SETAN BUKIT CEMARA
Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode:
Setan Bukit Cemara
128 hal. ; 12 x 18 cm.
SATU
"Hi hi hi...!"
Suara tawa kecil seperti gurauan manja,
terdengar mengisi suasana siang yang telah mulai
bergeser menuju senja. Angin semilir bertiup dari
arah utara, semakin menambah perasaan syahdu
hati seorang gadis cantik, berambut panjang dike-
pang yang tengah berlari-lari kecil menghindari ke-
jaran pemuda tampan berpakaian kuning keema-
san.
"Sudah! Sudah!" teriak pemuda tampan be-
rambut gondrong itu sambil menghentikan larinya,
membiarkan si gadis berambut dikepang yang
memakai baju warna jingga. "Sedari tadi cekikikan
terus, aku khawatir nanti kau akan menangis,
Mayang...," lanjutnya seraya tersenyum dan mena-
tap gadis yang dipanggil Mayang.
Di punggung lelaki berwajah tampan itu
nampak menggelantung sebuah gagang pedang be-
rukir bunga-bunga kecil nan indah.
"Aku tak akan pernah menangis, Kakang,"
sangkal gadis cantik berpakaian jingga yang ter-
nyata Mayang Sutera.
"Kalau tiba-tiba saja ada gadis lain di sam-
pingku, apa kau juga tak akan menangis?" ledek si
pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
"Kakang Jaka! Apakah kau mulai senakal
itu?" sanggah Mayang dengan mata terpicing dan
tersenyum, menatap pemuda di depannya.
Pemuda yang ternyata Jaka tersenyum
mendengar ucapan sang Kekasih. Ucapan itu san-
gat tepat sebagai sanggahan dan sekaligus mampu
menutupi perasaan hati yang sebenarnya. "Tentu
saja tidak, Mayang. Yang kuucapkan barusan itu
hanya seandainya," elak Jaka.
"Ya, berarti aku tak akan pernah menangis,
karena aku tahu Kakang tak mungkin berbuat
itu," ujar Mayang dengan nada kemenangan.
"Kau memang pintar," puji Jaka.
"Aku mendapatkan kepintaran itu justru
darimu," balik Mayang merendah.
"Itu juga salah satu kepintaranmu untuk
selalu mengelak dari pujianku," ujar Jaka lagi.
Kali ini Mayang tak menyanggah. Diperhati-
kannya langkah kaki Jaka yang menghampirinya.
Dan ketika kemudian tangan Jaka meraih perge-
langan tangannya, Mayang tak berusaha menge-
lak.
"Begini seharusnya kita," ujar Jaka sambil
melangkah dengan menggamit tangan kekasihnya.
"Semua lelaki maunya begini," ledek
Mayang, "Mau enaknya saja."
"Jangan memancing lagi, Yang! Nanti
aku...."
"Maaf, aku takut kalau kau ma...."
Mayang menggantung ucapannya ketika
melihat tangan Jaka bergerak hendak mencubit
pipinya.
Angin masih terus bertiup lembut, sementa-
ra sore perlahan-lahan turun bersama suasana se-
juk. Sepasang muda-mudi yang merupakan tokoh
terkenal di rimba persilatan itu terus bergelut den
gan gurauan yang membuat keduanya kian akrab.
Akan tetapi ketika langkah Jaka dan
Mayang memasuki areal tanah pemakaman, tak
lagi terdengar ucapan-ucapan canda yang keluar
dari mulut mereka. Seketika wajah keduanya be-
rubah tegang seolah ada suatu firasat buruk telah
menyelinap di hati mereka.
"Aneh sekali keadaan di sekitar pemakaman
ini, Kang," ujar Mayang, meski dengan suara per-
lahan. "Bulu kudukku berdiri," lanjutnya sambil
merapatkan tubuh pada kekasihnya.
"Aku juga merasakan ada hawa lain,
Mayang," sambut Jaka seraya menoleh ke wajah
Mayang. "Kita harus mewaspadai keadaan ini."
"Ya," sambut Mayang.
Dua muda-mudi itu terus melanjutkan per-
jalanan melintasi tanah pemakaman yang masih
dalam wilayah Desa Kober Utara. Setapak demi se-
tapak Mayang dan Jaka menjejaki tanah pemaka-
man dengan kewaspadaan yang tinggi. Otot-otot
mereka nampak menegang.
Cukup lama ketegangan yang dirasakan Ja-
ka dan Mayang berlangsung. Hal itu karena tanah
pemakaman yang tengah mereka lewati cukup
luas.
"Hhh...."
Terdengar hembusan napas berat Mayang
ketika mereka berdua sampai di luar tanah kubu-
ran. Gadis itu tampaknya merasakan keanehan
yang berselimut di hati telah lenyap.
"Baru sekarang aku mengalami ketakutan
seperti ini, Kakang. Hhh....! Ketakutan yang tanpa
alasan," ucap Mayang sambil kembali menghela
napas dalam-dalam, seakan-akan hendak men-
gendorkan urat sarafnya yang menegang.
Jaka tak menimpali ucapan Mayang, tetapi
kemudian mulutnya sudah terbuka berkata den-
gan ketenangan yang menjadi ciri khasnya.
"Hm...," firasatku mengatakan, bahwa di
Desa Kober Utara ini akan terjadi sesuatu yang
mengerikan, Mayang. Entah kejadian macam apa.
Yang jelas ketika kita memasuki mulut Desa Kober
Utara yang ditandai dengan sebuah batu bertu-
liskan nama desa ini, firasat seperti yang kuse-
butkan tadi sudah terbersit. Cuma, karena kau se-
lalu mengajak bergurau, menyebabkan aku melu-
pakan firasat itu," ujar Jaka sambil terus menga-
jak Mayang berjalan menjauhi tanah pemakaman.
"Kalau firasatmu benar, apa yang harus kita
lakukan?" tanya Mayang.
"Tampaknya kita harus bermalam di desa
ini. Itu kalau kita ingin tahu bencana yang akan
menimpa desa ini. Kita bisa menumpang di rumah
penduduk atau kalau perlu menemui Kepala Desa
Kober Utara," jawab Jaka mantap.
"Aku setuju, Kakang," timpal Mayang.
"Setuju yang mana?" tanya Jaka berusaha
menghilangkan ketegangan yang masih sedikit di-
rasakan.
"Menginap di rumah penduduk setuju, di
rumah kepala desa pun setuju."
"Di kediaman kepala desa saja kalau begitu.
Barangkali keanehan yang kita rasakan barusan
mendapat keterangan lebih terperinci dan jelas,"
usul Jaka.
Tanpa mengomentari usul Jaka, Mayang
mengikuti langkah kekasihnya menuju rumah Ke-
pala Desa Kober Utara. Angin masih tetap bertiup
semilir, hawa dinginnya kini lebih kuat menusuk
permukaan kulit
***
Malam sebentar lagi turun. Suasana dingin
menyelimuti Desa Kober Utara. Di jalan utama de-
sa itu tampak Jaka dan Mayang berjalan menuju
selatan. Mereka bermaksud mendatangi rumah
Kepala Desa Kober Utara. Tak lama kemudian ke-
duanya melihat sebuah bangunan rumah besar
dan tampak kokoh yang diterangi cahaya api obor.
Di serambi depan rumah yang cukup luas
itu tampak beberapa orang lelaki. Beberapa di an-
tara mereka tampak berjalan mondar-mandir di
bawah cahaya obor yang terpancang di dinding.
Dilihat dari tingkah laku mereka, tampaknya
orang-orang itu tengah dilanda suatu kegelisahan
yang hebat
Jaka dan Mayang terus melangkah menuju
bangunan kokoh yang diyakini sebagai rumah Ke-
pala Desa Kober Utara.
"Selamat malam, Kisanak sekalian!" sapa
Jaka dengan tubuh sedikit dibungkukkan membe-
ri hormat. Padahal sebenarnya saat itu belum ma-
lam. Namun gelap telah mulai menyelimuti suasa-
na lepas senja itu.
Ucapan tegas yang mengandung kewiba
waan tinggi itu didengar beberapa lelaki yang ten-
gah hilir-mudik di serambi depan. Sejenak mereka
tercenung memperhatikan kehadiran sepasang
muda-mudi yang memiliki ketampanan dan kecan-
tikan yang mengagumkan. Namun beberapa saat
kemudian salah seorang dari mereka segera me-
nyadari ketercenungannya dan membalas sapaan
Jaka setelah terlebih dahulu menganggukkan ke-
pala.
"Selamat malam!" tukas lelaki bertubuh
tinggi tegap yang mengenakan pakaian serba cok-
lat. Wajah tampannya yang berkulit putih menam-
bah kegagahan. Ditambah pula kumis hitam tebal
yang bertengger di bawah hidung.
"Maaf, kalau kehadiran kami berdua meng-
ganggu kisanak sekalian!" ucap Jaka lagi dengan
kata-kata lembut namun menyiratkan ketegasan.
"Ah, tidak," selak lelaki tampan berkumis
tebal, "Kalau boleh ku tahu siapa kalian dan ada
perlu apa datang ke tempat ini?" lanjut lelaki ber-
pakaian coklat itu meminta sekaligus menyelidiki
keberadaan kedua tamunya.
"Kami adalah pengelana. Namaku Jaka
Sembada dan kawanku ini bernama Mayang Sute-
ra," jawab Jaka memenuhi permintaan lelaki tam-
pan berpakaian coklat "Kedatanganku ke tempat
ini untuk menemui Kepala Desa Kober Utara," lan-
jutnya dengan suara mantap. Dirinya sengaja tak
menceritakan masalah yang akan diutarakan nanti
pada Kepala Desa Kober Utara.
"Untuk apa kau menemui, Ki Bernala?" se-
lak salah seorang lelaki bertubuh pendek dengan
tatapan penuh kecurigaan. "Maaf Kakang Gunja-
da, kedatangan mereka tepat sekali dengan mala-
petaka yang menimpa Ki Bernala. Terus terang
aku merasa curiga!" lanjutnya seraya menatap Ja-
ka dan Mayang penuh selidik.
Lelaki berpakaian coklat yang ternyata ber-
nama Gunjada seperti terpengaruh ucapan lelaki
bertubuh pendek. Terbukti kini Gunjada ikut me-
natap wajah Jaka dan Mayang dengan sorot mata
tajam dan penuh selidik.
"Em..., Jaka! Jawablah pertanyaan Marga!"
pinta Gunjada dingin.
Jaka mengembangkan senyum menyaksi-
kan perubahan pada diri Gunjada yang mudah
terpengaruh ucapan temannya.
"Secara khusus aku memang tak memiliki
keperluan penting dengan Ki Bernala. Aku hanya
ingin bertemu dengannya. Maaf, keinginanku ber-
sifat tak memaksa! Kalau kalian mengizinkan aku
bersyukur sekali. Itu pun jika Ki Bernala sendiri
tak berkeberatan bertatap muka dengan kami.
Dan yang perlu Kisanak sekalian ketahui, keda-
tangan kami ke tempat ini sedikit pun tak mem-
bawa niat jahat," jawab Jaka tenang.
"Jangan percaya begitu saja dengan kata-
katanya, Kakang Gunjada!" selak Marga ketus.
"Tenanglah kau, Marga!" bentak Gunjada
sengit.
Marga langsung tertunduk mendengar ben-
takan Gunjada yang disertai belalakkan mata.
"Keinginan kalian tak mungkin bisa kami
penuhi," tolak Gunjada dengan tatapan mata din
gin menusuk wajah kedua tamunya.
"Kenapa?" kali ini Mayang yang bertanya
pada Gunjada. Suaranya yang merdu sempat
membuat lelaki berwajah tampan dan berkumis
tebal tergeragap sesaat.
"Ki Bernala tak mungkin ditemui orang lain
yang tak dikenalnya," jawab Gunjada seraya
menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
"Maaf! Kalau boleh kami tahu, malapetaka
apa yang Kakang Marga maksudkan tadi?" pinta
Jaka dengan menyebut kata 'Kakang' sebagai tan-
da hormatnya pada Marga.
"Itulah yang kumaksudkan dengan keti-
dakmungkinan kalian untuk bertemu dengan Ki
Bernala. Dia tengah mengalami suatu penyakit
yang cukup aneh," jelas Gunjada. Kecurigaan ter-
hadap kedua tamunya sedikit demi sedikit mulai
luntur. Itu tak lain karena sikap Jaka dan Mayang
yang selalu menjaga kesopanan dalam berbicara.
"Penyakit aneh? Penyakit macam apa yang
Kakang Gunjada maksudkan?" tanya Mayang hati-
hati.
"Kami tak tahu nama penyakit itu, Nini
Mayang. Namun, yang jelas penyakit itu datang
begitu tiba-tiba, pagi tadi keadaan Ki Bernala se-
gar-bugar, namun ketika menjelang siang dia me-
rasakan permukaan kulitnya berdenyut-denyut
hebat. Nyeri dan panas, katanya. Dan sepenanak
nasi setelah Ki Bernala merasakan hal itu, sekujur
tubuhnya, tiba-tiba ditumbuhi benjolan-benjolan
merah. Seperti bisul yang sudah tua dan hendak
pecah," papar Gunjada menjelaskan keadaan Ki
Bernala yang sesungguhnya.
"Betul-betul penyakit aneh," gumam
Mayang. Tatapan matanya kini tertuju pada Jaka.
"Apakah kalian sudah berusaha menda-
tangkan tabib untuk mengobati penyakit Ki Berna-
la?" tanya Jaka kemudian.
"Itu sedang kami usahakan, Jaka," jawab
Gunjada, "Kami sudah mengutus seseorang untuk
mendatangkan tabib."
Sesaat suasana berubah hening. Mata Jaka
dan Mayang saling tatap. Sementara itu Gunjada
melempar pandangan pada kawan-kawannya yang
masih nampak gelisah.
"Maaf, Kakang Gunjada! Kalau kau tak ke-
beratan, bolehkah aku melihat keadaan Ki Berna-
la? Aku khawatir penyakitnya tak lekas teratasi.
Maaf, bukannya aku sok menjadi pahlawan, tetapi
mudah-mudahan saja aku bisa memberikan perto-
longan pertama sebelum tabib yang kau usahakan
itu datang!" ujar Jaka menyampaikan permintaan-
nya.
Gunjada tak segera menjawab permintaan
Jaka. Tatapannya kini terpaku pada wajah lucu le-
laki bertubuh pendek bernama Marga. Tampaknya
Marga sendiri tak berani memberi jawaban, karena
takut Gunjada akan membentak seperti tadi.
"Kakang Gunjada percayalah dengan uca-
pan Kakang Jaka!" ujar Mayang bernada membu-
juk.
"Kami tak akan berbuat jahat pada Ki Ber-
nala, bahkan sebaliknya."
Gunjada menatap wajah cantik Mayang. Pe
rasaan lelakinya seketika bergetar hebat. Namun
Gunjada segera meredam dengan mengalihkan ta-
tapan matanya ke wajah pemuda berwajah tampan
di depannya.
Cukup lama mata Gunjada menatap wajah
Jaka, seakan-akan tengah mencari sebentuk keju-
juran pada wajah tokoh muda yang berjuluk Raja
Petir itu.
"Baiklah. Kupegang niat baik dan kejujuran
kalian," putus Gunjada akhirnya.
Gunjada segera beranjak dari tempatnya,
membawa masuk Jaka dan Mayang ke kediaman
Ki Bernala, Kepala Desa Kober Utara itu. Sementa-
ra Marga dan rekan-rekannya yang lain hanya
memandangi tubuh kedua muda-mudi yang be-
ranjak, dari hadapan mereka. Sesungguhnya di
hati mereka tersinggahi keresahan, tapi mereka
berharap dua orang tamu tak diundang itu mem-
bawa kebaikan bagi mereka semua terutama Ki
Bernala.
***
Memasuki kamar pribadi Ki Bernala yang
tertata rapi dan berbau harum, Jaka dan Mayang
dapat menduga kalau Ki Bernala seorang kepala
desa yang senang menjaga kebersihan. Dan jelas,
Ki Bernala sangat mementingkan arti kesehatan
lingkungan tempat tinggalnya. Namun kali ini pen-
guasa Desa Kober Utara itu justru tengah menderi-
ta karena penyakit aneh.
"Apakah dia tabib yang kau maksudkan,
Gunjada?" seorang perempuan berusia empat pu-
luh tahunan menyambut kedatangan Raja Petir
dan Mayang yang disertai Gunjada.
Perempuan yang mengenakan pakaian me-
rah muda itu masih menampakkan sisa-sisa ke-
cantikannya di masa muda. Kulitnya nampak te-
rawat dengan baik. Kedua matanya pun masih
bening dan menawan. Sementara rambutnya yang
panjang tersanggul dengan rapi.
"Mereka bukan tabib, Nyi Rira," jawab Gun-
jada dengan kepala tertunduk. Sepertinya Gunjada
begitu menghormati perempuan yang tak lain istri
Ki Bernala.
"Bukan tabib?" tanya Nyi Rira Pangestu
agak terkejut,
"Betul, Nyi," jawab Gunjada dengan kepala
yang masih tertunduk.
"Apa yang dikatakan Kakang Gunjada betul,
Nyi. Kami bukan tabib. Kami berdua hanyalah pa-
ra pengelana yang kebetulan lewat di desa ini,"
timpal Mayang dengan sikap yang sopan, "Setelah
kami berbincang-bincang sebentar dengan Kakang
Gunjada, maka tahulah kami kalau keluarga ini
tengah tertimpa musibah. Maaf kalau kami terlalu
lancang mencampuri urusan keluarga ini!" lanjut
Mayang.
"Apa yang bisa kalian lakukan untuk me-
nanggulangi musibah ini?" tanya Nyi Rira bernada
meremehkan keberadaan Jaka dan Mayang.
'Tak ada yang bisa kami lakukan, sebelum
kami lihat penyakit yang diderita Ki Bernala, Nyi.
Ah, ya. Hampir lupa aku memperkenalkan diri.
Namaku Jaka Sembada dan kawanku, ini Mayang
Sutera," ujar Jaka terhadap ucapan Nyi Rira.
Tak ada jawaban dari mulut Nyi Rira Pan-
gestu. Matanya menatap berganti-ganti ke wajah
Jaka dan Mayang. Beberapa saat lamanya hal itu
dilakukan Nyi Rira Pangestu. Sesaat kemudian
tangan perempuan itu memberi isyarat pertanda
memberi izin pada kedua tamu itu untuk melihat
keadaan sang Suami.
"Silakan kalian lihat keadaan Ki Bernala,"
ucap Nyi Rira Pangestu sambil melangkah mende-
kati ranjang yang tertutup kelambu putih.
Nyi Rira Pangestu kemudian menyibak ke-
lambu perlahan. Seketika itu juga nampak seorang
lelaki berusia lima puluh tahunan tengah terbaring
lemah. Keadaan Ki Bernala yang hanya mengena-
kan sehelai celana pendek nampak begitu menge-
rikan. Seluruh tubuhnya dipenuhi benjolan-
benjolan sebesar telur ayam dan berwarna keme-
rahan, seperti bisul-bisul yang hampir pecah.
Ki Bernala mengerang-erang merasakan
hawa panas dan rasa sakit yang mendera. Se-
dangkan Nyi Rira Pangestu tampak berusaha men-
gurangi hawa panas yang diderita suaminya den-
gan mengompreskan kain basah.
Raja Petir mulai memeriksa penuh perha-
tian penyakit yang diderita Ki Bernala dengan
mengerahkan kekuatan batinnya. Semula ditatap-
nya benjolan paling kecil yang berwarna merah
kehijauan dengan mata terbelalak. Namun sesaat
kemudian, tiba-tiba matanya terpejam.
"Ah...!"
Terdengar desahan panjang dari mulut Ja-
ka. Matanya perlahan-lahan terbuka. Lalu meno-
leh ke wajah Nyi Rira Pangestu dan Gunjada.
"Kalau boleh aku menduga, penyakit ini
disebabkan perbuatan jahil seseorang yang beril-
mu cukup tinggi. Ini penyakit yang tak wajar," ujar
Jaka dengan suara ditekan pelan.
"Berilah dia pertolongan kalau kau bisa,
Nak Jaka," pinta Nyi Rira Pangestu dengan penuh
harap. Entah mengapa tiba-tiba saja hatinya begi-
tu percaya pada pemuda tampan berpakaian kun-
ing keemasan itu.
"Seperti Nyai dan juga orang-orang yang be-
rada di lingkungan tempat tinggal ini, aku tak
punya kelebihan apa-apa. Namun karena Nyai
mempercayakan pertolongan itu kepadaku, maka
aku akan berusaha semampuku melakukan per-
mintaan Nyai. Namun kuharapkan juga bantuan
Nyai, dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa
agar memberikan rahmat-Nya demi kesembuhan
Ki Bernala," pinta Jaka dengan perasaan meren-
dah.
"Tentu saja, Nak Jaka," sambut Nyi Rira
Pangestu seraya mengangguk.
Mendengar ucapan Nyi Rira Pangestu, Jaka
segera mendekatkan wajahnya ke salah satu ben-
jolan di tubuh Ki Bernala.
"Maaf, Ki! Aku memang harus meraba ben-
jolan di tubuhmu," ucap Jaka pelan.
Telapak tangan lelaki muda berwajah tam-
pan itu segera bergerak meraba benjolan terkecil
yang berwarna kehijauan.
"Aaakh...!"
Jeritan keras seketika terlontar dari mulut
Ki Bernala. Tubuh lelaki tanpa pakaian itu meng-
gelinjang, seperti tengah menahan rasa nyeri yang
hebat.
Nyi Rira Pangestu sempat terlonjak men-
dengar jeritan sang Suami. Begitu juga dengan
Gunjada. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu mun-
dur satu langkah. Senjatanya yang berupa pedang
sudah lolos dari warangkanya.
"Tenang, Kakang Gunjada!" tegur Mayang
ketika melihat Gunjada sudah menghunus pe-
dang. "Aku yakin Kakang Jaka sudah menemukan
sumber penyakitnya. Itu sebabnya Ki Bernala
menjerit kesakitan...."
Ucapan Mayang berpengaruh pada diri
Gunjada, terbukti lelaki berwajah tampan dan
berkumis tebal itu kembali memasukkan pedang
ke warangkanya.
Sementara Jaka nampak tengah meraih se-
suatu dari balik pakaiannya.
"Sebaiknya diminumkan dulu obat penawar
racun ini, Nyi," ucap Jaka seraya menyerahkan
sebutir obat berwarna merah darah pada istri Ki
Bernala.
Nyi Rira Pangestu tanpa menaruh curiga se-
gera meraih obat penawar racun yang diberikan
Jaka, lalu memberikannya pada Ki Bernala.
"Aaakh...!"
Kembali Ki Bernala terpekik sesaat setelah
menelan obat yang dimasukkan Nyi Rira Pangestu
ke mulutnya. Tubuh Ki Bernala menggelinjang
gelinjang beberapa saat. Sementara Nyi Rira Pan-
gestu nampak kebingungan.
"Tak perlu cemas, Nyi! Obat yang telah ma-
suk ke perut Ki Bernala tengah bekerja. Ki Bernala
memang harus merasakan pertentangan yang ter-
jadi pada tubuhnya," ucap Jaka mencoba mene-
nangkan perasaan istri Ki Bernala.
Mendengar ucapan pemuda tampan yang
tampak berwibawa itu Nyi Rira Pangestu tak me-
nyahuti. Namun, tampaknya ucapan Jaka telah
membuat hati perempuan setengah baya itu te-
nang.
Ucapan yang keluar dari mulut Jaka ternya-
ta benar. Ketika pertentangan yang terjadi dalam
tubuh Ki Bernala berakhir, Kepala Desa Kober
Utara itu berubah tenang. Meskipun belum tam-
pak adanya perubahan. Tubuhnya masih tetap di-
penuhi benjolan-benjolan sebesar telur ayam.
"Menyingkirlah sedikit, Nyi! Biar aku me-
nyalurkan kekuatan batinku ke tubuh Ki Bernala.
Doakan semoga aku berhasil mengusir pengaruh
jahat yang bersarang di tubuh Ki Bernala," pinta
Jaka sopan.
"Silakan," ujar Nyi Rira Pangestu. Perem-
puan setengah baya itu tampak melangkah ke be-
lakang menjauhi pembaringan Ki Bernala.
Tanpa membuang waktu, tangan Jaka sege-
ra membalikkan tubuh Ki Bernala agar menelung-
kup. Setelah itu naik ke pembaringan agar dirinya
lebih leluasa menyalurkan kekuatan guna mengu-
sir kekuatan jahat yang mengendap di tubuh Ki
Bernala.
Sesaat kemudian Jaka memejamkan mata.
Kemudian tangannya bergerak perlahan ke pung-
gung Ki Bernala yang tak terbungkus pakaian.
Pendekar muda itu tengah mengerahkan 'Aji Ku-
kuh Karang' yang juga berguna untuk pengobatan
bagi penyakit-penyakit yang di luar kewajaran.
Sinar kuning seketika membias pada tela-
pak tangan Jaka, ketika bersentuhan dengan
punggung Ki Bernala. Terlihat oleh Nyi Rira Pan-
gestu dan orang-orang yang ada di dalam kamar Ki
Bernala, sinar keemasan yang berasal dari telapak
tangan Jaka seolah bergerak dan menyelusup ke
tubuh Kepala Desa Kober Utara itu.
Hanya sebentar Jaka menempelkan telapak
tangan ke punggung Ki Bernala, yang juga ditum-
buhi benjolan-benjolan merah sebesar telur ayam.
Sesaat tubuh Ki Bernala yang diduduki Jaka tam-
pak menggeliat-geliat pelan. Namun kemudian di-
am tak bergerak.
Setelah itu Jaka turun dari pembaringan Ki
Bernala. Lalu menghampiri Nyi Rira Pangestu.
"Semoga yang kulakukan barusan berhasil,
Nyi!" ujar Jaka pada Nyi Rira Pangestu.
Nyi Rira Pangestu hanya mengangguk per-
lahan. Matanya sejenak menatap wajah tampan
Jaka.
"Kita tunggu sesaat hasil dari apa yang te-
lah kulakukan, Nyi," ujar Jaka lagi.
Namun belum lagi gaung ucapan Jaka le-
nyap, rintihan kecil tiba-tiba terdengar dari mulut
Ki Bernala. Bersamaan dengan itu, Jaka, Mayang,
Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada terkejut. Mereka
melihat benjolan-benjolan merah yang memenuhi
tubuh Ki Bernala mengeluarkan darah. Darah
yang mengalir deras itu membasahi selimut putih
penutup tubuh serta alas tempat tidur. Sehingga
warna putih itu berubah merah, rata!
"Akh!" Nyi Rira Pangestu memekik tertahan
dengan mata terbelalak menyaksikan suaminya.
Namun dirinya jelas tak mungkin melakukan se-
suatu untuk menolong sang Suami. Di samping itu
Jaka pun sudah mencegah Nyi Rira Pangestu agar
tak mendekati tubuh Ki Bernala.
"Bagaimana dia, Nak Jaka?" tanya Nyi Rira
Pangestu dengan kecemasan yang luar biasa.
"Tenanglah saja, Nyi! Yang keluar itu darah
kotor akibat perbuatan orang yang memiliki ilmu
kotor. Kuharapkan tak berapa lama lagi darah itu
berhenti mengucur dan Ki Bernala akan terbebas
dari ilmu sesat yang menyerangnya!" ujar Jaka in-
gin menenangkan hati Nyi Rira Pangestu.
Istri Ki Bernala tak lagi melemparkan perta-
nyaan, setelah mendengar penjelasan Jaka yang
begitu meyakinkan. Apalagi ketika terbukti darah
yang mengalir dari benjolan-benjolan di tubuh su-
aminya berhenti. Ki Bernala kini terlihat tenang,
dengkur napasnya pun nampak mulai teratur.
"Sekarang, mari kita pindahkan tubuh Ki
Bernala ke tempat lain, Nyi!" ajak Jaka kemudian.
Tatapannya kini tertuju pada Gunjada yang tengah
terpaku kebingungan.
"Ayo, Gunjada! Bantulah mengangkat Ki
Bernala!" perintah Nyi Rira Pangestu.
Dengan tergeragap Gunjada menghampiri
tubuh Ki Bernala. Bersama Jaka dan dibantu
Mayang, Gunjada mengangkat tubuh Kepala Desa
Kober Utara itu dengan hati-hati.
Baru saja Ki Bernala dibaringkan di tempat
tidur yang lain dari luar terdengar suara ribut-
ribut dengan memanggil nama Gunjada!
"Coba kau temui mereka, Gunjada! Tanya,
apa yang terjadi! Setelah itu kau lapor ke sini," pe-
rintah Nyi Rira Pangestu.
Gunjada bergegas meninggalkan kamar pri-
badi Ki Bernala. Di serambi depan tampak orang-
orang berkumpul. Rata-rata di wajah mereka ter-
gurat rasa takut.
"Ada apa ini?! Ada apa? Apa kalian tak tahu
Ki Bernala sedang sakit? Kenapa ribut-ribut di si-
ni?!" tanya Gunjada dengan suara membentak.
Wajahnya yang terhias kumis tebal seakan tak
mampu menyembunyikan kemarahannya.
"Anu, Kakang Gunjada..., anu!" jawab seo-
rang lelaki tinggi kurus menggeragap karena men-
dengar kemarahan Gunjada.
"Anu apa! Bicara yang jelas!" bentak Gunja-
da keras.
"Anu, Kakang. Mayat-mayat di kuburan sa-
na bangkit dan mengamuk, membantai para pen-
duduk terdekat," jelas lelaki tinggi kurus masih
dengan suara gugup.
"Jangan ngaco kamu, Gorari!" bentak Gun-
jada berang.
"Betul, Kakang Gunjada. Mayat-mayat itu
bangkit dari kuburnya," timpal lelaki bertubuh se-
dang yang mengenakan pakaian biru dekil.
"Mayat-mayat itu membantai penduduk yang ting-
gal di sekitar tanah pekuburan."
"Setan! Musibah apa lagi yang akan men-
gancam desa kita!" gumam Gunjada mirip benta-
kan keras. Hatinya marah bercampur keheranan
mendengar laporan itu.
Tangan kanan Kepala Desa Kober Utara itu
tampak terdiam. Sesaat kemudian kakinya berge-
gas melangkah, masuk ke dalam rumah.
"Nyai Rira harus segera diberitahu," batin
Gunjada.
"Heh...?! Mayat-mayat di kuburan bangkit?!"
ulang Nyi Rira Pangestu dengan keterkejutan luar
biasa. "Aneh!"
DUA
"Betul, Nyi. Semula aku juga tak yakin, tapi
kecemasan mereka yang berada di depan seperti-
nya tak dibuat-buat," sahut Gunjada.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Nyi
Rira Pangestu bingung. Tatapan matanya kini ter-
tuju pada wajah Jaka dan Mayang bergantian.
Mendengar pertanyaan Nyi Rira Pangestu
yang mengandung kecemasan, Jaka dan Mayang
seketika terlibat saling tatap. Sepertinya sepasang
tokoh muda yang memiliki kesaktian tinggi itu
tengah merencanakan suatu kepastian untuk me-
nimpali pertanyaan istri Ki Bernala.
"Kalau begitu biar kami yang melihat keja-
dian di sana, Nyi!" ujar Jaka menjawab kebingungan Nyi Rira Pangestu.
"Terima kasih, Jaka! Hati-hatilah kalian!
Keanehan ini mungkin juga karena perbuatan to-
koh-tokoh hitam yang usil," pesan Nyi Rira Panges-
tu. "Tentu, Nyi. Kami akan selalu berhati-hati," ja-
wab Mayang. "Ayo, Kakang! Kita harus segera
membantu penduduk dari pembantaian mayat-
mayat hidup itu."
"Aku ikut," selak Gunjada.
Jaka menoleh lalu memegang tangan lelaki
berwajah tampan dengan kumis tebal itu. "Sebaik-
nya kau temani saja Nyi Rira, mengurus dan men-
jaga Ki Bernala! Percayakan saja kejadian ini pada
kami! Aku dan Mayang akan berusaha mengurus-
nya sebaik mungkin," tahan Jaka hati-hati. Biar
bagaimanapun dirinya tak ingin perasaan tangan
kanan kepala desa itu tersinggung.
Gunjada kiranya memahami ucapan Jaka.
Kalau semua orang hendak menghadapi mayat-
mayat hidup, itu lalu siapa yang akan menjaga Ki
Bernala? Meskipun sebenarnya ingin sekali dia
dapat ikut melihat kejadian aneh itu.
"Maaf, Kakang Gunjada. Bukannya aku tak
membutuhkan tenagamu. Kurasa Ki Bernala lebih
membutuhkan. Jagalah dia, dan jika keadaan
menjadi semakin tak memungkinkan untuk me-
nyelamatkan diri dari amukan mayat-mayat yang
mungkin mencapai sini, pindahkan segera Ki Ber-
nala dari tempat ini!"
"Menjaga Ki Bernala memang yang harus
kulakukan, pergilah kalian!" ucap Gunjada.
Jaka dan Mayang melesat cepat melewati
pintu yang terbuka. Kedua pendekar muda yang
berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas itu ber-
gerak begitu ringan, laksana terbang. Hal tak
mengherankan karena keduanya tokoh yang be-
rilmu tinggi.
Sementara itu di tempat kejadian mayat-
mayat yang bangkit dari kubur tengah berhadapan
dengan sekelompok penduduk. Antara para pen-
duduk yang cukup berani dan mayat-mayat hidup
tengah berlangsung sebuah perang tanding sangat
seru dan aneh.
Penduduk Desa Kober Utara yang meme-
gang bermacam-macam senjata sekuat tenaga be-
rusaha mengusir mayat-mayat hidup yang hendak
mengganggu keluarganya. Dengan cangkul, pa-
rang, dan golok-golok para penduduk memberikan
perlawanan semampu mereka.
Seorang lelaki penduduk Desa Kober Utara
yang tengah menghadapi serangan dari mayat hi-
dup tersentak kaget. Matanya terbelalak heran
mendapati kenyataan yang ada. Dengan sekuat te-
naga dibabatkan parang di tangannya ke leher
mayat hidup yang hendak mencengkeramnya.
"Hih!"
Bletak!
"Heh?!"
Mayat hidup yang tak terbungkus kulit itu
sedikit pun tak bergeming dari tempatnya. Tak ada
tulang-belulangnya yang patah terbabat parang le-
laki berpakaian hitam itu.
Crak!
Knrkrk...!
"Aaa...!"
Pekik melengking membumbung ke langit
terdengar, ketika jari-jari tangan mayat hidup itu
menjamah leher lelaki berpakaian hitam. Mata le-
laki itu kontan mendelik, merasakan jemari tajam
mayat hidup menembus kulit lehernya. Darah
mengalir deras dari tenggorokan lelaki itu.
Brets!
Kepala lelaki itu terlepas. Jemari tangan
mayat itu membetot keras lehernya. Tanpa bersua-
ra apa pun mayat bertubuh kecoklatan tanpa kulit
pembungkus itu melemparkan kepala yang telah
direnggutnya. Kepala berlumuran darah itu meng-
gelinding sampai di dekat kaki Jaka yang baru saja
tiba.
"Bedebah..!!" geram Jaka dengan mata ter-
belalak.
"Mundur kalian!" bentakan kuat Raja Petir
yang mengandung tenaga dalam tinggi membuat
para penduduk Desa Kober Utara yang tengah ber-
tarung mempertahankan diri terlonjak mundur.
Ternyata begitu juga keadaan mayat-mayat yang
bangkit dari kubur. Makhluk-makhluk aneh yang
menyeramkan itu tergetar, lalu menghentikan se-
rangan mereka terhadap para penduduk.
Raja Petir pun sempat merasa heran me-
nyaksikan sikap mayat-mayat itu. Mengapa mak-
hluk-makhluk aneh itu, berhenti?
Untuk sesaat pertarungan terhenti, karena
para penduduk Desa Kober Utara bergerak mun-
dur mendekati Raja Petir dan Mayang yang berdiri
tegak dengan sorot mata tajam. Sementara itu
tampak mayat-mayat hidup itu selangkah pun tak
berani bergerak maju dari tempat mereka.
Beberapa saat suasana hening mencekam
berlangsung. Namun sesaat kemudian keanehan
kembali disaksikan Raja Petir dan Mayang serta
para penduduk yang terdiam tegang. Mayat-mayat
hidup itu bergerak mundur. Dengan membalikkan
tubuh mereka berlalu meninggalkan Jaka dan
Mayang yang telah siap menghadapi makhluk-
makhluk aneh itu.
Gerakan mayat-mayat hidup yang begitu se-
rempak membuat suatu gagasan melintas di benak
Jaka. Kelakuan makhluk-makhluk itu seperti ada
yang mengatur. Namun, siapa orangnya? Yang je-
las dia seorang yang memiliki kepandaian yang
cukup tinggi.
"Kita harus menyelidiki keanehan ini,
Mayang," bisik Jaka setelah mayat-mayat hidup
itu bergerak semakin jauh.
"Tentu, Kakang. Kita harus tahu siapa da-
lang di balik kejadian aneh ini," sahut Mayang ber-
semangat. "Dan kita harus menghentikan perbua-
tan terkutuk ini!"
"Itu memang harus kita lakukan, Mayang.
Ini kejadian yang tak dapat dibiarkan...," balas Ja-
ka dengan tatapan mata tak lepas pada beberapa
mayat penduduk Desa Kober Utara yang tergeletak
setelah tak mampu menghadapi lawan-lawan aneh
itu.
"Kalau begitu mari kita urus mayat-mayat
itu sekarang, Kakang! Biar bagaimanapun jasad
mereka butuh penghormatan yang layak," ujar
Mayang.
"Kisanak sekalian! Tolong bantu kami men-
gurus mayat-mayat mereka," teriak Jaka keras.
Belasan lelaki yang semenjak kepergian
mayat-mayat hidup itu hanya terpaku, tersentak
mendengar teriakan keras pemuda tampan berba-
ju kuning keemasan itu. Para penduduk merasa
heran dan hampir tak percaya terhadap kejadian
barusan. Mereka merasa bagaikan baru saja ter-
sadar dari mimpi buruk yang mencekam. Belasan
lelaki itu kini berhamburan mendekati sosok-sosok
mayat rekan mereka. Bersama-sama Jaka dan
Mayang, para penduduk mengurus mayat-mayat
untuk dimakamkan.
"Siapa sebenarnya kalian, sepertinya orang
asing di Desa Kober Utara ini?" tanya seorang lela-
ki berusia lima puluh tahunan. Wajahnya berke-
rut-kerut, membuat dirinya tampak lebih tua dari
usia sebenarnya.
"Kami memang pendatang di Desa Kober
Utara ini, Ki," jawab Jaka. "Ah, ya. Namaku Jaka
Sembada dan ini temanku, Mayang Sutera."
"Kalau boleh ku tahu. Di desa ini kau ting-
gal bersama siapa?" tanya lelaki tua itu lagi me-
nyelidik.
"Entahlah! Mungkin di rumah Ki Bernala,"
jawab Jaka.
"Kau kenal Ki Bernala?" tanya lelaki tua itu
sedikit terkejut.
"Ya."
"Kau kerabat, Ki Lurah?" tanya lelaki tua itu
lagi.
Jaka membiarkan pertanyaan lelaki tua itu.
"Sebaiknya kami ke tempat beliau dulu, Ki.
Ki Bernala sedang sakit, kami mencemaskan kea-
daannya," ujar Jaka mengelak dari pertanyaan le-
laki tua penduduk desa itu.
Lelaki tua itu tak lagi melontarkan perta-
nyaan. Ketika Jaka dan Mayang sama-sama men-
ganggukkan kepala dan berlalu dari hadapannya,
lelaki tua itu tertegun mengiringi kepergian kedua
muda-mudi itu. Di hatinya tersemat kekaguman
terhadap mereka berdua.
***
Ki Bernala tengah duduk di pembaringan-
nya, ketika Jaka dan Mayang muncul kembali ke
kamarnya yang berbau harum dan terawat rapi. Di
samping Ki Bernala duduk istrinya yang kini ber-
wajah agak cerah. Mungkin kekhawatirannya ter-
hadap keselamatan Ki Bernala telah sirna.
"Kalian yang bernama Jaka dan Mayang?"
tanya Ki Bernala, ketika melihat kemunculan Jaka
yang diantar oleh Gunjada.
"Benar, Ki. Ah, bagaimana keadaanmu?"
tanya Jaka.
"Baik. Dan terima kasih atas pertolongan-
mu," jawab Ki Bernala. "Benjolan-benjolan aneh
itu kini benar-benar telah lenyap dari tubuhku,"
lanjutnya sambil menyingkap pakaian yang dike-
nakan.
"Syukurlah, Ki!" ucap Jaka. "Bagaimana
dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur itu,
Jaka? Ah! Apa kau berhasil mengusir mereka?"
tanya Ki Bernala. Kali ini tatapan mata Ki Bernala
merayapi sekujur tubuh pemuda berambut gon-
drong dan berpakaian kuning keemasan yang ber-
diri di hadapannya.
"Aku tidak melakukan apa-apa terhadap
mayat-mayat hidup itu. Ketika kami datang ke
tempat kejadian, mayat-mayat hidup itu serempak
menghentikan keganasan mereka. Semua berlalu
begitu saja, seperti ada yang mengendalikan," ja-
wab Jaka.
"Aneh! Seaneh penyakit yang ku alami. Pasti
ada sesuatu di balik kejadian aneh ini. Dan sesua-
tu itu pasti sebuah rencana yang sudah diatur dan
didalangi orang yang tak sembarangan...," ucap Ki
Bernala pelan. Nada keresahan terdengar jelas dari
ucapannya.
Sementara Nyi Rira Pangestu istri Ki Berna-
la nampak menundukkan kepalanya.
"Kami semua sangat membutuhkan perto-
longanmu. Raja Petir," ujar Kepala Desa Kober
Utara itu dengan suara perlahan. Tatapan ma-
tanya menghujam dalam di wajah tampan Jaka
yang disebut julukannya.
Jaka tampak tak merasa terkejut menden-
gar Ki Bernala menyebut julukannya. Meski di-
rinya tak tahu persis, apakah Ki Bernala memang
benar-benar mengenalnya sebagai sosok Raja Petir
atau cuma kenal dari ciri-ciri yang telah dikenal
baik oleh para tokoh persilatan maupun penduduk
biasa.
Justru keterkejutan nampak pada wajah
Nyi Rira Pangestu. Wajah perempuan yang masih
memperlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mu-
danya itu bersemu merah. Istri Ki Bernala itu tam-
pak malu-malu ketika bertatapan dengan Jaka
dan Mayang. Sesungguhnya Nyi Rira Pangestu tak
menyangka kalau lelaki berwajah tampan yang te-
lah menyelamatkan suaminya, ternyata seorang
yang cukup dikenal dan disegani tokoh-tokoh sakti
rimba persilatan.
"Tak perlu diminta pun dengan senang hati
kami akan membantu kesulitan penduduk Desa
Kober Utara ini, Ki Bernala," ucap Jaka menjawab
permintaan kepala desa itu. "Bukan begitu,
Mayang?" lanjut Jaka melempar pertanyaan pada
gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di
sampingnya.
"Benar Ki," timpal Mayang, "Ini kewajiban
kami," lanjut gadis cantik yang berjuluk Dewi
Payung Emas itu.
"Ah, terima kasih kalau begitu!" ujar Ki Ber-
nala dengan wajah memancarkan kegembiraan.
"Aku yakin kalian berdua adalah sepasang pende-
kar muda yang memiliki kesaktian tinggi dan akan
mampu mengusir makhluk-makhluk aneh itu."
"Kita sama-sama berjuang untuk itu, Ki.
Tanpa bantuan Ki Bernala dan penduduk desa ini,
kami bukanlah apa-apa," kilah Jaka merendah.
"Tentu saja hal itu akan kulakukan, Jaka.
Nyawaku tak segan-segan kupertaruhkan demi ke-
tenteraman desa yang telah ku pimpin selama pu-
luhan tahun," terdengar ucapan mantap dari mu-
lut Ki Bernala.
"Benar, Nak Jaka," timpal Nyi Rira Panges-
tu, "Apa pun akan kami korbankan demi menjaga
ketenteraman desa ini. Ah! Sungguh aku tak habis
pikir, siapa tokoh yang berdiri di balik keanehan
ini. Puluhan tahun kami hidup di desa ini, baru
kini kami mengalami kejadian aneh begini," kere-
sahan kembali muncul dari ucapan istri Ki Berna-
la.
"Kami berusaha akan menyelidiki siapa to-
koh itu, Nyi," ucap Mayang mencoba membesarkan
hati Nyi Rira Pangestu.
Perempuan berusia tak lebih dari empat pu-
luh tahun itu tak lagi berucap. Sementara, di luar
rumah Ki Bernala, langit nampak tertutup awan
hitam. Angin malam bertiup kencang menanggal-
kan dedaunan yang tak kuat berpegang pada
tangkai. Tampaknya sebentar lagi hujan akan tu-
run. Dari kejauhan terdengar guntur mengisya-
ratkan bakal datangnya hujan.
TIGA
Hujan lebat mengguyur bumi Desa Kober
Utara. Malam yang gelap kian mencekam. Suara
guntur menggelegar sesekali terdengar dan mene-
rangi desa itu.
Pada saat guntur menggelegar, tampak se-
sosok bayangan melesat di antara pepohonan yang
tumbuh di sebelah barat Desa Kober Utara. Gera-
kan sosok tubuh yang terbungkus pakaian hitam
itu tampak begitu ringan dan lincah. Tanah yang
becek dan licin pun bukan penghalang baginya
untuk bergerak dengan cepat.
"Hhh...!" sosok tubuh yang tengah bergerak
itu menghela napas berat. "Hujan seperti ini agak-
nya menandakan sebuah kegagalan," lanjut sosok
berpakaian hitam itu membatin. Namun sedikit
pun tidak mengurangi kecepatan larinya. Tubuh-
nya terus melesat ke timur, menembus gelap ma-
lam dan lebatnya hujan.
Ketika perbatasan Desa Kober Utara telah
tampak, sosok tubuh hitam itu mulai mengendur-
kan larinya. Hujan pun mulai mereda. Seiring den-
gan langkah kaki sosok berpakaian hitam yang,
meninggalkan perbatasan Desa Kober Utara hujan
telah reda. Sosok yang berlari tergesa itu kini mu-
lai melangkah perlahan menghampiri sebuah ban-
gunan tua yang tak jauh dari mulut Desa Paga-
rayung.
"Celaka, Ki Bandot!" ujar sosok berpakaian
hitam ketika menguak pintu rumah tua itu. Seo-
rang lelaki tua berpakaian biru terang nampak
tengah duduk bersila di balai-balai bambu.
"Aku sudah merasakan getaran kegagalan
upaya kita dari sini, Manggale," sahut lelaki beru-
sia sekitar enam puluh tahun dengan sorot mata
yang tak lepas memandangi lututnya. "Tapi kita
akan tetap berusaha sampai Desa Kober Utara da-
pat terkuasai. Banyak cara untuk kita berhasil me-
lakukannya, Manggale. Kau tak perlu cemas! Ba-
pakmu pasti akan menjadi pemimpin dua desa
yang bersatu. Dan kekayaan bapakmu tak akan
habis dimakan seratus keturunan sekalipun," lan
jut lelaki berpakaian biru terang yang bernama Ki
Bandot.
"Kita memang harus berhasil, Ki," tegas so-
sok berpakaian hitam yang tadi dipanggil Mang-
gale. Lelaki muda berusia dua puluh delapan ta-
hun itu memiliki wajah yang tampan. Namun
sayang, di bagian dahinya terdapat bekas luka
memanjang sepanjang alis, dari kiri dan kanan.
Bekas luka itu berwarna hitam hingga sedikit
mengganggu ketampanan.
"Percayakan semua ini padaku, Manggale!
Di kepalaku tersimpan banyak cara untuk menja-
tuhkan si sontoloyo Bernala itu. Kita akan mengu-
asai Desa Kober Utara!" tandas Ki Bandot dengan
angkuh.
Manggale hanya tersenyum mendengar
keyakinan yang keluar dari ucapan lelaki tua ber-
cambang bauk dan jenggot putih itu. Mata lelaki
berlanjut itu menyorot tajam, walau bola matanya
agak menjorok ke dalam.
Namun, keyakinan Manggale tiba-tiba kem-
bali terusik mengingat rencananya yang digagal-
kan pasangan tokoh muda. Diingatnya pula ba-
gaimana mayat-mayat hidup itu bergerak mundur
setelah melihat kemunculan dua pendekar muda.
Perbawa sepasang tokoh muda itu dirasakan terla-
lu tinggi.
"Tapi, Ki Bandot...," ucap Manggale terpeng-
gal karena tatapan tajam Ki Bandot. Manggale me-
rasa tak enak hati untuk menyatakan keraguan-
nya.
"Tapi, apa, Manggale?" tanya Ki Bandot se
raya menatap wajah Manggale.
Manggale tak segera menjawab pertanyaan
lelaki berpakaian biru terang yang di kiri-kanan
pinggangnya terselip sebilah parang yang berwarna
merah darah.
"Katakan apa yang kau maksudkan baru-
san, Manggale!" desak Ki Bandot seraya menatap
anak Kepala Desa Pagarayung yang membiarkan
pertanyaannya. "Apa kau belum yakin dengan ke-
pandaian Ki Bandot?" tandas lelaki tua bercam-
bang bauk putih seraya menepuk dada tuanya cu-
kup keras.
"Ah, bu... bukan begitu yang ku maksud,
Ki," kilah Manggale kelabakan. Wajah lelaki tam-
pan itu berubah kemerahan. Hatinya merasa tak
enak mendengar ucapan Ki Bandot
"Lalu apa, Manggale?" tanya Ki Bandot lem-
but. Seakan-akan tahu perasaan tak enak yang
melanda hati putra Kepala Desa Pagarayung itu.
Diam-diam hatinya kagum melihat Manggale yang
begitu setia membantu ayahnya dalam menun-
dukkan Ki Bernala dan menguasai Desa Kober
Utara.
Pikiran Manggale kembali menerawang
membayangkan penampilan sepasang muda-mudi
yang mampu mengusir para mayat hidup. Penam-
pilan kedua pendekar muda itu begitu memiliki
perbawa yang begitu kuat. Sehingga mayat-mayat
yang bangkit dari kubur itu seakan ketakutan
menghadapi mereka berdua, lalu kembali ke tem-
pat asalnya masing-masing. Atau mungkin kedua
lelaki perempuan muda itu memiliki kesaktian
tinggi, hingga ilmu sihir yang dikerahkan Ki Ban-
dot luntur.
"Sepasang anak muda itu, Ki Bandot. Di-
alah yang menjadi pikiranku sekarang," jawab
Manggale setelah beberapa saat terdiam.
"Hmmm...! Dari sini aku pun dapat merasa-
kan getaran kekuatan orang yang kau maksudkan,
Manggale. Namun sayang, aku tak bisa mereka-
reka siapa gerangan mereka," tutur Ki Bandot den-
gan mata yang sedikit dipejamkan.
Manggale tak berusaha memotong ucapan
Bandot. Lelaki muda yang ketampanannya ter-
ganggu oleh codet di atas alis itu hanya memper-
hatikan cara lelaki tua itu berbicara.
"Coba kau sebutkan ciri-ciri mereka, Mang-
gale!" pinta Ki Bandot seraya menatap wajah
Manggale.
Manggale mengerutkan dahi seakan-akan
tengah berusaha mempertajam ingatannya terha-
dap keberadaan dua muda-mudi yang tak lain si
Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
"Aku ingat Ki. Yang pertama, seorang lelaki
berusia muda, berwajah tampan. Tubuhnya kekar
dan berisi. Dia mengenakan pakaian kuning kee-
masan dan di pinggangnya melilit sebuah sabuk
hijau. Ah, sabuk itu sepertinya bukan sembaran-
gan sabuk, Ki. Apalagi dengan sebuah pedang ber-
gagang indah yang menggelantung di punggung-
nya menjadikan perbawanya begitu mengerikan,"
papar Manggale dengan tatapan mata mengarah
ke luar rumah kediaman Ki Bandot.
Sementara itu Ki Bandot hanya menimpali
keterangan Manggale dengan kepala mengangguk-
angguk.
"Sedangkan yang wanita, Ki" lanjut Mang-
gale, "Dia juga masih begitu muda dan cantik. Pa-
kaiannya yang berwarna jingga sangat mencolok
mata, pas dengan kecantikannya. Wanita itu me-
megang sebuah payung kecil, sepertinya terbuat
dari logam keras dan berwarna kuning keema-
san...."
"Hmmm...!"
Ki Bandot bergumam tak jelas. "Pantas!"
ujarnya kemudian.
"Ki Bandot mengenal mereka?" tanya Mang-
gale dengan raut wajah yang terkesan kaget.
"Semua tokoh berilmu tinggi pasti menge-
nalnya, Manggale," jawab Ki Bandot seraya men-
gangguk-anggukkan kepala.
"Ah, siapa mereka, Ki?" desak Manggale in-
gin segera tahu.
Ki Bandot tersenyum melihat ketaksabaran
Manggale.
"Kalau memang dia berdiri di pihak Ki Ber-
nala, berarti dialah perintang utama cita-cita
ayahmu, Manggale. Kita harus menyingkirkan me-
reka agar usaha-usaha selanjutnya dapat kita
lampaui dengan mudah. Semudah membalikkan
telapak tangan. Percayalah Manggale! Aku dapat
menyingkirkan sepasang pendekar muda yang
mau ikut campur urusan orang lain itu. Pendekar
usil...!" kalimat terakhir yang diucapkan Ki Bandot
cukup jelas dan kuat.
"Siapa mereka, Ki?" desah Manggale, karena
Ki Bandot belum juga menjawab pertanyaannya.
"Raja Petir dan Dewi Payung Emas," jawab
Ki Bandot.
"Raja Petir?" ulang Manggale terkejut.
"Kau pernah mendengar julukan itu, Mang-
gale?" tanya Ki Bandot memecah lamunan putra
tunggal Ki Gambaga yang berhasrat menguasai
Desa Kober Utara dan menggabungkan dengan
Desa Pagarayung di bawah kepemimpinannya.
Manggale menatap wajah Ki Bandot sebe-
lum menjawab pertanyaan itu. "Aku pernah men-
dengar julukan itu disebut-sebut orang, waktu
singgah di sebuah kedai. Menurut mereka kedua
tokoh itu memiliki kesaktian tinggi. Apa memang
begitu, Ki?" tanyanya.
"Menurut kabar yang kudapat memang be-
gitu, Manggale. Namun aku tetap menyangsikan
kehebatannya. Apakah sepasang pendekar muda
itu mampu menghadapi Ki Bandot yang berjuluk
Setan Bukit Cemara?" ungkap Ki Bandot, me-
nyombongkan dirinya sebagai Setan Bukit Cemara.
"Mudah-mudahan tidak, Ki!" sahut Mang-
gale menimpali ucapan Ki Bandot.
"Tidak pakai mudah-mudahan, Manggale!"
ucap Setan Bukit Cemara keras. "Aku pasti dapat
mengalahkannya!''
Manggale tertunduk melihat kemarahan le-
laki berusia enam puluh tahun lebih itu.
"Kau harus percaya itu, Manggale!" kembali
ucapan Setan Bukit Cemara terdengar lunak, dan
itu cukup membuat Manggale kembali berani
mengangkat kepala untuk menatapnya.
"Seluruh kemampuanku, seluruh ilmu ke-
saktianku akan ku keluarkan untuk menghadapi
Raja Petir dan pasangannya yang berjuluk Dewi
Payung Emas," lanjut Setan Bukit Cemara dengan
gerakan tangan yang hendak meraih tubuh Mang-
gale.
"Ah, maaf Ki. Kalau seandainya Ki Bandot
memang membutuhkan bantuan untuk meringan-
kan tugas Ki Bandot, aku akan membicarakannya
pada ayah untuk mengizinkan kita mencari tokoh-
tokoh sakti guna menghadapi Jaka," usul Mang-
gale dengan hati-hati, karena takut lelaki tua itu
tersinggung.
Wajah Setan Bukit Cemara merah padam
ketika mendengar ucapan putra tunggal Ki Gam-
baga itu. Namun lelaki tua itu segera memaklumi
usul Manggale yang tengah dilanda kecemasan
akan kegagalan cita-cita sang Ayah dalam merebut
Desa Kober Utara.
"Kita tak perlu bantuan tokoh-tokoh lain,
Manggale. Cukup Ki Bandot saja yang menghadapi
Raja Petir. Buang kecemasanmu jauh-jauh! Per-
cayakan semuanya padaku! Setan Bukit Cemara
akan mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan
cita-cita ayahmu," kilah Ki Bandot menenangkan
gejolak hati putra Kepala Desa Pagarayung.
"Ah, maafkan aku, Ki! Bukan maksudku
meremehkan kesaktianmu. Ucapanku tadi keluar
dari rasa cemas yang tak mampu kubendung. Se-
karang kecemasanku sedikit sirna, karena Setan
Bukit Cemara telah berjanji dengan keyakinan
akan membela ayah. Aku percaya sepenuhnya pa
damu, Ki. Dan kita pasti akan mampu mengusir si
Raja Petir, kita kuasai Desa Kober Utara," ujar
Manggale dengan raut wajah cerah.
"Tapi kau harus ingatkan ayahmu, Mang-
gale. Daerah selatan Desa Kober Utara, khususnya
darah Bukit Gandung itu adalah jatah untukku,"
ungkap Setan Bukit Cemara.
"Tentu saja, Ki. Lebih dari itu pun aku akan
memintakannya pada ayah untukmu, asalkan...,"
Manggale seperti sengaja menahan ucapannya.
"Asalkan apa, Manggale?" dengan tatapan
keheranan Setan Bukit Cemara bertanya pada le-
laki muda bercodet itu.
"Kalau kita berhasil menyingkirkan Raja Pe-
tir kuharap kau sudi memaafkan teman wani-
tanya," ucap Manggale takut-takut.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa
terkekeh, mendengar ucapan Manggale. Meski
ucapan itu baru separo keluar dari mulut Mang-
gale, Ki Bandot sudah mengetahui kelanjutan dan
arti dari ucapan putra tunggal Ki Gambaga.
Sementara Manggale sendiri menundukkan
kepalanya setelah melihat tanggapan Ki Bandot.
"Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada
jidat licin, Manggale. Akan kau jadikan apa si Dewi
Payung Emas itu? Istri atau hanya sekadar...?"
"Ki Bandot, lihat saja nanti!" selak Manggale
cepat.
"Selera mu memang tinggi, Manggale," tukas
Ki Bandot lagi.
"Kurasa kau pun begitu, Ki," balas Manggale
seraya tersenyum.
Ucapan Manggale barusan memang terke-
san sedikit kurang ajar. Namun bagi Setan Bukit
Cemara hal itu suatu yang wajar. Meskipun kedu-
dukannya sebagai seorang guru lebih tinggi, di-
rinya juga ingin muridnya bisa berkelakar agar
keakraban semakin terasa. Dan Manggale telah
memperlihatkan kelakarnya tadi dengan ungkapan
hatinya sebagai lelaki yang juga gandrung akan
kecantikan wanita.
Malam makin larut. Setan Bukit Cemara
yang tengah berbicara dengan Manggale sesekali
melirikkan matanya melalui jendela kayu yang ter-
buka lebar.
"Malam sudah larut, Manggale. Sebaiknya
sekarang juga kita menemui ayahmu," ucap Setan
Bukit Cemara.
"Ya. Sekalian kita kabari ayah tentang Raja
Petir yang turut campur tangan dalam urusan ki-
ta!"
"Ayahmu memang harus tahu, Manggale.
Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini! Tengah
malam nanti kita kembali ke sini," ujar Setan Bu-
kit Cemara seraya bangkit dari duduk bersilanya.
"Tengah malam?" tandas Manggale.
"Ya, tengah malam. Aku punya rencana
khusus untuk membuat seluruh penduduk Desa
Kober Utara gempar," jelas Setan Bukit Cemara.
Manggale tersenyum mendengar penjelasan
Ki Bandot.
"Kau memang hebat, Ki! Dan juga licik," puji
Manggale.
"Kelicikan itulah yang kita butuhkan untuk
dapat menyingkirkan si tua bangka Bernala," sa-
hut Ki Bandot seraya tersenyum.
Selesai dengan ucapannya, Setan Bukit
Cemara beranjak menghampiri pintu yang terbuat
dari bambu berwarna coklat kehitaman.
Krrrttt...!
Bunyi berkerekotan terdengar seiring ter-
kuaknya pintu rumah. Langkah kaki Setan Bukit
Cemara pun terlihat di ambang pintu, diikuti
Mangggale yang kini berwajah cerah. Mata lelaki
muda bercodet di dahi itu membayang kecantikan
Mayang.
"Tutup pintu rapat-rapat Manggale. Jangan
biarkan binatang-binatang hutan memasuki ruan-
gan dan mengotori tempat memperagakan ilmu-
ilmu sihirku," ucap Setan Bukit Cemara.
Manggale tak menjawab ucapan Ki Bandot,
karena dirinya memang tengah melakukan apa
yang diucapkan Setan Bukit Cemara.
Malam gelap meniupkan hawa dingin sete-
lah hujan. Langit tak lagi mendung. Setan Bukit
Cemara dan Manggale melangkah cepat melewati
jalanan basah. Mereka menuju rumah Ki Gamba-
ga, Kepala Desa Pagarayung.
EMPAT
Malam merangkak perlahan. Desir angin
yang meniupkan hawa dingin ditingkahi gesekan
ranting-ranting pohon dan suara binatang-
binatang yang bersahutan.
Suasana gelap menyelimuti hutan di sebe-
lah timur Desa Pagarayung yang membatasi desa
tersebut dengan Desa Kober Utara. Di tengah kege-
lapan itu tampak dua sosok tubuh tengah melang-
kah cepat menuju sebuah bangunan tua yang ter-
buat dari bambu.
"Tengah malam ini penduduk Desa Kober
Utara dan si tua bangka Bernala akan terganggu.
Dan sudah pasti si Raja Petir," ucap sosok lelaki
tua berpakaian biru terang yang tak lain Ki Ban-
dot, atau Setan Bukit Cemara.
Lelaki muda berpakaian hitam yang di da-
hinya terdapat codet hitam hanya diam. Kakinya
terus mengikuti langkah Ki Bandot, menuju ru-
mahnya.
"Kau tahu apa yang akan aku perbuat,
Manggale?" sambung Setan Bukit Cemara dengan
tatapan yang tepat di wajah Manggale.
"Kau akan kembali membangunkan mayat-
mayat pekuburan Desa Kober Utara?" jawab
Manggale dengan ucapan yang layak sebuah per-
tanyaan.
Ki Bandot tersenyum sembari menggeleng-
kan kepala, "Malam ini aku tak akan mengguna-
kan mayat-mayat di pekuburan Kober Utara,
Manggale," sahutnya pelan.
"Lalu dengan apa lagi, Ki?" tanya Manggale
ingin tahu.
"Kau lihat saja nanti, Manggale! Kau akan
saksikan bagaimana penduduk Desa Kober Utara
akan mengalami kegemparan atas pekerjaan yang
akan kita laksanakan sekarang. Ha ha ha...!" jelas
Setan Bukit Cemara dengan kegembiraan yang
meluap-luap.
"Ha ha ha...!"
Manggale pun ikut terbahak mengiringi ta-
wa Setan Bukit Cemara yang lebih dulu terbang
terbawa hembusan angin malam.
"Ayo, kita laksanakan sekarang juga, Mang-
gale!" ajak Ki Bandot dengan langkah kaki yang
tergerak lebih dulu memasuki bangunan bambu
tempat mempraktekkan ilmu-ilmu sihirnya.
Manggale segera saja mengikuti langkah
kaki Setan Bukit Cemara yang dalam hal ini seba-
gai gurunya. Dan lelaki tua itu duduk bersila di
balai-balai bambu, Manggale dengan sikap hormat
mengikutinya. Manggale tahu, setiap kali Ki Ban-
dot akan memulai usahanya, siapa saja dilarang
mengucapkan sepatah kata pun. Maka Manggale
tenang tanpa sedikit pun menggerakkan tubuh
apalagi harus menoleh ke sana kemari.
Seperti halnya yang dilakukan Setan Bukit
Cemara, Manggale duduk bersila dengan kepala
yang menekur ke balai-balai bambu. Mulutnya
terkunci rapat tanpa suara. Sesaat kemudian ma-
tanya terpejam. Di samping kirinya, Ki Bandot
dengan telapak tangan dirapatkan dan diletakkan
di depan dada nampak tengah berkomat-kamit
mengucapkan suatu mantera.
Pada mulanya tak terdengar sedikit pun da-
ri mulut Setan Bukit Cemara, hanya gerak-gerak
bibirnya yang tampak. Namun semakin lama ter-
dengar, bahkan kemudian lebih jelas dan keras.
"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular peng-
huni Hutan Jalakdalu, bangunlah dari tidurmu,
berpesta-poralah di Desa Kober Utara! Lumat dag-
ing-daging empuk penduduk Desa Kober Utara,
nikmati tulang-tulang mereka, reguk darah mere-
ka...!"
"Wahai, serigala-serigala dan ular-ular peng-
huni Hutan Jalakdalu. Berpesta-poralah sekarang
juga! Berpesta-poralah sekarang...! Sekarang ju-
ga...! Sekarang...! Sekaraaang...!"
Suara rapal mantera yang diucapkan Setan
Bukit Cemara mengumandang ke angkasa dan te-
rus terbang dibawa angin malam nan dingin.
Manggale yang duduk bersila di samping
Setan Bukit Cemara tampak bergemetaran men-
dengar ucapan mantera yang bergema dari mulut
lelaki tua itu. Seketika tubuhnya merinding sedang
mulutnya kelu bagaikan terkunci.
Sementara itu Setan Bukit Cemara perla-
han-lahan mulai membuka matanya yang terpe-
jam.
***
Malam di Desa Kober Utara terasa begitu
mencekam. Angin dingin yang berhembus seakan-
akan mengisyaratkan bakal terjadi sesuatu petaka
yang mengerikan. Sementara itu, bulan sepotong
menyelusup di balik awan-awan kelabu yang bera-
rak di langit.
Empat lelaki peronda yang tengah melintas
di sekitar mulut Hutan Jalakdalu terlihat melang
kah perlahan. Mereka berjalan saling merapat.
Tampaknya keempat penduduk Desa Kober Utara
itu tengah dilanda suatu perasaan mencekam yang
datang secara tiba-tiba.
"Hhh...! Rasanya malam ini ada yang aneh,
Di. Perasaanku tak enak," ujar seseorang peronda
yang bertubuh pendek. Sikutnya digerakkan me-
nyentuh pinggang kawannya.
"Aku juga merasakan begitu, Jang," timpal
lelaki bernama Patmin.
"Sama, bulu kudukku saja merinding,
Jang," timpal lelaki peronda yang lain. "Hhh..., ada
apa ya?"
"Iya, ya? Tidak biasanya begini," sahut lelaki
bertubuh gemuk seraya menoleh ke wajah teman-
nya bernama Patmin.
Namun belum lagi pertanyaan lelaki gemuk
itu terjawab, dari kejauhan tiba-tiba terdengar su-
ara seperti lolongan serigala yang bersahut-
sahutan.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...! Auuu...!"
"Kau dengar itu, Di?" tanya Ujang dan Pat-
min.
"Ya, ya. Kudengar, Jang. Seperti lolongan
serigala sedang marah," tandas Pardi.
"Hiii...!"
Patmin dan Boyong menaikkan sepasang
pundak. Ada perasaan takut yang tiba-tiba me-
nyemat di hati mereka.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" usul
Ujang yang kelihatannya lebih berani dari ketiga
peronda yang lain.
Tanpa memberi sambutan pada ajakan
Ujang, ketiga lelaki itu telah berlari cepat mening-
galkan mulut Hutan Jalakdalu. Namun...
"Zzzsttt...! Zzzssst...!"
"Zsssttt...!"
Baru beberapa langkah kaki empat peronda
tergerak, tiba-tiba mereka berhenti dengan hati di-
liputi perasaan terkejut. Di depan mereka kini
menghadang beberapa ekor ular besar dan kecil.
Tubuh-tubuh binatang berbisa itu berdiri, seakan
hendak mencegat keempat lelaki yang akan mele-
wati tempat itu. Ular-ular itu mendesis-desis
memperlihatkan kebuasannya.
"Hah...!"
"Heh...!"
"Zsssttt! Zsssttt...!"
Lidah-lidah bercabang itu menjulur-julur.
Dan itu cukup membuat Patmin berdiri gemetar.
Sementara celana lelaki penakut itu sudah basah
oleh air kencingnya.
"Gawat...! Mampus kita," ujar Patmin keta-
kutan.
"Ayo, kita balik arah!" ajak Ujang mencari
akal.
Pardi, Boyong, dan Patmin segera mengikuti
apa yang dilakukan Ujang. Mereka segera memba-
likkan tubuh guna menghindari binatang-binatang
melata yang beracun itu. Namun....
"Akh!"
"Gawat!"
"Hah...!"
Keempat petugas jaga malam itu terkejut
bukan kepalang. Mata mereka berbelalak hampir
tak percaya. Ternyata ular-ular yang lebih besar
telah menghadang di belakang mereka.
"Mampus kita, Min.'" seru Ujang dengan
mata terbelalak menatap ular-ular itu.
Tanpa diduga, Ujang segera memerintahkan
teman-temannya untuk mengadakan perlawanan.
"Jangan sampai kita mati konyol, ayo kita
lawan sebisanya!" teriak Ujang seraya mengacung-
kan kayu yang digenggamnya.
Menyaksikan Ujang yang sedemikian bera-
ni, hanya Boyong yang mau mengikutinya. Lelaki
bertubuh besar itu mengangkat kayu bulat di tan-
gan kanannya.
Belasan ular yang berada di depan dan be-
lakang keempat peronda itu seolah-olah mengerti
kalau calon korbannya akan mengadakan perla-
wanan. Seketika itu juga binatang-binatang bera-
cun itu meluncur cepat menyerang keempat lelaki
peronda. Dengan ganas ular-ular itu menjulur ce-
pat siap memagut tubuh lawan.
"Zsssttt....!"
Pletak!
"Zsssttt...!"
"Aaakh!"
Tubuh Boyong seketika ambruk ke tanah,
ketika salah satu ular sebesar lengan berhasil
memagut pahanya. Pekikan keras menyayat seke-
tika memecah suasana malam. Tubuh Boyong
menggelepar-gelepar saat racun ganas ular itu
menjalar ke tubuhnya. Dan keadaan lelaki bertu
buh besar itu semakin menyeramkan, ketika ular
yang lain pun ikut memagutnya.
"Zsssttt...!"
Craps!
"Aaa...!"
Saat itu juga lolong kematian membumbung
ke langit. Tubuh Boyong terkapar tak berkutik, se-
luruh permukaan kulitnya membiru.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian yang lain pun terdengar su-
sul-menyusul. Nampak tubuh Patmin, Pardi, dan
Ujang sudah tergeletak tak bernyawa. Tubuh keti-
ga lelaki itu membiru karena racun ganas yang te-
lah menjalar di tubuhnya.
***
Malam yang penuh hawa maut terus me-
rambat. Di dalam kamarnya Jaka merasakan se-
suatu yang tak enak menggelayuti hatinya. Sedikit
pun lelaki muda tampan yang berjuluk Raja Petir
itu tak kuasa memejamkan mata. Pendekar muda
itu bangkit dari pembaringan, lalu berjalan mon-
dar-mandir di kamarnya yang tertata rapi. Sesekali
dirinya duduk di pinggiran tempat tidur, tapi ke-
mudian bangkit lagi, berjalan menghampiri jendela
besar.
Perasaan yang sama ternyata dialami
Mayang Gadis cantik kekasih Jaka itu pun mera-
sakan kegelisahan, hingga tak bisa tidur. Tubuh-
nya memang terbaring di kasur empuk yang bera
laskan tilam kuning gading. Namun bola matanya
bergerak-gerak menatapi langit-langit rumah.
"Huh! Kenapa perasaanku tak tenteram se-
perti ini?" gumam Mayang dalam hati. "Mungkin-
kah akan terjadi sesuatu malam ini?" lanjutnya.
Mayang kemudian bangkit dari pembarin-
gan. Kakinya melangkah perlahan menuju jendela
besar kamarnya.
"Ah, biar kulihat keadaan di luar," ujar
Mayang dalam hati. Tangannya kemudian terjulur
untuk membuka jendela kamar.
Pada saat yang sama, Jaka pun ternyata
tengah membuka jendela kamarnya. Maka tak pe-
lak lagi, keduanya saling berbenturan tatap ketika
kepala masing-masing terjulur keluar.
"Hai! Kau pun tak bisa tidur, Mayang?"
tanya Jaka serta-merta, ketika melihat kepala ke-
kasihnya menyembul sedikit dari bingkai jendela.
Gadis cantik berpakaian warna jingga itu
tersenyum, "Perasaanku resah malam ini, Kakang.
Entah firasat macam apa ini," sahut Mayang pelan.
"Mudah-mudahan hanya perasaan kita saja,
Mayang. Dan mudah-mudahan tak akan terjadi
sesuatu yang mengerikan malam ini," timpal Jaka.
"Mudah-mudahan begitu," sahut Mayang
penuh harap, "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan
keluar? Hitung-hitung meronda. Kalau di dalam
kamar terus, rasa-rasanya kegelisahanku akan
semakin bertambah, Kang," usul Mayang.
"Terserah kamu saja, Mayang. Di dalam pun
kita percuma, tidak bisa tidur!" jawab Jaka, "Aku
tunggu di depan," lanjutnya sambil merapatkan
jendela kamar.
Mayang pun melakukan hal yang sama. Se-
telah mengunci kembali jendela kamar, gadis itu
segera beranjak menemui kekasih yang sangat di-
cintainya.
"Hendak ke mana kita?" tanya Jaka, setelah
keduanya berada di luar rumah kediaman Kepala
Desa Kober Utara.
"Terserah ke mana kaki kita membawa, Ka-
kang," jawab Mayang sekenanya. Namun kaki ga-
dis cantik berambut panjang itu terlihat melang-
kah ke sebelah kanan muka rumah Ki Bernala.
Sementara Jaka mengikuti saja apa yang di-
lakukan kekasihnya. Keduanya pun berjalan beri-
ringan menuju ke arah timur. Melihat langkah ke-
dua pendekar muda itu, berarti mereka menuju
Hutan Jalakdalu berada.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Baru setengah pal Jaka dan Mayang berlalu
dari rumah Ki Bernala, tiba-tiba keduanya tersen-
tak kaget. Jeritan keras menyayat hati terdengar di
kejauhan.
"Kakang...!" Mayang memanggil kekasihnya
serta-merta. "Firasat kita benar," ucapnya.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...!"
"Kakang dengar lolongan serigala itu?" tanya
Mayang sambil mengguncang lengan Jaka.
"Sepertinya bakal terjadi bencana besar di
desa ini," gumam Jaka.
"Ayo, kita cari suara lengking kematian tadi,
Kakang!" ajak Mayang kemudian.
"Hop!"
"Hup!"
Raja Petir dan Dewi Payung Emas seketika
melesat cepat menuju tempat asal suara jeritan
yang telah mereka dengar. Gerakan sepasang pen-
dekar muda itu begitu gesit dan cepat. Sehingga
dengan sekali lesatan saja, jarak puluhan tombak
telah berhasil dilalui.
"Kakang...!"
Mayang tersentak kaget menyaksikan pe-
mandangan di depan matanya. Pada jarak sekitar
sepuluh tombak matanya yang tajam melihat tu-
juh ekor serigala buas tengah berhadapan dengan
penduduk desa yang entah kenapa berada di luar
rumah.
Beberapa sosok tubuh lelaki tampak terka-
par tak berdaya. Tampak di sekujur tubuh mereka
terdapat luka-luka besar seperti terkena cakaran
dan gigitan. Sehingga darah segar mengalir dan
berceceran di atas tanah berumput basah oleh air
hujan. Sementara beberapa lelaki lain tampak ten-
gah berusaha mempertahankan diri dari amukan
binatang buas itu.
"Binatang Setan!" rutuk Jaka kesal, "Ayo,
Mayang! Kita singkirkan makhluk-makhluk kepa-
rat itu!" ajaknya seraya menghentakkan kaki di ta-
nah tempatnya berpijak.
"Hop! Hiaaa...!"
Sekali bentakan saja tubuh Raja Petir telah
berada di hadapan serigala-serigala buas yang
hendak memangsa tubuh penduduk desa. Dan se
ketika itu juga kepalan tangan pendekar muda itu
melayang menghantam kepala seekor serigala yang
tengah menerkam tubuh lelaki penduduk desa.
"Hih!"
Plakkk!
"Kaingh...! Khhhoaaah!"
Serigala bertubuh besar itu terpental tiga
tombak terhantam pukulan Jaka. Namun binatang
buas penghuni Hutan Jalakdalu itu seperti tak pe-
duli dengan rasa sakit yang mendera bagian kepa-
lanya. Serigala itu bangkit untuk menyerang ber-
sama serigala-serigala yang lain.
"Auuuaaa...!"
"Auuuaaa...!"
Lolongan kemarahan dari beberapa serigala
buas itu terdengar bersahut-sahutan. Bergidik ju-
ga tubuh Jaka dan Mayang mendengar suara ke-
ras dan menggetarkan itu. Suara yang mengan-
dung hawa kematian.
"Menyingkirlah Kisanak sekalian! Biar kami
yang menghadapi binatang-binatang setan itu," pe-
rintah Jaka dengan suara lantang.
Karena ucapan pemuda tampan berpakaian
kuning keemasan itu tak main-main dan terdengar
sangat berwibawa, tanpa harus diucapkan dua kali
lelaki-lelaki penduduk Desa Kober Utara yang ma-
sih hidup segera menyingkir dari tempat pertarun-
gan. Mereka menyaksikan apa yang akan diper-
buat dua muda-mudi itu.
"Siapa mereka? Ah, kalau tak ada mereka...,
kita pasti jadi bangkai semua," ujar salah seorang
lelaki penduduk desa yang masih nampak segar
bugar. Sedikit pun tak tampak ada luka di tubuh-
nya.
"Ya. Sepertinya mereka pendekar," sahut le-
laki yang luka pada pergelangan tangannya. "Mu-
dah-mudahan mereka dapat mengusir binatang-
binatang jahanam itu!" lanjutnya dengan geram.
"Aku seperti pernah melihatnya di rumah Ki
Lurah...," timpal lelaki tinggi kurus yang pakaian
di bagian dadanya koyak.
Sementara para penduduk desa yang terbe-
bas dari ancaman maut tengah membicarakan ke-
beradaan Jaka dan Mayang, sepasang pendekar
itu tengah bersiap-siap menghadapi serigala-
serigala yang hendak menyerang.
Mayang nampak sudah mempersiapkan
payungnya dalam keadaan tertutup. Sementara
Jaka dengan tangan kosongnya hendak melancar-
kan jurus maut yang bernama 'Pukulan Pengacau
Arah'.
Raja Petir sengaja mempersiapkan jurus
andalannya. Hal itu karena hatinya merasakan ge-
taran lain dari kejadian yang menurutnya tak
hanya terjadi di satu tempat. Barangkali kejadian
yang sama, kini juga tengah dialami Ki Bernala
dan Nyi Rira Pangestu.
Atas pertimbangan ini Jaka bermaksud
membantai atau mengusir makhluk-makhluk aneh
itu secepat mungkin. Setelah itu dirinya akan se-
gera kembali ke rumah Kepala Desa Kober Utara,
Ki Bernala.
"Bersiaplah, Mayang!" seru Jaka ketika dis-
aksikannya serigala-serigala buas itu mulai mem
perlihatkan gerakan hendak menyerang.
"Auuuaaa...!"
Diiringi dengan lolongan panjang, binatang-
binatang buas yang mulutnya meneteskan air liur
itu berkelebatan menyerang lawan. Pasangan pen-
dekar muda itu tampaknya sudah bersiap menga-
dakan penyerangan.
"Hih!"
Wusss....!
Raja Petir yang ingin secepatnya me-
nyingkkan serigala-serigala aneh itu segera meng-
hentakkan telapak tangan yang terbuka lebar den-
gan kuda-kuda rendah.
Serangkum angin yang mengeluarkan hawa
panas meluruk cepat ke depan. Angin bergulung-
gulung itu menyongsong serigala-serigala yang
tengah berlompatan menyerang Raja Petir dan
Payung Emas.
Bettt
"Kainghgh....!"
"Auuug...!"
Suara keras angin dari 'Pukulan Pengacau
Arah' terdengar ketika menerjang tubuh-tubuh se-
rigala itu. Seketika suara erangan keras dan lolon-
gan panjang menyusul. Beberapa di antara bina-
tang buas itu terpental beberapa tombak ke bela-
kang.
Bruk! Brukkk!
Dua ekor serigala itu ambruk ke tanah tan-
pa nyawa. Tubuh kedua binatang itu hangus bagai
terbakar
Sementara itu, Mayang dengan gerakannya
yang lincah berkelebat menghindari terkaman se-
rigala-serigala yang menyerangnya. Gerakan yang
dilakukan Dewi Payung Emas begitu manis, hingga
tampak seperti tarian. Namun di balik kelincahan
dan keindahan gerak yang dilakukan gadis cantik
itu, tiba-tiba terlontar sebuah serangan balasan
yang mematikan. Maka, ketika tangan kanan
Mayang yang mencekal payung kuning keemasan
berkelebat, serangan itu tak terhindarkan lagi....
"Hih!"
Brets!
"Kainghgh...!"
Bruk!
Seekor serigala yang berada paling dekat
dengan si Dewi Payung Emas menjadi korban per-
tama. Tubuh binatang itu terbanting keras ke ta-
nah. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Darah
lalu mengalir dari bagian kepala yang tersambar
payung kecil di tangan gadis itu. Sesaat kemudian
binatang buas itu telah diam tak berkutik lagi.
"Cepat habisi lawan-lawanmu, Mayang! Kita
harus segera menemui Ki Bernala!" seru Jaka yang
telah lebih dahulu membuat tak berkutik serigala-
serigala yang menyerangnya.
"Baik, Kakang!"
Gadis cantik berpakaian jingga itu seketika
bergerak cepat. Kali ini dia tak menunggu lagi seri-
gala-serigala liar itu menyerang. Mayanglah yang
ganti mengambil alih penyerangan.
"Hiyaaa...!"
Wuttt! Wuttt!
Dengan payung terkembang, tubuh Mayang
berkelebat dengan cepat diiringi teriakannya yang
khas.
Brat!
Brat!
"Kainghgh...!"
"Kainghgh...!"
Dua ekor serigala terpental lalu menggele-
par berlumuran darah di atas rerumputan. Payung
Emas Mayang Sutera yang menyambar secepat ki-
lat menghantam telak bagian batok kepala dan pe-
rut lawan. Nampak batok kepala serigala itu pecah
hingga mengeluarkan cairan merah yang bercam-
pur dengan isi kepala. Sementara pada serigala
yang lain terburai isi perutnya.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Mayang! Ki-
ta harus cepat-cepat melihat keadaan Ki Bernala,"
ajak Jaka setelah melihat Mayang telah berhasil
memusnahkan lawan-lawannya.
Dewi Payung Emas mengangguk, lalu me-
lompat menghampiri Raja Petir.
"Maaf, kami harus ke rumah Ki Bernala! Ki-
sanak sekalian, uruslah mayat-mayat itu!" ucap
Jaka kepada penduduk desa yang masih berdiri
terpaku keheranan di sekitar tempat pertarungan.
Tadi mereka bersembunyi ketika pertarungan itu
berlangsung.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, sepa-
sang pendekar muda itu pun melesat meninggal-
kan tempat itu. Sementara penduduk yang berha-
sil diselamatkan hanya menatap kepergian Raja
Petir dan Dewi Payung Emas dengan rasa terima
kasih yang tak sempat terucap.
LIMA
"Kakang! Lihat itu!" seru Mayang, ketika
sampai di dekat rumah kediaman Ki Bernala.
Seorang lelaki yang dikenalnya sebagai
Gunjada nampak tengah bertarung melawan ular-
ular besar dan kecil. Di tempat yang tak berjau-
han, beberapa lelaki yang bertugas menjaga rumah
kepala desa pun tengah disibukkan serangan-
serangan ganas belasan bahkan puluhan ular
aneh itu.
Sementara itu, Ki Bernala pun tampak ten-
gah kewalahan mengusir binatang-binatang berbi-
sa yang hendak menyerang dirinya dan sang Istri.
Sebatang pedang di genggaman Ki Bernala berke-
lebat membabat setiap ular yang menyerbunya.
"Hih!"
Bret! Bret!
Darah bercucuran dari kepala-kepala ular
tanggung yang terbabat pedang Ki Bernala. Namun
siapa mengira kalau ular-ular lain terus berdatan-
gan menyerbu, seperti tak pernah habis.
"Kau bantulah Ki Bernala, Mayang! Biar aku
mencari jalan keluar untuk mengatasi kejadian
ini," perintah Jaka kepada kekasihnya. "Aku harus
memusatkan pikiran guna memusnahkan penga-
ruh gaib yang dikeluarkan oleh tokoh yang berdiri
di belakang kejadian ini. Hati-hatilah...!." pesannya
kemudian.
Selesai dengan ucapan Jaka, Mayang segera
melesat cepat mendekati Ki Bernala dengan senja
ta yang dibabatkan ke sana kemari. Dua tiga ekor
ular yang terkena sambaran payung Mayang, lang-
sung berpentalan dengan bagian tubuh terpotong
dua.
Sementara itu. Raja Petir tampak segera
mengerahkan kemampuannya. Dengan mening-
katkan daya kepekaannya, pendekar muda itu
mencoba menyelidiki secara batin terhadap penga-
ruh gaib yang tengah bekerja. Hatinya juga ber-
maksud mencari sumber dari tokoh yang berdiri di
belakang keanehan ini.
Dengan mata terpejam, Raja Petir mencoba
mempertajam rasa. Tangan kirinya nampak ter-
kepal kuat, sedangkan yang kanan mencekal ga-
gang Pedang Petir yang berukir bunga-bunga kecil.
Sekilas kalau diperhatikan, Raja Petir seper-
ti hendak menyajikan ilmu pamungkas yang ber-
nama 'Selaksa Halilintar Menyambar'. Ilmu itu ti-
dak hanya mampu menjatuhkan lawan-lawan
yang tangguh, tetapi juga dapat meredam kekua-
tan gaib yang tak terjangkau pikiran manusia.
Beberapa saat lamanya Raja Petir melaku-
kan pemusatan pikiran dengan mata terpejam.
Sementara tangan kanannya tetap mencekal ga-
gang Pedang Petir yang memiliki perbawa menggi-
riskan. Sesaat kemudian, terdengar tarikan napas
dilakukan pendekar berpakaian kuning keemasan
itu. Tarikan napas panjang itu kemudian disim-
pannya dalam perut. Sementara itu tingkat kepe-
kaannya telah mulai memusat. Dan matanya tetap
katup rapat-rapat.
Tangan kanan Raja Petir tiba-tiba bergetar
sekali. Hal itu pertanda kalau dirinya tengah men-
gerahkan seluruh kekuatan batin untuk menge-
nyahkan pengaruh gaib yang dirasakan. Dan seir-
ing dengan semakin dipereratnya pegangan pada
gagang Pedang Petir, tangan kanan Raja Petir te-
rangkat perlahan ke atas. Perlahan tangkai Pedang
Petir bergerak ke atas mengikuti irama gerakan
yang dilakukan Raja Petir.
Sebuah keanehan segera terjadi ketika tan-
gan kanan Raja Petir benar-benar tegak lurus di
atas kepala. Langit di atas Desa Kober Utara dan
sekitarnya yang semula disinari cahaya bulan se-
potong, tiba-tiba berubah gelap gulita. Anehnya,
tiba-tiba pula bermunculan lidah-lidah petir diser-
tai suara gemuruh yang dahsyat. Lidah-lidah petir
itu menjilati pedang yang teracung ke atas dan,
memendarkan sinar kemerahan.
Hanya sesaat saja pemandangan aneh itu
terjadi, pada saat selanjutnya langit kembali seper-
ti sediakala, dengan sinar bulan yang menerangi.
Pada saat itulah dengan cepat Raja Petir men-
gayunkan pedangnya dua kali di udara dengan di-
iringi pekikan keras, yang terdengar menggelegar
dan bergema.
"Hiaaa...!"
"Haaa...!"
Sejenak keterpakuan pun melanda orang-
orang yang tengah bertarung menghadapi bina-
tang-binatang yang diperintah pengaruh gaib. Na-
mun kemudian orang-orang tersentak kaget den-
gan mata terbelalak. Mereka mungkin merasa baru
saja terjaga dari sebuah mimpi buruk yang men
cekam. Sehingga hampir tak percaya ketika me-
nyadari kalau ular-ular ganas itu telah ngeloyor
meninggalkan tempat itu, seakan tiada peduli ter-
hadap mangsa mereka. Sementara ular-ular yang
masih tersisa seperti enggan dan tak bernafsu un-
tuk membunuh. Hal itu karena, pengaruh gaib
yang ada pada binatang-binatang melata itu telah
lenyap.
Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjada
terlongo bengong, menyaksikan keanehan itu.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Nini
Mayang?" tanya Nyi Rira Pangestu pada kekasih-
nya Jaka yang berdiri tak jauh darinya. "Pengaruh
gaib itu telah berhasil diusir Kakang Jaka, Nyi,"
jawab Mayang mantap. "Itu setidaknya menu-
rutku. Tapi untuk jelasnya, Nyi Rira bisa bertanya
pada Kakang Jaka," lanjutnya dengan tatapan ma-
ta tertuju pada wajah kekasihnya.
Nyi Rira Pangestu tak berkata apa-apa ter-
hadap jawaban yang diberikan si Dewi Payung
Emas. Wajahnya lalu menoleh pada Raja Petir
yang tengah melangkah mendekati mereka.
"Apa yang telah kau lakukan, Kakang?
Hingga binatang-binatang itu seperti tak punya
nyali untuk kembali bertarung?" tanya Mayang
mewakili keingintahuan Nyi Rira Pangestu dan Ki
Bernala.
"Aku hanya mengusir pengaruh gaib yang
kurasakan ada di desa ini. Namun sayang, aku tak
bisa memastikan siapa yang melakukannya. Ah,
biarlah, nanti pun pasti akan ketahuan juga. Yang
terpenting, pengaruh gaib itu sekarang sudah ti
dak terasa lagi dan biarkan binatang-binatang su-
ruhan itu kembali ke tempat asal mereka," jawa-
ban Petir bukan hanya ditujukan pada Mayang,
melainkan juga untuk Nyi Rira Pangestu, Ki Ber-
nala, dan Gunjada.
Ki Bernala, Nyi Rira Pangestu, dan Gunjala
sama-sama menganggukkan kepala mendengar
penjelasan Raja Petir.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang
Kakang?" tanya Mayang kemudian.
"Mengurus para korban dan kemudian ber-
keliling, melihat keadaan penduduk yang lain. Itu
kalau Ki Bernala setuju dan bersedia bergabung,"
jawab Raja Petir.
"Tentu saja, Jaka. Biarlah malam ini aku
tak tidur, asalkan keadaan pulih seperti semula,"
sahut Ki Bernala.
"Aku ikut jika begitu," timpal Nyi Rira Pan-
gestu.
***
Jaka ditemani Mayang, Ki Bernala, dan Nyi
Rira Pangestu berkeliling melihat keadaan pendu-
duk Desa Kober Utara. Sementara itu di tempat
lain, yakni di sebuah hutan tak jauh dari Desa Pa-
garayung nampak sosok lelaki tua berpakaian biru
terang terengah-engah di dalam sebuah rumah
yang terbuat dari bambu.
Lelaki tua berusia enam puluhan itu tak
lain Ki Bandot alias Setan Bukit Cemara. Peluh
nampak bercucuran di wajahnya, suara napasnya
terdengar memburu.
Sedangkan lelaki muda yang berdahi codet,
dengan hati cemas memandangi keadaan Setan
Bukit Cemara.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Manggale
sambil memegangi tubuh Ki Bandot
Ki Bandot tentu saja merasa malu dengan
pertanyaan yang dilontarkan Manggale.
"Ah, tidak Manggale. Tidak apa-apa," jawab
Setan Bukit Cemara masih dengan napasnya yang
memburu, "Ini semua salahku. Aku terlalu men-
ganggap remeh lawanku. Sehingga tanpa sepe-
nuhnya kukerahkan ilmu sihir yang sepatutnya
aku sajikan," lanjut Ki Bandot dengan deru napas
yang semakin mulai teratur.
"Apa ini juga ulah Raja Petir?" tanya Mang-
gale seperti orang bodoh.
"Mungkin," jawab Ki Bandot seraya men-
gangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu Raja Petir hebat sekali," gu-
mam Manggale polos. "Apakah kita akan berhasil
menuntaskan cita-cita ayah?"
"Tentu saja berhasil, Manggale! Tentu saja.
Ilmu-ilmuku belum ku keluarkan semua dan aku
pun belum berhadapan langsung dengan Raja Pe-
tir. Akan kugorok batang leher pendekar usil itu
dengan sepasang parangku yang tak pernah gagal
menunaikan tugasnya," ucap Setan Bukit Cemara
mencoba meyakinkan.
"Lalu, sekarang apa yang akan kita laku-
kan?" tanya Manggale lagi.
"Kita tunggu di sini sampai fajar menyings
P
ing. Setelah itu kita temui ayahmu untuk menga-
tur siasat selanjutnya," jawab Ki Bandot, merasa
perbawanya sudah luntur sedikit di mata Mang-
gale.
Sesungguhnya Setan Bukit Cemara tak per-
caya kalau ilmu sihirnya mampu ditandingi tokoh
lain. Dan padahal selama ini dirinya tak pernah
mengalami kegagalan seperti sekarang. Namun
nyatanya...?
Setelah fajar menyingsing, Ki Bandot dan
Manggale sama-sama melangkahkan kaki mening-
galkan bangunan dari bambu, menuju ke kedia-
man Kepala Desa Pagarayung.
Setelah melewati perjalanan di tengah sua-
sana pagi yang dingin, mereka akhirnya sampai di
kediaman Kepala Desa Pagarayung.
"Bagaimana Ki Bandot? Apa sudah ada tan-
da-tanda berhasilnya usaha kita?" sambut Kepala
Desa Pagarayung ketika Setan Bukit Cemara telah
memasuki rumah Ki Gambaga.
Ki Bandot tak segera menjawab pertanyaan
Ki Gambaga. Tatapan matanya tertuju lurus pada
wajah kasar Ki Gambaga yang berkumis tebal.
"Kita masih harus terus berusaha, Ki Gam-
baga," jawab Setan Bulut Cemara dengan bergetar
dan terdengar agak parau.
"Hmmm...!" Ki Gambaga yang mengenakan
pakaian merah darah hanya menggumam tak je-
las, mendengar jawaban Setan Bukit Cemara.
"Jadi usahamu semalaman itu sia-sia, Ki
Bandot?" sindir Ki Gambaga dengan suara yang
dibuat selunak mungkin.
"Semalam memang gagal, Ki Gambaga. Tapi
tidak untuk yang selanjutnya," kilah Setan Bukit
Cemara dengan wajah merah padam.
"Maafkan aku, Ki Bandot! Kalau boleh aku
beri saran, sebaiknya kita mencari bantuan dari
tokoh sakti yang lain. Biar tugasmu lebih ringan
dan cita-citaku lebih cepat terwujud. Jatahmu
akan tetap kuperhatikan sesuai dengan permin-
taanmu," ucap Ki Gambaga hati-hati.
Ucapan Kepala Desa Pagarayung itu di te-
linga Setan Bukit Cemara laksana ledakan guntur
di siang bolong. Menggelegar dan begitu menge-
jutkan.
"Jangan sesekali kau meremehkanku, Ki
Gambaga!" kecam Setan Bukit Cemara. "Aku bu-
kan anak kemarin sore yang langsung menyerah
jika menghadapi kegagalan. Aku belum kalah, Ki
Gambaga! Aku akan terus berusaha, meski nya-
waku jadi taruhan! Pantang bagiku jika pekerjaan
yang tengah kutangani dikotori campur tangan
orang lain.... "
"Itu hanya saran dariku, Ki. Tak ada mak-
sud sedikit pun pada hatiku untuk meremehkan
kemampuanmu," ucap Ki Gambaga merasa tak
enak hati. "Aku hanya khawatir kalau usahamu
gagal dan rencanaku tak akan pernah terwujud."
Suasana berubah hening sejenak. Ki Gam-
baga nampak terpekur sambil sesekali meman-
dangi wajah anaknya, Manggale. Ki Bandot juga
terpekur dengan benak berputar keras.
"Sekarang juga aku akan berangkat ke pe-
kuburan Kober Utara," ujar Setan Bukit Cemara
memecahkan keheningan.
"Kau ingin membangkitkan mayat-mayat
dari jarak dekat, Ki?!" selidik Ki Gambaga.
"Ya. Malahan aku akan ikut mengacau ke-
diaman Ki Bernala secara langsung," sahut Setan
Bukit Cemara merasa wibawanya sudah jatuh di
mata Kepala Desa Pagarayung itu.
"Bagaimana jika di sana ada Raja Petir, Ki?"
tanya Manggale tiba-tiba.
"Memang itu yang kucari. Dialah manusia
pertama yang akan kusingkirkan. Karena dia usa-
haku menjadi tersendat seperti ini," ujar Setan
Bukit Cemara ketus.
"Aku boleh ikut, Ki?" tanya Manggale lagi.
"Kalau ayahmu mengizinkan, aku tak ber-
keberatan. Namun aku akan lebih leluasa bergerak
jika kau tak turut serta, Manggale," jawab Ki Ban-
dot menoleh dan menatap sejenak wajah Mang-
gale.
"Sebaiknya kau di sini saja, Manggale!" tim-
pal Ki Gambaga. Dirinya memang lebih senang ka-
lau cuma Setan Bukit Cemara yang pergi ke pe-
makaman di Desa Kober Utara.
Tak ada sahutan dari Manggale. Lelaki ber-
codet itu tak kuasa membantah ucapan ayahnya.
Apalagi Ki Bandot jelas-jelas tak ingin campur tan-
gannya, meski diucapkan dengan lembut.
"Hm...! Aku berangkat sekarang, Ki Gamba-
ga," pamit Setan Bukit Cemara.
Ki Gambaga hanya menyambut ucapan Se-
tan Bukit Cemara dengan anggukkan kepala. Dan
ketika Ki Bandot berangkat meninggalkan rumah
nya, Ki Gambaga hanya mengiringi dengan tatapan
mata yang mengandung makna kengeriannya me-
nerima kegagalan.
ENAM
Matahari belum begitu tinggi ketika Setan
Bukit Cemara tiba di dekat tanah pemakaman De-
sa Kober Utara. Suasana di pemakaman itu sunyi
dan sepi. Ki Bandot memang mengharapkan kea-
daan seperti itu.
Dengan langkah cepat Setan Bukit Cemara
berjalan menuju sebatang pohon sebesar tiga kali
pelukan lelaki dewasa. Dedaunan pohon itu yang
cukup lebat, membuat sinar matahari tak kuasa
menerobos. Sesekali jika daun-daun itu terusik
hembusan angin, sinar matahari menyelusup.
Ki Bandot mengambil tempat tepat di sisi
barat pohon besar itu. Hal itu dilakukan agar tu-
buhnya tak tampak dari jalan yang biasa dilewati
orang Desa Kober Utara.
Kini Setan Bukit Cemara mulai melakukan
pekerjaannya dengan duduk bersila. Matanya ter-
katup rapat dan bibirnya tampak mulai berkomat-
kamit membaca mantera pembangkit mayat.
Beberapa saat lamanya Setan Bukit Cemara
mengucapkan mantera dengan khusyuk, hingga
akhirnya terdengar suara angin menderu, berdesir,
bergulung-gulung di setiap gundukan makam. Su-
asana di tanah pemakaman Desa Kober Utara bu-
kan sejuk. Namun menjadi seperti semakin panas
saja.
Ki Bandot terus merapalkan mantera-
mantera pembangkit mayat, dan manakala angin
bergulung yang terjadi pada setiap gundukan ta-
nah, maka peristiwa seperti gempa bumi pun terli-
hat.
Tanah-tanah yang menonjol ke atas tiba-
tiba retak, sebagian pecahan berhamburan ke
atas. Seiring dengan itu suara gerengan mayat-
mayat yang bangkit terdengar dengan jelas.
"Grhghghg...!"
"Grhghghg...!"
Setan Bukit Cemara mengembangkan se-
nyumnya dalam keadaan mata terpejam.
"Bangkitlah kalian! Bangkit...! Bangkit...!
Bangkit...!" Ki Bandot berteriak keras, suaranya
bergema ke pelosok areal pemakaman.
Dan ternyata usaha Setan Bukit Cemara
berhasil, puluhan mayat yang masih utuh ber-
campur dengan mayat-mayat yang sudah berbau
busuk dan tak utuh lagi keadaannya, kini berge-
rak bersamaan menuju rumah-rumah penduduk
terdekat. Sementara itu Ki Bandot yang telah
membuka matanya dengan senyum terkembang
menyaksikan dari kejauhan mayat-mayat suru-
hannya yang bergerak mencari korban.
"Habisi semua penduduk yang ada!'' perin-
tah, Setan Bukit Cemara seraya bangkit dan men-
gikuti mayat-mayat yang berjalan lebih dulu.
"Ayo habisi!" perintah Ki Bandot lagi ketika
melihat rumah-rumah penduduk sudah dekat
Puluhan mayat yang bangkit dari kubur itu
seperti kerbau dicucuk hidung, langkah mereka
semakin dipercepat. Suara gemuruh yang berasal
dari mulut mayat-mayat itu sempat membangun-
kan para penduduk
"Lihat ada mayat-mayat bangkit lagi! Lihat!"
salah seorang penduduk yang menyaksikan pe-
mandangan di depannya segera berteriak. Kegem-
paran seketika terjadi. Lelaki-lelaki yang pernah
mengalami kejadian serupa segera meraih senjata
seadanya untuk menghadapi mayat-mayat hidup
itu, sementara yang tak pernah segera bergerak,
masuk dan mengunci pintu.
"Grghghgr...!"
"Grghghgr...!"
Mayat-mayat suruhan Setan Bukit Cemara
menggereng-gereng. Kemudian ketika sudah dekat
dengan penduduk yang hendak mengadakan per-
lawanan, mayat-mayat itu bergerak cepat
"Grghghgr...!"
Krkh...!
"Aaa...!"
Seorang penduduk yang tak sempat meng-
hindari terkaman mayat hidup seketika menjerit
kesakitan. Batang leher lelaki naas itu dicengke-
ram dengan kuat oleh mayat yang menerkamnya.
Lalu dengan keganasannya, mayat hidup itu
menggigit dada lelaki naas itu.
"Aaa...!" kali ini pekik melengking lebih pan-
jang terdengar mengiringi kematian lelaki yang ba-
gian perutnya tertembus cakar mayat hidup dan
meraih jantungnya hingga keluar.
Pemandangan seperti itu tentu saja mem
buat penduduk yang lain merasa ngeri. Namun ka-
rena kemarahan, kengerian itu tak diperlihatkan,
yang ada tinggal keberanian dan kenekatan mere-
ka untuk melawan bahaya itu.
Setan Bukit Cemara yang memang berha-
srat besar membantai penduduk Desa Kober Utara
segera saja bergerak. Tubuhnya berkelebat dengan
dua parang merah darah yang tercekal di tangan
kanan dan kirinya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan tak
terlihat tatapan mata biasa, tubuh tua yang terba-
lut pakaian biru terang melesat.
Bret! Bret!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua sosok tubuh bergelimpangan ke tanah,
ketika parang merah di tangan Setan Bukit Cema-
ra berhasil membacok bagian dada dan leher pen-
duduk desa. Darah seketika menyembur dari luka
memanjang akibat babatan senjata runcing milik
Ki Bandot. Hanya sesaat saja dua tubuh penduduk
Desa Kober Utara menggelepar, pada saat berikut-
nya tubuh itu tak berkutik lagi, nyawa mereka ter-
bang meninggalkan raga.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara tertawa
keras menyaksikan dua korban pertamanya. "Ka-
lian semua akan mengalami nasib yang sama! Ayo
beri perlawanan kalau kalian tak ingin mati ko-
nyol!"
Penduduk yang tengah kerepotan mengha
dapi mayat-mayat hidup itu semakin bertambah
ngeri dan takut melihat keganasan lelaki bercam-
bang bauk putih. Dua korban tetangga mereka su-
dah membuktikan kalau ucapan orang berpakaian
biru itu tidak sembarangan.
"Sebaiknya aku lapor pada Ki Bernala un-
tuk meminta bantuan," ujar salah seorang pendu-
duk.
"Betul, Cah. Cepat lari sana!" timpal teman
yang diajak bicara.
Lelaki bertelanjang dada yang bernama
Rancah segera berlari menuju rumah kepala desa.
Namun baru lima langkah kaki Rancah terayun,
Setan Bukit Cemara telah mendahului dengan ke-
lebatannya yang cepat.
"Mau ke mana kau, Bocah!" hardik Ki Ban-
dot Rancah tentu saja menghentikan larinya dan,
menatap wajah bercambang bauk putih dengan
kengerian.
"Sebaiknya kau mampus duluan! Hih!"
Wuttt...! Brats!
"Aaa...!"
Rancah terpekik keras ketika senjata Setan
Bukit Cemara membabat telak dadanya. Dada le-
laki itu kontan terbelah, darah bermuncratan dari
luka yang begitu besar.
"Hih!"
Blukh!
Tak lagi ada suara erangan ketika Ki Bandot
sambil melompat menendang perut Rancah. Tu-
buh lelaki penduduk Desa Kober Utara melayang
deras ke belakang. Ketika itu pula nyawanya telah
melayang. Tewas!
Bruk!
Tubuh tanpa nyawa itu terbanting keras se-
telah membentur sebatang pohon.
"Ha ha ha...!" Setan Bukit Cemara kembali
terbahak setelah menyaksikan kematian pendu-
duk Desa Kober Utara.
"Setan Durjana!" maki seseorang dengan
suara yang cukup lantang dan berani.
Setan Bukit Cemara menolehkan kepalanya
dengan cepat ke tempat asal suara bentakan yang
datang.
"Hmmm...! Kau rupanya!" ucap Setan Bukit
Cemara terkesan meremehkan ketika menyaksikan
kehadiran sepasang muda-mudi yang mengenakan
pakaian kuning keemasan dan jingga.
"Hm..., jadi ini orangnya yang mengacaukan
ketenteraman penduduk Desa Kober Utara dengan
ilmu setan, Tua Bangka!" bentak Mayang menda-
hului gerakan bibir Jaka yang hendak berucap.
"Seperti yang kau lihat, Nini Manis!" jawab
Setan Bukit Cemara sinis. "Aku memang tengah
membantai penduduk desa ini dan semuanya akan
kubikin habis. Termasuk kalian berdua!" lanjutnya
sambil menuding wajah Mayang dan Jaka bergan-
tian
"Tutup mulut besarmu, Tua Bangka!" balas
Mayang menghardik. Langkah kakinya sudah ter-
ayun hendak menghajar Setan Bukit Cemara.
"Tahan, Mayang!" cegah Jaka sambil men-
cekal pergelangan tangan berkulit halus itu.
Mayang memang memenuhi ucapan keka
sihnya, langkahnya tak dilanjutkan. Hanya ma-
tanya yang tak lepas terus menatap tajam lelaki
tua bercambang bauk putih itu.
"Kenapa kau melarangnya untuk berse-
nang-senang denganku, Raja Edan!" ledek Setan
Bukit Cemara ketus.
Jaka hanya menanggapi ledekan Ki Bandot
dengan senyum terkembang.
"Aku tak pernah melarang kekasihku un-
tuk, bersenang-senang dengan siapa saja, Kisa-
nak," balas Jaka tenang.
"Aku Setan Bukit Cemara!" tukas Ki Bandot
memperkenalkan julukannya.
"Ya ya ya! Aku hanya tak mau kau mampus
setelah bersenang-senang dengan kekasihku, Se-
tan Bukit Cemara," lanjut Jaka bernada meremeh-
kan. "Bukankah sebaiknya kau bersenang-senang
denganku, meskipun kalah kau tak mendapatkan
malu yang begitu besar. Karena kita sama-sama
lelaki"
"Keparat!" maki Setan Bukit Cemara geram.
Prok! Prok! Prok!
Selesai menghardik Jaka suara tepuk tan-
gan pun terdengar. Suara isyarat untuk memerin-
tahkan mayat-mayat yang bangkit dari kubur agar
menghadapi musuh yang baru datang.
Mayat-mayat hidup itu kini benar-benar
berpaling dari para penduduk. Dan kini puluhan
mayat itu mengurung tubuh Jaka dan Mayang.
Prok! Prok!
"Lumat tubuh cantik itu!" perintah Ki Ban-
dot setelah bertepuk tangan dua kali.
Puluhan mayat hidup yang mengurung ke-
dua lawan, seketika bergerak mendekati Mayang
yang bersiap dengan payung kecilnya yang sudah
berkembang.
"Hati-hati, Mayang!" ujar Jaka memperin-
gatkan.
***
"Tentu saja, Kakang," jawab Mayang.
Pertarungan antara Dewi Payung Emas
dengan mayat-mayat yang bangkit dari kubur tak
terhindari lagi. Teriakan-teriakan nyaring dan ge-
rengan kesal mayat-mayat hidup itu terdengar
menyemaraki suasana pertarungan. Sesekali suara
benturan keras terdengar.
"Hih!"
Prak!
"Heh?!"
Mayang terkejut ketika hantamannya men-
darat telak tapi tak mampu mendorong mayat
ringkih yang bagian tubuhnya sudah tak utuh lagi.
Tangan kanannya yang sudah tak ada dan ma-
tanya yang tinggal sebelah menjadikan penampilan
mayat itu begitu menyeramkan.
Wuuut!
"Eits!"
Mayang memiringkan tubuhnya, ketika
mayat ringkih itu memberikan serangan balasan
terarah ke lehernya. Dan ketika gadis itu berhasil
mengelakkan, langsung mengirimkan sebuah ten-
dangan keras dengan gerakan memutar disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih! Pergi kau jauh-jauh!"
Blakh!
"Grhghg...!"
Tubuh mayat ringkih itu terhuyung empat
langkah ke belakang ketika tendangan telak
Mayang mendarat tepat di dadanya.
Ternyata cukup tangguh mayat hidup yang
menjadi lawan Mayang. Namun, ketangguhannya
itulah yang membuat kekasih Raja Petir semakin
penasaran untuk lebih cepat menyelesaikan perla-
wanannya.
Ketika tubuh mayat ringkih itu terhuyung,
Mayang kembali melesat cepat memberikan seran-
gan susulan dengan senjata andalannya.
"Haaattt...!"
Pekikan Mayang dibarengi dengan babatan
payung besi yang terkembang dan terarah ke ba-
gian lambung mayat hidup bertubuh ringkih itu.
Trakgkh!
"Grghgh...!"
Mayat bertubuh ringkih yang hidup di ba-
wah pengaruh sihir milik Setan Bukit Cemara se-
ketika terjerembab ke tanah. Bagian lambungnya
yang terhajar senjata pemungkas milik Dewi
Payung Emas mengalami luka yang sangat lebar.
Namun luka yang menganga itu sempat membuat
Mayang terkejut. Luka yang menganga itu sedikit
pun tak mengucurkan darah.
"Hmmm...!"
Mayang hanya bergumam dalam hati me-
nyaksikan kenyataan itu. Namun gadis itu tak
mau berlarut-larut memikirkannya karena kemu-
dian dirinya harus sudah menghadapi serangan
yang dilancarkan mayat-mayat hidup yang lain.
"Grghgh...!"
Wuts!
"Eits...!"
Mayang segera melentingkan tubuhnya dan
bersalto beberapa kali di udara.
Jligh!
"Heh?"
Si Dewi Payung Emas baru mendarat di ta-
nah, serangan susulan kembali harus dihada-
pinya. Dengan gerakan yang cepat Mayang segera
membentengi tubuhnya dengan menggunakan ju-
rus 'Benteng Emas'.
Payung kecil berwarna kuning keemasan di
tangan Dewi Payung Emas seketika berputaran
cepat, hingga wujud asli dari senjata itu tak nam-
pak. Yang terlihat hanya segulungan sinar kuning
yang berpendar-pendar.
Namun, ketika sambaran ganas mayat hi-
dup yang mengancam bagian lehernya terhalau
oleh jurus 'Benteng Emas', suatu keanehan yang
sama kembali terulang.
Mayang menyaksikan kalau tangan mayat
yang putus terbabat senjata andalannya sedikit
pun tak mengucurkan darah. Namun kali ini
Mayang betul-betul tidak mempedulikan keanehan
itu. Dirinya tetap memusatkan pikiran pada seran-
gan-serangan lawan yang datang silih berganti.
Sementara di tempat lain, Jaka nampak se-
dang beradu tatapan dengan Setan Bukit Cemara.
Sepertinya kedua tokoh yang memiliki kesaktian
tinggi itu tengah mengukur kekuatan lawan mas-
ing-masing.
"Sebaiknya kau tak mencampuri urusanku,
Raja Gendeng! Aku tak suka itu," ujar Setan Bukit
Cemara dingin. Tatapannya menghujam tepat di
wajah Jaka.
"Kalau kau merasa ini urusanmu, maka wa-
jar pula jika aku menganggap apa yang menjadi
persoalanmu menjadi persoalanku. Karena itu me-
nyangkut hak hidup manusia lain," bantah Raja
Petir dengan suara yang cukup berwibawa.
"Jika begitu berarti kau mencari mampus!"
hardik Setan Bukit Cemara geram.
"Mampus tak perlu dicari, Tua Bangka!" ba-
las Jaka dengan suara yang sedikit meninggi. "Ka-
rena kematian memang sudah menjadi jatah bagi
setiap makhluk yang bernyawa, juga kau! Dan
mungkin jatah kematianmu yang bakal tiba seka-
rang ini," lanjutnya sambil menuding wajah Ki
Bandot, si Setan Bukit Cemara.
Lelaki berusia enam puluh tahunan yang
mengenakan pakaian biru terang itu tersentak
mendengar ucapan Raja Petir. Wajahnya berubah
merah padam. Giginya gemeretukan menahan ke-
marahan yang telah menggelegak.
"Kulumat tubuhmu. Raja Usil!" geram Setan
Bukit Cemara.
Seketika itu pula Ki Bandot meloloskan se-
pasang senjatanya yang berupa parang berwarna
merah darah.
"Hiaaa...!"
Wuttt! Wuttt!
Dengan cepat sepasang parang merah itu
bergerak di depan wajah Setan Bukit Cemara yang
meluruk menyerang Raja Petir.
"Haiiit...!"
Melihat lawan menyerang dengan gencar.
Raja Petir segera melompat ke belakang untuk
menghindari tebasan sepasang parang yang men-
gincar bagian kepala dan dadanya. Nampak tubuh
berpakaian kuning keemasan itu berputaran bebe-
rapa kali di udara.
Namun betapa terkejutnya Raja Petir ketika
tubuhnya masih berada di udara, Setan Bukit Ce-
mara dengan kekuatan tenaga dalam tinggi me-
lempar sepasang parang miliknya.
Singngng...!
Singngng...!
"Heh?!"
Raja Petir segera melempar tubuh ke samp-
ing kanan untuk menghindari senjata yang melu-
ruk dengan cepat.
Jlig!
Singngng...! Singngng...!
Tap! Tap!
Di luar dugaan Raja Petir, sepasang parang
merah yang memburu kembali di tangan Setan
Bukit Cemara.
"Kalau gerakanmu tak gesit, maka jurus
'Parang Setan Maut' akan mengirimkan nyawamu
ke neraka. Raja Usil," ledek Ki Bandot dengan se-
nyum terkulum.
"Aku tak memiliki gerakan yang gesit, Setan
Gila," balas Raja Petir merendah. "Hanya saja se-
ranganmu yang kurang bermutu dan tak berba-
haya!" lanjutnya. Kali ini bernada melecehkan. Se-
nyumnya tersungging sambil menatap wajah lelaki
tua di depannya.
"Kurang ajar!" hardik Ki Bandot geram.
"Berilah aku pelajaran yang terbaik, Setan
Angkuh," balas Jaka.
"Tentu saja! Bersiaplah!" Ki Bandot mem-
bawa tubuhnya mundur dua langkah. Kedudukan
sepasang kakinya membentuk kuda-kuda rendah.
"Jangan coba-coba meremehkan aji 'Racun
Cemara Kematian'" peringatan Setan Bukit Cemara
diucapkan dengan sinis.
"Jangan banyak omong, Setan! Cepat kelua-
rkan seluruh ajian yang kau miliki," selak Jaka tak
kalah sombong.
"Ngrgh...!"
Ki Bandot menggereng marah mendengar
ucapan Raja Petir. Lalu lelaki tua bercambang
bauk putih itu memejamkan mata. Sepasang tan-
gannya yang dirapatkan satu sama lain, diletakkan
di dahinya. Kemudian secara perlahan dibawanya
turun sampai di depan dada. Hampir tiga kali te-
gukan teh lamanya telapak tangan yang merapat
itu diletakkan menempel di dada. Sesaat kemudian
tampak mulai merenggang sedikit demi sedikit. Ke-
tika itulah terlihat asap tipis mengepul dari telapak
tangan yang sudah merenggang.
Asap tipis yang tercipta berkat pengerahan
ajian 'Racun Cemara Kematian' menebarkan bau
seperti daun terbakar. Bau itu semakin lama se
makin terasa menyengat hidung.
Raja Petir yang menyaksikan ilmu lawannya
seperti tak terpengaruh dengan bau yang semakin
menyengat. Namun tampak sikapnya yang tetap
waspada. Pendekar muda itu memang tak pernah
menganggap remeh setiap ilmu yang dikerahkan
lawan-lawannya. Termasuk ajian 'Racun Cemara
Kematian' yang sedang diperagakan Setan Bukit
Cemara.
Dengan tatapan yang tak lepas memperha-
tikan setiap gerakan Ki Bandot, Raja Petir tetap
berdiri tegak di tempatnya. Selangkah pun tak
tampak kakinya bergerak.
"Hoarrrkh...!"
Tiba-tiba saja Setan Bukit Cemara memekik
keras. Pekikan yang terdengar aneh itu diiringi
dengan terhentaknya dua telapak tangan ke de-
pan. Hentakan yang cukup kuat itu menjelmakan
dua gulung sinar kehijauan yang meluruk cepat
memburu Raja Petir.
Srrrttt! Srrrts...!
"Eits! Hops!"
Dengan cepat Raja Petir menghentakkan
kaki di tanah tempatnya berpijak. Seketika itu pu-
la tubuhnya melesat ke atas.
Tubuh Raja Petir melayang di udara dan
berputaran beberapa kali. Dua rangkum sinar ke-
hijauan yang meluruk ke tubuhnya berhasil dihin-
dari. Namun, dengan cepat Ki Bandot kembali
mengirimkan serangan susulan yang tak kalah
dahsyat
"Heaaa...!"
Srrrrttt! Srrrrts...!
Dua rangkum sinar kehijauan yang bergu-
lungan melesat memburu Raja Petir yang masih
berada di udara.
Patut dipuji ketenangan tokoh muda pewa-
ris ilmu mendiang Raja Petir itu. Dalam keadaan
yang sedemikian sulit Jaka mampu membaca sua-
sana dan mencari jalan keluar untuk menggagal-
kan serangan dahsyat lawan.
Dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah
Petir', tubuh pemuda berpakaian kuning keema-
san itu melesat ke samping kiri, lalu menjatuhkan
diri di tanah. Dengan bertumpu pada kedua tela-
pak tangan Raja Petir bergulingan beberapa kali ke
atas tanah merah.
"Hops!"
Tubuh Raja Petir kembali mencelat ke udara
menghindari serangan gencar Setan Bukit Cemara.
"Hrghrgh...! Hih!"
Setan Bukit Cemara menggeram keras. Ha-
tinya bertambah marah. Beberapa kali serangan
yang dilancarkan berhasil digagalkan lawan. La-
lu....
"Hiaaa...!"
Srrrtirt! Srrrrats...!
Dua gulung sinar kehijauan melesat cepat
memburu Raja Petir. Namun kali ini pendekar mu-
da itu tak nampak melakukan gerakan untuk
menghindar. Tokoh sakti yang mengenakan pa-
kaian kuning keemasan tampak mengepalkan tan-
gan, lalu menariknya ke atas pinggang.
"Hih!"
Wusss...!
Serangkum angin berhawa panas melesat
dari dua telapak tangan Raja Petir yang terhentak
kuat. Serangkum angin yang tercipta berkat pen-
gerahan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' meluruk
cepat, menyongsong dua gulungan sinar kehijauan
dari arah yang berlawanan. Angin panas itu berpu-
tar cepat. Dan....
Srrrttts!
Glarrr...!
Suara ledakan yang menggelegar keras ter-
dengar memekakkan telinga ketika ilmu 'Pukulan
Pengacau Arah' beradu dengan ajian 'Racun Cema-
ra Kematian' yang berupa dua gulungan sinar ke-
hijauan.
Akibat ledakan kuat itu tubuh Raja Petir
mundur satu langkah, sedangkan Setan Bukit
Cemara mengalami nasib yang lebih parah. Tu-
buhnya nampak terhuyung lima langkah ke bela-
kang. Keadaan itu menandakan kalau tenaga da-
lam yang dimiliki Raja Petir berada di atas Ki Ban-
dot
Ketika Setan Bukit Cemara dalam keadaan
terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan,
dengan kuat Raja Petir menghentakkan kaki se-
raya melancarkan serangan susulan dengan men-
gerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaaa...!"
Tubuh lelaki yang terbalut pakaian kuning
keemasan itu mencelat ke udara. Kedua tangan-
nya yang terentang, bergerak cepat ke dada Setan
Bukit Cemara.
Setan Bukit Cemara yang tak menyangka
akan datangnya serangan balasan yang begitu ce-
pat tampak panik dan kebingungan. Semampunya
lelaki tua berpakaian biru itu bergerak untuk
menghindari serangan Raja Petir. Namun, kecepa-
tan gerak lawan yang luar biasa membuat Bandot
tak sempat melakukan sesuatu. Maka....
Blukkk!
"Ugkh!"
Tubuh Setan Bukit Cemara terpental ke be-
lakang. Pukulan keras Raja Petir mendarat telak di
dadanya.
Brukkk!
"Hoekkk..!"
Tubuh Ki Bandot jatuh berdebum tanah.
Darah kental keluar melalui mulutnya. Lelaki tua
bercambang bauk putih itu tampaknya menderita
luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya yang
terbungkus pakaian biru terkulai lemas di atas ta-
nah berumput.
Suasana tiba-tiba berubah hening. Ada
keanehan terjadi lagi. Ketika keadaan Setan Bukit
Cemara terkapar tak berdaya seperti itu, menda-
dak mayat-mayat berjatuhan ke tanah. Mayat-
mayat hidup menyeramkan yang dengan ganas
menyerang Mayang tiba-tiba bagaikan makhluk
hidup yang kehilangan nyawa. Mati! Dan perlahan-
lahan mereka berubah ke asal semula.
"Hhh...."
Mayang sempat keheranan menyaksikan
keadaan itu, begitu juga dengan Raja Petir.
Namun ketika suasana aneh itu masih tera
sa, tiba-tiba pula muncul sesosok bayangan hitam
melesat dengan kecepatan yang sulit tertangkap
mata.
Raja Petir dan Dewi Payung Emas belum
sempat menyadari benar, tahu-tahu sosok bayan-
gan yang berkelebat itu telah menyambar tubuh
Setan Bukit Cemara yang terkulai tak berdaya di
atas rerumputan. Dengan cepat sosok bayangan
hitam itu meninggalkan tempat itu membawa tu-
buh Setan Bukit Cemara.
"Ayo, kita kejar mereka, Kakang!" ajak
Mayang menyadari kalau Setan Bukit Cemara te-
lah diselamatkan seseorang.
Jaka tak segera menyetujui ucapan keka-
sihnya. Namun kemudian ketika hatinya tergerak
untuk menyelidiki keanehan-keanehan yang terja-
di Raja Petir pun segera menganggukkan kepa-
lanya
"Ayolah! Hop!"
"Hops!"
TUJUH
Sosok bayangan hitam yang melarikan tu-
buh Setan Bukit Cemara terus melesat dengan ke-
cepatan tinggi. Sambil memanggul tubuh Setan
Bukit Cemara, sosok bayangan hitam itu melesat
terus melintasi perbatasan Desa Kober Utara.
Sosok berpakaian hitam itu ternyata salah
seorang dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing
Goa Tanjung yang sengaja diutus Ki Gambaga Ke
pala Desa Pagarayung untuk mengawasi sepak-
terjang Setan Bukit Cemara.
Jaka dan Mayang yang menguntit lari sosok
penyelamat Ki Bandot tampaknya tak kehilangan
jejak. Karena ilmu meringankan tubuh yang dike-
rahkan dalam berlari telah mencapai tingkat ke-
sempurnaan.
"Dia masuk ke desa lain, Kakang," ujar
Mayang melihat sosok yang memanggul tubuh Se-
tan Bukit Cemara melewati perbatasan Desa Kober
Utara dan masuk ke desa yang bernama Paga-
rayung.
"Kita akan terus menguntit mereka. Namun
kita tetap harus meningkatkan kewaspadaan," sa-
hut Jaka.
"Tentu saja, Kakang," timpal Mayang den-
gan lari yang tetap pada kecepatan seperti semula.
"Rasanya kita perlu mengurangi kecepatan
kita Mayang. Firasatku mengatakan kalau sarang
yang dituju tak jauh dari sini," ujar Raja Petir
menduga-duga. Dugaan pendekar muda itu tentu
saja dilandasi kepekaan panca indera yang tetap
terus dikerahkan selama pengejaran.
Mayang tentu saja menuruti apa yang di-
ucapkan kekasihnya. Gadis cantik itu langsung
mengurangi kecepatan larinya. Bahkan tampak
berubah dengan langkah yang agak cepat.
"Sebaiknya kita berhenti di sini!" usul Jaka.
Mayang menatap wajah kekasihnya. Tak ada sepa-
tah pertanyaan pun yang diucapkan.
"Aku akan melakukan sesuatu dari tempat
ini," papar Raja Petir lagi. "Kuharapkan kesia
gaanmu saat aku melakukan pemusatan pikiran."
"Lakukanlah, Kang!" sahut Mayang menye-
tujui ucapan kekasihnya.
Raja Petir segera memusatkan pikiran. Pe-
muda berpakaian kuning keemasan itu tampak
mulai memejamkan mata. Kakinya yang berdiri te-
gak, agak direnggangkan. Sementara kedua tan-
gannya yang terkepal ditarik sampai ke pinggang.
Dengan mengheningkan cipta seperti itu Ra-
ja Petir berusaha mengerahkan ilmu mendengar
jarah jauhnya. Mayang pun tak tinggal diam. Ga-
dis itu segera memasang kewaspadaan tingkat
tinggi, bersiaga penuh di tempatnya berdiri. Ma-
tanya yang tajam jelalatan ke sana kemari, men-
gawasi tempat di sekitar mereka.
"Setan Bukit Cemara kini ditemani empat
lelaki, Mayang," ujar Jaka memberitahu setelah
melakukan pengerahan ilmu mendengar jarak
jauh.
Mendengar ucapan Raja Petir, gadis itu me-
noleh lalu mengangguk, tanda mengerti.
"Tiga di antara mereka mengaku berjuluk
'Tiga Bajing Goa Tanjung', sedangkan yang sa-
tunya mengaku sebagai Kepala Desa Pagarayung,"
papar Jaka, menurut apa yang di dengarnya dari
jarak jauh.
"Lalu apa yang mereka rencanakan?" tanya
Mayang ingin tahu.
"Aku hanya mendengar keinginan Kepala
Desa Pagarayung yang bercita-cita menguasai De-
sa Kober Utara untuk disatukan dengan desa yang
dipimpinnya. Namun terlebih dulu melenyapkan Ki
Bernala serta abdi setianya," papar Jaka.
"Dan Tiga Bajing Goa Tanjung bersedia
membantu setelah Setan Bukit Cemara gagal me-
nunaikan tugasnya, begitu kan, Kang?" tanya
Mayang menduga cerita Jaka selanjutnya.
"Semakin pandai kau sekarang, Mayang!"
puji Jaka membenarkan kesimpulan kekasihnya.
"Lalu apa rencanamu, Kang?"
"Kita kembali ke kediaman Ki Bernala seka-
rang juga."
"Hmmm...!" Mayang menggumam tak jelas.
"Tidak kita satroni saja Setan Bukit Cemara dan
empat lelaki yang kini menemaninya?" tanya
Mayang mencoba memberikan pendapatnya.
"Pada saatnya mereka akan menyatroni ke-
diaman Ki Bernala, Mayang. Itulah rencana mere-
ka selanjutnya," ujar Jaka, lembut. "Kita harus
memberitahukan Ki Bernala tentang hal ini. Kita
jangan bertindak sebelum yang bersangkut-paut
dengan persoalan ini tahu dengan jelas masalah-
nya."
Gadis cantik berpakaian jingga yang berju-
luk Dewi Payung Emas mengangkat pundak seba-
gai tanda menyerahkan keputusan sepenuhnya
pada Jaka.
"Kau memang gadis penurut, Mayang. Ayo,
kita tinggalkan tempat ini!" ajak Jaka sambil
menggamit lengan Mayang dan pergi meninggalkan
perbatasan Desa Pagarayung.
***
Ada keterkejutan di hati Kepala Desa Kober
Utara setelah mendengar cerita hasil penyelidikan
Jaka dan Mayang. Sesungguhnya Ki Bernala tak
menyangka kalau dalang di balik peristiwa bela-
kangan ini ternyata Ki Gambaga.
"Ki Gambaga...," gumam Ki Bernala dengan
wajah menegang.
"Nama Kepala Desa Pagarayung itu Ki Gam-
baga, Ki?" tanya Jaka ingin tahu.
"Ya," tegas Ki Bernala, "Dialah sahabatku
yang paling baik."
"Maksud Ki Bernala?" tanya Mayang pena-
saran.
"Desa Kober Utara dan Desa Pagarayung
bertetangga sejak puluhan tahun lalu. Kami seba-
gai kepala desa tentu saja saling menghormati
hak-hak desa masing-masing. Malahan kami ser-
ing saling mengunjungi satu sama lain, hingga
timbul persahabatan yang erat. Kuakui tanah di
Desa Kober Utara memang lebih subur daripada
tanah di Desa Pagarayung. Sungguh tak kusangka
kalau akhirnya persahabatan ini ternodai begitu
saja," papar Ki Bernala menjelaskan pertanyaan
Mayang.
"Mungkin karena itulah Ki Gambaga men-
ginginkan Desa Kober Utara menjadi wilayah ke-
kuasaannya," duga Mayang menimpali.
"Apa tak ada hal lain yang membuat desa
itu melebihi Desa Pagarayung?" tanya Jaka ingin
tahu.
Ki Gambaga tak segera menjawab perta-
nyaan Jaka. Mata lelaki berusia hampir enam pu
luh tahun itu menatap wajah pemuda tampan di
depannya. Bias keraguan nampak memancar dari
tatapan matanya.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja Ki Bernala menarik
napas panjang. "Mungkin Ki Gambaga tahu hal
ikhwal Bukit Gandung," jawab Ki Bernala setelah
berhasil meyakinkan hati bahwa Jaka memang ha-
rus tahu keadaan di desanya.
"Ada apa di Bukit Gandung, Ki?" tanya Jaka
hati-hati.
"Konon, menurut orang-orang sebelum aku
menjadi kepala desa ini, pada sebuah bukit yang
bernama Bukit Gandung terpendam sebuah harta
kekayaan yang tak ternilai harganya. Dan menurut
mereka bukan hanya kekayaan saja yang terpen-
dam di sana, melainkan juga senjata dan kitab-
kitab pusaka," tutur Ki Bernala sejelas-jelasnya. Di
sebelah Ki Bernala nampak Nyi Rira Pangestu du-
duk dengan kepala tertunduk.
"Ki Bernala percaya dengan omongan-
omongan itu?" tanya Mayang.
"Entahlah, karena aku belum membukti-
kannya," jawab Ki Bernala.
"Kalau boleh aku tahu apa rencana Ki
Gambaga selanjutnya, Jaka?" suara Nyi Rira Pan-
gestu terdengar bernada penuh kecemasan.
"Ki Gambaga yang kini dibantu Tiga Bajing
Goa Tanjung akan datang ke sini, Nyi. Dan berha-
srat besar untuk membinasakan Ki Lurah Bernala
serta abdi-abdinya," jelas Jaka tanpa menutup-
nutupi hal yang diketahuinya.
"Oh!" Nyi Rira Pangestu terpekik mendengar
penjelasan Jaka.
"Nyi Rira tak perlu terlalu cemas. Sebisanya
kami akan membantu," tukas Mayang mencoba
menenangkan hati istri Ki Bernala.
"Kapan kira-kira mereka akan menyerbu
kemari?" tanya Ki Bernala.
"Entahlah," jawab Jaka, "Yang jelas kita ha-
rus bersiap-siap."
***
Malam demi malam terlewati dengan pera-
saan tercekam. Sudah tiga malam Ki Bernala tak
dapat tidur tenang. Begitu pun istrinya, Nyi Rira
Pangestu. Kedua suami-istri penguasa Desa Kober
Utara itu selalu mengurungkan keinginannya un-
tuk tidur nyenyak. Setiap kali ada suara gemerisik
mereka tersentak kaget, lalu bangun dari pemba-
ringan. Padahal suara-suara itu ditimbulkan bina-
tang malam atau angin yang bertiup kencang
menggoyang ranting pepohonan di sekitar rumah-
nya.
Hingga malam ini, Ki Bernala dan istrinya
benar-benar tak bisa memejamkan mata. Perasaan
mereka semakin tercekam.
"Perasaanku semakin tak enak saja, Ki,"
ujar Nyi Rira Pangestu mirip bisikan. Matanya me-
natap wajah Ki Bernala yang terbaring di sam-
pingnya.
"Hatiku juga tak tenang, Nyi," timpal Ki
Bernala, "Namun aku yakin kedatangan mereka
akan diketahui Gunjada dan kawan-kawannya,
bukankah mereka sedang berjaga-jaga di luar sa-
na?" lanjuti Ki Bernala berusaha menenangkan ha-
ti istrinya.
"Tapi, aku tetap khawatir, Ki," ujar Nyi Rira
Pangestu tak kuasa menyembunyikan ketakutan-
nya.
"Kalau begitu, kita bergabung saja dengan
Jaka dan Mayang. Barangkali dengan begitu hati-
mu bisa tenang, Nyi," ujar Ki Bernala menyaran-
kan istrinya.
Nyi Rira Pangestu menganggukkan kepala
menyetujui usul Ki Bernala. Keduanya melangkah
ke luar meninggalkan ruangan pribadinya, menuju
kamar Mayang dan Jaka.
"Aaa...!"
Namun baru tiga langkah kaki Ki Bernala
dan Nyi Rira Pangestu terayun, suara pekikan ke-
ras terdengar.
"Ki...?"
Nyi Rira Pangestu segera saja merangkul
tubuh sang Suami. Kepalanya menoleh ke tempat
asal suara pekikan.
Pada saat puncak ketakutan Nyi Rira Pan-
gestu tak terkuasai, tiba-tiba muncul Jaka dan
Mayang yang berlari dari kamar masing-masing.
"Ada apa, Ki?" tanya Jaka dan Mayang
hampir bersamaan.
"Aku tak tahu, Jaka," jawab Ki Bernala
sambil merangkul istrinya untuk memberi kete-
nangan.
"Biar aku lihat keluar," ujar Jaka, "Kau te-
mani Nyi Rira, Mayang!"
Jaka bergegas keluar menuju tempat asal
suara tadi.
"Hei, ada apa ini?" tanya Jaka ketika me-
nyaksikan Gunjada tengah membungkuk meme-
riksa keadaan rekannya yang tergeletak di tanah
depan rumah Ki Bernala.
"Aku tak tahu dengan jelas. Raja Petir," ja-
wab Gunjada seraya bangkit. "Walinan tahu-tahu
saja memekik dan ambruk."
Jaka segera melompat turun dari serambi
untuk memeriksa keadaan lelaki bernama Wali-
nan.
"Dia sudah mati," ucap Jaka setelah meraba
nadi Walinan yang sudah tak berdenyut.
Gunjada dan kawan-kawannya yang lain
terkejut mendengar ucapan Raja Petir. Semua
kembali menatapi tubuh Walinan.
"Hmmm...."
Raja Petir bergumam saat tangannya mera-
ba bagian leher Walinan. Sebuah benda beracun
telah menembus kulit leher lelaki itu hingga ke da-
lam.
"Seperti sebuah jarum," duga Jaka sambil
terus meraba leher lelaki berpakaian hitam yang
sudah menjadi mayat itu.
Crrrt...!
Tiba-tiba saja Jaka memijit kulit bagian leh-
er Walinan. Sebuah jarum seketika keluar dari ku-
lit leher Walinan. Darah kehitaman pun keluar da-
ri bekas tembusan jarum.
"Bersiagalah kalian semua!" ujar Raja Petir
memperingatkan bahaya yang diduga bakal da
tang.
Orang-orang yang bertugas menjaga kea-
manan rumah kediaman Ki Bernala segera saja
menghunus senjatanya masing-masing. Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar suara berdecit halus
yang meluruk ke tempat para penjaga keamanan
rumah Ki Bernala.
Jaka yang memang sudah terlatih kepe-
kaannya segera dapat merasakan bahaya yang da-
tang mengancam.
"Awaaasss...!" teriak Jaka, seraya melompat
ke depan, tangannya seketika bergerak cepat men-
gerahkan jurus pukulan pengacau arah.
Wuuusss...!
DELAPAN
Trak! Trak! Trak!
Benda-benda yang melesat hingga menim-
bulkan suara berdecit itu berpentalan balik ketika
serangkum angin bergulung yang keluar dari tela-
pak tangan Raja Petir menerjang dari arah berla-
wanan.
Senjata-senjata gelap yang ternyata jarum-
jarum beracun itu sebagian terpental balik ke pe-
miliknya dan sebagian hancur berhamburan di ta-
nah.
"Hops!"
"Aaakh...!"
Teriakan-teriakan keras seketika terdengar
memecah suasana malam. Jarum-jarum yang terpental balik itu rupanya mengancam keselamatan
pemiliknya. Sehingga dari balik pepohonan di seki-
tar rumah itu berlompatan beberapa sosok bayan-
gan yang menghindari serangan balik senjata gelap
mereka.
Tiga lelaki berpakaian gelap mendarat den-
gan ringan di tanah. Gerakan mereka pun sangat
lincah. Ketiga lelaki berwajah hampir mirip itu
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
Namun, di antara para penyerang gelap itu
tampak seorang lelaki berwajah kasar. Dari gera-
kan dan cara mendaratnya memberi gambaran ka-
lau dirinya tidak memiliki kemampuan dalam ilmu
silat. Lelaki berpakaian merah darah itu tak lain Ki
Gambaga, Kepala Desa Pagarayung. Mereka da-
tang berempat, tanpa Manggale. Ki Gambaga sen-
gaja meninggalkan putranya di rumah, agar men-
jaga Ki Bandot yang tengah menderita luka dalam
sangat parah setelah bentrok dengan Jaka.
"Ha ha ha...! Hebat juga ilmu yang kau mili-
ki, Bocah!" teriak seorang lelaki berpakaian kelabu
dan berkepala botak plontos. Mata lelaki yang be-
sar sebelah itu terlihat berkedip-kedip lucu. Dan
giginya yang tonggos membuat penampilan lelaki
bertubuh tegap itu tampak lucu.
"Dialah Raja Petir, Lambuna," ujar lelaki
berwajah kasar yang tak lain Kepala Desa Paga-
rayung yang bercita-cita menguasai Desa Kober
Utara.
Lelaki yang bernama Lambuna segera me-
noleh dan menatap sejenak wajah Ki Gambaga.
Tanpa diberitahu, sebenarnya Lambuna sudah
mengenal ciri-ciri pada diri pemuda berpakaian
kuning keemasan yang terkenal dengan julukan si
Raja Petir.
Mendapat tatapan tak senang dari Lambu-
na, Ki Gambaga sedikit menundukkan wajahnya.
Keadaan seperti itu tak berlangsung lama, karena
kemudian Lambuna sudah kembali berkata, "Kau
tahu dengan siapa sekarang berhadapan. Raja
Goblok?!" tanya Lambuna setengah membentak.
"Aku tak tahu, tapi kalau boleh aku mendu-
ga, bukankah kau yang berjuluk Setan Tonggos
berwajah buruk?" balas Raja Petir dengan ejekan
pula.
"Kurang ajar!" maki Lambuna, merasa ter-
singgung dengan julukan yang disebutkan Raja Pe-
tir.
"Setan Alas!" hardik lelaki lain yang juga
bergigi tonggos dan bermata sipit. Dialah orang
kedua dari tiga lelaki yang berjuluk Tiga Bajing
Gua Tanjung.
"Keparat!" caci orang ketiga tak mau keting-
galan.
"Kau tidak menghardikku?" tanya Raja Petir
pada Ki Gambaga yang hanya diam.
Ki Gambaga menatap tajam wajah Raja Pe-
tir. "Kau harus mampus sekarang!" bentaknya ke-
mudian.
"Kau yang harus mampus, Gambaga!" balas
Ki Bernala yang muncul bersama-sama Mayang
dan Nyi Rira Pangestu. "Sungguh aku tak me-
nyangka kalau kau bisa menodai persahabatan ki-
ta dengan hal-hal yang keji seperti ini. Kau tahu,
banyak sudah penduduk Desa Kober Utara yang
menjadi korban karena ulahmu menyewa Setan
Bukit Cemara. Kelakuanmu sangat memalukan!
Hanya kematianlah yang pantas menebus dosa-
dosamu, Ki Gambaga!"
"Jangan bermimpi dapat membunuhku,
Bernala!" bentak Ki Gambaga, "Kau tak lihat Tiga
Bajing Gua Tanjung yang berdiri di sebelahku? Se-
karang juga mereka akan mengirim kalian semua
ke neraka," lanjut Ki Gambaga dengan menyan-
jung nama Tiga Bajing Gua Tanjung.
"Kurasa Raja Petir-lah yang pantas mengu-
bur wajah-wajah jelek orang-orang bayaranmu, Ki
Gambaga!" balas Ki Bernala.
Bergetar hati Tiga Bajing Gua Tanjung
mendengar penghinaan tajam yang dilakukan Ki
Bernala. Kemudian salah seorang di antara Tiga
Bajing Gua Tanjung itu bergerak cepat hendak
menghantam Bernala dengan tinjunya. Namun....
"Hops!"
Mayang telah lebih dulu bergerak ke depan
untuk melindungi Ki Bernala.
"Sabar Kisanak!" ujar gadis itu sambil men-
gangkat senjatanya sebatas kepala. "Kau tak pan-
tas untuk berhadapan dengannya!"
Lelaki ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung
mengurungkan niatnya menyerang Ki Bernala.
"Apa kau sanggup menghadapiku, Gadis
Liar?" tanya lelaki berambut gondrong sebahu. Gi-
ginya yang tonggos tampak sangat lucu.
"Sepuluh lelaki macam kau pun akan kula-
deni," balas Mayang ketus.
"Benar-benar gadis binal!"
"Kau lelaki kelaparan!"
"Hhh...!"
Orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tanjung
mendengus kesal. Tanpa menunggu perintah dari
Lambuna sebagai orang tertua, lelaki berambut
gondrong dan bergigi tonggos itu langsung melan-
carkan serangannya terhadap Mayang.
Lambuna yang menyaksikan Rekoga telah
melakukan penyerangan, segera memerintahkan
Garbala untuk sama-sama menyerang Raja Petir.
"Ayo, Garbala! Kita lumat tubuh Raja Gob-
lok itu!" seru Lambuna keras. Tubuh lelaki berke-
pala botak itu langsung melesat ke tubuh Jaka di-
ikuti Garbala.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
***
Di bawah sinar bulan yang tak begitu terang
pertarungan maut pun tak dapat terelakkan. Lam-
buna dan Garbala tampak sangat bernafsu untuk
membunuh lawan mereka.
Pertarungan yang berlangsung seru itu ter-
pecah tiga bagian. Kepala Desa Kober Utara tam-
pak mempertahankan kewibawaannya menghada-
pi Kepala Desa Pagarayung. Sementara dara manis
kekasih Raja Petir, nampak tak sungkan-sungkan
meladeni orang ketiga dari Tiga Bajing Gua Tan-
jung.
"Hiaaa...!"
Wuttt!
"Haits...!"
Dengan cepat Rekoga mengayunkan senjata
menyerang Dewi Payung Emas. Seperti gerakan
penari tubuh Mayang meliuk menghindari teba-
san, senjata Rekoga. Sangat ringan dan lentur ge-
rakan yang dilakukan gadis berpakaian jingga itu
membuat serangan lawan luput.
"Setan!" hardik Rekoga geram, "Terimalah
ini!"
Slats! Slats!
Dengan gerakan cepat Rekoga meraih sum-
pit yang ditaruh di balik pakaian dan meniupkan-
nya dengan kuat. Dua batang jarum beracun pun
melesat cepat memburu tubuh Mayang. Namun....
Wrrr...!
Trak! Trak!
Mayang yang sudah mampu membaca keli-
cikan lawannya segera saja mengerahkan jurus
'Benteng Emas' guna meredam serangan Rekoga
lewat ilmu 'Sumpit Maut Setan Tanjung'.
Senjata andalan Mayang yang berupa
payung logam yang berwarna kuning keemasan
berputaran kuat hingga membentuk semacam
benteng. Dan ternyata jurus 'Benteng Emas' lebih
ampuh dari ilmu lawan.
Sementara itu pada pertarungan lain. Raja
Petir yang menghadapi lelaki tertua dari Tiga Baj-
ing Gua Tanjung tengah terlibat pertarungan sen-
git.
Jurus-jurus andalan yang dimiliki Lambuna
dan Garbala berkali-kali sudah digelar. Namun se
jauh ini dua dari Tiga Bajing Gua Tanjung belum
mampu menunjukkan keperkasaan mereka. Ber-
lawanan dengan sesumbar mereka yang hendak
melumat tubuh Raja Petir.
Sebaliknya, Raja Petir hanya dengan menge-
rahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sesekali
menyerang dalam jurus 'Petir Menyambar Elang'
mampu mengecoh lawan-lawannya. Bahkan Lam-
buna dan Garbala tampak mulai terdesak.
"Dia betul-betul tangguh, Kakang," desis
Garbala seperti putus asa.
"Tidak Garbala, Kita hanya belum mengelu-
arkan ilmu-ilmu tingkat utama kita," sangkal
Lambuna.
"Kalau begitu gunakan saja sekarang, Ka-
kang," usul Garbala.
"Ayo! Aku memang sudah kepingin cepat-
cepat menyelesaikan urusan ini," jawab Lambuna.
Orang pertama dan kedua dari Tiga Bajing
Gua Tanjung itu kini sama-sama mundur dua
langkah. Keduanya kini berdiri tegak dengan tata-
pan mata lurus ke wajah Raja Petir. Sementara
tangan mereka saling ditautkan satu sama lain.
Dengan sikap tenang Raja Petir memperha-
tikan apa yang dilakukan kedua lawannya. Ba-
ginya gerakan yang dilakukan Lambuna dan Gar-
bala dianggap seperti anak-anak kecil yang hendak
bermain. Namun ketika melihat kelanjutannya Ra-
ja Petir tersentak.
"Ilmu Setan," gumam Raja Petir melihat
tangan yang saling bertautan itu semakin meman-
jang dan memanjang. Tangan itu melar bagai karet
dan semakin lama terulur melebihi ukuran kewa-
jaran.
Jaka dengan tatapan mata tak berkedip te-
rus menanti-nanti apa yang akan dilakukan dua
orang lawannya.
"Aji Gua Maut!"
Tiba-tiba saja Lambuna berteriak lantang
menyebutkan ilmu yang sedang digunakannya.
Bersamaan dengan itu tubuh keduanya melesat
dengan cepat memburu Raja Petir. Tangan mereka
yang melar panjang tetap saling bergandengan.
Kedua tangan panjang itu tiba-tiba bergerak men-
gurung Raja Petir yang masih diam di tempatnya.
"Hmmm...! Apa yang akan mereka lakukan
dengan 'Aji Gua Maut' itu?" batin Jaka.
Jaka yang kini terkurung ilmu lawan sedikit
pun tak bergeser dari pijakannya. Dirinya masih
menanti-nanti serangan bagaimana yang akan di-
lancarkan Lambuna dan Garbala.
Beberapa saat lamanya tubuh Jaka, yang
terkurung tak terjadi perubahan apa-apa. Namun
kemudian asap kemerahan tiba-tiba muncul dari
tangan-tangan yang melingkar di seputar tubuh
Raja Petir. Mula-mula asap itu terlihat tipis, tapi
kemudian semakin tebal hingga akhirnya berubah
warnanya. Asap tebal yang mengurung itu kini me-
rah pekat.
"Uhugkh!"
Jaka terbatuk ketika asap ciptaan Lambuna
dan Garbala yang terangkum dalam ilmu 'Aji Gua
Maut' semakin dekat, seolah hendak membungkus
tubuhnya.
"Hawa beracunnya semakin lama semakin
menyengat," kata hati Jaka. Kemudian secara per-
lahan dirinya mulai mengerahkan 'Ajian Kukuh
Karang' untuk mengatasi serangan lawan.
Sebelum asap merah yang semakin tebal itu
benar-benar membungkus tubuh Raja Petir sinar
kuning keemasan yang perpendar-pendar dari ba-
gian dada hingga kepala dan lutut hingga ujung
kaki telah menjelma melindungi tubuhnya.
Karena tubuh lawan terkepung asap tebal
Lambuna dan Garbala tak tahu kalau Raja Petir
tengah berupaya melindungi diri dengan ilmunya.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Raja Petir hanya dapat mendengar teriakan
Lambuna dan Garbala yang menggelegar. Firasat-
nya mengatakan kalau dua lawannya akan mela-
kukan serangan gelap.
Dan ternyata benar. Lambuna dan Garbala
tengah melesat cepat, mengirimkan serangan den-
gan tendangan lurus ke kepala dan perut Raja Pe-
tir.
Suara angin yang menderu menandakan
kalau kedua tokoh Setan Gua Tanjung mengguna-
kan kekuatan tenaga dalamnya dalam serangan
itu. Namun....
Prats! Prats...!
"Aaakh...!"
"Akh...!"
Tubuh Garbala dan Lambuna seketika ter-
pental balik ketika tendangan dahsyat yang mere-
ka lancarkan seperti membentur logam yang san
gat keras. Seketika keduanya terpekik kesakitan.
Hampir tiga batang tombak jauhnya tubuh
Lambuna dan Garbala terpental. Mereka merasa-
kan sekujur tubuh bagaikan dirambati ribuan se-
mut. Gemetaran dan linu. Sedangkan pengaruh
'Aji Gua Maut' yang mampu menjelmakan asap
merah dan tebal kini telah luntur. Tak lagi tercium
bau yang menyesakkan pernapasan, apalagi wujud
asap itu seolah-olah menguap ke langit.
"Keparat!" maki Lambuna geram, merasa te-
lah mengalami kegagalan dengan ajian yang dian-
dalkannya.
"Kalian masih punya hasrat untuk mengha-
dapiku?" tanya Jaka dengan suara keras.
"Hhh...!"
Lambuna dan Garbala sama-sama mengge-
leng. Mulut Lambuna mendengus penuh keben-
cian, mendengar pertanyaan Jaka yang dianggap-
nya terlalu sombong.
"Lebih baik aku mampus daripada harus
menyerah di tanganmu, Raja Gila!" maki Garbala
tak kuasa menahan kejengkelannya.
Srat!
Tiba-tiba saja Garbala meloloskan pedang
dari warangkanya yang tergantung di pinggang.
Hal yang sama dilakukan Lambuna. Sementara
itu, Jaka terbelalak melihat pedang Garbala. Pe-
dang itu tumpul dan berukuran pendek. Mungkin
hanya sekitar dua jengkal.
"Heaaa...!"
Garbala melesat cepat memburu tubuh Ja-
ka. Sementara Lambuna dengan ringan sekali me
lenting ke atas sambil mengayunkan pedangnya.
Patut dipuji daya tahan kedua tokoh Tiga
Bajing Gua Tanjung itu. Apalagi daya tahan tubuh
Lambuna. Meski dalam keadaan persendian yang
masih linu, lelaki berkepala botak itu mampu me-
lenting ke udara dan meluruk melewati batas ke-
pala Raja Petir.
Melihat tindakan kedua lawannya, Jaka
mengetahui gelagat kalau mereka akan menye-
rangnya dari dua arah depan dan belakang dengan
menggunakan senjatanya.
Dugaan Raja Petir ternyata tak meleset, ter-
bukti setelah tubuh Lambuna mendarat di bela-
kangnya, Garbala mengangkat pedangnya sampai
di atas kepala. Jelas hal itu sebagai pertanda, ka-
lau penyerangan dari dua arah akan segera dimu-
lai.
"Sepasang Pedang Bajing Goa Tanjung!" pe-
kik Lambuna yang berada di belakang Raja Petir.
"Hiaaa...!"
"Hiaaa...!"
Garbala yang melesat lebih dulu dari depan
sempat dilihat gerakannya oleh Raja Petir. Seketi-
ka itu juga kecerdikan Raja Petir berperan.
Ketika pedang tumpul di tangan Garbala
melesat mengancam jantungnya. Raja Petir segera
menangkap senjata itu dengan dua telapak tangan
yang dirapatkan satu sama lain.
Crak!
"Heh?!" Garbala terkejut mendapatkan se-
rangannya ditahan dengan tangan telanjang. Dan
keterkejutan Garbala semakin menjadi-jadi ketika
pada saat yang hampir bersamaan Lambuna me-
nusukkan pedangnya lurus ke batang leher lawan.
Sedangkan Raja Petir, dengan kecepatan dan ke-
kuatan luar biasa segera mengangkat tubuh Gar-
bala hingga menghadapi Lambuna yang tengah
melancarkan serangan membokong. Maka keja-
diannya....
"Hiaaa...!"
Jrrrabs!
"Aaa...!" lengking kematian panjang pun
terdengar membumbung tinggi, ketika pedang
Lambuna menghujam dada Garbala. Tubuh orang
kedua dari Tiga Bajing Gua Tanjung itu langsung
ambruk ke tanah. Darah muncrat dari dada Gar-
bala ketika dengan cepat Lambuna menarik pe-
dangnya.
"Keparat kau. Raja Petir!" bentak Lambuna.
Lelaki berkepala botak itu menggeram marah. Ma-
tanya melotot kaget menyaksikan kematian Garba-
la.
"Aaa...!"
Belum lagi kemarahan Lambuna terlam-
piaskan sebuah pekik kematian terdengar dari mu-
lut Rekoga. Lambuna sempat menoleh ke tempat
asal pekikan itu. Dan hatinya terkejut bukan kepa-
lang menyaksikan Rekoga terhuyung-huyung den-
gan bagian perut terkoyak lebar. Darah bercucu-
ran dari perut yang terbabat senjata andalan
Mayang.
Bruk!
"Aaakh...!"
Tubuh Rekoga ambruk. Masih terdengar
suara rintihan kesakitan, sebelum akhirnya tubuh
Rekoga kaku tak bernyawa.
Pada pertarungan lain Ki Gambaga tampak
terdesak menghadapi Ki Bernala, karena pada saat
itu Gunjada mulai memberi bantuan kepada kepa-
la desanya.
"Mampus kau, Ki Gambaga!" teriak Gunjada
sambil membabatkan pedangnya ke lambung Ke-
pala Desa Pagarayung itu.
"Heaaa...!"
Brets!
"Akh...!"
Tubuh Ki Gambaga seketika ambruk ke ta-
nah dengan bagian lambung terkoyak dan mengu-
curkan darah. Tubuh kepala desa itu menggelepar-
gelepar sesaat, tapi kemudian diam tak bergerak
lagi.
"Bagaimana, bajing ompong?! Apakah kau
juga ingin menyusul kawan-kawanmu ke kubur?"
tanya Raja Petir mengejek Lambuna.
Merah padam wajah Lambuna mendengar
lecehan lawannya. "Kalau aku mundur sekarang,
itu bukan berarti aku takut mati, Raja Gendeng!
Aku hanya tak ingin kematian saudara-saudaraku
menjadi sia-sia. Aku akan menuntut balas pada-
mu. Dendamku akan terus membara!" lantang
ucapan Lambuna. Napasnya terdengar memburu
menahan kemarahan yang meluap-luap.
Raja Petir hanya tersenyum mendengar
ucapan lawan yang sudah kehilangan keberanian
itu. Dan senyumnya semakin melebar saat Lam-
buna menghentakkan kakinya.
"Hiaaa...!"
Di luar dugaan, Gunjada tiba-tiba melesat
cepat ke tubuh Lambuna seraya mengayunkan pe-
dangnya.
Bret!
"Aaa...!"
Lambuna terpekik keras, ketika pedang
Gunjada membabat tepat batang lehernya. Darah
segar langsung tersembur dari leher yang terkoyak
lebar. Tubuh lelaki berkepala botak itu menggele-
par-gelepar di tanah.
Hanya sesaat pemandangan seperti itu ter-
lihat, pada saat selanjutnya tubuh Lambuna tak
berkutik lagi. Mati!
Menyaksikan kematian Lambuna, Raja Petir
hanya sempat menarik napas dan kemudian ka-
kinya terayun menghampiri Ki Bernala dan Nyi Ri-
ra Pangestu.
"Maaf, Ki dan Nyi! Kami tak bisa berlama-
lama tinggal di desa ini, masih banyak keperluan
yang harus kami urns," ucap Jaka.
"Tinggallah barang satu, dua malam lagi di
sini, Nak Jaka!" tahan Nyi Rira Pangestu.
"Maafkan kami, Nyi! Bukannya kami tak
berkenan," tolak Jaka lembut.
Nyi Rira Pangestu tak lagi berkata-kata
mendengar penolakan halus Raja Petir.
"Kalau begitu jangan lupakan kami, dan te-
rima kasih atas bantuanmu!" tutur Ki Bernala.
Jaka dan Mayang sama-sama mengangguk-
kan kepala.
"Sama-sama, Ki. Kami mohon diri seka
rang!" ucap Jaka. "Ayo, Mayang!"
Mayang pun segera mengikuti langkah pan-
jang Jaka. Angin berhembus semilir mengiringi
kepergian sepasang pendekar muda yang telah
berhasil menunaikan tugasnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar