SUMPAH JAGO-JAGO BAYARAN
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar oleh: Jesco Setting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode:
Sumpah Jago-Jago Bayaran
SATU
Malam telah larut. Suasana hutan jati itu
sungguh amat menyeramkan. Bulan yang tengah
bersinar, tak sampai menyinari tanah di sekeliling
hutan jati yang luas itu. Sinarnya hanya bisa me-
nyinari pucuk-pucuk pohon jati saja.
Suara binatang malam terdengar ramai. Dan di
kejauhan terdengar srigala yang menakutkan.
Dan suasana yang senyap dan menyeramkan itu
tiba-tiba diganti oleh derap langkah kuda yang
cepat. Debu-debu pun berterbangan. Nampak se-
buah kereta kuda tengah melarikan diri dengan
kencang. Saisnya begitu tegang dan tergesa-gesa
mengendalikan kekang kudanya. Cambuknya
berkali-kali dia lontarkan kepada empat ekor ku-
da yang saling berhubungan untuk berlari dengan
cepat.
"Hiyaaa! Hiyaaa!"
Di dalam kereta kuda nampak tiga sosok tubuh
sedang meringkuk dengan ketakutan. Sosok tu-
buh itu adalah Bupati Seda Arya dan istrinya Ro-
ro Santika yang sedang mendekap putra mereka
Barong Seta.
Bocah itu baru berusia tujuh tahun. Dan wa-
jahnya begitu pucat sekali. Sebenarnya wajah pu-
cat itu tidak seperti apa yang tengah merisaukan
hati kedua orang-tuanya hingga wajah mereka itu
pucat pula.
Wajah pucat Barong Seta dikarenakan dia su-
dah terlalu letih dan lapar. Karena sudah dua ha
ri dua malam kereta kuda itu terus berlari tanpa
berhenti sejenak pun.
Sedangkan yang menyebabkan wajah pucat
Seda Arya dan istrinya, disebabkan saat ini mere-
ka tengah dikejar oleh empat orang laki-laki ber-
wajah ganas.
Sebenarnya Seda Arya tidak mengenal para
pengejarnya itu.
Namun empat hari yang lalu, tiba-tiba saja de-
sanya didatangi oleh orang-orang itu. Dan tanpa
mengenal ampun mendadak saja orang-orang itu
menyerang, membakar dan membunuh seisi de-
sanya.
Sudah tentu Seda Arya tidak menerima semua
perlakukan itu. Dia pun mulai memimpin anak
buahnya ketika keesokan harinya orang-orang itu
datang kembali.
Namun semua perlawanannya sia-sia belaka.
Akhirnya dia pun nekat untuk melarikan diri ber-
sama keluarganya.
Sampai saat ini Seda Arya belum mengetahui
maksud apa dari orang-orang itu. Mereka hanya
menurunkan tangan telengas tanpa banyak bica-
ra.
Meskipun dia tidak tahu maksud dari orang-
orang itu membuat onar, tetapi Seda Arya tidak
mau kalau keluarganya ikut terbantai. Makanya
dia pun melarikan diri.
Kini wajah laki-laki setengah baya itu menjadi
tegang. Karena orang-orang itu terus mengejar
mereka.
Diliriknya istrinya yang nampak begitu letih
mendekap putra mereka. Ah, ada perasaan bersa-
lah di hati Seda Arya melihat keadaan ini. Namun
dia pun tidak tahu mengapa peristiwa yang men-
gerikan itu bisa terjadi.
Dilihatnya kalau sepasang mata istrinya yang
begitu letih dan bersinar redup menatapnya.
Kembali perasaan bersalah di hati Seda Arya
semakin menjadi-jadi.
"Kakang..."
"Ya, Rayi?" Seda Arya menelan ludahnya. Sua-
ra itu begitu lemah dan tak bergairah.
"Sampai kapan semua ini akan berakhir..."
Seda Arya mendesah.
"Aku tidak tahu, Rayi..."
"Mengapa orang-orang ganas itu menyerang ki-
ta, Kakang? Kenapa?"
"Entahlah Rayi... Aku sendiri pun tidak tahu.
Mereka adalah orang-orang yang ganas dan ke-
jam. Belum lagi perempuan yang mengenakan ca-
dar merah itu. Dia begitu telengas menurunkan
tangan."
"Tetapi mengapa mereka menyerang kita, Ka-
kang?" tanya Roro Santika yang masih belum juga
mengerti mengapa tiba-tiba saja musibah ini da-
tang melanda mereka. Dan dia tak pernah tahu
mengapa dan sebab apa orang-orang ganas itu
menurunkan tangan kejam mereka.
Kembali Seda Arya mendesah.
"Aku tidak tahu, Rayi... Demi nama agung Gus-
ti Allah, aku sama sekali tidak tahu..." sahutnya
dengan suara yang lebih meyakinkan.
Seda Arya dapat menyadari kalau istrinya tidak
menerima kenyataan yang sedang terjadi ini. Dan
baginya ini merupakan sebuah kesalahan. Namun
dia sendiri tidak tahu kesalahan apa. Karena dia
tidak tahu maksud apa orang-orang itu hendak
membunuh mereka.
"Kakang..." didengarnya lagi suara istrinya
yang seperti desahan belaka.
"Ya, Rayi..."
"Apakah kau tidak memikirkan nasib putra ki-
ta, Barong Seta? Dia seharusnya dapat menikmati
masa kanak-kanaknya dengan bahagia, Kakang...
Bukan seperti hal yang tengah kita alami ini. Dia
diharuskan menghadapi satu persoalan yang
amat mengerikan. Yang kita tidak tahu apa yang
sedang terjadi sesungguhnya. Kakang... aku kua-
tir, nasib kita tak beda dengan para penduduk
yang lain yang telah menemui ajal karena diban-
tai orang-orang itu..."
Seda Arya kembali mendesah.
Dia pun sebenarnya tak ingin semua ini terjadi.
Namun kejadian ini memang ternyata telah terja-
di. Dan ini merupakan suatu kenyataan yang
amat pahit. Yang amat menakutkannya.
Dia pun tak mau bila putra mereka tak pernah
sempat merasakan kehidupan dan dunia anak-
anak yang menggembirakan. Tetapi apa yang ha-
rus dilakukannya sekarang?
Disingkapnya tirai jendela. Dan pandangannya
diedarkannya pada sekelilingnya sementara kere
ta kuda ini berlari dengan cepat. Sekelilingnya ge-
lap. Sama gelapnya dengan sebab apa orang-
orang menyerang mereka.
Sekelilingnya menyeramkan. Sama menyeram-
kannya dengan apa yang dibayangkan bila mere-
ka dapat ditangkap oleh para pengejar itu.
Lalu dibukanya tirai depan kereta kuda itu.
Dia melihat Moro, sais kudanya yang telah
hampir sepuluh tahun mengabdi padanya dan
begitu setia menjalankan tugasnya, masih terus
memacu lari kereta kuda itu.
Seda Arya memang tak meragukan lagi akan
kesetiaan Moro. Laki-laki yang usianya kira-kira
sama dengannya. Mungkin hanya nasiblah yang
membuat keadaan mereka berbeda.
"Moro..."
"Ya, Tuan!" sahut Moro sambil terus melarikan
kereta kuda itu dengan segala kecekatannya da-
lam mengendalikan dan mengendarai kereta kuda
itu.
"Apakah kau letih?"
"Tidak, Tuan!"
Seda Arya mendesah. Dia dapat merasakan ke-
letihannya. Dan dia pun dapat merasakan keleti-
han Moro yang dua hari dua malam mengendali-
kan kereta kuda itu.
Namun mendengar jawaban dari saisnya yang
setia, membuatnya menjadi pilu dan terharu.
Saisnya itu seolah tidak mau diketahui olehnya
kalau dia tentunya teramat lelah.
"Apakah desa yang kita tuju masih jauh?"
"Masih jauh, Tuan! Sehari lagi kita baru tiba di
sana."
"Sehari lagi?" desah Seda Arya dalam hati. Itu
berarti masih memberikan kesempatan yang cu-
kup banyak untuk orang-orang itu mendapati
mereka.
Dan ini membuat hati Seda Arya semakin tidak
tenang.
Lalu tanyanya lagi pada Moro, "Kau masih
sanggup mengendarai kereta kuda ini, Moro?"
"Masih, Tuan."
"Biar aku gantikan saja dulu! Kau beristirahat!"
kata Seda Arya sembari hendak keluar ke depan.
Tetapi Moro berkata, "Lebih baik Tuan berada
di dalam. Biarkan saya saja yang mengendalikan
semua ini. Saya berharap, semua ini akan ber-
langsung dengan wajar dan baik. Tanpa ada ha-
langan sedikit pun!"
Mendengar kata-kata Moro itu, Seda Arya
urung untuk ke depan. Dia kembali lagi pada
tempatnya.
Kereta kuda itu terus berlari dengan kencang.
Berkali-kali hampir terbalik karena terantuk batu
atau pun dahan kayu yang kering tergeletak di
tanah.
Namun semua itu dapat teratasi berkat keceka-
tan Moro mengendalikan dan mengendarai kereta
kuda itu.
Biar pun begitu, hatinya sebenarnya tak kalah
tegang dengan hati tuannya. Moro berusaha un-
tuk menyembunyikan ketegangannya.
Padahal tubuhnya sudah letih sekali.
Kedua tangannya sepertinya sudah sukar un-
tuk digerakkan. Namun dia tak mau menampak-
kan semua itu pada majikannya. Dia adalah seo-
rang abdi yang amat setia.
Bahkan Moro pun rela bila dia harus mengor-
bankan nyawanya untuk menyelamatkan nyawa
tuannya.
Moro masih terus melarikan kudanya dengan
kencang. Dan dia tak perduli lagi dengan segala
batu atau pun dahan yang kadang merintangi ja-
lan mereka.
Roro Santika yang tengah mendekap putranya
menatap suaminya. Dia pun dapat melihat dan
membaca ketegangan yang terpancar dari mata
dan wajah suaminya.
Mendadak saja dia menjadi menyesal karena
tadi seperti mendesak dan menyalahi suaminya
hingga semua ini terjadi. Dan itu bukanlah sifat-
nya sebenarnya. Dia tak pernah melakukan hal
ini sebelumnya.
"Kakang.." panggilnya.
Seda Arya yang sedang terdiam tergagap. Dan
buru-buru dia menoleh.
"Ya, Rayi..."
"Maafkan saya tadi, Kakang... Saya menyalahi
Kakang mengapa semua ini terjadi..."
Seda Arya tersenyum. "Tidak apa-apa, Rayi...
Aku pun menyesali mengapa semua ini bisa terja-
di. Dan ini merupakan sebuah malapetaka yang
diturunkan oleh gusti Allah kepada kita, Rayi...
Jadi... kuminta, kita harus sabar dan tawakal
menghadapi semua cobaan ini..."
Roro Santika tersenyum.
Dan Seda Arya dapat merasakan kesejukan
yang mengaliri seluruh tubuhnya melihat senyum
itu. Ah, istrinya pun masih begitu setia padanya
walaupun keadaan sudah amat menyulitkan. Dan
kadang terasa begitu mengerikan.
Karena Seda Arya tahu, bila orang-orang yang
mengejar itu dapat mencapai mereka, mungkin
nyawa sebagai taruhannya.
Dan hati Roro Santika pun menjadi tenang
kembali. Sebagai seorang istri yang amat setia,
dia pun kembali merasakan ketenangan jiwanya.
Dan kini dia tidak menyesali lagi kata-katanya
yang seakan mendesak suaminya tadi.
Hati-hati pula dipegangnya tangan suaminya
seraya berkata.
"Kita akan menghadapi semua ini dengan hati
tabah dan bersama-sama bukan, Kakang?"
Sedang Arya mengangguk.
"Benar, Rayi. Kita tak akan pernah terpisah
walaupun kita dihadapi oleh lautan api."
"Aku akan selalu menemanimu, Kakang. Da-
lam suka mau pun duka," kata Roro Santika setu-
lus hati.
Seda Arya tersenyum.
"Kau adalah istriku yang amat setia, Rayi.. Aku
amat mencintaimu, Rayi..."
"Begitu pula aku, Kakang..."
Kedua tangan mereka saling genggam lagi.
Lebih erat.
Masing-masing seakan mengalirkan rasa kasih
dan cinta melalui kedua tangan masing-masing.
Inilah cinta sejati. Cinta yang tak pernah takut
dengan resiko apa pun. Cinta yang tidak mengan-
dalkan nafsu semata. Cinta yang datang dalam
lubuk hati mereka.
Cinta yang tak pernah hanya menginginkan bi-
la sedang ada rasa senang dan bahagia. Namun
bila datang rasa kecewa dan duka, akan hilang
rasa cintanya. Tidak, itu bukan cinta sejati. Itu
cinta nafsu semata. Nafsu bisa bermacam bentuk
dan ragamnya.
Bila cinta dilandasi nafsu birahi pun maka cin-
ta seperti itu tak akan pernah abadi.
Tiba-tiba keduanya tersentak.
Terdengar ringkikan kuda yang amat keras.
Dan mereka merasakan kalau kereta kuda
agak oleng sedikit.
Dan setelah dirasakan kembali pada keseim-
bangannya, kereta kuda itu telah berhenti.
Seda Arya sigap menyingkap tirai kereta kuda
bagian depan.
Dan dia berseru keras, "Moro, apa yang telah
terjadi? Mengapa berhenti?!"
Tetapi Seda Arya tak perlu lagi mendengarkan
jawaban Moro. Karena dia sudah melihat dengan
jelas, di depannya telah berdiri lima ekor kuda.
Dan para penunggangnya adalah empat laki-
laki berwajah seram itu. Dan seorang wanita yang
mengenakan cadar berwarna merah!
Mereka seperti malaikat pencabut nyawa yang
tengah siap menjalankan tugasnya!
***
DUA
Seda Arya tercekat melihat itu. Bagaimana me-
reka telah bisa berada di hadapannya? Pantas se-
jak tadi dia tidak melihat tanda-tanda para penge-
jarnya telah kelihatan. Rupanya mereka memo-
tong jalan untuk mencegat mereka.
Seda Arya kembali masuk ke dalam kereta ku-
da itu.
Lalu tergesa-gesa dia berkata pada istrinya,
"Rayi..."
Roro Santika dapat melihat kalau sepasang
mata suaminya telah bicara dan menjelaskan se-
muanya.
"Orang-orang itu mencegat kita, Kakang?"
"Benar, Rayi... Kini tak ada jalan lain untuk ki-
ta meloloskan diri. Dan aku tak mau ini pun me-
nimpa kau dengan Barong Seta."
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Roro Santika
yang dapat merasakan ada sesuatu di balik kata-
kata suaminya.
Seda Arya mendesah. Kini waktunya menipis
sekali.
"Rayi... aku akan menghadapi orang-orang
itu..."
"Tetapi, Kakang..."
"Tidak ada tetapi lagi, Rayi. Sekarang kau den-
garlah kata-kataku ini. Dan kuminta jangan
membantah. Tak ada jalan lain lagi, Rayi. Nah,
kau dengarlah dan kau patuhi semua kata-
kataku ini. Sementara aku menghadapi orang-
orang itu, kau keluar dan larilah melalui pintu be-
lakang kereta kuda ini. Ajak dan bawa Barong Se-
ta berlari. Selamatkan dia, Rayi.. Bila sudah tiba
saatnya, ceritakanlah semua ini padanya. Dan
kuminta, Barong Seta untuk membalaskan semua
dendam yang telah kita alami ini, Rayi..."
"Tapi, Kakang..." potong Roro Santika. Namun
sebelum dia berkata suaminya sudah terlebih du-
lu memotong lagi.
"Sudah kubilang tadi, jangan membantah. Ba-
wa pergi Barong Seta sekarang, Rayi. Cepat. Kita
tak punya banyak waktu!"
"Kakang... aku tak bisa membiarkanmu sendiri
saja disini..."
"Ada Moro yang akan menemaniku. Dan juga
dua bilah pedang ini, Rayi..."
"Aku kuatir akan nasibmu, Kakang..."
"Bila Gusti Allah masih mengizinkan kita ber-
temu, pasti kita akan bertemu. Nah, pergilah,
Rayi..."
"Kakang..." kata Roro Santika yang masih bin-
gung dan kuatir.
"Ingat Rayi... kita tak punya banyak waktu lagi.
Dan siapa yang akan membalaskan semua ini
nanti, bila kau dan Barong Seta juga ikut terbu-
nuh? Mengertilah akan semua keadaan ini Rayi...
Kita tak punya banyak waktu lagi..." kata Seda
Arya meyakinkan. Lalu dia melepaskan kalung
yang dipakainya. Dan dipakaikan kepada Barong
Seta yang terlelap. Lalu dia mengecup pipi bocah
itu. "Bila nanti kau sudah mengetahui semua ini,
bersumpahlah untuk membalaskan dendam hati-
ku ini, Anakku..." Lalu dia berpaling lagi pada is-
trinya. "Nah, pergilah Rayi..."
"Seda Arya! Cepat kau keluar!" terdengar ben-
takan bernada keras.
Ini membuat Seda Arya semakin tegang karena
istrinya masih belum juga mau menuruti kata-
katanya.
"Rayi... pergilah, kita tidak punya banyak wak-
tu lagi! Ayolah, Rayi..."
"Kakang..." desis Roro Santika bagai desahan
belaka. "Maafkan aku..."
"Aku yang seharusnya meminta maaf padamu,
Rayi... Nah, pergilah.."
Di luar kembali terdengar bentakan yang keras.
"Seda Arya... bila kau tidak keluar dalam hi-
tungan ketiga, akan kami bakar hangus kereta
kuda itu..."
"Kau dengar itu, Rayi?" kata Seda Arya pada is-
trinya. "Ayo. jangan membuang waktu lagi..."
Lalu dengan hati berat dan pilu, Roro Santika
menggendong putranya. Dibantu oleh suaminya,
dia turun melalui pintu belakang kereta kuda itu
dengan hati-hati.
Masih ditatapnya dulu suaminya sebelum dia
melangkahkan kaki untuk melarikan diri.
"Larilah, Rayi... larilah yang jauh...," kata Seda
Arya.
Roro Santika terisak.
"Aku cinta padamu, Kakang..."
"Aku pun cinta padamu, Rayi..."
Lalu tubuh wanita yang menggendong anaknya
itu pun berlari.
Terus berlari mencoba menjauhi tempat itu.
Malam begitu pekat sekali.
Sesudah istrinya lenyap dari pandangan, Seda
Arya mengambil dua bilah pedang yang ada di ke-
reta kudanya.
Lalu dia keluar bersamaan bentakan yang ter-
dengar lagi.
"Hahaha... rupanya kau masih punya nyali ju-
ga, Seda Arya! Nah, membunuh dirilah kau seka-
rang!" seru salah seorang laki-laki yang berwajah
seram. Dia mengenakan kalung tengkorak. Den-
gan rompi yang berwarna hitam. Di lengannya
ada cap gambar tengkorak pula.
Seda Arya melompat dari kereta kudanya den-
gan gagah. Kini dia berhadapan dengan orang-
orang itu.
"Hhh! Orang-orang biadab!" bentak Seda Arya.
Laki-laki yang mengenakan kalung tengkorak
itu kembali terbahak.
"Hahaha... kami memang orang-orang biadab!
Dan orang-orang biadab ini sebentar lagi akan
mencabut nyawamu, Seda Arya!"
"Hhh! Sampai sejauh ini kalian belum menga-
takan mengapa kalian mengganggu ketenangan
kami, hah?!"
"Agaknya kau amat begitu penasaran dengan
sebab-sebab itu, Seda Arya!"
"Bagaimana tidak? Aku mengenal kalian pun
belum! Dan mendadak saja kalian telah membuat
onar dan menurunkan tangan telengas!"
"Bila kau penasaran, baiklah... aku akan mem-
beritahukannya padamu, Seda Arya... Hhh! Per-
nah kau mengingat akan satu peristiwa tiga belas
tahun yang lalu, di mana kau menggauli seorang
gadis hingga gadis itu hamil lalu kau meninggal-
kannya? Ingatkah kau akan peristiwa itu?"
Seda Arya tercenung.
Dan perlahan-lahan peristiwa tiga belas tahun
yang lalu terbayang lagi. Sebelum dia menjadi
bupati, dia adalah seorang pemuda yang gagah
perkasa. Banyak para gadis yang mencintainya.
Namun tak seorang pun dari gadis-gadis itu yang
mendapatkan cintanya atau pun disambut cin-
tanya.
Dari kesekian gadis yang mencintanya ada seo-
rang gadis yang bernama Mawar. Gadis itu begitu
mencintainya. Dan amat mendambakannya. Na-
mun sayang, Mawar pun harus menerima sakit
hatinya karena Seda Arya tidak menyambut cin-
tanya.
Tetapi hal itu bukannya malah menyurutkan
kemauan Mawar.
Dia sudah terlanjur mencintai pemuda itu.
Maka pada suatu malam, dia mengundang Seda
Arya ke rumahnya.
Seda Arya yang belum tahu maksud busuk dari
gadis itu, hanya menurut saja. Dan meminum air
yang telah dimasukkan obat perangsang oleh
Mawar.
Dan semuanya pun terjadi.
Dalam keadaan birahi yang mendadak saja
timbul, Seda Arya menggauli gadis itu. Setelah dia
sadar, barulah dia tahu kalau dirinya tengah dije-
bak oleh Mawar.
Dan dia tak pernah lagi datang ke rumah itu.
Bahkan Seda Arya pun meninggalkan desanya la-
lu mengabdi di tumenggungan. Dari sanalah dia
bisa diangkat sebagai bupati dan mencintai seo-
rang gadis yang bernama Roro Santika hingga
mempunyai seorang putra.
Masalah Mawar dia sudah tidak ambil perduli
lagi. Bahkan dia tidak pernah tahu lagi akan na-
sib Mawar.
Dan kini setelah tiga belas tahun berlalu, ter-
nyata ada yang datang untuk membalaskan sakit
hati Mawar.
Seda Arya menatap kelima manusia itu.
"Hhhh! Rupanya kalian datang salah alamat
padaku! Kalian tahu apa yang telah terjadi se-
sungguhnya, bukan? Gadis yang bernama Mawar
itulah yang menjebakku hingga aku terlena. Ka-
rena minuman yang disuguhkannya telah dibu-
buhinya obat perangsang!"
"Tetapi kau tidak bertanggung jawab setelah
itu, Hah!"
"Apanya yang harus kupertanggung-jawabkan?
Aku dalam keadaan terpengaruh obat perang-
sang!"
"Dan gadis itu terlunta-lunta selama hidupnya!
Putranya meninggal saat berusia satu tahun. Lalu
gadis itu pun menjadi setengah gila. Untunglah
aku dan ketiga kawanku ini menemukannya. Dan
dia kami angkat sebagai murid!"
"Oh!" Seda Arya tercekat. Sebagai murid? Kalau
begitu, tentunya gadis bernama Mawar itu masih
hidup? Tapi di mana? Di manakah dia?
"Kau terkejut mendengarnya, bukan? Dan kau
akan terkejut lagi bila mengetahui kalau gadis itu
ada di dekatmu saat ini!"
Ada di dekatnya? Dada Seda Arya berdebar ke-
ras. Oh, di mana dia? Di mana?
"Di mana gadis itu?!" bentaknya. "Sungguh ti-
dak tahu malu dia, masih mau meminta pertang-
gung-jawabanku padahal dia sendiri yang menje-
bakku!"
Orang itu tertawa.
"Hahaha.. sekarang dia sudah tidak sudi lagi
menjadi istrimu. Tak pernah lagi. Kini dia datang
untuk mencabut nyawamu!" kata orang itu. Dan
tiba-tiba berbalik pada wanita yang mengenakan
pakaian berwarna merah dan bercadar merah.
"Bukankah itu yang kau inginkan sekarang, Ma-
war?"
Seda Arya tersentak. Mawar? Wanita yang ber-
cadar merah itu Mawar?
Tiba-tiba dia mendengar suara yang dingin dari
balik cadar itu, "Seda Arya.. aku memang datang
untuk membalas semua sakit hatiku! Dan aku
datang tidak lagi meminta pertanggung-
jawabanmu! Tetapi meminta nyawamu!"
Seda Arya tercekat. Suara itu... ya, ya... suara
Mawar! Tetapi terdengar dingin dan menebarkan
hawa mengerikan.
Namun Seda Arya bukanlah laki-laki penakut.
Apalagi merasa tidak bersalah karena dia yang di-
jebak oleh gadis itu.
"Tak kusangka peristiwa lalu yang kau buat
sendiri kini malah menjeratmu! Mawar... sadar-
kah kau kalau semua yang kau lakukan itu kare-
na ulahmu sendiri?!"
"Persetan dengan semua yang kau katakan!"
bentak wanita bercadar merah itu yang tak lain
Mawar, gadis yang tiga belas tahun lalu menjebak
Seda Arya.
"Lalu apa yang kau inginkan sekarang, hah?!"
"Bodoh! Masih banyak tanya pula kau, Seda
Arya! Aku datang sudah tentu ingin mencabut
nyawamu!" bentak Mawar dengan marah. Di balik
cadar merahnya terlihat wajah yang begitu geram
dan mendendam pada laki-laki yang menolak cin-
tanya.
Dulu Mawar berpikir, bila dia sudah berhasil
menjerat laki-laki itu dengan jalan menggaulinya
maka dia akan bisa mendapatkannya. Namun
dugaannya salah besar karena laki-laki itu justru
menjadi semakin muak padanya.
Namun malam ini, malam yang menjelang pagi,
dia tak perduli lagi akan semua cinta! Yang diin
ginkannya hanyalah nyawa laki-laki yang telah
membuatnya menjadi terlunta-lunta.
Mawar beruntung karena bertemu dengan em-
pat laki-laki yang kemudian menjadi gurunya.
Meskipun dia harus mau digilir oleh empat laki-
laki itu setiap malam.
Seda Arya mendengus.
"Kau bunuh aku pun percuma, Mawar! Karena
kau tetap tak akan mendapatkan cintamu!"
"Hhh! Kau salah duga, Seda Arya. Kau yang
akan mengemis cintaku! Dan kau akan mampus
di tanganku! Seperti laki-laki goblok yang menco-
ba menyerang kami itu dengan pecutnya!"
Seda Arya seketika menengok ke arah yang di-
tunjuk Mawar.
Dan dia terkejut melihat sosok tubuh Moro te-
lah menjadi mayat dengan luka yang dalam di ba-
gian dadanya.
"Moro!" serunya dan berlari menghampiri.
Mawar terkikik.
"Hihihi.. nasibmu pun tak akan berbeda den-
gan laki-laki goblok itu, Seda Arya!"
Tiba-tiba Seda Arya berbalik. Sepasang ma-
tanya menatap marah dan beringas.
"Sungguh kejam kau, Mawar!"
"Dan kau akan melihat lagi kekejamanku nan-
ti, Seda Arya! Sebagai pengobat rasa lukaku yang
begitu dalam yang kau buat tiga belas tahun yang
lalu!"
"Tetapi itu semua karena perlakuanmu sendiri,
Mawar! Kau sendiri yang menjebakku untuk berbuat demikian! Kau sendiri yang membubuhkan
obat perangsang di dalam minuman yang kau su-
guhkan padaku!"
"Perduli setan dengan semua ucapanmu itu,
Seda Arya! Nah, kini ajal telah siap untuk men-
jemputmu! Maafkan bila aku menurunkan tangan
telengas padamu!"
"Hhh! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu,
Mawar?! Sejengkal pun aku tak akan mundur da-
ri hadapanmu! Sampai kapan pun juga!" seru Se-
da Arya dengan suara gagah dan bersiap dengan
sepasang pedang di tangannya.
"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana kebe-
naran ucapanmu itu, Seda Arya!" seru Mawar
sambil bersiap pula untuk menyerang.
Terdengar suara laki-laki yang berwajah seram
tadi.
"Tolong... jangan terlalu telengas kau menu-
runkan tangan, Mawar!"
"Kenapa, Guru?" tanya Mawar pada gurunya
yang bernama Ki Tunggang Rekso. Dia bergelar si
Tangan Tengkorak.
"Hahaha.. rupanya muridku telah menjadi bo-
doh karena terlalu bernafsu untuk membunuh!
Kita akan menyiksanya nanti, Mawar!"
Mawar mengangguk.
"Kalau itu maunya Guru, baiklah!" desisnya.
Lalu dia berkata pada Seda Arya, "Nah, kau ber-
siaplah untuk segera mampus, Seda Arya!" seru
gadis itu seraya menyerbu dengan dua tangan
yang seperti hendak mencekik.
***
DUA
Seda Arya yang sudah bersiap sejak tadi pun
segera melompat maju memapaki dengan sepa-
sang pedangnya. Serangannya pun hebat dan ce-
pat.
Penuh tenaga.
Ketika keduanya hampir berbenturan, dengan
satu gerakan yang amat cepat Mawar menarik pu-
lang tangannya dan melenting ke atas.
Dan dengan satu gerakan yang hebat pula di-
perlihatkan oleh Mawar. Masih melenting ke atas
dia mengirimkan satu pukulan ke kepala Seda
Arya.
Namun laki-laki itu pun memperlihatkan ke-
tangguhannya pula.
Tiba-tiba saja dia berguling ke tanah.
"Hebat! Ternyata kau masih begitu hebat, Seda
Arya!" desis Mawar sambil berguling pula ketika
dia telah hinggap di tanah. Tubuhnya bergulingan
mengejar Seda Arya.
Seda Arya sendiri terkejut melihat kelincahan
yang diperlihatkan Mawar. Namun dia sadar ka-
rena gadis ini telah digembleng oleh empat orang
guru yang tentunya amat sakti. Dan sudah tentu
pula kesaktian Mawar berlipat ganda karena dia
menguasai empat ilmu yang dipegang oleh keem-
pat laki-laki menyeramkan itu.
Dia bukanlah seorang gadis tiga belas tahun
yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang gadis
yang dipenuhi oleh dendam yang amat sangat.
Seda Arya menggerakkan tubuhnya dengan ja-
lan menumpu pada kedua tangannya dan melom-
pat berbalik ke kiri. Serangan dari Mawar pun lu-
put.
Hal itu membuat Mawar menjadi murka.
Tiba-tiba dia bersalto dari bergulingnya dan
hingga di tanah. Seda Arya pun berbuat yang sa-
ma.
Baginya tak ada jalan lain lagi untuk melo-
loskan diri. Kini dia diharuskan untuk memper-
tahankan diri dengan sekuat tenaga. Penuh perhi-
tungan dan ketangguhan yang amat luar biasa.
"Seda Arya.. sepertinya kau memang masih se-
perti Seda Arya yang dulu. Yang hebat dan gagah.
Cuma sayang., kehebatan dan ketangguhanmu
itu hanya bersifat sementara saja!" bentak Mawar
dengan geram.
"Mawar... hidup dan mati ada di tanah Tuhan!
Dan agaknya kau melupakan masalah itu! Ingat
Mawar., semua perbuatan kotormu ini diketahui
oleh Tuhan! Dan bila Tuhan menakdirkan aku
mati malam ini, maka aku pun pasti akan mati!
Bukan oleh tanganmu yang kotor itu! Tetapi se-
mua ini takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Bila
Tuhan masih mengizinkan aku hidup, dengan ca-
ra apapun yang akan kau lakukan untuk mem-
bunuhku, tidak mustahil akan gagal dan sia-sia
belaka!" seru Seda Arya dengan suara lantang dan
gagah.
Kata-katanya itu membuat wajah Mawar me-
merah.
"Bangsat kau, Seda Arya! Tetapi aku yakin,
malam ini Tuhan akan menakdirkanmu mati di
tanganku! Nah, tahan serangan!" sehabis berkata
begitu Mawar kembali menerjang.
Kali ini serangannya begitu cepat.
Buas.
Kejam.
Dan berbahaya.
Kedua tangannya membentuk cakar yang ta-
jam. Dan kedua tangannya berkelebat dengan ce-
pat ke sana kemari mengarah pada bagian-bagian
tubuh berbahaya dari Seda Arya.
Seda Arya pun mengimbanginya dengan sepa-
sang pedangnya. Dia pun tak mau nyawanya di-
cabut Mawar dengan percuma. Maka dia kembali
meningkatkan serangan-serangannya.
Lima jurus berlalu.
Dan pada jurus berikutnya, Mawar menggeram
hebat. Dan serangannya tiba-tiba bertambah ce-
pat. Dengan satu tepisan tangan kanannya, terle-
paslah pedang di tangan kiri Seda Arya.
"Hihihi.. kini pedangmu yang sebelah kiri, Seda
Arya! Dan sekarang yang sebelah kanan! Berikut
nyawamu sendiri!" bentak Mawar sambil menye-
rang kembali.
Dengan satu pedang di tangan kanannya,
membuat Seda Arya menjadi kewalahan. Sebi-
sanya dia mencoba menahan serangan-serangan
Mawar.
Dan, terlepaslah pedang di tangan kanan Seda
Arya ketika Mawar bergerak dengan satu gerak ti-
pu yang hebat. Kedua tangannya yang berbentuk
cakar seakan hendak menyambar pergelangan
kaki Seda Arya. Membuat laki-laki itu melompat
ke atas. Namun mendadak saja tubuh wanita itu
pun melompat ke atas, mengancam kemaluan Se-
da Arya. Seda Arya mencoba menangkisnya den-
gan kibasan pedangnya.
Dan saat itulah Mawar bergerak cepat. Tangan
kirinya mencakar pergelangan tangan kanan Seda
Arya. Hingga membuat laki-laki itu menjerit sakit
dan terkejut.
Pedangnya pun terlepas!
Mawar terkikik.
"Hihihi.. berikut ini nyawamu, Seda Arya!"
Seda Arya yang jelas-jelas melihat tak ada lagi
jalan lain untuk meloloskan diri, membentak den-
gan gagah, "Buktikan ucapanmu itu, Mawar!"
"Hihihi.. agaknya kau sudah tidak sabaran se-
kali, Seda Arya! Apakah kau tidak mendengar ka-
ta-kata guruku tadi Ki Tunggang Rekso yang me-
minta padaku agar tidak membunuhmu? Ah, aku
sebagai murid yang taat tidak akan berbuat un-
tuk melawan semua perintah guruku!"
"Lakukanlah yang diperintahkannya itu!"
"Bagus! Nyalimu memang besar sekali, Seda
Arya!"
"Mawar., untuk apa kau banyak cakap lagi ter-
hadapnya, hah?!" bentak salah seorang dari me-
reka, yang tengah menunggu dengan tidak sabar
melihat Mawar menurunkan tangan.
Mawar menoleh pada orang yang berseru itu.
Dia berpakaian warna hitam. Dengan celana hi-
tam yang kedombrongan. Di tangannya ada se-
buah tongkat kayu yang mirip seperti tongkat
kayu untuk penggebuk anjing. Dia bernama Ki
Bayu Utara atau yang bergelar si Tongkat Pengge-
buk Anjing.
"Baik, Guru!" sahut Mawar.
"Cepatlah, Mawar... aku sudah tidak sabar in-
gin menyiksa manusia itu!"
"Baik, guru!" sahut Mawar pula. Patuh. Lalu
dia berpaling pada Seda Arya. "Nah, kau dengar
sendiri itu, Seda. Bersiaplah kau sekarang!"
"Sejak tadi aku sudah tidak sabar menung-
gunya, Mawar!" sahut Seda Arya sambil membuka
jurusnya.
Mawar terkikik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melayang ke arah Seda Arya. Dengan ce-
pat.
Seda Arya memapaki.
"Des!"
Dua pukulan itu berbenturan. Tubuh Roro
Santika terhuyung ke belakang beberapa tombak.
"Gila, tenaga dalam wanita itu rupanya tinggi
sekali!" desisnya dalam hati.
"Hihihi... kau terkejut mengetahui betapa he-
batnya tenaga dalamku bukan, Seda?" terkikik
Mawar.
Tetapi Seda Arya adalah laki-laki yang pembe-
rani. Dia pun merasa tak ada jalan lain selain melawan.
Maka ketika wanita itu kembali menerjang. Se-
da Arya pun bersiap dengan segala resikonya.
Kembali keduanya saling serang dengan hebat.
Seda Arya dapat mengukur kemampuan lawan-
nya yang demikian tinggi. Dia pun sebisanya un-
tuk melayani kemauan wanita itu.
Namun pada jurus berikutnya terlihat Seda
Arya terdesak.
Pukulan dan serangan-serangan yang dilan-
carkan oleh Mawar begitu hebat. Dan membuat-
nya menjadi kalang kabut. Berkali-kali serangan-
serangan wanita itu mengenai sasarannya. Mem-
buat Seda Arya terdesak mundur.
Dan dengan satu jeritan yang kuat, tiba-tiba
tubuh Mawar melenting dan kembali kedua tan-
gannya membentuk cakar.
Seda Arya terkejut.
Namun sulit baginya untuk menghindari se-
rangan itu.
Sebisanya dia mencoba memapaki. Namun
akibatnya sungguh teramat fatal.
"Des!"
Keduanya beradu tenaga. Tetapi bagi Seda Arya
yang sudah kehilangan banyak tenaga dan terde-
sak sementara Mawar masih dalam keadaan segar
bugar tidak menguntungkannya. Tubuhnya ter-
pental beberapa meter ketika kedua pukulan itu
berbenturan.
Dan menabrak sebuah pohon.
"Bruak!"
Tubuh Seda Arya terpelanting jatuh dan ping-
san.
Mawar mendengus dalam-dalam.
Ki Bayu Utara terbahak.
"Bagus, Mawar! Bagus sekali!" serunya.
Mawar tersenyum puas.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Para guru
sekalian!"
"Kau lihat saja nanti? Nah... sekarang kau bu-
nuhlah perempuan dan bocah yang masih berada
di dalam kereta kuda itu! Bunuhlah mereka, Ma-
war... karena merekalah yang menjadi duri dalam
cintamu!"
Kemarahan dan dendam Mawar menjadi sema-
kin jadi saja. Wanita bercadar merah itu pun me-
langkahkan kakinya ke kereta kuda. Lalu dengan
sekali lompat dia telah berada di atasnya.
"Keluar kau perempuan laknat!" makinya se-
raya menyingkapkan tirai kereta kuda itu.
Tetap sungguh terkejut Mawar ketika tidak me-
lihat dua sosok yang menjadikannya amat murka.
Dia mengacak-acak. Lalu setelah yakin kedua
orang itu tidak ditemukannya dia menggeram
amat marah.
Lalu tubuhnya melenting kembali keluar.
"Mereka tidak ada di dalam, Guru!"
Sadarlah orang-orang itu kalau Roro Santika
dan putranya sudah melarikan diri.
Mereka menyesali karena mereka terlalu terpa-
ku pada Seda Arya.
"Hancurkan kereta kuda itu, Mawar!"
Maka dengan geram Mawar pun menggerakkan
tangannya. Serangkum angin besar menderu
menghantam kereta kuda itu.
Terdengar suara bagai ledakan.
"DUAARRR!"
Dan hancurlah kereta kuda itu, membuat
keempat ekor kuda yang terikat di sana menjadi
terkejut. Terdengar ringkikan mereka dan keem-
patnya pun berlarian serabutan.
Orang-orang itu terbahak.
Melihat Mawar yang masih berdiri dengan ge-
ram di dekat kereta kuda yang hancur itu, perla-
han-lahan Ki Tunggang Rekso melompat dari ku-
danya.
"Untuk apa kau menyesali lagi, Mawar? Sudah-
lah... toh perempuan dan bocah itu tak akan bisa
bertahan lebih lama lagi untuk hidup. Biarkan dia
mampus di hutan jati yang menyeramkan ini!" ka-
tanya sambil memegang bahu muridnya.
Mawar berpaling.
"Maafkan saya, Guru... Saya amat mendendam
dan penasaran bila belum membunuh orang-
orang itu...."
Ki Tunggang Rekso tersenyum. Berusaha
membujuk Mawar.
"Belum puaskah kau membunuh semua warga
Bupati itu. Dan kau pun sekarang telah menda-
patkan Bupati Seda Arya yang tengah pingsan itu.
Nah, mari kita kerjai dia hingga mampus!"
Matahari telah sepenggalah. Sinarnya kini me-
nerangi hutan jati itu. Dan sebagian sinarnya
menerpa wajah Seda Arya yang masih pingsan.
Tak lama kemudian sepasang mata itu pun
mengerjap-ngerjap. Dan ketika dibuka kembali di-
tutupnya lagi karena sinar matahari yang menyi-
laukan itu.
Tiba-tiba Seda Arya merasakan sakit yang luar
biasa di kakinya. Kembali dia membuka matanya.
Bukan main terkejutnya Seda Arya ketika me-
lihat keadaan dirinya. Tubuhnya menggantung di
sebuah dahan pohon dengan menghadap terbalik.
Kakinya di atas dan kepala di bawah.
Karena menahan berat tubuhnya itulah ka-
kinya yang terikat dirasakannya amat sakit.
Apa yang telah terjadi? desisnya dalam hati.
Dan perlahan-lahan dia teringat semua kejadian
semalam. Ah, tentunya orang-orang biadab itu
yang telah membuatnya seperti ini.
Didengarnya suara langkah-langkah mendeka-
tinya. Seda Arya melihat empat laki-laki berwajah
seram dan seorang wanita bercadar merah men-
dekatinya.
"Anjing buduk!" maki Seda Arya dalam hati.
Manusia-manusia ini benar-benar kejam.
Didengarnya suara Mawar berkata, "Hahaha...
betapa nyenyaknya kulihat tidurmu, Seda
Arya...."
Seda Arya membuka matanya. Sepasang ma-
tanya memancarkan sinar kemarahan.
"Kau tak ubahnya iblis belaka, Mawar!"
"Ya... dan kau kini tengah berada dalam keku-
asaan iblis itu, Seda Arya!"
"Turunkan aku, Mawar! Ayo kita bertarung la-
gi!"
"Hihihi... untuk apa kau bertarung lagi den-
ganku? Bukankah kau sudah kalah, Seda Arya?"
"Turunkan aku, Mawar! Turunkan aku! Kau
dengar apa yang kukatakan itu?!"
"Aku tidak tuli, Seda Arya!"
"Turunkan aku perempuan laknat!"
"Mengapa harus tergesa-gesa, Seda Arya? Bu-
kankah kau sudah mendengar keinginan Guruku
semalam?"
"Hhh! Perempuan iblis!" maki Seda Arya seraya
meludah. Dan ludahnya tepat mengenai di wajah
Mawar.
Mawar mendelik gusar. Menghapus bekas lu-
dah itu. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak
melayang, menampar pipi Seda Arya dengan ke-
ras.
Wajah Seda Arya memerah. Sakitnya itu bukan
main kerasnya. Terasa sekali. Dan lebih sakit lagi
hatinya mengingat dia tidak bisa berbuat apa-apa
lagi.
"Bangsat kau, Seda Arya! Masih beraninya kau
berbuat seperti ini padaku, hah?!" geram Mawar
gusar.
"Kau bunuhpun aku tidak takut, Mawar! Aku
lebih baik mati dari pada berada di tanganmu dan
tangan guru-gurumu yang kejam itu!" seru Seda
Arya.
"Hihihi... sayang, sayang sekali, Seda Arya...
Keinginanmu itu tak akan terkabul. Karena kami
tidak menginginkan kau mati. Kami ingin me-
nyiksamu terlebih dulu! Biar kau dapat merasa-
kan kepedihan hatiku, sakit hatiku dan dendam-
ku kepadamu! Nah, katakanlah sekarang... ke-
mana istri dan anakmu itu pergi, Seda Arya?!"
Seda Arya mendengus.
"Tak pernah aku akan mengatakannya pada
orang-orang biadab seperti kau dan guru-gurumu
itu, Mawar!"
"Itu terserah padamu, Seda Arya! Yang pasti,
kau nikmatilah hidangan kami berikut ini!"
Lalu Mawar mendekatinya.
Hati Seda Arya berdebar keras. Dia dapat men-
duga kalau orang-orang ini sudah akan memulai
siksaan mereka.
Tetapi dia tidak takut. Dia tidak pernah takut
menghadapi resiko apa pun. Dan Seda Arya me-
rasa beruntung karena istri dan anaknya telah
melarikan diri.
Tiba-tiba dia melihat Mawar mengeluarkan se-
buah pisau kecil dari balik baju merahnya. Dan
dengan satu gerakan yang amat cepat, dia sudah
meraih kedua tangannya, membuat Seda Arya
menjadi kesakitan.
"Nikmatilah permainan ini, Seda Arya!" den-
gusnya dan tiba-tiba pula dia mengembangkan ja-
ri-jemari Seda Arya. Dengan satu gerakan yang
amat cepat, pisau bergerak, memotong jari telun-
juk Seda Arya.
Seketika terdengar lolongan yang amat menge-
rikan.
"Akhhhhhhhhhh!"
Mawar terkikik melihat Seda Arya yang kesaki-
tan.
Darah mengucur dari jari telunjuknya yang
buntung.
"Dan akan lebih menikmati permainan ini lagi,
Seda Arya!" desisnya.
Dengan kejam dia pun memotong jari jemari
Seda Arya satu persatu. Lolongan keras Seda Arya
tak diperdulikannya lagi.
Dan buntunglah kesepuluh jari tangan Seda
Arya.
Darah semakin keras mengucur.
Seketika wajah Seda Arya menjadi pucat.
Namun siksaan yang dialaminya belum sampai
di sana saja.
Ki Bayu Utara mengambil sebotol air dan me-
nyiramkannya pada jari-jemari yang buntung itu.
Membuat Seda Arya merasakan perih yang amat
sangat.
Belum lagi yang dilakukan oleh Ki Tunggang
Rekso. Dia memukuli perut Seda Arya dengan ke-
ras.
Ki Pergola Buta, laki-laki yang sebelah mata ki-
rinya picak mengambil senjatanya sepasang trisu-
la. Dan keduanya berkali-kali dihunjamkan pada
sekujur tubuh Seda Arya.
Perbuatan orang-orang begitu biadab. Kejam
sekali.
Yang lebih biadab lagi apa yang dilakukan Ki
Jalak Pancang. Laki-laki yang mengenakan sorban berwarna hitam.
Dia mengencingi wajah dan jari jemari yang
terluka dari Seda Arya. Membuat laki-laki yang
tergantung itu menjadi gelagapan dan pedih di
hati.
Namun orang-orang biadab itu terus tertawa
saja. Tanpa perduli akan kesakitan dan perih
yang dirasakan oleh Seda Arya.
"Bagaimana, Seda Arya? Bukankah ini sebuah
permainan yang amat menyenangkan?" desis Ma-
war dengan suara mirip setan betina.
Seda Arya meludah. Meskipun sekujur tubuh-
nya dirasakan bukan main sakitnya, namun dia
berusaha untuk tetap tegar.
"Kalian memang orang-orang biadab!"
"Kau amat menyukainya, bukan?"
"Mawar... mengapa semua kesalahan yang kau
lakukan sendiri tiga belas tahun yang lalu harus
kau tumpahkan padaku? Berpikirlah secara se-
hat. Kau yang salah, kau yang harus menanggung
semua akibatnya! Bukan aku yang hanya kau ja-
dikan sebagai getahnya saja!"
"Memang bukan itu yang membuatku menjadi
kejam seperti ini, Seda Arya... tetapi kau yang te-
lah berani-beraninya menolak cintaku. Cinta tu-
lus dan murni yang akan kupersembahkan pa-
damu... kau sia-siakan begitu saja...."
"Mawar... insaflah kau... Bahwa semua yang
kau lakukan ini adalah kesalahanmu sendiri..."
"Dan juga kesalahanmu karena menolak cinta-
ku hingga aku menjadi seperti ini!"
"Mawar! Kukatakan sekali lagi, bukan kesala-
hanku! Cinta tidak dapat dipaksakan!"
"Tetapi aku ingin memaksa. Hingga timbul da-
lam pikiranku untuk menjebakmu. Mungkin den-
gan cara seperti itu kau mau menerima cintaku
dan mengawiniku. Namun semuanya sia-sia bela-
ka. Dan kau meninggalkan aku dalam keadaan
hamil. Kau biarkan aku terlunta-lunta. Dan kau
biarkan putramu sendiri mati secara mengerikan
akibat malaria! Kau tak pernah menengoknya wa-
lau sekali pun, Seda Arya! Tak pernah sekali pun!
Ini yang membuatku amat sakit hati dan men-
dendam padamu!"
"Dan kau sudah mengakuinya bukan, kalau ini
salahmu dan sengaja menjebakku!"
"Ini bukan salahku, Seda Arya! Kulakukan se-
mua ini karena aku mencintaimu!"
"Tetapi aku tidak mencintaimu, Mawar!"
"Saat ini aku tidak perduli lagi dengan cinta-
mu! Yang pasti aku tetap akan membalas semua
sakit hatiku padamu!"
"Kau salah tempat, Mawar! Kau melakukan
semua ini karena cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kau ti-
dak bisa memaksakan kehendakmu padaku! Ka-
rena aku tidak mencintaimu!"
"Sekarang aku tidak perduli lagi, Seda Arya!
Nah, marilah kita lanjutkan permainan ini!" kata
Mawar dengan bengis.
Wanita itu memang telah menjadi kejam kare-
na cinta yang tak terbalaskan. Lebih-lebih setelah
dia menyerahkan semuanya meskipun dengan ja-
lan menjebak, namun Seda Arya tetap tidak mau
mengawininya. Ini membuatnya semakin telengas
dan lupa diri.
Dia kembali menyayat-nyayat tubuh Seda Arya
dengan pisau kecilnya.
Lalu menyayat-nyayat wajah Seda Arya.
"Sayang... Wajah yang tampan ini harus ku-
musnahkan, Seda Arya!" desisnya.
Seda Arya menjerit-jerit kesakitan.
Dan lebih sakit lagi ketika tiba-tiba Mawar
mencongkel kedua matanya. Setelah itu meng-
hunjamkan pisaunya ke jantung Seda Arya.
Terdengar lolongan yang panjang menyayat ha-
ti.
Lalu matilah Seda Arya dengan tubuh yang
hancur lebur akibat siksaan itu.
Mawar meludahi wajahnya.
Dan bersama keempat gurunya, mereka pun
menunggang kuda masing-masing dan mening-
galkan tempat itu.
***
EMPAT
Tubuh wanita itu telah menjadi amat lunglai.
Sekujur tubuhnya dirasakan letih sekali. Namun
anak yang baru berusia tujuh tahun itu malah
gembira berjalan di sampingnya.
Lalu dia berkata, "Ibu... kenapa kita tidak men-
gajak ayah? Barong suka berjalan-jalan seperti
ini. Cuma sayang ya, Bu... kenapa ayah tidak
ikut?"
Wanita yang tak lain Roro Santika dan pu-
tranya Barong Seta melirik bocah itu. Ada kepi-
luan yang amat sangat di hati Roro Santika.
Belum saatnya putraku, belum saatnya aku
memberitahukan semua ini padamu. Nanti bila
saatnya tiba, aku akan menjelaskannya padamu.
"Ayah... ayahmu sedang ada tugas, Anakku...."
desis Roro Santika pilu.
"Ayah memang selalu sibuk ya, Bu? Sayang,
sayang sekali dia tidak ikut bersama kita...."
Sudah hampir seminggu lamanya Roro Santika
melarikan diri bersama putranya. Siang dan ma-
lam mereka berjalan terus. Walau sekali-sekali
mereka beristirahat.
Dan pagi ini, mereka telah tiba di sebuah desa
yang cukup ramai. Aroma masakan yang nikmat
menusuk hidung dari sebuah kedai.
Membuat perut Barong Seta menjadi lapar.
"Bu... Barong lapar...." kata bocah itu.
"Begitu pula dengan aku, Anakku... aku pun
lapar," kata Roro Santika dalam hati. Lalu dengan
hati-hati dia merogoh angkinnya. Masih ada tiga
keping uang perak yang mungkin masih cukup
untuk membeli makanan.
"Kau lapar, Barong?"
"Iya, Bu. Bau masakan itu enak sekali. Barong
lapar jadinya...."
"Kalau kau mau, kita bisa makan di sana, Ba-
rong...."
Lalu diajaknya putranya memasuki kedai itu.
Roro Santika hanya memesan nasi, mie dan ikan.
Karena dia kuatir tidak cukup uang yang akan
dipakai untuk membayar.
Roro Santika begitu suka melihat putranya
makan dengan lahap. Dia hanya sedikit memakan
nasinya, karena kuatir putranya masih ingin me-
nambah.
Benar saja, ketika putranya hendak nambah,
diberikannya nasi yang ada di piringnya.
"Lho, kenapa tidak dipesan saja lagi, Bu?"
tanya bocah itu heran.
Roro Santika sejenak gelagapan. Dipesan lagi?
Oh, dari mana uangnya untuk membayar, Anak-
ku?
Sudah tentu dia tidak menjawab seperti itu.
Lalu katanya, "Ibu sebenarnya tidak lapar,
Anakku... Ibu masih kenyang...."
"Lho, bukankah kita sejak semalam belum ma-
kan, Bu?" tanya bocah itu lagi.
"Tapi Ibu masih kenyang," sahut Roro Santika.
Ah, rupanya sulit sekali untuk membuat anaknya
percaya. Kalau saja keadaan kita tidak seperti ini,
Anakku... kau minta apa saja yang ada di kedai
pun akan ibu berikan, desis Roro Santika melan-
jutkan dalam hati.
"Heran... Ibu belum makan apa-apa kok sudah
kenyang. Biar itu ibu makan saja. Barong meme-
san lagi ya, Bu?"
"Oh, jangan... jangan Barong. Makanlah apa
yang ibu punya ini. Sayang kan, ibu tidak memakannya kau sudah memesan nasi lagi...."
Walau masih keheranan akhirnya bocah itu
pun mengambil nasi milik ibunya. Dan mema-
kannya dengan lahap.
Uang tiga keping itu pas sekali untuk mem-
bayar apa yang telah mereka makan. Setelah itu
Roro Santika kembali mengajak putranya berja-
lan.
"Kita memangnya mau ke mana, Bu?"
"Mau ke mana?" tertegun Roro Santika sampai
menghentikan langkahnya. Dia terdiam. Ya, me-
reka mau kemana? Ke mana tujuan mereka? Roro
Santika seperti disadarkan kalau dia dan pu-
tranya tidak punya tujuan.
Melihat ibunya seperti bingung, Barong Seta
menjadi bertambah heran.
"Kenapa, Bu?"
"Oh, tidak, tidak... Anakku. Ya, ya... kita hen-
dak pergi ke rumah kakak Ibu."
"Oh, benarkah, Bu?" seru bocah itu gembira.
"Benar, Anakku. Kita akan pergi ke sana. Kau
pasti senang sekali."
"Barong senang sekali mendengarnya, Bu."
"Nah... mulai saat ini, kau jangan banyak tanya
lagi, ya? Bukannya Ibu tidak suka kau bertanya,
tetapi ibu tak mau kau menjadi cerewet seperti
itu."
"Baik, Bu. Barong tidak akan banyak bertanya
lagi."
Ketika Roro Santika bermaksud hendak me-
langkah lagi, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga
orang laki-laki. Dan mencegat langkahnya.
Sikap mereka tidak bersahabat.
Perasaan Roro Santika mengatakan akan terja-
di sesuatu yang menakutkan yang akan menimpa
diri dan putranya. Tanpa sadar dia celingukan.
Dan baru disadarinya kalau dia dan putranya
tengah berada di jalan setapak.
Suasananya sepi.
Dengan takut-takut dan wajah pias Roro San-
tika menatap ke tiga orang itu yang berdiri meng-
hadang. Tatapan mereka begitu menakutkan sea-
kan hendak menelanjangi dirinya.
"Ka-kalian siapa?" desisnya takut-takut.
"Hahaha... dia bertanya kita siapa, Muroto?"
tertawa yang seorang.
Yang dipanggil Muroto pun tertawa.
"Rupanya kau tidak sabar sekali untuk menge-
tahui namaku, Manis...."
"Ka-kalian siapa...." ulang Roro Santika sambil
mendekap tubuh putranya yang juga menjadi ke-
takutan. Namun tidak mengerti mengapa orang-
orang ini menghadang langkah mereka.
Muroto berpaling pada temannya yang berkata
tadi.
"Benar apa yang kau katakan itu, Surogo. Wa-
nita ini memang masih cantik dan begitu padat
tubuhnya...."
Surogo tertawa.
"Sejak mereka masuk ke kedai nasi itu aku su-
dah memperhatikannya, Muroto. Dan ini meru-
pakan sebuah makanan yang amat empuk, bu
kan?"
"Benar, benar sekali... aku pun sudah tidak
sabar untuk mencicipinya sekarang," tertawa Mu-
roto seraya berpaling pada Roro Santika yang se-
makin ketakutan mendengar kata-kata orang itu.
"Hahaha... namaku Muroto, Manis. Ini kawanku
Surogo dan Purnomo. Nah, kau sendiri siapakah
gerangan namamu, Manis... hahaha..."
Ketakutan Roro Santika semakin menjadi-jadi.
"Kau-kau mau apa?"
"Mau apa? Sudah tentu kami akan mengajak-
mu bersenang-senang. Hmm... sepertinya kau
sudah lama sekali tidak menikmati kesenangan
sorga dunia. Hahaha... jangan kuatir Manis, kami
akan memberikannya padamu...."
"Oh, jangan... jangan..." desis Roro Santika
sambil mundur dan masih mendekap putranya.
Ketiga orang itu malah terbahak. Dan serentak
mereka mengurung wanita itu.
"Hahaha... kau mau lari kemana, heh?" tertawa
Purnomo sambil menyeringai.
"Jangan, jangan ganggu aku... Jangan... aku
sudah bersuami...."
"Tetapi kelihatannya kau sudah tidak pernah
lagi menikmati kesenangan itu, bukan?" tertawa
Muroto.
"Jangan kuatir, Manis... kami akan memberi-
kannya padamu," kata Surogo.
"Bukankah ini merupakan suatu kesenangan
bagimu. Di saat kau sedang membutuhkan, kau
diberikan secara cuma-cuma oleh tiga orang laki
laki gagah seperti kami ini... hahaha!" tertawa
Purnomo.
Dan ketakutan Roro Santika malah semakin
menjadi-jadi.
"Jangan, jangan lakukan itu padaku... Jan-
gan...."
Tetapi ketiga malah terbahak. Tak perduli den-
gan ketakutan Roro Santika.
Meskipun baru berusia tujuh tahun, namun
keberanian Barong Seta telah diwarisi dari ayah-
nya.
Dengan sigap dan gagah berani dia berdiri di
hadapan ibunya. Tangan berkacak di pinggang.
"Jangan ganggu Ibu, Orang-orang jahat! Jan-
gan! Nanti kupukul kalian!" bentaknya berani.
Ketiga orang itu malah saling pandang. Lalu
meledaklah tawa mereka.
"Kau bisa apa, Bocah?" terbahak Muroto berka-
ta.
"Jangan ganggu Ibu!"
"Kami tidak ingin mengganggu Ibumu, Bocah.
Kami hanya ingin memberinya kebahagiaan dan
kesenangan!"
Kata-kata Muroto itu membuat hati Barong Se-
ta menjadi bimbang. Bukankah bila diberikan ke-
bahagiaan dan kesenangan itu amat menyenang-
kan.
Tetapi melihat wajah ibunya yang ketakutan
dan seperti amat kuatir, membuat bocah itu be-
rubah pikiran lagi.
"Tidak, ibu tidak memerlukan apa yang kalian
ingin berikan! Sana pergi, jangan ganggu ibu!"
"Hahaha... kau memang bocah pemberani ru-
panya! Cuma sayang, kami sudah terlalu bermi-
nat pada ibumu!"
"Pergi! Atau kupukul kau!" seru bocah itu sam-
bil hendak memukul.
Roro Santika buru-buru mendekap putranya.
Dia kuatir putranya akan kenapa-napa.
Lalu katanya mengiba, "Tolong... tolong jangan
ganggu aku! Aku bermohon pada kalian... tolon-
glah...."
"Manis... bila kau mau menurut kehendak ka-
mi, kami tidak akan mengganggumu, juga anak-
mu...."
"Tolong, tolong jangan ganggu aku...."
"Kami tidak mengganggumu, Manis... kami
hanya akan mengajakmu bersenang-senang!" ka-
ta Muroto seraya melangkah mendekat.
Barong Seta kembali menghalangi.
"Jangan ganggu Ibu! Sana, sana pergi! Kupukul
kau nanti! Sana pergi!"
Muroto yang tadi merasa lucu melihat sikap
anak itu, kini berubah menjadi jengkel.
"Bocah sialan!"
"Sana, sana pergi!"
Muroto mendengus. Tidak perduli dengan se-
mua yang dikatakan oleh Barong Seta. Dia malah
mendekati lagi Roro Santika yang memegang len-
gan putranya erat-erat.
Namun belum lagi dia sempat memegang len-
gan wanita itu, sebuah pukulan yang tidak keras
namun mengejutkannya mengenai tangannya.
"Sana, sana! Jangan dekati Ibu! Orang jahat!
Sana pergi! pergi!"
Melihat hal itu kegeraman Muroto pada Barong
Seta menjadi-jadi.
"Bocah sialan! Rupanya mau kuhajar kau!"
"Pergi sana! jangan ganggu Ibu! Kau orang ja-
hat! Orang jahat! Pergi!" bocah itu berseru-seru
dengan tatapan gemas dan gusar. Tangannya
mengulap-ulap menyuruh orang-orang itu pergi.
Barong Seta memang seorang bocah gagah be-
rani. Kepolosan dan kejujurannya sebenarnya
amat menggemaskan. Namun bagi ketiga orang
ini, malah menjengkelkan. Karena biarpun bocah
itu tidak bisa berbuat apa-apa selain berseru-
seru, mereka kuatir kalau seruan bocah itu bisa
terdengar oleh orang yang lalu lalang.
Rencana mereka bisa gagal.
Dan mereka tak mau gagal untuk menggarap
korbannya ini.
Barong Seta sendiri tidak menyadari, kalau ke-
beraniannya yang timbul secara naluri untuk me-
lindungi ibunya bisa membahayakan dirinya.
Bocah itu masih berseru-seru mengusir orang-
orang itu. "Jangan dekati Ibu! Tinggalkan Ibu! Ayo
sana, pergi kalian! Nanti kupukul ya?!"
Muroto yang sudah geram langsung mengi-
baskan tangannya menampar pipi Barong Seta.
Bocah itu terpental ke belakang. Berguling.
Namun herannya tak terdengar suara mengaduh
dari mulut bocah itu.
Melihat putranya ditampar oleh Muroto, Roro
Santika menjerit keras sambil menubruk pu-
tranya.
Pikirnya putranya akan pingsan. Tetapi Bocah
itu tiba-tiba bangkit setelah bergulingnya berhen-
ti.
Tatapannya meradang marah pada Muroto.
Muroto terkejut karena tatapan bocah itu amat
mengerikan. Sepertinya dia marah karena ada
yang berani mengusik.
"Jahat! Kau orang jahat! Kau berani pukul aku,
hah?!" bentak Barong Seta. Tangan ibunya yang
melilit di pinggangnya dilepaskan.
Roro Santika kaget karena bocah itu bisa terle-
pas dari pegangannya.
Matanya hampir tak percaya ketika melihat pu-
tranya kembali menyerang Muroto yang masih
berdebar dadanya oleh tatapan anak itu.
"Baaarooooong!" seru Roro Santika dengan hati
yang luar biasa kuatirnya.
Namun bocah itu sudah berlari menubruk Mu-
roto.
Tetapi bagi Muroto, seberani apapun dan se-
kuat apapun, Barong Seta, tetaplah seorang bo-
cah. Dan dia menjadi jengkel sendiri karena terte-
gun melihat tatapan bocah itu tadi.
Dan ketika bocah itu sudah dekat dengannya,
dia mengibaskan tangannya.
"Plak!"
Kembali Barong Seta terpental dan bergulingan
diiringi oleh jeritan Roro Santika. Namun kembali
bocah itu bangkit. Sungguh luar biasa keberanian
dan daya tahan Barong Seta menerima pukulan
dari Muroto.
"Kupukul kau! Kupukul kau!" serunya sambil
menyerbu kembali.
Lagi-lagi Muroto dibuat tertegun. Hingga dia
tak sempat mengelakkan pukulan Barong Seta
pada perutnya. Memang tidak keras dan tidak
menimbulkan sakit. Namun membuat Muroto
menjadi kaget kembali.
Dia baru sadar ketika didengarnya suara tawa
Purnomo dan Surogo.
"Hahaha... melawan bocah seperti itu saja kau
kaget melulu, Muroto!" ejek Surogo.
"Cepatlah bereskan!" seru Purnomo pula. "Aku
sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh
ibunya!"
Mendengar kata-kata itu, Muroto langsung
mengibaskan tangannya kembali pada Barong Se-
ta yang datang menyerang lagi.
"Plak!"
Karena kerasnya tamparan itu, kali ini Barong
Seta pingsan.
Roro Santika menjerit, "Baronggg!" Lalu dibu-
runya putranya dan dipeluknya dengan hati pilu.
"Bagus, Muroto! Dan sekarang... kita siangi pe-
rempuan itu!" kata Purnomo sambil tertawa.
Lalu tanpa dikomando lagi ketiganya menu-
bruk Roro Santika. Perempuan itu berusaha un-
tuk meronta. Namun apa daya tenaganya yang
lemah. Belum lagi karena memang kondisinya
yang sudah payah berjalan.
Menghadapi salah seorang dari ketiganya saja
dia belum tentu bisa melepaskan diri. Apalagi
menghadapi ketiganya sekaligus.
Dan sebentar saja dia sudah berada dalam ke-
kuasaan mereka.
Muroto menyeringai.
"Hehehe... kini giliran kita bersenang-senang,
manis!" desisnya pada Roro Santika yang diterlen-
tangkan.
"Lepaskan, lepaskan aku!" seru perempuan itu
sambil mencoba meronta.
Tetapi ketiganya mana mau melepaskan. Tan-
gan Muroto pun sudah siap untuk menarik pa-
kaian Roro Santika di bagian dada. Namun belum
lagi tangannya bergerak, terdengar seruan berna-
da keras, "Tunggu!"
***
LIMA
Ketiga laki-laki itu serentak menoleh pada arah
datangnya suara. Mereka melihat seorang nenek
bongkok bertongkat kayu telah berdiri di dekat
mereka.
Muroto yang merasa jengkel karena ada yang
berani-beraninya menghalangi perbuatannya
langsung berdiri sambil menggeram. Tatapannya
gusar dan marah.
"Hhh! Siapa kau, Nenek peot?!" bentaknya ka-
sar.
Nenek itu cuma menyeringai. Menampakkan
deretan giginya yang masih utuh. Dan gigi itu ter-
buat dari emas.
"Hehehe... maaf, maafkan aku yang menggang-
gu keasyikan kalian bertiga...." suara nenek itu
ternyata nyaring sekali. Dia mengenakan pakaian
kebaya biru dengan kain yang terlipat sampai
ujung kakinya. Dan rambutnya dibuat seperti
konde dengan tusuknya yang terbuat dari emas
pula.
"Aku tidak butuh pertanyaan maafmu! Aku
hanya tanya siapa kau yang telah lancang meng-
ganggu keasyikan kami!" bentak Muroto geram.
"Hehehe... agaknya kau begitu penasaran ingin
mengetahui namaku? Baiklah... namaku sendiri
sebenarnya aku sudah lupa... maafkan aku... Te-
tapi orang-orang memanggilku si Bongkok Bergigi
Emas... Nah, kau boleh memanggilku dengan se-
butan apa saja. Aku paling suka bila dipanggil
dengan sebutan Dewi... hehehe..."
Muroto mendengus. Nenek jelek ini minta di-
panggil Dewi? Huh!
"Kebagusan amat memanggilmu dengan sebu-
tan Dewi, Nenek bongkok!"
"Hehehe.... aku tidak memaksamu untuk me-
manggilku dengan sebutan itu hehehe... Kau ga-
lak sekali, Orang jelek... hehehe... benar, benar...
kau jelek... bahkan teramat jelek sekali.... hehe-
heh..."
Kata-kata nenek itu membuat kuping Muroto
menjadi panas. Dia sudah jengkel karena keasyi
kannya terganggu, kini ada yang berani-beraninya
mengatakannya jelek.
"Kau minta mampus rupanya, Nenek!"
"Hehehe... tidak, aku tidak minta mampus...
Aku cuma ingin bertanya saja, Orang jelek..."
"Bertanya apa?!"
"Apa yang tengah kau lakukan bersama dua
temanmu yang juga jelek itu, hah?!"
"Ini bukan urusanmu, Nenek! Pergilah dari sini
sebelum kami marah dan menurunkan tangan te-
lengas padamu!"
"Kau rupanya semacam orang yang ringan tan-
gan, Orang jelek... heheheh... tapi biarlah, biar-
lah... yang penting kau mau menjawab perta-
nyaanku itu...."
"Bangsat! Pergi kau dari sini, Nenek Bongkok!"
"Aku akan pergi bila kau sudah menjawab per-
tanyaanku!"
Kemarahan Muroto semakin menjadi-jadi. Te-
tapi dia menjawab juga pertanyaan nenek itu,
"Kami hanya mengajak perempuan ini berse-
nang-senang! Bukankah ini bagus sekali?!"
"Ya, ya... bagus sekali!"
"Tentunya kau sendiri juga suka memberikan
kesenangan pada orang lain, bukan?!"
"Ya, ya... aku suka melakukan itu!"
"Nah, pergilah dari sini! Kau pun suka dan se-
tuju bila kita berbuat untuk kesenangan orang
lain!"
"Ya, ya... itu bagus sekali. Tapi..."
"Tapi apa, Nenek?" sahut Muroto gusar. Ra
sanya sudah tidak sabar dia ingin menghantam-
kan tangannya kepada nenek cerewet itu.
"Kalian sungguh-sungguh hendak mengajak-
nya bersenang-senang?"
"Ya!"
"Kalian jujur?"
"Ya!"
"Kalau begitu... ada satu lagi pertanyaanku.
Kau harus menjawabnya pula!"
"Apa sebenarnya maumu, Nenek?!" bentak Mu-
roto gusar.
"Hanya bertanya... hehehe.. bukankah kau tadi
sudah mendengarnya, Orang jelek?!"
"Bangsat! Cepat kau katakan pertanyaanmu itu
dan setelah ini kau pergilah!"
"Hehehehe... terburu-buru amat! Nah, jawab
pertanyaanku... bila kalian mengajak wanita itu
bersenang-senang, apakah wanita itu mau mene-
rima ajakan kalian?"
"Sudah tentu! Kau lihat sendiri bukan, kalau
dia nampak begitu suka!"
"Hehehe... ya, ya., cuma mataku ini masih
awas, Orang jelek. Kulihat wanita itu tidak suka
dan sekarang berada di bawah kekuasaan kalian!
Aku pun melihat bocah itu pingsan! Nah, kata-
kanlah yang jelas!"
Merasa nenek ini benar-benar mengganggunya,
Muroto menjadi naik pitam.
"Kau banyak omong, Nenek bongkok! Cepat
kau pergi dari sini!" bentaknya marah.
"Hehehe... bukankah kau belum menjawab per
tanyaanku, Orang jelek! Nah, cepatlah jawab bila
kau ingin aku benar-benar pergi! Tetapi ingat...
bila wanita itu tidak suka kau ajak bersenang-
senang, maka ini menjadi urusanku!"
"Apa maksudmu, Nenek peot?!"
"Karena aku tidak suka yang kuat menindas
yang lemah! Dan ini merupakan tugasku untuk
membasminya!"
Tiba-tiba terdengar suara Roro Santika, "Ne-
nek... tolonglah saya dan anak saya... mereka
orang-orang jahat, Nenek... Mereka hendak mem-
perko.... aahh!"
Kata-kata itu terpotong karena tangan Surogo
sudah menamparnya hingga perempuan itu ping-
san.
Si Bongkok Bergigi Emas terkekeh.
"Hehehe.. kini jelas sudah, kalau wanita itu
memang berada di bawah kekuasaan kalian. Dan
aku tak pernah menyukai perbuatan itu..."
"Setan kau, Nenek peot! Kau mencari mampus
rupanya!" geram Muroto seraya menyerang den-
gan tiba-tiba.
Namun tanpa bergeser dari tempatnya berdiri,
tiba-tiba Si Bongkok Bergigi Emas menggerakkan
tongkat butut yang dipegangnya, ke arah ulu hati
Muroto.
Karena gerakan itu amat tiba-tiba, membuat
Muroto menjadi kaget dan menghentikan gera-
kannya. Namun mendadak saja tongkat di tangan
nenek itu sudah bergerak memukul pahanya.
"Aaakhhh!" jerit Muroto. Tubuhnya sampai ter
guling. Kalau dilihat sepintas, gerakan tenaga ne-
nek itu tak keras. Namun tongkat itu telah dialiri
tenaga dalam. Hingga membuat Muroto merasa
pahanya bagai remuk.
"Hehehe... maaf, maafkan aku... Aku tidak sen-
gaja menggerakkan tangan!" terkekeh si Bongkok
Bergigi Emas.
Melihat kawan mereka dihantam sedemikian
rupa dan masih diejek, membuat Surogo dan
Purnomo menjadi marah. Keduanya pun bangkit
dan menyerbu nenek itu.
Dan lagi-lagi tanpa bergeser dari tempatnya, si
Bongkok Bergigi Emas menggerakkan tangannya.
Kembali tongkat itu membuat keduanya meng-
hentikan gerakan mereka.
Namun mereka tak mau mengalami nasib sial
seperti yang di alami Muroto. Keduanya sudah
dapat menduga kalau tongkat itu akan kembali
bergerak.
Dugaan mereka memang benar.
Karena tongkat di tangan nenek itu sudah ber-
gerak kembali.
Tetapi Surogo dan Purnomo yang sudah men-
duga akan hal itu, dapat menghindari serangan
tongkat nenek itu dengan jalan melemparkan tu-
buh ke kiri.
Keduanya bergulingan.
Dan serentak kembali berdiri.
Nenek itu terkekeh. "Hehehe... rupanya kalian
berdua memiliki otak yang cukup cerdik hingga
dapat membaca apa yang hendak kulakukan. Se
karang dengarkan kata-kataku, lebih baik kalian
tinggalkan tempat ini. Dan tinggalkan pula pe-
rempuan dan bocah yang telah kalian buat ping-
san itu sebelum aku menjadi marah pada kalian!"
Mendengar kata-kata bernada mengancam itu,
tidak membuat mereka takut. Malah Surogo dan
Purnomo sudah bersiap kembali hendak menye-
rang.
Sementara Muroto sudah berdiri lagi, meski-
pun dirasakan pahanya masih sakit. Tatapannya
begitu geram pada nenek bongkok itu. Dia begitu
mendendam sekali karena pahanya dihantam
oleh nenek itu. Dan membuatnya ingin membalas
perlakuan itu.
"Rupanya kau nenek-nenek usil, Nenek peot!"
geramnya sambil menuding dengan tatapan ma-
rah. "Kau telah menabur angin, maka kau akan
menerima badai! Angin yang kau taburkan beru-
pa kecerewetanmu yang ingin tahu masalah orang
lain! Dan badai yang akan kau terima adalah ke-
marahan kami yang sudah sampai ke ubun-
ubun!"
Tetapi si Bongkok Bergigi Emas cuma terkekeh.
Menampakkan deretan giginya yang berkilauan
terbuat dari emas.
"Hehehehe... mengapa tidak kau keluarkan sa-
ja kemarahanmu itu, Orang jelek?! Mengapa
hanya kau simpan sampai ubun-ubun saja? He-
hehe... rupanya kau jeri, ya?!"
"Nenek usil! Selain usil kau pun banyak omong
pula, hah?!" bentak Muroto geram.
"Persetan dengan semuanya, Orang Jelek! Aku
cuma minta pada kalian untuk meninggalkan
tempat ini cepat!"
"Hhh! Kau pikir, dengan gertakan macam itu
mampu membuat kami takut?!" seru Surogo den-
gan suara sengak. "Kami bahkan hendak menca-
but nyawamu, Nenek Peot!"
"Dan memberikan tulang-tulangmu pada anj-
ing yang kelaparan!" sambung Purnomo.
Nenek Bongkok Bergigi Emas itu cuma terke-
keh. Seakan merasa lucu dengan kata-kata yang
diucapkan keduanya. Tetapi mendadak saja ta-
wanya terhenti. Sepasang matanya meradang ke-
pada mereka.
Menampakkannya sinar yang berbahaya.
Suaranya pun meradang.
"Kalian telah memancing di air keruh!" geram-
nya.
"Tetapi bukan ikan sepertimu yang kami panc-
ing!" tertawa Muroto. "Kau hanya pantas diberi-
kan kepada binatang-binatang yang sedang kela-
paran!"
"Bagus! Aku menyukai orang-orang pemberani
seperti kau orang jelek!" seru nenek itu.
"Hehehe... maaf, maafkan aku, Nenek peot.
Aku tidak sudi menerima rasa sukamu... Kamb-
ing pun belum tentu mau menerima rasa suka-
mu!"
Kali ini wajah itu menjadi memerah. Dan men-
dadak saja tangan kanannya yang memegang
tongkat bergerak, tetapi posisi berdirinya tetap
tak bergeser dari tempatnya.
Muroto, Purnomo dan Surogo merasakan ada
serangkum angin yang datang ke arah mereka.
Dan ketiganya dengan sigap berlompatan ke ka-
nan dan ke kiri.
Serangkum angin itu lewat. Sebagai gantinya,
batang-batang pohon yang berada di belakang ke-
tiga orang itu terhantam. Dan terdengar suara
"krak!" Lalu patah!
Melihat kejadian itu, ketiganya terkejut. Wajah
mereka pias. Namun mereka bukanlah orang-
orang yang mudah mengalah. Apalagi pada orang
yang mereka telah merusak keasyikan mereka.
Tanpa banyak cakap lagi ketiganya berlompa-
tan menyerang.
Namun lagi-lagi tanpa bergeser dari berdirinya,
nenek itu kembali menggerakkan tongkatnya.
"Wut! Wut! Wut!"
Gerakannya sungguh cepat dan sukar diikuti
oleh mata.
Hasilnya pun sungguh luar biasa. Tangan ka-
nan Surogo patah. Pinggang Purnomo terhantam
bagaikan kena pukulan besi yang amat kuat. Dan
Muroto sendiri kembali pahanya terhantam oleh
pukulan kayu itu.
Ketiganya terpelanting ke tanah.
Nenek itu terkekeh.
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini!" bentak-
nya.
"Hhh! Kami akan mengadu jiwa denganmu,
Nenek peot!" geram Muroto sambil bangkit me
nyerbu.
Namun tongkat kayu nenek itu mengakhiri ge-
rakannya.
Kali ini nenek itu tak memberi ampun lagi.
Kepala Muroto yang terhantam oleh kayu itu.
"Krak!"
Kepala itu pecah dan bersimbahlah darah ber-
sama cairan berwarna putih. Melihat kenyataan
itu, Surogo dan Purnomo menjadi jeri.
Keduanya saling berpandangan.
Dan seperti sudah disepakati dan tanpa diko-
mando lagi, keduanya mendadak memutar tubuh
dan berlari.
Tetapi kali ini si Bongkok Bergigi Emas tak
mau melepaskan calon korbannya. Tiba-tiba saja
dia menggerakkan tangannya.
"Wuuut!"
Serangkum angin keras mengarah kepada ke-
dua orang itu. Dan akibatnya sungguh fatal. Ke-
duanya terjungkir ke depan terhantam angin itu.
Bergulingan beberapa kali sebelum akhirnya
tubuh keduanya menabrak pohon dengan keras.
Kepala keduanya hancur seketika.
Nenek itu mendengus.
"Hhhh! Aku paling tidak suka dengan orang-
orang pengecut!" gumamnya.
Lalu dihampirinya tubuh Roro Santika yang
masih pingsan.
Dan menghampiri Barong Seta yang dalam
keadaan pingsan pula.
Nenek itu melihat warna biru di muka Barong
Seta. Hhh! betapa kerasnya pukulan yang ten-
tunya dilakukan oleh salah seorang dari mereka.
Lalu dialirinya tenaga dalamnya sedikit hingga
warna biru itu perlahan-lahan menghilang. Dan
mendadak nenek itu tersentak.
Seakan tidak percaya dilihatnya telapak tangan
kanan bocah itu yang tadi dialiri tenaga dalam-
nya.
"Apakah mataku yang sudah tua ini mulai ra-
bun?" gumamnya. Lalu dia mengucak-ngucak
matanya. "Tak salahkan penglihatanku ini? Garis
tangan yang ada di tangan bocah ini, begitu mirip
dengan apa yang kumimpikan semalam! Bocah ini
akan menjadi seorang pendekar tangguh di masa
mendatang! Dan agaknya, bocah inilah yang ber-
jodoh denganku, yang akan mewarisi semua ilmu
yang kumiliki..."
Tak puas hanya sampai di sana memperhati-
kan tangan bocah itu, tangan-tangan si Bongkok
Bergigi Emas meraba ke sana kemari. Memeriksa
tulang-belulang yang terdapat di tubuh Barong
Seta.
Lagi-lagi dia mendesah kagum.
"Bukan main! Tulang-tulang anak ini begitu
kokoh dan hebat! Kuat! Aku yakin, ya, ya., aku
yakin sekali... kalau bocah ini akan menjadi seo-
rang pendekar yang tak terkalahkan..."
Tiba-tiba didengarnya suara erangan dari sam-
pingnya.
Kepala nenek itu menoleh. Dia melihat perem-
puan yang pingsan itu sudah menggerak
gerakkan kepalanya.
Perlahan-lahan sepasang mata Roro Santika
mengerjap. Lalu membuka. Saat membuka mata
itu kembali tertutup karena sinar matahari yang
agak menyilaukan.
Si Bongkok Bergigi Emas menghampiri.
"Kau sudah sadar, Nimas...." katanya lembut.
Mendengar ada suara di sampingnya, perlahan
kembali mata Roro Santika terbuka. Saat fokus
matanya berfungsi, dia melihat nenek yang telah
menolongnya berada di dekatnya.
"Nek..." desisnya pelan.
"Tenanglah, Nimas... bahaya telah lewat..."
Mendengar kata-kata itu, kepala Roro Santika
mencari-cari dan tubuhnya menegak. Duduk.
Dia melihat tiga sosok tubuh telah menjadi
mayat. Seketika terdengar desahnya yang bernada
lega.
Tetapi kemudian dia mendesis, "Anakku..."
"Anakmu tidak apa-apa, Nimas... Nah, cerita-
kanlah... mengapa semua ini terjadi. Dan kau
siapa, Nimas?" kata nenek itu dengan suara lem-
but.
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba saja sepa-
sang mata itu mengalirkan air. Kesedihan kembali
melanda hati wanita itu.
Dan betapa pilunya bila dia teringat kembali
akan kejadian yang menimpa keluarga dan sua-
minya.
"Katakanlah, Nimas..."
Lalu perlahan-lahan Roro Santika mencerita
kan apa yang telah terjadi. Hatinya benar-benar
bertambah pilu. Dan amat memilukan isaknya
yang terdengar kembali.
Si Bongkok Bergigi Emas merangkulnya.
"Tabahlah, Nimas... semua sudah merupakan
takdir yang Maha Kuasa. Dan kita umat-Nya ti-
dak akan bisa melawan takdir yang datang pada
kita. Karena semua sudah digariskan oleh-Nya.
Jadi Nimas.... tawakallah..."
Mendengar kata-kata yang bernada nasehat
itu, membuat hati Roro Santika menjadi sedikit
tentram. Bagai diguyur air yang amat dingin.
Lalu didengarnya kembali nenek itu bertanya.
"Siapa namamu. Nimas?"
"Namaku Roro Santika, Nek."
"Bocah itu putramu?"
"Ya."
"Siapa namanya?"
"Barong Seta."
"Apakah kau ingin membalas dendam atas
perbuatan orang-orang jahat itu dan kau yakin
suamimu telah mereka bunuh?"
Sepasang mata itu bersinar.
"Iya, iya... Nek... aku mau membalas dendam.
Pesan suamiku saat terakhir kali kami berpisah,
dia meminta agar aku mencari seorang guru un-
tuk putraku yang akan bisa membalas semua sa-
kit hati ini. Nek... bisakah kau mengambil putra-
ku sebagai muridmu?"
"Dengan senang hati Nimas. Dan kulihat, tu-
lang belulang bocah itu begitu kuat. Dan yang
perlu kau diketahui, garis tangannya mirip sekali
dengan garis tangan bocah yang berada dalam
mimpiku. Ya, aku akan menggembleng dan men-
didiknya menjadi seorang pendekar yang tang-
guh."
"Oh, terima kasih, Nek!"
"Kalau begitu... mari kita pergi ke kediaman-
ku!"
Lalu Roro Santika menggendong tubuh pu-
tranya yang masih pingsan. Dan langkahnya pun
mulai bergerak mengikuti langkah si Bongkok
Bergigi Emas yang sudah melangkah terlebih da-
hulu.
***
ENAM
Sepuluh tahun sejak kejadian berdarah yang
menimpa keluarga Seda Arya.
Pagi itu di Perguruan Topeng Hitam seperti bi-
asanya para murid-muridnya tengah berlatih.
Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah pergu-
ruan silat yang sudah terkenal namanya.
Ciri khas dari perguruan itu adalah, para mu-
rid-muridnya semua mengenakan pakaian ber-
warna hitam-hitam dengan sebuah topeng yang
menutupi kepala dan wajah mereka yang berwar-
na hitam pula.
Mereka menggunakan senjata sepasang pedang
yang tersampir bersilangan di punggung. Juga
menggunakan senjata rahasia yang berbentuk sebuah topeng.
Perguruan Topeng Hitam dulu di pimpin oleh
seorang Dewa Pedang yang bernama Paksi Uluda-
ra. Namun sebelum maut datang padanya. Paksi
Uludara telah menyerahkan tampuk kepemimpi-
nan kepada Madewa Gumilang, atau Pendekar
Bayangan Sukma (baca : Dewi Cantik Penyebar
Maut).
Dan pagi ini laki-laki yang berusia kira-kira 45
tahun itu tengah melatih para muridnya. Dia
mengenakan pakaian kebesaran berjubah putih.
Dengan senyum arif bijaksana yang selalu meng-
hiasi bibirnya.
Dia nampak puas melihat hasil latihan hari ini.
Para muridnya begitu tekun mengikuti dan menu-
ruti semua perintahnya dalam latihan.
Tiba-tiba masuk seorang murid yang tengah
bertugas menjaga. Dia menjura pada Madewa
Gumilang.
"Hmm... ada apa, Pratama?"
"Maafkan saya, Ketua," sahut murid yang men-
genakan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hi-
tam pula. Para muridnya semua sudah mengeta-
hui akan kehebatan guru mereka. Madewa Gumi-
lang memang memiliki ilmu Pandangan Menem-
bus Sukma. Pandangannya dapat menembus dua
gunung sekaligus dan dapat melihat pada jarak
ribuan mil jauhnya. Makanya meskipun semua
muridnya mengenakan topeng hitam, Madewa
dapat mengetahui siapa di balik topeng itu.
"Hmm. katakan, mengapa kau meninggalkan
tempatmu?" tanya Madewa dengan suara berwi-
bawa pula.
"Maafkan saya, Ketua. Ada seorang laki-laki
yang datang kepada Ketua."
"Siapa dia?"
"Dia seorang pemuda yang kira-kira berusia 17
tahun, Ketua. Dia mengaku bernama Barong Se-
ta."
"Barong Seta? Ada keperluan apa dia hendak
menjumpai ku?"
"Dia mengaku ingin meminta informasi dari Ke-
tua."
"Hmm.... masalah apa?"
"Tentang beberapa nama yang hendak dia ta-
nyakan."
Madewa terdiam. Siapa Barong Seta itu? Dan
nama-nama siapa yang hendak ditanyakannya.
Lalu dia kembali menatap Pratama.
"Suruh dia masuk. Dan antarkan ke ruang per-
temuan," kata Madewa. Pratama berlalu. Semen-
tara Madewa sendiri berkata pada para muridnya,
"Untuk latihan pagi ini selesai! Kalian boleh beris-
tirahat!"
Setelah para muridnya menjura, Madewa pun
berjalan ke bangunan besar itu. Perguruan To-
peng Hitam dikelilingi oleh tembok yang cukup
tinggi dan tebal.
Ketika hendak berjalan menuju ruang perte-
muan, dia melihat istrinya tengah berdiri di am-
bang pintu kamarnya.
Heran istrinya bertanya, "Ada apa, Kanda?"
Madewa berhenti melangkah. Menebarkan se-
nyum pada istrinya.
"Ada seorang pemuda yang ingin bertemu den-
ganku, Dinda," sahutnya.
"Siapakah gerangan dia, Kanda?"
"Dia mengaku bernama Barong Seta. Dan aku
sendiri belum tahu apa maksud kedatangannya."
Istrinya mendekat.
"Boleh Dinda turut dengar, Kanda?"
Madewa menatap istrinya dalam. Dari sorot
matanya terpancar kasih sayang yang tulus. Dia
jadi teringat lagi siapa istrinya dan siapa dirinya
dulu. Istrinya adalah putri dari seorang kaya yang
bernama Biparsena, sedangkan dia hanyalah pen-
jaga kuda-kuda dan pengawal pribadi istrinya ka-
la itu.
Namun cinta telah bersemi. Meskipun saat itu
Madewa mempunyai tugas untuk mencari penye-
bar fitnah pada gurunya, Ki Rengsersari atau
Pendekar Ular Sakti, hingga gurunya menemui
ajal karena fitnah itu, dia tetaplah mencintai Ra-
tih Ningrum.
Dan yang membuat Madewa semakin yakin
akan cinta gadis itu, karena gadis itu pun bertua-
lang mencarinya setelah berguru pada tiga pen-
gawal pribadi ayahnya.
Yang tak pernah Madewa sangka adalah, pe-
nyebar fitnah itu adalah ayahnya Ratih Ningrum
sendiri, Biparsena (baca: Pedang Pusaka Dewa
Matahari dan Dendam Orang-orang Gagah).
Madewa mendesah melihat. Betapa kuat dan
tabahnya akan kesetiaan isterinya, meskipun di-
alah yang membunuh ayahnya. Namun Ratih
Ningrum merelakan semua itu, karena dia pun
tahu ayahnya seorang dari golongan hitam. Dan
dia tak pernah menyalahkan Madewa Gumilang.
Bahkan dia rela menjadi istri dari pemuda itu
dulu.
Pemuda yang kini telah menjadi istrinya sela-
ma lebih dari dua puluh tahun. Bahkan putra
mereka Pranata Kumala, telah beristri pula.
Hanya saat ini, putra dan anak menantunya se-
dang bertualang mencari pengalaman.
Sama halnya dengan yang pernah dia lakukan
dulu bersama suaminya, Madewa Gumilang.
Namun ada kejadian menyedihkan yang masih
membekas di benak Ratih Ningrum. Tiga gurunya,
Mukti si Pedang Kembar, Patidina, si Keris Tung-
gal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu telah
tewas dalam satu pertarungan berdarah. Setelah
sekian puluh tahun dia tak pernah berjumpa
dengan ketiga gurunya, dan di saat gurunya da-
tang perjumpaan itu hanya berlangsung beberapa
hari saja. (baca: Warisan Berdarah).
Dan kini makam ketiga gurunya berada di be-
lakang Perguruan Topeng Hitam.
"Bagaimana, Kanda?" tanya Ratih Ningrum
yang melihat suaminya terdiam.
Madewa tersenyum.
"Mengapa tidak. Dinda? Kau adalah istriku
yang tercinta. Kau tentu saja boleh turut dengar
masalah apa yang dibawa oleh pemuda yang ber
nama Barong Seta itu."
Lalu keduanya pun memasuki ruang perte-
muan.
Tak lama kemudian kembali Pratama muncul.
Kali ini bersama seorang pemuda yang bertubuh
gagah perkasa. Pemuda itu bertelanjang dada.
Dan mengenakan celana pangsi berwarna hitam.
Di pinggangnya terbelit angkin berwarna merah.
Di hadapan Madewa Gumilang dan Ratih Nin-
grum, pemuda itu menjura bersamaan dengan
Pratama.
"Beliau ini tamu yang saya maksudkan, Ke-
tua..." kata Pratama.
Madewa mengangguk.
Pemuda itu berkata, "Salam hormat untuk Ma-
dewa Gumilang dan Ratih Ningrum..."
"Salam hormat kembali untukmu, Ki Sanak,"
Sahut Madewa.
Lalu menyuruh Pratama keluar. Setelah itu, "Ki
Sanak... silahkan duduk. Jangan terlalu sung-
kan."
Pemuda itu pun duduk di hadapan Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum.
"Hmm... ada keperluan apa kau hendak mene-
muiku, Barong Seta?" tanya Madewa Gumilang.
Pemuda yang tak lain Barong Seta putra dari
Roro Santika dan Seda Arya itu kembali menjura.
Setelah sepuluh tahun lamanya dia digembleng
oleh si Bongkok Bergigi Emas, kini dia telah men-
jadi seorang pemuda gagah dan sakti.
Di sela-sela dia berlatih, saat dia berusia 15
tahun, ibunya menceritakan apa yang sesung-
guhnya telah terjadi. Dan bukan main geramnya
Barong Seta. Dia berulangkali mendesak ibunya
dan gurunya untuk turun gunung mencari orang-
orang yang telah menghancurkan keluarganya.
Namun berulangkali pula hal itu dilarang.
Sampai suatu ketika, Roro Santika meninggal
dunia akibat penyakit. Bukan main sedihnya hati
Barong Seta. Dan suatu malam, tiba-tiba saja dia
dipanggil oleh si Bongkok Bergigi Emas.
"Muridku..." kata si Bongkok Bergigi Emas.
"Genap sudah sepuluh tahun lamanya kau bergu-
ru padaku. Dan kini semua ilmu yang kumiliki te-
lah kau kuasai dengan sempurna. Kini kau telah
menjadi seorang pendekar yang amat tangguh.
Nah, katakanlah... apa permintaanmu terakhir..."
"Permintaan terakhir, Nenek?" tanya Barong
Seta heran.
Meskipun dia berguru pada si Bongkok Bergigi
Emas, namun dia tetap memanggilnya nenek, ti-
dak guru seperti kebanyakan para murid jago-
jago silat.
"Ya, permintaan terakhir. Karena kau harus tu-
run gunung hari ini juga."
"Tetapi Nenek?"
"Kau harus mencari pengalaman, Barong. Dan
ingat, kau ditugaskan oleh ibumu sebelum dia
meninggal untuk mencari orang-orang yang telah
menghancurkan keluargamu. Nah, katakanlah
apa permintaanmu?"
Barong Seta menundukkan kepalanya. Ya... dia
memang harus mencari dan membunuh orang-
orang yang telah menyebabkan keluarganya han-
cur.
Lalu perlahan-lahan dia mengangkat kepa-
lanya, menatap si Bongkok Bergigi Emas yang
duduk di atas batu.
Keduanya berada di luar. Hawa dingin sebe-
narnya begitu menusuk hingga ke tulang sum-
sum. Namun keduanya telah menghalanginya dan
menghangati tubuh mereka dengan tenaga dalam.
"Permintaanku... ingin mencari dan membu-
nuh orang-orang yang telah menghancurkan ke-
luargaku, Nenek..."
"Bagus! Carilah dan bunuh mereka semua!"
"Tapi ke mana aku harus mencarinya, Nenek."
"Aku pun tidak tahu di mana orang-orang be-
rada. Tetapi mintalah petunjuk kepada manusia
sakti yang bernama Madewa Gumilang alias Pen-
dekar Bayangan Sukma. Konon dia memiliki ilmu
Pandangan Menembus Sukma, hingga baginya
tak ada kesulitan untuk mengetahui sesuatu yang
jatuh sekali."
"Kalau begitu... di manakah saya bisa men-
jumpainya, Nenek?" tanya Barong Seta pula.
"Pergilah kau ke arah Timur Gunung Slamet,
Cucuku. Di sebuah perguruan yang bernama Per-
guruan Topeng Hitam, kau dapat menjumpai ma-
nusia dewa itu..."
"Baiklah, Nenek.... saya pergi sekarang juga."
"Bagus, lebih cepat lebih baik. Sampaikan sa-
lamku kepadanya, Cucuku..."
Dan malam itu juga Barong Seta meninggalkan
tempat yang sepuluh tahun lamanya dia tinggali.
Memang berat rasanya untuk meninggalkan tem-
pat itu.
Namun bila dia ingat akan kematian ayah dan
ibunya yang begitu mengenaskan, dendamnya be-
gitu membara.
Selama satu bulan dia berjalan, kini dia tiba di
Perguruan Topeng Hitam. Dan sekarang tengah
berhadapan dengan Madewa Gumilang dan Ratih
Ningrum.
"Salam dari guruku si Bongkok Bergigi Emas,
Ketua..." kata pemuda itu pada Madewa.
Madewa tertawa. "Hahaha... rupanya kau mu-
rid dari sahabatku yang bergelar si Bongkok Ber-
gigi Emas. Bagaimana keadaannya, Barong?"
"Beliau sehat-sehat saja sepeninggal saya per-
gi."
"Tentunya kau telah mewarisi semua ilmu dari
si Bongkok Bergigi Emas, bukan?"
"Memang begitulah adanya, Ketua...?"
"Barong... kau belum menjawab pertanyaanku
tadi. Ada maksud apa kau hendak menjumpai-
ku?"
"Maafkan aku yang telah mengganggu ketenan-
ganmu dan ketenangan istrimu, Ketua. Maksud
kedatanganku, ingin bertanya padamu. Di mana-
kah Ki Tunggang Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola
Buto, Ki Jalak Pancang dan Dewi Bercadar Merah
berada?"
Kening Madewa berkerut. Nama-nama yang
disebutkan oleh pemuda itu cukup dikenalnya.
Nama-nama dari golongan hitam.
Namun dia belum tahu siapa gerangan Dewi
Bercadar Merah adanya.
"Hm.... dengan maksud apa kau bertanya ten-
tang keberadaan mereka di mana, Barong?"
Berceritalah Barong Seta tentang sebab-sebab
dia mencari orang itu.
"Lalu kau hendak bermaksud membalas den-
dam?"
"Benar, Ketua."
"Apakah kau tidak tahu kalau dendam itu ti-
dak baik, Barong?"
"Saya tahu, Ketua."
"Lalu mengapa kau hendak melakukannya?"
"Karena saya yakin, kedua orang tua saya tidak
akan tenang matinya sebelum kelima orang itu
mampus di tangan saya."
"Barong... agaknya saat ini kau tengah diliputi
dendam yang cukup berbahaya. Kau tidak tahu
apa akibat dendam itu?"
"Saya tahu, ketua. Kelima orang itu akan dan
harus mampus di tangan saya!"
"Nah, bukankah itu amat berbahaya, Barong..."
Barong Seta mengangkat kepalanya. Dia dapat
menangkap maksud dari Madewa Gumilang yang
sepertinya ingin menantang rencananya.
"Ketua... saya datang hanya ingin meminta pe-
tunjuk di mana orang-orang itu berada. Lainnya
tidak."
"Dengarlah dulu kata-kataku, Barong. Bila kau
mencari mereka dengan maksud membalas den-
dam dan membunuh, aku tak akan pernah mem-
beritahukan di mana mereka berada."
"Mengapa, Ketua?"
"Karena rencanamu itu amat keji sekali."
"Dan mereka lebih keji karena membantai se-
mua keluargaku dan para penduduk desaku. Ke-
tua!" kata pemuda itu dengan nada keras.
Madewa tersenyum. Dapat menyelami perasaan
dan gejolak jiwa muda Barong Seta.
"Barong.... tentunya kau dapat pula memahami
keadaan yang terjadi pada keluargamu. Dan ten-
tunya kau dapat memahami pula keadaanmu
yang sekarang ini. Bila kau dapat meredam se-
mua emosi dan amarahmu untuk membalas den-
dam, maka kau akan menjadi manusia yang sem-
purna."
"Aku tidak akan menjadi manusia sempurna
bila belum membunuh orang-orang itu, Ketua!"
"Dengarlah kata-kataku, Barong...."
"Ketua!" potong Barong Seta. Jiwa mudanya te-
lah bergejolak dan menggelegak. "Aku datang bu-
kan untuk mendengar khotbah dan nasehatmu.
Tetapi aku datang untuk meminta petunjukmu.
Bila kau tidak memberitahu, aku pun akan tetap
mencarinya! Tanpa atau dapat petunjuk darimu!"
"Barong.... dengarkan dulu kata-kataku!"
Tetapi pemuda itu sudah berdiri, "Selamat pa-
gi, Ketua!" desisnya seraya melangkah keluar.
Madewa Gumilang mendesah. Sayang, pemuda
itu terlalu dihantui oleh rasa dendam dan ama
rahnya. Bila saja pemuda itu mau menggunakan
sedikit akal sehatnya, tentunya dia dapat mema-
hami kata-katanya.
Ratih Ningrum berkata pada suaminya, "Kan-
da.... bila kau mengetahui di mana orang-orang
itu berada, mengapa kau tidak mengatakannya
pada Barong Seta?"
Madewa tersenyum pada istrinya.
"Bila dia tidak sedang mendendam atau marah,
tentu aku akan memberitahukan padanya, Din-
da..."
"Aku sedih mendengarkan kejadian yang telah
menimpa keluarganya...."
"Begitu pula denganku, Dinda.... Tetapi aku tak
bisa melepaskan pemuda itu yang tengah diliputi
dendam. Aku kuatir sepak terjangnya akan men-
jadi ganas dan telengas."
"Kalau begitu... mengapa kau tidak memberita-
hukan padanya tadi?" tanya Ratih Ningrum pula.
"Bukankah bila dia sudah tahu, dia akan lang-
sung mencari orang-orang itu?"
"Ya, dia akan menurunkan tangan telengas pa-
danya. Siapa tahu orang-orang yang sedang dica-
rinya sudah bertobat, Dinda...."
"Bagaimana bila belum, Kanda?"
"Dinda tentunya bisa memaafkan mereka?"
"Bagaimana bila dia tidak mau memaafkan?"
"Itulah yang aku cemaskan."
"Lalu apa rencanamu setelah ini, Kanda?"
"Aku bermaksud akan mengikutinya, Dinda...."
"Kanda...." Ratih Ningrum mendesah. "Bukan
kah ini suatu pekerjaan lagi bagimu? Bila kau
sudah mengatakannya tadi, tentunya kau tak per-
lu sibuk mengikuti jejaknya."
"Bila kukatakan pun aku akan mengikutinya."
Kembali Ratih Ningrum mendesah. Dia sudah
senang suaminya tidak terlibat lagi dalam urusan
ini. Tetapi memang tak ada jalan lain. Dan Ratih
Ningrum pun tahu akan isi hati suaminya. Yang
selalu mencoba melihat keadilan. Yang selalu me-
nolong yang lemah.
Namun meskipun begitu, Ratih Ningrum men-
ginginkan dia bisa berlama-lama dengan sua-
minya di kediaman mereka ini.
Lalu kembali dia menatap suaminya.
"Jadi itu rencanamu, Kanda?"
"Ya, Dinda..."
"Bolehkah aku turut menyertaimu?"
Madewa tertawa.
"Mengapa kau harus bertanya lagi. Aku pun
bermaksud untuk mengajakmu, Dinda... Mengapa
tidak? Kau adalah istriku, yang selalu setia men-
dampingiku baik suka maupun duka. Bukankah
begitu, Dinda...."
"Iya, Kanda... Sampai kapan pun aku akan te-
tap mendampingimu..."
"Kau memang istriku yang setia, Dinda Ra-
tih..."
"Dan kau pun begitu setia padaku Kau selalu
menjagaku, Kanda..." kata Ratih Ningrum sambil
merebahkan tubuhnya di pelukan suaminya.
"Karena kau adalah istriku, Dinda... Itu sudah
merupakan kewajibanku untuk menjagamu," kata
Madewa Gumilang sambil merangkul pula tubuh
istrinya.
Ratih Ningrum semakin menyusupkan kepa-
lanya ke dada suaminya. Dan dia merasakan satu
ketentraman mengaliri seluruh tubuhnya berada
dalam rangkulan itu.
Damai.
Betapa damainya.
***
TUJUH
Setelah meninggalkan Perguruan Topeng Hi-
tam, Barong Seta pun melanjutkan perjalanannya
untuk mencari orang-orang yang telah menghan-
curkan keluarganya.
Suatu pagi, dia tiba di sebuah desa yang per-
mai.
Dia pun telah mengisi perutnya di sebuah ke-
dai.
Tiba-tiba terjadi keributan di luar kedai itu.
Orang-orang pun berlarian keluar termasuk Ba-
rong Seta.
Di luar terlihat pemandangan yang mengeri-
kan. Lima orang laki-laki berwajah seram dengan
golok di tangan tengah menghentikan sebuah ke-
reta kuda. Dan di atas kereta itu telah tergolek
satu sosok tubuh yang menjadi mayat. Sais kere-
ta itu rupanya.
Dan di dekat kereta itu, lima sosok tubuh pun
telah menjadi mayat.
Rupanya tengah terjadi perampokan di pagi ini.
Salah seorang yang berwajah seram itu mem-
bentak pada yang menonton, "Jangan ada yang
coba-coba menghalangi maksud kami! Maka dia
akan mampus!"
Yang menonton pun tak punya keinginan un-
tuk mencampuri urusan itu. Mereka ngeri. Meli-
hat wajah orang-orang yang beringas itu saja me-
reka sudah ketakutan, apalagi nekat untuk
menghalangi.
Bahkan ada yang diam-diam meninggalkan
tempat itu. Mereka sudah tahu siapa kelima
orang ini. Mereka bergelar Lima Golok Setan, yang
kerjanya hanyalah membuat onar. Dan mereka
kadang-kadang suka berbuat nekat. Seperti hal-
nya merampok kereta kuda di pagi ini!
Dan mereka pun tahu siapa yang tengah di-
rampok oleh orang-orang ini. Juragan Mayu Dadi,
orang terkaya di desa ini.
Mereka mendengar orang-orang itu memben-
tak, "Juragan! Cepat keluar dari kereta kuda! Bila
tidak ingin nyawamu kubunuh!"
Dari dalam kereta kuda itu keluar sosok tubuh
tambun berpakaian indah dan mengenakan per-
hiasan yang mahal. Sosok tubuh itu berkeringat
wajahnya pias.
Orang yang membentak tadi tertawa.
"Hahaha... rupanya orang yang terkaya ini
punya penyakit ketakutan juga rupanya!"
"Apa... apa yang hendak kalian minta padaku?"
desis Mayu Dadi ketakutan dan terbata-bata. Se-
pasang matanya mengerjap-ngerjap bagai mata
kelinci.
"Kami hanya meminta uang dari hasil penjua-
lan tanahmu, Juragan!"
"Uang... Uang apa? Siapa yang menjual tanah?
Siapa yang dapat uang?" kata laki-laki tambun itu
terbata-bata.
"Jangan berpura-pura, Gendut!" bentak orang
itu yang membuat tubuh Mayu Dadi mengkerut.
Dan memang laki-laki itu mendadak saja merasa-
kan tubuhnya menjadi ciut.
"Aku... aku..." desisnya gugup dan keringat
semakin bertambah deras membasahi tubuhnya.
Dia tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya ketika
orang itu melangkah kakinya.
"Jangan berbuat macam-macam padaku, Gen-
dut!"
"Ah... iya, iya! Aku..."
Sreet! golok itu pun keluar dari sarungnya.
Membuat Mayu Dadi menjadi bertambah mengke-
rut.
"Kau mau lehermu terpisah dari tubuhmu,
Gendut?"
"Tidak, tidak..."
"Cepat serahkan uang itu bila kau tidak ingin
lehermu pisah dari kepalamu!"
Tergagap dan terburu-buru Mayu Dadi masuk
kembali. Dia pasrah dan dia tidak bisa berbuat
apa-apa. Diambilnya kantong uang yang baru sa-
ja diambilnya dari desa sebrang sebagai pembaya
ran tanahnya.
Orang itu terbahak melihat Mayu Dadi muncul
kembali dengan kantong uangnya.
"Cepat serahkan uang itu padaku!"
Mayu Dadi memang pasrah. Dia melirik dulu
kantong uangnya dengan perasaan sayang.
"Cepat! Aku tidak suka bertele-tele begini!"
Sebelum Mayu Dadi memberikan kantong yang
berisi uang itu, tiba-tiba terdengar seruan, "Tung-
gu!"
Dan satu sosok melenting melewati beberapa
orang yang menonton. Orang-orang yang dilewati
satu sosok tubuh itu terkejut.
Dan lebih kaget lagi ketika sosok tubuh itu
hingga di hadapan mereka dan berdiri berhada-
pan dengan kelima orang bergolok yang menjadi
tertawa.
"Hahaha... rupanya kau yang membentak tadi,
haha?!" tertawa orang yang pertama.
Sosok tubuh yang tak lain adalah Barong Seta
cuma tersenyum saja.
"Lebih baik kalian hentikan perbuatan biadab
kalian ini sebelum aku menjadi marah?!"
"Marah? Hahaha... rupanya bocah ini mau jual
tampang, kawan-kawan!"
Tawa dari orang-orang itu pun membahana.
"Agaknya kalian memang orang-orang som-
bong! Hanya sayang, kesombongan dan kebiada-
ban kalian hari ini akan terhenti!"
"Hei, kau bicara apa bocah?!" bentak orang itu
gusar dengan mata melotot.
"Apakah kau mendadak saja menjadi tuli,
hah?!"
"Bangsat! Rupanya bocah ini belum mengenal
siapa kita, Kawan-kawan! hajar!"
Serentak keempat laki-laki temannya mengu-
rung Barong Seta. Tetapi yang dikurung hanya
tersenyum saja.
"Kalian rupanya sudah bosan hidup!"
"Kau yang bosan hidup, Bocah!"
"Perlihatkanlah kepadaku apakah omonganmu
itu benar?!"
"Anjing buduk! Hajar bocah itu!"
Serentak empat buah golok yang amat tajam
berkelebatan ke arah Barong Seta. Namun Barong
Seta yang sekarang telah menjadi seorang pemu-
da gagah perkasa. Dia adalah murid tunggal si
Bongkok Bergigi Emas.
Bersamaan golok-golok itu berkelebat, Barong
Seta pun bergerak. Gerakannya cepat. Dan yang
membuat para penyerangnya kaget ketika men-
dadak saja mereka melihat golok-golok di tangan
mereka sudah tidak ada lagi.
Malah kini sudah berpindah tangan.
"Bocah setan! Pantas kau berani menentang
kami! Rupanya kau punya keahlian juga!"
Orang-orang yang menonton yang semula amat
menyesali dan ketakutan pemuda itu akan kena-
pa-napa, mendesis kagum melihat satu gerakan
yang amat cepat diperlihatkan Barong Seta. Bah-
kan kini mereka berseru-seru,
"Hajar saja orang-orang itu!"
"Bunuh!"
"Jangan beri ampun!"
"Mereka kerjanya hanya membuat onar saja!"
"Ya, bunuh saja!"
Seruan-seruan itu terdengar ramai. Orang yang
pertama dari Lima Golok Setan tadi menggeram
murka. Dia menyerbu dengan golok di tangan ke
arah Barong Seta.
Tetapi dia harus menghindar karena tangan
Barong Seta bergerak melepaskan empat golok
yang ada di tangannya,
"Anjing buduk!" maki orang itu terkejut. Dan
lebih terkejut lagi ketika melihat empat kawannya
mengaduh dan ambruk menjadi mayat dengan
dada tertancap golok masing-masing.
Merahlah wajahnya.
"Kau benar-benar mencari mampus rupanya,
Bocah!"
"Atau kau yang akan mengikuti jejak keempat
kawanmu itu, hah?!"
"Bangsat!" gerutu orang itu seraya menyerbu
kembali.
Kali ini serangan goloknya begitu dahsyat dan
cepat. Namun bagi Barong Seta itu bukanlah sua-
tu yang membuatnya bingung, jeri atau pun keta-
kutan.
Malah dia hanya menggeser tubuhnya saja, la-
lu melompat. Dan tangan kanannya bergerak
dengan cepat.
"Hup!"
Ujung golok itu tertangkap.
Dan tangan kirinya pun bergerak menotok urat
di bawah pangkal lengan.
Lawannya terkejut dan menjerit kesakitan. Dia
merasakan kesemutan dan hawa dingin mengaliri
sekujur tubuhnya.
Sadarlah orang itu kalau lawan yang dihada-
pinya tidak enteng. Namun dia sudah kepalang
malu. Dia yang selalu bikin onar dan keributan
harus kalah oleh seorang pemuda.
Maka tanpa memperdulikan keselamatannya
lagi, dia menerjang dengan pukulan lurus ke wa-
jah Barong Seta. Namun tanpa bergeser dari ber-
dirinya, Barong Seta melancarkan serangan pula
ke wajah orang itu.
Waktunya hampir bersamaan.
Orang itu terkejut dan menarik tangannya un-
tuk menangkis pukulan Barong Seta. Saat itulah
Barong Seta melepaskan pukulan tangan kirinya.
"Des!"
Tepat mengenai perut orang itu yang kontan
mengaduh keras dan bergulingan. Dia merasakan
perutnya sungguh mual.
Dan karena terlanjur malu dia kembali bangkit
menyerbu.
"Bandel! Bukannya minta maaf, malah nekat
menyerang lagi!" maki Barong Seta.
Kali ini dia pun tidak memberi ampun lagi.
Tangannya bergerak.
"Des! Des!"
Dua pukulan mengakhiri perlawanan laki-laki
itu. Bahkan nyawanyapun melayang karena pu
kulan itu tepat mengenai jantungnya.
Orang-orang berseru ramai.
Pemuda itu dielu-elukan.
Barong Seta cuma tersenyum.
Ketika dia hendak meninggalkan mereka, ter-
dengar suara memanggilnya, "Tunggu Pemuda!"
Barong Seta menghentikan langkahnya.
Berbalik.
Dan melihat Juragan Mayu Dadi yang me-
manggil dan sekarang sedang berjalan mendeka-
tinya.
"Ada apa, Tuan?"
"O-ho... jangan panggil aku Tuan. Namaku
Mayu Dadi. Kau bisa memanggilku Mayu saja,
Pemuda gagah..."
"Tidak, saya akan tetap memanggilmu dengan
sebutan Tuan. Seperti yang dilakukan oleh orang-
orang desa."
"Ya, ya... terserah, terserah apa maumu."
"Nah, ada apa Tuan memanggilku?"
"Hehehehe... aku, aku.... ya, ya... aku mengu-
capkan banyak terima kasih atas pertolonganmu
ini..."
"Tidak banyak yang kulakukan untuk Tuan...."
"Kau bisa melakukannya untukku..."
"Apa maksud Tuan?"
"Maksudku... hehehe... maaf, maaf bila kau
tersinggung. Maukah... kau menjadi jago baya-
ranku dengan upah yang mahal... heheh... maaf,
maaf bila kau tersinggung..."
"Maksud Tuan, saya bekerja sebagai jago baya
ran Tuan?"
"Ya, ya... kau tidak marah? Ah, kau pasti ku-
bayar dengan mahal, aku., ya, ya... sebenarnya
lima orang yang mati itu adalah jago-jago baya-
ranku. Sayang, ilmu dan kepandaian mereka ma-
sih berada di bawah kelima golok Setan... Kau
mau, bukan?" kata Mayu Dadi penuh harap.
"Bagaimana bila saya menolak?"
"Oh., jangan, jangan... e, maaf... ya, ya... terse-
rahmu... Tapi aku berani membayarmu mahal,
Pemuda. Aku pun masih memiliki empat jago-jago
bayaran di rumah. Nah, bagaimana dengan tawa-
ran itu?"
Barong Seta terdiam. Berpikir. Ya, itu memang
suatu tawaran yang menarik. Selain mendapat
tempat gratis, makan gratis, juga dibayar. Bu-
kankah ini sesuatu yang mengasyikan.
Dan di samping itu dia punya tempat tinggal
sementara dia mencari orang-orang yang telah
menghancurkan keluarganya.
Ditatapnya Mayu Dadi.
"Baiklah, tuan... saya menerima tawaran itu..."
"O... bagus, bagus sekali., ayo ke rumahku..."
kata Mayu Dadi sambil mengajak Barong Seta ke
kereta kudanya. "Siapa namamu, Anak muda?"
"Barong Seta."
"Nah, Barong Seta... mulai saat ini kau adalah
pengawal pribadiku merangkap jago bayaranku.
Kau bisa mengendalikan kereta kuda ini?"
"Dengan senang hati, Tuan!"
Dan mulai saat itu Barong Seta tinggal sebagai
pengawal pribadi dan jago bayaran Mayu Dadi.
Dia pun berkenalan dengan empat jago-jago baya-
ran tuannya.
Kemana pun Mayu Dadi pergi, Barong Seta se-
lalu menemaninya. Semua pekerjaan Mayu Dadi
menjadi lancar dan berhasil.
Para penduduk di sana pun menyukai sepak
terjang Barong Seta yang mereka anggap begitu
arif.
Begitu pula halnya dengan empat orang jago
bayaran Mayu Dadi. Meskipun mereka lebih lama
bekerja sebagai jago bayaran, namun mereka tak
pernah iri pada Barong Seta. Bahkan mereka me-
naruh hormat pada pemuda itu.
Tetapi yang membuat mereka heran, karena se-
tiap kali bila tidak sedang mengawal Juragan
Mayu Dadi pergi, mereka sering melihat Barong
Seta melamun.
Hingga akhirnya mereka sepakat untuk ber-
tanya.
Setelah makan malam, mereka pun berkumpul
di luar rumah besar itu.
"Barong... sebagai teman, aku menaruh rasa
heran melihat sikapmu yang selalu melamun," ka-
ta Suma Agung.
"Benar, Barong... bila ada sesuatu masalah
yang mengganggu hatimu, sebagai teman, kami
semua ingin mengetahuinya," tambah Genda Su-
ta.
Barong Seta menatap teman-temannya.
Dia menghela nafas.
"Memang ada sebuah masalah yang amat
mengganggu pikiranku," katanya.
"Apakah itu? Bila kami boleh tahu?" tanya Su-
mantri Puro.
"Ya, Barong... barangkali kami bisa memban-
tumu memecahkan masalah yang tengah kau ha-
dapi..." kata Purna Jaya.
"Aku tidak ingin membuat kalian menjadi ikut
berpikir dan ikut berprihatin. Biarlah masalah ini
aku tanggung sendiri."
"Barong... kami menganggapmu sebagai teman,
sahabat, bahkan saudara. Kami tidak suka meli-
hatmu punya masalah tanpa membagi pada kami.
Kami merasa berdosa bila melihatmu selalu me-
lamun saja," kata Suma Agung.
Lagi Barong Seta menatap keempatnya.
"Kalian memang teman-temanku yang baik.
Baiklah, aku akan menceritakannya pada kalian,"
kata Barong Seta. Lalu dia pun bercerita tentang
kerisauan hatinya.
Mendengar cerita Barong Seta, keempatnya
menjadi geram sekali.
"Barong... kami akan membantumu mencari
dan membunuh orang-orang biadab yang telah
menghancurkan keluargamu!" kata Sumantri Pu-
ro berapi-api.
"Benar, Barong! Bahkan kami bersumpah un-
tuk membunuh mereka!" kata Suma Agung.
"Sudahlah... biarlah aku yang menghadapi se-
mua ini!" kata Barong Seta. Mau tak mau hatinya
menjadi terharu melihat kesetiaan persahabatan
yang dilakukan keempat sahabatnya ini.
"Tidak, kedatanganmu sudah membuat kami
enak di sini! Bahkan kami pun sudah mengang-
gapmu sebagai saudara! Kami tidak akan berdiam
diri melihatmu mempunyai persoalan yang terasa
begitu menyulitkan!" kata Purna Jaya.
"Benar, Barong!" sambung Genda Suta. "Nah,
kawan-kawan, mari kita bersumpah untuk meno-
long Barong Seta!"
Keempatnya berdiri.
Genda Suta berkata, "Kalian ikut sumpahku
ini!" katanya dan berkata-kata diikuti oleh teman-
temannya, "Kami bersumpah, demi langit dan
bumi, akan menolong Barong Seta mencari orang-
orang biadab yang menghancurkan keluarganya!
Meskipun ada rintangan seberat apa pun kami
tak akan mundur! Dan kami pun tak akan mun-
dur bila ada yang menghalangi niat kami ini! Bila
kami melanggar sumpah, biarlah Yang Maha Ku-
asa akan mengutuk kami untuk lumpuh selama-
lamanya!"
Bersamaan sumpah itu selesai diucapkan, tiba-
tiba saja langit menjadi gelap. Dan petir terdengar
sambar menyambar.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras.
Barong Seta melihat keempat sahabatnya men-
gulurkan tangan mereka.
Genda Suta berkata, "Ulurkan tangan kanan-
mu pula, Barong!"
Walau tidak mengerti apa maksud dari Genda
Suta menyuruhnya mengulurkan tangan, Barong
Seta hanya mengikuti saja.
Tiba-tiba Genda Seta mencabut pisaunya yang
dijadikan sebagai senjata rahasianya.
Dia menatap ke langit yang menjadi gelap.
Hujan tetap turun dengan derasnya.
"Wahai langit dan bumi! Kalian yang menjadi
saksi sumpah kami ini!" serunya lantang menga-
lahkan hujan yang turun dengan deras.
Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat, meng-
gores pergelangan tangannya hingga mengelua-
rkan darah. Lalu pisau itu diberikannya pada
Purna Jaya yang juga berbuat yang sama.
Begitu pula Suma Agung dan Sumantri Puro.
Terakhir Barong Seta sendiri yang ikut-ikutan pu-
la.
Lalu darah yang mengalir dari pergelangan
tangan itu disatukan. Berarti mereka telah men-
gikat sumpah menjadi bersaudara.
Barong Seta semakin terharu melihat kesetiaan
para sahabatnya itu.
"Terima kasih, Saudaraku semua. Sumpah ka-
lian tak akan pernah kusia-siakan!"
Hujan pun semakin deras turun membasahi
bumi. Membasahi kelima orang itu yang masih
berada di sana.
***
DELAPAN
Lima orang penunggang kuda itu menghenti-
kan laju kudanya tepat di tengah-tengah desa.
Salah seorang penunggangnya seorang wanita
yang mengenakan cadar berwarna merah. Dia tak
lain adalah Mawar, dan keempat penunggang ku-
da lainnya adalah empat orang gurunya.
"Hmm... desa ini begitu makmur, Guru..." kata
Mawar.
"Benar, kita bisa berbuat apa saja yang kita in-
ginkan di sini," kata Ki Jalak Pancang.
"Kalau begitu, kita isi perut saja dulu!" Ki
Tunggang Rekso seraya menjalankan kudanya ke
kedai nasi.
Kedatangan orang-orang itu begitu menarik
perhatian para pengunjung kedai makan itu.
Mereka pun masih memperhatikan ketika ke-
limanya menyantap hidangan.
Namun mereka harus kembali menunduk keti-
ka secara tiba-tiba Ki Pergola Buto menggebrak
meja dan menggeram, "Mau apa kalian melihat-
lihat kami hah?!"
"Sudahlah, Guru..." kata Mawar. "Biarkan saja.
Toh, nanti kita akan menguasai orang-orang gob-
lok itu."
Ki Pergola Buto duduk kembali dengan hati
jengkel.
Menyantap hidangannya lagi.
Setelah itu mereka pun keluar.
Merasa mereka belum membayar, pemilik kedai
nasi itu pun bergegas menghampiri.
"Tuan-tuan sekalian... kalian belum membayar
apa yang telah kalian makan..."
Ki Pergola Buto menggeram.
"Berapa?"
Pemilik kedai nasi itu menjadi ciut melihat se-
pasang mata yang melotot itu.
"Mu... murah, Tuan..."
"Berapa?!"
"Cuma.... cuma dua keping uang perak..."
"Hmm.. "Ki Pergola Buto menggumam. Dan ti-
ba-tiba saja dia menggerakkan tangan kanannya
ke wajah laki-laki setengah baya itu.
"Des!"
Wajah laki-laki setengah baya itu terhantam
oleh pukulannya yang keras. Dia bergulingan be-
berapa kali di lantai, menabrak kursi dan meja.
Lalu terdiam tak bergerak, karena nyawanya telah
melayang dengan kepala pecah.
Para pengunjung rumah makan itu menjadi
terkejut melihat tangan telengas orang-orang itu
Tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Masih
duduk di tempat masing-masing.
"Siapa yang berani lagi menagih, hah?!" bentak
Ki Pergola Buto dengan marah.
Namun tak seorang pun yang berani menja-
wab. Lalu kelima orang itu pun meninggalkan ke-
dai.
"Tunggu!" terdengar seruan itu.
Kelimanya tidak jadi menjalankan kuda mas-
ing-masing. Dan melihat seorang laki-laki tengah
bersalto dan telah berdiri di hadapan mereka.
Laki-laki itu adalah Sumantri Puro, yang kebe-
tulan juga sedang makan di sana.
"Hhh! Mau apa kau?!" bentak Ki Pergola Buto.
"Maafkan aku yang mengganggu perjalanan ka-
lian. Kalau boleh aku bertanya, apakah wanita
yang bercadar merah itu yang berjuluk Dewi Ber-
cadar Merah?"
"Kalau iya kau mau apa?!"
"Apakah kalian yang bernama Ki Tunggang
Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola Buto dan Ki Ja-
lak Pancang?"
Orang-orang itu berpandangan. Karena ada
yang tahu nama mereka.
"Ya, kamilah orang-orang yang kau sebutkan
itu!" sahut Ki Jalak Pancang.
Sumantri Puro mendesis dalam hati. Jadi ini
orang-orang yang telah menghancurkan keluarga
Barong Seta. Tadi sebenarnya saat makan dia su-
dah memperhatikan orang-orang itu. Dan yang
membuatnya heran ketika melihat yang wanita
mengenakan cadar berwarna merah. Dia jadi te-
ringat akan cerita Barong Seta.
"Kalau begitu kebetulan! Ada seorang kawanku
yang tengah menanti kedatangan kalian?"
"Siapa dia?"
"Kalian tunggulah di sini! Lima belas menit
kemudian aku akan kembali lagi!"
Sumantri Puro pun berlari. Dan menceritakan
semua itu pada Barong Seta. Bersama ketiga ka-
wan mereka yang lain, kelimanya pun kembali ke
tempat semula.
Sumantri Puro berkata, "Ini kawanku yang in-
gin bertemu dengan kalian!"
Orang-orang yang menunggu itu heran karena
merasa belum pernah mengenal Barong Seta.
"Apa-apaan maksudmu ini?!" bentak Ki Tung-
gang Rekso.
"Dengarlah dulu kata-katanya, baru kau akan
mengerti!" kata Sumantri Puro yang tak perduli
dengan kata-kata Ki Tunggang Rekso.
Barong Seta mendengus. Inikah orang-orang
yang telah menghancurkan keluargaku? desisnya
dalam hati.
Lalu dia berkata, "Bila kalian memang benar
orang-orang yang sedang kucari, aku hendak ber-
tanya pada kalian?"
"Bertanya apa, Pemuda sok tahu!" menggeram
Ki Jalak Pancang., "Kau telah lancang berani
menghalangi perjalanan kami!"
"Maaf... ingatkah kau akan kejadian sepuluh
tahun yang lalu di mana kau membunuh Bupati
Seda Arya dan menghancurkan keluarganya?"
Sudah tentu orang-orang itu masih mengingat-
nya. Bahkan mereka sampai sekarang tetap ingat
akan kejadian itu.
"Hh! Lalu apa hubungannya denganmu?!" ben-
tak Ki Jalak Pancang lagi.
"Masih ingatkah kalian kalau bupati dan is-
trinya memiliki seorang putra?"
"Ya, yang tentunya sudah mampus sekarang!"
"Ingatkah kalian siapa namanya?!"
"Tentu saja kami ingat bocah sialan itu! Dia
bernama Barong Seta! Hei, ada apa kau bertanya-
tanya seperti ini?!"
"Jangan gusar!" seru Barong Seta dengan ke
marahan yang ditahan. "Hari ini kalian tengah
berhadapan dengan putra dari Bupati Seda Arya
dan istrinya Roro Santika..."
"Apa?!"
"Ya, akulah Barong Seta... bocah sepuluh ta-
hun yang lalu belum mengerti apa yang tengah
terjadi. Dan sekarang, aku ingin meminta per-
tanggungjawaban kalian semua!"
Orang-orang itu sungguh tidak menyangka ka-
lau putra dari bupati Seda Arya dan Roro Santika
masih hidup. Tetapi tentu saja hanya sejenak ke-
kagetan mereka. Karena kemudian terdengar sua-
ra tawa mereka yang ramai.
"Hihihi... jadi kau putra dari Seda Arya?" terki-
kik Mawar.
"Hmm.... pantas, pantas... kau begitu gagah
dan tampan, mirip ayahmu, Barong..."
"Diam kau perempuan iblis!" bentak Barong
Seta. "Lebih baik kalian membunuh diri sekarang,
sebelum aku mencabut nyawa kalian!"
"Setan! Kau besar omong pula, hah?!" mengge-
ram Dewi Bercadar Merah alias Mawar sambil me-
lompat dari kudanya dan langsung menyerbu ke
arah Barong Seta.
Barong Seta yang sudah bersiap sejak tadi se-
gera melayaninya dengan hebat dan sigap pula.
Tanpa disuruh lagi terjadilah pertarungan yang
hebat antara keduanya.
Melihat Barong Seta sudah saling gebrak,
keempat temannya pun sambil menjerit keras
menyerang empat orang yang masih duduk di ku
da-kuda mereka.
Pertempuran satu lawan satu pun terjadi.
Pertarungan yang begitu sengit.
Mendebarkan.
Dan sungguh berbahaya.
Masing-masing mengeluarkan segenap ke-
mampuan dan kehebatan mereka. Saling mema-
merkan kecepatan yang sungguh cepat sekali.
Jurus demi jurus pun telah terlewat tanpa ter-
lihat ada yang terdesak.
Masing-masing pun sudah mengeluarkan sen-
jata-senjata mereka.
Ki Pergola Buto yang menghadapi Sumantri
Puro pun sudah mengeluarkan senjatanya sepa-
sang trisula. Dan dia pun mencecar Sumantri Pu-
ro dengan cepat.
Namun Sumantri Puro pun bukanlah lawan
yang bisa dianggap enteng dengan sigap dan ce-
pat pula dia menghindari dan membalas seran-
gan-serangan itu.
Dan dengan satu gerakan yang amat cepat, dia
berhasil memukul lepas kedua trisula yang bera-
da dalam genggaman Ki Pergola Buto.
Bahkan dia dapat memukulnya.
Ki Pergola Buto menjadi kalap. Dia bangkit
kembali menyerang dengan membabi buta. Na-
mun entah dari mana datangnya, mendadak saja
di ujung jari Sumantri Puro telah terdapat sebilah
pisau yang langsung dihujamkan pada dada Ki
Pergola Buto.
Terdengar lolongan keras yang menyayat hati.
Tubuh Ki Pergola Buto pun ambruk dan men-
jadi mayat dengan bersimbah darah.
Dan satu per satu keempat kawan Barong Seta
berhasil mendesak lawannya. Lawan-lawannya itu
kalah karena mereka terlalu menganggap enteng.
Menyusul Ki Jalak Pancang tewas dengan leher
yang hampir putus. Lalu Ki Bayu Utara yang ha-
rus mati terduduk karena kedua kakinya terkena
pisau terbang Genda Suta. Lalu salah sebuah pi-
sau menghujam tepat di dadanya.
Kini tinggal Ki Tunggang Rekso yang masih
menghadapi Suma Agung. Nampak keduanya be-
rimbang. Dan masing-masing masih dapat men-
guasai jalannya pertarungan.
Keduanya saling gebrak dengan hebat.
Saling hantam.
Saling bernafsu untuk menjatuhkan lawan.
Begitu pula halnya dengan Barong Seta yang
menghadapi Dewi Bercadar Merah alias Mawar.
Keduanya pun sama-sama tangguh. Meskipun
Dewi Bercadar Merah berguru pada empat orang,
namun Barong Seta dapat mengimbangi semua
perlawanannya.
"Kau harus mampus di tanganku, Perempuan
iblis!"
"Atau kau sendiri yang akan mampus menyu-
sul ayah dan ibumu, Barong Seta!"
Keduanya saling serang dengan hebat. Jurus
demi jurus pun berlangsung dengan ketat.
Tiba-tiba terdengar jeritan Ki Tunggang Rekso,
membuat konsentrasi Mawar terganggu. Apalagi
dia sudah melihat tiga gurunya yang lain telah
mampus.
Hal ini membuat Barong Seta menjadi mudah
untuk menjatuhkan pukulan.
"Des!"
Sebuah pukulannya menghantam dada Dewi
Bercadar Merah.
Hingga wanita itu terpelanting ke tanah.
Sementara itu Ki Tunggang Rekso tewas akibat
pisau terbang yang dilancarkan oleh Genda Suta.
Mawar mendengus marah. Baginya dia harus
membunuh Barong Seta.
Sambil memekik keras dia bergerak menyerbu.
Serangannya begitu ganas dan kalap. Membuat
Barong Seta sedikit kewalahan. Namun detik ke-
mudian, dia sudah bisa menguasai keadaan.
Karena Mawar dalam kondisi marah, seran-
gannya menjadi tidak terarah. Berkali-kali puku-
lan dan tendangan Barong Seta mengenai sasa-
rannya.
Hingga membuat wanita itu kehilangan ke-
seimbangan. Dan dengan satu tendangan melom-
pat membuat wanita itu tersuruk ke belakang.
"Akkhhh!"
Mawar merasakan sakit yang luar biasa pada
perutnya. Dan baginya sulit untuk bangun lagi
melanjutkan perlawanan.
Barong Seta tertawa.
Wajahnya mirip malaikat pencabut nyawa yang
siap menjalankan tugasnya.
Begitu buas dan mengerikan.
Dia menengadah menatap langit.
"Ayah dan Ibu! Kau lihatlah... hari ini orang-
orang yang telah membuat matimu tidak tenang,
sudah terbunuh! Dan sekarang, saksikanlah pe-
rempuan iblis ini akan kucabut nyawanya!" se-
runya lantang. Tiba-tiba dia berpaling pada Ma-
war. "Nah, perempuan iblis! Bersiaplah untuk
mampus sekarang juga!"
Mawar cuma meringis. Dia yakin sudah tidak
mampu lagi untuk bangkit. Kini dia hanya pasrah
menanti ajal.
Tiba-tiba sepasang tangan Barong Seta beru-
bah menjadi merah. Rupanya dia tengah menge-
luarkan ajian pamungkas ajaran si Bongkok Ber-
gigi Emas, Pukulan Sambar Nyawa!
Lalu sambil menjerit dia melesat ke arah Ma-
war yang hanya memejamkan mata, "Mampuslah
kau, Perempuan Laknat!"
Namun tiba-tiba saja Barong Seta berbalik ke
belakang ketika dia merasakan ada sesuatu yang
menghalangi pukulannya.
"Anjing! Siapa yang berani menghalangi ulahku
ini!" geramnya setelah berdiri dari bersaltonya.
Teman-temannya pun terkejut, karena mereka
tidak melihat ada sesuatu atau seseorang yang
menghalangi gerakan Barong Seta.
Dan mata mereka seperti terbuka ketika meli-
hat sosok tubuh berjubah putih yang tersenyum
arif dan bijaksana. Di sampingnya berdiri sosok
wanita yang ramping dengan pakaian ringkas dan
sepasang pedang berselempangan di punggung
nya.
Barong Seta berseru kaget, "Ketua Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum!"
Orang yang tak lain Madewa Gumilang dan is-
trinya itu tersenyum. Dialah yang memapaki se-
rangan Barong Seta dengan pukulan angin salju
dari jarak jauh.
"Maafkan kelancanganku, Barong..." kata Ma-
dewa tetap tersenyum, arif dan bijaksana.
Namun Barong Seta yang merasa jengkel kare-
na niatnya ada yang menghalangi menggeram
marah.
"Ketua... dengan maksud apa kau menghalangi
perbuatanku, hah?!"
"Barong... lawanmu sudah kalah. Apakah kau
tega untuk tetap mencabut nyawanya?!"
"Ini urusanku, Ketua!"
"Di mana rasa belas kasihanmu, Barong?"
"Apakah orang-orang ini punya rasa belas ka-
sihan ketika membantai ayahku dan menyebab-
kan ibuku mati menderita? Juga mereka dengan
seenaknya saja membantai orang-orang desaku?
Apakah aku harus mempunyai rasa belas kasihan
kepada orang semacam ini?!"
"Tetapi lawanmu sudah kalah, Barong..."
"Perduli setan! Aku akan tetap mencabut nya-
wanya!"
"Sadarlah, Barong... kau dirasuki dendam yang
amat sangat, hingga kau bersikap seperti iblis!"
Tiba-tiba berlompatan empat laki-laki mengha-
dang Madewa Gumilang. Suma Agung berkata
pada Barong Seta, "Barong... laksanakan saja
keinginanmu itu! Biar kami hadapi orang yang
melarang ini!"
Madewa Gumilang tersenyum pada orang-
orang itu.
"Lebih baik kalian sadarkan teman kalian yang
mempunyai niat jelek itu. Di mana rasa belas ka-
sihan pada orang yang telah kalah?!"
"Madewa... kami telah lama mendengar nama
besarmu. Tetapi kami telah bersumpah akan
membunuh siapa saja yang menghalangi sumpah
kami!"
"Begitu pula dengan aku bila kularang Barong
Seta melaksanakan niatnya?"
"Ya!"
"Kalau begitu... berarti kalian akan menghada-
piku sebagai orang yang menentang tindakan Ba-
rong Seta!"
Sehabis Madewa berkata begitu, orang-orang
yang mengurungnya segera berlompatan menye-
rangnya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri Ma-
dewa menghindarkan semua serangan itu. Bah-
kan dia menghantam mereka satu per satu den-
gan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.
Namun keempat orang itu yang telah bersum-
pah menjadi nekat.
Meskipun dia sudah tahu nama besar Madewa
Gumilang, mereka tidak perduli.
Kenekatan itu membuat Madewa menjadi jeng-
kel. Kali ini dia pun bergerak dengan Pukulan
Tembok Menghalau Badai. Karena dia tahu orang
orang ini hanya terikat oleh sumpah, membuat-
nya jadi enggan untuk menurunkan tangan telen-
gas. Lagipula dia tahu, orang-orang ini hanya
membantu, Barong Seta.
Tetapi hal itu bukanlah membuat keempatnya
menjadi keder. Malah mereka nekat seakan men-
gadu nyawa.
Dan sulit untuk Madewa menghindari semua-
nya.
Sementara itu Barong Seta tengah melancar-
kan kembali pukulannya pada Mawar. Namun
Ratih Ningrum menghalanginya. Hingga keduanya
terlibat pertempuran yang amat hebat.
Madewa sendiri lama-lama merasa bisa kewa-
lahan menghadapi orang-orang ini. Lalu dia pun
bergerak dengan cepat dan memukul pingsan
keempatnya.
Sedangkan Ratih Ningrum tengah berjuang ke-
ras untuk menghindari dan membalas serangan-
serangan yang dilancarkan oleh Barong Seta.
Mendadak saja pemuda yang bertelanjang dada
itu bersalto seraya mengeluarkan Pukulan Sam-
bar Nyawanya. Hal ini membuat Ratih Ningrum
harus bergulingan menghindar. Dan tanpa didu-
ganya Barong Seta melancarkan pukulannya ke
arah Mawar. Maka tanpa ampun lagi wanita itu
pun tewas dalam keadaan yang mengerikan ter-
kena pukulan Sambar Nyawa.
"Barong!" seru Madewa melihat tangan telengas
yang diturunkan Barong Seta.
Bagai tengah dirasuki iblis Barong Seta terke
keh. "Mau apa kau, Madewa? Aku akan membu-
nuh siapa saja yang berani menantang ku dan
menghalangiku?!"
"Sadarlah, Barong..."
"Persetan dengan kata-katamu! Mampuslah
kau, Madewa!" seru Barong Seta seraya menye-
rang dengan Pukulan Sambar Nyawanya. Madewa
tahu pukulan itu amat berbahaya, pukulan pa-
mungkas milik si Bongkok Bergigi Emas.
Maka dia pun menghindarinya dengan cepat
dan hebat pula.
Namun Barong Seta tak mau kalau dia dijadi-
kan bulan-bulannya menghindar Madewa. Maka
dia pun mempercepat gerakannya.
Madewa dapat merasakan betapa hebatnya an-
gin yang ditimbulkan oleh pukulan yang sedang
dilancarkan Barong Seta. Dia pun dapat menduga
pukulan sakti yang hebat itu akan mampu menja-
tuhkannya.
Tak ada jalan lain untuk menghentikan Barong
Seta kecuali menghadapinya. Tiba-tiba dia bersal-
to ke belakang. Saat bersalto itu dia merangkum
kedua tangannya. Dan terlihat asap putih yang
mengepul dari kedua tangan itu. Pukulan Bayan-
gan Sukma.
"Sadarlah, Barong..."
"Perduli setan dengan ucapanmu, Madewa!
Mampuslah kau!"
Sambil memekik keras Barong Seta. Memang
tak ada jalan lain, Madewa mendesah pilu dalam
hati.
Dan tak ada jalan lain lagi. Maka dia pun me-
mapaki pukulan yang dilancarkan Barong Seta
dengan Pukulan Bayangan Sukma.
Terjadi ledakan keras ketika kedua pukulan itu
berbenturan.
"DUAAAR!"
Debu-debu berterbangan. Pekikan orang-orang
yang menonton terdengar. Satu sosok tubuh ter-
pental dari kepulan debu itu dan ambruk dengan
tubuh hancur.
Ketika debu itu menipis terlihat tubuh Madewa
Gumilang yang berdiri tegak. Kepiluan terlihat je-
las di wajahnya. Betapa pilunya dia menyaksikan
kematian Barong Seta.
Memang tak ada jalan lain.
"Maafkan aku, Barong..." desisnya pada angin.
Hatinya makin pilu.
Hati-hati Ningrum mendekati suaminya yang
tertunduk.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar