada jurus Pedang Dewi. Kini mereka yakin, 

kalau memang wanita bongkok itu tak lain dari Sandi 

Antini adanya. Maka tak sungkan-sungkan lagi, kedu-

anya segera mengomando anak buahnya untuk turut 

membantu. "Serang...!"

Bagaikan air bah, seketika itu anak buah Lo-

reng Ireng bersamaan menyerang Sandi Antini.


Repot juga Sandi Antini dibuatnya. Karena ter-

lalu banyaknya anak buah Loreng Ireng yang menge-

royoknya hingga perhatiannya yang semula pada dua 

pimpinan Loreng Ireng kini terpencar. Meskipun begi-

tu, banyak juga korban berjatuhan dari pihak Loreng 

Ireng tersambar tongkatnya yang meliuk-liuk bagaikan 

hidup.

Karena terlalu repotnya Sandi Antini mengha-

dapi anak buah Loreng Ireng, membuatnya tak mem-

perhatikan kedua pimpinannya. Hingga manakala ke-

dua pimpinan Loreng Ireng menyerangnya berbarengan 

Sandi Antini tak mampu mengelakkannya.

"Hah!" pekiknya dengan tubuh terhuyung-

huyung, sementara matanya memandang tajam pada 

Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari yang tersenyum-

senyum mengejek.

"Menyerahlah, Sandi!" berkata Loh Gantra den-

gan senyum melekat di bibirnya. Menjadikan Sandi An-

tini makin merengkah marah merasa diremehkan. Ma-

ka dengan memekik keras, Sandi Antini berteriak sem-

bari menyerang.

"Bila aku dapat kalian kalahkan lagi, maka aku 

bersumpah tidak akan mencampuri urusan persila-

tan!"

Bagaikan singa betina kehilangan anak-

anaknya, Sandi Antini menyerang kedua pimpinan Lo-

reng Ireng. Serangannya begitu cepat dan ganas, men-

jadikan Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari harus men-

guras tenaganya untuk mengelakkannya.

Meskipun keduanya mampu mengelakkan se-

rangan Sandi Antini. Namun tak urung anak buahnya 

yang terkena. Enam orang seketika melengking, menje-

rit sesaat dan akhirnya ambruk ke tanah dengan ken-

ing bolong.


Melihat hal itu, Loh Gantra dan Nyi Mayang Sa-

ri mendengus marah. Bersamaan dengan dengusan-

nya, keduanya segera merapatkan kedua tangannya 

menyilang di dada.

Kini gantian Sandi Antini yang terbelalak, ma-

nakala tahu ilmu apa yang tengah dikeluarkan oleh 

kedua musuhnya. Saking kagetnya, sampai-sampai 

dari mulut Sandi Antini membersit seruan menyebut 

nama ilmu itu.

"Ilmu Gugur Gunung!"

Belum hilang rasa keterkejutannya. Tiba-tiba 

Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari telah melepaskan 

ajian Gugur Gunungnya. Beruntung Sandi Antini ma-

sih waspada dan dengan segera mengelit. Tercekam 

hati Sandi Antini seketika manakala menyaksikan apa 

yang terjadi di belakangnya.

Bukit di belakangnya seketika hancur rata den-

gan tanah. Terhantam ajian Gugur Gunung yang di-

lancarkan oleh kedua musuhnya. "Hem, tak mungkin 

aku dapat mengalahkan mereka kalau begini. Aku ha-

rus mempelajari kitab Selendang Ungu terlebih dahu-

lu. Ya, hanya dengan ilmu Selendang Ungu saja yang 

dapat mengalahkan ilmu Gugur Gunung mereka," ber-

kata Sandi Antini dalam hati.

"Aku belum kalah oleh kalian. Tunggulah dua 

atau tiga tahun lagi, aku akan menemui kalian kemba-

li di sini," berkata Sandi Antini sembari berkelebat per-

gi, meninggalkan tempat itu tanpa dapat dicegah oleh 

kedua musuhnya yang berusaha mengejar.

Walaupun yang dikejar orang berbadan bong-

kok, tapi karena ilmu lari dan ilmu meringankan tu-

buh keduanya masih di bawah Sandi Antini hingga ke-

duanya pun tak mampu mengejar dan kembali dengan 

hampa.


***

EMPAT



Dibukanya peti berukir gambar-gambar wanita 

memakai selendang yang diukir dengan rapi dan tera-

tur. Lukisan itu, sepertinya sebuah gambaran jurus-

jurus silat.

Dengan tangan sedikit gemetar, Sandi Antini 

membuka peti itu. Tercengang Sandi Antini, sampai-

sampai matanya melotot dan mulutnya ternganga.

"Aaah...!" Ditutupi kedua matanya dengan tan-

gan, manakala sinar kuning menyilaukan yang keluar 

dari kitab itu memancar terang menghantam matanya.

Dengan mata tertutup tangan, Sandi Antini be-

rusaha mengambil kitab dalam peti itu. Namun ketika 

tangannya hendak menjamah dirasakan olehnya hawa 

panas yang tak terkirakan melebihi bara api. Seketika 

memekik Sandi Antini sembari menarik tangannya 

kembali.

"Bodoh! Buku itu bukan jodohmu," terdengar 

suara membentaknya yang ia kenal benar pemilik sua-

ra itu. Pemilik suara itu adalah Eyang gurunya yang 

bernama Bagawan Bima Rengka. Maka tanpa banyak 

membantah, Sandi Antini segera jatuhkan diri bersu-

jud.

"Ampun, Eyang Guru. Sungguh cucumu ini te-

lah bersalah berani membuka peti ini. Cucu siap un-

tuk menerima hukumannya," berkata Antini, menga-

kui kesalahannya.

"Tak mengapa, Cucuku. Memang kau berhak 

membuka peti itu, karena kau yang dipercaya untuk


menjaganya. Namun perlu kau ketahui, bahwa Kitab 

Selendang Ungu bukanlah jodohmu. Sebab bila Kitab 

itu jodohmu, maka kau tak akan mengalami kesulitan 

untuk mengambilnya. Aku tahu kalau kau tengah 

mengalami kesulitan. Walaupun aku tak dapat me-

nampakkan diri ke dunia, namun dalam alamku aku 

mendengar rintihan batinmu. Pergilah kau ke arah Ba-

rat. Di sana kau akan menemukan orang yang berjo-

doh dengan kitab Selendang Ungu. Angkatlah ia seba-

gai murid. Kelak, gadis itulah yang akan mendapatkan 

ilmu dari Selendang Ungu. Dan perlu kau ingat. Ba-

rang siapa yang berjodoh dan mau mempelajari kitab 

Selendang Ungu, maka kelak dialah yang akan menja-

di tokoh persilatan pilih tanding, sukar untuk dikalah-

kan."

"Baiklah, Eyang Guru. Cucu akan menjalankan 

apa yang telah Eyang Guru sarankan. Cucu minta doa 

restu," kata Sandi Antini sembari kembali sujud.

"Berangkatlah. Di samping kau mencari anak 

tersebut, gunakanlah ilmu yang kau miliki untuk ke-

benaran dan keadilan. Bantulah mereka yang membu-

tuhkan pertolongan darimu, selamat jalan, cucuku."

"Terima kasih, Eyang."

Saat itu juga Sandi Antini segera berangkat 

menuju arah yang ditunjukkan oleh Eyang Guru-nya, 

setelah terlebih dahulu menyimpan kitab Selendang 

Ungu di tempat yang tak mungkin dijamah oleh perha-

tian orang. Maka hari itu juga berangkatlah Sandi An-

tini menuju ke arah Barat. Entah di mana ia akan me-

nemukan gadis petunjuk Eyang Gurunya. Tekadnya 

untuk mewariskan ilmu dan kitab Selendang Ungu mi-

liknya telah membulat dalam hatinya. Juga rasa kece-

wanya pada Loh Gantra yang telah menjadikannya ca-

cat, membuat Sandi Antini memantapkan tekadnya.


Dengan harapan, kelak muridnyalah yang akan meng-

hukum kedua orang yang telah membuat tubuhnya 

cacat.

***

Mentari siang itu tampak begitu menyala hing-

ga terasa menyengat panasnya. Beruntung angin gu-

nung berhembus sepoi-sepoi, menjadikan hawa segar 

alami. 

Telah sehari lamanya Sandi Antini berjalan me-

nyusuri tepian sungai Brantas yang membentang pan-

jang, membelah dua desa. Sungai Brantas yang pan-

jang dan lebar, bagaikan liku-liku tubuh ular raksasa 

bila dilihat dari kejauhan.

Tubuhnya yang bungkuk, tidak menjadi peng-

halang baginya untuk dapat melangkah dengan cepat. 

Bagaikan kancil saja, tubuh Sandi Antini berkelebat 

cepat, berlari menyusuri sungai Brantas.

Sesekali diusapnya keringat yang deras me-

netes di pelipisnya, dikarenakan oleh panasnya mata-

hari siang itu. Namun bagaikan tak mengenal lelah, 

Sandi Antini terus berlari dan berlari tiada henti. 

Tongkat di tangannya, seperti membantu mempercepat 

larinya. Bila tongkat itu dihentakkan, melesatlah tu-

buh Sandi Antini bagaikan anak panah lepas dari bu-

surnya.

Tengah ia berlari, seketika langkahnya terhenti 

manakala tampak tiga orang lelaki berdiri tegak seperti 

sengaja menghadangnya. Salah seorang lelaki itu, tiba-

tiba membentaknya. "Berhenti!"

Menurut Sandi Antini berhenti, memandang ta-

jam pada ketiga lelaki di hadapannya yang tertawa 

bergelak-gelak dan berkata dengan kata-kata menge


jek. "Ha, ha, ha...! Sangat disayangkan. Ternyata kita 

mendapat kambing tua dan gembel, cepat minggat!"

Tanpa memandang sebelah mata pun pada 

Sandi Antini, lelaki bermuka brewokan bermaksud 

menyepak Sandi Antini. Dengan segera Sandi Antini 

mengegoskan tubuhnya seraya mengayunkan tongkat 

di tangannya.

"Bletuk!"

"Ah...!" menjerit lelaki berewokan itu sembari 

memegangi tulang keringnya dengan tubuh berputar-

putar, dan mulut meringis menahan sakit.

Ternyata tongkat di tangan Sandi Antini, telah 

menghantam kakinya manakala hendak menyepak. 

Terbelalak kedua temannya melihat hal itu. Lalu den-

gan mendengus marah keduanya segera menyerang 

Sandi Antini.

"Bungkuk jelek! Rupanya kau mempunyai sedi-

kit permainan hingga berani menyakiti salah seorang 

dari tiga Begal Kali Brantas!" membentak Begal Panen-

gah.

Trenyuh hati Sandi Antini mendengar begal itu 

memanggilnya dengan Bungkuk Jelek. Hatinya seketi-

ka menjerit. Hal itu dapat diketahui dari serangannya 

yang begitu cepat tanpa mau memberi peluang sedikit-

pun pada dua orang penyerangnya.

"Kalian telah menghinaku dengan mengatakan 

aku Bungkuk Jelek. Kini kalian harus menerima hu-

kuman dariku. Hu, hu, hu!" bagaikan anak kecil Sandi 

Antini menangis sesenggukan. Tongkat di tangannya 

bergerak dengan cepatnya, berputar-putar laksana bal-

ing-baling.

Pertarungan dua lawan satupun berjalan den-

gan serunya. Rupanya kedua begal itu bukan orang-

orang sembarangan yang mudah untuk di jatuhkan.


Mau tak mau, Sandi Antini harus menguras segala 

kemampuannya untuk menghadapi keroyokan kedua-

nya.

Jurus demi jurus berlalu dengan cepatnya. Tak 

terasa oleh mereka, bahwa mereka telah melangkah 

pada jurus yang keenam puluh. Saat itu si brewok te-

lah sembuh dari rasa sakitnya dan langsung memban-

tu kedua orang adik-adiknya hingga makin seru saja 

perkelahian itu.

Tongkat di tangan Sandi Antini bergerak makin 

cepat dengan menggunakan jurus Pedang Dewi. Bergu-

lung-gulung membentuk sinar hitam yang menutupi 

tubuhnya hingga ketiga musuhnya terbelalak kaget. 

Dan tiba-tiba ketiganya memekik tertahan sembari ba-

reng melompat mundur.

"Aah...!"

Manakala ketiganya meraba ke perut. Dirasa-

kannya baju yang mereka pakai telah koyak lebar. Se-

ketika menyurutlah keberanian mereka. Dengan penuh 

rasa ngeri, ketiganya segera berkelebat pergi mening-

galkan Sandi Antini yang hanya tersenyum. 

Tanpa menghiraukan ketiga musuhnya yang 

sudah terbirit-birit lari ketakutan, Sandi Antini segera 

melanjutkan perjalanannya untuk mencari gadis yang 

telah disarankan oleh Eyang Gurunya.

***

Malam begitu gelapnya, tanpa bulan, tanpa bin-

tang yang bergayut di langit. Mendung telah bergayut 

sejak sore tadi, menjadikan gumpalan-gumpalan 

membentuk lukisan kegelapan di langit.

"Glegar! Glegar! Glegar!"

Berturut-turut petir menggema, memecahkan


keheningan malam menjadikan malam itu makin men-

cekam.

Kota Kabupaten yang biasanya ramai oleh lalu 

lalang orang yang mengunjungi pasar malam juga para 

pedagang malam, kini tampak sepi. Tak ada seorang 

pedagang pun yang berjualan, tak ada seorang pun 

yang berjalan seperti biasanya untuk melihat-lihat 

atau mencuci mata. Hanya desah angin dan rintik air 

hujan yang menggema disambung oleh ledakan-

ledakan petir sekali-kali.

Dalam gelap malam itu, tampak sesosok tubuh 

wanita bungkuk berlari-lari menghindari air hujan. 

Wanita yang tak lain Sandi Antini adanya tampak ber-

lari dengan cepatnya menuju ke sebuah gubug tak 

jauh dari rumah kediaman Bupati

"Hujan sialan! Basahlah seluruh pakaianku," 

merengut hati Sandi Antini setelah berteduh. Matanya 

memandang tajam pada rumah Bupati yang berada di 

mukanya kira-kira dua ratus tombak. Firasatnya yang 

tajam bagai ada yang menuntunnya. Menjadikan Sandi 

Antini terus melekatkan pandangannya pada rumah 

besar itu.

Entah oleh sebab apa, seketika hati Sandi Anti-

ni was-was. sepertinya ada kekhawatiran dalam ha-

tinya, manakala memandang pada rumah besar milik 

Bupati itu.

"Heh, kenapa aku jadi was-was manakala aku 

terus memperhatikan rumah Bupati itu?" bertanya-

tanya hati Sandi Antini, sementara matanya terus me-

mandang pada rumah itu. Semakin ia memandang 

semakin besar rasa was-was melanda hatinya.

Belum juga ia dapat menenangkan hatinya 

yang sedang gundah. Seketika Sandi Andini melo-

totkan matanya manakala dilihatnya lima orang lelaki


berkelebat dengan tubuh ringan berlari menuju ke ru-

mah Bupati.

"Aku rasa kelima orang itu tidak bermaksud 

baik. Kalau memang dia bermaksud baik, maka tak 

mungkin mereka datang malam-malam begini. Aku ki-

ra rasa was-was dalam hatiku cukup beralasan. Hem, 

baik aku akan terus mengawasinya," berkata hati San-

di Antini kembali, lalu dengan menggunakan ilmu me-

ringankan tubuhnya Sandi Antini melompat menuju ke 

rumah Bupati. 

"Prang! Brak!"

Terdengar suara pecahnya daun jendela yang 

tak lama kemudian diikuti oleh suara jeritan seorang 

wanita.

"Tolong, Kakang!"

Mendengar suara jeritan istrinya, serta merta 

Bupati Labean bangkit dari tidurnya. Dengan mata 

masih agak ngantuk, Bupati Labean bergegas meng-

hunus keris pusakanya.

Tersentak Bupati Labean seketika itu, melihat 

istrinya tengah dalam ancaman lima orang yang me-

makai kedok. Geram Bupati Labean, namun ia tak da-

pat berbuat apa-apa.

"Lepaskan istriku! Apapun yang kalian ingin 

ambillah! Asal kalian mau melepaskan istriku," berkata 

Bupati Labean menawarkan perdamaian pada kelima 

tamu tak diundang yang tersenyum sinis sembari ber-

kata:

"Aku ingin nyawamu, Labean!"

Melotot mata Bupati Labean mendengar ucapan 

salah seorang dari kelima tamunya yang tak diundang, 

lalu dengan membentak Bupati Labean yang merasa 

direndahkan berkata: "Monyet! Siapa kalian sebenar-

nya!"


"Kami adalah anak buah Suro Gonggong, bekas 

abdimu yang telah kau singkirkan. Untuk itu, ia men-

gutus pada kami untuk menumpasmu, sekalian anak 

keturunanmu."

Merah membara muka Bupati Labean marah, 

mendengar ucapan tamunya yang ternyata anak buah 

Suro Gonggong. Suro Gonggong dulunya adalah ketua 

prajuritnya. Berhubung tindakan Suro Gonggong terla-

lu biadab dan telengas suka memeras penduduk ak-

hirnya ia dipecat oleh Bupati Labean.

Kini Suro Gonggong telah mengutus anak 

buahnya untuk membunuh keluarga Bupati Labean 

yang dianggapnya telah membuat dirinya jadi pen-

gangguran kembali. Di samping itu pula, ambisi Suro 

Gonggong adalah ingin menjadikan dirinya Bupati 

menggantikan Bupati Labean.

Bersamaan dengan pekikan Bupati Labean 

yang hendak menyerang kelima anak buah Suro Gon-

gong, memekik pula istrinya. Tubuh istrinya limbung 

dengan dada bolong tertancap keris yang di genggam 

oleh salah seorang anak buah Suro Gonggong.

Makin bertambah marah Bupati Labean melihat 

istrinya telah mati di tangan kelima orang anak buah 

Suro Gonggong. Maka bagaikan banteng ketaton, Bu-

pati Labean segera menerjang kelimanya dengan keris 

pusaka Cokro Jinggo di tangannya.

"Bedebah! Kalian harus membayar nyawa istri-

ku," memaki marah Bupati Labean, dibarengi dengan 

sabetan keris Cokro Jinggo.

Seketika kelima anak buah Suro Gonggong ber-

lompatan, mengelakkan serangan yang dilancarkan 

oleh Bupati Labean. Mereka tahu akan kehebatan keris 

di tangan Bupati Labean dari Suro Gonggong yang te-

lah memesannya wanti-wanti agar mereka hati-hati


dengan keris itu.

Mendapatkan serangannya hanya mengenai 

angin belaka, makin bertambah marahlah Bupati La-

bean. Maka dengan ditambah lipat gandakan seran-

gannya, Bupati Labean mencerca kelima musuhnya si-

lih berganti.

Mendengar keributan di ruang tamu, kedua 

anak Bupati Labean seketika terjaga dari tidurnya. La-

lu dengan mata masih setengah mengantuk kedua ka-

kak beradik itu berjalan ke luar menuju ke asal suara 

itu.

"Ibu...!" memekik kedua anak usia belasan ta-

hun itu, manakala melihat tubuh ibunya telah terkulai 

di lantai dengan darah yang mengering berserakan di 

sekelilingnya. Kedua bocah belasan tahun itu hendak 

mendekat ke mayat ibunya, manakala sebuah tendan-

gan menghantam tubuh mereka hingga terpental.

Melihat kedua anaknya jatuh terkena tendan-

gan salah seorang anak buah Suro Gonggong, seketika 

Bupati Labean makin marah. Dengan terlebih dahulu 

berseru pada kedua anaknya, ia segera meningkatkan 

serangannya.

"Tinggalkan rumah segera, Anak-anakku! Ce-

pat!"

Dengan menurut, kedua anak belasan tahun 

kakak beradik itu segera hendak pergi meninggalkan 

rumah manakala salah seorang dari kelima anak buah 

Suro Gonggong telah mengejar dan menghadang mere-

ka.

Bagaikan tak mengenal belas kasihan, keris di 

tangannya bergerak cepat menusuk ke arah dua bocah 

itu. Bocah perempuan itu sempat menghindar hingga 

luput dari tusukan keris itu. Namun anak laki-

lakinyalah yang terkena tusukan keris di tangan anak


buah Suro Gonggong yang mendarat tepat di mata ki-

rinya.

Seketika bocah laki-laki itu memekik kesakitan 

dengan tangan mendekap mata kirinya yang hancur 

akibat tusukan keris. Dengan menahan sakit yang tak 

terhingga, bocah lelaki itu berlari dengan kencangnya 

sembari menjerit-jerit kesaktian.

"Aaaaaaaaahhhhh....!"

"Kakang Rangga....!" turut menjerit bocah wani-

ta itu, demi melihat kakaknya melolong dengan mata 

sebelah kiri hancur. Ketika ia hendak mengejar, tiba-

tiba orang yang tadi menusukkan kerisnya ke arah 

mata kakaknya menendangnya hingga jatuh tengkurap 

dengan muka mencium tanah.

Menangis bocah perempuan itu menahan sakit, 

merintih tak dapat bangun kembali. Belum puas lelaki 

itu melihat bocah perempuan itu jatuh tersungkur, 

serta merta keris di tangannya terangkat dan...

"Mampuslah, kau! Hiat...!"

Hampir saja melayang nyawa bocah perempuan 

yang tak berdosa itu di ujung kerisnya, manakala se-

buah bayangan berkelebat sembari menangkis keris 

yang tinggal sekuku lagi menusuk tubuh bocah pe-

rempuan itu.

"Trang..!"

Gemetar tangan lelaki itu, sampai-sampai keris 

yang digenggamnya terpental jauh. Matanya seketika 

membeliak kaget manakala tubuh bocah perempuan di 

hadapannya telah lenyap. Ketika ia menengok ke 

samping kiri, dilihatnya seorang wanita bungkuk ber-

diri sembari tersenyum dengan pundak menggendong 

bocah perempuan yang luput dari maut.

"Bedebah! Rupanya hanya seorang bungkuk je-

lek yang ingin mencari mati!" membentak lelaki itu, se


raya bangkit dan segera memburu orang bungkuk 

yang tak lain Sandi Antini adanya.

Mata Sandi Antini seketika melotot marah, de-

mi mendengar ucapan lelaki itu yang mengejeknya 

dengan sebutan Bungkuk Jelek. Amarahnya seketika 

membakar hatinya yang tak rela dikatakan Bungkuk 

Jelek. Bayangan Loh Gantra seketika melekat pada wa-

jah lelaki yang hendak menyerangnya. Maka dengan 

menggeram marah, Sandi Antini segera memapaki se-

rangan orang tersebut. Diputarnya tongkat di tangan-

nya dengan kencang, menjadikan gumpalan-gumpalan 

sinar yang menutupi tubuhnya.

"Kau yang harus mati, hiaat...!" memekik Sandi 

Antini.

Tersentak lelaki itu seketika, lalu lelaki itu 

bermaksud melompat mundur untuk menghindar. 

Namun serangan Sandi Antini begitu cepatnya hingga 

tak ayal lagi tongkat Sandi Antini menghantam batok 

kepala lelaki itu yang memekik menahan sakit memu-

tar-mutar tubuh sembari mendekap kepalanya. Bebe-

rapa saat kemudian, lelaki itupun ambruk dengan ke-

pala bocor mengeluarkan darah dan mati.

Berbareng dengan itu, terdengar di dalam ru-

mah pekikan Bupati Labean. Tangannya yang meng-

genggam keris Cokro Jinggo putung terbabat pedang 

lawan. Darah seketika menyembur deras, sederas pe-

kikan Bupati Labean yang menahan sakit. 

Tanpa keris pusaka Cokro Jinggo di tangannya, 

maka tak berarti apa-apa lagi Bupati Labean bagi 

keempat anak buah Suro Gonggong, hingga saat itu 

juga, jadilah Bupati Labean bulan-bulanan keempat 

anak buah Suro Gonggong.

"Mampuslah kau, Bupati keparat!"

Berbareng dengan ucapan itu, salah seorang


dari keempatnya menghujamkan senjatanya yang ber-

bentuk clurit membeset perut Bupati Labean. Usus 

Bupati Labean seketika mengurai, keluar dari sobekan 

perut yang menganga. Walaupun sudah dalam kea-

daan begitu, namun Bupati Labean nampak masih 

sanggup berdiri bahkan balik menyerang keempat 

pengeroyoknya.

Terbelalak mata keempatnya menyaksikan ke-

nyataan di hadapannya, sampai-sampai mulut mereka 

menganga saking kagetnya. Betapa tidak! Tubuh Bu-

pati Labean yang sudah terkoyak-koyak, ternyata ma-

sih mampu melanjutkan pertempuran.

"Aku rasa Bupati ini memiliki pegangan, Ka-

kang Kiranda," berkata Sugiri pada Kiranda yang men-

gangguk mengiyakan.

"Benar, Adik Sugiri. Coba kau ingat kata-kata 

kakang Suro Gonggong manakala kita hendak menya-

troni Bupati ini."

"Ya, Kakang Suro Gonggong berkata bahwa Bu-

pati ini memiliki ajian Lampar Urip. Ia dapat mati jika 

darahnya dihisap," berkata Sugiri.

"Hem, kalau begitu kita harus menghisap da-

rahnya."

Bergidig dua orang teman lainnya mendengar 

ucapan Kiranda. Serta merta kedua orang itu berkata: 

"Aku tak dapat." 

"Tak apa. Biarlah aku yang akan menjalankan-

nya," berkata Kiranda sembari memandang sesaat pa-

da Sugiri yang mengangguk. Maka dengan segera Ki-

randa mengibaskan tangannya, mengomandokan keti-

ga temannya untuk menangkap Bupati Labean.

Setelah ketiganya saling pandang sesaat, den-

gan segera ketiganya berkelebat cepat merangsek Bu-

pati Labean. Ditangkapnya kaki dan tangan Bupati La


bean yang berusaha berontak.

Dengan segera tanpa membuang-buang waktu 

lagi, Kiranda segera menyedot darah yang keluar dari 

tangan kanan Bupati Labean. Memang benar apa yang 

diduga oleh keempat anak buah Suro Gonggong. Ter-

bukti seketika itu pula tubuh Bupati Labean lemas dan 

mati, setelah darahnya terminum oleh Kiranda.

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" berseru Ki-

randa pada ketiga temannya setelah menyaksikan Bu-

pati Labean telah mati. "Hai! Ke mana Gento? Dari tadi 

ia tidak nongol-nongol?" bertanya Kiranda kemudian 

pada ketiga temannya yang seketika itu saling pan-

dang.

"Bukankah ia tadi mengejar kedua anak Bupa-

ti?" kembali Kiranda bertanya setelah melihat ketiga 

temannya hanya terdiam.

"Benar!" menjawab Sugiri.

"Lalu ke mana, dia?" dua orang temannya ber-

tanya bareng, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pa-

da diri mereka sendiri.

"Ah, sudahlah. Nanti juga ia pulang. Ayo kita 

pergi," mengajak Kiranda yang segera diikuti oleh keti-

ga temannya. 

Maka dengan segera keempat orang itu keluar 

dari rumah Bupati, dengan maksud hendak mening-

galkan rumah itu. Namun seketika keempatnya tersen-

tak kaget sembari menghentikan langkahnya, manaka-

la dilihat oleh mereka sesosok tubuh telah terbujur 

kaku di halaman rumah Bupati Labean yang mereka 

kenali sebagai teman mereka sendiri yang bernama 

Gento.

Dengan segera keempatnya mendekati tubuh

Gento yang telah menjadi mayat dengan kepala pecah 

hingga menjadikan keempat orang itu saling pandang


tak mengerti.

"Rupanya ada orang lain datang ke sini," berka-

ta Sugiri setelah sekian lama terdiam yang diangguki 

oleh ketiga temannya.

"Cepat angkat mayatnya jangan sampai keta-

huan oleh orang karena hari sebentar lagi menjelang 

pagi," memerintahkan Kiranda pada ketiga temannya 

yang segera melaksanakan.

Diangkatnya tubuh Gento yang telah kaku, lalu 

dengan segera keempatnya bergegas pergi meninggal-

kan, rumah Bupati Labean. Langkah mereka seperti 

terburu, karena hari sebentar lagi akan menjelang pa-

gi.

Ke manakah perginya Sandi Anting yang mem-

bawa tubuh bocah perempuan dalam pundaknya? Ke 

mana pula Rangga yang matanya tertusuk oleh keris 

Gento? Hidup atau matikah dia?

***

Setelah menolong gadis cilik putri Bupati La-

bean, segera Sandi Antini bergegas pergi meninggalkan 

rumah Bupati Labean dengan membopong tubuh gadis 

kecil itu.

Dibawanya tubuh gadis kecil putri Bupati La-

bean yang pingsan karena kekerasan yang dilakukan 

oleh salah seorang anggota anak buah Suro Gonggong, 

menuju tempatnya tinggal.

Direbahkan tubuh gadis kecil itu di atas pem-

baringan, setelah tiba di tempatnya. Dipandangi sesaat 

tubuh gadis kecil itu yang masih pingsan, seketika hati 

Sandi Antini berkata: "Hem, perawakan gadis kecil ini 

sungguh bagus. Tulang-tulangnya kokoh dan besar. 

Aku rasa, gadis inilah yang Eyang Guru maksudkan."


Dengan segera Sandi Antini berkelebat pergi 

meninggalkan gadis itu yang masih terbaring pingsan. 

Tak lama kemudian, Sandi Antini datang kembali den-

gan membawa beberapa lembar dedaunan dan bebera-

pa batang akar-akaran untuk obat.

Diraciknya daun dan akar-akaran itu menjadi 

obat, lalu setelah dicampur dengan air, segera dimi-

numkannya pada gadis kecil yang masih terbaring 

pingsan.

Tak berapa lama kemudian, tampak gadis kecil 

itu menggeliat bagaikan habis bangun tidur. Matanya 

mengejap-ngejap sesaat, memandang sekelilingnya 

dengan bingung dan bertanya pada Sandi Antini yang 

duduk di sampingnya mengurai senyum.

"Di manakah aku, Nyai?"

Bagaikan tak ada rasa takut, mata gadis kecil 

itu menatap lekat ke wajah Sandi Antini yang tampak 

tersenyum senang sembari berkata menjawab perta-

nyaannya:

"Kau berada di gubugku, Tuan Putri."

"Ah, kenapa Nyai memanggilku Tuan Putri." 

bertanya gadis kecil itu.

Makin senang Sandi Antini melihat kerendahan 

hati gadis kecil ini. Tidak seperti anak bangsawan lain, 

gadis ini tampak sederhana dan tidak sombong. Di wa-

jahnya tergurat rasa kemasyarakatan, hingga kulitnya 

begitu hitam lain dengan anak bangsawan lainnya 

yang berkulit putih.

"Kini aku sebatang kara, Nyai," berkata gadis 

kecil itu tiba-tiba, menyentakkan lamunan Sandi Anti-

ni yang sedari tadi memandangnya. Ucapan gadis itu 

yang disertai rasa putus asa, menjadikan Sandi Antini 

turut terharu hingga tanpa dirasakannya, air matanya 

meleleh jatuh ke pipinya.


"Tidak begitu, Tuan Putri."

"Ah, kenapa Nyai masih tetap memanggilku 

Tuan Putri? Aku bukan anak raja. Aku anak orang ke-

banyakan yang mungkin nasibnya jauh lebih buruk 

dibandingkan dengan nasib teman-temanku. Ibu mati 

terbunuh oleh orang-orang itu, mungkin begitu juga 

ayah. Sementara kakakku, entah ke mana? Oh, nasib, 

Nyai," berkata gadis kecil itu seperti menyesali nasib-

nya.

"Sudahlah. Jangan terlalu... siapa namamu?" 

bertanya Sandi Antini menghentikan ucapannya kare-

na ragu harus memanggil apa pada gadis kecil itu yang 

tidak mau disebut Tuan Putri.

"Namaku, Dewi Miranti. Nyai boleh memanggil-

ku, Miranti," menjawab gadis kecil yang bernama Mi-

ranti itu dengan polos. Makin membuat Sandi Antini 

senang, lalu ucapnya kemudian.

"Janganlah engkau terlalu memikirkan nasib-

mu, Miranti. Bukankah masih ada Nyai?" 

Berseri wajah Miranti seketika mendengar uca-

pan Sandi Antini. Serta merta, Miranti bangkit dari ti-

durnya memeluk erat tubuh Sandi Antini yang mene-

rimanya dengan penuh rasa kasih sayang. Dibelainya 

rambut Miranti yang panjang terurai dengan penuh 

kasih. Tak terasa air matanya kembali meleleh mana-

kala dirasakannya Miranti menangis dalam pelukann-

nya.

"Sudahlah, Miranti. Janganlah kau terlalu ter-

bawa oleh perasaanmu. Kalau kau tak keberatan, 

maukah kau menganggap aku ibumu?" bertanya Sandi 

Antini setengah berbisik di telinga Miranti yang seketi-

ka itu memandang wajahnya sepertinya hendak men-

gatakan sesuatu. "Kau mau?" lanjut Sandi Antini ber-

tanya yang diangguki oleh Miranti dengan senyum


mengembang di bibirnya.

"Terima kasih, Ibu?" desah Miranti sembari 

makin mengeratkan pelukannya ke tubuh Sandi Antini 

yang dengan rasa bahagia membalas memeluk tubuh 

Miranti erat. Sepertinya, kedua wanita itu telah saling 

menyatu dan mengisi sejak lama.

***

LIMA



Kita tinggalkan Miranti yang sejak saat itu ting-

gal bersama Sandi Antini yang telah dianggapnya se-

bagai pengganti ibunya, sekaligus guru. Marilah kita 

tengok, bagaimana nasib Rangga Wisnu Kakang Miran-

ti yang saat itu lari dengan menutup mata kirinya yang 

hancur tertusuk keris Gento.

Dengan menahan rasa sakit yang teramat san-

gat akibat mata sebelah kirinya hancur, Rangga Wisnu 

terus berlari meninggalkan rumahnya yang saat itu te-

lah terjadi pertumpahan darah. Tak didengarnya lagi 

teriakan adiknya Dewi Miranti, dikarenakan rasa sakit 

yang teramat sangat melanda mata sebelah kirinya.

Dengan tubuh sempoyongan akibat terlalu ba-

nyak mengeluarkan darah, Rangga Wisnu terus berlari 

tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dalam gelap malam 

Rangga Wisnu menyeruak hutan, menuruni sungai un-

tuk menghindari amukan orang-orang yang malam itu 

mendatangi rumahnya.

Mungkin karena terlalu lelah berlari, juga kare-

na lemas akibat darah banyak keluar dari mata kirinya 

menjadikan Rangga Wisnu akhirnya jatuh pingsan.

Manakala pagi telah datang, tampak dua orang



yang tengah berjalan menyusuri sungai terperanjat 

melihat sesosok tubuh bocah belasan tahun tergeletak 

di pinggir kali.

Kedua orang yang tak lain Loh Gantra dan Nyi 

Mayang Sari, seketika berlari menuju ke tempat bocah 

itu pingsan. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari se-

ketika membelalak, manakala melihat mata bocah itu 

hancur satu.

"Sungguh biadab orang yang telah melakukan-

nya," dengus Nyi Mayang Sari melihat mata kiri bocah 

itu hancur. "Kasihan bocah ini. Bagaimana kalau kita 

bawa pulang saja?" lanjutnya bertanya pada Loh Gan-

tra.

"Aku rasa juga lebih baik begitu," menjawab 

Loh Gantra, yang dengan segera membopong tubuh 

Rangga Wisnu. Dibawanya Rangga Wisnu menuju ke 

markasnya, Loreng Ireng.

"Dilihat dari pakaian yang dikenakan bocah ini, 

aku rasa ia anak seorang Ningrat."

"Benar, apa yang kau katakan, Nyi, Bocah ini 

sepertinya bukan anak orang sembarangan," menyam-

bungi Loh Gantra, sembari kembali memandang pada 

bocah yang berada dalam bopongannya. "Anak siapa 

kira-kira?" lanjutnya bergumam, seperti pertanyaan itu 

ditujukan pada dirinya sendiri.

Perasaan kedua orang yang biasanya tak men-

genal belas kasih itu, berubah menjadi iba melihat 

Rangga Wisnu yang mata kirinya hancur hingga ba-

nyak mengeluarkan darah. Dengan setengah berlari, 

kedua orang yang bergelar Sepasang Iblis dari Hutan 

Cemara Gundul melangkah membawa tubuh Rangga 

menuju ke markasnya yang terletak di Hutan Cemara.

Tak berapa lama keduanya berlari, sampailah 

keduanya pada markas mereka di Hutan Cemara. Ke


datangan mereka disambut hormat oleh anak buahnya 

yang dipimpin Oleh Lontar. "Selamat datang, Pimpi-

nan?"

"Lontar, perintahkan pada anak buahmu untuk 

mempersiapkan tempat tidur untuk anak ini," meme-

rintah Loh Gantra.

"Siapakah gerangan anak yang berada dalam 

gendongan, Pemimpin?"

"Jangan banyak bertanya, Lontar! Kerjakan du-

lu apa yang tadi aku perintahkan!" membentak Loh 

Gantra, membuat Lontar tak berani lagi berkata dan 

segera berlalu pergi.

"Siapkan sebuah dipan untuk anak itu!" perin-

tah Lontar pada anak buahnya yang dengan segera 

melaksanakan perintahnya. Dengan cepat, semua 

anak buahnya segera membuat sebuah dipan dari 

kayu. Karena dikerjakan bergotong royong oleh hampir 

seratus orang, maka dalam waktu yang singkat dipan 

itu telah jadi.

Segera Loh Gantra membaringkan tubuh Rang-

ga di atas dipan, lalu kembali ia berkata memerintah-

kan pada Lontar: "Ambilkan air dan obat-obatan, Lon-

tar!"

Dengan tanpa banyak tanya, Lontar segera 

menjalankan tugasnya. Tak berapa lama, Lontar telah 

kembali menemui Loh Gantra dengan membawa apa 

yang dimaksudkan oleh pimpinannya.

"Ini, Pimpinan?" 

"Ya, bawa kemari!"

Setelah menerima sebaskom air dan segenggam 

obat-obatan, Loh Gantra segera mengelap darah yang 

telah mengering pada mata kiri Rangga. Dilapnya den-

gan perlahan, hingga benar-benar bersih. Lalu setelah 

itu, ditaburkan serbuk obat pada mata kiri Rangga.


Sesaat Rangga memekik, lalu terdiam lagi.

"Carikan sebuah batu pipih," berkata Loh Gan-

tra, memerintahkan pada Lontar dan anak buahnya 

yang segera pergi mencari batu. Selang tak begitu lama 

kemudian, Lontar bersama anak buahnya telah mem-

bawa batu yang dimaksud.

"Ingat oleh kalian. Anak ini telah kami angkat 

menjadi anak kami," berkata Nyi Mayang Sari pada 

anak buahnya, setelah sekian lama hanya terdiam 

memandangi wajah Rangga dengan perasaan iba.

"Apakah hal itu sudah dipikirkan masak-

masak?" tanya Lontar. 

"Maksudmu, Lontar?" balik bertanya Nyi 

mayang Sari.

"Apakah Nyai pimpinan telah memikirkan dan 

mempertimbangkannya sebelum mengangkat anak ter-

sebut? Apakah nantinya anak ini tidak akan mere-

potkan kita?"

Melotot mata Nyi Mayang Sari mendengar penu-

turan Lontar, yang dianggapnya hendak menentang-

nya. Maka dengan membentak marah, Nyi Mayang Sari 

berkata: "Diam! Apakah kau hendak menentangku? 

Lebih tahu mana kau denganku, Lontar?"

"Ampun, Nyi Pimpinan. Bukannya saya hendak 

menentang. Namun saya semata-mata ingin supaya 

Nyi Pimpinan mempertimbangkan masak-masak agar 

nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita ingini."

"Aku tahu Lontar! Sekarang jangan banyak 

tanya," berkata Nyi Mayang Sari, menjadikan Lontar 

seketika itu diam tak berani lagi berkata.

"Hari ini juga, kalian harus menghormatinya. 

Kalian perlu ingat, bahwa anak ini kelak akan menjadi 

pimpinan kalian," lanjut Nyi Mayang Sari berkata.

"Baik, Nyi Pimpinan. Kami akan selalu menuru


ti apa yang menjadi keputusan Nyai," berkata serem-

pak keseratus anak buahnya sembari menjura hormat.

Sejak saat itu Rangga Wisnu resmi menjadi 

anak angkat Mayang Sari dan Loh Gantra sekaligus 

mewarisi segala ilmu yang bakal diturunkan padanya.

***

Hari masih begitu pagi, ketika terdengar suara 

lengkingan seorang gadis memecahkan keheningan 

pagi itu. Tampak seorang gadis meliuk-liukkan tubuh-

nya sembari melompat-lompat ke udara, sepertinya 

gadis itu tengah menari. Namun bila kita memandang-

nya dengan seksama ternyata gadis itu sembarangan 

menari, melainkan tengah berlatih ilmu silat.

"Bagus, Miranti!" terdengar suara wanita me-

mujinya.

"Bagaimana, ibu?" bertanya gadis itu yang ter-

nyata Miranti adanya pada wanita bungkuk yang du-

duk di atas batu, yang tak lain Sandi Antini yang kem-

bali berseru.

"Bagus, Miranti. Ternyata kau mampu mengua-

sai ilmu yang aku turunkan. Jurus itu bernama Tarian 

Bidadari, yang merupakan dasar dari ilmu yang nan-

tinya bakal engkau pelajari. Nah sekarang berlatihlah 

lagi."

Dengan penuh semangat, Miranti kembali ber-

latih. Tubuhnya yang ramping, meliuk-liuk bagaikan 

menari-nari di angkasa. Sesekali tubuhnya melompat 

sembari memekik, lalu turun kembali dengan sigap 

sempurna dan siap mengembangkan jurus Tarian Bi-

dadari lainnya.

Bersamaan dengan itu, di Hutan Cemara tam-

pak seorang pemuda tengah digembleng ilmu-ilmu silat


oleh dua orang tokoh yang telah mengangkatnya seba-

gai anak mereka. Dua tokoh silat pimpinan Loreng 

Ireng yang tak lain Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari, 

dengan penuh kasih sayang dan perhatian membimb-

ing Rangga.

"Kurang cepat, Rangga! Usahakan kakimu ber-

gerak dipercepat. Kau tahu bagaimana lutung menye-

rang musuhnya? Nah, itulah yang harus engkau laku-

kan," berkata Loh Gantra, memberi semangat pada 

anak angkatnya.

Dengan tanpa rasa lelah, Rangga Wisnu segera 

mengulang Jurus Lutung-Menyerang disambung den-

gan Jurus Lutung Menangkap Ular Sanca. Gerakan-

gerakannya begitu cepat, menjadikan Loh Gantra ter-

senyum puas dan kembali berseru memuji. "Bagus, 

Rangga!"

"Bagaimana, Ayah?" bertanya Rangga gembira 

mendengar pujian Loh Gantra, ayah angkatnya.

"Bagus! Kau ternyata anak cerdas. Tak sia-sia 

aku mendidikmu," berkata Loh Gantra kembali semba-

ri melirik Nyi Mayang Sari yang duduk di sampingnya 

mengurai senyum.

Silih berganti keduanya mengajari ilmu-ilmu 

yang mereka miliki pada Rangga. Walaupun begitu, se-

pertinya Rangga tak pernah bosan. Bahkan dengan ce-

pat, dilalapnya segala ilmu yang diajarkan oleh kedua 

orang tua angkatnya.

Maka dalam waktu yang sangat singkat, segala 

ilmu yang diajarkan oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang 

Sari dapat dengan cepat dikuasainya. Maka jadilah 

Rangga Wisnu seorang pemuda yang berilmu tinggi.

Tapi karena didikannya yang salah, jadilah 

Rangga Wisnu pemuda yang urakan dan nakal.

Di pihak lain, Miranti yang telah tumbuh men


jadi gadis remaja nampak kecantikannya. Seperti hal-

nya Rangga Wisnu kakaknya, Miranti pun telah men-

jadi seorang gadis yang memiliki ilmu kedigdayaan

yang tinggi.

Berbeda dengan watak kakaknya Rangga Wisnu 

yang beringasan, Miranti yang berwatak lemah lembut. 

Mungkin karena Miranti dididik oleh Sandi Antini yang 

menerapkan sifat rendah hati, hingga menjadikannya 

seorang gadis yang memiliki etika.

Saat itu Miranti dengan ditemani oleh ibu ang-

katnya yang sekaligus gurunya tengah membuka peti 

yang berisi Kitab Selendang Ungu. Terbelalak mata 

Sandi Antini manakala melihat apa yang terjadi. Ter-

nyata Kitab Selendang Ungu memang berjodoh dengan 

Miranti, terbukti dengan mudah Miranti menjamah Ki-

tab itu dan mengangkatnya keluar dari petinya.

"Ibu lihatlah! Ternyata di bawah kitab ini terda-

pat sebuah selendang berwarna ungu!" berseru Miranti 

dengan mata terbelalak melihat apa yang ada di dalam 

peti.

Sandi Antini yang berada disampingnya turut 

terbelalak, manakala melihat bahwa di bawah kitab 

terdapat sebuah selendang berwarna ungu.

"Pantas, kalau Kitab itu benar Kitab Selendang 

Ungu," gumam Sandi Antini sembari mengangguk-

anggukan kepalanya. "Apakah kau akan mempelaja-

rinya hari ini juga, Miranti?" lanjutnya bertanya.

"Ya. Ibu. Miranti ingin sekali mengetahui apa 

yang sebenarnya terkandung dalam Kitab Selendang 

Ungu ini. Maukah Ibu menemani Miranti dan memberi 

petunjuk?" bertanya Miranti yang dijawab dengan se-

nyuman kegembiraan dibibir Sandi Antini.

"Dengan senang. hati, Anakku," menjawab 

Sandi Antini.


Maka dengan segera kedua anak ibu angkat itu 

bergegas menuju ke belakang goa di mana terhampar 

lapangan yang cukup luas dengan pohon-pohon bunga 

yang tumbuh di sana.

"Di sini kau cukup aman berlatih," berkata 

Sandi Antini.

Maka dengan duduk bersila, Miranti segera

mengheningkan cipta sesaat. Tujuannya meminta doa 

restu pada pemilik dan penulis kitab Selendang Ungu, 

yang hendak ia pelajari.

Tengah Miranti khusuk mengheningkan cipta 

sembari berdoa, terdengar olehnya suara seseorang 

berkata. "Cucuku! Memang kaulah yang berjodoh den-

gan Kitab Selendang Ungu, yang merupakan sebuah 

Kitab sakti. Barang siapa yang berjodoh dengan kitab 

itu dan mau mempelajarinya maka kelak orang itu 

akan menjadi seorang pendekar yang mumpuni dan pi-

lih tanding. Maka jangan sekali-kali ilmu dari Kitab Se-

lendang Ungu digunakan untuk berbuat kejahatan. Bi-

la hal itu terjadi, akan hancurlah dunia persilatan. 

Mintalah petunjuk ibumu, agar kau tidak salah mem-

pelajarinya. Selamat berlatih, Cucuku."

Bersama hilangnya suara orang tua itu, angin 

seketika berhembus lambat menerpa rambut Miranti 

yang berterbangan terurai melambai-lambai.

Perlahan Miranti membuka matanya, lalu me-

mandang pada Sandi Antini yang tampak tersenyum 

padanya sembari berkata. "Kau memang jodohnya, 

Anakku."

"Terimakasih, Ibu."

Dengan berlinang-linang, dipeluknya Sandi An-

tini.

Sesaat kedua ibu dan anak angkat itu saling 

berpelukan, melepaskan rasa suka cita dan kasih


sayang. Air mata kegembiraan, menetes deras dipipi 

keduanya. Lama keduanya saling berpelukan, hingga 

akhirnya Sandi Antini berkata: "Berbahagialah kau, 

Anakku. Aku akan selalu membimbingmu untuk 

mempelajari Kitab itu."

"Terima kasih, Ibu. Hari ini juga, Miranti akan 

mempelajarinya."

Habis berkata begitu, Miranti segera kembali 

duduk bersilah. Dibukanya Kitab Selendang Ungu, lalu 

dengan teliti dibaca dan dipelajarinya tulisan serta 

gambar yang berada dalam lembaran-lembaran Kitab 

itu.

Tekun sekali Miranti membaca dan menghayati 

arti dari gambar-gambar yang berada dalam lembaran-

lembaran Kitab Selendang Ungu, sampai-sampai wak-

tu berlalu meninggalkannya tidak dihiraukannya. Dari 

pagi hingga menjelang sore, Miranti dengan ditemani 

oleh ibu yang juga gurunya mempelajari isi kitab itu.

Demikianlah yang dilakukan Miranti sepanjang 

hari, tekun dan teliti ia terus mempelajari isi kitab itu. 

Dengan ditemani Sandi Antini yang membimbingnya, 

Miranti terus berlatih.

Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepat-

nya. Segala yang terdapat dalam kitab Selendang Un-

gu, telah mampu dihapal dan dipelajari oleh Miranti.

Seperti halnya pagi itu, tampak Miranti dengan 

Sandi Antini sebagai pembimbing tengah berlatih 

mempraktekkan apa yang ada di dalam kitab Selen-

dang Ungu.

Dikenakannya Selendang Ungu membelit pada 

pinggangnya, lalu dengan mengikuti gambar yang ada 

di dalam kitab serta tulisan-tulisan petunjuk, Miranti 

melakukan jurus-jurus Selendang Ungu. Tubuhnya 

meliuk-liuk bagai menari, lemah gemulai bak tak ber


tulang.

Saat itu Miranti tengah mempraktekkan jurus 

pertama dari Selendang Ungu, yang bernama Jurus 

Selendang Bidadari Menyibak Awan. Setiap kibasan 

ujung selendangnya, menjadikan angin topan yang be-

sar yang mampu menerbangkan apa yang ada di seke-

lilingnya. Hingga Sandi Antini yang berdiri lima tombak 

di sampingnya, harus mengerahkan tenaga dalam un-

tuk mampu mempertahankan tubuhnya agar tidak 

terhempas oleh angin puting beliung yang keluar dari 

sibakan ujung selendang. Namun karena kerasnya an-

gin yang berhembus, menjadikan tubuh Sandi Antini 

oleng dan ambruk ke tanah mental tiga tombak.

Terbelalak mata Miranti melihat ibu angkatnya 

terpental oleh angin yang keluar dari ujung selendang-

nya. Maka seketika itu Miranti segera menghentikan 

latihannya dan bergegas menghampiri Sandi Antini.

"Ibu! Kau tak apa-apa?" tanyanya dengan nada 

khawatir. Dipandangnya tubuh Sandi Antini keseluru-

han, khawatir kalau-kalau ibu angkatnya menderita 

luka. Namun seketika Miranti kembali tenang, mana-

kala Sandi Antini menggelengkan kepala sembari ber-

kata.

"Aku tak apa-apa, anakku. Berlatihlah kembali, 

ibu malah senang karena ternyata kau cepat mengua-

sai dan hapal segala yang ada di dalam kitab itu."

"Benarkah ibu tak apa-apa?" kembali Miranti 

bertanya, sepertinya sangat mengkhawatirkan keadaan 

ibu angkatnya. Sandi Antini hanya menggeleng semba-

ri tersenyum, yang menjadikan Miranti akhirnya te-

nang dan mempercayainya bahwa ia tak apa-apa.

Maka dengan ditemani Sandi Antini dari jarak 

yang agak jauh, Miranti kembali mempraktekkan ju-

rus-jurus yang dipelajarinya dari Selendang Ungu.


Kembali tubuh Miranti meliuk-liuk bagai menari, den-

gan sekali-kali tangannya mengibaskan selendang 

yang melilit di pinggang.

Setelah puas dengan jurus Bidadari Menyibak 

Awan, Miranti segera melanjutkannya dengan jurus 

Bidadari mengepak sayap menghantam karang. Tubuh 

Miranti kembali meliuk-liuk, lalu dengan ringannya 

tubuh Miranti melompat tinggi ke angkasa bagaikan 

terbang. Dikepak-kepakkan selendang yang berada da-

lam genggaman tangannya, menjadikan angin besar 

yang menderu-deru. Setelah tubuhnya dirasa telah 

tinggi, dengan segera Miranti kembali turun. Bersa-

maan tubuhnya merosot turun, Miranti menghentak-

kan selendangnya ke samping. Seketika itu pula ter-

dengar ledakan dahsyat, "Jlegar! Jlegar!" Ujung-ujung 

selendang itu menghantam pepohonan, yang seketika 

itu hancur berkeping-keping.

Terbelalak mata Sandi Antini menyaksikan hal 

itu, sampai-sampai matanya melotot, tak percaya pada 

apa yang tengah dilihatnya. Seketika itu pula, dari mu-

lut Sandi Antini memekik seruan. "Jagad Dewa Batara! 

Betapa dahsyatnya ilmu itu!"

Belum juga hilang kekagetannya, terdengar Mi-

ranti berseru sembari berlari menuju ke arahnya. "Ba-

gaimana, Ibu?"

Tersenyum seketika Sandi Antini, yang dengan 

penuh bangga menyambut Miranti. "Kau hebat, anak-

ku. Kau hebat!" ucapnya bangga sembari memeluk tu-

buh Miranti, yang tertawa-tawa dengan riangnya.

Ketika senja telah datang, kedua anak dan ibu 

angkat itu kembali beristrirahat. Di wajah mereka 

tampak keceriaan, seperti tak pernah ada rasa cape 

atau lelah. Dengan tertawa-tawa, kedua anak dan ibu 

angkat itu kembali ke goa, di mana mereka tinggal.


Hari-hari dilalui Miranti dengan berlatih dan 

berlatih jurus-jurus Selendang Ungu, tanpa mengenai 

lelah ataupun bosan. Dari jurus pertama yaitu Bidada-

ri Menyibak Awan, Bidadari Mengepak Sayap Meng-

hantam Karang, Bidadari Membentang Selendang, Bi-

dadari Menyapu Mendung, hingga jurus terakhir Bida-

dari menghalau Angin Topan dengan cepat dapat diku-

asainya. Maka jadilah Miranti seorang pendekar wanita 

yang dapat disejajarkan dengan pendekar-pendekar 

Kelas Wahid, yang memiliki ilmu dan kepandaian ting-

kat tinggi.

***

ENAM



Setelah dirasa oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang 

Sari bahwa Rangga Wisnu telah mampu, maka kedua-

nya sepakat hendak menyerahkan pimpinan Loreng 

Ireng yang selama ini dipegang oleh keduanya pada 

Rangga anak angkatnya.

Maka hari itu pula diundangnya Rangga berser-

ta keseratus anak buahnya untuk mengadakan pelan-

tikan itu. Tanpa ada yang membangkang seorang pun, 

semuanya segera datang menemui Loh Gantra dan Nyi 

Mayang Sari yang telah duduk menunggu kedatangan 

mereka.

"Hamba menyampaikan hormat, Ayahanda dan 

Ibunda," berkata Rangga Wisnu yang kini telah menja-

di seorang pemuda gagah dengan tubuh berisi. Da-

danya bidang berisi, sorot matanya tajam memandang 

pada apa yang dilihatnya.

"Aku terima hormatmu, anakku. Duduklah!" 

berkata Nyi Mayang Sari.


Dengan tanpa banyak kata Rangga Wisnu sege-

ra duduk di hadapan kedua orang tua angkatnya. Se-

mentara anak buahnya tampak pula datang dan segera 

menjura hormat seraya berkata bareng.

"Hamba menyampaikan hormat, untuk junjun-

gan kita Sepasang Iblis Dari Hutan Cemara."

"Kami terima, penghormatan kalian. Duduk-

lah!"

Mendengar ucapan Loh Gantar, dengan segera 

keseratus anak buahnya duduk mengapit Rangga Wis-

nu. Sesaat kesemuanya terdiam hening, lalu kemudian 

terdengar suara Loh Gantra berkata memecah kesu-

nyian.

"Kalian sudah mengerti, mengapa kalian kami 

undang?"

"Belum, Pimpinan!" menjawab bareng keseratus 

anak buahnya.

"Baiklah! Dengarkan oleh kalian semua. Hari 

ini, tampuk kepemimpinan kami serahkan sepenuhnya 

pada anakku, Rangga. Maka dari itu, kiranya kalian 

akan makin bersemangat di bawah kepemimpinannya. 

Tingkatkan kegiatan kita. Kita harus menjadi perkum-

pulan besar, di bawah panji-panji Loreng Ireng!"

Bersamaan habisnya ucapan Loh Gantra, seke-

tika keseratus anak buahnya berseru mengelu-elukan 

perkumpulannya dan pimpinannya yang baru. 

"Hidup, Loreng Ireng! Hidup, Pimpinan baru! 

Hidup, Rangga Wisnu!"

"Nah anakku, Rangga Wisnu. Bersiapkah kau 

menjadi pimpinan?"

"Hamba siap, Ayah!" menjawab Rangga Wisnu 

pasti.

Tersenyum senang Loh Gantra dan Nyi Mayang 

Sari demi mendengar jawaban Rangga Wisnu. Maka


saat itu juga, Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpi-

nan Loreng Ireng.

***

Sejak Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpi-

nan perkumpulan Loreng Ireng, maka sepak terjang-

nya sungguh menjadikan rasa bangga Loh Gantra dan 

Nyi Mayang Sari. Namun sebaliknya bagi tokoh-tokoh 

persilatan yang berdiri di jalur lurus. Sepak terjang 

Rangga Wisnu, merupakan tantangan yang harus me-

reka hadapi.

Sepak terjang Loreng Ireng makin ganas saja, 

menteror penduduk. Merampok, menculik, membu-

nuh, dan tindakan-tindakan lainnya yang sangat sa-

dis.

Karena suka menculik gadis-gadis, maka nama 

Rangga Wisnu mulai terkenal dengan julukan Culik 

Bermata Satu. Hal itu dikarenakan mata Rangga Wis-

nu tinggal sebelah, sedang yang sebelahnya lagi tertu-

tup oleh batu.

"Malam nanti, Perguruan Teratai Emas. Apakah 

kalian ada yang tidak setuju?" bertanya Rangga Wisnu 

dengan mata yang tinggal sebelah memandang tajam 

kepada keseratus anak buahnya yang tertunduk tak 

berani menentang pandangannya.

Melihat keseratus anak buahnya hanya tertun-

duk Rangga Wisnu kembali berkata "Baiklah! Karena 

semua setuju, maka malam nanti kita melaksanakan 

rencana kita. Kita tundukkan Perguruan Teratai Emas! 

Ingat Pimpinan Teratai Emas adalah bagianku, kalian 

boleh memilih wanita lain yang kalian sukai."

"Baik, Pimpinan," menjawab semua anak 

buahnya berbarengan sembari menjura hormat. Tak


seorang pun yang berani menentangnya. Disamping ia 

merupakan anak angkat Loh Gantra dan Nyi Mayang 

Sari, ia juga berilmu sangat tinggi dengan ajiannya 

Gugur Gunung.

Malam harinya, apa yang telah direncanakan

pada siang hari segera dilaksanakan. Ketika hari men-

jelang tengah malam, mereka segera menyerang Pergu-

ruan Teratai Emas yang diketuai oleh seorang wanita 

bergelar Teratai Putih.

Diserang begitu tiba-tiba, kalang kabutlah Per-

guruan Teratai Emas. Walau mereka berusaha mem-

bendung serangan Loreng Ireng, namun karena ku-

rangnya persiapan dengan mudah anak buah Loreng 

Ireng dapat menerobosnya.

"Serbu...!" berseru Rangga Wisnu mengoman-

dokan anak buahnya.

Bagaikan air bah saja, keseratus anak buah Lo-

reng Ireng segera berhamburan masuk menyerbu Per-

guruan Teratai Emas. Dengan tergesa-gesa, anggota 

perguruan Teratai Emas yang keseluruhannya wanita 

berusaha menghadangnya. Hingga tanpa dapat dice-

gah, peperangan meletus di halaman perguruan Tera-

tai Emas.

Para sesepuh Perguruan Teratai Emas yang 

mendengar keributan, dengan segera bergegas keluar. 

Dan manakala dilihatnya telah terjadi peperangan an-

tara anggotanya melawan perkumpulan Loreng Ireng, 

segera mereka yang terdiri dari lima wanita tua turun 

membantu.

Dengan kehadiran kelima sesepuh Teratai 

Emas, maka terdesaklah anak buah Loreng Ireng. Me-

lihat hal itu, dengan geram Rangga Wisnu segera ber-

kelebat menghadang kelima nenek-nenek itu seraya 

membentak.


"Nenek-nenek centil! Selayaknya kalian telah 

minggat dari muka bumi ini!"

"Hem. Kaukah yang bernama Rangga Wisnu 

atau Culik Bermata Satu?" tanya nenek tertua.

"Ya, aku," menjawab Rangga kalem.

"Bagus! Kami ingin tahu, sampai di mana ilmu 

orang yang saat ini tengah meresahkan dunia persila-

tan."

"Ha, ha, ha...! Kalau kalian ingin merasakan-

nya. Baik, terimalah ini! Hiat...!" Dengan didahului ta-

wa yang membahana, Rangga Wisnu segera berkelebat 

menyerang kelima nenek sesepuh perguruan Teratai 

Emas.

Tersentak kelima nenek tua itu seraya melom-

pat mundur menghindari serangan Rangga yang begitu 

ganas dan cepatnya, lalu dengan segera, kelima nenek 

itu balik menyerangnya.

Saat itu juga, Rangga Wisnu dikeroyok oleh li-

ma orang tokoh Perguruan Teratai Emas, yang rata-

rata berilmu tinggi hingga Rangga Wisnu harus berha-

ti-hati, tak dapat memandang remeh. Jurus-jurus ke-

lima nenek itu seragam, bergantian mereka menyerang 

Rangga Wisnu. 

Jurus demi jurus mereka lalui, sepertinya ilmu 

yang mereka miliki seimbang. Susah untuk dapat me-

nerka siapa yang bakal menjadi pemenangnya. Apakah 

Rangga Wisnu? Atau sebaliknya kelima nenek itu?"

Sementara di lain pihak, anak buah Loreng 

Ireng yang tadinya mengendor ini tumbuh semangat-

nya manakala dilihatnya Rangga Wisnu telah terjun 

menghadapi kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai 

Emas.

Rangga Wisnu melentingkan tubuhnya ke uda-

ra, manakala menginjak jurus yang ke tujuh puluh.


Ketika tubuhnya hendak turun, dengan segera Rangga 

Wisnu menghantamkan kedua tangannya ke lima 

orang tua pengeroyoknya.

Memekik kelima nenek itu tertahan, tatkala 

mengetahui ilmu yang dilancarkan oleh Rangga. "Ah! 

Ajian Gugur Gunung!" Dengan segera, kelima nenek 

itu berusaha menghindar. Namun tak urung, salah 

seorang dari mereka terhantam juga.

"Aaah...!"

Lebur seketika tubuh nenek termuda di antara 

kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai Emas; ter-

hantam Ajian Gugur Gunung yang dilancarkan oleh 

Rangga Wisnu.

Tercekam hati keempat nenek lainnya, melihat 

apa yang terjadi pada diri adiknya. Kemarahannya se-

ketika membludag, menjadikan keempatnya menye-

rang dengan membabi buta. Hingga tak memperhi-

tungkan lagi untung ruginya. Dan manakala Rangga 

kembali menghantamkan ajian Gugur Gunungnya, tak 

ayal lagi dua dari empat nenek itu menjerit sesaat lalu 

diam dengan tubuh hancur.

"Menyerahlah kalian!" berseru Rangga Wisnu.

"Persetan! Pantang bagi kami menyerah sebe-

lum menemui ajal," menjawab nenek tertua, yang sege-

ra kembali menyerang dengan nekad dibantu oleh 

adiknya.

"Hem. Rupanya kalian memilih mampus! Baik, 

bersiaplah!"

Rangga Wisnu segera mengelakkan serangan 

kedua nenek itu, lalu secepat itu pula ia balik menye-

rang dengan Ajian Gugur Gunungnya. Kembali terden-

gar pekikan bersama hancurnya salah seorang dari 

kedua nenek yang menyerangnya.

"Setan alas! Aku akan mengadu jiwa dengan



mu, Bangsat!" memaki nenek tertua. Kemudian dengan 

segera merapalkan ajiannya yang bernama Aji Anggada

Murka. Seketika itu, dari tangan nenek tertua tampak 

selarik sinar merah menyala berkelebat-kelebat men-

garah pada Rangga.

Beruntung Rangga waspada, kalau tidak. Maka 

akan melelehlah tubuhnya, bagaikan betonan tembok 

yang menyangga balai-balai Perguruan Teratai Emas. 

"Hem, ilmunya tinggi juga," membatin Rangga

Dengan Ajian Gugur Gunungnya, Rangga sege-

ra berkelebat cepat bermaksud menyerang nenek itu. 

Namun ternyata nenek itupun kini telah berkelebat 

menuju ke arahnya sama hendak menyerang. Maka 

tak ayal lagi, keduanya bertemu di udara. "Duar....!" 

Terdengar ledakan dahsyat akibat bertemunya dua 

ajian yang dilancarkan oleh masing-masing pemilik-

nya.

Rangga terhuyung-huyung ke belakang dengan 

pundak hangus terbakar. Sementara nenek tertua, 

terduduk mengejuprak di tanah dengan mulut mele-

lehkan darah. Dari mulut yang melelehkan darah itu, 

terdengar suaranya yang terputus-putus berkata: 

"Kau-kau hebat anak muda. Aku mengaku kalah..." 

ambruklah nenek tertua dengan nyawa melayang.

Dengan matinya kelima nenek sesepuh Pergu-

rauan Teratai Emas, lemah pula kekuatan Teratai 

Emas. Maka dengan waktu relatif singkat. Loreng Ireng 

pun dapat menguasainya.

Bagai orang yang baru pulang dari hutan saja 

dan tak pernah melihat wanita, anak buah Loreng 

Ireng segera memburu murid-murid Teratai Emas. Dan 

dengan rakusnya, anak buah Loreng Ireng menyeret 

gadis-gadis itu dipaksa untuk melayani nafsu bejad-

nya.


Lain dengan anak buahnya, Rangga tanpa 

menggunakan kekerasan mendapatkan diri Anggrek

Putih pimpinan Perguruan Teratai Emas, rupanya Te-

ratai Putih pun mencintai Rangga, hingga tak bertepuk 

sebelah tangan.

***

Dengan tindakannya menyerang Perguruan Te-

ratai Emas yang dapat ditaklukannya, makin menjadi

momok saja nama Rangga atau Culik Bermata Satu di 

dunia persilatan.

Berita itu sampai juga ditelinga Bupati Suro 

Gonggong, yang turut prihatin melihat rakyatnya ba-

nyak yang ketakutan. Maka segera dipanggilnya keem-

pat pengawalnya yaitu, Kiranda, Sugiri. Londun, dan 

Kunco.

"Apakah kalian telah mendengar berita tentang 

Culik Bermata Satu?"

"Sudah. Adakah sesuatu yang menarik?" ber-

tanya Kiranda.

"Kalian ingat kejadian lima belas tahun yang la-

lu?" kembali Bupati Suro Gonggong bertanya pada 

keempat pengawalnya yang seketika itu mengernyitkan 

kening.

"Apakah tidak mungkin anak tersebut adalah 

anak Labean?" melanjutkan Suro gonggong bertanya.

"Kenapa kau begitu mengkhawatirkan, Kakang 

Suro?" balik bertanya Kiranda demi mendengar ucapan 

Suro Gonggong.

"Bagaimana mungkin bocah itu hidup? Padahal 

matanya telah hancur oleh tusukan keris Gento."

"Tapi itu bisa terjadi, Kiranda. Bukankah kau 

bilang, waktu itu ada orang lain yang telah membunuh


Gento? Apakah tidak mungkin kalau orang itu telah 

menolong kedua anak Labean?"

Terdiam Kiranda mendengar ucapan Suro 

Gonggong yang memang ada benarnya. Namun untuk 

menghibur hati Suro Gonggong, Kiranda segera berka-

ta: "kalau memang mereka ingin membalas, kurasa 

kami berempat akan sanggup menghadapinya."

"Sombong!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita mem-

bentak, dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemilik 

suara itu yang seketika telah berdiri di tengah-tengah 

mereka duduk hingga kelima orang itu seketika me-

lompat mundur.

"Siapa kau?" membentak Suro Gonggong, sete-

lah hilang kagetnya.

Gadis itu hanya tersenyum, membuat marah 

Kiranda segera membentaknya: "Gadis sundel! Ditanya 

bukannya menjawab, malah cengengesan!"

"Dengar oleh kalian baik-baik. Akulah anak 

Bupati Labean, yang kalian bunuh lima belas tahun 

yang lalu. Aku dengar kalian tak takut bila anak Bupa-

ti Labean menuntut balas. Sombong!" berkata Miranti 

dengan senyum sinis.

"Oh, jadi kau anak Labean. Bagus! Pucuk dicin-

ta, Ulam tiba. Hingga kami tak usah mencari-carimu 

mengubek jagad, karena kau ternyata datang sendiri 

mengantarkan nyawa," berkata Kiranda, seperti tak 

memandang sebelah matapun pada Miranti yang di-

anggapnya hanya seorang gadis biasa seperti gadis ke-

banyakan.

"Wow, rupanya kalian tengah menanti nyawa-

ku. Baiklah! Ambillah oleh kalian sendiri bila mampu."

Mendengar ucapan Miranti yang sepertinya 

mengejek, marahlah kelima orang itu. Maka dengan


segera kelima orang itu, tanpa malu-malu mengeroyok 

Miranti.

"Jangan menyesal, bila kami menurunkan tan-

gan jahat!" membentak Suro Gonggong.

Namun kembali Miranti hanya tersenyum, lalu 

dengan setengah mengejek Miranti kembali berkata 

sembari mengelakkan serangan kelima orang penge-

royoknya. "Tak usah kau bicara, Suro Gonggong! Dari 

dulu memang tangan kalian jahat dan keji. Maka tan-

gan kalian yang telah berlumur dosa itu harus dibikin 

putung." 

Terbelalak mata kelimanya marah, demi men-

dengar ucapan Miranti. Maka dengan mendengus, ke-

lima orang itu segera mempercepat serangannya. Keli-

manya silih berganti menyerang Miranti yang tampak-

nya mengelakkan serangan kelima pengeroyoknya 

dengan tubuh meliuk-liuk bagai menari. Padahal li-

ukan-liukan tubuh Mirantai, merupakan jurus-jurus 

dari Selendang Ungu. Hingga semua serangan kelima 

orang pengeroyoknya hanya menemui angin belaka.

Makin lama, makin kencang tarian tubuh Mi-

ranti. Tubuh Miranti meliuk-liuk dengan cepat, makin 

memusingkan pandangan mata kelima pengeroyoknya. 

Kepala mereka dibuat pening oleh gerak-gerakan Mi-

ranti yang mengajak mereka turut menari-nari. Itulah 

Jurus Bidadari Menyebar Bius, hingga orang-orang di-

dekatnya akan terbius dan mengikuti setiap gerakan-

gerakannya yang tampaknya lembut namun ternyata 

dapat menguras tenaga.

Dalam tiga puluh gerakan saja, kelima orang

pengeroyoknya dibuat lunglai bagai habis tenaganya. 

Maka tanpa mengalami kesulitan, Miranti dengan mu-

dah menghajar kelimanya. Dikibaskannya ujung se-

lendaangnya ke arah tangan musuh-musuhnya yang


seketika itu memekik kesakitan dengan tangan pu-

tung, dua-duanya lepas dari pergelangan.

Tersenyum puas Miranti melihat musuh-musuh 

ayahnya tidak bergelimpangan, lalu dengan mening-

galkan gelak tawa Miranti segera berkelebat pergi.

Selang beberapa menit kemudian, tampak seo-

rang pemuda yang sebelah matanya tertutup batu da-

tang ke tempat itu. Sesaat matanya memandang ke 

arah kelima orang yang bergelimpangan dengan kedua 

tangannya putung, sembari hatinya mendesah. "Hem, 

rupanya ada orang yang telah mendahuluiku."

"Ayah, ibu! Semoga arwah kalian tenang di 

alam sana. Lihatlah! Akan kupisahkan kepala orang-

orang ini dari tubuhnya!" berseru Rangga Wisnu se-

raya mendongakkan mukanya ke langit-langit. Lalu 

dengan segera, tangannya bergerak cepat memenggal 

kepala kelima orang itu yang hanya memekik sesaat 

manakala tangan Rangga membetot kepalanya.

"Ha, ha, ha...! Kini puas sudah hatiku. Ha, ha, 

ha...!"

Bagaikan orang gila, Rangga tertawa bergelak-

gelak. Tangannya menenteng kepala kelima orang mu-

suh ayahnya, yang dibawanya pergi entah kemana 

sembari meninggalkan gelak tawa berkepanjangan.

***

TUJUH



Berita ditemukannya kepala lima orang musuh 

Bupati Labean di markas Loreng Ireng, menjadikan 

nama Culik bermata satu atau Rangga Wisnu, makin 

menjadi momok di dunia persilatan. Hal itu mengun


dang tokoh-tokoh persilatan untuk menghentikan se-

pak terjang Rangga Wisnu yang kelewat telengas.

Tak urung juga Jaka, ia pun mendengar berita 

ditemukannya kepala musuh Bupati Labean. Hari itu 

juga, Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah ber-

maksud menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi di an-

tara pergolakan yang tengah melanda desa Wates.

"Aku jadi tak habis pikir, kenapa dulu keluarga 

Bupati Labean dibantai! Dan sekarang... musuh-

musuhnya yang dibantai dengan sadis. Apakah ini se-

buah balas dendam dari anak Bupati Labean? Di mana 

pula Sandi Antini yang biasanya menumpas kejaha-

tan? Pusing benar aku ini..." bergumam Jaka dalam 

hati.

Jaka kembali berjalan, merenungi apa yang 

tengah terjadi pada Kabupaten Wates. Kabupaten yang 

dulu tentram, kini bergolak. Apalagi setelah muncul 

Culik Bermata Satu Rangga Wisnu.

"Hem... Mungkin benar hal itu merupakan ba-

las dendam," kembali Jaka bergumam. Dengan berlari 

bagaikan angin, Jaka seketika melesat menuju ke tem-

pat di mana markas gerombolan Loreng Ireng.

***

Sementara itu dilain tempat, tampak dua orang 

wanita tengah duduk di dalam goa. Sepertinya, kedua 

wanita itu tengah membicarakan sesuatu hal yang te-

ramat penting. Kedua wanita itu tak lain Sandi Antini 

dengan muridnya Miranti si Bidadari Selendang Ungu.

"Sepak terjang Loreng Ireng makin menjadi-jadi, 

anakku. Rupanya kedua orang itu belum sadar akan 

segala tindakannya, bahkan malah sebaliknya setelah 

anak angkatnya mulai menjadi dewasa. Aku harap sa



habatku Jaka Ndableg telah mendengarnya hingga 

dengan segera dapat membereskan semua masalah di 

Wates ini."

"Siapakah Jaka Ndableg itu, ibu?" tanya Miran-

ti.

"Dialah Pendekar yang saat ini menjadi buah 

bibir dunia persilatan. Dia bergelar Pendekar Pedang 

Siluman Darah, karena senjatanya yang berupa Pe-

dang mampu mengeluarkan Darah bila berhadapan 

dengan musuh." 

"Sungguh Miranti ingin mengenalnya, guru."

"Ah, nanti juga kau akan mengenalnya. Dia 

adalah teman ibu. Orangnya tampan, namun tidak 

sombong. Tingkahnya memang kelewatan Ndablegnya 

sehingga orang-orang menjulukinya Jaka Ndableg."

Miranti mesem-mesem mendengar penuturan 

Sandi Antini. Hal itu menjadikan Sandi Antini terse-

nyum, mengerti bahwa anak angkatnya yang sekaligus 

muridnya tengah membayangkan keberadaan Jaka.

"Kenapa Miranti? Sepertinya kau melamun."

Tersentak Miranti seketika, demi mendengar 

ucapan ibunya yang telah mengejutkan lamunannya. 

Dengan mesem-mesem tersipu. Miranti mendesah le-

mah.

"Ah... ibu..."

"Kau melamunkan Jaka, anakku?"

Makin merona merah wajah Miranti mendengar 

sergahan ibunya yang secara tiba-tiba. Hatinya yang 

memang memendam perasaan sesuatu menjadikannya 

tak dapat memungkiri.

"Tak usahlah kau malu-malu mengatakannya. 

Ibu mengerti perasaanmu. Ibu juga pernah muda se-

pertimu, anakku," kata Sandi Antini membesarkan ha-

ti Miranti. "Kalau saja ibu masih sebayamu mungkin


ibu juga akan mencintainya."

Miranti kembali tersipu-sipu. Matanya membe-

liak redup dan lentik, menggambar hatinya yang ten-

gah tergetar sebuah perasaan yang sukar untuk di-

mengerti. Sandi Antini yang memahami segera menga-

lihkan pembicaraannya.

"Anakku, apakah kau akan diam saja melihat 

segala perbuatan Loreng Ireng?"

"Ah..." mendesah Miranti tersentak.

"Bagaimana pendapatmu dengan segala tinda-

kan Loreng Ireng yang semakin hari semakin merajale-

la?" tanya Sandi Antini kembali.

Sejenak Miranti kembali terdiam, memandang 

pada ibunya yang tersenyum. Kembali Miranti menun-

dukkan mukanya, seakan ada sesuatu yang hendak ia 

sembunyikan.

"Kenapa anakku...?"

Miranti terjengah, entah bayangan apa yang 

menggores di hati gadis muda itu. Apakah ia benar-

benar telah memendam rasa cinta? Atau perasaan 

apa....? Sedang bertemu dengan Jaka saja ia belum 

pernah. Setelah sesaat diam menenangkan hatinya, 

Miranti pun menjawab pertanyaan sang ibu.

"Secepatnya harus kita cegah, Ibu. Kalau tidak, 

aku khawatir mereka akan makin merajalela," menja-

wab Miranti.

"Benar! Kita sebagai seorang pendekar yang 

berhaluan lurus, sepantasnyalah mencegah tindakan 

mereka yang terlalu biadab dan telengas. Maka dari itu 

aku hendak menyuruhmu untuk melakukan hal terse-

but. Bukannya untuk kepentinganku pribadi yang 

mempunyai sengketa dengan kedua tokoh Loreng 

Ireng, tapi demi ketenangan dan ketentraman masya-

rakat pada umumnya yang kini tengah gelisah oleh


tindakan mereka. Tumpas mereka sampai ke akar-

akarnya. Tapi ingat! di antara mereka ada kakakmu," 

berkata Sandi Antini yang seketika mengejutkan Mi-

ranti hingga karena kagetnya, Miranti menggumam. 

"Kakakku?"

"Ya, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa orang 

yang bergelar Culik Bermata Satu adalah Rangga Wis-

nu kakakmu. Dan dia juga yang telah memenggal ke-

pala kelima orang musuh-musuh ayahmu," menerang-

kan Sandi Antini, makin membuat Miranti membela-

lakkan matanya.

"Jadi..."

"Jangan ragu, anakku. Dalam agama diterang-

kan "Barang siapa yang berbuat tidak searah dan setu-

juan dengan dirimu maka dia bukanlah saudaramu, 

meski ia adalah ayah atau ibumu." Jadi jelasnya, ka-

kakmu itu kini telah dikuasai oleh iblis dengan peran-

tara Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari," memotong San-

di Antini berkata.

"Apakah nantinya aku tidak berdosa, Ibu?"

"Tidak Anakku. Dosa akan datang bila kau ber-

buat melanggar ketentuan yang oleh digariskan oleh 

Yang Wenang," kembali Sandi Antini berkata mene-

rangkan hingga Miranti akhirnya dapat mengerti, dan 

berkata.

"Baiklah, Ibu. Aku akan berusaha mencegah 

tindakan mereka. Aku memohon doa darimu."

"Kudoakan semoga kau selalu dalam lindungan 

Yang Wenang. Berangkatlah dengan segenap ketegu-

han hati. Serahkan segala persoalan pada Yang We-

nang," berkata Sandi Antini sembari mencium kening 

Miranti.

Hari itu juga, Miranti dengan diantar ke muka 

goa oleh ibu angkatnya pergi untuk tugas mulia.


Menghentikan sepak terjang gerombolan Loreng Ireng 

yang tindakannya terlalu biadab dan telengas. Dengan 

mata berlinang, Sandi Antini melepaskan kepergian 

anak angkatnya untuk berkelana menambah pengala-

man.

***

Tokoh-tokoh persilatan tampak tengah ber-

kumpul membahas masalah sepak terjang Culik Ber-

mata Satu yang berdiri di bawah panji-panji gerombo-

lan Loreng Ireng.

"Makin erat saja cengkeraman Loreng Ireng se-

telah pimpinannya dipegang oleh Culik Bermata Satu. 

Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut tak ayal lagi am-

bisi Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari untuk menjadi 

pemimpin di dunia persilatan akan benar-benar ter-

bukti," berkata Kebo Lanang, salah seorang tokoh per-

silatan dari perguruan Mahesa Gading.

"Benar apa yang dikatakan saudara Kebo La-

nang. Bila kita sebagai orang-orang yang berdiri di go-

longan lurus hanya diam saja sudah tentu kedudukan 

kita akan makin terdesak. Maka sebelum didahului le-

bih baik kita mendahului," Suropati menambahkan.

Sesaat semua yang hadir terdiam, sepertinya 

tengah mempertimbangkan ucapan kedua anggotanya. 

Setelah sekian lama terdiam, terdengar pimpinan rapat 

tokoh persilatan yaitu Ki Banyu Wangi berkata:

"Usul saudara Kebo Lanang dan Suropati san-

gat kami hargai. Namun kami masih bingung, bagai-

mana jalan yang baik untuk melaksanakannya? Sau-

dara-saudara tahu betapa tingginya ilmu yang dimiliki 

oleh Culik Bermata Satu, bukan?"

Kembali semua terdiam, tak ada yang berkata


kata untuk sesaat. Mereka nampaknya kembali berpi-

kir, memutar otak, memeras pikiran untuk mencari ja-

lan bagaimana menghadapi gerombolan Loreng Ireng. 

Namun sejauh itu, tak ada seorang pun yang dapat 

memutuskan bagaimana cara untuk menghadapi Ge-

rombolan Loreng Ireng:

"Bagaimana, saudara-saudara?" kembali Ki 

Banyu Wangi bertanya, setelah untuk beberapa saat 

lamanya terdiam.

"Kita tetap harus mencegahnya!" berseru salah 

seorang anggotanya yang spontanitas diikuti oleh yang 

lainnya hingga seketika ramailah suasana rapat itu.

"Benar!"

"Akur...!"

"Setuju...!"

"Lebih baik kita mati demi membela kebenaran 

dan keadilan, daripada kita hidup menuruti kemauan 

iblis," berkata Kebo Lanang kembali penuh semangat, 

yang untuk kedua kalinya disetujui oleh teman-teman 

anggota rapat lainnya. Makin ramai saja suasana rapat 

itu oleh teriakan-teriakan para anggota.

"Baiklah, baiklah! Hari ini juga kita berangkat 

ke Hutan Cemara Sundul untuk menghentikan sepak 

terjang Gerombolan Loreng Ireng, bagaimana?"

Akhirnya Ki Banyu Wangi menuruti apa yang 

menjadi keputusan anggotanya.

Hari itu juga semua tokoh golongan lurus den-

gan dipimpin oleh Ki Banyu Wangi pergi menuju ke 

Hutan Cemara Sundul untuk menemui Gerombolan 

Loreng Ireng sekaligus mencegah tindakannya.

***

Demi melihat berpuluh-puluh orang datang


menuju ke Hutan Cemar Sundul, segera Lontar me-

nyuruh anak buahnya untuk siaga di tempatnya. Se-

mentara dia sendiri, segera bergegas pergi untuk mela-

porkan hal apa yang dilihatnya pada pimpinannya 

Rangga atau Culik Bermata Satu.

"Ada apa, Lontar? Sepertinya ada sesuatu yang 

penting hingga kau tampak begitu terburu-buru me-

nemuiku?" bertanya Rangga, demi melihat Lontar da-

tang menghadapnya dengan napas ngos-ngosan.

Setelah mengatur napas sesaat, Lontar pun 

berkata: "Pimpinan. Orang-orang persilatan pada ber-

datangan menuju ke mari."

"Apa? Orang-orang persilatan datang ke mari?"

mengulang Rangga bertanya yang diangguki oleh Lon-

tar mengiyakan. "Apakah semua pasukan telah diper-

siapkan?"

"Sudah, Pimpinan. Mereka tinggal menunggu 

perintah," menjawab Lontar.

"Serang mereka dengan panah bila mereka te-

lah masuk ke perbatasan!"

"Baik, Pimpinan."

Lontar segera bergegas pergi untuk menemui 

anak buahnya kembali. Sementara Rangga dengan se-

gera menemui kedua orang tua angkatnya Loh Gantra 

dan Nyi Mayang Sari. Kedua tokoh tua Loreng Ireng 

nampak tersentak mendengar laporan anak angkatnya, 

perihal berdatangannya tokoh-tokoh persilatan.

"Hadang mereka! Nanti kami datang," memerin-

tahkan Loh Gantra yang dengan segera dilaksanakan 

oleh anak angkatnya, Rangga. Dengan segera Rangga 

berlari menuju ke perbatasan Hutan Cemara sundul, 

di mana semua anak buahnya telah berkumpul.

Memang benar apa yang dilaporkan Lontar pa-

danya, bahwa orang-orang persilatan datang menuju


ke Hutan Cemara Sundul. Dari kejauhan tampak ber-

puluh-puluh pendekar berjalan dengan tergesa-gesa 

menuju ke Hutan Cemar Sundul. Sepertinya mereka 

membawa suatu misi, entah apa misi itu.

"Bersiaplah!" terdengar perintah Rangga. Den-

gan segera semua anak buahnya bersiap-siap. Panah 

tergenggam di tangan mereka masing-masing siap un-

tuk menghujani. Mata semua anak buah Loreng Ireng 

tajam memandang pada orang-orang persilatan yang 

berdatangan menuju ke arahnya.

"Serang dengan anak panah!" terdengar suara 

Rangga memerintah manakala tampak olehnya orang-

orang persilatan telah dekat. Maka mendesinglah ratu-

san anak panah dari balik semak-semak, melesat 

memburu ke orang-orang persilatan itu.

"Awas panah!" teriak Ki Banyu Wangi mempe-

ringatkan pada anak buahnya, sementara dirinya sen-

diri bersalto mengelakkan serangan anak panah. Tan-

gannya berkelebat cepat menangkap beberapa anak 

panah, lalu dikembalikannya anak panah itu ke asal-

nya. Seketika terdengar lengkingan kematian dari balik 

semak-semak. Rupanya anak panah yang dilemparkan 

Ki Banyu Wangi telah mengenai beberapa orang penye-

rangnya.

"Serang lagi...!" Rangga kembali berseru meme-

rintah.

Seperti semula, ratusan anak panah pun ber-

desing-desing melesat menyerang pada orang-orang 

persilatan di bawah pimpinan Ki Banyu Wangi.

"Puih! Percuma kalian membuang-buang anak 

panah! Keluar, Kalian!" berseru Kebo Lanang dengan 

marah sembari menangkapi beberapa batang anak pa-

nah yang melesat ke arahnya. Namun jawaban dari te-

riakannya, adalah desing ratusan anak panah lagi, me


lesat menyerang mereka.

Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pi-

hak hingga makin lama makin menyusut jumlah ang-

gota mereka. Bersamaan dengan ramainya pertempu-

ran antara Loreng Ireng melawan kumpulan tokoh-

tokoh persilatan, secepat kilat berkelebat dua sosok 

tubuh bagaikan terbang seraya menghantamkan ajian 

Gugur Gunung ke arah tokoh-tokoh persilatan.

Terbeliak mata Ki Banyu Wangi manakala meli-

hat anak buahnya banyak yang mati terhantam ajian 

Gugur Gunung yang dilancarkan oleh kedua tokoh 

utama Loreng Ireng, yaitu Loh Gantra dan Mayang Sa-

ri.

"Loh Gantra, ternyata dalam usiamu yang ma-

kin senja bukannya berbuat kebajikan malah menimba 

dosa. Sungguh perbuatanmu benar-benar perbuatan 

iblis," berkata Ki Banyu Wangi yang telah berhadap-

hadapan langsung dengan dua tokoh utama Gerombo-

lan Loreng Ireng itu.

Tertawa bergelak-gelak Loh Gantra mendengar 

ucapan Ki Banyu Wangi, lalu dengan suaranya yang 

serak, Loh Gantra berkata: "Ki Banyu Wangi. Jangan-

lah kau terlalu usil dengan apa yang kami lakukan ka-

lau kau ingin selamat. Ketahuilah olehmu, bahwa kami 

akan menjadi pimpinan tertinggi dunia persilatan. Ha, 

ha, ha...!"

"Sombong! Jangan harap semua khayalanmu 

dapat terlaksana," mendengus Ki Banyu Wangi.

"Hem, kenapa tidak? Nanti kau akan melihat 

dari alam baka sana," berkala Loh Gantra sembari me-

nyeringai, lalu dengan cepat berkelebat menyerang Ki 

Banyu Wangi.

"Jangan kau bermimpi, Loh! Langkahi dulu 

mayat kami! Hiat...!" berseru Ki Banyu Wangi sembari


memapaki serangan Loh Gantra.

Pertempuran makin bertambah seru dengan 

datangnya tokoh utama Gerombolan Loreng Ireng yang 

turut membantu. Korban telah banyak berjatuhan di 

kedua belah pihak, namun sepertinya pertempuran itu 

tak akan segera berakhir.

Pekikan-pekikan kematian menggema silih ber-

ganti hingga jumlah mereka semakin lama semakin 

menyusut. Sementara di tempat yang agak terpisah, 

tampak Loh Gantra dengan Ki Banyu Wangi tengah 

bertarung. Keduanya merupakan tokoh-tokoh persila-

tan yang sudah malang-melintang di dunia. Nama-

nama mereka cukup terkenal dan disegani oleh kawan, 

atau lawan mereka.

Kini kedua tokoh yang berbeda aliran itu ber-

temu saling serang dan saling elak untuk menunjuk-

kan siapa yang paling tinggi ilmunya. Walau mereka 

telah berusia cukup tua namun gerakan-gerakan me-

reka nampak masih gesit dan lincah.

Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya ke-

dua tokoh persilatan itu tak akan ada yang menang 

ataupun yang kalah. Keduanya masih saling rangsek, 

mengelak, menangkis berganti-ganti.

Sementara di pihak lain, Rangga bersama ibu 

angkatnya, Nyi Mayang Sari nampak mengganas. Se-

rangan-serangan keduanya begitu cepat, diselingi oleh 

pukulan-pukulan yang didasari dengan ajian Gugur 

Gunung. Tak ayal lagi, korban dari pihak tokoh-tokoh 

persilatan makin banyak saja berjatuhan.

"Menyerahlah, kalian!" berseru Rangga dengan 

angkuhnya. Tangannya yang berotot berkelebat-

kelebat menghantam ajian Gugur Gunung, yang dium-

bar begitu rupa. Harapan Rangga dapat segera menga-

lahkan tokoh-tokoh persilatan. Namun dugaannya ter


nyata meleset, karena tokoh-tokoh persilatan bukan-

nya menyerah bahkan sebaliknya. Dengan berprinsip 

lebih baik mati daripada hidup dalam kangkangan ib-

lis, tokoh-tokoh persilatan makin tampak berani.

"Jangan harap kami mau menyerah begitu saja. 

Pantang bagi kami menyerah pada iblis-iblis macam 

kalian!" berseru Kebo Lanang dengan ajian Kilat Bua-

nanya memapaki serangan Rangga Wisnu.

"Duar...!"

Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua 

ajian itu beradu di udara. Nampak Kebo Lanang ter-

pental tiga tombak ke belakang dengan dada terasa se-

sak, sementara Rangga Wisnu tersenyum sinis me-

mandang padanya. Rangga Wisnu yang sudah kalap, 

seketika berkelebat hendak kembali menyerang mana-

kala sebuah bayangan berkelebat memapakinya.

"Siapa kau!" membentak Rangga Wisnu sembari 

menarik serangannya.

Pemuda di hadapannya tersenyum.

"Aku Jaka Ndableg, Pendekar Pedang Siluman 

Darah!"

Tersentak Rangga Wisnu dan lainnya, manaka-

la mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Me-

reka telah mendengar kehebatan pemuda itu, namun 

mereka baru melihat rupa si pemilik nama besar yang 

tengah menggemparkan dunia persilatan.

"Rangga Wisnu, apakah kau tidak menyadari 

siapa sebenarnya dirimu? Apakah kau hendak meng-

hancurkan nama baik kedua orang tuamu yang telah 

membesarkanmu?"

"Setan! Apa perlumu ikut campur dengan ke-

luargaku. Aku tahu dan sering mendengar tentang ke-

hebatan namamu, namun jangan harap aku akan gen-

tar padamu."


"Aku tak menyuruhmu untuk gentar padaku. 

Tapi aku hanya ingin kau sadar atas segala tindakan-

tindakanmu selama ini," menjawab Jaka tenang. "kau 

telah diperbudak oleh iblis-iblis yang telah merasuki 

hati kedua orang tua angkatmu."

"Bedebah...! Rupanya kau seorang pendekar ke-

las kroco yang bisanya hanya memberi saran, takut 

untuk menghadapi musuh."

Habis berkata begitu, Rangga Wisnu segera

berkelebat menyerang Jaka. Jaka yang enggan untuk 

meladeni anak Bupati Labean nampak hanya berusaha 

menghindar. Ia tahu, bahwa Rangga sebenarnya hanya 

terbawa oleh lingkungan dan perasaannya untuk 

membakti pada kedua orang tuanya.

Tengah pertarungan berjalan dengan serunya, 

terdengar suara seorang wanita berseru memberikan 

semangat pada para tokoh persilatan.

"Jangan mundur, saudara-saudara! Lebih baik 

kita mati di kolong tanah, daripada hidup dalam ke-

kangan para iblis."

Jaka yang tengah bertarung menghindari se-

rangan-serangan Rangga Wisnu tersentak, meman-

dang pada asal suara itu. Tampak di atas bukit seo-

rang gadis cantik berdiri tersenyum padanya. Kedua 

mata pemuda-pemudi itu saling pandang. Sementara 

hati mereka seketika berkata penuh bunga.

"Siapakah gadis itu...?" bergumam Jaka.

"Hem, diakah yang bernama Jaka atau Pende-

kar Pedang Siluman Darah..."

Tengah Jaka tersentak, Rangga Wisnu yang me-

lihatnya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Seketika 

dihantamnya Jaka dengan pukulan Gugur Gunung.

Miranti yang melihat Jaka terpental dihantam 

ajian Gugur Gunung seketika memekik sembari berke


lebat. "Aaah...!"

Miranti dengan cepat menangkap tubuh Jaka 

yang terbang, terhantam ajian Gugur Gunung. Hal itu 

menjadikan Jaka tersentak kaget, tersipu-sipu. Betapa 

tidak, gadis itu tersenyum sembari menurunkan tubuh 

Jaka. Pipinya merona merah, terbersit rasa malu. Tak 

terasa, kepala Miranti tertunduk.

"Terimakasih atas pertolonganmu, Nona."

"Kau tidak terluka?" tanya Miranti, nadanya 

khawatir.

"Tidak... siapa nama Nona?"

"Namaku Miranti," jawab Miranti masih tertun-

duk dengan bibir terurai senyuman.

Rangga Wisnu tersentak demi mendengar siapa 

adanya gadis yang telah menolong Pendekar Pedang Si-

luman Darah. Hatinya seketika bimbang, mengakui 

bahwa gadis itu memang benar-benar adiknya. Melihat 

Rangga memandangnya tanpa berkedip, menjadikan 

Miranti seketika itu tersentak dan balik memandang 

pada Rangga dengan mulut membersitkan kata-kata.

"Kakang Rangga Wisnu, benarkah kau kakang 

Rangga Wisnu?"

"Kau kenal dengan dia, Nona?" tanya Jaka yang 

turut terbengong-bengong menyaksikan kedua kakak 

beradik itu saling pandang bengong.

"Ya, dia kakakku," jawab Miranti yakin.

"Miranti adikku..."

Tengah kedua kakak beradik itu saling diam 

membisu, tiba-tiba terdengar oleh Rangga seruan dari 

Nyi Mayang Sari menyuruhnya untuk menyerang Jaka 

Ndableg dan Miranti.

"Rangga, kenapa kau terbengong? Bunuh saja 

pemuda dan gadis di hadapanmu...!"

Bimbang hati Rangga seketika itu untuk men


gambil keputusan. Antara hatinya yang mengakui 

bahwa gadis di hadapannya adalah adiknya sendiri, 

dengan tugasnya sebagai seorang anak yang harus 

berbakti pada orang tuanya.

"Tidaaaaaaakkkk......'" menjerit Rangga dalam 

bimbang.

Seketika itu pula, tubuh Rangga berkelebat 

dengan cepat menyerang Nyi Mayang Sari yang tersen-

tak kaget.

"Rangga, kau.....!"

Rangga yang telah pusing dan marah tak per-

duli, menyerang ibu angkatnya. Nyi Mayang Sari sege-

ra mengelakkan, manakala tangan Rangga berkelebat 

menghantam ke arahnya. Marahlah Nyi Mayang Sari 

melihat hal itu yang dengan terlebih dahulu memaki 

segera berkelebat menyerang.

"Anak dungu! Rupanya kau mencari mati!"

Rangga tak perduli lagi dengan caci maki ibu 

angkatnya. Matanya gelap, sehingga ia bagaikan ben-

teng ketaton terus memburu.

"Siapakah namamu, Tuan?" tanya Miranti yang 

seketika menyentakkan Jaka dari lamunan. "Apakah 

engkau yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Si-

luman Darah...?"

"Ah, darimana kau mengetahui namaku, No-

na?" tanya Jaka.

Miranti hanya tersenyum manis, menjadikan 

Jaka kembali terdiam bisu. Seperti hati Miranti, hati 

Jaka pun telah tergores sebuah syair-syair cinta. Ke-

duanya hanya terdiam, dengan mata mereka saling be-

radu pandang.

"Ah, orang tua itu terdesak," mengeluh Miranti 

demi melihat Ki Banyu Wangi terdesak hebat. Dengan 

segera tanpa memperdulikan Jaka yang masih ter


diam, Miranti segera melompat sembari kibaskan se-

lendangnya.

Selendang Ungu seketika berkelebat menangkis 

pukulan yang dilontarkan Loh Gantra, yang hampir 

merenggut nyawa Ki Banyu Wangi. 

"Hiat...!"

"Bletar...! Bletar...!"

Selendangnya menyerang Loh Gantra. Gera-

kannya begitu lembut bagaikan gerakan orang menari. 

Namun dirasakan, betapa kerasnya angin kebutan se-

lendang itu sampai-sampai mampu menerbangkan apa 

saja yang berada di dekatnya. Mau tak mau, Loh Gan-

tra harus berjumpalitan mengelakkannya.

Terbelalak mata Loh Gantra dengan muka pu-

cat, manakala dirasakannya sebatang selendang itu 

begitu kerasnya bagaikan hantaman jutaan kati saja. 

Kalau saja Loh Gantra tidak segera menarik mundur 

tangannya maka tak dapat dibayangkan lagi tangan-

nya pasti putung. Dengan mata melotot karena marah, 

Loh Gantra segera membentak bertanya.

"Kuntilanak! Siapa kau!"

"Aku....? Akulah Bidadari Selendang Ungu," 

menjawab Miranti yang seketika mengejutkan Loh 

Gantra. Dengan mata kembali terbelalak, Loh Gantra 

mendesah lemah.

"Ah, aku tak percaya kalau kau adalah pewaris 

Kitab Selendang Ungu yang berada di tangan Sandi 

Antini."

Tersenyum Miranti mendengar ucapan Loh 

Gantra, lalu dengan tenang ia berkata: "Kalau kau tak 

percaya, tak mengapa. Yang pasti, aku mengemban tu-

gas dari guruku yang sekaligus ibuku Sandi Antini un-

tuk melenyapkan kalian dari muka bumi ini."

Makin terbelalak kaget Loh Gantra setelah gadis di hadapannya mengenalkan siap dirinya. Hatinya 

seketika menciut, karena ia tahu dan telah mendengar 

kehebatan jurus-jurus Selendang Ungu.

"Ah, memang benar gadis ini yang berjodoh 

dengan Kitab Selendang Ungu. Yaa, itu selendang yang 

dipakainya mengingatkan aku pada cerita guru ten-

tang Nyi Molek Kencana atau Bidadari Selendang Un-

gu. Sungguh benar ramalan guru, bahwa Bidadari Se-

lendang Ungu akan muncul kembali lewat orang lain. 

Tak diragukan," mendesah Loh Gantra mengeluh.

"Apakah kau sudah siap, Loh Gantra!"

Membelalak Loh Gantra dari lamunannya demi 

mendengar seruan gadis di hadapannya. Matanya 

membeliak menatap tajam pada Miranti yang terse-

nyum datar. Hatinya bimbang, untuk berbuat. Namun 

rasa sombongnya seketika memberontak, menyuruh-

nya untuk menjawab ucapan Miranti si Bidadari Se-

lendang Ungu. Maka dengan lantang bagaikan tak 

mengenai rasa takut, Loh Gantra berkata: "Jangan 

sombong! Walaupun kau pewaris Selendang Ungu na-

mun aku tak akan mundur setapakpun. Akulah yang 

akan menjadi Raja di raja dunia persilatan."

"Hem, rupanya iblis telah melekat di hatimu 

hingga kau tak dapat lagi mengenal dan membedakan 

mana yang baik dan benar. Nah, bersiaplah!"

Habis berkata begitu, seketika Miranti meliuk-

liukan tubuhnya bagaikan menari menjadikan Loh 

Gantra dan semua yang ada di situ terkesiap meman-

dangnya. Namun ketika ia sadar, dengan segera Loh 

Gantra berkelebat mengelitkan hantaman ujung selen-

dang yang dikibaskan oleh Miranti. Loh Gantra telah 

tahu kehebatan Ilmu Selendang Ungu, baik dari cerita 

gurunya maupun dari apa yang barusan ia rasakan 

manakala ujung selendang itu menangkis tangannya


yang hendak menghabisi nyawa Ki Banyu Wangi.

"Kunyuk!" memaki Loh Gantra seraya menge-

lakkan serangan ujung selendang yang dilancarkan 

oleh Miranti. Belum juga Loh Gantra dapat mengatur 

nafas, secepat kilat Miranti telah kembali mengibaskan 

selendang.

"Gadis sundel! Rupanya kau hendak mencari 

mampus!" kembali terdengar makian Loh Gantra, lalu 

dengan nekad Loh Gantra memapaki serangan selen-

dang yang dilancarkan Miranti dengan ajian Gugur 

Gunungnya.

"Hiaat...!"

Loh Gantra segera melompat, menyerang Mi-

ranti dengan ajian Gugur Gunung yang merupakan 

ajian andalannya. Melihat hal itu, Miranti dengan sege-

ra kibaskan selendangnya sembari berseru memapa-

kinya.

"Hiaaatt...!"

"Bletar! Bletar!"

"Aaaah....!" menjerit Loh Gantra seketika, ma-

nakala ujung selendang Ungu menghantam deras 

hingga tak mampu dielakkannya pada pergelangan ke-

dua tangannya. Kedua tangan Loh Gantra seketika itu 

putung, mengeluarkan darah segar.

Bersamaan dengan itu, Rangga Wisnu pun te-

lah mengadu ajian Gugur Gunung dengan ibu angkat-

nya Nyi Mayang Sari yang juga menggunakan ajian 

tersebut. Keduanya seketika mental jauh, dengan mu-

lut mengeluarkan darah segar.

"Kakang...!" menjerit Miranti dan segera mem-

buru ke tubuh Rangga yang tergeletak di tanah. Dide-

kapnya tubuh Rangga, yang lemah bagaikan tak berte-

naga. Tampak mata Rangga berkaca-kaca seperti hen-

dak menangis memandang ke arahnya. Dari mulutnya


yang melelehkan darah, terdengar suaranya yang ter-

putus-putus.

"Ma-af-kan, a-ku a-dik-ku. Ja-ngan-kau ber-

sedih. A-ku bang-ga me-li-hat kau te-lah-men-ja-di se-

orang pen-de-kar. Se-la-mat ting-gal..." Terkulai lemas 

kepala Rangga bersamaan dengan nyawanya yang me-

layang meninggalkan tubuhnya. Seketika itu, Miranti 

menjerit sembari mendekap erat tubuh kakaknya. "Ka-

kang...!"

Terharu semuanya yang ada di situ termasuk 

Jaka Ndableg yang segera mendekati Miranti, dan ber-

kata lirih seperti berbisik.

"Sudahlah Nona, tak perlu kau tangisi, sebab 

semuanya Yang Widilah yang telah menggariskannya. 

Kami maklum akan perasaanmu. Kami juga turut ber-

duka walaupun dulu kakakmu adalah seorang penja-

hat, namun sebelum mati ia sempat menyadari kesa-

lahannya. Dia telah berkorban untuk kita."

Mendengar kata-kata Jaka Ndableg seketika 

Miranti dapat tenang. Ditatapnya pemuda itu lekat-

lekat, seakan meminta petunjuk apa yang harus ia 

perbuat dengan mayat kakaknya. Jaka Ndableg yang 

tanggap dengan penuh rasa haru berkata: "Karena ka-

kakmu termasuk seorang pahlawan maka kami ingin 

menyemayamkan tubuhnya dengan cara pendekar."

Hari itu juga tubuh Rangga Wisnu disemayam-

kan dengan tata cara seorang pendekar, yaitu diberi 

penghormatan sebelum tubuhnya dikubur.

Suasana Hutan Cemara Sundul seketika hen-

ing oleh kebisuan dan kekusukan mereka yang tengah 

membaca doa di depan makam Rangga Wisnu. Di sebe-

lah kiri makam berdiri Miranti dan Jaka Ndableg. Mi-

ranti terus menangis, menjadikan Jaka turut iba. Keti-

ka Miranti merebahkan kepala pada pundaknya, Jaka


hanya terdiam menerimanya. Dibelainya rambut Mi-

ranti yang panjang terurai, lembut bagaikan penuh ka-

sih. Ya, keduanya memang secara tak langsung telah 

terpaut cinta di hatinya.

Senja telah tiba, manakala satu persatu dari 

para hadirin yang turut serta memberikan penghorma-

tan terakhir pada Rangga, pergi meninggalkan ma-

kamnya.

Kini tinggal Miranti dengan seorang pemuda 

yang tak lain Jaka Ndableg berdiri memandangi ma-

kam walau mentari telah tenggelam di balik bumi.

"Kakang Rangga, kenapa kita dipertemukan 

hanya sesaat? Kenapa kau harus secepatnya mening-

galkan aku untuk selama-lamanya, Kakang? Kini aku 

sebatang kara tak punya saudara lagi Kakang."

"Sudahlah, Nona. Tak perlu kau tangisi keper-

gian kakakmu, kita hanya dapat berdoa untuknya."

Miranti seketika terjengah, memandang pada 

Jaka yang tersenyum sembari menganggukkan kepala. 

Dengan penuh perasaan dipeluknya tubuh Miranti, 

dan dibimbingnya pergi meninggalkan Lembah Berkala 

Darah di Hutan Cemara Sundul.



                                TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar