..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE SENGKETA PEWARIS TUNGGAL

Sengketa Pewaris Tunggal

 

SENGKETA PEWARIS TUNGGAL

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: Tuti S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Sengketa Pewaris Tunggal

128 hal.; 12 x 18 cm.


SATU


Suara gemericik air yang jatuh menimpa beba-

tuan bagai irama yang mampu membangkitkan gairah 

hidup. Uap putih yang menebarkan hawa dingin, terli-

hat bergerak dari juntaian tirai putih yang tak lain se-

buah air terjun.

Dari jarak beberapa tombak, nampak sosok le-

laki muda tengah memandangi jatuhnya air terjun 

yang berpencaran setelah menimpa bebatuan di ba-

wahnya. Cukup lama juga sosok muda berpakaian 

kuning keemasan memandangi tirai air yang bergan-

tian turun. Namun tidak lama kemudian tatapannya 

dialihkan ke sebuah anak sungai yang airnya ber-

sumber dari air terjun.

"Aaah...."

Desahan lembut pemuda berpakaian kuning 

keemasan, seolah memberi tahu bahwa dirinya memi-

liki kenangan pada benda yang sedang dipandangi. 

Benda itu adalah sebongkah batu besar.

"Apakah aku harus menempuh jalan itu lagi?" 

kata hati lelaki muda itu.

Ingatan pemuda itu bergerak mundur pada ma-

sa belasan tahun silam, ketika dirinya bersama.... Nyi 

Salasih (Baca serial Raja Petir dalam episode Pembala-

san Berdarah). Yang telah mengangkatnya sebagai mu-

rid, bersama-sama mencelupkan kaki ke air dingin 

yang menganak sungai. Gurunya itu menggeser se-

bongkah batu besar, hingga nampak sebuah jalan ra-

hasia berupa lubang kecil berukuran setengah batang 

tombak.

"Ah, aku tak mau menggunakan jalan rahasia," 

putus hati lelaki muda itu kemudian.


Mata lelaki muda itu kembali memandang air 

terjun yang meluncur cukup deras. Hatinya sudah 

mantap akan mengambil jalan dengan menerobos

kumpulan air yang membentuk dinding putih.

"Aku harus menerobos air terjun, seperti ketika 

aku pergi dulu," kata hati pemuda itu.

Pemuda itu kemudian membawa kakinya mun-

dur selangkah. Wajahnya seketika berubah tegang 

seiring dengan tarikan napas dan otot-otot tangannya 

kelihatan mengeras. Dan ketika kaki pemuda itu 

menghentak permukaan tanah dengan cukup kuat, 

maka.... 

"Hip!"

Laksana anak panah yang dilepaskan dari bu-

sur, tubuh pemuda yang terbalut pakaian kuning 

keemasan melesat cepat. Angin menderu mengiringi 

luncuran tubuh pemuda yang dilakukan dengan rin-

gan.

Prats...!

Air terjun yang membentuk dinding putih tersi-

bak, tanpa ada setitik air pun membasahi pakaian pe-

muda itu..., memang Jaka telah mengerahkan 

'Pukulan Jarak Jauh' saat tubuhnya melesat cepat. 

Pukulan itu dilancarkan untuk menahan luncuran air 

terjun yang bagai tirai putih.

"Hup!"

Tubuh pemuda itu mendarat ringan di bibir se-

buah ruangan yang mirip gua. Sesaat mata pemuda 

tampan itu berkeliling mengitari ruangan gua yang se-

perti tak berpenghuni.

"Eyaaang...."

Panggilan dalam hati yang diucapkan pemuda 

itu seperti bergema di dinding hati dan dinding gua.

"Selamat datang, Jaka Cucuku," suara seorang 

perempuan tua tiba-tiba memantul dari dinding gua.


Suara itu seperti menjawab panggilan dalam 

hati pemuda yang bernama Jaka. Ya pemuda itu ada-

lah Jaka Sembada yang di kalangan rimba persilatan 

berjuluk Raja Petir.

"Eyaaang...!"

Jaka segera menghambur, ketika dari kelokan 

ruangan yang mirip gua muncul sosok tubuh tua ber-

pakaian longgar putih bersih. Perempuan tua yang tak 

lain Nyi Selasih, menyambut langkah Jaka yang kini 

bersimpuh di hadapannya.

Dengan mengusap punggung pemuda itu, Nyi 

Selasih berkata pelan, "Firasat ku mengatakan kau 

akan datang hari ini, Jaka."

"Eyaaang...," Jaka mengangkat kepala dan me-

natap wajah Nyi Selasih lekat-lekat. "Sudah lama aku 

merindukan pertemuan ini," Lanjut Jaka pelan.

"Eyang pun begitu, Jaka. O ya. Apa sebelum 

kedatanganmu ke sini, kau telah mengunjungi Ki Legar 

lebih dahulu?" tanya Nyi Selasih.

Tersentak Jaka mendengar pertanyaan Nyi Se-

lasih. Mata pemuda itu semakin lekat menatap wajah 

perempuan tua di hadapannya.

Perempuan berusia delapan puluh tahun yang 

merupakan guru sekaligus nenek pemuda berpakaian 

kuning keemasan itu, mengernyitkan dahi. Nyi Selasih 

merasa bingung dengan tatapan Jaka yang dirasa agak 

ganjil.

"Apa yang terjadi dengan Ki Legar, Jaka?" tanya 

Nyi Selasih sedikit bergetar. Batin perempuan tua itu 

seolah menangkap firasat tak baik yang me-nyangkut 

diri Ki Legar.

Jaka tidak segera menjawab pertanyaan Nyi Se-

lasih. Kepala pemuda yang berjuluk Raja Petir itu ter-

tunduk lesu. Perlahan kepala Jaka terangkat setelah 

sesaat menunduk. Tatapan matanya kini menusuk lu


rus bola mata tua Nyi Selasih,

"Eyang Legar telah tiada, Nyi," ucap Jaka pa-

rau.

Terkejut bukan main Nyi Selasih mendengar 

perkataan pemuda di hadapannya yang telah dianggap 

sebagai cucu. Seluruh permukaan wajahnya memanas. 

Namun perempuan tua yang telah matang pengalaman 

itu menyembunyikan rasa terkejutnya. Nyi Selasih se-

gera memegang bahu Jaka dan mengangkatnya sedi-

kit. Pemuda itu pun mengerti gerakan yang dilakukan 

Nyi Selasih sebuah isyarat untuknya agar beranjak 

bangkit, maka Jaka segera berdiri.

"Kematian merupakan hal yang wajar, Jaka," 

tukas Nyi Selasih sambil melangkah memasuki ru-

angan gua lebih dalam. "Apa yang dialami Ki Legar, 

pasti akan kita alami pula walaupun kita tidak pernah 

tahu kapan ajal akan datang. Entah Eyang yang lebih 

tua akan dijemput lebih dulu atau kau yang muda, 

Jaka. Semua itu rahasia sang Pencipta Buana ini,"

"Aku tak pernah mengingkari ajal manusia, 

Eyang. Aku hanya menyayangkan kematian Eyang Le-

gar yang seperti itu, sangat mengenaskan keadaan-

nya," kilah Jaka menanggapi ucapan Nyi Selasih yang 

sarat dengan kebijakan. "Eyang Legar mati dibantai, 

Eyang," lanjut Jaka.

"Itu hukum alam untuk Ki Legar, Jaka," bantah 

Nyi Selasih. "Hukum alam akan bicara sesuai dengan 

kenyataannya. Kalau manusia menabur biji kacang, 

maka akan tumbuh pohon kacang. Kalau ada yang 

tumbuh dalam bentuk lain, itu semata karena kekua-

saan sang Pencipta Jagat. Dan ini merupakan kenya-

taan yang tidak dapat dibantah lagi. Sama halnya den-

gan cara kematian Ki Legar yang menurutmu menge-

naskan. Karena sebelum masa tobatnya, Ki Legar telah 

sering berbuat hal yang mengenaskan seperti itu. Itu


hukum alam, Jaka. Sebuah hukum sebab akibat yang 

mau tak mau harus diterima Ki Legar," lanjut Nyi Sela-

sih panjang lebar.

Jaka merasa terpukul dengan ucapan bijak 

yang keluar dari mulut perempuan tua berpakaian 

longgar putih itu.

"Aku telah melenyapkan orang-orang yang me-

newaskan Eyang Legar, Eyang," ujar Jaka.

"Aaah...."

Nyi Selasih menarik napas panjang mendengar 

ucapan Jaka.

"Atas dasar apa kau membunuh mereka, Ja-

ka?" hati-hati pertanyaan yang dilontarkan Nyi Selasih.

"Kalau aku menyingkirkan mereka dengan da-

sar bara api dendam, Eyang Legar tidak akan mengi-

zinkan ku, Eyang. Eyang Legar tak setuju aku memba-

las kematiannya. Tapi karena yang kulakukan meru-

pakan sebuah kewajiban untuk mencegah sepak ter-

jang mereka yang sangat keji, maka Eyang Legar tidak 

berkeberatan," jelas Jaka mantap.

"Eyang pun setuju kalau kau melakukannya 

demi memenuhi kewajiban sebagai seorang pendekar, 

yang bertugas melindungi orang-orang lemah dan 

memberantas segala bentuk keangkara-murkaan," 

timpal Nyi Selasih sambil membimbing langkah Jaka 

memasuki ruang dalam gua.

"Terima kasih, Eyang."

"Jaka. Ada sesuatu yang hendak Eyang bicara-

kan denganmu," ucapan Nyi Selasih.

"Masalah apa, Eyang?"

"Lebih baik kita bicarakan di dalam, Jaka. 

Mayang Sutera juga perlu tahu," jawab Nyi Selasih.

Terkejut Jaka, mendengar ucapan Nyi Selasih 

yang menyebut nama seorang perempuan.

"Mayang Sutera...? Siapa dia?" kata hati Jaka.


"Gadis itu cantik, Jaka. Seperti ibumu di waktu 

muda. Mayang Sutera berwatak lembut dan penyabar," 

ucap Nyi Selasih.

Jaka merasa tidak enak mendengar ucapan Nyi 

Selasih. Pemuda itu tidak ingin Nyi Selasih menyangka 

dirinya seperti lelaki lain, yang mudah tergiur kecanti-

kan seorang perempuan.

"Siapa Mayang Sutera, Eyang?" tanya Jaka 

mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Nanti juga kau tahu, Jaka. Namun yang pasti 

Mayang Sutera cantik," jawab Nyi Selasih menggoda.

"Ah, kenapa hal itu yang lebih dahulu Eyang 

beri tahukan?" tanya Jaka.

"Kau tak suka melihat gadis cantik?" goda Nyi 

Selasih makin jauh.

Jaka hanya melempar pandangannya ke tempat 

lain ketika mendengar pertanyaan Nyi Selasih.

"Awas kepalamu terbentur batu, Jaka," ujar Nyi 

Selasih mengingatkan.

Jaka langsung bergerak menghindar mende-

ngar peringatan itu. Rupanya pemuda itu tidak me-

nyadari mereka sudah tiba di kelokan sebelah kanan 

gua.

"Belum apa-apa kau sudah melamun, Jaka. 

Pasti kau sedang membayangkan kecantikan Mayang 

Sutera," goda Nyi Selasih lagi.

"Ah, Eyang," gumam Jaka pelan.

"Itu Mayang, Jaka," tunjuk Nyi Selasih ke arah 

kanan sudut ruangan.

Jaka mengikuti arah telunjuk Nyi Selasih yang 

menunjuk ke suatu tempat. Dan memang benar, pada 

satu sisi ruangan yang ditunjuk Nyi Selasih, tengah 

duduk seorang gadis cantik berpakaian jingga. Kulit 

gadis itu yang putih bening, sangat cocok dengan war-

na pakaian yang dikenakan. Dan bentuk wajahnya


yang tirus sangat serasi dengan rambut sepunggung 

yang dikepang kelabang.

"Mayang, kemarilah," panggil Nyi Selasih sete-

lah membiarkan Jaka menatap keberadaan dara cantik 

berpakaian jingga.

Mayang Sutera nampak terkejut, menyadari 

kehadiran Nyi Selasih bersama seorang pemuda tam-

pan berpakaian kuning keemasan. Mayang Sutera su-

dah dapat menduga lelaki muda yang bersama Nyi Se-

lasih adalah Jaka Sembada, namun tak urung dirinya 

terpukau juga menyaksikan sosok yang berjuluk Raja 

Petir.

"Pemuda ini Kakang Jaka yang selalu Eyang ce-

ritakan padamu, Mayang," ujar Nyi Selasih pada 

Mayang Sutera yang sudah berdiri di sebelah kanan-

nya.

Mata Mayang Sutera seketika meneliti sekujur 

tubuh Jaka. Dan ketika tatapan mata pemuda itu me-

mergoki perbuatannya, Mayang Sutera segera menun-

dukkan kepala dengan rasa malu.

"Betulkan Eyang tidak berbohong, Mayang? Ja-

ka memang tampan seperti yang selalu Eyang cerita-

kan padamu," ucap Nyi Selasih membuat wajah 

Mayang Sutera tersipu merah.

"Ah, Eyang....," desah Mayang Sutera malu.

"Ayolah, kalian jangan ragu-ragu untuk berja-

bat tangan," ucap Nyi Selasih lagi.

Mayang Sutera menundukkan kepala semakin 

dalam, sedang Jaka melakukan hal yang sebaliknya. 

Matanya menatap wajah keriput Nyi Selasih.

"Sebaiknya memang lelaki yang memulainya, 

Jaka," saran Nyi Selasih.

Jaka segera mengulurkan tangan, meski agak 

kaku.

Melihat tangan terulur, Mayang Sutera ragu-ra


gu menyambutnya. Tapi karena dirinya tak ingin men-

dengar godaan Nyi Selasih, maka segera disambutnya 

uluran tangan Jaka.

Geletar aneh seketika dirasakan Mayang Sutera 

ketika telapak tangannya tergenggam erat telapak tan-

gan Jaka. Geletar aneh itu terus masuk ke dalam da-

danya, hingga gadis cantik berpakaian jingga itu mera-

sa dadanya berdebar hebat. Namun anehnya, debar 

jantung yang sanggup membuat sekujur tubuhnya 

bersimbah peluh terasa nikmat.

Apa yang dirasakan Mayang Sutera saat bersa-

laman, rupanya dialami pula oleh Jaka. Lelaki muda 

usia yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandin-

gannya itu, merasa jantungnya berdetak hebat. Suatu 

perasaan aneh tiba-tiba menelusup masuk ke dalam 

hatinya dan mengisi tempat kosong di situ.

"Ehm!"

Sebuah deheman lembut Nyi Selasih semakin 

membuat perasaan Mayang Sutera dan Jaka bertam-

bah tidak menentu. Gambaran itu terlihat jelas dari 

wajah Mayang Sutera yang bersemu merah bagai ke-

piting rebus.

Tetapi tidak demikian dengan Jaka, lelaki muda 

usia yang berjuluk Raja Petir terlalu pandai me-

nyembunyikan perasaan. Dengan telapak tangan ma-

sih menggenggam erat telapak tangan Mayang Sutera, 

Jaka menyebutkan namanya.

"Namaku Jaka," ucap Jaka mantap. "Siapa na-

mamu?!"

"Aku Mayang, Kakang," jawab dara cantik ber-

pakaian jingga. "Mayang Sutera."

Jaka menatap lekat wajah Mayang Sutera. Tak 

disangka, gadis cantik dengan rambut dikuncir kela-

bang membalas tatapannya. Seketika itu juga dua ta-

tapan mata penuh kelembutan bertemu.


"Ehm!"

Nyi Selasih kembali berdehem, namun sesung-

guhnya hati perempuan berusia lebih dari delapan pu-

luh tahun itu bahagia tiada terkira. Niatnya untuk 

mempersatukan Jaka dan Mayang Sutera mulai me-

nemui titik terang.

"Ada sesuatu yang lebih penting kalian ketahui, 

daripada berpandang-pandangan seperti itu," tukas 

Nyi Selasih pelan.

Perempuan berusia lanjut dengan pakaian 

longgar putih itu, beranjak dari depan Jaka dan 

Mayang Sutera. Dan kedua muda-mudi yang baru per-

tama berjumpa itu segera mengikuti langkah Nyi Sela-

sih dengan perlahan-lahan.

"Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan 

kematian Eyang Legar, Eyang?" tanya Jaka tak sabar.

Perempuan tua berpakaian putih itu mengge-

lengkan kepala.

"Lalu apa, Eyang?"

"Warisan," jawab Nyi Selasih mantap,

"Warisan...?" ulang Jaka bergumam.

Nyi Selasih tersenyum melihat kelakuan Jaka. 

Dengan satu langkah mundur, perempuan tua itu me-

nempelkan tangannya ke punggung Jaka.

"Warisan, Jaka," ulang Nyi Selasih berbisik. 

"Warisan yang harus kau rebut keberadaannya."

"Maksud, Eyang?"


DUA



Nyi Selasih segera menceritakan perihal sosok 

sakti, yang puluhan tahun silam pernah malang melin-

tang di dunia persilatan. Masa almarhum Raja Petir tu-

rut menggeluti rimba keras demi mengusir tokoh-tokoh


keji golongan hitam.

"Jadi Sabuk Petir yang kumiliki sekarang belum 

lengkap keberadaannya, Eyang?" ucap Jaka mene-

gaskan.

Nyi Selasih menganggukkan kepala.

"Sabuk Petir berwarna kuning keemasan itu 

sebenarnya memiliki warna asli hijau, Jaka. Kalau kau 

mampu merebut Sabuk Petir warna biru dari tangan 

cucu Ki Durja Kelada, lalu kau persatukan dua sabuk 

berwarna berbeda itu, maka Sabuk Petir akan berubah 

hijau. Tapi merebut Sabuk Petir dari tangan cucu Ki 

Durja Kelada bukan persoalan ringan, karena bukan 

tidak mungkin Ki Durja Kelada telah menurunkan se-

bagian dari seluruh kesaktiannya pada penerus yang 

akan muncul sebagai penguasa rimba persilatan. Itu 

adalah cita-citanya yang tak pernah terwujud ketika 

almarhum ayahku masih hidup," papar Nyi Selasih 

panjang lebar.

"Apakah Ki Durja Kelada saat ini masih hidup, 

Eyang?" tanya Jaka.

"Entahlah, namun yang jelas Eyang belum 

mendengar berita kematiannya. Kalau pun masih hi-

dup, usianya tentu sudah terlalu renta untuk turut 

meramaikan rimba persilatan saat ini. Itu sebabnya le-

laki itu memunculkan cucunya untuk menguasai rim-

ba persilatan seperti dicita-citakannya dulu," jelas Nyi 

Selasih.

Jaka termenung sejenak mendengar penjelasan 

Nyi Selasih, pikirannya menerawang mencari gamba-

ran sosok renta Ki Durja Kelada dan cucunya yang 

mungkin memiliki kesaktian sama.

"Terus terang Eyang katakan, Eyang tidak tahu 

kapan Ki Durja Kelada memunculkan cucunya untuk 

meneruskan cita-citanya menguasai rimba persilatan. 

Namun dari kejadian yang menimpa Mayang, Eyang


bisa menyimpulkan cucu Ki Durja Kelada sudah turun 

gunung," sambung Nyi Selasih seraya menatap wajah 

Mayang Sutera.

Jaka juga ikut memandang wajah Mayang Su-

tera. Tatapan Jaka diartikan Nyi Selasih sebagai suatu 

keingintahuan, atas kejadian yang dialami gadis ber-

pakaian jingga.

"Tiga purnama setelah kepergianmu, Eyang 

memutuskan tidak akan meninggalkan tempat ini. 

Eyang melakukan kewajiban pada sang Pencipta Alam 

Raya. Seluruh jiwa dan ragaku, Eyang serahkan kepa-

daNya. Namun kenyataannya, panggilan lain yang tak 

kalah penting membuat Eyang hams meninggalkan 

tempat ini. Naluri Eyang mengatakan, Eyang harus 

berbuat sesuatu seperti yang pernah dilakukan Ki Le-

gar.

Eyang menuruti panggilan hati nurani itu, dan 

ternyata Eyang menjumpai sebentuk keangkara-

murkaan yang dilakukan beberapa lelaki yang memiliki 

kesaktian tinggi. Mereka melakukan pembantaian pa-

da sebuah perguruan yang kemudian Eyang ketahui 

bernama Gelang Emas. Namun kiranya sang Pemeliha-

ra Jagat hanya mengizinkan Eyang menyelamatkan se-

lembar nyawa, selebihnya Eyang tak bisa berbuat apa-

apa."

"Dan orang yang berhasil diselamatkan itu Ma-

yang Sutera?" potong Jaka.

"Dugaanmu tepat, Jaka," sahut Nyi Selasih.

"Lalu siapa lelaki yang telah membuat bencana 

di perguruan Gelang Emas, yang menewaskan seluruh 

penghuninya?" selidik Jaka.

"Karena Eyang baru sekali bertemu dengan me-

reka, tentu Eyang tidak mengenalinya. Namun dari ce-

rita Mayang, Eyang dapat menyimpulkan salah satu 

dari mereka adalah cucu Ki Durja Kelada," jelas Nyi


Selasih.

"Cucu Ki Durja?" ulang Jaka Sembada dalam 

hati.

"Yang menambah kuat kesimpulan Eyang ada-

lah pemberitahuan Mayang Sutera akan julukan salah 

seorang dari mereka, yakni Dewa Petir," tambah Nyi 

Selasih menegaskan.

"Dewa Petir?!" ulang Jaka terkejut.

"Pemuda itu sebaya denganmu, Kakang Jaka. 

Dan berpakaian serba biru serta mengenakan sabuk 

biru," ucap Mayang Sutera menambahkan. "Sabuknya 

dapat menimbulkan seberkas sinar keperakan bagai 

sambaran petir. Itu yang menyebabkan ayahku tak 

mampu menandingi kesaktiannya, begitu juga orang-

orang perguruan Gelang Emas. Sabuk biru yang mam-

pu menciptakan lontaran kilat bagai petir itu membuat 

semua tak berkutik. Apalagi ketika pemuda yang men-

gaku berjuluk Dewa Petir mengeluarkan sebilah pe-

dang pusaka yang dina-makan 'Pedang Petir'. Seluruh 

penghuni Perguruan Gelang Emas tak mampu berbuat 

apa-apa. Pedang Petir pemuda yang berjuluk Dewa Pe-

tir begitu menggiriskan. Setiap satu jengkal pedang 

pusaka itu bergerak dari tempatnya, maka beberapa 

nyawa orang perguruan Gelang Emas dapat dipastikan 

melayang. Sebetulnya nasibku juga seperti mereka, ka-

lau saja Eyang Selasih tidak segera menyambar tu-

buhku dan membawa lari ke tempat ini," papar 

Mayang Sutera sejelas-jelasnya.

"Ada urusan apa antara Perguruan Gelang 

Emas dengan lelaki yang mengaku berjuluk Dewa Pe-

tir, hingga pemuda itu melakukan kekejian begitu ru-

pa?" tanya Jaka sambil menatap tajam wajah Mayang.

"Setahuku ayah tak punya urusan apa-apa de-

ngan Dewa Petir, apalagi menurut ayah dirinya baru 

pertama kali bertemu dengan pemuda yang mengaku


berjuluk Dewa Petir. Namun dari mulut Dewa Petir aku 

sempat mendengar, bahwa tujuan perbuatannya itu 

untuk mengacau kehidupan rimba persilatan golongan 

putih dan memancing seorang lelaki muda yang berju-

luk Raja Petir," jawab Mayang Sutera mantap.

"Memancingku?" ulang Jaka Sembada dengan 

tatapan mata dialihkan ke wajah Nyi Selasih.

"Dugaanku pemuda itu masih ingin memiliki 

pusaka Raja Petir yang telah kau warisi, Jaka," jelas 

Nyi Selasih seolah mengerti arti tatapan Jaka.

"Kalau begitu aku memang harus berhadapan 

dengan Dewa Petir, Eyang," tukas Jaka Sembada.

"Tentu saja, Jaka. Tetapi tugasmu bukan hanya 

merebut pusaka mendiang ayahku yang telah dicuri Ki 

Durja Kelada, tapi juga harus menghentikan sepak ter-

jang cucu Ki Durja yang bercita-cita mengacaukan 

persilatan golongan putih," sahut Nyi Selasih.

Jaka menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam. 

Sebenarnya pemuda itu ingin tahu lebih jauh menge-

nai Ki Durja Kelada. Apa hubungannya dengan ayah 

kandung Nyi Selasih? Untuk apa Ki Durja mencuri 

benda-benda pusaka milik ayah Nyi Selasih? Dan 

mengapa Sabuk Petir terdiri dari dua bagian?

Tetapi Jaka hanya menyimpan rasa ingin ta-

hunya dalam hati. Namun pemuda itu tetap berharap, 

semuanya akan terjawab tanpa harus meminta penje-

lasan secara langsung.

"Pada dasarnya Ki Durja lelaki yang baik. Lelaki 

itu teman sepermainan ayah. Hingga ayah menaruh 

kepercayaan penuh padanya. Juga ketika ayah menge-

tahui hubungan Ki Durja dengan tokoh sakti golongan 

hitam yang berjuluk Hantu Lembah Gersang, sedikit 

pun kepercayaan ayah padanya tidak berubah. Namun 

ketika ayah menyadari pedang pusaka dan pasangan 

sabuk kuning raib dari tempatnya, barulah ayah per


caya Ki Durja telah terpengaruh Hantu Lembah Ger-

sang," papar Nyi Selasih seperti mampu membaca per-

tanyaan yang terpendam di hati Jaka.

"Lalu mengapa sabuk pusaka itu dapat terpisah 

begitu rupa, Eyang?" tanya Mayang Sutera.

Jaka senang sekali mendengar pertanyaan yang 

dilontarkan Mayang Sutera. Dengan demikian, perta-

nyaan yang sengaja dipendamnya kini akan menemu-

kan jawabannya.

"Sabuk Petir memang terdiri dari dua bagian, 

Mayang. Satu berwarna biru dan yang satunya lagi 

kuning. Jika seseorang ingin memiliki ilmu Sabuk Pe-

tir, maka orang itu harus lebih dulu menguasai peng-

gunaan sabuk biru, baru setelah itu mempelajari sa-

buk kuning. Akan tetapi, Jika seseorang ingin lang-

sung mempelajari ilmu sabuk kuning, maka orang itu 

harus memiliki tenaga sakti lebih dahulu agar dapat 

menyesuaikan diri dengan perbawa yang ada pada Sa-

buk Petir itu. Namun bukan berarti sabuk kuning lebih 

ampuh dari sabuk biru. Keduanya mempunyai keam-

puhan sama. Hanya cara penguasaannya harus dari 

sabuk biru terlebih dahulu," jelas Nyi Selasih lagi.

Perempuan berusia lanjut yang mengenakan 

pakaian longgar putih, bangkit dari duduknya seraya 

menarik napas dalam-dalam.

"Yang menjadi kekhawatiran Eyang adalah Pe-

dang Petir yang kini berada di tangan Dewa Petir. Ka-

lau tenaga dalamnya telah mencapai titik sempurna, 

ditambah dengan penguasaan jurus-jurusnya yang 

dahsyat, Eyang tidak yakin kau dapat merebut pusaka 

itu tanpa harus bekerja keras menguras tenaga. Dewa 

Petir bukan lawan yang ringan untukmu, Jaka. Namun 

ada satu keuntungan yang telah tergenggam di tan-

ganmu," Nyi Selasih sengaja menghentikan perkataan-

nya untuk memancing perubahan diri Jaka.


"Keuntungan apa, Eyang?" tanya Jaka ingin ta-

hu.

"Betul, Eyang. Mayang juga pingin tahu," tam-

bah gadis berpakaian jingga.

"Jaka memiliki kekuatan tenaga suci, karena 

berada pada pihak yang benar dan berhak atas wa-

risan almarhum Raja Petir," jawab Nyi Selasih.

"Ah, mudah-mudahan Kakang Jaka mampu 

menandingi Dewa Petir, Eyang. Dia harus menebus 

kematian orangtua ku dan runtuhnya Perguruan Ge-

lang Emas," ucap Mayang Sutera sedikit melontarkan 

kegeramannya.

"Tidak baik mendendam seperti itu, Mayang," 

cegah Nyi Selasih.

"Tapi orang-orang seperti Dewa Petir memang

harus disingkirkan, Eyang. Agar tidak selalu membuat 

keonaran," sangkal Mayang Sutera.

Nyi Selasih tak menimpali ucapan Mayang Su-

tera, matanya kini beralih pada Jaka Sembada.

"Tinggallah di sini untuk beberapa malam, Ja-

ka. Perdalam semua yang kau miliki. Dan coba cipta-

kan jurus-jurus yang mungkin akan berguna untuk 

menghadapi cucu Ki Durja Kelada. Eyang ingin kau 

berhasil merebut hak waris itu," pinta Nyi Selasih.

Jaka hanya menundukkan kepala mendengar 

ucapan Nyi Selasih. Dan ketika kepalanya terangkat, 

tokoh muda yang berjuluk Raja Petir berkata perlahan,

"Doakan aku, Eyang. Semoga apa yang kita ha-

rapkan mendapat restu sang Pemelihara Alam Semes-

ta."

Nyi Selasih menganggukkan kepala mendengar 

tutur kata lembut Jaka.

***


Sudah dua belas malam Jaka menetap di ke-

diaman Nyi Selasih. Selama kurun waktu dua belas 

malam itu, Jaka tak pernah melewatkan hari-harinya 

untuk tidak memperdalam ilmu-ilmu kesaktian yang 

dimiliki.

Ditemani seorang gadis cantik berpakaian jing-

ga, lelaki muda yang berjuluk Raja Petir terus menga-

sah ketajaman ilmunya. Dan pada hari yang ketiga be-

las, berkat kepekaan dan kecemerlangan otaknya, Ja-

ka mampu menciptakan empat jurus yang cukup dah-

syat

"Aku ingin kau memainkan empat jurus cip-

taanmu secara beruntun, Kakang," pinta Mayang Sute-

ra. "Bukankah besok kita akan meninggalkan tempat 

ini, meninggalkan Eyang Selasih? Jadi Kakang tak 

punya waktu lagi untuk memperagakan jurus-jurus 

yang dahsyat itu," lanjut Mayang Sutera sambil meme-

gang punggung tangan Jaka.

"Tanpa kau minta pun aku akan memainkan-

nya, Mayang," jawab Jaka sambil membalas cekalan 

tangan gadis cantik berpakaian jingga.

"Ayolah, Kakang. Aku sudah tak sabar menyak-

sikan jurus-jurus yang akan mampu menyingkirkan si 

Keji Dewa Petir!" ketus ucapan yang keluar dan mulut 

Mayang Sutera.

"Baik!" 

"Hup!"

Jaka segera melejit menjauhi tempat duduk 

Mayang Sutera. Gadis cantik berpakaian Jingga pun 

melakukan hal yang sama. Gerakannya yang ringan 

dan cepat dilakukan untuk memperlebar jarak dengan 

Jaka yang hendak memperagakan jurus-jurusnya yang 

dahsyat. Dalam jarak tak kurang dari dua belas tom-

bak, Mayang Sutera menyaksikan dengan tatapan ma-

ta tak berkedip setiap gerakan yang dilakukan Jaka.


Gadis cantik dengan rambut sebahu dikepang 

kelabang, sangat kagum dengan jurus baru ciptaan 

Jaka yang diberi nama jurus 'Menggiring Awan' Pada 

jurus itu Jaka mengandalkan kecepatan geraknya yang 

sukar diikuti tatapan mata biasa. Sementara kedua 

tangannya yang terpentang lebar, didukung oleh kedu-

dukan kaki pada kuda-kuda sejajar. Kalau disaksikan 

secara sepintas, jurus 'Menggiring Awan' nampak begi-

tu sederhana. Namun di balik kesederhanaan itu, ter-

simpan terobosan-terobosan dahsyat dari perubahan 

kecepatan gerak tangan dan kaki Jaka. Setiap peruba-

han gerak selalu diikuti dengan pengerahan tenaga da-

lam sempurna.

Demikian pula dengan jurus-jurus lain yang di-

peragakan lelaki muda berpakaian kuning keemasan. 

Jurus 'Petir Memangsa Elang', 'Lejitan Lidah Petir' dan 

'Hembusan Maut' diperagakan Jaka dengan sempurna. 

Dan itu cukup membuat gadis berpakaian jingga ber-

tambah yakin sepak terjang Dewa Petir tak akan ber-

tahan lama.

"Jurus-jurusmu sangat dahsyat, Kakang. Aku 

yakin Dewa Petir tak akan bertahan lama pada keke-

jiannya," ucap Mayang Sutera sambil menyeka peluh 

yang memenuhi wajah tokoh muda berpakaian kuning 

keemasan.

"Aku juga berharap demikian, Mayang," balas 

Jaka sambil menatap wajah gadis di hadapannya.

Mayang Sutera merasa risih melihat tatapan 

Jaka yang seperti itu.

"Tatapan mu nakal, Kakang," umpat Mayang 

Sutera sambil menundukkan kepala menekuri bagian

bawah pakaiannya.

"Karena kau cantik dan baik, Mayang," puji Ja-

ka polos.

Lelaki berpakaian kuning keemasan sesung


guhnya tak bermaksud melontarkan pujian, namun 

pemuda itu merasa ada kekuatan aneh yang mem-

buatnya tak mampu menahan ucapan itu. Mayang Su-

tera yang mendengar pujian Jaka semakin me-

nundukkan kepala. Sementara hawa panas dirasakan 

menjalari seluruh permukaan wajahnya. Seperti juga 

Jaka yang baru pertama kali memuji kecantikan seo-

rang gadis, Mayang Sutera pun baru pertama kali itu 

mendapat pujian yang didengarnya begitu tulus.

Sejenak dua insan berlainan jenis yang tengah 

dilanda sebentuk perasaan asing, sating membisu. 

Namun kebisuan itu mereka rasakan sebagai suatu 

kenikmatan yang tak ternilai.

Namun sayang, kenikmatan itu segera terusir 

ketika seorang perempuan tua berpakaian longgar pu-

tih datang dengan sebuah deheman, yang membuat 

Jaka dan Mayang Sutera menoleh seketika.

"Ehm!"


TIGA



Nyi Selasih perlahan menghampiri Jaka dan 

Mayang Sutera. Wajahnya yang tersungging seulas se-

nyum, menampakkan gurat ketuaan yang memancar-

kan sinar kebahagiaan yang dalam.

"Sebelum meninggalkan tempat ini, Eyang ha-

rap kalian memperagakan ilmu-ilmu kalian untuk be-

berapa jurus saja. Eyang ingin kalian berhadapan se-

perti menghadapi musuh, jangan ragu-ragu untuk sal-

ing menjatuhkan sesama kalian," ucap Nyi Selasih 

lembut.

"Maksud Eyang, Mayang akan pergi ke...."

"Mayang akan turut bersamamu meninggalkan 

tempat ini, Jaka," sahut Nyi Selasih memotong perka


taan Jaka.

Lelaki muda berpakaian kuning keemasan, ter-

pana mendengar ucapan perempuan tua yang telah di-

anggapnya sebagai pengganti orangtua, Eyang dan 

guru.

"Eyang ingin Mayang menemani pengemba-

raanmu, Jaka," jelas Nyi Selasih menyadarkan pemuda 

itu dari rasa terkejutnya.

Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sejenak 

memandang wajah keriput Nyi Selasih, dan pada saat 

berikutnya tatapan Jaka menelusuri wajah cantik 

Mayang Sutera.

"Jangan menganggap remeh kemampuan Ma-

yang Sutera, Jaka," ucap Nyi Selasih membuat Jaka 

terkejut. "Sebelum Mayang tinggal bersamaku, dia te-

lah berlatih selama sembilan tahun di bawah tempaan 

ayahnya di Perguruan Gelang Emas. Bisa kau bayang-

kan setinggi apa kemampuannya dalam ilmu silat. 

Apalagi setelah seluruh kemampuanku kuturunkan 

padanya. Kau pasti akan kerepotan menghadapi se-

rangan-serangan dahsyat Mayang," lanjut Nyi Selasih.

"Ilmu silat yang kau miliki pasti sudah menca-

pai tingkat tinggi, Mayang," ujar Jaka menimpali ucap-

an Nyi Selasih.

"Kau lihat sendiri, Kakang," sahut Mayang Su-

tera.

"Ayo ambil senjatamu, Mayang. Dan gempur 

kakang mu habis-habisan. Jangan beri kesempatan," 

perintah Nyi Selasih,

Mayang Sutera segera beranjak menuju tempat 

di mana Jaka melihatnya sedang duduk, pertama kali

"Kau sudah slap, Kakang?" tanya Mayang Sute-

ra setelah mengambil senjatanya yang berupa sebuah 

payung kecil, terbuat dari lempengan logam kuning.

"Aku siap, Mayang," sahut Jaka sambil melang


kah mundur satu langkah.

"Kita mulai sekarang, Kakang. Kuharap kau 

bersedia mengeluarkan jurus-jurus ciptaanmu yang 

baru," pinta Mayang Sutera sambil mundur satu lang-

kah.

"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," putus Ja-

ka.

Gadis cantik berpakaian jingga yang diberi ju-

lukan Dewi Payung Emas oleh Nyi Selasih, segera 

membuat gerakan ke samping kiri. Tangan kirinya ter-

kepal, seolah mendapat dorongan kuat dari telapak 

tangan kanan yang memegang payung. Sementara se-

pasang kaki rampingnya bergerak ringan tanpa me-

nimbulkan suara.

"Tahan seranganku, Kakang. Hiaaa...!"

Tubuh gadis cantik itu melesat cepat. Gerakan 

yang dilakukan berkesan begitu ringan, namun mam-

pu menimbulkan suara cericit tajam dari telapak tan-

gan yang membentuk cakar.

Jaka bersikap tenang menghadapi serangan

Mayang Sutera yang tertuju pada lambung dan da-

danya. Namun bukan berarti pemuda itu meremehkan 

kemampuan gadis cantik asuhan Nyi Selasih. Jaka 

hanya ingin menunggu serangan Mayang Sutera sam-

pai pada jarak beberapa jengkal.

Wrut!

"Hup!"

Jaka segera berkelit ketika dua jengkal lagi se-

rangan Mayang Sutera merobek lambung dan da-

danya. Ringan dan sigap cara mengelak yang di-

lakukan lelaki muda yang berjuluk Raja Petir. Namun 

Mayang Sutera bukan gadis sembarangan, ketika Jaka 

dengan mudah mengelakkan serangan pertamanya, 

Mayang Sutera segera memberikan serangan susulan 

yang tak kalah cepat dan dahsyat.


"Baik. Seranglah aku lebih dahulu," ujar Jaka.

"Tahan seranganku, Kakang...!" Dewi Payung 

Emas bergerak ke kiri. Sementara, tangan kanannya 

yang memegang payung diayunkan ke depan.

Melihat ini, Raja Petir hanya bersikap tenang 

Pemuda itu menunggu serangan Mayang Sutera sampai 

pada jarak beberapa jengkal!

Sebuah sambaran tangannya tertuju ke pelipis 

Jaka dengan kecepatan tinggi.

"Hiaaa...!"

"Heh?!"

Jaka terkejut melihat gerakan tangan Mayang 

yang tiba-tiba saja sudah berada di depan wajahnya.


Tapi bukanlah Raja Petir jika dirinya gugup mengha-

dapi ancaman dahsyat itu, dengan menarik kepalanya 

ke belakang, cengkeraman dua telapak tangan Mayang 

Sutera yang terarah ke kiri dan kanan pelipisnya 

mampu dielakkan dengan sigap. Bahkan dalam kedu-

dukan tubuh melenting ke belakang, Jaka mampu 

memberikan serangan balasan dengan mencoba meno-

tok ulu hati Mayang Sutera.

"Uts!"

Mayang terkejut mendapatkan serangan yang 

tak terduga dari Jaka. Gadis cantik itu meloncat sebi-

sanya ke belakang, menghindari serangan Jaka.

Serangan kini diambil alih Jaka. Pemuda itu 

segera memperagakan jurus baru, hasil ciptaannya. 

Tubuh Jaka kini berada di udara dengan dua telapak 

tangan terarah ke depan, seperti gerakan terkaman 

burung elang, dan dua telapak tangan Jaka mencari 

sasaran dada dan kepala Mayang Sutera.

"Jaga seranganku, Mayang!"

"Hiyaaa...!"

Gadis cantik berpakaian jingga yang memang 

sudah menyaksikan jurus 'Petir Menyambar Elang' 

yang cukup dahsyat, segera memutar senjatanya yang 

berupa payung dan terbuat dari logam keras kuning. 

Payung yang masih kuncup itu berputar cepat hinggap 

menimbulkan deru keras.

Wruuuk! Wruuuk!

Jaka yang tak menduga Mayang melakukan 

tangkisan dengan mempergunakan senjata, segera 

mengurungkan serangannya. Tetapi karena kecepatan 

serangan Jaka cukup cepat, maka pemuda itu kerepo-

tan sendiri. Lelaki berpakaian kuning keemasan itu 

menarik kembali tangannya, untuk menghindari ben-

turan dengan senjata Mayang Sutera yang diputar 

dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, sementara


tubuh Jaka yang berada di udara segera dilempar ke 

kanan. Setelah berguling di tanah tiga kali, dengan 

bertumpu pada telapak tangannya, Jaka melejit ringan 

ke udara dan kemudian mendarat dengan manis. 

"Hup!"

***

"Serang Jaka dengan senjatamu, Mayang!" pe-

rintah Nyi Selasih melihat Mayang Sutera berhasil 

mengelakkan serangan Jaka yang mempergunakan ju-

rus 'Petir Menyambar Elang'.

Mayang Sutera yang mendengar ucapan Nyi Se-

lasih, segera melaksanakan perintah nenek tua berpa-

kaian longgar putih itu.

Payung kuncup yang tadi dipergunakan untuk 

menangkis serangan Jaka, kini sudah terkembang. 

Nampak ruas-ruas payung berujung lancip bagai mata 

tombak. Dan dapat dipastikan ujung-ujung lancip itu 

dipergunakan sebagai senjata untuk menyerang.

Wrrrt...! Wrrrt...! Wrrrt...!

Payung kecil yang terbuat dari logam keras 

yang kini terkembang itu berputar cepat. Bunyi berge-

muruh mengiringi perputaran senjata yang kini tak 

nampak lagi wujud aslinya, hanya sinar kuning menyi-

laukan mata yang nampak melingkar-lingkar di depan 

dada Mayang Sutera. Sementara angin keras yang ke-

luar dari putaran senjata yang disertai pengerahan te-

naga dalam tinggi, mampu menerbangkan kerikil-

kerikil yang berserakan di sekitar arena pertarungan. 

Sebagian dari kerikil-kerikil itu meluruk deras ke arah 

Jaka.

"Gila!" gumam Jaka dalam hati. Lelaki muda 

yang menjadi lawan Mayang Sutera segera melakukan 

gerakan cepat menghindari terjangan kerikil-kerikil


yang terhalau putaran senjata gadis cantik itu. 

"Hiaaat..!"

Pada saat Jaka sibuk menghindari lontaran ke-

rikil-kerikil, Mayang Sutera segera menghentikan gera-

kan payungnya dan mengimbangi dengan lesatan tu-

buh ke arah Jaka. Lesatan tubuh yang cukup cepat 

dengan disertai tebasan kuat payung logam yang men-

garah ke leher Jaka, membuat lelaki berpakaian kun-

ing keemasan terhenyak sesaat

"Heh?!"

"Hip!"

Wruk!

Sambaran senjata Mayang Sutera lolos dari sa-

saran ketika tubuh Jaka melejit cepat dengan meng-

gunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Mayang Sutera 

yang sudah mengetahui kecepatan gerak jurus 'Lejitan 

Lidah Petir' mencoba mengimbangi dengan kecepatan 

gerak yang dimilikinya. Kembali tubuh gadis cantik 

berpakaian jingga mencelat ke arah Jaka. Payungnya 

yang terkembang, kembali ditebas ke bagian tubuh la-

wan yang mematikan.

Wruk!

"Hip!"

Jaka melejitkan tubuhnya untuk menghindari 

terjangan senjata Mayang Sutera yang dahsyat. Dan 

ternyata gerakan yang dilakukan Jaka lebih cepat dari 

sambaran payung kecil Mayang Sutra. Melihat seran-

gannya berhasil dielakkan Jaka, gadis cantik berambut 

kepang kelabang kembali melancarkan serangan-

serangan dahsyat. Tapi kali ini Mayang Sutera cukup 

berhati-hati melakukannya, sebab gadis itu tahu bah-

wa di balik gerakan-gerakan menghindar Jaka, ter-

sembunyi serangan balik yang tak kalah cepat dan 

dahsyatnya.

Dugaan gadis cantik berpakaian jingga memang


tak meleset sedikit pun. Ketika lelaki berpakaian kun-

ing keemasan berhasil menghindari serangannya den-

gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', pemuda 

itu segera mempertontonkan kebolehannya. Serangan 

balasan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar 

Elang' seketika terlihat. Tubuh Jaka yang berada di 

udara berbalik cepat dan meluruk ke arah Mayang Su-

tera dengan dua telapak tangan menyambar ke arah 

kepala dan dada. 

"Hup!"

Gadis cantik berpakaian jingga yang berjuluk 

Dewi Payung Emas segera melakukan loncatan cepat 

ke belakang, menghindari serangan yang seperti ter-

kaman seekor burung elang. Cepat dan manis cara 

menghindar yang dilakukan Mayang Sutera. Tubuhnya 

yang berada di udara berputaran dua kali, dan ketika 

mendarat payung kuningnya sudah berputaran meng-

hadang luncuran tubuh Jaka.

Wrrrt..!

Melihat Mayang Sutera kembali memainkan 

senjata andalannya, Jaka segera merubah jurus, hing-

ga tubuhnya mencelat ke belakang dengan mengerah-

kan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.

"Hop! 

Tubuh Jaka mendarat dengan manis sejauh li-

ma tombak dari hadapan gadis berambut panjang di-

kepang kelabang. Dan di samping kanan Jaka, kira-

kira dua setengah tombak, berdiri sosok tua Nyi Sela-

sih dengan wajah terulas senyum kebanggaan.

"Sungguh menakjubkan gerakan-gerakan yang 

kalian lakukan, indah namun berbahaya," puji Nyi Se-

lasih.

"Semua ini berkat Eyang juga," kilah Jaka me-

rendah.

"Benar, Kakang. Tanpa Eyang, kita bukan apa


apa," timpal Mayang Sutera.

"Jangan kalian lupakan kebesaran sang Pencip-

ta Semesta Alam ini," tukas Nyi Selasih memperin-

gatkan.

"Tentu saja tidak, Eyang," sahut Jaka.

"Syukur jika memang demikian," ucap Nyi Sela-

sih. "Sekarang beristirahatlah. Besok, sebelum fajar 

kalian harus sudah meninggalkan tempat ini," lanjut 

Nyi Selasih sambil menatap wajah Jaka dan Mayang 

bergantian.

Dalam hati, Nyi Selasih mengagumi keserasian 

Jaka dan Mayang Sutera. Ah, semoga mereka dapat 

mempertahankan kebersamaannya, bisik hati Nyi Se-

lasih.


EMPAT



Sebelum ayam berkokok, Mayang Sutera sudah 

terjaga dari tidurnya yang pendek, begitu juga Nyi Se-

lasih. Namun tidak demikian dengan Jaka, semalaman 

pemuda itu tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya 

bercampur aduk antara sosok lelaki muda yang berju-

luk Dewa Petir dan sosok gadis cantik jelita yang ber-

nama Mayang Sutera. Jaka tahu perasaan apa yang 

menjalari hatinya kini terhadap Mayang Sutera. Cinta. 

Ya, cinta. Apakah Mayang Sutera juga merasakan hal 

yang sama? tanya hati Jaka.

"Semalaman kau tidak tidur, Jaka. Apa yang 

kau pikirkan?" tanya Nyi Selasih sambil membetulkan 

letak rambut yang sudah memutih seluruhnya. "Kau 

memikirkan cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk Dewa 

Petir itu? Atau kau memikirkan...," Nyi Selasih meng-

gantung ucapannya, namun matanya yang melirik 

Mayang Sutera membuat kalimat yang menggantung


itu menjadi jelas maknanya. 

Jaka hanya menundukkan kepala mendengar 

ucapan perempuan tua itu, yang sangat tepat dengan 

perasaan hatinya.

"Mayang juga begitu, Jaka," lanjut Nyi Selasih 

kemudian. "Eyang lihat tidurnya begitu gelisah. Tak bi-

sa diam."

Mayang Sutera mendengar perkataan Nyi Se-

lasih, tidak dapat membantah kebenaran perkataan 

itu. Itu sebabnya gadis cantik berambut panjang dike-

pang kelabang memilih diam daripada mengomentari 

ucapan Nyi Selasih.

"Sekarang saatnya kau serahkan apa yang telah 

kau kerjakan berminggu-minggu ini, Mayang. Suruh 

Jaka mengenakannya, biar kakang mu bertambah ga-

gah dan tampan," perintah Nyi Selasih kemudian. 

Jaka terperangah mendengar ucapan Nyi Sela-

sih. Namun ketika melihat Mayang Sutera mengambil 

sesuatu dan membawa ke hadapannya, barulah Jaka 

mengerti maksud ucapan Nyi Selasih.

"Yang berwarna putih ini pakaian dalam, Ka-

kang. Sedang yang kuning keemasan lapisan luarnya," 

jelas Mayang Sutera sambil menunjukkan dua pakaian 

yang warnanya berbeda. "Pakaian yang dikhususkan 

untuk Kakang ini adalah hasil karya Eyang. Sedang 

aku hanya membantu menyulam nya sedikit," lanjut 

gadis cantik berpakaian jingga.

"Gadismu pandai merenda, Jaka," kilah Nyi Se-

lasih mendengar ucapan Mayang Sutera. "Gantilah pa-

kaianmu dengan yang baru," perintah Nyi Selasih.

Jaka tentu saja tak menolak satu pasang pa-

kaian yang disodorkan Mayang Sutera. Dan dengan 

mengambil tempat yang agak tersembunyi, Jaka men-

genakan pakaian hasil buatan dua perempuan yang 

memberikan perhatian lebih padanya.


"Wuaaah! Seperti pangeran saja kau, Cucuku," 

puji Nyi Selasih. "Seorang pangeran dan sekaligus seo-

rang pendekar," lanjut perempuan berpakaian putih 

dengan tatapan mata merayapi sekujur tubuh Jaka.

Sedangkan Mayang Sutera tak mampu berkata-

kata melihat perubahan diri Jaka. Di matanya penam-

pilan pemuda yang berjuluk Raja Petir ini luar biasa 

mempesona, begitu gagah dan tampan.

"Kakang mu bertambah gagah dan tampan, bu-

kan?" tanya Nyi Selasih pada Mayang Sutera. 

Gadis cantik berpakaian jingga tak menjawab 

pertanyaan Nyi Selasih, namun kepalanya terangguk 

sebagai tanda setuju dengan ucapan itu.

Sementara Jaka yang mengenakan pakaian ba-

ru yang berupa pakaian dalam terbuat dari bahan 

lembut berwarna putih dan pakaian luar berupa jubah 

longgar berwarna kuning keemasan, menjadi agak risih 

dengan ucapan Nyi Selasih dan anggukan kepala 

Mayang Sutera.

"Kau akan bertambah gagah jika berhasil me-

nyandang Pedang Petir yang berada di tangan Dewa 

Petir, Jaka," tambah Nyi Selasih.

"Semoga harapan Eyang direstui sang Penguasa 

Jagat ini," sambut Jaka pelan.

Nyi Selasih menatap wajah Jaka dalam-dalam, 

sebuah tatapan mata yang begitu sarat dengan kasih 

sayang. Tatapan seperti itu juga diberikan pada 

Mayang Sutera. 

"Sekarang kuizinkan kalian pergi meninggalkan 

tempat ini. Eyang harapkan kalian menjadi pasangan 

abadi yang selalu membela kebenaran dan mencegah 

kebatilan. Biarkan Eyang sendiri di tempat ini. Eyang 

ingin memberikan sisa hidup ini untuk sang Pencipta 

Makhluk dan Jagat Raya," pelan namun pasti ucapan 

yang keluar dari mulut Nyi Selasih.


"Eyang...."

Mayang Sutera tak mampu menahan rasa ha-

runya, mendengar ucapan perempuan tua yang telah 

menganggapnya sebagai cucu sendiri. Wajah gadis 

cantik itu dihiasi rona kemerahan. Selang beberapa 

lama kemudian, dari kelopak matanya mengalir bu-

tiran air mata membasahi pipinya yang berkulit putih 

halus.

"Eyang.... Sebenarnya tidak...."

"Jangan khawatirkan keadaan Eyang di sini, 

Mayang. Eyang tidak sendirian di tempat ini. Eyang 

yakin, bila Eyang ingin selalu dekat dengan sang Pe-

melihara Jagat Raya, maka Dia pun akan selalu dekat 

dengan Eyang. Karena itu, buanglah rasa khawatir 

yang ada di hatimu. Tugasmu sebagai orang muda 

yang memiliki kepandaian ilmu silat adalah hidup 

bermasyarakat, dan mengamalkan ilmu yang kau mili-

ki sebagai wujud pengabdianmu pada masyarakat, wu-

jud tenggang rasa dan wujud kewajiban," jelas Nyi Se-

lasih menyambung ucapan Mayang Sutera.

"Jika demikian, doakan kami agar selalu berada 

dalam lindungan sang Pencipta Alam Raya, dalam 

mengarungi rimba persilatan yang keras ini, Eyang," 

tukas Jaka dengan tatapan mata tertuju lurus ke wa-

jah Nyi Selasih.

"Doa Eyang akan selalu menyertai kalian," sa-

hut Nyi Selasih sambil menyentuh punggung Jaka. 

"Berangkatlah kalian sekarang, dan berpijaklah selalu 

pada kebenaran," ujar Nyi Selasih. 

"Eyang...."

Mayang Sutera berhambur, memeluk tubuh pe-

rempuan tua berpakaian longgar putih.

"Berangkatlah, Mayang. Jangan berkata apa-

apa lagi, jika hanya membuat hatimu berat dan sedih," 

pinta Nyi Selasih.


Mayang Sutera melepas pelukannya dan de-

ngan punggung tangan disekanya air mata yang men-

galir.

"Baiklah, Eyang. Kami pergi sekarang!" mantap 

ucapan yang keluar melalui bibir tipis Mayang Sutera.

"Begitu seharusnya ucapan seorang pendekar, 

tegas dan mantap," puji Nyi Selasih.

Terharu Mayang Sutera dan Jaka mendengar 

ucapan Nyi Selasih, mereka segera membungkukkan 

tubuh sebagai tanda hormat yang tinggi.

"Kami berangkat sekarang, Eyang," putus Jaka 

seraya bangkit diikuti Mayang Sutera.

Beberapa saat lamanya mata Jaka menatap wa-

jah Nyi Selasih. Tapi pada saat berikutnya, tubuh lela-

ki yang terbalut jubah kuning keemasan sudah mele-

sat cepat bagai kilat. Begitu juga dengan Mayang Sute-

ra. Gadis cantik berpakaian jingga melakukan gerakan 

lari yang ringan dan cepat. Dua bayangan kuning dan 

jingga pun berkelebat cepat menembus tirai putih yang 

melindungi mulut gua dari pandangan luar. 

***

Sang Surya sebentar lagi muncul dari pera-

duan. Terlihat dengan munculnya cahaya kemerah-

merahan pada kaki langit sebelah timur. Sementara di 

mulut Desa Serungsing, nampak dua sosok tubuh 

berpakaian kuning keemasan dan jingga sedang berja-

lan perlahan.

"Ke mana tujuan pertama kita, Kakang?" tanya 

gadis cantik berpakaian jingga. 

"Aku ingin mengunjungi Perguruan Hijau Ke-

muning lebih dahulu, Mayang. Tapi kalau kau punya 

rencana lain, kita lihat saja mana yang lebih baik," ja-

wab Jaka.


"Kalau aku boleh tahu, siapa yang kau kunjun-

gi di Perguruan Hijau Kemuning, Kakang?" pinta 

Mayang Sutera halus. 

Jaka menatap wajah gadis cantik yang menjaja-

ri langkahnya. Seulas senyum menghias wajahnya se-

belum Jaka menjawab pertanyaan Mayang Sutera.

"Ibuku, adik kandungku, paman ku, dan yang 

lainnya," Jawab Jaka sedikit melucu.

"Yang lainnya siapa, Kakang?" tanya Mayang 

Sutera bernada sumbang.

Jaka tahu arti nada sumbang yang timbul dari 

pertanyaan Mayang Sutera. Niat untuk menggoda ga-

dis cantik di sebelahnya muncul seketika.

"Yang lainnya tentu saja penghuni Perguruan 

Hijau Kemuning, Mayang," jawab Jaka. "Termasuk Se-

runi," lanjut Jaka. "Cukup lama aku tak melihat wa-

jahnya."

Semburat rona merah seketika menghiasi wa-

jah Mayang Sutera, ketika didengarnya sebuah nama 

yang begitu bagus. Mayang Sutera segera me-

nundukkan kepala, menekuri tanah.

"Seruni pasti cantik," ucap Mayang Sutera, dan 

getaran suara gadis itu membuat Jaka terharu. 

"Seruni memang cantik, Mayang," tegas Jaka. 

Mayang semakin menundukkan kepala. "Kau kenapa, 

Mayang?" selidik Jaka. Hatinya jadi tak enak melihat 

sikap gadis di sebelahnya yang kelihatan kecewa.

Mendengar pertanyaan Jaka, Mayang Sutera 

segera mengangkat kepala.

"Ah, tidak apa-apa, Kakang," jawab Mayang Su-

tera berbohong, padahal di dadanya ada gemuruh yang 

dahsyat ketika Jaka memuji kecantikan Seruni

"Mayang, Seruni anak kandung Paman Terala, 

berarti masih saudaraku. Memang tak salah jika aku 

menjalin hubungan dengan Seruni, maksudku hubun


gan antara lelaki dan perempuan. Tapi itu hal yang 

mustahil kulakukan, karena aku telah menganggap 

Seruni seperti Soraya, adik kandungku," jelas Jaka. 

"Kakang...."

"Kau punya tujuan lain, Mayang?" potong Jaka 

hati-hati. 

Mayang Sutera menatap wajah Jaka.

"Kakang tidak keberatan jika kita lebih dulu 

mengunjungi Perguruan Gelang Emas?" pinta Mayang 

Sutera.

"Kenapa harus keberatan? Asal tujuan kita ke 

sana tidak untuk seorang pemuda yang...," goda Jaka 

dengan gaya lucu.

"Ih, Kakang!"

Mayang ingin meninju bahu Jaka, namun gera-

kannya terhenti di udara.

"Kenapa tidak dilanjutkan, Mayang?" goda Jaka 

lagi.

"Ada sesuatu yang hendak kuambil di pergu-

ruan ayahku, Kakang," tukas Mayang Sutera tidak 

mempedulikan godaan Jaka.

"Boleh aku tahu, apa itu?"

"Kitab Perguruan Gelang Emas," jawab Mayang 

Sutera pelan.

"Hm... Sebuah kitab pusaka. Apa kitab itu me-

nurutmu masih ada di tempatnya?" selidik Jaka.

"Mudah-mudahan masih ada. Tempat penyim-

panan Kitab Perguruan Gelang Emas sangat rahasia. 

Barangkali dari sekian banyak orang yang dipercayai 

ayah, cuma aku yang mengetahui tempat penyimpa-

nan benda berharga itu," jawab Mayang Sutera menje-

laskan.

"Kalau begitu kita harus cepat ke sana," putus 

Jaka.

"Lalu bagaimana dengan rencana Kakang men


gunjungi Perguruan Hijau Kemuning?"

"Kita laksanakan setelah kau mendapatkan ki-

tab pusaka itu."

Terharu hati Mayang Sutera mendengar ucapan 

lelaki muda yang memiliki kesaktian begitu tinggi

"Terima kasih atas kesediaanmu, Kakang," 

ucap Mayang Sutera.

"Ayolah, jangan membuang-buang waktu," ki-

lah Jaka sambil meraih tangan Mayang Sutera.

Tanpa banyak cakap lagi, Mayang Sutera men-

dahului Jaka melesat ke selatan. Sigap dan cepat ge-

rakan yang dilakukan Mayang Sutera, cukup membuat 

kekaguman Jaka semakin bertambah.

"Hop!"

Jaka segera melakukan hal yang sama. Ringan 

saja kakinya menghentak di tanah, namun akibatnya 

sungguh luar biasa. Tubuh lelaki muda yang terbalut

jubah kuning keemasan mampu menjajari tubuh gadis 

berpakaian jingga yang telah melesat lebih dahulu. 

Dua sosok tubuh berpakaian kuning keemasan dan 

jingga pun melesat cepat, hingga yang nampak hanya 

seleret sinar kuning dan jingga yang saling berkejaran.

Tanpa henti mereka berlari dengan pengerahan 

ilmu lari cepat tingkat tinggi, hingga dalam waktu yang 

tidak lama bangunan Perguruan Gelang Emas sudah 

terlihat Jaka dan Mayang Sutera. Mayang Sutera ter-

cekat melihat beberapa orang berpakaian hitam berdiri 

di depan pintu gerbang Perguruan Gelang Emas. Me-

reka tampaknya sedang berjaga-jaga.

"Kau kenal mereka, Mayang?" tanya Jaka sam-

bil memperhatikan gerak-gerik mereka.

Mayang Sutera menjawab pertanyaan Jaka 

dengan gelengan kepala.

"Kalau begitu mari kita datangi mereka baik-

baik dan kita tanyakan keberadaan mereka di situ,"


ajak Jaka kemudian.

"Ayo, Kakang. Namun kita harus waspada. Ge-

rak-gerik mereka sangat mencurigakan," tukas Mayang 

Sutera.

"Ya...!"

Jaka melangkah perlahan diiringi Mayang Sute-

ra. Ketika setengah tombak lagi keduanya tiba di muka 

pintu gerbang, Jaka segera menyapa lelaki berpakaian 

hitam dengan tutur kata sopan.

“Maaf, Kisanak," ucap Jaka mantap. "Apakah 

ini bangunan Perguruan Gelang Emas?"

Lelaki berpakaian hitam yang ditanya Jaka ti-

dak segera menjawab. Mata lelaki itu malah meneliti 

sekujur tubuh Jaka dan Mayang Sutera bergantian. 

Demikian pula tiga lelaki lainnya yang berdiri di samp-

ing lelaki berpakaian hitam beralis tebal.

"Mau apa kau tanyakan hal itu, heh?!" bentak 

lelaki beralis tebal sambil berkacak pinggang.

"Aku ada urusan dengan orang-orang Gelang 

Emas," jawab Jaka tenang.

"Anak muda, kau tak akan menemukan orang-

orang Perguruan Gelang Emas di sini. Mereka semua 

telah menjadi santapan cacing tanah," bantah lelaki 

berpakaian hitam yang bercambang agak kemerahan.

"Lalu kalian siapa? Dan mengapa berada di 

Perguruan Gelang Emas?" tanya Jaka lagi masih bersi-

kap tenang.

"Hei! Rupanya kau sengaja ingin mencampuri 

urusan kami, heh? Kuperingatkan padamu, Anak Mu-

da. Pergilah secepatnya dari hadapanku kalau tak in-

gin tubuhmu kucincang dengan senjataku ini!" gertak 

lelaki beralis tebal sambil mengelus-elus sebilah golok 

berbentuk persegi empat

Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan lela-

ki beralis tebal.


"Kurang ajar! Aku tidak main-main dengan 

ucapanku. Cepat pergilah sebelum kesabaranku hi-

lang!" bentak lelaki itu keras.

"Aku tidak main-main, Kisanak. Gadis yang be-

rada di sebelah ku ini putri tunggal pemimpin per-

guruan ini. Jadi seharusnya aku yang menyuruh ka-

lian pergi dari sini. Tapi tidak akan kulakukan karena 

aku harus tahu apa yang kalian kerjakan di Perguruan 

Gelang Emas," kilah Jaka

"Majikanku sedang mencari Kitab Gelang-

gelang Emas, maka kuminta kalian jangan coba-coba 

menghalangi keinginanku yang gemar memanggang 

jantung manusia, apalagi jantung gadis cantik seper-

timu!" ucap lelaki bercambang agak kemerahan.

"Jangan asal bicara, Kisanak. Justru aku yang 

akan memanggang batok kepala majikanmu," balas 

Mayang Sutera dengan suara sedikit ditekan.

"Hei?! Ternyata gadis cantik sepertimu punya 

nyali juga?" ejek lelaki beralis tebal.

"Jangan banyak mulut! Cepat suruh majikan 

kalian keluar. Dia tak akan menemukan apa-apa di da-

lam, jangan tunggu sampai aku masuk ke dalam un-

tuk memecahkan kepalanya dengan kepalan ku!" tu-

kas Mayang Sutera menimpali ejekan lelaki beralis 

tebal. 

"Jangan teruskan gurauan mu, Gadis Manis. 

Sayangilah kecantikanmu dan manfaatkan untuk me-

narik perhatian majikanku," bantah lelaki bercambang 

agak kemerahan.

"Kau yang seharusnya pandai menjaga kesela-

matan majikanmu, Kisanak," ujar Jaka marah men-

dengar ucapan lelaki bercambang itu.

"Kurang ajar! Kalian pikir aku tak mampu men-

gusir dengan kekerasan. Pergilah cepat!" 

Lelaki beralis tebal segera mencabut golok per


segi empat dari sarungnya. Seberkas sinar berkilau da-

ri senjata yang tertimpa sinar matahari.

"Jangan hanya kau yang menghunus senjata, 

Kisanak. Suruh ketiga temanmu mencabut senjata 

mainan anak-anak itu," ejek Jaka membuat lelaki be-

ralis tebal memerah wajahnya.

"Bedebah! Kucincang kau!"

Lelaki berpakaian hitam yang beralis tebal se-

gera menerjang Jaka dengan senjata. Gerakannya yang 

ringan dan cepat menandakan kemampuan ilmu silat 

yang dimilikinya cukup tinggi. Jaka tentu saja tak 

menganggap enteng serangan lawan yang berkelebat 

cepat ke arah leher. Suara angin yang menderu me-

nandakan serangan itu disertai pengerahan tenaga da-

lam penuh.

"Hiaaa!"

Bet!

"Uts!"

Jaka segera menarik mundur kepalanya ketika 

senjata lawan sejengkal lagi mengenai leher. Dari se-

rangan pertama pun mengenai tempat kosong. Namun 

kecepatan luar biasa kembali dipertontonkan lelaki be-

ralis tebal, ketika mata senjata berbalik dan terarah ke 

sasaran yang sama.

Jaka yang sudah dapat mengukur ketinggian 

tenaga dalam lawan, segera mengerahkan tenaga da-

lamnya yang jauh di atas lawan. Pemuda itu mengang-

kat tangannya untuk memapaki golok persegi empat 

yang berkelebat mengancam leher.

Trak!

"Ikh!"

Tubuh lelaki beralis tebal terpental mundur se-

jauh lima langkah. Di wajah lelaki itu tergurat seringai 

kesakitan yang luar biasa rasanya. Sementara senja-

tanya yang berupa sebilah golok besar persegi empat


terlepas dari genggaman.

"Bocah Setan!" maid lelaki itu sambil mengelus-

elus pergelangan tangan yang terasa nyeri bukan kepa-

lang.

"Ringkus dan bunuh dia!" perintah lelaki itu 

kemudian, pada tiga temannya yang mematung karena

terkejut melihat Jaka tidak terluka sedikit pun oleh 

senjata lawan.

Tiga lelaki berpakaian hitam segera berloncatan 

mengurung Jaka dan Mayang Sutera.

Srat! Srat! Srat!

Tiga lelaki itu langsung mencabut senjata. Dan 

dalam waktu yang bersamaan melejit, memburu tubuh 

Jaka dan Mayang Sutera. 

"Hiyaaa...!"


LIMA


Tiga lelaki berpakaian hitam langsung menye-

rang dengan mempergunakan senjata. Tebasan dan 

tusukan mereka mengarah ke bagian-bagian memati-

kan tubuh Jaka dan Mayang Sutera. Suara angin yang 

menderu dan bercericitan menyemarakan pertempu-

ran. Agaknya tiga lelaki itu tidak tang-gung-tanggung 

dalam melakukan serangan. Mereka mengerahkan ke-

kuatan tenaga dalam untuk merobohkan Jaka dan 

Mayang Sutera.

Namun rupanya ketiga lelaki itu tak mengeta-

hui dengan siapa mereka berhadapan. Seorang lelaki 

muda yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan seo-

rang digdaya yang berjuluk Raja Petir.

"Jangan lukai mereka, Mayang," ucap Jaka pa-

da saat tubuhnya merapat ke tubuh Mayang Sutera.

Mata Mayang Sutera nampak melebar karena


tidak mengerti maksud ucapan Jaka.

"Kita belum tahu persoalan yang sebenarnya, 

dan siapa empat lelaki berpakaian hitam itu," jelas Ja-

ka.

Mayang Sutera tak menimpali ucapan Jaka.

Gadis cantik berpakaian jingga itu kembali 

menghadapi serangan dua lelaki bersenjata golok per-

segi empat

"Hiaaa!" 

"Hiaaa!"

Dua senjata tajam yang berkilatan tertimpa si-

nar matahari berkelebat cepat ke arah lambung dan 

leher Mayang Sutera.

Gadis cantik berambut panjang dikepang kela-

bang yang besar di Perguruan Gelang Emas, tentu saja 

bersikap waspada terhadap serangan berbahaya itu. 

Bola matanya yang hitam pekat menunjukkan kewas-

padaan ketika gadis itu menunggu serangan yang akan 

datang lebih dulu. Dan ketika serangan yang menuju 

lambungnya tiba, Mayang Sutera segera meliukkan tu-

buh seperti seorang penari.

Bersamaan dengan liukan tubuh Mayang Sute-

ra, serangan lain yang datang mencecar leher dielak-

kan dengan merundukkan badan sedikit. Akibatnya 

dua serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian hi-

tam kandas. Dan bukan itu saja kebolehan yang diper-

tontonkan Mayang Sutera. Di tengah gerakan meng-

hindar yang dilakukannya, gadis cantik putri Ketua 

Perguruan Gelang Emas mampu memberikan serangan 

beruntun.

"Haaat...!" 

Bugkh! Plak! 

"Argkh!"

Dua orang lawannya langsung terpental, terke-

na tendangan lurus yang menghantam dada dan tam


paran kilat yang menghajar pelipis. Kedua lelaki itu 

terhuyung sejauh empat langkah. Sementara dari mu-

lutnya terdengar erangan kesakitan yang berkepanjan-

gan.

Jaka, yang meski tengah bertarung menghadapi

lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak keme-

rahan sempat menyaksikan kebolehan Mayang Sutera. 

Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dua lelaki ber-

senjata itu mampu dilumpuhkan Mayang Sutera. Ke-

nyataan itu cukup membuat Jaka ingin memberi pela-

jaran pada dua orang lawannya.

Maka ketika dua orang lawannya menerjang 

dengan senjata terhunus, Jaka segera melayani de-

ngan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang menitikberatkan 

pada kecepatan gerak. 

"Hiaaa!" 

Bet! Bet! 

"Ops!"

Serangan lawan yang terarah ke dada dan paha 

Jaka membentur tempat kosong. Kedua lelaki itu ter-

kejut bukan main melihat tubuh Jaka tiba-tiba meng-

hilang. Dan ketika menyadari pemuda itu telah berdiri 

di belakangnya, mereka segera berbalik dengan cepat.

Namun pada saat yang sama, Jaka melakukan 

sebuah gerakan cepat dalam rangkaian jurus 

'Menggiring Awan'. Tubuh Jaka melejit dengan kedu-

dukan tangan terentang. Dan ketika tubuhnya berada 

di udara, dengan kecepatan yang luar biasa Jaka me-

luruk turun, dan memberikan totokan tepat ke urat 

leher lawan.

Tuk!

Tuk!

"Krgkh...!"

Lelaki beralis tebal dan lelaki bercambang agak 

kemerahan seketika ambruk ke tanah. Keduanya


menggelepar untuk beberapa saat lamanya, dan pada 

saat berikutnya tak mampu bergerak lagi.

Mayang Sutera segera menghampiri Jaka.

"Mari kita masuk ke dalam, Kakang," ajak Ma-

yang Sutera tak sabar. 

"Sebentar, May...."

Belum lagi ucapan Jaka selesai, terdengar buah 

tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. 

Begitu kuat suara tawa itu hingga Jaka harus menge-

rahkan kekuatan tenaga dalam untuk mengimban-

ginya. Demikian pula yang dilakukan Mayang Sutera.

Hanya tiga kali tegukan teh suara tawa itu ter-

dengar, hingga menggetarkan sekitar tempat pertarun-

gan. Selanjutnya dua bayangan kemerahan berkelebat 

cepat menggantikan suara tawa yang terhenti seketika.

Jleg!

Jleg!

Dua sosok lelaki setengah baya yang berpa-

kaian seperti pendeta mendarat dengan ringan di ha-

dapan Jaka dan Mayang Sutera. Yang menarik dari 

dua sosok lelaki yang memegang untaian tasbih itu, 

adalah wajah mereka yang seperti pinang dibelah dua.

"Pendeta Kembar?" bisik Mayang Sutera cukup 

keras, ucapan itu dibarengi dengan perubahan wajah 

Mayang Sutera menjadi agak kemerahan

"Hmmm.... Bagus! Kau masih mengenal kami, 

Gadis Cantik," ucap salah satu lelaki berjuluk Pendeta 

Kembar. Suara yang keluar mirip suara perempuan.

"Kau ingin mengambilnya sebagai istri, Adi 

Garnika?" tanya lelaki yang bersuara mirip perempuan 

pada lelaki di sebelahnya.

"Tentu saja, Kakang Jatnika," sahut Garnika 

yang memiliki suara lebih berwibawa. "Anak Ketua 

Perguruan Gelang Emas ini memang pantas untuk ku-

persunting," lanjut Garnika.


"Siapa mereka, Mayang?" tanya Jaka berbisik. 

"Maksudku, kau atau Perguruan Gelang Emas yang 

mempunyai urusan apa dengan mereka?" ulang Jaka 

membetulkan pertanyaannya sendiri.

"Mereka pernah berjasa menolongku dari Pem-

begal Daratan Hitam, sekarang mungkin mereka men-

ginginkan imbalan atas jasa yang pernah diberikan 

padaku," beber Mayang Sutera dengan mata tak ber-

kedip memandang wajah dua lelaki setengah baya 

yang berjuluk Pendeta Kembar.

"Hmmm....”

Jaka melempar pandangan tajam ke arah Gar-

nika dan Jatnika.

"Mereka ternyata pendeta gadungan yang ber-

sembunyi di balik jubah kependetaannya, ini harus se-

gera diakhiri," ujar Jaka dengan wajah keras.

"Biar aku yang mengurus mereka, Kakang. Su-

dah lama aku ingin mencoba kemampuan Pendeta 

Kembar. Kakang tidak boleh menangani pendeta-

pendeta palsu itu, kecuali jika aku tak mampu," tukas 

Mayang Sutera menimpali perkataan Jaka.

"Hati-hati, Mayang. Pendeta-pendeta palsu itu 

memiliki kepandaian yang tidak rendah," pesan Jaka, 

menyadari kekuatan tenaga dalam Pendeta Kembar 

yang diketahuinya melalui tawa mereka tadi.

"Mereka harus tahu, bahwa Mayang Sutera bu-

kan gadis yang hanya memiliki kulit ilmu silat," kilah 

Mayang Sutera.

"Tapi hati-hati itu perlu, Mayang," timpal Jaka.

"Sudah pasti, Kakang."

Jaka tak menimpali ucapan Mayang Sutera. 

Sebenarnya pemuda itu kagum dengan keberanian 

Mayang Sutera yang telah menggetarkan hatinya.

"Pendeta Kembar! Kalian lelaki yang pandai 

bersembunyi di balik kebohongan. Jasa yang telah ka


lian berikan padaku juga suatu kebohongan! Kalian te-

lah bersandiwara bersama Pembegal Daratan Hitam 

untuk mencari persoalan dengan Perguruan Gelang 

Emas. Sekarang kalian lihat, Perguruan Gelang Emas 

telah runtuh. Namun karena kebejatan otak, kalian 

menuntut jasa dengan sebuah kitab yang tak kalian 

miliki, apalagi diriku!" lantang dan mantap ucapan 

Mayang Sutera.

"Ha ha ha...! Aku tak peduli dengan runtuhnya 

Perguruan Gelang Emas, Cah Ayu. Aku hanya membu-

tuhkan kitab itu dan tubuh pewarisnya," jawab Garni-

ka dengan tatapan mata yang berkilat-kilat genit

"Tua bangka tak tahu malu!" hardik Mayang 

Sutera. "Apa kau pikir kau akan mendapatkan keingi-

nanmu, heh?!"

"Tentu saja aku akan mendapatkannya, Gadis 

Manis. Tak ada yang sulit dilakukan oleh Pendeta 

Kembar setelah ayahmu mampus! Begitu juga dengan 

Kitab Gelang-gelang Emas ini," sangkal Jatnika sambil 

merogoh sesuatu dari balik pakaiannya yang berwarna 

merah darah.

Mayang Sutera terkejut bukan main melihat Ki-

tab Perguruan Gelang Emas berada di tangan salah sa-

tu Pendeta Kembar. Wajah Mayang Sutera yang sudah 

merah karena marah, kini semakin bertambah merah. 

Gigi gadis itu gemeretakan, dan tangannya terkepal 

kuat dengan otot-otot menegang keras.

Sementara Jaka hanya terkejut, melihat Kitab 

Perguruan Gelang Emas berada di tangan Jatnika. 

"Kau harus menyerahkan kitab itu padaku, Pendeta 

Gadungan!" bentak Mayang Sutera geram.

Ha ha ha...

Garnika dan Jatnika tertawa keras mendengar 

perintah gadis cantik di hadapannya.

"Tentu saja aku akan memberikan apa yang


menjadi hakmu, setelah kau memberikan dirimu un-

tukku, Gadis Manis," ucap Garnika.

Jaka marah bukan main mendengar ucapan 

Garnika yang tidak senonoh. Namun lelaki muda yang 

matang pengalaman itu tidak segera mengambil tinda-

kan. Dibiarkannya Mayang Sutera menyanggah perka-

taan kotor itu.

"Tak semudah kau mengeluarkan kata-kata ko-

tor itu, Pendeta Busuk! Kurasa keinginanmu hanya 

impian belaka," balas Mayang Sutera.

"Kita buktikan saja, Gadis Sombong," tukas 

Garnika yang terpancing ucapan Mayang Sutera.

Pendeta gadungan bernama Garnika melang-

kah maju dua langkah.

"Seranglah, Gadis Sombong! Aku risih jika ha-

rus memulai lebih dulu," tantang Garnika.

"Seharusnya kau risih mengenakan pakaian 

itu, apalagi dengan biji-biji tasbih yang menggelantung 

di lehermu!" ejek Mayang Sutera.

Jaka tersenyum mendengar ucapan Mayang 

Sutera yang dapat membuat wajah Jatnika dan Garni-

ka merah padam.

"Ucapanmu semakin kurang ajar saja! Kau ha-

rus membayar mahal!" bentak Garnika sewot

Lelaki berpakaian merah darah itu segera ber-

gerak cepat. Tangannya yang membentuk totokan, te-

rarah menyilang ke pelipis Mayang Sutera. Angin ber-

cericitan mengiringi serangan Pendeta Kembar.

Mayang yang memang sudah terlatih membaca 

kecepatan sebuah gerakan, tidak terkejut. Dengan ke-

tenangan yang luar biasa, tubuh gadis cantik yang ter-

balut pakaian jingga bergerak menghindari terjangan 

tangan Garnika.

Cit!

Wut!


Serangan Garnika lolos ketika tubuh Mayang 

Sutera melejit cepat seraya berputar dua kali di udara. 

Namun lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu tak 

mau kalah, lelaki itu kembali melancarkan pukulan 

susulan. Kali ini Garnika mempertajam pukulannya 

dengan pengerahan tenaga dalam yang hampir dua 

kali lipat. Itu bisa diketahui dari deru angin yang men-

giringi serangan ke dada Mayang Sutera.

"Awas, Mayang!" teriak Jaka memperingatkan 

kedatangan serangan Garnika yang cukup dahsyat.

Mayang Sutera yang baru mendaratkan kaki di 

tanah, tentu saja mendengar peringatan Jaka. Tetapi 

tanpa diberi tahu pun Mayang Sutera sudah dapat 

menduga serangan susulan yang akan dilancarkan 

Garnika. Terbukti ketika baru saja kakinya menjejak 

tanah, kaki ramping itu kembali menghentak kuat. Se-

ketika itu juga tubuh Mayang Sutera mencelat, menyi-

lang ke kanan. Begitu cepat gerakan gadis cantik ber-

pakaian jingga, hingga serangan dahsyat yang dilan-

carkan Garnika kembali menemui tempat kosong.

"Kurang ajar!" maki Garnika dalam hati. Wajah 

lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu merah padam, 

merasa dipermainkan gadis yang berusia jauh lebih 

muda darinya. 

"Ha ha ha.!..! Hi hi hi...!" Mayang Sutera senga-

ja melepaskan tawa mengejek untuk memancing ke-

marahan Garnika lebih jauh. Sementara, Jaka sempat 

terkejut mendengar tawa gadis cantik yang telah men-

gisi sudut kosong dalam hatinya.

"Sudah kuperingatkan padamu, Pendeta Ga-

dungan!" ucap Mayang Sutera mencemooh. "Buang sa-

ja mimpimu untuk dapat memiliki ku. Dan kalau ma-

sih ingin menikmati sinar matahari pagi, serahkan Ki-

tab Gelang-gelang Emas itu padaku!" lanjut Mayang 

Sutera lantang.


"Edan!" bentak Garnika menimpali ucapan ga-

dis berpakaian jingga.

"Keinginanmu yang edan, Pendeta Gila!" maki 

Mayang Sutera semakin membuat Garnika marah

"Kau harus mampus!"

"Hiaaa...!"

Tubuh Garnika kembali mencelat ke arah Ma-

yang. Gerakan cepat yang dilakukannya merupakan 

serangkaian serangan dalam jurus 'Totok Pemecah Ke-

pala'. Mayang Sutera sedikit terkejut menyaksikan se-

rangan lawan. Sesaat tangan Garnika bergerak-gerak 

cepat bagai tangan Malaikat Maut.

Gadis itu melihat jari tangan Garnika memben-

tuk kerucut dan bergerak ke berbagai arah. Untuk se-

saat Mayang Sutera tidak tahu apa yang harus dilaku-

kan. Namun berkat ketenangannya, gadis itu mampu 

mengambil keputusan untuk membentengi diri dengan 

senjatanya yang berupa payung, terbuat dari logam ke-

ras kuning keemasan. Itulah senjata ciri kas Mayang 

Sutera hingga dirinya dijuluki Dewi Payung Emas

Ketika serangan Garnika dua jengkal lagi men-

darat di batok kepalanya. Mayang Sutera segera mem-

bentengi kepalanya dengan payung yang terkembang 

dan berputaran cepat hingga menimbulkan deru yang 

kuat

"Heh?!"

Garnika terkejut bukan main melihat perbua-

tan lawan. Lelaki itu tahu senjata yang dipergunakan 

Mayang Sutera bukan senjata biasa. Itu bisa diketahui 

dari ujung-ujung payung.


"Kau harus mampus!" teriak Garnika keras. Tu-

buhnya mencelat ke arah Dewi Payung Emas.

Ketika serangan itu sudah dekat, Mayang Sute-

ra segera membentengi kepalanya dengan payung yang 

terkembang dan berputaran cepat

Drung! Benturan tangan Garnika dengan payung 

milik Mayang Sutera terdengar amat keras!

Lelaki itu ingin mengurungkan serangannya, 

namun rasanya tak mungkin dilakukan, karena luncu-

ran tubuhnya sangat cepat dan tak mungkin dihenti


kan secara mendadak. Tanpa pikir panjang lagi, maka 

Garnika melanjutkan serangannya.

Drung!

Benturan keras tak dapat dihindari. Tubuh 

Garnika terdorong ke belakang sejauh satu tombak. 

Garnika terkejut mendapatkan dirinya terhuyung se-

perti itu. Lelaki itu seakan tak percaya, karena tadi di-

rinya telah mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam 

yang dimiliki, tapi kenyataannya?

"Huh! Hebat juga anak Ketua Perguruan Gelang 

Emas ini," kata hati Garnika.

Sementara Mayang Sutera yang juga sempat 

terhuyung, bergumam dalam hati, hebat juga tenaga 

dalam Pendeta Kembar itu. Tak dapat dibayangkan be-

tapa besar kekuatan mereka jika bergabung.

Jaka melihat tubuh Mayang Sutera tergempur 

mundur segera melejit menghampiri.

"Kau tidak apa-apa, Mayang?" tanya Jaka kha-

watir.

Mayang Sutera hanya menggelengkan kepala 

mendengar pertanyaan Jaka.

"Hhh...!"

Jaka menarik napas lega melihat jawaban Ma-

yang Sutera, meski hanya lewat anggukan.


ENAM



Apa yang dilakukan Jaka, dilakukan pula oleh 

Jatnika. Lelaki pasangan Garnika hingga mereka ber-

gelar Pendeta Kembar, menghambur ke arah Garnika.

"Kau tidak apa-apa, Adi Garnika?" tanya Jatni-

ka.

Seperti juga Mayang Sutera, Garnika melaku-

kan hal yang sama untuk menanggapi pertanyaan Jat


nika. Kepala Garnika menggeleng sebagai tanda dirinya 

tidak mengalami luka akibat benturan keras tadi.

"Rasanya aku tak tertarik lagi mendapatkan 

anak Ketua Perguruan Gelang Emas itu, Kakang. Kita 

habisi saja gadis itu!" ajak Garnika.

"Ayo, aku juga tak ingin memperpanjang urus-

an dengannya," ujar Jatnika setuju.

Dua lelaki berkepala botak dengan pakaian 

pendeta berwarna merah mencolok, menatap tajam 

wajah Mayang Sutera.

"Kau tak akan melihat matahari esok pagi,

Anak Manis. Hari ini aku akan mengirimmu ke tempat 

yang abadi!" gertak Jatnika angkuh.

"Kalau kalian ingin main keroyok, silakan. Na-

mun jangan salahkan bila pemuda itu turut campur 

tangan," ucap Mayang Sutera dengan jari telunjuk 

mengarah ke Jaka.

"Hei! Apa yang kau andalkan dari anak muda 

itu?" tanya Garnika penuh ejekan. Wajahnya pun dito-

lehkan sedemikian rupa ke arah wajah Jaka seperti 

mengejek.

"Pendeta Gendeng! Jadi kau belum tahu siapa 

kawanku ini?" tanya Mayang Sutera bernada meren-

dahkan Pendeta Kembar. 

Mata Jatnika dan Garnika serentak menelusuri 

sekujur tubuh Jaka yang berdiri tenang.

"Amatilah baik-baik, Pendeta Kembar. Barang-

kali kalian kenal dengan kawanku. Jika mengenalnya, 

serahkan cepat-cepat Kitab Gelang-gelang Emas milik-

ku sebelum nyawa kalian melayang oleh kawanku ini!" 

gertak Mayang Sutera.

"Aku bisa menebak siapa gerangan kawanmu 

itu, Gadis Edan," ucap Jatnika.

"Ya. Sebutkanlah," putus Mayang Sutera.

"Mmm.... Kawanmu itu pasti...." Jatnika meng


gantung ucapannya, raut wajahnya dibuat seperti 

orang ketakutan.

"Kusir sado, kan?" lanjut Jatnika setelah sekian 

lama menatap wajah Jaka.

Mayang Sutera terkejut mendengar jawaban 

Jatnika yang di luar dugaan, gadis itu ingin menerjang 

Jatnika, namun tangan Jaka telah lebih dulu mence-

gah gerakan Mayang Sutera.

"Jangan, Mayang," tahan Jaka sambil mengem-

bangkan senyum. Kemudian tatapannya dialihkan pa-

da Jatnika.

"Kisanak harus belajar lagi cara menilai sese-

orang," ujar Jaka tenang.

"Lalu kalau bukan kusir sado, kau ini siapa, 

heh?!" tanya Garnika dengan raut wajah dibuat selucu 

mungkin.

"Kurang ajar! Kuberitahukan padamu, Pendeta 

Gila! Kawanku ini yang berjuluk Raja Petir!" ucap 

Mayang Sutera keras.

"Raja Petir?!" ulang Garnika dan Jatnika se-

rempak.

"Kalian takut dengan nama besar itu?" tanya 

Mayang Sutera.

"Ah, kupikir kawanmu itu Raja Doger!" jawab 

Jatnika.

Kembali wajah Mayang Sutera memerah men-

dengar hinaan itu.

"Biarkan mereka bicara seenaknya, Mayang," 

redam Jaka atas kemarahan Mayang Sutera.

"Mulutnya harus dibungkam, Kakang," kilah 

Mayang Sutera.

"Ayo! Bungkamlah mulutku, Raja Doger! Penuhi 

keinginan gadis edan itu," sentak Jatnika lagi.

"Pendeta Nista, majulah kalau memang mulut-

mu ingin ku bungkam," tukas Jaka tenang.


"Kurang ajar! Ayo kita habisi saja, Kakang!" 

ajak Garnika merasa jengkel dipanggil Pendeta Nista.

Jatnika yang mendengar ucapan Garnika sege-

ra menyambut dengan sebuah tanda untuk melakukan 

serangan bersama. Sasaran serangan mereka adalah 

lelaki muda yang mengenakan pakaian kuning keema-

san.

"Menyingkirlah, Mayang. Biar kuberi pelajaran 

dua Pendekar Gadungan itu," pinta Jaka.

Mayang Sutera segera mematuhi permintaan le-

laki muda yang telah diketahui ketinggian ilmunya dari 

Nyi Selasih. Baru sekitar dua tombak Mayang Sutera 

menjauhi tubuh Jaka, serangan dua lelaki yang berju-

luk Pendeta Kembar sudah datang.

Jaka yang mengetahui arah gerakan Garnika 

dan Jatnika, tetap berdiri tenang. Ditunggunya seran-

gan kedua lelaki berpakaian merah yang terpecah ke 

dua arah.

"Hiaaa!"

"Hiaaa!"

Tubuh Jatnika yang terbang bagai elang me-

nyambar, meluruk cepat dengan tangan membentuk 

kerucut, berkelebat mencecar pelipis Jaka. Sedang 

Garnika dengan sedikit membungkukkan tubuh berge-

rak cepat dengan sasaran lambung Jaka.

Mendapat serangan yang terpadu begitu cepat, 

Raja Petir segera melayaninya dengan jurus 'Lejitan Li-

dah Petir'.

"Hop!"

"Hop!"

Tubuh Jaka berkelebatan cepat ke berbagai 

arah, menghindari terjangan Garnika dan Jatnika yang 

susul-menyusul bagai gelombang lautan. Ke mana pun 

tubuh Jaka mencelat, Pendeta Kembar terus mencecar 

dengan jurus-jurus yang mematikan. Sementara Jaka


terus menghindar dengan mengandalkan kecepatan 

geraknya yang lebih unggul dari Pendeta Kembar.

Namun ketika Raja Petir melihat ketajaman se-

rangan Pendekar Kembar tidak setajam serangan per-

tama, maka dicobanya memberikan serangan balasan 

lewat jurus 'Menggiring Awan'. Tangan Jaka yang te-

rentang berkelebat cepat ke arah dada Garnika, sedang 

kaki kanannya bergerak menyilang ke bawah perut 

Jatnika.

Dua lelaki berjuluk Pendeta Kembar itu tersen-

tak melihat serangan balasan Jaka yang tiba-tiba. Se-

dapatnya Garnika dan Jatnika melempar tubuh ke 

arah yang berlawanan.

"Hip!"

"Hup!"

Pendeta Kembar segera melompat dan bergulin-

gan di tanah beberapa kali. Kemudian dengan bertum-

pu pada tangan, mereka melenting ke udara.

Raja Petir yang sudah menduga gerakan yang 

akan dilakukan Pendeta Kembar, segera memilih Jat-

nika sebagai sasaran serangan susulan. Maka ketika 

tubuh Jatnika berada di udara, Jaka secepat kilat ber-

kelebat dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar 

Elang'. 

"Hiyaaa...!"

Jatnika melihat serangan susulan Jaka yang 

datang begitu cepat, terkejut bukan main. Lelaki itu 

sebenarnya ingin melempar tubuhnya ke arah yang 

berlawanan, namun ketika dirasanya tidak mungkin, 

maka akhirnya Jatnika terpaksa menangkis serangan 

Raja Petir.

Tlak!

Bugkh!"

"Hekh!"

Tubuh Jatnika terpental deras ketika tangan


kanannya menangkis sodokan tangan kiri Jaka, se-

dang tangan kanan Jaka menghantam telak perutnya. 

Dengan dibarengi pekikan keras, tubuh Jatnika jatuh 

berdebum.

Bruk!

Garnika yang melihat keadaan Jatnika seperti 

itu, sempat tersentak. Namun tidak lama, karena tu-

buh Garnika sudah berkelebat menghampiri Jatnika 

yang tergeletak sejauh enam tombak darinya.

"Kakang...."

Garnika memegang bahu Jatnika, kemudian 

sebuah tatapan menusuk dilemparkan ke arah Jaka.

"Lebih baik kita tinggalkan pemuda itu, Adi 

Garnika," ujar Jatnika, parau. "Pemuda itu sangat 

tangguh. Mungkin benar bahwa pemuda itu yang ber-

juluk Raja Petir," sambung Jatnika sambil memegang 

punggung tangan Garnika.

Garnika tidak menimpali ucapan Jatnika. Ma-

tanya masih tetap tertuju lurus, menatap wajah Jaka 

yang kini berdiri di samping Mayang Sutera.

"Bersiaplah, Adi Garnika. Aku masih sanggup 

berlari," desak Jatnika.

"Hhh...."

Garnika menarik napas panjang karena masih 

penasaran ingin menaklukkan Jaka.

"Pendeta Gadungan!" bentak Mayang Sutera ti-

ba-tiba. "Berikan kitab ku jika jasad kalian tidak ingin 

terkubur hari ini!"

Tatapan mata Garnika yang sejak tadi tertuju 

ke wajah Jaka, kini beralih menatap wajah jelita 

Mayang Sutera dengan raut muka bengis.

"Gadis Edan! Kau tak mungkin dapat mengam-

bil kitab yang sudah berada di tangan Pendeta Kem-

bar!" alas Garnika geram.

"Sesumbar mu saja yang besar, Pendeta Bejat!


Buktikan kalau kalian memang mampu memperta-

hankan kitab yang bukan milikmu itu!"

"Hiaaat..!"

Mayang Sutera segera berkelebat cepat. Karena 

kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi, maka 

gadis cantik itu langsung memainkan senjatanya yang 

berupa sepasang gelang kuning keemasan, yang dike-

luarkan dari balik pakaian. Ketika tubuh Mayang Su-

tera masih berada di udara, gadis cantik itu melepas 

sebuah gelang emas yang berada di genggamannya.

Siiing...!

Suara berdesing mengiringi datangnya luncu-

ran gelang Mayang Sutera. Bukan hanya suara desin-

gan yang membuat senjata itu terlihat dahsyat, tapi 

juga hawa dingin menyengat yang terkandung dari 

luncuran gelang emas Mayang Sutera.

"Cepat Garnika, kesempatan kita untuk melo-

loskan diri sempit sekali," ucapan yang ditekan kuat 

itu membuat Garnika sadar.

Garnika segera mengeluarkan sesuatu dari ba-

lik kantung pakaian.

Brrr...!

Puluhan butir benda merah seketika meluruk 

cepat ke arah gelang emas, diikuti oleh luncuran tu-

buh Garnika.

Jaka menyaksikan keadaan gawat itu segera 

berteriak keras memperingatkan Mayang Sutera.

"Awas, Mayang!"

Bersamaan dengan suara peringatkan Jaka, 

Mayang Sutera melempar tubuhnya ke kanan seraya 

bergulingan di tanah. Sedang gelang emasnya terus 

meluncur, menghadang puluhan butir benda merah.

Bresss!

Sinar kemerahan seketika mengepul ketika ge-

lang emas Mayang Sutera menghantam butiran merah.


Namun beberapa butir benda itu sempat lolos dan me-

ledak di tempat lain. Asap berbau tak sedap itu men-

gepul, membuat suasana di sekitar tempat pertarun-

gan berubah menjadi panas luar biasa. 

Menyadari senjata rahasia Pendeta Kembar 

mengandung racun ganas, maka Jaka segera me-

ngerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk men-

gusir asap beracun yang mengepul.

Wrrr...!

Angin bergulung-gulung keluar dari telapak ta-

ngan Jaka yang terbuka penuh. Sementara Jaka sen-

diri langsung memburu tubuh Mayang Sutera dan me-

larikannya untuk menjauhi dari kepulan asap yang 

mengandung racun ganas.

"Uhuk!"

Mayang Sutera terbatuk ketika tubuhnya su-

dah menjauhi kepulan asap beracun yang timbul dari 

senjata rahasia Pendeta Kembar. Namun batuk itu bu-

kan karena gadis itu telah terkena racun, tapi Mayang 

Sutera sedang melepaskan rasa sesak di dadanya ka-

rena menahan napas terlalu lama.

"Pendeta Keparat!" maki Mayang Sutera me-

nyadari di hadapannya tak lagi nampak wajah Garnika 

dan Jatnika alias Pendeta Kembar

Jaka maklum dengan kejengkelan gadis jelita 

yang telah membuat hatinya berdebar-debar saat tata-

pan mata mereka saling bertemu. Maka Jaka berusaha 

membujuk Mayang Sutera sebisanya.

"Kitab Gelang-gelang Emas itu pasti akan dapat 

kita rebut, Mayang Sutera. Meski bukan sekarang," 

ucap Jaka lembut

Ucapan lembut Jaka ternyata berpengaruh pa-

da diri Mayang Sutera. Terbukti raut muka gadis jelita 

itu kini berubah lunak kembali.

"Kita harus merebutnya, Kakang. Harus dapat,"


ucap Mayang Sutera perlahan.

"Tentu saja, Mayang Sutera. Aku akan berusa-

ha mendapatkan Kitab Gelang-gelang Emas itu," balas 

Jaka sambil meraih tangan gadis jelita berpakaian 

jingga. "Tapi tidak sekarang."

Sebentuk perasaan lain yang membuat Jaka 

bahagia menelusup kuat ke sudut hatinya, begitu juga 

yang dirasakan Mayang Sutera.

"Sekarang kita ke mana, Kakang?" tanya Ma-

yang Sutera berusaha menenangkan debur jantung-

nya, sementara tangannya yang berkulit lembut mem-

balas genggaman tangan Jaka.

"Kita lupakan dulu Pendekar Kembar yang te-

lah melarikan kitab mu, Mayang. Sekarang kita lan-

jutkan perjalanan ini ke Perguruan Hijau Kemuning," 

jawab Jaka sambil membimbing tubuh Mayang Sutera.

Angin berhembus sepoi-sepoi ketika Jaka dan 

Mayang Sutera berjalan beriringan dengan telapak 

tangan saling menggenggam erat. Dan dua insan ber-

lainan jenis yang tengah memadu kasih itu terus berja-

lan, hingga tak sadar mereka telah jauh meninggalkan 

bangunan Perguruan Gelang Emas yang kini menjadi 

bangunan mati tak berpenghuni.

***

"Masih jauhkah Perguruan Hijau Kemuning 

yang kau maksud itu, Kakang?" tanya Mayang Sutera 

dengan suara berkesan manja.

Jaka menatap wajah gadis jelita yang berambut 

panjang dikepang kelabang.

"Setelah kita lewati Desa Serungsing ini, maka 

satu desa lagi kita akan tiba di Perguruan Hijau Ke-

muning," jelas Jaka.

"Kalau begitu kita mencari penginapan di Desa


Serungsing ini saja, Kakang," pinta Mayang Sutera.

"Begitupun keinginanku, Mayang. Perutku su-

dah lapar dan tubuhku rasanya ingin segera berbar-

ing," jawab Jaka.

Kedua insan berlainan jenis itu pun tersenyum, 

dan melangkahkan kaki memasuki mulut Desa Se-

rungsing, yang ditandai dengan sebuah batu bertu-

liskan nama desa itu.

Baru beberapa langkah memasuki mulut desa, 

suara hingar-bingar terdengar Jaka dan Mayang Sute-

ra. Tentu saja lelaki berpakaian kuning keemasan dan 

dara jelita berpakaian jingga menghentikan langkah 

mereka. Suara hingar-bingar yang sempat menghenti-

kan langkah mereka semakin jelas terdengar, pertanda 

sumber suara itu semakin dekat jaraknya.

"Suara itu seperti suara orang-orang yang keta-

kutan, Kakang," ucap Mayang Sutera.

Jaka ingin menimpali ucapan Mayang Sutera, 

tapi segera diurungkan, ketika dilihatnya puluhan le-

laki dan perempuan lari berbondong bondong. Suara 

tangis anak kecil yang ditarik dengan paksa oleh pe-

rempuan yang mungkin ibunya dan suara-suara yang 

menyuruh agar lebih cepat berlari, membuat suasana 

semakin bertambah ramai. Jaka dan Mayang Sutera 

sempat melompat ke tepi untuk menghindari tubuhnya 

tertabrak orang-orang yang berlarian.

"Kita harus mencari keterangan, apa yang se-

dang terjadi di Desa Serungsing ini," ujar Jaka.

"Kita hadang saja salah seorang di antara me-

reka, Kakang," timpal Mayang Sutera.

Jaka mengangguk setuju.

"Hop!"

Tubuh Jaka berkelebat menghadang seorang le-

laki yang berteriak-teriak memberi perintah agar berla-

ri cepat Lelaki berwajah bulat dengan kumis tipis yang


membayang di bawah hidungnya nampak terkejut

"Heh?! Siapa kau? Pasti...." Lelaki berwajah bu-

lat yang mengenakan pakaian hitam menghentikan ka-

limatnya. Sesaat lelaki itu menatap wajah Jaka, lalu 

tangannya bergerak meraih golok yang terselip di ping-

gang.

Golok di tangan lelaki berwajah bulat langsung 

terayun ke perut Jaka. Jaka maklum dengan tindakan 

lelaki itu, maka untuk menunjukkan maksud baiknya, 

Jaka hanya mengelakkan sambaran golok. Tubuh pe-

muda itu meliuk indah ketika berkali-kali sambaran 

senjata lelaki berwajah bulat terarah ke perutnya. Dan 

dari mulut Jaka keluar permintaan agar lelaki itu 

menghentikan serangannya.

"Sabar, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat 

terhadap kalian. Aku hanya ingin tahu apa yang se-

dang kalian alami. Aku ingin membantu kalian. Per-

cayalah," ucap Jaka lembut namun terkesan tegas.

Lelaki berpakaian hitam seketika menghentikan 

setangan. Lalu matanya tertuju tajam ke wajah Jaka.

"Kalau kau bermaksud baik, jangan halangi 

kami!" keras ucapan yang keluar dari lelaki berwajah 

bulat

"Tentu saja aku tak akan menghalangi kalian. 

Namun jika kau tidak keberatan, aku ingin tahu apa 

yang sedang terjadi di Desa Serungsing ini. Ah, ya. 

Namaku Jaka," ucap Jaka sambil memperkenalkan di-

ri.

Tatapan lelaki itu berubah sedikit lunak ketika 

Jaka memperkenalkan diri. Hati lelaki itu mengatakan, 

Jaka betul-betul tak punya niat jahat dengannya.

"Katakanlah Kisanak, aku justru ingin mem-

bantu kesulitan kalian," ucap Jaka lagi.

"Lima orang lelaki berkepandaian tinggi men-

gamuk di desa kami," ujar lelaki berwajah bulat


"Mengamuk?" ulang Jaka tak mengerti.

"Ya. Banyak penduduk tewas di tangan lima le-

laki itu. Bahkan kepala desa kami sudah terpenggal 

kepalanya."

"Apa alasan mereka membantai penduduk dan 

Kepala Desa Serungsing?" tanya Jaka penasaran.

"Menurut kabar yang kudengar, mereka sedang 

mencari seorang tokoh sakti berjuluk Raja Petir."

"Hmmm...."

Jaka bergumam dalam hati. Pemuda itu dapat 

menebak, salah satu dari lima lelaki yang mengamuk 

adalah Dewa Petir.

"Aku harus segera mencegahnya," kata hati Ja-

ka.

"Apakah salah satu di antara mereka berjuluk 

Dewa Petir?" tukas Jaka meyakinkan.

"Dari mana kau tahu?" tanya lelaki itu terkejut

"Sudahlah, Ki. Aku harus mencegah kekejaman 

ini," ucap Jaka sambil menepuk punggung lelaki ber-

pakaian hitam.

"Kurasa lebih baik kau tidak melakukan itu, 

Jaka," tahan lelaki berwajah bulat.

"Kenapa?"

"Mereka terlalu berbahaya, kesaktian yang me-

reka miliki terlalu tinggi," jawab lelaki berwajah bulat.

"Aku harus mencegah mereka, Kisanak. Karena 

yang mereka cari aku."

Lelaki berwajah bulat terkejut mendengar ucap-

an Jaka. Dalam hati lelaki itu tersimpan pertanyaan 

yang tak terjawab. Karena Jaka telah melesat, diikuti 

oleh Mayang Sutera yang mengerahkan ilmu lari ce-

patnya.


TUJUH


"Aaa...!"

Sebuah pekik kematian membubung ke langit, 

membuat hati Jaka terasa bagai teriris sembilu. Lelaki 

muda yang berjuluk Raja Petir semakin mempercepat 

gerakannya. Dan ketika dirinya tiba di tempat pemban-

taian.

"Setan! Hentikan perbuatan terkutuk ini!" ben-

tak Jaka sedikit dialiri tenaga dalam.

Tubuh sosok muda berpakaian kuning kee-

masan berdiri tegak, di sampingnya tak kalah tegap 

berdiri Mayang Sutera.

"Hmmm.... Lancang juga mulutmu itu!" bentak 

lelaki berpakaian serba biru ketika tubuhnya berbalik 

ke belakang, menyaksikan sosok tubuh Jaka alias Raja 

Petir.

"Kau yang lancang mengganggu kehidupan 

penduduk Desa Serungsing, cucu Ki Durja Kelada!" ba-

las Jaka dengan suara tetap menggelegar.

Lelaki berpakaian serba biru yang memegang 

sebilah pedang pusaka yang memancarkan sinar ke-

merahan membelalakkan mata. Raut wajahnya nam-

pak dipenuhi pertanyaan yang membutuhkan jawaban 

secepatnya.

Jaka dengan sikap tenang membalas tatapan 

mata lelaki berpakaian biru yang tak lain cucu Ki Dur-

ja Kelada. Itu diketahuinya dari ciri-ciri pakaian dan 

sebilah pedang pusaka yang pernah diceritakan 

Mayang Sutera dan Nyi Selasih.

"Siapa kau, Anak Muda. Dari mana kau tahu 

mengenai guruku?" tanya lelaki berpakaian biru yang 

berjuluk Dewa Petir.

Jaka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Le


laki muda nan digdaya yang berjuluk Raja Petir, mene-

bar pandangan ke arah kawan-kawan Dewa Petir yang 

bersiaga menunggu perintah pimpinannya.

"Tak sukar mengetahui nama seorang pencuri 

ulung seperti Ki Durja Kelada, Dewa Petir?!" tukas Ja-

ka tajam. 

"Heh?!"

Dewa Petir kembali terhenyak mendengar uca-

pan Jaka.

"Lancang sekali kau menghina kakekku! Kau 

harus mampus!" hardik Dewa Petir geram.

"Aku tidak merasa melakukannya, Dewa Petir. 

Aku hanya melakukan apa yang sepantasnya aku la-

kukan. Ucapanku hanya ingin memberitahukan ke-

nyataan yang sesungguhnya padamu. Ketahuilah, De-

wa Petir. Senjata pusaka yang dalam genggaman mu 

dan sabuk biru yang melilit di pinggangmu, milik al-

marhum Raja Petir yang telah dicuri sahabat seper-

mainannya sendiri. Sahabatnya itu, kakekmu. Seka-

rang, kau harus menyerahkan benda-benda peningga-

lan almarhum Raja Petir padaku selaku pewaris tung-

galnya," papar Jaka panjang lebar.

"Ha ha ha...!"

Di luar dugaan Jaka, lelaki yang berjuluk Dewa 

Petir terbahak mendengar ucapannya.

"Jadi, kaulah orang yang kucari selama ini. Ha 

ha ha....!"

Lelaki berusia tiga puluhan itu kembali tertawa. 

Wajahnya yang berahang kuat dan ditumbuhi kumis 

tipis bergerak-gerak lucu. Sementara rambutnya yang 

seperti tak terurus, berguncang-guncang seiring den-

gan tawa yang bernada meremehkan.

Jaka dan Mayang Sutera dengan sikap penuh 

waspada memandang lelaki bertubuh tegap yang ten-

gah tertawa.


"Raja Petir!" ucap Dewa Petir mantap sesaat se-

telah menghentikan tawanya. "Lebih baik kau buang 

mimpimu untuk mendapatkan benda pusaka yang be-

rada di genggamanku. Dan sebaliknya, serahkan sen-

jata pusaka yang di tanganmu kalau kau masih ingin 

melihat matahari esok pagi," lanjut Dewa Petir dengan 

tatapan meremehkan.

Jaka mendengus mendengar ucapan cucu Ki 

Durja Kelada yang sarat dengan kesombongan.

"Dan jangan coba-coba menggunakan julukan 

Raja Petir, selagi Dewa Petir masih melanglang jagat di 

rimba persilatan," lanjut Dewa Petir.

"Dewa Petir!" balas Jaka menghardik. "Gertakan 

mu mungkin membuat tikus-tikus comberan lari terbi-

rit-birit. Tapi gertakan itu bagiku hanya penggelitik sa-

ja, sedikit pun aku tak melihat kekuatan dalam gerta-

kan kosong itu."

"Kalau begitu kita buktikan sekarang. Siapa di 

antara kita yang lebih pantas memiliki benda pusaka 

yang berada di genggaman masing-masing. Dan jangan 

menyesal kalau aku keluar sebagai pemenang," tan-

tang Dewa Petir sambil mengangkat pedang pusaka ke 

atas.

Pedang pusaka yang bernama Pedang Petir itu 

teracung ke udara, sinarnya yang kemerahan memen-

dar-mendar, menimbulkan perbawa yang menggi-

riskan. Langit seketika berubah mendung. Dan sekali 

terdengar guntur di kejauhan.

"Kau dengar itu, Raja Petir?" tanya Dewa Petir 

sombong, "Gemuruh yang kau dengar menandakan 

aku yang lebih pantas berjuluk Dewa Petir. Dengan 

terdengarnya guntur yang bersahut-sahutan, maka 

kekuatan senjataku akan berlipat. Kau tak akan 

mungkin mampu menandingi ku," lanjut Dewa Petir 

dengan sikap jumawa.


"Pedang itu akan lebih sempurna lagi kedah-

syatannya jika berada di tanganku, Dewa Petir!" balas 

Jaka.

"Mari kita mulai!" tantang Dewa Petir. "Kalian

semua! Ringkus gadis cantik kawan Raja Petir itu. 

Akan ku santap tubuhnya yang molek setelah nyawa 

Raja Petir kukirim ke akhirat!" perintah Dewa Petir pa-

da empat lelaki yang masing-masing mengenakan pa-

kaian hijau, merah, putih, dan coklat.

Empat lelaki yang memiliki ilmu kesaktian ting-

gi segera berlompatan mengurung Mayang Sutera.

"Lelaki banci!" hardik Mayang Sutera jengkel 

melihat keempat lelaki yang siap menghadapinya.

"Hati-hati, Mayang," ucap Jaka.

***

Pertarungan Raja Petir dan Dewa Petir yang 

memperebutkan senjata-senjata pusaka peninggalan 

almarhum Raja Petir pun segera berlangsung seru.

Kedua tokoh muda yang berbeda aliran, saling 

menggempur dengan kelebihan ilmu silat yang mereka 

miliki. Suara pekikan kegeraman dan suara menggele-

gar akibat pukulan dahsyat kedua tokoh itu, turut me-

ramaikan jalannya pertarungan.

Jaka yang memiliki keunggulan dalam hal ke-

tenangan diri, membuat dirinya berada di atas lawan. 

Ketenangan pemuda itu sebenarnya mampu mem-

buatnya menghindari setiap serangan yang dilancar-

kan Dewa Petir. Tetapi yang dihadapi Jaka seorang to-

koh yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Tenaga da-

lamnya nyaris sempurna dan didukung senjata dan ju-

rus-jurus silat yang cepat dan membahayakan.

Berkali-kali tebasan dan sodokan tangan Dewa 

Petir hampir mengenai tubuh Raja Petir. Tapi dengan


menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sekali-

sekali digunakan bergantian dengan aji 'Bayang-

bayang', sodokan dan tebasan tangan cucu Ki Durja 

Kelada hanya membentur tempat kosong.

Dari keberhasilan Jaka menghindari setiap se-

rangan Dewa Petir, sudah cukup membuktikan bahwa 

Dewa Petir harus mengerahkan seluruh kemampuan-

nya jika ingin menundukkan cucu angkat Nyi Selasih. 

Dan itu dibuktikan Dewa Petir. dengan meloloskan sa-

buk biru yang melingkar di pinggangnya.

"Aku ingin tahu apa kau mampu menghadapi 

Sabuk Petir ku, Raja Petir," tukas Dewa Petir.

Tatapan matanya mencorong tajam sebagai 

tanda ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat 

tinggi.

"Sabuk curian itu bukan milikmu, Dewa Petir!" 

sangkal Jaka mantap. "Namun aku akan berusaha 

menghadapinya dengan sabukku yang sah ini!" lanjut 

Jaka seraya meloloskan sabuk kuning keemasan yang 

melilit pinggangnya.

Seberkas sinar kuning yang menyilaukan mata 

memendar-mendar, dan hawa dingin yang menyengat 

terasa menebar ke sekeliling sudut arena pertempuran.

Dewa Petir melihat wujud sabuk petir milik Ra-

ja Petir nampak lebih dahsyat, sedikit terkejut. Namun 

karena kepongahannya, lelaki itu berusaha menutupi 

keterkejutannya dengan lebih dulu mengambil tinda-

kan menyerang.

"Hiyaaa...!"

Tubuh lelaki berpakaian serba biru yang berju-

luk Dewa Petir bergerak ke kanan. Tangan kanannya 

yang mencekal sabuk berwarna biru seketika bergerak 

cepat

Ctar! 

Slats!


Seberkas sinar keperakan seketika melesat ce-

pat bagai petir menyambar. Sinar yang keluar dari le-

cutan sabuk biru Dewa Petir terus melesat memburu 

tubuh Jaka.

Raja Petir tentu saja tak ingin sinar keperakan 

itu menerjang tubuhnya, maka dengan menggunakan 

jurus 'Lejitan Lidah Petir', tubuh pemuda itu melesat 

cepat menghindari terjangan sinar keperakan.

"Hop!"

Dengan menghentakkan kakinya kuat-kuat, tu-

buh Jaka melesat ke udara. Begitu ringan tubuh laki-

laki berpakaian kuning keemasan bergerak ke atas dan 

berputaran dua kali. Dan ketika tubuhnya mendarat di 

tanah tanpa menimbulkan suara, Jaka segera menge-

butkan sabuk kuning yang berada di tangannya. 

Star!

Splash!

Seberkas sinar keperakan bagai petir menyam-

bar melesat dari sabuk kuning keemasan. Namun pada 

saat yang bersamaan, Dewa Petir pun melecutkan sa-

buknya dari arah yang berlawanan. Dua sinar kepera-

kan bagai petir saling melesat dari arah yang berlawa-

nan. Dan ketika dua sinar itu bertemu, suara mengge-

legar seperti gempa segera terdengar.

Glaaar...!

Bumi di sekitar tempat pertarungan bergun-

cang hebat. Empat lelaki mengenakan pakaian hijau, 

merah, putih, dan coklat terpengaruh oleh guncangan 

itu. Begitu juga lawan tanding empat lelaki anak buah 

Dewa Petir. Tubuh Mayang Sutera terhuyung meski te-

lah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk 

mengimbangi suara ledakan. Pertarungan empat lelaki 

gagah melawan seorang dara jelita bernama Mayang 

Sutera kembali berlanjut, ketika bumi yang bergun-

cang tak lagi dirasakan.


Mayang Sutera yang sudah menggunakan sen-

jata andalannya berupa payung berukuran kecil yang 

terbuat dari logam keras, berusaha sekuat tenaga me-

nekan lawan-lawannya.

Tetapi, keempat lelaki yang berjuluk Empat Ba-

rong Muara Kulon, bukan orang-orang kemarin sore 

yang mudah didesak lawan, terlebih Barong Hijau yang 

menjadi orang utama dari Empat Barong Muara Kulon.

Lelaki yang mengenakan pakaian hijau itu me-

miliki kemampuan lebih tinggi dari ketiga rekannya. 

Permainan senjatanya yang berupa sebuah rencong 

berukuran besar, amat membahayakan ke-selamatan 

Mayang Sutera. Berkali-kali ujung senjata Barong Hi-

jau mengancam tubuh Mayang Sutera. Namun berkat 

kecerdikan dan kecepatan gerak Dewi Payung Emas, 

semua serangan ganas yang dilancarkan Barong Hijau 

berhasil dimentahkannya.

Suatu ketika, dengan mengerahkan kekuatan 

tenaga dalamnya, Barong Hijau menusukkan sen-

jatanya ke lambung Mayang. Angin bercericitan mengi-

ringi tibanya serangan yang mematikan itu. Dewi 

Payung Emas tentu saja tak membiarkan senjata la-

wan melukai kulitnya, maka dengan kecepatan yang 

luar biasa Dewi Payung Emas meliukkan tubuh. Indah 

nian gerakan Mayang Sutera. Namun di balik keinda-

han itu tersembunyi sebuah serangan balasan yang 

dahsyat.

"Hih!"

Wuitt!

Sambaran payung yang terkembang menuju 

pangkal tangan Barong Hijau, membuat lelaki itu harm 

membuang diri ke kanan. Barong Hijau melakukan ge-

rakan yang tepat dengan bergulingan di tanah, hingga 

serangan Dewi Payung Emas dapat dielakkan. Namun 

karena kegeramannya, Mayang langsung melepaskan


senjatanya yang berupa gelang emas. 

Siiing...!

Suara berdesing terdengar, seiring dengan me-

lesatnya gelang kuning yang meluruk ke arah Barong 

Hijau yang sedang berguling-gulingan di tanah.

Tiga lelaki rekan Barong Hijau bernama Barong 

Merah, Barong Putih, dan Barong Coklat terkejut bu-

kan main. Salah satu di antara mereka segera bergerak 

cepat, mencegah luncuran gelang emas yang mengan-

cam punggung Barong Hijau.

"Hiaaa...!"

Tubuh Barong Merah melesat ke arah senjata 

Mayang Sutera yang meluncur deras. Dan ketika dua 

jengkal lagi senjata Dewi Payung Emas menghantam 

punggung Barong Hijau, Barong Merah mengayunkan 

senjatanya yang berupa sebilah golok besar. 

Tring!

Benturan keras tak dapat dielakkan lagi. Tubuh 

Barong Merah terhuyung dua langkah ke belakang, 

menandakan luncuran gelang emas Mayang Sutera di-

aliri kekuatan tenaga dalam tinggi.

Empat Barong Muara Kulon seketika saling 

berpandangan menyaksikan kehebatan serangan Dewi 

Payung Emas. Maka ketika Barong Hijau mengedipkan 

mata. Serempak keempat lelaki itu berloncatan mener-

jang Dewi Payung Emas secara bersamaan 

Mayang Sutera menghadapi serangan gencar 

empat lelaki yang berjuluk Empat Barong Muara Kulon 

merasa kerepotan. Serangan empat lelaki gagah yang 

bagai riak gelombang lautan itu mampu menutup 

ruang geraknya. Namun bukan Mayang Sutera jika ha-

rus menyerah begitu saja di tangan empat penge-

royoknya. Dengan segenap kemampuan dan didukung 

senjatanya yang berkelebatan cepat, membuat dirinya 

tak mampu ditundukkan lawan dalam waktu yang


singkat

Namun sekuat-kuatnya Dewi Payung Emas 

yang dicecar serangan-serangan ganas yang beruntun 

datangnya, maka bukan tidak mungkin jika salah satu 

serangan itu luput dari tangkisannya. Sebuah tendan-

gan menggeledek Barong Coklat tak kuasa dihindari

Mayang Sutera. Tendangan lurus yang mengarah ke 

perut Dewi Payung Emas mendarat dengan telak. 

Blukkk!

"Hek!"

Tubuh Mayang Sutera terpental deras ketika te-

lapak kaki Barong Coklat berhasil menghantam perut-

nya. Pekik tertahan keluar dari mulut Mayang Sutera. 

Dan pekikan itu cukup membuat perhatian Raja Petir 

terpecah.

"Mayaaang...!"

Jaka berteriak keras melihat tubuh gadis jelita 

itu terpental deras. Karena rasa cemas yang luar biasa, 

Jaka bermaksud menyongsong tubuh gadis jelita yang 

begitu dikasihinya.

Namun rupanya Dewa Petir yang licik segera 

memanfaatkan kesempatan yang ada. Sesaat ketika 

Jaka lengah, tubuh lelaki cucu Ki Durja Kelada ber-

kelebat cepat dengan kaki kanan terpentang lurus ke 

depan.

"Hiaaa...!"

Blagkh!

Tendangan lurus Dewa Petir mendarat telak di 

punggung Jaka. Langsung saja tubuh Jaka terhuyung 

jauh ke depan. Dan karena kerasnya tendangan Dewa 

Petit, Maka Jaka tak kuasa menahan keseimbangan 

tubuh, hingga pemuda itu jatuh bergulingan di tanah 

berdebu.


DELAPAN


Memang pantas dipuji daya tahan tubuh Jaka. 

Setelah mendapat terjangan keras, tubuh lelaki muda 

yang berjuluk Raja Petir itu kembali bangkit. Setitik da 

rah nampak terlihat di sudut bibirnya. Dan ketika Ja-

ka bangkit, yang pertama dicarinya adalah sosok 

Mayang Sutera yang tadi terpental deras terhajar ten-

dangan lawan. Sedikit rasa lega mengisi rongga dada 

Jaka ketika melihat tubuh Mayang Sutera berada da-

lam perlindungan seorang lelaki berpakaian putih yang 

tidak dikenalnya.

Lelaki yang menyangga tubuh Mayang Sutera 

berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya 

yang putih menampakkan rahang yang menonjol kuat, 

dan kumisnya yang tebal hitam membuat wajah itu 

nampak gagah. Tak berapa jauh dari lelaki itu, terlihat 

tiga lelaki lain berdiri menentang empat orang lawan 

Mayang Sutera

Hati Jaka bertambah lega melihat salah seo-

rang dari mereka itu dikenalnya sebagai murid utama 

Perguruan Partai Tameng Kencana, yaitu Yaya Mayada 

(Untuk mengetahui Yaya Mayada lebih jelas, silakan 

baca serial Raja Petir dalam episode 'Pencuri Kita-kitab 

Pusaka').

"Aku akan membantumu, Raja Petir," ujar Yaya 

Mayada mantap.

Dewa Petir melihat kedatangan empat lelaki ga-

gah yang diketahuinya berada di pihak Raja Petir me-

rasa geram bukan main. Dan kegeramannya dilam-

piaskan dengan menerjang Jaka.

"Hiaaa...!"

Sebuah serangan dahsyat berkelebat ke arah 

Jaka yang sudah siap meneruskan pertarungan. Piki


ran pemuda itu tak lagi tertuju pada Mayang Sutera 

yang telah dilindungi empat lelaki penolongnya. Sam-

baran tangan Dewa Petir yang tertuju lurus ke pelipis, 

mampu dielakkan dengan mengegoskan sedikit tubuh-

nya dengan kedudukan kepala dimiringkan ke kanan.

Dewa Petir dengan kecepatan yang luar biasa 

memutar balik serangannya yang mentah. Sambaran 

tangannya kembali berkelebat ke dada Jaka.

Wuuut!

"Uts!"

Raja Petir melompat mundur ke belakang se-

jauh tiga langkah. Kemudian melompat menjauh den-

gan melentingkan tubuh ke belakang seraya berputa-

ran dua kali. Dan ketika mendarat ujung kakinya me-

notol permukaan tanah hingga tubuhnya kembali me-

lesat semakin jauh.

Dewa Petir yang melihat tubuh Jaka semakin 

menjauh segera mengejarnya. Sosok tubuh yang terba-

lut pakaian serba biru itu berlompatan memburu so-

sok Raja Petir.

"Jangan lari kau, Pengecut!" hardik Dewa Petir 

di tengah lompatannya.

Jaka tak menimpali umpatan Dewa Petir. Hati-

nya senang dapat memancing Dewa Petir menjauhi 

pertempuran empat lelaki penolong Mayang Sutera dan 

empat lelaki anak buah Dewa Petir. Itu dilakukan Jaka 

karena pemuda itu tak ingin mereka menjadi sasaran 

kedahsyatan ilmu-ilmu andalannya yang akan segera 

dikeluarkan.

Ketika jarak dirinya dengan para penolong Ma-

yang Sutera sudah cukup jauh, Jaka menghentikan 

lentingan-lentingan tubuhnya yang cepat luar biasa. 

Begitu juga yang dilakukan Dewa Petir, untuk sekadar 

menjaga jarak.

"Aku bukan pengecut, Dewa Petir!" ucap Jaka


keras. "Aku hanya ingin mencari tempat yang cocok 

untuk pertarungan kita. Sekarang keluarkan seluruh 

kemampuanmu. Aku sebagai pewaris tunggal senjata

yang berada di tanganmu akan berusaha menjatuhkan 

mu!" lanjut Jaka mantap.

"Kau tak mungkin dapat melakukannya, Raja 

Petir!" balas Dewa Petir tak kalah mantap.

"Buktikan ucapanmu!" kilah Jaka.

"Baik!"

Dewa Petir melangkah mundur satu langkah. 

Dua telapak tangannya disatukan dan ditarik menem-

pel dada. Bersamaan dengan kakinya yang membentuk 

kuda-kuda rendah, mulut Dewa Petir bergerak-gerak 

seperti membaca mantera.

"Aji 'Bayu Maut'!"

Seiring dengan ucapan Dewa Petir yang menye-

but nama ajiannya dua telapak tangan yang saling me-

rapat seketika terpentang ke depan.

Wresss...!

Angin menderu yang menimbulkan hawa panas 

menyengat seketika itu juga tercipta dari hentakan 

tangan Dewa Petir. Angin kencang bagai angin puting 

beliung itu menyerbu tubuh Jaka.

Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ber-

juluk Raja Petir tidak mencoba menghadapi serangan 

Dewa Petir dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' atau 

jurus 'Hembusan Maut' yang dimilikinya. Raja Petir le-

bih memilih jurus 'Lejitan Lidah Petir' untuk memen-

tahkan serangan lawan.

"Hop! Hop!"

Tubuh Jaka berkali-kali mencelat dari tempat 

yang satu ke tempat yang lain, menghindari terjangan 

angin berhawa panas yang dilancarkan Dewa Petir da-

lam jurus aji 'Bayu Maut'.

"Hiaaa...!"


Wresss!

"Hop!"

Kembali tubuh Jaka melejit ke kanan. Tapi kali 

ini gerakan menghindar yang dilakukannya dibarengi 

dengan gerakan tangan yang menghentak, memberi-

kan serangan balasan dalam jurus 'Hembusan Maut!"

Hentakan tangan kanan Raja Petir menim-

bulkan serangkum angin deras yang meluruk, mener-

jang angin yang keluar dari aji 'Bayu Maut' Dewa Petir.

Plaaar!

Suara menggelegar terdengar memekakkan te-

linga ketika dua angin dahsyat bertemu di udara. Bumi 

seketika bergetar saat bunyi keras bagai tepukan dua 

tangan raksasa terdengar. Pohon-pohon kecil yang be-

rada di sekitar arena pertarungan bertumbangan. Sua-

sana bising meramaikan pertarungan yang berjalan a 

lot

"Julukanmu sebagai Raja Petir ternyata bukan 

julukan kosong. Kau memang hebat Raja Petir. Namun 

aku tak yakin kehebatanmu mampu menandingi ke-

dahsyatan Pedang Petir yang kudapat dari Eyang Durja 

Kelada. Bersiaplah mencium Liang lahat, Raja Petir!" 

ucap Dewa Petir menggelegar.

Dewa Petir kemudian menghunus sebilah pe-

dang pusaka yang diberi nama Pedang Petir. Pamor 

pedang yang memendarkan cahaya kemerahan sang-

gup membuat hati Jaka bergetar hebat. Terlebih ketika 

pedang almarhum Raja Petir itu teracung ke udara. 

Langit di tempat pertarungan berubah gelap. Awan ge-

lap bernaung di atas kepala Jaka, sementara suara 

guntur terdengar di kejauhan.

"Wroaaakh...!"

Dewa Petir memekik keras. Tubuhnya mencelat 

cepat seiring dengan hentakan kaki yang kuat pada 

permukaan bumi. Pedang pusaka yang berada di atas


kepala terayun-ayun mengerikan.

Terkejut hati Jaka mendapat serangan yang be-

gitu dahsyat. Terlebih ketika dilihatnya seluruh tangan 

Dewa Petir menjadi merah.

Wuuung! 

Suara mengaung terdengar ketika pedang pu-

saka yang berada di genggaman Dewa Petir berkelebat 

menebas leher Jaka.

Raja Petir segera bergerak cepat menghindari 

serangan. Jaka memang berhasil menghindari, namun 

tak urung tubuhnya terpental deras, tersambar angin 

deras yang keluar dari Pedang Pusaka Dewa Petir.

"Gila," ucap Jaka dalam hati setelah mampu 

menguasai diri.

Sementara Dewa Petir yang merasa berada di 

atas Jaka, semakin gencar melakukan serangan-

serangan mematikan. Pedang Petir yang berada di 

genggamannya terus berkelebat ke bagian-bagian me-

matikan tubuh Jaka. Sedang Jaka dengan sekuat te-

naga berusaha menghindari terjangan Dewa Petir. 

Meski untuk itu terpaksa harus jatuh bangun.

"Uts!"

Wuuung!

Tubuh Raja Petir mencelat dua tombak ke uda-

ra, maka angin tebasan pedang pusaka Dewa Petir 

menggetarkan ujung celananya, bahkan telapak kaki 

Jaka merasakan getaran itu.

"Berbahaya sekali jika pedang itu terus berada 

di tangan cucu Ki Durja," kata hati Jaka setelah tu-

buhnya mendarat dengan manis. "Aku harus me-

rebutnya, bagaimanapun caranya."

Sementara Dewa Petir menghentikan serangan, 

dan berdiri tegak memandang wajah Jaka. Namun da-

lam hati berbicara bahwa kalau dirinya harus me-

mainkan jurus pedang tingkat terakhir untuk menja


tuhkan Raja Petir.

"Hmmm.... Bocah ini harus ku gempur dengan 

jurus 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'," pu-

tus Dewa Petir dalam hati.

"Raja Petir!" panggil Dewa Petir menggelegar. 

"Kali ini aku tak akan memberimu kesempatan lagi, 

sudah cukup aku mengetahui sejauh mana ilmu yang 

kau miliki. Sekarang bersiaplah menghadapi jurus pe-

dang tingkat akhir. Jurus 'Pedang Petir Mengguncang 

Selaksa Naga' yang akan mengubur julukanmu yang 

terkenal di seantero rimba persilatan," tegas Dewa Petir 

mantap.

"Lakukanlah kalau kau mampu, Dewa Petir," 

sahut Jaka tanpa gentar sedikit pun.

Begitu Dewa Petir mendengar ucapan Jaka, ke-

dua kakinya segera direntangkan. Tangan kirinya yang 

diletakkan di depan dada, bergeser ke hulu pedang.

Pedang pusaka peninggalan almarhum Raja Pe-

tir yang kini jadi sengketa, digenggam kuat-kuat oleh 

Dewa Petir dengan kedua tangannya. Mata lelaki ber-

pakaian biru itu terpejam. Tubuhnya berguncang he-

bat, dan ketika guncangan itu berhenti dengan sendi-

rinya, tangan Dewa Petir yang menggenggam pedang 

pusaka terangkat ke atas. 

"Wroaaakh...!"

Dewa Petir memekik keras seiring dengan te-

rangkatnya pedang pusaka pada batas paling tinggi. 

Langit seketika menjadi gelap. Dan bunyi bergemuruh 

terdengar di kejauhan.

Glar! Glar! Glar!

Lidah petir berjulur-julur menjilat pedang pusa-

ka yang teracung tinggi-tinggi, begitu juga tubuh Dewa 

Petir. Berkali-kali jilatan lidah Petir menghantam tu-

buhnya. Itulah ilmu inti Dewa Petir yang diberi nama 

'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'. Tubuh De


wa Petir sedikit pun tak goyang ketika lidah-lidah petir 

menyambarnya.

Langit kembali terang-benderang ketika suara 

gemuruh itu mendadak hilang. Raja Petir melihat wa-

jah Dewa Petir menjadi begitu keras. Dan matanya me-

rah membara seperti mata seekor naga yang terluka.

Pada saat-saat yang menentukan itu, Jaka 

memutuskan akan menghadapi ilmu Dewa Petir de-

ngan aji 'Kukuh Karang' tingkat terakhir. Dirinya akan 

menciptakan tenaga suci yang pernah dikatakan Nyi 

Selasih. Maka Raja Petir segera mundur satu langkah.

Dan pada kedudukan kaki membentuk kuda-kuda 

rendah, Jaka menarik kedua tangannya ke atas kepa-

la. Sementara tarikan napas halus, tercipta seiring 

dengan rentangan tangan yang menimbulkan gemere-

takan otot-otot tangan dengan jari terkepal.

Tangan yang terentang dengan jari-jari men-

gepal, ditarik menyilang ke depan dada. Dan semua ge-

rakan yang dilakukan Jaka dengan mengerahkan selu-

ruh kekuatan tenaga dalam dan segenap kepekaannya, 

membuahkan hasil yang amat menakjubkan. Tubuh 

lelaki muda usia yang memiliki kesaktian tinggi kini 

terbungkus sinar kuning keemasan. Sinar kuning 

membungkus dari kepala hingga ujung kaki.

Dalam keadaan tubuh terbungkus ajian aji 

'Kukuh Karang', Raja Petir masih memancing sebentuk 

kekuatan suci yang selalu ada pada orang-orang yang 

berada di pihak kebenaran. Pemuda itu pun meme-

jamkan mata.

Melihat kedudukan lawan seperti itu, Dewa Pe-

tir segera menghentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya 

melesat cepat ke arah Jaka dengan sebilah pedang te-

racung di atas kepala, yang menimbulkan ledakan-

ledakan bak gemuruh petir.

"Hiaaa...!"


Wuuung! Wuuung!

Suara petir menggelegar terdengar memekak-

kan telinga. Tanpa merubah kedudukannya dan den-

gan mata masih terpejam, tubuh Jaka bergeser dengan 

sendirinya dari satu tempat ke tempat lain. Hingga te-

basan pedang pusaka Dewa Petir berkali-kali memben-

tur tempat kosong.

"Keparat!" maki Dewa Petir berang bukan main. 


SEMBILAN



Kembali Dewa Petir menghentakkan kaki kuat-

kuat. Tubuhnya melesat cepat dengan pedang pusaka 

yang memendarkan sinar kemerahan bergerak-gerak di 

atas kepala. Gerakan menebas leher lawan akan dilan-

carkan Dewa Petir.

"Hiaaa...!"

Wuuung!

Tap!

Di luar dugaan Dewa Petir, telapak tangan Jaka 

yang berada pada kedudukan menyilang, bergerak ce-

pat menangkap sambaran pedang pusaka yang terarah 

ke batang leher. Ujung pedang pusaka yang menjadi 

sengketa, kini terjepit dua telapak tangan Jaka.

Dewi Petir tentu saja murka bukan main mene-

rima kenyataan ini. Segala bentuk kemurkaannya di-

lampiaskan dengan menarik pulang senjata yang di-

tangkap dua telapak tangan Raja Petir.

"Hiaaa!"

Dengan amarah meluap serta segenap keku-

atan tenaga dalam yang dimiliki, Dewa Petir terus be-

rusaha menarik pulang senjatanya. Sementara Raja 

Petir yang merasakan tubuhnya seperti sedang dialiri 

sebentuk kekuatan asing, sedikit pun tak nampak


mengeluarkan tenaga untuk mempertahankan pedang 

pusaka yang berhasil ditangkapnya.

Dengan kepekaan penuh dan dibantu kelebihan 

aji 'Kukuh Karang' yang memiliki daya serap tinggi. 

Jaka melakukan gerakan yang menurut Dewa Petir 

akan mencelakakan dirinya sendiri. Tangan kiri Jaka 

perlahan ditarik ke samping kiri, seolah hendak mele-

paskan jepitan pada ujung pedang pusaka, tapi kenya-

taannya?

Setelah tangan kiri Jaka terpisah dari ujung pe-

dang. Sedikit pun batang pedang pusaka itu tak ber-

geser dari tempatnya. Meski Dewa Petir dengan kekua-

tan tenaganya menarik pulang pedang pusaka, namun 

pedang itu seperti menempel kuat pada telapak tangan 

Jaka.

"Maaf, Dewa Petir. Terpaksa aku harus meng-

hempaskan tubuhmu dan merebut kembali pedang 

pusaka yang menjadi hakku," ucap Raja Petir dengan 

gema suara memantul ke seluruh penjuru arena perta-

rungan.

Dewa Petir tersentak mendengar ucapan Raja 

Petir. Dengan kekuatan tenaganya, lelaki itu terus be-

rusaha menarik pulang senjata andalan yang selama 

ini telah banyak membantunya. Namun ternyata per-

buatan Dewa Petir hanya sia-sia belaka. Sedikit pun 

Pedang Petir tak bergerak dari telapak tangan Jaka.

"Maaf sobat, aku terpaksa harus melakukan-

nya!" tukas Raja Petir seraya memutar-mutar tangan 

kirinya memainkan jurus ampuh 'Hembusan Maut'

"Hih!"

Wruuus!

Blargkh!

Tubuh Dewa Petir terpental deras ketika sam-

baran jurus 'Hembusan Maut' menerpa dengan telak 

dadanya. Tubuh tegap yang terbalut pakaian serba bi


ru itu terus melayang bagai daun dihembus angin 

kuat. Pekik kesakitan yang terdengar serasa memantul 

pada sudut-sudut arena pertarungan.

Brugkh!

Tubuh cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk De-

wa Petir ambruk ke tanah, setelah melayang sejauh 

empat tombak. Namun memang pantas dipuji daya ta-

han tubuh Dewa Petir. Meski dadanya telah terhantam 

pukulan sakti Jaka, tubuh lelaki itu kembali bangkit 

berdiri walaupun terhuyung-huyung. Dewa Petir melo-

loskan sabuk biru yang membelit pinggangnya. Dan 

dengan mengandalkan tenaganya yang tinggal sedikit, 

Dewa Petir bergerak lamban menyerang Jaka.

Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sebetul-

nya tak tega harus menggedor kembali tubuh lawan, 

tapi karena serangan-serangan Dewa Petir masih men-

gandung ancaman maut, maka Raja Petir terpaksa 

membendung gerakan Dewa Petir dengan pukulan ja-

rak jauh.

"Hiaaa...!"

"Hih!"

Bragkh!

Tubuh Dewa Petir kembali terjerembab ketika 

pukulan jarak jauh Jaka menerpa telak bagian perut-

nya.

"Hoeeekh!"

Seiring dengan muncratnya cairan merah ken-

tal dari mulut cucu Ki Durja Kelada, nyawa Dewa Petir 

pun pergi meninggalkan raga. Dan tubuh lelaki berpa-

kaian biru itu terbujur kaku.

***

Dengan tatapan sedih Jaka memandang tubuh 

Dewa Petir yang telah menjadi mayat Sementara Pe


dang Petir yang memiliki perbawa menggiriskan, terge-

letak satu setengah tombak di samping kanan Dewa

Petir.

Jaka mengalihkan tatapannya pada pedang pu-

saka. Sebentuk perasaan asing yang amat kuat dirasa-

kan Jaka menarik-narik hasratnya untuk meraih pe-

dang pusaka.

Jaka pun meneliti pedang pusaka peninggalan 

almarhum Raja Petir yang berada di genggamannya. 

Secara seksama diperhatikannya tangkai pedang yang 

begitu indah, tangkai itu berwarna kuning kemerahan-

merahan seperti tembaga.

Jaka terkejut melihat batang pedang tiba-tiba 

raib seiring dengan mengendurnya seluruh otot-otot 

tubuhnya. Namun pikiran cerdik Jaka cepat menarik 

kesimpulan, tubuh pedang yang berbentuk lidah petir 

yang memendarkan sinar kemerahan, akan nampak ji-

ka seseorang yang memegang senjata pusaka itu men-

gerahkan tenaga dalam tingkat tinggi.

Karena rasa penasaran akan keunikan Pedang 

Petir, secara tak sengaja Jaka mengangkat senjata itu 

melewati batas kepala. Keanehan seketika terjadi. Jaka 

merasakan tubuhnya seperti diputar-putar oleh seben-

tuk kekuatan tak terlihat. Karena putaran tenaga aneh 

itu semakin kuat, Jaka segera mengerahkan tenaga

dalamnya untuk mengimbangi kekuatan gaib itu. Aki-

batnya....

Langit seketika berubah gelap, bunyi guntur 

menggelegar terdengar di kejauhan. Beberapa saat la-

manya suara guntur terdengar samar, namun pada 

saat berikutnya suara itu terdengar jelas, seperti mele-

dak-ledak di atas kepala Jaka.

Glarrr! Glarrr!

Prefs! Prefs!

Sinar keperakan yang tak lain lidah petir, me


nyambar berkali-kali, menerpa tubuh Jaka dan pedang 

pusaka yang terangkat tinggi di atas kepala. Hawa pa-

nas dirasakan Jaka menjalar dari bagian ujung pe-

dang. Hawa panas yang membuat tubuh Jaka mengge-

letar terus merambat hingga ujung kakinya. Pada saat 

itu tubuh Jaka merasakan sebuah kekuatan gaib dua 

kali lipat besarnya. Dan ketika Jaka membawa turun 

Pedang Petir yang teracung di atas kepala, sinar petir 

pun memancar dari ujung pedang pusaka, dan langit 

mendadak terang seperti semula.

"Aaah...."

Jaka menarik napas panjang, mengingat di-

rinya telah berhasil menjalankan amanat Nyi Selasih. 

Seiring dengan tarikan napas yang terasa melonggar-

kan dada, mata Jaka tertumbuk pada sehelai sabuk 

yang tergeletak di tanah.

Jaka menghampiri sabuk biru yang juga bagian 

dari pusaka peninggalan almarhum Raja Petir. Diraih-

nya sabuk yang tergeletak itu dengan dada berdebar-

debar.

"Ah!"

Jaka terkejut menyaksikan keanehan yang ter-

jadi. Sewaktu pemuda itu mengenakan sabuk biru, sa-

buk itu seakan menelusup masuk ke dalam sabuk 

kuning keemasan yang melingkar di pinggangnya. Dan 

yang membuat Jaka lebih tercengang, warna sabuk 

yang kini membelit pinggangnya berubah menjadi hi-

jau.

"Heh?!"

Rasa penasaran rupanya membuat Jaka segera 

menggerakkan tangannya, meloloskan sabuk yang kini 

berwarna hijau.

"Ah, sungguh menakjubkan kejadian ini," ucap 

Jaka dalam hati. "Benar apa yang diucapkan Nyi Sela-

sih," lanjutnya dengan sepasang bola mata tak lepas


memandang wujud Sabuk Petir yang kini berubah 

berwarna hijau.

"Aaakh...!"

Sebuah pekikan melengking tinggi ke angkasa, 

menyadarkan Jaka akan keterpakuannya pada benda-

benda pusaka peninggalan orangtua Nyi Selasih.

Seketika itu juga pikirannya teringat pada Ma-

yang Sutera. Kekhawatiran pun menguasai hatinya. 

Dengan gerakan cepat Jaka membelitkan sabuk hijau 

pada pinggangnya, dan dengan memegang sebilah pe-

dang bernama Pedang Petir, Jaka berlari cepat ke arah 

pertarungan berlangsung.

Lega hati Jaka melihat tubuh Mayang Sutera 

berdiri tegak tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. 

Sementara seorang lelaki gagah yang dikenal Jaka se-

bagai anak buah Dewa Petir nampak ter-kulai lemah di 

tanah. Dari mulut lelaki gagah yang bernama Barong 

Merah, terlihat becak darah yang telah menghitam. 

Pada tempat lain terlihat tiga mayat lelaki berpakaian 

hijau, putih, dan coklat yang tak lain rekan Barong 

Merah, yang jika bersatu berjuluk Empat Barong Mua-

ra Kulon.

Tatapan mata Jaka terus berkeliling meman-

dang empat lelaki penolong Mayang Sutera yang ten-

gah berdiri menatap tubuh Barong Merah. Ketika tata-

pan mata Jaka menangkap sosok tegap Yaya Mayada, 

sebuah senyum pun tergurat di wajah Jaka. Senyum 

yang mewakili ucapan Jaka yang bermaksud terimaka-

sih.

Mayang Sutera yang baru menyadari kehadiran 

Jaka segera menghambur mendekati sosok muda yang 

berjuluk Raja Petir.

"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Mayang 

Sutera khawatir.

"Seperti yang kau lihat, Mayang. Sedikit pun


aku tak berkurang. Malah sebaliknya, aku menda-

patkan ini," jawab Jaka sambil mengacungkan Pedang 

Petir.

"Hanya tangkainya saja, Kakang?" tanya Ma-

yang Sutera dengan bola mata terbelalak heran.

Jaka hanya tersenyum mendengar pertanyaan 

gadis jelita itu. Kemudian tangan pemuda itu merang-

kul bahu gadis yang dikasihinya.

"Nanti ku jelaskan pertanyaanmu itu, Mayang. 

Sekarang mari kita temui empat lelaki yang telah me-

nolongmu," ujar Jaka pelan.

"Ayo, Kakang," sambut Mayang Sutera seraya 

melangkahkan kaki ke arah Yaya Mayada, murid uta-

ma Perguruan Partai Tameng Kencana.

"Terima kasih atas bantuan yang telah kalian 

berikan," ucap Jaka setelah jarak mereka hanya ting-

gal setengah tombak. "Tanpa bantuan kalian aku tak 

mungkin dapat menaklukkan Dewa Petir," lanjut Jaka.

Empat lelaki yang telah membantu Mayang Su-

tera menghadapi anak buah Dewa Petir hanya terse-

nyum mendengar perkataan merendah Jaka.

"Apa yang kami lakukan tidak berarti apa-apa, 

jika dibandingkan dengan sepak terjang mu yang sela-

lu mencegah keangkaramurkaan," kilah lelaki berusia 

sekitar empat puluh lima tahun yang mengenakan pa-

kaian putih.

"Terima kasih, Kisanak. Bolehkah aku tahu 

siapa kalian yang telah berjasa melindungi kawanku 

ini?" tanya Jaka kemudian.

"Panggil aku Ki Suryadika," jawab lelaki berpa-

kaian putih. "Sedang yang berpakaian kelabu murid-

muridku, Raja Petir. Nama mereka Tudawa dan Sata-

gi," lanjut Ki Suryadika.

"Aku Yaya Mayada, Raja Petir. Kau masih men-

gingat nama itu bukan?" terdengar suara lelaki bertu


buh tegap.

"Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang 

Yaya," sahut Jaka sopan. "Terima kasih atas ban-

tuanmu," sambung Jaka.

"Ah, jangan berkata seperti itu, Raja Petir. Budi 

baikmu pada perguruanku tidak setimpal dengan yang 

kulakukan saat ini. Aku belum bisa membalas kebai-

kanmu itu," kilah Yaya Mayada.

Jaka tak menyanggah ucapan Yaya Mayada, 

bola mata Jaka hanya merayapi wajah murid Pergu-

ruan Partai Tameng Kencana. 

"Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki Ran-

tasanu, Kakang Yaya," ucap Jaka kemudian.

"Dengan senang hati akan kusampaikan salam 

mu, Raja Petir," sahut Yaya Mayada.

Tatapan Mata Jaka kini beralih pada Ki Sur-

yadika dan dua muridnya.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas ban-

tuan kalian," ucap Jaka sambil menundukkan kepala. 

"Mudah-mudahan aku dapat membalas budi baik yang 

telah kalian berikan. Dan jika aku tak sempat, maka 

orang lain yang akan membalas kebaikanmu, Ki Su-

ryadika," lanjut Jaka sopan.

"Apa yang kulakukan ini datang dari perasaan 

hati yang ikhlas, Raja Petir," sambut Ki Suryadika.

"Terima kasih, Ki Suryadika. Aku dan kawanku 

mohon permisi," tukas Jaka. "Masih ada keperluan lain

yang harus kami selesaikan."

"Silakan, Raja Petir. Silakan," tukas Ki Sur-

yadika.

Mata Jaka kembali menatap wajah Yaya Maya-

da

"Aku juga, Kakang Yaya, Ki Suryadika. Terima 

kasih atas pertolongan kalian," tambah Mayang Sutera 

dengan suara lembut.


Ki Suryadika dan kedua muridnya, serta Yaya 

Mayada bersamaan menganggukkan kepala.

Maka saat itu juga Jaka dan Mayang Sutera 

menghentakkan kaki mereka. Cepat dan ringan gera-

kan yang dilakukan Raja Petir dan Dewi Payung Emas. 

Hingga dalam sekejap mata, tubuh mereka sudah jauh 

meninggalkan Ki Suryadika dan Yaya Mayada.



                             SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar