..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE SATRIA PEDANG ASMARA

Satria Pedang Asmara

 

SATRIA PEDANG ASMARA

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-

ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Satria Pedang Asmara


SATU


Lembah Patah Hati merupakan sebuah dataran 

curam yang selalu berselimut kabut abadi hampir se-

panjang musim. Sangat jarang mahluk hidup betah 

tinggal di sana. Tidak dapat ditaksir seberapa dalam 

lembah yang selalu memberi kesan angker itu. Karena 

tak seorangpun manusia yang berani menjejakinya. 

Sepintas lalu, tempat itu tidak menarik perhatian. Ju-

stru di sana tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidu-

pan. Sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sampai 

saat ini, telah banyak kalangan persilatan dari berba-

gai golongan. Yang mencoba-coba untuk menyingkap 

rahasia Lembah Patah Hati, hilang raib tak tentu rim-

banya. Bahkan tak satu pun diantara orang-orang ne-

kad itu ada yang kembali dengan selamat.

Namun di luar sepengetahuan kalangan mana-

pun, beberapa tahun terakhir. Setiap malam menjelang 

saat-saat bulan purnama memancarkan cahaya kun-

ing kemilau. Dari lembah yang sangat sunyi itu, ter-

dengar lantunan sair-sair yang begitu menyentuh kal-

bu. Dewa kayangankah yang telah melantunkan bait-

bait sair bernada sebuah keputus asaan itu? Ataukah

hantu yang bergentayangan atau sebangsa iblis yang 

merasa kecewa karena tak mampu menggoda hati seo-

rang Brahma? Tak seorangpun yang mampu menga-

takan begitu. Tapi apabila kita mau melihat secara le-

bih dekat lagi apa sesungguhnya yang terjadi di tempat 

itu. Maka akan terlihatlah sosok tubuh bertelanjang 

dada sedang duduk di atas sebongkah batu besar. Me-

lalui cahaya rembulan yang hanya mampu menembus 

kepekatan kabut secara samar-samar itu, dengan jelas 

bahwa sosok tubuh itu merupakan ujud seorang ma-

nusia yang berusia masih begitu muda. Bahkan


mungkin usianya baru berkisar dua puluh lima tahun.

Pemuda itu dalam keadaan duduk bersila, di 

pangkuannya terlihat sebuah pedang dengan rangka 

berbentuk selembar daun Waru, sedangkan di tengah-

tengah bentuk daun Waru itu terlihat pula sebuah hia-

san lain yang merupakan sebatang anak panah yang 

menembus daun Waru tadi. Kira-kira seperti itulah 

bentuk warangka pedang yang berada dalam pang-

kuan laki-laki muda berbadan kekar tinggi, namun 

berwajah totol-totol bagai orang yang pernah terserang 

penyakit cacar. Tidak tampan, namun justru memberi 

kesan angker.

Siapakah pemuda berpenampilan angker dengan 

sorot mata dingin dan hampa ini? Tak seorangpun ka-

langan persilatan yang mengenalnya. Bahkan asal 

usulnya pun tidak jelas. Hanya sang waktu sajalah 

yang mengetahuinya. Bahkan mulai saat pertama kali 

dia menerjunkan dirinya ke dasar jurang Lembah Pa-

tah Hati. Saat itu dengan caranya yang nekad dia ber-

harap maut segera akan menjemputnya. Dia ingin me-

ninggalkan dunia ini dengan membawa sejuta kecewa 

dan penderitaan batin yang kian menghimpit kehidu-

pannya. Ah, sayang dengan caranya itu kiranya maut 

masih belum sudi membebaskan dirinya dari derita 

panjang. Lembah Patah Hati rupanya ditumbuhi den-

gan pohon-pohon menjalar dan berdaun rindang. Tu-

buh yang sudah pasrah dalam menyongsong belaian 

sang maut itu tersangkut di atas ranting-ranting pohon 

yang tidak terhitung jumlahnya. Dia merasa putus asa 

dan mulai mencaci maki keadaan. Hanya keadaanlah 

yang dapat dipersalahkannya.

Dalam hati sering kali dia bertanya-tanya, men-

gapa dulu dia tak terlahir dari rahim seorang ibu yang

kaya raya, bapak berpangkat dan memiliki pengaruh 

yang luas dalam lingkungan masyarakatnya. Sehingga


semua orang akan menghormati dirinya atau bahkan 

menjunjung dirinya tinggi-tinggi, karena pangkat dan 

keberadaan orang tuanya. Tapi mengapa justru dia ter-

lahir dari rahim seorang ibu pedagang Ikan Asin dan 

bapak seorang juragan Tape Uli. Yang selama hidup-

nya tak pernah memberi kasih sayang yang cukup dan 

bahkan sering pula menyiksa dirinya. Ketika pemuda 

muka totol-totol itu mendapatkan dirinya tidak juga 

mati, saat dia telah menghempaskan tubuhnya ke da-

lam jurang. Betapa hatinya merasa sangat kecewa. Se-

benarnya pemuda itu ingin bunuh diri dengan mem-

pergunakan senjata tajam. Namun dia merasa tak 

mampu untuk melakukannya ketika melihat kilatan 

pisau yang begitu tajam. Jalan satu-satunya adalah 

dengan cara yang telah ditempuhnya itu, namun tidak 

juga berhasil. Sebuah ketololan memang pernah dia 

lakukan, namun hal itu telah berlalu kira-kira tiga ta-

hun yang lalu. Ketika itu, dia merupakan seorang pe-

muda biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa, 

jangankan lagi yang berupa harta benda. Kini setelah 

tiga tahun berada di dasar lembah yang sangat,. me-

nakutkan itu, keadaannya telah berubah sama sekali. 

Baik pisik maupun kekuatan batin. Saat sekarang dia 

telah berubah menjadi seorang Andika yang memiliki 

kepandaian sangat tinggi bahkan mustahil dapat dika-

lahkan oleh siapapun.

Dengan pedangnya yang bernama Pedang Asma-

ra, pemuda itu merasa begitu yakin mampu memenuhi 

ambisi sebagai pelampiasan sakit hati yang selama ini 

hampir membuat dirinya celaka. Lesmana, saudagar 

Legawa dan Bergawa Hitam adalah nama-nama yang 

tidak dapat dia lupakan. Namun pabila pemuda berwa-

jah, totol-totol itu teringat kembali pada orang-orang 

ini. Rasa penasarannya kian memuncak, hati panas 

bagai terbakar. Lalu dia pun menggeram marah:


"Hemm... Orang-orang sombong, harta dunia menjadi 

tolak ukur tinggi rendahnya derajat dan martabat se-

seorang. Lesmana berlegalah kau karena menjadi seo-

rang anak Tumenggung. Dan saudagar Legawa, manu-

sia tengik tak tahu diri. Gila kehormatan namun tak 

pernah menghiraukan penderitaan anak sendiri... ah... 

sedangkan aku...!" Kata-kata Andika itu terhenti tiba-

tiba. Wajahnya menunduk dengan air mata hampir 

runtuh. Namun terburu-buru dia tengadahkan wajah-

nya agar air mata yang telah lama mengering tidak lagi 

menggelinding jatuh. Hatinya terasa sedih bagai tertu-

suk-tusuk sembilu.

Di saat lain Andika teringat pada sesosok wajah 

seorang gadis yang begitu sangat dicintainya. Wajah 

orang yang sangat dikasihinya itu kembali menari-nari 

di pelupuk matanya. Gadis itu memang tidak begitu 

cantik, bahkan lebih cantik bila dibandingkan kekasih-

kekasihnya yang dulu. Cintanya yang pertama harus 

berakhir dengan kekecewaan, karena orang tuanya te-

lah menjodohkan kekasihnya itu dengan seorang kepa-

la desa. Kemudian Andika membina hubungan lagi 

dengan seorang gadis keturunan tiongkok, semuanya 

berjalan begitu baik. Bahkan gadis yang bernama Lan 

Sui itu memberinya cinta yang berlebih. Namun hu-

bungan itu tak begitu lama, karena gadis berkulit pu-

tih itu meninggal dunia dengan penyakit yang tak begi-

tu jelas. Saat itu Andika memang benar-benar merasa 

sangat kehilangan sekali, selama ini dia memang ku-

rang begitu memperhatikan Lan Sui yang sangat setia 

itu. Dalam beberapa bulan hanya sekali saja dia me-

nemui Lan Sui. Barulah ketika ajal datang menjemput.

Andika menyadari, betapa dia merasa kehilangan 

seorang kekasih yang selama ini selalu merindukan 

kehadirannya. Mulai saat itu dia berjanji pada dirinya 

sendiri untuk mencari seorang pengganti. Andainya


penggantinya itu dia dapatkan, Andika bertekad untuk 

menjadikannya seorang istri sampai akhir hidupnya. 

Kenyataannya dalam perantauannya itu dia menemu-

kan seorang gadis yang tidak begitu cantik. Entah 

mengapa Andika tertarik dan jatuh cinta kepadanya. 

Gadis itu terdidik dalam ilmu agama yang sangat diya-

kininya. Mungkin hal itu yang membuat dia merasa 

tertarik. Sayang, orang tuanya yang saudagar itu tak 

memberinya restu. Bahkan pada Andika selalu bersi-

kap sinis. Tiada pertemuan yang terjadi di antara me-

reka, terkecuali pabila larut malam. Dan itu-pun seca-

ra rahasia dan saling berbisik pada sebuah tembok.

Sampai suatu saat, Andika mendengar pembica-

raan suami istri saudagar itu. Tidak sengaja, hanya se-

cara kebetulan belaka. Ah betapa saudagar itu ingin 

menjodohkan anaknya dengan putra seorang Tumeng-

gung. Selain itu dia juga mendengar kata-kata yang 

sangat menyakitkan. Hatinya terasa perih, tiada dia 

menyangka orang sebaik saudagar Legawa memiliki 

prinsip lain dalam soal harta keduniawian. Padahal dia 

merupakan seorang penganut agama yang taat. Mulai 

saat itu, Andika yang menjadi tetangga saudagar Le-

gawa sudah tidak ingin memikirkan tentang Indah De-

wi kekasihnya. Tapi semudah itu telah dia mampu me-

lupakannya? Ternyata tidak semudah itu, setiap saat 

Andika ingin membunuh cinta, tetapi justru rasa 

sayang itu semakin melekat. Dia tidak mampu, inilah 

satu ketololan yang tak pernah terjadi sebelumnya. 

Akhirnya dengan membawa kekecewaan yang menda-

lam pergilah pemuda itu, satu tujuan yang pasti. Dia 

ingin secepatnya sampai di Lembah Patah Hati

Kembali pada si pemuda berwajah totol-totol yang 

masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketika itu uda-

ra di dasar Lembah Patah Hati terasa begitu dingin 

menggigit. Tetapi Andika yang sudah terbiasa dengan


keadaan seperti itu tidak pernah menghiraukannya. 

Tubuhnya yang telanjang dada seolah tiada merasakan 

hawa dingin itu. Lewat keremangan cahaya bulan di-

perhatikannya batu demi batu yang menjadi dinding 

Lembah Patah Hati. Pada permukaan batu pualam 

yang licin lagi keras, tertulis tulisan-tulisan yang beru-

pa guratan tangan yang pernah dibuatnya sendiri da-

lam beberapa tahun yang lalu. Andika tersenyum sinis 

ketika membaca tulisan-tulisan itu.

Tiada kesan lucu, sebaliknya terasa menyakitkan 

dan menusuk. Untuk beberapa saat, pemuda itu diam

mematung. Namun tanpa disadarinya jemari-jemari 

tangannya mengejang. Tiba-tiba dia melompat ke de-

pan batu lainnya yang masih bersih dan belum terja-

mah oleh sentuhan tangan. Selanjutnya dengan ujung 

jemari tangannya yang telah dialiri tenaga sakti, Andi-

ka mulai menggores batu berpermukaan rata itu:

Kepada nasib yang tidak pernah berpihak pada 

kaum yang lemah. 

Sang waktu bergulir, enggan menyapa... 

Dan aku berdiri di sini dalam sunyi sendiri 

Karena aku hanya sebentuk Biang Lala... 

Malam senandungkan sebait syair duka,

Di atas setumpuk surat cinta yang hampir basi 

Rohku mengambang dihempas keputusasaan. 

Namun sang maut kuharap

Tidak kunjung datang.....

Ohh....

Hempasan angin malam, datang dan datanglah...

Terbangkan diri dari sebuah nama,

Enyahkan cinta yang selalu datang membelenggu 

Agar jiwa menjadi damai.....

Selesai menggoreskan kata-kata hatinya di atas


batu mar-mar yang berada di depannya pemuda ber-

wajah totol-totol itu nampak memperhatikannya seje-

nak. Mendadak sepasang matanya yang selalu mena-

tap hampa itu berubah menjadi liar dan beringas.

"Para dewata yang agung! Mengapa aku tak 

mampu melupakannya hingga sampai saat ini? Kepa-

raaat...!" maki Andika. Saat itu entah apa yang sedang 

bergejolak di dalam hatinya. Mendadak bagai orang 

yang sedang kesurupan, Andika rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada. Sebentar saja kedua tangan 

yang terangkap itu nampak menggeletar, wajahnya 

yang berkulit kuning langsat itu, tiba-tiba berubah ke-

lam membesi. Selanjutnya dengan dibarengi teriakan 

melengking tinggi dan terasa menggetarkan dinding-

dinding lembah pemuda itu hantamkan kedua tangan-

nya ke arah sebungkah batu sebesar gajah;

"Wuuuuss.....!"

Serangkum gelombang sinar yang menimbulkan

rebawa aneh, melesat sedemikian cepatnya dengan 

menimbulkan hembusan angin yang sangat kencang. 

Rebawa aneh itu terus melesat bersama hembusan an-

gin dan langsung menghantam sasarannya.

"Broool....!"

"Gleduk! Gleduk.... Gledukh...!"

Lamping batu pualam putih hancur berkeping-

keping. Debu dan serpihan-serpihan batu kecil ber-

hamburan. Lembah Patah Hati bagai dilanda gempa 

bumi dengan guncangan yang sangat hebat. Namun ti-

dak sampai di situ saja tindakan Andika, diliriknya se-

batang pohon yang memiliki ranting sangat rapat dan 

berdaun rimbun. Begitu teringat jurus Pedang Asmara, 

tanpa ragu lagi dia mencabut senjata sakti yang memi-

liki kekuatan gaib itu. 

"Triiing...!"

Mula-mula begitu senjata sakti itu tergenggam di


tangannya. Andika tiada merasakan apa-apa. Pedang 

Asmara seperti tak memiliki pamor seperti apa yang 

tertulis di dinding gua. Lama dipandanginya senjata 

sakti itu. Tak ada yang berubah, namun ketika pemu-

da itu teringat pada Indah Dewi, dan orang-orang yang 

telah membenci dirinya. Mendadak senjata itu menge-

luarkan bunyi mendengung. Seperti ada tenaga yang 

tak terlihat menggerakkan pedang itu. Suara menden-

gung yang ditimbulkannya, semakin lama semakin 

bertambah keras. Andika jadi terpengaruh dengan 

adanya sesuatu yang tiada terlihat merasuki jiwanya. 

"Haiiiiaaat.....!"

Pemuda berwajah totol-totol inipun kembali men-

geluarkan bentakan kerasnya. Dengan kecepatan yang 

sangat sulit untuk diikuti kasat mata, tubuhnya me-

lenting ke arah pohon tadi.

"Brees...! Craak...! Craaak...!"

Hanya dalam waktu beberapa detik setelah pe-

dangnya berkelebat, ranting-ranting pohon yang beru-

kuran lumayan besar terbabat habis bahkan nyaris 

gundul sampai ke pucuknya.

"Jliigkh....!"

Setelah selesai memainkan jurus pertama dengan 

membuat gundul pohon tadi, Andika berjumpalitan di 

udara beberapa kali. Dengan mulus sepasang kakinya 

mendarat di atas sebongkah batu licin berlumut. Na-

mun Pedang Asmara masih juga memperdengarkan 

suara mendengung. "Jurus kedua adalah jurus di 

Tinggal Kekasih!" Membatin pemuda itu, seterusnya 

dengan kaki agak ditekuk, pedang di tangannya te-

rangkat tinggi-tinggi persis orang yang berniat melaku-

kan bunuh diri. Lalu terjadilah gerakan-gerakan aneh. 

Pedang di tangan bukan sebagaimana lajimnya, me-

nyerang ke arah muka. Namun sebaliknya Pedang As-

mara selalu bergerak menusuk ke sisi kiri dan kanan.


Sambaran angin menderu-deru. Hawa aneh terasa 

menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi pemuda itu terus 

bergerak-gerak, begitu lincah dan sangat cepat. 

"Heeeiit.....!"

Serta merta gerakan silat si pemuda terhenti. Ta-

tapan matanya semakin bertambah dingin, namun te-

tap hampa.

Dalam keadaan diam seperti itu, hanya sesaat sa-

ja terjadi. Selanjutnya tanpa menghiraukan keringat 

yang telah membasahi sekujur tubuhnya, Andika me-

lanjutkan jurus ketiga. Jurus ketiga ini, sebagaimana 

tertulis pada pelajaran di bagian dinding gua dan telah 

dikuasainya bernama jurus pedang 'Menanti Kekasih 

Tak Kunjung Datang'. Detik selanjutnya nampak si 

pemuda merapatkan kedua kakinya. Tangannya bersi-

dekap dengan pedang menyilang ke depan dada. Se-

langkah demi selangkah dia menggeser kaki kirinya ke 

arah samping. Selanjutnya dengan diiringi gerakan 

menggeledek, pemuda berwajah totol-totol itu ba-

batkan pedangnya ke arah depan. Lalu memutar tu-

buh sembilan puluh derajat, kembali babatkan pe-

dangnya ke arah atas, bawah dan samping kanan kiri. 

Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Sampai akhir-

nya Andika merasa sudah cukup.

Permainan Pedang Asmara itu ditutup dengan 

empat jurus. Jurus terakhir yang telah berhasil dikua-

sainya adalah jurus pedang 'Hidup Hampa'. Inilah 

tingkatan yang paling dahsyat. Terlihat senjata di tan-

gan Andika bergetar hebat, kekuatan aneh benar-

benar dapat dia rasakan telah menguasai diri pemuda 

itu.

"Wuaaaa..... ngiiiing.... siiiiing.....!"

Angin kencang menderu dahsyat saat senjata di 

tangan Andika berkelebat menyambar ke segala penju-

ru arah, anehnya tubuhnya seperti terbetot mengikuti


gerakan tangannya. Secara reflek pemuda itu terus 

mengikuti gerak senjatanya sendiri, semakin lama 

langkahnya semakin terseret jauh mendekati sebatang 

pohon yang cukup besar. Tanpa dapat dikendalikan 

lagi, pedang itupun menghantam pohon tadi.

"Breees.....!"

Pohon sebesar batang kelapa itupun ambruk ter-

babat Pedang Asmara dengan menimbulkan bunyi 

berdebum. Tapi nampaknya gerakan pedang itu terlalu 

sulit untuk dihentikan, Andika menjadi bingung sendi-

ri. Sekujur tubuhnya saat itu telah bermandikan ke-

ringat, tapi senjata di tangan terus memaksa dirinya 

untuk terus bergerak.

"Senjata aneh, tapi memiliki kekuatan yang san-

gat hebat! Eee... aku jadi teringat pada pesan yang ter-

tulis di dinding gua! Bahwa pabila telah mencapai ju-

rus paling puncak, senjata akan terus bergerak tak wa-

jar. Pedang Asmara baru mau diam pabila telah masuk 

rangkanya. Hhh. Mengapa aku sampai lupa pada pe-

san itu...!" Batin pemuda berwajah dingin itu pada di-

rinya sendiri. Selanjutnya dengan gerakan cepat dia 

angkat rangka pedang itu tinggi-tinggi. Begitu pedang 

di tangan meluncur ke arah depan, dengan mengerah-

kan segenap kemampuan yang ada. Andika membe-

lokkan pedang itu ke arah sarungnya.

"Sreeek....!"

Lega hati pemuda berwajah totol-totol itu, kerin-

gat sebesar-besar jagung terus bergulir membasahi se-

kujur tubuhnya. Sesaat dipandangi dan ditimangnya 

pedang di tangan. Disertai sesungging senyum sinis, 

Andika berucap pelan:

"Dengan senjata dan kesaktian yang kumiliki 

saat ini. Sangat mustahil orang dengan seenaknya 

menghina diriku. Lesmana putranya Tumenggung 

Jayeng Rono dan saudagar Legawa itu bagiku sudah


tak ada apa-apanya...!"

"Inilah saat yang tepat bagiku untuk keluar dari 

Lembah Patah Hati....!" ucapnya pula. Kemudian sete-

lah memberi penghormatan di depan makam tokoh 

sakti yang terletak di mulut gua. Andika mulai berge-

rak meninggalkan Lembah Patah Hati yang selama ini 

dikenal sebagai sebuah daerah yang cukup angker oleh 

kalangan persilatan.

***

DUA



Suara irama gamelan terdengar sayup-sayup di 

kejauhan, berbagai tari-tarian tradisi adat sudah sejak 

siang tadi dimulai. Sesungguhnya pesta perkawinan 

itu memang berlangsung sangat meriah. Tamu-tamu 

yang hadir pun terdiri dari berbagai kalangan pembe-

sar istana, pejabat daerah, juga dari kalangan persila-

tan. Sang mempelai yang sedari tadi duduk di pelami-

nan nampak didampingi oleh sepasang suami istri ber-

pakaian mentereng dan mahal. Laki-laki setengah baya 

itu, sejak tadi nampak tersenyum-senyum puas. Saat 

itu hatinya memang sedang diliputi kegembiraan yang 

berlebih-lebihan. Apalagi dia merasa telah berhasil 

menjodohkan anak perempuannya dengan putra seo-

rang Tumenggung. Orang yang sangat berpengaruh da-

lam masyarakat. Kehadiran sang menantu sudah ba-

rang tentu dia harapkan membuat masyarakatnya se-

makin menghormatinya.

Sedangkan di atas pelaminan mempelai wanita 

nampak terus-menerus tundukkan wajah, hatinya me-

rasa begitu terpukul dengan perjodohan paksa yang te-

lah dilakukan oleh orang tuanya. Hanya gadis itu sendirilah yang tahu apa yang sedang terjadi dalam ha-

tinya. Walau bagaimanapun dia tak bisa melupakan 

sebuah nama yang selama ini sangat dikasihinya, dan 

nama itu mencintai dirinya dengan sepenuh hati. Kua-

sakah dia menolak kehendak orang tuanya? Kenya-

taannya sampai saat ini dia telah menjadi istri orang 

yang tidak dicintainya.

"Dengan dandanan pengantin seperti ini kau 

nampak bertambah cantik, putriku!" kata laki-laki se-

tengah baya berkumis tipis yang sejak tadi mendam-

pingi putrinya. Yang diajak bicara nampak diam tiada 

menyahut. Sebaliknya mempelai pria yang duduk di 

sebelah mempelai wanita, sembari tersenyum penuh 

arti langsung menyahuti: "Bapak mertua! Adik Indah 

Dewi, kalau mantu lihat malam ini tak ubahnya bagai 

bidadari yang turun dari kayangan. Aku bangga mem-

punyai seorang istri seperti dia...!"

"Aah... ah... mantuku! Engkau memang seorang 

suami yang sangat berbakti pada istrinya....!" ujar 

saudagar Legawa lalu tertawa lebar.

"Anakku ini memang penuh pengertian, besan 

Legawa! Maklum sejak kecil kami se-bagai orang tua, 

berusaha mendidiknya dengan berbagai disiplin yang 

sangat ketat...!" yang bicara seperti itu adalah seorang 

laki-laki berpakaian bangsawan berbadan tegap. Den-

gan wajah menyiratkan kebengisan.

"Terima kasih, terimakasih....! Semua hajat yang 

kita inginkan selama ini, kini terkabullah sudah. Lihat-

lah anak-anak kita nampak bahagia sekali... semoga 

kehidupan mereka kekal sampai ke anak cucu. Hari ini 

sebagai tuan rumah aku merasa berbesar hati. Sebab 

hajatku untuk bermenantukan orang terpandang dan 

terhormat telah terpenuhi....!" Kata saudagar Legawa 

begitu bangga.

"Aku pun sangat bersyukur besan, Legawa! Karena hari ini hajatku untuk berbesan pada seorang sau-

dagar kaya juga telah kesampaian....!" sahut Tumeng-

gung Jayeng Rono. Masing-masing besan itu memang 

nampak sedang diliputi kegembiraan, namun mereka 

sesungguhnya tak mengetahui apa yang sedang terjadi 

di hati kedua mempelai.

Sementara itu, dalam kegelapan malam di atas 

genteng dan persis di kamar mempelai nampak seso-

sok tubuh sedang mengendap-endap. Bayangan tubuh 

misterius itu nampak merogoh sesuatu dari dalam sa-

ku celananya. Kemudian dia membuka salah sebuah 

genteng, lalu melemparkan sesuatu ke dalamnya. Ben-

da yang dilemparkannya tadi jatuh tepat di atas meja 

rias. Sekejap sepasang matanya nampak berkaca-kaca 

memandang ke bawah sana. Tiba-tiba dia merasakan 

sesuatu yang telah menghunjam ulu hatinya. Tubuh 

bayangan itupun tampak menegang. Pandangan ma-

tanya berubah dingin, tapi bayangan itupun nampak-

nya tak ingin berlama-lama berada di sana. Dengan ge-

rakan yang tidak menimbulkan suara, sekali bayangan 

itu berkelebat. Maka bayangan tadi lenyap dalam kege-

lapan malam.

Saat itu di dalam ruangan besar beranda depan, 

tamu-tamu undangan pun sudah berpulangan. Bunyi 

tabuhan dan alat-alat musik lainnya telah terhenti se-

jak sejam yang lalu. Rumah saudagar Legawa keliha-

tan sunyi sepi. Tumenggung Jayeng Rono, istri berikut 

para pengikutnya juga sudah pulang ke Katemenggun-

gan. Di ruangan lain Legawa nampak sedang berca-

kap-cakap dengan bapak, ibu dan saudagar mempelai 

perempuan lainnya. Sementara itu mempelai wanita 

sejak tadi telah berada di dalam kamarnya. Pintu ka-

mar sengaja dia kunci, hal itu dia lakukan semata ha-

nyalah ingin mencari ketenangan batin. Karena saat 

itu sedang terjadi perang batin yang begitu hebat di dalam jiwanya. Terkadang timbul juga pertanyaan, ha-

ruskah demi orang tua dia menyerahkan kehormatan-

nya pada pemuda yang tidak dicintai dan mencin-

tainya. Hatinya begitu sedih, gadis itupun menangis. 

Tiba-tiba Indah Dewi teringat pada Andika, seorang 

pemuda biasa, yang dulu begitu menyayangi dirinya. 

Dia pun merasa menyesal dulu dia tiada begitu meng-

hiraukan kata-kata pemuda itu, bahkan dia sering 

mengacuhkan keberadaan pemuda itu. Kini setelah 

pemuda itu pergi, betapa dia sering merindukan keha-

dirannya, gadis itu merasa kehilangan dan bersalah. 

Indah Dewi terisak, menyesali dirinya sendiri. Dia ter-

kadang menyadari betapa selama ini keegoisan selalu 

bercokol di dalam hatinya. Tapi apalah gunanya segala 

penyesalan yang ada, pemuda yang pernah mencin-

tainya dengan sepenuh hati telah pergi dengan mem-

bawa penderitaan batin yang hebat. Ah! Seandainya 

pemuda itu masih berada di sisinya, pasti dia akan 

mengadukan segala unek-unek yang terasa menggan-

jal di hatinya. "Kakang Andika maafkanlah atas segala 

keegoisanku. Kini aku baru menyadarinya, aku me-

nyadari segala kesalahanku padamu. Aku tak pernah 

mampu mencintai laki-laki pilihan orang tuaku...!" Je-

rit hati Indah Dewi dan air matanya pun semakin de-

ras menetes.

Masih dalam keadaan terisak-isak, gadis itu be-

ranjak dari atas ranjang pengantin. Langkahnya gontai 

menghampiri meja rias, agak lama dia berkaca di sana. 

Dia melihat matanya telah membengkak karena terlalu 

banyak menangis. Lalu pengantin baru itupun me-

nangkupkan kedua tangan pada wajahnya yang basah 

oleh air mata. Lagi-lagi, batinnya menjerit: "Kakang 

Andika, aku begitu menyesal telah mengecewakan ha-

rapanmu! Ya aku merasa sangat menyesal sekali... du-

lu aku merasa begitu bangga bila telah mampu membuat hatimu susah. Bahkan tanpa menghiraukan ba-

gaimana perasaanmu aku tertawa-tawa di depanmu, 

saat itu... oh... tidak! Maafkan aku kakang....!" Tanpa 

sadar Indah Dewi bermaksud kembali menuju ranjang 

pengantin, tapi saat kaki terasa menginjak sesuatu di 

lantai dekat meja rias. Dengan perasaan enggan Indah 

Dewi memungut benda itu yang tak lain merupakan 

selembar kain kecil yang setelah dibuka terdapat tuli-

san-tulisan yang begitu rapi. Jantung pengantin baru 

itu berdetak keras, darah berdesir dengan hati berde-

bar tak menentu. Masih dalam keadaan berdiri, Indah 

Dewi mulai membaca isi surat itu.

Indah Dewi....

Di atas kenangan-kenangan indah, sebuah luka-

luka lama kini telah terobek kembali. Dan kau yang te-

lah merobeknya. Luka itu mengucurkan banyak darah, 

dan air mata ini. Bukan lagi air mata duka, lebih me-

nyakitkan dari sekedar itu.

Dewi...!

Sepanjang jalan onak duri yang ku lalui. Dilingkup 

kabut hitam yang sangat sulit untuk ditembus kasat 

mata. Adalah kau dan aku berada di simpang jalan 

yang berbeda. Mana pungguk merindukan hadirnya 

sang rembulan, itulah diriku yang tercabik-cabik sebuah 

tradisi. 

Hemm... cinta bukanlah teori dan logika, tapi me-

rupakan sebuah perasaan dan naluri. Dan aku adalah 

si miskin papa yang selalu terhempas ke dalam jurang 

ketiadaberdayaan.

Pengantin baru...!

Kau lihatlah sebuah gambar daun waru yang ter-

tusuk anak panah ini, betapa darah tak pernah menger-

ing disana. Itulah sepotong hati yang dulu hampir mus-

nah dalam belenggu ketololannya. Hehh. Kelak kata


kataku terbukti, harta bukan jaminan kebahagiaan. 

Bersukurlah andai pendampingmu berlaku setia, jujur, 

dan saling sayang menyayangi! 

Sang pengantin.

Usah kau ingat-ingat aku lagi, karena antara kau 

dan aku bukanlah yang dulu lagi.

Dariku

Satria Pedang Asmara

Usai membaca tulisan di atas selembar kain itu, 

bergetarlah tubuh Indah Dewi, sepasang lututnya tera-

sa goyah bagai tak memiliki kekuatan apa-apa. Dengan 

tubuh sempoyongan dia menghempaskan tubuhnya di 

atas ranjang pengantin. Tanpa sadar bibirnya mende-

sis: "Kakang Andika! Kau datang tapi tak pernah 

membawaku pergi. Aku yakin kau tak pernah berubah. 

Oh... ayah juga sangat keterlaluan sekali, mereka tak 

pernah mau mengerti bagaimana perasaanku...!" Jerit 

hati Indah Dewi, lalu kembali menangis. 

"Took! Took.... Tok....!" 

Terdengar daun pintu diketuk seseorang dari 

luar. Indah Dewi buru-buru menyusut air matanya.

"Siapa...?" tanyanya dengan perasaan waswas.

"Aku! Suamimu...!" sahut sebuah suara dari luar 

kamar. Untuk tidak memancing terjadinya keributan, 

Indah Dewi membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, 

si pengantin pria cepat-cepat masuk langsung men-

gunci pintu. Begitu dia membalikkan tubuh, segera di-

peluknya tubuh Indah Dewi. Selanjutnya dengan sikap 

brutal dia menjatuhkan ciuman-ciuman ganas pada is-

trinya. Indah Dewi berontak mendapat perlakuan se-

perti itu. Namun dekapan kokoh tangan Lesmana se-

makin lama terasa semakin kencang.

"Beginikah caramu sebagai seorang suami....?" 

sentak Indah Dewi sambil menghindari ciuman


ciuman ganas yang dilakukan oleh suaminya. Dengan 

nafas memburu, di sela-sela kesibukannya Lesmana 

menyahut: "Cara bagaimanapun bagiku sama saja! 

Sudah lama aku merindukan malam pertamamu...!"

"Malam pertamaku, jadi bukan malam pertama-

mu juga....!" desis Indah Dewi dengan mata membela-

lak.

"Tidak....! Yang begini bagiku sudah biasa kula-

kukan pada orang-orang yang kusukai....!" jawab Les-

mana tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Indah 

Dewi. Semakin terkejut sajalah gadis itu dibuatnya. Ti-

ba-tiba Indah Dewi mendorongkan tubuh Lesmana 

kuat-kuat sehingga menyebabkan tubuh tinggi ceking 

itu terjerembab menghantam kursi dekat meja rias.

"Laki-laki bajingan! Jadi kau tidak mencintaiku, 

rupanya....!" dengus Indah Dewi nampak marah sekali. 

Sebaliknya Lesmana seperti tidak pernah terjadi apa-

apa dengan dirinya kembali memburu.

"Sudah kukatakan aku mencintai wanita mana-

pun yang aku suka....!" kata Lesmana tenang.

"Keparat! Jadi untuk apa kau menikahi diriku...?"

"Aku hanya ingin berbakti pada orang tua yang 

kuhormati! Sudahlah, malam ini adalah malam yang 

indah bagi kita, disinilah sorga dunia itu....!" kata 

Lesmana dengan pandangan bernafsu. Tanpa buang-

buang waktu lagi, pemuda itupun kembali memeluk 

Indah Dewi. Namun gadis itu terus meronta sehingga 

menimbulkan bunyi gaduh. Orang tua Indah Dewi 

hanya tersenyum-senyum di ruangan depan, me-

nyangka semua itu ulah pengantin.

"Aku tak mau dengan cara kasar seperti ini...."

"Hei... mengapa tak mau, engkau istriku, milik-

ku...!" tukas Lesmana nampak mulai menanggalkan 

pakaian istrinya. Gadis itu terus meronta dan beron-

tak, tapi apalah daya tenaga seorang wanita, bila di


bandingkan dengan tenaga Lesmana yang telah dira-

suki iblis. Indah Dewi hanya mampu menitikkan air 

mata, saat-saat Lesmana menindih tubuhnya. Tinggal-

lah gerakan-gerakan tubuh Lesmana yang menggila, 

tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Indah Dewi, 

dia terus melampiaskan nafsunya. Tangis gadis itu ak-

hirnya meledak saat mana dia merasakan sesuatu 

yang sangat berharga selama ini telah direnggut oleh 

laki-laki yang tidak dicintainya. Pedih hatinya melebihi 

rasa perih di bagian selangkangannya. Sementara tan-

pa menghiraukan sang istri Lesmana kembali menge-

nakan pakaiannya dengan sesungging senyum puas.

"Kau benar-benar masih murni!" kata laki-laki 

bejat anak Tumenggung Jayeng Rono itu sambil mere-

bahkan tubuhnya di sisi Indah Dewi. Sebentar saja la-

ki-laki itupun telah mendengkur bagai seekor kerbau 

kelelahan. Tinggallah Indah Dewi yang terus menangis 

menyesali nasib.

Pada saat itu di luar sepengetahuan penghuni 

rumah maupun pengawal saudagar Legawa yang bera-

da di bagian depan. Tampak tiga sosok bayangan tu-

buh berjalan mengendap-endap di atas genteng. Gera-

kan mereka begitu ringan, sehingga tidak menimbul-

kan suara mencurigakan. Langkah mereka baru ter-

henti ketika telah sampai di atas kamar pengantin. Se-

saat tiga sosok bayangan itu nampak saling berbisik 

sesamanya. Kemudian dua orang diantaranya lang-

sung berjongkok dan menyingkapkan genteng. Setelah 

memperhatikannya dengan seksama, secara hampir 

bersamaan tubuh ketiga orang itu melayang turun. In-

dah Dewi sempat melihat gelagat yang tak baik itu, 

namun dia menyangka salah seorang dari ketiga orang 

itu merupakan Andika, bekas kekasihnya. Sehingga 

dia hanya diam saja, bahkan hatinya bersorak kegi-

rangan malah. Tapi ketika secara mendadak Indah


Dewi mendapat satu totokan bagian urat leher, sadar-

lah pengantin baru itu, bahwa kedatangan mereka 

dengan membawa maksud-maksud tak baik. Dia beru-

saha menjerit, namun suaranya hanya sampai sebatas 

kerongkongan saja. Beberapa saat kemudian tubuh ti-

ga orang bayangan itu melesat kembali ke atas genteng 

dengan membawa Indah Dewi di bagian pundaknya.

***

TIGA



Sungai Bilah Hulu, merupakan sebuah sungai 

yang memiliki lebar empat puluh meter, dengan pan-

jang tidak terukur. Setiap hari sungai itu dilalui oleh 

para nelayan yang akan pergi ke laut. Sungai Bilah 

Hulu bermuara ke laut tiongkok, hampir setiap hari 

sungai itu mengalami pasang surut, akibat pasang 

naiknya air laut di bagian muaranya. Pabila malam ha-

ri, sungai itu merupakan sebuah tempat yang sangat 

sunyi lagi angker. Tak sebuah perahu pun yang berani 

melintasi daerah itu, pabila malam menjelang. Kalau-

pun nelayan-nelayan penangkap ikan itu merasa ke-

malaman pulang melaut, maka mereka lebih memilih 

tinggal di tengah lautan untuk sementara menunggu 

matahari terbit. Atau berkumpul di bagian muara ber-

sama para nelayan lain. Malam hari, Sungai Bilah Hu-

lu merupakan tempat berkeliarannya para begal dan 

bajak sungai. Jarang ada orang yang bisa selamat me-

lintasi daerah itu pabila malam hari. Selain merampoki 

harta benda, juga tak segan-segan mereka membunuhi 

setiap mangsanya.

Pelayaran melalui Sungai Bilah Hulu pabila malam hari di samping harus berhadapan dengan para 

begal, juga harus berhadapan dengan sekawanan ma-

syarakat buaya tembaga, yang terkadang panjangnya 

saja ada yang mencapai enam belas meter. Namun ter-

lepas dari semua itu, malam itu nampak seorang pe-

muda bercapil dengan rambut dikuncir di bagian bela-

kang. Hanya dengan mempergunakan sepotong kayu 

sebesar tangan tampak melewati daerah yang terkenal 

rawan itu. Seandainya kejadian itu dilihat oleh orang 

lain, tentu mereka akan langsung membelalakkan ma-

tanya melihat ulah si pemuda itu. Bagaimana tidak. 

Pemuda itu melakukan perjalanan lewat air bukan 

dengan mempergunakan sebuah sampan atau sejenis-

nya. Sebaliknya hanya mempergunakan sepotong kayu 

kering sebesar lengan bocah bayi dan panjangnya pun 

tak lebih dari setengah depa. Kayu kering yang diper-

gunakan oleh si pemuda tidak tenggelam, mengapung 

dan bahkan nampak meluncur dengan lajunya. Bila di-

ingat sampai ke situ, betapa pemuda yang tengah me-

lakukan perjalanan di atas air itu memiliki ilmu men-

gentengi tubuh sudah begitu sempurna.

Demikianlah tombak demi tombak dia lalui, tan-

pa ada kesulitan bahkan tiada pula rasa curiga. Na-

mun beberapa meter di depannya, si pemuda meng-

hentikan gerakan meluncur pada kayu yang menyang-

gah berat tubuhnya. Pandangan matanya yang setajam 

mata elang, menatap lurus ke depannya. Apa yang di-

lihat oleh pemuda itu adalah berpasang-pasang mata 

merah yang meluncur deras di depannya di atas per-

mukaan air. Agaknya mahluk-mahluk air itu mengeta-

hui adanya mangsa yang telah berada begitu dekat 

dengan mereka. Dengan gerakan yang tiada mencuri-

gakan pemilik berpasang-pasang mata itu terus me-

luncur mendekati si pemuda. Si pemuda berkuncir 

yang sudah tak asing lagi buat kita ini nampak sunggingkan seulas senyum.

"Oh sobat! Kau lapar ya, dagingku enggak enak! 

Kalau pahit memang iya...!" kata si pemuda yang tak 

lain pendekar Hina Kelana adanya. Sesaat pemuda itu 

terdiam, dengan cepat dia mengerahkan kekuatan ba-

tinnya untuk mengetahui lebih jelas apakah mahluk 

air itu merupakan mahluk siluman atau mahluk biasa. 

Ternyata mahluk melata itu bukan mahluk siluman. 

"Oh, pantas binatang-binatang itu tidak dapat ku pen-

garuhi. Jumlah mereka tidak sedikit, lucu sekali andai 

aku sampai mandi pada saat malam dan dingin-dingin 

begini. Weii... binatang-binatang itu kini telah menge-

pungku!" kata pemuda itu, gerakan selanjutnya den-

gan mengegoskan kayu yang dipergunakannya untuk 

meluncur, pemuda ini mulai menghindari taring-taring 

yang tajam serta kibasan ekor yang mirip gergaji dari 

puluhan buaya yang menyerangnya dengan ganas. Se-

kali dua pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara, 

anehnya kayu yang menjadi tumpuannya berpijak te-

tap melekat sedemikian eratnya. Tiada membuang 

waktu lagi, begitu tubuhnya melayang turun di atas 

permukaan air. Buang Sengketa hantamkan pukulan 

Empat Anasir Kehidupan ke arah buaya-buaya tadi. 

Empat ekor buaya berwarna kuning dengan ukuran 

sangat panjang tampak menggelupur di atas permu-

kaan air. Tempat di sekitarnya berubah memerah, air 

sungai bergolak-golak menimbulkan gelombang yang 

sangat besar. Tapi pendekar berwajah sangat tampan 

itu tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali lagi dia 

lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Selarik 

gelombang sinar Ultra Violet melesat sedemikian cepat 

ke arah buaya-buaya lain memburu dirinya dengan be-

ringas sekali.

"Blaaar....!"

Kembali kawanan buaya-buaya itu menggelepar


mati dengan kepala hangus, dan langsung tenggelam 

ke dasar sungai. Lama kelamaan melihat kematian 

kawan-kawannya, agaknya yang masih hidup menjadi 

jerih. Terbukti beberapa saat kemudian buaya-buaya 

yang tersisa berlarian menjauhi Buang Sengketa, pe-

muda itu tersenyum-senyum sendiri. Lalu pemuda ini 

pun kembali menggerakkan kayu yang menyanggah 

tubuhnya. Baru dua tombak pemuda itu meninggalkan 

tempat kejadian. Detik selanjutnya terdengar benta-

kan-bentakan yang terasa begitu menusuk gendang-

gendang telinga. Buang Sengketa sadar, pastilah pemi-

lik suara tadi memiliki tenaga dalam yang sangat ting-

gi. Buang pun tak mau kalah, dan langsung menyam-

butnya dengan gelak tawa yang disertai dengan penge-

rahan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh. Terdengar su-

ara tawa serasa merobek kegelapan malam. Si orang 

tak dikenal yang berada di sebuah tempat terlindung 

nampak terkejut bukan alang kepalang. Sedikit pun 

dia tiada menyangka kalau pemuda yang tengah mela-

kukan perjalanan dengan mempergunakan kayu di 

atas permukaan air itu. Selain memiliki ilmu merin-

gankan tubuh yang sangat hebat, juga memiliki kele-

bihan lain yang tiada terduga.

Orang itu sendiri pun merasa andai tidak cepat-

cepat menutup indera pendengarannya pasti dia sudah 

terjengkang sebagaimana lima orang kawannya. Ke-

nyataan ini membuat orang itu menjadi marah, sedetik 

kemudian dia pun membentak kembali.

"Hebat.... setelah membunuh buaya-buaya milik-

ku. Dengan ilmu setan itu kau telah pula membunuh 

lima orangku sekaligus...!" Bergetar suara itu hingga 

membuat bulu kuduk si pemuda merinding.

"Mereka telah mengganggu perjalananku. Se-

dangkan kematian kawan-kawanmu! Hemm. Kurasa 

itu kesalahanmu sendiri, membentak-bentak orang


yang lewat!"

"Kurang ajar! Melihat tampangmu, rasanya baru 

kali ini aku bertemu seorang saudagar gembel melinta-

si daerah kekuasaanku. Tapi kau telah begitu berani

jual lagak di depan Iblis Sungai Bilah Hulu. Sangat ke-

terlaluan....!" 

Pemuda itu mendengus: "Setiap iblis yang berku-

asa atas sungai-sungai yang tiada bertuan. Pastilah 

mereka itu sebangsa tikus perampok yang perlu men-

dapat ganjaran yang setimpal...!" Ucapannya itu sebe-

narnya hanya berupa gertak belaka, karena sedetik 

kemudian dengan tanpa menoleh-noleh lagi, Buang 

Sengketa sudah kembali meneruskan perjalanannya. 

Tetapi baru saja dia menggenjot kakinya yang berpijak 

pada sepotong ranting kayu, dari sisi kanan dan sisi 

kiri pinggiran sungai meluncur beberapa buah senjata 

milik bajak laut. Senjata itu berupa sebuah jangkar 

yang dibagian ujungnya bersisi tajam. Senjata tadi te-

rus bergerak, mengikuti kemana saja tubuh si pemuda 

berkelit. Karena senjata itu memiliki tali yang panjang, 

maka dengan mudahnya pemilik senjata itu menarik 

dan mengulurkannya.

"Minggirlah! Atau kau segera tenggelam menjadi 

santapan buaya-buaya milikku yang kelaparan...!" te-

riak para bajak laut di sisi kanan dan kiri Sungai Bilah 

Hulu.

"Siiing.... Weert....!"

Senjata-senjata maut itu nyaris menghantam tu-

buhnya, hanya mengandalkan jurus si Gila Mengamuk 

sajalah Buang Sengketa berhasil mengelakkan samba-

ran senjata-senjata itu dengan baik. Kenyataan ini su-

dah barang tentu membuat sekawanan bajak sungai 

berpakaian hitam itu menjadi sangat berang sekali. Se-

lama hampir lima belas tahun berkuasa di Sungai Bi-

lah Hulu belum pernah seorang korban pun yang dapat selamat dari serangan senjata-senjata ini. Bahkan 

saudagar Legawa yang kaya raya itu sampai bersedia 

memberi mereka semacam setoran wajib, hanya kare-

na saudagar itu tidak ingin mendapat gangguan dari 

bajak Laut Sungai Bilah Hulu.

Tapi malam itu seorang pemuda berperiuk den-

gan begitu mudahnya mampu menghindari setiap se-

rangan beruntun yang mereka lakukan? Hal ini benar-

benar diluar dugaan mereka.

"Hiyaaa....!"

Bentakan-bentakan menggeledek menyertai ber-

kelebatnya beberapa buah senjata jenis lainnya.

"Zet.... Set... Wreet...!"

Si pemuda dapat merasakan adanya sambaran

angin yang sangat keras ke arahnya. Sekejap dia men-

jadi gugup, karena senjata-senjata itu datangnya dari 

berbagai penjuru dan mengancam bagian-bagian yang 

mematikan. Buang Sengketa segera mengambil tinda-

kan yang sangat cepat.

"Hemm....!" Si pemuda mendengus, lalu hantam-

kan kedua tangannya ke arah empat penjuru mata an-

gin. Selarik gelombang berwarna Ultra Violet menderu 

dahsyat memapasi datangnya senjata-senjata itu. 

"Braaak....!"

"Ihhh....!"

Terdengar seruan tertahan saat mana senjata-

senjata di tangan mereka membalik. Bahkan beberapa

diantaranya hancur berantakan dihantam pukulan 

Empat Anasir Kehidupan.

"Tikus-tikus pada kurang ajar semua! Ingin kuli-

hat bagaimana tampangnya kunyuk yang mengaku se-

bagai begal sialan itu...!"

"Heeuuuuup.....!"

Dengan meminjam daya kambang yang dimiliki 

sepotong kayu tadi, pendekar Hina Kelana nampak


melesat ke arah sisi kanan sungai itu. Selagi tubuhnya 

masih berjumpalitan di udara. Tanpa diduga-duga, be-

berapa senjata rahasia menyongsong tubuhnya. "Kepa-

raaat....!" maki si pemuda sambil membuang tubuhnya 

ke arah pinggiran sungai. Sungguh pun dia berusaha 

menghindarkan diri supaya tidak sampai kecebur ke 

dalam sungai, namun tetap saja.

"Byuuur....!"

Terdengar suara tawa bergelak-gelak menyertai 

terceburnya tubuh Buang Sengketa ke dalam sungai. 

Sekejap tubuh si pemuda lenyap, begitu muncul ke 

permukaan air, dengan sangat cepat dia menepi. Den-

gan keadaan tubuh basah kuyup, pemuda itu kembali 

melompat. Sesampainya di daratan serangan-serangan 

ganas datang menyambut-nya.

"Kurang ajar...!" maki Buang Sengketa. Tak ayal 

lagi dia menyambutnya dengan jurus silat tangan ko-

song diberi nama Membendung Gelombang Menimba 

Samudra. Tak dapat disangkal, pertarungan sengit 

pun segera terjadi. Karena mengetahui pihak lawan 

memiliki kepandaian lumayan, maka begitu bergebrak 

para bajak sungai itu langsung mempergunakan jurus-

jurus andalan.

Saat pertarungan itu berlangsung, dari arah se-

berang sungai nampak meluncur tiga buah perahu 

anggota kawanan bajak lainnya. Buang Sengketa tiada 

menghiraukan orang-orang itu, sebaliknya si pemuda 

nampak mulai mengerahkan jurus Si Jadah Terbuang. 

Tingkatan jurus andalan ini dipergunakan untuk 

memporak porandakan pertahanan lawannya.

"Splaak...! Dees.... Dees....!"

Tiga orang dari lima pengeroyoknya nampak ter-

pelanting roboh, melihat kejadian yang dialami oleh 

kawan-kawannya. Yang menjadi kepala dari para begal 

itu menjadi gusar dan langsung cabut senjatanya yang


berupa sebuah tombak berwarna hitam, sedangkan di 

bagian ujungnya terdapat sebuah kaitan yang menye-

rupai sebuah arit yang memiliki dua sisi yang sangat 

tajam. Senjata itu menyambar-nyambar memburu ke 

arah lawannya. Buang Sengketa merasakan adanya 

hawa dingin menyertai sambaran senjata itu. Sadarlah 

dia betapa senjata di tangan lawannya mengandung 

racun yang sangat keji.

Sementara para bajak lainnya yang berada di se-

berang sungai telah pula bergabung dengan kawan-

kawannya yang sedang melakukan pengeroyokan. Me-

rasa dikerubuti sedemikian rupa, Buang akhirnya 

nampak mulai keteter. Dengan mengandalkan ilmu 

meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-

purna, tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Jeritan Il-

mu Pemenggal Roh pun dia kerahkan.

"Heiiigkh....!"

Beberapa orang pengeroyok kembali mengalami 

nasib sial. Tubuh mereka terpelanting roboh dengan 

darah mengalir dari bagian telinga. Sekejap saja tubuh 

mereka berkelejotan, lalu diam untuk selama-lamanya. 

Kepala bajak sungai yang bernama Baja Kuning, wa-

laupun menjadi keder namun juga diliputi kemarahan 

yang meluap-luap. Kenyataan gugurnya beberapa ang-

gota merupakan pukulan yang sangat pahit bagi di-

rinya. Bagaimana nanti andai ketua tertinggi kaum ba-

jak sungai sampai mengetahuinya? Pasti dia kena di-

damprat, terlebih-lebih apa yang mereka perjuangkan 

saat itu bukanlah pertempuran yang memperebutkan 

harta benda. Hanya melawan seorang pemuda gembel 

yang tidak ada apa-apanya.

"Dasar manusia kampret...!" desis Baja Kuning, 

dibakar amarah. Laki-laki baju hitam tampang ambu-

radul itu kembali hantamkan senjata mautnya ke arah

bagian lambung dan leher lawannya. Sementara dari


arah lain, menyusul pula serangan berbagai senjata 

aneh milik kawanan para begal itu. Kali ini Buang 

Sengketa merasakan nyawanya berada di ujung tan-

duk. Tiada diduga-duga, pemuda titisan Raja Piton 

Utara dari Negeri Bunian ini mengerahkan pula jurus 

Koreng Seribu. Dalam keadaan pasrah, pemuda ini 

menyambut:

"Creep....!"

Berbagai jenis senjata nampak melekat erat se-

demikian erat di bagian tangan maupun bagian tubuh 

lainnya. Masing-masing lawannya tampak terkejut luar 

biasa, kemudian dengan sekuat tenaga mereka beru-

saha menyentakkan senjata yang melekat di tubuh 

Buang Sengketa. Celakanya semakin keras mereka 

membetot senjata itu, maka semakin sulitlah bagi me-

reka untuk membebaskan senjata-senjata miliknya. 

"Ilmu Iblis....!"

Terdengar suara Baja Kuning dalam rasa penasa-

ran yang tiada terkirakan. Sementara itu si pemuda 

nampak menyeringai, penyaluran tenaga dalam dari 

pihak lawan untuk membebaskan senjatanya. Bagi si 

pemuda merupakan keuntungan tersendiri, tanpa dis-

adari oleh mereka, secara perlahan namun pasti Jurus 

Koreng Seribu telah menyedot tenaga lawan-lawannya, 

sehingga pemuda itu mendapat tambahan tenaga yang 

tidak sedikit. 

"Ha... ha... ha! Sobat begal goblok. Terima kasih 

atas bantuan dan kebaikan kalian. Sekarang aku su-

dah tidak membutuhkannya! Hiaaat....!" teriak Pende-

kar Hina Kelana sambil mengibaskan tangannya. Sen-

jata berikut pemiliknya berpelantingan dengan tubuh 

lemah lunglai bagai sudah tiada memiliki tenaga lagi. 

"Pergilah sebelum kesabaranku habis...!" Bentak 

pemuda itu, lalu memandang tajam pada lawan-

lawannya. Dengan tergopoh-gopoh dan rasa penasaran


yang terpendam. Kawanan bajak sungai itu tanpa me-

nunggu lebih lama lagi langsung tunggang langgang 

meninggalkan tempat. Ketika mereka menjauh dan le-

nyap ditelan kegelapan malam.

Terdengar suara Baja Kuning dalam ancaman-

nya: "Kau jangan merasa menang, pemuda berperiuk. 

Suatu saat kelak kami pasti mencarimu untuk mena-

gih hutang nyawa....!"

"Hmmm..... aku tak perlu takut menghadapi ka-

lian. Sekalian saja bapak moyangmu suruh berhada-

pan denganku, aku tak pernah gentar...!" kata Buang 

Sengketa tanpa maksud menyombongkan diri. Dari 

kawanan bajak sungai tiada jawaban apa pun, namun 

dari arah lainnya terdengar suara gumaman seseorang 

yang disampaikan melalui ilmu mengirimkan suara.

"Sobat! Di daerah yang penuh dengan keangka-

ramurkaan ini. Jangan sekali-kali kau menjual lagak 

dengan ilmu picisan yang kau miliki. Bisa-bisa nya-

wamu menjadi taruhannya...!" kata suara itu mengan-

cam.

"Siapakah kau! Aku merasa tidak pernah berbuat 

apapun. Aku hanya memberi pelajaran kepada mereka. 

Agar mereka tak mengulangi pekerjaan yang busuk 

itu...!" jawab pemuda itu melalui ilmu yang sama. Ter-

dengar sebuah tawa yang begitu dingin menggidikkan. 

Lalu disambung dengan kata-kata yang mengandung 

ancaman: "Jangan kau ganggu mereka! Mereka dalam 

pengawasan-ku. Kau ingat itu....?"

"Hemm. Kalau begitu, kau pasti kepalanya pe-

rampok-perampok tengik itu...!"

"Tak perlu kau tahu...!" kata suara tadi menun-

jukkan kemarahannya. Hal ini membuat Buang Seng-

keta menjadi penasaran. "Aku jadi ingin tahu, bagai-

mana kunyuk yang bersembunyi dalam kegelapan itu!" 

Pemuda ini membatin. Kemudian tanpa diduga-duga,

Buang Sengketa melesat ke arah tempat suara itu be-

rasal.

"Brebet....!"

Orang yang dikejarnya bergerak mendahului me-

ninggalkan tempat itu. Tak dapat dihindari lagi, kejar-

kejaran pun terjadi. Tapi orang yang berada di depan-

nya berlari kencang laksana setan. Semakin lama ja-

raknya diantara mereka semakin bertambah menjauh. 

Begitu si pemuda teringat pada ajian Sepi Angin yang 

menjadi ilmu lari cepatnya. Orang yang dikejarnya pun 

telah lenyap dari pandangan mata.

***

EMPAT



Kabar hilangnya Indah Dewi dalam waktu seke-

jap telah tersebar di seantero penjuru Katemenggun-

gan. Berbagai reaksi timbul di kedua belah pihak ke-

luarga yang baru saja mengikat hubungan persauda-

raan itu. Hilangnya Indah Dewi membuat saudagar Le-

gawa merasa begitu terpukul, apalagi dengan ditemu-

kannya surat di dalam kamar putrinya. Bagi Legawa, 

begitu melihat tulisan itu langsung dapat menebak 

siapa kiranya yang telah melakukan penculikan atas 

diri putrinya. Tulisan di atas selembar kain itu dia 

kenal sebagai tulisan milik Andika, bekas kekasih pu-

trinya. Tapi bagaimana mungkin pemuda dusun yang 

telah diusirnya itu kini muncul kembali pada saat hari 

pernikahan anaknya. Padahal menurut keterangan 

orang-orang kepercayaannya yang mengantar keper-

gian Andika dari tempat tinggalnya, tiga tahun yang la-

lu memberi laporan, pemuda yang sangat dibencinya 

itu telah membunuh diri di Lembah Patah Hati. Mungkinkah orang-orang kepercayaannya itu telah memberi 

laporan palsu kepada saudagar itu? Kemungkinan itu 

bisa saja terjadi, dan sebenarnya persoalan yang diha-

dapi oleh saudagar Legawa tidak serumit itu, andai sa-

ja Lesmana yang menjadi menantunya tidak memberi 

laporan padanya, bahwa pada saat malam pertama itu, 

Indah Dewi sudah tak memiliki kehormatan lagi. Me-

nurut pemuda itu hal ini merupakan satu penghinaan 

dan penipuan yang tak dapat dimaafkan. Bahkan se-

belum meninggalkan rumah kediaman Legawa menuju 

Katemenggungan tempat tinggal orang tuanya, pemuda 

ini sempat mengancam. Andai Indah Dewi tidak dapat 

ditemukan dalam waktu satu purnama. Maka Lesma-

na akan menuntut ganti rugi atas penghinaan yang te-

lah dilakukan oleh putri saudagar Legawa. Tidak tang-

gung-tanggung, sebagai ganti rugi atas penipuan itu, 

Lesmana akan menyita seluruh kekayaan yang dimiliki

oleh saudagar Legawa. Betapa kecut hati Legawa men-

dengar keputusan mantunya itu. Bagaimana tidak, 

Lesmana adalah seorang putra Tumenggung yang pe-

rintahnya selalu dituruti oleh orang tuanya. Tuduhan 

Lesmana bahwa putri Legawa yang pada malam per-

tama itu tidak memiliki keperawanan lagi, bagi sang 

saudagar merupakan sebuah tamparan keras yang 

membuat dirinya kehilangan muka. Seandainya itu 

disebarkan oleh Lesmana ke seantero penjuru negeri, 

betapa saudagar yang selalu silau dengan kemilaunya 

dunia itu akan merasa sangat malu sekali. Seingat Le-

gawa, satu-satunya orang yang pernah membina hu-

bungan cinta dengan Indah Dewi hanyalah pemuda 

yang bernama Andika itu. Pasti semua itu akibat per-

buatan pemuda kere yang telah diusirnya beberapa ta-

hun yang lalu. Laki-laki setengah baya itu kemudian 

berfikir, sebelum ancaman menantunya menjadi ke-

nyataan, lebih baik dia menyewa kalangan persilatan


untuk mencari Andika dan Indah Dewi. Yang menurut 

perhitungan Legawa telah melarikan diri secara ber-

sama-sama.

Demikianlah, siang itu saudagar Legawa nampak 

sedang bercakap-cakap dengan istrinya yang bernama 

Nendang Asri. Wajahnya yang kusut masai menanda-

kan bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun itu se-

dang menghadapi masalah yang sangat rumit dan ku-

rang istirahat.

"Kejadian ini benar-benar sangat memalukan se-

kali. Indah Dewi anak yang tidak tahu berbakti pada 

orang tua...! Coba kau bayangkan mau ditaruh di ma-

na mukaku ini, istriku....!"

"Selalu saja kita menyalahkan seorang anak! Co-

ba kakang pikir, tidak kelirukah tindakan kita menjo-

dohkan Indah Dewi dengan Lesmana, yang ku tahu se-

lama ini memiliki sifat yang sangat jauh berbeda seba-

gaimana layaknya anak kalangan terhormat lain-

nya....?" bantah Nendang Asri, seolah ingin protes pada 

suaminya.

"Hei... kau tahu apa? Tumenggung Jayeng Rono 

adalah orang terhormat! Merupakan kebanggaan bagi 

kita, karena kita telah berhasil menjodohkan anak kita 

dengan putranya orang berpangkat....!" sentak Legawa 

merasa tersinggung.

"Selama ini kau banyak disibuki dengan segala 

urusan perdagangan, kakang! Kau tak mungkin bisa 

melihat apa-apa saja yang telah dilakukan oleh Les-

mana dalam kehidupan sehari-hari...!"

"Heh.... kau jangan memburuk-burukkan mantu 

kita. Terbukti anak kitalah yang tidak berbakti pada 

orang tuanya. Coba kau lihat apa yang kini telah terja-

di! Andika telah merusak kehormatan Indah Dewi. Le-

bih dari itu, pemuda keparat itu juga telah begitu be-

rani membawa lari anak kita....!" kata saudagar Lega


wa begitu sengit.

"Adatmu memang terlalu keras, kakang! Sebagai 

istri aku telah melakukan segala-galanya untuk kebai-

kan keluarga kita. Mungkin ini satu karma karena 

engkau telah membunuh orang tua Andika....!" Sema-

kin bertambah memerah wajah Legawa begitu men-

dengar kata-kata istrinya. Dengan tubuh gemetaran 

karena menahan amarah, laki-laki itupun membentak: 

"Cukup! Tak perlu kau menggurui aku. Orang tua pe-

muda tak tahu diri itu memang sudah selayaknya ma-

ti. Aku tak pernah merasa berdosa telah membunuh-

nya, bahkan kali ini aku juga akan mencari Andika." 

ucap Legawa. Se-pasang matanya nampak berkilat-

kilat me-nyimpan dendam. "Sungguh pun aku seorang 

saudagar, namun aku juga seorang pendekar yang 

sangat disegani. He... he... he....! Andika bocah ingu-

san.... kau harus mempertanggung jawabkan semua 

perbuatanmu....!" gumam saudagar Legawa. Selanjut-

nya tanpa dapat dicegah lagi, dengan disertai beberapa 

orang kepercayaan, laki-laki berkumis tipis itupun 

membedal kudanya menuju ke arah matahari terbit.

* * *

Kaki bukit Malabar sepintas lalu kelihatan sunyi 

sepi sepanjang hari. Tidak ada tanda-tanda berkelia-

rannya manusia di sana. Tidak juga anak-anak gemba-

la yang biasanya mengembalakan ternak-ternaknya 

yang berupa puluhan ekor domba. Sungguh pun begi-

tu bukan berarti tak ada kegiatan di sana. Kalau di-

perhatikan lebih teliti lagi, nun jauh menelusuri jalan 

setapak menuju lengkungan bukit. Terdapat sebuah 

tenda dengan penjagaan beberapa orang pengawal tak 

resmi. Mereka yang melakukan penjagaan bergilir itu 

terdiri dari orang-orang bertampang sadis, rambut tergerai sampai ke pinggang. Dengan senjata menggelan-

tung di bagian bahunya. Lalu apakah isi di dalam ten-

da itu, sehingga belasan orang-orang bertampang se-

ram itu melakukan penjagaan sedemikian ketat? Bila 

diperhatikan secara lebih dekat lagi, maka dari dalam 

tenda itu terdengar suara rintihan seorang wanita. Di 

lain saat terdengar pula suara seorang laki-laki sedang 

membujuk.

"Kembalikan aku ke rumah orang tuaku! Aku tak 

mengenal kalian, aku... aku muak melihat tampang 

kalian... bencii....!" Di luar tenda terdengar suara ber-

gelak-gelak penjaga, menyambut.

"Aku tak dapat mengembalikan mu sampai 

ayahmu mau membawa tebusan yang cukup besar un-

tuk ketua...!" terdengar suara berat dari dalam tenda.

"Siapakah ketuamu yang telah begitu berani 

mempertaruhkan nyawa itu...?" bentak si wanita den-

gan suara bergetar.

"Hoho.... ketua kami sudah barang tentu lebih 

hebat dari suamimu yang suka main paksa itu....!"

"Kurang ajar! Jangan kau sebut-sebut dia!" kata 

si wanita yang tak lain Indah Dewi adanya, dengan su-

ara keras. Kembali terdengar suara serak si laki-laki 

yang berada di dalam tenda: "Kau pasti tak suka pada 

suamimu itu. He... he... he... Saudagar Legawa me-

mang orang yang paling suka memaksakan kehendak-

nya untuk sesuatu yang terlalu berbau keduniaan!" 

kata laki-laki berbadan tinggi kurus, kulit keriput mu-

ka cekung seperti pada dirinya sendiri.

"Laki-laki ceriwis! Siapakah engkau ini....?" Yang 

ditanya keluarkan suara tawa bergelak-gelak. Sesaat 

laki-laki kurus itu memandangi Indah Dewi dengan 

mata berkilat-kilat. Sementara air liurnya nampak me-

netes-netes bagai seekor anjing yang baru saja berlari-

lari dengan jarak yang cukup jauh. Pengantin baru putri tunggalnya saudagar Legawa itu nampak mulai ke-

takutan, dengan keadaan tangan terikat ke depan dia 

beringsut-ingsut menjauh.

"Kau tak tahu siapa aku ini? Bagusnya kau me-

mang tak usah tahu siapa diriku. Aku hanya utusan-

nya sang Pangeran, untuk menculikmu dan memaksa 

saudagar Legawa menyerahkan sebagian hartanya se-

bagai tebusan kebebasan anaknya....!"

"Kurang ajar! Kau dan pangeranmu itu pasti tak 

akan mendapatkannya....!" teriak Indah Dewi nampak 

semakin bertambah gusar. 

"Kau tak tahu apa-apa tentang hidup dan kehi-

dupan ini bocah! Di depanku kau jangan banyak rewel. 

Salah-salah aku bisa menelanjangimu....!" kata laki-

laki kurus itu menggeram marah.

"Aku tak perduli! Bagiku hidup pun sudah tak 

berarti banyak.... aku tak suka pada Lesmana yang te-

lah kurang ajar itu...!" Di luar tenda kembali terdengar 

suara beberapa orang penjaga tergelak-gelak. Disam-

but dengan suara sumbang seseorang: "Kerjain saja 

kakang.... kita sudah bosan menanti, namun pangeran 

belum juga muncul....!"

"Diam kalian....!" bentak laki-laki kurus yang be-

rada di dalam tenda. Sesaat suasana menjadi hening 

sepi, namun kesunyian itu kemudian dipecahkan den-

gan adanya suara laki-laki itu.

"Aku tak akan mendengar berbagai ma-cam ala-

san. Apa pun yang akan terjadi, orang tuamu harus 

menyerahkan apa yang diinginkan oleh pangeran ka-

mi....!"

"Tanyakan saja hal itu pada mereka. Aku berha-

rap kedua orang tuaku tak menyerahkan apa pun pa-

da kalian....!"

"Kuraaang ajar...!" maki laki-laki berbadan kurus 

kering yang dikalangan persilatan lebih dikenal dengan



Bergawa Hitam. Makian itu disertai dengan dua tam-

paran yang cukup keras, sehingga tubuh Indah Dewi 

terjajar ke dinding tenda, bekas tamparan itu nampak 

memerah. Dari sudut bibirnya nampak mengalirkan 

darah kental. Begitu nanar gadis itu memandangi laki-

laki keriputan itu. Tiba-tiba kebenciannya kepada laki-

laki itu muncul.

"Biadab.... Kau benar-benar laki-laki biadab....!" 

jerit Indah Dewi. Dalam pada itu, dari kejauhan di atas 

bukit sana, mendadak terdengar suara sayup-sayup. 

Seperti sudah mengenal siapa mereka yang berada di 

bawah bukit itu.

"Bergawa Hitam! Aku yang datang....!" Nampak-

nya Bergawa Hitam begitu menghormati pemilik suara 

itu, terbukti baik Bargawa Hitam maupun orang-orang 

yang berada di luar tenda membungkukkan tubuhnya 

memberi hormat.

"Apa yang pangeran inginkan telah kami laksa-

nakan! Sekarang ini kami tinggal menunggu perintah 

selanjutnya....!" kata Bargawa Hitam memberi laporan. 

Sementara itu, Indah Dewi begitu mendengar suara 

orang yang disebut pangeran nampak sangat terperan-

jat. Suara itu rasa-rasanya seperti dia kenal secara 

samar-samar. Bedanya suara itu hanya sedikit agak 

sengau. Dia berusaha mengingat-ingat siapakah orang 

yang sedang bicara dengan jarak cukup jauh itu?

"Pekerjaan kalian memang patut untuk mendapat 

penghargaan. Tapi penyelesaian dengan imbalan yang 

memuaskan masih cukup jauh.... banyak rintangan 

yang akan kita hadapi. Wilayah Sungai Bilah Hulu saat 

ini juga sedang menghadapi persoalan yang cukup ru-

nyam. Baja Kuning memberi laporan padaku tentang 

kehadiran seorang pemuda asing dengan kepandaian-

nya yang cukup tinggi. Nah... untuk sementara waktu 

kau uruslah putrinya saudagar Legawa itu, aku telah


mengutus seorang kurir ke rumahnya untuk menyam-

paikan surat yang membicarakan masalah tebusan 

dan kebebasannya."

"Pangeran sendiri hendak kemana....?" tanya 

Bergawa Hitam dengan perasaan sungkan. Terdengar 

suara gelak tawa, dari siempunya suara tadi.

"Aku.... he.... he... he...! Sudah barang tentu mau 

menemui Baja Kuning..... ingin ku tahu seberapa he-

batnya orang yang telah begitu berani mencampuri se-

gala urusanku....!" jawabnya berwibawa.

"Kami selalu mematuhi apa yang pangeran pe-

sankan pada kami!" ujar Bergawa Hitam. Sebagaimana 

kedatangannya tadi, kepergiannya pun tanpa kata. 

Hanya kesunyian alam sekitar sebagai tanda pemilik 

suara yang disebut pangeran itu sudah tak berada di 

tempat. Seperginya orang yang nampak begitu dihor-

mati oleh Bergawa Hitam dan kawan-kawannya. Indah 

Dewi langsung pula menghamburkan kata-katanya.

"Aku seperti mengenal pemilik suara tadi....! Pas-

tilah dia... aku merasa yakin sekali....!" 

"Dia siapa...?" sentak Bergawa Hitam, dengan so-

rot mata menyelidik.

"Hemm.... aku yakin dialah orangnya....!" gu-

mamnya lagi seperti pada dirinya sendiri.

"Bekas kekasihmu...?" pancing Bergawa Hitam.

"Keparaaat! Kau tak layak menyebut-nyebut 

orang itu....?"

"Dua orang itu suaranya sama betul! Mungkin-

kah orang-orang seperti mereka mau mengerjakan pe-

kerjaan sekeji ini? Atau semuanya ini hanyalah meru-

pakan sebuah perangkap, yang akhirnya menjeru-

muskan ayah pada jurang kemelaratan....?" batin In-

dah Dewi mulai merasa was-was.

"Kini mengapa kau diam? Pasti kau mulai merin-

dukan kehangatan suamimu itu?" dengus Bergawa Hi

tam dengan sesungging senyum mengejek.

"Cacing kurus! Kau benar-benar membuat aku 

mau muntah... pergilah....!"

"Bisa berbuat apakah, kau...! Jangan kira kalau 

aku mau, aku tak mampu berbuat apa pun atas diri-

mu....!"

"Semua laki-laki memang iblis....!" teriak Indah 

Dewi dalam kegusarannya. 

***

LIMA



Pada saat itu di luar sepengetahuan mereka, dari 

tempat yang agak tersembunyi. Sepasang mata berki-

lat-kilat nampak menatap kosong ke arah tenda. Su-

dah hampir satu jam dia berada di situ mengawasi 

daerah sekitar dengan pandangan nanar. Ketika dia 

merasa tiada kelompok lain lagi yang berada di daerah 

itu, maka melantunlah suaranya bagai bait-bait se-

buah syair:

Hitam darah beku dari goresan luka lama dan ba-

ru

Nyanyian anak unggas, merintih ditinggal induk-

nya.

Jiwa hampa meluluh latahkan ganasnya angkara,

Yang berdiri di atas jiwa-jiwa merana

Aku kini bukanlah serapuh yang dulu lagi 

Duduk bersimpuh mengharap kasih raja

Tidak juga ketika kasih terhempas dilanda 

Badai prahdra......

Jiwa ini menjadi suka bertarung melawan maut



Dan setiap jiwa pasti akan terenggut

Dalam hatiku hanya satu yang kutuntut

Enyahkan angkara murka dengan pedang asmara

Karena diucapkan dengan pengerahan tenaga da-

lam, maka suara yang ditimbulkannya merambah jauh 

sampai ke ujung lembah. Sudah barang tentu baik 

orang yang berada di luar maupun di dalam tenda 

mendengar suara yang disertai pengerahan tenaga da-

lam itu. Setelah menotok jalan darah Indah Dewi, ma-

ka Bergawa Hitam nampak berkelebat keluar mening-

galkan tenda.

"Ada apa....?" tanyanya begitu telah bergabung 

dengan sebelas orang kawannya.

"Seseorang nampaknya sedang mengawasi dae-

rah kita ini, ketua Bergawa Hitam! Seorang bertelan-

jang dada dengan sebuah golok besar di tangannya 

memberi laporan pada Bergawa Hitam.

"Hemm. Kalau begitu, daerah ini telah diketahui 

oleh orang lain. Ada baiknya kalau kalian periksa siapa 

kunyuknya yang telah begitu berani mendengar pem-

bicaraan orang....!" kata Bergawa Hitam. Baru saja se-

tindak lima dari sebelas orang itu melangkahkan ka-

kinya menuju tempat persembunyian si pelantun syair. 

Serta merta dari semak-semak belukar, nampak mele-

sat sesosok tubuh mendekati Bergawa Hitam. Dengan 

gerakan tanpa menimbulkan suara. Pemuda bertelan-

jang dada itu menjejakkan kedua kakinya persis di de-

pan Bergawa Hitam. Sekejap pemuda berwajah totol-

totol dan berpenampilan dingin itu nampak memper-

hatikan Bergawa Hitam dan orang-orangnya. Kemu-

dian terlihat dengan jelas, sesungging senyum tipis 

menghias di bibirnya.

"Bocah muka macan tutul! Berani sekali engkau 

menunjukkan tampang di depan hidungku....?" Terdengar suara mendengus, mengisyaratkan rasa keti-

daksenangannya.

"Secara kebetulan aku melewati daerah ini....!" 

jawabnya acuh. Sudah barang tentu sikap yang ditun-

jukkan oleh si pemuda membuat Bergawa Hitam men-

jadi tersinggung

"Kalau memang secara kebetulan kau melewati 

daerah ini. Maka aku mengampuni jiwamu. Untuk itu, 

cepat-cepatlah kau menyingkir dari hadapanku...!" 

bentak Bergawa Hitam dengan suara sengaja dike-

raskan. Tetapi tingkah si pemuda benar-benar di luar 

dugaannya. Pemuda berwajah totol-totol itu bukannya 

bergegas meninggalkan tempat itu, sebaliknya malah 

kembali tersenyum dingin, sementara sepasang ma-

tanya melirik ke arah tenda.

"Aku baru segera berlalu dari daerah ini jika pe-

rempuan yang kau sekap itu, kau bebaskan sekarang 

juga...!" 

"Kurang ajar...! Dikasih hati malah meminta jan-

tung...! Sungguh keterlaluan...! Bergawa Hitam pasti 

tak akan mengampuni jiwamu....!" teriak laki-laki ber-

badan kurus kering ini dengan wajah merah padam.

"Jerangkong hidup! Ha... ha... ha...! Pikirkanlah 

keselamatan dirimu! Karena aku pun tak akan men-

gampuni jiwa Setiap orang-orang yang kujumpai....!" 

geram pemuda bertelanjang baju yang telah sama kita 

ketahui bernama Andika.

"Cuih! Kalau begitu kau memang ingin mencari 

perkara dengan Bergawa Hitam....?" Kata laki-laki ber-

senjatakan Kebutan itu, dengan kemarahan yang su-

dah tiada terbendung lagi.

"Tak usah banyak mulut! Cepat cabutlah senjata 

kalian, jika tak ingin mati percuma...!" Tak terkirakan 

betapa Bergawa Hitam sudah tak mampu menguasai 

dirinya lagi, serta merta laki-laki bertubuh tengkorak


itupun memberi isyarat pada kawan-kawannya. Hanya 

dalam waktu sekejap, sebelas orang kawan-kawan 

Bergawa Hitam langsung menyerbu. Pemuda berwajah 

totol-totol menyambutnya dengan tawa dingin menye-

ramkan, lalu dilanjutkan pula dengan bentakan men-

gancam: "Lembah Patah Hati telah begitu jauh ku ting-

galkan. Tiada sisa-sisa kenangan terkecuali sebuah 

duka lama dan sebuah kekecewaan....! Ah, orang-

orang malang! Betapa Pedang Asmara tak mungkin 

kembali ke dalam sarungnya, terkecuali telah menghi-

sap darah kalian... nah, bersiap-siaplah kalian untuk 

mampus....!" 

"Chaaaat.....!"

Di awali dengan satu lengkingan panjang, pemu-

da wajah totol-totol itu langsung melompat dan mela-

kukan tendangan kaki ke bagian tangan lawannya 

yang memegang senjata. Tendangan kilat itu membuat 

dua orang yang berada di dekatnya menjerit roboh. 

Senjata di tangan mental, sedangkan bagian tulang 

iganya remuk. Gebrakan mematikan yang dilakukan 

oleh si pemuda membuat Bergawa Hitam terbelalak 

matanya. Sama sekali dia tiada menyangka pemuda 

bertelanjang dada itu memiliki kepandaian yang begitu 

hebat. Sesaat laki-laki kurus itu menjadi lebih terkejut 

lagi saat mana mendengar jeritan tiga orang kawannya. 

Tubuh orang-orang itu roboh dengan luka memanjang 

di depan dada. Sementara dari luka itu tak terlihat 

adanya darah yang mengalir keluar. Pabila Bergawa 

Hitam menoleh ke arah si pemuda, maka sebilah pe-

dang berwarna biru kehitam-hitaman nampak tergeng-

gam di tangannya. Pada ujung pedang itu terlihat sisa-

sisa darah yang telah mengering. Yang membuat Ber-

gawa Hitam sangat terkejut, adalah selain pedang di 

tangan lawannya nampak bergetar, juga pedang itu 

sendiri mengeluarkan suara mendengung-dengung



menggiriskan hati.

"Lima ekor tikus telah mampus! Tapi rasa dahaga 

pedangku tak kan pernah kunjung berkesudahan se-

belum darah kalian dihirupnya....!"

"Setan.... keparaaat....!" maki laki-laki kurus ker-

ing. Kemudian segera mencabut senjatanya yang beru-

pa kebutan.

Dengan senjata itu, Bergawa Hitam bersama 

enam orang lainnya segera pula mengepung Andika 

dari berbagai jurusan. Tiada kata-kata yang terucap 

dari mulut laki-laki bertampang dingin itu terkecuali 

suara angin bersiuran disertai suara mendengung yang 

berkepanjangan. Sungguh pun Bergawa Hitam dan 

orang-orangnya telah mengerahkan segenap kemam-

puannya. Bahkan mereka pun telah pula mempergu-

nakan jurus andalannya masing-masing, sejauh itu 

mereka masih belum juga mampu menguasai perta-

rungan. Melihat kenyataan ini, Bergawa Hitam menjadi 

sangat gusar sekali. Pertama-tama dia putar kebutan-

nya sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah 

pertahanan yang begitu kuat. Dengan pertahanan se-

perti itu, Bergawa Hitam sedikit demi sedikit mulai me-

rangsak ke depan. Namun gerakan itu kemudian ter-

tahan, manakala Andika memutar pedangnya ke arah 

si laki-laki kurus. Semakin lama tubuh Bergawa Hitam 

semakin terdorong ke depan. Laki-laki kurus itu untuk 

selanjutnya hantamkan senjatanya untuk membubar-

kan rebawa aneh yang telah mulai menguasai dirinya. 

"Weet..... Breees....."

Tanpa terduga Pedang Asmara di tangan si pe-

muda menyambut. "Jreees...!"

"Uhh.....!"

Senjata kebutan milik Bergawa Hitam berantakan 

menjadi serpihan-serpihan kecil dihantam pedang di 

tangan lawan yang memiliki rebawa aneh itu. Tidak



sampai di situ saja, sebaliknya tubuh laki-laki kurus 

itupun terdorong tiga tindak. Andai saja Bergawa Hi-

tam tidak memiliki tenaga dalam yang kuat sudah pas-

ti tubuhnya terjengkang. Sebelum laki-laki kurus ma-

cam jerangkong itu siap dengan posisinya, lagi-lagi 

terdengar satu jeritan dari mulut dua orang kawannya. 

Orang itu langsung roboh, kepala mereka nyaris terpi-

sah dari tubuhnya. Sama halnya seperti dialami oleh 

korban-korban terdahulu. Kali inipun dari bekas-bekas 

luka itu tak terlihat adanya darah yang mengalir.

"Senjata iblis....!" teriak Bergawa Hitam, dengan 

wajah pucat. Pemuda wajah totol-totol kembali sung-

gingkan seulas senyum. Selanjutnya tertawa tergelak-

gelak: "Ha... ha... ha...! Cacing kurus.... kau lihat Pe-

dang Asmara yang tetap haus dengan darah. Dan kau 

lihat pula Jurus di Tinggal Kekasih yang ingin kuper-

sembahkan sebagai Kidung Pengantar Maut.... 

hiaaat....!" Satu teriakan menggelegar menyertai suara 

mendengung yang ditimbulkan oleh senjata di tangan 

Andika. Baik senjata maupun tubuh pemuda wajah to-

tol-totol berkelebat lenyap. Hawa aneh dapat dirasakan 

oleh lawan-lawan si pemuda yang sedang melakukan 

pengeroyokan. Kembali senjata-senjata jenis lainnya 

menderu, Andika menyambutnya dengan...

"Traaaang.... Jraas.....!"

"Arggkh....!" 

Senjata di tangan lawannya hancur berkeping-

keping, sebaliknya Pedang Asmara di tangan Andika 

terus meluncur menghantam sisi perut bagian kiri. 

Kawan Bergawa Hitam yang cuma tinggal satu-satunya 

keluarkan jeritan tertahan. Laki-laki itu terjengkang 

dengan isi perut memburai. Kini tinggallah Bergawa 

Hitam seorang diri, wajah laki-laki kurus itu nampak

pucat masai. Tapi nampaknya dia pun tiada pernah 

merasa putus asa, dengan mengandalkan pukulan Kabut Hitam. Laki-laki berbadan kurus kering itu nam-

pak merangkapkan kedua tangannya di depan dada. 

Selanjutnya tubuh Bergawa Hitam nampak tergetar 

hebat, keringat dingin mengalir membasahi tubuh 

yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Melihat apa 

yang dilakukan oleh Bergawa Hitam, Andika kembali 

tertawa dingin. Pandangan matanya yang berkilat-kilat 

redup, menatap kosong pada Bergawa Hitam yang se-

dang berusaha mengerahkan segenap kemampuannya.

"Huaaaa.... haa... haa....! Orang-orang sengsara 

seperti diriku. Kau pasti akan merasa kecewa dengan 

apa yang kau lakukan....! Pekerjaan yang sia-sia ada-

lah Menanti Kekasih Yang Tak Kunjung Datang.... 

huaaat....!" teriak Andika sambil hantamkan pedang-

nya ke arah lawannya. Pada saat yang sama Bergawa 

Hitam pun hantamkan pukulannya ke arah Andika. 

Tak dapat dicegah lagi, serangkum gelombang sinar 

berwarna kelabu nampak melesat sedemikian cepat 

menyongsong musuhnya. Tapi di luar dugaan Bergawa 

Hitam, begitu Pedang Asmara di tangan Andika diputar 

sedemikian cepat, pukulan itu menjadi tertahan, bah-

kan mulai terasa membalik. Pemuda wajah totol-totol 

melipat gandakan tenaga dalamnya. Sedikit demi sedi-

kit tubuh Bergawa Hitam nampak mulai terdorong ke 

belakang. Melihat kenyataan ini, Bergawa Hitam terus 

mengerahkan segenap kemampuannya. Wajahnya 

yang kurus cekung itu semakin lama semakin bertam-

bah pucat bagai kehilangan darah. Kini sadarlah dia 

bahwa kesaktian yang dimiliki oleh lawannya ternyata 

berada jauh di atas tingkatannya. Sedetik laki-laki ku-

rus itu berpikir, namun detik-detik yang sangat ber-

harga itu dipergunakan oleh lawannya untuk melepas 

satu pukulan yang diberi nama 'Penantian Sia-Sia'......

"Weeert.... Seeb.....!"

Kepulan asap berwarna biru mengawali melesat


nya serangkum gelombang pukulan berhawa aneh. Be-

gitu pukulan yang dilepaskan oleh Andika sampai pa-

da sasarannya, tak dapat dihindari lagi. Tubuh kurus 

kering itu pun terpelanting tujuh tombak. Bagian pa-

hanya menghantam batu cadas sebesar kambing. Batu 

itu hancur berantakan. Dapat dibayangkan sebenar-

nya Bergawa Hitam merupakan seorang tokoh yang ju-

ga memiliki ilmu sangat tinggi. Namun pada kenya-

taannya ilmu yang dimiliki oleh Andika melebihi ting-

kat kepandaian yang dimiliki oleh Bergawa Hitam. Be-

gitupun laki-laki itu cepat-cepat bangkit kembali, na-

mun dalam saat yang sama dengan sekali lompat pe-

dang di tangan Andika yang terus menggeletar mencari 

sasaran datang menyambut. Satu inci ujung pedang 

itu mencapai bagian dada Bergawa Hitam. Laki-laki 

kurus itu hanya mampu membelalakkan matanya, 

tanpa sempat lagi mengelak dan menangkis. 

"Jraaaakgh....!"

Tiada keluhan maupun rintihan yang terdengar. 

Pedang di tangan pemuda wajah totol-totol itu telah 

merenggut nyawa si kurus. Kali ini luka yang ditim-

bulkan akibat sambaran Pedang Asmara juga tidak 

meninggalkan darah. Semakin bertambah dingin tata-

pan mata si pemuda, pada saat itu terdengar suara te-

riakan perempuan yang berada di dalam tenda.

"Kakang Andika....!" panggil Indah Dewi dengan 

kegembiraan yang meluap-luap pengantin baru itu 

berlari-lari menghampiri.

Tapi pemuda itu mendengus dan bersikap seolah-

olah tiada mengenali Indah Dewi.

"Kakang... kau sekarang telah menjadi seorang 

pemuda yang sangat sakti! Tahukah kau selama ini 

aku sangat merindukan kehadiranmu....?" ucapnya 

dengan mata berbinar-binar menahan keharuan. Tapi 

di luar dugaannya, laki-laki berwajah totol-totol itu palingkan mukanya ke arah jurusan lain. Lalu nada sua-

ra tanpa perasaan pun terdengar: "Maaf nona! Aku tak 

pernah mengenalmu! Mungkin kau salah alamat....!" 

Indah Dewi terbelalak matanya, sama sekali dia tiada 

menyangka bahwa Andika yang dulu sangat mencintai 

dirinya kini telah berubah sama sekali. Hatinya pun 

menjerit, jiwanya protes.

"Kakang, apakah kau masih marah atas kekasa-

ranku dulu padamu....?" tanya gadis itu dengan wajah 

tertunduk sedih.

"Aku tak mengenal wanita manapun! Aku tak ju-

ga mengerti apa yang nona ucapkan!" kata si pemuda 

tiada bergeming.

"Kau keterlaluan kakang, kau tidak dapat mem-

bohongiku, kau pasti kakang Andika!" jerit gadis itu 

dengan berurai air mata.

"Andika yang dulu telah mati tercabik-cabik bela-

ti asmara! Andika yang melarat yang dulu dicemooh-

kan oleh banyak orang itu telah bunuh diri di Lembah 

Patah Hati. Dia telah pergi jauh karena merasa tak 

mampu mengatasi getirnya cinta. Dia memang layak 

mati, karena hidup tak pernah berpihak kepa-

danya....!" ucapnya bertambah dingin.

"Kakang Andika....!" teriak Indah Dewi histeris. 

"Mengapa kau berkata seperti itu?" jeritnya lagi.

"Sudah kukatakan aku bukan Andika....! Pergilah 

aku telah menolongmu dari cengkeraman tangan me-

reka....!"

"Kakang, sia-sialah penantianku selama ini....!"

"Tiada penantian yang sia-sia! Bahkan nona telah 

hidup bahagia dengan pemuda pilihan orang tua yang 

kaya raya. Bukankah benar kata orang tua nona, ke-

bahagiaan itu terletak pada harta benda. Bukan seper-

ti kata-kata almarhum Andika, bahwa kebahagiaan bi-

sa terwujud dengan adanya kasih sayang, kasih mengasihi, dan rasa pengertian yang mendalam." sindir 

pemuda berwajah totol-totol itu. "Ucapan almarhum 

Andika itu tak usah nona percaya, kata-kata itu ha-

nyalah sebait syair tembang pengantar tidur orang-

orang melarat....!"

Semakin bertambah perih hati Indah Dewi begitu 

mendengar kata-kata si pemuda. Sama sekali dia tiada 

menyangka, bahwa pemuda yang telah begitu mencin-

tainya itu kini telah berubah banyak. Salahkah pemu-

da itu? Seharusnya dia menyalahkan dirinya sendiri. 

Dulu dia telah menelantarkan harapan si pemuda, ha-

tinya terlalu angkuh, justru karena dia merasa terlalu 

diperhatikan. Kini saat-saat hati dan jiwanya membu-

tuhkan orang yang benar-benar dikasihinya itu. Tapi 

rasa-rasanya harapan yang terpendam selama ini pu-

pus. Melihat wajah dan cara pemuda itu memandang, 

Indah Dewi cukup mengetahui bahwa Andika memen-

dam kekecewaan yang mendalam.

"Kakang....!" jerit Indah Dewi. Namun begitu dia 

menoleh, pemuda berwajah totol-totol itu sudah tak 

ada di tempatnya. Pengantin baru itu sambil menangis 

terus berusaha mengejar pemuda yang menjadi tum-

puan harapannya itu, tapi dia merasa kehilangan je-

jak, justru karena dia tak tahu ke arah mana pemuda 

itu berkelebat pergi.

***

ENAM



Sejak menginjakkan kakinya di daerah Sungai 

Bilah Hulu, membunuh kawanan bajak sungai kemu-

dian melakukan pengejaran atas diri seseorang yang 

belum dikenalnya. Buang Sengketa di pertengahan jalan merasa kehilangan jejak. Mulai saat itu pemuda 

berwajah sangat tampan itu telah memutuskan untuk 

melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Sepanjang 

pengembaraan dalam mencari tempat tapa ayahan-

danya itu, berbagai hambatan datang silih berganti. 

Dunia persilatan bukanlah sebuah kalangan yang di-

penuhi keramah tamahan. Itu cukup dia sadari, hanya 

karena berkat bekal ilmu kepandaian yang cukup. 

Yang diwariskan oleh almarhum gurunya, yaitu kakek 

Bangkotan Koreng Seribu. Hingga sampai saat kini 

pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara dari negeri 

Bunian (gaib) itu masih bertahan hidup. Begitu-pun 

terkadang terlintas dalam pikirannya, haruskah sepan-

jang sisa-sisa hidupnya dia terus melakukan pengem-

baraan itu? Kenyataannya tempat tapa ayahandanya 

sangat sulit ditemukan. Sepanjang pesisir pantai telah 

dia telusuri. Bahkan sekali waktu dia pun tanpa se-

gan-segan menyelami dasar lautan. Tak terdapat see-

kor ular piton raksasa bertapa di sana. Ular-ular yang 

dijumpainya hanyalah ular kecil, pendek, bahkan tiada 

berbuntut. Ular biasa itu bukanlah ayahandanya.

"Beet.....!"

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, 

pemuda berkuncir itupun melesat ke atas dahan salah 

sebuah cabang pohon yang berukuran besar. Detik se-

lanjutnya pemuda itu telah pula menyandarkan tu-

buhnya di cabang pohon tadi. Mulutnya menguap be-

berapa kali. Iseng dibukanya periuk besar yang meng-

gelantung di bagian pinggangnya. Sekejap, pemuda itu 

telah mencomot beberapa potong dendeng ikan lumba-

lumba yang dibuatnya sendiri. Sepotong demi sepo-

tong, dendeng ikan yang sangat lejat itu telah pula 

memasuki tenggorokannya

"Uaoooo....! Kalau sudah kenyang begini, rasanya 

aku ingin tidur saja. Hidup kalau dipikir-pikir mana


ada habisnya. Yang susah ingin hidup senang. Yang 

kaya ingin bertambah kaya, bandot tua sudah punya 

bini satu, juga ingin nambah satu, dua tiga sampai se-

puluh." Berkata begitu, tiba-tiba pemuda berwajah 

tampan itu tersenyum-senyum kayak orang senewen. 

"He... he... he....! Aku sendiri juga belum kawin? Punya 

pacar pada mati semua. Tapi....!" kata Buang Sengke-

ta, seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Gadis 

itu begitu cerdik, wajahnya juga cantik. Gadis yang 

penuh pengertian! Aku yakin setiap pemuda pasti suka 

padanya. Sifatnya juga keibuan. Sangat jarang di ja-

man ini gadis bersipat seperti dia, kebanyakan baru 

pacaran saja sudah berani membentak-bentak.... he... 

he... he....! Mungkin Wanti Sarati sudah berjodoh den-

gan orang lain. Sungguh pun aku selalu merindukan 

kehadirannya, tapi biarlah. Aku selalu berdoa untuk 

kebahagiaan-nya....!" gumam pemuda itu sendu.

Ketika Pendekar Hina Kelana sedang melamun 

seorang diri di atas pohon itu. Tiba-tiba pendengaran-

nya yang tajam mendengar suara isak tangis. Sayup-

sayup kedengarannya. Pemuda itu nampak menyapu 

pandang ke arah sekelilingnya. Tapi dia belum melihat 

adanya orang lain di sekitar tempat itu. Namun ketika 

Buang Sengketa menoleh ke arah lain, maka terlihat-

lah sesosok tubuh berjalan tersaruk-saruk dengan 

wajah tertunduk, sekali dua perempuan itu menyeka 

air matanya yang bergulir di pipi. Melihat keadaan pe-

rempuan itu, Buang dapat memastikan pastilah dia 

seorang anak orang berada. Tapi yang membuat si pe-

muda merasa keheranan mengapa perempuan itu, 

berkeliaran di tempat yang sunyi seorang diri? Padahal 

selain binatang buas. Bukan tak mungkin sewaktu-

waktu orang jahat berkeliaran pula di tempat itu. Se-

jauh itu, sungguh pun hatinya diliputi oleh rasa kein-

gintahuan, namun dia masih tetap berada di tempat


nya. Hingga pada akhirnya terdengar juga suara si wa-

nita: "Kakang Andika....! Begitu tega kau meninggalkan 

diriku, aku menyadari sikapku yang dulu padamu. Ta-

pi mengapa kini kau malah pergi begitu saja...?" rintih 

si gadis, dengan dada terasa menyesak.

"Kalau begini rasanya aku ingin mati saja, ka-

kang Andika...!" ucap si gadis. Tiada diduga-duga gadis 

itu mencabut sebilah keris berlekuk tiga dengan uku-

rannya yang sangat pendek. Dengan kedua tangannya, 

digenggamnya senjata berwarna hitam itu erat-erat. 

Secara perlahan senjata itupun mulai terangkat tinggi-

tinggi. Buang Sengketa nampak membelalakkan ma-

tanya, ketika senjata itu terayun ke bawah. Tanpa 

membuang-buang waktu lagi, tubuh Buang Sengketa 

melesat sedemikian cepat dari tempat persembunyian-

nya.

"Selamat tinggal, kakang Andika...?" Senjata itu 

terayun deras. Dengan ujung tangannya, si pemuda 

menyentil ujung tangan si wanita.

"Wuus....!" 

"Tuuuk....!"

Satu totokan yang begitu telak, tepat mengenai 

sasarannya. Wanita yang bernama Indah Dewi itupun 

mengeluh. Tangannya kaku dalam keadaan tertotok. 

Menyadari keadaan dirinya sendiri, dan melihat apa 

yang baru saja akan dilakukan oleh si wanita, diam-

diam Buang Sengketa merasa geli sendiri.

"Dunia tidak selebar daun kelor, nona...! Kema-

tian yang paling sia-sia adalah kematian dengan cara 

menganiaya diri sendiri....!" kata si pemuda sambil ter-

senyum-senyum. Sebaliknya begitu usahanya ada 

yang menggagalkan perempuan yang bernama Indah 

Dewi itu nampak sangat marah sekali.

"Pemuda gemblung...! Berani sekali kau men-

campuri urusanku...!" sengatnya dengan mata melotot.


"Mati dengan cara bunuh diri adalah cara yang 

sangat keji. Dewata pasti akan mengutuk setiap tinda-

kan seperti itu....!" jawab si pemuda begitu tenang.

"Huh... apa pun yang kulakukan itu hakku! Tak 

pantas kau mencampuri urusan orang lain....!" bentak 

Indah Dewi. Sementara kedua tangannya yang tertotok 

masih tetap dengan posisinya.

"Apa yang kau katakan itu memang benar! Sela-

manya aku tak pernah mencampuri segala macam 

urusan orang lain. Tapi karena kejadian ini di depan 

mataku, masa aku harus tinggal diam menyaksikan 

kematian yang menyesatkan itu....!" Semakin meme-

rahlah paras Indah Dewi mendengar kata-kata si pe-

muda. Kemudian dengan kemarahan yang meluap-

luap, pengantin baru ini bermaksud menyerang si pe-

muda dengan mempergunakan kerisnya. Namun begi-

tu sadar tangannya tidak dapat dia gerakkan, perem-

puan itupun merasa putus asa. Sambil menghentak-

hentakkan kakinya, Indah Dewi keluarkan kata-kata 

kasar.

"Gembel keparat. Bebaskan totokan ini, aku pasti 

akan membunuhmu.... cepat bebaskan....!" jeritnya 

tertahan-tahan.

"Tak perlu kau meronta-ronta seperti itu, nona.... 

Aku pasti akan membebaskan dirimu. Tapi sebelum-

nya, cobalah sadari apa yang baru saja hampir kau 

perbuat." ujar si pemuda setengah menggurui.

"Kau jangan coba-coba mengajariku. Aku merasa 

hidup lebih lama lagi bagiku merupakan sebuah sik-

saan yang terlalu menyakitkan.

"Kau merasakannya begitu, aku pun yakin bahwa 

orang yang kau sebut-sebut itu mengalaminya lebih 

dari sekedar yang kau rasakan....!" kata Buang Seng-

keta. Selanjutnya dia menambahkan lagi: "Nona. Su-

dahlah, jangan kau ingat-ingat tentang sesuatu yang


menyakitkan. Pulanglah kepada orang tuamu, jalan 

hidupmu masih terlalu panjang...!" kata si pemuda 

menasehati. Indah Dewi nampak terdiam dengan wa-

jah menunduk. Apa yang baru saja dikatakan oleh si 

pemuda memang masuk di akalnya. Tetapi bila dia te-

ringat pada kedua orang tuanya. Tiba-tiba jiwanya 

menjadi berontak. Tanpa sadar Indah Dewi geleng-

gelengkan kepalanya.

"Aku tak mau pulang! Orang tuaku selain akan 

menghukumku, aku juga tak sudi bertemu dengan la-

ki-laki yang bernama Lesmana itu...!" sungut si gadis, 

dengan sepasang mata memancarkan rasa kebencian.

"Apakah kau sudah bersuami...?" tanya Buang 

Sengketa konyol. Sesaat wajah Indah Dewi berona me-

rah: "Aku memang sudah bersuami, bahkan dia anak-

nya Tumenggung Jayeng Rono... tapi aku tak pernah 

mencintainya. Dan ternyata dia pun tak pernah men-

cintaiku....!" ujar si gadis. Alis si pemuda nampak 

mengerenyit, seperti yang dia dengar Tumenggung 

Jayeng Rono adalah orang yang berkuasa atas daerah 

tertentu. Semuanya atas titah sang Raja. Berdasarkan 

atas sebuah kepercayaan yang penuh. Kalau gadis itu 

sampai mendapat kehormatan menjadi istri putra seo-

rang Tumenggung. Sudah dapat dipastikan bahwa 

orang tua si gadis tentu merupakan orang yang ter-

pandang di tengah-tengah masyarakatnya.

"Siapakah orang tuamu...?" Indah Dewi merasa 

heran dengan pertanyaan yang diucapkan oleh si pe-

muda, sekejap pandangan matanya nampak meneliti 

pada Buang, Tapi akhirnya dia menjawab juga. "Orang 

tuaku bernama saudagar Legawa....!" 

"Saudagar Legawa! Hmm. Rasa-rasanya aku per-

nah mendengar nama itu...!" ujar si pemuda, teringat 

tentang pembicaraan para bajak sungai beberapa hari 

yang lalu.


"Apakah kau kabur dari rumah, untuk menghin-

dari suami yang tidak kau cintai?"

"Beberapa orang tak kukenal telah menculikku 

seusai pesta perkawinanku!" jawab Indah Dewi tanpa 

malu-malu.

"Tapi kini kau bebas berkeliaran sampai ke si-

ni....!" gumam si pemuda seperti tak percaya dengan 

apa yang dikatakan oleh Indah Dewi. Tiba-tiba perem-

puan itu kembali menangis, suaranya pun menjadi se-

rak. Mungkin sepanjang perjalanan yang dilaluinya dia 

terlalu banyak mencucurkan air mata sehingga kini 

akibatnya mulai terasa.

"Maafkan aku! Sungguh aku tak bermaksud me-

nyinggung perasaanmu...?!" kata si pemuda dengan 

perasaan menyesal.

"Tidak. Aku hanya merasa sangat kecewa dengan 

sikap orang yang sangat kukasihi itu. Padahal dialah 

yang telah membebaskan aku dari tangan orang-orang 

yang menculikku....!"

"Apakah dia meninggalkan dirimu....?" tanya 

Buang Sengketa dengan penasaran sekali. 

"Dia bukan saja hanya meninggalkan aku begitu 

saja, tapi dia juga bahkan mengaku tak mengenal diri-

ku....!" jerit Indah Dewi pilu.

"Mungkin orang yang kau cintai itu pernah mera-

sa sangat kecewa. Sehingga dia bersikap seperti 

itu....?!" Sela Pendekar Hina Kelana bagai seorang ahli 

nujum. Indah Dewi hanya menganggukkan kepalanya 

pelan, dia memang tidak menyangkal kebenaran kata-

kata yang baru saja diucapkan oleh si pemuda. Selan-

jutnya tanpa sungkan-sungkan lagi Nyonya muda itu 

menceritakan segala sesuatunya pada si pemuda yang

baru saja dikenalnya. Setelah Buang Sengketa menger-

ti duduk persoalan yang sebenarnya. Tak lama kemu-

dian dia pun mengajukan satu pertanyaan.



"Nampaknya sampai saat ini kau begitu mencin-

tainya, sedangkan seperti apa yang kau katakan pe-

muda itu tidak mencintaimu lagi. Mungkin juga sakit 

hati. Tapi apakah kau tidak ada niat untuk berusaha 

mencintainya....?" tanya Buang Sengketa. Sepasang 

mata Indah Dewi nampak membelalak lebar, sebuah 

kebencian yang begitu mendalam nampak menggurat 

di wajah yang kemerah-merahan itu.

"Siapa sudi! Daripada aku harus bertemu dengan 

laki-laki kasar seperti Lesmana itu, lebih baik aku 

mampus....!" teriak Indah Dewi, lalu meronta-ronta. 

"Lepaskan totokan terkutuk ini... cepat lepaskan....!"

"Totokan sebentar lagi akan dilepas...! Tapi harap 

kau bersikap tenang....!

"Sedari tadi kau mengatakan mau membebaskan 

totokan terkutuk sial ini. Tapi mana pelaksanaan-

nya.... jangan-jangan kau merupakan begundalnya 

Lesmana!"

"Jangan gegabah, aku bukan suruhannya siapa-

pun... percayalah. Aku hanya seorang pendatang di si-

ni....!"

"Kalau begitu cepat bebaskan totokan ini....?" pe-

rintah Indah Dewi.

"Apakah kau masih ingin membunuh diri....?" 

tanya si pemuda merasa sangsi.

"Pemuda ceriwis! Cepat kau bebaskan... aku se-

gera pergi dari daerah ini....!" Tanpa berkata-kata lagi, 

Buang Sengketa langsung membebaskan totokan yang 

terletak di bagian pergelangan tangan Indah Dewi. Se-

telah merasa terbebas dari totokan itu, selanjutnya 

tanpa berkata apa-apa lagi perempuan itupun berlalu 

begitu saja. Dari tempatnya berdiri, si pemuda terus 

mengawasi langkah perempuan itu, hingga sampai pa-

da akhirnya Indah Dewi pun lenyap dari pandangan 

matanya.

"Karena patah hati, perempuan nekad bunuh di-

ri.... ! Tapi ada baiknya kalau kubayangi perempuan 

itu dari jarak jauh. Aku merasa begitu yakin sesuatu 

pasti bakal terjadi atas dirinya....! gumam Pendekar 

Hina Kelana. Akhirnya dengan gerakan yang sangat 

ringan, pemuda itupun berkelebat pergi.

***

TUJUH



Udara berkabut mengiringi perjalanan berkuda 

yang dilakukan oleh saudagar Legawa dan tujuh orang 

pembantu utama. Perjalanan berulang itu dilakukan-

nya sudah hampir tiga minggu lebih. Sejauh itu usa-

hanya untuk mencari putrinya yang dianggapnya telah 

dilarikan oleh Andika, masih kelihatan belum ada tan-

da-tanda mendatangkan hasil. Sementara perjanjian 

penyitaan harta kekayaan yang akan dilakukan oleh 

pihak Katemenggungan hanya tinggal seminggu lagi. 

Dapat dibayangkan betapa ruwetnya masalah yang se-

dang dihadapi oleh saudagar Legawa saat itu. Dia su-

dah berpikir andai dalam waktu satu minggu ini sau-

dagar itu tak dapat menemukan Indah Dewi maupun 

Andika, sudah pasti semua harta kekayaan yang dimi-

likinya menjadi milik Lesmana. Dalam menghadapi 

masalah rumit seperti itu, satu yang tak pernah terpi-

kirkan oleh Legawa, adalah mengenai benar tidaknya 

apa yang dikatakan oleh anak Tumenggung Jayeng 

Rono. Yang mengatakan bahwa pada saat malam per-

tama istrinya sudah tak memiliki kehormatan lagi. Hal 

ini oleh pihak keluarga Tumenggung Jayeng Rono di-

anggap merupakan satu penipuan keji yang tak pantas 

dilakukan oleh keluarga kalangan terhormat.


Satu sisi dan merupakan kunci dari maksud-

maksud keji demi untuk mengangkangi harta benda 

saudagar itu, telah dilakukan oleh Lesmana. Tapi sia-

pakah yang dapat mengungkap tabir kebusukan yang 

sedang dilakukan oleh Lesmana, selain Indah Dewi 

sendiri? Hal inilah yang tak pernah disadari oleh sau-

dagar Legawa. Apa yang ada dalam pikiran saudagar 

itu adalah bagaimana caranya agar harta bendanya 

dapat terhindar dari penyitaan yang akan dilakukan 

oleh pihak Katemenggungan? Bagaimanapun caranya 

dalam waktu yang hanya tinggal enam hari itu, seda-

pat mungkin dia harus bekerja keras untuk menemu-

kan Indah Dewi, kalaupun nantinya dia berjumpa juga 

dengan Andika. Maka dia telah memutuskan untuk 

membunuh pemuda itu, bahkan untuk, lebih puasnya 

dia akan cincang pemuda itu.

Demikianlah siang itu mereka telah sampai di se-

buah lereng gunung. Udara di daerah itu terasa dingin 

menusuk. Namun rombongan Legawa yang sudah dili-

puti perasaan tegang nampak sudah tak menghirau-

kan keadaan seperti itu. Sejenak rombongan berkuda 

yang dipimpin langsung oleh Legawa nampak meng-

hentikan laju kuda tunggangan. Berpasang-pasang 

mata terus memperhatikan daerah sekitarnya. Tiada 

tanda-tanda sesuatu apa pun yang mencurigakan. Me-

reka sudah hampir meneruskan perjalanannya kemba-

li, saat mana saudagar melihat adanya bayangan dua 

buah titik dari arah berlawanan menuju ke arah mere-

ka. Legawa menyipitkan sebelah matanya untuk me-

mastikan secara lebih jelas, siapakah adanya dua 

orang itu. Karena jarak mereka masih terlalu jauh, 

maka Legawa tidak dapat mengenali dengan jelas dua 

orang pejalan kaki ini. Selanjutnya sambil memberi 

isyarat pada para pembantunya, Legawa memutuskan 

untuk menunggu orang-orang itu sampai mendekat


pada posisi mereka.

Setelah berlompatan dari atas punggung kudanya 

masing-masing, rombongan berkuda itupun bersem-

bunyi di satu tempat yang agak terlindung. Setelah 

menunggu dengan waktu yang agak lama, dua orang 

pejalan kaki itu pun sudah dapat dilihat dengan jelas. 

Yang seorang merupakan pemuda tampan dengan pa-

kaiannya berwarna merah, sedangkan yang seorang 

lagi merupakan seorang perempuan berusia muda 

yang pasti sudah sangat dikenal oleh Legawa. Dengan 

hati berdebar bercampur rasa amarah, saudagar kaya 

raya itu menanti kedatangan mereka.

"Tuan.... orang itu telah sampai! Salah seorang di 

antaranya ternyata merupakan putri tuan...!" lapor sa-

lah seorang yang berada begitu dekat dengan saudagar 

Legawa.

"Aku telah melihatnya! Kita dapat memulainya 

sekarang....!" kata laki-laki setengah umur ini. Lalu 

dengan sekali lompat, maka tubuh Legawa dan tujuh 

orang lainnya telah mengurung dua orang itu. Orang 

yang paling pertama merasa terkejut atas pengepun-

gan itu adalah Indah Dewi. Bahkan di luar kesadaran-

nya dia keluarkan seruan tertahan: "Ayah....!"

"Herrgk....! Anak kurang ajar, bikin sengsara 

orang tua...!" sentaknya marah. Lalu dengan sekali 

berkelebat. Maka tangan Indah Dewi pun telah berha-

sil dia raih. Pengantin baru itupun meronta, hal ini 

hanya membuat Legawa menjadi marah sekali.

"Anak kampret tak tahu diuntung, bisanya hanya 

bikin malu orang tua saja....!"

"Tuan..... maafkan aku! Sebenarnya aku bukan 

bermaksud mengguruimu, tapi kalau menurut apa 

yang dikatakan oleh putrimu. Sebenarnya tuan selama 

ini telah keliru dalam memandang sebuah masa de-

pan. Tahukah tuan siapa pemuda yang bernama Les


mana itu?"

"Kurang ajar! Siapakah engkau ini budak hina...? 

Mulutmu yang lancang itu begitu beraninya menggurui 

manusia terhormat sepertiku...?" Bentak Legawa den-

gan pandangan liar penuh amarah.

"Aku hanya seorang pengembara biasa, tuan! 

Hanya secara kebetulan saja aku menemukan putrimu 

yang hampir mengakhiri hidupnya secara menyedih-

kan....!" kata Buang Sengketa tanpa bermaksud mele-

bih-lebihkan. Mendengar keterangan si pemuda, sau-

dagar Legawa terbelalak bagai tak percaya. Bagaimana 

mungkin? Selama ini dia cukup mengenal bagaimana 

perangai anak satu-satunya yang selalu menurut apa 

yang diperintahkan oleh orang tuanya. Apa yang dika-

takan oleh pemuda berpakaian kumuh itu sebagai satu 

hal yang tak dapat diterima oleh akal sehatnya. Bukan 

tidak mustahil pemuda berperiuk itu hanya mengada-

ada.

"Mulutmu tak bisa kupercaya, bocah! Bahkan 

aku mulai merasa yakin kaulah yang telah membawa 

lari putriku...!" 

Buang Sengketa gelengkan kepalanya berulang-

ulang, ketika dia baru akan mengatakan sesuatu, In-

dah Dewi mendahului: "Ayah! Tuduhan ayah tidak be-

ralasan sama sekali. Yang menculikku adalah belasan 

orang yang tidak kukenal... tapi kini orang-orang itu 

telah tewas di tangan 'Satria Pedang Asmara'......!"

"Satria Pedang Asmara? Siapakah dia....?" 

tanya Legawa acuh. Mendengar pertanyaan orang tua-

nya, sudah barang tentu Indah Dewi merasa terpojok. 

Masih untung Buang Sengketa tahu membaca gelagat. 

Maka tanpa merasa ragu lagi pemuda itupun me-

nyambung: "Satria Pedang Asmara adalah seorang sa-

habatku dari Lembah Patah Hati....!" saudagar Le-

gawa terdiam, sebentar-sebentar memandang tajam


pada si pemuda, namun di saat lain beralih pula pada 

putri tunggalnya. Dalam hati mungkin laki-laki seten-

gah baya ini dapat menerima semua penjelasan pemu-

da maupun putrinya sendiri. Tapi manakala dia terin-

gat tentang ancaman Tumenggung Jayeng Rono dan 

keselamatan harta bendanya. Maka rasa percaya itu-

pun lenyap begitu saja. Kini dengan pandangan tajam, 

ditatapnya wajah putrinya. Lalu sebuah pertanyaan 

yang tiada terduga-duga oleh Indah Dewi pun me-

nyambutnya bagai sebuah tamparan yang sangat ke-

ras:

"Menurut Lesmana! Kau... kau telah kehilangan 

kehormatanmu saat malam pertama?" tanya saudagar 

Legawa dengan suara bergetar karena menahan berba-

gai goncang-an jiwa yang begitu hebat. Bukan saja In-

dah Dewi yang berubah parasnya demi mendengar 

ucapan itu, namun juga si pemuda merasa tak enak 

hatinya. 

"Dusta. Anjing Lesmana merupakan laki-laki bi-

adab, iblis berkedok manusia yang pantas untuk di-

cincang....!" teriak Indah Dewi histeris. "Dia bukan la-

ki-laki baik. Bahkan lebih pantas kalau disebut seba-

gai seorang pemerkosa. Aku diperlakukannya tak lebih 

dari pada seekor hewan. Tapi tak mengapa agar ayah 

dan ibu menjadi puas. Tapi ayah! Aku juga bukan pe-

rempuan bodoh, aku tahu dengan segala rencana li-

ciknya. Dia bermaksud untuk mengangkangi semua 

harta kekayaanmu, bahkan bajingan anak tumeng-

gung terhormat itu kuketahui telah bekerja sama den-

gan puluhan tokoh golongan hitam. Manusia terhor-

mat seperti itukah yang kau inginkan menjadi mantu-

mu ayah?" tukas Indah Dewi hampir putus asa.

"Dewi! Mulutmu terlalu berlebihan....! Dapatkah 

kau pertanggungjawabkan apa yang kau katakan 

itu...?"


"Huh....! Semua yang telah kukatakan itu sudah 

pasti dapat kupertanggungjawabkan. Lesmana bilang 

pada ayah, pada saat itu aku sudah tiada memiliki ke-

hormatan lagi, sebagai bukti atas kelicikannya akan 

kujawab dengan ini...!" Berkata begitu Indah Dewi 

mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Benda 

yang dikeluarkan oleh Indah Dewi kiranya hanya me-

rupakan sobekan kain berwarna putih bersih, tapi pa-

da kain itu terdapat sebuah noda merah bekas sisa-

sisa darah yang telah mengering. Semua orang yang 

berada di tempat itu pasti mengetahui makna yang 

terkandung dalam kata-kata putri saudagar Legawa. 

Tak lain darah yang melekat pada kain berwarna putih 

itu adalah darah kehormatan seorang gadis.

"Masihkah ayah tak percaya dengan apa yang te-

lah kuperbuat ini! Lesmana ternyata memang manusia 

licik. Tapi hanya ayah dan ibu saja yang kena dilici-

kinya....!"

"Kurang ajar!" geram Legawa dengan rahang ter-

tutup rapat. "Aku hampir saja tertipu mentah-mentah! 

Tapi... bagaimana ini? Keluarga Katemenggungan pasti 

tak mau terima begitu saja, Tumenggung Jayeng Rono 

adalah orang yang paling sayang pada putranya. Su-

dah pasti dia pun tak mungkin mau percaya dengan 

bukti-bukti dari pihak keluarga kita?" kata Legawa ha-

rap-harap cemas.

"Apakah mereka akan menyita kekayaan milik-

mu, tuan...?" tanya Pendekar Hina Kelana begitu ber-

hati-hati.

"Begitulah kenyataan yang akan terjadi...,?" de-

sah saudagar gila kehormatan itu dengan suara ham-

pir-hampir tak terdengar.

"Dan tuan merasa tak kuasa mencegah maksud-

maksud mereka....?" tanyanya lagi secara lebih jauh.

"Aku hanya seorang bekas murid perguruan. Status ku yang sekarang cuma seorang saudagar yang 

hanya mampu menghitung laba-rugi. Kalau pun aku 

membangkang, mereka memiliki sejumlah pengawal 

yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi. Oh... da-

sar nasib mau bangkrut. Pasti ada-ada saja penyebab-

nya.....!"

"Masih banyak jalan untuk mencegah tindakan 

yang sewenang-wenang itu, tuan....!" ujar Buang Seng-

keta seperti memberi harapan. Kata-kata pemuda ber-

pakaian kumuh itu, sudah tentu menarik perhatian 

saudagar Legawa yang memang tidak menginginkan 

hartanya tersita begitu saja.

"Kalau aku sanggup membantu dalam me-

nyelesaikan persoalanmu itu, apakah kau bersedia 

memberiku satu imbalan sesuai dengan apa yang 

kuinginkan, tuan...?" pancing si pemuda.

"Apakah kau bisa diandalkan dalam me-

nyelesaikan masalah yang sedang kuhadapi sekarang 

ini....?"

"Mungkin aku mampu.....!" saudagar Legawa ter-

senyum mencemooh: "Tahukah kau siapa yang bakal 

kuhadapi itu?" 

"Aku tahu....!"

"Kalau hanya bersipat untung-untungan, pasti 

kau juga sudah mengerti bagaimana akibat yang di-

timbulkannya andai usaha itu sampai gagal....!" ujar 

laki-laki setengah baya itu serius.

"Tumenggung pasti akan menggantung kita se-

mua....!" saudagar Legawa nampak angguk-anggukkan 

kepalanya.

"Betul! Tiang gantungan pasti menunggu kita! 

Kalau kau sudah mengetahuinya, masih jugakah kau 

membantuku?"

"Sudah kukatakan, aku tetap akan mem-

bantumu....!" kata pemuda itu pasti.


"Kalau begitu, coba katakan apa keinginanmu 

itu?"

"Aku tak bisa mengatakannya sekarang, tapi 

nanti andai semuanya telah kukerjakan dengan baik, 

aku baru mengatakan keinginanku itu...!" Lagi-lagi, 

Legawa anggukkan kepala tanda setuju. Tak berapa 

lama setelahnya dia memberi perintah pada pemban-

tunya untuk mengambil kuda yang sengaja mereka 

sembunyikan tak begitu jauh dari tempat mereka be-

rada.

"Waktu yang tersisa, lebih kurang hanya tinggal 

enam hari lagi. Kita masih mempunyai kesempatan 

untuk menyusun semua rencana yang cukup penting. 

Untuk itu alangkah baiknya kalau sekarang ini kita 

berangkat menuju rumah kediamanku...!"

Selanjutnya berangkatlah rombongan berkuda itu 

dengan disertai oleh Buang Sengketa dan Indah Dewi 

menuju ke tempat tinggal saudagar Legawa yang ja-

raknya kira-kira setengah hari perjalanan berkuda.

***

DELAPAN



Dalam gelapnya malam, pemuda berwajah totol-

totol itu nampak berjalan meleng-gang. Tubuhnya yang 

bertelanjang dada telah pula basah dengan tetesan-

tetesan embun malam. Sepintas lalu dia seperti tidak 

merasakan dinginnya angin malam yang terasa meng-

gigit. Entah apa yang dicarinya di sekitar tempat itu, 

yang pasti sepasang matanya yang selalu member-

sitkan kehampaan itu memandang nanar pada situasi 

di sekelilingnya. Matanya terus mencari-cari dalam ke-

gelapan malam yang tiada berbintang itu. Lalu ketika


sudah sampai di sebatang pohon yang cukup besar, 

dengan gerakan seringan kapas.

"Heeuuup! Teep....!"

Sekali berkelebat tubuhnya telah mendarat di 

atas ranting pohon yang besarnya tak lebih dari pang-

kal lengannya sendiri. Sama seperti apa yang dilaku-

kannya ketika berada di bawah tadi. Kali inipun dia 

memandang ke arah sekitarnya.

"Kalau kuhitung-hitung, berbagai komplotan

yang ada jumlahnya lebih dari tujuh kelompok. Tapi 

mereka memiliki satu ketua yang mereka sendiri tak 

mengenalnya. Mengherankan? Mungkin orang yang 

disebut-sebut sebagai ketua itu adalah orang berselu-

bung topeng yang kukejar-kejar tempo hari. Dan pe-

muda berkuncir itu sekarang ini telah pula bergabung 

dengan saudagar Legawa! Aku jadi curiga padanya, 

yang ku tahu dia mulai terlibat dalam urusanku. Seka-

li waktu aku ingin menjajal seberapa hebatnya kepan-

daian yang dimilikinya...!" batin Andika tersenyum si-

nis.

"Tapi... hehh....! Ada baiknya kalau kuselesaikan 

pekerjaanku yang satu ini! Aku mulai curiga ada ka-

langan tertentu yang turut terlibat secara tak langsung 

dalam berbagai kejahatan yang terjadi. Orang-orang 

katemenggungan, itu mungkin saja!" Pemuda berwajah 

totol-totol itu nampak memanjat dahan pohon lebih 

tinggi lagi, setelah sampai di ujung dahan yang beru-

kuran sangat kecil dia pun berhenti di situ.

"Heh....!" Sepasang mata si pemuda membelalak 

dalam keterkejutannya: Pandangan matanya kemudian 

tertumpu pada satu arah.

"Tadi aku tidak melihat adanya cahaya lantera di 

sana! Tapi sekarang cahaya itu ada? Aku yakin orang-

orang yang tadi sore itu kutemui di pinggiran hutan ini 

pastilah ada sangkut pautnya dengan lentera itu!


Alangkah lebih baik lagi kalau kudekati saja mere-

ka....!"

"Heeiiit....!"

Dari atas pohon yang cukup tinggi itu, tubuh An-

dika nampak melayang laksana terbang. Kemudian di 

sela-sela ranting pohon lainnya, tubuh pemuda wajah 

totol-totol itu berkelebat ringan. Semakin lama jarak 

antara lantera dengan dirinya semakin bertambah de-

kat. Sampai pada akhirnya semuanya terlihat dengan 

jelas. 

"Ha...!" Pemuda berwajah totol-totol itu belalak-

kan matanya. Sekawanan orang-orang bercadar hitam 

nampak mengerumuni sebuah pelita yang berukuran 

cukup besar. Dalam kesunyian malam itu, terdengar 

pula suara gumaman yang tak begitu jelas. Sepertinya 

bagai orang yang sedang memanjatkan doa. Yang 

membuat Andika keheranan adalah karena hampir se-

luruh wajah bercadar itu nampak coreng moreng hing-

ga sulit untuk membedakan antara yang satu dengan 

yang lainnya. Andika menjadi tertarik untuk menyak-

sikan kejadian selanjutnya.

"Aku harus tahu apa yang sedang mereka laku-

kan di tempat ini!" Batinnya.

Sang waktu berlalu bagaikan roda pedati, semu-

anya terjadi begitu lambat. Orang-orang bercadar den-

gan jubah hitamnya yang menjela sampai menyentuh 

tanah. Kiranya terdiri dari kaum laki-laki dan wanita. 

Andika terus menanti dengan sabar namun hati sedikit 

tegang. Detik berikutnya, di antara kerumunan orang-

orang bercadar hitam yang mengelilingi lantera itu. 

Nampak menyeruak sosok tubuh ramping, sama seper-

ti yang lain-lainnya. Orang itupun pada bagian wajah-

nya coreng moreng dipenuhi angus. Sembari mena-

dahkan kedua tangannya ke atas, lalu terdengarlah 

suaranya yang halus dan kecil. Pemuda wajah totol


totol itu dapat memastikan tubuh ramping yang berdiri 

tegak dekat lantera itu pastilah seorang wanita:

Kepada mambang dan peri yang tinggal di atas 

batu

Kepada iblis yang berkuasa atas pohon-pohon ke-

hidupan

Hadirkan di tengah-tengah kami seorang pemim-

pin

Atas jiwa-jiwa yang patah tak bersemangat

Dewa asmara dan dewi surga 

Bimbinglah.....

Kami dari kegelisahan yang panjang 

Di sini orang-orang tersisih dan disisihkan berada

Hadirkan seorang pemimpin pada jiwa yang sama

Kami mendambakan kehadirannya selalu

Kami yakin atas kedatangannya.... 

Dia telah begitu dekat 

Dan dekat sekali

Pada jiwa yang patah yang hampir putus asa 

Kehadirannya membawa sebilah pusaka Pedang 

Asmara

Dari Lembah Patah Hati dia berasal

Sang pemimpin yang kami damba.... 

Jurus Pedang Asmara tingkat pembuka

Ditinggal Kekasih awal dari kematian 

Menanti Kekasih Tak Kunjung Datang adalah luka 

tanpa darah 

Hidup Hampa kehidupan yang ada musnah tanpa 

karena....


Bergidik bulu kuduk Andika demi mendengar ka-

ta-kata yang diucapkan oleh perempuan bercadar yang 

diikuti oleh kawan-kawannya yang lain. Saat itu dia 

masih menyadari apa yang disebut-sebut oleh mereka 

tak lain merupakan dirinya sendiri. Siapa lagi orang 

yang berasal dari Lembah Patah Hati dengan memba-

wa Pedang Asmara dan empat jurus Pamungkasnya 

terkecuali dirinya sendiri. Andika memang sedang be-

rada di persimpangan jalan kebimbangan saat itu. 

Mengikuti suara hati kecilnya dia sudah bertekad, wa-

lau pun dia pernah dilanda sakit hati dan dendam, dia 

bertekad untuk tetap berada pada jalan yang lurus. 

Namun pada saat yang, sama suara bisikan-bisikan 

lain yang begitu berpengaruh terus datang menggoda. 

Bahkan semakin lama bisikan-bisikan gaib itu terasa 

menguasai jiwanya.

"Kau adalah pemimpin kami Satria Pedang Asma-

ra! Kehadiranmu benar-benar dibutuhkan oleh orang-

orang segolongan dengan dirimu.... Kau adalah pe-

mimpin yang tiada tanding. Jadilah pemimpin kami, 

dan kau akan memperoleh segala-galanya. Jadilah... 

karena sorga itu ada pada mereka....!" kata suara gaib 

itu semakin terasa mengusik hatinya. Bagai dihipnotis, 

Andika merasa tergetar hatinya. Tanpa disadarinya, ib-

lis mulai bercokol di dalam hati si pemuda. Sebuah 

kebenaran yang berusaha dia pertahankan selama ini 

musnah begitu saja. Mulai detik itu, jiwa angkara 

murkalah yang memegang kendali di atas hati nurani.

"Sang pemimpin. Mengapa musti sung-kan-

sungkan dan bersembunyi di tempat itu? Kami sejak 

lama sering mendambakan kehadiranmu. Setelah kini 

kau datang, cepatlah mendekat. Kami segera meng-

hormatimu....!" kata perempuan bercadar dengan wa-

jah coreng moreng ini sambil melirik ke satu arah di 

mana Andika bersembunyi. Sepasang mata Andika


yang selalu menatap hampa itu nampak berkilat-kilat. 

Seluruh pembuluh darahnya menegang. Kata demi ka-

ta yang diucapkan oleh perempuan bercadar dengan 

jubah hitamnya yang menjela-jela sampai menyentuh 

tanah itu memang benar-benar mengandung kekuatan 

gaib yang sangat tinggi. Suara itu memang mampu 

mempengaruhi hati siapa saja, tak terkecuali hati An-

dika sendiri.

Beberapa detik kemudian tanpa merasa ragu lagi, 

pemuda berwajah totol-totol itu menyeruak dari tempat 

persembunyiannya. Kemunculan Andika membuat 

orang-orang yang sedang berada di tempat itu nampak 

menjatuhkan diri. Wajah mereka berada di atas per-

mukaan tanah. Ini adalah satu penghormatan pertama 

bagi kelompok pemuja setan buat Andika yang selalu 

mereka sebut-sebut sebagai seorang pemimpin. Sema-

kin bertambah dingin saja tatapan mata si pemuda, di 

luar dugaan pemuda itu. Perempuan bercadar yang se-

jak tadi memimpin upacara itu dari arah belakang 

langsung kirimkan satu pukulan jarak jauh yang begi-

tu dahsyat. 

"Buuees....!"

Orang-orang yang tadinya menghaturkan sembah 

atas kehadiran Andika, sekarang lenyap begitu saja. 

Pemuda wajah totol-totol ini sudah barang tentu men-

jadi keheranan. Tapi sebelum rasa keheranannya itu 

lenyap. Andika merasakan adanya sambaran angin 

yang sangat dingin menyengat bagian punggungnya. 

Pemuda itu mengempos tubuhnya, bagai karet yang 

sangat lentur. Tubuh pemuda bertelanjang dada itu-

pun melenting ke udara. Pukulan yang dilepas oleh si 

jubah hitam bercadar dengan wajah coreng moreng 

itupun luput. Tapi pukulan lain yang dilepas oleh si 

tubuh ramping menyusul mengikuti bergeraknya tu-

buh si pemuda. Geram bercampur marah, Andika ke


luarkan tawa berkepanjangan. Pemuda wajah totol-

totol itu hantamkan tangan kirinya dengan gerakan 

menepis. Serangkum gelombang yang menimbulkan 

rebawa aneh menyambut pukulan yang dilepaskan 

oleh perempuan bercadar.

"Duuumm....!"

Satu ledakan yang sangat keras terasa menggun-

cang jagat. Tubuh si wanita terlempar, tapi dengan ge-

rakan yang begitu indah dia bersalto beberapa kali, se-

hingga dengan mulus pula perempuan wajah coreng 

moreng itu dapat mendaratkan kakinya tanpa terlihat 

goyah sedikit pun.

"Hebaat....!" terdengar satu seruan memuji. Na-

mun sebaliknya pemuda wajah totol-totol itu kelua-

rkan suara mendengus. Menandakan bahwa hatinya 

sedang terbakar kemarahan. Detik itu, perempuan 

bercadar telah pula membangun sebuah serangan 

yang lebih gencar lagi. Agaknya dia ingin menguji sam-

pai di mana kemampuan yang dimiliki oleh si pemuda 

yang mereka anggap sebagai pemimpin.

"Ciaaat....!"

Serangkum gelombang pukulan yang menimbul-

kan suara menggemuruh dengan menerbangkan batu 

pasir dan kerikil datang menggebu. Andika merasakan 

rasa dingin yang sangat luar biasa menyergap tubuh-

nya.

"Aha... ha... ha...! Keluarkan segala kemampuan 

yang kau miliki...!" Terdengar suara teriakan yang begi-

tu keras. Kemudian disusul dengan lantunan kata-

kata yang tak ubahnya bagai sebuah syair: "Lihatlah 

betapa sunyi malam yang datang membelenggu. Di ca-

krawala kelam, tiada berbintang. Aku terlunta-lunta 

dalam kabut badai asmara. Orang-orang pun mencaci 

maki atas kehadiranku. Sosok tubuh muda lemah tan-

pa daya, terseok-seok menjauh membawa sebuah luka.


Duka di atas luka yang menyakitkan: Adalah masa la-

luku yang hitam pekat. Orang-orang terkucil, rintihan 

menghiba. Kini tiada lagi! Inilah sosok tegar yang da-

tang bersama Pedang Asmara, tuk mencabik-cabik 

kemunafikan tradisi....Haaat.....!"

"Siiiing.....!"

Dalam kegelapan malam itu, pukulan 'Kabut Bi-

ru' yang telah dilepaskan oleh si perempuan bercadar, 

menjadi buyar seketika itu juga, saat mana Pedang 

Asmara di tangan Andika berkelebatan, menggulung 

apa saja yang berada di sekelilingnya. Tak terkecuali 

pohon-pohon yang berada di sekitar tempat pertarun-

gan. Nampak memperdengarkan suara berderak-derak, 

bertumbangan.

Nampaknya pedang yang telah tercabut dari sa-

rungnya ini tidak ingin berhenti sampai di situ saja. 

Sambil terus memperdengarkan suara mendengung 

Pedang Asmara terus memburu ke arah lawannya. Si 

perempuan bercadar, wajah coreng moreng merasa 

keadaan itu andai terus dibiarkan maka sulit di-

bayangkan akibatnya. Bagaimanapun apa yang dila-

kukannya adalah hanya bersifat menguji kebenaran 

wangsit yang telah diterimanya lewat tapa. Dan seka-

rang setelah mengetahui segala-galanya, sudah pasti 

dia tidak menginginkan pertarungan itu berlanjut. 

"Hiaaat....!"

Dengan gerakan ilmu mengentengi tubuh yang 

sudah mencapai taraf sempurna, perempuan wajah co-

reng moreng itu nampak me-lompat ke salah sebatang 

pohon. Andika memburunya dengan membabatkan 

senjatanya ke batang pohon tersebut. Pohon yang 

menjadi tumpuan bagi perempuan bercadar untuk 

mencari kesempatan bicara tumbang. Si Tubuh Ramp-

ing Jubah menjela berpindah ke pohon lainnya.

"Satria Pedang Asmara....!" kata si perempuan


wajah coreng moreng dengan mengerahkan segenap 

kekuatan batinnya. "Sarungkan kembali Pedang Asma-

ra... dia tak akan mau menghirup darah orang-orang 

yang senasib denganmu. Cepatlah sarungkan....!" pe-

rintah si cadar Hitam begitu berpengaruh. Andika se-

pertinya menuruti apa yang diperintahkan oleh si pe-

rempuan wajah coreng moreng. Anehnya Pedang As-

mara yang biasanya sulit dimasukkan ke dalam rang-

kanya sebelum menghisap darah korbannya. Tapi saat 

itu dapat dikembalikan ke dalam rangkanya begitu sa-

ja. Setelah memasukkan pedang itu pada wadahnya. 

Laki-laki wajah totol-totol itu nampak memandang ta-

jam pada perempuan jubah menjela yang saat itu telah 

berdiri tegak di hadapannya. 

"Siapakah engkau ini....?" tanya Andika semakin 

bertambah dingin.

"Aku Peri Lingga yang mewakilimu selama ini....!"

"Wakil....?!" tanya Andika dengan wajah membe-

lalak.

"Ya... aku adalah wakilmu di sini...!" jawab pe-

rempuan itu.

"Jadi aku ini apamu....?" tanya Andika dalam ke-

bingungannya.

"Kau adalah pemimpin kami! Yang memiliki hak 

penuh atas diri perempuan dan laki-laki itu....!" kata 

Peri Lingga sambil menunjuk ke satu arah yang mem-

bentuk sebuah gua yang memiliki cahaya terang ben-

derang.

"Bagaimana mungkin kau secara tiba-tiba me-

nyebutku sebagai pemimpin. Sedangkan aku sendiri 

tak mengenal siapakah diri kalian...?' tanyanya lagi 

dengan hati diliputi rasa ketidakmengertian.

"Wangsit dalam tapaku menyebutkan ciri-ciri 

yang kau miliki. Anda pasti berasal dari Lembah Patah 

Hati. Di sana anda mempelajari jurus-jurus pedang


yang tertulis pada dinding gua. Kemudian anda mene-

mukan sebuah kuburan yang sudah sangat tua. Di 

atas kuburan itu terdapat sebuah pedang Asmara yang 

sekarang ini menggelantung di punggung ketua....!" je-

lasnya begitu lancar. Sudah barang tentu Andika me-

rasa heran dengan apa yang dikatakan oleh si wanita. 

Bagi dirinya perempuan wajah coreng moreng itu, tak 

ubahnya bagai seorang ahli nujum yang mengetahui 

segala perjalanan masa lalunya.

"Apa yang dapat kulakukan buat kalian...?" tanya 

Andika dalam kepolosannya. Yang ditanya hanya ter-

senyum, dan keluarkan suara gumaman yang tidak 

begitu jelas.

"Pimpinlah kami dalam satu kemenangan. Aku 

berkeyakinan anda memiliki kemampuan yang tidak 

mungkin dapat dikalahkan oleh orang lain. Kekece-

waan yang ketua alami dan juga seperti apa yang dira-

sakan oleh orang-orang di sini, satu saat kelak pasti 

dapat membangkitkan sebuah kemenangan di pihak 

kita....?" kata Peri Lingga merasa begitu yakin.

"Ha... ha... ha...! Hidup menjadi orang baik-baik 

saja orang masih selalu usil. Martabat begitu rendah

nilainya dari harta yang menyilaukan. Kepalang tang-

gung, kehancuran rasanya masih belum seberapa! 

Bersatu dengan orang-orang senasib mungkin bagiku 

lebih baik untuk menghilangkan duka lama....!" kata 

pemuda itu seperti pada dirinya sendiri.

"Aku merasa kagum dengan semangat ketua. 

Kami pasti akan mendukung segala rencana yang tuan 

kehendaki....!" Dengan kaku, Andika menganggukkan 

kepalanya.

"Aku jadi ingin melihat orang-orang yang senasib 

denganku ke dalam gua yang kau maksudkan....!"

"Dengan senang hati aku akan mengantarnya....!" 

Selanjutnya kedua orang itu berjalan menuju arah pintu gua. Tak sampai sepemakan sirih mereka pun telah 

memasuki ruangan gua yang dihias sedemikian rupa. 

Begitu Andika menginjakkan kakinya ke dalam ruan-

gan itu. Maka orang-orang yang berada di dalam ruan-

gan itu langsung memberi penghormatan pada Andika 

dengan diiringi teriakan: "Selamat datang pemimpin 

yang baru. Kami orang-orang yang senasib dengan-

mu....!" kata mereka secara hampir bersamaan.

"Hemmm....!" Andika kembali bergumam dengan 

suara hampir-hampir tak terdengar.

"Acara pesta peresmian diangkatnya ketua sejati 

sebentar lagi akan kita mulai. Segala sesuatunya telah 

tersedia di ruangan tengah. Ketua....!" ujar Peri Lingga 

memandang genit pada Andika. "Mari kita ke ruangan 

sana....!" Tanpa berkata-kata lagi, Andika dan Peri 

Lingga melangkah ke ruangan lain. Sementara bebera-

pa orang berjubah hitam bercadar dengan muka co-

reng moreng mengiringi mereka dari belakang. Tak la-

ma kemudian sampailah mereka di ruangan tengah. 

Ruangan itu memiliki sebuah meja yang terbuat dari 

batu mar-mar putih yang berukuran sangat panjang. 

Di atas meja itulah terhidang berbagai macam buah-

buahan segar, dan berbagai jenis daging panggang 

yang menyebarkan bau gurih dan menimbulkan selera 

untuk dicicipi.

Andika tiada menghiraukan hidangan-hidangan 

yang berbagai jenis itu. Sebaliknya dia merasa begitu 

tertarik dengan jubah hitam yang terlipat rapi dan ter-

letak di atas sebuah nampan yang terbuat dari bahan 

tembaga.

"Ketua harus mengenakan jubah yang sama se-

perti kami....!" kata Peri Lingga seperti dapat menebak 

apa yang ada dalam pikiran Andika. Dua orang berca-

dar hitam tanpa diperintah, langsung melangkah men-

gambil jubah yang terletak di atas nampan itu. Selanjutnya kembali lagi dengan membawa jubah itu. Peri 

Lingga menerima jubah itu dan langsung mengenakan 

jubah kebesaran itu pada Andika. Jubah berwarna hi-

tam dengan sulaman putih bergambar daun Waru 

yang ditusuk anak panah. Nampak begitu serasi den-

gan bentuk tubuh Andika yang kekar berotot.

"Bagus! Anda memang pantas menjadi pimpinan 

kami...?!" kata Peri Lingga dan lain-lainnya berseru 

memuji.

"Sekarang saatnya untuk merayakan pengangka-

tan ini dengan pesta yang telah tersedia....!" Setelah 

berkata begitu, maka pesta pengangkatan ketua kaum 

senasib itupun segera berlangsung dengan sangat me-

riah sekali. Tapi tiada suara tawa dan canda. Karena 

sesungguhnya mereka adalah segolongan orang-orang 

yang pernah menderita kekecewaan yang sangat berat.

***

SEMBILAN



Halaman rumah Katemenggungan saat itu dipe-

nuhi dengan prajurit bersenjata lengkap. Kuda-kuda 

tunggangan pun telah dipersiapkan sedemikian rupa. 

Demikian pula dengan kereta kuda pengangkat harta 

sitaan milik saudagar Legawa. Di dalam ruangan yang 

sangat besar, Tumenggung Jayeng Rono para pemban-

tu serta pejabat penting lainnya. Nampak sedang ber-

bincang-bincang dengan para pembantu-pembantunya 

itu. Tidak terlihat kehadiran Lesmana di sana. Kenya-

taannya memang sudah hampir tiga hari putra tunggal 

Tumenggung Jayeng Rono tak kembali dari bepergian 

yang tidak diketahui arah dan tujuannya.

"Aku berharap, semuanya dapat diselesaikan


dengan baik. Penyitaan ini adalah untuk yang ketujuh 

kalinya buat orang yang telah begitu berani membuat 

malu keluargaku. Sayang... Lesmana pada saat hari 

penentuan ini tidak kunjung pulang. Entah kemana 

saja perginya putraku itu....!"

"Tapi menurut tetua Tumenggung, apakah ren-

cana ini harus diundur menunggu kepulangan den 

Lesmana....?" tanya laki-laki berbelangkon dengan se-

bilah keris terselip di bagian punggungnya.

"Paman Jelatu...? Tak pernah ada sejarahnya pe-

kerjaan Katemenggungan tertunda hanya karena uru-

san kecil yang begitu sepele.....!"

"Hamba sependapat dengan tetua Tumenggung 

Jayeng Rono....!" sahut laki-laki berbadan kecil, berku-

lit langsat dengan rambut jarang-jarang itu mendu-

kung.

"Tapi bagaimana seandainya nanti, saudagar Le-

gawa menolak keputusan yang telah berlaku....?" Yang 

bertanya adalah seorang laki-laki muka lonjong mata 

sipit, yang dalam kalangan persilatan lebih dikenal 

dengan julukan si Tapak Api. Tumenggung Jayeng Ro-

no nampak tersenyum dikulum. Satu demi satu diper-

hatikannya wajah para pembantunya. Tak ada tanda-

tanda mencurigakan terkecuali sebuah kesetiaan.

"Saudagar Legawa tak mungkin punya kekuatan 

untuk menolak semua keputusan yang ada. Justru dia 

harus menyadari bahwa akan fatal akibatnya bila co-

ba-coba bermain api dengan seorang pembesar....! Nah 

sekarang berangkatlah kalian! Semuanya kupercaya-

kan pada Uwa Senggerono, Paman Jelatu dari Paman 

Tapak Api....!"

"Titah tetua akan kami laksanakan dengan 

baik....!" jawab orang-orang itu hampir berbarengan. 

Tak begitu lama kemudian, berangkatlah iring-iringan 

kuda itu meninggalkan halaman rumah mewah Katemenggungan. Tumenggung Jayeng Rono hanya men-

gantar iring-iringan berkuda itu hanya sampai di se-

rambi depan rumahnya. Setelah iring-iringan berkuda 

itu lenyap, Tumenggung Jayeng Rono nampak me-

nyunggingkan seulas senyum yang hanya dia sendiri-

lah yang mengetahui maknanya.

Waktu terus berlalu tanpa terasa, roda kehidu-

pan pun berputar sebagaimana mestinya. Menjelang 

tengah hari, sampailah rombongan berkuda itu di ha-

laman rumah saudara Legawa. Namun begitu melihat 

orang-orang saudagar Legawa yang bersenjata lengkap, 

nampaknya mereka menyadari bahwa saudagar itu ti-

dak mau menerima keputusan yang telah dibicarakan 

beberapa minggu yang lalu. Suasana runyam seperti 

itu, sudah pasti mengundang ketegangan di kedua be-

lah pihak. Namun ketegangan itu agak mereda ketika 

tidak begitu lama kemudian, saudagar Legawa muncul 

bersama Buang Sengketa dan Indah Dewi.

"Kami datang menjalankan perintah ketua Tu-

menggung Jayeng Rono....!" kata Senggerono begitu 

melihat kehadiran Legawa.

"Kedatangan kalian dengan kereta pembawa har-

ta, sudah pasti ingin menyita semua harta benda yang 

kami miliki....!" tukas saudagar Legawa langsung pada 

pokok persoalan.

"Hal itu sudah pernah dibicarakan pada waktu 

sebelumnya.....!" Yang menyahut adalah laki-laki ber-

kumis tebal bernama Jelatu.

"Tapi kini segalanya telah berubah. Penyitaan di-

anggap batal, karena Lesmana ternyata telah menye-

barkan berita bohong....!" sengat saudagar Legawa 

dengan wajah merah padam. Ucapan Legawa yang be-

gitu keras sudah barang tentu membuat kaget orang-

orang dari Katemenggungan. Mereka beranggapan 

saudagar Legawa sengaja memutar balikkan fakta un


tuk menggagalkan penyitaan yang dilaksanakan pada 

hari itu.

"Kau hendak menghindari ketentuan yang telah 

sama-sama disepakati oleh kedua belah pihak....!" ben-

tak Senggerono dengan pandangan berapi-api. Sauda-

gar Legawa geleng-gelengkan kepalanya berulang-

ulang.

"Sama sekali tidak! Andai kebenaran cerita Les-

mana memang dapat dia pertanggungjawabkan, sudah 

pasti aku akan mematuhi segala ketentuan yang ber-

laku. Aku bicara berdasarkan bukti. Dan anakkulah 

yang mengatakan tentang kelicikan-kelicikan yang di-

lakukan oleh Lesmana....!" ucap Legawa Sambil me-

nunjuk ke arah putrinya. Sejenak orang-orang utusan 

Katemenggungan itu nampak saling pandang sesa-

manya. Kemudian mereka pun tanpa diminta segera 

berlompatan dari punggung kuda masing-masing.

"Apa yang akan dikatakan oleh putrimu, sauda-

gar Legawa....?" bentak si Tapak Api yang sejak tadi 

hanya diam saja melihat perdebatan itu. Indah Dewi 

tanpa diminta, maju dua langkah ke depan. Dari ca-

ranya memandang, jelas dia merasa tak senang dengan 

kehadiran orang-orang Katemenggungan ini.

"Lesmana anaknya Tumenggung Jayeng Rono 

yang terhormat itu, sebenarnya lebih pantas bila diju-

luki si bajingan pemerkosa. Begitu kasarnya dia me-

lampiaskan nafsu bejatnya pada orang yang telah men-

jadi istrinya. Tiada kemesraan, terkecuali sikap kasar 

saat dia memaksaku untuk melayaninya. Dan ketika 

segala-galanya telah dia renggutkan. Bajingan itupun 

masih begitu tega memutar balikkan fakta! Katemeng-

gungan berisi manusia-manusia keparat yang harus 

dibasmi....!" teriak Indah Dewi, sambil menangis dan 

menjerit-jerit. Gadis itu berlari-lari meninggalkan 

ayahnya.



Ucapan Indah Dewi sudah pasti membuat utusan 

Tumenggung Jayeng Rono menjadi, ragu-ragu. Sung-

guh pun Tumenggung Jayeng Rono tidak dapat menge-

tahui secara pasti tentang prilaku putranya di luaran 

sana. Namun sebagai abdi yang selalu banyak mela-

kukan kesibukan di luaran sana, sudah barang tentu 

sedikit banyaknya mereka hapal dengan perangai Les-

mana yang sering bertingkah macam-macam itu. Begi-

tupun demi menjalankan tugas atasan, mereka tetap 

tak mau menerima kenyataan yang ada.

"Kiranya selain tidak menepati janji. Engkau pun 

coba-coba menyebarkan fitnah!" Bentak Jelatu. 

"Tunggu apa lagi! Ringkus mereka....!" perintah 

Tapak Api. Pada saat yang sangat menegangkan itu, 

tubuh Buang Sengketa telah berkelebat menghadang.

"Berhenti....!" bentak Pendekar Hina Kelana den-

gan disertai tenaga dalam. Sehingga membuat mereka 

yang hadir di situ menjadi sangat terkejut.

"Eeh... siapa pula kau ini, manusia berpakaian 

gembel....!" 

"Kuperingatkan pada kalian untuk tidak mengo-

tori tempat ini dengan darah!" kata si pemuda tanpa

menghiraukan pertanyaan Senggerono.

"Kurang ajar. Kau telah begitu berani mencampu-

ri urusan Katemenggungan? Tahukah kau apa akibat-

nya....! geram si Tapak Api.

"Kalau perintah atasan kalian itu mengandung 

sebuah kebenaran, sudah barang tentu, siapapun tak 

ada yang berani turut campur. Tapi karena perintah 

Tumenggung-mu hanya berisikan sebuah kelicikan, 

maka aku akan menghalanginya....!" jawab pendekar 

ini begitu ketus.

"Kurang ajar. Perbuatanmu itu benar-benar tak 

dapat kami maafkan....!"

"Serbuuu....!" perintah Jelatu, lalu menerjang kedepan dan langsung menyerang Buang Sengketa den-

gan jurus-jurus yang sangat berbahaya sekali. Pertem-

puran besar pun tanpa dapat dicegah meletus, denting 

beradunya senjata tajam dengan disertai jeritan-jeritan 

histeris bergema. Bahkan Legawa sendiri saat itupun 

sudah nampak mulai terlibat dalam pertempuran. La-

wan yang dihadapinya adalah Jelatu, laki-laki tinggi 

kurus dengan blangkon berwarna hitam. Begitu berge-

rak, saudagar kaya itu langsung mencabut senjatanya 

yang berupa sebilah pedang berwarna kuning. Semen-

tara Jelatu menghadapinya dengan sebuah keris tipis 

yang memiliki gagang panjang hampir dua meter.

Di sisi lain, prajurit-prajurit Katemenggungan 

nampak sedang berhadapan dengan pembantu setia 

saudagar Legawa. Jumlah pembantu yang memiliki 

kepandaian lumayan itu tak lebih dari sepuluh orang. 

Sedangkan di pihak prajurit Katemenggungan jumlah-

nya mencapai dua puluh orang. Masing-masing mere-

ka bersenjata lengkap. Andai saja saat itu Indah Dewi 

tidak turun membantu, sudah dapat dipastikan dalam 

beberapa jurus di muka. Para pembantunya Legawa 

sudah kena didesak. Namun dengan turunnya Indah 

Dewi ke gelanggang pertarungan, gadis yang hanya da-

lam waktu singkat mendapat gemblengan dari pende-

kar Hina Kelana itu, mampu membendung sepak ter-

jang prajurit-prajurit Katemenggungan yang rata-rata 

sudah berpengalaman dalam peperangan.

Yang merasa gelisah dalam pertarungan itu ada-

lah pendekar Hina Kelana. Sebab, walau bagaimana-

pun dia menyadari, tiga orang lawannya merupakan 

musuh yang sangat tangguh. Bahkan mereka pun 

membawa prajurit dua kali lipat bila dibandingkan 

dengan kekuatan yang dimiliki oleh saudagar Legawa. 

Kenyataannya, dia melihat Legawa pun nampak mulai 

keteter menghadapi serangan keris lawan yang memiliki gagang sangat panjang lagi. Sedangkan pabila dia 

menoleh ke arah pembantu-pembantu setia saudagar 

Legawa. Maka dengan jelas pula, satu demi satu para 

pembantu itu mulai berguguran. Dalam menghadapi 

serangan Senggerono dan Tapak Api yang sedemikian 

gencar dan cukup membuatnya repot. Pemuda dari 

negeri Bunian itu mulai berpikir-pikir untuk memper-

gunakan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang sangat 

dahsyat itu.

Keputusan itu telah disepakati bersama antara si 

pemuda dengan Legawa dan para pembantunya. Tak 

heran kalau di bagian telinga orang-orangnya Legawa 

terlihat satu benda berwarna hijau menyumpal bagian 

itu. Dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong 

"Si Gila Mengamuk". Tubuh pendekar ini nampak ter-

huyung-huyung bagai seorang pemabukan. Gerakan 

silatnya kacau tak beraturan. Sungguh pun begitu, 

senjata Senggerono yang berupa keris itu, tak sekali 

pun berhasil menyentuhnya. Bahkan si Tapak Api 

yang sudah mulai mengeluarkan pukulan-pukulan 

mautnya masih belum juga berhasil menghantamkan 

pukulannya pada sasaran yang nampak meliuk-liuk 

bagai gerakan seekor ular kepanasan.

"Haiiit....!"

Baik Senggerono maupun si Tapak Api yang su-

dah dibakar kemarahan, nampak mulai mengerahkan 

segenap kemampuan yang dimilikinya. Pada detik itu 

dengan mempergunakan jurus Si Jadah Terbuang, tu-

buh pendekar Hina Kelana telah pula berkelebat le-

nyap. Hanya angin sambaran tubuhnya saja yang me-

nandakan betapa pemuda dari negeri Bunian ini se-

dang berusaha mencari peluang untuk memukul la-

wannya.

"Hiiikgh...!"

Satu lengkingan Ilmu Pemenggal Roh terlepas


sudah, daerah sekitar pertempuran itu seakan dilanda 

badai halilintar. Bumi bergetar, daun-daun yang masih 

hijau pun runtuh dan bertebaran di atas tanah hala-

man rumah saudagar Legawa. Yang lebih mengerikan 

adalah terdengarnya jeritan-jeritan maut, disertai 

menggelaparnya beberapa sosok tubuh prajurit-

prajurit Katemenggungan yang meregang ajal. Darah 

pun mengalir dari lubang telinga dan hidung mereka 

yang tewas. Sisa-sisa prajurit Katemenggungan yang 

hanya tinggal tiga orang itupun rasa-rasanya sudah 

mulai terganggu syarafnya. Tubuh mereka berputar-

putar. Kemudian berteriak-teriak ketakutan bagai me-

lihat hantu di siang bolong. Lebih celaka lagi, mereka 

lari tunggang langgang meninggalkan gelanggang per-

tempuran.

Baik Jelatu, Senggerono dan Tapak Api setelah 

berhasil menghimpun hawa murni untuk mengembali-

kan semangat mereka yang hampir terbang. Nampak 

terperanjat sekali begitu melihat orang-orangnya pada 

terkapar mati. Mereka merasa, seumur hidup baru kali 

inilah berhadapan dengan seorang lawan yang memili-

ki ilmu aneh yang dapat membunuh sekian banyak 

orang hanya dalam sekali bergebrak. Sungguh pun se-

telah melihat kenyataan yang terjadi mereka merasa 

menjadi sungkan dan keder. Namun untuk menyerah 

begitu saja, bagi mereka tak ada kamusnya. Setelah 

prajurit-prajurit Katemanggungan terbantai secara 

menyedihkan. Maka Indah Dewi dan pembantu-

pembantu ayahnya segera pula menggabungkan diri 

dengan Legawa untuk mengeroyok Jelatu. Tanpa basa-

basi lagi, pertempuran pun kembali berlanjut.

Di pihak Buang Sengketa saat itu sedang meng-

hadapi tekanan-tekanan berat yang dilakukan oleh ke-

dua lawannya. Pertarungan antara hidup dan mati 

itupun berlangsung menegangkan. Keris di tangan


Senggerono begitu dahsyat menyambar mengarah ba-

gian-bagian tubuh si pemuda, sementara dari arah lain 

si Tapak Api yang sudah dilanda kemarahan besar itu-

pun menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan 

mautnya yang berwarna putih namun menimbulkan 

panas yang hebat.

"Heiih....!"

Si pemuda berusaha mengkelit sambaran keris 

yang hampir saja menghunjam bagian lambungnya. 

Namun pada saat itu dari arah yang berlawanan, da-

tang sambaran angin pukulan yang berhawa panas 

mengancam bagian punggungnya. Buang coba mem-

bantingkan diri ke arah samping. Tapi senjata lawan 

masih juga menyambar:

"Crees...!"

"Ahkkh....!"

Tidak sampai di situ saja, pukulan pertama yang 

berhasil dielakkan oleh pendekar Hina Kelana mem-

buat si Tapak Api merasa semakin bertambah kalap. 

Kemudian dia mengumbar pukulan berikutnya. Sung-

guh pun Buang Sengketa telah bergulung-gulung di 

atas tanah demi menyelamatkan nyawanya. Namun te-

tap saja pukulan itu melabraknya. Detik itu, Buang 

masih sempat pergunakan jurus Koreng Seribu.

"Deep....!"

Keris di tangan Senggerono juga menyambar, 

dengan mempergunakan tangan kirinya dia menyam-

but.

"Kreep....!"

Sama sekali pendekar ini hanya mempergunakan 

sebagian kecil tenaga dalamnya, sesuai dengan sipat-

sipat jurus Koreng Seribu, yang membetot tenaga da-

lam lawannya. Demikianlah halnya yang sedang terjadi 

pada saat itu. Sinar putih yang dilepas oleh si Tapak 

Api, layaknya bagai sebuah gala panjang yang diperebutkan oleh dua orang anak. Begitu juga halnya keris 

milik Senggerono yang melekat begitu erat di tangan 

kiri si pemuda. Kejut bercampur kecut hati kedua la-

wannya demi melihat kenyataan ini. Serta merta me-

reka melipat gandakan tenaganya untuk me-

nyentakkan senjata maupun pukulan yang telah me-

reka lepaskan. Namun semakin banyak mereka men-

guras tenaga mereka merasakan senjata maupun pu-

kulan yang telah terlepas terasa semakin sulit untuk 

dilepaskan. Sedikit demi sedikit mereka mulai merasa-

kan hilangnya tenaga sakti mereka. Pendekar Hina Ke-

lana nampak menyeringai puas, kemudian dengan 

lembut dia menyentakkan kedua tangannya.

"Hiaaat.....!"

Sungguh pun gerakan tangan Buang Sengketa 

hanya pelan saja, namun akibatnya membuat tubuh si 

Tapak Api maupun Senggerono terpelanting tiga tom-

bak. Lumer nyali Senggerono, sebaliknya tidak begitu 

halnya yang terjadi pada diri si Tapak Api. Laki-laki be-

rumur itu segera bangkit kemudian kembali menye-

rang si pemuda. Merasa malu dianggap sebagai seo-

rang pengecut, maka Senggerono pun ikut pula me-

nempur.

"Chaaaiit....!" 

Buang Sengketa bersalto mundur tiga langkah, 

begitu kakinya menjejak di atas tanah maka dia pun 

memberi peringatan keras:

"Kuperintahkan pada kalian untuk pergi dari ha-

dapanku! Beri laporan pada Tumenggungmu. Bahwa 

dia harus mendidik putranya yang berengsek itu. Ka-

lau tidak aku pasti akan datang membunuhnya....!"

"Keparaaat.... siapa sudi....!" teriak si Tapak Api, 

lalu hantamkan pukulan saktinya. Tindakan gegabah 

seperti itu, membuat Buang Sengketa kehilangan ke-

sabarannya lagi. Tak ayal dari mulutnya keluar bunyi



mendesis bagai Raja Piton yang sedang dilanda kema-

rahan. Begitu tubuhnya berkelebat, maka mengaun-

glah suara bagaikan suara puluhan harimau terluka. 

Pusaka golok Buntung itu, kini telah tergenggam di 

tangannya. Mendadak udara di sekelilingnya berubah 

dingin luar biasa. Karena tubuh maupun senjata di 

tangan si pemuda berkelebat sedemikian cepat. Maka 

pihak lawan tidak dapat memastikan bagaimana ben-

tuknya senjata yang memancarkan sinar merah me-

nyala itu. Hanya dalam segebrakan saja mereka sudah 

dibuat kalang kabut. Dengan kerisnya, Senggerono 

hanya mampu mengelak. Namun dalam keadaan ter-

desak, dia berusaha memapaki senjata lawannya; 

"Kraaang....!" Senjata di tangan Senggerono hancur be-

rantakan, sebaliknya golok di tangan Buang Sengketa 

kembali menyambar.

"Craaas....!"

"Arggk....!"

Satu lolongan maut menyertai terhempasnya tu-

buh Senggerono yang mengalami luka pada bagian le-

hernya. Darah mengalir membasahi tubuh sekarat 

Senggerono, Kejadian ini membuat si Tapak Api men-

jadi nekad, dan langsung kirimkan satu tendangan ki-

lat ke arah bagian selangkangan si pemuda. Dengan 

mengandalkan satu gerakan berkelit yang sedemikian 

cepatnya, Buang Sengketa mampu menghindari seran-

gan yang dapat berakibat fatal itu. Serangan si Tapak 

api mencapai sasaran yang kosong. Sementara itu Go-

lok di tangan Buang Sengketa menyambut ke arah ba-

gian kaki dan perut.

"Jraaas....! Jraaas....!"

Perut terobek, pangkal paha terkutung. Tiada 

erangan maut yang terdengar. Hanya kedua matanya 

saja yang membelalak keluar. Keadaan seperti itu 

hanya berlangsung beberapa detik. Karena begitu tubuh si Tapak Api ambruk ke bumi, laki-laki jangkung 

itu sudah tak mampu bergerak lagi.

Sementara itu, Jelatu yang sedang bertarung me-

lawan Legawa dan Indah Dewi. Begitu melihat kema-

tian kawan-kawannya, merasa sudah kehilangan nyali 

untuk meneruskan pertempuran. Dia berpikir lebih 

baik mencari selamat, dan melaporkan kejadian itu 

kepada Tumenggung Jayeng Rono. Itulah sebabnya ke-

tika Indah Dewi, Legawa dan lain-lainnya lengah kare-

na terpengaruh dengan jeritan Senggerono tadi. Maka 

kesempatan itu dipergunakan oleh Jelatu untuk me-

ninggalkan tempat.

"Kurang ajar! Keparat itu mau meloloskan di-

ri....!" bentak Indah Dewi begitu berpaling kembali pa-

da lawannya.

"Biarkan! Suatu hari nanti mereka pasti akan da-

tang kemari....!" cegah Buang Sengketa sambil melang-

kah mendekati anak-beranak itu. 

"Kita telah membunuh begitu banyak prajurit Ka-

temenggungan. Malapetaka besar pasti bakal menimpa 

kita....!" kata Legawa harap-harap cemas.

"Aku tetap akan membantumu, tak perlu risau 

dengan kedatangan mereka, kita tunggu sampai kapan 

pun....!" jawab si pemuda.

"Kami berhutang nyawa padamu, pendekar

aneh....!"

"Nyawa adalah urusan Sang Hyang Widi.... Ada 

baiknya kalau kita urus mayat-mayat itu....!" kata si 

pemuda, lalu melangkah ke arah belakang rumah sau-

dagar Legawa. 

Nah, bagaimanakah nasib saudagar Legawa dan 

keluarganya? Bagaimana pula pembalasan yang dila-

kukan oleh Lesmana, dan apa saja kegiatannya di lua-

ran sana? Dalam judul 'Bencana Pedang Asmara' Be-

tapa sepak terjang Andika membuat pendekar wanita

manapun bertekuk lutut di bawah perintahnya.



                             TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar