..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE RAJA SIHIR DARI KOLEPOM

Raja Sihir Dari Kolepom

 

RAJA SIHIR DARI KOLEPOM

Karya Djair Warni

Serial Jaka Sembung

Cover Oleh: Djair

Alih Versi Oleh: Danny Situmenang

Jakarta, 1991; cet. Ke-1

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau 

pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka



SATU


Hujan gerimis sudah mulai mereda, tinggal kecil 

dan jarang. sebentar lagi tentu akan berhenti. Di Ti-

mur, sinar matahari mulai menerobos awan, mengusir 

dingin. Angin laut berhembus perlahan, seakan-akan 

sedang membelai Kepulauan Aru dan segenap isinya, 

baik benda hidup maupun benda mati. Terasa benar 

angin itu membawa kesejukan, yang bukan saja dapat

menciptakan kenyamanan tetapi juga kedamaian. Pe-

pohonan dan dedaunan hijau tampak me-lambai-

lambai seperti sedang menari riang gembira.

Akan tetapi tak lama berselang, matahari yang 

tadi sempat tersembul, kini tertutup lagi oleh awan, 

seolah-olah seorang gadis cantik yang sengaja me-

nyembunyikan wajah lantaran merasa malu. Dan ti-

upan angin yang tadi semilir, sekarang berubah jadi, 

kencang sekali, sehingga tidak mungkin lagi dinilai se-

bagai suatu salam kedamaian, melainkan terjangan 

dahsyat yang ingin merobohkan pepohonan dan apa 

saja yang dilewati.

Benar saja, beberapa pohon tumbang, ter-kapar 

di bumi seperti prajurit perang yang tewas diterjang

senjata musuh. Keadaan itu layaknya bisikan naluri 

alam, bahwa di jagat raya ini tidak hanya kedamaian 

yang ada, tetapi juga ketegangan atau permusuhan. 

Saling mengaku kekuatan, saling berlomba memenuhi 

ambisi. Tidak perduli benar atau salah seolah-olah tia-

da batas lagi antara yang baik dan benar. Langit pun 

menangis disertai raungan petir sambung menyam-

bung.

Tampaknya demikianlah adanya suasana di Ke-

pulauan Aru sekarang ini. Kepulauan yang tadinya 

aman tenteram itu kini dilanda kepanikan dan permu


suhan dua kelompok, yang senantiasa menganggap di-

rinya benar atau paling tidak selalu menilai dirinya tak 

patut disalahkan.

Di Kepulauan tersebut sudah lama berdiri se-

buah kerajaan yang sebetulnya hanyalah ter-diri satu 

kelompok suku yang dipimpin seorang Kepala Suku. 

Kelompok suku itu terdiri dari beberapa puluh kepala 

keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan, yang se-

kelilingnya dipagar tinggi yang semua ujungnya dibuat 

runcing, sehingga tidak akan mudah bagi musuh un-

tuk menyelusup ke dalam tanpa diketahui. Apalagi ka-

rena di empat sudutnya dibuat pula semacam menara 

pengawas, yang selalu dijaga oleh seorang laskar seca-

ra bergiliran pula.

Di bagian tengah kerajaan itu, dibangunlah se-

buah istana yang jauh lebih besar dan megah diban-

dingkan rumah penduduk. Sekelilingnya pun dijaga 

ketat oleh puluhan laskar pilihan, ditambah penjaga di 

dalam istana yang tentu saja terdiri dari penduduk 

yang lebih kuat lagi. Untuk masuk atau ke luar pemu-

kiman itu, dibuatlah sebuah gerbang berukuran seki-

tar empat meter yang juga tak pernah ditinggalkan 

laskar yang ditugasi untuk itu.

Pemimpin kerajaan itu disebut Kepala Suku, bu-

kannya raja seperti sebutan di masa-masa yang lebih 

modern kemudian. Akan tetapi kedudukan maupun 

kekuasaannya sama seperti raja. Setiap kata yang ter-

lempar dari bibirnya merupakan titah yang tidak boleh 

dibantah oleh siapapun, sehingga lebih tepat barang-

kali kalau dikatakan sebagai ultimatum.

Demikian mutlaknya kekuasaan Kepala Suku, 

sehingga haruslah dipilih yang paling arif bijaksana. 

Sebab kalau tidak demikian, kiranya kerajaan yang di-

pimpinnya akan cepat hancur, karena kekuasaannya 

yang boleh dikatakan tiada batas itu.


Beruntunglah penduduk Pulau Aru sebab Kepala 

Suku mereka sekarang adalah seorang yang arif bijak-

sana. Tegas bahkan keras, namun selalu bersikap adil 

dan jujur. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman 

berat, tetapi sangat mencintai rakyatnya. Meskipun ia 

tahu kekuasaannya mutlak, ia tak pernah mau be-

tindak sendiri. Selalu terlebih dulu meminta pertim-

bangan atau saran-saran dari para penasehatnya. 

Dengan demikian, semua keputusan yang ditetapkan-

nya boleh dikatakan semata-mata adalah kehendak 

rakyatnya sendiri.

Nama Kepala Suku itu adalah Pampani, ka-kak 

ipar Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet. 

Dahulu, Karta bersama tiga orang sahabatnya yakni 

suami istri Umang dan Mirah serta si Kaki Tunggal 

Baureksa terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan sa-

habat mereka Parmin si Jaka Sembung sampai seka-

rang belum mereka ketahui di mana berada.

Sewaktu terdampar di pulau itulah Karta berke-

nalan dengan Nomina, adik kandung Pampani. Nomina 

yang cantik jelita itu ternyata jatuh cinta kepada Karta 

dan karena suatu hal yang tak dapat dielakkan lagi, 

maka keduanya kemudian menikah. Walaupun sebe-

tulnya Karta sudah mempunyai istri yakni Ranti, yang 

ditinggalkannya di Pulau Jawa. Pasangan suami istri 

itu sekarang sudah dikaruniai seorang putra, sehat 

dan kuat serta lincah sehingga sangat disukai pendu-

duk di kerajaan tersebut.

Boleh dikatakan, hampir semua penduduk san-

gat menyukai Pampani. Tindak tanduknya hampir tak 

bercela sedikitpun jua. Demikian pula halnya Nomina, 

istri Karta selalu menunjukkan budi pekerti yang patut 

dicontoh.

Akan tetapi kedamaian yang tercipta lewat tangan 

Pampani yang arif bijaksana itu tidak terlalu lama da


pat dirasakan penduduk. Itu karena di Pulau Aru telah 

muncul seorang tokoh sesat yang sangat berambisi jadi 

penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, menum-

bangkan kekuasaan Pampani. Namanya Wan-Da-I, 

yang sebetulnya masih mempunyai hubungan keke-

luargaan dengan Pampani.

Ayah Wan-Da-I adalah adik kandung ayah Pam-

pani. Tetapi tokoh sesat itu adalah anak haram, se-

hingga kedudukannya tidaklah dapat diakui. Ayah 

Wan-Da-I semasa hidupnya jahat bukan main, tidak 

segan-segan membunuh atau menyiksa siapa saja 

yang dianggap berani menentangnya. Ilmunya pun 

sangat tinggi, sehingga sangatlah sukar mencari tan-

dingannya. Ia dijuluki Iblis Pulau Aru! Nama sebenar-

nya adalah Maleang Pangaru, tetapi sejak sepak ter-

jangnya yang sangat kejam serta sadis seolah-olah 

membuat orang lupa akan nama itu, selain julukan Ib-

lis Pulau Aru. Sebuah julukan yang bukan saja menye-

ramkan, tetapi juga bisa membuat bulu roma merind-

ing. 

Ada satu keistimewaan tokoh sesat ini, yakni se-

tiap muncul di muka umum, ia selalu mengenakan 

semacam topeng ikan hiu. Mukanya ditutupi bagian 

kepala ikan, sedangkan bagian tubuh serta ekor ikan 

yang terkenal ganas itu memanjang sampai ke lutut 

kakinya, melalui punggung. Hal itu membuat wajah-

nya yang menyeramkan hampir tak pernah bisa dilihat 

orang banyak. Sedangkan matanya yang selalu menco-

rong tajam dan dingin, menyambar melalui bagian ma-

ta ikan hiu yang sengaja dilobangi sedemikian rupa 

sehingga ia bebas melihat ke mana saja seperti layak-

nya orang biasa. Selain Iblis Pulau Aru, Maleang Pan-

garu pun dijuluki pula si Manusia Hiu.

Dalam pertarungan melawan pihak Pampani be-

berapa waktu lalu, tokoh sesat itu bersama seorang



tokoh lainnya yang bernama Pendeta Naomi yang juga 

tak kalah jahatnya, tewas terjatuh ke dalam jurang.

Beberapa hari lalu, muncul seorang laki-laki ber-

topeng ikan hiu dan sempat merampas putra Karta 

yang masih bayi. Maka gemparlah kerajaan tersebut. 

Tokoh sesat Iblis Pulau Aru yang diyakini telah tewas 

itu, dikira hidup kembali. Mereka tidak tahu bahwa le-

laki yang muncul itu adalah Wan-Da-I sendiri, yang 

sengaja menyamar untuk melumpuhkan dan membi-

kin kacau suasana di istana. Kalau suku yang dipim-

pin Pampani percaya Iblis Pulau Aru dan nenek sihir 

Pendeta Naomi sudah hidup kembali, mereka tentu 

akan ketakutan. Dengan demikian, akan mudah bagi 

Wan-Da-I melumpuhkan kekuatan mereka.

Dalam melaksanakan segala niatnya itu, Wan-

Da-I dibantu seorang raja sihir dari Pulau Kolepom 

bernama Womere. Tokoh sesat yang selalu mengena-

kan jubah serba hitam ini memiliki berbagai ilmu hi-

tam yang sangat tangguh, sehingga bisa menguasai pi-

kiran seseorang dan memerintahnya untuk melakukan 

apa saja pun sesuai kehendaknya.

Sekarang kedua tokoh sesat itu sedang berbin-

cang-bincang di ruangan rahasia di bawah tanah. Ke-

duanya sedang asyik membicarakan tentang rencana 

mereka selanjutnya. Wan-Da-I masih mengenakan to-

peng ikan hiunya dan bicaranya tampak sangat ber-

semangat.

"Bagaimana rencana kita. Apakah sudah beres?"

"Semuanya sudah dipersiapkan, Tuan. Barang-

barang itu telah diangkut ke tempat yang kita renca-

nakan semula."

"Bagus! Lalu bagaimana dengan Pendekar Bume-

rang Wori? Apa kita sudah bisa memakai dia?"

"Siap, Tuan! Saya sudah membuktikannya sendi-

ri. Ia bahkan hampir membunuh ketiga kawannya


sendiri. Suatu jaminan yang tak perlu diragukan lagi."

"Ha-ha-ha!" Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak se-

hingga topeng ikannya bergoyang-goyang, "Bagus! Ba-

gus! Berarti langkah-langkah selanjutnya sudah bisa 

kita laksanakan secepat mungkin."

"Tentu, Tuan!"

"Jika barang-barang itu telah sampai ke tangan

pemiliknya, kita akan langsung menerima tukarannya 

sesuai keinginan kita. Dan benda-benda ajaib itu pasti 

akan menggegerkan seluruh Kepulauan Aru, bagai 

dentuman halilintar atau kutukan Dewa dari langit. 

Aku akan menjadi penguasa di Pulau Trangan dan se-

kitarnya tanpa seorang pun dapat mencegahnya."

"Saya turut bergembira, Tuan!"

"Bagus! Sekarang aku ingin mencoba berbicara 

dengan Wori. Tolong antarkan aku ke sana!"

Womere mengangguk sambil tersenyum. Karena 

gigi-giginya besar dan bibirnya pun tebal hitam, se-

nyuman itu tampak lebih mirip seringai buas, bagai-

kan harimau lapar siap menerkam mangsa. Ia mem-

bentangkan kedua tangan mempersilahkan Wan-Da-I 

melangkah.

"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu seka-

rang!"

Sambil manggut-manggut penuh kegembiraan, 

putra Iblis Pulau Aru itu melangkah diikuti oleh Wo-

mere serta beberapa penjaga yang tampak tak berani 

memandang majikan mereka karena sangat segan dan 

takut.

Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam 

ruangan khusus tempat Wori ditidurkan di dalam se-

buah peti bulat. Panjangnya sekitar tiga meter dan ba-

gian luarnya penuh ukiran dengan warna warni kon-

tras. Ukiran itu sebetulnya cukup indah, tetapi karena 

kombinasi warnanya yang sangat kontras menimbul


kan kesan agak menyeramkan, Seolah-olah peti itu 

adalah tempat iblis bersembunyi.

Wan-Da-I mengamati peti itu beberapa saat, lalu 

sambil menatap Womere, ia berkata: 

"Aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Buka 

peti itu!"

"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu!" ujar 

Womere sambil memberi isyarat agar pengawal mem-

buka peti mati itu. Ketika sudah dibuka dua pengawal, 

Womere mengangguk seraya tersenyum ke arah Wan-

Da-I.

"Cobalah Tuan berbicara padanya! Semua-nya 

sudah berjalan dengan lancar!"

"Baik!" sahut Wan-Da-I sambil mengarah-kan 

pandangan matanya ke wajah Wori.

"Hai, Wori! Apakah kau dengar suaraku? Cobalah 

kau katakan siapa aku. Kau pasti kenal dengan suara-

ku. Jawablah!"

Tubuh Wori yang tadinya terbujur kaku di dalam 

peti mati dengan kedua tangan dilipatkan di dada, kini 

mulai tampak bergerak perlahan-lahan. Kelopak ma-

tanya terbuka dan menatap si Manusia Hiu dengan 

sayu. Lalu bibirnya yang tampak kaku itu mengelua-

rkan kata-kata sahutan:

"Tentu. Aku kenal siapa Tuan. Aku siap melaksa-

nakan segala perintah Tuan. Apapun yang akan terja-

di, aku sanggup melaksanakan. Sekarang, besok, lusa 

atau kapan saja!"

"Bagus, Wori! Kau betul-betul seorang panglima 

yang setia. Aku percaya sepenuhnya padamu!" kata 

Wan-Da-I dengan gembira. Benar juga rupanya ucapan 

si Raja Sihir dari Kolepom Womere itu. Wori benar-

benar sudah bisa dikuasai dan dapat diperintah mela-

kukan apa saja dan kapan saja tanpa dapat memban-

tah.


Wori, lelaki bertubuh raksasa yang dijuluki Pen-

dekar Bumerang itu sebenarnya adalah sahabat baik 

Pampani maupun Karta. Bertahun-tahun ia hidup ber-

sama di lingkungan Kerajaan Pampani. Ia adalah pen-

duduk Benua Kanguru yang sekarang bernama Aus-

tralia. Sama seperti penduduk pribumi di sana, ia pun 

sangat mahir menggunakan senjata bumerang, yakni 

semacam senjata yang bentuknya seperti bulan sabit 

dengan kedua ujungnya yang sangat runcing dan ta-

jam. Senjata itu disambitkan dengan kecepatan kilat 

dan jika tidak mengenai sasaran, akan kembali me-

layang kepada pemiliknya.

Pada suatu hari, dalam petualangannya untuk 

memperdalam ilmunya yang kelak diharap-kan dapat 

digunakan untuk mengusir kaum penjajah Inggris dari 

negerinya, ia sampai ke Kepulauan Aru, lalu menjalin 

persahabatan dengan Pampani serta para pendekar 

Pulau Jawa.

Siapa tahu, ketika sedang menyusup ke dalam 

bangunan bawah tanah yang menjadi mar-kas Wan-

Da-I, ia terjebak. Wori tidak dibunuh, bahkan sengaja 

dibiarkan hidup dengan tenang. Tetapi berkat keheba-

tan ilmu sihir Womere, lelaki perkasa dan memiliki te-

naga yang sangat kuat itu berubah seperti binatang 

jinak atau bahkan seperti boneka. Pikirannya telah di-

kuasai Womere, sehingga bisa diperintah sesuka ha-

tinya. Demikian hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere, 

sehingga beberapa waktu lalu, Wori hampir saja mem-

bunuh Pampani serta sahabat-sahabatnya yang lain.

Sewaktu bertarung menghadapi Pendekar Bume-

rang itu, si Gila dari Muara Bondet ter-cebur ke dalam 

laut. Si Kaki Tunggal berusaha mencarinya. Ia menye-

lusuri pinggir pantai dan sesekali turun ke laut, na-

mun tubuh Karta telah lenyap bagaikan ditelan bumi.

Sampai sekarang, si Kaki Tunggal masih terus


mencari Karta. Akan tetapi setelah hampir seharian 

melakukan pencarian namun tetap tidak berhasil, 

Baureksa akhirnya menjadi putus asa. Ia berdiri mena-

tap hamparan laut yang terbentang di hadapannya. 

Rasanya tiada lagi harapan baginya untuk bisa mene-

mukan Karta. Bahkan rasanya mustahil pula pendekar 

itu masih bisa menyelamatkan diri setelah begitu lama 

berada di dalam laut. Si Kaki Tunggal Baureksa kemu-

dian duduk lesu di pinggir pantai. Tongkatnya yang 

pangkalnya bercagak dibiarkan menyentuh air laut, 

seolah-olah dengan berbuat demikian ia ingin menya-

takan kepedihan hatinya mengingat nasib Karta.

Lamunan si Kaki Tunggal tiba-tiba buyar, dan ia 

menjadi tersentak mendengar suara gemerciknya ge-

lombang laut yang tiba-tiba kacau. Ia segera berdiri 

dan memusatkan perhatian. Melihat gerakan air itu, 

yakinlah dirinya bahwa di dalamnya sedang bergerak 

sebuah makhluk besar. Mungkin ikan, atau siapa tahu 

adalah Karta sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara berteriak dan muncul-

lah sesosok mahluk aneh di hadapan Baureksa. Pen-

dekar Kaki Tunggal sempat melangkah mundur karena 

sangat terkejut. Di-kucek matanya beberapa kali seo-

lah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri, na-

mun pemandangan di depannya tetap tidak berubah 

sedikit pun.

Mahkluk itu bertubuh manusia biasa dan hanya 

ditutupi sejenis celana dalam menutupi kemaluannya. 

Di kedua tangannya terdapat gelang dari akar-akar 

pohon seperti yang biasa dipakai suku di Pulau Aru. 

Akan tetapi wajahnya yang luar biasa dengan hidung 

yang panjang sekali melengkung ke atas. Rambutnya 

tidak ada sama sekali dengan kulit yang sama dengan 

wajah, bergaris-garis hitam dan berlobang-lobang. 

Seumur hidup si Kaki Tunggal belum pernah melihat


mahluk seperti itu, sehingga timbullah dugaannya 

bahwa itu adalah Raja Kodok yang baru muncul dari 

dasar laut.

Dugaan si Kaki Tunggal adalah makhluk itu me-

miliki kesaktian luar biasa serta suka memangsa 

orang. Siapa tahu kemunculannya sekarang adalah 

karena sudah sangat lapar lalu ingin melahap siapa 

saja yang ditemukannya. Maka si Kaki Tunggal pun 

segera mempersiapkan diri menghadapi segala ke-

mungkinan. Tongkatnya disilangkan di dada dan sepa-

sang matanya mencorong tajam.

Akan tetapi makhluk itu tampak tenang-tenang 

saja. Ia kemudian tampak seperti hendak mencopot 

kepalanya. Si Kaki Tunggal kembali berseru kaget. 

Ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Bungoru 

sendiri. Hidung panjang melengkung serta kulit hitam 

bergaris-garis itu hanyalah sebuah topeng atau ba-

rangkali alat untuk menyelam, si Kaki Tunggal belum 

bisa memastikan.

Bungoru adalah pengawal Pampani yang selain 

sangat setia juga memiliki kesaktian yang cukup ting-

gi, terutama karena tenaganya seperti gajah. Hal itu 

karena ia memang memiliki tubuh tinggi besar bagai-

kan raksasa dan sejak kecil sudah terbiasa melakukan 

pekerjaan-pekerjaan berat serta rajin pula berlatih si-

lat. Di kerajaan yang dipimpin Pampani, tak seorang 

pun yang mampu mengimbangi kekuatan Bungoru se-

lain Wori sendiri.

"Mungkin sesuatu yang sangat tak diinginkan te-

lah terjadi terhadap diri Karta," kata Bungoru sambil 

mempermainkan alat selamnya yang ajaib.

"Oh, jadi kau pun mencarinya?"

"Menyesal sekali aku tidak berhasil menemukan

saudara kita itu. Hampir semalam suntuk aku menye-

lam di laut mencarinya atas perintah Pampani. Heran,


entah ke mana tubuhnya lenyap. Padahal biasanya ka-

lau ada yang tenggelam, dalam beberapa jam saja su-

dah bisa kutemukan."

Si Kaki Tunggal yang tadi sempat kaget bagaikan 

orang melihat setan di siang bolong, kini menjadi ter-

tawa geli.

"He-he-he. Tapi ngomong-ngomong aku menjadi 

geli. Ada-ada saja kau, Bungoru. Pakai apa sih itu? Bi-

kin orang jadi kaget saja. Tadinya kukira kau adalah 

Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut mencari 

mangsa."

Bungoru pun tertawa tergelak-gelak, terutama 

karena tadi dia sempat memperhatikan Baureksa 

mundur beberapa langkah dan langsung memasang 

kuda-kuda. Tetapi ia pun menjadi maklum, sebab sa-

habatnya itu tentu belum pernah melihat alat menye-

lam hasil ciptaannya yang sederhana namun sangat 

bermanfaat.

"Heh, Kaki Tunggal! Dengarkan baik-baik. Tanpa 

alat ini, aku takkan mungkin dapat menyelam sema-

lam suntuk. Pipa hawa ini dapat ditarik panjang sam-

pai ke permukaan air, Dengan demikian, aku tetap da-

pat menghirup udara walaupun sedang di dalam air."

"Wan, sialan! Tetapi hebat betul alat menyelam

mu itu. Ternyata biar tubuhmu gendut bagaikan gajah, 

otakmu cerdik juga. Rasanya aku ingin mencoba alat 

ajaib itu."

"Ah, sudahlah saudara Kaki Tunggal! Sekarang 

apa yang harus kita lakukan? Kita sudah berusaha 

mati-matian mencari saudara Karta, tetapi hasilnya 

nihil. Aku jadi malu pada diriku sendiri, hampir sema-

lam suntuk mencarinya namun tak berhasil."

"Sudahlah, Bungoru! Kita tak perlu terlalu berke-

cil hati. Mungkin sudah takdirnya harus begitu. Wa-

laupun begitu, kita doakan saja se-moga saudara Kar


ta masih selamat. Memang melihat keadaannya, tipis 

sekali harapan bahwa dia masih hidup. Tetapi nyawa 

manusia ada di tangan Tuhan. Sebaiknya kita pulang 

saja dulu ke istana. Biar aku nanti yang menjelaskan 

semuanya."

Apa yang diucapkan si Kaki Tunggal memang ada 

juga benarnya. Dalam hidup ini banyak sekali kejadian 

yang sangat di luar dugaan dan perkiraan. Seperti kata 

pepatah, sebelum ajal berpantang mati, maka demi-

kian pula halnya dengan Karta.

Setelah beberapa jam dihanyutkan gelombang 

laut dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuh Karta 

akhirnya terdampar pada tepi pantai laut. Rambutnya 

yang panjang jatuh terurai di atas tanah. Ia tergeletak 

dengan posisi tertelungkup, di mana sebatas pinggang 

sampai ke kaki masih terbenam dalam air.

Entah berapa lama pendekar gagah perkasa itu 

tergeletak dalam keadaan seperti itu, tak seorang pun

tahu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan ia merasakan 

nyeri di sekujur tubuhnya. Dadanya pun mulai turun 

naik, walaupun belum teratur tetapi telah menunjuk-

kan bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba membuka 

kelopak matanya dan baru beberapa saat kemudian 

bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan pandan-

gan kabur.

Ternyata sekarang ia sedang berada di dalam se-

buah gua, entah di pantai sebelah mana ia sekarang 

berada belum bisa diketahuinya, sebab tempat itu te-

rasa masih sangat asing baginya. Sekilas pandang sa-

ja, ia sudah yakin bahwa selama ini belum pernah 

menginjakkan kaki di sana. Ia pun bertanya-tanya, 

siapa gerangan yang membawanya ke tempat itu. Bisa 

jadi ada yang menyeretnya atau hanya kebetulan saja 

terdampar sewaktu dirinya masih tak sadarkan diri.

Lama Karta berpikir-pikir sebelum tiba-tiba ia


menyadari bahwa tubuhnya terasa sudah lebih segar 

dibandingkan pada saat ia tercebur ke laut karena dis-

erang Wori secara mendadak. Perlahan-lahan ia bang-

kit dan yang pertama-tama dilakukannya adalah me-

raba-raba dinding batu cadas di tempat itu. Siapa tahu 

ada kunci rahasianya! Tetapi tampaknya tidak ada 

sama sekali, sehingga makin kuatlah dugaannya bah-

wa terowongan itu adalah buatan alam. Mungkin ka-

rena arus air laut yang deras memukul-mukul sepan-

jang hari, tebing cadas itu akhirnya berlobang mem-

bentuk terowongan.

Walaupun demikian, Karta tidak mau bertindak 

sembrono. Sewaktu melangkah menyusuri terowongan 

itu, ia tetap berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi 

segala kemungkinan. Kenyataan yang di hadapinya se-

lama berada di Kepulauan Aru adalah banyak sekali 

jebakan-jebakan yang sangat sukar ditebak sebelum-

nya.

Sekitar lima meter kemudian, Karta menemukan

banyak sekali tumpukan tulang belulang dan tengko-

rak manusia. Agaknya itu berasal dari dasar laut be-

kas keganasan ikan-ikan hiu, yang kemudian terseret 

arus ke dalam terowongan itu. Sadarlah Karta bahwa 

selama berada di laut, ia sebenarnya terancam maut 

dan rasanya hanya karena pertolongan Tuhan-lah ma-

kanya dirinya selamat.


DUA



Malam sudah tiba, ibukota Pulau Trangan tam-

pak sunyi senyap. Semua penduduknya sudah tertidur 

pulas, atau kalaupun masih ada yang terjaga, mung-

kin hanya beberapa orang saja. Di sebelah Selatan 

perkampungan penduduk tampaklah sebuah lembah


di kaki bukit-bukit.

Di lembah itu banyak tumbuh pepohonan liar be-

sar dan rimbun. Jarang ada penduduk yang berani 

mendatangi lembah itu, karena selain hampir tak ada 

yang bisa diambil dari sana kecuali kayu bakar juga 

dipercaya penduduk bahwa di situ ada makhluk halus 

yang suka mengganggu. Itulah sebabnya sampai saat 

itu tidak ada persawahan maupun kebun di sana, wa-

laupun tanahnya sebetulnya sangat subur.

Jika siang hari saja penduduk sudah tak berani, 

malam harinya pun tentu tambah takut lagi. Di tempat 

itulah dulunya tokoh sesat atau si Nenek Sihir Pendeta 

Naomi tewas. Itu sebabnya sebagian besar penduduk 

menduga, roh jahat yang suka mengganggu itu adalah 

arwah nenek tua itu sendiri.

Akan tetapi sekarang, di tengah malam yang 

sunyi senyap dan menyeramkan itu, tampak sesosok 

tubuh melangkah menyusuri lembah. Mungkinkah itu 

roh halus yang dipercaya penduduk sangat suka 

menggoda? Tidak! Dia adalah manusia biasa, seorang 

laki-laki yang masih tergolong muda. Usianya paling 

sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya yang hanya 

ditutupi selembar kain penutup aurat itu tampak tidak 

terlalu gemuk, namun tetap tegar penuh otot, pertanda 

dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat.

Sepasang matanya dengan alis mata tebal dan hi-

tam tampak mencorong tajam di kegelapan malam, tak 

ubahnya mata seekor kucing, jarang sekali berkedip. 

Tulang pipinya menonjol, pertanda bahwa dia yang ke-

ras hati dan memiliki sifat kejam. Rambutnya yang ke-

riting dan hitam diikat dengan selembar kain yang di-

beri beberapa buah perhiasan mutiara hingga tampak 

berkilauan di timpa sinar rembulan yang redup.

Laki-laki yang tak lain tak bukan adalah: Wan-

Da-I itu melangkah menghampiri dua kuburan dan se


telah dekat, ia segera berlutut memberikan hormat. 

Wajahnya yang tadi tampak bengis kini berubah jadi 

muram, seperti langit yang disapu mendung. Perlahan-

lahan meluncurlah kata-kata dari mulutnya yang se-

lama ini lebih banyak terkatup mencerminkan keang-

kuhan dan kelicikan.

"Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Oleh kare-

na itu aku telah memindahkan kuburanmu ke lembah 

ini."

Sejenak putra Maleang Pangaru itu diam sembari 

menyeka air mata yang menggenangi pelupuk ma-

tanya. Kepalanya tertunduk pilu, tetapi kemudian di-

angkat tegak lurus kembali.

"Memang sebaiknya tempat ayah di sini, daripada 

harus dikubur dalam makam pengasingan oleh Pam-

pani si keparat itu."

Lalu wajah itu kembali tampak beringas. Sepa-

sang matanya mendorong, merah bagaikan meman-

carkan api. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar dan 

diangkat tinggi-tinggi hingga melewati kepalanya.

"Tetapi ayah dan ibu tidak perlu mati pena-saran! 

Masih ada aku anakmu yang akan menuntut balas. 

Tak seorang pun bisa merenggut nyawaku. Aku bisa 

hidup seribu kali. Akan ku-hancurkan si Pampani ke-

parat itu bersama anak buahnya. Akan kuhancurkan. 

Itu sumpahku, biarlah arwah ayah dan ibu yang men-

jadi saksi!"

Kemudian Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak me-

nyeramkan, sehingga bergema ke seluruh lembah itu. 

Seandainya ada orang lain yang mendengarnya tentu 

akan mengira suara itu adalah ketawa iblis sehingga 

akan menggigil ketakutan.

"Ha-ha-ha! Akan kumusnahkan mereka semua!"

Saat itulah si Raja Sihir Womere muncul sambil 

membawa topeng ikan hiu. Dengan gerakan yang san


gat ringan hingga hampir tak menimbulkan suara, ia 

sudah meloncat dan berada beberapa langkah di bela-

kang Wan-Da-I.

"Ingat, Tuanku! Tuan masih dalam penyamaran. 

Tuan tampaknya lupa memakai topeng ikan hiu ini un-

tuk mengelabui musuh. Ingat Tuanku! Ini sudah me-

rupakan sebagian dari rencana kita!"

"Oh, kau Womere!"

"Pakailah terus sampai mereka patah semangat 

karena gentar. Makin sering melihat kau memakai to-

peng ini, mereka pasti akan percaya bahwa Iblis Pulau 

Aru dan Pendeta Naomi telah hidup kembali!"

"Terima kasih, Womere! Kau telah mengingatkan 

aku!" Tanpa banyak bicara lagi, Wan-Da-I segera men-

genakan topeng ikan hiu itu.

"Sekarang marilah kita menemui Wori! Pengawal 

Tuan yang setia itu telah siap menjalankan perintah 

selanjutnya!"

Wan-Da-I mengangguk-angguk, lalu mengikuti 

langkah Womere meninggalkan lembah itu. Tampak-

nya laki-laki itu sangat patuh kepada Womere. Hal itu 

tidaklah mengherankan, karena sebetulnya orang yang 

paling diandalkan dan dipercayainya adalah si Ahli Si-

hir tersebut.

Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang 

sejak tadi telah mengintip segala apa yang terjadi di 

lembah itu. Mata itu sempat terbelalak saking kaget 

mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Wan-Da-

I. Keduanya adalah si Kaki Tunggal dan Bungoru sen-

diri, ketika hendak pulang tadi merasa curiga menden-

gar suara langkah di sekitar lembah itu, lalu mengintip 

dari balik pepohonan.

"Hmhhh! Baru terbuka kedoknya! Maleang Pan-

garu dan Naomi memang sudah benar-benar mam-

pus," bisik si Kaki Tunggal.


"Ya, tapi aku heran mengapa Wan-Da-I masih hi-

dup?"

"Mungkin hari itu nyawanya belum mau mening-

galkan raga. Sst, Bungoru! Mereka sudah dekat, kita 

cepat! Siap?"

"Siap!"

Kedua pendekar itu segera meloncat dari tempat 

persembunyiannya dan langsung menghadang Wan-

Da-I dan Womere. Kedua tokoh sesat yang sama sekali 

tidak menduga hal itu menjadi terkejut dan serentak 

menghentikan langkah.

"Jangan lari, iblis-iblis tengik! Sekarang kedok 

kalian sudah terbuka dan karena kalian bermaksud 

meruntuhkan pemerintahan Pampani, maka malam ini 

juga kalian berdua harus mampus di tangan kami!" 

bentak si Kaki Tunggal sambil mengayun-ayunkan 

tongkatnya, sehingga terdengar menimbulkan angin 

pukulan yang dahsyat.

"He-he-he! Kalian berdua memang benar-benar 

iblis yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini," 

sambut Bungoru dan sambil mengeluarkan bentakan 

keras, ia menerjang Womere.

Kedua tangan Bungoru menyambar men-

cengkeram ke arah leher Womere dan ternyata biarpun 

bertubuh raksasa, gerakannya sangat cepat, sehingga 

lawannya tampak tersentak kaget. Womere berusaha 

menunduk, namun sudah terlambat karena kedua 

tangan Bungoru telah mencekik lehernya.

"Ekh!" Womere berseru tertahan sambil berusaha 

melepaskan cekikan lawan. Namun tangan yang men-

cekik itu seperti jepitan baja saja. Makin ia meronta, 

jepitan itu terasa makin kuat, sehingga nafasnya tera-

sa hendak putus.

"Hihhh! Enyah kau tukang sihir dari Pulau Kole-

pom!" bentak Bungoru sambil mendorong tubuh lawan


hingga terjatuh. Tubuhnya yang sebesar kerbau itu 

kemudian menindih Womere sementara cekikan len-

gannya pun tidak di-lepaskan, sehingga membuat la-

wan tampak semakin tak berdaya.

"Aaaaaak!" Womere menjerit panjang dengan ma-

ta mendelik. Kepalanya pun terkulai dan tidak berge-

rak-gerak lagi.

Nasib si Topeng Ikan Hiu lebih mengerikan lagi. 

Setelah berhasil mengelakkan sambaran tongkat si 

Kaki Tunggal, ia terdesak oleh serangan-serangan yang 

sangat cepat dan kuat serta mengandung maut. Jurus-

jurus ilmu tongkat si Kaki Tunggal memang luar biasa, 

biarpun kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut, 

namun gerakannya sangat cepat, sehingga tubuhnya 

tampak hanya bayang-bayang saja. Senjata tongkat di 

tangannya juga tampak seolah-olah berubah jadi ba-

nyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penju-

ru.

Agaknya kedua pendekar sahabat Pampani itu 

sudah menyadari bahwa lawan yang sedang dihadapi 

memiliki kesaktian yang tinggi, se-hingga mereka sege-

ra mengeluarkan jurus-jurus maut mereka. Ternyata 

dalam waktu singkat keduanya segera dapat mendesak 

lawan. Belum sampai sepuluh jurus, ujung tongkat si 

Kaki Tunggal menyambar dahsyat ke arah jantung 

Wan-Da-I. Begitu cepatnya serangan si Kaki Tunggal, 

sehingga si Topeng Ikan Hiu itu tampak tidak sempat 

mengelak lagi. Dan ujung tongkat itu pun menancap di 

bagian jantung dan tembus sampai ke punggungnya.

Darah segar tersembur disertai jeritan panjang 

yang terdengar sampai ke segenap penjuru lembah itu. 

Si Kaki Tunggal menyeringai, tetapi ia tampak belum 

puas. Dicabutnya tongkat yang tertancap di tubuh la-

wan dan ditancapkannya lagi ke bagian-bagian tubuh 

lainnya sampai beberapa kali.


"Orang seperti kau tidak boleh diberi am-pun!" 

bentaknya geram. Lalu setelah tubuh Wan-Da-I tam-

pak sudah tercabik-cabik, si Kaki Tunggal berkata ke-

pada Bungoru

"Beres, Bungoru! Bagaimana dengan si Tukang

Sihir itu!"

Bungoru tertawa kecil dan masih tetap menginjak 

perut Womere. Ia pun tampak sangat senang dan 

bangga, karena dalam waktu yang demikian singkat-

nya dapat membunuh lawan.

"Kepalanya sudah kucopot! Mudah-mudahan tak 

ada setan gentayangan lagi," katanya. Dan memang 

kepalanya Womere sudah terpisah dari badan, darah 

segar masih mengucur deras dari leher yang telah bun-

tung itu. Luar biasa kuatnya tenaga laki-laki bertubuh 

raksasa itu, hanya dengan sekali cekikan sudah dapat 

memisahkan kepada dari badan.

"Hei, tentu dia akan jadi setan tanpa kepala nan-

ti," teriak si Kaki Tunggal yang diam-diam merasa agak 

ngeri juga menyaksikan kesadisan sahabatnya itu.

"Mau jadi setan apa nanti terserah dialah. Seka-

rang apa yang harus kita lakukan?"

"Sebaiknya kau pulang ke istana membawa 

bangkai-bangkai ini kepada Pampani dan umum-

kan bahwa kedua tikus inilah yang selama ini menco-

ba mengacau. Aku sendiri masih tetap di sini untuk 

mencari jejak Karta. Siapa tahu dia muncul nanti!"

"Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan memban-

tumu mencari sahabat kita itu. Bagai-manapun juga, 

kita harus menemukannya, hidup atau mati!"

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang ter-

tawa dari atas puncak bukit cadas. Suaranya keras 

sekali terbahak-bahak, seakan-akan orang itu sedang 

menyaksikan sesuatu yang sangat lucu. Akan tetapi si 

Kaki Tunggal dan Bungoru yang tadi bercakap-cakap


di lembah menjadi kaget dan merasakan bulu kuduk 

mereka meremang mendengar suara ketawa itu berge-

ma ke segala penjuru, sehingga udara di malam hari 

itu terasa dipenuhi suara ketawa. Hebatnya lagi, suara 

itu mendatangkan hawa dingin dan menusuk-nusuk, 

sehingga jantung seakan-akan hendak berhenti berde-

tak.

Si Kaki Tunggal dan Bungoru saling pan-dang, 

seperti dua orang yang baru tersadar dari mimpi bu-

ruk. Lalu serentak mereka memandang ke puncak bu-

kit cadas. Nun jauh di puncak itu, di bawah sinar re-

mang-remang rembulan, tampak dua sosok tubuh se-

dang tertawa yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I 

dan Womere sendiri.

"Ha-ha-ha! Kalian benar-benar hebat, sejak tadi 

bertarung dengan batu-batu cadas. Benar-benar lucu, 

dua pendekar hebat ternyata hanya berani melawan 

batu. Luar biasa!" suara dari puncak bukit cadas itu 

terdengar sangat mengejek, sehingga membuat si Kaki 

Tunggal dan Bungoru tersentak.

Secara berbarengan mereka melihat ke tanah di 

hadapan mereka. Tubuh Wan-Da-I maupun Womere 

yang tadi tergeletak berlumuran darah dalam keadaan 

tak bernyawa ternyata sudah lenyap. Sebagai gantinya 

di situ tergeletak atau lebih tepatnya berserakan peca-

han-pecahan batu cadas.

Si Kaki Tunggal dan Bungoru boleh merupakan 

pendekar yang gagah perkasa dan dikagumi banyak 

orang, bahkan Baureksa sendiri sudah kesohor pula di 

Pulau Jawa karena kesaktiannya. Namun menghadapi 

kenyataan seperti itu, tidak urung mereka terkejut ju-

ga. Tadi jelas sekali mereka bertarung dengan Wan-Da-

I serta Womere dan dengan mudah dapat melumpuh-

kan lawan-lawannya. Tetapi sekarang bagaimana bisa 

terjadi kedua musuh mereka itu sudah lenyap dan


bahkan sedang tertawa-tawa atau mentertawakan me-

reka dari puncak bukit cadas?

Bungoru lebih cepat dapat mengerti apa yang se-

benarnya telah terjadi, karena sebagai penduduk pri-

bumi, ia segera bisa mengenali ilmu yang diperguna-

kan lawan.

"Celaka, ternyata mereka telah menggunakan il-

mu sihir yang sangat memuakkan itu. Ku-rang ajar! 

Saudara Kaki Tunggal, hati-hati! Itulah ilmu sihir dari 

Pulau Kolepom."

"Keparat! Kita serang lagi mereka! Aku tidak ta-

kut!" bentak si Kaki Tunggal sambil bersiap-siap me-

nerjang lawan yang kini masih berada di puncak bukit 

batu cadas.

"Ha-ha-ha!" Womere tertawa lagi, "Kenapa kalian 

begitu kesal seperti kakek kehilangan tongkat? Hai, 

Bungoru yang tolol! Sejak kapan kau mimpi bisa men-

galahkan aku?"

"Bangsat! Hiyaaaaat!" Bungoru sadar bahwa la-

wan yang dihadapi kini sangat hebat dan licik. Tetapi 

bukan Bungoru lagi namanya kalau menghadapi lawan 

seperti itu sudah gentar. Sejak masa mudanya, ia su-

dah terbiasa menghadapi lawan-lawan tangguh bah-

kan sudah sangat sering bercanda dengan maut. Maka 

ia pun segera berteriak nyaring seraya meloncat me-

nerjang lawan.

Si Kaki Tunggal pun tidak mau. tinggal diam. Ia 

mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang san-

gat tinggi, sehingga tubuhnya melayang bagaikan ter-

bang ke puncak bukit cadas. Tongkatnya diputar cepat 

sekali untuk melindungi diri kalau lawan menyerang 

secara tiba-tiba dan sekaligus mempersiapkan seran-

gan mautnya. Ia sekarang sengaja menerjang Womere 

si Ahli Sihir yang sangat jahat itu.

Setelah berada dalam jarak jangkauan, si Kaki



Tunggal mengayunkan tongkatnya dengan gerakan ki-

lat menyambar leher Womere. Tukang sihir itu berseru 

kaget, lalu buru-buru menundukkan badan sehingga 

pukulan lawan tidak mengenai sasaran. Akan tetapi 

Womere kemudian dibuat kaget setengah mati, karena 

ujung tongkat lawan sudah menyambar turun ke arah 

ubun-ubunnya. Cepat luar biasa gerakan si Kaki 

Tunggal dan sangat kuat pula, sehingga lawan yang 

ilmunya biasa-biasa saja tentu akan tewas oleh seran-

gan itu.

"Akh...!" Womere mengeluarkan seruan kaget lalu 

meloncat mundur. Akan tetapi ujung tongkat lawan 

seperti mempunyai mata saja, selalu mengikuti dan 

mengancam dirinya ke sebelah manapun ia mengelak. 

Karena puncak bukit cadas itu cukup terjal, akhirnya 

Womere tidak dapat mundur lagi karena tubuhnya 

tentu akan menggelinding ke bawah. Tampaknya ia tak 

menginginkan hal itu, lalu sambil berteriak panjang ia 

mencelat ke udara dan ketika tubuhnya meluncur tu-

run kedua tangannya memantul ke arah kepala dan 

ulu hati si Kaki Tunggal.

Serangan si Tukang Sihir itu cukup cepat dan 

kuat, tetapi si Kaki Tunggal tampak tenang saja, bah-

kan sempat tersenyum mengejek. Ia sengaja tidak se-

gera mengelak dan barulah ketika tangan lawan hen-

dak menyentuh tubuhnya ia berkelit ke samping. Lalu 

dengan gerakan kilat ujung tongkatnya menyambar 

dahsyat ke arah ulu hati Womere.

"Blesss! Augh!"

Tongkat si Kaki Tunggal dengan telak menghun-

jam di bagian jantung Womere hingga tembus sampai 

ke punggung, membuat tukang sihir Kolepom itu men-

jerit kesakitan. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah 

dalam keadaan bermandikan darahnya sendiri.

"Mampus kau!" Si Kaki Tunggal memaki geram,


mencabut tongkatnya, lalu mengayunkan ke arah leher 

Womere hingga nyaris putus. Kembali darah segar 

muncrat membasahi puncak bukit cadas itu.

Begitu pun halnya dengan Bungoru, tanpa perla-

wanan berarti ia sudah berhasil merobohkan Wan-Da-

I. Dan dengan mengerahkan tenaganya yang sangat 

besar, ia mencabik-cabik tubuh musuhnya itu sehing-

ga terpisah-pisah menjadi beberapa bagian.

Si Kaki Tunggal sudah hendak berbicara menya-

takan kegembiraan hatinya karena berhasil membu-

nuh lawannya. Tetapi tiba-tiba keduanya menyadari 

bahwa pekerjaan mereka kali ini ternyata sia-sia saja 

seperti yang pertama tadi. Tubuh Womere dan Wan-

Da-I yang tadi terkapar berlumuran darah, kini sudah 

menghilang entah ke mana dan di tempat itu telah 

berserakan pecahan-pecahan batu cadas.

"Astaga! Ke mana mereka? Tidak ada be-kasnya 

sama sekali!" kata si Kaki Tunggal se-tengah berteriak.

"Sial, kita terkena sihir lagi." gerutu Bungoru ge-

ram. 

Kembali terdengar suara tertawa terbahak-bahak 

bergema ke seluruh lembah dan puncak bukit cadas 

itu. Si Kaki Tunggal dan Bungoru serentak berpaling 

dan tampaklah oleh keduanya Womere dan Wan-Da-I 

telah berada di puncak bukit cadas yang satu lagi.

"Itu mereka di sana! Sungguh ilmu iblis yang ter-

lalu sukar dikalahkan," kata Bungoru yang tampak 

mulai cemas tidak akan dapat mengatasi ilmu sihir la-

wan.

"Jangan putus asa, Bungoru! Ingat, segala yang 

batil di alas bumi ini pasti dapat dimusnahkan. Mereka 

toh adalah manusia biasa, seperti kita juga. Mereka ti-

dak akan luput atau bisa melepaskan diri dari ajal," 

kata si Kaki Tunggal sambil mempersiapkan tongkat-

nya kembali.


"Apa yang akan kau lakukan, saudara Kaki 

Tunggal?"

Si Kaki Tunggal melirik ke arah jurang yang ada 

di hadapannya yang merupakan pemisah bukit cadas 

tempatnya berdiri dengan bukit tempat Womere dan 

Wan-Da-I. Jurang itu tidak terlalu lebar, tetapi keliha-

tannya cukup dalam. Sekali loncat saja, orang yang il-

munya tidak terlalu tinggi tentu akan dapat melewati 

jurang itu, apalagi pendekar seperti si Kaki Tunggal.

"Tenanglah, Bungoru! Aku akan meloncati jurang 

yang pendek ini, kemudian akan menyerang mereka 

secara mendadak. Aku sudah mempersiapkan jurus 

mautku untuk menghajar mereka sekali gebrakan!"

"Tunggu, saudara Kaki Tunggal!" kata Bungoru 

sambil menarik tangan Baureksa, "Jangan kau laku-

kan itu! Ini pasti tipuan muslihat sihir lagi. Jangan 

kau lakukan!"

"Tidak, Bungoru! Aku percaya akan penglihatan-

ku sendiri. Akan kuhajar mereka sampai mampus. 

Hiyaaat!" Si Kaki Tunggal berteriak nyaring dan ber-

samaan dengan itu tubuhnya mencelat bagaikan ter-

bang ke bukit cadas tempat Womere dan Wan-Da-I 

berdiri sambil tertawa mengejek.

Tongkat di tangan Kaki Tunggal diayunkan den-

gan gerakan kilat menyambar dahsyat ke arah Womere 

dan Wan-Da-I. Inilah jurus maut yang merupakan sa-

lah satu inti ilmu silat tongkat si Kaki Tunggal. Keisti-

mewaan jurus itu selain cepat dan kuat, juga memiliki 

perkembangan yang sangat tidak terduga-duga dan 

dapat dilakukan secara beruntun, sehingga dalam 

waktu yang hampir bersamaan dapat memukul roboh 

dua orang lawan sekaligus.

"Wuuuuut!" Tongkat itu terus menyambar ke 

arah lawan. Namun tiba-tiba si Kaki Tunggal tersentak 

kaget karena tiba-tiba tubuh kedua lawannya sudah


lenyap, sehingga tongkatnya hanya memukul angin. 

Dan lebih kaget lagi dia ketika hendak menginjakkan 

kakinya di bukit cadas itu, ternyata juga sudah lenyap. 

Tanpa ampun lagi, tubuh si Kaki Tunggal terhempas 

jatuh ke dalam jurang.

Tepat seperti yang dikatakan Bungoru tadi, pe-

mandangan yang ada di hadapan mereka hanyalah 

permainan ilmu sihir lawan, di mana mereka seolah-

olah melihat kedua lawan sedang berdiri di atas bukit 

cadas, padahal sebenarnya bukit itu tidak ada. 

"Aaaaaa!" Si Kaki Tunggal menjerit panjang keti-

ka menyadari bahwa tubuhnya sudah terhempas jatuh 

ke jurang di bawah bukit cadas. Ia berusaha menge-

rahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan maksud 

kalau terhempas nanti tidak akan terlalu kuat. Berun-

tung sekali dia, karena tubuhnya terhempas tepat ke 

dasar jurang yang tanahnya merupakan rawa-rawa 

berlumpur.

Si Kaki Tunggal menjerit, kaget dan girang. Tak 

disangka dalam keadaan seperti itu dia masih dapat 

selamat. Ia tidak menderita luka-luka, selain kulit 

pinggangnya yang terasa agak nyeri karena terbentur 

lumpur rawa-rawa. Bagi pendekar sakti seperti dia ra-

sa sakit seperti itu tentu tidak ada artinya. Ia segera 

berusaha melangkah ke luar dari rawa-rawa itu, akan 

tetapi, ia kembali berseru kaget manakala menyadari 

semakin banyak bergerak tubuhnya semakin terseret 

dan terbenam dalam pasir berlumpur.

Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal bergerak 

dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Na-

mun tetap seperti tadi, setiap menggerakkan tubuh-

nya, ia semakin tenggelam hingga sekarang pasir ber-

lumpur sudah sampai ke batas lehernya.

"Saudara Kaki Tunggal, jangan bergerak! Pasir 

berlumpur itu akan semakin menelan tubuhmu bila


bergerak. Tenanglah!" teriak Bungoru sambil meluncur 

turun dari atas puncak bukit. Ia bagaikan pemain ski 

es saja, meluncur di atas kedua tumit kakinya dengan 

sangat mengagumkan. Dalam waktu singkat saja, ia 

sudah berada di tepi rawa-rawa maut itu.

Pada saat itu, dari puncak tebing di sebelah sana 

terdengar lagi suara tertawa bersorak-sorak mengejek. 

Siapa lagi kalau bukan si Tukang Sihir Womere dan 

Wan-Da-I. Mereka geli menyaksikan si Kaki Tunggal 

mengulurkan tongkatnya kepada Bungoru.

"Sedikit lagi, belum sampai saudara Kaki Tung-

gal. Perlahan-lahan, jangan sampai membuat gerakan 

mengejutkan. Ulur lagi...." kata Bungoru.

"Ha-ha-ha! Sungguh lucu tingkah mereka, Wo-

mere. Aku geli melihatnya," kata Wan-Da-I

"Sudah pasti mereka tidak akan tertolong, Tua-

nku! Pasir apung itu sangat lembut untuk dipijak. Ba-

gaimana pun tingginya ilmunya, mereka tidak akan bi-

sa selamat dari cengkeraman rawa-rawa itu. Lihat, 

akan kubikin lebih lucu lagi!" 

Setelah berkata begitu, Womere segera merubuh-

kan bebatuan dari atas puncak tebing dan langsung 

berhamburan menggelinding ke arah si Kaki Tunggal 

dan Bungoru.

"Pengawal setia Pampani itu harus ikut ter-cebur 

ke dalamnya. Biar tahu rasa dia!" teriak tukang sihir 

itu dengan suara keras mengatasi hiruk pikuknya pu-

luhan bahkan mungkin ratusan bongkah batu yang 

runtuh.

Hujan batu itu meluncur sangat cepat dan kare-

na jumlahnya banyak sekali, Bungoru tidak sempat 

mengelak. Tubuhnya terpelanting ketika punggungnya 

dihantam sebongkah batu yang sebesar rusa dewasa. 

Laki-laki bertubuh raksasa itu masih mencoba berta-

han sambil menghindar ke samping, namun pada saat


itu, bongkahan batu lainnya kembali menghantam da-

danya.

"Aaaaakh!" Bungoru menjerit panjang. Dadanya 

terasa nyeri dan tanpa ampun lagi, tubuhnya pun ter-

cebur ke dalam rawa-rawa. Batu-batuan yang menyu-

sul menimpanya membuat tubuhnya cepat terbenam 

ke dalam pasir berlumpur, sedangkan si Kaki Tunggal 

yang berada di tengah rawa luput dari hantaman hu-

jan batu itu.

"Awas, Bungoru!" teriak si Kaki Tunggal tanpa 

sadar. Secara refleks ia hendak meloncat, namun tu-

buhnya malah tambah terbenam. Untunglah ia segera 

menyadari bahaya yang mengancam keselamatan ji-

wanya, sehingga tak berani lagi bergerak.

"Wah, hebat sekali permainanmu. Aku benar-

benar puas mempermainkan mereka seperti itu." kata 

Wan-Da-I sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Tak percuma Tuanku mengundang aku jauh-

jauh dari Pulau Kolepom. Biarlah mereka merasakan 

penderitaan yang sangat hebat sebelum tewas. Tapi 

sayang sekali, kita tidak bisa menyaksikan pemandan-

gan yang sangat menarik ini. Waktu kita sangat men-

desak, Tuanku! Sekarang kita harus menemui Wori, 

karena se-galanya sudah siap. Tak perlu ragu, kedua 

tikus itu pasti akan mampus di sana!"

"Baiklah kalau begitu, Womere. Bagaimana pun 

urusan inilah yang paling penting bagi kita."

Kedua makhluk sakti tapi sesat itu berkelebat 

bagaikan angin, meloncati bukit-bukit dengan sangat 

ringannya, sehingga dalam sekejap sudah menghilang 

dalam kegelapan malam.

Melihat kepergian kedua lelaki iblis itu, hati si 

Kaki Tunggal agak lega. Akan tetapi karena sadar 

bahwa ia dan Bungoru tidak akan mungkin menyela-

matkan diri tanpa bantuan orang lain, maka hatinya


pun cemas juga. Bagaimanapun juga, rawa-rawa ter-

sebut memiliki tenaga sedot yang sifatnya sangat le-

mas, sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan. Hal 

itu kembali menyadarkan si Kaki Tunggal bahwa tena-

ga lemas sebetulnya jauh lebih berbahaya daripada te-

naga yang sifatnya keras. Seandainya tubuh si Kaki 

Tunggal tertanam di dalam tanah atau bahkan di da-

lam tembok, besar sekali kemungkinan ia akan dapat 

menyelamatkan diri. Tetapi sekarang, berada di dalam 

rawa yang punya daya sedot dahsyat yang sifatnya lu-

nak ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Mala-

han semakin banyak bergerak, tubuhnya terasa makin 

tersedot.

Seorang pendekar gagah perkasa seperti si Kaki 

Tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang 

di dunia persilatan dan tidak terhitung lagi entah be-

rapa kali menghadapi atau terancam maut, sebenarnya 

tidak pernah takut mati. Tetapi kalau caranya sangat 

konyol seperti itu, diam-diam hatinya bergidik juga. 

Kalau mampus sewaktu bertarung tentu mempunyai 

kebanggaan tersendiri, paling tidak akan dianggap to-

koh yang bukan pengecut. 

Untunglah saat itu terdengar suara derap lang-

kah kaki disertai suara pembicaraan yang] cukup ra-

mai. Si Kaki Tunggal dan Bungoru sangat girang kare-

na rombongan yang baru muncul di tempat itu adalah 

pasukan laskar yang dipimpin langsung oleh Pampani.

"Tolong keluarkan kami dari lumpur iblis ini!" te-

riak si Kaki Tunggal. Sikap pendekar itu tampak 

menggelikan, wajahnya kadang-kadang pucat tetapi 

sebentar kemudian berubah merah lagi. Hal itu mem-

buat beberapa orang anggota laskar tersenyum terta-

han-tahan dan menduga si Kaki Tunggal sangat takut 

berada di dalam rawa tersebut tetapi juga merasa malu 

untuk berterus terang. Baru sekarang mereka melihat


pendekar yang sangat sakti dan gagah perkasa itu ke-

takutan!

Pampani segera melemparkan seutas tali ke arah 

Kaki Tunggal, lalu setelah ujungnya dipegang erat-erat 

oleh pendekar itu, ia berkata:

"Pegang erat-erat, jangan sampai terlepas. Jan-

gan khawatir, kau pasti selamat!"

Dibantu beberapa orang anak buahnya, Pampani 

berhasil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal dari rawa 

berlumpur itu. Sedangkan yang lain ramai-ramai pula 

mengeluarkan tubuh Bungoru yang seperti gajah itu.

"Untunglah kalian segera datang. Kalau tidak...." 

kata si Kaki Tunggal tanpa meneruskan ucapannya. 

Sejenak ia melirik rawa berlumpur pasir itu. Sean-

dainya ia dan Bungoru terbenam tadi, tentu tidak akan 

ada bekasnya dan mereka akan mampus tanpa pernah 

diketahui di mana berada.

"Aku sengaja membawa laskar kita untuk menca-

ri saudara Karta. Tetapi tadi kami mendengar suara 

mencurigakan di sekitar tempat ini, sehingga dapat 

membantu kalian. Aneh, ada apa sebenarnya sampai 

kalian tercebur ke dalam rawa-rawa itu?"

"Wah, kami baru saja bertemu dengan...."

"Ah, tidak!" Si Kaki Tunggal cepat-cepat menyela 

ucapan Bungoru yang tampaknya sangat bernafsu 

menceritakan pengalaman mereka tadi. Akan tetapi si 

Kaki Tunggal segera menyadari bahwa di situ cukup 

banyak pasukan laskar, karena itu pertemuan mereka 

dengan Wan-Da-I serta Womere tidak perlu dicerita-

kan. Nanti nyali laskar itu menjadi ciut dan jika itu 

benar-benar terjadi yang rugi adalah mereka sendiri

"Kami kebetulan saja tergelincir dari atas tebing 

cadas. Tapi aku sungguh tak menyangka akibatnya 

seperti ini. Luar biasa, aku merasa seperti orang lum-

puh saja."


"Syukurlah kalian tidak apa-apa. Lalu bagaimana

dengan saudara Karta? Sebaiknya kita mengadakan 

pencaharian lagi. Laskar yang ada di sini sekarang 

sengaja kupilih orang-orang yang pintar menyelam. Ki-

ta harus bisa menemukannya!"

"Baiklah, Pampani. Tapi bagaimana dengan Bun-

goru? Tampaknya ia masih tak sadarkan diri dan 

menderita luka-luka."

"Tidak apa-apa, tak perlu dikhawatirkan. Seben-

tar lagi dia pasti siuman. Dialah satu-satunya manusia 

katak yang betah menyelam berjam-jam lamanya."

"Kasihan dia!"

Pampani cuma menghela nafas panjang, lalu me-

nyuruh beberapa anak buahnya merawat Bungoru. 

Dan kepada yang lainnya, ia berkata dengan suara 

yang tidak terlalu keras namun penuh wibawa:

"Sekarang kita harus melakukan pencaharian la-

gi. Saudara Karta jatuh di sekitar tempat ini. Kalau ti-

dak terjadi sesuatu yang luar biasa, tubuhnya pasti 

masih di sekitar perairan tepi pantai ini!"

Tanpa banyak mengucapkan kata-kata, para

laskar itu pun segera terjun ke laut menyelam mencari 

Karta. Sebagian di antaranya berjaga-jaga di tepi pan-

tai sambil memeriksa keadaan di sekelilingnya siapa 

tahu dapat menemukan tanda-tanda untuk memper-

mudah mereka melakukan pencaharian.


TIGA



Sementara itu, si Gila dari Muara Bondet masih 

duduk termenung di dalam terowongan di pinggir laut. 

Ia yakin dirinya sekarang sudah sangat jauh dari tem-

patnya tercebur ke laut. Entah bagaimana sebenarnya 

ia bisa selamat dan lebih mengherankan lagi, tubuh


nya terasa segar kembali. Padahal tadinya ia menderita 

luka-luka yang sangat parah hingga beberapa kali 

memuntahkan darah segar. Ia pun menduga air laut di 

sekitar tempat itu mengandung zat-zat penyembuhan 

yang mujarab.

Sekarang yang menjadi beban pikirannya adalah 

bagaimana ke luar dari tempat itu, dan ke arah mana 

ia harus berenang agar lebih cepat bisa kembali ke is-

tana. Ia teringat tulang belulang dan tengkorak manu-

sia di dalam terowongan, berarti kemungkinan besar 

terowongan itu tidak jauh dari kandang ikan-ikan hiu. 

Maka tanpa pikir panjang lagi, ia segera terjun dan 

menyelam cepat sekali di dalam laut.

Karena Karta sejak kecil memang sudah sangat 

pintar berenang, dan sekarang tubuhnya terasa jauh 

lebih segar, maka tubuhnya pun melesat cepat sekali 

bagaikan ikan cucut. Hanya dalam waktu singkat, ia 

sudah berhasil menyelam jauh dari terowongan tadi.

Tiba-tiba telinga Karta yang tajam bagaikan alat 

pendengaran lintah itu menangkap gerakan-gerakan 

mencurigakan di atas permukaan laut, seperti gerak 

benda yang sedang meluncur. Entah benda apa ia 

sendiri belum bisa menduga. Ketika tubuhnya melun-

cur makin ke atas, suara itu semakin jelas terdengar 

olehnya.

Karena ingin tahu benda apa yang mencurigakan 

hatinya itu, maka Karta pun segera muncul secara per-

lahan-lahan ke permukaan air laut. Ternyata sebuah 

perahu! Entah perahu siapa, namun yang pasti bukan 

perahu penduduk pribumi. Bukankah perahu pendu-

duk Kepulauan Aru biasanya selalu memakai cadik? 

Tidak seperti perahu yang dilihatnya, selain tak mem-

punyai cadik, bentuknya juga tampak lebih bagus dan 

diperlengkapi peralatan yang sangat menarik.

Karta segera menyelam kembali karena tidak in


gin kehadirannya diketahui penumpang perahu itu, te-

tapi diam-diam ia mengikutinya dari jarak yang cukup 

dekat. Ternyata perahu itu telah merapat di tepi pan-

tai, di bawah tebing-tebing cadas terjal. Karta pun se-

gera timbul ke permukaan di balik bebatuan agak jauh 

dari perahu itu.

Di kegelapan malam, secara samar-samar Karta 

dapat melihat penumpang perahu itu. Ternyata hanya 

dua orang laki-laki berkulit putih. Tentu saja Karta 

terkejut bukan main. Apa gerangan maksud kedua 

orang kulit putih itu?

Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, si Gila 

mengamati kedua laki-laki itu. Salah seorang di anta-

ranya sudah tua, mungkin berusia sekitar enam puluh 

tahun, dengan kepala kelimis di bagian depan, se-

dangkan rambut yang tumbuh di belakang kepala su-

dah memutih dan tumbuh jarang. Tubuhnya gemuk, 

namun tampak masih sehat dan kuat, terbukti dengan 

langkah kakinya yang masih cukup cepat dan mantap 

walaupun di punggungnya tergantung ransel beruku-

ran cukup besar. Laki-laki itu mengenakan kaca mata 

tetapi hanya di sebelah mata kanan diikatkan dengan 

rantai halus. Kumis dan janggutnya yang panjang dan 

agak kurang terurus tampak sudah memutih. Melihat 

ciri-cirinya dapat diduga ia datang dari negeri Belanda.

Lelaki berkulit putih lainnya masih muda belia, 

paling berusia tiga puluh tahun. Kulitnya putih bersih 

dan bentuk wajah yang bulat lonjong sehingga tampak 

sangat tampan. Rambutnya yang pendek disisir rapi 

dan tubuhnya tegak dan tampak sangat kuat. Sepa-

sang matanya selalu berbinar-binar dan tak henti-

hentinya melirik ke kiri ke kanan, pertanda lelaki itu 

memiliki kewaspadaan yang tinggi. Tetapi bisa juga ia 

seorang lelaki yang sangat sulit percaya kepada orang 

lain dan memiliki sifat sombong. Di pinggangnya ter


gantung sebuah pistol dan di punggungnya, di atas 

ransel ia menyandang sebuah senapan laras panjang.

Kedua lelaki berkulit putih itu sama-sama men-

genakan sepatu laras panjang pula, sehingga selalu 

menimbulkan suara berdetak-detak jika menginjak ba-

tu-batu cadas.

Laki-laki tua itu adalah seorang ahli biologi dan 

ilmu alam bernama Profesor Van Leinen, sedangkan 

yang muda bernama Simon. Ahli biologi dan ilmu alam 

itu tampaknya hendak melakukan penyelidikan di se-

kitar Kepulauan Aru, sedangkan Simon yang gagah ta-

pi terlihat angkuh merupakan pengawal.

"Aku yakin kita mendarat di tempat yang benar," 

kata Profesor Van Leinen sambil membuka sebuah pe-

ta yang tadi dikeluarkan dari saku bajunya. 

"Enam setengah derajat lintang Selatan, seratus 

tiga puluh empat derajat bujur Timur. Cocok pada pe-

ta," kata Simon setelah memperhatikan peta itu bebe-

rapa saat,

"Bagus! Kita sudah separuh berhasil, Simon. Du-

nia Barat tentu akan gempar oleh hasil ekspedisi kita. 

Luar biasa! Nama kita akan terkenal dan dihormati pa-

ra ahli biologi di seluruh dunia." Sejenak profesor tua 

itu menghentikan ucapannya sambil melepaskan ke-

gembiraan hatinya dengan tersenyum.

"Menurut kapten kapal sahabatku yang di-

perkuat pula oleh keterangan nelayan-nelayan pribumi 

di pulau ini, buruan kita itu berkeliaran di sekitar bu-

kit-bukit itu. Kita tidak mungkin salah lagi." 

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang. 

Prof?" 

"Sekarang adalah waktunya bagi kita untuk isti-

rahat. Kita harus menyusun tenaga untuk memulai 

pemburuan beberapa hari lagi. Suatu perburuan be-

sar."



Kedua orang kulit putih itu melanjutkan perjala-

nan dengan mendaki lereng-lereng bukit cadas. Simon 

mengatakan agar mereka secepatnya memilih tempat 

yang cocok untuk berkemah. Kawan seperjalanannya 

mengangguk setuju, tetapi tiba-tiba Simon menghenti-

kan langkahnya.

"Tunggu dulu. Prof! Naluriku menyatakan bahwa 

ada yang mengikuti kita dari belakang."

"Ah, kau Simon! Itu hanya ilusimu saja. Karena 

kau baru mendarat di sebuah pulau asing, maka sela-

lu mencurigai setiap gemerisik daun-daunan." 

"Mungkin juga. Prof!" sahut Simon agak ketus, 

"Tetapi kau harus mengingat bahwa aku dari pendidi-

kan kepolisian. Firasatku sudah sangat tajam sebagai 

seorang penyelidik!"

Mendengar itu, diam-diam Karta merasa kagum 

juga. Betapa tidak, sejak tadi ia sudah mengerahkan 

ilmu meringankan tubuhnya, namun ternyata laki-laki 

yang dipanggil Simon itu masih sempat mencurigainya. 

Kalau tidak memiliki ilmu pendengaran yang sangat 

tajam, sedikitnya lelaki muda itu pastilah mempunyai 

naluri yang sangat tajam.

"Jangan bergerak!" Tiba-tiba Simon sudah melon-

cat berbalik dan langsung menodongkan pistolnya ke 

arah Karta. "Tetap di tempat dan jangan coba-coba 

menipu kami!" Nada bicara lelaki itu benar-benar men-

gancam dan dari sinar matanya yang mencorong tajam 

dan buas dapat diterka bahwa ia akan betul-betul me-

nembak jika kata-katanya tidak dituruti. Karta tidak 

berani main-main lagi dan sudah bersiap-siap meng-

hadapi segala kemungkinan.

"Lihat, Profesor! Firasatku terbukti, bukan? Pen-

duduk pribumi ini hendak membokong kita. Dia harus 

kita singkirkan!"

"Simon, jangan!" Profesor Van Leinen berteriak


mencegah. Namun sudah terlambat, karena senjata api 

genggam itu sudah menyalak dan jilatan-jilatan api 

mendesing ke arah si Gila Dari Muara Bondet.

Karta terkejut bukan main melihat sambaran ki-

latan api yang mengarah ke tubuhnya. Selama petua-

langannya di dunia persilatan ia sudah sangat sering 

menghadapi senjata rahasia lawan. Tetapi peluru sen-

jata Simon tampaknya jauh lebih cepat dan berbahaya 

lagi. Maka sambil berseru nyaring, ia segera meloncat 

ke samping. Ia dapat mengelakkan peluru yang dilepas 

Simon, tetapi tak urung dadanya berdebar juga karena 

tadi nyaris ia tewas karena senjata lawan. 

"Stop! Jangan menembak, Simon!" Kembali Profe-

sor tua itu berteriak mencegah. Tetapi Simon tampak 

tidak mau perduli lagi. Sebagai seorang yang pernah 

mengikuti pendidikan kepolisian di negerinya dan su-

dah sangat mahir menembak, ia penasaran juga meli-

hat lawan bisa menghindar. Hampir tak dipercaya dia 

bahwa di dunia ini ada orang yang bisa mengelak se-

cepat itu.

"Kali ini tidak akan meleset! Mampus kau, kepa-

rat!"

Kembali terdengar suara tembakan menggelegar 

dan beberapa butir peluru akan menyambar tubuh 

Karta. Namun tak percuma Karta dijuluki si Gila Dari 

Muara Bondet kalau tidak bisa mengatasi ancaman 

seperti itu. Setelah berhasil menghindari terjangan pe-

luru lawan, ia meraup segenggam rumput dan dengan 

mengerahkan segenap tenaga dalam, ia menyambitkan 

rumput-rumput itu ke arah pistol Simon.

Daun-daun itu meluncur dengan kecepatan luar 

biasa sehingga tidak tampak oleh Simon maupun Pro-

fesor tua. Mereka hanya sempat melihat seberkas kilat 

di kegelapan malam dan tahu-tahu pistol di tangan 

Simon sudah terpukul jatuh.


"Hah?" Simon berseru kaget. Ia mencoba melihat 

ke arah mana senjatanya melayang. Namun tiba-tiba ia 

melihat sesosok bayangan berkelebat dan sebelum 

menyadari apa yang telah terjadi, di hadapannya telah 

berdiri Karta sambil menodongkan pistol ke arahnya.

Sungguh luar biasa kecepatan gerak Karta, se-

hingga Simon dan Profesor Van Leinen tidak sempat 

melihat bagaimana caranya pendekar itu memukul ja-

tuh senjata itu kemudian menyambarnya. Tadi mata 

Karta yang tajam bagaikan mata kucing sempat mem-

perhatikan bagaimana cara Simon mempergunakan 

senjata maut itu, dengan demikian biarpun merasa 

agak janggal ia sudah bisa menggunakannya. 

"Jangan coba-coba melawan atau melarikan diri. 

Kalau aku mau sekali pukul saja kalian berdua pasti 

akan tewas. Karena itu sekarang jawab pertanyaanku. 

Apa maksud kalian datang ke mari, hah?"

"E... eh...!" Simon tergagap dengan wajah pucat 

dibasahi keringat dingin. Ia sadar sekali peluru senjata 

itu menyembur, maka nyawanya akan melayang. Tak 

mungkin ia bisa berbuat atau mengelak seperti halnya 

Karta.

"Kalau kalian tidak mau menjawab, kupecahkan

batok kepala kalian dengan senjata ini. Kalian boleh 

percaya, boleh tidak. Tetapi jangan menyesal jika aku 

terlanjut membunuh kalian di sini. Hm, kalian tam-

paknya memilih diam daripada berterus terang. Baik-

lah, akan kuhitung sampai tiga dan jika kalian belum 

juga menjawab jangan harap masih hidup lebih lama 

lagi. Satu... dua... ti...."

"Tunggu!" teriak Profesor Van Leinen dengan wa-

jah pucat pasi, "Jangan tembak kami! Baiklah, kami 

akan bicara terus terang. Kedatangan kami ke pulau 

ini sebenarnya adalah untuk menyelidiki tentang 

adanya manusia kera, yang menurut keterangan


hanya muncul di kala terang bulan. Kami sama sekali 

tidak bermaksud jahat. Harap saudara yang baik hati 

mau memaafkan kami."

"Jangan coba-coba menipuku!"

"Tidak! Aku Profesor Van Leinen dan ini saha-

batku Simon bermaksud menyelidiki manusia yang 

sewaktu-waktu bisa berubah jadi kera, yang di negeri 

kami Eropa juga terdapat. Tetapi para Sarjana Eropa 

saat ini sedang berlomba-lomba menyelidiki kebenaran

itu setelah mendapat petunjuk dari buku-buku kuno."

"Baiklah, orang tua seperti engkau tentu tidak 

akan mau berbohong. Aku percaya pada keterangan 

kalian. Hanya saja, kalian hanya akan menemui keke-

cewaan, karena makhluk seperti itu hanya ada satu di 

kepulauan ini dan itu pun sudah mati kira-kira sebu-

lan yang lalu. Aku sendiri ikut menyaksikannya."

"Ah, tidak mungkin! Makhluk seperti itu tidak 

mudah mati. Ia bisa menderita luka tapi tidak akan 

mati, kecuali jika jantungnya ditembak dengan sebutir 

peluru dari emas murni."

"Baiklah kalau begitu. Karena kalian tidak ber-

maksud buruk, maka pistol ini kukembalikan dan kita 

bisa bersahabat. Mari kubantu kalian mendirikan per-

kemahan."

Karta jelas mempercayai lelaki yang me-ngaku 

bernama Profesor Van Leinen itu, karena sinar mata 

dan sikapnya kelihatan benar-benar tulus, bukan se-

perti si orang muda bernama Simon yang tampaknya 

angkuh. Ia sebetulnya menyadari bahwa manusia kera 

yang dimaksud orang kulit putih itu adalah Wan-Dai-I 

sendiri. Dikatakan bisa berubah sewaktu-waktu men-

jadi kera sebenarnya tidak demikian hanya karena to-

koh sesat itu memang sering mengenakan topeng se-

hingga mirip kera raksasa.

Namun diam-diam, Karta merasa kagum juga


mendengar penuturan profesor tua itu, bahwa si ma-

nusia kera hanya bisa mati jika jantungnya ditembak 

dengan peluru emas murni. Siapa tahu ketika Wan-

Da-I dahulu kala menderita luka-luka sebetulnya be-

lum mati, melainkan hanya menderita luka-luka dan 

karena jantungnya tidak ditembus peluru emas murni, 

ia bisa sehat kembali. Dengan demikian, sedikit ba-

nyaknya, kedua lelaki berkulit putih itu tentu bisa 

membantunya nanti melumpuhkan Wan-Da-I.

Menjelang tengah malam, kemah itu pun ram-

punglah sudah. Profesor tua itu dengan ramah tamah 

mengajak Karta tidur bersama-sama di dalamnya. Na-

mun dengan halus ditolak oleh si Gila Dari Muara 

Bondet dan mengatakan bahwa ia sudah terbiasa hi-

dup di alam terbuka.

Saat itulah Simon mengatakan sesuatu yang te-

rasa sangat menyakitkan perasaan Karta.

"Profesor, mengapa engkau selalu membujuk-

bujuknya? Biarkan saja dia tidur di luar," katanya. 

Agaknya selain karena memiliki sifat congkak, pemuda 

itu pun masih penasaran akan peristiwa barusan di 

mana senjatanya dapat direbut Karta dengan gerakan 

yang sangat cepat.

Karta tidak mau menunjukkan isi hatinya yang 

jelas tersinggung, melainkan tersenyum dan suaranya 

masih tetap terdengar dengan nada bersahabat.

"Jangan terlalu menghiraukan diriku. Seperti 

saya bilang tadi, saya sudah biasa tidur di alam terbu-

ka. Harap Tuan-tuan berdua mau mengerti."

Kemudian Karta tidur di luar, sekitar sepuluh 

meter dari kemah kedua orang kulit putih itu. Sejenak 

ia masih kesal mengingat sikap Simon. Sebagai penda-

tang, pemuda itu seharusnya bersikap sopan, tidak 

seperti itu. Inginlah rasanya Karta mengusir kedua ku-

lit putih itu. Bila perlu dengan cara kekerasan, kalau


pun misalnya mereka melawan, sekali atau dua kali 

pukul saja tentu kedua orang asing itu akan tewas. Te-

tapi ia adalah seorang pendekar yang memiliki hati ta-

bah, selalu mau bersabar sebab bagaimanapun juga, 

bersahabat adalah lebih baik daripada bermusuhan.

Agaknya profesor tua itu pun tidak setuju dengan 

sikap Simon. Sewaktu berbaring di kemah, ia menase-

hati Simon agar bersikap lebih ramah dan sopan kepa-

da penduduk pribumi, karena bagaimana pun jika me-

reka bermusuhan dengan pribumi, misi mereka tentu 

tidak akan bisa berjalan lancar.

Simon tetap saja membantah dan selalu berbica-

ra dengan menyebut-nyebutkan pendidikan kepoli-

siannya. Bagi dia, sikap Karta hanyalah tipuan saja, 

pura-pura bersikap baik, padahal maksudnya adalah 

untuk memperdayai. Cukup lama kedua laki-laki ber-

kulit putih itu berdebat mempertahankan pendapat 

masing-masing, hingga akhirnya Profesor Van Leinen 

tertidur kelelahan.

Ternyata perdebatan itu pun membuat Simon 

semakin penasaran. Kemarahannya semakin memun-

cak dan karena terlalu menurutkan perasaan, ia ak-

hirnya bermaksud membunuh Karta. Setelah merasa 

yakin bahwa profesor tua itu sudah tertidur pulas, ia 

segera bangkit dan mengambil pistolnya, kemudian 

melangkah ke luar kemah.

Matanya segera menatap liar ke arah Karta yang 

sedang tertidur di atas semak-semak berselimutkan

kain sarungnya. Dengan berjingkat-jingkat supaya ti-

dak menimbulkan suara mencurigakan, ia mendekati 

Karta. Setelah tinggal dua langkah lagi, Simon berhen-

ti. Ia menarik nafas sekedar menenangkan perasaan-

nya yang penuh gejolak amarah. "Mampus kau, manu-

sia penipu." Hatinya memaki geram. Perlahan-lahan, ia 

menarik pelatuk senjatanya dan beberapa saat kemu


dian terdengarlah suara ledakan sebanyak tiga kali. 

"Dor! Dor! Dor!"

Simon tersenyum puas. Tetapi ketika ia menarik 

kain sarung itu ia berteriak kaget bahkan sempat me-

loncat mundur, seakan-akan tak percaya pada pengli-

hatannya sendiri. Ternyata di dalam bungkusan kain 

sarung itu hanyalah sebatang kayu serta daun-daun 

kering.

"Hah? Kosong? Bangsat!" bentak Simon tak sa-

dar.

Sebelum ia bisa menguasai perasaan, tiba-tiba 

sebuah bayangan berkelebat cepat sekali dan langsung 

menghantam punggungnya.

"Buk!"

Tubuh Simon terpelanting hampir sepuluh meter. 

Untung ia seorang pemuda yang memiliki tubuh kuat. 

Kalau tidak, sedikitnya ia akan pingsan menerima pu-

kulan sekuat itu. Karta yang memukulnya dengan ge-

ram. Tadi pendekar gagah perkasa itu sudah sempat 

berbaring di atas semak-semak berbantalkan sebatang 

kayu yang cukup besar. Tapi karena firasatnya mem-

bisikkan bahwa Simon akan berbuat jahat padanya, 

maka ia tetap waspada. Apalagi ketika ia melihat Si-

mon melangkah ke luar kemah secepat kilat ia melon-

cat ke balik semak-semak setelah terlebih dulu mem-

bungkus batang kayu tadi dengan kain sarungnya. Tak 

terkatakan betapa marahnya pendekar itu melihat Si-

mon menembak batang kayu itu. Seandainya ia tidak 

waspada tadi, tentu ia sudah mati diterjang peluru-

peluru senjata Simon.

Sungguh suatu sikap yang tidak bisa dimaafkan

begitu saja! Dengan pikiran seperti itu, Karta pun sege-

ra meloncat dari tempat persembunyiannya dan lang-

sung menghajar Simon. Masih untung ia tak menge-

rahkan segenap tenaga dalamnya, sehingga Simon ma


sih dapat bernafas walaupun dengan tulang punggung 

retak menimbulkan rasa yang sangat nyeri.

"Kurang ajar! Manusia seperti kau harus diberi 

pelajaran!" kata Karta geram. Secepat kilat ia menarik 

krah baju Simon dan sekali menggerakkan tangan, tu-

buh itu pun terangkat dan langsung dibantingkan se-

kuat tenaga. Simon menjerit tertahan, karena tiba-tiba 

saja ia merasa. kerongkongannya tersumbat dan pan-

dangan matanya pun berkunang-kunang. Ia hendak 

memaki, namun tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat 

kembali, kemudian dilemparkan dari atas tebing se-

hingga jatuh berguling-gulingan ke bawah.

Setelah meloncat ke bawah, ia mengangkat tubuh 

Simon tinggi-tinggi kemudian dibantingkan lagi. Sete-

lah itu, ditariknya rambut pemuda itu dengan kasar 

dan tinjunya pun melayang tepat menghantam mulut. 

Terdengar suara gemeretak ketika empat buah gigi Si-

mon copot mengeluarkan darah segar.

"Aku paling tidak suka melihat lelaki pengecut 

seperti kau. Kini apa yang dapat kau lakukan tanpa 

pestolmu itu? Ayo, bangun! Kau harus diberi pelajaran

yang lebih hebat lagi agar kepalamu yang penuh akal 

busuk itu lebih dingin. Ayo, berendamlah di situ sam-

pai pikiranmu bersih kembali!" Karta melemparkan tu-

buh Simon ke dalam air laut.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Simon berusaha 

bangkit agar tidak kehabisan nafas. Namun dengan 

kasar, Karta menginjak tengkuknya sehingga kembali 

tubuhnya terbenam. Tentu saja Simon gelagapan dan 

berusaha meronta sekuat tenaga, tetapi ia tak berdaya 

sama sekali. Kaki Karta tak ubahnya sebongkah batu 

besar yang beratnya ribuan kilo.

Tanpa bisa dicegah, air laut pun makin banyak 

masuk ke dalam perut Simon. Ia sudah hampir tak sa-

darkan diri ketika Karta mengangkat tubuhnya, se


hingga pemuda itu dapat menarik nafas. Tetapi hanya 

beberapa saat kemudian, tubuhnya sudah dibenam-

kan kembali. Demikianlah berulang-ulang, sebab mak-

sud Karta sebenarnya adalah membuat Simon sampai 

pingsan.

Akan tetapi dari arah perkemahan terdengar sua-

ra tembakan. Karta terkejut dan menghentikan tinda-

kannya terhadap Simon. "Agaknya telah terjadi sesua-

tu di atas. Mari ikut aku. Lain kali kau akan mendapat 

perlakuan yang lebih manis lagi jika masih berani 

main-main denganku!"

Sambil menarik tubuh Simon yang hampir tidak 

berdaya lagi, si Gila Dari Muara Bondet mendaki teb-

ing. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan profesor tua 

itu telah diseret segerombolan laskar ke luar kemah 

dan puluhan tombak telah ditodongkan di leher dan 

dadanya.

Laskar itu ternyata dipimpin Pampani sendiri, 

kebetulan saja mereka mendengar suar mencurigakan 

ketika sedang dalam perjalanan ke luar untuk mencari 

Karta. Sambil mengendap-endap, mereka mendekati 

kemah itu dan langsung menyerbu. Dalam keadaan 

gugup profesor tua itu sempat melepaskan tembakan 

secara serampangan dan tidak melukai laskar! Namun 

sekali gebrak saja, Pampani sudah memukul jatuh 

senjata di tangan laki-laki asing itu. 

"Jawab pertanyaanku! Apa maksudmu menyusup 

ke daerah kekuasaan kami tanpa ijin hah? Apakah kau 

utusan orang-orang kumpeni Belanda? Cepat jawab! 

Apa hubunganmu dengan penjualan mutiara-mutiara 

Maleang Pangaru, hah?"

"Kalau tidak mau jawab, cincang saja tubuhnya. 

Biar tahu rasa dia!" kata si Kaki Tunggal tak sabar lagi.

"Aku... aku tak mengerti maksud kalian. kata 

profesor tua itu dengan wajah pucat pasi


"Sungguh! Aku tidak tahu mutiara apa maksud 

Tuan-tuan."

"Bagus! Seperti yang kuduga kau pasti akan ber-

bohong. Itu berarti riwayatmu akan berakhir sampai di 

sini."

"Hei, dia datang!" Tiba-tiba si Kaki Tunggal berte-

riak bagaikan kesurupan setan, "Itu si Karta!"

Semua orang yang berkumpul di tempat itu men-

jadi terkejut dan serentak berpaling. Secara berbaren-

gan mereka berseru melihat Karta berjalan ke arah 

perkemahan sambil menyeret seorang lelaki yang juga 

berkulit putih.

Kaget bercampur girang si Kaki Tunggal meloncat 

ke hadapan Karta. Kakinya terlebih dulu melayang ke 

dada Simon hingga terpental ke belakang.

"Ah, Karta! Karta! Jadi... jadi kau masih hidup?" 

ujarnya sambil merangkul bahu pendekar gagah per-

kasa itu erat-erat seakan-akan masih belum percaya 

pada penglihatannya sendiri. Pampani memburu Karta 

dengan perasaan riang gembira. Dalam beberapa hari 

terakhir ini, ia pun sudah sangat cemas memikirkan 

keselamatan adik iparnya itu, sehingga saking girang-

nya ia tidak tahu harus mengucapkan apa

"Harap saudara-saudara semuanya tenang!" kata 

Karta, "Saya tidak apa-apa dan seperti kalian lihat 

sendiri, aku tidak kurang sesuatu apapun juga."

"Kau tidak tahu beberapa hari aku terpaksa sela-

lu berada di laut mencarimu. Begitu juga! Bungoru 

dan yang lainnya!" kata si Kaki Tunggal.

"Maaf, aku telah merepotkan kalian. Tetapi se-

mua itu terjadi di luar kehendak kita semua. Nantilah 

kita membicarakannya. Aku ingin membicarakan ma-

salah kedua orang kulit putih ini. Mereka tidak punya 

hubungan apa-apa dengan penjualan mutiara-mutiara. 

Mereka bahkan dapat membantu kita menyeret si Ma


nusia Kera yang tampaknya masih berkeliaran di ke-

pulauan ini."

"Bagaimana kita bisa mempercayai omong-an 

orang-orang kulit putih ini?" tanya Pampani sambil 

mengerutkan kening.

"Aku sudah membuktikannya sendiri, Pampani. 

Dan akulah yang akan bertanggungjawab atas diri me-

reka."

"Baiklah kalau begitu. Kami percaya sepenuhnya 

kepada saudara Karta. Dan kami sangat gembira kare-

na saudara Karta dalam keadaan selamat. Kepada ka-

lian berdua bangsa kulit putih, kami ucapkan selamat 

datang di negeri kami. Selamat mengadakan penyelidi-

kan. Jika Tuan-tuan memerlukan bantuan tenaga atau 

bahan-bahan makanan, kami akan segera membantu 

dengan segala senang hati. Nah, sekarang kami akan 

kembali ke istana. Selamat malam!"

"Lalu bagaimana dengan kau, Karta?" tanya si 

Kaki Tunggal.

"Untuk sementara aku harus kembali ke luar. 

Besok atau lusa aku akan berkumpul lagi dengan ka-

lian."

"Baiklah! Jaga dirimu baik-baik!" Demikianlah se-

telah laskar yang dipimpin Pampani itu kembali, Karta 

membantu kedua orang kulit putih itu mendirikan ke-

mah yang tadi sempat berantakan diacak-acak. Profe-

sor tua itu berulang kali mengucapkan terimakasih, 

karena tanpa pertolongan Karta, agaknya mereka akan 

mengalami kesulitan, bahkan tidak mustahil sudah 

tewas dibunuh!

Setelah itu, Karta pamitan meninggalkan kedua 

orang asing itu. Dan seperti biasa dilakukannya, ia 

bersemadi di tengah-tengah gempuran ombak laut di 

pantai Laut Arafuru. Kedua tangannya didekapkan di 

dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan, mem

bersihkan pikiran dari segala permasalahan-

permasalahan yang dihadapi.


EMPAT



Sementara itu, di suatu tempat tanah Pulau 

Trangan, Wan-Da-I dan Womere sedang berada di 

ruangan khusus tempat Wori terbaring dalam peti 

mayat. Si manusia ikan hiu itu duduk di kursi yang 

dihiasi ukiran dan permata sehingga mirip singgasana 

raja. Sedangkan Womere berdiri di dekat peti.

"Bangunlah, Wori...!" kata Wan-Da-I dengan pe-

lan, namun terasa suara halus itu mengandung penga-

ruh yang sangat kuat yang se-akan-akan dapat me-

nembus jantung siapa saja yang mendengarnya. Tak 

lama kemudian, pintu peti itu terbuka! Wori bangkit 

dengan gerak kaku sehingga mirip mayat yang baru 

bangkit dari Hang kubur. Langkah kakinya terlihat 

agak kaku ketika melangkah menghadapi Wan-Da-I, 

kemudian mengangguk memberi hormat.

"Daulat, Tuanku!" katanya lalu duduk bersimpuh 

di bawah kaki Wan-Da-I.

"Bagus, Wori! Ternyata kau masih tetap seorang 

pengawal yang sangat setia! Hari ini kau harus memu-

lai tugas yang sangat penting dan tidak boleh gagal. 

Semuanya sudah dipersiapkan. Kapal Belanda telah 

menunggu di pulau Uglo!" Wan-Da-I memberikan kete-

rangan secara singkat, sedangkan Wori yang masih 

duduk bersimpuh mendengarkan dengan penuh per-

hatian. Pulau Uglo yang dimaksudkan itu terletak an-

tara kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar (tidak 

terdapat dalam peta). 

"Daulat, Tuanku!"


"Bagus! Mutiara-mutiara yang harus kau bawa 

sekarang adalah barang kiriman pertama yang harus 

ditukar dengan bahan-bahan peledak atau mesiu serta 

senjata-senjata api dari orang-orang Belanda! Ingat, 

Wori! Misi ini tidak boleh gagal, harus berhasil!"

Besok harinya ketika matahari baru muncul di 

ufuk Timur, sebuah kapal layar bertolak dari sebuah 

teluk yang tersembunyi di Kepulauan Aru, bertolak 

menuju laut lepas. Angin bertiup dari arah Barat se-

hingga layar menjadi terkembang, menambah cepatnya 

laju perahu.

Wan-Da-I dan penasehat utamanya Womere un-

tuk pertama kalinya telah mengirimkan sejumlah mu-

tiara kepada pihak kumpeni Belanda. Kedua belah pi-

hak baru-baru ini telah sepakat untuk melakukan bar-

ter perdagangan, di mana pihak Wan-Da-I memberikan 

mutiara-mutiara sedang kumpeni Belanda menukar-

kan dengan bahan-bahan peledak serta senjata api!

Sungguh jitu perhitungan tokoh sesat itu, sebab 

agaknya ia telah menyadari kekuatan musuh bebuyu-

tannya Pampani yang dibantu sejumlah pendekar dari 

Pulau Jawa. Dengan cara-cara seperti yang selama ini 

ia lakukan, agaknya akan sulitlah baginya meruntuh-

kan kekuasaan musuh. Itulah sebabnya ia memu-

tuskan menjual mutiara-mutiara kepada orang-orang 

Belanda. Dengan mesiu serta senjata api, ia akan lebih 

mudah menghancurkan Pampani, sehingga niat ha-

tinya menjadi penguasa di Pulau Trangan akan berha-

sil baik.

Wori, yang telah dikuasi pikirannya sehingga be-

rubah seperti robot dipercayakan mengawal kiriman 

pertama itu. Wan-Da-I sadar bahwa misi mereka akan 

menghadapi banyak rintangan terutama dari pihak la-

wan yang tidak mustahil sudah mengetahui semua 

rencananya. Jadi kalau Wori yang memiliki kesaktian


tinggi itu mengawalnya, dapat diyakini semua hamba-

tan itu bisa diatasi.

Demikianlah Wori bersama sejumlah anak buah 

Wan-Da-I berlayar mengharungi laut lepas menuju pu-

lau Uglo di pagi yang cerah itu. Di haluan perahu Wori 

berdiri tegak, mengawasi keadaan di sekelilingnya ka-

lau-kalau ada hal-hal mencurigakan. 

Tiba-tiba mata lelaki bertubuh raksasa itu men-

corong tajam. Hidungnya kembang kempis, seperti 

seekor tikus sedang mencium makanan lezat. Ia men-

dengar dan dapat merasakan gerak mencurigakan di 

dalam laut tak jauh dari perahu. Telinganya dira-

patkan ke dinding perahu dengan cara berjongkok. La-

lu beberapa saat kemudian, Pendekar Bumerang itu 

meloncat berdiri dan memanggil anak buah Wan-Da-I.

"Ada gerakan-gerakan halus di dalam air, seperti 

makhluk berkaki empat. Tidak ada ikan yang punya 

ekor empat. Heh, pengawal! Coba pinjam tombakmu!"

Wori kemudian melangkah ke sebelah kanan pe-

rahu. Sambil berteriak:

"Mampus!"

Ia menancapkan tombak itu ke laut. Gerakannya 

sangat cepat, sehingga ia sudah yakin bahwa sekali se-

rang saja, makhluk mencurigakan itu pasti akan kena. 

Namun ia menjadi terkejut manakala merasakan mak-

hluk itu dengan sangat gesitnya melesat ke sebelah ki-

ri.

"Kurang ajar! Dia mengelak!" teriak Wori, mem-

buat para pengawal semakin tegang. Dengan memper-

hatikan gelembung-gelembung udara di atas permu-

kaan air laut, Wori dapat mengetahui ke arah mana 

makhluk mencurigakan itu melesat. Tombaknya kem-

bali melesat bagaikan anak panah.

Ternyata makhluk tersebut adalah si Gila Dari 

Muara Bondet sendiri! Ketika sedang bersemadi di


laut, ia melihat sebuah perahu berlayar di laut lepas. 

Karena merasa sangat curiga, ia segera mengejar den-

gan cara menyelam. Tetapi tak terkatakan betapa ter-

kejutnya pendekar itu ketika menyadari bahwa Wori 

sudah mengetahui keberadaannya. Untunglah ia san-

gat pandai berenang dalam air sehingga dapat menge-

lakkan tusukan-tusukan tombak Wori.

Agaknya Wori menjadi penasaran karena semua 

serangan tombaknya dapat dielakkan musuh. Dengan 

wajah merah padam, ia segera menyambitkan bume-

rangnya. Senjata yang mirip bulan sabit itu meluncur 

cepat sekali dan menyambar dahsyat ke arah kepala 

Karta. 

Karta terkejut bukan main! Pertama karena kepa-

lanya nyaris jadi sasaran senjata lawan dan kedua ka-

rena sama sekali tidak mengira bahwa senjata itu pun 

dapat digunakan di dalam air. Setelah tidak mengenai 

sasaran, bumerang itu kembali meluncur kepada pe-

miliknya.

"Bangsat! Dia berkelit. Yeaaaa!" Wori berteriak 

dengan suara menggelegar bagaikan guntur, sehingga 

para pengawal meloncat kaget saking terkejutnya. Bu-

merang di tangannya kembali meluncur cepat sekali 

menyambar ke arah kepala Karta. Secepat kilat, Pen-

dekar Dari Muara Bondet itu mengangkat tombak yang 

tadi berhasil ditangkapnya untuk menangkis bume-

rang itu. 

"Traaak!"

Tombak itu putus menjadi dua, tetapi bumerang 

tidak berhasil mengenai sasaran sehingga kembali me-

luncur kepada pemiliknya.

Habislah kesabaran Wori karena ia segera me-

nyadari bahwa lawan yang sedang berada di dalam air 

bukan main lihainya. Ia pun segera mempergunakan 

cara lain untuk memaksa lawan bertekuk lutut. Dis


impannya bumerang senjata andalannya. Ia menarik 

nafas dalam-dalam dan menahannya sehingga da-

danya tampak membusung. Sepasang matanya menco-

rong tajam. Lalu ia berteriak: 

"Yeaaaaa!"

Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka me-

lancarkan pukulan jarak jauh ke laut.

Serangkum tenaga pukulan dahsyat menyambar 

dan akibatnya memang luar biasa. Air laut tiba-tiba 

tersibak seperti terbelah sepanjang beberapa meter. 

Semua pengawal yang menyaksikan keadaan itu men-

jadi tersentak kaget dengan mata terbelalak. Beberapa 

di antaranya mengatakan kehebatan Wori itu adalah 

ilmu sihir.

"Brrrrr!"

Air laut kemudian menyatu kembali menimbul-

kan suara dahsyat. Ikan-ikan dan makhluk hidup 

lainnya dalam air menjadi tersedot ke atas. Demikian 

juga tubuh Karta, terasa ditarik tenaga yang sangat 

hebat, sehingga membuatnya tidak berhasil memper-

tahankan diri.

"Astaga! Ilmu iblis!" teriak pendekar itu dalam ha-

ti. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke per-

mukaan air laut. Sebelum bisa menguasai keseimban-

gan tubuh, sebuah serangan dahsyat telah mengan-

cam dadanya.

Sejak tadi Karta sebetulnya sudah mengetahui

bahwa yang menyerangnya adalah Wori sendiri. Dan 

itu membuatnya bertambah kecewa karena sahabat-

nya itu ternyata masih di pengaruhi ilmu sihir lawan. 

Melihat kedua tangan Wori menyambar ke arah dada 

dan lehernya, Karta menjadi terkejut sekali. Angin pu-

kulan itu saja sudah terasa mengandung kekuatan 

dahsyat, apalagi kalau sampai menghantam tubuhnya, 

mungkin akan menjadi remuk redam.


"Ciaaat!" Karta jungkir balik di udara dan puku-

lan Wori pun hanya menerpa angin. Akan tetapi agak-

nya, Pendekar Bumerang itu sudah menduganya, ka-

rena begitu kedua tangannya tidak berhasil melukai 

lawan, kaki kirinya sudah menyambar lagi dengan ke-

cepatan kilat.

"Wori, ingatlah aku adalah temanmu!" teriak Kar-

ta dengan harapan sahabatnya itu tersadar. Namun 

Wori malah tampak semakin beringas dan buas.

"Sudah kuduga pasti kaulah Monyet Gila Dari 

Muara Bondet yang berani main-main denganku. 

Mampus kau!"

Luar biasa hebatnya serangan Wori ini, karena 

selain sangat cepat, juga tidak memberikan Karta ke-

sempatan untuk mendaratkan kakinya. Repotlah pen-

dekar gagah perkasa itu. Ia tak punya kesempatan lagi 

untuk menghindar, maka ia menjulurkan tangan ka-

nannya menangkis tendangan lawan.

"Plak!"

Telapak tangan Karta beradu keras dengan kaki 

kiri Wori. Dan beradunya tangan dan kaki itu mendo-

rong tubuh Karta kembali ke atas, lalu ia bersalto be-

berapa kali ke belakang dan bergelantungan di atas 

layar.

Seketika perahu itu menjadi oleng ke kiri, sehing-

ga pengawal menjadi panik menarik tali-tali layar un-

tuk menjaga keseimbangan. Tetapi Pendekar Bume-

rang tampak tenang saja, dengan mata melotot ia 

menginjak pinggir perahu sebelah kanan sehingga ke-

dudukan perahu itu pun menjadi stabil kembali.

Dua pengawal tidak menyia-nyiakan kesempatan 

itu dan segera mengayunkan tombak-nya ke arah Kar-

ta yang masih bergelantungan di atas layar. Karena ti-

dak menduga akan diserang mendadak seperti itu, 

Karta tidak sempat lagi mengelak. Kedua tombak itu


menembus kulit tubuh di bawah kedua ketiaknya. 

"Aaaaah!" 

Dengan kedua tombak masih lengket di tubuh-

nya, Karta tercebur ke laut. Tubuhnya segera tengge-

lam dipermainkan ombak yang tampak memerah oleh 

darah dari luka di tubuh si Gila.

"Aku yakin dia pasti belum mampus. Tapi bau 

anyir darah itu cukup untuk memancing ikan-ikan 

hiu. Tubuhnya pasti habis tercabik-cabik tanpa seo-

rang pun dapat menolong. Hahaha! Ayo, pengawal! Ki-

ta teruskan perjalanan!" kata Wori sambil menyeringai 

buas.

Perahu kecil itu pun kembali berlayar dengan te-

nang menuju ke Pulau Uglo. Sesekali Wori memberi-

kan perintah dengan suara keras, sehingga terdengar 

bergema sampai puluhan mil jauhnya.

Pada saat itu, Pampani dan Bungoru sedang 

asyik bercakap-cakap dengan tiga pendekar asal Pulau 

Jawa sahabat mereka. Kelima pendekar gagah perkasa 

itu duduk berkeliling di ruang tengah istana memba-

has rencana mereka selanjutnya.

"Saudara-saudara! Bagaimana langkah kita se-

lanjutnya? Kita telah kehilangan seorang pendekar 

tangguh seperti Wori. Dan kita belum dapat menaksir 

kekuatan musuh." kata Pampani.

"Kedudukan kita saat ini memang cukup berba-

haya. Tetapi aku yakin bahwa kita pasti dapat me-

numpas musuh. Ilmu sihir yang mereka gunakan itu 

pasti bisa dilawan dengan kemurnian bathin. Jika di 

antara kita ada yang memiliki ilmu ini, maka kita tak 

akan dapat dipengaruhi ilmu hitam seperti itu!" kata si 

Kaki Tunggal sambil menatap satu per satu sahabat-

nya yang berkumpul di ruangan itu.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya 

Umang.


"Tugas kita sekarang adalah mencari orang yang 

dapat berbuat seperti itu. Ah, sungguh sayang saudara 

Jaka Sembung tidak ada di sini. Aku sendiri tidak 

mampu! Aku tidak dapat menjernihkan bathin dari 

pengaruh-pengaruh luar. Bagaimana pendapatmu, 

Pampani?" 

Percakapan mereka tiba-tiba terhenti ketika pintu 

terbuka dengan kasar dan muncullah Karta berjalan 

sempoyongan dalam keadaan berlumuran darah.

"Pampani," kata Karta dengan suara lirih.

"Astaga! Karta terluka! Apa yang telah terjadi?" 

teriak Umang yang lebih dulu melihat kedatangan Kar-

ta.

"Kau disakiti orang kulit putih itu, ya?" tanya si 

Kaki Tunggal sambil meloncat berdiri dan membantu 

Karta duduk.

"Harap saudara-saudara tenang. Aku tidak apa-

apa, hanya menderita sedikit Iuka, terserempet tombak 

anak buah sahabat kita Wori."

"Hah? Dia lagi!"

"Ya, apa boleh buat! Aku telah gagal mencegah 

keberangkatan Wori menjual mutiara-mutiara itu ke-

pada orang-orang Belanda. Pagi tadi mereka berangkat 

berlayar."

"Wah, kalau begitu kita sudah terlambat! Apa ak-

al kita sekarang? Satu-satunya orang yang mengetahui 

penyimpanan mutiara itu hanyalah Wori sendiri."

Pampani tampak mengerutkan kening, me-mutar 

otak untuk memikirkan apa yang harus mereka laku-

kan. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan berkata 

dengan suara memerintah:

"Bungoru, perintahkan laskar kita untuk men-

guntit dan menyelidiki di mana tempat per-temuan 

Wori dengan kapal kumpeni Belanda. Pilihlah orang-

orang kita yang ahli dalam bidang ini!"


"Daulat, Tuanku!"

Mirah kemudian menggeser duduknya ke dekat 

Karta.

"Karta, sebaiknya lukamu ini segera dirawat! Biar 

kau bilang tadi hanya luka ringan, tapi kita harus me-

rawatnya biar lebih cepat sembuh!"

"Terimakasih, Mirah! Bagaimana keadaan istri 

dan anakku selama kutinggalkan? Selama ini aku sela-

lu mempunyai perasaan tak enak"

"Tak suatu pun terjadi. Coba lihat, di ambang 

pintu sana!"

Karta berpaling. Seketika ia tersenyum melihat 

istrinya Nomina sedang berdiri di ambang pintu sambil 

mengendong putra mereka. Adik perempuan Pampani 

itu pun tersenyum dan dari sinar matanya dapat dili-

hat adanya rasa rindu yang cukup lama dipendam. 

Tanpa memperdulikan rasa sakit di badannya. Karta 

segera berlari ke hadapan Nomina. Dipeluknya dengan 

segenap perasaan, lalu diciuminya putranya tercinta.

"Oh, Nomina istriku. Anakku…!" lirih suara Karta 

dan penuh perasaan. "Apa yang telah terjadi selama 

ini? Aku selalu bermimpi buruk mengenai kalian."

Nomina cuma menggelengkan kepala dengan per-

lahan. Matanya tampak berkaca-kaca dan bibirnya 

bergerak-gerak kaku. Agaknya banyak yang hendak 

diucapkannya, tetapi karena ia seorang wanita bisu, 

hanya sinar matanya yang bisa memancarkan isi ha-

tinya. Sekalipun mulutnya tidak bisa mengucapkan

sepatah kata pun, namun matanya mengatakan bahwa 

ia sangat berbahagia setelah bertemu dengan sua-

minya.

Lama kedua insan suami istri itu terlena dalam 

keharuan dan kebahagiaan, sehingga semua yang ha-

dir di ruangan itu hanya diam saja, seolah-olah ikut 

terlena dalam suasana itu. Perlahan-lahan, Mirah



bangkit dan melangkah ke ruang belakang. Wanita itu 

bersandar lemas pada dinding dan menatap ke luar 

dengan mata sayu. Pertemuan itu, alangkah mesranya, 

kata hatinya sedih.

Terasa benar olehnya betapa Karta dan Nomina 

saling mencintai serta saling pengertian. Dan sebetul-

nya, Mirah dan Umang pun begitu juga, tetapi ada sa-

tu perbedaan menyolok yang seolah-olah membuat ke-

hidupan rumah tangga mereka terasa gersang. Sampai 

sekarang, Umang dan Mirah belum mempunyai anak, 

padahal mereka sudah cukup lama melangsungkan 

perkawinan.

Sekalipun mereka adalah pendekar yang sudah 

sering menghadapi tantangan sehingga mental mereka 

pun sudah sangat kuat, namun keadaan itu tak urung 

memukul perasaan mereka juga. Untunglah selama ini 

Umang dan Mirah tidak mau saling menyalahkan dan 

sedapat mungkin tidak mau membicarakannya. Na-

mun sekarang, melihat Karta dan Nomina berpelukan 

demikian mesranya sembari menggendong putra mere-

ka, rasa sedih itu pun langsung menusuk- nusuk hati 

tanpa bisa dicegah lagi.

Agaknya Umang cukup memahami perasaan is-

trinya. Maka ia pun melangkah menghampiri Mirah. 

Ditepuknya bahu istrinya itu dan dibelainya rambut-

nya, "Mirah, apa yang sedang kau pikirkan?" bisiknya.

"Umang, betapa mesra pertemuan mereka! Ka-

dang-kadang aku iri karena mereka bisa se-mesra itu 

adalah karena sudah mempunyai anak. Tapi kita...."

"Aku mengerti perasaanmu, Mirah!" sela Umang 

sambil berusaha berbicara sewajar mungkin di atas 

hatinya yang tak menentu. "Selama ini kita sudah be-

rusaha, namun barangkali belum waktunya. Sabar sa-

jalah istriku. Mungkin Tuhan belum berkenan membe-

rikan anak pada kita."


"Ah, maafkan aku, Umang! Aku tidak bermaksud 

menyinggung perasaanmu. Sudahlah, sebaiknya kita 

segera bergabung dengan mereka. Tak baik jika mere-

ka melihat kita seperti ini."

"Ah, aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi pa-

damu. Aku sebenarnya masih bisa menahan pera-

saanku sendiri. Tetapi kalau memikirkan perasaanmu, 

aku jadi sedih. Sepertinya aku tidak bisa memberimu 

kebahagiaan."


LIMA



Matahari sudah mulai siang dengan sinarnya 

yang cerah menimpa bumi, seperti sedang mengusap-

usap tanah Kepulauan Aru. Profesor Van Leinen dan 

Simon sudah sejak tadi membenahi perkemahan me-

reka, lalu melanjutkan perjalanan untuk melakukan 

penelitian mereka.

Kedua lelaki berkulit putih itu sedang melintasi 

rawa-rawa berlumpur dan tampaknya cukup berba-

haya jika melewatinya tanpa berhati-hati. Barangkali 

profesor tua itu menyadarinya, sehingga berulang-

ulang memperingatkan sobat mudanya supaya hati-

hati.

"Menurut pengalamanku, dalam rawa-rawa den-

gan air paya-paya seperti ini banyak lubang yang dapat 

menjebak kita. Harap kau hati-hati Simon!" kata profe-

sor tua itu tanpa melirik kepada Simon yang kini se-

dang berjalan di belakangnya.

'"Tak usah khawatir, Profesor! Medan alam yang 

bagaimana pun berbahayanya sudah ku-tempuh da-

lam latihan kemiliteranku. Aku justru mengkhawatir-

kan dirimu."

Sambil mendengus, Profesor Van Leinen meneruskan langkahnya menembus hutan be-rawa-rawa 

menuju bukit yang mereka cari. Tepat seperti yang 

dikhawatirkannya, Simon mendadak menginjak lubang 

dalam rawa. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terjeblos 

hingga sebatas leher.

"Aaaaaah!" Pemuda itu menjerit, sehingga mem-

buat profesor tua itu terkejut. Ia berpaling tapi tidak 

berani bertindak gegabah, sebab dirinya pun tidak 

mustahil mengalami nasib seperti Simon. Pemuda itu 

berusaha ke luar dari lubang rawa-rawa itu dengan ca-

ra meronta-ronta. Celakanya, semakin ia bergerak, ta-

nah yang diinjaknya semakin amblas pula. Dan akhir-

nya pemuda yang sombong itu pun berteriak:

"Profesor, tolonglah aku!" 

"Huh! Apa kubilang tadi?" 

"Aku tak dapat bangun. Beban di punggungku 

sangat berat."

Sambil memberengut dan kadang-kadang terse-

nyum geli, Profesor Van Leinen menarik tangan Simon.

"Apa dalam latihan kemiliteranmu tidak diajar-

kan cara keluar dari lubang semacam ini?" sindirnya. 

"Jangan mengejekku, Profesor. Kau beruntung ti-

dak terperosok. Kalau kau yang mengalami hal sema-

cam ini, tubuhmu akan segera amblas ke bawah kare-

na gembrot."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan 

akhirnya sampai di lereng bukit. Profesor Van Leinen 

mengamati puncak bukit itu dengan teropongnya. Ia 

tampak manggut-manggut, sementara Simon hanya 

memandanginya dengan perasaan dongkol karena pe-

ristiwa di dalam rawa-rawa barusan.

"Kita akan menuju puncak bukit itu. Ku rasa 

menjelang sore kita sudah bisa sampai kemudian 

mendirikan kemah."

"Ya, saya juga memperkirakan demikian. Tidak


terlalu jauh lagi. Tetapi... hei, ada apa di badanku? Pe-

dih!" Tiba-tiba Simon berteriak karena sekujur tubuh-

nya terasa pedih dan sepertinya ada benda licin dan 

menjijikkan bergerak-gerak. Dengan wajah pucat, ia 

meraba badannya sendiri di balik baju. Dan ia kembali 

menjerit ketakutan.

"Hah? Darah! Darah!" Dengan tergopoh-gopoh ia 

melepas ransel di pundaknya, lalu se-cepatnya mem-

buka bajunya. Ternyata sekujur tubuhnya telah di-

tempeli lintah. Beberapa ekor di antaranya tampak su-

dah sangat membesar karena kekenyangan menghisap 

darah Simon.

"Oh, mijn god! Apa itu? Lintah! Lintah penghisap 

darah," seru Profesor Van Leinen sambil memeriksa 

sekujur tubuhnya, takut kalau-kalau lintah itu pun 

sudah merayap di tubuhnya. Tetapi ternyata tidak. 

Agaknya binatang-binatang penghisap darah itu me-

rayap ke tubuh Simon ketika terperosok tadi di dalam 

rawa-rawa.

Dengan terburu-buru profesor itu mengeluarkan

botol-botol obat dari tasnya.

"Tenang, Simon! Engkau adalah seorang militer 

yang hebat. Jangan takut hanya berhadapan dengan 

lintah seperti itu. Minyak in akan mengusir binatang-

binatang rakus itu. Gosokkanlah ke sekujur tubuh-

mu!"

Sambil menggerutu dan terkadang memaki-maki, 

Simon menggosokkan minyak itu. Benar saja, lintah-

lintah itu segera menggelinding jatuh karena bau obat 

gosok yang sangat keras. Barulah Simon merasa lega, 

tetapi tampak masih belum puas karena profesor tua 

itu tidak ikut diserang lintah.

Tepat seperti perhitungan profesor tua itu menje-

lang sore hari mereka telah sampai di puncak bukit. 

Dari atas, keduanya dapat memandang bebas ke ba


wah, ke lembah-lembah yang membujur panjang dis-

elimuti kabut tipis. Pucuk-pucuk pepohonan melam-

bai-lambai seakan-akan sedang mengucapkan selamat 

datang kepada dua orang kulit putih di negeri Kepu-

lauan Aru. Sungguh merupakan suatu pemandangan 

yang sangat indah dan mendatangkan perasaan da-

mai.

Beberapa ekor burung kecil sambil berkicau ter-

bang dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Sebentar 

naik ke puncak bukit, lalu kemudian turun lagi ke po-

hon-pohon di lembah.

"Lihatlah lembah itu, Simon. Sungguh sangat in-

dah."

"Ya, indah sekali, Profesor. Tapi sebaiknya kita 

mendaki lebih ke puncak lagi untuk men-dirikan ke-

mah."

Karena dinding bukit itu terjal, mereka ter-paksa 

menggunakan tali untuk mendakinya. Namun dalam 

hal ini, Profesor Van Leinen juga bisa melakukannya 

dengan baik. Padahal ia sudah tua dan tubuhnya pun 

gemuk. Lain halnya dengan Simon yang masih muda 

dan sudah pernah mengikuti pendidikan kemiliteran, 

sehingga tidaklah terlalu mengherankan jika ia dapat 

mendaki bukit dengan lancar.

Di puncak bukit itu ada semacam kawah yang 

cukup luas. Mungkin dulunya adalah bekas gunung 

berapi yang meletus, demikianlah kedua orang kulit 

putih itu menduga-duga. Mereka segera mendirikan 

kemah di tempat itu.

"Beberapa hari lagi bulan purnama akan mun-

cul." kata Profesor Van Leinen sambil menancapkan 

tiang kemah mereka.

"Berarti kita akan memulai perburuan ini."

"Tepat sekali, Simon!" Keduanya terus tekun 

mendirikan kemah. Tanpa mereka sadari, dua orang


laki-laki sedang mengintai mereka. Entah dari mana 

keduanya datang, tiba-tiba saja telah berada di tempat

itu. Siapa lagi kalau bukan Wan-Da-I dan tukang sihir 

Womere yang tampaknya mempunyai maksud tertentu 

menemui kedua orang kulit putih itu.

Akan tetapi naluri Simon yang sangat tajam sege-

ra berbisik bahwa di belakangnya sekarang ada orang 

lain sedang memperhatikan mereka. Apakah Karta 

sendiri? Hatinya bertanya-tanya! Tetapi rasanya bu-

kan! Atau siapapun yang sedang berada di belakang-

nya patut dicurigai, karena tidak mustahil bermaksud 

jelek terhadap mereka. Maka secepat kilat, Simon me-

nyambar senapannya dan langsung berbalik menga-

rahkan laras senjatanya kepada orang itu.

"Jangan bergerak! Kutembak kalau berani!"

Profesor Van Leinen terkejut bukan main, dan di-

am-diam harus mengakui kewaspadaan Simon. Tetapi 

ia juga khawatir, karena sobat mudanya itu sangat ce-

pat emosi dan memiliki sifat congkak pula, sehingga 

tidak mustahil melukai orang yang belum tentu bersa-

lah.

"Stop, Simon! Jangan tembak mereka. Tunggu 

dulu!"

Dengan tergopoh-gopoh, profesor tua itu melang-

kah menghampiri Wan-Da-I dan Womere. Ia mengang-

guk hormat, walaupun sebetulnya perasaannya kurang 

enak melihat penampilan dua lelaki di hadapannya 

yang tampaknya memiliki niat kurang baik

"Maafkan sahabat muda aku ini, Tuan-tuan. 

Memang ia selalu bersikap curiga terhadap setiap ge-

rak gerik di sekitarnya. Mungkin ia mengira ada bina-

tang buas tadi. Ternyata adalah Tuan-tuan sendiri. 

Harap Tuan-tuan tidak salah paham. Maksud kami ke 

sini hanyalah untuk melakukan penelitian. Untuk itu, 

kami telah mendapat ijin dari Kepala Suku. Kami ingin


menyelidiki dan menangkap manusia kera demi ilmu 

pengetahuan!"

Wajah Wan-Da-I tiba-tiba membeku seperti batu 

karang. Matanya mencorong tajam dan merah sekali 

bagaikan memancarkan api. Sulit diterka kenapa si-

kapnya tiba-tiba saja berubah seperti itu, namun Pro-

fesor Van Leinen dan Simon dapat menerka bahwa la-

ki-laki itu tidak senang mendengar penjelasan mereka.

"Kurang ajar!" bentak Womere geram. "Apa yang 

harus kuperbuat Tuanku? Biar kubunuh saja mereka!" 

"Jangan!" kata Wan-Da-I sambil menarik tangan 

Womere, lalu dengan sikap ramah yang dibuat-buat, ia 

berkata kepada dua lelaki berkulit putih di hadapan-

nya:

"Tuang-tuan telah meminta ijin pada tempat yang 

salah. Kepala Suku Kepulauan Aru adalah aku sendiri. 

Pampani yang kau maksudkan itu tadi adalah pembe-

rontak yang telah merebut kedudukanku dengan cara 

yang sangat keji. Tapi aku akan memberikan ijin dan 

siap membantu kalian berdua menangkap manusia ke-

ra. Sebaliknya kalian berdua pun harus membantu 

kami dengan pikiran-pikiran kalian. Jadi kita menjalin 

hubungan kerjasama yang baik. Aku kira tidak ada sa-

lahnya, bukan?"

"Oh, kalau begitu kami telah salah meminta ijin 

kemarin. Terimakasih, Tuan-tuan atas ke-murahan 

hati kalian kepada kami."

"Bawa mereka, Womere!"

Si Tukang Sihir itu segera bertindak. Mulutnya 

komat kamit sebentar, lalu kemudian kedua matanya 

melotot memancarkan pengaruh yang sangat kuat 

yang seolah-olah menembus relung-relung hati Profe-

sor Van Leinen dan Simon.

"Tatap mataku! Tatap mataku! Hai orang-orang 

kulit putih. Tataplah aku! Ikutlah aku...!"


Tiba-tiba saja profesor tua dan Simon merasa ji-

wanya seperti terbang meninggalkan raga. Mereka me-

rasa kehilangan diri sendiri dan ada suatu kekuatan 

gaib yang telah menyelusup ke dalam pikiran mereka, 

sehingga mereka berubah seakan-akan jadi robot.

Womere kemudian merentangkan kedua tangan 

mengarah kepada kedua orang kulit putih itu. Sua-

ranya terdengar semakin berpengaruh.

"Dengar kata-kataku! Tidur... tidur... tidur-lah 

sepulas mungkin. Tidur! Tidur kataku!" 

Sungguh luar biasa pengaruh ilmu sihir tokoh 

sesat dari Pulau Kolepom ini. Kedua lelaki kulit putih 

itu tiba-tiba saja diserang rasa kantuk yang sangat he-

bat. Hanya beberapa saat kemudian, kepala mereka 

tertunduk, mata ter-pejam. Terdengar pula suara 

dengkuran yang cukup keras. Masih dalam posisi ber-

diri, keduanya tertidur.

"Bagus!" seru Womere girang. "Sekarang melang-

kahlah maju. Turut semua perintahku dan petunjuk-

petunjukku. Berbaliklah!" Kedua orang kulit putih itu 

berbalik seperti sedang bermimpi.

"Bagus! Kalian sudah tunduk padaku! Sekarang 

melangkahlah. Melangkah!"

Profesor Van Leinen boleh jadi mempunyai ilmu 

pengetahuan terutama di bidang biologi dan ilmu alam 

yang sangat tinggi. Seluruh sisa hidupnya ia mengha-

biskan waktunya untuk melanglang buana ke berbagai 

penjuru di dunia ini untuk melakukan penelitian. Ilmu 

pengetahuan baginya lebih dari segala-galanya di-

bandingkan semua yang ada di dunia ini. Dalam pe-

tualangannya melakukan berbagai penelitian ilmiah, 

banyaklah pengalaman yang diperolehnya.

Dan Simon pun boleh bangga atas latihan kemili-

teran yang pernah diikutinya. Naluri detektifnya sangat 

tinggi dan kalau saja ia tidak memiliki sifat congkak,


sudah dapat dipastikan ia akan menjadi seorang ang-

gota militer yang sangat hebat dan patut diteladani 

oleh teman-temannya. Ia pun sudah sering menghada-

pi tantangan, bahkan tidak jarang bercanda dengan 

maut.

Akan tetapi sekarang, kedua lelaki perkasa ber-

kulit putih itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pikiran me-

reka telah dikuasai Womere sehingga semua yang me-

reka lakukan semata-mala hanyalah atas kehendak 

tukang sihir itu. Profesor Van Leinen dan Simon terus 

melangkah sesuai petunjuk Womere. Tak lama kemu-

dian, mereka sampai di tepi pantai.

"Turunlah ke air sekarang! Ayo, turun! Kalian 

akan kubawa ke istana kami yang sangat besar dan 

megah di bawah tanah!"

Menyaksikan hal itu, Wan-Da-I tidak bisa me-

nyembunyikan rasa gembiranya. Demikian mudahnya 

Womere menguasai kedua lelaki berkulit putih itu. 

Sungguh suatu hal yang menakjubkan, sebab ternyata 

ilmu sihir Womere tidak hanya mempan kepada pen-

duduk pribumi, tetapi juga terhadap orang berkulit pu-

tih. Ia bertepuk tangan ketika si Profesor tua dan Si-

mon sudah turun ke pinggir laut.

"Sekarang berenang! Ayo, berenang! Kalian harus 

berenang!" kata Womere dan masih tetap mengarah-

kan kedua telapak tangannya ke arah kedua orang as-

ing itu. Seolah-olah dari telapak tangan itu memancar 

tenaga dahsyat yang sangat jahat. 

Van Leinen dan Simon segera berenang. Gerak-

kan mereka di dalam air sangat ringan dan tangkas, 

seolah-olah keduanya adalah perenang-perenang han-

dal. Padahal selama ini Profesor Van Leinen tak pernah 

bisa berenang, apalagi menyelam. Di sinilah kemudian 

terlihat betapa pengaruh ilmu sihir Womere dapat di-

gunakan sebagai alat untuk membuat orang lain tidak


berdaya.

Seperti dua ekor bebek, dua orang kulit putih itu 

terus berenang, menyeberangi teluk yang cukup luas. 

Wan-Da-I dan Womere hanya memandangnya saja dari 

puncak bukit. Mereka sangat senang, sehingga tertawa 

terpingkal-pingkal.

Dengan nafas terengah-engah karena menyan-

dang pakaian lengkap dan sepatu laras panjang, Profe-

sor Van Leinen dan Simon akhirnya sampai juga ke 

tempat yang dimaksudkan Womere. Sebuah mulut te-

rowongan yang cukup gelap, dipenuhi air, menembus 

bukit-bukit cadas yang kokoh.

"Mari masuk, Tuan-tuan! Kalian adalah tamu ke-

hormatan kami. Karena itu jangan ragu-ragu. Berja-

lanlah terus menyusuri terowongan itu sampai nanti 

kuberikan perintah selanjutnya." terdengar lagi perin-

tah Womere, entah dari mana datangnya, tetapi jelas 

sekali bergema ke segenap ruangan terowongan itu.

Profesor Van Leinen dan Simon tetap menurut 

bagaikan kerbau dicucuk hidung, seolah-olah perintah 

itu datang dari otak mereka sendiri.

"Bagus! Tuan-tuan jangan lurus ke depan. Belok-

lah ke kiri. Ya! Bagus! Terus... terus! Jangan ragu-ragu 

atau takut. Tidak ada apa-apa di sini."

Tubuh kedua laki-laki kulit putih itu sebenarnya 

sudah sangat letih dan sudah berkali-kali hendak ter-

jatuh. Tetapi terasa ada kekuatan gaib yang menopang 

tubuh mereka dan terus memaksa untuk berjalan. Ke-

duanya sekarang mulai memasuki terowongan yang 

airnya sampai sebatas dada. Di sebelah kiri dan kanan 

terlihat tulang belulang serta tengkorak manusia bah-

kan ada di antaranya yang mengambang. Sejenak Pro-

fesor Van Leinen dan Simon merasa ngeri, tetapi suara 

yang langsung menyusup ke jaringan otak mereka 

memerintahkan agar tidak memperdulikannya.


Selama berjalan seperti itu, keduanya tidak per-

nah mengeluarkan suara percakapan, karena seper-

tinya mereka telah melupakan segala-galanya. Hanya 

desah nafas mereka yang terdengar memburu dan ka-

dang-kadang disertai suara rintihan halus.

Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ke atas, seperti 

ada sebuah alat derek yang muncul dari dalam air. 

Alat ajaib yang entah dikendalikan dari mana itu ber-

gerak membawa tubuh keduanya ke pintu jeruji kayu. 

Pintu itu pun terbuka sendiri dan ketika kedua orang 

kulit putih itu sudah berada di dalam, pintu itu tertu-

tup sendiri kembali. Di hadapan mereka sekarang te-

lah berdiri Womere, sedangkan Wan-Da-I duduk santai 

di kursi singgasananya.

"Selamat datang, Tuan-tuan! Kami senang sekali 

melihat kehadiran Tuan-tuan," ujar Womere sambil 

mengamati wajah Profesor Van Leinen dan Simon ber-

gantian. Seulas senyuman tersungging di bibirnya 

yang tebal dan hitam dan karena matanya memancar-

kan sikap buas, senyum itu tampak lebih mirip serin-

gaian. Kedua laki-laki berkulit putih itu hanya me-

mandang Womere dengan tatapan mata kosong dan 

mulut setengah menganga. Si Tukang Sihir manggut-

manggut, lalu menghampiri Wan-Da-I.

"Apa yang harus kulakukan kepada kedua tawa-

nan ini, Tuanku!"

"Bawa mereka ke dalam kamar mutiara dan kau 

bujuk mereka agar dua orang kulit putih itu mau me-

nyumbangkan pikirannya kepada kita."

"Baik, Tuanku!" Womere kembali melangkah 

menghampiri profesor tua dan Simon.

"Tuan-tuan yang terhormat, sekarang Tuan-tuan 

dipersilahkan masuk ke kamar itu."

Tanpa mengucapkan apa-apa, keduanya memba-

likkan badan. Pintu di belakang mereka ternyata su


dah terbuka dan dari dalamnya tampak cahaya terang 

benderang. Womere kembali memberikan perintah agar 

keduanya segera melangkah masuk.

Sekarang Profesor Van Leinen dan Simon berada 

di hadapan cungkup segi empat berisikan tumpukan 

mutiara-mutiara. Di sebelah depannya terdapat se-

buah kanal buatan dan aquarium raksasa berisikan 

puluhan ekor ikan hiu yang tampak hilir mudik me-

nunggu mangsa.

"Cobalah Tuan-tuan naik ke atas cungkup itu! 

Apa yang dapat kalian lihat di dalamnya? Kurasa biji 

mata kalian akan melotot dibuatnya!"

Profesor Van Leinen dan Simon melangkah me-

naiki anak-anak tangga ke atas. Alangkah terkejutnya 

kedua lelaki ini melihat timbunan mutiara, seperti 

tumpukan batu kerikil yang hendak digunakan mem-

bangun gedung saja.

"Oh, mijn god! Mutiara-mutiara tertimbun seba-

nyak ini? Banyak sekali!" kata Profesor Van Leinen 

termangu-mangu.

Womere tertawa terkekeh-kekeh, sangat girang 

hatinya melihat kedua orang kulit putih itu tersentak 

kaget dan tampak seolah-olah tidak percaya pada pen-

glihatannya sendiri melihat mutiara sebanyak itu.

"Betul, Tuan-tuan! Sebagian dari mutiara-

mutiara itu akan kami hadiahkan kepada kalian. Teta-

pi dengan syarat kalian bersedia menyumbangkan ha-

sil-hasil pemikiran teknik dari orang-orang Barat! Kami 

membutuhkan orang-orang seperti kalian untuk 

menggempur pertahanan Pampani si pemberontak itu."

"Aku belum mengerti," kata Profesor Van Leinen 

dengan suara parau.

"Nanti Tuan-tuan akan tahu sendiri. Tapi ingat, 

jangan coba-coba membangkang terhadap perintah-

perintah kami. Taruhannya adalah nyawa Tuan-tuan


sendiri. Sekali orang masuk ke dalam tempat rahasia 

ini, ia tidak akan dapat ke luar dalam keadaan hidup."

"Oh...!"

"Coba lihat pada dinding kaca di belakang Tuan-

tuan!"

Profesor tua itu dan Simon melirik ikan-ikan hiu 

yang hilir mudik dan diam-diam keduanya merasa 

ngeri juga karena mereka menyadari ikan seperti itu 

sangat ganas dan buas.

"Nasib tuan dipertaruhkan pada gigi-gigi runcing 

dari tajam binatang-binatang laut yang sangat ganas 

itu. Ikan-ikan bekas itu sengaja kami buat dalam kea-

daan lapar, sehingga siap menunaikan tugas kapan sa-

ja kami perlukan. Tuan-tuan tentunya tahu betapa ga-

nasnya ikan-ikan seperti itu, tubuh tuan-tuan akan 

tercabik-cabik habis dalam sekejap. Nah, bagaimana 

pendapat kalian?"

Bergidik hati kedua laki-laki kulit putih itu men-

dengarnya. Rupanya penduduk pribumi yang berada di 

hadapan mereka sekarang jauh lebih licik dan kejam. 

Mereka menyadari bahwa ikan-ikan dalam aquarium 

raksasa itu sangat ganas dan buas. Ancaman Womere 

bukan hanya sekedar gertak sambal belaka. Tak berani 

keduanya membayangkan apa jadinya tubuh mereka 

kalau dijadikan santapan ikan-ikan buas itu.

Karena pengaruh sihir itu tidak mempengaruhi

pikiran mereka yang tentu saja atas kehendak Womere 

sendiri, keduanya menjadi ketakutan. Simon menun-

dukkan kepala, namun matanya menatap liar ke seke-

lilingnya untuk melihat jalan ke luar melarikan diri. 

Tetapi ia menjadi putus asa, karena ruangan itu tam-

pak penuh rahasia. Kalau pun bisa lari, belum tentu 

dapat ke luar. Dan laki-laki bengis di hadapannya 

tampaknya bukanlah orang sembarangan, yang tentu 

saja tidak akan mau membiarkan mereka lolos. Simon


menjadi putus asa, lalu berbisik ke telinga Profesor 

Van Leinen agar menerima tawaran Womere.

"Kita terima saja, Profesor daripada kita mati ko-

nyol sebelum ekspedisi kita selesai."

"Kita belum tahu apa yang mereka kehendaki. 

Kalau disuruh membunuh orang, rasanya tidak mung-

kin kita menurutinya," bisik Profesor tua itu yang tam-

paknya sudah mulai bisa menebak maksud musuh.

"Tapi bagaimana kalau tubuh kita dilemparkan 

ke dalam aquarium maut itu?"

"Jangan berbisik-bisik, Tuan-tuan! Percuma saja, 

karena aku bisa mendengarnya. Kalian harus men-

gambil keputusan sekarang. Tak perlu menunggu ter-

lalu lama. Ya atau tidak, kemudian tinggal terima resi-

konya."

Pelan suara Womere, namun kedua tawanannya 

dapat merasakan di balik suara yang pelan dan sikap 

yang dingin itu terkandung sebuah ancaman maut. 

Dan mengambil keputusan terlalu lama akan diartikan 

pula sebagai penolakan. Maka Simon dan ahli biologi 

dan Ilmu alam itu hanya saling pandang.

"Harap Tuan-tuan ketahui, musuh-musuh Kepa-

la Suku Wan-Da-I mempunyai dua jenis kekuatan, 

yakni kekuatan bathin dan kekuatan otak. Untuk ke-

kuatan bathin sudah menjadi bagianku untuk mela-

lapnya. Tetapi untuk kekuatan otak, kuserahkan ke-

pada kalian berdua! Sekarang mari kutunjukkan ka-

mar kegiatanku. Dari dalam kamar inilah aku menja-

lankan kegiatan bathin!"

Womere melangkah ke kamar di sebelahnya me-

lalui pintu semacam lorong sempit. Keadaan di ruan-

gan itu hanya samar-samar saja, namun Profesor Van 

Leinen dan Simon dapat memperhatikan apa saja yang 

ada di dalamnya. Di sudut sebelah kanan ada sebuah 

meja terbuat dari sebongkah batu berukuran sekitar


satu kali dua meter. Di atasnya terdapat beberapa bo-

tol ukuran kecil dan besar berisi cairan yang entah apa 

gunanya. Di dekatnya, terdapat pula beberapa tengko-

rak kepala manusia, yang tampaknya sengaja disim-

pan dalam ruangan untuk maksud tertentu. Agak di 

sebelahnya, ada pula sebuah sangkar berukuran kecil 

berisikan seekor burung hantu berbulu hitam.

Di sudut ruangan yang satu lagi, terdapat pula 

sebuah meja panjang dari kayu dan di atasnya berjejer 

boneka-boneka gabus yang berukuran kecil. Di ujung 

barisan boneka-boneka itu terdapat pula sebuah teng-

korak kepala manusia.

"Ini adalah kamar kegiatanku. Kepada Tuan-tuan

aku bermurah hati menunjukkan dan membawa Tuan-

tuan ke sini. Perhatikan baik-baik semua yang ada di 

ruangan ini. Semoga dengan ini Tuan-tuan dapat 

membawa kenang-kenangan jika sudah kembali ke ne-

geri tuan kelak."

"Oh, mijn god! Aku seperti berada di dalam gua 

Tukang Sihir seperti dalam cerita dongeng Eropa. Ber-

gidik bulu kudukku!" kata Profesor Van Leinen. Ia se-

gera menduga bahwa tengkorak-tengkorak di ruangan 

itu pastilah orang-orang hukuman yang disiksa sampai 

mati lalu tengkoraknya diambil untuk keperluan si tu-

kang sihir. Kalau benar dugaannya, berarti alangkah 

sadisnya laki-laki yang mengajak mereka ke kamar itu. 

Sejenak Profesor Van Leinen melirik Womere, tetapi la-

ki-laki itu tampak tenang-tenang saja, seolah-olah 

menganggap tengkorak-tengkorak itu hanyalah mainan 

belaka.

"Sayang sekali penerangan di sini agak remang-

remang dan itu memang saya sengaja. Sekarang lebih 

dekatlah ke meja yang satu ini, Tuan-tuan."

Setelah kedua tamu atau lebih tepatnya tawa-

nannya itu berada di dekat meja tempat boneka


boneka, Womere berkata:

"Lihat di atas meja itu. Itu adalah boneka-boneka 

gabus yang kubuat mirip dengan musuh-musuh kami. 

Melalui boneka-boneka itu aku bisa berbuat sesuka 

hati sesuai dengan rencana yang telah kuatur untuk 

melaksanakan penumpasan terhadap Pampani. Ba-

rangkali Tuan-tuan sudah pernah melihat orang yang

mirip dengan boneka itu. Cobalah perhatikan lebih 

seksama!"

Profesor Van Leinen dan Simon melangkah lebih 

dekat lagi dan mengamati boneka itu satu per satu.

"Oh, itu Kepala Suku Pampani, tuan Karta dan 

lelaki berkaki buntung. Tapi yang lainnya belum ku-

kenal...." kata profesor tua itu terkejut. Karena otaknya 

memang sangat cerdas serta sudah sangat berpenga-

laman pula, ia segera dapat menduga bahwa boneka 

itu adalah keperluan ilmu-ilmu berbau mistik. Sema-

cam vodoo dari Afrika.

"Selain itu, aku juga telah membuat boneka ga-

bus yang mirip Tuan-tuan. Ini dia!" Womere meletak-

kan dua boneka gabus di atas meja di hadapan kedua 

tawanannya. Profesor Van Leinen dan Simon memper-

hatikan kedua boneka itu.

"Oh...!"

Kedua laki-laki kulit putih itu sama-sama terke-

jut menyaksikan boneka itu sangat mirip dengan me-

reka. Kapan Womere membuatnya dan bagaimana ia 

bisa tahu wajah mereka?

"Untuk apa boneka-boneka itu?" tanya Simon 

dengan dada berdebar-debar.

Womere tertawa terkekeh-kekeh, seolah-olah 

menganggap pertanyaan Simon itu sangat lucu.

"Kalian akan tahu sendiri nanti. Dan sekarang 

aku akan menunjukkan bagaimana caranya boneka-

boneka ini beraksi. Kalian tentu ingin menyaksikan


nya, bukan?"

Profesor Van Leinen dan Simon mengangguk tan-

pa sadar dan menunggu dengan perasaan tegang.

"Baiklah! Kalian memang tamu-tamu yang sangat 

baik. Lihat baik-baik!" Mulut Womere komat kamit se-

jenak dan kedua tangannya di-rentangkan ke arah ke-

dua boneka di atas meja. Sepasang matanya melotot 

memancarkan sinar yang sangat aneh, sehingga diam-

diam Profesor Van Leinen dan Simon yang menyaksi-

kannya bergidik ngeri.

"Hai, bergeraklah! Bergerak! Bergerak...!" kata

Womere setengah mendesis lirih.

Dan ajaib! Boneka-boneka gabus-gabus itu ber-

gerak sendiri saling menghampiri. Akibat atau penga-

ruhnya pun luar biasa! Profesor Van Leinen dan Simon 

saling bertatapan dengan mata melotot dan wajah me-

reka sama-sama merah padam, seolah-olah dua orang 

yang saling bermusuhan dan siap mengadu nyawa.

Sesuai dengan gerak boneka itu, profesor tua dan 

Simon pun ikut bergerak saling menghampiri. Kedua 

boneka gabus itu semakin berdekatan dan bagian ke-

palanya saling membentur seperti wayang kelitik (acel). 

"Buk!"

Pukulan tangan kanan Simon mendarat telak di 

mulut Profesor Van Leinen. Demikian kerasnya tenaga 

pukulan itu, sehingga mulut laki-laki tua itu berdarah 

dan tubuhnya pun terdorong mundur. Itulah refleksi 

dari beradunya bagian kepala kedua boneka gabus 

yang digerakkan oleh Womere dengan ilmu sihirnya.

"God verdom je, Simon! Kurang ajar...!" bentak 

Profesor tua itu geram. Namun mendadak Simon su-

dah menyerangnya kembali dengan melayangkan pu-

kulan tangan kiri ke arah mulutnya. 

Sambil memaki-maki, laki-laki berambut ubanan 

itu menangkis pukulan Simon dengan tangan kanan


nya. Lalu secepat kilat tangan kirinya menyambar da-

da sobat mudanya itu.

"Buk!"

Simon tak sempat mengelak dan ia pun ter-

jengkang sambil merintih kesakitan. Ia pun memaki la-

lu meloncat berdiri dengan tangkas. Kedua tangannya 

dikepalkan dan sepasang matanya menatap liar seperti 

harimau muda yang hendak menerkam mangsa.

Ketika Profesor Van Leinen menerkamnya, Simon 

dengan cepat berkelit ke samping sehingga tubuh laki-

laki tua itu meluncur di sampingnya. Saat itulah kaki 

kiri Simon melayang menghantam perut sahabat tua-

nya. Kembali Profesor Van Leinen terpelanting, tetapi 

tanpa memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, ia bang-

kit lagi.

"God verdom!"

Ia memaki dengan wajah yang tampak semakin 

merah padam. Simon yang tadi sangat kesal karena 

dadanya dipukul dengan sangat telaknya hingga sam-

pai sekarang pun masih terasa sakit tidak mau mem-

berikan lawan kesempatan untuk menyerang. Sebelum 

diterkam, ia sudah lebih dulu menerkam. Agaknya 

pemuda ini pun memiliki ketangkasan berkelahi dan 

tenaga yang cukup besar. Kepalanya menghantam ke 

arah perut Profesor Van Leinen dan ketika lawannya 

itu mengelak, tangan kanannya melayang menghan-

tam mulut Profesor tua.

Demikianlah kedua laki-laki berkulit putih yang 

sebetulnya bersahabat bahkan satu perjalanan itu sal-

ing baku hantam. Mereka berganti-gantian memukul 

lawan dan bergantian pula jatuh terpelanting.

Tanpa mereka sadari, Womere tersenyum-

senyum puas melihat kedua tawanannya itu terlihat 

perkelahian yang seru. Dengan tergopoh-gopoh ia ke 

luar dari ruangan itu, lalu menghampiri Wan-Da-I


yang masih duduk bermalas-malasan di kursi singga-

sananya.

"Ada apa, Womere?" tanya Wan-Da-I agak terke-

jut melihat tangan kanannya itu masuk tergopoh-

gopoh. Ia mengira ada sesuatu hal yang sangat penting 

atau telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, se-

hingga ia segera berdiri dari kursinya.

"Lihat, Tuanku! Di dalam sedang terjadi sesuatu 

yang cukup menarik. Tuan pasti tertarik, hitung-

hitung sebagai hiburan di kala waktu senggang seperti 

ini."

Wan-Da-I yang sudah mengerti betul watak Wo-

mere menjadi tersenyum lega. Berarti tidak ada yang 

perlu dikhawatirkan, bahkan si Tukang Sihir dari Pu-

lau Kolepom itu mengajaknya menonton sesuatu yang 

tentu sangat menarik. Maka ia pun mengikuti Womere 

masuk ke ruangan rahasia itu.

Profesor Van Leinen dan Simon masih bergumul 

seru, saling menindih dan memukul. Agaknya sewaktu 

ditinggalkan Womere tadi, profesor tua itu telah berha-

sil memukul mulut Simon, hingga tampak berlumuran 

darah. Tetapi Profesor Van Leinen pun mengalami hal 

sama, bahkan pelupuk matanya tampak sudah benjol-

benjol membiru.

"Coba perhatikan boneka gabus ini, Tuanku!" bi-

sik Womere ke telinga Wan-Da-I

"Apakah tidak akan terlalu berbahaya terhadap 

mereka?" tanya Wan-Da-I yang tampaknya khawatir 

juga jika kedua tawanan mereka saling membunuh.

"Tentu tidak, Tuanku! Perkelahian mereka hanya 

sampai ke tingkat yang biasa-biasa saja. Paling-paling 

mereka hanya menderita luka-luka memar. Itu perlu 

agar nanti mereka semakin menyadari kekuatan kita. 

Sekarang kita sudah betul-betul bisa menguasai 

mereka Tuanku! Setelah menguasai Wori, tenaga kita


semakin kuat. Sekarang dengan menguasai kedua 

orang kulit putih itu, tenaga pikiran pihak kita pun 

semakin hebat. Si keparat Pampani dan para pendekar 

Pulau Jawa itu tentu tidak akan berdaya lagi. Kita 

hancurkan dan kita basmi sampai ke akar-akarnya!"

"Bagus, Womere! Cara berpikirmu betul-betul he-

bat. Aku yakin dengan adanya kau di sini, maksud ha-

tiku jadi penguasa di pulau Trangan akan segera ter-

capai."

"Tentu, Tuanku! Tidak akan ada lagi yang bisa 

menghalang-halangi kita. Kita sudah memiliki kekua-

tan yang unggul dalam segala-galanya. Kedua kulit pu-

tih itu akan kita paksa dengan cara kita untuk men-

ciptakan bahan peledak dari mesiu yang kita terima 

dari orang-orang Belanda sebagai tukaran mutiara. 

Maka Pampani dan sekutu-sekutunya akan segera 

hancur."

"Ha-ha-ha! Dan dendamku kepada si keparat itu 

pasti akan terlampiaskan!"

Womere kemudian melangkah menghampiri ke-

dua orang kulit putih yang sedang baku hantam itu. Ia 

bertepuk tangan tiga kali dan menyuruh mereka ber-

henti berkelahi.

"Cukup! Cukup! Berhentilah!" teriaknya. dengan 

suara keras dan sangat berpengaruh.

Profesor Van Leinen dan Simon menghentikan se-

rangannya. Kedua laki-laki itu saling pandang seperti 

orang yang baru tersadar dari mimpi buruk. 

"Terimakasih! Terimakasih! Tuan-tuan ternyata 

sudah bisa kami percayai. Bangunlah! Ayo, bangun!"

Profesor tua dan Simon merasa tubuhnya sangat 

lemas dan nyeri terutama di bagian mulut yang masih 

mengucurkan darah. Baru sekarang mereka menyadari 

bahwa keduanya tadi saling menyerang hingga sampai 

babak belur. Ada rasa marah di dalam hati nurani mereka karena merasa dipermainkan. Namun ada pula 

pengaruh yang sangat kuat merasuki pikiran, sehingga 

keduanya merasa tidak mampu melakukan apa-apa.

Diam-diam keduanya mengeluh dan menyadari 

bahwa mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman mu-

suh yang sangat jahat. Terasa benar oleh kedua laki-

laki berkulit putih itu bahwa ruangan rahasia itu me-

rupakan sarang iblis, yang diciptakan sebagai sema-

cam pangkalan untuk melakukan perbuatan-

perbuatan jahat di Kepulauan Aru.


                             TAMAT


Setelah berhasil menguasai Pendekar Bumerang 

Wori, tokoh sesat Wan-Da-I dan tukang sihir Womere 

juga menguasai dua orang kulit putih yang hendak 

melakukan penelitian di Kepulauan Aru.

Apakah yang akan terjadi di Kepulauan tersebut? 

Apakah benar-benar akan hancur seperti yang diren-

canakan musuh Pampani?

Tunggu episode berikutnya yang berjudul:

"Kemelut Di Pulau Aru"




Share:

0 comments:

Posting Komentar