..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE RATU SIHIR PURI ALAR

Ratu Sihir Puri Ular

 

RATU SIHIR PURI ULAR

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Penyunting: A. Suyudi 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir dalam episode: 

Ratu Sihir Purl Ular 

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


Angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa begi-

tu sejuk. Matahari yang belum begitu tinggi mulai ber-

sinar menghangatkan pagi. Sehingga suasana pagi be-

gitu indah untuk dinikmati.

Seorang lelaki tampan berusia sekitar enam be-

las tahun nampak mengayun langkahnya perlahan 

menikmati suasana pagi. Sementara, tak jauh dari le-

laki mu-da bernama Abimanyu itu empat orang lelaki 

yang usianya berkisar antara dua puluh delapan sam-

pai tiga puluh tahun berjalan mengiringi di belakang.

"Ah, alangkah indahnya pagi ini, Paman Ludi-

ta," ujar Abimanyu sambil menebar pandangan ke se-

keliling daerah yang tengah dilewatinya.

"Ya, Raden. Aku pun merasakan keindahan pa-

gi ini," sahut lelaki berambut rapi dan berpakaian kun-

ing gading. Mata lelaki berusia tiga puluh tahun yang 

bernama Ludita juga mengitari daerah itu.

Dari kejauhan nampak sebuah bangunan ber-

diri kokoh. Dilihat dari bentuknya, bangunan yang cu-

kup indah itu mirip sebuah puri. Namun, keindahan 

bangunan itu tak sepenuhnya dapat dinikmati lima le-

laki yang tengah berjalan perlahan, karena jarak mere-

ka dengan bangunan itu cukup jauh.

Namun, ketika Abimanyu dan keempat penga-

walnya tengah terlena dalam suasana keindahan pagi 

itu, tiba-tiba dari balik semak-semak muncul tiga ekor 

ular belang menghadang perjalanan mereka, tentu saja 

kelima lelaki itu terkejut. Ular-ular itu mendesis, bah-

kan mulai berdiri seperti hendak menantang musuh-

nya untuk berkelahi.

Zzzssst... zzzssst... zzzssst.... Abimanyu nam


pak kesal menyaksikan tingkah tiga ekor ular yang 

menghadang perjalanannya. Seketika tangan lelaki 

berpakaian hijau itu bergerak cepat ke punggung. 

"Hih!" Srat!

Sebatang pedang yang telah lolos dari warang-

ka-nya kini tergenggam di tangan Abimanyu. Pedang 

itu nampak berkilau-kilau tertimpa cahaya matahari.

"Untuk apa kau keluarkan pedangmu, Raden?" 

tanya Ludita dengan tatapan mata lurus ke wajah pu-

tra bungsu Ki Suteja.

Abimanyu membalas tatapan mata Ludita. 

“Tentu saja untuk mengusir ular-ular itu, Paman," sa-

hut Abimanyu.

"Jangan, jangan bunuh ular-ular itu, Raden! 

Kalau hanya mengusir, aku setuju," nasihat Ludita.

"Hmmm.... Aneh Paman Ludita ini," balas Ab-

imanyu. "Ular-ular itu berbisa, Paman. Aku harus 

membinasakannya," lanjutnya, seolah tidak setuju 

dengan nasihat Ludita.

"Jangan, Raden! Lebih baik usir saja ular-ular 

itu! Lihatlah, mereka nampak hanya menakut-nakuti 

kita," sekali lagi Ludita melarang tindakan Abimanyu.

"Tidak, Paman! Harus kubunuh mereka," tolak 

Abimanyu.

Tubuh Abimanyu seketika melompat begitu ce-

pat. Pedangnya yang terhunus juga berkelebat cepat 

menebas ular-ular yang mulai mendekatinya. 

"Hiaaa...!"

Teriakan keras mengiringi sabetan pedang Ab-

imanyu.

Srat! Srat! Srat!

Kepala ketiga ular seketika putus terpenggal 

pedang Abimanyu. Kepala ular-ular itu berpentalan ke 

tiga arah. Seketika itu pula darah mengucur memba


sahi tanah dan pedang Abimanyu.

Setelah membersihkan dari darah ular, Abi-

manyu segera memasukkan kembali pedangnya ke wa-

rangka yang tersampir di punggung.

"Hei! Kenapa Paman sekalian terbengong seper-

ti itu? Apa Paman kecewa atas kematian ular-ular ber-

bisa itu?" tanya Abimanyu ketika melihat keempat 

pengawalnya diam terpaku.

"Ah... tidak, Raden," jawab Ludita, meskipun ti-

ba-tiba hatinya dijalari suatu perasaan aneh. Jan-

tungnya dirasakan berdetak lebih cepat. Seperti ada 

suatu firasat buruk bakal terjadi, dirasakan dalam ha-

tinya.

"Kalau begitu, mari kita teruskan perjalanan 

ini!" putus Abimanyu.

Abimanyu segera melangkah, diikuti Ludita dan 

tiga lelaki lain yang berpakaian putih.

Namun, baru dua langkah mereka berjalan, ti-

ba-tiba dari balik semak-semak yang berjejer di tepi ja-

lan yang mereka lewati, muncul seekor ular hijau lurik 

yang cukup besar.

Tentu saja Abimanyu sangat terkejut menyak-

sikan ular besar yang menghadang perjalanannya. Be-

gitu juga dengan Ludita dan ketiga lelaki lainnya. Pera-

saan tak enak semakin menjalari hati mereka.

"Rupanya kau juga ingin mampus!" teriak Abi-

manyu seraya meloloskan pedang dari warangkanya.

Srat!

'Tahan, Raden! Jangan bunuh ular itu!" larang 

Ludita sambil mencekal pergelangan tangan Abimanyu 

yang siap menebas leher ular hijau lurik di hadapan-

nya.

Abimanyu terkejut mendengar larangan Ludita. 

Namun lebih terkejut lagi, ketika menyaksikan kemun


culan puluhan ular besar-besar yang diikuti ratusan 

ular kecil. Kini ratusan ular. memenuhi jalan selebar 

dua batang tombak yang dilewatinya.

"Ah! Firasat buruk di hatiku benar-benar ter-

bukti, Raden," ujar Ludita seperti menyadari kembali 

firasatnya yang tadi mengganggu hatinya.

Abimanyu tak menghiraukan ucapan Ludita. 

Matanya terbelalak menyaksikan ratusan ular yang 

menghadang di depannya.

"Semenjak kemunculan tiga ular yang Raden 

bunuh tadi, hatiku sudah merasa tak enak," tegas Lu-

dita lagi. "Aku sudah melarangmu membunuh ketiga 

ular tadi, Raden. Tapi kau menolaknya."

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, 

Paman?" tanya Abimanyu dengan suara bergetar. Ab-

imanyu seperti tengah dicekam rasa takut.

"Kalau ular-ular itu menyerang, terpaksa kita 

gunakan senjata untuk mengusir mereka," jawab Ludi-

ta.

"Aaah....".Abimanyu menarik napas dalam-

dalam setelah mendengar jawaban Ludita.

"Bersiaplah untuk menghadapi segala kemung-

kinan itu, Raden," saran Ludita sambil mengangkat go-

lok besarnya.

Apa yang dilakukan Ludita juga dilakukan tiga 

pengawal yang lain. Mereka telah bersiap-siap dengan 

senjata golok terhunus.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba beberapa ekor 

ular yang berada di hadapannya bergerak menyerang.

"Hati-hati, Raden!" Ludita memperingatkan Abi-

manyu.

Tubuh Ludita yang terbalut pakaian kuning 

gading itu seketika bergerak cepat menebas-nebaskan 

golok besarnya ke arah kepala ular yang hendak me


magutnya. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Ludi-

ta, hingga dalam sekejap saja lima ular telah tergeletak 

tanpa kepala di atas tanah yang masih agak basah ka-

rena embun.

Abimanyu dan tiga pengawalnya yang berpa-

kaian putih juga melakukan hal yang sama. Gerakan-

gerakan senjata mereka yang begitu cepat, tepat pada 

sasarannya. Sehingga dalam sebentar saja, tanah di 

sekitar tempat kejadian berubah merah. Tubuh-tubuh 

ular tanpa kepala terlihat bergelimpangan.

"Hiyaaa...!"

Teriakan-teriakan masih terdengar mengiringi, 

sabetan pedang dan golok mereka. Cras! Cras!

Ular-ular besar dan kecil kembali jatuh berge-

limpangan, terhajar senjata lima lelaki yang terus ber-

gerak cepat. Namun sekali lagi, kelima lelaki itu terke-

jut bukan kepalang. Mereka menyaksikan sendiri, 

ular-ular itu seperti tak berkurang jumlahnya. Pada

hal, bangkai-bangkai ular semakin bertumpuk.

"Ahhh...."

Ludita menarik napas panjang. Meski tubuhnya 

terus bergerak, pikiran lelaki itu tetap bekerja keras 

mencari jalan keluar agar terhindar dari marabahaya 

aneh yang tengah dihadapinya.

Tiba-tiba seekor ular bergerak hendak menye-

rang.

Dan.... Tuk!

Mulut ular itu berhasil memagut mangsanya. 

"Aaa...!"

Lengking kematian seketika memecah suasana 

pagi itu, ketika salah seorang pengawal Abimanyu ter-

pagut seekor ular yang cukup besar.

Tubuh lelaki itu menggelinjang sesaat, tak lama 

kemudian mengejang kaku. Seluruh permukaan kulit


lelaki berpakaian putih itu membiru. Namun segera di-

susul lagi keanehan yang tak masuk akal.

Blaaars!

Tubuh pengawal yang mati terpagut ular mele-

tus, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dari perut 

pengawal yang pecah itu seketika bermunculan ular-

ular sebesar lengan bocah berumur dua tahun. Ludita, 

Abimanyu, dan dua pengawal yang menyaksikan keja-

dian itu, tertegun keheranan. Hati mereka semakin 

panik dan takut.

"Aaa...!"

Abimanyu terpekik menyaksikan kejadian itu. 

Apalagi, ketika melihat tubuh pengawal yang mati itu 

tiba-tiba berubah menjadi ular putih yang cukup be-

sar. Ular jelmaan itu kini berdiri seperti menantang.

"Cepat tinggalkan tempat ini, Raden! Ayo Kar-

dala, Wiluji!" perintah Ludita pada Abimanyu dan dua 

pengawalnya.

Tanpa membuang waktu, Ludita, Abimanyu, 

Kardala dan Wiluji membalikkan tubuh cepat, segera 

kaki-kaki mereka menghentak tanah kuat-kuat.

Mereka melesat cepat meninggalkan ratusan 

ular yang semakin ganas hendak menyerang. Namun, 

ternyata ratusan ular ganas itu seolah-olah tidak 

membiarkan musuhnya lolos. Mereka terus bergerak 

memburu keempat lelaki itu.

"Heh?!"

Abimanyu, Ludita, Kardala, dan Wiluji tersen-

tak bukan main. Serentak mereka terhenti. Pikiran 

masing-masing masih diliputi keganjilan kejadian ini.

"Ini betul-betul aneh, Raden," ucap Ludita se-

perti berbisik. "Pasti ada orang sakti yang mengendali-

kan ular-ular itu."

"Maksud, Paman?" tanya Abimanyu.


"Orang sakti yang berniat membinasakan kita 

dengan ular-ular itu," terka Ludita.

"Ahhh...!"

Abimanyu mendesah perlahan, wajahnya seke-

tika berubah pucat. Baru kali ini lelaki berusia enam 

belas tahun itu dicekam ketakutan yang teramat san-

gat.

"Rasanya kita tak mungkin dapat meloloskan 

diri, Paman," ucapan bergetar keluar dari mulut putra 

bungsu Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja.

"Entahlah," jawab Ludita pasrah.

Sesaat kemudian, tiba-tiba sekelompok. ular 

besar yang telah menghadang, bergerak perlahan 

menghampiri Abimanyu, Ludita, Kardala, dan Wiluji.

Abimanyu mencoba menoleh ke belakang, na-

mun hatinya kembali tersentak menyaksikan segerom-

bolan ular kecil dan tanggung juga tengah bergerak 

mendekatinya.

Lutut Abimanyu seketika bergetar hebat. Peluh-

nya dirasakan telah membasahi seluruh pakaiannya.

Zzzssst.. Zzzssst...

"Bersiaplah, Raden!" perintah Ludita sambil 

tangannya mengacungkan golok.

Ludita mulai bergerak cepat menebas-nebaskan 

golok besarnya. Berkali-kali goloknya menghantam te-

pat ular-ular yang berada di hadapannya. Namun, 

usahanya itu hanya sia-sia. Tubuh ular-ular itu ter-

nyata kebal terhadap sabetan senjata.

Apa yang dialami Ludita, dialami juga Abi-

manyu, Kardala, dan Wiluji. Mereka begitu tercengang 

menyaksikan kekebalan kulit ular-ular itu. Dalam ke-

tercengangan mereka, tiba-tiba seekor ular bergerak 

begitu cepat. Bagaikan terbang ular itu memagut leher 

Kardala yang tak sempat mengelak.


Tuk!

"Aaa...!"

Tubuh Kardala terpelanting ketika pagutan ular 

itu mendarat tepat di lehernya. Seketika tubuhnya tak

berkutik lagi.

Kejadian serupa kembali disaksikan Abimanyu.

Tubuh Kardala meletus, dan dari perutnya ber-

munculan ular-ular sebesar tangkai golok. Lalu tubuh 

Kardala berubah menjadi ular yang cukup besar.

Zzzssst...;

Ular jelmaan tubuh Kardala mendesis keras, 

bergerak mendekati Ludita. Meskipun hanya gerakan 

perlahan, ular itu menghampiri lelaki berpakaian ku

ning gading, namun cukup membuat keder hati Ludi-

ta.

Merasa jiwanya terancam marabahaya, dengan 

segenap keberaniannya Ludita mencelat cepat sambil 

mengayunkan senjatanya di udara.

"Hiyaaa...!"

***

2l

DUA



Tubuh Ludita yang seperti terbang, dengan ce-

pat menebaskan senjatanya.

Trak! '

Golok besar Ludita mendarat di leher ular yang 

paling besar. Tapi....

"Aaakh!"

Ludita terpekik keras. Tubuhnya seketika ter-

lempar ketika golok besarnya mendarat telak di leher 

ular besar jelmaan tubuh Kardala. Dengan kemam


puannya, Ludita mampu mempertahankan tubuhnya 

dan kembali melejit dengan senjata yang siap dite-

baskan ke bagian mata ular besar itu.

"Hiaaa...!"

Teriakan menggelegar mengiringi sabetan golok 

Ludita. Crak!

Golok Ludita yang ditebaskan ke mata ular be-

sar itu tepat pada sasarannya. Tetapi di luar dugaan, 

golok yang menancap pada mata ular tak dapat ditarik 

lagi. Ludita telah mengerahkan tenaga dalam untuk 

mencabut senjatanya, tetapi tak berhasil juga.

Tubuh ular besar itu malah bergerak naik dan

membelit tubuh Ludita. Ludita mengerti gerakan ular 

yang semacam itu, tapi karena kakinya juga tersang-

kut ular lain. Seketika itu juga tubuh Ludita terpelant-

ing ke tanah. Dan ular yang jelmaan tubuh Kardala itu 

dengan leluasa membelit tubuh Ludita. Begitu keras-

nya belitan ular besar itu, Ludita merasakan tubuh 

tergencet kuat.

Krrrk... krk...!

Tulang-tulang Ludita seketika bergemeretak ke-

tika ular besar itu semakin merapatkan belitannya. 

Lengking kematian dari mulut Ludita pun membum-

bung tinggi, membuat Abimanyu dan Wiluji semakin 

tercekam ketakutan.

"Ular Setan!" Abimanyu mengumpat sebisanya. 

Ratusan ular itu kini bergerak perlahan mendekati 

Abimanyu. Lelaki berumur enam belas tahun itu kini 

terpuruk ke tanah dengan dua kaki yang terlipat.

Sementara Wiluji berdiri dengan benak ber-

tanya-tanya. Sungguh dirinya tak dapat mengerti men-

gapa ular-ular yang jumlahnya ratusan itu tak satu 

pun yang menghampirinya, apalagi memagutnya.

Wiluji tersentak melihat ular-ular besar dan ke


cil telah mengelilingi tubuh Abimanyu. Apalagi ketika 

badan keempat ekor ular yang besar bergerak men-

gangkat tubuh Abimanyu.

Abimanyu begitu ketakutan mendapatkan per-

lakuan aneh ular-ular itu. Dirinya juga merasa bin-

gung dan tak mengerti, ketika tiba-tiba ada suatu pen-

garuh aneh merasuk ke tubuhnya. Sehingga tak ada 

sedikit pun upaya dari dirinya melompat dari tubuh 

ular-ular besar itu, untuk membebaskan diri.

Sementara, Wiluji yang menyaksikan kejadian 

itu tak dapat berbuat apa-apa, selain hanya menatap 

tubuh Abimanyu yang diusung empat ekor ular besar 

dan ratusan ular-ular tanggung dan kecil yang seperti 

menggiring dari belakang. Bagaikan sebuah arak-arak-

an yang membawa suatu persembahan.

Akhirnya, tubuh Abimanyu lenyap di sebuah ti-

kungan jalan bersama arak-arakan ular yang mengeri-

kan itu.

"Aaah...!"

Wiluji pun menghela napas, seperti merasa le-

ga.

Tatapan mata Wiluji kini beralih pada tubuh 

Ludita yang terkulai lemas tak bernyawa. Tubuh lelaki 

kepercayaan Ki Suteja seperti tak bertulang. Belitan 

ular besar telah menyebabkan seluruh tulang tubuh 

Ludita remuk.

Wiluji bergerak perlahan menghampiri tubuh 

Ludita. Diangkatnya tubuh yang sudah remuk tulang-

belulangnya itu.

Ah, kasihan kau, Ludita, batin Wiluji.

Lelaki berpakaian putih itu pun segera mening-

galkan tempat kejadian yang penuh dengan bangkai 

ular, serta darah yang berceceran di tanah.

Wiluji akan melaporkan kejadian aneh yang


sangat mengerikan tadi kepada Ki Suteja, Kepala Desa 

Gatareja yang juga ayah Abimanyu.

***

Sementara itu, arak-arakan ular yang memba-

wa Abimanyu terus bergerak.

Abimanyu tak berdaya untuk berbuat banyak, 

ketika ular-ular mengerikan itu terus mengusung tu-

buhnya menuju sebuah bangunan tua yang masih ter-

lihat kokoh. Warna putih bangunan tua itu telah beru-

bah kusam dan abu-abu. Semakin dekat nampak jelas, 

bangunan itu mirip sebuah puri pemujaan.

Keempat ular besar pengusung tubuh Abi-

manyu tiba-tiba merendahkan tubuh ketika mereka ti-

ba di pintu gerbang utama bangunan itu. Perbuatan 

yang dilakukan empat ekor ular besar itu ternyata di-

ikuti semua ular yang turut mengiringi arak-arakan 

itu.

Seperti ada yang memerintah binatang melata 

itu, semua merunduk seolah-olah sedang memberikan 

suatu penghormatan.

Zzzssst...

Suara desisan yang panjang dari ratusan bah-

kan ribuan ular begitu berisik merasuk ke telinga. 

"He he he...."

"Hik... hik... hik...!" tiba-tiba suara tawa aneh 

ter-dengar dari kejauhan.

"Bawa Bocah Bagus itu masuk!" seperti meng-

gema dari jarak jauh suara itu terdengar Abimanyu,

Abimanyu masih merasakan bingung dan aneh 

di benaknya.

Sejurus lamanya Abimanyu mencoba mencari 

dari mana suara itu datang? Namun hanya sia-sia, Ab


imanyu tak menemukan tempat suara itu muncul.

Ular-ular besar yang mengusung tubuh Abi-

manyu, serempak menjalankan perintah itu. Binatang-

binatang itu seolah benar-benar memahami ucapan 

yang terdengar tanpa sosok yang memerintahnya.

Zzzssst...

Suara-suara desisan panjang yang menggi-

riskan kembali terdengar. Zzzssst...

Tubuh Abimanyu kembali terangkat. Perlahan 

ular-ular besar itu bergerak menaiki anak tangga ban-

gunan puri yang cukup tinggi. Di belakang mereka ba-

risan panjang ular-ular kecil masih mengiringi.

"Hik... hik... hik! Selamat datang, Bocah Bagus. 

Selamat menikmati keadaan puri yang indah ini," sapa 

seseorang seiring dengan terbukanya pintu utama pu-

ri.

Mata Abimanyu terbeliak menyaksikan dua 

orang perempuan berpakaian cukup aneh, yang ter-

buat dari kulit ular. Di tangan kedua perempuan itu 

melilit dua ekor ular yang lidahnya menjulur dan me-

nimbulkan desis mengerikan.

Seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh 

puluh lima tahun menghampiri Abimanyu dengan tan-

gan yang terulur. Karuan saja Abimanyu merasa takut 

bukan kepalang.

Ketika tangan perempuan tua menjulur hendak 

menyambut Abimanyu, seekor ular besar yang melilit 

pinggangnya, berpindah tempat. Kini ular besar itu 

melilit di pinggang Abimanyu.

"Hik... hik... hik.... Kau tak perlu takut, Bocah 

Bagus. Dia tidak galak pada orang yang disukainya," 

ucap perempuan tua itu mantap. "Ular itu malah akan 

menjadi gurumu," lanjut perempuan yang seluruh ku-

lit mukanya sudah keriput.


Abimanyu dapat menanggapi ucapan perem-

puan tua di hadapannya. Matanya sibuk melihat ular 

hijau kemerahan yang melilit di pinggangnya.

"Hik.., hik... hik.... Ternyata kau masih takut 

juga, Bocah Bagus. Baiklah, nyai akan memindahkan 

ular itu dari pinggangmu."

Perempuan tua itu bergerak meraih ular yang 

membelit pinggang Abimanyu.

"Bagaimana, kau sudah tidak takut lagi, bu-

kan?" tanya perempuan tua itu.

Abimanyu diam tak menjawab pertanyaan pe-

rempuan di hadapannya. Mata lelaki berusia enam be-

las tahun itu hanya menatapi keadaan perempuan tua 

penghuni puri. Perempuan itu sudah cukup tua. Ram-

butnya yang panjang memutih tergelung tak teratur.

Dan tangannya memakai gelang-gelang dari 

akar pohon membuat keadaannya bertambah angker.

"Untuk apa kalian membawaku ke tempat ini?"

Tiba-tiba mulut Abimanyu yang sejak tadi ba-

gaikan terkunci, melontarkan sebuah pertanyaan.

"Hik... hik... hik.... Itu yang ku maui, Bocah 

Bagus. Sejak tadi nyai menunggu. suaramu keluar, 

dan ternyata suaramu begitu gagah kedengarannya," 

ujar perempuan tua.

Wajah perempuan yang nampak sangat angker 

itu, berubah agak cerah ketika mendengar suara Ab-

imanyu.

Abimanyu mengangkat alisnya sedikit menden-

gar pujian perempuan tua di hadapannya.

"Sebelum nyai menjawab pertanyaanmu, ada 

baiknya nyai memperkenalkan diri. Hik... hik... hik.... 

Kau boleh memanggilku dengan sebutan Ratu Ular 

atau boleh juga Nyi Kumalarani. Sebab julukan Ratu 

Ular sebentar lagi akan berpindah pada cucu kesayan


gan ku," ujar perempuan yang bernama Nyi Kumalara-

ni.

"Kemarilah kau, Ambar," Nyi Kumalarani me-

manggil seorang gadis berusia tak lebih dari enam be-

las tahun.

Tanpa membantah, gadis cantik itu mengham-

piri Nyi Kumalarani. Ketika itulah Abimanyu melihat 

kalau gadis itu pun memiliki keanehan yang serupa. 

Kepala gadis cantik yang seharusnya ditumbuhi ram-

but, kini malah ditumbuhi ular-ular kecil hitam pekat. 

Ular-ular kecil itu terus bergerak-gerak seperti rambut 

yang terhembus angin.

"Cucuku ini bernama Dewi Ambar Sari, Bocah 

Bagus. Kelak dialah yang akan menyandang gelar Ratu 

Ular. Akan tetapi Dewi Ambar Sari harus bersuami le-

bih dulu sebelum menyandang gelar itu," jelas Nyi 

Kumalarani.

Abimanyu mendengarkan penjelasan Nyi Ku-

malarani dengan perasaan tak menentu. Pikirannya 

sudah dapat mengambil kesimpulan maksud Nyi Ku-

malarani membawanya ke tempat itu. Dirinya akan di-

jadikan suami Dewi Ambar Sari.

"Kau bersedia menjadi pendamping hidup Am-

bar, Bocah Bagus?" tanya Nyi Kumalarani.

Merah padam wajah Abimanyu mendengar per-

tanyaan itu, dirinya tak tahu harus menjawab apa.

"Nyai tak memaksa kalau kau tak mau menja-

wabnya, Bocah Bagus. Karena biar bagaimanapun kau 

tetap akan kujadikan pendamping hidup cucuku," ujar 

Nyi Kumalarani. "O ya, nyai hampir lupa menanyakan 

namamu, Bocah Bagus. Siapa, Heh?"

Abimanyu menatap wajah tua Nyi Kumalarani.

"Abimanyu, Nyi," jawab lelaki putra bungsu Ki 

Suteja.


"Abimanyu...?" ulang Nyi Kumalarani perlahan. 

"Hik,.. hik... hik.... Namamu bagus sekali, sesuai den-

gan wajahmu yang tampan dan tubuhmu yang padat 

berisi."

Abimanyu tak menghiraukan pujian Nyi Kuma-

larani Mata putra bungsu Kepala Desa Gatareja itu 

menatap wajah cantik Dewi Ambar Sari. Sungguh can-

tik wajah cucu Nyi Kumalarani, namun sayang, di ba-

lik kecantikannya tersembunyi keangkeran.

"Abimanyu, tinggallah kau di puri ular ini den-

gan tenang! Semua kebutuhan hidupmu sudah terse-

dia di sini! Dan paman-pamanmu itu akan mengajari-

mu cara hidup di puri ular ini. Kelak, kalau kau sudah 

mampu menyesuaikan diri dan mampu bersatu den-

gan kami di sini, barulah perayaan perkawinanmu 

dengan Dewi Ambar Sari dilaksanakan," ucap Nyi Ku-

malarani, sambil tangannya menunjuk ular yang ada 

di puri itu.

Abimanyu hanya tercenung mendengar ucapan 

itu. Hatinya merasa kaget mendengar sebutan paman 

terhadap empat ekor ular besar yang berada tak jauh 

darinya. Ular-ular itulah yang tadi mengusungnya ke 

puri ular ini.

"Ambar! Nyai ingin istirahat Kau layani Abi-

manyu baik-baik!" perintah Nyi Kumalarani.

Dewi Ambar Sari menganggukkan kepalanya 

perlahan, seketika ular-ular kecil di kepalanya pun se-

perti ikut mengangguk.

Perempuan tua yang juga berjuluk Ratu Ular 

itu berlalu dari hadapan Abimanyu dan Dewi Ambar 

Sari. Sejenak mata Abimanyu memandangi kepergian

Nyi Kumalarani.

"Ayo ikut aku, Abimanyu!" ajak Dewi Ambar Sa-

ri setelah tubuh Nyi Kumalarani hilang di balik pintu


kamarnya.

Hati Abimanyu semula merasa enggan menuru-

ti ajakan gadis berambut ular di hadapannya, tapi be-

berapa kali gadis itu terus mendesak. Akhirnya dengan 

berat Abimanyu mengikuti langkah Dewi Ambar Sari.

***

Abimanyu terus melangkah di belakang gadis 

berambut ular memasuki ruangan-ruangan besar da-

lam puri itu. Hatinya masih terasa bergetar melihat 

ruangan-ruangan yang tampak angker.

"Ini kamarmu, Abimanyu. Masuklah dan sela-

mat beristirahat!" ucap Dewi Ambar Sari sambil mem-

buka pintu kamar.

Abimanyu melempar pandang ke dalam kamar 

yang remang-remang. Kamar itu hanya diterangi se-

batang obor kecil yang menempel di dinding.

"Masuklah, Abi! Segala kebutuhan mu ada di 

dalam," ucap Dewi Ambar Sari sambil menyodorkan ta-

ngannya ke kamar itu.

Abimanyu belum juga bergerak menuruti perin-

tah gadis itu. Matanya masih tetap memperhatikan ke-

remangan kamar.

"Jadi lelaki jangan pengecut seperti itu, Ab-

imanyu!" sentak Dewi Ambar Sari. 

Sesaat Dewi Ambar Sari memandang wajah Ab-

imanyu dalam-dalam. Kemudian gadis berpakaian ku-

lit ular hijau lurik itu beranjak meninggalkan Abi-

manyu.

Abimanyu mendengar bentakan seperti itu ten-

tu saja tak senang. Untuk membuktikan kalau dirinya 

bukanlah pengecut, seketika itu juga Abimanyu masuk 

ke kamar yang remang-remang dan agak pengap itu.


Ketika kaki Abimanyu menginjak lantai kamar, 

yang pertama dilihatnya sebuah tempat tidur terbuat 

dari kayu jati ukir. Alas tempat tidur itu terbuat dari 

kulit ular. Hatinya kembali tergetar. Bulu kuduknya 

berdiri, dan tubuhnya merinding.

Namun, karena rasa lelah terasa di tubuhnya, 

Abimanyu bermaksud merebahkan diri di tempat tidur 

itu. Akan tetapi, baru saja Abimanyu meletakkan tu-

buh, tiba-tiba dirasakan sesuatu yang bergerak-gerak 

di punggungnya, seperti geliatan binatang yang tertin-

dih.

Abimanyu terkejut dan bangkit. Sambil berdiri 

diperhatikannya cermat-cermat alas tempat tidur itu. 

"Ha... ah!"

Abimanyu tersentak melihat ular-ular yang ber-

jejer rapi. Baru disadarinya ular-ular itulah yang men-

jadi alas tempat tidurnya.

Lalu, tiba-tiba terdengar suara....

"Tidurlah, Abimanyu! Jangan takut kepadanya! 

Ular-ular itu telah menjadi abdi mu sekarang. Kau bisa 

memerintahkan mereka keluar, kalau kau tak suka 

ular-ular itu berada di kamarmu," ucap sebuah suara

cukup tegas.

Abimanyu mengenali suara itu. Sebuah suara 

yang tentu saja milik perempuan tua bernama Nyi 

Kumalarani. Akan tetapi Abimanyu tak tahu harus 

berbuat apa. Dirinya memang tak suka ular-ular itu 

berada dalam kamarnya, tapi untuk mengusir mereka, 

Abimanyu tak tahu harus berbuat apa.

"Keluarlah abdi-abdi Abimanyu!" perintah Nyi 

Kumalarani dari jauh.

Ular-ular yang semula berjejer di tempat tidur 

seketika bergerak satu demi satu. Dengan teratur cara 

ular-ular itu turun dari tempat tidur. Dan ketika se


mua sudah berada di bawah, ular-ular itu kembali 

membuat Abimanyu tercengang.

Zzzssst...

Suara-suara desisan terdengar. Zzzssst...

Ular-ular yang berjumlah lebih dari lima belas 

ekor itu seketika merundukkan kepalanya seolah 

memberi hormat dan salam pamit untuk meninggalkan 

ruangan junjungannya.

Zzzssst...

Zzzssst...

Kembali ular-ular itu mendesis bersamaan dan 

ketika Abimanyu menganggukkan kepala, serempak 

ular-ular itu pergi meninggalkan kamar Abimanyu.

***

TIGA


Matahari senja yang tertutup mendung telah 

turun di sebelah barat. Angin yang berhembus terasa 

begitu lembab. Barangkali sebentar lagi akan hujan. 

Sesekali guntur terdengar di kejauhan.

Di bawah langit yang mendung nampak seo-

rang lelaki tengah berlari tidak begitu cepat. Di ba-

hunya nampak terpanggul sosok tubuh tak bergerak.

"Kakang Wiluji!" tegur seseorang ketika lelaki 

berpakaian putih itu masuk ke pekarangan rumah 

yang pantas disebut sebuah padepokan.

Wiluji tak mempedulikan teguran orang itu. Wi-

luji terus bergerak masuk ke ruang utama Ki Suteja, 

Kepala Desa Gatareja.

Ki Suteja yang menyaksikan kedatangan Wiluji 

tanpa putra bungsunya, terkejut bukan main. Terlebih


ketika menyaksikan mayat Ludita yang mengenaskan.

"Perbuatan siapa ini, Wiluji?" tanya Ki Suteja 

keras. "Di mana Abimanyu?!"

Wajah Ki Suteja seketika berubah merah pa-

dam. Matanya terbelalak, dan suaranya bergetar seper-

ti menahan amarah. Langkahnya terburu-buru me-

nyambut Wiluji.

Wiluji gelagapan mendengar pertanyaan Kepala

Desa Gatareja, tak mampu menjawabnya. Nafasnya 

tersengal-sengal. Keringat membasahi seluruh tubuh-

nya.

"Ah, maaf Wiluji. Sesungguhnya apa yang ter-

jadi?" tanya Ki Suteja kembali setelah menenangkan 

hatinya.

Setelah hatinya mulai tenang dan nafasnya ter-

atur, Wiluji segera menceritakan kejadian yang diala-

mi. Diceritakan semua, mulai dari awal Abimanyu 

membunuh tiga ekor ular yang menghadang perjala-

nannya hingga tubuhnya diusung empat ekor ular be-

sar.

Beberapa lama Ki Suteja merenung setelah 

mendengar cerita Wiluji. Kepala Desa Gatareja itu seo-

lah tengah berusaha mengingat sesuatu yang pernah 

dialami puluhan tahun silam.

Mungkinkah Ratu Ular yang menculik putra

ku? Seperti yang pernah dilakukan terhadap anak pe-

rempuan Ki Rampal Lawu! Dan.... Apakah dia juga 

akan melakukan hal yang sama dengan Desa Kemu-

ningwaru? Meratakan seluruh isi Desa Gatareja den-

gan tanah, batin Ki Suteja.

Hati lelaki berusia setengah baya itu kembali 

dicekam rasa khawatir dan kecemasan yang hebat.

Ki Suteja kembali menatap Wiluji yang nampak 

masih ketakutan. Tangan Kepala Desa Gatareja itu se


ketika terulur lalu menepuk bahu Wiluji.

"Sekarang kau boleh pergi Wiluji, dan tolong 

panggil anak-anakku yang lain ke mari," perintah Ki

Suteja.

Wiluji segera menggeser duduknya sedikit, ke-

mudian bangkit dan menjura hormat pada Ki Suteja.

"Baik, Ki. Saya akan panggilkan mereka," ucap 

Wiluji. Namun, baru saja Wiluji membalikkan badan-

nya, nampak orang yang hendak dipanggilnya sudah 

datang tergopoh-gopoh diikuti beberapa orang lelaki 

Padepokan Gatareja.

"Di mana Adi Abimanyu, Wiluji?" tanya Wirana-

ta.

"Kemarilah kalian bertiga, biarkan Wiluji pergi!" 

sahut Ki Suteja memutus pertanyaan Wiranata.

Wiranata, Randu, dan Nalanda tak segera me-

nuruti perintah ayahnya. Ketiga putra Ki Suteja itu 

malah menatap wajah Wiluji yang nampak begitu pu-

cat.

"Kau telah menceritakan kejadian yang sesung-

guhnya pada ayah, Wiluji?" tanya Randu.

Wiluji menganggukkan kepalanya perlahan.

"Kau nampak begitu letih, beristirahatlah! Nanti 

kalau kuperlukan keterangan yang lebih rinci, kau 

akan kupanggil," lanjut Randu.

"Baik kang Randu," jawab Wiluji.

Randu, Wiranata, dan Nalanda tak lagi menghi-

raukan kepergian Wiluji. Mereka segera duduk meng-

hadap ayahnya.

"Bagaimana ceritanya, Ayah?" tanya Wiranata 

tak sabar.

Ki Suteja menatap wajah putra nomor dua itu, 

wajah Kepala Desa Gatareja menampakkan segurat

senyum yang samar-samar.


"Kau belum juga meninggalkan kebiasaan bu-

ruk mu, Wira," ucap Ki Suteja pelan. "Kau selalu terge-

sa gesa jika ingin mengetahui sesuatu. Biasakanlah 

menghadapi segala persoalan dengan hati tenang. Tak 

ada persoalan yang tak dapat diselesaikan dengan hati 

tenang. Seperti kejadian yang menimpa adikmu dan 

Ludita, memerlukan ketenangan untuk menghadapi-

nya," lanjut Ki Suteja.

"Sebenarnya apa yang terjadi atas Adi Abi-

manyu, Ayah?" tanya Randu hati-hati.

Ki Suteja menarik napas dalam-dalam, kemu-

dian mulai menceritakan laporan yang didapat dari Wi-

luji. Sejenak mata lelaki berusia setengah baya itu me-

nerawang jauh ke luar jendela. Benaknya kembali ber-

putar mengingat kejadian belasan tahun silam, di ma-

na seorang perempuan yang mengaku berjuluk Ratu 

Ular mengacau Desa Kemuningwaru dengan menculik 

putri tunggal Ki Rampal Lawu.

Setelah beberapa lama pikirannya melayang ke 

masa silam, lalu Ki Suteja menceritakan kejadian yang 

dialami Abimanyu pada Randu, Wiranata, dan Nalan-

da.

"Sangat aneh kejadian ini, Ayah," ujar Nalanda 

dengan dahi berkerut.

"Apa mungkin ada orang yang mampu meme-

rintahkan binatang-binatang berbisa itu?" timpal Wi-

ranata.

"Mungkin saja Adi Wira. Di dunia persilatan ini 

banyak tokoh sakti mampu melakukan hal-hal yang di 

luar jangkauan pikiran manusia," jawab Randu.

"Jadi, Kakang pun beranggapan, kejadian ini 

ada yang mendalanginya?" tanya Nalanda.

"Kira-kira begitu," jawab Randu.

Ki Suteja mendengarkan saja apa yang tengah


dibicarakan ketiga anaknya. Namun begitu, pikirannya 

tetap berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi 

persoalan yang cukup rumit itu.

Dalam pikiran Kepala Desa Gatareja muncul 

sebuah keinginan untuk menemui Ki Caringin, saha-

batnya yang tinggal di Bukit Beringin.

"Apakah Ayah bisa mengetahui siapa yang telah 

menculik Adi Abimanyu?" tanya Wiranata memutus 

rencana yang terlintas di benak Ki Suteja.

Ki Suteja menatap wajah Wiranata sejenak, se-

bentar kemudian mulutnya menyebutkan sebuah na-

ma yang membuat terkejut hati ketiga putranya.

"Ratu Ular...?" tanya ketiga putra Ki Suteja 

hampir bersamaan.

Ketiganya memang tak pernah mendengar, apa-

lagi menyaksikan sepak-terjang Ratu Ular. Namun, da-

ri kejadian aneh yang dialami Abimanyu dan penga-

walnya, mereka sudah dapat memastikan kesaktian 

Ratu Ular.

"Kejadian seperti ini juga pernah dialami saha-

bat ayah, Ki Rampal Lawu. Waktu itu Ki Rampal Lawu 

menjabat sebagai Kepala Desa Kemuningwaru. Anak 

tunggalnya perempuan. Kalau sekarang hidup, umur-

nya kira-kira sebaya Abimanyu. Wajah anak itu begitu 

cantik. Alasan itu yang mungkin membuat Ratu Ular 

menculiknya, atau mungkin perempuan tua tokoh go-

longan hitam itu mempunyai niat lain terhadap putri 

tunggal Ki Rampal Lawu," cerita Ki Suteja.

"Lalu apa yang dilakukan Ki Rampal Lawu ter-

hadap Ratu Ular yang telah menculik putrinya, Ayah?" 

tanya Nalanda menyela cerita Ki Suteja.

"Rampal Lawu marah bukan main, namun 

upayanya untuk membebaskan putrinya hanya sia-sia. 

Kesaktian Ratu Ular yang jauh lebih tinggi membuat


Kepala Desa Kemuningwaru tak berkutik. Dan ketika 

Ratu Ular membuat kekacauan yang lebih besar, Ki 

Rampal Lawu tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, ak-

hirnya dirinya tewas bersama penduduk dan desanya 

yang rata dengan tanah," kisah Ki Suteja.

"Kejam!" ujar Wiranata dengan tangan terkepal. 

"Kita harus mendahului sebelum iblis jahanam itu 

menjarah desa kita, Ayah! Kita kerahkan seluruh mu-

rid Padepokan Gatareja untuk mengerahkan perem-

puan laknat itu!" lanjut Wiranata begitu marah.

"Benar Ayah, kita harus mencegah kejadian 

yang telah dialami Desa Kemuningsewu pada desa ki-

ta. Kita harus bergerak mendahului, sebelum iblis itu 

mengacau di sini," timpal Nalanda.

"Menurutmu bagaimana, Randu?" tanya Ki Su-

teja setelah mendengar ucapan Wiranata dan Nalanda 

yang ingin mengerahkan murid-murid Padepokan Ga-

tareja untuk memusnahkan Ratu Ular.

"Aku rasa, Ayahlah yang lebih tahu bagaimana 

cara menghadapi Ratu Ular," jawab Randu mantap.

Ki Suteja kembali menarik napas dalam-dalam.

"Aku tidak setuju dengan keinginan Wiranata 

dan Nalanda," ucap Kepala Desa Gatareja. "Karena, 

sudah dapat dipastikan kalau tindakan itu akan sia-

sia. Ayah sudah dapat mengukur kemampuan murid-

murid Padepokan Gatareja. Mereka tidak ada artinya 

jika dibanding dengan kesaktian si Ratu Ular. Meski-

pun jumlahnya ditambah sepuluh kali lipat," lanjut Ki 

Suteja.

"Sebegitu hebatkah kesaktian Ratu Ular itu, 

Ayah?" tanya Wiranata penasaran.

"Enam betas tahun silam Ratu Ular pernah 

membuat geger dunia persilatan dengan membinasa-

kan tokoh-tokoh sakti golongan putih. Sekarang bisa


kalian bayangkan, kesaktian si Ratu Ular itu sudah 

pasti mengalami kemajuan pesat."

Ketiga putra Kepala Desa Gatareja tercenung 

mendengar ucapan ayahnya. Nampak ketiga putra Ki 

Suteja saling berpandangan. Tanpa sepatah kata pun 

terlontar dari mulut mereka.

"Ayah akan membicarakan kejadian ini pada Ki

Caringin. Mudah-mudahan dia bisa membantu menca-

ri jalan keluarnya," ucap Ki Suteja.

"Aku setuju," potong Nalanda. "Dengan bantuan 

Ki Caringin barangkali kita bisa sama-sama melenyap-

kan si Ratu Ular itu," lanjut Nalanda.

"Tiga lelaki tua macam Ki Caringin kita kum-

pulkan, kesaktian Ratu Ular belum tentu tertandingi, 

Nalanda," papar Ki Suteja.

"Jadi, percuma saja Ayah datang menemuinya," 

selak Wiranata.

Ki Suteja tersenyum mendengar ucapan anak-

nya yang tanpa pikir panjang.

"Apanya yang percuma, Wira?" balas Ki Suteja. 

"Orang tua Ki Caringin amat kita butuhkan pendapat-

nya. Barangkali Ki Caringin punya gagasan atau cara 

menghadapi si Ratu Ular itu."

Nalanda dan Wiranata terdiam mendengar uca-

pan ayahnya. Hanya Randu yang kini nampak meman-

dang wajah ayahnya.

