..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE GEGER DI BUKIT SERIBU

GEGER DI BUKIT SERIBU


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, 

tempat dan ide, hanya kebetulan belaka


GEGER DI BUKIT SERIBU

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69

Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Geger Di Bukit Seribu


SATU


Bukit Seribu berdiri gagah, seolah menantang 

sang surya di pagi hari. Barisan bukit-bukit yang me-

lingkar bagai belanga berwarna hijau, ditutupi dedau-

nan pohon-pohon lebat. Sementara di sana sini men-

ganga jurang yang lebar, dan tebing-tebing runcing 

yang memancing kematian bagi mereka yang coba-

coba mendakinya.

Di dataran yang agak luas di atas bukit, Ki 

Mangsapati duduk bersila di atas bale-bale. Beliau 

adalah tokoh tua dunia persilatan yang telah lama 

mengasingkan diri dari keramaian umum. Pada masa 

mudanya terkenal dengan julukan Rajawali Bukit Seri-

bu, yang banyak membuat geger dunia persilatan den-

gan aksinya membantai penjahat-penjahat tengik, mal-

ing-maling coro, dan kaum persilatan golongan hitam.

Dalam pada itu, keheningan yang tercipta, teru-

sik oleh sesosok tubuh yang meloncat-loncat dengan 

ringannya, mendekati si orangtua yang masih tetap 

bersila. Wajahnya tampan, dan mengenakan jubah hi-

tam pada seluruh pakaiannya. Si orangtua itu terkejut 

sesaat, namun cepat tersenyum sambil angguk-

anggukkan kepala ketika si pemuda menjura hormat.

"Ampun guru, aku terlambat datang hari ini..." 

kata si pemuda.

"Tidak apa, tidak apa...." sahut orangtua itu ma-

sih tersenyum. "Bagaimana keadaan orangtua mu di 

desa? Baik? Mudah-mudahan begitu. Tapi kenapa 

engkau mengenakan pakaian hitam-hitam seperti ini? 

Apakah engkau sedang berkabung?"

Si pemuda seketika berubah murung. Lama dia 

tertunduk ketika akhirnya berkata lirih:

"Benar apa yang engkau katakan, guru. Saat ini


aku sedang berkabung karena begitu aku tiba di ru-

mah, keadaan desa telah hancur porak poranda. 

Orangtua ku pun terbunuh dalam kekacauan itu...!"

Si orangtua kerutkan alis dengan wajah terkejut.

"Siapa pelaku kerusuhan itu?!"

"Menurut orang-orang yang masih hidup, mereka 

dari Persekutuan Iblis Hitam...."

"Persekutuan Iblis Hitam...?!" gumam si orangtua 

sambil kertakkan rahang menahan amarah. "Perseku-

tuan orang-orang sesat yang dipimpin si Singalodra itu 

memang sangat meresahkan dunia persilatan saat ini. 

Mereka banyak membuat kekacauan di mana-mana, 

dan membunuh banyak tokoh-tokoh persilatan golon-

gan putih yang coba-coba menentangnya. Sudah saat-

nya engkau bertindak saat ini, mewakili ku untuk ber-

gabung dengan tokoh-tokoh golongan putih gua mem-

basmi mereka, Pranajaya!"

"Apa... apakah aku sanggup melawan mereka 

dengan ilmu yang kupelajari selama ini padamu, 

guru?" Si pemuda ragu-ragu bertanya. Hatinya bim-

bang karena mengetahui bahwa sesungguhnya musuh 

berilmu sangat tinggi.

"Prana, engkau tak usah menjadi takut menden-

gar kehebatan lawan. Aku meski tak terlalu hebat, tapi 

nama Rajawali Bukit Seribu bukanlah nama kosong 

belaka. Dan saat ini seluruh ilmu yang kumiliki telah 

aku turunkan padamu. Lagipula engkau harus ingat, 

bahwa tugas untuk melenyapkan kebatilan tidak 

hanya terletak pada pundakmu. Engkau harus berga-

bung dengan pendekar-pendekar aliran putih lainnya 

untuk saling bahu-membahu menumpas mereka. 

Engkau ingat apa yang pernah kukatakan beberapa 

tahun yang lalu?" 

"Aku ingat, guru. Engkau bersama-sama dengan 

Malaikat Gunung Selatan dan si Cangkul Maut me


numpas si Iblis Merah Darah yang sesat itu!"

"Nah, sepatutnya engkau begitu. Menggalang per-

satuan dengan sesama golongan. Karena bersama-

sama itu lebih kuat dibanding engkau menumpasnya 

seorang diri. Menurut apa yang kudengar pula, si Sin-

galodra itu berilmu tinggi dari ganas sekali. Aku pun 

turut sedih mendengar berita bahwa si Malaikat Gu-

nung Selatan dan si Cangkul Maut telah tewas di tan-

gannya. Apalagi saat ini, ketika mendengar berita ten-

tang kematian orangtua mu...." Orangtua itu perli-

hatkan wajah berduka sambil gelengkan kepala pelan 

dan tarik nafas panjang sesaat.

"Guru...." panggil si pemuda dengan suara datar, 

"Tahukah engkau kenapa si Singalodra membunuh 

kedua sahabatmu itu?"

"Entahlah... tapi menurut berita yang

kudengar, Singalodra adalah anak si Iblis Merah Darah 

yang hendak menuntut balas atas kematian orangtua-

nya, dan melanjut-kan cita-cita untuk menjagoi dunia 

persilatan dengan menghalalkan segala cara...."

"Apakah menurut guru ilmu silatku da-pat dian-

dalkan untuk mengalahkan si Singalodra?"

Si orangtua terdiam sejenak. Kembali dia meng-

hela nafas panjang sebelum menjawab lirih:

"Kalau benar si Singalodra itu anak si Iblis Merah 

Darah dan mewarisi seluruh ilmunya, ini adalah an-

caman serius...."

"Kenapa, guru?!"

"Ilmunya sangat tinggi, Prana. Kami bertiga dulu 

dengan susah payah baru berhasil mengalahkan-

nya...."

Demi mendengar jawaban itu si pemuda terse-

nyum tipis sambil mengeluarkan sesuatu dari balik ju-

bahnya. Sebilah pedang dengan sarung dan gagangnya 

yang hitam bagai arang. Ki Mangsapati terperanjat ka


get ketika melihat benda di tangan si pemuda. Dia se-

gera berdiri dan undur beberapa tindak ke belakang. Si 

pemuda sebaliknya dengan tenang berdiri tegak sambil 

memandang si orangtua dengan senyum sinis.

"Prana, apa-apaan engkau ini?! Dari mana eng-

kau peroleh Pedang Iblis itu?!" bentak si orangtua he-

ran bercampur was-was.

Sebaliknya mendengar bentakan itu si pemuda 

tertawa terbahak-bahak.

"Ha... ha... ha... ha...! Bagus, engkau masih men-

genali benda ini. Kau pikir siapa yang berhak mewa-

riskannya kalau bukan putranya sendiri?"

"Jadi... jadi... engkau anaknya si Iblis Merah Da-

rah?!" tanya si orangtua kecut. Wajahnya sedikit pu-

cat. Dia tahu betul bagaimana kehebatan senjata di 

tangan si pemuda. Bila dimainkan dengan jurus-jurus 

ilmu pedangnya, benda itu akan bergerak bagai setan 

menguber mangsa tanpa henti, sebelum lawan binasa 

dengan darah kering tersedot ke dalamnya.

"Ki Mangsapati, tunjukkanlah kehebatan sebagai 

tokoh kosen yang pernah menggetarkan dunia persila-

tan, bukan orangtua pikun yang bertahun-tahun ku-

bodohi dengan mengaku sebagai anak desa biasa di 

kaki bukit ini, dan tak pernah mau menetap di tem-

patmu yang bau apek. Jangan menampakkan wajah 

pucat ketakutan seperti itu. Mana kegaranganmu se-

bagai Rajawali Bukit Seribu?!" ejek si pemuda sinis.

"Bocah keparat! Murid murtad celaka! Jadi benar 

bahwa engkau ini Singalodra anak si Iblis Merah Da-

rah yang beberapa tahun yang lewat memohon-mohon 

padaku agar diangkat jadi murid?!"

"Bukan hanya engkau saja yang berhasil kubo-

dohi, tapi juga si Malaikat Gunung Selatan dan si 

Cangkul Maut. Kini kedua kembratmu itu telah kuki-

rim ke neraka setelah aku berhasil menguasai il


munya. Tapi untukmu kuberi kehormatan memenggal 

kepalamu sendiri!" sahut si pemuda tak perduli dengan 

kemarahan orangtua itu. Dia tertawa pelan sambil 

memandang sinis penuh kebencian.

"Bertahun-tahun aku memendam dendam, ki-

ranya hari ini akan terbalas kecurangan dengan kelici-

kan pula," lanjut si pemuda telah bersiap-siap menca-

but pedang ketika dilihatnya si orangtua mulai ber-

siap-siap dengan satu serangan. Agaknya Ki Mangsa-

pati menyadari, bila si pemuda telah berhasil meme-

gang pedang itu berarti betul dia telah menguasai ilmu 

Iblis Merah Darah. Sebab untuk memegang pedang itu 

diperlukan tenaga dalam yang kuat dan tinggi untuk 

mengendalikannya. Maka dia pun tak bisa memandang 

enteng pada si pemuda dengan mengeluarkan jurus-

jurus permulaan. Namun hal itu tentu saja diketahui 

oleh si pemuda.

"Bagus orangtua, engkau keluarkanlah jurus-

jurusmu yang paling mematikan untuk menerima ke-

matianmu di tanganku, kalau engkau tak mau me-

menggal kepalamu sendiri. Dengan begitu aku pun bi-

sa mendapat kehormatan meladeninya!"

"Haaaaaaaaait...!"

Ki Mangsapati membuka kedua belah lengannya 

lebar-lebar membentuk paruh bu-rung pada jari-

jarinya. Sebelah kakinya terangkat. Dengan satu lonca-

tan tinggi, dia mencelat sambil mengeluarkan suara 

bentakan bagai seekor rajawali yang sedang marah. 

Jurus ini sangat ganas dan mematikan, yang dikenal si 

pemuda dengan nama Rajawali Mencakar Bukit. Apa-

lagi saat ini dikeluarkan dengan kemarahan serta ke-

jengkelan yang dirasa si orangtua. Dengan gerakan-

gerakan cepat yang sulit diikuti kasat mata, dia men-

cecar bagian-bagian mematikan dari tubuh si pemuda. 

Seolah-olah ke mana pun gerakan si pemuda meng


hindar, kedua tangan yang membentuk paruh itu siap 

menghantamnya.

Tapi tak percuma si pemuda telah menguasai 

seluruh ilmu orangtua itu kalau tak mampu menghin-

darinya. Apalagi saat ini dia betul-betul telah mengua-

sai ilmu silat si Iblis Merah Darah yang beberapa pu-

luh tahun lalu menggemparkan dunia persilatan den-

gan sepak terjangnya yang sadis pada musuh-

musuhnya dan disegani oleh tokoh-tokoh golongan hi-

tam maupun putih karena ketinggian ilmu silatnya. 

Maka setelah menunggu beberapa belasan jurus untuk 

memberi kesempatan pada orangtua itu melampiaskan 

kemarahannya, dia pun mulai membalas. Pedangnya 

berputar-putar bagai kitiran yang menyambar-

nyambar tubuh si orangtua dari segala penjuru. Terke-

jutlah si orang tua melihatnya. Jurus itu pernah dike-

nalnya dan telah pernah pula dihadapi ketika melawan 

Iblis Merah Darah. Jangankan tergores kulit tubuh, 

terkena sambaran anginnya pun terasa perih bagai di-

iris-iris dan seolah pedang itu menyedot aliran darah 

lawan. Itulah keganasan dari jurus Pedang Iblis Neraka 

yang dimainkan si pemuda saat ini.

Merasa dicecar dari segala penjuru dan lawan 

terlihat tak memberi kesempatan untuk bernafas, si 

orangtua segera melentik ke belakang untuk membu-

ka jurus baru.

Namun si pemuda nampaknya tak memberi ke-

sempatan orangtua itu untuk berbuat ma-cam-macam. 

Ujung pedangnya segera menyambar dengan kecepa-

tan tinggi seolah menarik-narik tubuhnya guna mengi-

ris-iris kulit keriput si orangtua.

Ki Mangsapati terkejut bukan main. Baru saja dia 

menjejakkan kaki, mata pedang itu telah menyambar 

tenggorokannya. Agaknya hanya pengalaman dan ke-

matangan ilmu silatnya saja yang menyelamatkan


nyawa orangtua itu. Sambil tundukkan kepala ke be-

lakang, ujung pedang itu lewat beberapa mili di atas 

wajahnya. Si orangtua langsung bersalto ke belakang 

dengan menggunakan jurus Rajawali Mengamuk yang 

merupakan puncak dari ilmu silatnya, guna menghan-

tam pergelangan tangan si pemuda. Namun betapa ka-

getnya Ki Mangsapati ketika pedang di tangan si pe-

muda dengan cepat berputar ke kanan membentuk 

lingkaran, membabat pinggangnya dengan mengelua-

rkan suara mendengung. Kemudian dengan kecepatan 

yang sulit diikuti kasat mata, kembali pedang itu ber-

gerak dari bawah ke atas.

"Cras...! Cras...!"

"Prok...! Prol...!"

Ki Mangsapati tak sempat lagi berteriak. Tubuh-

nya kutung menjadi empat bagian dengan kulit tubuh 

yang pucat pasi bagai mayat. Tak setetes darah yang 

terlihat. Seolah-olah pedang di tangan si pemuda yang 

berwarna hitam, semakin legam setelah menghirup da-

rah orangtua yang malang itu. Ada seringai sinis dan 

rona kepuasan berbayang di wajah si pemuda yang se-

betulnya tampan. Dengan satu gerakan ringan, diten-

dangnya keempat potongan tubuh orangtua itu ke ju-

rang setelah menyarungkan kembali pedangnya.

Beberapa saat terdengar tawa panjang yang 

menggema di seluruh tebing-tebing. Mengagetkan bu-

rung-burung yang hinggap dan sedang melintas!


DUA



Dukuh Kembang Asem adalah sebuah desa yang 

makmur dan ramai dikunjungi orang, sebab desa itu 

merupakan persinggahan antara satu daerah dan dae-

rah yang lain yang tak kalah ramainya. Selama ini


penduduk desa itu hidup dengan damai dan aman. 

Namun di pagi ini, seluruh penghuni kampung dike-

jutkan dengan kedatangan serombongan orang-orang 

berjubah hitam yang mereka kenal sebagai Perseku-

tuan Iblis Hitam. Mereka merampok harta penduduk, 

menculik anak-anak perawan yang cantik, bahkan 

janda dan istri orang pun mereka jarah juga. Beberapa 

orang di antaranya bahkan sangat brutal dengan 

memperkosa perempuan-perempuan malang itu.

Banyak di antara penduduk itu yang tewas ter-

bunuh karena coba-coba melawan untuk memperta-

hankan miliknya.

Seperti di sebuah rumah sebelah pinggir kam-

pung itu. Seorang laki-laki setengah baya berusaha 

mati-matian mempertahankan harta benda serta istri 

dan seorang anak perempuannya yang cantik. Namun 

dengan kesadisan yang tak berperikemanusiaan, em-

pat orang berjubah hitam dengan mudah melempar-

kannya ke luar halaman. Laki-laki itu langsung ter-

sungkur mencium tanah. Dari sela-sela bibir dan hi-

dungnya keluar cairan kental berwarna merah. Dia be-

rusaha bangkit, namun sekujur tubuhnya terasa sakit 

luar biasa. Agaknya beberapa tulang rusuknya ada 

yang patah, karena sebelum mereka melemparnya ke 

luar, keempat orang itu telah menghajarnya habis-

habisan.

"Bapaaaaaaak...!" teriak anak perempuannya ce-

mas dan ketakutan. Namun dua di antaranya lang-

sung menarik tubuhnya ke kamar sambil mempreteli 

seluruh pakaian-nya. Gadis itu meronta-ronta untuk 

melepaskan diri, tapi apalah artinya tenaga seorang 

perempuan lemah dibanding dengan dua orang laki-

laki bertubuh besar dengan tenaga yang kuat. Meski 

dia berteriak setinggi langit, tak nanti bisa melepaskan 

diri dari cengkeraman kedua laki-laki kasar itu.


Belum lagi pemandangan yang dilihat laki-laki 

tua itu lewat matanya yang sayu namun mengandung 

kemarahan yang amat sangat, ketika melihat istrinya 

pun mendapat perlakuan yang sama oleh kedua kawan 

orang berjubah hitam itu. Dia hanya bisa memaki-

maki sambil berusaha mendekati mereka dengan me-

rangkak-rangkak.

"Persekutuan Iblis Hitam keparat! Ku-bunuh ka-

lian! Kubunuh kalian!!" teriaknya sengit dengan sekuat 

tenaga. Tapi belum lagi dia jauh merangkak, tiba-tiba 

keluarlah cairan kental berwarna merah dari mulut-

nya. Kali ini lebih banyak dari yang pertama, disertai 

dengan batuk keras yang membuat nafasnya terasa 

perih dan sesak.

Namun laki-laki itu seolah tak memperdulikan 

keadaannya. Dia kembali berteriak-teriak seperti orang 

kesetanan.

"Bajingan laknat! Lepaskaaaan anakku! Le-

paskaaaan istriku...!! Keparat! Kuhajar kalian...!!"

Dan teriakannya semakin keras ketika telinganya 

mendengar jeritan kedua perempuan itu. Penuh den-

gan ketakutan, tak berdaya, dalam mempertahankan 

kehormatan diri.

Tapi mana mau keempat orang itu per-duli dan 

meninggalkan keasyikan mereka. Laki-laki itu merasa 

putus asa dalam ketidak berdayaannya, dan tanpa sa-

dar dia menangis kecil sambil bergumam pelan:

"Mudah-mudahan dewata melaknat perbuatan 

kalian...!"

Entah doanya dikabulkan atau hanya karena ke-

betulan, dalam pada itu melesat-lah sosok bayangan 

berwarna biru ke hadapannya. Laki-laki itu tertegun 

sejenak. Seorang gadis cantik berpakaian biru dan 

menyandang pedang di pundaknya mengangguk ra-

mah. Lalu berujar pelan:


"Apakah yang terjadi di desa ini, Pak?"

"Oh... oh... siapakah engkau? Apakah engkau sa-

lah satu dari Persekutuan Iblis Hitam keparat itu? Ka-

lau betul, lebih baik engkau cabut pedangmu, dan bu-

nuhlah aku saat ini, daripada menanggung malu tak 

mampu membela keluargaku sendiri...."

"Tenanglah, Pak. Saya bukan dari orang yang ba-

pak maksudkan...." Belum lagi selesai bicara, telinga 

gadis itu yang tajam dan menandakan dia berasal dari 

dunia persilatan, segera mendengar teriakan dua pe-

rempuan dari dalam rumah. Meski terdengar pelan, 

namun dia tahu apa yang sedang terjadi pada kedua-

nya. Dengan satu loncatan ringan gadis itu melesat ke 

dalam.

Laki-laki itu tak tahu apa yang sedang terjadi di 

dalam. Namun untuk beberapa saat dia melihat dua 

orang berjubah hitam tadi, terlempar ke luar dalam 

keadaan yang mengerikan. Nyawa mereka langsung 

meregang dengan luka-luka sabetan pedang di perut 

dan punggungnya. Sedang kedua orang lagi lebih mu-

jur, hanya terluka-luka kecil dan cepat selamatkan diri 

dengan meloncat ke luar lewat atap rumah. Namun tak 

urung wajah keduanya terlihat pucat dan ketakutan 

melihat sepak terjang si gadis berbaju biru. Apalagi ke-

tika melihat kedua kawannya telah tewas, sementara si 

gadis itu telah berdiri gagah mendekati dengan ujung 

pedangnya masih berlumur darah.

"Persekutuan Iblis Keparat!" makinya sinis. "Be-

runtung hari ini aku menemukan kalian di sini, jadi 

tak bersusah payah mencari kalian ke mana-mana!"

"Nona...." berkata seseorang di antaranya, "Kita 

tak bermusuhan dan tak punya sangkut paut apa-apa. 

Kenapa nona begitu telengas membunuh kedua kawan 

kami?" 

Huh! Telengas katamu? Apa yang kalian lakukan


pada kedua perempuan itu? Dan apa yang kalian la-

kukan pada laki-laki itu? Lalu apa yang telah kalian 

lakukan pada yang lain-lain? Apakah engkau kira se-

banding dengan perbuatanku tadi? Kalian sepatutnya 

menerima ganjaran setimpal atas kelakuan anjing ka-

lian!" 

Meski hati kecut, namun dimaki-maki begitu, 

mau tak mau panas juga hati mereka. Kawannya sege-

ra menyela dengan garang sambil hunuskan goloknya. 

"Nona, Persekutuan Iblis Hitam tak bisa dihina 

begitu. Hari ini biarlah aku mewakili ketua untuk me-

mancung kepala dan mulutmu yang ceriwis itu!" 

"Haiiiiit...!"

Selesai berkata begitu, dia bersalto dua kali ke 

depan dan menyabet si gadis dengan jurus Ular Mema-

tuk Mangsa. Gerakannya gesit dan kuat dibarengi te-

naga dalam penuh. Sesungguhnya orang ini bukanlah 

anggota sembarangan Persekutuan Iblis Hitam, yang 

bisa dikalahkan dengan begitu mudah. Dalam dunia 

persilatan mereka dikenal dengan sebutan Empat Iblis 

Utara. Dan kalaupun kedua kawannya berhasil dija-

tuhkan gadis itu hingga tewas, bisa jadi karena kelen-

gahan mereka yang sedang diamuk nafsu birahi, se-

hingga tak menyadari bahaya yang mengancam.

Tapi si gadis pun ternyata bukan orang semba-

rangan pula. Dari serangannya yang khas, akan men-

gingatkan, bahwa dia sebenarnya berasal dari Pergu-

ruan Walet Biru. Suatu perguruan yang pernah dio-

brak-abrik Persekutuan Iblis Hitam beberapa bulan 

yang lalu. Ki Pandaran, ketua perguruan itu meski be-

rilmu tinggi dan disegani dalam dunia persilatan, ak-

hirnya harus menemui ajal di tangan Singalodra. Bisa 

jadi hal ini yang membuat gadis itu dendam bukan 

main pada gerombolan ini.

Dalam pada itu melihat kawannya telah mencelat


lebih dulu, dia pun segera mencabut goloknya dan ikut 

menyerang gadis itu. Barulah si gadis dapat merasa-

kan tekanan berat dari serangan mereka berdua. Ju-

rus-jurus Ular Mematuk Mangsa yang dimainkan den-

gan senjata golok, seolah hendak mematuk-matuk se-

luruh permukaan kulitnya jadi beberapa bagian. Tapi 

tak percuma si gadis berguru belasan tahun pada Ki 

Pandaran yang pernah kesohor sebagai tokoh kosen 

golongan putih puluhan tahun yang lalu, kalau dia 

merasa jeri melihat serangan mereka. Sambil kertak-

kan rahang menahan amarah, dia putar pedangnya 

sedemikian rupa ke sana sini bagai dua kepak sayap 

burung walet. Inilah jurus yang dinamakan Walet Ter-

bang Sore Hari. Seolah-olah lawan melihat dua buah 

pedang yang berkelebat di tangan si gadis menyambar-

nyambar sekujur tubuhnya dengan cepat dari berbagai 

arah. Sebentar saja terlihat bahwa si gadis sedang be-

rada di atas angin, dan lawan dibuat tak sempat balas 

menyerang.

Tiba-tiba dalam satu kesempatan.

"Cras...!"

"Cras...!"

Kedua orang itu menjerit panjang ketika dengan 

kecepatan yang sulit diikuti kasat mata, si gadis mem-

babat kutung masing-masing sebelah lengan mereka 

dengan jurus Pulang Ke Sarang. Suatu jurus yang ba-

nyak mengandalkan ilmu mengentengkan badan den-

gan loncatan-loncatan satu arah, namun tajam dan 

pasti ke tujuan.

Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia 

kembali melentik ke arah mereka dengan jurus Walet 

Tertidur. Suatu jurus pamungkas yang dilakukan den-

gan mata terpejam dan hanya mengandalkan penden-

garan belaka. Pedang di tangannya bergerak pada ba-

gian-bagian yang mematikan di tubuh lawan seolah


bermata, tapi ke mana pun lawan menghindar, pedang 

itu akan terus mengejarnya lewat pendengaran si gadis 

yang tajam.

Rasanya kedua orang itu telah pasrah menerima 

nasib di ujung pedang si gadis. Bahkan salah seorang 

telah memejamkan mata. Namun beberapa senti sebe-

lum pedang itu mengoyak-ngoyak tubuh mereka, tiba-

tiba...

"Trang...!" 

Si gadis terkejut setengah mati hingga kelopak 

matanya terbuka. Tangannya terasa kesemutan, tapi 

masih untung pedang itu tak terlepas dari gengga-

mannya. Padahal benturan yang dirasanya tadi sangat 

keras. Belum lagi habis terkejutnya, telinganya yang 

tajam segera merasakan sambaran angin dingin ber-

bau racun mengarah ke tenggorokannya. 

Buru-buru dia putar pedang menangkis.

"Traaaang...!"

Untuk kedua kali tangannya terasa kesemutan. 

Tapi kali ini benturan itu lebih kuat dan berat. Hampir 

saja pedang di tangannya terlepas dari genggaman. 

Melihat lawan bergerak sangat cepat dan sepertinya 

tak memberi kesempatan padanya, tubuh gadis itu ti-

ba-tiba melentik ke udara sambil bersalto beberapa 

putaran. Pedangnya berputar-putar ke sana sini mem-

bentuk perisai, menjaga serangan lawan dari berbagai 

arah. Inilah yang disebut jurus Menguak Kerumunan 

Badai Pasir, suatu jurus pertahanan yang sangat am-

puh, sebab bila sekali serangan lawan tertangkis, ma-

ka selanjutnya akan diikuti dengan serangan balasan 

yang mematikan.

Tapi lawan ternyata tak tertipu dengan pancingan 

itu, dan tak ada serangan yang kembali menyusul be-

berapa saat kemudian. Si gadis segera menjejakkan 

kaki dengan ringan setelah dirasanya tak ada lagi an


caman. Pertama kali yang terlihat olehnya adalah seo-

rang laki-laki kurus jangkung dengan punggung agak 

bungkuk. Rambutnya hitam kusut menjela-jela hingga 

ke dada. Wajahnya berlipat-lipat bagai kulit kayu yang 

telah tua, dengan sorot mata tajam dan bibir yang me-

nyungging senyum sinis di bawah kumisnya yang 

tumbuh jarang. Di tangannya terlihat sebatang tongkat 

berkepala ular berwarna hijau muda. Tongkat itu keli-

hatan alot karena terbuat dari kayu besi. Si gadis 

menduga-duga, pastilah tongkat itu yang tadi mem-

bentur pedangnya

"Segala bocah bau kencur mau jual lagak di ha-

dapan Persekutuan Iblis Hitam!" oceh laki-laki itu yang 

dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Iblis 

Ular Hijau. Konon dia adalah kembratnya si Iblis Me-

rah Darah ketika tokoh itu masih hidup, dan menghi-

lang entah ke mana selama puluhan tahun. Baru hari 

ini kembali terlihat kemunculannya. Si gadis pun tahu 

kehebatan tokoh ini lewat cerita almarhum gurunya, 

namun kini mengetahui bahwa tokoh kosen golongan 

hitam itu ada di depannya. Benaknya hanya tahu 

bahwa orang-orang Persekutuan Iblis Hitam harus di-

basmi! Berpikir sampai di situ, dia mendengus sinis 

sambil memandang enteng pada orang itu. 

"Huh, segala setan, dari neraka kiranya hendak 

coba-coba menakut-nakuti aku! Engkau boleh coba 

pada tikus-tikus got tak berguna, tapi jangan padaku!" 


TIGA



Demi mendengar kata-kata si gadis, meledaklah 

tawa Iblis Ular Hijau.

"Ha... ha... ha... ha...! Baru sekali ini kudengar 

seorang bocah pentil memandang rendah pada si Iblis


Ular Hijau yang selama malang melintang di dunia 

persilatan tak pernah dihina sedemikian rupa. Bagus 

bocah! Aku senang dengan semangatmu. Engkau tentu 

juga akan lebih bersemangat jika telah berada dalam 

pelukanku. Ha... ha... ha...!"

Selesai tawanya, tiba-tiba wajahnya berubah si-

nis dan garang. Lalu memandang nyalang pada kedua 

orang berjubah hitam yang telah kutung sebelah len-

gannya itu sambil berkata:

"Kalian urus yang lainnya, dan setelah itu bakar 

seluruh rumah-rumah di kampung ini. Urusan dengan 

gadis cantik ini biar aku yang akan menyelesaikannya. 

Katakan pada Singalodra, aku membawa gadis cantik 

luar biasa untuknya!"

Kedua orang itu menjura hormat, dan cepat ber-

kelebat menyambar kedua perempuan tadi, yang ma-

sih berada di situ sambil menangisi laki-laki malang 

yang kelihatan terbujur kaku tak bergerak.

Dalam pada itu si gadis terkejut bukan main ke-

tika lawan menyebutkan namanya. Diam-diam dia 

mengeluh sendiri. Melulu menghadapi anak buah Per-

sekutuan Iblis Hitam telah begitu berat, bagaimana 

mungkin dia bisa kalahkan si Singalodra guna memba-

las sakit hati ini. Dia baru tersentak kaget ketika men-

dengar jerit kedua perempuan yang sedang meronta-

ronta dalam bopongan sebelah lengan kedua laki-laki 

berjubah hitam itu.

"Iblis cabul keparat! Lepaskan mereka!" maki si 

gadis sambil melompat ke arah mereka dengan pedang 

terhunus. Tapi tentu saja dia tak melupakan si orang-

tua berwajah buruk, itulah sebabnya dia tak mau 

menggunakan jurus sembarangan. Dengan jurus

Membagi Arah Angin, dia telah mempersiapkan diri 

seandainya lawan membokong dari belakang. Tapi Iblis 

Ular Hijau bukanlah tokoh picisan yang mau berbuat

begitu. Dengan satu teriakan nyaring, dia melesat 

sambil menyodorkan tongkat di tangannya memapak 

pedang di tangan si gadis dari arah depan. Serangan 

lewat tongkat yang melesat ke sana sini sedemikian 

rupa disebut Lecutan Ekor Naga. Sesuai dengan na-

manya, dia menusuk ujung tongkatnya yang runcing 

ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan bagai 

pecut mencari sasaran.

Mau tak mau terpaksa si gadis urungkan niat 

untuk meneruskan serangannya pada kedua orang 

berjubah hitam itu, yang dengan cepat kabur. Dia 

membalik cepat dengan jurus kedua Membagi Arah 

Angin untuk menghadapi gebukan tongkat lawan. In-

ilah keuntungan jurus itu. Dia tak berusaha memapak 

senjata lawan, melainkan dengan ilmu mengentengkan 

tubuh yang lumayan, badannya yang ramping seakan 

mengapung di udara secara mendatar dengan kedua 

tangan terentang bagai sayap seekor walet, untuk

menghindari serangan lawan. Lalu dengan kecepatan 

tinggi menyabetkan mata pedang pada jantung lawan 

secara tiba-tiba. 

"Kampret...!" maki si Iblis Ular Hijau sambil mi-

ringkan badan jungkir balik ke kanan. Nyaris dadanya 

tertusuk ujung pedang si gadis kalau dia tak cepat 

mengelak. Tak urung terkejut nyalinya sesaat melihat 

kecepatan gadis itu bergerak. Tapi bukanlah Iblis Ular 

Hijau kalau masih bisa dipecundangi anak kemarin 

sore, pikirnya. Sambil kertakkan rahang menahan ge-

ram, dia buka jurus Ganti Kulit Di Sarang Naga. Kehe-

batan jurus ini terletak dari berkelebatnya seluruh 

anggota badan ke segala penjuru yang sama berba-

hayanya dengan permainan tongkat di tangannya. Se-

bentar saja terlihat si gadis mulai terdesak. Baru saja 

dia berusaha menghindari kejaran tongkat itu, tangan 

Iblis Ular Hijau telah menyusul, diikuti oleh sebelah


lengannya yang lain, dan kedua kaki yang siap mener-

jang. Meski si gadis telah mengeluarkan jurus Walet 

Tertidur pada bagian yang tertinggi, tak nanti dia bisa 

melepaskan diri dari serangan-serangan Iblis Ular Hi-

jau itu.

* * *

Kita tinggalkan sejenak pertarungan itu untuk

melihat ke suatu tempat yang tak Begitu jauh dari 

kampung itu. Seorang pemuda berwajah tampan den-

gan pakaian ku-mal berwarna merah, sedang asyik 

menyan-tap makanan sambil bersandar pada sebuah 

batang pohon. Dengan rambut dikuncir pada bagian 

belakang dan periuk besar di bagian belakang tubuh-

nya, sepintas dia terlihat seperti gembel yang kelapa-

ran. Sebentar-sebentar tatap matanya jauh meman-

dang ke depan dengan kosong. Seolah ada sesuatu 

yang sedang dipikirkannya. Siapakah pemuda ini? 

Siapa lagi kalau bukan pendekar kita, si Hina Kelana 

alias Buang Sengketa, murid si Bangkotan Koreng Se-

ribu yang kesohor itu.

Dalam pada itu tiba-tiba matanya melihat asap 

hitam mengepul dari kejauhan. Firasatnya mengata-

kan, pasti ada sesuatu yang tak beres di sana. Cepat 

dia berdiri dan melesat ke arah itu sambil mengerah-

kan ajian Sepi Angin yang membuat tubuhnya berke-

lebat dengan cepat dan sulit diikuti kasat mata. Seben-

tar saja terlihat sebuah Perkampungan yang diamuk 

kobaran api yang menyala-nyala. Beberapa rumah ha-

bis terbakar dan sisanya porak poranda. Jerit ketaku-

tan dan teriakan cuma terdengar dari beberapa orang 

penduduk yang masih tersisa. Pemandangan pertama 

yang dilihatnya ketika mendekati tempat itu adalah, 

pertarungan seru antara seseorang yang berwajah bu


ruk dengan tongkat ular di tangannya dengan seorang 

gadis cantik jelita berpakaian biru bersenjata sebilah 

pedang. Meski pertarungan itu sulit diikuti mata orang 

biasa, tapi bagi si pemuda yang berilmu tinggi itu, se-

bentar saja dia bisa melihat bahwa si buruk rupa itu 

berada di atas angin.

Melihat pertarungan yang tak seimbang itu, tentu 

saja si pemuda tak bisa mendiamkan begitu saja. Apa-

lagi ketika dilihatnya si buruk rupa mulai mengelua-

rkan uap racun lewat mulut ular di tongkatnya. Seben-

tar saja terlihat si gadis terbatuk-batuk dengan tubuh 

limbung ketika uap racun itu menyelimuti wajahnya.

"Ha... ha... ha...! Segala anak kemarin sore sudah 

merasa giginya bertaring bagai harimau di hadapan 

Persekutuan Iblis Hitam!"

Iblis Ular Hijau tertawa terbahak-bahak sambil 

pandangi tubuh si gadis yang menggeletak tak berdaya 

terkena uap beracun di tongkatnya. Baru saja dia hen-

dak menyambar tubuh itu ketika mendengar suara ta-

wa mengejek.

"Ha... ha... ha...! Segala Persekutuan Iblis Hitam 

hanya berani melawan perempuan tak berdaya. Dasar 

iblis cabul, ternyata hanya berisi orang-orang sundal 

dan bangsat rendah!"

Dimaki demikian rupa bukan main pa-nas dan 

jengkelnya Iblis Ular Hijau. Yang dilihatnya hanya ada 

seorang pemuda dengan pakaian gembel warna merah 

dengan rambut dikuncir dan periuk besar di pung-

gungnya, tertawa nyengir sambil garuk-garuk kepa-

lanya yang tak gatal. Amarahnya meluap seketika.

"He, Bocah sialan! Apakah engkau ingin digebuk 

karena mencampuri urusan Iblis Ular Hijau? Pergilah 

segera! Aku tak bernafsu untuk membunuh orang hari 

ini."

"Segala iblis bau busuk, untuk apa aku musti ta


kut pada kau? Aku datang dan pergi sesukaku, dan 

melakukan apa pun yang ku suka. Kalau aku tak mau 

pergi dan berniat mencampuri urusanmu, engkau bisa 

berbuat apa?"

Diejek terus-terusan seperti itu, semakin meluap 

amarah orang buruk rupa itu.

Sambil kertakkan rahang, dia mengayunkan 

tongkat hendak menggeprak batok kepala si pemuda 

dari Negeri Bunian itu dengan pukulan Ular Hijau. Su-

atu pukulan yang mengandung racun yang mematikan 

dan bengis sekali, sebab walau hanya mencium ua-

pnya saja dalam beberapa saat lawan akan tewas den-

gan seluruh tubuh kejang membiru. Gerakan pukulan 

itu lambat, namun seperti ular mematuk, dia akan 

bergerak bagai kilat begitu mendekati lawan.

"Bocah kurang ajar! Biar bapak moyangmu sekali 

pun tak akan berani berkata begitu di hadapanku. Kini 

mampuslah engkau!" teriak Iblis Ular Hijau yakin bah-

wa dengan sekali pukul, hancurlah batok ke-pala pe-

muda itu.

Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai ketu-

runan si Piton Utara, raja dari Negeri Bunian yang be-

rujud seekor piton raksasa, kalau menghadapi uap ra-

cun yang dikeluarkan si buruk rupa itu saja menjadi 

keder. Sebab seperti kita ketahui, pemuda itu kebal 

terhadap racun apa pun. Dan lagi pula, meski seran-

gan itu bengis dan sadis karena bermaksud menghabi-

si lawan seketika, tapi kekurangannya adalah tak me-

mikirkan bahwa lawan bisa menghindar dan kemudian 

mengirim serangan balasan. Seperti apa yang dilaku-

kan si pemuda.

Dengan menggunakan jurus Membendung Ge-

lombang Menimba Samudra, tubuh Buang Sengketa 

berkelebat sedemikian cepat menghindari serangan la-

wan, dan dengan tiba-tiba tangannya terpentang hen


dak menggaplok wajah lawan dengan jurus Si Hina 

Mengusir Lalat. Iblis Ular Hijau kaget bukan main, dan 

tidak menyangka gerakan lawan bisa secepat itu. Lagi 

pula tak terpengaruh dengan uap racun yang di kelua-

rkannya. Malah kalau dia tak cepat-cepat berkelit, bi-

sa-bisa wajahnya yang berlipat-lipat itu akan kena 

tamparan si pemuda.

"Haram jadah!" makinya kesal dan penasaran.

"Hak... hak.. hak...!" Buang Sengketa tertawa 

ganda. "Itulah upah orang yang suka memandang ren-

dah. Engkau pikir nama Iblis Ular Hijau mampu me-

nakut-nakutiku? Huh, segala manusia tak karuan cu-

ma punya nama kosong!"

Meledaklah amarah Iblis Ular Hijau diejek demi-

kian. Tapi saat ini dia betul-betul tak punya waktu ke-

tika mendengar suitan panjang. Sambil kertakkan ra-

hang menahan geram, dia kirim serangan kilat lewat 

ujung tongkat yang menyambar-nyambar bagai lemba-

ran kipas baja ke tenggorokan si pemuda. Jurus yang 

dinamakan Ular Hijau Berbulan Madu ini hanyalah 

suatu jurus tipuan yang sangat berbahaya, sebab bila 

lawan sedikit lengah, maka sambaran ujung tongkat 

yang runcing akan mengiris-ngiris kulit tubuh, namun 

begitu lawan kerepotan berkelit ke sana sini, dengan 

tiba-tiba dari mulut ular di tongkat itu menyemburlah 

uap beracun berwarna hijau.

Buang Sengketa memang kebal racun, namun 

menghadapi sambaran ujung tongkat lawan yang ber-

gerak sedemikian rupa, agak repot juga. Belum bagi 

kabut tebal dari uap beracun yang menghalangi pan-

dangan. Melihat lawan menggunakan jurus curang be-

gitu, bangkitlah kemarahan pemuda dari Negeri Bu-

nian itu. Selarik gelombang Sinar Ultra Violet dari Pu-

kulan Empat Anasir Kehidupan segera menyambar ke 

berbagai arah menembus uap beracun itu.


"Blar...! Blaar...!"

Buang Sengketa segera mencelat ke atas sambil 

bersalto beberapa kali ke belakang.

Namun ketika menjejakkan kaki ke tanah, ter-

nyata lawan sudah tak ada lagi. Hanya lapat-lapat ter-

dengar suara yang dikerahkan lewat tenaga dalam 

yang tinggi ke telinganya.

"Bocah sialan! Aku belum merasa kalah dengan-

mu. Kalau engkau masih penasaran denganku, engkau 

boleh menyambangiku di Bukit Seribu. Siapa tahu di 

sana aku akan sempat menggali liang kubur untukmu. 

Hak... hak... hak...!"

Buang Sengketa kesal bukan main. Jengkel dan 

marah melihat lawan kabur di depan hidungnya sendi-

ri, dia menghantam sebuah pohon dengan pukulan 

Empat Anasir Kehidupan.

"Blaaaar...!"

"Kraaaaaak...!"

Pohon besar itu tumbang dan jatuh berdebum. 

Tokh belum redakan amarahnya. Namun tiba-tiba 

pandangannya tertumbuk pada gadis berpakaian biru 

yang masih tergeletak pingsan. Sepintas saja dia dapat 

melihat bahwa gadis itu terkena racun si Iblis Ular Hi-

jau. Pemuda itu segera memberi pertolongan padanya. 

Barangkali hanya begitu yang bisa diberikannya. Se-

mentara pada saat itu Dukuh Kembang Asem telah 

musnah terbakar, dan nama Persekutuan Iblis Hitam 

adalah biang keladi kekacauan yang mulai melekat di 

benaknya.


EMPAT



Singalodra duduk di singgasananya yang terbuat 

dari batu pualam hitam. Beberapa orang kepercayaan


nya sedang memberi laporan tentang hasil kerja mere-

ka selama ini. Sementara di samping kanannya terlihat 

seorang laki-laki dengan wajah terlipat-lipat bagai kulit 

kayu yang sudah tua. Memegang sebuah tongkat ber-

kepala ular. Siapa lagi kalau bukan Iblis Ular Hijau 

adanya!

"Sanggalangit telah kami musnakan, dan ketua-

nya yang bernama Cakrabuana tewas," kata salah seo-

rang yang melapor. Singalodra manggut-manggut 

sambil tersenyum kecil.

"Sayang, sungguh sayang. Padahal kalau mereka 

mau bergabung baik-baik dengan kita tak akan begitu 

jadinya. Tapi orang keras kepala seperti itu memang 

harus dilenyapkan!" sahut Singalodra. "Bagaimana 

dengan kalian, Setan Lembah Neraka?" lanjutnya ber-

tanya pada tiga orang laki-laki botak dengan wajah se-

ram menakutkan. Di tangan mereka masing-masing 

terdapat senjata gada berduri.

Salah seorang menyahut, "Si Gelang-gelang Ter-

bang bersedia bergabung dengan kita, dan beberapa 

hari lagi dia akan ke sini."

"Bagus! Bagus! Ternyata beliau masih menghor-

mati nama besar ayahanda Iblis Merah Darah. Usaha-

kan kalian terus membujuk para tokoh-tokoh golongan 

hitam lain agar mau bergabung dengan kita. Perseku-

tuan Iblis Hitam akan terus berdiri dan merajai dunia 

persilatan, dan tak seorang pun boleh untuk mengha-

lang-halanginya!" Wajah Singalodra terlihat semangat, 

dan hawa dendam mewarnai cita-citanya untuk men-

jadi raja diraja dunia persilatan seperti cita-cita ba-

paknya dahulu.

Beberapa saat kemudian Singalodra menyuruh 

mereka untuk keluar dari ruangan, sementara dia 

sendiri hendak beranjak ke kamarnya setelah seseo-

rang membisikkan sesuatu ke telinganya. Wajahnya


kelihatan berseri dengan ketawa kecil menghiasi wa-

jahnya yang tampan.

"Paman boleh bersenang-senang mencari perem-

puan-perempuan yang paman sukai," katanya pada Ib-

lis Ular Hijau. Agaknya orangtua itu telah mengerti apa 

yang hendak dikerjakan ketua Persekutuan Iblis Hitam 

itu. Dia cuma mengangguk kecil dan kemudian berka-

ta pelan.

"Singalodra, barangkali kita akan sedikit menda-

pat hambatan...." Dia tak meneruskan kata-katanya, 

melainkan berpikir sesaat. Singalodra jadi penasaran 

dibuatnya. Dia segera kembali duduk dan memandang 

orang itu dengan serius.

"Hambatan apa, Paman?"

"Ada beberapa tokoh-tokoh muda berilmu tinggi 

yang bisa jadi ancaman buat kita nantinya. Seperti 

yang paman ceritakan ketika kami membumihan-

guskan Dukuh Kembang Asem itu...."

"Paman...." Berkata Singalodra sambil tersenyum 

meremehkan, "Ilmu silat Iblis Merah Darah tiada ter-

tandingi. Paman sendiri mengakui hal itu. Kenapa se-

gala anak kemarin sore harus kita khawatirkan?"

Iblis Ular Hijau terdiam untuk beberapa saat tak 

menjawab. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu 

tentang pemuda yang dihadapinya di Dukuh Kembang 

Asem itu, yang membuatnya penasaran setengah mati. 

Pasalnya dia teringat pada seorang tokoh legendaris 

puluhan tahun lalu yang sangat menjagoi dunia persi-

latan. Tokoh yang seluruh tubuhnya penuh dengan 

bercak-bercak koreng, yang tak seorang pernah men-

galahkannya. Tidak untuk si Iblis Merah Darah yang 

pernah berduel dengannya, dan hanya keberuntungan 

bisa melarikan diri yang menyelamatkannya. Pada per-

tarungan itu pun dia ikut menempur tokoh kosen ter-

sebut. Yang justru membuatnya khawatir adalah, jurus-jurus si pemuda sangat mirip dengan tokoh itu!

Tapi Singalodra telah berpaling ke kamarnya, dan 

sebentar saja terdengar tawanya yang berkepanjangan 

diikuti dengan teriak ketakutan dari seorang perem-

puan; yang diculiknya dari sebuah perguruan silat 

yang ditaklukkannya beberapa hari yang lalu.

* * *

Puji Lestari berjalan pelan-pelan. Sebentar-

sebentar matanya melirik pemuda yang berjalan tak 

acuh di sampingnya. Hatinya tak henti bertanya-tanya. 

Pemuda itu sangat tampan, tapi pakaiannya aneh be-

tul. Dengan jubah lusuh dan dekil, lalu rambut dikun-

cir dan periuk besar di punggungnya, dia betul-betul 

persis gembel. Tapi acuhnya itu yang membuatnya 

gregetan. Seolah dia tak perduli dengan kehadirannya 

di sini. Padahal gadis itu tak terlalu jelek. Cantik ma-

lah iya. Barangkali juga dia seorang pemalu, pikirnya. 

Teringat ke situ dia mencari-cari bahan omongan.

"Namamu aneh...?"

Pemuda itu hanya nyengir sebelum men-jawab. 

"Nama itu penuh dengan riwayat yang berkepanjan-

gan. Aku bagai orang terbuang yang lahir seperti tak 

diharapkan, tapi justru kelahiranku membuat banyak 

persengketaan. Itulah sebab aku dinamakan Buang

Sengketa."

"Barangkali kita tak jauh beda. Kedua orangtua

ku pun telah tiada. Ki Pandaran memungut ku sejak 

kecil. Tapi orangtua itu telah tewas pada saat aku tak 

berada di tempat. Aku tak sempat membalas budinya. 

Barangkali hanya dengan jalan menumpas orang-

orang Persekutuan Iblis keparat itulah bisa membuat 

batin ku sedikit tenang..."

"Jadi kenapa kita musti menuju ke Perguruan Ki


lat Buana dahulu? Bukankah lebih baik langsung me-

nuju ke Bukit Seribu menumpas manusia-manusia 

laknat itu?" tanya si pemuda yang tak lain Buang 

Sengketa adanya, dengan wajah bingung.

"Beliau meninggalkan pesan agar aku bergabung 

dengan perguruan itu, dan bersama-sama menumpas 

gerombolan iblis itu."

"Jauh lagi perjalanan ke sana?"

Gadis itu tertawa renyah. "Kalau kita terus ber-

santai begini, mungkin tiga hari lagi baru tiba di sana."

"Kalau begitu tunggu apa lagi?!" kata si pemuda 

sambil mengeluarkan ajian Sepi Angin dan melesat ce-

pat.

Si gadis terkejut setengah mati. Tiba-tiba saja si 

pemuda telah lenyap dari sampingnya. Tahulah dia,

bahwa selain memiliki kepandaian yang hebat waktu 

menolongnya memunahkan racun di tubuhnya akibat 

bertarung dengan Iblis Ular Hijau, pemuda itu pun 

ternyata hebat ilmu larinya. Belum lagi hatinya yang 

bertanya-tanya sampai sejauh mana kehebatan ilmu 

silat pemuda itu.

Berpikir begitu malu benar hatinya sebab ilmu 

larinya tak ada seujung kuku dibanding si pemuda. 

Padahal dia telah mengerahkan seluruh kebisaannya.

Buang Sengketa melihat gadis itu terengah-engah 

dari kejauhan, segera perlambat larinya hingga kemba-

li bersama-sama.

"Gila! Engkau berlari seperti angin saja," puji si 

gadis. "Barangkali engkau ini anak jin!" lanjut si gadis 

bercanda.

Tawanya renyah diselingi nafasnya yang teren-

gah-engah. Buang Sengketa justru tersenyum kecil pe-

nuh arti. Kalau saja si gadis tahu bahwa apa yang di-

tebaknya itu benar, entah apa jadinya, pikir Pendekar 

Hina Kelana itu. Barangkali juga dia akan ketakutan


atau malah terkejut kegirangan!

"Kenapa Singalodra membunuh gurumu?" tanya 

Buang Sengketa setelah reda senyumnya.

"Mereka mengajaknya untuk bergabung ke dalam 

Persekutuan Iblis Hitam. Tapi Ki Pandaran tak mau. 

Beliau lebih baik me-milih mati daripada harus beker-

jasama dengan mereka."

Pendekar dari Negeri Bunian itu angguk-

anggukkan kepala. "Apakah banyak dari tokoh-tokoh 

golongan putih yang bergabung dengan Persekutuan 

Iblis Hitam?"

"Menurut guruku banyak juga. Rata-rata mereka 

dibujuk dengan harta keduniaan, dan sebagian kecil 

karena ditaklukkan. Mereka yang takut mati lebih baik 

memilih bergabung...." Wajah gadis itu tiba-tiba men-

dengus sinis. "Mereka itu pengecut dan lebih pantas 

mati!" lanjutnya.

Buang Sengketa menyadari bahwa gadis ini se-

dang diamuk dendam. Dia hanya men-diamkan saja, 

dan tak banyak bicara lagi. Sampai akhirnya mereka 

tiba di suatu desa, gadis itu perlambat larinya dan ber-

jalan seperti biasa. Buang Sengketa pun mengikutinya.

"Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi me-

nurut almarhum guruku, Perguruan Kilat Buana di 

desa ini," kata gadis itu sambil memandang ke sekelil-

ing.

"Desa ini aneh!" Berkata Buang Sengketa setelah 

matanya memperhatikan orang-orang di sekitar itu. 

"Mereka kelihatan takut akan kedatangan kita. Ada 

apa gerangan?"

Gadis itu pun merasakannya. Wajah-wajah pen-

duduk yang menatap mereka seolah curiga. Kemudian 

cepat-cepat menutup pintu rumah mereka. Atau yang 

sedang duduk di depan rumah, buru-buru menghin-

dar. Bahkan yang berselisih jalan dengan mereka, buru-buru kembali surut.

"Ada apa?" tanya gadis dalam hatinya. Dia ber-

maksud mendekati salah seorang. Namun orang itu 

buru-buru kabur seperti ketakutan.

"Aneh...!" desis si pemuda. "Coba kita tanya 

orang-orang di warung sana. Barangkali kita akan 

mendapat penjelasan." Gadis itu menyetujui. Namun 

ketika mereka baru saja mendekati pintu, orang-orang 

yang berada di sana buru-buru keluar dengan wajah 

ketakutan. Begitu pun halnya dengan si pemilik wa-

rung. Dia buru-buru masuk ke dalam. Namun si gadis 

yang sudah kepalang penasaran dan kesal karena tak 

menemukan jawab atas sikap mereka, segera membu-

runya dan menangkap pergelangan laki-laki setengah 

baya berperut buncit itu.

"Tunggu, Pak! Ada apa sebenarnya di desa ini? 

Kenapa setiap orang yang kami jumpai seolah-olah ke-

takutan?"

Laki-laki itu menampakkan wajah gelisah. Bebe-

rapa kali matanya melirik ke arah pintu, dan mereka 

berdua secara bergantian. Tiada kata yang keluar se-

lain dari hentakan tangannya yang ingin melepaskan 

diri dari cengkeraman gadis itu. Tapi mana mau si ga-

dis melepaskannya sebelum dia dapat penjelasan.

"Kedatangan kami ke sini bermaksud baik, Pak. 

Bapak tak perlu takut!" kata si gadis berusaha ramah 

sambil tersenyum. "Coba bapak jelaskan, ada apa se-

benarnya di desa ini?"

Dia kembali menatap pintu depan dan kedua 

orang itu bergantian. Kali ini tangannya tak berontak 

lagi. Hanya wajahnya yang memelas menatap pada me-

reka. Kemudian katanya lirih: "Aduh, Nona.... lebih 

baik tinggalkan desa ini secepatnya, Kalau tidak, kami 

bisa celaka! Tolonglah... cepat tinggalkan desa ini se-

cepatnya...."


"Ada apa, Pak? Apa yang terjadi dengan desa ini?" 

tanya si pemuda ikut penasaran. Laki-laki itu sejenak 

memperhatikan si pemuda. Hatinya hendak tertawa 

lucu melihat dandanan si pemuda. Barangkali juga 

bertanya-tanya, mengapa seorang gadis cantik jelita ini 

mau berjalan bersama pemuda gembel yang aneh ini? 

Tapi apa perlunya dia bertanya kalau hal itu berarti 

mengundang kematiannya?

"Sa... saya tak bisa menjelaskannya. Lebih baik 

kalian pergi secepatnya dari tempat ini...!"

Buang Sengketa garuk-garuk rambut di kepa-

lanya yang tak gatal. Meski jengkel, tapi apakah harus 

dilampiaskan dengan menghajar orang ini? Dia sudah 

ketakutan begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya 

demikian. Pemuda itu hanya angkat bahu ketika si ga-

dis meliriknya. Tapi Puji Lestari bukanlah gadis yang 

terlalu sabar menghadapi persoalan seperti ini. Ke-

jengkelannya bisa memuncak menjadi amarah. Dengan 

satu sentakan, ditariknya pemilik warung itu ke atas 

dengan sebelah tangan. Laki-laki setengah baya berpe-

rut buncit itu seketika berwajah pucat. Kedua muda 

mudi ini berilmu tinggi, pikirnya. Dia seolah berada da-

lam dua pilihan yang sama tak enak.

"Katakan! Ada apa sebenarnya di balik semua 

ini? Atau tubuhmu akan kulempar ke seluruh ruangan 

ini hingga porak poranda!" ancam si gadis sambil mu-

lai memutar-mutar tubuh orang itu. Makin ketakutan-

lah si pemilik warung. Dengan suara cemas, dia berte-

riak-teriak ketakutan.


LIMA



"Baiklah! Baiklah! Tapi turunkan dulu, dan ka-

lian berjanji akan melindungiku!"


Si gadis segera hentikan perbuatannya sambil 

anggukkan kepala. Orang itu menarik nafas sesaat. 

Kemudian katanya, 

"Beberapa hari yang lewat orang-orang Perseku-

tuan Iblis Hitam menyerbu ke sini. Mereka merampok 

dan menculik semua perempuan-perempuan cantik di 

desa ini. Tujuan mereka sebenarnya memancing pihak 

Perguruan Kilat Buana yang bermarkas di ujung desa 

itu untuk keluar membela para penduduk, di samping 

tujuan-tujuan pribadi. Kilat Buana tadinya tak ter-

pancing kalau tindakan mereka tak melampaui batas 

seperti itu. Tapi.... Persekutuan Iblis Hitam terlalu 

tangguh buat mereka. Seluruh murid-murid Kilat Bu-

ana dibunuh habis semuanya, dan... dan desa ini di-

kuasai oleh mereka. Kami... kami, dilarang berhubun-

gan dengan orang-orang asing yang bukan termasuk 

anggota Persekutuan Iblis Hitam. Bahkan untuk berbi-

cara...." 

Belum lagi selesai ucapan laki-laki itu, tiba-tiba 

dia menjerit kesakitan dan langsung roboh.

"Awas!" Buang Sengketa memperingatkan si gadis 

sambil berjumpalitan ketika beberapa buah benda me-

lesat ke arah mereka. Si gadis pun ternyata bukan 

orang sembarangan. Tak percuma dia menjadi murid 

Perguruan Walet Biru yang kesohor dengan ilmu pen-

dengarannya yang baik kalau tak mampu merasakan 

sesuatu yang berdesir ke arah mereka. Sambil melom-

pat tinggi ke atas, dia mengikuti gerakan si pemuda 

menerobos lewat atap warung dan turun dengan sem-

purna.

Baru saja mereka menjejakkan kaki ke tanah, 

kembali berdesir sesuatu ke arah mereka. Kali ini tera-

sa lebih berat seolah-olah radius satu tombak dari me-

reka berada dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat 

namun terasa hawa dingin yang menusuk pernafasan


mereka. Pemuda dari Negeri Bunian itu jadi jengkel di-

buatnya. Begitu dilihatnya si gadis telah membabatkan 

pedang ke sana ke mari, dia pun segera menjulurkan 

sebelah lengannya. Selarik gelombang Ultra Violet se-

gera menyebar ke segala penjuru dan menabrak segala 

sesuatu yang menghalanginya. Pukulan Empat Anasir 

Kehidupan yang dikeluarkan Buang Sengketa ternyata 

membawa hasil. Paling tidak badai serangan gelap itu 

menjadi sirna untuk sementara. Barulah mereka dapat 

melihat dengan jelas, siapa adanya si penyerang itu.

Seorang laki-laki tinggi kurus bermuka lonjong 

dengan kulit hitam, tersenyum sinis pada mereka. Di 

belakangnya beberapa orang berseragam jubah hitam 

nampaknya mengurung rapat-rapat tempat itu. Seo-

lah-olah tiada jalan keluar sedikit pun untuk mereka 

bisa kabur. Melihat hal itu Buang Sengketa malah ke-

tawa ganda.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Jauh-jauh dicari ter-

nyata malah datang sendiri mencari mati. Hak... hak... 

hak...!" kata si pemuda. Pikirnya, tentulah mereka ini 

orang-orang dari Persekutuan Iblis Hitam, sebab me-

nurut si gadis, gerombolan itu selalu berseragam jubah 

hitam pada tiap anggotanya, seperti apa yang dilihat-

nya saat ini.

"Bocah, kematianmu telah di ujung mata, terta-

walah sepuas hati sebelum kami mencabut selembar 

nyawamu yang tak berguna!" balas si muka lonjong si-

nis. Dia segera mengeluarkan sepasang trisula dari 

pinggangnya. Agaknya orang ini tak suka berbasa basi 

dan berdarah dingin, sebab tanpa penjelasan apa-apa 

dia telah menyerang mereka berdua dengan jurus-

jurus yang mematikan.

Buang Sengketa tentu saja telah men-duga hal 

itu, dan menyiapkan jurus tangkisan. Tapi tak terduga 

sama sekali bahwa manusia bermuka lonjong itu lang


sung mengeluarkan ilmu silat kelas tinggi untuk 

menghajarnya. Tentu saja si pemuda yang tak me-

nyangka demikian jadi kelabakan sendiri. Pikirnya, 

pastilah lawannya saat ini anggota biasa dari gerombo-

lan itu, mengingat pakaiannya yang biasa saja dan 

senjata di tangannya yang terlihat tidak luar biasa. 

Akibatnya sungguh tak terduga buatnya. Dada si pe-

muda terkena goresan senjata lawan setelah dia beru-

saha menghindar dari satu pukulan yang dibarengi 

dengan sapuan kaki. 

Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu terhuyung-

huyung kesakitan, dan darah segar mulai menetes dari 

dadanya. Melihat itu si muka lonjong tertawa keras.

"Bocah! Engkau telah terkena Racun Kelabang 

Hitam yang mematikan. Sebentar lagi tubuhmu akan 

membiru dan kejang-kejang, dan setelah itu engkau 

boleh menemui bapak moyangmu. Ha... ha... ha...!"

Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai ketu-

runan raja dari Negeri Bunian yang kebal terhadap ra-

cun apa pun. Yang membuatnya kesal hanya rasa pe-

nasaran dan jengkel akibat memandang rendah pada 

lawan. Sambil kertakkan rahang menahan geram, ha-

wa kesadisan menyatu dalam jiwanya melihat kepada 

manusia telengas itu. Dengan satu teriakan nyaring, 

dia melesat ke arah lawan dengan mempergunakan 

Jurus Si Jadah Terbuang. Suatu jurus handal yang ja-

rang dikeluarkan kalau tidak pada kejengkelan yang 

memuncak. Tubuhnya berkelebat ke sana sini dengan 

kecepatan yang sulit diikuti kasat mata.

Si muka lonjong yang dalam dunia persilatan di-

kenal sebagai si Kelabang Hitam, tokoh sesat yang pal-

ing ditakuti dalam dunia persilatan. Baik tokoh golon-

gan hitam maupun putih. Senjata trisulanya kelihatan 

biasa tapi sebetulnya mengandung racun mematikan 

yang tak terlihat dan tak berbau. Lawan yang tak men


getahui hal itu pasti akan menganggapnya remeh, dan 

di situlah keberuntungan si Kelabang Hitam. Seperti 

yang terjadi pada Buang Sengketa tadi. Tapi dia tak bi-

sa langsung bergirang, sebab setelah beberapa saat 

berlalu, tak terlihat tanda-tanda bahwa si pemuda ter-

kena pengaruh racunnya. Malah serangannya semakin 

hebat dan membuat si Kelabang Hitam jadi kerepotan 

sendiri dibuatnya.

"Oh, jadi engkau yang bergelar si Kelabang Hitam 

bermuka jelek itu?" ejek si pemuda sambil terkekeh 

mempermainkan lawan. "Racun kelabangmu betul-

betul obat yang paling mujarab. Sebentar saja tubuhku 

yang tadi pegal-pegal kini terasa segar untuk mengge-

buk mukamu yang jelek itu!" Ucapan si pemuda ter-

bukti ketika dalam satu kesempatan berhasil mengha-

jar lawan.

Kelabang Hitam merasakan punggungnya sakit 

luar biasa terkena pukulan si pemuda. Untung saja 

murid si Bangkotan Koreng Seribu itu tak mengerah-

kan pukulan yang mematikan, kalau tidak, niscaya 

nama Kelabang Hitam akan sirna saat itu juga.

Tapi manusia satu ini kedot luar biasa. Dalam 

satu kesempatan dia merangkapkan kedua telapak 

tangan setelah tadi trisulanya terpental dengan ten-

dangan susulan yang dilancarkan si pemuda. Meski di-

rasanya tenaga lawan sangat kuat, terbukti tangannya 

masih kesemutan terkena hajaran si pemuda, tapi tak 

nanti pemuda itu bisa melepaskan diri dari Pukulan 

Arang Beracunnya, pikir si muka lonjong itu.

Segulungan uap hitam perlahan-lahan keluar da-

ri telapak tangannya. Untuk se-saat Buang Sengketa 

terperanjat kaget. Naluri silumannya segera mengin-

gatkan akan bahaya yang mengancam keselamatan-

nya. Apalagi ketika perlahan-lahan uap itu membentuk 

suatu sinar hitam yang melesat cepat ke arahnya. Bu


ru-buru pemuda itu berjumpalitan menghindari diri. 

Terlihat olehnya batang pohon di samping warung 

yang terkena pukulan itu tiba-tiba seluruh daun-

daunnya menjadi layu dan perlahan-lahan meranggas. 

Pemuda itu bergidik sendiri membayangkan bila tu-

buhnya yang terkena pukulan itu.

Sementara itu si gadis sedang kerepotan meng-

hadapi kerubutan beberapa orang berjubah hitam. Pe-

dangnya berkelebat ke sana sini dengan kecepatan pe-

nuh. Namun tak seorang pun dari mereka yang terke-

na.

Gadis ini jadi penasaran sendiri dibuatnya. Bah-

kan beberapa kali dia kena didesak dan kerepotan un-

tuk menangkis serangan-serangan balasan. Hatinya 

panas bukan main melihat keadaan itu, dan bertanya-

tanya, bila saja anak buahnya sudah begini hebat, ba-

gaimana dengan Singalodra sendiri? Berpikir begitu 

timbul rasa putus asa dalam dirinya.

Sebenarnya si gadis tidak mengetahui bahwa 

yang dihadapinya saat ini adalah sebagian pasukan in-

ti Persekutuan Iblis Hitam yang ditugaskan menjaga 

desa ini dari kedatangan orang-orang asing yang dicu-

rigai seperti mereka. Sebagai pasukan inti, tentu saja 

kepandaian mereka tak sembarangan. Rata-rata ilmu 

silat mereka seimbang dengan kepandaian si gadis. 

Maka tak heran kalau sebentar saja si gadis sudah 

terdesak hebat, bahkan beberapa kali senjata lawan 

hampir melukai tubuhnya.

"Jangan!" teriak salah seorang di antara mereka 

ketika kawannya hendak membabat kutung sebelah 

lengan gadis yang sudah terpojok tak berdaya ketika 

sebelah kakinya kena dihantam lawan dan tubuhnya 

jatuh berdebum ke tanah. "Gadis ini sangat cantik. Se-

baiknya kita persembahkan saja pada ketua!" lanjut-

nya. "Beliau pasti senang sekali dengan persembahan


kali ini. Sebaiknya ditotok saja agar gampang memba-

wanya."

Salah seorang segera bergerak hendak. menotok 

gadis itu. Namun pada saat itu berkelebatlah selarik 

gelombang sinar berwarna merah menghantam dua 

orang di antara mereka, dan jerit kesakitan segera 

mengiring kematiannya. Kawan-kawannya terkejut se-

tengah mati melihat itu. Reflek mereka segera menoleh 

ke arah datangnya pukulan itu, dan terlihat pemuda 

berkuncir yang sedang bertempur dengan si Kelabang 

Hitam sedang terkekeh-kekeh.

"Iblis-iblis keparat! Apa kalian pikir bisa berbuat 

seenaknya di hadapanku? Huh, jangan coba-coba un-

tuk berbuat kurang ajar pada gadis itu. Kalau tidak, 

kalian rasakan sendiri akibatnya!" gertak si pemuda 

sambil kiblatkan tangan dan kemudian selarik gelom-

bang merah menyala melesat cepat ke arah si Kelabang 

Hitam. Masih bagus si muka lonjong itu bisa menghin-

darinya dan melancarkan serangan balasan dengan 

pukulan Arang Beracunnya.

"Blaaar...!" 

Dua pukulan beradu menimbulkan suara hebat. 

Si Kelabang Hitam terhuyung-huyung beberapa tindak. 

Dari sela-sela bibirnya keluar darah merah kehitam-

hitaman. Dia cepat bersila di tanah melancarkan jalan 

darah dan atur pernafasan. Sementara si pemuda 

hanya bergetar tubuhnya, namun tak urung jalan da-

rahnya terasa berdenyut kencang tak beraturan.

Dalam pada itu si gadis kembali mengamuk men-

gayunkan pedangnya ke sana sini dengan sebat. Seo-

lah semangatnya kembali bangkit ketika mengetahui 

bahwa pemuda aneh yang sejak tadi berjalan bersa-

manya ternyata berilmu tinggi. Tapi walaupun kedua 

kawannya telah tewas, tetap saja dia tak mampu un-

tuk mendesak orang-orang berjubah hitam itu. Kini


kembali mereka mendesaknya habis-habisan. Namun 

pada saat itu, muncullah seseorang yang langsung 

menghajar dua orang berjubah hitam itu hingga ter-

huyung-huyung sambil men-dekap dada. Si gadis se-

gera melirik pada orang yang baru muncul itu. Seorang 

pemuda yang berwajah tampan, berambut pen-dek 

dengan ikat kepala warna hitam serta berpakaian ser-

ba putih. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang 

agak panjang. Sesaat dia melirik pada gadis itu, dan 

kembali menempur orang-orang berjubah hitam sete-

lah anggukkan kepala sambil tersenyum.

Sementara itu pertarungan antara Buang Seng-

keta dan si Kelabang Hitam telah mencapai persoalan 

hidup atau mati. Si pemuda telah mencabut pusaka 

Golok Buntung sambil mengeluarkan suara mendesis 

laksana Ular Piton mengamuk. Dalam pada itu si Kela-

bang Hitam sangat terkejut melihat aksi si pemuda. 

Apalagi ketika melihat senjata di tangannya yang men-

geluarkan sinar merah menyala, dibarengi dengan ha-

wa dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum 

dan suara berisik bagai auman puluhan harimau ter-

luka. Dia takjub untuk beberapa saat, namun kelen-

gahannya harus dibayar mahal karena senjata di tan-

gan si pemuda berkelebat dengan cepat ke pangkal le-

hernya. 

"Craaas...!"

Si Kelabang Hitam tak sempat berteriak saat ke-

palanya menggelinding ke tanah. Beberapa orang ber-

jubah hitam yang melihat si Kelabang Hitam tewas, 

ada yang coba-coba melarikan diri. Tapi kedua lawan-

nya tentu saja tak bisa membiarkannya begitu saja. 

Lebih-lebih si gadis yang merasa sangat penasaran tak 

mampu melukai lawan sedikit pun.

"Jangan harap kalian bisa pergi dengan bernya-

wa!" teriak si gadis sambil ayunkan pedang. Tapi hal


itu sia-sia, sebab sambil melompat menghindarkan di-

ri, orang itu lemparkan suatu bungkusan yang begitu 

jatuh ke tanah, langsung menimbulkan asap tebal 

yang menghalangi penglihatan. Begitu asap sirna, 

orang-orang berjubah hitam itu tak terlihat lagi.



ENAM



Singalodra segera berdiri dari kursi dengan mata 

melotot garang pada mereka. Kedua alisnya terangkat 

tinggi-tinggi, dengan gerakan yang sangat cepat, tiba-

tiba tangannya telah menggenggam sebilah pedang 

yang seluruh permukaannya berwarna hitam mengki-

lat. Pucatlah wajah orang-orang berjubah hitam di ha-

dapannya yang sejak tadi menundukkan kepala den-

gan wajah ketakutan.

"Buat Persekutuan Iblis Hitam, tak ada cerita un-

tuk melarikan diri dari pertempuran. Kalian telah me-

langgar hal itu dan membuat malu nama Persekutuan 

Iblis Hitam. Kematian lebih pantas untuk kalian!" ucap 

Singalodra dingin.

"Aaaa... ampun, Tuanku Singalodra. Ka... 

kami berlima bukan bermaksud lari dari pertempuran. 

Ta... tapi, siapa yang akan memberitahukan hal ini ke-

pada Tuanku kalau kami binasa semua...."

"Craaaaaas...!"

Kelima orang berjubah hitam itu segera melolong 

setinggi langit ketika pedang di tangan Singalodra ber-

kelebat dengan cepat dan sulit diikuti kasat mata. Tu-

buh mereka segera ambruk dengan satu sabetan pan-

jang pada bagian dada. Namun tak satu pun di anta-

ranya yang mengeluarkan darah. Tubuh-tubuh mereka 

pucat dan kering bagai mayat yang telah tergeletak 

berhari-hari. Beberapa orang yang berada di situ ber


gidik bulu kuduknya menyaksikan hal itu. Dengan ta-

kut-takut beberapa orang yang membawa mayat-mayat 

itu keluar.

"Peringatan buat kalian yang lain untuk jujur 

mengikuti segala perintahku!" kata Singalodra sambil 

putar pandangan ke seluruh ruangan. "Kalau kataku 

harus pertahankan sesuatu, maka nyawa kalian taru-

hannya dan jangan kembali dengan nyawa melekat di 

tubuh walau untuk alasan apa pun. Beda kalau kupe-

rintahkan kalian untuk merampok atau menculik pe-

rempuan-perempuan cantik. Kalian wajib menyela-

matkan selembar nyawa kalian bila musuh terlalu 

tangguh untuk dihadapi. Ingat baik-baik hal itu!"

Setelah orang-orang yang berada di situ angguk-

anggukkan kepala, Singalodra segera menyuruh mere-

ka untuk keluar. Kecuali si Iblis Ular Hijau yang selalu 

berada di sampingnya.

"Apakah mereka itu yang paman maksudkan 

tempo hari?" tanya Singalodra pada si Iblis Ular Hijau 

dengan wajah serius. "Apakah sekarang paman mera-

gukan bahwa ilmu silat Iblis Merah Darah yang diwa-

riskan ayahanda padaku adalah ilmu silat yang sulit 

dicari tandingannya?"

Iblis Ular Hijau hela nafas panjang sebelum men-

jawab pelan. "Ilmu silat ayahandamu memang hebat 

dan sulit dicari tandingannya. Si Rajawali Bukit Seribu 

beserta dua kembratnya itu tak mungkin mampu men-

galahkan ayahandamu kalau beliau tak terluka parah 

akibat pertarungan dengan salah seorang tokoh kosen 

yang sulit dicari tandingannya...."

"Siapa? Siapa tokoh yang paman maksudkan 

itu?!" Singalodra nampak penasaran sekali. Pasalnya 

dia yakin sekali bahwa ilmu silat yang dimilikinya saat 

ini, tak ada yang menandingi.

"Tokoh itu berasal dari Barat dan malang melintang di tanah ini, dan banyak menaklukkan tokoh-

tokoh sesat golongan hitam. Salah satu di antaranya 

adalah kami berdua pada saat itu. Seluruh tubuhnya 

penuh dengan bercak-bercak koreng, itulah sebabnya 

dia mendapat julukan si Bangkotan Koreng Seribu. 

Senjata andalannya adalah sebuah pecut yang apabila 

dilecutkan akan menimbulkan awan gelap dan petir 

yang menggelegar bagaikan badai alam yang dahsyat. 

Hanya karena kekuatan ilmu tenaga dalam ayahan-

damu sajalah yang menyebabkan dia tidak langsung 

tewas ketika pecut itu menghantam tubuhnya. Tapi dia 

terluka parah dan tak seorang pun bisa menyembuh-

kannya. Barangkali pun kematiannya hanya tinggal 

waktu saja. Itulah sebabnya dia masih sempat menulis 

kitab ilmu silatnya yang kelak akan diwariskan pada-

mu. Jadi sebenarnya tidak benar bahwa ayahandamu 

mati di tangan Rajawali Bukit Seribu beserta dua kem-

bratnya itu. Meski mereka bertiga punya ilmu yang tak 

bisa dipandang enteng, namun untuk melawan Iblis 

Merah Darah, mereka tak akan ungkulan. Dengan lu-

ka berat yang dideritanya, mereka bertiga hanya mem-

percepat kematiannya saja...."

"Tapi apa hubungan cerita paman itu dengan me-

reka?!" tanya Singalodra tak sabar.

"Ada," sahut Iblis Ular Hijau tenang. "Aku pernah 

bertempur dengan si pemuda berkuncir yang dicerita-

kan orang-orangmu yang telah engkau bunuh tadi. 

Ada beberapa gerakan ilmu silatnya yang kukenal san-

gat mirip dengan ilmu silatnya tokoh itu. Kalau benar 

dia muridnya, pastilah hal ini akan mengancam Perse-

kutuan Iblis Hitam!"

"Paman, jangan coba-coba untuk melemahkan

semangatku. Ilmu silat Iblis Merah Darah tak ada tan-

dingannya, dan aku sendiri telah membuktikan hal itu. 

Sejauh ini tak ada seorang pun yang mampu menahan


ajian Kidung Neraka!" sahut Singalodra tersenyum si-

nis.

"Singalodra, paman pun mengakui hal itu, tapi 

tugas paman saat ini hanya sebagai penasehat. Kalau-

kalau hal itu memang benar, tapi syukur kalau hal itu 

cuma omong kosong belaka. Namun walau bagaimana 

pun kita patut waspada...."

"Aku tidak gentar, Paman!" potong Singalodra ce-

pat. "Dan kuharap pun paman bukan hanya mencari-

cari alasan karena takut menghadapi pemuda itu sete-

lah merasakan ilmu silatnya."

Iblis Ular Hijau segera terkekeh panjang. Lalu 

berkata pelan namun terasa bahwa ia tersinggung 

dengan ucapan ketua Persekutuan Iblis Hitam tadi.

"Iblis Ular Hijau selamanya tak pernah takut 

menghadapi siapa pun asal orang itu bukan si Bangko-

tan Koreng Seribu!"

"Nah, sekarang paman bawa beberapa orang pili-

han untuk meringkus mereka dan tunjukkan padaku 

bahwa paman adalah tokoh golongan hitam yang tak 

takut menghadapi siapa pun!"

"Maksudmu engkau ingin agar kami meringkus 

mereka? Kenapa tak sekalian membunuhnya saja?"

"Begitu lebih baik. Tapi ingat, jangan ciderai ga-

dis itu!" Singalodra tersenyum penuh arti. "Paman ta-

hu maksudku bukan?"

Iblis Ular Hijau kembali terkekeh panjang sebe-

lum berlalu dari ruangan itu.

***

Sore telah berganti malam ketika ketiganya telah 

beranjak dari desa itu. Mereka terpaksa menginap di 

dalam sebuah hutan yang lumayan lebat. Tapi untung, 

agaknya laki-laki itu telah terbiasa dengan kehidupan


demikian, sebab tak berapa lama kemudian dia berha-

sil menangkap dua ekor kelinci untuk santap malam 

mereka.

"Tidak terlalu gemuk, tapi lumayan untuk peng-

ganjal perut!" katanya tersenyum sambil menyalakan 

api dari batu pemantiknya. Sebentar kemudian setum-

puk api unggun mulai menerangi wajah ketiganya. 

Pemuda itu mulai memanggang hasil buruannya. Se-

mentara dua orang kawannya sebentar-sebentar mem-

bantu membolak baliknya.

"Jadi engkau satu-satunya murid Kilat Buana 

yang berhasil meloloskan diri?" tanya si gadis sambil 

mencicipi sekerat daging. 

"Ya. Aku terpaksa kabur ketika kulihat semua 

kawan-kawan yang lain dibantai mereka dengan san-

gat keji. Tapi tak jauh dari desa itu. Aku mencari-cari 

kesempatan untuk menghancurkan mereka secara 

perlahan-lahan, sambil menunggu pendekar-pendekar 

golongan putih yang singgah ke sini dan bergabung 

bersama-sama menghancurkan Persekutuan Iblis Hi-

tam itu."

"Memang keterlaluan mereka!" cetus pemuda 

dengan rambut dikuncir. Dia hanya menolak ketika 

daging kelinci itu sudah matang dan si gadis menyo-

dorkan sekerat untuknya, sebab di tangannya sendiri 

masih tersisa beberapa potong dendeng lumba-lumba 

yang selalu tersedia cukup dalam periuk besar yang 

selalu dibawa-bawanya. Barangkali mereka berdua be-

lum terbiasa, hingga menolak saat ditawarkannya tadi. 

Mungkin juga karena si pemuda berbaju putih itu me-

rasa bahwa soal makanan tak terlalu merepotkannya. 

Buktinya dia dengan gampang mendapatkan dua ekor 

kelinci itu.

"Barangkali kalian hanya tahu bahwa apa yang 

mereka lakukan cuma sekedar me-rampok dan mem


buat onar di mana-mana...." Pemuda itu menghentikan 

ucapannya untuk beberapa saat. "Tapi lebih dari itu," 

katanya melanjutkan, "Mereka adalah sekumpulan ib-

lis cabul tukang memperkosa anak bini orang, dan sa-

lah satu korban mereka adalah...." Pemuda itu tak me-

neruskan kata-katanya. Dia menundukkan kepala 

dengan wajah gundah. Dari cahaya api unggun yang 

menjilat wajahnya, terlihat bahwa pemuda itu sangat 

berduka.

"Kenapa, Saudara Jaka Sumbawa?" tanya pemu-

da berkuncir itu heran.

"Tunanganku pun yang tinggal di desa itu turut 

menjadi korban mereka. Aku tak tahu bagaimana na-

sibnya saat ini, tapi apa pun yang terjadi dengannya, 

aku bersumpah akan membunuh Singalodra dengan 

tanganku!" katanya dengan wajah beringas. Tangannya 

terkepal dengan kuat hingga terlihat otot-otot di buku-

buku jarinya menegang. Kemudian dia berpaling pada 

pemuda berkuncir itu. Lalu katanya pelan. "Saudara 

Buang Sengketa, bila perjalanan kita telah tiba di sa-

na, aku minta agar Singalodra bagianku!"

"Kalau saja anak buahnya sedemikian hebat, ten-

tulah Singalodra berilmu tinggi. Barangkali dia bukan 

tandinganmu, Saudara Jaka Sumbawa. Biarlah aku 

yang mewakili engkau untuk menempurnya...."

"Tidak!" sahut pemuda itu sengit. "Dia harus mati 

di tanganku agar dendamku terbalas impas! Di depan 

mataku mereka membunuh guru yang telah menga-

suhku sejak kecil dan telah kuanggap sebagai orang-

tua ku sendiri, kemudian membunuh saudara-saudara 

seperguruanku, dan terakhir di depan mataku sendiri 

menculik tunanganku tanpa aku bisa berbuat apa-

apa!"

Pemuda berkuncir yang tak lain adalah Buang 

Sengketa, putra raja dari Negeri Bunian dan murid dari


si Bangkotan Koreng Seribu itu tundukkan kepala un-

tuk beberapa saat. Dia dapat memahami apa yang di-

rasakan si pemuda, tapi kalau untuk berlaku nekad 

seperti itu, sama halnya dia dengan mengantarkan 

nyawa dengan per-cuma. Kalau saja melawan anak 

buah Singalodra yang memporak porandakan pergu-

ruannya dan menculik tunangannya di depan mata 

sendiri dia tak mampu untuk melawan, apalagi meng-

hadapi Singalodra sendiri seperti tekadnya tadi. Buang 

Sengketa hela nafas pendek.

Seperti kita tahu, ternyata pemuda itu adalah 

orang yang mereka temui di desa yang tak begitu jauh 

dari Perguruan Kilat Buana, yang ikut membantu si 

gadis ketika dikerubuti orang-orang Persekutuan Iblis 

Hitam. Setelah tak menemui siapa-siapa lagi di sana, 

mereka akhirnya bertekad untuk menyambangi Singa-

lodra di tempat kediamannya di Bukit Seribu. Apalagi 

setelah mereka mengetahui ternyata si pemuda beril-

mu cukup tinggi, semangat mereka tambah menyala 

untuk menghadapi ketua Persekutuan Iblis Hitam itu 

beserta anak buahnya.

Dalam pada itu malam semakin kelam. Jaka 

Sumbawa telah tertidur lelap bersama angan-

angannya untuk membebaskan tunangannya dan 

membunuh Singalodra di sarangnya sendiri. Sementa-

ra Buang Sengketa sendiri masih tidur-tidur ayam tak 

jauh dari tempat pemuda itu. Matanya akhirnya terbu-

ka lebar menengadah ke langit hitam di angkasa sete-

lah sekian lama terpejam tak juga mau terlelap. Ba-

nyak hal yang dipikirkannya selama ini, dan hal itu 

akan kembali melintas pada saat-saat sepi seperti saat 

ini. Kenangan ketika bersama gurunya si Bangkotan 

Koreng Seribu ketika mereka masih bersama-sama di 

pantai karang Tanjung Api, kemudian ayahandanya 

yang bertapa entah di mana dalam ujud seekor ular


raksasa. Semua hal itu membuat batinnya seakan teri-

ris-iris mengingat hidupnya yang seorang diri tanpa 

sanak saudara.

Tiba-tiba reflek dia bergerak ketika merasakan 

sesuatu yang mendekat secara perlahan ke arahnya. 

Hela nafasnya lega ketika mengetahui siapa bayangan 

itu. Ternyata si gadis yang berjalan mendekatinya dan 

tersipu malu ketika pemuda itu mengetahuinya. Dia 

menundukkan kepala sambil duduk di depan api un-

ggun mengais-ngais beberapa potong kayu yang 

ujungnya membara.

"Ada apa?" tanya si pemuda pelan. Si gadis itu 

masih tetap menunduk tak menjawab. Buang Sengketa 

segera bangkit mendekatinya dan duduk di sebelah 

gadis itu sambil mengangsurkan kedua telapak tan-

gannya di atas api unggun. Kemudian menggosok-

gosokkannya.


TUJUH



"Malam ini terasa dingin, ya?" lanjut si pemuda 

itu mencari-cari bahan omongan. Gadis itu melirik se-

kilas padanya sambil tersenyum. Murid si Bangkotan 

Koreng Seribu itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan 

untuk membalas senyumnya.

"Kenapa tidak tidur?"

"Karena tidak mengantuk," sahut si pemuda ber-

canda.

"Engkau tentu sangat lelah sekali, ya?" Gadis itu 

tak menggubris.

"Tidak! Aku telah terbiasa hidup seperti ini...." 

"Engkau tidak merasa kesepian...?"

"Kadang-kadang." 

"Saat ini aku merasa hidup sendiri tanpa sanak


saudara. Keluargaku dibantai dengan keji oleh orang-

orang Persekutuan Iblis Hitam, begitu pun dengan 

guru serta saudara-saudara seperguruanku. Masih un-

tung saat itu aku tak berada di tempat, kalau tidak, 

entah apa yang terjadi denganku." Si gadis menghela 

nafas pendek untuk beberapa saat sebelum melan-

jutkan ucapannya. "Menghadapi anak buah Singalodra 

saja aku sudah merasa kerepotan, apalagi coba-coba 

untuk membalas dendam dengan iblis keparat itu. Ra-

sanya sampai kiamat pun aku tak akan mampu...." 

"Engkau tak boleh berkata begitu. Di atas langit 

masih ada langit, begitu pun dengan ilmu silat. Biar 

Singalodra malang melintang tak terkalahkan selama 

ini, belum tentu tak ada orang yang bisa mengalah-

kannya."

"Oh, engkau mau membalaskan sakit hati ku pa-

danya?" seru si gadis girang. Wajahnya penuh harap 

menatap si pemuda berkuncir itu. Tanpa sadar jari-

jarinya mencekal lengan si pemuda. Dia baru tersadar 

ketika Buang Sengketa merasa rikuh dan serba salah.

"Oh... ng... maaf," katanya melanjutkan sambil 

membuang muka setelah tersipu-sipu tadi. "Tunangan 

mu pasti akan cemburu jika melihat hal ini."

"Aku tak punya tunangan siapa-siapa...."

"Orang seperti engkau pasti suka berbohong. 

Mana mungkin engkau tak punya tunangan...."

"Betul! Mana ada orang yang mau pada gembel 

sepertiku ini."

Gadis itu palingkan wajah sambil memperhatikan 

wajah Buang Sengketa untuk beberapa saat. Diperha-

tikan sedemikian rupa, murid si Bangkotan Koreng Se-

ribu itu jadi salah tingkah sendiri.

"Ada yang aneh pada mukaku?"

Si gadis malah tersenyum kecil. "Aku melihat ro-

na kejujuran di wajahmu, dan... aku.... aku suka seka


li pada laki-laki yang jujur," kata si gadis melanjutkan 

dan kembali palingkan wajah sambil tersipu-sipu sete-

lah berkata begitu. "Tapi... melihat keadaanku seperti 

ini, tentu aku tak punya harga sama sekali di hada-

panmu...."

Buang Sengketa mengerti apa yang dirasakan ga-

dis itu. Meski dengan jari-jari yang gemetaran, dia 

paksakan diri untuk mencekal pergelangan gadis itu 

sambil berkata pelan. Suaranya pun terdengar ga-

mang.

"Aku... aku bahkan yang merasa tak berharga...."

Si gadis kembali menoleh, dan meremas jemari 

pemuda itu. Wajahnya lekat menatapnya. Ada nuansa 

haru yang tersirat lewat tatapannya, dan membuat 

murid si Bangkotan Koreng Seribu itu menjadi rikuh.

"Buang.... eh, boleh aku memanggilmu begitu?" 

Setelah si pemuda mengangguk pelan, dia kembali 

meneruskan kata-katanya. "Aku... aku tak pernah me-

rasa suka pada laki-laki lain seperti aku suka pada-

mu...." Dia tak meneruskan kata-katanya untuk bebe-

rapa saat, melainkan menatap si pemuda lekat-lekat 

seakan mencari sesuatu di wajah pemuda tampan itu. 

"Ng... apakah engkau pun suka padaku...?"

"Ya, aku suka sekali padamu...." sahut si pemuda 

masih dengan suara yang bergetar. Tiba-tiba dia mera-

sa kelabakan ketika dengan tiba-tiba si gadis memeluk 

tubuhnya erat-erat dan memberi ciuman di bibirnya. 

Pemuda itu jadi salah tingkah untuk beberapa saat 

dan tak tahu harus berbuat apa. Dia baru tersadar ke-

tika gadis itu mengejeknya pelan.

"Kini aku percaya bahwa engkau belum pernah 

kenal perempuan...." katanya sambil tersenyum penuh 

arti. "Mulanya kupikir engkau pasti seorang laki-laki 

mata keranjang yang selalu punya kekasih di mana-

mana, ternyata dugaanku salah. Dalam ilmu silat engkau boleh merasa hebat, tapi menghadapi perempuan 

engkau tolol sekali!" Gadis itu tertawa ngikik pelan. 

Seolah-olah takut suaranya terdengar oleh Jaka Sum-

bawa yang sedang terlelap tak jauh dari mereka.

"Aku memang tolol, tapi bukan berarti aku tak 

bisa berdekatan dengan seorang perempuan. Kalau 

engkau ingin bukti, ini!" kata Buang Sengketa cepat 

menarik lengan gadis itu hingga wajahnya persis ber-

hadap-hadapan. Kemudian dengan tiba-tiba mencium 

gadis itu, lamaaaaaa sekali! Seolah-olah keheningan 

malam larut bersama mereka dan api unggun yang jadi 

saksi atas kemesraan itu.

"Uh, nakal!" jerit si gadis pelan begitu lepas dari 

cengkeraman si pemuda. Dia bersungut-sungut sendi-

ri, namun tersenyum ketika melihat si pemuda cen-

gengesan. Lalu dengan suara pelan, dia berkata:

"Engkau tentu akan segera meninggalkanku begi-

tu selesai dengan tugas ini, bukan?" 

"Tidak. Aku akan mengajakmu serta ke mana sa-

ja aku pergi." 

"Sungguh?!"

Si pemuda mengangguk pasti. Gadis itu baru saja 

akan melampiaskan kegembiraan-nya dengan meme-

luk pemuda itu, namun reflek telinganya yang tajam 

mendengar sesuatu. Buang Sengketa pun merasakan 

hal itu. Dengan cepat dia berguling ke arah Jaka Sum-

bawa untuk membangunkannya. Tapi hal itu ternyata 

tak perlu, sebab pemuda itu telah mengetahui anca-

man yang akan segera datang.

"Uap racun! Tutup jalan nafas kalian!" perintah 

Buang Sengketa ketika naluri hewannya merasakan 

sesuatu yang selama ini begitu akrab dengannya, bah-

kan melindunginya dari hal yang sejenis.

Kedua orang itu segera mengerjakan apa yang 

disuruh oleh pemuda berkuncir itu. Tiba-tiba mereka



melihat selarik gelombang Ultra Violet yang dilancar-

kan pemuda itu ke segala arah. Malam yang dingin di-

pecahkan oleh suara menggelegar pohon-pohon yang 

tumbang dihantam sinar itu. Barangkali mereka tak 

tahu di mana posisi lawan saat ini. Gelapnya malam 

dan banyaknya pepohonan di sekitar situ membantu 

pihak lawan untuk bersembunyi dari penglihatan me-

reka.

Jaka Sumbawa segera bertindak dengan cepat 

mematikan api unggun agar mereka tak menjadi sasa-

ran empuk lawan. Tapi begitu dia selesai memadam-

kan api, tiba-tiba terdengar jerit tertahan beberapa 

orang yang disusul jatuhnya orang-orang berjubah hi-

tam dari pepohonan. Tapi kekagetan itu hanya ber-

langsung beberapa saat, karena sedetik kemudian, 

terdengar teriak berkepanjangan dari segala pen-juru 

mengepung tempat itu dan langsung menyerang mere-

ka. Mau tak mau ketiganya terpaksa mengadakan per-

lawanan dalam keadaan gelap begitu rupa.

Dari beberapa orang yang dirontokkan si pemuda 

berambut dikuncir itu tahulah mereka bahwa penye-

rang-penyerang ini adalah anggota Persekutuan Iblis 

Hitam. Itulah yang menyebabkan mereka tak lagi 

sungkan-sungkan untuk mengeluarkan senjatanya 

dan langsung membabat ke segala arah. Beda dengan 

Buang Sengketa. Buatnya mengeluarkan senjata itu 

adalah dalam posisi yang sangat terjepit sekali. Dia tak 

akan sembarangan mengeluarkan dua senjata pusa-

kanya.

Dalam pada itu si gadis yang bernama Puji Lesta-

ri dan Jaka Sumbawa dibuat ka-get. Pikiran mereka 

pastilah anggota-anggota Persekutuan Iblis Hitam ini 

adalah anggota biasa yang kebetulan menemukan me-

reka sedang bermalam di hutan ini. Jadi dengan satu 

sabetan dan hunuskan senjata, mereka dengan gampang akan dibinasakan. Tapi dugaan itu keliru. Lawan 

yang mereka hadapi ternyata punya kepandaian yang 

tak jauh di bawah mereka. Bahkan beberapa orang be-

rada di atas ilmu silat mereka. Melihat keadaan itu, be-

tapa mereka jadi bingung. Belum lagi ditambah dengan 

sua-sana yang gelap gulita. Jelas mereka lebih banyak 

mengandalkan pendengarannya ketimbang pengliha-

tan semata. 

Puluhan jurus telah berlangsung. Nam-pak si 

pemuda berkuncir itu agak kerepotan ketika lima 

orang berkepandaian tinggi mengepungnya dari sege-

nap penjuru. Kalaupun di antara mereka ada yang 

pernah dikenalnya, paling-paling si Iblis Ular Hijau. 

Tapi keempat orang lagi bukanlah orang sembarangan. 

Satu orang yang bersenjata sebuah lingkaran baja 

yang ujung-ujungnya terdapat jarum-jarum sebesar 

kelingking, dikenai sebagai si Gelang-gelang Terbang. 

Dia adalah salah seorang pentolan tokoh golongan hi-

tam. Kemudian tiga orang laki-laki berkepala botak 

dengan senjata gada berduri di tangannya lebih dike-

nai sebagai Setan Lembah Neraka.

Sambil kertakkan rahang menahan geram, tu-

buhnya berkelebat ke sana sini dengan menggunakan 

jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra, 

menghindari kejaran sepasang gelang berduri milik si 

Gelang-gelang Terbang yang seolah bermata mengejar-

nya ke mana saja menghindar.

Sekali-sekali dia juga lancarkan pukulan Empat 

Anasir Kehidupan ke arah mereka. Dan selarik gelom-

bang Ultra Violet segera menghajar kelima orang-orang 

itu. Tapi mereka bukanlah orang sembarangan. Nama 

kelima tokoh itu telah dikenal sebagai tokoh golongan 

sesat yang selain ganas dan telengas terhadap musuh-

musuhnya, mereka juga berkepandaian cukup tinggi. 

Buang Sengketa juga merasakan hal itu. Lebih-lebih


mereka kini berlima mengeroyoknya dengan menggu-

nakan jurus jurus yang mematikan. Sebentar saja ter-

lihat bahwa dia terdesak cukup hebat. Bahkan dalam 

suatu kesempatan, bahunya kena keserempet gelang 

berduri itu setelah menghantamnya.

"Bocah! Kematianmu telah berada di ambang pin-

tu!" ejek si Gelang-gelang Terbang. "Sebentar lagi tentu 

engkau akan menyusul ibumu, dan mengadu padanya 

di akhirat!"

"Ah, ternyata aku salah duga." sambung si Iblis 

Ular Hijau. "Kukira engkau ada sangkut pautnya den-

gan si Bangkotan Koreng Seribu, ternyata cuma seekor 

tikus yang tak patut hidup lebih lama. Seekor tikus 

yang hendak mengaum pada sekumpulan harimau la-

par!" Orangtua dengan wajah berlipat-lipat itu tertawa 

ngakak.

Mendengar ejekan itu, bukan main marahnya si 

pemuda dari Negeri Bunian itu. Dia segera berdiri te-

gak dan kembali mainkan satu jurus ampuhnya yaitu 

si Jadah Terbuang untuk menghadapi mereka. Sekali-

sekali dari telapak tangannya keluar selarik gelombang 

pukulan berwarna merah menyala. Itulah pukulan Si 

Hina Kelana Merana yang sangat dahsyat. Jangankan 

tubuh manusia yang terkena, seekor banteng liar yang 

sangat tangguh dan kuat pun akan hangus terbakar 

bila terkena pukulan itu. Tapi si pemuda tak cukup 

berhenti sampai di situ. Begitu lawan mulai terkocar 

kacir menghindari serangan dan jurus-jurusnya, dia 

mulai menghantam mereka dengan salah satu jurus 

ampuhnya yaitu si Gila Mengamuk.

"Buk....! Buk...! Buk...! Buk...!"

Setan Lembah Neraka beserta si Gelang-gelang 

Terbang segera terjengkang sambil keluarkan darah 

segar dari mulutnya yang terkena hantaman si pemu-

da. Sedangkan si Iblis Ular Hijau masih beruntung bi


sa menghindar sambil ayunkan tongkat ularnya menu-

suk ke jantung Buang Sengketa. Terpaksa pemuda itu 

menarik kepalan tangannya dan jumpalitan menghin-

dari sambaran ujung tongkat yang berbalik menyam-

bar-nyambarnya. Dalam keadaan seperti itu, dia pen-

tangkan tangan, dan selarik gelombang merah menyala 

segera melesat ke arah Iblis Ular Hijau. Orangtua itu 

segera memapagnya dengan suatu pukulan jarak 

jauhnya. 

"Blaaar...!"

Suatu benturan dahsyat terjadi antara sinar me-

rah menyala yang keluar dari tangan si pemuda, den-

gan pukulan Ular Hijau berwarna hijau keputih-

putihan yang dikeluarkan si Iblis Ular Hijau. Pemuda 

itu mental satu tombak, namun cepat kembali tegak di 

atas kakinya sambil mengatur jalan nafasnya yang ter-

kacau akibat benturan itu. Dari mulutnya keluar da-

rah segar.


DELAPAN



Keadaan si Iblis Ular Hijau ternyata lebih parah 

lagi. Setelah berguling-guling beberapa tombak, dari 

mulutnya muntah darah yang berwarna merah kehi-

tam-hitaman. Dia segera bersila untuk atur jalan nafas 

ketika Buang Sengketa telah bersiap lancarkan satu 

pukulan kembali. Masih untung nyawanya bisa terse-

lamatkan saat si Gelang-gelang Terbang dan Setan 

Lembah Neraka memapak serangan si pemuda. Pemu-

da itu kembali terpental beberapa tombak. Dadanya te-

rasa sesak, dan seluruh peredaran darahnya terasa 

kacau. Darah meleleh dari bibir serta kedua lobang hi-

dungnya. Agaknya gabungan tenaga dalam si Gelang-

gelang Terbang beserta tiga orang botak yang tergabung dalam Setan Lembah Neraka sangat dahsyat. 

Bukan saja si pemuda tak sempat untuk bangkit, un-

tuk bergerak pun rasanya sudah kepayahan. Untuk 

beberapa saat pikirannya ngawang entah ke mana 

sampai dia mendengar sesuatu yang sangat dikenal-

nya.

"Tidak! Tidaaaaaak...!"

"Sudah cepat bawa!" teriak seseorang.

"Dia masih melawan!" sahut yang lain.

"Totok saja! Cepaaaaaaat! Goblok!"

"Ya, ya...."

Lalu beberapa saat kemudian sepi, tapi dia sadar. 

Ada sesuatu yang tak beres dengan gadis itu. Berpikir 

sampai di situ Buang Sengketa menyadari bahaya yang 

sedang mengancam. Bukan saja untuk dirinya, tapi 

juga untuk kedua orang kawannya. Perlahan-lahan 

tangannya bergerak mencabut pusaka Golok Buntung 

di pinggangnya. Begitu senjata itu tergenggam di tan-

gannya, terasa aliran darahnya perlahan-lahan kemba-

li normal, dan dadanya pun terasa lapang meski rasa 

nyeri masih terasa. Perlahan-lahan dia bangkit dan 

bersila untuk menghimpun tenaga murni. Ketika pan-

dangannya mengarah pada lawan, terlihat kelima 

orang itu pun telah bersiap-siap akan menempurnya. 

Tapi mereka seakan terperanjat kaget dengan senjata 

yang dikeluarkan si pemuda. Terasa hawa dingin yang 

menusuk hingga ke sum-sum tulang. Belum lagi sinar 

merah menyala yang menyelubungi senjata itu seakan 

mengandung hawa kematian yang dahsyat.

Kelima orang itu baru tersentak ketika si pemuda 

berkelebat dengan cepat sambil mengeluarkan suara 

mendesis-desis dari mulutnya seperti seekor ular yang 

sedang marah, dan senjata di tangannya pun menge-

luarkan suara menakutkan bagai puluhan harimau 

terluka. Belum sempat mereka menduga-duga seran


gan lawan, suatu bayangan melintas dengan cepat ke 

arah pangkal leher.

"Cras...! Cras...! Cras...! Cras...! Trak...!"

Kepala si Gelang-gelang Terbang dan tiga orang 

Setan Lembah Neraka segera menggelinding. Iblis Ular 

Hijau dengan kepandaian dan geraknya yang cepat 

masih sempat menghindar dari serangan si pemuda 

dan menghantamkan tongkat ular di tangannya. Tapi 

benda itu terbabat kutung dihantam pusaka Golok 

Buntung di tangan si pemuda.

Iblis Ular Hijau tersentak kaget melihat senja-

tanya kutung menjadi dua bagian. Belum lagi habis 

rasa terkejutnya, selarik gelombang pukulan berwarna 

merah menyala yang dilepaskan si pemuda menghan-

tamnya bertubi-tubi. Terpaksa si orangtua berwajah 

buruk itu jumpalitan menghindarkan diri. Namun saat 

itu juga melesatlah kilatan cahaya merah menyala me-

nyambar pangkal lehernya, dan.....

"Cras...!"

Iblis Ular Hijau tak sempat lagi berteriak ketika 

kepalanya menggelinding dari tubuhnya terbabat pu-

saka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. Pe-

muda itu palingkan mata ke sekeliling tempat. Tak ada 

siapa-siapa lagi di situ. Beberapa orang mayat berju-

bah hitam nampak tergeletak di situ, dan yang mem-

buatnya merasa iba justru mayat si pemuda berpa-

kaian putih itu pun ikut tergeletak di sana. Teringatlah 

dia akan cita-cita si pemuda yang akan membunuh 

Singalodra dengan kedua belah tangannya sendiri. Ta-

pi bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika meng-

hadapi anak buah Persekutuan Iblis Hitam pun dia tak 

mampu bahkan harus menemui ajal. Perlahan dia ber-

jongkok sambil pandangi wajah pemuda itu dan ber-

gumam 

"Sobat, biarlah nanti aku balaskan dendammu


pada Singalodra. Mudah-mudahan aku mampu mele-

nyapkan iblis sesat itu. Tenangkanlah dirimu di akhi-

rat sana..."

Tiba-tiba matanya mencari sesuatu. Ke mana ga-

dis itu? Apakah dia pun tewas? Mengingat itu Buang 

Sengketa segera mencari-cari ke sekeliling tempat itu, 

namun setelah berputar-putar beberapa kali, tak juga 

ditemukannya si gadis. Dia mulai mengingat-ingat ke-

jadian tadi saat dirinya dalam keadaan kritis dan men-

dengar suara-suara yang membangkitkan semangat-

nya. Teringat itu dia sudah bisa menduga-duga bahwa 

gadis itu pasti telah dilarikan oleh beberapa orang ang-

gota Persekutuan Iblis Hitam. Darahnya mulai mendi-

dih dan menjalar hingga ke ubun-ubun ketika teringat 

bahwa Singalodra dan orang-orang sesat di Perseku-

tuan Iblis Hitam adalah sekumpulan manusia-manusia 

cabul. Bagaimana dengan nasib Puji Lestari?

Buang Sengketa segera genjot tubuhnya dengan 

menggunakan ajian Sepi Angin.

Sebentar saja dia telah lenyap dari pandangan, 

dan tujuannya saat ini hanya satu tempat, Bukit Seri-

bu!

Singalodra menyeringai buas melihat tubuh mo-

lek tak berdaya di tempat tidurnya. Matanya hendak 

melotot ke luar ketika satu persatu tangannya melucu-

ti pakaian gadis itu dan melihat keindahan tubuhnya.

"Bangsat cabul! Lepaskan aku...! Keparat! Akan 

kubunuh engkau! Lepaskan aku dari totokan ini biar 

kita bertempur hingga seribu jurus! Bangsat pengecut! 

Lepaskaaaaaan...!"

Tapi mana mau Singalodra melepaskan begitu sa-

ja buruan yang telah didapatnya dengan susah payah. 

"Jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja. 

Harga mu terlalu mahal, dan aku harus menebusnya 

dengan beberapa orang terbaikku yang binasa. Mana


mungkin aku melepaskanmu," katanya tersenyum 

puas.

"Iblis pengecut! Singalodra, engkau tak akan le-

pas dari tanganku!" ancam si gadis. Mendengar itu 

Singalodra hanya tersenyum kecil sambil julurkan dua 

jarinya.

"Tuk!"

Sebentar saja si gadis tak mampu berteriak-teriak 

karena urat suaranya telah tertotok. Dia hanya bisa 

melotot garang ketika melihat Singalodra tersenyum 

buas sambil melepaskan pakaiannya satu persatu. 

Kemudian perlahan-lahan menggerayangi tubuhnya. 

Gadis itu tak mampu berbuat sesuatu untuk memper-

tahankan kehormatannya. Dari matanya hanya mele-

leh air mata hangat yang membasahi pipinya perlahan-

lahan. Dadanya penuh dengan dendam sedalam lautan 

pada orang di hadapannya itu. Tapi apalah dayanya 

saat ini. Jangankan untuk menempur ketua Perseku-

tuan Iblis Hitam itu, untuk menggerakkan tubuhnya 

pun dia tak mampu.

"Percuma engkau berontak, Manis. Engkau tak 

akan mampu melepaskan diri dari totokanku. Aku ma-

sih memerlukanmu untuk beberapa hari lagi sebelum 

engkau ku-berikan pada anak buahku!" kata Singalo-

dra sambil tertawa terbahak-bahak. "Paling tidak kalau 

engkau cukup punya tenaga dalam yang hebat engkau 

akan terlepas dari totokan itu dalam tempo yang cu-

kup lama. Tapi saat itu pula engkau harus kembali

melayaniku." Kembali Singalodra tertawa panjang 

hingga gemanya berputar-putar di ruangan itu. Gadis 

itu dapat merasakan telinganya sakit luar biasa men-

dengar tawa Singalodra yang diiringi tenaga dalam 

yang hebat. Matanya hanya mampu melotot parang ke 

arah orang itu.

"Percuma engkau marah-marah. Lebih baik engkau menurut saja apa yang kukatakan, tentu engkau 

tak akan menderita seperti ini. Tapi aku terpaksa ber-

buat begini karena tindakanmu juga. Kalau engkau 

mau bersikap baik, paling tidak aku akan mele-

paskanmu dari totokan."

Tapi mana mau gadis itu menurut begitu saja 

pada apa yang dikatakan Singalodra setelah barusan 

apa yang dilakukan manusia itu terhadapnya. Saat ini 

dalam benaknya hanya ada satu kata, yaitu membu-

nuh manusia keparat itu dengan tangannya sendiri. 

Kembali matanya melotot garang pada manusia di ha-

dapannya itu. 

Singalodra melihat itu bukannya malah takut, te-

tapi kembali bangkit nafsu setannya. Apalagi sejak tadi 

dia membiarkan perempuan itu tergolek tanpa sehelai 

benang pun melekat di tubuhnya. Berkali-kali matanya 

menatap nyalang pada bagian-bagian tertentu di tubuh 

gadis itu sembari menyeringai buas bagai hewan buas 

kelaparan melihat santapan di depannya. Dan ketika 

mata gadis itu melotot garang, dia tak dapat mengen-

dalikan nafsu setannya. Dan untuk kedua kalinya ter-

paksa gadis itu melayani kebuasan ketua Persekutuan 

Iblis Hitam itu tanpa mampu memberi perlawanan se-

dikit pun. Dia hanya bisa mengeluarkan air mata dan 

menjerit-jerit pilu di relung hatinya.

Setelah puas melampiaskan nafsu setannya, Sin-

galodra segera keluar dari kamarnya sambil tertawa-

tawa puas.

Gadis itu masih terisak-isak pilu menyesali na-

sibnya yang buruk. Namun tak satu pun suaranya ter-

dengar ke luar. Hanya air mata dan wajahnya yang 

kuyu mengisyaratkan penderitaan batinnya. Betapa 

buruk nasibnya. Sudahlah orangtuanya binasa di tan-

gan iblis keparat itu, kemudian guru serta saudara-

saudara seperguruannya yang juga tewas di tangan



mereka, kemudian dia harus menanggung beban malu 

yang berkepanjangan di tangan iblis cabul itu. Teringat 

ke situ rasanya dia tak layak untuk hidup lebih lama 

lagi. Ah, Puji Lestari kembali mengeluh pendek di ha-

tinya.

Tiba-tiba dia teringat pada Buang Sengketa. Oh, 

bagaimanakah nasib pemuda itu? Apakah dia bisa me-

loloskan diri dari keroyokan musuh-musuhnya yang 

berilmu tinggi itu? Seandainya saja dia bisa mengalah-

kan mereka, kemudian datang ke sini untuk membe-

baskannya, alangkah bahagia hatinya saat ini. Tapi... 

apakah aku masih punya muka berhadapan dengan-

nya? Oh, tidak! Diriku saat ini sangat kotor berhada-

pan dengannya. Gadis itu kembali membatin sesali di-

ri. Dia tentu tak mau menerima keadaanku seperti ini. 

Hina dan ternoda. Aku betul-betul tak pantas berha-

dapan dengannya. Jangan lagi berharap dia akan 

membalas perasaan sukanya yang besar di lubuk hati, 

mungkin untuk melihat keadaannya yang terhina se-

perti ini pun pemuda itu tak akan sudi. Dia kembali 

menyesali nasibnya.

Berpikir seperti itu timbullah nekad di hati gadis 

itu. Diam-diam dia merasa bahwa hidupnya tak ber-

guna lagi saat ini. Tapi walaupun dia harus mati, hen-

daklah hal itu membawa kepuasan dalam jiwanya. Pal-

ing tidak ada sesuatu yang harus dibawanya serta ke 

akhirat. Dan untuk itu dia harus bebas terlebih dahulu 

dari pengaruh totokan ini, keluhnya pelan sambil ber-

siap-siap menghimpun segenap tenaga dalamnya un-

tuk membebaskan diri dari totokan.

***


SEMBILAN


Pemuda itu masih terus berlari dengan kecepatan 

penuh. Batinnya penuh sesak dengan bayangan keji 

Singalodra terhadap gadis itu. Bukan, bukan hanya 

itu. Tapi kalau Singalodra dibiarkan terus hidup, keja-

hatan akan terus merajalela. Dia merasa berkewajiban 

membasmi manusia seperti itu, dan merasa tanggung 

jawab itu berada di pundaknya. Siapa lagi yang akan 

diharapkan setelah Persekutuan Iblis Hitam membas-

mi satu persatu perguruan-perguruan dan tokoh-tokoh 

golongan putih yang menentangnya. Dan selama ini, 

tak seorang pun yang mampu menghentikan semua 

aksinya. Seolah-olah dunia mengakui keperkasaannya 

sebagai raja diraja dunia persilatan dan tak seorang 

pun yang mampu menandingi ilmu silatnya. Manusia 

itu akan menjadi besar kepala kalau hal ini terus di-

biarkan.

Namun perjalanan Buang Sengketa menuju tem-

pat kediaman Singalodra bukanlah hal yang gampang. 

Sebab selain medannya yang sulit, satu-satunya jalan 

menuju tempat itu dijaga ketat oleh barisan orang-

orang berjubah hitam secara berlapis-lapis. Singalodra 

ternyata bukan hanya ahli dalam ilmu silat, dia juga 

ahli dalam strategi pertahanan. Begitu Buang Sengketa 

tiba di kaki bukit, puluhan orang telah mengurung 

tempat itu.

"Biarkan aku berlalu dan bertemu dengan Singa-

lodra keparat itu!" bentaknya sengit pada orang-orang 

yang berada di situ. "Aku tak mau ada lagi pertumpa-

han darah yang lebih banyak!"

Tapi bukan mereka takut mendengar ancaman 

itu, sebaliknya malah tersenyum sinis. Sebagian malah 

ada yang terbahak-bahak.


"Bocah! Engkau telah berada di kawasan Perse-

kutuan Iblis Hitam dan tak ada seorang pun yang bisa 

keluar hidup-hidup dari tempat ini. Kalau pun engkau 

baru mengetahuinya saat ini, itu sudah terlambat. Se-

tiap orang yang datang ke sini harus mati!" sahut salah 

seorang dengan wajah bengis.

"Sialan! Aku tak perduli dengan sekumpulan ma-

nusia-manusia bejad seperti kalian!" bentak Buang 

Sengketa mulai kesal. "Cepat kalian panggil Singalodra 

ke sini dan suruh potong lehernya untuk mempertang-

gungjawabkan perbuatan-perbuatannya. Lalu setelah 

itu kalian boleh mengikuti jejaknya, atau kalau berun-

tung, kalian bisa mendapat ampunanku dan kembali 

ke jalan yang benar."

"Hak... hak... hak...!"

Seketika tempat itu penuh dengan gelak tawa. 

Buat mereka hal itu sangat menggelikan. Selama ini 

Persekutuan Iblis Hitam adalah sebuah nama yang 

paling ditakuti oleh siapa pun dalam kalangan dunia 

persilatan. Dan tiba-tiba saat ini ada seorang pemuda 

dengan baju gembel serta dandanan aneh berkaok-

kaok menantang ketua mereka Singalodra. Tentulah 

orang ini tak waras, pikir mereka.

"Bocah! Lebih baik engkau cepat-cepat minggat 

dari sini. Kami akan mengampuni nyawamu yang tak 

berguna itu. Cepat! Sebelum kami merubah pendirian! 

Jarang ada kami membiarkan orang lewat dengan 

nyawa masih melekat di tubuhnya. Karena engkau 

orang tak waras, nah, pergilah cepat!" kata orang tadi.

"Bangsat!" maki pendekar dari Negeri Bunian itu 

dengan emosi yang meluap. Sungguh kurang ajar betul 

orang-orang ini, pikirnya. Mengingat itu, dia merasa 

tak ada gunanya lagi debat omong dengan mereka. 

Maka sambil pentangkan sebelah lengan, keluarlah se-

larik gelombang berwarna Ultra Violet yang menghantam ke segala penjuru. Sebentar saja pukulan Empat 

Anasir Kehidupan pemuda itu mendapatkan korban. 

Beberapa orang yang lengah dan betul-betul mengang-

gap si pemuda sebagai orang tak waras, tentu saja tak 

menyangka hal demikian. Mereka segera memekik 

panjang sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Seben-

tar saja terlihat beberapa orang yang tewas di tempat 

itu.

"Kurang ajar!" maki orang-orang itu setelah hi-

lang dari keterkejutannya. Mereka segera mengurung 

si pemuda rapat-rapat, seolah tak ada celah untuk me-

loloskan diri sedikit saja bagi si pemuda itu melarikan 

diri dari tempat itu. Untuk Buang Sengketa hal itu 

memang kebetulan sekali. Tujuannya ke sini bukan 

untuk melarikan diri, justru ingin mendaki lereng bu-

kit ini dan menemui Singalodra di sarangnya. Dike-

pung sedemikian rupa berarti lebih mempercepat ke-

matian buat orang-orang itu. Pukulan Empat Anasir 

Kehidupan yang dilancarkannya berkali-kali telah me-

minta beberapa orang korban lagi bagi mereka.

Sebenarnya para penyerang itu bukan-lah orang-

orang yang berkepandaian rendah. Rata-rata mereka 

berasal dari perguruan-perguruan silat yang terkenal, 

lalu bergabung dengan Singalodra dalam Persekutuan 

Iblis Hitam. Yang membuat mereka kelihatan mudah 

dihantam si pemuda adalah karena mereka telah kepa-

lang menganggap bahwa si pemuda adalah orang tak 

waras dan tentu saja hal itu tak membawa bahaya be-

sar buat mereka. Dan kesalahan itu telah ditebus den-

gan banyaknya korban di antara mereka.

Namun setelah beberapa jurus di depan, nampak 

mereka mulai berhati-hati. Terlebih-lebih untuk meng-

hindari gelombang pukulan yang dikeluarkan si pemu-

da. Namun meski mereka berhati-hati bagaimana pun, 

korban kembali berjatuhan. Hal itu tak aneh, sebab



dalam kemarahannya si pemuda mengeluarkan jurus-

jurus andalannya secara berganti-ganti dan sulit dite-

bak oleh penyerang-penyerangnya itu. Sebentar dia 

berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh 

kasat mata dengan mempergunakan jurus Memben-

dung Gelombang Menimba Samudra untuk menghin-

dar dari serangan lawan-lawannya, kemudian dengan 

tiba-tiba menghantam lawan dengan jurus Si Jadah 

Terbuang. Lalu ketika lawan kembali mengepung, dia 

mainkan jurus Si Gila Mengamuk. Belum lagi pukulan 

Empat Anasir Kehidupan yang sekali-sekali menghan-

tam dengan ganas ke arah lawan.

Maka tak heran ketika baru belasan jurus, lawan 

dibuat porak poranda, darah manusia mulai memban-

jiri tempat itu. Meski jumlah mereka kini tinggal bebe-

rapa orang saja, namun nampaknya mereka tak ber-

niat untuk kabur, sebaliknya malah menyerang sema-

kin ganas. Malah si pemuda sendiri yang akhirnya me-

narik nafas kesal dan serba salah.

"Lebih baik kalian biarkan aku ke puncak bukit 

dengan aman. Aku tak ingin menambah korban lebih 

banyak lagi, membuatku bertambah marah," kata pe-

muda itu menasehati. Tapi bukanlah wajah-wajah 

memelas dan ketakutan yang didapatinya, melainkan 

sikap-sikap yang rela mati untuk menjalankan tugas-

nya.

"Puih! Persekutuan Iblis Hitam pantang dihina 

begitu rupa!" sahut salah seorang, "Kami lebih baik 

mati daripada tak bisa menjalankan perintah Singalo-

dra. Engkau tak akan bisa menghalang-halangi kami, 

Bocah! Langkahi dulu mayat-mayat kami, baru engkau 

bisa menemui ketua!"

"Bangsat! Kalian memang patut mendapat ganja-

ran yang setimpal atas perbuatan kalian!" bentak mu-

rid si Bangkotan Koreng Seribu sambil kertakkan ra


hang menahan geram. Tangannya kembali terpentang 

sambil mencelat ke arah mereka. Selarik gelombang 

berwarna Ultra Violet kembali menghantam orang-

orang itu. Bagusnya mereka telah bersiap-siap dengan 

serangan itu, hingga mampu menghindarinya. Namun 

pada saat itu justru serangan si pemuda cepat meng-

hantam beberapa orang.

"Buk....! Buk...! Buk...!" Tiga orang kembali ter-

jengkang dan langsung muntah darah dihantam puku-

lan si pemuda yang dialiri tenaga dalam tinggi.

Untuk sesaat mereka menggelepar-gelepar bagai 

ayam dipotong, kemudian muntah darah dan tak ban-

gun-bangun lagi. Kini hanya tinggal dua orang lagi di 

hadapan pemuda itu. Namun tetap saja mereka tak 

merasa gentar sedikit pun. Dengan teriakan menggun-

tur keduanya langsung menyerang si pemuda. Tapi 

apalah artinya kedua orang itu menghadapi murid si 

Bangkotan Koreng Seribu. Sedang dalam jumlah mere-

ka yang banyak saja bisa dibuat kocar kacir, apalagi 

saat ini.

Si pemuda segera menyambut mereka dengan se-

tengah hati. Dia mencelat beberapa tombak ke depan, 

dan pentangkan tangan ke depan. Kali ini dengan se-

kali gaplok kedua orang itu pasti akan kojor. Maka ke-

tika keduanya sabetkan senjata golok di tangan mas-

ing-masing ke arah tubuh si pemuda, pendekar dari 

Negeri Bunian itu cukup berkelit dengan mudah, dan 

sebelah tangannya melayang ke tengkuk mereka den-

gan menggunakan jurus Si Hina Mengusir Lalat.

"Plak...! Plak...!"

Keduanya segera menjerit setinggi langit ketika 

tangan si pemuda mendarat. Seolah-olah leher menjadi 

patah hingga mereka tak mampu menggerak-gerakkan 

kepala. Namun meski demikian, keduanya masih tetap 

penasaran. Sambil kesakitan memegangi kepala, sebelah lengan yang lain segera hantamkan golok ke leher 

si pemuda dengan gerakan yang sama. Si pemuda ge-

lengkan kepala sambil mendecah kesal melihat keban-

delan mereka. Dibiarkannya mereka merasa dengan 

mudah akan memenggal lehernya, namun setengah 

jengkal lagi senjata itu akan menyentuh pangkal le-

hernya, dia segera tundukkan kepala.

"Cras! Cras!"

Senjata makan tuan! Kedua kepala itu terpisah 

dari tubuhnya dan tak ada suara teriakan yang ter-

dengar ketika senjata menghantam leher kawan.

"Hadiah yang setimpal atas kebandelan kalian, 

dan setimpal pula untuk kejahatan yang kalian laku-

kan selama ini," kata Buang Sengketa pelan sambil 

bersiap hendak lanjutkan perjalanan mendaki bukit. 

Tapi baru saja dia palingkan wajah, telah berdiri 

empat orang bertubuh jangkung dengan bulu rambut 

dan kumis lebat berwarna putih menjela-jela hingga ke 

leher. Wajah mereka tidak kelihatan seram, namun 

bukan berarti bisa disebut tampan. Apalagi dengan 

senjata toya berwarna hitam yang sama dengan warna 

pakaian mereka. Mereka terlihat biasa saja. Kalaupun 

ada yang bisa disebut luar biasa adalah, keempat 

orangtua itu berwajah mirip satu sama lain.

Dalam dunia persilatan keempat tokoh ini dike-

nai sebagai Empat Setan Kembar. Barangkali mereka 

kelihatan biasa dan kurang garang, namun sesung-

guhnya mereka termasuk dalam jajaran pentolan da-

tuk golongan hitam. Dan nama mereka tak bisa dika-

takan di bawah si Iblis Merah Darah atau Iblis Ular Hi-

jau. Tiap orang dari mereka saja berilmu sangat tinggi, 

apalagi bila mereka menempur lawan secara bersa-

maan. Bisa dibayangkan lawan tak mungkin luput dari 

serangan mereka.

"Kalau kalian tak ada sangkut paut dengan urusan ini, sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku!" 

bentak Buang Sengketa kesal melihat tingkah mereka 

yang seperti orang bego. Dikatakan senyum, mereka 

tokh tidak sedang girang melihat pembantaian di de-

pan matanya. Tapi bila disebut sinis atau amarah, tak 

terlihat emosi itu terpancar lewat raut wajahnya. Ek-

spresi mereka biasa dan wajar. Apalagi ketika mereka 

pada akhirnya sibuk berbicara satu sama lain dengan 

kawan-kawannya.

"Oh, jadi ini yang namanya menggetar-kan dunia 

persilatan akhir-akhir ini?" tanya salah seorang.

"Pendekar dari Barat yang punya gelar si Hina 

Kelana?" tanya yang lain seperti meyakinkan.

"Murid si Bangkotan Koreng Seribu?!"

"Wah, wah! Kebetulan sekali! Pucuk di cinta ulam 

tiba!" sambung yang lain. "Apa kalian tak hendak bela-

jar kenal dengannya?"

"Oh, tentu! Tentu!" sahut yang pertama. "Akan ki-

ta apakan dia? Kita sate, dendeng, atau kita buat selu-

ruh tubuhnya penuh luka hingga seperti gurunya yang 

penuh dengan koreng menjijikkan itu?!"

"Bagaimana kalau nanti saya minta kuncirnya 

untuk jimat penangkal maling?" ledek yang kedua.

"Saya kepengin periuk besarnya itu saja," timpal 

yang ketiga. "Maklum. Kalau sedang masak di rumah 

suka kerepotan men-cari periuk yang besar seperti pu-

nyanya itu."

"Aduh! Aduh! Coba lihat!" seru yang keempat. 

"Dia punya cambuk. Tapi mana kambingnya? Apakah 

bocah ini suka menggembalakan kambing punya 

orang?!"

Diperlakukan begitu, amarah Buang Sengketa 

seakan hendak tumpah. Dia kembali membentak den-

gan suara mengguntur.


SEPULUH


"Orangtua celaka! Menyingkirlah lekas dari de-

panku. Kalau tidak, aku akan terpaksa pelintir kumis-

kumis kalian yang rusak seperti tikus got itu!"

"Ladalah! Celaka! Kiamat! Kiamat!" teriak mereka 

berempat sambil menutup kuping dengan jari telunjuk 

dan berputar-putar di tempatnya. "Suara apakah ba-

rusan itu?"

"Barangkali suara tikus kejepit?" sahut orang 

pertama.

"Atau barangkali suara periuk besarnya yang pe-

cah?" kata orang kedua sambil meneliti dengan bola 

matanya ke periuk besar di punggung si pemuda. 

"Bukan! Itu suara tangisnya minta susu pada 

emaknya?" tukas orang ketiga.

"Bukan!" timpal orang keempat. "Saya sendiri ti-

dak tahu. Mungkin suara orang menjerit minta mati."

"Bangsat! Orangtua celaka tak mau mampus?" 

maki si pemuda kesal di permainkan begitu. Tak sedi-

kit pun ucapan-ucapan itu dikeluarkan dengan nada 

amarah. Malah lebih tepat dengan mengejek dan mem-

permainkannya seperti anak kecil. Barangkali keem-

patnya adalah orang gila yang kesasar, pikir si pemu-

da. Mengingat itu dia segera tak mengacuhkan mereka 

dan mulai melangkah untuk melewatinya saja tanpa 

ambil pusing. Namun begitu dia mulai bergerak, 

keempat orang itu pun bergerak menghalangi jalannya 

pada jarak lima tombak dan masih dengan wajah bego 

yang tak perduli sama sekali dengan kehadiran si pe-

muda di situ.

"Orang tua! Menepilah segera! Aku masih ada 

urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi 

orang-orang tak waras seperti kalian!"


"Apakah engkau tak waras?" tanya orang per-

tama pada kawannya. 

"Lucu! Tadi engkau yang mengatakan aku tak 

waras, sekarang malah aku yang mengatakan engkau 

tak waras," sahut orang kedua dengan ucapan ngawur 

tak karuan.

"Barangkali kita sekumpulan orang-orang tak wa-

ras?" menimpali orang ketiga.

"Ya, ya. Kita pasti orang-orang tak waras yang ti-

dak gila!" sahut orang keempat tak kalah ngawur uca-

pannya.

Melihat keempat orang itu yang ternyata sengaja 

menghalangi jalannya, tampak kedua bibir pemuda itu 

terkatup rapat dengan rahang bergemeletukan mena-

han amarah. Dia segera pentangkan lengan dan selarik 

gelombang Ultra Violet segera menghajar keempat 

orangtua aneh itu. Dalam pikirannya, tentu mereka ini 

tokoh-tokoh dunia persilatan kalau bukan orang gila. 

Dan kalau itu terbukti, tentu mereka dengan gampang 

akan menghindari pukulan-nya itu. Atau kalau ternya-

ta betul mereka orang gila betulan, dia tak mau ambil 

pusing melihat kematian orang-orang itu. Tapi kalau 

mereka orang-orang persilatan, tentu mereka berilmu 

tinggi. Bukankah orang-orang yang berilmu tinggi suka 

bertingkah yang aneh-aneh? Kalau benar, tentu dia 

akan mendapat halangan yang lebih berat ketimbang 

para penyerangnya tadi.

"Pras!"

Pukulan itu menghantam semak-semak di sekitar 

tempat itu, sebab dengan tubuh ringan, keempat orang 

itu seolah terbang menghindar dengan gerakan serem-

pak. Toya di tangan mereka berputar-putar di atas ke-

pala bagai kitiran. Kemudian kembali mendarat den-

gan empuk.

"Ah, kalau tak salah itulah yang disebut pukulan


Empat Anasir Kehidupan," celoteh orang pertama.

"Dia masih punya satu pukulan handal. Kalau 

tak salah, Si Hina Kelana Merana!" timpal orang ke-

dua.

"Wah, hebat betul kalian! Dari mana bisa tahu?" 

tanya orang ketiga.

"Makanya jadi orang jangan tidur terus!" sahut 

orang keempat. "Sekali-sekali buka mata dan telinga 

lebar-lebar agar bisa melihat perkembangan dunia 

luar."

Pendekar Hina Kelana bukan main geregetannya

mendengar celoteh mereka. Dari mana mereka tahu 

pukulannya? Barangkali pun mereka mengetahui se-

mua jurus-jurus yang dimilikinya. Dan kalau sampai 

hal itu terjadi, bisa jadi kali ini dia akan menghadapi 

lawan tangguh yang sulit untuk ditaklukkan. Berpikir 

begitu, Pendekar Hina Kelana tarik nafas dalam-dalam. 

Barangkali tak ada gunanya dia cari permusuhan den-

gan orang-orang ini, dan alangkah baiknya dia mencari 

persahabatan saja. Siapa tahu mereka adalah sahabat-

sahabat gurunya. Dia segera menjura hormat.

"Orang tua, maafkanlah atas kelancangan uca-

pan dan sikapku. Tapi sudilah engkau memberi jalan, 

sebab saat ini aku ada urusan penting yang harus dis-

elesaikan selekasnya," kata Pendekar Hina Kelana.

"Hak... hak... hak...!" Keempat orang itu malah 

tertawa. Dan salah seorang berkata pada si Pendekar 

Hina Kelana dengan suara datar. 

"Tak sangka! Tak sangka! Ternyata murid si 

Bangkotan Koreng Seribu masih punya peradatan se-

gala. Sini! Biar kuterima segala hormatmu!"

Melihat gelagat yang kelihatan bersahabat itu, 

Buang Sengketa segera hampiri orang itu. Tapi kira-

kira tinggal dua tombak lagi jarak mereka, salah seo-

rang segera mengayunkan toya ke kepala si pemuda.


Tentu saja Buang Sengketa kaget setengah mati meli-

hat itu. Dia menghindar dengan cepat, namun toya 

yang lain segera mengejarnya. Disusul dengan kedua 

orang yang menyusul secara beruntun hendak meng-

hajar batok kepalanya. Si pemuda yang tak menyangka 

hal itu, menghindar sejadi-jadinya. Namun karena di-

rinya tak siap menghadapi serangan itu, tak urung 

pundaknya terkena hajaran toya salah seorang di an-

tara mereka. 

"Buk!"

Si pemuda merasakan sakit luar biasa akibat 

hantaman tadi. Belum lagi dia sempat atur nafas guna

membuka jurus baru, keempat orangtua aneh itu 

kembali meluruk ke arahnya dengan kecepatan tinggi 

yang sulit diikuti kasat mata. Dia terpaksa berguling-

guling menghindarkan diri, tapi periuk di punggung-

nya itu terasa menghalangi gerakannya. Terpaksa dia 

melompat-lompat bagai kodok. Tapi itu pun tak mem-

bantu. Keempat toya lawan siap menghancurkan batok 

kepalanya ketika dia terjerembab, saat kakinya terkait 

akar.

"Mampuslah engkau, Bocah!" bentak orang per-

tama.

"Walau kami tak bisa membalaskan den-dam ke-

sumat pada gurumu, muridnya pun jadilah!" timpal 

orang kedua.

Rasanya jalan untuk meloloskan diri dari seran-

gan itu sangat tipis sekali. Tak ada jalan lain, pikir 

Pendekar Hina Kelana. Dia segera keluarkan Pusaka 

Golok Buntung dari pinggang. Pada saat itu juga rasa 

sakit di pundaknya perlahan-lahan sirna, dan lawan 

merasakan hawa dingin luar biasa setelah si pemuda 

mengeluarkan golok yang berwarna merah menyala.

"Trak! Trak! Trak! Trak!"

Toya di tangan keempat orangtua itu terbelah


masing-masing menjadi dua bagian. Namun ketika go-

lok itu terus meluruk ke pangkal leher keempatnya, 

mereka ternyata telah mencelat ke belakang dengan 

gerakan ringan dan cepat. Luputlah mereka dari kema-

tian.

"Hebat! Hebat!" puji orang pertama sambil terse-

nyum getir.

Pendekar Hina Kelana segera bangkit sambil 

acungkan goloknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia 

terus mencelat ke arah mereka. Kelebatan pusaka Go-

lok Buntung di tangannya mengeluarkan suara pulu-

han harimau terluka yang mengaum yang menggiris 

hati para lawannya. Agaknya kemarahan Buang Seng-

keta telah sampai pada batas-nya. Nyawanya hampir 

saja melayang oleh akal licik keempat orang itu. Tapi 

kali ini dia tak mau lagi tertipu. Mereka harus me-

nanggung akibatnya. 

Tapi keempat orang itu bukanlah orang semba-

rangan. Nama Empat Setan Kembar sangat dikenal da-

lam dunia persilatan mereka adalah orang-orang yang 

senang mengembara ke lain tempat dan membuat he-

boh dengan segala aksinya. Bisa jadi mereka cukup 

mengenal si Bangkotan Koreng Seribu dalam salah sa-

tu pengembaraannya dan kemudian terjadi bentrokan 

dengan tokoh kosen itu, lalu dapat dikalahkan. Karena 

merasa bahwa selama ini ilmu silatnya tak ada yang 

menandingi, mereka jadi penasaran dan berniat untuk 

balas dendam. Tapi siapa pun akan tahu, mereka yang 

berani menantang si Bangkotan Koreng Seribu adalah 

mereka yang punya kepandaian yang tak bisa dipan-

dang sebelah mata.

Meski toya di tangan telah kutung menjadi dua 

bagian, namun senjata itu tak kalah hebat di tangan 

mereka. Bagai dua pentungan yang siap menghancur-

kan batok kepala lawan. Begitulah keadaan yang di


alami Pendekar Hina Kelana. Seakan empat pasang 

tangan-tangan baja selalu mengintai titik kelemahan-

nya dan siap menghajar bila sedikit saja lengah. Bah-

kan keempat lawan seperti tak terpengaruh dengan 

hawa dingin yang keluar dari golok di tangan si pemu-

da.

Melihat keadaan begitu, amarah Pendekar Hina 

Kelana rasanya tak dapat dibendung lagi. Dengan Pu-

saka Golok Buntung di tangan kanan, dia pentangkan 

tangan kirinya dan sebentar saja pukulan si Hina Ke-

lana Merana yang berwarna merah menyala telah 

menghantam keempat lawan. Masih bagus mereka bisa 

cepat menghindar karena telah menduga hal itu sebe-

lumnya. Namun ketika Pendekar Hina Kelana mainkan 

jurus si Gila Mengamuk, barulah keempat lawannya 

mulai kerepotan.

Empat Setan Kembar mulai kewalahan menerima 

serangan itu. Satu saat mereka harus menghindari sa-

betan golok di tangan Pendekar Hina Kelana yang 

mengeluarkan hawa dingin yang membuat kaku otot-

otot tubuh, dan di lain saat mereka harus pon-tang 

panting mengelak dari pukulan yang berwarna merah 

menyala. Belum lagi mereka menduga-duga ke mana 

gerakan si pemuda selanjutnya, tiba-tiba saja nyawa 

mereka hampir di ujung tanduk. Barangkali kalau 

orang biasa yang ilmu silatnya tak setinggi mereka, 

akan tewas sejak tadi menghadapi serangan beruntun 

yang dahsyat dan cepat itu. Untung saja yang dihadapi 

si pemuda kali ini adalah Empat Setan Kembar, salah 

satu nama datuk golongan sesat yang memiliki ilmu 

tak kepalang tinggi. Tapi meski begitu, tokh mereka 

tak bisa terus-terusan menghindar tanpa mampu 

membalas sedikit pun. Dan pada jurus yang ke empat

puluh dua, dengan tiba-tiba. 

"Cras! Cras!"


Dua dari Empat Setan Kembar tak lagi sempat 

menjerit ketika kepala mereka terpisah dari tubuh di-

hantam Pusaka Golok Buntung karena mereka terpi-

sah dari dua kawannya. Hal itu telah diketahui Pende-

kar Hina Kelana. Mereka selalu bergerak dengan arah 

yang sama, dan agak sulit untuk menghantam keem-

patnya sekaligus sebab yang satu segera akan melin-

dungi yang lain ketika serangan akan menghantam-

nya. Satu-satunya jalan adalah dengan membuat gera-

kan mereka kacau balau. Untuk itulah dia menggebrak 

mereka dengan pukulan si Hina Kelana Merana, dan 

ketika dua orang terpisah dari gerakan yang semes-

tinya saat itu pula golok di tangan Pendekar Hina Ke-

lana menghantam mereka.

Kedua kawannya kaget melihat hal itu. Mereka 

tak menyangka bahwa pemuda itu mampu melakukan 

hal seperti itu. Dengan marah keduanya segera 

menyerang si pemuda secara bertubi-tubi. Tapi dalam 

kemarahannya itu ternyata keuntunganlah yang dida-

pat si pemuda. Dia mulai melihat bahwa gerakan me-

reka mulai kacau dan tak terarah seperti tadi. Maka 

dengan mudah dia menghalaunya, kemudian balas 

menyerang. Sebelah tangannya menghantam pukulan 

si Hina Kelana Merana, dan sebelah lagi mengayunkan 

Pusaka Golok Buntung. 

"Blar...! Craas...!"

Keduanya terjengkang dan tewas seketika. Seo-

rang terhantam pukulan, dan seorang lagi terbabat pu-

tus lehernya. Pendekar Hina Kelana tak perdulikan 

mereka lagi. Dia segera genjot tubuh ke atas bukit. 

Dan tiba di dataran yang agak luas dilihatnya suatu 

bangunan yang terbuat dari batu-batu kapur namun 

disusun secara rapi. Batinnya yakin bahwa di sinilah 

tempat bersarangnya Singalodra, ketua Persekutuan 

Iblis Hitam itu.


"Singalodra! Keluarlah engkau!!" teriak Buang 

Sengketa dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang 

tinggi. Bisa saja dia langsung masuk ke dalam, tapi 

siapa tahu lawan telah menyediakan jebakan. Bisa-

bisa dia mati konyol tanpa bisa menempur manusia 

durjana itu.

Namun setelah ditunggu beberapa saat, tak keli-

hatan tanda-tanda jawaban dari dalam. Pemuda itu 

baru akan kembali berteriak ketika sesuatu berkelebat 

dari arah belakang. Reflek dia menoleh.


SEBELAS



"Hak... hak... hak... hak...! Jadi engkaukah pen-

dekar muda yang sangat ditakuti itu?! Hebat! Hebat! 

Pantas si Iblis Ular Hijau dan Empat Setan Kembar 

merasa jerih berhadapan denganmu, dan terpaksa 

menemui ajal di tangan bocah sepertimu!" ucap Singa-

lodra yang telah berdiri pada jarak sepuluh tombak di 

belakangnya.

Buang Sengketa meneliti wajah ketua Perseku-

tuan Iblis Hitam ini. Tidak jelek, malah tampan, ka-

tanya dalam hati. Tapi siapa nyana manusia seperti dia 

menyimpan iblis dalam hatinya.

"Jadi engkaukah yang bernama Singalodra?" 

tanya Pendekar Hina Kelana meyakinkan.

"Tidak salah, Bocah! Akulah Singalodra, raja di 

raja dalam dunia persilatan!" Kembali ketua Perseku-

tuan Iblis Hitam itu tertawa terbahak-bahak. Buang 

Sengketa terkesiap. Telinganya tergetar dengan hebat. 

Dia cepat menyadari bahwa suara tawa Singalodra di-

aliri tenaga dalam yang sangat kuat dan menusuk-

nusuk jantungnya.


"Bangsat!" umpatnya dalam hati. "Sudah menye-

butku bocah, seperti dia orang tua renta saja, kini 

hendak pamer kekuatan segala." Murid si Bangkotan 

Koreng Seribu itu cepat kerahkan tenaga dalam untuk 

melawan pengaruh tekanan lawan. Setelah dirasa te-

kanan lawan tak lagi mempengaruhinya, pemuda itu 

segera meningkahi dengan suara lengkingan nyaring 

dari ilmu Lengkingan Pemenggal Roh dengan pengera-

han setengah bagian kekuatannya.

"Heiiiiggggkkhh...!"

Singalodra terperanjat. Tawanya seketika terhen-

ti, dan ganti dia yang segera tutup kuping.

"Bocah kurang ajar! Engkau hendak pamer kebi-

saan di depan Singalodra?!" 

Buang Sengketa hentikan suara lengkingan itu, 

dan nyengir sambil garuk-garuk rambut di kepalanya 

yang tak gatal.

"Orangtua sialan!" balasnya mengejek. "Aku bu-

kan hendak pamer kebisaan di hadapanmu, tapi di be-

lakangmu pun telah kulakukan. Apakah ada lagi yang 

hendak engkau keluarkan untuk menghadapiku? Atau 

jiwa pengecutmu telah kabur jauh-jauh?!"

Diejek demikian rupa, Singalodra ma-rah bukan 

main. Selama ini tak seorang-pun menyebutnya penge-

cut. Tapi pemuda gembel dengan rambut dikuncir dan 

periuk di punggungnya itu telah kurang ajar berkata 

demikian. Kalau dia tak miliki nyali macan, bisa jadi 

dia orang gila kesasar. Tapi tak mungkin kalau orang

gila mampu membabat orang-orangnya hingga tuntas 

semua.

"Bocah! Selamanya Singalodra tak pernah dihina 

begitu rupa. Ada sangkut paut apa hingga dengan tiba-

tiba engkau mengacak-acak tempat kediamanku ini?! 

Jawab! Kalau engkau tak beri jawaban yang memua-

skan, jangan harap engkau bisa keluar dari tempat ini


dengan nyawa masih me-lekat di tubuh!" Wajah Singa-

lodra nampak merah padam menahan amarah. Tapi 

melihat itu Buang Sengketa malah ganda tertawa.

"Orangtua! Aku tak punya sangkutan serius pa-

damu, tapi jelas engkau membuat aku mau tak mau 

harus terpaut dengan segala tingkahmu yang selama 

ini engkau lakukan," sahut Pendekar Hina Kelana te-

nang. "Jadi jelasnya, kedatanganku ke sini cuma ingin 

pinjam sebentar nyawamu untuk ku tukarkan dengan 

nyawa seekor anjing, engkau memang patut menda-

patkannya."

"Bangsat...!!" Singalodra tak lagi bisa menahan 

amarah. "Bocah! Engkau harus terima akibatnya!" te-

riaknya sambil pentangkan kedua belah tangan mem-

bentuk paruh burung. Kemudian dengan cepat melesat 

ke arah si pemuda. Kedua belah tangannya menghan-

tam ke sana sini dengan kecepatan yang sulit diikuti 

kasat mata. Ke mana lawan menghindar, secepat itu 

kedua tangannya susul menyusul menghajar. Itulah 

kehebatan jurus Rajawali Mencakar Bukit yang pernah 

dipelajarinya dari si Rajawali Bukit Seribu.

Untuk beberapa saat Pendekar Hina Kelana 

hanya menghindar untuk mengetahui sifat serangan 

lawan. Setelah mengetahui titik-titik kelemahannya, 

dia segera kebutkan lengan ke bagian-bagian tertentu 

di tubuh lawan sambil bergerak menghindari serangan. 

Jurus Si Hina Mengusir Lalat ini memang tidak bera-

kibat yang terlalu parah untuk lawan, namun sebagai 

tandingan dari jurus lawan rasanya masih sepadan. 

Akibatnya bisa ditebak, bahwa dalam belasan jurus 

yang telah berlalu keadaan mereka masih seimbang. 

Namun memasuki jurus keduapuluh, Singalodra sege-

ra ubah serangan. Mula-mula dia menyerang Pendekar 

Hina Kelana dengan menggunakan jurus Rajawali 

Mengamuk dan membuat lawan kerepotan. Kemudian


secepat kilat dia kembali merubah jurusnya dengan 

Meniup Badai Selatan. Suatu jurus ampuh yang dipe-

lajarinya dari Malaikat Gunung Selatan.

Buang Sengketa agak kerepotan juga menghadapi 

serangan lawan yang berubah-ubah tak menentu. Ka-

dang Singalodra hantamkan sebelah kaki, namun ter-

nyata yang diutamakan adalah pukulan tangan. Begitu 

pun sebaliknya. Dan tak jarang kadang-kadang bertiup 

angin kencang ketika sebelah telapak tangannya ter-

pentang ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya bagai 

bergulung-gulung mendekati pendekar dari Negeri Bu-

nian itu.

"Splaaak...!"

Masih untung Buang Sengketa bisa dengan cepat 

memapak serangan lawan, kalau tidak tentu pukulan 

Singalodra yang di-iringi tenaga dalam tinggi itu akan 

menghantam dadanya. Namun tak urung tangannya 

terasa hendak lepas dari pergelangan. Begitu hebat 

dan tingginya tenaga dalam lawan, pikirnya dalam ha-

ti. Belum lagi dadanya yang terasa dilanda gempa bu-

mi dahsyat terasa sakit dengan denyutan kencang. Dia 

merasa ada sesuatu yang menetes lewat pipi. Ketika 

ujung telunjuknya menyentuh, terlihat darah segar 

yang keluar dari sela-sela mulutnya.

Singalodra pun bukan tak merasakan hal itu. 

Dadanya seakan mau remuk di-iringi sakit yang luar 

biasa. Untung saja dia cepat menelan sebutir pel ber-

warna merah dari saku jubah, kalau tidak, mungkin 

dari mulutnya akan tersembur darah segar bagai air 

memancur. Untuk beberapa saat ia mengatur jalan na-

fas sambil duduk bersila setelah menyeka lelehan da-

rah di pipi.

"Singalodra, kalau engkau mau kembali ke jalan 

yang lurus, kemudian sangkutan-nya denganku, eng-

kau mau membebaskan gadis yang engkau culik, barangkali kita tak perlu meneruskan pertarungan ini," 

kata Buang Sengketa menyarankan sebuah usul. Tak 

biasanya Pendekar Hina Kelana berkata demikian. Bisa 

jadi ini karena pengaruh dari jurus-jurus Koreng Seri-

bu yang membuatnya lebih sabar dalam menghadapi 

musuh-musuhnya. Apa salahnya menyudahi perta-

rungan bila lawan bisa dikalahkan dengan jalan men-

ginsyafkannya lewat kata-kata?

Tapi Singalodra bukanlah jenis manusia seperti 

itu. Barangkali wajahnya bisa tampan dan lembut se-

perti wajah bayi tanpa dosa, namun hatinya tak seperti 

itu. Dia akan kokoh setegar batu karang yang tak 

mampu digoyahkan apa pun. Malah terkekeh-kekeh 

mendengar ocehan Pendekar Hina Kelana itu.

"Bocah! Apakah engkau takut untuk me-

lanjutkan pertarungan ini?!" katanya mengejek. "Kalau 

engkau takut, sudah terlambat untuk melarikan diri. 

Aku tak akan pernah mengampuni musuh-musuhku 

hidup-hidup. Lagipula, apa yang tadi engkau minta? 

Ingin gadismu itu dikembalikan?" Singalodra ketawa 

pajang sambil bangkit dari duduknya. "Sungguh cantik 

dia. Tak menyesal aku telah kehilangan banyak anak 

buahku. Sungguh sepadan dengan kenikmatan yang 

diberikannya. Hak... hak... hak...!"

Mendengar itu, terkesiaplah wajah Buang Seng-

keta. Tubuhnya menggigil menahan amarah.

"Singalodra! Apa maksudmu?!" bentak-nya den-

gan garang.

"Apa maksudku? Sederhana, Bocah. Gadismu itu 

telah memberikan kenikmatan pa-daku secara cuma-

cuma."

"Tidak mungkin!"

"Lho! Lho! Kenapa engkau malah ma-rah-marah 

tak karuan?! Mungkin dia tidak suka padamu!" ejek 

Singalodra lagi.


"Bangsat cabul! Engkau pasti telah memperko-

sanya!"

Meledaklah tawa Singalodra kembali melihat si 

pemuda mencak-mencak menahan amarah. Namun 

dia kaget ketika dengan tiba-tiba lawan lancarkan satu 

pukulan. Selarik gelombang Ultra Violet segera meng-

hajarnya. Untung Singalodra cepat berkelit sambil ter-

tawa-tawa panjang. Terasa oleh Buang Sengketa bagai 

iblis yang sedang melampiaskan dan puas melihat 

korbannya celaka dan sengsara. Hatinya panas bukan 

main. Gejolak darahnya seolah, mendidih hingga ke 

ubun-ubun. Apalagi terbayang di benaknya gambar 

seorang gadis yang sedang meronta-ronta melawan 

cengkraman menjijikkan manusia di hadapannya ini. 

Barangkali dia tak akan bakal mengampuni manusia 

yang satu ini. Bahkan kematiannya pun tak akan se-

timpal dengan apa yang dilakukannya.

"Hei! Apakah engkau sedang main kembang 

api?!" ejek Singalodra masih dengan tawanya yang ter-

kekeh-kekeh.

"Bangsat cabul! Tertawalah sepuasmu setelah di 

neraka nanti!" sahut Pendekar Hina Kelana. Singalodra 

terpaksa pontang panting menghindarkan diri ketika 

pukulan lawan terasa semakin gencar menghantam-

nya.

"Kurang ajar!" teriak Singalodra ketika selarik ge-

lombang pukulan berwarna Ultra Violet yang dile-

paskan Buang Sengketa hampir menyerempet batok 

kepalanya. Masih untung hanya ujung rambutnya 

yang terpapas sebagian hingga ikat kepalanya seketika 

itu juga lepas. Rambutnya yang panjang hingga ke 

punggung, kini tergerai-gerai ditiup angin. Ada bau 

sangit yang seketika menebar. Barangkali yang dira-

sanya hanya itu, tapi kejengkelannya terasa meluap-

luap. Dia yang merasa paling hebat dengan segala ilmu


silatnya, ternyata masih bisa dihantam lawan meski 

hanya terserempet. Sambil kertakkan geraham tanda 

emosinya mulai bangkit, tangannya terpentang. Sesaat 

kemudian sebuah pukulan yang bergelombang warna 

merah bagai darah menghantam Pendekar Hina Kela-

na.

Buang Sengketa saat melihat angin yang mende-

ru-deru dengan hebatnya mengiringi gelombang puku-

lan, tak mau setengah-setengah memapagnya. Dia se-

gera keluarkan pukulan Si Hina Kelana Merana.

"Blaaam...!"

Kedua pukulan itu beradu. Bumi terasa bergon-

cang, dan suara yang memekakkan telinga terasa me-

nusuk-nusuk telinga mereka akibat dari pukulan itu. 

Keduanya sama-sama terpental beberapa tombak 

sambil muntahkan darah segar. Tapi pada saat itu 

Singalodra cepat bangkit sambil keluarkan pedang 

yang sejak tadi berada di punggungnya setelah mene-

lan sebutir pel warna merah.

"Srang!"

Pedang Iblis di tangan Singalodra yang berwarna 

hitam berkilat-kilat, menebar bau busuk yang menu-

suk penciuman di sekitar tempat itu. Seolah-olah men-

cekik segala makhluk yang berada di dekatnya dan 

menghisap darah yang berada di tubuhnya.

Buang Sengketa terkejut untuk beberapa saat ke-

tika merasakan hawa yang dikeluarkan pedang lawan. 

Dengan cepat dia keluarkan Pusaka Golok Buntung, 

dan seketika itu juga selarik sinar merah menyala yang 

dibarengi hawa dingin yang menyengat hingga ke tu-

lang sum-sum menghantam bau busuk yang dikelua-

rkan pedang Singalodra. Badannya terasa segar, meski 

sakit yang dirasanya masih belum sembuh betul. Den-

gan satu teriakan dahsyat dia bangkit untuk memapak

serangan lawan. Suaranya bagai puluhan harimau ter


luka yang mengaum seakan memberi satu dorongan 

semangat yang hebat padanya.

"Trang...!"

Pendekar Hina Kelana terkejut melihat benturan 

senjata itu. Bukan oleh bunga api yang ditimbulkan-

nya, tapi pada keampuhan pedang lawannya kali ini. 

Selama malang melintang di dunia persilatan, jarang 

dia menemukan senjata lawan yang mampu mengha-

dapi Pusaka Golok Buntung. Rata-rata senjata lawan 

akan terbabat kutung, tapi pedang di tangan Singalo-

dra betul-betul hebat. Bukan hanya tangannya yang 

terasa kesemutan, namun dia juga merasakan satu 

daya tolak yang ditimbulkan akibat benturan kedua 

senjata tadi yang seakan berasal dari senjata lawan. 

Apakah ini berarti dia akan ketemu batunya kali ini?


DUA BELAS



Akan halnya dengan Singalodra pun merasakan 

hal yang sama dengan apa yang dirasakan lawannya. 

Selama ini pedangnya akan membabat apa saja yang 

menahannya. Tapi menghadapi golok di tangan pemu-

da berkuncir itu, seakan tak ada apa-apanya. Bahkan 

dia berpikir, apakah pedang pusakanya ini telah hilang 

keampuhannya?

Sebenarnya masing-masing mereka tak menyada-

ri akan apa yang terjadi. Kedua senjata itu bukan hi-

lang keampuhannya, melainkan karena mereka berte-

mu dengan senjata lawan yang mempunyai keampu-

han hampir sama. Seperti Pedang Iblis di tangan Sin-

galodra yang punya daya hisap yang keji pada darah 

lawan yang dilukai. Padahal dalam jarak beberapa 

jengkal pun daya sedot itu masih terasa seakan menu-

suk-nusuk kulit lawan. Begitu juga halnya dengan Pusaka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. Meski 

tak sekeji senjata lawan, namun bila telah keluar dari 

sarungnya, dia akan bergerak mengejar lawan dan 

menghabisinya dengan segera. Di samping keampu-

hannya yang lain menyedot tenaga inti lawan. Itulah 

sebab, ketika kedua senjata itu bertemu, ada saling to-

lak menolak antara keduanya yang pada akhirnya 

menghantam pemiliknya sendiri.

Ketika mereka kembali melakukan hal yang sa-

ma, kejadian itu terulang. Hingga beberapa kali. Ak-

hirnya sadarlah mereka bahwa dalam hal adu senjata 

tak akan banyak berguna. Selain menyiksa mereka 

sendiri akibat tenaga dalam yang menghantam diri 

sendiri, juga membuang-buang waktu secara percuma. 

Padahal masing-masing punya dendam yang harus di-

lampiaskan secepatnya.

Mengingat itu Singalodra segera ubah jurus-

jurusnya dengan ilmu silat warisan dari Iblis Merah 

Darah. Sebentar saja Buang Sengketa merasakan te-

kanan yang hebat dari gerakan lawan. Dia mencelat ke 

sana ke mari menghindari diri dengan jurus Memben-

dung Gelombang Menimba Samudra. Tubuhnya seolah 

terbungkus oleh gerakan-gerakannya sendiri. Melihat 

lawan yang mampu menghindari jurus-jurus pembu-

kanya, Singalodra segera tingkatkan jurus-jurusnya. 

Kedua tangannya membentuk cakar dan mengelua-

rkan asap secara perlahan-lahan. Kemudian berubah 

menjadi merah bagai bara. Lalu dengan satu teriakan 

panjang, dia mencelat ke arah si Pendekar Hina Kela-

na.

Buang Sengketa yang melihat lawan telah kemba-

li menyarungkan pedang, dia pun ingin bersikap adil 

dengan menyelipkan kembali Pusaka Golok Buntung-

nya dan melayani lawan dengan jurus-jurus tangan 

kosong. Tapi alangkah kagetnya ketika tangan lawan



yang berbentuk cakar itu menghantam sebongkah ba-

tu besar di belakangnya dengan melewati beberapa 

senti dari lehernya. Batu itu hancur berkeping-keping, 

dan lehernya sendiri seperti terbakar api. Terasa kering 

dan panas. Namun belum lagi sempat dia untuk meya-

kinkan bahwa tak terjadi sesuatu pada lehernya, seko-

nyong-konyong pukulan lawan kembali mengejarnya 

bertubi-tubi. Terpaksa dengan pontang-panting Buang 

Sengketa menghindarinya, namun jari-jari lawan yang 

berbentuk cakar itu, terus mengejarnya seakan tak 

memberi peluang untuk barang sekejap mengatur na-

fas bagi lawan.

Begitu hebatnya jurus Cakar Iblis Merah yang di-

keluarkan Singalodra, membuat Pendekar Hina Kelana 

semakin terdesak tanpa bisa melakukan serangan ba-

lasan. Dan pada satu kesempatan.

"Buk!"

Buang Sengketa terjengkang sejauh beberapa 

tombak. Darah segar muncrat dari mulutnya akibat 

pukulan Singalodra yang menghantam dadanya. Bu-

kan hanya remuk yang dirasakannya, tapi juga sakit 

luar biasa, membuat tubuhnya sulit untuk digerakkan. 

Kalau saja tadi tubuhnya tidak dilindungi dengan te-

naga dalam penuh, bisa jadi akan hancur seperti batu 

yang dihantam ketua Persekutuan Iblis itu.

"Mampuslah engkau, Bocah!" teriak Singalodra 

sambil mencelat ke arah Pendekar Hina Kelana dan 

pentangkan kedua tangannya dengan jari-jari yang 

masih merah seperti bara. Buang Sengketa yang mera-

sakan ancaman mematikan dari lawan, diam-diam 

bergidik juga hatinya. Perlahan-lahan dicabutnya Pu-

saka Golok Buntung dan sesaat kemudian terasa hawa 

hangat menjalar di seluruh tubuhnya menghilang-kan 

rasa sakit yang menusuk-nusuk dan me-lancarkan ali-

ran darahnya yang tadi sempat kacau. Tepat pada saat


kedua jari-jari Singalodra yang membentuk cakar itu 

hendak menghantam batok kepalanya, dia segera sa-

betkan Pusaka Golok Buntung itu.

Singalodra yang melihat lawan hendak sabetkan 

senjatanya secepat itu menarik mundur tangannya 

dan berjumpalitan beberapa kali di udara untuk 

menghindarkan diri dari sabetan-sabetan lawan beri-

kutnya. Tapi kali ini Pendekar Hina Kelana tak mau 

dipecundangi untuk kedua kalinya. Dia segera main-

kan jurus Si Jadah Terbuang untuk menghadapi aksi 

lawan. Dengan jurus itu dia bisa menghindarkan dan 

cepat mengirim pukulan balasan pada lawan. Hingga 

untuk beberapa saat, sulit ditebak, siapa yang lebih 

unggul dalam pertempuran itu. 

Tapi Singalodra nampaknya tak lagi mau buang-

buang waktu. Ketika dalam satu kesempatan, dia 

mencelat mundur dan hinggap di kedua kakinya den-

gan ringan. Se-belah tangannya segera merapat ke da-

da dengan jari-jari terbuka lurus. Sementara sebelah 

tangannya yang lain melintang di depan yang pertama 

tadi. Lalu dengan gerakan yang tak perduli pada la-

wan, tubuhnya segera bergeser perlahan-lahan mem-

bentuk putaran-putaran yang berjalan mendekati si 

pendekar dari Negeri Bunian itu. Lama kelamaan puta-

ran-putaran itu semakin cepat dan akhirnya sulit di-

ikuti oleh kasat mata, menghantam ke arah Buang 

Sengketa berada. Pemuda itu cepat menghindar den-

gan meloncat, namun putaran itu bagai angin puting 

beliung, terus mengikuti ke mana saja tubuhnya ber-

gerak dan menghindar. Inilah salah satu jurus andalan 

Singalodra yang diberi nama Iblis Menggoda Iman. Ke-

lihatannya remeh dan sepele, namun sesungguhnya 

bila lawan tersentuh oleh putaran tubuhnya, bukan 

hanya satu pukulan yang terkena namun dari kedua 

kaki dan tangan serta tubuh akan menghantam lawan


secara bertubi-tubi. Lalu kesadisan yang lain dari ju-

rus ini justru terletak pada hawa pukulan yang dilan-

carkannya. Dialiri tenaga dalam yang penuh dan kuat 

serta mematikan.

Buang Sengketa keluarkan jurus Si Gila Menga-

muk untuk menghindarinya. Tubuhnya berkelebat ke 

sana sini menghindari sapuan lawan. Lalu sekali-sekali 

lontarkan pukulan si Hina Kelana Merana. Namun ba-

gai bermata, tubuh Singalodra yang bergulung-gulung 

itu meliuk-liuk menghindari selarik gelombang ber-

warna merah menyala itu dengan lincahnya. Sampai 

beberapa kali Pendekar Hina Kelana melancarkan pu-

kulan si Hina Kelana Merana, namun tak ada satu pun 

yang berhasil menyentuh lawan. Batu-batu serta pe-

pohonan di tempat itu telah porak poranda dilanda 

pukulan-pukulan Buang Sengketa.

Singalodra yang melihat bahwa serangannya kali 

ini belum juga berhasil menghajar pemuda itu, segera 

merubah taktik. Dalam keadaan tubuhnya yang masih 

berputar, dia keluarkan pedangnya dan kerahkan te-

naga dalam penuh pada sebelah lengannya yang lain. 

Tujuannya sudah jelas, akan menghantam Pendekar 

Hina Kelana dengan kekuatan penuh.

Murid si Bangkotan Koreng Seribu bukannya tak 

menyadari hal itu. Dia dapat merasakan hawa samba-

ran tubuh lawan yang masih berputar seperti gasing 

itu terasa kuat dan ganas. Tubuhnya terasa ditarik-

tarik oleh sesuatu benda yang dipegang ketua Perseku-

tuan Iblis Hitam itu.

Sadarlah dia bahwa lawan kali ini telah menge-

rahkan seluruh ilmu yang dimilikinya untuk segera 

membuatnya binasa. Dia pun dengan nekad telah ber-

niat memapak serangan lawan sambil kembali menca-

but Pusaka Golok Buntung dan mengerahkan seluruh 

tenaga dalam yang dimiliki. Kemudian dalam satu kesempatan.

"Blaaaaaaar...!"

Suatu benturan dahsyat terjadi. Bukit itu terasa 

bergoncang-goncang seperti dilanda gempa yang hebat. 

Istana Singalodra terlihat mulai retak-retak di sana si-

ni diikuti oleh runtuhnya atap serta beberapa batu 

tembok bagian atas. Pepohonan yang berada dalam ra-

dius sepuluh tombak dari pertempuran itu pada ber-

tumbangan. Kedua tubuh mereka terpental kira-kira 

sepuluh tombak sambil muntah darah berkali-kali. Da-

ri hidung dan telinga keduanya mengalir darah segar. 

Ini adalah pertarungan tinggi yang sama-sama dialami 

oleh mereka. Keduanya cepat bersila mengatur jalan 

nafas dan peredaran darahnya. Barulah mereka sadari 

bahwa senjata yang tergenggam telah terpental entah 

ke mana. Yang paling merasakan parahnya adalah 

Pendekar Hina Kelana. Tanpa Pusaka Golok Buntung 

di tangannya, luka yang dideritanya akan semakin pa-

rah.

Sebaliknya setelah menelan beberapa pel warna 

merah Singalodra merasa tubuhnya agak lebih mem-

baik meski belum bisa dikatakan sembuh total. Meli-

hat lawan masih duduk bersila menandakan bahwa ja-

lan darahnya masih kacau, dia tak menyia-nyiakan 

kesempatan ini. Sambil mencelat tinggi, dia keluarkan 

suara bersuitan yang panjang dan menusuk telinga. 

Siapa pun yang mendengar pasti akan berakibat buruk 

padanya. Batu-batu di sekitar tempat itu kembali han-

cur menjadi beberapa kepingan kecil, pohon-pohon 

terbelah bagai dicabik-cabik oleh suatu tangan yang 

tak terlihat, dan tanah tempat mereka berpijak tiba-

tiba mulai retak satu persatu. Bisa dibayangkan bila 

ada manusia yang berada di tempat itu, bisa dipasti-

kan binasa seketika.

Buang Sengketa menyadari bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya. Satu-satunya harapan 

saat ini yang mampu diandalkannya adalah mengelua-

rkan jurus-jurus Koreng Seribu. Namun tak mungkin 

dimainkannya sambil berdiri, sebab untuk menggerak-

kan tubuh saja terasa sakit luar biasa. Mau tak mau 

dia hanya bisa memainkannya sambil duduk bersila. 

Matanya mulai terpejam seiring pikirannya yang mulai 

berkonsentrasi menghalau suara yang dikeluarkan la-

wan. Pelan-pelan pengaruh itu mulai menghilang dari 

telinga dan seluruh permukaan tubuhnya. Bahkan kini 

telinganya menangkap suara-suara yang lebih aneh 

seperti teriakan-teriakan Singalodra menahan kesaki-

tan.

"Lepaskan jahanam! Lepaskaaaaan...! 

Aaaaaaaakh...!"

Teriakan melolong setinggi langit mengiringi tu-

buh Singalodra ambruk ke tanah dan tewas seketika. 

Setelah tak terdengar lagi suara-suara yang mencuri-

gakan, barulah Pendekar Hina Kelana buka matanya 

dan memperhatikan ke sekeliling sambil bangkit dan 

berjalan tertatih-tatih. Pertama-tama yang dilihatnya 

adalah tubuh Singalodra yang pucat pasi seakan selu-

ruh darahnya hilang entah ke mana. Buang Sengketa 

menghela nafas pendek sambil gelengkan kepala. Dia 

tak sangka keampuhan jurus-jurus Koreng Seribu 

sampai sedemikian hebat menyedot seluruh tenaga da-

lam lawan hingga dia tewas dengan tubuh lemas tak 

berdaya. Makin tinggi tenaga dalam yang dikeluarkan 

lawan, makin cepat tubuhnya yang sedang mengerah-

kan jurus-jurus Koreng Seribu menyedotnya. Lawan 

yang tak mengerti dan panik melihat keadaan itu, akan 

semakin marah dan terus mengerahkan tenaga dalam-

nya hingga semaksimal mungkin. Seperti halnya yang 

dilakukan oleh Singalodra tadi.

Kemudian Buang Sengketa memutar pan-dang kesekeliling tempat. Batu-batu yang hancur, pohon-

pohon tumbang, dan terakhir istana Singalodra yang 

telah runtuh. Tiba-tiba matanya yang tajam menatap 

sosok tubuh berpakaian biru di depan istana Singalo-

dra yang runtuh. Darahnya segera terkesiap. Dia sege-

ra menghampiri, dan melihat tubuh seorang wanita 

yang tewas dengan darah yang mengalir lewat seluruh 

tubuhnya. Dan pada jarak tiga jengkal dari tangannya 

yang menjulur, tergeletak Pusaka Golok Buntung yang 

terpental tadi. Tentu gadis itu tadi berusaha untuk 

menggapainya, pikir si pemuda. Tapi yang membuat-

nya lebih terperanjat adalah ketika mengetahui siapa 

gadis itu sebenarnya.

"Puji Lestari...?" bisik Pendekar Hina Kelana pe-

lan dan tertegun untuk beberapa saat lamanya. Ada 

sesuatu yang hilang dalam hatinya. Entah apa, namun 

sangat terasa menyesak. Pelan-pelan dia tundukkan 

kepala dalam larut penyesalan.

"Kalau saja aku lebih cepat datang, tentu nasib-

mu tak akan begini. Tapi kenapa engkau malah keluar 

mendekati? Seharusnya engkau tahu bahwa tenaga 

dalammu tak akan cukup untuk menyaksikan perta-

rungan kami dari jarak yang dekat. Kenapa engkau ke-

luar juga?" ucap pendekar berambut kuncir itu berkata 

seorang diri bagai orang gila sambil menatap pada 

mayat gadis itu. Dia berusaha menggoncang-

goncangkan tubuh si gadis sambil memanggil-manggil 

namanya berkali-kali.

Tiba-tiba pada saat demikian matanya tertumbuk 

pada tulisan yang tertera di tanah. Berwarna merah 

karena bercampur dengan darah.

Untuk Buang Sengketa, atau siapa pun namamu.

Aku sangat mencintaimu, tapi sekarang merasa 

sangat tak berharga sebab Singalodra keparat telah


menodai ku berkali-kali. Barangkali kematianku akan 

lebih baik, tapi sebelum itu aku ingin agar kematianku 

bisa ber...

Tulisan itu terputus. Buang Sengketa menyadari, 

pasti gadis itu tak mampu meneruskan kalimatnya ka-

rena pengaruh ilmu yang dikeluarkan Singalodra tadi 

yang membuatnya tak berdaya. Dari sikap tangannya 

yang hendak meraih Pusaka Golok Buntungnya yang 

terpental di dekatnya, mengertilah Pendekar Hina Ke-

lana bahwa gadis itu berniat meraihnya dan bermak-

sud menyerang Singalodra dengan senjata itu. Tapi se-

belum dia mampu mendapatkannya, dia telah tewas 

tak berdaya.

Pendekar Hina Kelana tak mampu berkata sepa-

tah pun melihat kenyataan itu. Hatinya luka dan ada 

satu yang terlepas. Mungkin dengan pengembaraan-

pengembaraan berikutnya dia akan bisa melupakan 

semua kenangan ini. Ada yang menyenangkan, namun 

juga ada yang menyakitkan. Barangkali itulah hidup!



                              TAMAT



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar