SATRIA PEDANG ASMARA
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Satria Pedang Asmara
SATU
Lembah Patah Hati merupakan sebuah dataran
curam yang selalu berselimut kabut abadi hampir se-
panjang musim. Sangat jarang mahluk hidup betah
tinggal di sana. Tidak dapat ditaksir seberapa dalam
lembah yang selalu memberi kesan angker itu. Karena
tak seorangpun manusia yang berani menjejakinya.
Sepintas lalu, tempat itu tidak menarik perhatian. Ju-
stru di sana tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidu-
pan. Sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sampai
saat ini, telah banyak kalangan persilatan dari berba-
gai golongan. Yang mencoba-coba untuk menyingkap
rahasia Lembah Patah Hati, hilang raib tak tentu rim-
banya. Bahkan tak satu pun diantara orang-orang ne-
kad itu ada yang kembali dengan selamat.
Namun di luar sepengetahuan kalangan mana-
pun, beberapa tahun terakhir. Setiap malam menjelang
saat-saat bulan purnama memancarkan cahaya kun-
ing kemilau. Dari lembah yang sangat sunyi itu, ter-
dengar lantunan sair-sair yang begitu menyentuh kal-
bu. Dewa kayangankah yang telah melantunkan bait-
bait sair bernada sebuah keputus asaan itu? Ataukah
hantu yang bergentayangan atau sebangsa iblis yang
merasa kecewa karena tak mampu menggoda hati seo-
rang Brahma? Tak seorangpun yang mampu menga-
takan begitu. Tapi apabila kita mau melihat secara le-
bih dekat lagi apa sesungguhnya yang terjadi di tempat
itu. Maka akan terlihatlah sosok tubuh bertelanjang
dada sedang duduk di atas sebongkah batu besar. Me-
lalui cahaya rembulan yang hanya mampu menembus
kepekatan kabut secara samar-samar itu, dengan jelas
bahwa sosok tubuh itu merupakan ujud seorang ma-
nusia yang berusia masih begitu muda. Bahkan
mungkin usianya baru berkisar dua puluh lima tahun.
Pemuda itu dalam keadaan duduk bersila, di
pangkuannya terlihat sebuah pedang dengan rangka
berbentuk selembar daun Waru, sedangkan di tengah-
tengah bentuk daun Waru itu terlihat pula sebuah hia-
san lain yang merupakan sebatang anak panah yang
menembus daun Waru tadi. Kira-kira seperti itulah
bentuk warangka pedang yang berada dalam pang-
kuan laki-laki muda berbadan kekar tinggi, namun
berwajah totol-totol bagai orang yang pernah terserang
penyakit cacar. Tidak tampan, namun justru memberi
kesan angker.
Siapakah pemuda berpenampilan angker dengan
sorot mata dingin dan hampa ini? Tak seorangpun ka-
langan persilatan yang mengenalnya. Bahkan asal
usulnya pun tidak jelas. Hanya sang waktu sajalah
yang mengetahuinya. Bahkan mulai saat pertama kali
dia menerjunkan dirinya ke dasar jurang Lembah Pa-
tah Hati. Saat itu dengan caranya yang nekad dia ber-
harap maut segera akan menjemputnya. Dia ingin me-
ninggalkan dunia ini dengan membawa sejuta kecewa
dan penderitaan batin yang kian menghimpit kehidu-
pannya. Ah, sayang dengan caranya itu kiranya maut
masih belum sudi membebaskan dirinya dari derita
panjang. Lembah Patah Hati rupanya ditumbuhi den-
gan pohon-pohon menjalar dan berdaun rindang. Tu-
buh yang sudah pasrah dalam menyongsong belaian
sang maut itu tersangkut di atas ranting-ranting pohon
yang tidak terhitung jumlahnya. Dia merasa putus asa
dan mulai mencaci maki keadaan. Hanya keadaanlah
yang dapat dipersalahkannya.
Dalam hati sering kali dia bertanya-tanya, men-
gapa dulu dia tak terlahir dari rahim seorang ibu yang
kaya raya, bapak berpangkat dan memiliki pengaruh
yang luas dalam lingkungan masyarakatnya. Sehingga
semua orang akan menghormati dirinya atau bahkan
menjunjung dirinya tinggi-tinggi, karena pangkat dan
keberadaan orang tuanya. Tapi mengapa justru dia ter-
lahir dari rahim seorang ibu pedagang Ikan Asin dan
bapak seorang juragan Tape Uli. Yang selama hidup-
nya tak pernah memberi kasih sayang yang cukup dan
bahkan sering pula menyiksa dirinya. Ketika pemuda
muka totol-totol itu mendapatkan dirinya tidak juga
mati, saat dia telah menghempaskan tubuhnya ke da-
lam jurang. Betapa hatinya merasa sangat kecewa. Se-
benarnya pemuda itu ingin bunuh diri dengan mem-
pergunakan senjata tajam. Namun dia merasa tak
mampu untuk melakukannya ketika melihat kilatan
pisau yang begitu tajam. Jalan satu-satunya adalah
dengan cara yang telah ditempuhnya itu, namun tidak
juga berhasil. Sebuah ketololan memang pernah dia
lakukan, namun hal itu telah berlalu kira-kira tiga ta-
hun yang lalu. Ketika itu, dia merupakan seorang pe-
muda biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa,
jangankan lagi yang berupa harta benda. Kini setelah
tiga tahun berada di dasar lembah yang sangat,. me-
nakutkan itu, keadaannya telah berubah sama sekali.
Baik pisik maupun kekuatan batin. Saat sekarang dia
telah berubah menjadi seorang Andika yang memiliki
kepandaian sangat tinggi bahkan mustahil dapat dika-
lahkan oleh siapapun.
Dengan pedangnya yang bernama Pedang Asma-
ra, pemuda itu merasa begitu yakin mampu memenuhi
ambisi sebagai pelampiasan sakit hati yang selama ini
hampir membuat dirinya celaka. Lesmana, saudagar
Legawa dan Bergawa Hitam adalah nama-nama yang
tidak dapat dia lupakan. Namun pabila pemuda berwa-
jah, totol-totol itu teringat kembali pada orang-orang
ini. Rasa penasarannya kian memuncak, hati panas
bagai terbakar. Lalu dia pun menggeram marah:
"Hemm... Orang-orang sombong, harta dunia menjadi
tolak ukur tinggi rendahnya derajat dan martabat se-
seorang. Lesmana berlegalah kau karena menjadi seo-
rang anak Tumenggung. Dan saudagar Legawa, manu-
sia tengik tak tahu diri. Gila kehormatan namun tak
pernah menghiraukan penderitaan anak sendiri... ah...
sedangkan aku...!" Kata-kata Andika itu terhenti tiba-
tiba. Wajahnya menunduk dengan air mata hampir
runtuh. Namun terburu-buru dia tengadahkan wajah-
nya agar air mata yang telah lama mengering tidak lagi
menggelinding jatuh. Hatinya terasa sedih bagai tertu-
suk-tusuk sembilu.
Di saat lain Andika teringat pada sesosok wajah
seorang gadis yang begitu sangat dicintainya. Wajah
orang yang sangat dikasihinya itu kembali menari-nari
di pelupuk matanya. Gadis itu memang tidak begitu
cantik, bahkan lebih cantik bila dibandingkan kekasih-
kekasihnya yang dulu. Cintanya yang pertama harus
berakhir dengan kekecewaan, karena orang tuanya te-
lah menjodohkan kekasihnya itu dengan seorang kepa-
la desa. Kemudian Andika membina hubungan lagi
dengan seorang gadis keturunan tiongkok, semuanya
berjalan begitu baik. Bahkan gadis yang bernama Lan
Sui itu memberinya cinta yang berlebih. Namun hu-
bungan itu tak begitu lama, karena gadis berkulit pu-
tih itu meninggal dunia dengan penyakit yang tak begi-
tu jelas. Saat itu Andika memang benar-benar merasa
sangat kehilangan sekali, selama ini dia memang ku-
rang begitu memperhatikan Lan Sui yang sangat setia
itu. Dalam beberapa bulan hanya sekali saja dia me-
nemui Lan Sui. Barulah ketika ajal datang menjemput.
Andika menyadari, betapa dia merasa kehilangan
seorang kekasih yang selama ini selalu merindukan
kehadirannya. Mulai saat itu dia berjanji pada dirinya
sendiri untuk mencari seorang pengganti. Andainya
penggantinya itu dia dapatkan, Andika bertekad untuk
menjadikannya seorang istri sampai akhir hidupnya.
Kenyataannya dalam perantauannya itu dia menemu-
kan seorang gadis yang tidak begitu cantik. Entah
mengapa Andika tertarik dan jatuh cinta kepadanya.
Gadis itu terdidik dalam ilmu agama yang sangat diya-
kininya. Mungkin hal itu yang membuat dia merasa
tertarik. Sayang, orang tuanya yang saudagar itu tak
memberinya restu. Bahkan pada Andika selalu bersi-
kap sinis. Tiada pertemuan yang terjadi di antara me-
reka, terkecuali pabila larut malam. Dan itu-pun seca-
ra rahasia dan saling berbisik pada sebuah tembok.
Sampai suatu saat, Andika mendengar pembica-
raan suami istri saudagar itu. Tidak sengaja, hanya se-
cara kebetulan belaka. Ah betapa saudagar itu ingin
menjodohkan anaknya dengan putra seorang Tumeng-
gung. Selain itu dia juga mendengar kata-kata yang
sangat menyakitkan. Hatinya terasa perih, tiada dia
menyangka orang sebaik saudagar Legawa memiliki
prinsip lain dalam soal harta keduniawian. Padahal dia
merupakan seorang penganut agama yang taat. Mulai
saat itu, Andika yang menjadi tetangga saudagar Le-
gawa sudah tidak ingin memikirkan tentang Indah De-
wi kekasihnya. Tapi semudah itu telah dia mampu me-
lupakannya? Ternyata tidak semudah itu, setiap saat
Andika ingin membunuh cinta, tetapi justru rasa
sayang itu semakin melekat. Dia tidak mampu, inilah
satu ketololan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Akhirnya dengan membawa kekecewaan yang menda-
lam pergilah pemuda itu, satu tujuan yang pasti. Dia
ingin secepatnya sampai di Lembah Patah Hati
Kembali pada si pemuda berwajah totol-totol yang
masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ketika itu uda-
ra di dasar Lembah Patah Hati terasa begitu dingin
menggigit. Tetapi Andika yang sudah terbiasa dengan
keadaan seperti itu tidak pernah menghiraukannya.
Tubuhnya yang telanjang dada seolah tiada merasakan
hawa dingin itu. Lewat keremangan cahaya bulan di-
perhatikannya batu demi batu yang menjadi dinding
Lembah Patah Hati. Pada permukaan batu pualam
yang licin lagi keras, tertulis tulisan-tulisan yang beru-
pa guratan tangan yang pernah dibuatnya sendiri da-
lam beberapa tahun yang lalu. Andika tersenyum sinis
ketika membaca tulisan-tulisan itu.
Tiada kesan lucu, sebaliknya terasa menyakitkan
dan menusuk. Untuk beberapa saat, pemuda itu diam
mematung. Namun tanpa disadarinya jemari-jemari
tangannya mengejang. Tiba-tiba dia melompat ke de-
pan batu lainnya yang masih bersih dan belum terja-
mah oleh sentuhan tangan. Selanjutnya dengan ujung
jemari tangannya yang telah dialiri tenaga sakti, Andi-
ka mulai menggores batu berpermukaan rata itu:
Kepada nasib yang tidak pernah berpihak pada
kaum yang lemah.
Sang waktu bergulir, enggan menyapa...
Dan aku berdiri di sini dalam sunyi sendiri
Karena aku hanya sebentuk Biang Lala...
Malam senandungkan sebait syair duka,
Di atas setumpuk surat cinta yang hampir basi
Rohku mengambang dihempas keputusasaan.
Namun sang maut kuharap
Tidak kunjung datang.....
Ohh....
Hempasan angin malam, datang dan datanglah...
Terbangkan diri dari sebuah nama,
Enyahkan cinta yang selalu datang membelenggu
Agar jiwa menjadi damai.....
Selesai menggoreskan kata-kata hatinya di atas
batu mar-mar yang berada di depannya pemuda ber-
wajah totol-totol itu nampak memperhatikannya seje-
nak. Mendadak sepasang matanya yang selalu mena-
tap hampa itu berubah menjadi liar dan beringas.
"Para dewata yang agung! Mengapa aku tak
mampu melupakannya hingga sampai saat ini? Kepa-
raaat...!" maki Andika. Saat itu entah apa yang sedang
bergejolak di dalam hatinya. Mendadak bagai orang
yang sedang kesurupan, Andika rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Sebentar saja kedua tangan
yang terangkap itu nampak menggeletar, wajahnya
yang berkulit kuning langsat itu, tiba-tiba berubah ke-
lam membesi. Selanjutnya dengan dibarengi teriakan
melengking tinggi dan terasa menggetarkan dinding-
dinding lembah pemuda itu hantamkan kedua tangan-
nya ke arah sebungkah batu sebesar gajah;
"Wuuuuss.....!"
Serangkum gelombang sinar yang menimbulkan
rebawa aneh, melesat sedemikian cepatnya dengan
menimbulkan hembusan angin yang sangat kencang.
Rebawa aneh itu terus melesat bersama hembusan an-
gin dan langsung menghantam sasarannya.
"Broool....!"
"Gleduk! Gleduk.... Gledukh...!"
Lamping batu pualam putih hancur berkeping-
keping. Debu dan serpihan-serpihan batu kecil ber-
hamburan. Lembah Patah Hati bagai dilanda gempa
bumi dengan guncangan yang sangat hebat. Namun ti-
dak sampai di situ saja tindakan Andika, diliriknya se-
batang pohon yang memiliki ranting sangat rapat dan
berdaun rimbun. Begitu teringat jurus Pedang Asmara,
tanpa ragu lagi dia mencabut senjata sakti yang memi-
liki kekuatan gaib itu.
"Triiing...!"
Mula-mula begitu senjata sakti itu tergenggam di
tangannya. Andika tiada merasakan apa-apa. Pedang
Asmara seperti tak memiliki pamor seperti apa yang
tertulis di dinding gua. Lama dipandanginya senjata
sakti itu. Tak ada yang berubah, namun ketika pemu-
da itu teringat pada Indah Dewi, dan orang-orang yang
telah membenci dirinya. Mendadak senjata itu menge-
luarkan bunyi mendengung. Seperti ada tenaga yang
tak terlihat menggerakkan pedang itu. Suara menden-
gung yang ditimbulkannya, semakin lama semakin
bertambah keras. Andika jadi terpengaruh dengan
adanya sesuatu yang tiada terlihat merasuki jiwanya.
"Haiiiiaaat.....!"
Pemuda berwajah totol-totol inipun kembali men-
geluarkan bentakan kerasnya. Dengan kecepatan yang
sangat sulit untuk diikuti kasat mata, tubuhnya me-
lenting ke arah pohon tadi.
"Brees...! Craak...! Craaak...!"
Hanya dalam waktu beberapa detik setelah pe-
dangnya berkelebat, ranting-ranting pohon yang beru-
kuran lumayan besar terbabat habis bahkan nyaris
gundul sampai ke pucuknya.
"Jliigkh....!"
Setelah selesai memainkan jurus pertama dengan
membuat gundul pohon tadi, Andika berjumpalitan di
udara beberapa kali. Dengan mulus sepasang kakinya
mendarat di atas sebongkah batu licin berlumut. Na-
mun Pedang Asmara masih juga memperdengarkan
suara mendengung. "Jurus kedua adalah jurus di
Tinggal Kekasih!" Membatin pemuda itu, seterusnya
dengan kaki agak ditekuk, pedang di tangannya te-
rangkat tinggi-tinggi persis orang yang berniat melaku-
kan bunuh diri. Lalu terjadilah gerakan-gerakan aneh.
Pedang di tangan bukan sebagaimana lajimnya, me-
nyerang ke arah muka. Namun sebaliknya Pedang As-
mara selalu bergerak menusuk ke sisi kiri dan kanan.
Sambaran angin menderu-deru. Hawa aneh terasa
menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi pemuda itu terus
bergerak-gerak, begitu lincah dan sangat cepat.
"Heeeiit.....!"
Serta merta gerakan silat si pemuda terhenti. Ta-
tapan matanya semakin bertambah dingin, namun te-
tap hampa.
Dalam keadaan diam seperti itu, hanya sesaat sa-
ja terjadi. Selanjutnya tanpa menghiraukan keringat
yang telah membasahi sekujur tubuhnya, Andika me-
lanjutkan jurus ketiga. Jurus ketiga ini, sebagaimana
tertulis pada pelajaran di bagian dinding gua dan telah
dikuasainya bernama jurus pedang 'Menanti Kekasih
Tak Kunjung Datang'. Detik selanjutnya nampak si
pemuda merapatkan kedua kakinya. Tangannya bersi-
dekap dengan pedang menyilang ke depan dada. Se-
langkah demi selangkah dia menggeser kaki kirinya ke
arah samping. Selanjutnya dengan diiringi gerakan
menggeledek, pemuda berwajah totol-totol itu ba-
batkan pedangnya ke arah depan. Lalu memutar tu-
buh sembilan puluh derajat, kembali babatkan pe-
dangnya ke arah atas, bawah dan samping kanan kiri.
Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Sampai akhir-
nya Andika merasa sudah cukup.
Permainan Pedang Asmara itu ditutup dengan
empat jurus. Jurus terakhir yang telah berhasil dikua-
sainya adalah jurus pedang 'Hidup Hampa'. Inilah
tingkatan yang paling dahsyat. Terlihat senjata di tan-
gan Andika bergetar hebat, kekuatan aneh benar-
benar dapat dia rasakan telah menguasai diri pemuda
itu.
"Wuaaaa..... ngiiiing.... siiiiing.....!"
Angin kencang menderu dahsyat saat senjata di
tangan Andika berkelebat menyambar ke segala penju-
ru arah, anehnya tubuhnya seperti terbetot mengikuti
gerakan tangannya. Secara reflek pemuda itu terus
mengikuti gerak senjatanya sendiri, semakin lama
langkahnya semakin terseret jauh mendekati sebatang
pohon yang cukup besar. Tanpa dapat dikendalikan
lagi, pedang itupun menghantam pohon tadi.
"Breees.....!"
Pohon sebesar batang kelapa itupun ambruk ter-
babat Pedang Asmara dengan menimbulkan bunyi
berdebum. Tapi nampaknya gerakan pedang itu terlalu
sulit untuk dihentikan, Andika menjadi bingung sendi-
ri. Sekujur tubuhnya saat itu telah bermandikan ke-
ringat, tapi senjata di tangan terus memaksa dirinya
untuk terus bergerak.
"Senjata aneh, tapi memiliki kekuatan yang san-
gat hebat! Eee... aku jadi teringat pada pesan yang ter-
tulis di dinding gua! Bahwa pabila telah mencapai ju-
rus paling puncak, senjata akan terus bergerak tak wa-
jar. Pedang Asmara baru mau diam pabila telah masuk
rangkanya. Hhh. Mengapa aku sampai lupa pada pe-
san itu...!" Batin pemuda berwajah dingin itu pada di-
rinya sendiri. Selanjutnya dengan gerakan cepat dia
angkat rangka pedang itu tinggi-tinggi. Begitu pedang
di tangan meluncur ke arah depan, dengan mengerah-
kan segenap kemampuan yang ada. Andika membe-
lokkan pedang itu ke arah sarungnya.
"Sreeek....!"
Lega hati pemuda berwajah totol-totol itu, kerin-
gat sebesar-besar jagung terus bergulir membasahi se-
kujur tubuhnya. Sesaat dipandangi dan ditimangnya
pedang di tangan. Disertai sesungging senyum sinis,
Andika berucap pelan:
"Dengan senjata dan kesaktian yang kumiliki
saat ini. Sangat mustahil orang dengan seenaknya
menghina diriku. Lesmana putranya Tumenggung
Jayeng Rono dan saudagar Legawa itu bagiku sudah
tak ada apa-apanya...!"
"Inilah saat yang tepat bagiku untuk keluar dari
Lembah Patah Hati....!" ucapnya pula. Kemudian sete-
lah memberi penghormatan di depan makam tokoh
sakti yang terletak di mulut gua. Andika mulai berge-
rak meninggalkan Lembah Patah Hati yang selama ini
dikenal sebagai sebuah daerah yang cukup angker oleh
kalangan persilatan.
***
DUA
Suara irama gamelan terdengar sayup-sayup di
kejauhan, berbagai tari-tarian tradisi adat sudah sejak
siang tadi dimulai. Sesungguhnya pesta perkawinan
itu memang berlangsung sangat meriah. Tamu-tamu
yang hadir pun terdiri dari berbagai kalangan pembe-
sar istana, pejabat daerah, juga dari kalangan persila-
tan. Sang mempelai yang sedari tadi duduk di pelami-
nan nampak didampingi oleh sepasang suami istri ber-
pakaian mentereng dan mahal. Laki-laki setengah baya
itu, sejak tadi nampak tersenyum-senyum puas. Saat
itu hatinya memang sedang diliputi kegembiraan yang
berlebih-lebihan. Apalagi dia merasa telah berhasil
menjodohkan anak perempuannya dengan putra seo-
rang Tumenggung. Orang yang sangat berpengaruh da-
lam masyarakat. Kehadiran sang menantu sudah ba-
rang tentu dia harapkan membuat masyarakatnya se-
makin menghormatinya.
Sedangkan di atas pelaminan mempelai wanita
nampak terus-menerus tundukkan wajah, hatinya me-
rasa begitu terpukul dengan perjodohan paksa yang te-
lah dilakukan oleh orang tuanya. Hanya gadis itu sendirilah yang tahu apa yang sedang terjadi dalam ha-
tinya. Walau bagaimanapun dia tak bisa melupakan
sebuah nama yang selama ini sangat dikasihinya, dan
nama itu mencintai dirinya dengan sepenuh hati. Kua-
sakah dia menolak kehendak orang tuanya? Kenya-
taannya sampai saat ini dia telah menjadi istri orang
yang tidak dicintainya.
"Dengan dandanan pengantin seperti ini kau
nampak bertambah cantik, putriku!" kata laki-laki se-
tengah baya berkumis tipis yang sejak tadi mendam-
pingi putrinya. Yang diajak bicara nampak diam tiada
menyahut. Sebaliknya mempelai pria yang duduk di
sebelah mempelai wanita, sembari tersenyum penuh
arti langsung menyahuti: "Bapak mertua! Adik Indah
Dewi, kalau mantu lihat malam ini tak ubahnya bagai
bidadari yang turun dari kayangan. Aku bangga mem-
punyai seorang istri seperti dia...!"
"Aah... ah... mantuku! Engkau memang seorang
suami yang sangat berbakti pada istrinya....!" ujar
saudagar Legawa lalu tertawa lebar.
"Anakku ini memang penuh pengertian, besan
Legawa! Maklum sejak kecil kami se-bagai orang tua,
berusaha mendidiknya dengan berbagai disiplin yang
sangat ketat...!" yang bicara seperti itu adalah seorang
laki-laki berpakaian bangsawan berbadan tegap. Den-
gan wajah menyiratkan kebengisan.
"Terima kasih, terimakasih....! Semua hajat yang
kita inginkan selama ini, kini terkabullah sudah. Lihat-
lah anak-anak kita nampak bahagia sekali... semoga
kehidupan mereka kekal sampai ke anak cucu. Hari ini
sebagai tuan rumah aku merasa berbesar hati. Sebab
hajatku untuk bermenantukan orang terpandang dan
terhormat telah terpenuhi....!" Kata saudagar Legawa
begitu bangga.
"Aku pun sangat bersyukur besan, Legawa! Karena hari ini hajatku untuk berbesan pada seorang sau-
dagar kaya juga telah kesampaian....!" sahut Tumeng-
gung Jayeng Rono. Masing-masing besan itu memang
nampak sedang diliputi kegembiraan, namun mereka
sesungguhnya tak mengetahui apa yang sedang terjadi
di hati kedua mempelai.
Sementara itu, dalam kegelapan malam di atas
genteng dan persis di kamar mempelai nampak seso-
sok tubuh sedang mengendap-endap. Bayangan tubuh
misterius itu nampak merogoh sesuatu dari dalam sa-
ku celananya. Kemudian dia membuka salah sebuah
genteng, lalu melemparkan sesuatu ke dalamnya. Ben-
da yang dilemparkannya tadi jatuh tepat di atas meja
rias. Sekejap sepasang matanya nampak berkaca-kaca
memandang ke bawah sana. Tiba-tiba dia merasakan
sesuatu yang telah menghunjam ulu hatinya. Tubuh
bayangan itupun tampak menegang. Pandangan ma-
tanya berubah dingin, tapi bayangan itupun nampak-
nya tak ingin berlama-lama berada di sana. Dengan ge-
rakan yang tidak menimbulkan suara, sekali bayangan
itu berkelebat. Maka bayangan tadi lenyap dalam kege-
lapan malam.
Saat itu di dalam ruangan besar beranda depan,
tamu-tamu undangan pun sudah berpulangan. Bunyi
tabuhan dan alat-alat musik lainnya telah terhenti se-
jak sejam yang lalu. Rumah saudagar Legawa keliha-
tan sunyi sepi. Tumenggung Jayeng Rono, istri berikut
para pengikutnya juga sudah pulang ke Katemenggun-
gan. Di ruangan lain Legawa nampak sedang berca-
kap-cakap dengan bapak, ibu dan saudagar mempelai
perempuan lainnya. Sementara itu mempelai wanita
sejak tadi telah berada di dalam kamarnya. Pintu ka-
mar sengaja dia kunci, hal itu dia lakukan semata ha-
nyalah ingin mencari ketenangan batin. Karena saat
itu sedang terjadi perang batin yang begitu hebat di dalam jiwanya. Terkadang timbul juga pertanyaan, ha-
ruskah demi orang tua dia menyerahkan kehormatan-
nya pada pemuda yang tidak dicintai dan mencin-
tainya. Hatinya begitu sedih, gadis itupun menangis.
Tiba-tiba Indah Dewi teringat pada Andika, seorang
pemuda biasa, yang dulu begitu menyayangi dirinya.
Dia pun merasa menyesal dulu dia tiada begitu meng-
hiraukan kata-kata pemuda itu, bahkan dia sering
mengacuhkan keberadaan pemuda itu. Kini setelah
pemuda itu pergi, betapa dia sering merindukan keha-
dirannya, gadis itu merasa kehilangan dan bersalah.
Indah Dewi terisak, menyesali dirinya sendiri. Dia ter-
kadang menyadari betapa selama ini keegoisan selalu
bercokol di dalam hatinya. Tapi apalah gunanya segala
penyesalan yang ada, pemuda yang pernah mencin-
tainya dengan sepenuh hati telah pergi dengan mem-
bawa penderitaan batin yang hebat. Ah! Seandainya
pemuda itu masih berada di sisinya, pasti dia akan
mengadukan segala unek-unek yang terasa menggan-
jal di hatinya. "Kakang Andika maafkanlah atas segala
keegoisanku. Kini aku baru menyadarinya, aku me-
nyadari segala kesalahanku padamu. Aku tak pernah
mampu mencintai laki-laki pilihan orang tuaku...!" Je-
rit hati Indah Dewi dan air matanya pun semakin de-
ras menetes.
Masih dalam keadaan terisak-isak, gadis itu be-
ranjak dari atas ranjang pengantin. Langkahnya gontai
menghampiri meja rias, agak lama dia berkaca di sana.
Dia melihat matanya telah membengkak karena terlalu
banyak menangis. Lalu pengantin baru itupun me-
nangkupkan kedua tangan pada wajahnya yang basah
oleh air mata. Lagi-lagi, batinnya menjerit: "Kakang
Andika, aku begitu menyesal telah mengecewakan ha-
rapanmu! Ya aku merasa sangat menyesal sekali... du-
lu aku merasa begitu bangga bila telah mampu membuat hatimu susah. Bahkan tanpa menghiraukan ba-
gaimana perasaanmu aku tertawa-tawa di depanmu,
saat itu... oh... tidak! Maafkan aku kakang....!" Tanpa
sadar Indah Dewi bermaksud kembali menuju ranjang
pengantin, tapi saat kaki terasa menginjak sesuatu di
lantai dekat meja rias. Dengan perasaan enggan Indah
Dewi memungut benda itu yang tak lain merupakan
selembar kain kecil yang setelah dibuka terdapat tuli-
san-tulisan yang begitu rapi. Jantung pengantin baru
itu berdetak keras, darah berdesir dengan hati berde-
bar tak menentu. Masih dalam keadaan berdiri, Indah
Dewi mulai membaca isi surat itu.
Indah Dewi....
Di atas kenangan-kenangan indah, sebuah luka-
luka lama kini telah terobek kembali. Dan kau yang te-
lah merobeknya. Luka itu mengucurkan banyak darah,
dan air mata ini. Bukan lagi air mata duka, lebih me-
nyakitkan dari sekedar itu.
Dewi...!
Sepanjang jalan onak duri yang ku lalui. Dilingkup
kabut hitam yang sangat sulit untuk ditembus kasat
mata. Adalah kau dan aku berada di simpang jalan
yang berbeda. Mana pungguk merindukan hadirnya
sang rembulan, itulah diriku yang tercabik-cabik sebuah
tradisi.
Hemm... cinta bukanlah teori dan logika, tapi me-
rupakan sebuah perasaan dan naluri. Dan aku adalah
si miskin papa yang selalu terhempas ke dalam jurang
ketiadaberdayaan.
Pengantin baru...!
Kau lihatlah sebuah gambar daun waru yang ter-
tusuk anak panah ini, betapa darah tak pernah menger-
ing disana. Itulah sepotong hati yang dulu hampir mus-
nah dalam belenggu ketololannya. Hehh. Kelak kata
kataku terbukti, harta bukan jaminan kebahagiaan.
Bersukurlah andai pendampingmu berlaku setia, jujur,
dan saling sayang menyayangi!
Sang pengantin.
Usah kau ingat-ingat aku lagi, karena antara kau
dan aku bukanlah yang dulu lagi.
Dariku
Satria Pedang Asmara
Usai membaca tulisan di atas selembar kain itu,
bergetarlah tubuh Indah Dewi, sepasang lututnya tera-
sa goyah bagai tak memiliki kekuatan apa-apa. Dengan
tubuh sempoyongan dia menghempaskan tubuhnya di
atas ranjang pengantin. Tanpa sadar bibirnya mende-
sis: "Kakang Andika! Kau datang tapi tak pernah
membawaku pergi. Aku yakin kau tak pernah berubah.
Oh... ayah juga sangat keterlaluan sekali, mereka tak
pernah mau mengerti bagaimana perasaanku...!" Jerit
hati Indah Dewi, lalu kembali menangis.
"Took! Took.... Tok....!"
Terdengar daun pintu diketuk seseorang dari
luar. Indah Dewi buru-buru menyusut air matanya.
"Siapa...?" tanyanya dengan perasaan waswas.
"Aku! Suamimu...!" sahut sebuah suara dari luar
kamar. Untuk tidak memancing terjadinya keributan,
Indah Dewi membukakan pintu. Setelah pintu terbuka,
si pengantin pria cepat-cepat masuk langsung men-
gunci pintu. Begitu dia membalikkan tubuh, segera di-
peluknya tubuh Indah Dewi. Selanjutnya dengan sikap
brutal dia menjatuhkan ciuman-ciuman ganas pada is-
trinya. Indah Dewi berontak mendapat perlakuan se-
perti itu. Namun dekapan kokoh tangan Lesmana se-
makin lama terasa semakin kencang.
"Beginikah caramu sebagai seorang suami....?"
sentak Indah Dewi sambil menghindari ciuman
ciuman ganas yang dilakukan oleh suaminya. Dengan
nafas memburu, di sela-sela kesibukannya Lesmana
menyahut: "Cara bagaimanapun bagiku sama saja!
Sudah lama aku merindukan malam pertamamu...!"
"Malam pertamaku, jadi bukan malam pertama-
mu juga....!" desis Indah Dewi dengan mata membela-
lak.
"Tidak....! Yang begini bagiku sudah biasa kula-
kukan pada orang-orang yang kusukai....!" jawab Les-
mana tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Indah
Dewi. Semakin terkejut sajalah gadis itu dibuatnya. Ti-
ba-tiba Indah Dewi mendorongkan tubuh Lesmana
kuat-kuat sehingga menyebabkan tubuh tinggi ceking
itu terjerembab menghantam kursi dekat meja rias.
"Laki-laki bajingan! Jadi kau tidak mencintaiku,
rupanya....!" dengus Indah Dewi nampak marah sekali.
Sebaliknya Lesmana seperti tidak pernah terjadi apa-
apa dengan dirinya kembali memburu.
"Sudah kukatakan aku mencintai wanita mana-
pun yang aku suka....!" kata Lesmana tenang.
"Keparat! Jadi untuk apa kau menikahi diriku...?"
"Aku hanya ingin berbakti pada orang tua yang
kuhormati! Sudahlah, malam ini adalah malam yang
indah bagi kita, disinilah sorga dunia itu....!" kata
Lesmana dengan pandangan bernafsu. Tanpa buang-
buang waktu lagi, pemuda itupun kembali memeluk
Indah Dewi. Namun gadis itu terus meronta sehingga
menimbulkan bunyi gaduh. Orang tua Indah Dewi
hanya tersenyum-senyum di ruangan depan, me-
nyangka semua itu ulah pengantin.
"Aku tak mau dengan cara kasar seperti ini...."
"Hei... mengapa tak mau, engkau istriku, milik-
ku...!" tukas Lesmana nampak mulai menanggalkan
pakaian istrinya. Gadis itu terus meronta dan beron-
tak, tapi apalah daya tenaga seorang wanita, bila di
bandingkan dengan tenaga Lesmana yang telah dira-
suki iblis. Indah Dewi hanya mampu menitikkan air
mata, saat-saat Lesmana menindih tubuhnya. Tinggal-
lah gerakan-gerakan tubuh Lesmana yang menggila,
tanpa menghiraukan bagaimana perasaan Indah Dewi,
dia terus melampiaskan nafsunya. Tangis gadis itu ak-
hirnya meledak saat mana dia merasakan sesuatu
yang sangat berharga selama ini telah direnggut oleh
laki-laki yang tidak dicintainya. Pedih hatinya melebihi
rasa perih di bagian selangkangannya. Sementara tan-
pa menghiraukan sang istri Lesmana kembali menge-
nakan pakaiannya dengan sesungging senyum puas.
"Kau benar-benar masih murni!" kata laki-laki
bejat anak Tumenggung Jayeng Rono itu sambil mere-
bahkan tubuhnya di sisi Indah Dewi. Sebentar saja la-
ki-laki itupun telah mendengkur bagai seekor kerbau
kelelahan. Tinggallah Indah Dewi yang terus menangis
menyesali nasib.
Pada saat itu di luar sepengetahuan penghuni
rumah maupun pengawal saudagar Legawa yang bera-
da di bagian depan. Tampak tiga sosok bayangan tu-
buh berjalan mengendap-endap di atas genteng. Gera-
kan mereka begitu ringan, sehingga tidak menimbul-
kan suara mencurigakan. Langkah mereka baru ter-
henti ketika telah sampai di atas kamar pengantin. Se-
saat tiga sosok bayangan itu nampak saling berbisik
sesamanya. Kemudian dua orang diantaranya lang-
sung berjongkok dan menyingkapkan genteng. Setelah
memperhatikannya dengan seksama, secara hampir
bersamaan tubuh ketiga orang itu melayang turun. In-
dah Dewi sempat melihat gelagat yang tak baik itu,
namun dia menyangka salah seorang dari ketiga orang
itu merupakan Andika, bekas kekasihnya. Sehingga
dia hanya diam saja, bahkan hatinya bersorak kegi-
rangan malah. Tapi ketika secara mendadak Indah
Dewi mendapat satu totokan bagian urat leher, sadar-
lah pengantin baru itu, bahwa kedatangan mereka
dengan membawa maksud-maksud tak baik. Dia beru-
saha menjerit, namun suaranya hanya sampai sebatas
kerongkongan saja. Beberapa saat kemudian tubuh ti-
ga orang bayangan itu melesat kembali ke atas genteng
dengan membawa Indah Dewi di bagian pundaknya.
***
TIGA
Sungai Bilah Hulu, merupakan sebuah sungai
yang memiliki lebar empat puluh meter, dengan pan-
jang tidak terukur. Setiap hari sungai itu dilalui oleh
para nelayan yang akan pergi ke laut. Sungai Bilah
Hulu bermuara ke laut tiongkok, hampir setiap hari
sungai itu mengalami pasang surut, akibat pasang
naiknya air laut di bagian muaranya. Pabila malam ha-
ri, sungai itu merupakan sebuah tempat yang sangat
sunyi lagi angker. Tak sebuah perahu pun yang berani
melintasi daerah itu, pabila malam menjelang. Kalau-
pun nelayan-nelayan penangkap ikan itu merasa ke-
malaman pulang melaut, maka mereka lebih memilih
tinggal di tengah lautan untuk sementara menunggu
matahari terbit. Atau berkumpul di bagian muara ber-
sama para nelayan lain. Malam hari, Sungai Bilah Hu-
lu merupakan tempat berkeliarannya para begal dan
bajak sungai. Jarang ada orang yang bisa selamat me-
lintasi daerah itu pabila malam hari. Selain merampoki
harta benda, juga tak segan-segan mereka membunuhi
setiap mangsanya.
Pelayaran melalui Sungai Bilah Hulu pabila malam hari di samping harus berhadapan dengan para
begal, juga harus berhadapan dengan sekawanan ma-
syarakat buaya tembaga, yang terkadang panjangnya
saja ada yang mencapai enam belas meter. Namun ter-
lepas dari semua itu, malam itu nampak seorang pe-
muda bercapil dengan rambut dikuncir di bagian bela-
kang. Hanya dengan mempergunakan sepotong kayu
sebesar tangan tampak melewati daerah yang terkenal
rawan itu. Seandainya kejadian itu dilihat oleh orang
lain, tentu mereka akan langsung membelalakkan ma-
tanya melihat ulah si pemuda itu. Bagaimana tidak.
Pemuda itu melakukan perjalanan lewat air bukan
dengan mempergunakan sebuah sampan atau sejenis-
nya. Sebaliknya hanya mempergunakan sepotong kayu
kering sebesar lengan bocah bayi dan panjangnya pun
tak lebih dari setengah depa. Kayu kering yang diper-
gunakan oleh si pemuda tidak tenggelam, mengapung
dan bahkan nampak meluncur dengan lajunya. Bila di-
ingat sampai ke situ, betapa pemuda yang tengah me-
lakukan perjalanan di atas air itu memiliki ilmu men-
gentengi tubuh sudah begitu sempurna.
Demikianlah tombak demi tombak dia lalui, tan-
pa ada kesulitan bahkan tiada pula rasa curiga. Na-
mun beberapa meter di depannya, si pemuda meng-
hentikan gerakan meluncur pada kayu yang menyang-
gah berat tubuhnya. Pandangan matanya yang setajam
mata elang, menatap lurus ke depannya. Apa yang di-
lihat oleh pemuda itu adalah berpasang-pasang mata
merah yang meluncur deras di depannya di atas per-
mukaan air. Agaknya mahluk-mahluk air itu mengeta-
hui adanya mangsa yang telah berada begitu dekat
dengan mereka. Dengan gerakan yang tiada mencuri-
gakan pemilik berpasang-pasang mata itu terus me-
luncur mendekati si pemuda. Si pemuda berkuncir
yang sudah tak asing lagi buat kita ini nampak sunggingkan seulas senyum.
"Oh sobat! Kau lapar ya, dagingku enggak enak!
Kalau pahit memang iya...!" kata si pemuda yang tak
lain pendekar Hina Kelana adanya. Sesaat pemuda itu
terdiam, dengan cepat dia mengerahkan kekuatan ba-
tinnya untuk mengetahui lebih jelas apakah mahluk
air itu merupakan mahluk siluman atau mahluk biasa.
Ternyata mahluk melata itu bukan mahluk siluman.
"Oh, pantas binatang-binatang itu tidak dapat ku pen-
garuhi. Jumlah mereka tidak sedikit, lucu sekali andai
aku sampai mandi pada saat malam dan dingin-dingin
begini. Weii... binatang-binatang itu kini telah menge-
pungku!" kata pemuda itu, gerakan selanjutnya den-
gan mengegoskan kayu yang dipergunakannya untuk
meluncur, pemuda ini mulai menghindari taring-taring
yang tajam serta kibasan ekor yang mirip gergaji dari
puluhan buaya yang menyerangnya dengan ganas. Se-
kali dua pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara,
anehnya kayu yang menjadi tumpuannya berpijak te-
tap melekat sedemikian eratnya. Tiada membuang
waktu lagi, begitu tubuhnya melayang turun di atas
permukaan air. Buang Sengketa hantamkan pukulan
Empat Anasir Kehidupan ke arah buaya-buaya tadi.
Empat ekor buaya berwarna kuning dengan ukuran
sangat panjang tampak menggelupur di atas permu-
kaan air. Tempat di sekitarnya berubah memerah, air
sungai bergolak-golak menimbulkan gelombang yang
sangat besar. Tapi pendekar berwajah sangat tampan
itu tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali lagi dia
lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Selarik
gelombang sinar Ultra Violet melesat sedemikian cepat
ke arah buaya-buaya lain memburu dirinya dengan be-
ringas sekali.
"Blaaar....!"
Kembali kawanan buaya-buaya itu menggelepar
mati dengan kepala hangus, dan langsung tenggelam
ke dasar sungai. Lama kelamaan melihat kematian
kawan-kawannya, agaknya yang masih hidup menjadi
jerih. Terbukti beberapa saat kemudian buaya-buaya
yang tersisa berlarian menjauhi Buang Sengketa, pe-
muda itu tersenyum-senyum sendiri. Lalu pemuda ini
pun kembali menggerakkan kayu yang menyanggah
tubuhnya. Baru dua tombak pemuda itu meninggalkan
tempat kejadian. Detik selanjutnya terdengar benta-
kan-bentakan yang terasa begitu menusuk gendang-
gendang telinga. Buang Sengketa sadar, pastilah pemi-
lik suara tadi memiliki tenaga dalam yang sangat ting-
gi. Buang pun tak mau kalah, dan langsung menyam-
butnya dengan gelak tawa yang disertai dengan penge-
rahan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh. Terdengar su-
ara tawa serasa merobek kegelapan malam. Si orang
tak dikenal yang berada di sebuah tempat terlindung
nampak terkejut bukan alang kepalang. Sedikit pun
dia tiada menyangka kalau pemuda yang tengah mela-
kukan perjalanan dengan mempergunakan kayu di
atas permukaan air itu. Selain memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat hebat, juga memiliki kele-
bihan lain yang tiada terduga.
Orang itu sendiri pun merasa andai tidak cepat-
cepat menutup indera pendengarannya pasti dia sudah
terjengkang sebagaimana lima orang kawannya. Ke-
nyataan ini membuat orang itu menjadi marah, sedetik
kemudian dia pun membentak kembali.
"Hebat.... setelah membunuh buaya-buaya milik-
ku. Dengan ilmu setan itu kau telah pula membunuh
lima orangku sekaligus...!" Bergetar suara itu hingga
membuat bulu kuduk si pemuda merinding.
"Mereka telah mengganggu perjalananku. Se-
dangkan kematian kawan-kawanmu! Hemm. Kurasa
itu kesalahanmu sendiri, membentak-bentak orang
yang lewat!"
"Kurang ajar! Melihat tampangmu, rasanya baru
kali ini aku bertemu seorang saudagar gembel melinta-
si daerah kekuasaanku. Tapi kau telah begitu berani
jual lagak di depan Iblis Sungai Bilah Hulu. Sangat ke-
terlaluan....!"
Pemuda itu mendengus: "Setiap iblis yang berku-
asa atas sungai-sungai yang tiada bertuan. Pastilah
mereka itu sebangsa tikus perampok yang perlu men-
dapat ganjaran yang setimpal...!" Ucapannya itu sebe-
narnya hanya berupa gertak belaka, karena sedetik
kemudian dengan tanpa menoleh-noleh lagi, Buang
Sengketa sudah kembali meneruskan perjalanannya.
Tetapi baru saja dia menggenjot kakinya yang berpijak
pada sepotong ranting kayu, dari sisi kanan dan sisi
kiri pinggiran sungai meluncur beberapa buah senjata
milik bajak laut. Senjata itu berupa sebuah jangkar
yang dibagian ujungnya bersisi tajam. Senjata tadi te-
rus bergerak, mengikuti kemana saja tubuh si pemuda
berkelit. Karena senjata itu memiliki tali yang panjang,
maka dengan mudahnya pemilik senjata itu menarik
dan mengulurkannya.
"Minggirlah! Atau kau segera tenggelam menjadi
santapan buaya-buaya milikku yang kelaparan...!" te-
riak para bajak laut di sisi kanan dan kiri Sungai Bilah
Hulu.
"Siiing.... Weert....!"
Senjata-senjata maut itu nyaris menghantam tu-
buhnya, hanya mengandalkan jurus si Gila Mengamuk
sajalah Buang Sengketa berhasil mengelakkan samba-
ran senjata-senjata itu dengan baik. Kenyataan ini su-
dah barang tentu membuat sekawanan bajak sungai
berpakaian hitam itu menjadi sangat berang sekali. Se-
lama hampir lima belas tahun berkuasa di Sungai Bi-
lah Hulu belum pernah seorang korban pun yang dapat selamat dari serangan senjata-senjata ini. Bahkan
saudagar Legawa yang kaya raya itu sampai bersedia
memberi mereka semacam setoran wajib, hanya kare-
na saudagar itu tidak ingin mendapat gangguan dari
bajak Laut Sungai Bilah Hulu.
Tapi malam itu seorang pemuda berperiuk den-
gan begitu mudahnya mampu menghindari setiap se-
rangan beruntun yang mereka lakukan? Hal ini benar-
benar diluar dugaan mereka.
"Hiyaaa....!"
Bentakan-bentakan menggeledek menyertai ber-
kelebatnya beberapa buah senjata jenis lainnya.
"Zet.... Set... Wreet...!"
Si pemuda dapat merasakan adanya sambaran
angin yang sangat keras ke arahnya. Sekejap dia men-
jadi gugup, karena senjata-senjata itu datangnya dari
berbagai penjuru dan mengancam bagian-bagian yang
mematikan. Buang Sengketa segera mengambil tinda-
kan yang sangat cepat.
"Hemm....!" Si pemuda mendengus, lalu hantam-
kan kedua tangannya ke arah empat penjuru mata an-
gin. Selarik gelombang berwarna Ultra Violet menderu
dahsyat memapasi datangnya senjata-senjata itu.
"Braaak....!"
"Ihhh....!"
Terdengar seruan tertahan saat mana senjata-
senjata di tangan mereka membalik. Bahkan beberapa
diantaranya hancur berantakan dihantam pukulan
Empat Anasir Kehidupan.
"Tikus-tikus pada kurang ajar semua! Ingin kuli-
hat bagaimana tampangnya kunyuk yang mengaku se-
bagai begal sialan itu...!"
"Heeuuuuup.....!"
Dengan meminjam daya kambang yang dimiliki
sepotong kayu tadi, pendekar Hina Kelana nampak
melesat ke arah sisi kanan sungai itu. Selagi tubuhnya
masih berjumpalitan di udara. Tanpa diduga-duga, be-
berapa senjata rahasia menyongsong tubuhnya. "Kepa-
raaat....!" maki si pemuda sambil membuang tubuhnya
ke arah pinggiran sungai. Sungguh pun dia berusaha
menghindarkan diri supaya tidak sampai kecebur ke
dalam sungai, namun tetap saja.
"Byuuur....!"
Terdengar suara tawa bergelak-gelak menyertai
terceburnya tubuh Buang Sengketa ke dalam sungai.
Sekejap tubuh si pemuda lenyap, begitu muncul ke
permukaan air, dengan sangat cepat dia menepi. Den-
gan keadaan tubuh basah kuyup, pemuda itu kembali
melompat. Sesampainya di daratan serangan-serangan
ganas datang menyambut-nya.
"Kurang ajar...!" maki Buang Sengketa. Tak ayal
lagi dia menyambutnya dengan jurus silat tangan ko-
song diberi nama Membendung Gelombang Menimba
Samudra. Tak dapat disangkal, pertarungan sengit
pun segera terjadi. Karena mengetahui pihak lawan
memiliki kepandaian lumayan, maka begitu bergebrak
para bajak sungai itu langsung mempergunakan jurus-
jurus andalan.
Saat pertarungan itu berlangsung, dari arah se-
berang sungai nampak meluncur tiga buah perahu
anggota kawanan bajak lainnya. Buang Sengketa tiada
menghiraukan orang-orang itu, sebaliknya si pemuda
nampak mulai mengerahkan jurus Si Jadah Terbuang.
Tingkatan jurus andalan ini dipergunakan untuk
memporak porandakan pertahanan lawannya.
"Splaak...! Dees.... Dees....!"
Tiga orang dari lima pengeroyoknya nampak ter-
pelanting roboh, melihat kejadian yang dialami oleh
kawan-kawannya. Yang menjadi kepala dari para begal
itu menjadi gusar dan langsung cabut senjatanya yang
berupa sebuah tombak berwarna hitam, sedangkan di
bagian ujungnya terdapat sebuah kaitan yang menye-
rupai sebuah arit yang memiliki dua sisi yang sangat
tajam. Senjata itu menyambar-nyambar memburu ke
arah lawannya. Buang Sengketa merasakan adanya
hawa dingin menyertai sambaran senjata itu. Sadarlah
dia betapa senjata di tangan lawannya mengandung
racun yang sangat keji.
Sementara para bajak lainnya yang berada di se-
berang sungai telah pula bergabung dengan kawan-
kawannya yang sedang melakukan pengeroyokan. Me-
rasa dikerubuti sedemikian rupa, Buang akhirnya
nampak mulai keteter. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-
purna, tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Jeritan Il-
mu Pemenggal Roh pun dia kerahkan.
"Heiiigkh....!"
Beberapa orang pengeroyok kembali mengalami
nasib sial. Tubuh mereka terpelanting roboh dengan
darah mengalir dari bagian telinga. Sekejap saja tubuh
mereka berkelejotan, lalu diam untuk selama-lamanya.
Kepala bajak sungai yang bernama Baja Kuning, wa-
laupun menjadi keder namun juga diliputi kemarahan
yang meluap-luap. Kenyataan gugurnya beberapa ang-
gota merupakan pukulan yang sangat pahit bagi di-
rinya. Bagaimana nanti andai ketua tertinggi kaum ba-
jak sungai sampai mengetahuinya? Pasti dia kena di-
damprat, terlebih-lebih apa yang mereka perjuangkan
saat itu bukanlah pertempuran yang memperebutkan
harta benda. Hanya melawan seorang pemuda gembel
yang tidak ada apa-apanya.
"Dasar manusia kampret...!" desis Baja Kuning,
dibakar amarah. Laki-laki baju hitam tampang ambu-
radul itu kembali hantamkan senjata mautnya ke arah
bagian lambung dan leher lawannya. Sementara dari
arah lain, menyusul pula serangan berbagai senjata
aneh milik kawanan para begal itu. Kali ini Buang
Sengketa merasakan nyawanya berada di ujung tan-
duk. Tiada diduga-duga, pemuda titisan Raja Piton
Utara dari Negeri Bunian ini mengerahkan pula jurus
Koreng Seribu. Dalam keadaan pasrah, pemuda ini
menyambut:
"Creep....!"
Berbagai jenis senjata nampak melekat erat se-
demikian erat di bagian tangan maupun bagian tubuh
lainnya. Masing-masing lawannya tampak terkejut luar
biasa, kemudian dengan sekuat tenaga mereka beru-
saha menyentakkan senjata yang melekat di tubuh
Buang Sengketa. Celakanya semakin keras mereka
membetot senjata itu, maka semakin sulitlah bagi me-
reka untuk membebaskan senjata-senjata miliknya.
"Ilmu Iblis....!"
Terdengar suara Baja Kuning dalam rasa penasa-
ran yang tiada terkirakan. Sementara itu si pemuda
nampak menyeringai, penyaluran tenaga dalam dari
pihak lawan untuk membebaskan senjatanya. Bagi si
pemuda merupakan keuntungan tersendiri, tanpa dis-
adari oleh mereka, secara perlahan namun pasti Jurus
Koreng Seribu telah menyedot tenaga lawan-lawannya,
sehingga pemuda itu mendapat tambahan tenaga yang
tidak sedikit.
"Ha... ha... ha! Sobat begal goblok. Terima kasih
atas bantuan dan kebaikan kalian. Sekarang aku su-
dah tidak membutuhkannya! Hiaaat....!" teriak Pende-
kar Hina Kelana sambil mengibaskan tangannya. Sen-
jata berikut pemiliknya berpelantingan dengan tubuh
lemah lunglai bagai sudah tiada memiliki tenaga lagi.
"Pergilah sebelum kesabaranku habis...!" Bentak
pemuda itu, lalu memandang tajam pada lawan-
lawannya. Dengan tergopoh-gopoh dan rasa penasaran
yang terpendam. Kawanan bajak sungai itu tanpa me-
nunggu lebih lama lagi langsung tunggang langgang
meninggalkan tempat. Ketika mereka menjauh dan le-
nyap ditelan kegelapan malam.
Terdengar suara Baja Kuning dalam ancaman-
nya: "Kau jangan merasa menang, pemuda berperiuk.
Suatu saat kelak kami pasti mencarimu untuk mena-
gih hutang nyawa....!"
"Hmmm..... aku tak perlu takut menghadapi ka-
lian. Sekalian saja bapak moyangmu suruh berhada-
pan denganku, aku tak pernah gentar...!" kata Buang
Sengketa tanpa maksud menyombongkan diri. Dari
kawanan bajak sungai tiada jawaban apa pun, namun
dari arah lainnya terdengar suara gumaman seseorang
yang disampaikan melalui ilmu mengirimkan suara.
"Sobat! Di daerah yang penuh dengan keangka-
ramurkaan ini. Jangan sekali-kali kau menjual lagak
dengan ilmu picisan yang kau miliki. Bisa-bisa nya-
wamu menjadi taruhannya...!" kata suara itu mengan-
cam.
"Siapakah kau! Aku merasa tidak pernah berbuat
apapun. Aku hanya memberi pelajaran kepada mereka.
Agar mereka tak mengulangi pekerjaan yang busuk
itu...!" jawab pemuda itu melalui ilmu yang sama. Ter-
dengar sebuah tawa yang begitu dingin menggidikkan.
Lalu disambung dengan kata-kata yang mengandung
ancaman: "Jangan kau ganggu mereka! Mereka dalam
pengawasan-ku. Kau ingat itu....?"
"Hemm. Kalau begitu, kau pasti kepalanya pe-
rampok-perampok tengik itu...!"
"Tak perlu kau tahu...!" kata suara tadi menun-
jukkan kemarahannya. Hal ini membuat Buang Seng-
keta menjadi penasaran. "Aku jadi ingin tahu, bagai-
mana kunyuk yang bersembunyi dalam kegelapan itu!"
Pemuda ini membatin. Kemudian tanpa diduga-duga,
Buang Sengketa melesat ke arah tempat suara itu be-
rasal.
"Brebet....!"
Orang yang dikejarnya bergerak mendahului me-
ninggalkan tempat itu. Tak dapat dihindari lagi, kejar-
kejaran pun terjadi. Tapi orang yang berada di depan-
nya berlari kencang laksana setan. Semakin lama ja-
raknya diantara mereka semakin bertambah menjauh.
Begitu si pemuda teringat pada ajian Sepi Angin yang
menjadi ilmu lari cepatnya. Orang yang dikejarnya pun
telah lenyap dari pandangan mata.
***
EMPAT
Kabar hilangnya Indah Dewi dalam waktu seke-
jap telah tersebar di seantero penjuru Katemenggun-
gan. Berbagai reaksi timbul di kedua belah pihak ke-
luarga yang baru saja mengikat hubungan persauda-
raan itu. Hilangnya Indah Dewi membuat saudagar Le-
gawa merasa begitu terpukul, apalagi dengan ditemu-
kannya surat di dalam kamar putrinya. Bagi Legawa,
begitu melihat tulisan itu langsung dapat menebak
siapa kiranya yang telah melakukan penculikan atas
diri putrinya. Tulisan di atas selembar kain itu dia
kenal sebagai tulisan milik Andika, bekas kekasih pu-
trinya. Tapi bagaimana mungkin pemuda dusun yang
telah diusirnya itu kini muncul kembali pada saat hari
pernikahan anaknya. Padahal menurut keterangan
orang-orang kepercayaannya yang mengantar keper-
gian Andika dari tempat tinggalnya, tiga tahun yang la-
lu memberi laporan, pemuda yang sangat dibencinya
itu telah membunuh diri di Lembah Patah Hati. Mungkinkah orang-orang kepercayaannya itu telah memberi
laporan palsu kepada saudagar itu? Kemungkinan itu
bisa saja terjadi, dan sebenarnya persoalan yang diha-
dapi oleh saudagar Legawa tidak serumit itu, andai sa-
ja Lesmana yang menjadi menantunya tidak memberi
laporan padanya, bahwa pada saat malam pertama itu,
Indah Dewi sudah tak memiliki kehormatan lagi. Me-
nurut pemuda itu hal ini merupakan satu penghinaan
dan penipuan yang tak dapat dimaafkan. Bahkan se-
belum meninggalkan rumah kediaman Legawa menuju
Katemenggungan tempat tinggal orang tuanya, pemuda
ini sempat mengancam. Andai Indah Dewi tidak dapat
ditemukan dalam waktu satu purnama. Maka Lesma-
na akan menuntut ganti rugi atas penghinaan yang te-
lah dilakukan oleh putri saudagar Legawa. Tidak tang-
gung-tanggung, sebagai ganti rugi atas penipuan itu,
Lesmana akan menyita seluruh kekayaan yang dimiliki
oleh saudagar Legawa. Betapa kecut hati Legawa men-
dengar keputusan mantunya itu. Bagaimana tidak,
Lesmana adalah seorang putra Tumenggung yang pe-
rintahnya selalu dituruti oleh orang tuanya. Tuduhan
Lesmana bahwa putri Legawa yang pada malam per-
tama itu tidak memiliki keperawanan lagi, bagi sang
saudagar merupakan sebuah tamparan keras yang
membuat dirinya kehilangan muka. Seandainya itu
disebarkan oleh Lesmana ke seantero penjuru negeri,
betapa saudagar yang selalu silau dengan kemilaunya
dunia itu akan merasa sangat malu sekali. Seingat Le-
gawa, satu-satunya orang yang pernah membina hu-
bungan cinta dengan Indah Dewi hanyalah pemuda
yang bernama Andika itu. Pasti semua itu akibat per-
buatan pemuda kere yang telah diusirnya beberapa ta-
hun yang lalu. Laki-laki setengah baya itu kemudian
berfikir, sebelum ancaman menantunya menjadi ke-
nyataan, lebih baik dia menyewa kalangan persilatan
untuk mencari Andika dan Indah Dewi. Yang menurut
perhitungan Legawa telah melarikan diri secara ber-
sama-sama.
Demikianlah, siang itu saudagar Legawa nampak
sedang bercakap-cakap dengan istrinya yang bernama
Nendang Asri. Wajahnya yang kusut masai menanda-
kan bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun itu se-
dang menghadapi masalah yang sangat rumit dan ku-
rang istirahat.
"Kejadian ini benar-benar sangat memalukan se-
kali. Indah Dewi anak yang tidak tahu berbakti pada
orang tua...! Coba kau bayangkan mau ditaruh di ma-
na mukaku ini, istriku....!"
"Selalu saja kita menyalahkan seorang anak! Co-
ba kakang pikir, tidak kelirukah tindakan kita menjo-
dohkan Indah Dewi dengan Lesmana, yang ku tahu se-
lama ini memiliki sifat yang sangat jauh berbeda seba-
gaimana layaknya anak kalangan terhormat lain-
nya....?" bantah Nendang Asri, seolah ingin protes pada
suaminya.
"Hei... kau tahu apa? Tumenggung Jayeng Rono
adalah orang terhormat! Merupakan kebanggaan bagi
kita, karena kita telah berhasil menjodohkan anak kita
dengan putranya orang berpangkat....!" sentak Legawa
merasa tersinggung.
"Selama ini kau banyak disibuki dengan segala
urusan perdagangan, kakang! Kau tak mungkin bisa
melihat apa-apa saja yang telah dilakukan oleh Les-
mana dalam kehidupan sehari-hari...!"
"Heh.... kau jangan memburuk-burukkan mantu
kita. Terbukti anak kitalah yang tidak berbakti pada
orang tuanya. Coba kau lihat apa yang kini telah terja-
di! Andika telah merusak kehormatan Indah Dewi. Le-
bih dari itu, pemuda keparat itu juga telah begitu be-
rani membawa lari anak kita....!" kata saudagar Lega
wa begitu sengit.
"Adatmu memang terlalu keras, kakang! Sebagai
istri aku telah melakukan segala-galanya untuk kebai-
kan keluarga kita. Mungkin ini satu karma karena
engkau telah membunuh orang tua Andika....!" Sema-
kin bertambah memerah wajah Legawa begitu men-
dengar kata-kata istrinya. Dengan tubuh gemetaran
karena menahan amarah, laki-laki itupun membentak:
"Cukup! Tak perlu kau menggurui aku. Orang tua pe-
muda tak tahu diri itu memang sudah selayaknya ma-
ti. Aku tak pernah merasa berdosa telah membunuh-
nya, bahkan kali ini aku juga akan mencari Andika."
ucap Legawa. Se-pasang matanya nampak berkilat-
kilat me-nyimpan dendam. "Sungguh pun aku seorang
saudagar, namun aku juga seorang pendekar yang
sangat disegani. He... he... he....! Andika bocah ingu-
san.... kau harus mempertanggung jawabkan semua
perbuatanmu....!" gumam saudagar Legawa. Selanjut-
nya tanpa dapat dicegah lagi, dengan disertai beberapa
orang kepercayaan, laki-laki berkumis tipis itupun
membedal kudanya menuju ke arah matahari terbit.
* * *
Kaki bukit Malabar sepintas lalu kelihatan sunyi
sepi sepanjang hari. Tidak ada tanda-tanda berkelia-
rannya manusia di sana. Tidak juga anak-anak gemba-
la yang biasanya mengembalakan ternak-ternaknya
yang berupa puluhan ekor domba. Sungguh pun begi-
tu bukan berarti tak ada kegiatan di sana. Kalau di-
perhatikan lebih teliti lagi, nun jauh menelusuri jalan
setapak menuju lengkungan bukit. Terdapat sebuah
tenda dengan penjagaan beberapa orang pengawal tak
resmi. Mereka yang melakukan penjagaan bergilir itu
terdiri dari orang-orang bertampang sadis, rambut tergerai sampai ke pinggang. Dengan senjata menggelan-
tung di bagian bahunya. Lalu apakah isi di dalam ten-
da itu, sehingga belasan orang-orang bertampang se-
ram itu melakukan penjagaan sedemikian ketat? Bila
diperhatikan secara lebih dekat lagi, maka dari dalam
tenda itu terdengar suara rintihan seorang wanita. Di
lain saat terdengar pula suara seorang laki-laki sedang
membujuk.
"Kembalikan aku ke rumah orang tuaku! Aku tak
mengenal kalian, aku... aku muak melihat tampang
kalian... bencii....!" Di luar tenda terdengar suara ber-
gelak-gelak penjaga, menyambut.
"Aku tak dapat mengembalikan mu sampai
ayahmu mau membawa tebusan yang cukup besar un-
tuk ketua...!" terdengar suara berat dari dalam tenda.
"Siapakah ketuamu yang telah begitu berani
mempertaruhkan nyawa itu...?" bentak si wanita den-
gan suara bergetar.
"Hoho.... ketua kami sudah barang tentu lebih
hebat dari suamimu yang suka main paksa itu....!"
"Kurang ajar! Jangan kau sebut-sebut dia!" kata
si wanita yang tak lain Indah Dewi adanya, dengan su-
ara keras. Kembali terdengar suara serak si laki-laki
yang berada di dalam tenda: "Kau pasti tak suka pada
suamimu itu. He... he... he... Saudagar Legawa me-
mang orang yang paling suka memaksakan kehendak-
nya untuk sesuatu yang terlalu berbau keduniaan!"
kata laki-laki berbadan tinggi kurus, kulit keriput mu-
ka cekung seperti pada dirinya sendiri.
"Laki-laki ceriwis! Siapakah engkau ini....?" Yang
ditanya keluarkan suara tawa bergelak-gelak. Sesaat
laki-laki kurus itu memandangi Indah Dewi dengan
mata berkilat-kilat. Sementara air liurnya nampak me-
netes-netes bagai seekor anjing yang baru saja berlari-
lari dengan jarak yang cukup jauh. Pengantin baru putri tunggalnya saudagar Legawa itu nampak mulai ke-
takutan, dengan keadaan tangan terikat ke depan dia
beringsut-ingsut menjauh.
"Kau tak tahu siapa aku ini? Bagusnya kau me-
mang tak usah tahu siapa diriku. Aku hanya utusan-
nya sang Pangeran, untuk menculikmu dan memaksa
saudagar Legawa menyerahkan sebagian hartanya se-
bagai tebusan kebebasan anaknya....!"
"Kurang ajar! Kau dan pangeranmu itu pasti tak
akan mendapatkannya....!" teriak Indah Dewi nampak
semakin bertambah gusar.
"Kau tak tahu apa-apa tentang hidup dan kehi-
dupan ini bocah! Di depanku kau jangan banyak rewel.
Salah-salah aku bisa menelanjangimu....!" kata laki-
laki kurus itu menggeram marah.
"Aku tak perduli! Bagiku hidup pun sudah tak
berarti banyak.... aku tak suka pada Lesmana yang te-
lah kurang ajar itu...!" Di luar tenda kembali terdengar
suara beberapa orang penjaga tergelak-gelak. Disam-
but dengan suara sumbang seseorang: "Kerjain saja
kakang.... kita sudah bosan menanti, namun pangeran
belum juga muncul....!"
"Diam kalian....!" bentak laki-laki kurus yang be-
rada di dalam tenda. Sesaat suasana menjadi hening
sepi, namun kesunyian itu kemudian dipecahkan den-
gan adanya suara laki-laki itu.
"Aku tak akan mendengar berbagai ma-cam ala-
san. Apa pun yang akan terjadi, orang tuamu harus
menyerahkan apa yang diinginkan oleh pangeran ka-
mi....!"
"Tanyakan saja hal itu pada mereka. Aku berha-
rap kedua orang tuaku tak menyerahkan apa pun pa-
da kalian....!"
"Kuraaang ajar...!" maki laki-laki berbadan kurus
kering yang dikalangan persilatan lebih dikenal dengan
Bergawa Hitam. Makian itu disertai dengan dua tam-
paran yang cukup keras, sehingga tubuh Indah Dewi
terjajar ke dinding tenda, bekas tamparan itu nampak
memerah. Dari sudut bibirnya nampak mengalirkan
darah kental. Begitu nanar gadis itu memandangi laki-
laki keriputan itu. Tiba-tiba kebenciannya kepada laki-
laki itu muncul.
"Biadab.... Kau benar-benar laki-laki biadab....!"
jerit Indah Dewi. Dalam pada itu, dari kejauhan di atas
bukit sana, mendadak terdengar suara sayup-sayup.
Seperti sudah mengenal siapa mereka yang berada di
bawah bukit itu.
"Bergawa Hitam! Aku yang datang....!" Nampak-
nya Bergawa Hitam begitu menghormati pemilik suara
itu, terbukti baik Bargawa Hitam maupun orang-orang
yang berada di luar tenda membungkukkan tubuhnya
memberi hormat.
"Apa yang pangeran inginkan telah kami laksa-
nakan! Sekarang ini kami tinggal menunggu perintah
selanjutnya....!" kata Bargawa Hitam memberi laporan.
Sementara itu, Indah Dewi begitu mendengar suara
orang yang disebut pangeran nampak sangat terperan-
jat. Suara itu rasa-rasanya seperti dia kenal secara
samar-samar. Bedanya suara itu hanya sedikit agak
sengau. Dia berusaha mengingat-ingat siapakah orang
yang sedang bicara dengan jarak cukup jauh itu?
"Pekerjaan kalian memang patut untuk mendapat
penghargaan. Tapi penyelesaian dengan imbalan yang
memuaskan masih cukup jauh.... banyak rintangan
yang akan kita hadapi. Wilayah Sungai Bilah Hulu saat
ini juga sedang menghadapi persoalan yang cukup ru-
nyam. Baja Kuning memberi laporan padaku tentang
kehadiran seorang pemuda asing dengan kepandaian-
nya yang cukup tinggi. Nah... untuk sementara waktu
kau uruslah putrinya saudagar Legawa itu, aku telah
mengutus seorang kurir ke rumahnya untuk menyam-
paikan surat yang membicarakan masalah tebusan
dan kebebasannya."
"Pangeran sendiri hendak kemana....?" tanya
Bergawa Hitam dengan perasaan sungkan. Terdengar
suara gelak tawa, dari siempunya suara tadi.
"Aku.... he.... he... he...! Sudah barang tentu mau
menemui Baja Kuning..... ingin ku tahu seberapa he-
batnya orang yang telah begitu berani mencampuri se-
gala urusanku....!" jawabnya berwibawa.
"Kami selalu mematuhi apa yang pangeran pe-
sankan pada kami!" ujar Bergawa Hitam. Sebagaimana
kedatangannya tadi, kepergiannya pun tanpa kata.
Hanya kesunyian alam sekitar sebagai tanda pemilik
suara yang disebut pangeran itu sudah tak berada di
tempat. Seperginya orang yang nampak begitu dihor-
mati oleh Bergawa Hitam dan kawan-kawannya. Indah
Dewi langsung pula menghamburkan kata-katanya.
"Aku seperti mengenal pemilik suara tadi....! Pas-
tilah dia... aku merasa yakin sekali....!"
"Dia siapa...?" sentak Bergawa Hitam, dengan so-
rot mata menyelidik.
"Hemm.... aku yakin dialah orangnya....!" gu-
mamnya lagi seperti pada dirinya sendiri.
"Bekas kekasihmu...?" pancing Bergawa Hitam.
"Keparaaat! Kau tak layak menyebut-nyebut
orang itu....?"
"Dua orang itu suaranya sama betul! Mungkin-
kah orang-orang seperti mereka mau mengerjakan pe-
kerjaan sekeji ini? Atau semuanya ini hanyalah meru-
pakan sebuah perangkap, yang akhirnya menjeru-
muskan ayah pada jurang kemelaratan....?" batin In-
dah Dewi mulai merasa was-was.
"Kini mengapa kau diam? Pasti kau mulai merin-
dukan kehangatan suamimu itu?" dengus Bergawa Hi
tam dengan sesungging senyum mengejek.
"Cacing kurus! Kau benar-benar membuat aku
mau muntah... pergilah....!"
"Bisa berbuat apakah, kau...! Jangan kira kalau
aku mau, aku tak mampu berbuat apa pun atas diri-
mu....!"
"Semua laki-laki memang iblis....!" teriak Indah
Dewi dalam kegusarannya.
***
LIMA
Pada saat itu di luar sepengetahuan mereka, dari
tempat yang agak tersembunyi. Sepasang mata berki-
lat-kilat nampak menatap kosong ke arah tenda. Su-
dah hampir satu jam dia berada di situ mengawasi
daerah sekitar dengan pandangan nanar. Ketika dia
merasa tiada kelompok lain lagi yang berada di daerah
itu, maka melantunlah suaranya bagai bait-bait se-
buah syair:
Hitam darah beku dari goresan luka lama dan ba-
ru
Nyanyian anak unggas, merintih ditinggal induk-
nya.
Jiwa hampa meluluh latahkan ganasnya angkara,
Yang berdiri di atas jiwa-jiwa merana
Aku kini bukanlah serapuh yang dulu lagi
Duduk bersimpuh mengharap kasih raja
Tidak juga ketika kasih terhempas dilanda
Badai prahdra......
Jiwa ini menjadi suka bertarung melawan maut
Dan setiap jiwa pasti akan terenggut
Dalam hatiku hanya satu yang kutuntut
Enyahkan angkara murka dengan pedang asmara
Karena diucapkan dengan pengerahan tenaga da-
lam, maka suara yang ditimbulkannya merambah jauh
sampai ke ujung lembah. Sudah barang tentu baik
orang yang berada di luar maupun di dalam tenda
mendengar suara yang disertai pengerahan tenaga da-
lam itu. Setelah menotok jalan darah Indah Dewi, ma-
ka Bergawa Hitam nampak berkelebat keluar mening-
galkan tenda.
"Ada apa....?" tanyanya begitu telah bergabung
dengan sebelas orang kawannya.
"Seseorang nampaknya sedang mengawasi dae-
rah kita ini, ketua Bergawa Hitam! Seorang bertelan-
jang dada dengan sebuah golok besar di tangannya
memberi laporan pada Bergawa Hitam.
"Hemm. Kalau begitu, daerah ini telah diketahui
oleh orang lain. Ada baiknya kalau kalian periksa siapa
kunyuknya yang telah begitu berani mendengar pem-
bicaraan orang....!" kata Bergawa Hitam. Baru saja se-
tindak lima dari sebelas orang itu melangkahkan ka-
kinya menuju tempat persembunyian si pelantun syair.
Serta merta dari semak-semak belukar, nampak mele-
sat sesosok tubuh mendekati Bergawa Hitam. Dengan
gerakan tanpa menimbulkan suara. Pemuda bertelan-
jang dada itu menjejakkan kedua kakinya persis di de-
pan Bergawa Hitam. Sekejap pemuda berwajah totol-
totol dan berpenampilan dingin itu nampak memper-
hatikan Bergawa Hitam dan orang-orangnya. Kemu-
dian terlihat dengan jelas, sesungging senyum tipis
menghias di bibirnya.
"Bocah muka macan tutul! Berani sekali engkau
menunjukkan tampang di depan hidungku....?" Terdengar suara mendengus, mengisyaratkan rasa keti-
daksenangannya.
"Secara kebetulan aku melewati daerah ini....!"
jawabnya acuh. Sudah barang tentu sikap yang ditun-
jukkan oleh si pemuda membuat Bergawa Hitam men-
jadi tersinggung
"Kalau memang secara kebetulan kau melewati
daerah ini. Maka aku mengampuni jiwamu. Untuk itu,
cepat-cepatlah kau menyingkir dari hadapanku...!"
bentak Bergawa Hitam dengan suara sengaja dike-
raskan. Tetapi tingkah si pemuda benar-benar di luar
dugaannya. Pemuda berwajah totol-totol itu bukannya
bergegas meninggalkan tempat itu, sebaliknya malah
kembali tersenyum dingin, sementara sepasang ma-
tanya melirik ke arah tenda.
"Aku baru segera berlalu dari daerah ini jika pe-
rempuan yang kau sekap itu, kau bebaskan sekarang
juga...!"
"Kurang ajar...! Dikasih hati malah meminta jan-
tung...! Sungguh keterlaluan...! Bergawa Hitam pasti
tak akan mengampuni jiwamu....!" teriak laki-laki ber-
badan kurus kering ini dengan wajah merah padam.
"Jerangkong hidup! Ha... ha... ha...! Pikirkanlah
keselamatan dirimu! Karena aku pun tak akan men-
gampuni jiwa Setiap orang-orang yang kujumpai....!"
geram pemuda bertelanjang baju yang telah sama kita
ketahui bernama Andika.
"Cuih! Kalau begitu kau memang ingin mencari
perkara dengan Bergawa Hitam....?" Kata laki-laki ber-
senjatakan Kebutan itu, dengan kemarahan yang su-
dah tiada terbendung lagi.
"Tak usah banyak mulut! Cepat cabutlah senjata
kalian, jika tak ingin mati percuma...!" Tak terkirakan
betapa Bergawa Hitam sudah tak mampu menguasai
dirinya lagi, serta merta laki-laki bertubuh tengkorak
itupun memberi isyarat pada kawan-kawannya. Hanya
dalam waktu sekejap, sebelas orang kawan-kawan
Bergawa Hitam langsung menyerbu. Pemuda berwajah
totol-totol menyambutnya dengan tawa dingin menye-
ramkan, lalu dilanjutkan pula dengan bentakan men-
gancam: "Lembah Patah Hati telah begitu jauh ku ting-
galkan. Tiada sisa-sisa kenangan terkecuali sebuah
duka lama dan sebuah kekecewaan....! Ah, orang-
orang malang! Betapa Pedang Asmara tak mungkin
kembali ke dalam sarungnya, terkecuali telah menghi-
sap darah kalian... nah, bersiap-siaplah kalian untuk
mampus....!"
"Chaaaat.....!"
Di awali dengan satu lengkingan panjang, pemu-
da wajah totol-totol itu langsung melompat dan mela-
kukan tendangan kaki ke bagian tangan lawannya
yang memegang senjata. Tendangan kilat itu membuat
dua orang yang berada di dekatnya menjerit roboh.
Senjata di tangan mental, sedangkan bagian tulang
iganya remuk. Gebrakan mematikan yang dilakukan
oleh si pemuda membuat Bergawa Hitam terbelalak
matanya. Sama sekali dia tiada menyangka pemuda
bertelanjang dada itu memiliki kepandaian yang begitu
hebat. Sesaat laki-laki kurus itu menjadi lebih terkejut
lagi saat mana mendengar jeritan tiga orang kawannya.
Tubuh orang-orang itu roboh dengan luka memanjang
di depan dada. Sementara dari luka itu tak terlihat
adanya darah yang mengalir keluar. Pabila Bergawa
Hitam menoleh ke arah si pemuda, maka sebilah pe-
dang berwarna biru kehitam-hitaman nampak tergeng-
gam di tangannya. Pada ujung pedang itu terlihat sisa-
sisa darah yang telah mengering. Yang membuat Ber-
gawa Hitam sangat terkejut, adalah selain pedang di
tangan lawannya nampak bergetar, juga pedang itu
sendiri mengeluarkan suara mendengung-dengung
menggiriskan hati.
"Lima ekor tikus telah mampus! Tapi rasa dahaga
pedangku tak kan pernah kunjung berkesudahan se-
belum darah kalian dihirupnya....!"
"Setan.... keparaaat....!" maki laki-laki kurus ker-
ing. Kemudian segera mencabut senjatanya yang beru-
pa kebutan.
Dengan senjata itu, Bergawa Hitam bersama
enam orang lainnya segera pula mengepung Andika
dari berbagai jurusan. Tiada kata-kata yang terucap
dari mulut laki-laki bertampang dingin itu terkecuali
suara angin bersiuran disertai suara mendengung yang
berkepanjangan. Sungguh pun Bergawa Hitam dan
orang-orangnya telah mengerahkan segenap kemam-
puannya. Bahkan mereka pun telah pula mempergu-
nakan jurus andalannya masing-masing, sejauh itu
mereka masih belum juga mampu menguasai perta-
rungan. Melihat kenyataan ini, Bergawa Hitam menjadi
sangat gusar sekali. Pertama-tama dia putar kebutan-
nya sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah
pertahanan yang begitu kuat. Dengan pertahanan se-
perti itu, Bergawa Hitam sedikit demi sedikit mulai me-
rangsak ke depan. Namun gerakan itu kemudian ter-
tahan, manakala Andika memutar pedangnya ke arah
si laki-laki kurus. Semakin lama tubuh Bergawa Hitam
semakin terdorong ke depan. Laki-laki kurus itu untuk
selanjutnya hantamkan senjatanya untuk membubar-
kan rebawa aneh yang telah mulai menguasai dirinya.
"Weet..... Breees....."
Tanpa terduga Pedang Asmara di tangan si pe-
muda menyambut. "Jreees...!"
"Uhh.....!"
Senjata kebutan milik Bergawa Hitam berantakan
menjadi serpihan-serpihan kecil dihantam pedang di
tangan lawan yang memiliki rebawa aneh itu. Tidak
sampai di situ saja, sebaliknya tubuh laki-laki kurus
itupun terdorong tiga tindak. Andai saja Bergawa Hi-
tam tidak memiliki tenaga dalam yang kuat sudah pas-
ti tubuhnya terjengkang. Sebelum laki-laki kurus ma-
cam jerangkong itu siap dengan posisinya, lagi-lagi
terdengar satu jeritan dari mulut dua orang kawannya.
Orang itu langsung roboh, kepala mereka nyaris terpi-
sah dari tubuhnya. Sama halnya seperti dialami oleh
korban-korban terdahulu. Kali inipun dari bekas-bekas
luka itu tak terlihat adanya darah yang mengalir.
"Senjata iblis....!" teriak Bergawa Hitam, dengan
wajah pucat. Pemuda wajah totol-totol kembali sung-
gingkan seulas senyum. Selanjutnya tertawa tergelak-
gelak: "Ha... ha... ha...! Cacing kurus.... kau lihat Pe-
dang Asmara yang tetap haus dengan darah. Dan kau
lihat pula Jurus di Tinggal Kekasih yang ingin kuper-
sembahkan sebagai Kidung Pengantar Maut....
hiaaat....!" Satu teriakan menggelegar menyertai suara
mendengung yang ditimbulkan oleh senjata di tangan
Andika. Baik senjata maupun tubuh pemuda wajah to-
tol-totol berkelebat lenyap. Hawa aneh dapat dirasakan
oleh lawan-lawan si pemuda yang sedang melakukan
pengeroyokan. Kembali senjata-senjata jenis lainnya
menderu, Andika menyambutnya dengan...
"Traaaang.... Jraas.....!"
"Arggkh....!"
Senjata di tangan lawannya hancur berkeping-
keping, sebaliknya Pedang Asmara di tangan Andika
terus meluncur menghantam sisi perut bagian kiri.
Kawan Bergawa Hitam yang cuma tinggal satu-satunya
keluarkan jeritan tertahan. Laki-laki itu terjengkang
dengan isi perut memburai. Kini tinggallah Bergawa
Hitam seorang diri, wajah laki-laki kurus itu nampak
pucat masai. Tapi nampaknya dia pun tiada pernah
merasa putus asa, dengan mengandalkan pukulan Kabut Hitam. Laki-laki berbadan kurus kering itu nam-
pak merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Selanjutnya tubuh Bergawa Hitam nampak tergetar
hebat, keringat dingin mengalir membasahi tubuh
yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Melihat apa
yang dilakukan oleh Bergawa Hitam, Andika kembali
tertawa dingin. Pandangan matanya yang berkilat-kilat
redup, menatap kosong pada Bergawa Hitam yang se-
dang berusaha mengerahkan segenap kemampuannya.
"Huaaaa.... haa... haa....! Orang-orang sengsara
seperti diriku. Kau pasti akan merasa kecewa dengan
apa yang kau lakukan....! Pekerjaan yang sia-sia ada-
lah Menanti Kekasih Yang Tak Kunjung Datang....
huaaat....!" teriak Andika sambil hantamkan pedang-
nya ke arah lawannya. Pada saat yang sama Bergawa
Hitam pun hantamkan pukulannya ke arah Andika.
Tak dapat dicegah lagi, serangkum gelombang sinar
berwarna kelabu nampak melesat sedemikian cepat
menyongsong musuhnya. Tapi di luar dugaan Bergawa
Hitam, begitu Pedang Asmara di tangan Andika diputar
sedemikian cepat, pukulan itu menjadi tertahan, bah-
kan mulai terasa membalik. Pemuda wajah totol-totol
melipat gandakan tenaga dalamnya. Sedikit demi sedi-
kit tubuh Bergawa Hitam nampak mulai terdorong ke
belakang. Melihat kenyataan ini, Bergawa Hitam terus
mengerahkan segenap kemampuannya. Wajahnya
yang kurus cekung itu semakin lama semakin bertam-
bah pucat bagai kehilangan darah. Kini sadarlah dia
bahwa kesaktian yang dimiliki oleh lawannya ternyata
berada jauh di atas tingkatannya. Sedetik laki-laki ku-
rus itu berpikir, namun detik-detik yang sangat ber-
harga itu dipergunakan oleh lawannya untuk melepas
satu pukulan yang diberi nama 'Penantian Sia-Sia'......
"Weeert.... Seeb.....!"
Kepulan asap berwarna biru mengawali melesat
nya serangkum gelombang pukulan berhawa aneh. Be-
gitu pukulan yang dilepaskan oleh Andika sampai pa-
da sasarannya, tak dapat dihindari lagi. Tubuh kurus
kering itu pun terpelanting tujuh tombak. Bagian pa-
hanya menghantam batu cadas sebesar kambing. Batu
itu hancur berantakan. Dapat dibayangkan sebenar-
nya Bergawa Hitam merupakan seorang tokoh yang ju-
ga memiliki ilmu sangat tinggi. Namun pada kenya-
taannya ilmu yang dimiliki oleh Andika melebihi ting-
kat kepandaian yang dimiliki oleh Bergawa Hitam. Be-
gitupun laki-laki itu cepat-cepat bangkit kembali, na-
mun dalam saat yang sama dengan sekali lompat pe-
dang di tangan Andika yang terus menggeletar mencari
sasaran datang menyambut. Satu inci ujung pedang
itu mencapai bagian dada Bergawa Hitam. Laki-laki
kurus itu hanya mampu membelalakkan matanya,
tanpa sempat lagi mengelak dan menangkis.
"Jraaaakgh....!"
Tiada keluhan maupun rintihan yang terdengar.
Pedang di tangan pemuda wajah totol-totol itu telah
merenggut nyawa si kurus. Kali ini luka yang ditim-
bulkan akibat sambaran Pedang Asmara juga tidak
meninggalkan darah. Semakin bertambah dingin tata-
pan mata si pemuda, pada saat itu terdengar suara te-
riakan perempuan yang berada di dalam tenda.
"Kakang Andika....!" panggil Indah Dewi dengan
kegembiraan yang meluap-luap pengantin baru itu
berlari-lari menghampiri.
Tapi pemuda itu mendengus dan bersikap seolah-
olah tiada mengenali Indah Dewi.
"Kakang... kau sekarang telah menjadi seorang
pemuda yang sangat sakti! Tahukah kau selama ini
aku sangat merindukan kehadiranmu....?" ucapnya
dengan mata berbinar-binar menahan keharuan. Tapi
di luar dugaannya, laki-laki berwajah totol-totol itu palingkan mukanya ke arah jurusan lain. Lalu nada sua-
ra tanpa perasaan pun terdengar: "Maaf nona! Aku tak
pernah mengenalmu! Mungkin kau salah alamat....!"
Indah Dewi terbelalak matanya, sama sekali dia tiada
menyangka bahwa Andika yang dulu sangat mencintai
dirinya kini telah berubah sama sekali. Hatinya pun
menjerit, jiwanya protes.
"Kakang, apakah kau masih marah atas kekasa-
ranku dulu padamu....?" tanya gadis itu dengan wajah
tertunduk sedih.
"Aku tak mengenal wanita manapun! Aku tak ju-
ga mengerti apa yang nona ucapkan!" kata si pemuda
tiada bergeming.
"Kau keterlaluan kakang, kau tidak dapat mem-
bohongiku, kau pasti kakang Andika!" jerit gadis itu
dengan berurai air mata.
"Andika yang dulu telah mati tercabik-cabik bela-
ti asmara! Andika yang melarat yang dulu dicemooh-
kan oleh banyak orang itu telah bunuh diri di Lembah
Patah Hati. Dia telah pergi jauh karena merasa tak
mampu mengatasi getirnya cinta. Dia memang layak
mati, karena hidup tak pernah berpihak kepa-
danya....!" ucapnya bertambah dingin.
"Kakang Andika....!" teriak Indah Dewi histeris.
"Mengapa kau berkata seperti itu?" jeritnya lagi.
"Sudah kukatakan aku bukan Andika....! Pergilah
aku telah menolongmu dari cengkeraman tangan me-
reka....!"
"Kakang, sia-sialah penantianku selama ini....!"
"Tiada penantian yang sia-sia! Bahkan nona telah
hidup bahagia dengan pemuda pilihan orang tua yang
kaya raya. Bukankah benar kata orang tua nona, ke-
bahagiaan itu terletak pada harta benda. Bukan seper-
ti kata-kata almarhum Andika, bahwa kebahagiaan bi-
sa terwujud dengan adanya kasih sayang, kasih mengasihi, dan rasa pengertian yang mendalam." sindir
pemuda berwajah totol-totol itu. "Ucapan almarhum
Andika itu tak usah nona percaya, kata-kata itu ha-
nyalah sebait syair tembang pengantar tidur orang-
orang melarat....!"
Semakin bertambah perih hati Indah Dewi begitu
mendengar kata-kata si pemuda. Sama sekali dia tiada
menyangka, bahwa pemuda yang telah begitu mencin-
tainya itu kini telah berubah banyak. Salahkah pemu-
da itu? Seharusnya dia menyalahkan dirinya sendiri.
Dulu dia telah menelantarkan harapan si pemuda, ha-
tinya terlalu angkuh, justru karena dia merasa terlalu
diperhatikan. Kini saat-saat hati dan jiwanya membu-
tuhkan orang yang benar-benar dikasihinya itu. Tapi
rasa-rasanya harapan yang terpendam selama ini pu-
pus. Melihat wajah dan cara pemuda itu memandang,
Indah Dewi cukup mengetahui bahwa Andika memen-
dam kekecewaan yang mendalam.
"Kakang....!" jerit Indah Dewi. Namun begitu dia
menoleh, pemuda berwajah totol-totol itu sudah tak
ada di tempatnya. Pengantin baru itu sambil menangis
terus berusaha mengejar pemuda yang menjadi tum-
puan harapannya itu, tapi dia merasa kehilangan je-
jak, justru karena dia tak tahu ke arah mana pemuda
itu berkelebat pergi.
***
ENAM
Sejak menginjakkan kakinya di daerah Sungai
Bilah Hulu, membunuh kawanan bajak sungai kemu-
dian melakukan pengejaran atas diri seseorang yang
belum dikenalnya. Buang Sengketa di pertengahan jalan merasa kehilangan jejak. Mulai saat itu pemuda
berwajah sangat tampan itu telah memutuskan untuk
melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Sepanjang
pengembaraan dalam mencari tempat tapa ayahan-
danya itu, berbagai hambatan datang silih berganti.
Dunia persilatan bukanlah sebuah kalangan yang di-
penuhi keramah tamahan. Itu cukup dia sadari, hanya
karena berkat bekal ilmu kepandaian yang cukup.
Yang diwariskan oleh almarhum gurunya, yaitu kakek
Bangkotan Koreng Seribu. Hingga sampai saat kini
pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara dari negeri
Bunian (gaib) itu masih bertahan hidup. Begitu-pun
terkadang terlintas dalam pikirannya, haruskah sepan-
jang sisa-sisa hidupnya dia terus melakukan pengem-
baraan itu? Kenyataannya tempat tapa ayahandanya
sangat sulit ditemukan. Sepanjang pesisir pantai telah
dia telusuri. Bahkan sekali waktu dia pun tanpa se-
gan-segan menyelami dasar lautan. Tak terdapat see-
kor ular piton raksasa bertapa di sana. Ular-ular yang
dijumpainya hanyalah ular kecil, pendek, bahkan tiada
berbuntut. Ular biasa itu bukanlah ayahandanya.
"Beet.....!"
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh,
pemuda berkuncir itupun melesat ke atas dahan salah
sebuah cabang pohon yang berukuran besar. Detik se-
lanjutnya pemuda itu telah pula menyandarkan tu-
buhnya di cabang pohon tadi. Mulutnya menguap be-
berapa kali. Iseng dibukanya periuk besar yang meng-
gelantung di bagian pinggangnya. Sekejap, pemuda itu
telah mencomot beberapa potong dendeng ikan lumba-
lumba yang dibuatnya sendiri. Sepotong demi sepo-
tong, dendeng ikan yang sangat lejat itu telah pula
memasuki tenggorokannya
"Uaoooo....! Kalau sudah kenyang begini, rasanya
aku ingin tidur saja. Hidup kalau dipikir-pikir mana
ada habisnya. Yang susah ingin hidup senang. Yang
kaya ingin bertambah kaya, bandot tua sudah punya
bini satu, juga ingin nambah satu, dua tiga sampai se-
puluh." Berkata begitu, tiba-tiba pemuda berwajah
tampan itu tersenyum-senyum kayak orang senewen.
"He... he... he....! Aku sendiri juga belum kawin? Punya
pacar pada mati semua. Tapi....!" kata Buang Sengke-
ta, seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Gadis
itu begitu cerdik, wajahnya juga cantik. Gadis yang
penuh pengertian! Aku yakin setiap pemuda pasti suka
padanya. Sifatnya juga keibuan. Sangat jarang di ja-
man ini gadis bersipat seperti dia, kebanyakan baru
pacaran saja sudah berani membentak-bentak.... he...
he... he....! Mungkin Wanti Sarati sudah berjodoh den-
gan orang lain. Sungguh pun aku selalu merindukan
kehadirannya, tapi biarlah. Aku selalu berdoa untuk
kebahagiaan-nya....!" gumam pemuda itu sendu.
Ketika Pendekar Hina Kelana sedang melamun
seorang diri di atas pohon itu. Tiba-tiba pendengaran-
nya yang tajam mendengar suara isak tangis. Sayup-
sayup kedengarannya. Pemuda itu nampak menyapu
pandang ke arah sekelilingnya. Tapi dia belum melihat
adanya orang lain di sekitar tempat itu. Namun ketika
Buang Sengketa menoleh ke arah lain, maka terlihat-
lah sesosok tubuh berjalan tersaruk-saruk dengan
wajah tertunduk, sekali dua perempuan itu menyeka
air matanya yang bergulir di pipi. Melihat keadaan pe-
rempuan itu, Buang dapat memastikan pastilah dia
seorang anak orang berada. Tapi yang membuat si pe-
muda merasa keheranan mengapa perempuan itu,
berkeliaran di tempat yang sunyi seorang diri? Padahal
selain binatang buas. Bukan tak mungkin sewaktu-
waktu orang jahat berkeliaran pula di tempat itu. Se-
jauh itu, sungguh pun hatinya diliputi oleh rasa kein-
gintahuan, namun dia masih tetap berada di tempat
nya. Hingga pada akhirnya terdengar juga suara si wa-
nita: "Kakang Andika....! Begitu tega kau meninggalkan
diriku, aku menyadari sikapku yang dulu padamu. Ta-
pi mengapa kini kau malah pergi begitu saja...?" rintih
si gadis, dengan dada terasa menyesak.
"Kalau begini rasanya aku ingin mati saja, ka-
kang Andika...!" ucap si gadis. Tiada diduga-duga gadis
itu mencabut sebilah keris berlekuk tiga dengan uku-
rannya yang sangat pendek. Dengan kedua tangannya,
digenggamnya senjata berwarna hitam itu erat-erat.
Secara perlahan senjata itupun mulai terangkat tinggi-
tinggi. Buang Sengketa nampak membelalakkan ma-
tanya, ketika senjata itu terayun ke bawah. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, tubuh Buang Sengketa
melesat sedemikian cepat dari tempat persembunyian-
nya.
"Selamat tinggal, kakang Andika...?" Senjata itu
terayun deras. Dengan ujung tangannya, si pemuda
menyentil ujung tangan si wanita.
"Wuus....!"
"Tuuuk....!"
Satu totokan yang begitu telak, tepat mengenai
sasarannya. Wanita yang bernama Indah Dewi itupun
mengeluh. Tangannya kaku dalam keadaan tertotok.
Menyadari keadaan dirinya sendiri, dan melihat apa
yang baru saja akan dilakukan oleh si wanita, diam-
diam Buang Sengketa merasa geli sendiri.
"Dunia tidak selebar daun kelor, nona...! Kema-
tian yang paling sia-sia adalah kematian dengan cara
menganiaya diri sendiri....!" kata si pemuda sambil ter-
senyum-senyum. Sebaliknya begitu usahanya ada
yang menggagalkan perempuan yang bernama Indah
Dewi itu nampak sangat marah sekali.
"Pemuda gemblung...! Berani sekali kau men-
campuri urusanku...!" sengatnya dengan mata melotot.
"Mati dengan cara bunuh diri adalah cara yang
sangat keji. Dewata pasti akan mengutuk setiap tinda-
kan seperti itu....!" jawab si pemuda begitu tenang.
"Huh... apa pun yang kulakukan itu hakku! Tak
pantas kau mencampuri urusan orang lain....!" bentak
Indah Dewi. Sementara kedua tangannya yang tertotok
masih tetap dengan posisinya.
"Apa yang kau katakan itu memang benar! Sela-
manya aku tak pernah mencampuri segala macam
urusan orang lain. Tapi karena kejadian ini di depan
mataku, masa aku harus tinggal diam menyaksikan
kematian yang menyesatkan itu....!" Semakin meme-
rahlah paras Indah Dewi mendengar kata-kata si pe-
muda. Kemudian dengan kemarahan yang meluap-
luap, pengantin baru ini bermaksud menyerang si pe-
muda dengan mempergunakan kerisnya. Namun begi-
tu sadar tangannya tidak dapat dia gerakkan, perem-
puan itupun merasa putus asa. Sambil menghentak-
hentakkan kakinya, Indah Dewi keluarkan kata-kata
kasar.
"Gembel keparat. Bebaskan totokan ini, aku pasti
akan membunuhmu.... cepat bebaskan....!" jeritnya
tertahan-tahan.
"Tak perlu kau meronta-ronta seperti itu, nona....
Aku pasti akan membebaskan dirimu. Tapi sebelum-
nya, cobalah sadari apa yang baru saja hampir kau
perbuat." ujar si pemuda setengah menggurui.
"Kau jangan coba-coba mengajariku. Aku merasa
hidup lebih lama lagi bagiku merupakan sebuah sik-
saan yang terlalu menyakitkan.
"Kau merasakannya begitu, aku pun yakin bahwa
orang yang kau sebut-sebut itu mengalaminya lebih
dari sekedar yang kau rasakan....!" kata Buang Seng-
keta. Selanjutnya dia menambahkan lagi: "Nona. Su-
dahlah, jangan kau ingat-ingat tentang sesuatu yang
menyakitkan. Pulanglah kepada orang tuamu, jalan
hidupmu masih terlalu panjang...!" kata si pemuda
menasehati. Indah Dewi nampak terdiam dengan wa-
jah menunduk. Apa yang baru saja dikatakan oleh si
pemuda memang masuk di akalnya. Tetapi bila dia te-
ringat pada kedua orang tuanya. Tiba-tiba jiwanya
menjadi berontak. Tanpa sadar Indah Dewi geleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku tak mau pulang! Orang tuaku selain akan
menghukumku, aku juga tak sudi bertemu dengan la-
ki-laki yang bernama Lesmana itu...!" sungut si gadis,
dengan sepasang mata memancarkan rasa kebencian.
"Apakah kau sudah bersuami...?" tanya Buang
Sengketa konyol. Sesaat wajah Indah Dewi berona me-
rah: "Aku memang sudah bersuami, bahkan dia anak-
nya Tumenggung Jayeng Rono... tapi aku tak pernah
mencintainya. Dan ternyata dia pun tak pernah men-
cintaiku....!" ujar si gadis. Alis si pemuda nampak
mengerenyit, seperti yang dia dengar Tumenggung
Jayeng Rono adalah orang yang berkuasa atas daerah
tertentu. Semuanya atas titah sang Raja. Berdasarkan
atas sebuah kepercayaan yang penuh. Kalau gadis itu
sampai mendapat kehormatan menjadi istri putra seo-
rang Tumenggung. Sudah dapat dipastikan bahwa
orang tua si gadis tentu merupakan orang yang ter-
pandang di tengah-tengah masyarakatnya.
"Siapakah orang tuamu...?" Indah Dewi merasa
heran dengan pertanyaan yang diucapkan oleh si pe-
muda, sekejap pandangan matanya nampak meneliti
pada Buang, Tapi akhirnya dia menjawab juga. "Orang
tuaku bernama saudagar Legawa....!"
"Saudagar Legawa! Hmm. Rasa-rasanya aku per-
nah mendengar nama itu...!" ujar si pemuda, teringat
tentang pembicaraan para bajak sungai beberapa hari
yang lalu.
"Apakah kau kabur dari rumah, untuk menghin-
dari suami yang tidak kau cintai?"
"Beberapa orang tak kukenal telah menculikku
seusai pesta perkawinanku!" jawab Indah Dewi tanpa
malu-malu.
"Tapi kini kau bebas berkeliaran sampai ke si-
ni....!" gumam si pemuda seperti tak percaya dengan
apa yang dikatakan oleh Indah Dewi. Tiba-tiba perem-
puan itu kembali menangis, suaranya pun menjadi se-
rak. Mungkin sepanjang perjalanan yang dilaluinya dia
terlalu banyak mencucurkan air mata sehingga kini
akibatnya mulai terasa.
"Maafkan aku! Sungguh aku tak bermaksud me-
nyinggung perasaanmu...?!" kata si pemuda dengan
perasaan menyesal.
"Tidak. Aku hanya merasa sangat kecewa dengan
sikap orang yang sangat kukasihi itu. Padahal dialah
yang telah membebaskan aku dari tangan orang-orang
yang menculikku....!"
"Apakah dia meninggalkan dirimu....?" tanya
Buang Sengketa dengan penasaran sekali.
"Dia bukan saja hanya meninggalkan aku begitu
saja, tapi dia juga bahkan mengaku tak mengenal diri-
ku....!" jerit Indah Dewi pilu.
"Mungkin orang yang kau cintai itu pernah mera-
sa sangat kecewa. Sehingga dia bersikap seperti
itu....?!" Sela Pendekar Hina Kelana bagai seorang ahli
nujum. Indah Dewi hanya menganggukkan kepalanya
pelan, dia memang tidak menyangkal kebenaran kata-
kata yang baru saja diucapkan oleh si pemuda. Selan-
jutnya tanpa sungkan-sungkan lagi Nyonya muda itu
menceritakan segala sesuatunya pada si pemuda yang
baru saja dikenalnya. Setelah Buang Sengketa menger-
ti duduk persoalan yang sebenarnya. Tak lama kemu-
dian dia pun mengajukan satu pertanyaan.
"Nampaknya sampai saat ini kau begitu mencin-
tainya, sedangkan seperti apa yang kau katakan pe-
muda itu tidak mencintaimu lagi. Mungkin juga sakit
hati. Tapi apakah kau tidak ada niat untuk berusaha
mencintainya....?" tanya Buang Sengketa. Sepasang
mata Indah Dewi nampak membelalak lebar, sebuah
kebencian yang begitu mendalam nampak menggurat
di wajah yang kemerah-merahan itu.
"Siapa sudi! Daripada aku harus bertemu dengan
laki-laki kasar seperti Lesmana itu, lebih baik aku
mampus....!" teriak Indah Dewi, lalu meronta-ronta.
"Lepaskan totokan terkutuk ini... cepat lepaskan....!"
"Totokan sebentar lagi akan dilepas...! Tapi harap
kau bersikap tenang....!
"Sedari tadi kau mengatakan mau membebaskan
totokan terkutuk sial ini. Tapi mana pelaksanaan-
nya.... jangan-jangan kau merupakan begundalnya
Lesmana!"
"Jangan gegabah, aku bukan suruhannya siapa-
pun... percayalah. Aku hanya seorang pendatang di si-
ni....!"
"Kalau begitu cepat bebaskan totokan ini....?" pe-
rintah Indah Dewi.
"Apakah kau masih ingin membunuh diri....?"
tanya si pemuda merasa sangsi.
"Pemuda ceriwis! Cepat kau bebaskan... aku se-
gera pergi dari daerah ini....!" Tanpa berkata-kata lagi,
Buang Sengketa langsung membebaskan totokan yang
terletak di bagian pergelangan tangan Indah Dewi. Se-
telah merasa terbebas dari totokan itu, selanjutnya
tanpa berkata apa-apa lagi perempuan itupun berlalu
begitu saja. Dari tempatnya berdiri, si pemuda terus
mengawasi langkah perempuan itu, hingga sampai pa-
da akhirnya Indah Dewi pun lenyap dari pandangan
matanya.
"Karena patah hati, perempuan nekad bunuh di-
ri.... ! Tapi ada baiknya kalau kubayangi perempuan
itu dari jarak jauh. Aku merasa begitu yakin sesuatu
pasti bakal terjadi atas dirinya....! gumam Pendekar
Hina Kelana. Akhirnya dengan gerakan yang sangat
ringan, pemuda itupun berkelebat pergi.
***
TUJUH
Udara berkabut mengiringi perjalanan berkuda
yang dilakukan oleh saudagar Legawa dan tujuh orang
pembantu utama. Perjalanan berulang itu dilakukan-
nya sudah hampir tiga minggu lebih. Sejauh itu usa-
hanya untuk mencari putrinya yang dianggapnya telah
dilarikan oleh Andika, masih kelihatan belum ada tan-
da-tanda mendatangkan hasil. Sementara perjanjian
penyitaan harta kekayaan yang akan dilakukan oleh
pihak Katemenggungan hanya tinggal seminggu lagi.
Dapat dibayangkan betapa ruwetnya masalah yang se-
dang dihadapi oleh saudagar Legawa saat itu. Dia su-
dah berpikir andai dalam waktu satu minggu ini sau-
dagar itu tak dapat menemukan Indah Dewi maupun
Andika, sudah pasti semua harta kekayaan yang dimi-
likinya menjadi milik Lesmana. Dalam menghadapi
masalah rumit seperti itu, satu yang tak pernah terpi-
kirkan oleh Legawa, adalah mengenai benar tidaknya
apa yang dikatakan oleh anak Tumenggung Jayeng
Rono. Yang mengatakan bahwa pada saat malam per-
tama istrinya sudah tak memiliki kehormatan lagi. Hal
ini oleh pihak keluarga Tumenggung Jayeng Rono di-
anggap merupakan satu penipuan keji yang tak pantas
dilakukan oleh keluarga kalangan terhormat.
Satu sisi dan merupakan kunci dari maksud-
maksud keji demi untuk mengangkangi harta benda
saudagar itu, telah dilakukan oleh Lesmana. Tapi sia-
pakah yang dapat mengungkap tabir kebusukan yang
sedang dilakukan oleh Lesmana, selain Indah Dewi
sendiri? Hal inilah yang tak pernah disadari oleh sau-
dagar Legawa. Apa yang ada dalam pikiran saudagar
itu adalah bagaimana caranya agar harta bendanya
dapat terhindar dari penyitaan yang akan dilakukan
oleh pihak Katemenggungan? Bagaimanapun caranya
dalam waktu yang hanya tinggal enam hari itu, seda-
pat mungkin dia harus bekerja keras untuk menemu-
kan Indah Dewi, kalaupun nantinya dia berjumpa juga
dengan Andika. Maka dia telah memutuskan untuk
membunuh pemuda itu, bahkan untuk, lebih puasnya
dia akan cincang pemuda itu.
Demikianlah siang itu mereka telah sampai di se-
buah lereng gunung. Udara di daerah itu terasa dingin
menusuk. Namun rombongan Legawa yang sudah dili-
puti perasaan tegang nampak sudah tak menghirau-
kan keadaan seperti itu. Sejenak rombongan berkuda
yang dipimpin langsung oleh Legawa nampak meng-
hentikan laju kuda tunggangan. Berpasang-pasang
mata terus memperhatikan daerah sekitarnya. Tiada
tanda-tanda sesuatu apa pun yang mencurigakan. Me-
reka sudah hampir meneruskan perjalanannya kemba-
li, saat mana saudagar melihat adanya bayangan dua
buah titik dari arah berlawanan menuju ke arah mere-
ka. Legawa menyipitkan sebelah matanya untuk me-
mastikan secara lebih jelas, siapakah adanya dua
orang itu. Karena jarak mereka masih terlalu jauh,
maka Legawa tidak dapat mengenali dengan jelas dua
orang pejalan kaki ini. Selanjutnya sambil memberi
isyarat pada para pembantunya, Legawa memutuskan
untuk menunggu orang-orang itu sampai mendekat
pada posisi mereka.
Setelah berlompatan dari atas punggung kudanya
masing-masing, rombongan berkuda itupun bersem-
bunyi di satu tempat yang agak terlindung. Setelah
menunggu dengan waktu yang agak lama, dua orang
pejalan kaki itu pun sudah dapat dilihat dengan jelas.
Yang seorang merupakan pemuda tampan dengan pa-
kaiannya berwarna merah, sedangkan yang seorang
lagi merupakan seorang perempuan berusia muda
yang pasti sudah sangat dikenal oleh Legawa. Dengan
hati berdebar bercampur rasa amarah, saudagar kaya
raya itu menanti kedatangan mereka.
"Tuan.... orang itu telah sampai! Salah seorang di
antaranya ternyata merupakan putri tuan...!" lapor sa-
lah seorang yang berada begitu dekat dengan saudagar
Legawa.
"Aku telah melihatnya! Kita dapat memulainya
sekarang....!" kata laki-laki setengah umur ini. Lalu
dengan sekali lompat, maka tubuh Legawa dan tujuh
orang lainnya telah mengurung dua orang itu. Orang
yang paling pertama merasa terkejut atas pengepun-
gan itu adalah Indah Dewi. Bahkan di luar kesadaran-
nya dia keluarkan seruan tertahan: "Ayah....!"
"Herrgk....! Anak kurang ajar, bikin sengsara
orang tua...!" sentaknya marah. Lalu dengan sekali
berkelebat. Maka tangan Indah Dewi pun telah berha-
sil dia raih. Pengantin baru itupun meronta, hal ini
hanya membuat Legawa menjadi marah sekali.
"Anak kampret tak tahu diuntung, bisanya hanya
bikin malu orang tua saja....!"
"Tuan..... maafkan aku! Sebenarnya aku bukan
bermaksud mengguruimu, tapi kalau menurut apa
yang dikatakan oleh putrimu. Sebenarnya tuan selama
ini telah keliru dalam memandang sebuah masa de-
pan. Tahukah tuan siapa pemuda yang bernama Les
mana itu?"
"Kurang ajar! Siapakah engkau ini budak hina...?
Mulutmu yang lancang itu begitu beraninya menggurui
manusia terhormat sepertiku...?" Bentak Legawa den-
gan pandangan liar penuh amarah.
"Aku hanya seorang pengembara biasa, tuan!
Hanya secara kebetulan saja aku menemukan putrimu
yang hampir mengakhiri hidupnya secara menyedih-
kan....!" kata Buang Sengketa tanpa bermaksud mele-
bih-lebihkan. Mendengar keterangan si pemuda, sau-
dagar Legawa terbelalak bagai tak percaya. Bagaimana
mungkin? Selama ini dia cukup mengenal bagaimana
perangai anak satu-satunya yang selalu menurut apa
yang diperintahkan oleh orang tuanya. Apa yang dika-
takan oleh pemuda berpakaian kumuh itu sebagai satu
hal yang tak dapat diterima oleh akal sehatnya. Bukan
tidak mustahil pemuda berperiuk itu hanya mengada-
ada.
"Mulutmu tak bisa kupercaya, bocah! Bahkan
aku mulai merasa yakin kaulah yang telah membawa
lari putriku...!"
Buang Sengketa gelengkan kepalanya berulang-
ulang, ketika dia baru akan mengatakan sesuatu, In-
dah Dewi mendahului: "Ayah! Tuduhan ayah tidak be-
ralasan sama sekali. Yang menculikku adalah belasan
orang yang tidak kukenal... tapi kini orang-orang itu
telah tewas di tangan 'Satria Pedang Asmara'......!"
"Satria Pedang Asmara? Siapakah dia....?"
tanya Legawa acuh. Mendengar pertanyaan orang tua-
nya, sudah barang tentu Indah Dewi merasa terpojok.
Masih untung Buang Sengketa tahu membaca gelagat.
Maka tanpa merasa ragu lagi pemuda itupun me-
nyambung: "Satria Pedang Asmara adalah seorang sa-
habatku dari Lembah Patah Hati....!" saudagar Le-
gawa terdiam, sebentar-sebentar memandang tajam
pada si pemuda, namun di saat lain beralih pula pada
putri tunggalnya. Dalam hati mungkin laki-laki seten-
gah baya ini dapat menerima semua penjelasan pemu-
da maupun putrinya sendiri. Tapi manakala dia terin-
gat tentang ancaman Tumenggung Jayeng Rono dan
keselamatan harta bendanya. Maka rasa percaya itu-
pun lenyap begitu saja. Kini dengan pandangan tajam,
ditatapnya wajah putrinya. Lalu sebuah pertanyaan
yang tiada terduga-duga oleh Indah Dewi pun me-
nyambutnya bagai sebuah tamparan yang sangat ke-
ras:
"Menurut Lesmana! Kau... kau telah kehilangan
kehormatanmu saat malam pertama?" tanya saudagar
Legawa dengan suara bergetar karena menahan berba-
gai goncang-an jiwa yang begitu hebat. Bukan saja In-
dah Dewi yang berubah parasnya demi mendengar
ucapan itu, namun juga si pemuda merasa tak enak
hatinya.
"Dusta. Anjing Lesmana merupakan laki-laki bi-
adab, iblis berkedok manusia yang pantas untuk di-
cincang....!" teriak Indah Dewi histeris. "Dia bukan la-
ki-laki baik. Bahkan lebih pantas kalau disebut seba-
gai seorang pemerkosa. Aku diperlakukannya tak lebih
dari pada seekor hewan. Tapi tak mengapa agar ayah
dan ibu menjadi puas. Tapi ayah! Aku juga bukan pe-
rempuan bodoh, aku tahu dengan segala rencana li-
ciknya. Dia bermaksud untuk mengangkangi semua
harta kekayaanmu, bahkan bajingan anak tumeng-
gung terhormat itu kuketahui telah bekerja sama den-
gan puluhan tokoh golongan hitam. Manusia terhor-
mat seperti itukah yang kau inginkan menjadi mantu-
mu ayah?" tukas Indah Dewi hampir putus asa.
"Dewi! Mulutmu terlalu berlebihan....! Dapatkah
kau pertanggungjawabkan apa yang kau katakan
itu...?"
"Huh....! Semua yang telah kukatakan itu sudah
pasti dapat kupertanggungjawabkan. Lesmana bilang
pada ayah, pada saat itu aku sudah tiada memiliki ke-
hormatan lagi, sebagai bukti atas kelicikannya akan
kujawab dengan ini...!" Berkata begitu Indah Dewi
mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Benda
yang dikeluarkan oleh Indah Dewi kiranya hanya me-
rupakan sobekan kain berwarna putih bersih, tapi pa-
da kain itu terdapat sebuah noda merah bekas sisa-
sisa darah yang telah mengering. Semua orang yang
berada di tempat itu pasti mengetahui makna yang
terkandung dalam kata-kata putri saudagar Legawa.
Tak lain darah yang melekat pada kain berwarna putih
itu adalah darah kehormatan seorang gadis.
"Masihkah ayah tak percaya dengan apa yang te-
lah kuperbuat ini! Lesmana ternyata memang manusia
licik. Tapi hanya ayah dan ibu saja yang kena dilici-
kinya....!"
"Kurang ajar!" geram Legawa dengan rahang ter-
tutup rapat. "Aku hampir saja tertipu mentah-mentah!
Tapi... bagaimana ini? Keluarga Katemenggungan pasti
tak mau terima begitu saja, Tumenggung Jayeng Rono
adalah orang yang paling sayang pada putranya. Su-
dah pasti dia pun tak mungkin mau percaya dengan
bukti-bukti dari pihak keluarga kita?" kata Legawa ha-
rap-harap cemas.
"Apakah mereka akan menyita kekayaan milik-
mu, tuan...?" tanya Pendekar Hina Kelana begitu ber-
hati-hati.
"Begitulah kenyataan yang akan terjadi...,?" de-
sah saudagar gila kehormatan itu dengan suara ham-
pir-hampir tak terdengar.
"Dan tuan merasa tak kuasa mencegah maksud-
maksud mereka....?" tanyanya lagi secara lebih jauh.
"Aku hanya seorang bekas murid perguruan. Status ku yang sekarang cuma seorang saudagar yang
hanya mampu menghitung laba-rugi. Kalau pun aku
membangkang, mereka memiliki sejumlah pengawal
yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi. Oh... da-
sar nasib mau bangkrut. Pasti ada-ada saja penyebab-
nya.....!"
"Masih banyak jalan untuk mencegah tindakan
yang sewenang-wenang itu, tuan....!" ujar Buang Seng-
keta seperti memberi harapan. Kata-kata pemuda ber-
pakaian kumuh itu, sudah tentu menarik perhatian
saudagar Legawa yang memang tidak menginginkan
hartanya tersita begitu saja.
"Kalau aku sanggup membantu dalam me-
nyelesaikan persoalanmu itu, apakah kau bersedia
memberiku satu imbalan sesuai dengan apa yang
kuinginkan, tuan...?" pancing si pemuda.
"Apakah kau bisa diandalkan dalam me-
nyelesaikan masalah yang sedang kuhadapi sekarang
ini....?"
"Mungkin aku mampu.....!" saudagar Legawa ter-
senyum mencemooh: "Tahukah kau siapa yang bakal
kuhadapi itu?"
"Aku tahu....!"
"Kalau hanya bersipat untung-untungan, pasti
kau juga sudah mengerti bagaimana akibat yang di-
timbulkannya andai usaha itu sampai gagal....!" ujar
laki-laki setengah baya itu serius.
"Tumenggung pasti akan menggantung kita se-
mua....!" saudagar Legawa nampak angguk-anggukkan
kepalanya.
"Betul! Tiang gantungan pasti menunggu kita!
Kalau kau sudah mengetahuinya, masih jugakah kau
membantuku?"
"Sudah kukatakan, aku tetap akan mem-
bantumu....!" kata pemuda itu pasti.
"Kalau begitu, coba katakan apa keinginanmu
itu?"
"Aku tak bisa mengatakannya sekarang, tapi
nanti andai semuanya telah kukerjakan dengan baik,
aku baru mengatakan keinginanku itu...!" Lagi-lagi,
Legawa anggukkan kepala tanda setuju. Tak berapa
lama setelahnya dia memberi perintah pada pemban-
tunya untuk mengambil kuda yang sengaja mereka
sembunyikan tak begitu jauh dari tempat mereka be-
rada.
"Waktu yang tersisa, lebih kurang hanya tinggal
enam hari lagi. Kita masih mempunyai kesempatan
untuk menyusun semua rencana yang cukup penting.
Untuk itu alangkah baiknya kalau sekarang ini kita
berangkat menuju rumah kediamanku...!"
Selanjutnya berangkatlah rombongan berkuda itu
dengan disertai oleh Buang Sengketa dan Indah Dewi
menuju ke tempat tinggal saudagar Legawa yang ja-
raknya kira-kira setengah hari perjalanan berkuda.
***
DELAPAN
Dalam gelapnya malam, pemuda berwajah totol-
totol itu nampak berjalan meleng-gang. Tubuhnya yang
bertelanjang dada telah pula basah dengan tetesan-
tetesan embun malam. Sepintas lalu dia seperti tidak
merasakan dinginnya angin malam yang terasa meng-
gigit. Entah apa yang dicarinya di sekitar tempat itu,
yang pasti sepasang matanya yang selalu member-
sitkan kehampaan itu memandang nanar pada situasi
di sekelilingnya. Matanya terus mencari-cari dalam ke-
gelapan malam yang tiada berbintang itu. Lalu ketika
sudah sampai di sebatang pohon yang cukup besar,
dengan gerakan seringan kapas.
"Heeuuup! Teep....!"
Sekali berkelebat tubuhnya telah mendarat di
atas ranting pohon yang besarnya tak lebih dari pang-
kal lengannya sendiri. Sama seperti apa yang dilaku-
kannya ketika berada di bawah tadi. Kali inipun dia
memandang ke arah sekitarnya.
"Kalau kuhitung-hitung, berbagai komplotan
yang ada jumlahnya lebih dari tujuh kelompok. Tapi
mereka memiliki satu ketua yang mereka sendiri tak
mengenalnya. Mengherankan? Mungkin orang yang
disebut-sebut sebagai ketua itu adalah orang berselu-
bung topeng yang kukejar-kejar tempo hari. Dan pe-
muda berkuncir itu sekarang ini telah pula bergabung
dengan saudagar Legawa! Aku jadi curiga padanya,
yang ku tahu dia mulai terlibat dalam urusanku. Seka-
li waktu aku ingin menjajal seberapa hebatnya kepan-
daian yang dimilikinya...!" batin Andika tersenyum si-
nis.
"Tapi... hehh....! Ada baiknya kalau kuselesaikan
pekerjaanku yang satu ini! Aku mulai curiga ada ka-
langan tertentu yang turut terlibat secara tak langsung
dalam berbagai kejahatan yang terjadi. Orang-orang
katemenggungan, itu mungkin saja!" Pemuda berwajah
totol-totol itu nampak memanjat dahan pohon lebih
tinggi lagi, setelah sampai di ujung dahan yang beru-
kuran sangat kecil dia pun berhenti di situ.
"Heh....!" Sepasang mata si pemuda membelalak
dalam keterkejutannya: Pandangan matanya kemudian
tertumpu pada satu arah.
"Tadi aku tidak melihat adanya cahaya lantera di
sana! Tapi sekarang cahaya itu ada? Aku yakin orang-
orang yang tadi sore itu kutemui di pinggiran hutan ini
pastilah ada sangkut pautnya dengan lentera itu!
Alangkah lebih baik lagi kalau kudekati saja mere-
ka....!"
"Heeiiit....!"
Dari atas pohon yang cukup tinggi itu, tubuh An-
dika nampak melayang laksana terbang. Kemudian di
sela-sela ranting pohon lainnya, tubuh pemuda wajah
totol-totol itu berkelebat ringan. Semakin lama jarak
antara lantera dengan dirinya semakin bertambah de-
kat. Sampai pada akhirnya semuanya terlihat dengan
jelas.
"Ha...!" Pemuda berwajah totol-totol itu belalak-
kan matanya. Sekawanan orang-orang bercadar hitam
nampak mengerumuni sebuah pelita yang berukuran
cukup besar. Dalam kesunyian malam itu, terdengar
pula suara gumaman yang tak begitu jelas. Sepertinya
bagai orang yang sedang memanjatkan doa. Yang
membuat Andika keheranan adalah karena hampir se-
luruh wajah bercadar itu nampak coreng moreng hing-
ga sulit untuk membedakan antara yang satu dengan
yang lainnya. Andika menjadi tertarik untuk menyak-
sikan kejadian selanjutnya.
"Aku harus tahu apa yang sedang mereka laku-
kan di tempat ini!" Batinnya.
Sang waktu berlalu bagaikan roda pedati, semu-
anya terjadi begitu lambat. Orang-orang bercadar den-
gan jubah hitamnya yang menjela sampai menyentuh
tanah. Kiranya terdiri dari kaum laki-laki dan wanita.
Andika terus menanti dengan sabar namun hati sedikit
tegang. Detik berikutnya, di antara kerumunan orang-
orang bercadar hitam yang mengelilingi lantera itu.
Nampak menyeruak sosok tubuh ramping, sama seper-
ti yang lain-lainnya. Orang itupun pada bagian wajah-
nya coreng moreng dipenuhi angus. Sembari mena-
dahkan kedua tangannya ke atas, lalu terdengarlah
suaranya yang halus dan kecil. Pemuda wajah totol
totol itu dapat memastikan tubuh ramping yang berdiri
tegak dekat lantera itu pastilah seorang wanita:
Kepada mambang dan peri yang tinggal di atas
batu
Kepada iblis yang berkuasa atas pohon-pohon ke-
hidupan
Hadirkan di tengah-tengah kami seorang pemim-
pin
Atas jiwa-jiwa yang patah tak bersemangat
Dewa asmara dan dewi surga
Bimbinglah.....
Kami dari kegelisahan yang panjang
Di sini orang-orang tersisih dan disisihkan berada
Hadirkan seorang pemimpin pada jiwa yang sama
Kami mendambakan kehadirannya selalu
Kami yakin atas kedatangannya....
Dia telah begitu dekat
Dan dekat sekali
Pada jiwa yang patah yang hampir putus asa
Kehadirannya membawa sebilah pusaka Pedang
Asmara
Dari Lembah Patah Hati dia berasal
Sang pemimpin yang kami damba....
Jurus Pedang Asmara tingkat pembuka
Ditinggal Kekasih awal dari kematian
Menanti Kekasih Tak Kunjung Datang adalah luka
tanpa darah
Hidup Hampa kehidupan yang ada musnah tanpa
karena....
Bergidik bulu kuduk Andika demi mendengar ka-
ta-kata yang diucapkan oleh perempuan bercadar yang
diikuti oleh kawan-kawannya yang lain. Saat itu dia
masih menyadari apa yang disebut-sebut oleh mereka
tak lain merupakan dirinya sendiri. Siapa lagi orang
yang berasal dari Lembah Patah Hati dengan memba-
wa Pedang Asmara dan empat jurus Pamungkasnya
terkecuali dirinya sendiri. Andika memang sedang be-
rada di persimpangan jalan kebimbangan saat itu.
Mengikuti suara hati kecilnya dia sudah bertekad, wa-
lau pun dia pernah dilanda sakit hati dan dendam, dia
bertekad untuk tetap berada pada jalan yang lurus.
Namun pada saat yang, sama suara bisikan-bisikan
lain yang begitu berpengaruh terus datang menggoda.
Bahkan semakin lama bisikan-bisikan gaib itu terasa
menguasai jiwanya.
"Kau adalah pemimpin kami Satria Pedang Asma-
ra! Kehadiranmu benar-benar dibutuhkan oleh orang-
orang segolongan dengan dirimu.... Kau adalah pe-
mimpin yang tiada tanding. Jadilah pemimpin kami,
dan kau akan memperoleh segala-galanya. Jadilah...
karena sorga itu ada pada mereka....!" kata suara gaib
itu semakin terasa mengusik hatinya. Bagai dihipnotis,
Andika merasa tergetar hatinya. Tanpa disadarinya, ib-
lis mulai bercokol di dalam hati si pemuda. Sebuah
kebenaran yang berusaha dia pertahankan selama ini
musnah begitu saja. Mulai detik itu, jiwa angkara
murkalah yang memegang kendali di atas hati nurani.
"Sang pemimpin. Mengapa musti sung-kan-
sungkan dan bersembunyi di tempat itu? Kami sejak
lama sering mendambakan kehadiranmu. Setelah kini
kau datang, cepatlah mendekat. Kami segera meng-
hormatimu....!" kata perempuan bercadar dengan wa-
jah coreng moreng ini sambil melirik ke satu arah di
mana Andika bersembunyi. Sepasang mata Andika
yang selalu menatap hampa itu nampak berkilat-kilat.
Seluruh pembuluh darahnya menegang. Kata demi ka-
ta yang diucapkan oleh perempuan bercadar dengan
jubah hitamnya yang menjela-jela sampai menyentuh
tanah itu memang benar-benar mengandung kekuatan
gaib yang sangat tinggi. Suara itu memang mampu
mempengaruhi hati siapa saja, tak terkecuali hati An-
dika sendiri.
Beberapa detik kemudian tanpa merasa ragu lagi,
pemuda berwajah totol-totol itu menyeruak dari tempat
persembunyiannya. Kemunculan Andika membuat
orang-orang yang sedang berada di tempat itu nampak
menjatuhkan diri. Wajah mereka berada di atas per-
mukaan tanah. Ini adalah satu penghormatan pertama
bagi kelompok pemuja setan buat Andika yang selalu
mereka sebut-sebut sebagai seorang pemimpin. Sema-
kin bertambah dingin saja tatapan mata si pemuda, di
luar dugaan pemuda itu. Perempuan bercadar yang se-
jak tadi memimpin upacara itu dari arah belakang
langsung kirimkan satu pukulan jarak jauh yang begi-
tu dahsyat.
"Buuees....!"
Orang-orang yang tadinya menghaturkan sembah
atas kehadiran Andika, sekarang lenyap begitu saja.
Pemuda wajah totol-totol ini sudah barang tentu men-
jadi keheranan. Tapi sebelum rasa keheranannya itu
lenyap. Andika merasakan adanya sambaran angin
yang sangat dingin menyengat bagian punggungnya.
Pemuda itu mengempos tubuhnya, bagai karet yang
sangat lentur. Tubuh pemuda bertelanjang dada itu-
pun melenting ke udara. Pukulan yang dilepas oleh si
jubah hitam bercadar dengan wajah coreng moreng
itupun luput. Tapi pukulan lain yang dilepas oleh si
tubuh ramping menyusul mengikuti bergeraknya tu-
buh si pemuda. Geram bercampur marah, Andika ke
luarkan tawa berkepanjangan. Pemuda wajah totol-
totol itu hantamkan tangan kirinya dengan gerakan
menepis. Serangkum gelombang yang menimbulkan
rebawa aneh menyambut pukulan yang dilepaskan
oleh perempuan bercadar.
"Duuumm....!"
Satu ledakan yang sangat keras terasa menggun-
cang jagat. Tubuh si wanita terlempar, tapi dengan ge-
rakan yang begitu indah dia bersalto beberapa kali, se-
hingga dengan mulus pula perempuan wajah coreng
moreng itu dapat mendaratkan kakinya tanpa terlihat
goyah sedikit pun.
"Hebaat....!" terdengar satu seruan memuji. Na-
mun sebaliknya pemuda wajah totol-totol itu kelua-
rkan suara mendengus. Menandakan bahwa hatinya
sedang terbakar kemarahan. Detik itu, perempuan
bercadar telah pula membangun sebuah serangan
yang lebih gencar lagi. Agaknya dia ingin menguji sam-
pai di mana kemampuan yang dimiliki oleh si pemuda
yang mereka anggap sebagai pemimpin.
"Ciaaat....!"
Serangkum gelombang pukulan yang menimbul-
kan suara menggemuruh dengan menerbangkan batu
pasir dan kerikil datang menggebu. Andika merasakan
rasa dingin yang sangat luar biasa menyergap tubuh-
nya.
"Aha... ha... ha...! Keluarkan segala kemampuan
yang kau miliki...!" Terdengar suara teriakan yang begi-
tu keras. Kemudian disusul dengan lantunan kata-
kata yang tak ubahnya bagai sebuah syair: "Lihatlah
betapa sunyi malam yang datang membelenggu. Di ca-
krawala kelam, tiada berbintang. Aku terlunta-lunta
dalam kabut badai asmara. Orang-orang pun mencaci
maki atas kehadiranku. Sosok tubuh muda lemah tan-
pa daya, terseok-seok menjauh membawa sebuah luka.
Duka di atas luka yang menyakitkan: Adalah masa la-
luku yang hitam pekat. Orang-orang terkucil, rintihan
menghiba. Kini tiada lagi! Inilah sosok tegar yang da-
tang bersama Pedang Asmara, tuk mencabik-cabik
kemunafikan tradisi....Haaat.....!"
"Siiiing.....!"
Dalam kegelapan malam itu, pukulan 'Kabut Bi-
ru' yang telah dilepaskan oleh si perempuan bercadar,
menjadi buyar seketika itu juga, saat mana Pedang
Asmara di tangan Andika berkelebatan, menggulung
apa saja yang berada di sekelilingnya. Tak terkecuali
pohon-pohon yang berada di sekitar tempat pertarun-
gan. Nampak memperdengarkan suara berderak-derak,
bertumbangan.
Nampaknya pedang yang telah tercabut dari sa-
rungnya ini tidak ingin berhenti sampai di situ saja.
Sambil terus memperdengarkan suara mendengung
Pedang Asmara terus memburu ke arah lawannya. Si
perempuan bercadar, wajah coreng moreng merasa
keadaan itu andai terus dibiarkan maka sulit di-
bayangkan akibatnya. Bagaimanapun apa yang dila-
kukannya adalah hanya bersifat menguji kebenaran
wangsit yang telah diterimanya lewat tapa. Dan seka-
rang setelah mengetahui segala-galanya, sudah pasti
dia tidak menginginkan pertarungan itu berlanjut.
"Hiaaat....!"
Dengan gerakan ilmu mengentengi tubuh yang
sudah mencapai taraf sempurna, perempuan wajah co-
reng moreng itu nampak me-lompat ke salah sebatang
pohon. Andika memburunya dengan membabatkan
senjatanya ke batang pohon tersebut. Pohon yang
menjadi tumpuan bagi perempuan bercadar untuk
mencari kesempatan bicara tumbang. Si Tubuh Ramp-
ing Jubah menjela berpindah ke pohon lainnya.
"Satria Pedang Asmara....!" kata si perempuan
wajah coreng moreng dengan mengerahkan segenap
kekuatan batinnya. "Sarungkan kembali Pedang Asma-
ra... dia tak akan mau menghirup darah orang-orang
yang senasib denganmu. Cepatlah sarungkan....!" pe-
rintah si cadar Hitam begitu berpengaruh. Andika se-
pertinya menuruti apa yang diperintahkan oleh si pe-
rempuan wajah coreng moreng. Anehnya Pedang As-
mara yang biasanya sulit dimasukkan ke dalam rang-
kanya sebelum menghisap darah korbannya. Tapi saat
itu dapat dikembalikan ke dalam rangkanya begitu sa-
ja. Setelah memasukkan pedang itu pada wadahnya.
Laki-laki wajah totol-totol itu nampak memandang ta-
jam pada perempuan jubah menjela yang saat itu telah
berdiri tegak di hadapannya.
"Siapakah engkau ini....?" tanya Andika semakin
bertambah dingin.
"Aku Peri Lingga yang mewakilimu selama ini....!"
"Wakil....?!" tanya Andika dengan wajah membe-
lalak.
"Ya... aku adalah wakilmu di sini...!" jawab pe-
rempuan itu.
"Jadi aku ini apamu....?" tanya Andika dalam ke-
bingungannya.
"Kau adalah pemimpin kami! Yang memiliki hak
penuh atas diri perempuan dan laki-laki itu....!" kata
Peri Lingga sambil menunjuk ke satu arah yang mem-
bentuk sebuah gua yang memiliki cahaya terang ben-
derang.
"Bagaimana mungkin kau secara tiba-tiba me-
nyebutku sebagai pemimpin. Sedangkan aku sendiri
tak mengenal siapakah diri kalian...?' tanyanya lagi
dengan hati diliputi rasa ketidakmengertian.
"Wangsit dalam tapaku menyebutkan ciri-ciri
yang kau miliki. Anda pasti berasal dari Lembah Patah
Hati. Di sana anda mempelajari jurus-jurus pedang
yang tertulis pada dinding gua. Kemudian anda mene-
mukan sebuah kuburan yang sudah sangat tua. Di
atas kuburan itu terdapat sebuah pedang Asmara yang
sekarang ini menggelantung di punggung ketua....!" je-
lasnya begitu lancar. Sudah barang tentu Andika me-
rasa heran dengan apa yang dikatakan oleh si wanita.
Bagi dirinya perempuan wajah coreng moreng itu, tak
ubahnya bagai seorang ahli nujum yang mengetahui
segala perjalanan masa lalunya.
"Apa yang dapat kulakukan buat kalian...?" tanya
Andika dalam kepolosannya. Yang ditanya hanya ter-
senyum, dan keluarkan suara gumaman yang tidak
begitu jelas.
"Pimpinlah kami dalam satu kemenangan. Aku
berkeyakinan anda memiliki kemampuan yang tidak
mungkin dapat dikalahkan oleh orang lain. Kekece-
waan yang ketua alami dan juga seperti apa yang dira-
sakan oleh orang-orang di sini, satu saat kelak pasti
dapat membangkitkan sebuah kemenangan di pihak
kita....?" kata Peri Lingga merasa begitu yakin.
"Ha... ha... ha...! Hidup menjadi orang baik-baik
saja orang masih selalu usil. Martabat begitu rendah
nilainya dari harta yang menyilaukan. Kepalang tang-
gung, kehancuran rasanya masih belum seberapa!
Bersatu dengan orang-orang senasib mungkin bagiku
lebih baik untuk menghilangkan duka lama....!" kata
pemuda itu seperti pada dirinya sendiri.
"Aku merasa kagum dengan semangat ketua.
Kami pasti akan mendukung segala rencana yang tuan
kehendaki....!" Dengan kaku, Andika menganggukkan
kepalanya.
"Aku jadi ingin melihat orang-orang yang senasib
denganku ke dalam gua yang kau maksudkan....!"
"Dengan senang hati aku akan mengantarnya....!"
Selanjutnya kedua orang itu berjalan menuju arah pintu gua. Tak sampai sepemakan sirih mereka pun telah
memasuki ruangan gua yang dihias sedemikian rupa.
Begitu Andika menginjakkan kakinya ke dalam ruan-
gan itu. Maka orang-orang yang berada di dalam ruan-
gan itu langsung memberi penghormatan pada Andika
dengan diiringi teriakan: "Selamat datang pemimpin
yang baru. Kami orang-orang yang senasib dengan-
mu....!" kata mereka secara hampir bersamaan.
"Hemmm....!" Andika kembali bergumam dengan
suara hampir-hampir tak terdengar.
"Acara pesta peresmian diangkatnya ketua sejati
sebentar lagi akan kita mulai. Segala sesuatunya telah
tersedia di ruangan tengah. Ketua....!" ujar Peri Lingga
memandang genit pada Andika. "Mari kita ke ruangan
sana....!" Tanpa berkata-kata lagi, Andika dan Peri
Lingga melangkah ke ruangan lain. Sementara bebera-
pa orang berjubah hitam bercadar dengan muka co-
reng moreng mengiringi mereka dari belakang. Tak la-
ma kemudian sampailah mereka di ruangan tengah.
Ruangan itu memiliki sebuah meja yang terbuat dari
batu mar-mar putih yang berukuran sangat panjang.
Di atas meja itulah terhidang berbagai macam buah-
buahan segar, dan berbagai jenis daging panggang
yang menyebarkan bau gurih dan menimbulkan selera
untuk dicicipi.
Andika tiada menghiraukan hidangan-hidangan
yang berbagai jenis itu. Sebaliknya dia merasa begitu
tertarik dengan jubah hitam yang terlipat rapi dan ter-
letak di atas sebuah nampan yang terbuat dari bahan
tembaga.
"Ketua harus mengenakan jubah yang sama se-
perti kami....!" kata Peri Lingga seperti dapat menebak
apa yang ada dalam pikiran Andika. Dua orang berca-
dar hitam tanpa diperintah, langsung melangkah men-
gambil jubah yang terletak di atas nampan itu. Selanjutnya kembali lagi dengan membawa jubah itu. Peri
Lingga menerima jubah itu dan langsung mengenakan
jubah kebesaran itu pada Andika. Jubah berwarna hi-
tam dengan sulaman putih bergambar daun Waru
yang ditusuk anak panah. Nampak begitu serasi den-
gan bentuk tubuh Andika yang kekar berotot.
"Bagus! Anda memang pantas menjadi pimpinan
kami...?!" kata Peri Lingga dan lain-lainnya berseru
memuji.
"Sekarang saatnya untuk merayakan pengangka-
tan ini dengan pesta yang telah tersedia....!" Setelah
berkata begitu, maka pesta pengangkatan ketua kaum
senasib itupun segera berlangsung dengan sangat me-
riah sekali. Tapi tiada suara tawa dan canda. Karena
sesungguhnya mereka adalah segolongan orang-orang
yang pernah menderita kekecewaan yang sangat berat.
***
SEMBILAN
Halaman rumah Katemenggungan saat itu dipe-
nuhi dengan prajurit bersenjata lengkap. Kuda-kuda
tunggangan pun telah dipersiapkan sedemikian rupa.
Demikian pula dengan kereta kuda pengangkat harta
sitaan milik saudagar Legawa. Di dalam ruangan yang
sangat besar, Tumenggung Jayeng Rono para pemban-
tu serta pejabat penting lainnya. Nampak sedang ber-
bincang-bincang dengan para pembantu-pembantunya
itu. Tidak terlihat kehadiran Lesmana di sana. Kenya-
taannya memang sudah hampir tiga hari putra tunggal
Tumenggung Jayeng Rono tak kembali dari bepergian
yang tidak diketahui arah dan tujuannya.
"Aku berharap, semuanya dapat diselesaikan
dengan baik. Penyitaan ini adalah untuk yang ketujuh
kalinya buat orang yang telah begitu berani membuat
malu keluargaku. Sayang... Lesmana pada saat hari
penentuan ini tidak kunjung pulang. Entah kemana
saja perginya putraku itu....!"
"Tapi menurut tetua Tumenggung, apakah ren-
cana ini harus diundur menunggu kepulangan den
Lesmana....?" tanya laki-laki berbelangkon dengan se-
bilah keris terselip di bagian punggungnya.
"Paman Jelatu...? Tak pernah ada sejarahnya pe-
kerjaan Katemenggungan tertunda hanya karena uru-
san kecil yang begitu sepele.....!"
"Hamba sependapat dengan tetua Tumenggung
Jayeng Rono....!" sahut laki-laki berbadan kecil, berku-
lit langsat dengan rambut jarang-jarang itu mendu-
kung.
"Tapi bagaimana seandainya nanti, saudagar Le-
gawa menolak keputusan yang telah berlaku....?" Yang
bertanya adalah seorang laki-laki muka lonjong mata
sipit, yang dalam kalangan persilatan lebih dikenal
dengan julukan si Tapak Api. Tumenggung Jayeng Ro-
no nampak tersenyum dikulum. Satu demi satu diper-
hatikannya wajah para pembantunya. Tak ada tanda-
tanda mencurigakan terkecuali sebuah kesetiaan.
"Saudagar Legawa tak mungkin punya kekuatan
untuk menolak semua keputusan yang ada. Justru dia
harus menyadari bahwa akan fatal akibatnya bila co-
ba-coba bermain api dengan seorang pembesar....! Nah
sekarang berangkatlah kalian! Semuanya kupercaya-
kan pada Uwa Senggerono, Paman Jelatu dari Paman
Tapak Api....!"
"Titah tetua akan kami laksanakan dengan
baik....!" jawab orang-orang itu hampir berbarengan.
Tak begitu lama kemudian, berangkatlah iring-iringan
kuda itu meninggalkan halaman rumah mewah Katemenggungan. Tumenggung Jayeng Rono hanya men-
gantar iring-iringan berkuda itu hanya sampai di se-
rambi depan rumahnya. Setelah iring-iringan berkuda
itu lenyap, Tumenggung Jayeng Rono nampak me-
nyunggingkan seulas senyum yang hanya dia sendiri-
lah yang mengetahui maknanya.
Waktu terus berlalu tanpa terasa, roda kehidu-
pan pun berputar sebagaimana mestinya. Menjelang
tengah hari, sampailah rombongan berkuda itu di ha-
laman rumah saudara Legawa. Namun begitu melihat
orang-orang saudagar Legawa yang bersenjata lengkap,
nampaknya mereka menyadari bahwa saudagar itu ti-
dak mau menerima keputusan yang telah dibicarakan
beberapa minggu yang lalu. Suasana runyam seperti
itu, sudah pasti mengundang ketegangan di kedua be-
lah pihak. Namun ketegangan itu agak mereda ketika
tidak begitu lama kemudian, saudagar Legawa muncul
bersama Buang Sengketa dan Indah Dewi.
"Kami datang menjalankan perintah ketua Tu-
menggung Jayeng Rono....!" kata Senggerono begitu
melihat kehadiran Legawa.
"Kedatangan kalian dengan kereta pembawa har-
ta, sudah pasti ingin menyita semua harta benda yang
kami miliki....!" tukas saudagar Legawa langsung pada
pokok persoalan.
"Hal itu sudah pernah dibicarakan pada waktu
sebelumnya.....!" Yang menyahut adalah laki-laki ber-
kumis tebal bernama Jelatu.
"Tapi kini segalanya telah berubah. Penyitaan di-
anggap batal, karena Lesmana ternyata telah menye-
barkan berita bohong....!" sengat saudagar Legawa
dengan wajah merah padam. Ucapan Legawa yang be-
gitu keras sudah barang tentu membuat kaget orang-
orang dari Katemenggungan. Mereka beranggapan
saudagar Legawa sengaja memutar balikkan fakta un
tuk menggagalkan penyitaan yang dilaksanakan pada
hari itu.
"Kau hendak menghindari ketentuan yang telah
sama-sama disepakati oleh kedua belah pihak....!" ben-
tak Senggerono dengan pandangan berapi-api. Sauda-
gar Legawa geleng-gelengkan kepalanya berulang-
ulang.
"Sama sekali tidak! Andai kebenaran cerita Les-
mana memang dapat dia pertanggungjawabkan, sudah
pasti aku akan mematuhi segala ketentuan yang ber-
laku. Aku bicara berdasarkan bukti. Dan anakkulah
yang mengatakan tentang kelicikan-kelicikan yang di-
lakukan oleh Lesmana....!" ucap Legawa Sambil me-
nunjuk ke arah putrinya. Sejenak orang-orang utusan
Katemenggungan itu nampak saling pandang sesa-
manya. Kemudian mereka pun tanpa diminta segera
berlompatan dari punggung kuda masing-masing.
"Apa yang akan dikatakan oleh putrimu, sauda-
gar Legawa....?" bentak si Tapak Api yang sejak tadi
hanya diam saja melihat perdebatan itu. Indah Dewi
tanpa diminta, maju dua langkah ke depan. Dari ca-
ranya memandang, jelas dia merasa tak senang dengan
kehadiran orang-orang Katemenggungan ini.
"Lesmana anaknya Tumenggung Jayeng Rono
yang terhormat itu, sebenarnya lebih pantas bila diju-
luki si bajingan pemerkosa. Begitu kasarnya dia me-
lampiaskan nafsu bejatnya pada orang yang telah men-
jadi istrinya. Tiada kemesraan, terkecuali sikap kasar
saat dia memaksaku untuk melayaninya. Dan ketika
segala-galanya telah dia renggutkan. Bajingan itupun
masih begitu tega memutar balikkan fakta! Katemeng-
gungan berisi manusia-manusia keparat yang harus
dibasmi....!" teriak Indah Dewi, sambil menangis dan
menjerit-jerit. Gadis itu berlari-lari meninggalkan
ayahnya.
Ucapan Indah Dewi sudah pasti membuat utusan
Tumenggung Jayeng Rono menjadi, ragu-ragu. Sung-
guh pun Tumenggung Jayeng Rono tidak dapat menge-
tahui secara pasti tentang prilaku putranya di luaran
sana. Namun sebagai abdi yang selalu banyak mela-
kukan kesibukan di luaran sana, sudah barang tentu
sedikit banyaknya mereka hapal dengan perangai Les-
mana yang sering bertingkah macam-macam itu. Begi-
tupun demi menjalankan tugas atasan, mereka tetap
tak mau menerima kenyataan yang ada.
"Kiranya selain tidak menepati janji. Engkau pun
coba-coba menyebarkan fitnah!" Bentak Jelatu.
"Tunggu apa lagi! Ringkus mereka....!" perintah
Tapak Api. Pada saat yang sangat menegangkan itu,
tubuh Buang Sengketa telah berkelebat menghadang.
"Berhenti....!" bentak Pendekar Hina Kelana den-
gan disertai tenaga dalam. Sehingga membuat mereka
yang hadir di situ menjadi sangat terkejut.
"Eeh... siapa pula kau ini, manusia berpakaian
gembel....!"
"Kuperingatkan pada kalian untuk tidak mengo-
tori tempat ini dengan darah!" kata si pemuda tanpa
menghiraukan pertanyaan Senggerono.
"Kurang ajar. Kau telah begitu berani mencampu-
ri urusan Katemenggungan? Tahukah kau apa akibat-
nya....! geram si Tapak Api.
"Kalau perintah atasan kalian itu mengandung
sebuah kebenaran, sudah barang tentu, siapapun tak
ada yang berani turut campur. Tapi karena perintah
Tumenggung-mu hanya berisikan sebuah kelicikan,
maka aku akan menghalanginya....!" jawab pendekar
ini begitu ketus.
"Kurang ajar. Perbuatanmu itu benar-benar tak
dapat kami maafkan....!"
"Serbuuu....!" perintah Jelatu, lalu menerjang kedepan dan langsung menyerang Buang Sengketa den-
gan jurus-jurus yang sangat berbahaya sekali. Pertem-
puran besar pun tanpa dapat dicegah meletus, denting
beradunya senjata tajam dengan disertai jeritan-jeritan
histeris bergema. Bahkan Legawa sendiri saat itupun
sudah nampak mulai terlibat dalam pertempuran. La-
wan yang dihadapinya adalah Jelatu, laki-laki tinggi
kurus dengan blangkon berwarna hitam. Begitu berge-
rak, saudagar kaya itu langsung mencabut senjatanya
yang berupa sebilah pedang berwarna kuning. Semen-
tara Jelatu menghadapinya dengan sebuah keris tipis
yang memiliki gagang panjang hampir dua meter.
Di sisi lain, prajurit-prajurit Katemenggungan
nampak sedang berhadapan dengan pembantu setia
saudagar Legawa. Jumlah pembantu yang memiliki
kepandaian lumayan itu tak lebih dari sepuluh orang.
Sedangkan di pihak prajurit Katemenggungan jumlah-
nya mencapai dua puluh orang. Masing-masing mere-
ka bersenjata lengkap. Andai saja saat itu Indah Dewi
tidak turun membantu, sudah dapat dipastikan dalam
beberapa jurus di muka. Para pembantunya Legawa
sudah kena didesak. Namun dengan turunnya Indah
Dewi ke gelanggang pertarungan, gadis yang hanya da-
lam waktu singkat mendapat gemblengan dari pende-
kar Hina Kelana itu, mampu membendung sepak ter-
jang prajurit-prajurit Katemenggungan yang rata-rata
sudah berpengalaman dalam peperangan.
Yang merasa gelisah dalam pertarungan itu ada-
lah pendekar Hina Kelana. Sebab, walau bagaimana-
pun dia menyadari, tiga orang lawannya merupakan
musuh yang sangat tangguh. Bahkan mereka pun
membawa prajurit dua kali lipat bila dibandingkan
dengan kekuatan yang dimiliki oleh saudagar Legawa.
Kenyataannya, dia melihat Legawa pun nampak mulai
keteter menghadapi serangan keris lawan yang memiliki gagang sangat panjang lagi. Sedangkan pabila dia
menoleh ke arah pembantu-pembantu setia saudagar
Legawa. Maka dengan jelas pula, satu demi satu para
pembantu itu mulai berguguran. Dalam menghadapi
serangan Senggerono dan Tapak Api yang sedemikian
gencar dan cukup membuatnya repot. Pemuda dari
negeri Bunian itu mulai berpikir-pikir untuk memper-
gunakan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang sangat
dahsyat itu.
Keputusan itu telah disepakati bersama antara si
pemuda dengan Legawa dan para pembantunya. Tak
heran kalau di bagian telinga orang-orangnya Legawa
terlihat satu benda berwarna hijau menyumpal bagian
itu. Dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong
"Si Gila Mengamuk". Tubuh pendekar ini nampak ter-
huyung-huyung bagai seorang pemabukan. Gerakan
silatnya kacau tak beraturan. Sungguh pun begitu,
senjata Senggerono yang berupa keris itu, tak sekali
pun berhasil menyentuhnya. Bahkan si Tapak Api
yang sudah mulai mengeluarkan pukulan-pukulan
mautnya masih belum juga berhasil menghantamkan
pukulannya pada sasaran yang nampak meliuk-liuk
bagai gerakan seekor ular kepanasan.
"Haiiit....!"
Baik Senggerono maupun si Tapak Api yang su-
dah dibakar kemarahan, nampak mulai mengerahkan
segenap kemampuan yang dimilikinya. Pada detik itu
dengan mempergunakan jurus Si Jadah Terbuang, tu-
buh pendekar Hina Kelana telah pula berkelebat le-
nyap. Hanya angin sambaran tubuhnya saja yang me-
nandakan betapa pemuda dari negeri Bunian ini se-
dang berusaha mencari peluang untuk memukul la-
wannya.
"Hiiikgh...!"
Satu lengkingan Ilmu Pemenggal Roh terlepas
sudah, daerah sekitar pertempuran itu seakan dilanda
badai halilintar. Bumi bergetar, daun-daun yang masih
hijau pun runtuh dan bertebaran di atas tanah hala-
man rumah saudagar Legawa. Yang lebih mengerikan
adalah terdengarnya jeritan-jeritan maut, disertai
menggelaparnya beberapa sosok tubuh prajurit-
prajurit Katemenggungan yang meregang ajal. Darah
pun mengalir dari lubang telinga dan hidung mereka
yang tewas. Sisa-sisa prajurit Katemenggungan yang
hanya tinggal tiga orang itupun rasa-rasanya sudah
mulai terganggu syarafnya. Tubuh mereka berputar-
putar. Kemudian berteriak-teriak ketakutan bagai me-
lihat hantu di siang bolong. Lebih celaka lagi, mereka
lari tunggang langgang meninggalkan gelanggang per-
tempuran.
Baik Jelatu, Senggerono dan Tapak Api setelah
berhasil menghimpun hawa murni untuk mengembali-
kan semangat mereka yang hampir terbang. Nampak
terperanjat sekali begitu melihat orang-orangnya pada
terkapar mati. Mereka merasa, seumur hidup baru kali
inilah berhadapan dengan seorang lawan yang memili-
ki ilmu aneh yang dapat membunuh sekian banyak
orang hanya dalam sekali bergebrak. Sungguh pun se-
telah melihat kenyataan yang terjadi mereka merasa
menjadi sungkan dan keder. Namun untuk menyerah
begitu saja, bagi mereka tak ada kamusnya. Setelah
prajurit-prajurit Katemanggungan terbantai secara
menyedihkan. Maka Indah Dewi dan pembantu-
pembantu ayahnya segera pula menggabungkan diri
dengan Legawa untuk mengeroyok Jelatu. Tanpa basa-
basi lagi, pertempuran pun kembali berlanjut.
Di pihak Buang Sengketa saat itu sedang meng-
hadapi tekanan-tekanan berat yang dilakukan oleh ke-
dua lawannya. Pertarungan antara hidup dan mati
itupun berlangsung menegangkan. Keris di tangan
Senggerono begitu dahsyat menyambar mengarah ba-
gian-bagian tubuh si pemuda, sementara dari arah lain
si Tapak Api yang sudah dilanda kemarahan besar itu-
pun menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan
mautnya yang berwarna putih namun menimbulkan
panas yang hebat.
"Heiih....!"
Si pemuda berusaha mengkelit sambaran keris
yang hampir saja menghunjam bagian lambungnya.
Namun pada saat itu dari arah yang berlawanan, da-
tang sambaran angin pukulan yang berhawa panas
mengancam bagian punggungnya. Buang coba mem-
bantingkan diri ke arah samping. Tapi senjata lawan
masih juga menyambar:
"Crees...!"
"Ahkkh....!"
Tidak sampai di situ saja, pukulan pertama yang
berhasil dielakkan oleh pendekar Hina Kelana mem-
buat si Tapak Api merasa semakin bertambah kalap.
Kemudian dia mengumbar pukulan berikutnya. Sung-
guh pun Buang Sengketa telah bergulung-gulung di
atas tanah demi menyelamatkan nyawanya. Namun te-
tap saja pukulan itu melabraknya. Detik itu, Buang
masih sempat pergunakan jurus Koreng Seribu.
"Deep....!"
Keris di tangan Senggerono juga menyambar,
dengan mempergunakan tangan kirinya dia menyam-
but.
"Kreep....!"
Sama sekali pendekar ini hanya mempergunakan
sebagian kecil tenaga dalamnya, sesuai dengan sipat-
sipat jurus Koreng Seribu, yang membetot tenaga da-
lam lawannya. Demikianlah halnya yang sedang terjadi
pada saat itu. Sinar putih yang dilepas oleh si Tapak
Api, layaknya bagai sebuah gala panjang yang diperebutkan oleh dua orang anak. Begitu juga halnya keris
milik Senggerono yang melekat begitu erat di tangan
kiri si pemuda. Kejut bercampur kecut hati kedua la-
wannya demi melihat kenyataan ini. Serta merta me-
reka melipat gandakan tenaganya untuk me-
nyentakkan senjata maupun pukulan yang telah me-
reka lepaskan. Namun semakin banyak mereka men-
guras tenaga mereka merasakan senjata maupun pu-
kulan yang telah terlepas terasa semakin sulit untuk
dilepaskan. Sedikit demi sedikit mereka mulai merasa-
kan hilangnya tenaga sakti mereka. Pendekar Hina Ke-
lana nampak menyeringai puas, kemudian dengan
lembut dia menyentakkan kedua tangannya.
"Hiaaat.....!"
Sungguh pun gerakan tangan Buang Sengketa
hanya pelan saja, namun akibatnya membuat tubuh si
Tapak Api maupun Senggerono terpelanting tiga tom-
bak. Lumer nyali Senggerono, sebaliknya tidak begitu
halnya yang terjadi pada diri si Tapak Api. Laki-laki be-
rumur itu segera bangkit kemudian kembali menye-
rang si pemuda. Merasa malu dianggap sebagai seo-
rang pengecut, maka Senggerono pun ikut pula me-
nempur.
"Chaaaiit....!"
Buang Sengketa bersalto mundur tiga langkah,
begitu kakinya menjejak di atas tanah maka dia pun
memberi peringatan keras:
"Kuperintahkan pada kalian untuk pergi dari ha-
dapanku! Beri laporan pada Tumenggungmu. Bahwa
dia harus mendidik putranya yang berengsek itu. Ka-
lau tidak aku pasti akan datang membunuhnya....!"
"Keparaaat.... siapa sudi....!" teriak si Tapak Api,
lalu hantamkan pukulan saktinya. Tindakan gegabah
seperti itu, membuat Buang Sengketa kehilangan ke-
sabarannya lagi. Tak ayal dari mulutnya keluar bunyi
mendesis bagai Raja Piton yang sedang dilanda kema-
rahan. Begitu tubuhnya berkelebat, maka mengaun-
glah suara bagaikan suara puluhan harimau terluka.
Pusaka golok Buntung itu, kini telah tergenggam di
tangannya. Mendadak udara di sekelilingnya berubah
dingin luar biasa. Karena tubuh maupun senjata di
tangan si pemuda berkelebat sedemikian cepat. Maka
pihak lawan tidak dapat memastikan bagaimana ben-
tuknya senjata yang memancarkan sinar merah me-
nyala itu. Hanya dalam segebrakan saja mereka sudah
dibuat kalang kabut. Dengan kerisnya, Senggerono
hanya mampu mengelak. Namun dalam keadaan ter-
desak, dia berusaha memapaki senjata lawannya;
"Kraaang....!" Senjata di tangan Senggerono hancur be-
rantakan, sebaliknya golok di tangan Buang Sengketa
kembali menyambar.
"Craaas....!"
"Arggk....!"
Satu lolongan maut menyertai terhempasnya tu-
buh Senggerono yang mengalami luka pada bagian le-
hernya. Darah mengalir membasahi tubuh sekarat
Senggerono, Kejadian ini membuat si Tapak Api men-
jadi nekad, dan langsung kirimkan satu tendangan ki-
lat ke arah bagian selangkangan si pemuda. Dengan
mengandalkan satu gerakan berkelit yang sedemikian
cepatnya, Buang Sengketa mampu menghindari seran-
gan yang dapat berakibat fatal itu. Serangan si Tapak
api mencapai sasaran yang kosong. Sementara itu Go-
lok di tangan Buang Sengketa menyambut ke arah ba-
gian kaki dan perut.
"Jraaas....! Jraaas....!"
Perut terobek, pangkal paha terkutung. Tiada
erangan maut yang terdengar. Hanya kedua matanya
saja yang membelalak keluar. Keadaan seperti itu
hanya berlangsung beberapa detik. Karena begitu tubuh si Tapak Api ambruk ke bumi, laki-laki jangkung
itu sudah tak mampu bergerak lagi.
Sementara itu, Jelatu yang sedang bertarung me-
lawan Legawa dan Indah Dewi. Begitu melihat kema-
tian kawan-kawannya, merasa sudah kehilangan nyali
untuk meneruskan pertempuran. Dia berpikir lebih
baik mencari selamat, dan melaporkan kejadian itu
kepada Tumenggung Jayeng Rono. Itulah sebabnya ke-
tika Indah Dewi, Legawa dan lain-lainnya lengah kare-
na terpengaruh dengan jeritan Senggerono tadi. Maka
kesempatan itu dipergunakan oleh Jelatu untuk me-
ninggalkan tempat.
"Kurang ajar! Keparat itu mau meloloskan di-
ri....!" bentak Indah Dewi begitu berpaling kembali pa-
da lawannya.
"Biarkan! Suatu hari nanti mereka pasti akan da-
tang kemari....!" cegah Buang Sengketa sambil melang-
kah mendekati anak-beranak itu.
"Kita telah membunuh begitu banyak prajurit Ka-
temenggungan. Malapetaka besar pasti bakal menimpa
kita....!" kata Legawa harap-harap cemas.
"Aku tetap akan membantumu, tak perlu risau
dengan kedatangan mereka, kita tunggu sampai kapan
pun....!" jawab si pemuda.
"Kami berhutang nyawa padamu, pendekar
aneh....!"
"Nyawa adalah urusan Sang Hyang Widi.... Ada
baiknya kalau kita urus mayat-mayat itu....!" kata si
pemuda, lalu melangkah ke arah belakang rumah sau-
dagar Legawa.
Nah, bagaimanakah nasib saudagar Legawa dan
keluarganya? Bagaimana pula pembalasan yang dila-
kukan oleh Lesmana, dan apa saja kegiatannya di lua-
ran sana? Dalam judul 'Bencana Pedang Asmara' Be-
tapa sepak terjang Andika membuat pendekar wanita
manapun bertekuk lutut di bawah perintahnya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar