..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE SUMPAH JAGO JAGO BAYARAN

Sumpah Jago Jago Bayaran


SUMPAH JAGO-JAGO BAYARAN

Oleh Fahri Asiza

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Gambar oleh: Jesco Setting

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang 

mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Sumpah Jago-Jago Bayaran


SATU


Malam telah larut. Suasana hutan jati itu 

sungguh amat menyeramkan. Bulan yang tengah 

bersinar, tak sampai menyinari tanah di sekeliling 

hutan jati yang luas itu. Sinarnya hanya bisa me-

nyinari pucuk-pucuk pohon jati saja.

Suara binatang malam terdengar ramai. Dan di

kejauhan terdengar srigala yang menakutkan. 

Dan suasana yang senyap dan menyeramkan itu 

tiba-tiba diganti oleh derap langkah kuda yang 

cepat. Debu-debu pun berterbangan. Nampak se-

buah kereta kuda tengah melarikan diri dengan 

kencang. Saisnya begitu tegang dan tergesa-gesa 

mengendalikan kekang kudanya. Cambuknya 

berkali-kali dia lontarkan kepada empat ekor ku-

da yang saling berhubungan untuk berlari dengan 

cepat.

"Hiyaaa! Hiyaaa!"

Di dalam kereta kuda nampak tiga sosok tubuh 

sedang meringkuk dengan ketakutan. Sosok tu-

buh itu adalah Bupati Seda Arya dan istrinya Ro-

ro Santika yang sedang mendekap putra mereka 

Barong Seta.

Bocah itu baru berusia tujuh tahun. Dan wa-

jahnya begitu pucat sekali. Sebenarnya wajah pu-

cat itu tidak seperti apa yang tengah merisaukan 

hati kedua orang-tuanya hingga wajah mereka itu 

pucat pula.

Wajah pucat Barong Seta dikarenakan dia su-

dah terlalu letih dan lapar. Karena sudah dua ha


ri dua malam kereta kuda itu terus berlari tanpa 

berhenti sejenak pun.

Sedangkan yang menyebabkan wajah pucat

Seda Arya dan istrinya, disebabkan saat ini mere-

ka tengah dikejar oleh empat orang laki-laki ber-

wajah ganas.

Sebenarnya Seda Arya tidak mengenal para 

pengejarnya itu.

Namun empat hari yang lalu, tiba-tiba saja de-

sanya didatangi oleh orang-orang itu. Dan tanpa 

mengenal ampun mendadak saja orang-orang itu 

menyerang, membakar dan membunuh seisi de-

sanya.

Sudah tentu Seda Arya tidak menerima semua 

perlakukan itu. Dia pun mulai memimpin anak 

buahnya ketika keesokan harinya orang-orang itu 

datang kembali.

Namun semua perlawanannya sia-sia belaka. 

Akhirnya dia pun nekat untuk melarikan diri ber-

sama keluarganya.

Sampai saat ini Seda Arya belum mengetahui 

maksud apa dari orang-orang itu. Mereka hanya 

menurunkan tangan telengas tanpa banyak bica-

ra.

Meskipun dia tidak tahu maksud dari orang-

orang itu membuat onar, tetapi Seda Arya tidak 

mau kalau keluarganya ikut terbantai. Makanya 

dia pun melarikan diri.

Kini wajah laki-laki setengah baya itu menjadi 

tegang. Karena orang-orang itu terus mengejar 

mereka.


Diliriknya istrinya yang nampak begitu letih 

mendekap putra mereka. Ah, ada perasaan bersa-

lah di hati Seda Arya melihat keadaan ini. Namun 

dia pun tidak tahu mengapa peristiwa yang men-

gerikan itu bisa terjadi.

Dilihatnya kalau sepasang mata istrinya yang 

begitu letih dan bersinar redup menatapnya.

Kembali perasaan bersalah di hati Seda Arya 

semakin menjadi-jadi.

"Kakang..."

"Ya, Rayi?" Seda Arya menelan ludahnya. Sua-

ra itu begitu lemah dan tak bergairah.

"Sampai kapan semua ini akan berakhir..."

Seda Arya mendesah.

"Aku tidak tahu, Rayi..."

"Mengapa orang-orang ganas itu menyerang ki-

ta, Kakang? Kenapa?"

"Entahlah Rayi... Aku sendiri pun tidak tahu. 

Mereka adalah orang-orang yang ganas dan ke-

jam. Belum lagi perempuan yang mengenakan ca-

dar merah itu. Dia begitu telengas menurunkan 

tangan."

"Tetapi mengapa mereka menyerang kita, Ka-

kang?" tanya Roro Santika yang masih belum juga 

mengerti mengapa tiba-tiba saja musibah ini da-

tang melanda mereka. Dan dia tak pernah tahu 

mengapa dan sebab apa orang-orang ganas itu 

menurunkan tangan kejam mereka.

Kembali Seda Arya mendesah.

"Aku tidak tahu, Rayi... Demi nama agung Gus-

ti Allah, aku sama sekali tidak tahu..." sahutnya


dengan suara yang lebih meyakinkan.

Seda Arya dapat menyadari kalau istrinya tidak 

menerima kenyataan yang sedang terjadi ini. Dan 

baginya ini merupakan sebuah kesalahan. Namun 

dia sendiri tidak tahu kesalahan apa. Karena dia 

tidak tahu maksud apa orang-orang itu hendak 

membunuh mereka.

"Kakang..." didengarnya lagi suara istrinya 

yang seperti desahan belaka.

"Ya, Rayi..."

"Apakah kau tidak memikirkan nasib putra ki-

ta, Barong Seta? Dia seharusnya dapat menikmati 

masa kanak-kanaknya dengan bahagia, Kakang... 

Bukan seperti hal yang tengah kita alami ini. Dia 

diharuskan menghadapi satu persoalan yang 

amat mengerikan. Yang kita tidak tahu apa yang 

sedang terjadi sesungguhnya. Kakang... aku kua-

tir, nasib kita tak beda dengan para penduduk 

yang lain yang telah menemui ajal karena diban-

tai orang-orang itu..."

Seda Arya kembali mendesah.

Dia pun sebenarnya tak ingin semua ini terjadi. 

Namun kejadian ini memang ternyata telah terja-

di. Dan ini merupakan suatu kenyataan yang 

amat pahit. Yang amat menakutkannya.

Dia pun tak mau bila putra mereka tak pernah 

sempat merasakan kehidupan dan dunia anak-

anak yang menggembirakan. Tetapi apa yang ha-

rus dilakukannya sekarang?

Disingkapnya tirai jendela. Dan pandangannya 

diedarkannya pada sekelilingnya sementara kere


ta kuda ini berlari dengan cepat. Sekelilingnya ge-

lap. Sama gelapnya dengan sebab apa orang-

orang menyerang mereka.

Sekelilingnya menyeramkan. Sama menyeram-

kannya dengan apa yang dibayangkan bila mere-

ka dapat ditangkap oleh para pengejar itu.

Lalu dibukanya tirai depan kereta kuda itu.

Dia melihat Moro, sais kudanya yang telah 

hampir sepuluh tahun mengabdi padanya dan 

begitu setia menjalankan tugasnya, masih terus 

memacu lari kereta kuda itu.

Seda Arya memang tak meragukan lagi akan 

kesetiaan Moro. Laki-laki yang usianya kira-kira 

sama dengannya. Mungkin hanya nasiblah yang 

membuat keadaan mereka berbeda.

"Moro..."

"Ya, Tuan!" sahut Moro sambil terus melarikan 

kereta kuda itu dengan segala kecekatannya da-

lam mengendalikan dan mengendarai kereta kuda 

itu.

"Apakah kau letih?"

"Tidak, Tuan!"

Seda Arya mendesah. Dia dapat merasakan ke-

letihannya. Dan dia pun dapat merasakan keleti-

han Moro yang dua hari dua malam mengendali-

kan kereta kuda itu.

Namun mendengar jawaban dari saisnya yang 

setia, membuatnya menjadi pilu dan terharu. 

Saisnya itu seolah tidak mau diketahui olehnya 

kalau dia tentunya teramat lelah.

"Apakah desa yang kita tuju masih jauh?"


"Masih jauh, Tuan! Sehari lagi kita baru tiba di 

sana."

"Sehari lagi?" desah Seda Arya dalam hati. Itu 

berarti masih memberikan kesempatan yang cu-

kup banyak untuk orang-orang itu mendapati 

mereka.

Dan ini membuat hati Seda Arya semakin tidak 

tenang.

Lalu tanyanya lagi pada Moro, "Kau masih 

sanggup mengendarai kereta kuda ini, Moro?"

"Masih, Tuan."

"Biar aku gantikan saja dulu! Kau beristirahat!" 

kata Seda Arya sembari hendak keluar ke depan.

Tetapi Moro berkata, "Lebih baik Tuan berada 

di dalam. Biarkan saya saja yang mengendalikan 

semua ini. Saya berharap, semua ini akan ber-

langsung dengan wajar dan baik. Tanpa ada ha-

langan sedikit pun!"

Mendengar kata-kata Moro itu, Seda Arya 

urung untuk ke depan. Dia kembali lagi pada 

tempatnya.

Kereta kuda itu terus berlari dengan kencang. 

Berkali-kali hampir terbalik karena terantuk batu 

atau pun dahan kayu yang kering tergeletak di 

tanah.

Namun semua itu dapat teratasi berkat keceka-

tan Moro mengendalikan dan mengendarai kereta 

kuda itu.

Biar pun begitu, hatinya sebenarnya tak kalah 

tegang dengan hati tuannya. Moro berusaha un-

tuk menyembunyikan ketegangannya.


Padahal tubuhnya sudah letih sekali.

Kedua tangannya sepertinya sudah sukar un-

tuk digerakkan. Namun dia tak mau menampak-

kan semua itu pada majikannya. Dia adalah seo-

rang abdi yang amat setia.

Bahkan Moro pun rela bila dia harus mengor-

bankan nyawanya untuk menyelamatkan nyawa 

tuannya.

Moro masih terus melarikan kudanya dengan 

kencang. Dan dia tak perduli lagi dengan segala 

batu atau pun dahan yang kadang merintangi ja-

lan mereka.

Roro Santika yang tengah mendekap putranya 

menatap suaminya. Dia pun dapat melihat dan 

membaca ketegangan yang terpancar dari mata 

dan wajah suaminya.

Mendadak saja dia menjadi menyesal karena 

tadi seperti mendesak dan menyalahi suaminya 

hingga semua ini terjadi. Dan itu bukanlah sifat-

nya sebenarnya. Dia tak pernah melakukan hal 

ini sebelumnya.

"Kakang.." panggilnya.

Seda Arya yang sedang terdiam tergagap. Dan 

buru-buru dia menoleh.

"Ya, Rayi..."

"Maafkan saya tadi, Kakang... Saya menyalahi 

Kakang mengapa semua ini terjadi..."

Seda Arya tersenyum. "Tidak apa-apa, Rayi... 

Aku pun menyesali mengapa semua ini bisa terja-

di. Dan ini merupakan sebuah malapetaka yang 

diturunkan oleh gusti Allah kepada kita, Rayi...



Jadi... kuminta, kita harus sabar dan tawakal 

menghadapi semua cobaan ini..."

Roro Santika tersenyum.

Dan Seda Arya dapat merasakan kesejukan 

yang mengaliri seluruh tubuhnya melihat senyum 

itu. Ah, istrinya pun masih begitu setia padanya 

walaupun keadaan sudah amat menyulitkan. Dan 

kadang terasa begitu mengerikan.

Karena Seda Arya tahu, bila orang-orang yang 

mengejar itu dapat mencapai mereka, mungkin 

nyawa sebagai taruhannya.

Dan hati Roro Santika pun menjadi tenang 

kembali. Sebagai seorang istri yang amat setia, 

dia pun kembali merasakan ketenangan jiwanya.

Dan kini dia tidak menyesali lagi kata-katanya 

yang seakan mendesak suaminya tadi.

Hati-hati pula dipegangnya tangan suaminya 

seraya berkata.

"Kita akan menghadapi semua ini dengan hati 

tabah dan bersama-sama bukan, Kakang?"

Sedang Arya mengangguk.

"Benar, Rayi. Kita tak akan pernah terpisah 

walaupun kita dihadapi oleh lautan api."

"Aku akan selalu menemanimu, Kakang. Da-

lam suka mau pun duka," kata Roro Santika setu-

lus hati.

Seda Arya tersenyum.

"Kau adalah istriku yang amat setia, Rayi.. Aku 

amat mencintaimu, Rayi..."

"Begitu pula aku, Kakang..."

Kedua tangan mereka saling genggam lagi.


Lebih erat.

Masing-masing seakan mengalirkan rasa kasih 

dan cinta melalui kedua tangan masing-masing.

Inilah cinta sejati. Cinta yang tak pernah takut 

dengan resiko apa pun. Cinta yang tidak mengan-

dalkan nafsu semata. Cinta yang datang dalam 

lubuk hati mereka.

Cinta yang tak pernah hanya menginginkan bi-

la sedang ada rasa senang dan bahagia. Namun 

bila datang rasa kecewa dan duka, akan hilang 

rasa cintanya. Tidak, itu bukan cinta sejati. Itu 

cinta nafsu semata. Nafsu bisa bermacam bentuk 

dan ragamnya.

Bila cinta dilandasi nafsu birahi pun maka cin-

ta seperti itu tak akan pernah abadi.

Tiba-tiba keduanya tersentak.

Terdengar ringkikan kuda yang amat keras.

Dan mereka merasakan kalau kereta kuda 

agak oleng sedikit.

Dan setelah dirasakan kembali pada keseim-

bangannya, kereta kuda itu telah berhenti.

Seda Arya sigap menyingkap tirai kereta kuda 

bagian depan.

Dan dia berseru keras, "Moro, apa yang telah 

terjadi? Mengapa berhenti?!"

Tetapi Seda Arya tak perlu lagi mendengarkan 

jawaban Moro. Karena dia sudah melihat dengan 

jelas, di depannya telah berdiri lima ekor kuda.

Dan para penunggangnya adalah empat laki-

laki berwajah seram itu. Dan seorang wanita yang 

mengenakan cadar berwarna merah!


Mereka seperti malaikat pencabut nyawa yang 

tengah siap menjalankan tugasnya!

***

DUA



Seda Arya tercekat melihat itu. Bagaimana me-

reka telah bisa berada di hadapannya? Pantas se-

jak tadi dia tidak melihat tanda-tanda para penge-

jarnya telah kelihatan. Rupanya mereka memo-

tong jalan untuk mencegat mereka.

Seda Arya kembali masuk ke dalam kereta ku-

da itu.

Lalu tergesa-gesa dia berkata pada istrinya, 

"Rayi..."

Roro Santika dapat melihat kalau sepasang 

mata suaminya telah bicara dan menjelaskan se-

muanya.

"Orang-orang itu mencegat kita, Kakang?"

"Benar, Rayi... Kini tak ada jalan lain untuk ki-

ta meloloskan diri. Dan aku tak mau ini pun me-

nimpa kau dengan Barong Seta."

"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Roro Santika 

yang dapat merasakan ada sesuatu di balik kata-

kata suaminya.

Seda Arya mendesah. Kini waktunya menipis 

sekali.

"Rayi... aku akan menghadapi orang-orang 

itu..."

"Tetapi, Kakang..."


"Tidak ada tetapi lagi, Rayi. Sekarang kau den-

garlah kata-kataku ini. Dan kuminta jangan 

membantah. Tak ada jalan lain lagi, Rayi. Nah, 

kau dengarlah dan kau patuhi semua kata-

kataku ini. Sementara aku menghadapi orang-

orang itu, kau keluar dan larilah melalui pintu be-

lakang kereta kuda ini. Ajak dan bawa Barong Se-

ta berlari. Selamatkan dia, Rayi.. Bila sudah tiba 

saatnya, ceritakanlah semua ini padanya. Dan 

kuminta, Barong Seta untuk membalaskan semua 

dendam yang telah kita alami ini, Rayi..."

"Tapi, Kakang..." potong Roro Santika. Namun 

sebelum dia berkata suaminya sudah terlebih du-

lu memotong lagi.

"Sudah kubilang tadi, jangan membantah. Ba-

wa pergi Barong Seta sekarang, Rayi. Cepat. Kita 

tak punya banyak waktu!"

"Kakang... aku tak bisa membiarkanmu sendiri 

saja disini..."

"Ada Moro yang akan menemaniku. Dan juga 

dua bilah pedang ini, Rayi..."

"Aku kuatir akan nasibmu, Kakang..."

"Bila Gusti Allah masih mengizinkan kita ber-

temu, pasti kita akan bertemu. Nah, pergilah, 

Rayi..."

"Kakang..." kata Roro Santika yang masih bin-

gung dan kuatir.

"Ingat Rayi... kita tak punya banyak waktu lagi. 

Dan siapa yang akan membalaskan semua ini 

nanti, bila kau dan Barong Seta juga ikut terbu-

nuh? Mengertilah akan semua keadaan ini Rayi...


Kita tak punya banyak waktu lagi..." kata Seda 

Arya meyakinkan. Lalu dia melepaskan kalung 

yang dipakainya. Dan dipakaikan kepada Barong 

Seta yang terlelap. Lalu dia mengecup pipi bocah 

itu. "Bila nanti kau sudah mengetahui semua ini, 

bersumpahlah untuk membalaskan dendam hati-

ku ini, Anakku..." Lalu dia berpaling lagi pada is-

trinya. "Nah, pergilah Rayi..."

"Seda Arya! Cepat kau keluar!" terdengar ben-

takan bernada keras.

Ini membuat Seda Arya semakin tegang karena 

istrinya masih belum juga mau menuruti kata-

katanya.

"Rayi... pergilah, kita tidak punya banyak wak-

tu lagi! Ayolah, Rayi..."

"Kakang..." desis Roro Santika bagai desahan 

belaka. "Maafkan aku..."

"Aku yang seharusnya meminta maaf padamu, 

Rayi... Nah, pergilah.."

Di luar kembali terdengar bentakan yang keras.

"Seda Arya... bila kau tidak keluar dalam hi-

tungan ketiga, akan kami bakar hangus kereta 

kuda itu..."

"Kau dengar itu, Rayi?" kata Seda Arya pada is-

trinya. "Ayo. jangan membuang waktu lagi..."

Lalu dengan hati berat dan pilu, Roro Santika 

menggendong putranya. Dibantu oleh suaminya, 

dia turun melalui pintu belakang kereta kuda itu 

dengan hati-hati.

Masih ditatapnya dulu suaminya sebelum dia 

melangkahkan kaki untuk melarikan diri.

"Larilah, Rayi... larilah yang jauh...," kata Seda 

Arya.

Roro Santika terisak.

"Aku cinta padamu, Kakang..."

"Aku pun cinta padamu, Rayi..."

Lalu tubuh wanita yang menggendong anaknya 

itu pun berlari.

Terus berlari mencoba menjauhi tempat itu. 

Malam begitu pekat sekali.

Sesudah istrinya lenyap dari pandangan, Seda 

Arya mengambil dua bilah pedang yang ada di ke-

reta kudanya.

Lalu dia keluar bersamaan bentakan yang ter-

dengar lagi.

"Hahaha... rupanya kau masih punya nyali ju-

ga, Seda Arya! Nah, membunuh dirilah kau seka-

rang!" seru salah seorang laki-laki yang berwajah 

seram. Dia mengenakan kalung tengkorak. Den-

gan rompi yang berwarna hitam. Di lengannya 

ada cap gambar tengkorak pula.

Seda Arya melompat dari kereta kudanya den-

gan gagah. Kini dia berhadapan dengan orang-

orang itu.

"Hhh! Orang-orang biadab!" bentak Seda Arya.

Laki-laki yang mengenakan kalung tengkorak 

itu kembali terbahak.

"Hahaha... kami memang orang-orang biadab! 

Dan orang-orang biadab ini sebentar lagi akan 

mencabut nyawamu, Seda Arya!"

"Hhh! Sampai sejauh ini kalian belum menga-

takan mengapa kalian mengganggu ketenangan


kami, hah?!"

"Agaknya kau amat begitu penasaran dengan 

sebab-sebab itu, Seda Arya!"

"Bagaimana tidak? Aku mengenal kalian pun 

belum! Dan mendadak saja kalian telah membuat 

onar dan menurunkan tangan telengas!"

"Bila kau penasaran, baiklah... aku akan mem-

beritahukannya padamu, Seda Arya... Hhh! Per-

nah kau mengingat akan satu peristiwa tiga belas 

tahun yang lalu, di mana kau menggauli seorang 

gadis hingga gadis itu hamil lalu kau meninggal-

kannya? Ingatkah kau akan peristiwa itu?"

Seda Arya tercenung.

Dan perlahan-lahan peristiwa tiga belas tahun 

yang lalu terbayang lagi. Sebelum dia menjadi 

bupati, dia adalah seorang pemuda yang gagah 

perkasa. Banyak para gadis yang mencintainya. 

Namun tak seorang pun dari gadis-gadis itu yang 

mendapatkan cintanya atau pun disambut cin-

tanya.

Dari kesekian gadis yang mencintanya ada seo-

rang gadis yang bernama Mawar. Gadis itu begitu 

mencintainya. Dan amat mendambakannya. Na-

mun sayang, Mawar pun harus menerima sakit 

hatinya karena Seda Arya tidak menyambut cin-

tanya.

Tetapi hal itu bukannya malah menyurutkan 

kemauan Mawar.

Dia sudah terlanjur mencintai pemuda itu. 

Maka pada suatu malam, dia mengundang Seda 

Arya ke rumahnya.


Seda Arya yang belum tahu maksud busuk dari 

gadis itu, hanya menurut saja. Dan meminum air 

yang telah dimasukkan obat perangsang oleh 

Mawar.

Dan semuanya pun terjadi.

Dalam keadaan birahi yang mendadak saja 

timbul, Seda Arya menggauli gadis itu. Setelah dia 

sadar, barulah dia tahu kalau dirinya tengah dije-

bak oleh Mawar.

Dan dia tak pernah lagi datang ke rumah itu. 

Bahkan Seda Arya pun meninggalkan desanya la-

lu mengabdi di tumenggungan. Dari sanalah dia 

bisa diangkat sebagai bupati dan mencintai seo-

rang gadis yang bernama Roro Santika hingga 

mempunyai seorang putra.

Masalah Mawar dia sudah tidak ambil perduli 

lagi. Bahkan dia tidak pernah tahu lagi akan na-

sib Mawar.

Dan kini setelah tiga belas tahun berlalu, ter-

nyata ada yang datang untuk membalaskan sakit 

hati Mawar.

Seda Arya menatap kelima manusia itu.

"Hhhh! Rupanya kalian datang salah alamat 

padaku! Kalian tahu apa yang telah terjadi se-

sungguhnya, bukan? Gadis yang bernama Mawar 

itulah yang menjebakku hingga aku terlena. Ka-

rena minuman yang disuguhkannya telah dibu-

buhinya obat perangsang!"

"Tetapi kau tidak bertanggung jawab setelah 

itu, Hah!"

"Apanya yang harus kupertanggung-jawabkan?


Aku dalam keadaan terpengaruh obat perang-

sang!"

"Dan gadis itu terlunta-lunta selama hidupnya! 

Putranya meninggal saat berusia satu tahun. Lalu 

gadis itu pun menjadi setengah gila. Untunglah 

aku dan ketiga kawanku ini menemukannya. Dan 

dia kami angkat sebagai murid!"

"Oh!" Seda Arya tercekat. Sebagai murid? Kalau 

begitu, tentunya gadis bernama Mawar itu masih 

hidup? Tapi di mana? Di manakah dia?

"Kau terkejut mendengarnya, bukan? Dan kau 

akan terkejut lagi bila mengetahui kalau gadis itu 

ada di dekatmu saat ini!"

Ada di dekatnya? Dada Seda Arya berdebar ke-

ras. Oh, di mana dia? Di mana?

"Di mana gadis itu?!" bentaknya. "Sungguh ti-

dak tahu malu dia, masih mau meminta pertang-

gung-jawabanku padahal dia sendiri yang menje-

bakku!"

Orang itu tertawa.

"Hahaha.. sekarang dia sudah tidak sudi lagi 

menjadi istrimu. Tak pernah lagi. Kini dia datang 

untuk mencabut nyawamu!" kata orang itu. Dan 

tiba-tiba berbalik pada wanita yang mengenakan 

pakaian berwarna merah dan bercadar merah. 

"Bukankah itu yang kau inginkan sekarang, Ma-

war?"

Seda Arya tersentak. Mawar? Wanita yang ber-

cadar merah itu Mawar?

Tiba-tiba dia mendengar suara yang dingin dari 

balik cadar itu, "Seda Arya.. aku memang datang


untuk membalas semua sakit hatiku! Dan aku 

datang tidak lagi meminta pertanggung-

jawabanmu! Tetapi meminta nyawamu!"

Seda Arya tercekat. Suara itu... ya, ya... suara 

Mawar! Tetapi terdengar dingin dan menebarkan 

hawa mengerikan.

Namun Seda Arya bukanlah laki-laki penakut. 

Apalagi merasa tidak bersalah karena dia yang di-

jebak oleh gadis itu.

"Tak kusangka peristiwa lalu yang kau buat 

sendiri kini malah menjeratmu! Mawar... sadar-

kah kau kalau semua yang kau lakukan itu kare-

na ulahmu sendiri?!"

"Persetan dengan semua yang kau katakan!" 

bentak wanita bercadar merah itu yang tak lain 

Mawar, gadis yang tiga belas tahun lalu menjebak 

Seda Arya.

"Lalu apa yang kau inginkan sekarang, hah?!"

"Bodoh! Masih banyak tanya pula kau, Seda 

Arya! Aku datang sudah tentu ingin mencabut 

nyawamu!" bentak Mawar dengan marah. Di balik 

cadar merahnya terlihat wajah yang begitu geram 

dan mendendam pada laki-laki yang menolak cin-

tanya.

Dulu Mawar berpikir, bila dia sudah berhasil 

menjerat laki-laki itu dengan jalan menggaulinya 

maka dia akan bisa mendapatkannya. Namun 

dugaannya salah besar karena laki-laki itu justru 

menjadi semakin muak padanya.

Namun malam ini, malam yang menjelang pagi, 

dia tak perduli lagi akan semua cinta! Yang diin


ginkannya hanyalah nyawa laki-laki yang telah 

membuatnya menjadi terlunta-lunta.

Mawar beruntung karena bertemu dengan em-

pat laki-laki yang kemudian menjadi gurunya. 

Meskipun dia harus mau digilir oleh empat laki-

laki itu setiap malam.

Seda Arya mendengus.

"Kau bunuh aku pun percuma, Mawar! Karena 

kau tetap tak akan mendapatkan cintamu!"

"Hhh! Kau salah duga, Seda Arya. Kau yang 

akan mengemis cintaku! Dan kau akan mampus 

di tanganku! Seperti laki-laki goblok yang menco-

ba menyerang kami itu dengan pecutnya!"

Seda Arya seketika menengok ke arah yang di-

tunjuk Mawar.

Dan dia terkejut melihat sosok tubuh Moro te-

lah menjadi mayat dengan luka yang dalam di ba-

gian dadanya.

"Moro!" serunya dan berlari menghampiri.

Mawar terkikik.

"Hihihi.. nasibmu pun tak akan berbeda den-

gan laki-laki goblok itu, Seda Arya!"

Tiba-tiba Seda Arya berbalik. Sepasang ma-

tanya menatap marah dan beringas.

"Sungguh kejam kau, Mawar!"

"Dan kau akan melihat lagi kekejamanku nan-

ti, Seda Arya! Sebagai pengobat rasa lukaku yang 

begitu dalam yang kau buat tiga belas tahun yang 

lalu!"

"Tetapi itu semua karena perlakuanmu sendiri, 

Mawar! Kau sendiri yang menjebakku untuk berbuat demikian! Kau sendiri yang membubuhkan 

obat perangsang di dalam minuman yang kau su-

guhkan padaku!"

"Perduli setan dengan semua ucapanmu itu, 

Seda Arya! Nah, kini ajal telah siap untuk men-

jemputmu! Maafkan bila aku menurunkan tangan 

telengas padamu!"

"Hhh! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu, 

Mawar?! Sejengkal pun aku tak akan mundur da-

ri hadapanmu! Sampai kapan pun juga!" seru Se-

da Arya dengan suara gagah dan bersiap dengan 

sepasang pedang di tangannya.

"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana kebe-

naran ucapanmu itu, Seda Arya!" seru Mawar 

sambil bersiap pula untuk menyerang.

Terdengar suara laki-laki yang berwajah seram 

tadi.

"Tolong... jangan terlalu telengas kau menu-

runkan tangan, Mawar!"

"Kenapa, Guru?" tanya Mawar pada gurunya 

yang bernama Ki Tunggang Rekso. Dia bergelar si 

Tangan Tengkorak.

"Hahaha.. rupanya muridku telah menjadi bo-

doh karena terlalu bernafsu untuk membunuh! 

Kita akan menyiksanya nanti, Mawar!"

Mawar mengangguk.

"Kalau itu maunya Guru, baiklah!" desisnya. 

Lalu dia berkata pada Seda Arya, "Nah, kau ber-

siaplah untuk segera mampus, Seda Arya!" seru 

gadis itu seraya menyerbu dengan dua tangan 

yang seperti hendak mencekik.

***


DUA


Seda Arya yang sudah bersiap sejak tadi pun 

segera melompat maju memapaki dengan sepa-

sang pedangnya. Serangannya pun hebat dan ce-

pat.

Penuh tenaga.

Ketika keduanya hampir berbenturan, dengan 

satu gerakan yang amat cepat Mawar menarik pu-

lang tangannya dan melenting ke atas.

Dan dengan satu gerakan yang hebat pula di-

perlihatkan oleh Mawar. Masih melenting ke atas 

dia mengirimkan satu pukulan ke kepala Seda 

Arya.

Namun laki-laki itu pun memperlihatkan ke-

tangguhannya pula.

Tiba-tiba saja dia berguling ke tanah.

"Hebat! Ternyata kau masih begitu hebat, Seda 

Arya!" desis Mawar sambil berguling pula ketika 

dia telah hinggap di tanah. Tubuhnya bergulingan 

mengejar Seda Arya.

Seda Arya sendiri terkejut melihat kelincahan 

yang diperlihatkan Mawar. Namun dia sadar ka-

rena gadis ini telah digembleng oleh empat orang 

guru yang tentunya amat sakti. Dan sudah tentu 

pula kesaktian Mawar berlipat ganda karena dia 

menguasai empat ilmu yang dipegang oleh keem-

pat laki-laki menyeramkan itu.

Dia bukanlah seorang gadis tiga belas tahun


yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang gadis 

yang dipenuhi oleh dendam yang amat sangat.

Seda Arya menggerakkan tubuhnya dengan ja-

lan menumpu pada kedua tangannya dan melom-

pat berbalik ke kiri. Serangan dari Mawar pun lu-

put.

Hal itu membuat Mawar menjadi murka.

Tiba-tiba dia bersalto dari bergulingnya dan 

hingga di tanah. Seda Arya pun berbuat yang sa-

ma.

Baginya tak ada jalan lain lagi untuk melo-

loskan diri. Kini dia diharuskan untuk memper-

tahankan diri dengan sekuat tenaga. Penuh perhi-

tungan dan ketangguhan yang amat luar biasa.

"Seda Arya.. sepertinya kau memang masih se-

perti Seda Arya yang dulu. Yang hebat dan gagah. 

Cuma sayang., kehebatan dan ketangguhanmu 

itu hanya bersifat sementara saja!" bentak Mawar 

dengan geram.

"Mawar... hidup dan mati ada di tanah Tuhan! 

Dan agaknya kau melupakan masalah itu! Ingat 

Mawar., semua perbuatan kotormu ini diketahui 

oleh Tuhan! Dan bila Tuhan menakdirkan aku 

mati malam ini, maka aku pun pasti akan mati! 

Bukan oleh tanganmu yang kotor itu! Tetapi se-

mua ini takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Bila 

Tuhan masih mengizinkan aku hidup, dengan ca-

ra apapun yang akan kau lakukan untuk mem-

bunuhku, tidak mustahil akan gagal dan sia-sia 

belaka!" seru Seda Arya dengan suara lantang dan 

gagah.


Kata-katanya itu membuat wajah Mawar me-

merah.

"Bangsat kau, Seda Arya! Tetapi aku yakin, 

malam ini Tuhan akan menakdirkanmu mati di 

tanganku! Nah, tahan serangan!" sehabis berkata 

begitu Mawar kembali menerjang.

Kali ini serangannya begitu cepat.

Buas.

Kejam.

Dan berbahaya.

Kedua tangannya membentuk cakar yang ta-

jam. Dan kedua tangannya berkelebat dengan ce-

pat ke sana kemari mengarah pada bagian-bagian 

tubuh berbahaya dari Seda Arya.

Seda Arya pun mengimbanginya dengan sepa-

sang pedangnya. Dia pun tak mau nyawanya di-

cabut Mawar dengan percuma. Maka dia kembali 

meningkatkan serangan-serangannya.

Lima jurus berlalu.

Dan pada jurus berikutnya, Mawar menggeram 

hebat. Dan serangannya tiba-tiba bertambah ce-

pat. Dengan satu tepisan tangan kanannya, terle-

paslah pedang di tangan kiri Seda Arya.

"Hihihi.. kini pedangmu yang sebelah kiri, Seda 

Arya! Dan sekarang yang sebelah kanan! Berikut 

nyawamu sendiri!" bentak Mawar sambil menye-

rang kembali.

Dengan satu pedang di tangan kanannya, 

membuat Seda Arya menjadi kewalahan. Sebi-

sanya dia mencoba menahan serangan-serangan 

Mawar.


Dan, terlepaslah pedang di tangan kanan Seda 

Arya ketika Mawar bergerak dengan satu gerak ti-

pu yang hebat. Kedua tangannya yang berbentuk 

cakar seakan hendak menyambar pergelangan 

kaki Seda Arya. Membuat laki-laki itu melompat 

ke atas. Namun mendadak saja tubuh wanita itu 

pun melompat ke atas, mengancam kemaluan Se-

da Arya. Seda Arya mencoba menangkisnya den-

gan kibasan pedangnya.

Dan saat itulah Mawar bergerak cepat. Tangan 

kirinya mencakar pergelangan tangan kanan Seda 

Arya. Hingga membuat laki-laki itu menjerit sakit 

dan terkejut.

Pedangnya pun terlepas!

Mawar terkikik.

"Hihihi.. berikut ini nyawamu, Seda Arya!"

Seda Arya yang jelas-jelas melihat tak ada lagi 

jalan lain untuk meloloskan diri, membentak den-

gan gagah, "Buktikan ucapanmu itu, Mawar!"

"Hihihi.. agaknya kau sudah tidak sabaran se-

kali, Seda Arya! Apakah kau tidak mendengar ka-

ta-kata guruku tadi Ki Tunggang Rekso yang me-

minta padaku agar tidak membunuhmu? Ah, aku 

sebagai murid yang taat tidak akan berbuat un-

tuk melawan semua perintah guruku!"

"Lakukanlah yang diperintahkannya itu!"

"Bagus! Nyalimu memang besar sekali, Seda 

Arya!"

"Mawar., untuk apa kau banyak cakap lagi ter-

hadapnya, hah?!" bentak salah seorang dari me-

reka, yang tengah menunggu dengan tidak sabar


melihat Mawar menurunkan tangan.

Mawar menoleh pada orang yang berseru itu. 

Dia berpakaian warna hitam. Dengan celana hi-

tam yang kedombrongan. Di tangannya ada se-

buah tongkat kayu yang mirip seperti tongkat 

kayu untuk penggebuk anjing. Dia bernama Ki

Bayu Utara atau yang bergelar si Tongkat Pengge-

buk Anjing.

"Baik, Guru!" sahut Mawar.

"Cepatlah, Mawar... aku sudah tidak sabar in-

gin menyiksa manusia itu!"

"Baik, guru!" sahut Mawar pula. Patuh. Lalu 

dia berpaling pada Seda Arya. "Nah, kau dengar 

sendiri itu, Seda. Bersiaplah kau sekarang!"

"Sejak tadi aku sudah tidak sabar menung-

gunya, Mawar!" sahut Seda Arya sambil membuka 

jurusnya.

Mawar terkikik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya 

sudah melayang ke arah Seda Arya. Dengan ce-

pat.

Seda Arya memapaki.

"Des!"

Dua pukulan itu berbenturan. Tubuh Roro 

Santika terhuyung ke belakang beberapa tombak.

"Gila, tenaga dalam wanita itu rupanya tinggi 

sekali!" desisnya dalam hati.

"Hihihi... kau terkejut mengetahui betapa he-

batnya tenaga dalamku bukan, Seda?" terkikik 

Mawar.

Tetapi Seda Arya adalah laki-laki yang pembe-

rani. Dia pun merasa tak ada jalan lain selain melawan.

Maka ketika wanita itu kembali menerjang. Se-

da Arya pun bersiap dengan segala resikonya.

Kembali keduanya saling serang dengan hebat. 

Seda Arya dapat mengukur kemampuan lawan-

nya yang demikian tinggi. Dia pun sebisanya un-

tuk melayani kemauan wanita itu.

Namun pada jurus berikutnya terlihat Seda 

Arya terdesak.

Pukulan dan serangan-serangan yang dilan-

carkan oleh Mawar begitu hebat. Dan membuat-

nya menjadi kalang kabut. Berkali-kali serangan-

serangan wanita itu mengenai sasarannya. Mem-

buat Seda Arya terdesak mundur.

Dan dengan satu jeritan yang kuat, tiba-tiba 

tubuh Mawar melenting dan kembali kedua tan-

gannya membentuk cakar.

Seda Arya terkejut.

Namun sulit baginya untuk menghindari se-

rangan itu.

Sebisanya dia mencoba memapaki. Namun 

akibatnya sungguh teramat fatal.

"Des!"

Keduanya beradu tenaga. Tetapi bagi Seda Arya 

yang sudah kehilangan banyak tenaga dan terde-

sak sementara Mawar masih dalam keadaan segar 

bugar tidak menguntungkannya. Tubuhnya ter-

pental beberapa meter ketika kedua pukulan itu 

berbenturan.

Dan menabrak sebuah pohon.

"Bruak!"


Tubuh Seda Arya terpelanting jatuh dan ping-

san.

Mawar mendengus dalam-dalam.

Ki Bayu Utara terbahak.

"Bagus, Mawar! Bagus sekali!" serunya.

Mawar tersenyum puas.

"Lalu apa yang akan kita lakukan, Para guru 

sekalian!"

"Kau lihat saja nanti? Nah... sekarang kau bu-

nuhlah perempuan dan bocah yang masih berada 

di dalam kereta kuda itu! Bunuhlah mereka, Ma-

war... karena merekalah yang menjadi duri dalam 

cintamu!"

Kemarahan dan dendam Mawar menjadi sema-

kin jadi saja. Wanita bercadar merah itu pun me-

langkahkan kakinya ke kereta kuda. Lalu dengan 

sekali lompat dia telah berada di atasnya.

"Keluar kau perempuan laknat!" makinya se-

raya menyingkapkan tirai kereta kuda itu.

Tetap sungguh terkejut Mawar ketika tidak me-

lihat dua sosok yang menjadikannya amat murka. 

Dia mengacak-acak. Lalu setelah yakin kedua 

orang itu tidak ditemukannya dia menggeram 

amat marah.

Lalu tubuhnya melenting kembali keluar.

"Mereka tidak ada di dalam, Guru!"

Sadarlah orang-orang itu kalau Roro Santika 

dan putranya sudah melarikan diri.

Mereka menyesali karena mereka terlalu terpa-

ku pada Seda Arya.

"Hancurkan kereta kuda itu, Mawar!"


Maka dengan geram Mawar pun menggerakkan 

tangannya. Serangkum angin besar menderu 

menghantam kereta kuda itu.

Terdengar suara bagai ledakan.

"DUAARRR!"

Dan hancurlah kereta kuda itu, membuat 

keempat ekor kuda yang terikat di sana menjadi 

terkejut. Terdengar ringkikan mereka dan keem-

patnya pun berlarian serabutan.

Orang-orang itu terbahak.

Melihat Mawar yang masih berdiri dengan ge-

ram di dekat kereta kuda yang hancur itu, perla-

han-lahan Ki Tunggang Rekso melompat dari ku-

danya.

"Untuk apa kau menyesali lagi, Mawar? Sudah-

lah... toh perempuan dan bocah itu tak akan bisa 

bertahan lebih lama lagi untuk hidup. Biarkan dia 

mampus di hutan jati yang menyeramkan ini!" ka-

tanya sambil memegang bahu muridnya.

Mawar berpaling.

"Maafkan saya, Guru... Saya amat mendendam 

dan penasaran bila belum membunuh orang-

orang itu...."

Ki Tunggang Rekso tersenyum. Berusaha 

membujuk Mawar.

"Belum puaskah kau membunuh semua warga 

Bupati itu. Dan kau pun sekarang telah menda-

patkan Bupati Seda Arya yang tengah pingsan itu. 

Nah, mari kita kerjai dia hingga mampus!"

Matahari telah sepenggalah. Sinarnya kini me-

nerangi hutan jati itu. Dan sebagian sinarnya


menerpa wajah Seda Arya yang masih pingsan.

Tak lama kemudian sepasang mata itu pun 

mengerjap-ngerjap. Dan ketika dibuka kembali di-

tutupnya lagi karena sinar matahari yang menyi-

laukan itu.

Tiba-tiba Seda Arya merasakan sakit yang luar 

biasa di kakinya. Kembali dia membuka matanya.

Bukan main terkejutnya Seda Arya ketika me-

lihat keadaan dirinya. Tubuhnya menggantung di 

sebuah dahan pohon dengan menghadap terbalik. 

Kakinya di atas dan kepala di bawah.

Karena menahan berat tubuhnya itulah ka-

kinya yang terikat dirasakannya amat sakit.

Apa yang telah terjadi? desisnya dalam hati. 

Dan perlahan-lahan dia teringat semua kejadian 

semalam. Ah, tentunya orang-orang biadab itu 

yang telah membuatnya seperti ini.

Didengarnya suara langkah-langkah mendeka-

tinya. Seda Arya melihat empat laki-laki berwajah 

seram dan seorang wanita bercadar merah men-

dekatinya.

"Anjing buduk!" maki Seda Arya dalam hati. 

Manusia-manusia ini benar-benar kejam.

Didengarnya suara Mawar berkata, "Hahaha... 

betapa nyenyaknya kulihat tidurmu, Seda 

Arya...."

Seda Arya membuka matanya. Sepasang ma-

tanya memancarkan sinar kemarahan.

"Kau tak ubahnya iblis belaka, Mawar!"

"Ya... dan kau kini tengah berada dalam keku-

asaan iblis itu, Seda Arya!"


"Turunkan aku, Mawar! Ayo kita bertarung la-

gi!"

"Hihihi... untuk apa kau bertarung lagi den-

ganku? Bukankah kau sudah kalah, Seda Arya?"

"Turunkan aku, Mawar! Turunkan aku! Kau 

dengar apa yang kukatakan itu?!"

"Aku tidak tuli, Seda Arya!"

"Turunkan aku perempuan laknat!"

"Mengapa harus tergesa-gesa, Seda Arya? Bu-

kankah kau sudah mendengar keinginan Guruku 

semalam?"

"Hhh! Perempuan iblis!" maki Seda Arya seraya 

meludah. Dan ludahnya tepat mengenai di wajah 

Mawar.

Mawar mendelik gusar. Menghapus bekas lu-

dah itu. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak 

melayang, menampar pipi Seda Arya dengan ke-

ras.

Wajah Seda Arya memerah. Sakitnya itu bukan 

main kerasnya. Terasa sekali. Dan lebih sakit lagi 

hatinya mengingat dia tidak bisa berbuat apa-apa 

lagi.

"Bangsat kau, Seda Arya! Masih beraninya kau 

berbuat seperti ini padaku, hah?!" geram Mawar 

gusar.

"Kau bunuhpun aku tidak takut, Mawar! Aku 

lebih baik mati dari pada berada di tanganmu dan 

tangan guru-gurumu yang kejam itu!" seru Seda 

Arya.

"Hihihi... sayang, sayang sekali, Seda Arya... 

Keinginanmu itu tak akan terkabul. Karena kami


tidak menginginkan kau mati. Kami ingin me-

nyiksamu terlebih dulu! Biar kau dapat merasa-

kan kepedihan hatiku, sakit hatiku dan dendam-

ku kepadamu! Nah, katakanlah sekarang... ke-

mana istri dan anakmu itu pergi, Seda Arya?!"

Seda Arya mendengus.

"Tak pernah aku akan mengatakannya pada 

orang-orang biadab seperti kau dan guru-gurumu 

itu, Mawar!"

"Itu terserah padamu, Seda Arya! Yang pasti, 

kau nikmatilah hidangan kami berikut ini!"

Lalu Mawar mendekatinya.

Hati Seda Arya berdebar keras. Dia dapat men-

duga kalau orang-orang ini sudah akan memulai 

siksaan mereka.

Tetapi dia tidak takut. Dia tidak pernah takut 

menghadapi resiko apa pun. Dan Seda Arya me-

rasa beruntung karena istri dan anaknya telah 

melarikan diri.

Tiba-tiba dia melihat Mawar mengeluarkan se-

buah pisau kecil dari balik baju merahnya. Dan 

dengan satu gerakan yang amat cepat, dia sudah 

meraih kedua tangannya, membuat Seda Arya 

menjadi kesakitan.

"Nikmatilah permainan ini, Seda Arya!" den-

gusnya dan tiba-tiba pula dia mengembangkan ja-

ri-jemari Seda Arya. Dengan satu gerakan yang 

amat cepat, pisau bergerak, memotong jari telun-

juk Seda Arya.

Seketika terdengar lolongan yang amat menge-

rikan.


"Akhhhhhhhhhh!"

Mawar terkikik melihat Seda Arya yang kesaki-

tan.

Darah mengucur dari jari telunjuknya yang 

buntung.

"Dan akan lebih menikmati permainan ini lagi, 

Seda Arya!" desisnya.

Dengan kejam dia pun memotong jari jemari 

Seda Arya satu persatu. Lolongan keras Seda Arya 

tak diperdulikannya lagi.

Dan buntunglah kesepuluh jari tangan Seda 

Arya.

Darah semakin keras mengucur.

Seketika wajah Seda Arya menjadi pucat.

Namun siksaan yang dialaminya belum sampai 

di sana saja.

Ki Bayu Utara mengambil sebotol air dan me-

nyiramkannya pada jari-jemari yang buntung itu. 

Membuat Seda Arya merasakan perih yang amat 

sangat.

Belum lagi yang dilakukan oleh Ki Tunggang 

Rekso. Dia memukuli perut Seda Arya dengan ke-

ras.

Ki Pergola Buta, laki-laki yang sebelah mata ki-

rinya picak mengambil senjatanya sepasang trisu-

la. Dan keduanya berkali-kali dihunjamkan pada 

sekujur tubuh Seda Arya.

Perbuatan orang-orang begitu biadab. Kejam 

sekali.

Yang lebih biadab lagi apa yang dilakukan Ki 

Jalak Pancang. Laki-laki yang mengenakan sorban berwarna hitam.

Dia mengencingi wajah dan jari jemari yang 

terluka dari Seda Arya. Membuat laki-laki yang 

tergantung itu menjadi gelagapan dan pedih di 

hati.

Namun orang-orang biadab itu terus tertawa 

saja. Tanpa perduli akan kesakitan dan perih 

yang dirasakan oleh Seda Arya.

"Bagaimana, Seda Arya? Bukankah ini sebuah 

permainan yang amat menyenangkan?" desis Ma-

war dengan suara mirip setan betina.

Seda Arya meludah. Meskipun sekujur tubuh-

nya dirasakan bukan main sakitnya, namun dia 

berusaha untuk tetap tegar.

"Kalian memang orang-orang biadab!"

"Kau amat menyukainya, bukan?"

"Mawar... mengapa semua kesalahan yang kau 

lakukan sendiri tiga belas tahun yang lalu harus 

kau tumpahkan padaku? Berpikirlah secara se-

hat. Kau yang salah, kau yang harus menanggung 

semua akibatnya! Bukan aku yang hanya kau ja-

dikan sebagai getahnya saja!"

"Memang bukan itu yang membuatku menjadi 

kejam seperti ini, Seda Arya... tetapi kau yang te-

lah berani-beraninya menolak cintaku. Cinta tu-

lus dan murni yang akan kupersembahkan pa-

damu... kau sia-siakan begitu saja...."

"Mawar... insaflah kau... Bahwa semua yang 

kau lakukan ini adalah kesalahanmu sendiri..."

"Dan juga kesalahanmu karena menolak cinta-

ku hingga aku menjadi seperti ini!"


"Mawar! Kukatakan sekali lagi, bukan kesala-

hanku! Cinta tidak dapat dipaksakan!"

"Tetapi aku ingin memaksa. Hingga timbul da-

lam pikiranku untuk menjebakmu. Mungkin den-

gan cara seperti itu kau mau menerima cintaku 

dan mengawiniku. Namun semuanya sia-sia bela-

ka. Dan kau meninggalkan aku dalam keadaan 

hamil. Kau biarkan aku terlunta-lunta. Dan kau 

biarkan putramu sendiri mati secara mengerikan 

akibat malaria! Kau tak pernah menengoknya wa-

lau sekali pun, Seda Arya! Tak pernah sekali pun! 

Ini yang membuatku amat sakit hati dan men-

dendam padamu!"

"Dan kau sudah mengakuinya bukan, kalau ini 

salahmu dan sengaja menjebakku!"

"Ini bukan salahku, Seda Arya! Kulakukan se-

mua ini karena aku mencintaimu!"

"Tetapi aku tidak mencintaimu, Mawar!"

"Saat ini aku tidak perduli lagi dengan cinta-

mu! Yang pasti aku tetap akan membalas semua 

sakit hatiku padamu!"

"Kau salah tempat, Mawar! Kau melakukan 

semua ini karena cinta yang bertepuk sebelah 

tangan. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kau ti-

dak bisa memaksakan kehendakmu padaku! Ka-

rena aku tidak mencintaimu!"

"Sekarang aku tidak perduli lagi, Seda Arya! 

Nah, marilah kita lanjutkan permainan ini!" kata 

Mawar dengan bengis.

Wanita itu memang telah menjadi kejam kare-

na cinta yang tak terbalaskan. Lebih-lebih setelah


dia menyerahkan semuanya meskipun dengan ja-

lan menjebak, namun Seda Arya tetap tidak mau 

mengawininya. Ini membuatnya semakin telengas 

dan lupa diri.

Dia kembali menyayat-nyayat tubuh Seda Arya 

dengan pisau kecilnya.

Lalu menyayat-nyayat wajah Seda Arya.

"Sayang... Wajah yang tampan ini harus ku-

musnahkan, Seda Arya!" desisnya.

Seda Arya menjerit-jerit kesakitan.

Dan lebih sakit lagi ketika tiba-tiba Mawar 

mencongkel kedua matanya. Setelah itu meng-

hunjamkan pisaunya ke jantung Seda Arya.

Terdengar lolongan yang panjang menyayat ha-

ti.

Lalu matilah Seda Arya dengan tubuh yang 

hancur lebur akibat siksaan itu.

Mawar meludahi wajahnya.

Dan bersama keempat gurunya, mereka pun 

menunggang kuda masing-masing dan mening-

galkan tempat itu.

***

EMPAT



Tubuh wanita itu telah menjadi amat lunglai. 

Sekujur tubuhnya dirasakan letih sekali. Namun 

anak yang baru berusia tujuh tahun itu malah 

gembira berjalan di sampingnya.

Lalu dia berkata, "Ibu... kenapa kita tidak men-

gajak ayah? Barong suka berjalan-jalan seperti


ini. Cuma sayang ya, Bu... kenapa ayah tidak 

ikut?"

Wanita yang tak lain Roro Santika dan pu-

tranya Barong Seta melirik bocah itu. Ada kepi-

luan yang amat sangat di hati Roro Santika.

Belum saatnya putraku, belum saatnya aku 

memberitahukan semua ini padamu. Nanti bila 

saatnya tiba, aku akan menjelaskannya padamu.

"Ayah... ayahmu sedang ada tugas, Anakku...." 

desis Roro Santika pilu.

"Ayah memang selalu sibuk ya, Bu? Sayang, 

sayang sekali dia tidak ikut bersama kita...."

Sudah hampir seminggu lamanya Roro Santika 

melarikan diri bersama putranya. Siang dan ma-

lam mereka berjalan terus. Walau sekali-sekali 

mereka beristirahat.

Dan pagi ini, mereka telah tiba di sebuah desa 

yang cukup ramai. Aroma masakan yang nikmat 

menusuk hidung dari sebuah kedai.

Membuat perut Barong Seta menjadi lapar.

"Bu... Barong lapar...." kata bocah itu.

"Begitu pula dengan aku, Anakku... aku pun 

lapar," kata Roro Santika dalam hati. Lalu dengan 

hati-hati dia merogoh angkinnya. Masih ada tiga 

keping uang perak yang mungkin masih cukup 

untuk membeli makanan.

"Kau lapar, Barong?"

"Iya, Bu. Bau masakan itu enak sekali. Barong 

lapar jadinya...."

"Kalau kau mau, kita bisa makan di sana, Ba-

rong...."


Lalu diajaknya putranya memasuki kedai itu. 

Roro Santika hanya memesan nasi, mie dan ikan. 

Karena dia kuatir tidak cukup uang yang akan 

dipakai untuk membayar.

Roro Santika begitu suka melihat putranya 

makan dengan lahap. Dia hanya sedikit memakan 

nasinya, karena kuatir putranya masih ingin me-

nambah.

Benar saja, ketika putranya hendak nambah, 

diberikannya nasi yang ada di piringnya.

"Lho, kenapa tidak dipesan saja lagi, Bu?" 

tanya bocah itu heran.

Roro Santika sejenak gelagapan. Dipesan lagi?

Oh, dari mana uangnya untuk membayar, Anak-

ku?

Sudah tentu dia tidak menjawab seperti itu.

Lalu katanya, "Ibu sebenarnya tidak lapar, 

Anakku... Ibu masih kenyang...."

"Lho, bukankah kita sejak semalam belum ma-

kan, Bu?" tanya bocah itu lagi.

"Tapi Ibu masih kenyang," sahut Roro Santika. 

Ah, rupanya sulit sekali untuk membuat anaknya 

percaya. Kalau saja keadaan kita tidak seperti ini, 

Anakku... kau minta apa saja yang ada di kedai 

pun akan ibu berikan, desis Roro Santika melan-

jutkan dalam hati.

"Heran... Ibu belum makan apa-apa kok sudah 

kenyang. Biar itu ibu makan saja. Barong meme-

san lagi ya, Bu?"

"Oh, jangan... jangan Barong. Makanlah apa 

yang ibu punya ini. Sayang kan, ibu tidak memakannya kau sudah memesan nasi lagi...."

Walau masih keheranan akhirnya bocah itu 

pun mengambil nasi milik ibunya. Dan mema-

kannya dengan lahap.

Uang tiga keping itu pas sekali untuk mem-

bayar apa yang telah mereka makan. Setelah itu 

Roro Santika kembali mengajak putranya berja-

lan.

"Kita memangnya mau ke mana, Bu?"

"Mau ke mana?" tertegun Roro Santika sampai 

menghentikan langkahnya. Dia terdiam. Ya, me-

reka mau kemana? Ke mana tujuan mereka? Roro 

Santika seperti disadarkan kalau dia dan pu-

tranya tidak punya tujuan.

Melihat ibunya seperti bingung, Barong Seta 

menjadi bertambah heran.

"Kenapa, Bu?"

"Oh, tidak, tidak... Anakku. Ya, ya... kita hen-

dak pergi ke rumah kakak Ibu."

"Oh, benarkah, Bu?" seru bocah itu gembira.

"Benar, Anakku. Kita akan pergi ke sana. Kau 

pasti senang sekali."

"Barong senang sekali mendengarnya, Bu."

"Nah... mulai saat ini, kau jangan banyak tanya 

lagi, ya? Bukannya Ibu tidak suka kau bertanya, 

tetapi ibu tak mau kau menjadi cerewet seperti 

itu."

"Baik, Bu. Barong tidak akan banyak bertanya 

lagi."

Ketika Roro Santika bermaksud hendak me-

langkah lagi, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga


orang laki-laki. Dan mencegat langkahnya.

Sikap mereka tidak bersahabat.

Perasaan Roro Santika mengatakan akan terja-

di sesuatu yang menakutkan yang akan menimpa 

diri dan putranya. Tanpa sadar dia celingukan. 

Dan baru disadarinya kalau dia dan putranya 

tengah berada di jalan setapak.

Suasananya sepi.

Dengan takut-takut dan wajah pias Roro San-

tika menatap ke tiga orang itu yang berdiri meng-

hadang. Tatapan mereka begitu menakutkan sea-

kan hendak menelanjangi dirinya.

"Ka-kalian siapa?" desisnya takut-takut.

"Hahaha... dia bertanya kita siapa, Muroto?" 

tertawa yang seorang.

Yang dipanggil Muroto pun tertawa.

"Rupanya kau tidak sabar sekali untuk menge-

tahui namaku, Manis...."

"Ka-kalian siapa...." ulang Roro Santika sambil 

mendekap tubuh putranya yang juga menjadi ke-

takutan. Namun tidak mengerti mengapa orang-

orang ini menghadang langkah mereka.

Muroto berpaling pada temannya yang berkata 

tadi.

"Benar apa yang kau katakan itu, Surogo. Wa-

nita ini memang masih cantik dan begitu padat 

tubuhnya...."

Surogo tertawa.

"Sejak mereka masuk ke kedai nasi itu aku su-

dah memperhatikannya, Muroto. Dan ini meru-

pakan sebuah makanan yang amat empuk, bu


kan?"

"Benar, benar sekali... aku pun sudah tidak 

sabar untuk mencicipinya sekarang," tertawa Mu-

roto seraya berpaling pada Roro Santika yang se-

makin ketakutan mendengar kata-kata orang itu. 

"Hahaha... namaku Muroto, Manis. Ini kawanku 

Surogo dan Purnomo. Nah, kau sendiri siapakah 

gerangan namamu, Manis... hahaha..."

Ketakutan Roro Santika semakin menjadi-jadi.

"Kau-kau mau apa?"

"Mau apa? Sudah tentu kami akan mengajak-

mu bersenang-senang. Hmm... sepertinya kau 

sudah lama sekali tidak menikmati kesenangan 

sorga dunia. Hahaha... jangan kuatir Manis, kami 

akan memberikannya padamu...."

"Oh, jangan... jangan..." desis Roro Santika 

sambil mundur dan masih mendekap putranya.

Ketiga orang itu malah terbahak. Dan serentak 

mereka mengurung wanita itu.

"Hahaha... kau mau lari kemana, heh?" tertawa 

Purnomo sambil menyeringai.

"Jangan, jangan ganggu aku... Jangan... aku 

sudah bersuami...."

"Tetapi kelihatannya kau sudah tidak pernah 

lagi menikmati kesenangan itu, bukan?" tertawa 

Muroto.

"Jangan kuatir, Manis... kami akan memberi-

kannya padamu," kata Surogo.

"Bukankah ini merupakan suatu kesenangan 

bagimu. Di saat kau sedang membutuhkan, kau 

diberikan secara cuma-cuma oleh tiga orang laki



laki gagah seperti kami ini... hahaha!" tertawa 

Purnomo.

Dan ketakutan Roro Santika malah semakin 

menjadi-jadi.

"Jangan, jangan lakukan itu padaku... Jan-

gan...."

Tetapi ketiga malah terbahak. Tak perduli den-

gan ketakutan Roro Santika.

Meskipun baru berusia tujuh tahun, namun 

keberanian Barong Seta telah diwarisi dari ayah-

nya.

Dengan sigap dan gagah berani dia berdiri di 

hadapan ibunya. Tangan berkacak di pinggang.

"Jangan ganggu Ibu, Orang-orang jahat! Jan-

gan! Nanti kupukul kalian!" bentaknya berani.

Ketiga orang itu malah saling pandang. Lalu 

meledaklah tawa mereka.

"Kau bisa apa, Bocah?" terbahak Muroto berka-

ta.

"Jangan ganggu Ibu!"

"Kami tidak ingin mengganggu Ibumu, Bocah. 

Kami hanya ingin memberinya kebahagiaan dan 

kesenangan!"

Kata-kata Muroto itu membuat hati Barong Se-

ta menjadi bimbang. Bukankah bila diberikan ke-

bahagiaan dan kesenangan itu amat menyenang-

kan.

Tetapi melihat wajah ibunya yang ketakutan 

dan seperti amat kuatir, membuat bocah itu be-

rubah pikiran lagi.

"Tidak, ibu tidak memerlukan apa yang kalian



ingin berikan! Sana pergi, jangan ganggu ibu!"

"Hahaha... kau memang bocah pemberani ru-

panya! Cuma sayang, kami sudah terlalu bermi-

nat pada ibumu!"

"Pergi! Atau kupukul kau!" seru bocah itu sam-

bil hendak memukul.

Roro Santika buru-buru mendekap putranya. 

Dia kuatir putranya akan kenapa-napa.

Lalu katanya mengiba, "Tolong... tolong jangan 

ganggu aku! Aku bermohon pada kalian... tolon-

glah...."

"Manis... bila kau mau menurut kehendak ka-

mi, kami tidak akan mengganggumu, juga anak-

mu...."

"Tolong, tolong jangan ganggu aku...."

"Kami tidak mengganggumu, Manis... kami 

hanya akan mengajakmu bersenang-senang!" ka-

ta Muroto seraya melangkah mendekat.

Barong Seta kembali menghalangi.

"Jangan ganggu Ibu! Sana, sana pergi! Kupukul 

kau nanti! Sana pergi!"

Muroto yang tadi merasa lucu melihat sikap 

anak itu, kini berubah menjadi jengkel.

"Bocah sialan!"

"Sana, sana pergi!"

Muroto mendengus. Tidak perduli dengan se-

mua yang dikatakan oleh Barong Seta. Dia malah

mendekati lagi Roro Santika yang memegang len-

gan putranya erat-erat.

Namun belum lagi dia sempat memegang len-

gan wanita itu, sebuah pukulan yang tidak keras


namun mengejutkannya mengenai tangannya.

"Sana, sana! Jangan dekati Ibu! Orang jahat! 

Sana pergi! pergi!"

Melihat hal itu kegeraman Muroto pada Barong 

Seta menjadi-jadi.

"Bocah sialan! Rupanya mau kuhajar kau!"

"Pergi sana! jangan ganggu Ibu! Kau orang ja-

hat! Orang jahat! Pergi!" bocah itu berseru-seru 

dengan tatapan gemas dan gusar. Tangannya 

mengulap-ulap menyuruh orang-orang itu pergi.

Barong Seta memang seorang bocah gagah be-

rani. Kepolosan dan kejujurannya sebenarnya 

amat menggemaskan. Namun bagi ketiga orang 

ini, malah menjengkelkan. Karena biarpun bocah 

itu tidak bisa berbuat apa-apa selain berseru-

seru, mereka kuatir kalau seruan bocah itu bisa 

terdengar oleh orang yang lalu lalang.

Rencana mereka bisa gagal.

Dan mereka tak mau gagal untuk menggarap 

korbannya ini.

Barong Seta sendiri tidak menyadari, kalau ke-

beraniannya yang timbul secara naluri untuk me-

lindungi ibunya bisa membahayakan dirinya.

Bocah itu masih berseru-seru mengusir orang-

orang itu. "Jangan dekati Ibu! Tinggalkan Ibu! Ayo 

sana, pergi kalian! Nanti kupukul ya?!"

Muroto yang sudah geram langsung mengi-

baskan tangannya menampar pipi Barong Seta.

Bocah itu terpental ke belakang. Berguling. 

Namun herannya tak terdengar suara mengaduh 

dari mulut bocah itu.


Melihat putranya ditampar oleh Muroto, Roro 

Santika menjerit keras sambil menubruk pu-

tranya.

Pikirnya putranya akan pingsan. Tetapi Bocah 

itu tiba-tiba bangkit setelah bergulingnya berhen-

ti.

Tatapannya meradang marah pada Muroto.

Muroto terkejut karena tatapan bocah itu amat 

mengerikan. Sepertinya dia marah karena ada 

yang berani mengusik.

"Jahat! Kau orang jahat! Kau berani pukul aku, 

hah?!" bentak Barong Seta. Tangan ibunya yang 

melilit di pinggangnya dilepaskan.

Roro Santika kaget karena bocah itu bisa terle-

pas dari pegangannya.

Matanya hampir tak percaya ketika melihat pu-

tranya kembali menyerang Muroto yang masih 

berdebar dadanya oleh tatapan anak itu.

"Baaarooooong!" seru Roro Santika dengan hati 

yang luar biasa kuatirnya.

Namun bocah itu sudah berlari menubruk Mu-

roto.

Tetapi bagi Muroto, seberani apapun dan se-

kuat apapun, Barong Seta, tetaplah seorang bo-

cah. Dan dia menjadi jengkel sendiri karena terte-

gun melihat tatapan bocah itu tadi.

Dan ketika bocah itu sudah dekat dengannya, 

dia mengibaskan tangannya.

"Plak!"

Kembali Barong Seta terpental dan bergulingan 

diiringi oleh jeritan Roro Santika. Namun kembali


bocah itu bangkit. Sungguh luar biasa keberanian 

dan daya tahan Barong Seta menerima pukulan 

dari Muroto.

"Kupukul kau! Kupukul kau!" serunya sambil 

menyerbu kembali.

Lagi-lagi Muroto dibuat tertegun. Hingga dia 

tak sempat mengelakkan pukulan Barong Seta 

pada perutnya. Memang tidak keras dan tidak 

menimbulkan sakit. Namun membuat Muroto 

menjadi kaget kembali.

Dia baru sadar ketika didengarnya suara tawa 

Purnomo dan Surogo.

"Hahaha... melawan bocah seperti itu saja kau 

kaget melulu, Muroto!" ejek Surogo.

"Cepatlah bereskan!" seru Purnomo pula. "Aku 

sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh 

ibunya!"

Mendengar kata-kata itu, Muroto langsung 

mengibaskan tangannya kembali pada Barong Se-

ta yang datang menyerang lagi.

"Plak!"

Karena kerasnya tamparan itu, kali ini Barong 

Seta pingsan.

Roro Santika menjerit, "Baronggg!" Lalu dibu-

runya putranya dan dipeluknya dengan hati pilu.

"Bagus, Muroto! Dan sekarang... kita siangi pe-

rempuan itu!" kata Purnomo sambil tertawa.

Lalu tanpa dikomando lagi ketiganya menu-

bruk Roro Santika. Perempuan itu berusaha un-

tuk meronta. Namun apa daya tenaganya yang 

lemah. Belum lagi karena memang kondisinya


yang sudah payah berjalan.

Menghadapi salah seorang dari ketiganya saja 

dia belum tentu bisa melepaskan diri. Apalagi 

menghadapi ketiganya sekaligus.

Dan sebentar saja dia sudah berada dalam ke-

kuasaan mereka.

Muroto menyeringai.

"Hehehe... kini giliran kita bersenang-senang, 

manis!" desisnya pada Roro Santika yang diterlen-

tangkan.

"Lepaskan, lepaskan aku!" seru perempuan itu 

sambil mencoba meronta.

Tetapi ketiganya mana mau melepaskan. Tan-

gan Muroto pun sudah siap untuk menarik pa-

kaian Roro Santika di bagian dada. Namun belum 

lagi tangannya bergerak, terdengar seruan berna-

da keras, "Tunggu!"

***

LIMA



Ketiga laki-laki itu serentak menoleh pada arah 

datangnya suara. Mereka melihat seorang nenek 

bongkok bertongkat kayu telah berdiri di dekat 

mereka.

Muroto yang merasa jengkel karena ada yang 

berani-beraninya menghalangi perbuatannya 

langsung berdiri sambil menggeram. Tatapannya 

gusar dan marah.

"Hhh! Siapa kau, Nenek peot?!" bentaknya ka-

sar.


Nenek itu cuma menyeringai. Menampakkan 

deretan giginya yang masih utuh. Dan gigi itu ter-

buat dari emas.

"Hehehe... maaf, maafkan aku yang menggang-

gu keasyikan kalian bertiga...." suara nenek itu 

ternyata nyaring sekali. Dia mengenakan pakaian 

kebaya biru dengan kain yang terlipat sampai 

ujung kakinya. Dan rambutnya dibuat seperti 

konde dengan tusuknya yang terbuat dari emas 

pula.

"Aku tidak butuh pertanyaan maafmu! Aku 

hanya tanya siapa kau yang telah lancang meng-

ganggu keasyikan kami!" bentak Muroto geram.

"Hehehe... agaknya kau begitu penasaran ingin 

mengetahui namaku? Baiklah... namaku sendiri 

sebenarnya aku sudah lupa... maafkan aku... Te-

tapi orang-orang memanggilku si Bongkok Bergigi 

Emas... Nah, kau boleh memanggilku dengan se-

butan apa saja. Aku paling suka bila dipanggil 

dengan sebutan Dewi... hehehe..."

Muroto mendengus. Nenek jelek ini minta di-

panggil Dewi? Huh!

"Kebagusan amat memanggilmu dengan sebu-

tan Dewi, Nenek bongkok!"

"Hehehe.... aku tidak memaksamu untuk me-

manggilku dengan sebutan itu hehehe... Kau ga-

lak sekali, Orang jelek... hehehe... benar, benar... 

kau jelek... bahkan teramat jelek sekali.... hehe-

heh..."

Kata-kata nenek itu membuat kuping Muroto 

menjadi panas. Dia sudah jengkel karena keasyi


kannya terganggu, kini ada yang berani-beraninya 

mengatakannya jelek.

"Kau minta mampus rupanya, Nenek!"

"Hehehe... tidak, aku tidak minta mampus... 

Aku cuma ingin bertanya saja, Orang jelek..."

"Bertanya apa?!"

"Apa yang tengah kau lakukan bersama dua 

temanmu yang juga jelek itu, hah?!"

"Ini bukan urusanmu, Nenek! Pergilah dari sini 

sebelum kami marah dan menurunkan tangan te-

lengas padamu!"

"Kau rupanya semacam orang yang ringan tan-

gan, Orang jelek... heheheh... tapi biarlah, biar-

lah... yang penting kau mau menjawab perta-

nyaanku itu...."

"Bangsat! Pergi kau dari sini, Nenek Bongkok!"

"Aku akan pergi bila kau sudah menjawab per-

tanyaanku!"

Kemarahan Muroto semakin menjadi-jadi. Te-

tapi dia menjawab juga pertanyaan nenek itu,

"Kami hanya mengajak perempuan ini berse-

nang-senang! Bukankah ini bagus sekali?!"

"Ya, ya... bagus sekali!"

"Tentunya kau sendiri juga suka memberikan 

kesenangan pada orang lain, bukan?!"

"Ya, ya... aku suka melakukan itu!"

"Nah, pergilah dari sini! Kau pun suka dan se-

tuju bila kita berbuat untuk kesenangan orang 

lain!"

"Ya, ya... itu bagus sekali. Tapi..."

"Tapi apa, Nenek?" sahut Muroto gusar. Ra


sanya sudah tidak sabar dia ingin menghantam-

kan tangannya kepada nenek cerewet itu.

"Kalian sungguh-sungguh hendak mengajak-

nya bersenang-senang?"

"Ya!"

"Kalian jujur?"

"Ya!"

"Kalau begitu... ada satu lagi pertanyaanku. 

Kau harus menjawabnya pula!"

"Apa sebenarnya maumu, Nenek?!" bentak Mu-

roto gusar.

"Hanya bertanya... hehehe.. bukankah kau tadi 

sudah mendengarnya, Orang jelek?!"

"Bangsat! Cepat kau katakan pertanyaanmu itu 

dan setelah ini kau pergilah!"

"Hehehehe... terburu-buru amat! Nah, jawab 

pertanyaanku... bila kalian mengajak wanita itu 

bersenang-senang, apakah wanita itu mau mene-

rima ajakan kalian?"

"Sudah tentu! Kau lihat sendiri bukan, kalau 

dia nampak begitu suka!"

"Hehehe... ya, ya., cuma mataku ini masih 

awas, Orang jelek. Kulihat wanita itu tidak suka 

dan sekarang berada di bawah kekuasaan kalian! 

Aku pun melihat bocah itu pingsan! Nah, kata-

kanlah yang jelas!"

Merasa nenek ini benar-benar mengganggunya, 

Muroto menjadi naik pitam.

"Kau banyak omong, Nenek bongkok! Cepat 

kau pergi dari sini!" bentaknya marah.

"Hehehe... bukankah kau belum menjawab per


tanyaanku, Orang jelek! Nah, cepatlah jawab bila 

kau ingin aku benar-benar pergi! Tetapi ingat... 

bila wanita itu tidak suka kau ajak bersenang-

senang, maka ini menjadi urusanku!"

"Apa maksudmu, Nenek peot?!"

"Karena aku tidak suka yang kuat menindas 

yang lemah! Dan ini merupakan tugasku untuk 

membasminya!"

Tiba-tiba terdengar suara Roro Santika, "Ne-

nek... tolonglah saya dan anak saya... mereka 

orang-orang jahat, Nenek... Mereka hendak mem-

perko.... aahh!"

Kata-kata itu terpotong karena tangan Surogo 

sudah menamparnya hingga perempuan itu ping-

san.

Si Bongkok Bergigi Emas terkekeh.

"Hehehe.. kini jelas sudah, kalau wanita itu 

memang berada di bawah kekuasaan kalian. Dan 

aku tak pernah menyukai perbuatan itu..."

"Setan kau, Nenek peot! Kau mencari mampus 

rupanya!" geram Muroto seraya menyerang den-

gan tiba-tiba.

Namun tanpa bergeser dari tempatnya berdiri, 

tiba-tiba Si Bongkok Bergigi Emas menggerakkan 

tongkat butut yang dipegangnya, ke arah ulu hati 

Muroto.

Karena gerakan itu amat tiba-tiba, membuat 

Muroto menjadi kaget dan menghentikan gera-

kannya. Namun mendadak saja tongkat di tangan 

nenek itu sudah bergerak memukul pahanya.

"Aaakhhh!" jerit Muroto. Tubuhnya sampai ter


guling. Kalau dilihat sepintas, gerakan tenaga ne-

nek itu tak keras. Namun tongkat itu telah dialiri 

tenaga dalam. Hingga membuat Muroto merasa 

pahanya bagai remuk.

"Hehehe... maaf, maafkan aku... Aku tidak sen-

gaja menggerakkan tangan!" terkekeh si Bongkok 

Bergigi Emas.

Melihat kawan mereka dihantam sedemikian 

rupa dan masih diejek, membuat Surogo dan 

Purnomo menjadi marah. Keduanya pun bangkit 

dan menyerbu nenek itu.

Dan lagi-lagi tanpa bergeser dari tempatnya, si 

Bongkok Bergigi Emas menggerakkan tangannya. 

Kembali tongkat itu membuat keduanya meng-

hentikan gerakan mereka.

Namun mereka tak mau mengalami nasib sial 

seperti yang di alami Muroto. Keduanya sudah 

dapat menduga kalau tongkat itu akan kembali 

bergerak.

Dugaan mereka memang benar.

Karena tongkat di tangan nenek itu sudah ber-

gerak kembali.

Tetapi Surogo dan Purnomo yang sudah men-

duga akan hal itu, dapat menghindari serangan 

tongkat nenek itu dengan jalan melemparkan tu-

buh ke kiri.

Keduanya bergulingan.

Dan serentak kembali berdiri.

Nenek itu terkekeh. "Hehehe... rupanya kalian 

berdua memiliki otak yang cukup cerdik hingga 

dapat membaca apa yang hendak kulakukan. Se


karang dengarkan kata-kataku, lebih baik kalian 

tinggalkan tempat ini. Dan tinggalkan pula pe-

rempuan dan bocah yang telah kalian buat ping-

san itu sebelum aku menjadi marah pada kalian!"

Mendengar kata-kata bernada mengancam itu, 

tidak membuat mereka takut. Malah Surogo dan 

Purnomo sudah bersiap kembali hendak menye-

rang.

Sementara Muroto sudah berdiri lagi, meski-

pun dirasakan pahanya masih sakit. Tatapannya 

begitu geram pada nenek bongkok itu. Dia begitu 

mendendam sekali karena pahanya dihantam 

oleh nenek itu. Dan membuatnya ingin membalas 

perlakuan itu.

"Rupanya kau nenek-nenek usil, Nenek peot!" 

geramnya sambil menuding dengan tatapan ma-

rah. "Kau telah menabur angin, maka kau akan 

menerima badai! Angin yang kau taburkan beru-

pa kecerewetanmu yang ingin tahu masalah orang 

lain! Dan badai yang akan kau terima adalah ke-

marahan kami yang sudah sampai ke ubun-

ubun!"

Tetapi si Bongkok Bergigi Emas cuma terkekeh. 

Menampakkan deretan giginya yang berkilauan 

terbuat dari emas.

"Hehehehe... mengapa tidak kau keluarkan sa-

ja kemarahanmu itu, Orang jelek?! Mengapa 

hanya kau simpan sampai ubun-ubun saja? He-

hehe... rupanya kau jeri, ya?!"

"Nenek usil! Selain usil kau pun banyak omong 

pula, hah?!" bentak Muroto geram.


"Persetan dengan semuanya, Orang Jelek! Aku 

cuma minta pada kalian untuk meninggalkan 

tempat ini cepat!"

"Hhh! Kau pikir, dengan gertakan macam itu 

mampu membuat kami takut?!" seru Surogo den-

gan suara sengak. "Kami bahkan hendak menca-

but nyawamu, Nenek Peot!"

"Dan memberikan tulang-tulangmu pada anj-

ing yang kelaparan!" sambung Purnomo.

Nenek Bongkok Bergigi Emas itu cuma terke-

keh. Seakan merasa lucu dengan kata-kata yang 

diucapkan keduanya. Tetapi mendadak saja ta-

wanya terhenti. Sepasang matanya meradang ke-

pada mereka.

Menampakkannya sinar yang berbahaya.

Suaranya pun meradang.

"Kalian telah memancing di air keruh!" geram-

nya.

"Tetapi bukan ikan sepertimu yang kami panc-

ing!" tertawa Muroto. "Kau hanya pantas diberi-

kan kepada binatang-binatang yang sedang kela-

paran!"

"Bagus! Aku menyukai orang-orang pemberani 

seperti kau orang jelek!" seru nenek itu.

"Hehehe... maaf, maafkan aku, Nenek peot. 

Aku tidak sudi menerima rasa sukamu... Kamb-

ing pun belum tentu mau menerima rasa suka-

mu!"

Kali ini wajah itu menjadi memerah. Dan men-

dadak saja tangan kanannya yang memegang 

tongkat bergerak, tetapi posisi berdirinya tetap


tak bergeser dari tempatnya.

Muroto, Purnomo dan Surogo merasakan ada 

serangkum angin yang datang ke arah mereka. 

Dan ketiganya dengan sigap berlompatan ke ka-

nan dan ke kiri.

Serangkum angin itu lewat. Sebagai gantinya, 

batang-batang pohon yang berada di belakang ke-

tiga orang itu terhantam. Dan terdengar suara 

"krak!" Lalu patah!

Melihat kejadian itu, ketiganya terkejut. Wajah 

mereka pias. Namun mereka bukanlah orang-

orang yang mudah mengalah. Apalagi pada orang 

yang mereka telah merusak keasyikan mereka.

Tanpa banyak cakap lagi ketiganya berlompa-

tan menyerang.

Namun lagi-lagi tanpa bergeser dari berdirinya, 

nenek itu kembali menggerakkan tongkatnya.

"Wut! Wut! Wut!"

Gerakannya sungguh cepat dan sukar diikuti 

oleh mata.

Hasilnya pun sungguh luar biasa. Tangan ka-

nan Surogo patah. Pinggang Purnomo terhantam 

bagaikan kena pukulan besi yang amat kuat. Dan 

Muroto sendiri kembali pahanya terhantam oleh 

pukulan kayu itu.

Ketiganya terpelanting ke tanah.

Nenek itu terkekeh.

"Cepat kalian tinggalkan tempat ini!" bentak-

nya.

"Hhh! Kami akan mengadu jiwa denganmu, 

Nenek peot!" geram Muroto sambil bangkit me



nyerbu.

Namun tongkat kayu nenek itu mengakhiri ge-

rakannya.

Kali ini nenek itu tak memberi ampun lagi.

Kepala Muroto yang terhantam oleh kayu itu.

"Krak!"

Kepala itu pecah dan bersimbahlah darah ber-

sama cairan berwarna putih. Melihat kenyataan 

itu, Surogo dan Purnomo menjadi jeri.

Keduanya saling berpandangan.

Dan seperti sudah disepakati dan tanpa diko-

mando lagi, keduanya mendadak memutar tubuh 

dan berlari.

Tetapi kali ini si Bongkok Bergigi Emas tak 

mau melepaskan calon korbannya. Tiba-tiba saja 

dia menggerakkan tangannya.

"Wuuut!"

Serangkum angin keras mengarah kepada ke-

dua orang itu. Dan akibatnya sungguh fatal. Ke-

duanya terjungkir ke depan terhantam angin itu.

Bergulingan beberapa kali sebelum akhirnya 

tubuh keduanya menabrak pohon dengan keras. 

Kepala keduanya hancur seketika.

Nenek itu mendengus.

"Hhhh! Aku paling tidak suka dengan orang-

orang pengecut!" gumamnya.

Lalu dihampirinya tubuh Roro Santika yang 

masih pingsan.

Dan menghampiri Barong Seta yang dalam 

keadaan pingsan pula.

Nenek itu melihat warna biru di muka Barong


Seta. Hhh! betapa kerasnya pukulan yang ten-

tunya dilakukan oleh salah seorang dari mereka.

Lalu dialirinya tenaga dalamnya sedikit hingga 

warna biru itu perlahan-lahan menghilang. Dan 

mendadak nenek itu tersentak.

Seakan tidak percaya dilihatnya telapak tangan 

kanan bocah itu yang tadi dialiri tenaga dalam-

nya.

"Apakah mataku yang sudah tua ini mulai ra-

bun?" gumamnya. Lalu dia mengucak-ngucak 

matanya. "Tak salahkan penglihatanku ini? Garis 

tangan yang ada di tangan bocah ini, begitu mirip 

dengan apa yang kumimpikan semalam! Bocah ini 

akan menjadi seorang pendekar tangguh di masa 

mendatang! Dan agaknya, bocah inilah yang ber-

jodoh denganku, yang akan mewarisi semua ilmu 

yang kumiliki..."

Tak puas hanya sampai di sana memperhati-

kan tangan bocah itu, tangan-tangan si Bongkok 

Bergigi Emas meraba ke sana kemari. Memeriksa 

tulang-belulang yang terdapat di tubuh Barong 

Seta.

Lagi-lagi dia mendesah kagum.

"Bukan main! Tulang-tulang anak ini begitu 

kokoh dan hebat! Kuat! Aku yakin, ya, ya., aku 

yakin sekali... kalau bocah ini akan menjadi seo-

rang pendekar yang tak terkalahkan..."

Tiba-tiba didengarnya suara erangan dari sam-

pingnya.

Kepala nenek itu menoleh. Dia melihat perem-

puan yang pingsan itu sudah menggerak


gerakkan kepalanya.

Perlahan-lahan sepasang mata Roro Santika 

mengerjap. Lalu membuka. Saat membuka mata 

itu kembali tertutup karena sinar matahari yang 

agak menyilaukan.

Si Bongkok Bergigi Emas menghampiri.

"Kau sudah sadar, Nimas...." katanya lembut.

Mendengar ada suara di sampingnya, perlahan 

kembali mata Roro Santika terbuka. Saat fokus 

matanya berfungsi, dia melihat nenek yang telah 

menolongnya berada di dekatnya.

"Nek..." desisnya pelan.

"Tenanglah, Nimas... bahaya telah lewat..."

Mendengar kata-kata itu, kepala Roro Santika 

mencari-cari dan tubuhnya menegak. Duduk.

Dia melihat tiga sosok tubuh telah menjadi 

mayat. Seketika terdengar desahnya yang bernada 

lega.

Tetapi kemudian dia mendesis, "Anakku..."

"Anakmu tidak apa-apa, Nimas... Nah, cerita-

kanlah... mengapa semua ini terjadi. Dan kau 

siapa, Nimas?" kata nenek itu dengan suara lem-

but.

Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba saja sepa-

sang mata itu mengalirkan air. Kesedihan kembali 

melanda hati wanita itu.

Dan betapa pilunya bila dia teringat kembali 

akan kejadian yang menimpa keluarga dan sua-

minya.

"Katakanlah, Nimas..."

Lalu perlahan-lahan Roro Santika mencerita



kan apa yang telah terjadi. Hatinya benar-benar 

bertambah pilu. Dan amat memilukan isaknya 

yang terdengar kembali.

Si Bongkok Bergigi Emas merangkulnya.

"Tabahlah, Nimas... semua sudah merupakan 

takdir yang Maha Kuasa. Dan kita umat-Nya ti-

dak akan bisa melawan takdir yang datang pada 

kita. Karena semua sudah digariskan oleh-Nya. 

Jadi Nimas.... tawakallah..."

Mendengar kata-kata yang bernada nasehat 

itu, membuat hati Roro Santika menjadi sedikit 

tentram. Bagai diguyur air yang amat dingin.

Lalu didengarnya kembali nenek itu bertanya.

"Siapa namamu. Nimas?"

"Namaku Roro Santika, Nek."

"Bocah itu putramu?"

"Ya."

"Siapa namanya?"

"Barong Seta."

"Apakah kau ingin membalas dendam atas 

perbuatan orang-orang jahat itu dan kau yakin 

suamimu telah mereka bunuh?"

Sepasang mata itu bersinar.

"Iya, iya... Nek... aku mau membalas dendam. 

Pesan suamiku saat terakhir kali kami berpisah, 

dia meminta agar aku mencari seorang guru un-

tuk putraku yang akan bisa membalas semua sa-

kit hati ini. Nek... bisakah kau mengambil putra-

ku sebagai muridmu?"

"Dengan senang hati Nimas. Dan kulihat, tu-

lang belulang bocah itu begitu kuat. Dan yang



perlu kau diketahui, garis tangannya mirip sekali 

dengan garis tangan bocah yang berada dalam 

mimpiku. Ya, aku akan menggembleng dan men-

didiknya menjadi seorang pendekar yang tang-

guh."

"Oh, terima kasih, Nek!"

"Kalau begitu... mari kita pergi ke kediaman-

ku!"

Lalu Roro Santika menggendong tubuh pu-

tranya yang masih pingsan. Dan langkahnya pun 

mulai bergerak mengikuti langkah si Bongkok 

Bergigi Emas yang sudah melangkah terlebih da-

hulu.

***

ENAM



Sepuluh tahun sejak kejadian berdarah yang 

menimpa keluarga Seda Arya.

Pagi itu di Perguruan Topeng Hitam seperti bi-

asanya para murid-muridnya tengah berlatih. 

Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah pergu-

ruan silat yang sudah terkenal namanya.

Ciri khas dari perguruan itu adalah, para mu-

rid-muridnya semua mengenakan pakaian ber-

warna hitam-hitam dengan sebuah topeng yang 

menutupi kepala dan wajah mereka yang berwar-

na hitam pula.

Mereka menggunakan senjata sepasang pedang 

yang tersampir bersilangan di punggung. Juga 

menggunakan senjata rahasia yang berbentuk sebuah topeng.

Perguruan Topeng Hitam dulu di pimpin oleh 

seorang Dewa Pedang yang bernama Paksi Uluda-

ra. Namun sebelum maut datang padanya. Paksi 

Uludara telah menyerahkan tampuk kepemimpi-

nan kepada Madewa Gumilang, atau Pendekar 

Bayangan Sukma (baca : Dewi Cantik Penyebar 

Maut).

Dan pagi ini laki-laki yang berusia kira-kira 45 

tahun itu tengah melatih para muridnya. Dia 

mengenakan pakaian kebesaran berjubah putih. 

Dengan senyum arif bijaksana yang selalu meng-

hiasi bibirnya.

Dia nampak puas melihat hasil latihan hari ini. 

Para muridnya begitu tekun mengikuti dan menu-

ruti semua perintahnya dalam latihan.

Tiba-tiba masuk seorang murid yang tengah 

bertugas menjaga. Dia menjura pada Madewa 

Gumilang.

"Hmm... ada apa, Pratama?"

"Maafkan saya, Ketua," sahut murid yang men-

genakan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hi-

tam pula. Para muridnya semua sudah mengeta-

hui akan kehebatan guru mereka. Madewa Gumi-

lang memang memiliki ilmu Pandangan Menem-

bus Sukma. Pandangannya dapat menembus dua 

gunung sekaligus dan dapat melihat pada jarak 

ribuan mil jauhnya. Makanya meskipun semua 

muridnya mengenakan topeng hitam, Madewa 

dapat mengetahui siapa di balik topeng itu.

"Hmm. katakan, mengapa kau meninggalkan


tempatmu?" tanya Madewa dengan suara berwi-

bawa pula.

"Maafkan saya, Ketua. Ada seorang laki-laki 

yang datang kepada Ketua."

"Siapa dia?"

"Dia seorang pemuda yang kira-kira berusia 17 

tahun, Ketua. Dia mengaku bernama Barong Se-

ta."

"Barong Seta? Ada keperluan apa dia hendak 

menjumpai ku?"

"Dia mengaku ingin meminta informasi dari Ke-

tua."

"Hmm.... masalah apa?"

"Tentang beberapa nama yang hendak dia ta-

nyakan."

Madewa terdiam. Siapa Barong Seta itu? Dan 

nama-nama siapa yang hendak ditanyakannya.

Lalu dia kembali menatap Pratama.

"Suruh dia masuk. Dan antarkan ke ruang per-

temuan," kata Madewa. Pratama berlalu. Semen-

tara Madewa sendiri berkata pada para muridnya, 

"Untuk latihan pagi ini selesai! Kalian boleh beris-

tirahat!"

Setelah para muridnya menjura, Madewa pun 

berjalan ke bangunan besar itu. Perguruan To-

peng Hitam dikelilingi oleh tembok yang cukup 

tinggi dan tebal.

Ketika hendak berjalan menuju ruang perte-

muan, dia melihat istrinya tengah berdiri di am-

bang pintu kamarnya.

Heran istrinya bertanya, "Ada apa, Kanda?"


Madewa berhenti melangkah. Menebarkan se-

nyum pada istrinya.

"Ada seorang pemuda yang ingin bertemu den-

ganku, Dinda," sahutnya.

"Siapakah gerangan dia, Kanda?"

"Dia mengaku bernama Barong Seta. Dan aku 

sendiri belum tahu apa maksud kedatangannya."

Istrinya mendekat.

"Boleh Dinda turut dengar, Kanda?"

Madewa menatap istrinya dalam. Dari sorot 

matanya terpancar kasih sayang yang tulus. Dia 

jadi teringat lagi siapa istrinya dan siapa dirinya 

dulu. Istrinya adalah putri dari seorang kaya yang 

bernama Biparsena, sedangkan dia hanyalah pen-

jaga kuda-kuda dan pengawal pribadi istrinya ka-

la itu.

Namun cinta telah bersemi. Meskipun saat itu 

Madewa mempunyai tugas untuk mencari penye-

bar fitnah pada gurunya, Ki Rengsersari atau 

Pendekar Ular Sakti, hingga gurunya menemui 

ajal karena fitnah itu, dia tetaplah mencintai Ra-

tih Ningrum.

Dan yang membuat Madewa semakin yakin 

akan cinta gadis itu, karena gadis itu pun bertua-

lang mencarinya setelah berguru pada tiga pen-

gawal pribadi ayahnya.

Yang tak pernah Madewa sangka adalah, pe-

nyebar fitnah itu adalah ayahnya Ratih Ningrum 

sendiri, Biparsena (baca: Pedang Pusaka Dewa 

Matahari dan Dendam Orang-orang Gagah).

Madewa mendesah melihat. Betapa kuat dan


tabahnya akan kesetiaan isterinya, meskipun di-

alah yang membunuh ayahnya. Namun Ratih 

Ningrum merelakan semua itu, karena dia pun 

tahu ayahnya seorang dari golongan hitam. Dan 

dia tak pernah menyalahkan Madewa Gumilang.

Bahkan dia rela menjadi istri dari pemuda itu 

dulu.

Pemuda yang kini telah menjadi istrinya sela-

ma lebih dari dua puluh tahun. Bahkan putra 

mereka Pranata Kumala, telah beristri pula. 

Hanya saat ini, putra dan anak menantunya se-

dang bertualang mencari pengalaman.

Sama halnya dengan yang pernah dia lakukan 

dulu bersama suaminya, Madewa Gumilang.

Namun ada kejadian menyedihkan yang masih 

membekas di benak Ratih Ningrum. Tiga gurunya, 

Mukti si Pedang Kembar, Patidina, si Keris Tung-

gal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu telah 

tewas dalam satu pertarungan berdarah. Setelah 

sekian puluh tahun dia tak pernah berjumpa 

dengan ketiga gurunya, dan di saat gurunya da-

tang perjumpaan itu hanya berlangsung beberapa 

hari saja. (baca: Warisan Berdarah).

Dan kini makam ketiga gurunya berada di be-

lakang Perguruan Topeng Hitam.

"Bagaimana, Kanda?" tanya Ratih Ningrum 

yang melihat suaminya terdiam.

Madewa tersenyum.

"Mengapa tidak. Dinda? Kau adalah istriku 

yang tercinta. Kau tentu saja boleh turut dengar 

masalah apa yang dibawa oleh pemuda yang ber


nama Barong Seta itu."

Lalu keduanya pun memasuki ruang perte-

muan.

Tak lama kemudian kembali Pratama muncul. 

Kali ini bersama seorang pemuda yang bertubuh 

gagah perkasa. Pemuda itu bertelanjang dada. 

Dan mengenakan celana pangsi berwarna hitam. 

Di pinggangnya terbelit angkin berwarna merah.

Di hadapan Madewa Gumilang dan Ratih Nin-

grum, pemuda itu menjura bersamaan dengan 

Pratama.

"Beliau ini tamu yang saya maksudkan, Ke-

tua..." kata Pratama.

Madewa mengangguk.

Pemuda itu berkata, "Salam hormat untuk Ma-

dewa Gumilang dan Ratih Ningrum..."

"Salam hormat kembali untukmu, Ki Sanak," 

Sahut Madewa.

Lalu menyuruh Pratama keluar. Setelah itu, "Ki 

Sanak... silahkan duduk. Jangan terlalu sung-

kan."

Pemuda itu pun duduk di hadapan Madewa 

Gumilang dan Ratih Ningrum.

"Hmm... ada keperluan apa kau hendak mene-

muiku, Barong Seta?" tanya Madewa Gumilang.

Pemuda yang tak lain Barong Seta putra dari 

Roro Santika dan Seda Arya itu kembali menjura. 

Setelah sepuluh tahun lamanya dia digembleng 

oleh si Bongkok Bergigi Emas, kini dia telah men-

jadi seorang pemuda gagah dan sakti.

Di sela-sela dia berlatih, saat dia berusia 15


tahun, ibunya menceritakan apa yang sesung-

guhnya telah terjadi. Dan bukan main geramnya 

Barong Seta. Dia berulangkali mendesak ibunya 

dan gurunya untuk turun gunung mencari orang-

orang yang telah menghancurkan keluarganya.

Namun berulangkali pula hal itu dilarang.

Sampai suatu ketika, Roro Santika meninggal 

dunia akibat penyakit. Bukan main sedihnya hati 

Barong Seta. Dan suatu malam, tiba-tiba saja dia 

dipanggil oleh si Bongkok Bergigi Emas.

"Muridku..." kata si Bongkok Bergigi Emas. 

"Genap sudah sepuluh tahun lamanya kau bergu-

ru padaku. Dan kini semua ilmu yang kumiliki te-

lah kau kuasai dengan sempurna. Kini kau telah 

menjadi seorang pendekar yang amat tangguh. 

Nah, katakanlah... apa permintaanmu terakhir..."

"Permintaan terakhir, Nenek?" tanya Barong 

Seta heran.

Meskipun dia berguru pada si Bongkok Bergigi 

Emas, namun dia tetap memanggilnya nenek, ti-

dak guru seperti kebanyakan para murid jago-

jago silat.

"Ya, permintaan terakhir. Karena kau harus tu-

run gunung hari ini juga."

"Tetapi Nenek?"

"Kau harus mencari pengalaman, Barong. Dan 

ingat, kau ditugaskan oleh ibumu sebelum dia 

meninggal untuk mencari orang-orang yang telah 

menghancurkan keluargamu. Nah, katakanlah 

apa permintaanmu?"

Barong Seta menundukkan kepalanya. Ya... dia


memang harus mencari dan membunuh orang-

orang yang telah menyebabkan keluarganya han-

cur.

Lalu perlahan-lahan dia mengangkat kepa-

lanya, menatap si Bongkok Bergigi Emas yang 

duduk di atas batu.

Keduanya berada di luar. Hawa dingin sebe-

narnya begitu menusuk hingga ke tulang sum-

sum. Namun keduanya telah menghalanginya dan 

menghangati tubuh mereka dengan tenaga dalam.

"Permintaanku... ingin mencari dan membu-

nuh orang-orang yang telah menghancurkan ke-

luargaku, Nenek..."

"Bagus! Carilah dan bunuh mereka semua!"

"Tapi ke mana aku harus mencarinya, Nenek."

"Aku pun tidak tahu di mana orang-orang be-

rada. Tetapi mintalah petunjuk kepada manusia 

sakti yang bernama Madewa Gumilang alias Pen-

dekar Bayangan Sukma. Konon dia memiliki ilmu 

Pandangan Menembus Sukma, hingga baginya 

tak ada kesulitan untuk mengetahui sesuatu yang 

jatuh sekali."

"Kalau begitu... di manakah saya bisa men-

jumpainya, Nenek?" tanya Barong Seta pula.

"Pergilah kau ke arah Timur Gunung Slamet, 

Cucuku. Di sebuah perguruan yang bernama Per-

guruan Topeng Hitam, kau dapat menjumpai ma-

nusia dewa itu..."

"Baiklah, Nenek.... saya pergi sekarang juga."

"Bagus, lebih cepat lebih baik. Sampaikan sa-

lamku kepadanya, Cucuku..."


Dan malam itu juga Barong Seta meninggalkan 

tempat yang sepuluh tahun lamanya dia tinggali. 

Memang berat rasanya untuk meninggalkan tem-

pat itu.

Namun bila dia ingat akan kematian ayah dan 

ibunya yang begitu mengenaskan, dendamnya be-

gitu membara.

Selama satu bulan dia berjalan, kini dia tiba di 

Perguruan Topeng Hitam. Dan sekarang tengah 

berhadapan dengan Madewa Gumilang dan Ratih 

Ningrum.

"Salam dari guruku si Bongkok Bergigi Emas, 

Ketua..." kata pemuda itu pada Madewa.

Madewa tertawa. "Hahaha... rupanya kau mu-

rid dari sahabatku yang bergelar si Bongkok Ber-

gigi Emas. Bagaimana keadaannya, Barong?"

"Beliau sehat-sehat saja sepeninggal saya per-

gi."

"Tentunya kau telah mewarisi semua ilmu dari 

si Bongkok Bergigi Emas, bukan?"

"Memang begitulah adanya, Ketua...?"

"Barong... kau belum menjawab pertanyaanku 

tadi. Ada maksud apa kau hendak menjumpai-

ku?"

"Maafkan aku yang telah mengganggu ketenan-

ganmu dan ketenangan istrimu, Ketua. Maksud 

kedatanganku, ingin bertanya padamu. Di mana-

kah Ki Tunggang Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola 

Buto, Ki Jalak Pancang dan Dewi Bercadar Merah 

berada?"

Kening Madewa berkerut. Nama-nama yang


disebutkan oleh pemuda itu cukup dikenalnya. 

Nama-nama dari golongan hitam.

Namun dia belum tahu siapa gerangan Dewi 

Bercadar Merah adanya.

"Hm.... dengan maksud apa kau bertanya ten-

tang keberadaan mereka di mana, Barong?"

Berceritalah Barong Seta tentang sebab-sebab 

dia mencari orang itu.

"Lalu kau hendak bermaksud membalas den-

dam?"

"Benar, Ketua."

"Apakah kau tidak tahu kalau dendam itu ti-

dak baik, Barong?"

"Saya tahu, Ketua."

"Lalu mengapa kau hendak melakukannya?"

"Karena saya yakin, kedua orang tua saya tidak 

akan tenang matinya sebelum kelima orang itu 

mampus di tangan saya."

"Barong... agaknya saat ini kau tengah diliputi 

dendam yang cukup berbahaya. Kau tidak tahu 

apa akibat dendam itu?"

"Saya tahu, ketua. Kelima orang itu akan dan 

harus mampus di tangan saya!"

"Nah, bukankah itu amat berbahaya, Barong..."

Barong Seta mengangkat kepalanya. Dia dapat 

menangkap maksud dari Madewa Gumilang yang 

sepertinya ingin menantang rencananya.

"Ketua... saya datang hanya ingin meminta pe-

tunjuk di mana orang-orang itu berada. Lainnya 

tidak."

"Dengarlah dulu kata-kataku, Barong. Bila kau


mencari mereka dengan maksud membalas den-

dam dan membunuh, aku tak akan pernah mem-

beritahukan di mana mereka berada."

"Mengapa, Ketua?"

"Karena rencanamu itu amat keji sekali."

"Dan mereka lebih keji karena membantai se-

mua keluargaku dan para penduduk desaku. Ke-

tua!" kata pemuda itu dengan nada keras.

Madewa tersenyum. Dapat menyelami perasaan 

dan gejolak jiwa muda Barong Seta.

"Barong.... tentunya kau dapat pula memahami 

keadaan yang terjadi pada keluargamu. Dan ten-

tunya kau dapat memahami pula keadaanmu 

yang sekarang ini. Bila kau dapat meredam se-

mua emosi dan amarahmu untuk membalas den-

dam, maka kau akan menjadi manusia yang sem-

purna."

"Aku tidak akan menjadi manusia sempurna 

bila belum membunuh orang-orang itu, Ketua!"

"Dengarlah kata-kataku, Barong...."

"Ketua!" potong Barong Seta. Jiwa mudanya te-

lah bergejolak dan menggelegak. "Aku datang bu-

kan untuk mendengar khotbah dan nasehatmu. 

Tetapi aku datang untuk meminta petunjukmu. 

Bila kau tidak memberitahu, aku pun akan tetap 

mencarinya! Tanpa atau dapat petunjuk darimu!"

"Barong.... dengarkan dulu kata-kataku!"

Tetapi pemuda itu sudah berdiri, "Selamat pa-

gi, Ketua!" desisnya seraya melangkah keluar.

Madewa Gumilang mendesah. Sayang, pemuda 

itu terlalu dihantui oleh rasa dendam dan ama


rahnya. Bila saja pemuda itu mau menggunakan 

sedikit akal sehatnya, tentunya dia dapat mema-

hami kata-katanya.

Ratih Ningrum berkata pada suaminya, "Kan-

da.... bila kau mengetahui di mana orang-orang 

itu berada, mengapa kau tidak mengatakannya 

pada Barong Seta?"

Madewa tersenyum pada istrinya.

"Bila dia tidak sedang mendendam atau marah, 

tentu aku akan memberitahukan padanya, Din-

da..."

"Aku sedih mendengarkan kejadian yang telah 

menimpa keluarganya...."

"Begitu pula denganku, Dinda.... Tetapi aku tak 

bisa melepaskan pemuda itu yang tengah diliputi 

dendam. Aku kuatir sepak terjangnya akan men-

jadi ganas dan telengas."

"Kalau begitu... mengapa kau tidak memberita-

hukan padanya tadi?" tanya Ratih Ningrum pula. 

"Bukankah bila dia sudah tahu, dia akan lang-

sung mencari orang-orang itu?"

"Ya, dia akan menurunkan tangan telengas pa-

danya. Siapa tahu orang-orang yang sedang dica-

rinya sudah bertobat, Dinda...."

"Bagaimana bila belum, Kanda?"

"Dinda tentunya bisa memaafkan mereka?"

"Bagaimana bila dia tidak mau memaafkan?"

"Itulah yang aku cemaskan."

"Lalu apa rencanamu setelah ini, Kanda?"

"Aku bermaksud akan mengikutinya, Dinda...."

"Kanda...." Ratih Ningrum mendesah. "Bukan


kah ini suatu pekerjaan lagi bagimu? Bila kau 

sudah mengatakannya tadi, tentunya kau tak per-

lu sibuk mengikuti jejaknya."

"Bila kukatakan pun aku akan mengikutinya."

Kembali Ratih Ningrum mendesah. Dia sudah 

senang suaminya tidak terlibat lagi dalam urusan 

ini. Tetapi memang tak ada jalan lain. Dan Ratih 

Ningrum pun tahu akan isi hati suaminya. Yang 

selalu mencoba melihat keadilan. Yang selalu me-

nolong yang lemah.

Namun meskipun begitu, Ratih Ningrum men-

ginginkan dia bisa berlama-lama dengan sua-

minya di kediaman mereka ini.

Lalu kembali dia menatap suaminya.

"Jadi itu rencanamu, Kanda?"

"Ya, Dinda..."

"Bolehkah aku turut menyertaimu?"

Madewa tertawa.

"Mengapa kau harus bertanya lagi. Aku pun 

bermaksud untuk mengajakmu, Dinda... Mengapa 

tidak? Kau adalah istriku, yang selalu setia men-

dampingiku baik suka maupun duka. Bukankah 

begitu, Dinda...."

"Iya, Kanda... Sampai kapan pun aku akan te-

tap mendampingimu..."

"Kau memang istriku yang setia, Dinda Ra-

tih..."

"Dan kau pun begitu setia padaku Kau selalu 

menjagaku, Kanda..." kata Ratih Ningrum sambil 

merebahkan tubuhnya di pelukan suaminya.

"Karena kau adalah istriku, Dinda... Itu sudah


merupakan kewajibanku untuk menjagamu," kata 

Madewa Gumilang sambil merangkul pula tubuh 

istrinya.

Ratih Ningrum semakin menyusupkan kepa-

lanya ke dada suaminya. Dan dia merasakan satu 

ketentraman mengaliri seluruh tubuhnya berada 

dalam rangkulan itu.

Damai.

Betapa damainya.

***

TUJUH



Setelah meninggalkan Perguruan Topeng Hi-

tam, Barong Seta pun melanjutkan perjalanannya 

untuk mencari orang-orang yang telah menghan-

curkan keluarganya.

Suatu pagi, dia tiba di sebuah desa yang per-

mai.

Dia pun telah mengisi perutnya di sebuah ke-

dai.

Tiba-tiba terjadi keributan di luar kedai itu. 

Orang-orang pun berlarian keluar termasuk Ba-

rong Seta.

Di luar terlihat pemandangan yang mengeri-

kan. Lima orang laki-laki berwajah seram dengan 

golok di tangan tengah menghentikan sebuah ke-

reta kuda. Dan di atas kereta itu telah tergolek 

satu sosok tubuh yang menjadi mayat. Sais kere-

ta itu rupanya.

Dan di dekat kereta itu, lima sosok tubuh pun


telah menjadi mayat.

Rupanya tengah terjadi perampokan di pagi ini.

Salah seorang yang berwajah seram itu mem-

bentak pada yang menonton, "Jangan ada yang 

coba-coba menghalangi maksud kami! Maka dia 

akan mampus!"

Yang menonton pun tak punya keinginan un-

tuk mencampuri urusan itu. Mereka ngeri. Meli-

hat wajah orang-orang yang beringas itu saja me-

reka sudah ketakutan, apalagi nekat untuk 

menghalangi.

Bahkan ada yang diam-diam meninggalkan 

tempat itu. Mereka sudah tahu siapa kelima 

orang ini. Mereka bergelar Lima Golok Setan, yang 

kerjanya hanyalah membuat onar. Dan mereka 

kadang-kadang suka berbuat nekat. Seperti hal-

nya merampok kereta kuda di pagi ini!

Dan mereka pun tahu siapa yang tengah di-

rampok oleh orang-orang ini. Juragan Mayu Dadi, 

orang terkaya di desa ini.

Mereka mendengar orang-orang itu memben-

tak, "Juragan! Cepat keluar dari kereta kuda! Bila 

tidak ingin nyawamu kubunuh!"

Dari dalam kereta kuda itu keluar sosok tubuh 

tambun berpakaian indah dan mengenakan per-

hiasan yang mahal. Sosok tubuh itu berkeringat 

wajahnya pias.

Orang yang membentak tadi tertawa.

"Hahaha... rupanya orang yang terkaya ini 

punya penyakit ketakutan juga rupanya!"

"Apa... apa yang hendak kalian minta padaku?"


desis Mayu Dadi ketakutan dan terbata-bata. Se-

pasang matanya mengerjap-ngerjap bagai mata 

kelinci.

"Kami hanya meminta uang dari hasil penjua-

lan tanahmu, Juragan!"

"Uang... Uang apa? Siapa yang menjual tanah? 

Siapa yang dapat uang?" kata laki-laki tambun itu 

terbata-bata.

"Jangan berpura-pura, Gendut!" bentak orang 

itu yang membuat tubuh Mayu Dadi mengkerut. 

Dan memang laki-laki itu mendadak saja merasa-

kan tubuhnya menjadi ciut.

"Aku... aku..." desisnya gugup dan keringat 

semakin bertambah deras membasahi tubuhnya. 

Dia tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya ketika 

orang itu melangkah kakinya.

"Jangan berbuat macam-macam padaku, Gen-

dut!"

"Ah... iya, iya! Aku..."

Sreet! golok itu pun keluar dari sarungnya. 

Membuat Mayu Dadi menjadi bertambah mengke-

rut.

"Kau mau lehermu terpisah dari tubuhmu, 

Gendut?"

"Tidak, tidak..."

"Cepat serahkan uang itu bila kau tidak ingin 

lehermu pisah dari kepalamu!"

Tergagap dan terburu-buru Mayu Dadi masuk 

kembali. Dia pasrah dan dia tidak bisa berbuat 

apa-apa. Diambilnya kantong uang yang baru sa-

ja diambilnya dari desa sebrang sebagai pembaya


ran tanahnya.

Orang itu terbahak melihat Mayu Dadi muncul 

kembali dengan kantong uangnya.

"Cepat serahkan uang itu padaku!"

Mayu Dadi memang pasrah. Dia melirik dulu 

kantong uangnya dengan perasaan sayang.

"Cepat! Aku tidak suka bertele-tele begini!"

Sebelum Mayu Dadi memberikan kantong yang 

berisi uang itu, tiba-tiba terdengar seruan, "Tung-

gu!"

Dan satu sosok melenting melewati beberapa 

orang yang menonton. Orang-orang yang dilewati 

satu sosok tubuh itu terkejut.

Dan lebih kaget lagi ketika sosok tubuh itu 

hingga di hadapan mereka dan berdiri berhada-

pan dengan kelima orang bergolok yang menjadi 

tertawa.

"Hahaha... rupanya kau yang membentak tadi, 

haha?!" tertawa orang yang pertama.

Sosok tubuh yang tak lain adalah Barong Seta 

cuma tersenyum saja.

"Lebih baik kalian hentikan perbuatan biadab 

kalian ini sebelum aku menjadi marah?!"

"Marah? Hahaha... rupanya bocah ini mau jual 

tampang, kawan-kawan!"

Tawa dari orang-orang itu pun membahana.

"Agaknya kalian memang orang-orang som-

bong! Hanya sayang, kesombongan dan kebiada-

ban kalian hari ini akan terhenti!"

"Hei, kau bicara apa bocah?!" bentak orang itu 

gusar dengan mata melotot.


"Apakah kau mendadak saja menjadi tuli, 

hah?!"

"Bangsat! Rupanya bocah ini belum mengenal 

siapa kita, Kawan-kawan! hajar!"

Serentak keempat laki-laki temannya mengu-

rung Barong Seta. Tetapi yang dikurung hanya 

tersenyum saja.

"Kalian rupanya sudah bosan hidup!"

"Kau yang bosan hidup, Bocah!"

"Perlihatkanlah kepadaku apakah omonganmu 

itu benar?!"

"Anjing buduk! Hajar bocah itu!"

Serentak empat buah golok yang amat tajam 

berkelebatan ke arah Barong Seta. Namun Barong 

Seta yang sekarang telah menjadi seorang pemu-

da gagah perkasa. Dia adalah murid tunggal si 

Bongkok Bergigi Emas.

Bersamaan golok-golok itu berkelebat, Barong 

Seta pun bergerak. Gerakannya cepat. Dan yang 

membuat para penyerangnya kaget ketika men-

dadak saja mereka melihat golok-golok di tangan 

mereka sudah tidak ada lagi.

Malah kini sudah berpindah tangan.

"Bocah setan! Pantas kau berani menentang 

kami! Rupanya kau punya keahlian juga!"

Orang-orang yang menonton yang semula amat 

menyesali dan ketakutan pemuda itu akan kena-

pa-napa, mendesis kagum melihat satu gerakan 

yang amat cepat diperlihatkan Barong Seta. Bah-

kan kini mereka berseru-seru,

"Hajar saja orang-orang itu!"


"Bunuh!"

"Jangan beri ampun!"

"Mereka kerjanya hanya membuat onar saja!"

"Ya, bunuh saja!"

Seruan-seruan itu terdengar ramai. Orang yang 

pertama dari Lima Golok Setan tadi menggeram 

murka. Dia menyerbu dengan golok di tangan ke 

arah Barong Seta.

Tetapi dia harus menghindar karena tangan 

Barong Seta bergerak melepaskan empat golok 

yang ada di tangannya,

"Anjing buduk!" maki orang itu terkejut. Dan 

lebih terkejut lagi ketika melihat empat kawannya 

mengaduh dan ambruk menjadi mayat dengan 

dada tertancap golok masing-masing.

Merahlah wajahnya.

"Kau benar-benar mencari mampus rupanya, 

Bocah!"

"Atau kau yang akan mengikuti jejak keempat 

kawanmu itu, hah?!"

"Bangsat!" gerutu orang itu seraya menyerbu 

kembali.

Kali ini serangan goloknya begitu dahsyat dan 

cepat. Namun bagi Barong Seta itu bukanlah sua-

tu yang membuatnya bingung, jeri atau pun keta-

kutan.

Malah dia hanya menggeser tubuhnya saja, la-

lu melompat. Dan tangan kanannya bergerak 

dengan cepat.

"Hup!"

Ujung golok itu tertangkap.


Dan tangan kirinya pun bergerak menotok urat 

di bawah pangkal lengan.

Lawannya terkejut dan menjerit kesakitan. Dia 

merasakan kesemutan dan hawa dingin mengaliri 

sekujur tubuhnya.

Sadarlah orang itu kalau lawan yang dihada-

pinya tidak enteng. Namun dia sudah kepalang 

malu. Dia yang selalu bikin onar dan keributan 

harus kalah oleh seorang pemuda.

Maka tanpa memperdulikan keselamatannya 

lagi, dia menerjang dengan pukulan lurus ke wa-

jah Barong Seta. Namun tanpa bergeser dari ber-

dirinya, Barong Seta melancarkan serangan pula 

ke wajah orang itu.

Waktunya hampir bersamaan.

Orang itu terkejut dan menarik tangannya un-

tuk menangkis pukulan Barong Seta. Saat itulah 

Barong Seta melepaskan pukulan tangan kirinya.

"Des!"

Tepat mengenai perut orang itu yang kontan 

mengaduh keras dan bergulingan. Dia merasakan 

perutnya sungguh mual.

Dan karena terlanjur malu dia kembali bangkit 

menyerbu.

"Bandel! Bukannya minta maaf, malah nekat 

menyerang lagi!" maki Barong Seta.

Kali ini dia pun tidak memberi ampun lagi.

Tangannya bergerak.

"Des! Des!"

Dua pukulan mengakhiri perlawanan laki-laki 

itu. Bahkan nyawanyapun melayang karena pu


kulan itu tepat mengenai jantungnya.

Orang-orang berseru ramai.

Pemuda itu dielu-elukan.

Barong Seta cuma tersenyum.

Ketika dia hendak meninggalkan mereka, ter-

dengar suara memanggilnya, "Tunggu Pemuda!"

Barong Seta menghentikan langkahnya.

Berbalik.

Dan melihat Juragan Mayu Dadi yang me-

manggil dan sekarang sedang berjalan mendeka-

tinya.

"Ada apa, Tuan?"

"O-ho... jangan panggil aku Tuan. Namaku 

Mayu Dadi. Kau bisa memanggilku Mayu saja, 

Pemuda gagah..."

"Tidak, saya akan tetap memanggilmu dengan 

sebutan Tuan. Seperti yang dilakukan oleh orang-

orang desa."

"Ya, ya... terserah, terserah apa maumu."

"Nah, ada apa Tuan memanggilku?"

"Hehehehe... aku, aku.... ya, ya... aku mengu-

capkan banyak terima kasih atas pertolonganmu 

ini..."

"Tidak banyak yang kulakukan untuk Tuan...."

"Kau bisa melakukannya untukku..."

"Apa maksud Tuan?"

"Maksudku... hehehe... maaf, maaf bila kau 

tersinggung. Maukah... kau menjadi jago baya-

ranku dengan upah yang mahal... heheh... maaf, 

maaf bila kau tersinggung..."

"Maksud Tuan, saya bekerja sebagai jago baya


ran Tuan?"

"Ya, ya... kau tidak marah? Ah, kau pasti ku-

bayar dengan mahal, aku., ya, ya... sebenarnya 

lima orang yang mati itu adalah jago-jago baya-

ranku. Sayang, ilmu dan kepandaian mereka ma-

sih berada di bawah kelima golok Setan... Kau 

mau, bukan?" kata Mayu Dadi penuh harap.

"Bagaimana bila saya menolak?"

"Oh., jangan, jangan... e, maaf... ya, ya... terse-

rahmu... Tapi aku berani membayarmu mahal, 

Pemuda. Aku pun masih memiliki empat jago-jago 

bayaran di rumah. Nah, bagaimana dengan tawa-

ran itu?"

Barong Seta terdiam. Berpikir. Ya, itu memang 

suatu tawaran yang menarik. Selain mendapat 

tempat gratis, makan gratis, juga dibayar. Bu-

kankah ini sesuatu yang mengasyikan.

Dan di samping itu dia punya tempat tinggal 

sementara dia mencari orang-orang yang telah 

menghancurkan keluarganya.

Ditatapnya Mayu Dadi.

"Baiklah, tuan... saya menerima tawaran itu..."

"O... bagus, bagus sekali., ayo ke rumahku..." 

kata Mayu Dadi sambil mengajak Barong Seta ke 

kereta kudanya. "Siapa namamu, Anak muda?"

"Barong Seta."

"Nah, Barong Seta... mulai saat ini kau adalah 

pengawal pribadiku merangkap jago bayaranku. 

Kau bisa mengendalikan kereta kuda ini?"

"Dengan senang hati, Tuan!"

Dan mulai saat itu Barong Seta tinggal sebagai


pengawal pribadi dan jago bayaran Mayu Dadi. 

Dia pun berkenalan dengan empat jago-jago baya-

ran tuannya.

Kemana pun Mayu Dadi pergi, Barong Seta se-

lalu menemaninya. Semua pekerjaan Mayu Dadi 

menjadi lancar dan berhasil.

Para penduduk di sana pun menyukai sepak 

terjang Barong Seta yang mereka anggap begitu 

arif.

Begitu pula halnya dengan empat orang jago 

bayaran Mayu Dadi. Meskipun mereka lebih lama 

bekerja sebagai jago bayaran, namun mereka tak 

pernah iri pada Barong Seta. Bahkan mereka me-

naruh hormat pada pemuda itu.

Tetapi yang membuat mereka heran, karena se-

tiap kali bila tidak sedang mengawal Juragan 

Mayu Dadi pergi, mereka sering melihat Barong 

Seta melamun.

Hingga akhirnya mereka sepakat untuk ber-

tanya.

Setelah makan malam, mereka pun berkumpul 

di luar rumah besar itu.

"Barong... sebagai teman, aku menaruh rasa 

heran melihat sikapmu yang selalu melamun," ka-

ta Suma Agung.

"Benar, Barong... bila ada sesuatu masalah 

yang mengganggu hatimu, sebagai teman, kami 

semua ingin mengetahuinya," tambah Genda Su-

ta.

Barong Seta menatap teman-temannya.

Dia menghela nafas.


"Memang ada sebuah masalah yang amat 

mengganggu pikiranku," katanya.

"Apakah itu? Bila kami boleh tahu?" tanya Su-

mantri Puro.

"Ya, Barong... barangkali kami bisa memban-

tumu memecahkan masalah yang tengah kau ha-

dapi..." kata Purna Jaya.

"Aku tidak ingin membuat kalian menjadi ikut 

berpikir dan ikut berprihatin. Biarlah masalah ini 

aku tanggung sendiri."

"Barong... kami menganggapmu sebagai teman, 

sahabat, bahkan saudara. Kami tidak suka meli-

hatmu punya masalah tanpa membagi pada kami. 

Kami merasa berdosa bila melihatmu selalu me-

lamun saja," kata Suma Agung.

Lagi Barong Seta menatap keempatnya.

"Kalian memang teman-temanku yang baik.

Baiklah, aku akan menceritakannya pada kalian," 

kata Barong Seta. Lalu dia pun bercerita tentang 

kerisauan hatinya.

Mendengar cerita Barong Seta, keempatnya 

menjadi geram sekali.

"Barong... kami akan membantumu mencari 

dan membunuh orang-orang biadab yang telah 

menghancurkan keluargamu!" kata Sumantri Pu-

ro berapi-api.

"Benar, Barong! Bahkan kami bersumpah un-

tuk membunuh mereka!" kata Suma Agung.

"Sudahlah... biarlah aku yang menghadapi se-

mua ini!" kata Barong Seta. Mau tak mau hatinya 

menjadi terharu melihat kesetiaan persahabatan


yang dilakukan keempat sahabatnya ini.

"Tidak, kedatanganmu sudah membuat kami 

enak di sini! Bahkan kami pun sudah mengang-

gapmu sebagai saudara! Kami tidak akan berdiam 

diri melihatmu mempunyai persoalan yang terasa 

begitu menyulitkan!" kata Purna Jaya.

"Benar, Barong!" sambung Genda Suta. "Nah, 

kawan-kawan, mari kita bersumpah untuk meno-

long Barong Seta!"

Keempatnya berdiri.

Genda Suta berkata, "Kalian ikut sumpahku 

ini!" katanya dan berkata-kata diikuti oleh teman-

temannya, "Kami bersumpah, demi langit dan 

bumi, akan menolong Barong Seta mencari orang-

orang biadab yang menghancurkan keluarganya! 

Meskipun ada rintangan seberat apa pun kami 

tak akan mundur! Dan kami pun tak akan mun-

dur bila ada yang menghalangi niat kami ini! Bila 

kami melanggar sumpah, biarlah Yang Maha Ku-

asa akan mengutuk kami untuk lumpuh selama-

lamanya!"

Bersamaan sumpah itu selesai diucapkan, tiba-

tiba saja langit menjadi gelap. Dan petir terdengar 

sambar menyambar.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras.

Barong Seta melihat keempat sahabatnya men-

gulurkan tangan mereka.

Genda Suta berkata, "Ulurkan tangan kanan-

mu pula, Barong!"

Walau tidak mengerti apa maksud dari Genda 

Suta menyuruhnya mengulurkan tangan, Barong


Seta hanya mengikuti saja.

Tiba-tiba Genda Seta mencabut pisaunya yang 

dijadikan sebagai senjata rahasianya.

Dia menatap ke langit yang menjadi gelap.

Hujan tetap turun dengan derasnya.

"Wahai langit dan bumi! Kalian yang menjadi 

saksi sumpah kami ini!" serunya lantang menga-

lahkan hujan yang turun dengan deras.

Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat, meng-

gores pergelangan tangannya hingga mengelua-

rkan darah. Lalu pisau itu diberikannya pada 

Purna Jaya yang juga berbuat yang sama.

Begitu pula Suma Agung dan Sumantri Puro. 

Terakhir Barong Seta sendiri yang ikut-ikutan pu-

la.

Lalu darah yang mengalir dari pergelangan 

tangan itu disatukan. Berarti mereka telah men-

gikat sumpah menjadi bersaudara.

Barong Seta semakin terharu melihat kesetiaan 

para sahabatnya itu.

"Terima kasih, Saudaraku semua. Sumpah ka-

lian tak akan pernah kusia-siakan!"

Hujan pun semakin deras turun membasahi 

bumi. Membasahi kelima orang itu yang masih 

berada di sana.

***

DELAPAN



Lima orang penunggang kuda itu menghenti-

kan laju kudanya tepat di tengah-tengah desa.


Salah seorang penunggangnya seorang wanita 

yang mengenakan cadar berwarna merah. Dia tak 

lain adalah Mawar, dan keempat penunggang ku-

da lainnya adalah empat orang gurunya.

"Hmm... desa ini begitu makmur, Guru..." kata 

Mawar.

"Benar, kita bisa berbuat apa saja yang kita in-

ginkan di sini," kata Ki Jalak Pancang.

"Kalau begitu, kita isi perut saja dulu!" Ki 

Tunggang Rekso seraya menjalankan kudanya ke 

kedai nasi.

Kedatangan orang-orang itu begitu menarik 

perhatian para pengunjung kedai makan itu.

Mereka pun masih memperhatikan ketika ke-

limanya menyantap hidangan.

Namun mereka harus kembali menunduk keti-

ka secara tiba-tiba Ki Pergola Buto menggebrak 

meja dan menggeram, "Mau apa kalian melihat-

lihat kami hah?!"

"Sudahlah, Guru..." kata Mawar. "Biarkan saja. 

Toh, nanti kita akan menguasai orang-orang gob-

lok itu."

Ki Pergola Buto duduk kembali dengan hati 

jengkel.

Menyantap hidangannya lagi.

Setelah itu mereka pun keluar.

Merasa mereka belum membayar, pemilik kedai 

nasi itu pun bergegas menghampiri.

"Tuan-tuan sekalian... kalian belum membayar 

apa yang telah kalian makan..."

Ki Pergola Buto menggeram.


"Berapa?"

Pemilik kedai nasi itu menjadi ciut melihat se-

pasang mata yang melotot itu.

"Mu... murah, Tuan..."

"Berapa?!"

"Cuma.... cuma dua keping uang perak..."

"Hmm.. "Ki Pergola Buto menggumam. Dan ti-

ba-tiba saja dia menggerakkan tangan kanannya 

ke wajah laki-laki setengah baya itu.

"Des!"

Wajah laki-laki setengah baya itu terhantam 

oleh pukulannya yang keras. Dia bergulingan be-

berapa kali di lantai, menabrak kursi dan meja. 

Lalu terdiam tak bergerak, karena nyawanya telah 

melayang dengan kepala pecah.

Para pengunjung rumah makan itu menjadi 

terkejut melihat tangan telengas orang-orang itu 

Tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Masih 

duduk di tempat masing-masing.

"Siapa yang berani lagi menagih, hah?!" bentak 

Ki Pergola Buto dengan marah.

Namun tak seorang pun yang berani menja-

wab. Lalu kelima orang itu pun meninggalkan ke-

dai.

"Tunggu!" terdengar seruan itu.

Kelimanya tidak jadi menjalankan kuda mas-

ing-masing. Dan melihat seorang laki-laki tengah 

bersalto dan telah berdiri di hadapan mereka.

Laki-laki itu adalah Sumantri Puro, yang kebe-

tulan juga sedang makan di sana.

"Hhh! Mau apa kau?!" bentak Ki Pergola Buto.


"Maafkan aku yang mengganggu perjalanan ka-

lian. Kalau boleh aku bertanya, apakah wanita 

yang bercadar merah itu yang berjuluk Dewi Ber-

cadar Merah?"

"Kalau iya kau mau apa?!"

"Apakah kalian yang bernama Ki Tunggang 

Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola Buto dan Ki Ja-

lak Pancang?"

Orang-orang itu berpandangan. Karena ada 

yang tahu nama mereka.

"Ya, kamilah orang-orang yang kau sebutkan

itu!" sahut Ki Jalak Pancang.

Sumantri Puro mendesis dalam hati. Jadi ini 

orang-orang yang telah menghancurkan keluarga 

Barong Seta. Tadi sebenarnya saat makan dia su-

dah memperhatikan orang-orang itu. Dan yang 

membuatnya heran ketika melihat yang wanita 

mengenakan cadar berwarna merah. Dia jadi te-

ringat akan cerita Barong Seta.

"Kalau begitu kebetulan! Ada seorang kawanku 

yang tengah menanti kedatangan kalian?"

"Siapa dia?"

"Kalian tunggulah di sini! Lima belas menit 

kemudian aku akan kembali lagi!"

Sumantri Puro pun berlari. Dan menceritakan 

semua itu pada Barong Seta. Bersama ketiga ka-

wan mereka yang lain, kelimanya pun kembali ke 

tempat semula.

Sumantri Puro berkata, "Ini kawanku yang in-

gin bertemu dengan kalian!"

Orang-orang yang menunggu itu heran karena


merasa belum pernah mengenal Barong Seta.

"Apa-apaan maksudmu ini?!" bentak Ki Tung-

gang Rekso.

"Dengarlah dulu kata-katanya, baru kau akan 

mengerti!" kata Sumantri Puro yang tak perduli 

dengan kata-kata Ki Tunggang Rekso.

Barong Seta mendengus. Inikah orang-orang 

yang telah menghancurkan keluargaku? desisnya 

dalam hati.

Lalu dia berkata, "Bila kalian memang benar 

orang-orang yang sedang kucari, aku hendak ber-

tanya pada kalian?"

"Bertanya apa, Pemuda sok tahu!" menggeram 

Ki Jalak Pancang., "Kau telah lancang berani 

menghalangi perjalanan kami!"

"Maaf... ingatkah kau akan kejadian sepuluh 

tahun yang lalu di mana kau membunuh Bupati 

Seda Arya dan menghancurkan keluarganya?"

Sudah tentu orang-orang itu masih mengingat-

nya. Bahkan mereka sampai sekarang tetap ingat 

akan kejadian itu.

"Hh! Lalu apa hubungannya denganmu?!" ben-

tak Ki Jalak Pancang lagi.

"Masih ingatkah kalian kalau bupati dan is-

trinya memiliki seorang putra?"

"Ya, yang tentunya sudah mampus sekarang!"

"Ingatkah kalian siapa namanya?!"

"Tentu saja kami ingat bocah sialan itu! Dia 

bernama Barong Seta! Hei, ada apa kau bertanya-

tanya seperti ini?!"

"Jangan gusar!" seru Barong Seta dengan ke


marahan yang ditahan. "Hari ini kalian tengah 

berhadapan dengan putra dari Bupati Seda Arya 

dan istrinya Roro Santika..."

"Apa?!"

"Ya, akulah Barong Seta... bocah sepuluh ta-

hun yang lalu belum mengerti apa yang tengah 

terjadi. Dan sekarang, aku ingin meminta per-

tanggungjawaban kalian semua!"

Orang-orang itu sungguh tidak menyangka ka-

lau putra dari bupati Seda Arya dan Roro Santika 

masih hidup. Tetapi tentu saja hanya sejenak ke-

kagetan mereka. Karena kemudian terdengar sua-

ra tawa mereka yang ramai.

"Hihihi... jadi kau putra dari Seda Arya?" terki-

kik Mawar.

"Hmm.... pantas, pantas... kau begitu gagah 

dan tampan, mirip ayahmu, Barong..."

"Diam kau perempuan iblis!" bentak Barong 

Seta. "Lebih baik kalian membunuh diri sekarang, 

sebelum aku mencabut nyawa kalian!"

"Setan! Kau besar omong pula, hah?!" mengge-

ram Dewi Bercadar Merah alias Mawar sambil me-

lompat dari kudanya dan langsung menyerbu ke 

arah Barong Seta.

Barong Seta yang sudah bersiap sejak tadi se-

gera melayaninya dengan hebat dan sigap pula.

Tanpa disuruh lagi terjadilah pertarungan yang 

hebat antara keduanya.

Melihat Barong Seta sudah saling gebrak, 

keempat temannya pun sambil menjerit keras 

menyerang empat orang yang masih duduk di ku


da-kuda mereka.

Pertempuran satu lawan satu pun terjadi.

Pertarungan yang begitu sengit.

Mendebarkan.

Dan sungguh berbahaya.

Masing-masing mengeluarkan segenap ke-

mampuan dan kehebatan mereka. Saling mema-

merkan kecepatan yang sungguh cepat sekali.

Jurus demi jurus pun telah terlewat tanpa ter-

lihat ada yang terdesak.

Masing-masing pun sudah mengeluarkan sen-

jata-senjata mereka.

Ki Pergola Buto yang menghadapi Sumantri 

Puro pun sudah mengeluarkan senjatanya sepa-

sang trisula. Dan dia pun mencecar Sumantri Pu-

ro dengan cepat.

Namun Sumantri Puro pun bukanlah lawan 

yang bisa dianggap enteng dengan sigap dan ce-

pat pula dia menghindari dan membalas seran-

gan-serangan itu.

Dan dengan satu gerakan yang amat cepat, dia 

berhasil memukul lepas kedua trisula yang bera-

da dalam genggaman Ki Pergola Buto.

Bahkan dia dapat memukulnya.

Ki Pergola Buto menjadi kalap. Dia bangkit 

kembali menyerang dengan membabi buta. Na-

mun entah dari mana datangnya, mendadak saja 

di ujung jari Sumantri Puro telah terdapat sebilah 

pisau yang langsung dihujamkan pada dada Ki 

Pergola Buto.

Terdengar lolongan keras yang menyayat hati.


Tubuh Ki Pergola Buto pun ambruk dan men-

jadi mayat dengan bersimbah darah.

Dan satu per satu keempat kawan Barong Seta 

berhasil mendesak lawannya. Lawan-lawannya itu 

kalah karena mereka terlalu menganggap enteng. 

Menyusul Ki Jalak Pancang tewas dengan leher 

yang hampir putus. Lalu Ki Bayu Utara yang ha-

rus mati terduduk karena kedua kakinya terkena 

pisau terbang Genda Suta. Lalu salah sebuah pi-

sau menghujam tepat di dadanya.

Kini tinggal Ki Tunggang Rekso yang masih 

menghadapi Suma Agung. Nampak keduanya be-

rimbang. Dan masing-masing masih dapat men-

guasai jalannya pertarungan.

Keduanya saling gebrak dengan hebat.

Saling hantam.

Saling bernafsu untuk menjatuhkan lawan.

Begitu pula halnya dengan Barong Seta yang 

menghadapi Dewi Bercadar Merah alias Mawar. 

Keduanya pun sama-sama tangguh. Meskipun 

Dewi Bercadar Merah berguru pada empat orang, 

namun Barong Seta dapat mengimbangi semua 

perlawanannya.

"Kau harus mampus di tanganku, Perempuan 

iblis!"

"Atau kau sendiri yang akan mampus menyu-

sul ayah dan ibumu, Barong Seta!"

Keduanya saling serang dengan hebat. Jurus 

demi jurus pun berlangsung dengan ketat.

Tiba-tiba terdengar jeritan Ki Tunggang Rekso, 

membuat konsentrasi Mawar terganggu. Apalagi


dia sudah melihat tiga gurunya yang lain telah 

mampus.

Hal ini membuat Barong Seta menjadi mudah 

untuk menjatuhkan pukulan.

"Des!"

Sebuah pukulannya menghantam dada Dewi 

Bercadar Merah.

Hingga wanita itu terpelanting ke tanah.

Sementara itu Ki Tunggang Rekso tewas akibat 

pisau terbang yang dilancarkan oleh Genda Suta.

Mawar mendengus marah. Baginya dia harus 

membunuh Barong Seta.

Sambil memekik keras dia bergerak menyerbu. 

Serangannya begitu ganas dan kalap. Membuat 

Barong Seta sedikit kewalahan. Namun detik ke-

mudian, dia sudah bisa menguasai keadaan.

Karena Mawar dalam kondisi marah, seran-

gannya menjadi tidak terarah. Berkali-kali puku-

lan dan tendangan Barong Seta mengenai sasa-

rannya.

Hingga membuat wanita itu kehilangan ke-

seimbangan. Dan dengan satu tendangan melom-

pat membuat wanita itu tersuruk ke belakang.

"Akkhhh!"

Mawar merasakan sakit yang luar biasa pada 

perutnya. Dan baginya sulit untuk bangun lagi 

melanjutkan perlawanan.

Barong Seta tertawa.

Wajahnya mirip malaikat pencabut nyawa yang 

siap menjalankan tugasnya.

Begitu buas dan mengerikan.


Dia menengadah menatap langit.

"Ayah dan Ibu! Kau lihatlah... hari ini orang-

orang yang telah membuat matimu tidak tenang, 

sudah terbunuh! Dan sekarang, saksikanlah pe-

rempuan iblis ini akan kucabut nyawanya!" se-

runya lantang. Tiba-tiba dia berpaling pada Ma-

war. "Nah, perempuan iblis! Bersiaplah untuk 

mampus sekarang juga!"

Mawar cuma meringis. Dia yakin sudah tidak 

mampu lagi untuk bangkit. Kini dia hanya pasrah 

menanti ajal.

Tiba-tiba sepasang tangan Barong Seta beru-

bah menjadi merah. Rupanya dia tengah menge-

luarkan ajian pamungkas ajaran si Bongkok Ber-

gigi Emas, Pukulan Sambar Nyawa!

Lalu sambil menjerit dia melesat ke arah Ma-

war yang hanya memejamkan mata, "Mampuslah 

kau, Perempuan Laknat!"

Namun tiba-tiba saja Barong Seta berbalik ke 

belakang ketika dia merasakan ada sesuatu yang 

menghalangi pukulannya.

"Anjing! Siapa yang berani menghalangi ulahku 

ini!" geramnya setelah berdiri dari bersaltonya.

Teman-temannya pun terkejut, karena mereka 

tidak melihat ada sesuatu atau seseorang yang 

menghalangi gerakan Barong Seta.

Dan mata mereka seperti terbuka ketika meli-

hat sosok tubuh berjubah putih yang tersenyum 

arif dan bijaksana. Di sampingnya berdiri sosok 

wanita yang ramping dengan pakaian ringkas dan 

sepasang pedang berselempangan di punggung


nya.

Barong Seta berseru kaget, "Ketua Madewa 

Gumilang dan Ratih Ningrum!"

Orang yang tak lain Madewa Gumilang dan is-

trinya itu tersenyum. Dialah yang memapaki se-

rangan Barong Seta dengan pukulan angin salju 

dari jarak jauh.

"Maafkan kelancanganku, Barong..." kata Ma-

dewa tetap tersenyum, arif dan bijaksana.

Namun Barong Seta yang merasa jengkel kare-

na niatnya ada yang menghalangi menggeram 

marah.

"Ketua... dengan maksud apa kau menghalangi 

perbuatanku, hah?!"

"Barong... lawanmu sudah kalah. Apakah kau 

tega untuk tetap mencabut nyawanya?!"

"Ini urusanku, Ketua!"

"Di mana rasa belas kasihanmu, Barong?"

"Apakah orang-orang ini punya rasa belas ka-

sihan ketika membantai ayahku dan menyebab-

kan ibuku mati menderita? Juga mereka dengan 

seenaknya saja membantai orang-orang desaku? 

Apakah aku harus mempunyai rasa belas kasihan 

kepada orang semacam ini?!"

"Tetapi lawanmu sudah kalah, Barong..."

"Perduli setan! Aku akan tetap mencabut nya-

wanya!"

"Sadarlah, Barong... kau dirasuki dendam yang 

amat sangat, hingga kau bersikap seperti iblis!"

Tiba-tiba berlompatan empat laki-laki mengha-

dang Madewa Gumilang. Suma Agung berkata


pada Barong Seta, "Barong... laksanakan saja 

keinginanmu itu! Biar kami hadapi orang yang 

melarang ini!"

Madewa Gumilang tersenyum pada orang-

orang itu.

"Lebih baik kalian sadarkan teman kalian yang 

mempunyai niat jelek itu. Di mana rasa belas ka-

sihan pada orang yang telah kalah?!"

"Madewa... kami telah lama mendengar nama 

besarmu. Tetapi kami telah bersumpah akan 

membunuh siapa saja yang menghalangi sumpah 

kami!"

"Begitu pula dengan aku bila kularang Barong 

Seta melaksanakan niatnya?"

"Ya!"

"Kalau begitu... berarti kalian akan menghada-

piku sebagai orang yang menentang tindakan Ba-

rong Seta!"

Sehabis Madewa berkata begitu, orang-orang 

yang mengurungnya segera berlompatan menye-

rangnya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri Ma-

dewa menghindarkan semua serangan itu. Bah-

kan dia menghantam mereka satu per satu den-

gan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.

Namun keempat orang itu yang telah bersum-

pah menjadi nekat.

Meskipun dia sudah tahu nama besar Madewa 

Gumilang, mereka tidak perduli.

Kenekatan itu membuat Madewa menjadi jeng-

kel. Kali ini dia pun bergerak dengan Pukulan 

Tembok Menghalau Badai. Karena dia tahu orang


orang ini hanya terikat oleh sumpah, membuat-

nya jadi enggan untuk menurunkan tangan telen-

gas. Lagipula dia tahu, orang-orang ini hanya 

membantu, Barong Seta.

Tetapi hal itu bukanlah membuat keempatnya 

menjadi keder. Malah mereka nekat seakan men-

gadu nyawa.

Dan sulit untuk Madewa menghindari semua-

nya.

Sementara itu Barong Seta tengah melancar-

kan kembali pukulannya pada Mawar. Namun 

Ratih Ningrum menghalanginya. Hingga keduanya 

terlibat pertempuran yang amat hebat.

Madewa sendiri lama-lama merasa bisa kewa-

lahan menghadapi orang-orang ini. Lalu dia pun 

bergerak dengan cepat dan memukul pingsan 

keempatnya.

Sedangkan Ratih Ningrum tengah berjuang ke-

ras untuk menghindari dan membalas serangan-

serangan yang dilancarkan oleh Barong Seta.

Mendadak saja pemuda yang bertelanjang dada 

itu bersalto seraya mengeluarkan Pukulan Sam-

bar Nyawanya. Hal ini membuat Ratih Ningrum 

harus bergulingan menghindar. Dan tanpa didu-

ganya Barong Seta melancarkan pukulannya ke 

arah Mawar. Maka tanpa ampun lagi wanita itu 

pun tewas dalam keadaan yang mengerikan ter-

kena pukulan Sambar Nyawa.

"Barong!" seru Madewa melihat tangan telengas 

yang diturunkan Barong Seta.

Bagai tengah dirasuki iblis Barong Seta terke


keh. "Mau apa kau, Madewa? Aku akan membu-

nuh siapa saja yang berani menantang ku dan 

menghalangiku?!"

"Sadarlah, Barong..."

"Persetan dengan kata-katamu! Mampuslah 

kau, Madewa!" seru Barong Seta seraya menye-

rang dengan Pukulan Sambar Nyawanya. Madewa 

tahu pukulan itu amat berbahaya, pukulan pa-

mungkas milik si Bongkok Bergigi Emas.

Maka dia pun menghindarinya dengan cepat 

dan hebat pula.

Namun Barong Seta tak mau kalau dia dijadi-

kan bulan-bulannya menghindar Madewa. Maka 

dia pun mempercepat gerakannya.

Madewa dapat merasakan betapa hebatnya an-

gin yang ditimbulkan oleh pukulan yang sedang 

dilancarkan Barong Seta. Dia pun dapat menduga 

pukulan sakti yang hebat itu akan mampu menja-

tuhkannya.

Tak ada jalan lain untuk menghentikan Barong 

Seta kecuali menghadapinya. Tiba-tiba dia bersal-

to ke belakang. Saat bersalto itu dia merangkum 

kedua tangannya. Dan terlihat asap putih yang 

mengepul dari kedua tangan itu. Pukulan Bayan-

gan Sukma.

"Sadarlah, Barong..."

"Perduli setan dengan ucapanmu, Madewa! 

Mampuslah kau!"

Sambil memekik keras Barong Seta. Memang 

tak ada jalan lain, Madewa mendesah pilu dalam 

hati.


Dan tak ada jalan lain lagi. Maka dia pun me-

mapaki pukulan yang dilancarkan Barong Seta 

dengan Pukulan Bayangan Sukma.

Terjadi ledakan keras ketika kedua pukulan itu 

berbenturan.

"DUAAAR!"

Debu-debu berterbangan. Pekikan orang-orang 

yang menonton terdengar. Satu sosok tubuh ter-

pental dari kepulan debu itu dan ambruk dengan 

tubuh hancur.

Ketika debu itu menipis terlihat tubuh Madewa 

Gumilang yang berdiri tegak. Kepiluan terlihat je-

las di wajahnya. Betapa pilunya dia menyaksikan 

kematian Barong Seta.

Memang tak ada jalan lain.

"Maafkan aku, Barong..." desisnya pada angin.

Hatinya makin pilu.

Hati-hati Ningrum mendekati suaminya yang 

tertunduk.



                      SELESAI



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive