..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

RAJA PETIR EPISODE SETAN BUKIT CEMARA


SETAN BUKIT CEMARA

Oleh Bondan Pramana

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: A. Suyudi

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Bondan Pramana 

Serial Raja Petir 

dalam episode: 

Setan Bukit Cemara

128 hal. ; 12 x 18 cm.


SATU


"Hi hi hi...!"

Suara tawa kecil seperti gurauan manja, 

terdengar mengisi suasana siang yang telah mulai 

bergeser menuju senja. Angin semilir bertiup dari 

arah utara, semakin menambah perasaan syahdu 

hati seorang gadis cantik, berambut panjang dike-

pang yang tengah berlari-lari kecil menghindari ke-

jaran pemuda tampan berpakaian kuning keema-

san.

"Sudah! Sudah!" teriak pemuda tampan be-

rambut gondrong itu sambil menghentikan larinya, 

membiarkan si gadis berambut dikepang yang 

memakai baju warna jingga. "Sedari tadi cekikikan 

terus, aku khawatir nanti kau akan menangis, 

Mayang...," lanjutnya seraya tersenyum dan mena-

tap gadis yang dipanggil Mayang.

Di punggung lelaki berwajah tampan itu 

nampak menggelantung sebuah gagang pedang be-

rukir bunga-bunga kecil nan indah.

"Aku tak akan pernah menangis, Kakang," 

sangkal gadis cantik berpakaian jingga yang ter-

nyata Mayang Sutera.

"Kalau tiba-tiba saja ada gadis lain di sam-

pingku, apa kau juga tak akan menangis?" ledek si 

pemuda berpakaian kuning keemasan itu.

"Kakang Jaka! Apakah kau mulai senakal 

itu?" sanggah Mayang dengan mata terpicing dan 

tersenyum, menatap pemuda di depannya.

Pemuda yang ternyata Jaka tersenyum


mendengar ucapan sang Kekasih. Ucapan itu san-

gat tepat sebagai sanggahan dan sekaligus mampu 

menutupi perasaan hati yang sebenarnya. "Tentu 

saja tidak, Mayang. Yang kuucapkan barusan itu 

hanya seandainya," elak Jaka.

"Ya, berarti aku tak akan pernah menangis, 

karena aku tahu Kakang tak mungkin berbuat 

itu," ujar Mayang dengan nada kemenangan. 

"Kau memang pintar," puji Jaka. 

"Aku mendapatkan kepintaran itu justru 

darimu," balik Mayang merendah.

"Itu juga salah satu kepintaranmu untuk 

selalu mengelak dari pujianku," ujar Jaka lagi.

Kali ini Mayang tak menyanggah. Diperhati-

kannya langkah kaki Jaka yang menghampirinya. 

Dan ketika kemudian tangan Jaka meraih perge-

langan tangannya, Mayang tak berusaha menge-

lak.

"Begini seharusnya kita," ujar Jaka sambil 

melangkah dengan menggamit tangan kekasihnya.

"Semua lelaki maunya begini," ledek 

Mayang, "Mau enaknya saja." 

"Jangan memancing lagi, Yang! Nanti 

aku...."

"Maaf, aku takut kalau kau ma...."

Mayang menggantung ucapannya ketika 

melihat tangan Jaka bergerak hendak mencubit 

pipinya.

Angin masih terus bertiup lembut, sementa-

ra sore perlahan-lahan turun bersama suasana se-

juk. Sepasang muda-mudi yang merupakan tokoh 

terkenal di rimba persilatan itu terus bergelut den


gan gurauan yang membuat keduanya kian akrab.

Akan tetapi ketika langkah Jaka dan 

Mayang memasuki areal tanah pemakaman, tak 

lagi terdengar ucapan-ucapan canda yang keluar 

dari mulut mereka. Seketika wajah keduanya be-

rubah tegang seolah ada suatu firasat buruk telah 

menyelinap di hati mereka.

"Aneh sekali keadaan di sekitar pemakaman 

ini, Kang," ujar Mayang, meski dengan suara per-

lahan. "Bulu kudukku berdiri," lanjutnya sambil 

merapatkan tubuh pada kekasihnya.

"Aku juga merasakan ada hawa lain, 

Mayang," sambut Jaka seraya menoleh ke wajah 

Mayang. "Kita harus mewaspadai keadaan ini."

"Ya," sambut Mayang.

Dua muda-mudi itu terus melanjutkan per-

jalanan melintasi tanah pemakaman yang masih 

dalam wilayah Desa Kober Utara. Setapak demi se-

tapak Mayang dan Jaka menjejaki tanah pemaka-

man dengan kewaspadaan yang tinggi. Otot-otot 

mereka nampak menegang.

Cukup lama ketegangan yang dirasakan Ja-

ka dan Mayang berlangsung. Hal itu karena tanah 

pemakaman yang tengah mereka lewati cukup 

luas.

"Hhh...."

Terdengar hembusan napas berat Mayang 

ketika mereka berdua sampai di luar tanah kubu-

ran. Gadis itu tampaknya merasakan keanehan 

yang berselimut di hati telah lenyap.

"Baru sekarang aku mengalami ketakutan 

seperti ini, Kakang. Hhh....! Ketakutan yang tanpa


alasan," ucap Mayang sambil kembali menghela 

napas dalam-dalam, seakan-akan hendak men-

gendorkan urat sarafnya yang menegang.

Jaka tak menimpali ucapan Mayang, tetapi 

kemudian mulutnya sudah terbuka berkata den-

gan ketenangan yang menjadi ciri khasnya.

"Hm...," firasatku mengatakan, bahwa di 

Desa Kober Utara ini akan terjadi sesuatu yang 

mengerikan, Mayang. Entah kejadian macam apa. 

Yang jelas ketika kita memasuki mulut Desa Kober 

Utara yang ditandai dengan sebuah batu bertu-

liskan nama desa ini, firasat seperti yang kuse-

butkan tadi sudah terbersit. Cuma, karena kau se-

lalu mengajak bergurau, menyebabkan aku melu-

pakan firasat itu," ujar Jaka sambil terus menga-

jak Mayang berjalan menjauhi tanah pemakaman.

"Kalau firasatmu benar, apa yang harus kita 

lakukan?" tanya Mayang.

"Tampaknya kita harus bermalam di desa 

ini. Itu kalau kita ingin tahu bencana yang akan 

menimpa desa ini. Kita bisa menumpang di rumah 

penduduk atau kalau perlu menemui Kepala Desa 

Kober Utara," jawab Jaka mantap.

"Aku setuju, Kakang," timpal Mayang.

"Setuju yang mana?" tanya Jaka berusaha 

menghilangkan ketegangan yang masih sedikit di-

rasakan.

"Menginap di rumah penduduk setuju, di 

rumah kepala desa pun setuju."

"Di kediaman kepala desa saja kalau begitu. 

Barangkali keanehan yang kita rasakan barusan 

mendapat keterangan lebih terperinci dan jelas,"


usul Jaka.

Tanpa mengomentari usul Jaka, Mayang 

mengikuti langkah kekasihnya menuju rumah Ke-

pala Desa Kober Utara. Angin masih tetap bertiup 

semilir, hawa dinginnya kini lebih kuat menusuk 

permukaan kulit

***

Malam sebentar lagi turun. Suasana dingin 

menyelimuti Desa Kober Utara. Di jalan utama de-

sa itu tampak Jaka dan Mayang berjalan menuju 

selatan. Mereka bermaksud mendatangi rumah 

Kepala Desa Kober Utara. Tak lama kemudian ke-

duanya melihat sebuah bangunan rumah besar 

dan tampak kokoh yang diterangi cahaya api obor.

Di serambi depan rumah yang cukup luas 

itu tampak beberapa orang lelaki. Beberapa di an-

tara mereka tampak berjalan mondar-mandir di 

bawah cahaya obor yang terpancang di dinding. 

Dilihat dari tingkah laku mereka, tampaknya 

orang-orang itu tengah dilanda suatu kegelisahan 

yang hebat

Jaka dan Mayang terus melangkah menuju 

bangunan kokoh yang diyakini sebagai rumah Ke-

pala Desa Kober Utara.

"Selamat malam, Kisanak sekalian!" sapa 

Jaka dengan tubuh sedikit dibungkukkan membe-

ri hormat. Padahal sebenarnya saat itu belum ma-

lam. Namun gelap telah mulai menyelimuti suasa-

na lepas senja itu.

Ucapan tegas yang mengandung kewiba


waan tinggi itu didengar beberapa lelaki yang ten-

gah hilir-mudik di serambi depan. Sejenak mereka 

tercenung memperhatikan kehadiran sepasang 

muda-mudi yang memiliki ketampanan dan kecan-

tikan yang mengagumkan. Namun beberapa saat 

kemudian salah seorang dari mereka segera me-

nyadari ketercenungannya dan membalas sapaan 

Jaka setelah terlebih dahulu menganggukkan ke-

pala.

"Selamat malam!" tukas lelaki bertubuh 

tinggi tegap yang mengenakan pakaian serba cok-

lat. Wajah tampannya yang berkulit putih menam-

bah kegagahan. Ditambah pula kumis hitam tebal 

yang bertengger di bawah hidung.

"Maaf, kalau kehadiran kami berdua meng-

ganggu kisanak sekalian!" ucap Jaka lagi dengan 

kata-kata lembut namun menyiratkan ketegasan.

"Ah, tidak," selak lelaki tampan berkumis 

tebal, "Kalau boleh ku tahu siapa kalian dan ada 

perlu apa datang ke tempat ini?" lanjut lelaki ber-

pakaian coklat itu meminta sekaligus menyelidiki 

keberadaan kedua tamunya.

"Kami adalah pengelana. Namaku Jaka 

Sembada dan kawanku ini bernama Mayang Sute-

ra," jawab Jaka memenuhi permintaan lelaki tam-

pan berpakaian coklat "Kedatanganku ke tempat 

ini untuk menemui Kepala Desa Kober Utara," lan-

jutnya dengan suara mantap. Dirinya sengaja tak 

menceritakan masalah yang akan diutarakan nanti 

pada Kepala Desa Kober Utara.

"Untuk apa kau menemui, Ki Bernala?" se-

lak salah seorang lelaki bertubuh pendek dengan


tatapan penuh kecurigaan. "Maaf Kakang Gunja-

da, kedatangan mereka tepat sekali dengan mala-

petaka yang menimpa Ki Bernala. Terus terang 

aku merasa curiga!" lanjutnya seraya menatap Ja-

ka dan Mayang penuh selidik.

Lelaki berpakaian coklat yang ternyata ber-

nama Gunjada seperti terpengaruh ucapan lelaki 

bertubuh pendek. Terbukti kini Gunjada ikut me-

natap wajah Jaka dan Mayang dengan sorot mata 

tajam dan penuh selidik.

"Em..., Jaka! Jawablah pertanyaan Marga!" 

pinta Gunjada dingin.

Jaka mengembangkan senyum menyaksi-

kan perubahan pada diri Gunjada yang mudah 

terpengaruh ucapan temannya.

"Secara khusus aku memang tak memiliki 

keperluan penting dengan Ki Bernala. Aku hanya 

ingin bertemu dengannya. Maaf, keinginanku ber-

sifat tak memaksa! Kalau kalian mengizinkan aku 

bersyukur sekali. Itu pun jika Ki Bernala sendiri 

tak berkeberatan bertatap muka dengan kami. 

Dan yang perlu Kisanak sekalian ketahui, keda-

tangan kami ke tempat ini sedikit pun tak mem-

bawa niat jahat," jawab Jaka tenang.

"Jangan percaya begitu saja dengan kata-

katanya, Kakang Gunjada!" selak Marga ketus.

"Tenanglah kau, Marga!" bentak Gunjada 

sengit.

Marga langsung tertunduk mendengar ben-

takan Gunjada yang disertai belalakkan mata.

"Keinginan kalian tak mungkin bisa kami 

penuhi," tolak Gunjada dengan tatapan mata din


gin menusuk wajah kedua tamunya.

"Kenapa?" kali ini Mayang yang bertanya 

pada Gunjada. Suaranya yang merdu sempat 

membuat lelaki berwajah tampan dan berkumis 

tebal tergeragap sesaat.

"Ki Bernala tak mungkin ditemui orang lain 

yang tak dikenalnya," jawab Gunjada seraya 

menggeleng-gelengkan kepala perlahan.

"Maaf! Kalau boleh kami tahu, malapetaka 

apa yang Kakang Marga maksudkan tadi?" pinta 

Jaka dengan menyebut kata 'Kakang' sebagai tan-

da hormatnya pada Marga.

"Itulah yang kumaksudkan dengan keti-

dakmungkinan kalian untuk bertemu dengan Ki 

Bernala. Dia tengah mengalami suatu penyakit 

yang cukup aneh," jelas Gunjada. Kecurigaan ter-

hadap kedua tamunya sedikit demi sedikit mulai 

luntur. Itu tak lain karena sikap Jaka dan Mayang 

yang selalu menjaga kesopanan dalam berbicara.

"Penyakit aneh? Penyakit macam apa yang 

Kakang Gunjada maksudkan?" tanya Mayang hati-

hati.

"Kami tak tahu nama penyakit itu, Nini 

Mayang. Namun, yang jelas penyakit itu datang 

begitu tiba-tiba, pagi tadi keadaan Ki Bernala se-

gar-bugar, namun ketika menjelang siang dia me-

rasakan permukaan kulitnya berdenyut-denyut 

hebat. Nyeri dan panas, katanya. Dan sepenanak 

nasi setelah Ki Bernala merasakan hal itu, sekujur 

tubuhnya, tiba-tiba ditumbuhi benjolan-benjolan 

merah. Seperti bisul yang sudah tua dan hendak 

pecah," papar Gunjada menjelaskan keadaan Ki


Bernala yang sesungguhnya.

"Betul-betul penyakit aneh," gumam 

Mayang. Tatapan matanya kini tertuju pada Jaka.

"Apakah kalian sudah berusaha menda-

tangkan tabib untuk mengobati penyakit Ki Berna-

la?" tanya Jaka kemudian.

"Itu sedang kami usahakan, Jaka," jawab 

Gunjada, "Kami sudah mengutus seseorang untuk 

mendatangkan tabib."

Sesaat suasana berubah hening. Mata Jaka 

dan Mayang saling tatap. Sementara itu Gunjada 

melempar pandangan pada kawan-kawannya yang 

masih nampak gelisah.

"Maaf, Kakang Gunjada! Kalau kau tak ke-

beratan, bolehkah aku melihat keadaan Ki Berna-

la? Aku khawatir penyakitnya tak lekas teratasi. 

Maaf, bukannya aku sok menjadi pahlawan, tetapi 

mudah-mudahan saja aku bisa memberikan perto-

longan pertama sebelum tabib yang kau usahakan 

itu datang!" ujar Jaka menyampaikan permintaan-

nya.

Gunjada tak segera menjawab permintaan 

Jaka. Tatapannya kini terpaku pada wajah lucu le-

laki bertubuh pendek bernama Marga. Tampaknya 

Marga sendiri tak berani memberi jawaban, karena 

takut Gunjada akan membentak seperti tadi.

"Kakang Gunjada percayalah dengan uca-

pan Kakang Jaka!" ujar Mayang bernada membu-

juk.

"Kami tak akan berbuat jahat pada Ki Ber-

nala, bahkan sebaliknya."

Gunjada menatap wajah cantik Mayang. Pe


rasaan lelakinya seketika bergetar hebat. Namun 

Gunjada segera meredam dengan mengalihkan ta-

tapan matanya ke wajah pemuda berwajah tampan 

di depannya.

Cukup lama mata Gunjada menatap wajah 

Jaka, seakan-akan tengah mencari sebentuk keju-

juran pada wajah tokoh muda yang berjuluk Raja 

Petir itu.

"Baiklah. Kupegang niat baik dan kejujuran 

kalian," putus Gunjada akhirnya.

Gunjada segera beranjak dari tempatnya, 

membawa masuk Jaka dan Mayang ke kediaman 

Ki Bernala, Kepala Desa Kober Utara itu. Sementa-

ra Marga dan rekan-rekannya yang lain hanya 

memandangi tubuh kedua muda-mudi yang be-

ranjak, dari hadapan mereka. Sesungguhnya di 

hati mereka tersinggahi keresahan, tapi mereka 

berharap dua orang tamu tak diundang itu mem-

bawa kebaikan bagi mereka semua terutama Ki 

Bernala.

***

Memasuki kamar pribadi Ki Bernala yang 

tertata rapi dan berbau harum, Jaka dan Mayang 

dapat menduga kalau Ki Bernala seorang kepala 

desa yang senang menjaga kebersihan. Dan jelas, 

Ki Bernala sangat mementingkan arti kesehatan 

lingkungan tempat tinggalnya. Namun kali ini pen-

guasa Desa Kober Utara itu justru tengah menderi-

ta karena penyakit aneh.

"Apakah dia tabib yang kau maksudkan,


Gunjada?" seorang perempuan berusia empat pu-

luh tahunan menyambut kedatangan Raja Petir 

dan Mayang yang disertai Gunjada.

Perempuan yang mengenakan pakaian me-

rah muda itu masih menampakkan sisa-sisa ke-

cantikannya di masa muda. Kulitnya nampak te-

rawat dengan baik. Kedua matanya pun masih 

bening dan menawan. Sementara rambutnya yang 

panjang tersanggul dengan rapi.

"Mereka bukan tabib, Nyi Rira," jawab Gun-

jada dengan kepala tertunduk. Sepertinya Gunjada 

begitu menghormati perempuan yang tak lain istri 

Ki Bernala.

"Bukan tabib?" tanya Nyi Rira Pangestu 

agak terkejut,

"Betul, Nyi," jawab Gunjada dengan kepala 

yang masih tertunduk.

"Apa yang dikatakan Kakang Gunjada betul, 

Nyi. Kami bukan tabib. Kami berdua hanyalah pa-

ra pengelana yang kebetulan lewat di desa ini," 

timpal Mayang dengan sikap yang sopan, "Setelah 

kami berbincang-bincang sebentar dengan Kakang 

Gunjada, maka tahulah kami kalau keluarga ini 

tengah tertimpa musibah. Maaf kalau kami terlalu 

lancang mencampuri urusan keluarga ini!" lanjut 

Mayang.

"Apa yang bisa kalian lakukan untuk me-

nanggulangi musibah ini?" tanya Nyi Rira bernada 

meremehkan keberadaan Jaka dan Mayang.

'Tak ada yang bisa kami lakukan, sebelum 

kami lihat penyakit yang diderita Ki Bernala, Nyi. 

Ah, ya. Hampir lupa aku memperkenalkan diri.


Namaku Jaka Sembada dan kawanku, ini Mayang 

Sutera," ujar Jaka terhadap ucapan Nyi Rira.

Tak ada jawaban dari mulut Nyi Rira Pan-

gestu. Matanya menatap berganti-ganti ke wajah 

Jaka dan Mayang. Beberapa saat lamanya hal itu 

dilakukan Nyi Rira Pangestu. Sesaat kemudian 

tangan perempuan itu memberi isyarat pertanda 

memberi izin pada kedua tamu itu untuk melihat 

keadaan sang Suami.

"Silakan kalian lihat keadaan Ki Bernala," 

ucap Nyi Rira Pangestu sambil melangkah mende-

kati ranjang yang tertutup kelambu putih.

Nyi Rira Pangestu kemudian menyibak ke-

lambu perlahan. Seketika itu juga nampak seorang 

lelaki berusia lima puluh tahunan tengah terbaring 

lemah. Keadaan Ki Bernala yang hanya mengena-

kan sehelai celana pendek nampak begitu menge-

rikan. Seluruh tubuhnya dipenuhi benjolan-

benjolan sebesar telur ayam dan berwarna keme-

rahan, seperti bisul-bisul yang hampir pecah.

Ki Bernala mengerang-erang merasakan 

hawa panas dan rasa sakit yang mendera. Se-

dangkan Nyi Rira Pangestu tampak berusaha men-

gurangi hawa panas yang diderita suaminya den-

gan mengompreskan kain basah.

Raja Petir mulai memeriksa penuh perha-

tian penyakit yang diderita Ki Bernala dengan 

mengerahkan kekuatan batinnya. Semula ditatap-

nya benjolan paling kecil yang berwarna merah 

kehijauan dengan mata terbelalak. Namun sesaat 

kemudian, tiba-tiba matanya terpejam.

"Ah...!"


Terdengar desahan panjang dari mulut Ja-

ka. Matanya perlahan-lahan terbuka. Lalu meno-

leh ke wajah Nyi Rira Pangestu dan Gunjada.

"Kalau boleh aku menduga, penyakit ini 

disebabkan perbuatan jahil seseorang yang beril-

mu cukup tinggi. Ini penyakit yang tak wajar," ujar 

Jaka dengan suara ditekan pelan. 

"Berilah dia pertolongan kalau kau bisa, 

Nak Jaka," pinta Nyi Rira Pangestu dengan penuh 

harap. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya begi-

tu percaya pada pemuda tampan berpakaian kun-

ing keemasan itu.

"Seperti Nyai dan juga orang-orang yang be-

rada di lingkungan tempat tinggal ini, aku tak 

punya kelebihan apa-apa. Namun karena Nyai 

mempercayakan pertolongan itu kepadaku, maka 

aku akan berusaha semampuku melakukan per-

mintaan Nyai. Namun kuharapkan juga bantuan 

Nyai, dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa 

agar memberikan rahmat-Nya demi kesembuhan 

Ki Bernala," pinta Jaka dengan perasaan meren-

dah.

"Tentu saja, Nak Jaka," sambut Nyi Rira 

Pangestu seraya mengangguk.

Mendengar ucapan Nyi Rira Pangestu, Jaka 

segera mendekatkan wajahnya ke salah satu ben-

jolan di tubuh Ki Bernala.

"Maaf, Ki! Aku memang harus meraba ben-

jolan di tubuhmu," ucap Jaka pelan.

Telapak tangan lelaki muda berwajah tam-

pan itu segera bergerak meraba benjolan terkecil 

yang berwarna kehijauan.


"Aaakh...!"

Jeritan keras seketika terlontar dari mulut 

Ki Bernala. Tubuh lelaki tanpa pakaian itu meng-

gelinjang, seperti tengah menahan rasa nyeri yang 

hebat.

Nyi Rira Pangestu sempat terlonjak men-

dengar jeritan sang Suami. Begitu juga dengan 

Gunjada. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu mun-

dur satu langkah. Senjatanya yang berupa pedang 

sudah lolos dari warangkanya.

"Tenang, Kakang Gunjada!" tegur Mayang 

ketika melihat Gunjada sudah menghunus pe-

dang. "Aku yakin Kakang Jaka sudah menemukan 

sumber penyakitnya. Itu sebabnya Ki Bernala 

menjerit kesakitan...."

Ucapan Mayang berpengaruh pada diri 

Gunjada, terbukti lelaki berwajah tampan dan 

berkumis tebal itu kembali memasukkan pedang 

ke warangkanya.

Sementara Jaka nampak tengah meraih se-

suatu dari balik pakaiannya.

"Sebaiknya diminumkan dulu obat penawar 

racun ini, Nyi," ucap Jaka seraya menyerahkan 

sebutir obat berwarna merah darah pada istri Ki 

Bernala.

Nyi Rira Pangestu tanpa menaruh curiga se-

gera meraih obat penawar racun yang diberikan 

Jaka, lalu memberikannya pada Ki Bernala.

"Aaakh...!"

Kembali Ki Bernala terpekik sesaat setelah 

menelan obat yang dimasukkan Nyi Rira Pangestu 

ke mulutnya. Tubuh Ki Bernala menggelinjang


gelinjang beberapa saat. Sementara Nyi Rira Pan-

gestu nampak kebingungan.

"Tak perlu cemas, Nyi! Obat yang telah ma-

suk ke perut Ki Bernala tengah bekerja. Ki Bernala 

memang harus merasakan pertentangan yang ter-

jadi pada tubuhnya," ucap Jaka mencoba mene-

nangkan perasaan istri Ki Bernala.

Mendengar ucapan pemuda tampan yang 

tampak berwibawa itu Nyi Rira Pangestu tak me-

nyahuti. Namun, tampaknya ucapan Jaka telah 

membuat hati perempuan setengah baya itu te-

nang.

Ucapan yang keluar dari mulut Jaka ternya-

ta benar. Ketika pertentangan yang terjadi dalam 

tubuh Ki Bernala berakhir, Kepala Desa Kober 

Utara itu berubah tenang. Meskipun belum tam-

pak adanya perubahan. Tubuhnya masih tetap di-

penuhi benjolan-benjolan sebesar telur ayam.

"Menyingkirlah sedikit, Nyi! Biar aku me-

nyalurkan kekuatan batinku ke tubuh Ki Bernala. 

Doakan semoga aku berhasil mengusir pengaruh 

jahat yang bersarang di tubuh Ki Bernala," pinta 

Jaka sopan.

"Silakan," ujar Nyi Rira Pangestu. Perem-

puan setengah baya itu tampak melangkah ke be-

lakang menjauhi pembaringan Ki Bernala.

Tanpa membuang waktu, tangan Jaka sege-

ra membalikkan tubuh Ki Bernala agar menelung-

kup. Setelah itu naik ke pembaringan agar dirinya 

lebih leluasa menyalurkan kekuatan guna mengu-

sir kekuatan jahat yang mengendap di tubuh Ki 

Bernala.


Sesaat kemudian Jaka memejamkan mata. 

Kemudian tangannya bergerak perlahan ke pung-

gung Ki Bernala yang tak terbungkus pakaian. 

Pendekar muda itu tengah mengerahkan 'Aji Ku-

kuh Karang' yang juga berguna untuk pengobatan 

bagi penyakit-penyakit yang di luar kewajaran.

Sinar kuning seketika membias pada tela-

pak tangan Jaka, ketika bersentuhan dengan 

punggung Ki Bernala. Terlihat oleh Nyi Rira Pan-

gestu dan orang-orang yang ada di dalam kamar Ki 

Bernala, sinar keemasan yang berasal dari telapak 

tangan Jaka seolah bergerak dan menyelusup ke 

tubuh Kepala Desa Kober Utara itu.

Hanya sebentar Jaka menempelkan telapak 

tangan ke punggung Ki Bernala, yang juga ditum-

buhi benjolan-benjolan merah sebesar telur ayam. 

Sesaat tubuh Ki Bernala yang diduduki Jaka tam-

pak menggeliat-geliat pelan. Namun kemudian di-

am tak bergerak.

Setelah itu Jaka turun dari pembaringan Ki 

Bernala. Lalu menghampiri Nyi Rira Pangestu.

"Semoga yang kulakukan barusan berhasil, 

Nyi!" ujar Jaka pada Nyi Rira Pangestu.

Nyi Rira Pangestu hanya mengangguk per-

lahan. Matanya sejenak menatap wajah tampan 

Jaka.

"Kita tunggu sesaat hasil dari apa yang te-

lah kulakukan, Nyi," ujar Jaka lagi.

Namun belum lagi gaung ucapan Jaka le-

nyap, rintihan kecil tiba-tiba terdengar dari mulut 

Ki Bernala. Bersamaan dengan itu, Jaka, Mayang, 

Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terkejut. Mereka


melihat benjolan-benjolan merah yang memenuhi 

tubuh Ki Bernala mengeluarkan darah. Darah 

yang mengalir deras itu membasahi selimut putih 

penutup tubuh serta alas tempat tidur. Sehingga 

warna putih itu berubah merah, rata!

"Akh!" Nyi Rira Pangestu memekik tertahan 

dengan mata terbelalak menyaksikan suaminya. 

Namun dirinya jelas tak mungkin melakukan se-

suatu untuk menolong sang Suami. Di samping itu 

Jaka pun sudah mencegah Nyi Rira Pangestu agar 

tak mendekati tubuh Ki Bernala.

"Bagaimana dia, Nak Jaka?" tanya Nyi Rira 

Pangestu dengan kecemasan yang luar biasa.

"Tenanglah saja, Nyi! Yang keluar itu darah 

kotor akibat perbuatan orang yang memiliki ilmu 

kotor. Kuharapkan tak berapa lama lagi darah itu 

berhenti mengucur dan Ki Bernala akan terbebas 

dari ilmu sesat yang menyerangnya!" ujar Jaka in-

gin menenangkan hati Nyi Rira Pangestu.

Istri Ki Bernala tak lagi melemparkan perta-

nyaan, setelah mendengar penjelasan Jaka yang 

begitu meyakinkan. Apalagi ketika terbukti darah 

yang mengalir dari benjolan-benjolan di tubuh su-

aminya berhenti. Ki Bernala kini terlihat tenang, 

dengkur napasnya pun nampak mulai teratur.

"Sekarang, mari kita pindahkan tubuh Ki 

Bernala ke tempat lain, Nyi!" ajak Jaka kemudian. 

Tatapannya kini tertuju pada Gunjada yang tengah 

terpaku kebingungan.

"Ayo, Gunjada! Bantulah mengangkat Ki 

Bernala!" perintah Nyi Rira Pangestu.

Dengan tergeragap Gunjada menghampiri


tubuh Ki Bernala. Bersama Jaka dan dibantu 

Mayang, Gunjada mengangkat tubuh Kepala Desa 

Kober Utara itu dengan hati-hati.

Baru saja Ki Bernala dibaringkan di tempat 

tidur yang lain dari luar terdengar suara ribut-

ribut dengan memanggil nama Gunjada!

"Coba kau temui mereka, Gunjada! Tanya, 

apa yang terjadi! Setelah itu kau lapor ke sini," pe-

rintah Nyi Rira Pangestu.

Gunjada bergegas meninggalkan kamar pri-

badi Ki Bernala. Di serambi depan tampak orang-

orang berkumpul. Rata-rata di wajah mereka ter-

gurat rasa takut.

"Ada apa ini?! Ada apa? Apa kalian tak tahu 

Ki Bernala sedang sakit? Kenapa ribut-ribut di si-

ni?!" tanya Gunjada dengan suara membentak. 

Wajahnya yang terhias kumis tebal seakan tak 

mampu menyembunyikan kemarahannya.

"Anu, Kakang Gunjada..., anu!" jawab seo-

rang lelaki tinggi kurus menggeragap karena men-

dengar kemarahan Gunjada.

"Anu apa! Bicara yang jelas!" bentak Gunja-

da keras.

"Anu, Kakang. Mayat-mayat di kuburan sa-

na bangkit dan mengamuk, membantai para pen-

duduk terdekat," jelas lelaki tinggi kurus masih 

dengan suara gugup.

"Jangan ngaco kamu, Gorari!" bentak Gun-

jada berang.

"Betul, Kakang Gunjada. Mayat-mayat itu 

bangkit dari kuburnya," timpal lelaki bertubuh se-

dang yang mengenakan pakaian biru dekil.


"Mayat-mayat itu membantai penduduk yang ting-

gal di sekitar tanah pekuburan."

"Setan! Musibah apa lagi yang akan men-

gancam desa kita!" gumam Gunjada mirip benta-

kan keras. Hatinya marah bercampur keheranan 

mendengar laporan itu.

Tangan kanan Kepala Desa Kober Utara itu 

tampak terdiam. Sesaat kemudian kakinya berge-

gas melangkah, masuk ke dalam rumah.

"Nyai Rira harus segera diberitahu," batin 

Gunjada.

"Heh...?! Mayat-mayat di kuburan bangkit?!" 

ulang Nyi Rira Pangestu dengan keterkejutan luar 

biasa. "Aneh!"


DUA



"Betul, Nyi. Semula aku juga tak yakin, tapi 

kecemasan mereka yang berada di depan seperti-

nya tak dibuat-buat," sahut Gunjada.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Nyi 

Rira Pangestu bingung. Tatapan matanya kini ter-

tuju pada wajah Jaka dan Mayang bergantian.

Mendengar pertanyaan Nyi Rira Pangestu 

yang mengandung kecemasan, Jaka dan Mayang 

seketika terlibat saling tatap. Sepertinya sepasang 

tokoh muda yang memiliki kesaktian tinggi itu 

tengah merencanakan suatu kepastian untuk me-

nimpali pertanyaan istri Ki Bernala.

"Kalau begitu biar kami yang melihat keja-

dian di sana, Nyi!" ujar Jaka menjawab kebingungan Nyi Rira Pangestu.

"Terima kasih, Jaka! Hati-hatilah kalian! 

Keanehan ini mungkin juga karena perbuatan to-

koh-tokoh hitam yang usil," pesan Nyi Rira Panges-

tu. "Tentu, Nyi. Kami akan selalu berhati-hati," ja-

wab Mayang. "Ayo, Kakang! Kita harus segera 

membantu penduduk dari pembantaian mayat-

mayat hidup itu."

"Aku ikut," selak Gunjada.

Jaka menoleh lalu memegang tangan lelaki 

berwajah tampan dengan kumis tebal itu. "Sebaik-

nya kau temani saja Nyi Rira, mengurus dan men-

jaga Ki Bernala! Percayakan saja kejadian ini pada 

kami! Aku dan Mayang akan berusaha mengurus-

nya sebaik mungkin," tahan Jaka hati-hati. Biar 

bagaimanapun dirinya tak ingin perasaan tangan 

kanan kepala desa itu tersinggung.

Gunjada kiranya memahami ucapan Jaka. 

Kalau semua orang hendak menghadapi mayat-

mayat hidup, itu lalu siapa yang akan menjaga Ki 

Bernala? Meskipun sebenarnya ingin sekali dia 

dapat ikut melihat kejadian aneh itu.

"Maaf, Kakang Gunjada. Bukannya aku tak 

membutuhkan tenagamu. Kurasa Ki Bernala lebih 

membutuhkan. Jagalah dia, dan jika keadaan 

menjadi semakin tak memungkinkan untuk me-

nyelamatkan diri dari amukan mayat-mayat yang 

mungkin mencapai sini, pindahkan segera Ki Ber-

nala dari tempat ini!"

"Menjaga Ki Bernala memang yang harus 

kulakukan, pergilah kalian!" ucap Gunjada.

Jaka dan Mayang melesat cepat melewati


pintu yang terbuka. Kedua pendekar muda yang 

berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas itu ber-

gerak begitu ringan, laksana terbang. Hal tak 

mengherankan karena keduanya tokoh yang be-

rilmu tinggi.

Sementara itu di tempat kejadian mayat-

mayat yang bangkit dari kubur tengah berhadapan 

dengan sekelompok penduduk. Antara para pen-

duduk yang cukup berani dan mayat-mayat hidup 

tengah berlangsung sebuah perang tanding sangat 

seru dan aneh.

Penduduk Desa Kober Utara yang meme-

gang bermacam-macam senjata sekuat tenaga be-

rusaha mengusir mayat-mayat hidup yang hendak 

mengganggu keluarganya. Dengan cangkul, pa-

rang, dan golok-golok para penduduk memberikan 

perlawanan semampu mereka.

Seorang lelaki penduduk Desa Kober Utara 

yang tengah menghadapi serangan dari mayat hi-

dup tersentak kaget. Matanya terbelalak heran 

mendapati kenyataan yang ada. Dengan sekuat te-

naga dibabatkan parang di tangannya ke leher 

mayat hidup yang hendak mencengkeramnya.

"Hih!"

Bletak!

"Heh?!"

Mayat hidup yang tak terbungkus kulit itu 

sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Tak ada 

tulang-belulangnya yang patah terbabat parang le-

laki berpakaian hitam itu.

Crak!

Knrkrk...!


"Aaa...!"

Pekik melengking membumbung ke langit 

terdengar, ketika jari-jari tangan mayat hidup itu 

menjamah leher lelaki berpakaian hitam. Mata le-

laki itu kontan mendelik, merasakan jemari tajam 

mayat hidup menembus kulit lehernya. Darah 

mengalir deras dari tenggorokan lelaki itu. 

Brets!

Kepala lelaki itu terlepas. Jemari tangan 

mayat itu membetot keras lehernya. Tanpa bersua-

ra apa pun mayat bertubuh kecoklatan tanpa kulit 

pembungkus itu melemparkan kepala yang telah 

direnggutnya. Kepala berlumuran darah itu meng-

gelinding sampai di dekat kaki Jaka yang baru saja 

tiba.

"Bedebah..!!" geram Jaka dengan mata ter-

belalak.

"Mundur kalian!" bentakan kuat Raja Petir 

yang mengandung tenaga dalam tinggi membuat 

para penduduk Desa Kober Utara yang tengah ber-

tarung mempertahankan diri terlonjak mundur. 

Ternyata begitu juga keadaan mayat-mayat yang 

bangkit dari kubur. Makhluk-makhluk aneh yang 

menyeramkan itu tergetar, lalu menghentikan se-

rangan mereka terhadap para penduduk.

Raja Petir pun sempat merasa heran me-

nyaksikan sikap mayat-mayat itu. Mengapa mak-

hluk-makhluk aneh itu, berhenti?

Untuk sesaat pertarungan terhenti, karena 

para penduduk Desa Kober Utara bergerak mun-

dur mendekati Raja Petir dan Mayang yang berdiri 

tegak dengan sorot mata tajam. Sementara itu


tampak mayat-mayat hidup itu selangkah pun tak 

berani bergerak maju dari tempat mereka.

Beberapa saat suasana hening mencekam 

berlangsung. Namun sesaat kemudian keanehan 

kembali disaksikan Raja Petir dan Mayang serta 

para penduduk yang terdiam tegang. Mayat-mayat 

hidup itu bergerak mundur. Dengan membalikkan 

tubuh mereka berlalu meninggalkan Jaka dan 

Mayang yang telah siap menghadapi makhluk-

makhluk aneh itu.

Gerakan mayat-mayat hidup yang begitu se-

rempak membuat suatu gagasan melintas di benak 

Jaka. Kelakuan makhluk-makhluk itu seperti ada 

yang mengatur. Namun, siapa orangnya? Yang je-

las dia seorang yang memiliki kepandaian yang 

cukup tinggi.

"Kita harus menyelidiki keanehan ini, 

Mayang," bisik Jaka setelah mayat-mayat hidup 

itu bergerak semakin jauh.

"Tentu, Kakang. Kita harus tahu siapa da-

lang di balik kejadian aneh ini," sahut Mayang ber-

semangat. "Dan kita harus menghentikan perbua-

tan terkutuk ini!"

"Itu memang harus kita lakukan, Mayang. 

Ini kejadian yang tak dapat dibiarkan...," balas Ja-

ka dengan tatapan mata tak lepas pada beberapa 

mayat penduduk Desa Kober Utara yang tergeletak 

setelah tak mampu menghadapi lawan-lawan aneh 

itu.

"Kalau begitu mari kita urus mayat-mayat 

itu sekarang, Kakang! Biar bagaimanapun jasad 

mereka butuh penghormatan yang layak," ujar


Mayang.

"Kisanak sekalian! Tolong bantu kami men-

gurus mayat-mayat mereka," teriak Jaka keras.

Belasan lelaki yang semenjak kepergian 

mayat-mayat hidup itu hanya terpaku, tersentak 

mendengar teriakan keras pemuda tampan berba-

ju kuning keemasan itu. Para penduduk merasa 

heran dan hampir tak percaya terhadap kejadian 

barusan. Mereka merasa bagaikan baru saja ter-

sadar dari mimpi buruk yang mencekam. Belasan 

lelaki itu kini berhamburan mendekati sosok-sosok 

mayat rekan mereka. Bersama-sama Jaka dan 

Mayang, para penduduk mengurus mayat-mayat 

untuk dimakamkan. 

"Siapa sebenarnya kalian, sepertinya orang 

asing di Desa Kober Utara ini?" tanya seorang lela-

ki berusia lima puluh tahunan. Wajahnya berke-

rut-kerut, membuat dirinya tampak lebih tua dari 

usia sebenarnya.

"Kami memang pendatang di Desa Kober

Utara ini, Ki," jawab Jaka. "Ah, ya. Namaku Jaka 

Sembada dan ini temanku, Mayang Sutera."

"Kalau boleh ku tahu. Di desa ini kau ting-

gal bersama siapa?" tanya lelaki tua itu lagi me-

nyelidik.

"Entahlah! Mungkin di rumah Ki Bernala," 

jawab Jaka.

"Kau kenal Ki Bernala?" tanya lelaki tua itu 

sedikit terkejut. 

"Ya."

"Kau kerabat, Ki Lurah?" tanya lelaki tua itu 

lagi.


Jaka membiarkan pertanyaan lelaki tua itu.

"Sebaiknya kami ke tempat beliau dulu, Ki. 

Ki Bernala sedang sakit, kami mencemaskan kea-

daannya," ujar Jaka mengelak dari pertanyaan le-

laki tua penduduk desa itu.

Lelaki tua itu tak lagi melontarkan perta-

nyaan. Ketika Jaka dan Mayang sama-sama men-

ganggukkan kepala dan berlalu dari hadapannya, 

lelaki tua itu tertegun mengiringi kepergian kedua 

muda-mudi itu. Di hatinya tersemat kekaguman 

terhadap mereka berdua.

***

Ki Bernala tengah duduk di pembaringan-

nya, ketika Jaka dan Mayang muncul kembali ke 

kamarnya yang berbau harum dan terawat rapi. Di 

samping Ki Bernala duduk istrinya yang kini ber-

wajah agak cerah. Mungkin kekhawatirannya ter-

hadap keselamatan Ki Bernala telah sirna.

"Kalian yang bernama Jaka dan Mayang?" 

tanya Ki Bernala, ketika melihat kemunculan Jaka 

yang diantar oleh Gunjada. 

"Benar, Ki. Ah, bagaimana keadaanmu?" 

tanya Jaka.

"Baik. Dan terima kasih atas pertolongan-

mu," jawab Ki Bernala. "Benjolan-benjolan aneh 

itu kini benar-benar telah lenyap dari tubuhku," 

lanjutnya sambil menyingkap pakaian yang dike-

nakan. 

"Syukurlah, Ki!" ucap Jaka. "Bagaimana 

dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur itu,


Jaka? Ah! Apa kau berhasil mengusir mereka?" 

tanya Ki Bernala. Kali ini tatapan mata Ki Bernala 

merayapi sekujur tubuh pemuda berambut gon-

drong dan berpakaian kuning keemasan yang ber-

diri di hadapannya.

"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap 

mayat-mayat hidup itu. Ketika kami datang ke 

tempat kejadian, mayat-mayat hidup itu serempak 

menghentikan keganasan mereka. Semua berlalu 

begitu saja, seperti ada yang mengendalikan," ja-

wab Jaka.

"Aneh! Seaneh penyakit yang ku alami. Pasti 

ada sesuatu di balik kejadian aneh ini. Dan sesua-

tu itu pasti sebuah rencana yang sudah diatur dan 

didalangi orang yang tak sembarangan...," ucap Ki 

Bernala pelan. Nada keresahan terdengar jelas dari 

ucapannya.

Sementara Nyi Rira Pangestu istri Ki Berna-

la nampak menundukkan kepalanya.

"Kami semua sangat membutuhkan perto-

longanmu. Raja Petir," ujar Kepala Desa Kober 

Utara itu dengan suara perlahan. Tatapan ma-

tanya menghujam dalam di wajah tampan Jaka 

yang disebut julukannya.

Jaka tampak tak merasa terkejut menden-

gar Ki Bernala menyebut julukannya. Meski di-

rinya tak tahu persis, apakah Ki Bernala memang 

benar-benar mengenalnya sebagai sosok Raja Petir 

atau cuma kenal dari ciri-ciri yang telah dikenal 

baik oleh para tokoh persilatan maupun penduduk 

biasa.

Justru keterkejutan nampak pada wajah


Nyi Rira Pangestu. Wajah perempuan yang masih 

memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mu-

danya itu bersemu merah. Istri Ki Bernala itu tam-

pak malu-malu ketika bertatapan dengan Jaka 

dan Mayang. Sesungguhnya Nyi Rira Pangestu tak 

menyangka kalau lelaki berwajah tampan yang te-

lah menyelamatkan suaminya, ternyata seorang 

yang cukup dikenal dan disegani tokoh-tokoh sakti 

rimba persilatan.

"Tak perlu diminta pun dengan senang hati 

kami akan membantu kesulitan penduduk Desa 

Kober Utara ini, Ki Bernala," ucap Jaka menjawab 

permintaan kepala desa itu. "Bukan begitu, 

Mayang?" lanjut Jaka melempar pertanyaan pada 

gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di 

sampingnya.

"Benar Ki," timpal Mayang, "Ini kewajiban 

kami," lanjut gadis cantik yang berjuluk Dewi 

Payung Emas itu.

"Ah, terima kasih kalau begitu!" ujar Ki Ber-

nala dengan wajah memancarkan kegembiraan. 

"Aku yakin kalian berdua adalah sepasang pende-

kar muda yang memiliki kesaktian tinggi dan akan 

mampu mengusir makhluk-makhluk aneh itu."

"Kita sama-sama berjuang untuk itu, Ki. 

Tanpa bantuan Ki Bernala dan penduduk desa ini, 

kami bukanlah apa-apa," kilah Jaka merendah.

"Tentu saja hal itu akan kulakukan, Jaka. 

Nyawaku tak segan-segan kupertaruhkan demi ke-

tenteraman desa yang telah ku pimpin selama pu-

luhan tahun," terdengar ucapan mantap dari mu-

lut Ki Bernala.


"Benar, Nak Jaka," timpal Nyi Rira Panges-

tu, "Apa pun akan kami korbankan demi menjaga 

ketenteraman desa ini. Ah! Sungguh aku tak habis 

pikir, siapa tokoh yang berdiri di balik keanehan 

ini. Puluhan tahun kami hidup di desa ini, baru 

kini kami mengalami kejadian aneh begini," kere-

sahan kembali muncul dari ucapan istri Ki Berna-

la.

"Kami berusaha akan menyelidiki siapa to-

koh itu, Nyi," ucap Mayang mencoba membesarkan 

hati Nyi Rira Pangestu.

Perempuan berusia tak lebih dari empat pu-

luh tahun itu tak lagi berucap. Sementara, di luar 

rumah Ki Bernala, langit nampak tertutup awan 

hitam. Angin malam bertiup kencang menanggal-

kan dedaunan yang tak kuat berpegang pada 

tangkai. Tampaknya sebentar lagi hujan akan tu-

run. Dari kejauhan terdengar guntur mengisya-

ratkan bakal datangnya hujan.


TIGA



Hujan lebat mengguyur bumi Desa Kober 

Utara. Malam yang gelap kian mencekam. Suara 

guntur menggelegar sesekali terdengar dan mene-

rangi desa itu.

Pada saat guntur menggelegar, tampak se-

sosok bayangan melesat di antara pepohonan yang 

tumbuh di sebelah barat Desa Kober Utara. Gera-

kan sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam 

itu tampak begitu ringan dan lincah. Tanah yang


becek dan licin pun bukan penghalang baginya 

untuk bergerak dengan cepat.

"Hhh...!" sosok tubuh yang tengah bergerak 

itu menghela napas berat. "Hujan seperti ini agak-

nya menandakan sebuah kegagalan," lanjut sosok 

berpakaian hitam itu membatin. Namun sedikit 

pun tidak mengurangi kecepatan larinya. Tubuh-

nya terus melesat ke timur, menembus gelap ma-

lam dan lebatnya hujan.

Ketika perbatasan Desa Kober Utara telah 

tampak, sosok tubuh hitam itu mulai mengendur-

kan larinya. Hujan pun mulai mereda. Seiring den-

gan langkah kaki sosok berpakaian hitam yang, 

meninggalkan perbatasan Desa Kober Utara hujan 

telah reda. Sosok yang berlari tergesa itu kini mu-

lai melangkah perlahan menghampiri sebuah ban-

gunan tua yang tak jauh dari mulut Desa Paga-

rayung.

"Celaka, Ki Bandot!" ujar sosok berpakaian 

hitam ketika menguak pintu rumah tua itu. Seo-

rang lelaki tua berpakaian biru terang nampak 

tengah duduk bersila di balai-balai bambu.

"Aku sudah merasakan getaran kegagalan 

upaya kita dari sini, Manggale," sahut lelaki beru-

sia sekitar enam puluh tahun dengan sorot mata 

yang tak lepas memandangi lututnya. "Tapi kita 

akan tetap berusaha sampai Desa Kober Utara da-

pat terkuasai. Banyak cara untuk kita berhasil me-

lakukannya, Manggale. Kau tak perlu cemas! Ba-

pakmu pasti akan menjadi pemimpin dua desa 

yang bersatu. Dan kekayaan bapakmu tak akan 

habis dimakan seratus keturunan sekalipun," lan


jut lelaki berpakaian biru terang yang bernama Ki 

Bandot.

"Kita memang harus berhasil, Ki," tegas so-

sok berpakaian hitam yang tadi dipanggil Mang-

gale. Lelaki muda berusia dua puluh delapan ta-

hun itu memiliki wajah yang tampan. Namun 

sayang, di bagian dahinya terdapat bekas luka 

memanjang sepanjang alis, dari kiri dan kanan. 

Bekas luka itu berwarna hitam hingga sedikit 

mengganggu ketampanan.

"Percayakan semua ini padaku, Manggale! 

Di kepalaku tersimpan banyak cara untuk menja-

tuhkan si sontoloyo Bernala itu. Kita akan mengu-

asai Desa Kober Utara!" tandas Ki Bandot dengan 

angkuh.

Manggale hanya tersenyum mendengar 

keyakinan yang keluar dari ucapan lelaki tua ber-

cambang bauk dan jenggot putih itu. Mata lelaki 

berlanjut itu menyorot tajam, walau bola matanya 

agak menjorok ke dalam.

Namun, keyakinan Manggale tiba-tiba kem-

bali terusik mengingat rencananya yang digagal-

kan pasangan tokoh muda. Diingatnya pula ba-

gaimana mayat-mayat hidup itu bergerak mundur 

setelah melihat kemunculan dua pendekar muda. 

Perbawa sepasang tokoh muda itu dirasakan terla-

lu tinggi.

"Tapi, Ki Bandot...," ucap Manggale terpeng-

gal karena tatapan tajam Ki Bandot. Manggale me-

rasa tak enak hati untuk menyatakan keraguan-

nya.

"Tapi, apa, Manggale?" tanya Ki Bandot se


raya menatap wajah Manggale.

Manggale tak segera menjawab pertanyaan 

lelaki berpakaian biru terang yang di kiri-kanan 

pinggangnya terselip sebilah parang yang berwarna 

merah darah.

"Katakan apa yang kau maksudkan baru-

san, Manggale!" desak Ki Bandot seraya menatap 

anak Kepala Desa Pagarayung yang membiarkan 

pertanyaannya. "Apa kau belum yakin dengan ke-

pandaian Ki Bandot?" tandas lelaki tua bercam-

bang bauk putih seraya menepuk dada tuanya cu-

kup keras.

"Ah, bu... bukan begitu yang ku maksud, 

Ki," kilah Manggale kelabakan. Wajah lelaki tam-

pan itu berubah kemerahan. Hatinya merasa tak 

enak mendengar ucapan Ki Bandot

"Lalu apa, Manggale?" tanya Ki Bandot lem-

but. Seakan-akan tahu perasaan tak enak yang 

melanda hati putra Kepala Desa Pagarayung itu. 

Diam-diam hatinya kagum melihat Manggale yang 

begitu setia membantu ayahnya dalam menun-

dukkan Ki Bernala dan menguasai Desa Kober 

Utara.

Pikiran Manggale kembali menerawang 

membayangkan penampilan sepasang muda-mudi 

yang mampu mengusir para mayat hidup. Penam-

pilan kedua pendekar muda itu begitu memiliki 

perbawa yang begitu kuat. Sehingga mayat-mayat 

yang bangkit dari kubur itu seakan ketakutan 

menghadapi mereka berdua, lalu kembali ke tem-

pat asalnya masing-masing. Atau mungkin kedua 

lelaki perempuan muda itu memiliki kesaktian



tinggi, hingga ilmu sihir yang dikerahkan Ki Ban-

dot luntur.

"Sepasang anak muda itu, Ki Bandot. Di-

alah yang menjadi pikiranku sekarang," jawab 

Manggale setelah beberapa saat terdiam.

"Hmmm...! Dari sini aku pun dapat merasa-

kan getaran kekuatan orang yang kau maksudkan, 

Manggale. Namun sayang, aku tak bisa mereka-

reka siapa gerangan mereka," tutur Ki Bandot den-

gan mata yang sedikit dipejamkan.

Manggale tak berusaha memotong ucapan 

Bandot. Lelaki muda yang ketampanannya ter-

ganggu oleh codet di atas alis itu hanya memper-

hatikan cara lelaki tua itu berbicara.

"Coba kau sebutkan ciri-ciri mereka, Mang-

gale!" pinta Ki Bandot seraya menatap wajah 

Manggale.

Manggale mengerutkan dahi seakan-akan 

tengah berusaha mempertajam ingatannya terha-

dap keberadaan dua muda-mudi yang tak lain si 

Raja Petir dan Dewi Payung Emas.

"Aku ingat Ki. Yang pertama, seorang lelaki 

berusia muda, berwajah tampan. Tubuhnya kekar 

dan berisi. Dia mengenakan pakaian kuning kee-

masan dan di pinggangnya melilit sebuah sabuk 

hijau. Ah, sabuk itu sepertinya bukan sembaran-

gan sabuk, Ki. Apalagi dengan sebuah pedang ber-

gagang indah yang menggelantung di punggung-

nya menjadikan perbawanya begitu mengerikan," 

papar Manggale dengan tatapan mata mengarah 

ke luar rumah kediaman Ki Bandot.

Sementara itu Ki Bandot hanya menimpali


keterangan Manggale dengan kepala mengangguk-

angguk.

"Sedangkan yang wanita, Ki" lanjut Mang-

gale, "Dia juga masih begitu muda dan cantik. Pa-

kaiannya yang berwarna jingga sangat mencolok 

mata, pas dengan kecantikannya. Wanita itu me-

megang sebuah payung kecil, sepertinya terbuat 

dari logam keras dan berwarna kuning keema-

san...." 

"Hmmm...!"

Ki Bandot bergumam tak jelas. "Pantas!" 

ujarnya kemudian.

"Ki Bandot mengenal mereka?" tanya Mang-

gale dengan raut wajah yang terkesan kaget.

"Semua tokoh berilmu tinggi pasti menge-

nalnya, Manggale," jawab Ki Bandot seraya men-

gangguk-anggukkan kepala.

"Ah, siapa mereka, Ki?" desak Manggale in-

gin segera tahu.

Ki Bandot tersenyum melihat ketaksabaran 

Manggale.

"Kalau memang dia berdiri di pihak Ki Ber-

nala, berarti dialah perintang utama cita-cita 

ayahmu, Manggale. Kita harus menyingkirkan me-

reka agar usaha-usaha selanjutnya dapat kita 

lampaui dengan mudah. Semudah membalikkan 

telapak tangan. Percayalah Manggale! Aku dapat 

menyingkirkan sepasang pendekar muda yang 

mau ikut campur urusan orang lain itu. Pendekar 

usil...!" kalimat terakhir yang diucapkan Ki Bandot 

cukup jelas dan kuat.

"Siapa mereka, Ki?" desah Manggale, karena


Ki Bandot belum juga menjawab pertanyaannya.

"Raja Petir dan Dewi Payung Emas," jawab 

Ki Bandot.

"Raja Petir?" ulang Manggale terkejut.

"Kau pernah mendengar julukan itu, Mang-

gale?" tanya Ki Bandot memecah lamunan putra

tunggal Ki Gambaga yang berhasrat menguasai 

Desa Kober Utara dan menggabungkan dengan 

Desa Pagarayung di bawah kepemimpinannya.

Manggale menatap wajah Ki Bandot sebe-

lum menjawab pertanyaan itu. "Aku pernah men-

dengar julukan itu disebut-sebut orang, waktu 

singgah di sebuah kedai. Menurut mereka kedua 

tokoh itu memiliki kesaktian tinggi. Apa memang 

begitu, Ki?" tanyanya. 

"Menurut kabar yang kudapat memang be-

gitu, Manggale. Namun aku tetap menyangsikan 

kehebatannya. Apakah sepasang pendekar muda 

itu mampu menghadapi Ki Bandot yang berjuluk 

Setan Bukit Cemara?" ungkap Ki Bandot, me-

nyombongkan dirinya sebagai Setan Bukit Cemara.

"Mudah-mudahan tidak, Ki!" sahut Mang-

gale menimpali ucapan Ki Bandot.

"Tidak pakai mudah-mudahan, Manggale!" 

ucap Setan Bukit Cemara keras. "Aku pasti dapat 

mengalahkannya!''

Manggale tertunduk melihat kemarahan le-

laki berusia enam puluh tahun lebih itu.

"Kau harus percaya itu, Manggale!" kembali 

ucapan Setan Bukit Cemara terdengar lunak, dan 

itu cukup membuat Manggale kembali berani 

mengangkat kepala untuk menatapnya.


"Seluruh kemampuanku, seluruh ilmu ke-

saktianku akan ku keluarkan untuk menghadapi 

Raja Petir dan pasangannya yang berjuluk Dewi 

Payung Emas," lanjut Setan Bukit Cemara dengan 

gerakan tangan yang hendak meraih tubuh Mang-

gale.

"Ah, maaf Ki. Kalau seandainya Ki Bandot 

memang membutuhkan bantuan untuk meringan-

kan tugas Ki Bandot, aku akan membicarakannya 

pada ayah untuk mengizinkan kita mencari tokoh-

tokoh sakti guna menghadapi Jaka," usul Mang-

gale dengan hati-hati, karena takut lelaki tua itu 

tersinggung.

Wajah Setan Bukit Cemara merah padam 

ketika mendengar ucapan putra tunggal Ki Gam-

baga itu. Namun lelaki tua itu segera memaklumi 

usul Manggale yang tengah dilanda kecemasan 

akan kegagalan cita-cita sang Ayah dalam merebut 

Desa Kober Utara.

"Kita tak perlu bantuan tokoh-tokoh lain, 

Manggale. Cukup Ki Bandot saja yang menghadapi 

Raja Petir. Buang kecemasanmu jauh-jauh! Per-

cayakan semuanya padaku! Setan Bukit Cemara 

akan mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan 

cita-cita ayahmu," kilah Ki Bandot menenangkan 

gejolak hati putra Kepala Desa Pagarayung.

"Ah, maafkan aku, Ki! Bukan maksudku 

meremehkan kesaktianmu. Ucapanku tadi keluar 

dari rasa cemas yang tak mampu kubendung. Se-

karang kecemasanku sedikit sirna, karena Setan 

Bukit Cemara telah berjanji dengan keyakinan 

akan membela ayah. Aku percaya sepenuhnya pa


damu, Ki. Dan kita pasti akan mampu mengusir si 

Raja Petir, kita kuasai Desa Kober Utara," ujar 

Manggale dengan raut wajah cerah.

"Tapi kau harus ingatkan ayahmu, Mang-

gale. Daerah selatan Desa Kober Utara, khususnya 

darah Bukit Gandung itu adalah jatah untukku," 

ungkap Setan Bukit Cemara.

"Tentu saja, Ki. Lebih dari itu pun aku akan 

memintakannya pada ayah untukmu, asalkan...," 

Manggale seperti sengaja menahan ucapannya.

"Asalkan apa, Manggale?" dengan tatapan 

keheranan Setan Bukit Cemara bertanya pada le-

laki muda bercodet itu.

"Kalau kita berhasil menyingkirkan Raja Pe-

tir kuharap kau sudi memaafkan teman wani-

tanya," ucap Manggale takut-takut. 

"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa 

terkekeh, mendengar ucapan Manggale. Meski 

ucapan itu baru separo keluar dari mulut Mang-

gale, Ki Bandot sudah mengetahui kelanjutan dan 

arti dari ucapan putra tunggal Ki Gambaga.

Sementara Manggale sendiri menundukkan 

kepalanya setelah melihat tanggapan Ki Bandot.

"Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada 

jidat licin, Manggale. Akan kau jadikan apa si Dewi 

Payung Emas itu? Istri atau hanya sekadar...?"

"Ki Bandot, lihat saja nanti!" selak Manggale 

cepat.

"Selera mu memang tinggi, Manggale," tukas 

Ki Bandot lagi.

"Kurasa kau pun begitu, Ki," balas Manggale 

seraya tersenyum.


Ucapan Manggale barusan memang terke-

san sedikit kurang ajar. Namun bagi Setan Bukit 

Cemara hal itu suatu yang wajar. Meskipun kedu-

dukannya sebagai seorang guru lebih tinggi, di-

rinya juga ingin muridnya bisa berkelakar agar 

keakraban semakin terasa. Dan Manggale telah 

memperlihatkan kelakarnya tadi dengan ungkapan 

hatinya sebagai lelaki yang juga gandrung akan 

kecantikan wanita.

Malam makin larut. Setan Bukit Cemara 

yang tengah berbicara dengan Manggale sesekali 

melirikkan matanya melalui jendela kayu yang ter-

buka lebar.

"Malam sudah larut, Manggale. Sebaiknya 

sekarang juga kita menemui ayahmu," ucap Setan 

Bukit Cemara.

"Ya. Sekalian kita kabari ayah tentang Raja 

Petir yang turut campur tangan dalam urusan ki-

ta!"

"Ayahmu memang harus tahu, Manggale. 

Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini! Tengah 

malam nanti kita kembali ke sini," ujar Setan Bu-

kit Cemara seraya bangkit dari duduk bersilanya.

"Tengah malam?" tandas Manggale.

"Ya, tengah malam. Aku punya rencana 

khusus untuk membuat seluruh penduduk Desa 

Kober Utara gempar," jelas Setan Bukit Cemara.

Manggale tersenyum mendengar penjelasan 

Ki Bandot.

"Kau memang hebat, Ki! Dan juga licik," puji 

Manggale.

"Kelicikan itulah yang kita butuhkan untuk


dapat menyingkirkan si tua bangka Bernala," sa-

hut Ki Bandot seraya tersenyum.

Selesai dengan ucapannya, Setan Bukit 

Cemara beranjak menghampiri pintu yang terbuat 

dari bambu berwarna coklat kehitaman.

Krrrttt...!

Bunyi berkerekotan terdengar seiring ter-

kuaknya pintu rumah. Langkah kaki Setan Bukit 

Cemara pun terlihat di ambang pintu, diikuti 

Mangggale yang kini berwajah cerah. Mata lelaki 

muda bercodet di dahi itu membayang kecantikan 

Mayang.

"Tutup pintu rapat-rapat Manggale. Jangan 

biarkan binatang-binatang hutan memasuki ruan-

gan dan mengotori tempat memperagakan ilmu-

ilmu sihirku," ucap Setan Bukit Cemara.

Manggale tak menjawab ucapan Ki Bandot, 

karena dirinya memang tengah melakukan apa 

yang diucapkan Setan Bukit Cemara.

Malam gelap meniupkan hawa dingin sete-

lah hujan. Langit tak lagi mendung. Setan Bukit 

Cemara dan Manggale melangkah cepat melewati 

jalanan basah. Mereka menuju rumah Ki Gamba-

ga, Kepala Desa Pagarayung.


EMPAT



Malam merangkak perlahan. Desir angin 

yang meniupkan hawa dingin ditingkahi gesekan 

ranting-ranting pohon dan suara binatang-

binatang yang bersahutan.


Suasana gelap menyelimuti hutan di sebe-

lah timur Desa Pagarayung yang membatasi desa 

tersebut dengan Desa Kober Utara. Di tengah kege-

lapan itu tampak dua sosok tubuh tengah melang-

kah cepat menuju sebuah bangunan tua yang ter-

buat dari bambu.

"Tengah malam ini penduduk Desa Kober 

Utara dan si tua bangka Bernala akan terganggu. 

Dan sudah pasti si Raja Petir," ucap sosok lelaki 

tua berpakaian biru terang yang tak lain Ki Ban-

dot, atau Setan Bukit Cemara.

Lelaki muda berpakaian hitam yang di da-

hinya terdapat codet hitam hanya diam. Kakinya 

terus mengikuti langkah Ki Bandot, menuju ru-

mahnya.

"Kau tahu apa yang akan aku perbuat, 

Manggale?" sambung Setan Bukit Cemara dengan 

tatapan yang tepat di wajah Manggale.

"Kau akan kembali membangunkan mayat-

mayat pekuburan Desa Kober Utara?" jawab 

Manggale dengan ucapan yang layak sebuah per-

tanyaan.

Ki Bandot tersenyum sembari menggeleng-

kan kepala, "Malam ini aku tak akan mengguna-

kan mayat-mayat di pekuburan Kober Utara, 

Manggale," sahutnya pelan.

"Lalu dengan apa lagi, Ki?" tanya Manggale 

ingin tahu.

"Kau lihat saja nanti, Manggale! Kau akan 

saksikan bagaimana penduduk Desa Kober Utara 

akan mengalami kegemparan atas pekerjaan yang 

akan kita laksanakan sekarang. Ha ha ha...!" jelas


Setan Bukit Cemara dengan kegembiraan yang 

meluap-luap.

"Ha ha ha...!"

Manggale pun ikut terbahak mengiringi ta-

wa Setan Bukit Cemara yang lebih dulu terbang 

terbawa hembusan angin malam.

"Ayo, kita laksanakan sekarang juga, Mang-

gale!" ajak Ki Bandot dengan langkah kaki yang 

tergerak lebih dulu memasuki bangunan bambu 

tempat mempraktekkan ilmu-ilmu sihirnya.

Manggale segera saja mengikuti langkah 

kaki Setan Bukit Cemara yang dalam hal ini seba-

gai gurunya. Dan lelaki tua itu duduk bersila di 

balai-balai bambu, Manggale dengan sikap hormat 

mengikutinya. Manggale tahu, setiap kali Ki Ban-

dot akan memulai usahanya, siapa saja dilarang 

mengucapkan sepatah kata pun. Maka Manggale 

tenang tanpa sedikit pun menggerakkan tubuh 

apalagi harus menoleh ke sana kemari.

Seperti halnya yang dilakukan Setan Bukit 

Cemara, Manggale duduk bersila dengan kepala 

yang menekur ke balai-balai bambu. Mulutnya 

terkunci rapat tanpa suara. Sesaat kemudian ma-

tanya terpejam. Di samping kirinya, Ki Bandot 

dengan telapak tangan dirapatkan dan diletakkan 

di depan dada nampak tengah berkomat-kamit 

mengucapkan suatu mantera.

Pada mulanya tak terdengar sedikit pun da-

ri mulut Setan Bukit Cemara, hanya gerak-gerak 

bibirnya yang tampak. Namun semakin lama ter-

dengar, bahkan kemudian lebih jelas dan keras.


"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular peng-

huni Hutan Jalakdalu, bangunlah dari tidurmu, 

berpesta-poralah di Desa Kober Utara! Lumat dag-

ing-daging empuk penduduk Desa Kober Utara, 

nikmati tulang-tulang mereka, reguk darah mere-

ka...!"

"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular peng-

huni Hutan Jalakdalu. Berpesta-poralah sekarang 

juga! Berpesta-poralah sekarang...! Sekarang ju-

ga...! Sekarang...! Sekaraaang...!"

Suara rapal mantera yang diucapkan Setan 

Bukit Cemara mengumandang ke angkasa dan te-

rus terbang dibawa angin malam nan dingin. 

Manggale yang duduk bersila di samping 

Setan Bukit Cemara tampak bergemetaran men-

dengar ucapan mantera yang bergema dari mulut 

lelaki tua itu. Seketika tubuhnya merinding sedang 

mulutnya kelu bagaikan terkunci.

Sementara itu Setan Bukit Cemara perla-

han-lahan mulai membuka matanya yang terpe-

jam.

***

Malam di Desa Kober Utara terasa begitu 

mencekam. Angin dingin yang berhembus seakan-

akan mengisyaratkan bakal terjadi sesuatu petaka 

yang mengerikan. Sementara itu, bulan sepotong 

menyelusup di balik awan-awan kelabu yang bera-

rak di langit.

Empat lelaki peronda yang tengah melintas 

di sekitar mulut Hutan Jalakdalu terlihat melang


kah perlahan. Mereka berjalan saling merapat. 

Tampaknya keempat penduduk Desa Kober Utara 

itu tengah dilanda suatu perasaan mencekam yang 

datang secara tiba-tiba.

"Hhh...! Rasanya malam ini ada yang aneh, 

Di. Perasaanku tak enak," ujar seseorang peronda 

yang bertubuh pendek. Sikutnya digerakkan me-

nyentuh pinggang kawannya.

"Aku juga merasakan begitu, Jang," timpal 

lelaki bernama Patmin. 

"Sama, bulu kudukku saja merinding, 

Jang," timpal lelaki peronda yang lain. "Hhh..., ada 

apa ya?"

"Iya, ya? Tidak biasanya begini," sahut lelaki 

bertubuh gemuk seraya menoleh ke wajah teman-

nya bernama Patmin.

Namun belum lagi pertanyaan lelaki gemuk 

itu terjawab, dari kejauhan tiba-tiba terdengar su-

ara seperti lolongan serigala yang bersahut-

sahutan.

"Auuuaaa...!"

"Auuuaaa...! Auuu...!"

"Kau dengar itu, Di?" tanya Ujang dan Pat-

min.

"Ya, ya. Kudengar, Jang. Seperti lolongan 

serigala sedang marah," tandas Pardi.

"Hiii...!"

Patmin dan Boyong menaikkan sepasang 

pundak. Ada perasaan takut yang tiba-tiba me-

nyemat di hati mereka.

"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" usul 

Ujang yang kelihatannya lebih berani dari ketiga


peronda yang lain.

Tanpa memberi sambutan pada ajakan 

Ujang, ketiga lelaki itu telah berlari cepat mening-

galkan mulut Hutan Jalakdalu. Namun...

"Zzzsttt...! Zzzssst...!"

"Zsssttt...!"

Baru beberapa langkah kaki empat peronda 

tergerak, tiba-tiba mereka berhenti dengan hati di-

liputi perasaan terkejut. Di depan mereka kini 

menghadang beberapa ekor ular besar dan kecil. 

Tubuh-tubuh binatang berbisa itu berdiri, seakan 

hendak mencegat keempat lelaki yang akan mele-

wati tempat itu. Ular-ular itu mendesis-desis 

memperlihatkan kebuasannya.

"Hah...!"

"Heh...!"

"Zsssttt! Zsssttt...!"

Lidah-lidah bercabang itu menjulur-julur. 

Dan itu cukup membuat Patmin berdiri gemetar. 

Sementara celana lelaki penakut itu sudah basah 

oleh air kencingnya.

"Gawat...! Mampus kita," ujar Patmin keta-

kutan.

"Ayo, kita balik arah!" ajak Ujang mencari 

akal.

Pardi, Boyong, dan Patmin segera mengikuti 

apa yang dilakukan Ujang. Mereka segera memba-

likkan tubuh guna menghindari binatang-binatang 

melata yang beracun itu. Namun....

"Akh!"

"Gawat!"

"Hah...!"


Keempat petugas jaga malam itu terkejut 

bukan kepalang. Mata mereka berbelalak hampir 

tak percaya. Ternyata ular-ular yang lebih besar 

telah menghadang di belakang mereka.

"Mampus kita, Min.'" seru Ujang dengan 

mata terbelalak menatap ular-ular itu.

Tanpa diduga, Ujang segera memerintahkan 

teman-temannya untuk mengadakan perlawanan. 

"Jangan sampai kita mati konyol, ayo kita 

lawan sebisanya!" teriak Ujang seraya mengacung-

kan kayu yang digenggamnya.

Menyaksikan Ujang yang sedemikian bera-

ni, hanya Boyong yang mau mengikutinya. Lelaki 

bertubuh besar itu mengangkat kayu bulat di tan-

gan kanannya.

Belasan ular yang berada di depan dan be-

lakang keempat peronda itu seolah-olah mengerti 

kalau calon korbannya akan mengadakan perla-

wanan. Seketika itu juga binatang-binatang bera-

cun itu meluncur cepat menyerang keempat lelaki 

peronda. Dengan ganas ular-ular itu menjulur ce-

pat siap memagut tubuh lawan. 

"Zsssttt....!" 

Pletak!

"Zsssttt...!" 

"Aaakh!"

Tubuh Boyong seketika ambruk ke tanah, 

ketika salah satu ular sebesar lengan berhasil 

memagut pahanya. Pekikan keras menyayat seke-

tika memecah suasana malam. Tubuh Boyong 

menggelepar-gelepar saat racun ganas ular itu 

menjalar ke tubuhnya. Dan keadaan lelaki bertu


buh besar itu semakin menyeramkan, ketika ular 

yang lain pun ikut memagutnya.

"Zsssttt...!"

Craps!

"Aaa...!"

Saat itu juga lolong kematian membumbung 

ke langit. Tubuh Boyong terkapar tak berkutik, se-

luruh permukaan kulitnya membiru.

"Aaa...!" 

"Aaa...!"

Pekik kematian yang lain pun terdengar su-

sul-menyusul. Nampak tubuh Patmin, Pardi, dan 

Ujang sudah tergeletak tak bernyawa. Tubuh keti-

ga lelaki itu membiru karena racun ganas yang te-

lah menjalar di tubuhnya.

***

Malam yang penuh hawa maut terus me-

rambat. Di dalam kamarnya Jaka merasakan se-

suatu yang tak enak menggelayuti hatinya. Sedikit 

pun lelaki muda tampan yang berjuluk Raja Petir 

itu tak kuasa memejamkan mata. Pendekar muda 

itu bangkit dari pembaringan, lalu berjalan mon-

dar-mandir di kamarnya yang tertata rapi. Sesekali 

dirinya duduk di pinggiran tempat tidur, tapi ke-

mudian bangkit lagi, berjalan menghampiri jendela 

besar.

Perasaan yang sama ternyata dialami 

Mayang Gadis cantik kekasih Jaka itu pun mera-

sakan kegelisahan, hingga tak bisa tidur. Tubuh-

nya memang terbaring di kasur empuk yang bera


laskan tilam kuning gading. Namun bola matanya 

bergerak-gerak menatapi langit-langit rumah.

"Huh! Kenapa perasaanku tak tenteram se-

perti ini?" gumam Mayang dalam hati. "Mungkin-

kah akan terjadi sesuatu malam ini?" lanjutnya.

Mayang kemudian bangkit dari pembarin-

gan. Kakinya melangkah perlahan menuju jendela 

besar kamarnya.

"Ah, biar kulihat keadaan di luar," ujar 

Mayang dalam hati. Tangannya kemudian terjulur 

untuk membuka jendela kamar.

Pada saat yang sama, Jaka pun ternyata 

tengah membuka jendela kamarnya. Maka tak pe-

lak lagi, keduanya saling berbenturan tatap ketika 

kepala masing-masing terjulur keluar.

"Hai! Kau pun tak bisa tidur, Mayang?" 

tanya Jaka serta-merta, ketika melihat kepala ke-

kasihnya menyembul sedikit dari bingkai jendela.

Gadis cantik berpakaian warna jingga itu 

tersenyum, "Perasaanku resah malam ini, Kakang. 

Entah firasat macam apa ini," sahut Mayang pelan.

"Mudah-mudahan hanya perasaan kita saja, 

Mayang. Dan mudah-mudahan tak akan terjadi 

sesuatu yang mengerikan malam ini," timpal Jaka.

"Mudah-mudahan begitu," sahut Mayang 

penuh harap, "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan 

keluar? Hitung-hitung meronda. Kalau di dalam 

kamar terus, rasa-rasanya kegelisahanku akan 

semakin bertambah, Kang," usul Mayang.

"Terserah kamu saja, Mayang. Di dalam pun 

kita percuma, tidak bisa tidur!" jawab Jaka, "Aku 

tunggu di depan," lanjutnya sambil merapatkan


jendela kamar.

Mayang pun melakukan hal yang sama. Se-

telah mengunci kembali jendela kamar, gadis itu 

segera beranjak menemui kekasih yang sangat di-

cintainya.

"Hendak ke mana kita?" tanya Jaka, setelah 

keduanya berada di luar rumah kediaman Kepala 

Desa Kober Utara.

"Terserah ke mana kaki kita membawa, Ka-

kang," jawab Mayang sekenanya. Namun kaki ga-

dis cantik berambut panjang itu terlihat melang-

kah ke sebelah kanan muka rumah Ki Bernala.

Sementara Jaka mengikuti saja apa yang di-

lakukan kekasihnya. Keduanya pun berjalan beri-

ringan menuju ke arah timur. Melihat langkah ke-

dua pendekar muda itu, berarti mereka menuju 

Hutan Jalakdalu berada. 

"Aaakh...!"

"Aaa...!" 

Baru setengah pal Jaka dan Mayang berlalu 

dari rumah Ki Bernala, tiba-tiba keduanya tersen-

tak kaget. Jeritan keras menyayat hati terdengar di 

kejauhan.

"Kakang...!" Mayang memanggil kekasihnya 

serta-merta. "Firasat kita benar," ucapnya.

"Auuuaaa...!"

"Auuuaaa...!"

"Kakang dengar lolongan serigala itu?" tanya 

Mayang sambil mengguncang lengan Jaka.

"Sepertinya bakal terjadi bencana besar di 

desa ini," gumam Jaka.

"Ayo, kita cari suara lengking kematian tadi,


Kakang!" ajak Mayang kemudian.

"Hop!"

"Hup!"

Raja Petir dan Dewi Payung Emas seketika 

melesat cepat menuju tempat asal suara jeritan 

yang telah mereka dengar. Gerakan sepasang pen-

dekar muda itu begitu gesit dan cepat. Sehingga 

dengan sekali lesatan saja, jarak puluhan tombak 

telah berhasil dilalui.

"Kakang...!"

Mayang tersentak kaget menyaksikan pe-

mandangan di depan matanya. Pada jarak sekitar 

sepuluh tombak matanya yang tajam melihat tu-

juh ekor serigala buas tengah berhadapan dengan 

penduduk desa yang entah kenapa berada di luar 

rumah.

Beberapa sosok tubuh lelaki tampak terka-

par tak berdaya. Tampak di sekujur tubuh mereka 

terdapat luka-luka besar seperti terkena cakaran 

dan gigitan. Sehingga darah segar mengalir dan 

berceceran di atas tanah berumput basah oleh air 

hujan. Sementara beberapa lelaki lain tampak ten-

gah berusaha mempertahankan diri dari amukan 

binatang buas itu.

"Binatang Setan!" rutuk Jaka kesal, "Ayo, 

Mayang! Kita singkirkan makhluk-makhluk kepa-

rat itu!" ajaknya seraya menghentakkan kaki di ta-

nah tempatnya berpijak.

"Hop! Hiaaa...!"

Sekali bentakan saja tubuh Raja Petir telah 

berada di hadapan serigala-serigala buas yang 

hendak memangsa tubuh penduduk desa. Dan se


ketika itu juga kepalan tangan pendekar muda itu 

melayang menghantam kepala seekor serigala yang 

tengah menerkam tubuh lelaki penduduk desa. 

"Hih!" 

Plakkk!

"Kaingh...! Khhhoaaah!"

Serigala bertubuh besar itu terpental tiga 

tombak terhantam pukulan Jaka. Namun binatang 

buas penghuni Hutan Jalakdalu itu seperti tak pe-

duli dengan rasa sakit yang mendera bagian kepa-

lanya. Serigala itu bangkit untuk menyerang ber-

sama serigala-serigala yang lain.

"Auuuaaa...!" 

"Auuuaaa...!" 

Lolongan kemarahan dari beberapa serigala 

buas itu terdengar bersahut-sahutan. Bergidik ju-

ga tubuh Jaka dan Mayang mendengar suara ke-

ras dan menggetarkan itu. Suara yang mengan-

dung hawa kematian. 

"Menyingkirlah Kisanak sekalian! Biar kami 

yang menghadapi binatang-binatang setan itu," pe-

rintah Jaka dengan suara lantang.

Karena ucapan pemuda tampan berpakaian 

kuning keemasan itu tak main-main dan terdengar 

sangat berwibawa, tanpa harus diucapkan dua kali 

lelaki-lelaki penduduk Desa Kober Utara yang ma-

sih hidup segera menyingkir dari tempat pertarun-

gan. Mereka menyaksikan apa yang akan diper-

buat dua muda-mudi itu.

"Siapa mereka? Ah, kalau tak ada mereka..., 

kita pasti jadi bangkai semua," ujar salah seorang 

lelaki penduduk desa yang masih nampak segar


bugar. Sedikit pun tak tampak ada luka di tubuh-

nya.

"Ya. Sepertinya mereka pendekar," sahut le-

laki yang luka pada pergelangan tangannya. "Mu-

dah-mudahan mereka dapat mengusir binatang-

binatang jahanam itu!" lanjutnya dengan geram.

"Aku seperti pernah melihatnya di rumah Ki 

Lurah...," timpal lelaki tinggi kurus yang pakaian 

di bagian dadanya koyak.

Sementara para penduduk desa yang terbe-

bas dari ancaman maut tengah membicarakan ke-

beradaan Jaka dan Mayang, sepasang pendekar 

itu tengah bersiap-siap menghadapi serigala-

serigala yang hendak menyerang.

Mayang nampak sudah mempersiapkan 

payungnya dalam keadaan tertutup. Sementara 

Jaka dengan tangan kosongnya hendak melancar-

kan jurus maut yang bernama 'Pukulan Pengacau 

Arah'.

Raja Petir sengaja mempersiapkan jurus 

andalannya. Hal itu karena hatinya merasakan ge-

taran lain dari kejadian yang menurutnya tak 

hanya terjadi di satu tempat. Barangkali kejadian 

yang sama, kini juga tengah dialami Ki Bernala 

dan Nyi Rira Pangestu.

Atas pertimbangan ini Jaka bermaksud 

membantai atau mengusir makhluk-makhluk aneh 

itu secepat mungkin. Setelah itu dirinya akan se-

gera kembali ke rumah Kepala Desa Kober Utara, 

Ki Bernala.

"Bersiaplah, Mayang!" seru Jaka ketika dis-

aksikannya serigala-serigala buas itu mulai mem


perlihatkan gerakan hendak menyerang.

"Auuuaaa...!"

Diiringi dengan lolongan panjang, binatang-

binatang buas yang mulutnya meneteskan air liur 

itu berkelebatan menyerang lawan. Pasangan pen-

dekar muda itu tampaknya sudah bersiap menga-

dakan penyerangan.

"Hih!"

Wusss....!

Raja Petir yang ingin secepatnya me-

nyingkkan serigala-serigala aneh itu segera meng-

hentakkan telapak tangan yang terbuka lebar den-

gan kuda-kuda rendah.

Serangkum angin yang mengeluarkan hawa 

panas meluruk cepat ke depan. Angin bergulung-

gulung itu menyongsong serigala-serigala yang 

tengah berlompatan menyerang Raja Petir dan 

Payung Emas. 

Bettt

"Kainghgh....!" 

"Auuug...!"

Suara keras angin dari 'Pukulan Pengacau 

Arah' terdengar ketika menerjang tubuh-tubuh se-

rigala itu. Seketika suara erangan keras dan lolon-

gan panjang menyusul. Beberapa di antara bina-

tang buas itu terpental beberapa tombak ke bela-

kang. 

Bruk! Brukkk!

Dua ekor serigala itu ambruk ke tanah tan-

pa nyawa. Tubuh kedua binatang itu hangus bagai 

terbakar 

Sementara itu, Mayang dengan gerakannya


yang lincah berkelebat menghindari terkaman se-

rigala-serigala yang menyerangnya. Gerakan yang 

dilakukan Dewi Payung Emas begitu manis, hingga 

tampak seperti tarian. Namun di balik kelincahan 

dan keindahan gerak yang dilakukan gadis cantik 

itu, tiba-tiba terlontar sebuah serangan balasan 

yang mematikan. Maka, ketika tangan kanan 

Mayang yang mencekal payung kuning keemasan 

berkelebat, serangan itu tak terhindarkan lagi....

"Hih!"

Brets!

"Kainghgh...!" 

Bruk!

Seekor serigala yang berada paling dekat 

dengan si Dewi Payung Emas menjadi korban per-

tama. Tubuh binatang itu terbanting keras ke ta-

nah. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Darah 

lalu mengalir dari bagian kepala yang tersambar 

payung kecil di tangan gadis itu. Sesaat kemudian 

binatang buas itu telah diam tak berkutik lagi.

"Cepat habisi lawan-lawanmu, Mayang! Kita 

harus segera menemui Ki Bernala!" seru Jaka yang 

telah lebih dahulu membuat tak berkutik serigala-

serigala yang menyerangnya.

"Baik, Kakang!"

Gadis cantik berpakaian jingga itu seketika 

bergerak cepat. Kali ini dia tak menunggu lagi seri-

gala-serigala liar itu menyerang. Mayanglah yang 

ganti mengambil alih penyerangan.

"Hiyaaa...!" 

Wuttt! Wuttt!

Dengan payung terkembang, tubuh Mayang


berkelebat dengan cepat diiringi teriakannya yang 

khas.

Brat!

Brat!

"Kainghgh...!"

"Kainghgh...!"

Dua ekor serigala terpental lalu menggele-

par berlumuran darah di atas rerumputan. Payung 

Emas Mayang Sutera yang menyambar secepat ki-

lat menghantam telak bagian batok kepala dan pe-

rut lawan. Nampak batok kepala serigala itu pecah 

hingga mengeluarkan cairan merah yang bercam-

pur dengan isi kepala. Sementara pada serigala 

yang lain terburai isi perutnya.

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Mayang! Ki-

ta harus cepat-cepat melihat keadaan Ki Bernala," 

ajak Jaka setelah melihat Mayang telah berhasil 

memusnahkan lawan-lawannya.

Dewi Payung Emas mengangguk, lalu me-

lompat menghampiri Raja Petir.

"Maaf, kami harus ke rumah Ki Bernala! Ki-

sanak sekalian, uruslah mayat-mayat itu!" ucap 

Jaka kepada penduduk desa yang masih berdiri 

terpaku keheranan di sekitar tempat pertarungan. 

Tadi mereka bersembunyi ketika pertarungan itu 

berlangsung.

Dan tanpa menunggu jawaban lagi, sepa-

sang pendekar muda itu pun melesat meninggal-

kan tempat itu. Sementara penduduk yang berha-

sil diselamatkan hanya menatap kepergian Raja 

Petir dan Dewi Payung Emas dengan rasa terima 

kasih yang tak sempat terucap.


LIMA


"Kakang! Lihat itu!" seru Mayang, ketika 

sampai di dekat rumah kediaman Ki Bernala.

Seorang lelaki yang dikenalnya sebagai 

Gunjada nampak tengah bertarung melawan ular-

ular besar dan kecil. Di tempat yang tak berjau-

han, beberapa lelaki yang bertugas menjaga rumah 

kepala desa pun tengah disibukkan serangan-

serangan ganas belasan bahkan puluhan ular 

aneh itu.

Sementara itu, Ki Bernala pun tampak ten-

gah kewalahan mengusir binatang-binatang berbi-

sa yang hendak menyerang dirinya dan sang Istri. 

Sebatang pedang di genggaman Ki Bernala berke-

lebat membabat setiap ular yang menyerbunya.

"Hih!"

Bret! Bret!

Darah bercucuran dari kepala-kepala ular 

tanggung yang terbabat pedang Ki Bernala. Namun 

siapa mengira kalau ular-ular lain terus berdatan-

gan menyerbu, seperti tak pernah habis. 

"Kau bantulah Ki Bernala, Mayang! Biar aku 

mencari jalan keluar untuk mengatasi kejadian 

ini," perintah Jaka kepada kekasihnya. "Aku harus 

memusatkan pikiran guna memusnahkan penga-

ruh gaib yang dikeluarkan oleh tokoh yang berdiri 

di belakang kejadian ini. Hati-hatilah...!." pesannya 

kemudian.

Selesai dengan ucapan Jaka, Mayang segera 

melesat cepat mendekati Ki Bernala dengan senja


ta yang dibabatkan ke sana kemari. Dua tiga ekor 

ular yang terkena sambaran payung Mayang, lang-

sung berpentalan dengan bagian tubuh terpotong 

dua.

Sementara itu. Raja Petir tampak segera 

mengerahkan kemampuannya. Dengan mening-

katkan daya kepekaannya, pendekar muda itu 

mencoba menyelidiki secara batin terhadap penga-

ruh gaib yang tengah bekerja. Hatinya juga ber-

maksud mencari sumber dari tokoh yang berdiri di 

belakang keanehan ini.

Dengan mata terpejam, Raja Petir mencoba 

mempertajam rasa. Tangan kirinya nampak ter-

kepal kuat, sedangkan yang kanan mencekal ga-

gang Pedang Petir yang berukir bunga-bunga kecil.

Sekilas kalau diperhatikan, Raja Petir seper-

ti hendak menyajikan ilmu pamungkas yang ber-

nama 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Ilmu itu ti-

dak hanya mampu menjatuhkan lawan-lawan 

yang tangguh, tetapi juga dapat meredam kekua-

tan gaib yang tak terjangkau pikiran manusia.

Beberapa saat lamanya Raja Petir melaku-

kan pemusatan pikiran dengan mata terpejam. 

Sementara tangan kanannya tetap mencekal ga-

gang Pedang Petir yang memiliki perbawa menggi-

riskan. Sesaat kemudian, terdengar tarikan napas 

dilakukan pendekar berpakaian kuning keemasan 

itu. Tarikan napas panjang itu kemudian disim-

pannya dalam perut. Sementara itu tingkat kepe-

kaannya telah mulai memusat. Dan matanya tetap 

katup rapat-rapat.

Tangan kanan Raja Petir tiba-tiba bergetar


sekali. Hal itu pertanda kalau dirinya tengah men-

gerahkan seluruh kekuatan batin untuk menge-

nyahkan pengaruh gaib yang dirasakan. Dan seir-

ing dengan semakin dipereratnya pegangan pada 

gagang Pedang Petir, tangan kanan Raja Petir te-

rangkat perlahan ke atas. Perlahan tangkai Pedang 

Petir bergerak ke atas mengikuti irama gerakan 

yang dilakukan Raja Petir.

Sebuah keanehan segera terjadi ketika tan-

gan kanan Raja Petir benar-benar tegak lurus di 

atas kepala. Langit di atas Desa Kober Utara dan 

sekitarnya yang semula disinari cahaya bulan se-

potong, tiba-tiba berubah gelap gulita. Anehnya, 

tiba-tiba pula bermunculan lidah-lidah petir diser-

tai suara gemuruh yang dahsyat. Lidah-lidah petir 

itu menjilati pedang yang teracung ke atas dan, 

memendarkan sinar kemerahan.

Hanya sesaat saja pemandangan aneh itu 

terjadi, pada saat selanjutnya langit kembali seper-

ti sediakala, dengan sinar bulan yang menerangi. 

Pada saat itulah dengan cepat Raja Petir men-

gayunkan pedangnya dua kali di udara dengan di-

iringi pekikan keras, yang terdengar menggelegar 

dan bergema.

"Hiaaa...!" 

"Haaa...!"

Sejenak keterpakuan pun melanda orang-

orang yang tengah bertarung menghadapi bina-

tang-binatang yang diperintah pengaruh gaib. Na-

mun kemudian orang-orang tersentak kaget den-

gan mata terbelalak. Mereka mungkin merasa baru 

saja terjaga dari sebuah mimpi buruk yang men


cekam. Sehingga hampir tak percaya ketika me-

nyadari kalau ular-ular ganas itu telah ngeloyor 

meninggalkan tempat itu, seakan tiada peduli ter-

hadap mangsa mereka. Sementara ular-ular yang 

masih tersisa seperti enggan dan tak bernafsu un-

tuk membunuh. Hal itu karena, pengaruh gaib 

yang ada pada binatang-binatang melata itu telah 

lenyap.

Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada 

terlongo bengong, menyaksikan keanehan itu.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Nini 

Mayang?" tanya Nyi Rira Pangestu pada kekasih-

nya Jaka yang berdiri tak jauh darinya. "Pengaruh 

gaib itu telah berhasil diusir Kakang Jaka, Nyi," 

jawab Mayang mantap. "Itu setidaknya menu-

rutku. Tapi untuk jelasnya, Nyi Rira bisa bertanya 

pada Kakang Jaka," lanjutnya dengan tatapan ma-

ta tertuju pada wajah kekasihnya.

Nyi Rira Pangestu tak berkata apa-apa ter-

hadap jawaban yang diberikan si Dewi Payung 

Emas. Wajahnya lalu menoleh pada Raja Petir 

yang tengah melangkah mendekati mereka.

"Apa yang telah kau lakukan, Kakang? 

Hingga binatang-binatang itu seperti tak punya 

nyali untuk kembali bertarung?" tanya Mayang 

mewakili keingintahuan Nyi Rira Pangestu dan Ki 

Bernala.

"Aku hanya mengusir pengaruh gaib yang 

kurasakan ada di desa ini. Namun sayang, aku tak 

bisa memastikan siapa yang melakukannya. Ah, 

biarlah, nanti pun pasti akan ketahuan juga. Yang 

terpenting, pengaruh gaib itu sekarang sudah ti


dak terasa lagi dan biarkan binatang-binatang su-

ruhan itu kembali ke tempat asal mereka," jawa-

ban Petir bukan hanya ditujukan pada Mayang, 

melainkan juga untuk Nyi Rira Pangestu, Ki Ber-

nala, dan Gunjada.

Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjala 

sama-sama menganggukkan kepala mendengar 

penjelasan Raja Petir.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang 

Kakang?" tanya Mayang kemudian. 

"Mengurus para korban dan kemudian ber-

keliling, melihat keadaan penduduk yang lain. Itu 

kalau Ki Bernala setuju dan bersedia bergabung," 

jawab Raja Petir.

"Tentu saja, Jaka. Biarlah malam ini aku 

tak tidur, asalkan keadaan pulih seperti semula," 

sahut Ki Bernala.

"Aku ikut jika begitu," timpal Nyi Rira Pan-

gestu.

***

Jaka ditemani Mayang, Ki Bernala, dan Nyi 

Rira Pangestu berkeliling melihat keadaan pendu-

duk Desa Kober Utara. Sementara itu di tempat 

lain, yakni di sebuah hutan tak jauh dari Desa Pa-

garayung nampak sosok lelaki tua berpakaian biru 

terang terengah-engah di dalam sebuah rumah 

yang terbuat dari bambu.

Lelaki tua berusia enam puluhan itu tak 

lain Ki Bandot alias Setan Bukit Cemara. Peluh 

nampak bercucuran di wajahnya, suara napasnya


terdengar memburu.

Sedangkan lelaki muda yang berdahi codet, 

dengan hati cemas memandangi keadaan Setan 

Bukit Cemara.

"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Manggale 

sambil memegangi tubuh Ki Bandot

Ki Bandot tentu saja merasa malu dengan 

pertanyaan yang dilontarkan Manggale.

"Ah, tidak Manggale. Tidak apa-apa," jawab 

Setan Bukit Cemara masih dengan napasnya yang 

memburu, "Ini semua salahku. Aku terlalu men-

ganggap remeh lawanku. Sehingga tanpa sepe-

nuhnya kukerahkan ilmu sihir yang sepatutnya 

aku sajikan," lanjut Ki Bandot dengan deru napas 

yang semakin mulai teratur.

"Apa ini juga ulah Raja Petir?" tanya Mang-

gale seperti orang bodoh.

"Mungkin," jawab Ki Bandot seraya men-

gangguk-anggukkan kepala.

"Kalau begitu Raja Petir hebat sekali," gu-

mam Manggale polos. "Apakah kita akan berhasil 

menuntaskan cita-cita ayah?"

"Tentu saja berhasil, Manggale! Tentu saja. 

Ilmu-ilmuku belum ku keluarkan semua dan aku 

pun belum berhadapan langsung dengan Raja Pe-

tir. Akan kugorok batang leher pendekar usil itu 

dengan sepasang parangku yang tak pernah gagal 

menunaikan tugasnya," ucap Setan Bukit Cemara 

mencoba meyakinkan.

"Lalu, sekarang apa yang akan kita laku-

kan?" tanya Manggale lagi.

"Kita tunggu di sini sampai fajar menyings

P

ing. Setelah itu kita temui ayahmu untuk menga-

tur siasat selanjutnya," jawab Ki Bandot, merasa 

perbawanya sudah luntur sedikit di mata Mang-

gale.

Sesungguhnya Setan Bukit Cemara tak per-

caya kalau ilmu sihirnya mampu ditandingi tokoh 

lain. Dan padahal selama ini dirinya tak pernah 

mengalami kegagalan seperti sekarang. Namun 

nyatanya...?

Setelah fajar menyingsing, Ki Bandot dan 

Manggale sama-sama melangkahkan kaki mening-

galkan bangunan dari bambu, menuju ke kedia-

man Kepala Desa Pagarayung.

Setelah melewati perjalanan di tengah sua-

sana pagi yang dingin, mereka akhirnya sampai di 

kediaman Kepala Desa Pagarayung. 

"Bagaimana Ki Bandot? Apa sudah ada tan-

da-tanda berhasilnya usaha kita?" sambut Kepala 

Desa Pagarayung ketika Setan Bukit Cemara telah 

memasuki rumah Ki Gambaga.

Ki Bandot tak segera menjawab pertanyaan 

Ki Gambaga. Tatapan matanya tertuju lurus pada 

wajah kasar Ki Gambaga yang berkumis tebal.

"Kita masih harus terus berusaha, Ki Gam-

baga," jawab Setan Bulut Cemara dengan bergetar 

dan terdengar agak parau.

"Hmmm...!" Ki Gambaga yang mengenakan 

pakaian merah darah hanya menggumam tak je-

las, mendengar jawaban Setan Bukit Cemara.

"Jadi usahamu semalaman itu sia-sia, Ki 

Bandot?" sindir Ki Gambaga dengan suara yang 

dibuat selunak mungkin.


"Semalam memang gagal, Ki Gambaga. Tapi 

tidak untuk yang selanjutnya," kilah Setan Bukit 

Cemara dengan wajah merah padam.

"Maafkan aku, Ki Bandot! Kalau boleh aku 

beri saran, sebaiknya kita mencari bantuan dari 

tokoh sakti yang lain. Biar tugasmu lebih ringan 

dan cita-citaku lebih cepat terwujud. Jatahmu 

akan tetap kuperhatikan sesuai dengan permin-

taanmu," ucap Ki Gambaga hati-hati.

Ucapan Kepala Desa Pagarayung itu di te-

linga Setan Bukit Cemara laksana ledakan guntur 

di siang bolong. Menggelegar dan begitu menge-

jutkan.

"Jangan sesekali kau meremehkanku, Ki 

Gambaga!" kecam Setan Bukit Cemara. "Aku bu-

kan anak kemarin sore yang langsung menyerah 

jika menghadapi kegagalan. Aku belum kalah, Ki 

Gambaga! Aku akan terus berusaha, meski nya-

waku jadi taruhan! Pantang bagiku jika pekerjaan 

yang tengah kutangani dikotori campur tangan 

orang lain.... "

"Itu hanya saran dariku, Ki. Tak ada mak-

sud sedikit pun pada hatiku untuk meremehkan 

kemampuanmu," ucap Ki Gambaga merasa tak 

enak hati. "Aku hanya khawatir kalau usahamu 

gagal dan rencanaku tak akan pernah terwujud."

Suasana berubah hening sejenak. Ki Gam-

baga nampak terpekur sambil sesekali meman-

dangi wajah anaknya, Manggale. Ki Bandot juga 

terpekur dengan benak berputar keras.

"Sekarang juga aku akan berangkat ke pe-

kuburan Kober Utara," ujar Setan Bukit Cemara


memecahkan keheningan.

"Kau ingin membangkitkan mayat-mayat 

dari jarak dekat, Ki?!" selidik Ki Gambaga.

"Ya. Malahan aku akan ikut mengacau ke-

diaman Ki Bernala secara langsung," sahut Setan 

Bukit Cemara merasa wibawanya sudah jatuh di 

mata Kepala Desa Pagarayung itu.

"Bagaimana jika di sana ada Raja Petir, Ki?" 

tanya Manggale tiba-tiba.

"Memang itu yang kucari. Dialah manusia 

pertama yang akan kusingkirkan. Karena dia usa-

haku menjadi tersendat seperti ini," ujar Setan 

Bukit Cemara ketus.

"Aku boleh ikut, Ki?" tanya Manggale lagi.

"Kalau ayahmu mengizinkan, aku tak ber-

keberatan. Namun aku akan lebih leluasa bergerak 

jika kau tak turut serta, Manggale," jawab Ki Ban-

dot menoleh dan menatap sejenak wajah Mang-

gale.

"Sebaiknya kau di sini saja, Manggale!" tim-

pal Ki Gambaga. Dirinya memang lebih senang ka-

lau cuma Setan Bukit Cemara yang pergi ke pe-

makaman di Desa Kober Utara.

Tak ada sahutan dari Manggale. Lelaki ber-

codet itu tak kuasa membantah ucapan ayahnya. 

Apalagi Ki Bandot jelas-jelas tak ingin campur tan-

gannya, meski diucapkan dengan lembut.

"Hm...! Aku berangkat sekarang, Ki Gamba-

ga," pamit Setan Bukit Cemara. 

Ki Gambaga hanya menyambut ucapan Se-

tan Bukit Cemara dengan anggukkan kepala. Dan 

ketika Ki Bandot berangkat meninggalkan rumah


nya, Ki Gambaga hanya mengiringi dengan tatapan 

mata yang mengandung makna kengeriannya me-

nerima kegagalan.


ENAM



Matahari belum begitu tinggi ketika Setan 

Bukit Cemara tiba di dekat tanah pemakaman De-

sa Kober Utara. Suasana di pemakaman itu sunyi 

dan sepi. Ki Bandot memang mengharapkan kea-

daan seperti itu.

Dengan langkah cepat Setan Bukit Cemara 

berjalan menuju sebatang pohon sebesar tiga kali 

pelukan lelaki dewasa. Dedaunan pohon itu yang 

cukup lebat, membuat sinar matahari tak kuasa 

menerobos. Sesekali jika daun-daun itu terusik 

hembusan angin, sinar matahari menyelusup.

Ki Bandot mengambil tempat tepat di sisi 

barat pohon besar itu. Hal itu dilakukan agar tu-

buhnya tak tampak dari jalan yang biasa dilewati 

orang Desa Kober Utara.

Kini Setan Bukit Cemara mulai melakukan 

pekerjaannya dengan duduk bersila. Matanya ter-

katup rapat dan bibirnya tampak mulai berkomat-

kamit membaca mantera pembangkit mayat.

Beberapa saat lamanya Setan Bukit Cemara 

mengucapkan mantera dengan khusyuk, hingga 

akhirnya terdengar suara angin menderu, berdesir, 

bergulung-gulung di setiap gundukan makam. Su-

asana di tanah pemakaman Desa Kober Utara bu-

kan sejuk. Namun menjadi seperti semakin panas


saja.

Ki Bandot terus merapalkan mantera-

mantera pembangkit mayat, dan manakala angin 

bergulung yang terjadi pada setiap gundukan ta-

nah, maka peristiwa seperti gempa bumi pun terli-

hat.

Tanah-tanah yang menonjol ke atas tiba-

tiba retak, sebagian pecahan berhamburan ke 

atas. Seiring dengan itu suara gerengan mayat-

mayat yang bangkit terdengar dengan jelas.

"Grhghghg...!"

"Grhghghg...!"

Setan Bukit Cemara mengembangkan se-

nyumnya dalam keadaan mata terpejam.

"Bangkitlah kalian! Bangkit...! Bangkit...! 

Bangkit...!" Ki Bandot berteriak keras, suaranya 

bergema ke pelosok areal pemakaman.

Dan ternyata usaha Setan Bukit Cemara 

berhasil, puluhan mayat yang masih utuh ber-

campur dengan mayat-mayat yang sudah berbau 

busuk dan tak utuh lagi keadaannya, kini berge-

rak bersamaan menuju rumah-rumah penduduk 

terdekat. Sementara itu Ki Bandot yang telah 

membuka matanya dengan senyum terkembang 

menyaksikan dari kejauhan mayat-mayat suru-

hannya yang bergerak mencari korban.

"Habisi semua penduduk yang ada!'' perin-

tah, Setan Bukit Cemara seraya bangkit dan men-

gikuti mayat-mayat yang berjalan lebih dulu.

"Ayo habisi!" perintah Ki Bandot lagi ketika 

melihat rumah-rumah penduduk sudah dekat

Puluhan mayat yang bangkit dari kubur itu



seperti kerbau dicucuk hidung, langkah mereka 

semakin dipercepat. Suara gemuruh yang berasal 

dari mulut mayat-mayat itu sempat membangun-

kan para penduduk

"Lihat ada mayat-mayat bangkit lagi! Lihat!" 

salah seorang penduduk yang menyaksikan pe-

mandangan di depannya segera berteriak. Kegem-

paran seketika terjadi. Lelaki-lelaki yang pernah 

mengalami kejadian serupa segera meraih senjata 

seadanya untuk menghadapi mayat-mayat hidup 

itu, sementara yang tak pernah segera bergerak, 

masuk dan mengunci pintu.

"Grghghgr...!"

"Grghghgr...!"

Mayat-mayat suruhan Setan Bukit Cemara 

menggereng-gereng. Kemudian ketika sudah dekat 

dengan penduduk yang hendak mengadakan per-

lawanan, mayat-mayat itu bergerak cepat

"Grghghgr...!"

Krkh...!

"Aaa...!"

Seorang penduduk yang tak sempat meng-

hindari terkaman mayat hidup seketika menjerit 

kesakitan. Batang leher lelaki naas itu dicengke-

ram dengan kuat oleh mayat yang menerkamnya. 

Lalu dengan keganasannya, mayat hidup itu 

menggigit dada lelaki naas itu.

"Aaa...!" kali ini pekik melengking lebih pan-

jang terdengar mengiringi kematian lelaki yang ba-

gian perutnya tertembus cakar mayat hidup dan 

meraih jantungnya hingga keluar. 

Pemandangan seperti itu tentu saja mem


buat penduduk yang lain merasa ngeri. Namun ka-

rena kemarahan, kengerian itu tak diperlihatkan, 

yang ada tinggal keberanian dan kenekatan mere-

ka untuk melawan bahaya itu. 

Setan Bukit Cemara yang memang berha-

srat besar membantai penduduk Desa Kober Utara 

segera saja bergerak. Tubuhnya berkelebat dengan 

dua parang merah darah yang tercekal di tangan 

kanan dan kirinya.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Dengan gerakan yang begitu cepat dan tak 

terlihat tatapan mata biasa, tubuh tua yang terba-

lut pakaian biru terang melesat.

Bret! Bret!

"Akh...!"

"Aaa...!"

Dua sosok tubuh bergelimpangan ke tanah, 

ketika parang merah di tangan Setan Bukit Cema-

ra berhasil membacok bagian dada dan leher pen-

duduk desa. Darah seketika menyembur dari luka 

memanjang akibat babatan senjata runcing milik 

Ki Bandot. Hanya sesaat saja dua tubuh penduduk 

Desa Kober Utara menggelepar, pada saat berikut-

nya tubuh itu tak berkutik lagi, nyawa mereka ter-

bang meninggalkan raga.

"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa 

keras menyaksikan dua korban pertamanya. "Ka-

lian semua akan mengalami nasib yang sama! Ayo 

beri perlawanan kalau kalian tak ingin mati ko-

nyol!"

Penduduk yang tengah kerepotan mengha


dapi mayat-mayat hidup itu semakin bertambah 

ngeri dan takut melihat keganasan lelaki bercam-

bang bauk putih. Dua korban tetangga mereka su-

dah membuktikan kalau ucapan orang berpakaian 

biru itu tidak sembarangan.

"Sebaiknya aku lapor pada Ki Bernala un-

tuk meminta bantuan," ujar salah seorang pendu-

duk.

"Betul, Cah. Cepat lari sana!" timpal teman 

yang diajak bicara.

Lelaki bertelanjang dada yang bernama 

Rancah segera berlari menuju rumah kepala desa. 

Namun baru lima langkah kaki Rancah terayun, 

Setan Bukit Cemara telah mendahului dengan ke-

lebatannya yang cepat.

"Mau ke mana kau, Bocah!" hardik Ki Ban-

dot Rancah tentu saja menghentikan larinya dan, 

menatap wajah bercambang bauk putih dengan 

kengerian. 

"Sebaiknya kau mampus duluan! Hih!" 

Wuttt...! Brats! 

"Aaa...!"

Rancah terpekik keras ketika senjata Setan 

Bukit Cemara membabat telak dadanya. Dada le-

laki itu kontan terbelah, darah bermuncratan dari 

luka yang begitu besar. 

"Hih!" 

Blukh!

Tak lagi ada suara erangan ketika Ki Bandot 

sambil melompat menendang perut Rancah. Tu-

buh lelaki penduduk Desa Kober Utara melayang 

deras ke belakang. Ketika itu pula nyawanya telah


melayang. Tewas! 

Bruk! 

Tubuh tanpa nyawa itu terbanting keras se-

telah membentur sebatang pohon. 

"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara kembali 

terbahak setelah menyaksikan kematian pendu-

duk Desa Kober Utara. 

"Setan Durjana!" maki seseorang dengan 

suara yang cukup lantang dan berani. 

Setan Bukit Cemara menolehkan kepalanya 

dengan cepat ke tempat asal suara bentakan yang 

datang.

"Hmmm...! Kau rupanya!" ucap Setan Bukit 

Cemara terkesan meremehkan ketika menyaksikan 

kehadiran sepasang muda-mudi yang mengenakan 

pakaian kuning keemasan dan jingga.

"Hm..., jadi ini orangnya yang mengacaukan 

ketenteraman penduduk Desa Kober Utara dengan 

ilmu setan, Tua Bangka!" bentak Mayang menda-

hului gerakan bibir Jaka yang hendak berucap.

"Seperti yang kau lihat, Nini Manis!" jawab 

Setan Bukit Cemara sinis. "Aku memang tengah 

membantai penduduk desa ini dan semuanya akan 

kubikin habis. Termasuk kalian berdua!" lanjutnya 

sambil menuding wajah Mayang dan Jaka bergan-

tian

"Tutup mulut besarmu, Tua Bangka!" balas 

Mayang menghardik. Langkah kakinya sudah ter-

ayun hendak menghajar Setan Bukit Cemara.

"Tahan, Mayang!" cegah Jaka sambil men-

cekal pergelangan tangan berkulit halus itu.

Mayang memang memenuhi ucapan keka


sihnya, langkahnya tak dilanjutkan. Hanya ma-

tanya yang tak lepas terus menatap tajam lelaki 

tua bercambang bauk putih itu.

"Kenapa kau melarangnya untuk berse-

nang-senang denganku, Raja Edan!" ledek Setan 

Bukit Cemara ketus.

Jaka hanya menanggapi ledekan Ki Bandot 

dengan senyum terkembang.

"Aku tak pernah melarang kekasihku un-

tuk, bersenang-senang dengan siapa saja, Kisa-

nak," balas Jaka tenang.

"Aku Setan Bukit Cemara!" tukas Ki Bandot 

memperkenalkan julukannya.

"Ya ya ya! Aku hanya tak mau kau mampus 

setelah bersenang-senang dengan kekasihku, Se-

tan Bukit Cemara," lanjut Jaka bernada meremeh-

kan. "Bukankah sebaiknya kau bersenang-senang 

denganku, meskipun kalah kau tak mendapatkan 

malu yang begitu besar. Karena kita sama-sama 

lelaki" 

"Keparat!" maki Setan Bukit Cemara geram.

Prok! Prok! Prok! 

Selesai menghardik Jaka suara tepuk tan-

gan pun terdengar. Suara isyarat untuk memerin-

tahkan mayat-mayat yang bangkit dari kubur agar 

menghadapi musuh yang baru datang.

Mayat-mayat hidup itu kini benar-benar 

berpaling dari para penduduk. Dan kini puluhan 

mayat itu mengurung tubuh Jaka dan Mayang. 

Prok! Prok! 

"Lumat tubuh cantik itu!" perintah Ki Ban-

dot setelah bertepuk tangan dua kali.


Puluhan mayat hidup yang mengurung ke-

dua lawan, seketika bergerak mendekati Mayang 

yang bersiap dengan payung kecilnya yang sudah 

berkembang.

"Hati-hati, Mayang!" ujar Jaka memperin-

gatkan.

***

"Tentu saja, Kakang," jawab Mayang.

Pertarungan antara Dewi Payung Emas 

dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur tak 

terhindari lagi. Teriakan-teriakan nyaring dan ge-

rengan kesal mayat-mayat hidup itu terdengar 

menyemaraki suasana pertarungan. Sesekali suara 

benturan keras terdengar.

"Hih!"

Prak!

"Heh?!"

Mayang terkejut ketika hantamannya men-

darat telak tapi tak mampu mendorong mayat 

ringkih yang bagian tubuhnya sudah tak utuh lagi. 

Tangan kanannya yang sudah tak ada dan ma-

tanya yang tinggal sebelah menjadikan penampilan 

mayat itu begitu menyeramkan.

Wuuut!

"Eits!"

Mayang memiringkan tubuhnya, ketika 

mayat ringkih itu memberikan serangan balasan 

terarah ke lehernya. Dan ketika gadis itu berhasil 

mengelakkan, langsung mengirimkan sebuah ten-

dangan keras dengan gerakan memutar disertai


pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hih! Pergi kau jauh-jauh!" 

Blakh!

"Grhghg...!" 

Tubuh mayat ringkih itu terhuyung empat 

langkah ke belakang ketika tendangan telak 

Mayang mendarat tepat di dadanya.

Ternyata cukup tangguh mayat hidup yang 

menjadi lawan Mayang. Namun, ketangguhannya 

itulah yang membuat kekasih Raja Petir semakin 

penasaran untuk lebih cepat menyelesaikan perla-

wanannya.

Ketika tubuh mayat ringkih itu terhuyung, 

Mayang kembali melesat cepat memberikan seran-

gan susulan dengan senjata andalannya.

"Haaattt...!"

Pekikan Mayang dibarengi dengan babatan 

payung besi yang terkembang dan terarah ke ba-

gian lambung mayat hidup bertubuh ringkih itu.

Trakgkh! 

"Grghgh...!"

Mayat bertubuh ringkih yang hidup di ba-

wah pengaruh sihir milik Setan Bukit Cemara se-

ketika terjerembab ke tanah. Bagian lambungnya 

yang terhajar senjata pemungkas milik Dewi 

Payung Emas mengalami luka yang sangat lebar. 

Namun luka yang menganga itu sempat membuat 

Mayang terkejut. Luka yang menganga itu sedikit 

pun tak mengucurkan darah.

"Hmmm...!"

Mayang hanya bergumam dalam hati me-

nyaksikan kenyataan itu. Namun gadis itu tak


mau berlarut-larut memikirkannya karena kemu-

dian dirinya harus sudah menghadapi serangan 

yang dilancarkan mayat-mayat hidup yang lain.

"Grghgh...!"

Wuts!

"Eits...!"

Mayang segera melentingkan tubuhnya dan 

bersalto beberapa kali di udara. 

Jligh! 

"Heh?"

Si Dewi Payung Emas baru mendarat di ta-

nah, serangan susulan kembali harus dihada-

pinya. Dengan gerakan yang cepat Mayang segera 

membentengi tubuhnya dengan menggunakan ju-

rus 'Benteng Emas'.

Payung kecil berwarna kuning keemasan di 

tangan Dewi Payung Emas seketika berputaran 

cepat, hingga wujud asli dari senjata itu tak nam-

pak. Yang terlihat hanya segulungan sinar kuning 

yang berpendar-pendar.

Namun, ketika sambaran ganas mayat hi-

dup yang mengancam bagian lehernya terhalau 

oleh jurus 'Benteng Emas', suatu keanehan yang 

sama kembali terulang.

Mayang menyaksikan kalau tangan mayat 

yang putus terbabat senjata andalannya sedikit 

pun tak mengucurkan darah. Namun kali ini 

Mayang betul-betul tidak mempedulikan keanehan 

itu. Dirinya tetap memusatkan pikiran pada seran-

gan-serangan lawan yang datang silih berganti. 

Sementara di tempat lain, Jaka nampak se-

dang beradu tatapan dengan Setan Bukit Cemara.


Sepertinya kedua tokoh yang memiliki kesaktian 

tinggi itu tengah mengukur kekuatan lawan mas-

ing-masing. 

"Sebaiknya kau tak mencampuri urusanku, 

Raja Gendeng! Aku tak suka itu," ujar Setan Bukit 

Cemara dingin. Tatapannya menghujam tepat di 

wajah Jaka. 

"Kalau kau merasa ini urusanmu, maka wa-

jar pula jika aku menganggap apa yang menjadi 

persoalanmu menjadi persoalanku. Karena itu me-

nyangkut hak hidup manusia lain," bantah Raja 

Petir dengan suara yang cukup berwibawa. 

"Jika begitu berarti kau mencari mampus!" 

hardik Setan Bukit Cemara geram.

"Mampus tak perlu dicari, Tua Bangka!" ba-

las Jaka dengan suara yang sedikit meninggi. "Ka-

rena kematian memang sudah menjadi jatah bagi 

setiap makhluk yang bernyawa, juga kau! Dan 

mungkin jatah kematianmu yang bakal tiba seka-

rang ini," lanjutnya sambil menuding wajah Ki 

Bandot, si Setan Bukit Cemara.

Lelaki berusia enam puluh tahunan yang 

mengenakan pakaian biru terang itu tersentak 

mendengar ucapan Raja Petir. Wajahnya berubah 

merah padam. Giginya gemeretukan menahan ke-

marahan yang telah menggelegak.

"Kulumat tubuhmu. Raja Usil!" geram Setan 

Bukit Cemara.

Seketika itu pula Ki Bandot meloloskan se-

pasang senjatanya yang berupa parang berwarna 

merah darah.

"Hiaaa...!"


Wuttt! Wuttt!

Dengan cepat sepasang parang merah itu 

bergerak di depan wajah Setan Bukit Cemara yang 

meluruk menyerang Raja Petir.

"Haiiit...!"

Melihat lawan menyerang dengan gencar. 

Raja Petir segera melompat ke belakang untuk 

menghindari tebasan sepasang parang yang men-

gincar bagian kepala dan dadanya. Nampak tubuh 

berpakaian kuning keemasan itu berputaran bebe-

rapa kali di udara.

Namun betapa terkejutnya Raja Petir ketika 

tubuhnya masih berada di udara, Setan Bukit Ce-

mara dengan kekuatan tenaga dalam tinggi me-

lempar sepasang parang miliknya.

Singngng...!

Singngng...! 

"Heh?!"

Raja Petir segera melempar tubuh ke samp-

ing kanan untuk menghindari senjata yang melu-

ruk dengan cepat.

Jlig!

Singngng...! Singngng...! 

Tap! Tap!

Di luar dugaan Raja Petir, sepasang parang 

merah yang memburu kembali di tangan Setan 

Bukit Cemara.

"Kalau gerakanmu tak gesit, maka jurus 

'Parang Setan Maut' akan mengirimkan nyawamu 

ke neraka. Raja Usil," ledek Ki Bandot dengan se-

nyum terkulum.

"Aku tak memiliki gerakan yang gesit, Setan


Gila," balas Raja Petir merendah. "Hanya saja se-

ranganmu yang kurang bermutu dan tak berba-

haya!" lanjutnya. Kali ini bernada melecehkan. Se-

nyumnya tersungging sambil menatap wajah lelaki 

tua di depannya.

"Kurang ajar!" hardik Ki Bandot geram.

"Berilah aku pelajaran yang terbaik, Setan 

Angkuh," balas Jaka.

"Tentu saja! Bersiaplah!" Ki Bandot mem-

bawa tubuhnya mundur dua langkah. Kedudukan 

sepasang kakinya membentuk kuda-kuda rendah.

"Jangan coba-coba meremehkan aji 'Racun 

Cemara Kematian'" peringatan Setan Bukit Cemara 

diucapkan dengan sinis.

"Jangan banyak omong, Setan! Cepat kelua-

rkan seluruh ajian yang kau miliki," selak Jaka tak 

kalah sombong. 

"Ngrgh...!"

Ki Bandot menggereng marah mendengar 

ucapan Raja Petir. Lalu lelaki tua bercambang 

bauk putih itu memejamkan mata. Sepasang tan-

gannya yang dirapatkan satu sama lain, diletakkan 

di dahinya. Kemudian secara perlahan dibawanya 

turun sampai di depan dada. Hampir tiga kali te-

gukan teh lamanya telapak tangan yang merapat 

itu diletakkan menempel di dada. Sesaat kemudian 

tampak mulai merenggang sedikit demi sedikit. Ke-

tika itulah terlihat asap tipis mengepul dari telapak 

tangan yang sudah merenggang.

Asap tipis yang tercipta berkat pengerahan 

ajian 'Racun Cemara Kematian' menebarkan bau 

seperti daun terbakar. Bau itu semakin lama se


makin terasa menyengat hidung.

Raja Petir yang menyaksikan ilmu lawannya 

seperti tak terpengaruh dengan bau yang semakin

menyengat. Namun tampak sikapnya yang tetap 

waspada. Pendekar muda itu memang tak pernah 

menganggap remeh setiap ilmu yang dikerahkan 

lawan-lawannya. Termasuk ajian 'Racun Cemara 

Kematian' yang sedang diperagakan Setan Bukit 

Cemara. 

Dengan tatapan yang tak lepas memperha-

tikan setiap gerakan Ki Bandot, Raja Petir tetap 

berdiri tegak di tempatnya. Selangkah pun tak 

tampak kakinya bergerak. 

"Hoarrrkh...!" 

Tiba-tiba saja Setan Bukit Cemara memekik 

keras. Pekikan yang terdengar aneh itu diiringi 

dengan terhentaknya dua telapak tangan ke de-

pan. Hentakan yang cukup kuat itu menjelmakan 

dua gulung sinar kehijauan yang meluruk cepat 

memburu Raja Petir.

Srrrttt! Srrrts...!

"Eits! Hops!"

Dengan cepat Raja Petir menghentakkan 

kaki di tanah tempatnya berpijak. Seketika itu pu-

la tubuhnya melesat ke atas.

Tubuh Raja Petir melayang di udara dan 

berputaran beberapa kali. Dua rangkum sinar ke-

hijauan yang meluruk ke tubuhnya berhasil dihin-

dari. Namun, dengan cepat Ki Bandot kembali 

mengirimkan serangan susulan yang tak kalah 

dahsyat 

"Heaaa...!"


Srrrrttt! Srrrrts...!

Dua rangkum sinar kehijauan yang bergu-

lungan melesat memburu Raja Petir yang masih 

berada di udara.

Patut dipuji ketenangan tokoh muda pewa-

ris ilmu mendiang Raja Petir itu. Dalam keadaan 

yang sedemikian sulit Jaka mampu membaca sua-

sana dan mencari jalan keluar untuk menggagal-

kan serangan dahsyat lawan.

Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah 

Petir', tubuh pemuda berpakaian kuning keema-

san itu melesat ke samping kiri, lalu menjatuhkan 

diri di tanah. Dengan bertumpu pada kedua tela-

pak tangan Raja Petir bergulingan beberapa kali ke 

atas tanah merah.

"Hops!"

Tubuh Raja Petir kembali mencelat ke udara 

menghindari serangan gencar Setan Bukit Cemara. 

"Hrghrgh...! Hih!"

Setan Bukit Cemara menggeram keras. Ha-

tinya bertambah marah. Beberapa kali serangan 

yang dilancarkan berhasil digagalkan lawan. La-

lu....

"Hiaaa...!"

Srrrtirt! Srrrrats...!

Dua gulung sinar kehijauan melesat cepat 

memburu Raja Petir. Namun kali ini pendekar mu-

da itu tak nampak melakukan gerakan untuk 

menghindar. Tokoh sakti yang mengenakan pa-

kaian kuning keemasan tampak mengepalkan tan-

gan, lalu menariknya ke atas pinggang.

"Hih!"


Wusss...!

Serangkum angin berhawa panas melesat 

dari dua telapak tangan Raja Petir yang terhentak 

kuat. Serangkum angin yang tercipta berkat pen-

gerahan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' meluruk 

cepat, menyongsong dua gulungan sinar kehijauan 

dari arah yang berlawanan. Angin panas itu berpu-

tar cepat. Dan....

Srrrttts!

Glarrr...!

Suara ledakan yang menggelegar keras ter-

dengar memekakkan telinga ketika ilmu 'Pukulan 

Pengacau Arah' beradu dengan ajian 'Racun Cema-

ra Kematian' yang berupa dua gulungan sinar ke-

hijauan. 

Akibat ledakan kuat itu tubuh Raja Petir 

mundur satu langkah, sedangkan Setan Bukit 

Cemara mengalami nasib yang lebih parah. Tu-

buhnya nampak terhuyung lima langkah ke bela-

kang. Keadaan itu menandakan kalau tenaga da-

lam yang dimiliki Raja Petir berada di atas Ki Ban-

dot

Ketika Setan Bukit Cemara dalam keadaan 

terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan, 

dengan kuat Raja Petir menghentakkan kaki se-

raya melancarkan serangan susulan dengan men-

gerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.

"Hiaaa...!"

Tubuh lelaki yang terbalut pakaian kuning 

keemasan itu mencelat ke udara. Kedua tangan-

nya yang terentang, bergerak cepat ke dada Setan 

Bukit Cemara.


Setan Bukit Cemara yang tak menyangka 

akan datangnya serangan balasan yang begitu ce-

pat tampak panik dan kebingungan. Semampunya 

lelaki tua berpakaian biru itu bergerak untuk 

menghindari serangan Raja Petir. Namun, kecepa-

tan gerak lawan yang luar biasa membuat Bandot 

tak sempat melakukan sesuatu. Maka.... 

Blukkk! 

"Ugkh!"

Tubuh Setan Bukit Cemara terpental ke be-

lakang. Pukulan keras Raja Petir mendarat telak di 

dadanya.

Brukkk!

"Hoekkk..!"

Tubuh Ki Bandot jatuh berdebum tanah. 

Darah kental keluar melalui mulutnya. Lelaki tua 

bercambang bauk putih itu tampaknya menderita 

luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya yang 

terbungkus pakaian biru terkulai lemas di atas ta-

nah berumput.

Suasana tiba-tiba berubah hening. Ada 

keanehan terjadi lagi. Ketika keadaan Setan Bukit 

Cemara terkapar tak berdaya seperti itu, menda-

dak mayat-mayat berjatuhan ke tanah. Mayat-

mayat hidup menyeramkan yang dengan ganas 

menyerang Mayang tiba-tiba bagaikan makhluk 

hidup yang kehilangan nyawa. Mati! Dan perlahan-

lahan mereka berubah ke asal semula.

"Hhh...."

Mayang sempat keheranan menyaksikan 

keadaan itu, begitu juga dengan Raja Petir.

Namun ketika suasana aneh itu masih tera


sa, tiba-tiba pula muncul sesosok bayangan hitam 

melesat dengan kecepatan yang sulit tertangkap 

mata.

Raja Petir dan Dewi Payung Emas belum 

sempat menyadari benar, tahu-tahu sosok bayan-

gan yang berkelebat itu telah menyambar tubuh 

Setan Bukit Cemara yang terkulai tak berdaya di 

atas rerumputan. Dengan cepat sosok bayangan 

hitam itu meninggalkan tempat itu membawa tu-

buh Setan Bukit Cemara.

"Ayo, kita kejar mereka, Kakang!" ajak 

Mayang menyadari kalau Setan Bukit Cemara te-

lah diselamatkan seseorang.

Jaka tak segera menyetujui ucapan keka-

sihnya. Namun kemudian ketika hatinya tergerak 

untuk menyelidiki keanehan-keanehan yang terja-

di Raja Petir pun segera menganggukkan kepa-

lanya

"Ayolah! Hop!" 

"Hops!"


TUJUH



Sosok bayangan hitam yang melarikan tu-

buh Setan Bukit Cemara terus melesat dengan ke-

cepatan tinggi. Sambil memanggul tubuh Setan 

Bukit Cemara, sosok bayangan hitam itu melesat 

terus melintasi perbatasan Desa Kober Utara.

Sosok berpakaian hitam itu ternyata salah 

seorang dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing 

Goa Tanjung yang sengaja diutus Ki Gambaga Ke


pala Desa Pagarayung untuk mengawasi sepak-

terjang Setan Bukit Cemara.

Jaka dan Mayang yang menguntit lari sosok 

penyelamat Ki Bandot tampaknya tak kehilangan 

jejak. Karena ilmu meringankan tubuh yang dike-

rahkan dalam berlari telah mencapai tingkat ke-

sempurnaan.

"Dia masuk ke desa lain, Kakang," ujar 

Mayang melihat sosok yang memanggul tubuh Se-

tan Bukit Cemara melewati perbatasan Desa Kober 

Utara dan masuk ke desa yang bernama Paga-

rayung.

"Kita akan terus menguntit mereka. Namun 

kita tetap harus meningkatkan kewaspadaan," sa-

hut Jaka.

"Tentu saja, Kakang," timpal Mayang den-

gan lari yang tetap pada kecepatan seperti semula. 

"Rasanya kita perlu mengurangi kecepatan 

kita Mayang. Firasatku mengatakan kalau sarang 

yang dituju tak jauh dari sini," ujar Raja Petir 

menduga-duga. Dugaan pendekar muda itu tentu 

saja dilandasi kepekaan panca indera yang tetap 

terus dikerahkan selama pengejaran.

Mayang tentu saja menuruti apa yang di-

ucapkan kekasihnya. Gadis cantik itu langsung 

mengurangi kecepatan larinya. Bahkan tampak 

berubah dengan langkah yang agak cepat.

"Sebaiknya kita berhenti di sini!" usul Jaka. 

Mayang menatap wajah kekasihnya. Tak ada sepa-

tah pertanyaan pun yang diucapkan.

"Aku akan melakukan sesuatu dari tempat 

ini," papar Raja Petir lagi. "Kuharapkan kesia


gaanmu saat aku melakukan pemusatan pikiran." 

"Lakukanlah, Kang!" sahut Mayang menye-

tujui ucapan kekasihnya.

Raja Petir segera memusatkan pikiran. Pe-

muda berpakaian kuning keemasan itu tampak 

mulai memejamkan mata. Kakinya yang berdiri te-

gak, agak direnggangkan. Sementara kedua tan-

gannya yang terkepal ditarik sampai ke pinggang.

Dengan mengheningkan cipta seperti itu Ra-

ja Petir berusaha mengerahkan ilmu mendengar 

jarah jauhnya. Mayang pun tak tinggal diam. Ga-

dis itu segera memasang kewaspadaan tingkat 

tinggi, bersiaga penuh di tempatnya berdiri. Ma-

tanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, men-

gawasi tempat di sekitar mereka.

"Setan Bukit Cemara kini ditemani empat 

lelaki, Mayang," ujar Jaka memberitahu setelah 

melakukan pengerahan ilmu mendengar jarak 

jauh.

Mendengar ucapan Raja Petir, gadis itu me-

noleh lalu mengangguk, tanda mengerti.

"Tiga di antara mereka mengaku berjuluk 

'Tiga Bajing Goa Tanjung', sedangkan yang sa-

tunya mengaku sebagai Kepala Desa Pagarayung," 

papar Jaka, menurut apa yang di dengarnya dari 

jarak jauh.

"Lalu apa yang mereka rencanakan?" tanya 

Mayang ingin tahu.

"Aku hanya mendengar keinginan Kepala 

Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai De-

sa Kober Utara untuk disatukan dengan desa yang 

dipimpinnya. Namun terlebih dulu melenyapkan Ki


Bernala serta abdi setianya," papar Jaka.

"Dan Tiga Bajing Goa Tanjung bersedia 

membantu setelah Setan Bukit Cemara gagal me-

nunaikan tugasnya, begitu kan, Kang?" tanya 

Mayang menduga cerita Jaka selanjutnya.

"Semakin pandai kau sekarang, Mayang!" 

puji Jaka membenarkan kesimpulan kekasihnya.

"Lalu apa rencanamu, Kang?"

"Kita kembali ke kediaman Ki Bernala seka-

rang juga."

"Hmmm...!" Mayang menggumam tak jelas. 

"Tidak kita satroni saja Setan Bukit Cemara dan 

empat lelaki yang kini menemaninya?" tanya 

Mayang mencoba memberikan pendapatnya.

"Pada saatnya mereka akan menyatroni ke-

diaman Ki Bernala, Mayang. Itulah rencana mere-

ka selanjutnya," ujar Jaka, lembut. "Kita harus 

memberitahukan Ki Bernala tentang hal ini. Kita 

jangan bertindak sebelum yang bersangkut-paut 

dengan persoalan ini tahu dengan jelas masalah-

nya."

Gadis cantik berpakaian jingga yang berju-

luk Dewi Payung Emas mengangkat pundak seba-

gai tanda menyerahkan keputusan sepenuhnya 

pada Jaka. 

"Kau memang gadis penurut, Mayang. Ayo,

kita tinggalkan tempat ini!" ajak Jaka sambil 

menggamit lengan Mayang dan pergi meninggalkan 

perbatasan Desa Pagarayung.

***


Ada keterkejutan di hati Kepala Desa Kober 

Utara setelah mendengar cerita hasil penyelidikan 

Jaka dan Mayang. Sesungguhnya Ki Bernala tak 

menyangka kalau dalang di balik peristiwa bela-

kangan ini ternyata Ki Gambaga.

"Ki Gambaga...," gumam Ki Bernala dengan 

wajah menegang.

"Nama Kepala Desa Pagarayung itu Ki Gam-

baga, Ki?" tanya Jaka ingin tahu.

"Ya," tegas Ki Bernala, "Dialah sahabatku 

yang paling baik."

"Maksud Ki Bernala?" tanya Mayang pena-

saran. 

"Desa Kober Utara dan Desa Pagarayung 

bertetangga sejak puluhan tahun lalu. Kami seba-

gai kepala desa tentu saja saling menghormati 

hak-hak desa masing-masing. Malahan kami ser-

ing saling mengunjungi satu sama lain, hingga 

timbul persahabatan yang erat. Kuakui tanah di 

Desa Kober Utara memang lebih subur daripada 

tanah di Desa Pagarayung. Sungguh tak kusangka 

kalau akhirnya persahabatan ini ternodai begitu 

saja," papar Ki Bernala menjelaskan pertanyaan 

Mayang.

"Mungkin karena itulah Ki Gambaga men-

ginginkan Desa Kober Utara menjadi wilayah ke-

kuasaannya," duga Mayang menimpali.

"Apa tak ada hal lain yang membuat desa 

itu melebihi Desa Pagarayung?" tanya Jaka ingin 

tahu.

Ki Gambaga tak segera menjawab perta-

nyaan Jaka. Mata lelaki berusia hampir enam pu


luh tahun itu menatap wajah pemuda tampan di 

depannya. Bias keraguan nampak memancar dari 

tatapan matanya.

"Ahhh...!" tiba-tiba saja Ki Bernala menarik 

napas panjang. "Mungkin Ki Gambaga tahu hal 

ikhwal Bukit Gandung," jawab Ki Bernala setelah 

berhasil meyakinkan hati bahwa Jaka memang ha-

rus tahu keadaan di desanya.

"Ada apa di Bukit Gandung, Ki?" tanya Jaka

hati-hati. 

"Konon, menurut orang-orang sebelum aku 

menjadi kepala desa ini, pada sebuah bukit yang 

bernama Bukit Gandung terpendam sebuah harta 

kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan menurut 

mereka bukan hanya kekayaan saja yang terpen-

dam di sana, melainkan juga senjata dan kitab-

kitab pusaka," tutur Ki Bernala sejelas-jelasnya. Di 

sebelah Ki Bernala nampak Nyi Rira Pangestu du-

duk dengan kepala tertunduk.

"Ki Bernala percaya dengan omongan-

omongan itu?" tanya Mayang.

"Entahlah, karena aku belum membukti-

kannya," jawab Ki Bernala.

"Kalau boleh aku tahu apa rencana Ki 

Gambaga selanjutnya, Jaka?" suara Nyi Rira Pan-

gestu terdengar bernada penuh kecemasan.

"Ki Gambaga yang kini dibantu Tiga Bajing 

Goa Tanjung akan datang ke sini, Nyi. Dan berha-

srat besar untuk membinasakan Ki Lurah Bernala 

serta abdi-abdinya," jelas Jaka tanpa menutup-

nutupi hal yang diketahuinya.

"Oh!" Nyi Rira Pangestu terpekik mendengar


penjelasan Jaka.

"Nyi Rira tak perlu terlalu cemas. Sebisanya 

kami akan membantu," tukas Mayang mencoba 

menenangkan hati istri Ki Bernala.

"Kapan kira-kira mereka akan menyerbu 

kemari?" tanya Ki Bernala.

"Entahlah," jawab Jaka, "Yang jelas kita ha-

rus bersiap-siap."

***

Malam demi malam terlewati dengan pera-

saan tercekam. Sudah tiga malam Ki Bernala tak 

dapat tidur tenang. Begitu pun istrinya, Nyi Rira 

Pangestu. Kedua suami-istri penguasa Desa Kober 

Utara itu selalu mengurungkan keinginannya un-

tuk tidur nyenyak. Setiap kali ada suara gemerisik 

mereka tersentak kaget, lalu bangun dari pemba-

ringan. Padahal suara-suara itu ditimbulkan bina-

tang malam atau angin yang bertiup kencang 

menggoyang ranting pepohonan di sekitar rumah-

nya.

Hingga malam ini, Ki Bernala dan istrinya 

benar-benar tak bisa memejamkan mata. Perasaan 

mereka semakin tercekam.

"Perasaanku semakin tak enak saja, Ki," 

ujar Nyi Rira Pangestu mirip bisikan. Matanya me-

natap wajah Ki Bernala yang terbaring di sam-

pingnya.

"Hatiku juga tak tenang, Nyi," timpal Ki 

Bernala, "Namun aku yakin kedatangan mereka 

akan diketahui Gunjada dan kawan-kawannya,


bukankah mereka sedang berjaga-jaga di luar sa-

na?" lanjuti Ki Bernala berusaha menenangkan ha-

ti istrinya.

"Tapi, aku tetap khawatir, Ki," ujar Nyi Rira 

Pangestu tak kuasa menyembunyikan ketakutan-

nya. 

"Kalau begitu, kita bergabung saja dengan 

Jaka dan Mayang. Barangkali dengan begitu hati-

mu bisa tenang, Nyi," ujar Ki Bernala menyaran-

kan istrinya.

Nyi Rira Pangestu menganggukkan kepala 

menyetujui usul Ki Bernala. Keduanya melangkah 

ke luar meninggalkan ruangan pribadinya, menuju 

kamar Mayang dan Jaka.

"Aaa...!"

Namun baru tiga langkah kaki Ki Bernala 

dan Nyi Rira Pangestu terayun, suara pekikan ke-

ras terdengar.

"Ki...?"

Nyi Rira Pangestu segera saja merangkul 

tubuh sang Suami. Kepalanya menoleh ke tempat 

asal suara pekikan.

Pada saat puncak ketakutan Nyi Rira Pan-

gestu tak terkuasai, tiba-tiba muncul Jaka dan 

Mayang yang berlari dari kamar masing-masing.

"Ada apa, Ki?" tanya Jaka dan Mayang 

hampir bersamaan.

"Aku tak tahu, Jaka," jawab Ki Bernala 

sambil merangkul istrinya untuk memberi kete-

nangan.

"Biar aku lihat keluar," ujar Jaka, "Kau te-

mani Nyi Rira, Mayang!"



Jaka bergegas keluar menuju tempat asal 

suara tadi.

"Hei, ada apa ini?" tanya Jaka ketika me-

nyaksikan Gunjada tengah membungkuk meme-

riksa keadaan rekannya yang tergeletak di tanah 

depan rumah Ki Bernala.

"Aku tak tahu dengan jelas. Raja Petir," ja-

wab Gunjada seraya bangkit. "Walinan tahu-tahu 

saja memekik dan ambruk."

Jaka segera melompat turun dari serambi 

untuk memeriksa keadaan lelaki bernama Wali-

nan.

"Dia sudah mati," ucap Jaka setelah meraba 

nadi Walinan yang sudah tak berdenyut.

Gunjada dan kawan-kawannya yang lain 

terkejut mendengar ucapan Raja Petir. Semua 

kembali menatapi tubuh Walinan. 

"Hmmm...."

Raja Petir bergumam saat tangannya mera-

ba bagian leher Walinan. Sebuah benda beracun 

telah menembus kulit leher lelaki itu hingga ke da-

lam. 

"Seperti sebuah jarum," duga Jaka sambil 

terus meraba leher lelaki berpakaian hitam yang 

sudah menjadi mayat itu. 

Crrrt...!

Tiba-tiba saja Jaka memijit kulit bagian leh-

er Walinan. Sebuah jarum seketika keluar dari ku-

lit leher Walinan. Darah kehitaman pun keluar da-

ri bekas tembusan jarum.

"Bersiagalah kalian semua!" ujar Raja Petir 

memperingatkan bahaya yang diduga bakal da


tang.

Orang-orang yang bertugas menjaga kea-

manan rumah kediaman Ki Bernala segera saja 

menghunus senjatanya masing-masing. Pada saat 

itulah tiba-tiba terdengar suara berdecit halus 

yang meluruk ke tempat para penjaga keamanan 

rumah Ki Bernala. 

Jaka yang memang sudah terlatih kepe-

kaannya segera dapat merasakan bahaya yang da-

tang mengancam.

"Awaaasss...!" teriak Jaka, seraya melompat 

ke depan, tangannya seketika bergerak cepat men-

gerahkan jurus pukulan pengacau arah.

Wuuusss...!


DELAPAN



Trak! Trak! Trak!

Benda-benda yang melesat hingga menim-

bulkan suara berdecit itu berpentalan balik ketika 

serangkum angin bergulung yang keluar dari tela-

pak tangan Raja Petir menerjang dari arah berla-

wanan.

Senjata-senjata gelap yang ternyata jarum-

jarum beracun itu sebagian terpental balik ke pe-

miliknya dan sebagian hancur berhamburan di ta-

nah.

"Hops!"

"Aaakh...!"

Teriakan-teriakan keras seketika terdengar 

memecah suasana malam. Jarum-jarum yang terpental balik itu rupanya mengancam keselamatan 

pemiliknya. Sehingga dari balik pepohonan di seki-

tar rumah itu berlompatan beberapa sosok bayan-

gan yang menghindari serangan balik senjata gelap 

mereka.

Tiga lelaki berpakaian gelap mendarat den-

gan ringan di tanah. Gerakan mereka pun sangat 

lincah. Ketiga lelaki berwajah hampir mirip itu 

memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.

Namun, di antara para penyerang gelap itu 

tampak seorang lelaki berwajah kasar. Dari gera-

kan dan cara mendaratnya memberi gambaran ka-

lau dirinya tidak memiliki kemampuan dalam ilmu 

silat. Lelaki berpakaian merah darah itu tak lain Ki 

Gambaga, Kepala Desa Pagarayung. Mereka da-

tang berempat, tanpa Manggale. Ki Gambaga sen-

gaja meninggalkan putranya di rumah, agar men-

jaga Ki Bandot yang tengah menderita luka dalam 

sangat parah setelah bentrok dengan Jaka.

"Ha ha ha...! Hebat juga ilmu yang kau mili-

ki, Bocah!" teriak seorang lelaki berpakaian kelabu 

dan berkepala botak plontos. Mata lelaki yang be-

sar sebelah itu terlihat berkedip-kedip lucu. Dan 

giginya yang tonggos membuat penampilan lelaki 

bertubuh tegap itu tampak lucu.

"Dialah Raja Petir, Lambuna," ujar lelaki 

berwajah kasar yang tak lain Kepala Desa Paga-

rayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober 

Utara.

Lelaki yang bernama Lambuna segera me-

noleh dan menatap sejenak wajah Ki Gambaga. 

Tanpa diberitahu, sebenarnya Lambuna sudah


mengenal ciri-ciri pada diri pemuda berpakaian 

kuning keemasan yang terkenal dengan julukan si 

Raja Petir. 

Mendapat tatapan tak senang dari Lambu-

na, Ki Gambaga sedikit menundukkan wajahnya. 

Keadaan seperti itu tak berlangsung lama, karena 

kemudian Lambuna sudah kembali berkata, "Kau 

tahu dengan siapa sekarang berhadapan. Raja 

Goblok?!" tanya Lambuna setengah membentak.

"Aku tak tahu, tapi kalau boleh aku mendu-

ga, bukankah kau yang berjuluk Setan Tonggos 

berwajah buruk?" balas Raja Petir dengan ejekan 

pula.

"Kurang ajar!" maki Lambuna, merasa ter-

singgung dengan julukan yang disebutkan Raja Pe-

tir.

"Setan Alas!" hardik lelaki lain yang juga 

bergigi tonggos dan bermata sipit. Dialah orang 

kedua dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing 

Gua Tanjung.

"Keparat!" caci orang ketiga tak mau keting-

galan.

"Kau tidak menghardikku?" tanya Raja Petir 

pada Ki Gambaga yang hanya diam.

Ki Gambaga menatap tajam wajah Raja Pe-

tir. "Kau harus mampus sekarang!" bentaknya ke-

mudian.

"Kau yang harus mampus, Gambaga!" balas 

Ki Bernala yang muncul bersama-sama Mayang 

dan Nyi Rira Pangestu. "Sungguh aku tak me-

nyangka kalau kau bisa menodai persahabatan ki-

ta dengan hal-hal yang keji seperti ini. Kau tahu,


banyak sudah penduduk Desa Kober Utara yang 

menjadi korban karena ulahmu menyewa Setan 

Bukit Cemara. Kelakuanmu sangat memalukan! 

Hanya kematianlah yang pantas menebus dosa-

dosamu, Ki Gambaga!"

"Jangan bermimpi dapat membunuhku, 

Bernala!" bentak Ki Gambaga, "Kau tak lihat Tiga 

Bajing Gua Tanjung yang berdiri di sebelahku? Se-

karang juga mereka akan mengirim kalian semua 

ke neraka," lanjut Ki Gambaga dengan menyan-

jung nama Tiga Bajing Gua Tanjung.

"Kurasa Raja Petir-lah yang pantas mengu-

bur wajah-wajah jelek orang-orang bayaranmu, Ki 

Gambaga!" balas Ki Bernala.

Bergetar hati Tiga Bajing Gua Tanjung 

mendengar penghinaan tajam yang dilakukan Ki 

Bernala. Kemudian salah seorang di antara Tiga 

Bajing Gua Tanjung itu bergerak cepat hendak 

menghantam Bernala dengan tinjunya. Namun....

"Hops!"

Mayang telah lebih dulu bergerak ke depan 

untuk melindungi Ki Bernala.

"Sabar Kisanak!" ujar gadis itu sambil men-

gangkat senjatanya sebatas kepala. "Kau tak pan-

tas untuk berhadapan dengannya!"

Lelaki ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung 

mengurungkan niatnya menyerang Ki Bernala.

"Apa kau sanggup menghadapiku, Gadis 

Liar?" tanya lelaki berambut gondrong sebahu. Gi-

ginya yang tonggos tampak sangat lucu. 

"Sepuluh lelaki macam kau pun akan kula-

deni," balas Mayang ketus.


"Benar-benar gadis binal!" 

"Kau lelaki kelaparan!" 

"Hhh...!"

Orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung 

mendengus kesal. Tanpa menunggu perintah dari 

Lambuna sebagai orang tertua, lelaki berambut 

gondrong dan bergigi tonggos itu langsung melan-

carkan serangannya terhadap Mayang.

Lambuna yang menyaksikan Rekoga telah 

melakukan penyerangan, segera memerintahkan 

Garbala untuk sama-sama menyerang Raja Petir.

"Ayo, Garbala! Kita lumat tubuh Raja Gob-

lok itu!" seru Lambuna keras. Tubuh lelaki berke-

pala botak itu langsung melesat ke tubuh Jaka di-

ikuti Garbala.

"Hiaaa...!" 

"Hiaaa...!"

***

Di bawah sinar bulan yang tak begitu terang 

pertarungan maut pun tak dapat terelakkan. Lam-

buna dan Garbala tampak sangat bernafsu untuk 

membunuh lawan mereka.

Pertarungan yang berlangsung seru itu ter-

pecah tiga bagian. Kepala Desa Kober Utara tam-

pak mempertahankan kewibawaannya menghada-

pi Kepala Desa Pagarayung. Sementara dara manis 

kekasih Raja Petir, nampak tak sungkan-sungkan 

meladeni orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tan-

jung. 

"Hiaaa...!"


Wuttt!

"Haits...!" 

Dengan cepat Rekoga mengayunkan senjata 

menyerang Dewi Payung Emas. Seperti gerakan 

penari tubuh Mayang meliuk menghindari teba-

san, senjata Rekoga. Sangat ringan dan lentur ge-

rakan yang dilakukan gadis berpakaian jingga itu 

membuat serangan lawan luput. 

"Setan!" hardik Rekoga geram, "Terimalah 

ini!" 

Slats! Slats!

Dengan gerakan cepat Rekoga meraih sum-

pit yang ditaruh di balik pakaian dan meniupkan-

nya dengan kuat. Dua batang jarum beracun pun 

melesat cepat memburu tubuh Mayang. Namun.... 

Wrrr...! 

Trak! Trak! 

Mayang yang sudah mampu membaca keli-

cikan lawannya segera saja mengerahkan jurus 

'Benteng Emas' guna meredam serangan Rekoga 

lewat ilmu 'Sumpit Maut Setan Tanjung'.

Senjata andalan Mayang yang berupa 

payung logam yang berwarna kuning keemasan 

berputaran kuat hingga membentuk semacam 

benteng. Dan ternyata jurus 'Benteng Emas' lebih 

ampuh dari ilmu lawan.

Sementara itu pada pertarungan lain. Raja 

Petir yang menghadapi lelaki tertua dari Tiga Baj-

ing Gua Tanjung tengah terlibat pertarungan sen-

git.

Jurus-jurus andalan yang dimiliki Lambuna 

dan Garbala berkali-kali sudah digelar. Namun se


jauh ini dua dari Tiga Bajing Gua Tanjung belum 

mampu menunjukkan keperkasaan mereka. Ber-

lawanan dengan sesumbar mereka yang hendak 

melumat tubuh Raja Petir.

Sebaliknya, Raja Petir hanya dengan menge-

rahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sesekali 

menyerang dalam jurus 'Petir Menyambar Elang' 

mampu mengecoh lawan-lawannya. Bahkan Lam-

buna dan Garbala tampak mulai terdesak.

"Dia betul-betul tangguh, Kakang," desis 

Garbala seperti putus asa.

"Tidak Garbala, Kita hanya belum mengelu-

arkan ilmu-ilmu tingkat utama kita," sangkal 

Lambuna.

"Kalau begitu gunakan saja sekarang, Ka-

kang," usul Garbala.

"Ayo! Aku memang sudah kepingin cepat-

cepat menyelesaikan urusan ini," jawab Lambuna.

Orang pertama dan kedua dari Tiga Bajing 

Gua Tanjung itu kini sama-sama mundur dua 

langkah. Keduanya kini berdiri tegak dengan tata-

pan mata lurus ke wajah Raja Petir. Sementara 

tangan mereka saling ditautkan satu sama lain.

Dengan sikap tenang Raja Petir memperha-

tikan apa yang dilakukan kedua lawannya. Ba-

ginya gerakan yang dilakukan Lambuna dan Gar-

bala dianggap seperti anak-anak kecil yang hendak 

bermain. Namun ketika melihat kelanjutannya Ra-

ja Petir tersentak.

"Ilmu Setan," gumam Raja Petir melihat 

tangan yang saling bertautan itu semakin meman-

jang dan memanjang. Tangan itu melar bagai karet


dan semakin lama terulur melebihi ukuran kewa-

jaran.

Jaka dengan tatapan mata tak berkedip te-

rus menanti-nanti apa yang akan dilakukan dua 

orang lawannya.

"Aji Gua Maut!"

Tiba-tiba saja Lambuna berteriak lantang 

menyebutkan ilmu yang sedang digunakannya. 

Bersamaan dengan itu tubuh keduanya melesat 

dengan cepat memburu Raja Petir. Tangan mereka 

yang melar panjang tetap saling bergandengan. 

Kedua tangan panjang itu tiba-tiba bergerak men-

gurung Raja Petir yang masih diam di tempatnya.

"Hmmm...! Apa yang akan mereka lakukan 

dengan 'Aji Gua Maut' itu?" batin Jaka.

Jaka yang kini terkurung ilmu lawan sedikit 

pun tak bergeser dari pijakannya. Dirinya masih 

menanti-nanti serangan bagaimana yang akan di-

lancarkan Lambuna dan Garbala.

Beberapa saat lamanya tubuh Jaka, yang 

terkurung tak terjadi perubahan apa-apa. Namun 

kemudian asap kemerahan tiba-tiba muncul dari 

tangan-tangan yang melingkar di seputar tubuh 

Raja Petir. Mula-mula asap itu terlihat tipis, tapi 

kemudian semakin tebal hingga akhirnya berubah 

warnanya. Asap tebal yang mengurung itu kini me-

rah pekat.

"Uhugkh!"

Jaka terbatuk ketika asap ciptaan Lambuna 

dan Garbala yang terangkum dalam ilmu 'Aji Gua 

Maut' semakin dekat, seolah hendak membungkus 

tubuhnya.


"Hawa beracunnya semakin lama semakin 

menyengat," kata hati Jaka. Kemudian secara per-

lahan dirinya mulai mengerahkan 'Ajian Kukuh 

Karang' untuk mengatasi serangan lawan.

Sebelum asap merah yang semakin tebal itu 

benar-benar membungkus tubuh Raja Petir sinar 

kuning keemasan yang perpendar-pendar dari ba-

gian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung 

kaki telah menjelma melindungi tubuhnya.

Karena tubuh lawan terkepung asap tebal 

Lambuna dan Garbala tak tahu kalau Raja Petir 

tengah berupaya melindungi diri dengan ilmunya.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Raja Petir hanya dapat mendengar teriakan 

Lambuna dan Garbala yang menggelegar. Firasat-

nya mengatakan kalau dua lawannya akan mela-

kukan serangan gelap. 

Dan ternyata benar. Lambuna dan Garbala 

tengah melesat cepat, mengirimkan serangan den-

gan tendangan lurus ke kepala dan perut Raja Pe-

tir. 

Suara angin yang menderu menandakan 

kalau kedua tokoh Setan Gua Tanjung mengguna-

kan kekuatan tenaga dalamnya dalam serangan 

itu. Namun.... 

Prats! Prats...!

"Aaakh...!"

"Akh...!"

Tubuh Garbala dan Lambuna seketika ter-

pental balik ketika tendangan dahsyat yang mere-

ka lancarkan seperti membentur logam yang san


gat keras. Seketika keduanya terpekik kesakitan.

Hampir tiga batang tombak jauhnya tubuh 

Lambuna dan Garbala terpental. Mereka merasa-

kan sekujur tubuh bagaikan dirambati ribuan se-

mut. Gemetaran dan linu. Sedangkan pengaruh 

'Aji Gua Maut' yang mampu menjelmakan asap 

merah dan tebal kini telah luntur. Tak lagi tercium 

bau yang menyesakkan pernapasan, apalagi wujud 

asap itu seolah-olah menguap ke langit.

"Keparat!" maki Lambuna geram, merasa te-

lah mengalami kegagalan dengan ajian yang dian-

dalkannya.

"Kalian masih punya hasrat untuk mengha-

dapiku?" tanya Jaka dengan suara keras.

"Hhh...!"

Lambuna dan Garbala sama-sama mengge-

leng. Mulut Lambuna mendengus penuh keben-

cian, mendengar pertanyaan Jaka yang dianggap-

nya terlalu sombong.

"Lebih baik aku mampus daripada harus 

menyerah di tanganmu, Raja Gila!" maki Garbala 

tak kuasa menahan kejengkelannya.

Srat!

Tiba-tiba saja Garbala meloloskan pedang 

dari warangkanya yang tergantung di pinggang. 

Hal yang sama dilakukan Lambuna. Sementara 

itu, Jaka terbelalak melihat pedang Garbala. Pe-

dang itu tumpul dan berukuran pendek. Mungkin 

hanya sekitar dua jengkal.

"Heaaa...!"

Garbala melesat cepat memburu tubuh Ja-

ka. Sementara Lambuna dengan ringan sekali me


lenting ke atas sambil mengayunkan pedangnya.

Patut dipuji daya tahan kedua tokoh Tiga 

Bajing Gua Tanjung itu. Apalagi daya tahan tubuh 

Lambuna. Meski dalam keadaan persendian yang 

masih linu, lelaki berkepala botak itu mampu me-

lenting ke udara dan meluruk melewati batas ke-

pala Raja Petir.

Melihat tindakan kedua lawannya, Jaka 

mengetahui gelagat kalau mereka akan menye-

rangnya dari dua arah depan dan belakang dengan 

menggunakan senjatanya.

Dugaan Raja Petir ternyata tak meleset, ter-

bukti setelah tubuh Lambuna mendarat di bela-

kangnya, Garbala mengangkat pedangnya sampai 

di atas kepala. Jelas hal itu sebagai pertanda, ka-

lau penyerangan dari dua arah akan segera dimu-

lai.

"Sepasang Pedang Bajing Goa Tanjung!" pe-

kik Lambuna yang berada di belakang Raja Petir.

"Hiaaa...!"

"Hiaaa...!"

Garbala yang melesat lebih dulu dari depan 

sempat dilihat gerakannya oleh Raja Petir. Seketi-

ka itu juga kecerdikan Raja Petir berperan.

Ketika pedang tumpul di tangan Garbala 

melesat mengancam jantungnya. Raja Petir segera 

menangkap senjata itu dengan dua telapak tangan 

yang dirapatkan satu sama lain. 

Crak!

"Heh?!" Garbala terkejut mendapatkan se-

rangannya ditahan dengan tangan telanjang. Dan 

keterkejutan Garbala semakin menjadi-jadi ketika



pada saat yang hampir bersamaan Lambuna me-

nusukkan pedangnya lurus ke batang leher lawan. 

Sedangkan Raja Petir, dengan kecepatan dan ke-

kuatan luar biasa segera mengangkat tubuh Gar-

bala hingga menghadapi Lambuna yang tengah 

melancarkan serangan membokong. Maka keja-

diannya....

"Hiaaa...!"

Jrrrabs!

"Aaa...!" lengking kematian panjang pun 

terdengar membumbung tinggi, ketika pedang 

Lambuna menghujam dada Garbala. Tubuh orang 

kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu langsung 

ambruk ke tanah. Darah muncrat dari dada Gar-

bala ketika dengan cepat Lambuna menarik pe-

dangnya.

"Keparat kau. Raja Petir!" bentak Lambuna. 

Lelaki berkepala botak itu menggeram marah. Ma-

tanya melotot kaget menyaksikan kematian Garba-

la.

"Aaa...!"

Belum lagi kemarahan Lambuna terlam-

piaskan sebuah pekik kematian terdengar dari mu-

lut Rekoga. Lambuna sempat menoleh ke tempat 

asal pekikan itu. Dan hatinya terkejut bukan kepa-

lang menyaksikan Rekoga terhuyung-huyung den-

gan bagian perut terkoyak lebar. Darah bercucu-

ran dari perut yang terbabat senjata andalan 

Mayang.

Bruk!

"Aaakh...!"

Tubuh Rekoga ambruk. Masih terdengar


suara rintihan kesakitan, sebelum akhirnya tubuh 

Rekoga kaku tak bernyawa.

Pada pertarungan lain Ki Gambaga tampak 

terdesak menghadapi Ki Bernala, karena pada saat 

itu Gunjada mulai memberi bantuan kepada kepa-

la desanya.

"Mampus kau, Ki Gambaga!" teriak Gunjada 

sambil membabatkan pedangnya ke lambung Ke-

pala Desa Pagarayung itu. 

"Heaaa...!" 

Brets!

"Akh...!" 

Tubuh Ki Gambaga seketika ambruk ke ta-

nah dengan bagian lambung terkoyak dan mengu-

curkan darah. Tubuh kepala desa itu menggelepar-

gelepar sesaat, tapi kemudian diam tak bergerak 

lagi.

"Bagaimana, bajing ompong?! Apakah kau 

juga ingin menyusul kawan-kawanmu ke kubur?" 

tanya Raja Petir mengejek Lambuna.

Merah padam wajah Lambuna mendengar 

lecehan lawannya. "Kalau aku mundur sekarang, 

itu bukan berarti aku takut mati, Raja Gendeng! 

Aku hanya tak ingin kematian saudara-saudaraku 

menjadi sia-sia. Aku akan menuntut balas pada-

mu. Dendamku akan terus membara!" lantang 

ucapan Lambuna. Napasnya terdengar memburu 

menahan kemarahan yang meluap-luap.

Raja Petir hanya tersenyum mendengar 

ucapan lawan yang sudah kehilangan keberanian 

itu. Dan senyumnya semakin melebar saat Lam-

buna menghentakkan kakinya.


"Hiaaa...!" 

Di luar dugaan, Gunjada tiba-tiba melesat 

cepat ke tubuh Lambuna seraya mengayunkan pe-

dangnya. 

Bret!

"Aaa...!"

Lambuna terpekik keras, ketika pedang 

Gunjada membabat tepat batang lehernya. Darah 

segar langsung tersembur dari leher yang terkoyak 

lebar. Tubuh lelaki berkepala botak itu menggele-

par-gelepar di tanah.

Hanya sesaat pemandangan seperti itu ter-

lihat, pada saat selanjutnya tubuh Lambuna tak 

berkutik lagi. Mati!

Menyaksikan kematian Lambuna, Raja Petir 

hanya sempat menarik napas dan kemudian ka-

kinya terayun menghampiri Ki Bernala dan Nyi Ri-

ra Pangestu.

"Maaf, Ki dan Nyi! Kami tak bisa berlama-

lama tinggal di desa ini, masih banyak keperluan 

yang harus kami urns," ucap Jaka.

"Tinggallah barang satu, dua malam lagi di 

sini, Nak Jaka!" tahan Nyi Rira Pangestu.

"Maafkan kami, Nyi! Bukannya kami tak 

berkenan," tolak Jaka lembut.

Nyi Rira Pangestu tak lagi berkata-kata 

mendengar penolakan halus Raja Petir. 

"Kalau begitu jangan lupakan kami, dan te-

rima kasih atas bantuanmu!" tutur Ki Bernala.

Jaka dan Mayang sama-sama mengangguk-

kan kepala.

"Sama-sama, Ki. Kami mohon diri seka


rang!" ucap Jaka. "Ayo, Mayang!"

Mayang pun segera mengikuti langkah pan-

jang Jaka. Angin berhembus semilir mengiringi 

kepergian sepasang pendekar muda yang telah 

berhasil menunaikan tugasnya.



                              SELESAI




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar