RATU SIHIR PURI ULAR
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir dalam episode:
Ratu Sihir Purl Ular
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
Angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa begi-
tu sejuk. Matahari yang belum begitu tinggi mulai ber-
sinar menghangatkan pagi. Sehingga suasana pagi be-
gitu indah untuk dinikmati.
Seorang lelaki tampan berusia sekitar enam be-
las tahun nampak mengayun langkahnya perlahan
menikmati suasana pagi. Sementara, tak jauh dari le-
laki mu-da bernama Abimanyu itu empat orang lelaki
yang usianya berkisar antara dua puluh delapan sam-
pai tiga puluh tahun berjalan mengiringi di belakang.
"Ah, alangkah indahnya pagi ini, Paman Ludi-
ta," ujar Abimanyu sambil menebar pandangan ke se-
keliling daerah yang tengah dilewatinya.
"Ya, Raden. Aku pun merasakan keindahan pa-
gi ini," sahut lelaki berambut rapi dan berpakaian kun-
ing gading. Mata lelaki berusia tiga puluh tahun yang
bernama Ludita juga mengitari daerah itu.
Dari kejauhan nampak sebuah bangunan ber-
diri kokoh. Dilihat dari bentuknya, bangunan yang cu-
kup indah itu mirip sebuah puri. Namun, keindahan
bangunan itu tak sepenuhnya dapat dinikmati lima le-
laki yang tengah berjalan perlahan, karena jarak mere-
ka dengan bangunan itu cukup jauh.
Namun, ketika Abimanyu dan keempat penga-
walnya tengah terlena dalam suasana keindahan pagi
itu, tiba-tiba dari balik semak-semak muncul tiga ekor
ular belang menghadang perjalanan mereka, tentu saja
kelima lelaki itu terkejut. Ular-ular itu mendesis, bah-
kan mulai berdiri seperti hendak menantang musuh-
nya untuk berkelahi.
Zzzssst... zzzssst... zzzssst.... Abimanyu nam
pak kesal menyaksikan tingkah tiga ekor ular yang
menghadang perjalanannya. Seketika tangan lelaki
berpakaian hijau itu bergerak cepat ke punggung.
"Hih!" Srat!
Sebatang pedang yang telah lolos dari warang-
ka-nya kini tergenggam di tangan Abimanyu. Pedang
itu nampak berkilau-kilau tertimpa cahaya matahari.
"Untuk apa kau keluarkan pedangmu, Raden?"
tanya Ludita dengan tatapan mata lurus ke wajah pu-
tra bungsu Ki Suteja.
Abimanyu membalas tatapan mata Ludita.
“Tentu saja untuk mengusir ular-ular itu, Paman," sa-
hut Abimanyu.
"Jangan, jangan bunuh ular-ular itu, Raden!
Kalau hanya mengusir, aku setuju," nasihat Ludita.
"Hmmm.... Aneh Paman Ludita ini," balas Ab-
imanyu. "Ular-ular itu berbisa, Paman. Aku harus
membinasakannya," lanjutnya, seolah tidak setuju
dengan nasihat Ludita.
"Jangan, Raden! Lebih baik usir saja ular-ular
itu! Lihatlah, mereka nampak hanya menakut-nakuti
kita," sekali lagi Ludita melarang tindakan Abimanyu.
"Tidak, Paman! Harus kubunuh mereka," tolak
Abimanyu.
Tubuh Abimanyu seketika melompat begitu ce-
pat. Pedangnya yang terhunus juga berkelebat cepat
menebas ular-ular yang mulai mendekatinya.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras mengiringi sabetan pedang Ab-
imanyu.
Srat! Srat! Srat!
Kepala ketiga ular seketika putus terpenggal
pedang Abimanyu. Kepala ular-ular itu berpentalan ke
tiga arah. Seketika itu pula darah mengucur memba
sahi tanah dan pedang Abimanyu.
Setelah membersihkan dari darah ular, Abi-
manyu segera memasukkan kembali pedangnya ke wa-
rangka yang tersampir di punggung.
"Hei! Kenapa Paman sekalian terbengong seper-
ti itu? Apa Paman kecewa atas kematian ular-ular ber-
bisa itu?" tanya Abimanyu ketika melihat keempat
pengawalnya diam terpaku.
"Ah... tidak, Raden," jawab Ludita, meskipun ti-
ba-tiba hatinya dijalari suatu perasaan aneh. Jan-
tungnya dirasakan berdetak lebih cepat. Seperti ada
suatu firasat buruk bakal terjadi, dirasakan dalam ha-
tinya.
"Kalau begitu, mari kita teruskan perjalanan
ini!" putus Abimanyu.
Abimanyu segera melangkah, diikuti Ludita dan
tiga lelaki lain yang berpakaian putih.
Namun, baru dua langkah mereka berjalan, ti-
ba-tiba dari balik semak-semak yang berjejer di tepi ja-
lan yang mereka lewati, muncul seekor ular hijau lurik
yang cukup besar.
Tentu saja Abimanyu sangat terkejut menyak-
sikan ular besar yang menghadang perjalanannya. Be-
gitu juga dengan Ludita dan ketiga lelaki lainnya. Pera-
saan tak enak semakin menjalari hati mereka.
"Rupanya kau juga ingin mampus!" teriak Abi-
manyu seraya meloloskan pedang dari warangkanya.
Srat!
'Tahan, Raden! Jangan bunuh ular itu!" larang
Ludita sambil mencekal pergelangan tangan Abimanyu
yang siap menebas leher ular hijau lurik di hadapan-
nya.
Abimanyu terkejut mendengar larangan Ludita.
Namun lebih terkejut lagi, ketika menyaksikan kemun
culan puluhan ular besar-besar yang diikuti ratusan
ular kecil. Kini ratusan ular. memenuhi jalan selebar
dua batang tombak yang dilewatinya.
"Ah! Firasat buruk di hatiku benar-benar ter-
bukti, Raden," ujar Ludita seperti menyadari kembali
firasatnya yang tadi mengganggu hatinya.
Abimanyu tak menghiraukan ucapan Ludita.
Matanya terbelalak menyaksikan ratusan ular yang
menghadang di depannya.
"Semenjak kemunculan tiga ular yang Raden
bunuh tadi, hatiku sudah merasa tak enak," tegas Lu-
dita lagi. "Aku sudah melarangmu membunuh ketiga
ular tadi, Raden. Tapi kau menolaknya."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang,
Paman?" tanya Abimanyu dengan suara bergetar. Ab-
imanyu seperti tengah dicekam rasa takut.
"Kalau ular-ular itu menyerang, terpaksa kita
gunakan senjata untuk mengusir mereka," jawab Ludi-
ta.
"Aaah....".Abimanyu menarik napas dalam-
dalam setelah mendengar jawaban Ludita.
"Bersiaplah untuk menghadapi segala kemung-
kinan itu, Raden," saran Ludita sambil mengangkat go-
lok besarnya.
Apa yang dilakukan Ludita juga dilakukan tiga
pengawal yang lain. Mereka telah bersiap-siap dengan
senjata golok terhunus.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba beberapa ekor
ular yang berada di hadapannya bergerak menyerang.
"Hati-hati, Raden!" Ludita memperingatkan Abi-
manyu.
Tubuh Ludita yang terbalut pakaian kuning
gading itu seketika bergerak cepat menebas-nebaskan
golok besarnya ke arah kepala ular yang hendak me
magutnya. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Ludi-
ta, hingga dalam sekejap saja lima ular telah tergeletak
tanpa kepala di atas tanah yang masih agak basah ka-
rena embun.
Abimanyu dan tiga pengawalnya yang berpa-
kaian putih juga melakukan hal yang sama. Gerakan-
gerakan senjata mereka yang begitu cepat, tepat pada
sasarannya. Sehingga dalam sebentar saja, tanah di
sekitar tempat kejadian berubah merah. Tubuh-tubuh
ular tanpa kepala terlihat bergelimpangan.
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan masih terdengar mengiringi,
sabetan pedang dan golok mereka. Cras! Cras!
Ular-ular besar dan kecil kembali jatuh berge-
limpangan, terhajar senjata lima lelaki yang terus ber-
gerak cepat. Namun sekali lagi, kelima lelaki itu terke-
jut bukan kepalang. Mereka menyaksikan sendiri,
ular-ular itu seperti tak berkurang jumlahnya. Pada
hal, bangkai-bangkai ular semakin bertumpuk.
"Ahhh...."
Ludita menarik napas panjang. Meski tubuhnya
terus bergerak, pikiran lelaki itu tetap bekerja keras
mencari jalan keluar agar terhindar dari marabahaya
aneh yang tengah dihadapinya.
Tiba-tiba seekor ular bergerak hendak menye-
rang.
Dan.... Tuk!
Mulut ular itu berhasil memagut mangsanya.
"Aaa...!"
Lengking kematian seketika memecah suasana
pagi itu, ketika salah seorang pengawal Abimanyu ter-
pagut seekor ular yang cukup besar.
Tubuh lelaki itu menggelinjang sesaat, tak lama
kemudian mengejang kaku. Seluruh permukaan kulit
lelaki berpakaian putih itu membiru. Namun segera di-
susul lagi keanehan yang tak masuk akal.
Blaaars!
Tubuh pengawal yang mati terpagut ular mele-
tus, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dari perut
pengawal yang pecah itu seketika bermunculan ular-
ular sebesar lengan bocah berumur dua tahun. Ludita,
Abimanyu, dan dua pengawal yang menyaksikan keja-
dian itu, tertegun keheranan. Hati mereka semakin
panik dan takut.
"Aaa...!"
Abimanyu terpekik menyaksikan kejadian itu.
Apalagi, ketika melihat tubuh pengawal yang mati itu
tiba-tiba berubah menjadi ular putih yang cukup be-
sar. Ular jelmaan itu kini berdiri seperti menantang.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Raden! Ayo Kar-
dala, Wiluji!" perintah Ludita pada Abimanyu dan dua
pengawalnya.
Tanpa membuang waktu, Ludita, Abimanyu,
Kardala dan Wiluji membalikkan tubuh cepat, segera
kaki-kaki mereka menghentak tanah kuat-kuat.
Mereka melesat cepat meninggalkan ratusan
ular yang semakin ganas hendak menyerang. Namun,
ternyata ratusan ular ganas itu seolah-olah tidak
membiarkan musuhnya lolos. Mereka terus bergerak
memburu keempat lelaki itu.
"Heh?!"
Abimanyu, Ludita, Kardala, dan Wiluji tersen-
tak bukan main. Serentak mereka terhenti. Pikiran
masing-masing masih diliputi keganjilan kejadian ini.
"Ini betul-betul aneh, Raden," ucap Ludita se-
perti berbisik. "Pasti ada orang sakti yang mengendali-
kan ular-ular itu."
"Maksud, Paman?" tanya Abimanyu.
"Orang sakti yang berniat membinasakan kita
dengan ular-ular itu," terka Ludita.
"Ahhh...!"
Abimanyu mendesah perlahan, wajahnya seke-
tika berubah pucat. Baru kali ini lelaki berusia enam
belas tahun itu dicekam ketakutan yang teramat san-
gat.
"Rasanya kita tak mungkin dapat meloloskan
diri, Paman," ucapan bergetar keluar dari mulut putra
bungsu Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja.
"Entahlah," jawab Ludita pasrah.
Sesaat kemudian, tiba-tiba sekelompok. ular
besar yang telah menghadang, bergerak perlahan
menghampiri Abimanyu, Ludita, Kardala, dan Wiluji.
Abimanyu mencoba menoleh ke belakang, na-
mun hatinya kembali tersentak menyaksikan segerom-
bolan ular kecil dan tanggung juga tengah bergerak
mendekatinya.
Lutut Abimanyu seketika bergetar hebat. Peluh-
nya dirasakan telah membasahi seluruh pakaiannya.
Zzzssst.. Zzzssst...
"Bersiaplah, Raden!" perintah Ludita sambil
tangannya mengacungkan golok.
Ludita mulai bergerak cepat menebas-nebaskan
golok besarnya. Berkali-kali goloknya menghantam te-
pat ular-ular yang berada di hadapannya. Namun,
usahanya itu hanya sia-sia. Tubuh ular-ular itu ter-
nyata kebal terhadap sabetan senjata.
Apa yang dialami Ludita, dialami juga Abi-
manyu, Kardala, dan Wiluji. Mereka begitu tercengang
menyaksikan kekebalan kulit ular-ular itu. Dalam ke-
tercengangan mereka, tiba-tiba seekor ular bergerak
begitu cepat. Bagaikan terbang ular itu memagut leher
Kardala yang tak sempat mengelak.
Tuk!
"Aaa...!"
Tubuh Kardala terpelanting ketika pagutan ular
itu mendarat tepat di lehernya. Seketika tubuhnya tak
berkutik lagi.
Kejadian serupa kembali disaksikan Abimanyu.
Tubuh Kardala meletus, dan dari perutnya ber-
munculan ular-ular sebesar tangkai golok. Lalu tubuh
Kardala berubah menjadi ular yang cukup besar.
Zzzssst...;
Ular jelmaan tubuh Kardala mendesis keras,
bergerak mendekati Ludita. Meskipun hanya gerakan
perlahan, ular itu menghampiri lelaki berpakaian ku
ning gading, namun cukup membuat keder hati Ludi-
ta.
Merasa jiwanya terancam marabahaya, dengan
segenap keberaniannya Ludita mencelat cepat sambil
mengayunkan senjatanya di udara.
"Hiyaaa...!"
***
2l
DUA
Tubuh Ludita yang seperti terbang, dengan ce-
pat menebaskan senjatanya.
Trak! '
Golok besar Ludita mendarat di leher ular yang
paling besar. Tapi....
"Aaakh!"
Ludita terpekik keras. Tubuhnya seketika ter-
lempar ketika golok besarnya mendarat telak di leher
ular besar jelmaan tubuh Kardala. Dengan kemam
puannya, Ludita mampu mempertahankan tubuhnya
dan kembali melejit dengan senjata yang siap dite-
baskan ke bagian mata ular besar itu.
"Hiaaa...!"
Teriakan menggelegar mengiringi sabetan golok
Ludita. Crak!
Golok Ludita yang ditebaskan ke mata ular be-
sar itu tepat pada sasarannya. Tetapi di luar dugaan,
golok yang menancap pada mata ular tak dapat ditarik
lagi. Ludita telah mengerahkan tenaga dalam untuk
mencabut senjatanya, tetapi tak berhasil juga.
Tubuh ular besar itu malah bergerak naik dan
membelit tubuh Ludita. Ludita mengerti gerakan ular
yang semacam itu, tapi karena kakinya juga tersang-
kut ular lain. Seketika itu juga tubuh Ludita terpelant-
ing ke tanah. Dan ular yang jelmaan tubuh Kardala itu
dengan leluasa membelit tubuh Ludita. Begitu keras-
nya belitan ular besar itu, Ludita merasakan tubuh
tergencet kuat.
Krrrk... krk...!
Tulang-tulang Ludita seketika bergemeretak ke-
tika ular besar itu semakin merapatkan belitannya.
Lengking kematian dari mulut Ludita pun membum-
bung tinggi, membuat Abimanyu dan Wiluji semakin
tercekam ketakutan.
"Ular Setan!" Abimanyu mengumpat sebisanya.
Ratusan ular itu kini bergerak perlahan mendekati
Abimanyu. Lelaki berumur enam belas tahun itu kini
terpuruk ke tanah dengan dua kaki yang terlipat.
Sementara Wiluji berdiri dengan benak ber-
tanya-tanya. Sungguh dirinya tak dapat mengerti men-
gapa ular-ular yang jumlahnya ratusan itu tak satu
pun yang menghampirinya, apalagi memagutnya.
Wiluji tersentak melihat ular-ular besar dan ke
cil telah mengelilingi tubuh Abimanyu. Apalagi ketika
badan keempat ekor ular yang besar bergerak men-
gangkat tubuh Abimanyu.
Abimanyu begitu ketakutan mendapatkan per-
lakuan aneh ular-ular itu. Dirinya juga merasa bin-
gung dan tak mengerti, ketika tiba-tiba ada suatu pen-
garuh aneh merasuk ke tubuhnya. Sehingga tak ada
sedikit pun upaya dari dirinya melompat dari tubuh
ular-ular besar itu, untuk membebaskan diri.
Sementara, Wiluji yang menyaksikan kejadian
itu tak dapat berbuat apa-apa, selain hanya menatap
tubuh Abimanyu yang diusung empat ekor ular besar
dan ratusan ular-ular tanggung dan kecil yang seperti
menggiring dari belakang. Bagaikan sebuah arak-arak-
an yang membawa suatu persembahan.
Akhirnya, tubuh Abimanyu lenyap di sebuah ti-
kungan jalan bersama arak-arakan ular yang mengeri-
kan itu.
"Aaah...!"
Wiluji pun menghela napas, seperti merasa le-
ga.
Tatapan mata Wiluji kini beralih pada tubuh
Ludita yang terkulai lemas tak bernyawa. Tubuh lelaki
kepercayaan Ki Suteja seperti tak bertulang. Belitan
ular besar telah menyebabkan seluruh tulang tubuh
Ludita remuk.
Wiluji bergerak perlahan menghampiri tubuh
Ludita. Diangkatnya tubuh yang sudah remuk tulang-
belulangnya itu.
Ah, kasihan kau, Ludita, batin Wiluji.
Lelaki berpakaian putih itu pun segera mening-
galkan tempat kejadian yang penuh dengan bangkai
ular, serta darah yang berceceran di tanah.
Wiluji akan melaporkan kejadian aneh yang
sangat mengerikan tadi kepada Ki Suteja, Kepala Desa
Gatareja yang juga ayah Abimanyu.
***
Sementara itu, arak-arakan ular yang memba-
wa Abimanyu terus bergerak.
Abimanyu tak berdaya untuk berbuat banyak,
ketika ular-ular mengerikan itu terus mengusung tu-
buhnya menuju sebuah bangunan tua yang masih ter-
lihat kokoh. Warna putih bangunan tua itu telah beru-
bah kusam dan abu-abu. Semakin dekat nampak jelas,
bangunan itu mirip sebuah puri pemujaan.
Keempat ular besar pengusung tubuh Abi-
manyu tiba-tiba merendahkan tubuh ketika mereka ti-
ba di pintu gerbang utama bangunan itu. Perbuatan
yang dilakukan empat ekor ular besar itu ternyata di-
ikuti semua ular yang turut mengiringi arak-arakan
itu.
Seperti ada yang memerintah binatang melata
itu, semua merunduk seolah-olah sedang memberikan
suatu penghormatan.
Zzzssst...
Suara desisan yang panjang dari ratusan bah-
kan ribuan ular begitu berisik merasuk ke telinga.
"He he he...."
"Hik... hik... hik...!" tiba-tiba suara tawa aneh
ter-dengar dari kejauhan.
"Bawa Bocah Bagus itu masuk!" seperti meng-
gema dari jarak jauh suara itu terdengar Abimanyu,
Abimanyu masih merasakan bingung dan aneh
di benaknya.
Sejurus lamanya Abimanyu mencoba mencari
dari mana suara itu datang? Namun hanya sia-sia, Ab
imanyu tak menemukan tempat suara itu muncul.
Ular-ular besar yang mengusung tubuh Abi-
manyu, serempak menjalankan perintah itu. Binatang-
binatang itu seolah benar-benar memahami ucapan
yang terdengar tanpa sosok yang memerintahnya.
Zzzssst...
Suara-suara desisan panjang yang menggi-
riskan kembali terdengar. Zzzssst...
Tubuh Abimanyu kembali terangkat. Perlahan
ular-ular besar itu bergerak menaiki anak tangga ban-
gunan puri yang cukup tinggi. Di belakang mereka ba-
risan panjang ular-ular kecil masih mengiringi.
"Hik... hik... hik! Selamat datang, Bocah Bagus.
Selamat menikmati keadaan puri yang indah ini," sapa
seseorang seiring dengan terbukanya pintu utama pu-
ri.
Mata Abimanyu terbeliak menyaksikan dua
orang perempuan berpakaian cukup aneh, yang ter-
buat dari kulit ular. Di tangan kedua perempuan itu
melilit dua ekor ular yang lidahnya menjulur dan me-
nimbulkan desis mengerikan.
Seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh
puluh lima tahun menghampiri Abimanyu dengan tan-
gan yang terulur. Karuan saja Abimanyu merasa takut
bukan kepalang.
Ketika tangan perempuan tua menjulur hendak
menyambut Abimanyu, seekor ular besar yang melilit
pinggangnya, berpindah tempat. Kini ular besar itu
melilit di pinggang Abimanyu.
"Hik... hik... hik.... Kau tak perlu takut, Bocah
Bagus. Dia tidak galak pada orang yang disukainya,"
ucap perempuan tua itu mantap. "Ular itu malah akan
menjadi gurumu," lanjut perempuan yang seluruh ku-
lit mukanya sudah keriput.
Abimanyu dapat menanggapi ucapan perem-
puan tua di hadapannya. Matanya sibuk melihat ular
hijau kemerahan yang melilit di pinggangnya.
"Hik.., hik... hik.... Ternyata kau masih takut
juga, Bocah Bagus. Baiklah, nyai akan memindahkan
ular itu dari pinggangmu."
Perempuan tua itu bergerak meraih ular yang
membelit pinggang Abimanyu.
"Bagaimana, kau sudah tidak takut lagi, bu-
kan?" tanya perempuan tua itu.
Abimanyu diam tak menjawab pertanyaan pe-
rempuan di hadapannya. Mata lelaki berusia enam be-
las tahun itu hanya menatapi keadaan perempuan tua
penghuni puri. Perempuan itu sudah cukup tua. Ram-
butnya yang panjang memutih tergelung tak teratur.
Dan tangannya memakai gelang-gelang dari
akar pohon membuat keadaannya bertambah angker.
"Untuk apa kalian membawaku ke tempat ini?"
Tiba-tiba mulut Abimanyu yang sejak tadi ba-
gaikan terkunci, melontarkan sebuah pertanyaan.
"Hik... hik... hik.... Itu yang ku maui, Bocah
Bagus. Sejak tadi nyai menunggu. suaramu keluar,
dan ternyata suaramu begitu gagah kedengarannya,"
ujar perempuan tua.
Wajah perempuan yang nampak sangat angker
itu, berubah agak cerah ketika mendengar suara Ab-
imanyu.
Abimanyu mengangkat alisnya sedikit menden-
gar pujian perempuan tua di hadapannya.
"Sebelum nyai menjawab pertanyaanmu, ada
baiknya nyai memperkenalkan diri. Hik... hik... hik....
Kau boleh memanggilku dengan sebutan Ratu Ular
atau boleh juga Nyi Kumalarani. Sebab julukan Ratu
Ular sebentar lagi akan berpindah pada cucu kesayan
gan ku," ujar perempuan yang bernama Nyi Kumalara-
ni.
"Kemarilah kau, Ambar," Nyi Kumalarani me-
manggil seorang gadis berusia tak lebih dari enam be-
las tahun.
Tanpa membantah, gadis cantik itu mengham-
piri Nyi Kumalarani. Ketika itulah Abimanyu melihat
kalau gadis itu pun memiliki keanehan yang serupa.
Kepala gadis cantik yang seharusnya ditumbuhi ram-
but, kini malah ditumbuhi ular-ular kecil hitam pekat.
Ular-ular kecil itu terus bergerak-gerak seperti rambut
yang terhembus angin.
"Cucuku ini bernama Dewi Ambar Sari, Bocah
Bagus. Kelak dialah yang akan menyandang gelar Ratu
Ular. Akan tetapi Dewi Ambar Sari harus bersuami le-
bih dulu sebelum menyandang gelar itu," jelas Nyi
Kumalarani.
Abimanyu mendengarkan penjelasan Nyi Ku-
malarani dengan perasaan tak menentu. Pikirannya
sudah dapat mengambil kesimpulan maksud Nyi Ku-
malarani membawanya ke tempat itu. Dirinya akan di-
jadikan suami Dewi Ambar Sari.
"Kau bersedia menjadi pendamping hidup Am-
bar, Bocah Bagus?" tanya Nyi Kumalarani.
Merah padam wajah Abimanyu mendengar per-
tanyaan itu, dirinya tak tahu harus menjawab apa.
"Nyai tak memaksa kalau kau tak mau menja-
wabnya, Bocah Bagus. Karena biar bagaimanapun kau
tetap akan kujadikan pendamping hidup cucuku," ujar
Nyi Kumalarani. "O ya, nyai hampir lupa menanyakan
namamu, Bocah Bagus. Siapa, Heh?"
Abimanyu menatap wajah tua Nyi Kumalarani.
"Abimanyu, Nyi," jawab lelaki putra bungsu Ki
Suteja.
"Abimanyu...?" ulang Nyi Kumalarani perlahan.
"Hik,.. hik... hik.... Namamu bagus sekali, sesuai den-
gan wajahmu yang tampan dan tubuhmu yang padat
berisi."
Abimanyu tak menghiraukan pujian Nyi Kuma-
larani Mata putra bungsu Kepala Desa Gatareja itu
menatap wajah cantik Dewi Ambar Sari. Sungguh can-
tik wajah cucu Nyi Kumalarani, namun sayang, di ba-
lik kecantikannya tersembunyi keangkeran.
"Abimanyu, tinggallah kau di puri ular ini den-
gan tenang! Semua kebutuhan hidupmu sudah terse-
dia di sini! Dan paman-pamanmu itu akan mengajari-
mu cara hidup di puri ular ini. Kelak, kalau kau sudah
mampu menyesuaikan diri dan mampu bersatu den-
gan kami di sini, barulah perayaan perkawinanmu
dengan Dewi Ambar Sari dilaksanakan," ucap Nyi Ku-
malarani, sambil tangannya menunjuk ular yang ada
di puri itu.
Abimanyu hanya tercenung mendengar ucapan
itu. Hatinya merasa kaget mendengar sebutan paman
terhadap empat ekor ular besar yang berada tak jauh
darinya. Ular-ular itulah yang tadi mengusungnya ke
puri ular ini.
"Ambar! Nyai ingin istirahat Kau layani Abi-
manyu baik-baik!" perintah Nyi Kumalarani.
Dewi Ambar Sari menganggukkan kepalanya
perlahan, seketika ular-ular kecil di kepalanya pun se-
perti ikut mengangguk.
Perempuan tua yang juga berjuluk Ratu Ular
itu berlalu dari hadapan Abimanyu dan Dewi Ambar
Sari. Sejenak mata Abimanyu memandangi kepergian
Nyi Kumalarani.
"Ayo ikut aku, Abimanyu!" ajak Dewi Ambar Sa-
ri setelah tubuh Nyi Kumalarani hilang di balik pintu
kamarnya.
Hati Abimanyu semula merasa enggan menuru-
ti ajakan gadis berambut ular di hadapannya, tapi be-
berapa kali gadis itu terus mendesak. Akhirnya dengan
berat Abimanyu mengikuti langkah Dewi Ambar Sari.
***
Abimanyu terus melangkah di belakang gadis
berambut ular memasuki ruangan-ruangan besar da-
lam puri itu. Hatinya masih terasa bergetar melihat
ruangan-ruangan yang tampak angker.
"Ini kamarmu, Abimanyu. Masuklah dan sela-
mat beristirahat!" ucap Dewi Ambar Sari sambil mem-
buka pintu kamar.
Abimanyu melempar pandang ke dalam kamar
yang remang-remang. Kamar itu hanya diterangi se-
batang obor kecil yang menempel di dinding.
"Masuklah, Abi! Segala kebutuhan mu ada di
dalam," ucap Dewi Ambar Sari sambil menyodorkan ta-
ngannya ke kamar itu.
Abimanyu belum juga bergerak menuruti perin-
tah gadis itu. Matanya masih tetap memperhatikan ke-
remangan kamar.
"Jadi lelaki jangan pengecut seperti itu, Ab-
imanyu!" sentak Dewi Ambar Sari.
Sesaat Dewi Ambar Sari memandang wajah Ab-
imanyu dalam-dalam. Kemudian gadis berpakaian ku-
lit ular hijau lurik itu beranjak meninggalkan Abi-
manyu.
Abimanyu mendengar bentakan seperti itu ten-
tu saja tak senang. Untuk membuktikan kalau dirinya
bukanlah pengecut, seketika itu juga Abimanyu masuk
ke kamar yang remang-remang dan agak pengap itu.
Ketika kaki Abimanyu menginjak lantai kamar,
yang pertama dilihatnya sebuah tempat tidur terbuat
dari kayu jati ukir. Alas tempat tidur itu terbuat dari
kulit ular. Hatinya kembali tergetar. Bulu kuduknya
berdiri, dan tubuhnya merinding.
Namun, karena rasa lelah terasa di tubuhnya,
Abimanyu bermaksud merebahkan diri di tempat tidur
itu. Akan tetapi, baru saja Abimanyu meletakkan tu-
buh, tiba-tiba dirasakan sesuatu yang bergerak-gerak
di punggungnya, seperti geliatan binatang yang tertin-
dih.
Abimanyu terkejut dan bangkit. Sambil berdiri
diperhatikannya cermat-cermat alas tempat tidur itu.
"Ha... ah!"
Abimanyu tersentak melihat ular-ular yang ber-
jejer rapi. Baru disadarinya ular-ular itulah yang men-
jadi alas tempat tidurnya.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara....
"Tidurlah, Abimanyu! Jangan takut kepadanya!
Ular-ular itu telah menjadi abdi mu sekarang. Kau bisa
memerintahkan mereka keluar, kalau kau tak suka
ular-ular itu berada di kamarmu," ucap sebuah suara
cukup tegas.
Abimanyu mengenali suara itu. Sebuah suara
yang tentu saja milik perempuan tua bernama Nyi
Kumalarani. Akan tetapi Abimanyu tak tahu harus
berbuat apa. Dirinya memang tak suka ular-ular itu
berada dalam kamarnya, tapi untuk mengusir mereka,
Abimanyu tak tahu harus berbuat apa.
"Keluarlah abdi-abdi Abimanyu!" perintah Nyi
Kumalarani dari jauh.
Ular-ular yang semula berjejer di tempat tidur
seketika bergerak satu demi satu. Dengan teratur cara
ular-ular itu turun dari tempat tidur. Dan ketika se
mua sudah berada di bawah, ular-ular itu kembali
membuat Abimanyu tercengang.
Zzzssst...
Suara-suara desisan terdengar. Zzzssst...
Ular-ular yang berjumlah lebih dari lima belas
ekor itu seketika merundukkan kepalanya seolah
memberi hormat dan salam pamit untuk meninggalkan
ruangan junjungannya.
Zzzssst...
Zzzssst...
Kembali ular-ular itu mendesis bersamaan dan
ketika Abimanyu menganggukkan kepala, serempak
ular-ular itu pergi meninggalkan kamar Abimanyu.
***
TIGA
Matahari senja yang tertutup mendung telah
turun di sebelah barat. Angin yang berhembus terasa
begitu lembab. Barangkali sebentar lagi akan hujan.
Sesekali guntur terdengar di kejauhan.
Di bawah langit yang mendung nampak seo-
rang lelaki tengah berlari tidak begitu cepat. Di ba-
hunya nampak terpanggul sosok tubuh tak bergerak.
"Kakang Wiluji!" tegur seseorang ketika lelaki
berpakaian putih itu masuk ke pekarangan rumah
yang pantas disebut sebuah padepokan.
Wiluji tak mempedulikan teguran orang itu. Wi-
luji terus bergerak masuk ke ruang utama Ki Suteja,
Kepala Desa Gatareja.
Ki Suteja yang menyaksikan kedatangan Wiluji
tanpa putra bungsunya, terkejut bukan main. Terlebih
ketika menyaksikan mayat Ludita yang mengenaskan.
"Perbuatan siapa ini, Wiluji?" tanya Ki Suteja
keras. "Di mana Abimanyu?!"
Wajah Ki Suteja seketika berubah merah pa-
dam. Matanya terbelalak, dan suaranya bergetar seper-
ti menahan amarah. Langkahnya terburu-buru me-
nyambut Wiluji.
Wiluji gelagapan mendengar pertanyaan Kepala
Desa Gatareja, tak mampu menjawabnya. Nafasnya
tersengal-sengal. Keringat membasahi seluruh tubuh-
nya.
"Ah, maaf Wiluji. Sesungguhnya apa yang ter-
jadi?" tanya Ki Suteja kembali setelah menenangkan
hatinya.
Setelah hatinya mulai tenang dan nafasnya ter-
atur, Wiluji segera menceritakan kejadian yang diala-
mi. Diceritakan semua, mulai dari awal Abimanyu
membunuh tiga ekor ular yang menghadang perjala-
nannya hingga tubuhnya diusung empat ekor ular be-
sar.
Beberapa lama Ki Suteja merenung setelah
mendengar cerita Wiluji. Kepala Desa Gatareja itu seo-
lah tengah berusaha mengingat sesuatu yang pernah
dialami puluhan tahun silam.
Mungkinkah Ratu Ular yang menculik putra
ku? Seperti yang pernah dilakukan terhadap anak pe-
rempuan Ki Rampal Lawu! Dan.... Apakah dia juga
akan melakukan hal yang sama dengan Desa Kemu-
ningwaru? Meratakan seluruh isi Desa Gatareja den-
gan tanah, batin Ki Suteja.
Hati lelaki berusia setengah baya itu kembali
dicekam rasa khawatir dan kecemasan yang hebat.
Ki Suteja kembali menatap Wiluji yang nampak
masih ketakutan. Tangan Kepala Desa Gatareja itu se
ketika terulur lalu menepuk bahu Wiluji.
"Sekarang kau boleh pergi Wiluji, dan tolong
panggil anak-anakku yang lain ke mari," perintah Ki
Suteja.
Wiluji segera menggeser duduknya sedikit, ke-
mudian bangkit dan menjura hormat pada Ki Suteja.
"Baik, Ki. Saya akan panggilkan mereka," ucap
Wiluji. Namun, baru saja Wiluji membalikkan badan-
nya, nampak orang yang hendak dipanggilnya sudah
datang tergopoh-gopoh diikuti beberapa orang lelaki
Padepokan Gatareja.
"Di mana Adi Abimanyu, Wiluji?" tanya Wirana-
ta.
"Kemarilah kalian bertiga, biarkan Wiluji pergi!"
sahut Ki Suteja memutus pertanyaan Wiranata.
Wiranata, Randu, dan Nalanda tak segera me-
nuruti perintah ayahnya. Ketiga putra Ki Suteja itu
malah menatap wajah Wiluji yang nampak begitu pu-
cat.
"Kau telah menceritakan kejadian yang sesung-
guhnya pada ayah, Wiluji?" tanya Randu.
Wiluji menganggukkan kepalanya perlahan.
"Kau nampak begitu letih, beristirahatlah! Nanti
kalau kuperlukan keterangan yang lebih rinci, kau
akan kupanggil," lanjut Randu.
"Baik kang Randu," jawab Wiluji.
Randu, Wiranata, dan Nalanda tak lagi menghi-
raukan kepergian Wiluji. Mereka segera duduk meng-
hadap ayahnya.
"Bagaimana ceritanya, Ayah?" tanya Wiranata
tak sabar.
Ki Suteja menatap wajah putra nomor dua itu,
wajah Kepala Desa Gatareja menampakkan segurat
senyum yang samar-samar.
"Kau belum juga meninggalkan kebiasaan bu-
ruk mu, Wira," ucap Ki Suteja pelan. "Kau selalu terge-
sa gesa jika ingin mengetahui sesuatu. Biasakanlah
menghadapi segala persoalan dengan hati tenang. Tak
ada persoalan yang tak dapat diselesaikan dengan hati
tenang. Seperti kejadian yang menimpa adikmu dan
Ludita, memerlukan ketenangan untuk menghadapi-
nya," lanjut Ki Suteja.
"Sebenarnya apa yang terjadi atas Adi Abi-
manyu, Ayah?" tanya Randu hati-hati.
Ki Suteja menarik napas dalam-dalam, kemu-
dian mulai menceritakan laporan yang didapat dari Wi-
luji. Sejenak mata lelaki berusia setengah baya itu me-
nerawang jauh ke luar jendela. Benaknya kembali ber-
putar mengingat kejadian belasan tahun silam, di ma-
na seorang perempuan yang mengaku berjuluk Ratu
Ular mengacau Desa Kemuningwaru dengan menculik
putri tunggal Ki Rampal Lawu.
Setelah beberapa lama pikirannya melayang ke
masa silam, lalu Ki Suteja menceritakan kejadian yang
dialami Abimanyu pada Randu, Wiranata, dan Nalan-
da.
"Sangat aneh kejadian ini, Ayah," ujar Nalanda
dengan dahi berkerut.
"Apa mungkin ada orang yang mampu meme-
rintahkan binatang-binatang berbisa itu?" timpal Wi-
ranata.
"Mungkin saja Adi Wira. Di dunia persilatan ini
banyak tokoh sakti mampu melakukan hal-hal yang di
luar jangkauan pikiran manusia," jawab Randu.
"Jadi, Kakang pun beranggapan, kejadian ini
ada yang mendalanginya?" tanya Nalanda.
"Kira-kira begitu," jawab Randu.
Ki Suteja mendengarkan saja apa yang tengah
dibicarakan ketiga anaknya. Namun begitu, pikirannya
tetap berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi
persoalan yang cukup rumit itu.
Dalam pikiran Kepala Desa Gatareja muncul
sebuah keinginan untuk menemui Ki Caringin, saha-
batnya yang tinggal di Bukit Beringin.
"Apakah Ayah bisa mengetahui siapa yang telah
menculik Adi Abimanyu?" tanya Wiranata memutus
rencana yang terlintas di benak Ki Suteja.
Ki Suteja menatap wajah Wiranata sejenak, se-
bentar kemudian mulutnya menyebutkan sebuah na-
ma yang membuat terkejut hati ketiga putranya.
"Ratu Ular...?" tanya ketiga putra Ki Suteja
hampir bersamaan.
Ketiganya memang tak pernah mendengar, apa-
lagi menyaksikan sepak-terjang Ratu Ular. Namun, da-
ri kejadian aneh yang dialami Abimanyu dan penga-
walnya, mereka sudah dapat memastikan kesaktian
Ratu Ular.
"Kejadian seperti ini juga pernah dialami saha-
bat ayah, Ki Rampal Lawu. Waktu itu Ki Rampal Lawu
menjabat sebagai Kepala Desa Kemuningwaru. Anak
tunggalnya perempuan. Kalau sekarang hidup, umur-
nya kira-kira sebaya Abimanyu. Wajah anak itu begitu
cantik. Alasan itu yang mungkin membuat Ratu Ular
menculiknya, atau mungkin perempuan tua tokoh go-
longan hitam itu mempunyai niat lain terhadap putri
tunggal Ki Rampal Lawu," cerita Ki Suteja.
"Lalu apa yang dilakukan Ki Rampal Lawu ter-
hadap Ratu Ular yang telah menculik putrinya, Ayah?"
tanya Nalanda menyela cerita Ki Suteja.
"Rampal Lawu marah bukan main, namun
upayanya untuk membebaskan putrinya hanya sia-sia.
Kesaktian Ratu Ular yang jauh lebih tinggi membuat
Kepala Desa Kemuningwaru tak berkutik. Dan ketika
Ratu Ular membuat kekacauan yang lebih besar, Ki
Rampal Lawu tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, ak-
hirnya dirinya tewas bersama penduduk dan desanya
yang rata dengan tanah," kisah Ki Suteja.
"Kejam!" ujar Wiranata dengan tangan terkepal.
"Kita harus mendahului sebelum iblis jahanam itu
menjarah desa kita, Ayah! Kita kerahkan seluruh mu-
rid Padepokan Gatareja untuk mengerahkan perem-
puan laknat itu!" lanjut Wiranata begitu marah.
"Benar Ayah, kita harus mencegah kejadian
yang telah dialami Desa Kemuningsewu pada desa ki-
ta. Kita harus bergerak mendahului, sebelum iblis itu
mengacau di sini," timpal Nalanda.
"Menurutmu bagaimana, Randu?" tanya Ki Su-
teja setelah mendengar ucapan Wiranata dan Nalanda
yang ingin mengerahkan murid-murid Padepokan Ga-
tareja untuk memusnahkan Ratu Ular.
"Aku rasa, Ayahlah yang lebih tahu bagaimana
cara menghadapi Ratu Ular," jawab Randu mantap.
Ki Suteja kembali menarik napas dalam-dalam.
"Aku tidak setuju dengan keinginan Wiranata
dan Nalanda," ucap Kepala Desa Gatareja. "Karena,
sudah dapat dipastikan kalau tindakan itu akan sia-
sia. Ayah sudah dapat mengukur kemampuan murid-
murid Padepokan Gatareja. Mereka tidak ada artinya
jika dibanding dengan kesaktian si Ratu Ular. Meski-
pun jumlahnya ditambah sepuluh kali lipat," lanjut Ki
Suteja.
"Sebegitu hebatkah kesaktian Ratu Ular itu,
Ayah?" tanya Wiranata penasaran.
"Enam betas tahun silam Ratu Ular pernah
membuat geger dunia persilatan dengan membinasa-
kan tokoh-tokoh sakti golongan putih. Sekarang bisa
kalian bayangkan, kesaktian si Ratu Ular itu sudah
pasti mengalami kemajuan pesat."
Ketiga putra Kepala Desa Gatareja tercenung
mendengar ucapan ayahnya. Nampak ketiga putra Ki
Suteja saling berpandangan. Tanpa sepatah kata pun
terlontar dari mulut mereka.
"Ayah akan membicarakan kejadian ini pada Ki
Caringin. Mudah-mudahan dia bisa membantu menca-
ri jalan keluarnya," ucap Ki Suteja.
"Aku setuju," potong Nalanda. "Dengan bantuan
Ki Caringin barangkali kita bisa sama-sama melenyap-
kan si Ratu Ular itu," lanjut Nalanda.
"Tiga lelaki tua macam Ki Caringin kita kum-
pulkan, kesaktian Ratu Ular belum tentu tertandingi,
Nalanda," papar Ki Suteja.
"Jadi, percuma saja Ayah datang menemuinya,"
selak Wiranata.
Ki Suteja tersenyum mendengar ucapan anak-
nya yang tanpa pikir panjang.
"Apanya yang percuma, Wira?" balas Ki Suteja.
"Orang tua Ki Caringin amat kita butuhkan pendapat-
nya. Barangkali Ki Caringin punya gagasan atau cara
menghadapi si Ratu Ular itu."
Nalanda dan Wiranata terdiam mendengar uca-
pan ayahnya. Hanya Randu yang kini nampak meman-
dang wajah ayahnya.
"Jadi Ayah akan berangkat ke tempat Ki Cari
ngin sekarang?" tanya Randu.
"Ya. Dan kau sebagai anakku yang paling tua
kuharap dapat mengawasi semuanya, selama keper-
gian ayah ke tempat Ki Caringin. Kau juga awasi gela-
gat kurang baik tiap tamu yang cuma numpang lewat
atau berniat bermalam di desa kita ini!" pesan Ki Sute-
ja seraya menepuk bahu Randu, putra sulungnya.
"Baik, Ayah. Akan kulaksanakan pesan Ayah,"
jawab Randu.
Ki Suteja pun berangkat ke kediaman Ki Cari
ngin setelah terlebih dulu berpesan pada Wiranata dan
Nalanda. Kepala Desa Gatareja itu terus bergerak, se-
mentara hari sudah senja. Dan sebentar lagi malam
akan tiba.
Sepeninggal ayahnya, Randu, Wiranata, dan
Nalanda belum juga beranjak dari ruangan Ki Suteja.
Mereka nampak sedang berpikir, mencari jalan keluar
untuk menyelamatkan Abimanyu.
"Aku jadi semakin penasaran, Kakang Randu,"
ucap Wiranata. "Seperti apa hebatnya Ratu Ular itu
hingga ayah melarang kita menyatroni sarangnya,
meski kita membawa seluruh murid Padepokan Gata-
reja yang jumlahnya tidak sedikit. Hampir delapan pu-
luh orang, kurasa itu jumlah yang tidak sedikit."
"Betul. Aku setuju dengan pendapat Kakang
Wiranata. Delapan puluh orang jumlah yang cukup
banyak, apalagi mereka semua bukan orang-orang
yang tak kenal ilmu silat. Perkembangan ilmu mereka
cukup cepat. Bukankah Kakang Randu lebih tahu hal
itu?" timpal Nalanda.
"Ayah lebih tahu bagaimana kita sebaiknya
bersikap," tolak Randu halus.
"Huh! Aku lebih suka kita langsung menyerang
sarang si Ratu Ular itu," bantah Wiranata.
"Sebaiknya, kita jangan bertindak sebelum ada
perintah dari ayah," larang Randu.
Lelaki putra tertua Ki Suteja itu berlalu me-
ninggalkan kedua adiknya.
Langit di atas Desa Gatareja sudah mulai gelap
sebagai pertanda hari sebentar lagi malam.
Nalanda bergegas menyusul langkah Randu,
sementara Wiranata bergerak sambil mengepalkan tin-
ju seperti tidak puas dengan keputusan Randu.
***
Lelaki tua berusia tak lebih dari enam puluh
tahun nampak mengerutkan dahinya. Lelaki berpa-
kaian putih yang tak lain adalah Ki Caringin menatap
wajah Ki Suteja lekat-lekat.
"Kau tidak bergurau, Adi Teja?" tandas Ki Ca-
ringin memastikan.
"Kakang pikir, aku mengunjungi tempat ini
hanya untuk bergurau?" jawab Ki Suteja pelan.
"Lalu, dari mana bisa kau pastikan kalau yang
menculik anak bungsu mu itu si Ratu Ular?" selidik Ki
Caringin.
"Dari Wiluji, abdi setia ku dan dari mayat Ludi-
ta yang tulang-belulangnya remuk karena lilitan ular
besar," jawab Ki Suteja.
"Hmmm.... Apa cerita Wiluji bisa dipercaya?"
"Kurasa begitu, Kakang. Sejauh pengamatanku,
Wiluji seorang yang setia dan jujur. Apa Kakang tidak
yakin kalau Ratu Ular akan muncul lagi mengacau
dunia persilatan seperti enam belas tahun silam?"
"Setelah belasan tahun tak terdengar namanya,
bukan hal yang tidak mungkin kalau Ratu Ular kini
muncul lagi untuk menyemarakkan dunia persilatan,"
ucap Ki Caringin. "Sudah enam belas tahun Ratu Ular
menyepi di tempatnya, setelah membawa lari anak pe-
rempuan Ki Rampal Lawu yang masih bayi. Sekarang
perempuan itu muncul lagi dan menculik Abimanyu.
Ah! Apakah usia Abimanyu sekarang ini enam belas
tahun, Adi Teja?"
"Betul, Kakang."
"Kau bisa menyimpulkan kejadian enam belas
tahun silam dengan kejadian sekarang?" tanya Ki Ca-
ringin seperti dapat gambaran jelas.
"Maksud Kakang Ki Caringin?"
"Dugaanku, anak Rampal Lawu yang diculik
enam belas tahun lalu kini masih berada di tangan si
Ratu Ular. Sudah tentu sifat anak Rampal Lawu sama
persis dengan sifat kebinatangan si Ratu Ular. Karena
si Ratu Ular mungkin telah menganggap anak Rampal
Lawu sebagai cucunya, bahkan sebagai anak. Dan se-
karang Abimanyu diculiknya untuk mendampingi hi-
dup anak Rampal Lawu. Sebelumnya, Abimanyu akan
dididik agar memiliki sifat kebinatangan seperti Ratu
Ular dan anak Rampal Lawu. Baru setelah itu, kedua-
nya dijodohkan. Dengan demikian cita-citanya untuk
mengembangkan keturunan Ratu Ular akan tercapai.
Maka setiap tahun atau mungkin setiap bulan akan
lahir Ratu Ular yang baru," Ki Caringin menguraikan
gagasan yang muncul dalam benaknya.
Dugaan Ki Caringin diterima Ki Suteja. Lelaki
setengah baya pimpinan Desa Gatareja itu nampak
termenung setelah mendengar penjelasan sahabatnya.
"Kita harus bertindak, Kakang. Aku tidak ingin
Abimanyu dijodohkan dengan anak Rampal Lawu itu,"
ucap Ki Suteja cemas.
"Itu baru dugaanku, Adi Teja. Kau jangan terla-
lu cemas," cegah Ki Caringin.
"Dugaanmu masuk jalan pikiranku, Kakang
Caringin," tukas Ki Suteja.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki
Caringin.
"Aku tak tahu harus berbuat apa, karena itulah
aku datang ke sini."
"Kesaktian Ratu Ular bukanlah tandingan
orang-orang macam kita yang hanya kenal ilmu olah
kanuragan secara kasar. Kalaupun kita mengadakan
perlawanan untuk merebut Abimanyu, kurasa itu
hanya hal yang sia-sia belaka. Ilmu yang dimiliki Ratu
Ular sungguh luar biasa. Tokoh-tokoh sakti sekalipun
sulit untuk menandinginya. Sekarang tindakan yang
patut hanya-lah menunggu perkembangan. Kalau niat
Ratu Ular menculik Abimanyu hanya untuk dijodoh-
kan dengan anak Rampal Lawu, kemungkinan besar
Desa Gatareja terhindar dari malapetaka seperti yang
dialami Desa Kemuningwaru. Dan untuk kau, Adi Teja.
Lebih baik relakan Abimanyu demi keselamatan pen-
duduk dan Desa Gatareja," saran Ki Caringin.
Ki Suteja tak berusaha membantah saran Ki
Caringin. Kepala Desa Gatareja itu hanya memandangi
wajah sahabatnya yang dulu sama-sama menyaksikan
keganasan Ratu Ular membinasakan penduduk Desa
Kemuningwaru dan meratakannya dengan tanah.
"Hari telah larut, Adi Teja. Ada baiknya kau
menginap semalaman di tempatku. Besok pagi kau ba-
ru pulang," usul Ki Caringin.
Ki Suteja tak dapat membantah permintaan itu.
Meski pikirannya tengah dilanda kekalutan, kepalanya
mengangguk juga memenuhi permintaan Ki Caringin.
***
EMPAT
Hari masih gelap, hawa dingin menusuk kulit
masih terasa begitu kuat. Suara serangga yang bersa-
hutan menandakan alam belum terbangun dari tidur-
nya.
Dalam suasana seperti itu, nampak beberapa
sosok bayangan berlompatan secara bersamaan. Gera-
kan sosok bayangan yang berjumlah dua belas orang
itu terlihat begitu ringan dan hati-hati.
"Di sini tempat Abimanyu menghilang, dan di-
usung ular-ular besar itu, Adi Wiranata," suara salah
satu sosok bayangan yang ternyata Wiluji.
"Hmmm...." Wiranata hanya menarik napas
mendengar ucapan Wiluji.
"Apa mungkin ular-ular itu membawa Abi-
manyu menuju bangunan tua yang mirip puri itu, Ka-
kang Wiluji?" tanya Wiranata dengan tatapan mata
mengarah pada bangunan tua yang terletak cukup
jauh.
"Dugaanku juga begitu, Adi Wira," sahut Wiluji.
"Kalau begitu, sekarang juga kita bergerak ke sana.
Moga-moga saja dugaan kita betul dan puri itu tak di-
jaga ketat," putus Wiranata seraya mendahului Wiluji
dan sepuluh orang murid Padepokan Gatareja.
Menyaksikan Wiranata dan kesepuluh murid
Padepokan Garateja sudah bergerak, meski berat, Wi-
luji pun mengikuti gerakan mereka yang penuh hati-
hati dan waspada.
Sebenarnya berat hati Wiluji menuruti ke-
mauan Wiranata untuk membebaskan Abimanyu. Wi-
luji sudah dapat memperkirakan bahaya yang akan
menghadang mereka. Puluhan ular besar dan ratusan
ular-ular kecil pasti akan menghadang dan mencabik
tubuh mereka, Bukan itu saja, yang membuat hati Wi-
luji kecut, ular-ular itu seperti tak pernah habis. Mati
satu, datang sepuluh. Mati sepuluh datang tiga puluh.
Namun, untuk menolak keinginan Wiranata,
merupakan hal yang berat bagi Wiluji. Di samping ti-
dak ingin dicaci Wiranata sebagai lelaki pengecut, di
rinya juga ingin menunjukkan rasa tanggung jawab
atas lenyapnya Abimanyu.
Angin berhembus cukup kuat, ketika dua belas
sosok lelaki sudah berada di depan bangunan puri.
Dua belas lelaki itu sama-sama merasakan hembusan
angin yang menebar hawa aneh.
"Hembusan angin barusan membuat bulu ku-
duk ku berdiri, Kakang Wiluji," ujar Wiranata pelan.
"Aku juga merasakannya, Adi Wira. Seperti ada
hawa kematian," timpal Wiluji dengan tatapan mata
yang membidik tepat bola mata Wiranata. Tatapan Wi-
luji seolah tatapan penyesalan atas keinginan keras
Wiranata.
"Apa kau merasakannya ketika kau mengawal
Abimanyu bersama Kakang Ludita?" tanya Wiranata
menyelidik ucapan Wiluji.
Wiluji menggelengkan kepala. Namun, seiring
dengan gelengan kepala lelaki berpakaian warna putih
itu terdengar suara desisan yang cukup kuat.
Zzzssst...!
Zzzssst...!
Wiluji tersentak kemudian mundur satu lang-
kah. Seraya meloloskan senjata dari tempatnya, Wiluji
berteriak memperingatkan Wiranata dan kesepuluh
murid Padepokan Gatareja yang berada di belakang-
nya.
"Hati-hati, Adi Wira! Siapkan senjata kalian!"
perintah ucapan Wiluji.
Wiranata dan kesepuluh kawannya segera me-
matuhi perintah Wiluji. Dengan gerak cepat mereka
mencabut senjata masing-masing.
Srat!
Srat!
Wiranata dan kesepuluh murid Padepokan Ga
tareja terperanjat. Di keremangan cahaya bulan, nam-
pak empat ekor ular sebesar paha menghadang lang-
kah Wiranata dan kesepuluh kawannya. Di belakang,
empat ular besar itu juga nampak puluhan ular kecil
bergerombol.
Hati Wiranata dan kawan-kawannya semakin
terkejut menyaksikan ular-ular itu mendesis dan men-
julurkan lidahnya.
"Hati-hati, Adi Wiranata. Binatang-binatang itu
tak dapat habis meski kita mampu membunuh satu
per-satu!" tukas Wiluji. "Kalau kita mampu membunuh
satu, maka sepuluh ekor lagi akan muncul menyerang
mu."
Wiranata sempat menghiraukan peringatan Wi-
luji ketika seekor ular sebesar lengan menyerangnya
dengan gerakan cepat. dan ganas. Kepala ular itu ber-
gerak ke paha Wiranata, namun rupanya langsung Wi-
ranata mengetahui gerakan itu. Maka dengan gerak
cepat, Wiranata membabatkan pedangnya ke leher ular
itu.
Cras!
Tebasan itu tepat mengenai sasarannya.
Kepala ular seketika terputus. Darah pun mun-
crat dari tubuh ular yang tanpa kepala itu.
Belum sempat Wiranata menarik napas, lima
ekor ular yang lain kembali menyerangnya dengan ce-
pat.
"Uts!"
Serangan ular yang pertama berhasil dielakkan
Wiranata dengan sedikit mendoyongkan tubuhnya.
Dan gerakan berputar Wiranata berhasil menebas ke-
pala ular yang menyerangnya, membuat kepala ular
itu pun terpental ke tanah.
"Awas, Wiranata!" teriak Wiluji.
Wiranata membalikkan badannya cepat ketika
mendengar teriakan Wiluji. Putra kedua Ki Suteja itu
kembali menunjukkan kehebatannya dalam permain-
an pedang. Sekali hentak saja, ular yang menyerang-
nya dari belakang seketika menggelepar dengan kepala
terputus.
Zzzssst...!
Suara desisan kembali terdengar. Zzzssst..!
Empat ular sebesar paha yang sejak tadi hanya
diam, mendesis bersahutan. Begitu kuat desisan yang
dikeluarkan empat ekor ular besar itu seperti suatu
perintah pada ular-ular yang lain agar melakukan pe-
nyerangan secara serentak.
Seiring dengan berhentinya desisan, sekawanan
ular sebesar tangan bocah serentak bergerak menye-
rang. Begitu cepat gerakan yang dilakukan ular-ular
itu hingga membuat Wiranata, Wiluji, dan sepuluh le-
laki murid Padepokan Gatareja tak sempat menghin-
dar.
"Hih!"
Cras!
Cras!
Suara tebasan senjata Wiranata, Wiluji, dan ka-
wan-kawannya menebasi ular-ular itu. Gerakan pe-
dang mereka begitu cepat. Meskipun gerakan itu nam-
pak serampangan, puluhan ekor ular terpenggal dan
bergeletakan menjadi bangkai. Darah pun mulai mem-
basahi tanah sekitar daerah pertempuran.
Akan tetapi, semakin lama pertempuran itu,
semakin tak nampak sedikit pun tanda bakal selesai.
Sementara tenaga yang dimiliki Wiranata, Wiluji, dan
sepuluh lelaki murid Padepokan Gatareja sudah sema-
kin terkuras.
"Jumlah binatang-binatang itu bukan berku
rang, Kakang Wiluji," ujar Wiranata ketika kedua
punggung mereka saling bertemu.
"Sudah ku jelaskan padamu, Adi Wira," sahut
Wiluji.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Wi-
ranata.
Nampak ada nada kegentaran dari pertanyaan
Wiranata.
"Sebisa mungkin kita menghindari binatang-
binatang berbisa itu," tukas Wiluji.
"Aku setuju," ucap Wiranata.
Putra kedua Ki Suteja bermaksud mundur dari
arena pertarungan, namun niat itu nampak seperti
sudah tercium oleh ular-ular itu. Binatang-binatang
melata itu malah memperhebat serangannya.
Tuk! Tuk!
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua lelaki murid Padepokan Gatareja seketika
rebah terpagut ular berbisa itu. Hanya beberapa saat
kedua lelaki itu menggelinjangkan tubuhnya, kemu-
dian tubuh mereka berubah kaku dengan bagian kulit
membiru.
"Ganas sekali racun ular itu, Kakang Wiluji,"
ujar Wiranata setelah menyaksikan kematian yang cu-
kup mengerikan dua murid Padepokan Gatareja.
"Awas, Adi Wira!" teriak Wiluji sambil memba-
batkan pedangnya, ketika melihat seekor ular menye-
rang Wiranata.
"Hih!"
Cras!
Sabetan itu berhasil menggagalkan serangan
ular ganas itu.
Pertempuran antara manusia dengan binatang
melata terus berlanjut. Wiranata, Wiluji, dan murid
Padepokan Gatareja yang masih hidup harus berjuang
keras untuk dapat mempertahankan hidup. Mereka
tak menghiraukan kelelahan yang semakin terasa.
Senjata-senjata mereka terus berkelebat mencari sasa-
ran.
Akan tetapi, sampai seberapa kekuatan mereka
untuk dapat bertahan, jika jumlah ular-ular berbisa
itu semakin lama bukan semakin berkurang. Dari ma-
na datangnya binatang-binatang itu tak satu pun di
antara mereka yang tahu. Hati mereka mulai terasa
keder dan takut.
"Rasanya kita tak akan mampu bertahan, Ka-
kang Wiluji," ucap Wiranata dengan napas tersengal,
sementara keringat telah membasahi sekujur tubuh-
nya.
"Berusahalah terus untuk bertahan, Adi Wira,"
perintah Wiluji sambil mengayunkan pedang menebas
leher ular yang hendak memagutnya.
"Hih!"
Cras!
Kembali seekor ular menggelepar terbabat teba-
san senjata Wiluji. Namun, Wiluji tak melihat kalau
dari samping kirinya, seekor ular yang lain telah men-
gancamnya. Ular itu bergerak cepat memagut pinggang
Wiluji yang tengah sibuk menghindari pagutan ular
dari depan. Akibatnya....
Tuk!
"Aaa...!"
Wiluji terpekik keras ketika pinggangnya terpa-
gut ular sebesar paha. Dirasakan pinggangnya seolah
patah. Kepalanya seperti berputar hebat dan seluruh
kulit tubuhnya terasa begitu gatal.
Tubuh Wiluji pun ambruk ke tanah. Di situlah
kejadian aneh terlihat oleh Wiranata. Dia benar-benar
terkejut dan tak percaya, menyaksikan tubuh Wiluji ti-
ba-tiba berubah menjadi seekor ular besar dan berge-
rak bergabung dengan empat ular besar yang lain.
Sungguh aneh kejadian ini, batin Wiranata.
Tiba-tiba terdengar teriakan dua orang kawan-
nya.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Wiranata kembali terhenyak menyaksikan ke-
matian dua murid Padepokan Gatareja. Putra kedua Ki
Suteja itu merasa dirinya pun akan mendapat giliran.
Maut pun sebentar lagi akan menjemputnya. Namun,
dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Wiranata bertekad
untuk tetap memberikan perlawanan.
Ketika beberapa ekor ular kembali menyerang-
nya, dengan kegeraman yang luar biasa Wiranata me-
nebaskan pedangnya diiringi dengan pekikan mengge-
legar membumbung ke angkasa.
Cras!
Cras!
Beberapa ekor ular yang berusaha memagut
Wiranata seketika terpental dengan kepala terputus.
Begitu juga dua ular lain yang menyusul belakangan,
ter-geletak di tanah menjadi bangkai.
Wiranata sempat menarik napas lega merasa
usahanya tak sia-sia. Namun, puluhan ular masih
dengan ganas mengancamnya. Mau tak mau Wiranata
masih harus lebih waspada dan berjuang jika tak ingin
nyawanya melayang.
Beberapa saat lamanya Wiranata masih sempat
menebarkan pandangan ke sekeliling. Tak terasa fajar
sudah menyingsing. Sinar kemerahan di langit sebelah
timur telah mulai menerangi bumi.
"Hhh...." Wiranata menarik napas dalam-dalam,
secercah harapan seketika terbersit di hatinya. Wirana-
ta berharap ada orang yang melewati tempat pertarun-
gan itu.
Zzzssst...! Zzzssst..!
Empat ekor ular besar kembali mendesis ber-
sahutan. Ular-ular kecil yang lain kembali mengepung
Wiranata.
Putra kedua Ki Suteja nampak menegangkan
seluruh otot-ototnya, jari-jari tangannya menggenggam
pedang kuat-kuat. Dirinya sudah siap menghadapi
keadaan yang seburuk apa pun.
Namun di luar dugaan Wiranata, tak satu pun
di antara puluhan ular berbisa itu yang bergerak me-
nyerangnya. Wiranata bingung dan merasa aneh meli-
hat kelakuan binatang-binatang buas itu, apalagi keti-
ka menyaksikan ular-ular berbisa itu bergerak perla-
han mendekati tubuhnya. Desisan-desisan yang keluar
seiring dengan lidah-lidah yang terjulur begitu teratur,
hingga mengesankan lantunan irama yang mengan-
dung arti-arti tertentu.
Zzzssst...
Desisan itu terdengar semakin teratur.
Zzzssst...
Wiranata tak bergerak sedikit pun menyaksikan
tingkah ular-ular itu. Namun, di tengah keterpakuan-
nya, pikiran Wiranata berputar mencari kemungkinan
tindakan terbaik.
Apakah aku harus menunggu ular-ular berbisa
itu mendekat, atau bergerak cepat sekarang? Bisik hati
Wiranata.
Sementara cekalan tangannya pada gagang pe-
dang semakin dipererat.
Ah! Hati Wiranata berontak. Aku harus menda
hului menerjang ular-ular ganas itu, sebelum tubuhku
tercabik-cabik.
Setelah Wiranata betul-betul mantap dengan
pikirannya, segera mengangkat pedangnya tinggi-
tinggi. Diiringi dengan lengking menggelegar, tubuh
Wiranata melesat secepat kilat.
"Hiyaaa...!"
Pedang Wiranata seketika berputar hebat. Begi-
tu cepat putaran pedang yang dilakukan Wiranata
dengan sekuat tenaga, hingga wujud pedang tak nam-
pak, hanya sinar keperakan yang berpendar, mem-
buyarkan kepungan ular-ular berbisa itu.
"Hiyaaa...!"
Wuuut!
Cras! Cras!
Beberapa ekor ular sebesar lengan seketika ber-
tumbangan tertebas pedang. Wiranata mengamuk ba-
gai banteng terluka.
Namun, seberapa pun kekuatan tenaga Wirana-
ta, nampaknya tak akan mampu menandingi serangan
ular-ular yang jumlahnya bukan semakin berkurang.
Dan ketika Wiranata lengah karena terlampau lelah,
seketika itu juga serangan berbahaya seekor ular cok-
lat kehitaman mengancam jiwanya.
Tuk!
"lh?!"
Wiranata terkejut mendapatkan serangan yang
begitu cepat, tapi untung pagutan ular itu meleset dan
hanya mengenai pakaian Wiranata.
Wiranata segera mengubah letak berdirinya, ke-
tika lima ekor ular hendak menyerangnya. Namun pu-
luhan ekor ular yang lain terlihat siap melancarkan se-
rangan. Begitu pula dengan beberapa ular yang berada
di samping kirinya. Keadaan ini benar-benar membuat
kalut pikiran Wiranata.
"Ah!"
Wiranata bingung, tak tahu mana yang harus
dibabat lebih dulu. Sedangkan untuk menebas semua
secara bersamaan dengan mengandalkan kecepatan
gerak, hal yang mustahil. Kekuatan tenaganya kini
sangat terbatas. Lagi pula, jumlah ular-ular itu terlalu
banyak.
Di tengah kebingungan, Wiranata akhirnya
memutuskan menyerang binatang yang lebih dekat
dan yang lebih dulu menyerangnya.
Zzzssst..!
Suara desisan masih terdengar bersahutan.
"Hiyaaa...!"
Wiranata berteriak menggelegar sambil meng-
ayunkan pedang.
Namun, tiba-tiba....
Slaps....
Wiranata terkejut ketika melihat kelebat bayan-
gan kuning keemasan melesat. Begitu cepat gerakan
sosok kuning keemasan itu mendekati tubuhnya. Se-
hingga, Wiranata tak menyadari kalau tiba-tiba saja
tubuhnya sudah berada dalam bopongan lelaki berpa-
kaian kuning keemasan itu. Lelaki yang membopong
tubuhnya melompat beberapa batang tombak dari bi-
natang-binatang berbisa yang mengepungnya.
Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ter-
nyata adalah Jaka segera menurunkan tubuh Wirana-
ta. Wiranata sempat mengagumi kehebatan pemuda
itu. Namun Wiranata menoleh ketika disaksikannya
ular-ular berbisa itu bergerak mengejarnya.
"Binatang-binatang itu bukanlah jenis binatang
sembarangan, mereka seperti ada yang mengendali-
kan," ucap Jaka.
"Aku juga menduga begitu, Kisanak," timpal
Wiranata. "Hati-hatilah menghadapi mereka!"
"Aku tak berniat menghadapi ular-ular itu, Ki-
sanak," bantah Jaka. "Aku hanya ingin memberi pela-
jaran sedikit pada binatang-binatang itu," lanjutnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Kisanak?" tanya
Wiranata penasaran.
"Kau lihatlah nanti," jawab Jaka seraya me-
nyiapkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang dida-
patnya dari Eyang Putra Selasih.
Jaka, lelaki muda usia berjuluk Raja Petir sege-
ra memundurkan langkah hingga membentuk kuda-
kuda rendah. Tangannya yang diletakkan di pinggang
membentuk kepalan dengan otot-otot yang menegang
kaku. Dan ketika puluhan ular berbisa itu meluruk ke
arahnya, Jaka segera melepaskan pukulan dengan te-
lapak tangan terbuka lebar. Wusss...!
Hembusan angin keras seketika terlepas dari
telapak tangan Raja Petir. Pusaran angin itu meluruk
cepat, menghadang serbuan binatang-binatang berbi-
sa.
Bresss!
Puluhan ular yang menuju Jaka seketika ber-
pentalan ketika hembusan angin bergulung menerjang.
Wiranata tak berkedip menyaksikan kehebatan
pukulan jarak jauh yang dilakukan Jaka. Sekilas tata-
pannya tertuju pada binatang-binatang berbisa yang
tak berkutik lagi. Kemudian segera menatap kembali
wajah tampan lelaki yang menolongnya.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Kisa-
nak," ajak Jaka mencoba melepas tatapan Wiranata
yang terkagum-kagum. 'Tak akan ada habisnya meng-
hadapi binatang-binatang suruhan itu."
Wiranata tak mempedulikan ajakan Jaka. Na
mun, ketika Jaka betul-betul berlalu dari hadapannya,
seketika itu Wiranata menghentakkan kakinya ke ta-
nah.
"Hup?"
***
LIMA
"Aku kagum dengan kedahsyatan pukulan ja-
rak jauh milikmu, Kisanak," ujar Wiranata setelah be-
rada di samping Jaka.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang
berjuluk Raja Petir tak mempedulikan pujian Wiranata.
Tetapi matanya melirik sekilas ke wajah Wiranata.
"Ada urusan apa dengan binatang-binatang me-
lata itu, Kisanak?" tanya Raja Petir datar seraya mem-
perlambat larinya.
Wiranata tak segera menjawab pertanyaan Ja-
ka. Putra Ki Suteja itu nampak sibuk mengatur nafas-
nya yang terengah-engah.
"Namaku Wiranata. Aku sampai lupa berterima
kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak keberatan
aku ingin tahu namamu," ujar Wiranata.
"Namaku Jaka," jawab Raja Petir.
Wiranata nampak tak tergugah sedikit pun ke-
tika Raja Petir menyebutkan namanya. Mulutnya diam,
tetapi matanya terus menatap tajam wajah Jaka.
"Kalau tidak ada Kakang Jaka, mungkin aku
sudah jadi bangkai, atau mungkin ditawan seperti Abi-
manyu," ucap Wiranata dengan tatapan mata yang tak
lepas dari wajah Raja Petir.
"Jangan panggil aku 'Kakang', Wira. Kurasa
usia kita sebaya," sahut Raja Petir. "Dan pertolongan
tadi hanyalah semata berkat kasih sayang sang Pen-
cipta Alam ini. Aku sendiri tak akan mampu berbuat
apa-apa tanpa seizin-Nya."
Kini ganti Raja Petir yang menatap wajah Wira-
nata.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi atas diri-
mu? Siapa itu Abimanyu yang tadi kau katakan dita-
wan?" selidik Jaka.
"Ini semua memang kesalahanku sendiri, Jaka.
Aku telah melanggar larangan yang telah ditetapkan
ayahku," tukas Wiranata.
Putra Ki Suteja pun menceritakan kejadian se-
sungguhnya.
"Jadi menurut kalian, sekarang ini Abimanyu
berada dalam Puri Ular?" tanya Jaka.
"Ayahku memperkirakannya begitu, Jaka. Se-
suai dengan laporan yang didapatnya dari Wiluji," jelas
Wiranata.
"Begitulah, Jaka. Hingga sebelum fajar tadi aku
nekat hendak menyelamatkan Adikku Abimanyu, na-
mun kenyataannya? Satu orang kepercayaan ayahku
tewas bersama dengan sepuluh orang murid Padepo-
kan Gatareja," lanjut Wiranata sambil melempar pan-
dang ke sekeliling.
Jaka menganggukkan kepalanya perlahan
mendengar cerita Wiranata.
Sebuah kejadian yang aneh dan cukup menarik
untuk kuikuti, batin Jaka.
Raja Petir bergerak tiga langkah dari hadapan
Wiranata, tapi sebentar kemudian sudah mendekati
kembali Wiranata.
"Apa kau masih punya niat untuk membe-
baskan Abimanyu?" tanya Jaka.
Wiranata menggelengkan kepala perlahan. "En-
tahlah," jawab Wiranata pelan. "Sekarang aku ingin
menuruti apa saja kata ayahku. Kalau memang ayah-
ku ingin menyatroni Puri Ular itu, aku akan meng-
ikutinya. Kuharap kau juga bersedia membantu kami,
Jaka. Ku saksikan kemampuanmu begitu hebat."
Jaka alias Raja Petir cuma tersenyum menden-
gar ucapan Wiranata.
"Kemampuanku sebetulnya tak berbeda terlalu
jauh dengan kemampuanmu, Wira. Aku juga masih
menyangsikan apakah aku dapat membantu kalian,"
ucap Jaka merendah. "Tapi, karena aku tertarik den-
gan kejadian ini, aku bersedia berdiri di belakang
ayahmu," lanjutnya.
Wiranata tersenyum mendengar kesanggupan
Jaka. Tangannya seketika terulur menjabat tangan Ra-
ja Petir.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Jaka. Dengan
bantuanmu, semoga Ratu Ular dapat tersingkir dari
muka bumi ini," ujar Wiranata sambil menggenggam
telapak tangan Raja Petir.
"Ratu Ular...?" tanya Jaka terkejut.
“Ya, Ratu Ular. Kau pernah bertemu dengan to-
koh itu?" selidik Wiranata.
"Tidak. Aku hanya pernah mendengar dari pa-
man ku tentang kehebatan dan sepak terjangnya di
dunia persilatan," jawab Raja Petir.
Namun, hatinya masih ragu, apakah betul da-
lang dari kejadian ini adalah si Ratu Ular? Seorang pe-
rempuan tua berusia lanjut yang memiliki kesaktian
begitu tinggi dan ilmu sihir yang tak bisa dipandang
remeh.
"Sebaiknya kita cepat menemui ayahku, Jaka.
Aku khawatir ayah cemas mencariku," ajak Wiranata.
"Ayolah!"
"Hup!"
"Hip!"
Kedua lelaki itu segera meninggalkan tempat
itu.
***
Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja begitu tercen-
gang melihat kedatangan Wiranata bersama dengan
sosok lelaki muda yang namanya tengah santer dibica-
rakan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Ki Suteja
sungguh tak menduga, tokoh muda yang digdaya itu
akan hadir di tengah-tengah kemelut yang dihada-
pinya.
"Ah, selamat datang Raja Petir. Aku senang
menerima kehadiranmu di tengah-tengah kemelut ini,"
sambut Ki Suteja sambil merundukkan badannya.
Wiranata tentu saja terkejut mendengar ucapan
ayahnya, terlebih dengan sikap ayahnya yang begitu
menaruh hormat pada Jaka.
Raja Petir? Ulang Wiranata dalam hati. Apakah
lelaki semuda ini yang berjuluk Raja Petir?
Tiba-tiba saja ada rasa malu menyeruak masuk
ke hati Wiranata. Wajahnya berubah merah padam
mengingat kelakukannya terhadap Jaka tadi.
"Maafkan aku, Kakang Jaka. Aku sungguh tak
tahu kalau kau ternyata Raja Petir yang kesohor itu,"
ucap Wiranata seraya menjura memberi hormat.
Jaka tentu saja jadi tak enak hati mendapatkan
perlakuan seperti itu. Segera tangannya menyentuh
punggung Wiranata yang tengah menjura memberi
hormat.
"Jangan berbuat seperti itu untukku, Wira," ce
gah Jaka pelan. "Apalah beda diriku dengan kau dan
juga dirimu, Ki."
"Panggil aku Ki Suteja, Raja Petir," pinta Ki Su-
teja.
"Dan panggil juga aku Jaka, Ki Suteja. Jangan
panggil aku dengan julukan itu!" balas Jaka.
"Kau terlalu merendah, Jaka," selak Ki Suteja.
"Namun, justru kerendahan hatimu itu yang meng-
angkat namamu di rimba persilatan ini. Selain kesak-
tian mu, sikap itu pula yang telah membuat namamu
harum," lanjut Ki Suteja terus terang.
"Kau terlalu berlebihan memujiku, Ki," sahut
Jaka.
Kepala Desa Gatareja tersenyum mendengar
ucapan lelaki muda berpakaian kuning keemasan itu.
Sekilas, mata Ki Suteja beralih menatap tajam wajah
Wiranata.
"Apa yang telah kau lakukan di pagi buta itu,
Wira?!" sentak Ki Suteja berang. "Kau tahu kalau tin-
dakan itu tak lebih dari sekadar bunuh diri? Kemam-
puanmu dalam ilmu silat belum seberapa, Wira! Kena-
pa kau berani menyatroni Puri Ular itu? Seharusnya
kau sadari hal itu. Meski membawa sepuluh orang mu-
rid Padepokan Gatareja dan juga Wiluji, tindakanmu
itu tak ada artinya bagi Ratu Ular!"
Ki Suteja terus memarahi Wiranata yang diang-
gapnya telah lancang dengan tindakannya.
Wiranata tertunduk mendengar perkataan ayah
nya. Sungguh dirinya mengakui kebenaran kata-kata
ayahnya. Kini baru hatinya menyesal telah menerjang
larangan ayahnya yang mengakibatkan kematian sepu-
luh orang murid Padepokan Gatareja dan Wiluji.
"Aku sadar, Ayah," jawab Wiranata pelan.
"Hmmm...." Ki Suteja menarik napas dalam
dalam.
"Ah, maaf Jaka. Terpaksa sekali aku memarahi
Wiranata di hadapanmu. Anakku itu memang keras
kepala dan selalu gegabah dalam bertindak. Namun,
dengan kemarahanku barusan kuharap dia bisa beru-
bah," ucap Ki Suteja merasa tak enak hati pada Raja
Petir.
'Tak apa, Ki Suteja," balas Jaka.
"Tinggalkan kami, Wira. Ayah ingin berbincang-
bincang dengan Jaka," pinta Ki Suteja kemudian.
Wiranata tentu saja tak menunggu perintah itu
terucap dua kali dari bibir ayahnya. Namun, sebelum
beranjak meninggalkan tempatnya, Wiranata terlebih
dulu menundukkan kepalanya pada Jaka.
"Saya tinggal, Kakang Jaka," ucap Wiranata se-
raya memberi hormat.
Jaka pun melakukan hal yang sama.
"Silakan, Adi Wira," balas Jaka.
***
"Bagaimana mulanya hingga kau bisa berjalan
seiring dengan Wiranata, Jaka?" tanya Ki Suteja sete-
lah mengajak Jaka masuk ke ruang pribadinya.
"Aku hanya kebetulan lewat di tempat itu, Ki.
Awalnya aku hanya mendengar suara teriakan nyaring,
seperti suara pertempuran. Kenyataannya memang be-
gitu. Namun, aku sempat terkejut menyaksikan Wira-
nata bertarung melawan puluhan ular berbisa. Ah, un-
tung Yang Kuasa masih memberkati usahaku, Ki. Ka-
lau tidak, mungkin aku dan Wiranata sama-sama su-
dah menjadi bangkai, disantap binatang-binatang ber-
bisa itu," papar Jaka.
Kepala Desa Gatareja mengangguk-anggukkan
kepala mendengar cerita Jaka. Tiba-tiba di hatinya
muncul perasaan tenang, meskipun sebenarnya beban
berat masih bergayut di hatinya. Kedatangan Raja Petir
dirasakan begitu tepat, ketika sedang terjadi kemelut
yang melanda desanya.
"Ku nyatakan terus terang Jaka, bahwa aku
sangat membutuhkan bantuan dari orang semacam
kau. Tak terpikirkan oleh ku, bagaimana nanti kea-
daan Desa Gatareja tanpa kehadiran tokoh sakti yang
mampu mengatasi kesaktian Ratu Ular. Aku tak ingin
menyaksikan Desa Gatareja mengalami nasib sama
dengan Desa Kemuningwaru, hancur dan rata dengan
tanah," ucap Ki Suteja dengan nada getir.
"Apa Ki Suteja yakin kalau Ratu Ular akan me-
lakukan hal yang sama dengan Desa Kemuningwaru?"
"Itu dugaanku saja, Jaka. Karena kejadian ini
sama persis dengan kejadian enam belas tahun lalu
terhadap Desa Kemuningwaru," jawab Ki Suteja.
"Maksud Ki Suteja?" tanya Raja Petir belum me-
mahami ucapan Ki Suteja.
"Beberapa had setelah Ratu Ular menculik anak
perempuan Ki Rampal Lawu, malapetaka bagi Kemu-
ningwaru pun menyusul. Penduduk dan wilayah ke-
kuasaan Ki Rampal Lawu menyatu dengan tanah. Tak
terkecuali Ki Rampal Lawu sendiri," jelas Ki Suteja.
"Maaf, Ki. Kalau aku boleh tahu, apa hubungan
Ki Suteja dengan Ki Rampal Lawu?"
"Ki Rampal Lawu sahabat sepermainan ku, Ja-
ka. Namun di samping itu, kami sama-sama menuntut
ilmu silat di dalam perguruan yang sama," jelas Ki Su-
teja.
"Lalu untuk apa Ratu Ular menculik anak pe-
rempuan Ki Rampal Lawu dan juga Abimanyu? Apa
yang dilakukan Ratu Ular itu masih tetap berkaitan?"
tanya Jaka lebih jauh.
Sejenak Kepala Desa Gatareja menatap wajah
Jaka. Lelaki Kepala Desa Gatareja itu nampak kagum
dengan kejelian anak muda berpakaian kuning keema-
san dalam mengajukan pertanyaan.
"Setelah aku menemui Ki Caringin, kami se-
pendapat kalau peristiwa ini sating berkaitan," papar
Ki Suteja.
"Ki Caringin," ulang Raja Petir perlahan. "Dia
sahabatku, juga sahabat Rampal Lawu," jelas Ki Sute-
ja.
Kepala Desa Gatareja membuang sebentar ta-
tapannya ke lain tempat, dari mulutnya seketika men-
galir cerita tentang perjumpaannya dengan Ki Carin-
gin. Mereka berdua berkesimpulan, bahwa Abimanyu
akan dijodohkan dengan anak perempuan Ki Rampal
Lawu yang sampai saat ini masih dikuasai Ratu Ular.
"Kesimpulan kalian masuk akal, Ki Suteja. Dan
berarti, kita harus berhadapan dengan dua perempuan
yang memiliki kesaktian tak jauh berbeda. Sebab, bu-
kan mustahil Ratu Ular telah menurunkan seluruh il-
munya pada anak Ki Rampal Lawu yang sudah di-
anggap sebagai cucu atau bahkan anaknya," ucap Ja-
ka menyimpulkan cerita Ki Suteja.
"Apa mungkin ilmu sihir Ratu Ular juga ditu-
runkan keseluruhan pada anak Ki Rampal Lawu?" ujar
Ki Suteja seperti pada dirinya sendiri.
Jaka bukan tidak mendengar perkataan Ki Su-
teja yang diucapkan begitu pelan. Pendengarannya
yang sudah cukup terlatih memungkinkan untuk me-
nangkap suara sekecil apa pun.
"Kurasa ilmu sihir itu juga akan diturunkan se-
cara keseluruhan," tanpa tekanan kuat ucapan mulut
Jaka, karena tak ingin kalau Ki Suteja menganggap di
rinya lebih tahu akan hal itu.
"Bukankah Ki Suteja dan Ki Caringin berke-
simpulan kalau si Ratu Ular berhajat mengembangkan
keturunan yang mampu mewarisi ilmunya dan melan-
jutkan cita-citanya?" lanjut Jaka se-raya menatap wa-
jah Kepala Desa Gatareja.
"Aku tak setuju kalau Abimanyu dijodohkan
dengan anak Ki Rampal Lawu yang tidak mustahil
berwatak seperti si Ratu Ular," ucap Ki Suteja.
"Itu berarti Ki Suteja sudah siap mengalami na-
sib seperti Ki Rampal Lawu dan desanya," selak Jaka
mencoba mengorek keyakinan hati Kepala Desa Gata-
reja.
"Aku memang harus siap, Jaka. Apalagi sudah
ku saksikan sendiri kekejaman Ratu Ular terhadap
Rampal Lawu. Dan kesiapan ku juga berkat kehadiran-
mu di sini," jawab Ki Suteja mantap.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir baru hen-
dak menimpali ucapan Kepala Desa Gatareja ketika ti-
ba-tiba seseorang datang dengan tergopoh-gopoh me-
nemui Ki Suteja.
"Ada apa Janing? Kenapa kau begitu tergesa-
gesa seperti itu?" tanya Ki Suteja pada seorang lelaki
yang juga murid Padepokan Gatareja.
'Tiga orang lelaki mengamuk di depan padepo-
kan, Ki," jawab lelaki yang bernama Janing.
"Mengamuk? Siapa mereka?"
"Bukan orang Desa Gatareja, Ki. Mereka meng-
aku dari Perguruan Jari Malaikat," jawab Janing.
"Perguruan Jari Malaikat?" tanya Ki Suteja dan
Jaka hampir berbarengan.
"Aku tak pernah punya urusan dengan mereka,
kenapa mereka mengamuk di sini? Ah! Maaf, Jaka.
Kau kutinggal dulu, aku harus mengetahui duduk per
kara ini secepatnya," ucap Ki Suteja pada Jaka.
"Aku juga ingin melihat orang-orang Perguruan
Jari Malaikat itu, Ki," pinta Jaka.
"Aku tak ingin tanganmu kotor karena urusan
sepele ini, Jaka," larang Ki Suteja halus.
"Tidak begitu, Ki. Aku nanya ingin mendampin-
gi mu saja. Barangkali nanti kehadiranku dibutuh-
kan," tukas Jaka.
"Terserah kaulah, Jaka."
Ki Suteja segera melesat cepat, sesaat setelah
memandang wajah Jaka. Gerakan kaki yang ringan itu
menandakan kalau Ki Suteja bukan orang sembarang-
an.
Sementara lelaki yang berjuluk Raja Petir hanya
mengekor perlahan di belakang.
***
Tidak lama kemudian Ki Suteja telah sampai di
depan Padepokan Gatareja.
"Ha ha ha.... Rupanya kau lelaki tua yang men-
jadi kepala desa dan sekaligus memimpin, Padepokan
Gatareja ini? Ha ha ha.... Tua Bangka! Apakah tak di-
ajari murid-muridmu cara membunuh orang lain den-
gan baik, hingga jejak pembunuhan itu tak tercium ke-
rabat-kerabat terbunuh?" ucap salah seorang dari tiga
lelaki yang mengaku dari Perguruan Jari Malaikat,
Lelaki bertubuh tinggi besar dengan cambang
yang kasar kecoklatan itu menatap wajah Ki Suteja
cukup tajam.
"Seharusnya kau berhati-hati dengan ucapan
dan tindakanmu itu, Kisanak," tegur Ki Suteja tenang.
"Julukanku Malaikat Lengan Tunggal, tak ada
seorang pun berhak mengatur segala ucapan dan tin
dakan ku!" hardik lelaki bercambang bauk kemerahan
sambil menepuk dadanya yang besar.
"Hmmm.... Di balik julukanmu yang angker itu,
kau pasti punya nama yang tak kalah seram bukan?"
pancing Ki Suteja.
"Namaku Jatayu!"
"Bagus! Lalu apa urusanmu mendatangi desa
ini dengan membuat kegaduhan semacam ini. Kau ta-
hu, kalau aku tengah menyambut kedatangan tamu
penting?!"
"Apa aku tak kalah penting? Kedatanganku ke
tempat itu patut kau perhitungkan, Tua Bangka! Kare-
na aku ingin membuat perhitungan denganmu, dengan
Padepokan Gatareja dan juga dengan desa ini."
"Hhh.... Aneh sekali ucapanmu itu, Jatayu," tu-
kas Ki Suteja dengan sengaja tak memanggil julukan-
nya. "Perhitungan apa yang kau maksudkan itu?"
"Nyawa!" jawab Malaikat Lengan Tunggal.
"Nyawa?'.' ulang Ki Suteja tak mengerti.
"Muridmu telah merenggut nyawa seorang mu-
rid kesayanganku, dan itu harus kau tebus dengan
harga yang mahal!"
"Seberapa mahalnya tebusan itu, Jatayu?"
"Tak terhingga, Tua Bangka! Nyawamu, nyawa
murid-muridmu dan desa ini!"
"Huh! Tidakkah tebusan itu terlalu berlebihan.
Lagi pula bukti tuduhanmu itu belum cukup kuat,"
sangkal Ki Suteja.
"Sebelum mati, murid kesayanganku itu sempat
mengatakan, bahwa orang-orangmu yang melakukan-
nya."
"Apakah perkataan muridmu bisa dipercaya?"
"Kurang ajar! Kau memang pengecut, Tua
Bangka! Sebaiknya kau cepat-cepat menyingkir dari
muka bumi ini!"
Lelaki bercambang kasar kecoklatan bergerak
cepat diiringi dengan teriakan yang cukup keras. Na-
mun, belum lagi gerakannya mencapai tubuh Kepala
Desa Gatareja, sebuah bentakan keras yang dikelua-
rkan dengan pengerahan tenaga dalam seketika ter-
dengar.
"Tahaaan...!"
Malaikat Lengan Tunggal seketika menghenti-
kan gerakannya. Lelaki tinggi besar itu merasakan tu-
buhnya bergetar sedikit, akibat pengaruh dari benta-
kan yang dialiri kekuatan tenaga dalam.
"Hup!"
Jaka melentingkan tubuhnya dengan ringan
dan mendarat dengan manis di sisi kiri Ki Suteja.
"Maaf, Ki Jatayu. Akulah yang menahan gera-
kanmu," ucap Jaka sesaat setelah menyaksikan mata
Malaikat Lengan Tunggal berputar-putar mencari
sumber suara bentakan yang barusan dilakukannya.
"Hhh! Lancang sekali kau melakukan itu pada
Malaikat Lengan Tunggal, kau tahu apa akibatnya?!"
hardik Jatayu keras.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang
berjuluk Raja Petir menatap wajah Malaikat Lengan
Tunggal dengan tenang.
Lelaki yang bertangan satu ini tak senang men-
dapatkan tatapan Raja Petir. Dengan cepat matanya
membalas menatap tajam Raja Petir, namun mata Ma-
laikat Lengan Tunggal tak mampu beradu tatap terlalu
lama. Segera dengan cepat dilemparkan tatapannya
pada Ki Suteja.
"Bukankah pemuda itu yang berjuluk Raja Pe-
tir, Kakang Saladu?" tanya salah seorang rekan Jatayu
pada kawannya yang di mata sebelah kirinya tertanam
sebilah pisau pipih hitam.
"Benar, Wikuta. Ciri-cirinya menunjukkan dia
lah anak muda yang berjuluk Raja Petir itu," jawab le-
laki yang bernama Saladu pelan.
Saladu, lelaki yang mata kirinya tertancap sebi-
lah pisau pipih hitam itu segera menghampiri Malaikat
Lengan Tunggal, dan membisikkan sesuatu pada lelaki
bercambang bauk itu.
"Kusangka juga begitu, Saladu," jawab Malaikat
Lengan Tunggal. "Tapi aku harus mengatakan sesuatu
pada mereka."
"Cepatlah!" sahut Saladu yang sesungguhnya
berjuluk Malaikat Mata Tunggal.
Jatayu menggeser kakinya sedikit, lalu berkata
dengan lantang kepada Ki Suteja.
"Tua Bangka! Beruntung sekali kali ini kau di-
dampingi seorang tokoh yang tengah santer dibicara-
kan orang-orang kalangan persilatan, namun jangan
harap bisa terbebas dari tuntutan ku. Kami Malaikat
Lengan Tunggal, Malaikat Mata Tunggal dan Malaikat
Rambut Merah akan tetap menggugat nyawamu!"
Malaikat Lengan Tunggal menoleh ke wajah ke-
dua kawannya, "Dan untukmu, Raja Petir. Jangan kau
anggap tiga tokoh Perguruan Jari Malaikat takut ber-
hadapan denganmu, cuh! Sumpah, demi langit dan
bumi kami tak pernah gentar menghadapi Bocah Ingu-
san macam kau!" keras ucapan yang keluar melalui
mulut Jatayu. "Kalau sekarang kami membatalkan
rencana semula, itu karena kami masih memberi ke-
sempatan agar kalian siap menghadapi tiga malaikat
dari Perguruan Jari Malaikat!" lanjut Jatayu si Malai-
kat Lengan Tunggal.
Selesai mengucapkan ancaman lelaki bercam-
bang bauk kasar kemerahan itu kembali menoleh ke
Malaikat Mata Tunggal dan Malaikat Rambut Merah.
Ketiganya saling tatap sesaat.
"Ayo Saladu, Wikuta!" ajak Jatayu sambil
menghentakkan kakinya kuat-kuat.
"Hip!"
Tubuh Malaikat Lengan Tunggal seketika mele-
sat cepat. Gerakannya begitu ringan dan manis, me-
nunjukkan kalau ilmu peringan tubuhnya sudah san-
gat tinggi.
Begitu juga dengan kedua kawannya, Malaikat
Mata Tunggal dan Malaikat Rambut Merah. Kemam-
puan yang patut mendapat perhitungan bagi orang-
orang yang ingin berhadapan dengan mereka.
Sampai tubuh tiga lelaki yang mengaku dari
Perguruan Jari Malaikat itu lenyap, Jaka baru meno-
lehkan tatapannya ke wajah Ki Suteja. Pada saat yang
bersamaan, Ki Suteja pun menoleh ke arah Raja Petir.
"Aneh sekali sikap mereka," ujar Ki Suteja pe-
lan.
"Di muka bumi ini banyak orang berkelakuan
aneh, Ki," timpal Jaka.
Raja Petir melangkah perlahan menghampiri
murid-murid Padepokan Gatareja yang tengah sibuk
menolong teman-temannya yang terluka akibat perbu-
atan orang-orang Perguruan Jari Malaikat.
"Murid-muridmu tak ada yang mengalami luka
dalam terlampau parah, Ki. Kurasa mereka semua
mampu mengatasinya," ujar Raja Petir sambil mende-
kati Kepala Desa Gatareja itu.
"Syukurlah," jawab Ki Suteja sambil mengajak
Jaka kembali ke tempatnya.
"Menurutku, keanehan yang mereka perli-
hatkan pada kita itu hanyalah siasat saja, Ki," ucap
Jaka sesampainya di ruang khusus Ki Suteja.
"Aku pikir juga begitu, Jaka. Mungkin karena
kehadiranmu di tengah-tengah kami," balas Ki Suteja
menimpali ucapan Raja Petir.
"Kurasa tidak begitu, Ki," bantah Jaka. "Kau
sendiri mendengar alasan yang mereka ucapkan tadi."
"Alasan itu hanya dibuat-buat, Jaka. Namun
sesungguhnya hati mereka gentar menghadapimu," ki-
lah Ki Suteja sambil menatap wajah Raja Petir dalam-
dalam.
"Tidak begitu, Ki. Aku yakin dalam waktu dekat
ini mereka akan menyatroni kembali Padepokan Gata-
reja. Kepergian mereka hanya siasat untuk menunggu
kelengahan kita, barangkali akan memanggil gerombo-
lan mereka yang mungkin berjumlah tidak sedikit,"
papar Jaka tidak main-main.
Ki Suteja yang mendengarkan kesungguhan
ucapan Jaka sempat tersentak. Disadarinya kalau
ucapan lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu benar
adanya.
"Kalau memang begitu, kita semua harus ber-
siap-siap mulai saat ini," putus Ki Suteja.
"Memang harus begitu," balas Raja Petir.
***
ENAM
Suasana senja di Desa Gatareja nampak begitu
indah. Angin berhembus semilir menambah daya tank
untuk menikmati suasana yang di anugerahkan sang
Pencipta Jagat atas desa ini.
Namun, di balik keindahan suasana senja itu
nampak wajah-wajah tegang murid-murid Padepokan
Gatareja yang bertugas untuk selalu bersiaga mengha-
dapi kedatangan tiga tokoh Perguruan Jari Malaikat.
"Huh! Ada-ada saja urusan seperti ini," umpat
kesal seorang murid Padepokan Gatareja. "Seharusnya
kita bisa santai menikmati cuaca yang bagus, e..., ma-
lah harus tegang begini."
"Iya. Ada-ada saja. Mana mungkin sih, murid-
murid padepokan kita membunuh orang yang tak dike-
nal," timpal seorang murid Padepokan Gatareja yang
bertubuh padat pendek.
"Pasti ini, fitnah!"
"lya. Ini fitnah!"
Di tengah percakapan murid-murid Padepokan
Gatareja yang bertugas jaga itu, tiba-tiba.'... "Aaa...!"
Suara jeritan yang melengking seketika terden-
gar.
Murid-murid Padepokan Gatareja sesaat terpe-
ranjat menyaksikan tubuh seorang rekannya mengge-
lepar dengan sebilah pisau hitam yang menembus ulu
hati.
Sesaat kemudian, terdengar suara tawa meng-
gelegar yang nampak dikeluarkan dengan tenaga da-
lam tinggi. Suara tawa itu begitu memekakkan telinga.
"Ha ha ha...! Ha ha ha...!" Murid-murid Pade-
pokan Gatareja yang rata-rata memiliki kemampuan
tenaga dalam belum sempurna, nampak bergelimpan-
gan akibat kekuatan tawa yang dahsyat itu.
Beberapa saat lamanya kejadian itu dialami
murid-murid Padepokan Gatareja. Dan ketika tawa itu
lenyap. muncul sesosok tubuh tinggi besar terbalut pa-
kaian coklat. Kedua tangan yang kekar terlipat di atas
perutnya yang gendut.
Kehadiran sosok lelaki bercambang bauk kasar
kemerahan itu diikuti kedua kawannya yang tak lain
Malaikat Mata Tunggal dan Malaikat Rambut Merah.
Di belakang ketiga tokoh itu disertai pula puluhan le-
laki berpakaian hitam dengan senjata golok terhunus.
Mereka semua berdiri dengan angkuh di depan Pade-
pokan Gatareja.
Murid-murid Padepokan Gatareja tak menduga,
lawan datang dengan membawa segerombolan lelaki
bersenjata golok. Keadaan ini membuat keder hati mu-
rid-murid Padepokan Gatareja.
"Ha ha ha...! Kali ini Padepokan Gatareja akan
Ku ratakan dengan tanah!" ancam Malaikat Lengan
Tunggal dengan suara lantang. Senjatanya yang beru-
pa sebatang golok besar nampak diacung-acungkan ke
udara.
"Mana si Tua Bangka itu, heh?!" Biar dirinya
menyaksikan keruntuhan perguruan dan desanya!"
ucap Malaikat Mata Tunggal lebih keras.
"Jangan sombong seperti itu, Mata Picak!" tiba-
tiba terdengar suara dari kejauhan.
Suara hinaan yang cukup menyakitkan itu se-
ketika terdengar menggaung keras. Sejenak orang-
orang dari Perguruan Jari Malaikat terkejut dengan
suara yang menggaung begitu kuat. Terlebih dengan
Saladu. Hati lelaki berpakaian hitam yang berjuluk
Malaikat Mata Tunggal mengkelap, seketika darahnya
naik ke ubun-ubun. Mata kanannya terbelalak karena
dorongan hawa marah yang tak tertahan.
"Bedebah!" maki Malaikat Mata Tunggal dengan
suara ditekan.
"Jangan kau ingkari kenyataan itu, Mata Pi-
cak!" sahut suara yang sama.
Nampak dua bayangan biru dan kuning keema-
san melesat cepat. Begitu cepat dan ringannya gerakan
kedua sosok bayangan itu. Dalam sekejap saja sudah
berdiri di antara murid-murid Padepokan Gatareja
yang tengah berdiri menghadapi gerombolan dari Per-
guruan Jari Malaikat.
Kedua sosok itu tak lain Ki Suteja dan Raja Pe-
tir.
Kini keduanya berdiri dengan tenang dan tata-
pan matanya lurus ke wajah tiga malaikat dari Pergu-
ruan Jari Malaikat.
"Hhh! Kalian memang Malaikat-malaikat licik!
Kalian katakan ingin memberi kesempatan pada Ki Su-
teja. Namun, nyatanya kalian kembali dengan sege-
rombolan orang-orang gila," ledek Jaka kalem.
"Hmmm.... Rupanya kau juga pengecut, Raja
Petir.'" balas Malaikat Rambut Merah.
"Nyali ku memang kecil, Rambut Merah, namun
aku sanggup memenggal leher kalian semua!"
"Bocah Ingusan!" hardik Malaikat Lengan
Tunggal. "Kali ini kau bisa berkata begitu, namun jan-
gan harap besok kau bisa melihat matahari pagi."
"Itu tak berlaku padaku, Malaikat Mata Tung-
gal! Kecuali pada matamu yang terbenam pisau dapur
itu," balas Raja Petir.
"Bedebah! Mampus Kau!"
Malaikat Mata Tunggal bergerak cepat mener-
jang Jaka. Tangan lelaki bermata satu itu terkepal
kuat, suara berkerotokan terdengar dari otot yang me-
negang kaku.
Raja Petir tentu saja tak ingin menganggap re-
meh serangan yang datang dari Malaikat Mata Tung-
gal. Lelaki berpakaian kuning keemasan yang berjuluk
Raja Petir terlihat bersiap-siap menanti kedatangan la-
wannya.
"Maaf, Ki Suteja! Biar kuhadapi dulu si Mata
Picak itu," ucap Jaka pada Kepala Desa Gatareja yang
berdiri tidak jauh darinya.
Ki Suteja menyingkir, sekali hentakan saja tu-
buh kepala desa itu sudah menjauhi Jaka.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras mengawali serangan Malaikat
Mata Tunggal.
"Uts!"
Jaka dengan cepat menggeser tubuhnya, meng-
hindari pukulan Malaikat Mata Tunggal yang meng-
arah dadanya. Tentu saja serangan lelaki bermata satu
itu kandas dan kenyataan ini menambah kemarahan-
nya.
"Terimalah ini, Bocah Ingusan!" Malaikat Mata
Tunggal kembali melancarkan serangannya. Dan....
"Hih!"
Plak!
"Aaa...!"
Malaikat Mata Tunggal terpekik keras.
Tubuh Malaikat Mata Tunggal terhuyung dua
langkah ketika pukulan tangan yang mengarah ke ba-
tok kepala Jaka terpapak dengan keras. Malaikat Mata
Tunggal merasa lengannya linu dan tak mampu di-
gerakkan. Namun, karena tekad yang begitu kuat un-
tuk dapat menjatuhkan Raja Petir, Malaikat Mata
Tunggal kembali bergerak menyerang. Kali ini meng-
gunakan senjata berupa pedang panjang yang terlihat
seperti karet kenyal.
"Kali ini kau akan mampus, Raja Petir!" bentak
Saladu seraya menebas-nebaskan senjatanya ke tubuh
Raja Petir.
Jaka sejenak tertegun menyaksikan senjata Sa-
ladu yang bergerak begitu lentur. Arah sambaran sen-
jata itu sukar ditebak, hingga Jaka harus menunggu
sambaran senjata itu lebih dekat.
"Ih!"
Tiba-tiba senjata lentur itu menyambar.
"Uts!"
Jaka terkejut ketika ujung senjata milik Saladu
hampir mengenai dadanya, tapi gerakan yang dilaku-
kan lebih cepat dari serangan lawan, sehingga senjata
itu meleset dari sasaran.
Akan tetapi kelicikan Malaikat Mata Tunggal
memang patut diperhitungkan. Sementara Raja Petir
sibuk menghindari sambaran pedang. Tiba-tiba dengan
cepat Malaikat Mata Tunggal, melakukan serangan su-
sulan dengan tendangan lurus ke perut Raja Petir.
"Hiaaa!"
Diiringi teriakan keras, tendangannya menda-
rat. Dan....
Bugkh!
Tubuh Raja Petir terhuyung dua langkah ketika
tendangan keras mendarat di perutnya. Namun berkat
kehebatannya, Jaka mampu mengalihkan daya do-
rongan tendangan itu menjadi sebuah lentingan yang
manis. Tubuh Raja Petir berputar dua kali di udara
dan mendarat dengan ringannya.
"Kau hebat, Mata Picak!" puji Raja Petir setelah
mampu menguasai keadaan dirinya.
"Jangan banyak omong kau, Bocah Ingusan!
Sambutlah kematianmu!"
Saladu si Malaikat Mata Tunggal kembali berge-
rak cepat, kali ini betul-betul bertekad untuk mengha-
bisi nyawa Raja Petir. Pedang lentur seperti karet ke-
nyal itu nampak bergetar keras sekali di genggaman-
nya hingga wujudnya samar-samar.
"Mampus kau, Raja Petir!" bentak Malaikat Ma-
ta Tunggal.
Wrrrt...!
Pukulan pedang itu begitu cepat dan keras.
"Ih!"
Jaka cepat melompat ke kanan menghindari te-
basan senjata Malaikat Mata Tunggal. Begitu ringan
gerakan cepat yang dilakukan Raja Petir, namun tidak
terduga kalau di balik gerakan itu terencana sebuah
serangan balasan yang membahayakan.
"Jangan lengan, Mata Picak!" ledek Raja Petir
sembari melepaskan tendangan berputar ke tubuh Sa-
ladu.
Saladu terkesiap mendapatkan serangan bala-
san yang begitu cepat. Lelaki berjuluk Malaikat Mata
Tunggal itu berusaha berkelit, tapi serangan Raja Petir
terlalu cepat datangnya, hingga....
Blugkh!
Tendangan Raja Petir mendarat di dada lawan.
"Uuukh...!"
Malaikat Mata Tunggal terpekik seiring dengan
tubuhnya yang terhuyung beberapa langkah ke bela-
kang. Begitu keras tendangan dari kanan Raja Petir,
hingga cairan merah muncrat dari mulut Saladu.
"Hoeeek...!"
Nampak mulut Malaikat Mata Tunggal kembali
mengeluarkan cairan.
"Kurang ajar!" umpatnya.
Malaikat Lengan Tunggal dan Malaikat Rambut
Merah terkejut menyaksikan kekalahan Malaikat Mata
Tunggal. Keduanya serempak mengejar tubuh Malaikat
Mata Tunggal.
"Kau tak apa-apa, Saladu?" tanya Jatayu ce-
mas.
"Tidak, Kakang Jatayu. Cuma dadaku terasa
sesak," jawab Saladu sambil mendekap dadanya yang
terasa nyeri.
Jatayu dan Wikuta segera membalikkan badan
setelah mendengar jawaban Saladu. Mata kedua lelaki
itu menatap tajam wajah Jaka.
"Kau betul-betul can mampus, Bocah Ingusan.
Aku Malaikat Lengan Tunggal dan Malaikat Rambut
Merah akan mencincang tubuhmu!"
"Lakukanlah, Malaikat Gadungan!" sentak Ki
Suteja mendahului ucapan Jaka. "Jangan harap aku
jadi penonton saja. Aku dan Ki Caringin akan mengu-
sir mu!" lanjut Ki Suteja.
Malaikat Lengan Tunggal dan Malaikat Rambut
Merah menoleh ke lelaki tua berpakaian putih yang
berdiri di samping Ki Suteja. Begitu juga Jaka, dirinya
tak menyadari kalau di samping Ki Suteja telah berdiri
lelaki berusia lanjut dengan jenggot putih panjang dan
rambut putih tergelung rapi. Memang kehadiran Ki Ca-
ringin tepat ketika Raja Petir tengah bertarung dengan
Malaikat Mata Tunggal.
Lelaki tua yang berdiri di samping Ki Suteja
nampak menganggukkan kepala sebagai tanda peng-
hormatan pada pemuda berbaju kuning keemasan itu.
Raja Petir pun segera membalas anggukan itu.
"Sekarang kita bisa membagi pertempuran ini,
Jatayu!" tantang Jaka. "Itu kalau kau berani. Kalau ti-
dak, aku tak akan melarangmu untuk mundur," lan-
jutnya.
"Lancang sekali bacotmu! Sejengkal pun orang-
orang Perguruan Jari Malaikat tak akan mundur dari
hadapanmu!" balas Jatayu geram.
Lelaki yang berjuluk Malaikat Lengan Tunggal
kini menunjukkan senjatanya berupa sebilah golok be-
sar. Mata lelaki bercambang bauk kasar kemerahan
nampak berubah memerah, giginya bergemeretakan
kuat. Dan otot-otot tubuhnya mulai menegang.
"Habisi mereka semua!" perintah Malaikat Len-
gan Tunggal.
Mendengar perintah itu, Malaikat Rambut Me-
rah dan puluhan lelaki berpakaian hitam yang meng-
hunus senjata golok segera berhamburan menerjang
lawan-lawan mereka, tak terkecuali Saladu yang sudah
pulih keadaannya.
Pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Sua-
ra pekik kegeraman dan kesakitan, serta jerit kematian
bersahutan. Dentang suara senjata saling beradu pun
menambah ramainya suasana. Percik bunga api dari
dua senjata yang beradu dengan kekuatan tenaga da-
lam tinggi menyemarakkan suasana pertempuran.
Pada salah satu sudut pertempuran nampak
Jatayu alias Malaikat Lengan Tunggal berhadapan
dengan Jaka.
Lelaki berpakaian kuning keemasan nampak
melayani serangan-serangan Jatayu dengan gerakan-
gerakan ringan. Tapi sebaliknya, Jatayu terlihat ber-
nafsu sekali untuk cepat merobohkan Raja Petir.
Serangan Malaikat Lengan Tunggal begitu
menggebu dan selalu disertai pengerahan tenaga da-
lam tinggi terarah pada bagian tubuh yang mematikan.
"Hiaaa...!"
Jatayu alias Malaikat Lengan Tunggal terus
menerjang Jaka dengan golok besarnya, seolah ingin
membelah kepala Jaka.
Raja Petir tahu apa yang akan dilakukan la-
wannya. Dan ketika senjata besar itu sejengkal lagi
hendak membelah kepalanya, dengan gerakan cepat
namun ringan, tubuhnya melompat ke samping.
"Hup!"
Setelah serangannya tak berhasil mengenai la-
wan, Jatayu berusaha terus memburu dengan seran
gan-serangan yang makin ganas.
"Mampus kau, Bocah Ingusan!" bentak Jatayu
sambil menebas perut Jaka.
'Tak mungkin, Tangan Buntung!" ejek Jaka
sambil meliukkan pinggang dengan cepat.
"Brengsek!" maki Jatayu.
"Tidak, Jatayu. Kau memang harus menerima
ini. Hih!"
Jaka melayangkan tamparan tangannya ke pe-
lipis Jatayu. Lelaki yang berjuluk Malaikat Lengan
Tunggal berusaha menghindari sambaran tangan Raja
Petir dengan merendahkan tubuhnya, tetapi tak sadar
kalau Jaka hanya melakukan gerak tipu dengan tan-
gannya. Maka ketika sepakan keras Jaka datang, Ja-
tayu tak mampu sedikit pun mengelak. Akibatnya....
Dugkh!
"Akh!"
Malaikat Lengan Tunggal terpekik. Tubuhnya
terdorong keras beberapa langkah ke belakang. Lelaki
berpakaian coklat itu terlihat memegangi perutnya
yang terasa mual dan kesakitan. Matanya pun seketika
dirasakan berkunang-kunang.
"Bagaimana, Jatayu? Apa kau tak punya niat
mengundurkan diri saja?" ledek Raja Petir seraya ber-
kacak pinggang.
Wajahnya yang bertabur senyum membuat hati
Jatayu marah bukan main. Namun Raja Petir dengan
tenang masih berdiri menunggu lawannya.
"Raja Petir, aku belum merasa kalah darimu.
Jangan besar kepala dulu dan rasakan ajian ku! Ber-
siaplah!"
Malaikat Lengan Tunggal segera mundur satu
langkah. Tubuhnya berdiri tegak. Telapak tangannya
diletakkan di depan dada sambil seolah membaca sua
tu mantera.
Tiba-tiba dari telapak tangannya yang berada di
depan dada mengepul asap kemerahan. Malaikat Len-
gan Tunggal tengah mengerahkan sebuah ajian yang
bernama aji 'Renggut Jasat'.
Jaka yang berdiri tak lebih dua setengah ba-
tang tombak menyaksikan apa yang tengah dilakukan
Malaikat Lengan Tunggal. Tatapan mata dan seluruh
indera pendengarannya dikerahkan tajam-tajam. Di-
rinya mulai waspada terhadap serangan yang bakal di-
lancarkan lawannya.
"Gerkkkhhh...!"
Suara gerengan keras terdengar seiring dengan
perubahan seluruh lengan Jatayu. Tangan yang cuma
sebelah itu kini berubah merah dan mengepulkan asap
yang berbau tak sedap.
Jaka yang memang sudah siap menghadapi se-
gala kemungkinan tetap tenang, di wajahnya sedikit
pun tak nampak gurat ketegangan.
"Gerkkkhhh...!"
"Hih!"
Gerakan tangan yang begitu cepat dilontarkan
oleh Malaikat Lengan Tunggal.
Beberapa larik sinar merah melesat seiring hen-
takan tangan. Sinar merah itu kemudian berpencar,
mengarah ke bagian-bagian terlemah dari tubuh Raja
Petir.
Slat! Slat!
Begitu cepat lesatan beberapa sinar merah ke
tubuh Raja Petir. Secepat kilat Raja Petir bergerak
menghindari terjangan itu. Jaka melompat tiga kali un-
tuk dapat lolos dari sinar merah yang menebar aroma
aneh itu.
"Hup!"
"Yeah!"
Raja Petir menghentakkan kaki ke tanah lalu
melenting ke udara dan bersalto dua kali.
Namun, belum sempat kakinya menapak di
bumi, Malaikat Lengan Tunggal sudah kembali meng-
hentak tangan kanannya.
"Hih!"
Wusss...!
Beberapa leret sinar kemerahan kembali mele-
sat. Setan! Maki Jaka dalam hati. Si buntung itu tak
memberi ku peluang untuk menyerang.
"Hup!"
"Yeaaah!"
Teriakan keras Raja Petir mengiringi suara se-
gulungan angin kencang. Wrrr...!
Setelah kembali berhasil menghindari serangan
Malaikat Lengan Tunggal, baru saja kakinya menjejak
di tanah Jaka berusaha keras memberikan serangan
balasan dengan ajian 'Pukulan Pengacau Arah'. Angin
bergulung itu seketika meluruk cepat ke tubuh Malai-
kat Lengan Tunggal.
"Heh?!"
Jatayu si Malaikat Lengan Tunggal terkejut me-
lihat Raja Petir mampu memberikan serangan balasan
dalam keadaan yang terdesak hebat.
Apalagi menyaksikan serangan balasan yang
berupa pusaran angin, membuat Malaikat Lengan
Tunggal berpikir dua kali untuk kembali melakukan
penyerangan. Lelaki bernama Jatayu lebih memilih
menghindari serangan Jaka.
"Hiyaaa!"
"Hup!"
Tubuh Jatayu seketika melejit ringan menghin-
dari terjangan pukulan jarak jauh yang dilancarkan
Raja Petir dan bergulingan di tanah.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada satu tangannya, Malai-
kat Lengan Tunggal kembali melenting dan berputaran
beberapa kali di udara, sebelum mendarat dengan ma-
nis di tanah.
"Hebat juga pukulan jarak jauh mu itu, Raja
Petir. Tak percuma kau menyandang gelar yang meng-
getarkan orang-orang rimba persilatan. Namun sayang
sebentar lagi, nama harum mu akan lenyap di tangan
ku. aji 'Rengut Jasat' yang akan ku kerahkan tiga kali
lipat dahsyatnya akan segera mengubur nama harum
mu itu," cemooh Malaikat Lengan Tunggal.
"Jangan cuma omong besar! Buktikan ucapan-
mu itu, Jatayu!" tantang Jaka.
"Baik!"
"Hhh...!"
"Gerrrkhhh...!"
Malaikat Lengan Tunggal kembali mengerahkan
kekuatan mengeluarkan aji 'Renggut Jasat' andalan-
nya.
***
TUJUH
Di tempat lain, terlihat Ki Suteja bertempur me-
lawan Saladu alias Malaikat Mata Tunggal. Kepala De-
sa Gatareja yang terbalut warna biru pakaian kebesa-
ran Perguruan Gatareja bergerak-gerak lincah.
Gerakan Ki Suteja menghindari tenangan senja-
ta Malaikat Mata Tunggal dan cara membalas serangan
lawan, menunjukkan bahwa lelaki tua itu pantas me
megang tampuk pimpinan Padepokan Gatareja.
"Tak kusangka kau hebat juga, Tua Bangka!"
ejek Malaikat Mata Tunggal.
"Tentu saja, Mata Picak! Akan segera kukirim
nyawamu ke neraka!" balas Ki Suteja dengan sengit.
"Mari kita teruskan siapa di antara kita yang
pantas lebih dulu mampus!"
"Majulah!" tantang Ki Suteja. Lelaki berpakaian
hitam yang menggenggam sebatang pedang lentur se-
gera merangsek maju. Pedang di tangannya nampak
bergetar hebat karena tekanan tenaga dalam yang cu-
kup tinggi, hingga wujud pedang itu tidak jelas.
Ki Suteja pun tak mau ketinggalan. Pedangnya
digerakkan memutar di depan dada. Begitu keras dan
cepat perputaran pedang yang dilakukan Ki Suteja,
hingga menimbulkan bunyi yang kuat. Wuuuk...!
Wuuuk...!
"Hiaaa...!"
Teriakan musuh Ki Suteja dan Malaikat Mata
Tunggal bersamaan. Dan.... Trang!
Percik bunga api mencelat ketika kedua pedang
yang sama-sama digerakkan dengan tenaga dalam sal-
ing beradu dengan keras.
Kedua tubuh lelaki tua itu terdorong beberapa
langkah ke belakang. Tak terdengar lenguhan yang ke-
luar dari mulut keduanya. Nampaknya kekuatan me-
reka berimbang.
“Tahan seranganku lagi, Tua Bangka!" ucap
Malaikat Mata Tunggal. "Hiaaat...!" teriakan menggele-
gar dari mulutnya.
"Ups!"
Ki Suteja tak melayani sambaran pedang lentur
Saladu dengan papakan senjatanya. Kepala Desa Gata-
reja itu hanya menghindar dengan melompat beberapa
kali ke belakang.
Meskipun sudah tua, kegesitan Ki Suteja me-
lompat menghindari setiap serangan lawannya nampak
begitu cepat dan ringan. Bagaikan seorang pendekar
yang masih muda.
"Jangan menghindar seperti itu, Tua Bangka!
Kau bisa mampus di ujung pedangku!" ledek Malaikat
Mata Tunggal.
"Kau yang akan mampus, Mata Picak!"
"Kurang Ajar!"
"Hiaaa!"
Trang!
Pertarungan antara Ki Suteja menghadapi Ma-
laikat Mata Tunggal kembali berlanjut semakin seru.
Sementara itu, pada pertarungan bin nampak Ki Ca-
ringin mampu mendesak lawannya, yakni Wikuta si
Malaikat Rambut Merah.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Rambut Merah!
Aku tak mau menurunkan tangan besi padamu," ucap.
Ki Caringin setelah ujung kerisnya mampu menoreh
bahu si Malaikat Rambut Merah.
"Cuih! Jangan kau anggap dirimu sudah un-
ggul, Aki Peyot. Aku belum memainkan jurus andalan
ku.'" balas Malaikat Rambut Merah geram.
"Kau rupanya lelaki keras kepala, Rambut Me-
rah! Jangan menyesal kalau kau harus man" di ujung
keris ku!" bentak Ki Caringin lantang.
"Tua Bangka, sombong! Terimalah aji 'Renggut
Jasad'-ku ini!"
Selesai berkata seperti itu Malaikat Rambut
Merah bergerak mundur satu langkah. Tubuhnya ber-
diri tegak, kemudian kedua tangan terlihat menyilang
di depan dada. Dari mulutnya terdengar ucapan aneh
yang mirip mantera-mantera.
Telapak tangan Wikuta yang menyilang di de-
pan dada, seketika mengeluarkan kepulan asap keme-
rahan.
Ki Caringin memang tak terkejut menyaksikan
tindakan lelaki berambut merah. Namun, lelaki beru-
sia enam puluh tahun itu segera melipatgandakan ke-
mampuannya untuk menghadapi aji 'Renggut Jasat'
Malaikat Rambut Merah.
Keris di tangan kanannya seketika ditempelkan
pada telapak tangan kirinya. Tubuh Ki Caringin sedikit
menegang dan tatapan matanya tertuju lurus pada
Malaikat Rambut Merah.
Seluruh ajian 'Renggut Jasat' sudah mulai di
kerahkan Malaikat Rambut Merah. Kedua tangannya
kini berubah menjadi merah membara.
Tatapan mata Wikuta tertuju lurus pada Ki Ca-
ringin.
"Gerrrkkkhhh...!"
Gerengan yang menggetarkan terdengar. Plak!
Plak!
Seiring dengan tepukan tangan Malaikat Ram-
but Merah meluncurlah sepuluh larik sinar kemera-
han. Sinar itu keluar dari kesepuluh jari tangan Malai-
kat Rambut Merah.
Seketika itu juga Ki Caringin segera mengerah-
kan kerisnya yang ditempelkan di telapak tangan kiri
membuat gerakan melingkar di depannya. Gerakan Ki
Caringin yang dialiri kekuatan tenaga dalam penuh
menimbulkan lingkaran bercahaya putih yang meling-
kari seluruh tubuhnya.
Sejurus kemudian cahaya putih melingkar ber-
gerak cepat menghadang sepuluh larik sinar merah
ciptaan Malaikat Rambut Merah. Sehingga....
Glaaarrr...!
Bunyi ledakan keras terdengar memekakkan te-
linga ketika sinar putih dan merah saling menerjang.
Kedua tubuh pun harus merasakan tenaga balik dari
sinar hasil ciptaan mereka.
Tubuh Ki Caringin nampak terdorong beberapa
langkah. Begitu pula dengan tubuh si Malaikat Ram-
but Merah, bahkan dari sudut bibir Malaikat Rambut
Merah nampak mengeluarkan darah.
"Eugkh!"
Malaikat Rambut Merah terbatuk, dirasakan
dadanya sesak dan terasa nyeri.
"Bagaimana, Rambut Merah? Kau masih hen-
dak meneruskan pertarungan ini?" tanya Ki Caringin.
"Huh! Aku masih mampu mengerahkan aji
'Renggut Jasat’ yang akan mengubur tubuhmu, Aki
Peyot!" jawab Malaikat Rambut Merah sambil memper-
baiki letak berdirinya.
'Tapi ajian mu itu sudah berhasil ku lumpuh-
kan barusan, Rambut Merah!"
"Jangan sombong kau, Tua Bangka!"
Dan tiba-tiba Malaikat Rambut Merah mengi-
baskan kembali tangannya.
"Hih!"
Slats! Slats! Slats!
Sinar-sinar merah kembali keluar dari jari-jari
tangannya yang dihentakkan dengan kuat. Sinar ke-
merahan itu meluruk deras ke tubuh Ki Caringin yang
juga telah melakukan gerakan sama seperti yang per-
tama.
Sinar putih nampak dari ujung keris yang dipu-
tar Ki Caringin meluruk maju, menghadang lesatan si-
nar merah ciptaan Malaikat Rambut Merah.
Wrrr...!
Glaaar!
Ledakan keras kembali terdengar. Bersamaan
dengan ledakan itu tubuh Malaikat Rambut Merah ter-
dorong kuat. Tubuh yang terbungkus pakaian merah
itu melayang lalu membentur sebatang pohon yang
langsung tumbang.
"Aaakh...!"
Grak!
Tubuh si Malaikat Rambut Merah jatuh berde-
bum di tanah. Namun, dengan tenaga yang masih ada
lelaki berambut merah itu tetap berusaha bangkit.
Ki Caringin yang hanya terdorong beberapa
langkah, ketika melihat Malaikat Rambut Merah kem-
bali bangkit, segera dengan cepat mengibaskan keris-
nya. Dan dari ujung keris itu seketika melesat sinar
putih sebesar bulatan biji tasbih.
Bulatan sinar putih itu meluruk deras ke tubuh
Malaikat Rambut Merah.
Wusss...!
Jlesss!
"Aaa...!"
Lengking kematian membumbung ke langit se-
ketika terdengar menyayat hati. Tubuh Malaikat Ram-
but Merah seketika limbung. Dadanya bolong tertem-
bus sinar putih yang melesat dari ujung keris milik Ki
Caringin.
Dari lubang di dada itu nampak mengepul asap
putih yang menghembuskan bau tak sedap dan me-
nyesakkan dada.
"Hhhh...."
Ki Caringin menarik napas lega setelah menye-
lesaikan pertarungan yang cukup menguras tenaga.
Sebentar Ki Caringin menatap Malaikat Rambut Merah
yang sudah tak bernyawa. Sebentar kemudian tubuh-
nya sudah bergerak ke pertempuran Ki Suteja mela
wan Malaikat Mata Tunggal.
Namun, baru saja Ki Caringin mendekati tubuh
Kepala Desa Gatareja, mendadak terdengar suara jeri-
tan yang membumbung tinggi ke angkasa. Pekik kema-
tian melengking berasal dari tempat pertarungan anta-
ra Raja Petir melawan Malaikat Lengan Tunggal.
Kematian Malaikat Lengan Tunggal yang meng-
giriskan, dengan bagian tubuh hangus seperti terbakar
membuat Malaikat Mata Tunggal menghentikan se-
rangannya pada Ki Suteja.
Lelaki berpakaian hitam yang menggenggam se-
batang pedang lentur terkejut bukan kepalang. Dengan
kematian Jatayu, berarti tinggal dirinya menghadapi
ketiga lawannya. Tiba-tiba Malaikat Mata Tunggal me-
rasakan kegentaran merasuki hatinya.
Saladu ingin membalas kematian kedua rekan-
nya, namun mana mungkin dirinya mampu melaku-
kannya. Menghadapi Kepala Desa Gatareja saja cukup
kewalahan, apalagi menghadapi Ki Caringin dan Raja
Petir.
"Hentikan pertarungan!" teriak Malaikat Mata
Tunggal lantang.
Murid-murid Perguruan Jari Malaikat yang ten-
gah bertarung menghadapi murid-murid Padepokan
Gatareja seketika menghentikan perlawanannya.
Seluruh mata murid Perguruan Jari Malaikat
tertuju pada wajah Malaikat Mata Tunggal.
"Sekarang aku boleh kalah, Tua Bangka. Tapi
nanti, aku akan datang kembali untuk membuat per-
hitungan dengan kalian. Terutama kau, Raja Petir!"
bentak Saladu si Malaikat Mata Tunggal dengan tata-
pan tajam tertuju pada wajah Jaka.
Jaka hanya membalas tatapan mata itu dengan
sesungging senyum datar.
"Kau yang menginginkan itu, Mata Tunggal!
Aku hanya menuruti saja apa maumu," jawab Raja Pe-
tir tenang.
"Hhh! Sekarang kau boleh menepuk dada, Bo-
cah Ingusan! Namun, lain kali tubuhmu akan ku ku-
bur hidup-hidup!" ancam Malaikat Mata Tunggal ma-
sih tetap keras.
"Kita buktikan saja nanti, Mata Tunggal," ucap
Jaka.
Malaikat Mata Tunggal kemudian menoleh ke
arah murid-murid Perguruan Jari Malaikat yang masih
tersisa.
"Urus mayat Kakang Jatayu dan Adi Wikuta!
Cepat tinggalkan tempat sial ini!" perintah Saladu ke-
ras.
Tanpa diperintah dua kali murid-murid Pergu-
ruan Jari Malaikat segera membopong mayat Malaikat
Lengan Tunggal, Malaikat Rambut Merah dan murid-
murid Perguruan Jari Malaikat yang tewas.
"Ingat baik-baik, Raja Petir! Aku akan menca-
rimu sampai ke ujung langit sekalipun!" ancam Malai-
kat Mata Tunggal sebelum meninggalkan tempat perta-
rungan.
"Aku akan menunggu, tapi bukan di ujung la-
ngit, Saladu," jawab Raja Petir mengejek.
"Hhh.... Ayo!"
"Hup!"
"Hip!"
Malaikat Mata Tunggal segera melesat mening-
galkan tempat itu. Kemudian diikuti oleh murid-murid
Perguruan Jari Malaikat.
"Apa kejadian ini ada hubungannya dengan apa
yang dilakukan Ratu Ular?" tanya Ki Caringin pada Ki
Suteja setelah orang-orang dari Perguruan Jari Malai
kat menghilang dari tempat pertarungan.
"Kurasa tidak, Kakang Caringin," jawab Kepala
Desa Gatareja. "Kemungkinan mereka hanya mencari
alasan saja. Mereka pikir kita mudah ditaklukkan."
“Tapi entah jika tanpa Raja Petir," seloroh Ki
Caringin.
Lelaki tua berusia lebih dari enam puluh tahun
itu menatap wajah tampan Jaka.
"Aku telah lama mendengar kehebatanmu da-
lam memberantas kelaliman, Raja Petir," ucap Ki Ca-
ringin dengan tatapan mata yang merayapi sekujur tu-
buh Jaka.
"Namaku Jaka Sembada, Ki. Ki Caringin cukup
memanggilku Jaka saja," sahut Jaka.
"Selain hebat, kau ternyata juga rendah hati,"
puji Ki Caringin lagi.
"Kabar yang Ki Caringin dengar itu terlalu ber-
lebihan," kilah Raja Petir merendah.
“Tidak! Kabar itu benar adanya. Kau telah
membuktikannya dalam mengusir malaikat-malaikat
gadungan tadi," sangkal Ki Caringin.
Jaka tentu saja tak dapat menyangkal lagi uca-
pan Ki Caringin. Lelaki berpakaian kuning keemasan
yang berjuluk Raja Petir hanya menundukkan kepa-
lanya.
"Apa sebaiknya kita menunggu saja kedatangan
Ratu Ular seperti yang pernah kau katakan waktu itu,
Kakang Caringin?" tanya Kepala Desa Gatareja itu
mengalihkan pembicaraan. Ki Suteja tahu kalau Jaka
tengah serba salah menghadapi pujian Ki Caringin
yang terang-terangan.
"Bagaimana pendapatmu, Jaka?" tanya Ki Ca-
ringin kepada Raja Petir.
"Bagaimana kalau kita tunggu perkembangan
selanjutnya, Ki?" jawab Jaka yang juga mengandung
pertanyaan.
Ki Caringin menatap wajah Kepala Desa Gata-
reja, kemudian berkata,
"Bagaimana, Adi Teja?" tanya Ki Caringin.
"Usul Jaka kurasa bagus, Kakang. Sambil me-
nunggu perkembangan selanjutnya kita bisa memper-
siapkan segala sesuatunya," jawab Ki Suteja. "Namun
untuk hari ini alangkah baiknya Kakang bermalam di
tempatku!”
"Ah, kau balas dendam rupanya," kilah Ki Ca-
ringin.
"Tidak begitu, Kakang. Aku akan merasa te-
nang kalau ada Kakang di antara kami," balas Ki Sute-
ja sambil menatap lelaki itu.
Kepala Desa Gatareja dan Ki Caringin pun sa-
ma-sama mengurai tawa sambil melangkah perlahan
mendekati Jaka.
"Ayo, Jaka. Kita ke ruangan ku lagi” ajak Ki Su-
teja.
Jaka pun mengikuti langkah Ki Suteja dan Ki
Caringin yang menuju ke ruang khusus milik Kepala
Desa Gatareja itu.
***
DELAPAN
Cahaya merah di langit sebelah timur mulai
menampakkan diri. Fajar pun menyingsing mengganti-
kan malam. Di dalam sebuah ruangan Padepokan Ga-
tareja nampak beberapa murid perguruan yang bersiap
menggantikan tugas jaga.
Namun belum lagi serah terima tugas jaga itu
dilakukan, tiba-tiba puluhan ular berbisa menyerbu
murid-murid yang ada di ruang depan Padepokan Ga-
tareja. Murid-murid Padepokan Gatareja tidak tahu
dari mana dan kapan datangnya binatang-binatang
berbisa itu.
Mendapatkan serangan yang tidak disangka-sang ka,
murid-murid Padepokan Gatareja kalang kabut. Mere-
ka sebisanya menghindari pagutan ular-ular berbisa
yang datangnya begitu cepat.
"Awas, ular!"
"Aaa...!"
Dalam sekejap saja ular-ular itu telah berhasil
memagut beberapa orang. Pekik kesakitan diiringi den-
gan bergugurannya murid Padepokan Gatareja. Mereka
tak mampu menghindari pagutan ular-ular berbisa itu.
Beberapa orang murid yang berada di ruang da-
lam segera berhamburan keluar setelah mendengar hi-
ruk-pikuk dan jeritan. Sambil meloloskan senjata ma-
sing masing, murid-murid Padepokan Gatareja segera
berlari menuju ke tempat kejadian. Namun, puluhan
ular berbisa itu telah menghadang, beberapa di anta-
ranya bahkan langsung menyerang.
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi babatan pe-
dang ke leher ular-ular itu. "
Hih!"
Cras! Cras!
Beberapa ekor ular yang berusaha menyerang
bergelimpangan tertebas golok. Beberapa kepala bina-
tang berbisa itu berpentalan. Darah pun seketika
membasahi ruangan Padepokan Gatareja.
Bau amis yang seketika tercium, membuat
ular-ular yang lain turut menerjang. Bahkan, dari se
mak-semak di sekitar Padepokan Gatareja bermuncu-
lan ular-ular kecil dan besar. Semua menyerbu masuk
ke Padepokan Gatareja.
Murid-murid Padepokan Gatareja merasa kaget
menyaksikan ular-ular berbisa itu kian banyak jum-
lahnya.
Dalam keadaan mencekam seperti itu, menda-
dak muncul sosok berpakaian kuning keemasan. So-
sok itu tak lain Raja Petir.
Kemunculan Raja Petir disusul pula kemuncu-
lan Ki Suteja dan Ki Caringin.
"Ular-ular suruhan Ratu Ular," ucap Ki Carin-
gin.
Ki Suteja nampak terkejut mendengar ucapan
Ki Caringin. Sejenak matanya menatapi ular-ular ber-
bisa yang bergerak-gerak seperti menantang.
"Kita harus segera mengusir ular-ular itu, Ka-
kang Caringin," ujar Ki Suteja geram.
"Tentu saja, Adi Teja. Kalau tidak, murid-
muridmu akan habis di mangsanya," jawab Ki Carin-
gin.
"Ayo, Jaka. Kita usir binatang-binatang berbisa
itu," ajak Ki Suteja sambil mengangkat pedangnya
tinggi-tinggi.
Perbuatan Ki Suteja diikuti Ki Caringin dengan
mencabut keris dari balik pakaiannya. Srat!
Tubuh Kepala Desa Gatareja mencelat cepat,
melakukan tebasan kuat pada ular-ular yang bergerak
hendak memagut.
"Hia!"
Cras! Cras!
Ular-ular yang mencoba mendekati Ki Suteja
seketika berpentalan dengan kepala terputus.
Ki Suteja terus membabat ular-ular itu dengan
kecepatan luar biasa. Sehingga sekali tebas empat ekor
ular langsung bergelimpangan tak bernyawa.
Begitu juga yang dilakukan Ki Caringin. Meski-
pun senjatanya hanya sebilah keris pendek, kedahsya-
tan-nya tak kalah dengan yang dilakukan Ki Suteja.
Keris Ki Caringin berkali-kali berkelebat cepat,
menjemput setiap kepala ular yang mencoba memagut
tubuhnya. Tak heran kalau puluhan ular telah tewas
di Ujung kerisnya.
Namun ternyata Ki Suteja dan Ki Caringin be-
lum sadar kalau pekerjaan yang dilakukan hanya sia-
sia belaka. Karena jumlah binatang berbisa itu bukan
berkurang, tapi sebaliknya. Ular-ular itu semakin ber-
tambah jumlahnya, bahkan kini datang pula empat
ekor ular sebesar paha orang dewasa.
"Hhh! Benar-benar ular siluman!" maki Kepala
Desa Gatareja geram.
Raja Petir yang menyaksikan keanehan itu bu-
kan tidak terkejut. Matanya tengah menatap ular-ular
suruhan itu dengan kekuatan batinnya, sekaligus un-
tuk mencari kelemahan binatang-binatang berbisa itu.
"Maaf, Ki. Jangan kalian serang binatang-
binatang itu terus-menerus," larang Jaka pada Ki Su-
teja dan Ki Caringin.
"Bagaimana kalau aku mencoba mengusir me-
reka dengan aji 'Lingkar Sinar Sutera' milikku, Jaka?"
tanya Ki Caringin hati-hati.
Jaka tak bisa menjawab permintaan Ki Carin-
gin. Bukan karena belum menyaksikan kehebatan aji
'Lingkar Sinar Sutera' milik Ki Caringin, tapi karena
merasa sungkan untuk melarang keinginan baik lelaki
tua itu.
"Bagaimana, Jaka?" tanya Ki Caringin lagi.
"Silakan, Ki," jawab Jaka mantap.
Dirinya tak ingin melihat kekecewaan pada diri
Ki Caringin. "Semoga aji 'Lingkar Sinar Sutera' mu
berhasil mengusir ular-ular itu!" lanjut Jaka.
Ki Caringin segera melangkahkan kakinya. Ke-
mudian lelaki berusia enam puluh tahun yang menge-
nakan pakaian putih bersih itu segera memutar keris-
nya.
Tenaga yang terkandung dari putaran keris
nampak begitu kuat, itu terbukti dari otot-otot tangan
Ki Caringin yang menegang dan bersembulan keluar.
Di-tambah lagi desisan suaranya yang tengah menge-
rahkan tenaga dalam tinggi.
Di lain pihak, ular-ular berbisa suruhan si Ratu
Ular nampaknya mengetahui gelagat. Mata ular-ular
itu menyorot tajam Ki Caringin. Lidah-lidah binatang
yang terjulur itu mengeluarkan bunyi desis yang me-
nyeramkan.
Zzzssst..!
Zzzssst...!
Sementara itu, Ki Caringin telah berhasil men-
ciptakan sinar putih yang melingkar-lingkar di da-
danya.
"Hih!"
Ki Caringin menghentakkan tangannya yang
memegang keris. Wrusss...!
Sinar putih yang melingkar-lingkar di depan
dada Ki Caringin seketika meluruk deras ke sekawa-
nan ular di hadapannya.
Bresh!
Ular-ular berbisa yang terlanggar sinar putih
itu seketika berpentalan ke segala arah. Ki Caringin
pun menarik napas lega melihat keberhasilannya men-
gusir binatang-binatang melata itu. Namun Ki Caringin
kembali terperanjat ketika ular-ular itu kembali ban
kit dan meluruk cepat memburu dirinya.
Zzzssst...!
Zzzssst...!
Desisan ular-ular itu semakin keras dan tak be-
raturan.
Ki Caringin menggemeretakkan giginya mena-
han geram. Tangannya yang menggenggam sebilah ke-
ris pun berputar lagi dengan hebat. Tebasan-tebasan
dengan kekuatan tenaga dalam tinggi pun dilakukan-
nya.
Dengan sekali tebas saja, puluhan binatang-
binatang berbisa itu sudah bergelimpangan dengan
kepala yang terpenggal.
"Jangan kau lakukan itu lagi, Ki. Tenagamu
akan terkuras percuma," larang Jaka.
Raja Petir pun segera melompat ke samping kiri
Ki Caringin sambil melontarkan aji 'Pukulan Pengacau
Arah' dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
"Haaat...!"
Wusss...!
Brush!
Pusaran angin bergulung yang keluar dari tela-
pak tangan Jaka membuyarkan ular-ular yang menco-
ba memangsa tubuh Ki Caringin. Ular-ular itu berpen-
talan ke berbagai arah.
Raja Petir mulai sadar, bahwa binatang-
binatang itu akan kembali hidup selama masih berada
dalam pengaruh sihir si Ratu Ular, dan akan terus me-
lakukan penyerangan.
Tak ada jalan lain, pikir Jaka. Aku harus me-
ngerahkan aji 'Kukuh Karang' untuk memusnahkan
pengaruh sihir itu.
Setelah berpikir sejenak, Jaka segera mundur
satu langkah. Kedua tangannya seketika terangkat lu
rus ke atas kepala, seiring dengan tarikan nafasnya
yang terdengar halus.
Jaka kemudian merentangkan tangannya dan
sebentar kemudian jari-jari yang terentang itu terkepal
kuat. Tak berapa lama kemudian, kedua tangannya di-
letakkan menyilang di depan dada.
Sinar kuning seketika nampak membungkus
bagian kepala hingga dada, dan bagian lutut hingga
ujung kaki. Sinar kuning keemasan itu berpijar menyi-
laukan mata.
Seiring dengan terbungkusnya bagian tubuh
Raja Petir dengan sinar kuning keemasan, ular-ular
berbisa itu kembali melakukan penyerangan secara se-
rempak.
Jaka tak membiarkan kesempatan baik yang
terbuka lebar. Seketika itu juga Raja Petir membuka
tangannya yang bersilangan di depan dada.
"Hih!"
Kedua tangan Raja Petir dengan cepat meng-
hentak keras. Tras!
Sinar kuning keemasan yang menyilaukan me-
lesat deras dari telapak tangannya, menghadang ular-
ular itu. Dan....
Jrabbbs!
Sinar kuning keemasan yang melanda ular-ular
berbisa seketika membungkus binatang-binatang itu.
Akibatnya, binatang-binatang melata itu menggelepar-
gelepar seperti terpanggang bara.
Beberapa saat lamanya binatang-binatang ber-
bisa itu menggelepar dalam bungkusan sinar kuning
dari aji 'Kukuh Karang'. Kemudian terkulai lemas di
tanah, seperti tanpa tenaga.
Namun, ketika sinar kuning yang membungkus
itu lenyap, binatang-binatang suruhan itu kembali
bergerak-gerak.
Ki Suteja dan Ki Caringin menyangka kalau
ular-ular itu akan kembali menyerang Raja Petir, tetapi
dugaan itu ternyata tidak terbukti. Mata Ki Suteja dan
Ki Caringin menyaksikan ular-ular itu mengeloyor per-
gi meninggalkan tubuh Jaka yang masih tetap tegap
berdiri dengan tenang. Sementara itu sinar kuning
keemasan yang membungkus bagian dari tubuhnya te-
lah lenyap.
"Sungguh aneh ular-ular itu, Jaka," ucap Ki
Suteja sambil berjalan mendekati Raja Petir.
Jaka hanya tersenyum sambil menggelengkan
kepala mendengar ucapan Ki Suteja.
"Tapi aku bersyukur Ki, mampu memusnahkan
pengaruh sihir Ratu Ular, tanpa harus membunuh
ular-ular yang tak bersalah itu," ujar Raja Petir sambil
memalingkan sebentar wajahnya ke wajah Ki Suteja di
sampingnya.
"Iya, ya," sahut Ki Suteja lagi sambil mengang-
guk-anggukkan kepala. Lelaki setengah baya itu mena-
tap Raja Petir penuh rasa terima kasih.
Namun belum lagi pulih ketenangan di hati Ki
Suteja, tiba-tiba suara tawa melengking terdengar begi-
tu dahsyat memekakkan telinga. Suara itu berkuman-
dang panjang seperti hendak meruntuhkan seluruh
desa.
"Hik... hik... hik...! Jangan kalian merasa lega
dulu. Hadapi kedahsyatan ilmuku!"
Kemudian nampak dua sosok perempuan ber-
kelebat dengan cepat. Kedua sosok tubuh perempuan
tua yang terbalut pakaian hijau dan kehitaman men-
darat beberapa tombak jauhnya dari Raja Petir dan Ki
Suteja.
"Ratu Ular?!" teriak Kepala Desa Gatareja dan
Ki Caringin hampir bersamaan.
Keduanya melihat dengan jelas sosok perem-
puan tua berpakaian kulit ular coklat kehitaman. Di
sampingnya berdiri sosok gadis cantik berambut ular-
ular kecil di kepalanya.
Apakah gadis yang bersama Ratu Ular itu putri
Ki Rampal Lawu? Rata hati Ki Suteja.
Namun begitu juga kiranya kata hati lelaki ber-
pakaian putih bersih, Ki Caringin nampak memandan-
gi gadis muda usia yang berdiri angkuh di sisi Ratu
Ular.
"Hik... hik... hik.... Raja Petir! Aku memang
mendengar kehebatanmu dalam menaklukkan tokoh-
tokoh sakti golongan hitam. Aku kagum akan keheba-
tanmu itu, namun sayang kehebatanmu itu harus be-
rakhir di tangan orang tua renta semacam aku," ucap
Ratu Ular dengan nada suara berat.
Raja Petir tak mengomentari ucapan perem-
puan berusia tak lebih dari tujuh puluh lima tahun,
mata Jaka hanya menatap wajah si Ratu Ular dan pe-
rempuan muda usia yang berdiri di sampingnya.
"Ratu Ular, setahuku kita tak pernah saling
bertemu, apalagi saling bermusuhan. Lalu kenapa kau
menculik putra bungsu ku?" tanya Kepala Desa Gata-
reja tenang.
"Suteja! Kuketahui kalau kau sahabat baik
Rampal Lawu, dan juga Caringin yang berdiri di sebe-
lah mu itu. Sebetulnya, aku tak ingin melakukan tin-
dakan seperti yang pernah kulakukan terhadap Ram-
pal Lawu dan Desa Kemuningwaru. Tetapi karena kau
telah berani mengundang orang lain dalam persoalan
ini, maka terpaksa akan kulakukan. Dirimu dan Desa
Gatareja akan mengalami nasib yang sama dengan
Rampal Lawu dan desanya," jawab Ratu Ular penuh
nada ancaman. "Namun, sebelum kehancuranmu dan
Desa Gatareja datang, akan ku jelaskan maksudku
menculik putra bungsu mu! Biar kau tidak penasa-
ran," lanjut Ratu Ular yang sesungguhnya bernama Nyi
Kumala-rani.
Ki Suteja hanya mendengus kesal mendengar
ucapan Nyi Kumalarani. Kepala Desa Gatareja sema-
kin mempertajam tatapan matanya.
"Usiaku sudah lanjut, sedangkan cita-citaku
untuk mengembangkan ilmu hitam yang telah ku te-
kuni selama puluhan tahun telah dikuasai gadis ini,"
ucap Ratu Ular menoleh ke dara cantik berpakaian ku-
lit ular hijau lurik. "Sekarang aku ingin mewujudkan
cita-citaku yang lainnya, yakni mencarikan jodoh Dewi
Ambar Sari yang ku gelari Ratu Sihir Puri Ular. Jodoh
untuk Dewi Ambar Sari telah kudapatkan, yakni putra
bungsu mu, Suteja. Kelak keduanya akan melahirkan
anak-anak yang akan mengembang luaskan ilmu-
ilmuku. Dengan begitu seluruh cita-citaku akan terca-
pai."
"Hmmmh...!"
Ki Suteja menggereng kuat mendengar kelanju-
tan ucapan Ratu Ular. Mata Kepala Desa Gatareja se-
makin terbelalak lebar. .
"Ratu Ular!" bentak Ki Suteja lantang. "Dengar
baik-baik! Sedikit pun aku tak sudi bermantukan Ratu
Sihir Puri Ular. Aku tak akan merestui pertunangan
Abimanyu dengan Dewi Ambar Sari putri Ki Rampal
Lawu yang telah kau pengaruhi semenjak bayi!"
"Kau tidak sudi atau tidak merestui, itu adalah
hakmu, Suteja! Namun, keinginanku untuk menjodoh-
kan Ratu Sihir Puri Ular dan Abimanyu tetap akan ku-
laksanakan. Dan kau akan menyaksikan dari dalam
kuburmu!" ujar Ratu Ular dengan sedikit kegeraman.
"Sombong kau, Ratu Ular!" bentak Ki Suteja. Ki
Suteja hendak melangkahkan kaki untuk menerjang
perempuan tua yang berjuluk Ratu Ular, namun uca-
pan Jaka membuat Ki Suteja mengurungkan niatnya.
“Tahan, Ki. Tak ada gunanya kau menuruti
amarah," larang Raja Petir.
Apa yang dilakukan Jaka ternyata membuat
Ratu Ular naik pitam.
"Raja Petir! Kenapa kau melarang Suteja me-
nyerang ku? Apa kau yang lebih dulu mau menyerang!
Kalau memang begitu, ayolah maju!" hardik Ratu Ular
penuh tantangan.
"Kaulah yang maju lebih dahulu, Ratu Ular. Ka-
rena kau yang datang ke desa ini," kilah Raja Petir.
"Kurang ajar kau! Rupanya kau benar-benar
ingin mampus lebih dulu!"
“Terimalah ini! Hiaaa...!"
***
SEMBILAN
"Tahan, Nek!" teriak dara manis yang berdiri
sombong di samping Nyi Kumalarani.
Ratu Ular menghentikan gerakannya. Wajah
tua Nyi Kumalarani berkerut menatap cucunya yang
berjuluk Ratu Sihir Puri Ular.
"Aku tak suka tanganmu kotor hanya untuk
mengurusi anak muda yang bukan tandingan mu itu,"
jelas Ratu Sihir Puri Ular datar.
Mata dara berusia tak lebih dari enam belas ta-
hun itu kini menatap wajah Jaka tajam.
"Hik... hik... hik.... Jadi kau menginginkan pemuda tampan itu hidup, Cucuku? Kau menyenan-
ginya?" tanya Nyi Kumalarani dengan mata mengerjap-
ngerjap lucu.
Kepala Desa Gatareja dan Ki Caringin merasa
muak mendengar ucapan si Ratu Ular, namun tidak
demikian halnya dengan Jaka.
Raja Petir nampak mengembangkan senyumnya
mendengar ucapan Nyi Kumalarani.
"Kau salah tanggap, Nek," bantah Ratu Sihir
Puri Ular. "Aku ingin pemuda tampan itu berhadapan
langsung denganku. Aku ingin tahu sampai di mana
kehebatan ilmunya."
"Hik... hik... hik.... Silakan, Cucuku! Silakan.
Aku yakin Raja Petir tak bakal mampu menandingi ke-
saktian dan ilmu sihir mu," sambung Nyi Kumalarani.
"Biar aku yang sudah tua ini berhadapan dengan yang
tua-tua juga," lanjut Ratu Ular seraya menatap Ki Su-
teja dan Ki Caringin bergantian.
"Baik, Nek," ucap Ratu Sihir Puri Ular menyetu-
jui keputusan Nyi Kumalarani, nenek angkatnya.
Dara manis berpakaian kulit ular hijau lurik
mengangkat kakinya satu langkah ke depan. Rambut-
nya yang terdiri dari puluhan bahkan ratusan ular-
ular kecil bergerak-gerak seperti dipermainkan angin.
Dara manis yang berjuluk Ratu Sihir Puri Ular
menatap Jaka tajam. Entah apa maksud tatapan itu,
yang jelas ada kekuatan lain dirasakan Jaka.
Raja Petir segera mengerahkan kekuatan batin-
nya untuk melawan tatapan mata Dewi Ambar Sari
yang memantulkan kekuatan aneh di hatinya.
"Ahhh!"
Tarikan napas berat seketika terdengar seiring
dengan tatapan mata Jaka yang membalas tatapan
mata Ratu Sihir Puri Ular.
Mata jalang milik Dewi Ambar Sari seketika be-
ralih menatap bagian tubuh Jaka yang lain.
"Kau memang memiliki kelebihan jika di ban-
dingkan dengan orang-orang yang berada di hadapan-
ku, Anak Muda," ucap Ratu Sihir Puri Ular dengan ta-
tapan mata yang mengarah pada dada bidang Jaka.
Jaka lagi-lagi hanya mengembangkan senyum-
nya mendengar pujian itu.
"Perkenalkanlah namamu agar aku tak penasa-
ran mengingat namamu setelah kau terkubur nanti!"
ujar Dewi Ambar Sari kemudian.
Jaka kembali mengembangkan senyum sebe-
lum menimpali ucapan Ratu Sihir Puri Ular.
"Aku tak akan mati sebelum roh dalam tubuh-
ku pergi meninggalkan jasad ku," kilah Jaka kalem.
"Namun terus terang, aku paling tidak senang mem-
buat orang lain penasaran, untuk itu kuberitahukan
padamu kalau namaku Jaka Sembada. Kau bisa me-
manggilku Jaka atau Sembada," tambah Raja Petir.
"Hmmm.... Jaka?" ulang Dewi Ambar Sari man-
tap. "Namamu bagus, tapi sayang umurmu tak pan-
jang. Kau akan segera binasa di tanganku."
"Kau selalu membicarakan masalah umur, De-
wi. Kau pikir umurku ini berada di tanganmu, heh?"
ucap Jaka sedikit mengejek.
"Kau masih tak yakin, Jaka? Akan kubuktikan
sekarang agar kau tak akan lagi menikmati matahari
esok pagi," balas Ratu Sihir Puri Ular.
"Buktikanlah!" keras ucapan yang keluar dari
mulut Jaka.
"Baiklah!"
Dewi Ambar Sari, dara manis yang berjuluk Ra-
tu Sihir Puri Ular seketika menggerakkan tangannya.
Kedua tangan bergerak gemulai, kemudian telapak
tangan yang satu sama lain saling bertemu.
Jaka menyaksikan gerakan Ratu Sihir Puri Ular
yang bagai gerakan seorang penari.
"Zzzssst...!"
Mulut Ratu Sihir Puri Ular seketika berdesis
seiring dengan rentangan tangannya perlahan. Dari
dalam mulut Dewi Ambar Sari mendadak menjulur li-
dah yang sudah berubah persis seperti lidah ular be-
sar. Lidah bercabang itu menjulur panjang.
"Zzzssst...!"
Suara desisan mulut Ratu Sihir Puri Ular tiba-
tiba berubah menjadi hembusan napas yang keras.
"Hosh!"
Dari lidah Dewi Ambar Sari yang terjulur seke-
tika menyembur api yang meluruk cepat ke tubuh Ja-
ka.
"Heh?!"
Jaka sempat terkesiap melihat kedatangan se-
rangan yang begitu mendadak.
"Awas, Jaka!" teriak Ki Caringin memperin-
gatkan Raja Petir.
Jaka yang memang sudah terlatih kepekaan-
nya, secara naluriah segera bergerak cepat menghinda-
ri terjangan segumpalan api yang menyembur dari mu-
lut Ratu Sihir Puri Ular.
Weeesss!
"Uts! Hup!"
Jaka melenting ringan dan bersalto beberapa
kali di udara. Tubuh Jaka yang berada di udara, masih
tetap terarah pada setiap gerakan Ratu Sihir Puri Ular
untuk mengawasi gerakan lawan yang mungkin mem-
bahayakan.
Betul saja dugaan Jaka. Ketika tubuhnya ten-
gah berputaran di udara, Ratu Sihir Puri Ular terlihat
menepukkan kedua belah telapak tangannya.
Plak! Plak!
Terdengar suara tepukan itu, lalu disusul oleh
lesatan sinar dari tangannya. Weeesss! Weeesss!
Serangkum sinar berwarna kebiruan meluruk
deras ke tubuh Jaka yang tengah berada di udara.
Raja Petir pun tak ingin tubuhnya dimangsa si-
nar kebiruan hasil ciptaan Ratu Sihir Puri Ular.
Dengan gerakan indah dan begitu cepat, Jaka
menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling beberapa
kali di tanah. Kemudian dengan bertumpu pada tan-
gannya, Raja Petir kembali melenting cepat dan segera
mendarat lagi dengan manis.
"Hup!"
Ratu Sihir Puri Ular marah bukan kepalang
menyaksikan serangannya yang dilancarkan berturut-
turut tak berhasil.
Kemurkaan dara manis yang sesungguhnya pu-
tri tunggal Ki Rampal Lawu itu kini diwujudkan mela-
lui serangkaian ilmu-ilmu sihir yang begitu mengeri-
kan.
Tubuh Ratu Sihir Puri Ular tiba-tiba menjelma
menjadi seekor ular besar hijau lurik. Tubuh ular be-
sar yang memancarkan sinar kehijauan bergerak-gerak
hebat. Dari gerakannya yang dahsyat itu beberapa ba-
tang pohon bertumbangan terlanda ekor ular jelmaan
Ratu Sihir Puri Ular.
Zzzssst...!
Ular besar hijau lurik itu mendesis keras, ma-
tanya menyorot tajam wajah Jaka yang sudah bersiap-
siap menghadapinya dengan menggunakan aji
'Bayang-bayang'.
Dan ketika tubuh ular itu berkelebat cepat, Ja-
ka telah selesai mengerahkan ajiannya. Tubuh Jaka
kini menjadi bertambah jumlahnya.
Zzzssst...
Ular besar jelmaan Dewi Ambar Sari itu mener-
jang salah saru tubuh Raja Petir yang berdiri berpen-
car. Namun, ular itu hanya membentur bayangan diri
Jaka.
"Jangan sembrono, Dewi. Pusatkan hatimu, pi-
lih wujud Raja Petir yang sesungguhnya!" teriak Nyi
Kumalarani.
Setelah beberapa kali ular besar itu menerjang
bayangan-bayangan tubuh Raja Petir, tiba-tiba berhen-
ti. Ular jelmaan itu nampak seolah-olah tengah mere-
nungi ucapan Nyi Kumalarani.
"Seharusnya kau tak ikut campur dengan per-
tarungan mereka, Ratu Ular!" tukas Ki Caringin mem-
peringatkan.
"Kau tak senang, Caringin?!" tanya Nyi Kumala-
rani kasar. "Kalau kau tak senang, kita bisa bertarung
sekarang!" lanjut Ratu Ular penuh tantangan.
Ki Caringin menatap wajah Ki Suteja.
"Bagaimana, Adi Teja?" tanya Ki Caringin seper-
ti berbisik,
"Ratu Ular terlalu merendahkan kita, Kakang
Caringin. Sebaiknya penuhi saja tantangannya," jawab
Ki Suteja perlahan.
"Hhh...."
Ki Caringin menarik napas dalam-dalam, ke-
mudian tatapan matanya berpindah pada wajah keri-
put Nyi Kumalarani.
"Baik, Nyi. Kita memang harus bertarung," ja-
wab Ki Caringin mantap.
"Hik... hik... hik...! Rupanya kalian sudah bo-
san hidup," ejek Ratu Ular disertai tawa yang meme-
kakkan telinga. "Baik aku turuti kesanggupan kalian.
Ayo, majulah!"
"Kau yang harus memulainya lebih dulu, Ular
Laknat!" bentak Ki Suteja.
Merah padam wajah Nyi Kumalarani menden-
gar bentakan yang cukup keras itu. Tatapan mata Ra-
tu Ular seketika mencorong ke wajah Ki Suteja.
"Teja! Kau harus mampus lebih dulu!" keras
ucapan Ratu Ular dengan jari telunjuk yang menuding
Kepala Desa Gatareja itu.
"Cuh! Umur bukan di tanganmu, Ular Laknat!"
"Bedebah kau!" maki Nyi Kumalarani.
Perempuan tua berusia tujuh puluh lima tahun
itu kini bergerak ke depan. Seperti yang dilakukan De-
wi Ambar Sari terhadap Jaka, Nyi Kumalarani pun me-
lakukan hal yang sama. Lidahnya yang kini berbentuk
lidah ular mendesis-desis dan terjulur panjang.
Ratu Ular pun seketika mengempos tenaganya.
Dan....
"Khosh!"
Api seketika menyembur keluar seiring dengan
hentakan napas Nyi Kumalarani. Gumpalan api itu
meluruk deras mengancam tubuh Ki Suteja.
"Awas, Adi Teja!" teriak Ki Caringin memper-
ingatkan.
Pada saat teriakan Ki Caringin menggema, se-
gumpalan api ciptaan Ratu Ular sudah hampir me-
nyentuh tubuh Ki Suteja. Akan tetapi Ki Suteja pun
sudah bersiap terhadap serangan cepat itu.
"Hup!"
Ki Suteja cepat melakukan lejitan ringan ke ki-
ri. Dengan sekuat tenaga kakinya dihentakkan ke ta-
nah, melenting ke udara dan melakukan salto dua kali.
Namun, Nyi Kumalarani kembali melancarkan seran-
gan dahsyat ke tubuhnya yang masih berada di udara.
Ki Caringin yang menyaksikan kelicikan si Ratu
Ular menjadi geram bukan kepalang, maka seketika itu
juga kerisnya dihentakkan kuat-kuat.
"Hih!"
Wush!
Selarik sinar putih seketika meluruk dari ujung
keris. Sinar putih itu meluruk cepat dari samping ka-
nan segumpalan api yang hendak menerjang Ki Suteja.
Begitu cepat lesatan sinar merah dan putih, hingga ke-
tika beradu, terjadilah ledakan keras memekakkan te-
linga.
Glaaar!
Terkejut juga hati Nyi Kumalarani melihat se-
rangannya berhasil dihalau Ki Caringin. Wajah tua si
Ratu Ular menjadi bertambah geram. Seketika itu juga,
dengan diiringi pekikan keras tubuh Nyi Kumalarani
melesat cepat menerjang Ki Caringin.
"Hiaaat...!"
***
Pada pertarungan lain antara Raja Petir mela-
wan Ratu Sihir Puri Ular, nampak kedudukan Jaka be-
rada di atas angin. Berkali-kali Jaka berhasil mengan-
daskan serangan yang dilancarkan Ratu Sihir Puri
Ular. Bahkan serangan balasan Raja Petir tak jarang
menghantam telak tubuh si Ratu Sihir Puri Ular.
Apalagi ketika sabuk kuning keemasan yang
melilit di pinggang Raja Petir telah lolos dan tergeng-
gam di tangannya, kedudukan Raja Petir semakin kuat
saja.
Zzzssst...!
Diiringi desisan keras ular jelmaan Dewi Ambar
Sari kembali melancarkan serangan. Jaka segera
menggerakkan pergelangan tangannya. Hiyaaa...!"
Teriakan keras Raja Petir mengiringi sabetan
sabuk kuning keemasan. Dan.... Gelegaaarrr...!
Lecutan sabuk warna kuning keemasan begitu
dahsyat. Seketika, sabetan itu membuat tubuh ular
yang menerjangnya terpental balik. Ular jelmaan Ratu
Sihir Puri Ular melayang deras menerjang pepohonan.
Brak! Brak!
Dua batang pohon besar seketika bertumban-
gan. Bunyi berderak mengiringi runtuhnya kedua po-
hon besar itu.
Sungguh kuat ketahanan tubuh Ratu Sihir Puri
Ular. Meski barusan tubuhnya terhajar sabuk kuning
keemasan yang dirangkai dalam jurus 'Petir Membelah
Malam', tubuh Ratu Sihir Puri Ular kembali bangkit
dengan wujudnya yang asli.
Ratu Sihir Puri Ular kembali melesat cepat me-
nerjang tubuh Raja Petir. Angin berdesing mengiringi
serangannya yang datang secepat kilat.
Raja Petir yang memang sudah ingin mengakhi-
ri pertarungan, segera menyambut serangan Ratu Sihir
Puri Ular dengan aji 'Kukuh Karang'. Seketika itu juga
bagian kepala hingga dada, dan bagian lutut hingga
ujung kakinya terbalut sinar kuning keemasan.
Dan ketika serangan Ratu Sihir Puri Ular den-
gan keras menghantam bagian tubuhnya yang tak ter-
bungkus sinar kuning keemasan, seketika itu juga....
Breeet!
Tangan Ratu Sihir Puri Ular seketika menempel
di tubuh Jaka. Perempuan cantik berambut ular itu
ingin menarik tangannya yang menempel di perut Raja
Petir, namun semakin kuat mengerahkan tenaganya,
semakin kuat pula daya rekat di tubuh Jaka. Sehingga
ketika dara manis itu terus berusaha menarik kembali
tangannya, tenaganya semakin habis terkuras. Tubuh
dara manis berjuluk Ratu Sihir Puri Ular pun melorot
ke bawah, lunglai tanpa tenaga dan rebah di tanah
tanpa bergerak.
Sesaat Raja Petir menatapi tubuh Dewi Ambar
Sari, kemudian tubuh lelaki yang terbalut pakaian
kuning keemasan melesat ke pertempuran Ki Suteja
dan Ki Caringin yang sedang kewalahan menghadapi
gempuran-gempuran dahsyat Nyi Kumalarani.
"Akulah lawanmu, Ratu Ular!" ucap Raja Petir
keras.
Nyi Kumalarani alias Ratu Ular terkejut bukan
main melihat kehadiran Jaka. Mata tua si Ratu Ular
segera mencari Dewi Ambar Sari.
Dan ketika mata si Ratu Ular melihat sosok
Dewi Ambar Sari yang tergeletak tak bergerak, timbul
kemurkaan yang dahsyat.
Dengan perasaan kalut, Nyi Kumalarani berge-
rak cepat menerjang tubuh Raja Petir yang sudah siap
dengan sabuk kuning keemasan di genggamannya.
"Hiyaaa!"
Teriakan dahsyat mulut Nyi Kumalarani sambil
melenting ke udara.
Ketika tubuh Nyi Kumalarani mengapung di
udara, Jaka segera mengayunkan sabuknya, maka....
Sebuah sinar keperakan melesat seperti samba-
ran petir. Sinar keperakan itu melesat menerjang tu-
buh Nyi Kumalarani, sehingga...
Glaaarrr!
Tubuh Nyi Kumalarani terpental deras terhan-
tam sinar keperakan. Namun tubuh itu masih tetap
utuh, sehingga Raja Petir cukup kaget. Karena setiap
tubuh yang terhantam jurus 'Petir Membelah Malam'
akan hangus seperti terbakar api.
Namun tidak bagi tubuh si Ratu Ular yang
nampak kembali bangkit meski dalam keadaan lemah.
"Tak kusangka kau memiliki kehebatan yang
begitu tinggi Raja Petir. Aku tak menyesal jika harus
mati di tangan orang yang memiliki ilmu kesaktian le-
bih tinggi dariku. Namun sebelum itu, kau harus lebih
dulu menyaksikan kematian anak ini!" ucap Ratu Ular
dengan napas sedikit tersengal-sengal.
Perempuan tua itu mengeluarkan sebuah botol
bening yang di dalamnya terdapat sosok manusia.
Ki Suteja tentu saja terkejut bukan kepalang
menyaksikan tubuh Abimanyu berada dalam botol
yang dipegang Ratu Ular.
"Abimanyu!" teriak Ki Suteja keras.
Raja Petir dari Ki Caringin sempat tersentak
mendengar ucapan Ki Suteja.
Jaka ingin berbuat sesuatu untuk menyela-
matkan Abimanyu yang berada dalam kekuasaan Ratu
Ular, namun keinginan itu dirasakan terlalu sulit.
Tangan Ratu Ular telah bergerak lebih dulu menyum-
bat lubang botol bening dengan telapak tangannya
mengeluarkan asap kehitaman.
"Abimanyu!" Ki Suteja terpekik keras.
Matanya melihat Abimanyu yang kelabakan be-
rada di dalam botol itu. Ki Suteja ingin bergerak me-
nerjang tubuh Ratu Ular, namun cekalan tangan Raja
Petir menghentikan langkahnya.
"Jangan, Ki! Tubuh Ratu Ular itu tengah dijalari
bisa-bisa ular yang mematikan. Sedikit saja kau me-
nyentuh tubuhnya, nyawamu akan melayang," cegah
Raja Petir sambil terus memegangi tangan Ki Suteja.
Ki Suteja segera menuruti ucapan Raja Petir,
meskipun hatinya merasa tergetar menyaksikan kema-
tian putra bungsunya yang begitu mengerikan.
"Kau juga harus mati", Ular Laknat!" bentak Ki
Caringin tiba-tiba.
Keris lelaki tua berpakaian putih itu seketika
terhentak. Selarik sinar putih pun melesat cepat dan
menghantam kepala Ratu Ular. Slats! Glam...!
Kepala Nyi Kumalarani seketika terpental lepas
dari badannya. Sinar putih yang melesat dari ujung
keris Ki Caringin menghajar telak.
Darah hitam seketika mengalir dari kepala Ratu
Ular yang sudah terpisah dengan badannya. "Hhh..."
Ki Caringin menarik napas lega berhasil mem-
binasakan si Ratu Ular. Mata tua lelaki berpakaian pu-
tih itu beralih menatap wajah Ki Suteja, lalu memeluk
tubuh sahabatnya itu.
"Kuatkan hatimu, Adi Teja!" pinta Ki Caringin.
"Kematian Abimanyu tak sia-sia. Karena kita semua
dan juga desa ini telah terbebas dari sebuah mara-
bahaya."
Jaka menyaksikan dua lelaki tua yang tengah
berangkulan dengan perasaan haru.
"Oya, Ki Suteja dan juga Ki Caringin. Anak Ki
Rampal Lawu itu sesungguhnya masih hidup. Dirinya
hanya pingsan karena terlalu berlebihan mengelua-
rkan tenaga, sedangkan pengaruh sihir si Ratu Ular
sudah terkikis habis. Dalam beberapa hari ini gadis itu
akan siuman dan pulih. Kuharap di antara kalian ber-
dua ada yang bersedia merawatnya, syukur-syukur
mengangkatnya menjadi anak sendiri," ucap Jaka lem-
but.
Ki Caringin dan Ki Suteja menganggukkan ke-
palanya bersamaan.
"Biar gadis itu kami yang urus, Jaka," jawab Ki
Suteja.
"Syukurlah kalau begitu. Dan tugasku sudah
selesai, aku pamit sekarang juga," kata Raja Petir sam-
bil menatap wajah Ki Suteja dan Ki Caringin bergan-
tian.
"Kenapa terburu-buru, Jaka?" tahan Ki Suteja.
"Masih banyak tugas yang harus dikerjakan-
nya, Adi Teja. Banyak orang lain yang butuh bantuan-
nya," sahut Ki Caringin.
"Baiklah, Jaka. Aku hanya bisa mengucapkan
terima kasih atas bantuanmu," putus Ki Suteja pelan.
Raja Petir segera menatap wajah Kepala Desa
Gatareja dan Ki Caringin bergantian.
"Aku permisi sekarang, Ki," pamit Jaka.
"Hip!"
Tubuh Raja Petir melesat ringan diiringi tata-
pan mata Ki Suteja dan Ki Caringin.
Angin kembali berhembus semilir seolah turut
berbahagia atas terhindarnya Desa Gatareja dari mala-
petaka yang besar. Angin itu terus berhembus membe-
lai-belai perasaan Ki Suteja yang masih dilanda duka.
Mata Kepala Desa Gatareja merebak membayangkan
kematian Abimanyu yang tanpa bangkai, menghilang
bersamaan pengaruh sihir Ratu Ular.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar