SENGKETA PEWARIS TUNGGAL
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Sengketa Pewaris Tunggal
128 hal.; 12 x 18 cm.
SATU
Suara gemericik air yang jatuh menimpa beba-
tuan bagai irama yang mampu membangkitkan gairah
hidup. Uap putih yang menebarkan hawa dingin, terli-
hat bergerak dari juntaian tirai putih yang tak lain se-
buah air terjun.
Dari jarak beberapa tombak, nampak sosok le-
laki muda tengah memandangi jatuhnya air terjun
yang berpencaran setelah menimpa bebatuan di ba-
wahnya. Cukup lama juga sosok muda berpakaian
kuning keemasan memandangi tirai air yang bergan-
tian turun. Namun tidak lama kemudian tatapannya
dialihkan ke sebuah anak sungai yang airnya ber-
sumber dari air terjun.
"Aaah...."
Desahan lembut pemuda berpakaian kuning
keemasan, seolah memberi tahu bahwa dirinya memi-
liki kenangan pada benda yang sedang dipandangi.
Benda itu adalah sebongkah batu besar.
"Apakah aku harus menempuh jalan itu lagi?"
kata hati lelaki muda itu.
Ingatan pemuda itu bergerak mundur pada ma-
sa belasan tahun silam, ketika dirinya bersama.... Nyi
Salasih (Baca serial Raja Petir dalam episode Pembala-
san Berdarah). Yang telah mengangkatnya sebagai mu-
rid, bersama-sama mencelupkan kaki ke air dingin
yang menganak sungai. Gurunya itu menggeser se-
bongkah batu besar, hingga nampak sebuah jalan ra-
hasia berupa lubang kecil berukuran setengah batang
tombak.
"Ah, aku tak mau menggunakan jalan rahasia,"
putus hati lelaki muda itu kemudian.
Mata lelaki muda itu kembali memandang air
terjun yang meluncur cukup deras. Hatinya sudah
mantap akan mengambil jalan dengan menerobos
kumpulan air yang membentuk dinding putih.
"Aku harus menerobos air terjun, seperti ketika
aku pergi dulu," kata hati pemuda itu.
Pemuda itu kemudian membawa kakinya mun-
dur selangkah. Wajahnya seketika berubah tegang
seiring dengan tarikan napas dan otot-otot tangannya
kelihatan mengeras. Dan ketika kaki pemuda itu
menghentak permukaan tanah dengan cukup kuat,
maka....
"Hip!"
Laksana anak panah yang dilepaskan dari bu-
sur, tubuh pemuda yang terbalut pakaian kuning
keemasan melesat cepat. Angin menderu mengiringi
luncuran tubuh pemuda yang dilakukan dengan rin-
gan.
Prats...!
Air terjun yang membentuk dinding putih tersi-
bak, tanpa ada setitik air pun membasahi pakaian pe-
muda itu..., memang Jaka telah mengerahkan
'Pukulan Jarak Jauh' saat tubuhnya melesat cepat.
Pukulan itu dilancarkan untuk menahan luncuran air
terjun yang bagai tirai putih.
"Hup!"
Tubuh pemuda itu mendarat ringan di bibir se-
buah ruangan yang mirip gua. Sesaat mata pemuda
tampan itu berkeliling mengitari ruangan gua yang se-
perti tak berpenghuni.
"Eyaaang...."
Panggilan dalam hati yang diucapkan pemuda
itu seperti bergema di dinding hati dan dinding gua.
"Selamat datang, Jaka Cucuku," suara seorang
perempuan tua tiba-tiba memantul dari dinding gua.
Suara itu seperti menjawab panggilan dalam
hati pemuda yang bernama Jaka. Ya pemuda itu ada-
lah Jaka Sembada yang di kalangan rimba persilatan
berjuluk Raja Petir.
"Eyaaang...!"
Jaka segera menghambur, ketika dari kelokan
ruangan yang mirip gua muncul sosok tubuh tua ber-
pakaian longgar putih bersih. Perempuan tua yang tak
lain Nyi Selasih, menyambut langkah Jaka yang kini
bersimpuh di hadapannya.
Dengan mengusap punggung pemuda itu, Nyi
Selasih berkata pelan, "Firasat ku mengatakan kau
akan datang hari ini, Jaka."
"Eyaaang...," Jaka mengangkat kepala dan me-
natap wajah Nyi Selasih lekat-lekat. "Sudah lama aku
merindukan pertemuan ini," Lanjut Jaka pelan.
"Eyang pun begitu, Jaka. O ya. Apa sebelum
kedatanganmu ke sini, kau telah mengunjungi Ki Legar
lebih dahulu?" tanya Nyi Selasih.
Tersentak Jaka mendengar pertanyaan Nyi Se-
lasih. Mata pemuda itu semakin lekat menatap wajah
perempuan tua di hadapannya.
Perempuan berusia delapan puluh tahun yang
merupakan guru sekaligus nenek pemuda berpakaian
kuning keemasan itu, mengernyitkan dahi. Nyi Selasih
merasa bingung dengan tatapan Jaka yang dirasa agak
ganjil.
"Apa yang terjadi dengan Ki Legar, Jaka?" tanya
Nyi Selasih sedikit bergetar. Batin perempuan tua itu
seolah menangkap firasat tak baik yang me-nyangkut
diri Ki Legar.
Jaka tidak segera menjawab pertanyaan Nyi Se-
lasih. Kepala pemuda yang berjuluk Raja Petir itu ter-
tunduk lesu. Perlahan kepala Jaka terangkat setelah
sesaat menunduk. Tatapan matanya kini menusuk lu
rus bola mata tua Nyi Selasih,
"Eyang Legar telah tiada, Nyi," ucap Jaka pa-
rau.
Terkejut bukan main Nyi Selasih mendengar
perkataan pemuda di hadapannya yang telah dianggap
sebagai cucu. Seluruh permukaan wajahnya memanas.
Namun perempuan tua yang telah matang pengalaman
itu menyembunyikan rasa terkejutnya. Nyi Selasih se-
gera memegang bahu Jaka dan mengangkatnya sedi-
kit. Pemuda itu pun mengerti gerakan yang dilakukan
Nyi Selasih sebuah isyarat untuknya agar beranjak
bangkit, maka Jaka segera berdiri.
"Kematian merupakan hal yang wajar, Jaka,"
tukas Nyi Selasih sambil melangkah memasuki ru-
angan gua lebih dalam. "Apa yang dialami Ki Legar,
pasti akan kita alami pula walaupun kita tidak pernah
tahu kapan ajal akan datang. Entah Eyang yang lebih
tua akan dijemput lebih dulu atau kau yang muda,
Jaka. Semua itu rahasia sang Pencipta Buana ini,"
"Aku tak pernah mengingkari ajal manusia,
Eyang. Aku hanya menyayangkan kematian Eyang Le-
gar yang seperti itu, sangat mengenaskan keadaan-
nya," kilah Jaka menanggapi ucapan Nyi Selasih yang
sarat dengan kebijakan. "Eyang Legar mati dibantai,
Eyang," lanjut Jaka.
"Itu hukum alam untuk Ki Legar, Jaka," bantah
Nyi Selasih. "Hukum alam akan bicara sesuai dengan
kenyataannya. Kalau manusia menabur biji kacang,
maka akan tumbuh pohon kacang. Kalau ada yang
tumbuh dalam bentuk lain, itu semata karena kekua-
saan sang Pencipta Jagat. Dan ini merupakan kenya-
taan yang tidak dapat dibantah lagi. Sama halnya den-
gan cara kematian Ki Legar yang menurutmu menge-
naskan. Karena sebelum masa tobatnya, Ki Legar telah
sering berbuat hal yang mengenaskan seperti itu. Itu
hukum alam, Jaka. Sebuah hukum sebab akibat yang
mau tak mau harus diterima Ki Legar," lanjut Nyi Sela-
sih panjang lebar.
Jaka merasa terpukul dengan ucapan bijak
yang keluar dari mulut perempuan tua berpakaian
longgar putih itu.
"Aku telah melenyapkan orang-orang yang me-
newaskan Eyang Legar, Eyang," ujar Jaka.
"Aaah...."
Nyi Selasih menarik napas panjang mendengar
ucapan Jaka.
"Atas dasar apa kau membunuh mereka, Ja-
ka?" hati-hati pertanyaan yang dilontarkan Nyi Selasih.
"Kalau aku menyingkirkan mereka dengan da-
sar bara api dendam, Eyang Legar tidak akan mengi-
zinkan ku, Eyang. Eyang Legar tak setuju aku memba-
las kematiannya. Tapi karena yang kulakukan meru-
pakan sebuah kewajiban untuk mencegah sepak ter-
jang mereka yang sangat keji, maka Eyang Legar tidak
berkeberatan," jelas Jaka mantap.
"Eyang pun setuju kalau kau melakukannya
demi memenuhi kewajiban sebagai seorang pendekar,
yang bertugas melindungi orang-orang lemah dan
memberantas segala bentuk keangkara-murkaan,"
timpal Nyi Selasih sambil membimbing langkah Jaka
memasuki ruang dalam gua.
"Terima kasih, Eyang."
"Jaka. Ada sesuatu yang hendak Eyang bicara-
kan denganmu," ucapan Nyi Selasih.
"Masalah apa, Eyang?"
"Lebih baik kita bicarakan di dalam, Jaka.
Mayang Sutera juga perlu tahu," jawab Nyi Selasih.
Terkejut Jaka, mendengar ucapan Nyi Selasih
yang menyebut nama seorang perempuan.
"Mayang Sutera...? Siapa dia?" kata hati Jaka.
"Gadis itu cantik, Jaka. Seperti ibumu di waktu
muda. Mayang Sutera berwatak lembut dan penyabar,"
ucap Nyi Selasih.
Jaka merasa tidak enak mendengar ucapan Nyi
Selasih. Pemuda itu tidak ingin Nyi Selasih menyangka
dirinya seperti lelaki lain, yang mudah tergiur kecanti-
kan seorang perempuan.
"Siapa Mayang Sutera, Eyang?" tanya Jaka
mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Nanti juga kau tahu, Jaka. Namun yang pasti
Mayang Sutera cantik," jawab Nyi Selasih menggoda.
"Ah, kenapa hal itu yang lebih dahulu Eyang
beri tahukan?" tanya Jaka.
"Kau tak suka melihat gadis cantik?" goda Nyi
Selasih makin jauh.
Jaka hanya melempar pandangannya ke tempat
lain ketika mendengar pertanyaan Nyi Selasih.
"Awas kepalamu terbentur batu, Jaka," ujar Nyi
Selasih mengingatkan.
Jaka langsung bergerak menghindar mende-
ngar peringatan itu. Rupanya pemuda itu tidak me-
nyadari mereka sudah tiba di kelokan sebelah kanan
gua.
"Belum apa-apa kau sudah melamun, Jaka.
Pasti kau sedang membayangkan kecantikan Mayang
Sutera," goda Nyi Selasih lagi.
"Ah, Eyang," gumam Jaka pelan.
"Itu Mayang, Jaka," tunjuk Nyi Selasih ke arah
kanan sudut ruangan.
Jaka mengikuti arah telunjuk Nyi Selasih yang
menunjuk ke suatu tempat. Dan memang benar, pada
satu sisi ruangan yang ditunjuk Nyi Selasih, tengah
duduk seorang gadis cantik berpakaian jingga. Kulit
gadis itu yang putih bening, sangat cocok dengan war-
na pakaian yang dikenakan. Dan bentuk wajahnya
yang tirus sangat serasi dengan rambut sepunggung
yang dikepang kelabang.
"Mayang, kemarilah," panggil Nyi Selasih sete-
lah membiarkan Jaka menatap keberadaan dara cantik
berpakaian jingga.
Mayang Sutera nampak terkejut, menyadari
kehadiran Nyi Selasih bersama seorang pemuda tam-
pan berpakaian kuning keemasan. Mayang Sutera su-
dah dapat menduga lelaki muda yang bersama Nyi Se-
lasih adalah Jaka Sembada, namun tak urung dirinya
terpukau juga menyaksikan sosok yang berjuluk Raja
Petir.
"Pemuda ini Kakang Jaka yang selalu Eyang ce-
ritakan padamu, Mayang," ujar Nyi Selasih pada
Mayang Sutera yang sudah berdiri di sebelah kanan-
nya.
Mata Mayang Sutera seketika meneliti sekujur
tubuh Jaka. Dan ketika tatapan mata pemuda itu me-
mergoki perbuatannya, Mayang Sutera segera menun-
dukkan kepala dengan rasa malu.
"Betulkan Eyang tidak berbohong, Mayang? Ja-
ka memang tampan seperti yang selalu Eyang cerita-
kan padamu," ucap Nyi Selasih membuat wajah
Mayang Sutera tersipu merah.
"Ah, Eyang....," desah Mayang Sutera malu.
"Ayolah, kalian jangan ragu-ragu untuk berja-
bat tangan," ucap Nyi Selasih lagi.
Mayang Sutera menundukkan kepala semakin
dalam, sedang Jaka melakukan hal yang sebaliknya.
Matanya menatap wajah keriput Nyi Selasih.
"Sebaiknya memang lelaki yang memulainya,
Jaka," saran Nyi Selasih.
Jaka segera mengulurkan tangan, meski agak
kaku.
Melihat tangan terulur, Mayang Sutera ragu-ra
gu menyambutnya. Tapi karena dirinya tak ingin men-
dengar godaan Nyi Selasih, maka segera disambutnya
uluran tangan Jaka.
Geletar aneh seketika dirasakan Mayang Sutera
ketika telapak tangannya tergenggam erat telapak tan-
gan Jaka. Geletar aneh itu terus masuk ke dalam da-
danya, hingga gadis cantik berpakaian jingga itu mera-
sa dadanya berdebar hebat. Namun anehnya, debar
jantung yang sanggup membuat sekujur tubuhnya
bersimbah peluh terasa nikmat.
Apa yang dirasakan Mayang Sutera saat bersa-
laman, rupanya dialami pula oleh Jaka. Lelaki muda
usia yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandin-
gannya itu, merasa jantungnya berdetak hebat. Suatu
perasaan aneh tiba-tiba menelusup masuk ke dalam
hatinya dan mengisi tempat kosong di situ.
"Ehm!"
Sebuah deheman lembut Nyi Selasih semakin
membuat perasaan Mayang Sutera dan Jaka bertam-
bah tidak menentu. Gambaran itu terlihat jelas dari
wajah Mayang Sutera yang bersemu merah bagai ke-
piting rebus.
Tetapi tidak demikian dengan Jaka, lelaki muda
usia yang berjuluk Raja Petir terlalu pandai me-
nyembunyikan perasaan. Dengan telapak tangan ma-
sih menggenggam erat telapak tangan Mayang Sutera,
Jaka menyebutkan namanya.
"Namaku Jaka," ucap Jaka mantap. "Siapa na-
mamu?!"
"Aku Mayang, Kakang," jawab dara cantik ber-
pakaian jingga. "Mayang Sutera."
Jaka menatap lekat wajah Mayang Sutera. Tak
disangka, gadis cantik dengan rambut dikuncir kela-
bang membalas tatapannya. Seketika itu juga dua ta-
tapan mata penuh kelembutan bertemu.
"Ehm!"
Nyi Selasih kembali berdehem, namun sesung-
guhnya hati perempuan berusia lebih dari delapan pu-
luh tahun itu bahagia tiada terkira. Niatnya untuk
mempersatukan Jaka dan Mayang Sutera mulai me-
nemui titik terang.
"Ada sesuatu yang lebih penting kalian ketahui,
daripada berpandang-pandangan seperti itu," tukas
Nyi Selasih pelan.
Perempuan berusia lanjut dengan pakaian
longgar putih itu, beranjak dari depan Jaka dan
Mayang Sutera. Dan kedua muda-mudi yang baru per-
tama berjumpa itu segera mengikuti langkah Nyi Sela-
sih dengan perlahan-lahan.
"Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan
kematian Eyang Legar, Eyang?" tanya Jaka tak sabar.
Perempuan tua berpakaian putih itu mengge-
lengkan kepala.
"Lalu apa, Eyang?"
"Warisan," jawab Nyi Selasih mantap,
"Warisan...?" ulang Jaka bergumam.
Nyi Selasih tersenyum melihat kelakuan Jaka.
Dengan satu langkah mundur, perempuan tua itu me-
nempelkan tangannya ke punggung Jaka.
"Warisan, Jaka," ulang Nyi Selasih berbisik.
"Warisan yang harus kau rebut keberadaannya."
"Maksud, Eyang?"
DUA
Nyi Selasih segera menceritakan perihal sosok
sakti, yang puluhan tahun silam pernah malang melin-
tang di dunia persilatan. Masa almarhum Raja Petir tu-
rut menggeluti rimba keras demi mengusir tokoh-tokoh
keji golongan hitam.
"Jadi Sabuk Petir yang kumiliki sekarang belum
lengkap keberadaannya, Eyang?" ucap Jaka mene-
gaskan.
Nyi Selasih menganggukkan kepala.
"Sabuk Petir berwarna kuning keemasan itu
sebenarnya memiliki warna asli hijau, Jaka. Kalau kau
mampu merebut Sabuk Petir warna biru dari tangan
cucu Ki Durja Kelada, lalu kau persatukan dua sabuk
berwarna berbeda itu, maka Sabuk Petir akan berubah
hijau. Tapi merebut Sabuk Petir dari tangan cucu Ki
Durja Kelada bukan persoalan ringan, karena bukan
tidak mungkin Ki Durja Kelada telah menurunkan se-
bagian dari seluruh kesaktiannya pada penerus yang
akan muncul sebagai penguasa rimba persilatan. Itu
adalah cita-citanya yang tak pernah terwujud ketika
almarhum ayahku masih hidup," papar Nyi Selasih
panjang lebar.
"Apakah Ki Durja Kelada saat ini masih hidup,
Eyang?" tanya Jaka.
"Entahlah, namun yang jelas Eyang belum
mendengar berita kematiannya. Kalau pun masih hi-
dup, usianya tentu sudah terlalu renta untuk turut
meramaikan rimba persilatan saat ini. Itu sebabnya le-
laki itu memunculkan cucunya untuk menguasai rim-
ba persilatan seperti dicita-citakannya dulu," jelas Nyi
Selasih.
Jaka termenung sejenak mendengar penjelasan
Nyi Selasih, pikirannya menerawang mencari gamba-
ran sosok renta Ki Durja Kelada dan cucunya yang
mungkin memiliki kesaktian sama.
"Terus terang Eyang katakan, Eyang tidak tahu
kapan Ki Durja Kelada memunculkan cucunya untuk
meneruskan cita-citanya menguasai rimba persilatan.
Namun dari kejadian yang menimpa Mayang, Eyang
bisa menyimpulkan cucu Ki Durja Kelada sudah turun
gunung," sambung Nyi Selasih seraya menatap wajah
Mayang Sutera.
Jaka juga ikut memandang wajah Mayang Su-
tera. Tatapan Jaka diartikan Nyi Selasih sebagai suatu
keingintahuan, atas kejadian yang dialami gadis ber-
pakaian jingga.
"Tiga purnama setelah kepergianmu, Eyang
memutuskan tidak akan meninggalkan tempat ini.
Eyang melakukan kewajiban pada sang Pencipta Alam
Raya. Seluruh jiwa dan ragaku, Eyang serahkan kepa-
daNya. Namun kenyataannya, panggilan lain yang tak
kalah penting membuat Eyang hams meninggalkan
tempat ini. Naluri Eyang mengatakan, Eyang harus
berbuat sesuatu seperti yang pernah dilakukan Ki Le-
gar.
Eyang menuruti panggilan hati nurani itu, dan
ternyata Eyang menjumpai sebentuk keangkara-
murkaan yang dilakukan beberapa lelaki yang memiliki
kesaktian tinggi. Mereka melakukan pembantaian pa-
da sebuah perguruan yang kemudian Eyang ketahui
bernama Gelang Emas. Namun kiranya sang Pemeliha-
ra Jagat hanya mengizinkan Eyang menyelamatkan se-
lembar nyawa, selebihnya Eyang tak bisa berbuat apa-
apa."
"Dan orang yang berhasil diselamatkan itu Ma-
yang Sutera?" potong Jaka.
"Dugaanmu tepat, Jaka," sahut Nyi Selasih.
"Lalu siapa lelaki yang telah membuat bencana
di perguruan Gelang Emas, yang menewaskan seluruh
penghuninya?" selidik Jaka.
"Karena Eyang baru sekali bertemu dengan me-
reka, tentu Eyang tidak mengenalinya. Namun dari ce-
rita Mayang, Eyang dapat menyimpulkan salah satu
dari mereka adalah cucu Ki Durja Kelada," jelas Nyi
Selasih.
"Cucu Ki Durja?" ulang Jaka Sembada dalam
hati.
"Yang menambah kuat kesimpulan Eyang ada-
lah pemberitahuan Mayang Sutera akan julukan salah
seorang dari mereka, yakni Dewa Petir," tambah Nyi
Selasih menegaskan.
"Dewa Petir?!" ulang Jaka terkejut.
"Pemuda itu sebaya denganmu, Kakang Jaka.
Dan berpakaian serba biru serta mengenakan sabuk
biru," ucap Mayang Sutera menambahkan. "Sabuknya
dapat menimbulkan seberkas sinar keperakan bagai
sambaran petir. Itu yang menyebabkan ayahku tak
mampu menandingi kesaktiannya, begitu juga orang-
orang perguruan Gelang Emas. Sabuk biru yang mam-
pu menciptakan lontaran kilat bagai petir itu membuat
semua tak berkutik. Apalagi ketika pemuda yang men-
gaku berjuluk Dewa Petir mengeluarkan sebilah pe-
dang pusaka yang dina-makan 'Pedang Petir'. Seluruh
penghuni Perguruan Gelang Emas tak mampu berbuat
apa-apa. Pedang Petir pemuda yang berjuluk Dewa Pe-
tir begitu menggiriskan. Setiap satu jengkal pedang
pusaka itu bergerak dari tempatnya, maka beberapa
nyawa orang perguruan Gelang Emas dapat dipastikan
melayang. Sebetulnya nasibku juga seperti mereka, ka-
lau saja Eyang Selasih tidak segera menyambar tu-
buhku dan membawa lari ke tempat ini," papar
Mayang Sutera sejelas-jelasnya.
"Ada urusan apa antara Perguruan Gelang
Emas dengan lelaki yang mengaku berjuluk Dewa Pe-
tir, hingga pemuda itu melakukan kekejian begitu ru-
pa?" tanya Jaka sambil menatap tajam wajah Mayang.
"Setahuku ayah tak punya urusan apa-apa de-
ngan Dewa Petir, apalagi menurut ayah dirinya baru
pertama kali bertemu dengan pemuda yang mengaku
berjuluk Dewa Petir. Namun dari mulut Dewa Petir aku
sempat mendengar, bahwa tujuan perbuatannya itu
untuk mengacau kehidupan rimba persilatan golongan
putih dan memancing seorang lelaki muda yang berju-
luk Raja Petir," jawab Mayang Sutera mantap.
"Memancingku?" ulang Jaka Sembada dengan
tatapan mata dialihkan ke wajah Nyi Selasih.
"Dugaanku pemuda itu masih ingin memiliki
pusaka Raja Petir yang telah kau warisi, Jaka," jelas
Nyi Selasih seolah mengerti arti tatapan Jaka.
"Kalau begitu aku memang harus berhadapan
dengan Dewa Petir, Eyang," tukas Jaka Sembada.
"Tentu saja, Jaka. Tetapi tugasmu bukan hanya
merebut pusaka mendiang ayahku yang telah dicuri Ki
Durja Kelada, tapi juga harus menghentikan sepak ter-
jang cucu Ki Durja yang bercita-cita mengacaukan
persilatan golongan putih," sahut Nyi Selasih.
Jaka menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam.
Sebenarnya pemuda itu ingin tahu lebih jauh menge-
nai Ki Durja Kelada. Apa hubungannya dengan ayah
kandung Nyi Selasih? Untuk apa Ki Durja mencuri
benda-benda pusaka milik ayah Nyi Selasih? Dan
mengapa Sabuk Petir terdiri dari dua bagian?
Tetapi Jaka hanya menyimpan rasa ingin ta-
hunya dalam hati. Namun pemuda itu tetap berharap,
semuanya akan terjawab tanpa harus meminta penje-
lasan secara langsung.
"Pada dasarnya Ki Durja lelaki yang baik. Lelaki
itu teman sepermainan ayah. Hingga ayah menaruh
kepercayaan penuh padanya. Juga ketika ayah menge-
tahui hubungan Ki Durja dengan tokoh sakti golongan
hitam yang berjuluk Hantu Lembah Gersang, sedikit
pun kepercayaan ayah padanya tidak berubah. Namun
ketika ayah menyadari pedang pusaka dan pasangan
sabuk kuning raib dari tempatnya, barulah ayah per
caya Ki Durja telah terpengaruh Hantu Lembah Ger-
sang," papar Nyi Selasih seperti mampu membaca per-
tanyaan yang terpendam di hati Jaka.
"Lalu mengapa sabuk pusaka itu dapat terpisah
begitu rupa, Eyang?" tanya Mayang Sutera.
Jaka senang sekali mendengar pertanyaan yang
dilontarkan Mayang Sutera. Dengan demikian, perta-
nyaan yang sengaja dipendamnya kini akan menemu-
kan jawabannya.
"Sabuk Petir memang terdiri dari dua bagian,
Mayang. Satu berwarna biru dan yang satunya lagi
kuning. Jika seseorang ingin memiliki ilmu Sabuk Pe-
tir, maka orang itu harus lebih dulu menguasai peng-
gunaan sabuk biru, baru setelah itu mempelajari sa-
buk kuning. Akan tetapi, Jika seseorang ingin lang-
sung mempelajari ilmu sabuk kuning, maka orang itu
harus memiliki tenaga sakti lebih dahulu agar dapat
menyesuaikan diri dengan perbawa yang ada pada Sa-
buk Petir itu. Namun bukan berarti sabuk kuning lebih
ampuh dari sabuk biru. Keduanya mempunyai keam-
puhan sama. Hanya cara penguasaannya harus dari
sabuk biru terlebih dahulu," jelas Nyi Selasih lagi.
Perempuan berusia lanjut yang mengenakan
pakaian longgar putih, bangkit dari duduknya seraya
menarik napas dalam-dalam.
"Yang menjadi kekhawatiran Eyang adalah Pe-
dang Petir yang kini berada di tangan Dewa Petir. Ka-
lau tenaga dalamnya telah mencapai titik sempurna,
ditambah dengan penguasaan jurus-jurusnya yang
dahsyat, Eyang tidak yakin kau dapat merebut pusaka
itu tanpa harus bekerja keras menguras tenaga. Dewa
Petir bukan lawan yang ringan untukmu, Jaka. Namun
ada satu keuntungan yang telah tergenggam di tan-
ganmu," Nyi Selasih sengaja menghentikan perkataan-
nya untuk memancing perubahan diri Jaka.
"Keuntungan apa, Eyang?" tanya Jaka ingin ta-
hu.
"Betul, Eyang. Mayang juga pingin tahu," tam-
bah gadis berpakaian jingga.
"Jaka memiliki kekuatan tenaga suci, karena
berada pada pihak yang benar dan berhak atas wa-
risan almarhum Raja Petir," jawab Nyi Selasih.
"Ah, mudah-mudahan Kakang Jaka mampu
menandingi Dewa Petir, Eyang. Dia harus menebus
kematian orangtua ku dan runtuhnya Perguruan Ge-
lang Emas," ucap Mayang Sutera sedikit melontarkan
kegeramannya.
"Tidak baik mendendam seperti itu, Mayang,"
cegah Nyi Selasih.
"Tapi orang-orang seperti Dewa Petir memang
harus disingkirkan, Eyang. Agar tidak selalu membuat
keonaran," sangkal Mayang Sutera.
Nyi Selasih tak menimpali ucapan Mayang Su-
tera, matanya kini beralih pada Jaka Sembada.
"Tinggallah di sini untuk beberapa malam, Ja-
ka. Perdalam semua yang kau miliki. Dan coba cipta-
kan jurus-jurus yang mungkin akan berguna untuk
menghadapi cucu Ki Durja Kelada. Eyang ingin kau
berhasil merebut hak waris itu," pinta Nyi Selasih.
Jaka hanya menundukkan kepala mendengar
ucapan Nyi Selasih. Dan ketika kepalanya terangkat,
tokoh muda yang berjuluk Raja Petir berkata perlahan,
"Doakan aku, Eyang. Semoga apa yang kita ha-
rapkan mendapat restu sang Pemelihara Alam Semes-
ta."
Nyi Selasih menganggukkan kepala mendengar
tutur kata lembut Jaka.
***
Sudah dua belas malam Jaka menetap di ke-
diaman Nyi Selasih. Selama kurun waktu dua belas
malam itu, Jaka tak pernah melewatkan hari-harinya
untuk tidak memperdalam ilmu-ilmu kesaktian yang
dimiliki.
Ditemani seorang gadis cantik berpakaian jing-
ga, lelaki muda yang berjuluk Raja Petir terus menga-
sah ketajaman ilmunya. Dan pada hari yang ketiga be-
las, berkat kepekaan dan kecemerlangan otaknya, Ja-
ka mampu menciptakan empat jurus yang cukup dah-
syat
"Aku ingin kau memainkan empat jurus cip-
taanmu secara beruntun, Kakang," pinta Mayang Sute-
ra. "Bukankah besok kita akan meninggalkan tempat
ini, meninggalkan Eyang Selasih? Jadi Kakang tak
punya waktu lagi untuk memperagakan jurus-jurus
yang dahsyat itu," lanjut Mayang Sutera sambil meme-
gang punggung tangan Jaka.
"Tanpa kau minta pun aku akan memainkan-
nya, Mayang," jawab Jaka sambil membalas cekalan
tangan gadis cantik berpakaian jingga.
"Ayolah, Kakang. Aku sudah tak sabar menyak-
sikan jurus-jurus yang akan mampu menyingkirkan si
Keji Dewa Petir!" ketus ucapan yang keluar dan mulut
Mayang Sutera.
"Baik!"
"Hup!"
Jaka segera melejit menjauhi tempat duduk
Mayang Sutera. Gadis cantik berpakaian Jingga pun
melakukan hal yang sama. Gerakannya yang ringan
dan cepat dilakukan untuk memperlebar jarak dengan
Jaka yang hendak memperagakan jurus-jurusnya yang
dahsyat. Dalam jarak tak kurang dari dua belas tom-
bak, Mayang Sutera menyaksikan dengan tatapan ma-
ta tak berkedip setiap gerakan yang dilakukan Jaka.
Gadis cantik dengan rambut sebahu dikepang
kelabang, sangat kagum dengan jurus baru ciptaan
Jaka yang diberi nama jurus 'Menggiring Awan' Pada
jurus itu Jaka mengandalkan kecepatan geraknya yang
sukar diikuti tatapan mata biasa. Sementara kedua
tangannya yang terpentang lebar, didukung oleh kedu-
dukan kaki pada kuda-kuda sejajar. Kalau disaksikan
secara sepintas, jurus 'Menggiring Awan' nampak begi-
tu sederhana. Namun di balik kesederhanaan itu, ter-
simpan terobosan-terobosan dahsyat dari perubahan
kecepatan gerak tangan dan kaki Jaka. Setiap peruba-
han gerak selalu diikuti dengan pengerahan tenaga da-
lam sempurna.
Demikian pula dengan jurus-jurus lain yang di-
peragakan lelaki muda berpakaian kuning keemasan.
Jurus 'Petir Memangsa Elang', 'Lejitan Lidah Petir' dan
'Hembusan Maut' diperagakan Jaka dengan sempurna.
Dan itu cukup membuat gadis berpakaian jingga ber-
tambah yakin sepak terjang Dewa Petir tak akan ber-
tahan lama.
"Jurus-jurusmu sangat dahsyat, Kakang. Aku
yakin Dewa Petir tak akan bertahan lama pada keke-
jiannya," ucap Mayang Sutera sambil menyeka peluh
yang memenuhi wajah tokoh muda berpakaian kuning
keemasan.
"Aku juga berharap demikian, Mayang," balas
Jaka sambil menatap wajah gadis di hadapannya.
Mayang Sutera merasa risih melihat tatapan
Jaka yang seperti itu.
"Tatapan mu nakal, Kakang," umpat Mayang
Sutera sambil menundukkan kepala menekuri bagian
bawah pakaiannya.
"Karena kau cantik dan baik, Mayang," puji Ja-
ka polos.
Lelaki berpakaian kuning keemasan sesung
guhnya tak bermaksud melontarkan pujian, namun
pemuda itu merasa ada kekuatan aneh yang mem-
buatnya tak mampu menahan ucapan itu. Mayang Su-
tera yang mendengar pujian Jaka semakin me-
nundukkan kepala. Sementara hawa panas dirasakan
menjalari seluruh permukaan wajahnya. Seperti juga
Jaka yang baru pertama kali memuji kecantikan seo-
rang gadis, Mayang Sutera pun baru pertama kali itu
mendapat pujian yang didengarnya begitu tulus.
Sejenak dua insan berlainan jenis yang tengah
dilanda sebentuk perasaan asing, sating membisu.
Namun kebisuan itu mereka rasakan sebagai suatu
kenikmatan yang tak ternilai.
Namun sayang, kenikmatan itu segera terusir
ketika seorang perempuan tua berpakaian longgar pu-
tih datang dengan sebuah deheman, yang membuat
Jaka dan Mayang Sutera menoleh seketika.
"Ehm!"
TIGA
Nyi Selasih perlahan menghampiri Jaka dan
Mayang Sutera. Wajahnya yang tersungging seulas se-
nyum, menampakkan gurat ketuaan yang memancar-
kan sinar kebahagiaan yang dalam.
"Sebelum meninggalkan tempat ini, Eyang ha-
rap kalian memperagakan ilmu-ilmu kalian untuk be-
berapa jurus saja. Eyang ingin kalian berhadapan se-
perti menghadapi musuh, jangan ragu-ragu untuk sal-
ing menjatuhkan sesama kalian," ucap Nyi Selasih
lembut.
"Maksud Eyang, Mayang akan pergi ke...."
"Mayang akan turut bersamamu meninggalkan
tempat ini, Jaka," sahut Nyi Selasih memotong perka
taan Jaka.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan, ter-
pana mendengar ucapan perempuan tua yang telah di-
anggapnya sebagai pengganti orangtua, Eyang dan
guru.
"Eyang ingin Mayang menemani pengemba-
raanmu, Jaka," jelas Nyi Selasih menyadarkan pemuda
itu dari rasa terkejutnya.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sejenak
memandang wajah keriput Nyi Selasih, dan pada saat
berikutnya tatapan Jaka menelusuri wajah cantik
Mayang Sutera.
"Jangan menganggap remeh kemampuan Ma-
yang Sutera, Jaka," ucap Nyi Selasih membuat Jaka
terkejut. "Sebelum Mayang tinggal bersamaku, dia te-
lah berlatih selama sembilan tahun di bawah tempaan
ayahnya di Perguruan Gelang Emas. Bisa kau bayang-
kan setinggi apa kemampuannya dalam ilmu silat.
Apalagi setelah seluruh kemampuanku kuturunkan
padanya. Kau pasti akan kerepotan menghadapi se-
rangan-serangan dahsyat Mayang," lanjut Nyi Selasih.
"Ilmu silat yang kau miliki pasti sudah menca-
pai tingkat tinggi, Mayang," ujar Jaka menimpali ucap-
an Nyi Selasih.
"Kau lihat sendiri, Kakang," sahut Mayang Su-
tera.
"Ayo ambil senjatamu, Mayang. Dan gempur
kakang mu habis-habisan. Jangan beri kesempatan,"
perintah Nyi Selasih,
Mayang Sutera segera beranjak menuju tempat
di mana Jaka melihatnya sedang duduk, pertama kali
"Kau sudah slap, Kakang?" tanya Mayang Sute-
ra setelah mengambil senjatanya yang berupa sebuah
payung kecil, terbuat dari lempengan logam kuning.
"Aku siap, Mayang," sahut Jaka sambil melang
kah mundur satu langkah.
"Kita mulai sekarang, Kakang. Kuharap kau
bersedia mengeluarkan jurus-jurus ciptaanmu yang
baru," pinta Mayang Sutera sambil mundur satu lang-
kah.
"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," putus Ja-
ka.
Gadis cantik berpakaian jingga yang diberi ju-
lukan Dewi Payung Emas oleh Nyi Selasih, segera
membuat gerakan ke samping kiri. Tangan kirinya ter-
kepal, seolah mendapat dorongan kuat dari telapak
tangan kanan yang memegang payung. Sementara se-
pasang kaki rampingnya bergerak ringan tanpa me-
nimbulkan suara.
"Tahan seranganku, Kakang. Hiaaa...!"
Tubuh gadis cantik itu melesat cepat. Gerakan
yang dilakukan berkesan begitu ringan, namun mam-
pu menimbulkan suara cericit tajam dari telapak tan-
gan yang membentuk cakar.
Jaka bersikap tenang menghadapi serangan
Mayang Sutera yang tertuju pada lambung dan da-
danya. Namun bukan berarti pemuda itu meremehkan
kemampuan gadis cantik asuhan Nyi Selasih. Jaka
hanya ingin menunggu serangan Mayang Sutera sam-
pai pada jarak beberapa jengkal.
Wrut!
"Hup!"
Jaka segera berkelit ketika dua jengkal lagi se-
rangan Mayang Sutera merobek lambung dan da-
danya. Ringan dan sigap cara mengelak yang di-
lakukan lelaki muda yang berjuluk Raja Petir. Namun
Mayang Sutera bukan gadis sembarangan, ketika Jaka
dengan mudah mengelakkan serangan pertamanya,
Mayang Sutera segera memberikan serangan susulan
yang tak kalah cepat dan dahsyat.
"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," ujar Jaka.
"Tahan seranganku, Kakang...!" Dewi Payung
Emas bergerak ke kiri. Sementara, tangan kanannya
yang memegang payung diayunkan ke depan.
Melihat ini, Raja Petir hanya bersikap tenang
Pemuda itu menunggu serangan Mayang Sutera sampai
pada jarak beberapa jengkal!
Sebuah sambaran tangannya tertuju ke pelipis
Jaka dengan kecepatan tinggi.
"Hiaaa...!"
"Heh?!"
Jaka terkejut melihat gerakan tangan Mayang
yang tiba-tiba saja sudah berada di depan wajahnya.
Tapi bukanlah Raja Petir jika dirinya gugup mengha-
dapi ancaman dahsyat itu, dengan menarik kepalanya
ke belakang, cengkeraman dua telapak tangan Mayang
Sutera yang terarah ke kiri dan kanan pelipisnya
mampu dielakkan dengan sigap. Bahkan dalam kedu-
dukan tubuh melenting ke belakang, Jaka mampu
memberikan serangan balasan dengan mencoba meno-
tok ulu hati Mayang Sutera.
"Uts!"
Mayang terkejut mendapatkan serangan yang
tak terduga dari Jaka. Gadis cantik itu meloncat sebi-
sanya ke belakang, menghindari serangan Jaka.
Serangan kini diambil alih Jaka. Pemuda itu
segera memperagakan jurus baru, hasil ciptaannya.
Tubuh Jaka kini berada di udara dengan dua telapak
tangan terarah ke depan, seperti gerakan terkaman
burung elang, dan dua telapak tangan Jaka mencari
sasaran dada dan kepala Mayang Sutera.
"Jaga seranganku, Mayang!"
"Hiyaaa...!"
Gadis cantik berpakaian jingga yang memang
sudah menyaksikan jurus 'Petir Menyambar Elang'
yang cukup dahsyat, segera memutar senjatanya yang
berupa payung dan terbuat dari logam keras kuning.
Payung yang masih kuncup itu berputar cepat hinggap
menimbulkan deru keras.
Wruuuk! Wruuuk!
Jaka yang tak menduga Mayang melakukan
tangkisan dengan mempergunakan senjata, segera
mengurungkan serangannya. Tetapi karena kecepatan
serangan Jaka cukup cepat, maka pemuda itu kerepo-
tan sendiri. Lelaki berpakaian kuning keemasan itu
menarik kembali tangannya, untuk menghindari ben-
turan dengan senjata Mayang Sutera yang diputar
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sementara
tubuh Jaka yang berada di udara segera dilempar ke
kanan. Setelah berguling di tanah tiga kali, dengan
bertumpu pada telapak tangannya, Jaka melejit ringan
ke udara dan kemudian mendarat dengan manis.
"Hup!"
***
"Serang Jaka dengan senjatamu, Mayang!" pe-
rintah Nyi Selasih melihat Mayang Sutera berhasil
mengelakkan serangan Jaka yang mempergunakan ju-
rus 'Petir Menyambar Elang'.
Mayang Sutera yang mendengar ucapan Nyi Se-
lasih, segera melaksanakan perintah nenek tua berpa-
kaian longgar putih itu.
Payung kuncup yang tadi dipergunakan untuk
menangkis serangan Jaka, kini sudah terkembang.
Nampak ruas-ruas payung berujung lancip bagai mata
tombak. Dan dapat dipastikan ujung-ujung lancip itu
dipergunakan sebagai senjata untuk menyerang.
Wrrrt...! Wrrrt...! Wrrrt...!
Payung kecil yang terbuat dari logam keras
yang kini terkembang itu berputar cepat. Bunyi berge-
muruh mengiringi perputaran senjata yang kini tak
nampak lagi wujud aslinya, hanya sinar kuning menyi-
laukan mata yang nampak melingkar-lingkar di depan
dada Mayang Sutera. Sementara angin keras yang ke-
luar dari putaran senjata yang disertai pengerahan te-
naga dalam tinggi, mampu menerbangkan kerikil-
kerikil yang berserakan di sekitar arena pertarungan.
Sebagian dari kerikil-kerikil itu meluruk deras ke arah
Jaka.
"Gila!" gumam Jaka dalam hati. Lelaki muda
yang menjadi lawan Mayang Sutera segera melakukan
gerakan cepat menghindari terjangan kerikil-kerikil
yang terhalau putaran senjata gadis cantik itu.
"Hiaaat..!"
Pada saat Jaka sibuk menghindari lontaran ke-
rikil-kerikil, Mayang Sutera segera menghentikan gera-
kan payungnya dan mengimbangi dengan lesatan tu-
buh ke arah Jaka. Lesatan tubuh yang cukup cepat
dengan disertai tebasan kuat payung logam yang men-
garah ke leher Jaka, membuat lelaki berpakaian kun-
ing keemasan terhenyak sesaat
"Heh?!"
"Hip!"
Wruk!
Sambaran senjata Mayang Sutera lolos dari sa-
saran ketika tubuh Jaka melejit cepat dengan meng-
gunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Mayang Sutera
yang sudah mengetahui kecepatan gerak jurus 'Lejitan
Lidah Petir' mencoba mengimbangi dengan kecepatan
gerak yang dimilikinya. Kembali tubuh gadis cantik
berpakaian jingga mencelat ke arah Jaka. Payungnya
yang terkembang, kembali ditebas ke bagian tubuh la-
wan yang mematikan.
Wruk!
"Hip!"
Jaka melejitkan tubuhnya untuk menghindari
terjangan senjata Mayang Sutera yang dahsyat. Dan
ternyata gerakan yang dilakukan Jaka lebih cepat dari
sambaran payung kecil Mayang Sutra. Melihat seran-
gannya berhasil dielakkan Jaka, gadis cantik berambut
kepang kelabang kembali melancarkan serangan-
serangan dahsyat. Tapi kali ini Mayang Sutera cukup
berhati-hati melakukannya, sebab gadis itu tahu bah-
wa di balik gerakan-gerakan menghindar Jaka, ter-
sembunyi serangan balik yang tak kalah cepat dan
dahsyatnya.
Dugaan gadis cantik berpakaian jingga memang
tak meleset sedikit pun. Ketika lelaki berpakaian kun-
ing keemasan berhasil menghindari serangannya den-
gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', pemuda
itu segera mempertontonkan kebolehannya. Serangan
balasan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar
Elang' seketika terlihat. Tubuh Jaka yang berada di
udara berbalik cepat dan meluruk ke arah Mayang Su-
tera dengan dua telapak tangan menyambar ke arah
kepala dan dada.
"Hup!"
Gadis cantik berpakaian jingga yang berjuluk
Dewi Payung Emas segera melakukan loncatan cepat
ke belakang, menghindari serangan yang seperti ter-
kaman seekor burung elang. Cepat dan manis cara
menghindar yang dilakukan Mayang Sutera. Tubuhnya
yang berada di udara berputaran dua kali, dan ketika
mendarat payung kuningnya sudah berputaran meng-
hadang luncuran tubuh Jaka.
Wrrrt..!
Melihat Mayang Sutera kembali memainkan
senjata andalannya, Jaka segera merubah jurus, hing-
ga tubuhnya mencelat ke belakang dengan mengerah-
kan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hop!
Tubuh Jaka mendarat dengan manis sejauh li-
ma tombak dari hadapan gadis berambut panjang di-
kepang kelabang. Dan di samping kanan Jaka, kira-
kira dua setengah tombak, berdiri sosok tua Nyi Sela-
sih dengan wajah terulas senyum kebanggaan.
"Sungguh menakjubkan gerakan-gerakan yang
kalian lakukan, indah namun berbahaya," puji Nyi Se-
lasih.
"Semua ini berkat Eyang juga," kilah Jaka me-
rendah.
"Benar, Kakang. Tanpa Eyang, kita bukan apa
apa," timpal Mayang Sutera.
"Jangan kalian lupakan kebesaran sang Pencip-
ta Semesta Alam ini," tukas Nyi Selasih memperin-
gatkan.
"Tentu saja tidak, Eyang," sahut Jaka.
"Syukur jika memang demikian," ucap Nyi Sela-
sih. "Sekarang beristirahatlah. Besok, sebelum fajar
kalian harus sudah meninggalkan tempat ini," lanjut
Nyi Selasih sambil menatap wajah Jaka dan Mayang
bergantian.
Dalam hati, Nyi Selasih mengagumi keserasian
Jaka dan Mayang Sutera. Ah, semoga mereka dapat
mempertahankan kebersamaannya, bisik hati Nyi Se-
lasih.
EMPAT
Sebelum ayam berkokok, Mayang Sutera sudah
terjaga dari tidurnya yang pendek, begitu juga Nyi Se-
lasih. Namun tidak demikian dengan Jaka, semalaman
pemuda itu tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya
bercampur aduk antara sosok lelaki muda yang berju-
luk Dewa Petir dan sosok gadis cantik jelita yang ber-
nama Mayang Sutera. Jaka tahu perasaan apa yang
menjalari hatinya kini terhadap Mayang Sutera. Cinta.
Ya, cinta. Apakah Mayang Sutera juga merasakan hal
yang sama? tanya hati Jaka.
"Semalaman kau tidak tidur, Jaka. Apa yang
kau pikirkan?" tanya Nyi Selasih sambil membetulkan
letak rambut yang sudah memutih seluruhnya. "Kau
memikirkan cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk Dewa
Petir itu? Atau kau memikirkan...," Nyi Selasih meng-
gantung ucapannya, namun matanya yang melirik
Mayang Sutera membuat kalimat yang menggantung
itu menjadi jelas maknanya.
Jaka hanya menundukkan kepala mendengar
ucapan perempuan tua itu, yang sangat tepat dengan
perasaan hatinya.
"Mayang juga begitu, Jaka," lanjut Nyi Selasih
kemudian. "Eyang lihat tidurnya begitu gelisah. Tak bi-
sa diam."
Mayang Sutera mendengar perkataan Nyi Se-
lasih, tidak dapat membantah kebenaran perkataan
itu. Itu sebabnya gadis cantik berambut panjang dike-
pang kelabang memilih diam daripada mengomentari
ucapan Nyi Selasih.
"Sekarang saatnya kau serahkan apa yang telah
kau kerjakan berminggu-minggu ini, Mayang. Suruh
Jaka mengenakannya, biar kakang mu bertambah ga-
gah dan tampan," perintah Nyi Selasih kemudian.
Jaka terperangah mendengar ucapan Nyi Sela-
sih. Namun ketika melihat Mayang Sutera mengambil
sesuatu dan membawa ke hadapannya, barulah Jaka
mengerti maksud ucapan Nyi Selasih.
"Yang berwarna putih ini pakaian dalam, Ka-
kang. Sedang yang kuning keemasan lapisan luarnya,"
jelas Mayang Sutera sambil menunjukkan dua pakaian
yang warnanya berbeda. "Pakaian yang dikhususkan
untuk Kakang ini adalah hasil karya Eyang. Sedang
aku hanya membantu menyulam nya sedikit," lanjut
gadis cantik berpakaian jingga.
"Gadismu pandai merenda, Jaka," kilah Nyi Se-
lasih mendengar ucapan Mayang Sutera. "Gantilah pa-
kaianmu dengan yang baru," perintah Nyi Selasih.
Jaka tentu saja tak menolak satu pasang pa-
kaian yang disodorkan Mayang Sutera. Dan dengan
mengambil tempat yang agak tersembunyi, Jaka men-
genakan pakaian hasil buatan dua perempuan yang
memberikan perhatian lebih padanya.
"Wuaaah! Seperti pangeran saja kau, Cucuku,"
puji Nyi Selasih. "Seorang pangeran dan sekaligus seo-
rang pendekar," lanjut perempuan berpakaian putih
dengan tatapan mata merayapi sekujur tubuh Jaka.
Sedangkan Mayang Sutera tak mampu berkata-
kata melihat perubahan diri Jaka. Di matanya penam-
pilan pemuda yang berjuluk Raja Petir ini luar biasa
mempesona, begitu gagah dan tampan.
"Kakang mu bertambah gagah dan tampan, bu-
kan?" tanya Nyi Selasih pada Mayang Sutera.
Gadis cantik berpakaian jingga tak menjawab
pertanyaan Nyi Selasih, namun kepalanya terangguk
sebagai tanda setuju dengan ucapan itu.
Sementara Jaka yang mengenakan pakaian ba-
ru yang berupa pakaian dalam terbuat dari bahan
lembut berwarna putih dan pakaian luar berupa jubah
longgar berwarna kuning keemasan, menjadi agak risih
dengan ucapan Nyi Selasih dan anggukan kepala
Mayang Sutera.
"Kau akan bertambah gagah jika berhasil me-
nyandang Pedang Petir yang berada di tangan Dewa
Petir, Jaka," tambah Nyi Selasih.
"Semoga harapan Eyang direstui sang Penguasa
Jagat ini," sambut Jaka pelan.
Nyi Selasih menatap wajah Jaka dalam-dalam,
sebuah tatapan mata yang begitu sarat dengan kasih
sayang. Tatapan seperti itu juga diberikan pada
Mayang Sutera.
"Sekarang kuizinkan kalian pergi meninggalkan
tempat ini. Eyang harapkan kalian menjadi pasangan
abadi yang selalu membela kebenaran dan mencegah
kebatilan. Biarkan Eyang sendiri di tempat ini. Eyang
ingin memberikan sisa hidup ini untuk sang Pencipta
Makhluk dan Jagat Raya," pelan namun pasti ucapan
yang keluar dari mulut Nyi Selasih.
"Eyang...."
Mayang Sutera tak mampu menahan rasa ha-
runya, mendengar ucapan perempuan tua yang telah
menganggapnya sebagai cucu sendiri. Wajah gadis
cantik itu dihiasi rona kemerahan. Selang beberapa
lama kemudian, dari kelopak matanya mengalir bu-
tiran air mata membasahi pipinya yang berkulit putih
halus.
"Eyang.... Sebenarnya tidak...."
"Jangan khawatirkan keadaan Eyang di sini,
Mayang. Eyang tidak sendirian di tempat ini. Eyang
yakin, bila Eyang ingin selalu dekat dengan sang Pe-
melihara Jagat Raya, maka Dia pun akan selalu dekat
dengan Eyang. Karena itu, buanglah rasa khawatir
yang ada di hatimu. Tugasmu sebagai orang muda
yang memiliki kepandaian ilmu silat adalah hidup
bermasyarakat, dan mengamalkan ilmu yang kau mili-
ki sebagai wujud pengabdianmu pada masyarakat, wu-
jud tenggang rasa dan wujud kewajiban," jelas Nyi Se-
lasih menyambung ucapan Mayang Sutera.
"Jika demikian, doakan kami agar selalu berada
dalam lindungan sang Pencipta Alam Raya, dalam
mengarungi rimba persilatan yang keras ini, Eyang,"
tukas Jaka dengan tatapan mata tertuju lurus ke wa-
jah Nyi Selasih.
"Doa Eyang akan selalu menyertai kalian," sa-
hut Nyi Selasih sambil menyentuh punggung Jaka.
"Berangkatlah kalian sekarang, dan berpijaklah selalu
pada kebenaran," ujar Nyi Selasih.
"Eyang...."
Mayang Sutera berhambur, memeluk tubuh pe-
rempuan tua berpakaian longgar putih.
"Berangkatlah, Mayang. Jangan berkata apa-
apa lagi, jika hanya membuat hatimu berat dan sedih,"
pinta Nyi Selasih.
Mayang Sutera melepas pelukannya dan de-
ngan punggung tangan disekanya air mata yang men-
galir.
"Baiklah, Eyang. Kami pergi sekarang!" mantap
ucapan yang keluar melalui bibir tipis Mayang Sutera.
"Begitu seharusnya ucapan seorang pendekar,
tegas dan mantap," puji Nyi Selasih.
Terharu Mayang Sutera dan Jaka mendengar
ucapan Nyi Selasih, mereka segera membungkukkan
tubuh sebagai tanda hormat yang tinggi.
"Kami berangkat sekarang, Eyang," putus Jaka
seraya bangkit diikuti Mayang Sutera.
Beberapa saat lamanya mata Jaka menatap wa-
jah Nyi Selasih. Tapi pada saat berikutnya, tubuh lela-
ki yang terbalut jubah kuning keemasan sudah mele-
sat cepat bagai kilat. Begitu juga dengan Mayang Sute-
ra. Gadis cantik berpakaian jingga melakukan gerakan
lari yang ringan dan cepat. Dua bayangan kuning dan
jingga pun berkelebat cepat menembus tirai putih yang
melindungi mulut gua dari pandangan luar.
***
Sang Surya sebentar lagi muncul dari pera-
duan. Terlihat dengan munculnya cahaya kemerah-
merahan pada kaki langit sebelah timur. Sementara di
mulut Desa Serungsing, nampak dua sosok tubuh
berpakaian kuning keemasan dan jingga sedang berja-
lan perlahan.
"Ke mana tujuan pertama kita, Kakang?" tanya
gadis cantik berpakaian jingga.
"Aku ingin mengunjungi Perguruan Hijau Ke-
muning lebih dahulu, Mayang. Tapi kalau kau punya
rencana lain, kita lihat saja mana yang lebih baik," ja-
wab Jaka.
"Kalau aku boleh tahu, siapa yang kau kunjun-
gi di Perguruan Hijau Kemuning, Kakang?" pinta
Mayang Sutera halus.
Jaka menatap wajah gadis cantik yang menjaja-
ri langkahnya. Seulas senyum menghias wajahnya se-
belum Jaka menjawab pertanyaan Mayang Sutera.
"Ibuku, adik kandungku, paman ku, dan yang
lainnya," Jawab Jaka sedikit melucu.
"Yang lainnya siapa, Kakang?" tanya Mayang
Sutera bernada sumbang.
Jaka tahu arti nada sumbang yang timbul dari
pertanyaan Mayang Sutera. Niat untuk menggoda ga-
dis cantik di sebelahnya muncul seketika.
"Yang lainnya tentu saja penghuni Perguruan
Hijau Kemuning, Mayang," jawab Jaka. "Termasuk Se-
runi," lanjut Jaka. "Cukup lama aku tak melihat wa-
jahnya."
Semburat rona merah seketika menghiasi wa-
jah Mayang Sutera, ketika didengarnya sebuah nama
yang begitu bagus. Mayang Sutera segera me-
nundukkan kepala, menekuri tanah.
"Seruni pasti cantik," ucap Mayang Sutera, dan
getaran suara gadis itu membuat Jaka terharu.
"Seruni memang cantik, Mayang," tegas Jaka.
Mayang semakin menundukkan kepala. "Kau kenapa,
Mayang?" selidik Jaka. Hatinya jadi tak enak melihat
sikap gadis di sebelahnya yang kelihatan kecewa.
Mendengar pertanyaan Jaka, Mayang Sutera
segera mengangkat kepala.
"Ah, tidak apa-apa, Kakang," jawab Mayang Su-
tera berbohong, padahal di dadanya ada gemuruh yang
dahsyat ketika Jaka memuji kecantikan Seruni
"Mayang, Seruni anak kandung Paman Terala,
berarti masih saudaraku. Memang tak salah jika aku
menjalin hubungan dengan Seruni, maksudku hubun
gan antara lelaki dan perempuan. Tapi itu hal yang
mustahil kulakukan, karena aku telah menganggap
Seruni seperti Soraya, adik kandungku," jelas Jaka.
"Kakang...."
"Kau punya tujuan lain, Mayang?" potong Jaka
hati-hati.
Mayang Sutera menatap wajah Jaka.
"Kakang tidak keberatan jika kita lebih dulu
mengunjungi Perguruan Gelang Emas?" pinta Mayang
Sutera.
"Kenapa harus keberatan? Asal tujuan kita ke
sana tidak untuk seorang pemuda yang...," goda Jaka
dengan gaya lucu.
"Ih, Kakang!"
Mayang ingin meninju bahu Jaka, namun gera-
kannya terhenti di udara.
"Kenapa tidak dilanjutkan, Mayang?" goda Jaka
lagi.
"Ada sesuatu yang hendak kuambil di pergu-
ruan ayahku, Kakang," tukas Mayang Sutera tidak
mempedulikan godaan Jaka.
"Boleh aku tahu, apa itu?"
"Kitab Perguruan Gelang Emas," jawab Mayang
Sutera pelan.
"Hm... Sebuah kitab pusaka. Apa kitab itu me-
nurutmu masih ada di tempatnya?" selidik Jaka.
"Mudah-mudahan masih ada. Tempat penyim-
panan Kitab Perguruan Gelang Emas sangat rahasia.
Barangkali dari sekian banyak orang yang dipercayai
ayah, cuma aku yang mengetahui tempat penyimpa-
nan benda berharga itu," jawab Mayang Sutera menje-
laskan.
"Kalau begitu kita harus cepat ke sana," putus
Jaka.
"Lalu bagaimana dengan rencana Kakang men
gunjungi Perguruan Hijau Kemuning?"
"Kita laksanakan setelah kau mendapatkan ki-
tab pusaka itu."
Terharu hati Mayang Sutera mendengar ucapan
lelaki muda yang memiliki kesaktian begitu tinggi
"Terima kasih atas kesediaanmu, Kakang,"
ucap Mayang Sutera.
"Ayolah, jangan membuang-buang waktu," ki-
lah Jaka sambil meraih tangan Mayang Sutera.
Tanpa banyak cakap lagi, Mayang Sutera men-
dahului Jaka melesat ke selatan. Sigap dan cepat ge-
rakan yang dilakukan Mayang Sutera, cukup membuat
kekaguman Jaka semakin bertambah.
"Hop!"
Jaka segera melakukan hal yang sama. Ringan
saja kakinya menghentak di tanah, namun akibatnya
sungguh luar biasa. Tubuh lelaki muda yang terbalut
jubah kuning keemasan mampu menjajari tubuh gadis
berpakaian jingga yang telah melesat lebih dahulu.
Dua sosok tubuh berpakaian kuning keemasan dan
jingga pun melesat cepat, hingga yang nampak hanya
seleret sinar kuning dan jingga yang saling berkejaran.
Tanpa henti mereka berlari dengan pengerahan
ilmu lari cepat tingkat tinggi, hingga dalam waktu yang
tidak lama bangunan Perguruan Gelang Emas sudah
terlihat Jaka dan Mayang Sutera. Mayang Sutera ter-
cekat melihat beberapa orang berpakaian hitam berdiri
di depan pintu gerbang Perguruan Gelang Emas. Me-
reka tampaknya sedang berjaga-jaga.
"Kau kenal mereka, Mayang?" tanya Jaka sam-
bil memperhatikan gerak-gerik mereka.
Mayang Sutera menjawab pertanyaan Jaka
dengan gelengan kepala.
"Kalau begitu mari kita datangi mereka baik-
baik dan kita tanyakan keberadaan mereka di situ,"
ajak Jaka kemudian.
"Ayo, Kakang. Namun kita harus waspada. Ge-
rak-gerik mereka sangat mencurigakan," tukas Mayang
Sutera.
"Ya...!"
Jaka melangkah perlahan diiringi Mayang Sute-
ra. Ketika setengah tombak lagi keduanya tiba di muka
pintu gerbang, Jaka segera menyapa lelaki berpakaian
hitam dengan tutur kata sopan.
“Maaf, Kisanak," ucap Jaka mantap. "Apakah
ini bangunan Perguruan Gelang Emas?"
Lelaki berpakaian hitam yang ditanya Jaka ti-
dak segera menjawab. Mata lelaki itu malah meneliti
sekujur tubuh Jaka dan Mayang Sutera bergantian.
Demikian pula tiga lelaki lainnya yang berdiri di samp-
ing lelaki berpakaian hitam beralis tebal.
"Mau apa kau tanyakan hal itu, heh?!" bentak
lelaki beralis tebal sambil berkacak pinggang.
"Aku ada urusan dengan orang-orang Gelang
Emas," jawab Jaka tenang.
"Anak muda, kau tak akan menemukan orang-
orang Perguruan Gelang Emas di sini. Mereka semua
telah menjadi santapan cacing tanah," bantah lelaki
berpakaian hitam yang bercambang agak kemerahan.
"Lalu kalian siapa? Dan mengapa berada di
Perguruan Gelang Emas?" tanya Jaka lagi masih bersi-
kap tenang.
"Hei! Rupanya kau sengaja ingin mencampuri
urusan kami, heh? Kuperingatkan padamu, Anak Mu-
da. Pergilah secepatnya dari hadapanku kalau tak in-
gin tubuhmu kucincang dengan senjataku ini!" gertak
lelaki beralis tebal sambil mengelus-elus sebilah golok
berbentuk persegi empat
Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan lela-
ki beralis tebal.
"Kurang ajar! Aku tidak main-main dengan
ucapanku. Cepat pergilah sebelum kesabaranku hi-
lang!" bentak lelaki itu keras.
"Aku tidak main-main, Kisanak. Gadis yang be-
rada di sebelah ku ini putri tunggal pemimpin per-
guruan ini. Jadi seharusnya aku yang menyuruh ka-
lian pergi dari sini. Tapi tidak akan kulakukan karena
aku harus tahu apa yang kalian kerjakan di Perguruan
Gelang Emas," kilah Jaka
"Majikanku sedang mencari Kitab Gelang-
gelang Emas, maka kuminta kalian jangan coba-coba
menghalangi keinginanku yang gemar memanggang
jantung manusia, apalagi jantung gadis cantik seper-
timu!" ucap lelaki bercambang agak kemerahan.
"Jangan asal bicara, Kisanak. Justru aku yang
akan memanggang batok kepala majikanmu," balas
Mayang Sutera dengan suara sedikit ditekan.
"Hei?! Ternyata gadis cantik sepertimu punya
nyali juga?" ejek lelaki beralis tebal.
"Jangan banyak mulut! Cepat suruh majikan
kalian keluar. Dia tak akan menemukan apa-apa di da-
lam, jangan tunggu sampai aku masuk ke dalam un-
tuk memecahkan kepalanya dengan kepalan ku!" tu-
kas Mayang Sutera menimpali ejekan lelaki beralis
tebal.
"Jangan teruskan gurauan mu, Gadis Manis.
Sayangilah kecantikanmu dan manfaatkan untuk me-
narik perhatian majikanku," bantah lelaki bercambang
agak kemerahan.
"Kau yang seharusnya pandai menjaga kesela-
matan majikanmu, Kisanak," ujar Jaka marah men-
dengar ucapan lelaki bercambang itu.
"Kurang ajar! Kalian pikir aku tak mampu men-
gusir dengan kekerasan. Pergilah cepat!"
Lelaki beralis tebal segera mencabut golok per
segi empat dari sarungnya. Seberkas sinar berkilau da-
ri senjata yang tertimpa sinar matahari.
"Jangan hanya kau yang menghunus senjata,
Kisanak. Suruh ketiga temanmu mencabut senjata
mainan anak-anak itu," ejek Jaka membuat lelaki be-
ralis tebal memerah wajahnya.
"Bedebah! Kucincang kau!"
Lelaki berpakaian hitam yang beralis tebal se-
gera menerjang Jaka dengan senjata. Gerakannya yang
ringan dan cepat menandakan kemampuan ilmu silat
yang dimilikinya cukup tinggi. Jaka tentu saja tak
menganggap enteng serangan lawan yang berkelebat
cepat ke arah leher. Suara angin yang menderu me-
nandakan serangan itu disertai pengerahan tenaga da-
lam penuh.
"Hiaaa!"
Bet!
"Uts!"
Jaka segera menarik mundur kepalanya ketika
senjata lawan sejengkal lagi mengenai leher. Dari se-
rangan pertama pun mengenai tempat kosong. Namun
kecepatan luar biasa kembali dipertontonkan lelaki be-
ralis tebal, ketika mata senjata berbalik dan terarah ke
sasaran yang sama.
Jaka yang sudah dapat mengukur ketinggian
tenaga dalam lawan, segera mengerahkan tenaga da-
lamnya yang jauh di atas lawan. Pemuda itu mengang-
kat tangannya untuk memapaki golok persegi empat
yang berkelebat mengancam leher.
Trak!
"Ikh!"
Tubuh lelaki beralis tebal terpental mundur se-
jauh lima langkah. Di wajah lelaki itu tergurat seringai
kesakitan yang luar biasa rasanya. Sementara senja-
tanya yang berupa sebilah golok besar persegi empat
terlepas dari genggaman.
"Bocah Setan!" maid lelaki itu sambil mengelus-
elus pergelangan tangan yang terasa nyeri bukan kepa-
lang.
"Ringkus dan bunuh dia!" perintah lelaki itu
kemudian, pada tiga temannya yang mematung karena
terkejut melihat Jaka tidak terluka sedikit pun oleh
senjata lawan.
Tiga lelaki berpakaian hitam segera berloncatan
mengurung Jaka dan Mayang Sutera.
Srat! Srat! Srat!
Tiga lelaki itu langsung mencabut senjata. Dan
dalam waktu yang bersamaan melejit, memburu tubuh
Jaka dan Mayang Sutera.
"Hiyaaa...!"
LIMA
Tiga lelaki berpakaian hitam langsung menye-
rang dengan mempergunakan senjata. Tebasan dan
tusukan mereka mengarah ke bagian-bagian memati-
kan tubuh Jaka dan Mayang Sutera. Suara angin yang
menderu dan bercericitan menyemarakan pertempu-
ran. Agaknya tiga lelaki itu tidak tang-gung-tanggung
dalam melakukan serangan. Mereka mengerahkan ke-
kuatan tenaga dalam untuk merobohkan Jaka dan
Mayang Sutera.
Namun rupanya ketiga lelaki itu tak mengeta-
hui dengan siapa mereka berhadapan. Seorang lelaki
muda yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan seo-
rang digdaya yang berjuluk Raja Petir.
"Jangan lukai mereka, Mayang," ucap Jaka pa-
da saat tubuhnya merapat ke tubuh Mayang Sutera.
Mata Mayang Sutera nampak melebar karena
tidak mengerti maksud ucapan Jaka.
"Kita belum tahu persoalan yang sebenarnya,
dan siapa empat lelaki berpakaian hitam itu," jelas Ja-
ka.
Mayang Sutera tak menimpali ucapan Jaka.
Gadis cantik berpakaian jingga itu kembali
menghadapi serangan dua lelaki bersenjata golok per-
segi empat
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Dua senjata tajam yang berkilatan tertimpa si-
nar matahari berkelebat cepat ke arah lambung dan
leher Mayang Sutera.
Gadis cantik berambut panjang dikepang kela-
bang yang besar di Perguruan Gelang Emas, tentu saja
bersikap waspada terhadap serangan berbahaya itu.
Bola matanya yang hitam pekat menunjukkan kewas-
padaan ketika gadis itu menunggu serangan yang akan
datang lebih dulu. Dan ketika serangan yang menuju
lambungnya tiba, Mayang Sutera segera meliukkan tu-
buh seperti seorang penari.
Bersamaan dengan liukan tubuh Mayang Sute-
ra, serangan lain yang datang mencecar leher dielak-
kan dengan merundukkan badan sedikit. Akibatnya
dua serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian hi-
tam kandas. Dan bukan itu saja kebolehan yang diper-
tontonkan Mayang Sutera. Di tengah gerakan meng-
hindar yang dilakukannya, gadis cantik putri Ketua
Perguruan Gelang Emas mampu memberikan serangan
beruntun.
"Haaat...!"
Bugkh! Plak!
"Argkh!"
Dua orang lawannya langsung terpental, terke-
na tendangan lurus yang menghantam dada dan tam
paran kilat yang menghajar pelipis. Kedua lelaki itu
terhuyung sejauh empat langkah. Sementara dari mu-
lutnya terdengar erangan kesakitan yang berkepanjan-
gan.
Jaka, yang meski tengah bertarung menghadapi
lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak keme-
rahan sempat menyaksikan kebolehan Mayang Sutera.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dua lelaki ber-
senjata itu mampu dilumpuhkan Mayang Sutera. Ke-
nyataan itu cukup membuat Jaka ingin memberi pela-
jaran pada dua orang lawannya.
Maka ketika dua orang lawannya menerjang
dengan senjata terhunus, Jaka segera melayani de-
ngan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang menitikberatkan
pada kecepatan gerak.
"Hiaaa!"
Bet! Bet!
"Ops!"
Serangan lawan yang terarah ke dada dan paha
Jaka membentur tempat kosong. Kedua lelaki itu ter-
kejut bukan main melihat tubuh Jaka tiba-tiba meng-
hilang. Dan ketika menyadari pemuda itu telah berdiri
di belakangnya, mereka segera berbalik dengan cepat.
Namun pada saat yang sama, Jaka melakukan
sebuah gerakan cepat dalam rangkaian jurus
'Menggiring Awan'. Tubuh Jaka melejit dengan kedu-
dukan tangan terentang. Dan ketika tubuhnya berada
di udara, dengan kecepatan yang luar biasa Jaka me-
luruk turun, dan memberikan totokan tepat ke urat
leher lawan.
Tuk!
Tuk!
"Krgkh...!"
Lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak
kemerahan seketika ambruk ke tanah. Keduanya
menggelepar untuk beberapa saat lamanya, dan pada
saat berikutnya tak mampu bergerak lagi.
Mayang Sutera segera menghampiri Jaka.
"Mari kita masuk ke dalam, Kakang," ajak Ma-
yang Sutera tak sabar.
"Sebentar, May...."
Belum lagi ucapan Jaka selesai, terdengar buah
tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Begitu kuat suara tawa itu hingga Jaka harus menge-
rahkan kekuatan tenaga dalam untuk mengimban-
ginya. Demikian pula yang dilakukan Mayang Sutera.
Hanya tiga kali tegukan teh suara tawa itu ter-
dengar, hingga menggetarkan sekitar tempat pertarun-
gan. Selanjutnya dua bayangan kemerahan berkelebat
cepat menggantikan suara tawa yang terhenti seketika.
Jleg!
Jleg!
Dua sosok lelaki setengah baya yang berpa-
kaian seperti pendeta mendarat dengan ringan di ha-
dapan Jaka dan Mayang Sutera. Yang menarik dari
dua sosok lelaki yang memegang untaian tasbih itu,
adalah wajah mereka yang seperti pinang dibelah dua.
"Pendeta Kembar?" bisik Mayang Sutera cukup
keras, ucapan itu dibarengi dengan perubahan wajah
Mayang Sutera menjadi agak kemerahan
"Hmmm.... Bagus! Kau masih mengenal kami,
Gadis Cantik," ucap salah satu lelaki berjuluk Pendeta
Kembar. Suara yang keluar mirip suara perempuan.
"Kau ingin mengambilnya sebagai istri, Adi
Garnika?" tanya lelaki yang bersuara mirip perempuan
pada lelaki di sebelahnya.
"Tentu saja, Kakang Jatnika," sahut Garnika
yang memiliki suara lebih berwibawa. "Anak Ketua
Perguruan Gelang Emas ini memang pantas untuk ku-
persunting," lanjut Garnika.
"Siapa mereka, Mayang?" tanya Jaka berbisik.
"Maksudku, kau atau Perguruan Gelang Emas yang
mempunyai urusan apa dengan mereka?" ulang Jaka
membetulkan pertanyaannya sendiri.
"Mereka pernah berjasa menolongku dari Pem-
begal Daratan Hitam, sekarang mungkin mereka men-
ginginkan imbalan atas jasa yang pernah diberikan
padaku," beber Mayang Sutera dengan mata tak ber-
kedip memandang wajah dua lelaki setengah baya
yang berjuluk Pendeta Kembar.
"Hmmm....”
Jaka melempar pandangan tajam ke arah Gar-
nika dan Jatnika.
"Mereka ternyata pendeta gadungan yang ber-
sembunyi di balik jubah kependetaannya, ini harus se-
gera diakhiri," ujar Jaka dengan wajah keras.
"Biar aku yang mengurus mereka, Kakang. Su-
dah lama aku ingin mencoba kemampuan Pendeta
Kembar. Kakang tidak boleh menangani pendeta-
pendeta palsu itu, kecuali jika aku tak mampu," tukas
Mayang Sutera menimpali perkataan Jaka.
"Hati-hati, Mayang. Pendeta-pendeta palsu itu
memiliki kepandaian yang tidak rendah," pesan Jaka,
menyadari kekuatan tenaga dalam Pendeta Kembar
yang diketahuinya melalui tawa mereka tadi.
"Mereka harus tahu, bahwa Mayang Sutera bu-
kan gadis yang hanya memiliki kulit ilmu silat," kilah
Mayang Sutera.
"Tapi hati-hati itu perlu, Mayang," timpal Jaka.
"Sudah pasti, Kakang."
Jaka tak menimpali ucapan Mayang Sutera.
Sebenarnya pemuda itu kagum dengan keberanian
Mayang Sutera yang telah menggetarkan hatinya.
"Pendeta Kembar! Kalian lelaki yang pandai
bersembunyi di balik kebohongan. Jasa yang telah ka
lian berikan padaku juga suatu kebohongan! Kalian te-
lah bersandiwara bersama Pembegal Daratan Hitam
untuk mencari persoalan dengan Perguruan Gelang
Emas. Sekarang kalian lihat, Perguruan Gelang Emas
telah runtuh. Namun karena kebejatan otak, kalian
menuntut jasa dengan sebuah kitab yang tak kalian
miliki, apalagi diriku!" lantang dan mantap ucapan
Mayang Sutera.
"Ha ha ha...! Aku tak peduli dengan runtuhnya
Perguruan Gelang Emas, Cah Ayu. Aku hanya membu-
tuhkan kitab itu dan tubuh pewarisnya," jawab Garni-
ka dengan tatapan mata yang berkilat-kilat genit
"Tua bangka tak tahu malu!" hardik Mayang
Sutera. "Apa kau pikir kau akan mendapatkan keingi-
nanmu, heh?!"
"Tentu saja aku akan mendapatkannya, Gadis
Manis. Tak ada yang sulit dilakukan oleh Pendeta
Kembar setelah ayahmu mampus! Begitu juga dengan
Kitab Gelang-gelang Emas ini," sangkal Jatnika sambil
merogoh sesuatu dari balik pakaiannya yang berwarna
merah darah.
Mayang Sutera terkejut bukan main melihat Ki-
tab Perguruan Gelang Emas berada di tangan salah sa-
tu Pendeta Kembar. Wajah Mayang Sutera yang sudah
merah karena marah, kini semakin bertambah merah.
Gigi gadis itu gemeretakan, dan tangannya terkepal
kuat dengan otot-otot menegang keras.
Sementara Jaka hanya terkejut, melihat Kitab
Perguruan Gelang Emas berada di tangan Jatnika.
"Kau harus menyerahkan kitab itu padaku, Pendeta
Gadungan!" bentak Mayang Sutera geram.
Ha ha ha...
Garnika dan Jatnika tertawa keras mendengar
perintah gadis cantik di hadapannya.
"Tentu saja aku akan memberikan apa yang
menjadi hakmu, setelah kau memberikan dirimu un-
tukku, Gadis Manis," ucap Garnika.
Jaka marah bukan main mendengar ucapan
Garnika yang tidak senonoh. Namun lelaki muda yang
matang pengalaman itu tidak segera mengambil tinda-
kan. Dibiarkannya Mayang Sutera menyanggah perka-
taan kotor itu.
"Tak semudah kau mengeluarkan kata-kata ko-
tor itu, Pendeta Busuk! Kurasa keinginanmu hanya
impian belaka," balas Mayang Sutera.
"Kita buktikan saja, Gadis Sombong," tukas
Garnika yang terpancing ucapan Mayang Sutera.
Pendeta gadungan bernama Garnika melang-
kah maju dua langkah.
"Seranglah, Gadis Sombong! Aku risih jika ha-
rus memulai lebih dulu," tantang Garnika.
"Seharusnya kau risih mengenakan pakaian
itu, apalagi dengan biji-biji tasbih yang menggelantung
di lehermu!" ejek Mayang Sutera.
Jaka tersenyum mendengar ucapan Mayang
Sutera yang dapat membuat wajah Jatnika dan Garni-
ka merah padam.
"Ucapanmu semakin kurang ajar saja! Kau ha-
rus membayar mahal!" bentak Garnika sewot
Lelaki berpakaian merah darah itu segera ber-
gerak cepat. Tangannya yang membentuk totokan, te-
rarah menyilang ke pelipis Mayang Sutera. Angin ber-
cericitan mengiringi serangan Pendeta Kembar.
Mayang yang memang sudah terlatih membaca
kecepatan sebuah gerakan, tidak terkejut. Dengan ke-
tenangan yang luar biasa, tubuh gadis cantik yang ter-
balut pakaian jingga bergerak menghindari terjangan
tangan Garnika.
Cit!
Wut!
Serangan Garnika lolos ketika tubuh Mayang
Sutera melejit cepat seraya berputar dua kali di udara.
Namun lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu tak
mau kalah, lelaki itu kembali melancarkan pukulan
susulan. Kali ini Garnika mempertajam pukulannya
dengan pengerahan tenaga dalam yang hampir dua
kali lipat. Itu bisa diketahui dari deru angin yang men-
giringi serangan ke dada Mayang Sutera.
"Awas, Mayang!" teriak Jaka memperingatkan
kedatangan serangan Garnika yang cukup dahsyat.
Mayang Sutera yang baru mendaratkan kaki di
tanah, tentu saja mendengar peringatan Jaka. Tetapi
tanpa diberi tahu pun Mayang Sutera sudah dapat
menduga serangan susulan yang akan dilancarkan
Garnika. Terbukti ketika baru saja kakinya menjejak
tanah, kaki ramping itu kembali menghentak kuat. Se-
ketika itu juga tubuh Mayang Sutera mencelat, menyi-
lang ke kanan. Begitu cepat gerakan gadis cantik ber-
pakaian jingga, hingga serangan dahsyat yang dilan-
carkan Garnika kembali menemui tempat kosong.
"Kurang ajar!" maki Garnika dalam hati. Wajah
lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu merah padam,
merasa dipermainkan gadis yang berusia jauh lebih
muda darinya.
"Ha ha ha.!..! Hi hi hi...!" Mayang Sutera senga-
ja melepaskan tawa mengejek untuk memancing ke-
marahan Garnika lebih jauh. Sementara, Jaka sempat
terkejut mendengar tawa gadis cantik yang telah men-
gisi sudut kosong dalam hatinya.
"Sudah kuperingatkan padamu, Pendeta Ga-
dungan!" ucap Mayang Sutera mencemooh. "Buang sa-
ja mimpimu untuk dapat memiliki ku. Dan kalau ma-
sih ingin menikmati sinar matahari pagi, serahkan Ki-
tab Gelang-gelang Emas itu padaku!" lanjut Mayang
Sutera lantang.
"Edan!" bentak Garnika menimpali ucapan ga-
dis berpakaian jingga.
"Keinginanmu yang edan, Pendeta Gila!" maki
Mayang Sutera semakin membuat Garnika marah
"Kau harus mampus!"
"Hiaaa...!"
Tubuh Garnika kembali mencelat ke arah Ma-
yang. Gerakan cepat yang dilakukannya merupakan
serangkaian serangan dalam jurus 'Totok Pemecah Ke-
pala'. Mayang Sutera sedikit terkejut menyaksikan se-
rangan lawan. Sesaat tangan Garnika bergerak-gerak
cepat bagai tangan Malaikat Maut.
Gadis itu melihat jari tangan Garnika memben-
tuk kerucut dan bergerak ke berbagai arah. Untuk se-
saat Mayang Sutera tidak tahu apa yang harus dilaku-
kan. Namun berkat ketenangannya, gadis itu mampu
mengambil keputusan untuk membentengi diri dengan
senjatanya yang berupa payung, terbuat dari logam ke-
ras kuning keemasan. Itulah senjata ciri kas Mayang
Sutera hingga dirinya dijuluki Dewi Payung Emas
Ketika serangan Garnika dua jengkal lagi men-
darat di batok kepalanya. Mayang Sutera segera mem-
bentengi kepalanya dengan payung yang terkembang
dan berputaran cepat hingga menimbulkan deru yang
kuat
"Heh?!"
Garnika terkejut bukan main melihat perbua-
tan lawan. Lelaki itu tahu senjata yang dipergunakan
Mayang Sutera bukan senjata biasa. Itu bisa diketahui
dari ujung-ujung payung.
"Kau harus mampus!" teriak Garnika keras. Tu-
buhnya mencelat ke arah Dewi Payung Emas.
Ketika serangan itu sudah dekat, Mayang Sute-
ra segera membentengi kepalanya dengan payung yang
terkembang dan berputaran cepat
Drung! Benturan tangan Garnika dengan payung
milik Mayang Sutera terdengar amat keras!
Lelaki itu ingin mengurungkan serangannya,
namun rasanya tak mungkin dilakukan, karena luncu-
ran tubuhnya sangat cepat dan tak mungkin dihenti
kan secara mendadak. Tanpa pikir panjang lagi, maka
Garnika melanjutkan serangannya.
Drung!
Benturan keras tak dapat dihindari. Tubuh
Garnika terdorong ke belakang sejauh satu tombak.
Garnika terkejut mendapatkan dirinya terhuyung se-
perti itu. Lelaki itu seakan tak percaya, karena tadi di-
rinya telah mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam
yang dimiliki, tapi kenyataannya?
"Huh! Hebat juga anak Ketua Perguruan Gelang
Emas ini," kata hati Garnika.
Sementara Mayang Sutera yang juga sempat
terhuyung, bergumam dalam hati, hebat juga tenaga
dalam Pendeta Kembar itu. Tak dapat dibayangkan be-
tapa besar kekuatan mereka jika bergabung.
Jaka melihat tubuh Mayang Sutera tergempur
mundur segera melejit menghampiri.
"Kau tidak apa-apa, Mayang?" tanya Jaka kha-
watir.
Mayang Sutera hanya menggelengkan kepala
mendengar pertanyaan Jaka.
"Hhh...!"
Jaka menarik napas lega melihat jawaban Ma-
yang Sutera, meski hanya lewat anggukan.
ENAM
Apa yang dilakukan Jaka, dilakukan pula oleh
Jatnika. Lelaki pasangan Garnika hingga mereka ber-
gelar Pendeta Kembar, menghambur ke arah Garnika.
"Kau tidak apa-apa, Adi Garnika?" tanya Jatni-
ka.
Seperti juga Mayang Sutera, Garnika melaku-
kan hal yang sama untuk menanggapi pertanyaan Jat
nika. Kepala Garnika menggeleng sebagai tanda dirinya
tidak mengalami luka akibat benturan keras tadi.
"Rasanya aku tak tertarik lagi mendapatkan
anak Ketua Perguruan Gelang Emas itu, Kakang. Kita
habisi saja gadis itu!" ajak Garnika.
"Ayo, aku juga tak ingin memperpanjang urus-
an dengannya," ujar Jatnika setuju.
Dua lelaki berkepala botak dengan pakaian
pendeta berwarna merah mencolok, menatap tajam
wajah Mayang Sutera.
"Kau tak akan melihat matahari esok pagi,
Anak Manis. Hari ini aku akan mengirimmu ke tempat
yang abadi!" gertak Jatnika angkuh.
"Kalau kalian ingin main keroyok, silakan. Na-
mun jangan salahkan bila pemuda itu turut campur
tangan," ucap Mayang Sutera dengan jari telunjuk
mengarah ke Jaka.
"Hei! Apa yang kau andalkan dari anak muda
itu?" tanya Garnika penuh ejekan. Wajahnya pun dito-
lehkan sedemikian rupa ke arah wajah Jaka seperti
mengejek.
"Pendeta Gendeng! Jadi kau belum tahu siapa
kawanku ini?" tanya Mayang Sutera bernada meren-
dahkan Pendeta Kembar.
Mata Jatnika dan Garnika serentak menelusuri
sekujur tubuh Jaka yang berdiri tenang.
"Amatilah baik-baik, Pendeta Kembar. Barang-
kali kalian kenal dengan kawanku. Jika mengenalnya,
serahkan cepat-cepat Kitab Gelang-gelang Emas milik-
ku sebelum nyawa kalian melayang oleh kawanku ini!"
gertak Mayang Sutera.
"Aku bisa menebak siapa gerangan kawanmu
itu, Gadis Edan," ucap Jatnika.
"Ya. Sebutkanlah," putus Mayang Sutera.
"Mmm.... Kawanmu itu pasti...." Jatnika meng
gantung ucapannya, raut wajahnya dibuat seperti
orang ketakutan.
"Kusir sado, kan?" lanjut Jatnika setelah sekian
lama menatap wajah Jaka.
Mayang Sutera terkejut mendengar jawaban
Jatnika yang di luar dugaan, gadis itu ingin menerjang
Jatnika, namun tangan Jaka telah lebih dulu mence-
gah gerakan Mayang Sutera.
"Jangan, Mayang," tahan Jaka sambil mengem-
bangkan senyum. Kemudian tatapannya dialihkan pa-
da Jatnika.
"Kisanak harus belajar lagi cara menilai sese-
orang," ujar Jaka tenang.
"Lalu kalau bukan kusir sado, kau ini siapa,
heh?!" tanya Garnika dengan raut wajah dibuat selucu
mungkin.
"Kurang ajar! Kuberitahukan padamu, Pendeta
Gila! Kawanku ini yang berjuluk Raja Petir!" ucap
Mayang Sutera keras.
"Raja Petir?!" ulang Garnika dan Jatnika se-
rempak.
"Kalian takut dengan nama besar itu?" tanya
Mayang Sutera.
"Ah, kupikir kawanmu itu Raja Doger!" jawab
Jatnika.
Kembali wajah Mayang Sutera memerah men-
dengar hinaan itu.
"Biarkan mereka bicara seenaknya, Mayang,"
redam Jaka atas kemarahan Mayang Sutera.
"Mulutnya harus dibungkam, Kakang," kilah
Mayang Sutera.
"Ayo! Bungkamlah mulutku, Raja Doger! Penuhi
keinginan gadis edan itu," sentak Jatnika lagi.
"Pendeta Nista, majulah kalau memang mulut-
mu ingin ku bungkam," tukas Jaka tenang.
"Kurang ajar! Ayo kita habisi saja, Kakang!"
ajak Garnika merasa jengkel dipanggil Pendeta Nista.
Jatnika yang mendengar ucapan Garnika sege-
ra menyambut dengan sebuah tanda untuk melakukan
serangan bersama. Sasaran serangan mereka adalah
lelaki muda yang mengenakan pakaian kuning keema-
san.
"Menyingkirlah, Mayang. Biar kuberi pelajaran
dua Pendekar Gadungan itu," pinta Jaka.
Mayang Sutera segera mematuhi permintaan le-
laki muda yang telah diketahui ketinggian ilmunya dari
Nyi Selasih. Baru sekitar dua tombak Mayang Sutera
menjauhi tubuh Jaka, serangan dua lelaki yang berju-
luk Pendeta Kembar sudah datang.
Jaka yang mengetahui arah gerakan Garnika
dan Jatnika, tetap berdiri tenang. Ditunggunya seran-
gan kedua lelaki berpakaian merah yang terpecah ke
dua arah.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Tubuh Jatnika yang terbang bagai elang me-
nyambar, meluruk cepat dengan tangan membentuk
kerucut, berkelebat mencecar pelipis Jaka. Sedang
Garnika dengan sedikit membungkukkan tubuh berge-
rak cepat dengan sasaran lambung Jaka.
Mendapat serangan yang terpadu begitu cepat,
Raja Petir segera melayaninya dengan jurus 'Lejitan Li-
dah Petir'.
"Hop!"
"Hop!"
Tubuh Jaka berkelebatan cepat ke berbagai
arah, menghindari terjangan Garnika dan Jatnika yang
susul-menyusul bagai gelombang lautan. Ke mana pun
tubuh Jaka mencelat, Pendeta Kembar terus mencecar
dengan jurus-jurus yang mematikan. Sementara Jaka
terus menghindar dengan mengandalkan kecepatan
geraknya yang lebih unggul dari Pendeta Kembar.
Namun ketika Raja Petir melihat ketajaman se-
rangan Pendekar Kembar tidak setajam serangan per-
tama, maka dicobanya memberikan serangan balasan
lewat jurus 'Menggiring Awan'. Tangan Jaka yang te-
rentang berkelebat cepat ke arah dada Garnika, sedang
kaki kanannya bergerak menyilang ke bawah perut
Jatnika.
Dua lelaki berjuluk Pendeta Kembar itu tersen-
tak melihat serangan balasan Jaka yang tiba-tiba. Se-
dapatnya Garnika dan Jatnika melempar tubuh ke
arah yang berlawanan.
"Hip!"
"Hup!"
Pendeta Kembar segera melompat dan bergulin-
gan di tanah beberapa kali. Kemudian dengan bertum-
pu pada tangan, mereka melenting ke udara.
Raja Petir yang sudah menduga gerakan yang
akan dilakukan Pendeta Kembar, segera memilih Jat-
nika sebagai sasaran serangan susulan. Maka ketika
tubuh Jatnika berada di udara, Jaka secepat kilat ber-
kelebat dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar
Elang'.
"Hiyaaa...!"
Jatnika melihat serangan susulan Jaka yang
datang begitu cepat, terkejut bukan main. Lelaki itu
sebenarnya ingin melempar tubuhnya ke arah yang
berlawanan, namun ketika dirasanya tidak mungkin,
maka akhirnya Jatnika terpaksa menangkis serangan
Raja Petir.
Tlak!
Bugkh!"
"Hekh!"
Tubuh Jatnika terpental deras ketika tangan
kanannya menangkis sodokan tangan kiri Jaka, se-
dang tangan kanan Jaka menghantam telak perutnya.
Dengan dibarengi pekikan keras, tubuh Jatnika jatuh
berdebum.
Bruk!
Garnika yang melihat keadaan Jatnika seperti
itu, sempat tersentak. Namun tidak lama, karena tu-
buh Garnika sudah berkelebat menghampiri Jatnika
yang tergeletak sejauh enam tombak darinya.
"Kakang...."
Garnika memegang bahu Jatnika, kemudian
sebuah tatapan menusuk dilemparkan ke arah Jaka.
"Lebih baik kita tinggalkan pemuda itu, Adi
Garnika," ujar Jatnika, parau. "Pemuda itu sangat
tangguh. Mungkin benar bahwa pemuda itu yang ber-
juluk Raja Petir," sambung Jatnika sambil memegang
punggung tangan Garnika.
Garnika tidak menimpali ucapan Jatnika. Ma-
tanya masih tetap tertuju lurus, menatap wajah Jaka
yang kini berdiri di samping Mayang Sutera.
"Bersiaplah, Adi Garnika. Aku masih sanggup
berlari," desak Jatnika.
"Hhh...."
Garnika menarik napas panjang karena masih
penasaran ingin menaklukkan Jaka.
"Pendeta Gadungan!" bentak Mayang Sutera ti-
ba-tiba. "Berikan kitab ku jika jasad kalian tidak ingin
terkubur hari ini!"
Tatapan mata Garnika yang sejak tadi tertuju
ke wajah Jaka, kini beralih menatap wajah jelita
Mayang Sutera dengan raut muka bengis.
"Gadis Edan! Kau tak mungkin dapat mengam-
bil kitab yang sudah berada di tangan Pendeta Kem-
bar!" alas Garnika geram.
"Sesumbar mu saja yang besar, Pendeta Bejat!
Buktikan kalau kalian memang mampu memperta-
hankan kitab yang bukan milikmu itu!"
"Hiaaat..!"
Mayang Sutera segera berkelebat cepat. Karena
kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi, maka
gadis cantik itu langsung memainkan senjatanya yang
berupa sepasang gelang kuning keemasan, yang dike-
luarkan dari balik pakaian. Ketika tubuh Mayang Su-
tera masih berada di udara, gadis cantik itu melepas
sebuah gelang emas yang berada di genggamannya.
Siiing...!
Suara berdesing mengiringi datangnya luncu-
ran gelang Mayang Sutera. Bukan hanya suara desin-
gan yang membuat senjata itu terlihat dahsyat, tapi
juga hawa dingin menyengat yang terkandung dari
luncuran gelang emas Mayang Sutera.
"Cepat Garnika, kesempatan kita untuk melo-
loskan diri sempit sekali," ucapan yang ditekan kuat
itu membuat Garnika sadar.
Garnika segera mengeluarkan sesuatu dari ba-
lik kantung pakaian.
Brrr...!
Puluhan butir benda merah seketika meluruk
cepat ke arah gelang emas, diikuti oleh luncuran tu-
buh Garnika.
Jaka menyaksikan keadaan gawat itu segera
berteriak keras memperingatkan Mayang Sutera.
"Awas, Mayang!"
Bersamaan dengan suara peringatkan Jaka,
Mayang Sutera melempar tubuhnya ke kanan seraya
bergulingan di tanah. Sedang gelang emasnya terus
meluncur, menghadang puluhan butir benda merah.
Bresss!
Sinar kemerahan seketika mengepul ketika ge-
lang emas Mayang Sutera menghantam butiran merah.
Namun beberapa butir benda itu sempat lolos dan me-
ledak di tempat lain. Asap berbau tak sedap itu men-
gepul, membuat suasana di sekitar tempat pertarun-
gan berubah menjadi panas luar biasa.
Menyadari senjata rahasia Pendeta Kembar
mengandung racun ganas, maka Jaka segera me-
ngerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk men-
gusir asap beracun yang mengepul.
Wrrr...!
Angin bergulung-gulung keluar dari telapak ta-
ngan Jaka yang terbuka penuh. Sementara Jaka sen-
diri langsung memburu tubuh Mayang Sutera dan me-
larikannya untuk menjauhi dari kepulan asap yang
mengandung racun ganas.
"Uhuk!"
Mayang Sutera terbatuk ketika tubuhnya su-
dah menjauhi kepulan asap beracun yang timbul dari
senjata rahasia Pendeta Kembar. Namun batuk itu bu-
kan karena gadis itu telah terkena racun, tapi Mayang
Sutera sedang melepaskan rasa sesak di dadanya ka-
rena menahan napas terlalu lama.
"Pendeta Keparat!" maki Mayang Sutera me-
nyadari di hadapannya tak lagi nampak wajah Garnika
dan Jatnika alias Pendeta Kembar
Jaka maklum dengan kejengkelan gadis jelita
yang telah membuat hatinya berdebar-debar saat tata-
pan mata mereka saling bertemu. Maka Jaka berusaha
membujuk Mayang Sutera sebisanya.
"Kitab Gelang-gelang Emas itu pasti akan dapat
kita rebut, Mayang Sutera. Meski bukan sekarang,"
ucap Jaka lembut
Ucapan lembut Jaka ternyata berpengaruh pa-
da diri Mayang Sutera. Terbukti raut muka gadis jelita
itu kini berubah lunak kembali.
"Kita harus merebutnya, Kakang. Harus dapat,"
ucap Mayang Sutera perlahan.
"Tentu saja, Mayang Sutera. Aku akan berusa-
ha mendapatkan Kitab Gelang-gelang Emas itu," balas
Jaka sambil meraih tangan gadis jelita berpakaian
jingga. "Tapi tidak sekarang."
Sebentuk perasaan lain yang membuat Jaka
bahagia menelusup kuat ke sudut hatinya, begitu juga
yang dirasakan Mayang Sutera.
"Sekarang kita ke mana, Kakang?" tanya Ma-
yang Sutera berusaha menenangkan debur jantung-
nya, sementara tangannya yang berkulit lembut mem-
balas genggaman tangan Jaka.
"Kita lupakan dulu Pendekar Kembar yang te-
lah melarikan kitab mu, Mayang. Sekarang kita lan-
jutkan perjalanan ini ke Perguruan Hijau Kemuning,"
jawab Jaka sambil membimbing tubuh Mayang Sutera.
Angin berhembus sepoi-sepoi ketika Jaka dan
Mayang Sutera berjalan beriringan dengan telapak
tangan saling menggenggam erat. Dan dua insan ber-
lainan jenis yang tengah memadu kasih itu terus berja-
lan, hingga tak sadar mereka telah jauh meninggalkan
bangunan Perguruan Gelang Emas yang kini menjadi
bangunan mati tak berpenghuni.
***
"Masih jauhkah Perguruan Hijau Kemuning
yang kau maksud itu, Kakang?" tanya Mayang Sutera
dengan suara berkesan manja.
Jaka menatap wajah gadis jelita yang berambut
panjang dikepang kelabang.
"Setelah kita lewati Desa Serungsing ini, maka
satu desa lagi kita akan tiba di Perguruan Hijau Ke-
muning," jelas Jaka.
"Kalau begitu kita mencari penginapan di Desa
Serungsing ini saja, Kakang," pinta Mayang Sutera.
"Begitupun keinginanku, Mayang. Perutku su-
dah lapar dan tubuhku rasanya ingin segera berbar-
ing," jawab Jaka.
Kedua insan berlainan jenis itu pun tersenyum,
dan melangkahkan kaki memasuki mulut Desa Se-
rungsing, yang ditandai dengan sebuah batu bertu-
liskan nama desa itu.
Baru beberapa langkah memasuki mulut desa,
suara hingar-bingar terdengar Jaka dan Mayang Sute-
ra. Tentu saja lelaki berpakaian kuning keemasan dan
dara jelita berpakaian jingga menghentikan langkah
mereka. Suara hingar-bingar yang sempat menghenti-
kan langkah mereka semakin jelas terdengar, pertanda
sumber suara itu semakin dekat jaraknya.
"Suara itu seperti suara orang-orang yang keta-
kutan, Kakang," ucap Mayang Sutera.
Jaka ingin menimpali ucapan Mayang Sutera,
tapi segera diurungkan, ketika dilihatnya puluhan le-
laki dan perempuan lari berbondong bondong. Suara
tangis anak kecil yang ditarik dengan paksa oleh pe-
rempuan yang mungkin ibunya dan suara-suara yang
menyuruh agar lebih cepat berlari, membuat suasana
semakin bertambah ramai. Jaka dan Mayang Sutera
sempat melompat ke tepi untuk menghindari tubuhnya
tertabrak orang-orang yang berlarian.
"Kita harus mencari keterangan, apa yang se-
dang terjadi di Desa Serungsing ini," ujar Jaka.
"Kita hadang saja salah seorang di antara me-
reka, Kakang," timpal Mayang Sutera.
Jaka mengangguk setuju.
"Hop!"
Tubuh Jaka berkelebat menghadang seorang le-
laki yang berteriak-teriak memberi perintah agar berla-
ri cepat Lelaki berwajah bulat dengan kumis tipis yang
membayang di bawah hidungnya nampak terkejut
"Heh?! Siapa kau? Pasti...." Lelaki berwajah bu-
lat yang mengenakan pakaian hitam menghentikan ka-
limatnya. Sesaat lelaki itu menatap wajah Jaka, lalu
tangannya bergerak meraih golok yang terselip di ping-
gang.
Golok di tangan lelaki berwajah bulat langsung
terayun ke perut Jaka. Jaka maklum dengan tindakan
lelaki itu, maka untuk menunjukkan maksud baiknya,
Jaka hanya mengelakkan sambaran golok. Tubuh pe-
muda itu meliuk indah ketika berkali-kali sambaran
senjata lelaki berwajah bulat terarah ke perutnya. Dan
dari mulut Jaka keluar permintaan agar lelaki itu
menghentikan serangannya.
"Sabar, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat
terhadap kalian. Aku hanya ingin tahu apa yang se-
dang kalian alami. Aku ingin membantu kalian. Per-
cayalah," ucap Jaka lembut namun terkesan tegas.
Lelaki berpakaian hitam seketika menghentikan
setangan. Lalu matanya tertuju tajam ke wajah Jaka.
"Kalau kau bermaksud baik, jangan halangi
kami!" keras ucapan yang keluar dari lelaki berwajah
bulat
"Tentu saja aku tak akan menghalangi kalian.
Namun jika kau tidak keberatan, aku ingin tahu apa
yang sedang terjadi di Desa Serungsing ini. Ah, ya.
Namaku Jaka," ucap Jaka sambil memperkenalkan di-
ri.
Tatapan lelaki itu berubah sedikit lunak ketika
Jaka memperkenalkan diri. Hati lelaki itu mengatakan,
Jaka betul-betul tak punya niat jahat dengannya.
"Katakanlah Kisanak, aku justru ingin mem-
bantu kesulitan kalian," ucap Jaka lagi.
"Lima orang lelaki berkepandaian tinggi men-
gamuk di desa kami," ujar lelaki berwajah bulat
"Mengamuk?" ulang Jaka tak mengerti.
"Ya. Banyak penduduk tewas di tangan lima le-
laki itu. Bahkan kepala desa kami sudah terpenggal
kepalanya."
"Apa alasan mereka membantai penduduk dan
Kepala Desa Serungsing?" tanya Jaka penasaran.
"Menurut kabar yang kudengar, mereka sedang
mencari seorang tokoh sakti berjuluk Raja Petir."
"Hmmm...."
Jaka bergumam dalam hati. Pemuda itu dapat
menebak, salah satu dari lima lelaki yang mengamuk
adalah Dewa Petir.
"Aku harus segera mencegahnya," kata hati Ja-
ka.
"Apakah salah satu di antara mereka berjuluk
Dewa Petir?" tukas Jaka meyakinkan.
"Dari mana kau tahu?" tanya lelaki itu terkejut
"Sudahlah, Ki. Aku harus mencegah kekejaman
ini," ucap Jaka sambil menepuk punggung lelaki ber-
pakaian hitam.
"Kurasa lebih baik kau tidak melakukan itu,
Jaka," tahan lelaki berwajah bulat.
"Kenapa?"
"Mereka terlalu berbahaya, kesaktian yang me-
reka miliki terlalu tinggi," jawab lelaki berwajah bulat.
"Aku harus mencegah mereka, Kisanak. Karena
yang mereka cari aku."
Lelaki berwajah bulat terkejut mendengar ucap-
an Jaka. Dalam hati lelaki itu tersimpan pertanyaan
yang tak terjawab. Karena Jaka telah melesat, diikuti
oleh Mayang Sutera yang mengerahkan ilmu lari ce-
patnya.
TUJUH
"Aaa...!"
Sebuah pekik kematian membubung ke langit,
membuat hati Jaka terasa bagai teriris sembilu. Lelaki
muda yang berjuluk Raja Petir semakin mempercepat
gerakannya. Dan ketika dirinya tiba di tempat pemban-
taian.
"Setan! Hentikan perbuatan terkutuk ini!" ben-
tak Jaka sedikit dialiri tenaga dalam.
Tubuh sosok muda berpakaian kuning kee-
masan berdiri tegak, di sampingnya tak kalah tegap
berdiri Mayang Sutera.
"Hmmm.... Lancang juga mulutmu itu!" bentak
lelaki berpakaian serba biru ketika tubuhnya berbalik
ke belakang, menyaksikan sosok tubuh Jaka alias Raja
Petir.
"Kau yang lancang mengganggu kehidupan
penduduk Desa Serungsing, cucu Ki Durja Kelada!" ba-
las Jaka dengan suara tetap menggelegar.
Lelaki berpakaian serba biru yang memegang
sebilah pedang pusaka yang memancarkan sinar ke-
merahan membelalakkan mata. Raut wajahnya nam-
pak dipenuhi pertanyaan yang membutuhkan jawaban
secepatnya.
Jaka dengan sikap tenang membalas tatapan
mata lelaki berpakaian biru yang tak lain cucu Ki Dur-
ja Kelada. Itu diketahuinya dari ciri-ciri pakaian dan
sebilah pedang pusaka yang pernah diceritakan
Mayang Sutera dan Nyi Selasih.
"Siapa kau, Anak Muda. Dari mana kau tahu
mengenai guruku?" tanya lelaki berpakaian biru yang
berjuluk Dewa Petir.
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Le
laki muda nan digdaya yang berjuluk Raja Petir, mene-
bar pandangan ke arah kawan-kawan Dewa Petir yang
bersiaga menunggu perintah pimpinannya.
"Tak sukar mengetahui nama seorang pencuri
ulung seperti Ki Durja Kelada, Dewa Petir?!" tukas Ja-
ka tajam.
"Heh?!"
Dewa Petir kembali terhenyak mendengar uca-
pan Jaka.
"Lancang sekali kau menghina kakekku! Kau
harus mampus!" hardik Dewa Petir geram.
"Aku tidak merasa melakukannya, Dewa Petir.
Aku hanya melakukan apa yang sepantasnya aku la-
kukan. Ucapanku hanya ingin memberitahukan ke-
nyataan yang sesungguhnya padamu. Ketahuilah, De-
wa Petir. Senjata pusaka yang dalam genggaman mu
dan sabuk biru yang melilit di pinggangmu, milik al-
marhum Raja Petir yang telah dicuri sahabat seper-
mainannya sendiri. Sahabatnya itu, kakekmu. Seka-
rang, kau harus menyerahkan benda-benda peningga-
lan almarhum Raja Petir padaku selaku pewaris tung-
galnya," papar Jaka panjang lebar.
"Ha ha ha...!"
Di luar dugaan Jaka, lelaki yang berjuluk Dewa
Petir terbahak mendengar ucapannya.
"Jadi, kaulah orang yang kucari selama ini. Ha
ha ha....!"
Lelaki berusia tiga puluhan itu kembali tertawa.
Wajahnya yang berahang kuat dan ditumbuhi kumis
tipis bergerak-gerak lucu. Sementara rambutnya yang
seperti tak terurus, berguncang-guncang seiring den-
gan tawa yang bernada meremehkan.
Jaka dan Mayang Sutera dengan sikap penuh
waspada memandang lelaki bertubuh tegap yang ten-
gah tertawa.
"Raja Petir!" ucap Dewa Petir mantap sesaat se-
telah menghentikan tawanya. "Lebih baik kau buang
mimpimu untuk mendapatkan benda pusaka yang be-
rada di genggamanku. Dan sebaliknya, serahkan sen-
jata pusaka yang di tanganmu kalau kau masih ingin
melihat matahari esok pagi," lanjut Dewa Petir dengan
tatapan meremehkan.
Jaka mendengus mendengar ucapan cucu Ki
Durja Kelada yang sarat dengan kesombongan.
"Dan jangan coba-coba menggunakan julukan
Raja Petir, selagi Dewa Petir masih melanglang jagat di
rimba persilatan," lanjut Dewa Petir.
"Dewa Petir!" balas Jaka menghardik. "Gertakan
mu mungkin membuat tikus-tikus comberan lari terbi-
rit-birit. Tapi gertakan itu bagiku hanya penggelitik sa-
ja, sedikit pun aku tak melihat kekuatan dalam gerta-
kan kosong itu."
"Kalau begitu kita buktikan sekarang. Siapa di
antara kita yang lebih pantas memiliki benda pusaka
yang berada di genggaman masing-masing. Dan jangan
menyesal kalau aku keluar sebagai pemenang," tan-
tang Dewa Petir sambil mengangkat pedang pusaka ke
atas.
Pedang pusaka yang bernama Pedang Petir itu
teracung ke udara, sinarnya yang kemerahan memen-
dar-mendar, menimbulkan perbawa yang menggi-
riskan. Langit seketika berubah mendung. Dan sekali
terdengar guntur di kejauhan.
"Kau dengar itu, Raja Petir?" tanya Dewa Petir
sombong, "Gemuruh yang kau dengar menandakan
aku yang lebih pantas berjuluk Dewa Petir. Dengan
terdengarnya guntur yang bersahut-sahutan, maka
kekuatan senjataku akan berlipat. Kau tak akan
mungkin mampu menandingi ku," lanjut Dewa Petir
dengan sikap jumawa.
"Pedang itu akan lebih sempurna lagi kedah-
syatannya jika berada di tanganku, Dewa Petir!" balas
Jaka.
"Mari kita mulai!" tantang Dewa Petir. "Kalian
semua! Ringkus gadis cantik kawan Raja Petir itu.
Akan ku santap tubuhnya yang molek setelah nyawa
Raja Petir kukirim ke akhirat!" perintah Dewa Petir pa-
da empat lelaki yang masing-masing mengenakan pa-
kaian hijau, merah, putih, dan coklat.
Empat lelaki yang memiliki ilmu kesaktian ting-
gi segera berlompatan mengurung Mayang Sutera.
"Lelaki banci!" hardik Mayang Sutera jengkel
melihat keempat lelaki yang siap menghadapinya.
"Hati-hati, Mayang," ucap Jaka.
***
Pertarungan Raja Petir dan Dewa Petir yang
memperebutkan senjata-senjata pusaka peninggalan
almarhum Raja Petir pun segera berlangsung seru.
Kedua tokoh muda yang berbeda aliran, saling
menggempur dengan kelebihan ilmu silat yang mereka
miliki. Suara pekikan kegeraman dan suara menggele-
gar akibat pukulan dahsyat kedua tokoh itu, turut me-
ramaikan jalannya pertarungan.
Jaka yang memiliki keunggulan dalam hal ke-
tenangan diri, membuat dirinya berada di atas lawan.
Ketenangan pemuda itu sebenarnya mampu mem-
buatnya menghindari setiap serangan yang dilancar-
kan Dewa Petir. Tetapi yang dihadapi Jaka seorang to-
koh yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Tenaga da-
lamnya nyaris sempurna dan didukung senjata dan ju-
rus-jurus silat yang cepat dan membahayakan.
Berkali-kali tebasan dan sodokan tangan Dewa
Petir hampir mengenai tubuh Raja Petir. Tapi dengan
menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sekali-
sekali digunakan bergantian dengan aji 'Bayang-
bayang', sodokan dan tebasan tangan cucu Ki Durja
Kelada hanya membentur tempat kosong.
Dari keberhasilan Jaka menghindari setiap se-
rangan Dewa Petir, sudah cukup membuktikan bahwa
Dewa Petir harus mengerahkan seluruh kemampuan-
nya jika ingin menundukkan cucu angkat Nyi Selasih.
Dan itu dibuktikan Dewa Petir. dengan meloloskan sa-
buk biru yang melingkar di pinggangnya.
"Aku ingin tahu apa kau mampu menghadapi
Sabuk Petir ku, Raja Petir," tukas Dewa Petir.
Tatapan matanya mencorong tajam sebagai
tanda ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat
tinggi.
"Sabuk curian itu bukan milikmu, Dewa Petir!"
sangkal Jaka mantap. "Namun aku akan berusaha
menghadapinya dengan sabukku yang sah ini!" lanjut
Jaka seraya meloloskan sabuk kuning keemasan yang
melilit pinggangnya.
Seberkas sinar kuning yang menyilaukan mata
memendar-mendar, dan hawa dingin yang menyengat
terasa menebar ke sekeliling sudut arena pertempuran.
Dewa Petir melihat wujud sabuk petir milik Ra-
ja Petir nampak lebih dahsyat, sedikit terkejut. Namun
karena kepongahannya, lelaki itu berusaha menutupi
keterkejutannya dengan lebih dulu mengambil tinda-
kan menyerang.
"Hiyaaa...!"
Tubuh lelaki berpakaian serba biru yang berju-
luk Dewa Petir bergerak ke kanan. Tangan kanannya
yang mencekal sabuk berwarna biru seketika bergerak
cepat
Ctar!
Slats!
Seberkas sinar keperakan seketika melesat ce-
pat bagai petir menyambar. Sinar yang keluar dari le-
cutan sabuk biru Dewa Petir terus melesat memburu
tubuh Jaka.
Raja Petir tentu saja tak ingin sinar keperakan
itu menerjang tubuhnya, maka dengan menggunakan
jurus 'Lejitan Lidah Petir', tubuh pemuda itu melesat
cepat menghindari terjangan sinar keperakan.
"Hop!"
Dengan menghentakkan kakinya kuat-kuat, tu-
buh Jaka melesat ke udara. Begitu ringan tubuh laki-
laki berpakaian kuning keemasan bergerak ke atas dan
berputaran dua kali. Dan ketika tubuhnya mendarat di
tanah tanpa menimbulkan suara, Jaka segera menge-
butkan sabuk kuning yang berada di tangannya.
Star!
Splash!
Seberkas sinar keperakan bagai petir menyam-
bar melesat dari sabuk kuning keemasan. Namun pada
saat yang bersamaan, Dewa Petir pun melecutkan sa-
buknya dari arah yang berlawanan. Dua sinar kepera-
kan bagai petir saling melesat dari arah yang berlawa-
nan. Dan ketika dua sinar itu bertemu, suara mengge-
legar seperti gempa segera terdengar.
Glaaar...!
Bumi di sekitar tempat pertarungan bergun-
cang hebat. Empat lelaki mengenakan pakaian hijau,
merah, putih, dan coklat terpengaruh oleh guncangan
itu. Begitu juga lawan tanding empat lelaki anak buah
Dewa Petir. Tubuh Mayang Sutera terhuyung meski te-
lah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
mengimbangi suara ledakan. Pertarungan empat lelaki
gagah melawan seorang dara jelita bernama Mayang
Sutera kembali berlanjut, ketika bumi yang bergun-
cang tak lagi dirasakan.
Mayang Sutera yang sudah menggunakan sen-
jata andalannya berupa payung berukuran kecil yang
terbuat dari logam keras, berusaha sekuat tenaga me-
nekan lawan-lawannya.
Tetapi, keempat lelaki yang berjuluk Empat Ba-
rong Muara Kulon, bukan orang-orang kemarin sore
yang mudah didesak lawan, terlebih Barong Hijau yang
menjadi orang utama dari Empat Barong Muara Kulon.
Lelaki yang mengenakan pakaian hijau itu me-
miliki kemampuan lebih tinggi dari ketiga rekannya.
Permainan senjatanya yang berupa sebuah rencong
berukuran besar, amat membahayakan ke-selamatan
Mayang Sutera. Berkali-kali ujung senjata Barong Hi-
jau mengancam tubuh Mayang Sutera. Namun berkat
kecerdikan dan kecepatan gerak Dewi Payung Emas,
semua serangan ganas yang dilancarkan Barong Hijau
berhasil dimentahkannya.
Suatu ketika, dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya, Barong Hijau menusukkan sen-
jatanya ke lambung Mayang. Angin bercericitan mengi-
ringi tibanya serangan yang mematikan itu. Dewi
Payung Emas tentu saja tak membiarkan senjata la-
wan melukai kulitnya, maka dengan kecepatan yang
luar biasa Dewi Payung Emas meliukkan tubuh. Indah
nian gerakan Mayang Sutera. Namun di balik keinda-
han itu tersembunyi sebuah serangan balasan yang
dahsyat.
"Hih!"
Wuitt!
Sambaran payung yang terkembang menuju
pangkal tangan Barong Hijau, membuat lelaki itu harm
membuang diri ke kanan. Barong Hijau melakukan ge-
rakan yang tepat dengan bergulingan di tanah, hingga
serangan Dewi Payung Emas dapat dielakkan. Namun
karena kegeramannya, Mayang langsung melepaskan
senjatanya yang berupa gelang emas.
Siiing...!
Suara berdesing terdengar, seiring dengan me-
lesatnya gelang kuning yang meluruk ke arah Barong
Hijau yang sedang berguling-gulingan di tanah.
Tiga lelaki rekan Barong Hijau bernama Barong
Merah, Barong Putih, dan Barong Coklat terkejut bu-
kan main. Salah satu di antara mereka segera bergerak
cepat, mencegah luncuran gelang emas yang mengan-
cam punggung Barong Hijau.
"Hiaaa...!"
Tubuh Barong Merah melesat ke arah senjata
Mayang Sutera yang meluncur deras. Dan ketika dua
jengkal lagi senjata Dewi Payung Emas menghantam
punggung Barong Hijau, Barong Merah mengayunkan
senjatanya yang berupa sebilah golok besar.
Tring!
Benturan keras tak dapat dielakkan lagi. Tubuh
Barong Merah terhuyung dua langkah ke belakang,
menandakan luncuran gelang emas Mayang Sutera di-
aliri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Empat Barong Muara Kulon seketika saling
berpandangan menyaksikan kehebatan serangan Dewi
Payung Emas. Maka ketika Barong Hijau mengedipkan
mata. Serempak keempat lelaki itu berloncatan mener-
jang Dewi Payung Emas secara bersamaan
Mayang Sutera menghadapi serangan gencar
empat lelaki yang berjuluk Empat Barong Muara Kulon
merasa kerepotan. Serangan empat lelaki gagah yang
bagai riak gelombang lautan itu mampu menutup
ruang geraknya. Namun bukan Mayang Sutera jika ha-
rus menyerah begitu saja di tangan empat penge-
royoknya. Dengan segenap kemampuan dan didukung
senjatanya yang berkelebatan cepat, membuat dirinya
tak mampu ditundukkan lawan dalam waktu yang
singkat
Namun sekuat-kuatnya Dewi Payung Emas
yang dicecar serangan-serangan ganas yang beruntun
datangnya, maka bukan tidak mungkin jika salah satu
serangan itu luput dari tangkisannya. Sebuah tendan-
gan menggeledek Barong Coklat tak kuasa dihindari
Mayang Sutera. Tendangan lurus yang mengarah ke
perut Dewi Payung Emas mendarat dengan telak.
Blukkk!
"Hek!"
Tubuh Mayang Sutera terpental deras ketika te-
lapak kaki Barong Coklat berhasil menghantam perut-
nya. Pekik tertahan keluar dari mulut Mayang Sutera.
Dan pekikan itu cukup membuat perhatian Raja Petir
terpecah.
"Mayaaang...!"
Jaka berteriak keras melihat tubuh gadis jelita
itu terpental deras. Karena rasa cemas yang luar biasa,
Jaka bermaksud menyongsong tubuh gadis jelita yang
begitu dikasihinya.
Namun rupanya Dewa Petir yang licik segera
memanfaatkan kesempatan yang ada. Sesaat ketika
Jaka lengah, tubuh lelaki cucu Ki Durja Kelada ber-
kelebat cepat dengan kaki kanan terpentang lurus ke
depan.
"Hiaaa...!"
Blagkh!
Tendangan lurus Dewa Petir mendarat telak di
punggung Jaka. Langsung saja tubuh Jaka terhuyung
jauh ke depan. Dan karena kerasnya tendangan Dewa
Petit, Maka Jaka tak kuasa menahan keseimbangan
tubuh, hingga pemuda itu jatuh bergulingan di tanah
berdebu.
DELAPAN
Memang pantas dipuji daya tahan tubuh Jaka.
Setelah mendapat terjangan keras, tubuh lelaki muda
yang berjuluk Raja Petir itu kembali bangkit. Setitik da
rah nampak terlihat di sudut bibirnya. Dan ketika Ja-
ka bangkit, yang pertama dicarinya adalah sosok
Mayang Sutera yang tadi terpental deras terhajar ten-
dangan lawan. Sedikit rasa lega mengisi rongga dada
Jaka ketika melihat tubuh Mayang Sutera berada da-
lam perlindungan seorang lelaki berpakaian putih yang
tidak dikenalnya.
Lelaki yang menyangga tubuh Mayang Sutera
berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya
yang putih menampakkan rahang yang menonjol kuat,
dan kumisnya yang tebal hitam membuat wajah itu
nampak gagah. Tak berapa jauh dari lelaki itu, terlihat
tiga lelaki lain berdiri menentang empat orang lawan
Mayang Sutera
Hati Jaka bertambah lega melihat salah seo-
rang dari mereka itu dikenalnya sebagai murid utama
Perguruan Partai Tameng Kencana, yaitu Yaya Mayada
(Untuk mengetahui Yaya Mayada lebih jelas, silakan
baca serial Raja Petir dalam episode 'Pencuri Kita-kitab
Pusaka').
"Aku akan membantumu, Raja Petir," ujar Yaya
Mayada mantap.
Dewa Petir melihat kedatangan empat lelaki ga-
gah yang diketahuinya berada di pihak Raja Petir me-
rasa geram bukan main. Dan kegeramannya dilam-
piaskan dengan menerjang Jaka.
"Hiaaa...!"
Sebuah serangan dahsyat berkelebat ke arah
Jaka yang sudah siap meneruskan pertarungan. Piki
ran pemuda itu tak lagi tertuju pada Mayang Sutera
yang telah dilindungi empat lelaki penolongnya. Sam-
baran tangan Dewa Petir yang tertuju lurus ke pelipis,
mampu dielakkan dengan mengegoskan sedikit tubuh-
nya dengan kedudukan kepala dimiringkan ke kanan.
Dewa Petir dengan kecepatan yang luar biasa
memutar balik serangannya yang mentah. Sambaran
tangannya kembali berkelebat ke dada Jaka.
Wuuut!
"Uts!"
Raja Petir melompat mundur ke belakang se-
jauh tiga langkah. Kemudian melompat menjauh den-
gan melentingkan tubuh ke belakang seraya berputa-
ran dua kali. Dan ketika mendarat ujung kakinya me-
notol permukaan tanah hingga tubuhnya kembali me-
lesat semakin jauh.
Dewa Petir yang melihat tubuh Jaka semakin
menjauh segera mengejarnya. Sosok tubuh yang terba-
lut pakaian serba biru itu berlompatan memburu so-
sok Raja Petir.
"Jangan lari kau, Pengecut!" hardik Dewa Petir
di tengah lompatannya.
Jaka tak menimpali umpatan Dewa Petir. Hati-
nya senang dapat memancing Dewa Petir menjauhi
pertempuran empat lelaki penolong Mayang Sutera dan
empat lelaki anak buah Dewa Petir. Itu dilakukan Jaka
karena pemuda itu tak ingin mereka menjadi sasaran
kedahsyatan ilmu-ilmu andalannya yang akan segera
dikeluarkan.
Ketika jarak dirinya dengan para penolong Ma-
yang Sutera sudah cukup jauh, Jaka menghentikan
lentingan-lentingan tubuhnya yang cepat luar biasa.
Begitu juga yang dilakukan Dewa Petir, untuk sekadar
menjaga jarak.
"Aku bukan pengecut, Dewa Petir!" ucap Jaka
keras. "Aku hanya ingin mencari tempat yang cocok
untuk pertarungan kita. Sekarang keluarkan seluruh
kemampuanmu. Aku sebagai pewaris tunggal senjata
yang berada di tanganmu akan berusaha menjatuhkan
mu!" lanjut Jaka mantap.
"Kau tak mungkin dapat melakukannya, Raja
Petir!" balas Dewa Petir tak kalah mantap.
"Buktikan ucapanmu!" kilah Jaka.
"Baik!"
Dewa Petir melangkah mundur satu langkah.
Dua telapak tangannya disatukan dan ditarik menem-
pel dada. Bersamaan dengan kakinya yang membentuk
kuda-kuda rendah, mulut Dewa Petir bergerak-gerak
seperti membaca mantera.
"Aji 'Bayu Maut'!"
Seiring dengan ucapan Dewa Petir yang menye-
but nama ajiannya dua telapak tangan yang saling me-
rapat seketika terpentang ke depan.
Wresss...!
Angin menderu yang menimbulkan hawa panas
menyengat seketika itu juga tercipta dari hentakan
tangan Dewa Petir. Angin kencang bagai angin puting
beliung itu menyerbu tubuh Jaka.
Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ber-
juluk Raja Petir tidak mencoba menghadapi serangan
Dewa Petir dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' atau
jurus 'Hembusan Maut' yang dimilikinya. Raja Petir le-
bih memilih jurus 'Lejitan Lidah Petir' untuk memen-
tahkan serangan lawan.
"Hop! Hop!"
Tubuh Jaka berkali-kali mencelat dari tempat
yang satu ke tempat yang lain, menghindari terjangan
angin berhawa panas yang dilancarkan Dewa Petir da-
lam jurus aji 'Bayu Maut'.
"Hiaaa...!"
Wresss!
"Hop!"
Kembali tubuh Jaka melejit ke kanan. Tapi kali
ini gerakan menghindar yang dilakukannya dibarengi
dengan gerakan tangan yang menghentak, memberi-
kan serangan balasan dalam jurus 'Hembusan Maut!"
Hentakan tangan kanan Raja Petir menim-
bulkan serangkum angin deras yang meluruk, mener-
jang angin yang keluar dari aji 'Bayu Maut' Dewa Petir.
Plaaar!
Suara menggelegar terdengar memekakkan te-
linga ketika dua angin dahsyat bertemu di udara. Bumi
seketika bergetar saat bunyi keras bagai tepukan dua
tangan raksasa terdengar. Pohon-pohon kecil yang be-
rada di sekitar arena pertarungan bertumbangan. Sua-
sana bising meramaikan pertarungan yang berjalan a
lot
"Julukanmu sebagai Raja Petir ternyata bukan
julukan kosong. Kau memang hebat Raja Petir. Namun
aku tak yakin kehebatanmu mampu menandingi ke-
dahsyatan Pedang Petir yang kudapat dari Eyang Durja
Kelada. Bersiaplah mencium Liang lahat, Raja Petir!"
ucap Dewa Petir menggelegar.
Dewa Petir kemudian menghunus sebilah pe-
dang pusaka yang diberi nama Pedang Petir. Pamor
pedang yang memendarkan cahaya kemerahan sang-
gup membuat hati Jaka bergetar hebat. Terlebih ketika
pedang almarhum Raja Petir itu teracung ke udara.
Langit di tempat pertarungan berubah gelap. Awan ge-
lap bernaung di atas kepala Jaka, sementara suara
guntur terdengar di kejauhan.
"Wroaaakh...!"
Dewa Petir memekik keras. Tubuhnya mencelat
cepat seiring dengan hentakan kaki yang kuat pada
permukaan bumi. Pedang pusaka yang berada di atas
kepala terayun-ayun mengerikan.
Terkejut hati Jaka mendapat serangan yang be-
gitu dahsyat. Terlebih ketika dilihatnya seluruh tangan
Dewa Petir menjadi merah.
Wuuung!
Suara mengaung terdengar ketika pedang pu-
saka yang berada di genggaman Dewa Petir berkelebat
menebas leher Jaka.
Raja Petir segera bergerak cepat menghindari
serangan. Jaka memang berhasil menghindari, namun
tak urung tubuhnya terpental deras, tersambar angin
deras yang keluar dari Pedang Pusaka Dewa Petir.
"Gila," ucap Jaka dalam hati setelah mampu
menguasai diri.
Sementara Dewa Petir yang merasa berada di
atas Jaka, semakin gencar melakukan serangan-
serangan mematikan. Pedang Petir yang berada di
genggamannya terus berkelebat ke bagian-bagian me-
matikan tubuh Jaka. Sedang Jaka dengan sekuat te-
naga berusaha menghindari terjangan Dewa Petir.
Meski untuk itu terpaksa harus jatuh bangun.
"Uts!"
Wuuung!
Tubuh Raja Petir mencelat dua tombak ke uda-
ra, maka angin tebasan pedang pusaka Dewa Petir
menggetarkan ujung celananya, bahkan telapak kaki
Jaka merasakan getaran itu.
"Berbahaya sekali jika pedang itu terus berada
di tangan cucu Ki Durja," kata hati Jaka setelah tu-
buhnya mendarat dengan manis. "Aku harus me-
rebutnya, bagaimanapun caranya."
Sementara Dewa Petir menghentikan serangan,
dan berdiri tegak memandang wajah Jaka. Namun da-
lam hati berbicara bahwa kalau dirinya harus me-
mainkan jurus pedang tingkat terakhir untuk menja
tuhkan Raja Petir.
"Hmmm.... Bocah ini harus ku gempur dengan
jurus 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'," pu-
tus Dewa Petir dalam hati.
"Raja Petir!" panggil Dewa Petir menggelegar.
"Kali ini aku tak akan memberimu kesempatan lagi,
sudah cukup aku mengetahui sejauh mana ilmu yang
kau miliki. Sekarang bersiaplah menghadapi jurus pe-
dang tingkat akhir. Jurus 'Pedang Petir Mengguncang
Selaksa Naga' yang akan mengubur julukanmu yang
terkenal di seantero rimba persilatan," tegas Dewa Petir
mantap.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Dewa Petir,"
sahut Jaka tanpa gentar sedikit pun.
Begitu Dewa Petir mendengar ucapan Jaka, ke-
dua kakinya segera direntangkan. Tangan kirinya yang
diletakkan di depan dada, bergeser ke hulu pedang.
Pedang pusaka peninggalan almarhum Raja Pe-
tir yang kini jadi sengketa, digenggam kuat-kuat oleh
Dewa Petir dengan kedua tangannya. Mata lelaki ber-
pakaian biru itu terpejam. Tubuhnya berguncang he-
bat, dan ketika guncangan itu berhenti dengan sendi-
rinya, tangan Dewa Petir yang menggenggam pedang
pusaka terangkat ke atas.
"Wroaaakh...!"
Dewa Petir memekik keras seiring dengan te-
rangkatnya pedang pusaka pada batas paling tinggi.
Langit seketika menjadi gelap. Dan bunyi bergemuruh
terdengar di kejauhan.
Glar! Glar! Glar!
Lidah petir berjulur-julur menjilat pedang pusa-
ka yang teracung tinggi-tinggi, begitu juga tubuh Dewa
Petir. Berkali-kali jilatan lidah Petir menghantam tu-
buhnya. Itulah ilmu inti Dewa Petir yang diberi nama
'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'. Tubuh De
wa Petir sedikit pun tak goyang ketika lidah-lidah petir
menyambarnya.
Langit kembali terang-benderang ketika suara
gemuruh itu mendadak hilang. Raja Petir melihat wa-
jah Dewa Petir menjadi begitu keras. Dan matanya me-
rah membara seperti mata seekor naga yang terluka.
Pada saat-saat yang menentukan itu, Jaka
memutuskan akan menghadapi ilmu Dewa Petir de-
ngan aji 'Kukuh Karang' tingkat terakhir. Dirinya akan
menciptakan tenaga suci yang pernah dikatakan Nyi
Selasih. Maka Raja Petir segera mundur satu langkah.
Dan pada kedudukan kaki membentuk kuda-kuda
rendah, Jaka menarik kedua tangannya ke atas kepa-
la. Sementara tarikan napas halus, tercipta seiring
dengan rentangan tangan yang menimbulkan gemere-
takan otot-otot tangan dengan jari terkepal.
Tangan yang terentang dengan jari-jari men-
gepal, ditarik menyilang ke depan dada. Dan semua ge-
rakan yang dilakukan Jaka dengan mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga dalam dan segenap kepekaannya,
membuahkan hasil yang amat menakjubkan. Tubuh
lelaki muda usia yang memiliki kesaktian tinggi kini
terbungkus sinar kuning keemasan. Sinar kuning
membungkus dari kepala hingga ujung kaki.
Dalam keadaan tubuh terbungkus ajian aji
'Kukuh Karang', Raja Petir masih memancing sebentuk
kekuatan suci yang selalu ada pada orang-orang yang
berada di pihak kebenaran. Pemuda itu pun meme-
jamkan mata.
Melihat kedudukan lawan seperti itu, Dewa Pe-
tir segera menghentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya
melesat cepat ke arah Jaka dengan sebilah pedang te-
racung di atas kepala, yang menimbulkan ledakan-
ledakan bak gemuruh petir.
"Hiaaa...!"
Wuuung! Wuuung!
Suara petir menggelegar terdengar memekak-
kan telinga. Tanpa merubah kedudukannya dan den-
gan mata masih terpejam, tubuh Jaka bergeser dengan
sendirinya dari satu tempat ke tempat lain. Hingga te-
basan pedang pusaka Dewa Petir berkali-kali memben-
tur tempat kosong.
"Keparat!" maki Dewa Petir berang bukan main.
SEMBILAN
Kembali Dewa Petir menghentakkan kaki kuat-
kuat. Tubuhnya melesat cepat dengan pedang pusaka
yang memendarkan sinar kemerahan bergerak-gerak di
atas kepala. Gerakan menebas leher lawan akan dilan-
carkan Dewa Petir.
"Hiaaa...!"
Wuuung!
Tap!
Di luar dugaan Dewa Petir, telapak tangan Jaka
yang berada pada kedudukan menyilang, bergerak ce-
pat menangkap sambaran pedang pusaka yang terarah
ke batang leher. Ujung pedang pusaka yang menjadi
sengketa, kini terjepit dua telapak tangan Jaka.
Dewi Petir tentu saja murka bukan main mene-
rima kenyataan ini. Segala bentuk kemurkaannya di-
lampiaskan dengan menarik pulang senjata yang di-
tangkap dua telapak tangan Raja Petir.
"Hiaaa!"
Dengan amarah meluap serta segenap keku-
atan tenaga dalam yang dimiliki, Dewa Petir terus be-
rusaha menarik pulang senjatanya. Sementara Raja
Petir yang merasakan tubuhnya seperti sedang dialiri
sebentuk kekuatan asing, sedikit pun tak nampak
mengeluarkan tenaga untuk mempertahankan pedang
pusaka yang berhasil ditangkapnya.
Dengan kepekaan penuh dan dibantu kelebihan
aji 'Kukuh Karang' yang memiliki daya serap tinggi.
Jaka melakukan gerakan yang menurut Dewa Petir
akan mencelakakan dirinya sendiri. Tangan kiri Jaka
perlahan ditarik ke samping kiri, seolah hendak mele-
paskan jepitan pada ujung pedang pusaka, tapi kenya-
taannya?
Setelah tangan kiri Jaka terpisah dari ujung pe-
dang. Sedikit pun batang pedang pusaka itu tak ber-
geser dari tempatnya. Meski Dewa Petir dengan kekua-
tan tenaganya menarik pulang pedang pusaka, namun
pedang itu seperti menempel kuat pada telapak tangan
Jaka.
"Maaf, Dewa Petir. Terpaksa aku harus meng-
hempaskan tubuhmu dan merebut kembali pedang
pusaka yang menjadi hakku," ucap Raja Petir dengan
gema suara memantul ke seluruh penjuru arena perta-
rungan.
Dewa Petir tersentak mendengar ucapan Raja
Petir. Dengan kekuatan tenaganya, lelaki itu terus be-
rusaha menarik pulang senjata andalan yang selama
ini telah banyak membantunya. Namun ternyata per-
buatan Dewa Petir hanya sia-sia belaka. Sedikit pun
Pedang Petir tak bergerak dari telapak tangan Jaka.
"Maaf sobat, aku terpaksa harus melakukan-
nya!" tukas Raja Petir seraya memutar-mutar tangan
kirinya memainkan jurus ampuh 'Hembusan Maut'
"Hih!"
Wruuus!
Blargkh!
Tubuh Dewa Petir terpental deras ketika sam-
baran jurus 'Hembusan Maut' menerpa dengan telak
dadanya. Tubuh tegap yang terbalut pakaian serba bi
ru itu terus melayang bagai daun dihembus angin
kuat. Pekik kesakitan yang terdengar serasa memantul
pada sudut-sudut arena pertarungan.
Brugkh!
Tubuh cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk De-
wa Petir ambruk ke tanah, setelah melayang sejauh
empat tombak. Namun memang pantas dipuji daya ta-
han tubuh Dewa Petir. Meski dadanya telah terhantam
pukulan sakti Jaka, tubuh lelaki itu kembali bangkit
berdiri walaupun terhuyung-huyung. Dewa Petir melo-
loskan sabuk biru yang membelit pinggangnya. Dan
dengan mengandalkan tenaganya yang tinggal sedikit,
Dewa Petir bergerak lamban menyerang Jaka.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sebetul-
nya tak tega harus menggedor kembali tubuh lawan,
tapi karena serangan-serangan Dewa Petir masih men-
gandung ancaman maut, maka Raja Petir terpaksa
membendung gerakan Dewa Petir dengan pukulan ja-
rak jauh.
"Hiaaa...!"
"Hih!"
Bragkh!
Tubuh Dewa Petir kembali terjerembab ketika
pukulan jarak jauh Jaka menerpa telak bagian perut-
nya.
"Hoeeekh!"
Seiring dengan muncratnya cairan merah ken-
tal dari mulut cucu Ki Durja Kelada, nyawa Dewa Petir
pun pergi meninggalkan raga. Dan tubuh lelaki berpa-
kaian biru itu terbujur kaku.
***
Dengan tatapan sedih Jaka memandang tubuh
Dewa Petir yang telah menjadi mayat Sementara Pe
dang Petir yang memiliki perbawa menggiriskan, terge-
letak satu setengah tombak di samping kanan Dewa
Petir.
Jaka mengalihkan tatapannya pada pedang pu-
saka. Sebentuk perasaan asing yang amat kuat dirasa-
kan Jaka menarik-narik hasratnya untuk meraih pe-
dang pusaka.
Jaka pun meneliti pedang pusaka peninggalan
almarhum Raja Petir yang berada di genggamannya.
Secara seksama diperhatikannya tangkai pedang yang
begitu indah, tangkai itu berwarna kuning kemerahan-
merahan seperti tembaga.
Jaka terkejut melihat batang pedang tiba-tiba
raib seiring dengan mengendurnya seluruh otot-otot
tubuhnya. Namun pikiran cerdik Jaka cepat menarik
kesimpulan, tubuh pedang yang berbentuk lidah petir
yang memendarkan sinar kemerahan, akan nampak ji-
ka seseorang yang memegang senjata pusaka itu men-
gerahkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Karena rasa penasaran akan keunikan Pedang
Petir, secara tak sengaja Jaka mengangkat senjata itu
melewati batas kepala. Keanehan seketika terjadi. Jaka
merasakan tubuhnya seperti diputar-putar oleh seben-
tuk kekuatan tak terlihat. Karena putaran tenaga aneh
itu semakin kuat, Jaka segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mengimbangi kekuatan gaib itu. Aki-
batnya....
Langit seketika berubah gelap, bunyi guntur
menggelegar terdengar di kejauhan. Beberapa saat la-
manya suara guntur terdengar samar, namun pada
saat berikutnya suara itu terdengar jelas, seperti mele-
dak-ledak di atas kepala Jaka.
Glarrr! Glarrr!
Prefs! Prefs!
Sinar keperakan yang tak lain lidah petir, me
nyambar berkali-kali, menerpa tubuh Jaka dan pedang
pusaka yang terangkat tinggi di atas kepala. Hawa pa-
nas dirasakan Jaka menjalar dari bagian ujung pe-
dang. Hawa panas yang membuat tubuh Jaka mengge-
letar terus merambat hingga ujung kakinya. Pada saat
itu tubuh Jaka merasakan sebuah kekuatan gaib dua
kali lipat besarnya. Dan ketika Jaka membawa turun
Pedang Petir yang teracung di atas kepala, sinar petir
pun memancar dari ujung pedang pusaka, dan langit
mendadak terang seperti semula.
"Aaah...."
Jaka menarik napas panjang, mengingat di-
rinya telah berhasil menjalankan amanat Nyi Selasih.
Seiring dengan tarikan napas yang terasa melonggar-
kan dada, mata Jaka tertumbuk pada sehelai sabuk
yang tergeletak di tanah.
Jaka menghampiri sabuk biru yang juga bagian
dari pusaka peninggalan almarhum Raja Petir. Diraih-
nya sabuk yang tergeletak itu dengan dada berdebar-
debar.
"Ah!"
Jaka terkejut menyaksikan keanehan yang ter-
jadi. Sewaktu pemuda itu mengenakan sabuk biru, sa-
buk itu seakan menelusup masuk ke dalam sabuk
kuning keemasan yang melingkar di pinggangnya. Dan
yang membuat Jaka lebih tercengang, warna sabuk
yang kini membelit pinggangnya berubah menjadi hi-
jau.
"Heh?!"
Rasa penasaran rupanya membuat Jaka segera
menggerakkan tangannya, meloloskan sabuk yang kini
berwarna hijau.
"Ah, sungguh menakjubkan kejadian ini," ucap
Jaka dalam hati. "Benar apa yang diucapkan Nyi Sela-
sih," lanjutnya dengan sepasang bola mata tak lepas
memandang wujud Sabuk Petir yang kini berubah
berwarna hijau.
"Aaakh...!"
Sebuah pekikan melengking tinggi ke angkasa,
menyadarkan Jaka akan keterpakuannya pada benda-
benda pusaka peninggalan orangtua Nyi Selasih.
Seketika itu juga pikirannya teringat pada Ma-
yang Sutera. Kekhawatiran pun menguasai hatinya.
Dengan gerakan cepat Jaka membelitkan sabuk hijau
pada pinggangnya, dan dengan memegang sebilah pe-
dang bernama Pedang Petir, Jaka berlari cepat ke arah
pertarungan berlangsung.
Lega hati Jaka melihat tubuh Mayang Sutera
berdiri tegak tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya.
Sementara seorang lelaki gagah yang dikenal Jaka se-
bagai anak buah Dewa Petir nampak ter-kulai lemah di
tanah. Dari mulut lelaki gagah yang bernama Barong
Merah, terlihat becak darah yang telah menghitam.
Pada tempat lain terlihat tiga mayat lelaki berpakaian
hijau, putih, dan coklat yang tak lain rekan Barong
Merah, yang jika bersatu berjuluk Empat Barong Mua-
ra Kulon.
Tatapan mata Jaka terus berkeliling meman-
dang empat lelaki penolong Mayang Sutera yang ten-
gah berdiri menatap tubuh Barong Merah. Ketika tata-
pan mata Jaka menangkap sosok tegap Yaya Mayada,
sebuah senyum pun tergurat di wajah Jaka. Senyum
yang mewakili ucapan Jaka yang bermaksud terimaka-
sih.
Mayang Sutera yang baru menyadari kehadiran
Jaka segera menghambur mendekati sosok muda yang
berjuluk Raja Petir.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Mayang
Sutera khawatir.
"Seperti yang kau lihat, Mayang. Sedikit pun
aku tak berkurang. Malah sebaliknya, aku menda-
patkan ini," jawab Jaka sambil mengacungkan Pedang
Petir.
"Hanya tangkainya saja, Kakang?" tanya Ma-
yang Sutera dengan bola mata terbelalak heran.
Jaka hanya tersenyum mendengar pertanyaan
gadis jelita itu. Kemudian tangan pemuda itu merang-
kul bahu gadis yang dikasihinya.
"Nanti ku jelaskan pertanyaanmu itu, Mayang.
Sekarang mari kita temui empat lelaki yang telah me-
nolongmu," ujar Jaka pelan.
"Ayo, Kakang," sambut Mayang Sutera seraya
melangkahkan kaki ke arah Yaya Mayada, murid uta-
ma Perguruan Partai Tameng Kencana.
"Terima kasih atas bantuan yang telah kalian
berikan," ucap Jaka setelah jarak mereka hanya ting-
gal setengah tombak. "Tanpa bantuan kalian aku tak
mungkin dapat menaklukkan Dewa Petir," lanjut Jaka.
Empat lelaki yang telah membantu Mayang Su-
tera menghadapi anak buah Dewa Petir hanya terse-
nyum mendengar perkataan merendah Jaka.
"Apa yang kami lakukan tidak berarti apa-apa,
jika dibandingkan dengan sepak terjang mu yang sela-
lu mencegah keangkaramurkaan," kilah lelaki berusia
sekitar empat puluh lima tahun yang mengenakan pa-
kaian putih.
"Terima kasih, Kisanak. Bolehkah aku tahu
siapa kalian yang telah berjasa melindungi kawanku
ini?" tanya Jaka kemudian.
"Panggil aku Ki Suryadika," jawab lelaki berpa-
kaian putih. "Sedang yang berpakaian kelabu murid-
muridku, Raja Petir. Nama mereka Tudawa dan Sata-
gi," lanjut Ki Suryadika.
"Aku Yaya Mayada, Raja Petir. Kau masih men-
gingat nama itu bukan?" terdengar suara lelaki bertu
buh tegap.
"Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang
Yaya," sahut Jaka sopan. "Terima kasih atas ban-
tuanmu," sambung Jaka.
"Ah, jangan berkata seperti itu, Raja Petir. Budi
baikmu pada perguruanku tidak setimpal dengan yang
kulakukan saat ini. Aku belum bisa membalas kebai-
kanmu itu," kilah Yaya Mayada.
Jaka tak menyanggah ucapan Yaya Mayada,
bola mata Jaka hanya merayapi wajah murid Pergu-
ruan Partai Tameng Kencana.
"Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki Ran-
tasanu, Kakang Yaya," ucap Jaka kemudian.
"Dengan senang hati akan kusampaikan salam
mu, Raja Petir," sahut Yaya Mayada.
Tatapan Mata Jaka kini beralih pada Ki Sur-
yadika dan dua muridnya.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas ban-
tuan kalian," ucap Jaka sambil menundukkan kepala.
"Mudah-mudahan aku dapat membalas budi baik yang
telah kalian berikan. Dan jika aku tak sempat, maka
orang lain yang akan membalas kebaikanmu, Ki Su-
ryadika," lanjut Jaka sopan.
"Apa yang kulakukan ini datang dari perasaan
hati yang ikhlas, Raja Petir," sambut Ki Suryadika.
"Terima kasih, Ki Suryadika. Aku dan kawanku
mohon permisi," tukas Jaka. "Masih ada keperluan lain
yang harus kami selesaikan."
"Silakan, Raja Petir. Silakan," tukas Ki Sur-
yadika.
Mata Jaka kembali menatap wajah Yaya Maya-
da
"Aku juga, Kakang Yaya, Ki Suryadika. Terima
kasih atas pertolongan kalian," tambah Mayang Sutera
dengan suara lembut.
Ki Suryadika dan kedua muridnya, serta Yaya
Mayada bersamaan menganggukkan kepala.
Maka saat itu juga Jaka dan Mayang Sutera
menghentakkan kaki mereka. Cepat dan ringan gera-
kan yang dilakukan Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
Hingga dalam sekejap mata, tubuh mereka sudah jauh
meninggalkan Ki Suryadika dan Yaya Mayada.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar