RAJA SIHIR DARI KOLEPOM
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Alih Versi Oleh: Danny Situmenang
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau
pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Hujan gerimis sudah mulai mereda, tinggal kecil
dan jarang. sebentar lagi tentu akan berhenti. Di Ti-
mur, sinar matahari mulai menerobos awan, mengusir
dingin. Angin laut berhembus perlahan, seakan-akan
sedang membelai Kepulauan Aru dan segenap isinya,
baik benda hidup maupun benda mati. Terasa benar
angin itu membawa kesejukan, yang bukan saja dapat
menciptakan kenyamanan tetapi juga kedamaian. Pe-
pohonan dan dedaunan hijau tampak me-lambai-
lambai seperti sedang menari riang gembira.
Akan tetapi tak lama berselang, matahari yang
tadi sempat tersembul, kini tertutup lagi oleh awan,
seolah-olah seorang gadis cantik yang sengaja me-
nyembunyikan wajah lantaran merasa malu. Dan ti-
upan angin yang tadi semilir, sekarang berubah jadi,
kencang sekali, sehingga tidak mungkin lagi dinilai se-
bagai suatu salam kedamaian, melainkan terjangan
dahsyat yang ingin merobohkan pepohonan dan apa
saja yang dilewati.
Benar saja, beberapa pohon tumbang, ter-kapar
di bumi seperti prajurit perang yang tewas diterjang
senjata musuh. Keadaan itu layaknya bisikan naluri
alam, bahwa di jagat raya ini tidak hanya kedamaian
yang ada, tetapi juga ketegangan atau permusuhan.
Saling mengaku kekuatan, saling berlomba memenuhi
ambisi. Tidak perduli benar atau salah seolah-olah tia-
da batas lagi antara yang baik dan benar. Langit pun
menangis disertai raungan petir sambung menyam-
bung.
Tampaknya demikianlah adanya suasana di Ke-
pulauan Aru sekarang ini. Kepulauan yang tadinya
aman tenteram itu kini dilanda kepanikan dan permu
suhan dua kelompok, yang senantiasa menganggap di-
rinya benar atau paling tidak selalu menilai dirinya tak
patut disalahkan.
Di Kepulauan tersebut sudah lama berdiri se-
buah kerajaan yang sebetulnya hanyalah ter-diri satu
kelompok suku yang dipimpin seorang Kepala Suku.
Kelompok suku itu terdiri dari beberapa puluh kepala
keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan, yang se-
kelilingnya dipagar tinggi yang semua ujungnya dibuat
runcing, sehingga tidak akan mudah bagi musuh un-
tuk menyelusup ke dalam tanpa diketahui. Apalagi ka-
rena di empat sudutnya dibuat pula semacam menara
pengawas, yang selalu dijaga oleh seorang laskar seca-
ra bergiliran pula.
Di bagian tengah kerajaan itu, dibangunlah se-
buah istana yang jauh lebih besar dan megah diban-
dingkan rumah penduduk. Sekelilingnya pun dijaga
ketat oleh puluhan laskar pilihan, ditambah penjaga di
dalam istana yang tentu saja terdiri dari penduduk
yang lebih kuat lagi. Untuk masuk atau ke luar pemu-
kiman itu, dibuatlah sebuah gerbang berukuran seki-
tar empat meter yang juga tak pernah ditinggalkan
laskar yang ditugasi untuk itu.
Pemimpin kerajaan itu disebut Kepala Suku, bu-
kannya raja seperti sebutan di masa-masa yang lebih
modern kemudian. Akan tetapi kedudukan maupun
kekuasaannya sama seperti raja. Setiap kata yang ter-
lempar dari bibirnya merupakan titah yang tidak boleh
dibantah oleh siapapun, sehingga lebih tepat barang-
kali kalau dikatakan sebagai ultimatum.
Demikian mutlaknya kekuasaan Kepala Suku,
sehingga haruslah dipilih yang paling arif bijaksana.
Sebab kalau tidak demikian, kiranya kerajaan yang di-
pimpinnya akan cepat hancur, karena kekuasaannya
yang boleh dikatakan tiada batas itu.
Beruntunglah penduduk Pulau Aru sebab Kepala
Suku mereka sekarang adalah seorang yang arif bijak-
sana. Tegas bahkan keras, namun selalu bersikap adil
dan jujur. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman
berat, tetapi sangat mencintai rakyatnya. Meskipun ia
tahu kekuasaannya mutlak, ia tak pernah mau be-
tindak sendiri. Selalu terlebih dulu meminta pertim-
bangan atau saran-saran dari para penasehatnya.
Dengan demikian, semua keputusan yang ditetapkan-
nya boleh dikatakan semata-mata adalah kehendak
rakyatnya sendiri.
Nama Kepala Suku itu adalah Pampani, ka-kak
ipar Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
Dahulu, Karta bersama tiga orang sahabatnya yakni
suami istri Umang dan Mirah serta si Kaki Tunggal
Baureksa terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan sa-
habat mereka Parmin si Jaka Sembung sampai seka-
rang belum mereka ketahui di mana berada.
Sewaktu terdampar di pulau itulah Karta berke-
nalan dengan Nomina, adik kandung Pampani. Nomina
yang cantik jelita itu ternyata jatuh cinta kepada Karta
dan karena suatu hal yang tak dapat dielakkan lagi,
maka keduanya kemudian menikah. Walaupun sebe-
tulnya Karta sudah mempunyai istri yakni Ranti, yang
ditinggalkannya di Pulau Jawa. Pasangan suami istri
itu sekarang sudah dikaruniai seorang putra, sehat
dan kuat serta lincah sehingga sangat disukai pendu-
duk di kerajaan tersebut.
Boleh dikatakan, hampir semua penduduk san-
gat menyukai Pampani. Tindak tanduknya hampir tak
bercela sedikitpun jua. Demikian pula halnya Nomina,
istri Karta selalu menunjukkan budi pekerti yang patut
dicontoh.
Akan tetapi kedamaian yang tercipta lewat tangan
Pampani yang arif bijaksana itu tidak terlalu lama da
pat dirasakan penduduk. Itu karena di Pulau Aru telah
muncul seorang tokoh sesat yang sangat berambisi jadi
penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, menum-
bangkan kekuasaan Pampani. Namanya Wan-Da-I,
yang sebetulnya masih mempunyai hubungan keke-
luargaan dengan Pampani.
Ayah Wan-Da-I adalah adik kandung ayah Pam-
pani. Tetapi tokoh sesat itu adalah anak haram, se-
hingga kedudukannya tidaklah dapat diakui. Ayah
Wan-Da-I semasa hidupnya jahat bukan main, tidak
segan-segan membunuh atau menyiksa siapa saja
yang dianggap berani menentangnya. Ilmunya pun
sangat tinggi, sehingga sangatlah sukar mencari tan-
dingannya. Ia dijuluki Iblis Pulau Aru! Nama sebenar-
nya adalah Maleang Pangaru, tetapi sejak sepak ter-
jangnya yang sangat kejam serta sadis seolah-olah
membuat orang lupa akan nama itu, selain julukan Ib-
lis Pulau Aru. Sebuah julukan yang bukan saja menye-
ramkan, tetapi juga bisa membuat bulu roma merind-
ing.
Ada satu keistimewaan tokoh sesat ini, yakni se-
tiap muncul di muka umum, ia selalu mengenakan
semacam topeng ikan hiu. Mukanya ditutupi bagian
kepala ikan, sedangkan bagian tubuh serta ekor ikan
yang terkenal ganas itu memanjang sampai ke lutut
kakinya, melalui punggung. Hal itu membuat wajah-
nya yang menyeramkan hampir tak pernah bisa dilihat
orang banyak. Sedangkan matanya yang selalu menco-
rong tajam dan dingin, menyambar melalui bagian ma-
ta ikan hiu yang sengaja dilobangi sedemikian rupa
sehingga ia bebas melihat ke mana saja seperti layak-
nya orang biasa. Selain Iblis Pulau Aru, Maleang Pan-
garu pun dijuluki pula si Manusia Hiu.
Dalam pertarungan melawan pihak Pampani be-
berapa waktu lalu, tokoh sesat itu bersama seorang
tokoh lainnya yang bernama Pendeta Naomi yang juga
tak kalah jahatnya, tewas terjatuh ke dalam jurang.
Beberapa hari lalu, muncul seorang laki-laki ber-
topeng ikan hiu dan sempat merampas putra Karta
yang masih bayi. Maka gemparlah kerajaan tersebut.
Tokoh sesat Iblis Pulau Aru yang diyakini telah tewas
itu, dikira hidup kembali. Mereka tidak tahu bahwa le-
laki yang muncul itu adalah Wan-Da-I sendiri, yang
sengaja menyamar untuk melumpuhkan dan membi-
kin kacau suasana di istana. Kalau suku yang dipim-
pin Pampani percaya Iblis Pulau Aru dan nenek sihir
Pendeta Naomi sudah hidup kembali, mereka tentu
akan ketakutan. Dengan demikian, akan mudah bagi
Wan-Da-I melumpuhkan kekuatan mereka.
Dalam melaksanakan segala niatnya itu, Wan-
Da-I dibantu seorang raja sihir dari Pulau Kolepom
bernama Womere. Tokoh sesat yang selalu mengena-
kan jubah serba hitam ini memiliki berbagai ilmu hi-
tam yang sangat tangguh, sehingga bisa menguasai pi-
kiran seseorang dan memerintahnya untuk melakukan
apa saja pun sesuai kehendaknya.
Sekarang kedua tokoh sesat itu sedang berbin-
cang-bincang di ruangan rahasia di bawah tanah. Ke-
duanya sedang asyik membicarakan tentang rencana
mereka selanjutnya. Wan-Da-I masih mengenakan to-
peng ikan hiunya dan bicaranya tampak sangat ber-
semangat.
"Bagaimana rencana kita. Apakah sudah beres?"
"Semuanya sudah dipersiapkan, Tuan. Barang-
barang itu telah diangkut ke tempat yang kita renca-
nakan semula."
"Bagus! Lalu bagaimana dengan Pendekar Bume-
rang Wori? Apa kita sudah bisa memakai dia?"
"Siap, Tuan! Saya sudah membuktikannya sendi-
ri. Ia bahkan hampir membunuh ketiga kawannya
sendiri. Suatu jaminan yang tak perlu diragukan lagi."
"Ha-ha-ha!" Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak se-
hingga topeng ikannya bergoyang-goyang, "Bagus! Ba-
gus! Berarti langkah-langkah selanjutnya sudah bisa
kita laksanakan secepat mungkin."
"Tentu, Tuan!"
"Jika barang-barang itu telah sampai ke tangan
pemiliknya, kita akan langsung menerima tukarannya
sesuai keinginan kita. Dan benda-benda ajaib itu pasti
akan menggegerkan seluruh Kepulauan Aru, bagai
dentuman halilintar atau kutukan Dewa dari langit.
Aku akan menjadi penguasa di Pulau Trangan dan se-
kitarnya tanpa seorang pun dapat mencegahnya."
"Saya turut bergembira, Tuan!"
"Bagus! Sekarang aku ingin mencoba berbicara
dengan Wori. Tolong antarkan aku ke sana!"
Womere mengangguk sambil tersenyum. Karena
gigi-giginya besar dan bibirnya pun tebal hitam, se-
nyuman itu tampak lebih mirip seringai buas, bagai-
kan harimau lapar siap menerkam mangsa. Ia mem-
bentangkan kedua tangan mempersilahkan Wan-Da-I
melangkah.
"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu seka-
rang!"
Sambil manggut-manggut penuh kegembiraan,
putra Iblis Pulau Aru itu melangkah diikuti oleh Wo-
mere serta beberapa penjaga yang tampak tak berani
memandang majikan mereka karena sangat segan dan
takut.
Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam
ruangan khusus tempat Wori ditidurkan di dalam se-
buah peti bulat. Panjangnya sekitar tiga meter dan ba-
gian luarnya penuh ukiran dengan warna warni kon-
tras. Ukiran itu sebetulnya cukup indah, tetapi karena
kombinasi warnanya yang sangat kontras menimbul
kan kesan agak menyeramkan, Seolah-olah peti itu
adalah tempat iblis bersembunyi.
Wan-Da-I mengamati peti itu beberapa saat, lalu
sambil menatap Womere, ia berkata:
"Aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Buka
peti itu!"
"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu!" ujar
Womere sambil memberi isyarat agar pengawal mem-
buka peti mati itu. Ketika sudah dibuka dua pengawal,
Womere mengangguk seraya tersenyum ke arah Wan-
Da-I.
"Cobalah Tuan berbicara padanya! Semua-nya
sudah berjalan dengan lancar!"
"Baik!" sahut Wan-Da-I sambil mengarah-kan
pandangan matanya ke wajah Wori.
"Hai, Wori! Apakah kau dengar suaraku? Cobalah
kau katakan siapa aku. Kau pasti kenal dengan suara-
ku. Jawablah!"
Tubuh Wori yang tadinya terbujur kaku di dalam
peti mati dengan kedua tangan dilipatkan di dada, kini
mulai tampak bergerak perlahan-lahan. Kelopak ma-
tanya terbuka dan menatap si Manusia Hiu dengan
sayu. Lalu bibirnya yang tampak kaku itu mengelua-
rkan kata-kata sahutan:
"Tentu. Aku kenal siapa Tuan. Aku siap melaksa-
nakan segala perintah Tuan. Apapun yang akan terja-
di, aku sanggup melaksanakan. Sekarang, besok, lusa
atau kapan saja!"
"Bagus, Wori! Kau betul-betul seorang panglima
yang setia. Aku percaya sepenuhnya padamu!" kata
Wan-Da-I dengan gembira. Benar juga rupanya ucapan
si Raja Sihir dari Kolepom Womere itu. Wori benar-
benar sudah bisa dikuasai dan dapat diperintah mela-
kukan apa saja dan kapan saja tanpa dapat memban-
tah.
Wori, lelaki bertubuh raksasa yang dijuluki Pen-
dekar Bumerang itu sebenarnya adalah sahabat baik
Pampani maupun Karta. Bertahun-tahun ia hidup ber-
sama di lingkungan Kerajaan Pampani. Ia adalah pen-
duduk Benua Kanguru yang sekarang bernama Aus-
tralia. Sama seperti penduduk pribumi di sana, ia pun
sangat mahir menggunakan senjata bumerang, yakni
semacam senjata yang bentuknya seperti bulan sabit
dengan kedua ujungnya yang sangat runcing dan ta-
jam. Senjata itu disambitkan dengan kecepatan kilat
dan jika tidak mengenai sasaran, akan kembali me-
layang kepada pemiliknya.
Pada suatu hari, dalam petualangannya untuk
memperdalam ilmunya yang kelak diharap-kan dapat
digunakan untuk mengusir kaum penjajah Inggris dari
negerinya, ia sampai ke Kepulauan Aru, lalu menjalin
persahabatan dengan Pampani serta para pendekar
Pulau Jawa.
Siapa tahu, ketika sedang menyusup ke dalam
bangunan bawah tanah yang menjadi mar-kas Wan-
Da-I, ia terjebak. Wori tidak dibunuh, bahkan sengaja
dibiarkan hidup dengan tenang. Tetapi berkat keheba-
tan ilmu sihir Womere, lelaki perkasa dan memiliki te-
naga yang sangat kuat itu berubah seperti binatang
jinak atau bahkan seperti boneka. Pikirannya telah di-
kuasai Womere, sehingga bisa diperintah sesuka ha-
tinya. Demikian hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere,
sehingga beberapa waktu lalu, Wori hampir saja mem-
bunuh Pampani serta sahabat-sahabatnya yang lain.
Sewaktu bertarung menghadapi Pendekar Bume-
rang itu, si Gila dari Muara Bondet ter-cebur ke dalam
laut. Si Kaki Tunggal berusaha mencarinya. Ia menye-
lusuri pinggir pantai dan sesekali turun ke laut, na-
mun tubuh Karta telah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Sampai sekarang, si Kaki Tunggal masih terus
mencari Karta. Akan tetapi setelah hampir seharian
melakukan pencarian namun tetap tidak berhasil,
Baureksa akhirnya menjadi putus asa. Ia berdiri mena-
tap hamparan laut yang terbentang di hadapannya.
Rasanya tiada lagi harapan baginya untuk bisa mene-
mukan Karta. Bahkan rasanya mustahil pula pendekar
itu masih bisa menyelamatkan diri setelah begitu lama
berada di dalam laut. Si Kaki Tunggal Baureksa kemu-
dian duduk lesu di pinggir pantai. Tongkatnya yang
pangkalnya bercagak dibiarkan menyentuh air laut,
seolah-olah dengan berbuat demikian ia ingin menya-
takan kepedihan hatinya mengingat nasib Karta.
Lamunan si Kaki Tunggal tiba-tiba buyar, dan ia
menjadi tersentak mendengar suara gemerciknya ge-
lombang laut yang tiba-tiba kacau. Ia segera berdiri
dan memusatkan perhatian. Melihat gerakan air itu,
yakinlah dirinya bahwa di dalamnya sedang bergerak
sebuah makhluk besar. Mungkin ikan, atau siapa tahu
adalah Karta sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara berteriak dan muncul-
lah sesosok mahluk aneh di hadapan Baureksa. Pen-
dekar Kaki Tunggal sempat melangkah mundur karena
sangat terkejut. Di-kucek matanya beberapa kali seo-
lah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri, na-
mun pemandangan di depannya tetap tidak berubah
sedikit pun.
Mahkluk itu bertubuh manusia biasa dan hanya
ditutupi sejenis celana dalam menutupi kemaluannya.
Di kedua tangannya terdapat gelang dari akar-akar
pohon seperti yang biasa dipakai suku di Pulau Aru.
Akan tetapi wajahnya yang luar biasa dengan hidung
yang panjang sekali melengkung ke atas. Rambutnya
tidak ada sama sekali dengan kulit yang sama dengan
wajah, bergaris-garis hitam dan berlobang-lobang.
Seumur hidup si Kaki Tunggal belum pernah melihat
mahluk seperti itu, sehingga timbullah dugaannya
bahwa itu adalah Raja Kodok yang baru muncul dari
dasar laut.
Dugaan si Kaki Tunggal adalah makhluk itu me-
miliki kesaktian luar biasa serta suka memangsa
orang. Siapa tahu kemunculannya sekarang adalah
karena sudah sangat lapar lalu ingin melahap siapa
saja yang ditemukannya. Maka si Kaki Tunggal pun
segera mempersiapkan diri menghadapi segala ke-
mungkinan. Tongkatnya disilangkan di dada dan sepa-
sang matanya mencorong tajam.
Akan tetapi makhluk itu tampak tenang-tenang
saja. Ia kemudian tampak seperti hendak mencopot
kepalanya. Si Kaki Tunggal kembali berseru kaget.
Ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Bungoru
sendiri. Hidung panjang melengkung serta kulit hitam
bergaris-garis itu hanyalah sebuah topeng atau ba-
rangkali alat untuk menyelam, si Kaki Tunggal belum
bisa memastikan.
Bungoru adalah pengawal Pampani yang selain
sangat setia juga memiliki kesaktian yang cukup ting-
gi, terutama karena tenaganya seperti gajah. Hal itu
karena ia memang memiliki tubuh tinggi besar bagai-
kan raksasa dan sejak kecil sudah terbiasa melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat serta rajin pula berlatih si-
lat. Di kerajaan yang dipimpin Pampani, tak seorang
pun yang mampu mengimbangi kekuatan Bungoru se-
lain Wori sendiri.
"Mungkin sesuatu yang sangat tak diinginkan te-
lah terjadi terhadap diri Karta," kata Bungoru sambil
mempermainkan alat selamnya yang ajaib.
"Oh, jadi kau pun mencarinya?"
"Menyesal sekali aku tidak berhasil menemukan
saudara kita itu. Hampir semalam suntuk aku menye-
lam di laut mencarinya atas perintah Pampani. Heran,
entah ke mana tubuhnya lenyap. Padahal biasanya ka-
lau ada yang tenggelam, dalam beberapa jam saja su-
dah bisa kutemukan."
Si Kaki Tunggal yang tadi sempat kaget bagaikan
orang melihat setan di siang bolong, kini menjadi ter-
tawa geli.
"He-he-he. Tapi ngomong-ngomong aku menjadi
geli. Ada-ada saja kau, Bungoru. Pakai apa sih itu? Bi-
kin orang jadi kaget saja. Tadinya kukira kau adalah
Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut mencari
mangsa."
Bungoru pun tertawa tergelak-gelak, terutama
karena tadi dia sempat memperhatikan Baureksa
mundur beberapa langkah dan langsung memasang
kuda-kuda. Tetapi ia pun menjadi maklum, sebab sa-
habatnya itu tentu belum pernah melihat alat menye-
lam hasil ciptaannya yang sederhana namun sangat
bermanfaat.
"Heh, Kaki Tunggal! Dengarkan baik-baik. Tanpa
alat ini, aku takkan mungkin dapat menyelam sema-
lam suntuk. Pipa hawa ini dapat ditarik panjang sam-
pai ke permukaan air, Dengan demikian, aku tetap da-
pat menghirup udara walaupun sedang di dalam air."
"Wan, sialan! Tetapi hebat betul alat menyelam
mu itu. Ternyata biar tubuhmu gendut bagaikan gajah,
otakmu cerdik juga. Rasanya aku ingin mencoba alat
ajaib itu."
"Ah, sudahlah saudara Kaki Tunggal! Sekarang
apa yang harus kita lakukan? Kita sudah berusaha
mati-matian mencari saudara Karta, tetapi hasilnya
nihil. Aku jadi malu pada diriku sendiri, hampir sema-
lam suntuk mencarinya namun tak berhasil."
"Sudahlah, Bungoru! Kita tak perlu terlalu berke-
cil hati. Mungkin sudah takdirnya harus begitu. Wa-
laupun begitu, kita doakan saja se-moga saudara Kar
ta masih selamat. Memang melihat keadaannya, tipis
sekali harapan bahwa dia masih hidup. Tetapi nyawa
manusia ada di tangan Tuhan. Sebaiknya kita pulang
saja dulu ke istana. Biar aku nanti yang menjelaskan
semuanya."
Apa yang diucapkan si Kaki Tunggal memang ada
juga benarnya. Dalam hidup ini banyak sekali kejadian
yang sangat di luar dugaan dan perkiraan. Seperti kata
pepatah, sebelum ajal berpantang mati, maka demi-
kian pula halnya dengan Karta.
Setelah beberapa jam dihanyutkan gelombang
laut dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuh Karta
akhirnya terdampar pada tepi pantai laut. Rambutnya
yang panjang jatuh terurai di atas tanah. Ia tergeletak
dengan posisi tertelungkup, di mana sebatas pinggang
sampai ke kaki masih terbenam dalam air.
Entah berapa lama pendekar gagah perkasa itu
tergeletak dalam keadaan seperti itu, tak seorang pun
tahu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan ia merasakan
nyeri di sekujur tubuhnya. Dadanya pun mulai turun
naik, walaupun belum teratur tetapi telah menunjuk-
kan bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba membuka
kelopak matanya dan baru beberapa saat kemudian
bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan pandan-
gan kabur.
Ternyata sekarang ia sedang berada di dalam se-
buah gua, entah di pantai sebelah mana ia sekarang
berada belum bisa diketahuinya, sebab tempat itu te-
rasa masih sangat asing baginya. Sekilas pandang sa-
ja, ia sudah yakin bahwa selama ini belum pernah
menginjakkan kaki di sana. Ia pun bertanya-tanya,
siapa gerangan yang membawanya ke tempat itu. Bisa
jadi ada yang menyeretnya atau hanya kebetulan saja
terdampar sewaktu dirinya masih tak sadarkan diri.
Lama Karta berpikir-pikir sebelum tiba-tiba ia
menyadari bahwa tubuhnya terasa sudah lebih segar
dibandingkan pada saat ia tercebur ke laut karena dis-
erang Wori secara mendadak. Perlahan-lahan ia bang-
kit dan yang pertama-tama dilakukannya adalah me-
raba-raba dinding batu cadas di tempat itu. Siapa tahu
ada kunci rahasianya! Tetapi tampaknya tidak ada
sama sekali, sehingga makin kuatlah dugaannya bah-
wa terowongan itu adalah buatan alam. Mungkin ka-
rena arus air laut yang deras memukul-mukul sepan-
jang hari, tebing cadas itu akhirnya berlobang mem-
bentuk terowongan.
Walaupun demikian, Karta tidak mau bertindak
sembrono. Sewaktu melangkah menyusuri terowongan
itu, ia tetap berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Kenyataan yang di hadapinya se-
lama berada di Kepulauan Aru adalah banyak sekali
jebakan-jebakan yang sangat sukar ditebak sebelum-
nya.
Sekitar lima meter kemudian, Karta menemukan
banyak sekali tumpukan tulang belulang dan tengko-
rak manusia. Agaknya itu berasal dari dasar laut be-
kas keganasan ikan-ikan hiu, yang kemudian terseret
arus ke dalam terowongan itu. Sadarlah Karta bahwa
selama berada di laut, ia sebenarnya terancam maut
dan rasanya hanya karena pertolongan Tuhan-lah ma-
kanya dirinya selamat.
DUA
Malam sudah tiba, ibukota Pulau Trangan tam-
pak sunyi senyap. Semua penduduknya sudah tertidur
pulas, atau kalaupun masih ada yang terjaga, mung-
kin hanya beberapa orang saja. Di sebelah Selatan
perkampungan penduduk tampaklah sebuah lembah
di kaki bukit-bukit.
Di lembah itu banyak tumbuh pepohonan liar be-
sar dan rimbun. Jarang ada penduduk yang berani
mendatangi lembah itu, karena selain hampir tak ada
yang bisa diambil dari sana kecuali kayu bakar juga
dipercaya penduduk bahwa di situ ada makhluk halus
yang suka mengganggu. Itulah sebabnya sampai saat
itu tidak ada persawahan maupun kebun di sana, wa-
laupun tanahnya sebetulnya sangat subur.
Jika siang hari saja penduduk sudah tak berani,
malam harinya pun tentu tambah takut lagi. Di tempat
itulah dulunya tokoh sesat atau si Nenek Sihir Pendeta
Naomi tewas. Itu sebabnya sebagian besar penduduk
menduga, roh jahat yang suka mengganggu itu adalah
arwah nenek tua itu sendiri.
Akan tetapi sekarang, di tengah malam yang
sunyi senyap dan menyeramkan itu, tampak sesosok
tubuh melangkah menyusuri lembah. Mungkinkah itu
roh halus yang dipercaya penduduk sangat suka
menggoda? Tidak! Dia adalah manusia biasa, seorang
laki-laki yang masih tergolong muda. Usianya paling
sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya yang hanya
ditutupi selembar kain penutup aurat itu tampak tidak
terlalu gemuk, namun tetap tegar penuh otot, pertanda
dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat.
Sepasang matanya dengan alis mata tebal dan hi-
tam tampak mencorong tajam di kegelapan malam, tak
ubahnya mata seekor kucing, jarang sekali berkedip.
Tulang pipinya menonjol, pertanda bahwa dia yang ke-
ras hati dan memiliki sifat kejam. Rambutnya yang ke-
riting dan hitam diikat dengan selembar kain yang di-
beri beberapa buah perhiasan mutiara hingga tampak
berkilauan di timpa sinar rembulan yang redup.
Laki-laki yang tak lain tak bukan adalah: Wan-
Da-I itu melangkah menghampiri dua kuburan dan se
telah dekat, ia segera berlutut memberikan hormat.
Wajahnya yang tadi tampak bengis kini berubah jadi
muram, seperti langit yang disapu mendung. Perlahan-
lahan meluncurlah kata-kata dari mulutnya yang se-
lama ini lebih banyak terkatup mencerminkan keang-
kuhan dan kelicikan.
"Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Oleh kare-
na itu aku telah memindahkan kuburanmu ke lembah
ini."
Sejenak putra Maleang Pangaru itu diam sembari
menyeka air mata yang menggenangi pelupuk ma-
tanya. Kepalanya tertunduk pilu, tetapi kemudian di-
angkat tegak lurus kembali.
"Memang sebaiknya tempat ayah di sini, daripada
harus dikubur dalam makam pengasingan oleh Pam-
pani si keparat itu."
Lalu wajah itu kembali tampak beringas. Sepa-
sang matanya mendorong, merah bagaikan meman-
carkan api. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar dan
diangkat tinggi-tinggi hingga melewati kepalanya.
"Tetapi ayah dan ibu tidak perlu mati pena-saran!
Masih ada aku anakmu yang akan menuntut balas.
Tak seorang pun bisa merenggut nyawaku. Aku bisa
hidup seribu kali. Akan ku-hancurkan si Pampani ke-
parat itu bersama anak buahnya. Akan kuhancurkan.
Itu sumpahku, biarlah arwah ayah dan ibu yang men-
jadi saksi!"
Kemudian Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak me-
nyeramkan, sehingga bergema ke seluruh lembah itu.
Seandainya ada orang lain yang mendengarnya tentu
akan mengira suara itu adalah ketawa iblis sehingga
akan menggigil ketakutan.
"Ha-ha-ha! Akan kumusnahkan mereka semua!"
Saat itulah si Raja Sihir Womere muncul sambil
membawa topeng ikan hiu. Dengan gerakan yang san
gat ringan hingga hampir tak menimbulkan suara, ia
sudah meloncat dan berada beberapa langkah di bela-
kang Wan-Da-I.
"Ingat, Tuanku! Tuan masih dalam penyamaran.
Tuan tampaknya lupa memakai topeng ikan hiu ini un-
tuk mengelabui musuh. Ingat Tuanku! Ini sudah me-
rupakan sebagian dari rencana kita!"
"Oh, kau Womere!"
"Pakailah terus sampai mereka patah semangat
karena gentar. Makin sering melihat kau memakai to-
peng ini, mereka pasti akan percaya bahwa Iblis Pulau
Aru dan Pendeta Naomi telah hidup kembali!"
"Terima kasih, Womere! Kau telah mengingatkan
aku!" Tanpa banyak bicara lagi, Wan-Da-I segera men-
genakan topeng ikan hiu itu.
"Sekarang marilah kita menemui Wori! Pengawal
Tuan yang setia itu telah siap menjalankan perintah
selanjutnya!"
Wan-Da-I mengangguk-angguk, lalu mengikuti
langkah Womere meninggalkan lembah itu. Tampak-
nya laki-laki itu sangat patuh kepada Womere. Hal itu
tidaklah mengherankan, karena sebetulnya orang yang
paling diandalkan dan dipercayainya adalah si Ahli Si-
hir tersebut.
Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang
sejak tadi telah mengintip segala apa yang terjadi di
lembah itu. Mata itu sempat terbelalak saking kaget
mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Wan-Da-
I. Keduanya adalah si Kaki Tunggal dan Bungoru sen-
diri, ketika hendak pulang tadi merasa curiga menden-
gar suara langkah di sekitar lembah itu, lalu mengintip
dari balik pepohonan.
"Hmhhh! Baru terbuka kedoknya! Maleang Pan-
garu dan Naomi memang sudah benar-benar mam-
pus," bisik si Kaki Tunggal.
"Ya, tapi aku heran mengapa Wan-Da-I masih hi-
dup?"
"Mungkin hari itu nyawanya belum mau mening-
galkan raga. Sst, Bungoru! Mereka sudah dekat, kita
cepat! Siap?"
"Siap!"
Kedua pendekar itu segera meloncat dari tempat
persembunyiannya dan langsung menghadang Wan-
Da-I dan Womere. Kedua tokoh sesat yang sama sekali
tidak menduga hal itu menjadi terkejut dan serentak
menghentikan langkah.
"Jangan lari, iblis-iblis tengik! Sekarang kedok
kalian sudah terbuka dan karena kalian bermaksud
meruntuhkan pemerintahan Pampani, maka malam ini
juga kalian berdua harus mampus di tangan kami!"
bentak si Kaki Tunggal sambil mengayun-ayunkan
tongkatnya, sehingga terdengar menimbulkan angin
pukulan yang dahsyat.
"He-he-he! Kalian berdua memang benar-benar
iblis yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini,"
sambut Bungoru dan sambil mengeluarkan bentakan
keras, ia menerjang Womere.
Kedua tangan Bungoru menyambar men-
cengkeram ke arah leher Womere dan ternyata biarpun
bertubuh raksasa, gerakannya sangat cepat, sehingga
lawannya tampak tersentak kaget. Womere berusaha
menunduk, namun sudah terlambat karena kedua
tangan Bungoru telah mencekik lehernya.
"Ekh!" Womere berseru tertahan sambil berusaha
melepaskan cekikan lawan. Namun tangan yang men-
cekik itu seperti jepitan baja saja. Makin ia meronta,
jepitan itu terasa makin kuat, sehingga nafasnya tera-
sa hendak putus.
"Hihhh! Enyah kau tukang sihir dari Pulau Kole-
pom!" bentak Bungoru sambil mendorong tubuh lawan
hingga terjatuh. Tubuhnya yang sebesar kerbau itu
kemudian menindih Womere sementara cekikan len-
gannya pun tidak di-lepaskan, sehingga membuat la-
wan tampak semakin tak berdaya.
"Aaaaaak!" Womere menjerit panjang dengan ma-
ta mendelik. Kepalanya pun terkulai dan tidak berge-
rak-gerak lagi.
Nasib si Topeng Ikan Hiu lebih mengerikan lagi.
Setelah berhasil mengelakkan sambaran tongkat si
Kaki Tunggal, ia terdesak oleh serangan-serangan yang
sangat cepat dan kuat serta mengandung maut. Jurus-
jurus ilmu tongkat si Kaki Tunggal memang luar biasa,
biarpun kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut,
namun gerakannya sangat cepat, sehingga tubuhnya
tampak hanya bayang-bayang saja. Senjata tongkat di
tangannya juga tampak seolah-olah berubah jadi ba-
nyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penju-
ru.
Agaknya kedua pendekar sahabat Pampani itu
sudah menyadari bahwa lawan yang sedang dihadapi
memiliki kesaktian yang tinggi, se-hingga mereka sege-
ra mengeluarkan jurus-jurus maut mereka. Ternyata
dalam waktu singkat keduanya segera dapat mendesak
lawan. Belum sampai sepuluh jurus, ujung tongkat si
Kaki Tunggal menyambar dahsyat ke arah jantung
Wan-Da-I. Begitu cepatnya serangan si Kaki Tunggal,
sehingga si Topeng Ikan Hiu itu tampak tidak sempat
mengelak lagi. Dan ujung tongkat itu pun menancap di
bagian jantung dan tembus sampai ke punggungnya.
Darah segar tersembur disertai jeritan panjang
yang terdengar sampai ke segenap penjuru lembah itu.
Si Kaki Tunggal menyeringai, tetapi ia tampak belum
puas. Dicabutnya tongkat yang tertancap di tubuh la-
wan dan ditancapkannya lagi ke bagian-bagian tubuh
lainnya sampai beberapa kali.
"Orang seperti kau tidak boleh diberi am-pun!"
bentaknya geram. Lalu setelah tubuh Wan-Da-I tam-
pak sudah tercabik-cabik, si Kaki Tunggal berkata ke-
pada Bungoru
"Beres, Bungoru! Bagaimana dengan si Tukang
Sihir itu!"
Bungoru tertawa kecil dan masih tetap menginjak
perut Womere. Ia pun tampak sangat senang dan
bangga, karena dalam waktu yang demikian singkat-
nya dapat membunuh lawan.
"Kepalanya sudah kucopot! Mudah-mudahan tak
ada setan gentayangan lagi," katanya. Dan memang
kepalanya Womere sudah terpisah dari badan, darah
segar masih mengucur deras dari leher yang telah bun-
tung itu. Luar biasa kuatnya tenaga laki-laki bertubuh
raksasa itu, hanya dengan sekali cekikan sudah dapat
memisahkan kepada dari badan.
"Hei, tentu dia akan jadi setan tanpa kepala nan-
ti," teriak si Kaki Tunggal yang diam-diam merasa agak
ngeri juga menyaksikan kesadisan sahabatnya itu.
"Mau jadi setan apa nanti terserah dialah. Seka-
rang apa yang harus kita lakukan?"
"Sebaiknya kau pulang ke istana membawa
bangkai-bangkai ini kepada Pampani dan umum-
kan bahwa kedua tikus inilah yang selama ini menco-
ba mengacau. Aku sendiri masih tetap di sini untuk
mencari jejak Karta. Siapa tahu dia muncul nanti!"
"Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan memban-
tumu mencari sahabat kita itu. Bagai-manapun juga,
kita harus menemukannya, hidup atau mati!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang ter-
tawa dari atas puncak bukit cadas. Suaranya keras
sekali terbahak-bahak, seakan-akan orang itu sedang
menyaksikan sesuatu yang sangat lucu. Akan tetapi si
Kaki Tunggal dan Bungoru yang tadi bercakap-cakap
di lembah menjadi kaget dan merasakan bulu kuduk
mereka meremang mendengar suara ketawa itu berge-
ma ke segala penjuru, sehingga udara di malam hari
itu terasa dipenuhi suara ketawa. Hebatnya lagi, suara
itu mendatangkan hawa dingin dan menusuk-nusuk,
sehingga jantung seakan-akan hendak berhenti berde-
tak.
Si Kaki Tunggal dan Bungoru saling pan-dang,
seperti dua orang yang baru tersadar dari mimpi bu-
ruk. Lalu serentak mereka memandang ke puncak bu-
kit cadas. Nun jauh di puncak itu, di bawah sinar re-
mang-remang rembulan, tampak dua sosok tubuh se-
dang tertawa yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I
dan Womere sendiri.
"Ha-ha-ha! Kalian benar-benar hebat, sejak tadi
bertarung dengan batu-batu cadas. Benar-benar lucu,
dua pendekar hebat ternyata hanya berani melawan
batu. Luar biasa!" suara dari puncak bukit cadas itu
terdengar sangat mengejek, sehingga membuat si Kaki
Tunggal dan Bungoru tersentak.
Secara berbarengan mereka melihat ke tanah di
hadapan mereka. Tubuh Wan-Da-I maupun Womere
yang tadi tergeletak berlumuran darah dalam keadaan
tak bernyawa ternyata sudah lenyap. Sebagai gantinya
di situ tergeletak atau lebih tepatnya berserakan peca-
han-pecahan batu cadas.
Si Kaki Tunggal dan Bungoru boleh merupakan
pendekar yang gagah perkasa dan dikagumi banyak
orang, bahkan Baureksa sendiri sudah kesohor pula di
Pulau Jawa karena kesaktiannya. Namun menghadapi
kenyataan seperti itu, tidak urung mereka terkejut ju-
ga. Tadi jelas sekali mereka bertarung dengan Wan-Da-
I serta Womere dan dengan mudah dapat melumpuh-
kan lawan-lawannya. Tetapi sekarang bagaimana bisa
terjadi kedua musuh mereka itu sudah lenyap dan
bahkan sedang tertawa-tawa atau mentertawakan me-
reka dari puncak bukit cadas?
Bungoru lebih cepat dapat mengerti apa yang se-
benarnya telah terjadi, karena sebagai penduduk pri-
bumi, ia segera bisa mengenali ilmu yang diperguna-
kan lawan.
"Celaka, ternyata mereka telah menggunakan il-
mu sihir yang sangat memuakkan itu. Ku-rang ajar!
Saudara Kaki Tunggal, hati-hati! Itulah ilmu sihir dari
Pulau Kolepom."
"Keparat! Kita serang lagi mereka! Aku tidak ta-
kut!" bentak si Kaki Tunggal sambil bersiap-siap me-
nerjang lawan yang kini masih berada di puncak bukit
batu cadas.
"Ha-ha-ha!" Womere tertawa lagi, "Kenapa kalian
begitu kesal seperti kakek kehilangan tongkat? Hai,
Bungoru yang tolol! Sejak kapan kau mimpi bisa men-
galahkan aku?"
"Bangsat! Hiyaaaaat!" Bungoru sadar bahwa la-
wan yang dihadapi kini sangat hebat dan licik. Tetapi
bukan Bungoru lagi namanya kalau menghadapi lawan
seperti itu sudah gentar. Sejak masa mudanya, ia su-
dah terbiasa menghadapi lawan-lawan tangguh bah-
kan sudah sangat sering bercanda dengan maut. Maka
ia pun segera berteriak nyaring seraya meloncat me-
nerjang lawan.
Si Kaki Tunggal pun tidak mau. tinggal diam. Ia
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang san-
gat tinggi, sehingga tubuhnya melayang bagaikan ter-
bang ke puncak bukit cadas. Tongkatnya diputar cepat
sekali untuk melindungi diri kalau lawan menyerang
secara tiba-tiba dan sekaligus mempersiapkan seran-
gan mautnya. Ia sekarang sengaja menerjang Womere
si Ahli Sihir yang sangat jahat itu.
Setelah berada dalam jarak jangkauan, si Kaki
Tunggal mengayunkan tongkatnya dengan gerakan ki-
lat menyambar leher Womere. Tukang sihir itu berseru
kaget, lalu buru-buru menundukkan badan sehingga
pukulan lawan tidak mengenai sasaran. Akan tetapi
Womere kemudian dibuat kaget setengah mati, karena
ujung tongkat lawan sudah menyambar turun ke arah
ubun-ubunnya. Cepat luar biasa gerakan si Kaki
Tunggal dan sangat kuat pula, sehingga lawan yang
ilmunya biasa-biasa saja tentu akan tewas oleh seran-
gan itu.
"Akh...!" Womere mengeluarkan seruan kaget lalu
meloncat mundur. Akan tetapi ujung tongkat lawan
seperti mempunyai mata saja, selalu mengikuti dan
mengancam dirinya ke sebelah manapun ia mengelak.
Karena puncak bukit cadas itu cukup terjal, akhirnya
Womere tidak dapat mundur lagi karena tubuhnya
tentu akan menggelinding ke bawah. Tampaknya ia tak
menginginkan hal itu, lalu sambil berteriak panjang ia
mencelat ke udara dan ketika tubuhnya meluncur tu-
run kedua tangannya memantul ke arah kepala dan
ulu hati si Kaki Tunggal.
Serangan si Tukang Sihir itu cukup cepat dan
kuat, tetapi si Kaki Tunggal tampak tenang saja, bah-
kan sempat tersenyum mengejek. Ia sengaja tidak se-
gera mengelak dan barulah ketika tangan lawan hen-
dak menyentuh tubuhnya ia berkelit ke samping. Lalu
dengan gerakan kilat ujung tongkatnya menyambar
dahsyat ke arah ulu hati Womere.
"Blesss! Augh!"
Tongkat si Kaki Tunggal dengan telak menghun-
jam di bagian jantung Womere hingga tembus sampai
ke punggung, membuat tukang sihir Kolepom itu men-
jerit kesakitan. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah
dalam keadaan bermandikan darahnya sendiri.
"Mampus kau!" Si Kaki Tunggal memaki geram,
mencabut tongkatnya, lalu mengayunkan ke arah leher
Womere hingga nyaris putus. Kembali darah segar
muncrat membasahi puncak bukit cadas itu.
Begitu pun halnya dengan Bungoru, tanpa perla-
wanan berarti ia sudah berhasil merobohkan Wan-Da-
I. Dan dengan mengerahkan tenaganya yang sangat
besar, ia mencabik-cabik tubuh musuhnya itu sehing-
ga terpisah-pisah menjadi beberapa bagian.
Si Kaki Tunggal sudah hendak berbicara menya-
takan kegembiraan hatinya karena berhasil membu-
nuh lawannya. Tetapi tiba-tiba keduanya menyadari
bahwa pekerjaan mereka kali ini ternyata sia-sia saja
seperti yang pertama tadi. Tubuh Womere dan Wan-
Da-I yang tadi terkapar berlumuran darah, kini sudah
menghilang entah ke mana dan di tempat itu telah
berserakan pecahan-pecahan batu cadas.
"Astaga! Ke mana mereka? Tidak ada be-kasnya
sama sekali!" kata si Kaki Tunggal se-tengah berteriak.
"Sial, kita terkena sihir lagi." gerutu Bungoru ge-
ram.
Kembali terdengar suara tertawa terbahak-bahak
bergema ke seluruh lembah dan puncak bukit cadas
itu. Si Kaki Tunggal dan Bungoru serentak berpaling
dan tampaklah oleh keduanya Womere dan Wan-Da-I
telah berada di puncak bukit cadas yang satu lagi.
"Itu mereka di sana! Sungguh ilmu iblis yang ter-
lalu sukar dikalahkan," kata Bungoru yang tampak
mulai cemas tidak akan dapat mengatasi ilmu sihir la-
wan.
"Jangan putus asa, Bungoru! Ingat, segala yang
batil di alas bumi ini pasti dapat dimusnahkan. Mereka
toh adalah manusia biasa, seperti kita juga. Mereka ti-
dak akan luput atau bisa melepaskan diri dari ajal,"
kata si Kaki Tunggal sambil mempersiapkan tongkat-
nya kembali.
"Apa yang akan kau lakukan, saudara Kaki
Tunggal?"
Si Kaki Tunggal melirik ke arah jurang yang ada
di hadapannya yang merupakan pemisah bukit cadas
tempatnya berdiri dengan bukit tempat Womere dan
Wan-Da-I. Jurang itu tidak terlalu lebar, tetapi keliha-
tannya cukup dalam. Sekali loncat saja, orang yang il-
munya tidak terlalu tinggi tentu akan dapat melewati
jurang itu, apalagi pendekar seperti si Kaki Tunggal.
"Tenanglah, Bungoru! Aku akan meloncati jurang
yang pendek ini, kemudian akan menyerang mereka
secara mendadak. Aku sudah mempersiapkan jurus
mautku untuk menghajar mereka sekali gebrakan!"
"Tunggu, saudara Kaki Tunggal!" kata Bungoru
sambil menarik tangan Baureksa, "Jangan kau laku-
kan itu! Ini pasti tipuan muslihat sihir lagi. Jangan
kau lakukan!"
"Tidak, Bungoru! Aku percaya akan penglihatan-
ku sendiri. Akan kuhajar mereka sampai mampus.
Hiyaaat!" Si Kaki Tunggal berteriak nyaring dan ber-
samaan dengan itu tubuhnya mencelat bagaikan ter-
bang ke bukit cadas tempat Womere dan Wan-Da-I
berdiri sambil tertawa mengejek.
Tongkat di tangan Kaki Tunggal diayunkan den-
gan gerakan kilat menyambar dahsyat ke arah Womere
dan Wan-Da-I. Inilah jurus maut yang merupakan sa-
lah satu inti ilmu silat tongkat si Kaki Tunggal. Keisti-
mewaan jurus itu selain cepat dan kuat, juga memiliki
perkembangan yang sangat tidak terduga-duga dan
dapat dilakukan secara beruntun, sehingga dalam
waktu yang hampir bersamaan dapat memukul roboh
dua orang lawan sekaligus.
"Wuuuuut!" Tongkat itu terus menyambar ke
arah lawan. Namun tiba-tiba si Kaki Tunggal tersentak
kaget karena tiba-tiba tubuh kedua lawannya sudah
lenyap, sehingga tongkatnya hanya memukul angin.
Dan lebih kaget lagi dia ketika hendak menginjakkan
kakinya di bukit cadas itu, ternyata juga sudah lenyap.
Tanpa ampun lagi, tubuh si Kaki Tunggal terhempas
jatuh ke dalam jurang.
Tepat seperti yang dikatakan Bungoru tadi, pe-
mandangan yang ada di hadapan mereka hanyalah
permainan ilmu sihir lawan, di mana mereka seolah-
olah melihat kedua lawan sedang berdiri di atas bukit
cadas, padahal sebenarnya bukit itu tidak ada.
"Aaaaaa!" Si Kaki Tunggal menjerit panjang keti-
ka menyadari bahwa tubuhnya sudah terhempas jatuh
ke jurang di bawah bukit cadas. Ia berusaha menge-
rahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan maksud
kalau terhempas nanti tidak akan terlalu kuat. Berun-
tung sekali dia, karena tubuhnya terhempas tepat ke
dasar jurang yang tanahnya merupakan rawa-rawa
berlumpur.
Si Kaki Tunggal menjerit, kaget dan girang. Tak
disangka dalam keadaan seperti itu dia masih dapat
selamat. Ia tidak menderita luka-luka, selain kulit
pinggangnya yang terasa agak nyeri karena terbentur
lumpur rawa-rawa. Bagi pendekar sakti seperti dia ra-
sa sakit seperti itu tentu tidak ada artinya. Ia segera
berusaha melangkah ke luar dari rawa-rawa itu, akan
tetapi, ia kembali berseru kaget manakala menyadari
semakin banyak bergerak tubuhnya semakin terseret
dan terbenam dalam pasir berlumpur.
Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal bergerak
dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Na-
mun tetap seperti tadi, setiap menggerakkan tubuh-
nya, ia semakin tenggelam hingga sekarang pasir ber-
lumpur sudah sampai ke batas lehernya.
"Saudara Kaki Tunggal, jangan bergerak! Pasir
berlumpur itu akan semakin menelan tubuhmu bila
bergerak. Tenanglah!" teriak Bungoru sambil meluncur
turun dari atas puncak bukit. Ia bagaikan pemain ski
es saja, meluncur di atas kedua tumit kakinya dengan
sangat mengagumkan. Dalam waktu singkat saja, ia
sudah berada di tepi rawa-rawa maut itu.
Pada saat itu, dari puncak tebing di sebelah sana
terdengar lagi suara tertawa bersorak-sorak mengejek.
Siapa lagi kalau bukan si Tukang Sihir Womere dan
Wan-Da-I. Mereka geli menyaksikan si Kaki Tunggal
mengulurkan tongkatnya kepada Bungoru.
"Sedikit lagi, belum sampai saudara Kaki Tung-
gal. Perlahan-lahan, jangan sampai membuat gerakan
mengejutkan. Ulur lagi...." kata Bungoru.
"Ha-ha-ha! Sungguh lucu tingkah mereka, Wo-
mere. Aku geli melihatnya," kata Wan-Da-I
"Sudah pasti mereka tidak akan tertolong, Tua-
nku! Pasir apung itu sangat lembut untuk dipijak. Ba-
gaimana pun tingginya ilmunya, mereka tidak akan bi-
sa selamat dari cengkeraman rawa-rawa itu. Lihat,
akan kubikin lebih lucu lagi!"
Setelah berkata begitu, Womere segera merubuh-
kan bebatuan dari atas puncak tebing dan langsung
berhamburan menggelinding ke arah si Kaki Tunggal
dan Bungoru.
"Pengawal setia Pampani itu harus ikut ter-cebur
ke dalamnya. Biar tahu rasa dia!" teriak tukang sihir
itu dengan suara keras mengatasi hiruk pikuknya pu-
luhan bahkan mungkin ratusan bongkah batu yang
runtuh.
Hujan batu itu meluncur sangat cepat dan kare-
na jumlahnya banyak sekali, Bungoru tidak sempat
mengelak. Tubuhnya terpelanting ketika punggungnya
dihantam sebongkah batu yang sebesar rusa dewasa.
Laki-laki bertubuh raksasa itu masih mencoba berta-
han sambil menghindar ke samping, namun pada saat
itu, bongkahan batu lainnya kembali menghantam da-
danya.
"Aaaaakh!" Bungoru menjerit panjang. Dadanya
terasa nyeri dan tanpa ampun lagi, tubuhnya pun ter-
cebur ke dalam rawa-rawa. Batu-batuan yang menyu-
sul menimpanya membuat tubuhnya cepat terbenam
ke dalam pasir berlumpur, sedangkan si Kaki Tunggal
yang berada di tengah rawa luput dari hantaman hu-
jan batu itu.
"Awas, Bungoru!" teriak si Kaki Tunggal tanpa
sadar. Secara refleks ia hendak meloncat, namun tu-
buhnya malah tambah terbenam. Untunglah ia segera
menyadari bahaya yang mengancam keselamatan ji-
wanya, sehingga tak berani lagi bergerak.
"Wah, hebat sekali permainanmu. Aku benar-
benar puas mempermainkan mereka seperti itu." kata
Wan-Da-I sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Tak percuma Tuanku mengundang aku jauh-
jauh dari Pulau Kolepom. Biarlah mereka merasakan
penderitaan yang sangat hebat sebelum tewas. Tapi
sayang sekali, kita tidak bisa menyaksikan pemandan-
gan yang sangat menarik ini. Waktu kita sangat men-
desak, Tuanku! Sekarang kita harus menemui Wori,
karena se-galanya sudah siap. Tak perlu ragu, kedua
tikus itu pasti akan mampus di sana!"
"Baiklah kalau begitu, Womere. Bagaimana pun
urusan inilah yang paling penting bagi kita."
Kedua makhluk sakti tapi sesat itu berkelebat
bagaikan angin, meloncati bukit-bukit dengan sangat
ringannya, sehingga dalam sekejap sudah menghilang
dalam kegelapan malam.
Melihat kepergian kedua lelaki iblis itu, hati si
Kaki Tunggal agak lega. Akan tetapi karena sadar
bahwa ia dan Bungoru tidak akan mungkin menyela-
matkan diri tanpa bantuan orang lain, maka hatinya
pun cemas juga. Bagaimanapun juga, rawa-rawa ter-
sebut memiliki tenaga sedot yang sifatnya sangat le-
mas, sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan. Hal
itu kembali menyadarkan si Kaki Tunggal bahwa tena-
ga lemas sebetulnya jauh lebih berbahaya daripada te-
naga yang sifatnya keras. Seandainya tubuh si Kaki
Tunggal tertanam di dalam tanah atau bahkan di da-
lam tembok, besar sekali kemungkinan ia akan dapat
menyelamatkan diri. Tetapi sekarang, berada di dalam
rawa yang punya daya sedot dahsyat yang sifatnya lu-
nak ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Mala-
han semakin banyak bergerak, tubuhnya terasa makin
tersedot.
Seorang pendekar gagah perkasa seperti si Kaki
Tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang
di dunia persilatan dan tidak terhitung lagi entah be-
rapa kali menghadapi atau terancam maut, sebenarnya
tidak pernah takut mati. Tetapi kalau caranya sangat
konyol seperti itu, diam-diam hatinya bergidik juga.
Kalau mampus sewaktu bertarung tentu mempunyai
kebanggaan tersendiri, paling tidak akan dianggap to-
koh yang bukan pengecut.
Untunglah saat itu terdengar suara derap lang-
kah kaki disertai suara pembicaraan yang] cukup ra-
mai. Si Kaki Tunggal dan Bungoru sangat girang kare-
na rombongan yang baru muncul di tempat itu adalah
pasukan laskar yang dipimpin langsung oleh Pampani.
"Tolong keluarkan kami dari lumpur iblis ini!" te-
riak si Kaki Tunggal. Sikap pendekar itu tampak
menggelikan, wajahnya kadang-kadang pucat tetapi
sebentar kemudian berubah merah lagi. Hal itu mem-
buat beberapa orang anggota laskar tersenyum terta-
han-tahan dan menduga si Kaki Tunggal sangat takut
berada di dalam rawa tersebut tetapi juga merasa malu
untuk berterus terang. Baru sekarang mereka melihat
pendekar yang sangat sakti dan gagah perkasa itu ke-
takutan!
Pampani segera melemparkan seutas tali ke arah
Kaki Tunggal, lalu setelah ujungnya dipegang erat-erat
oleh pendekar itu, ia berkata:
"Pegang erat-erat, jangan sampai terlepas. Jan-
gan khawatir, kau pasti selamat!"
Dibantu beberapa orang anak buahnya, Pampani
berhasil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal dari rawa
berlumpur itu. Sedangkan yang lain ramai-ramai pula
mengeluarkan tubuh Bungoru yang seperti gajah itu.
"Untunglah kalian segera datang. Kalau tidak...."
kata si Kaki Tunggal tanpa meneruskan ucapannya.
Sejenak ia melirik rawa berlumpur pasir itu. Sean-
dainya ia dan Bungoru terbenam tadi, tentu tidak akan
ada bekasnya dan mereka akan mampus tanpa pernah
diketahui di mana berada.
"Aku sengaja membawa laskar kita untuk menca-
ri saudara Karta. Tetapi tadi kami mendengar suara
mencurigakan di sekitar tempat ini, sehingga dapat
membantu kalian. Aneh, ada apa sebenarnya sampai
kalian tercebur ke dalam rawa-rawa itu?"
"Wah, kami baru saja bertemu dengan...."
"Ah, tidak!" Si Kaki Tunggal cepat-cepat menyela
ucapan Bungoru yang tampaknya sangat bernafsu
menceritakan pengalaman mereka tadi. Akan tetapi si
Kaki Tunggal segera menyadari bahwa di situ cukup
banyak pasukan laskar, karena itu pertemuan mereka
dengan Wan-Da-I serta Womere tidak perlu dicerita-
kan. Nanti nyali laskar itu menjadi ciut dan jika itu
benar-benar terjadi yang rugi adalah mereka sendiri
"Kami kebetulan saja tergelincir dari atas tebing
cadas. Tapi aku sungguh tak menyangka akibatnya
seperti ini. Luar biasa, aku merasa seperti orang lum-
puh saja."
"Syukurlah kalian tidak apa-apa. Lalu bagaimana
dengan saudara Karta? Sebaiknya kita mengadakan
pencaharian lagi. Laskar yang ada di sini sekarang
sengaja kupilih orang-orang yang pintar menyelam. Ki-
ta harus bisa menemukannya!"
"Baiklah, Pampani. Tapi bagaimana dengan Bun-
goru? Tampaknya ia masih tak sadarkan diri dan
menderita luka-luka."
"Tidak apa-apa, tak perlu dikhawatirkan. Seben-
tar lagi dia pasti siuman. Dialah satu-satunya manusia
katak yang betah menyelam berjam-jam lamanya."
"Kasihan dia!"
Pampani cuma menghela nafas panjang, lalu me-
nyuruh beberapa anak buahnya merawat Bungoru.
Dan kepada yang lainnya, ia berkata dengan suara
yang tidak terlalu keras namun penuh wibawa:
"Sekarang kita harus melakukan pencaharian la-
gi. Saudara Karta jatuh di sekitar tempat ini. Kalau ti-
dak terjadi sesuatu yang luar biasa, tubuhnya pasti
masih di sekitar perairan tepi pantai ini!"
Tanpa banyak mengucapkan kata-kata, para
laskar itu pun segera terjun ke laut menyelam mencari
Karta. Sebagian di antaranya berjaga-jaga di tepi pan-
tai sambil memeriksa keadaan di sekelilingnya siapa
tahu dapat menemukan tanda-tanda untuk memper-
mudah mereka melakukan pencaharian.
TIGA
Sementara itu, si Gila dari Muara Bondet masih
duduk termenung di dalam terowongan di pinggir laut.
Ia yakin dirinya sekarang sudah sangat jauh dari tem-
patnya tercebur ke laut. Entah bagaimana sebenarnya
ia bisa selamat dan lebih mengherankan lagi, tubuh
nya terasa segar kembali. Padahal tadinya ia menderita
luka-luka yang sangat parah hingga beberapa kali
memuntahkan darah segar. Ia pun menduga air laut di
sekitar tempat itu mengandung zat-zat penyembuhan
yang mujarab.
Sekarang yang menjadi beban pikirannya adalah
bagaimana ke luar dari tempat itu, dan ke arah mana
ia harus berenang agar lebih cepat bisa kembali ke is-
tana. Ia teringat tulang belulang dan tengkorak manu-
sia di dalam terowongan, berarti kemungkinan besar
terowongan itu tidak jauh dari kandang ikan-ikan hiu.
Maka tanpa pikir panjang lagi, ia segera terjun dan
menyelam cepat sekali di dalam laut.
Karena Karta sejak kecil memang sudah sangat
pintar berenang, dan sekarang tubuhnya terasa jauh
lebih segar, maka tubuhnya pun melesat cepat sekali
bagaikan ikan cucut. Hanya dalam waktu singkat, ia
sudah berhasil menyelam jauh dari terowongan tadi.
Tiba-tiba telinga Karta yang tajam bagaikan alat
pendengaran lintah itu menangkap gerakan-gerakan
mencurigakan di atas permukaan laut, seperti gerak
benda yang sedang meluncur. Entah benda apa ia
sendiri belum bisa menduga. Ketika tubuhnya melun-
cur makin ke atas, suara itu semakin jelas terdengar
olehnya.
Karena ingin tahu benda apa yang mencurigakan
hatinya itu, maka Karta pun segera muncul secara per-
lahan-lahan ke permukaan air laut. Ternyata sebuah
perahu! Entah perahu siapa, namun yang pasti bukan
perahu penduduk pribumi. Bukankah perahu pendu-
duk Kepulauan Aru biasanya selalu memakai cadik?
Tidak seperti perahu yang dilihatnya, selain tak mem-
punyai cadik, bentuknya juga tampak lebih bagus dan
diperlengkapi peralatan yang sangat menarik.
Karta segera menyelam kembali karena tidak in
gin kehadirannya diketahui penumpang perahu itu, te-
tapi diam-diam ia mengikutinya dari jarak yang cukup
dekat. Ternyata perahu itu telah merapat di tepi pan-
tai, di bawah tebing-tebing cadas terjal. Karta pun se-
gera timbul ke permukaan di balik bebatuan agak jauh
dari perahu itu.
Di kegelapan malam, secara samar-samar Karta
dapat melihat penumpang perahu itu. Ternyata hanya
dua orang laki-laki berkulit putih. Tentu saja Karta
terkejut bukan main. Apa gerangan maksud kedua
orang kulit putih itu?
Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, si Gila
mengamati kedua laki-laki itu. Salah seorang di anta-
ranya sudah tua, mungkin berusia sekitar enam puluh
tahun, dengan kepala kelimis di bagian depan, se-
dangkan rambut yang tumbuh di belakang kepala su-
dah memutih dan tumbuh jarang. Tubuhnya gemuk,
namun tampak masih sehat dan kuat, terbukti dengan
langkah kakinya yang masih cukup cepat dan mantap
walaupun di punggungnya tergantung ransel beruku-
ran cukup besar. Laki-laki itu mengenakan kaca mata
tetapi hanya di sebelah mata kanan diikatkan dengan
rantai halus. Kumis dan janggutnya yang panjang dan
agak kurang terurus tampak sudah memutih. Melihat
ciri-cirinya dapat diduga ia datang dari negeri Belanda.
Lelaki berkulit putih lainnya masih muda belia,
paling berusia tiga puluh tahun. Kulitnya putih bersih
dan bentuk wajah yang bulat lonjong sehingga tampak
sangat tampan. Rambutnya yang pendek disisir rapi
dan tubuhnya tegak dan tampak sangat kuat. Sepa-
sang matanya selalu berbinar-binar dan tak henti-
hentinya melirik ke kiri ke kanan, pertanda lelaki itu
memiliki kewaspadaan yang tinggi. Tetapi bisa juga ia
seorang lelaki yang sangat sulit percaya kepada orang
lain dan memiliki sifat sombong. Di pinggangnya ter
gantung sebuah pistol dan di punggungnya, di atas
ransel ia menyandang sebuah senapan laras panjang.
Kedua lelaki berkulit putih itu sama-sama men-
genakan sepatu laras panjang pula, sehingga selalu
menimbulkan suara berdetak-detak jika menginjak ba-
tu-batu cadas.
Laki-laki tua itu adalah seorang ahli biologi dan
ilmu alam bernama Profesor Van Leinen, sedangkan
yang muda bernama Simon. Ahli biologi dan ilmu alam
itu tampaknya hendak melakukan penyelidikan di se-
kitar Kepulauan Aru, sedangkan Simon yang gagah ta-
pi terlihat angkuh merupakan pengawal.
"Aku yakin kita mendarat di tempat yang benar,"
kata Profesor Van Leinen sambil membuka sebuah pe-
ta yang tadi dikeluarkan dari saku bajunya.
"Enam setengah derajat lintang Selatan, seratus
tiga puluh empat derajat bujur Timur. Cocok pada pe-
ta," kata Simon setelah memperhatikan peta itu bebe-
rapa saat,
"Bagus! Kita sudah separuh berhasil, Simon. Du-
nia Barat tentu akan gempar oleh hasil ekspedisi kita.
Luar biasa! Nama kita akan terkenal dan dihormati pa-
ra ahli biologi di seluruh dunia." Sejenak profesor tua
itu menghentikan ucapannya sambil melepaskan ke-
gembiraan hatinya dengan tersenyum.
"Menurut kapten kapal sahabatku yang di-
perkuat pula oleh keterangan nelayan-nelayan pribumi
di pulau ini, buruan kita itu berkeliaran di sekitar bu-
kit-bukit itu. Kita tidak mungkin salah lagi."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.
Prof?"
"Sekarang adalah waktunya bagi kita untuk isti-
rahat. Kita harus menyusun tenaga untuk memulai
pemburuan beberapa hari lagi. Suatu perburuan be-
sar."
Kedua orang kulit putih itu melanjutkan perjala-
nan dengan mendaki lereng-lereng bukit cadas. Simon
mengatakan agar mereka secepatnya memilih tempat
yang cocok untuk berkemah. Kawan seperjalanannya
mengangguk setuju, tetapi tiba-tiba Simon menghenti-
kan langkahnya.
"Tunggu dulu. Prof! Naluriku menyatakan bahwa
ada yang mengikuti kita dari belakang."
"Ah, kau Simon! Itu hanya ilusimu saja. Karena
kau baru mendarat di sebuah pulau asing, maka sela-
lu mencurigai setiap gemerisik daun-daunan."
"Mungkin juga. Prof!" sahut Simon agak ketus,
"Tetapi kau harus mengingat bahwa aku dari pendidi-
kan kepolisian. Firasatku sudah sangat tajam sebagai
seorang penyelidik!"
Mendengar itu, diam-diam Karta merasa kagum
juga. Betapa tidak, sejak tadi ia sudah mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya, namun ternyata laki-laki
yang dipanggil Simon itu masih sempat mencurigainya.
Kalau tidak memiliki ilmu pendengaran yang sangat
tajam, sedikitnya lelaki muda itu pastilah mempunyai
naluri yang sangat tajam.
"Jangan bergerak!" Tiba-tiba Simon sudah melon-
cat berbalik dan langsung menodongkan pistolnya ke
arah Karta. "Tetap di tempat dan jangan coba-coba
menipu kami!" Nada bicara lelaki itu benar-benar men-
gancam dan dari sinar matanya yang mencorong tajam
dan buas dapat diterka bahwa ia akan betul-betul me-
nembak jika kata-katanya tidak dituruti. Karta tidak
berani main-main lagi dan sudah bersiap-siap meng-
hadapi segala kemungkinan.
"Lihat, Profesor! Firasatku terbukti, bukan? Pen-
duduk pribumi ini hendak membokong kita. Dia harus
kita singkirkan!"
"Simon, jangan!" Profesor Van Leinen berteriak
mencegah. Namun sudah terlambat, karena senjata api
genggam itu sudah menyalak dan jilatan-jilatan api
mendesing ke arah si Gila Dari Muara Bondet.
Karta terkejut bukan main melihat sambaran ki-
latan api yang mengarah ke tubuhnya. Selama petua-
langannya di dunia persilatan ia sudah sangat sering
menghadapi senjata rahasia lawan. Tetapi peluru sen-
jata Simon tampaknya jauh lebih cepat dan berbahaya
lagi. Maka sambil berseru nyaring, ia segera meloncat
ke samping. Ia dapat mengelakkan peluru yang dilepas
Simon, tetapi tak urung dadanya berdebar juga karena
tadi nyaris ia tewas karena senjata lawan.
"Stop! Jangan menembak, Simon!" Kembali Profe-
sor tua itu berteriak mencegah. Tetapi Simon tampak
tidak mau perduli lagi. Sebagai seorang yang pernah
mengikuti pendidikan kepolisian di negerinya dan su-
dah sangat mahir menembak, ia penasaran juga meli-
hat lawan bisa menghindar. Hampir tak dipercaya dia
bahwa di dunia ini ada orang yang bisa mengelak se-
cepat itu.
"Kali ini tidak akan meleset! Mampus kau, kepa-
rat!"
Kembali terdengar suara tembakan menggelegar
dan beberapa butir peluru akan menyambar tubuh
Karta. Namun tak percuma Karta dijuluki si Gila Dari
Muara Bondet kalau tidak bisa mengatasi ancaman
seperti itu. Setelah berhasil menghindari terjangan pe-
luru lawan, ia meraup segenggam rumput dan dengan
mengerahkan segenap tenaga dalam, ia menyambitkan
rumput-rumput itu ke arah pistol Simon.
Daun-daun itu meluncur dengan kecepatan luar
biasa sehingga tidak tampak oleh Simon maupun Pro-
fesor tua. Mereka hanya sempat melihat seberkas kilat
di kegelapan malam dan tahu-tahu pistol di tangan
Simon sudah terpukul jatuh.
"Hah?" Simon berseru kaget. Ia mencoba melihat
ke arah mana senjatanya melayang. Namun tiba-tiba ia
melihat sesosok bayangan berkelebat dan sebelum
menyadari apa yang telah terjadi, di hadapannya telah
berdiri Karta sambil menodongkan pistol ke arahnya.
Sungguh luar biasa kecepatan gerak Karta, se-
hingga Simon dan Profesor Van Leinen tidak sempat
melihat bagaimana caranya pendekar itu memukul ja-
tuh senjata itu kemudian menyambarnya. Tadi mata
Karta yang tajam bagaikan mata kucing sempat mem-
perhatikan bagaimana cara Simon mempergunakan
senjata maut itu, dengan demikian biarpun merasa
agak janggal ia sudah bisa menggunakannya.
"Jangan coba-coba melawan atau melarikan diri.
Kalau aku mau sekali pukul saja kalian berdua pasti
akan tewas. Karena itu sekarang jawab pertanyaanku.
Apa maksud kalian datang ke mari, hah?"
"E... eh...!" Simon tergagap dengan wajah pucat
dibasahi keringat dingin. Ia sadar sekali peluru senjata
itu menyembur, maka nyawanya akan melayang. Tak
mungkin ia bisa berbuat atau mengelak seperti halnya
Karta.
"Kalau kalian tidak mau menjawab, kupecahkan
batok kepala kalian dengan senjata ini. Kalian boleh
percaya, boleh tidak. Tetapi jangan menyesal jika aku
terlanjut membunuh kalian di sini. Hm, kalian tam-
paknya memilih diam daripada berterus terang. Baik-
lah, akan kuhitung sampai tiga dan jika kalian belum
juga menjawab jangan harap masih hidup lebih lama
lagi. Satu... dua... ti...."
"Tunggu!" teriak Profesor Van Leinen dengan wa-
jah pucat pasi, "Jangan tembak kami! Baiklah, kami
akan bicara terus terang. Kedatangan kami ke pulau
ini sebenarnya adalah untuk menyelidiki tentang
adanya manusia kera, yang menurut keterangan
hanya muncul di kala terang bulan. Kami sama sekali
tidak bermaksud jahat. Harap saudara yang baik hati
mau memaafkan kami."
"Jangan coba-coba menipuku!"
"Tidak! Aku Profesor Van Leinen dan ini saha-
batku Simon bermaksud menyelidiki manusia yang
sewaktu-waktu bisa berubah jadi kera, yang di negeri
kami Eropa juga terdapat. Tetapi para Sarjana Eropa
saat ini sedang berlomba-lomba menyelidiki kebenaran
itu setelah mendapat petunjuk dari buku-buku kuno."
"Baiklah, orang tua seperti engkau tentu tidak
akan mau berbohong. Aku percaya pada keterangan
kalian. Hanya saja, kalian hanya akan menemui keke-
cewaan, karena makhluk seperti itu hanya ada satu di
kepulauan ini dan itu pun sudah mati kira-kira sebu-
lan yang lalu. Aku sendiri ikut menyaksikannya."
"Ah, tidak mungkin! Makhluk seperti itu tidak
mudah mati. Ia bisa menderita luka tapi tidak akan
mati, kecuali jika jantungnya ditembak dengan sebutir
peluru dari emas murni."
"Baiklah kalau begitu. Karena kalian tidak ber-
maksud buruk, maka pistol ini kukembalikan dan kita
bisa bersahabat. Mari kubantu kalian mendirikan per-
kemahan."
Karta jelas mempercayai lelaki yang me-ngaku
bernama Profesor Van Leinen itu, karena sinar mata
dan sikapnya kelihatan benar-benar tulus, bukan se-
perti si orang muda bernama Simon yang tampaknya
angkuh. Ia sebetulnya menyadari bahwa manusia kera
yang dimaksud orang kulit putih itu adalah Wan-Dai-I
sendiri. Dikatakan bisa berubah sewaktu-waktu men-
jadi kera sebenarnya tidak demikian hanya karena to-
koh sesat itu memang sering mengenakan topeng se-
hingga mirip kera raksasa.
Namun diam-diam, Karta merasa kagum juga
mendengar penuturan profesor tua itu, bahwa si ma-
nusia kera hanya bisa mati jika jantungnya ditembak
dengan peluru emas murni. Siapa tahu ketika Wan-
Da-I dahulu kala menderita luka-luka sebetulnya be-
lum mati, melainkan hanya menderita luka-luka dan
karena jantungnya tidak ditembus peluru emas murni,
ia bisa sehat kembali. Dengan demikian, sedikit ba-
nyaknya, kedua lelaki berkulit putih itu tentu bisa
membantunya nanti melumpuhkan Wan-Da-I.
Menjelang tengah malam, kemah itu pun ram-
punglah sudah. Profesor tua itu dengan ramah tamah
mengajak Karta tidur bersama-sama di dalamnya. Na-
mun dengan halus ditolak oleh si Gila Dari Muara
Bondet dan mengatakan bahwa ia sudah terbiasa hi-
dup di alam terbuka.
Saat itulah Simon mengatakan sesuatu yang te-
rasa sangat menyakitkan perasaan Karta.
"Profesor, mengapa engkau selalu membujuk-
bujuknya? Biarkan saja dia tidur di luar," katanya.
Agaknya selain karena memiliki sifat congkak, pemuda
itu pun masih penasaran akan peristiwa barusan di
mana senjatanya dapat direbut Karta dengan gerakan
yang sangat cepat.
Karta tidak mau menunjukkan isi hatinya yang
jelas tersinggung, melainkan tersenyum dan suaranya
masih tetap terdengar dengan nada bersahabat.
"Jangan terlalu menghiraukan diriku. Seperti
saya bilang tadi, saya sudah biasa tidur di alam terbu-
ka. Harap Tuan-tuan berdua mau mengerti."
Kemudian Karta tidur di luar, sekitar sepuluh
meter dari kemah kedua orang kulit putih itu. Sejenak
ia masih kesal mengingat sikap Simon. Sebagai penda-
tang, pemuda itu seharusnya bersikap sopan, tidak
seperti itu. Inginlah rasanya Karta mengusir kedua ku-
lit putih itu. Bila perlu dengan cara kekerasan, kalau
pun misalnya mereka melawan, sekali atau dua kali
pukul saja tentu kedua orang asing itu akan tewas. Te-
tapi ia adalah seorang pendekar yang memiliki hati ta-
bah, selalu mau bersabar sebab bagaimanapun juga,
bersahabat adalah lebih baik daripada bermusuhan.
Agaknya profesor tua itu pun tidak setuju dengan
sikap Simon. Sewaktu berbaring di kemah, ia menase-
hati Simon agar bersikap lebih ramah dan sopan kepa-
da penduduk pribumi, karena bagaimana pun jika me-
reka bermusuhan dengan pribumi, misi mereka tentu
tidak akan bisa berjalan lancar.
Simon tetap saja membantah dan selalu berbica-
ra dengan menyebut-nyebutkan pendidikan kepoli-
siannya. Bagi dia, sikap Karta hanyalah tipuan saja,
pura-pura bersikap baik, padahal maksudnya adalah
untuk memperdayai. Cukup lama kedua laki-laki ber-
kulit putih itu berdebat mempertahankan pendapat
masing-masing, hingga akhirnya Profesor Van Leinen
tertidur kelelahan.
Ternyata perdebatan itu pun membuat Simon
semakin penasaran. Kemarahannya semakin memun-
cak dan karena terlalu menurutkan perasaan, ia ak-
hirnya bermaksud membunuh Karta. Setelah merasa
yakin bahwa profesor tua itu sudah tertidur pulas, ia
segera bangkit dan mengambil pistolnya, kemudian
melangkah ke luar kemah.
Matanya segera menatap liar ke arah Karta yang
sedang tertidur di atas semak-semak berselimutkan
kain sarungnya. Dengan berjingkat-jingkat supaya ti-
dak menimbulkan suara mencurigakan, ia mendekati
Karta. Setelah tinggal dua langkah lagi, Simon berhen-
ti. Ia menarik nafas sekedar menenangkan perasaan-
nya yang penuh gejolak amarah. "Mampus kau, manu-
sia penipu." Hatinya memaki geram. Perlahan-lahan, ia
menarik pelatuk senjatanya dan beberapa saat kemu
dian terdengarlah suara ledakan sebanyak tiga kali.
"Dor! Dor! Dor!"
Simon tersenyum puas. Tetapi ketika ia menarik
kain sarung itu ia berteriak kaget bahkan sempat me-
loncat mundur, seakan-akan tak percaya pada pengli-
hatannya sendiri. Ternyata di dalam bungkusan kain
sarung itu hanyalah sebatang kayu serta daun-daun
kering.
"Hah? Kosong? Bangsat!" bentak Simon tak sa-
dar.
Sebelum ia bisa menguasai perasaan, tiba-tiba
sebuah bayangan berkelebat cepat sekali dan langsung
menghantam punggungnya.
"Buk!"
Tubuh Simon terpelanting hampir sepuluh meter.
Untung ia seorang pemuda yang memiliki tubuh kuat.
Kalau tidak, sedikitnya ia akan pingsan menerima pu-
kulan sekuat itu. Karta yang memukulnya dengan ge-
ram. Tadi pendekar gagah perkasa itu sudah sempat
berbaring di atas semak-semak berbantalkan sebatang
kayu yang cukup besar. Tapi karena firasatnya mem-
bisikkan bahwa Simon akan berbuat jahat padanya,
maka ia tetap waspada. Apalagi ketika ia melihat Si-
mon melangkah ke luar kemah secepat kilat ia melon-
cat ke balik semak-semak setelah terlebih dulu mem-
bungkus batang kayu tadi dengan kain sarungnya. Tak
terkatakan betapa marahnya pendekar itu melihat Si-
mon menembak batang kayu itu. Seandainya ia tidak
waspada tadi, tentu ia sudah mati diterjang peluru-
peluru senjata Simon.
Sungguh suatu sikap yang tidak bisa dimaafkan
begitu saja! Dengan pikiran seperti itu, Karta pun sege-
ra meloncat dari tempat persembunyiannya dan lang-
sung menghajar Simon. Masih untung ia tak menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, sehingga Simon ma
sih dapat bernafas walaupun dengan tulang punggung
retak menimbulkan rasa yang sangat nyeri.
"Kurang ajar! Manusia seperti kau harus diberi
pelajaran!" kata Karta geram. Secepat kilat ia menarik
krah baju Simon dan sekali menggerakkan tangan, tu-
buh itu pun terangkat dan langsung dibantingkan se-
kuat tenaga. Simon menjerit tertahan, karena tiba-tiba
saja ia merasa. kerongkongannya tersumbat dan pan-
dangan matanya pun berkunang-kunang. Ia hendak
memaki, namun tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat
kembali, kemudian dilemparkan dari atas tebing se-
hingga jatuh berguling-gulingan ke bawah.
Setelah meloncat ke bawah, ia mengangkat tubuh
Simon tinggi-tinggi kemudian dibantingkan lagi. Sete-
lah itu, ditariknya rambut pemuda itu dengan kasar
dan tinjunya pun melayang tepat menghantam mulut.
Terdengar suara gemeretak ketika empat buah gigi Si-
mon copot mengeluarkan darah segar.
"Aku paling tidak suka melihat lelaki pengecut
seperti kau. Kini apa yang dapat kau lakukan tanpa
pestolmu itu? Ayo, bangun! Kau harus diberi pelajaran
yang lebih hebat lagi agar kepalamu yang penuh akal
busuk itu lebih dingin. Ayo, berendamlah di situ sam-
pai pikiranmu bersih kembali!" Karta melemparkan tu-
buh Simon ke dalam air laut.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Simon berusaha
bangkit agar tidak kehabisan nafas. Namun dengan
kasar, Karta menginjak tengkuknya sehingga kembali
tubuhnya terbenam. Tentu saja Simon gelagapan dan
berusaha meronta sekuat tenaga, tetapi ia tak berdaya
sama sekali. Kaki Karta tak ubahnya sebongkah batu
besar yang beratnya ribuan kilo.
Tanpa bisa dicegah, air laut pun makin banyak
masuk ke dalam perut Simon. Ia sudah hampir tak sa-
darkan diri ketika Karta mengangkat tubuhnya, se
hingga pemuda itu dapat menarik nafas. Tetapi hanya
beberapa saat kemudian, tubuhnya sudah dibenam-
kan kembali. Demikianlah berulang-ulang, sebab mak-
sud Karta sebenarnya adalah membuat Simon sampai
pingsan.
Akan tetapi dari arah perkemahan terdengar sua-
ra tembakan. Karta terkejut dan menghentikan tinda-
kannya terhadap Simon. "Agaknya telah terjadi sesua-
tu di atas. Mari ikut aku. Lain kali kau akan mendapat
perlakuan yang lebih manis lagi jika masih berani
main-main denganku!"
Sambil menarik tubuh Simon yang hampir tidak
berdaya lagi, si Gila Dari Muara Bondet mendaki teb-
ing. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan profesor tua
itu telah diseret segerombolan laskar ke luar kemah
dan puluhan tombak telah ditodongkan di leher dan
dadanya.
Laskar itu ternyata dipimpin Pampani sendiri,
kebetulan saja mereka mendengar suar mencurigakan
ketika sedang dalam perjalanan ke luar untuk mencari
Karta. Sambil mengendap-endap, mereka mendekati
kemah itu dan langsung menyerbu. Dalam keadaan
gugup profesor tua itu sempat melepaskan tembakan
secara serampangan dan tidak melukai laskar! Namun
sekali gebrak saja, Pampani sudah memukul jatuh
senjata di tangan laki-laki asing itu.
"Jawab pertanyaanku! Apa maksudmu menyusup
ke daerah kekuasaan kami tanpa ijin hah? Apakah kau
utusan orang-orang kumpeni Belanda? Cepat jawab!
Apa hubunganmu dengan penjualan mutiara-mutiara
Maleang Pangaru, hah?"
"Kalau tidak mau jawab, cincang saja tubuhnya.
Biar tahu rasa dia!" kata si Kaki Tunggal tak sabar lagi.
"Aku... aku tak mengerti maksud kalian. kata
profesor tua itu dengan wajah pucat pasi
"Sungguh! Aku tidak tahu mutiara apa maksud
Tuan-tuan."
"Bagus! Seperti yang kuduga kau pasti akan ber-
bohong. Itu berarti riwayatmu akan berakhir sampai di
sini."
"Hei, dia datang!" Tiba-tiba si Kaki Tunggal berte-
riak bagaikan kesurupan setan, "Itu si Karta!"
Semua orang yang berkumpul di tempat itu men-
jadi terkejut dan serentak berpaling. Secara berbaren-
gan mereka berseru melihat Karta berjalan ke arah
perkemahan sambil menyeret seorang lelaki yang juga
berkulit putih.
Kaget bercampur girang si Kaki Tunggal meloncat
ke hadapan Karta. Kakinya terlebih dulu melayang ke
dada Simon hingga terpental ke belakang.
"Ah, Karta! Karta! Jadi... jadi kau masih hidup?"
ujarnya sambil merangkul bahu pendekar gagah per-
kasa itu erat-erat seakan-akan masih belum percaya
pada penglihatannya sendiri. Pampani memburu Karta
dengan perasaan riang gembira. Dalam beberapa hari
terakhir ini, ia pun sudah sangat cemas memikirkan
keselamatan adik iparnya itu, sehingga saking girang-
nya ia tidak tahu harus mengucapkan apa
"Harap saudara-saudara semuanya tenang!" kata
Karta, "Saya tidak apa-apa dan seperti kalian lihat
sendiri, aku tidak kurang sesuatu apapun juga."
"Kau tidak tahu beberapa hari aku terpaksa sela-
lu berada di laut mencarimu. Begitu juga! Bungoru
dan yang lainnya!" kata si Kaki Tunggal.
"Maaf, aku telah merepotkan kalian. Tetapi se-
mua itu terjadi di luar kehendak kita semua. Nantilah
kita membicarakannya. Aku ingin membicarakan ma-
salah kedua orang kulit putih ini. Mereka tidak punya
hubungan apa-apa dengan penjualan mutiara-mutiara.
Mereka bahkan dapat membantu kita menyeret si Ma
nusia Kera yang tampaknya masih berkeliaran di ke-
pulauan ini."
"Bagaimana kita bisa mempercayai omong-an
orang-orang kulit putih ini?" tanya Pampani sambil
mengerutkan kening.
"Aku sudah membuktikannya sendiri, Pampani.
Dan akulah yang akan bertanggungjawab atas diri me-
reka."
"Baiklah kalau begitu. Kami percaya sepenuhnya
kepada saudara Karta. Dan kami sangat gembira kare-
na saudara Karta dalam keadaan selamat. Kepada ka-
lian berdua bangsa kulit putih, kami ucapkan selamat
datang di negeri kami. Selamat mengadakan penyelidi-
kan. Jika Tuan-tuan memerlukan bantuan tenaga atau
bahan-bahan makanan, kami akan segera membantu
dengan segala senang hati. Nah, sekarang kami akan
kembali ke istana. Selamat malam!"
"Lalu bagaimana dengan kau, Karta?" tanya si
Kaki Tunggal.
"Untuk sementara aku harus kembali ke luar.
Besok atau lusa aku akan berkumpul lagi dengan ka-
lian."
"Baiklah! Jaga dirimu baik-baik!" Demikianlah se-
telah laskar yang dipimpin Pampani itu kembali, Karta
membantu kedua orang kulit putih itu mendirikan ke-
mah yang tadi sempat berantakan diacak-acak. Profe-
sor tua itu berulang kali mengucapkan terimakasih,
karena tanpa pertolongan Karta, agaknya mereka akan
mengalami kesulitan, bahkan tidak mustahil sudah
tewas dibunuh!
Setelah itu, Karta pamitan meninggalkan kedua
orang asing itu. Dan seperti biasa dilakukannya, ia
bersemadi di tengah-tengah gempuran ombak laut di
pantai Laut Arafuru. Kedua tangannya didekapkan di
dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan, mem
bersihkan pikiran dari segala permasalahan-
permasalahan yang dihadapi.
EMPAT
Sementara itu, di suatu tempat tanah Pulau
Trangan, Wan-Da-I dan Womere sedang berada di
ruangan khusus tempat Wori terbaring dalam peti
mayat. Si manusia ikan hiu itu duduk di kursi yang
dihiasi ukiran dan permata sehingga mirip singgasana
raja. Sedangkan Womere berdiri di dekat peti.
"Bangunlah, Wori...!" kata Wan-Da-I dengan pe-
lan, namun terasa suara halus itu mengandung penga-
ruh yang sangat kuat yang se-akan-akan dapat me-
nembus jantung siapa saja yang mendengarnya. Tak
lama kemudian, pintu peti itu terbuka! Wori bangkit
dengan gerak kaku sehingga mirip mayat yang baru
bangkit dari Hang kubur. Langkah kakinya terlihat
agak kaku ketika melangkah menghadapi Wan-Da-I,
kemudian mengangguk memberi hormat.
"Daulat, Tuanku!" katanya lalu duduk bersimpuh
di bawah kaki Wan-Da-I.
"Bagus, Wori! Ternyata kau masih tetap seorang
pengawal yang sangat setia! Hari ini kau harus memu-
lai tugas yang sangat penting dan tidak boleh gagal.
Semuanya sudah dipersiapkan. Kapal Belanda telah
menunggu di pulau Uglo!" Wan-Da-I memberikan kete-
rangan secara singkat, sedangkan Wori yang masih
duduk bersimpuh mendengarkan dengan penuh per-
hatian. Pulau Uglo yang dimaksudkan itu terletak an-
tara kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar (tidak
terdapat dalam peta).
"Daulat, Tuanku!"
"Bagus! Mutiara-mutiara yang harus kau bawa
sekarang adalah barang kiriman pertama yang harus
ditukar dengan bahan-bahan peledak atau mesiu serta
senjata-senjata api dari orang-orang Belanda! Ingat,
Wori! Misi ini tidak boleh gagal, harus berhasil!"
Besok harinya ketika matahari baru muncul di
ufuk Timur, sebuah kapal layar bertolak dari sebuah
teluk yang tersembunyi di Kepulauan Aru, bertolak
menuju laut lepas. Angin bertiup dari arah Barat se-
hingga layar menjadi terkembang, menambah cepatnya
laju perahu.
Wan-Da-I dan penasehat utamanya Womere un-
tuk pertama kalinya telah mengirimkan sejumlah mu-
tiara kepada pihak kumpeni Belanda. Kedua belah pi-
hak baru-baru ini telah sepakat untuk melakukan bar-
ter perdagangan, di mana pihak Wan-Da-I memberikan
mutiara-mutiara sedang kumpeni Belanda menukar-
kan dengan bahan-bahan peledak serta senjata api!
Sungguh jitu perhitungan tokoh sesat itu, sebab
agaknya ia telah menyadari kekuatan musuh bebuyu-
tannya Pampani yang dibantu sejumlah pendekar dari
Pulau Jawa. Dengan cara-cara seperti yang selama ini
ia lakukan, agaknya akan sulitlah baginya meruntuh-
kan kekuasaan musuh. Itulah sebabnya ia memu-
tuskan menjual mutiara-mutiara kepada orang-orang
Belanda. Dengan mesiu serta senjata api, ia akan lebih
mudah menghancurkan Pampani, sehingga niat ha-
tinya menjadi penguasa di Pulau Trangan akan berha-
sil baik.
Wori, yang telah dikuasi pikirannya sehingga be-
rubah seperti robot dipercayakan mengawal kiriman
pertama itu. Wan-Da-I sadar bahwa misi mereka akan
menghadapi banyak rintangan terutama dari pihak la-
wan yang tidak mustahil sudah mengetahui semua
rencananya. Jadi kalau Wori yang memiliki kesaktian
tinggi itu mengawalnya, dapat diyakini semua hamba-
tan itu bisa diatasi.
Demikianlah Wori bersama sejumlah anak buah
Wan-Da-I berlayar mengharungi laut lepas menuju pu-
lau Uglo di pagi yang cerah itu. Di haluan perahu Wori
berdiri tegak, mengawasi keadaan di sekelilingnya ka-
lau-kalau ada hal-hal mencurigakan.
Tiba-tiba mata lelaki bertubuh raksasa itu men-
corong tajam. Hidungnya kembang kempis, seperti
seekor tikus sedang mencium makanan lezat. Ia men-
dengar dan dapat merasakan gerak mencurigakan di
dalam laut tak jauh dari perahu. Telinganya dira-
patkan ke dinding perahu dengan cara berjongkok. La-
lu beberapa saat kemudian, Pendekar Bumerang itu
meloncat berdiri dan memanggil anak buah Wan-Da-I.
"Ada gerakan-gerakan halus di dalam air, seperti
makhluk berkaki empat. Tidak ada ikan yang punya
ekor empat. Heh, pengawal! Coba pinjam tombakmu!"
Wori kemudian melangkah ke sebelah kanan pe-
rahu. Sambil berteriak:
"Mampus!"
Ia menancapkan tombak itu ke laut. Gerakannya
sangat cepat, sehingga ia sudah yakin bahwa sekali se-
rang saja, makhluk mencurigakan itu pasti akan kena.
Namun ia menjadi terkejut manakala merasakan mak-
hluk itu dengan sangat gesitnya melesat ke sebelah ki-
ri.
"Kurang ajar! Dia mengelak!" teriak Wori, mem-
buat para pengawal semakin tegang. Dengan memper-
hatikan gelembung-gelembung udara di atas permu-
kaan air laut, Wori dapat mengetahui ke arah mana
makhluk mencurigakan itu melesat. Tombaknya kem-
bali melesat bagaikan anak panah.
Ternyata makhluk tersebut adalah si Gila Dari
Muara Bondet sendiri! Ketika sedang bersemadi di
laut, ia melihat sebuah perahu berlayar di laut lepas.
Karena merasa sangat curiga, ia segera mengejar den-
gan cara menyelam. Tetapi tak terkatakan betapa ter-
kejutnya pendekar itu ketika menyadari bahwa Wori
sudah mengetahui keberadaannya. Untunglah ia san-
gat pandai berenang dalam air sehingga dapat menge-
lakkan tusukan-tusukan tombak Wori.
Agaknya Wori menjadi penasaran karena semua
serangan tombaknya dapat dielakkan musuh. Dengan
wajah merah padam, ia segera menyambitkan bume-
rangnya. Senjata yang mirip bulan sabit itu meluncur
cepat sekali dan menyambar dahsyat ke arah kepala
Karta.
Karta terkejut bukan main! Pertama karena kepa-
lanya nyaris jadi sasaran senjata lawan dan kedua ka-
rena sama sekali tidak mengira bahwa senjata itu pun
dapat digunakan di dalam air. Setelah tidak mengenai
sasaran, bumerang itu kembali meluncur kepada pe-
miliknya.
"Bangsat! Dia berkelit. Yeaaaa!" Wori berteriak
dengan suara menggelegar bagaikan guntur, sehingga
para pengawal meloncat kaget saking terkejutnya. Bu-
merang di tangannya kembali meluncur cepat sekali
menyambar ke arah kepala Karta. Secepat kilat, Pen-
dekar Dari Muara Bondet itu mengangkat tombak yang
tadi berhasil ditangkapnya untuk menangkis bume-
rang itu.
"Traaak!"
Tombak itu putus menjadi dua, tetapi bumerang
tidak berhasil mengenai sasaran sehingga kembali me-
luncur kepada pemiliknya.
Habislah kesabaran Wori karena ia segera me-
nyadari bahwa lawan yang sedang berada di dalam air
bukan main lihainya. Ia pun segera mempergunakan
cara lain untuk memaksa lawan bertekuk lutut. Dis
impannya bumerang senjata andalannya. Ia menarik
nafas dalam-dalam dan menahannya sehingga da-
danya tampak membusung. Sepasang matanya menco-
rong tajam. Lalu ia berteriak:
"Yeaaaaa!"
Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka me-
lancarkan pukulan jarak jauh ke laut.
Serangkum tenaga pukulan dahsyat menyambar
dan akibatnya memang luar biasa. Air laut tiba-tiba
tersibak seperti terbelah sepanjang beberapa meter.
Semua pengawal yang menyaksikan keadaan itu men-
jadi tersentak kaget dengan mata terbelalak. Beberapa
di antaranya mengatakan kehebatan Wori itu adalah
ilmu sihir.
"Brrrrr!"
Air laut kemudian menyatu kembali menimbul-
kan suara dahsyat. Ikan-ikan dan makhluk hidup
lainnya dalam air menjadi tersedot ke atas. Demikian
juga tubuh Karta, terasa ditarik tenaga yang sangat
hebat, sehingga membuatnya tidak berhasil memper-
tahankan diri.
"Astaga! Ilmu iblis!" teriak pendekar itu dalam ha-
ti. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke per-
mukaan air laut. Sebelum bisa menguasai keseimban-
gan tubuh, sebuah serangan dahsyat telah mengan-
cam dadanya.
Sejak tadi Karta sebetulnya sudah mengetahui
bahwa yang menyerangnya adalah Wori sendiri. Dan
itu membuatnya bertambah kecewa karena sahabat-
nya itu ternyata masih di pengaruhi ilmu sihir lawan.
Melihat kedua tangan Wori menyambar ke arah dada
dan lehernya, Karta menjadi terkejut sekali. Angin pu-
kulan itu saja sudah terasa mengandung kekuatan
dahsyat, apalagi kalau sampai menghantam tubuhnya,
mungkin akan menjadi remuk redam.
"Ciaaat!" Karta jungkir balik di udara dan puku-
lan Wori pun hanya menerpa angin. Akan tetapi agak-
nya, Pendekar Bumerang itu sudah menduganya, ka-
rena begitu kedua tangannya tidak berhasil melukai
lawan, kaki kirinya sudah menyambar lagi dengan ke-
cepatan kilat.
"Wori, ingatlah aku adalah temanmu!" teriak Kar-
ta dengan harapan sahabatnya itu tersadar. Namun
Wori malah tampak semakin beringas dan buas.
"Sudah kuduga pasti kaulah Monyet Gila Dari
Muara Bondet yang berani main-main denganku.
Mampus kau!"
Luar biasa hebatnya serangan Wori ini, karena
selain sangat cepat, juga tidak memberikan Karta ke-
sempatan untuk mendaratkan kakinya. Repotlah pen-
dekar gagah perkasa itu. Ia tak punya kesempatan lagi
untuk menghindar, maka ia menjulurkan tangan ka-
nannya menangkis tendangan lawan.
"Plak!"
Telapak tangan Karta beradu keras dengan kaki
kiri Wori. Dan beradunya tangan dan kaki itu mendo-
rong tubuh Karta kembali ke atas, lalu ia bersalto be-
berapa kali ke belakang dan bergelantungan di atas
layar.
Seketika perahu itu menjadi oleng ke kiri, sehing-
ga pengawal menjadi panik menarik tali-tali layar un-
tuk menjaga keseimbangan. Tetapi Pendekar Bume-
rang tampak tenang saja, dengan mata melotot ia
menginjak pinggir perahu sebelah kanan sehingga ke-
dudukan perahu itu pun menjadi stabil kembali.
Dua pengawal tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu dan segera mengayunkan tombak-nya ke arah Kar-
ta yang masih bergelantungan di atas layar. Karena ti-
dak menduga akan diserang mendadak seperti itu,
Karta tidak sempat lagi mengelak. Kedua tombak itu
menembus kulit tubuh di bawah kedua ketiaknya.
"Aaaaah!"
Dengan kedua tombak masih lengket di tubuh-
nya, Karta tercebur ke laut. Tubuhnya segera tengge-
lam dipermainkan ombak yang tampak memerah oleh
darah dari luka di tubuh si Gila.
"Aku yakin dia pasti belum mampus. Tapi bau
anyir darah itu cukup untuk memancing ikan-ikan
hiu. Tubuhnya pasti habis tercabik-cabik tanpa seo-
rang pun dapat menolong. Hahaha! Ayo, pengawal! Ki-
ta teruskan perjalanan!" kata Wori sambil menyeringai
buas.
Perahu kecil itu pun kembali berlayar dengan te-
nang menuju ke Pulau Uglo. Sesekali Wori memberi-
kan perintah dengan suara keras, sehingga terdengar
bergema sampai puluhan mil jauhnya.
Pada saat itu, Pampani dan Bungoru sedang
asyik bercakap-cakap dengan tiga pendekar asal Pulau
Jawa sahabat mereka. Kelima pendekar gagah perkasa
itu duduk berkeliling di ruang tengah istana memba-
has rencana mereka selanjutnya.
"Saudara-saudara! Bagaimana langkah kita se-
lanjutnya? Kita telah kehilangan seorang pendekar
tangguh seperti Wori. Dan kita belum dapat menaksir
kekuatan musuh." kata Pampani.
"Kedudukan kita saat ini memang cukup berba-
haya. Tetapi aku yakin bahwa kita pasti dapat me-
numpas musuh. Ilmu sihir yang mereka gunakan itu
pasti bisa dilawan dengan kemurnian bathin. Jika di
antara kita ada yang memiliki ilmu ini, maka kita tak
akan dapat dipengaruhi ilmu hitam seperti itu!" kata si
Kaki Tunggal sambil menatap satu per satu sahabat-
nya yang berkumpul di ruangan itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya
Umang.
"Tugas kita sekarang adalah mencari orang yang
dapat berbuat seperti itu. Ah, sungguh sayang saudara
Jaka Sembung tidak ada di sini. Aku sendiri tidak
mampu! Aku tidak dapat menjernihkan bathin dari
pengaruh-pengaruh luar. Bagaimana pendapatmu,
Pampani?"
Percakapan mereka tiba-tiba terhenti ketika pintu
terbuka dengan kasar dan muncullah Karta berjalan
sempoyongan dalam keadaan berlumuran darah.
"Pampani," kata Karta dengan suara lirih.
"Astaga! Karta terluka! Apa yang telah terjadi?"
teriak Umang yang lebih dulu melihat kedatangan Kar-
ta.
"Kau disakiti orang kulit putih itu, ya?" tanya si
Kaki Tunggal sambil meloncat berdiri dan membantu
Karta duduk.
"Harap saudara-saudara tenang. Aku tidak apa-
apa, hanya menderita sedikit Iuka, terserempet tombak
anak buah sahabat kita Wori."
"Hah? Dia lagi!"
"Ya, apa boleh buat! Aku telah gagal mencegah
keberangkatan Wori menjual mutiara-mutiara itu ke-
pada orang-orang Belanda. Pagi tadi mereka berangkat
berlayar."
"Wah, kalau begitu kita sudah terlambat! Apa ak-
al kita sekarang? Satu-satunya orang yang mengetahui
penyimpanan mutiara itu hanyalah Wori sendiri."
Pampani tampak mengerutkan kening, me-mutar
otak untuk memikirkan apa yang harus mereka laku-
kan. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan berkata
dengan suara memerintah:
"Bungoru, perintahkan laskar kita untuk men-
guntit dan menyelidiki di mana tempat per-temuan
Wori dengan kapal kumpeni Belanda. Pilihlah orang-
orang kita yang ahli dalam bidang ini!"
"Daulat, Tuanku!"
Mirah kemudian menggeser duduknya ke dekat
Karta.
"Karta, sebaiknya lukamu ini segera dirawat! Biar
kau bilang tadi hanya luka ringan, tapi kita harus me-
rawatnya biar lebih cepat sembuh!"
"Terimakasih, Mirah! Bagaimana keadaan istri
dan anakku selama kutinggalkan? Selama ini aku sela-
lu mempunyai perasaan tak enak"
"Tak suatu pun terjadi. Coba lihat, di ambang
pintu sana!"
Karta berpaling. Seketika ia tersenyum melihat
istrinya Nomina sedang berdiri di ambang pintu sambil
mengendong putra mereka. Adik perempuan Pampani
itu pun tersenyum dan dari sinar matanya dapat dili-
hat adanya rasa rindu yang cukup lama dipendam.
Tanpa memperdulikan rasa sakit di badannya. Karta
segera berlari ke hadapan Nomina. Dipeluknya dengan
segenap perasaan, lalu diciuminya putranya tercinta.
"Oh, Nomina istriku. Anakku…!" lirih suara Karta
dan penuh perasaan. "Apa yang telah terjadi selama
ini? Aku selalu bermimpi buruk mengenai kalian."
Nomina cuma menggelengkan kepala dengan per-
lahan. Matanya tampak berkaca-kaca dan bibirnya
bergerak-gerak kaku. Agaknya banyak yang hendak
diucapkannya, tetapi karena ia seorang wanita bisu,
hanya sinar matanya yang bisa memancarkan isi ha-
tinya. Sekalipun mulutnya tidak bisa mengucapkan
sepatah kata pun, namun matanya mengatakan bahwa
ia sangat berbahagia setelah bertemu dengan sua-
minya.
Lama kedua insan suami istri itu terlena dalam
keharuan dan kebahagiaan, sehingga semua yang ha-
dir di ruangan itu hanya diam saja, seolah-olah ikut
terlena dalam suasana itu. Perlahan-lahan, Mirah
bangkit dan melangkah ke ruang belakang. Wanita itu
bersandar lemas pada dinding dan menatap ke luar
dengan mata sayu. Pertemuan itu, alangkah mesranya,
kata hatinya sedih.
Terasa benar olehnya betapa Karta dan Nomina
saling mencintai serta saling pengertian. Dan sebetul-
nya, Mirah dan Umang pun begitu juga, tetapi ada sa-
tu perbedaan menyolok yang seolah-olah membuat ke-
hidupan rumah tangga mereka terasa gersang. Sampai
sekarang, Umang dan Mirah belum mempunyai anak,
padahal mereka sudah cukup lama melangsungkan
perkawinan.
Sekalipun mereka adalah pendekar yang sudah
sering menghadapi tantangan sehingga mental mereka
pun sudah sangat kuat, namun keadaan itu tak urung
memukul perasaan mereka juga. Untunglah selama ini
Umang dan Mirah tidak mau saling menyalahkan dan
sedapat mungkin tidak mau membicarakannya. Na-
mun sekarang, melihat Karta dan Nomina berpelukan
demikian mesranya sembari menggendong putra mere-
ka, rasa sedih itu pun langsung menusuk- nusuk hati
tanpa bisa dicegah lagi.
Agaknya Umang cukup memahami perasaan is-
trinya. Maka ia pun melangkah menghampiri Mirah.
Ditepuknya bahu istrinya itu dan dibelainya rambut-
nya, "Mirah, apa yang sedang kau pikirkan?" bisiknya.
"Umang, betapa mesra pertemuan mereka! Ka-
dang-kadang aku iri karena mereka bisa se-mesra itu
adalah karena sudah mempunyai anak. Tapi kita...."
"Aku mengerti perasaanmu, Mirah!" sela Umang
sambil berusaha berbicara sewajar mungkin di atas
hatinya yang tak menentu. "Selama ini kita sudah be-
rusaha, namun barangkali belum waktunya. Sabar sa-
jalah istriku. Mungkin Tuhan belum berkenan membe-
rikan anak pada kita."
"Ah, maafkan aku, Umang! Aku tidak bermaksud
menyinggung perasaanmu. Sudahlah, sebaiknya kita
segera bergabung dengan mereka. Tak baik jika mere-
ka melihat kita seperti ini."
"Ah, aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi pa-
damu. Aku sebenarnya masih bisa menahan pera-
saanku sendiri. Tetapi kalau memikirkan perasaanmu,
aku jadi sedih. Sepertinya aku tidak bisa memberimu
kebahagiaan."
LIMA
Matahari sudah mulai siang dengan sinarnya
yang cerah menimpa bumi, seperti sedang mengusap-
usap tanah Kepulauan Aru. Profesor Van Leinen dan
Simon sudah sejak tadi membenahi perkemahan me-
reka, lalu melanjutkan perjalanan untuk melakukan
penelitian mereka.
Kedua lelaki berkulit putih itu sedang melintasi
rawa-rawa berlumpur dan tampaknya cukup berba-
haya jika melewatinya tanpa berhati-hati. Barangkali
profesor tua itu menyadarinya, sehingga berulang-
ulang memperingatkan sobat mudanya supaya hati-
hati.
"Menurut pengalamanku, dalam rawa-rawa den-
gan air paya-paya seperti ini banyak lubang yang dapat
menjebak kita. Harap kau hati-hati Simon!" kata profe-
sor tua itu tanpa melirik kepada Simon yang kini se-
dang berjalan di belakangnya.
'"Tak usah khawatir, Profesor! Medan alam yang
bagaimana pun berbahayanya sudah ku-tempuh da-
lam latihan kemiliteranku. Aku justru mengkhawatir-
kan dirimu."
Sambil mendengus, Profesor Van Leinen meneruskan langkahnya menembus hutan be-rawa-rawa
menuju bukit yang mereka cari. Tepat seperti yang
dikhawatirkannya, Simon mendadak menginjak lubang
dalam rawa. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terjeblos
hingga sebatas leher.
"Aaaaaah!" Pemuda itu menjerit, sehingga mem-
buat profesor tua itu terkejut. Ia berpaling tapi tidak
berani bertindak gegabah, sebab dirinya pun tidak
mustahil mengalami nasib seperti Simon. Pemuda itu
berusaha ke luar dari lubang rawa-rawa itu dengan ca-
ra meronta-ronta. Celakanya, semakin ia bergerak, ta-
nah yang diinjaknya semakin amblas pula. Dan akhir-
nya pemuda yang sombong itu pun berteriak:
"Profesor, tolonglah aku!"
"Huh! Apa kubilang tadi?"
"Aku tak dapat bangun. Beban di punggungku
sangat berat."
Sambil memberengut dan kadang-kadang terse-
nyum geli, Profesor Van Leinen menarik tangan Simon.
"Apa dalam latihan kemiliteranmu tidak diajar-
kan cara keluar dari lubang semacam ini?" sindirnya.
"Jangan mengejekku, Profesor. Kau beruntung ti-
dak terperosok. Kalau kau yang mengalami hal sema-
cam ini, tubuhmu akan segera amblas ke bawah kare-
na gembrot."
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan
akhirnya sampai di lereng bukit. Profesor Van Leinen
mengamati puncak bukit itu dengan teropongnya. Ia
tampak manggut-manggut, sementara Simon hanya
memandanginya dengan perasaan dongkol karena pe-
ristiwa di dalam rawa-rawa barusan.
"Kita akan menuju puncak bukit itu. Ku rasa
menjelang sore kita sudah bisa sampai kemudian
mendirikan kemah."
"Ya, saya juga memperkirakan demikian. Tidak
terlalu jauh lagi. Tetapi... hei, ada apa di badanku? Pe-
dih!" Tiba-tiba Simon berteriak karena sekujur tubuh-
nya terasa pedih dan sepertinya ada benda licin dan
menjijikkan bergerak-gerak. Dengan wajah pucat, ia
meraba badannya sendiri di balik baju. Dan ia kembali
menjerit ketakutan.
"Hah? Darah! Darah!" Dengan tergopoh-gopoh ia
melepas ransel di pundaknya, lalu se-cepatnya mem-
buka bajunya. Ternyata sekujur tubuhnya telah di-
tempeli lintah. Beberapa ekor di antaranya tampak su-
dah sangat membesar karena kekenyangan menghisap
darah Simon.
"Oh, mijn god! Apa itu? Lintah! Lintah penghisap
darah," seru Profesor Van Leinen sambil memeriksa
sekujur tubuhnya, takut kalau-kalau lintah itu pun
sudah merayap di tubuhnya. Tetapi ternyata tidak.
Agaknya binatang-binatang penghisap darah itu me-
rayap ke tubuh Simon ketika terperosok tadi di dalam
rawa-rawa.
Dengan terburu-buru profesor itu mengeluarkan
botol-botol obat dari tasnya.
"Tenang, Simon! Engkau adalah seorang militer
yang hebat. Jangan takut hanya berhadapan dengan
lintah seperti itu. Minyak in akan mengusir binatang-
binatang rakus itu. Gosokkanlah ke sekujur tubuh-
mu!"
Sambil menggerutu dan terkadang memaki-maki,
Simon menggosokkan minyak itu. Benar saja, lintah-
lintah itu segera menggelinding jatuh karena bau obat
gosok yang sangat keras. Barulah Simon merasa lega,
tetapi tampak masih belum puas karena profesor tua
itu tidak ikut diserang lintah.
Tepat seperti perhitungan profesor tua itu menje-
lang sore hari mereka telah sampai di puncak bukit.
Dari atas, keduanya dapat memandang bebas ke ba
wah, ke lembah-lembah yang membujur panjang dis-
elimuti kabut tipis. Pucuk-pucuk pepohonan melam-
bai-lambai seakan-akan sedang mengucapkan selamat
datang kepada dua orang kulit putih di negeri Kepu-
lauan Aru. Sungguh merupakan suatu pemandangan
yang sangat indah dan mendatangkan perasaan da-
mai.
Beberapa ekor burung kecil sambil berkicau ter-
bang dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Sebentar
naik ke puncak bukit, lalu kemudian turun lagi ke po-
hon-pohon di lembah.
"Lihatlah lembah itu, Simon. Sungguh sangat in-
dah."
"Ya, indah sekali, Profesor. Tapi sebaiknya kita
mendaki lebih ke puncak lagi untuk men-dirikan ke-
mah."
Karena dinding bukit itu terjal, mereka ter-paksa
menggunakan tali untuk mendakinya. Namun dalam
hal ini, Profesor Van Leinen juga bisa melakukannya
dengan baik. Padahal ia sudah tua dan tubuhnya pun
gemuk. Lain halnya dengan Simon yang masih muda
dan sudah pernah mengikuti pendidikan kemiliteran,
sehingga tidaklah terlalu mengherankan jika ia dapat
mendaki bukit dengan lancar.
Di puncak bukit itu ada semacam kawah yang
cukup luas. Mungkin dulunya adalah bekas gunung
berapi yang meletus, demikianlah kedua orang kulit
putih itu menduga-duga. Mereka segera mendirikan
kemah di tempat itu.
"Beberapa hari lagi bulan purnama akan mun-
cul." kata Profesor Van Leinen sambil menancapkan
tiang kemah mereka.
"Berarti kita akan memulai perburuan ini."
"Tepat sekali, Simon!" Keduanya terus tekun
mendirikan kemah. Tanpa mereka sadari, dua orang
laki-laki sedang mengintai mereka. Entah dari mana
keduanya datang, tiba-tiba saja telah berada di tempat
itu. Siapa lagi kalau bukan Wan-Da-I dan tukang sihir
Womere yang tampaknya mempunyai maksud tertentu
menemui kedua orang kulit putih itu.
Akan tetapi naluri Simon yang sangat tajam sege-
ra berbisik bahwa di belakangnya sekarang ada orang
lain sedang memperhatikan mereka. Apakah Karta
sendiri? Hatinya bertanya-tanya! Tetapi rasanya bu-
kan! Atau siapapun yang sedang berada di belakang-
nya patut dicurigai, karena tidak mustahil bermaksud
jelek terhadap mereka. Maka secepat kilat, Simon me-
nyambar senapannya dan langsung berbalik menga-
rahkan laras senjatanya kepada orang itu.
"Jangan bergerak! Kutembak kalau berani!"
Profesor Van Leinen terkejut bukan main, dan di-
am-diam harus mengakui kewaspadaan Simon. Tetapi
ia juga khawatir, karena sobat mudanya itu sangat ce-
pat emosi dan memiliki sifat congkak pula, sehingga
tidak mustahil melukai orang yang belum tentu bersa-
lah.
"Stop, Simon! Jangan tembak mereka. Tunggu
dulu!"
Dengan tergopoh-gopoh, profesor tua itu melang-
kah menghampiri Wan-Da-I dan Womere. Ia mengang-
guk hormat, walaupun sebetulnya perasaannya kurang
enak melihat penampilan dua lelaki di hadapannya
yang tampaknya memiliki niat kurang baik
"Maafkan sahabat muda aku ini, Tuan-tuan.
Memang ia selalu bersikap curiga terhadap setiap ge-
rak gerik di sekitarnya. Mungkin ia mengira ada bina-
tang buas tadi. Ternyata adalah Tuan-tuan sendiri.
Harap Tuan-tuan tidak salah paham. Maksud kami ke
sini hanyalah untuk melakukan penelitian. Untuk itu,
kami telah mendapat ijin dari Kepala Suku. Kami ingin
menyelidiki dan menangkap manusia kera demi ilmu
pengetahuan!"
Wajah Wan-Da-I tiba-tiba membeku seperti batu
karang. Matanya mencorong tajam dan merah sekali
bagaikan memancarkan api. Sulit diterka kenapa si-
kapnya tiba-tiba saja berubah seperti itu, namun Pro-
fesor Van Leinen dan Simon dapat menerka bahwa la-
ki-laki itu tidak senang mendengar penjelasan mereka.
"Kurang ajar!" bentak Womere geram. "Apa yang
harus kuperbuat Tuanku? Biar kubunuh saja mereka!"
"Jangan!" kata Wan-Da-I sambil menarik tangan
Womere, lalu dengan sikap ramah yang dibuat-buat, ia
berkata kepada dua lelaki berkulit putih di hadapan-
nya:
"Tuang-tuan telah meminta ijin pada tempat yang
salah. Kepala Suku Kepulauan Aru adalah aku sendiri.
Pampani yang kau maksudkan itu tadi adalah pembe-
rontak yang telah merebut kedudukanku dengan cara
yang sangat keji. Tapi aku akan memberikan ijin dan
siap membantu kalian berdua menangkap manusia ke-
ra. Sebaliknya kalian berdua pun harus membantu
kami dengan pikiran-pikiran kalian. Jadi kita menjalin
hubungan kerjasama yang baik. Aku kira tidak ada sa-
lahnya, bukan?"
"Oh, kalau begitu kami telah salah meminta ijin
kemarin. Terimakasih, Tuan-tuan atas ke-murahan
hati kalian kepada kami."
"Bawa mereka, Womere!"
Si Tukang Sihir itu segera bertindak. Mulutnya
komat kamit sebentar, lalu kemudian kedua matanya
melotot memancarkan pengaruh yang sangat kuat
yang seolah-olah menembus relung-relung hati Profe-
sor Van Leinen dan Simon.
"Tatap mataku! Tatap mataku! Hai orang-orang
kulit putih. Tataplah aku! Ikutlah aku...!"
Tiba-tiba saja profesor tua dan Simon merasa ji-
wanya seperti terbang meninggalkan raga. Mereka me-
rasa kehilangan diri sendiri dan ada suatu kekuatan
gaib yang telah menyelusup ke dalam pikiran mereka,
sehingga mereka berubah seakan-akan jadi robot.
Womere kemudian merentangkan kedua tangan
mengarah kepada kedua orang kulit putih itu. Sua-
ranya terdengar semakin berpengaruh.
"Dengar kata-kataku! Tidur... tidur... tidur-lah
sepulas mungkin. Tidur! Tidur kataku!"
Sungguh luar biasa pengaruh ilmu sihir tokoh
sesat dari Pulau Kolepom ini. Kedua lelaki kulit putih
itu tiba-tiba saja diserang rasa kantuk yang sangat he-
bat. Hanya beberapa saat kemudian, kepala mereka
tertunduk, mata ter-pejam. Terdengar pula suara
dengkuran yang cukup keras. Masih dalam posisi ber-
diri, keduanya tertidur.
"Bagus!" seru Womere girang. "Sekarang melang-
kahlah maju. Turut semua perintahku dan petunjuk-
petunjukku. Berbaliklah!" Kedua orang kulit putih itu
berbalik seperti sedang bermimpi.
"Bagus! Kalian sudah tunduk padaku! Sekarang
melangkahlah. Melangkah!"
Profesor Van Leinen boleh jadi mempunyai ilmu
pengetahuan terutama di bidang biologi dan ilmu alam
yang sangat tinggi. Seluruh sisa hidupnya ia mengha-
biskan waktunya untuk melanglang buana ke berbagai
penjuru di dunia ini untuk melakukan penelitian. Ilmu
pengetahuan baginya lebih dari segala-galanya di-
bandingkan semua yang ada di dunia ini. Dalam pe-
tualangannya melakukan berbagai penelitian ilmiah,
banyaklah pengalaman yang diperolehnya.
Dan Simon pun boleh bangga atas latihan kemili-
teran yang pernah diikutinya. Naluri detektifnya sangat
tinggi dan kalau saja ia tidak memiliki sifat congkak,
sudah dapat dipastikan ia akan menjadi seorang ang-
gota militer yang sangat hebat dan patut diteladani
oleh teman-temannya. Ia pun sudah sering menghada-
pi tantangan, bahkan tidak jarang bercanda dengan
maut.
Akan tetapi sekarang, kedua lelaki perkasa ber-
kulit putih itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pikiran me-
reka telah dikuasai Womere sehingga semua yang me-
reka lakukan semata-mala hanyalah atas kehendak
tukang sihir itu. Profesor Van Leinen dan Simon terus
melangkah sesuai petunjuk Womere. Tak lama kemu-
dian, mereka sampai di tepi pantai.
"Turunlah ke air sekarang! Ayo, turun! Kalian
akan kubawa ke istana kami yang sangat besar dan
megah di bawah tanah!"
Menyaksikan hal itu, Wan-Da-I tidak bisa me-
nyembunyikan rasa gembiranya. Demikian mudahnya
Womere menguasai kedua lelaki berkulit putih itu.
Sungguh suatu hal yang menakjubkan, sebab ternyata
ilmu sihir Womere tidak hanya mempan kepada pen-
duduk pribumi, tetapi juga terhadap orang berkulit pu-
tih. Ia bertepuk tangan ketika si Profesor tua dan Si-
mon sudah turun ke pinggir laut.
"Sekarang berenang! Ayo, berenang! Kalian harus
berenang!" kata Womere dan masih tetap mengarah-
kan kedua telapak tangannya ke arah kedua orang as-
ing itu. Seolah-olah dari telapak tangan itu memancar
tenaga dahsyat yang sangat jahat.
Van Leinen dan Simon segera berenang. Gerak-
kan mereka di dalam air sangat ringan dan tangkas,
seolah-olah keduanya adalah perenang-perenang han-
dal. Padahal selama ini Profesor Van Leinen tak pernah
bisa berenang, apalagi menyelam. Di sinilah kemudian
terlihat betapa pengaruh ilmu sihir Womere dapat di-
gunakan sebagai alat untuk membuat orang lain tidak
berdaya.
Seperti dua ekor bebek, dua orang kulit putih itu
terus berenang, menyeberangi teluk yang cukup luas.
Wan-Da-I dan Womere hanya memandangnya saja dari
puncak bukit. Mereka sangat senang, sehingga tertawa
terpingkal-pingkal.
Dengan nafas terengah-engah karena menyan-
dang pakaian lengkap dan sepatu laras panjang, Profe-
sor Van Leinen dan Simon akhirnya sampai juga ke
tempat yang dimaksudkan Womere. Sebuah mulut te-
rowongan yang cukup gelap, dipenuhi air, menembus
bukit-bukit cadas yang kokoh.
"Mari masuk, Tuan-tuan! Kalian adalah tamu ke-
hormatan kami. Karena itu jangan ragu-ragu. Berja-
lanlah terus menyusuri terowongan itu sampai nanti
kuberikan perintah selanjutnya." terdengar lagi perin-
tah Womere, entah dari mana datangnya, tetapi jelas
sekali bergema ke segenap ruangan terowongan itu.
Profesor Van Leinen dan Simon tetap menurut
bagaikan kerbau dicucuk hidung, seolah-olah perintah
itu datang dari otak mereka sendiri.
"Bagus! Tuan-tuan jangan lurus ke depan. Belok-
lah ke kiri. Ya! Bagus! Terus... terus! Jangan ragu-ragu
atau takut. Tidak ada apa-apa di sini."
Tubuh kedua laki-laki kulit putih itu sebenarnya
sudah sangat letih dan sudah berkali-kali hendak ter-
jatuh. Tetapi terasa ada kekuatan gaib yang menopang
tubuh mereka dan terus memaksa untuk berjalan. Ke-
duanya sekarang mulai memasuki terowongan yang
airnya sampai sebatas dada. Di sebelah kiri dan kanan
terlihat tulang belulang serta tengkorak manusia bah-
kan ada di antaranya yang mengambang. Sejenak Pro-
fesor Van Leinen dan Simon merasa ngeri, tetapi suara
yang langsung menyusup ke jaringan otak mereka
memerintahkan agar tidak memperdulikannya.
Selama berjalan seperti itu, keduanya tidak per-
nah mengeluarkan suara percakapan, karena seper-
tinya mereka telah melupakan segala-galanya. Hanya
desah nafas mereka yang terdengar memburu dan ka-
dang-kadang disertai suara rintihan halus.
Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ke atas, seperti
ada sebuah alat derek yang muncul dari dalam air.
Alat ajaib yang entah dikendalikan dari mana itu ber-
gerak membawa tubuh keduanya ke pintu jeruji kayu.
Pintu itu pun terbuka sendiri dan ketika kedua orang
kulit putih itu sudah berada di dalam, pintu itu tertu-
tup sendiri kembali. Di hadapan mereka sekarang te-
lah berdiri Womere, sedangkan Wan-Da-I duduk santai
di kursi singgasananya.
"Selamat datang, Tuan-tuan! Kami senang sekali
melihat kehadiran Tuan-tuan," ujar Womere sambil
mengamati wajah Profesor Van Leinen dan Simon ber-
gantian. Seulas senyuman tersungging di bibirnya
yang tebal dan hitam dan karena matanya memancar-
kan sikap buas, senyum itu tampak lebih mirip serin-
gaian. Kedua laki-laki berkulit putih itu hanya me-
mandang Womere dengan tatapan mata kosong dan
mulut setengah menganga. Si Tukang Sihir manggut-
manggut, lalu menghampiri Wan-Da-I.
"Apa yang harus kulakukan kepada kedua tawa-
nan ini, Tuanku!"
"Bawa mereka ke dalam kamar mutiara dan kau
bujuk mereka agar dua orang kulit putih itu mau me-
nyumbangkan pikirannya kepada kita."
"Baik, Tuanku!" Womere kembali melangkah
menghampiri profesor tua dan Simon.
"Tuan-tuan yang terhormat, sekarang Tuan-tuan
dipersilahkan masuk ke kamar itu."
Tanpa mengucapkan apa-apa, keduanya memba-
likkan badan. Pintu di belakang mereka ternyata su
dah terbuka dan dari dalamnya tampak cahaya terang
benderang. Womere kembali memberikan perintah agar
keduanya segera melangkah masuk.
Sekarang Profesor Van Leinen dan Simon berada
di hadapan cungkup segi empat berisikan tumpukan
mutiara-mutiara. Di sebelah depannya terdapat se-
buah kanal buatan dan aquarium raksasa berisikan
puluhan ekor ikan hiu yang tampak hilir mudik me-
nunggu mangsa.
"Cobalah Tuan-tuan naik ke atas cungkup itu!
Apa yang dapat kalian lihat di dalamnya? Kurasa biji
mata kalian akan melotot dibuatnya!"
Profesor Van Leinen dan Simon melangkah me-
naiki anak-anak tangga ke atas. Alangkah terkejutnya
kedua lelaki ini melihat timbunan mutiara, seperti
tumpukan batu kerikil yang hendak digunakan mem-
bangun gedung saja.
"Oh, mijn god! Mutiara-mutiara tertimbun seba-
nyak ini? Banyak sekali!" kata Profesor Van Leinen
termangu-mangu.
Womere tertawa terkekeh-kekeh, sangat girang
hatinya melihat kedua orang kulit putih itu tersentak
kaget dan tampak seolah-olah tidak percaya pada pen-
glihatannya sendiri melihat mutiara sebanyak itu.
"Betul, Tuan-tuan! Sebagian dari mutiara-
mutiara itu akan kami hadiahkan kepada kalian. Teta-
pi dengan syarat kalian bersedia menyumbangkan ha-
sil-hasil pemikiran teknik dari orang-orang Barat! Kami
membutuhkan orang-orang seperti kalian untuk
menggempur pertahanan Pampani si pemberontak itu."
"Aku belum mengerti," kata Profesor Van Leinen
dengan suara parau.
"Nanti Tuan-tuan akan tahu sendiri. Tapi ingat,
jangan coba-coba membangkang terhadap perintah-
perintah kami. Taruhannya adalah nyawa Tuan-tuan
sendiri. Sekali orang masuk ke dalam tempat rahasia
ini, ia tidak akan dapat ke luar dalam keadaan hidup."
"Oh...!"
"Coba lihat pada dinding kaca di belakang Tuan-
tuan!"
Profesor tua itu dan Simon melirik ikan-ikan hiu
yang hilir mudik dan diam-diam keduanya merasa
ngeri juga karena mereka menyadari ikan seperti itu
sangat ganas dan buas.
"Nasib tuan dipertaruhkan pada gigi-gigi runcing
dari tajam binatang-binatang laut yang sangat ganas
itu. Ikan-ikan bekas itu sengaja kami buat dalam kea-
daan lapar, sehingga siap menunaikan tugas kapan sa-
ja kami perlukan. Tuan-tuan tentunya tahu betapa ga-
nasnya ikan-ikan seperti itu, tubuh tuan-tuan akan
tercabik-cabik habis dalam sekejap. Nah, bagaimana
pendapat kalian?"
Bergidik hati kedua laki-laki kulit putih itu men-
dengarnya. Rupanya penduduk pribumi yang berada di
hadapan mereka sekarang jauh lebih licik dan kejam.
Mereka menyadari bahwa ikan-ikan dalam aquarium
raksasa itu sangat ganas dan buas. Ancaman Womere
bukan hanya sekedar gertak sambal belaka. Tak berani
keduanya membayangkan apa jadinya tubuh mereka
kalau dijadikan santapan ikan-ikan buas itu.
Karena pengaruh sihir itu tidak mempengaruhi
pikiran mereka yang tentu saja atas kehendak Womere
sendiri, keduanya menjadi ketakutan. Simon menun-
dukkan kepala, namun matanya menatap liar ke seke-
lilingnya untuk melihat jalan ke luar melarikan diri.
Tetapi ia menjadi putus asa, karena ruangan itu tam-
pak penuh rahasia. Kalau pun bisa lari, belum tentu
dapat ke luar. Dan laki-laki bengis di hadapannya
tampaknya bukanlah orang sembarangan, yang tentu
saja tidak akan mau membiarkan mereka lolos. Simon
menjadi putus asa, lalu berbisik ke telinga Profesor
Van Leinen agar menerima tawaran Womere.
"Kita terima saja, Profesor daripada kita mati ko-
nyol sebelum ekspedisi kita selesai."
"Kita belum tahu apa yang mereka kehendaki.
Kalau disuruh membunuh orang, rasanya tidak mung-
kin kita menurutinya," bisik Profesor tua itu yang tam-
paknya sudah mulai bisa menebak maksud musuh.
"Tapi bagaimana kalau tubuh kita dilemparkan
ke dalam aquarium maut itu?"
"Jangan berbisik-bisik, Tuan-tuan! Percuma saja,
karena aku bisa mendengarnya. Kalian harus men-
gambil keputusan sekarang. Tak perlu menunggu ter-
lalu lama. Ya atau tidak, kemudian tinggal terima resi-
konya."
Pelan suara Womere, namun kedua tawanannya
dapat merasakan di balik suara yang pelan dan sikap
yang dingin itu terkandung sebuah ancaman maut.
Dan mengambil keputusan terlalu lama akan diartikan
pula sebagai penolakan. Maka Simon dan ahli biologi
dan Ilmu alam itu hanya saling pandang.
"Harap Tuan-tuan ketahui, musuh-musuh Kepa-
la Suku Wan-Da-I mempunyai dua jenis kekuatan,
yakni kekuatan bathin dan kekuatan otak. Untuk ke-
kuatan bathin sudah menjadi bagianku untuk mela-
lapnya. Tetapi untuk kekuatan otak, kuserahkan ke-
pada kalian berdua! Sekarang mari kutunjukkan ka-
mar kegiatanku. Dari dalam kamar inilah aku menja-
lankan kegiatan bathin!"
Womere melangkah ke kamar di sebelahnya me-
lalui pintu semacam lorong sempit. Keadaan di ruan-
gan itu hanya samar-samar saja, namun Profesor Van
Leinen dan Simon dapat memperhatikan apa saja yang
ada di dalamnya. Di sudut sebelah kanan ada sebuah
meja terbuat dari sebongkah batu berukuran sekitar
satu kali dua meter. Di atasnya terdapat beberapa bo-
tol ukuran kecil dan besar berisi cairan yang entah apa
gunanya. Di dekatnya, terdapat pula beberapa tengko-
rak kepala manusia, yang tampaknya sengaja disim-
pan dalam ruangan untuk maksud tertentu. Agak di
sebelahnya, ada pula sebuah sangkar berukuran kecil
berisikan seekor burung hantu berbulu hitam.
Di sudut ruangan yang satu lagi, terdapat pula
sebuah meja panjang dari kayu dan di atasnya berjejer
boneka-boneka gabus yang berukuran kecil. Di ujung
barisan boneka-boneka itu terdapat pula sebuah teng-
korak kepala manusia.
"Ini adalah kamar kegiatanku. Kepada Tuan-tuan
aku bermurah hati menunjukkan dan membawa Tuan-
tuan ke sini. Perhatikan baik-baik semua yang ada di
ruangan ini. Semoga dengan ini Tuan-tuan dapat
membawa kenang-kenangan jika sudah kembali ke ne-
geri tuan kelak."
"Oh, mijn god! Aku seperti berada di dalam gua
Tukang Sihir seperti dalam cerita dongeng Eropa. Ber-
gidik bulu kudukku!" kata Profesor Van Leinen. Ia se-
gera menduga bahwa tengkorak-tengkorak di ruangan
itu pastilah orang-orang hukuman yang disiksa sampai
mati lalu tengkoraknya diambil untuk keperluan si tu-
kang sihir. Kalau benar dugaannya, berarti alangkah
sadisnya laki-laki yang mengajak mereka ke kamar itu.
Sejenak Profesor Van Leinen melirik Womere, tetapi la-
ki-laki itu tampak tenang-tenang saja, seolah-olah
menganggap tengkorak-tengkorak itu hanyalah mainan
belaka.
"Sayang sekali penerangan di sini agak remang-
remang dan itu memang saya sengaja. Sekarang lebih
dekatlah ke meja yang satu ini, Tuan-tuan."
Setelah kedua tamu atau lebih tepatnya tawa-
nannya itu berada di dekat meja tempat boneka
boneka, Womere berkata:
"Lihat di atas meja itu. Itu adalah boneka-boneka
gabus yang kubuat mirip dengan musuh-musuh kami.
Melalui boneka-boneka itu aku bisa berbuat sesuka
hati sesuai dengan rencana yang telah kuatur untuk
melaksanakan penumpasan terhadap Pampani. Ba-
rangkali Tuan-tuan sudah pernah melihat orang yang
mirip dengan boneka itu. Cobalah perhatikan lebih
seksama!"
Profesor Van Leinen dan Simon melangkah lebih
dekat lagi dan mengamati boneka itu satu per satu.
"Oh, itu Kepala Suku Pampani, tuan Karta dan
lelaki berkaki buntung. Tapi yang lainnya belum ku-
kenal...." kata profesor tua itu terkejut. Karena otaknya
memang sangat cerdas serta sudah sangat berpenga-
laman pula, ia segera dapat menduga bahwa boneka
itu adalah keperluan ilmu-ilmu berbau mistik. Sema-
cam vodoo dari Afrika.
"Selain itu, aku juga telah membuat boneka ga-
bus yang mirip Tuan-tuan. Ini dia!" Womere meletak-
kan dua boneka gabus di atas meja di hadapan kedua
tawanannya. Profesor Van Leinen dan Simon memper-
hatikan kedua boneka itu.
"Oh...!"
Kedua laki-laki kulit putih itu sama-sama terke-
jut menyaksikan boneka itu sangat mirip dengan me-
reka. Kapan Womere membuatnya dan bagaimana ia
bisa tahu wajah mereka?
"Untuk apa boneka-boneka itu?" tanya Simon
dengan dada berdebar-debar.
Womere tertawa terkekeh-kekeh, seolah-olah
menganggap pertanyaan Simon itu sangat lucu.
"Kalian akan tahu sendiri nanti. Dan sekarang
aku akan menunjukkan bagaimana caranya boneka-
boneka ini beraksi. Kalian tentu ingin menyaksikan
nya, bukan?"
Profesor Van Leinen dan Simon mengangguk tan-
pa sadar dan menunggu dengan perasaan tegang.
"Baiklah! Kalian memang tamu-tamu yang sangat
baik. Lihat baik-baik!" Mulut Womere komat kamit se-
jenak dan kedua tangannya di-rentangkan ke arah ke-
dua boneka di atas meja. Sepasang matanya melotot
memancarkan sinar yang sangat aneh, sehingga diam-
diam Profesor Van Leinen dan Simon yang menyaksi-
kannya bergidik ngeri.
"Hai, bergeraklah! Bergerak! Bergerak...!" kata
Womere setengah mendesis lirih.
Dan ajaib! Boneka-boneka gabus-gabus itu ber-
gerak sendiri saling menghampiri. Akibat atau penga-
ruhnya pun luar biasa! Profesor Van Leinen dan Simon
saling bertatapan dengan mata melotot dan wajah me-
reka sama-sama merah padam, seolah-olah dua orang
yang saling bermusuhan dan siap mengadu nyawa.
Sesuai dengan gerak boneka itu, profesor tua dan
Simon pun ikut bergerak saling menghampiri. Kedua
boneka gabus itu semakin berdekatan dan bagian ke-
palanya saling membentur seperti wayang kelitik (acel).
"Buk!"
Pukulan tangan kanan Simon mendarat telak di
mulut Profesor Van Leinen. Demikian kerasnya tenaga
pukulan itu, sehingga mulut laki-laki tua itu berdarah
dan tubuhnya pun terdorong mundur. Itulah refleksi
dari beradunya bagian kepala kedua boneka gabus
yang digerakkan oleh Womere dengan ilmu sihirnya.
"God verdom je, Simon! Kurang ajar...!" bentak
Profesor tua itu geram. Namun mendadak Simon su-
dah menyerangnya kembali dengan melayangkan pu-
kulan tangan kiri ke arah mulutnya.
Sambil memaki-maki, laki-laki berambut ubanan
itu menangkis pukulan Simon dengan tangan kanan
nya. Lalu secepat kilat tangan kirinya menyambar da-
da sobat mudanya itu.
"Buk!"
Simon tak sempat mengelak dan ia pun ter-
jengkang sambil merintih kesakitan. Ia pun memaki la-
lu meloncat berdiri dengan tangkas. Kedua tangannya
dikepalkan dan sepasang matanya menatap liar seperti
harimau muda yang hendak menerkam mangsa.
Ketika Profesor Van Leinen menerkamnya, Simon
dengan cepat berkelit ke samping sehingga tubuh laki-
laki tua itu meluncur di sampingnya. Saat itulah kaki
kiri Simon melayang menghantam perut sahabat tua-
nya. Kembali Profesor Van Leinen terpelanting, tetapi
tanpa memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, ia bang-
kit lagi.
"God verdom!"
Ia memaki dengan wajah yang tampak semakin
merah padam. Simon yang tadi sangat kesal karena
dadanya dipukul dengan sangat telaknya hingga sam-
pai sekarang pun masih terasa sakit tidak mau mem-
berikan lawan kesempatan untuk menyerang. Sebelum
diterkam, ia sudah lebih dulu menerkam. Agaknya
pemuda ini pun memiliki ketangkasan berkelahi dan
tenaga yang cukup besar. Kepalanya menghantam ke
arah perut Profesor Van Leinen dan ketika lawannya
itu mengelak, tangan kanannya melayang menghan-
tam mulut Profesor tua.
Demikianlah kedua laki-laki berkulit putih yang
sebetulnya bersahabat bahkan satu perjalanan itu sal-
ing baku hantam. Mereka berganti-gantian memukul
lawan dan bergantian pula jatuh terpelanting.
Tanpa mereka sadari, Womere tersenyum-
senyum puas melihat kedua tawanannya itu terlihat
perkelahian yang seru. Dengan tergopoh-gopoh ia ke
luar dari ruangan itu, lalu menghampiri Wan-Da-I
yang masih duduk bermalas-malasan di kursi singga-
sananya.
"Ada apa, Womere?" tanya Wan-Da-I agak terke-
jut melihat tangan kanannya itu masuk tergopoh-
gopoh. Ia mengira ada sesuatu hal yang sangat penting
atau telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, se-
hingga ia segera berdiri dari kursinya.
"Lihat, Tuanku! Di dalam sedang terjadi sesuatu
yang cukup menarik. Tuan pasti tertarik, hitung-
hitung sebagai hiburan di kala waktu senggang seperti
ini."
Wan-Da-I yang sudah mengerti betul watak Wo-
mere menjadi tersenyum lega. Berarti tidak ada yang
perlu dikhawatirkan, bahkan si Tukang Sihir dari Pu-
lau Kolepom itu mengajaknya menonton sesuatu yang
tentu sangat menarik. Maka ia pun mengikuti Womere
masuk ke ruangan rahasia itu.
Profesor Van Leinen dan Simon masih bergumul
seru, saling menindih dan memukul. Agaknya sewaktu
ditinggalkan Womere tadi, profesor tua itu telah berha-
sil memukul mulut Simon, hingga tampak berlumuran
darah. Tetapi Profesor Van Leinen pun mengalami hal
sama, bahkan pelupuk matanya tampak sudah benjol-
benjol membiru.
"Coba perhatikan boneka gabus ini, Tuanku!" bi-
sik Womere ke telinga Wan-Da-I
"Apakah tidak akan terlalu berbahaya terhadap
mereka?" tanya Wan-Da-I yang tampaknya khawatir
juga jika kedua tawanan mereka saling membunuh.
"Tentu tidak, Tuanku! Perkelahian mereka hanya
sampai ke tingkat yang biasa-biasa saja. Paling-paling
mereka hanya menderita luka-luka memar. Itu perlu
agar nanti mereka semakin menyadari kekuatan kita.
Sekarang kita sudah betul-betul bisa menguasai
mereka Tuanku! Setelah menguasai Wori, tenaga kita
semakin kuat. Sekarang dengan menguasai kedua
orang kulit putih itu, tenaga pikiran pihak kita pun
semakin hebat. Si keparat Pampani dan para pendekar
Pulau Jawa itu tentu tidak akan berdaya lagi. Kita
hancurkan dan kita basmi sampai ke akar-akarnya!"
"Bagus, Womere! Cara berpikirmu betul-betul he-
bat. Aku yakin dengan adanya kau di sini, maksud ha-
tiku jadi penguasa di pulau Trangan akan segera ter-
capai."
"Tentu, Tuanku! Tidak akan ada lagi yang bisa
menghalang-halangi kita. Kita sudah memiliki kekua-
tan yang unggul dalam segala-galanya. Kedua kulit pu-
tih itu akan kita paksa dengan cara kita untuk men-
ciptakan bahan peledak dari mesiu yang kita terima
dari orang-orang Belanda sebagai tukaran mutiara.
Maka Pampani dan sekutu-sekutunya akan segera
hancur."
"Ha-ha-ha! Dan dendamku kepada si keparat itu
pasti akan terlampiaskan!"
Womere kemudian melangkah menghampiri ke-
dua orang kulit putih yang sedang baku hantam itu. Ia
bertepuk tangan tiga kali dan menyuruh mereka ber-
henti berkelahi.
"Cukup! Cukup! Berhentilah!" teriaknya. dengan
suara keras dan sangat berpengaruh.
Profesor Van Leinen dan Simon menghentikan se-
rangannya. Kedua laki-laki itu saling pandang seperti
orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.
"Terimakasih! Terimakasih! Tuan-tuan ternyata
sudah bisa kami percayai. Bangunlah! Ayo, bangun!"
Profesor tua dan Simon merasa tubuhnya sangat
lemas dan nyeri terutama di bagian mulut yang masih
mengucurkan darah. Baru sekarang mereka menyadari
bahwa keduanya tadi saling menyerang hingga sampai
babak belur. Ada rasa marah di dalam hati nurani mereka karena merasa dipermainkan. Namun ada pula
pengaruh yang sangat kuat merasuki pikiran, sehingga
keduanya merasa tidak mampu melakukan apa-apa.
Diam-diam keduanya mengeluh dan menyadari
bahwa mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman mu-
suh yang sangat jahat. Terasa benar oleh kedua laki-
laki berkulit putih itu bahwa ruangan rahasia itu me-
rupakan sarang iblis, yang diciptakan sebagai sema-
cam pangkalan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan jahat di Kepulauan Aru.
TAMAT
Setelah berhasil menguasai Pendekar Bumerang
Wori, tokoh sesat Wan-Da-I dan tukang sihir Womere
juga menguasai dua orang kulit putih yang hendak
melakukan penelitian di Kepulauan Aru.
Apakah yang akan terjadi di Kepulauan tersebut?
Apakah benar-benar akan hancur seperti yang diren-
canakan musuh Pampani?
Tunggu episode berikutnya yang berjudul:
"Kemelut Di Pulau Aru"
0 comments:
Posting Komentar