"Jadi Ayah akan berangkat ke tempat Ki Cari

ngin sekarang?" tanya Randu.

"Ya. Dan kau sebagai anakku yang paling tua 

kuharap dapat mengawasi semuanya, selama keper-

gian ayah ke tempat Ki Caringin. Kau juga awasi gela-

gat kurang baik tiap tamu yang cuma numpang lewat 

atau berniat bermalam di desa kita ini!" pesan Ki Sute-

ja seraya menepuk bahu Randu, putra sulungnya.


"Baik, Ayah. Akan kulaksanakan pesan Ayah," 

jawab Randu.

Ki Suteja pun berangkat ke kediaman Ki Cari

ngin setelah terlebih dulu berpesan pada Wiranata dan 

Nalanda. Kepala Desa Gatareja itu terus bergerak, se-

mentara hari sudah senja. Dan sebentar lagi malam 

akan tiba.

Sepeninggal ayahnya, Randu, Wiranata, dan 

Nalanda belum juga beranjak dari ruangan Ki Suteja. 

Mereka nampak sedang berpikir, mencari jalan keluar 

untuk menyelamatkan Abimanyu.

"Aku jadi semakin penasaran, Kakang Randu," 

ucap Wiranata. "Seperti apa hebatnya Ratu Ular itu 

hingga ayah melarang kita menyatroni sarangnya, 

meski kita membawa seluruh murid Padepokan Gata-

reja yang jumlahnya tidak sedikit. Hampir delapan pu-

luh orang, kurasa itu jumlah yang tidak sedikit."

"Betul. Aku setuju dengan pendapat Kakang 

Wiranata. Delapan puluh orang jumlah yang cukup 

banyak, apalagi mereka semua bukan orang-orang 

yang tak kenal ilmu silat. Perkembangan ilmu mereka 

cukup cepat. Bukankah Kakang Randu lebih tahu hal 

itu?" timpal Nalanda.

"Ayah lebih tahu bagaimana kita sebaiknya 

bersikap," tolak Randu halus.

"Huh! Aku lebih suka kita langsung menyerang 

sarang si Ratu Ular itu," bantah Wiranata.

"Sebaiknya, kita jangan bertindak sebelum ada

perintah dari ayah," larang Randu.

Lelaki putra tertua Ki Suteja itu berlalu me-

ninggalkan kedua adiknya.

Langit di atas Desa Gatareja sudah mulai gelap 

sebagai pertanda hari sebentar lagi malam.

Nalanda bergegas menyusul langkah Randu,


sementara Wiranata bergerak sambil mengepalkan tin-

ju seperti tidak puas dengan keputusan Randu.

***

Lelaki tua berusia tak lebih dari enam puluh 

tahun nampak mengerutkan dahinya. Lelaki berpa-

kaian putih yang tak lain adalah Ki Caringin menatap 

wajah Ki Suteja lekat-lekat.

"Kau tidak bergurau, Adi Teja?" tandas Ki Ca-

ringin memastikan.

"Kakang pikir, aku mengunjungi tempat ini 

hanya untuk bergurau?" jawab Ki Suteja pelan.

"Lalu, dari mana bisa kau pastikan kalau yang 

menculik anak bungsu mu itu si Ratu Ular?" selidik Ki 

Caringin.

"Dari Wiluji, abdi setia ku dan dari mayat Ludi-

ta yang tulang-belulangnya remuk karena lilitan ular 

besar," jawab Ki Suteja.

"Hmmm.... Apa cerita Wiluji bisa dipercaya?"

"Kurasa begitu, Kakang. Sejauh pengamatanku,

Wiluji seorang yang setia dan jujur. Apa Kakang tidak 

yakin kalau Ratu Ular akan muncul lagi mengacau 

dunia persilatan seperti enam belas tahun silam?"

"Setelah belasan tahun tak terdengar namanya, 

bukan hal yang tidak mungkin kalau Ratu Ular kini 

muncul lagi untuk menyemarakkan dunia persilatan," 

ucap Ki Caringin. "Sudah enam belas tahun Ratu Ular 

menyepi di tempatnya, setelah membawa lari anak pe-

rempuan Ki Rampal Lawu yang masih bayi. Sekarang 

perempuan itu muncul lagi dan menculik Abimanyu. 

Ah! Apakah usia Abimanyu sekarang ini enam belas 

tahun, Adi Teja?" 

"Betul, Kakang."


"Kau bisa menyimpulkan kejadian enam belas 

tahun silam dengan kejadian sekarang?" tanya Ki Ca-

ringin seperti dapat gambaran jelas. 

"Maksud Kakang Ki Caringin?" 

"Dugaanku, anak Rampal Lawu yang diculik 

enam belas tahun lalu kini masih berada di tangan si 

Ratu Ular. Sudah tentu sifat anak Rampal Lawu sama 

persis dengan sifat kebinatangan si Ratu Ular. Karena 

si Ratu Ular mungkin telah menganggap anak Rampal 

Lawu sebagai cucunya, bahkan sebagai anak. Dan se-

karang Abimanyu diculiknya untuk mendampingi hi-

dup anak Rampal Lawu. Sebelumnya, Abimanyu akan 

dididik agar memiliki sifat kebinatangan seperti Ratu 

Ular dan anak Rampal Lawu. Baru setelah itu, kedua-

nya dijodohkan. Dengan demikian cita-citanya untuk 

mengembangkan keturunan Ratu Ular akan tercapai. 

Maka setiap tahun atau mungkin setiap bulan akan 

lahir Ratu Ular yang baru," Ki Caringin menguraikan 

gagasan yang muncul dalam benaknya.

Dugaan Ki Caringin diterima Ki Suteja. Lelaki 

setengah baya pimpinan Desa Gatareja itu nampak 

termenung setelah mendengar penjelasan sahabatnya.

"Kita harus bertindak, Kakang. Aku tidak ingin 

Abimanyu dijodohkan dengan anak Rampal Lawu itu," 

ucap Ki Suteja cemas.

"Itu baru dugaanku, Adi Teja. Kau jangan terla-

lu cemas," cegah Ki Caringin.

"Dugaanmu masuk jalan pikiranku, Kakang 

Caringin," tukas Ki Suteja.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki 

Caringin.

"Aku tak tahu harus berbuat apa, karena itulah 

aku datang ke sini."

"Kesaktian Ratu Ular bukanlah tandingan


orang-orang macam kita yang hanya kenal ilmu olah 

kanuragan secara kasar. Kalaupun kita mengadakan 

perlawanan untuk merebut Abimanyu, kurasa itu 

hanya hal yang sia-sia belaka. Ilmu yang dimiliki Ratu 

Ular sungguh luar biasa. Tokoh-tokoh sakti sekalipun 

sulit untuk menandinginya. Sekarang tindakan yang 

patut hanya-lah menunggu perkembangan. Kalau niat 

Ratu Ular menculik Abimanyu hanya untuk dijodoh-

kan dengan anak Rampal Lawu, kemungkinan besar 

Desa Gatareja terhindar dari malapetaka seperti yang 

dialami Desa Kemuningwaru. Dan untuk kau, Adi Teja. 

Lebih baik relakan Abimanyu demi keselamatan pen-

duduk dan Desa Gatareja," saran Ki Caringin.

Ki Suteja tak berusaha membantah saran Ki 

Caringin. Kepala Desa Gatareja itu hanya memandangi 

wajah sahabatnya yang dulu sama-sama menyaksikan 

keganasan Ratu Ular membinasakan penduduk Desa 

Kemuningwaru dan meratakannya dengan tanah.

"Hari telah larut, Adi Teja. Ada baiknya kau 

menginap semalaman di tempatku. Besok pagi kau ba-

ru pulang," usul Ki Caringin.

Ki Suteja tak dapat membantah permintaan itu. 

Meski pikirannya tengah dilanda kekalutan, kepalanya 

mengangguk juga memenuhi permintaan Ki Caringin.

***


EMPAT



Hari masih gelap, hawa dingin menusuk kulit 

masih terasa begitu kuat. Suara serangga yang bersa-

hutan menandakan alam belum terbangun dari tidur-

nya.


Dalam suasana seperti itu, nampak beberapa 

sosok bayangan berlompatan secara bersamaan. Gera-

kan sosok bayangan yang berjumlah dua belas orang 

itu terlihat begitu ringan dan hati-hati.

"Di sini tempat Abimanyu menghilang, dan di-

usung ular-ular besar itu, Adi Wiranata," suara salah 

satu sosok bayangan yang ternyata Wiluji.

"Hmmm...." Wiranata hanya menarik napas 

mendengar ucapan Wiluji.

"Apa mungkin ular-ular itu membawa Abi-

manyu menuju bangunan tua yang mirip puri itu, Ka-

kang Wiluji?" tanya Wiranata dengan tatapan mata 

mengarah pada bangunan tua yang terletak cukup 

jauh.

"Dugaanku juga begitu, Adi Wira," sahut Wiluji. 

"Kalau begitu, sekarang juga kita bergerak ke sana. 

Moga-moga saja dugaan kita betul dan puri itu tak di-

jaga ketat," putus Wiranata seraya mendahului Wiluji 

dan sepuluh orang murid Padepokan Gatareja.

Menyaksikan Wiranata dan kesepuluh murid 

Padepokan Garateja sudah bergerak, meski berat, Wi-

luji pun mengikuti gerakan mereka yang penuh hati-

hati dan waspada.

Sebenarnya berat hati Wiluji menuruti ke-

mauan Wiranata untuk membebaskan Abimanyu. Wi-

luji sudah dapat memperkirakan bahaya yang akan 

menghadang mereka. Puluhan ular besar dan ratusan 

ular-ular kecil pasti akan menghadang dan mencabik 

tubuh mereka, Bukan itu saja, yang membuat hati Wi-

luji kecut, ular-ular itu seperti tak pernah habis. Mati

satu, datang sepuluh. Mati sepuluh datang tiga puluh.

Namun, untuk menolak keinginan Wiranata, 

merupakan hal yang berat bagi Wiluji. Di samping ti-

dak ingin dicaci Wiranata sebagai lelaki pengecut, di


rinya juga ingin menunjukkan rasa tanggung jawab 

atas lenyapnya Abimanyu.

Angin berhembus cukup kuat, ketika dua belas 

sosok lelaki sudah berada di depan bangunan puri. 

Dua belas lelaki itu sama-sama merasakan hembusan 

angin yang menebar hawa aneh.

"Hembusan angin barusan membuat bulu ku-

duk ku berdiri, Kakang Wiluji," ujar Wiranata pelan.

"Aku juga merasakannya, Adi Wira. Seperti ada 

hawa kematian," timpal Wiluji dengan tatapan mata 

yang membidik tepat bola mata Wiranata. Tatapan Wi-

luji seolah tatapan penyesalan atas keinginan keras 

Wiranata.

"Apa kau merasakannya ketika kau mengawal

Abimanyu bersama Kakang Ludita?" tanya Wiranata

menyelidik ucapan Wiluji.

Wiluji menggelengkan kepala. Namun, seiring 

dengan gelengan kepala lelaki berpakaian warna putih 

itu terdengar suara desisan yang cukup kuat.

Zzzssst...!

Zzzssst...!

Wiluji tersentak kemudian mundur satu lang-

kah. Seraya meloloskan senjata dari tempatnya, Wiluji 

berteriak memperingatkan Wiranata dan kesepuluh 

murid Padepokan Gatareja yang berada di belakang-

nya.

"Hati-hati, Adi Wira! Siapkan senjata kalian!" 

perintah ucapan Wiluji.

Wiranata dan kesepuluh kawannya segera me-

matuhi perintah Wiluji. Dengan gerak cepat mereka 

mencabut senjata masing-masing.

Srat!

Srat!

Wiranata dan kesepuluh murid Padepokan Ga


tareja terperanjat. Di keremangan cahaya bulan, nam-

pak empat ekor ular sebesar paha menghadang lang-

kah Wiranata dan kesepuluh kawannya. Di belakang, 

empat ular besar itu juga nampak puluhan ular kecil 

bergerombol.

Hati Wiranata dan kawan-kawannya semakin 

terkejut menyaksikan ular-ular itu mendesis dan men-

julurkan lidahnya.

"Hati-hati, Adi Wiranata. Binatang-binatang itu 

tak dapat habis meski kita mampu membunuh satu 

per-satu!" tukas Wiluji. "Kalau kita mampu membunuh 

satu, maka sepuluh ekor lagi akan muncul menyerang

mu."

Wiranata sempat menghiraukan peringatan Wi-

luji ketika seekor ular sebesar lengan menyerangnya 

dengan gerakan cepat. dan ganas. Kepala ular itu ber-

gerak ke paha Wiranata, namun rupanya langsung Wi-

ranata mengetahui gerakan itu. Maka dengan gerak 

cepat, Wiranata membabatkan pedangnya ke leher ular 

itu.

Cras!

Tebasan itu tepat mengenai sasarannya.

Kepala ular seketika terputus. Darah pun mun-

crat dari tubuh ular yang tanpa kepala itu.

Belum sempat Wiranata menarik napas, lima 

ekor ular yang lain kembali menyerangnya dengan ce-

pat.

"Uts!"

Serangan ular yang pertama berhasil dielakkan 

Wiranata dengan sedikit mendoyongkan tubuhnya. 

Dan gerakan berputar Wiranata berhasil menebas ke-

pala ular yang menyerangnya, membuat kepala ular 

itu pun terpental ke tanah.

"Awas, Wiranata!" teriak Wiluji.


Wiranata membalikkan badannya cepat ketika 

mendengar teriakan Wiluji. Putra kedua Ki Suteja itu

kembali menunjukkan kehebatannya dalam permain-

an pedang. Sekali hentak saja, ular yang menyerang-

nya dari belakang seketika menggelepar dengan kepala 

terputus.

Zzzssst...!

Suara desisan kembali terdengar. Zzzssst..!

Empat ular sebesar paha yang sejak tadi hanya 

diam, mendesis bersahutan. Begitu kuat desisan yang 

dikeluarkan empat ekor ular besar itu seperti suatu 

perintah pada ular-ular yang lain agar melakukan pe-

nyerangan secara serentak.

Seiring dengan berhentinya desisan, sekawanan 

ular sebesar tangan bocah serentak bergerak menye-

rang. Begitu cepat gerakan yang dilakukan ular-ular 

itu hingga membuat Wiranata, Wiluji, dan sepuluh le-

laki murid Padepokan Gatareja tak sempat menghin-

dar.

"Hih!"

Cras!

Cras!

Suara tebasan senjata Wiranata, Wiluji, dan ka-

wan-kawannya menebasi ular-ular itu. Gerakan pe-

dang mereka begitu cepat. Meskipun gerakan itu nam-

pak serampangan, puluhan ekor ular terpenggal dan 

bergeletakan menjadi bangkai. Darah pun mulai mem-

basahi tanah sekitar daerah pertempuran.

Akan tetapi, semakin lama pertempuran itu, 

semakin tak nampak sedikit pun tanda bakal selesai. 

Sementara tenaga yang dimiliki Wiranata, Wiluji, dan 

sepuluh lelaki murid Padepokan Gatareja sudah sema-

kin terkuras.

"Jumlah binatang-binatang itu bukan berku


rang, Kakang Wiluji," ujar Wiranata ketika kedua 

punggung mereka saling bertemu.

"Sudah ku jelaskan padamu, Adi Wira," sahut 

Wiluji.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Wi-

ranata.

Nampak ada nada kegentaran dari pertanyaan 

Wiranata.

"Sebisa mungkin kita menghindari binatang-

binatang berbisa itu," tukas Wiluji.

"Aku setuju," ucap Wiranata.

Putra kedua Ki Suteja bermaksud mundur dari 

arena pertarungan, namun niat itu nampak seperti 

sudah tercium oleh ular-ular itu. Binatang-binatang 

melata itu malah memperhebat serangannya.

Tuk! Tuk!

"Akh!"

"Aaa...!"

Dua lelaki murid Padepokan Gatareja seketika 

rebah terpagut ular berbisa itu. Hanya beberapa saat 

kedua lelaki itu menggelinjangkan tubuhnya, kemu-

dian tubuh mereka berubah kaku dengan bagian kulit

membiru.

"Ganas sekali racun ular itu, Kakang Wiluji," 

ujar Wiranata setelah menyaksikan kematian yang cu-

kup mengerikan dua murid Padepokan Gatareja.

"Awas, Adi Wira!" teriak Wiluji sambil memba-

batkan pedangnya, ketika melihat seekor ular menye-

rang Wiranata.

"Hih!"

Cras!

Sabetan itu berhasil menggagalkan serangan 

ular ganas itu.

Pertempuran antara manusia dengan binatang


melata terus berlanjut. Wiranata, Wiluji, dan murid 

Padepokan Gatareja yang masih hidup harus berjuang 

keras untuk dapat mempertahankan hidup. Mereka 

tak menghiraukan kelelahan yang semakin terasa. 

Senjata-senjata mereka terus berkelebat mencari sasa-

ran.

Akan tetapi, sampai seberapa kekuatan mereka 

untuk dapat bertahan, jika jumlah ular-ular berbisa 

itu semakin lama bukan semakin berkurang. Dari ma-

na datangnya binatang-binatang itu tak satu pun di 

antara mereka yang tahu. Hati mereka mulai terasa 

keder dan takut.

"Rasanya kita tak akan mampu bertahan, Ka-

kang Wiluji," ucap Wiranata dengan napas tersengal, 

sementara keringat telah membasahi sekujur tubuh-

nya.

"Berusahalah terus untuk bertahan, Adi Wira," 

perintah Wiluji sambil mengayunkan pedang menebas 

leher ular yang hendak memagutnya.

"Hih!"

Cras!

Kembali seekor ular menggelepar terbabat teba-

san senjata Wiluji. Namun, Wiluji tak melihat kalau 

dari samping kirinya, seekor ular yang lain telah men-

gancamnya. Ular itu bergerak cepat memagut pinggang 

Wiluji yang tengah sibuk menghindari pagutan ular 

dari depan. Akibatnya....

Tuk!

"Aaa...!"

Wiluji terpekik keras ketika pinggangnya terpa-

gut ular sebesar paha. Dirasakan pinggangnya seolah 

patah. Kepalanya seperti berputar hebat dan seluruh 

kulit tubuhnya terasa begitu gatal.

Tubuh Wiluji pun ambruk ke tanah. Di situlah


kejadian aneh terlihat oleh Wiranata. Dia benar-benar 

terkejut dan tak percaya, menyaksikan tubuh Wiluji ti-

ba-tiba berubah menjadi seekor ular besar dan berge-

rak bergabung dengan empat ular besar yang lain.

Sungguh aneh kejadian ini, batin Wiranata.

Tiba-tiba terdengar teriakan dua orang kawan-

nya.

"Aaa...!"

"Aaa...!"

Wiranata kembali terhenyak menyaksikan ke-

matian dua murid Padepokan Gatareja. Putra kedua Ki 

Suteja itu merasa dirinya pun akan mendapat giliran. 

Maut pun sebentar lagi akan menjemputnya. Namun, 

dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Wiranata bertekad 

untuk tetap memberikan perlawanan.

Ketika beberapa ekor ular kembali menyerang-

nya, dengan kegeraman yang luar biasa Wiranata me-

nebaskan pedangnya diiringi dengan pekikan mengge-

legar membumbung ke angkasa.

Cras!

Cras!

Beberapa ekor ular yang berusaha memagut 

Wiranata seketika terpental dengan kepala terputus. 

Begitu juga dua ular lain yang menyusul belakangan, 

ter-geletak di tanah menjadi bangkai.

Wiranata sempat menarik napas lega merasa 

usahanya tak sia-sia. Namun, puluhan ular masih 

dengan ganas mengancamnya. Mau tak mau Wiranata 

masih harus lebih waspada dan berjuang jika tak ingin 

nyawanya melayang.

Beberapa saat lamanya Wiranata masih sempat 

menebarkan pandangan ke sekeliling. Tak terasa fajar 

sudah menyingsing. Sinar kemerahan di langit sebelah 

timur telah mulai menerangi bumi.


"Hhh...." Wiranata menarik napas dalam-dalam, 

secercah harapan seketika terbersit di hatinya. Wirana-

ta berharap ada orang yang melewati tempat pertarun-

gan itu.

Zzzssst...! Zzzssst..!

Empat ekor ular besar kembali mendesis ber-

sahutan. Ular-ular kecil yang lain kembali mengepung 

Wiranata.

Putra kedua Ki Suteja nampak menegangkan 

seluruh otot-ototnya, jari-jari tangannya menggenggam 

pedang kuat-kuat. Dirinya sudah siap menghadapi 

keadaan yang seburuk apa pun.

Namun di luar dugaan Wiranata, tak satu pun 

di antara puluhan ular berbisa itu yang bergerak me-

nyerangnya. Wiranata bingung dan merasa aneh meli-

hat kelakuan binatang-binatang buas itu, apalagi keti-

ka menyaksikan ular-ular berbisa itu bergerak perla-

han mendekati tubuhnya. Desisan-desisan yang keluar 

seiring dengan lidah-lidah yang terjulur begitu teratur, 

hingga mengesankan lantunan irama yang mengan-

dung arti-arti tertentu.

Zzzssst...

Desisan itu terdengar semakin teratur. 

Zzzssst...

Wiranata tak bergerak sedikit pun menyaksikan 

tingkah ular-ular itu. Namun, di tengah keterpakuan-

nya, pikiran Wiranata berputar mencari kemungkinan 

tindakan terbaik.

Apakah aku harus menunggu ular-ular berbisa 

itu mendekat, atau bergerak cepat sekarang? Bisik hati

Wiranata.

Sementara cekalan tangannya pada gagang pe-

dang semakin dipererat.

Ah! Hati Wiranata berontak. Aku harus menda


hului menerjang ular-ular ganas itu, sebelum tubuhku

tercabik-cabik.

Setelah Wiranata betul-betul mantap dengan 

pikirannya, segera mengangkat pedangnya tinggi-

tinggi. Diiringi dengan lengking menggelegar, tubuh 

Wiranata melesat secepat kilat.

"Hiyaaa...!"

Pedang Wiranata seketika berputar hebat. Begi-

tu cepat putaran pedang yang dilakukan Wiranata 

dengan sekuat tenaga, hingga wujud pedang tak nam-

pak, hanya sinar keperakan yang berpendar, mem-

buyarkan kepungan ular-ular berbisa itu.

"Hiyaaa...!"

Wuuut!

Cras! Cras!

Beberapa ekor ular sebesar lengan seketika ber-

tumbangan tertebas pedang. Wiranata mengamuk ba-

gai banteng terluka.

Namun, seberapa pun kekuatan tenaga Wirana-

ta, nampaknya tak akan mampu menandingi serangan 

ular-ular yang jumlahnya bukan semakin berkurang. 

Dan ketika Wiranata lengah karena terlampau lelah, 

seketika itu juga serangan berbahaya seekor ular cok-

lat kehitaman mengancam jiwanya. 

Tuk! 

"lh?!"

Wiranata terkejut mendapatkan serangan yang 

begitu cepat, tapi untung pagutan ular itu meleset dan 

hanya mengenai pakaian Wiranata.

Wiranata segera mengubah letak berdirinya, ke-

tika lima ekor ular hendak menyerangnya. Namun pu-

luhan ekor ular yang lain terlihat siap melancarkan se-

rangan. Begitu pula dengan beberapa ular yang berada 

di samping kirinya. Keadaan ini benar-benar membuat


kalut pikiran Wiranata.

"Ah!"

Wiranata bingung, tak tahu mana yang harus 

dibabat lebih dulu. Sedangkan untuk menebas semua 

secara bersamaan dengan mengandalkan kecepatan 

gerak, hal yang mustahil. Kekuatan tenaganya kini 

sangat terbatas. Lagi pula, jumlah ular-ular itu terlalu 

banyak.

Di tengah kebingungan, Wiranata akhirnya 

memutuskan menyerang binatang yang lebih dekat 

dan yang lebih dulu menyerangnya.

Zzzssst..!

Suara desisan masih terdengar bersahutan. 

"Hiyaaa...!"

Wiranata berteriak menggelegar sambil meng-

ayunkan pedang.

Namun, tiba-tiba....

Slaps....

Wiranata terkejut ketika melihat kelebat bayan-

gan kuning keemasan melesat. Begitu cepat gerakan 

sosok kuning keemasan itu mendekati tubuhnya. Se-

hingga, Wiranata tak menyadari kalau tiba-tiba saja 

tubuhnya sudah berada dalam bopongan lelaki berpa-

kaian kuning keemasan itu. Lelaki yang membopong 

tubuhnya melompat beberapa batang tombak dari bi-

natang-binatang berbisa yang mengepungnya.

Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ter-

nyata adalah Jaka segera menurunkan tubuh Wirana-

ta. Wiranata sempat mengagumi kehebatan pemuda 

itu. Namun Wiranata menoleh ketika disaksikannya 

ular-ular berbisa itu bergerak mengejarnya.

"Binatang-binatang itu bukanlah jenis binatang 

sembarangan, mereka seperti ada yang mengendali-

kan," ucap Jaka.


"Aku juga menduga begitu, Kisanak," timpal 

Wiranata. "Hati-hatilah menghadapi mereka!"

"Aku tak berniat menghadapi ular-ular itu, Ki-

sanak," bantah Jaka. "Aku hanya ingin memberi pela-

jaran sedikit pada binatang-binatang itu," lanjutnya.

"Apa yang akan kau lakukan, Kisanak?" tanya 

Wiranata penasaran.

"Kau lihatlah nanti," jawab Jaka seraya me-

nyiapkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang dida-

patnya dari Eyang Putra Selasih.

Jaka, lelaki muda usia berjuluk Raja Petir sege-

ra memundurkan langkah hingga membentuk kuda-

kuda rendah. Tangannya yang diletakkan di pinggang 

membentuk kepalan dengan otot-otot yang menegang 

kaku. Dan ketika puluhan ular berbisa itu meluruk ke 

arahnya, Jaka segera melepaskan pukulan dengan te-

lapak tangan terbuka lebar. Wusss...!

Hembusan angin keras seketika terlepas dari 

telapak tangan Raja Petir. Pusaran angin itu meluruk 

cepat, menghadang serbuan binatang-binatang berbi-

sa.

Bresss!

Puluhan ular yang menuju Jaka seketika ber-

pentalan ketika hembusan angin bergulung menerjang.

Wiranata tak berkedip menyaksikan kehebatan 

pukulan jarak jauh yang dilakukan Jaka. Sekilas tata-

pannya tertuju pada binatang-binatang berbisa yang 

tak berkutik lagi. Kemudian segera menatap kembali 

wajah tampan lelaki yang menolongnya.

"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Kisa-

nak," ajak Jaka mencoba melepas tatapan Wiranata 

yang terkagum-kagum. 'Tak akan ada habisnya meng-

hadapi binatang-binatang suruhan itu."

Wiranata tak mempedulikan ajakan Jaka. Na


mun, ketika Jaka betul-betul berlalu dari hadapannya, 

seketika itu Wiranata menghentakkan kakinya ke ta-

nah. 

"Hup?"

***

LIMA



"Aku kagum dengan kedahsyatan pukulan ja-

rak jauh milikmu, Kisanak," ujar Wiranata setelah be-

rada di samping Jaka.

Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang 

berjuluk Raja Petir tak mempedulikan pujian Wiranata. 

Tetapi matanya melirik sekilas ke wajah Wiranata.

"Ada urusan apa dengan binatang-binatang me-

lata itu, Kisanak?" tanya Raja Petir datar seraya mem-

perlambat larinya.

Wiranata tak segera menjawab pertanyaan Ja-

ka. Putra Ki Suteja itu nampak sibuk mengatur nafas-

nya yang terengah-engah.

"Namaku Wiranata. Aku sampai lupa berterima 

kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak keberatan 

aku ingin tahu namamu," ujar Wiranata.

"Namaku Jaka," jawab Raja Petir.

Wiranata nampak tak tergugah sedikit pun ke-

tika Raja Petir menyebutkan namanya. Mulutnya diam, 

tetapi matanya terus menatap tajam wajah Jaka.

"Kalau tidak ada Kakang Jaka, mungkin aku 

sudah jadi bangkai, atau mungkin ditawan seperti Abi-

manyu," ucap Wiranata dengan tatapan mata yang tak 

lepas dari wajah Raja Petir.

"Jangan panggil aku 'Kakang', Wira. Kurasa


usia kita sebaya," sahut Raja Petir. "Dan pertolongan 

tadi hanyalah semata berkat kasih sayang sang Pen-

cipta Alam ini. Aku sendiri tak akan mampu berbuat 

apa-apa tanpa seizin-Nya."

Kini ganti Raja Petir yang menatap wajah Wira-

nata.

"Sebenarnya apa yang tengah terjadi atas diri-

mu? Siapa itu Abimanyu yang tadi kau katakan dita-

wan?" selidik Jaka.

"Ini semua memang kesalahanku sendiri, Jaka. 

Aku telah melanggar larangan yang telah ditetapkan 

ayahku," tukas Wiranata.

Putra Ki Suteja pun menceritakan kejadian se-

sungguhnya.

"Jadi menurut kalian, sekarang ini Abimanyu 

berada dalam Puri Ular?" tanya Jaka.

"Ayahku memperkirakannya begitu, Jaka. Se-

suai dengan laporan yang didapatnya dari Wiluji," jelas 

Wiranata.

"Begitulah, Jaka. Hingga sebelum fajar tadi aku 

nekat hendak menyelamatkan Adikku Abimanyu, na-

mun kenyataannya? Satu orang kepercayaan ayahku 

tewas bersama dengan sepuluh orang murid Padepo-

kan Gatareja," lanjut Wiranata sambil melempar pan-

dang ke sekeliling.

Jaka menganggukkan kepalanya perlahan 

mendengar cerita Wiranata.

Sebuah kejadian yang aneh dan cukup menarik 

untuk kuikuti, batin Jaka.

Raja Petir bergerak tiga langkah dari hadapan 

Wiranata, tapi sebentar kemudian sudah mendekati 

kembali Wiranata.

"Apa kau masih punya niat untuk membe-

baskan Abimanyu?" tanya Jaka.



Wiranata menggelengkan kepala perlahan. "En-

tahlah," jawab Wiranata pelan. "Sekarang aku ingin 

menuruti apa saja kata ayahku. Kalau memang ayah-

ku ingin menyatroni Puri Ular itu, aku akan meng-

ikutinya. Kuharap kau juga bersedia membantu kami, 

Jaka. Ku saksikan kemampuanmu begitu hebat."

Jaka alias Raja Petir cuma tersenyum menden-

gar ucapan Wiranata.

"Kemampuanku sebetulnya tak berbeda terlalu 

jauh dengan kemampuanmu, Wira. Aku juga masih 

menyangsikan apakah aku dapat membantu kalian," 

ucap Jaka merendah. "Tapi, karena aku tertarik den-

gan kejadian ini, aku bersedia berdiri di belakang 

ayahmu," lanjutnya.

Wiranata tersenyum mendengar kesanggupan 

Jaka. Tangannya seketika terulur menjabat tangan Ra-

ja Petir.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Jaka. Dengan 

bantuanmu, semoga Ratu Ular dapat tersingkir dari 

muka bumi ini," ujar Wiranata sambil menggenggam 

telapak tangan Raja Petir.

"Ratu Ular...?" tanya Jaka terkejut. 

“Ya, Ratu Ular. Kau pernah bertemu dengan to-

koh itu?" selidik Wiranata.

"Tidak. Aku hanya pernah mendengar dari pa-

man ku tentang kehebatan dan sepak terjangnya di 

dunia persilatan," jawab Raja Petir.

Namun, hatinya masih ragu, apakah betul da-

lang dari kejadian ini adalah si Ratu Ular? Seorang pe-

rempuan tua berusia lanjut yang memiliki kesaktian 

begitu tinggi dan ilmu sihir yang tak bisa dipandang 

remeh.

"Sebaiknya kita cepat menemui ayahku, Jaka. 

Aku khawatir ayah cemas mencariku," ajak Wiranata.


"Ayolah!"

"Hup!"

"Hip!"

Kedua lelaki itu segera meninggalkan tempat 

itu. 

***

Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja begitu tercen-

gang melihat kedatangan Wiranata bersama dengan 

sosok lelaki muda yang namanya tengah santer dibica-

rakan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Ki Suteja 

sungguh tak menduga, tokoh muda yang digdaya itu 

akan hadir di tengah-tengah kemelut yang dihada-

pinya.

"Ah, selamat datang Raja Petir. Aku senang 

menerima kehadiranmu di tengah-tengah kemelut ini," 

sambut Ki Suteja sambil merundukkan badannya.

Wiranata tentu saja terkejut mendengar ucapan 

ayahnya, terlebih dengan sikap ayahnya yang begitu 

menaruh hormat pada Jaka.

Raja Petir? Ulang Wiranata dalam hati. Apakah 

lelaki semuda ini yang berjuluk Raja Petir?

Tiba-tiba saja ada rasa malu menyeruak masuk 

ke hati Wiranata. Wajahnya berubah merah padam 

mengingat kelakukannya terhadap Jaka tadi.

"Maafkan aku, Kakang Jaka. Aku sungguh tak 

tahu kalau kau ternyata Raja Petir yang kesohor itu," 

ucap Wiranata seraya menjura memberi hormat.

Jaka tentu saja jadi tak enak hati mendapatkan 

perlakuan seperti itu. Segera tangannya menyentuh 

punggung Wiranata yang tengah menjura memberi 

hormat.

"Jangan berbuat seperti itu untukku, Wira," ce


gah Jaka pelan. "Apalah beda diriku dengan kau dan 

juga dirimu, Ki."

"Panggil aku Ki Suteja, Raja Petir," pinta Ki Su-

teja.

"Dan panggil juga aku Jaka, Ki Suteja. Jangan 

panggil aku dengan julukan itu!" balas Jaka.

"Kau terlalu merendah, Jaka," selak Ki Suteja. 

"Namun, justru kerendahan hatimu itu yang meng-

angkat namamu di rimba persilatan ini. Selain kesak-

tian mu, sikap itu pula yang telah membuat namamu

harum," lanjut Ki Suteja terus terang.

"Kau terlalu berlebihan memujiku, Ki," sahut 

Jaka.

Kepala Desa Gatareja tersenyum mendengar 

ucapan lelaki muda berpakaian kuning keemasan itu. 

Sekilas, mata Ki Suteja beralih menatap tajam wajah 

Wiranata.

"Apa yang telah kau lakukan di pagi buta itu, 

Wira?!" sentak Ki Suteja berang. "Kau tahu kalau tin-

dakan itu tak lebih dari sekadar bunuh diri? Kemam-

puanmu dalam ilmu silat belum seberapa, Wira! Kena-

pa kau berani menyatroni Puri Ular itu? Seharusnya 

kau sadari hal itu. Meski membawa sepuluh orang mu-

rid Padepokan Gatareja dan juga Wiluji, tindakanmu 

itu tak ada artinya bagi Ratu Ular!"

Ki Suteja terus memarahi Wiranata yang diang-

gapnya telah lancang dengan tindakannya.

Wiranata tertunduk mendengar perkataan ayah 

nya. Sungguh dirinya mengakui kebenaran kata-kata 

ayahnya. Kini baru hatinya menyesal telah menerjang 

larangan ayahnya yang mengakibatkan kematian sepu-

luh orang murid Padepokan Gatareja dan Wiluji. 

"Aku sadar, Ayah," jawab Wiranata pelan.

"Hmmm...." Ki Suteja menarik napas dalam


dalam.

"Ah, maaf Jaka. Terpaksa sekali aku memarahi 

Wiranata di hadapanmu. Anakku itu memang keras 

kepala dan selalu gegabah dalam bertindak. Namun,

dengan kemarahanku barusan kuharap dia bisa beru-

bah," ucap Ki Suteja merasa tak enak hati pada Raja 

Petir.

'Tak apa, Ki Suteja," balas Jaka.

"Tinggalkan kami, Wira. Ayah ingin berbincang-

bincang dengan Jaka," pinta Ki Suteja kemudian.

Wiranata tentu saja tak menunggu perintah itu 

terucap dua kali dari bibir ayahnya. Namun, sebelum 

beranjak meninggalkan tempatnya, Wiranata terlebih 

dulu menundukkan kepalanya pada Jaka.

"Saya tinggal, Kakang Jaka," ucap Wiranata se-

raya memberi hormat.

Jaka pun melakukan hal yang sama.

"Silakan, Adi Wira," balas Jaka.

***

"Bagaimana mulanya hingga kau bisa berjalan 

seiring dengan Wiranata, Jaka?" tanya Ki Suteja sete-

lah mengajak Jaka masuk ke ruang pribadinya.

"Aku hanya kebetulan lewat di tempat itu, Ki. 

Awalnya aku hanya mendengar suara teriakan nyaring, 

seperti suara pertempuran. Kenyataannya memang be-

gitu. Namun, aku sempat terkejut menyaksikan Wira-

nata bertarung melawan puluhan ular berbisa. Ah, un-

tung Yang Kuasa masih memberkati usahaku, Ki. Ka-

lau tidak, mungkin aku dan Wiranata sama-sama su-

dah menjadi bangkai, disantap binatang-binatang ber-

bisa itu," papar Jaka.

Kepala Desa Gatareja mengangguk-anggukkan


kepala mendengar cerita Jaka. Tiba-tiba di hatinya 

muncul perasaan tenang, meskipun sebenarnya beban 

berat masih bergayut di hatinya. Kedatangan Raja Petir 

dirasakan begitu tepat, ketika sedang terjadi kemelut 

yang melanda desanya.

"Ku nyatakan terus terang Jaka, bahwa aku 

sangat membutuhkan bantuan dari orang semacam 

kau. Tak terpikirkan oleh ku, bagaimana nanti kea-

daan Desa Gatareja tanpa kehadiran tokoh sakti yang 

mampu mengatasi kesaktian Ratu Ular. Aku tak ingin 

menyaksikan Desa Gatareja mengalami nasib sama 

dengan Desa Kemuningwaru, hancur dan rata dengan 

tanah," ucap Ki Suteja dengan nada getir.

"Apa Ki Suteja yakin kalau Ratu Ular akan me-

lakukan hal yang sama dengan Desa Kemuningwaru?"

"Itu dugaanku saja, Jaka. Karena kejadian ini 

sama persis dengan kejadian enam belas tahun lalu 

terhadap Desa Kemuningwaru," jawab Ki Suteja.

"Maksud Ki Suteja?" tanya Raja Petir belum me-

mahami ucapan Ki Suteja.

"Beberapa had setelah Ratu Ular menculik anak 

perempuan Ki Rampal Lawu, malapetaka bagi Kemu-

ningwaru pun menyusul. Penduduk dan wilayah ke-

kuasaan Ki Rampal Lawu menyatu dengan tanah. Tak

terkecuali Ki Rampal Lawu sendiri," jelas Ki Suteja.

"Maaf, Ki. Kalau aku boleh tahu, apa hubungan 

Ki Suteja dengan Ki Rampal Lawu?"

"Ki Rampal Lawu sahabat sepermainan ku, Ja-

ka. Namun di samping itu, kami sama-sama menuntut 

ilmu silat di dalam perguruan yang sama," jelas Ki Su-

teja.

"Lalu untuk apa Ratu Ular menculik anak pe-

rempuan Ki Rampal Lawu dan juga Abimanyu? Apa 

yang dilakukan Ratu Ular itu masih tetap berkaitan?"


tanya Jaka lebih jauh.

Sejenak Kepala Desa Gatareja menatap wajah 

Jaka. Lelaki Kepala Desa Gatareja itu nampak kagum 

dengan kejelian anak muda berpakaian kuning keema-

san dalam mengajukan pertanyaan.

"Setelah aku menemui Ki Caringin, kami se-

pendapat kalau peristiwa ini sating berkaitan," papar 

Ki Suteja.

"Ki Caringin," ulang Raja Petir perlahan. "Dia 

sahabatku, juga sahabat Rampal Lawu," jelas Ki Sute-

ja.

Kepala Desa Gatareja membuang sebentar ta-

tapannya ke lain tempat, dari mulutnya seketika men-

galir cerita tentang perjumpaannya dengan Ki Carin-

gin. Mereka berdua berkesimpulan, bahwa Abimanyu 

akan dijodohkan dengan anak perempuan Ki Rampal 

Lawu yang sampai saat ini masih dikuasai Ratu Ular.

"Kesimpulan kalian masuk akal, Ki Suteja. Dan 

berarti, kita harus berhadapan dengan dua perempuan 

yang memiliki kesaktian tak jauh berbeda. Sebab, bu-

kan mustahil Ratu Ular telah menurunkan seluruh il-

munya pada anak Ki Rampal Lawu yang sudah di-

anggap sebagai cucu atau bahkan anaknya," ucap Ja-

ka menyimpulkan cerita Ki Suteja.

"Apa mungkin ilmu sihir Ratu Ular juga ditu-

runkan keseluruhan pada anak Ki Rampal Lawu?" ujar 

Ki Suteja seperti pada dirinya sendiri.

Jaka bukan tidak mendengar perkataan Ki Su-

teja yang diucapkan begitu pelan. Pendengarannya 

yang sudah cukup terlatih memungkinkan untuk me-

nangkap suara sekecil apa pun.

"Kurasa ilmu sihir itu juga akan diturunkan se-

cara keseluruhan," tanpa tekanan kuat ucapan mulut 

Jaka, karena tak ingin kalau Ki Suteja menganggap di


rinya lebih tahu akan hal itu. 

"Bukankah Ki Suteja dan Ki Caringin berke-

simpulan kalau si Ratu Ular berhajat mengembangkan 

keturunan yang mampu mewarisi ilmunya dan melan-

jutkan cita-citanya?" lanjut Jaka se-raya menatap wa-

jah Kepala Desa Gatareja.

"Aku tak setuju kalau Abimanyu dijodohkan 

dengan anak Ki Rampal Lawu yang tidak mustahil 

berwatak seperti si Ratu Ular," ucap Ki Suteja.

"Itu berarti Ki Suteja sudah siap mengalami na-

sib seperti Ki Rampal Lawu dan desanya," selak Jaka 

mencoba mengorek keyakinan hati Kepala Desa Gata-

reja.

"Aku memang harus siap, Jaka. Apalagi sudah 

ku saksikan sendiri kekejaman Ratu Ular terhadap 

Rampal Lawu. Dan kesiapan ku juga berkat kehadiran-

mu di sini," jawab Ki Suteja mantap.

Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir baru hen-

dak menimpali ucapan Kepala Desa Gatareja ketika ti-

ba-tiba seseorang datang dengan tergopoh-gopoh me-

nemui Ki Suteja.

"Ada apa Janing? Kenapa kau begitu tergesa-

gesa seperti itu?" tanya Ki Suteja pada seorang lelaki 

yang juga murid Padepokan Gatareja.

'Tiga orang lelaki mengamuk di depan padepo-

kan, Ki," jawab lelaki yang bernama Janing.

"Mengamuk? Siapa mereka?"

"Bukan orang Desa Gatareja, Ki. Mereka meng-

aku dari Perguruan Jari Malaikat," jawab Janing.

"Perguruan Jari Malaikat?" tanya Ki Suteja dan 

Jaka hampir berbarengan.

"Aku tak pernah punya urusan dengan mereka, 

kenapa mereka mengamuk di sini? Ah! Maaf, Jaka. 

Kau kutinggal dulu, aku harus mengetahui duduk per


kara ini secepatnya," ucap Ki Suteja pada Jaka.

"Aku juga ingin melihat orang-orang Perguruan 

Jari Malaikat itu, Ki," pinta Jaka.

"Aku tak ingin tanganmu kotor karena urusan 

sepele ini, Jaka," larang Ki Suteja halus.

"Tidak begitu, Ki. Aku nanya ingin mendampin-

gi mu saja. Barangkali nanti kehadiranku dibutuh-

kan," tukas Jaka.

"Terserah kaulah, Jaka."

Ki Suteja segera melesat cepat, sesaat setelah 

memandang wajah Jaka. Gerakan kaki yang ringan itu 

menandakan kalau Ki Suteja bukan orang sembarang-

an.

Sementara lelaki yang berjuluk Raja Petir hanya 

mengekor perlahan di belakang.

***

Tidak lama kemudian Ki Suteja telah sampai di 

depan Padepokan Gatareja.

"Ha ha ha.... Rupanya kau lelaki tua yang men-

jadi kepala desa dan sekaligus memimpin, Padepokan 

Gatareja ini? Ha ha ha.... Tua Bangka! Apakah tak di-

ajari murid-muridmu cara membunuh orang lain den-

gan baik, hingga jejak pembunuhan itu tak tercium ke-

rabat-kerabat terbunuh?" ucap salah seorang dari tiga 

lelaki yang mengaku dari Perguruan Jari Malaikat,

Lelaki bertubuh tinggi besar dengan cambang 

yang kasar kecoklatan itu menatap wajah Ki Suteja 

cukup tajam.

"Seharusnya kau berhati-hati dengan ucapan 

dan tindakanmu itu, Kisanak," tegur Ki Suteja tenang.

"Julukanku Malaikat Lengan Tunggal, tak ada 

seorang pun berhak mengatur segala ucapan dan tin


dakan ku!" hardik lelaki bercambang bauk kemerahan 

sambil menepuk dadanya yang besar.

"Hmmm.... Di balik julukanmu yang angker itu, 

kau pasti punya nama yang tak kalah seram bukan?" 

pancing Ki Suteja.

"Namaku Jatayu!"

"Bagus! Lalu apa urusanmu mendatangi desa 

ini dengan membuat kegaduhan semacam ini. Kau ta-

hu, kalau aku tengah menyambut kedatangan tamu 

penting?!"

"Apa aku tak kalah penting? Kedatanganku ke 

tempat itu patut kau perhitungkan, Tua Bangka! Kare-

na aku ingin membuat perhitungan denganmu, dengan 

Padepokan Gatareja dan juga dengan desa ini."

"Hhh.... Aneh sekali ucapanmu itu, Jatayu," tu-

kas Ki Suteja dengan sengaja tak memanggil julukan-

nya. "Perhitungan apa yang kau maksudkan itu?"

"Nyawa!" jawab Malaikat Lengan Tunggal.

"Nyawa?'.' ulang Ki Suteja tak mengerti.

"Muridmu telah merenggut nyawa seorang mu-

rid kesayanganku, dan itu harus kau tebus dengan 

harga yang mahal!"

"Seberapa mahalnya tebusan itu, Jatayu?"

"Tak terhingga, Tua Bangka! Nyawamu, nyawa 

murid-muridmu dan desa ini!"

"Huh! Tidakkah tebusan itu terlalu berlebihan. 

Lagi pula bukti tuduhanmu itu belum cukup kuat," 

sangkal Ki Suteja.

"Sebelum mati, murid kesayanganku itu sempat 

mengatakan, bahwa orang-orangmu yang melakukan-

nya."

"Apakah perkataan muridmu bisa dipercaya?"

"Kurang ajar! Kau memang pengecut, Tua 

Bangka! Sebaiknya kau cepat-cepat menyingkir dari


muka bumi ini!"

Lelaki bercambang kasar kecoklatan bergerak 

cepat diiringi dengan teriakan yang cukup keras. Na-

mun, belum lagi gerakannya mencapai tubuh Kepala 

Desa Gatareja, sebuah bentakan keras yang dikelua-

rkan dengan pengerahan tenaga dalam seketika ter-

dengar.

"Tahaaan...!"

Malaikat Lengan Tunggal seketika menghenti-

kan gerakannya. Lelaki tinggi besar itu merasakan tu-

buhnya bergetar sedikit, akibat pengaruh dari benta-

kan yang dialiri kekuatan tenaga dalam.

"Hup!"

Jaka melentingkan tubuhnya dengan ringan 

dan mendarat dengan manis di sisi kiri Ki Suteja.

"Maaf, Ki Jatayu. Akulah yang menahan gera-

kanmu," ucap Jaka sesaat setelah menyaksikan mata 

Malaikat Lengan Tunggal berputar-putar mencari 

sumber suara bentakan yang barusan dilakukannya.

"Hhh! Lancang sekali kau melakukan itu pada 

Malaikat Lengan Tunggal, kau tahu apa akibatnya?!" 

hardik Jatayu keras.

Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang 

berjuluk Raja Petir menatap wajah Malaikat Lengan 

Tunggal dengan tenang.

Lelaki yang bertangan satu ini tak senang men-

dapatkan tatapan Raja Petir. Dengan cepat matanya 

membalas menatap tajam Raja Petir, namun mata Ma-

laikat Lengan Tunggal tak mampu beradu tatap terlalu 

lama. Segera dengan cepat dilemparkan tatapannya 

pada Ki Suteja.

"Bukankah pemuda itu yang berjuluk Raja Pe-

tir, Kakang Saladu?" tanya salah seorang rekan Jatayu 

pada kawannya yang di mata sebelah kirinya tertanam


sebilah pisau pipih hitam.

"Benar, Wikuta. Ciri-cirinya menunjukkan dia 

lah anak muda yang berjuluk Raja Petir itu," jawab le-

laki yang bernama Saladu pelan.

Saladu, lelaki yang mata kirinya tertancap sebi-

lah pisau pipih hitam itu segera menghampiri Malaikat 

Lengan Tunggal, dan membisikkan sesuatu pada lelaki 

bercambang bauk itu.

"Kusangka juga begitu, Saladu," jawab Malaikat 

Lengan Tunggal. "Tapi aku harus mengatakan sesuatu 

pada mereka."

"Cepatlah!" sahut Saladu yang sesungguhnya 

berjuluk Malaikat Mata Tunggal.

Jatayu menggeser kakinya sedikit, lalu berkata 

dengan lantang kepada Ki Suteja.

"Tua Bangka! Beruntung sekali kali ini kau di-

dampingi seorang tokoh yang tengah santer dibicara-

kan orang-orang kalangan persilatan, namun jangan 

harap bisa terbebas dari tuntutan ku. Kami Malaikat 

Lengan Tunggal, Malaikat Mata Tunggal dan Malaikat 

Rambut Merah akan tetap menggugat nyawamu!"

Malaikat Lengan Tunggal menoleh ke wajah ke-

dua kawannya, "Dan untukmu, Raja Petir. Jangan kau 

anggap tiga tokoh Perguruan Jari Malaikat takut ber-

hadapan denganmu, cuh! Sumpah, demi langit dan 

bumi kami tak pernah gentar menghadapi Bocah Ingu-

san macam kau!" keras ucapan yang keluar melalui 

mulut Jatayu. "Kalau sekarang kami membatalkan 

rencana semula, itu karena kami masih memberi ke-

sempatan agar kalian siap menghadapi tiga malaikat 

dari Perguruan Jari Malaikat!" lanjut Jatayu si Malai-

kat Lengan Tunggal.

Selesai mengucapkan ancaman lelaki bercam-

bang bauk kasar kemerahan itu kembali menoleh ke



Malaikat Mata Tunggal dan Malaikat Rambut Merah. 

Ketiganya saling tatap sesaat.

"Ayo Saladu, Wikuta!" ajak Jatayu sambil 

menghentakkan kakinya kuat-kuat.

"Hip!"

Tubuh Malaikat Lengan Tunggal seketika mele-

sat cepat. Gerakannya begitu ringan dan manis, me-

nunjukkan kalau ilmu peringan tubuhnya sudah san-

gat tinggi.

Begitu juga dengan kedua kawannya, Malaikat 

Mata Tunggal dan Malaikat Rambut Merah. Kemam-

puan yang patut mendapat perhitungan bagi orang-

orang yang ingin berhadapan dengan mereka.

Sampai tubuh tiga lelaki yang mengaku dari 

Perguruan Jari Malaikat itu lenyap, Jaka baru meno-

lehkan tatapannya ke wajah Ki Suteja. Pada saat yang 

bersamaan, Ki Suteja pun menoleh ke arah Raja Petir.

"Aneh sekali sikap mereka," ujar Ki Suteja pe-

lan.

"Di muka bumi ini banyak orang berkelakuan 

aneh, Ki," timpal Jaka.

Raja Petir melangkah perlahan menghampiri 

murid-murid Padepokan Gatareja yang tengah sibuk 

menolong teman-temannya yang terluka akibat perbu-

atan orang-orang Perguruan Jari Malaikat.

"Murid-muridmu tak ada yang mengalami luka 

dalam terlampau parah, Ki. Kurasa mereka semua 

mampu mengatasinya," ujar Raja Petir sambil mende-

kati Kepala Desa Gatareja itu.

"Syukurlah," jawab Ki Suteja sambil mengajak 

Jaka kembali ke tempatnya.

"Menurutku, keanehan yang mereka perli-

hatkan pada kita itu hanyalah siasat saja, Ki," ucap 

Jaka sesampainya di ruang khusus Ki Suteja.


"Aku pikir juga begitu, Jaka. Mungkin karena 

kehadiranmu di tengah-tengah kami," balas Ki Suteja 

menimpali ucapan Raja Petir.

"Kurasa tidak begitu, Ki," bantah Jaka. "Kau 

sendiri mendengar alasan yang mereka ucapkan tadi."

"Alasan itu hanya dibuat-buat, Jaka. Namun 

sesungguhnya hati mereka gentar menghadapimu," ki-

lah Ki Suteja sambil menatap wajah Raja Petir dalam-

dalam.

"Tidak begitu, Ki. Aku yakin dalam waktu dekat 

ini mereka akan menyatroni kembali Padepokan Gata-

reja. Kepergian mereka hanya siasat untuk menunggu 

kelengahan kita, barangkali akan memanggil gerombo-

lan mereka yang mungkin berjumlah tidak sedikit," 

papar Jaka tidak main-main.

Ki Suteja yang mendengarkan kesungguhan 

ucapan Jaka sempat tersentak. Disadarinya kalau 

ucapan lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu benar 

adanya.

"Kalau memang begitu, kita semua harus ber-

siap-siap mulai saat ini," putus Ki Suteja.

"Memang harus begitu," balas Raja Petir.

***


ENAM



Suasana senja di Desa Gatareja nampak begitu 

indah. Angin berhembus semilir menambah daya tank 

untuk menikmati suasana yang di anugerahkan sang 

Pencipta Jagat atas desa ini.

Namun, di balik keindahan suasana senja itu 

nampak wajah-wajah tegang murid-murid Padepokan


Gatareja yang bertugas untuk selalu bersiaga mengha-

dapi kedatangan tiga tokoh Perguruan Jari Malaikat.

"Huh! Ada-ada saja urusan seperti ini," umpat 

kesal seorang murid Padepokan Gatareja. "Seharusnya 

kita bisa santai menikmati cuaca yang bagus, e..., ma-

lah harus tegang begini."

"Iya. Ada-ada saja. Mana mungkin sih, murid-

murid padepokan kita membunuh orang yang tak dike-

nal," timpal seorang murid Padepokan Gatareja yang 

bertubuh padat pendek.

"Pasti ini, fitnah!"

"lya. Ini fitnah!"

Di tengah percakapan murid-murid Padepokan 

Gatareja yang bertugas jaga itu, tiba-tiba.'... "Aaa...!"

Suara jeritan yang melengking seketika terden-

gar.

Murid-murid Padepokan Gatareja sesaat terpe-

ranjat menyaksikan tubuh seorang rekannya mengge-

lepar dengan sebilah pisau hitam yang menembus ulu 

hati.

Sesaat kemudian, terdengar suara tawa meng-

gelegar yang nampak dikeluarkan dengan tenaga da-

lam tinggi. Suara tawa itu begitu memekakkan telinga.

"Ha ha ha...! Ha ha ha...!" Murid-murid Pade-

pokan Gatareja yang rata-rata memiliki kemampuan 

tenaga dalam belum sempurna, nampak bergelimpan-

gan akibat kekuatan tawa yang dahsyat itu.

Beberapa saat lamanya kejadian itu dialami 

murid-murid Padepokan Gatareja. Dan ketika tawa itu 

lenyap. muncul sesosok tubuh tinggi besar terbalut pa-

kaian coklat. Kedua tangan yang kekar terlipat di atas 

perutnya yang gendut.

Kehadiran sosok lelaki bercambang bauk kasar 

kemerahan itu diikuti kedua kawannya yang tak lain


Malaikat Mata Tunggal dan Malaikat Rambut Merah. 

Di belakang ketiga tokoh itu disertai pula puluhan le-

laki berpakaian hitam dengan senjata golok terhunus. 

Mereka semua berdiri dengan angkuh di depan Pade-

pokan Gatareja.

Murid-murid Padepokan Gatareja tak menduga, 

lawan datang dengan membawa segerombolan lelaki 

bersenjata golok. Keadaan ini membuat keder hati mu-

rid-murid Padepokan Gatareja.

"Ha ha ha...! Kali ini Padepokan Gatareja akan

Ku ratakan dengan tanah!" ancam Malaikat Lengan 

Tunggal dengan suara lantang. Senjatanya yang beru-

pa sebatang golok besar nampak diacung-acungkan ke 

udara.

"Mana si Tua Bangka itu, heh?!" Biar dirinya 

menyaksikan keruntuhan perguruan dan desanya!" 

ucap Malaikat Mata Tunggal lebih keras.

"Jangan sombong seperti itu, Mata Picak!" tiba-

tiba terdengar suara dari kejauhan.

Suara hinaan yang cukup menyakitkan itu se-

ketika terdengar menggaung keras. Sejenak orang-

orang dari Perguruan Jari Malaikat terkejut dengan 

suara yang menggaung begitu kuat. Terlebih dengan 

Saladu. Hati lelaki berpakaian hitam yang berjuluk 

Malaikat Mata Tunggal mengkelap, seketika darahnya 

naik ke ubun-ubun. Mata kanannya terbelalak karena 

dorongan hawa marah yang tak tertahan.

"Bedebah!" maki Malaikat Mata Tunggal dengan 

suara ditekan. 

"Jangan kau ingkari kenyataan itu, Mata Pi-

cak!" sahut suara yang sama.

Nampak dua bayangan biru dan kuning keema-

san melesat cepat. Begitu cepat dan ringannya gerakan 

kedua sosok bayangan itu. Dalam sekejap saja sudah


berdiri di antara murid-murid Padepokan Gatareja 

yang tengah berdiri menghadapi gerombolan dari Per-

guruan Jari Malaikat.

Kedua sosok itu tak lain Ki Suteja dan Raja Pe-

tir.

Kini keduanya berdiri dengan tenang dan tata-

pan matanya lurus ke wajah tiga malaikat dari Pergu-

ruan Jari Malaikat.

"Hhh! Kalian memang Malaikat-malaikat licik! 

Kalian katakan ingin memberi kesempatan pada Ki Su-

teja. Namun, nyatanya kalian kembali dengan sege-

rombolan orang-orang gila," ledek Jaka kalem.

"Hmmm.... Rupanya kau juga pengecut, Raja 

Petir.'" balas Malaikat Rambut Merah.

"Nyali ku memang kecil, Rambut Merah, namun 

aku sanggup memenggal leher kalian semua!"

"Bocah Ingusan!" hardik Malaikat Lengan 

Tunggal. "Kali ini kau bisa berkata begitu, namun jan-

gan harap besok kau bisa melihat matahari pagi."

"Itu tak berlaku padaku, Malaikat Mata Tung-

gal! Kecuali pada matamu yang terbenam pisau dapur 

itu," balas Raja Petir.

"Bedebah! Mampus Kau!"

Malaikat Mata Tunggal bergerak cepat mener-

jang Jaka. Tangan lelaki bermata satu itu terkepal 

kuat, suara berkerotokan terdengar dari otot yang me-

negang kaku.

Raja Petir tentu saja tak ingin menganggap re-

meh serangan yang datang dari Malaikat Mata Tung-

gal. Lelaki berpakaian kuning keemasan yang berjuluk 

Raja Petir terlihat bersiap-siap menanti kedatangan la-

wannya.

"Maaf, Ki Suteja! Biar kuhadapi dulu si Mata 

Picak itu," ucap Jaka pada Kepala Desa Gatareja yang


berdiri tidak jauh darinya.

Ki Suteja menyingkir, sekali hentakan saja tu-

buh kepala desa itu sudah menjauhi Jaka.

"Hiaaa...!"

Teriakan keras mengawali serangan Malaikat 

Mata Tunggal.

"Uts!"

Jaka dengan cepat menggeser tubuhnya, meng-

hindari pukulan Malaikat Mata Tunggal yang meng-

arah dadanya. Tentu saja serangan lelaki bermata satu 

itu kandas dan kenyataan ini menambah kemarahan-

nya.

"Terimalah ini, Bocah Ingusan!" Malaikat Mata 

Tunggal kembali melancarkan serangannya. Dan.... 

"Hih!" 

Plak! 

"Aaa...!"

Malaikat Mata Tunggal terpekik keras.

Tubuh Malaikat Mata Tunggal terhuyung dua 

langkah ketika pukulan tangan yang mengarah ke ba-

tok kepala Jaka terpapak dengan keras. Malaikat Mata 

Tunggal merasa lengannya linu dan tak mampu di-

gerakkan. Namun, karena tekad yang begitu kuat un-

tuk dapat menjatuhkan Raja Petir, Malaikat Mata

Tunggal kembali bergerak menyerang. Kali ini meng-

gunakan senjata berupa pedang panjang yang terlihat 

seperti karet kenyal.

"Kali ini kau akan mampus, Raja Petir!" bentak 

Saladu seraya menebas-nebaskan senjatanya ke tubuh 

Raja Petir.

Jaka sejenak tertegun menyaksikan senjata Sa-

ladu yang bergerak begitu lentur. Arah sambaran sen-

jata itu sukar ditebak, hingga Jaka harus menunggu 

sambaran senjata itu lebih dekat.


"Ih!"

Tiba-tiba senjata lentur itu menyambar. 

"Uts!"

Jaka terkejut ketika ujung senjata milik Saladu 

hampir mengenai dadanya, tapi gerakan yang dilaku-

kan lebih cepat dari serangan lawan, sehingga senjata 

itu meleset dari sasaran.

Akan tetapi kelicikan Malaikat Mata Tunggal 

memang patut diperhitungkan. Sementara Raja Petir 

sibuk menghindari sambaran pedang. Tiba-tiba dengan 

cepat Malaikat Mata Tunggal, melakukan serangan su-

sulan dengan tendangan lurus ke perut Raja Petir.

"Hiaaa!"

Diiringi teriakan keras, tendangannya menda-

rat. Dan.... 

Bugkh!

Tubuh Raja Petir terhuyung dua langkah ketika 

tendangan keras mendarat di perutnya. Namun berkat 

kehebatannya, Jaka mampu mengalihkan daya do-

rongan tendangan itu menjadi sebuah lentingan yang 

manis. Tubuh Raja Petir berputar dua kali di udara 

dan mendarat dengan ringannya.

"Kau hebat, Mata Picak!" puji Raja Petir setelah 

mampu menguasai keadaan dirinya.

"Jangan banyak omong kau, Bocah Ingusan! 

Sambutlah kematianmu!"

Saladu si Malaikat Mata Tunggal kembali berge-

rak cepat, kali ini betul-betul bertekad untuk mengha-

bisi nyawa Raja Petir. Pedang lentur seperti karet ke-

nyal itu nampak bergetar keras sekali di genggaman-

nya hingga wujudnya samar-samar.

"Mampus kau, Raja Petir!" bentak Malaikat Ma-

ta Tunggal.

Wrrrt...!


Pukulan pedang itu begitu cepat dan keras. 

"Ih!"

Jaka cepat melompat ke kanan menghindari te-

basan senjata Malaikat Mata Tunggal. Begitu ringan 

gerakan cepat yang dilakukan Raja Petir, namun tidak 

terduga kalau di balik gerakan itu terencana sebuah 

serangan balasan yang membahayakan.

"Jangan lengan, Mata Picak!" ledek Raja Petir 

sembari melepaskan tendangan berputar ke tubuh Sa-

ladu.

Saladu terkesiap mendapatkan serangan bala-

san yang begitu cepat. Lelaki berjuluk Malaikat Mata 

Tunggal itu berusaha berkelit, tapi serangan Raja Petir 

terlalu cepat datangnya, hingga....

Blugkh!

Tendangan Raja Petir mendarat di dada lawan.

"Uuukh...!"

Malaikat Mata Tunggal terpekik seiring dengan 

tubuhnya yang terhuyung beberapa langkah ke bela-

kang. Begitu keras tendangan dari kanan Raja Petir, 

hingga cairan merah muncrat dari mulut Saladu.

"Hoeeek...!"

Nampak mulut Malaikat Mata Tunggal kembali 

mengeluarkan cairan.

"Kurang ajar!" umpatnya.

Malaikat Lengan Tunggal dan Malaikat Rambut 

Merah terkejut menyaksikan kekalahan Malaikat Mata 

Tunggal. Keduanya serempak mengejar tubuh Malaikat 

Mata Tunggal.

"Kau tak apa-apa, Saladu?" tanya Jatayu ce-

mas.

"Tidak, Kakang Jatayu. Cuma dadaku terasa 

sesak," jawab Saladu sambil mendekap dadanya yang 

terasa nyeri.

Jatayu dan Wikuta segera membalikkan badan

setelah mendengar jawaban Saladu. Mata kedua lelaki 

itu menatap tajam wajah Jaka.

"Kau betul-betul can mampus, Bocah Ingusan.

Aku Malaikat Lengan Tunggal dan Malaikat Rambut 

Merah akan mencincang tubuhmu!"

"Lakukanlah, Malaikat Gadungan!" sentak Ki 

Suteja mendahului ucapan Jaka. "Jangan harap aku 

jadi penonton saja. Aku dan Ki Caringin akan mengu-

sir mu!" lanjut Ki Suteja.

Malaikat Lengan Tunggal dan Malaikat Rambut 

Merah menoleh ke lelaki tua berpakaian putih yang 

berdiri di samping Ki Suteja. Begitu juga Jaka, dirinya 

tak menyadari kalau di samping Ki Suteja telah berdiri 

lelaki berusia lanjut dengan jenggot putih panjang dan 

rambut putih tergelung rapi. Memang kehadiran Ki Ca-

ringin tepat ketika Raja Petir tengah bertarung dengan 

Malaikat Mata Tunggal.

Lelaki tua yang berdiri di samping Ki Suteja 

nampak menganggukkan kepala sebagai tanda peng-

hormatan pada pemuda berbaju kuning keemasan itu. 

Raja Petir pun segera membalas anggukan itu.

"Sekarang kita bisa membagi pertempuran ini, 

Jatayu!" tantang Jaka. "Itu kalau kau berani. Kalau ti-

dak, aku tak akan melarangmu untuk mundur," lan-

jutnya.

"Lancang sekali bacotmu! Sejengkal pun orang-

orang Perguruan Jari Malaikat tak akan mundur dari 

hadapanmu!" balas Jatayu geram.

Lelaki yang berjuluk Malaikat Lengan Tunggal 

kini menunjukkan senjatanya berupa sebilah golok be-

sar. Mata lelaki bercambang bauk kasar kemerahan 

nampak berubah memerah, giginya bergemeretakan 

kuat. Dan otot-otot tubuhnya mulai menegang.


"Habisi mereka semua!" perintah Malaikat Len-

gan Tunggal.

Mendengar perintah itu, Malaikat Rambut Me-

rah dan puluhan lelaki berpakaian hitam yang meng-

hunus senjata golok segera berhamburan menerjang 

lawan-lawan mereka, tak terkecuali Saladu yang sudah 

pulih keadaannya.

Pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Sua-

ra pekik kegeraman dan kesakitan, serta jerit kematian 

bersahutan. Dentang suara senjata saling beradu pun 

menambah ramainya suasana. Percik bunga api dari 

dua senjata yang beradu dengan kekuatan tenaga da-

lam tinggi menyemarakkan suasana pertempuran.

Pada salah satu sudut pertempuran nampak 

Jatayu alias Malaikat Lengan Tunggal berhadapan 

dengan Jaka.

Lelaki berpakaian kuning keemasan nampak 

melayani serangan-serangan Jatayu dengan gerakan-

gerakan ringan. Tapi sebaliknya, Jatayu terlihat ber-

nafsu sekali untuk cepat merobohkan Raja Petir.

Serangan Malaikat Lengan Tunggal begitu 

menggebu dan selalu disertai pengerahan tenaga da-

lam tinggi terarah pada bagian tubuh yang mematikan.

"Hiaaa...!"

Jatayu alias Malaikat Lengan Tunggal terus 

menerjang Jaka dengan golok besarnya, seolah ingin 

membelah kepala Jaka.

Raja Petir tahu apa yang akan dilakukan la-

wannya. Dan ketika senjata besar itu sejengkal lagi 

hendak membelah kepalanya, dengan gerakan cepat 

namun ringan, tubuhnya melompat ke samping.

"Hup!"

Setelah serangannya tak berhasil mengenai la-

wan, Jatayu berusaha terus memburu dengan seran


gan-serangan yang makin ganas.

"Mampus kau, Bocah Ingusan!" bentak Jatayu 

sambil menebas perut Jaka.

'Tak mungkin, Tangan Buntung!" ejek Jaka 

sambil meliukkan pinggang dengan cepat.

"Brengsek!" maki Jatayu.

"Tidak, Jatayu. Kau memang harus menerima 

ini. Hih!"

Jaka melayangkan tamparan tangannya ke pe-

lipis Jatayu. Lelaki yang berjuluk Malaikat Lengan 

Tunggal berusaha menghindari sambaran tangan Raja 

Petir dengan merendahkan tubuhnya, tetapi tak sadar 

kalau Jaka hanya melakukan gerak tipu dengan tan-

gannya. Maka ketika sepakan keras Jaka datang, Ja-

tayu tak mampu sedikit pun mengelak. Akibatnya....

Dugkh!

"Akh!"

Malaikat Lengan Tunggal terpekik. Tubuhnya 

terdorong keras beberapa langkah ke belakang. Lelaki 

berpakaian coklat itu terlihat memegangi perutnya 

yang terasa mual dan kesakitan. Matanya pun seketika 

dirasakan berkunang-kunang.

"Bagaimana, Jatayu? Apa kau tak punya niat 

mengundurkan diri saja?" ledek Raja Petir seraya ber-

kacak pinggang.

Wajahnya yang bertabur senyum membuat hati 

Jatayu marah bukan main. Namun Raja Petir dengan 

tenang masih berdiri menunggu lawannya.

"Raja Petir, aku belum merasa kalah darimu. 

Jangan besar kepala dulu dan rasakan ajian ku! Ber-

siaplah!"

Malaikat Lengan Tunggal segera mundur satu 

langkah. Tubuhnya berdiri tegak. Telapak tangannya 

diletakkan di depan dada sambil seolah membaca sua

tu mantera.

Tiba-tiba dari telapak tangannya yang berada di 

depan dada mengepul asap kemerahan. Malaikat Len-

gan Tunggal tengah mengerahkan sebuah ajian yang 

bernama aji 'Renggut Jasat'.

Jaka yang berdiri tak lebih dua setengah ba-

tang tombak menyaksikan apa yang tengah dilakukan 

Malaikat Lengan Tunggal. Tatapan mata dan seluruh 

indera pendengarannya dikerahkan tajam-tajam. Di-

rinya mulai waspada terhadap serangan yang bakal di-

lancarkan lawannya.

"Gerkkkhhh...!"

Suara gerengan keras terdengar seiring dengan 

perubahan seluruh lengan Jatayu. Tangan yang cuma

sebelah itu kini berubah merah dan mengepulkan asap 

yang berbau tak sedap.

Jaka yang memang sudah siap menghadapi se-

gala kemungkinan tetap tenang, di wajahnya sedikit 

pun tak nampak gurat ketegangan. 

"Gerkkkhhh...!"

"Hih!"

Gerakan tangan yang begitu cepat dilontarkan 

oleh Malaikat Lengan Tunggal.

Beberapa larik sinar merah melesat seiring hen-

takan tangan. Sinar merah itu kemudian berpencar, 

mengarah ke bagian-bagian terlemah dari tubuh Raja 

Petir.

Slat! Slat!

Begitu cepat lesatan beberapa sinar merah ke 

tubuh Raja Petir. Secepat kilat Raja Petir bergerak 

menghindari terjangan itu. Jaka melompat tiga kali un-

tuk dapat lolos dari sinar merah yang menebar aroma 

aneh itu.

"Hup!"


"Yeah!"

Raja Petir menghentakkan kaki ke tanah lalu 

melenting ke udara dan bersalto dua kali.

Namun, belum sempat kakinya menapak di 

bumi, Malaikat Lengan Tunggal sudah kembali meng-

hentak tangan kanannya.

"Hih!"

Wusss...!

Beberapa leret sinar kemerahan kembali mele-

sat. Setan! Maki Jaka dalam hati. Si buntung itu tak 

memberi ku peluang untuk menyerang. 

"Hup!" 

"Yeaaah!"

Teriakan keras Raja Petir mengiringi suara se-

gulungan angin kencang. Wrrr...!

Setelah kembali berhasil menghindari serangan 

Malaikat Lengan Tunggal, baru saja kakinya menjejak 

di tanah Jaka berusaha keras memberikan serangan 

balasan dengan ajian 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin 

bergulung itu seketika meluruk cepat ke tubuh Malai-

kat Lengan Tunggal.

"Heh?!"

Jatayu si Malaikat Lengan Tunggal terkejut me-

lihat Raja Petir mampu memberikan serangan balasan 

dalam keadaan yang terdesak hebat.

Apalagi menyaksikan serangan balasan yang 

berupa pusaran angin, membuat Malaikat Lengan 

Tunggal berpikir dua kali untuk kembali melakukan 

penyerangan. Lelaki bernama Jatayu lebih memilih 

menghindari serangan Jaka.

"Hiyaaa!"

"Hup!"

Tubuh Jatayu seketika melejit ringan menghin-

dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilancarkan


Raja Petir dan bergulingan di tanah. 

"Hup!"

Dengan bertumpu pada satu tangannya, Malai-

kat Lengan Tunggal kembali melenting dan berputaran 

beberapa kali di udara, sebelum mendarat dengan ma-

nis di tanah.

"Hebat juga pukulan jarak jauh mu itu, Raja 

Petir. Tak percuma kau menyandang gelar yang meng-

getarkan orang-orang rimba persilatan. Namun sayang 

sebentar lagi, nama harum mu akan lenyap di tangan

ku. aji 'Rengut Jasat' yang akan ku kerahkan tiga kali 

lipat dahsyatnya akan segera mengubur nama harum 

mu itu," cemooh Malaikat Lengan Tunggal.

"Jangan cuma omong besar! Buktikan ucapan-

mu itu, Jatayu!" tantang Jaka.

"Baik!"

"Hhh...!"

"Gerrrkhhh...!"

Malaikat Lengan Tunggal kembali mengerahkan 

kekuatan mengeluarkan aji 'Renggut Jasat' andalan-

nya.

***


TUJUH



Di tempat lain, terlihat Ki Suteja bertempur me-

lawan Saladu alias Malaikat Mata Tunggal. Kepala De-

sa Gatareja yang terbalut warna biru pakaian kebesa-

ran Perguruan Gatareja bergerak-gerak lincah.

Gerakan Ki Suteja menghindari tenangan senja-

ta Malaikat Mata Tunggal dan cara membalas serangan 

lawan, menunjukkan bahwa lelaki tua itu pantas me


megang tampuk pimpinan Padepokan Gatareja.

"Tak kusangka kau hebat juga, Tua Bangka!" 

ejek Malaikat Mata Tunggal.

"Tentu saja, Mata Picak! Akan segera kukirim 

nyawamu ke neraka!" balas Ki Suteja dengan sengit.

"Mari kita teruskan siapa di antara kita yang 

pantas lebih dulu mampus!"

"Majulah!" tantang Ki Suteja. Lelaki berpakaian 

hitam yang menggenggam sebatang pedang lentur se-

gera merangsek maju. Pedang di tangannya nampak 

bergetar hebat karena tekanan tenaga dalam yang cu-

kup tinggi, hingga wujud pedang itu tidak jelas.

Ki Suteja pun tak mau ketinggalan. Pedangnya 

digerakkan memutar di depan dada. Begitu keras dan 

cepat perputaran pedang yang dilakukan Ki Suteja,

hingga menimbulkan bunyi yang kuat. Wuuuk...! 

Wuuuk...! 

"Hiaaa...!"

Teriakan musuh Ki Suteja dan Malaikat Mata 

Tunggal bersamaan. Dan.... Trang!

Percik bunga api mencelat ketika kedua pedang 

yang sama-sama digerakkan dengan tenaga dalam sal-

ing beradu dengan keras.

Kedua tubuh lelaki tua itu terdorong beberapa 

langkah ke belakang. Tak terdengar lenguhan yang ke-

luar dari mulut keduanya. Nampaknya kekuatan me-

reka berimbang.

“Tahan seranganku lagi, Tua Bangka!" ucap 

Malaikat Mata Tunggal. "Hiaaat...!" teriakan menggele-

gar dari mulutnya.

"Ups!"

Ki Suteja tak melayani sambaran pedang lentur 

Saladu dengan papakan senjatanya. Kepala Desa Gata-

reja itu hanya menghindar dengan melompat beberapa


kali ke belakang.

Meskipun sudah tua, kegesitan Ki Suteja me-

lompat menghindari setiap serangan lawannya nampak 

begitu cepat dan ringan. Bagaikan seorang pendekar 

yang masih muda.

"Jangan menghindar seperti itu, Tua Bangka! 

Kau bisa mampus di ujung pedangku!" ledek Malaikat 

Mata Tunggal.

"Kau yang akan mampus, Mata Picak!"

"Kurang Ajar!"

"Hiaaa!"

Trang!

Pertarungan antara Ki Suteja menghadapi Ma-

laikat Mata Tunggal kembali berlanjut semakin seru. 

Sementara itu, pada pertarungan bin nampak Ki Ca-

ringin mampu mendesak lawannya, yakni Wikuta si 

Malaikat Rambut Merah.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Rambut Merah! 

Aku tak mau menurunkan tangan besi padamu," ucap. 

Ki Caringin setelah ujung kerisnya mampu menoreh

bahu si Malaikat Rambut Merah.

"Cuih! Jangan kau anggap dirimu sudah un-

ggul, Aki Peyot. Aku belum memainkan jurus andalan

ku.'" balas Malaikat Rambut Merah geram.

"Kau rupanya lelaki keras kepala, Rambut Me-

rah! Jangan menyesal kalau kau harus man" di ujung 

keris ku!" bentak Ki Caringin lantang.

"Tua Bangka, sombong! Terimalah aji 'Renggut 

Jasad'-ku ini!"

Selesai berkata seperti itu Malaikat Rambut 

Merah bergerak mundur satu langkah. Tubuhnya ber-

diri tegak, kemudian kedua tangan terlihat menyilang 

di depan dada. Dari mulutnya terdengar ucapan aneh 

yang mirip mantera-mantera.


Telapak tangan Wikuta yang menyilang di de-

pan dada, seketika mengeluarkan kepulan asap keme-

rahan.

Ki Caringin memang tak terkejut menyaksikan 

tindakan lelaki berambut merah. Namun, lelaki beru-

sia enam puluh tahun itu segera melipatgandakan ke-

mampuannya untuk menghadapi aji 'Renggut Jasat' 

Malaikat Rambut Merah.

Keris di tangan kanannya seketika ditempelkan 

pada telapak tangan kirinya. Tubuh Ki Caringin sedikit 

menegang dan tatapan matanya tertuju lurus pada 

Malaikat Rambut Merah.

Seluruh ajian 'Renggut Jasat' sudah mulai di

kerahkan Malaikat Rambut Merah. Kedua tangannya 

kini berubah menjadi merah membara.

Tatapan mata Wikuta tertuju lurus pada Ki Ca-

ringin.

"Gerrrkkkhhh...!"

Gerengan yang menggetarkan terdengar. Plak! 

Plak!

Seiring dengan tepukan tangan Malaikat Ram-

but Merah meluncurlah sepuluh larik sinar kemera-

han. Sinar itu keluar dari kesepuluh jari tangan Malai-

kat Rambut Merah.

Seketika itu juga Ki Caringin segera mengerah-

kan kerisnya yang ditempelkan di telapak tangan kiri 

membuat gerakan melingkar di depannya. Gerakan Ki 

Caringin yang dialiri kekuatan tenaga dalam penuh 

menimbulkan lingkaran bercahaya putih yang meling-

kari seluruh tubuhnya.

Sejurus kemudian cahaya putih melingkar ber-

gerak cepat menghadang sepuluh larik sinar merah 

ciptaan Malaikat Rambut Merah. Sehingga....

Glaaarrr...!


Bunyi ledakan keras terdengar memekakkan te-

linga ketika sinar putih dan merah saling menerjang. 

Kedua tubuh pun harus merasakan tenaga balik dari 

sinar hasil ciptaan mereka.

Tubuh Ki Caringin nampak terdorong beberapa 

langkah. Begitu pula dengan tubuh si Malaikat Ram-

but Merah, bahkan dari sudut bibir Malaikat Rambut 

Merah nampak mengeluarkan darah.

"Eugkh!"

Malaikat Rambut Merah terbatuk, dirasakan 

dadanya sesak dan terasa nyeri.

"Bagaimana, Rambut Merah? Kau masih hen-

dak meneruskan pertarungan ini?" tanya Ki Caringin.

"Huh! Aku masih mampu mengerahkan aji 

'Renggut Jasat’ yang akan mengubur tubuhmu, Aki 

Peyot!" jawab Malaikat Rambut Merah sambil memper-

baiki letak berdirinya. 

'Tapi ajian mu itu sudah berhasil ku lumpuh-

kan barusan, Rambut Merah!"

"Jangan sombong kau, Tua Bangka!"

Dan tiba-tiba Malaikat Rambut Merah mengi-

baskan kembali tangannya.

"Hih!"

Slats! Slats! Slats!

Sinar-sinar merah kembali keluar dari jari-jari 

tangannya yang dihentakkan dengan kuat. Sinar ke-

merahan itu meluruk deras ke tubuh Ki Caringin yang 

juga telah melakukan gerakan sama seperti yang per-

tama.

Sinar putih nampak dari ujung keris yang dipu-

tar Ki Caringin meluruk maju, menghadang lesatan si-

nar merah ciptaan Malaikat Rambut Merah.

Wrrr...!

Glaaar!



Ledakan keras kembali terdengar. Bersamaan 

dengan ledakan itu tubuh Malaikat Rambut Merah ter-

dorong kuat. Tubuh yang terbungkus pakaian merah 

itu melayang lalu membentur sebatang pohon yang 

langsung tumbang.

"Aaakh...!"

Grak!

Tubuh si Malaikat Rambut Merah jatuh berde-

bum di tanah. Namun, dengan tenaga yang masih ada 

lelaki berambut merah itu tetap berusaha bangkit.

Ki Caringin yang hanya terdorong beberapa 

langkah, ketika melihat Malaikat Rambut Merah kem-

bali bangkit, segera dengan cepat mengibaskan keris-

nya. Dan dari ujung keris itu seketika melesat sinar 

putih sebesar bulatan biji tasbih.

Bulatan sinar putih itu meluruk deras ke tubuh 

Malaikat Rambut Merah.

Wusss...!

Jlesss!

"Aaa...!"

Lengking kematian membumbung ke langit se-

ketika terdengar menyayat hati. Tubuh Malaikat Ram-

but Merah seketika limbung. Dadanya bolong tertem-

bus sinar putih yang melesat dari ujung keris milik Ki 

Caringin.

Dari lubang di dada itu nampak mengepul asap 

putih yang menghembuskan bau tak sedap dan me-

nyesakkan dada.

"Hhhh...."

Ki Caringin menarik napas lega setelah menye-

lesaikan pertarungan yang cukup menguras tenaga. 

Sebentar Ki Caringin menatap Malaikat Rambut Merah 

yang sudah tak bernyawa. Sebentar kemudian tubuh-

nya sudah bergerak ke pertempuran Ki Suteja mela


wan Malaikat Mata Tunggal.

Namun, baru saja Ki Caringin mendekati tubuh 

Kepala Desa Gatareja, mendadak terdengar suara jeri-

tan yang membumbung tinggi ke angkasa. Pekik kema-

tian melengking berasal dari tempat pertarungan anta-

ra Raja Petir melawan Malaikat Lengan Tunggal.

Kematian Malaikat Lengan Tunggal yang meng-

giriskan, dengan bagian tubuh hangus seperti terbakar 

membuat Malaikat Mata Tunggal menghentikan se-

rangannya pada Ki Suteja.

Lelaki berpakaian hitam yang menggenggam se-

batang pedang lentur terkejut bukan kepalang. Dengan 

kematian Jatayu, berarti tinggal dirinya menghadapi 

ketiga lawannya. Tiba-tiba Malaikat Mata Tunggal me-

rasakan kegentaran merasuki hatinya.

Saladu ingin membalas kematian kedua rekan-

nya, namun mana mungkin dirinya mampu melaku-

kannya. Menghadapi Kepala Desa Gatareja saja cukup 

kewalahan, apalagi menghadapi Ki Caringin dan Raja 

Petir.

"Hentikan pertarungan!" teriak Malaikat Mata 

Tunggal lantang.

Murid-murid Perguruan Jari Malaikat yang ten-

gah bertarung menghadapi murid-murid Padepokan 

Gatareja seketika menghentikan perlawanannya.

Seluruh mata murid Perguruan Jari Malaikat 

tertuju pada wajah Malaikat Mata Tunggal.

"Sekarang aku boleh kalah, Tua Bangka. Tapi 

nanti, aku akan datang kembali untuk membuat per-

hitungan dengan kalian. Terutama kau, Raja Petir!" 

bentak Saladu si Malaikat Mata Tunggal dengan tata-

pan tajam tertuju pada wajah Jaka.

Jaka hanya membalas tatapan mata itu dengan 

sesungging senyum datar.


"Kau yang menginginkan itu, Mata Tunggal! 

Aku hanya menuruti saja apa maumu," jawab Raja Pe-

tir tenang.

"Hhh! Sekarang kau boleh menepuk dada, Bo-

cah Ingusan! Namun, lain kali tubuhmu akan ku ku-

bur hidup-hidup!" ancam Malaikat Mata Tunggal ma-

sih tetap keras.

"Kita buktikan saja nanti, Mata Tunggal," ucap 

Jaka.

Malaikat Mata Tunggal kemudian menoleh ke 

arah murid-murid Perguruan Jari Malaikat yang masih 

tersisa.

"Urus mayat Kakang Jatayu dan Adi Wikuta! 

Cepat tinggalkan tempat sial ini!" perintah Saladu ke-

ras.

Tanpa diperintah dua kali murid-murid Pergu-

ruan Jari Malaikat segera membopong mayat Malaikat 

Lengan Tunggal, Malaikat Rambut Merah dan murid-

murid Perguruan Jari Malaikat yang tewas.

"Ingat baik-baik, Raja Petir! Aku akan menca-

rimu sampai ke ujung langit sekalipun!" ancam Malai-

kat Mata Tunggal sebelum meninggalkan tempat perta-

rungan.

"Aku akan menunggu, tapi bukan di ujung la-

ngit, Saladu," jawab Raja Petir mengejek.

"Hhh.... Ayo!"

"Hup!" 

"Hip!"

Malaikat Mata Tunggal segera melesat mening-

galkan tempat itu. Kemudian diikuti oleh murid-murid 

Perguruan Jari Malaikat.

"Apa kejadian ini ada hubungannya dengan apa 

yang dilakukan Ratu Ular?" tanya Ki Caringin pada Ki 

Suteja setelah orang-orang dari Perguruan Jari Malai


kat menghilang dari tempat pertarungan.

"Kurasa tidak, Kakang Caringin," jawab Kepala 

Desa Gatareja. "Kemungkinan mereka hanya mencari 

alasan saja. Mereka pikir kita mudah ditaklukkan."

“Tapi entah jika tanpa Raja Petir," seloroh Ki 

Caringin.

Lelaki tua berusia lebih dari enam puluh tahun 

itu menatap wajah tampan Jaka.

"Aku telah lama mendengar kehebatanmu da-

lam memberantas kelaliman, Raja Petir," ucap Ki Ca-

ringin dengan tatapan mata yang merayapi sekujur tu-

buh Jaka.

"Namaku Jaka Sembada, Ki. Ki Caringin cukup 

memanggilku Jaka saja," sahut Jaka.

"Selain hebat, kau ternyata juga rendah hati," 

puji Ki Caringin lagi.

"Kabar yang Ki Caringin dengar itu terlalu ber-

lebihan," kilah Raja Petir merendah.

“Tidak! Kabar itu benar adanya. Kau telah 

membuktikannya dalam mengusir malaikat-malaikat 

gadungan tadi," sangkal Ki Caringin.

Jaka tentu saja tak dapat menyangkal lagi uca-

pan Ki Caringin. Lelaki berpakaian kuning keemasan 

yang berjuluk Raja Petir hanya menundukkan kepa-

lanya.

"Apa sebaiknya kita menunggu saja kedatangan 

Ratu Ular seperti yang pernah kau katakan waktu itu, 

Kakang Caringin?" tanya Kepala Desa Gatareja itu 

mengalihkan pembicaraan. Ki Suteja tahu kalau Jaka 

tengah serba salah menghadapi pujian Ki Caringin 

yang terang-terangan.

"Bagaimana pendapatmu, Jaka?" tanya Ki Ca-

ringin kepada Raja Petir.

"Bagaimana kalau kita tunggu perkembangan


selanjutnya, Ki?" jawab Jaka yang juga mengandung 

pertanyaan.

Ki Caringin menatap wajah Kepala Desa Gata-

reja, kemudian berkata,

"Bagaimana, Adi Teja?" tanya Ki Caringin.

"Usul Jaka kurasa bagus, Kakang. Sambil me-

nunggu perkembangan selanjutnya kita bisa memper-

siapkan segala sesuatunya," jawab Ki Suteja. "Namun 

untuk hari ini alangkah baiknya Kakang bermalam di 

tempatku!”

"Ah, kau balas dendam rupanya," kilah Ki Ca-

ringin.

"Tidak begitu, Kakang. Aku akan merasa te-

nang kalau ada Kakang di antara kami," balas Ki Sute-

ja sambil menatap lelaki itu.

Kepala Desa Gatareja dan Ki Caringin pun sa-

ma-sama mengurai tawa sambil melangkah perlahan 

mendekati Jaka.

"Ayo, Jaka. Kita ke ruangan ku lagi” ajak Ki Su-

teja.

Jaka pun mengikuti langkah Ki Suteja dan Ki 

Caringin yang menuju ke ruang khusus milik Kepala 

Desa Gatareja itu.

***


DELAPAN



Cahaya merah di langit sebelah timur mulai 

menampakkan diri. Fajar pun menyingsing mengganti-

kan malam. Di dalam sebuah ruangan Padepokan Ga-

tareja nampak beberapa murid perguruan yang bersiap 

menggantikan tugas jaga.


Namun belum lagi serah terima tugas jaga itu 

dilakukan, tiba-tiba puluhan ular berbisa menyerbu 

murid-murid yang ada di ruang depan Padepokan Ga-

tareja. Murid-murid Padepokan Gatareja tidak tahu 

dari mana dan kapan datangnya binatang-binatang 

berbisa itu.

Mendapatkan serangan yang tidak disangka-sang ka, 

murid-murid Padepokan Gatareja kalang kabut. Mere-

ka sebisanya menghindari pagutan ular-ular berbisa 

yang datangnya begitu cepat.

"Awas, ular!"

"Aaa...!"

Dalam sekejap saja ular-ular itu telah berhasil 

memagut beberapa orang. Pekik kesakitan diiringi den-

gan bergugurannya murid Padepokan Gatareja. Mereka 

tak mampu menghindari pagutan ular-ular berbisa itu.

Beberapa orang murid yang berada di ruang da-

lam segera berhamburan keluar setelah mendengar hi-

ruk-pikuk dan jeritan. Sambil meloloskan senjata ma-

sing masing, murid-murid Padepokan Gatareja segera 

berlari menuju ke tempat kejadian. Namun, puluhan 

ular berbisa itu telah menghadang, beberapa di anta-

ranya bahkan langsung menyerang. 

"Hiyaaa...!"

Teriakan-teriakan keras mengiringi babatan pe-

dang ke leher ular-ular itu. "

Hih!" 

Cras! Cras!

Beberapa ekor ular yang berusaha menyerang 

bergelimpangan tertebas golok. Beberapa kepala bina-

tang berbisa itu berpentalan. Darah pun seketika 

membasahi ruangan Padepokan Gatareja.

Bau amis yang seketika tercium, membuat 

ular-ular yang lain turut menerjang. Bahkan, dari se


mak-semak di sekitar Padepokan Gatareja bermuncu-

lan ular-ular kecil dan besar. Semua menyerbu masuk 

ke Padepokan Gatareja.

Murid-murid Padepokan Gatareja merasa kaget 

menyaksikan ular-ular berbisa itu kian banyak jum-

lahnya.

Dalam keadaan mencekam seperti itu, menda-

dak muncul sosok berpakaian kuning keemasan. So-

sok itu tak lain Raja Petir.

Kemunculan Raja Petir disusul pula kemuncu-

lan Ki Suteja dan Ki Caringin.

"Ular-ular suruhan Ratu Ular," ucap Ki Carin-

gin.

Ki Suteja nampak terkejut mendengar ucapan 

Ki Caringin. Sejenak matanya menatapi ular-ular ber-

bisa yang bergerak-gerak seperti menantang.

"Kita harus segera mengusir ular-ular itu, Ka-

kang Caringin," ujar Ki Suteja geram.

"Tentu saja, Adi Teja. Kalau tidak, murid-

muridmu akan habis di mangsanya," jawab Ki Carin-

gin.

"Ayo, Jaka. Kita usir binatang-binatang berbisa 

itu," ajak Ki Suteja sambil mengangkat pedangnya 

tinggi-tinggi.

Perbuatan Ki Suteja diikuti Ki Caringin dengan 

mencabut keris dari balik pakaiannya. Srat!

Tubuh Kepala Desa Gatareja mencelat cepat, 

melakukan tebasan kuat pada ular-ular yang bergerak 

hendak memagut.

"Hia!"

Cras! Cras!

Ular-ular yang mencoba mendekati Ki Suteja 

seketika berpentalan dengan kepala terputus.

Ki Suteja terus membabat ular-ular itu dengan


kecepatan luar biasa. Sehingga sekali tebas empat ekor 

ular langsung bergelimpangan tak bernyawa.

Begitu juga yang dilakukan Ki Caringin. Meski-

pun senjatanya hanya sebilah keris pendek, kedahsya-

tan-nya tak kalah dengan yang dilakukan Ki Suteja.

Keris Ki Caringin berkali-kali berkelebat cepat,

menjemput setiap kepala ular yang mencoba memagut 

tubuhnya. Tak heran kalau puluhan ular telah tewas 

di Ujung kerisnya.

Namun ternyata Ki Suteja dan Ki Caringin be-

lum sadar kalau pekerjaan yang dilakukan hanya sia-

sia belaka. Karena jumlah binatang berbisa itu bukan 

berkurang, tapi sebaliknya. Ular-ular itu semakin ber-

tambah jumlahnya, bahkan kini datang pula empat 

ekor ular sebesar paha orang dewasa.

"Hhh! Benar-benar ular siluman!" maki Kepala 

Desa Gatareja geram.

Raja Petir yang menyaksikan keanehan itu bu-

kan tidak terkejut. Matanya tengah menatap ular-ular 

suruhan itu dengan kekuatan batinnya, sekaligus un-

tuk mencari kelemahan binatang-binatang berbisa itu.

"Maaf, Ki. Jangan kalian serang binatang-

binatang itu terus-menerus," larang Jaka pada Ki Su-

teja dan Ki Caringin.

"Bagaimana kalau aku mencoba mengusir me-

reka dengan aji 'Lingkar Sinar Sutera' milikku, Jaka?" 

tanya Ki Caringin hati-hati.

Jaka tak bisa menjawab permintaan Ki Carin-

gin. Bukan karena belum menyaksikan kehebatan aji 

'Lingkar Sinar Sutera' milik Ki Caringin, tapi karena 

merasa sungkan untuk melarang keinginan baik lelaki 

tua itu.

"Bagaimana, Jaka?" tanya Ki Caringin lagi.

"Silakan, Ki," jawab Jaka mantap.


Dirinya tak ingin melihat kekecewaan pada diri 

Ki Caringin. "Semoga aji 'Lingkar Sinar Sutera' mu 

berhasil mengusir ular-ular itu!" lanjut Jaka.

Ki Caringin segera melangkahkan kakinya. Ke-

mudian lelaki berusia enam puluh tahun yang menge-

nakan pakaian putih bersih itu segera memutar keris-

nya.

Tenaga yang terkandung dari putaran keris 

nampak begitu kuat, itu terbukti dari otot-otot tangan 

Ki Caringin yang menegang dan bersembulan keluar. 

Di-tambah lagi desisan suaranya yang tengah menge-

rahkan tenaga dalam tinggi.

Di lain pihak, ular-ular berbisa suruhan si Ratu 

Ular nampaknya mengetahui gelagat. Mata ular-ular 

itu menyorot tajam Ki Caringin. Lidah-lidah binatang 

yang terjulur itu mengeluarkan bunyi desis yang me-

nyeramkan.

Zzzssst..!

Zzzssst...!

Sementara itu, Ki Caringin telah berhasil men-

ciptakan sinar putih yang melingkar-lingkar di da-

danya. 

"Hih!"

Ki Caringin menghentakkan tangannya yang 

memegang keris. Wrusss...!

Sinar putih yang melingkar-lingkar di depan 

dada Ki Caringin seketika meluruk deras ke sekawa-

nan ular di hadapannya.

Bresh!

Ular-ular berbisa yang terlanggar sinar putih 

itu seketika berpentalan ke segala arah. Ki Caringin 

pun menarik napas lega melihat keberhasilannya men-

gusir binatang-binatang melata itu. Namun Ki Caringin 

kembali terperanjat ketika ular-ular itu kembali ban


kit dan meluruk cepat memburu dirinya.

Zzzssst...!

Zzzssst...!

Desisan ular-ular itu semakin keras dan tak be-

raturan.

Ki Caringin menggemeretakkan giginya mena-

han geram. Tangannya yang menggenggam sebilah ke-

ris pun berputar lagi dengan hebat. Tebasan-tebasan 

dengan kekuatan tenaga dalam tinggi pun dilakukan-

nya.

Dengan sekali tebas saja, puluhan binatang-

binatang berbisa itu sudah bergelimpangan dengan 

kepala yang terpenggal.

"Jangan kau lakukan itu lagi, Ki. Tenagamu 

akan terkuras percuma," larang Jaka.

Raja Petir pun segera melompat ke samping kiri 

Ki Caringin sambil melontarkan aji 'Pukulan Pengacau 

Arah' dengan kekuatan tenaga dalam penuh.

"Haaat...!"

Wusss...!

Brush!

Pusaran angin bergulung yang keluar dari tela-

pak tangan Jaka membuyarkan ular-ular yang menco-

ba memangsa tubuh Ki Caringin. Ular-ular itu berpen-

talan ke berbagai arah.

Raja Petir mulai sadar, bahwa binatang-

binatang itu akan kembali hidup selama masih berada 

dalam pengaruh sihir si Ratu Ular, dan akan terus me-

lakukan penyerangan.

Tak ada jalan lain, pikir Jaka. Aku harus me-

ngerahkan aji 'Kukuh Karang' untuk memusnahkan 

pengaruh sihir itu.

Setelah berpikir sejenak, Jaka segera mundur 

satu langkah. Kedua tangannya seketika terangkat lu


rus ke atas kepala, seiring dengan tarikan nafasnya 

yang terdengar halus.

Jaka kemudian merentangkan tangannya dan 

sebentar kemudian jari-jari yang terentang itu terkepal 

kuat. Tak berapa lama kemudian, kedua tangannya di-

letakkan menyilang di depan dada.

Sinar kuning seketika nampak membungkus 

bagian kepala hingga dada, dan bagian lutut hingga 

ujung kaki. Sinar kuning keemasan itu berpijar menyi-

laukan mata.

Seiring dengan terbungkusnya bagian tubuh 

Raja Petir dengan sinar kuning keemasan, ular-ular 

berbisa itu kembali melakukan penyerangan secara se-

rempak.

Jaka tak membiarkan kesempatan baik yang 

terbuka lebar. Seketika itu juga Raja Petir membuka 

tangannya yang bersilangan di depan dada.

"Hih!"

Kedua tangan Raja Petir dengan cepat meng-

hentak keras. Tras!

Sinar kuning keemasan yang menyilaukan me-

lesat deras dari telapak tangannya, menghadang ular-

ular itu. Dan....

Jrabbbs!

Sinar kuning keemasan yang melanda ular-ular 

berbisa seketika membungkus binatang-binatang itu. 

Akibatnya, binatang-binatang melata itu menggelepar-

gelepar seperti terpanggang bara.

Beberapa saat lamanya binatang-binatang ber-

bisa itu menggelepar dalam bungkusan sinar kuning 

dari aji 'Kukuh Karang'. Kemudian terkulai lemas di 

tanah, seperti tanpa tenaga.

Namun, ketika sinar kuning yang membungkus 

itu lenyap, binatang-binatang suruhan itu kembali


bergerak-gerak.

Ki Suteja dan Ki Caringin menyangka kalau 

ular-ular itu akan kembali menyerang Raja Petir, tetapi 

dugaan itu ternyata tidak terbukti. Mata Ki Suteja dan 

Ki Caringin menyaksikan ular-ular itu mengeloyor per-

gi meninggalkan tubuh Jaka yang masih tetap tegap 

berdiri dengan tenang. Sementara itu sinar kuning 

keemasan yang membungkus bagian dari tubuhnya te-

lah lenyap.

"Sungguh aneh ular-ular itu, Jaka," ucap Ki 

Suteja sambil berjalan mendekati Raja Petir.

Jaka hanya tersenyum sambil menggelengkan 

kepala mendengar ucapan Ki Suteja.

"Tapi aku bersyukur Ki, mampu memusnahkan 

pengaruh sihir Ratu Ular, tanpa harus membunuh 

ular-ular yang tak bersalah itu," ujar Raja Petir sambil 

memalingkan sebentar wajahnya ke wajah Ki Suteja di 

sampingnya.

"Iya, ya," sahut Ki Suteja lagi sambil mengang-

guk-anggukkan kepala. Lelaki setengah baya itu mena-

tap Raja Petir penuh rasa terima kasih.

Namun belum lagi pulih ketenangan di hati Ki 

Suteja, tiba-tiba suara tawa melengking terdengar begi-

tu dahsyat memekakkan telinga. Suara itu berkuman-

dang panjang seperti hendak meruntuhkan seluruh 

desa.

"Hik... hik... hik...! Jangan kalian merasa lega 

dulu. Hadapi kedahsyatan ilmuku!"

Kemudian nampak dua sosok perempuan ber-

kelebat dengan cepat. Kedua sosok tubuh perempuan 

tua yang terbalut pakaian hijau dan kehitaman men-

darat beberapa tombak jauhnya dari Raja Petir dan Ki 

Suteja.

"Ratu Ular?!" teriak Kepala Desa Gatareja dan


Ki Caringin hampir bersamaan.

Keduanya melihat dengan jelas sosok perem-

puan tua berpakaian kulit ular coklat kehitaman. Di 

sampingnya berdiri sosok gadis cantik berambut ular-

ular kecil di kepalanya.

Apakah gadis yang bersama Ratu Ular itu putri 

Ki Rampal Lawu? Rata hati Ki Suteja.

Namun begitu juga kiranya kata hati lelaki ber-

pakaian putih bersih, Ki Caringin nampak memandan-

gi gadis muda usia yang berdiri angkuh di sisi Ratu 

Ular.

"Hik... hik... hik.... Raja Petir! Aku memang 

mendengar kehebatanmu dalam menaklukkan tokoh-

tokoh sakti golongan hitam. Aku kagum akan keheba-

tanmu itu, namun sayang kehebatanmu itu harus be-

rakhir di tangan orang tua renta semacam aku," ucap 

Ratu Ular dengan nada suara berat.

Raja Petir tak mengomentari ucapan perem-

puan berusia tak lebih dari tujuh puluh lima tahun, 

mata Jaka hanya menatap wajah si Ratu Ular dan pe-

rempuan muda usia yang berdiri di sampingnya.

"Ratu Ular, setahuku kita tak pernah saling 

bertemu, apalagi saling bermusuhan. Lalu kenapa kau 

menculik putra bungsu ku?" tanya Kepala Desa Gata-

reja tenang.

"Suteja! Kuketahui kalau kau sahabat baik 

Rampal Lawu, dan juga Caringin yang berdiri di sebe-

lah mu itu. Sebetulnya, aku tak ingin melakukan tin-

dakan seperti yang pernah kulakukan terhadap Ram-

pal Lawu dan Desa Kemuningwaru. Tetapi karena kau 

telah berani mengundang orang lain dalam persoalan 

ini, maka terpaksa akan kulakukan. Dirimu dan Desa 

Gatareja akan mengalami nasib yang sama dengan 

Rampal Lawu dan desanya," jawab Ratu Ular penuh


nada ancaman. "Namun, sebelum kehancuranmu dan 

Desa Gatareja datang, akan ku jelaskan maksudku 

menculik putra bungsu mu! Biar kau tidak penasa-

ran," lanjut Ratu Ular yang sesungguhnya bernama Nyi 

Kumala-rani.

Ki Suteja hanya mendengus kesal mendengar 

ucapan Nyi Kumalarani. Kepala Desa Gatareja sema-

kin mempertajam tatapan matanya.

"Usiaku sudah lanjut, sedangkan cita-citaku 

untuk mengembangkan ilmu hitam yang telah ku te-

kuni selama puluhan tahun telah dikuasai gadis ini," 

ucap Ratu Ular menoleh ke dara cantik berpakaian ku-

lit ular hijau lurik. "Sekarang aku ingin mewujudkan 

cita-citaku yang lainnya, yakni mencarikan jodoh Dewi 

Ambar Sari yang ku gelari Ratu Sihir Puri Ular. Jodoh 

untuk Dewi Ambar Sari telah kudapatkan, yakni putra 

bungsu mu, Suteja. Kelak keduanya akan melahirkan 

anak-anak yang akan mengembang luaskan ilmu-

ilmuku. Dengan begitu seluruh cita-citaku akan terca-

pai."

"Hmmmh...!"

Ki Suteja menggereng kuat mendengar kelanju-

tan ucapan Ratu Ular. Mata Kepala Desa Gatareja se-

makin terbelalak lebar. .

"Ratu Ular!" bentak Ki Suteja lantang. "Dengar 

baik-baik! Sedikit pun aku tak sudi bermantukan Ratu 

Sihir Puri Ular. Aku tak akan merestui pertunangan

Abimanyu dengan Dewi Ambar Sari putri Ki Rampal 

Lawu yang telah kau pengaruhi semenjak bayi!"

"Kau tidak sudi atau tidak merestui, itu adalah 

hakmu, Suteja! Namun, keinginanku untuk menjodoh-

kan Ratu Sihir Puri Ular dan Abimanyu tetap akan ku-

laksanakan. Dan kau akan menyaksikan dari dalam 

kuburmu!" ujar Ratu Ular dengan sedikit kegeraman.


"Sombong kau, Ratu Ular!" bentak Ki Suteja. Ki 

Suteja hendak melangkahkan kaki untuk menerjang 

perempuan tua yang berjuluk Ratu Ular, namun uca-

pan Jaka membuat Ki Suteja mengurungkan niatnya.

“Tahan, Ki. Tak ada gunanya kau menuruti 

amarah," larang Raja Petir.

Apa yang dilakukan Jaka ternyata membuat 

Ratu Ular naik pitam.

"Raja Petir! Kenapa kau melarang Suteja me-

nyerang ku? Apa kau yang lebih dulu mau menyerang! 

Kalau memang begitu, ayolah maju!" hardik Ratu Ular 

penuh tantangan.

"Kaulah yang maju lebih dahulu, Ratu Ular. Ka-

rena kau yang datang ke desa ini," kilah Raja Petir.

"Kurang ajar kau! Rupanya kau benar-benar 

ingin mampus lebih dulu!"

“Terimalah ini! Hiaaa...!"

***

SEMBILAN



"Tahan, Nek!" teriak dara manis yang berdiri 

sombong di samping Nyi Kumalarani.

Ratu Ular menghentikan gerakannya. Wajah 

tua Nyi Kumalarani berkerut menatap cucunya yang 

berjuluk Ratu Sihir Puri Ular.

"Aku tak suka tanganmu kotor hanya untuk 

mengurusi anak muda yang bukan tandingan mu itu," 

jelas Ratu Sihir Puri Ular datar.

Mata dara berusia tak lebih dari enam belas ta-

hun itu kini menatap wajah Jaka tajam.

"Hik... hik... hik.... Jadi kau menginginkan pemuda tampan itu hidup, Cucuku? Kau menyenan-

ginya?" tanya Nyi Kumalarani dengan mata mengerjap-

ngerjap lucu.

Kepala Desa Gatareja dan Ki Caringin merasa 

muak mendengar ucapan si Ratu Ular, namun tidak 

demikian halnya dengan Jaka.

Raja Petir nampak mengembangkan senyumnya 

mendengar ucapan Nyi Kumalarani.

"Kau salah tanggap, Nek," bantah Ratu Sihir 

Puri Ular. "Aku ingin pemuda tampan itu berhadapan 

langsung denganku. Aku ingin tahu sampai di mana 

kehebatan ilmunya."

"Hik... hik... hik.... Silakan, Cucuku! Silakan. 

Aku yakin Raja Petir tak bakal mampu menandingi ke-

saktian dan ilmu sihir mu," sambung Nyi Kumalarani. 

"Biar aku yang sudah tua ini berhadapan dengan yang 

tua-tua juga," lanjut Ratu Ular seraya menatap Ki Su-

teja dan Ki Caringin bergantian.

"Baik, Nek," ucap Ratu Sihir Puri Ular menyetu-

jui keputusan Nyi Kumalarani, nenek angkatnya.

Dara manis berpakaian kulit ular hijau lurik 

mengangkat kakinya satu langkah ke depan. Rambut-

nya yang terdiri dari puluhan bahkan ratusan ular-

ular kecil bergerak-gerak seperti dipermainkan angin.

Dara manis yang berjuluk Ratu Sihir Puri Ular 

menatap Jaka tajam. Entah apa maksud tatapan itu, 

yang jelas ada kekuatan lain dirasakan Jaka.

Raja Petir segera mengerahkan kekuatan batin-

nya untuk melawan tatapan mata Dewi Ambar Sari 

yang memantulkan kekuatan aneh di hatinya.

"Ahhh!"

Tarikan napas berat seketika terdengar seiring 

dengan tatapan mata Jaka yang membalas tatapan 

mata Ratu Sihir Puri Ular.


Mata jalang milik Dewi Ambar Sari seketika be-

ralih menatap bagian tubuh Jaka yang lain.

"Kau memang memiliki kelebihan jika di ban-

dingkan dengan orang-orang yang berada di hadapan-

ku, Anak Muda," ucap Ratu Sihir Puri Ular dengan ta-

tapan mata yang mengarah pada dada bidang Jaka.

Jaka lagi-lagi hanya mengembangkan senyum-

nya mendengar pujian itu.

"Perkenalkanlah namamu agar aku tak penasa-

ran mengingat namamu setelah kau terkubur nanti!" 

ujar Dewi Ambar Sari kemudian.

Jaka kembali mengembangkan senyum sebe-

lum menimpali ucapan Ratu Sihir Puri Ular.

"Aku tak akan mati sebelum roh dalam tubuh-

ku pergi meninggalkan jasad ku," kilah Jaka kalem. 

"Namun terus terang, aku paling tidak senang mem-

buat orang lain penasaran, untuk itu kuberitahukan 

padamu kalau namaku Jaka Sembada. Kau bisa me-

manggilku Jaka atau Sembada," tambah Raja Petir.

"Hmmm.... Jaka?" ulang Dewi Ambar Sari man-

tap. "Namamu bagus, tapi sayang umurmu tak pan-

jang. Kau akan segera binasa di tanganku."

"Kau selalu membicarakan masalah umur, De-

wi. Kau pikir umurku ini berada di tanganmu, heh?" 

ucap Jaka sedikit mengejek.

"Kau masih tak yakin, Jaka? Akan kubuktikan 

sekarang agar kau tak akan lagi menikmati matahari 

esok pagi," balas Ratu Sihir Puri Ular.

"Buktikanlah!" keras ucapan yang keluar dari 

mulut Jaka.

"Baiklah!"

Dewi Ambar Sari, dara manis yang berjuluk Ra-

tu Sihir Puri Ular seketika menggerakkan tangannya. 

Kedua tangan bergerak gemulai, kemudian telapak


tangan yang satu sama lain saling bertemu.

Jaka menyaksikan gerakan Ratu Sihir Puri Ular 

yang bagai gerakan seorang penari.

"Zzzssst...!"

Mulut Ratu Sihir Puri Ular seketika berdesis 

seiring dengan rentangan tangannya perlahan. Dari 

dalam mulut Dewi Ambar Sari mendadak menjulur li-

dah yang sudah berubah persis seperti lidah ular be-

sar. Lidah bercabang itu menjulur panjang.

"Zzzssst...!"

Suara desisan mulut Ratu Sihir Puri Ular tiba-

tiba berubah menjadi hembusan napas yang keras. 

"Hosh!"

Dari lidah Dewi Ambar Sari yang terjulur seke-

tika menyembur api yang meluruk cepat ke tubuh Ja-

ka. 

"Heh?!"

Jaka sempat terkesiap melihat kedatangan se-

rangan yang begitu mendadak.

"Awas, Jaka!" teriak Ki Caringin memperin-

gatkan Raja Petir.

Jaka yang memang sudah terlatih kepekaan-

nya, secara naluriah segera bergerak cepat menghinda-

ri terjangan segumpalan api yang menyembur dari mu-

lut Ratu Sihir Puri Ular.

Weeesss!

"Uts! Hup!"

Jaka melenting ringan dan bersalto beberapa 

kali di udara. Tubuh Jaka yang berada di udara, masih 

tetap terarah pada setiap gerakan Ratu Sihir Puri Ular 

untuk mengawasi gerakan lawan yang mungkin mem-

bahayakan.

Betul saja dugaan Jaka. Ketika tubuhnya ten-

gah berputaran di udara, Ratu Sihir Puri Ular terlihat



menepukkan kedua belah telapak tangannya.

Plak! Plak!

Terdengar suara tepukan itu, lalu disusul oleh 

lesatan sinar dari tangannya. Weeesss! Weeesss!

Serangkum sinar berwarna kebiruan meluruk 

deras ke tubuh Jaka yang tengah berada di udara.

Raja Petir pun tak ingin tubuhnya dimangsa si-

nar kebiruan hasil ciptaan Ratu Sihir Puri Ular.

Dengan gerakan indah dan begitu cepat, Jaka 

menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling beberapa 

kali di tanah. Kemudian dengan bertumpu pada tan-

gannya, Raja Petir kembali melenting cepat dan segera 

mendarat lagi dengan manis.

"Hup!"

Ratu Sihir Puri Ular marah bukan kepalang 

menyaksikan serangannya yang dilancarkan berturut-

turut tak berhasil.

Kemurkaan dara manis yang sesungguhnya pu-

tri tunggal Ki Rampal Lawu itu kini diwujudkan mela-

lui serangkaian ilmu-ilmu sihir yang begitu mengeri-

kan.

Tubuh Ratu Sihir Puri Ular tiba-tiba menjelma 

menjadi seekor ular besar hijau lurik. Tubuh ular be-

sar yang memancarkan sinar kehijauan bergerak-gerak 

hebat. Dari gerakannya yang dahsyat itu beberapa ba-

tang pohon bertumbangan terlanda ekor ular jelmaan 

Ratu Sihir Puri Ular.

Zzzssst...!

Ular besar hijau lurik itu mendesis keras, ma-

tanya menyorot tajam wajah Jaka yang sudah bersiap-

siap menghadapinya dengan menggunakan aji 

'Bayang-bayang'.

Dan ketika tubuh ular itu berkelebat cepat, Ja-

ka telah selesai mengerahkan ajiannya. Tubuh Jaka


kini menjadi bertambah jumlahnya.

Zzzssst...

Ular besar jelmaan Dewi Ambar Sari itu mener-

jang salah saru tubuh Raja Petir yang berdiri berpen-

car. Namun, ular itu hanya membentur bayangan diri 

Jaka.

"Jangan sembrono, Dewi. Pusatkan hatimu, pi-

lih wujud Raja Petir yang sesungguhnya!" teriak Nyi 

Kumalarani.

Setelah beberapa kali ular besar itu menerjang 

bayangan-bayangan tubuh Raja Petir, tiba-tiba berhen-

ti. Ular jelmaan itu nampak seolah-olah tengah mere-

nungi ucapan Nyi Kumalarani.

"Seharusnya kau tak ikut campur dengan per-

tarungan mereka, Ratu Ular!" tukas Ki Caringin mem-

peringatkan.

"Kau tak senang, Caringin?!" tanya Nyi Kumala-

rani kasar. "Kalau kau tak senang, kita bisa bertarung 

sekarang!" lanjut Ratu Ular penuh tantangan.

Ki Caringin menatap wajah Ki Suteja.

"Bagaimana, Adi Teja?" tanya Ki Caringin seper-

ti berbisik,

"Ratu Ular terlalu merendahkan kita, Kakang 

Caringin. Sebaiknya penuhi saja tantangannya," jawab 

Ki Suteja perlahan.

"Hhh...."

Ki Caringin menarik napas dalam-dalam, ke-

mudian tatapan matanya berpindah pada wajah keri-

put Nyi Kumalarani.

"Baik, Nyi. Kita memang harus bertarung," ja-

wab Ki Caringin mantap.

"Hik... hik... hik...! Rupanya kalian sudah bo-

san hidup," ejek Ratu Ular disertai tawa yang meme-

kakkan telinga. "Baik aku turuti kesanggupan kalian.


Ayo, majulah!"

"Kau yang harus memulainya lebih dulu, Ular 

Laknat!" bentak Ki Suteja.

Merah padam wajah Nyi Kumalarani menden-

gar bentakan yang cukup keras itu. Tatapan mata Ra-

tu Ular seketika mencorong ke wajah Ki Suteja.

"Teja! Kau harus mampus lebih dulu!" keras 

ucapan Ratu Ular dengan jari telunjuk yang menuding 

Kepala Desa Gatareja itu.

"Cuh! Umur bukan di tanganmu, Ular Laknat!"

"Bedebah kau!" maki Nyi Kumalarani.

Perempuan tua berusia tujuh puluh lima tahun 

itu kini bergerak ke depan. Seperti yang dilakukan De-

wi Ambar Sari terhadap Jaka, Nyi Kumalarani pun me-

lakukan hal yang sama. Lidahnya yang kini berbentuk 

lidah ular mendesis-desis dan terjulur panjang.

Ratu Ular pun seketika mengempos tenaganya. 

Dan....

"Khosh!"

Api seketika menyembur keluar seiring dengan 

hentakan napas Nyi Kumalarani. Gumpalan api itu 

meluruk deras mengancam tubuh Ki Suteja.

"Awas, Adi Teja!" teriak Ki Caringin memper-

ingatkan.

Pada saat teriakan Ki Caringin menggema, se-

gumpalan api ciptaan Ratu Ular sudah hampir me-

nyentuh tubuh Ki Suteja. Akan tetapi Ki Suteja pun 

sudah bersiap terhadap serangan cepat itu.

"Hup!"

Ki Suteja cepat melakukan lejitan ringan ke ki-

ri. Dengan sekuat tenaga kakinya dihentakkan ke ta-

nah, melenting ke udara dan melakukan salto dua kali. 

Namun, Nyi Kumalarani kembali melancarkan seran-

gan dahsyat ke tubuhnya yang masih berada di udara.


Ki Caringin yang menyaksikan kelicikan si Ratu 

Ular menjadi geram bukan kepalang, maka seketika itu 

juga kerisnya dihentakkan kuat-kuat.

"Hih!"

Wush!

Selarik sinar putih seketika meluruk dari ujung 

keris. Sinar putih itu meluruk cepat dari samping ka-

nan segumpalan api yang hendak menerjang Ki Suteja. 

Begitu cepat lesatan sinar merah dan putih, hingga ke-

tika beradu, terjadilah ledakan keras memekakkan te-

linga.

Glaaar!

Terkejut juga hati Nyi Kumalarani melihat se-

rangannya berhasil dihalau Ki Caringin. Wajah tua si 

Ratu Ular menjadi bertambah geram. Seketika itu juga, 

dengan diiringi pekikan keras tubuh Nyi Kumalarani 

melesat cepat menerjang Ki Caringin.

"Hiaaat...!"

***

Pada pertarungan lain antara Raja Petir mela-

wan Ratu Sihir Puri Ular, nampak kedudukan Jaka be-

rada di atas angin. Berkali-kali Jaka berhasil mengan-

daskan serangan yang dilancarkan Ratu Sihir Puri 

Ular. Bahkan serangan balasan Raja Petir tak jarang 

menghantam telak tubuh si Ratu Sihir Puri Ular.

Apalagi ketika sabuk kuning keemasan yang 

melilit di pinggang Raja Petir telah lolos dan tergeng-

gam di tangannya, kedudukan Raja Petir semakin kuat 

saja.

Zzzssst...!

Diiringi desisan keras ular jelmaan Dewi Ambar 

Sari kembali melancarkan serangan. Jaka segera


menggerakkan pergelangan tangannya. Hiyaaa...!"

Teriakan keras Raja Petir mengiringi sabetan 

sabuk kuning keemasan. Dan.... Gelegaaarrr...!

Lecutan sabuk warna kuning keemasan begitu 

dahsyat. Seketika, sabetan itu membuat tubuh ular 

yang menerjangnya terpental balik. Ular jelmaan Ratu 

Sihir Puri Ular melayang deras menerjang pepohonan.

Brak! Brak!

Dua batang pohon besar seketika bertumban-

gan. Bunyi berderak mengiringi runtuhnya kedua po-

hon besar itu.

Sungguh kuat ketahanan tubuh Ratu Sihir Puri 

Ular. Meski barusan tubuhnya terhajar sabuk kuning 

keemasan yang dirangkai dalam jurus 'Petir Membelah 

Malam', tubuh Ratu Sihir Puri Ular kembali bangkit 

dengan wujudnya yang asli.

Ratu Sihir Puri Ular kembali melesat cepat me-

nerjang tubuh Raja Petir. Angin berdesing mengiringi 

serangannya yang datang secepat kilat.

Raja Petir yang memang sudah ingin mengakhi-

ri pertarungan, segera menyambut serangan Ratu Sihir 

Puri Ular dengan aji 'Kukuh Karang'. Seketika itu juga 

bagian kepala hingga dada, dan bagian lutut hingga 

ujung kakinya terbalut sinar kuning keemasan.

Dan ketika serangan Ratu Sihir Puri Ular den-

gan keras menghantam bagian tubuhnya yang tak ter-

bungkus sinar kuning keemasan, seketika itu juga....

Breeet!

Tangan Ratu Sihir Puri Ular seketika menempel 

di tubuh Jaka. Perempuan cantik berambut ular itu 

ingin menarik tangannya yang menempel di perut Raja 

Petir, namun semakin kuat mengerahkan tenaganya, 

semakin kuat pula daya rekat di tubuh Jaka. Sehingga 

ketika dara manis itu terus berusaha menarik kembali


tangannya, tenaganya semakin habis terkuras. Tubuh 

dara manis berjuluk Ratu Sihir Puri Ular pun melorot 

ke bawah, lunglai tanpa tenaga dan rebah di tanah 

tanpa bergerak.

Sesaat Raja Petir menatapi tubuh Dewi Ambar 

Sari, kemudian tubuh lelaki yang terbalut pakaian 

kuning keemasan melesat ke pertempuran Ki Suteja 

dan Ki Caringin yang sedang kewalahan menghadapi 

gempuran-gempuran dahsyat Nyi Kumalarani.

"Akulah lawanmu, Ratu Ular!" ucap Raja Petir 

keras.

Nyi Kumalarani alias Ratu Ular terkejut bukan

main melihat kehadiran Jaka. Mata tua si Ratu Ular 

segera mencari Dewi Ambar Sari.

Dan ketika mata si Ratu Ular melihat sosok 

Dewi Ambar Sari yang tergeletak tak bergerak, timbul 

kemurkaan yang dahsyat.

Dengan perasaan kalut, Nyi Kumalarani berge-

rak cepat menerjang tubuh Raja Petir yang sudah siap 

dengan sabuk kuning keemasan di genggamannya.

"Hiyaaa!"

Teriakan dahsyat mulut Nyi Kumalarani sambil 

melenting ke udara.

Ketika tubuh Nyi Kumalarani mengapung di 

udara, Jaka segera mengayunkan sabuknya, maka....

Sebuah sinar keperakan melesat seperti samba-

ran petir. Sinar keperakan itu melesat menerjang tu-

buh Nyi Kumalarani, sehingga...

Glaaarrr!

Tubuh Nyi Kumalarani terpental deras terhan-

tam sinar keperakan. Namun tubuh itu masih tetap 

utuh, sehingga Raja Petir cukup kaget. Karena setiap 

tubuh yang terhantam jurus 'Petir Membelah Malam' 

akan hangus seperti terbakar api.


Namun tidak bagi tubuh si Ratu Ular yang 

nampak kembali bangkit meski dalam keadaan lemah.

"Tak kusangka kau memiliki kehebatan yang 

begitu tinggi Raja Petir. Aku tak menyesal jika harus 

mati di tangan orang yang memiliki ilmu kesaktian le-

bih tinggi dariku. Namun sebelum itu, kau harus lebih 

dulu menyaksikan kematian anak ini!" ucap Ratu Ular 

dengan napas sedikit tersengal-sengal.

Perempuan tua itu mengeluarkan sebuah botol 

bening yang di dalamnya terdapat sosok manusia.

Ki Suteja tentu saja terkejut bukan kepalang 

menyaksikan tubuh Abimanyu berada dalam botol 

yang dipegang Ratu Ular.

"Abimanyu!" teriak Ki Suteja keras.

Raja Petir dari Ki Caringin sempat tersentak 

mendengar ucapan Ki Suteja.

Jaka ingin berbuat sesuatu untuk menyela-

matkan Abimanyu yang berada dalam kekuasaan Ratu 

Ular, namun keinginan itu dirasakan terlalu sulit.

Tangan Ratu Ular telah bergerak lebih dulu menyum-

bat lubang botol bening dengan telapak tangannya 

mengeluarkan asap kehitaman.

"Abimanyu!" Ki Suteja terpekik keras.

Matanya melihat Abimanyu yang kelabakan be-

rada di dalam botol itu. Ki Suteja ingin bergerak me-

nerjang tubuh Ratu Ular, namun cekalan tangan Raja 

Petir menghentikan langkahnya.

"Jangan, Ki! Tubuh Ratu Ular itu tengah dijalari 

bisa-bisa ular yang mematikan. Sedikit saja kau me-

nyentuh tubuhnya, nyawamu akan melayang," cegah 

Raja Petir sambil terus memegangi tangan Ki Suteja.

Ki Suteja segera menuruti ucapan Raja Petir, 

meskipun hatinya merasa tergetar menyaksikan kema-

tian putra bungsunya yang begitu mengerikan.


"Kau juga harus mati", Ular Laknat!" bentak Ki 

Caringin tiba-tiba.

Keris lelaki tua berpakaian putih itu seketika 

terhentak. Selarik sinar putih pun melesat cepat dan 

menghantam kepala Ratu Ular. Slats! Glam...!

Kepala Nyi Kumalarani seketika terpental lepas 

dari badannya. Sinar putih yang melesat dari ujung 

keris Ki Caringin menghajar telak.

Darah hitam seketika mengalir dari kepala Ratu 

Ular yang sudah terpisah dengan badannya. "Hhh..."

Ki Caringin menarik napas lega berhasil mem-

binasakan si Ratu Ular. Mata tua lelaki berpakaian pu-

tih itu beralih menatap wajah Ki Suteja, lalu memeluk 

tubuh sahabatnya itu.

"Kuatkan hatimu, Adi Teja!" pinta Ki Caringin. 

"Kematian Abimanyu tak sia-sia. Karena kita semua 

dan juga desa ini telah terbebas dari sebuah mara-

bahaya."

Jaka menyaksikan dua lelaki tua yang tengah 

berangkulan dengan perasaan haru.

"Oya, Ki Suteja dan juga Ki Caringin. Anak Ki 

Rampal Lawu itu sesungguhnya masih hidup. Dirinya

hanya pingsan karena terlalu berlebihan mengelua-

rkan tenaga, sedangkan pengaruh sihir si Ratu Ular 

sudah terkikis habis. Dalam beberapa hari ini gadis itu 

akan siuman dan pulih. Kuharap di antara kalian ber-

dua ada yang bersedia merawatnya, syukur-syukur 

mengangkatnya menjadi anak sendiri," ucap Jaka lem-

but.

Ki Caringin dan Ki Suteja menganggukkan ke-

palanya bersamaan.

"Biar gadis itu kami yang urus, Jaka," jawab Ki 

Suteja.

"Syukurlah kalau begitu. Dan tugasku sudah


selesai, aku pamit sekarang juga," kata Raja Petir sam-

bil menatap wajah Ki Suteja dan Ki Caringin bergan-

tian.

"Kenapa terburu-buru, Jaka?" tahan Ki Suteja.

"Masih banyak tugas yang harus dikerjakan-

nya, Adi Teja. Banyak orang lain yang butuh bantuan-

nya," sahut Ki Caringin.

"Baiklah, Jaka. Aku hanya bisa mengucapkan 

terima kasih atas bantuanmu," putus Ki Suteja pelan.

Raja Petir segera menatap wajah Kepala Desa 

Gatareja dan Ki Caringin bergantian.

"Aku permisi sekarang, Ki," pamit Jaka.

"Hip!"

Tubuh Raja Petir melesat ringan diiringi tata-

pan mata Ki Suteja dan Ki Caringin.

Angin kembali berhembus semilir seolah turut 

berbahagia atas terhindarnya Desa Gatareja dari mala-

petaka yang besar. Angin itu terus berhembus membe-

lai-belai perasaan Ki Suteja yang masih dilanda duka. 

Mata Kepala Desa Gatareja merebak membayangkan 

kematian Abimanyu yang tanpa bangkai, menghilang 

bersamaan pengaruh sihir Ratu Ular.



                             SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar